..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 31 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE GERHANA DI MALAM JAHANAM

https://matjenuhkhairil.blogspot.com

 


GERHANA DI MALAM JAHANAM

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Setting Oleh: Mutiara Typesetting

Cetakan Pertama

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D.Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: 

Gerhana Di Malam Jahanam


SATU


Di sinikah tempatnya?" si penanya adalah 

seorang penunggang kuda berbadan tinggi tegap, 

berkumis jambang serta bawuk. Muka berminyak 

dan berpakaian serba hitam gombrang.

"Bukan. Bukan di sini!" jawab penunggang 

kuda yang berada di sebelahnya dengan suara ge-

metar dan muka berubah pucat. 

"Menjauhlah kau...!" perintah laki-laki ber-

pakaian hitam gombrang itu pada pemuda berpa-

kaian kuning yang di bagian punggungnya mem-

bekal sebuah topi besi bergerigi mirip gergaji. Ka-

langan persilatan mengenal pemuda berpakaian 

serba kuning ini sebagai si Topi Terbang. Kata-

kata yang sangat pendek itu sudah cukup bagi si 

Topi Terbang sebagai awal dari keganasan laki-laki 

berpakaian serba hitam ini. Kuda tunggangan me-

ringkik keras saat laki-laki berwajah angker mulai 

mengerahkan kesaktian yang dimilikinya.

"Whuuuu...!"

Lidah api menyembur dari mulut laki-laki 

itu, tak dapat dicegah lagi langsung menyambar 

rumah gubuk berbentuk bulat yang jumlahnya 

mencapai puluhan buah. Terdengar pekik dan jerit 

kematian disertai dengan berhamburannya bebe-

rapa sosok tubuh berkepala botak berpakaian ser-

ba putih. Mereka yang keluar dari dalam gubuk 

beratap ilalang begitu mengetahui penyebab dari 

kejadian yang ada. Langsung saja mengepung dua 

orang penunggang kuda sambil keluarkan kata


kata yang tidak dimengerti oleh laki-laki berpa-

kaian serba hitam dan si Topi Terbang. Walaupun 

keduanya tidak dapat menangkap arti pembica-

raan mereka. Namun si laki-laki berpakaian gom-

brang itu menyadari puluhan pemuda berpakaian 

putih serta berkepala botak itu sedang di landa 

kemarahan. Sambil tertawa tergelak-gelak, laki-

laki bertampang sadis itu memberi perintah pada 

si Topi Terbang

"Topi mautmu mungkin masih cukup berar-

ti untuk mencopoti kepala demit putih yang tiada 

berambut itu!"

"Maha Diraja Setan Bumi hendak ke ma-

na?" tanya si Topi Terbang dengan sesungging se-

nyum kecut.

"Rumah-rumah tiada guna itu hanya bikin 

rusak pemandangan saja. Lebih baik kalau ku-

bakar semuanya." berkata sambil tertawa-tawa se-

perti itu. Laki-laki berpakaian serba hitam itu 

langsung menggebrak kudanya. Beberapa orang 

pemuda berkepala serba gundul yang coba-coba 

menghalanginya langsung di terjang dengan sem-

buran-semburan lidah api yang keluar lewat mu-

lutnya. Mereka langsung terbakar, beberapa orang 

memadamkan api yang membakar tubuhnya. Laki-

laki berpakaian serba hitam yang memiliki julukan

Maha Diraja Setan Bumi terus menggebrak ku-

danya melaju ke arah rumah-rumah yang masih 

tersisa. Begitu sampai di gang-gang Raja Diraja Se-

tan Bumi kembali semburkan api dari mulutnya. 

Dalam waktu singkat, gubuk-gubuk darurat itu te-

lah berobah menjadi lautan api.


Sementara itu di bagian lain, si Topi Ter-

bang dengan tawa bergelak-gelak mulai melem-

parkan senjatanya yang berupa topi bergerigi ta-

jam ke arah belasan pemuda berkepala gundul 

yang melakukan pengeroyokan atas dirinya.

Jeritan-jeritan kematianpun mulai terden-

gar di mana-mana. Anehnya topi yang terbuat dari 

baja pilihan itu dapat dikendalikan sebagaimana 

mestinya. Lebih jelasnya lagi setelah, membabat 

putus bagian tubuh lawan-lawannya, topi itu da-

pat ditarik kembali ke arah pemiliknya. Padahal 

pada topi tersebut tidak terdapat adanya tali pen-

gikat atau sejenis itu. Sebuah kejadian langka 

yang menandakan pemiliknya pastilah memiliki 

kepandaian yang sangat tinggi. Dalam kesibukan-

nya membasmi para lawan-lawannya, tiba-tiba 

terdengar suara bentakan yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam. 

"Hentikan...!"

Si Topi Terbang langsung hentikan sepak 

terjangnya. Tetapi tidak demikian halnya dengan 

Maha Diraja Setan Bumi. Dengan keangkuhannya 

dan semburan-semburan api yang keluar lewat 

mulutnya. Laki-laki berpakaian serba hitam itu te-

rus melakukan pembakaran hingga rumah-rumah 

yang dibangun secara darurat itu tiada bersisa la-

gi. Setelah merasa puas dengan pekerjaannya, la-

ki-laki itu kembali menggebrak kudanya. Hanya 

dalam waktu sesaat ia telah kembali bergabung 

dengan si Topi Terbang.

"Siapa kunyuk yang menghentikanmu, Topi 

Terbang...?" tanya Maha Diraja Setan Bumi dengan


suara berwibawa.

Si Topi Terbang menunjuk ke satu tempat 

yang tidak begitu jauh di belakangnya. Laki-laki 

berpakaian hitam gombrang ini mengekor dengan 

sudut matanya. Lalu nampak olehnya seorang la-

ki-laki tua berpakaian serba putih berkepala gun-

dul. Sedangkan di tangannya memegang sebuah 

tasbih dan sebuah tongkat yang sewaktu-waktu 

dapat dipergunakannya sebagai senjata yang am-

puh.

"Botak. Kaukah yang telah melarang pengi-

kutku mencopoti kepala mereka?" bentak Maha 

Diraja Setan Bumi dengan mata melotot wajah, ke-

lam membesi. Melihat penampilannya pastilah la-

ki-laki berbadan kekar berpakaian serba putih dan 

berkepala gundul ini merupakan pimpinan dari 

semua mereka yang terbunuh.

"Amitaba. Baru di daratan Jawa Dipa ini 

semua pengikutku mendapat perlakuan sekeji ini. 

Batara yang agung pasti akan mengutuk kalian 

berdua." cetus laki-laki bertasbih ini tanpa ekpresi.

"Kurang ajar. Kau orang asing di sini, tak 

perlu berkotbah padaku. Cepat jawab pertanyaan-

ku...?" bentak Maha Diraja Setan Bumi semakin 

bertambah marah.

Laki-laki bertasbih ini rangkapkan kedua 

tangannya di depan dada. Dari sorot matanya yang 

penuh welas asih. Jelaslah kalau ia merupakan 

seorang pemuka agama yang memiliki kesabaran 

luar biasa.

"Aku melarang tindakan kawanmu itu. Ka-

rena orang-orang yang dibunuh oleh pemuda ber



baju kuning merupakan para pengikutku yang ti-

dak pernah kuajarkan ilmu silat sama sekali. Me-

reka adalah orang-orang yang kudidik ke jalan lu-

rus, yang kelak di kemudian hari akan membawa 

satu umat pada kehidupan yang tenteram dan 

damai."

"Kurang ajar. Kedatanganmu ke tanah le-

luhur kami, dan memasuki daerah kekuasaanku. 

Kiranya hanya ingin mempengaruhi mereka den-

gan sesuatu yang tidak kami mengerti. Tahukah 

kau bahwa mereka semua tunduk dan patuh di 

bawah perintahku. Kuperingatkan padamu untuk 

segera meninggalkan tempat ini." perintah Maha 

Diraja Setan Bumi.

Namun laki-laki berkepala gundul ini ge-

lengkan kepalanya berulang-ulang.

"Amitaba. Aku hanya seorang Biksu, tak se-

orangpun yang dapat menghalangi semua ren-

cana baikku. Sungguhpun dia seorang Maha Dira-

ja Setan Bumi sekalipun." kata laki-laki berkepala 

gundul yang memiliki nama pribumi Asoka itu te-

gas. Semakin bertambah gusarlah Maha Diraja Se-

tan Bumi demi mendengar ke-tegasan laki-laki itu.

"Ha... ha... ha...! kalau kau telah mengeta-

hui gelar namaku. Mengapa tidak cepat-cepat 

menjatuhkan diri menyembah?"

"Anda bukan seorang Dewa yang patut di 

sembah. Kalaupun aku menyebut nama itu, se-

muanya hanyalah secara kebetulan belaka. Nah 

kukira sudah cukup bagi kalian untuk tidak 

menghalangi semua langkah yang telah kupu-

tuskan!"



"Keparat. Kedatanganmu ke tanah leluhur 

kami hanya mengantar nyawa secara sia-sia." kata 

Maha Diraja Setan Bumi.

"Dari pada kelak di kemudian hari menjadi 

bibit penyakit. Lebih baik sekarang saja kita bina-

sakan manusia gundul yang satu ini." si Topi Ter-

bang yang sedari tadi hanya menjadi pendengar 

dalam pembicaraan itu. Kini mulai ikut bicara.

"Menurutmu apakah dia pantas menjadi la-

wanku?" tanya Maha Diraja Setan Bumi pada si 

Topi Terbang.

Dengan cepat sekali laki-laki berpakaian 

serba kuning menyahut:

"Tikus gundul bukan lawan yang pantas 

bagi yang mulia. Dia lebih pantas berhadapan 

dengan diriku."

"Kalau begitu hajar dia. Sementara aku 

sendiri akan berangkat ke Utara menemui Kanjeng 

Guru."

"Jangan khawatir. Saya pasti segera melak-

sanakan tugas dengan baik..." kata laki-laki ber-

pakaian serba kuning menyanggupi.

Tanpa menoleh lagi Maha Diraja Setan Bu-

mi menggebrak kudanya. Beberapa saat kemudian 

kuda dan penunggangnya sudah tidak terlihat lagi 

dari pandangan si Topi Terbang dan Biksu Asoka.

Kini setelah kepergian Maha Diraja Setan 

Bumi kedua laki-laki itu saling berpandangan.

"Kau selalu merasa yakin dengan kekuatan 

yang kau miliki?" tanya Asoka seolah meragukan 

kemampuan yang dimiliki oleh lawannya.

"Hia... ha... ha...! Si Topi Terbang tak per


nah merasa ragu menghadapi lawan yang bagai-

manapun hebatnya." cetus laki-laki muda berpa-

kaian serba kuning itu jumawa.

"Sayang. Sebagai penyebar kebaikan aku 

tak perlu melayanimu!" ujar Asoka secara tiba-tiba 

memberi keputusan.

"Huh, membunuh seorang asing sepertimu 

tak perlu kau harus melayani atau tidak. Bagiku 

yang paling penting kau harus mati." teriak si Topi 

Terbang.

Ziiing...!

Serta merta senjata maut di tangannya me-

lesat ke udara. Asoka si pendeta Asing itu menya-

dari betapa hebat senjata yang dimiliki oleh la-

wannya. Ia tak ingin bertindak gegabah. Itu ma-

kanya begitu merasakan adanya sambaran angin 

kencang berhawa panas ke arah dirinya. Tak ayal 

lagi Asoka lemparkan tubuhnya ke samping kiri. 

Tiada buang-buang waktu ia terus bergulingan 

menghindari terjangan Topi Baja yang bergerigi ta-

jam di bagian sisi-sisinya.

"Weees...!"

Senjata itu kembali menyambar ke arah la-

ki-laki berkepala gundul ini. Padahal waktu itu po-

sisinya masih dalam keadaan menelentang di atas 

tanah. Ia sudah dapat memperhitungkan andai ia 

terus bertahan dalam keadaan seperti itu sudah 

pasti tubuhnya akan menjadi makanan empuk 

senjata yang dilemparkan oleh si Topi Terbang.

Berpikir sampai ke situ, Biksu Asoka per-

gunakan toyanya untuk memapak datangnya sen-

jata yang terus memperdengarkan bunyi menden


gung itu.

Craang!

Terdengar suara benturan yang amat keras 

manakala dua senjata yang sama-sama dialiri te-

naga dalam itu saling bertemu. Anehnya meskipun 

begitu, senjata topi baja milik pemuda berpakaian 

kuning itu terus melesat dan kembali kepada pe-

miliknya.

Creep!

Masing-masing lawan sama-sama tertegun. 

Mereka menyadari dalam benturan senjata tadi 

ternyata tenaga dalam yang mereka miliki tidak 

terpaut jauh.

"Kuperingatkan sekali lagi padamu jangan-

lah terlalu memaksakan diri!" kata Asoka. Si Topi 

Terbang meludah ke tanah beberapa kali.

"Jangan coba-coba menggertak si Topi Ter-

bang, Biksu gundul! Sekali saja aku mengatakan 

kesanggupanku untuk membunuhmu, dengan ca-

ra apapun kau harus mampus." maki pemuda 

berpakaian serba kuning ini, lalu memutar-mutar 

topi mautnya.

Dengan nada merendahkan diri, Asoka be-

rucap:

"Amitaba. Kiranya anda bukanlah pendekar 

bijak. Ketahuilah tuan, bukan aku bermaksud me-

nakut-nakuti dirimu." sekejap laki-laki berkepala 

gundul ini hentikan ucapannya. Sekejab diperha-

tikannya si Topi Terbang dengan tatapan penuh 

welas asih. "Namun andaipun anda berhasil mem-

bunuhku, orang-orang sealiran denganku yang 

memiliki kepandaian sangat tinggi pasti akan me


nuntutmu. Menurut hematku, alangkah lebih baik 

lagi andai saudara mengurungkan niat yang san-

gat keji itu." sambungnya kemudian.

"Jahanam." si Topi Terbang bentakan ka-

kinya di atas tanah. Karena pada saat melakukan 

gerakan seperti itu disertai dengan pengerahan te-

naga dalam yang sangat tinggi. Maka seketika itu 

juga daerah di sekitarnya terasa bagai dilanda se-

laksa gempa. Biksu Asoka hanya tersenyum saja 

melihat si Topi Terbang unjuk gigi di depannya.

"Pendeta gadungan. Bersiap-siaplah untuk 

menghadapi ketajaman topiku yang telah mem-

buat putus ratusan kepala ini."

"Amitaba, bicaramu benar-benar terlalu 

sembrono saudara." ujar Biksu Asoka dengan ke-

dua mata terbelalak. Saat itu senjata di tangan 

pemuda berpakaian serba kuning telah melesat 

sedemikian cepatnya. Hingga tahu-tahu jaraknya 

hanya tinggal satu tombak saja dari Asoka. Laki-

laki berusia lima puluh enam tahun melentingkan 

tubuhnya ke udara. Senjata itu terus meluncur de-

ras dan menghantam sasaran kosong di belakang-

nya. Sebagaimana pertama tadi, kali inipun sete-

lah menghantam sebuah batu cadas di belakang 

Asoka tadi. Kali ini kembali meluncur kembali ke 

pemiliknya. Ketika senjata itu sampai di tangan 

pemiliknya, pada saat yang sama Asoka juga men-

jejakkan kakinya di atas tanah.

"Hebat. Kau benar-benar memiliki kepan-

daian yang mengagumkan. Sayangnya kau bukan-

lah pendekar berhati lurus. Sungguhpun aku tidak 

mempunyai persoalan apapun denganmu. Tetapi


karena kau terlalu memaksaku, kurasa tidak ada 

salahnya kalau aku membela diri" kata Asoka.

"Hua... ha... ha...! Perlawanan darimu, itu-

lah yang kuharapkan sejak dari tadi manusia ber-

kepala gundul!" bentak si Topi Terbang di antara 

gelak tawanya.

Dalam saat-saat selanjutnya Asoka mulai 

membuka jurus-jurus silatnya yang memiliki va-

riasi begitu banyak. Dengan mempergunakan toya 

sebagai senjata andalan. Di dukung oleh permai-

nan tasbih yang mengagumkan. Sementara itu 

dengan tujuan ingin mengetahui kehebatan yang 

dimiliki oleh lawannya, si Topi Terbang mencabut 

sebilah pedang pendek yang juga bergerigi di ba-

gian sisi-sisinya. Dengan senjata ini ia membuka 

serangan-serangan gencar yang tak kalah berba-

hayanya dengan senjata andalannya 'Topi Terbang'

"Heaaat. Caiiit!"

"Huaaa ambrol perutmu." teriak si Topi Ter-

bang menusukkan pedangnya mengarah pada ba-

gian perut. Dengan mudah Asoka masih mampu 

mengelit serangan yang datangnya begitu cepat. 

Begitu serangan luput, pemuda berpakaian kuning 

ini lakukan satu babatan ke bagian kaki. Asoka 

memang tak menduga dengan datangnya serangan 

beruntun ini. Ia menjadi gugup namun dengan se-

penuh tenaganya ia putar toyanya untuk melin-

dungi bagian kaki.

Traang...!

Terdengar suara pekikan tertahan di sertai 

dengan berkelebatnya senjata bergerigi yang ter-

buat dari baja pilihan milik si pemuda.


Nguuuung

Terdengar suara mengaung keras saat topi 

itu melayang cepat ke arah sasarannya. Asoka kali 

ini benar-benar mati kutu. Dalam pertarungan ja-

rak dekat seperti itu sama sekali ia tiada menduga 

kalau lawannya melepaskan topi maut yang telah 

merenggut banyak korban itu. Sambil berjumpali-

tan Asoka hantamkan tasbihnya.

"Craak. Plaaar..."

Tasbih ditangannya hancur berkeping-

keping. Sebelum ia sempat mendaratkan kakinya 

di atas tanah, pada saat itu si Topi Terbang kem-

bali melemparkan senjata mautnya.

Nguuung. Craaas...!

Tangan Asoka terkutung sebatas siku. Toya 

di tangannya mental ke udara bersama-sama ku-

tungan tangannya yang menghamburkan begitu 

banyak darah.

"Amitaba...!" jerit Asoka. Tubuhnya tergetar, 

lebih dari itu darah cepat sekali merembas dari ku-

tungan tangannya. Lebih cepat dia menotok jalan 

darahnya untuk mencegah agar darah tidak ba-

nyak yang keluar. Pada saat itu pemuda berpa-

kaian serba kuning tertawa-tawa. Kesempatan 

yang hanya beberapa saat itu dipergunakan Asoka 

untuk melarikan diri.

"Hei! Kurang ajar." maki si Topi Terbang be-

gitu melihat lawannya tiba-tiba saja telah lenyap 

dari hadapannya. "Ha... ha... ha...! Senjata mautku 

mengandung racun yang sangat ganas. Kau tak 

mungkin terlepas dari belenggu maut." kata si Topi 

Terbang. Baginya tiada keinginan melakukan pen


gejaran. Terkecuali meneruskan perjalanan untuk 

memberi laporan pada Maha Diraja Setan Bumi. 


DUA



Kegelapan baru saja menyelimuti kaki lan-

git. Matahari hanya tinggal semburat merah yang 

kian samar. Suasana kehidupan mulai berganti 

rupa, dan binatang-binatang malam satu demi sa-

tu keluar dari persembunyiannya. Kelelawar, bu-

rung hantu mulai berkeliaran mencari makan. Se-

sekali terdengar lolongan anjing hutan di kejauhan 

sana. Dalam kegelapan itu mendadak sesosok 

bayangan berkelebat. Gerakannya saat melewati 

semak-semak yang tumbuh meranggas ringan se-

kali. Bahkan tak lama setelah kemunculannya tu-

buh telanjang dada yang mengkilat-kilat bermi-

nyak itu terus melewati hutan rotan yang sangat 

lebat dan tumbuh rapat di sekitar hutan tersebut. 

Anehnya tubuh orang itu bagai tidak merasakan 

sakit akibat tergores duri-duri rotan yang merang-

gas tajam.

Beberapa saat setelah melewati hutan rotan 

yang luas, sosok berkulit hitam legam ini sudah 

mulai nampak berjalan melenggang. Langkahnya 

begitu mantap menuju ke sebuah tempat yang te-

rus-menerus menyemburkan sinar merah mem-

bubung tinggi ke angkasa. Sesekali dipandanginya 

arah yang hendak di tujunya itu. Matanya lang-

sung berbinar begitu melihat semburan lidah api 

di kejauhan sana nampak menjulur ke arahnya.


"Kehidupan walau bagaimanapun ujudnya 

selalu berakhir dengan kematian. Begitu banyak 

orang yang melupakan kematian. Sangat banyak 

orang yang selalu mendewa-dewakan kehidupan 

dan seisi dunia. Seolah andai suatu saat mati apa 

yang dimiliki dan dibanggakannya akan dibawa 

serta. Tapi aku lebih menyukai orang yang terakhir 

ini. Mereka pasti tidak mengetahui siapa adanya 

aku, asal-usulku bahkan semua pekerjaan yang 

kulakukan di kolong langit ini." sosok bertubuh hi-

tam legam ini menutup kata-katanya dengan se-

buah tawa yang sangat panjang.

"Wuuees...!"

Tiba-tiba saja tubuh orang itu berkelebat 

lenyap bersamaan dengan berhembusnya angin 

kencang yang begitu hebat.

Sementara itu di sebuah tempat yang ber-

nama bukit Api Abadi yang terus menyemburkan 

lidah api menjulang ke angkasa nampak beberapa 

orang yang terdiri laki-laki dan perempuan sedang 

duduk dengan khusuknya menghadap ke arah 

bukit itu. Seperti yang mereka yakini selama ini, 

bukit itu selalu mendatangkan berkah bagi orang-

orang tertentu yang percaya karena kekeramatan-

nya. Namun kekhusukan itu tidak berlangsung 

lama, sesaat setelahnya bertiup angin kencang 

yang disertai berterbangannya pasir dan batu keri-

kil dari atas bukit sebelah kiri. Kemudian disusul 

pula oleh gelak tawa yang terasa bagai hendak me-

runtuhkan bukit dan memadamkan kobaran api 

abadi yang terdapat di bukit itu. Semua orang 

yang berada di bawah bukit, yang jumlahnya tak


kurang dari sepuluh orang, masing-masing menge-

rahkan tenaga dalamnya untuk melindungi diri 

dari pengaruh lengkingan suara tawa yang disertai 

dengan pengerahan tenaga dalam cukup tinggi.

"Menghormatlah kalian semua pada Kan-

jeng Guru!" salah seorang laki-laki bertelanjang 

dada, berbadan tinggi tegap dengan sikap mem-

bungkuk memberi perintah pada kawan-

kawannya. Tanpa sungkan-sungkan lagi sembilan 

orang lainnya langsung menjatuhkan diri, berlutut 

dengan posisi bagian kening menyentuh ke tanah.

"Kami semua siap mengabdi pada Kanjeng 

Guru. Dan kami senantiasa patuh pada semua pe-

rintah yang mulia." secara serentak menguman-

dang suara mereka dalam kegelapan yang hanya 

diterangi cahaya Api Bukit Abadi. Seiring dengan 

terdengarnya suara puji-pujian yang mengagung-

kan nama orang yang di sebut Kanjeng Guru itu. 

Maka suara gelak tawa yang membuat sakit gen-

dang-gendang telinga terhenti seketika. Gemuruh 

angin topan kembali menyapu daerah sekitar bukit 

api abadi itu. Sapuan angin yang begitu tiba-tiba 

membuat tubuh mereka laksana terbang. Bahkan 

beberapa orang perempuan yang terdiri dari gadis-

gadis berpakaian setengah telanjang langsung ter-

jengkang. Namun mereka segera bangkit dan 

membentuk sikap seperti semula dengan posisi 

menyembah. Sama seperti yang terjadi pada saat 

pertama tadi, kali ini hembusan angin topan ter-

henti secara tiba-tiba pula. 

Jleeek...!

Tidak begitu jauh dari sumber api abadi me


layang sesosok tubuh, kemudian menjejakkan ka-

kinya tanpa menimbulkan suara sedikitpun. Yang 

membuat tercengang semua mata yang meman-

dangnya karena si pendatang bertelanjang dada 

yang seluruh permukaan kulitnya berminyak dan 

berwarna hitam legam itu berada tidak begitu jauh 

dari sumber api abadi. Padahal dalam jarak sera-

tus tombak saja mereka yang berada di bawah bu-

kit itu merasakan tubuhnya panas bagai terbakar. 

Dalam beberapa hal seperti itulah mereka merasa 

begitu yakin bahwa orang yang mereka sebut se-

bagai Kanjeng Guru itu sesungguhnya bukan ma-

nusia biasa. Paling tidak titisan Dewa. Maka tak 

salah bila mereka rela melakukan apa saja demi 

mendapat restu dengan diangkat menjadi murid,

"Gending Sora...! Sebagai pengikutku apa-

kah kau telah melaksanakan perintahku dengan 

baik?" suara laki-laki yang disebut sebagai Kan-

jeng Guru terdengar memecah keheningan. Se-

mentara perhatiannya sekarang tertuju pada seo-

rang laki-laki berbadan tegap berpakaian serba hi-

tam yang tadi memberi aba-aba pada laki-laki dan 

perempuan yang kini masih berlutut menghadap 

ke arah bukit.

"Saya telah melakukan segala perintah yang 

telah kanjeng berikan pada saya." jawab laki-laki 

yang bernama Gending Sora dengan suara parau.

"Sembilan orang inikah orangnya?"

"Benar. Mereka semua terdiri dari perjaka 

dan perawan tulen." kata Gending Sora dengan 

wajah memerah.

"Ha... ha... ha...!" kembali terdengar suara


tawa Kanjeng Guru tergelak-gelak. Kini seluruh 

perhatiannya tertuju pada empat pemuda berte-

lanjang dada dan lima orang gadis yang juga ber-

pakaian sangat minim sekali. Mengherankan sekali 

kesembilan orang itu sedikitpun tiada merasa ma-

lu diperhatikan oleh Kanjeng Guru seperti itu. Ma-

lah kini mereka mulai memberanikan diri balas 

memandang dengan sikap menantang. "Apakah 

diantara kalian yang datang ke sini tidak akan 

menyesal bergabung dengan kami?" sambung Kan-

jeng Guru setelah merasa puas dengan hasil kerja 

Gending Sora.

"Kami dengan sukarela siap mengabdi pada 

Kanjeng Guru. Lebih dari sekedar itu kami juga te-

lah siap melakukan apa saja demi mendapat sim-

pati yang mulia." jawab mereka secara serentak.

Berbinar sepasang mata laki-laki berkulit 

penuh minyak yang menebarkan bau wangi mu-

sang pandan itu.

"Keputusan kalian benar-benar membuat 

hatiku lega. He... he... he... dalam waktu yang 

singkat kalian akan kuberi pelajaran ilmu yang 

sangat sakti. Kalian akan menjadi pengikut dan 

merupakan manusia-manusia yang tak terkalah-

kan. Namun hal itu tak mungkin terjadi andai ka-

lian tidak bersedia menyerahkan milik kalian seca-

ra sukarela." ujar Kanjeng Guru penuh maksud 

cabul.

"Apakah itu yang mulia?" tanya mereka se-

cara serentak.

"Sebagai seorang gadis dan perjaka tentu 

kalian menjaga sesuatu yang tersembunyi selama


ini. Agar diri kalian tetap suci."

Kesembilan orang yang terdiri dari pemuda 

dan gadis nampak saling pandang sesamanya. Wa-

jah mereka berubah pucat, namun mereka juga 

tak mungkin membantah. Sejak meninggalkan 

daerahnya masing-masing dan bertemu di suatu 

tempat yang kemudian mendapat bimbingan dari 

Gending Sora, mereka telah memutuskan untuk 

menjadi pengikut Kanjeng Guru yang akhir-akhir 

ini namanya menggemparkan dunia persilatan. 

Kalaulah memang apa yang dikatakan oleh Kan-

jeng Guru barusan merupakan satu-satunya sya-

rat agar dapat diangkat menjadi seorang murid. 

Maka mereka beranggapan tidak ada salahnya an-

dai mereka mematuhinya.

"Kami menyanggupi syarat yang Kanjeng 

ajukan itu." ujar mereka dengan nada dengan tan-

pa beban.

"Hemm. Bagus sekali. Kalian benar-benar 

orang yang berbakti." sekejap Kanjeng Guru henti-

kan ucapannya, laki-laki berusia lima puluhan ini 

menoleh pada Gending Sora. "Bawa mereka ke 

tempat biasa." perintahnya.

Gending Sora bagai seorang penjilat terus 

berjalan membungkuk-bungkuk, kemudian men-

gajak orang-orang itu menuju ke suatu tempat 

yang merupakan sebuah gua sangat luas namun 

memiliki banyak kamar. Ke sanalah sembilan 

orang yang terdiri dari gadis dan perjaka itu di gir-

ing dan menempati setiap ruangan.

Sementara itu laki-laki yang disebut Kan-

jeng Guru masih tetap berdiri di tempatnya. Sorot



matanya memandang jauh ke depan sana. Me-

nembus kegelapan di mana seorang laki-laki lain 

menunggang seekor kuda sedang bergerak cepat 

menuju ke arahnya. Suara ringkikan kuda terden-

gar keras ketika orang itu sudah hampir mendeka-

ti bukit Abadi. Sesaat setelah sampai persis di de-

pan bukit Api Abadi laki-laki penunggang kuda 

serta merta melompat dari punggung kudanya. Ia 

menghaturkan sembah dengan hanya membung-

kukkan badannya. "Kanjeng Guru, muridmu da-

tang menghaturkan sembah serta membawa bebe-

rapa laporan penting."

Orang yang berada di atas bukit Api Abadi 

itu hanya menggumam pelan.

"Bagaimana Maha Diraja Setan Bumi? Apa-

kah laporan tentang adanya pendatang dari tanah 

seberang memang punya kebenaran?"

"Kenyataannya memang begitulah, Kanjeng! 

Mereka terdiri dari orang-orang berpakaian putih 

berkepala gundul yang menamakan dirinya seba-

gai Biksu. Saya telah mengobrak-abrik rumah-

rumah darurat yang mereka bangun. Sementara 

ketika saya meneruskan perjalanan kemari seo-

rang tangan kananku si Topi Terbang sedang ber-

tarung melawan salah seorang diantara wakil Bik-

su itu."

"Hemm." Kanjeng Guru menggumam tak je-

las. "Kau merasa begitu yakin orang kepercayaan-

mu itu mampu mengatasi segalanya?"

"Saya selalu yakin dengan kemampuannya!" 

jawab Maha Diraja Setan Bumi tegas.

"Sebenarnya apa tujuan mereka datang ke


tanah leluhur kita ini?" tanya Kanjeng Guru lebih 

jauh.

"Mereka ingin mempengaruhi penduduk 

dengan menyebarkan suatu keyakinan yang tak 

begitu jelas."

Kanjeng Guru kerutkan alisnya, sungguh ia 

kurang mengerti akan maksud kata-kata murid 

sulungnya yang memiliki kepandaian beraneka ra-

gam ini. Walaupun tidak tertutup kemungkinan 

baginya bahwa dengan hadirnya orang-orang asing 

itu merupakan suatu ancaman buat sebuah Kera-

jaan megah yang sedang di bangun oleh muridnya.

"Setan Bumi. Yang kuinginkan agar kau 

mencari orang-orang itu dan mengusirnya dari ta-

nah leluhur ini. Kalau perlu dengan jalan kekera-

san!"

"Perintah Kanjeng Guru akan saya laksana-

kan dengan baik." kata Maha Diraja Setan Bumi.

"Nah sekarang pergilah muridku. Kalau kau 

ingin Kerajaan yang kau bangun sekarang ini tidak 

runtuh begitu saja. Kau hancurkan para penda-

tang itu."

"Tapi bagaimana dengan para pekerja seper-

ti yang telah guru janjikan?" tanya Maha Diraja Se-

tan Bumi setelah beranjak berdiri.

"Akhir purnama mereka akan segera kuki-

rim ke sana. Asal kau tau untuk membuat mereka 

memiliki tenaga seperti siluman, aku perlu waktu 

untuk meniduri mereka satu persatu. Setelah itu... 

ha... ha... ha...! Mereka akan menjadi seorang pe-

kerja yang sangat menurut dan memiliki tenaga 

luar biasa."


"Selamanya bantuan Kanjeng Guru sangat 

saya harapkan."

"Aku selalu menyanggupinya, muridku. Se-

karang kembalilah ke tempat asalmu. Jangan lupa 

taburkan serbuk 'Pemberontakan Jiwa' setiap 

menjelang bulan purnama. Jika kau terus mela-

kukannya niscaya kau akan mendapat tenaga ker-

ja sukarela sepanjang yang kau inginkan." ujar 

Kanjeng Guru yang disertai anggukan setuju oleh 

Maha Diraja Setan Bumi.

Bueees...!

Sekali berkelebat laki-laki yang disebut se-

bagai Kanjeng Guru itupun lenyap dari hadapan 

Maha Diraja Setan Bumi. Sementara laki-laki itu-

pun tanpa membuang-buang waktu lagi segera 

melompat ke punggung kudanya kemudian berge-

rak cepat menembus kegelapan malam.

Kemudian adalah sunyi dan nyala bukit api 

abadi yang sepanjang sejarahnya sangat dikera-

matkan oleh banyak orang.


TIGA



Dengan langkah terhuyung-huyung laki-laki 

berkepala gundul itu terus berlari. Pakaiannya 

yang berwarna putih kini telah berubah merah 

bersimbah darah. Bagian tangannya yang terus 

mengalirkan darah sekarang telah berubah warna 

kebiru-biruan. Sementara bagian siku yang terku-

tung itu menimbulkan rasa nyeri yang tiada terta-

hankan. Dalam keadaan berlari-lari itu beberapa


kali tubuhnya hampir terbanting. Pandangan ma-

tanya berkunang-kunang karena telah begitu ba-

nyak kehilangan darah. Yang lebih celaka lagi 

sampai sejauh itu setiap totokkannya pada urat 

tertentu untuk menghentikan darah tidak pernah 

mendatangkan hasil.

"Celaka seandainya aku tak bisa sampai ke 

markas besar. Koko Beng Lie dan Koko Beng Ju

pasti tidak pernah mengetahui apa yang terjadi 

pada diriku." menggumam laki-laki berkepala gun-

dul itu sambil terus berlari. Pada hakekatnya ak-

hirnya laki-laki yang bernama Asoka itu harus 

mengakui adanya keterbatasan. Ia kehilangan te-

naga karena begitu banyaknya darah yang keluar 

di samping akibat pengaruh racun ganas yang mu-

lai menyebar ke seluruh tubuhnya. Ucapan si Topi 

Terbang ternyata bukan bualan belaka. Hal itu 

akhirnya ia akui setelah empat tombak kemudian 

tubuhnya tersungkur ke tanah. Lemah tiada ber-

daya. Hanya erangan-erangan lirih yang keluar da-

ri mulutnya.

Sementara pada jalan yang sama dari ke-

jauhan sana nampak sesosok tubuh berpakaian 

kumal warna merah sedang berjalan melenggang 

menelusuri jalan setapak yang dilalui oleh Biksu 

Asoka. Sesekali ia menyomot dendeng ikan lumba-

lumba dari dalam periuk berjelaga yang mengge-

lantung di bagian pinggangnya. Sambil menguyah 

ikan dendeng yang lezat itu, sesekali terdengar pu-

la celotehnya.

"Wei, nasib orang kecil itu nggak ubahnya 

seperti seekor semut. Tinggal di dalam lubang yang


sangat kecil saja masih dikorek-korek trenggiling. 

Hidup nggak bebas selalu tercekam perasaan ta-

kut. Sebodoh. Mendingan menjadi gajah, karena 

besar ia ditakuti dan berkuasa. Bertindak semau-

maunya karena kekuatan dan kekuasaannya. Se-

bodoh. Semut yatim tak ubahnya seperti diriku ini. 

He... he... he...! Manusia hina seperti ujudku ini. 

Sebodoh. Ha... ha... ha... sebodoh...!" kata si pe-

muda berulang-ulang disertai dengan tawanya 

berkepanjangan.

Pemuda yang sudah tak asing lagi bagi kita 

ini terus mengayunkan langkahnya menelusuri ja-

lan itu. Namun mendadak ia hentikan gerakan ka-

kinya manakala di depan sana ia melihat seseo-

rang dalam keadaan menelungkup di tengah jalan 

yang akan dilaluinya. "Siapakah dia, nampaknya 

ia membutuhkan pertolongan." gumam Buang 

Sengketa kemudian bergegas menghampirinya. Se-

telah sampai di depan orang itu, tahulah ia bahwa 

laki-laki berkepala gundul itu sedang mendapat 

luka dan dalam keadaan yang sangat payah. 

Buang Sengketa membalik orang itu, wajah laki-

laki berkepala gundul itu nampak sangat pucat 

dan berwarna biru. "Racun yang sangat keji." desis 

pemuda itu. Melihat keadaannya diapun sadar 

sangat tipis kemungkinan bagi laki-laki itu untuk 

dapat di tolong. Sungguhpun begitu Buang Seng-

keta berusaha mencegah keluarnya darah dari be-

kas luka itu. "Celaka. Baru kali ini aku melihat se-

buah luka yang tidak dapat dihentikan. Pantasan 

saja orang asing ini tidak dapat berbuat banyak.

"Eergk...!" terdengar tangan yang sangat le


mah.

"Apa yang terjadi denganmu, kisanak...?" 

tanya Pendekar Hina Kelana sambil mendekatkan 

telinganya pada bibir laki-laki berpakaian serba 

putih itu.

"Se... seseorang telah menyerangku. Amita-

ba... me... mereka telah membunuhi sekian ba-

nyak orang-orang yang hendak menuju ke jalan 

Sang Hyang Widi. Ami... ta... ba.!" dan kepala laki-

laki berkepala gundul itupun terkulai lemah. Mati.

"Melihat pakaian dan kepalanya yang di bo-

tak, pastilah orang asing ini merupakan penganut 

agama yang taat. Aku tak tahu bagaimana ru-

panya manusia yang telah menyebabkan dirinya 

mengalami luka sampai sedemikian ini." batin pe-

muda itu. Ia kemudian bangkit berdiri. Namun be-

lum lagi siap pada posisi yang diharapkannya, sa-

tu tendangan yang sangat telak membuat tubuh-

nya terpelanting roboh. Karena serangan bokongan 

yang datangnya secara tiba-tiba itu dilakukan 

dengan menggunakan tenaga dalam tinggi. Tak pe-

lak lagi darah langsung menyembur dari mulut-

nya. Buang Sengketa merasakan punggungnya ba-

gai remuk, pernafasan terasa sesak dan tersendat. 

Namun rasanya ia tidak dapat membiarkan hal itu 

terjadi berlarut-larut. Naluri kependekarannya 

mengisyaratkan adanya bahaya yang sedang men-

gancam. Setelah menarik nafas dalam-dalam dan 

menghimpun hawa murni pemuda itu cepat-cepat 

bangkit. Nanar pandangan matanya memperhati-

kan ke arah bagian belakang. Lalu nampak oleh-

nya dua orang laki-laki berpakaian biksu telah


berdiri tidak begitu jauh dari pemuda itu.

"Amitaba." begitu berucap dua orang laki-

laki berpakaian serba putih itupun rangkapkan 

kedua tangannya di depan dada. "Anda telah 

membunuh adik seperguruan kami. Sungguh te-

lenggas sekali tindakanmu, saudara?" kata salah 

seorang diantaranya dengan tatapan berwibawa.

Buang menyadari dua orang Biksu itu pasti-

lah salah pengertian. Bagaimanapun keadaan 

akan semakin runyam andai ia membiarkan hal 

itu terus berlarut-larut. Tanpa merasa sungkan 

pendekar dari Negeri Bunian itu berucap:

"Tuan-tuan. Anda semua telah salah ala-

mat. Ketika saya lewat kemari adik seperguruan 

anda ini memang sudah terluka parah. Saya hanya 

ingin menolongnya, tidak lebih dari itu."

"Kami melihat dengan kepala sendiri apa 

yang kau lakukan pada adik kami. Masih jugakah 

kau memungkirinya?" tanya salah seorang dari 

mereka yang bertubuh tinggi dengan muka merah.

"Mengapa harus berbasa basi, Koko Beng

Lie? Jauh-jauh dari daratan Tiongkok sana keda-

tangan kita dengan membawa maksud yang baik. 

Tapi karena mereka, terutama orang ini. Dia harus 

menerima pembalasan setimpal dari kita."

"Sabar Beng Ju...! Kita harus menanyai le-

bih dulu orang ini." ucapnya dengan nada berwi-

bawa. Meskipun Beng Ju sudah merasa tak sabar 

lagi menghadapi kenyataan yang terjadi di hada-

pannya. Namun nampaknya ia merasa sungkan 

kepada laki-laki setengah tua yang bernama Beng 

Lie itu. Sesaat suasana berubah hening, dua pasang mata sekarang tertuju pada Buang Sengketa 

sepenuhnya. Pemuda itu merasakan adanya keku-

atan yang sangat besar terpancar lewat tatapan 

mata itu.

"Kau mengatakan dirimu tidak membunuh 

adik kami Asoka? Padahal tadi kami sempat meli-

hat kau mendekatinya...?" ujar Beng Lie, dingin.

Buang Sengketa tersenyum. "Aku mendeka-

tinya karena kulihat ia memang benar-benar me-

merlukam bantuan. Tetapi karena luka-luka yang 

dideritanya terlalu parah, aku merasa tak sanggup 

menolongnya."

"Hemm. Bicaramu begitu serius bocah. Te-

tapi dapatkah kami mempercayainya?" tanya Beng 

Lie seolah pada dirinya sendiri.

"Mulutnya tidak bisa dipercaya Koko. Siapa 

mau percaya kata-kata manusia berpakaian gem-

bel seperti dia?" kata Beng Ju semakin hilang ke-

sabarannya. 

Ucapan laki-laki tinggi besar tentu saja

membuat Buang menjadi tersinggung. Tetapi ia ju-

ga tidak ingin bertindak gegabah. Apalagi ia me-

nyadari dua orang Biksu yang berdiri empat tom-

bak di depannya itu merupakan tokoh tingkat 

tinggi yang belum dikenalnya sama sekali.

"Saudara. Sebagai orang yang mengagung-

kan nama yang Maha Pencipta, adalah sangat ti-

dak terpuji sekali bila anda menuduhku telah 

membunuh adik seperguruan anda." selak Buang 

Sengketa dengan nada melunak.

"Kalau bukan kau, lalu siapa yang telah me-

lakukannya?" tanya Beng Ju dengan nada ber-api


api.

"Dia hanya menyebutkan kata 'Mereka' se-

belum menghembuskan nafasnya yang terakhir." 

jelas si pemuda lebih lanjut. Dalam kenyataannya 

mungkin hanya Beng Lie saja yang memiliki pan-

dangan luas dapat menerima kenyataan itu, na-

mun tidak demikian halnya dengan Beng Ju. Pelan 

namun cukup pasti tubuh jangkung itu melang-

kah mendekati Buang Sengketa. Pemuda ini me-

nyadari adanya gelagat yang kurang baik secara 

diam-diam mulai bersikap waspada.

"Kokoku bisa saja percaya dengan segala 

bualanmu. Namun jangan harap aku mau men-

dengarkannya." dengan mata merah dan pandan-

gan jelalatan. Beng Lie kebutkan jubahnya yang 

menjela panjang. Serangkum gelombang angin 

yang menimbulkan hawa panas menerpa wajah 

dan sekujur tubuh Buang Sengketa. Sungguhpun 

pemuda ini telah membentengi tubuhnya dengan 

jalan mengerahkan tenaga dalam tinggi. Namun te-

tap saja tubuhnya terdorong beberapa tindak. 

Pendekar keturunan Raja dari Negeri Alam Gaib ini 

lipat gandakan tenaga dalamnya. Kemudian kedua 

belah tangannya didorongkan ke arah depan. 

Bledeeer...!

Terjadi ledakan yang amat keras saat mana 

dua tenaga dalam saling bertemu. Baik Buang 

Sengketa maupun Beng Ju dan Beng Lie sama-

sama terkejut. Dua orang Biksu itu sama sekali 

tiada menyangka kalau pemuda berpakaian lecek 

itu ternyata memiliki tenaga dalam yang tinggi. 

Melihat gerakan tubuh adik seperguruannya yang


tergetar tubuhnya sadarlah ia bahwa saat itu me-

reka sedang berhadapan dengan seorang tokoh 

muda yang memiliki kepandaian luar biasa.

"Bocah. Siapakah engkau ini, melihat tena-

ga dalammu yang tinggi rasanya cukup alasan ba-

giku untuk menuduhmu sebagai orang yang telah 

membunuh adik kami Asoka yang hanya memiliki 

kepandaian tidak seberapa." sengat Beng Ju tiba-

tiba.

"Aku hanya seorang pengelana biasa. Aku 

bersumpah sungguhpun bumi sampai terbelah tu-

juh aku tak pernah membunuh adik seperguruan 

kalian." kata Buang Sengketa, tegas.

Melihat kesungguhan Pendekar Hina Kela-

na, nampaknya Beng Ju mulai menyadari tentang 

keseriusan pemuda itu. Beng Ju sebentar menoleh 

pada kakak seperguruannya. Beng Lie hanya men-

ganggukkan kepalanya.

"Baiklah. Untuk mencurigai seseorang se-

lamanya memerlukan pembuktian yang kuat. Tapi 

awas jika suatu saat nanti tuduhan kami terbukti, 

maka kami akan mencarimu sampai ke ujung du-

nia sekalipun." kata Beng Lie.

"Selalu kutunggu basil penyelidikanmu itu, 

Sobat...!" jawab si pemuda dengan sikap tenang.

Dua orang Biksu itu tidak menimpali kata-

kata si pemuda. Setelah menghampiri mayat adik 

seperguruannya, merekapun berkelebat pergi. Hal 

yang samapun dilakukan oleh Buang Sengketa.



EMPAT


Padepokan gunung Ungkur merupakan se-

buah padepokan yang sangat besar terletak di le-

reng gunung yang sangat sulit dicapai oleh kalan-

gan manapun terkecuali memiliki kepandaian 

tinggi dan ilmu meringankan tubuh yang sudah 

sangat sempurna. Murid-murid padepokan yang 

jumlahnya hanya belasan orang itu rata-rata me-

rupakan murid-murid yang terlatih dan menguasai 

berbagai jurus-jurus silat yang sangat langka. 

Hampir setiap ada pertandingan silat persahaba-

tan, Eyang Basudewa yaitu pemimpin dan pemilik 

padepokan itu mengirimkan utusannya. Kemenan-

gan demi kemenangan diraih oleh murid-murid 

padepokan gunung Ungkur itu. Hal inilah rupanya 

yang membuat perguruan silat gunung Ungkur 

sangat disegani baik oleh kawan maupun lawan.

Lebih dari itu Eyang Basudewa sebenarnya 

tokoh angkatan tua yang sangat misterius dan su-

lit untuk ditemui. Bahkan murid-murid padepokan 

sendiri hanya dapat bertemu dengan Ketua pade-

pokan ini paling hanya setahun sekali. Itupun 

hanya sebatas mendengar suaranya saja. Ujud 

Eyang Basudewa yang sesungguhnya tak seorang-

pun yang mengetahuinya. Tokh murid-murid pa-

depokan gunung Ungkur dapat belajar silat den-

gan baik. Hal ini semata-mata karena Eyang Ba-

sudewa senantiasa memberi petunjuk dan pesan-

pesan yang selalu ditinggalkannya pada dinding-

dinding batu gunung yang terdapat di kanan kiri


padepokan itu. Melalui tulisan-tulisan yang diting-

galkannya itulah murid-muridnya dapat belajar 

dan melatih diri dengan berbagai ilmu kanuragan.

Pagi itu sebagaimana biasanya gunung Un-

gkur berselimut kabut. Udara dingin terasa me-

nusuk sampai kesungsum tulang. Murid-murid 

padepokan kelihatan sibuk dengan tugasnya mas-

ing-masing. Diantaranya ada yang menggarap ke-

bun, membersihkan halaman. Dua orang murid 

perempuan sedang mempersiapkan sarapan di ba-

gian belakang rumah. Sementara itu lima orang 

lainnya sedang berlatih silat nun jauh di lereng-

lereng berbatu tajam. Suara teriakan-teriakan se-

sekali terasa memecah kesunyian pagi. Begitulah 

setidak-tidaknya anggapan beberapa orang murid 

lainnya yang berada di sekitar padepokan. Tetapi 

apakah sesungguhnya yang sedang terjadi atas diri 

mereka ini? Apabila dilihat lebih dekat lagi sesung-

guhnya tidak begitu jauh dari padepokan itu se-

dang terjadi pertarungan antara lima orang murid 

padepokan gunung Ungkur melawan seorang pe-

muda berpakaian serba kuning. Melihat kenyataan 

yang terjadi nampaknya pertarungan yang telah 

berlangsung belasan jurus itu murid-murid pade-

pokan memang sedang berada di atas angin. Da-

lam berbagai serangan bahkan merekapun memi-

liki persamaan, baik dalam bentuk serangan mau-

pun variasi jurus-jurus silatnya.

"Hentikan!" lagi-lagi pemuda berpakaian 

serba kuning itu mengeluarkan bentakan nyaring.

"Kami tidak akan pernah menghentikan se-

rangan kami jika kakang Sakapala tidak mau menerangkan maksud kedatangan kakang di padepo-

kan ini." kata salah seorang dari para pengeroyok 

itu sambil melakukan serangan gencar. Sementara 

empat orang lainnya sekarang hanya bersiaga 

menjaga setiap kemungkinan.

"Aku hanya merasa rindu pada padepokan. 

Salahkah aku jika sesekali datang kemari...?" 

tanya pemuda berpakaian serba kuning yang tak 

lain si Topi Terbang adanya.

"Menyambangi perguruan bukan merupa-

kan pantangan bagi siapapun. Tetapi salah jika 

kedatanganmu membawa maksud-maksud terten-

tu."

"Pramesta!' hardik si Topi Terbang dalam 

kegusarannya "Sebagai adik seperguruan semes-

tinya engkau menghormat kepadaku. Tetapi malah 

sebaliknya yang terjadi pada dirimu, begitu aku 

datang kau langsung menyerangku."

Pemuda tinggi jangkung yang bernama 

Pramesta itu hanya mendengus. Kemudian di si-

langkannya kedua tangan di depan dada

"Kau pergi begitu saja, kakang Sakapala. 

Kau tak pernah memberikan alasan yang kuat ka-

rena kepergianmu. Setiap kali hal itu kutanyakan 

padamu, kau selalu beralasan ingin mencari pen-

galaman di luaran sana. Semua adik sepergu-

ruanmu yang berada di padepokan ini mungkin 

saja mempercayai bualanmu. Namun tidak demi-

kian halnya dengan aku. Suatu malam aku memu-

tuskan untuk membuntutimu dan ternyata kau te-

lah bersekutu dengan iblis yang menamakan di-

rinya sebagai Maha Diraja Setan Bumi. Bersa


manya kau menebarkan serbuk ‘Pemberontakan 

Jiwa’, dengannya kau mengumpulkan banyak pe-

muda dan gadis-gadis untuk membangun sebuah 

istana iblis secara sukarela. Kejahatanmu sudah 

melampaui batas, kakang Sakapala. Guru pasti ti-

dak akan membiarkan semua tindakanmu itu. 

Maaf demi tegaknya sebuah kebenaran aku ter-

paksa dengan lancang harus meringkusmu." kata 

Pramesta.

Begitu Pramesta selesai bicara, Sakapala 

langsung tergelak-gelak. Dipandanginya Pramesta 

dan empat orang lainnya secara silih berganti. Se-

telah mengeluarkan gumaman tak begitu jelas, 

kemudian iapun berucap: "Pramesta. Aku adalah 

saudara seperguruanmu yang paling tua. Walau 

bagaimanapun engkau tak bakal ungkulan meng-

hadapi aku. Lebih baik kau urungkan niatmu...!" 

Sakapala mencoba mengingatkan.

Namun pemuda yang bernama Pramesta itu 

hanya tersenyum saja.

"Sakapala. Guru memang telah memberikan 

segala sesuatu yang baik untukmu. Asal kau tahu 

saja, aku selalu ingin menjawab setiap kelebihan 

dan kekurangan yang kau miliki dengan sesuatu 

yang tak pernah diperoleh oleh siapapun di pade-

pokan ini." kata Pramesta dengan sikap waspada. 

Sementara itu empat orang lainnya telah pula me-

lakukan pengepungan secara ketat.

Pada hakekatnya si Topi Terbang datang ke 

bekas perguruannya memang membawa maksud 

kurang baik. Yaitu ingin membujuk adik-adik se-

perguruannya ikut bergabung dengannya dalam



satu tujuan yaitu menyumbangkan tenaga secara 

sukarela dalam mendirikan istana Maha Diraja Se-

tan Bumi. Kalaupun tidak dapat dibujuk dengan 

cara halus maka iapun telah pula memutuskan 

akan melakukannya dengan cara kekerasan. Satu 

hal yang tidak pernah disangka dan di luar perhi-

tungan Sakapala. Bahwa sebenarnya Pramesta 

merupakan adik seperguruan yang berpikiran cer-

das. Selama belasan tahun menjadi murid pade-

pokan gunung Ungkur ia telah melakukan penye-

lidikan terhadap semua tingkah pola saudara-

saudara seperguruan, maupun keberadaan Eyang 

Gurunya yang sangat misterius. Bahkan secara di-

am-diam ia telah pula berhasil menciptakan jurus-

jurus handal yang sangat aneh. Semua itu berhasil 

dikuasainya dalam beberapa tahun terakhir, juga 

tanpa diketahui oleh siapapun. Ia menyadari beta-

pa hebat kepandaian yang dimiliki oleh Sakapala. 

Bahkan gerak-gerik Sakapala yang mencurigakan 

telah lama tercium olehnya. Tidak salah kalau se-

karanglah merupakan saat yang tepat untuk men-

jajal ilmu hasil ciptaannya itu dalam usahanya 

menangkap Sakapala.

"Kakang Sakapala. Bersiap-siaplah...!" Pra-

mesta akhirnya memberi peringatan setelah me-

nunggu sekian lama, namun Sakapala hanya diam 

saja.

"Hiaat...!"

Sakapala membuka serangannya dengan 

sebuah jurus Sinar Pelangi yang diketahui oleh 

Pramesta sebagai jurus silat yang sangat berba-

haya. Tak ayal lagi Pramesta mengimbanginya


dengan jurus yang sama. Pertarungan dua ber-

saudara perguruan itu berlangsung sengit dan 

menegangkan. Apalagi nampaknya di pihak si Topi 

Terbang punya niat untuk mengakhiri pertempu-

ran secepat mungkin. Maka jurus-jurus silat anda-

lanpun segera ia gelar. Bahkan pertempuran itu 

mencapai lima belas jurus. Sakapala sudah pula 

mempergunakan senjata mautnya yang berupa se-

buah topi yang terbuat dari baja dan bergerigi di 

sisi kanan kirinya.

"Kakang Pramesta. Berhati-hatilah, senja-

tanya bisa mencelakakanmu!" teriak saudara se-

perguruan lainnya.

Sebenarnya Pramesta juga memiliki senjata 

yang sama yang sewaktu-waktu dapat dipergu-

nakan untuk mengimbangi senjata Sakapala. Na-

mun dalam hal ini sengaja ia mempergunakan se-

buah kayu panjang yang sangat mirip dengan toya. 

Dengan mempergunakan toya itu ia berusaha 

menghindari serangan senjata maut yang disam-

bitkan oleh Sakapala.

"Nguuung…!"

Seeeeng…! Sedemikian cepat topi maut itu 

melesat. Dengan sikap tenang Pramesta menyam-

but datangnya senjata Sakapala dengan cara me-

mutar toya di tangannya secepat mungkin.

"Praak... traal… traal...!"

"Haiiiit...!"

Pramesta lentingkan tubuhnya ke udara, 

ternyata senjatanya yang telah dialiri tenaga dalam 

itu masih juga hancur berantakan di landa topi 

bergerigi milik si Topi Terbang


"Kau tak mungkin ungkulan menghadapi-

ku, Pramesta! Alangkah lebih baik kalau kau 

memberi izin padaku untuk membawa adik-adik 

seperguruan kita membangun istana iblis." bentak 

Sakapala dengan disertai suara tawa tergelak-

gelak

Namun Pramesta menyambutnya dengan 

suara dingin.

"Kau baru boleh melakukannya apabila ka-

mu mampu melangkahi mayatku!"

"Sombong! Dalam dua jurus di depan jika 

aku tak berhasil mencopot kepalamu, jangan sebut 

aku si Topi Terbang." sentak Sakapala dengan ke-

marahan meluap-luap.

Pramesta diam tiada menyahut. Sebaliknya 

ia mulai mengerahkan ilmu silat hasil ciptaannya 

sendiri. Perubahan jurus-jurus silat yang dimain-

kan oleh Pramesta sudah barang tentu membuat 

mereka yang hadir di tempat itu menjadi terbelalak 

matanya. Jurus silat yang dimainkan benar-benar 

aneh bahkan tak satupun dari jurus itu memiliki 

persamaan dengan yang mereka pelajari dari 

Eyang Guru. Sampai kemudian pada:

"Heaaaah... bet... zeb... zeb...!"

Bersamaan dengan suara teriakan Pramesta 

yang tinggi melengking. Maka tubuhnya melesat 

mendekati sebatang pohon pisang. Begitu tersen-

tuh langsung dicabutnya. Lalu dengan mempergu-

nakan batang pisang itu iapun melakukan seran-

gan ganas ke arah Sakapala. Si Topi Terbang tidak 

mengetahui untuk apa sebenarnya Pramesta 

mempergunakan batang pisang itu untuk menyerang dirinya. Yang jelas dengan disertai tawa ber-

kepanjangan Sakapala juga langsung memapaki 

serangan Pramesta dengan jurus-jurus silat yang 

sudah di ketahui kelemahannya oleh laki-laki ber-

tubuh jangkung ini.

"Shaaa...!" dengan mempergunakan kaki 

kanannya Sakapala bermaksud melancarkan satu 

tendangan yang disertai dengan tenaga dalam pe-

nuh mengarah pada bagian perut Pramesta. Na-

mun Pramesta malah hantamkan batang pisang di 

tangannya ke bagian kaki Sakapala yang sudah te-

rulur.

"Uuut... weeees...!"

Satu sambaran angin yang sangat keras 

menerpa bagian kaki si Topi Terbang. Saat itu juga 

ia merasakan bagian kakinya terasa ngilu. "Gila, ia 

memiliki kekuatan dahsyat yang tiada disangka-

sangka. Bagaimana dia bisa memperoleh kepan-

daian yang sangat langka itu? Atau mungkinkah 

Eyang Guru telah menurunkan ilmu baru yang ti-

dak pernah diturunkannya padaku?" menggumam 

Sakapala dengan perasaan kecewa.

Bleees...! 

Dalam keadaan menegangkan itu rupanya 

Sakapala menarik balik serangannya. Di luar du-

gaan begitu merasa gagal memukul lawan dengan 

batang pisang Pramesta malah hantamkan ka-

kinya mengarah pada bagian selangkangan Saka-

pala.

Jrooot...!

"Wuaaagkh... keparaat...! Berani sekali kau 

memukul anuku..."


"Anumu memang pantas diberi pelajaran. 

Aku yakin kau tak pernah becus mengajar anumu 

terkecuali memanjakannya...!"

"Sial dangkalan. Kubunuh kau...!"

Belum habis ucapan Sakapala, tiba-tiba 

pemuda berpakaian serba kuning itu menyambit-

kan senjatanya yang berupa topi bergerigi itu ke 

arah Pramesta.

Siiiiing...! Cepat sekali senjata itu meluncur. 

Dengan mempergunakan batang pisang itu juga ia 

tidak mau kalah.

Berwrrrrrt...!

Jrooos...!

Pramesta langsung menyambutnya dengan 

sebuah tawa panjang begitu melihat senjata anda-

lan milik lawannya sekarang telah menancap di 

bagian batang pisang itu.

"Kalau kukembalikan topi terkutuk ini ke-

padamu, aku merasa yakin kau tak bakal mampu 

menerimanya. Dari pada kau mati percuma, lebih 

baik kakang menyerah saja untuk mendapat hu-

kuman dari Eyang Guru...!" kata Pramesta sambil 

melepaskan senjata maut itu dari batang pisang 

yang tadinya ia pergunakan bagai perisai.

"Jangan mimpi...!'' cibir Sakapala, kemu-

dian meludah beberapa kali

"Kakang Pramesta mengapa banyak basa-

basi lebih baik kita ringkus saja dia!" kata yang 

lain-lainnya merasa sudah tidak sabar lagi. Bah-

kan dua diantaranya mulai melepas senjata yang 

sama untuk menghadapi Sakapala

"Jangan bertindak! Biarkan aku sendiri


yang akan meringkusnya...!"

Setelah bicara begitu, entah bagaimana ru-

panya Pramesta memanfaatkan kelengahan Saka-

pala yang hanya beberapa saat itu. Sedetik tubuh-

nya berkelebat, ketika Sakapala menyadari apa se-

sungguhnya yang akan dilakukan oleh Pramesta, 

semuanya terasa sudah terlambat. 

"Tuuk... tuuuk...!"

Tak dapat dicegah lagi tubuh Sakapala 

langsung terjerembat jatuh. Urat geraknya tertotok 

kaku hingga membuatnya tak mampu berbuat ba-

nyak.

"Keparat kau Pramesta. Kiranya kau benar-

benar seorang pengecut...!" maki Sakapala sambil 

meronta-ronta.

Pramesta meskipun merasa tidak sampai 

hati, namun demi keamanan mereka semua, ter-

masuk juga adik seperguruannya, akhirnya mem-

beri perintah.

"Periksa seluruh pakaiannya, dan ikat 

dia...!" perintahnya pada empat orang lainnya.

"Tapi kakang bukankah dia juga masih me-

rupakan anggota...!"

"Kerjakan perintahku. Kalian tidak tahu ke-

licikan manusia yang satu ini...!" bentak Pramesta 

ketika salah seorang diantara mereka ada yang co-

ba-coba membantah.

"Kakang kami menemukan buntalan ini...!" 

seru salah seorang dari mereka memberi laporan. 

Pramesta menerimanya, kemudian setelah bebera-

pa saat iapun berucap.

"Apa kubilang? Coba kalau kita tidak teliti,


cepat atau lambat kita pasti akan menjadi budak-

nya."

Pramesta lalu menyimpan bungkusan yang 

berupa serbuk Pemberontakan Jiwa itu ke dalam 

saku bajunya. Tak lama kemudian merekapun se-

gera menggotong tubuh Sakapala menuju padepo-

kan gunung Ungkur yang terletak hanya ratusan 

meter saja jaraknya dari tempat mereka.


LIMA


Hemm. Daerah ini begini sunyi, padahal 

rumah-rumah penduduk sedemikian rapatnya. 

Aku merasakan udara begini lain bila dibanding-

kan dengan ketika aku berada jauh dari sini, siang 

tadi. Dalam situasi begini rasanya aku pantas cu-

riga. Mungkin ada sesuatu yang tak beres sedang 

berlangsung. Heh... di depan sana ada sebuah wa-

rung? Lebih baik aku ke sana sekalian mengisi pe-

rutku yang sudah keroncongan sejak tadi siang...!" 

berkata begitu pemuda berkuncir ini segera berge-

gas mendapatkan warung yang letaknya tidak be-

gitu jauh lagi di depannya. Sesampainya di depan 

pintu warung, langkah pemuda itu jadi tertegun. 

Beberapa orang bertampang kasar yang berada di 

dalam warung itu memperhatikan dirinya dengan 

tatapan kosong namun curiga.

Namun akhirnya Buang Sengketa memu-

tuskan untuk memasuki warung itu. Langkahnya 

tenang menghampiri sebuah meja kosong yang ter-

letak di tengah-tengah ruangan. Hanya sekejap saja ia mengitarkan pandangan matanya ke segenap 

penjuru warung. Kemudian ia memanggil pemilik 

warung itu yang sudah sangat tua sekali. Mungkin 

umurnya sekitar enam puluh dua tahun. Dengan 

sikap enggan pemilik yang merangkap sebagai pe-

layan warung itu datang menghampiri.

"Tuan mau pesan apa...!" tanyanya dengan 

nada tidak bersahabat. Tercekat juga si pemuda 

begitu mendengar ucapan pemilik warung yang te-

rasa kaku bahkan nada bicaranya berkesan sangat 

dipaksakan.

"Nasi putih, sayur berikut air Nira yang ma-

sih baru...!" kata si pemuda dengan suara lirih se-

kali.

Pelayan itu kemudian meninggalkan Buang 

Sengketa setelah menganggukkan kepalanya pe-

lan. Si pemuda hanya memperhatikan kepergian 

laki-laki tua itu dengan pandangan tiada mengerti. 

Tidak begitu lama Buang menunggu pelayan itu te-

lah kembali lagi dengan membawakan makanan 

yang dipesannya. Namun kali ini si pemuda sem-

pat melihat tangan dan kaki pelayan itu nampak 

gemetar. Melihat kenyataan ini membuat pendekar 

dari Negeri Bunian ini semakin bertambah curiga. 

Dan pabila Buang mengendus bau makanan yang 

telah terhidang di atas meja, maka aroma maka-

nan itu tidak sebagaimana bau aroma makanan 

sebagaimana lazimnya.

"Kisanak. Kulihat orang-orang di sini semu-

anya serba mencurigakan. Apakah yang telah ter-

jadi?" tanyanya setengah berbisik. Menyadari 

adanya gelagat yang tidak baik ini pelayan itu berubah pucat wajahnya.

"Ee... tid... tidak...! Di sini tidak pernah ter-

jadi apa-apa...!" jawab pemilik warung sekaligus 

merangkap pelayan itu dengan suara terbata-bata.

"Kalau begitu coba kisanak cicipi makanan 

yang telah kisanak sediakan ini!" perintah Buang 

Sengketa, tegas.

"Mana mungkin. Makanan itu khusus dis-

ediakan untuk tuan...!"

"Hemm. Masih juga kau mau membohongi-

ku, kisanak...!" ujar Buang. Kemudian sekali saja 

tangannya bergerak, maka bagian kemeja laki-laki 

berusia enam puluhan itupun telah dicengkeram-

nya sedemikian erat.

"Ee... apa-apaan ini. Mengapa tuan mem-

perlakukan diriku sedemikian rupa...!" kata laki-

laki tua itu dengan tubuh menggigil dan suara ge-

metaran.

Dalam pada itu tiba-tiba terdengar suara te-

guran yang begitu halus dari bagian belakang wa-

rung; "Kalau dia datang ke sini dengan tujuan mau 

makan. Yang jelas dia tidak akan bertingkah se-

perti itu, namun jika dia mau merampok. Maka 

seperti yang kalian lihat itulah kejadiannya."

Buang merasa terperanjat, ia merasa uca-

pan itu ditujukan kepadanya. Tak ayal lagi pemu-

da inipun langsung melepaskan cekalannya.

"Kepada orang yang bicara tadi, coba nam-

pakkan diri...!" perintah si pemuda begitu lugas.

"Boleh. Tetapi tidak di sini karena kehadi-

ranku hanya membuat orang-orang di dalam wa-

rung ini bisa memusuhimu...!"


"Kurang ajar. Kau jangan coba-coba menge-

cohku...!" bentak si pemuda. Tetapi tiada terdengar 

jawaban. Buang Sengketa mengitarkan pandangan 

matanya ke segenap isi warung.

"Astaga. Ada belasan orang di dalam warung 

itu, namun sorot matanya kosong tanpa ekspresi. 

Apa sebenarnya yang telah terjadi dengan mere-

ka?" batin si pemuda dalam hati. Agaknya ia su-

dah tidak dapat memikirkan keadaan orang-orang 

itu lebih lama lagi. Perasaan penasaran telah me-

nyeret langkahnya menuju bagian belakang wa-

rung. Syeet dah. Di bagian belakang warung itu-

pun ia tidak melihat siapapun di sana. Namun ke-

tika telinganya mendengar suara lamat-lamat yang 

sudah agak menjauh dari warung itu, maka tanpa 

membuang-buang waktu lebih lama lagi, pemuda 

itupun melakukan pengejaran.

"Hi... hi... hii...! Kami memang membutuh-

kan manusia perkasa sepertimu, bocah berpa-

kaian butut. Kemarilah...!"

"Sialan, dia sengaja memancingku dan me-

nyeretku menjauhi desa ini. Tapi tidak mengapa. 

Akan kukejar dia, siapa tahu orang ini mempunyai 

hubungan yang erat dengan keanehan-keanehan 

yang terjadi di sini."

"Hei mengapa harus berdiri bengong di situ, 

kesinilah...!"

"Kurang ajar. Kau benar-benar kuntilanak 

bangsanya memedi yang patut di curigai."

Seusai dengan ucapannya itu Buang Seng-

keta kembali melakukan pengejaran. Namun lang-

kahnya jadi tertahan ketika ia melihat berkelebat


nya selarik sinar ungu menuju ke arahnya. Sebe-

lum pukulan yang tiada disangka-sangka itu 

menghantam tubuhnya, maka lebih cepat lagi tu-

buhnya melompat ke udara.

Dweeer...!

"Sialan, hampir saja...!"

Luput dari serangan bokongan itu, Buang 

kembali melakukan pengejaran. Namun orang 

yang berlari di depannya itu ternyata memiliki il-

mu meringankan tubuh serta ilmu lari secepat ki-

jang. Dalam keadaan berlari biasa si pemuda sela-

lu ketinggalan jauh di belakang. Sampai kemudian 

terdengar suara yang bernada mengejek:

"Sampai esok pagi sekalipun kau tak bakal 

mampu mengejarku, pemuda gembel."

Terdengar suara sayup-sayup di sana. 

Buang Sengketa pada akhirnya merasa kesal juga 

dengan tingkah perempuan yang berlari cepat di 

depannya. Tak ayal lagi hanya dalam beberapa de-

tik setelah itu, pemuda inipun segera mengerah-

kan ilmu lari cepatnya. Ajian Sapu Angin. Begitu ia 

mengerahkan ilmu yang sangat diandalkannya itu, 

detik kemudian tubuhnya telah melesat laksana 

terbang.

"Hua... haha... ha... ha...! Kau hendak ke 

mana perempuan kuntilanak." begitu tertawa 

Buang Sengketa sekarang telah berada di depan 

perempuan itu. Kenyataan yang tiada diduga-duga 

itu memang benar-benar membuat perempuan 

yang tidak dikenalnya menjadi terkejut sekali. Ka-

rena merasa pemuda itu telah berhasil mengha-

dang dirinya, maka begitu berhadapan. Perempuan itu telah hantamkan telapak tangannya ke 

arah si pemuda.

"Weeert...!"

Buang Sengketa ternyata telah bersiaga se-

jak dari tadi dalam menghadapi perempuan yang 

dicurigainya itu, maka begitu perempuan yang di 

sekujur tubuhnya diselimuti kerudung itu menye-

rangnya. Buang Sengketa dengan mempergunakan 

setengah dari tenaga dalam yang dimilikinya lang-

sung pula hantamkan tangannya memapaki se-

rangan itu. 

"Deees...!"

Terdengar benturan keras manakala dua 

tenaga sakti bertemu. Perempuan berkerudung itu 

memekik kaget.

"Hh. Rupanya kau mempunyai kebisaan ju-

ga gembel berperiuk...!" maki perempuan itu. Pa-

dahal hatinya berdetak keras begitu melihat ke-

tampanan pemuda yang berada tiga tombak di de-

pannya itu.

Buang Sengketa mendengus. Dalam kegela-

pan itu sorot matanya berkilat-kilat menatap tajam 

pada perempuan berkerudung yang saat itu telah 

bersiap-siap melepaskan pukulan andalannya.

"Kaukah yang telah membuat mereka men-

jadi manusia pikun...?" tanya si pemuda tanpa 

menghiraukan ucapan si perempuan. Bahkan si-

kapnyapun terlihat begitu tenang.

"Justru aku malah bercuriga kepadamu. 

Atau bahkan engkaulah yang telah membuat me-

reka menjadi manusia sinting tanpa kemauan apa-

apa...!" tuduh si perempuan berkerudung.


Memerah wajah Buang Sengketa seketika 

itu juga mendengar tuduhan yang tidak beralasan

"Kau jangan sembarangan bicara. Sama se-

kali aku tidak tahu menahu dalam masalah ini..." 

cetus si pemuda dengan nada tertekan.

"Siapa yang mau percaya dengan ocehan-

mu. Hiaat...!" perempuan berkerudung ini menu-

tup ucapannya dengan satu terjangan ganas men-

garah pada bagian kepala Buang Sengketa. Pemu-

da ini dengan cepat-cepat menghindar dengan ja-

lan bersalto ke belakang beberapa kali. Namun pe-

rempuan itu nampaknya tidak mau berhenti sam-

pai di situ saya. Ia kembali melakukan serangan 

ganas, kali ini pukulan-pukulan gencar yang diser-

tai pengerahan tenaga dalam yang kuat dilaku-

kannya.

Namun Buang Sengketa bukanlah tokoh 

muda sembarangan, selama bertahun-tahun ia 

melakukan pengembaraan telah begitu banyak 

pengalaman yang diperolehnya. Ketika ia menge-

tahui adanya serangan yang bertubi-tubi itu, maka 

dengan mempergunakan jurus tangan kosong 

Membendung Gelombang Menimba Samudra, den-

gan gesit ia mengelak dari serangan yang dilaku-

kan oleh perempuan itu. Semakin panas hati pe-

rempuan itu melihat setiap pukulannya selalu da-

pat dielakan oleh lawannya. Hingga pada akhirnya 

tiada tertahankan lagi iapun mencabut senjatanya 

yang berupa sebilah pedang yang terselip di bagian 

punggungnya.

Sraaak...!

Wuuut...! Beet... beeet...!



Dengan pedang ditangannya perempuan 

berkerudung itu memburu lawannya. Pedang terus 

berkelebat menyambar mengarah pada bagian per-

tahanan si pemuda yang rawan. Sedikit demi sedi-

kit Buang Sengketa merasakan adanya tekanan 

yang diakibatkan oleh gempuran senjata di tangan 

perempuan itu. Buang juga tidak mau mengambil 

resiko yang dapat membahayakan keselamatan 

pribadinya. Dengan cepat ia mempergunakan ju-

rus si Gila Mengamuk untuk mengatasi serangan 

gencar lawannya. Dengan mempergunakan jurus 

ini tubuh si pemuda terhuyung-huyung bagai seo-

rang pemabukan. Permainannya berubah secara 

total, perubahan yang sangat tiba-tiba ini mem-

buat lawannya selalu merasa tertipu dalam setiap 

melakukan serangan. Beberapa kali serangan pe-

rempuan berkerudung mencapai sasaran kosong. 

Kenyataan ini membuat perempuan berkerudung 

itu semakin bertambah nekad. Menghadapi kenya-

taan dan gerak silat perempuan berkerudung ini 

sebenarnya Buang Sengketa sudah dapat menang-

kap bahwa sebenarnya perempuan itu mungkin 

saja merupakan kaum persilatan golongan lurus. 

Sekarang ia telah sampai pada kesimpulan untuk 

menjatuhkan perempuan itu tanpa melukainya.

"Heiiikgh...!"

Buang kembali berkelit menghindari keta-

jaman pedang di tangan si perempuan berkeru-

dung. Begitu ia mampu menghindari serangan 

yang sangat membahayakan itu, satu gerakan 

yang tiada terduga-dugapun ia lakukan.

"Tuuk... tuuuk...!



"Akh, kau curang. Lepaskan... lepaskan...!"

"Huaaa... ha... ha...! Sekarang kau bisa apa? 

Bukankah kalau aku bermaksud tidak baik, aku 

dapat berbuat sesukaku...?" kata Buang dengan 

nada mengejek.

Pucat wajah perempuan berkerudung itu 

begitu melihat Buang Sengketa melangkah mende-

katinya.

"Siapakah kau ini, saudara?" tanyanya den-

gan nada berubah ramah.

"Mengapa tidak sejak tadi kau tanyakan hal 

itu. Wajahmu yang tertutup kerudung itu mem-

buat aku menjadi curiga padamu. Tidak salah ka-

lau aku akan menangkapmu."

Maka menggigillah tubuh perempuan berke-

rudung itu demi mendengar ancaman pemuda ini.

"Ja... jangan...! Jangan kau gagalkan renca-

naku, kumohon lepaskan aku...!" rintih si perem-

puan bertopeng dengan nada memelas.

"Baik. Walau begitu aku tetap akan mena-

hanmu."

"Oh jangan, kedua orang tuaku pasti akan 

mencari."

Buang tersenyum kecut. Ia menduga mung-

kin saja perempuan berkerudung itu merupakan 

seorang gadis.

"Siapakah orang tuamu...?"

"Mereka adalah kepala desa yang tinggal ti-

dak begitu jauh dari sini. Kalau situ tidak memba-

wa maksud-maksud tertentu. Maka sebagai priba-

di saya mengundangmu untuk datang ke ru-

mah...!" kata perempuan berkerudung itu polos.


Anehnya Buang Sengketa tidak memiliki ke-

curigaan apapun. Ia menganggukkan kepalanya. 

Kemudian setelah memandang sekian lamanya 

pemuda inipun berucap.

"Aku akan mengikutimu, tapi ingat jika ter-

nyata nantinya kau berbohong. Kepalamu akan 

kujadikan sebagai taruhannya...!"

"Kau tak perlu khawatir, saudara. Tapi le-

paskan dulu totokanku...!"

Tanpa berkata-kata lagi, pemuda inipun 

melepaskan totokannya. Selanjutnya mereka ber-

iringan menelusuri jalan setapak.


ENAM



Dengan tidak kembalinya si Topi Terbang ke 

Istana Kerajaan Iblis yang sedang dibangun oleh 

Maha Diraja Setan Bumi. Laki-laki berpakaian 

serba hitam ini merasa pusing dibuatnya. Bagai-

mana tidak, si Topi Terbang adalah satu-satunya 

tangan kanan Maha Diraja Setan Bumi yang san-

gat dipercaya. Bahkan dalam mendirikan istana ib-

lis, si Topi Terbang memiliki andil yang tidak sedi-

kit. Baik dalam penyumbangan tenaga, pengum-

pulan tenaga kerja maupun hal-hal lain yang tak 

kalah pentingnya dalam mewujudkan sebuah 

singgasana yang sangat besar itu. Hanya satu yang 

membuat Maha Diraja Setan Bumi merasa heran 

adalah mengenai kebiasaan si Topi Terbang dalam 

berpergian selalu tidak pernah memberitahukan ke 

mana arah tujuannya. Hal inilah yang membuat


Maha Diraja Setan Bumi merasa kesulitan untuk 

melacaknya. Mungkinkah si Topi Terbang telah 

bentrok dengan seorang lawan yang tangguh? 

Ataukah pemuda itu telah mengalami sesuatu 

yang tidak diingininya? Tetapi ke mana Maha Dira-

ja Setan Bumi hendak melacak? Seandainya arah 

tujuan kepergian si Topi Terbang tidak diketa-

huinya sama sekali.

Siang itu di dalam singgasananya di ling-

kungan istana iblis yang belum jadi. Maha Diraja 

Setan Bumi kelihatan duduk termenung. Makanan 

yang disediakan oleh para pelayan sukarela yang 

selama ini menjadi para abdi yang paling setia se-

dikitpun tidak disentuhnya. "Hmm. Topi Terbang. 

Andai ada seseorang yang telah membuatmu cela-

ka. Orang itu pasti tidak akan kubiarkan hidup. 

Bagaimanapun si Topi Terbang merupakan segala-

galanya bagiku." gumam Maha Diraja Setan Bumi 

dengan tangan terkepal menahan kegeraman hati.

"Pelayan...!" bentak Maha Diraja Setan Bu-

mi memanggil salah seorang pelayannya yang be-

rusia masih begitu muda. Pelayan berwajah manis 

itu datang menghampiri dengan sikap tergopoh-

gopoh.

"Hamba yang mulia, Diraja...!" kata pelayan 

itu sambil menghaturkan sembah.

"Coba kau panggil Gending Sora...!" perin-

tah Maha Diraja Setan Bumi dengan suara tegas.

"Baik. Perintah Maha Diraja Setan Bumi se-

gera hamba laksanakan." kata pelayan itu. Kemu-

dian tanpa berkata-kata lagi, setelah menghatur-

kan sembah pelayan itu segera menuju bangunan


istana di bagian belakang. Sebagaimana tugas 

yang diberikan oleh Maha Diraja Setan Bumi. Se-

lama ini Gending Sora bertugas sebagai Kepala 

Mandor bangunan istana itu. Tidak terlalu sulit 

menjumpai laki-laki bertelanjang dada ini bagi pe-

layan itu. Karena Gending Sora merupakan orang 

yang sangat dikenal oleh semua orang yang berada 

di dalam lingkungan istana iblis.

"Paman Gending Sora...!" seru pelayan itu

setelah merasa dekat dengan Mandor Kepala ban-

gunan istana itu. Yang dipanggil menoleh dan 

hampir saja berang jika pelayan itu tidak cepat-

cepat menyampaikan maksud kedatangannya.

"Yang mulia Maha Diraja Setan Bumi me-

merintahkan agar paman menghadap segera." 

ucapnya sambil menganggukkan kepala.

"Hem. Pekerjaan ini memerlukan pengawa-

san yang ketat, namun Maha Diraja Setan Bumi 

memanggilku. Lebih baik kupenuhi saja permin-

taannya...!" berkata begitu, tanpa menghiraukan 

itu, Gending Sora pun melangkah pergi. Sebagai-

mana kebiasaan yang terjadi, sekarang setelah 

Gending Sora pergi maka pelayan itu mengganti-

kan kedudukannya sebagai mandor bangunan is-

tana.

Sementara itu di depan singgasana Maha 

Diraja Setan Bumi, Gending Sora nampak duduk 

bersimpuh. Perhatiannya kini sepenuhnya tertuju 

pada sang pimpinan yang memiliki kesaktian 

Mandraguna.

"Paman Gending Sora...!" ujar Maha Diraja 

Setan Bumi memecah kebisuan yang menyergap.


"Hamba yang mulia...!" sahut Gending Sora 

dengan sikap penuh hormat.

"Aku bermaksud mengutus paman untuk 

mengetahui keberadaan si Topi Terbang yang be-

lum juga kembali sampai saat ini. Aku takut telah 

terjadi sesuatu dengannya. Karena sudah hampir 

dua pekan pemuda itu tidak juga kembali. Semes-

tinya ia telah pulang dengan membawa tenaga ker-

ja sukarela yang sangat kita butuhkan." kata laki-

laki itu dengan perasaan was-was.

"Tetapi kemanakah akan hamba cari si Topi 

Terbang, jika hamba maupun yang mulia sendiri 

tidak pernah mengetahui kemana tujuan si Topi 

Terbang dalam mencari para tenaga kerja itu?"

"Itulah yang paling sulit buat kita. Sejak du-

lu si Topi Terbang tidak pernah mengatakan ke 

mana tujuannya dalam melakukan tugas apapun 

yang kuberikan. Hal ini membuat kita merasa ke-

sulitan untuk melacaknya..." keluh Maha Diraja 

Setan Bumi dengan suara tergetar.

"Apakah tidak lebih baik bila kita menanya-

kannya pada Kanjeng Guru?" tanya Gending Sora 

mengajukan pendapat. Tetapi Maha Diraja Setan 

Bumi gelengkan kepalanya keras-keras.

"Kita sudah terlalu sering membuat repot 

Kanjeng Guru. Aku tak ingin persoalan ini disam-

paikan kepadanya."

"Lalu bagaimana yang mulia?" tanya Gend-

ing Sora penuh minat.

"Si Topi Terbang bagiku secara pribadi me-

rupakan manusia misterius. Tetapi aku menyukai 

cara kerjanya yang sangat baik. Yang pasti aku ingin agar paman melakukan penyelidikan ke berba-

gai tempat, atau tanyalah pada setiap orang yang 

paman temui barangkali mereka melihat kemana 

perginya si Topi Terbang."

"Menurut yang mulia, mungkinkah mereka 

mau mengatakannya pada hamba, sedangkan me-

reka juga mengenal siapa hamba dan juga si Topi 

Terbang...?"

"Hua... ha... ha...! Kalau mereka tidak mau 

mengatakan atau memberi keterangan pada pa-

man. Apa susahnya kalau paman bunuh saja me-

reka...!" ujar Maha Diraja Setan Bumi seolah di 

dunia ini dialah yang paling berkuasa dalam sega-

la-galanya.

"Hemm. Sebuah gagasan yang paling sangat 

hamba senangi. Semoga hamba dapat menjalan-

kannya dengan baik...!" kata Gending Sora me-

nyanggupi.

Maha Diraja Setan Bumi mengangguk-

anggukkan kepalanya tanda setuju.

"Aku merasa bangga sekali andai paman 

benar-benar dapat menjalankan semua yang saya 

perintahkan dengan baik...!"

"Oh ya kapan saya harus berangkat, yang 

mulia?"

"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" kata 

Maha Diraja Setan Bumi berwibawa.

"Kalau begitu hamba mohon diri, yang mu-

lia...!"

Gending Sora kemudian membungkukkan 

tubuhnya dalam-dalam, setelah itu laki-laki ber-

telanjang dada inipun sudah melangkah pergi meninggalkan ruangan singgasana raja yang sangat 

mewah itu.

* * *

Kematian Asoka kiranya menimbulkan den-

dam kesumat bagi Beng Ju. Diam-diam di luar se-

pengetahuan Beng Lie yaitu kakak seperguruan-

nya ia mulai menghubungi beberapa orang tokoh 

silat beraliran hitam. Biksu berangasan yang du-

lunya ketika berada di negeri leluhurnya merupa-

kan bekas tokoh sesat yang kemudian bersumpah 

melakukan tobat ini secara diam-diam hendak me-

lakukan balas dendam dengan cara menyewa jago-

jago bayaran yang memiliki kepandaian tinggi.

Malam itu ketika kakak seperguruannya se-

dang terlelap dalam tidurnya. Di sebuah tenda lain 

yang terletak tidak begitu jauh dari tenda yang di-

tempati Beng Lie. Beberapa orang berpakaian ser-

ba hitam nampak bermunculan dari kegelapan. 

Mereka terdiri dari empat laki-laki yang kesemua-

nya bersenjata lengkap. Tidak begitu lama setelah 

kemunculannya dari bawah lereng bukit itu, maka 

keempatnya pun segera pula menyusup ke dalam 

tenda. Biksu Beng Ju menyambut kehadiran me-

reka dengan sesungging senyum ramah. Laki-laki 

berusia lima puluhan itu nampak mengelus-elus 

kepalanya yang botak plontos sebelum mempersi-

lahkan tamu-tamunya duduk pada tempatnya 

masing-masing.

"Ha... ha... ha...! Ternyata kalian datang 

menepati janji. Hih aku paling suka pada orang


yang selalu menepati janjinya...!"

"Kami empat bersaudara Macan Bromo ti-

dak pernah mengingkari janji manapun yang per-

nah kami buat...!" yang berkata adalah seorang la-

ki-laki bertubuh kurus muka kuning kayak kunyit.

"Apalagi janji itu menyangkut masalah uang 

emas seperti yang anda janjikan. Ah... tak seo-

rangpun yang menolak rejeki. Terkecuali orang itu 

benar-benar sudah tidak waras, ya saudara-

saudara...!" kata laki-laki yang berada di sebelah-

nya. Perlu di ketahui kalangan persilatan mengen-

al laki-laki muka pucat itu sebagai manusia yang 

paling sadis diantara tiga orang saudara lainnya. 

Ucapan laki-laki itu langsung disambut dengan de-

rai tawa kawan-kawannya. Tetapi Biksu Beng Ju 

langsung memberi isyarat dengan menempelkan 

jari telunjuknya di depan bibir. "Sstt. Jangan ke-

ras-keras, jika koko sampai terjaga semua rencana 

kita bisa berantakan...!"

Empat bersaudara Macan Gunung Bromo 

langsung hentikan tawanya ketika melihat isyarat 

itu.

"Sudah kukatakan sejak semula, bila se-

dang berada di lingkungan sini kalian harus hati-

hati kalau bicara. Kokoku sama sekali tidak men-

getahui rencana yang telah kukatakan pada kalian 

itu." kata Biksu Beng Ju setengah berbisik.

"Apakah dia tidak setuju dengan rencana 

anda?"

"Bukan apa, koko orangnya terlalu penya-

bar. Kematian adik seperguruan kami, baginya 

hanya merupakan sebuah takdir yang telah digariskan oleh Sang Hyang Widi. Aku mana bisa teri-

ma begitu saja. Apalagi aku secara pribadi masih 

belum dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang 

telah melakukan pembunuhan ini...!"

"Bagaimana mungkin kami bisa menda-

patkannya. Sedangkan siapa yang membunuh 

adik seperguruan anda itu kami tidak tabu secara 

pasti...!" tanya si muka hitam, kemudian mengga-

ruk kepalanya yang tidak gatal dan berambut ja-

rang.

Beng Ju nampak tercenung dan cengenge-

san begitu mendengar pertanyaan si muka hitam. 

Tetapi ketika ia teringat pada pemuda berkuncir 

itu, tiba-tiba mulutnya menyeringai. Timbul pula 

dugaannya mungkin saja pemuda berilmu tinggi 

itulah yang telah membunuh Asoka. Hanya saja 

mereka tidak memiliki bukti-bukti yang kuat un-

tuk menuduh secara langsung bahwa pemuda itu-

lah yang telah membunuh dan membakar peru-

mahan darurat yang telah dibuat Asoka untuk pa-

ra muridnya. Perasaan penasaran yang disulut 

oleh api kemarahan karena ternyata tidak mudah 

mencari jejak siapakah yang telah membunuh 

Asoka, di tompang lagi atas rasa kecewanya ketika 

melawan pemuda itu, telah benar-benar membuat 

Beng Ju sampai pada kesimpulan bahwa pemuda 

berpakaian kumuh itulah yang telah membunuh 

adik seperguruannya. Tidak salah jika kemudian 

ia berucap; "Sebenarnya saya sudah dapat mendu-

ga bahkan pernah bertemu dengan orang yang te-

lah membunuh adik seperguruan kami itu. Namun 

saat itu kami, terutama saya tidak berani mengambil tindakan begitu saja berhubung kami ha-

rus mengurus mayat saudara kami itu...!"

"Siapakah dia...?" tanya Macan Gunung 

Bromo secara serentak.

"Saya tidak mengenal namanya, tetapi saya, 

ingat ciri-cirinya...!" kata Beng Ju dengan sesungg-

ing senyum licik.

"Coba tolong sebutkan ciri-ciri orang yang 

telah membunuh saudara seperguruan anda itu. 

Jangan khawatir, kami pasti mampu menyeret 

orang itu ke hadapan anda, bila perlu kami akan 

memenggal kepalanya sebagai imbalan atas upah 

yang telah anda janjikan kepada kami...!"

"Heek... he... he...! Aku percaya atas ke-

sanggupan saudara-saudara sekalian. Mengenai 

upah itu sebagian akan diberikan sekarang, se-

dangkan sebagian lagi akan aku berikan setelah 

anda sekalian berhasil membunuh pemuda ber-

kuncir itu " kata Biksu Beng Ju. Tak lama setelah 

secara singkat laki-laki itu menceritakan ciri-ciri 

Pendekar Hina Kelana secara lengkap.

Sebelum empat bersaudara Macan Gunung 

Bromo meninggalkan tenda dan menghilang di ke-

gelapan malam, Biksu Beng Ju memberikan sepu-

luh keping uang emas sebagai pembayaran awal 

buat para pembunuh bayaran dari gunung Bromo.

Di luar sepengetahuan orang-orang yang 

berada di dalam tenda maupun empat laki-laki ja-

go bayaran itu. Kiranya ada sepasang mata sejak 

tadi ikut mendengarkan pembicaraan mereka. 

Orang yang mengintai dari balik semak-semak be-

lukar itu merasa sangat geram sekali mendengar


ucapan Beng Ju. Apalagi hal itu menyangkut na-

ma baiknya. Namun sejauh itu ia tidak ingin ber-

tindak secara gegabah. Walau bagaimanapun ma-

sih ada tugas penting yang harus dikerjakannya. 

Tidak perduli apakah keselamatan dirinya sedang 

dalam keadaan terancam.


TUJUH



Sambil terus mengayunkan langkahnya 

pemuda berkuncir dan memiliki wajah sangat 

tampan itu berusaha mengingat kembali tentang 

pertemuannya dengan Cempaka. Yaitu si perem-

puan berkerudung anak tunggal Ki Langu kepala 

desa Jati Sari. Gadis berkulit kuning langsat itu 

ternyata sedang melakukan penyelidikan tentang 

lenyapnya penduduk desa yang rata-rata berumur 

muda. Bahkan setelah berada di tengah-tengah ke-

luarga kepala desa itu, Buang mendapat berbagai 

keterangan yang sangat perlu guna mencari biang 

keladi penyebar serbuk Pemberontakam Jiwa yang 

sangat berbahaya itu.

Hanya satu hari saja Buang Sengketa bera-

da di rumah Ki Langu, selanjutnya ia meneruskan 

perjalanannya kembali seorang diri. Sebenarnya 

gadis yang bernama Cempaka itu juga ingin turut 

menyertainya. Karena secara diam-diam ia mulai 

merasa tertarik pada Buang Sengketa. Si pemuda 

tahu betul hal itu. Namun ia menolak keinginan 

Cempaka dengan sebuah alasan yang sangat tepat. 

Namun siapa sangka secara diam-diam rupanya


Cempaka terus mengikuti si pemuda dari jarak 

yang cukup jauh. Sementara itu sekarang Buang 

telah sampai di daerah bukit Gentar. Yaitu sebuah 

tempat yang berbatasan dengan bukit Api Abadi 

tempat bersemayamnya manusia dedemit yang 

sering disebut-sebut sebagai Kanjeng Guru oleh 

para pengikutnya. Namun karena perjalanannya

tanpa petunjuk dan tujuan maka sasaran yang 

hendak ditujunya masih bersifat untung-

untungan.

Belum lama menelusuri jalan yang tidak se-

berapa lebar, Buang mendengar adanya derap 

langkah kuda yang dipacu cepat ke arahnya. Sedi-

kit banyaknya tentu ia merasa curiga dengan ke-

hadiran orang berkuda di tempat yang sepi itu. 

Tak ayal pemuda keturunan raja dari Negeri Alam 

Gaib inipun langsung melompat ke tengah semak-

semak mencari tempat untuk bersembunyi. Lalu 

dan kejauhan sana nampak seorang laki-laki ber-

telanjang dada sedang memacu kudanya dengan 

kecepatan penuh. Buang tidak mengenal sama se-

kali siapa sebenarnya laki-laki yang duduk tergun-

cang-guncang di atas kuda putih itu. Namun un-

tuk menarik perhatian akhirnya ia menampakkan 

diri dari persembunyiannya. Bagai tak pernah ter-

jadi sesuatu apapun dengannya Pendekar Hina Ke-

lana kembali melangkah dengan sikap tenang. 

Sementara penunggang kuda itu telah begitu dekat 

sekali dengan si pemuda.

"Hei... berhenti...!" hardik si penunggang 

kuda yang tak lain Gending Sora adanya. Menda-

pat perintah seperti itu, Buang Sengketa langsung


hentikan langkahnya, kemudian menoleh dengan 

sikap seolah-olah bagai orang tolol. Pada saat itu 

penunggang kuda yang tadi membentaknya, seka-

rang juga telah pula menghentikan laju kudanya. 

Seraya memandang tajam pada pemuda ini, ketika 

sesaat setelahnya pertanyaannya pun menggele-

dek.

"Hei bocah berpakaian dekil. Apakah kau 

melihat seorang pemuda berpakaian kuning yang 

dipunggungnya membawa sebuah topi. Maksudku 

topi baja...?" ujar laki-laki bertelanjang dada itu 

merasa kesukaran untuk mengatakan ciri-ciri si 

Topi Terbang.

"Ah maaf kisanak. Sama sekali aku tidak 

melihat ciri-ciri orang yang anda sebutkan...!" kata 

si pemuda tenang.

"Ah masak kau tidak melihat orang yang 

seperti saya sebutkan tadi?" sentak si laki-laki ber-

telanjang dada yang tak lain Gending Sora adanya.

"Aku benar-benar tidak melihat orang yang 

anda sebut itu kisanak. Kalaupun ada paling me-

reka yang baru pulang dari ladang, pedagang 

sayur dan barusan ada juga pedagang tempe. Apa-

kah pemuda berpakaian kuning yang kisanak 

maksud adalah seorang pedagang terasi dan ikan 

asin?" pancing Buang Sengketa. Nampaknya pan-

cingan pemuda itu memang mengena. Terbukti 

wajah laki-laki berumur empat puluh delapan ta-

hun itu berubah merah padam. Pipi menggelem-

bung tan-da bahwa laki-laki ini sedang berusaha 

menahan kemarahannya.

"Kau benar-benar keterlaluan, bocah. Ta


hukah kau bahwa orang yang kucari-cari itu me-

rupakan manusia yang dapat mencopot kepalamu 

hanya dalam waktu sekedipan mata. Maka hati-

hatilah kalau kau ingin bicara. Salah-salah nya-

wamu yang melayang." kata Gending Sora tanpa 

maksud mengancam.

"Oh kalau begitu dia merupakan tukang 

jagal yang harus pula di jagal. Kurang ajar. Apa-

kah kawanmu itukah yang telah menjagal anjing 

dan babi-babi orang kampung itu...?" tanya si pe-

muda dengan maksud tersembunyi.

"Keparat. Berhati-hatilah kau bicara, salah-

salah akupun tidak akan mengampunimu...! Seka-

rang menyingkirlah kau... aku tak punya banyak 

waktu untuk melayani manusia gembel sema-

cammu...!" sentak Gending Sora. Saat itu ia sudah 

bermaksud membedal kudanya. Tetapi Buang 

Sengketa malah melompat dan menghadang di 

tengah-tengah jalan.

"Sebaliknya kaulah yang harus beri kete-

rangan padaku, sobat...! Atau aku akan mengha-

diahkan sesuatu yang terbaik untukmu...!"

"Kurang ajar. Berani sekali kau menghalan-

gi langkahku. Sesungguhnya siapakah engkau 

ini...?" Gending Sora balik bertanya.

"Hanya merupakan orang yang kebetulan 

lewat di jalan ini. Tetapi jelas aku ingin mengeta-

hui siapakah sebenarnya yang menjadi biang kela-

di penyebar racun Pemberontakan Jiwa...!"

Gending Sora terkesiap mendengar ucapan 

si pemuda, sama sekali ia tiada menduga bahwa 

pemuda berperiuk itu kiranya manusia yang pan


tas dicurigai dan dapat membahayakan kelang-

sungan pembangunan Kerajaan iblis. Merupakan 

suatu kehormatan baginya di hadapan Maha Dira-

ja Setan Bumi andai dapat menangkap pemuda itu 

hidup ataupun mati. Tidak salah kalau beberapa 

saat setelah itu iapun membentak garang:

"Bocah! Siapapun adanya engkau ini, aku 

pantas mencurigaimu. Lebih baik menyerahlah 

kau pada utusan pembesar Kerajaan...!"

Sebuah harapan baru untuk mengetahui 

siapa sebenarnya laki-laki penunggang kuda itu 

muncul dibenaknya.

"Hemm. Kiranya anda merupakan utusan 

dan seorang pembesar Kerajaan iblis...!"

"Hua... ha... ha...! Pandai betul kau mene-

bak. Aku memang utusan dari Kerajaan iblis. Nah 

setelah engkau mengetahuinya cepat-cepatlah me-

nyerah...!"

Buang Sengketa yang mulanya hanya mere-

ka-reka, tidak pernah menyangka bahwa apa yang 

dikatakannya itu ternyata memiliki kebenaran. 

Akhirnya iapun tertawa ganda.

"Kalau benar kau merupakan utusan Kera-

jaan Iblis. Maka sangat keliru jika kau menyuruh 

bapak moyangnya raja iblis menyerah pada cu-

cunya...!" teriak si pemuda setengah bergurau. 

Semua itu kiranya hanya membuat Gending Sora 

menjadi marah luar biasa. Dengan cepat Gending 

Sora melompat dari punggung kudanya, sambil 

melompat laki-laki ini hantamkan tangan kanan-

nya mengarah pada bagian wajah si pemuda. Ti-

dak usah merasakan pemuda itu dapat menduga



bahwa pukulan yang dilakukan oleh lawannya 

pastilah mengandung tenaga dalam yang kuat. 

Terbukti terasa adanya sambaran angin yang begi-

tu deras menyertai datangnya pukulan yang dile-

paskan oleh laki-laki bertelanjang dada ini. Sebe-

lum pukulan yang dilepaskan Gending Sora meng-

hantam bagian rahang Buang Sengketa. Pemuda 

itu telah doyongkan tubuhnya ke samping kiri se-

lanjutnya melakukan salto beberapa kali.

Wueees...!

Pukulan yang dilepaskan oleh Gending Sora 

luput dari sasarannya. Melihat kemampuan yang 

dimiliki oleh si pemuda tentu saja Gending Sora 

terkejut di samping bercampur heran. Selama ini 

belum pernah seorang lawan manapun yang 

mampu mengelakkan pukulan mautnya yang ter-

kenal dengan sebutan pukulan Inti Halilintar. 

Ataukah karena melepaskan pukulan tadi ia bersi-

fat ayal-ayalan hingga pukulan itu dengan mudah 

dapat dielakkan oleh lawannya? Rasanya tidak 

mungkin, sebab sejak melakukan pukulan tadi 

Gending Sora telah melakukannya dengan gerakan 

yang amat cepat. Mustahil pemuda itu dapat men-

gelakkannya begitu mudah jika ia tidak memiliki 

kepandaian silat yang hebat.

Gending Sora nampaknya sudah tidak me-

mikirkan apakah lawan yang dihadapinya itu he-

bat atau tidak. Yang ada dalam pikirannya saat itu 

adalah bagaimana caranya ia dapat menjatuhkan 

lawan dalam waktu yang sangat singkat. Itu se-

babnya begitu pukulan pertamanya luput maka 

iapun kembali merangsak.


"Chaaaaa... Heiiiit...!"

Buang Sengketa akhirnya tidak dapat lagi 

bersikap setengah-setengah. Dengan mempergu-

nakan jurus Membendung Gelombang Menimba 

Samudra dan juga jurus si Gila Mengamuk pende-

kar ini dengan lincah terus berkelit menghindari 

pukulan-pukulan lawannya yang selalu menda-

tangkan hawa panas luar biasa. Tanpa terasa da-

lam waktu sekejap pertarungan telah berlangsung 

dua puluh jurus. Saat itu padahal Gending Sora 

telah menguras sebagian dari kemampuan yang 

dimilikinya.

"Bocah kuharap kau jangan hanya sekedar 

mengelak dan menangkis. Kalau kau merasa 

punya kemampuan yang diandalkan. Cepat-cepat-

lah tunjukkan sebelum segala-galanya benar-

benar terlambat...!" bentak Gending Sora. Saat itu 

ia telah rangkapkan kedua tangannya. Mungkin 

tak lama lagi ia akan melepaskan pukulan yang 

sangat diandalkannya. Buang Sengketa pun nam-

pak terkesiap ketika melihat tangan Gending Sora 

sekarang telah berubah putih kehitam-hitaman.

"Hiaat...!"

Pendekar titisan Raja Ular Piton Utara ini 

melompat tiga tombak ke belakang. Kemudian ke-

dua tangannya ia angkat tinggi di atas kepala. 

Dengan mempergunakan setengah dari tenaga da-

lam yang dimilikinya pemuda ini bersiap-siap me-

lepaskan pukulan Empat Anasir Kehidupan itu.

"Hiaaat...!"

Gending Sora merangsak mendahului, se-

mentara Buang Sengketa tetap pada posisinya bertahan.

Wuuuus...!

Bet. Deb... deb...!

Selarik Sinar Hitam yang menebarkan bau 

menusuk melesat cepat dari bagian tangan Gend-

ing Sora. Sebaliknya serangkum gelombang sinar 

Ultra Violet menderu pula dari telapak tangan 

Buang Sengketa. Terdengar suara bergemuruh 

saat dua pukulan bertenaga sakti itu saling ber-

lomba mendahului, hingga akhirnya saling berben-

turan dan terasa bagai meruntuhkan tebing-tebing 

di sisi jalan itu.

Blaaamm...!

Buang Sengketa nampak tergetar tubuhnya, 

bagian dada terasa sesak dan sangat sulit untuk 

bernafas. Namun manakala ia melihat ke arah la-

wannya, maka kelihatan lah Gending Sora sempat 

terlempar dua tombak, dari celah-celah bibir laki-

laki itu mengalir darah kental. Namun sungguh 

hebat daya tahan yang dimiliki oleh Gending Sora, 

sungguhpun ia telah terluka dalam. Namun cepat-

cepat bangkit kembali. Dengan pandangan nanar 

diperhatikannya Buang Sengketa dari ujung ram-

but hingga ke ujung kaki.

"Kau memang hebat bocah. Siapakah eng-

kau ini...?" tanyanya dengan suara tergetar. Si pe-

muda hanya tersenyum sinis.

"Nama bukanlah sesuatu yang pantas di 

agul-agulkan, sobat. Namun jika kau masih mera-

sa penasaran juga, orang-orang menyebutku den-

gan si Hina Kelana...!"

"Jadi engkaulah yang berjuluk pendekar


Golok Buntung itu...?" sentak Gending Sora den-

gan mata berbinar-binar.

"Kalau tak salah begitulah orang-orang per-

silatan memanggilku...!"

Entah apa yang menyebabkannya, tahu-

tahu Gending Sora tergelak-gelak. Hal itu berlang-

sung lama sekali sehingga membuat suara Gend-

ing Sora menjadi serak.

"Barangkali orang ini telah menjadi gila...!' 

gumam Buang Sengketa di dalam hati.

"Kau tentunya muridnya si Bangkotan Ko-

reng Seribu? Sudah sangat lama sekali seluruh ke-

luargaku mendendam pada kakek pikun itu. Na-

mun kabar yang kudengar orang tua itu sudah ke-

buru mampus. Selain itu sebagai muridnya kau ti-

dak lebih gila dari gurumu sendiri. Bahkan kau te-

lah berhutang nyawa padaku...!" kata laki-laki itu 

dalam kegusarannya. "Dan kau lebih berhutang 

nyawa pada Maha Diraja Setan Bumi...!"

"Aha... kau jangan coba-coba bercanda so-

bat. Bertemu denganmu saja baru kali ini. Bagai-

mana mungkin aku berhutang nyawa padamu dan 

juga pada orang yang kau sebut-sebut sebagai 

Maha Diraja Setan Bumi?" tanya Buang Sengketa 

di liputi ketidak mengertian.

"Kau jangan berdusta. Bukankah engkaulah 

kunyuk yang telah membunuh Padri Mata Elang 

dan puluhan manusia tidak berdosa lainnya di 

Sindang Darah?" tanya Gending Sora dengan sua-

ra ketus.

Buang Sengketa merasa kaget bukan alang 

kepalang. Lalu secara perlahan teringatlah olehnya


peristiwa beberapa tahun yang lalu. Pembantaian 

di Sindang Darah bukanlah sesuatu yang tidak 

memiliki alasan-alasan yang kuat. Bahkan saat itu 

justru pemuda itulah yang melerai peperangan 

massal dan menyelamatkan mereka dari amukan 

buaya-buaya jejadian yang menghuni sindang itu. 

Mereka yang terbunuh dan saling bunuh itu sema-

ta-mata hanya karena ingin memperebutkan kitab 

yang berisi dua belas jurus aneh peninggalan Padri 

Agung Pengayom Jagad. Sedangkan kematian Pa-

dri Buta Mata Elang, semuanya semata-mata ka-

rena keserakahannya sendiri ingin merampas pe-

ninggalan gurunya. Padahal jelas nyata Padri Mata 

Elang merupakan murid tersesat jauh dari kebe-

naran. Kalau itulah yang dipertanyakan oleh 

Gending Sora, sudah jelas baginya bahwa orang 

yang sekarang berdiri tegak di hadapannya itu tak 

lebih dari orang yang telah dibunuhnya beberapa 

tahun yang silam.

"Jangan kau kira mereka yang telah mam-

pus di Sindang Darah itu bukanlah manusia-

manusia yang tiada berdosa. Selamanya aku tak 

pernah berani turun tangan secara gegabah jika 

tidak mempunyai alasan yang kuat untuk melaku-

kannya...!"

"Kau memang pandai bersilat lidah. Tapi 

mana aku mau percaya begitu saja...!" sentak 

Gending Sora dengan wajah merah padam.

"Kalau kau tidak mau percaya juga. Nah se-

karang kau bisa berbuat apa?" tanya Buang Seng-

keta dalam kedongkolannya.

"Aku akan menangkapmu hidup atau ma


ti...!"

"Kalau kau merasa punya kemampuan. Ku-

persilahkan melakukannya...!"

"Jahanam, kau benar-benar manusia kepa-

rat, Hiaaat...!"

Dalam kemarahannya itu, terlebih-lebih se-

telah mengetahui siapa sebenarnya pemuda yang 

dihadapinya, Gending Sora tidak ingin bertindak 

setengah-setengah. Sekali menerjang laki-laki ber-

telanjang dada ini telah mengerahkan segenap ke-

mampuan yang dimilikinya. Namun si pemuda le-

bih sadar lagi siapa sebenarnya orang yang diha-

dapinya. Dengan mempergunakan ilmu silat tan-

gan kosong yang diberi nama Si Jadah Terbuang. 

Pendekar Hina Kelana langsung memapaki atau 

mengelakkan setiap serangan gencar yang dilaku-

kan oleh lawannya. Di tempat yang sunyi itu per-

tarungan kembali berlangsung. Masing-masing la-

wan mengerahkan segenap kemampuan yang di-

milikinya. Gending Sora dengan mengandalkan si-

lat tangan kosong dan pukulan-pukulan gencar 

mengarah pada bagian-bagian yang mematikan. 

Bahkan berulang kali ia melepaskan pukulan Inti 

Halilintar, tetapi Buang Sengketa tidak mau men-

galah begitu saja. Dengan mempergunakan puku-

lan Si Hina Merana. Buang memapaki serangan 

gencar lawannya. Tak ayal ledakan-ledakan keras 

yang disertai dengan hawa panas yang tiada terpe-

rikan memenuhi sekitar pertempuran. Masing-

masing lawan nampaknya sudah mengalami luka 

dalam yang cukup berarti.

Menghadapi kenyataan ini Buang Sengketa


akhirnya mengambil keputusan untuk menyudahi 

pertarungan secepat mungkin. Maka ketika Gend-

ing Sora menyerangnya dengan jarak yang begitu 

dekat. Tak ayal lagi pemuda keturunan Raja Ular 

Piton Utara inipun mencabut Golok Buntung yang 

terselip di bagian pinggangnya.

Sriiing...!"

Terlihat kilauan cahaya merah menyala saat 

senjata maut itu tercabut dari sarungnya. Udara di 

sekitar tempat itu mendadak berubah menjadi 

dingin luar biasa. Hanya sesaat saja Gending Sora 

terperangah dengan kedua mata membelalak bagai 

hendak melompat ke luar. Namun detik selanjut-

nya ia harus menghindari terjangan senjata pusa-

ka di tangan si pemuda yang selain menimbulkan 

udara dingin juga mengeluarkan suara gaung ba-

gai puluhan harimau terluka. Sekali dua samba-

ran senjata itu dapat dielakannya. Namun ketika 

untuk yang kesekian kalinya senjata itu berkele-

bat.

"Nguuung... Jraas...!"

"Arrrghk...!"

Gending Sora keluarkan jeritan tinggi me-

nyayat. Bagian tangannya terbabat sampai sebatas 

pangkal lengan. Cepat-cepat laki-laki itu menotok 

jalan darahnya, tiba-tiba saja ia merasa gentar 

menghadapi pemuda itu. Lalu ia langsung melem-

parkan sesuatu ke depan si pemuda.

"Buuummm!"

Suasana menjadi gelap gulita. Buang me-

maki dalam hati karena musuhnya telah berbuat 

licik. Kemudian lebih cepat lagi dia melompat

menghindari kungkungan asap tebal yang menye-

limutinya. Namun ketika ia terbebas dari kung-

kungan asap hitam itu. Ia sudah tidak melihat lagi 

lawannya berada di sekitar situ. Tak ayal lagi pe-

muda inipun langsung melakukan pengejaran.


DELAPAN



Murid-murid padepokan gunung Ungkur 

masih terlelap dalam kantuk ketika salah seorang 

dari mereka yang melakukan tugas jaga di depan 

padepokan dengan tergopoh-gopoh membangun-

kan mereka yang sedang tertidur. Pramesta yang 

dipercayakan oleh Eyang Guru dalam memimpin 

mereka saat itu tidur di kamar bagian belakang. 

Mendengar suara ribut-ribut pemuda inipun seba-

gaimana yang lain-lainnya ikut pula terjaga, lang-

sung berlari keluar menyongsong kedatangan adik-

adik seperguruannya.

"Ada apa...?" tanyanya pada adik sepergu-

ruan yang kebetulan tugas jaga malam itu.

"Cel... celana, eeh celaka, kakang...! Si Topi 

Terbang melarikan diri dari penjara...!" lapor orang 

itu dengan wajah pucat pasi. Siapapun yang bera-

da di padepokan itu menyadari Pramesta adalah 

orang yang sangat disegani di kalangan padepo-

kan, selain ia berotak cerdas, tetapi juga sangat ja-

rang sekali berbicara pada siapapun terkecuali di-

anggap perlu sekali.

Tanpa berkata-kata lagi kemudian Pramesta 

menyeruak diantara kerumunan sekian banyak


orang yang berada di depannya. Dengan diikuti 

oleh yang lain-lainnya, pemuda itupun berlari ce-

pat menuju ke arah penjara. Sesampainya di sana 

ia terlongong-longong, pintu penjara nampak di je-

bol secara paksa. Ini sebuah kemungkinan yang 

sangat sulit ia percaya, bagaimanapun si Topi Ter-

bang dalam keadaan terikat dan tanpa senjata, 

bagaimana mungkin ia dapat melakukannya tanpa 

bantuan orang lain. Mungkinkah diantara adik-

adik seperguruanku ada yang berhianat? Kalau 

pun memang benar apa yang menjadi dugaanku, 

tapi siapakah yang melakukannya? Agaknya aku 

perlu meneliti mereka satu persatu. Batin Prames-

ta. Kemudian dipandanginya adik-adik sepergu-

ruan yang jumlahnya tak lebih dari sebelas orang 

termasuk dua orang adik seperguruan perempuan. 

Namun di antara mereka tidak terlihat kehadiran 

Asih Angraeni.

"Adik Kurnia Dewi...? Tidak kulihat Asih 

Angraeni diantara kalian. Coba kalian lihat di da-

lam kamarnya...!" perintahnya curiga.

"Baik kakang...!"

Kurnia Dewi dengan ditemani dua orang 

saudara perguruan langsung bergegas menuju ke 

bagian kamar Asih Angraeni. Namun mereka jadi 

terperanjat manakala melihat kamar kakak seper-

guruannya kosong.

"Celaka. Kak Asih tidak ada di tempat-

nya...!" seru Kurnia Dewi, lalu memandang pada 

dua orang lainnya.

"Sebaiknya kita laporkan saja pada kakang 

Pramesta...!" usul salah seorang dari mereka. Kemudian tanpa membuang-buang waktu lagi mere-

ka segera bergegas keluar.

"Bagaimana? Apakah Asih Angraeni ada di

dalam kamarnya...?" sambut Pramesta merasa tak 

sabaran lagi.

"Dia tidak ada di tempat, kakang...!" lapor 

gadis itu dengan wajah ketakutan.

Pramesta bukan main geram. Sebagaimana 

ia ketahui Asih Angraeni selama ini punya hubun-

gan asmara dengan si Topi Terbang. Kemungkinan 

bagi Asih Angraeni untuk menyelamatkan si Topi 

Terbang besar sekali.

"Tidak kusangka pada akhirnya ia rela 

mengkhianati kita hanya demi kepentingan manu-

sia sesat seperti si Topi Terbang. Siapapun maji-

kan si Topi Terbang, yang jelas suatu saat dia pasti 

datang kemari untuk mengadakan pembalasan. 

Entah bagaimana aku harus bertanggung jawab 

pada Eyang Guru. Tetapi menunggu kedatangan-

nya merupakan sebuah penantian yang sangat 

membosankan. Ada baiknya kalau aku dan Kurnia 

Dewi melakukan pengejaran sebelum si Topi Ter-

bang memberi laporan pada majikannya...!" kata 

Pramesta memutuskan.

"Kami harus ikut, kakang...!" ujar yang lain-

lainnya secara serentak. Namun Pramesta cepat-

cepat gelengkan kepalanya.

"Kalau kalian semua mau ikut, lalu siapa 

yang menunggui padepokan ini...?"

"Tapi kang, haruskah kami bertahan di sini 

selamanya. Kami juga ingin mengetahui perkem-

bangan dunia luar...!"


Pramesta kembali gelengkan kepalanya. 

Dengan berwibawa kemudian ia berucap: "Kalau 

kalian bersikeras juga ingin tetap pergi. Maka ka-

lian boleh melakukannya. Sementara biar aku seo-

rang diri tetap tinggal di padepokan ini...!"

"Kalau kakang yang memilih tinggal di pa-

depokan maka kami membatalkan niat untuk 

mencari si Topi Terbang dan adik Asih Angraeni. 

Siapa sih diantara kami yang sanggup mengalah-

kan kakang Topi Terbang terkecuali kakang Pra-

mesta seorang." tukas salah seorang dari mereka 

dengan nada kecewa.

"Itulah sebabnya kalian harus mengikuti 

semua petunjukku. Sebab bukan si Topi Terbang 

dan Asih Angraeni saja yang akan kucari, tetapi 

juga aku ingin mengetahui untuk siapa si Topi 

Terbang bekerja."

"Baiklah kakang. Kalau semua itu sudah 

menjadi kehendak kakang. Kami hanya menu-

rutinya saja." jawab yang lain-lainnya serentak.

Tidak begitu lama setelah itu berangkatlah 

Pramesta beserta Kurnia Dewi. Beberapa orang 

murid lainnya hanya mengantar kepergian mereka 

sampai di pinggiran kaki gunung Ungkur. Karena 

dalam melakukan perjalanan itu baik Pramesta 

maupun Kurnia Dewi mempergunakan ilmu lari 

cepat. Maka dalam waktu sebentar saja mereka te-

lah begitu jauh meninggalkan gunung Ungkur.

* * *

Di sebuah pohon yang rindang, empat orang

laki-laki bertampang kasar itu nampak mele-

paskan lelah. Wajah mereka membayangkan rasa 

letih yang teramat sangat. Tidak mengherankan 

karena sudah hampir delapan hari lebih mereka 

melakukan perjalanan tanpa beristirahat barang 

sebentar. Sebagai jago-jago bayaran sudah barang 

tentu mereka merasa penasaran karena orang 

yang dicari-carinya masih belum juga bertemu 

hingga sekarang. Sambil menyantap bekal yang 

mereka beli dari warung siang tadi. Salah seorang 

dari mereka berucap: "Sekarang entah berada di 

mana, kita-kita ini. Batang hidung orang yang kita 

caripun hingga kini kita belum melihatnya. Mu-

lutku sudah capek bertanya pada setiap orang 

yang lewat. Namun tetap saja mereka gelengkan 

kepala. Atau mungkinkah orang yang kita cari-cari 

itu merupakan pendatang asing?"

"Asing atau bukan Empat Macan Gunung 

Bromo tidak perduli. Yang paling penting kita ha-

rus dapat menangkapnya cepat atau lambat...!" 

sahut laki-laki kurus muka kunyit menimpali.

"Wuaah...!" laki-laki yang sejak tadi sende-

ran di batang pohon menguap berkali-kali. Nam-

paknya ia tidak begitu perduli dengan pembica-

raan yang sedang berlangsung.

"Langit di atas sana nampak mendung. 

Mendung tebal lagi, sebentar lagi hujan segera tu-

run. Hujan juga pasti akan deras. Ah, para iblis itu 

rupanya tahu bahwa aku memang belum mandi 

sudah lebih dari lima belas hari. Orang-orang di 

langit memang selamanya bersikap baik kepadaku. 

Semoga cepat-cepatlah hujan turun. Badanku rasanya sudah bau terasi. Panas begini nggak bisa 

ngimpi...!"

"Kau memang selalu menjengkelkan adi...! 

Setiap habis makan otakmu memang paling su-

sah diajak mikir...!" sentak laki-laki lainnya den-

gan wajah memberengut.

"Walaupun aku tidak ikut bicara apa-apa. 

Tetapi aku selalu mendengar apa yang kalian ka-

takan...! Kalau mau bicara silakan, tokh aku 

hanya ingin tidur, walau pun cuma sebentar...!" 

kata si muka pucat sambil tersenyum mencibir.

"Heh... Macan Gunung Bromo dalam seja-

rahnya belum pernah gagal dalam memburu 

mangsa. He... he... he... para Biksu itu mengupah 

kita sudah barang tentu karena telah mengetahui 

kehebatan kita. Setidak-tidaknya berita tentang 

kehebatan Macan Gunung Bromo telah mereka 

dengar dari orang lain." kata si muka kunyit kem-

bali pada persoalan semula.

"Hina Kelana, begitu yang kudengar julukan 

pemuda berkuncir itu. Kurasa tidak begitu sulit 

untuk menangkapnya. Tetapi andai jejaknya saja 

kita terlalu sulit untuk melacaknya. Bagaimana 

mungkin kita dapat berbuat banyak...!"

"Jangan terlalu mudah putus asa. Kalau dia 

bukan bangsanya memedi ataupun siluman. Ke-

sempatan untuk menjumpainya besar sekali." de-

sah si wajah hitam legam di sela-sela tidurnya.

Tiga orang kawan langsung menoleh pada si 

muka hitam. Lalu mereka pun saling berpandan-

gan.

"Heran. Dalam keadaan mata terpicingpun


ia masih mendengar apa yang kita bicarakan..." 

kata si muka kunyit.

"Yang terpicing itu mata, yang namanya 

kuping tetap aja mendengar. Kalau kalian merasa 

penasaran sebenarnya yang namanya si Hina Ke-

lana itu berada di sekitar sini...!"

"Haaa...!" seru tiga orang lainnya dengan 

mata membelalak tak percaya. Sekali lagi mereka 

menoleh ke arah si muka hitam yang sedang terti-

dur lelap.

"Kau bicara apa adi? Kau bilang pemuda 

berkuncir itu berada di sekitar kita?" tanya si mu-

ka pucat keheranan.

Namun tiada jawaban yang keluar dari mu-

lut si muka hitam.

"Ketahuan orang lagi tidur. Tapi masih juga 

kau ajak bicara...!" cetus si muka kunyit. Sekali 

lagi kembali berpandangan.

"Mata kalian nggak pernah mau melihat le-

bih teliti. Sudah kukatakan yang namanya si Hina 

Kelana itu yang di sini ini." Kali ini terdengar se-

buah suara yang agak lain dari suara si muka hi-

tam. Salah seorang dari mereka langsung melom-

pat dan mengguncangkan tubuh adiknya. Tetapi 

orang itu diam tiada bergeming.

"Sial dangkal, sebenarnya dia sedang tidur. 

Bagaimana mungkin dia dapat mendengar apa 

yang kita bicarakan...?" tanya si muka kunyit.

Pada saat mereka diliputi perasaan bingung 

seperti itulah tiba-tiba terdengar suara gelak tawa 

dari atas pohon.

"Sejak kemarin orang tidur memang tidak


mungkin mendengar orang yang sedang bicara. 

Kalaupun bisa paling tidak hantunya. Ha... ha... 

ha...! Katanya kalian akan menangkapku karena 

mendapat upah yang lumayan besar dari Biksu 

dungu itu. Mengapa harus bersusah payah menca-

riku jauh-jauh. Tokh sekarang aku telah berada di 

sini...!"

Karena suara itu bersumber dari atas po-

hon, maka secara serentak mereka mendongakkan 

kepalanya ke arah pohon itu.

Namun tak seorangpun terlihat di sana. Ka-

lau bukannya jenis memedi, mana mungkin orang 

yang berkata-kata itu terlihat sama sekali. Padahal 

pohon itu tidak begitu rindang. Siapapun yang 

bersembunyi di sana setidak-tidaknya diantara 

kami pasti ada yang melihatnya. Gumam si muka 

kunyit sambil hentakkan kakinya.

"Orang di atas pohon. Kami harap mau me-

nampakkan diri, jika tidak pohon ini kami roboh-

kan..!" ancam si muka pucat.

"Kalau kau punya kemampuan. Mengapa 

tidak segera kau lakukan muka mayat?"

Mendapat tantangan seperti itu, muka 

mayat tidak pikir panjang lagi. Cepat-cepat dia ke-

rahkan tiga seperempat tenaga dalamnya. Seben-

tar saja kedua tangan yang telah teraliri tenaga da-

lam itu telah berubah menjadi kebiru-biruan.

Tiba-tiba dia melompat ke depan disertai te-

riakan melengking. 

"Heaaah...!"

"Hei tunggu...!" seru si muka kunyit secara 

mendadak. Praktis gerakan si muka pucat langsung terhenti. Dalam keadaan marah dia menoleh.

"Ada apa, kakang...!" sentaknya dengan pe-

rasaan tidak senang.

"Apakah kau hendak membunuh adi hitam 

yang sedang tertidur...?"

"Sialan. Kambing dungu ini memang selalu 

membuat pekerjaanku jadi tertunda. Singkirkan 

dia!" perintah si muka pucat merasa tidak saba-

ran. Begitu salah seorang menyambar tubuh si 

muka hitam. Tak ayal lagi terdengar sebuah se-

ruan panjang.

"Hantaaaaam...!" teriak muka kunyit mem-

beri aba-aba.

"Hiaaat...!"

Deer

Kraaak...!

Tak ayal lagi pohon besar itupun tumbang 

dengan menimbulkan suara berdebum. Namun 

mereka yang menyaksikan robohnya pohon itu ti-

dak melihat berkelebatnya seseorang dari kerim-

bunan pohon yang berhasil dirobohkan oleh si 

muka pucat.

"Ah... hanya orang gila saja yang mau mela-

kukan pekerjaan sia-sia. Pohon tidak memiliki sa-

lah apa-apa. Hemm. Sungguh kalian merupakan 

kuli-kuli penebang pohon yang pantas diacungi 

jempol...!" kata sebuah suara yang pemiliknya tak 

lain Buang Sengketa adanya.

"Keparat. Orang itu benar-benar memiliki 

kepandaian yang luar biasa...!" geram si muka hi-

tam yang baru saja terjaga dari tidurnya. Sebenar-

nya apakah yang terjadi? Padahal Empat Macan


Gunung Bromo sudah merasa yakin kalau orang 

yang mereka buru berada di atas pohon itu. Ter-

nyata di luar sepengetahuan mereka Pendekar Hi-

na Kelana begitu mengetahui si muka mayat hen-

dak merobohkan pohon, dengan mempergunakan 

Ajian Sapu Angin dan ilmu meringankan tubuh 

yang sudah sangat sempurna Buang menggenjot 

tubuhnya dan berpindah ke tempat lainnya. Begitu 

pohon roboh jelas saja pemuda yang mereka cari-

cari sudah tidak berada di tempatnya lagi. Seka-

rang setelah berada di atas pohon lainnya, dengan 

suara lantang pemuda itu berkata:

"Kusadari kalian hanya mencari persoalan 

denganku. Sedangkan aku sendiri tidak pernah 

menanam permusuhan, meskipun dengan bapak 

moyangmu. Kukatakan lebih tegas lagi pada kalian 

bahwa sebenarnya Biksu itu hanya salah sangka. 

Sama sekali aku tidak membunuh saudara seper-

guruannya. Pulanglah, nak... tidak ada gunanya 

kalian memusuhiku. Karena semua usaha kalian 

hanya akan sia-sia belaka...!" desis si pemuda tan-

pa maksud menakut-nakuti. Namun Empat Macan 

Gunung Bromo bukanlah para tokoh persilatan 

yang dapat digertak dengan mudah. Pabila men-

dengar sumber suara, orang yang baru saja berka-

ta-kata tadi pastilah berada di pohon yang terletak 

si sebelahnya. Secara diam-diam mereka menge-

rahkan setengah dari tenaga sakti yang mereka 

miliki. Kemudian langsung menyalurkannya ke 

arah kedua telapak tangan. Pendekar Hina Kelana 

kiranya menyadari adanya gelagat yang tidak baik 

ini. Tidak ingin menanggung akibat buruk yang


mungkin saja terjadi pemuda inipun bersiap-siap 

memapaki pukulan mereka dengan memperguna-

kan pukulan ampuh si Hina Kelana Merana. Keti-

ka pemuda itu rangkapkan kedua tangannya ke 

udara dari bawah sana, dengan disertai teriakan 

menggemuruh menderulah empat gelombang sinar 

menyilaukan meluruk ke arah kerimbunan pohon 

tempat di mana Buang Sengketa berada. Sesaat 

pemuda ini terkesiap. Sama sekali ia tidak me-

nyangka empat tenaga gabungan itu menimbulkan 

kekuatan yang sangat dahsyat. Lebih cepat lagi si 

pemuda hantamkan kedua tangannya ke depan.

Wuuus...!

Serangkum gelombang yang memancarkan 

sinar merah menyala langsung melesat dari bagian 

telapak tangan si pemuda. Sinar hitam pekat yang 

disertai kabut langsung menghantam tenaga sakti 

yang dilepaskan oleh Buang Sengketa.

"Blaaam...!"

Empat kali ledakan berturut-turut terasa 

bagai mengguncangkan seisi bumi. Dahan yang 

dipergunakan oleh si pemuda untuk berpijak pa-

tah di beberapa bagian. Tak ayal lagi tubuh pemu-

da itupun jatuh terhempas bersama dahan yang 

dipijaknya. Sementara itu di pihak lawan hanya 

tergetar saja. Setelah jatuh berdebum, Buang 

nampak muntahkan darah segar. Pandangan ma-

tanya berkunang-kunang. Sedangkan kepala tera-

sa berdenyut dan menimbulkan rasa nyeri sekali. 

Melihat keadaan pemuda itu, berderailah tawa me-

reka.

"Cuma beginikah manusia yang mempunyai


julukan si Hina Kelana itu. Sungguh engkau tak 

pantas memiliki julukan sehebat itu. Kehebatan-

mu ternyata tidak ada apa-apanya bila dibanding-

kan dengan Empat Macan Gunung Bromo. Untuk 

itu hari ini juga kami akan menghapus nama seo-

rang gembel tiada guna semacammu...!" bentak si 

muka kunyit. Sebentar kemudian mereka telah 

mengurung pemuda dengan jarak begitu dekat. 

Buang Sengketa hanya menggeram mendengar 

ejekan yang sangat meremehkan dirinya. Sebalik-

nya ia cepat menghimpun hawa murninya untuk 

menghilangkan rasa sakit yang begitu menggigit 

pada bagian rongga dadanya. Tak lama setelahnya 

dengan langkah terhuyung-huyung ia telah bang-

kit berdiri. Dengan nada merendah iapun berucap: 

"Kuakui kehebatan Empat Macan Gunung Bromo. 

Si Hina Kelana memang tidak ada apa-apanya. Un-

tuk itu segeralah menyingkir. Karena aku tidak 

memiliki banyak waktu untuk melayani tikus-tikus 

macam kalian...!"

"Kurang ajar. Bagi kami kepalamu memba-

wa rejeki berpuluh-puluh keping uang emas. Kau 

boleh pergi setelah meninggalkan kepalamu...!" 

sentak si muka hitam, setelah berkata ia langsung 

melompat menghadang. Tetapi Buang Sengketa 

hanya menanggapinya dengan sesungging senyum 

sinis.

Pelan saja tangannya bergerak.

Wusss...!

"Gubraaak...!"

Si muka hitam yang tiada menyangka bah-

wa lawannya memiliki kesaktian tingkat tinggi


langsung jatuh tersungkur mencium tanah ketika 

mendapat tamparan yang disertai dengan penge-

rahan tenaga dalam itu. Dengan kemarahan yang 

meluap-luap si muka hitam berikut tiga orang 

saudaranya kembali mengurung Buang Sengketa 

dengan jarak lebih rapat lagi.

"Rupanya nyawamu masih alot juga bocah 

gembel...!" teriak si muka hitam. Lalu seka darah 

yang mengalir di sela-sela bibirnya.

"Rupanya nyawaku memang tidak ada di 

jual di tukang loak. Makanya dia masih setia ber-

semayam di dalam ragaku...!"

"Keparaat. Kalau begitu biarlah hari ini ka-

mi Empat Macan Gunung Bromo yang akan men-

cabutnya...!"

Berkata begitu empat orang laki-laki ber-

tampang kasar inipun langsung melakukan penge-

royokan dengan serangan-serangan gencar. Buang 

Sengketa menyadari bahwa lawan-lawan yang di-

hadapinya rata-rata memiliki kepandaian tinggi 

dan memiliki tenaga dalam yang sudah mencapai 

taraf sempurna pula. Dari bentrokan pukulan ja-

rak jauh tadi ia sudah dapat menarik kesimpulan 

bahwa sekarang ia tak perlu sung-kan-sungkan 

lagi dalam menghadapi musuhnya. Dengan mem-

pergunakan variasi jurus si Gila Mengamuk dan 

jurus si Jadah Terbuang, pemuda ini berusaha 

mengimbangi permainan silat lawannya dan men-

gelakkan pukulan-pukulan gencar yang datang da-

ri berbagai jurusan itu. Dalam kesempatan-

kesempatan tertentu Buang lancarkan tendangan 

maupun pukulan bertenaga dalam tinggi mengarah pada lawan yang berada paling dekat dengan 

dirinya. 

"Pergunakan jurus Macan Gunung Mem-

banting Tulang...!" teriak si muka kunyit pada tiga 

orang kawannya.

Serentak

Bet... bet... zeeeb... zeeeb...!

Empat orang lawan berloncatan dengan po-

sisi berpencar. Dalam kesempatan itu masing-

masing lawan kini telah mencabut senjatanya yang 

berupa sebuah clurit namun bergerigi pada tiap-

tiap sisinya. Melihat ketajaman senjata di tangan 

lawannya Buang Sengketa langsung menyurut 

langkah. Sepasang bola matanya berputar-putar 

liar memperhatikan setiap gerak senjata yang be-

rada di dalam genggaman tangan lawan.

Ketika empat orang lawan melakukan se-

rangan secara bersamaan, Buang merasakan tiba-

tiba ruang geraknya menjadi sempit dan tak mam-

pu bertindak leluasa. Serangan senjata itu ternya-

ta lebih ganas dan berbahaya bila dibandingkan

dengan serangan-serangan yang mereka lakukan 

pada tingkat awal. Empat Macan Gunung Bromo 

memang pantas mendapat julukan sebagai jagoan 

bayaran karena kehebatan mereka dalam me-

mainkan senjata. Terlepas dari semua itu, keadaan 

si pemuda semakin lama nampak semakin terde-

sak. Pada satu kesempatan, si muka hitam yang 

sudah dilanda kemarahan besar bergerak menda-

hului kawan-kawannya. Clurit di tangannya men-

deru mengarah pada bagian perut dan leher Buang 

Sengketa.


Wuuus... weeert...!

Berkelebatnya senjata lawan menimbulkan 

angin keras dan mengibarkan anak-anak rambut 

si pemuda. Namun dengan gerakan kilat pemuda 

itu melentikkan tubuhnya ke udara. Si muka hi-

tam bermaksud melakukan gerakan yang sama

dengan tujuan membabatkan senjatanya pada saat 

tubuh si pemuda masih berada di udara. Di luar 

dugaan sewaktu tubuh si pemuda menukik kem-

bali ke bawah, Buang lepaskan pukulan Empat 

Anasir Kehidupan. Detik itu juga serangkum ge-

lombang Sinar Ultra Violet yang menimbulkan 

udara panas tiada tertahankan menyerbu ke arah 

lawan yang berada di bawahnya. Posisi ini me-

mang terasa tidak menguntungkan bagi si muka 

hitam. Dalam kegugupannya itu ia babatkan sen-

jatanya membentuk perisai diri. Sementara tiga 

orang lainnya nampaknya tidak mempunyai ke-

sempatan untuk menolong adik seperguruan me-

reka.

Praaang... 

Breeesss...!

Begitu pukulan Empat Anasir Kehidupan 

membentur pertahanan si muka hitam, tak ayal 

tubuh si muka hitam langsung terpelanting roboh. 

Senjata ditangannya terlepas dan entah terjatuh di 

mana. Sementara berulang kali si muka hitam 

muntahkan darah kental kehitam-hitaman. Laki-

laki dari gunung Bromo itu meskipun telah terluka 

dalam cukup parah namun nampak berusaha 

bangkit kembali. Usaha itu ternyata hanya sia-sia 

belaka. Karena sedetik setelahnya si muka hitam


jatuh terjerembab dan tiada berkutik untuk sela-

ma-lamanya.

Melihat kejadian yang dialami oleh saudara 

seperguruannya, tiga orang lainnya semakin ber-

tambah beringas saja.

"Kau benar-benar orang yang paling celaka 

hari ini. Heeaaa...!" belum lagi ucapan si muka pu-

cat berakhir, secara berbarengan mereka mener-

jang ke arah si pemuda. Serangan dari tiga arah 

yang begitu cepat dan ganas membuat Buang 

Sengketa cepat sekali terdesak. Hanya dengan 

mengandalkan jurus si Jadah Terbuang ia masih 

mampu menghindari terjangan yang datang, na-

mun sambaran senjata yang datang secara tiba-

tiba dari bagian belakang tidak berhasil dielak-

kannya.

"Breeet...!"

"Ahhkg…!" Buang Sengketa mengeluh pan-

jang, namun cepat-cepat membanting diri ke 

samping kiri dengan tujuan menghindari terjangan 

senjata berikutnya. Pemuda ini nampaknya tidak 

memperdulikan lagi rasa perih dan darah yang 

mengalir di bagian punggungnya. Sementara tiga 

orang lawan terus memburunya.

Mempergunakan kesempatan yang sangat 

sempit itu:

Jraass...!

Dengan berkelebatnya sinar merah menya-

la. Satu jeritan melengking tinggi disertai dengan 

ambruknya tubuh si muka pucat. Darah langsung 

menyembur membasahi sekujur tubuh si muka 

kunyit, sementara Buang Sengketa sekarang telah


bangkit berdiri. Kiranya dalam keadaan terdesak 

tadi si pemuda telah mencabut senjatanya dan 

langsung membabatkannya ke bagian perut si 

muka kunyit. Tiada kata yang terucap, tubuh si 

muka kunyit berkelojotan beberapa saat lamanya, 

selanjutnya tiada bergerak-gerak lagi. Mati.

Melihat gelagat yang tak baik ini, sambil 

menyambar mayat dua saudaranya. Si muka pu-

cat dan muka merah dengan terbirit-birit langsung 

melarikan diri.

"Suatu saat kelak kami akan datang pada-

mu, bocah. Hutang nyawa ini harus kau pertang-

gung jawabkan di kemudian hari...!" terdengar na-

da ancaman dari si muka pucat yang kini telah 

menghilang dari hadapan Buang Sengketa. Pemu-

da itu hanya tersenyum sinis, kemudian dengan 

langkah lesu ia melanjutkan perjalanannya kem-

bali.


SEMBILAN



Manusia setengah iblis yang mereka sebut-

sebut sebagai Kanjeng Guru itu sebenarnya tokoh 

yang paling misterius bila dibandingkan dengan 

Maha Diraja Setan Bumi, maupun gurunya Pra-

mesta murid padepokan gunung Ungkur yang juga 

dalam menurunkan ilmu-ilmunya dikenal sebagai

sangat aneh dan tidak pernah menampakkan diri 

sama sekali. Meskipun itu hanya setahun sekali. 

Siapapun adanya orang-orang misterius itu yang 

jelas. Sebagaimana biasanya setiap kali datang bulan purnama penuh, orang yang berjuluk Kanjeng 

Guru itu pastilah datang ke puncak bukit Api Ab-

adi. Tujuannya sudah jelas, yaitu ingin membantu 

Maha Diraja Setan Bumi dalam membangun se-

buah Kerajaan Iblis yang sangat besar. Semua itu 

hanya dapat terlaksana hanya dengan cara menca-

ri tenaga kerja sukarela sebanyak-banyaknya. Me-

lalui tangan Kanjeng Guru tenaga kerja itu yang 

kebanyakan terdiri dari kaum perempuan disulap 

menjadi manusia-manusia setengah siluman den-

gan syarat mereka sebelum di terjunkan menjadi 

tenaga pekerja harus tidur selama beberapa ma-

lam dengan laki-laki itu. Dalam mewujudkan cita-

cita itu sudah barang tentu serbuk Pemberontakan 

Jiwa yang mempunyai peran yang tidak sedikit un-

tuk mewujudkan segala rencana yang ada.

Ketika malam itu Kanjeng Guru sampai di 

bukit Api Abadi, suasana di sekitarnya benar-

benar berada dalam keadaan hening sepi. Tidak 

sebagaimana biasanya, kali ini tidak terlihat Gend-

ing Sora yang pada saat biasa selalu hadir dengan 

perempuan-perempuan yang akan mereka pergu-

nakan sebagai pekerja sukarela. Ketidak hadiran 

Gending Sora mengundang berbagai pertanyaan di 

hati Kanjeng Guru. Namun laki-laki berumur ratu-

san tahun ini yang masih kelihatan bagai berusia 

tujuh puluhan ini bukanlah manusia sembaran-

gan. Dengan mempergunakan kekuatan batinnya, 

laki-laki ini dalam waktu sebentar sudah dapat 

melihat apa yang terjadi pada Gending Sora.

"Kurang ajar. Gending Sora mengalami luka 

di bagian tangannya. Dan pemuda berkuncir itu


rasanya baru kali ini aku melihatnya. Ah mengapa 

Gending Sora kulihat begitu membencinya? Batin-

ku mengatakan bahwa pemuda itu bukanlah ma-

nusia sembarangan. Tenaga gaibku berisyarat pe-

muda itu masih keturunan siluman. Dia bukan 

keturunan siluman biasa. Kulihat darah siluman 

lebih kuat mengalir di dalam tubuhnya. Kurang 

ajar. Kehadirannya sewaktu-waktu tentu dapat 

membongkar seluruh rencana yang telah kubuat 

bersama muridku Maha Diraja Setan Bumi." ge-

ram Kanjeng Guru. Mendadak wajah Kanjeng 

Guru yang hanya diterangi cahaya api abadi nam-

pak berubah kelam membesi. Ketika jemari telun-

juknya dia arahkan ke sebuah batang pohon yang 

sudah kering. Selarik sinar berwarna merah ke-

kuning-kuningan melesat dari ujung jemari telun-

juknya. Sinar itu selanjutnya menyambar ke ba-

tang pohon dan tanpa ampun pohon itupun me-

nyala. Hingga membuat suasana bertambah te-

rang benderang. Hal yang samapun dilakukannya 

terhadap beberapa batang pohon lainnya.

Jeeest... jeeestt...!

Melihat usahanya, Kanjeng Guru tertawa 

dingin, bahkan kedua belah rahangnya yang ko-

koh nampak menegang.

"Walaupun engkau keturunan setan iblis 

sekalipun. Sekali saja engkau mencoba mencam-

puri segala urusan kami. Jangan harap kami akan 

memberimu hidup. Sebelum aku membakarmu, 

Maha Diraja Setan Bumi akan melakukannya, dan 

kau tidak mungkin menang dalam menghada-

pinya...!" gumam Kanjeng Guru dengan kemara


han yang tertahan. Kanjeng Guru nampaknya ti-

dak ingin berlama-lama di bukit Api Abadi. Bagai-

kan hembusan angin kemudian tubuhnya lenyap 

dalam kegelapan malam.

* * *

Ketika Sakapala dan Asih Angraeni sampai 

melintasi daerah Karang Jati. Mereka melihat 

adanya pertempuran antara seorang laki-laki ber-

pakaian serba putih berkepala gundul dengan dua 

orang laki-laki bertampang sangar, muka pucat 

dan muka merah. Melihat pertempuran seru yang 

sedang terjadi dan berlangsung sengit sudah ba-

rang tentu Sakapala alias si Topi Terbang dan Asih 

Angraeni menjadi tertarik dan ingin mengetahui 

apa sebenarnya yang terjadi di antara mereka. Da-

lam waktu sebentar mereka telah menyusup ke 

semak-semak pada sebuah tempat yang tersem-

bunyi. Sementara itu tidak begitu jauh dari tempat 

persembunyian mereka, pertarungan masih terus 

berlanjut. Masih belum kelihatan tanda-tanda sia-

pa yang bakal keluar sebagai pemenang dalam per-

tarungan itu. Dalam menghadapi keroyokan dua 

laki-laki bertampang sangar itu, secara tiba-tiba 

laki-laki berkepala gundul lentikkan tubuhnya ke 

udara. Senjata mereka yang berupa dua buah clu-

rit bergerigi otomatis menghantam sasaran kosong. 

Sebaliknya dalam keadaan bersalto Biksu berkepa-

la gundul itu hantamkan toyanya ke arah dua pen-

juru mata angin. Terasa adanya sambaran angin 

yang sangat keras dan begitu dingin saat senjata


itu menerpa pada bagian kepala si muka pucat 

dan muka merah. Kedua laki-laki itu keluarkan 

seruan tertahan, kemudian cepat-cepat membuang 

dirinya ke samping kiri dan kanan.

Setelah merasa terlepas dari ancaman toya 

di tangan si kepala gundul, maka hampir bersa-

maan mereka bangkit. Serangan-serangan baru-

pun mereka lancarkan kembali. Kali ini dengan 

mempergunakan jurus Macan Bromo Goyangkan 

Pinggul. Mereka melakukan penyerangan dari dua 

arah. Seyogyanya jurus yang mereka mainkan itu 

akan semakin berbahaya jika mereka berjumlah 

empat orang. Akan tetapi seperti yang telah sama-

sama kita ketahui dua orang diantaranya tewas di 

tangan Pendekar Hina Kelana. Meskipun sekarang 

mereka hanya berdua saja dalam memainkan ju-

rus itu, namun juga tak kalah hebatnya bila di-

bandingkan jika mereka mempergunakan secara 

berempat. Begitu pun yang menjadi lawan mereka 

untuk kali ini bukan merupakan laki-laki semba-

rangan yang dapat dijatuhkan dengan mudah. 

Biksu Beng Ju dulunya merupakan tokoh sesat 

yang di daerahnya sana dikenal sebagai Hantu Ma-

lam, meskipun sekarang ia telah bertobat dan 

menjadi seorang tokoh bergolongan lurus, walau 

bagaimanapun sifat ilmu sesat yang dimilikinya ti-

dak hilang sama sekali. Dalam mempergunakan 

jurus-jurus toyanya bahkan ia cenderung men-

campur adukkan antara aliran sesat dan lurus.

Itulah sebabnya sungguhpun pertarungan 

telah mencapai lebih dari tiga puluh lima jurus, 

namun masih belum juga mengalami perobahan


yang berarti dan bahkan masih belum diperoleh 

kepastian siapa yang tertekan di antara mereka. 

Menghadapi pertarungan yang serba monoton itu, 

lama-kelamaan Biksu Beng Ju yang di daerah le-

luhurnya sama juga mempunyai julukan lain se-

bagai Singa Gurun itu kelihatan mulai merobah 

teknik dan gerakan-gerakan silatnya. Sekarang la-

ki-laki berkepala gundul itu telah pula mempergu-

nakan jurus Hantu Malam Bergentayangan. Den-

gan mempergunakan jurus ini, dalam gebrakan 

berikutnya tubuh Biksu Beng Ju bergerak lebih 

cepat lagi, bahkan semakin lama semakin bertam-

bah cepat. Hingga pada akhirnya tubuh Beng Ju 

hanya tinggal merupakan bayang-bayang belaka. 

Menghadapi kenyataan yang tidak menguntung-

kan ini, si muka pucat dan muka merah tentu saja 

tidak mau tinggal diam begitu saja, dengan gera-

kan hampir bersamaan dua laki-laki bertampang 

sangar ini segera mempergunakan jurus Macan 

Bromo Unjuk Gigi. Praktis permainan silat mereka 

tertumpu pada gerakan menendang dan memba-

bat. Gerakan mereka sangat sebat bahkan sangat 

berbahaya sekali.

"Hiaaat...! Mampus sajalah kau manusia 

berkepala gundul...!" teriak si muka pucat sambil 

menghantamkan senjatanya secara bertubi-tubi. 

Sementara dari bagian belakang si muka merah 

sibuk mencecar pertahanan Biksu Beng Ju pada 

bagian kaki. Toya di tangan laki-laki berkepala 

gundul itu terus menderu melindungi bagian-

bagian tubuhnya yang nyaris saja terbabat senjata 

berbentuk bulan sabit itu.


"Berhenti...!" teriak Beng Ju ketika tubuh-

nya telah melompat menjauh dari arena pertarun-

gan.

"Kau hendak mengulur waktu, orang sebe-

rang...?" bentak si muka merah dengan perasaan 

geram.

"Setelah kau tidak mau membayar sebagian 

upah yang telah kau janjikan. Apakah sekarang 

kau merasa keberatan bila kuminta nyawamu un-

tuk mengganti nyawa saudara kami yang tewas di 

tangan pemuda itu?" tukas si muka pucat ikut 

menimpali kata-kata saudara seperguruannya.

Beng Ju nampak tersenyum-senyum. Da-

lam hati ia merasa geli sendiri, sebab sebagaimana 

janji yang telah diucapkannya kepada jago-jago 

bayaran itu. Ia baru akan membayar kekurangan 

upah yang telah ia janjikan itu setelah Empat Ma-

can Gunung Bromo berhasil menangkap atau seti-

dak-tidaknya membawa kepala pemuda yang dicu-

rigainya itu ke hadapannya. Tetapi kenyataannya

kini, dua orang Macan Gunung Bromo telah kem-

bali menagih janji padahal mereka tidak membawa 

tawanan yang dia duga telah membunuh saudara 

seperguruannya. Pekerjaan seperti itu mana bisa 

dianggap selesai, meskipun karenanya dua orang 

dari Empat Macan Gunung Bromo telah gugur di 

tangan pemuda berpakaian kumal itu.

"Apa yang anda lakukan itu merupakan se-

buah resiko yang tidak ada kaitannya denganku. 

Aku telah membayar kalian dengan harga yang 

mahal dalam mencari orang yang telah membunuh 

adik seperguruan kami Asoka. Kenyataannya


hingga sampai saat sekarang ini kalian masih be-

lum mampu menangkap orang itu...!"

Sementara dari tempat persembunyiannya 

hati si Topi Terbang terasa berdetak keras. Sama 

sekali ia tiada menduga bahwa orang yang sedang 

melakukan pertempuran sengit itu ternyata berti-

tik tolak karena kematian Asoka yang telah ia bu-

nuh beberapa waktu yang lalu. "Ternyata si kepala 

gundul itu tidak bicara kosong. Biksu itu sudah 

mengetahui segala-galanya. Kurasa ia memiliki il-

mu yang lumayan tinggi. Semuanya sudah kepa-

lang basah. Jalan yang paling baik adalah me-

nunggu sampai diantara mereka ada yang keluar 

sebagai pemenang. Setelah itu dengan di bantu 

Asih Angraeni kekasihku semuanya pasti berjalan 

lancar...!"

"Kakang...!" panggil gadis yang berada tidak 

begitu jauh dari si Topi Terbang dengan suara li-

rih.

"Hemm. Ada apa...!" tanya Sakapala tanpa 

mengalihkan perhatiannya.

"Mengapa kita harus menunggu orang lain 

menyelesaikan pertarungannya. Bukankah kalau 

hanya ingin lewat saja kita dapat menempuh jalan 

lain...?" tanya gadis itu merasa terheran-heran.

"Diamlah. Persoalan yang mereka perde-

batkan nampaknya ada sangkut pautnya dengan 

diriku. Kita harus menanti perkembangan selan-

jutnya...!" kata pemuda itu dengan suara hampir 

berbisik.

Dalam pada itu masing-masing lawan yang 

tadi terlibat pertempuran sengit, sekarang saling


tarik urat leher.

"Orang asing. Jadi engkau benar-benar ti-

dak mau memenuhi tuntutan kami...?" tanya si 

muka pucat berapi-api.

"Selama anda berdua tidak dapat membawa 

orang itu ke hadapanku untuk diadili. Maka sela-

ma itu pula kami tidak dapat memenuhi ke-

inginan kalian...!"

"Kalau begitu persoalan ini hanya dapat kita 

selesaikan di ujung senjata!" teriak si muka merah 

merasa tidak sabar lagi.

"Silakan. Kalau memang itulah yang anda 

kehendaki...!" tukas Biksu Bang Ju dengan sikap 

menantang.

Rupanya dua jago bayaran dari gunung 

Bromo ini merasa sangat tersinggung sekali men-

dapat tantangan seperti itu. Lalu dengan gerakan 

yang cukup sigap keduanya kembali melakukan 

serangan yang lebih hebat bila dibandingkan den-

gan serangan-serangan terdahulu. Sekali dua me-

reka tak segan-segan lagi melancarkan pukulan-

pukulan jarak jauh yang sangat keji. Sementara 

dengan mengandalkan toya saktinya serta diim-

bangi gerakan ilmu meringankan tubuh yang cu-

kup lihai. Biksu Beng Ju s-lalu berhasil mematah-

kan serangan yang baru dibangun oleh lawannya. 

Karena menyadari serangan-serangan mautnya 

dapat dihalau dengan baik oleh lawannya maka 

sekarang mereka kembali mempergunakan clurit-

nya untuk merangsak Beng Ju. Ancaman dua sen-

jata maut yang sangat tajam itu mana bisa diang-

gap sepele oleh laki-laki berkepala gundul ini. Tidak boleh tidak iapun kembali mempergunakan 

toyanya untuk membendung laju serangan yang 

dilakukan oleh lawan. Dalam pertempuran jarak 

dekat itu sekali waktu dalam saat yang bersamaan 

si muka pucat dan muka merah membabatkan 

senjatanya mengarah pada bagian kepala dan pe-

rut lawannya. Tetapi Biksu Beng Ju juga tak kalah 

cepatnya memutar toyanya hingga membentuk pe-

risai diri yang sangat kokoh. Akibatnya benturan 

yang sangat keras pun terjadi. 

"Traang... traaang...!"

Karena dalam memutar senjatanya tadi 

Beng Ju mengerahkan segenap tenaga sakti yang 

dimilikinya tak heran kalau saat itu tubuhnya 

hanya tergetar saja. Sedangkan lawannya, masing-

masing langsung terjengkang. Clurit di tangan me-

reka rompal di beberapa bagian. Jelaslah sudah 

ternyata toya di tangan lawannya merupakan sen-

jata yang sangat handal dan terlalu kuat dalam 

menerima benturan senjata milik lawan. Dengan 

langkah terhuyung-huyung mereka segera bangkit 

kembali. Setelah meludah beberapa kali, salah 

seorang di antara mereka kembali menyelak.

"Kamu benar-benar membuat kami menjadi 

frustasi, orang asing. Untuk itu kami akan menga-

du jiwa denganmu... Heaaat...!"

Biksu Beng Ju sebaliknya tanpa kata, juga 

melakukan gerakan yang sama.

"Haiiit... chat... chaaat...!"

"Weees...!"

"Nguung...!"

Rupanya dalam keadaan sama-sama me


nerjang ini, Beng Ju ternyata memiliki gerakan ce-

pat tak terduga. Akibatnya begitu ia menghantam-

kan toyanya ke dua arah. Tidak terelakkan lagi 

toya di tangannyapun dengan telak menghantam 

batok kepala mereka.

Praaaak! Prooook...!

Si muka pucat dan muka merah melolong 

setinggi langit. Darah dan cairan otaknya bersera-

kan bersamaan dengan menyemburnya darah dari 

bagian luka yang menganga. Sekejap tubuh mere-

ka berkelojotan bagai ayam yang disembelih selan-

jutnya diam untuk selama-lamanya. Bagai manu-

sia yang telah dirasuki iblis, Biksu Beng Ju terge-

lak-gelak. Nampaknya kematian Macan Gunung 

Bromo benar-benar membuat hatinya puas, di ma-

tanya Empat Macan Gunung Bromo tak ubahnya 

bagai musuh besar yang sangat dibencinya.

Sementara itu di tempat persembunyiannya 

Sakapala nampak tersenyum sinis. Sebentar-

sebentar ia melirik ke arah Biksu Beng Ju, namun 

di lain saat ia memandang ke arah Asih Angraeni 

kekasihnya. Sudah barang tentu sang gadis tidak 

mengetahui apa sesungguhnya yang sedang terjadi 

atas diri Sakapala. Sebab walau bagaimanapun 

Asih Angraeni sama sekali tak tahu apa yang telah 

dilakukan oleh kekasihnya di luaran sana. 

"Adik Rani." panggil Sakapala memecah ke-

heningan. Yang dipanggil menoleh.

"Ada apa, kakang...?"

"Engkau tunggulah di sini. Biar kubereskan 

musuh besarku itu...!" ujar Sakapala penuh kebo-

hongan. Karena memang pada dasarnya Asih An.



graeni sama sekali tidak tahu menahu mengenai 

duduk persoalannya, maka tak banyak yang dapat 

dilakukannya kecuali menganggukkan kepala. Be-

gitu mendapat persetujuan dari kekasihnya, tanpa 

membuang waktu lagi pemuda itupun melompat 

dari persembunyiannya. Manakala Sakapala men-

jejakkan kakinya tiga tombak di hadapan Biksu 

Beng Ju, laki-laki berkepala gundul yang masih te-

rus tergelak-gelak itu kelihatan sangat terkejut se-

kali. Seketika suara tawanya pun terhenti. Dengan 

tatapan penuh curiga dipandanginya si Topi Ter-

bang mulai dari ujung rambut hingga ke ujung ka-

ki.

"Siapakah anda yang sebenarnya, kisa-

nak...?"

"Ha... ha...ha...! Akulah sebangsanya tukang 

basmi manusia asing yang suka membunuh se-

mena-mena. Apalagi mengingat anda merupakan 

orang asing di tanah leluhur kami...!"

"Amitaba. Mulutmu terlalu berbisa sekali, 

kisanak. Apakah anda tidak tahu bahwa aku 

hanya membela diri dari pengeroyokan mereka?" 

sentak Biksu Beng Ju masih dalam keadaan emo-

si.

'"Kau tak lebih dari setan gundul yang ber-

nama Asoka itu, orang asing...!" ujar si Topi Ter-

bang. Tanpa sadar menyebut-nyebut nama adik 

seperguruan orang dari dataran Mongolia ini. Hal 

ini benar-benar di luar dugaan laki-laki berkepala 

gundul itu. Dalam hati ia bertanya-tanya, bagai-

mana mungkin pemuda berpakaian serba kuning 

ini dapat mengenali orang yang paling sangat disayanginya itu. Bukan tidak mungkin pemuda itu-

lah yang telah membunuh adik seperguruannya. 

Lalu dengan suara bergetar iapun bertanya: "Kisa-

nak. Kau mengenal adik seperguruan kami...?"

"Tentu saja...!"

"Apakah kisanak tahu bahwa beliau telah 

tewas bersama murid-muridnya?"

"Aku juga tahu mengenai kejadian itu...!" 

ujar Sakapala tanpa ekspresi.

Sepasang mata Biksu Beng Ju nampak 

membelalak lebar-lebar.

"Kalau demikian halnya apakah kisanak ju-

ga mengetahui siapakah yang telah membunuh-

nya...?" tanya laki-laki berkepala gundul itu den-

gan hati berdebar.



SEPULUH



"Ha... ha... ha...!" Sakapala kembali terge-

lak-gelak

"Tentu saja aku mengetahui siapa orangnya 

yang telah membunuh Asoka...!"

"Siapakah orangnya kisanak. Tolong tun-

jukkan padaku...!'' kata laki-laki berkepala gundul 

itu dengan hati diliputi rasa penasaran.

"Apakah jika kukatakan padamu, kemudian 

anda mau membayar upah padaku. Sebagaimana 

yang diperoleh oleh kedua orang ini...!" ujar Saka-

pala sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang 

bergelimpangan tidak begitu jauh dihadapannya. 

Beng Ju terdiam. Sakapala tersenyum mencibir.


Lalu dengan nada mencemooh, pemuda inipun be-

rucap: "Apakah anda keberatan untuk membayar

ku...?"

"Tentu saja aku tidak merasa keberatan as-

al saja keteranganmu benar-benar dapat diper-

caya...!"

"Bagus. Kalau engkau ingin tahu juga bah-

wa orang yang telah membunuh Asoka berjuluk si 

Topi Terbang...!"

"Si Topi Terbang. Siapakah dia...?" tanya 

Biksu Beng Ju benar tidak mengerti. 

"Ha... ha... ha...! Si Topi Terbang adalah 

orang kepercayaan Maha Diraja Setan Bumi. Bah-

kan dengan senjatanya, ia mampu mencopot ber-

puluh-puluh kepala gundul sepertimu... tidak per-

caya, coba lihatlah ini...!" berkata begitu Sakapala 

mengambil senjatanya yang berupa topi bergerigi. 

Selanjutnya melemparkannya ke arah Biksu Beng 

Ju. Senjata itu melesat cepat sambil keluarkan su-

ara mendesing. Beng Ju merasa sangat terkejut 

demi mendapat serangan yang tiada di duga-duga 

ini. Namun sebagai seorang tokoh yang pernah 

malang melintang di rimba persilatan golongan hi-

tam. Ia tidak menjadi gugup begitu mendapat se-

rangan kilat tersebut. Sekali ia gerakkan toyanya 

mengarah senjata yang terus meluncur ke arahnya 

itu. Tidak dapat disangkal benturan yang sangat 

hebatpun terjadi.

Traaaang... breeeeng...!

Uhhkg...!

Beng Ju terdorong tubuhnya beberapa tin-

dak, tangan terasa kesemutan dan menimbulkan



rasa nyeri sekali. Sebaliknya senjata milik Sakapa-

la malah berbalik dengan kecepatan dua kali ke-

kuatan semula. Biksu Beng Ju terkejut sekali, sa-

ma sekali ia tidak menyangka lawannya mampu 

mengembalikan senjatanya bahkan dengan kekua-

tan berlipat ganda. Begitu menyadari adanya ba-

haya yang sedang mengancam keselamatannya, 

maka tak ayal lagi Biksu Beng Ju lentikkan tu-

buhnya ke udara. Senjata milik Sakapala akhirnya 

terhenti setelah menancap pada sebatang pohon 

yang berada jauh di belakangnya. 

Jreeep...!

"Hebat...! Permainan yang sangat bagus ba-

ru saja kau gelar dihadapanku, manusia berkepala 

tuyul. Agaknya baru engkaulah yang merupakan 

seorang lawan paling berarti dalam hidupku. Teta-

pi jangan jumawa dulu, permainan kita masih be-

lum selesai. Bahkan jika kau sanggup, aku akan 

melayanimu sampai seribu jurus."

"Bangsat sombong. Kau telah membunuh 

saudara seperguruan kami. Amitaba... aku ber-

sumpah akan membunuhmu...!" teriak Biksu Beng 

Ju dengan kemarahan berkobar-kobar. Nampak-

nya laki-laki dari dataran Mongolia tidak ingin 

mengulur-ulur waktu lagi. Dengan cepat tubuhnya 

berkelebat mendekati lawannya. Si Topi Terbang 

alias Sakapala hanya sesaat saja nampak tercen-

gang, detik selanjutnya iapun telah mencabut sen-

jata lainnya yang berupa sebilah pedang bermata 

ganda. Dengan mempergunakan senjata itu Saka-

pala berusaha mengimbangi serangan toya yang 

datangnya bertubi-tubi. Namun sejauh apapun ia


berusaha menembus pertahanan laki-laki berkepa-

la gundul ini, tetap saja serangan-serangannya se-

lalu kandas di tengah-tengah jalan.

"Kau memang harus mampus ditanganku, 

manusia rendah...!" geram Beng Ju. Belum lagi se-

lesai ia bicara kali ini toya ditangannya mencecar 

ke arah bagian tubuh Sakapala yang terbuka. Sa-

kapala merasakan benar adanya tekanan ini, lebih 

cepat lagi ia putar pedangnya hingga membentuk 

perisai yang sangat kokoh. Biksu Beng Ju tertawa 

ganda, lalu.

Wuuuut...!

"Brebeeet...!"

"Akhggh...!"

Tubuh Sakapala nampak terhuyung-

huyung begitu senjata lawannya menyambar pada 

bagian bahunya. Mengetahui lawannya sudah da-

lam keadaan terluka, laki-laki berkepala gundul ini 

tiada menyia-nyiakan kesempatan lagi. Ia kembali 

memburu dengan serangan-serangan yang lebih 

agresip.

Namun dalam keadaan seperti itu dari arah 

belakang senjata lainnya yang berupa Topi Ter-

bang mengancam keselamatan Biksu Beng Ju.

"Aku membantumu, kakang ..!" teriak Asih 

Angraeni sambil melompat ke dalam pertempuran.

"Jreeess...!" 

Senjata yang disambitkan oleh Asih An-

graeni dengan tepat berhasil merobek bagian 

punggung Beng Ju. Laki-laki itu langsung terlem-

par begitu mendapat bokongan yang tiada dia du-

ga sama sekali. Cepat sekali senjata berbisa itu


kembali ke tangan Asih Angraeni. Mendapat pem-

belaan dari kekasihnya, Sakapala nampak senang 

sekali. Tetapi sebelum ia mampu bertindak lebih 

jauh, secara tiada disangka-sangka Biksu Beng Ju 

yang sudah terluka parah itu sambitkan toyanya.

"Awas kakang...!" teriak Asih Angraeni 

memberi peringatan. Masih untung Sakapala me-

rupakan orang yang memiliki naluri tajam dalam 

menghadapi saat-saat yang tidak terduga-duga ini. 

Replek pemuda itu lemparkan tubuhnya ke samp-

ing, tetapi tetap saja bagian bahunya masih terse-

rempet senjata andalan milik Beng Ju. Senjata itu 

menancap persis dekat pangkal lengan si Topi Ter-

bang. Sungguhpun Asih Angraeni mengetahui luka 

yang dialami oleh kekasihnya tidak begitu parah, 

namun tetap saja ia meluruk ke arah Beng Ju

yang sudah kehabisan darah. Laki-laki itu menge-

rang lemah ketika melihat kehadirannya. Ketika 

Asih Angraeni ingin babatkan pedangnya, ia men-

jadi urung karena melihat lawan sama sekali su-

dah tiada berdaya. 

"Kau...kau... mer... rupakan manusia 

penge… cuuuut...!" usai berkata begitu kepala 

Beng Ju pun terkulai. Melihat kematian lawannya, 

Asih Anggraeni hanya mendengus saja. Sebaliknya 

setengah berlari ia menghampiri Sakapala.

"Kakang... apakah kau tidak apa-apa?" ta-

nyanya begitu cemas. 

"Si keparat itu hampir saja membuatku ce-

laka…! Tetapi kukira aku masih mampu bertahan 

hidup beberapa hari lagi. Senjata si gundul itu ter-

nyata mengandung racun yang ganas. Lebih baik



cepat kita tinggalkan tempat ini untuk menjumpai 

Maha Diraja Setan Bumi. Mungkin ia mampu me-

nyembuhkan luka beracun ini...!" ujar Sakapala

dengan bibir menyeringai menahan sakit. Dengan 

dipapah oleh Asih Angraeni, berangkatlah kedua 

muda mudi itu, menuju Kerajaan Iblis milik jun-

jungannya.

Lalu siapakah sesungguhnya laki-laki beru-

sia seratus tahun yang di sebut Sebagai Kanjeng 

Guru itu. Apa hubungannya dengan Eyang Guru 

misterius Ketua padepokan gunung Ungkur. Usa-

ha Maha Diraja Setan Bumi untuk mendirikan Ke-

rajaan Iblis kiranya telah membuat malapetaka 

yang sangat besar, bahkan Pendekar Hina Kelana 

sendiri akhirnya sampai terseret menjadi tawanan 

ketika ia bermaksud menghancurkan istana yang 

belum selesai itu. Bagaimana nasib Buang Sengke-

ta ketika menghadapi siksaan tokoh iblis yang 

memiliki ilmu kesaktian setara dengan mendiang 

gurunya, si Bangkotan Koreng Seribu. Kisah ini 

berlanjut pada PEMBALASAN MAHA DURJANA.



                           TAMAT































Share:

0 comments:

Posting Komentar