Cerita ini adalah fiktif. Persamaan nama,
tempat dan ide, hanya kebetulan belaka
GEGER DI BUKIT SERIBU
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D.Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Geger Di Bukit Seribu
SATU
Bukit Seribu berdiri gagah, seolah menantang
sang surya di pagi hari. Barisan bukit-bukit yang me-
lingkar bagai belanga berwarna hijau, ditutupi dedau-
nan pohon-pohon lebat. Sementara di sana sini men-
ganga jurang yang lebar, dan tebing-tebing runcing
yang memancing kematian bagi mereka yang coba-
coba mendakinya.
Di dataran yang agak luas di atas bukit, Ki
Mangsapati duduk bersila di atas bale-bale. Beliau
adalah tokoh tua dunia persilatan yang telah lama
mengasingkan diri dari keramaian umum. Pada masa
mudanya terkenal dengan julukan Rajawali Bukit Seri-
bu, yang banyak membuat geger dunia persilatan den-
gan aksinya membantai penjahat-penjahat tengik, mal-
ing-maling coro, dan kaum persilatan golongan hitam.
Dalam pada itu, keheningan yang tercipta, teru-
sik oleh sesosok tubuh yang meloncat-loncat dengan
ringannya, mendekati si orangtua yang masih tetap
bersila. Wajahnya tampan, dan mengenakan jubah hi-
tam pada seluruh pakaiannya. Si orangtua itu terkejut
sesaat, namun cepat tersenyum sambil angguk-
anggukkan kepala ketika si pemuda menjura hormat.
"Ampun guru, aku terlambat datang hari ini..."
kata si pemuda.
"Tidak apa, tidak apa...." sahut orangtua itu ma-
sih tersenyum. "Bagaimana keadaan orangtua mu di
desa? Baik? Mudah-mudahan begitu. Tapi kenapa
engkau mengenakan pakaian hitam-hitam seperti ini?
Apakah engkau sedang berkabung?"
Si pemuda seketika berubah murung. Lama dia
tertunduk ketika akhirnya berkata lirih:
"Benar apa yang engkau katakan, guru. Saat ini
aku sedang berkabung karena begitu aku tiba di ru-
mah, keadaan desa telah hancur porak poranda.
Orangtua ku pun terbunuh dalam kekacauan itu...!"
Si orangtua kerutkan alis dengan wajah terkejut.
"Siapa pelaku kerusuhan itu?!"
"Menurut orang-orang yang masih hidup, mereka
dari Persekutuan Iblis Hitam...."
"Persekutuan Iblis Hitam...?!" gumam si orangtua
sambil kertakkan rahang menahan amarah. "Perseku-
tuan orang-orang sesat yang dipimpin si Singalodra itu
memang sangat meresahkan dunia persilatan saat ini.
Mereka banyak membuat kekacauan di mana-mana,
dan membunuh banyak tokoh-tokoh persilatan golon-
gan putih yang coba-coba menentangnya. Sudah saat-
nya engkau bertindak saat ini, mewakili ku untuk ber-
gabung dengan tokoh-tokoh golongan putih gua mem-
basmi mereka, Pranajaya!"
"Apa... apakah aku sanggup melawan mereka
dengan ilmu yang kupelajari selama ini padamu,
guru?" Si pemuda ragu-ragu bertanya. Hatinya bim-
bang karena mengetahui bahwa sesungguhnya musuh
berilmu sangat tinggi.
"Prana, engkau tak usah menjadi takut menden-
gar kehebatan lawan. Aku meski tak terlalu hebat, tapi
nama Rajawali Bukit Seribu bukanlah nama kosong
belaka. Dan saat ini seluruh ilmu yang kumiliki telah
aku turunkan padamu. Lagipula engkau harus ingat,
bahwa tugas untuk melenyapkan kebatilan tidak
hanya terletak pada pundakmu. Engkau harus berga-
bung dengan pendekar-pendekar aliran putih lainnya
untuk saling bahu-membahu menumpas mereka.
Engkau ingat apa yang pernah kukatakan beberapa
tahun yang lalu?"
"Aku ingat, guru. Engkau bersama-sama dengan
Malaikat Gunung Selatan dan si Cangkul Maut me
numpas si Iblis Merah Darah yang sesat itu!"
"Nah, sepatutnya engkau begitu. Menggalang per-
satuan dengan sesama golongan. Karena bersama-
sama itu lebih kuat dibanding engkau menumpasnya
seorang diri. Menurut apa yang kudengar pula, si Sin-
galodra itu berilmu tinggi dari ganas sekali. Aku pun
turut sedih mendengar berita bahwa si Malaikat Gu-
nung Selatan dan si Cangkul Maut telah tewas di tan-
gannya. Apalagi saat ini, ketika mendengar berita ten-
tang kematian orangtua mu...." Orangtua itu perli-
hatkan wajah berduka sambil gelengkan kepala pelan
dan tarik nafas panjang sesaat.
"Guru...." panggil si pemuda dengan suara datar,
"Tahukah engkau kenapa si Singalodra membunuh
kedua sahabatmu itu?"
"Entahlah... tapi menurut berita yang
kudengar, Singalodra adalah anak si Iblis Merah Darah
yang hendak menuntut balas atas kematian orangtua-
nya, dan melanjut-kan cita-cita untuk menjagoi dunia
persilatan dengan menghalalkan segala cara...."
"Apakah menurut guru ilmu silatku da-pat dian-
dalkan untuk mengalahkan si Singalodra?"
Si orangtua terdiam sejenak. Kembali dia meng-
hela nafas panjang sebelum menjawab lirih:
"Kalau benar si Singalodra itu anak si Iblis Merah
Darah dan mewarisi seluruh ilmunya, ini adalah an-
caman serius...."
"Kenapa, guru?!"
"Ilmunya sangat tinggi, Prana. Kami bertiga dulu
dengan susah payah baru berhasil mengalahkan-
nya...."
Demi mendengar jawaban itu si pemuda terse-
nyum tipis sambil mengeluarkan sesuatu dari balik ju-
bahnya. Sebilah pedang dengan sarung dan gagangnya
yang hitam bagai arang. Ki Mangsapati terperanjat ka
get ketika melihat benda di tangan si pemuda. Dia se-
gera berdiri dan undur beberapa tindak ke belakang. Si
pemuda sebaliknya dengan tenang berdiri tegak sambil
memandang si orangtua dengan senyum sinis.
"Prana, apa-apaan engkau ini?! Dari mana eng-
kau peroleh Pedang Iblis itu?!" bentak si orangtua he-
ran bercampur was-was.
Sebaliknya mendengar bentakan itu si pemuda
tertawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha... ha...! Bagus, engkau masih men-
genali benda ini. Kau pikir siapa yang berhak mewa-
riskannya kalau bukan putranya sendiri?"
"Jadi... jadi... engkau anaknya si Iblis Merah Da-
rah?!" tanya si orangtua kecut. Wajahnya sedikit pu-
cat. Dia tahu betul bagaimana kehebatan senjata di
tangan si pemuda. Bila dimainkan dengan jurus-jurus
ilmu pedangnya, benda itu akan bergerak bagai setan
menguber mangsa tanpa henti, sebelum lawan binasa
dengan darah kering tersedot ke dalamnya.
"Ki Mangsapati, tunjukkanlah kehebatan sebagai
tokoh kosen yang pernah menggetarkan dunia persila-
tan, bukan orangtua pikun yang bertahun-tahun ku-
bodohi dengan mengaku sebagai anak desa biasa di
kaki bukit ini, dan tak pernah mau menetap di tem-
patmu yang bau apek. Jangan menampakkan wajah
pucat ketakutan seperti itu. Mana kegaranganmu se-
bagai Rajawali Bukit Seribu?!" ejek si pemuda sinis.
"Bocah keparat! Murid murtad celaka! Jadi benar
bahwa engkau ini Singalodra anak si Iblis Merah Da-
rah yang beberapa tahun yang lewat memohon-mohon
padaku agar diangkat jadi murid?!"
"Bukan hanya engkau saja yang berhasil kubo-
dohi, tapi juga si Malaikat Gunung Selatan dan si
Cangkul Maut. Kini kedua kembratmu itu telah kuki-
rim ke neraka setelah aku berhasil menguasai il
munya. Tapi untukmu kuberi kehormatan memenggal
kepalamu sendiri!" sahut si pemuda tak perduli dengan
kemarahan orangtua itu. Dia tertawa pelan sambil
memandang sinis penuh kebencian.
"Bertahun-tahun aku memendam dendam, ki-
ranya hari ini akan terbalas kecurangan dengan kelici-
kan pula," lanjut si pemuda telah bersiap-siap menca-
but pedang ketika dilihatnya si orangtua mulai ber-
siap-siap dengan satu serangan. Agaknya Ki Mangsa-
pati menyadari, bila si pemuda telah berhasil meme-
gang pedang itu berarti betul dia telah menguasai ilmu
Iblis Merah Darah. Sebab untuk memegang pedang itu
diperlukan tenaga dalam yang kuat dan tinggi untuk
mengendalikannya. Maka dia pun tak bisa memandang
enteng pada si pemuda dengan mengeluarkan jurus-
jurus permulaan. Namun hal itu tentu saja diketahui
oleh si pemuda.
"Bagus orangtua, engkau keluarkanlah jurus-
jurusmu yang paling mematikan untuk menerima ke-
matianmu di tanganku, kalau engkau tak mau me-
menggal kepalamu sendiri. Dengan begitu aku pun bi-
sa mendapat kehormatan meladeninya!"
"Haaaaaaaaait...!"
Ki Mangsapati membuka kedua belah lengannya
lebar-lebar membentuk paruh bu-rung pada jari-
jarinya. Sebelah kakinya terangkat. Dengan satu lonca-
tan tinggi, dia mencelat sambil mengeluarkan suara
bentakan bagai seekor rajawali yang sedang marah.
Jurus ini sangat ganas dan mematikan, yang dikenal si
pemuda dengan nama Rajawali Mencakar Bukit. Apa-
lagi saat ini dikeluarkan dengan kemarahan serta ke-
jengkelan yang dirasa si orangtua. Dengan gerakan-
gerakan cepat yang sulit diikuti kasat mata, dia men-
cecar bagian-bagian mematikan dari tubuh si pemuda.
Seolah-olah ke mana pun gerakan si pemuda meng
hindar, kedua tangan yang membentuk paruh itu siap
menghantamnya.
Tapi tak percuma si pemuda telah menguasai
seluruh ilmu orangtua itu kalau tak mampu menghin-
darinya. Apalagi saat ini dia betul-betul telah mengua-
sai ilmu silat si Iblis Merah Darah yang beberapa pu-
luh tahun lalu menggemparkan dunia persilatan den-
gan sepak terjangnya yang sadis pada musuh-
musuhnya dan disegani oleh tokoh-tokoh golongan hi-
tam maupun putih karena ketinggian ilmu silatnya.
Maka setelah menunggu beberapa belasan jurus untuk
memberi kesempatan pada orangtua itu melampiaskan
kemarahannya, dia pun mulai membalas. Pedangnya
berputar-putar bagai kitiran yang menyambar-
nyambar tubuh si orangtua dari segala penjuru. Terke-
jutlah si orang tua melihatnya. Jurus itu pernah dike-
nalnya dan telah pernah pula dihadapi ketika melawan
Iblis Merah Darah. Jangankan tergores kulit tubuh,
terkena sambaran anginnya pun terasa perih bagai di-
iris-iris dan seolah pedang itu menyedot aliran darah
lawan. Itulah keganasan dari jurus Pedang Iblis Neraka
yang dimainkan si pemuda saat ini.
Merasa dicecar dari segala penjuru dan lawan
terlihat tak memberi kesempatan untuk bernafas, si
orangtua segera melentik ke belakang untuk membu-
ka jurus baru.
Namun si pemuda nampaknya tak memberi ke-
sempatan orangtua itu untuk berbuat ma-cam-macam.
Ujung pedangnya segera menyambar dengan kecepa-
tan tinggi seolah menarik-narik tubuhnya guna mengi-
ris-iris kulit keriput si orangtua.
Ki Mangsapati terkejut bukan main. Baru saja dia
menjejakkan kaki, mata pedang itu telah menyambar
tenggorokannya. Agaknya hanya pengalaman dan ke-
matangan ilmu silatnya saja yang menyelamatkan
nyawa orangtua itu. Sambil tundukkan kepala ke be-
lakang, ujung pedang itu lewat beberapa mili di atas
wajahnya. Si orangtua langsung bersalto ke belakang
dengan menggunakan jurus Rajawali Mengamuk yang
merupakan puncak dari ilmu silatnya, guna menghan-
tam pergelangan tangan si pemuda. Namun betapa ka-
getnya Ki Mangsapati ketika pedang di tangan si pe-
muda dengan cepat berputar ke kanan membentuk
lingkaran, membabat pinggangnya dengan mengelua-
rkan suara mendengung. Kemudian dengan kecepatan
yang sulit diikuti kasat mata, kembali pedang itu ber-
gerak dari bawah ke atas.
"Cras...! Cras...!"
"Prok...! Prol...!"
Ki Mangsapati tak sempat lagi berteriak. Tubuh-
nya kutung menjadi empat bagian dengan kulit tubuh
yang pucat pasi bagai mayat. Tak setetes darah yang
terlihat. Seolah-olah pedang di tangan si pemuda yang
berwarna hitam, semakin legam setelah menghirup da-
rah orangtua yang malang itu. Ada seringai sinis dan
rona kepuasan berbayang di wajah si pemuda yang se-
betulnya tampan. Dengan satu gerakan ringan, diten-
dangnya keempat potongan tubuh orangtua itu ke ju-
rang setelah menyarungkan kembali pedangnya.
Beberapa saat terdengar tawa panjang yang
menggema di seluruh tebing-tebing. Mengagetkan bu-
rung-burung yang hinggap dan sedang melintas!
DUA
Dukuh Kembang Asem adalah sebuah desa yang
makmur dan ramai dikunjungi orang, sebab desa itu
merupakan persinggahan antara satu daerah dan dae-
rah yang lain yang tak kalah ramainya. Selama ini
penduduk desa itu hidup dengan damai dan aman.
Namun di pagi ini, seluruh penghuni kampung dike-
jutkan dengan kedatangan serombongan orang-orang
berjubah hitam yang mereka kenal sebagai Perseku-
tuan Iblis Hitam. Mereka merampok harta penduduk,
menculik anak-anak perawan yang cantik, bahkan
janda dan istri orang pun mereka jarah juga. Beberapa
orang di antaranya bahkan sangat brutal dengan
memperkosa perempuan-perempuan malang itu.
Banyak di antara penduduk itu yang tewas ter-
bunuh karena coba-coba melawan untuk memperta-
hankan miliknya.
Seperti di sebuah rumah sebelah pinggir kam-
pung itu. Seorang laki-laki setengah baya berusaha
mati-matian mempertahankan harta benda serta istri
dan seorang anak perempuannya yang cantik. Namun
dengan kesadisan yang tak berperikemanusiaan, em-
pat orang berjubah hitam dengan mudah melempar-
kannya ke luar halaman. Laki-laki itu langsung ter-
sungkur mencium tanah. Dari sela-sela bibir dan hi-
dungnya keluar cairan kental berwarna merah. Dia be-
rusaha bangkit, namun sekujur tubuhnya terasa sakit
luar biasa. Agaknya beberapa tulang rusuknya ada
yang patah, karena sebelum mereka melemparnya ke
luar, keempat orang itu telah menghajarnya habis-
habisan.
"Bapaaaaaaak...!" teriak anak perempuannya ce-
mas dan ketakutan. Namun dua di antaranya lang-
sung menarik tubuhnya ke kamar sambil mempreteli
seluruh pakaian-nya. Gadis itu meronta-ronta untuk
melepaskan diri, tapi apalah artinya tenaga seorang
perempuan lemah dibanding dengan dua orang laki-
laki bertubuh besar dengan tenaga yang kuat. Meski
dia berteriak setinggi langit, tak nanti bisa melepaskan
diri dari cengkeraman kedua laki-laki kasar itu.
Belum lagi pemandangan yang dilihat laki-laki
tua itu lewat matanya yang sayu namun mengandung
kemarahan yang amat sangat, ketika melihat istrinya
pun mendapat perlakuan yang sama oleh kedua kawan
orang berjubah hitam itu. Dia hanya bisa memaki-
maki sambil berusaha mendekati mereka dengan me-
rangkak-rangkak.
"Persekutuan Iblis Hitam keparat! Ku-bunuh ka-
lian! Kubunuh kalian!!" teriaknya sengit dengan sekuat
tenaga. Tapi belum lagi dia jauh merangkak, tiba-tiba
keluarlah cairan kental berwarna merah dari mulut-
nya. Kali ini lebih banyak dari yang pertama, disertai
dengan batuk keras yang membuat nafasnya terasa
perih dan sesak.
Namun laki-laki itu seolah tak memperdulikan
keadaannya. Dia kembali berteriak-teriak seperti orang
kesetanan.
"Bajingan laknat! Lepaskaaaan anakku! Le-
paskaaaan istriku...!! Keparat! Kuhajar kalian...!!"
Dan teriakannya semakin keras ketika telinganya
mendengar jeritan kedua perempuan itu. Penuh den-
gan ketakutan, tak berdaya, dalam mempertahankan
kehormatan diri.
Tapi mana mau keempat orang itu per-duli dan
meninggalkan keasyikan mereka. Laki-laki itu merasa
putus asa dalam ketidak berdayaannya, dan tanpa sa-
dar dia menangis kecil sambil bergumam pelan:
"Mudah-mudahan dewata melaknat perbuatan
kalian...!"
Entah doanya dikabulkan atau hanya karena ke-
betulan, dalam pada itu melesat-lah sosok bayangan
berwarna biru ke hadapannya. Laki-laki itu tertegun
sejenak. Seorang gadis cantik berpakaian biru dan
menyandang pedang di pundaknya mengangguk ra-
mah. Lalu berujar pelan:
"Apakah yang terjadi di desa ini, Pak?"
"Oh... oh... siapakah engkau? Apakah engkau sa-
lah satu dari Persekutuan Iblis Hitam keparat itu? Ka-
lau betul, lebih baik engkau cabut pedangmu, dan bu-
nuhlah aku saat ini, daripada menanggung malu tak
mampu membela keluargaku sendiri...."
"Tenanglah, Pak. Saya bukan dari orang yang ba-
pak maksudkan...." Belum lagi selesai bicara, telinga
gadis itu yang tajam dan menandakan dia berasal dari
dunia persilatan, segera mendengar teriakan dua pe-
rempuan dari dalam rumah. Meski terdengar pelan,
namun dia tahu apa yang sedang terjadi pada kedua-
nya. Dengan satu loncatan ringan gadis itu melesat ke
dalam.
Laki-laki itu tak tahu apa yang sedang terjadi di
dalam. Namun untuk beberapa saat dia melihat dua
orang berjubah hitam tadi, terlempar ke luar dalam
keadaan yang mengerikan. Nyawa mereka langsung
meregang dengan luka-luka sabetan pedang di perut
dan punggungnya. Sedang kedua orang lagi lebih mu-
jur, hanya terluka-luka kecil dan cepat selamatkan diri
dengan meloncat ke luar lewat atap rumah. Namun tak
urung wajah keduanya terlihat pucat dan ketakutan
melihat sepak terjang si gadis berbaju biru. Apalagi ke-
tika melihat kedua kawannya telah tewas, sementara si
gadis itu telah berdiri gagah mendekati dengan ujung
pedangnya masih berlumur darah.
"Persekutuan Iblis Keparat!" makinya sinis. "Be-
runtung hari ini aku menemukan kalian di sini, jadi
tak bersusah payah mencari kalian ke mana-mana!"
"Nona...." berkata seseorang di antaranya, "Kita
tak bermusuhan dan tak punya sangkut paut apa-apa.
Kenapa nona begitu telengas membunuh kedua kawan
kami?"
Huh! Telengas katamu? Apa yang kalian lakukan
pada kedua perempuan itu? Dan apa yang kalian la-
kukan pada laki-laki itu? Lalu apa yang telah kalian
lakukan pada yang lain-lain? Apakah engkau kira se-
banding dengan perbuatanku tadi? Kalian sepatutnya
menerima ganjaran setimpal atas kelakuan anjing ka-
lian!"
Meski hati kecut, namun dimaki-maki begitu,
mau tak mau panas juga hati mereka. Kawannya sege-
ra menyela dengan garang sambil hunuskan goloknya.
"Nona, Persekutuan Iblis Hitam tak bisa dihina
begitu. Hari ini biarlah aku mewakili ketua untuk me-
mancung kepala dan mulutmu yang ceriwis itu!"
"Haiiiiit...!"
Selesai berkata begitu, dia bersalto dua kali ke
depan dan menyabet si gadis dengan jurus Ular Mema-
tuk Mangsa. Gerakannya gesit dan kuat dibarengi te-
naga dalam penuh. Sesungguhnya orang ini bukanlah
anggota sembarangan Persekutuan Iblis Hitam, yang
bisa dikalahkan dengan begitu mudah. Dalam dunia
persilatan mereka dikenal dengan sebutan Empat Iblis
Utara. Dan kalaupun kedua kawannya berhasil dija-
tuhkan gadis itu hingga tewas, bisa jadi karena kelen-
gahan mereka yang sedang diamuk nafsu birahi, se-
hingga tak menyadari bahaya yang mengancam.
Tapi si gadis pun ternyata bukan orang semba-
rangan pula. Dari serangannya yang khas, akan men-
gingatkan, bahwa dia sebenarnya berasal dari Pergu-
ruan Walet Biru. Suatu perguruan yang pernah dio-
brak-abrik Persekutuan Iblis Hitam beberapa bulan
yang lalu. Ki Pandaran, ketua perguruan itu meski be-
rilmu tinggi dan disegani dalam dunia persilatan, ak-
hirnya harus menemui ajal di tangan Singalodra. Bisa
jadi hal ini yang membuat gadis itu dendam bukan
main pada gerombolan ini.
Dalam pada itu melihat kawannya telah mencelat
lebih dulu, dia pun segera mencabut goloknya dan ikut
menyerang gadis itu. Barulah si gadis dapat merasa-
kan tekanan berat dari serangan mereka berdua. Ju-
rus-jurus Ular Mematuk Mangsa yang dimainkan den-
gan senjata golok, seolah hendak mematuk-matuk se-
luruh permukaan kulitnya jadi beberapa bagian. Tapi
tak percuma si gadis berguru belasan tahun pada Ki
Pandaran yang pernah kesohor sebagai tokoh kosen
golongan putih puluhan tahun yang lalu, kalau dia
merasa jeri melihat serangan mereka. Sambil kertak-
kan rahang menahan amarah, dia putar pedangnya
sedemikian rupa ke sana sini bagai dua kepak sayap
burung walet. Inilah jurus yang dinamakan Walet Ter-
bang Sore Hari. Seolah-olah lawan melihat dua buah
pedang yang berkelebat di tangan si gadis menyambar-
nyambar sekujur tubuhnya dengan cepat dari berbagai
arah. Sebentar saja terlihat bahwa si gadis sedang be-
rada di atas angin, dan lawan dibuat tak sempat balas
menyerang.
Tiba-tiba dalam satu kesempatan.
"Cras...!"
"Cras...!"
Kedua orang itu menjerit panjang ketika dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata, si gadis mem-
babat kutung masing-masing sebelah lengan mereka
dengan jurus Pulang Ke Sarang. Suatu jurus yang ba-
nyak mengandalkan ilmu mengentengkan badan den-
gan loncatan-loncatan satu arah, namun tajam dan
pasti ke tujuan.
Si gadis tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia
kembali melentik ke arah mereka dengan jurus Walet
Tertidur. Suatu jurus pamungkas yang dilakukan den-
gan mata terpejam dan hanya mengandalkan penden-
garan belaka. Pedang di tangannya bergerak pada ba-
gian-bagian yang mematikan di tubuh lawan seolah
bermata, tapi ke mana pun lawan menghindar, pedang
itu akan terus mengejarnya lewat pendengaran si gadis
yang tajam.
Rasanya kedua orang itu telah pasrah menerima
nasib di ujung pedang si gadis. Bahkan salah seorang
telah memejamkan mata. Namun beberapa senti sebe-
lum pedang itu mengoyak-ngoyak tubuh mereka, tiba-
tiba...
"Trang...!"
Si gadis terkejut setengah mati hingga kelopak
matanya terbuka. Tangannya terasa kesemutan, tapi
masih untung pedang itu tak terlepas dari gengga-
mannya. Padahal benturan yang dirasanya tadi sangat
keras. Belum lagi habis terkejutnya, telinganya yang
tajam segera merasakan sambaran angin dingin ber-
bau racun mengarah ke tenggorokannya.
Buru-buru dia putar pedang menangkis.
"Traaaang...!"
Untuk kedua kali tangannya terasa kesemutan.
Tapi kali ini benturan itu lebih kuat dan berat. Hampir
saja pedang di tangannya terlepas dari genggaman.
Melihat lawan bergerak sangat cepat dan sepertinya
tak memberi kesempatan padanya, tubuh gadis itu ti-
ba-tiba melentik ke udara sambil bersalto beberapa
putaran. Pedangnya berputar-putar ke sana sini mem-
bentuk perisai, menjaga serangan lawan dari berbagai
arah. Inilah yang disebut jurus Menguak Kerumunan
Badai Pasir, suatu jurus pertahanan yang sangat am-
puh, sebab bila sekali serangan lawan tertangkis, ma-
ka selanjutnya akan diikuti dengan serangan balasan
yang mematikan.
Tapi lawan ternyata tak tertipu dengan pancingan
itu, dan tak ada serangan yang kembali menyusul be-
berapa saat kemudian. Si gadis segera menjejakkan
kaki dengan ringan setelah dirasanya tak ada lagi an
caman. Pertama kali yang terlihat olehnya adalah seo-
rang laki-laki kurus jangkung dengan punggung agak
bungkuk. Rambutnya hitam kusut menjela-jela hingga
ke dada. Wajahnya berlipat-lipat bagai kulit kayu yang
telah tua, dengan sorot mata tajam dan bibir yang me-
nyungging senyum sinis di bawah kumisnya yang
tumbuh jarang. Di tangannya terlihat sebatang tongkat
berkepala ular berwarna hijau muda. Tongkat itu keli-
hatan alot karena terbuat dari kayu besi. Si gadis
menduga-duga, pastilah tongkat itu yang tadi mem-
bentur pedangnya
"Segala bocah bau kencur mau jual lagak di ha-
dapan Persekutuan Iblis Hitam!" oceh laki-laki itu yang
dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Iblis
Ular Hijau. Konon dia adalah kembratnya si Iblis Me-
rah Darah ketika tokoh itu masih hidup, dan menghi-
lang entah ke mana selama puluhan tahun. Baru hari
ini kembali terlihat kemunculannya. Si gadis pun tahu
kehebatan tokoh ini lewat cerita almarhum gurunya,
namun kini mengetahui bahwa tokoh kosen golongan
hitam itu ada di depannya. Benaknya hanya tahu
bahwa orang-orang Persekutuan Iblis Hitam harus di-
basmi! Berpikir sampai di situ, dia mendengus sinis
sambil memandang enteng pada orang itu.
"Huh, segala setan, dari neraka kiranya hendak
coba-coba menakut-nakuti aku! Engkau boleh coba
pada tikus-tikus got tak berguna, tapi jangan padaku!"
TIGA
Demi mendengar kata-kata si gadis, meledaklah
tawa Iblis Ular Hijau.
"Ha... ha... ha... ha...! Baru sekali ini kudengar
seorang bocah pentil memandang rendah pada si Iblis
Ular Hijau yang selama malang melintang di dunia
persilatan tak pernah dihina sedemikian rupa. Bagus
bocah! Aku senang dengan semangatmu. Engkau tentu
juga akan lebih bersemangat jika telah berada dalam
pelukanku. Ha... ha... ha...!"
Selesai tawanya, tiba-tiba wajahnya berubah si-
nis dan garang. Lalu memandang nyalang pada kedua
orang berjubah hitam yang telah kutung sebelah len-
gannya itu sambil berkata:
"Kalian urus yang lainnya, dan setelah itu bakar
seluruh rumah-rumah di kampung ini. Urusan dengan
gadis cantik ini biar aku yang akan menyelesaikannya.
Katakan pada Singalodra, aku membawa gadis cantik
luar biasa untuknya!"
Kedua orang itu menjura hormat, dan cepat ber-
kelebat menyambar kedua perempuan tadi, yang ma-
sih berada di situ sambil menangisi laki-laki malang
yang kelihatan terbujur kaku tak bergerak.
Dalam pada itu si gadis terkejut bukan main ke-
tika lawan menyebutkan namanya. Diam-diam dia
mengeluh sendiri. Melulu menghadapi anak buah Per-
sekutuan Iblis Hitam telah begitu berat, bagaimana
mungkin dia bisa kalahkan si Singalodra guna memba-
las sakit hati ini. Dia baru tersentak kaget ketika men-
dengar jerit kedua perempuan yang sedang meronta-
ronta dalam bopongan sebelah lengan kedua laki-laki
berjubah hitam itu.
"Iblis cabul keparat! Lepaskan mereka!" maki si
gadis sambil melompat ke arah mereka dengan pedang
terhunus. Tapi tentu saja dia tak melupakan si orang-
tua berwajah buruk, itulah sebabnya dia tak mau
menggunakan jurus sembarangan. Dengan jurus
Membagi Arah Angin, dia telah mempersiapkan diri
seandainya lawan membokong dari belakang. Tapi Iblis
Ular Hijau bukanlah tokoh picisan yang mau berbuat
begitu. Dengan satu teriakan nyaring, dia melesat
sambil menyodorkan tongkat di tangannya memapak
pedang di tangan si gadis dari arah depan. Serangan
lewat tongkat yang melesat ke sana sini sedemikian
rupa disebut Lecutan Ekor Naga. Sesuai dengan na-
manya, dia menusuk ujung tongkatnya yang runcing
ke bagian-bagian tubuh lawan yang mematikan bagai
pecut mencari sasaran.
Mau tak mau terpaksa si gadis urungkan niat
untuk meneruskan serangannya pada kedua orang
berjubah hitam itu, yang dengan cepat kabur. Dia
membalik cepat dengan jurus kedua Membagi Arah
Angin untuk menghadapi gebukan tongkat lawan. In-
ilah keuntungan jurus itu. Dia tak berusaha memapak
senjata lawan, melainkan dengan ilmu mengentengkan
tubuh yang lumayan, badannya yang ramping seakan
mengapung di udara secara mendatar dengan kedua
tangan terentang bagai sayap seekor walet, untuk
menghindari serangan lawan. Lalu dengan kecepatan
tinggi menyabetkan mata pedang pada jantung lawan
secara tiba-tiba.
"Kampret...!" maki si Iblis Ular Hijau sambil mi-
ringkan badan jungkir balik ke kanan. Nyaris dadanya
tertusuk ujung pedang si gadis kalau dia tak cepat
mengelak. Tak urung terkejut nyalinya sesaat melihat
kecepatan gadis itu bergerak. Tapi bukanlah Iblis Ular
Hijau kalau masih bisa dipecundangi anak kemarin
sore, pikirnya. Sambil kertakkan rahang menahan ge-
ram, dia buka jurus Ganti Kulit Di Sarang Naga. Kehe-
batan jurus ini terletak dari berkelebatnya seluruh
anggota badan ke segala penjuru yang sama berba-
hayanya dengan permainan tongkat di tangannya. Se-
bentar saja terlihat si gadis mulai terdesak. Baru saja
dia berusaha menghindari kejaran tongkat itu, tangan
Iblis Ular Hijau telah menyusul, diikuti oleh sebelah
lengannya yang lain, dan kedua kaki yang siap mener-
jang. Meski si gadis telah mengeluarkan jurus Walet
Tertidur pada bagian yang tertinggi, tak nanti dia bisa
melepaskan diri dari serangan-serangan Iblis Ular Hi-
jau itu.
* * *
Kita tinggalkan sejenak pertarungan itu untuk
melihat ke suatu tempat yang tak Begitu jauh dari
kampung itu. Seorang pemuda berwajah tampan den-
gan pakaian ku-mal berwarna merah, sedang asyik
menyan-tap makanan sambil bersandar pada sebuah
batang pohon. Dengan rambut dikuncir pada bagian
belakang dan periuk besar di bagian belakang tubuh-
nya, sepintas dia terlihat seperti gembel yang kelapa-
ran. Sebentar-sebentar tatap matanya jauh meman-
dang ke depan dengan kosong. Seolah ada sesuatu
yang sedang dipikirkannya. Siapakah pemuda ini?
Siapa lagi kalau bukan pendekar kita, si Hina Kelana
alias Buang Sengketa, murid si Bangkotan Koreng Se-
ribu yang kesohor itu.
Dalam pada itu tiba-tiba matanya melihat asap
hitam mengepul dari kejauhan. Firasatnya mengata-
kan, pasti ada sesuatu yang tak beres di sana. Cepat
dia berdiri dan melesat ke arah itu sambil mengerah-
kan ajian Sepi Angin yang membuat tubuhnya berke-
lebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Seben-
tar saja terlihat sebuah Perkampungan yang diamuk
kobaran api yang menyala-nyala. Beberapa rumah ha-
bis terbakar dan sisanya porak poranda. Jerit ketaku-
tan dan teriakan cuma terdengar dari beberapa orang
penduduk yang masih tersisa. Pemandangan pertama
yang dilihatnya ketika mendekati tempat itu adalah,
pertarungan seru antara seseorang yang berwajah bu
ruk dengan tongkat ular di tangannya dengan seorang
gadis cantik jelita berpakaian biru bersenjata sebilah
pedang. Meski pertarungan itu sulit diikuti mata orang
biasa, tapi bagi si pemuda yang berilmu tinggi itu, se-
bentar saja dia bisa melihat bahwa si buruk rupa itu
berada di atas angin.
Melihat pertarungan yang tak seimbang itu, tentu
saja si pemuda tak bisa mendiamkan begitu saja. Apa-
lagi ketika dilihatnya si buruk rupa mulai mengelua-
rkan uap racun lewat mulut ular di tongkatnya. Seben-
tar saja terlihat si gadis terbatuk-batuk dengan tubuh
limbung ketika uap racun itu menyelimuti wajahnya.
"Ha... ha... ha...! Segala anak kemarin sore sudah
merasa giginya bertaring bagai harimau di hadapan
Persekutuan Iblis Hitam!"
Iblis Ular Hijau tertawa terbahak-bahak sambil
pandangi tubuh si gadis yang menggeletak tak berdaya
terkena uap beracun di tongkatnya. Baru saja dia hen-
dak menyambar tubuh itu ketika mendengar suara ta-
wa mengejek.
"Ha... ha... ha...! Segala Persekutuan Iblis Hitam
hanya berani melawan perempuan tak berdaya. Dasar
iblis cabul, ternyata hanya berisi orang-orang sundal
dan bangsat rendah!"
Dimaki demikian rupa bukan main pa-nas dan
jengkelnya Iblis Ular Hijau. Yang dilihatnya hanya ada
seorang pemuda dengan pakaian gembel warna merah
dengan rambut dikuncir dan periuk besar di pung-
gungnya, tertawa nyengir sambil garuk-garuk kepa-
lanya yang tak gatal. Amarahnya meluap seketika.
"He, Bocah sialan! Apakah engkau ingin digebuk
karena mencampuri urusan Iblis Ular Hijau? Pergilah
segera! Aku tak bernafsu untuk membunuh orang hari
ini."
"Segala iblis bau busuk, untuk apa aku musti ta
kut pada kau? Aku datang dan pergi sesukaku, dan
melakukan apa pun yang ku suka. Kalau aku tak mau
pergi dan berniat mencampuri urusanmu, engkau bisa
berbuat apa?"
Diejek terus-terusan seperti itu, semakin meluap
amarah orang buruk rupa itu.
Sambil kertakkan rahang, dia mengayunkan
tongkat hendak menggeprak batok kepala si pemuda
dari Negeri Bunian itu dengan pukulan Ular Hijau. Su-
atu pukulan yang mengandung racun yang mematikan
dan bengis sekali, sebab walau hanya mencium ua-
pnya saja dalam beberapa saat lawan akan tewas den-
gan seluruh tubuh kejang membiru. Gerakan pukulan
itu lambat, namun seperti ular mematuk, dia akan
bergerak bagai kilat begitu mendekati lawan.
"Bocah kurang ajar! Biar bapak moyangmu sekali
pun tak akan berani berkata begitu di hadapanku. Kini
mampuslah engkau!" teriak Iblis Ular Hijau yakin bah-
wa dengan sekali pukul, hancurlah batok ke-pala pe-
muda itu.
Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-
runan si Piton Utara, raja dari Negeri Bunian yang be-
rujud seekor piton raksasa, kalau menghadapi uap ra-
cun yang dikeluarkan si buruk rupa itu saja menjadi
keder. Sebab seperti kita ketahui, pemuda itu kebal
terhadap racun apa pun. Dan lagi pula, meski seran-
gan itu bengis dan sadis karena bermaksud menghabi-
si lawan seketika, tapi kekurangannya adalah tak me-
mikirkan bahwa lawan bisa menghindar dan kemudian
mengirim serangan balasan. Seperti apa yang dilaku-
kan si pemuda.
Dengan menggunakan jurus Membendung Ge-
lombang Menimba Samudra, tubuh Buang Sengketa
berkelebat sedemikian cepat menghindari serangan la-
wan, dan dengan tiba-tiba tangannya terpentang hen
dak menggaplok wajah lawan dengan jurus Si Hina
Mengusir Lalat. Iblis Ular Hijau kaget bukan main, dan
tidak menyangka gerakan lawan bisa secepat itu. Lagi
pula tak terpengaruh dengan uap racun yang di kelua-
rkannya. Malah kalau dia tak cepat-cepat berkelit, bi-
sa-bisa wajahnya yang berlipat-lipat itu akan kena
tamparan si pemuda.
"Haram jadah!" makinya kesal dan penasaran.
"Hak... hak.. hak...!" Buang Sengketa tertawa
ganda. "Itulah upah orang yang suka memandang ren-
dah. Engkau pikir nama Iblis Ular Hijau mampu me-
nakut-nakutiku? Huh, segala manusia tak karuan cu-
ma punya nama kosong!"
Meledaklah amarah Iblis Ular Hijau diejek demi-
kian. Tapi saat ini dia betul-betul tak punya waktu ke-
tika mendengar suitan panjang. Sambil kertakkan ra-
hang menahan geram, dia kirim serangan kilat lewat
ujung tongkat yang menyambar-nyambar bagai lemba-
ran kipas baja ke tenggorokan si pemuda. Jurus yang
dinamakan Ular Hijau Berbulan Madu ini hanyalah
suatu jurus tipuan yang sangat berbahaya, sebab bila
lawan sedikit lengah, maka sambaran ujung tongkat
yang runcing akan mengiris-ngiris kulit tubuh, namun
begitu lawan kerepotan berkelit ke sana sini, dengan
tiba-tiba dari mulut ular di tongkat itu menyemburlah
uap beracun berwarna hijau.
Buang Sengketa memang kebal racun, namun
menghadapi sambaran ujung tongkat lawan yang ber-
gerak sedemikian rupa, agak repot juga. Belum bagi
kabut tebal dari uap beracun yang menghalangi pan-
dangan. Melihat lawan menggunakan jurus curang be-
gitu, bangkitlah kemarahan pemuda dari Negeri Bu-
nian itu. Selarik gelombang Sinar Ultra Violet dari Pu-
kulan Empat Anasir Kehidupan segera menyambar ke
berbagai arah menembus uap beracun itu.
"Blar...! Blaar...!"
Buang Sengketa segera mencelat ke atas sambil
bersalto beberapa kali ke belakang.
Namun ketika menjejakkan kaki ke tanah, ter-
nyata lawan sudah tak ada lagi. Hanya lapat-lapat ter-
dengar suara yang dikerahkan lewat tenaga dalam
yang tinggi ke telinganya.
"Bocah sialan! Aku belum merasa kalah dengan-
mu. Kalau engkau masih penasaran denganku, engkau
boleh menyambangiku di Bukit Seribu. Siapa tahu di
sana aku akan sempat menggali liang kubur untukmu.
Hak... hak... hak...!"
Buang Sengketa kesal bukan main. Jengkel dan
marah melihat lawan kabur di depan hidungnya sendi-
ri, dia menghantam sebuah pohon dengan pukulan
Empat Anasir Kehidupan.
"Blaaaar...!"
"Kraaaaaak...!"
Pohon besar itu tumbang dan jatuh berdebum.
Tokh belum redakan amarahnya. Namun tiba-tiba
pandangannya tertumbuk pada gadis berpakaian biru
yang masih tergeletak pingsan. Sepintas saja dia dapat
melihat bahwa gadis itu terkena racun si Iblis Ular Hi-
jau. Pemuda itu segera memberi pertolongan padanya.
Barangkali hanya begitu yang bisa diberikannya. Se-
mentara pada saat itu Dukuh Kembang Asem telah
musnah terbakar, dan nama Persekutuan Iblis Hitam
adalah biang keladi kekacauan yang mulai melekat di
benaknya.
EMPAT
Singalodra duduk di singgasananya yang terbuat
dari batu pualam hitam. Beberapa orang kepercayaan
nya sedang memberi laporan tentang hasil kerja mere-
ka selama ini. Sementara di samping kanannya terlihat
seorang laki-laki dengan wajah terlipat-lipat bagai kulit
kayu yang sudah tua. Memegang sebuah tongkat ber-
kepala ular. Siapa lagi kalau bukan Iblis Ular Hijau
adanya!
"Sanggalangit telah kami musnakan, dan ketua-
nya yang bernama Cakrabuana tewas," kata salah seo-
rang yang melapor. Singalodra manggut-manggut
sambil tersenyum kecil.
"Sayang, sungguh sayang. Padahal kalau mereka
mau bergabung baik-baik dengan kita tak akan begitu
jadinya. Tapi orang keras kepala seperti itu memang
harus dilenyapkan!" sahut Singalodra. "Bagaimana
dengan kalian, Setan Lembah Neraka?" lanjutnya ber-
tanya pada tiga orang laki-laki botak dengan wajah se-
ram menakutkan. Di tangan mereka masing-masing
terdapat senjata gada berduri.
Salah seorang menyahut, "Si Gelang-gelang Ter-
bang bersedia bergabung dengan kita, dan beberapa
hari lagi dia akan ke sini."
"Bagus! Bagus! Ternyata beliau masih menghor-
mati nama besar ayahanda Iblis Merah Darah. Usaha-
kan kalian terus membujuk para tokoh-tokoh golongan
hitam lain agar mau bergabung dengan kita. Perseku-
tuan Iblis Hitam akan terus berdiri dan merajai dunia
persilatan, dan tak seorang pun boleh untuk mengha-
lang-halanginya!" Wajah Singalodra terlihat semangat,
dan hawa dendam mewarnai cita-citanya untuk men-
jadi raja diraja dunia persilatan seperti cita-cita ba-
paknya dahulu.
Beberapa saat kemudian Singalodra menyuruh
mereka untuk keluar dari ruangan, sementara dia
sendiri hendak beranjak ke kamarnya setelah seseo-
rang membisikkan sesuatu ke telinganya. Wajahnya
kelihatan berseri dengan ketawa kecil menghiasi wa-
jahnya yang tampan.
"Paman boleh bersenang-senang mencari perem-
puan-perempuan yang paman sukai," katanya pada Ib-
lis Ular Hijau. Agaknya orangtua itu telah mengerti apa
yang hendak dikerjakan ketua Persekutuan Iblis Hitam
itu. Dia cuma mengangguk kecil dan kemudian berka-
ta pelan.
"Singalodra, barangkali kita akan sedikit menda-
pat hambatan...." Dia tak meneruskan kata-katanya,
melainkan berpikir sesaat. Singalodra jadi penasaran
dibuatnya. Dia segera kembali duduk dan memandang
orang itu dengan serius.
"Hambatan apa, Paman?"
"Ada beberapa tokoh-tokoh muda berilmu tinggi
yang bisa jadi ancaman buat kita nantinya. Seperti
yang paman ceritakan ketika kami membumihan-
guskan Dukuh Kembang Asem itu...."
"Paman...." Berkata Singalodra sambil tersenyum
meremehkan, "Ilmu silat Iblis Merah Darah tiada ter-
tandingi. Paman sendiri mengakui hal itu. Kenapa se-
gala anak kemarin sore harus kita khawatirkan?"
Iblis Ular Hijau terdiam untuk beberapa saat tak
menjawab. Sebenarnya dia ingin mengatakan sesuatu
tentang pemuda yang dihadapinya di Dukuh Kembang
Asem itu, yang membuatnya penasaran setengah mati.
Pasalnya dia teringat pada seorang tokoh legendaris
puluhan tahun lalu yang sangat menjagoi dunia persi-
latan. Tokoh yang seluruh tubuhnya penuh dengan
bercak-bercak koreng, yang tak seorang pernah men-
galahkannya. Tidak untuk si Iblis Merah Darah yang
pernah berduel dengannya, dan hanya keberuntungan
bisa melarikan diri yang menyelamatkannya. Pada per-
tarungan itu pun dia ikut menempur tokoh kosen ter-
sebut. Yang justru membuatnya khawatir adalah, jurus-jurus si pemuda sangat mirip dengan tokoh itu!
Tapi Singalodra telah berpaling ke kamarnya, dan
sebentar saja terdengar tawanya yang berkepanjangan
diikuti dengan teriak ketakutan dari seorang perem-
puan; yang diculiknya dari sebuah perguruan silat
yang ditaklukkannya beberapa hari yang lalu.
* * *
Puji Lestari berjalan pelan-pelan. Sebentar-
sebentar matanya melirik pemuda yang berjalan tak
acuh di sampingnya. Hatinya tak henti bertanya-tanya.
Pemuda itu sangat tampan, tapi pakaiannya aneh be-
tul. Dengan jubah lusuh dan dekil, lalu rambut dikun-
cir dan periuk besar di punggungnya, dia betul-betul
persis gembel. Tapi acuhnya itu yang membuatnya
gregetan. Seolah dia tak perduli dengan kehadirannya
di sini. Padahal gadis itu tak terlalu jelek. Cantik ma-
lah iya. Barangkali juga dia seorang pemalu, pikirnya.
Teringat ke situ dia mencari-cari bahan omongan.
"Namamu aneh...?"
Pemuda itu hanya nyengir sebelum men-jawab.
"Nama itu penuh dengan riwayat yang berkepanjan-
gan. Aku bagai orang terbuang yang lahir seperti tak
diharapkan, tapi justru kelahiranku membuat banyak
persengketaan. Itulah sebab aku dinamakan Buang
Sengketa."
"Barangkali kita tak jauh beda. Kedua orangtua
ku pun telah tiada. Ki Pandaran memungut ku sejak
kecil. Tapi orangtua itu telah tewas pada saat aku tak
berada di tempat. Aku tak sempat membalas budinya.
Barangkali hanya dengan jalan menumpas orang-
orang Persekutuan Iblis keparat itulah bisa membuat
batin ku sedikit tenang..."
"Jadi kenapa kita musti menuju ke Perguruan Ki
lat Buana dahulu? Bukankah lebih baik langsung me-
nuju ke Bukit Seribu menumpas manusia-manusia
laknat itu?" tanya si pemuda yang tak lain Buang
Sengketa adanya, dengan wajah bingung.
"Beliau meninggalkan pesan agar aku bergabung
dengan perguruan itu, dan bersama-sama menumpas
gerombolan iblis itu."
"Jauh lagi perjalanan ke sana?"
Gadis itu tertawa renyah. "Kalau kita terus ber-
santai begini, mungkin tiga hari lagi baru tiba di sana."
"Kalau begitu tunggu apa lagi?!" kata si pemuda
sambil mengeluarkan ajian Sepi Angin dan melesat ce-
pat.
Si gadis terkejut setengah mati. Tiba-tiba saja si
pemuda telah lenyap dari sampingnya. Tahulah dia,
bahwa selain memiliki kepandaian yang hebat waktu
menolongnya memunahkan racun di tubuhnya akibat
bertarung dengan Iblis Ular Hijau, pemuda itu pun
ternyata hebat ilmu larinya. Belum lagi hatinya yang
bertanya-tanya sampai sejauh mana kehebatan ilmu
silat pemuda itu.
Berpikir begitu malu benar hatinya sebab ilmu
larinya tak ada seujung kuku dibanding si pemuda.
Padahal dia telah mengerahkan seluruh kebisaannya.
Buang Sengketa melihat gadis itu terengah-engah
dari kejauhan, segera perlambat larinya hingga kemba-
li bersama-sama.
"Gila! Engkau berlari seperti angin saja," puji si
gadis. "Barangkali engkau ini anak jin!" lanjut si gadis
bercanda.
Tawanya renyah diselingi nafasnya yang teren-
gah-engah. Buang Sengketa justru tersenyum kecil pe-
nuh arti. Kalau saja si gadis tahu bahwa apa yang di-
tebaknya itu benar, entah apa jadinya, pikir Pendekar
Hina Kelana itu. Barangkali juga dia akan ketakutan
atau malah terkejut kegirangan!
"Kenapa Singalodra membunuh gurumu?" tanya
Buang Sengketa setelah reda senyumnya.
"Mereka mengajaknya untuk bergabung ke dalam
Persekutuan Iblis Hitam. Tapi Ki Pandaran tak mau.
Beliau lebih baik me-milih mati daripada harus beker-
jasama dengan mereka."
Pendekar dari Negeri Bunian itu angguk-
anggukkan kepala. "Apakah banyak dari tokoh-tokoh
golongan putih yang bergabung dengan Persekutuan
Iblis Hitam?"
"Menurut guruku banyak juga. Rata-rata mereka
dibujuk dengan harta keduniaan, dan sebagian kecil
karena ditaklukkan. Mereka yang takut mati lebih baik
memilih bergabung...." Wajah gadis itu tiba-tiba men-
dengus sinis. "Mereka itu pengecut dan lebih pantas
mati!" lanjutnya.
Buang Sengketa menyadari bahwa gadis ini se-
dang diamuk dendam. Dia hanya men-diamkan saja,
dan tak banyak bicara lagi. Sampai akhirnya mereka
tiba di suatu desa, gadis itu perlambat larinya dan ber-
jalan seperti biasa. Buang Sengketa pun mengikutinya.
"Aku belum pernah ke sini sebelumnya. Tapi me-
nurut almarhum guruku, Perguruan Kilat Buana di
desa ini," kata gadis itu sambil memandang ke sekelil-
ing.
"Desa ini aneh!" Berkata Buang Sengketa setelah
matanya memperhatikan orang-orang di sekitar itu.
"Mereka kelihatan takut akan kedatangan kita. Ada
apa gerangan?"
Gadis itu pun merasakannya. Wajah-wajah pen-
duduk yang menatap mereka seolah curiga. Kemudian
cepat-cepat menutup pintu rumah mereka. Atau yang
sedang duduk di depan rumah, buru-buru menghin-
dar. Bahkan yang berselisih jalan dengan mereka, buru-buru kembali surut.
"Ada apa?" tanya gadis dalam hatinya. Dia ber-
maksud mendekati salah seorang. Namun orang itu
buru-buru kabur seperti ketakutan.
"Aneh...!" desis si pemuda. "Coba kita tanya
orang-orang di warung sana. Barangkali kita akan
mendapat penjelasan." Gadis itu menyetujui. Namun
ketika mereka baru saja mendekati pintu, orang-orang
yang berada di sana buru-buru keluar dengan wajah
ketakutan. Begitu pun halnya dengan si pemilik wa-
rung. Dia buru-buru masuk ke dalam. Namun si gadis
yang sudah kepalang penasaran dan kesal karena tak
menemukan jawab atas sikap mereka, segera membu-
runya dan menangkap pergelangan laki-laki setengah
baya berperut buncit itu.
"Tunggu, Pak! Ada apa sebenarnya di desa ini?
Kenapa setiap orang yang kami jumpai seolah-olah ke-
takutan?"
Laki-laki itu menampakkan wajah gelisah. Bebe-
rapa kali matanya melirik ke arah pintu, dan mereka
berdua secara bergantian. Tiada kata yang keluar se-
lain dari hentakan tangannya yang ingin melepaskan
diri dari cengkeraman gadis itu. Tapi mana mau si ga-
dis melepaskannya sebelum dia dapat penjelasan.
"Kedatangan kami ke sini bermaksud baik, Pak.
Bapak tak perlu takut!" kata si gadis berusaha ramah
sambil tersenyum. "Coba bapak jelaskan, ada apa se-
benarnya di desa ini?"
Dia kembali menatap pintu depan dan kedua
orang itu bergantian. Kali ini tangannya tak berontak
lagi. Hanya wajahnya yang memelas menatap pada me-
reka. Kemudian katanya lirih: "Aduh, Nona.... lebih
baik tinggalkan desa ini secepatnya, Kalau tidak, kami
bisa celaka! Tolonglah... cepat tinggalkan desa ini se-
cepatnya...."
"Ada apa, Pak? Apa yang terjadi dengan desa ini?"
tanya si pemuda ikut penasaran. Laki-laki itu sejenak
memperhatikan si pemuda. Hatinya hendak tertawa
lucu melihat dandanan si pemuda. Barangkali juga
bertanya-tanya, mengapa seorang gadis cantik jelita ini
mau berjalan bersama pemuda gembel yang aneh ini?
Tapi apa perlunya dia bertanya kalau hal itu berarti
mengundang kematiannya?
"Sa... saya tak bisa menjelaskannya. Lebih baik
kalian pergi secepatnya dari tempat ini...!"
Buang Sengketa garuk-garuk rambut di kepa-
lanya yang tak gatal. Meski jengkel, tapi apakah harus
dilampiaskan dengan menghajar orang ini? Dia sudah
ketakutan begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya
demikian. Pemuda itu hanya angkat bahu ketika si ga-
dis meliriknya. Tapi Puji Lestari bukanlah gadis yang
terlalu sabar menghadapi persoalan seperti ini. Ke-
jengkelannya bisa memuncak menjadi amarah. Dengan
satu sentakan, ditariknya pemilik warung itu ke atas
dengan sebelah tangan. Laki-laki setengah baya berpe-
rut buncit itu seketika berwajah pucat. Kedua muda
mudi ini berilmu tinggi, pikirnya. Dia seolah berada da-
lam dua pilihan yang sama tak enak.
"Katakan! Ada apa sebenarnya di balik semua
ini? Atau tubuhmu akan kulempar ke seluruh ruangan
ini hingga porak poranda!" ancam si gadis sambil mu-
lai memutar-mutar tubuh orang itu. Makin ketakutan-
lah si pemilik warung. Dengan suara cemas, dia berte-
riak-teriak ketakutan.
LIMA
"Baiklah! Baiklah! Tapi turunkan dulu, dan ka-
lian berjanji akan melindungiku!"
Si gadis segera hentikan perbuatannya sambil
anggukkan kepala. Orang itu menarik nafas sesaat.
Kemudian katanya,
"Beberapa hari yang lewat orang-orang Perseku-
tuan Iblis Hitam menyerbu ke sini. Mereka merampok
dan menculik semua perempuan-perempuan cantik di
desa ini. Tujuan mereka sebenarnya memancing pihak
Perguruan Kilat Buana yang bermarkas di ujung desa
itu untuk keluar membela para penduduk, di samping
tujuan-tujuan pribadi. Kilat Buana tadinya tak ter-
pancing kalau tindakan mereka tak melampaui batas
seperti itu. Tapi.... Persekutuan Iblis Hitam terlalu
tangguh buat mereka. Seluruh murid-murid Kilat Bu-
ana dibunuh habis semuanya, dan... dan desa ini di-
kuasai oleh mereka. Kami... kami, dilarang berhubun-
gan dengan orang-orang asing yang bukan termasuk
anggota Persekutuan Iblis Hitam. Bahkan untuk berbi-
cara...."
Belum lagi selesai ucapan laki-laki itu, tiba-tiba
dia menjerit kesakitan dan langsung roboh.
"Awas!" Buang Sengketa memperingatkan si gadis
sambil berjumpalitan ketika beberapa buah benda me-
lesat ke arah mereka. Si gadis pun ternyata bukan
orang sembarangan. Tak percuma dia menjadi murid
Perguruan Walet Biru yang kesohor dengan ilmu pen-
dengarannya yang baik kalau tak mampu merasakan
sesuatu yang berdesir ke arah mereka. Sambil melom-
pat tinggi ke atas, dia mengikuti gerakan si pemuda
menerobos lewat atap warung dan turun dengan sem-
purna.
Baru saja mereka menjejakkan kaki ke tanah,
kembali berdesir sesuatu ke arah mereka. Kali ini tera-
sa lebih berat seolah-olah radius satu tombak dari me-
reka berada dipenuhi oleh sesuatu yang tak terlihat
namun terasa hawa dingin yang menusuk pernafasan
mereka. Pemuda dari Negeri Bunian itu jadi jengkel di-
buatnya. Begitu dilihatnya si gadis telah membabatkan
pedang ke sana ke mari, dia pun segera menjulurkan
sebelah lengannya. Selarik gelombang Ultra Violet se-
gera menyebar ke segala penjuru dan menabrak segala
sesuatu yang menghalanginya. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dikeluarkan Buang Sengketa ternyata
membawa hasil. Paling tidak badai serangan gelap itu
menjadi sirna untuk sementara. Barulah mereka dapat
melihat dengan jelas, siapa adanya si penyerang itu.
Seorang laki-laki tinggi kurus bermuka lonjong
dengan kulit hitam, tersenyum sinis pada mereka. Di
belakangnya beberapa orang berseragam jubah hitam
nampaknya mengurung rapat-rapat tempat itu. Seo-
lah-olah tiada jalan keluar sedikit pun untuk mereka
bisa kabur. Melihat hal itu Buang Sengketa malah ke-
tawa ganda.
"Pucuk dicinta ulam tiba! Jauh-jauh dicari ter-
nyata malah datang sendiri mencari mati. Hak... hak...
hak...!" kata si pemuda. Pikirnya, tentulah mereka ini
orang-orang dari Persekutuan Iblis Hitam, sebab me-
nurut si gadis, gerombolan itu selalu berseragam jubah
hitam pada tiap anggotanya, seperti apa yang dilihat-
nya saat ini.
"Bocah, kematianmu telah di ujung mata, terta-
walah sepuas hati sebelum kami mencabut selembar
nyawamu yang tak berguna!" balas si muka lonjong si-
nis. Dia segera mengeluarkan sepasang trisula dari
pinggangnya. Agaknya orang ini tak suka berbasa basi
dan berdarah dingin, sebab tanpa penjelasan apa-apa
dia telah menyerang mereka berdua dengan jurus-
jurus yang mematikan.
Buang Sengketa tentu saja telah men-duga hal
itu, dan menyiapkan jurus tangkisan. Tapi tak terduga
sama sekali bahwa manusia bermuka lonjong itu lang
sung mengeluarkan ilmu silat kelas tinggi untuk
menghajarnya. Tentu saja si pemuda yang tak me-
nyangka demikian jadi kelabakan sendiri. Pikirnya,
pastilah lawannya saat ini anggota biasa dari gerombo-
lan itu, mengingat pakaiannya yang biasa saja dan
senjata di tangannya yang terlihat tidak luar biasa.
Akibatnya sungguh tak terduga buatnya. Dada si pe-
muda terkena goresan senjata lawan setelah dia beru-
saha menghindar dari satu pukulan yang dibarengi
dengan sapuan kaki.
Murid si Bangkotan Koreng Seribu itu terhuyung-
huyung kesakitan, dan darah segar mulai menetes dari
dadanya. Melihat itu si muka lonjong tertawa keras.
"Bocah! Engkau telah terkena Racun Kelabang
Hitam yang mematikan. Sebentar lagi tubuhmu akan
membiru dan kejang-kejang, dan setelah itu engkau
boleh menemui bapak moyangmu. Ha... ha... ha...!"
Tapi tak percuma Buang Sengketa sebagai ketu-
runan raja dari Negeri Bunian yang kebal terhadap ra-
cun apa pun. Yang membuatnya kesal hanya rasa pe-
nasaran dan jengkel akibat memandang rendah pada
lawan. Sambil kertakkan rahang menahan geram, ha-
wa kesadisan menyatu dalam jiwanya melihat kepada
manusia telengas itu. Dengan satu teriakan nyaring,
dia melesat ke arah lawan dengan mempergunakan
Jurus Si Jadah Terbuang. Suatu jurus handal yang ja-
rang dikeluarkan kalau tidak pada kejengkelan yang
memuncak. Tubuhnya berkelebat ke sana sini dengan
kecepatan yang sulit diikuti kasat mata.
Si muka lonjong yang dalam dunia persilatan di-
kenal sebagai si Kelabang Hitam, tokoh sesat yang pal-
ing ditakuti dalam dunia persilatan. Baik tokoh golon-
gan hitam maupun putih. Senjata trisulanya kelihatan
biasa tapi sebetulnya mengandung racun mematikan
yang tak terlihat dan tak berbau. Lawan yang tak men
getahui hal itu pasti akan menganggapnya remeh, dan
di situlah keberuntungan si Kelabang Hitam. Seperti
yang terjadi pada Buang Sengketa tadi. Tapi dia tak bi-
sa langsung bergirang, sebab setelah beberapa saat
berlalu, tak terlihat tanda-tanda bahwa si pemuda ter-
kena pengaruh racunnya. Malah serangannya semakin
hebat dan membuat si Kelabang Hitam jadi kerepotan
sendiri dibuatnya.
"Oh, jadi engkau yang bergelar si Kelabang Hitam
bermuka jelek itu?" ejek si pemuda sambil terkekeh
mempermainkan lawan. "Racun kelabangmu betul-
betul obat yang paling mujarab. Sebentar saja tubuhku
yang tadi pegal-pegal kini terasa segar untuk mengge-
buk mukamu yang jelek itu!" Ucapan si pemuda ter-
bukti ketika dalam satu kesempatan berhasil mengha-
jar lawan.
Kelabang Hitam merasakan punggungnya sakit
luar biasa terkena pukulan si pemuda. Untung saja
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu tak mengerah-
kan pukulan yang mematikan, kalau tidak, niscaya
nama Kelabang Hitam akan sirna saat itu juga.
Tapi manusia satu ini kedot luar biasa. Dalam
satu kesempatan dia merangkapkan kedua telapak
tangan setelah tadi trisulanya terpental dengan ten-
dangan susulan yang dilancarkan si pemuda. Meski di-
rasanya tenaga lawan sangat kuat, terbukti tangannya
masih kesemutan terkena hajaran si pemuda, tapi tak
nanti pemuda itu bisa melepaskan diri dari Pukulan
Arang Beracunnya, pikir si muka lonjong itu.
Segulungan uap hitam perlahan-lahan keluar da-
ri telapak tangannya. Untuk se-saat Buang Sengketa
terperanjat kaget. Naluri silumannya segera mengin-
gatkan akan bahaya yang mengancam keselamatan-
nya. Apalagi ketika perlahan-lahan uap itu membentuk
suatu sinar hitam yang melesat cepat ke arahnya. Bu
ru-buru pemuda itu berjumpalitan menghindari diri.
Terlihat olehnya batang pohon di samping warung
yang terkena pukulan itu tiba-tiba seluruh daun-
daunnya menjadi layu dan perlahan-lahan meranggas.
Pemuda itu bergidik sendiri membayangkan bila tu-
buhnya yang terkena pukulan itu.
Sementara itu si gadis sedang kerepotan meng-
hadapi kerubutan beberapa orang berjubah hitam. Pe-
dangnya berkelebat ke sana sini dengan kecepatan pe-
nuh. Namun tak seorang pun dari mereka yang terke-
na.
Gadis ini jadi penasaran sendiri dibuatnya. Bah-
kan beberapa kali dia kena didesak dan kerepotan un-
tuk menangkis serangan-serangan balasan. Hatinya
panas bukan main melihat keadaan itu, dan bertanya-
tanya, bila saja anak buahnya sudah begini hebat, ba-
gaimana dengan Singalodra sendiri? Berpikir begitu
timbul rasa putus asa dalam dirinya.
Sebenarnya si gadis tidak mengetahui bahwa
yang dihadapinya saat ini adalah sebagian pasukan in-
ti Persekutuan Iblis Hitam yang ditugaskan menjaga
desa ini dari kedatangan orang-orang asing yang dicu-
rigai seperti mereka. Sebagai pasukan inti, tentu saja
kepandaian mereka tak sembarangan. Rata-rata ilmu
silat mereka seimbang dengan kepandaian si gadis.
Maka tak heran kalau sebentar saja si gadis sudah
terdesak hebat, bahkan beberapa kali senjata lawan
hampir melukai tubuhnya.
"Jangan!" teriak salah seorang di antara mereka
ketika kawannya hendak membabat kutung sebelah
lengan gadis yang sudah terpojok tak berdaya ketika
sebelah kakinya kena dihantam lawan dan tubuhnya
jatuh berdebum ke tanah. "Gadis ini sangat cantik. Se-
baiknya kita persembahkan saja pada ketua!" lanjut-
nya. "Beliau pasti senang sekali dengan persembahan
kali ini. Sebaiknya ditotok saja agar gampang memba-
wanya."
Salah seorang segera bergerak hendak. menotok
gadis itu. Namun pada saat itu berkelebatlah selarik
gelombang sinar berwarna merah menghantam dua
orang di antara mereka, dan jerit kesakitan segera
mengiring kematiannya. Kawan-kawannya terkejut se-
tengah mati melihat itu. Reflek mereka segera menoleh
ke arah datangnya pukulan itu, dan terlihat pemuda
berkuncir yang sedang bertempur dengan si Kelabang
Hitam sedang terkekeh-kekeh.
"Iblis-iblis keparat! Apa kalian pikir bisa berbuat
seenaknya di hadapanku? Huh, jangan coba-coba un-
tuk berbuat kurang ajar pada gadis itu. Kalau tidak,
kalian rasakan sendiri akibatnya!" gertak si pemuda
sambil kiblatkan tangan dan kemudian selarik gelom-
bang merah menyala melesat cepat ke arah si Kelabang
Hitam. Masih bagus si muka lonjong itu bisa menghin-
darinya dan melancarkan serangan balasan dengan
pukulan Arang Beracunnya.
"Blaaar...!"
Dua pukulan beradu menimbulkan suara hebat.
Si Kelabang Hitam terhuyung-huyung beberapa tindak.
Dari sela-sela bibirnya keluar darah merah kehitam-
hitaman. Dia cepat bersila di tanah melancarkan jalan
darah dan atur pernafasan. Sementara si pemuda
hanya bergetar tubuhnya, namun tak urung jalan da-
rahnya terasa berdenyut kencang tak beraturan.
Dalam pada itu si gadis kembali mengamuk men-
gayunkan pedangnya ke sana sini dengan sebat. Seo-
lah semangatnya kembali bangkit ketika mengetahui
bahwa pemuda aneh yang sejak tadi berjalan bersa-
manya ternyata berilmu tinggi. Tapi walaupun kedua
kawannya telah tewas, tetap saja dia tak mampu un-
tuk mendesak orang-orang berjubah hitam itu. Kini
kembali mereka mendesaknya habis-habisan. Namun
pada saat itu, muncullah seseorang yang langsung
menghajar dua orang berjubah hitam itu hingga ter-
huyung-huyung sambil men-dekap dada. Si gadis se-
gera melirik pada orang yang baru muncul itu. Seorang
pemuda yang berwajah tampan, berambut pen-dek
dengan ikat kepala warna hitam serta berpakaian ser-
ba putih. Di pinggangnya terselip sebilah golok yang
agak panjang. Sesaat dia melirik pada gadis itu, dan
kembali menempur orang-orang berjubah hitam sete-
lah anggukkan kepala sambil tersenyum.
Sementara itu pertarungan antara Buang Seng-
keta dan si Kelabang Hitam telah mencapai persoalan
hidup atau mati. Si pemuda telah mencabut pusaka
Golok Buntung sambil mengeluarkan suara mendesis
laksana Ular Piton mengamuk. Dalam pada itu si Kela-
bang Hitam sangat terkejut melihat aksi si pemuda.
Apalagi ketika melihat senjata di tangannya yang men-
geluarkan sinar merah menyala, dibarengi dengan ha-
wa dingin yang menusuk hingga ke tulang sum-sum
dan suara berisik bagai auman puluhan harimau ter-
luka. Dia takjub untuk beberapa saat, namun kelen-
gahannya harus dibayar mahal karena senjata di tan-
gan si pemuda berkelebat dengan cepat ke pangkal le-
hernya.
"Craaas...!"
Si Kelabang Hitam tak sempat berteriak saat ke-
palanya menggelinding ke tanah. Beberapa orang ber-
jubah hitam yang melihat si Kelabang Hitam tewas,
ada yang coba-coba melarikan diri. Tapi kedua lawan-
nya tentu saja tak bisa membiarkannya begitu saja.
Lebih-lebih si gadis yang merasa sangat penasaran tak
mampu melukai lawan sedikit pun.
"Jangan harap kalian bisa pergi dengan bernya-
wa!" teriak si gadis sambil ayunkan pedang. Tapi hal
itu sia-sia, sebab sambil melompat menghindarkan di-
ri, orang itu lemparkan suatu bungkusan yang begitu
jatuh ke tanah, langsung menimbulkan asap tebal
yang menghalangi penglihatan. Begitu asap sirna,
orang-orang berjubah hitam itu tak terlihat lagi.
ENAM
Singalodra segera berdiri dari kursi dengan mata
melotot garang pada mereka. Kedua alisnya terangkat
tinggi-tinggi, dengan gerakan yang sangat cepat, tiba-
tiba tangannya telah menggenggam sebilah pedang
yang seluruh permukaannya berwarna hitam mengki-
lat. Pucatlah wajah orang-orang berjubah hitam di ha-
dapannya yang sejak tadi menundukkan kepala den-
gan wajah ketakutan.
"Buat Persekutuan Iblis Hitam, tak ada cerita un-
tuk melarikan diri dari pertempuran. Kalian telah me-
langgar hal itu dan membuat malu nama Persekutuan
Iblis Hitam. Kematian lebih pantas untuk kalian!" ucap
Singalodra dingin.
"Aaaa... ampun, Tuanku Singalodra. Ka...
kami berlima bukan bermaksud lari dari pertempuran.
Ta... tapi, siapa yang akan memberitahukan hal ini ke-
pada Tuanku kalau kami binasa semua...."
"Craaaaaas...!"
Kelima orang berjubah hitam itu segera melolong
setinggi langit ketika pedang di tangan Singalodra ber-
kelebat dengan cepat dan sulit diikuti kasat mata. Tu-
buh mereka segera ambruk dengan satu sabetan pan-
jang pada bagian dada. Namun tak satu pun di anta-
ranya yang mengeluarkan darah. Tubuh-tubuh mereka
pucat dan kering bagai mayat yang telah tergeletak
berhari-hari. Beberapa orang yang berada di situ ber
gidik bulu kuduknya menyaksikan hal itu. Dengan ta-
kut-takut beberapa orang yang membawa mayat-mayat
itu keluar.
"Peringatan buat kalian yang lain untuk jujur
mengikuti segala perintahku!" kata Singalodra sambil
putar pandangan ke seluruh ruangan. "Kalau kataku
harus pertahankan sesuatu, maka nyawa kalian taru-
hannya dan jangan kembali dengan nyawa melekat di
tubuh walau untuk alasan apa pun. Beda kalau kupe-
rintahkan kalian untuk merampok atau menculik pe-
rempuan-perempuan cantik. Kalian wajib menyela-
matkan selembar nyawa kalian bila musuh terlalu
tangguh untuk dihadapi. Ingat baik-baik hal itu!"
Setelah orang-orang yang berada di situ angguk-
anggukkan kepala, Singalodra segera menyuruh mere-
ka untuk keluar. Kecuali si Iblis Ular Hijau yang selalu
berada di sampingnya.
"Apakah mereka itu yang paman maksudkan
tempo hari?" tanya Singalodra pada si Iblis Ular Hijau
dengan wajah serius. "Apakah sekarang paman mera-
gukan bahwa ilmu silat Iblis Merah Darah yang diwa-
riskan ayahanda padaku adalah ilmu silat yang sulit
dicari tandingannya?"
Iblis Ular Hijau hela nafas panjang sebelum men-
jawab pelan. "Ilmu silat ayahandamu memang hebat
dan sulit dicari tandingannya. Si Rajawali Bukit Seribu
beserta dua kembratnya itu tak mungkin mampu men-
galahkan ayahandamu kalau beliau tak terluka parah
akibat pertarungan dengan salah seorang tokoh kosen
yang sulit dicari tandingannya...."
"Siapa? Siapa tokoh yang paman maksudkan
itu?!" Singalodra nampak penasaran sekali. Pasalnya
dia yakin sekali bahwa ilmu silat yang dimilikinya saat
ini, tak ada yang menandingi.
"Tokoh itu berasal dari Barat dan malang melintang di tanah ini, dan banyak menaklukkan tokoh-
tokoh sesat golongan hitam. Salah satu di antaranya
adalah kami berdua pada saat itu. Seluruh tubuhnya
penuh dengan bercak-bercak koreng, itulah sebabnya
dia mendapat julukan si Bangkotan Koreng Seribu.
Senjata andalannya adalah sebuah pecut yang apabila
dilecutkan akan menimbulkan awan gelap dan petir
yang menggelegar bagaikan badai alam yang dahsyat.
Hanya karena kekuatan ilmu tenaga dalam ayahan-
damu sajalah yang menyebabkan dia tidak langsung
tewas ketika pecut itu menghantam tubuhnya. Tapi dia
terluka parah dan tak seorang pun bisa menyembuh-
kannya. Barangkali pun kematiannya hanya tinggal
waktu saja. Itulah sebabnya dia masih sempat menulis
kitab ilmu silatnya yang kelak akan diwariskan pada-
mu. Jadi sebenarnya tidak benar bahwa ayahandamu
mati di tangan Rajawali Bukit Seribu beserta dua kem-
bratnya itu. Meski mereka bertiga punya ilmu yang tak
bisa dipandang enteng, namun untuk melawan Iblis
Merah Darah, mereka tak akan ungkulan. Dengan lu-
ka berat yang dideritanya, mereka bertiga hanya mem-
percepat kematiannya saja...."
"Tapi apa hubungan cerita paman itu dengan me-
reka?!" tanya Singalodra tak sabar.
"Ada," sahut Iblis Ular Hijau tenang. "Aku pernah
bertempur dengan si pemuda berkuncir yang dicerita-
kan orang-orangmu yang telah engkau bunuh tadi.
Ada beberapa gerakan ilmu silatnya yang kukenal san-
gat mirip dengan ilmu silatnya tokoh itu. Kalau benar
dia muridnya, pastilah hal ini akan mengancam Perse-
kutuan Iblis Hitam!"
"Paman, jangan coba-coba untuk melemahkan
semangatku. Ilmu silat Iblis Merah Darah tak ada tan-
dingannya, dan aku sendiri telah membuktikan hal itu.
Sejauh ini tak ada seorang pun yang mampu menahan
ajian Kidung Neraka!" sahut Singalodra tersenyum si-
nis.
"Singalodra, paman pun mengakui hal itu, tapi
tugas paman saat ini hanya sebagai penasehat. Kalau-
kalau hal itu memang benar, tapi syukur kalau hal itu
cuma omong kosong belaka. Namun walau bagaimana
pun kita patut waspada...."
"Aku tidak gentar, Paman!" potong Singalodra ce-
pat. "Dan kuharap pun paman bukan hanya mencari-
cari alasan karena takut menghadapi pemuda itu sete-
lah merasakan ilmu silatnya."
Iblis Ular Hijau segera terkekeh panjang. Lalu
berkata pelan namun terasa bahwa ia tersinggung
dengan ucapan ketua Persekutuan Iblis Hitam tadi.
"Iblis Ular Hijau selamanya tak pernah takut
menghadapi siapa pun asal orang itu bukan si Bangko-
tan Koreng Seribu!"
"Nah, sekarang paman bawa beberapa orang pili-
han untuk meringkus mereka dan tunjukkan padaku
bahwa paman adalah tokoh golongan hitam yang tak
takut menghadapi siapa pun!"
"Maksudmu engkau ingin agar kami meringkus
mereka? Kenapa tak sekalian membunuhnya saja?"
"Begitu lebih baik. Tapi ingat, jangan ciderai ga-
dis itu!" Singalodra tersenyum penuh arti. "Paman ta-
hu maksudku bukan?"
Iblis Ular Hijau kembali terkekeh panjang sebe-
lum berlalu dari ruangan itu.
***
Sore telah berganti malam ketika ketiganya telah
beranjak dari desa itu. Mereka terpaksa menginap di
dalam sebuah hutan yang lumayan lebat. Tapi untung,
agaknya laki-laki itu telah terbiasa dengan kehidupan
demikian, sebab tak berapa lama kemudian dia berha-
sil menangkap dua ekor kelinci untuk santap malam
mereka.
"Tidak terlalu gemuk, tapi lumayan untuk peng-
ganjal perut!" katanya tersenyum sambil menyalakan
api dari batu pemantiknya. Sebentar kemudian setum-
puk api unggun mulai menerangi wajah ketiganya.
Pemuda itu mulai memanggang hasil buruannya. Se-
mentara dua orang kawannya sebentar-sebentar mem-
bantu membolak baliknya.
"Jadi engkau satu-satunya murid Kilat Buana
yang berhasil meloloskan diri?" tanya si gadis sambil
mencicipi sekerat daging.
"Ya. Aku terpaksa kabur ketika kulihat semua
kawan-kawan yang lain dibantai mereka dengan san-
gat keji. Tapi tak jauh dari desa itu. Aku mencari-cari
kesempatan untuk menghancurkan mereka secara
perlahan-lahan, sambil menunggu pendekar-pendekar
golongan putih yang singgah ke sini dan bergabung
bersama-sama menghancurkan Persekutuan Iblis Hi-
tam itu."
"Memang keterlaluan mereka!" cetus pemuda
dengan rambut dikuncir. Dia hanya menolak ketika
daging kelinci itu sudah matang dan si gadis menyo-
dorkan sekerat untuknya, sebab di tangannya sendiri
masih tersisa beberapa potong dendeng lumba-lumba
yang selalu tersedia cukup dalam periuk besar yang
selalu dibawa-bawanya. Barangkali mereka berdua be-
lum terbiasa, hingga menolak saat ditawarkannya tadi.
Mungkin juga karena si pemuda berbaju putih itu me-
rasa bahwa soal makanan tak terlalu merepotkannya.
Buktinya dia dengan gampang mendapatkan dua ekor
kelinci itu.
"Barangkali kalian hanya tahu bahwa apa yang
mereka lakukan cuma sekedar me-rampok dan mem
buat onar di mana-mana...." Pemuda itu menghentikan
ucapannya untuk beberapa saat. "Tapi lebih dari itu,"
katanya melanjutkan, "Mereka adalah sekumpulan ib-
lis cabul tukang memperkosa anak bini orang, dan sa-
lah satu korban mereka adalah...." Pemuda itu tak me-
neruskan kata-katanya. Dia menundukkan kepala
dengan wajah gundah. Dari cahaya api unggun yang
menjilat wajahnya, terlihat bahwa pemuda itu sangat
berduka.
"Kenapa, Saudara Jaka Sumbawa?" tanya pemu-
da berkuncir itu heran.
"Tunanganku pun yang tinggal di desa itu turut
menjadi korban mereka. Aku tak tahu bagaimana na-
sibnya saat ini, tapi apa pun yang terjadi dengannya,
aku bersumpah akan membunuh Singalodra dengan
tanganku!" katanya dengan wajah beringas. Tangannya
terkepal dengan kuat hingga terlihat otot-otot di buku-
buku jarinya menegang. Kemudian dia berpaling pada
pemuda berkuncir itu. Lalu katanya pelan. "Saudara
Buang Sengketa, bila perjalanan kita telah tiba di sa-
na, aku minta agar Singalodra bagianku!"
"Kalau saja anak buahnya sedemikian hebat, ten-
tulah Singalodra berilmu tinggi. Barangkali dia bukan
tandinganmu, Saudara Jaka Sumbawa. Biarlah aku
yang mewakili engkau untuk menempurnya...."
"Tidak!" sahut pemuda itu sengit. "Dia harus mati
di tanganku agar dendamku terbalas impas! Di depan
mataku mereka membunuh guru yang telah menga-
suhku sejak kecil dan telah kuanggap sebagai orang-
tua ku sendiri, kemudian membunuh saudara-saudara
seperguruanku, dan terakhir di depan mataku sendiri
menculik tunanganku tanpa aku bisa berbuat apa-
apa!"
Pemuda berkuncir yang tak lain adalah Buang
Sengketa, putra raja dari Negeri Bunian dan murid dari
si Bangkotan Koreng Seribu itu tundukkan kepala un-
tuk beberapa saat. Dia dapat memahami apa yang di-
rasakan si pemuda, tapi kalau untuk berlaku nekad
seperti itu, sama halnya dia dengan mengantarkan
nyawa dengan per-cuma. Kalau saja melawan anak
buah Singalodra yang memporak porandakan pergu-
ruannya dan menculik tunangannya di depan mata
sendiri dia tak mampu untuk melawan, apalagi meng-
hadapi Singalodra sendiri seperti tekadnya tadi. Buang
Sengketa hela nafas pendek.
Seperti kita tahu, ternyata pemuda itu adalah
orang yang mereka temui di desa yang tak begitu jauh
dari Perguruan Kilat Buana, yang ikut membantu si
gadis ketika dikerubuti orang-orang Persekutuan Iblis
Hitam. Setelah tak menemui siapa-siapa lagi di sana,
mereka akhirnya bertekad untuk menyambangi Singa-
lodra di tempat kediamannya di Bukit Seribu. Apalagi
setelah mereka mengetahui ternyata si pemuda beril-
mu cukup tinggi, semangat mereka tambah menyala
untuk menghadapi ketua Persekutuan Iblis Hitam itu
beserta anak buahnya.
Dalam pada itu malam semakin kelam. Jaka
Sumbawa telah tertidur lelap bersama angan-
angannya untuk membebaskan tunangannya dan
membunuh Singalodra di sarangnya sendiri. Sementa-
ra Buang Sengketa sendiri masih tidur-tidur ayam tak
jauh dari tempat pemuda itu. Matanya akhirnya terbu-
ka lebar menengadah ke langit hitam di angkasa sete-
lah sekian lama terpejam tak juga mau terlelap. Ba-
nyak hal yang dipikirkannya selama ini, dan hal itu
akan kembali melintas pada saat-saat sepi seperti saat
ini. Kenangan ketika bersama gurunya si Bangkotan
Koreng Seribu ketika mereka masih bersama-sama di
pantai karang Tanjung Api, kemudian ayahandanya
yang bertapa entah di mana dalam ujud seekor ular
raksasa. Semua hal itu membuat batinnya seakan teri-
ris-iris mengingat hidupnya yang seorang diri tanpa
sanak saudara.
Tiba-tiba reflek dia bergerak ketika merasakan
sesuatu yang mendekat secara perlahan ke arahnya.
Hela nafasnya lega ketika mengetahui siapa bayangan
itu. Ternyata si gadis yang berjalan mendekatinya dan
tersipu malu ketika pemuda itu mengetahuinya. Dia
menundukkan kepala sambil duduk di depan api un-
ggun mengais-ngais beberapa potong kayu yang
ujungnya membara.
"Ada apa?" tanya si pemuda pelan. Si gadis itu
masih tetap menunduk tak menjawab. Buang Sengketa
segera bangkit mendekatinya dan duduk di sebelah
gadis itu sambil mengangsurkan kedua telapak tan-
gannya di atas api unggun. Kemudian menggosok-
gosokkannya.
TUJUH
"Malam ini terasa dingin, ya?" lanjut si pemuda
itu mencari-cari bahan omongan. Gadis itu melirik se-
kilas padanya sambil tersenyum. Murid si Bangkotan
Koreng Seribu itu pun tak menyia-nyiakan kesempatan
untuk membalas senyumnya.
"Kenapa tidak tidur?"
"Karena tidak mengantuk," sahut si pemuda ber-
canda.
"Engkau tentu sangat lelah sekali, ya?" Gadis itu
tak menggubris.
"Tidak! Aku telah terbiasa hidup seperti ini...."
"Engkau tidak merasa kesepian...?"
"Kadang-kadang."
"Saat ini aku merasa hidup sendiri tanpa sanak
saudara. Keluargaku dibantai dengan keji oleh orang-
orang Persekutuan Iblis Hitam, begitu pun dengan
guru serta saudara-saudara seperguruanku. Masih un-
tung saat itu aku tak berada di tempat, kalau tidak,
entah apa yang terjadi denganku." Si gadis menghela
nafas pendek untuk beberapa saat sebelum melan-
jutkan ucapannya. "Menghadapi anak buah Singalodra
saja aku sudah merasa kerepotan, apalagi coba-coba
untuk membalas dendam dengan iblis keparat itu. Ra-
sanya sampai kiamat pun aku tak akan mampu...."
"Engkau tak boleh berkata begitu. Di atas langit
masih ada langit, begitu pun dengan ilmu silat. Biar
Singalodra malang melintang tak terkalahkan selama
ini, belum tentu tak ada orang yang bisa mengalah-
kannya."
"Oh, engkau mau membalaskan sakit hati ku pa-
danya?" seru si gadis girang. Wajahnya penuh harap
menatap si pemuda berkuncir itu. Tanpa sadar jari-
jarinya mencekal lengan si pemuda. Dia baru tersadar
ketika Buang Sengketa merasa rikuh dan serba salah.
"Oh... ng... maaf," katanya melanjutkan sambil
membuang muka setelah tersipu-sipu tadi. "Tunangan
mu pasti akan cemburu jika melihat hal ini."
"Aku tak punya tunangan siapa-siapa...."
"Orang seperti engkau pasti suka berbohong.
Mana mungkin engkau tak punya tunangan...."
"Betul! Mana ada orang yang mau pada gembel
sepertiku ini."
Gadis itu palingkan wajah sambil memperhatikan
wajah Buang Sengketa untuk beberapa saat. Diperha-
tikan sedemikian rupa, murid si Bangkotan Koreng Se-
ribu itu jadi salah tingkah sendiri.
"Ada yang aneh pada mukaku?"
Si gadis malah tersenyum kecil. "Aku melihat ro-
na kejujuran di wajahmu, dan... aku.... aku suka seka
li pada laki-laki yang jujur," kata si gadis melanjutkan
dan kembali palingkan wajah sambil tersipu-sipu sete-
lah berkata begitu. "Tapi... melihat keadaanku seperti
ini, tentu aku tak punya harga sama sekali di hada-
panmu...."
Buang Sengketa mengerti apa yang dirasakan ga-
dis itu. Meski dengan jari-jari yang gemetaran, dia
paksakan diri untuk mencekal pergelangan gadis itu
sambil berkata pelan. Suaranya pun terdengar ga-
mang.
"Aku... aku bahkan yang merasa tak berharga...."
Si gadis kembali menoleh, dan meremas jemari
pemuda itu. Wajahnya lekat menatapnya. Ada nuansa
haru yang tersirat lewat tatapannya, dan membuat
murid si Bangkotan Koreng Seribu itu menjadi rikuh.
"Buang.... eh, boleh aku memanggilmu begitu?"
Setelah si pemuda mengangguk pelan, dia kembali
meneruskan kata-katanya. "Aku... aku tak pernah me-
rasa suka pada laki-laki lain seperti aku suka pada-
mu...." Dia tak meneruskan kata-katanya untuk bebe-
rapa saat, melainkan menatap si pemuda lekat-lekat
seakan mencari sesuatu di wajah pemuda tampan itu.
"Ng... apakah engkau pun suka padaku...?"
"Ya, aku suka sekali padamu...." sahut si pemuda
masih dengan suara yang bergetar. Tiba-tiba dia mera-
sa kelabakan ketika dengan tiba-tiba si gadis memeluk
tubuhnya erat-erat dan memberi ciuman di bibirnya.
Pemuda itu jadi salah tingkah untuk beberapa saat
dan tak tahu harus berbuat apa. Dia baru tersadar ke-
tika gadis itu mengejeknya pelan.
"Kini aku percaya bahwa engkau belum pernah
kenal perempuan...." katanya sambil tersenyum penuh
arti. "Mulanya kupikir engkau pasti seorang laki-laki
mata keranjang yang selalu punya kekasih di mana-
mana, ternyata dugaanku salah. Dalam ilmu silat engkau boleh merasa hebat, tapi menghadapi perempuan
engkau tolol sekali!" Gadis itu tertawa ngikik pelan.
Seolah-olah takut suaranya terdengar oleh Jaka Sum-
bawa yang sedang terlelap tak jauh dari mereka.
"Aku memang tolol, tapi bukan berarti aku tak
bisa berdekatan dengan seorang perempuan. Kalau
engkau ingin bukti, ini!" kata Buang Sengketa cepat
menarik lengan gadis itu hingga wajahnya persis ber-
hadap-hadapan. Kemudian dengan tiba-tiba mencium
gadis itu, lamaaaaaa sekali! Seolah-olah keheningan
malam larut bersama mereka dan api unggun yang jadi
saksi atas kemesraan itu.
"Uh, nakal!" jerit si gadis pelan begitu lepas dari
cengkeraman si pemuda. Dia bersungut-sungut sendi-
ri, namun tersenyum ketika melihat si pemuda cen-
gengesan. Lalu dengan suara pelan, dia berkata:
"Engkau tentu akan segera meninggalkanku begi-
tu selesai dengan tugas ini, bukan?"
"Tidak. Aku akan mengajakmu serta ke mana sa-
ja aku pergi."
"Sungguh?!"
Si pemuda mengangguk pasti. Gadis itu baru saja
akan melampiaskan kegembiraan-nya dengan meme-
luk pemuda itu, namun reflek telinganya yang tajam
mendengar sesuatu. Buang Sengketa pun merasakan
hal itu. Dengan cepat dia berguling ke arah Jaka Sum-
bawa untuk membangunkannya. Tapi hal itu ternyata
tak perlu, sebab pemuda itu telah mengetahui anca-
man yang akan segera datang.
"Uap racun! Tutup jalan nafas kalian!" perintah
Buang Sengketa ketika naluri hewannya merasakan
sesuatu yang selama ini begitu akrab dengannya, bah-
kan melindunginya dari hal yang sejenis.
Kedua orang itu segera mengerjakan apa yang
disuruh oleh pemuda berkuncir itu. Tiba-tiba mereka
melihat selarik gelombang Ultra Violet yang dilancar-
kan pemuda itu ke segala arah. Malam yang dingin di-
pecahkan oleh suara menggelegar pohon-pohon yang
tumbang dihantam sinar itu. Barangkali mereka tak
tahu di mana posisi lawan saat ini. Gelapnya malam
dan banyaknya pepohonan di sekitar situ membantu
pihak lawan untuk bersembunyi dari penglihatan me-
reka.
Jaka Sumbawa segera bertindak dengan cepat
mematikan api unggun agar mereka tak menjadi sasa-
ran empuk lawan. Tapi begitu dia selesai memadam-
kan api, tiba-tiba terdengar jerit tertahan beberapa
orang yang disusul jatuhnya orang-orang berjubah hi-
tam dari pepohonan. Tapi kekagetan itu hanya ber-
langsung beberapa saat, karena sedetik kemudian,
terdengar teriak berkepanjangan dari segala pen-juru
mengepung tempat itu dan langsung menyerang mere-
ka. Mau tak mau ketiganya terpaksa mengadakan per-
lawanan dalam keadaan gelap begitu rupa.
Dari beberapa orang yang dirontokkan si pemuda
berambut dikuncir itu tahulah mereka bahwa penye-
rang-penyerang ini adalah anggota Persekutuan Iblis
Hitam. Itulah yang menyebabkan mereka tak lagi
sungkan-sungkan untuk mengeluarkan senjatanya
dan langsung membabat ke segala arah. Beda dengan
Buang Sengketa. Buatnya mengeluarkan senjata itu
adalah dalam posisi yang sangat terjepit sekali. Dia tak
akan sembarangan mengeluarkan dua senjata pusa-
kanya.
Dalam pada itu si gadis yang bernama Puji Lesta-
ri dan Jaka Sumbawa dibuat ka-get. Pikiran mereka
pastilah anggota-anggota Persekutuan Iblis Hitam ini
adalah anggota biasa yang kebetulan menemukan me-
reka sedang bermalam di hutan ini. Jadi dengan satu
sabetan dan hunuskan senjata, mereka dengan gampang akan dibinasakan. Tapi dugaan itu keliru. Lawan
yang mereka hadapi ternyata punya kepandaian yang
tak jauh di bawah mereka. Bahkan beberapa orang be-
rada di atas ilmu silat mereka. Melihat keadaan itu, be-
tapa mereka jadi bingung. Belum lagi ditambah dengan
sua-sana yang gelap gulita. Jelas mereka lebih banyak
mengandalkan pendengarannya ketimbang pengliha-
tan semata.
Puluhan jurus telah berlangsung. Nam-pak si
pemuda berkuncir itu agak kerepotan ketika lima
orang berkepandaian tinggi mengepungnya dari sege-
nap penjuru. Kalaupun di antara mereka ada yang
pernah dikenalnya, paling-paling si Iblis Ular Hijau.
Tapi keempat orang lagi bukanlah orang sembarangan.
Satu orang yang bersenjata sebuah lingkaran baja
yang ujung-ujungnya terdapat jarum-jarum sebesar
kelingking, dikenai sebagai si Gelang-gelang Terbang.
Dia adalah salah seorang pentolan tokoh golongan hi-
tam. Kemudian tiga orang laki-laki berkepala botak
dengan senjata gada berduri di tangannya lebih dike-
nai sebagai Setan Lembah Neraka.
Sambil kertakkan rahang menahan geram, tu-
buhnya berkelebat ke sana sini dengan menggunakan
jurus Membendung Gelombang Menimba Samudra,
menghindari kejaran sepasang gelang berduri milik si
Gelang-gelang Terbang yang seolah bermata mengejar-
nya ke mana saja menghindar.
Sekali-sekali dia juga lancarkan pukulan Empat
Anasir Kehidupan ke arah mereka. Dan selarik gelom-
bang Ultra Violet segera menghajar kelima orang-orang
itu. Tapi mereka bukanlah orang sembarangan. Nama
kelima tokoh itu telah dikenal sebagai tokoh golongan
sesat yang selain ganas dan telengas terhadap musuh-
musuhnya, mereka juga berkepandaian cukup tinggi.
Buang Sengketa juga merasakan hal itu. Lebih-lebih
mereka kini berlima mengeroyoknya dengan menggu-
nakan jurus jurus yang mematikan. Sebentar saja ter-
lihat bahwa dia terdesak cukup hebat. Bahkan dalam
suatu kesempatan, bahunya kena keserempet gelang
berduri itu setelah menghantamnya.
"Bocah! Kematianmu telah berada di ambang pin-
tu!" ejek si Gelang-gelang Terbang. "Sebentar lagi tentu
engkau akan menyusul ibumu, dan mengadu padanya
di akhirat!"
"Ah, ternyata aku salah duga." sambung si Iblis
Ular Hijau. "Kukira engkau ada sangkut pautnya den-
gan si Bangkotan Koreng Seribu, ternyata cuma seekor
tikus yang tak patut hidup lebih lama. Seekor tikus
yang hendak mengaum pada sekumpulan harimau la-
par!" Orangtua dengan wajah berlipat-lipat itu tertawa
ngakak.
Mendengar ejekan itu, bukan main marahnya si
pemuda dari Negeri Bunian itu. Dia segera berdiri te-
gak dan kembali mainkan satu jurus ampuhnya yaitu
si Jadah Terbuang untuk menghadapi mereka. Sekali-
sekali dari telapak tangannya keluar selarik gelombang
pukulan berwarna merah menyala. Itulah pukulan Si
Hina Kelana Merana yang sangat dahsyat. Jangankan
tubuh manusia yang terkena, seekor banteng liar yang
sangat tangguh dan kuat pun akan hangus terbakar
bila terkena pukulan itu. Tapi si pemuda tak cukup
berhenti sampai di situ. Begitu lawan mulai terkocar
kacir menghindari serangan dan jurus-jurusnya, dia
mulai menghantam mereka dengan salah satu jurus
ampuhnya yaitu si Gila Mengamuk.
"Buk....! Buk...! Buk...! Buk...!"
Setan Lembah Neraka beserta si Gelang-gelang
Terbang segera terjengkang sambil keluarkan darah
segar dari mulutnya yang terkena hantaman si pemu-
da. Sedangkan si Iblis Ular Hijau masih beruntung bi
sa menghindar sambil ayunkan tongkat ularnya menu-
suk ke jantung Buang Sengketa. Terpaksa pemuda itu
menarik kepalan tangannya dan jumpalitan menghin-
dari sambaran ujung tongkat yang berbalik menyam-
bar-nyambarnya. Dalam keadaan seperti itu, dia pen-
tangkan tangan, dan selarik gelombang merah menyala
segera melesat ke arah Iblis Ular Hijau. Orangtua itu
segera memapagnya dengan suatu pukulan jarak
jauhnya.
"Blaaar...!"
Suatu benturan dahsyat terjadi antara sinar me-
rah menyala yang keluar dari tangan si pemuda, den-
gan pukulan Ular Hijau berwarna hijau keputih-
putihan yang dikeluarkan si Iblis Ular Hijau. Pemuda
itu mental satu tombak, namun cepat kembali tegak di
atas kakinya sambil mengatur jalan nafasnya yang ter-
kacau akibat benturan itu. Dari mulutnya keluar da-
rah segar.
DELAPAN
Keadaan si Iblis Ular Hijau ternyata lebih parah
lagi. Setelah berguling-guling beberapa tombak, dari
mulutnya muntah darah yang berwarna merah kehi-
tam-hitaman. Dia segera bersila untuk atur jalan nafas
ketika Buang Sengketa telah bersiap lancarkan satu
pukulan kembali. Masih untung nyawanya bisa terse-
lamatkan saat si Gelang-gelang Terbang dan Setan
Lembah Neraka memapak serangan si pemuda. Pemu-
da itu kembali terpental beberapa tombak. Dadanya te-
rasa sesak, dan seluruh peredaran darahnya terasa
kacau. Darah meleleh dari bibir serta kedua lobang hi-
dungnya. Agaknya gabungan tenaga dalam si Gelang-
gelang Terbang beserta tiga orang botak yang tergabung dalam Setan Lembah Neraka sangat dahsyat.
Bukan saja si pemuda tak sempat untuk bangkit, un-
tuk bergerak pun rasanya sudah kepayahan. Untuk
beberapa saat pikirannya ngawang entah ke mana
sampai dia mendengar sesuatu yang sangat dikenal-
nya.
"Tidak! Tidaaaaaak...!"
"Sudah cepat bawa!" teriak seseorang.
"Dia masih melawan!" sahut yang lain.
"Totok saja! Cepaaaaaaat! Goblok!"
"Ya, ya...."
Lalu beberapa saat kemudian sepi, tapi dia sadar.
Ada sesuatu yang tak beres dengan gadis itu. Berpikir
sampai di situ Buang Sengketa menyadari bahaya yang
sedang mengancam. Bukan saja untuk dirinya, tapi
juga untuk kedua orang kawannya. Perlahan-lahan
tangannya bergerak mencabut pusaka Golok Buntung
di pinggangnya. Begitu senjata itu tergenggam di tan-
gannya, terasa aliran darahnya perlahan-lahan kemba-
li normal, dan dadanya pun terasa lapang meski rasa
nyeri masih terasa. Perlahan-lahan dia bangkit dan
bersila untuk menghimpun tenaga murni. Ketika pan-
dangannya mengarah pada lawan, terlihat kelima
orang itu pun telah bersiap-siap akan menempurnya.
Tapi mereka seakan terperanjat kaget dengan senjata
yang dikeluarkan si pemuda. Terasa hawa dingin yang
menusuk hingga ke sum-sum tulang. Belum lagi sinar
merah menyala yang menyelubungi senjata itu seakan
mengandung hawa kematian yang dahsyat.
Kelima orang itu baru tersentak ketika si pemuda
berkelebat dengan cepat sambil mengeluarkan suara
mendesis-desis dari mulutnya seperti seekor ular yang
sedang marah, dan senjata di tangannya pun menge-
luarkan suara menakutkan bagai puluhan harimau
terluka. Belum sempat mereka menduga-duga seran
gan lawan, suatu bayangan melintas dengan cepat ke
arah pangkal leher.
"Cras...! Cras...! Cras...! Cras...! Trak...!"
Kepala si Gelang-gelang Terbang dan tiga orang
Setan Lembah Neraka segera menggelinding. Iblis Ular
Hijau dengan kepandaian dan geraknya yang cepat
masih sempat menghindar dari serangan si pemuda
dan menghantamkan tongkat ular di tangannya. Tapi
benda itu terbabat kutung dihantam pusaka Golok
Buntung di tangan si pemuda.
Iblis Ular Hijau tersentak kaget melihat senja-
tanya kutung menjadi dua bagian. Belum lagi habis
rasa terkejutnya, selarik gelombang pukulan berwarna
merah menyala yang dilepaskan si pemuda menghan-
tamnya bertubi-tubi. Terpaksa si orangtua berwajah
buruk itu jumpalitan menghindarkan diri. Namun saat
itu juga melesatlah kilatan cahaya merah menyala me-
nyambar pangkal lehernya, dan.....
"Cras...!"
Iblis Ular Hijau tak sempat lagi berteriak ketika
kepalanya menggelinding dari tubuhnya terbabat pu-
saka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Pe-
muda itu palingkan mata ke sekeliling tempat. Tak ada
siapa-siapa lagi di situ. Beberapa orang mayat berju-
bah hitam nampak tergeletak di situ, dan yang mem-
buatnya merasa iba justru mayat si pemuda berpa-
kaian putih itu pun ikut tergeletak di sana. Teringatlah
dia akan cita-cita si pemuda yang akan membunuh
Singalodra dengan kedua belah tangannya sendiri. Ta-
pi bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi jika meng-
hadapi anak buah Persekutuan Iblis Hitam pun dia tak
mampu bahkan harus menemui ajal. Perlahan dia ber-
jongkok sambil pandangi wajah pemuda itu dan ber-
gumam
"Sobat, biarlah nanti aku balaskan dendammu
pada Singalodra. Mudah-mudahan aku mampu mele-
nyapkan iblis sesat itu. Tenangkanlah dirimu di akhi-
rat sana..."
Tiba-tiba matanya mencari sesuatu. Ke mana ga-
dis itu? Apakah dia pun tewas? Mengingat itu Buang
Sengketa segera mencari-cari ke sekeliling tempat itu,
namun setelah berputar-putar beberapa kali, tak juga
ditemukannya si gadis. Dia mulai mengingat-ingat ke-
jadian tadi saat dirinya dalam keadaan kritis dan men-
dengar suara-suara yang membangkitkan semangat-
nya. Teringat itu dia sudah bisa menduga-duga bahwa
gadis itu pasti telah dilarikan oleh beberapa orang ang-
gota Persekutuan Iblis Hitam. Darahnya mulai mendi-
dih dan menjalar hingga ke ubun-ubun ketika teringat
bahwa Singalodra dan orang-orang sesat di Perseku-
tuan Iblis Hitam adalah sekumpulan manusia-manusia
cabul. Bagaimana dengan nasib Puji Lestari?
Buang Sengketa segera genjot tubuhnya dengan
menggunakan ajian Sepi Angin.
Sebentar saja dia telah lenyap dari pandangan,
dan tujuannya saat ini hanya satu tempat, Bukit Seri-
bu!
Singalodra menyeringai buas melihat tubuh mo-
lek tak berdaya di tempat tidurnya. Matanya hendak
melotot ke luar ketika satu persatu tangannya melucu-
ti pakaian gadis itu dan melihat keindahan tubuhnya.
"Bangsat cabul! Lepaskan aku...! Keparat! Akan
kubunuh engkau! Lepaskan aku dari totokan ini biar
kita bertempur hingga seribu jurus! Bangsat pengecut!
Lepaskaaaaaan...!"
Tapi mana mau Singalodra melepaskan begitu sa-
ja buruan yang telah didapatnya dengan susah payah.
"Jangan harap aku akan melepaskanmu begitu saja.
Harga mu terlalu mahal, dan aku harus menebusnya
dengan beberapa orang terbaikku yang binasa. Mana
mungkin aku melepaskanmu," katanya tersenyum
puas.
"Iblis pengecut! Singalodra, engkau tak akan le-
pas dari tanganku!" ancam si gadis. Mendengar itu
Singalodra hanya tersenyum kecil sambil julurkan dua
jarinya.
"Tuk!"
Sebentar saja si gadis tak mampu berteriak-teriak
karena urat suaranya telah tertotok. Dia hanya bisa
melotot garang ketika melihat Singalodra tersenyum
buas sambil melepaskan pakaiannya satu persatu.
Kemudian perlahan-lahan menggerayangi tubuhnya.
Gadis itu tak mampu berbuat sesuatu untuk memper-
tahankan kehormatannya. Dari matanya hanya mele-
leh air mata hangat yang membasahi pipinya perlahan-
lahan. Dadanya penuh dengan dendam sedalam lautan
pada orang di hadapannya itu. Tapi apalah dayanya
saat ini. Jangankan untuk menempur ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam itu, untuk menggerakkan tubuhnya
pun dia tak mampu.
"Percuma engkau berontak, Manis. Engkau tak
akan mampu melepaskan diri dari totokanku. Aku ma-
sih memerlukanmu untuk beberapa hari lagi sebelum
engkau ku-berikan pada anak buahku!" kata Singalo-
dra sambil tertawa terbahak-bahak. "Paling tidak kalau
engkau cukup punya tenaga dalam yang hebat engkau
akan terlepas dari totokan itu dalam tempo yang cu-
kup lama. Tapi saat itu pula engkau harus kembali
melayaniku." Kembali Singalodra tertawa panjang
hingga gemanya berputar-putar di ruangan itu. Gadis
itu dapat merasakan telinganya sakit luar biasa men-
dengar tawa Singalodra yang diiringi tenaga dalam
yang hebat. Matanya hanya mampu melotot parang ke
arah orang itu.
"Percuma engkau marah-marah. Lebih baik engkau menurut saja apa yang kukatakan, tentu engkau
tak akan menderita seperti ini. Tapi aku terpaksa ber-
buat begini karena tindakanmu juga. Kalau engkau
mau bersikap baik, paling tidak aku akan mele-
paskanmu dari totokan."
Tapi mana mau gadis itu menurut begitu saja
pada apa yang dikatakan Singalodra setelah barusan
apa yang dilakukan manusia itu terhadapnya. Saat ini
dalam benaknya hanya ada satu kata, yaitu membu-
nuh manusia keparat itu dengan tangannya sendiri.
Kembali matanya melotot garang pada manusia di ha-
dapannya itu.
Singalodra melihat itu bukannya malah takut, te-
tapi kembali bangkit nafsu setannya. Apalagi sejak tadi
dia membiarkan perempuan itu tergolek tanpa sehelai
benang pun melekat di tubuhnya. Berkali-kali matanya
menatap nyalang pada bagian-bagian tertentu di tubuh
gadis itu sembari menyeringai buas bagai hewan buas
kelaparan melihat santapan di depannya. Dan ketika
mata gadis itu melotot garang, dia tak dapat mengen-
dalikan nafsu setannya. Dan untuk kedua kalinya ter-
paksa gadis itu melayani kebuasan ketua Persekutuan
Iblis Hitam itu tanpa mampu memberi perlawanan se-
dikit pun. Dia hanya bisa mengeluarkan air mata dan
menjerit-jerit pilu di relung hatinya.
Setelah puas melampiaskan nafsu setannya, Sin-
galodra segera keluar dari kamarnya sambil tertawa-
tawa puas.
Gadis itu masih terisak-isak pilu menyesali na-
sibnya yang buruk. Namun tak satu pun suaranya ter-
dengar ke luar. Hanya air mata dan wajahnya yang
kuyu mengisyaratkan penderitaan batinnya. Betapa
buruk nasibnya. Sudahlah orangtuanya binasa di tan-
gan iblis keparat itu, kemudian guru serta saudara-
saudara seperguruannya yang juga tewas di tangan
mereka, kemudian dia harus menanggung beban malu
yang berkepanjangan di tangan iblis cabul itu. Teringat
ke situ rasanya dia tak layak untuk hidup lebih lama
lagi. Ah, Puji Lestari kembali mengeluh pendek di ha-
tinya.
Tiba-tiba dia teringat pada Buang Sengketa. Oh,
bagaimanakah nasib pemuda itu? Apakah dia bisa me-
loloskan diri dari keroyokan musuh-musuhnya yang
berilmu tinggi itu? Seandainya saja dia bisa mengalah-
kan mereka, kemudian datang ke sini untuk membe-
baskannya, alangkah bahagia hatinya saat ini. Tapi...
apakah aku masih punya muka berhadapan dengan-
nya? Oh, tidak! Diriku saat ini sangat kotor berhada-
pan dengannya. Gadis itu kembali membatin sesali di-
ri. Dia tentu tak mau menerima keadaanku seperti ini.
Hina dan ternoda. Aku betul-betul tak pantas berha-
dapan dengannya. Jangan lagi berharap dia akan
membalas perasaan sukanya yang besar di lubuk hati,
mungkin untuk melihat keadaannya yang terhina se-
perti ini pun pemuda itu tak akan sudi. Dia kembali
menyesali nasibnya.
Berpikir seperti itu timbullah nekad di hati gadis
itu. Diam-diam dia merasa bahwa hidupnya tak ber-
guna lagi saat ini. Tapi walaupun dia harus mati, hen-
daklah hal itu membawa kepuasan dalam jiwanya. Pal-
ing tidak ada sesuatu yang harus dibawanya serta ke
akhirat. Dan untuk itu dia harus bebas terlebih dahulu
dari pengaruh totokan ini, keluhnya pelan sambil ber-
siap-siap menghimpun segenap tenaga dalamnya un-
tuk membebaskan diri dari totokan.
***
SEMBILAN
Pemuda itu masih terus berlari dengan kecepatan
penuh. Batinnya penuh sesak dengan bayangan keji
Singalodra terhadap gadis itu. Bukan, bukan hanya
itu. Tapi kalau Singalodra dibiarkan terus hidup, keja-
hatan akan terus merajalela. Dia merasa berkewajiban
membasmi manusia seperti itu, dan merasa tanggung
jawab itu berada di pundaknya. Siapa lagi yang akan
diharapkan setelah Persekutuan Iblis Hitam membas-
mi satu persatu perguruan-perguruan dan tokoh-tokoh
golongan putih yang menentangnya. Dan selama ini,
tak seorang pun yang mampu menghentikan semua
aksinya. Seolah-olah dunia mengakui keperkasaannya
sebagai raja diraja dunia persilatan dan tak seorang
pun yang mampu menandingi ilmu silatnya. Manusia
itu akan menjadi besar kepala kalau hal ini terus di-
biarkan.
Namun perjalanan Buang Sengketa menuju tem-
pat kediaman Singalodra bukanlah hal yang gampang.
Sebab selain medannya yang sulit, satu-satunya jalan
menuju tempat itu dijaga ketat oleh barisan orang-
orang berjubah hitam secara berlapis-lapis. Singalodra
ternyata bukan hanya ahli dalam ilmu silat, dia juga
ahli dalam strategi pertahanan. Begitu Buang Sengketa
tiba di kaki bukit, puluhan orang telah mengurung
tempat itu.
"Biarkan aku berlalu dan bertemu dengan Singa-
lodra keparat itu!" bentaknya sengit pada orang-orang
yang berada di situ. "Aku tak mau ada lagi pertumpa-
han darah yang lebih banyak!"
Tapi bukan mereka takut mendengar ancaman
itu, sebaliknya malah tersenyum sinis. Sebagian malah
ada yang terbahak-bahak.
"Bocah! Engkau telah berada di kawasan Perse-
kutuan Iblis Hitam dan tak ada seorang pun yang bisa
keluar hidup-hidup dari tempat ini. Kalau pun engkau
baru mengetahuinya saat ini, itu sudah terlambat. Se-
tiap orang yang datang ke sini harus mati!" sahut salah
seorang dengan wajah bengis.
"Sialan! Aku tak perduli dengan sekumpulan ma-
nusia-manusia bejad seperti kalian!" bentak Buang
Sengketa mulai kesal. "Cepat kalian panggil Singalodra
ke sini dan suruh potong lehernya untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatan-perbuatannya. Lalu setelah
itu kalian boleh mengikuti jejaknya, atau kalau berun-
tung, kalian bisa mendapat ampunanku dan kembali
ke jalan yang benar."
"Hak... hak... hak...!"
Seketika tempat itu penuh dengan gelak tawa.
Buat mereka hal itu sangat menggelikan. Selama ini
Persekutuan Iblis Hitam adalah sebuah nama yang
paling ditakuti oleh siapa pun dalam kalangan dunia
persilatan. Dan tiba-tiba saat ini ada seorang pemuda
dengan baju gembel serta dandanan aneh berkaok-
kaok menantang ketua mereka Singalodra. Tentulah
orang ini tak waras, pikir mereka.
"Bocah! Lebih baik engkau cepat-cepat minggat
dari sini. Kami akan mengampuni nyawamu yang tak
berguna itu. Cepat! Sebelum kami merubah pendirian!
Jarang ada kami membiarkan orang lewat dengan
nyawa masih melekat di tubuhnya. Karena engkau
orang tak waras, nah, pergilah cepat!" kata orang tadi.
"Bangsat!" maki pendekar dari Negeri Bunian itu
dengan emosi yang meluap. Sungguh kurang ajar betul
orang-orang ini, pikirnya. Mengingat itu, dia merasa
tak ada gunanya lagi debat omong dengan mereka.
Maka sambil pentangkan sebelah lengan, keluarlah se-
larik gelombang berwarna Ultra Violet yang menghantam ke segala penjuru. Sebentar saja pukulan Empat
Anasir Kehidupan pemuda itu mendapatkan korban.
Beberapa orang yang lengah dan betul-betul mengang-
gap si pemuda sebagai orang tak waras, tentu saja tak
menyangka hal demikian. Mereka segera memekik
panjang sambil menggelepar-gelepar kesakitan. Seben-
tar saja terlihat beberapa orang yang tewas di tempat
itu.
"Kurang ajar!" maki orang-orang itu setelah hi-
lang dari keterkejutannya. Mereka segera mengurung
si pemuda rapat-rapat, seolah tak ada celah untuk me-
loloskan diri sedikit saja bagi si pemuda itu melarikan
diri dari tempat itu. Untuk Buang Sengketa hal itu
memang kebetulan sekali. Tujuannya ke sini bukan
untuk melarikan diri, justru ingin mendaki lereng bu-
kit ini dan menemui Singalodra di sarangnya. Dike-
pung sedemikian rupa berarti lebih mempercepat ke-
matian buat orang-orang itu. Pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang dilancarkannya berkali-kali telah me-
minta beberapa orang korban lagi bagi mereka.
Sebenarnya para penyerang itu bukan-lah orang-
orang yang berkepandaian rendah. Rata-rata mereka
berasal dari perguruan-perguruan silat yang terkenal,
lalu bergabung dengan Singalodra dalam Persekutuan
Iblis Hitam. Yang membuat mereka kelihatan mudah
dihantam si pemuda adalah karena mereka telah kepa-
lang menganggap bahwa si pemuda adalah orang tak
waras dan tentu saja hal itu tak membawa bahaya be-
sar buat mereka. Dan kesalahan itu telah ditebus den-
gan banyaknya korban di antara mereka.
Namun setelah beberapa jurus di depan, nampak
mereka mulai berhati-hati. Terlebih-lebih untuk meng-
hindari gelombang pukulan yang dikeluarkan si pemu-
da. Namun meski mereka berhati-hati bagaimana pun,
korban kembali berjatuhan. Hal itu tak aneh, sebab
dalam kemarahannya si pemuda mengeluarkan jurus-
jurus andalannya secara berganti-ganti dan sulit dite-
bak oleh penyerang-penyerangnya itu. Sebentar dia
berkelebat dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh
kasat mata dengan mempergunakan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra untuk menghin-
dar dari serangan lawan-lawannya, kemudian dengan
tiba-tiba menghantam lawan dengan jurus Si Jadah
Terbuang. Lalu ketika lawan kembali mengepung, dia
mainkan jurus Si Gila Mengamuk. Belum lagi pukulan
Empat Anasir Kehidupan yang sekali-sekali menghan-
tam dengan ganas ke arah lawan.
Maka tak heran ketika baru belasan jurus, lawan
dibuat porak poranda, darah manusia mulai memban-
jiri tempat itu. Meski jumlah mereka kini tinggal bebe-
rapa orang saja, namun nampaknya mereka tak ber-
niat untuk kabur, sebaliknya malah menyerang sema-
kin ganas. Malah si pemuda sendiri yang akhirnya me-
narik nafas kesal dan serba salah.
"Lebih baik kalian biarkan aku ke puncak bukit
dengan aman. Aku tak ingin menambah korban lebih
banyak lagi, membuatku bertambah marah," kata pe-
muda itu menasehati. Tapi bukanlah wajah-wajah
memelas dan ketakutan yang didapatinya, melainkan
sikap-sikap yang rela mati untuk menjalankan tugas-
nya.
"Puih! Persekutuan Iblis Hitam pantang dihina
begitu rupa!" sahut salah seorang, "Kami lebih baik
mati daripada tak bisa menjalankan perintah Singalo-
dra. Engkau tak akan bisa menghalang-halangi kami,
Bocah! Langkahi dulu mayat-mayat kami, baru engkau
bisa menemui ketua!"
"Bangsat! Kalian memang patut mendapat ganja-
ran yang setimpal atas perbuatan kalian!" bentak mu-
rid si Bangkotan Koreng Seribu sambil kertakkan ra
hang menahan geram. Tangannya kembali terpentang
sambil mencelat ke arah mereka. Selarik gelombang
berwarna Ultra Violet kembali menghantam orang-
orang itu. Bagusnya mereka telah bersiap-siap dengan
serangan itu, hingga mampu menghindarinya. Namun
pada saat itu justru serangan si pemuda cepat meng-
hantam beberapa orang.
"Buk....! Buk...! Buk...!" Tiga orang kembali ter-
jengkang dan langsung muntah darah dihantam puku-
lan si pemuda yang dialiri tenaga dalam tinggi.
Untuk sesaat mereka menggelepar-gelepar bagai
ayam dipotong, kemudian muntah darah dan tak ban-
gun-bangun lagi. Kini hanya tinggal dua orang lagi di
hadapan pemuda itu. Namun tetap saja mereka tak
merasa gentar sedikit pun. Dengan teriakan menggun-
tur keduanya langsung menyerang si pemuda. Tapi
apalah artinya kedua orang itu menghadapi murid si
Bangkotan Koreng Seribu. Sedang dalam jumlah mere-
ka yang banyak saja bisa dibuat kocar kacir, apalagi
saat ini.
Si pemuda segera menyambut mereka dengan se-
tengah hati. Dia mencelat beberapa tombak ke depan,
dan pentangkan tangan ke depan. Kali ini dengan se-
kali gaplok kedua orang itu pasti akan kojor. Maka ke-
tika keduanya sabetkan senjata golok di tangan mas-
ing-masing ke arah tubuh si pemuda, pendekar dari
Negeri Bunian itu cukup berkelit dengan mudah, dan
sebelah tangannya melayang ke tengkuk mereka den-
gan menggunakan jurus Si Hina Mengusir Lalat.
"Plak...! Plak...!"
Keduanya segera menjerit setinggi langit ketika
tangan si pemuda mendarat. Seolah-olah leher menjadi
patah hingga mereka tak mampu menggerak-gerakkan
kepala. Namun meski demikian, keduanya masih tetap
penasaran. Sambil kesakitan memegangi kepala, sebelah lengan yang lain segera hantamkan golok ke leher
si pemuda dengan gerakan yang sama. Si pemuda ge-
lengkan kepala sambil mendecah kesal melihat keban-
delan mereka. Dibiarkannya mereka merasa dengan
mudah akan memenggal lehernya, namun setengah
jengkal lagi senjata itu akan menyentuh pangkal le-
hernya, dia segera tundukkan kepala.
"Cras! Cras!"
Senjata makan tuan! Kedua kepala itu terpisah
dari tubuhnya dan tak ada suara teriakan yang ter-
dengar ketika senjata menghantam leher kawan.
"Hadiah yang setimpal atas kebandelan kalian,
dan setimpal pula untuk kejahatan yang kalian laku-
kan selama ini," kata Buang Sengketa pelan sambil
bersiap hendak lanjutkan perjalanan mendaki bukit.
Tapi baru saja dia palingkan wajah, telah berdiri
empat orang bertubuh jangkung dengan bulu rambut
dan kumis lebat berwarna putih menjela-jela hingga ke
leher. Wajah mereka tidak kelihatan seram, namun
bukan berarti bisa disebut tampan. Apalagi dengan
senjata toya berwarna hitam yang sama dengan warna
pakaian mereka. Mereka terlihat biasa saja. Kalaupun
ada yang bisa disebut luar biasa adalah, keempat
orangtua itu berwajah mirip satu sama lain.
Dalam dunia persilatan keempat tokoh ini dike-
nai sebagai Empat Setan Kembar. Barangkali mereka
kelihatan biasa dan kurang garang, namun sesung-
guhnya mereka termasuk dalam jajaran pentolan da-
tuk golongan hitam. Dan nama mereka tak bisa dika-
takan di bawah si Iblis Merah Darah atau Iblis Ular Hi-
jau. Tiap orang dari mereka saja berilmu sangat tinggi,
apalagi bila mereka menempur lawan secara bersa-
maan. Bisa dibayangkan lawan tak mungkin luput dari
serangan mereka.
"Kalau kalian tak ada sangkut paut dengan urusan ini, sebaiknya menyingkirlah dari hadapanku!"
bentak Buang Sengketa kesal melihat tingkah mereka
yang seperti orang bego. Dikatakan senyum, mereka
tokh tidak sedang girang melihat pembantaian di de-
pan matanya. Tapi bila disebut sinis atau amarah, tak
terlihat emosi itu terpancar lewat raut wajahnya. Ek-
spresi mereka biasa dan wajar. Apalagi ketika mereka
pada akhirnya sibuk berbicara satu sama lain dengan
kawan-kawannya.
"Oh, jadi ini yang namanya menggetar-kan dunia
persilatan akhir-akhir ini?" tanya salah seorang.
"Pendekar dari Barat yang punya gelar si Hina
Kelana?" tanya yang lain seperti meyakinkan.
"Murid si Bangkotan Koreng Seribu?!"
"Wah, wah! Kebetulan sekali! Pucuk di cinta ulam
tiba!" sambung yang lain. "Apa kalian tak hendak bela-
jar kenal dengannya?"
"Oh, tentu! Tentu!" sahut yang pertama. "Akan ki-
ta apakan dia? Kita sate, dendeng, atau kita buat selu-
ruh tubuhnya penuh luka hingga seperti gurunya yang
penuh dengan koreng menjijikkan itu?!"
"Bagaimana kalau nanti saya minta kuncirnya
untuk jimat penangkal maling?" ledek yang kedua.
"Saya kepengin periuk besarnya itu saja," timpal
yang ketiga. "Maklum. Kalau sedang masak di rumah
suka kerepotan men-cari periuk yang besar seperti pu-
nyanya itu."
"Aduh! Aduh! Coba lihat!" seru yang keempat.
"Dia punya cambuk. Tapi mana kambingnya? Apakah
bocah ini suka menggembalakan kambing punya
orang?!"
Diperlakukan begitu, amarah Buang Sengketa
seakan hendak tumpah. Dia kembali membentak den-
gan suara mengguntur.
SEPULUH
"Orangtua celaka! Menyingkirlah lekas dari de-
panku. Kalau tidak, aku akan terpaksa pelintir kumis-
kumis kalian yang rusak seperti tikus got itu!"
"Ladalah! Celaka! Kiamat! Kiamat!" teriak mereka
berempat sambil menutup kuping dengan jari telunjuk
dan berputar-putar di tempatnya. "Suara apakah ba-
rusan itu?"
"Barangkali suara tikus kejepit?" sahut orang
pertama.
"Atau barangkali suara periuk besarnya yang pe-
cah?" kata orang kedua sambil meneliti dengan bola
matanya ke periuk besar di punggung si pemuda.
"Bukan! Itu suara tangisnya minta susu pada
emaknya?" tukas orang ketiga.
"Bukan!" timpal orang keempat. "Saya sendiri ti-
dak tahu. Mungkin suara orang menjerit minta mati."
"Bangsat! Orangtua celaka tak mau mampus?"
maki si pemuda kesal di permainkan begitu. Tak sedi-
kit pun ucapan-ucapan itu dikeluarkan dengan nada
amarah. Malah lebih tepat dengan mengejek dan mem-
permainkannya seperti anak kecil. Barangkali keem-
patnya adalah orang gila yang kesasar, pikir si pemu-
da. Mengingat itu dia segera tak mengacuhkan mereka
dan mulai melangkah untuk melewatinya saja tanpa
ambil pusing. Namun begitu dia mulai bergerak,
keempat orang itu pun bergerak menghalangi jalannya
pada jarak lima tombak dan masih dengan wajah bego
yang tak perduli sama sekali dengan kehadiran si pe-
muda di situ.
"Orang tua! Menepilah segera! Aku masih ada
urusan lain yang lebih penting daripada mengurusi
orang-orang tak waras seperti kalian!"
"Apakah engkau tak waras?" tanya orang per-
tama pada kawannya.
"Lucu! Tadi engkau yang mengatakan aku tak
waras, sekarang malah aku yang mengatakan engkau
tak waras," sahut orang kedua dengan ucapan ngawur
tak karuan.
"Barangkali kita sekumpulan orang-orang tak wa-
ras?" menimpali orang ketiga.
"Ya, ya. Kita pasti orang-orang tak waras yang ti-
dak gila!" sahut orang keempat tak kalah ngawur uca-
pannya.
Melihat keempat orang itu yang ternyata sengaja
menghalangi jalannya, tampak kedua bibir pemuda itu
terkatup rapat dengan rahang bergemeletukan mena-
han amarah. Dia segera pentangkan lengan dan selarik
gelombang Ultra Violet segera menghajar keempat
orangtua aneh itu. Dalam pikirannya, tentu mereka ini
tokoh-tokoh dunia persilatan kalau bukan orang gila.
Dan kalau itu terbukti, tentu mereka dengan gampang
akan menghindari pukulan-nya itu. Atau kalau ternya-
ta betul mereka orang gila betulan, dia tak mau ambil
pusing melihat kematian orang-orang itu. Tapi kalau
mereka orang-orang persilatan, tentu mereka berilmu
tinggi. Bukankah orang-orang yang berilmu tinggi suka
bertingkah yang aneh-aneh? Kalau benar, tentu dia
akan mendapat halangan yang lebih berat ketimbang
para penyerangnya tadi.
"Pras!"
Pukulan itu menghantam semak-semak di sekitar
tempat itu, sebab dengan tubuh ringan, keempat orang
itu seolah terbang menghindar dengan gerakan serem-
pak. Toya di tangan mereka berputar-putar di atas ke-
pala bagai kitiran. Kemudian kembali mendarat den-
gan empuk.
"Ah, kalau tak salah itulah yang disebut pukulan
Empat Anasir Kehidupan," celoteh orang pertama.
"Dia masih punya satu pukulan handal. Kalau
tak salah, Si Hina Kelana Merana!" timpal orang ke-
dua.
"Wah, hebat betul kalian! Dari mana bisa tahu?"
tanya orang ketiga.
"Makanya jadi orang jangan tidur terus!" sahut
orang keempat. "Sekali-sekali buka mata dan telinga
lebar-lebar agar bisa melihat perkembangan dunia
luar."
Pendekar Hina Kelana bukan main geregetannya
mendengar celoteh mereka. Dari mana mereka tahu
pukulannya? Barangkali pun mereka mengetahui se-
mua jurus-jurus yang dimilikinya. Dan kalau sampai
hal itu terjadi, bisa jadi kali ini dia akan menghadapi
lawan tangguh yang sulit untuk ditaklukkan. Berpikir
begitu, Pendekar Hina Kelana tarik nafas dalam-dalam.
Barangkali tak ada gunanya dia cari permusuhan den-
gan orang-orang ini, dan alangkah baiknya dia mencari
persahabatan saja. Siapa tahu mereka adalah sahabat-
sahabat gurunya. Dia segera menjura hormat.
"Orang tua, maafkanlah atas kelancangan uca-
pan dan sikapku. Tapi sudilah engkau memberi jalan,
sebab saat ini aku ada urusan penting yang harus dis-
elesaikan selekasnya," kata Pendekar Hina Kelana.
"Hak... hak... hak...!" Keempat orang itu malah
tertawa. Dan salah seorang berkata pada si Pendekar
Hina Kelana dengan suara datar.
"Tak sangka! Tak sangka! Ternyata murid si
Bangkotan Koreng Seribu masih punya peradatan se-
gala. Sini! Biar kuterima segala hormatmu!"
Melihat gelagat yang kelihatan bersahabat itu,
Buang Sengketa segera hampiri orang itu. Tapi kira-
kira tinggal dua tombak lagi jarak mereka, salah seo-
rang segera mengayunkan toya ke kepala si pemuda.
Tentu saja Buang Sengketa kaget setengah mati meli-
hat itu. Dia menghindar dengan cepat, namun toya
yang lain segera mengejarnya. Disusul dengan kedua
orang yang menyusul secara beruntun hendak meng-
hajar batok kepalanya. Si pemuda yang tak menyangka
hal itu, menghindar sejadi-jadinya. Namun karena di-
rinya tak siap menghadapi serangan itu, tak urung
pundaknya terkena hajaran toya salah seorang di an-
tara mereka.
"Buk!"
Si pemuda merasakan sakit luar biasa akibat
hantaman tadi. Belum lagi dia sempat atur nafas guna
membuka jurus baru, keempat orangtua aneh itu
kembali meluruk ke arahnya dengan kecepatan tinggi
yang sulit diikuti kasat mata. Dia terpaksa berguling-
guling menghindarkan diri, tapi periuk di punggung-
nya itu terasa menghalangi gerakannya. Terpaksa dia
melompat-lompat bagai kodok. Tapi itu pun tak mem-
bantu. Keempat toya lawan siap menghancurkan batok
kepalanya ketika dia terjerembab, saat kakinya terkait
akar.
"Mampuslah engkau, Bocah!" bentak orang per-
tama.
"Walau kami tak bisa membalaskan den-dam ke-
sumat pada gurumu, muridnya pun jadilah!" timpal
orang kedua.
Rasanya jalan untuk meloloskan diri dari seran-
gan itu sangat tipis sekali. Tak ada jalan lain, pikir
Pendekar Hina Kelana. Dia segera keluarkan Pusaka
Golok Buntung dari pinggang. Pada saat itu juga rasa
sakit di pundaknya perlahan-lahan sirna, dan lawan
merasakan hawa dingin luar biasa setelah si pemuda
mengeluarkan golok yang berwarna merah menyala.
"Trak! Trak! Trak! Trak!"
Toya di tangan keempat orangtua itu terbelah
masing-masing menjadi dua bagian. Namun ketika go-
lok itu terus meluruk ke pangkal leher keempatnya,
mereka ternyata telah mencelat ke belakang dengan
gerakan ringan dan cepat. Luputlah mereka dari kema-
tian.
"Hebat! Hebat!" puji orang pertama sambil terse-
nyum getir.
Pendekar Hina Kelana segera bangkit sambil
acungkan goloknya. Tanpa berkata apa-apa lagi, dia
terus mencelat ke arah mereka. Kelebatan pusaka Go-
lok Buntung di tangannya mengeluarkan suara pulu-
han harimau terluka yang mengaum yang menggiris
hati para lawannya. Agaknya kemarahan Buang Seng-
keta telah sampai pada batas-nya. Nyawanya hampir
saja melayang oleh akal licik keempat orang itu. Tapi
kali ini dia tak mau lagi tertipu. Mereka harus me-
nanggung akibatnya.
Tapi keempat orang itu bukanlah orang semba-
rangan. Nama Empat Setan Kembar sangat dikenal da-
lam dunia persilatan mereka adalah orang-orang yang
senang mengembara ke lain tempat dan membuat he-
boh dengan segala aksinya. Bisa jadi mereka cukup
mengenal si Bangkotan Koreng Seribu dalam salah sa-
tu pengembaraannya dan kemudian terjadi bentrokan
dengan tokoh kosen itu, lalu dapat dikalahkan. Karena
merasa bahwa selama ini ilmu silatnya tak ada yang
menandingi, mereka jadi penasaran dan berniat untuk
balas dendam. Tapi siapa pun akan tahu, mereka yang
berani menantang si Bangkotan Koreng Seribu adalah
mereka yang punya kepandaian yang tak bisa dipan-
dang sebelah mata.
Meski toya di tangan telah kutung menjadi dua
bagian, namun senjata itu tak kalah hebat di tangan
mereka. Bagai dua pentungan yang siap menghancur-
kan batok kepala lawan. Begitulah keadaan yang di
alami Pendekar Hina Kelana. Seakan empat pasang
tangan-tangan baja selalu mengintai titik kelemahan-
nya dan siap menghajar bila sedikit saja lengah. Bah-
kan keempat lawan seperti tak terpengaruh dengan
hawa dingin yang keluar dari golok di tangan si pemu-
da.
Melihat keadaan begitu, amarah Pendekar Hina
Kelana rasanya tak dapat dibendung lagi. Dengan Pu-
saka Golok Buntung di tangan kanan, dia pentangkan
tangan kirinya dan sebentar saja pukulan si Hina Ke-
lana Merana yang berwarna merah menyala telah
menghantam keempat lawan. Masih bagus mereka bisa
cepat menghindar karena telah menduga hal itu sebe-
lumnya. Namun ketika Pendekar Hina Kelana mainkan
jurus si Gila Mengamuk, barulah keempat lawannya
mulai kerepotan.
Empat Setan Kembar mulai kewalahan menerima
serangan itu. Satu saat mereka harus menghindari sa-
betan golok di tangan Pendekar Hina Kelana yang
mengeluarkan hawa dingin yang membuat kaku otot-
otot tubuh, dan di lain saat mereka harus pon-tang
panting mengelak dari pukulan yang berwarna merah
menyala. Belum lagi mereka menduga-duga ke mana
gerakan si pemuda selanjutnya, tiba-tiba saja nyawa
mereka hampir di ujung tanduk. Barangkali kalau
orang biasa yang ilmu silatnya tak setinggi mereka,
akan tewas sejak tadi menghadapi serangan beruntun
yang dahsyat dan cepat itu. Untung saja yang dihadapi
si pemuda kali ini adalah Empat Setan Kembar, salah
satu nama datuk golongan sesat yang memiliki ilmu
tak kepalang tinggi. Tapi meski begitu, tokh mereka
tak bisa terus-terusan menghindar tanpa mampu
membalas sedikit pun. Dan pada jurus yang ke empat
puluh dua, dengan tiba-tiba.
"Cras! Cras!"
Dua dari Empat Setan Kembar tak lagi sempat
menjerit ketika kepala mereka terpisah dari tubuh di-
hantam Pusaka Golok Buntung karena mereka terpi-
sah dari dua kawannya. Hal itu telah diketahui Pende-
kar Hina Kelana. Mereka selalu bergerak dengan arah
yang sama, dan agak sulit untuk menghantam keem-
patnya sekaligus sebab yang satu segera akan melin-
dungi yang lain ketika serangan akan menghantam-
nya. Satu-satunya jalan adalah dengan membuat gera-
kan mereka kacau balau. Untuk itulah dia menggebrak
mereka dengan pukulan si Hina Kelana Merana, dan
ketika dua orang terpisah dari gerakan yang semes-
tinya saat itu pula golok di tangan Pendekar Hina Ke-
lana menghantam mereka.
Kedua kawannya kaget melihat hal itu. Mereka
tak menyangka bahwa pemuda itu mampu melakukan
hal seperti itu. Dengan marah keduanya segera
menyerang si pemuda secara bertubi-tubi. Tapi dalam
kemarahannya itu ternyata keuntunganlah yang dida-
pat si pemuda. Dia mulai melihat bahwa gerakan me-
reka mulai kacau dan tak terarah seperti tadi. Maka
dengan mudah dia menghalaunya, kemudian balas
menyerang. Sebelah tangannya menghantam pukulan
si Hina Kelana Merana, dan sebelah lagi mengayunkan
Pusaka Golok Buntung.
"Blar...! Craas...!"
Keduanya terjengkang dan tewas seketika. Seo-
rang terhantam pukulan, dan seorang lagi terbabat pu-
tus lehernya. Pendekar Hina Kelana tak perdulikan
mereka lagi. Dia segera genjot tubuh ke atas bukit.
Dan tiba di dataran yang agak luas dilihatnya suatu
bangunan yang terbuat dari batu-batu kapur namun
disusun secara rapi. Batinnya yakin bahwa di sinilah
tempat bersarangnya Singalodra, ketua Persekutuan
Iblis Hitam itu.
"Singalodra! Keluarlah engkau!!" teriak Buang
Sengketa dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang
tinggi. Bisa saja dia langsung masuk ke dalam, tapi
siapa tahu lawan telah menyediakan jebakan. Bisa-
bisa dia mati konyol tanpa bisa menempur manusia
durjana itu.
Namun setelah ditunggu beberapa saat, tak keli-
hatan tanda-tanda jawaban dari dalam. Pemuda itu
baru akan kembali berteriak ketika sesuatu berkelebat
dari arah belakang. Reflek dia menoleh.
SEBELAS
"Hak... hak... hak... hak...! Jadi engkaukah pen-
dekar muda yang sangat ditakuti itu?! Hebat! Hebat!
Pantas si Iblis Ular Hijau dan Empat Setan Kembar
merasa jerih berhadapan denganmu, dan terpaksa
menemui ajal di tangan bocah sepertimu!" ucap Singa-
lodra yang telah berdiri pada jarak sepuluh tombak di
belakangnya.
Buang Sengketa meneliti wajah ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam ini. Tidak jelek, malah tampan, ka-
tanya dalam hati. Tapi siapa nyana manusia seperti dia
menyimpan iblis dalam hatinya.
"Jadi engkaukah yang bernama Singalodra?"
tanya Pendekar Hina Kelana meyakinkan.
"Tidak salah, Bocah! Akulah Singalodra, raja di
raja dalam dunia persilatan!" Kembali ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam itu tertawa terbahak-bahak. Buang
Sengketa terkesiap. Telinganya tergetar dengan hebat.
Dia cepat menyadari bahwa suara tawa Singalodra di-
aliri tenaga dalam yang sangat kuat dan menusuk-
nusuk jantungnya.
"Bangsat!" umpatnya dalam hati. "Sudah menye-
butku bocah, seperti dia orang tua renta saja, kini
hendak pamer kekuatan segala." Murid si Bangkotan
Koreng Seribu itu cepat kerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh tekanan lawan. Setelah dirasa te-
kanan lawan tak lagi mempengaruhinya, pemuda itu
segera meningkahi dengan suara lengkingan nyaring
dari ilmu Lengkingan Pemenggal Roh dengan pengera-
han setengah bagian kekuatannya.
"Heiiiiggggkkhh...!"
Singalodra terperanjat. Tawanya seketika terhen-
ti, dan ganti dia yang segera tutup kuping.
"Bocah kurang ajar! Engkau hendak pamer kebi-
saan di depan Singalodra?!"
Buang Sengketa hentikan suara lengkingan itu,
dan nyengir sambil garuk-garuk rambut di kepalanya
yang tak gatal.
"Orangtua sialan!" balasnya mengejek. "Aku bu-
kan hendak pamer kebisaan di hadapanmu, tapi di be-
lakangmu pun telah kulakukan. Apakah ada lagi yang
hendak engkau keluarkan untuk menghadapiku? Atau
jiwa pengecutmu telah kabur jauh-jauh?!"
Diejek demikian rupa, Singalodra ma-rah bukan
main. Selama ini tak seorang-pun menyebutnya penge-
cut. Tapi pemuda gembel dengan rambut dikuncir dan
periuk di punggungnya itu telah kurang ajar berkata
demikian. Kalau dia tak miliki nyali macan, bisa jadi
dia orang gila kesasar. Tapi tak mungkin kalau orang
gila mampu membabat orang-orangnya hingga tuntas
semua.
"Bocah! Selamanya Singalodra tak pernah dihina
begitu rupa. Ada sangkut paut apa hingga dengan tiba-
tiba engkau mengacak-acak tempat kediamanku ini?!
Jawab! Kalau engkau tak beri jawaban yang memua-
skan, jangan harap engkau bisa keluar dari tempat ini
dengan nyawa masih me-lekat di tubuh!" Wajah Singa-
lodra nampak merah padam menahan amarah. Tapi
melihat itu Buang Sengketa malah ganda tertawa.
"Orangtua! Aku tak punya sangkutan serius pa-
damu, tapi jelas engkau membuat aku mau tak mau
harus terpaut dengan segala tingkahmu yang selama
ini engkau lakukan," sahut Pendekar Hina Kelana te-
nang. "Jadi jelasnya, kedatanganku ke sini cuma ingin
pinjam sebentar nyawamu untuk ku tukarkan dengan
nyawa seekor anjing, engkau memang patut menda-
patkannya."
"Bangsat...!!" Singalodra tak lagi bisa menahan
amarah. "Bocah! Engkau harus terima akibatnya!" te-
riaknya sambil pentangkan kedua belah tangan mem-
bentuk paruh burung. Kemudian dengan cepat melesat
ke arah si pemuda. Kedua belah tangannya menghan-
tam ke sana sini dengan kecepatan yang sulit diikuti
kasat mata. Ke mana lawan menghindar, secepat itu
kedua tangannya susul menyusul menghajar. Itulah
kehebatan jurus Rajawali Mencakar Bukit yang pernah
dipelajarinya dari si Rajawali Bukit Seribu.
Untuk beberapa saat Pendekar Hina Kelana
hanya menghindar untuk mengetahui sifat serangan
lawan. Setelah mengetahui titik-titik kelemahannya,
dia segera kebutkan lengan ke bagian-bagian tertentu
di tubuh lawan sambil bergerak menghindari serangan.
Jurus Si Hina Mengusir Lalat ini memang tidak bera-
kibat yang terlalu parah untuk lawan, namun sebagai
tandingan dari jurus lawan rasanya masih sepadan.
Akibatnya bisa ditebak, bahwa dalam belasan jurus
yang telah berlalu keadaan mereka masih seimbang.
Namun memasuki jurus keduapuluh, Singalodra sege-
ra ubah serangan. Mula-mula dia menyerang Pendekar
Hina Kelana dengan menggunakan jurus Rajawali
Mengamuk dan membuat lawan kerepotan. Kemudian
secepat kilat dia kembali merubah jurusnya dengan
Meniup Badai Selatan. Suatu jurus ampuh yang dipe-
lajarinya dari Malaikat Gunung Selatan.
Buang Sengketa agak kerepotan juga menghadapi
serangan lawan yang berubah-ubah tak menentu. Ka-
dang Singalodra hantamkan sebelah kaki, namun ter-
nyata yang diutamakan adalah pukulan tangan. Begitu
pun sebaliknya. Dan tak jarang kadang-kadang bertiup
angin kencang ketika sebelah telapak tangannya ter-
pentang ke depan. Lalu dengan cepat tubuhnya bagai
bergulung-gulung mendekati pendekar dari Negeri Bu-
nian itu.
"Splaaak...!"
Masih untung Buang Sengketa bisa dengan cepat
memapak serangan lawan, kalau tidak tentu pukulan
Singalodra yang di-iringi tenaga dalam tinggi itu akan
menghantam dadanya. Namun tak urung tangannya
terasa hendak lepas dari pergelangan. Begitu hebat
dan tingginya tenaga dalam lawan, pikirnya dalam ha-
ti. Belum lagi dadanya yang terasa dilanda gempa bu-
mi dahsyat terasa sakit dengan denyutan kencang. Dia
merasa ada sesuatu yang menetes lewat pipi. Ketika
ujung telunjuknya menyentuh, terlihat darah segar
yang keluar dari sela-sela mulutnya.
Singalodra pun bukan tak merasakan hal itu.
Dadanya seakan mau remuk di-iringi sakit yang luar
biasa. Untung saja dia cepat menelan sebutir pel ber-
warna merah dari saku jubah, kalau tidak, mungkin
dari mulutnya akan tersembur darah segar bagai air
memancur. Untuk beberapa saat ia mengatur jalan na-
fas sambil duduk bersila setelah menyeka lelehan da-
rah di pipi.
"Singalodra, kalau engkau mau kembali ke jalan
yang lurus, kemudian sangkutan-nya denganku, eng-
kau mau membebaskan gadis yang engkau culik, barangkali kita tak perlu meneruskan pertarungan ini,"
kata Buang Sengketa menyarankan sebuah usul. Tak
biasanya Pendekar Hina Kelana berkata demikian. Bisa
jadi ini karena pengaruh dari jurus-jurus Koreng Seri-
bu yang membuatnya lebih sabar dalam menghadapi
musuh-musuhnya. Apa salahnya menyudahi perta-
rungan bila lawan bisa dikalahkan dengan jalan men-
ginsyafkannya lewat kata-kata?
Tapi Singalodra bukanlah jenis manusia seperti
itu. Barangkali wajahnya bisa tampan dan lembut se-
perti wajah bayi tanpa dosa, namun hatinya tak seperti
itu. Dia akan kokoh setegar batu karang yang tak
mampu digoyahkan apa pun. Malah terkekeh-kekeh
mendengar ocehan Pendekar Hina Kelana itu.
"Bocah! Apakah engkau takut untuk me-
lanjutkan pertarungan ini?!" katanya mengejek. "Kalau
engkau takut, sudah terlambat untuk melarikan diri.
Aku tak akan pernah mengampuni musuh-musuhku
hidup-hidup. Lagipula, apa yang tadi engkau minta?
Ingin gadismu itu dikembalikan?" Singalodra ketawa
pajang sambil bangkit dari duduknya. "Sungguh cantik
dia. Tak menyesal aku telah kehilangan banyak anak
buahku. Sungguh sepadan dengan kenikmatan yang
diberikannya. Hak... hak... hak...!"
Mendengar itu, terkesiaplah wajah Buang Seng-
keta. Tubuhnya menggigil menahan amarah.
"Singalodra! Apa maksudmu?!" bentak-nya den-
gan garang.
"Apa maksudku? Sederhana, Bocah. Gadismu itu
telah memberikan kenikmatan pa-daku secara cuma-
cuma."
"Tidak mungkin!"
"Lho! Lho! Kenapa engkau malah ma-rah-marah
tak karuan?! Mungkin dia tidak suka padamu!" ejek
Singalodra lagi.
"Bangsat cabul! Engkau pasti telah memperko-
sanya!"
Meledaklah tawa Singalodra kembali melihat si
pemuda mencak-mencak menahan amarah. Namun
dia kaget ketika dengan tiba-tiba lawan lancarkan satu
pukulan. Selarik gelombang Ultra Violet segera meng-
hajarnya. Untung Singalodra cepat berkelit sambil ter-
tawa-tawa panjang. Terasa oleh Buang Sengketa bagai
iblis yang sedang melampiaskan dan puas melihat
korbannya celaka dan sengsara. Hatinya panas bukan
main. Gejolak darahnya seolah, mendidih hingga ke
ubun-ubun. Apalagi terbayang di benaknya gambar
seorang gadis yang sedang meronta-ronta melawan
cengkraman menjijikkan manusia di hadapannya ini.
Barangkali dia tak akan bakal mengampuni manusia
yang satu ini. Bahkan kematiannya pun tak akan se-
timpal dengan apa yang dilakukannya.
"Hei! Apakah engkau sedang main kembang
api?!" ejek Singalodra masih dengan tawanya yang ter-
kekeh-kekeh.
"Bangsat cabul! Tertawalah sepuasmu setelah di
neraka nanti!" sahut Pendekar Hina Kelana. Singalodra
terpaksa pontang panting menghindarkan diri ketika
pukulan lawan terasa semakin gencar menghantam-
nya.
"Kurang ajar!" teriak Singalodra ketika selarik ge-
lombang pukulan berwarna Ultra Violet yang dile-
paskan Buang Sengketa hampir menyerempet batok
kepalanya. Masih untung hanya ujung rambutnya
yang terpapas sebagian hingga ikat kepalanya seketika
itu juga lepas. Rambutnya yang panjang hingga ke
punggung, kini tergerai-gerai ditiup angin. Ada bau
sangit yang seketika menebar. Barangkali yang dira-
sanya hanya itu, tapi kejengkelannya terasa meluap-
luap. Dia yang merasa paling hebat dengan segala ilmu
silatnya, ternyata masih bisa dihantam lawan meski
hanya terserempet. Sambil kertakkan geraham tanda
emosinya mulai bangkit, tangannya terpentang. Sesaat
kemudian sebuah pukulan yang bergelombang warna
merah bagai darah menghantam Pendekar Hina Kela-
na.
Buang Sengketa saat melihat angin yang mende-
ru-deru dengan hebatnya mengiringi gelombang puku-
lan, tak mau setengah-setengah memapagnya. Dia se-
gera keluarkan pukulan Si Hina Kelana Merana.
"Blaaam...!"
Kedua pukulan itu beradu. Bumi terasa bergon-
cang, dan suara yang memekakkan telinga terasa me-
nusuk-nusuk telinga mereka akibat dari pukulan itu.
Keduanya sama-sama terpental beberapa tombak
sambil muntahkan darah segar. Tapi pada saat itu
Singalodra cepat bangkit sambil keluarkan pedang
yang sejak tadi berada di punggungnya setelah mene-
lan sebutir pel warna merah.
"Srang!"
Pedang Iblis di tangan Singalodra yang berwarna
hitam berkilat-kilat, menebar bau busuk yang menu-
suk penciuman di sekitar tempat itu. Seolah-olah men-
cekik segala makhluk yang berada di dekatnya dan
menghisap darah yang berada di tubuhnya.
Buang Sengketa terkejut untuk beberapa saat ke-
tika merasakan hawa yang dikeluarkan pedang lawan.
Dengan cepat dia keluarkan Pusaka Golok Buntung,
dan seketika itu juga selarik sinar merah menyala yang
dibarengi hawa dingin yang menyengat hingga ke tu-
lang sum-sum menghantam bau busuk yang dikelua-
rkan pedang Singalodra. Badannya terasa segar, meski
sakit yang dirasanya masih belum sembuh betul. Den-
gan satu teriakan dahsyat dia bangkit untuk memapak
serangan lawan. Suaranya bagai puluhan harimau ter
luka yang mengaum seakan memberi satu dorongan
semangat yang hebat padanya.
"Trang...!"
Pendekar Hina Kelana terkejut melihat benturan
senjata itu. Bukan oleh bunga api yang ditimbulkan-
nya, tapi pada keampuhan pedang lawannya kali ini.
Selama malang melintang di dunia persilatan, jarang
dia menemukan senjata lawan yang mampu mengha-
dapi Pusaka Golok Buntung. Rata-rata senjata lawan
akan terbabat kutung, tapi pedang di tangan Singalo-
dra betul-betul hebat. Bukan hanya tangannya yang
terasa kesemutan, namun dia juga merasakan satu
daya tolak yang ditimbulkan akibat benturan kedua
senjata tadi yang seakan berasal dari senjata lawan.
Apakah ini berarti dia akan ketemu batunya kali ini?
DUA BELAS
Akan halnya dengan Singalodra pun merasakan
hal yang sama dengan apa yang dirasakan lawannya.
Selama ini pedangnya akan membabat apa saja yang
menahannya. Tapi menghadapi golok di tangan pemu-
da berkuncir itu, seakan tak ada apa-apanya. Bahkan
dia berpikir, apakah pedang pusakanya ini telah hilang
keampuhannya?
Sebenarnya masing-masing mereka tak menyada-
ri akan apa yang terjadi. Kedua senjata itu bukan hi-
lang keampuhannya, melainkan karena mereka berte-
mu dengan senjata lawan yang mempunyai keampu-
han hampir sama. Seperti Pedang Iblis di tangan Sin-
galodra yang punya daya hisap yang keji pada darah
lawan yang dilukai. Padahal dalam jarak beberapa
jengkal pun daya sedot itu masih terasa seakan menu-
suk-nusuk kulit lawan. Begitu juga halnya dengan Pusaka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. Meski
tak sekeji senjata lawan, namun bila telah keluar dari
sarungnya, dia akan bergerak mengejar lawan dan
menghabisinya dengan segera. Di samping keampu-
hannya yang lain menyedot tenaga inti lawan. Itulah
sebab, ketika kedua senjata itu bertemu, ada saling to-
lak menolak antara keduanya yang pada akhirnya
menghantam pemiliknya sendiri.
Ketika mereka kembali melakukan hal yang sa-
ma, kejadian itu terulang. Hingga beberapa kali. Ak-
hirnya sadarlah mereka bahwa dalam hal adu senjata
tak akan banyak berguna. Selain menyiksa mereka
sendiri akibat tenaga dalam yang menghantam diri
sendiri, juga membuang-buang waktu secara percuma.
Padahal masing-masing punya dendam yang harus di-
lampiaskan secepatnya.
Mengingat itu Singalodra segera ubah jurus-
jurusnya dengan ilmu silat warisan dari Iblis Merah
Darah. Sebentar saja Buang Sengketa merasakan te-
kanan yang hebat dari gerakan lawan. Dia mencelat ke
sana ke mari menghindari diri dengan jurus Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra. Tubuhnya seolah
terbungkus oleh gerakan-gerakannya sendiri. Melihat
lawan yang mampu menghindari jurus-jurus pembu-
kanya, Singalodra segera tingkatkan jurus-jurusnya.
Kedua tangannya membentuk cakar dan mengelua-
rkan asap secara perlahan-lahan. Kemudian berubah
menjadi merah bagai bara. Lalu dengan satu teriakan
panjang, dia mencelat ke arah si Pendekar Hina Kela-
na.
Buang Sengketa yang melihat lawan telah kemba-
li menyarungkan pedang, dia pun ingin bersikap adil
dengan menyelipkan kembali Pusaka Golok Buntung-
nya dan melayani lawan dengan jurus-jurus tangan
kosong. Tapi alangkah kagetnya ketika tangan lawan
yang berbentuk cakar itu menghantam sebongkah ba-
tu besar di belakangnya dengan melewati beberapa
senti dari lehernya. Batu itu hancur berkeping-keping,
dan lehernya sendiri seperti terbakar api. Terasa kering
dan panas. Namun belum lagi sempat dia untuk meya-
kinkan bahwa tak terjadi sesuatu pada lehernya, seko-
nyong-konyong pukulan lawan kembali mengejarnya
bertubi-tubi. Terpaksa dengan pontang-panting Buang
Sengketa menghindarinya, namun jari-jari lawan yang
berbentuk cakar itu, terus mengejarnya seakan tak
memberi peluang untuk barang sekejap mengatur na-
fas bagi lawan.
Begitu hebatnya jurus Cakar Iblis Merah yang di-
keluarkan Singalodra, membuat Pendekar Hina Kelana
semakin terdesak tanpa bisa melakukan serangan ba-
lasan. Dan pada satu kesempatan.
"Buk!"
Buang Sengketa terjengkang sejauh beberapa
tombak. Darah segar muncrat dari mulutnya akibat
pukulan Singalodra yang menghantam dadanya. Bu-
kan hanya remuk yang dirasakannya, tapi juga sakit
luar biasa, membuat tubuhnya sulit untuk digerakkan.
Kalau saja tadi tubuhnya tidak dilindungi dengan te-
naga dalam penuh, bisa jadi akan hancur seperti batu
yang dihantam ketua Persekutuan Iblis itu.
"Mampuslah engkau, Bocah!" teriak Singalodra
sambil mencelat ke arah Pendekar Hina Kelana dan
pentangkan kedua tangannya dengan jari-jari yang
masih merah seperti bara. Buang Sengketa yang mera-
sakan ancaman mematikan dari lawan, diam-diam
bergidik juga hatinya. Perlahan-lahan dicabutnya Pu-
saka Golok Buntung dan sesaat kemudian terasa hawa
hangat menjalar di seluruh tubuhnya menghilang-kan
rasa sakit yang menusuk-nusuk dan me-lancarkan ali-
ran darahnya yang tadi sempat kacau. Tepat pada saat
kedua jari-jari Singalodra yang membentuk cakar itu
hendak menghantam batok kepalanya, dia segera sa-
betkan Pusaka Golok Buntung itu.
Singalodra yang melihat lawan hendak sabetkan
senjatanya secepat itu menarik mundur tangannya
dan berjumpalitan beberapa kali di udara untuk
menghindarkan diri dari sabetan-sabetan lawan beri-
kutnya. Tapi kali ini Pendekar Hina Kelana tak mau
dipecundangi untuk kedua kalinya. Dia segera main-
kan jurus Si Jadah Terbuang untuk menghadapi aksi
lawan. Dengan jurus itu dia bisa menghindarkan dan
cepat mengirim pukulan balasan pada lawan. Hingga
untuk beberapa saat, sulit ditebak, siapa yang lebih
unggul dalam pertempuran itu.
Tapi Singalodra nampaknya tak lagi mau buang-
buang waktu. Ketika dalam satu kesempatan, dia
mencelat mundur dan hinggap di kedua kakinya den-
gan ringan. Se-belah tangannya segera merapat ke da-
da dengan jari-jari terbuka lurus. Sementara sebelah
tangannya yang lain melintang di depan yang pertama
tadi. Lalu dengan gerakan yang tak perduli pada la-
wan, tubuhnya segera bergeser perlahan-lahan mem-
bentuk putaran-putaran yang berjalan mendekati si
pendekar dari Negeri Bunian itu. Lama kelamaan puta-
ran-putaran itu semakin cepat dan akhirnya sulit di-
ikuti oleh kasat mata, menghantam ke arah Buang
Sengketa berada. Pemuda itu cepat menghindar den-
gan meloncat, namun putaran itu bagai angin puting
beliung, terus mengikuti ke mana saja tubuhnya ber-
gerak dan menghindar. Inilah salah satu jurus andalan
Singalodra yang diberi nama Iblis Menggoda Iman. Ke-
lihatannya remeh dan sepele, namun sesungguhnya
bila lawan tersentuh oleh putaran tubuhnya, bukan
hanya satu pukulan yang terkena namun dari kedua
kaki dan tangan serta tubuh akan menghantam lawan
secara bertubi-tubi. Lalu kesadisan yang lain dari ju-
rus ini justru terletak pada hawa pukulan yang dilan-
carkannya. Dialiri tenaga dalam yang penuh dan kuat
serta mematikan.
Buang Sengketa keluarkan jurus Si Gila Menga-
muk untuk menghindarinya. Tubuhnya berkelebat ke
sana sini menghindari sapuan lawan. Lalu sekali-sekali
lontarkan pukulan si Hina Kelana Merana. Namun ba-
gai bermata, tubuh Singalodra yang bergulung-gulung
itu meliuk-liuk menghindari selarik gelombang ber-
warna merah menyala itu dengan lincahnya. Sampai
beberapa kali Pendekar Hina Kelana melancarkan pu-
kulan si Hina Kelana Merana, namun tak ada satu pun
yang berhasil menyentuh lawan. Batu-batu serta pe-
pohonan di tempat itu telah porak poranda dilanda
pukulan-pukulan Buang Sengketa.
Singalodra yang melihat bahwa serangannya kali
ini belum juga berhasil menghajar pemuda itu, segera
merubah taktik. Dalam keadaan tubuhnya yang masih
berputar, dia keluarkan pedangnya dan kerahkan te-
naga dalam penuh pada sebelah lengannya yang lain.
Tujuannya sudah jelas, akan menghantam Pendekar
Hina Kelana dengan kekuatan penuh.
Murid si Bangkotan Koreng Seribu bukannya tak
menyadari hal itu. Dia dapat merasakan hawa samba-
ran tubuh lawan yang masih berputar seperti gasing
itu terasa kuat dan ganas. Tubuhnya terasa ditarik-
tarik oleh sesuatu benda yang dipegang ketua Perseku-
tuan Iblis Hitam itu.
Sadarlah dia bahwa lawan kali ini telah menge-
rahkan seluruh ilmu yang dimilikinya untuk segera
membuatnya binasa. Dia pun dengan nekad telah ber-
niat memapak serangan lawan sambil kembali menca-
but Pusaka Golok Buntung dan mengerahkan seluruh
tenaga dalam yang dimiliki. Kemudian dalam satu kesempatan.
"Blaaaaaaar...!"
Suatu benturan dahsyat terjadi. Bukit itu terasa
bergoncang-goncang seperti dilanda gempa yang hebat.
Istana Singalodra terlihat mulai retak-retak di sana si-
ni diikuti oleh runtuhnya atap serta beberapa batu
tembok bagian atas. Pepohonan yang berada dalam ra-
dius sepuluh tombak dari pertempuran itu pada ber-
tumbangan. Kedua tubuh mereka terpental kira-kira
sepuluh tombak sambil muntah darah berkali-kali. Da-
ri hidung dan telinga keduanya mengalir darah segar.
Ini adalah pertarungan tinggi yang sama-sama dialami
oleh mereka. Keduanya cepat bersila mengatur jalan
nafas dan peredaran darahnya. Barulah mereka sadari
bahwa senjata yang tergenggam telah terpental entah
ke mana. Yang paling merasakan parahnya adalah
Pendekar Hina Kelana. Tanpa Pusaka Golok Buntung
di tangannya, luka yang dideritanya akan semakin pa-
rah.
Sebaliknya setelah menelan beberapa pel warna
merah Singalodra merasa tubuhnya agak lebih mem-
baik meski belum bisa dikatakan sembuh total. Meli-
hat lawan masih duduk bersila menandakan bahwa ja-
lan darahnya masih kacau, dia tak menyia-nyiakan
kesempatan ini. Sambil mencelat tinggi, dia keluarkan
suara bersuitan yang panjang dan menusuk telinga.
Siapa pun yang mendengar pasti akan berakibat buruk
padanya. Batu-batu di sekitar tempat itu kembali han-
cur menjadi beberapa kepingan kecil, pohon-pohon
terbelah bagai dicabik-cabik oleh suatu tangan yang
tak terlihat, dan tanah tempat mereka berpijak tiba-
tiba mulai retak satu persatu. Bisa dibayangkan bila
ada manusia yang berada di tempat itu, bisa dipasti-
kan binasa seketika.
Buang Sengketa menyadari bahaya yang mengancam keselamatan jiwanya. Satu-satunya harapan
saat ini yang mampu diandalkannya adalah mengelua-
rkan jurus-jurus Koreng Seribu. Namun tak mungkin
dimainkannya sambil berdiri, sebab untuk menggerak-
kan tubuh saja terasa sakit luar biasa. Mau tak mau
dia hanya bisa memainkannya sambil duduk bersila.
Matanya mulai terpejam seiring pikirannya yang mulai
berkonsentrasi menghalau suara yang dikeluarkan la-
wan. Pelan-pelan pengaruh itu mulai menghilang dari
telinga dan seluruh permukaan tubuhnya. Bahkan kini
telinganya menangkap suara-suara yang lebih aneh
seperti teriakan-teriakan Singalodra menahan kesaki-
tan.
"Lepaskan jahanam! Lepaskaaaaan...!
Aaaaaaaakh...!"
Teriakan melolong setinggi langit mengiringi tu-
buh Singalodra ambruk ke tanah dan tewas seketika.
Setelah tak terdengar lagi suara-suara yang mencuri-
gakan, barulah Pendekar Hina Kelana buka matanya
dan memperhatikan ke sekeliling sambil bangkit dan
berjalan tertatih-tatih. Pertama-tama yang dilihatnya
adalah tubuh Singalodra yang pucat pasi seakan selu-
ruh darahnya hilang entah ke mana. Buang Sengketa
menghela nafas pendek sambil gelengkan kepala. Dia
tak sangka keampuhan jurus-jurus Koreng Seribu
sampai sedemikian hebat menyedot seluruh tenaga da-
lam lawan hingga dia tewas dengan tubuh lemas tak
berdaya. Makin tinggi tenaga dalam yang dikeluarkan
lawan, makin cepat tubuhnya yang sedang mengerah-
kan jurus-jurus Koreng Seribu menyedotnya. Lawan
yang tak mengerti dan panik melihat keadaan itu, akan
semakin marah dan terus mengerahkan tenaga dalam-
nya hingga semaksimal mungkin. Seperti halnya yang
dilakukan oleh Singalodra tadi.
Kemudian Buang Sengketa memutar pan-dang kesekeliling tempat. Batu-batu yang hancur, pohon-
pohon tumbang, dan terakhir istana Singalodra yang
telah runtuh. Tiba-tiba matanya yang tajam menatap
sosok tubuh berpakaian biru di depan istana Singalo-
dra yang runtuh. Darahnya segera terkesiap. Dia sege-
ra menghampiri, dan melihat tubuh seorang wanita
yang tewas dengan darah yang mengalir lewat seluruh
tubuhnya. Dan pada jarak tiga jengkal dari tangannya
yang menjulur, tergeletak Pusaka Golok Buntung yang
terpental tadi. Tentu gadis itu tadi berusaha untuk
menggapainya, pikir si pemuda. Tapi yang membuat-
nya lebih terperanjat adalah ketika mengetahui siapa
gadis itu sebenarnya.
"Puji Lestari...?" bisik Pendekar Hina Kelana pe-
lan dan tertegun untuk beberapa saat lamanya. Ada
sesuatu yang hilang dalam hatinya. Entah apa, namun
sangat terasa menyesak. Pelan-pelan dia tundukkan
kepala dalam larut penyesalan.
"Kalau saja aku lebih cepat datang, tentu nasib-
mu tak akan begini. Tapi kenapa engkau malah keluar
mendekati? Seharusnya engkau tahu bahwa tenaga
dalammu tak akan cukup untuk menyaksikan perta-
rungan kami dari jarak yang dekat. Kenapa engkau ke-
luar juga?" ucap pendekar berambut kuncir itu berkata
seorang diri bagai orang gila sambil menatap pada
mayat gadis itu. Dia berusaha menggoncang-
goncangkan tubuh si gadis sambil memanggil-manggil
namanya berkali-kali.
Tiba-tiba pada saat demikian matanya tertumbuk
pada tulisan yang tertera di tanah. Berwarna merah
karena bercampur dengan darah.
Untuk Buang Sengketa, atau siapa pun namamu.
Aku sangat mencintaimu, tapi sekarang merasa
sangat tak berharga sebab Singalodra keparat telah
menodai ku berkali-kali. Barangkali kematianku akan
lebih baik, tapi sebelum itu aku ingin agar kematianku
bisa ber...
Tulisan itu terputus. Buang Sengketa menyadari,
pasti gadis itu tak mampu meneruskan kalimatnya ka-
rena pengaruh ilmu yang dikeluarkan Singalodra tadi
yang membuatnya tak berdaya. Dari sikap tangannya
yang hendak meraih Pusaka Golok Buntungnya yang
terpental di dekatnya, mengertilah Pendekar Hina Ke-
lana bahwa gadis itu berniat meraihnya dan bermak-
sud menyerang Singalodra dengan senjata itu. Tapi se-
belum dia mampu mendapatkannya, dia telah tewas
tak berdaya.
Pendekar Hina Kelana tak mampu berkata sepa-
tah pun melihat kenyataan itu. Hatinya luka dan ada
satu yang terlepas. Mungkin dengan pengembaraan-
pengembaraan berikutnya dia akan bisa melupakan
semua kenangan ini. Ada yang menyenangkan, namun
juga ada yang menyakitkan. Barangkali itulah hidup!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar