GERHANA DI MALAM JAHANAM
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Setting Oleh: Mutiara Typesetting
Cetakan Pertama
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Gerhana Di Malam Jahanam
SATU
Di sinikah tempatnya?" si penanya adalah
seorang penunggang kuda berbadan tinggi tegap,
berkumis jambang serta bawuk. Muka berminyak
dan berpakaian serba hitam gombrang.
"Bukan. Bukan di sini!" jawab penunggang
kuda yang berada di sebelahnya dengan suara ge-
metar dan muka berubah pucat.
"Menjauhlah kau...!" perintah laki-laki ber-
pakaian hitam gombrang itu pada pemuda berpa-
kaian kuning yang di bagian punggungnya mem-
bekal sebuah topi besi bergerigi mirip gergaji. Ka-
langan persilatan mengenal pemuda berpakaian
serba kuning ini sebagai si Topi Terbang. Kata-
kata yang sangat pendek itu sudah cukup bagi si
Topi Terbang sebagai awal dari keganasan laki-laki
berpakaian serba hitam ini. Kuda tunggangan me-
ringkik keras saat laki-laki berwajah angker mulai
mengerahkan kesaktian yang dimilikinya.
"Whuuuu...!"
Lidah api menyembur dari mulut laki-laki
itu, tak dapat dicegah lagi langsung menyambar
rumah gubuk berbentuk bulat yang jumlahnya
mencapai puluhan buah. Terdengar pekik dan jerit
kematian disertai dengan berhamburannya bebe-
rapa sosok tubuh berkepala botak berpakaian ser-
ba putih. Mereka yang keluar dari dalam gubuk
beratap ilalang begitu mengetahui penyebab dari
kejadian yang ada. Langsung saja mengepung dua
orang penunggang kuda sambil keluarkan kata
kata yang tidak dimengerti oleh laki-laki berpa-
kaian serba hitam dan si Topi Terbang. Walaupun
keduanya tidak dapat menangkap arti pembica-
raan mereka. Namun si laki-laki berpakaian gom-
brang itu menyadari puluhan pemuda berpakaian
putih serta berkepala botak itu sedang di landa
kemarahan. Sambil tertawa tergelak-gelak, laki-
laki bertampang sadis itu memberi perintah pada
si Topi Terbang
"Topi mautmu mungkin masih cukup berar-
ti untuk mencopoti kepala demit putih yang tiada
berambut itu!"
"Maha Diraja Setan Bumi hendak ke ma-
na?" tanya si Topi Terbang dengan sesungging se-
nyum kecut.
"Rumah-rumah tiada guna itu hanya bikin
rusak pemandangan saja. Lebih baik kalau ku-
bakar semuanya." berkata sambil tertawa-tawa se-
perti itu. Laki-laki berpakaian serba hitam itu
langsung menggebrak kudanya. Beberapa orang
pemuda berkepala serba gundul yang coba-coba
menghalanginya langsung di terjang dengan sem-
buran-semburan lidah api yang keluar lewat mu-
lutnya. Mereka langsung terbakar, beberapa orang
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Laki-
laki berpakaian serba hitam yang memiliki julukan
Maha Diraja Setan Bumi terus menggebrak ku-
danya melaju ke arah rumah-rumah yang masih
tersisa. Begitu sampai di gang-gang Raja Diraja Se-
tan Bumi kembali semburkan api dari mulutnya.
Dalam waktu singkat, gubuk-gubuk darurat itu te-
lah berobah menjadi lautan api.
Sementara itu di bagian lain, si Topi Ter-
bang dengan tawa bergelak-gelak mulai melem-
parkan senjatanya yang berupa topi bergerigi ta-
jam ke arah belasan pemuda berkepala gundul
yang melakukan pengeroyokan atas dirinya.
Jeritan-jeritan kematianpun mulai terden-
gar di mana-mana. Anehnya topi yang terbuat dari
baja pilihan itu dapat dikendalikan sebagaimana
mestinya. Lebih jelasnya lagi setelah, membabat
putus bagian tubuh lawan-lawannya, topi itu da-
pat ditarik kembali ke arah pemiliknya. Padahal
pada topi tersebut tidak terdapat adanya tali pen-
gikat atau sejenis itu. Sebuah kejadian langka
yang menandakan pemiliknya pastilah memiliki
kepandaian yang sangat tinggi. Dalam kesibukan-
nya membasmi para lawan-lawannya, tiba-tiba
terdengar suara bentakan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam.
"Hentikan...!"
Si Topi Terbang langsung hentikan sepak
terjangnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan
Maha Diraja Setan Bumi. Dengan keangkuhannya
dan semburan-semburan api yang keluar lewat
mulutnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu te-
rus melakukan pembakaran hingga rumah-rumah
yang dibangun secara darurat itu tiada bersisa la-
gi. Setelah merasa puas dengan pekerjaannya, la-
ki-laki itu kembali menggebrak kudanya. Hanya
dalam waktu sesaat ia telah kembali bergabung
dengan si Topi Terbang.
"Siapa kunyuk yang menghentikanmu, Topi
Terbang...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan
suara berwibawa.
Si Topi Terbang menunjuk ke satu tempat
yang tidak begitu jauh di belakangnya. Laki-laki
berpakaian hitam gombrang ini mengekor dengan
sudut matanya. Lalu nampak olehnya seorang la-
ki-laki tua berpakaian serba putih berkepala gun-
dul. Sedangkan di tangannya memegang sebuah
tasbih dan sebuah tongkat yang sewaktu-waktu
dapat dipergunakannya sebagai senjata yang am-
puh.
"Botak. Kaukah yang telah melarang pengi-
kutku mencopoti kepala mereka?" bentak Maha
Diraja Setan Bumi dengan mata melotot wajah, ke-
lam membesi. Melihat penampilannya pastilah la-
ki-laki berbadan kekar berpakaian serba putih dan
berkepala gundul ini merupakan pimpinan dari
semua mereka yang terbunuh.
"Amitaba. Baru di daratan Jawa Dipa ini
semua pengikutku mendapat perlakuan sekeji ini.
Batara yang agung pasti akan mengutuk kalian
berdua." cetus laki-laki bertasbih ini tanpa ekpresi.
"Kurang ajar. Kau orang asing di sini, tak
perlu berkotbah padaku. Cepat jawab pertanyaan-
ku...?" bentak Maha Diraja Setan Bumi semakin
bertambah marah.
Laki-laki bertasbih ini rangkapkan kedua
tangannya di depan dada. Dari sorot matanya yang
penuh welas asih. Jelaslah kalau ia merupakan
seorang pemuka agama yang memiliki kesabaran
luar biasa.
"Aku melarang tindakan kawanmu itu. Ka-
rena orang-orang yang dibunuh oleh pemuda ber
baju kuning merupakan para pengikutku yang ti-
dak pernah kuajarkan ilmu silat sama sekali. Me-
reka adalah orang-orang yang kudidik ke jalan lu-
rus, yang kelak di kemudian hari akan membawa
satu umat pada kehidupan yang tenteram dan
damai."
"Kurang ajar. Kedatanganmu ke tanah le-
luhur kami, dan memasuki daerah kekuasaanku.
Kiranya hanya ingin mempengaruhi mereka den-
gan sesuatu yang tidak kami mengerti. Tahukah
kau bahwa mereka semua tunduk dan patuh di
bawah perintahku. Kuperingatkan padamu untuk
segera meninggalkan tempat ini." perintah Maha
Diraja Setan Bumi.
Namun laki-laki berkepala gundul ini ge-
lengkan kepalanya berulang-ulang.
"Amitaba. Aku hanya seorang Biksu, tak se-
orangpun yang dapat menghalangi semua ren-
cana baikku. Sungguhpun dia seorang Maha Dira-
ja Setan Bumi sekalipun." kata laki-laki berkepala
gundul yang memiliki nama pribumi Asoka itu te-
gas. Semakin bertambah gusarlah Maha Diraja Se-
tan Bumi demi mendengar ke-tegasan laki-laki itu.
"Ha... ha... ha...! kalau kau telah mengeta-
hui gelar namaku. Mengapa tidak cepat-cepat
menjatuhkan diri menyembah?"
"Anda bukan seorang Dewa yang patut di
sembah. Kalaupun aku menyebut nama itu, se-
muanya hanyalah secara kebetulan belaka. Nah
kukira sudah cukup bagi kalian untuk tidak
menghalangi semua langkah yang telah kupu-
tuskan!"
"Keparat. Kedatanganmu ke tanah leluhur
kami hanya mengantar nyawa secara sia-sia." kata
Maha Diraja Setan Bumi.
"Dari pada kelak di kemudian hari menjadi
bibit penyakit. Lebih baik sekarang saja kita bina-
sakan manusia gundul yang satu ini." si Topi Ter-
bang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar
dalam pembicaraan itu. Kini mulai ikut bicara.
"Menurutmu apakah dia pantas menjadi la-
wanku?" tanya Maha Diraja Setan Bumi pada si
Topi Terbang.
Dengan cepat sekali laki-laki berpakaian
serba kuning menyahut:
"Tikus gundul bukan lawan yang pantas
bagi yang mulia. Dia lebih pantas berhadapan
dengan diriku."
"Kalau begitu hajar dia. Sementara aku
sendiri akan berangkat ke Utara menemui Kanjeng
Guru."
"Jangan khawatir. Saya pasti segera melak-
sanakan tugas dengan baik..." kata laki-laki ber-
pakaian serba kuning menyanggupi.
Tanpa menoleh lagi Maha Diraja Setan Bu-
mi menggebrak kudanya. Beberapa saat kemudian
kuda dan penunggangnya sudah tidak terlihat lagi
dari pandangan si Topi Terbang dan Biksu Asoka.
Kini setelah kepergian Maha Diraja Setan
Bumi kedua laki-laki itu saling berpandangan.
"Kau selalu merasa yakin dengan kekuatan
yang kau miliki?" tanya Asoka seolah meragukan
kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.
"Hia... ha... ha...! Si Topi Terbang tak per
nah merasa ragu menghadapi lawan yang bagai-
manapun hebatnya." cetus laki-laki muda berpa-
kaian serba kuning itu jumawa.
"Sayang. Sebagai penyebar kebaikan aku
tak perlu melayanimu!" ujar Asoka secara tiba-tiba
memberi keputusan.
"Huh, membunuh seorang asing sepertimu
tak perlu kau harus melayani atau tidak. Bagiku
yang paling penting kau harus mati." teriak si Topi
Terbang.
Ziiing...!
Serta merta senjata maut di tangannya me-
lesat ke udara. Asoka si pendeta Asing itu menya-
dari betapa hebat senjata yang dimiliki oleh la-
wannya. Ia tak ingin bertindak gegabah. Itu ma-
kanya begitu merasakan adanya sambaran angin
kencang berhawa panas ke arah dirinya. Tak ayal
lagi Asoka lemparkan tubuhnya ke samping kiri.
Tiada buang-buang waktu ia terus bergulingan
menghindari terjangan Topi Baja yang bergerigi ta-
jam di bagian sisi-sisinya.
"Weees...!"
Senjata itu kembali menyambar ke arah la-
ki-laki berkepala gundul ini. Padahal waktu itu po-
sisinya masih dalam keadaan menelentang di atas
tanah. Ia sudah dapat memperhitungkan andai ia
terus bertahan dalam keadaan seperti itu sudah
pasti tubuhnya akan menjadi makanan empuk
senjata yang dilemparkan oleh si Topi Terbang.
Berpikir sampai ke situ, Biksu Asoka per-
gunakan toyanya untuk memapak datangnya sen-
jata yang terus memperdengarkan bunyi menden
gung itu.
Craang!
Terdengar suara benturan yang amat keras
manakala dua senjata yang sama-sama dialiri te-
naga dalam itu saling bertemu. Anehnya meskipun
begitu, senjata topi baja milik pemuda berpakaian
kuning itu terus melesat dan kembali kepada pe-
miliknya.
Creep!
Masing-masing lawan sama-sama tertegun.
Mereka menyadari dalam benturan senjata tadi
ternyata tenaga dalam yang mereka miliki tidak
terpaut jauh.
"Kuperingatkan sekali lagi padamu jangan-
lah terlalu memaksakan diri!" kata Asoka. Si Topi
Terbang meludah ke tanah beberapa kali.
"Jangan coba-coba menggertak si Topi Ter-
bang, Biksu gundul! Sekali saja aku mengatakan
kesanggupanku untuk membunuhmu, dengan ca-
ra apapun kau harus mampus." maki pemuda
berpakaian serba kuning ini, lalu memutar-mutar
topi mautnya.
Dengan nada merendahkan diri, Asoka be-
rucap:
"Amitaba. Kiranya anda bukanlah pendekar
bijak. Ketahuilah tuan, bukan aku bermaksud me-
nakut-nakuti dirimu." sekejap laki-laki berkepala
gundul ini hentikan ucapannya. Sekejab diperha-
tikannya si Topi Terbang dengan tatapan penuh
welas asih. "Namun andaipun anda berhasil mem-
bunuhku, orang-orang sealiran denganku yang
memiliki kepandaian sangat tinggi pasti akan me
nuntutmu. Menurut hematku, alangkah lebih baik
lagi andai saudara mengurungkan niat yang san-
gat keji itu." sambungnya kemudian.
"Jahanam." si Topi Terbang bentakan ka-
kinya di atas tanah. Karena pada saat melakukan
gerakan seperti itu disertai dengan pengerahan te-
naga dalam yang sangat tinggi. Maka seketika itu
juga daerah di sekitarnya terasa bagai dilanda se-
laksa gempa. Biksu Asoka hanya tersenyum saja
melihat si Topi Terbang unjuk gigi di depannya.
"Pendeta gadungan. Bersiap-siaplah untuk
menghadapi ketajaman topiku yang telah mem-
buat putus ratusan kepala ini."
"Amitaba, bicaramu benar-benar terlalu
sembrono saudara." ujar Biksu Asoka dengan ke-
dua mata terbelalak. Saat itu senjata di tangan
pemuda berpakaian serba kuning telah melesat
sedemikian cepatnya. Hingga tahu-tahu jaraknya
hanya tinggal satu tombak saja dari Asoka. Laki-
laki berusia lima puluh enam tahun melentingkan
tubuhnya ke udara. Senjata itu terus meluncur de-
ras dan menghantam sasaran kosong di belakang-
nya. Sebagaimana pertama tadi, kali inipun sete-
lah menghantam sebuah batu cadas di belakang
Asoka tadi. Kali ini kembali meluncur kembali ke
pemiliknya. Ketika senjata itu sampai di tangan
pemiliknya, pada saat yang sama Asoka juga men-
jejakkan kakinya di atas tanah.
"Hebat. Kau benar-benar memiliki kepan-
daian yang mengagumkan. Sayangnya kau bukan-
lah pendekar berhati lurus. Sungguhpun aku tidak
mempunyai persoalan apapun denganmu. Tetapi
karena kau terlalu memaksaku, kurasa tidak ada
salahnya kalau aku membela diri" kata Asoka.
"Hua... ha... ha...! Perlawanan darimu, itu-
lah yang kuharapkan sejak dari tadi manusia ber-
kepala gundul!" bentak si Topi Terbang di antara
gelak tawanya.
Dalam saat-saat selanjutnya Asoka mulai
membuka jurus-jurus silatnya yang memiliki va-
riasi begitu banyak. Dengan mempergunakan toya
sebagai senjata andalan. Di dukung oleh permai-
nan tasbih yang mengagumkan. Sementara itu
dengan tujuan ingin mengetahui kehebatan yang
dimiliki oleh lawannya, si Topi Terbang mencabut
sebilah pedang pendek yang juga bergerigi di ba-
gian sisi-sisinya. Dengan senjata ini ia membuka
serangan-serangan gencar yang tak kalah berba-
hayanya dengan senjata andalannya 'Topi Terbang'
"Heaaat. Caiiit!"
"Huaaa ambrol perutmu." teriak si Topi Ter-
bang menusukkan pedangnya mengarah pada ba-
gian perut. Dengan mudah Asoka masih mampu
mengelit serangan yang datangnya begitu cepat.
Begitu serangan luput, pemuda berpakaian kuning
ini lakukan satu babatan ke bagian kaki. Asoka
memang tak menduga dengan datangnya serangan
beruntun ini. Ia menjadi gugup namun dengan se-
penuh tenaganya ia putar toyanya untuk melin-
dungi bagian kaki.
Traang...!
Terdengar suara pekikan tertahan di sertai
dengan berkelebatnya senjata bergerigi yang ter-
buat dari baja pilihan milik si pemuda.
Nguuuung
Terdengar suara mengaung keras saat topi
itu melayang cepat ke arah sasarannya. Asoka kali
ini benar-benar mati kutu. Dalam pertarungan ja-
rak dekat seperti itu sama sekali ia tiada menduga
kalau lawannya melepaskan topi maut yang telah
merenggut banyak korban itu. Sambil berjumpali-
tan Asoka hantamkan tasbihnya.
"Craak. Plaaar..."
Tasbih ditangannya hancur berkeping-
keping. Sebelum ia sempat mendaratkan kakinya
di atas tanah, pada saat itu si Topi Terbang kem-
bali melemparkan senjata mautnya.
Nguuung. Craaas...!
Tangan Asoka terkutung sebatas siku. Toya
di tangannya mental ke udara bersama-sama ku-
tungan tangannya yang menghamburkan begitu
banyak darah.
"Amitaba...!" jerit Asoka. Tubuhnya tergetar,
lebih dari itu darah cepat sekali merembas dari ku-
tungan tangannya. Lebih cepat dia menotok jalan
darahnya untuk mencegah agar darah tidak ba-
nyak yang keluar. Pada saat itu pemuda berpa-
kaian serba kuning tertawa-tawa. Kesempatan
yang hanya beberapa saat itu dipergunakan Asoka
untuk melarikan diri.
"Hei! Kurang ajar." maki si Topi Terbang be-
gitu melihat lawannya tiba-tiba saja telah lenyap
dari hadapannya. "Ha... ha... ha...! Senjata mautku
mengandung racun yang sangat ganas. Kau tak
mungkin terlepas dari belenggu maut." kata si Topi
Terbang. Baginya tiada keinginan melakukan pen
gejaran. Terkecuali meneruskan perjalanan untuk
memberi laporan pada Maha Diraja Setan Bumi.
DUA
Kegelapan baru saja menyelimuti kaki lan-
git. Matahari hanya tinggal semburat merah yang
kian samar. Suasana kehidupan mulai berganti
rupa, dan binatang-binatang malam satu demi sa-
tu keluar dari persembunyiannya. Kelelawar, bu-
rung hantu mulai berkeliaran mencari makan. Se-
sekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan
sana. Dalam kegelapan itu mendadak sesosok
bayangan berkelebat. Gerakannya saat melewati
semak-semak yang tumbuh meranggas ringan se-
kali. Bahkan tak lama setelah kemunculannya tu-
buh telanjang dada yang mengkilat-kilat bermi-
nyak itu terus melewati hutan rotan yang sangat
lebat dan tumbuh rapat di sekitar hutan tersebut.
Anehnya tubuh orang itu bagai tidak merasakan
sakit akibat tergores duri-duri rotan yang merang-
gas tajam.
Beberapa saat setelah melewati hutan rotan
yang luas, sosok berkulit hitam legam ini sudah
mulai nampak berjalan melenggang. Langkahnya
begitu mantap menuju ke sebuah tempat yang te-
rus-menerus menyemburkan sinar merah mem-
bubung tinggi ke angkasa. Sesekali dipandanginya
arah yang hendak di tujunya itu. Matanya lang-
sung berbinar begitu melihat semburan lidah api
di kejauhan sana nampak menjulur ke arahnya.
"Kehidupan walau bagaimanapun ujudnya
selalu berakhir dengan kematian. Begitu banyak
orang yang melupakan kematian. Sangat banyak
orang yang selalu mendewa-dewakan kehidupan
dan seisi dunia. Seolah andai suatu saat mati apa
yang dimiliki dan dibanggakannya akan dibawa
serta. Tapi aku lebih menyukai orang yang terakhir
ini. Mereka pasti tidak mengetahui siapa adanya
aku, asal-usulku bahkan semua pekerjaan yang
kulakukan di kolong langit ini." sosok bertubuh hi-
tam legam ini menutup kata-katanya dengan se-
buah tawa yang sangat panjang.
"Wuuees...!"
Tiba-tiba saja tubuh orang itu berkelebat
lenyap bersamaan dengan berhembusnya angin
kencang yang begitu hebat.
Sementara itu di sebuah tempat yang ber-
nama bukit Api Abadi yang terus menyemburkan
lidah api menjulang ke angkasa nampak beberapa
orang yang terdiri laki-laki dan perempuan sedang
duduk dengan khusuknya menghadap ke arah
bukit itu. Seperti yang mereka yakini selama ini,
bukit itu selalu mendatangkan berkah bagi orang-
orang tertentu yang percaya karena kekeramatan-
nya. Namun kekhusukan itu tidak berlangsung
lama, sesaat setelahnya bertiup angin kencang
yang disertai berterbangannya pasir dan batu keri-
kil dari atas bukit sebelah kiri. Kemudian disusul
pula oleh gelak tawa yang terasa bagai hendak me-
runtuhkan bukit dan memadamkan kobaran api
abadi yang terdapat di bukit itu. Semua orang
yang berada di bawah bukit, yang jumlahnya tak
kurang dari sepuluh orang, masing-masing menge-
rahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri
dari pengaruh lengkingan suara tawa yang disertai
dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.
"Menghormatlah kalian semua pada Kan-
jeng Guru!" salah seorang laki-laki bertelanjang
dada, berbadan tinggi tegap dengan sikap mem-
bungkuk memberi perintah pada kawan-
kawannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi sembilan
orang lainnya langsung menjatuhkan diri, berlutut
dengan posisi bagian kening menyentuh ke tanah.
"Kami semua siap mengabdi pada Kanjeng
Guru. Dan kami senantiasa patuh pada semua pe-
rintah yang mulia." secara serentak menguman-
dang suara mereka dalam kegelapan yang hanya
diterangi cahaya Api Bukit Abadi. Seiring dengan
terdengarnya suara puji-pujian yang mengagung-
kan nama orang yang di sebut Kanjeng Guru itu.
Maka suara gelak tawa yang membuat sakit gen-
dang-gendang telinga terhenti seketika. Gemuruh
angin topan kembali menyapu daerah sekitar bukit
api abadi itu. Sapuan angin yang begitu tiba-tiba
membuat tubuh mereka laksana terbang. Bahkan
beberapa orang perempuan yang terdiri dari gadis-
gadis berpakaian setengah telanjang langsung ter-
jengkang. Namun mereka segera bangkit dan
membentuk sikap seperti semula dengan posisi
menyembah. Sama seperti yang terjadi pada saat
pertama tadi, kali ini hembusan angin topan ter-
henti secara tiba-tiba pula.
Jleeek...!
Tidak begitu jauh dari sumber api abadi me
layang sesosok tubuh, kemudian menjejakkan ka-
kinya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang
membuat tercengang semua mata yang meman-
dangnya karena si pendatang bertelanjang dada
yang seluruh permukaan kulitnya berminyak dan
berwarna hitam legam itu berada tidak begitu jauh
dari sumber api abadi. Padahal dalam jarak sera-
tus tombak saja mereka yang berada di bawah bu-
kit itu merasakan tubuhnya panas bagai terbakar.
Dalam beberapa hal seperti itulah mereka merasa
begitu yakin bahwa orang yang mereka sebut se-
bagai Kanjeng Guru itu sesungguhnya bukan ma-
nusia biasa. Paling tidak titisan Dewa. Maka tak
salah bila mereka rela melakukan apa saja demi
mendapat restu dengan diangkat menjadi murid,
"Gending Sora...! Sebagai pengikutku apa-
kah kau telah melaksanakan perintahku dengan
baik?" suara laki-laki yang disebut sebagai Kan-
jeng Guru terdengar memecah keheningan. Se-
mentara perhatiannya sekarang tertuju pada seo-
rang laki-laki berbadan tegap berpakaian serba hi-
tam yang tadi memberi aba-aba pada laki-laki dan
perempuan yang kini masih berlutut menghadap
ke arah bukit.
"Saya telah melakukan segala perintah yang
telah kanjeng berikan pada saya." jawab laki-laki
yang bernama Gending Sora dengan suara parau.
"Sembilan orang inikah orangnya?"
"Benar. Mereka semua terdiri dari perjaka
dan perawan tulen." kata Gending Sora dengan
wajah memerah.
"Ha... ha... ha...!" kembali terdengar suara
tawa Kanjeng Guru tergelak-gelak. Kini seluruh
perhatiannya tertuju pada empat pemuda berte-
lanjang dada dan lima orang gadis yang juga ber-
pakaian sangat minim sekali. Mengherankan sekali
kesembilan orang itu sedikitpun tiada merasa ma-
lu diperhatikan oleh Kanjeng Guru seperti itu. Ma-
lah kini mereka mulai memberanikan diri balas
memandang dengan sikap menantang. "Apakah
diantara kalian yang datang ke sini tidak akan
menyesal bergabung dengan kami?" sambung Kan-
jeng Guru setelah merasa puas dengan hasil kerja
Gending Sora.
"Kami dengan sukarela siap mengabdi pada
Kanjeng Guru. Lebih dari sekedar itu kami juga te-
lah siap melakukan apa saja demi mendapat sim-
pati yang mulia." jawab mereka secara serentak.
Berbinar sepasang mata laki-laki berkulit
penuh minyak yang menebarkan bau wangi mu-
sang pandan itu.
"Keputusan kalian benar-benar membuat
hatiku lega. He... he... he... dalam waktu yang
singkat kalian akan kuberi pelajaran ilmu yang
sangat sakti. Kalian akan menjadi pengikut dan
merupakan manusia-manusia yang tak terkalah-
kan. Namun hal itu tak mungkin terjadi andai ka-
lian tidak bersedia menyerahkan milik kalian seca-
ra sukarela." ujar Kanjeng Guru penuh maksud
cabul.
"Apakah itu yang mulia?" tanya mereka se-
cara serentak.
"Sebagai seorang gadis dan perjaka tentu
kalian menjaga sesuatu yang tersembunyi selama
ini. Agar diri kalian tetap suci."
Kesembilan orang yang terdiri dari pemuda
dan gadis nampak saling pandang sesamanya. Wa-
jah mereka berubah pucat, namun mereka juga
tak mungkin membantah. Sejak meninggalkan
daerahnya masing-masing dan bertemu di suatu
tempat yang kemudian mendapat bimbingan dari
Gending Sora, mereka telah memutuskan untuk
menjadi pengikut Kanjeng Guru yang akhir-akhir
ini namanya menggemparkan dunia persilatan.
Kalaulah memang apa yang dikatakan oleh Kan-
jeng Guru barusan merupakan satu-satunya sya-
rat agar dapat diangkat menjadi seorang murid.
Maka mereka beranggapan tidak ada salahnya an-
dai mereka mematuhinya.
"Kami menyanggupi syarat yang Kanjeng
ajukan itu." ujar mereka dengan nada dengan tan-
pa beban.
"Hemm. Bagus sekali. Kalian benar-benar
orang yang berbakti." sekejap Kanjeng Guru henti-
kan ucapannya, laki-laki berusia lima puluhan ini
menoleh pada Gending Sora. "Bawa mereka ke
tempat biasa." perintahnya.
Gending Sora bagai seorang penjilat terus
berjalan membungkuk-bungkuk, kemudian men-
gajak orang-orang itu menuju ke suatu tempat
yang merupakan sebuah gua sangat luas namun
memiliki banyak kamar. Ke sanalah sembilan
orang yang terdiri dari gadis dan perjaka itu di gir-
ing dan menempati setiap ruangan.
Sementara itu laki-laki yang disebut Kan-
jeng Guru masih tetap berdiri di tempatnya. Sorot
matanya memandang jauh ke depan sana. Me-
nembus kegelapan di mana seorang laki-laki lain
menunggang seekor kuda sedang bergerak cepat
menuju ke arahnya. Suara ringkikan kuda terden-
gar keras ketika orang itu sudah hampir mendeka-
ti bukit Abadi. Sesaat setelah sampai persis di de-
pan bukit Api Abadi laki-laki penunggang kuda
serta merta melompat dari punggung kudanya. Ia
menghaturkan sembah dengan hanya membung-
kukkan badannya. "Kanjeng Guru, muridmu da-
tang menghaturkan sembah serta membawa bebe-
rapa laporan penting."
Orang yang berada di atas bukit Api Abadi
itu hanya menggumam pelan.
"Bagaimana Maha Diraja Setan Bumi? Apa-
kah laporan tentang adanya pendatang dari tanah
seberang memang punya kebenaran?"
"Kenyataannya memang begitulah, Kanjeng!
Mereka terdiri dari orang-orang berpakaian putih
berkepala gundul yang menamakan dirinya seba-
gai Biksu. Saya telah mengobrak-abrik rumah-
rumah darurat yang mereka bangun. Sementara
ketika saya meneruskan perjalanan kemari seo-
rang tangan kananku si Topi Terbang sedang ber-
tarung melawan salah seorang diantara wakil Bik-
su itu."
"Hemm." Kanjeng Guru menggumam tak je-
las. "Kau merasa begitu yakin orang kepercayaan-
mu itu mampu mengatasi segalanya?"
"Saya selalu yakin dengan kemampuannya!"
jawab Maha Diraja Setan Bumi tegas.
"Sebenarnya apa tujuan mereka datang ke
tanah leluhur kita ini?" tanya Kanjeng Guru lebih
jauh.
"Mereka ingin mempengaruhi penduduk
dengan menyebarkan suatu keyakinan yang tak
begitu jelas."
Kanjeng Guru kerutkan alisnya, sungguh ia
kurang mengerti akan maksud kata-kata murid
sulungnya yang memiliki kepandaian beraneka ra-
gam ini. Walaupun tidak tertutup kemungkinan
baginya bahwa dengan hadirnya orang-orang asing
itu merupakan suatu ancaman buat sebuah Kera-
jaan megah yang sedang di bangun oleh muridnya.
"Setan Bumi. Yang kuinginkan agar kau
mencari orang-orang itu dan mengusirnya dari ta-
nah leluhur ini. Kalau perlu dengan jalan kekera-
san!"
"Perintah Kanjeng Guru akan saya laksana-
kan dengan baik." kata Maha Diraja Setan Bumi.
"Nah sekarang pergilah muridku. Kalau kau
ingin Kerajaan yang kau bangun sekarang ini tidak
runtuh begitu saja. Kau hancurkan para penda-
tang itu."
"Tapi bagaimana dengan para pekerja seper-
ti yang telah guru janjikan?" tanya Maha Diraja Se-
tan Bumi setelah beranjak berdiri.
"Akhir purnama mereka akan segera kuki-
rim ke sana. Asal kau tau untuk membuat mereka
memiliki tenaga seperti siluman, aku perlu waktu
untuk meniduri mereka satu persatu. Setelah itu...
ha... ha... ha...! Mereka akan menjadi seorang pe-
kerja yang sangat menurut dan memiliki tenaga
luar biasa."
"Selamanya bantuan Kanjeng Guru sangat
saya harapkan."
"Aku selalu menyanggupinya, muridku. Se-
karang kembalilah ke tempat asalmu. Jangan lupa
taburkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa' setiap
menjelang bulan purnama. Jika kau terus mela-
kukannya niscaya kau akan mendapat tenaga ker-
ja sukarela sepanjang yang kau inginkan." ujar
Kanjeng Guru yang disertai anggukan setuju oleh
Maha Diraja Setan Bumi.
Bueees...!
Sekali berkelebat laki-laki yang disebut se-
bagai Kanjeng Guru itupun lenyap dari hadapan
Maha Diraja Setan Bumi. Sementara laki-laki itu-
pun tanpa membuang-buang waktu lagi segera
melompat ke punggung kudanya kemudian berge-
rak cepat menembus kegelapan malam.
Kemudian adalah sunyi dan nyala bukit api
abadi yang sepanjang sejarahnya sangat dikera-
matkan oleh banyak orang.
TIGA
Dengan langkah terhuyung-huyung laki-laki
berkepala gundul itu terus berlari. Pakaiannya
yang berwarna putih kini telah berubah merah
bersimbah darah. Bagian tangannya yang terus
mengalirkan darah sekarang telah berubah warna
kebiru-biruan. Sementara bagian siku yang terku-
tung itu menimbulkan rasa nyeri yang tiada terta-
hankan. Dalam keadaan berlari-lari itu beberapa
kali tubuhnya hampir terbanting. Pandangan ma-
tanya berkunang-kunang karena telah begitu ba-
nyak kehilangan darah. Yang lebih celaka lagi
sampai sejauh itu setiap totokkannya pada urat
tertentu untuk menghentikan darah tidak pernah
mendatangkan hasil.
"Celaka seandainya aku tak bisa sampai ke
markas besar. Koko Beng Lie dan Koko Beng Ju
pasti tidak pernah mengetahui apa yang terjadi
pada diriku." menggumam laki-laki berkepala gun-
dul itu sambil terus berlari. Pada hakekatnya ak-
hirnya laki-laki yang bernama Asoka itu harus
mengakui adanya keterbatasan. Ia kehilangan te-
naga karena begitu banyaknya darah yang keluar
di samping akibat pengaruh racun ganas yang mu-
lai menyebar ke seluruh tubuhnya. Ucapan si Topi
Terbang ternyata bukan bualan belaka. Hal itu
akhirnya ia akui setelah empat tombak kemudian
tubuhnya tersungkur ke tanah. Lemah tiada ber-
daya. Hanya erangan-erangan lirih yang keluar da-
ri mulutnya.
Sementara pada jalan yang sama dari ke-
jauhan sana nampak sesosok tubuh berpakaian
kumal warna merah sedang berjalan melenggang
menelusuri jalan setapak yang dilalui oleh Biksu
Asoka. Sesekali ia menyomot dendeng ikan lumba-
lumba dari dalam periuk berjelaga yang mengge-
lantung di bagian pinggangnya. Sambil menguyah
ikan dendeng yang lezat itu, sesekali terdengar pu-
la celotehnya.
"Wei, nasib orang kecil itu nggak ubahnya
seperti seekor semut. Tinggal di dalam lubang yang
sangat kecil saja masih dikorek-korek trenggiling.
Hidup nggak bebas selalu tercekam perasaan ta-
kut. Sebodoh. Mendingan menjadi gajah, karena
besar ia ditakuti dan berkuasa. Bertindak semau-
maunya karena kekuatan dan kekuasaannya. Se-
bodoh. Semut yatim tak ubahnya seperti diriku ini.
He... he... he...! Manusia hina seperti ujudku ini.
Sebodoh. Ha... ha... ha... sebodoh...!" kata si pe-
muda berulang-ulang disertai dengan tawanya
berkepanjangan.
Pemuda yang sudah tak asing lagi bagi kita
ini terus mengayunkan langkahnya menelusuri ja-
lan itu. Namun mendadak ia hentikan gerakan ka-
kinya manakala di depan sana ia melihat seseo-
rang dalam keadaan menelungkup di tengah jalan
yang akan dilaluinya. "Siapakah dia, nampaknya
ia membutuhkan pertolongan." gumam Buang
Sengketa kemudian bergegas menghampirinya. Se-
telah sampai di depan orang itu, tahulah ia bahwa
laki-laki berkepala gundul itu sedang mendapat
luka dan dalam keadaan yang sangat payah.
Buang Sengketa membalik orang itu, wajah laki-
laki berkepala gundul itu nampak sangat pucat
dan berwarna biru. "Racun yang sangat keji." desis
pemuda itu. Melihat keadaannya diapun sadar
sangat tipis kemungkinan bagi laki-laki itu untuk
dapat di tolong. Sungguhpun begitu Buang Seng-
keta berusaha mencegah keluarnya darah dari be-
kas luka itu. "Celaka. Baru kali ini aku melihat se-
buah luka yang tidak dapat dihentikan. Pantasan
saja orang asing ini tidak dapat berbuat banyak.
"Eergk...!" terdengar tangan yang sangat le
mah.
"Apa yang terjadi denganmu, kisanak...?"
tanya Pendekar Hina Kelana sambil mendekatkan
telinganya pada bibir laki-laki berpakaian serba
putih itu.
"Se... seseorang telah menyerangku. Amita-
ba... me... mereka telah membunuhi sekian ba-
nyak orang-orang yang hendak menuju ke jalan
Sang Hyang Widi. Ami... ta... ba.!" dan kepala laki-
laki berkepala gundul itupun terkulai lemah. Mati.
"Melihat pakaian dan kepalanya yang di bo-
tak, pastilah orang asing ini merupakan penganut
agama yang taat. Aku tak tahu bagaimana ru-
panya manusia yang telah menyebabkan dirinya
mengalami luka sampai sedemikian ini." batin pe-
muda itu. Ia kemudian bangkit berdiri. Namun be-
lum lagi siap pada posisi yang diharapkannya, sa-
tu tendangan yang sangat telak membuat tubuh-
nya terpelanting roboh. Karena serangan bokongan
yang datangnya secara tiba-tiba itu dilakukan
dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. Tak pe-
lak lagi darah langsung menyembur dari mulut-
nya. Buang Sengketa merasakan punggungnya ba-
gai remuk, pernafasan terasa sesak dan tersendat.
Namun rasanya ia tidak dapat membiarkan hal itu
terjadi berlarut-larut. Naluri kependekarannya
mengisyaratkan adanya bahaya yang sedang men-
gancam. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan
menghimpun hawa murni pemuda itu cepat-cepat
bangkit. Nanar pandangan matanya memperhati-
kan ke arah bagian belakang. Lalu nampak oleh-
nya dua orang laki-laki berpakaian biksu telah
berdiri tidak begitu jauh dari pemuda itu.
"Amitaba." begitu berucap dua orang laki-
laki berpakaian serba putih itupun rangkapkan
kedua tangannya di depan dada. "Anda telah
membunuh adik seperguruan kami. Sungguh te-
lenggas sekali tindakanmu, saudara?" kata salah
seorang diantaranya dengan tatapan berwibawa.
Buang menyadari dua orang Biksu itu pasti-
lah salah pengertian. Bagaimanapun keadaan
akan semakin runyam andai ia membiarkan hal
itu terus berlarut-larut. Tanpa merasa sungkan
pendekar dari Negeri Bunian itu berucap:
"Tuan-tuan. Anda semua telah salah ala-
mat. Ketika saya lewat kemari adik seperguruan
anda ini memang sudah terluka parah. Saya hanya
ingin menolongnya, tidak lebih dari itu."
"Kami melihat dengan kepala sendiri apa
yang kau lakukan pada adik kami. Masih jugakah
kau memungkirinya?" tanya salah seorang dari
mereka yang bertubuh tinggi dengan muka merah.
"Mengapa harus berbasa basi, Koko Beng
Lie? Jauh-jauh dari daratan Tiongkok sana keda-
tangan kita dengan membawa maksud yang baik.
Tapi karena mereka, terutama orang ini. Dia harus
menerima pembalasan setimpal dari kita."
"Sabar Beng Ju...! Kita harus menanyai le-
bih dulu orang ini." ucapnya dengan nada berwi-
bawa. Meskipun Beng Ju sudah merasa tak sabar
lagi menghadapi kenyataan yang terjadi di hada-
pannya. Namun nampaknya ia merasa sungkan
kepada laki-laki setengah tua yang bernama Beng
Lie itu. Sesaat suasana berubah hening, dua pasang mata sekarang tertuju pada Buang Sengketa
sepenuhnya. Pemuda itu merasakan adanya keku-
atan yang sangat besar terpancar lewat tatapan
mata itu.
"Kau mengatakan dirimu tidak membunuh
adik kami Asoka? Padahal tadi kami sempat meli-
hat kau mendekatinya...?" ujar Beng Lie, dingin.
Buang Sengketa tersenyum. "Aku mendeka-
tinya karena kulihat ia memang benar-benar me-
merlukam bantuan. Tetapi karena luka-luka yang
dideritanya terlalu parah, aku merasa tak sanggup
menolongnya."
"Hemm. Bicaramu begitu serius bocah. Te-
tapi dapatkah kami mempercayainya?" tanya Beng
Lie seolah pada dirinya sendiri.
"Mulutnya tidak bisa dipercaya Koko. Siapa
mau percaya kata-kata manusia berpakaian gem-
bel seperti dia?" kata Beng Ju semakin hilang ke-
sabarannya.
Ucapan laki-laki tinggi besar tentu saja
membuat Buang menjadi tersinggung. Tetapi ia ju-
ga tidak ingin bertindak gegabah. Apalagi ia me-
nyadari dua orang Biksu yang berdiri empat tom-
bak di depannya itu merupakan tokoh tingkat
tinggi yang belum dikenalnya sama sekali.
"Saudara. Sebagai orang yang mengagung-
kan nama yang Maha Pencipta, adalah sangat ti-
dak terpuji sekali bila anda menuduhku telah
membunuh adik seperguruan anda." selak Buang
Sengketa dengan nada melunak.
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah me-
lakukannya?" tanya Beng Ju dengan nada ber-api
api.
"Dia hanya menyebutkan kata 'Mereka' se-
belum menghembuskan nafasnya yang terakhir."
jelas si pemuda lebih lanjut. Dalam kenyataannya
mungkin hanya Beng Lie saja yang memiliki pan-
dangan luas dapat menerima kenyataan itu, na-
mun tidak demikian halnya dengan Beng Ju. Pelan
namun cukup pasti tubuh jangkung itu melang-
kah mendekati Buang Sengketa. Pemuda ini me-
nyadari adanya gelagat yang kurang baik secara
diam-diam mulai bersikap waspada.
"Kokoku bisa saja percaya dengan segala
bualanmu. Namun jangan harap aku mau men-
dengarkannya." dengan mata merah dan pandan-
gan jelalatan. Beng Lie kebutkan jubahnya yang
menjela panjang. Serangkum gelombang angin
yang menimbulkan hawa panas menerpa wajah
dan sekujur tubuh Buang Sengketa. Sungguhpun
pemuda ini telah membentengi tubuhnya dengan
jalan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Namun te-
tap saja tubuhnya terdorong beberapa tindak.
Pendekar keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib ini
lipat gandakan tenaga dalamnya. Kemudian kedua
belah tangannya didorongkan ke arah depan.
Bledeeer...!
Terjadi ledakan yang amat keras saat mana
dua tenaga dalam saling bertemu. Baik Buang
Sengketa maupun Beng Ju dan Beng Lie sama-
sama terkejut. Dua orang Biksu itu sama sekali
tiada menyangka kalau pemuda berpakaian lecek
itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tinggi.
Melihat gerakan tubuh adik seperguruannya yang
tergetar tubuhnya sadarlah ia bahwa saat itu me-
reka sedang berhadapan dengan seorang tokoh
muda yang memiliki kepandaian luar biasa.
"Bocah. Siapakah engkau ini, melihat tena-
ga dalammu yang tinggi rasanya cukup alasan ba-
giku untuk menuduhmu sebagai orang yang telah
membunuh adik kami Asoka yang hanya memiliki
kepandaian tidak seberapa." sengat Beng Ju tiba-
tiba.
"Aku hanya seorang pengelana biasa. Aku
bersumpah sungguhpun bumi sampai terbelah tu-
juh aku tak pernah membunuh adik seperguruan
kalian." kata Buang Sengketa, tegas.
Melihat kesungguhan Pendekar Hina Kela-
na, nampaknya Beng Ju mulai menyadari tentang
keseriusan pemuda itu. Beng Ju sebentar menoleh
pada kakak seperguruannya. Beng Lie hanya men-
ganggukkan kepalanya.
"Baiklah. Untuk mencurigai seseorang se-
lamanya memerlukan pembuktian yang kuat. Tapi
awas jika suatu saat nanti tuduhan kami terbukti,
maka kami akan mencarimu sampai ke ujung du-
nia sekalipun." kata Beng Lie.
"Selalu kutunggu basil penyelidikanmu itu,
Sobat...!" jawab si pemuda dengan sikap tenang.
Dua orang Biksu itu tidak menimpali kata-
kata si pemuda. Setelah menghampiri mayat adik
seperguruannya, merekapun berkelebat pergi. Hal
yang samapun dilakukan oleh Buang Sengketa.
EMPAT
Padepokan gunung Ungkur merupakan se-
buah padepokan yang sangat besar terletak di le-
reng gunung yang sangat sulit dicapai oleh kalan-
gan manapun terkecuali memiliki kepandaian
tinggi dan ilmu meringankan tubuh yang sudah
sangat sempurna. Murid-murid padepokan yang
jumlahnya hanya belasan orang itu rata-rata me-
rupakan murid-murid yang terlatih dan menguasai
berbagai jurus-jurus silat yang sangat langka.
Hampir setiap ada pertandingan silat persahaba-
tan, Eyang Basudewa yaitu pemimpin dan pemilik
padepokan itu mengirimkan utusannya. Kemenan-
gan demi kemenangan diraih oleh murid-murid
padepokan gunung Ungkur itu. Hal inilah rupanya
yang membuat perguruan silat gunung Ungkur
sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan.
Lebih dari itu Eyang Basudewa sebenarnya
tokoh angkatan tua yang sangat misterius dan su-
lit untuk ditemui. Bahkan murid-murid padepokan
sendiri hanya dapat bertemu dengan Ketua pade-
pokan ini paling hanya setahun sekali. Itupun
hanya sebatas mendengar suaranya saja. Ujud
Eyang Basudewa yang sesungguhnya tak seorang-
pun yang mengetahuinya. Tokh murid-murid pa-
depokan gunung Ungkur dapat belajar silat den-
gan baik. Hal ini semata-mata karena Eyang Ba-
sudewa senantiasa memberi petunjuk dan pesan-
pesan yang selalu ditinggalkannya pada dinding-
dinding batu gunung yang terdapat di kanan kiri
padepokan itu. Melalui tulisan-tulisan yang diting-
galkannya itulah murid-muridnya dapat belajar
dan melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan.
Pagi itu sebagaimana biasanya gunung Un-
gkur berselimut kabut. Udara dingin terasa me-
nusuk sampai kesungsum tulang. Murid-murid
padepokan kelihatan sibuk dengan tugasnya mas-
ing-masing. Diantaranya ada yang menggarap ke-
bun, membersihkan halaman. Dua orang murid
perempuan sedang mempersiapkan sarapan di ba-
gian belakang rumah. Sementara itu lima orang
lainnya sedang berlatih silat nun jauh di lereng-
lereng berbatu tajam. Suara teriakan-teriakan se-
sekali terasa memecah kesunyian pagi. Begitulah
setidak-tidaknya anggapan beberapa orang murid
lainnya yang berada di sekitar padepokan. Tetapi
apakah sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri
mereka ini? Apabila dilihat lebih dekat lagi sesung-
guhnya tidak begitu jauh dari padepokan itu se-
dang terjadi pertarungan antara lima orang murid
padepokan gunung Ungkur melawan seorang pe-
muda berpakaian serba kuning. Melihat kenyataan
yang terjadi nampaknya pertarungan yang telah
berlangsung belasan jurus itu murid-murid pade-
pokan memang sedang berada di atas angin. Da-
lam berbagai serangan bahkan merekapun memi-
liki persamaan, baik dalam bentuk serangan mau-
pun variasi jurus-jurus silatnya.
"Hentikan!" lagi-lagi pemuda berpakaian
serba kuning itu mengeluarkan bentakan nyaring.
"Kami tidak akan pernah menghentikan se-
rangan kami jika kakang Sakapala tidak mau menerangkan maksud kedatangan kakang di padepo-
kan ini." kata salah seorang dari para pengeroyok
itu sambil melakukan serangan gencar. Sementara
empat orang lainnya sekarang hanya bersiaga
menjaga setiap kemungkinan.
"Aku hanya merasa rindu pada padepokan.
Salahkah aku jika sesekali datang kemari...?"
tanya pemuda berpakaian serba kuning yang tak
lain si Topi Terbang adanya.
"Menyambangi perguruan bukan merupa-
kan pantangan bagi siapapun. Tetapi salah jika
kedatanganmu membawa maksud-maksud terten-
tu."
"Pramesta!' hardik si Topi Terbang dalam
kegusarannya "Sebagai adik seperguruan semes-
tinya engkau menghormat kepadaku. Tetapi malah
sebaliknya yang terjadi pada dirimu, begitu aku
datang kau langsung menyerangku."
Pemuda tinggi jangkung yang bernama
Pramesta itu hanya mendengus. Kemudian di si-
langkannya kedua tangan di depan dada
"Kau pergi begitu saja, kakang Sakapala.
Kau tak pernah memberikan alasan yang kuat ka-
rena kepergianmu. Setiap kali hal itu kutanyakan
padamu, kau selalu beralasan ingin mencari pen-
galaman di luaran sana. Semua adik sepergu-
ruanmu yang berada di padepokan ini mungkin
saja mempercayai bualanmu. Namun tidak demi-
kian halnya dengan aku. Suatu malam aku memu-
tuskan untuk membuntutimu dan ternyata kau te-
lah bersekutu dengan iblis yang menamakan di-
rinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Bersa
manya kau menebarkan serbuk ‘Pemberontakan
Jiwa’, dengannya kau mengumpulkan banyak pe-
muda dan gadis-gadis untuk membangun sebuah
istana iblis secara sukarela. Kejahatanmu sudah
melampaui batas, kakang Sakapala. Guru pasti ti-
dak akan membiarkan semua tindakanmu itu.
Maaf demi tegaknya sebuah kebenaran aku ter-
paksa dengan lancang harus meringkusmu." kata
Pramesta.
Begitu Pramesta selesai bicara, Sakapala
langsung tergelak-gelak. Dipandanginya Pramesta
dan empat orang lainnya secara silih berganti. Se-
telah mengeluarkan gumaman tak begitu jelas,
kemudian iapun berucap: "Pramesta. Aku adalah
saudara seperguruanmu yang paling tua. Walau
bagaimanapun engkau tak bakal ungkulan meng-
hadapi aku. Lebih baik kau urungkan niatmu...!"
Sakapala mencoba mengingatkan.
Namun pemuda yang bernama Pramesta itu
hanya tersenyum saja.
"Sakapala. Guru memang telah memberikan
segala sesuatu yang baik untukmu. Asal kau tahu
saja, aku selalu ingin menjawab setiap kelebihan
dan kekurangan yang kau miliki dengan sesuatu
yang tak pernah diperoleh oleh siapapun di pade-
pokan ini." kata Pramesta dengan sikap waspada.
Sementara itu empat orang lainnya telah pula me-
lakukan pengepungan secara ketat.
Pada hakekatnya si Topi Terbang datang ke
bekas perguruannya memang membawa maksud
kurang baik. Yaitu ingin membujuk adik-adik se-
perguruannya ikut bergabung dengannya dalam
satu tujuan yaitu menyumbangkan tenaga secara
sukarela dalam mendirikan istana Maha Diraja Se-
tan Bumi. Kalaupun tidak dapat dibujuk dengan
cara halus maka iapun telah pula memutuskan
akan melakukannya dengan cara kekerasan. Satu
hal yang tidak pernah disangka dan di luar perhi-
tungan Sakapala. Bahwa sebenarnya Pramesta
merupakan adik seperguruan yang berpikiran cer-
das. Selama belasan tahun menjadi murid pade-
pokan gunung Ungkur ia telah melakukan penye-
lidikan terhadap semua tingkah pola saudara-
saudara seperguruan, maupun keberadaan Eyang
Gurunya yang sangat misterius. Bahkan secara di-
am-diam ia telah pula berhasil menciptakan jurus-
jurus handal yang sangat aneh. Semua itu berhasil
dikuasainya dalam beberapa tahun terakhir, juga
tanpa diketahui oleh siapapun. Ia menyadari beta-
pa hebat kepandaian yang dimiliki oleh Sakapala.
Bahkan gerak-gerik Sakapala yang mencurigakan
telah lama tercium olehnya. Tidak salah kalau se-
karanglah merupakan saat yang tepat untuk men-
jajal ilmu hasil ciptaannya itu dalam usahanya
menangkap Sakapala.
"Kakang Sakapala. Bersiap-siaplah...!" Pra-
mesta akhirnya memberi peringatan setelah me-
nunggu sekian lama, namun Sakapala hanya diam
saja.
"Hiaat...!"
Sakapala membuka serangannya dengan
sebuah jurus Sinar Pelangi yang diketahui oleh
Pramesta sebagai jurus silat yang sangat berba-
haya. Tak ayal lagi Pramesta mengimbanginya
dengan jurus yang sama. Pertarungan dua ber-
saudara perguruan itu berlangsung sengit dan
menegangkan. Apalagi nampaknya di pihak si Topi
Terbang punya niat untuk mengakhiri pertempu-
ran secepat mungkin. Maka jurus-jurus silat anda-
lanpun segera ia gelar. Bahkan pertempuran itu
mencapai lima belas jurus. Sakapala sudah pula
mempergunakan senjata mautnya yang berupa se-
buah topi yang terbuat dari baja dan bergerigi di
sisi kanan kirinya.
"Kakang Pramesta. Berhati-hatilah, senja-
tanya bisa mencelakakanmu!" teriak saudara se-
perguruan lainnya.
Sebenarnya Pramesta juga memiliki senjata
yang sama yang sewaktu-waktu dapat dipergu-
nakan untuk mengimbangi senjata Sakapala. Na-
mun dalam hal ini sengaja ia mempergunakan se-
buah kayu panjang yang sangat mirip dengan toya.
Dengan mempergunakan toya itu ia berusaha
menghindari serangan senjata maut yang disam-
bitkan oleh Sakapala.
"Nguuung…!"
Seeeeng…! Sedemikian cepat topi maut itu
melesat. Dengan sikap tenang Pramesta menyam-
but datangnya senjata Sakapala dengan cara me-
mutar toya di tangannya secepat mungkin.
"Praak... traal… traal...!"
"Haiiiit...!"
Pramesta lentingkan tubuhnya ke udara,
ternyata senjatanya yang telah dialiri tenaga dalam
itu masih juga hancur berantakan di landa topi
bergerigi milik si Topi Terbang
"Kau tak mungkin ungkulan menghadapi-
ku, Pramesta! Alangkah lebih baik kalau kau
memberi izin padaku untuk membawa adik-adik
seperguruan kita membangun istana iblis." bentak
Sakapala dengan disertai suara tawa tergelak-
gelak
Namun Pramesta menyambutnya dengan
suara dingin.
"Kau baru boleh melakukannya apabila ka-
mu mampu melangkahi mayatku!"
"Sombong! Dalam dua jurus di depan jika
aku tak berhasil mencopot kepalamu, jangan sebut
aku si Topi Terbang." sentak Sakapala dengan ke-
marahan meluap-luap.
Pramesta diam tiada menyahut. Sebaliknya
ia mulai mengerahkan ilmu silat hasil ciptaannya
sendiri. Perubahan jurus-jurus silat yang dimain-
kan oleh Pramesta sudah barang tentu membuat
mereka yang hadir di tempat itu menjadi terbelalak
matanya. Jurus silat yang dimainkan benar-benar
aneh bahkan tak satupun dari jurus itu memiliki
persamaan dengan yang mereka pelajari dari
Eyang Guru. Sampai kemudian pada:
"Heaaaah... bet... zeb... zeb...!"
Bersamaan dengan suara teriakan Pramesta
yang tinggi melengking. Maka tubuhnya melesat
mendekati sebatang pohon pisang. Begitu tersen-
tuh langsung dicabutnya. Lalu dengan mempergu-
nakan batang pisang itu iapun melakukan seran-
gan ganas ke arah Sakapala. Si Topi Terbang tidak
mengetahui untuk apa sebenarnya Pramesta
mempergunakan batang pisang itu untuk menyerang dirinya. Yang jelas dengan disertai tawa ber-
kepanjangan Sakapala juga langsung memapaki
serangan Pramesta dengan jurus-jurus silat yang
sudah di ketahui kelemahannya oleh laki-laki ber-
tubuh jangkung ini.
"Shaaa...!" dengan mempergunakan kaki
kanannya Sakapala bermaksud melancarkan satu
tendangan yang disertai dengan tenaga dalam pe-
nuh mengarah pada bagian perut Pramesta. Na-
mun Pramesta malah hantamkan batang pisang di
tangannya ke bagian kaki Sakapala yang sudah te-
rulur.
"Uuut... weeees...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras
menerpa bagian kaki si Topi Terbang. Saat itu juga
ia merasakan bagian kakinya terasa ngilu. "Gila, ia
memiliki kekuatan dahsyat yang tiada disangka-
sangka. Bagaimana dia bisa memperoleh kepan-
daian yang sangat langka itu? Atau mungkinkah
Eyang Guru telah menurunkan ilmu baru yang ti-
dak pernah diturunkannya padaku?" menggumam
Sakapala dengan perasaan kecewa.
Bleees...!
Dalam keadaan menegangkan itu rupanya
Sakapala menarik balik serangannya. Di luar du-
gaan begitu merasa gagal memukul lawan dengan
batang pisang Pramesta malah hantamkan ka-
kinya mengarah pada bagian selangkangan Saka-
pala.
Jrooot...!
"Wuaaagkh... keparaat...! Berani sekali kau
memukul anuku..."
"Anumu memang pantas diberi pelajaran.
Aku yakin kau tak pernah becus mengajar anumu
terkecuali memanjakannya...!"
"Sial dangkalan. Kubunuh kau...!"
Belum habis ucapan Sakapala, tiba-tiba
pemuda berpakaian serba kuning itu menyambit-
kan senjatanya yang berupa topi bergerigi itu ke
arah Pramesta.
Siiiiing...! Cepat sekali senjata itu meluncur.
Dengan mempergunakan batang pisang itu juga ia
tidak mau kalah.
Berwrrrrrt...!
Jrooos...!
Pramesta langsung menyambutnya dengan
sebuah tawa panjang begitu melihat senjata anda-
lan milik lawannya sekarang telah menancap di
bagian batang pisang itu.
"Kalau kukembalikan topi terkutuk ini ke-
padamu, aku merasa yakin kau tak bakal mampu
menerimanya. Dari pada kau mati percuma, lebih
baik kakang menyerah saja untuk mendapat hu-
kuman dari Eyang Guru...!" kata Pramesta sambil
melepaskan senjata maut itu dari batang pisang
yang tadinya ia pergunakan bagai perisai.
"Jangan mimpi...!'' cibir Sakapala, kemu-
dian meludah beberapa kali
"Kakang Pramesta mengapa banyak basa-
basi lebih baik kita ringkus saja dia!" kata yang
lain-lainnya merasa sudah tidak sabar lagi. Bah-
kan dua diantaranya mulai melepas senjata yang
sama untuk menghadapi Sakapala
"Jangan bertindak! Biarkan aku sendiri
yang akan meringkusnya...!"
Setelah bicara begitu, entah bagaimana ru-
panya Pramesta memanfaatkan kelengahan Saka-
pala yang hanya beberapa saat itu. Sedetik tubuh-
nya berkelebat, ketika Sakapala menyadari apa se-
sungguhnya yang akan dilakukan oleh Pramesta,
semuanya terasa sudah terlambat.
"Tuuk... tuuuk...!"
Tak dapat dicegah lagi tubuh Sakapala
langsung terjerembat jatuh. Urat geraknya tertotok
kaku hingga membuatnya tak mampu berbuat ba-
nyak.
"Keparat kau Pramesta. Kiranya kau benar-
benar seorang pengecut...!" maki Sakapala sambil
meronta-ronta.
Pramesta meskipun merasa tidak sampai
hati, namun demi keamanan mereka semua, ter-
masuk juga adik seperguruannya, akhirnya mem-
beri perintah.
"Periksa seluruh pakaiannya, dan ikat
dia...!" perintahnya pada empat orang lainnya.
"Tapi kakang bukankah dia juga masih me-
rupakan anggota...!"
"Kerjakan perintahku. Kalian tidak tahu ke-
licikan manusia yang satu ini...!" bentak Pramesta
ketika salah seorang diantara mereka ada yang co-
ba-coba membantah.
"Kakang kami menemukan buntalan ini...!"
seru salah seorang dari mereka memberi laporan.
Pramesta menerimanya, kemudian setelah bebera-
pa saat iapun berucap.
"Apa kubilang? Coba kalau kita tidak teliti,
cepat atau lambat kita pasti akan menjadi budak-
nya."
Pramesta lalu menyimpan bungkusan yang
berupa serbuk Pemberontakan Jiwa itu ke dalam
saku bajunya. Tak lama kemudian merekapun se-
gera menggotong tubuh Sakapala menuju padepo-
kan gunung Ungkur yang terletak hanya ratusan
meter saja jaraknya dari tempat mereka.
LIMA
Hemm. Daerah ini begini sunyi, padahal
rumah-rumah penduduk sedemikian rapatnya.
Aku merasakan udara begini lain bila dibanding-
kan dengan ketika aku berada jauh dari sini, siang
tadi. Dalam situasi begini rasanya aku pantas cu-
riga. Mungkin ada sesuatu yang tak beres sedang
berlangsung. Heh... di depan sana ada sebuah wa-
rung? Lebih baik aku ke sana sekalian mengisi pe-
rutku yang sudah keroncongan sejak tadi siang...!"
berkata begitu pemuda berkuncir ini segera berge-
gas mendapatkan warung yang letaknya tidak be-
gitu jauh lagi di depannya. Sesampainya di depan
pintu warung, langkah pemuda itu jadi tertegun.
Beberapa orang bertampang kasar yang berada di
dalam warung itu memperhatikan dirinya dengan
tatapan kosong namun curiga.
Namun akhirnya Buang Sengketa memu-
tuskan untuk memasuki warung itu. Langkahnya
tenang menghampiri sebuah meja kosong yang ter-
letak di tengah-tengah ruangan. Hanya sekejap saja ia mengitarkan pandangan matanya ke segenap
penjuru warung. Kemudian ia memanggil pemilik
warung itu yang sudah sangat tua sekali. Mungkin
umurnya sekitar enam puluh dua tahun. Dengan
sikap enggan pemilik yang merangkap sebagai pe-
layan warung itu datang menghampiri.
"Tuan mau pesan apa...!" tanyanya dengan
nada tidak bersahabat. Tercekat juga si pemuda
begitu mendengar ucapan pemilik warung yang te-
rasa kaku bahkan nada bicaranya berkesan sangat
dipaksakan.
"Nasi putih, sayur berikut air Nira yang ma-
sih baru...!" kata si pemuda dengan suara lirih se-
kali.
Pelayan itu kemudian meninggalkan Buang
Sengketa setelah menganggukkan kepalanya pe-
lan. Si pemuda hanya memperhatikan kepergian
laki-laki tua itu dengan pandangan tiada mengerti.
Tidak begitu lama Buang menunggu pelayan itu te-
lah kembali lagi dengan membawakan makanan
yang dipesannya. Namun kali ini si pemuda sem-
pat melihat tangan dan kaki pelayan itu nampak
gemetar. Melihat kenyataan ini membuat pendekar
dari Negeri Bunian ini semakin bertambah curiga.
Dan pabila Buang mengendus bau makanan yang
telah terhidang di atas meja, maka aroma maka-
nan itu tidak sebagaimana bau aroma makanan
sebagaimana lazimnya.
"Kisanak. Kulihat orang-orang di sini semu-
anya serba mencurigakan. Apakah yang telah ter-
jadi?" tanyanya setengah berbisik. Menyadari
adanya gelagat yang tidak baik ini pelayan itu berubah pucat wajahnya.
"Ee... tid... tidak...! Di sini tidak pernah ter-
jadi apa-apa...!" jawab pemilik warung sekaligus
merangkap pelayan itu dengan suara terbata-bata.
"Kalau begitu coba kisanak cicipi makanan
yang telah kisanak sediakan ini!" perintah Buang
Sengketa, tegas.
"Mana mungkin. Makanan itu khusus dis-
ediakan untuk tuan...!"
"Hemm. Masih juga kau mau membohongi-
ku, kisanak...!" ujar Buang. Kemudian sekali saja
tangannya bergerak, maka bagian kemeja laki-laki
berusia enam puluhan itupun telah dicengkeram-
nya sedemikian erat.
"Ee... apa-apaan ini. Mengapa tuan mem-
perlakukan diriku sedemikian rupa...!" kata laki-
laki tua itu dengan tubuh menggigil dan suara ge-
metaran.
Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara te-
guran yang begitu halus dari bagian belakang wa-
rung; "Kalau dia datang ke sini dengan tujuan mau
makan. Yang jelas dia tidak akan bertingkah se-
perti itu, namun jika dia mau merampok. Maka
seperti yang kalian lihat itulah kejadiannya."
Buang merasa terperanjat, ia merasa uca-
pan itu ditujukan kepadanya. Tak ayal lagi pemu-
da inipun langsung melepaskan cekalannya.
"Kepada orang yang bicara tadi, coba nam-
pakkan diri...!" perintah si pemuda begitu lugas.
"Boleh. Tetapi tidak di sini karena kehadi-
ranku hanya membuat orang-orang di dalam wa-
rung ini bisa memusuhimu...!"
"Kurang ajar. Kau jangan coba-coba menge-
cohku...!" bentak si pemuda. Tetapi tiada terdengar
jawaban. Buang Sengketa mengitarkan pandangan
matanya ke segenap isi warung.
"Astaga. Ada belasan orang di dalam warung
itu, namun sorot matanya kosong tanpa ekspresi.
Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mere-
ka?" batin si pemuda dalam hati. Agaknya ia su-
dah tidak dapat memikirkan keadaan orang-orang
itu lebih lama lagi. Perasaan penasaran telah me-
nyeret langkahnya menuju bagian belakang wa-
rung. Syeet dah. Di bagian belakang warung itu-
pun ia tidak melihat siapapun di sana. Namun ke-
tika telinganya mendengar suara lamat-lamat yang
sudah agak menjauh dari warung itu, maka tanpa
membuang-buang waktu lebih lama lagi, pemuda
itupun melakukan pengejaran.
"Hi... hi... hii...! Kami memang membutuh-
kan manusia perkasa sepertimu, bocah berpa-
kaian butut. Kemarilah...!"
"Sialan, dia sengaja memancingku dan me-
nyeretku menjauhi desa ini. Tapi tidak mengapa.
Akan kukejar dia, siapa tahu orang ini mempunyai
hubungan yang erat dengan keanehan-keanehan
yang terjadi di sini."
"Hei mengapa harus berdiri bengong di situ,
kesinilah...!"
"Kurang ajar. Kau benar-benar kuntilanak
bangsanya memedi yang patut di curigai."
Seusai dengan ucapannya itu Buang Seng-
keta kembali melakukan pengejaran. Namun lang-
kahnya jadi tertahan ketika ia melihat berkelebat
nya selarik sinar ungu menuju ke arahnya. Sebe-
lum pukulan yang tiada disangka-sangka itu
menghantam tubuhnya, maka lebih cepat lagi tu-
buhnya melompat ke udara.
Dweeer...!
"Sialan, hampir saja...!"
Luput dari serangan bokongan itu, Buang
kembali melakukan pengejaran. Namun orang
yang berlari di depannya itu ternyata memiliki il-
mu meringankan tubuh serta ilmu lari secepat ki-
jang. Dalam keadaan berlari biasa si pemuda sela-
lu ketinggalan jauh di belakang. Sampai kemudian
terdengar suara yang bernada mengejek:
"Sampai esok pagi sekalipun kau tak bakal
mampu mengejarku, pemuda gembel."
Terdengar suara sayup-sayup di sana.
Buang Sengketa pada akhirnya merasa kesal juga
dengan tingkah perempuan yang berlari cepat di
depannya. Tak ayal lagi hanya dalam beberapa de-
tik setelah itu, pemuda inipun segera mengerah-
kan ilmu lari cepatnya. Ajian Sapu Angin. Begitu ia
mengerahkan ilmu yang sangat diandalkannya itu,
detik kemudian tubuhnya telah melesat laksana
terbang.
"Hua... haha... ha... ha...! Kau hendak ke
mana perempuan kuntilanak." begitu tertawa
Buang Sengketa sekarang telah berada di depan
perempuan itu. Kenyataan yang tiada diduga-duga
itu memang benar-benar membuat perempuan
yang tidak dikenalnya menjadi terkejut sekali. Ka-
rena merasa pemuda itu telah berhasil mengha-
dang dirinya, maka begitu berhadapan. Perempuan itu telah hantamkan telapak tangannya ke
arah si pemuda.
"Weeert...!"
Buang Sengketa ternyata telah bersiaga se-
jak dari tadi dalam menghadapi perempuan yang
dicurigainya itu, maka begitu perempuan yang di
sekujur tubuhnya diselimuti kerudung itu menye-
rangnya. Buang Sengketa dengan mempergunakan
setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya lang-
sung pula hantamkan tangannya memapaki se-
rangan itu.
"Deees...!"
Terdengar benturan keras manakala dua
tenaga sakti bertemu. Perempuan berkerudung itu
memekik kaget.
"Hh. Rupanya kau mempunyai kebisaan ju-
ga gembel berperiuk...!" maki perempuan itu. Pa-
dahal hatinya berdetak keras begitu melihat ke-
tampanan pemuda yang berada tiga tombak di de-
pannya itu.
Buang Sengketa mendengus. Dalam kegela-
pan itu sorot matanya berkilat-kilat menatap tajam
pada perempuan berkerudung yang saat itu telah
bersiap-siap melepaskan pukulan andalannya.
"Kaukah yang telah membuat mereka men-
jadi manusia pikun...?" tanya si pemuda tanpa
menghiraukan ucapan si perempuan. Bahkan si-
kapnyapun terlihat begitu tenang.
"Justru aku malah bercuriga kepadamu.
Atau bahkan engkaulah yang telah membuat me-
reka menjadi manusia sinting tanpa kemauan apa-
apa...!" tuduh si perempuan berkerudung.
Memerah wajah Buang Sengketa seketika
itu juga mendengar tuduhan yang tidak beralasan
"Kau jangan sembarangan bicara. Sama se-
kali aku tidak tahu menahu dalam masalah ini..."
cetus si pemuda dengan nada tertekan.
"Siapa yang mau percaya dengan ocehan-
mu. Hiaat...!" perempuan berkerudung ini menu-
tup ucapannya dengan satu terjangan ganas men-
garah pada bagian kepala Buang Sengketa. Pemu-
da ini dengan cepat-cepat menghindar dengan ja-
lan bersalto ke belakang beberapa kali. Namun pe-
rempuan itu nampaknya tidak mau berhenti sam-
pai di situ saya. Ia kembali melakukan serangan
ganas, kali ini pukulan-pukulan gencar yang diser-
tai pengerahan tenaga dalam yang kuat dilaku-
kannya.
Namun Buang Sengketa bukanlah tokoh
muda sembarangan, selama bertahun-tahun ia
melakukan pengembaraan telah begitu banyak
pengalaman yang diperolehnya. Ketika ia menge-
tahui adanya serangan yang bertubi-tubi itu, maka
dengan mempergunakan jurus tangan kosong
Membendung Gelombang Menimba Samudra, den-
gan gesit ia mengelak dari serangan yang dilaku-
kan oleh perempuan itu. Semakin panas hati pe-
rempuan itu melihat setiap pukulannya selalu da-
pat dielakan oleh lawannya. Hingga pada akhirnya
tiada tertahankan lagi iapun mencabut senjatanya
yang berupa sebilah pedang yang terselip di bagian
punggungnya.
Sraaak...!
Wuuut...! Beet... beeet...!
Dengan pedang ditangannya perempuan
berkerudung itu memburu lawannya. Pedang terus
berkelebat menyambar mengarah pada bagian per-
tahanan si pemuda yang rawan. Sedikit demi sedi-
kit Buang Sengketa merasakan adanya tekanan
yang diakibatkan oleh gempuran senjata di tangan
perempuan itu. Buang juga tidak mau mengambil
resiko yang dapat membahayakan keselamatan
pribadinya. Dengan cepat ia mempergunakan ju-
rus si Gila Mengamuk untuk mengatasi serangan
gencar lawannya. Dengan mempergunakan jurus
ini tubuh si pemuda terhuyung-huyung bagai seo-
rang pemabukan. Permainannya berubah secara
total, perubahan yang sangat tiba-tiba ini mem-
buat lawannya selalu merasa tertipu dalam setiap
melakukan serangan. Beberapa kali serangan pe-
rempuan berkerudung mencapai sasaran kosong.
Kenyataan ini membuat perempuan berkerudung
itu semakin bertambah nekad. Menghadapi kenya-
taan dan gerak silat perempuan berkerudung ini
sebenarnya Buang Sengketa sudah dapat menang-
kap bahwa sebenarnya perempuan itu mungkin
saja merupakan kaum persilatan golongan lurus.
Sekarang ia telah sampai pada kesimpulan untuk
menjatuhkan perempuan itu tanpa melukainya.
"Heiiikgh...!"
Buang kembali berkelit menghindari keta-
jaman pedang di tangan si perempuan berkeru-
dung. Begitu ia mampu menghindari serangan
yang sangat membahayakan itu, satu gerakan
yang tiada terduga-dugapun ia lakukan.
"Tuuk... tuuuk...!
"Akh, kau curang. Lepaskan... lepaskan...!"
"Huaaa... ha... ha...! Sekarang kau bisa apa?
Bukankah kalau aku bermaksud tidak baik, aku
dapat berbuat sesukaku...?" kata Buang dengan
nada mengejek.
Pucat wajah perempuan berkerudung itu
begitu melihat Buang Sengketa melangkah mende-
katinya.
"Siapakah kau ini, saudara?" tanyanya den-
gan nada berubah ramah.
"Mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan hal
itu. Wajahmu yang tertutup kerudung itu mem-
buat aku menjadi curiga padamu. Tidak salah ka-
lau aku akan menangkapmu."
Maka menggigillah tubuh perempuan berke-
rudung itu demi mendengar ancaman pemuda ini.
"Ja... jangan...! Jangan kau gagalkan renca-
naku, kumohon lepaskan aku...!" rintih si perem-
puan bertopeng dengan nada memelas.
"Baik. Walau begitu aku tetap akan mena-
hanmu."
"Oh jangan, kedua orang tuaku pasti akan
mencari."
Buang tersenyum kecut. Ia menduga mung-
kin saja perempuan berkerudung itu merupakan
seorang gadis.
"Siapakah orang tuamu...?"
"Mereka adalah kepala desa yang tinggal ti-
dak begitu jauh dari sini. Kalau situ tidak memba-
wa maksud-maksud tertentu. Maka sebagai priba-
di saya mengundangmu untuk datang ke ru-
mah...!" kata perempuan berkerudung itu polos.
Anehnya Buang Sengketa tidak memiliki ke-
curigaan apapun. Ia menganggukkan kepalanya.
Kemudian setelah memandang sekian lamanya
pemuda inipun berucap.
"Aku akan mengikutimu, tapi ingat jika ter-
nyata nantinya kau berbohong. Kepalamu akan
kujadikan sebagai taruhannya...!"
"Kau tak perlu khawatir, saudara. Tapi le-
paskan dulu totokanku...!"
Tanpa berkata-kata lagi, pemuda inipun
melepaskan totokannya. Selanjutnya mereka ber-
iringan menelusuri jalan setapak.
ENAM
Dengan tidak kembalinya si Topi Terbang ke
Istana Kerajaan Iblis yang sedang dibangun oleh
Maha Diraja Setan Bumi. Laki-laki berpakaian
serba hitam ini merasa pusing dibuatnya. Bagai-
mana tidak, si Topi Terbang adalah satu-satunya
tangan kanan Maha Diraja Setan Bumi yang san-
gat dipercaya. Bahkan dalam mendirikan istana ib-
lis, si Topi Terbang memiliki andil yang tidak sedi-
kit. Baik dalam penyumbangan tenaga, pengum-
pulan tenaga kerja maupun hal-hal lain yang tak
kalah pentingnya dalam mewujudkan sebuah
singgasana yang sangat besar itu. Hanya satu yang
membuat Maha Diraja Setan Bumi merasa heran
adalah mengenai kebiasaan si Topi Terbang dalam
berpergian selalu tidak pernah memberitahukan ke
mana arah tujuannya. Hal inilah yang membuat
Maha Diraja Setan Bumi merasa kesulitan untuk
melacaknya. Mungkinkah si Topi Terbang telah
bentrok dengan seorang lawan yang tangguh?
Ataukah pemuda itu telah mengalami sesuatu
yang tidak diingininya? Tetapi ke mana Maha Dira-
ja Setan Bumi hendak melacak? Seandainya arah
tujuan kepergian si Topi Terbang tidak diketa-
huinya sama sekali.
Siang itu di dalam singgasananya di ling-
kungan istana iblis yang belum jadi. Maha Diraja
Setan Bumi kelihatan duduk termenung. Makanan
yang disediakan oleh para pelayan sukarela yang
selama ini menjadi para abdi yang paling setia se-
dikitpun tidak disentuhnya. "Hmm. Topi Terbang.
Andai ada seseorang yang telah membuatmu cela-
ka. Orang itu pasti tidak akan kubiarkan hidup.
Bagaimanapun si Topi Terbang merupakan segala-
galanya bagiku." gumam Maha Diraja Setan Bumi
dengan tangan terkepal menahan kegeraman hati.
"Pelayan...!" bentak Maha Diraja Setan Bu-
mi memanggil salah seorang pelayannya yang be-
rusia masih begitu muda. Pelayan berwajah manis
itu datang menghampiri dengan sikap tergopoh-
gopoh.
"Hamba yang mulia, Diraja...!" kata pelayan
itu sambil menghaturkan sembah.
"Coba kau panggil Gending Sora...!" perin-
tah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tegas.
"Baik. Perintah Maha Diraja Setan Bumi se-
gera hamba laksanakan." kata pelayan itu. Kemu-
dian tanpa berkata-kata lagi, setelah menghatur-
kan sembah pelayan itu segera menuju bangunan
istana di bagian belakang. Sebagaimana tugas
yang diberikan oleh Maha Diraja Setan Bumi. Se-
lama ini Gending Sora bertugas sebagai Kepala
Mandor bangunan istana itu. Tidak terlalu sulit
menjumpai laki-laki bertelanjang dada ini bagi pe-
layan itu. Karena Gending Sora merupakan orang
yang sangat dikenal oleh semua orang yang berada
di dalam lingkungan istana iblis.
"Paman Gending Sora...!" seru pelayan itu
setelah merasa dekat dengan Mandor Kepala ban-
gunan istana itu. Yang dipanggil menoleh dan
hampir saja berang jika pelayan itu tidak cepat-
cepat menyampaikan maksud kedatangannya.
"Yang mulia Maha Diraja Setan Bumi me-
merintahkan agar paman menghadap segera."
ucapnya sambil menganggukkan kepala.
"Hem. Pekerjaan ini memerlukan pengawa-
san yang ketat, namun Maha Diraja Setan Bumi
memanggilku. Lebih baik kupenuhi saja permin-
taannya...!" berkata begitu, tanpa menghiraukan
itu, Gending Sora pun melangkah pergi. Sebagai-
mana kebiasaan yang terjadi, sekarang setelah
Gending Sora pergi maka pelayan itu mengganti-
kan kedudukannya sebagai mandor bangunan is-
tana.
Sementara itu di depan singgasana Maha
Diraja Setan Bumi, Gending Sora nampak duduk
bersimpuh. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju
pada sang pimpinan yang memiliki kesaktian
Mandraguna.
"Paman Gending Sora...!" ujar Maha Diraja
Setan Bumi memecah kebisuan yang menyergap.
"Hamba yang mulia...!" sahut Gending Sora
dengan sikap penuh hormat.
"Aku bermaksud mengutus paman untuk
mengetahui keberadaan si Topi Terbang yang be-
lum juga kembali sampai saat ini. Aku takut telah
terjadi sesuatu dengannya. Karena sudah hampir
dua pekan pemuda itu tidak juga kembali. Semes-
tinya ia telah pulang dengan membawa tenaga ker-
ja sukarela yang sangat kita butuhkan." kata laki-
laki itu dengan perasaan was-was.
"Tetapi kemanakah akan hamba cari si Topi
Terbang, jika hamba maupun yang mulia sendiri
tidak pernah mengetahui kemana tujuan si Topi
Terbang dalam mencari para tenaga kerja itu?"
"Itulah yang paling sulit buat kita. Sejak du-
lu si Topi Terbang tidak pernah mengatakan ke
mana tujuannya dalam melakukan tugas apapun
yang kuberikan. Hal ini membuat kita merasa ke-
sulitan untuk melacaknya..." keluh Maha Diraja
Setan Bumi dengan suara tergetar.
"Apakah tidak lebih baik bila kita menanya-
kannya pada Kanjeng Guru?" tanya Gending Sora
mengajukan pendapat. Tetapi Maha Diraja Setan
Bumi gelengkan kepalanya keras-keras.
"Kita sudah terlalu sering membuat repot
Kanjeng Guru. Aku tak ingin persoalan ini disam-
paikan kepadanya."
"Lalu bagaimana yang mulia?" tanya Gend-
ing Sora penuh minat.
"Si Topi Terbang bagiku secara pribadi me-
rupakan manusia misterius. Tetapi aku menyukai
cara kerjanya yang sangat baik. Yang pasti aku ingin agar paman melakukan penyelidikan ke berba-
gai tempat, atau tanyalah pada setiap orang yang
paman temui barangkali mereka melihat kemana
perginya si Topi Terbang."
"Menurut yang mulia, mungkinkah mereka
mau mengatakannya pada hamba, sedangkan me-
reka juga mengenal siapa hamba dan juga si Topi
Terbang...?"
"Hua... ha... ha...! Kalau mereka tidak mau
mengatakan atau memberi keterangan pada pa-
man. Apa susahnya kalau paman bunuh saja me-
reka...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi seolah di
dunia ini dialah yang paling berkuasa dalam sega-
la-galanya.
"Hemm. Sebuah gagasan yang paling sangat
hamba senangi. Semoga hamba dapat menjalan-
kannya dengan baik...!" kata Gending Sora me-
nyanggupi.
Maha Diraja Setan Bumi mengangguk-
anggukkan kepalanya tanda setuju.
"Aku merasa bangga sekali andai paman
benar-benar dapat menjalankan semua yang saya
perintahkan dengan baik...!"
"Oh ya kapan saya harus berangkat, yang
mulia?"
"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" kata
Maha Diraja Setan Bumi berwibawa.
"Kalau begitu hamba mohon diri, yang mu-
lia...!"
Gending Sora kemudian membungkukkan
tubuhnya dalam-dalam, setelah itu laki-laki ber-
telanjang dada inipun sudah melangkah pergi meninggalkan ruangan singgasana raja yang sangat
mewah itu.
* * *
Kematian Asoka kiranya menimbulkan den-
dam kesumat bagi Beng Ju. Diam-diam di luar se-
pengetahuan Beng Lie yaitu kakak seperguruan-
nya ia mulai menghubungi beberapa orang tokoh
silat beraliran hitam. Biksu berangasan yang du-
lunya ketika berada di negeri leluhurnya merupa-
kan bekas tokoh sesat yang kemudian bersumpah
melakukan tobat ini secara diam-diam hendak me-
lakukan balas dendam dengan cara menyewa jago-
jago bayaran yang memiliki kepandaian tinggi.
Malam itu ketika kakak seperguruannya se-
dang terlelap dalam tidurnya. Di sebuah tenda lain
yang terletak tidak begitu jauh dari tenda yang di-
tempati Beng Lie. Beberapa orang berpakaian ser-
ba hitam nampak bermunculan dari kegelapan.
Mereka terdiri dari empat laki-laki yang kesemua-
nya bersenjata lengkap. Tidak begitu lama setelah
kemunculannya dari bawah lereng bukit itu, maka
keempatnya pun segera pula menyusup ke dalam
tenda. Biksu Beng Ju menyambut kehadiran me-
reka dengan sesungging senyum ramah. Laki-laki
berusia lima puluhan itu nampak mengelus-elus
kepalanya yang botak plontos sebelum mempersi-
lahkan tamu-tamunya duduk pada tempatnya
masing-masing.
"Ha... ha... ha...! Ternyata kalian datang
menepati janji. Hih aku paling suka pada orang
yang selalu menepati janjinya...!"
"Kami empat bersaudara Macan Bromo ti-
dak pernah mengingkari janji manapun yang per-
nah kami buat...!" yang berkata adalah seorang la-
ki-laki bertubuh kurus muka kuning kayak kunyit.
"Apalagi janji itu menyangkut masalah uang
emas seperti yang anda janjikan. Ah... tak seo-
rangpun yang menolak rejeki. Terkecuali orang itu
benar-benar sudah tidak waras, ya saudara-
saudara...!" kata laki-laki yang berada di sebelah-
nya. Perlu di ketahui kalangan persilatan mengen-
al laki-laki muka pucat itu sebagai manusia yang
paling sadis diantara tiga orang saudara lainnya.
Ucapan laki-laki itu langsung disambut dengan de-
rai tawa kawan-kawannya. Tetapi Biksu Beng Ju
langsung memberi isyarat dengan menempelkan
jari telunjuknya di depan bibir. "Sstt. Jangan ke-
ras-keras, jika koko sampai terjaga semua rencana
kita bisa berantakan...!"
Empat bersaudara Macan Gunung Bromo
langsung hentikan tawanya ketika melihat isyarat
itu.
"Sudah kukatakan sejak semula, bila se-
dang berada di lingkungan sini kalian harus hati-
hati kalau bicara. Kokoku sama sekali tidak men-
getahui rencana yang telah kukatakan pada kalian
itu." kata Biksu Beng Ju setengah berbisik.
"Apakah dia tidak setuju dengan rencana
anda?"
"Bukan apa, koko orangnya terlalu penya-
bar. Kematian adik seperguruan kami, baginya
hanya merupakan sebuah takdir yang telah digariskan oleh Sang Hyang Widi. Aku mana bisa teri-
ma begitu saja. Apalagi aku secara pribadi masih
belum dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang
telah melakukan pembunuhan ini...!"
"Bagaimana mungkin kami bisa menda-
patkannya. Sedangkan siapa yang membunuh
adik seperguruan anda itu kami tidak tabu secara
pasti...!" tanya si muka hitam, kemudian mengga-
ruk kepalanya yang tidak gatal dan berambut ja-
rang.
Beng Ju nampak tercenung dan cengenge-
san begitu mendengar pertanyaan si muka hitam.
Tetapi ketika ia teringat pada pemuda berkuncir
itu, tiba-tiba mulutnya menyeringai. Timbul pula
dugaannya mungkin saja pemuda berilmu tinggi
itulah yang telah membunuh Asoka. Hanya saja
mereka tidak memiliki bukti-bukti yang kuat un-
tuk menuduh secara langsung bahwa pemuda itu-
lah yang telah membunuh dan membakar peru-
mahan darurat yang telah dibuat Asoka untuk pa-
ra muridnya. Perasaan penasaran yang disulut
oleh api kemarahan karena ternyata tidak mudah
mencari jejak siapakah yang telah membunuh
Asoka, di tompang lagi atas rasa kecewanya ketika
melawan pemuda itu, telah benar-benar membuat
Beng Ju sampai pada kesimpulan bahwa pemuda
berpakaian kumuh itulah yang telah membunuh
adik seperguruannya. Tidak salah jika kemudian
ia berucap; "Sebenarnya saya sudah dapat mendu-
ga bahkan pernah bertemu dengan orang yang te-
lah membunuh adik seperguruan kami itu. Namun
saat itu kami, terutama saya tidak berani mengambil tindakan begitu saja berhubung kami ha-
rus mengurus mayat saudara kami itu...!"
"Siapakah dia...?" tanya Macan Gunung
Bromo secara serentak.
"Saya tidak mengenal namanya, tetapi saya,
ingat ciri-cirinya...!" kata Beng Ju dengan sesungg-
ing senyum licik.
"Coba tolong sebutkan ciri-ciri orang yang
telah membunuh saudara seperguruan anda itu.
Jangan khawatir, kami pasti mampu menyeret
orang itu ke hadapan anda, bila perlu kami akan
memenggal kepalanya sebagai imbalan atas upah
yang telah anda janjikan kepada kami...!"
"Heek... he... he...! Aku percaya atas ke-
sanggupan saudara-saudara sekalian. Mengenai
upah itu sebagian akan diberikan sekarang, se-
dangkan sebagian lagi akan aku berikan setelah
anda sekalian berhasil membunuh pemuda ber-
kuncir itu " kata Biksu Beng Ju. Tak lama setelah
secara singkat laki-laki itu menceritakan ciri-ciri
Pendekar Hina Kelana secara lengkap.
Sebelum empat bersaudara Macan Gunung
Bromo meninggalkan tenda dan menghilang di ke-
gelapan malam, Biksu Beng Ju memberikan sepu-
luh keping uang emas sebagai pembayaran awal
buat para pembunuh bayaran dari gunung Bromo.
Di luar sepengetahuan orang-orang yang
berada di dalam tenda maupun empat laki-laki ja-
go bayaran itu. Kiranya ada sepasang mata sejak
tadi ikut mendengarkan pembicaraan mereka.
Orang yang mengintai dari balik semak-semak be-
lukar itu merasa sangat geram sekali mendengar
ucapan Beng Ju. Apalagi hal itu menyangkut na-
ma baiknya. Namun sejauh itu ia tidak ingin ber-
tindak secara gegabah. Walau bagaimanapun ma-
sih ada tugas penting yang harus dikerjakannya.
Tidak perduli apakah keselamatan dirinya sedang
dalam keadaan terancam.
TUJUH
Sambil terus mengayunkan langkahnya
pemuda berkuncir dan memiliki wajah sangat
tampan itu berusaha mengingat kembali tentang
pertemuannya dengan Cempaka. Yaitu si perem-
puan berkerudung anak tunggal Ki Langu kepala
desa Jati Sari. Gadis berkulit kuning langsat itu
ternyata sedang melakukan penyelidikan tentang
lenyapnya penduduk desa yang rata-rata berumur
muda. Bahkan setelah berada di tengah-tengah ke-
luarga kepala desa itu, Buang mendapat berbagai
keterangan yang sangat perlu guna mencari biang
keladi penyebar serbuk Pemberontakam Jiwa yang
sangat berbahaya itu.
Hanya satu hari saja Buang Sengketa bera-
da di rumah Ki Langu, selanjutnya ia meneruskan
perjalanannya kembali seorang diri. Sebenarnya
gadis yang bernama Cempaka itu juga ingin turut
menyertainya. Karena secara diam-diam ia mulai
merasa tertarik pada Buang Sengketa. Si pemuda
tahu betul hal itu. Namun ia menolak keinginan
Cempaka dengan sebuah alasan yang sangat tepat.
Namun siapa sangka secara diam-diam rupanya
Cempaka terus mengikuti si pemuda dari jarak
yang cukup jauh. Sementara itu sekarang Buang
telah sampai di daerah bukit Gentar. Yaitu sebuah
tempat yang berbatasan dengan bukit Api Abadi
tempat bersemayamnya manusia dedemit yang
sering disebut-sebut sebagai Kanjeng Guru oleh
para pengikutnya. Namun karena perjalanannya
tanpa petunjuk dan tujuan maka sasaran yang
hendak ditujunya masih bersifat untung-
untungan.
Belum lama menelusuri jalan yang tidak se-
berapa lebar, Buang mendengar adanya derap
langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Sedi-
kit banyaknya tentu ia merasa curiga dengan ke-
hadiran orang berkuda di tempat yang sepi itu.
Tak ayal pemuda keturunan raja dari Negeri Alam
Gaib inipun langsung melompat ke tengah semak-
semak mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu
dan kejauhan sana nampak seorang laki-laki ber-
telanjang dada sedang memacu kudanya dengan
kecepatan penuh. Buang tidak mengenal sama se-
kali siapa sebenarnya laki-laki yang duduk tergun-
cang-guncang di atas kuda putih itu. Namun un-
tuk menarik perhatian akhirnya ia menampakkan
diri dari persembunyiannya. Bagai tak pernah ter-
jadi sesuatu apapun dengannya Pendekar Hina Ke-
lana kembali melangkah dengan sikap tenang.
Sementara penunggang kuda itu telah begitu dekat
sekali dengan si pemuda.
"Hei... berhenti...!" hardik si penunggang
kuda yang tak lain Gending Sora adanya. Menda-
pat perintah seperti itu, Buang Sengketa langsung
hentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan
sikap seolah-olah bagai orang tolol. Pada saat itu
penunggang kuda yang tadi membentaknya, seka-
rang juga telah pula menghentikan laju kudanya.
Seraya memandang tajam pada pemuda ini, ketika
sesaat setelahnya pertanyaannya pun menggele-
dek.
"Hei bocah berpakaian dekil. Apakah kau
melihat seorang pemuda berpakaian kuning yang
dipunggungnya membawa sebuah topi. Maksudku
topi baja...?" ujar laki-laki bertelanjang dada itu
merasa kesukaran untuk mengatakan ciri-ciri si
Topi Terbang.
"Ah maaf kisanak. Sama sekali aku tidak
melihat ciri-ciri orang yang anda sebutkan...!" kata
si pemuda tenang.
"Ah masak kau tidak melihat orang yang
seperti saya sebutkan tadi?" sentak si laki-laki ber-
telanjang dada yang tak lain Gending Sora adanya.
"Aku benar-benar tidak melihat orang yang
anda sebut itu kisanak. Kalaupun ada paling me-
reka yang baru pulang dari ladang, pedagang
sayur dan barusan ada juga pedagang tempe. Apa-
kah pemuda berpakaian kuning yang kisanak
maksud adalah seorang pedagang terasi dan ikan
asin?" pancing Buang Sengketa. Nampaknya pan-
cingan pemuda itu memang mengena. Terbukti
wajah laki-laki berumur empat puluh delapan ta-
hun itu berubah merah padam. Pipi menggelem-
bung tan-da bahwa laki-laki ini sedang berusaha
menahan kemarahannya.
"Kau benar-benar keterlaluan, bocah. Ta
hukah kau bahwa orang yang kucari-cari itu me-
rupakan manusia yang dapat mencopot kepalamu
hanya dalam waktu sekedipan mata. Maka hati-
hatilah kalau kau ingin bicara. Salah-salah nya-
wamu yang melayang." kata Gending Sora tanpa
maksud mengancam.
"Oh kalau begitu dia merupakan tukang
jagal yang harus pula di jagal. Kurang ajar. Apa-
kah kawanmu itukah yang telah menjagal anjing
dan babi-babi orang kampung itu...?" tanya si pe-
muda dengan maksud tersembunyi.
"Keparat. Berhati-hatilah kau bicara, salah-
salah akupun tidak akan mengampunimu...! Seka-
rang menyingkirlah kau... aku tak punya banyak
waktu untuk melayani manusia gembel sema-
cammu...!" sentak Gending Sora. Saat itu ia sudah
bermaksud membedal kudanya. Tetapi Buang
Sengketa malah melompat dan menghadang di
tengah-tengah jalan.
"Sebaliknya kaulah yang harus beri kete-
rangan padaku, sobat...! Atau aku akan mengha-
diahkan sesuatu yang terbaik untukmu...!"
"Kurang ajar. Berani sekali kau menghalan-
gi langkahku. Sesungguhnya siapakah engkau
ini...?" Gending Sora balik bertanya.
"Hanya merupakan orang yang kebetulan
lewat di jalan ini. Tetapi jelas aku ingin mengeta-
hui siapakah sebenarnya yang menjadi biang kela-
di penyebar racun Pemberontakan Jiwa...!"
Gending Sora terkesiap mendengar ucapan
si pemuda, sama sekali ia tiada menduga bahwa
pemuda berperiuk itu kiranya manusia yang pan
tas dicurigai dan dapat membahayakan kelang-
sungan pembangunan Kerajaan iblis. Merupakan
suatu kehormatan baginya di hadapan Maha Dira-
ja Setan Bumi andai dapat menangkap pemuda itu
hidup ataupun mati. Tidak salah kalau beberapa
saat setelah itu iapun membentak garang:
"Bocah! Siapapun adanya engkau ini, aku
pantas mencurigaimu. Lebih baik menyerahlah
kau pada utusan pembesar Kerajaan...!"
Sebuah harapan baru untuk mengetahui
siapa sebenarnya laki-laki penunggang kuda itu
muncul dibenaknya.
"Hemm. Kiranya anda merupakan utusan
dan seorang pembesar Kerajaan iblis...!"
"Hua... ha... ha...! Pandai betul kau mene-
bak. Aku memang utusan dari Kerajaan iblis. Nah
setelah engkau mengetahuinya cepat-cepatlah me-
nyerah...!"
Buang Sengketa yang mulanya hanya mere-
ka-reka, tidak pernah menyangka bahwa apa yang
dikatakannya itu ternyata memiliki kebenaran.
Akhirnya iapun tertawa ganda.
"Kalau benar kau merupakan utusan Kera-
jaan Iblis. Maka sangat keliru jika kau menyuruh
bapak moyangnya raja iblis menyerah pada cu-
cunya...!" teriak si pemuda setengah bergurau.
Semua itu kiranya hanya membuat Gending Sora
menjadi marah luar biasa. Dengan cepat Gending
Sora melompat dari punggung kudanya, sambil
melompat laki-laki ini hantamkan tangan kanan-
nya mengarah pada bagian wajah si pemuda. Ti-
dak usah merasakan pemuda itu dapat menduga
bahwa pukulan yang dilakukan oleh lawannya
pastilah mengandung tenaga dalam yang kuat.
Terbukti terasa adanya sambaran angin yang begi-
tu deras menyertai datangnya pukulan yang dile-
paskan oleh laki-laki bertelanjang dada ini. Sebe-
lum pukulan yang dilepaskan Gending Sora meng-
hantam bagian rahang Buang Sengketa. Pemuda
itu telah doyongkan tubuhnya ke samping kiri se-
lanjutnya melakukan salto beberapa kali.
Wueees...!
Pukulan yang dilepaskan oleh Gending Sora
luput dari sasarannya. Melihat kemampuan yang
dimiliki oleh si pemuda tentu saja Gending Sora
terkejut di samping bercampur heran. Selama ini
belum pernah seorang lawan manapun yang
mampu mengelakkan pukulan mautnya yang ter-
kenal dengan sebutan pukulan Inti Halilintar.
Ataukah karena melepaskan pukulan tadi ia bersi-
fat ayal-ayalan hingga pukulan itu dengan mudah
dapat dielakkan oleh lawannya? Rasanya tidak
mungkin, sebab sejak melakukan pukulan tadi
Gending Sora telah melakukannya dengan gerakan
yang amat cepat. Mustahil pemuda itu dapat men-
gelakkannya begitu mudah jika ia tidak memiliki
kepandaian silat yang hebat.
Gending Sora nampaknya sudah tidak me-
mikirkan apakah lawan yang dihadapinya itu he-
bat atau tidak. Yang ada dalam pikirannya saat itu
adalah bagaimana caranya ia dapat menjatuhkan
lawan dalam waktu yang sangat singkat. Itu se-
babnya begitu pukulan pertamanya luput maka
iapun kembali merangsak.
"Chaaaaa... Heiiiit...!"
Buang Sengketa akhirnya tidak dapat lagi
bersikap setengah-setengah. Dengan mempergu-
nakan jurus Membendung Gelombang Menimba
Samudra dan juga jurus si Gila Mengamuk pende-
kar ini dengan lincah terus berkelit menghindari
pukulan-pukulan lawannya yang selalu menda-
tangkan hawa panas luar biasa. Tanpa terasa da-
lam waktu sekejap pertarungan telah berlangsung
dua puluh jurus. Saat itu padahal Gending Sora
telah menguras sebagian dari kemampuan yang
dimilikinya.
"Bocah kuharap kau jangan hanya sekedar
mengelak dan menangkis. Kalau kau merasa
punya kemampuan yang diandalkan. Cepat-cepat-
lah tunjukkan sebelum segala-galanya benar-
benar terlambat...!" bentak Gending Sora. Saat itu
ia telah rangkapkan kedua tangannya. Mungkin
tak lama lagi ia akan melepaskan pukulan yang
sangat diandalkannya. Buang Sengketa pun nam-
pak terkesiap ketika melihat tangan Gending Sora
sekarang telah berubah putih kehitam-hitaman.
"Hiaat...!"
Pendekar titisan Raja Ular Piton Utara ini
melompat tiga tombak ke belakang. Kemudian ke-
dua tangannya ia angkat tinggi di atas kepala.
Dengan mempergunakan setengah dari tenaga da-
lam yang dimilikinya pemuda ini bersiap-siap me-
lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan itu.
"Hiaaat...!"
Gending Sora merangsak mendahului, se-
mentara Buang Sengketa tetap pada posisinya bertahan.
Wuuuus...!
Bet. Deb... deb...!
Selarik Sinar Hitam yang menebarkan bau
menusuk melesat cepat dari bagian tangan Gend-
ing Sora. Sebaliknya serangkum gelombang sinar
Ultra Violet menderu pula dari telapak tangan
Buang Sengketa. Terdengar suara bergemuruh
saat dua pukulan bertenaga sakti itu saling ber-
lomba mendahului, hingga akhirnya saling berben-
turan dan terasa bagai meruntuhkan tebing-tebing
di sisi jalan itu.
Blaaamm...!
Buang Sengketa nampak tergetar tubuhnya,
bagian dada terasa sesak dan sangat sulit untuk
bernafas. Namun manakala ia melihat ke arah la-
wannya, maka kelihatan lah Gending Sora sempat
terlempar dua tombak, dari celah-celah bibir laki-
laki itu mengalir darah kental. Namun sungguh
hebat daya tahan yang dimiliki oleh Gending Sora,
sungguhpun ia telah terluka dalam. Namun cepat-
cepat bangkit kembali. Dengan pandangan nanar
diperhatikannya Buang Sengketa dari ujung ram-
but hingga ke ujung kaki.
"Kau memang hebat bocah. Siapakah eng-
kau ini...?" tanyanya dengan suara tergetar. Si pe-
muda hanya tersenyum sinis.
"Nama bukanlah sesuatu yang pantas di
agul-agulkan, sobat. Namun jika kau masih mera-
sa penasaran juga, orang-orang menyebutku den-
gan si Hina Kelana...!"
"Jadi engkaulah yang berjuluk pendekar
Golok Buntung itu...?" sentak Gending Sora den-
gan mata berbinar-binar.
"Kalau tak salah begitulah orang-orang per-
silatan memanggilku...!"
Entah apa yang menyebabkannya, tahu-
tahu Gending Sora tergelak-gelak. Hal itu berlang-
sung lama sekali sehingga membuat suara Gend-
ing Sora menjadi serak.
"Barangkali orang ini telah menjadi gila...!'
gumam Buang Sengketa di dalam hati.
"Kau tentunya muridnya si Bangkotan Ko-
reng Seribu? Sudah sangat lama sekali seluruh ke-
luargaku mendendam pada kakek pikun itu. Na-
mun kabar yang kudengar orang tua itu sudah ke-
buru mampus. Selain itu sebagai muridnya kau ti-
dak lebih gila dari gurumu sendiri. Bahkan kau te-
lah berhutang nyawa padaku...!" kata laki-laki itu
dalam kegusarannya. "Dan kau lebih berhutang
nyawa pada Maha Diraja Setan Bumi...!"
"Aha... kau jangan coba-coba bercanda so-
bat. Bertemu denganmu saja baru kali ini. Bagai-
mana mungkin aku berhutang nyawa padamu dan
juga pada orang yang kau sebut-sebut sebagai
Maha Diraja Setan Bumi?" tanya Buang Sengketa
di liputi ketidak mengertian.
"Kau jangan berdusta. Bukankah engkaulah
kunyuk yang telah membunuh Padri Mata Elang
dan puluhan manusia tidak berdosa lainnya di
Sindang Darah?" tanya Gending Sora dengan sua-
ra ketus.
Buang Sengketa merasa kaget bukan alang
kepalang. Lalu secara perlahan teringatlah olehnya
peristiwa beberapa tahun yang lalu. Pembantaian
di Sindang Darah bukanlah sesuatu yang tidak
memiliki alasan-alasan yang kuat. Bahkan saat itu
justru pemuda itulah yang melerai peperangan
massal dan menyelamatkan mereka dari amukan
buaya-buaya jejadian yang menghuni sindang itu.
Mereka yang terbunuh dan saling bunuh itu sema-
ta-mata hanya karena ingin memperebutkan kitab
yang berisi dua belas jurus aneh peninggalan Padri
Agung Pengayom Jagad. Sedangkan kematian Pa-
dri Buta Mata Elang, semuanya semata-mata ka-
rena keserakahannya sendiri ingin merampas pe-
ninggalan gurunya. Padahal jelas nyata Padri Mata
Elang merupakan murid tersesat jauh dari kebe-
naran. Kalau itulah yang dipertanyakan oleh
Gending Sora, sudah jelas baginya bahwa orang
yang sekarang berdiri tegak di hadapannya itu tak
lebih dari orang yang telah dibunuhnya beberapa
tahun yang silam.
"Jangan kau kira mereka yang telah mam-
pus di Sindang Darah itu bukanlah manusia-
manusia yang tiada berdosa. Selamanya aku tak
pernah berani turun tangan secara gegabah jika
tidak mempunyai alasan yang kuat untuk melaku-
kannya...!"
"Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi
mana aku mau percaya begitu saja...!" sentak
Gending Sora dengan wajah merah padam.
"Kalau kau tidak mau percaya juga. Nah se-
karang kau bisa berbuat apa?" tanya Buang Seng-
keta dalam kedongkolannya.
"Aku akan menangkapmu hidup atau ma
ti...!"
"Kalau kau merasa punya kemampuan. Ku-
persilahkan melakukannya...!"
"Jahanam, kau benar-benar manusia kepa-
rat, Hiaaat...!"
Dalam kemarahannya itu, terlebih-lebih se-
telah mengetahui siapa sebenarnya pemuda yang
dihadapinya, Gending Sora tidak ingin bertindak
setengah-setengah. Sekali menerjang laki-laki ber-
telanjang dada ini telah mengerahkan segenap ke-
mampuan yang dimilikinya. Namun si pemuda le-
bih sadar lagi siapa sebenarnya orang yang diha-
dapinya. Dengan mempergunakan ilmu silat tan-
gan kosong yang diberi nama Si Jadah Terbuang.
Pendekar Hina Kelana langsung memapaki atau
mengelakkan setiap serangan gencar yang dilaku-
kan oleh lawannya. Di tempat yang sunyi itu per-
tarungan kembali berlangsung. Masing-masing la-
wan mengerahkan segenap kemampuan yang di-
milikinya. Gending Sora dengan mengandalkan si-
lat tangan kosong dan pukulan-pukulan gencar
mengarah pada bagian-bagian yang mematikan.
Bahkan berulang kali ia melepaskan pukulan Inti
Halilintar, tetapi Buang Sengketa tidak mau men-
galah begitu saja. Dengan mempergunakan puku-
lan Si Hina Merana. Buang memapaki serangan
gencar lawannya. Tak ayal ledakan-ledakan keras
yang disertai dengan hawa panas yang tiada terpe-
rikan memenuhi sekitar pertempuran. Masing-
masing lawan nampaknya sudah mengalami luka
dalam yang cukup berarti.
Menghadapi kenyataan ini Buang Sengketa
akhirnya mengambil keputusan untuk menyudahi
pertarungan secepat mungkin. Maka ketika Gend-
ing Sora menyerangnya dengan jarak yang begitu
dekat. Tak ayal lagi pemuda keturunan Raja Ular
Piton Utara inipun mencabut Golok Buntung yang
terselip di bagian pinggangnya.
Sriiing...!"
Terlihat kilauan cahaya merah menyala saat
senjata maut itu tercabut dari sarungnya. Udara di
sekitar tempat itu mendadak berubah menjadi
dingin luar biasa. Hanya sesaat saja Gending Sora
terperangah dengan kedua mata membelalak bagai
hendak melompat ke luar. Namun detik selanjut-
nya ia harus menghindari terjangan senjata pusa-
ka di tangan si pemuda yang selain menimbulkan
udara dingin juga mengeluarkan suara gaung ba-
gai puluhan harimau terluka. Sekali dua samba-
ran senjata itu dapat dielakannya. Namun ketika
untuk yang kesekian kalinya senjata itu berkele-
bat.
"Nguuung... Jraas...!"
"Arrrghk...!"
Gending Sora keluarkan jeritan tinggi me-
nyayat. Bagian tangannya terbabat sampai sebatas
pangkal lengan. Cepat-cepat laki-laki itu menotok
jalan darahnya, tiba-tiba saja ia merasa gentar
menghadapi pemuda itu. Lalu ia langsung melem-
parkan sesuatu ke depan si pemuda.
"Buuummm!"
Suasana menjadi gelap gulita. Buang me-
maki dalam hati karena musuhnya telah berbuat
licik. Kemudian lebih cepat lagi dia melompat
menghindari kungkungan asap tebal yang menye-
limutinya. Namun ketika ia terbebas dari kung-
kungan asap hitam itu. Ia sudah tidak melihat lagi
lawannya berada di sekitar situ. Tak ayal lagi pe-
muda inipun langsung melakukan pengejaran.
DELAPAN
Murid-murid padepokan gunung Ungkur
masih terlelap dalam kantuk ketika salah seorang
dari mereka yang melakukan tugas jaga di depan
padepokan dengan tergopoh-gopoh membangun-
kan mereka yang sedang tertidur. Pramesta yang
dipercayakan oleh Eyang Guru dalam memimpin
mereka saat itu tidur di kamar bagian belakang.
Mendengar suara ribut-ribut pemuda inipun seba-
gaimana yang lain-lainnya ikut pula terjaga, lang-
sung berlari keluar menyongsong kedatangan adik-
adik seperguruannya.
"Ada apa...?" tanyanya pada adik sepergu-
ruan yang kebetulan tugas jaga malam itu.
"Cel... celana, eeh celaka, kakang...! Si Topi
Terbang melarikan diri dari penjara...!" lapor orang
itu dengan wajah pucat pasi. Siapapun yang bera-
da di padepokan itu menyadari Pramesta adalah
orang yang sangat disegani di kalangan padepo-
kan, selain ia berotak cerdas, tetapi juga sangat ja-
rang sekali berbicara pada siapapun terkecuali di-
anggap perlu sekali.
Tanpa berkata-kata lagi kemudian Pramesta
menyeruak diantara kerumunan sekian banyak
orang yang berada di depannya. Dengan diikuti
oleh yang lain-lainnya, pemuda itupun berlari ce-
pat menuju ke arah penjara. Sesampainya di sana
ia terlongong-longong, pintu penjara nampak di je-
bol secara paksa. Ini sebuah kemungkinan yang
sangat sulit ia percaya, bagaimanapun si Topi Ter-
bang dalam keadaan terikat dan tanpa senjata,
bagaimana mungkin ia dapat melakukannya tanpa
bantuan orang lain. Mungkinkah diantara adik-
adik seperguruanku ada yang berhianat? Kalau
pun memang benar apa yang menjadi dugaanku,
tapi siapakah yang melakukannya? Agaknya aku
perlu meneliti mereka satu persatu. Batin Prames-
ta. Kemudian dipandanginya adik-adik sepergu-
ruan yang jumlahnya tak lebih dari sebelas orang
termasuk dua orang adik seperguruan perempuan.
Namun di antara mereka tidak terlihat kehadiran
Asih Angraeni.
"Adik Kurnia Dewi...? Tidak kulihat Asih
Angraeni diantara kalian. Coba kalian lihat di da-
lam kamarnya...!" perintahnya curiga.
"Baik kakang...!"
Kurnia Dewi dengan ditemani dua orang
saudara perguruan langsung bergegas menuju ke
bagian kamar Asih Angraeni. Namun mereka jadi
terperanjat manakala melihat kamar kakak seper-
guruannya kosong.
"Celaka. Kak Asih tidak ada di tempat-
nya...!" seru Kurnia Dewi, lalu memandang pada
dua orang lainnya.
"Sebaiknya kita laporkan saja pada kakang
Pramesta...!" usul salah seorang dari mereka. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi mere-
ka segera bergegas keluar.
"Bagaimana? Apakah Asih Angraeni ada di
dalam kamarnya...?" sambut Pramesta merasa tak
sabaran lagi.
"Dia tidak ada di tempat, kakang...!" lapor
gadis itu dengan wajah ketakutan.
Pramesta bukan main geram. Sebagaimana
ia ketahui Asih Angraeni selama ini punya hubun-
gan asmara dengan si Topi Terbang. Kemungkinan
bagi Asih Angraeni untuk menyelamatkan si Topi
Terbang besar sekali.
"Tidak kusangka pada akhirnya ia rela
mengkhianati kita hanya demi kepentingan manu-
sia sesat seperti si Topi Terbang. Siapapun maji-
kan si Topi Terbang, yang jelas suatu saat dia pasti
datang kemari untuk mengadakan pembalasan.
Entah bagaimana aku harus bertanggung jawab
pada Eyang Guru. Tetapi menunggu kedatangan-
nya merupakan sebuah penantian yang sangat
membosankan. Ada baiknya kalau aku dan Kurnia
Dewi melakukan pengejaran sebelum si Topi Ter-
bang memberi laporan pada majikannya...!" kata
Pramesta memutuskan.
"Kami harus ikut, kakang...!" ujar yang lain-
lainnya secara serentak. Namun Pramesta cepat-
cepat gelengkan kepalanya.
"Kalau kalian semua mau ikut, lalu siapa
yang menunggui padepokan ini...?"
"Tapi kang, haruskah kami bertahan di sini
selamanya. Kami juga ingin mengetahui perkem-
bangan dunia luar...!"
Pramesta kembali gelengkan kepalanya.
Dengan berwibawa kemudian ia berucap: "Kalau
kalian bersikeras juga ingin tetap pergi. Maka ka-
lian boleh melakukannya. Sementara biar aku seo-
rang diri tetap tinggal di padepokan ini...!"
"Kalau kakang yang memilih tinggal di pa-
depokan maka kami membatalkan niat untuk
mencari si Topi Terbang dan adik Asih Angraeni.
Siapa sih diantara kami yang sanggup mengalah-
kan kakang Topi Terbang terkecuali kakang Pra-
mesta seorang." tukas salah seorang dari mereka
dengan nada kecewa.
"Itulah sebabnya kalian harus mengikuti
semua petunjukku. Sebab bukan si Topi Terbang
dan Asih Angraeni saja yang akan kucari, tetapi
juga aku ingin mengetahui untuk siapa si Topi
Terbang bekerja."
"Baiklah kakang. Kalau semua itu sudah
menjadi kehendak kakang. Kami hanya menu-
rutinya saja." jawab yang lain-lainnya serentak.
Tidak begitu lama setelah itu berangkatlah
Pramesta beserta Kurnia Dewi. Beberapa orang
murid lainnya hanya mengantar kepergian mereka
sampai di pinggiran kaki gunung Ungkur. Karena
dalam melakukan perjalanan itu baik Pramesta
maupun Kurnia Dewi mempergunakan ilmu lari
cepat. Maka dalam waktu sebentar saja mereka te-
lah begitu jauh meninggalkan gunung Ungkur.
* * *
Di sebuah pohon yang rindang, empat orang
laki-laki bertampang kasar itu nampak mele-
paskan lelah. Wajah mereka membayangkan rasa
letih yang teramat sangat. Tidak mengherankan
karena sudah hampir delapan hari lebih mereka
melakukan perjalanan tanpa beristirahat barang
sebentar. Sebagai jago-jago bayaran sudah barang
tentu mereka merasa penasaran karena orang
yang dicari-carinya masih belum juga bertemu
hingga sekarang. Sambil menyantap bekal yang
mereka beli dari warung siang tadi. Salah seorang
dari mereka berucap: "Sekarang entah berada di
mana, kita-kita ini. Batang hidung orang yang kita
caripun hingga kini kita belum melihatnya. Mu-
lutku sudah capek bertanya pada setiap orang
yang lewat. Namun tetap saja mereka gelengkan
kepala. Atau mungkinkah orang yang kita cari-cari
itu merupakan pendatang asing?"
"Asing atau bukan Empat Macan Gunung
Bromo tidak perduli. Yang paling penting kita ha-
rus dapat menangkapnya cepat atau lambat...!"
sahut laki-laki kurus muka kunyit menimpali.
"Wuaah...!" laki-laki yang sejak tadi sende-
ran di batang pohon menguap berkali-kali. Nam-
paknya ia tidak begitu perduli dengan pembica-
raan yang sedang berlangsung.
"Langit di atas sana nampak mendung.
Mendung tebal lagi, sebentar lagi hujan segera tu-
run. Hujan juga pasti akan deras. Ah, para iblis itu
rupanya tahu bahwa aku memang belum mandi
sudah lebih dari lima belas hari. Orang-orang di
langit memang selamanya bersikap baik kepadaku.
Semoga cepat-cepatlah hujan turun. Badanku rasanya sudah bau terasi. Panas begini nggak bisa
ngimpi...!"
"Kau memang selalu menjengkelkan adi...!
Setiap habis makan otakmu memang paling su-
sah diajak mikir...!" sentak laki-laki lainnya den-
gan wajah memberengut.
"Walaupun aku tidak ikut bicara apa-apa.
Tetapi aku selalu mendengar apa yang kalian ka-
takan...! Kalau mau bicara silakan, tokh aku
hanya ingin tidur, walau pun cuma sebentar...!"
kata si muka pucat sambil tersenyum mencibir.
"Heh... Macan Gunung Bromo dalam seja-
rahnya belum pernah gagal dalam memburu
mangsa. He... he... he... para Biksu itu mengupah
kita sudah barang tentu karena telah mengetahui
kehebatan kita. Setidak-tidaknya berita tentang
kehebatan Macan Gunung Bromo telah mereka
dengar dari orang lain." kata si muka kunyit kem-
bali pada persoalan semula.
"Hina Kelana, begitu yang kudengar julukan
pemuda berkuncir itu. Kurasa tidak begitu sulit
untuk menangkapnya. Tetapi andai jejaknya saja
kita terlalu sulit untuk melacaknya. Bagaimana
mungkin kita dapat berbuat banyak...!"
"Jangan terlalu mudah putus asa. Kalau dia
bukan bangsanya memedi ataupun siluman. Ke-
sempatan untuk menjumpainya besar sekali." de-
sah si wajah hitam legam di sela-sela tidurnya.
Tiga orang kawan langsung menoleh pada si
muka hitam. Lalu mereka pun saling berpandan-
gan.
"Heran. Dalam keadaan mata terpicingpun
ia masih mendengar apa yang kita bicarakan..."
kata si muka kunyit.
"Yang terpicing itu mata, yang namanya
kuping tetap aja mendengar. Kalau kalian merasa
penasaran sebenarnya yang namanya si Hina Ke-
lana itu berada di sekitar sini...!"
"Haaa...!" seru tiga orang lainnya dengan
mata membelalak tak percaya. Sekali lagi mereka
menoleh ke arah si muka hitam yang sedang terti-
dur lelap.
"Kau bicara apa adi? Kau bilang pemuda
berkuncir itu berada di sekitar kita?" tanya si mu-
ka pucat keheranan.
Namun tiada jawaban yang keluar dari mu-
lut si muka hitam.
"Ketahuan orang lagi tidur. Tapi masih juga
kau ajak bicara...!" cetus si muka kunyit. Sekali
lagi kembali berpandangan.
"Mata kalian nggak pernah mau melihat le-
bih teliti. Sudah kukatakan yang namanya si Hina
Kelana itu yang di sini ini." Kali ini terdengar se-
buah suara yang agak lain dari suara si muka hi-
tam. Salah seorang dari mereka langsung melom-
pat dan mengguncangkan tubuh adiknya. Tetapi
orang itu diam tiada bergeming.
"Sial dangkal, sebenarnya dia sedang tidur.
Bagaimana mungkin dia dapat mendengar apa
yang kita bicarakan...?" tanya si muka kunyit.
Pada saat mereka diliputi perasaan bingung
seperti itulah tiba-tiba terdengar suara gelak tawa
dari atas pohon.
"Sejak kemarin orang tidur memang tidak
mungkin mendengar orang yang sedang bicara.
Kalaupun bisa paling tidak hantunya. Ha... ha...
ha...! Katanya kalian akan menangkapku karena
mendapat upah yang lumayan besar dari Biksu
dungu itu. Mengapa harus bersusah payah menca-
riku jauh-jauh. Tokh sekarang aku telah berada di
sini...!"
Karena suara itu bersumber dari atas po-
hon, maka secara serentak mereka mendongakkan
kepalanya ke arah pohon itu.
Namun tak seorangpun terlihat di sana. Ka-
lau bukannya jenis memedi, mana mungkin orang
yang berkata-kata itu terlihat sama sekali. Padahal
pohon itu tidak begitu rindang. Siapapun yang
bersembunyi di sana setidak-tidaknya diantara
kami pasti ada yang melihatnya. Gumam si muka
kunyit sambil hentakkan kakinya.
"Orang di atas pohon. Kami harap mau me-
nampakkan diri, jika tidak pohon ini kami roboh-
kan..!" ancam si muka pucat.
"Kalau kau punya kemampuan. Mengapa
tidak segera kau lakukan muka mayat?"
Mendapat tantangan seperti itu, muka
mayat tidak pikir panjang lagi. Cepat-cepat dia ke-
rahkan tiga seperempat tenaga dalamnya. Seben-
tar saja kedua tangan yang telah teraliri tenaga da-
lam itu telah berubah menjadi kebiru-biruan.
Tiba-tiba dia melompat ke depan disertai te-
riakan melengking.
"Heaaah...!"
"Hei tunggu...!" seru si muka kunyit secara
mendadak. Praktis gerakan si muka pucat langsung terhenti. Dalam keadaan marah dia menoleh.
"Ada apa, kakang...!" sentaknya dengan pe-
rasaan tidak senang.
"Apakah kau hendak membunuh adi hitam
yang sedang tertidur...?"
"Sialan. Kambing dungu ini memang selalu
membuat pekerjaanku jadi tertunda. Singkirkan
dia!" perintah si muka pucat merasa tidak saba-
ran. Begitu salah seorang menyambar tubuh si
muka hitam. Tak ayal lagi terdengar sebuah se-
ruan panjang.
"Hantaaaaam...!" teriak muka kunyit mem-
beri aba-aba.
"Hiaaat...!"
Deer
Kraaak...!
Tak ayal lagi pohon besar itupun tumbang
dengan menimbulkan suara berdebum. Namun
mereka yang menyaksikan robohnya pohon itu ti-
dak melihat berkelebatnya seseorang dari kerim-
bunan pohon yang berhasil dirobohkan oleh si
muka pucat.
"Ah... hanya orang gila saja yang mau mela-
kukan pekerjaan sia-sia. Pohon tidak memiliki sa-
lah apa-apa. Hemm. Sungguh kalian merupakan
kuli-kuli penebang pohon yang pantas diacungi
jempol...!" kata sebuah suara yang pemiliknya tak
lain Buang Sengketa adanya.
"Keparat. Orang itu benar-benar memiliki
kepandaian yang luar biasa...!" geram si muka hi-
tam yang baru saja terjaga dari tidurnya. Sebenar-
nya apakah yang terjadi? Padahal Empat Macan
Gunung Bromo sudah merasa yakin kalau orang
yang mereka buru berada di atas pohon itu. Ter-
nyata di luar sepengetahuan mereka Pendekar Hi-
na Kelana begitu mengetahui si muka mayat hen-
dak merobohkan pohon, dengan mempergunakan
Ajian Sapu Angin dan ilmu meringankan tubuh
yang sudah sangat sempurna Buang menggenjot
tubuhnya dan berpindah ke tempat lainnya. Begitu
pohon roboh jelas saja pemuda yang mereka cari-
cari sudah tidak berada di tempatnya lagi. Seka-
rang setelah berada di atas pohon lainnya, dengan
suara lantang pemuda itu berkata:
"Kusadari kalian hanya mencari persoalan
denganku. Sedangkan aku sendiri tidak pernah
menanam permusuhan, meskipun dengan bapak
moyangmu. Kukatakan lebih tegas lagi pada kalian
bahwa sebenarnya Biksu itu hanya salah sangka.
Sama sekali aku tidak membunuh saudara seper-
guruannya. Pulanglah, nak... tidak ada gunanya
kalian memusuhiku. Karena semua usaha kalian
hanya akan sia-sia belaka...!" desis si pemuda tan-
pa maksud menakut-nakuti. Namun Empat Macan
Gunung Bromo bukanlah para tokoh persilatan
yang dapat digertak dengan mudah. Pabila men-
dengar sumber suara, orang yang baru saja berka-
ta-kata tadi pastilah berada di pohon yang terletak
si sebelahnya. Secara diam-diam mereka menge-
rahkan setengah dari tenaga sakti yang mereka
miliki. Kemudian langsung menyalurkannya ke
arah kedua telapak tangan. Pendekar Hina Kelana
kiranya menyadari adanya gelagat yang tidak baik
ini. Tidak ingin menanggung akibat buruk yang
mungkin saja terjadi pemuda inipun bersiap-siap
memapaki pukulan mereka dengan memperguna-
kan pukulan ampuh si Hina Kelana Merana. Keti-
ka pemuda itu rangkapkan kedua tangannya ke
udara dari bawah sana, dengan disertai teriakan
menggemuruh menderulah empat gelombang sinar
menyilaukan meluruk ke arah kerimbunan pohon
tempat di mana Buang Sengketa berada. Sesaat
pemuda ini terkesiap. Sama sekali ia tidak me-
nyangka empat tenaga gabungan itu menimbulkan
kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih cepat lagi si
pemuda hantamkan kedua tangannya ke depan.
Wuuus...!
Serangkum gelombang yang memancarkan
sinar merah menyala langsung melesat dari bagian
telapak tangan si pemuda. Sinar hitam pekat yang
disertai kabut langsung menghantam tenaga sakti
yang dilepaskan oleh Buang Sengketa.
"Blaaam...!"
Empat kali ledakan berturut-turut terasa
bagai mengguncangkan seisi bumi. Dahan yang
dipergunakan oleh si pemuda untuk berpijak pa-
tah di beberapa bagian. Tak ayal lagi tubuh pemu-
da itupun jatuh terhempas bersama dahan yang
dipijaknya. Sementara itu di pihak lawan hanya
tergetar saja. Setelah jatuh berdebum, Buang
nampak muntahkan darah segar. Pandangan ma-
tanya berkunang-kunang. Sedangkan kepala tera-
sa berdenyut dan menimbulkan rasa nyeri sekali.
Melihat keadaan pemuda itu, berderailah tawa me-
reka.
"Cuma beginikah manusia yang mempunyai
julukan si Hina Kelana itu. Sungguh engkau tak
pantas memiliki julukan sehebat itu. Kehebatan-
mu ternyata tidak ada apa-apanya bila dibanding-
kan dengan Empat Macan Gunung Bromo. Untuk
itu hari ini juga kami akan menghapus nama seo-
rang gembel tiada guna semacammu...!" bentak si
muka kunyit. Sebentar kemudian mereka telah
mengurung pemuda dengan jarak begitu dekat.
Buang Sengketa hanya menggeram mendengar
ejekan yang sangat meremehkan dirinya. Sebalik-
nya ia cepat menghimpun hawa murninya untuk
menghilangkan rasa sakit yang begitu menggigit
pada bagian rongga dadanya. Tak lama setelahnya
dengan langkah terhuyung-huyung ia telah bang-
kit berdiri. Dengan nada merendah iapun berucap:
"Kuakui kehebatan Empat Macan Gunung Bromo.
Si Hina Kelana memang tidak ada apa-apanya. Un-
tuk itu segeralah menyingkir. Karena aku tidak
memiliki banyak waktu untuk melayani tikus-tikus
macam kalian...!"
"Kurang ajar. Bagi kami kepalamu memba-
wa rejeki berpuluh-puluh keping uang emas. Kau
boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu...!"
sentak si muka hitam, setelah berkata ia langsung
melompat menghadang. Tetapi Buang Sengketa
hanya menanggapinya dengan sesungging senyum
sinis.
Pelan saja tangannya bergerak.
Wusss...!
"Gubraaak...!"
Si muka hitam yang tiada menyangka bah-
wa lawannya memiliki kesaktian tingkat tinggi
langsung jatuh tersungkur mencium tanah ketika
mendapat tamparan yang disertai dengan penge-
rahan tenaga dalam itu. Dengan kemarahan yang
meluap-luap si muka hitam berikut tiga orang
saudaranya kembali mengurung Buang Sengketa
dengan jarak lebih rapat lagi.
"Rupanya nyawamu masih alot juga bocah
gembel...!" teriak si muka hitam. Lalu seka darah
yang mengalir di sela-sela bibirnya.
"Rupanya nyawaku memang tidak ada di
jual di tukang loak. Makanya dia masih setia ber-
semayam di dalam ragaku...!"
"Keparaat. Kalau begitu biarlah hari ini ka-
mi Empat Macan Gunung Bromo yang akan men-
cabutnya...!"
Berkata begitu empat orang laki-laki ber-
tampang kasar inipun langsung melakukan penge-
royokan dengan serangan-serangan gencar. Buang
Sengketa menyadari bahwa lawan-lawan yang di-
hadapinya rata-rata memiliki kepandaian tinggi
dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai
taraf sempurna pula. Dari bentrokan pukulan ja-
rak jauh tadi ia sudah dapat menarik kesimpulan
bahwa sekarang ia tak perlu sung-kan-sungkan
lagi dalam menghadapi musuhnya. Dengan mem-
pergunakan variasi jurus si Gila Mengamuk dan
jurus si Jadah Terbuang, pemuda ini berusaha
mengimbangi permainan silat lawannya dan men-
gelakkan pukulan-pukulan gencar yang datang da-
ri berbagai jurusan itu. Dalam kesempatan-
kesempatan tertentu Buang lancarkan tendangan
maupun pukulan bertenaga dalam tinggi mengarah pada lawan yang berada paling dekat dengan
dirinya.
"Pergunakan jurus Macan Gunung Mem-
banting Tulang...!" teriak si muka kunyit pada tiga
orang kawannya.
Serentak
Bet... bet... zeeeb... zeeeb...!
Empat orang lawan berloncatan dengan po-
sisi berpencar. Dalam kesempatan itu masing-
masing lawan kini telah mencabut senjatanya yang
berupa sebuah clurit namun bergerigi pada tiap-
tiap sisinya. Melihat ketajaman senjata di tangan
lawannya Buang Sengketa langsung menyurut
langkah. Sepasang bola matanya berputar-putar
liar memperhatikan setiap gerak senjata yang be-
rada di dalam genggaman tangan lawan.
Ketika empat orang lawan melakukan se-
rangan secara bersamaan, Buang merasakan tiba-
tiba ruang geraknya menjadi sempit dan tak mam-
pu bertindak leluasa. Serangan senjata itu ternya-
ta lebih ganas dan berbahaya bila dibandingkan
dengan serangan-serangan yang mereka lakukan
pada tingkat awal. Empat Macan Gunung Bromo
memang pantas mendapat julukan sebagai jagoan
bayaran karena kehebatan mereka dalam me-
mainkan senjata. Terlepas dari semua itu, keadaan
si pemuda semakin lama nampak semakin terde-
sak. Pada satu kesempatan, si muka hitam yang
sudah dilanda kemarahan besar bergerak menda-
hului kawan-kawannya. Clurit di tangannya men-
deru mengarah pada bagian perut dan leher Buang
Sengketa.
Wuuus... weeert...!
Berkelebatnya senjata lawan menimbulkan
angin keras dan mengibarkan anak-anak rambut
si pemuda. Namun dengan gerakan kilat pemuda
itu melentikkan tubuhnya ke udara. Si muka hi-
tam bermaksud melakukan gerakan yang sama
dengan tujuan membabatkan senjatanya pada saat
tubuh si pemuda masih berada di udara. Di luar
dugaan sewaktu tubuh si pemuda menukik kem-
bali ke bawah, Buang lepaskan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Detik itu juga serangkum ge-
lombang Sinar Ultra Violet yang menimbulkan
udara panas tiada tertahankan menyerbu ke arah
lawan yang berada di bawahnya. Posisi ini me-
mang terasa tidak menguntungkan bagi si muka
hitam. Dalam kegugupannya itu ia babatkan sen-
jatanya membentuk perisai diri. Sementara tiga
orang lainnya nampaknya tidak mempunyai ke-
sempatan untuk menolong adik seperguruan me-
reka.
Praaang...
Breeesss...!
Begitu pukulan Empat Anasir Kehidupan
membentur pertahanan si muka hitam, tak ayal
tubuh si muka hitam langsung terpelanting roboh.
Senjata ditangannya terlepas dan entah terjatuh di
mana. Sementara berulang kali si muka hitam
muntahkan darah kental kehitam-hitaman. Laki-
laki dari gunung Bromo itu meskipun telah terluka
dalam cukup parah namun nampak berusaha
bangkit kembali. Usaha itu ternyata hanya sia-sia
belaka. Karena sedetik setelahnya si muka hitam
jatuh terjerembab dan tiada berkutik untuk sela-
ma-lamanya.
Melihat kejadian yang dialami oleh saudara
seperguruannya, tiga orang lainnya semakin ber-
tambah beringas saja.
"Kau benar-benar orang yang paling celaka
hari ini. Heeaaa...!" belum lagi ucapan si muka pu-
cat berakhir, secara berbarengan mereka mener-
jang ke arah si pemuda. Serangan dari tiga arah
yang begitu cepat dan ganas membuat Buang
Sengketa cepat sekali terdesak. Hanya dengan
mengandalkan jurus si Jadah Terbuang ia masih
mampu menghindari terjangan yang datang, na-
mun sambaran senjata yang datang secara tiba-
tiba dari bagian belakang tidak berhasil dielak-
kannya.
"Breeet...!"
"Ahhkg…!" Buang Sengketa mengeluh pan-
jang, namun cepat-cepat membanting diri ke
samping kiri dengan tujuan menghindari terjangan
senjata berikutnya. Pemuda ini nampaknya tidak
memperdulikan lagi rasa perih dan darah yang
mengalir di bagian punggungnya. Sementara tiga
orang lawan terus memburunya.
Mempergunakan kesempatan yang sangat
sempit itu:
Jraass...!
Dengan berkelebatnya sinar merah menya-
la. Satu jeritan melengking tinggi disertai dengan
ambruknya tubuh si muka pucat. Darah langsung
menyembur membasahi sekujur tubuh si muka
kunyit, sementara Buang Sengketa sekarang telah
bangkit berdiri. Kiranya dalam keadaan terdesak
tadi si pemuda telah mencabut senjatanya dan
langsung membabatkannya ke bagian perut si
muka kunyit. Tiada kata yang terucap, tubuh si
muka kunyit berkelojotan beberapa saat lamanya,
selanjutnya tiada bergerak-gerak lagi. Mati.
Melihat gelagat yang tak baik ini, sambil
menyambar mayat dua saudaranya. Si muka pu-
cat dan muka merah dengan terbirit-birit langsung
melarikan diri.
"Suatu saat kelak kami akan datang pada-
mu, bocah. Hutang nyawa ini harus kau pertang-
gung jawabkan di kemudian hari...!" terdengar na-
da ancaman dari si muka pucat yang kini telah
menghilang dari hadapan Buang Sengketa. Pemu-
da itu hanya tersenyum sinis, kemudian dengan
langkah lesu ia melanjutkan perjalanannya kem-
bali.
SEMBILAN
Manusia setengah iblis yang mereka sebut-
sebut sebagai Kanjeng Guru itu sebenarnya tokoh
yang paling misterius bila dibandingkan dengan
Maha Diraja Setan Bumi, maupun gurunya Pra-
mesta murid padepokan gunung Ungkur yang juga
dalam menurunkan ilmu-ilmunya dikenal sebagai
sangat aneh dan tidak pernah menampakkan diri
sama sekali. Meskipun itu hanya setahun sekali.
Siapapun adanya orang-orang misterius itu yang
jelas. Sebagaimana biasanya setiap kali datang bulan purnama penuh, orang yang berjuluk Kanjeng
Guru itu pastilah datang ke puncak bukit Api Ab-
adi. Tujuannya sudah jelas, yaitu ingin membantu
Maha Diraja Setan Bumi dalam membangun se-
buah Kerajaan Iblis yang sangat besar. Semua itu
hanya dapat terlaksana hanya dengan cara menca-
ri tenaga kerja sukarela sebanyak-banyaknya. Me-
lalui tangan Kanjeng Guru tenaga kerja itu yang
kebanyakan terdiri dari kaum perempuan disulap
menjadi manusia-manusia setengah siluman den-
gan syarat mereka sebelum di terjunkan menjadi
tenaga pekerja harus tidur selama beberapa ma-
lam dengan laki-laki itu. Dalam mewujudkan cita-
cita itu sudah barang tentu serbuk Pemberontakan
Jiwa yang mempunyai peran yang tidak sedikit un-
tuk mewujudkan segala rencana yang ada.
Ketika malam itu Kanjeng Guru sampai di
bukit Api Abadi, suasana di sekitarnya benar-
benar berada dalam keadaan hening sepi. Tidak
sebagaimana biasanya, kali ini tidak terlihat Gend-
ing Sora yang pada saat biasa selalu hadir dengan
perempuan-perempuan yang akan mereka pergu-
nakan sebagai pekerja sukarela. Ketidak hadiran
Gending Sora mengundang berbagai pertanyaan di
hati Kanjeng Guru. Namun laki-laki berumur ratu-
san tahun ini yang masih kelihatan bagai berusia
tujuh puluhan ini bukanlah manusia sembaran-
gan. Dengan mempergunakan kekuatan batinnya,
laki-laki ini dalam waktu sebentar sudah dapat
melihat apa yang terjadi pada Gending Sora.
"Kurang ajar. Gending Sora mengalami luka
di bagian tangannya. Dan pemuda berkuncir itu
rasanya baru kali ini aku melihatnya. Ah mengapa
Gending Sora kulihat begitu membencinya? Batin-
ku mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah ma-
nusia sembarangan. Tenaga gaibku berisyarat pe-
muda itu masih keturunan siluman. Dia bukan
keturunan siluman biasa. Kulihat darah siluman
lebih kuat mengalir di dalam tubuhnya. Kurang
ajar. Kehadirannya sewaktu-waktu tentu dapat
membongkar seluruh rencana yang telah kubuat
bersama muridku Maha Diraja Setan Bumi." ge-
ram Kanjeng Guru. Mendadak wajah Kanjeng
Guru yang hanya diterangi cahaya api abadi nam-
pak berubah kelam membesi. Ketika jemari telun-
juknya dia arahkan ke sebuah batang pohon yang
sudah kering. Selarik sinar berwarna merah ke-
kuning-kuningan melesat dari ujung jemari telun-
juknya. Sinar itu selanjutnya menyambar ke ba-
tang pohon dan tanpa ampun pohon itupun me-
nyala. Hingga membuat suasana bertambah te-
rang benderang. Hal yang samapun dilakukannya
terhadap beberapa batang pohon lainnya.
Jeeest... jeeestt...!
Melihat usahanya, Kanjeng Guru tertawa
dingin, bahkan kedua belah rahangnya yang ko-
koh nampak menegang.
"Walaupun engkau keturunan setan iblis
sekalipun. Sekali saja engkau mencoba mencam-
puri segala urusan kami. Jangan harap kami akan
memberimu hidup. Sebelum aku membakarmu,
Maha Diraja Setan Bumi akan melakukannya, dan
kau tidak mungkin menang dalam menghada-
pinya...!" gumam Kanjeng Guru dengan kemara
han yang tertahan. Kanjeng Guru nampaknya ti-
dak ingin berlama-lama di bukit Api Abadi. Bagai-
kan hembusan angin kemudian tubuhnya lenyap
dalam kegelapan malam.
* * *
Ketika Sakapala dan Asih Angraeni sampai
melintasi daerah Karang Jati. Mereka melihat
adanya pertempuran antara seorang laki-laki ber-
pakaian serba putih berkepala gundul dengan dua
orang laki-laki bertampang sangar, muka pucat
dan muka merah. Melihat pertempuran seru yang
sedang terjadi dan berlangsung sengit sudah ba-
rang tentu Sakapala alias si Topi Terbang dan Asih
Angraeni menjadi tertarik dan ingin mengetahui
apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Da-
lam waktu sebentar mereka telah menyusup ke
semak-semak pada sebuah tempat yang tersem-
bunyi. Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat
persembunyian mereka, pertarungan masih terus
berlanjut. Masih belum kelihatan tanda-tanda sia-
pa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam per-
tarungan itu. Dalam menghadapi keroyokan dua
laki-laki bertampang sangar itu, secara tiba-tiba
laki-laki berkepala gundul lentikkan tubuhnya ke
udara. Senjata mereka yang berupa dua buah clu-
rit bergerigi otomatis menghantam sasaran kosong.
Sebaliknya dalam keadaan bersalto Biksu berkepa-
la gundul itu hantamkan toyanya ke arah dua pen-
juru mata angin. Terasa adanya sambaran angin
yang sangat keras dan begitu dingin saat senjata
itu menerpa pada bagian kepala si muka pucat
dan muka merah. Kedua laki-laki itu keluarkan
seruan tertahan, kemudian cepat-cepat membuang
dirinya ke samping kiri dan kanan.
Setelah merasa terlepas dari ancaman toya
di tangan si kepala gundul, maka hampir bersa-
maan mereka bangkit. Serangan-serangan baru-
pun mereka lancarkan kembali. Kali ini dengan
mempergunakan jurus Macan Bromo Goyangkan
Pinggul. Mereka melakukan penyerangan dari dua
arah. Seyogyanya jurus yang mereka mainkan itu
akan semakin berbahaya jika mereka berjumlah
empat orang. Akan tetapi seperti yang telah sama-
sama kita ketahui dua orang diantaranya tewas di
tangan Pendekar Hina Kelana. Meskipun sekarang
mereka hanya berdua saja dalam memainkan ju-
rus itu, namun juga tak kalah hebatnya bila di-
bandingkan jika mereka mempergunakan secara
berempat. Begitu pun yang menjadi lawan mereka
untuk kali ini bukan merupakan laki-laki semba-
rangan yang dapat dijatuhkan dengan mudah.
Biksu Beng Ju dulunya merupakan tokoh sesat
yang di daerahnya sana dikenal sebagai Hantu Ma-
lam, meskipun sekarang ia telah bertobat dan
menjadi seorang tokoh bergolongan lurus, walau
bagaimanapun sifat ilmu sesat yang dimilikinya ti-
dak hilang sama sekali. Dalam mempergunakan
jurus-jurus toyanya bahkan ia cenderung men-
campur adukkan antara aliran sesat dan lurus.
Itulah sebabnya sungguhpun pertarungan
telah mencapai lebih dari tiga puluh lima jurus,
namun masih belum juga mengalami perobahan
yang berarti dan bahkan masih belum diperoleh
kepastian siapa yang tertekan di antara mereka.
Menghadapi pertarungan yang serba monoton itu,
lama-kelamaan Biksu Beng Ju yang di daerah le-
luhurnya sama juga mempunyai julukan lain se-
bagai Singa Gurun itu kelihatan mulai merobah
teknik dan gerakan-gerakan silatnya. Sekarang la-
ki-laki berkepala gundul itu telah pula mempergu-
nakan jurus Hantu Malam Bergentayangan. Den-
gan mempergunakan jurus ini, dalam gebrakan
berikutnya tubuh Biksu Beng Ju bergerak lebih
cepat lagi, bahkan semakin lama semakin bertam-
bah cepat. Hingga pada akhirnya tubuh Beng Ju
hanya tinggal merupakan bayang-bayang belaka.
Menghadapi kenyataan yang tidak menguntung-
kan ini, si muka pucat dan muka merah tentu saja
tidak mau tinggal diam begitu saja, dengan gera-
kan hampir bersamaan dua laki-laki bertampang
sangar ini segera mempergunakan jurus Macan
Bromo Unjuk Gigi. Praktis permainan silat mereka
tertumpu pada gerakan menendang dan memba-
bat. Gerakan mereka sangat sebat bahkan sangat
berbahaya sekali.
"Hiaaat...! Mampus sajalah kau manusia
berkepala gundul...!" teriak si muka pucat sambil
menghantamkan senjatanya secara bertubi-tubi.
Sementara dari bagian belakang si muka merah
sibuk mencecar pertahanan Biksu Beng Ju pada
bagian kaki. Toya di tangan laki-laki berkepala
gundul itu terus menderu melindungi bagian-
bagian tubuhnya yang nyaris saja terbabat senjata
berbentuk bulan sabit itu.
"Berhenti...!" teriak Beng Ju ketika tubuh-
nya telah melompat menjauh dari arena pertarun-
gan.
"Kau hendak mengulur waktu, orang sebe-
rang...?" bentak si muka merah dengan perasaan
geram.
"Setelah kau tidak mau membayar sebagian
upah yang telah kau janjikan. Apakah sekarang
kau merasa keberatan bila kuminta nyawamu un-
tuk mengganti nyawa saudara kami yang tewas di
tangan pemuda itu?" tukas si muka pucat ikut
menimpali kata-kata saudara seperguruannya.
Beng Ju nampak tersenyum-senyum. Da-
lam hati ia merasa geli sendiri, sebab sebagaimana
janji yang telah diucapkannya kepada jago-jago
bayaran itu. Ia baru akan membayar kekurangan
upah yang telah ia janjikan itu setelah Empat Ma-
can Gunung Bromo berhasil menangkap atau seti-
dak-tidaknya membawa kepala pemuda yang dicu-
rigainya itu ke hadapannya. Tetapi kenyataannya
kini, dua orang Macan Gunung Bromo telah kem-
bali menagih janji padahal mereka tidak membawa
tawanan yang dia duga telah membunuh saudara
seperguruannya. Pekerjaan seperti itu mana bisa
dianggap selesai, meskipun karenanya dua orang
dari Empat Macan Gunung Bromo telah gugur di
tangan pemuda berpakaian kumal itu.
"Apa yang anda lakukan itu merupakan se-
buah resiko yang tidak ada kaitannya denganku.
Aku telah membayar kalian dengan harga yang
mahal dalam mencari orang yang telah membunuh
adik seperguruan kami Asoka. Kenyataannya
hingga sampai saat sekarang ini kalian masih be-
lum mampu menangkap orang itu...!"
Sementara dari tempat persembunyiannya
hati si Topi Terbang terasa berdetak keras. Sama
sekali ia tiada menduga bahwa orang yang sedang
melakukan pertempuran sengit itu ternyata berti-
tik tolak karena kematian Asoka yang telah ia bu-
nuh beberapa waktu yang lalu. "Ternyata si kepala
gundul itu tidak bicara kosong. Biksu itu sudah
mengetahui segala-galanya. Kurasa ia memiliki il-
mu yang lumayan tinggi. Semuanya sudah kepa-
lang basah. Jalan yang paling baik adalah me-
nunggu sampai diantara mereka ada yang keluar
sebagai pemenang. Setelah itu dengan di bantu
Asih Angraeni kekasihku semuanya pasti berjalan
lancar...!"
"Kakang...!" panggil gadis yang berada tidak
begitu jauh dari si Topi Terbang dengan suara li-
rih.
"Hemm. Ada apa...!" tanya Sakapala tanpa
mengalihkan perhatiannya.
"Mengapa kita harus menunggu orang lain
menyelesaikan pertarungannya. Bukankah kalau
hanya ingin lewat saja kita dapat menempuh jalan
lain...?" tanya gadis itu merasa terheran-heran.
"Diamlah. Persoalan yang mereka perde-
batkan nampaknya ada sangkut pautnya dengan
diriku. Kita harus menanti perkembangan selan-
jutnya...!" kata pemuda itu dengan suara hampir
berbisik.
Dalam pada itu masing-masing lawan yang
tadi terlibat pertempuran sengit, sekarang saling
tarik urat leher.
"Orang asing. Jadi engkau benar-benar ti-
dak mau memenuhi tuntutan kami...?" tanya si
muka pucat berapi-api.
"Selama anda berdua tidak dapat membawa
orang itu ke hadapanku untuk diadili. Maka sela-
ma itu pula kami tidak dapat memenuhi ke-
inginan kalian...!"
"Kalau begitu persoalan ini hanya dapat kita
selesaikan di ujung senjata!" teriak si muka merah
merasa tidak sabar lagi.
"Silakan. Kalau memang itulah yang anda
kehendaki...!" tukas Biksu Bang Ju dengan sikap
menantang.
Rupanya dua jago bayaran dari gunung
Bromo ini merasa sangat tersinggung sekali men-
dapat tantangan seperti itu. Lalu dengan gerakan
yang cukup sigap keduanya kembali melakukan
serangan yang lebih hebat bila dibandingkan den-
gan serangan-serangan terdahulu. Sekali dua me-
reka tak segan-segan lagi melancarkan pukulan-
pukulan jarak jauh yang sangat keji. Sementara
dengan mengandalkan toya saktinya serta diim-
bangi gerakan ilmu meringankan tubuh yang cu-
kup lihai. Biksu Beng Ju s-lalu berhasil mematah-
kan serangan yang baru dibangun oleh lawannya.
Karena menyadari serangan-serangan mautnya
dapat dihalau dengan baik oleh lawannya maka
sekarang mereka kembali mempergunakan clurit-
nya untuk merangsak Beng Ju. Ancaman dua sen-
jata maut yang sangat tajam itu mana bisa diang-
gap sepele oleh laki-laki berkepala gundul ini. Tidak boleh tidak iapun kembali mempergunakan
toyanya untuk membendung laju serangan yang
dilakukan oleh lawan. Dalam pertempuran jarak
dekat itu sekali waktu dalam saat yang bersamaan
si muka pucat dan muka merah membabatkan
senjatanya mengarah pada bagian kepala dan pe-
rut lawannya. Tetapi Biksu Beng Ju juga tak kalah
cepatnya memutar toyanya hingga membentuk pe-
risai diri yang sangat kokoh. Akibatnya benturan
yang sangat keras pun terjadi.
"Traang... traaang...!"
Karena dalam memutar senjatanya tadi
Beng Ju mengerahkan segenap tenaga sakti yang
dimilikinya tak heran kalau saat itu tubuhnya
hanya tergetar saja. Sedangkan lawannya, masing-
masing langsung terjengkang. Clurit di tangan me-
reka rompal di beberapa bagian. Jelaslah sudah
ternyata toya di tangan lawannya merupakan sen-
jata yang sangat handal dan terlalu kuat dalam
menerima benturan senjata milik lawan. Dengan
langkah terhuyung-huyung mereka segera bangkit
kembali. Setelah meludah beberapa kali, salah
seorang di antara mereka kembali menyelak.
"Kamu benar-benar membuat kami menjadi
frustasi, orang asing. Untuk itu kami akan menga-
du jiwa denganmu... Heaaat...!"
Biksu Beng Ju sebaliknya tanpa kata, juga
melakukan gerakan yang sama.
"Haiiit... chat... chaaat...!"
"Weees...!"
"Nguung...!"
Rupanya dalam keadaan sama-sama me
nerjang ini, Beng Ju ternyata memiliki gerakan ce-
pat tak terduga. Akibatnya begitu ia menghantam-
kan toyanya ke dua arah. Tidak terelakkan lagi
toya di tangannyapun dengan telak menghantam
batok kepala mereka.
Praaaak! Prooook...!
Si muka pucat dan muka merah melolong
setinggi langit. Darah dan cairan otaknya bersera-
kan bersamaan dengan menyemburnya darah dari
bagian luka yang menganga. Sekejap tubuh mere-
ka berkelojotan bagai ayam yang disembelih selan-
jutnya diam untuk selama-lamanya. Bagai manu-
sia yang telah dirasuki iblis, Biksu Beng Ju terge-
lak-gelak. Nampaknya kematian Macan Gunung
Bromo benar-benar membuat hatinya puas, di ma-
tanya Empat Macan Gunung Bromo tak ubahnya
bagai musuh besar yang sangat dibencinya.
Sementara itu di tempat persembunyiannya
Sakapala nampak tersenyum sinis. Sebentar-
sebentar ia melirik ke arah Biksu Beng Ju, namun
di lain saat ia memandang ke arah Asih Angraeni
kekasihnya. Sudah barang tentu sang gadis tidak
mengetahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi
atas diri Sakapala. Sebab walau bagaimanapun
Asih Angraeni sama sekali tak tahu apa yang telah
dilakukan oleh kekasihnya di luaran sana.
"Adik Rani." panggil Sakapala memecah ke-
heningan. Yang dipanggil menoleh.
"Ada apa, kakang...?"
"Engkau tunggulah di sini. Biar kubereskan
musuh besarku itu...!" ujar Sakapala penuh kebo-
hongan. Karena memang pada dasarnya Asih An.
graeni sama sekali tidak tahu menahu mengenai
duduk persoalannya, maka tak banyak yang dapat
dilakukannya kecuali menganggukkan kepala. Be-
gitu mendapat persetujuan dari kekasihnya, tanpa
membuang waktu lagi pemuda itupun melompat
dari persembunyiannya. Manakala Sakapala men-
jejakkan kakinya tiga tombak di hadapan Biksu
Beng Ju, laki-laki berkepala gundul yang masih te-
rus tergelak-gelak itu kelihatan sangat terkejut se-
kali. Seketika suara tawanya pun terhenti. Dengan
tatapan penuh curiga dipandanginya si Topi Ter-
bang mulai dari ujung rambut hingga ke ujung ka-
ki.
"Siapakah anda yang sebenarnya, kisa-
nak...?"
"Ha... ha...ha...! Akulah sebangsanya tukang
basmi manusia asing yang suka membunuh se-
mena-mena. Apalagi mengingat anda merupakan
orang asing di tanah leluhur kami...!"
"Amitaba. Mulutmu terlalu berbisa sekali,
kisanak. Apakah anda tidak tahu bahwa aku
hanya membela diri dari pengeroyokan mereka?"
sentak Biksu Beng Ju masih dalam keadaan emo-
si.
'"Kau tak lebih dari setan gundul yang ber-
nama Asoka itu, orang asing...!" ujar si Topi Ter-
bang. Tanpa sadar menyebut-nyebut nama adik
seperguruan orang dari dataran Mongolia ini. Hal
ini benar-benar di luar dugaan laki-laki berkepala
gundul itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagai-
mana mungkin pemuda berpakaian serba kuning
ini dapat mengenali orang yang paling sangat disayanginya itu. Bukan tidak mungkin pemuda itu-
lah yang telah membunuh adik seperguruannya.
Lalu dengan suara bergetar iapun bertanya: "Kisa-
nak. Kau mengenal adik seperguruan kami...?"
"Tentu saja...!"
"Apakah kisanak tahu bahwa beliau telah
tewas bersama murid-muridnya?"
"Aku juga tahu mengenai kejadian itu...!"
ujar Sakapala tanpa ekspresi.
Sepasang mata Biksu Beng Ju nampak
membelalak lebar-lebar.
"Kalau demikian halnya apakah kisanak ju-
ga mengetahui siapakah yang telah membunuh-
nya...?" tanya laki-laki berkepala gundul itu den-
gan hati berdebar.
SEPULUH
"Ha... ha... ha...!" Sakapala kembali terge-
lak-gelak
"Tentu saja aku mengetahui siapa orangnya
yang telah membunuh Asoka...!"
"Siapakah orangnya kisanak. Tolong tun-
jukkan padaku...!'' kata laki-laki berkepala gundul
itu dengan hati diliputi rasa penasaran.
"Apakah jika kukatakan padamu, kemudian
anda mau membayar upah padaku. Sebagaimana
yang diperoleh oleh kedua orang ini...!" ujar Saka-
pala sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang
bergelimpangan tidak begitu jauh dihadapannya.
Beng Ju terdiam. Sakapala tersenyum mencibir.
Lalu dengan nada mencemooh, pemuda inipun be-
rucap: "Apakah anda keberatan untuk membayar
ku...?"
"Tentu saja aku tidak merasa keberatan as-
al saja keteranganmu benar-benar dapat diper-
caya...!"
"Bagus. Kalau engkau ingin tahu juga bah-
wa orang yang telah membunuh Asoka berjuluk si
Topi Terbang...!"
"Si Topi Terbang. Siapakah dia...?" tanya
Biksu Beng Ju benar tidak mengerti.
"Ha... ha... ha...! Si Topi Terbang adalah
orang kepercayaan Maha Diraja Setan Bumi. Bah-
kan dengan senjatanya, ia mampu mencopot ber-
puluh-puluh kepala gundul sepertimu... tidak per-
caya, coba lihatlah ini...!" berkata begitu Sakapala
mengambil senjatanya yang berupa topi bergerigi.
Selanjutnya melemparkannya ke arah Biksu Beng
Ju. Senjata itu melesat cepat sambil keluarkan su-
ara mendesing. Beng Ju merasa sangat terkejut
demi mendapat serangan yang tiada di duga-duga
ini. Namun sebagai seorang tokoh yang pernah
malang melintang di rimba persilatan golongan hi-
tam. Ia tidak menjadi gugup begitu mendapat se-
rangan kilat tersebut. Sekali ia gerakkan toyanya
mengarah senjata yang terus meluncur ke arahnya
itu. Tidak dapat disangkal benturan yang sangat
hebatpun terjadi.
Traaaang... breeeeng...!
Uhhkg...!
Beng Ju terdorong tubuhnya beberapa tin-
dak, tangan terasa kesemutan dan menimbulkan
rasa nyeri sekali. Sebaliknya senjata milik Sakapa-
la malah berbalik dengan kecepatan dua kali ke-
kuatan semula. Biksu Beng Ju terkejut sekali, sa-
ma sekali ia tidak menyangka lawannya mampu
mengembalikan senjatanya bahkan dengan kekua-
tan berlipat ganda. Begitu menyadari adanya ba-
haya yang sedang mengancam keselamatannya,
maka tak ayal lagi Biksu Beng Ju lentikkan tu-
buhnya ke udara. Senjata milik Sakapala akhirnya
terhenti setelah menancap pada sebatang pohon
yang berada jauh di belakangnya.
Jreeep...!
"Hebat...! Permainan yang sangat bagus ba-
ru saja kau gelar dihadapanku, manusia berkepala
tuyul. Agaknya baru engkaulah yang merupakan
seorang lawan paling berarti dalam hidupku. Teta-
pi jangan jumawa dulu, permainan kita masih be-
lum selesai. Bahkan jika kau sanggup, aku akan
melayanimu sampai seribu jurus."
"Bangsat sombong. Kau telah membunuh
saudara seperguruan kami. Amitaba... aku ber-
sumpah akan membunuhmu...!" teriak Biksu Beng
Ju dengan kemarahan berkobar-kobar. Nampak-
nya laki-laki dari dataran Mongolia tidak ingin
mengulur-ulur waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya
berkelebat mendekati lawannya. Si Topi Terbang
alias Sakapala hanya sesaat saja nampak tercen-
gang, detik selanjutnya iapun telah mencabut sen-
jata lainnya yang berupa sebilah pedang bermata
ganda. Dengan mempergunakan senjata itu Saka-
pala berusaha mengimbangi serangan toya yang
datangnya bertubi-tubi. Namun sejauh apapun ia
berusaha menembus pertahanan laki-laki berkepa-
la gundul ini, tetap saja serangan-serangannya se-
lalu kandas di tengah-tengah jalan.
"Kau memang harus mampus ditanganku,
manusia rendah...!" geram Beng Ju. Belum lagi se-
lesai ia bicara kali ini toya ditangannya mencecar
ke arah bagian tubuh Sakapala yang terbuka. Sa-
kapala merasakan benar adanya tekanan ini, lebih
cepat lagi ia putar pedangnya hingga membentuk
perisai yang sangat kokoh. Biksu Beng Ju tertawa
ganda, lalu.
Wuuuut...!
"Brebeeet...!"
"Akhggh...!"
Tubuh Sakapala nampak terhuyung-
huyung begitu senjata lawannya menyambar pada
bagian bahunya. Mengetahui lawannya sudah da-
lam keadaan terluka, laki-laki berkepala gundul ini
tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi. Ia kembali
memburu dengan serangan-serangan yang lebih
agresip.
Namun dalam keadaan seperti itu dari arah
belakang senjata lainnya yang berupa Topi Ter-
bang mengancam keselamatan Biksu Beng Ju.
"Aku membantumu, kakang ..!" teriak Asih
Angraeni sambil melompat ke dalam pertempuran.
"Jreeess...!"
Senjata yang disambitkan oleh Asih An-
graeni dengan tepat berhasil merobek bagian
punggung Beng Ju. Laki-laki itu langsung terlem-
par begitu mendapat bokongan yang tiada dia du-
ga sama sekali. Cepat sekali senjata berbisa itu
kembali ke tangan Asih Angraeni. Mendapat pem-
belaan dari kekasihnya, Sakapala nampak senang
sekali. Tetapi sebelum ia mampu bertindak lebih
jauh, secara tiada disangka-sangka Biksu Beng Ju
yang sudah terluka parah itu sambitkan toyanya.
"Awas kakang...!" teriak Asih Angraeni
memberi peringatan. Masih untung Sakapala me-
rupakan orang yang memiliki naluri tajam dalam
menghadapi saat-saat yang tidak terduga-duga ini.
Replek pemuda itu lemparkan tubuhnya ke samp-
ing, tetapi tetap saja bagian bahunya masih terse-
rempet senjata andalan milik Beng Ju. Senjata itu
menancap persis dekat pangkal lengan si Topi Ter-
bang. Sungguhpun Asih Angraeni mengetahui luka
yang dialami oleh kekasihnya tidak begitu parah,
namun tetap saja ia meluruk ke arah Beng Ju
yang sudah kehabisan darah. Laki-laki itu menge-
rang lemah ketika melihat kehadirannya. Ketika
Asih Angraeni ingin babatkan pedangnya, ia men-
jadi urung karena melihat lawan sama sekali su-
dah tiada berdaya.
"Kau...kau... mer... rupakan manusia
penge… cuuuut...!" usai berkata begitu kepala
Beng Ju pun terkulai. Melihat kematian lawannya,
Asih Anggraeni hanya mendengus saja. Sebaliknya
setengah berlari ia menghampiri Sakapala.
"Kakang... apakah kau tidak apa-apa?" ta-
nyanya begitu cemas.
"Si keparat itu hampir saja membuatku ce-
laka…! Tetapi kukira aku masih mampu bertahan
hidup beberapa hari lagi. Senjata si gundul itu ter-
nyata mengandung racun yang ganas. Lebih baik
cepat kita tinggalkan tempat ini untuk menjumpai
Maha Diraja Setan Bumi. Mungkin ia mampu me-
nyembuhkan luka beracun ini...!" ujar Sakapala
dengan bibir menyeringai menahan sakit. Dengan
dipapah oleh Asih Angraeni, berangkatlah kedua
muda mudi itu, menuju Kerajaan Iblis milik jun-
jungannya.
Lalu siapakah sesungguhnya laki-laki beru-
sia seratus tahun yang di sebut Sebagai Kanjeng
Guru itu. Apa hubungannya dengan Eyang Guru
misterius Ketua padepokan gunung Ungkur. Usa-
ha Maha Diraja Setan Bumi untuk mendirikan Ke-
rajaan Iblis kiranya telah membuat malapetaka
yang sangat besar, bahkan Pendekar Hina Kelana
sendiri akhirnya sampai terseret menjadi tawanan
ketika ia bermaksud menghancurkan istana yang
belum selesai itu. Bagaimana nasib Buang Sengke-
ta ketika menghadapi siksaan tokoh iblis yang
memiliki ilmu kesaktian setara dengan mendiang
gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Kisah ini
berlanjut pada PEMBALASAN MAHA DURJANA.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar