DENDAM DALAM DARAH
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1992
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode:
Dendam Dalam Darah
SATU
Pagi nan sejuk udara berselimut kabut.
Tetes-tetes embun pagi terasa menyengat kulit tu-
buhnya yang halus mulus. Tetapi tidak sekalipun
gadis bertopi caping itu menghiraukan suasana
seperti itu, seolah keadaan seperti itu sudah men-
jadi kebiasaan dalam hari-hari kehidupannya di
kaki Gunung Gilatama.
"Hiaaaa... haiiit... haiiit...!" Terdengar suara
teriakan si gadis yang begitu nyaring dan merdu.
Sementara seorang nenek tua berpakaian biarawa-
ti dengan bertumpu pada sebelah kakinya nampak
berdiri mengawasi semua gerakan-gerakan silat
yang dilakukan oleh gadis bertopi caping itu.
"Tangan terkepal, menghantam ke arah de-
pan. Kemudian kaki kiri melakukan tendangan
dengan mengerahkan sepertiga dari tenaga dalam
yang kau miliki. Setelahnya senjata rahasia yang
berada di tangan kirimu menyerang empat bagian
tubuh orang yang berdiri di hadapanmu itu...!" ka-
ta nenek berpakaian biarawati ini memberi penga-
rahan pada gadis berwajah cantik yang sedang me-
lakukan latihan.
"Heeeuuup...! Ciaaat...!"
Gadis itu kembali keluarkan suara teriakan
tinggi melengking. Selanjutnya dia pun melakukan
gerakan-gerakan sesuai dengan apa yang di-
perintahkan oleh si nenek berkaki buntung yang
berdiri tegak tidak begitu jauh di depannya.
"Jeb... deb... weeer...!"
Tiga gerakan cepat secara berturut-turut dia
lakukan, manakala gadis berkulit kuning langsat
ini hantamkan tangannya ke arah depan, selan-
jutnya disusul dengan kaki kiri. Maka menderulah
angin yang begitu kuat menyambar ke seluruh sisi
tubuh orang-orangan yang berada di depannya.
Kalau saja nenek berpakaian biarawati itu menan-
capkan bagian kaki orang-orangan ini tidak kuat
dan dalam. Sudah dapat dipastikan orang-orangan
sebagai sasaran latihan si gadis terpelanting ro-
boh.
"Jes...! Ces...! Ceeess...!"
Senjata rahasia yang berupa sengat Kala Hi-
tam itu pun dengan tepat mencapai sasaran-nya.
Sesaat nenek berpakaian biarawati itu memeriksa
bagian badan yang menjadi sasaran serangan mu-
ridnya.
"Bagus... hi... hi... hi...! Murid berbakat yang
kudapat rasanya sangat sesuai dengan apa yang
sering ku impi-impikan dulu." kata si nenek, lalu
berjingkrak-jingkrak dalam luapan kegembi-
raannya. Beberapa saat lamanya nenek ini mena-
tap tajam pada gadis bertopi caping yang berdiri
tidak begitu jauh di depannya.
"Teruskan latihanmu dengan jurus 'Meng-
gempur Badai Selatan'...!" Sekali lagi si nenek kaki
buntung memberi perintah pada muridnya.
"Aku akan melakukannya, Nenek Gom-
brang...!"
Gadis bertopi caping ini undur tiga langkah,
kaki dia tekukkan membentuk kuda-kuda yang
kokoh. Sementara itu kedua tangannyapun telah
pula disilangkannya ke depan dada.
"Hiiiaat...! Bet... bet...!"
Dengan gerakan yang begitu lincah, gadis
ini terus menghindari jebakan-jebakan yang se-
ngaja dipasang oleh si nenek berkaki buntung
yang menjadi gurunya. Selanjutnya tubuh gadis ini
berloncatan dari sebuah batu ke batu lainnya. Se-
bagaimana yang terlihat, batu-batu tempat si gadis
berloncatan terletak di sebuah kolam yang airnya
begitu dalam dan nampak menggelegak dan men-
gepulkan uap putih. Sedangkan jarak antara batu
yang satu dengan batu yang lainnya tak lebih dari
lima meter. Dan batu yang dijadikan tumpuan oleh
si gadis sebenarnya berukuran sangat kecil lagi
runcing. Dapat dibayangkan seandainya dia terge-
lincir di atas kolam alam yang senantiasa mengge-
legak itu, setidak-tidaknya tubuh gadis itu lumer
menjadi bubur.
Namun gadis bertopi caping ini merupakan
murid tunggal si nenek kaki buntung yang men-
dapat gemblengan selama hampir tujuh tahun.
Nenek berpakaian biarawati yang menjadi guru
gadis bertopi caping, juga bukan hanya sekedar
guru biasa. Dalam dunia persilatan dia dikenal se-
bagai Penyihir Tunggal Pantai Selatan. Nenek bun-
tung berusia sekitar enam puluh lima tahun ini
pada jamannya sangat dikenal sebagai seorang ah-
li sihir yang sangat tangguh dan memiliki pendir-
ian yang selalu cenderung membela kaum yang
lemah. Berada pada aliran putih, Penyihir Dari
Pantai Selatan, dan kerap dipanggil Nenek Gom-
brang oleh murid tunggalnya. Dalam dunia persila
tan dikenal sebagai seorang tokoh yang begitu te-
gas dan jarang memberi keampunan bagi setiap
lawan dari golongan sesat. Tindakannya terkadang
brutal namun beralasan. Tetapi di lain waktu dia
sering bersikap acuh pada keadaan yang terjadi di
sekelilingnya. Sifatnya yang selalu angin-anginan
dan misterius ini, sering berakibat kaum golongan
putih menaruh kecurigaan besar pada dirinya. Itu-
lah sebabnya, sungguh pun telah belasan tahun
Nenek Gombrang kaki tunggal telah mengasingkan
diri dari dunia ramai, namun tetap saja orang-
orang yang dulunya pernah berurusan dengan dir-
inya dan pernah pula merasa dirugikan, hingga
saat ini terus mencarinya.
Hanya saja mereka merasa kehilangan jejak
buronannya, sejak nenek ini berpindah-pindah
tempat sampai akhirnya dia menemukan sebuah
tempat yang dia kenal sebagai Tanah Bernyawa.
Sejak mulai saat itu, di Tanah Bernyawa in-
ilah Nenek Gombrang hidup dengan murid tung-
galnya Lukita Sari. Kepada gadis yang kini telah
berusia remaja, Nenek Gombrang menurunkan se-
luruh kepandaian yang dimilikinya. Tidak sampai
di situ saja si nenek berbuat untuk muridnya. Di
Tanah Bernyawa si nenek menciptakan ilmu sakti
dan berbagai ilmu sihir lainnya, khusus diperun-
tukkan buat Lukita Sari.
"Haap... Ita... lihatlah! Di hadapanmu ada
seekor ular raksasa yang telah bersiap-siap me-
mangsa tubuhmu...!"
Pelan saja ucapan si Nenek Gombrang, tapi
suara itu cukup berpengaruh dan terasa menggetarkan rongga dan seisi perut Lukita Sari. Si gadis
nampak tercekat begitu melihat ke arah depannya.
Benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya.
Saat itu dari dalam air kolam yang menggelegak,
secara tiba-tiba muncul seekor ular raksasa berku-
lit hijau lumut. Lidah binatang berbau amis luar
biasa ini nampak menjulur-julur, dengan mulut
terbuka lebar dan siap memangsa tubuh Lukita
Sari.
Tanpa membuang-buang waktu lagi gadis
bertopi caping ini mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya, tapi sebelum dia mampu berbuat ban-
yak. Tubuh ular raksasa berwarna hijau itu telah
meliuk dan langsung menyambar tubuhnya.
"Haiiit...!"
Lukita Sari lentingkan tubuhnya ke udara,
selanjutnya satu pukulan telak yang berintikan te-
naga dalam yang kuat dilepaskannya mengarah
pada bagian kepala ular buas tadi. Namun ular
berkulit hijau ini memiliki naluri yang begitu peka.
Menyadari adanya sambaran angin pukulan yang
begitu dingin, ular raksasa itu meliukkan tubuh-
nya, membentuk gerakan sebuah cambuk yang
melecut ke udara. Satu pukulan telak yang dila-
kukan oleh Lukita Sari berhasil dielakkan oleh
ular jejadian ini dengan sangat baik. Pukulan yang
menebarkan hawa panas itu terus menderu, hing-
ga akhirnya menghantam batu yang berada di ten-
gah-tengah kolam alam tadi. Batu tersebut hancur
berantakan, bahkan air panas di dalam kolam
alam itu muncrat ke udara terkena sambaran an-
gin pukulan yang tidak mengenai pada sa
sarannya.
"Zsssss...!"
Ular raksasa jejadian ini mendesis-desis, air
liur berlelehan dari lidahnya yang menjulur pan-
jang dan bercabang. Selanjutnya dengan gerakan
yang sangat cepat, ular itupun menjulur-kan tu-
buhnya. Bagian kepala dengan disertai bunyi
mendesis, nampak menyambar ke arah tubuh Lu-
kita Sari. Gadis bertopi caping ini menyambutnya
dengan satu pukulan yang disertai dengan penge-
rahan setengah dari tenaga dalam yang di-
milikinya.
"Dweees...! Hoooooss...!"
Bagai tiada merasakan adanya sambaran
hawa panas yang datang ke arahnya, ular bersisik
hijau ini malah menyambut. Dan keanehan pun
terjadi, pukulan 'Awan Biru' yang telah dilepaskan
oleh Lukita Sari seolah lenyap begitu saja tanpa
bekas. Gadis bertopi caping ini memandangnya
dengan mata membelalak. Namun ketika dia men-
dengar suara gelak tawa dari mulut orang yang
sangat dikenalnya, maka teringatlah gadis ini pada
sesuatu. "Uh, tolol betul aku ini! Sudah jelas apa
yang kulihat sebetulnya adalah permainan sihir
Nenek Gombrang! Mengapa aku tak menyadarinya
sejak tadi?" batin gadis itu.
"Heeeaaa...!"
Lagi-lagi Lukita Sari terus berkelit meng-
hindar saat mana ular bersisik hijau kembali men-
yerangnya dengan ganas.
"Wuuut...!"
Satu gerakan ringan dengan cara bersalto
mengikuti lurusnya batang pohon, membuatnya
telah berada diatas pohon tersebut. Dengan cepat
dia merapal ajian ilmu sihir yang telah dikuasai-
nya. Hanya dalam waktu sekedipan mata saja, tu-
buh Lukita Sari telah mengembar jadi tiga. Tidak
sampai di situ saja, tubuh kembar itu hanya da-
lam tempo yang singkat telah pula berubah men-
jadi tiga ekor burung rajawali raksasa.
"Kaaakk... Kroaaak...!"
Burung penjelmaan Lukita Sari ini lang-
sung menyambar ular hijau yang berada di dalam
kolam itu. Akhirnya ular dan tiga ekor burung rak-
sasa itupun terlibat pertarungan sengit dengan
ular tersebut.
Dengan mengandalkan kepakan sayapnya
yang luar biasa, burung rajawali itu terus men-
cecar ular hijau yang berada di tengah-tengah ko-
lam berair panas. Pada dasarnya menghadapi sa-
lah seekor dari burung rajawali itu saja, ular rak-
sasa ini sudah keteter, jangankan menghadapi se-
rangan berbareng yang dilakukan oleh ketiga bu-
rung berukuran sangat besar ini.
Dalam waktu yang begitu singkat, binatang
melata dan berbau amis menjijikkan ini pun sudah
terdesak hebat. Hingga beberapa saat setelahnya
cakar-cakar burung rajawali itu berhasil dengan
telak melukai tubuh ular berukuran sangat besar
ini.
"Buuueees...!"
Bersamaan dengan terlukanya tubuh ular
raksasa itu, sedetik kemudian ular inipun raib dari
hadapan si nenek. Sebagai akibatnya tubuh Nenek
Gombrang terhuyung-huyung dua tom-bak.
"Kreaaak... Kreaaak...!"
Burung rajawali penjelmaan Lukita Sari itu
pun kembali dalam ujudnya semula.
"Bagus...! Kau benar-benar seorang murid
yang dapat ku andalkan!" gumam Nenek Gom-
brang memuji. "Hemm! Lukita Sari...!" panggil per-
empuan tua berkaki buntung ini tanpa menoleh
pada lawan bicaranya.
"Iya nek...! Ada apakah...?" tanya Lukita Sa-
ri sambil melangkah mendekat.
"Tahukah kau sudah berapa lama engkau
tinggal bersamaku...?" bertanya si nenek tanpa
menghiraukan pertanyaan gadis cantik bertopi
caping yang berdiri tegak di hadapannya.
"Eem...! Mungkin sudah hampir tujuh ta-
hun! Atau bahkan lebih...!"
"Tujuh tahun! Sebuah waktu yang cukup
lama, tetapi apakah yang telah kau peroleh se-
lama itu dari seorang guru sepertiku ini?" tanya si
nenek dengan sorot mata tajam. Yang ditanya
nampak terdiam sejenak, namun tak begitu lama
kemudian dia telah menjawab
"Guru... ee... Nenek Gombrang telah mem-
beriku banyak bekal yang nantinya dapat kuper-
gunakan untuk membela kaum yang lemah! Dan
murid tak tahu bagaimana murid harus berterima
kasih atas segala apa yang pernah nenek be-
rikan...!" ujar Lukita Sari dengan sikap takjim.
Penyihir Tunggal Pantai Selatan nampak
sunggingkan seulas senyum, hingga menampak-
kan giginya yang cuma tinggal tiga buah saja.
"Hik... hik... hik...! Ternyata untuk meng-
ucapkan kata-kata terima kasih saja bagimu sulit-
nya bagai orang yang mau melahirkan! Bueh...
murid macam apa engkau ini...?" bentak si nenek,
uring-uringan.
"En... anu nek! Maksudku bagaimana cara-
nya agar aku bisa membalas segala kebaikan yang
pernah kau berikan kepadaku...!" ucap si gadis
bertopi caping terbata-bata.
"Bagiku bukan itu yang paling penting! Te-
tapi kata-kataku yang harus kau patuhi dan per-
tanyaan sanggup untuk mengerjakannya. Bagai-
mana apakah kau setuju?" tanya si nenek dengan
suara datar.
"Apapun yang nenek perintahkan, seandai-
nya aku mampu, sudah barang tentu dengan san-
gat senang hati akan kukerjakan...!"
"Buagus itu... kau memang murid dan cu-
cuku yang begitu berbakti.. Hik... hik...!" kata si
nenek begitu bangga. Sekejap dia memandang pa-
da Lukita Sari dalam-dalam. Namun di lain waktu
secara mendadak saja wajahnya berubah murung.
Selama ini belum pernah sekalipun Nenek Gom-
brang bersikap seperti itu, biasanya dalam meng-
hadapi persoalan serumit apapun, nenek keripu-
tan ini selalu tertawa-tawa, atau tersenyum lepas
bagai orang sinting. Tapi kali ini lain, si nenek ba-
gai sedang menghadapi gunung yang mau meletus.
Nampak panik bahkan kerut merut di wajahnya
semakin berlipat ganda.
"Apa yang kau pikirkan, Nek...!" bertanya si
gadis dengan sikap berhati-hati.
DUA
Yang ditanya nampak diam saja, bahkan
seperti ada satu beban di hatinya yang terasa berat
untuk disampaikan pada muridnya, tetapi lebih
berat lagi bila dia menanggungnya seorang diri.
"Ita muridku...! Aku ingin mengatakan se-
suatu yang sangat penting padamu. Tetapi alang-
kah lebih baik jika kita membicarakannya di da-
lam pondok!"
"Mari, guru...!" kata Lukita Sari, kemudian
mengiringi langkah terpincang-pincang gurunya
dari belakang.
"Kreooot...!"
Pintu pondok bertonggak tinggi tersebut
menimbulkan suara berkereotan saat mana Lukita
Sari mendorongkannya. Murid dan guru melang-
kah memasuki ruangan pondok yang hanya beru-
kuran tiga kali empat meter dan begitu sangat se-
derhana sekali. Menunggu Lukita Sari mengambil-
kan kendi berisi air dingin, nampak Nenek Gom-
brang tercenung seorang diri. Entah mengapa se-
cara tiba-tiba dia teringat tentang perjalanan masa
lalunya.
Kala itu rasa-rasanya segala sepak terjang
yang pernah dilakukannya begitu sadis dan tak
pernah mengenal kompromi. Ilmu sihir yang ber-
hasil dia pelajari dari dasar lembah Tanpa Ujud se-
lama belasan tahun, ternyata telah begitu banyak
menimbulkan korban dari berbagai golongan persi-
latan kala itu. Kehadirannya di dunia persilatan
selalu dimusuhi oleh tokoh-tokoh sakti. Semua itu
tak terlepas dan akibat dari keserakahan abang
tirinya yang berusaha mengangkangi seluruh harta
kekayaan peninggalan orang tua mereka. Sebagai
adik tiri dan perempuan pula. Sudah jelas dia tak
memiliki kekuatan apa-apa untuk menuntut seke-
dar hak yang sudah selayaknya menjadi miliknya.
Walaupun dia menyadari kalaupun dia mendapat-
kan bagian harta itu, sudah pasti sedikit sekali.
Kedua orang tua meninggalkan mereka untuk se-
lama-lamanya akibat malapetaka yang menimpa,
dalam satu perjalanan dagang ke kota raja. Sejauh
itu dia masih belum berhasil mendapatkan siapa
pembunuh kedua orang tuanya. Hanya sebuah
benda yang berbentuk bintang empat dan terbuat
dari bahan tembaga itulah yang dapat dia anggap
sebagai bukti, bahwa kematian yang dialami oleh
orang tuanya, tentu para pelakunya yang memiliki
benda itu. Mengharapkan abang tirinya untuk me-
lacak jejak pembunuh orang tua, rasa-rasanya be-
gitu sulit. Orang yang bernama Durga Wungu ter-
nyata bersikap tak mau perduli atas kematian ke-
dua orang tuanya. Dan dia menjadi sangat kecewa
sekali, karena tak lama setelah itu Durga Wungu
mengusir dirinya begitu saja.
Antara sedih dan kecewa, akhirnya Gom-
brang atau yang memiliki nama kecil Sangra Wu-
lan itu pergi tanpa tujuan. Namun Rimba Persila-
tan sesungguhnya bukanlah kehidupan yang ra-
mah. Berulang kali Sangra Wulan yang memiliki
paras lumayan ini harus berjuang mati-matian
menyelamatkan diri dan tangan orang-orang sesat
yang bermaksud tak baik padanya. Namun sampai
di manakah kemampuan seorang gadis yang tak
memiliki kepandaian apa-apa ini. Beberapa bulan
kemudian dia berhasil dinodai oleh Gembong Hi-
tam, yaitu kepala partai terbesar yang bermarkas
di bagian Tenggara. Betapa hancur hati Sangra
Wulan menerima kenyataan pahit seperti ini. Aki-
batnya dengan membawa luka hati yang teramat
dalam, dia berhasil membebaskan diri dari ceng-
keraman Gembong Hitam. Sepanjang hari dia
terus menempuh perjalanan tanpa arah dan tu-
juan. Hingga pada akhirnya sampailah gadis ini di
lembah sesat. Dan di tempat itulah Sangra Wulan
menemukan sebuah kitab yang berisi pelajaran si-
lat dan sebuah kitab lainnya yang berisi pelajaran
ilmu sihir. Sejak mulai saat itu, dengan tekun di
tempat yang sama Sangra Wulan mempelajari ke-
dua kitab yang memiliki kehebatan yang sangat
mengagumkan. Dalam waktu satu tahun sega-
lanya dapat dia selesaikan dengan baik. Terkecuali
pelajaran pamungkas yang terdapat dalam kitab
ilmu sihir tadi. Bahkan sampai akhirnya dia ma-
lang melintang dalam dunia persilatan, Sangra
Wulan masih belum mampu memecahkan rahasia
puncak yang terkandung dalam kitab ilmu sihir
itu.
Waktu itu dunia persilatan menjadi gempar
dengan kemunculannya. Begitu banyak kaum se-
sat terbantai di tangannya, apa yang ingin dilaku-
kannya pada saat itu adalah mencari tahu siapa
sesungguhnya yang telah membunuh kedua orang
tua, serta membalas dendam pada Ketua Gembong
Hitam yang bermarkas di bagian Tenggara. Se-
dangkan hal lain yang ingin pula dia ketahui ada-
lah mengenai harta dan tanah warisan yang telah
dikuasai oleh abang tirinya.
Ketika Sangra Wulan meluruk markas
Gembong Hitam, seluruh murid dan pentolannya
dia tumpas hingga tiada bersisa lagi, hancurnya
Gembong Hitam dan murid-murid perguruan itu
mengundang kemarahan para sahabat partai
Tenggara ini, hingga membuat dirinya dimusuhi
oleh tokoh-tokoh kaum sesat. Di manapun dia be-
rada selalu saja maut mengincar dirinya. Korban-
pun terus berjatuhan, bahkan abang tirinya yang
akhirnya dia ketahui sebagai orang yang telah ber-
gabung dengan para manusia sesat berulang kali
sempat bentrok dengan dirinya. Tapi pada ken-
yataannya, kakak tirinya itu memiliki ilmu kepan-
daian setingkat lebih tinggi dengan kepandaian
yang dimilikinya, hingga akhirnya dia sendiri nya-
ris tewas di tangan saudara tirinya itu.
Dalam keadaan terluka di bagian kaki aki-
bat sabetan senjata di tangan saudara tirinya,
Sangra Wulan melarikan diri. Dan dalam per-
jalanan melewati sungai yang tengah dilanda ban-
jir, perempuan ini menemukan Lukita Sari yang
kemudian dia angkat sebagai muridnya. Sambil
berusaha memecahkan inti pamungkas yang ter-
dapat dalam kitab ilmu sihir itu yang kemudian
mendatangkan hasil. Sangra Wulan yang ke-
mudian bertukar nama dengan Nenek Gombrang,
terus mendidik Lukita Sari dengan berbagai ilmu
kepandaian yang dimilikinya. Dan tanpa terasa
waktu yang tujuh tahun itu pun berlalu, segala
rahasia yang terkandung dalam kitab ilmu sihir
yang dulu tak dapat dipecahkannya. Kini sepe-
nuhnya telah dikuasai dengan baik oleh Lukita Sa-
ri. Nenek Gombrang merasa sekaranglah saatnya
mengutus murid tunggalnya untuk turun ke dunia
ramai guna mengadakan perhitungan dengan Dur-
ga Wungu juga mencari tahu simbol bintang per-
segi empat yang dia ketahui sebagai pembunuh
kedua orang tuanya. Demikianlah ketika hatinya
sedang diliputi oleh galau masa lalunya, secara ti-
ba-tiba Lukita Sari yang telah kembali dari dapur
dengan membawakan kendi berisi air langsung
menegur:
"Nek! Apa sih yang nenek pikirkan? Sejak
tadi kulihat nenek nampak melamun melulu...!"
ujar si gadis setelah duduk persis di depan Penyi-
hir Tunggal Pantai Selatan ini.
"Eeeh... tidak ada apa-apa...!" ucap si nenek
tersentak dari lamunannya.
"Sepertinya, nenek merahasiakan sesuatu
terhadapku! Katakan saja nek... bukankah aku
sudah berjanji untuk mengerjakan sesuatu seperti
apa yang nenek inginkan...?" sentak Lukita Sari
tanpa ragu-ragu lagi.
"Huuus... bocah tau apa! Tak usah kau
minta, apa yang sedang ku renungi ini juga nanti-
nya merupakan pekerjaanmu...!" kata si nenek.
Kejab kemudian dia telah menyambar kendi itu
dan langsung pula meneguknya. Terdengar suara
bercekglukan saat mana air itu melewati kerong-
kongannya yang kering. Beberapa saat lamanya
setelah menghabiskan air di dalam kendi itu lebih
dari setengahnya, maka Penyihir Tunggal Pantai
Selatan itupun dengan sikapnya yang begitu ber-
wibawa kembali berkata kepada Lukita Sari:
"Ita muridku...! Lama sebelum kau menjadi
muridku, tahukah engkau siapa dan apa saja yang
kulakukan di kalangan persilatan?" Yang ditanya
gelengkan kepalanya berulang-ulang. Tapi Nenek
Gombrang menanggapinya dengan sesungging se-
nyum.
"Nenek tak pernah mengatakan apa-apa pa-
daku, mustahil aku bisa mengetahui segala apa
yang terjadi dengan nenek ketika itu...!"
"Hik... hi... hi...! Kau memang tak kan tahu
apa-apa, karena aku belum mengatakannya pa-
damu...!" ujarnya. "Hemm! Saat itu hidupku terlalu
banyak dilanda kesengsaraan dan kenangan-
kenangan yang sangat menyakitkan. Tapi rasa-
rasanya hal itu tak perlu ku ungkap. Sungguhpun
begitu, dalam usia senja dan menjelang akhir hi-
dupku ini, aku punya satu keinginan yang nanti-
nya merupakan sebuah tugas penting yang harus
kau kerjakan...! Pahamkah engkau dengan apa
yang kumaksudkan...?"
"Paham, Nek...! Tapi belum seluruhnya da-
pat kuketahui maknanya...!" jawab Lukita Sari.
Nenek Gombrang kembali terdiam, nampaknya pe-
rempuan berusia senja ini sedang berusaha men-
gingat-ingat sesuatu tentang masa lalunya.
"Setelah kau meninggalkan Tanah Bernya-
wa ini, satu yang harus kau lakukan adalah men-
cari orang yang bernama Durga Wungu. Tanyakan
tentang warisan peninggalan orang tua kami pada
laki-laki itu. Kalau pun pendiriannya tetap tidak
berubah bahkan terus menunjukkan permusuhan
padamu. Maka kau wajib membunuhnya...!"
"Tapi nek! Orang yang nenek sebutkan itu
mana mungkin bisa percaya dengan segala omon-
ganku...!"
"Tidak percaya? Hik... hi... hik...! Dia pasti
masih mengenali benda ini!" ujar si nenek. Lalu
menunjukkan sesuatu pada Lukita Sari. Gadis
bertopi caping itupun menerimanya. Sejenak di-
perhatikannya benda pemberian si nenek. Benda
itu sesungguhnya hanya berupa kelenengan mai-
nan anak-anak kecil yang bentuknya sangat mirip
dengan kelenengan yang dipasang di leher lembu
penarik pedati. "Aneh! Nenek ini hanya menunjuk-
kan sesuatu yang sebenarnya tak memiliki arti
apa-apa?" batin Lukita Sari dalam hati.
"Dengan mengatakan bahwa kau meru-
pakan murid tunggalku. Durga Wungu pasti akan
mempercayainya. Tapi ingat sungguh pun dia me-
rupakan saudara tiriku, jangan sekali-kali kau
termakan bujuk rayunya. Orang itu manusia iblis
yang patut kau waspadai setiap waktu...!" kata
Nenek Gombrang wanti-wanti.
"Hal itu bisa aku mengerti, Nek! Tapi apa-
kah selain Kakek Durga Wungu, masih ada lagi
orang lain di rumah kediamannya...?" tanya Lukita
Sari dengan dipenuhi rasa keingintahuan.
"Cukup banyak! Bahkan mungkin lebih dari
lima puluh orang, dan perlu kau ketahui selain
menguasai seluruh harta benda peninggalan orang
tua. Durga Wungu juga mendirikan sebuah pergu-
ruan yang cukup besar di rumahnya. Untuk saat
sekarang, mungkin juga dia telah memiliki pem-
bantu-pembantu yang sangat tangguh. Tapi aku
merasa yakin dengan kemampuan dan ilmu sihir
tingkat pamungkas yang telah kau kuasai dengan
baik. Orang itu pasti dapat kau tundukkan...!"
"Kalau memang itu yang nenek kehendaki,
sebagai murid aku akan melaksanakannya dengan
baik...!" kata Lukita Sari menyanggupi. "Eiit... ma-
sih ada satu lagi...!" sergah Penyihir Tunggal Pan-
tai Selatan ini. Nenek Gombrang tak lama ke-
mudian telah pula mengambil sebuah benda ter-
buat dari bahan perunggu berbentuk bintang segi
empat. Perempuan keriputan ini selanjutnya men-
yerahkan bintang perunggu tersebut pada Lukita
Sari. Setelah menyerahkan bintang persegi empat
pada muridnya, sambil menatap lurus ke de-
pannya. Perempuan ini kemudian bergumam:
"Ketika aku merambah dunia persilatan!
Saat itu aku masih belum berhasil mencari tahu
siapa sesungguhnya yang memiliki simbol bintang
seperti ini. Kalau pun dia merupakan sebuah per-
guruan, tapi perguruan manakah? Itu pun aku be-
lum tahu. Sedikit sekali petunjuk yang kudapat-
kan tentang benda ini. Mungkin juga bintang tem-
baga ini merupakan sebuah lambang persatuan
dari golongan tertentu. Komplotan garong, atau
lambang persatuannya orang-orang golongan hi-
tam. Aku masih belum mampu menemukan jawa-
bannya...!"
"Yakinkah nenek, benda ini ada sangkut
pautnya dengan pembunuhan yang terjadi atas di-
ri orang tua...?" tanya Lukita Sari ragu-ragu.
"Aku merasa sangat yakin sekali! Sebab
benda itu kutemukan berada dalam genggaman
ibuku. Begitu erat bahkan terlalu sulit bagiku un-
tuk mengambilnya...!" Lukita Sari menganggukkan
kepalanya berulang-ulang.
"Sekarang aku sudah mengerti, Nek! Semo-
ga nantinya aku tidak mengecewakan harapan-
mu…!"
"Yaah... itulah yang selalu nenek harapkan
darimu! Tapi sebelum kau pergi ke dunia ramai.
Nenek punya sesuatu yang nantinya dapat me-
nyelamatkan dirimu apabila engkau menghadapi
bahaya maut yang sangat sulit untuk kau hin-
dari...!" kata Nenek Gombrang, sekejap kemudian
dia telah beranjak dari tempat duduknya, selan-
jutnya melangkah menuju ke arah kamarnya. Se-
kejap saja Nenek Gombrang berada di dalam
kamarnya, ketika dia muncul kembali mengham-
piri Lukita Sari.
Nenek Gombrang kemudian memperlihat-
kan sebuah benda lainnya yang memiliki panjang
tak lebih dari sejengkal. Ketika perempuan tua ini
menarikkan sarung berwarna merah yang mem-
bungkusnya. Maka terlihatlah sebilah keris lekuk
tiga berwarna hitam pekat. Anehnya begitu keris
lekuk hitam itu tercabut keseluruhannya dari sa-
rungnya secara tiba-tiba saja tubuh Nenek Gom-
brang lenyap tanpa bekas. Hal ini sudah barang
tentu membuat kejut di hati Lukita Sari.
"Dapatkah kau melihatku, Lukita Sari...?"
"Aku tak dapat melihatmu, Nek...! Dimana-
kah kau...?" tanya si gadis dengan pandangan ma-
ta mencari-cari.
"Aku masih berada di tempat! Tapi kau me-
mang tak akan pernah melihatku, karena tu-
buhku dilindungi oleh Keris Jalak di tanganku...!
Engkau pun bisa melakukannya asalkan kau ca-
but pusaka kegelapan dari sarungnya maka tubu-
hmu selamanya tak mungkin dapat dilihat oleh
orang lain...!" kata Nenek Gombrang secara pan-
jang lebar. Tak lama setelah itu, begitu Nenek
Gombrang menyarungkan senjata kegelapan itu ke
dalam warangkanya yang terbungkus kain merah.
Maka tubuh Nenek Gombrang terlihat kembali se-
bagaimana mestinya.
"Sebuah senjata yang hebat dan tak pernah
kulihat sebelumnya." kata Lukita Sari berseru
memuji.
"Nah sekarang tibalah saatnya bagimu un-
tuk meninggalkan Tanah Bernyawa! Kuharap kau
tidak akan kembali ke sini sebelum apa yang men-
jadi tugasmu dapat kau selesaikan dengan baik...!"
kata si Nenek Gombrang, lalu menyerahkan sen-
jata kegelapan yang berada dalam genggamannya.
"Baiklah nek! Sungguh pun hatiku merasa
sangat berat untuk berpisah denganmu, namun
demi tugas yang telah nenek berikan padaku. Ma-
ka aku pun akan melakukannya...!" ujar Lukita
Sari tegar.
"Berangkatlah! Semoga Sang Hyang Widi se-
lalu melindungimu...!"
Untuk selanjutnya tanpa menoleh-noleh la
gi, Lukita Sari segera berangkat meninggalkan Ta-
nah Bernyawa yang selama ini merupakan tempat
menimba berbagai ilmu kanuragan.
TIga
Tiada kebimbangan tersembunyi, itulah ke-
san pertama yang dapat ditangkap bagi siapa saja
yang kebetulan bertemu dengan pemuda berwajah
sangat tampan ini. Dalam keremangan menjelang
senja, saat matahari telah turun di kaki bukit dan
memandarkan cahaya kuning kemilau keemasan.
Saat itu pemuda berperiuk dengan rambut pan-
jang di kuncir sampai ke bahu ini telah hampir
sampai di pinggiran Kota Hantu. Dengan langkah
pasti pemuda ini terus melangkahkan kaki menuju
kota yang sudah tiada berpenghuni tersebut. Tiada
di perdulikannya dinginnya udara senja yang me-
nyibakkan anak-anak rambutnya yang menjela
dan berkibar-kibar.
Hanya satu yang ada di dalam hatinya, dia
ingin menyingkap tabir yang selama ini menjadi
misteri yang sangat mengerikan bagi setiap orang
seperti apa yang selalu didengarnya di sepanjang
perjalanan menuju Kota Hantu. Perjalanan yang
dilakukannya selama tiga hari tiga malam ternyata
tidaklah sia-sia. Setelah menempuh berbagai
hambatan dan rintangan, senja itu dia telah ham-
pir sampai di tempat tujuan. Kota Hantu bila dili-
hat dari jarak yang tidak begitu jauh, nampak me-
nimbulkan kesan angker. Begitu sunyi, bahkan
bangunan megah yang didirikan dengan cita rasa
tinggi pada jamannya. Hampir sepanjang hari se-
lalu diliputi kegelapan. Si pemuda berkuncir, atau
yang lebih di kenal dengan julukan Pendekar Hina
Kelana, dari jarak yang tidak begitu jauh berusaha
mengawasi kota yang begitu menyeramkan ini. Ti-
ba-tiba saja dia bergumam seorang diri:
"Tak seorang pun yang mampu memberi ja-
waban apa yang pernah dan sedang terjadi di tem-
pat itu. Kota Hantu tak ubahnya bagai sebuah ko-
ta mati tiada berpenghuni! Mungkinkah apa yang
kukatakan itu sesuai dengan kenyataan yang
ada...? Alangkah lebih baik kalau aku melakukan
penyelidikan ke sana.!" batin si pemuda. Selanjut-
nya dengan mengerahkan ilmu mengentengi tubuh
yang sudah begitu sempurna pemuda keturunan
Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu segera pula
mengerahkan
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>
<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<< 31 - 32
daan, semakin dia melangkah lebih jauh la-
gi, maka gerakannya pun semakin berhati-hati.
"Aku tak dapat melihat, apakah sosok ba-
yangan yang membuntutiku itu merupakan ma-
nusia atau bukan. Yang jelas bila melihat gelagat,
siapa pun adanya bayangan yang bergerak-gerak
itu pasti membawa maksud-maksud yang tak
baik...!" batin si pemuda.
"Heeuuup...!"
Dengan gerakan yang sangat ringan sekali
Pendekar Hina Kelana menjejakkan kaki, selan-
jutnya tubuh pemuda itu melentik ke udara. Di
lanjutkan dengan gerakan bersalto beberapa kali,
sampailah dia diatas atap sebuah bangunan yang
sudah begitu tua dan usang. Bahkan ketika mene-
rima berat tubuhnya, bangunan itu menimbulkan
suara berderak-derak bagai hendak patah.
Celakanya ketika pemuda ini telah berada
di atas bangunan itu, bayangan dalam bentuk lain
telah pula mengincarnya
"Mbu...!" Terdengar satu seruan yang sangat
mirip dengan dengus seekor lembu jantan yang
sedang terserang radang tenggorokan. Suara leng-
guh seekor lembu ini sudah barang tentu semakin
bertambah curiga. Pemuda dari Negeri Bunian ini
pun mulai bersikap sangat hati-hati sekali.
"Mbuu...! Mbuuu...Mbuuuuu...!" Suara ber-
sahut-sahutan yang membuat bingung si pemuda,
mulai bermunculan dari segala penjuru arah.
Jumlah mereka semakin lama juga semakin ber-
tambah banyak. Dan suara-suara senada nam-
paknya semakin bertambah gencar, terasa mer-
obek kegelapan malam. Seiring dengan gemuruh
suara lengguh lembu jantan itu, terlihat pula ber-
munculan beberapa sosok bayangan tubuh men-
dekat ke arah si pemuda.
" Jleegkh... Jleegkh...!"
Keanehan pun terjadi, sungguh pun ban-
gunan tua itu telah banyak menanggung beban
dengan hadirnya sosok yang tidak begitu jelas.
Namun bangunan tua ini tidak berderak patah.
Satu sisi lain yang sangat sulit untuk dipercaya
begitu saja, bagi Pendekar Hina Kelana.
"Siapakah orang-orang ini! Tubuh mereka
begitu ringan bagai tak memiliki bobot! Padahal
tadi saja ketika aku menjejakkan kaki di atas ban-
gunan tua ini, kayu penyanggah di bawah ku sana
sudah menimbulkan bunyi berderak-derak.
"Mbuuuh...!"
Satu sambaran lidah api yang keluar dari
mulut orang yang memiliki kepala tak jauh be-
danya dengan bentuk kepala seekor lembu.
"Sialan...!" maki si pemuda sambil berusaha
menghindari semburan api yang mengarah ke ba-
gian tubuhnya dengan satu pukulan yang begitu
dahsyat.
"Wuuus!"
"Bleeess...!"
Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang di-
lakukan oleh si pemuda secara telak menghantam
semburan lidah api yang di semburkan melalui
mulut manusia berkepala lembu tadi. Sosok ber-
bentuk aneh ini keluarkan suara jeritan tertahan-
tahan saat mana gelombang pukulan berhawa pa-
nas luar biasa menghantam tubuhnya. Orang ini
pun terjengkang. Tubuhnya jatuh dari atas ban-
gunan tua tadi, anehnya tiada suara apa pun yang
terdengar. Sementara itu begitu melihat kawannya
jatuh dari atas bangunan tua tadi maka yang lain-
nya datang menyerbu. Kembali semburan api yang
begitu gencar datang dari mulut berpuluh-puluh
sosok berbentuk aneh yang kini telah mengepung
dan menyerang Buang Sengketa dari jarak yang
begitu dekat.
"Gila,...! Entah iblis dari mana yang mampu
melakukan pekerjaan seperti ini! Benar-benar
edan dan sulit untuk kupercaya...!" rutuk si pe-
muda.
"Caaaiit...! Wuuus...!"
"Hueer...!"
Satu pukulan si Hina Kelana Merana den-
gan lidah api yang di semburkan dari segala pen-
juru oleh lawannya, datang menyambut.
"Braaar...!"
Tubuh Buang Sengketa nampak melayang
jatuh dari atas bangunan tua itu, hanya dengan
cara bersalto saja pemuda itu dapat menginjak-
kan kedua kakinya dengan baik di atas tanah.
Sementara lawan-lawannya yang memiliki hati se-
tengah iblis masih tetap berada di atas bangunan
itu tanpa kekurangan sesuatu apapun.
"Mbuuuuh...!" Kembali terdengar suara hi-
ruk pikuk mirip lengguh lembu jantan. Tapi nam-
paknya mereka tiada punya keinginan untuk men-
gejar lawan yang telah terjatuh di bawahnya.
Sungguh pun lawan yang berada di atas ti-
dak memburu pendekar Hina Kelana, namun bu-
kan berarti pemuda itu telah terlepas dari anca-
man maut. Sama sekali tidak. Di bawah sana be-
berapa sosok bayangan lain yang sejak pertama
tadi mengikuti dirinya dalam waktu tidak begitu
lama telah pula menyergap Buang Sengketa.
"Hoaaar... Roaaar... Grauuung...!" Sosok pe-
nyerbu yang berada di lorong-lorong gelap itu ke-
luarkan bunyi bagai binatang buas.
"Sialan betul! Makhluk apa pula ini...!" maki
si pemuda, kemudian berlari-lari cepat menuju lo-
rong lainnya.
"Hoaar...!"
Di depannya sosok yang sama telah pula
menghadang langkahnya. Pendekar Hina Kelana
membalikkan tubuh dan bermaksud menuju ke
tempat semula. Namun orang-orang aneh yang
mengejar dibelakangnya saat itu juga telah berada
begitu dekat dengan pemuda ini dengan sikap
mengancam. Baginya tiada pilihan lain lagi. Secara
bersamaan kedua tangannya yang telah teraliri te-
naga dalam dia pukulkan kedua arah sekaligus.
"Weeer! Weeer...!"
"Buum! Bruaaak...!"
Para pengejar dan penghadang di depannya
nampak berpelantingan ke segala penjuru. Pu-
kulan si Hina Kelana Merana, sesungguhnya bera-
kibat fatal bagi mereka, tetapi anehnya me-reka-
mereka ini seperti tidak merasakan akibat yang
mereka alami. Bahkan tubuh aneh yang hangus
akibat pukulan itu nampak bangkit kembali, se-
lanjutnya langsung menyerang pemuda itu dengan
cara lebih beringas lagi.
"Setan alas...! Aku yakin mereka pastilah
bukan bangsanya manusia biasa. Tapi mungkin-
kah ada satu kekuatan yang tiada terlihat telah
mengendalikan sosok tanpa ekspresi ini?" Batin
pemuda itu, secara diam-diam diantara kesibuk-
annya dalam menghadapi serangan yang begitu
gencar. Pendekar Hina Kelana mengerahkan se-
genap kekuatan batinnya.
"Hemm! Benar seperti dugaanku...! Orang
orang ini pasti ada yang telah mengendalikan-
nya...!" gumam Buang Sengketa dalam hati.
"Kalau begitu, mereka ini merupakan sosok
yang tiada pernah mengalami mati. Atau bahkan
mereka ini sudah mati, namun ada seseorang den-
gan cara-cara tertentu dengan sengaja membang-
kitkannya. Aku telah menyerang mereka dengan
cara apa pun, tenaga terkuras secara percuma. Sa-
tu yang harus kulakukan adalah mencari sumber
kekuatan yang telah membangkitkan mereka se-
cara tak wajar...!" Berpikir sampai di situ, secara
mendadak Buang Sengketa keluarkan teriakan
nyaring satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh telah
di lepaskannya. Bangunan tua yang terletak di se-
kitar tempat itu runtuh. Tanah tempat mereka
berpijakpun tergetar hebat. Tubuh tanpa nyawa
yang telah dikendalikan sebuah kekuatan yang
tiada terlihat itupun tergetar dan terhuyung-
huyung. Namun tak seorangpun diantara mereka
merasa terpengaruh oleh akibat yang ditimbulkan
Ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang begitu dah-
syat.
"Aku harus cari selamat...! Hiaaaa...!"
Dengan mengerahkan ajian Sepi Angin pen-
dekar inipun tak begitu lama setelahnya telah me-
lesat pergi. Tetap saja orang-orang tanpa ekspresi
itu mengejarnya. Namun nampaknya mereka ka-
lah cepat dalam hal mengadu ilmu berlari. Hingga
sedetik kemudian merekapun telah kehilangan je-
jak. Sementara itu, pendekar Hina Kelana terus
saja berlari dan berlari, dia sudah tiada perduli lagi
dengan keadaan sekitarnya. Sampai akhirnya pe
muda inipun telah begitu jauh meninggalkan Kota
Hantu.
EMPAT
Suasana di dalam gudang ruangan bawah
tanah tampak remang-remang menyeramkan, lan-
tai dasar ruangan itu senantiasa becek licin dan
menebarkan bau amis darah. Sementara itu be-
berapa orang laki-laki berkulit hitam legam dan
bertelanjang dada, nampak berjalan mondar-
mandir mengelilingi ruangan demi ruangan yang
jumlahnya tak lebih dari delapan buah. Sesekali
terdengar pula erangan-erangan lemah yang keluar
dari mulut orang-orang yang terantai kaki dan tan-
gannya di pojok-pojok ruangan. Dan pabila di lihat
secara lebih dekat lagi, maka dengan jelas be-
berapa sosok tubuh terkapar dan terbelenggu ran-
tai baja itu hampir keseluruhannya dalam keadaan
terluka parah bekas cambukan maupun benturan
benda tumpul lainnya. Keadaan mereka memang
benar-benar sangat mengenaskan sekali, tubuh
yang terluka yang sebagian besar telah mulai
membusuk itu begitu kurus. Hanya tinggal kulit
pembalut tulang. Tetapi yang lebih menyedihkan
lagi, justru mereka yang berada di dalam kerang-
keng ini kurang di beri makan. Sehingga menim-
bulkan kesan, hidup segan mati tak mau.
" Jletaaar... Jtaar...!"
"Ampun...ampun... jangan tuan siksa diriku
seperti itu. Lebih baik tuan-tuan membunuhku saja...!" rintih sebuah suara berasal dari ruangan
lain.
"Apa! Mati bagimu terlalu enak, Godot...! Se-
lama belasan tahun kau telah kuberi pekerjaan
yang begitu enak! Siapa suruh kau menyalah gu-
nakan kepercayaan yang kuberikan padamu...?"
Sayup-sayup terdengar suara bentakan seseorang.
"Maafkanlah aku tuan! Sungguh aku tak
pernah menyalahgunakan kepercayaan yang tuan
berikan...!" rintih orang yang mendapat lecutan
cambuk tadi.
"Heh...! Kau tak pernah menyalahgunakan
kepercayaan yang telah kuberikan padamu, jadi
kau kemanakan hasil sawah dan ladangku selama
ini...?" bentak orang itu dengan suara begitu din-
gin.
"Sebagian hasil sawah dan ladang tuan te-
lah saya bagi-bagikan pada orang yang tidak me-
miliki kemampuan lahir batin...!" jawab laki-laki
berbadan tegap itu dengan tubuh menggigil. Si
Kakek renta yang masih memegang cambuk dan
tetap berdiri di hadapan laki-laki gemuk itu me-
mandang sinis pada lawan bicaranya. Kerut merut
di wajahnya semakin bertambah banyak menan-
dakan bahwa laki-laki berpakaian hitam ini sedang
dilanda kemarahan besar.
Tiada terduga-duga kakek ini kembali men-
cambuki si laki-laki gemuk tanpa mengenal pe-
rasaan sedikitpun.
"Jraat...! Jtaaar... taaarr...!"
"Agffgkh... ampun! Emaaak.... huuu... hu...
hu.... Tolong, bapaaaak...!" jerit laki-laki itu sambil
terus meronta-ronta.
"Menangislah engkau sepuasmu! Sungguh
memalukan pahlawan kesiangan sepertimu masih
mengenal tangis seperti anak kecil..."
"Ampuni saya tuan! Semua kesalahan itu,
hanya berdasarkan atas rasa kasihan terhadap
orang lain yang benar-benar membutuhkan per-
tolongan...!"
"Bagus! Sekarang melolonglah engkau se-
perti seekor anjing. Aku jadi ingin lihat apakah
orang yang pernah kau tolong, sekarang juga akan
datang membalas pertolongan yang pernah kau
berikan...?"
Dengan nafas terengah-engah.
"Mereka hanya orang desa biasa, tak mung-
kin mereka dapat melakukannya, tuan?"
"Dan kau menganggap dirimu sebagai seo-
rang dewa penolong,...?" hardik kakek berpakaian
serba hitam itu merasa sangat tersinggung.
"Sama sekali tidak! Saya hanya merasa ka-
sihan pada mereka...!" rintih laki-laki gemuk ber-
nama Godot ini tersendat-sendat.
"Dasar celaka...! Hiaaat...!" maki kakek tua
ini, kemudian kembali melecutkan cambuknya ke-
bagian tubuh Godot yang sudah memar membiru.
Karena saat mengayunkan cambuk itu disertai te-
naga dalam yang tinggi, maka sudah barang tentu
tubuh laki-laki gemuk ini terbanting kian kemari.
Jeritan-jeritan histerispun terus terdengar, tapi
semakin lama semakin bertambah melemah hing-
ga akhirnya hanya tinggal rintihan belaka.
"Bleeegkh...!"
Godot jatuh pingsan dan menggeletak di
lantai ruangan bawah tanah yang becek lagi licin.
Kakek berpakaian serba hitam ini tergelak-gelak,
bahkan perutnya yang buncit itupun bergoyang-
goyang. Setelah tawanya reda, kemudian dia ber-
paling pada dua orang laki-laki bertampang sangar
yang berdiri tegak tak begitu jauh di belakangnya.
"Iblis Dua muka!"
"Saya, Tuan Durga Wungu...!" Laki-laki ber-
telanjang dada yang dipanggil Iblis Dua Muka me-
nyahuti.
"Dan kau Setan Gila...!" tukasnya sambil
melirik pada laki-laki kurus yang berada di se-
belah Iblis Dua Muka.
Sesaat yang ditanya tundukkan wajahnya
memberi hormat. Dengan sikap acuh laki-laki ber-
pakaian serba hitam itupun melangkahkan kak-
inya menuju ruangan penjara kearah jalan keluar.
"Ada apakah, Tuan Durga Wungu...?" tanya
Setan Gila, lalu mengikuti langkah Durga Wungu
dari belakangnya.
"Kota Hantu! Huaaa... ha... ha... ha...!" Ka-
kek tua berperut buncit itu keluarkan tawa ter-
gelak-gelak. Ruangan bangunan di bawah tanah
tergetar hebat begitu suara kakek ini bergema
memantul diantara dinding penjara. "Sudahkah
kota itu kau isi dengan hantu-hantu bergenta-
yangan...?"
"Sepuluh tahun Kota Hantu berada dalam
kekuasaan kita, tiada berpenghuni manusia yang
bernyawa terkecuali mereka yang sudah mati, dan
kami bangkitkan kembali menurut kehendak para
iblis...!" jawab Iblis Dua Muka. Sebagaimana bi-
asanya, laki-laki berbadan hitam legam inipun
sunggingkan seulas senyum sinis. Sementara se-
pasang matanya yang senantiasa merah menyala
inipun nampak berkilat-kilat.
"Apa yang dilakukan oleh saudara Iblis Dua
Muka, semuanya tak bisa lepas dari bantuan yang
saya berikan, Tuan Durga Wungu! Sayalah yang
telah melakukan penculikan terhadap siapa saja
yang berani berkeliaran atau mencari tahu tentang
rahasia yang tersimpan di Kota Hantu. Saya yang
membunuh mereka, lalu saudara Iblis Dua Muka
yang menghidupkan mereka dalam bentuk lain
sehingga dengan mudah dapat dikendalikan...!"
ujar Setan Gila tak mau kalah.
"Benar, tuan...! Semua usaha yang saya la-
kukan tak mungkin bisa berhasil dengan baik. Ji-
ka tidak di bantu oleh saudara Setan Gila...!" Kata
Iblis Dua Muka mendukung ucapan sahabatnya si
Setan Gila.
"Sebuah kerja sama yang cukup baik! Dan
upah yang kuberikan padamu juga pastilah be-
rupa imbalan yang sangat memuaskan. Tapi un-
tuk sekarang ini aku hanya memberikan sebagian
diantaranya. Satu tugas lain yang belum kalian se-
lesaikan adalah mencari Keris Jalak Senjata Kege-
lapan yang telah hilang dari dalam kamarku. Aku
yakin, senjata itu masih di sembunyikan oleh se-
seorang di Kota Hantu." ujar Durga Wungu sambil
terus melangkah menuju lorong ruangan lainnya.
"Kami bersama-sama dengan manusia tan-
pa nyawa telah memeriksa setiap sudut ruangan
yang terdapat di kota ini, Tuanku... tapi kami be-
lum mendapatkan apa yang seperti tuan katakan
itu....!" Selak Iblis Dua Muka berusaha memberi
penjelasan tentang usaha mereka mencari senjata
kegelapan yang telah dilarikan oleh seseorang be-
berapa tahun yang lalu. Durga Wungu mendengus,
lalu cepat-cepat palingkan muka.
"Cuuuh...!"
Sekali saja laki-laki itu meludah pada dind-
ing tembok sebagai pelampiasan kekesalannya.
Maka dinding yang diludahinya menjadi bolong.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu yang
dimiliki oleh kakek berpakaian serba hitam ini.
"Aku tak ingin mendengar segala alasan
yang tak bisa kuterima. Bagiku tugas adalah tu-
gas. Laporan keberhasilan yang kalian peroleh,
hanya itulah yang ingin kudengarkan....!" bentak
Durga Wungu dengan wajah berubah sinis.
"Beb...baiklah....! Tuan tak perlu merasa ri-
sau tentang segala urusan yang kami kerjakan....!
Saya Iblis Dua Muka dan kawan saya, Setan Gila
pasti segera mendapat petunjuk untuk mem-
peroleh senjata kegelapan yang telah hilang itu....!"
janji Iblis Dua Muka pada Durga Wungu.
"Hemm. Baiklah... melihat cara-cara kerja
kalian selama ini, aku percaya dengan apa yang
kalian katakan....! Asal tahu saja. Aku tak mau ka-
lian mengalami kegagalan dalam hari-hari selan-
jutnya....!" kata Durga Wungu setengah mengan-
cam.
"Percayalah, Tuan....! Sebagaimana hari-
hari kemarin, untuk selanjutnya kami pasti tak
akan mengalami kegagalan....!" Dalam kesem-
patan itu, secara tiba-tiba Iblis Dua Muka ber-
paling ke arah belakang lorong.
"Para Suruhan! Lemparkan dua orang tang-
kapan itu untuk di periksa....!" Perintahnya begitu
berwibawa. Dari kegelapan malam terdengar suara
bergemuruh di sertai rintihan-rintihan kecil. Se-
lanjutnya terlihat dua sosok tubuh terlempar bagai
dua buah karung yang tiada guna.
"Gubraak....!"
"Auuuh... ala emaaak....!" jerit kedua orang
itu secara hampir bersamaan.
"Siapa mereka....?"'tanya Durga Wungu
setelah meneliti wajah para tawanan satu persatu.
"Tikus-tikus comberan ini coba-coba mema-
suki Kota Hantu, Tuan....!" lapor Setan Gila, dan
tanpa di sangka-sangka orang inipun me-nendang
kedua-duanya.
"Duuuk... Buuk....!"
"Aduh... hiii... salit... eeh sakiit....!"
"Tendangan orang jelek itu memang sakit!
Tapi rasa sakitmu di bagian mana?" tanya ka-
wannya yang juga sama-sama kena tendang begitu
melihat kawannya berjingkrak-jingkrak.
"Anuku... orang itu sungguh kejam! Anu-
ku... huhu... hu... hu....!" rintih si laki-laki ber-
tampang lucu sambil memegang bagian selang-
kangannya.
"Anumu... anumu sakit ya....! Apa sekarang
masih ada di tempatnya? Coba periksa....!" Selak
yang satunya lagi. Sungguhpun dia sendiri mera-
sakan sakit di bagian punggungnya akibat tendangan, tapi masih juga dia bersikap konyol.
"Apa...anuku harus kuperiksa! Ah, jangan...
aku malu sama orang-orang...!" Tukasnya lugu.
"Ya sudah....!" Kata kawannya dengan tu-
buh menggigil ketakutan.
"Diaamm....!" bentak Durga Wungu. Nam-
paknya laki-laki berusia tujuh puluhan ini merasa
tak sabar menghadapi dua laki-laki setengah baya
bertampang tolol itu. Sejenak lamanya, suasana di
sekeliling ruangan itu menjadi hening, tapi kehen-
ingan itu tidak berlangsung lama. Karena Setan
Gila sudah pula menyelak.
"Tikus-tikus penyelundup! Katakan siapa
nama kalian! Dari mana asal usul, dan apa mak-
sud tujuan kalian memasuki Kota Hantu....?"
Dua orang laki-laki bertampang tolol itupun
saling berpandangan sesamanya. Tapi demi meng-
hindari siksaan, salah seorang diantaranya cepat-
cepat berkata:
"Namaku Panjul, Tuan....! Sedangkan ka-
wanku ini Panut! Alkisah dulunya kami meru-
pakan murid-murid dari Perguruan Besar Jagad
Kelanggengan! Tapi akhirnya guru kami tewas di
tangan seorang pendekar gembel yang berjuluk
Pendekar Hina Kelana... lalu kami pulang kam-
pung dan menjadi petani biasa....!"
"Cukup! Keterangan kalian tidak ber-
mutu....!" potong Iblis Dua Muka marah sekali.
"Beri kesempatan pada mereka untuk bi-
cara....!" ujar Durga Wungu berwibawa. Sebentar
dia menoleh pada Panjul dan Panut (Untuk lebih
jelasnya siapa kedua orang ini terdapat dalam Epi
sode Satria Penggali Kubur). Setelah memperhati-
kan kedua laki-laki bertampang tolol ini, kemudian
dia pun berkata: "Sekarang coba katakan mengapa
kalian memasuki Kota Hantu?"
"Kami tak sengaja! Kami tersesat ketika
mencari tiga ekor kambing kami yang tiada kem-
bali....!"
"Bohong....!" bentak Setan Gila. Sekali lagi
ditendangnya Panjul dan Panut. Begitu keras ten-
dangan itu sehingga selain dua-duanya terlempar
menabrak dinding juga dari mulut mereka men-
galirkan darah kental.
"Hoeeek....! Hoeeek....!" Dengan napas ter-
sengal-sengal dan dada terasa menyesak, Panjul
dan Panut coba-coba merangkak. Tapi tangan dan
kakinya goyah tiada bertenaga, tak dapat dicegah,
tubuh mereka pun ambruk kembali dengan posisi
menelungkup.
"Amm...ampun tuan....! Kami benar-benar
tak memiliki maksud-maksud tertentu ketika me-
masuki Kota Hantu....!"
"Omong kosong! Kalian kami curigai....! Se-
umur hidup selama kalian masih belum mau men-
gaku, maka kebebasan bagi kalian hanyalah beru-
pa isapan jempol belaka....!" kata Durga Wungu.
"Rantai mereka dan siksa sampai mau men-
gaku....!" perintahnya pada dua orang tangan ka-
nannya.
Dengan cepat kedua orang itu segera mela-
kukan pekerjaannya, hanya dalam waktu sebentar
saja Panjul dan Panut telah terantai tangan dan
kakinya. Tanpa banyak tanya lagi orang-orang itu
pun langsung mencambuki tubuh dua laki-laki
bertampang tolol ini tanpa merasa kasihan sedi-
kitpun. Sementara itu Durga Wungu sudah tak ke-
lihatan lagi berada di sana.
LIMA
Sudah begitu jauh aku meninggalkan Tanah
Bernyawa. Tempat-tempat yang tidak ku kenalpun
telah banyak yang kulalui. Tetapi bintang tembaga
atau tanda-tanda yang hampir sama tak juga ku-
dapat. Mungkin apa yang dikatakan Nenek Gom-
brang tentang apa yang terjadi dan menimpa orang
tuanya puluhan tahun yang lalu itu tidak pernah
ada. Dalam arti bintang persegi empat yang ter-
buat dari tembaga ini tidak memiliki sangkut paut
apa-apa dengan kematian orang tuanya. Terbukti
selama puluhan tahun hingga kini tanda-tanda di-
temukannya pelaku pembunuhan itu masih belum
juga dia dapat. Bagiku tugas yang diberikan oleh
Nenek Gombrang merupakan tugas berat yang ha-
rus kupikul....! Kata gadis bertopi caping ini seo-
rang diri.
Gadis berkulit kuning langsat dan meru-
pakan murid tunggal Nenek Gombrang di Tanah
Bernyawa nampak terdiam sesaat lamanya. Se-
pasang matanya yang begitu teduh berkesan curi-
ga pada siapa saja memandang lurus-lurus ke de-
pannya. Tak ada hal-hal yang mencurigakan terli-
hat, terkecuali pohon-pohon pinus yang menjulang
tinggi, serta hamparan bukit dan lembah yang
membiru.
"Iihh...!"
Tiba-tiba gadis itu berjingkrak kaget. Apa-
bila matanya kembali memandang ke arah semula,
maka terlihat olehnya satu kilatan cahaya putih
yang dipantulkan sinar matahari. Kilatan putih itu
tak ubahnya bagai sebuah cermin yang berukuran
besar dan berasal dari lereng bukit sebelah Utara
tidak begitu jauh dari posisinya saat itu.
"Ahh...! Kilau benda berwarna putih di bukit
itu semakin bertambah banyak. Ingin ku tahu se-
sungguhnya benda apakah yang bisa memantul-
kan cahaya seperti itu?" gumam Lukita Sari. Se-
lanjutnya gadis bertopi caping itu pun menga-
yunkan langkahnya menuju lereng bukit yang
jaraknya tidak begitu jauh dengan posisinya saat
itu.
Hanya beberapa saat setelah itu, Lukita Sari
terpaksa menghentikan langkahnya. Di depannya
sebuah jurang menganga dalam, gadis ini mengi-
tarkan pandangan matanya ke segenap penjuru.
Tak sesuatu benda apapun yang dapat diperguna-
kan dalam menuruni jurang itu. Tapi sebagai gadis
yang memiliki pikiran cerdik, sedikit pun dia tiada
merasa putus asa. Ketika dilihatnya di sekitar
tempat itu banyak terdapat sulur-sulur tumbuhan
merambat. Maka harapan lain pun bermunculan
di benaknya.
"Sulur tumbuhan merambat ini pasti dapat
kupergunakan sebagai tali untuk mencapai lereng
bukit di sebelah sana." membatin gadis itu. Selan-
jutnya dengan cekatan diraihnya sulur tadi. Dengan cara bergelantungan sekejap kemudian Lukita
Sari mengerahkan sebagian tenaga dalamnya un-
tuk melompati jurang yang ada.
"Haaaat...!"
Tubuh gadis bertopi caping ini nampak me-
layang melewati jurang yang tidak terlihat bagian
dasarnya.
"Jleeegkh...!"
Dengan gerakan ringan tiada menimbulkan
suara sampailah dia pada tebing jurang yang be-
rada di seberangnya.
"Melihat keadaan jurang ini, rasa-rasanya
ada sesuatu yang tersimpan di depan sana. Untuk
tidak menimbulkan kecurigaan sebaiknya aku
akan merobah ujudku menjadi seekor musang...!"
kata Lukita Sari. Tak begitu lama kemudian sete-
lah merapal mantra-mantra ilmu sihir yang di-
milikinya. Maka berubahlah ujud Lukita Sari men-
jadi seekor musang berbulu abu-abu. Musang pen-
jelmaan gadis bertopi caping ini kemudian melom-
pat dari dahan ke dahan, mendekati lereng bukit.
Di luar sepengetahuan si gadis kiranya ada
sepasang mata yang sejak dari tadi terus menerus
mengawasinya. Pemilik sepasang mata itu tak lain
merupakan seorang pemuda berkuncir si Hina Ke-
lana.
"Gadis bertopi caping itu sekarang telah me-
rubah dirinya menjadi seekor musang. Aku jadi in-
gin tahu apa saja yang dilakukannya di tempat se-
perti ini...?"
"Heeep...!"
Dengan kecepatan yang luar biasa, pemuda
keturunan manusia negeri alam gaib itu melompat
pada sebatang pohon, selanjutnya dari dahan ke
dahan dia berloncatan bagai seekor tupai. Walau-
pun gerakannya sedemikian cepat, namun dia te-
tap menjaga jarak agar kehadirannya tidak diketa-
hui oleh gadis bertopi caping yang kini telah me-
rubah ujudnya menjadi seekor musang. Ketika
musang penjelmaan Lukita Sari telah menuruni
sebatang pohon berdaun lebat. Pendekar Hina Ke-
lana hentikan gerakannya sejenak. Lalu diperhati-
kannya musang penjelmaan Lukita Sari yang se-
dang berusaha mendekati barak-barak kecil yang
sunyi seolah tiada berpenghuni. Barak demi barak
ditelitinya. Namun dia tak melihat siapa pun
berada di sana.
"Heran! Melihat keadaannya, barak-barak
yang kosong ini pastilah dihuni oleh manusia bi-
asa! Tapi kemanakah perginya mereka, dan pula
aku tak melihat benda putih berkilau yang ben-
tuknya sangat mirip dengan bintang tembaga yang
ada bersamaku ini. Mungkinkah agak di sebelah
sana...?" batin Lukita Sari. Selanjutnya musang
penjelmaan gadis bertopi caping itu berjalan me-
nuju barak yang terletak di sebelah kanannya.
Namun tidak juga dijumpainya siapa pun di barak
itu, maka musang penjelmaan Lukita Sari mulai
memeriksa suasana di lereng bukit itu.
"Ahh. Benda di depan itu seperti yang me-
mancarkan kilauan cahaya ketika pertama tadi.
Baiknya kuperiksa lebih teliti lagi...!" desis Lukita
Sari, selanjutnya musang jejadian itupun bergerak
cepat mendekati sebuah benda persegi yang melekat di atas tanah lebih kurang satu tombak di
depannya.
"Hem. Jadi benda inilah yang tadi meman-
carkan sinar berkilauan ketika aku sampai di
pinggiran jurang itu? Aku yakin benda ini pasti
ada pemiliknya...!" Gadis bertopi caping merogoh
sesuatu dari saku bajunya. Selanjutnya menge-
luarkan benda berbentuk bintang persegi empat
pemberian Nenek Gombrang beberapa waktu yang
lalu.
"Bintang ini sangat mirip sekali dengan bin-
tang besar yang melekat di atas permukaan tanah
ini. Tapi mengapa tak pernah kulihat seorang ma-
nusia pun berada di tempat ini...!" batinnya pula.
"Ada baiknya kalau kuselidiki apa yang tersem-
bunyi di balik semua yang terlihat...!"
Musang penjelmaan gadis bertopi caping
menggerakkan kaki depannya menyentuh ujung
bintang yang terdapat di sisi kirinya. Di luar du-
gaannya begitu ujung bintang itu tersentuh. Ter-
dengarlah suara bergemuruh bagai suara gempa
bumi. Bintang bersisi empat itu amblas, secara ce-
pat seperti ada kekuatan yang tidak terlihat mem-
betotnya ke dalam. Bintang bersisi empat lenyap
dari penglihatan Lukita Sari secara tiba-tiba. Se-
bagaimana bintang tadi, maka tanah di balik bin-
tang itu berlubang membentuk sebuah gua ber-
bentuk bintang. Gua berbentuk bintang itu terus
memperdengarkan suara-suara bergemuruh. Mu-
sang penjelmaan gadis bertopi caping sudah ber-
niat menjauhi gua bintang yang muncul secara ti-
ba-tiba tadi. Namun sebuah kekuatan yang tidak
terlihat telah menyentakkan musang berbulu abu-
abu itu, hingga menyebabkan tubuhnya terpelant-
ing memasuki gua tersebut.
"Kampret! Gua ini begitu gelap, aku tak ta-
hu apa yang sedang terjadi di sini?" gumam Lukita
Sari. Sementara tubuh musang jejadian terus ter-
seret mengikuti kekuatan gaib yang menariknya.
Sementara di luar sepengetahuan si gadis,
Pendekar Hina Kelana yang merasa tertarik untuk
mengikuti perkembangan selanjutnya, diam-diam
ikut menyelinap memasuki gua bintang yang telah
menyeret tubuh musang tadi. Keanehan pun kem-
bali terjadi. Dari bagian luar sebuah bintang lain
menutup gua yang telah dimasuki oleh Pendekar
Hina Kelana dan Lukita Sari.
"Breeeeng...!"
"Celaka! Gua ini menutup kembali. Aku ya-
kin semua ini hanyalah berupa jebakan belaka.
Sialnya gua ini semakin bertambah gelap saja, tak
bisa kulihat di mana posisi gadis jejadian itu bera-
da...!" gerutu si pemuda merutuki diri sendiri. Da-
lam pada itu jauh di depannya terdengar suara
bentakan sayup-sayup.
"Selamat datang tamu tak diundang di Is-
tana Bintang. He... he... he...! Seekor musang cer-
dik lagi cantik,..!" Secara tiada terduga-duga, be-
gitu suara sayup-sayup di depan sana lenyap,
mendadak ruangan di dalam gua itu berubah men-
jadi terang benderang.
"Cepat-cepatlah rubah ujud mu menjadi se-
bagaimana semula...!"
"Ngoeeeek...!"
Di dalam sana musang penjelmaan Lukita
Sari melompat undur tiga tombak. Kemudian sete-
lah merapal ajian yang dimilikinya:
"Plaaas...!"
Tubuh musang penjelmaan gadis bertopi
caping telah kembali ke dalam ujudnya semula.
"Hak... hak... hak...! Apa kubilang, kau me-
mang merupakan seekor musang yang cantik.
Heh... sudah lebih dua puluh tahun musang can-
tik sepertimu atau yang sejenis dengan dirimu tak
pernah ada yang berani muncul di daerahku ini.
Bahkan seekor kunyuk jelek pun tak ada yang be-
rani menyaba daerah kekuasaanku. Tapi kini see-
kor musang cantik bersedia datang dengan seekor
monyet gembel... sungguh aku merasa ka-gum
dengan keberanian yang dimilikinya...!"
"Sialan! Orang itu mengetahui kehadiran-
ku...!" maki Buang Sengketa dari tempat per-
sembunyiannya.
Lukita Sari yang tidak mengetahui kehadir-
an orang yang disebut-sebut oleh suara yang be-
lum menampakkan diri itu, sudah tentu merasa
heran dan terkejut sekali. Seingatnya hanya dia
seoranglah yang terperangkap memasuki gua itu.
Kini orang yang berkata-kata itu menyebut-nyebut
kehadiran orang lain selain dirinya sendiri, dari si-
ni saja Lukita Sari sudah dapat menarik kesimpu-
lan bahwa orang yang sedang berkata-kata itu ten-
tulah seorang tokoh yang memiliki kesaktian ting-
gi.
"Kau menjebakku seperti seekor tikus com-
beran yang begitu pengecut! Kini kau bicara dalam
kegelapan bagai orang sinting yang lagi kumat gi-
lanya! Manusia macam apakah...!" ejek Lukita Sari
dalam kegusarannya.
"Hak... he... ha... ha...! Mulutmu kelewat ta-
kabur bocah ayu, kau mau pun kunyuk gembel
yang ngumpet di lorong sana masih hijau untuk
mengetahui siapa sesungguhnya diriku ini...!" ger-
utu sang suara.
Sekali lagi gadis bertopi caping itu melirik
ke arah belakang, namun tak seorang pun yang
dia lihat. Merasa tidak sabar, maka gadis itu pun
kembali berpaling ke arah datangnya suara tadi.
"Kau hanya seorang pembohong besar! Tak
seorang pun yang datang bersamaku, terkecuali
diriku sendiri...!"
"Kaulah yang pembohong! Kuharap gembel
berperiuk yang masih ngumpet di depan gua bin-
tang sana segera tunjukkan diri...!"
"Kurang ajar! Sungguh pun bangsat itu ti-
dak melihatku, tapi justru dia melihat bagaimana
keadaanku...! Aku pun bukan seorang pe-
ngecut.... Haaiiit...!"
Dengan sekali berkelebat saja, maka tubuh
Buang Sengketa telah berada di belakang Lukita
Sari.
"Ka... kau... siapakah anda...!" tanya Lukita
Sari merasa terkejut bukan alang kepalang.
"Jangan bermain sandiwara di hadapanku,
musang cantik dan kunyuk gembel! Siapapun
yang telah begitu berani memasuki Gua Bintang,
hanya ada satu kemungkinan baginya. Yaitu ma-
ti... tapi sebelum kematian itu sendiri aku pun ha
rus mengetahui apa yang menjadi tujuan kalian
memasuki daerah yang menjadi kekuasaanku se-
cara turun temurun...?"
"Kau mau apa kemari...!" tanya Lukita Sari
pada Buang Sengketa, tanpa menghiraukan per-
tanyaan Penguasa Gua Bintang.
"Aku... he... he... he...!" Buang Sengketa ce-
ngar cengir. "Hanya secara kebetulan saja aku
memasuki daerah ini tanpa tujuan apa-apa...!"
"Bohong...!" bentak Lukita Sari. "Kalaupun
nona menginginkan jawaban yang benar! Maka tu-
juanku sampai terjebak di dalam gua terkutuk ini
hanyalah ingin melihat bagaimana caranya seekor
musang cantik melepaskan diri dari perangkap
seekor bandot tua...!"
"Keparaat...!" maki suara tanpa ujud. Serak.
Tiba-tiba dari kegelapan menderu satu pukulan
ganas berhawa dingin luar biasa.
"Hi... hi... hi...! Inilah caranya menyambut
kedatangan tamu seekor musang dan seekor ku-
nyuk gembel. Elakkanlah kisanak, kalau kau tidak
mampu. Silakan merat ke neraka dulu-an...!" kata
Lukita Sari. Dengan cepat gadis ini menghindar.
"Plaaaas...!"
Secara tiba-tiba pula tubuh Lukita Sari le-
nyap begitu saja. Tinggallah Buang Sengketa sen-
dirian yang menghadapi serangan mendadak itu.
Karena ruangan di dalam gua itu begitu luas, ma-
ka dengan cara berjumpalitan si pemuda mem-
buang tubuhnya ke samping. Namun pukulan
yang dilepas oleh lawannya terus memburunya
kemana pun dia menghindar.
"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa.
"Melompat-lompatlah seperti seekor monyet,
Kisanak...! Hi... hi... hi...!" kata Lukita Sari yang
merasa luput dari serangan yang dilakukan oleh
lawannya.
"Aku tak perduli apakah ruangan ini cukup
kuat untuk menahan terjangan pukulanku...
haaaiiit...!"
Buang Sengketa bersalto tiga kali. Ke-
mudian dikerahkannya sebagian tenaga dalam
yang dia miliki. Begitu tangannya dia hantamkan
ke arah pukulan lawan yang terus memburu. Tak
ayal selarik sinar Ultra Violet yang menimbulkan
hawa panas luar biasa, bertemu di udara:
"Buuummmm...!"
"Gila-...!"
Terdengar satu seruan tertahan saat mana
ruangan di dalam gua itu runtuh sebagian. Ke-
mudian berkelebat pula sesosok tubuh dari kege-
lapan mendekati si pemuda yang saat itu nampak
tertatih-tatih dan berusaha bangkit berdiri.
"Anda memang hebat kunyuk gembel...!"
puji Lukita Sari. Tahu-tahu telah berada tidak be-
gitu jauh dari Buang Sengketa.
"Segala pukulan picisan kau pamerkan di
hadapanku, bocah gembel...!" maki penghuni Gua
Bintang, yang sesungguhnya seorang laki-laki ber-
badan bongkok berwajah pucat dan hanya memili-
ki sebelah mata.
"Sekarang coba kalian katakan apa yang ka-
lian cari di tempat ini sehingga kalian begitu ber-
ani memasuki daerah Gua Bintang...!" bentak siBungkuk muka pucat mata picak.
Karena perhatian laki-laki bungkuk itu ter-
tuju pada Buang Sengketa, maka mau tak mau
pemuda ini pun menjawab: "Aku tak mempunyai
tujuan tertentu, hanya seorang pengelana be-
laka...!"
"Melihat tampangmu, mungkin aku bisa se-
dikit mempercayaimu... tapi kalau musang je-
jadian itu apa juga hendak mengaku sebagai seo-
rang pengembara juga...?" tanya laki-laki bungkuk
mata picak menyindir.
"Berkata terus terang! Aku merasa tertarik
dengan gua bintangmu ini...!" jawab Lukita Sari
ketus. Mendengar pengakuan gadis bertopi caping,
mata picak langsung tergelak-gelak. Perlu diketa-
hui walaupun laki-laki berusia setengah abad ini
merupakan tokoh sesat, namun dalam hal ber-
kata-kata dia suka bersikap apa adanya.
"He... hek... he...! Dua puluh tahun aku
menjadi seorang kacung, hingga aku tak pernah
memikirkan kehidupan diri sendiri. Aku memiliki
murid yang begitu banyak. Begitu setianya pen-
gabdianku. Tapi seorang majikan tak pernah
menghargai segala pengorbanan yang pernah ku-
lakukan. Satu kesalahan kecil yang pernah kula-
kukan, membuat semua muridku bergentayangan
tanpa nyawa di Kota Hantu...! Nasibmu terlalu bu-
ruk Candra Kila...!" ujar laki-laki bungkuk mata
picak seperti pada dirinya sendiri.
Kata-kata laki-laki bungkuk yang tiada ter-
duga-duga itu sudah barang tentu membuat
Buang Sengketa yang pernah memasuki kota hantu menjadi terperangah. Namun sampai saat itu
tiada niat dalam hatinya untuk memotong pembi-
caraan Candra Kila.
"Bicaramu ngaco manusia jelek! Aku tak
sudi mendengar segala ocehanmu...?" bentak Luki-
ta Sari.
"Jangan bersikap kasar padaku, Nona Can-
tik! Sungguh pun aku sudah tua, namun aku ma-
sih seorang perjaka yang selalu mendamba-kan
kehadiran seorang gadis cantik sepertimu. Istana
Gua Bintang ini akan ku persembahkan padamu
andai kau mau menjadi istriku...!" ujar laki-laki
bungkuk Candra Kila, lalu sunggingkan seulas se-
nyum misterius. Memerah wajah gadis bertopi cap-
ing itu, tiba-tiba dia meludah tiga kali
"Cuih... manusia jelek bau tanah! Bi-
caramu kacau tak ubahnya orang yang kurang wa-
ras. Tapi...!" ucap si gadis, nampak seperti sedang
memikirkan sesuatu yang begitu rumit.
"Tapi mungkin aku akan mempertimbang-
kan keinginanmu itu, andai kau bersedia memberi
ku beberapa petunjuk yang kuinginkan...!" ka-
tanya tanpa ragu. Jawaban Lukita Sari membuat
Candra Kila yang hampir sepanjang hidup-nya te-
rus hidup membujang menjadi terlonjak kegiran-
gan.
ENAM
"Nona boleh mengatakan segala keinginan
nona, dan aku akan menyanggupi, bahkan memenuhinya jika aku mampu...!" ujar si Picak Can-
dra Kila tanpa menghiraukan keberadaan Buang
Sengketa di tempat itu, dan begitu pun halnya
dengan Lukita Sari. Gadis bertopi caping ini nam-
pak mengeluarkan sebuah bintang per-segi empat
dari balik sakunya. Tak lama setelah memperlihat-
kannya pada Candra Kila, maka tanpa basa basi
lagi Lukita Sari langsung bertanya:
"Kulihat pintu gua ini tertutup oleh sebuah
pintu berbentuk bintang empat sisi. Bahkan di ba-
gian bajumu juga terdapat benda yang sama, aku
hanya memilikinya satu di antara sekian banyak.
Nah coba katakan, apakah gunanya bintang yang
berada di tanganku ini bagi kalian...?" tanya Lukita
Sari dengan pandangan tiada berkedip.
"He... hek... hek...! Pertanyaanmu menye-
ramkan yang sesungguhnya tak perlu kujawab un-
tuk seorang calon istriku...!" tukas Candra Kila.
"Kalau akulah yang diberi pertanyaan seper-
ti itu, oleh seorang gadis seperti Nona ini...
hemmm...! Aku tak ingin kehilangan kesempatan
yang begitu menarik!" celetuk Buang Sengketa
memanas-manasi.
"Tutup mulutmu gembel berperiuk...!" maki
Candra Kila merasa tersinggung.
"Nah! Kalau engkau tak mau menjawab per-
tanyaanku itu, maka aku akan segera pergi dari
tempat ini...!" ancam Lukita Sari. Dengan kata-
katanya itu, dia pun memutar langkah.
"Eiiit... tunggu...! Aku akan mengatakannya
padamu, jantung hatiku...!"
"Cepatlah! Sebelum kesabaranku habis...!"
Sebentar Candra Kila memandang tajam
pada Buang Sengketa, dengan suaranya yang se-
rak bahkan hampir tak terdengar: "Aku percaya
kau pasti tak bermaksud usil dengan urusan kami
berdua. Kalau pun kau melakukannya, nasibmu
menjadi lebih buruk dari mereka-mereka terda-
hulu yang pernah memasuki Gua Bintang...!"
"Bicaralah dengan sesuka kalian, sementara
waktu, aku merasa aman berada dalam ruangan
menyeramkan ini...!" tukas si pemuda tanpa dapat
mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki gadis
bertopi caping dari laki-laki berpunggung bungkuk
seperti onta.
"Mm... baiklah...!" ujar Candra Kila, sesaat
laki-laki bungkuk muka pucat mata picak mem-
perhatikan Lukita Sari dan Buang Sengketa secara
silih berganti. Acuh tak acuh diapun berkata:
"Dulu aku merupakan seorang penguasa di
daerah sini. Tapi ketika manusia yang menamakan
dirinya sebagai Durga Wungu dan merupakan pe-
waris tunggal seluruh kekayaan milik orang tu-
anya menyerang dan mengalahkan diriku. Maka
dia telah memaksaku menjadi seorang kacung (Su-
ruhan) di dalam singgasananya yang terdapat di
Kota Hantu...!"
"Tunggu dulu! Kau menyebut-nyebut
adanya Durga Wungu dan Kota Hantu. Apakah
maksudmu yang sesungguhnya...?" sentak Lukita
Sari dengan hati berdebar-debar.
"Kota Hantu adalah kota terkutuk yang
hampir saja membuatku mampus di sana, se-
dangkan Durga Wungu mungkin saja majikan pemilik hantu-hantu yang bergentayangan...!" ce-
letuk Buang Sengketa. Dari tatapan matanya,
nampak sekali kalau pemuda keturunan negeri
alam gaib ini masih diliputi kecemasan. Ucapan
pendekar dari Negeri Bunian ini membuat Candra
Kila terlonjak bagai disengat kalajengking. Bagai-
mana tidak, selama ini dia tahu persis, siapapun
yang berani datang ke Kota Hantu. Tak mungkin
dapat ke luar dari sana hidup-hidup. Bahkan ban-
yak diantara mereka yang terperangkap, tewas
atau kemudian dihidupkan kembali menjadi
hantu, atau mayat-mayat bergentayangan. Tidak
masuk di akal kalau pemuda berpakaian gembel
ini bisa lolos dari perangkap-perangkap yang tidak
sedikit yang sengaja dipasang di setiap sudut Kota
Hantu. Kalau pun memang benar apa yang dikata-
kan oleh pemuda berperiuk ini, Candra Kila dapat
menarik kesimpulan pastilah pemuda berpakaian
merah ini memiliki ilmu kepandaian yang sangat
luar biasa sekali. Dalam keragu-raguannya itu, se-
cara tiba-tiba Candra Kila membentak: "Bocah! Ti-
dak salahkah apa yang kudengar ini? Setahuku
belum pernah seorang manusia pun yang mampu
membebaskan diri dari maut, apabila pernah me-
masuki Kota Hantu. Dan kau mengaku pernah
memasuki kota itu, bahkan kini telah pula berada
di gua milikku. Kalaulah kau bukan manusia
setengah dewa, pastilah kau keturunan para silu-
man...!"
"Aha... ha... ha...! Kuakui Kota Hantu di-
huni oleh mayat-mayat tanpa nyawa, para iblis
bergentayangan di sana. Bahkan tidak ku pung
kiri, kalau mereka tak mempan dengan segala
jenis pukulan yang kumiliki. Namun bagaimana
pun hebatnya ilmu setan yang dipergunakan un-
tuk membangkitkan mereka dari sebuah kematian.
Tetapi, kebenaran melebihi segala-galanya...!" kata
Buang Sengketa sambil tertawa-tawa.
"Bangsat! Tutup mulutmu, Kisanak! Pembi-
caraanku dengan orang yang berhajat untuk me-
miliki aku belum selesai...!" bentak Lukita Sari,
nampak mulai memasang taktiknya. "Candra Kila!
Apakah kau masih berminat meneruskan pembi-
caraan kita atau tidak? Kalau kau sudah tidak ter-
tarik untuk beristrikan aku, maka kupikir pembi-
caraan tak perlu ada lagi...!" ancam gadis bertopi
caping berpura-pura marah.
"Kunyuk gembel! Gara-gara mulutmu yang
terlalu jumawa, aku hampir kehilangan kesem-
patan untuk memperistri gadis secantik dia, ku-
peringatkan padamu untuk sementara tutup mu-
lutmu, aku ingin membicarakan persoalan ka-
mi...!" tukas Candra Kila, kemudian kembali ber-
paling pada Lukita Sari.
Buang Sengketa menjadi panas hatinya de-
mi mendengar kata-kata Candra Kila yang secara
terus menerus menyebutnya sebagai seorang ku-
nyuk gembel. Tapi demi menghargai Lukita Sari
yang sedang menjalankan suatu muslihat, maka
Buang Sengketa hanya diam saja.
"Cepatlah jawab apa yang kutanyakan ta-
di...!" desak gadis bertopi caping itu nampak sudah
tak sabaran lagi.
"Baiklah...! Seingatku, tadi kau bertanya
tentang bintang bersegi empat itu bukan? Hhh...!"
Candra Kila menarik nafasnya dalam-dalam. "Du-
lu... aku memiliki tidak lebih tiga puluh orang mu-
rid yang ku didik sebagai algojo-algojo bayaran.
Tawaran apapun yang diberikan oleh orang-orang
segolongan dengan bayaran yang tinggi tak pernah
kutolak, baik itu melakukan perampokan, pem-
bunuhan-pembunuhan sadis atau pun melakukan
penculikan-penculikan. Tak pernah satu usaha
pun yang pernah gagal."
"Lalu setiap kalian melakukan satu perbua-
tan yang tidak terpuji itu, kemudian satu tanda
kalian tinggalkan...?" tanya Lukita Sari dengan ha-
ti berdebar.
"Ya... tapi tidak selamanya...!"
"Dan sepanjang hidupmu, anggota kalian
terus melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti
itu...?" pancing Lukita Sari lebih jauh.
"Tidak! Setelah satu pekerjaan yang mem-
buat malapetaka bagi kami semua, Sejak saat itu,
bukan saja kami tak mampu bergerak bebas, tapi
juga telah membuat semua anak buahku terbantai
di Kota Hantu. Durga Wungu... manusia keparat
itulah yang telah menghancurkan kami, hingga
kami tak memiliki kekuatan apa-apa...!"
"Kau kalah bertarung dengan mereka...?"
pancing Lukita Sari lebih jauh.
"Ya... segala-galanya kami kalah. Hehh...
kalau saja dulu kami tidak melakukan satu ke-
salahan yang begitu fatal. Tidak nantinya aku
menjadi bungkuk seperti ini. Mataku tidak akan
picak seperti yang sekarang yang kau lihat...!" desah laki-laki setengah baya ini seperti menye-
salkan diri sendiri.
"Kesalahan apa...?" tanya Lukita Sari. Se-
mentara Buang Sengketa yang turut mendengar
pembicaraan mereka hanya mampu garuk-garuk
rambutnya yang tak gatal.
"Hhh. Durga Wungu itu sesungguhnya ma-
nusia picik yang selalu dibayang-bayangi ketaku-
tan akibat keserakahannya sendiri. Sebenarnya
dialah manusia yang paling terkutuk dan paling
keji yang pernah kujumpai di kolong langit ini...?!"
umpatnya sudah tak mampu menahan kegusa-
rannya. Tetapi Lukita Sari merupakan seorang ga-
dis cerdik yang tak mudah terpengaruh dan ter-
bawa oleh arus perasaan orang lain.
"Kau mengatakan Durga Wungu merupakan
orang paling keji dan terkutuk! Apakah kau tidak
menyadari bahwa pekerjaanmu sendiri telah
menyimpang jauh, apakah itu tidak merupakan
pekerjaan sesat...?" ejek si gadis bertopi caping
dengan sesungging senyum kemenangan.
"Hmmm! Kutahu pekerjaan yang kami la-
kukan bukanlah pekerjaan yang mulia, tapi ben-
tuk apapun hasil rampokan yang kami peroleh,
semua itu kami sumbangkan pada mereka yang
membutuhkannya...!" sahut Candra Kila. Ke-
mudian beberapa saat lamanya matanya yang
hanya tinggal sebelah itu memandang ke langit-
langit gua. Seperti ada sesuatu yang coba dia ingat
dan ingin dikatakannya pada Lukita Sari, yang se-
cara mendadak menarik perhatian hati-nya.
"Lain lagi halnya dengan Durga Wungu!"
Candra Kila menyambung. "Saat itu laki-laki kepa-
rat itu memerintahkan kami untuk menghadang
perjalanan seorang pedagang yang tidak begitu
kaya dengan imbalan yang tidak memadai pula.
Karena mengingat nama besarnya maka pekerjaan
itu kami terima, sayang dalam pelaksanaan tugas-
tugas itu orang-orangku membunuh korbannya.
Sehingga Durga Wungu marah besar, bahkan
orang itu membunuh seluruh anak buahku. Mu-
lanya aku tak tahu sebabnya mengapa Durga
Wungu melakukan tindakan yang begitu kejam.
Tapi setelah kuselidiki, barulah aku tahu bahwa
orang yang telah dibunuh oleh murid-muridku itu
ternyata masih merupakan orang tuanya Durga
Wungu...!"
"Tindakan yang sangat keji...!" desis Buang
Sengketa dengan wajah memerah. Sementara Lu-
kita Sari sendiri, sungguhpun kemarahannya telah
meluap-luap tapi dia berusaha untuk tetap mena-
hannya. Bahkan dia pun bertanya: "Mengapa Dur-
ga Wungu begitu tega menyuruh kalian untuk
menghadang orang tuanya yang sedang melaku-
kan perjalanan...?"
"Keserakahan, hanya itulah jawaban yang
paling tepat...! Durga Wungu mempunyai seorang
adik tiri yang bernama, Sangra Wulan. Mungkin
dia berniat mengangkangi semua peninggalan yang
ada. Terbukti tak lama setelah orang tuanya men-
inggal, adik tirinya yang bernama Sangra Wulan
itu pun diusirnya mentah-mentah. Beberapa ta-
hun kemudian berita mengenai Sangra Wulan len-
yap begitu saja, dan ketika dia muncul kembali
dengan ilmu sihirnya yang menggemparkan itu.
Semua golongan menjadi musuh besarnya. Dia
pun akhirnya menemui Durga Wungu, tapi kesak-
tian yang dimilikinya masih kalah tinggi. Dia kalah
dalam satu pertarungan yang seru, bahkan per-
empuan itu harus kehilangan sebelah kakinya...!
Ah... sungguh aku telah terjebak oleh tipu musli-
hat penguasa Kota Hantu...!" geram Candra Kila.
"Keparaaat...!" maki Lukita Sari, setindak
demi setindak gadis bertopi caping ini melangkah
undur.
"Ee... ada apakah dengan kau, calon is-
triku...?" tanya Candra Kila diliputi ketidak me-
ngertian.
"Calon istri...? Siapa yang sudi menjadi istri
gembong pembunuh orang tua gurunya sendiri...
heh... aku bukanlah seorang murid yang tak tahu
membalas guna, seandainya aku bersedia menjadi
istri manusia bungkuk sepertimu...?!" bentak Luki-
ta Sari marah.
"Gurumu! Eee... bicaramu membingungkan.
Apakah engkau bermaksud mengingkari janjimu
sendiri...?" tanya Candra Kila dengan sebelah biji
mata membelalak karena tak percaya.
"Hi... hi... hi...! Siapa yang sudi berjanji
dengan manusia sesat sepertimu? Jangankan
aku... iblis sekali pun tak mungkin mau berjanji
denganmu...!"
"Bangsat! Perempuan pengecut. Heh... ja-
ngan kira kau dapat lolos dari tanganku bocah
cantik...!" bentak si laki-laki bungkuk mata picak
dalam kegusarannya. Dalam situasi menegangkan
seperti itu, tiba-tiba Candra Kila menoleh ke samp-
ing, namun dia tidak melihat adanya Buang Seng-
keta di tempat itu. Lalu sesungging senyum licik
pun menghiasi bibir Candra Kila.
"Kawanmu pemuda gembel itu sudah merat
secara diam-diam! Kini hanya tinggal kau seorang.
He... he... he...! Hanya kita berdua sekarang, kau
pasti tak akan lolos dari tanganku, percayalah....!"
"Oho... jangan terlalu yakin dengan kemam-
puan yang kau miliki manusia bungkuk. Kau,
Durga Wungu si biang kerok dan orang-orangnya
pasti akan kubasmi sampai ke akar-akarnya...!"
geram Lukita Sari.
"Bicaramu terlalu jumawa. Berhadapan
dengan aku saja kau belum tentu bisa ungkulan.
Apalagi berhadapan dengan Durga Wungu dan
orang-orangnya...!" ejek Candra Kila.
"Tutup mulutmu! Majulah kalau memang
benar merupakan orang yang pernah membunuh
orang tua Sangra Wulan. Nah, sekarang maju-
lah...!"
"Kurang ajar...! Kau benar-benar membuat
kesabaranku habis...!"
"Haiiiit...!"
Dengan gerakan yang sangat gesit, laki-laki
bungkuk itu menerkam Lukita Sari, tapi dengan
gerakan yang sangat gesit, gadis bertopi caping itu
berkelit menghindar.
"Hemmm. Kiranya kau memiliki kebolehan
juga, Bocah...!" geram Candra Kila, tak ayal lagi la-
ki-laki bungkuk itu pun membangun serangan-
serangan susulan. Tapi pada saat pukulan
pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila datang
menggeledek, pada saat itu Lukita Sari telah pula
merapal mantra-mantra ilmu sihirnya.
"Orang jelek, lihatlah... di depanmu begitu
banyak binatang berbisa yang datang menye-
rang...!" Teriak Lukita Sari begitu berpengaruh.
Kenyataannya apa yang dilihat oleh Candra Kila
memang pada saat itu di depannya entah dari ma-
na datangnya telah dipenuhi oleh ratusan ekor bi-
natang berbisa yang menebarkan bau amis menji-
jikkan.
TUJUH
Anehnya seperti apa yang dikatakan oleh
Lukita Sari, binatang melata yang terdiri dari ber-
bagai jenis itu langsung menyerang Candra Kila.
Namun tokoh yang satu ini bukanlah merupakan
seorang tokoh yang baru dalam dunia persilatan.
Dengan mengandalkan pukulan Segara Geni, laki-
laki bertubuh bungkuk ini hantamkan kedua tan-
gannya ke depan. Secara praktis suasana di seki-
tarnya menjadi panas luar biasa. Api dengan cepat
menyambar dari tangan Candra Kila yang menyala
bagai bara, bahkan dengan cara berjumpalitan
tangan Candra Kila kembali dia pukulkan ke de-
pan. Ular-ular berbisa yang tadinya datang menge-
royok laki-laki mata picak ini sebagian besar dian-
taranya musnah terbakar.
"Hak... ha... ha...! Keluarkanlah seluruh ke-
pandaian yang kau miliki...!" Dengus Candra Kila
sambil terus keluarkan tawa tergelak-gelak.
"Janganlah terlalu berpuas diri...!" sengat
Lukita Sari. Lalu melangkah undur tiga tindak. Se-
lanjutnya gadis bertopi caping ini rangkapkan ke-
dua tangannya ke depan dada. Begitu mulutnya
berkemik-kemik, maka seketika itu juga angin
yang sangat kencang menderu, masih di dalam
gua itu hujan yang sangat lebat pun terjadi. Can-
dra Kila tak mau mengalah begitu saja, laki-laki ini
angkat tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya sesaat
saja telah tergetar hebat. Sementara tubuh dan
pakaiannya telah basah oleh keringat. Api yang di-
ciptakan oleh Candra Kila sekejap berkobar-kobar,
namun di lain saat meredup bahkan kehilangan
cahayanya. Tetapi hujan yang diciptakan oleh Lu-
kita Sari semakin lama semakin bertambah deras.
Secara perlahan namun cukup pasti tubuh Lukita
Sari mulai basah oleh air hujan dan keringatnya
sendiri. Tapi sampai sejauh itu dia masih belum
mampu memunahkan api yang diciptakan Candra
Kila. "Mengembarlah tubuhku...!" gumam si gadis
bertopi caping.
"Jlek... Jlek...!"
Dengan tiada terduga-duga oleh lawannya,
kini tubuh Lukita Sari telah mengembar tiga. Bah-
kan kembarannya dengan tangan menyilang di de-
pan dada berusaha membantu Lukita Sari yang
asli dalam menciptakan hujan seperti yang dike-
hendakinya.
Dengan kehadiran dua kembaran Lukita
Sari yang palsu, maka hasil apa yang diingin-
kannya juga sangat mengejutkan. Hujan yang tercurah semakin bertambah deras. Api yang dicipta-
kan oleh Candra Kila semakin lama semakin mer-
edup. Tetapi Candra Kila bukanlah tokoh yang
mudah putus asa. Dia lipat gandakan tenaga sakti
yang dimilikinya, kemudian dua pukulan beruntun
dilepaskannya mengarah tubuh kembar Lukita Sa-
ri.
"Yeaaahh.... Bleeem...!"
Satu dentuman keras terdengar saat mana,
pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila tepat
menghantam sasarannya. Tubuh Lukita Sari ter-
lempar tiga tombak ke belakang. Tidak sampai dis-
itu saja, bagian kepala gadis bertopi caping itu
menghantam dinding gua yang kerasnya melebihi
baja. Tak ayal lagi dalam pandangan Candra Kila,
darah muncrat dari batok kepala si gadis yang
rengkah. Laki-laki bungkuk, muka pucat mata pi-
cak tergelak-gelak. Kemudian dengan begitu ang-
kuhnya dia pun berucap: "Menghadapi aku saja
kau telah mampus hanya dalam beberapa gebra-
kan. Jangankan kau bermimpi dapat berhadapan
dengan si keparat Durga Wungu...!" Belum juga hi-
lang gema ucapan Candra Kila memenuhi seantero
dinding gua, dari bagian belakang laki-laki bung-
kuk itu, meledak pula suara tawa Lukita Sari.
"Hiii... hi... hi...! Candra Kila manusia la-
mur! Kau kira aku begitu mudahnya dapat kau ka-
lahkan? Coba kau lihatlah betul-betulkah aku su-
dah mati...!" geramnya dengan suara tergetar. Da-
lam kesempatan itu.
"Deees...!"
"Gubraaaak...!"
Mendapat pukulan curi yang tiada disang-
ka-sangka itu, membuat tubuh Candra Kila ter-
banting ke depan. Hampir seluruh wajahnya men-
cium ke tanah. Namun sungguh pun bagian pung-
gungnya yang kena dipukul oleh lawan se-rasa
remuk. Tapi laki-laki berbadan bungkuk ini cepat
bangkit kembali. Lebih cepat lagi matanya me-
mandang ke arah tubuh Lukita Sari yang tadinya
tewas di pinggiran dinding gua. Tetapi apa? Dia
hanya melihat sebongkah batu berbentuk tubuh
manusia teronggok di sana. Sumpah serapah ber-
hamburan dari mulut Candra Kila.
"Jahanam! Kau memiliki ilmu siluman ki-
ranya...!" maki Candra Kila. Serta merta laki-laki
mata picak ini berbalik langkah, sekali lagi dihan-
tamkannya kedua tangannya ke depan. ‘Pukulan
Segoro Geni’ tingkat satu terlepas. Tapi ketika pu-
kulan yang menimbulkan kobaran api ini sedang
meluruk ke arah lawannya! Tiada terduga-duga,
Lukita Sari telah menciptakan seekor ular naga
yang begitu besar. Ular naga bermata merah men-
yala ini julur-julurkan lidahnya, sementara mulut-
nya ternganga lebar-lebar. Anehnya begitu mulut
naga hasil ciptaan Lukita Sari keluarkan bunyi
mencicit-cicit bagai seekor tikus kejepit pintu. Pu-
kulan Candra Kila langsung tersedot memasuki
mulut naga ciptaan si gadis bertopi caping. Bara
api yang begitu panas lenyap tanpa bekas. Kalau
saja Candra Kila tidak cepat-cepat buang tubuh-
nya ke samping. Sudah barang tentu, tubuh laki-
laki bungkuk itu terbetot dan melayang, masuk ke
dalam mulut naga itu.
"Hoooss...!"
Naga berwarna merah itu menghembuskan
nafas. Bersamaan dengan hembusan nafas itu
menyembur pula lidah api yang memiliki hawa pa-
nas berlipat ganda. Lidah api yang tersembur dari
mulut naga itu nampak berusaha menggulung tu-
buh Candra Kila.
"Hhhhaaaa...!"
Begitu beraneka ragam pukulan yang di-
miliki oleh Candra Kila, begitu lidah api yang dis-
emburkan oleh naga merah mengancam ke-
selamatannya. Maka dia pun melindungi dirinya
dengan ajian Inti Es. Tak terbayangkan betapa
dinginnya tubuh Candra Kila saat mana dia selesai
merapal ajian itu. Bahkan Lukita Sari sempat me-
rasakan pengaruh ajian yang dikerahkan oleh la-
wannya. Tubuh gadis ini menggigil, gigi-giginya
bergemeletukan. Bahkan tubuhnya pun terasa ka-
ku sulit untuk digerakkan. Namun setelah menge-
rahkan sebagian tenaga dalamnya. Maka hawa
dingin luar biasa itu sirna seketika. Selanjutnya
gadis bertopi caping ini pun berusaha mengerah-
kan kemampuan yang dimiliki oleh naga merah
hasil ciptaannya. Lidah api terus menggulung tu-
buh Candra Kila, sejauh itu tubuh yang sudah
terbungkus api lawannya tidak juga hangus ter-
bakar. Bahkan selembar rambutnya pun tidak ber-
kurang sedikit pun.
"Gila! Pertahanan yang dimiliki oleh laki-laki
bungkuk itu begitu hebat. Aku harus me-robah si-
asat."
"Plaaaas...!"
Naga hasil ciptaan Lukita Sari lenyap secara
tiba-tiba. Sebagai gantinya gadis bertopi caping itu
menciptakan hujan es. Tubuh Candra Kila yang
sudah begitu dingin bahkan hampir membeku itu
nampak tiada berkutik. Mula-mula dia tak men-
yadari akan adanya ancaman bahaya seperti itu.
Namun ketika laki-laki bungkuk ini merasakan
udara di sekitar gua itu menjadi semakin bertam-
bah dingin luar biasa, sedangkan dia merasa tidak
melipat gandakan tenaganya, maka sadarlah Can-
dra Kila bahwa semua itu merupakan ulah lawan
untuk membuat dirinya lumpuh tak berdaya.
"Heeuuup...!" Candra Kila menarik balik Ajian Inti
Es yang telah dikerahkannya. Maka secara perla-
han tubuhnya yang berobah dingin itu kembali ke
dalam keadaan normal. Kini yang tinggal hanyalah
pengaruh hawa dingin yang dikerahkan oleh Luki-
ta Sari. Namun begitu laki-laki bungkuk ini men-
gerahkan sebagian tenaga dalamnya, maka len-
yaplah pengaruh pukulan lawan. Dengan wajah
semakin bertambah pucat dipandanginya Lukita
Sari dalam-dalam.
"Kau memiliki ilmu siluman. Jangan kau ki-
ra manusia Gua Bintang tak mampu melaku-
kannya...!"
"Chiaaa... haaa... ha...!" Sekali saja Candra
Kila berteriak, maka gema suaranya pun sambung
menyambung tiada henti memenuhi dinding dan
seisi gua. Bahkan suara menggelegar itu terus me-
nembus ke seluruh pelosok penjuru gua sampai
jauh ke dalam sana.
Bersamaan dengan suara sambung men
yambung tiada henti. Mendadak tubuh Candra
Kila lenyap begitu saja. Laki-laki mata picak itu
ternyata memang tidak omong kosong. Sebab den-
gan mempergunakan Ajian Palemunan (ilmu
menghilang) beberapa detik berikutnya Candra Ki-
la menyerang Lukita Sari dengan tendangan kaki
juga gaplokkan tangan. Berulang kali tubuh gadis
bertopi caping ini jatuh bangun. Bahkan dari ce-
lah-celah bibirnya telah pula mengalirkan darah.
Bagaimana pun dia berusaha untuk mengatasi se-
rangan lawannya. Namun tetap saja dia merasa
kerepotan.
"Chhaaaait...! Hilang...!" teriak Lukita Sari.
Seperti apa yang diucapkannya maka detik se-
lanjutnya tubuh gadis itu pun menyusul lenyap.
Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu yang di-
miliki oleh kedua tokoh yang saling terlibat per-
tempuran ini.
"Hah...!" Dalam keadaan sama-sama tak ter-
lihat itu, Candra Kila membelalak tak percaya.
"Bagaimana mungkin kau bisa menghilang se-
bagaimana halnya dengan diriku...?"
"Hik... hii... hiii...! Di dunia ini bukan hanya
kau saja yang dapat lenyap begitu saja. Nah... se-
karang rasakanlah ini...!" Teriak Lukita Sari. Se-
raya langsung melemparkan sesuatu berwarna hi-
tam dan panjang.
"Ular...!" Desis Candra Kila. Lalu dengan ge-
rakan refleks, laki-laki bungkuk ini segera men-
cabut senjatanya berupa sebilah belati tipis yang
memiliki panjang lebih dari satu meter. Belati di
tangan Candra Kila memiliki gagang berbentuk
bintang segi empat, sedangkan belati itu sendiri
berwarna hitam, menandakan senjata itu men-
gandung racun yang ganas. Begitu belati di tangan
Candra Kila tergenggam di tangannya. Maka tanpa
menunggu lagi, belati di tangannya dia babatkan
ke arah ular-ular yang disambitkan oleh lawannya.
"Weeer...!"
"Ceees.... Creees...!"
Ular-ular yang disambitkan oleh Lukita Sari
terkutung menjadi beberapa bagian.
"Groaaar...! Hauuung...!"
Belum lagi sempat menarik nafas lega, dua
ekor harimau ciptaan Lukita Sari telah pula me-
nerkam Candra Kila. Tubuh Candra Kila me-
lompat ke udara, begitu tangannya menderu. Dua
tusukan berturut-turut dilakukannya.
"Blesss...! Blesss...!"
Laki-laki berbadan bungkuk itu semakin
terbelalak matanya. Tusukan yang dia lakukan
memang benar mencapai sasaran. Tetapi hun-
jaman belati itu dia rasakan bagai menembus ru-
angan kosong.
"Edan...!" Makinya sambil terus menghin-
dari terjangan dan cakaran kuku-kuku harimau
yang begitu runcing dan tajam.
"Keluarkan seluruh kebisaan mu, Candra
Kila...!" teriak Lukita Sari yang berdiri tidak begitu
jauh dari tempat pertempuran.
"Aku kehabisan tenaga dan mampus sendi-
ri! Orang itu memiliki ilmu yang sangat tangguh...!
Ada baiknya kalau aku menghindar untuk semen-
tara waktu. Kalau aku kalah, itu sama artinya tak
dapat membalas sakit hati ini pada Durga Wungu
dan kawan-kawannya...!" Batin laki-laki berbadan
bungkuk ini. Saat itu dia sudah mulai berfikir-fikir
untuk melarikan diri sementara waktu.
"Haiiit...!"
"Grauuung...!"
Satu teriakan Candra Kila disambut oleh
dua terkaman dua ekor harimau jejadian milik Lu-
kita Sari.
"Brebet...!"
Terkaman seekor harimau loreng-loreng
berhasil menyambar bagian punggung Candra Ki-
la. Tubuh laki-laki bungkuk itu terhuyung-
huyung. Darah nampak mulai merembes dari luka
memanjang tadi. Nampaknya laki-laki muka picak
itu menyadari, sudah tidak mungkin melakukan
perlawanan lebih lama lagi. Apa yang ada di dalam
benaknya saat itu adalah membalas dendam pada
Durga Wungu. Cepat-cepat dia merogoh sesuatu
dari dalam jubahnya.
"Bummmm...!"
"Keparaat! Dalam keadaan tak terlihat ka-
sat mata seperti ini, kiranya dia juga tidak ber-
malu mempergunakan asap penghilang jejak...!"
maki Lukita Sari. Ketika asap yang menyelimuti
sekitar tempat itu sirna, gadis bertopi caping ini
sudah tak melihat lagi adanya Candra Kila di tem-
pat itu.
"Plaaaas...!"
Setelah merapal mantra-mantra sihir yang
dimilikinya, maka tubuh Lukita Sari kembali nam-
pak seperti sediakala.
"Ada baiknya kalau kukejar ke arah sana...!"
batin gadis bertopi caping ini, seraya bermaksud
melakukan pengejaran ke arah bagian dalam lo-
rong Gua Bintang. Namun sebelum niatnya itu ke-
sampaian, terdengar suara teguran seseorang.
"Jangan kau lakukan pekerjaan tolol itu,
Nona...! Di dalam sana terlalu banyak perangkap
yang dapat mencelakakan dirimu...!"
"Kk... kau belum juga minggat dari tempat
ini...!" Bentak Lukita Sari ketika melihat Buang
Sengketa muncul dari lorong gua yang terletak di
sebelah Utara.
"Mengapa harus tergesa-gesa! Bukankah di
ruangan ini tadi baru saja terjadi permainan sulap
yang sangat menarik...?"
"Kurang asem! Jadi kau tadi sempat melihat
pertarunganku...?" rutuk Lukita Sari dengan wajah
cemberut.
"Tontonan gratis, kalau tak dilihat muba-
jir...!" jawab si pemuda sambil tersenyum-senyum.
"Pemuda konyol, siapakah kau...!" Bentak
Lukita Sari marah. Tetapi hatinya berdebar-debar
dan mulai tertarik.
"Panggil saja, Kelana...!" jawab si pemuda
apa adanya.
"Huhh... sebuah nama yang jelek...!"
Buang Sengketa hanya mampu cengar-
cengir.
"Sudahlah Nona...!"
"Lukita Sari...!" gadis bertopi caping me-
nyambung.
"Ee... boleh aku memanggilmu Ita...?
"Nenekku juga biasa memanggilku be-
gitu...!" jawab si gadis begitu polos.
"Begini, Adik Ita...! Kalau kau bermaksud
mengejar dan membasmi musuh gurumu alang-
kah lebih baik kalau kita pergi ke Kota Hantu se-
cara bersama-sama...!"
"Aku... pergi bersama-sama denganmu...?"
tukas si gadis merasa ragu-ragu.
"Kau tak perlu curiga padaku...!" kata
Buang Sengketa memberi keyakinan.
"Baik aku setuju...!"
Akhirnya secara bersama-sama, kedua
orang ini pun tanpa diliputi perasaan curiga anta-
ra satu dengan lainnya. Segera meninggalkan Gua
Bintang.
DELAPAN
Sejak tertangkapnya Panjul dan Panut, pen-
jagaan di Kota Hantu semakin diperketat. Mayat-
mayat hidup hampir sepanjang hari terus menerus
mengadakan ronda. Sudah barang tentu semua itu
dilakukan atas perintah Setan Gila dan juga Iblis
Dua Muka. Setiap hari bangunan-bangunan yang
sudah tiada berpenghuni diperiksa oleh para abdi
Durga Wungu. Namun sampai sejauh itu tanda-
tanda ditemukannya Senjata Kegelapan milik Dur-
ga Wungu masih belum dapat titik terangnya.
Sementara itu di ruangan bawah tanah,
Godot, Panjul dan Panut yang tangan dan kakinya
dalam keadaan terikat nampak dalam pembi
caraan serius.
"Kalau kita tak mau berusaha! Sampai ka-
pan kita harus terkurung di ruangan menjijikkan
ini...!" terdengar suara serak Godot memecah ke-
heningan.
"Ya... walaupun diberi makan! Tapi kalau
setiap hari harus dipukuli, siapa sudi....'" bela Pa-
nut sambil memperhatikan luka-luka bekas cam-
bukan yang terdapat di sekujur tubuhnya.
"Coba lihatlah orang-orang kurus macam je-
rangkong hidup itu! Kalau kuperhatikan orang itu,
rasanya keadaan kita masih lumayan... tapi kalau
kupikir lagi, alangkah enaknya hidup di dunia ra-
mai...!" selak Panjul tak mau kalah.
"Sebetulnya memasuki Kota Hantu bukan
merupakan kesalahan yang begitu besar bagi kita.
Tapi mengapa orang-orang terkutuk itu malah me-
nangkap kita, kemudian menjebloskan kita di
tempat yang berbau busuk ini...?"
"Apakah Kota Hantu menyimpan sesuatu
yang sangat penting artinya bagi mereka?" tanya
Panjul, serta merta dia mengerling ke arah Godot.
"Jangan keras-keras bicara. Salah-salah le-
hermu bisa dipancung oleh mereka." sentak laki-
laki bekas kepercayaan Durga Wungu dengan sua-
ra lirih.
"Memangnya kenapa...?" tanya Panjul ham-
pir berbisik.
"Kota Hantu kabarnya ada menyimpan sen-
jata pusaka yang memiliki kharisma tinggi. Siapa
pun yang memiliki senjata kegelapan konon kaba-
rnya dapat lenyap sedemikian rupa. Yang pasti
orang yang menguasai senjata itu dapat mengua-
sai dunia persilatan berbagai golongan...!"
"Kau mengetahui begitu banyak, seolah kau
ini merupakan seorang pendekar sakti yang punya
hubungan dekat dengan Durga Wungu...!" ejek ke-
dua orang itu, lalu garuk-garuk koreng bekas
cambukan. Sejenak lamanya, Godot ter-diam. Se-
cara mendadak wajahnya yang agak memucat itu
pun bersemu merah. Tapi kemudian laki-laki ini
mendengus.
"Durga Wungu tua bangka yang tak tahu
membalas guna! Dia kangkangi semua harta ben-
da yang ada, seolah masih akan hidup seribu ta-
hun lagi. Siapa yang tak kenal dengan orang yang
pernah menyuruh orang lain untuk membegal
orang tuanya yang sedang melakukan perjalanan
itu. Bahkan aku mengenalnya begitu dekat...!"
ucap Godot seolah pada dirinya sendiri.
"Ha...! Jadi kau merupakan kaki tan-
gannya...?" tanya Panjul dan Panut dengan kedua
mata membelalak. Tanpa sadar mereka ini pun
mulai beringsut menjauh. Tetapi begitu Godot
menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Maka
legalah kedua laki-laki konyol ini.
"Ah... kami pikir, kau merupakan kaki tan-
gan setan terkutuk itu....!"
"Walaupun aku bukan kaki tangannya, te-
tapi dulu aku bekas tukang kebunnya selama ber-
puluh-puluh tahun...!"
"Lha... tukang kebun, kok sekarang ada di
dalam penjara...!" desak Panjul seolah tidak per-
caya. Godot tersenyum getir. Selanjutnya secara
singkat namun gamblang dia menceritakan segala
sesuatunya pada Panjul dan Panut.
"Sungguh biadab perbuatan manusia yang
bernama Durga Wungu itu. Misalkan aku ini ada-
lah dirimu, sudah tentu aku melakukan apa yang
kau lakukan. Sebab di dunia ini tolong menolong
dalam berbuat kebajikan, semua pendeta atau ahli
Budha juga menganjurkannya. Jadi bukan malah
sebaliknya, yang memiliki kekuasaan menekan ra-
kyat kecil. Yang kaya raya menari-nari di atas
penderitaan orang lain. Huh, andai saja aku memi-
liki ilmu kepandaian seperti Pendekar Hina Kelana.
Orang yang bernama Durga Wungu pasti tak akan
kubiarkan hidup lebih lama di kolong langit ini...!"
dengus salah seorang dari laki-laki bertampang
konyol itu. Tanpa sadar dia meludahi wajah Godot.
"Keparaat.... Kau menghinaku...!" maki
laki-laki berbadan gemuk itu tidak terima.
"Eeh... siapa yang menghinamu! Aku tak
pernah bermaksud menghinamu...!"
"Kalau tak bermaksud menghina, mengapa
kau meludahiku...?"
"Siapa suruh kau duduk di depanku! Aku
meludah, seharusnya dibuang ke mana...?"
"Kan bisa ke samping kiri atau ke samping
kanan...!" bentak Godot dengan dada kembang
kempis menahan amarah.
"Goblook! Leherku yang terluka, susah se-
kali untuk digerak-gerakkan ke kanan dan ke ki-
ri...!" Panjul menyahuti dengan wajah cemberut.
"Eee... he... he...! Betul juga ya...!"
"Sebaiknya kita tak usah saling berbantah
an. Pernahkah kalian memikirkan bagaimana ca-
ranya agar terbebas dari tempat seperti ini...?"
tanya Panut yang sedari tadi hanya diam saja. Su-
asana di dalam ruangan penjara di dalam gudang
bawah tanah itu kemudian sunyi sepi. Masing-
masing orang tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Entah apa yang dipikirkan oleh dua orang lainnya.
Yang jelas saat itu, Panjul sedang teringat pada is-
trinya Loro Item yang sedang hamil sembilan bu-
lan. Entah bagaimana keadaan istrinya saat itu.
Entah sudah melahirkan atau belum. Kalaupun
sudah, apakah anak yang terlahir itu hitam legam
kulit tubuhnya sama mirip dengan kulit ibunya.
Semoga saja tidak begitu. Mudah-mudahan saja
anaknya mirip dengan dirinya. Tak pernah marah.
Ah jangan. Jangan seperti dirinya, nanti ke-
hidupannya sengsara terus. Jadi murid di Pergu-
ruan Jagad Kelanggengan nasibnya apes. Punya
kambing dua ekor juga, akhirnya malah menyeret
dirinya ke dalam jurang kesengsaraan. Anaknya
tidak boleh menuruni nasibnya. Dia berharap, mo-
ga-moga saja anaknya yang terlahir bisa menjadi
seorang pendekar tangguh seperti Pendekar Golok
Buntung. Pendekar Penegak Keadilan itu, ya se-
perti itulah yang diharapkannya.
"Panjul... apakah kau sudah menemukan
jalan keluar dari penjara celaka ini?" tanya Panut.
Membuat laki-laki berusia tiga puluhan itu tersen-
tak dari lamunannya.
"Jalan keluar apa? Ketahuan sejak tadi tan-
gan dan kakiku terbelenggu rantai terkutuk seperti
ini. Bagaimana aku bisa keluar...?"
"Tolol! Bukan itu yang kumaksudkan...!" ge-
rutu Panut merasa kesal dengan ulah kawannya
yang satu ini.
"Jadi apa yang kau pikirkan sejak tadi...?"
"Ah, aku sih cuma memikirkan apakah saat
ini istriku sudah melahirkan apa belum...!"
"Dasar sinting. Otakmu tak pernah lepas-
lepas dari memikirkan istrimu melulu!" Panjul
hanya terkekeh. Sementara itu Panut sekarang be-
ralih pada Godot.
"Bagaimana menurutmu, Saudara...!"
"Kalau aku tahu jalan keluar dari tempat
celaka ini, sudah barang tentu sejak kemarin-
kemarin aku telah merat dari sini. Cobalah kalian
lihat. Mereka yang berbadan kurus kering yang
terbelenggu rantai baja itu, sesungguhnya memili-
ki kepandaian tinggi tidak setolol kalian. Tokh me-
reka saja tak mampu menghindar dari tempat ini.
Jangankan hanya kita...!"
"Kalaupun bisa keluar semua usaha men-
jadi sia-sia. Kota Hantu tak pernah luput dari pen-
jagaan mayat-mayat bergentayangan. Aku sendiri
merasa takut dengan yang namanya mayat hi-
dup...!"
"Kalau begitu sampai mampus kita tetap
terkurung di tempat ini...!" Godot akhirnya hanya
menggerutu, lalu merebahkan tubuhnya di lantai
becek dan lembab.
***
"Masih jauhkah tempat itu dari sini...?"
tanya gadis bertopi caping itu pada pemuda yang
berjalan di sisinya. Sementara perhatiannya tak
lepas-lepas dari pemuda berwajah tampan ini.
"Hmmm. Tidak begitu jauh, mungkin satu
hari lagi kita akan sampai di sana!" kata si pemuda
seadanya.
"Tiga hari tiga malam kita melakukan per-
jalanan tanpa henti, Kakang...! Tubuhku terasa
letih sekali, bahkan perutku terus melilit minta
diisi...!"
"Dendeng ikan lumba-lumba telah habis
kau makan semuanya, masak makan sebegitu ba-
nyak kau masih merasa lapar juga...?" kata Buang
Sengketa sambil terus mengayunkan langkahnya.
"Ah... hanya empat potong saja. Mana cu-
kup membuatku kenyang...!" kilah si gadis ber-
sungut-sungut.
"Yang lapar itu, mulutmu atau perutmu...?"
"Perutku…!"
"Tapi kulihat bibirmu yang berkata be-
gitu...!"
"Ah, Kakang jangan bercanda...!" rengek
Lukita Sari begitu manja.
Buang Sengketa tergelak-gelak. Dalam hati-
nya merasa senang juga sepanjang perjalanan di-
temani oleh seorang gadis cantik yang memiliki
kepandaian yang mengagumkan pula.
"Aha... lihat...!" kata pemuda itu, mendadak
dia hentikan langkah.
"Ada apa Kakang...?" tanya Lukita Sari.
Pendekar Hina Kelana kemudian dengan te-
lunjuknya menunjuk pada sebuah dahan pohon
yang terdapat di depannya.
"Yang kau maksudkan ayam hutan itu...?"
"Ya...! Ayam jantan yang gemuk... kalau kita
tangkap, kita pasti dapat menikmati dagingnya...!"
Berkata begitu si pemuda memungut se-
buah batu sebesar ibu jari. Kemudian dengan si-
kap ayal-ayalan. Pemuda ini pun menyambitkan
batu itu.
"Taakk...!" Batu tepat menghantam bagian
kepala ayam hutan yang bertengger di atas se-
batang pohon. Sesaat ayam jantan itu mengge-
lupur, kemudian tubuhnya melayang jatuh di atas
rerumputan. Kedua muda-mudi ini kemudian ber-
jalan menghampiri ayam tadi. Setelah memungut
dan mengurut-ngurut dadanya.
"Lumayan! Ayam ini cukup gemuk...! Seka-
rang kau yang membersihkan bulu dan koto-
rannya. Biarkan aku yang mengumpulkan kayu
bakar dan membuat apinya...!" Buang Sengketa
dan Lukita Sari tak begitu lama kemudian telah
tenggelam dalam kesibukan masing-masing.
Ketika Lukita Sari selesai mengerjakan
ayam itu, maka bara apipun telah disiapkan oleh
si pemuda. Tak lama setelahnya ayam hutan itu
pun telah dipanggang di atas bara yang merah
menyala. Menunggu daging ayam itu masak, se-
bentar-sebentar Lukita Sari memperhatikan wajah
Buang Sengketa. Entah mengapa setiap meman-
dang sosok wajah yang sangat tampan itu, hati
gadis itu terasa bergetar. Bahkan secara diam-
diam dia mulai mengagumi pendekar dari Negeri
Bunian ini.
"Jangan kau pandangi aku sedemikian ru-
pa...!" sindir Buang Sengketa ketika secara tak
sengaja mata mereka saling beradu pandang. Wa-
jah Lukita Sari berubah memerah.
"Kenapa, memang tidak boleh...!" desah si
gadis mengajuk. Buang Sengketa tertawa lepas
"Bukan tak boleh! Tapi aku takut, nanti kan
jatuh cinta padaku...!"
"Ah.... Kakang... mana mungkin ada orang
yang sudi dengan perempuan macamku ini...!"
ucap Lukita Sari salah tingkah.
"Nah... nah... apa kubilang...!"
"Memang apa...?" tanya Lukita Sari tersipu
malu.
"Kalau kau jelek, mana mungkin Candra Ki-
la mengharapkan kau menjadi istrinya!" kata
Buang Sengketa sambil terus membolak balik
ayam panggang yang hampir matang.
"Terhadap manusia jelek seperti dia siapa
mau...!"
"Kalau kamu nggak mau sama dia, apakah
kau mau sama aku...?" ledek Buang Sengketa
langsung tunjuk hidung.
"Iiih.... Kakang! Pandai sekali kau mera-
yu...!" kata gadis bertopi caping ini. Saat itu wa-
jahnya yang bersemu merah terpanggang panas
matahari semakin bertambah merah karena di-
hinggapi perasaan salah tingkah.
"Eee... sudahlah...! Sekarang ayam yang
kupanggang ini sudah matang! Coba kau cicipi...!"
kata Buang Sengketa, seraya menyodorkan se-
bagian daging panggang di tangannya pada Lu-kita
Sari. Sambil mengunyah daging ayam panggang
yang sangat lezat, pemuda ini pun selanjutnya
berkata:
"Hari sudah mendekati malam. Kota Hantu
sungguh berbahaya sekali pabila malam hari. Ada
baiknya kalau besok kita meneruskan per-
jalanan...!"
"Apapun keputusanmu, aku akan menu-
rut...!"
Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan
kepalanya.
SEMBILAN
Ketika laki-laki berbadan bungkuk itu sam-
pai di Kota Hantu. Matahari baru saja menapak di
ufuk timur. Embun pun masih menempel di atas
dedaunan, tiada menghiraukan suasana seperti
itu. Candra Kila yang baru saja membebaskan diri
dari kejaran Lukita Sari di Gua Bin-tang, dengan
mantap terus melangkah mendekati Kota Hantu
yang lengang. Dengan gerakan yang sangat lincah.
Laki-laki bungkuk mata picak ini menyelinap dari
lorong ke lorong.
"Kukira sekaranglah saatnya yang paling
tepat untuk menghancurkan Durga Wungu dan
orang-orangnya! Sesuai dengan rencanaku untuk
tidak mengalami banyak rintangan dari mayat-
mayat hidup yang dikendalikan oleh Iblis Dua Mu-
ka dan Setan Gila. Maka mulai dari sini kota akan
kubakar....'" bathin laki-laki ini. Tak lama setelah
nya dia pun telah menurunkan buntalan yang di
dalamnya terdapat berpuluh potongan tepas ke-
lapa yang telah dicelup dengan minyak pembakar.
"Bleep.... Whueeeer...!"
Api pun segera membesar ketika Candra Ki-
la menghidupkan sabut kelapa yang sudah dicelup
bahan minyak bakar. Nampaknya segala sesua-
tunya telah diperhitungkan oleh Candra Kila. Ter-
bukti ketika api mulai berkobar-kobar. Laki-laki
bungkuk ini pun telah pula bergerak membakar
bangunan tua yang terdapat di sebelah selatannya.
Kemudian berpindah lagi di bagian sebelah barat.
Sehingga Kota Hantu akhirnya benar-benar terke-
pung api dari segala penjuru. Entah apa yang
menjadi tujuan Candra Kila membakar kota yang
selama ini sangat ditakuti oleh banyak orang.
Tetapi akibat dari pembakaran-pembakaran
yang dilakukan Candra Kila tak sampai sesaat
kemudian sudah mulai kelihatan hasilnya. Dari
atas bangunan maupun dari lorong-lorong yang
begitu banyak jumlahnya. Nampak berlarian ber-
puluh-puluh laki-laki maupun wanita bertubuh
aneh pakaian hitam ke segala penjuru. Tak ter-
dengar suara-suara teriakan. Hanya dengusan-
dengusan bagai suara seekor lembu jantan yang
sedang marah. Melihat gelagat ini, nampaknya
Candra Kila mengetahui siapa sebenarnya orang-
orang yang sedang berlarian menghindari amukan
api itu.
"Ha... ha... ha....! Begitu lama aku men-
gadakan penyelidikan, akhirnya ku tahu juga
bahwa sebenarnya mayat-mayat bergentayangan
tanpa nyawa ini kiranya takut pada api. Tak ter-
bayangkan oleh ku betapa marahnya Setan Gila
dan Iblis Dua Muka yang menjadi majikan mayat-
mayat itu....!" batin Candra Kila. Saat itu dia me-
mang sedang bersiap-siap menyambut keda-
tangan mayat gentayangan yang sedang berusaha
menghindari api.
"Hayaa... pada mampuslah kalian se-
muanya....'" teriak Candra Kila, lalu menyabetkan
obornya ke segala penjuru. Keanehan demi ke-
anehanpun terjadilah. Setiap mayat-mayat gen-
tayangan itu tersentuh api. Maka tubuhnya lang-
sung melepuh, kemudian terhuyung-huyung. Se-
lanjutnya tersungkur ke atas tanah. Tidak sampai
di situ saja tubuh mayat bergentayangan itu pun
meleleh dan menimbulkan bau busuk yang sangat
menyengat hidung.
Api semakin lama semakin bertambah
membesar. Seolah ingin meluluh lantakan ban-
gunan-bangunan tua yang terdapat di Kota Hantu.
Korban terus berjatuhan, Candra Kila yang bekerja
seorang diri menghadapi sekian banyak mayat-
mayat yang berusaha membebaskan diri dari ke-
pungan api. Tentu saja semakin lama semakin ke-
teter juga. Hanya karena semangatnya yang begitu
tinggi untuk membalas dendam pada Durga Wun-
gu. Dia tidak begitu menghiraukan dirinya sendiri.
Sedang gencar-gencarnya laki-laki bungkuk mata
picak melakukan pembantaian terhadap mayat-
mayat yang bergentayangan itu. Dari kobaran api
di atas bangunan-bangunan yang sudah tua itu.
Nampak berkelebat dua sosok bayangan tubuh
mendekati Candra Kila. Melihat gerakan tubuhnya
yang begitu lincah dan ringan. Jelas sekali kalau
mereka ini memiliki kepandaian yang sangat ting-
gi.
"Wuuut...! Wuuuut...!"
Begitu datang langsung kirimkan dua puku-
lan ke arah Candra Kila yang sedang membantai
mayat-mayat gentayangan. Laki-laki bungkuk ini
merupakan tokoh yang sudah kenyang makan
asam garam dunia persilatan, sudah tentu begitu
ada sambaran angin pukulan dia menyadari
adanya bahaya yang sedang mengancam dirinya.
Dengan gerakan yang sangat cepat, Candra Kila
melompat ke samping kiri. Lalu lambaikan tan-
gannya pula.
"Blaaam…!"
Tubuh laki-laki mata picak ini tergetar se-
saat lamanya. Sementara dua orang yang sangat
dikenalnya telah sampai pula di depannya.
"He... kau...! Kukira sejak menjadi pecun-
dang engkau tak berani lagi datang ke sini. Tern-
yata kau masih mempunyai muka untuk menim-
bulkan kekacauan di Kota Hantu...!" selak Iblis
Dua Muka dengan wajah berang.
"Huh...! Kedatanganku tak ada sangkut
pautnya dengan diri kalian. Aku sengaja datang
untuk mengadakan perhitungan lama yang belum
dilunasinya...!" dengus Candra Kila, dari nada sua-
ranya nampak sangat meremehkan sekali.
"Sombong sekali bicaramu, punggung
bungkuk...!" sentak Setan Gila nampak kurang be-
gitu senang dengan kehadiran Candra Kila yang
dulu pernah dikalahkan oleh Durga Wungu.
"Aku tidak hanya sekedar bicara, iblis dan
setan muka dajal. Cepat-cepat engkau panggillah
Durga Wungu untuk menghadap ku, jika tidak
bukan Kota Hantu saja yang akan ku ratakan den-
gan tanah, tetapi jiwa kalian pun akan kubuat me-
layang...!" kata Candra Kila mengancam.
"Krrrtttkh... Grrrr.... Ingin kulihat, apakah
berhadapan dengan Iblis Dua Muka kau mam-
pu...!" geram laki-laki berbadan tinggi semampai
dan berkulit sawo gosong ini penasaran sekali.
"Hiaaat...!" teriak Candra Kila, lalu dengan
mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang su-
dah mencapai taraf sempurna. Laki-laki berbadan
bungkuk ini pun mulai membuka serangan den-
gan jurus-jurus tangan kosongnya. Nam-paknya
Iblis Dua Muka pun yang sudah dirasuki kemara-
han tidak mau kalah. Terbukti orang ini pun men-
yambut serangan Candra Kila dengan pukulan-
pukulan tangan kosong yang lebih he-bat lagi.
Hanya dalam tempo yang singkat, pertarun-
gan pun telah berlangsung belasan jurus. Tetapi
masih belum ada tanda-tanda siapa yang keluar
sebagai pemenangnya dalam pertarungan itu. Hal
ini membuat Candra Kila menjadi gusar bukan
alang kepalang. Kemudian satu lompatan yang
disertai dengan lolongan panjang, melambungkan
tubuh Candra Kila. Dalam kesempatan seperti itu,
dia mengerahkan sebagian tenaga dalam yang di-
milikinya ke bagian telapak tangannya. Dengan
sangat cepat sekali tangan Candra Kila yang telah
teraliri tenaga dalam itu berubah menjadi merah
bara. Tak salah lagi, saat itu Candra Kila sudah
bersiap-siap melepaskan Pukulan Segara Geni
yang sangat hebat itu.
"Huaaa...! Wuuuus...!"
Iblis Dua Muka menjadi pucat wajahnya,
namun dalam keadaan begitu masih juga ia sem-
pat tergelak-gelak. Satu gerakan yang lebih cepat
menghantam ke arah Pukulan Segara Geni yang
dilepaskan oleh Candra Kila! Pukulan yang me-
ngandung hawa dingin dengan pukulan yang me-
nebarkan hawa panas saling beradu.
"Blaaaam...!" Tanah di sekitar tempat itu
tergetar, sementara tubuh Candra Kila dan Iblis
Dua Muka sama-sama terdorong lima tombak. Da-
da terasa sesak luar biasa. Melihat kejadian seperti
itu, Setan Gila yang sejak awal menyaksikan ja-
lannya pertempuran nampak tertawa tergelak-
gelak.
"Saudara Iblis...! Mengapa banyak mengulur
waktu, lebih baik kau kerahkan pukulan 'Iblis
Penggoda' atau kau cincang saja tubuhnya men-
jadi dendeng...!"
"Diamlah sobat! Tak lama lagi, aku pasti
akan membuatnya menjadi hantu bergentayangan
di tempat ini....!"
"Jangan mimpi, iblis muka jelek...?" sentak
Candra Kila. Belum lagi usai kata-kata yang diu-
capkannya. Secara tiba-tiba tubuhnya berputar-
putar. Sementara di tangan laki-laki bungkuk itu
tergenggam senjata pusakanya yang berupa belati
yang memiliki panjang tak kurang dari satu meter.
Berputarnya tubuh Candra Kila semakin
lama semakin cepat, hingga lama kelamaan tak
ubahnya bagai sebuah gasing mainan anak-anak.
Dalam keadaan seperti itulah tubuh orang ini me-
labrak apa saja yang begitu dekat dengan dirinya.
"Mengapa harus menghindar seperti itu,
Saudara Iblis? Cepat hantamkan pukulanmu...!"
teriak Setan Gila memanas-manasi.
"Hiaaat.... Huaaa...!"
Tubuh Iblis Dua Muka nampak melenting
ke samping kiri, tapi Candra Kila dengan senjata
tetap tergenggam di tangannya terus memburu.
Pada satu kesempatan yang sangat baik, tubuh
Candra Kila mendekat.
"Kreeess...! Brebeeeet...!"
"Ahh... kurang ajar...!"
Iblis Dua Muka berteriak keras saat mana
bagian bahunya tergores senjata di tangan Candra
Kila. Kiranya tak terhenti sampai di situ saja, laki-
laki berbadan bungkuk itu kembali memburu. Iblis
Dua Muka saat sedang bersiap-siap untuk me-
lepaskan pukulan mautnya.
"Jraaaas...!"
"Akkkhg...!"
"Wueeeer...!"
Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan
terhuyung-huyung akibat luka di bagian dadanya,
namun Iblis Dua Muka masih sempat juga le-
paskan pukulan. Tak dapat dicegah lagi, serang-
kum gelombang pukulan yang menimbulkan hawa
panas luar biasa memburu ke arah Candra Kila.
Laki-laki berbadan bungkuk muka pucat ini segera
kerahkan Ajian Palingmunan.
"Plaaaaass...!"
Bukan saja pukulan yang dilancarkan oleh
Iblis Dua Muka mencapai sasaran kosong, tetapi
juga tubuh lawannya raib begitu saja. Menyadari
keadaan seperti ini Iblis Dua Muka secara hampir
bersamaan memaki: "Jadah...!"
"Bagaimana sobat...! Si punggung onta ki-
ranya dapat menghilang seperti setan." kata Setan
Gila, lalu tersenyum-senyum mengejek.
"Dia kira aku tak mampu melakukan apa
yang dia tunjukkan. Puih, hanya mainan anak-
anak seperti itu...?"
"Buk....! Buuuk...!"
"Uhkgh...!"
Belum lagi sempat Iblis Dua Muka meng-
akhiri kata-katanya, satu tendangan yang begitu
telak mendarat di punggungnya. Apa yang dialami
oleh Iblis Dua Muka, rupanya menimbulkan kema-
rahan yang sangat besar di hati Setan Gila. Tak
ayal lagi, sambil membentak dia pun langsung ter-
jun ke dalam arena pertarungan.
"Saudara Iblis...! Kita sudah terlalu banyak
membuang-buang waktu. Bahkan korban di pihak
kita sudah terlalu banyak. Hancurkan manusia si-
luman itu....!"
"Pergunakan pukulan Iblis Penunggu Kege-
lapan....'" teriaknya.
"Zeeeb...! Zeeeb...!"
Tanpa berkata-kata lagi. Iblis Dua Muka
dan Setan Gila membuka sebuah jurus sesat ting-
kat tinggi. Tubuh mereka nampak terdiam tiada
bergeming. Tapi di saat yang lain kaki dan tangan
yang telah teraliri tenaga dalam itu bergerak perla-
han, seolah sedang berusaha mencari posisi lawan
yang tidak terlihat oleh kasat mata.
"Wuuusss...!"
"Dhaaaak.... Thaaaak...!"
Satu sambaran angin yang sangat keras
menderu, lalu menghantam tubuh Iblis Dua Muka
dan Setan Gila. Tapi tubuh mereka tiada bergem-
ing sedikit pun. Sebaliknya orang-orang ini malah
keluarkan tawa menyeramkan.
"Sudah kutemukan posisinya...!"
"Ya... aku pun sudah mengetahui posis-
inya...!" sahut Setan Gila tak mau kalah. Serta
merta kedua orang ini berbalik, lalu mereka men-
garahkan pukulannya ke satu arah.
"Heeeup...!"
"Chaaaa...!"
Begitu kedua orang ini hantamkan kedua
tangannya ke depan. Serangkum gelombang puku-
lan yang menimbulkan hawa dingin dan panas
menderu. Pada saat yang sama, kira juga Candra
Kila yang tak terlihat kasat mata karena Aji Pang-
lemunan, sudah pula melepaskan Pukulan Segara
Geni.
"Herrrrtk...!"
"Blaaaammm...!"
Terdengar suara jeritan tinggi melengking
dari mulut Candra Kila. Tubuh laki-laki besar dan
bungkuk ini pun terpelanting tujuh tombak se-
dangkan di pihak lawan hanya tergetar saja. Wa-
laupun memang tidak dapat disangkal, saat itu
mereka merasakan dada mereka sesak luar biasa.
Namun setelah menghimpun hawa murni, maka
rasa sesak itu pun mulai berkurang.
Laki-laki bungkuk mata picak, yang sudah
tidak dilindungi oleh Ajian Panglemunan nampak
tertatih-tatih. Wajahnya yang pucat bagaikan ma-
yat, semakin bertambah pucat. Sementara dari
bibir dan hidungnya mengalir darah kental kehi-
tam-hitaman. Nampaklah kalau saat itu Candra
Kila sedang menderita luka dalam yang cukup pa-
rah.
"Ha... ha... ha...! Kau akan segera mampus,
Candra Kila...!"
"Jangan diberi kesempatan hidup padanya
lebih lama lagi...!" geram Setan Gila.
"Ciaaat...!"
Setan Gila kembali hantamkan pukulan
mautnya. Dengan tubuh sempoyongan laki-laki
bungkuk dari Gua Bintang ini berusaha menghin-
dari pukulan yang dilancarkan oleh Setan Gila.
"Dwuuuuueeer...!"
"Geeeekh...!"
Candra Kila terpelanting roboh. Tubuhnya
yang berubah membiru itu hanya berkelojotan se-
saat saja. Selanjutnya terdiam untuk selama-
lamanya.
"Mampus juga laki-laki bungkuk ini akhir-
nya...!" geram Iblis Dua muka. Lalu kedua ma-
nusia sesat ini saling berpandangan sesamanya.
Tetapi mereka akhirnya dibuat terperangah ke-tika
mereka mendengar suara teriakan-teriakan dan
dentingan beradunya senjata tajam.
"Jahanam! Pekerjaan siapa lagi itu, Saudara
Setan Gila...!"
"Aku pun tidak tahu, tapi ada baiknya ka-
lau kita ke sana. Siapa tahu manusia bungkuk ini
membawa orang lain ke sini...!"
"Ayolah...!"
Tanpa buang-buang waktu lagi, keduanya
pun segera berlari-lari di sela-sela kobaran api
yang sedang berkobar membumihanguskan Kota
Hantu.
SEPULUH
Ketika Pendekar Hina Kelana dan Lukita
Sari sampai di Kota Hantu. Mereka melihat kota
angker ini sudah dilanda kobaran api. Siapapun
yang melakukan pembakaran atas Kota Hantu,
keduanya tidak perduli. Yang pasti orang itu seti-
dak-tidaknya telah mengetahui situasi di dalam-
nya. Juga termasuk mayat-mayat bergentayangan
yang selama ini menghuni di dalamnya.
"Jleeek...!"
Dengan posisi yang berada di sebelah Ti-
mur. Dengan jelas mereka dapat melihat pertarun-
gan yang sedang terjadi di ujung lorong. Antara
seorang tokoh melawan puluhan mayat-mayat
bergentayangan yang sedang berusaha membe-
baskan diri dari kepungan api. Dari sini sadarlah
Buang Sengketa maupun Lukita Sari, sesung-
guhnya kelemahan mayat-mayat suruhan itu terle-
tak pada api. Tanpa sungkan-sungkan lagi, kedua
muda mudi menyerbu ke tengah-tengah kota yang
di sekelilingnya sudah dilanda kobaran api. Den-
gan menggunakan obor, Buang maupun gadis ber-
topi caping itu membantai mayat suruhan yang
sedang sibuk menyelamatkan diri dan dilanda ke-
panikan. Sepuluh tombak maju ke depannya,
Buang Sengketa melihat beberapa sosok tubuh
menggapai-gapai tangannya dari sebuah ruangan
bawah tanah.
Tanpa menunggu lebih lama keduanya pun
menyerbu ke sana. Setelah melihat keadaan orang-
orang yang terbelenggu rantai dan mengenali se-
cara pasti, dua diantaranya. Tahulah pemuda
keturunan Raja Ular Piton Utara dari Negeri
Bunian ini, bahwa mereka adalah para tawanan
yang berusaha mencari selamat.
Karena rantai yang membelenggu tangan
dan kaki mereka, terasa begitu sulit untuk di-
buka. Tak ayal lagi Buang Sengketa mempergu-
nakan Pusaka Golok Buntung untuk memutus-
kan rantai yang membelenggu tangan dan kaki pa-
ra tawanan itu.
"Craaaang...! Traaas...! Traaaas...!"
"Pendekar Golok Buntung...!" seru Panjul
dan Panut yang dulunya pernah bertemu bahkan
terlibat pertarungan dengan pendekar itu, ketika
mereka masih menjadi murid di perguruan Jagad
Kelanggengan. (Dalam episode Satria Penggali Ku-
bur).
"Cepat bebaskan kawan-kawan kalian yang
lain...!" perintah pemuda itu tanpa menghirau-kan
ucapan Panjul yang terus membelalak begitu meli-
hat berkelebatnya Pusaka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa.
"Lagi-lagi! Kami berhutang nyawa padamu,
Pendekar...!"
"Bagaimana kami harus membalasnya...!"
kata Panut ikut bicara.
"Guobloook...! Sudah kubilang, kalian sela-
matkan kawan-kawanmu...!" bentak pemuda itu.
Dengan tergopoh-gopoh, orang-orang itu kembali
menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah.
Tak begitu lama setelah orang-orang yang baru sa-
ja dibebaskan pendekar ini lenyap dari pandangan
si pemuda. Dari arah lain, nampak berkelebat se-
sosok tubuh ke arah mereka.
"Weeer...!"
Tanpa diduga-duga, pendatang tak dikenal
ini lambaikan jubahnya. Akibatnya sungguh di
luar dugaan Buang Sengketa dan Lukita Sari. Tu-
buh kedua muda mudi ini terhuyung-huyung. An-
dai saja mereka tidak cepat-cepat memasang ku-
da-kuda. Dapat dipastikan dua-duanya ter-
jengkang.
Begitu menjejakkan kakinya, satu bentak-
an yang disertai pengerahan tenaga dalam yang
cukup tinggi pun menggeledek.
"Bocah-bocah pentil...! Berani kalian datang
ke Kota Hantu, itu sama saja artinya kalian mem-
buat urusan yang cukup dengan kami...!" kata la-
ki-laki tua berjubah hitam tanpa dapat menyem-
bunyikan kemarahannya.
Buang Sengketa terdiam, tetapi Lukita Sari
nampak terus menerus memandangi laki-laki itu
dengan pandangan tiada berkedip sedikitpun juga.
"Mungkin inilah kakek Durga Wungu, yang meru-
pakan kakak tiri Nenek Gombrang. Tak salah, ma-
nusia yang sudah hendak masuk liang kubur ini
tak pernah berubah seperti apa yang dikatakan
oleh Penyihir Tunggal Pantai Selatan." batin gadis
bertopi caping itu.
"Belum pernah aku melihat tampang kalian
sebelumnya, sekarang cepat-cepatlah katakan pa-
daku. Siapa kalian yang sesungguhnya...!"
"Engkaukah yang bernama Durga Wun-
gu...?" selak Lukita Sari tanpa menghiraukan per-
tanyaan kakek berjenggot panjang itu.
"Hrrrrt.... Keparat...! Ditanya malah balik
bertanya. Tapi baiklah, kalau aku memang Durga
Wungu, engkau mau apa…?"
"Kalau memang betul anda Durga Wungu.
Maka maksud kedatanganku ke sini adalah untuk
mengambil jiwamu...!"
"Haah... apa....! Tidak salahkah apa yang
kudengar...? Ha... ha... ha....! Begitu berhargakah
jiwa lapukku ini hingga kau menginginkannya...?"
menggeram kakek berjubah hitam ini.
"Ingatkah anda pada adik tiri anda yang
bernama Sangra Wulan....!" desis gadis bertopi
caping ini sinis.
Begitu Lukita Sari menyebut-nyebut nama
Sangra Wulan. Durga Wungu pun nampak terdiam
beberapa saat lamanya. Alis mata mengkerut, tan-
da hatinya sedang diliputi dengan berbagai pera-
saan.
"Sangra Wulan, adik tiri yang tiada guna.
Dengan ilmu sihir picisan dia coba-coba menuntut
balas padaku... he... he... he....! Andai saja waktu
itu dia tak kabur dalam pertempuran. Mungkin
saat ini hanya tinggal namanya belaka....!"
"Bocah! Apakah kedatanganmu kemari se-
ngaja mewakilinya...?" bentak Durga Wungu den-
gan pandangan berapi-api.
"Terkutuklah engkau tua bangka. Kau-
pembunuh orang tua sendiri, kau kangkangi harta
bendanya. Lalu kau singkirkan pula adik sendi-
ri....!" sentak Lukita Sari, nampaknya saat itu dia
sudah merasa tak mampu membendung luapan
kemarahannya.
"Aku... aku pembunuh orang tuaku sendi-
ri.... huhu... hu... hu...! Bangsat bajingan Candra
Kila itulah yang telah melakukannya. Aku menye-
salkan hal itu, tetapi segalanya mungkin memang
harus terjadi. Dan itu bukanlah kesalahanku...
ya... bukan kesalahanku...!"
"Kau mau memungkiri semuanya! Dosa-
dosamu kelewat besar, para Dewa sekalipun tak
mungkin mau memaafkanmu. Kalau pun engkau
mati, itu pun belum setimpal untuk menebus se-
gala kesalahan yang pernah kau lakukan...!" teriak
Lukita Sari. Menyadari kakek tua berpakaian ser-
ba hitam ini memiliki kepandaian yang begitu ting-
gi. Maka sejak awal dia telah mempersiapkan sega-
la sesuatunya.
"Herrng...! Kau utusannya si Buntung San-
gra Wulan. Hok... hok... hooo...! Pucuk dicinta
ulam menyerah. Kau memang pantas mampus di
tanganku...!" geram Durga Wungu.
Kejap kemudian dia sudah bermaksud
membuka serangan, namun pada saat itu terden-
gar satu seruan yang disertainya berkelebatnya
dua sosok tubuh, dan langsung berdiri di sisi Dur-
ga Wungu.
"Tuan...! Biarkan kami yang meringkus dua
ekor tikus muda ini untuk tuan...!" sergah Setan
Gila.
Sejenak Durga Wungu memandangi dua
orang tangan kanannya, lalu mendengus dengan
sikap tidak senang: "Kota Hantu yang selama ini
ku bangga-banggakan sudah diambang kehan-
curan, kini kalian datang hanya dengan maksud
menghibur ku.... Puih...! Kalian berdua hadapi bo-
cah gombal itu! Biarkan gadis cantik ini menjadi
bagianku....'" bentak kakek renta berpakaian serba
hitam ini gusar.
Menyadari majikannya sedang dilanda ke-
marahan, maka tanpa menunggu diperintah dua
Iblis Dua Muka dan Setan Gila segera menyerang
Pendekar Hina Kelana dengan jurus-jurus an-
dalannya.
"Hiaaaat...!"
"Haeeees...!" Buang Sengketa mengelak-
kannya dengan cara menggeser tubuhnya ke
samping kiri. Selanjutnya satu tendangan kilat dia
lakukan, namun dengan cara berjumpalitan Setan
Gila dan Iblis Dua Muka berhasil pula menghin-
dari serangan lawannya. Sebentar saja pertarun-
gan seru pun segera terjadi. Nampaknya masing-
masing lawan mulai mengeluarkan jurus-jurus
simpanannya.
Sementara itu, pertarungan antara Lukita
Sari dan Durga Wungu juga tak kalah hebatnya.
Apalagi kakek berpakaian serba hitam ini meru-
pakan tokoh sesat yang dulunya pernah menga-
lahkan guru si gadis. Sungguh pun begitu, Lukita
Sari juga bukanlah bocah kemarin sore yang dapat
dianggap remeh.
Rahasia Ilmu Sihir yang diberi nama 'Ba-
yang-Bayang Dewa' yang berhasil dipelajarinya
merupakan Ilmu Sihir yang sangat langka dan
mengandung banyak tipu muslihat. Maka ketika
pertarungan tingkat tinggi itu berlangsung, kesak-
tian yang mereka miliki pun segera mereka gelar
dalam pertempuran itu.
"Chaaaa...!"
Tubuh Durga Wungu melambung tinggi ke
angkasa dalam keadaan seperti itu sambil ber-
siap-siap melepaskan pukulan 'Musnah Tanpa Ka-
rana', kakek berpakaian serba hitam ini berseru.
"Bocah bau ingus! Kau tahanlah pukulan
mautku ini, kerahkan segala kemampuan yang
kau miliki. Seandainya nasibmu baik, mungkin
kau masih dapat melihat matahari esok pagi...!" te-
riak Durga Wungu. Pada saat seperti itu, kedua
tangan kakek tua ini telah pula berubah putih
menyilaukan mata. Bahkan sebentar kemudian se-
luruh tubuhnya telah pula berubah putih. Tak da-
pat dibayangkan betapa hebatnya pukulan yang
akan dilepaskan oleh lawannya.
Lukita Sari menyadari akan datangnya ba-
haya ini, dalam pertarungan menghadapi tokoh
tingkat tinggi untuk kali ini, dia tak mau mem-
pergunakan segala bentuk ilmu sihir yang di
milikinya, karena dia pun berpikir. Walau bagai
mana pun lawannya yang pernah bentrok dengan
gurunya pastilah mengetahui kelemahan ilmu sihir
yang dimilikinya. Akhirnya tanpa merasa cang-
gung-canggung lagi, gadis bertopi caping ini men-
cabut Keris Jalak. Yaitu senjata pemberian gu-
runya yang berhasil dicurinya dari tangan Durga
Wungu ketika mereka saling bentrok dulu.
"Hiaaaiiit...!"
"Hwwwweeeeeesss...!"
Serangkum gelombang sinar putih yang
menimbulkan angin ribut dan hawa panas tak ter-
tahankan menghantam tubuh Lukita Sari yang ha-
lus mulus. Sedemikian cepatnya datangnya gelom-
bang pukulan yang dilepaskan oleh Durga Wungu
itu, sehingga semua orang yang berada di tempat
itu memperkirakan gadis bertopi caping ini tak
mungkin mampu menghindarinya.
"Sriiing...!"
Dalam keadaan yang sangat kritis itu, serta
merta Lukita Sari mencabut senjata kegelapan
yang terselip di bagian pinggangnya.
"Plaaas...!"
Tubuh Lukita Sari secara gaib lenyap begitu
saja, begitu pun dia tetap tidak bergeser dari tem-
patnya semula.
"Jleeeeng...!"
Pukulan yang dilepaskan oleh Durga Wun-
gu bagai membentur dinding baja. Bahkan puku-
lan itu membalik dengan sendirinya. Andai Durga
Wungu tidak cepat-cepat membuang tubuhnya.
Pasti dia termakan pukulannya sendiri.
"Celaka...! Senjata kegelapan milikku, kira-
nya ada di tanganmu.... Sangra Wulan benar-
benar seorang pencuri yang licik...!" maki Durga
Wungu di dalam hati.
"Kerahkanlah segenap kemampuan yang
kau miliki Durga Wungu. Senjata kegelapan yang
merupakan segala kelemahan dari ilmu kesaktian
yang kau miliki, kini telah berada di tanganku...!"
ejek Lukita Sari dalam suaranya yang tidak beru-
jut.
"Kau hanya membual! Aku tak kan pernah
dapat dikalahkan dengan senjata jenis apapun...!"
balas Durga Wungu berusaha menutupi keresahan
hatinya.
"Kalau begitu, bersiap-siaplah kau untuk
mampus...!" desis Lukita Sari. Kali ini malah ber-
balik menyerbu.
Ketika itu, tidak jauh dari tempat perta-
rungan antara Durga Wungu dengan Lukita Sari.
Buang Sengketa sedang berusaha mengatasi gem-
puran-gempuran yang dilakukan oleh Iblis Dua
Muka dan Setan Gila. Pada hakekatnya ilmu pu-
kulan tangan kosong yang dimiliki oleh kedua la-
wannya memang mengandung racun yang sangat
panas. Bahkan dalam menghadapi setiap lawan-
lawannya, selama ini kedua tokoh sesat tingkat
tinggi ini cukup hanya mengandalkan pukulan
‘Mayat Gentayangan’ yang tidak perlu diragukan
lagi keampuhannya.
Menjelang pertarungan lima puluh jurus,
Buang dengan telak kena dihajar pukulan yang di-
lepaskan oleh Setan Gila. Tubuh pemuda ini terjengkang tiga tombak, darah meleleh dari hidung
dan bibirnya, sementara bagian dada maupun pe-
rut, terasa sesak luar biasa.
"Ha... ha... ha...! Pukulan Mayat Gentayan-
gan tidak dapat dianggap sembrono, Bocah...! Ra-
cun yang bekerja di dalam tubuhmu sebentar lagi
segera membuat nyawamu terbang ke neraka...!"
"Hoeeek...! Glook.... Glook...!" Dua kali
Buang Sengketa terbatuk. Maka darah kental pun
menggelogok dari mulutnya. Dalam keadaan seper-
ti itu pun pemuda ini masih mampu menyung-
gingkan seulas senyum rawan. Di luar dugaan ke-
dua lawannya, Buang Sengketa dengan langkah
terhuyung-huyung segera bangkit berdiri.
"Nguuuung...!"
Begitu dia meraba pinggangnya, maka Pu-
saka Golok Buntung pun telah tercabut dari sa-
rungnya. Baik Setan Gila maupun Iblis Dua Muka
nampak sama-sama terkejut begitu melihat sen-
jata di tangan lawannya memancarkan sinar
merah menyala.
"Pendekar Golok Buntung...!"
"Hmmm...!" gumam Pendekar Hina Kelana.
Sementara itu dari sela-sela bibirnya mengeluar-
kan bunyi mendesis-desis bagai seekor ular piton
yang sedang marah. "Seandainya aku merupakan
seekor monyet tolol, tentu aku sudah mampus di
tangan kalian para iblis! Berpuluh-puluh kesem-
patan telah kuberikan pada kalian.... Menyesal ka-
lian tak pernah becus mempergunakan setiap ke-
sempatan dengan baik. Kini rasakanlah akibat-
nya...!" geram pemuda itu. "Hiaaaaat...!"
Tubuh Buang Sengketa kemudian melom-
pat ke depan, Golok Buntung di tangannya berke-
lebat-kelebat menyambar. Sekejap saja tubuh pe-
muda itu telah terbungkus sinar merah yang di-
pancarkan oleh senjata pusaka yang memiliki pa-
mor sangat tinggi ini. Sekali dua untuk mem-
porakporandakan pertahanan lawannya, pemuda
ini melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana.
Yang menimbulkan hawa sedemikian hebat pa-
nasnya.
Pada kenyataannya setelah pertempuran
dengan mempergunakan senjata berlangsung tidak
lebih tujuh jurus. Setan Gila dan Iblis Dua Muka
sudah terdesak hebat. Tidak sedikit pun peluang
bagi mereka untuk melepaskan pukul-an-pukulan
saktinya.
Semakin lama jarak antara si pemuda den-
gan lawannya semakin bertambah dekat, lagi-lagi
pemuda dari Negeri Bunian ini melompat sambil
membabatkan senjatanya.
"Hiaaaat...!"
"Craaas...!"
Setan Gila terhuyung-huyung sambil men-
dekap bagian mukanya yang berlumuran darah.
Tetapi tiada terdengar suara apapun dari mulut-
nya. Buang Sengketa tiada perduli. Sekali ini dia
merangsak ke arah Iblis Dua Muka. Laki-laki ber-
wajah menyeramkan ini melompat mundur dan
bermaksud meninggalkan pertempuran. Namun
nampaknya Buang sudah tidak memberikan ke-
sempatan lagi....
"Jraaas...!"
"Akgrrr...!"
Begitu bagian leher Iblis Dua Muka tersam-
bar senjata di tangan Buang Sengketa, sekejap
kemudian tubuh orang ini ambruk ke bumi. Ber-
kelejat-kelejat sebentar, lalu diam untuk selama-
lamanya. Belum lagi Pendekar Hina Kelana meno-
leh ke arah Setan Gila yang sudah tak berada di
tempatnya. Terdengar pula satu jeritan.
"Kau memang pantas mampus, manusia
paling durhaka di kolong langit...!" geram Lukita
Sari. Rupanya saat itu, gadis bertopi caping yang
sedang terlibat pertempuran dengan Durga Wungu
berhasil merobohkan kakek renta itu dengan sen-
jata kegelapan pemberian Penyihir Tunggal Pantai
Selatan.
"Satu orang lawan berhasil lolos dari ta-
nganku, Adik Ita...!" kata si pemuda setelah kedu-
anya saling mendatangi.
"Suatu saat, Setan Gila pasti akan mencari
kita Kakang...!" kata si gadis dengan tatapan sen-
du.
"Yeaaah... di suatu saat kelak! Mungkin kita
pun kan bertemu kembali...!"
"Kakang... aku harus kembali menemui gu-
ruku di Daerah Tanah Bernyawa! Apakah kau mau
ikut...?" tanya si gadis penuh harap.
"Tidak sekarang! Tetapi di suatu saat ke-
lak...!"
"Kita berpisah, Kakang...!" ujar Lukita Sari
dengan tatapan kecewa.
Tanpa berkata apa-apa pemuda berwajah
tampan ini semakin mendekat. Wajah si gadis semakin memerah.
"Kau tak ingin memberi ku satu kenang-
kenangan Kakang...!". tanya si gadis ketika mem-
balikkan langkah.
"Ya...!" ujar Buang Sengketa. Lalu wajah
mereka saling mendekat, Lukita Sari gemetar tu-
buhnya lalu memejamkan mata. Dengan tulus
pemuda dari Negeri Bunian ini pun mencium bibir
si gadis. Begitu lembut, namun tak sampai sekedi-
pan mata.
"Itulah sebuah kenangan yang ingin kuberi-
kan padamu...!" kata Buang Sengketa ketika gadis
bertopi caping itu membuka matanya kembali.
"Aha... asyiiik...!" kata Panjul, Panut dan
Godot ketika melihat adegan itu. Lukita Sari se-
makin bertambah memerah wajahnya, karena me-
rasa malu maka tanpa membuang-buang waktu,
gadis itu pun berlari-lari cepat meninggalkan si
pemuda dengan meninggalkan kerlingan penuh ar-
ti.
"Maafkan kami Pendekar...! Kami bukan
bermaksud mengganggu Pendekar! Sama sekali ti-
dak... kami hanya ingin mengucapkan rasa terima
kasih...!" ucap ketiga orang lalu membungkuk
hormat. Namun begitu mereka menoleh dan me-
mandang ke depannya, Pendekar Hina Kelana su-
dah tak ada lagi di depan mereka.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar