..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 30 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE DENDAM DALAM DARAH


DENDAM DALAM DARAH 

Oleh D. Affandy 

© Penerbit Mutiara, Jakarta 

Pintu Besi Baru Plaza Lt. II, B52/69 

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat 

Setting Oleh: Trias Typesetting 

Cetakan Pertama, 1992 

Hak Cipta ada pada Penerbit. 

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau 

seluruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit 

D. Affandy 

Serial Pendekar Hina Kelana 

dalam episode: 

Dendam Dalam Darah 


SATU


Pagi nan sejuk udara berselimut kabut. 

Tetes-tetes embun pagi terasa menyengat kulit tu-

buhnya yang halus mulus. Tetapi tidak sekalipun 

gadis bertopi caping itu menghiraukan suasana 

seperti itu, seolah keadaan seperti itu sudah men-

jadi kebiasaan dalam hari-hari kehidupannya di 

kaki Gunung Gilatama. 

"Hiaaaa... haiiit... haiiit...!" Terdengar suara 

teriakan si gadis yang begitu nyaring dan merdu. 

Sementara seorang nenek tua berpakaian biarawa-

ti dengan bertumpu pada sebelah kakinya nampak 

berdiri mengawasi semua gerakan-gerakan silat 

yang dilakukan oleh gadis bertopi caping itu. 

"Tangan terkepal, menghantam ke arah de-

pan. Kemudian kaki kiri melakukan tendangan 

dengan mengerahkan sepertiga dari tenaga dalam 

yang kau miliki. Setelahnya senjata rahasia yang 

berada di tangan kirimu menyerang empat bagian 

tubuh orang yang berdiri di hadapanmu itu...!" ka-

ta nenek berpakaian biarawati ini memberi penga-

rahan pada gadis berwajah cantik yang sedang me-

lakukan latihan. 

"Heeeuuup...! Ciaaat...!" 

Gadis itu kembali keluarkan suara teriakan 

tinggi melengking. Selanjutnya dia pun melakukan 

gerakan-gerakan sesuai dengan apa yang di-

perintahkan oleh si nenek berkaki buntung yang 

berdiri tegak tidak begitu jauh di depannya. 

"Jeb... deb... weeer...!"


Tiga gerakan cepat secara berturut-turut dia 

lakukan, manakala gadis berkulit kuning langsat 

ini hantamkan tangannya ke arah depan, selan-

jutnya disusul dengan kaki kiri. Maka menderulah 

angin yang begitu kuat menyambar ke seluruh sisi 

tubuh orang-orangan yang berada di depannya. 

Kalau saja nenek berpakaian biarawati itu menan-

capkan bagian kaki orang-orangan ini tidak kuat 

dan dalam. Sudah dapat dipastikan orang-orangan 

sebagai sasaran latihan si gadis terpelanting ro-

boh. 

"Jes...! Ces...! Ceeess...!" 

Senjata rahasia yang berupa sengat Kala Hi-

tam itu pun dengan tepat mencapai sasaran-nya. 

Sesaat nenek berpakaian biarawati itu memeriksa 

bagian badan yang menjadi sasaran serangan mu-

ridnya. 

"Bagus... hi... hi... hi...! Murid berbakat yang 

kudapat rasanya sangat sesuai dengan apa yang 

sering ku impi-impikan dulu." kata si nenek, lalu 

berjingkrak-jingkrak dalam luapan kegembi-

raannya. Beberapa saat lamanya nenek ini mena-

tap tajam pada gadis bertopi caping yang berdiri 

tidak begitu jauh di depannya. 

"Teruskan latihanmu dengan jurus 'Meng-

gempur Badai Selatan'...!" Sekali lagi si nenek kaki 

buntung memberi perintah pada muridnya. 

"Aku akan melakukannya, Nenek Gom-

brang...!" 

Gadis bertopi caping ini undur tiga langkah, 

kaki dia tekukkan membentuk kuda-kuda yang 

kokoh. Sementara itu kedua tangannyapun telah


pula disilangkannya ke depan dada. 

"Hiiiaat...! Bet... bet...!" 

Dengan gerakan yang begitu lincah, gadis 

ini terus menghindari jebakan-jebakan yang se-

ngaja dipasang oleh si nenek berkaki buntung 

yang menjadi gurunya. Selanjutnya tubuh gadis ini 

berloncatan dari sebuah batu ke batu lainnya. Se-

bagaimana yang terlihat, batu-batu tempat si gadis 

berloncatan terletak di sebuah kolam yang airnya 

begitu dalam dan nampak menggelegak dan men-

gepulkan uap putih. Sedangkan jarak antara batu 

yang satu dengan batu yang lainnya tak lebih dari 

lima meter. Dan batu yang dijadikan tumpuan oleh 

si gadis sebenarnya berukuran sangat kecil lagi 

runcing. Dapat dibayangkan seandainya dia terge-

lincir di atas kolam alam yang senantiasa mengge-

legak itu, setidak-tidaknya tubuh gadis itu lumer 

menjadi bubur. 

Namun gadis bertopi caping ini merupakan 

murid tunggal si nenek kaki buntung yang men-

dapat gemblengan selama hampir tujuh tahun. 

Nenek berpakaian biarawati yang menjadi guru 

gadis bertopi caping, juga bukan hanya sekedar 

guru biasa. Dalam dunia persilatan dia dikenal se-

bagai Penyihir Tunggal Pantai Selatan. Nenek bun-

tung berusia sekitar enam puluh lima tahun ini 

pada jamannya sangat dikenal sebagai seorang ah-

li sihir yang sangat tangguh dan memiliki pendir-

ian yang selalu cenderung membela kaum yang 

lemah. Berada pada aliran putih, Penyihir Dari 

Pantai Selatan, dan kerap dipanggil Nenek Gom-

brang oleh murid tunggalnya. Dalam dunia persila


tan dikenal sebagai seorang tokoh yang begitu te-

gas dan jarang memberi keampunan bagi setiap 

lawan dari golongan sesat. Tindakannya terkadang 

brutal namun beralasan. Tetapi di lain waktu dia 

sering bersikap acuh pada keadaan yang terjadi di 

sekelilingnya. Sifatnya yang selalu angin-anginan 

dan misterius ini, sering berakibat kaum golongan 

putih menaruh kecurigaan besar pada dirinya. Itu-

lah sebabnya, sungguh pun telah belasan tahun 

Nenek Gombrang kaki tunggal telah mengasingkan 

diri dari dunia ramai, namun tetap saja orang-

orang yang dulunya pernah berurusan dengan dir-

inya dan pernah pula merasa dirugikan, hingga 

saat ini terus mencarinya. 

Hanya saja mereka merasa kehilangan jejak 

buronannya, sejak nenek ini berpindah-pindah 

tempat sampai akhirnya dia menemukan sebuah 

tempat yang dia kenal sebagai Tanah Bernyawa. 

Sejak mulai saat itu, di Tanah Bernyawa in-

ilah Nenek Gombrang hidup dengan murid tung-

galnya Lukita Sari. Kepada gadis yang kini telah 

berusia remaja, Nenek Gombrang menurunkan se-

luruh kepandaian yang dimilikinya. Tidak sampai 

di situ saja si nenek berbuat untuk muridnya. Di 

Tanah Bernyawa si nenek menciptakan ilmu sakti 

dan berbagai ilmu sihir lainnya, khusus diperun-

tukkan buat Lukita Sari. 

"Haap... Ita... lihatlah! Di hadapanmu ada 

seekor ular raksasa yang telah bersiap-siap me-

mangsa tubuhmu...!" 

Pelan saja ucapan si Nenek Gombrang, tapi 

suara itu cukup berpengaruh dan terasa menggetarkan rongga dan seisi perut Lukita Sari. Si gadis 

nampak tercekat begitu melihat ke arah depannya. 

Benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya. 

Saat itu dari dalam air kolam yang menggelegak, 

secara tiba-tiba muncul seekor ular raksasa berku-

lit hijau lumut. Lidah binatang berbau amis luar 

biasa ini nampak menjulur-julur, dengan mulut 

terbuka lebar dan siap memangsa tubuh Lukita 

Sari. 

Tanpa membuang-buang waktu lagi gadis 

bertopi caping ini mengerahkan tenaga dalam yang 

dimilikinya, tapi sebelum dia mampu berbuat ban-

yak. Tubuh ular raksasa berwarna hijau itu telah 

meliuk dan langsung menyambar tubuhnya. 

"Haiiit...!" 

Lukita Sari lentingkan tubuhnya ke udara, 

selanjutnya satu pukulan telak yang berintikan te-

naga dalam yang kuat dilepaskannya mengarah 

pada bagian kepala ular buas tadi. Namun ular 

berkulit hijau ini memiliki naluri yang begitu peka. 

Menyadari adanya sambaran angin pukulan yang 

begitu dingin, ular raksasa itu meliukkan tubuh-

nya, membentuk gerakan sebuah cambuk yang 

melecut ke udara. Satu pukulan telak yang dila-

kukan oleh Lukita Sari berhasil dielakkan oleh 

ular jejadian ini dengan sangat baik. Pukulan yang 

menebarkan hawa panas itu terus menderu, hing-

ga akhirnya menghantam batu yang berada di ten-

gah-tengah kolam alam tadi. Batu tersebut hancur 

berantakan, bahkan air panas di dalam kolam 

alam itu muncrat ke udara terkena sambaran an-

gin pukulan yang tidak mengenai pada sa


sarannya. 

"Zsssss...!" 

Ular raksasa jejadian ini mendesis-desis, air 

liur berlelehan dari lidahnya yang menjulur pan-

jang dan bercabang. Selanjutnya dengan gerakan 

yang sangat cepat, ular itupun menjulur-kan tu-

buhnya. Bagian kepala dengan disertai bunyi 

mendesis, nampak menyambar ke arah tubuh Lu-

kita Sari. Gadis bertopi caping ini menyambutnya 

dengan satu pukulan yang disertai dengan penge-

rahan setengah dari tenaga dalam yang di-

milikinya. 

"Dweees...! Hoooooss...!" 

Bagai tiada merasakan adanya sambaran 

hawa panas yang datang ke arahnya, ular bersisik 

hijau ini malah menyambut. Dan keanehan pun 

terjadi, pukulan 'Awan Biru' yang telah dilepaskan 

oleh Lukita Sari seolah lenyap begitu saja tanpa 

bekas. Gadis bertopi caping ini memandangnya 

dengan mata membelalak. Namun ketika dia men-

dengar suara gelak tawa dari mulut orang yang 

sangat dikenalnya, maka teringatlah gadis ini pada 

sesuatu. "Uh, tolol betul aku ini! Sudah jelas apa 

yang kulihat sebetulnya adalah permainan sihir 

Nenek Gombrang! Mengapa aku tak menyadarinya 

sejak tadi?" batin gadis itu. 

"Heeeaaa...!" 

Lagi-lagi Lukita Sari terus berkelit meng-

hindar saat mana ular bersisik hijau kembali men-

yerangnya dengan ganas. 

"Wuuut...!" 

Satu gerakan ringan dengan cara bersalto


mengikuti lurusnya batang pohon, membuatnya 

telah berada diatas pohon tersebut. Dengan cepat 

dia merapal ajian ilmu sihir yang telah dikuasai-

nya. Hanya dalam waktu sekedipan mata saja, tu-

buh Lukita Sari telah mengembar jadi tiga. Tidak 

sampai di situ saja, tubuh kembar itu hanya da-

lam tempo yang singkat telah pula berubah men-

jadi tiga ekor burung rajawali raksasa. 

"Kaaakk... Kroaaak...!" 

Burung penjelmaan Lukita Sari ini lang-

sung menyambar ular hijau yang berada di dalam 

kolam itu. Akhirnya ular dan tiga ekor burung rak-

sasa itupun terlibat pertarungan sengit dengan 

ular tersebut. 

Dengan mengandalkan kepakan sayapnya 

yang luar biasa, burung rajawali itu terus men-

cecar ular hijau yang berada di tengah-tengah ko-

lam berair panas. Pada dasarnya menghadapi sa-

lah seekor dari burung rajawali itu saja, ular rak-

sasa ini sudah keteter, jangankan menghadapi se-

rangan berbareng yang dilakukan oleh ketiga bu-

rung berukuran sangat besar ini. 

Dalam waktu yang begitu singkat, binatang 

melata dan berbau amis menjijikkan ini pun sudah 

terdesak hebat. Hingga beberapa saat setelahnya 

cakar-cakar burung rajawali itu berhasil dengan 

telak melukai tubuh ular berukuran sangat besar 

ini. 

"Buuueees...!" 

Bersamaan dengan terlukanya tubuh ular 

raksasa itu, sedetik kemudian ular inipun raib dari 

hadapan si nenek. Sebagai akibatnya tubuh Nenek


Gombrang terhuyung-huyung dua tom-bak. 

"Kreaaak... Kreaaak...!" 

Burung rajawali penjelmaan Lukita Sari itu 

pun kembali dalam ujudnya semula. 

"Bagus...! Kau benar-benar seorang murid 

yang dapat ku andalkan!" gumam Nenek Gom-

brang memuji. "Hemm! Lukita Sari...!" panggil per-

empuan tua berkaki buntung ini tanpa menoleh 

pada lawan bicaranya. 

"Iya nek...! Ada apakah...?" tanya Lukita Sa-

ri sambil melangkah mendekat. 

"Tahukah kau sudah berapa lama engkau 

tinggal bersamaku...?" bertanya si nenek tanpa 

menghiraukan pertanyaan gadis cantik bertopi 

caping yang berdiri tegak di hadapannya. 

"Eem...! Mungkin sudah hampir tujuh ta-

hun! Atau bahkan lebih...!" 

"Tujuh tahun! Sebuah waktu yang cukup 

lama, tetapi apakah yang telah kau peroleh se-

lama itu dari seorang guru sepertiku ini?" tanya si 

nenek dengan sorot mata tajam. Yang ditanya 

nampak terdiam sejenak, namun tak begitu lama 

kemudian dia telah menjawab 

"Guru... ee... Nenek Gombrang telah mem-

beriku banyak bekal yang nantinya dapat kuper-

gunakan untuk membela kaum yang lemah! Dan 

murid tak tahu bagaimana murid harus berterima 

kasih atas segala apa yang pernah nenek be-

rikan...!" ujar Lukita Sari dengan sikap takjim. 

Penyihir Tunggal Pantai Selatan nampak 

sunggingkan seulas senyum, hingga menampak-

kan giginya yang cuma tinggal tiga buah saja.



"Hik... hik... hik...! Ternyata untuk meng-

ucapkan kata-kata terima kasih saja bagimu sulit-

nya bagai orang yang mau melahirkan! Bueh... 

murid macam apa engkau ini...?" bentak si nenek, 

uring-uringan. 

"En... anu nek! Maksudku bagaimana cara-

nya agar aku bisa membalas segala kebaikan yang 

pernah kau berikan kepadaku...!" ucap si gadis 

bertopi caping terbata-bata. 

"Bagiku bukan itu yang paling penting! Te-

tapi kata-kataku yang harus kau patuhi dan per-

tanyaan sanggup untuk mengerjakannya. Bagai-

mana apakah kau setuju?" tanya si nenek dengan 

suara datar. 

"Apapun yang nenek perintahkan, seandai-

nya aku mampu, sudah barang tentu dengan san-

gat senang hati akan kukerjakan...!" 

"Buagus itu... kau memang murid dan cu-

cuku yang begitu berbakti.. Hik... hik...!" kata si 

nenek begitu bangga. Sekejap dia memandang pa-

da Lukita Sari dalam-dalam. Namun di lain waktu 

secara mendadak saja wajahnya berubah murung. 

Selama ini belum pernah sekalipun Nenek Gom-

brang bersikap seperti itu, biasanya dalam meng-

hadapi persoalan serumit apapun, nenek keripu-

tan ini selalu tertawa-tawa, atau tersenyum lepas 

bagai orang sinting. Tapi kali ini lain, si nenek ba-

gai sedang menghadapi gunung yang mau meletus. 

Nampak panik bahkan kerut merut di wajahnya 

semakin berlipat ganda. 

"Apa yang kau pikirkan, Nek...!" bertanya si 

gadis dengan sikap berhati-hati.


DUA


Yang ditanya nampak diam saja, bahkan 

seperti ada satu beban di hatinya yang terasa berat 

untuk disampaikan pada muridnya, tetapi lebih 

berat lagi bila dia menanggungnya seorang diri. 

"Ita muridku...! Aku ingin mengatakan se-

suatu yang sangat penting padamu. Tetapi alang-

kah lebih baik jika kita membicarakannya di da-

lam pondok!" 

"Mari, guru...!" kata Lukita Sari, kemudian 

mengiringi langkah terpincang-pincang gurunya 

dari belakang. 

"Kreooot...!" 

Pintu pondok bertonggak tinggi tersebut 

menimbulkan suara berkereotan saat mana Lukita 

Sari mendorongkannya. Murid dan guru melang-

kah memasuki ruangan pondok yang hanya beru-

kuran tiga kali empat meter dan begitu sangat se-

derhana sekali. Menunggu Lukita Sari mengambil-

kan kendi berisi air dingin, nampak Nenek Gom-

brang tercenung seorang diri. Entah mengapa se-

cara tiba-tiba dia teringat tentang perjalanan masa 

lalunya. 

Kala itu rasa-rasanya segala sepak terjang 

yang pernah dilakukannya begitu sadis dan tak 

pernah mengenal kompromi. Ilmu sihir yang ber-

hasil dia pelajari dari dasar lembah Tanpa Ujud se-

lama belasan tahun, ternyata telah begitu banyak 

menimbulkan korban dari berbagai golongan persi-

latan kala itu. Kehadirannya di dunia persilatan


selalu dimusuhi oleh tokoh-tokoh sakti. Semua itu 

tak terlepas dan akibat dari keserakahan abang 

tirinya yang berusaha mengangkangi seluruh harta 

kekayaan peninggalan orang tua mereka. Sebagai 

adik tiri dan perempuan pula. Sudah jelas dia tak 

memiliki kekuatan apa-apa untuk menuntut seke-

dar hak yang sudah selayaknya menjadi miliknya. 

Walaupun dia menyadari kalaupun dia mendapat-

kan bagian harta itu, sudah pasti sedikit sekali. 

Kedua orang tua meninggalkan mereka untuk se-

lama-lamanya akibat malapetaka yang menimpa, 

dalam satu perjalanan dagang ke kota raja. Sejauh 

itu dia masih belum berhasil mendapatkan siapa 

pembunuh kedua orang tuanya. Hanya sebuah 

benda yang berbentuk bintang empat dan terbuat 

dari bahan tembaga itulah yang dapat dia anggap 

sebagai bukti, bahwa kematian yang dialami oleh 

orang tuanya, tentu para pelakunya yang memiliki 

benda itu. Mengharapkan abang tirinya untuk me-

lacak jejak pembunuh orang tua, rasa-rasanya be-

gitu sulit. Orang yang bernama Durga Wungu ter-

nyata bersikap tak mau perduli atas kematian ke-

dua orang tuanya. Dan dia menjadi sangat kecewa 

sekali, karena tak lama setelah itu Durga Wungu 

mengusir dirinya begitu saja. 

Antara sedih dan kecewa, akhirnya Gom-

brang atau yang memiliki nama kecil Sangra Wu-

lan itu pergi tanpa tujuan. Namun Rimba Persila-

tan sesungguhnya bukanlah kehidupan yang ra-

mah. Berulang kali Sangra Wulan yang memiliki 

paras lumayan ini harus berjuang mati-matian 

menyelamatkan diri dan tangan orang-orang sesat



yang bermaksud tak baik padanya. Namun sampai 

di manakah kemampuan seorang gadis yang tak 

memiliki kepandaian apa-apa ini. Beberapa bulan 

kemudian dia berhasil dinodai oleh Gembong Hi-

tam, yaitu kepala partai terbesar yang bermarkas 

di bagian Tenggara. Betapa hancur hati Sangra 

Wulan menerima kenyataan pahit seperti ini. Aki-

batnya dengan membawa luka hati yang teramat 

dalam, dia berhasil membebaskan diri dari ceng-

keraman Gembong Hitam. Sepanjang hari dia 

terus menempuh perjalanan tanpa arah dan tu-

juan. Hingga pada akhirnya sampailah gadis ini di 

lembah sesat. Dan di tempat itulah Sangra Wulan 

menemukan sebuah kitab yang berisi pelajaran si-

lat dan sebuah kitab lainnya yang berisi pelajaran 

ilmu sihir. Sejak mulai saat itu, dengan tekun di 

tempat yang sama Sangra Wulan mempelajari ke-

dua kitab yang memiliki kehebatan yang sangat 

mengagumkan. Dalam waktu satu tahun sega-

lanya dapat dia selesaikan dengan baik. Terkecuali 

pelajaran pamungkas yang terdapat dalam kitab 

ilmu sihir tadi. Bahkan sampai akhirnya dia ma-

lang melintang dalam dunia persilatan, Sangra 

Wulan masih belum mampu memecahkan rahasia 

puncak yang terkandung dalam kitab ilmu sihir 

itu. 

Waktu itu dunia persilatan menjadi gempar 

dengan kemunculannya. Begitu banyak kaum se-

sat terbantai di tangannya, apa yang ingin dilaku-

kannya pada saat itu adalah mencari tahu siapa 

sesungguhnya yang telah membunuh kedua orang 

tua, serta membalas dendam pada Ketua Gembong


Hitam yang bermarkas di bagian Tenggara. Se-

dangkan hal lain yang ingin pula dia ketahui ada-

lah mengenai harta dan tanah warisan yang telah 

dikuasai oleh abang tirinya. 

Ketika Sangra Wulan meluruk markas 

Gembong Hitam, seluruh murid dan pentolannya 

dia tumpas hingga tiada bersisa lagi, hancurnya 

Gembong Hitam dan murid-murid perguruan itu 

mengundang kemarahan para sahabat partai 

Tenggara ini, hingga membuat dirinya dimusuhi 

oleh tokoh-tokoh kaum sesat. Di manapun dia be-

rada selalu saja maut mengincar dirinya. Korban-

pun terus berjatuhan, bahkan abang tirinya yang 

akhirnya dia ketahui sebagai orang yang telah ber-

gabung dengan para manusia sesat berulang kali 

sempat bentrok dengan dirinya. Tapi pada ken-

yataannya, kakak tirinya itu memiliki ilmu kepan-

daian setingkat lebih tinggi dengan kepandaian 

yang dimilikinya, hingga akhirnya dia sendiri nya-

ris tewas di tangan saudara tirinya itu. 

Dalam keadaan terluka di bagian kaki aki-

bat sabetan senjata di tangan saudara tirinya, 

Sangra Wulan melarikan diri. Dan dalam per-

jalanan melewati sungai yang tengah dilanda ban-

jir, perempuan ini menemukan Lukita Sari yang 

kemudian dia angkat sebagai muridnya. Sambil 

berusaha memecahkan inti pamungkas yang ter-

dapat dalam kitab ilmu sihir itu yang kemudian 

mendatangkan hasil. Sangra Wulan yang ke-

mudian bertukar nama dengan Nenek Gombrang, 

terus mendidik Lukita Sari dengan berbagai ilmu 

kepandaian yang dimilikinya. Dan tanpa terasa


waktu yang tujuh tahun itu pun berlalu, segala 

rahasia yang terkandung dalam kitab ilmu sihir 

yang dulu tak dapat dipecahkannya. Kini sepe-

nuhnya telah dikuasai dengan baik oleh Lukita Sa-

ri. Nenek Gombrang merasa sekaranglah saatnya 

mengutus murid tunggalnya untuk turun ke dunia 

ramai guna mengadakan perhitungan dengan Dur-

ga Wungu juga mencari tahu simbol bintang per-

segi empat yang dia ketahui sebagai pembunuh 

kedua orang tuanya. Demikianlah ketika hatinya 

sedang diliputi oleh galau masa lalunya, secara ti-

ba-tiba Lukita Sari yang telah kembali dari dapur 

dengan membawakan kendi berisi air langsung 

menegur: 

"Nek! Apa sih yang nenek pikirkan? Sejak 

tadi kulihat nenek nampak melamun melulu...!" 

ujar si gadis setelah duduk persis di depan Penyi-

hir Tunggal Pantai Selatan ini. 

"Eeeh... tidak ada apa-apa...!" ucap si nenek 

tersentak dari lamunannya. 

"Sepertinya, nenek merahasiakan sesuatu 

terhadapku! Katakan saja nek... bukankah aku 

sudah berjanji untuk mengerjakan sesuatu seperti 

apa yang nenek inginkan...?" sentak Lukita Sari 

tanpa ragu-ragu lagi. 

"Huuus... bocah tau apa! Tak usah kau 

minta, apa yang sedang ku renungi ini juga nanti-

nya merupakan pekerjaanmu...!" kata si nenek. 

Kejab kemudian dia telah menyambar kendi itu 

dan langsung pula meneguknya. Terdengar suara 

bercekglukan saat mana air itu melewati kerong-

kongannya yang kering. Beberapa saat lamanya



setelah menghabiskan air di dalam kendi itu lebih 

dari setengahnya, maka Penyihir Tunggal Pantai 

Selatan itupun dengan sikapnya yang begitu ber-

wibawa kembali berkata kepada Lukita Sari: 

"Ita muridku...! Lama sebelum kau menjadi 

muridku, tahukah engkau siapa dan apa saja yang 

kulakukan di kalangan persilatan?" Yang ditanya 

gelengkan kepalanya berulang-ulang. Tapi Nenek 

Gombrang menanggapinya dengan sesungging se-

nyum. 

"Nenek tak pernah mengatakan apa-apa pa-

daku, mustahil aku bisa mengetahui segala apa 

yang terjadi dengan nenek ketika itu...!" 

"Hik... hi... hi...! Kau memang tak kan tahu 

apa-apa, karena aku belum mengatakannya pa-

damu...!" ujarnya. "Hemm! Saat itu hidupku terlalu 

banyak dilanda kesengsaraan dan kenangan-

kenangan yang sangat menyakitkan. Tapi rasa-

rasanya hal itu tak perlu ku ungkap. Sungguhpun 

begitu, dalam usia senja dan menjelang akhir hi-

dupku ini, aku punya satu keinginan yang nanti-

nya merupakan sebuah tugas penting yang harus 

kau kerjakan...! Pahamkah engkau dengan apa 

yang kumaksudkan...?" 

"Paham, Nek...! Tapi belum seluruhnya da-

pat kuketahui maknanya...!" jawab Lukita Sari. 

Nenek Gombrang kembali terdiam, nampaknya pe-

rempuan berusia senja ini sedang berusaha men-

gingat-ingat sesuatu tentang masa lalunya. 

"Setelah kau meninggalkan Tanah Bernya-

wa ini, satu yang harus kau lakukan adalah men-

cari orang yang bernama Durga Wungu. Tanyakan


tentang warisan peninggalan orang tua kami pada 

laki-laki itu. Kalau pun pendiriannya tetap tidak 

berubah bahkan terus menunjukkan permusuhan 

padamu. Maka kau wajib membunuhnya...!" 

"Tapi nek! Orang yang nenek sebutkan itu 

mana mungkin bisa percaya dengan segala omon-

ganku...!" 

"Tidak percaya? Hik... hi... hik...! Dia pasti 

masih mengenali benda ini!" ujar si nenek. Lalu 

menunjukkan sesuatu pada Lukita Sari. Gadis 

bertopi caping itupun menerimanya. Sejenak di-

perhatikannya benda pemberian si nenek. Benda 

itu sesungguhnya hanya berupa kelenengan mai-

nan anak-anak kecil yang bentuknya sangat mirip 

dengan kelenengan yang dipasang di leher lembu 

penarik pedati. "Aneh! Nenek ini hanya menunjuk-

kan sesuatu yang sebenarnya tak memiliki arti 

apa-apa?" batin Lukita Sari dalam hati. 

"Dengan mengatakan bahwa kau meru-

pakan murid tunggalku. Durga Wungu pasti akan 

mempercayainya. Tapi ingat sungguh pun dia me-

rupakan saudara tiriku, jangan sekali-kali kau 

termakan bujuk rayunya. Orang itu manusia iblis 

yang patut kau waspadai setiap waktu...!" kata 

Nenek Gombrang wanti-wanti. 

"Hal itu bisa aku mengerti, Nek! Tapi apa-

kah selain Kakek Durga Wungu, masih ada lagi 

orang lain di rumah kediamannya...?" tanya Lukita 

Sari dengan dipenuhi rasa keingintahuan. 

"Cukup banyak! Bahkan mungkin lebih dari 

lima puluh orang, dan perlu kau ketahui selain 

menguasai seluruh harta benda peninggalan orang



tua. Durga Wungu juga mendirikan sebuah pergu-

ruan yang cukup besar di rumahnya. Untuk saat 

sekarang, mungkin juga dia telah memiliki pem-

bantu-pembantu yang sangat tangguh. Tapi aku 

merasa yakin dengan kemampuan dan ilmu sihir 

tingkat pamungkas yang telah kau kuasai dengan 

baik. Orang itu pasti dapat kau tundukkan...!" 

"Kalau memang itu yang nenek kehendaki, 

sebagai murid aku akan melaksanakannya dengan 

baik...!" kata Lukita Sari menyanggupi. "Eiit... ma-

sih ada satu lagi...!" sergah Penyihir Tunggal Pan-

tai Selatan ini. Nenek Gombrang tak lama ke-

mudian telah pula mengambil sebuah benda ter-

buat dari bahan perunggu berbentuk bintang segi 

empat. Perempuan keriputan ini selanjutnya men-

yerahkan bintang perunggu tersebut pada Lukita 

Sari. Setelah menyerahkan bintang persegi empat 

pada muridnya, sambil menatap lurus ke de-

pannya. Perempuan ini kemudian bergumam: 

"Ketika aku merambah dunia persilatan! 

Saat itu aku masih belum berhasil mencari tahu 

siapa sesungguhnya yang memiliki simbol bintang 

seperti ini. Kalau pun dia merupakan sebuah per-

guruan, tapi perguruan manakah? Itu pun aku be-

lum tahu. Sedikit sekali petunjuk yang kudapat-

kan tentang benda ini. Mungkin juga bintang tem-

baga ini merupakan sebuah lambang persatuan 

dari golongan tertentu. Komplotan garong, atau 

lambang persatuannya orang-orang golongan hi-

tam. Aku masih belum mampu menemukan jawa-

bannya...!" 

"Yakinkah nenek, benda ini ada sangkut



pautnya dengan pembunuhan yang terjadi atas di-

ri orang tua...?" tanya Lukita Sari ragu-ragu. 

"Aku merasa sangat yakin sekali! Sebab 

benda itu kutemukan berada dalam genggaman 

ibuku. Begitu erat bahkan terlalu sulit bagiku un-

tuk mengambilnya...!" Lukita Sari menganggukkan 

kepalanya berulang-ulang. 

"Sekarang aku sudah mengerti, Nek! Semo-

ga nantinya aku tidak mengecewakan harapan-

mu…!" 

"Yaah... itulah yang selalu nenek harapkan 

darimu! Tapi sebelum kau pergi ke dunia ramai. 

Nenek punya sesuatu yang nantinya dapat me-

nyelamatkan dirimu apabila engkau menghadapi 

bahaya maut yang sangat sulit untuk kau hin-

dari...!" kata Nenek Gombrang, sekejap kemudian 

dia telah beranjak dari tempat duduknya, selan-

jutnya melangkah menuju ke arah kamarnya. Se-

kejap saja Nenek Gombrang berada di dalam 

kamarnya, ketika dia muncul kembali mengham-

piri Lukita Sari. 

Nenek Gombrang kemudian memperlihat-

kan sebuah benda lainnya yang memiliki panjang 

tak lebih dari sejengkal. Ketika perempuan tua ini 

menarikkan sarung berwarna merah yang mem-

bungkusnya. Maka terlihatlah sebilah keris lekuk 

tiga berwarna hitam pekat. Anehnya begitu keris 

lekuk hitam itu tercabut keseluruhannya dari sa-

rungnya secara tiba-tiba saja tubuh Nenek Gom-

brang lenyap tanpa bekas. Hal ini sudah barang 

tentu membuat kejut di hati Lukita Sari. 

"Dapatkah kau melihatku, Lukita Sari...?"



"Aku tak dapat melihatmu, Nek...! Dimana-

kah kau...?" tanya si gadis dengan pandangan ma-

ta mencari-cari. 

"Aku masih berada di tempat! Tapi kau me-

mang tak akan pernah melihatku, karena tu-

buhku dilindungi oleh Keris Jalak di tanganku...! 

Engkau pun bisa melakukannya asalkan kau ca-

but pusaka kegelapan dari sarungnya maka tubu-

hmu selamanya tak mungkin dapat dilihat oleh 

orang lain...!" kata Nenek Gombrang secara pan-

jang lebar. Tak lama setelah itu, begitu Nenek 

Gombrang menyarungkan senjata kegelapan itu ke 

dalam warangkanya yang terbungkus kain merah. 

Maka tubuh Nenek Gombrang terlihat kembali se-

bagaimana mestinya. 

"Sebuah senjata yang hebat dan tak pernah 

kulihat sebelumnya." kata Lukita Sari berseru 

memuji. 

"Nah sekarang tibalah saatnya bagimu un-

tuk meninggalkan Tanah Bernyawa! Kuharap kau 

tidak akan kembali ke sini sebelum apa yang men-

jadi tugasmu dapat kau selesaikan dengan baik...!" 

kata si Nenek Gombrang, lalu menyerahkan sen-

jata kegelapan yang berada dalam genggamannya. 

"Baiklah nek! Sungguh pun hatiku merasa 

sangat berat untuk berpisah denganmu, namun 

demi tugas yang telah nenek berikan padaku. Ma-

ka aku pun akan melakukannya...!" ujar Lukita 

Sari tegar. 

"Berangkatlah! Semoga Sang Hyang Widi se-

lalu melindungimu...!" 

Untuk selanjutnya tanpa menoleh-noleh la

gi, Lukita Sari segera berangkat meninggalkan Ta-

nah Bernyawa yang selama ini merupakan tempat 

menimba berbagai ilmu kanuragan. 


TIga



Tiada kebimbangan tersembunyi, itulah ke-

san pertama yang dapat ditangkap bagi siapa saja 

yang kebetulan bertemu dengan pemuda berwajah 

sangat tampan ini. Dalam keremangan menjelang 

senja, saat matahari telah turun di kaki bukit dan 

memandarkan cahaya kuning kemilau keemasan. 

Saat itu pemuda berperiuk dengan rambut pan-

jang di kuncir sampai ke bahu ini telah hampir 

sampai di pinggiran Kota Hantu. Dengan langkah 

pasti pemuda ini terus melangkahkan kaki menuju 

kota yang sudah tiada berpenghuni tersebut. Tiada 

di perdulikannya dinginnya udara senja yang me-

nyibakkan anak-anak rambutnya yang menjela 

dan berkibar-kibar. 

Hanya satu yang ada di dalam hatinya, dia 

ingin menyingkap tabir yang selama ini menjadi 

misteri yang sangat mengerikan bagi setiap orang 

seperti apa yang selalu didengarnya di sepanjang 

perjalanan menuju Kota Hantu. Perjalanan yang 

dilakukannya selama tiga hari tiga malam ternyata 

tidaklah sia-sia. Setelah menempuh berbagai 

hambatan dan rintangan, senja itu dia telah ham-

pir sampai di tempat tujuan. Kota Hantu bila dili-

hat dari jarak yang tidak begitu jauh, nampak me-

nimbulkan kesan angker. Begitu sunyi, bahkan


bangunan megah yang didirikan dengan cita rasa 

tinggi pada jamannya. Hampir sepanjang hari se-

lalu diliputi kegelapan. Si pemuda berkuncir, atau 

yang lebih di kenal dengan julukan Pendekar Hina 

Kelana, dari jarak yang tidak begitu jauh berusaha 

mengawasi kota yang begitu menyeramkan ini. Ti-

ba-tiba saja dia bergumam seorang diri: 

"Tak seorang pun yang mampu memberi ja-

waban apa yang pernah dan sedang terjadi di tem-

pat itu. Kota Hantu tak ubahnya bagai sebuah ko-

ta mati tiada berpenghuni! Mungkinkah apa yang 

kukatakan itu sesuai dengan kenyataan yang 

ada...? Alangkah lebih baik kalau aku melakukan 

penyelidikan ke sana.!" batin si pemuda. Selanjut-

nya dengan mengerahkan ilmu mengentengi tubuh 

yang sudah begitu sempurna pemuda keturunan 

Raja Piton Utara dari Negeri Bunian itu segera pula 

mengerahkan 

>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>

>>>>>>>>>>>>>>>>>>> 

<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<<< 31 - 32 

daan, semakin dia melangkah lebih jauh la-

gi, maka gerakannya pun semakin berhati-hati. 

"Aku tak dapat melihat, apakah sosok ba-

yangan yang membuntutiku itu merupakan ma-

nusia atau bukan. Yang jelas bila melihat gelagat, 

siapa pun adanya bayangan yang bergerak-gerak 

itu pasti membawa maksud-maksud yang tak 

baik...!" batin si pemuda. 

"Heeuuup...!" 

Dengan gerakan yang sangat ringan sekali


Pendekar Hina Kelana menjejakkan kaki, selan-

jutnya tubuh pemuda itu melentik ke udara. Di 

lanjutkan dengan gerakan bersalto beberapa kali, 

sampailah dia diatas atap sebuah bangunan yang 

sudah begitu tua dan usang. Bahkan ketika mene-

rima berat tubuhnya, bangunan itu menimbulkan 

suara berderak-derak bagai hendak patah. 

Celakanya ketika pemuda ini telah berada 

di atas bangunan itu, bayangan dalam bentuk lain 

telah pula mengincarnya 

"Mbu...!" Terdengar satu seruan yang sangat 

mirip dengan dengus seekor lembu jantan yang 

sedang terserang radang tenggorokan. Suara leng-

guh seekor lembu ini sudah barang tentu semakin 

bertambah curiga. Pemuda dari Negeri Bunian ini 

pun mulai bersikap sangat hati-hati sekali. 

"Mbuu...! Mbuuu...Mbuuuuu...!" Suara ber-

sahut-sahutan yang membuat bingung si pemuda, 

mulai bermunculan dari segala penjuru arah. 

Jumlah mereka semakin lama juga semakin ber-

tambah banyak. Dan suara-suara senada nam-

paknya semakin bertambah gencar, terasa mer-

obek kegelapan malam. Seiring dengan gemuruh 

suara lengguh lembu jantan itu, terlihat pula ber-

munculan beberapa sosok bayangan tubuh men-

dekat ke arah si pemuda. 

" Jleegkh... Jleegkh...!" 

Keanehan pun terjadi, sungguh pun ban-

gunan tua itu telah banyak menanggung beban 

dengan hadirnya sosok yang tidak begitu jelas. 

Namun bangunan tua ini tidak berderak patah. 

Satu sisi lain yang sangat sulit untuk dipercaya


begitu saja, bagi Pendekar Hina Kelana. 

"Siapakah orang-orang ini! Tubuh mereka 

begitu ringan bagai tak memiliki bobot! Padahal 

tadi saja ketika aku menjejakkan kaki di atas ban-

gunan tua ini, kayu penyanggah di bawah ku sana 

sudah menimbulkan bunyi berderak-derak. 

"Mbuuuh...!" 

Satu sambaran lidah api yang keluar dari 

mulut orang yang memiliki kepala tak jauh be-

danya dengan bentuk kepala seekor lembu. 

"Sialan...!" maki si pemuda sambil berusaha 

menghindari semburan api yang mengarah ke ba-

gian tubuhnya dengan satu pukulan yang begitu 

dahsyat. 

"Wuuus!" 

"Bleeess...!" 

Pukulan Empat Anasir Kehidupan yang di-

lakukan oleh si pemuda secara telak menghantam 

semburan lidah api yang di semburkan melalui 

mulut manusia berkepala lembu tadi. Sosok ber-

bentuk aneh ini keluarkan suara jeritan tertahan-

tahan saat mana gelombang pukulan berhawa pa-

nas luar biasa menghantam tubuhnya. Orang ini 

pun terjengkang. Tubuhnya jatuh dari atas ban-

gunan tua tadi, anehnya tiada suara apa pun yang 

terdengar. Sementara itu begitu melihat kawannya 

jatuh dari atas bangunan tua tadi maka yang lain-

nya datang menyerbu. Kembali semburan api yang 

begitu gencar datang dari mulut berpuluh-puluh 

sosok berbentuk aneh yang kini telah mengepung 

dan menyerang Buang Sengketa dari jarak yang 

begitu dekat.


"Gila,...! Entah iblis dari mana yang mampu 

melakukan pekerjaan seperti ini! Benar-benar 

edan dan sulit untuk kupercaya...!" rutuk si pe-

muda. 

"Caaaiit...! Wuuus...!" 

"Hueer...!" 

Satu pukulan si Hina Kelana Merana den-

gan lidah api yang di semburkan dari segala pen-

juru oleh lawannya, datang menyambut. 

"Braaar...!" 

Tubuh Buang Sengketa nampak melayang 

jatuh dari atas bangunan tua itu, hanya dengan 

cara bersalto saja pemuda itu dapat menginjak-

kan kedua kakinya dengan baik di atas tanah. 

Sementara lawan-lawannya yang memiliki hati se-

tengah iblis masih tetap berada di atas bangunan 

itu tanpa kekurangan sesuatu apapun. 

"Mbuuuuh...!" Kembali terdengar suara hi-

ruk pikuk mirip lengguh lembu jantan. Tapi nam-

paknya mereka tiada punya keinginan untuk men-

gejar lawan yang telah terjatuh di bawahnya. 

Sungguh pun lawan yang berada di atas ti-

dak memburu pendekar Hina Kelana, namun bu-

kan berarti pemuda itu telah terlepas dari anca-

man maut. Sama sekali tidak. Di bawah sana be-

berapa sosok bayangan lain yang sejak pertama 

tadi mengikuti dirinya dalam waktu tidak begitu 

lama telah pula menyergap Buang Sengketa. 

"Hoaaar... Roaaar... Grauuung...!" Sosok pe-

nyerbu yang berada di lorong-lorong gelap itu ke-

luarkan bunyi bagai binatang buas. 

"Sialan betul! Makhluk apa pula ini...!" maki


si pemuda, kemudian berlari-lari cepat menuju lo-

rong lainnya. 

"Hoaar...!" 

Di depannya sosok yang sama telah pula 

menghadang langkahnya. Pendekar Hina Kelana 

membalikkan tubuh dan bermaksud menuju ke 

tempat semula. Namun orang-orang aneh yang 

mengejar dibelakangnya saat itu juga telah berada 

begitu dekat dengan pemuda ini dengan sikap 

mengancam. Baginya tiada pilihan lain lagi. Secara 

bersamaan kedua tangannya yang telah teraliri te-

naga dalam dia pukulkan kedua arah sekaligus. 

"Weeer! Weeer...!" 

"Buum! Bruaaak...!" 

Para pengejar dan penghadang di depannya 

nampak berpelantingan ke segala penjuru. Pu-

kulan si Hina Kelana Merana, sesungguhnya bera-

kibat fatal bagi mereka, tetapi anehnya me-reka-

mereka ini seperti tidak merasakan akibat yang 

mereka alami. Bahkan tubuh aneh yang hangus 

akibat pukulan itu nampak bangkit kembali, se-

lanjutnya langsung menyerang pemuda itu dengan 

cara lebih beringas lagi. 

"Setan alas...! Aku yakin mereka pastilah 

bukan bangsanya manusia biasa. Tapi mungkin-

kah ada satu kekuatan yang tiada terlihat telah 

mengendalikan sosok tanpa ekspresi ini?" Batin 

pemuda itu, secara diam-diam diantara kesibuk-

annya dalam menghadapi serangan yang begitu 

gencar. Pendekar Hina Kelana mengerahkan se-

genap kekuatan batinnya. 

"Hemm! Benar seperti dugaanku...! Orang


orang ini pasti ada yang telah mengendalikan-

nya...!" gumam Buang Sengketa dalam hati. 

"Kalau begitu, mereka ini merupakan sosok 

yang tiada pernah mengalami mati. Atau bahkan 

mereka ini sudah mati, namun ada seseorang den-

gan cara-cara tertentu dengan sengaja membang-

kitkannya. Aku telah menyerang mereka dengan 

cara apa pun, tenaga terkuras secara percuma. Sa-

tu yang harus kulakukan adalah mencari sumber 

kekuatan yang telah membangkitkan mereka se-

cara tak wajar...!" Berpikir sampai di situ, secara 

mendadak Buang Sengketa keluarkan teriakan 

nyaring satu lengkingan Ilmu Pemenggal Roh telah 

di lepaskannya. Bangunan tua yang terletak di se-

kitar tempat itu runtuh. Tanah tempat mereka 

berpijakpun tergetar hebat. Tubuh tanpa nyawa 

yang telah dikendalikan sebuah kekuatan yang 

tiada terlihat itupun tergetar dan terhuyung-

huyung. Namun tak seorangpun diantara mereka 

merasa terpengaruh oleh akibat yang ditimbulkan 

Ilmu Lengkingan Pemenggal Roh yang begitu dah-

syat. 

"Aku harus cari selamat...! Hiaaaa...!" 

Dengan mengerahkan ajian Sepi Angin pen-

dekar inipun tak begitu lama setelahnya telah me-

lesat pergi. Tetap saja orang-orang tanpa ekspresi 

itu mengejarnya. Namun nampaknya mereka ka-

lah cepat dalam hal mengadu ilmu berlari. Hingga 

sedetik kemudian merekapun telah kehilangan je-

jak. Sementara itu, pendekar Hina Kelana terus 

saja berlari dan berlari, dia sudah tiada perduli lagi 

dengan keadaan sekitarnya. Sampai akhirnya pe

muda inipun telah begitu jauh meninggalkan Kota 

Hantu. 


EMPAT



Suasana di dalam gudang ruangan bawah 

tanah tampak remang-remang menyeramkan, lan-

tai dasar ruangan itu senantiasa becek licin dan 

menebarkan bau amis darah. Sementara itu be-

berapa orang laki-laki berkulit hitam legam dan 

bertelanjang dada, nampak berjalan mondar-

mandir mengelilingi ruangan demi ruangan yang 

jumlahnya tak lebih dari delapan buah. Sesekali 

terdengar pula erangan-erangan lemah yang keluar 

dari mulut orang-orang yang terantai kaki dan tan-

gannya di pojok-pojok ruangan. Dan pabila di lihat 

secara lebih dekat lagi, maka dengan jelas be-

berapa sosok tubuh terkapar dan terbelenggu ran-

tai baja itu hampir keseluruhannya dalam keadaan 

terluka parah bekas cambukan maupun benturan 

benda tumpul lainnya. Keadaan mereka memang 

benar-benar sangat mengenaskan sekali, tubuh 

yang terluka yang sebagian besar telah mulai 

membusuk itu begitu kurus. Hanya tinggal kulit 

pembalut tulang. Tetapi yang lebih menyedihkan 

lagi, justru mereka yang berada di dalam kerang-

keng ini kurang di beri makan. Sehingga menim-

bulkan kesan, hidup segan mati tak mau. 

" Jletaaar... Jtaar...!" 

"Ampun...ampun... jangan tuan siksa diriku 

seperti itu. Lebih baik tuan-tuan membunuhku saja...!" rintih sebuah suara berasal dari ruangan 

lain. 

"Apa! Mati bagimu terlalu enak, Godot...! Se-

lama belasan tahun kau telah kuberi pekerjaan 

yang begitu enak! Siapa suruh kau menyalah gu-

nakan kepercayaan yang kuberikan padamu...?" 

Sayup-sayup terdengar suara bentakan seseorang. 

"Maafkanlah aku tuan! Sungguh aku tak 

pernah menyalahgunakan kepercayaan yang tuan 

berikan...!" rintih orang yang mendapat lecutan 

cambuk tadi. 

"Heh...! Kau tak pernah menyalahgunakan 

kepercayaan yang telah kuberikan padamu, jadi 

kau kemanakan hasil sawah dan ladangku selama 

ini...?" bentak orang itu dengan suara begitu din-

gin. 

"Sebagian hasil sawah dan ladang tuan te-

lah saya bagi-bagikan pada orang yang tidak me-

miliki kemampuan lahir batin...!" jawab laki-laki 

berbadan tegap itu dengan tubuh menggigil. Si 

Kakek renta yang masih memegang cambuk dan 

tetap berdiri di hadapan laki-laki gemuk itu me-

mandang sinis pada lawan bicaranya. Kerut merut 

di wajahnya semakin bertambah banyak menan-

dakan bahwa laki-laki berpakaian hitam ini sedang 

dilanda kemarahan besar. 

Tiada terduga-duga kakek ini kembali men-

cambuki si laki-laki gemuk tanpa mengenal pe-

rasaan sedikitpun. 

"Jraat...! Jtaaar... taaarr...!" 

"Agffgkh... ampun! Emaaak.... huuu... hu... 

hu.... Tolong, bapaaaak...!" jerit laki-laki itu sambil



terus meronta-ronta. 

"Menangislah engkau sepuasmu! Sungguh 

memalukan pahlawan kesiangan sepertimu masih 

mengenal tangis seperti anak kecil..." 

"Ampuni saya tuan! Semua kesalahan itu, 

hanya berdasarkan atas rasa kasihan terhadap 

orang lain yang benar-benar membutuhkan per-

tolongan...!" 

"Bagus! Sekarang melolonglah engkau se-

perti seekor anjing. Aku jadi ingin lihat apakah 

orang yang pernah kau tolong, sekarang juga akan 

datang membalas pertolongan yang pernah kau 

berikan...?" 

Dengan nafas terengah-engah. 

"Mereka hanya orang desa biasa, tak mung-

kin mereka dapat melakukannya, tuan?" 

"Dan kau menganggap dirimu sebagai seo-

rang dewa penolong,...?" hardik kakek berpakaian 

serba hitam itu merasa sangat tersinggung. 

"Sama sekali tidak! Saya hanya merasa ka-

sihan pada mereka...!" rintih laki-laki gemuk ber-

nama Godot ini tersendat-sendat. 

"Dasar celaka...! Hiaaat...!" maki kakek tua 

ini, kemudian kembali melecutkan cambuknya ke-

bagian tubuh Godot yang sudah memar membiru. 

Karena saat mengayunkan cambuk itu disertai te-

naga dalam yang tinggi, maka sudah barang tentu 

tubuh laki-laki gemuk ini terbanting kian kemari. 

Jeritan-jeritan histerispun terus terdengar, tapi 

semakin lama semakin bertambah melemah hing-

ga akhirnya hanya tinggal rintihan belaka. 

"Bleeegkh...!"



Godot jatuh pingsan dan menggeletak di 

lantai ruangan bawah tanah yang becek lagi licin. 

Kakek berpakaian serba hitam ini tergelak-gelak, 

bahkan perutnya yang buncit itupun bergoyang-

goyang. Setelah tawanya reda, kemudian dia ber-

paling pada dua orang laki-laki bertampang sangar 

yang berdiri tegak tak begitu jauh di belakangnya. 

"Iblis Dua muka!" 

"Saya, Tuan Durga Wungu...!" Laki-laki ber-

telanjang dada yang dipanggil Iblis Dua Muka me-

nyahuti. 

"Dan kau Setan Gila...!" tukasnya sambil 

melirik pada laki-laki kurus yang berada di se-

belah Iblis Dua Muka. 

Sesaat yang ditanya tundukkan wajahnya 

memberi hormat. Dengan sikap acuh laki-laki ber-

pakaian serba hitam itupun melangkahkan kak-

inya menuju ruangan penjara kearah jalan keluar. 

"Ada apakah, Tuan Durga Wungu...?" tanya 

Setan Gila, lalu mengikuti langkah Durga Wungu 

dari belakangnya. 

"Kota Hantu! Huaaa... ha... ha... ha...!" Ka-

kek tua berperut buncit itu keluarkan tawa ter-

gelak-gelak. Ruangan bangunan di bawah tanah 

tergetar hebat begitu suara kakek ini bergema 

memantul diantara dinding penjara. "Sudahkah 

kota itu kau isi dengan hantu-hantu bergenta-

yangan...?" 

"Sepuluh tahun Kota Hantu berada dalam 

kekuasaan kita, tiada berpenghuni manusia yang 

bernyawa terkecuali mereka yang sudah mati, dan 

kami bangkitkan kembali menurut kehendak para


iblis...!" jawab Iblis Dua Muka. Sebagaimana bi-

asanya, laki-laki berbadan hitam legam inipun 

sunggingkan seulas senyum sinis. Sementara se-

pasang matanya yang senantiasa merah menyala 

inipun nampak berkilat-kilat. 

"Apa yang dilakukan oleh saudara Iblis Dua 

Muka, semuanya tak bisa lepas dari bantuan yang 

saya berikan, Tuan Durga Wungu! Sayalah yang 

telah melakukan penculikan terhadap siapa saja 

yang berani berkeliaran atau mencari tahu tentang 

rahasia yang tersimpan di Kota Hantu. Saya yang 

membunuh mereka, lalu saudara Iblis Dua Muka 

yang menghidupkan mereka dalam bentuk lain 

sehingga dengan mudah dapat dikendalikan...!" 

ujar Setan Gila tak mau kalah. 

"Benar, tuan...! Semua usaha yang saya la-

kukan tak mungkin bisa berhasil dengan baik. Ji-

ka tidak di bantu oleh saudara Setan Gila...!" Kata 

Iblis Dua Muka mendukung ucapan sahabatnya si 

Setan Gila. 

"Sebuah kerja sama yang cukup baik! Dan 

upah yang kuberikan padamu juga pastilah be-

rupa imbalan yang sangat memuaskan. Tapi un-

tuk sekarang ini aku hanya memberikan sebagian 

diantaranya. Satu tugas lain yang belum kalian se-

lesaikan adalah mencari Keris Jalak Senjata Kege-

lapan yang telah hilang dari dalam kamarku. Aku 

yakin, senjata itu masih di sembunyikan oleh se-

seorang di Kota Hantu." ujar Durga Wungu sambil 

terus melangkah menuju lorong ruangan lainnya. 

"Kami bersama-sama dengan manusia tan-

pa nyawa telah memeriksa setiap sudut ruangan


yang terdapat di kota ini, Tuanku... tapi kami be-

lum mendapatkan apa yang seperti tuan katakan 

itu....!" Selak Iblis Dua Muka berusaha memberi 

penjelasan tentang usaha mereka mencari senjata 

kegelapan yang telah dilarikan oleh seseorang be-

berapa tahun yang lalu. Durga Wungu mendengus, 

lalu cepat-cepat palingkan muka. 

"Cuuuh...!" 

Sekali saja laki-laki itu meludah pada dind-

ing tembok sebagai pelampiasan kekesalannya. 

Maka dinding yang diludahinya menjadi bolong. 

Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu yang 

dimiliki oleh kakek berpakaian serba hitam ini. 

"Aku tak ingin mendengar segala alasan 

yang tak bisa kuterima. Bagiku tugas adalah tu-

gas. Laporan keberhasilan yang kalian peroleh, 

hanya itulah yang ingin kudengarkan....!" bentak 

Durga Wungu dengan wajah berubah sinis. 

"Beb...baiklah....! Tuan tak perlu merasa ri-

sau tentang segala urusan yang kami kerjakan....! 

Saya Iblis Dua Muka dan kawan saya, Setan Gila 

pasti segera mendapat petunjuk untuk mem-

peroleh senjata kegelapan yang telah hilang itu....!" 

janji Iblis Dua Muka pada Durga Wungu. 

"Hemm. Baiklah... melihat cara-cara kerja 

kalian selama ini, aku percaya dengan apa yang 

kalian katakan....! Asal tahu saja. Aku tak mau ka-

lian mengalami kegagalan dalam hari-hari selan-

jutnya....!" kata Durga Wungu setengah mengan-

cam. 

"Percayalah, Tuan....! Sebagaimana hari-

hari kemarin, untuk selanjutnya kami pasti tak



akan mengalami kegagalan....!" Dalam kesem-

patan itu, secara tiba-tiba Iblis Dua Muka ber-

paling ke arah belakang lorong. 

"Para Suruhan! Lemparkan dua orang tang-

kapan itu untuk di periksa....!" Perintahnya begitu 

berwibawa. Dari kegelapan malam terdengar suara 

bergemuruh di sertai rintihan-rintihan kecil. Se-

lanjutnya terlihat dua sosok tubuh terlempar bagai 

dua buah karung yang tiada guna. 

"Gubraak....!" 

"Auuuh... ala emaaak....!" jerit kedua orang 

itu secara hampir bersamaan. 

"Siapa mereka....?"'tanya Durga Wungu 

setelah meneliti wajah para tawanan satu persatu. 

"Tikus-tikus comberan ini coba-coba mema-

suki Kota Hantu, Tuan....!" lapor Setan Gila, dan 

tanpa di sangka-sangka orang inipun me-nendang 

kedua-duanya. 

"Duuuk... Buuk....!" 

"Aduh... hiii... salit... eeh sakiit....!" 

"Tendangan orang jelek itu memang sakit! 

Tapi rasa sakitmu di bagian mana?" tanya ka-

wannya yang juga sama-sama kena tendang begitu 

melihat kawannya berjingkrak-jingkrak. 

"Anuku... orang itu sungguh kejam! Anu-

ku... huhu... hu... hu....!" rintih si laki-laki ber-

tampang lucu sambil memegang bagian selang-

kangannya. 

"Anumu... anumu sakit ya....! Apa sekarang 

masih ada di tempatnya? Coba periksa....!" Selak 

yang satunya lagi. Sungguhpun dia sendiri mera-

sakan sakit di bagian punggungnya akibat tendangan, tapi masih juga dia bersikap konyol. 

"Apa...anuku harus kuperiksa! Ah, jangan... 

aku malu sama orang-orang...!" Tukasnya lugu. 

"Ya sudah....!" Kata kawannya dengan tu-

buh menggigil ketakutan. 

"Diaamm....!" bentak Durga Wungu. Nam-

paknya laki-laki berusia tujuh puluhan ini merasa 

tak sabar menghadapi dua laki-laki setengah baya 

bertampang tolol itu. Sejenak lamanya, suasana di 

sekeliling ruangan itu menjadi hening, tapi kehen-

ingan itu tidak berlangsung lama. Karena Setan 

Gila sudah pula menyelak. 

"Tikus-tikus penyelundup! Katakan siapa 

nama kalian! Dari mana asal usul, dan apa mak-

sud tujuan kalian memasuki Kota Hantu....?" 

Dua orang laki-laki bertampang tolol itupun 

saling berpandangan sesamanya. Tapi demi meng-

hindari siksaan, salah seorang diantaranya cepat-

cepat berkata: 

"Namaku Panjul, Tuan....! Sedangkan ka-

wanku ini Panut! Alkisah dulunya kami meru-

pakan murid-murid dari Perguruan Besar Jagad 

Kelanggengan! Tapi akhirnya guru kami tewas di 

tangan seorang pendekar gembel yang berjuluk 

Pendekar Hina Kelana... lalu kami pulang kam-

pung dan menjadi petani biasa....!" 

"Cukup! Keterangan kalian tidak ber-

mutu....!" potong Iblis Dua Muka marah sekali. 

"Beri kesempatan pada mereka untuk bi-

cara....!" ujar Durga Wungu berwibawa. Sebentar 

dia menoleh pada Panjul dan Panut (Untuk lebih 

jelasnya siapa kedua orang ini terdapat dalam Epi


sode Satria Penggali Kubur). Setelah memperhati-

kan kedua laki-laki bertampang tolol ini, kemudian 

dia pun berkata: "Sekarang coba katakan mengapa 

kalian memasuki Kota Hantu?" 

"Kami tak sengaja! Kami tersesat ketika 

mencari tiga ekor kambing kami yang tiada kem-

bali....!" 

"Bohong....!" bentak Setan Gila. Sekali lagi 

ditendangnya Panjul dan Panut. Begitu keras ten-

dangan itu sehingga selain dua-duanya terlempar 

menabrak dinding juga dari mulut mereka men-

galirkan darah kental. 

"Hoeeek....! Hoeeek....!" Dengan napas ter-

sengal-sengal dan dada terasa menyesak, Panjul 

dan Panut coba-coba merangkak. Tapi tangan dan 

kakinya goyah tiada bertenaga, tak dapat dicegah, 

tubuh mereka pun ambruk kembali dengan posisi 

menelungkup. 

"Amm...ampun tuan....! Kami benar-benar 

tak memiliki maksud-maksud tertentu ketika me-

masuki Kota Hantu....!" 

"Omong kosong! Kalian kami curigai....! Se-

umur hidup selama kalian masih belum mau men-

gaku, maka kebebasan bagi kalian hanyalah beru-

pa isapan jempol belaka....!" kata Durga Wungu. 

"Rantai mereka dan siksa sampai mau men-

gaku....!" perintahnya pada dua orang tangan ka-

nannya. 

Dengan cepat kedua orang itu segera mela-

kukan pekerjaannya, hanya dalam waktu sebentar 

saja Panjul dan Panut telah terantai tangan dan 

kakinya. Tanpa banyak tanya lagi orang-orang itu

pun langsung mencambuki tubuh dua laki-laki 

bertampang tolol ini tanpa merasa kasihan sedi-

kitpun. Sementara itu Durga Wungu sudah tak ke-

lihatan lagi berada di sana. 


LIMA



Sudah begitu jauh aku meninggalkan Tanah 

Bernyawa. Tempat-tempat yang tidak ku kenalpun 

telah banyak yang kulalui. Tetapi bintang tembaga 

atau tanda-tanda yang hampir sama tak juga ku-

dapat. Mungkin apa yang dikatakan Nenek Gom-

brang tentang apa yang terjadi dan menimpa orang 

tuanya puluhan tahun yang lalu itu tidak pernah 

ada. Dalam arti bintang persegi empat yang ter-

buat dari tembaga ini tidak memiliki sangkut paut 

apa-apa dengan kematian orang tuanya. Terbukti 

selama puluhan tahun hingga kini tanda-tanda di-

temukannya pelaku pembunuhan itu masih belum 

juga dia dapat. Bagiku tugas yang diberikan oleh 

Nenek Gombrang merupakan tugas berat yang ha-

rus kupikul....! Kata gadis bertopi caping ini seo-

rang diri. 

Gadis berkulit kuning langsat dan meru-

pakan murid tunggal Nenek Gombrang di Tanah 

Bernyawa nampak terdiam sesaat lamanya. Se-

pasang matanya yang begitu teduh berkesan curi-

ga pada siapa saja memandang lurus-lurus ke de-

pannya. Tak ada hal-hal yang mencurigakan terli-

hat, terkecuali pohon-pohon pinus yang menjulang 

tinggi, serta hamparan bukit dan lembah yang


membiru. 

"Iihh...!" 

Tiba-tiba gadis itu berjingkrak kaget. Apa-

bila matanya kembali memandang ke arah semula, 

maka terlihat olehnya satu kilatan cahaya putih 

yang dipantulkan sinar matahari. Kilatan putih itu 

tak ubahnya bagai sebuah cermin yang berukuran 

besar dan berasal dari lereng bukit sebelah Utara 

tidak begitu jauh dari posisinya saat itu. 

"Ahh...! Kilau benda berwarna putih di bukit 

itu semakin bertambah banyak. Ingin ku tahu se-

sungguhnya benda apakah yang bisa memantul-

kan cahaya seperti itu?" gumam Lukita Sari. Se-

lanjutnya gadis bertopi caping itu pun menga-

yunkan langkahnya menuju lereng bukit yang 

jaraknya tidak begitu jauh dengan posisinya saat 

itu. 

Hanya beberapa saat setelah itu, Lukita Sari 

terpaksa menghentikan langkahnya. Di depannya 

sebuah jurang menganga dalam, gadis ini mengi-

tarkan pandangan matanya ke segenap penjuru. 

Tak sesuatu benda apapun yang dapat diperguna-

kan dalam menuruni jurang itu. Tapi sebagai gadis 

yang memiliki pikiran cerdik, sedikit pun dia tiada 

merasa putus asa. Ketika dilihatnya di sekitar 

tempat itu banyak terdapat sulur-sulur tumbuhan 

merambat. Maka harapan lain pun bermunculan 

di benaknya. 

"Sulur tumbuhan merambat ini pasti dapat 

kupergunakan sebagai tali untuk mencapai lereng 

bukit di sebelah sana." membatin gadis itu. Selan-

jutnya dengan cekatan diraihnya sulur tadi. Dengan cara bergelantungan sekejap kemudian Lukita 

Sari mengerahkan sebagian tenaga dalamnya un-

tuk melompati jurang yang ada. 

"Haaaat...!" 

Tubuh gadis bertopi caping ini nampak me-

layang melewati jurang yang tidak terlihat bagian 

dasarnya. 

"Jleeegkh...!" 

Dengan gerakan ringan tiada menimbulkan 

suara sampailah dia pada tebing jurang yang be-

rada di seberangnya. 

"Melihat keadaan jurang ini, rasa-rasanya 

ada sesuatu yang tersimpan di depan sana. Untuk 

tidak menimbulkan kecurigaan sebaiknya aku 

akan merobah ujudku menjadi seekor musang...!" 

kata Lukita Sari. Tak begitu lama kemudian sete-

lah merapal mantra-mantra ilmu sihir yang di-

milikinya. Maka berubahlah ujud Lukita Sari men-

jadi seekor musang berbulu abu-abu. Musang pen-

jelmaan gadis bertopi caping ini kemudian melom-

pat dari dahan ke dahan, mendekati lereng bukit. 

Di luar sepengetahuan si gadis kiranya ada 

sepasang mata yang sejak dari tadi terus menerus 

mengawasinya. Pemilik sepasang mata itu tak lain 

merupakan seorang pemuda berkuncir si Hina Ke-

lana. 

"Gadis bertopi caping itu sekarang telah me-

rubah dirinya menjadi seekor musang. Aku jadi in-

gin tahu apa saja yang dilakukannya di tempat se-

perti ini...?" 

"Heeep...!" 

Dengan kecepatan yang luar biasa, pemuda


keturunan manusia negeri alam gaib itu melompat 

pada sebatang pohon, selanjutnya dari dahan ke 

dahan dia berloncatan bagai seekor tupai. Walau-

pun gerakannya sedemikian cepat, namun dia te-

tap menjaga jarak agar kehadirannya tidak diketa-

hui oleh gadis bertopi caping yang kini telah me-

rubah ujudnya menjadi seekor musang. Ketika 

musang penjelmaan Lukita Sari telah menuruni 

sebatang pohon berdaun lebat. Pendekar Hina Ke-

lana hentikan gerakannya sejenak. Lalu diperhati-

kannya musang penjelmaan Lukita Sari yang se-

dang berusaha mendekati barak-barak kecil yang 

sunyi seolah tiada berpenghuni. Barak demi barak 

ditelitinya. Namun dia tak melihat siapa pun 

berada di sana. 

"Heran! Melihat keadaannya, barak-barak 

yang kosong ini pastilah dihuni oleh manusia bi-

asa! Tapi kemanakah perginya mereka, dan pula 

aku tak melihat benda putih berkilau yang ben-

tuknya sangat mirip dengan bintang tembaga yang 

ada bersamaku ini. Mungkinkah agak di sebelah 

sana...?" batin Lukita Sari. Selanjutnya musang 

penjelmaan gadis bertopi caping itu berjalan me-

nuju barak yang terletak di sebelah kanannya. 

Namun tidak juga dijumpainya siapa pun di barak 

itu, maka musang penjelmaan Lukita Sari mulai 

memeriksa suasana di lereng bukit itu. 

"Ahh. Benda di depan itu seperti yang me-

mancarkan kilauan cahaya ketika pertama tadi. 

Baiknya kuperiksa lebih teliti lagi...!" desis Lukita 

Sari, selanjutnya musang jejadian itupun bergerak 

cepat mendekati sebuah benda persegi yang melekat di atas tanah lebih kurang satu tombak di 

depannya. 

"Hem. Jadi benda inilah yang tadi meman-

carkan sinar berkilauan ketika aku sampai di 

pinggiran jurang itu? Aku yakin benda ini pasti 

ada pemiliknya...!" Gadis bertopi caping merogoh 

sesuatu dari saku bajunya. Selanjutnya menge-

luarkan benda berbentuk bintang persegi empat 

pemberian Nenek Gombrang beberapa waktu yang 

lalu. 

"Bintang ini sangat mirip sekali dengan bin-

tang besar yang melekat di atas permukaan tanah 

ini. Tapi mengapa tak pernah kulihat seorang ma-

nusia pun berada di tempat ini...!" batinnya pula. 

"Ada baiknya kalau kuselidiki apa yang tersem-

bunyi di balik semua yang terlihat...!" 

Musang penjelmaan gadis bertopi caping 

menggerakkan kaki depannya menyentuh ujung 

bintang yang terdapat di sisi kirinya. Di luar du-

gaannya begitu ujung bintang itu tersentuh. Ter-

dengarlah suara bergemuruh bagai suara gempa 

bumi. Bintang bersisi empat itu amblas, secara ce-

pat seperti ada kekuatan yang tidak terlihat mem-

betotnya ke dalam. Bintang bersisi empat lenyap 

dari penglihatan Lukita Sari secara tiba-tiba. Se-

bagaimana bintang tadi, maka tanah di balik bin-

tang itu berlubang membentuk sebuah gua ber-

bentuk bintang. Gua berbentuk bintang itu terus 

memperdengarkan suara-suara bergemuruh. Mu-

sang penjelmaan gadis bertopi caping sudah ber-

niat menjauhi gua bintang yang muncul secara ti-

ba-tiba tadi. Namun sebuah kekuatan yang tidak



terlihat telah menyentakkan musang berbulu abu-

abu itu, hingga menyebabkan tubuhnya terpelant-

ing memasuki gua tersebut. 

"Kampret! Gua ini begitu gelap, aku tak ta-

hu apa yang sedang terjadi di sini?" gumam Lukita 

Sari. Sementara tubuh musang jejadian terus ter-

seret mengikuti kekuatan gaib yang menariknya. 

Sementara di luar sepengetahuan si gadis, 

Pendekar Hina Kelana yang merasa tertarik untuk 

mengikuti perkembangan selanjutnya, diam-diam 

ikut menyelinap memasuki gua bintang yang telah 

menyeret tubuh musang tadi. Keanehan pun kem-

bali terjadi. Dari bagian luar sebuah bintang lain 

menutup gua yang telah dimasuki oleh Pendekar 

Hina Kelana dan Lukita Sari. 

"Breeeeng...!" 

"Celaka! Gua ini menutup kembali. Aku ya-

kin semua ini hanyalah berupa jebakan belaka. 

Sialnya gua ini semakin bertambah gelap saja, tak 

bisa kulihat di mana posisi gadis jejadian itu bera-

da...!" gerutu si pemuda merutuki diri sendiri. Da-

lam pada itu jauh di depannya terdengar suara 

bentakan sayup-sayup. 

"Selamat datang tamu tak diundang di Is-

tana Bintang. He... he... he...! Seekor musang cer-

dik lagi cantik,..!" Secara tiada terduga-duga, be-

gitu suara sayup-sayup di depan sana lenyap, 

mendadak ruangan di dalam gua itu berubah men-

jadi terang benderang. 

"Cepat-cepatlah rubah ujud mu menjadi se-

bagaimana semula...!" 

"Ngoeeeek...!"



Di dalam sana musang penjelmaan Lukita 

Sari melompat undur tiga tombak. Kemudian sete-

lah merapal ajian yang dimilikinya: 

"Plaaas...!" 

Tubuh musang penjelmaan gadis bertopi 

caping telah kembali ke dalam ujudnya semula. 

"Hak... hak... hak...! Apa kubilang, kau me-

mang merupakan seekor musang yang cantik. 

Heh... sudah lebih dua puluh tahun musang can-

tik sepertimu atau yang sejenis dengan dirimu tak 

pernah ada yang berani muncul di daerahku ini. 

Bahkan seekor kunyuk jelek pun tak ada yang be-

rani menyaba daerah kekuasaanku. Tapi kini see-

kor musang cantik bersedia datang dengan seekor 

monyet gembel... sungguh aku merasa ka-gum 

dengan keberanian yang dimilikinya...!" 

"Sialan! Orang itu mengetahui kehadiran-

ku...!" maki Buang Sengketa dari tempat per-

sembunyiannya. 

Lukita Sari yang tidak mengetahui kehadir-

an orang yang disebut-sebut oleh suara yang be-

lum menampakkan diri itu, sudah tentu merasa 

heran dan terkejut sekali. Seingatnya hanya dia 

seoranglah yang terperangkap memasuki gua itu. 

Kini orang yang berkata-kata itu menyebut-nyebut 

kehadiran orang lain selain dirinya sendiri, dari si-

ni saja Lukita Sari sudah dapat menarik kesimpu-

lan bahwa orang yang sedang berkata-kata itu ten-

tulah seorang tokoh yang memiliki kesaktian ting-

gi. 

"Kau menjebakku seperti seekor tikus com-

beran yang begitu pengecut! Kini kau bicara dalam



kegelapan bagai orang sinting yang lagi kumat gi-

lanya! Manusia macam apakah...!" ejek Lukita Sari 

dalam kegusarannya. 

"Hak... he... ha... ha...! Mulutmu kelewat ta-

kabur bocah ayu, kau mau pun kunyuk gembel 

yang ngumpet di lorong sana masih hijau untuk 

mengetahui siapa sesungguhnya diriku ini...!" ger-

utu sang suara. 

Sekali lagi gadis bertopi caping itu melirik 

ke arah belakang, namun tak seorang pun yang 

dia lihat. Merasa tidak sabar, maka gadis itu pun 

kembali berpaling ke arah datangnya suara tadi. 

"Kau hanya seorang pembohong besar! Tak 

seorang pun yang datang bersamaku, terkecuali 

diriku sendiri...!" 

"Kaulah yang pembohong! Kuharap gembel 

berperiuk yang masih ngumpet di depan gua bin-

tang sana segera tunjukkan diri...!" 

"Kurang ajar! Sungguh pun bangsat itu ti-

dak melihatku, tapi justru dia melihat bagaimana 

keadaanku...! Aku pun bukan seorang pe-

ngecut.... Haaiiit...!" 

Dengan sekali berkelebat saja, maka tubuh 

Buang Sengketa telah berada di belakang Lukita 

Sari. 

"Ka... kau... siapakah anda...!" tanya Lukita 

Sari merasa terkejut bukan alang kepalang. 

"Jangan bermain sandiwara di hadapanku, 

musang cantik dan kunyuk gembel! Siapapun 

yang telah begitu berani memasuki Gua Bintang, 

hanya ada satu kemungkinan baginya. Yaitu ma-

ti... tapi sebelum kematian itu sendiri aku pun ha



rus mengetahui apa yang menjadi tujuan kalian 

memasuki daerah yang menjadi kekuasaanku se-

cara turun temurun...?" 

"Kau mau apa kemari...!" tanya Lukita Sari 

pada Buang Sengketa, tanpa menghiraukan per-

tanyaan Penguasa Gua Bintang. 

"Aku... he... he... he...!" Buang Sengketa ce-

ngar cengir. "Hanya secara kebetulan saja aku 

memasuki daerah ini tanpa tujuan apa-apa...!" 

"Bohong...!" bentak Lukita Sari. "Kalaupun 

nona menginginkan jawaban yang benar! Maka tu-

juanku sampai terjebak di dalam gua terkutuk ini 

hanyalah ingin melihat bagaimana caranya seekor 

musang cantik melepaskan diri dari perangkap 

seekor bandot tua...!" 

"Keparaat...!" maki suara tanpa ujud. Serak. 

Tiba-tiba dari kegelapan menderu satu pukulan 

ganas berhawa dingin luar biasa. 

"Hi... hi... hi...! Inilah caranya menyambut 

kedatangan tamu seekor musang dan seekor ku-

nyuk gembel. Elakkanlah kisanak, kalau kau tidak 

mampu. Silakan merat ke neraka dulu-an...!" kata 

Lukita Sari. Dengan cepat gadis ini menghindar. 

"Plaaaas...!" 

Secara tiba-tiba pula tubuh Lukita Sari le-

nyap begitu saja. Tinggallah Buang Sengketa sen-

dirian yang menghadapi serangan mendadak itu. 

Karena ruangan di dalam gua itu begitu luas, ma-

ka dengan cara berjumpalitan si pemuda mem-

buang tubuhnya ke samping. Namun pukulan 

yang dilepas oleh lawannya terus memburunya 

kemana pun dia menghindar.


"Kurang ajar...!" maki Buang Sengketa. 

"Melompat-lompatlah seperti seekor monyet, 

Kisanak...! Hi... hi... hi...!" kata Lukita Sari yang 

merasa luput dari serangan yang dilakukan oleh 

lawannya. 

"Aku tak perduli apakah ruangan ini cukup 

kuat untuk menahan terjangan pukulanku... 

haaaiiit...!" 

Buang Sengketa bersalto tiga kali. Ke-

mudian dikerahkannya sebagian tenaga dalam 

yang dia miliki. Begitu tangannya dia hantamkan 

ke arah pukulan lawan yang terus memburu. Tak 

ayal selarik sinar Ultra Violet yang menimbulkan 

hawa panas luar biasa, bertemu di udara: 

"Buuummmm...!" 

"Gila-...!" 

Terdengar satu seruan tertahan saat mana 

ruangan di dalam gua itu runtuh sebagian. Ke-

mudian berkelebat pula sesosok tubuh dari kege-

lapan mendekati si pemuda yang saat itu nampak 

tertatih-tatih dan berusaha bangkit berdiri. 

"Anda memang hebat kunyuk gembel...!" 

puji Lukita Sari. Tahu-tahu telah berada tidak be-

gitu jauh dari Buang Sengketa. 

"Segala pukulan picisan kau pamerkan di 

hadapanku, bocah gembel...!" maki penghuni Gua 

Bintang, yang sesungguhnya seorang laki-laki ber-

badan bongkok berwajah pucat dan hanya memili-

ki sebelah mata. 

"Sekarang coba kalian katakan apa yang ka-

lian cari di tempat ini sehingga kalian begitu ber-

ani memasuki daerah Gua Bintang...!" bentak siBungkuk muka pucat mata picak. 

Karena perhatian laki-laki bungkuk itu ter-

tuju pada Buang Sengketa, maka mau tak mau 

pemuda ini pun menjawab: "Aku tak mempunyai 

tujuan tertentu, hanya seorang pengelana be-

laka...!" 

"Melihat tampangmu, mungkin aku bisa se-

dikit mempercayaimu... tapi kalau musang je-

jadian itu apa juga hendak mengaku sebagai seo-

rang pengembara juga...?" tanya laki-laki bungkuk 

mata picak menyindir. 

"Berkata terus terang! Aku merasa tertarik 

dengan gua bintangmu ini...!" jawab Lukita Sari 

ketus. Mendengar pengakuan gadis bertopi caping, 

mata picak langsung tergelak-gelak. Perlu diketa-

hui walaupun laki-laki berusia setengah abad ini 

merupakan tokoh sesat, namun dalam hal ber-

kata-kata dia suka bersikap apa adanya. 

"He... hek... he...! Dua puluh tahun aku 

menjadi seorang kacung, hingga aku tak pernah 

memikirkan kehidupan diri sendiri. Aku memiliki 

murid yang begitu banyak. Begitu setianya pen-

gabdianku. Tapi seorang majikan tak pernah 

menghargai segala pengorbanan yang pernah ku-

lakukan. Satu kesalahan kecil yang pernah kula-

kukan, membuat semua muridku bergentayangan 

tanpa nyawa di Kota Hantu...! Nasibmu terlalu bu-

ruk Candra Kila...!" ujar laki-laki bungkuk mata 

picak seperti pada dirinya sendiri. 

Kata-kata laki-laki bungkuk yang tiada ter-

duga-duga itu sudah barang tentu membuat 

Buang Sengketa yang pernah memasuki kota hantu menjadi terperangah. Namun sampai saat itu 

tiada niat dalam hatinya untuk memotong pembi-

caraan Candra Kila. 

"Bicaramu ngaco manusia jelek! Aku tak 

sudi mendengar segala ocehanmu...?" bentak Luki-

ta Sari. 

"Jangan bersikap kasar padaku, Nona Can-

tik! Sungguh pun aku sudah tua, namun aku ma-

sih seorang perjaka yang selalu mendamba-kan 

kehadiran seorang gadis cantik sepertimu. Istana 

Gua Bintang ini akan ku persembahkan padamu 

andai kau mau menjadi istriku...!" ujar laki-laki 

bungkuk Candra Kila, lalu sunggingkan seulas se-

nyum misterius. Memerah wajah gadis bertopi cap-

ing itu, tiba-tiba dia meludah tiga kali 

"Cuih... manusia jelek bau tanah! Bi-

caramu kacau tak ubahnya orang yang kurang wa-

ras. Tapi...!" ucap si gadis, nampak seperti sedang 

memikirkan sesuatu yang begitu rumit. 

"Tapi mungkin aku akan mempertimbang-

kan keinginanmu itu, andai kau bersedia memberi 

ku beberapa petunjuk yang kuinginkan...!" ka-

tanya tanpa ragu. Jawaban Lukita Sari membuat 

Candra Kila yang hampir sepanjang hidup-nya te-

rus hidup membujang menjadi terlonjak kegiran-

gan. 



ENAM



"Nona boleh mengatakan segala keinginan 

nona, dan aku akan menyanggupi, bahkan memenuhinya jika aku mampu...!" ujar si Picak Can-

dra Kila tanpa menghiraukan keberadaan Buang 

Sengketa di tempat itu, dan begitu pun halnya 

dengan Lukita Sari. Gadis bertopi caping ini nam-

pak mengeluarkan sebuah bintang per-segi empat 

dari balik sakunya. Tak lama setelah memperlihat-

kannya pada Candra Kila, maka tanpa basa basi 

lagi Lukita Sari langsung bertanya: 

"Kulihat pintu gua ini tertutup oleh sebuah 

pintu berbentuk bintang empat sisi. Bahkan di ba-

gian bajumu juga terdapat benda yang sama, aku 

hanya memilikinya satu di antara sekian banyak. 

Nah coba katakan, apakah gunanya bintang yang 

berada di tanganku ini bagi kalian...?" tanya Lukita 

Sari dengan pandangan tiada berkedip. 

"He... hek... hek...! Pertanyaanmu menye-

ramkan yang sesungguhnya tak perlu kujawab un-

tuk seorang calon istriku...!" tukas Candra Kila. 

"Kalau akulah yang diberi pertanyaan seper-

ti itu, oleh seorang gadis seperti Nona ini... 

hemmm...! Aku tak ingin kehilangan kesempatan 

yang begitu menarik!" celetuk Buang Sengketa 

memanas-manasi. 

"Tutup mulutmu gembel berperiuk...!" maki 

Candra Kila merasa tersinggung. 

"Nah! Kalau engkau tak mau menjawab per-

tanyaanku itu, maka aku akan segera pergi dari 

tempat ini...!" ancam Lukita Sari. Dengan kata-

katanya itu, dia pun memutar langkah. 

"Eiiit... tunggu...! Aku akan mengatakannya 

padamu, jantung hatiku...!" 

"Cepatlah! Sebelum kesabaranku habis...!"


Sebentar Candra Kila memandang tajam 

pada Buang Sengketa, dengan suaranya yang se-

rak bahkan hampir tak terdengar: "Aku percaya 

kau pasti tak bermaksud usil dengan urusan kami 

berdua. Kalau pun kau melakukannya, nasibmu 

menjadi lebih buruk dari mereka-mereka terda-

hulu yang pernah memasuki Gua Bintang...!" 

"Bicaralah dengan sesuka kalian, sementara 

waktu, aku merasa aman berada dalam ruangan 

menyeramkan ini...!" tukas si pemuda tanpa dapat 

mengerti apa sebenarnya yang dikehendaki gadis 

bertopi caping dari laki-laki berpunggung bungkuk 

seperti onta. 

"Mm... baiklah...!" ujar Candra Kila, sesaat 

laki-laki bungkuk muka pucat mata picak mem-

perhatikan Lukita Sari dan Buang Sengketa secara 

silih berganti. Acuh tak acuh diapun berkata: 

"Dulu aku merupakan seorang penguasa di 

daerah sini. Tapi ketika manusia yang menamakan 

dirinya sebagai Durga Wungu dan merupakan pe-

waris tunggal seluruh kekayaan milik orang tu-

anya menyerang dan mengalahkan diriku. Maka 

dia telah memaksaku menjadi seorang kacung (Su-

ruhan) di dalam singgasananya yang terdapat di 

Kota Hantu...!" 

"Tunggu dulu! Kau menyebut-nyebut 

adanya Durga Wungu dan Kota Hantu. Apakah 

maksudmu yang sesungguhnya...?" sentak Lukita 

Sari dengan hati berdebar-debar. 

"Kota Hantu adalah kota terkutuk yang 

hampir saja membuatku mampus di sana, se-

dangkan Durga Wungu mungkin saja majikan pemilik hantu-hantu yang bergentayangan...!" ce-

letuk Buang Sengketa. Dari tatapan matanya, 

nampak sekali kalau pemuda keturunan negeri 

alam gaib ini masih diliputi kecemasan. Ucapan 

pendekar dari Negeri Bunian ini membuat Candra 

Kila terlonjak bagai disengat kalajengking. Bagai-

mana tidak, selama ini dia tahu persis, siapapun 

yang berani datang ke Kota Hantu. Tak mungkin 

dapat ke luar dari sana hidup-hidup. Bahkan ban-

yak diantara mereka yang terperangkap, tewas 

atau kemudian dihidupkan kembali menjadi 

hantu, atau mayat-mayat bergentayangan. Tidak 

masuk di akal kalau pemuda berpakaian gembel 

ini bisa lolos dari perangkap-perangkap yang tidak 

sedikit yang sengaja dipasang di setiap sudut Kota 

Hantu. Kalau pun memang benar apa yang dikata-

kan oleh pemuda berperiuk ini, Candra Kila dapat 

menarik kesimpulan pastilah pemuda berpakaian 

merah ini memiliki ilmu kepandaian yang sangat 

luar biasa sekali. Dalam keragu-raguannya itu, se-

cara tiba-tiba Candra Kila membentak: "Bocah! Ti-

dak salahkah apa yang kudengar ini? Setahuku 

belum pernah seorang manusia pun yang mampu 

membebaskan diri dari maut, apabila pernah me-

masuki Kota Hantu. Dan kau mengaku pernah 

memasuki kota itu, bahkan kini telah pula berada 

di gua milikku. Kalaulah kau bukan manusia 

setengah dewa, pastilah kau keturunan para silu-

man...!" 

"Aha... ha... ha...! Kuakui Kota Hantu di-

huni oleh mayat-mayat tanpa nyawa, para iblis 

bergentayangan di sana. Bahkan tidak ku pung


kiri, kalau mereka tak mempan dengan segala 

jenis pukulan yang kumiliki. Namun bagaimana 

pun hebatnya ilmu setan yang dipergunakan un-

tuk membangkitkan mereka dari sebuah kematian. 

Tetapi, kebenaran melebihi segala-galanya...!" kata 

Buang Sengketa sambil tertawa-tawa. 

"Bangsat! Tutup mulutmu, Kisanak! Pembi-

caraanku dengan orang yang berhajat untuk me-

miliki aku belum selesai...!" bentak Lukita Sari, 

nampak mulai memasang taktiknya. "Candra Kila! 

Apakah kau masih berminat meneruskan pembi-

caraan kita atau tidak? Kalau kau sudah tidak ter-

tarik untuk beristrikan aku, maka kupikir pembi-

caraan tak perlu ada lagi...!" ancam gadis bertopi 

caping berpura-pura marah. 

"Kunyuk gembel! Gara-gara mulutmu yang 

terlalu jumawa, aku hampir kehilangan kesem-

patan untuk memperistri gadis secantik dia, ku-

peringatkan padamu untuk sementara tutup mu-

lutmu, aku ingin membicarakan persoalan ka-

mi...!" tukas Candra Kila, kemudian kembali ber-

paling pada Lukita Sari. 

Buang Sengketa menjadi panas hatinya de-

mi mendengar kata-kata Candra Kila yang secara 

terus menerus menyebutnya sebagai seorang ku-

nyuk gembel. Tapi demi menghargai Lukita Sari 

yang sedang menjalankan suatu muslihat, maka 

Buang Sengketa hanya diam saja. 

"Cepatlah jawab apa yang kutanyakan ta-

di...!" desak gadis bertopi caping itu nampak sudah 

tak sabaran lagi. 

"Baiklah...! Seingatku, tadi kau bertanya


tentang bintang bersegi empat itu bukan? Hhh...!" 

Candra Kila menarik nafasnya dalam-dalam. "Du-

lu... aku memiliki tidak lebih tiga puluh orang mu-

rid yang ku didik sebagai algojo-algojo bayaran. 

Tawaran apapun yang diberikan oleh orang-orang 

segolongan dengan bayaran yang tinggi tak pernah 

kutolak, baik itu melakukan perampokan, pem-

bunuhan-pembunuhan sadis atau pun melakukan 

penculikan-penculikan. Tak pernah satu usaha 

pun yang pernah gagal." 

"Lalu setiap kalian melakukan satu perbua-

tan yang tidak terpuji itu, kemudian satu tanda 

kalian tinggalkan...?" tanya Lukita Sari dengan ha-

ti berdebar. 

"Ya... tapi tidak selamanya...!" 

"Dan sepanjang hidupmu, anggota kalian 

terus melakukan pekerjaan-pekerjaan seperti 

itu...?" pancing Lukita Sari lebih jauh. 

"Tidak! Setelah satu pekerjaan yang mem-

buat malapetaka bagi kami semua, Sejak saat itu, 

bukan saja kami tak mampu bergerak bebas, tapi 

juga telah membuat semua anak buahku terbantai 

di Kota Hantu. Durga Wungu... manusia keparat 

itulah yang telah menghancurkan kami, hingga 

kami tak memiliki kekuatan apa-apa...!" 

"Kau kalah bertarung dengan mereka...?" 

pancing Lukita Sari lebih jauh. 

"Ya... segala-galanya kami kalah. Hehh... 

kalau saja dulu kami tidak melakukan satu ke-

salahan yang begitu fatal. Tidak nantinya aku 

menjadi bungkuk seperti ini. Mataku tidak akan 

picak seperti yang sekarang yang kau lihat...!" desah laki-laki setengah baya ini seperti menye-

salkan diri sendiri. 

"Kesalahan apa...?" tanya Lukita Sari. Se-

mentara Buang Sengketa yang turut mendengar 

pembicaraan mereka hanya mampu garuk-garuk 

rambutnya yang tak gatal. 

"Hhh. Durga Wungu itu sesungguhnya ma-

nusia picik yang selalu dibayang-bayangi ketaku-

tan akibat keserakahannya sendiri. Sebenarnya 

dialah manusia yang paling terkutuk dan paling 

keji yang pernah kujumpai di kolong langit ini...?!" 

umpatnya sudah tak mampu menahan kegusa-

rannya. Tetapi Lukita Sari merupakan seorang ga-

dis cerdik yang tak mudah terpengaruh dan ter-

bawa oleh arus perasaan orang lain. 

"Kau mengatakan Durga Wungu merupakan 

orang paling keji dan terkutuk! Apakah kau tidak 

menyadari bahwa pekerjaanmu sendiri telah 

menyimpang jauh, apakah itu tidak merupakan 

pekerjaan sesat...?" ejek si gadis bertopi caping 

dengan sesungging senyum kemenangan. 

"Hmmm! Kutahu pekerjaan yang kami la-

kukan bukanlah pekerjaan yang mulia, tapi ben-

tuk apapun hasil rampokan yang kami peroleh, 

semua itu kami sumbangkan pada mereka yang 

membutuhkannya...!" sahut Candra Kila. Ke-

mudian beberapa saat lamanya matanya yang 

hanya tinggal sebelah itu memandang ke langit-

langit gua. Seperti ada sesuatu yang coba dia ingat 

dan ingin dikatakannya pada Lukita Sari, yang se-

cara mendadak menarik perhatian hati-nya. 

"Lain lagi halnya dengan Durga Wungu!"


Candra Kila menyambung. "Saat itu laki-laki kepa-

rat itu memerintahkan kami untuk menghadang 

perjalanan seorang pedagang yang tidak begitu 

kaya dengan imbalan yang tidak memadai pula. 

Karena mengingat nama besarnya maka pekerjaan 

itu kami terima, sayang dalam pelaksanaan tugas-

tugas itu orang-orangku membunuh korbannya. 

Sehingga Durga Wungu marah besar, bahkan 

orang itu membunuh seluruh anak buahku. Mu-

lanya aku tak tahu sebabnya mengapa Durga 

Wungu melakukan tindakan yang begitu kejam. 

Tapi setelah kuselidiki, barulah aku tahu bahwa 

orang yang telah dibunuh oleh murid-muridku itu 

ternyata masih merupakan orang tuanya Durga 

Wungu...!" 

"Tindakan yang sangat keji...!" desis Buang 

Sengketa dengan wajah memerah. Sementara Lu-

kita Sari sendiri, sungguhpun kemarahannya telah 

meluap-luap tapi dia berusaha untuk tetap mena-

hannya. Bahkan dia pun bertanya: "Mengapa Dur-

ga Wungu begitu tega menyuruh kalian untuk 

menghadang orang tuanya yang sedang melaku-

kan perjalanan...?" 

"Keserakahan, hanya itulah jawaban yang 

paling tepat...! Durga Wungu mempunyai seorang 

adik tiri yang bernama, Sangra Wulan. Mungkin 

dia berniat mengangkangi semua peninggalan yang 

ada. Terbukti tak lama setelah orang tuanya men-

inggal, adik tirinya yang bernama Sangra Wulan 

itu pun diusirnya mentah-mentah. Beberapa ta-

hun kemudian berita mengenai Sangra Wulan len-

yap begitu saja, dan ketika dia muncul kembali


dengan ilmu sihirnya yang menggemparkan itu. 

Semua golongan menjadi musuh besarnya. Dia 

pun akhirnya menemui Durga Wungu, tapi kesak-

tian yang dimilikinya masih kalah tinggi. Dia kalah 

dalam satu pertarungan yang seru, bahkan per-

empuan itu harus kehilangan sebelah kakinya...! 

Ah... sungguh aku telah terjebak oleh tipu musli-

hat penguasa Kota Hantu...!" geram Candra Kila. 

"Keparaaat...!" maki Lukita Sari, setindak 

demi setindak gadis bertopi caping ini melangkah 

undur. 

"Ee... ada apakah dengan kau, calon is-

triku...?" tanya Candra Kila diliputi ketidak me-

ngertian. 

"Calon istri...? Siapa yang sudi menjadi istri 

gembong pembunuh orang tua gurunya sendiri... 

heh... aku bukanlah seorang murid yang tak tahu 

membalas guna, seandainya aku bersedia menjadi 

istri manusia bungkuk sepertimu...?!" bentak Luki-

ta Sari marah. 

"Gurumu! Eee... bicaramu membingungkan. 

Apakah engkau bermaksud mengingkari janjimu 

sendiri...?" tanya Candra Kila dengan sebelah biji 

mata membelalak karena tak percaya. 

"Hi... hi... hi...! Siapa yang sudi berjanji 

dengan manusia sesat sepertimu? Jangankan 

aku... iblis sekali pun tak mungkin mau berjanji 

denganmu...!" 

"Bangsat! Perempuan pengecut. Heh... ja-

ngan kira kau dapat lolos dari tanganku bocah 

cantik...!" bentak si laki-laki bungkuk mata picak 

dalam kegusarannya. Dalam situasi menegangkan


seperti itu, tiba-tiba Candra Kila menoleh ke samp-

ing, namun dia tidak melihat adanya Buang Seng-

keta di tempat itu. Lalu sesungging senyum licik 

pun menghiasi bibir Candra Kila. 

"Kawanmu pemuda gembel itu sudah merat 

secara diam-diam! Kini hanya tinggal kau seorang. 

He... he... he...! Hanya kita berdua sekarang, kau 

pasti tak akan lolos dari tanganku, percayalah....!" 

"Oho... jangan terlalu yakin dengan kemam-

puan yang kau miliki manusia bungkuk. Kau, 

Durga Wungu si biang kerok dan orang-orangnya 

pasti akan kubasmi sampai ke akar-akarnya...!" 

geram Lukita Sari. 

"Bicaramu terlalu jumawa. Berhadapan 

dengan aku saja kau belum tentu bisa ungkulan. 

Apalagi berhadapan dengan Durga Wungu dan 

orang-orangnya...!" ejek Candra Kila. 

"Tutup mulutmu! Majulah kalau memang 

benar merupakan orang yang pernah membunuh 

orang tua Sangra Wulan. Nah, sekarang maju-

lah...!" 

"Kurang ajar...! Kau benar-benar membuat 

kesabaranku habis...!" 

"Haiiiit...!" 

Dengan gerakan yang sangat gesit, laki-laki 

bungkuk itu menerkam Lukita Sari, tapi dengan 

gerakan yang sangat gesit, gadis bertopi caping itu 

berkelit menghindar. 

"Hemmm. Kiranya kau memiliki kebolehan 

juga, Bocah...!" geram Candra Kila, tak ayal lagi la-

ki-laki bungkuk itu pun membangun serangan-

serangan susulan. Tapi pada saat pukulan


pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila datang 

menggeledek, pada saat itu Lukita Sari telah pula 

merapal mantra-mantra ilmu sihirnya. 

"Orang jelek, lihatlah... di depanmu begitu 

banyak binatang berbisa yang datang menye-

rang...!" Teriak Lukita Sari begitu berpengaruh. 

Kenyataannya apa yang dilihat oleh Candra Kila 

memang pada saat itu di depannya entah dari ma-

na datangnya telah dipenuhi oleh ratusan ekor bi-

natang berbisa yang menebarkan bau amis menji-

jikkan. 


TUJUH



Anehnya seperti apa yang dikatakan oleh 

Lukita Sari, binatang melata yang terdiri dari ber-

bagai jenis itu langsung menyerang Candra Kila. 

Namun tokoh yang satu ini bukanlah merupakan 

seorang tokoh yang baru dalam dunia persilatan. 

Dengan mengandalkan pukulan Segara Geni, laki-

laki bertubuh bungkuk ini hantamkan kedua tan-

gannya ke depan. Secara praktis suasana di seki-

tarnya menjadi panas luar biasa. Api dengan cepat 

menyambar dari tangan Candra Kila yang menyala 

bagai bara, bahkan dengan cara berjumpalitan 

tangan Candra Kila kembali dia pukulkan ke de-

pan. Ular-ular berbisa yang tadinya datang menge-

royok laki-laki mata picak ini sebagian besar dian-

taranya musnah terbakar. 

"Hak... ha... ha...! Keluarkanlah seluruh ke-

pandaian yang kau miliki...!" Dengus Candra Kila

sambil terus keluarkan tawa tergelak-gelak. 

"Janganlah terlalu berpuas diri...!" sengat 

Lukita Sari. Lalu melangkah undur tiga tindak. Se-

lanjutnya gadis bertopi caping ini rangkapkan ke-

dua tangannya ke depan dada. Begitu mulutnya 

berkemik-kemik, maka seketika itu juga angin 

yang sangat kencang menderu, masih di dalam 

gua itu hujan yang sangat lebat pun terjadi. Can-

dra Kila tak mau mengalah begitu saja, laki-laki ini 

angkat tangannya tinggi-tinggi. Tubuhnya sesaat 

saja telah tergetar hebat. Sementara tubuh dan 

pakaiannya telah basah oleh keringat. Api yang di-

ciptakan oleh Candra Kila sekejap berkobar-kobar, 

namun di lain saat meredup bahkan kehilangan 

cahayanya. Tetapi hujan yang diciptakan oleh Lu-

kita Sari semakin lama semakin bertambah deras. 

Secara perlahan namun cukup pasti tubuh Lukita 

Sari mulai basah oleh air hujan dan keringatnya 

sendiri. Tapi sampai sejauh itu dia masih belum 

mampu memunahkan api yang diciptakan Candra 

Kila. "Mengembarlah tubuhku...!" gumam si gadis 

bertopi caping. 

"Jlek... Jlek...!" 

Dengan tiada terduga-duga oleh lawannya, 

kini tubuh Lukita Sari telah mengembar tiga. Bah-

kan kembarannya dengan tangan menyilang di de-

pan dada berusaha membantu Lukita Sari yang 

asli dalam menciptakan hujan seperti yang dike-

hendakinya. 

Dengan kehadiran dua kembaran Lukita 

Sari yang palsu, maka hasil apa yang diingin-

kannya juga sangat mengejutkan. Hujan yang tercurah semakin bertambah deras. Api yang dicipta-

kan oleh Candra Kila semakin lama semakin mer-

edup. Tetapi Candra Kila bukanlah tokoh yang 

mudah putus asa. Dia lipat gandakan tenaga sakti 

yang dimilikinya, kemudian dua pukulan beruntun 

dilepaskannya mengarah tubuh kembar Lukita Sa-

ri. 

"Yeaaahh.... Bleeem...!" 

Satu dentuman keras terdengar saat mana, 

pukulan yang dilepaskan oleh Candra Kila tepat 

menghantam sasarannya. Tubuh Lukita Sari ter-

lempar tiga tombak ke belakang. Tidak sampai dis-

itu saja, bagian kepala gadis bertopi caping itu 

menghantam dinding gua yang kerasnya melebihi 

baja. Tak ayal lagi dalam pandangan Candra Kila, 

darah muncrat dari batok kepala si gadis yang 

rengkah. Laki-laki bungkuk, muka pucat mata pi-

cak tergelak-gelak. Kemudian dengan begitu ang-

kuhnya dia pun berucap: "Menghadapi aku saja 

kau telah mampus hanya dalam beberapa gebra-

kan. Jangankan kau bermimpi dapat berhadapan 

dengan si keparat Durga Wungu...!" Belum juga hi-

lang gema ucapan Candra Kila memenuhi seantero 

dinding gua, dari bagian belakang laki-laki bung-

kuk itu, meledak pula suara tawa Lukita Sari. 

"Hiii... hi... hi...! Candra Kila manusia la-

mur! Kau kira aku begitu mudahnya dapat kau ka-

lahkan? Coba kau lihatlah betul-betulkah aku su-

dah mati...!" geramnya dengan suara tergetar. Da-

lam kesempatan itu. 

"Deees...!" 

"Gubraaaak...!"


Mendapat pukulan curi yang tiada disang-

ka-sangka itu, membuat tubuh Candra Kila ter-

banting ke depan. Hampir seluruh wajahnya men-

cium ke tanah. Namun sungguh pun bagian pung-

gungnya yang kena dipukul oleh lawan se-rasa 

remuk. Tapi laki-laki berbadan bungkuk ini cepat 

bangkit kembali. Lebih cepat lagi matanya me-

mandang ke arah tubuh Lukita Sari yang tadinya 

tewas di pinggiran dinding gua. Tetapi apa? Dia 

hanya melihat sebongkah batu berbentuk tubuh 

manusia teronggok di sana. Sumpah serapah ber-

hamburan dari mulut Candra Kila. 

"Jahanam! Kau memiliki ilmu siluman ki-

ranya...!" maki Candra Kila. Serta merta laki-laki 

mata picak ini berbalik langkah, sekali lagi dihan-

tamkannya kedua tangannya ke depan. ‘Pukulan 

Segoro Geni’ tingkat satu terlepas. Tapi ketika pu-

kulan yang menimbulkan kobaran api ini sedang 

meluruk ke arah lawannya! Tiada terduga-duga, 

Lukita Sari telah menciptakan seekor ular naga 

yang begitu besar. Ular naga bermata merah men-

yala ini julur-julurkan lidahnya, sementara mulut-

nya ternganga lebar-lebar. Anehnya begitu mulut 

naga hasil ciptaan Lukita Sari keluarkan bunyi 

mencicit-cicit bagai seekor tikus kejepit pintu. Pu-

kulan Candra Kila langsung tersedot memasuki 

mulut naga ciptaan si gadis bertopi caping. Bara 

api yang begitu panas lenyap tanpa bekas. Kalau 

saja Candra Kila tidak cepat-cepat buang tubuh-

nya ke samping. Sudah barang tentu, tubuh laki-

laki bungkuk itu terbetot dan melayang, masuk ke 

dalam mulut naga itu.


"Hoooss...!" 

Naga berwarna merah itu menghembuskan 

nafas. Bersamaan dengan hembusan nafas itu 

menyembur pula lidah api yang memiliki hawa pa-

nas berlipat ganda. Lidah api yang tersembur dari 

mulut naga itu nampak berusaha menggulung tu-

buh Candra Kila. 

"Hhhhaaaa...!" 

Begitu beraneka ragam pukulan yang di-

miliki oleh Candra Kila, begitu lidah api yang dis-

emburkan oleh naga merah mengancam ke-

selamatannya. Maka dia pun melindungi dirinya 

dengan ajian Inti Es. Tak terbayangkan betapa 

dinginnya tubuh Candra Kila saat mana dia selesai 

merapal ajian itu. Bahkan Lukita Sari sempat me-

rasakan pengaruh ajian yang dikerahkan oleh la-

wannya. Tubuh gadis ini menggigil, gigi-giginya 

bergemeletukan. Bahkan tubuhnya pun terasa ka-

ku sulit untuk digerakkan. Namun setelah menge-

rahkan sebagian tenaga dalamnya. Maka hawa 

dingin luar biasa itu sirna seketika. Selanjutnya 

gadis bertopi caping ini pun berusaha mengerah-

kan kemampuan yang dimiliki oleh naga merah 

hasil ciptaannya. Lidah api terus menggulung tu-

buh Candra Kila, sejauh itu tubuh yang sudah 

terbungkus api lawannya tidak juga hangus ter-

bakar. Bahkan selembar rambutnya pun tidak ber-

kurang sedikit pun. 

"Gila! Pertahanan yang dimiliki oleh laki-laki 

bungkuk itu begitu hebat. Aku harus me-robah si-

asat." 

"Plaaaas...!"


Naga hasil ciptaan Lukita Sari lenyap secara 

tiba-tiba. Sebagai gantinya gadis bertopi caping itu 

menciptakan hujan es. Tubuh Candra Kila yang 

sudah begitu dingin bahkan hampir membeku itu 

nampak tiada berkutik. Mula-mula dia tak men-

yadari akan adanya ancaman bahaya seperti itu. 

Namun ketika laki-laki bungkuk ini merasakan 

udara di sekitar gua itu menjadi semakin bertam-

bah dingin luar biasa, sedangkan dia merasa tidak 

melipat gandakan tenaganya, maka sadarlah Can-

dra Kila bahwa semua itu merupakan ulah lawan 

untuk membuat dirinya lumpuh tak berdaya. 

"Heeuuup...!" Candra Kila menarik balik Ajian Inti 

Es yang telah dikerahkannya. Maka secara perla-

han tubuhnya yang berobah dingin itu kembali ke 

dalam keadaan normal. Kini yang tinggal hanyalah 

pengaruh hawa dingin yang dikerahkan oleh Luki-

ta Sari. Namun begitu laki-laki bungkuk ini men-

gerahkan sebagian tenaga dalamnya, maka len-

yaplah pengaruh pukulan lawan. Dengan wajah 

semakin bertambah pucat dipandanginya Lukita 

Sari dalam-dalam. 

"Kau memiliki ilmu siluman. Jangan kau ki-

ra manusia Gua Bintang tak mampu melaku-

kannya...!" 

"Chiaaa... haaa... ha...!" Sekali saja Candra 

Kila berteriak, maka gema suaranya pun sambung 

menyambung tiada henti memenuhi dinding dan 

seisi gua. Bahkan suara menggelegar itu terus me-

nembus ke seluruh pelosok penjuru gua sampai 

jauh ke dalam sana. 

Bersamaan dengan suara sambung men


yambung tiada henti. Mendadak tubuh Candra 

Kila lenyap begitu saja. Laki-laki mata picak itu 

ternyata memang tidak omong kosong. Sebab den-

gan mempergunakan Ajian Palemunan (ilmu 

menghilang) beberapa detik berikutnya Candra Ki-

la menyerang Lukita Sari dengan tendangan kaki 

juga gaplokkan tangan. Berulang kali tubuh gadis 

bertopi caping ini jatuh bangun. Bahkan dari ce-

lah-celah bibirnya telah pula mengalirkan darah. 

Bagaimana pun dia berusaha untuk mengatasi se-

rangan lawannya. Namun tetap saja dia merasa 

kerepotan. 

"Chhaaaait...! Hilang...!" teriak Lukita Sari. 

Seperti apa yang diucapkannya maka detik se-

lanjutnya tubuh gadis itu pun menyusul lenyap. 

Dapat dibayangkan betapa tinggi ilmu yang di-

miliki oleh kedua tokoh yang saling terlibat per-

tempuran ini. 

"Hah...!" Dalam keadaan sama-sama tak ter-

lihat itu, Candra Kila membelalak tak percaya. 

"Bagaimana mungkin kau bisa menghilang se-

bagaimana halnya dengan diriku...?" 

"Hik... hii... hiii...! Di dunia ini bukan hanya 

kau saja yang dapat lenyap begitu saja. Nah... se-

karang rasakanlah ini...!" Teriak Lukita Sari. Se-

raya langsung melemparkan sesuatu berwarna hi-

tam dan panjang. 

"Ular...!" Desis Candra Kila. Lalu dengan ge-

rakan refleks, laki-laki bungkuk ini segera men-

cabut senjatanya berupa sebilah belati tipis yang 

memiliki panjang lebih dari satu meter. Belati di 

tangan Candra Kila memiliki gagang berbentuk


bintang segi empat, sedangkan belati itu sendiri 

berwarna hitam, menandakan senjata itu men-

gandung racun yang ganas. Begitu belati di tangan 

Candra Kila tergenggam di tangannya. Maka tanpa 

menunggu lagi, belati di tangannya dia babatkan 

ke arah ular-ular yang disambitkan oleh lawannya. 

"Weeer...!" 

"Ceees.... Creees...!" 

Ular-ular yang disambitkan oleh Lukita Sari 

terkutung menjadi beberapa bagian. 

"Groaaar...! Hauuung...!" 

Belum lagi sempat menarik nafas lega, dua 

ekor harimau ciptaan Lukita Sari telah pula me-

nerkam Candra Kila. Tubuh Candra Kila me-

lompat ke udara, begitu tangannya menderu. Dua 

tusukan berturut-turut dilakukannya. 

"Blesss...! Blesss...!" 

Laki-laki berbadan bungkuk itu semakin 

terbelalak matanya. Tusukan yang dia lakukan 

memang benar mencapai sasaran. Tetapi hun-

jaman belati itu dia rasakan bagai menembus ru-

angan kosong. 

"Edan...!" Makinya sambil terus menghin-

dari terjangan dan cakaran kuku-kuku harimau 

yang begitu runcing dan tajam. 

"Keluarkan seluruh kebisaan mu, Candra 

Kila...!" teriak Lukita Sari yang berdiri tidak begitu 

jauh dari tempat pertempuran. 

"Aku kehabisan tenaga dan mampus sendi-

ri! Orang itu memiliki ilmu yang sangat tangguh...! 

Ada baiknya kalau aku menghindar untuk semen-

tara waktu. Kalau aku kalah, itu sama artinya tak



dapat membalas sakit hati ini pada Durga Wungu 

dan kawan-kawannya...!" Batin laki-laki berbadan 

bungkuk ini. Saat itu dia sudah mulai berfikir-fikir 

untuk melarikan diri sementara waktu. 

"Haiiit...!" 

"Grauuung...!" 

Satu teriakan Candra Kila disambut oleh 

dua terkaman dua ekor harimau jejadian milik Lu-

kita Sari. 

"Brebet...!" 

Terkaman seekor harimau loreng-loreng 

berhasil menyambar bagian punggung Candra Ki-

la. Tubuh laki-laki bungkuk itu terhuyung-

huyung. Darah nampak mulai merembes dari luka 

memanjang tadi. Nampaknya laki-laki muka picak 

itu menyadari, sudah tidak mungkin melakukan 

perlawanan lebih lama lagi. Apa yang ada di dalam 

benaknya saat itu adalah membalas dendam pada 

Durga Wungu. Cepat-cepat dia merogoh sesuatu 

dari dalam jubahnya. 

"Bummmm...!" 

"Keparaat! Dalam keadaan tak terlihat ka-

sat mata seperti ini, kiranya dia juga tidak ber-

malu mempergunakan asap penghilang jejak...!" 

maki Lukita Sari. Ketika asap yang menyelimuti 

sekitar tempat itu sirna, gadis bertopi caping ini 

sudah tak melihat lagi adanya Candra Kila di tem-

pat itu. 

"Plaaaas...!" 

Setelah merapal mantra-mantra sihir yang 

dimilikinya, maka tubuh Lukita Sari kembali nam-

pak seperti sediakala.


"Ada baiknya kalau kukejar ke arah sana...!" 

batin gadis bertopi caping ini, seraya bermaksud 

melakukan pengejaran ke arah bagian dalam lo-

rong Gua Bintang. Namun sebelum niatnya itu ke-

sampaian, terdengar suara teguran seseorang. 

"Jangan kau lakukan pekerjaan tolol itu, 

Nona...! Di dalam sana terlalu banyak perangkap 

yang dapat mencelakakan dirimu...!" 

"Kk... kau belum juga minggat dari tempat 

ini...!" Bentak Lukita Sari ketika melihat Buang 

Sengketa muncul dari lorong gua yang terletak di 

sebelah Utara. 

"Mengapa harus tergesa-gesa! Bukankah di 

ruangan ini tadi baru saja terjadi permainan sulap 

yang sangat menarik...?" 

"Kurang asem! Jadi kau tadi sempat melihat 

pertarunganku...?" rutuk Lukita Sari dengan wajah 

cemberut. 

"Tontonan gratis, kalau tak dilihat muba-

jir...!" jawab si pemuda sambil tersenyum-senyum. 

"Pemuda konyol, siapakah kau...!" Bentak 

Lukita Sari marah. Tetapi hatinya berdebar-debar 

dan mulai tertarik. 

"Panggil saja, Kelana...!" jawab si pemuda 

apa adanya. 

"Huhh... sebuah nama yang jelek...!" 

Buang Sengketa hanya mampu cengar-

cengir. 

"Sudahlah Nona...!" 

"Lukita Sari...!" gadis bertopi caping me-

nyambung. 

"Ee... boleh aku memanggilmu Ita...?

"Nenekku juga biasa memanggilku be-

gitu...!" jawab si gadis begitu polos. 

"Begini, Adik Ita...! Kalau kau bermaksud 

mengejar dan membasmi musuh gurumu alang-

kah lebih baik kalau kita pergi ke Kota Hantu se-

cara bersama-sama...!" 

"Aku... pergi bersama-sama denganmu...?" 

tukas si gadis merasa ragu-ragu. 

"Kau tak perlu curiga padaku...!" kata 

Buang Sengketa memberi keyakinan. 

"Baik aku setuju...!" 

Akhirnya secara bersama-sama, kedua 

orang ini pun tanpa diliputi perasaan curiga anta-

ra satu dengan lainnya. Segera meninggalkan Gua 

Bintang. 


DELAPAN



Sejak tertangkapnya Panjul dan Panut, pen-

jagaan di Kota Hantu semakin diperketat. Mayat-

mayat hidup hampir sepanjang hari terus menerus 

mengadakan ronda. Sudah barang tentu semua itu 

dilakukan atas perintah Setan Gila dan juga Iblis 

Dua Muka. Setiap hari bangunan-bangunan yang 

sudah tiada berpenghuni diperiksa oleh para abdi 

Durga Wungu. Namun sampai sejauh itu tanda-

tanda ditemukannya Senjata Kegelapan milik Dur-

ga Wungu masih belum dapat titik terangnya. 

Sementara itu di ruangan bawah tanah, 

Godot, Panjul dan Panut yang tangan dan kakinya 

dalam keadaan terikat nampak dalam pembi


caraan serius. 

"Kalau kita tak mau berusaha! Sampai ka-

pan kita harus terkurung di ruangan menjijikkan 

ini...!" terdengar suara serak Godot memecah ke-

heningan. 

"Ya... walaupun diberi makan! Tapi kalau 

setiap hari harus dipukuli, siapa sudi....'" bela Pa-

nut sambil memperhatikan luka-luka bekas cam-

bukan yang terdapat di sekujur tubuhnya. 

"Coba lihatlah orang-orang kurus macam je-

rangkong hidup itu! Kalau kuperhatikan orang itu, 

rasanya keadaan kita masih lumayan... tapi kalau 

kupikir lagi, alangkah enaknya hidup di dunia ra-

mai...!" selak Panjul tak mau kalah. 

"Sebetulnya memasuki Kota Hantu bukan 

merupakan kesalahan yang begitu besar bagi kita. 

Tapi mengapa orang-orang terkutuk itu malah me-

nangkap kita, kemudian menjebloskan kita di 

tempat yang berbau busuk ini...?" 

"Apakah Kota Hantu menyimpan sesuatu 

yang sangat penting artinya bagi mereka?" tanya 

Panjul, serta merta dia mengerling ke arah Godot. 

"Jangan keras-keras bicara. Salah-salah le-

hermu bisa dipancung oleh mereka." sentak laki-

laki bekas kepercayaan Durga Wungu dengan sua-

ra lirih. 

"Memangnya kenapa...?" tanya Panjul ham-

pir berbisik. 

"Kota Hantu kabarnya ada menyimpan sen-

jata pusaka yang memiliki kharisma tinggi. Siapa 

pun yang memiliki senjata kegelapan konon kaba-

rnya dapat lenyap sedemikian rupa. Yang pasti


orang yang menguasai senjata itu dapat mengua-

sai dunia persilatan berbagai golongan...!" 

"Kau mengetahui begitu banyak, seolah kau 

ini merupakan seorang pendekar sakti yang punya 

hubungan dekat dengan Durga Wungu...!" ejek ke-

dua orang itu, lalu garuk-garuk koreng bekas 

cambukan. Sejenak lamanya, Godot ter-diam. Se-

cara mendadak wajahnya yang agak memucat itu 

pun bersemu merah. Tapi kemudian laki-laki ini 

mendengus. 

"Durga Wungu tua bangka yang tak tahu 

membalas guna! Dia kangkangi semua harta ben-

da yang ada, seolah masih akan hidup seribu ta-

hun lagi. Siapa yang tak kenal dengan orang yang 

pernah menyuruh orang lain untuk membegal 

orang tuanya yang sedang melakukan perjalanan 

itu. Bahkan aku mengenalnya begitu dekat...!" 

ucap Godot seolah pada dirinya sendiri. 

"Ha...! Jadi kau merupakan kaki tan-

gannya...?" tanya Panjul dan Panut dengan kedua 

mata membelalak. Tanpa sadar mereka ini pun 

mulai beringsut menjauh. Tetapi begitu Godot 

menggelengkan kepalanya berulang-ulang. Maka 

legalah kedua laki-laki konyol ini. 

"Ah... kami pikir, kau merupakan kaki tan-

gan setan terkutuk itu....!" 

"Walaupun aku bukan kaki tangannya, te-

tapi dulu aku bekas tukang kebunnya selama ber-

puluh-puluh tahun...!" 

"Lha... tukang kebun, kok sekarang ada di 

dalam penjara...!" desak Panjul seolah tidak per-

caya. Godot tersenyum getir. Selanjutnya secara


singkat namun gamblang dia menceritakan segala 

sesuatunya pada Panjul dan Panut. 

"Sungguh biadab perbuatan manusia yang 

bernama Durga Wungu itu. Misalkan aku ini ada-

lah dirimu, sudah tentu aku melakukan apa yang 

kau lakukan. Sebab di dunia ini tolong menolong 

dalam berbuat kebajikan, semua pendeta atau ahli 

Budha juga menganjurkannya. Jadi bukan malah 

sebaliknya, yang memiliki kekuasaan menekan ra-

kyat kecil. Yang kaya raya menari-nari di atas 

penderitaan orang lain. Huh, andai saja aku memi-

liki ilmu kepandaian seperti Pendekar Hina Kelana. 

Orang yang bernama Durga Wungu pasti tak akan 

kubiarkan hidup lebih lama di kolong langit ini...!" 

dengus salah seorang dari laki-laki bertampang 

konyol itu. Tanpa sadar dia meludahi wajah Godot. 

"Keparaat.... Kau menghinaku...!" maki 

laki-laki berbadan gemuk itu tidak terima. 

"Eeh... siapa yang menghinamu! Aku tak 

pernah bermaksud menghinamu...!" 

"Kalau tak bermaksud menghina, mengapa 

kau meludahiku...?" 

"Siapa suruh kau duduk di depanku! Aku 

meludah, seharusnya dibuang ke mana...?" 

"Kan bisa ke samping kiri atau ke samping 

kanan...!" bentak Godot dengan dada kembang 

kempis menahan amarah. 

"Goblook! Leherku yang terluka, susah se-

kali untuk digerak-gerakkan ke kanan dan ke ki-

ri...!" Panjul menyahuti dengan wajah cemberut. 

"Eee... he... he...! Betul juga ya...!" 

"Sebaiknya kita tak usah saling berbantah


an. Pernahkah kalian memikirkan bagaimana ca-

ranya agar terbebas dari tempat seperti ini...?" 

tanya Panut yang sedari tadi hanya diam saja. Su-

asana di dalam ruangan penjara di dalam gudang 

bawah tanah itu kemudian sunyi sepi. Masing-

masing orang tenggelam dalam pikirannya sendiri. 

Entah apa yang dipikirkan oleh dua orang lainnya. 

Yang jelas saat itu, Panjul sedang teringat pada is-

trinya Loro Item yang sedang hamil sembilan bu-

lan. Entah bagaimana keadaan istrinya saat itu. 

Entah sudah melahirkan atau belum. Kalaupun 

sudah, apakah anak yang terlahir itu hitam legam 

kulit tubuhnya sama mirip dengan kulit ibunya. 

Semoga saja tidak begitu. Mudah-mudahan saja 

anaknya mirip dengan dirinya. Tak pernah marah. 

Ah jangan. Jangan seperti dirinya, nanti ke-

hidupannya sengsara terus. Jadi murid di Pergu-

ruan Jagad Kelanggengan nasibnya apes. Punya 

kambing dua ekor juga, akhirnya malah menyeret 

dirinya ke dalam jurang kesengsaraan. Anaknya 

tidak boleh menuruni nasibnya. Dia berharap, mo-

ga-moga saja anaknya yang terlahir bisa menjadi 

seorang pendekar tangguh seperti Pendekar Golok 

Buntung. Pendekar Penegak Keadilan itu, ya se-

perti itulah yang diharapkannya. 

"Panjul... apakah kau sudah menemukan 

jalan keluar dari penjara celaka ini?" tanya Panut. 

Membuat laki-laki berusia tiga puluhan itu tersen-

tak dari lamunannya. 

"Jalan keluar apa? Ketahuan sejak tadi tan-

gan dan kakiku terbelenggu rantai terkutuk seperti 

ini. Bagaimana aku bisa keluar...?"


"Tolol! Bukan itu yang kumaksudkan...!" ge-

rutu Panut merasa kesal dengan ulah kawannya 

yang satu ini. 

"Jadi apa yang kau pikirkan sejak tadi...?" 

"Ah, aku sih cuma memikirkan apakah saat 

ini istriku sudah melahirkan apa belum...!" 

"Dasar sinting. Otakmu tak pernah lepas-

lepas dari memikirkan istrimu melulu!" Panjul 

hanya terkekeh. Sementara itu Panut sekarang be-

ralih pada Godot. 

"Bagaimana menurutmu, Saudara...!" 

"Kalau aku tahu jalan keluar dari tempat 

celaka ini, sudah barang tentu sejak kemarin-

kemarin aku telah merat dari sini. Cobalah kalian 

lihat. Mereka yang berbadan kurus kering yang 

terbelenggu rantai baja itu, sesungguhnya memili-

ki kepandaian tinggi tidak setolol kalian. Tokh me-

reka saja tak mampu menghindar dari tempat ini. 

Jangankan hanya kita...!" 

"Kalaupun bisa keluar semua usaha men-

jadi sia-sia. Kota Hantu tak pernah luput dari pen-

jagaan mayat-mayat bergentayangan. Aku sendiri 

merasa takut dengan yang namanya mayat hi-

dup...!" 

"Kalau begitu sampai mampus kita tetap 

terkurung di tempat ini...!" Godot akhirnya hanya 

menggerutu, lalu merebahkan tubuhnya di lantai 

becek dan lembab. 

*** 

"Masih jauhkah tempat itu dari sini...?"


tanya gadis bertopi caping itu pada pemuda yang 

berjalan di sisinya. Sementara perhatiannya tak 

lepas-lepas dari pemuda berwajah tampan ini. 

"Hmmm. Tidak begitu jauh, mungkin satu 

hari lagi kita akan sampai di sana!" kata si pemuda 

seadanya. 

"Tiga hari tiga malam kita melakukan per-

jalanan tanpa henti, Kakang...! Tubuhku terasa 

letih sekali, bahkan perutku terus melilit minta 

diisi...!" 

"Dendeng ikan lumba-lumba telah habis 

kau makan semuanya, masak makan sebegitu ba-

nyak kau masih merasa lapar juga...?" kata Buang 

Sengketa sambil terus mengayunkan langkahnya. 

"Ah... hanya empat potong saja. Mana cu-

kup membuatku kenyang...!" kilah si gadis ber-

sungut-sungut. 

"Yang lapar itu, mulutmu atau perutmu...?" 

"Perutku…!" 

"Tapi kulihat bibirmu yang berkata be-

gitu...!" 

"Ah, Kakang jangan bercanda...!" rengek 

Lukita Sari begitu manja. 

Buang Sengketa tergelak-gelak. Dalam hati-

nya merasa senang juga sepanjang perjalanan di-

temani oleh seorang gadis cantik yang memiliki 

kepandaian yang mengagumkan pula. 

"Aha... lihat...!" kata pemuda itu, mendadak 

dia hentikan langkah. 

"Ada apa Kakang...?" tanya Lukita Sari. 

Pendekar Hina Kelana kemudian dengan te-

lunjuknya menunjuk pada sebuah dahan pohon


yang terdapat di depannya. 

"Yang kau maksudkan ayam hutan itu...?" 

"Ya...! Ayam jantan yang gemuk... kalau kita 

tangkap, kita pasti dapat menikmati dagingnya...!" 

Berkata begitu si pemuda memungut se-

buah batu sebesar ibu jari. Kemudian dengan si-

kap ayal-ayalan. Pemuda ini pun menyambitkan 

batu itu. 

"Taakk...!" Batu tepat menghantam bagian 

kepala ayam hutan yang bertengger di atas se-

batang pohon. Sesaat ayam jantan itu mengge-

lupur, kemudian tubuhnya melayang jatuh di atas 

rerumputan. Kedua muda-mudi ini kemudian ber-

jalan menghampiri ayam tadi. Setelah memungut 

dan mengurut-ngurut dadanya. 

"Lumayan! Ayam ini cukup gemuk...! Seka-

rang kau yang membersihkan bulu dan koto-

rannya. Biarkan aku yang mengumpulkan kayu 

bakar dan membuat apinya...!" Buang Sengketa 

dan Lukita Sari tak begitu lama kemudian telah 

tenggelam dalam kesibukan masing-masing. 

Ketika Lukita Sari selesai mengerjakan 

ayam itu, maka bara apipun telah disiapkan oleh 

si pemuda. Tak lama setelahnya ayam hutan itu 

pun telah dipanggang di atas bara yang merah 

menyala. Menunggu daging ayam itu masak, se-

bentar-sebentar Lukita Sari memperhatikan wajah 

Buang Sengketa. Entah mengapa setiap meman-

dang sosok wajah yang sangat tampan itu, hati 

gadis itu terasa bergetar. Bahkan secara diam-

diam dia mulai mengagumi pendekar dari Negeri 

Bunian ini.


"Jangan kau pandangi aku sedemikian ru-

pa...!" sindir Buang Sengketa ketika secara tak 

sengaja mata mereka saling beradu pandang. Wa-

jah Lukita Sari berubah memerah. 

"Kenapa, memang tidak boleh...!" desah si 

gadis mengajuk. Buang Sengketa tertawa lepas 

"Bukan tak boleh! Tapi aku takut, nanti kan 

jatuh cinta padaku...!" 

"Ah.... Kakang... mana mungkin ada orang 

yang sudi dengan perempuan macamku ini...!" 

ucap Lukita Sari salah tingkah. 

"Nah... nah... apa kubilang...!" 

"Memang apa...?" tanya Lukita Sari tersipu 

malu. 

"Kalau kau jelek, mana mungkin Candra Ki-

la mengharapkan kau menjadi istrinya!" kata 

Buang Sengketa sambil terus membolak balik 

ayam panggang yang hampir matang. 

"Terhadap manusia jelek seperti dia siapa 

mau...!" 

"Kalau kamu nggak mau sama dia, apakah 

kau mau sama aku...?" ledek Buang Sengketa 

langsung tunjuk hidung. 

"Iiih.... Kakang! Pandai sekali kau mera-

yu...!" kata gadis bertopi caping ini. Saat itu wa-

jahnya yang bersemu merah terpanggang panas 

matahari semakin bertambah merah karena di-

hinggapi perasaan salah tingkah. 

"Eee... sudahlah...! Sekarang ayam yang 

kupanggang ini sudah matang! Coba kau cicipi...!" 

kata Buang Sengketa, seraya menyodorkan se-

bagian daging panggang di tangannya pada Lu-kita


Sari. Sambil mengunyah daging ayam panggang 

yang sangat lezat, pemuda ini pun selanjutnya 

berkata: 

"Hari sudah mendekati malam. Kota Hantu 

sungguh berbahaya sekali pabila malam hari. Ada 

baiknya kalau besok kita meneruskan per-

jalanan...!" 

"Apapun keputusanmu, aku akan menu-

rut...!" 

Pendekar Hina Kelana angguk-anggukkan 

kepalanya. 



SEMBILAN



Ketika laki-laki berbadan bungkuk itu sam-

pai di Kota Hantu. Matahari baru saja menapak di 

ufuk timur. Embun pun masih menempel di atas 

dedaunan, tiada menghiraukan suasana seperti 

itu. Candra Kila yang baru saja membebaskan diri 

dari kejaran Lukita Sari di Gua Bin-tang, dengan 

mantap terus melangkah mendekati Kota Hantu 

yang lengang. Dengan gerakan yang sangat lincah. 

Laki-laki bungkuk mata picak ini menyelinap dari 

lorong ke lorong. 

"Kukira sekaranglah saatnya yang paling 

tepat untuk menghancurkan Durga Wungu dan 

orang-orangnya! Sesuai dengan rencanaku untuk 

tidak mengalami banyak rintangan dari mayat-

mayat hidup yang dikendalikan oleh Iblis Dua Mu-

ka dan Setan Gila. Maka mulai dari sini kota akan 

kubakar....'" bathin laki-laki ini. Tak lama setelah


nya dia pun telah menurunkan buntalan yang di 

dalamnya terdapat berpuluh potongan tepas ke-

lapa yang telah dicelup dengan minyak pembakar. 

"Bleep.... Whueeeer...!" 

Api pun segera membesar ketika Candra Ki-

la menghidupkan sabut kelapa yang sudah dicelup 

bahan minyak bakar. Nampaknya segala sesua-

tunya telah diperhitungkan oleh Candra Kila. Ter-

bukti ketika api mulai berkobar-kobar. Laki-laki 

bungkuk ini pun telah pula bergerak membakar 

bangunan tua yang terdapat di sebelah selatannya. 

Kemudian berpindah lagi di bagian sebelah barat. 

Sehingga Kota Hantu akhirnya benar-benar terke-

pung api dari segala penjuru. Entah apa yang 

menjadi tujuan Candra Kila membakar kota yang 

selama ini sangat ditakuti oleh banyak orang. 

Tetapi akibat dari pembakaran-pembakaran 

yang dilakukan Candra Kila tak sampai sesaat 

kemudian sudah mulai kelihatan hasilnya. Dari 

atas bangunan maupun dari lorong-lorong yang 

begitu banyak jumlahnya. Nampak berlarian ber-

puluh-puluh laki-laki maupun wanita bertubuh 

aneh pakaian hitam ke segala penjuru. Tak ter-

dengar suara-suara teriakan. Hanya dengusan-

dengusan bagai suara seekor lembu jantan yang 

sedang marah. Melihat gelagat ini, nampaknya 

Candra Kila mengetahui siapa sebenarnya orang-

orang yang sedang berlarian menghindari amukan 

api itu. 

"Ha... ha... ha....! Begitu lama aku men-

gadakan penyelidikan, akhirnya ku tahu juga 

bahwa sebenarnya mayat-mayat bergentayangan


tanpa nyawa ini kiranya takut pada api. Tak ter-

bayangkan oleh ku betapa marahnya Setan Gila 

dan Iblis Dua Muka yang menjadi majikan mayat-

mayat itu....!" batin Candra Kila. Saat itu dia me-

mang sedang bersiap-siap menyambut keda-

tangan mayat gentayangan yang sedang berusaha 

menghindari api. 

"Hayaa... pada mampuslah kalian se-

muanya....'" teriak Candra Kila, lalu menyabetkan 

obornya ke segala penjuru. Keanehan demi ke-

anehanpun terjadilah. Setiap mayat-mayat gen-

tayangan itu tersentuh api. Maka tubuhnya lang-

sung melepuh, kemudian terhuyung-huyung. Se-

lanjutnya tersungkur ke atas tanah. Tidak sampai 

di situ saja tubuh mayat bergentayangan itu pun 

meleleh dan menimbulkan bau busuk yang sangat 

menyengat hidung. 

Api semakin lama semakin bertambah 

membesar. Seolah ingin meluluh lantakan ban-

gunan-bangunan tua yang terdapat di Kota Hantu. 

Korban terus berjatuhan, Candra Kila yang bekerja 

seorang diri menghadapi sekian banyak mayat-

mayat yang berusaha membebaskan diri dari ke-

pungan api. Tentu saja semakin lama semakin ke-

teter juga. Hanya karena semangatnya yang begitu 

tinggi untuk membalas dendam pada Durga Wun-

gu. Dia tidak begitu menghiraukan dirinya sendiri. 

Sedang gencar-gencarnya laki-laki bungkuk mata 

picak melakukan pembantaian terhadap mayat-

mayat yang bergentayangan itu. Dari kobaran api 

di atas bangunan-bangunan yang sudah tua itu. 

Nampak berkelebat dua sosok bayangan tubuh


mendekati Candra Kila. Melihat gerakan tubuhnya 

yang begitu lincah dan ringan. Jelas sekali kalau 

mereka ini memiliki kepandaian yang sangat ting-

gi. 

"Wuuut...! Wuuuut...!" 

Begitu datang langsung kirimkan dua puku-

lan ke arah Candra Kila yang sedang membantai 

mayat-mayat gentayangan. Laki-laki bungkuk ini 

merupakan tokoh yang sudah kenyang makan 

asam garam dunia persilatan, sudah tentu begitu 

ada sambaran angin pukulan dia menyadari 

adanya bahaya yang sedang mengancam dirinya. 

Dengan gerakan yang sangat cepat, Candra Kila 

melompat ke samping kiri. Lalu lambaikan tan-

gannya pula. 

"Blaaam…!" 

Tubuh laki-laki mata picak ini tergetar se-

saat lamanya. Sementara dua orang yang sangat 

dikenalnya telah sampai pula di depannya. 

"He... kau...! Kukira sejak menjadi pecun-

dang engkau tak berani lagi datang ke sini. Tern-

yata kau masih mempunyai muka untuk menim-

bulkan kekacauan di Kota Hantu...!" selak Iblis 

Dua Muka dengan wajah berang. 

"Huh...! Kedatanganku tak ada sangkut 

pautnya dengan diri kalian. Aku sengaja datang 

untuk mengadakan perhitungan lama yang belum 

dilunasinya...!" dengus Candra Kila, dari nada sua-

ranya nampak sangat meremehkan sekali. 

"Sombong sekali bicaramu, punggung 

bungkuk...!" sentak Setan Gila nampak kurang be-

gitu senang dengan kehadiran Candra Kila yang



dulu pernah dikalahkan oleh Durga Wungu. 

"Aku tidak hanya sekedar bicara, iblis dan 

setan muka dajal. Cepat-cepat engkau panggillah 

Durga Wungu untuk menghadap ku, jika tidak 

bukan Kota Hantu saja yang akan ku ratakan den-

gan tanah, tetapi jiwa kalian pun akan kubuat me-

layang...!" kata Candra Kila mengancam. 

"Krrrtttkh... Grrrr.... Ingin kulihat, apakah 

berhadapan dengan Iblis Dua Muka kau mam-

pu...!" geram laki-laki berbadan tinggi semampai 

dan berkulit sawo gosong ini penasaran sekali. 

"Hiaaat...!" teriak Candra Kila, lalu dengan 

mengandalkan ilmu mengentengi tubuh yang su-

dah mencapai taraf sempurna. Laki-laki berbadan 

bungkuk ini pun mulai membuka serangan den-

gan jurus-jurus tangan kosongnya. Nam-paknya 

Iblis Dua Muka pun yang sudah dirasuki kemara-

han tidak mau kalah. Terbukti orang ini pun men-

yambut serangan Candra Kila dengan pukulan-

pukulan tangan kosong yang lebih he-bat lagi. 

Hanya dalam tempo yang singkat, pertarun-

gan pun telah berlangsung belasan jurus. Tetapi 

masih belum ada tanda-tanda siapa yang keluar 

sebagai pemenangnya dalam pertarungan itu. Hal 

ini membuat Candra Kila menjadi gusar bukan 

alang kepalang. Kemudian satu lompatan yang 

disertai dengan lolongan panjang, melambungkan 

tubuh Candra Kila. Dalam kesempatan seperti itu, 

dia mengerahkan sebagian tenaga dalam yang di-

milikinya ke bagian telapak tangannya. Dengan 

sangat cepat sekali tangan Candra Kila yang telah 

teraliri tenaga dalam itu berubah menjadi merah


bara. Tak salah lagi, saat itu Candra Kila sudah 

bersiap-siap melepaskan Pukulan Segara Geni 

yang sangat hebat itu. 

"Huaaa...! Wuuuus...!" 

Iblis Dua Muka menjadi pucat wajahnya, 

namun dalam keadaan begitu masih juga ia sem-

pat tergelak-gelak. Satu gerakan yang lebih cepat 

menghantam ke arah Pukulan Segara Geni yang 

dilepaskan oleh Candra Kila! Pukulan yang me-

ngandung hawa dingin dengan pukulan yang me-

nebarkan hawa panas saling beradu. 

"Blaaaam...!" Tanah di sekitar tempat itu 

tergetar, sementara tubuh Candra Kila dan Iblis 

Dua Muka sama-sama terdorong lima tombak. Da-

da terasa sesak luar biasa. Melihat kejadian seperti 

itu, Setan Gila yang sejak awal menyaksikan ja-

lannya pertempuran nampak tertawa tergelak-

gelak. 

"Saudara Iblis...! Mengapa banyak mengulur 

waktu, lebih baik kau kerahkan pukulan 'Iblis 

Penggoda' atau kau cincang saja tubuhnya men-

jadi dendeng...!" 

"Diamlah sobat! Tak lama lagi, aku pasti 

akan membuatnya menjadi hantu bergentayangan 

di tempat ini....!" 

"Jangan mimpi, iblis muka jelek...?" sentak 

Candra Kila. Belum lagi usai kata-kata yang diu-

capkannya. Secara tiba-tiba tubuhnya berputar-

putar. Sementara di tangan laki-laki bungkuk itu 

tergenggam senjata pusakanya yang berupa belati 

yang memiliki panjang tak kurang dari satu meter. 

Berputarnya tubuh Candra Kila semakin


lama semakin cepat, hingga lama kelamaan tak 

ubahnya bagai sebuah gasing mainan anak-anak. 

Dalam keadaan seperti itulah tubuh orang ini me-

labrak apa saja yang begitu dekat dengan dirinya. 

"Mengapa harus menghindar seperti itu, 

Saudara Iblis? Cepat hantamkan pukulanmu...!" 

teriak Setan Gila memanas-manasi. 

"Hiaaat.... Huaaa...!" 

Tubuh Iblis Dua Muka nampak melenting 

ke samping kiri, tapi Candra Kila dengan senjata 

tetap tergenggam di tangannya terus memburu. 

Pada satu kesempatan yang sangat baik, tubuh 

Candra Kila mendekat. 

"Kreeess...! Brebeeeet...!" 

"Ahh... kurang ajar...!" 

Iblis Dua Muka berteriak keras saat mana 

bagian bahunya tergores senjata di tangan Candra 

Kila. Kiranya tak terhenti sampai di situ saja, laki-

laki berbadan bungkuk itu kembali memburu. Iblis 

Dua Muka saat sedang bersiap-siap untuk me-

lepaskan pukulan mautnya. 

"Jraaaas...!" 

"Akkkhg...!" 

"Wueeeer...!" 

Sungguh pun tubuhnya dalam keadaan 

terhuyung-huyung akibat luka di bagian dadanya, 

namun Iblis Dua Muka masih sempat juga le-

paskan pukulan. Tak dapat dicegah lagi, serang-

kum gelombang pukulan yang menimbulkan hawa 

panas luar biasa memburu ke arah Candra Kila. 

Laki-laki berbadan bungkuk muka pucat ini segera 

kerahkan Ajian Palingmunan.


"Plaaaaass...!" 

Bukan saja pukulan yang dilancarkan oleh 

Iblis Dua Muka mencapai sasaran kosong, tetapi 

juga tubuh lawannya raib begitu saja. Menyadari 

keadaan seperti ini Iblis Dua Muka secara hampir 

bersamaan memaki: "Jadah...!" 

"Bagaimana sobat...! Si punggung onta ki-

ranya dapat menghilang seperti setan." kata Setan 

Gila, lalu tersenyum-senyum mengejek. 

"Dia kira aku tak mampu melakukan apa 

yang dia tunjukkan. Puih, hanya mainan anak-

anak seperti itu...?" 

"Buk....! Buuuk...!" 

"Uhkgh...!" 

Belum lagi sempat Iblis Dua Muka meng-

akhiri kata-katanya, satu tendangan yang begitu 

telak mendarat di punggungnya. Apa yang dialami 

oleh Iblis Dua Muka, rupanya menimbulkan kema-

rahan yang sangat besar di hati Setan Gila. Tak 

ayal lagi, sambil membentak dia pun langsung ter-

jun ke dalam arena pertarungan. 

"Saudara Iblis...! Kita sudah terlalu banyak 

membuang-buang waktu. Bahkan korban di pihak 

kita sudah terlalu banyak. Hancurkan manusia si-

luman itu....!" 

"Pergunakan pukulan Iblis Penunggu Kege-

lapan....'" teriaknya. 

"Zeeeb...! Zeeeb...!" 

Tanpa berkata-kata lagi. Iblis Dua Muka 

dan Setan Gila membuka sebuah jurus sesat ting-

kat tinggi. Tubuh mereka nampak terdiam tiada 

bergeming. Tapi di saat yang lain kaki dan tangan


yang telah teraliri tenaga dalam itu bergerak perla-

han, seolah sedang berusaha mencari posisi lawan 

yang tidak terlihat oleh kasat mata. 

"Wuuusss...!" 

"Dhaaaak.... Thaaaak...!" 

Satu sambaran angin yang sangat keras 

menderu, lalu menghantam tubuh Iblis Dua Muka 

dan Setan Gila. Tapi tubuh mereka tiada bergem-

ing sedikit pun. Sebaliknya orang-orang ini malah 

keluarkan tawa menyeramkan. 

"Sudah kutemukan posisinya...!" 

"Ya... aku pun sudah mengetahui posis-

inya...!" sahut Setan Gila tak mau kalah. Serta 

merta kedua orang ini berbalik, lalu mereka men-

garahkan pukulannya ke satu arah. 

"Heeeup...!" 

"Chaaaa...!" 

Begitu kedua orang ini hantamkan kedua 

tangannya ke depan. Serangkum gelombang puku-

lan yang menimbulkan hawa dingin dan panas 

menderu. Pada saat yang sama, kira juga Candra 

Kila yang tak terlihat kasat mata karena Aji Pang-

lemunan, sudah pula melepaskan Pukulan Segara 

Geni. 

"Herrrrtk...!" 

"Blaaaammm...!" 

Terdengar suara jeritan tinggi melengking 

dari mulut Candra Kila. Tubuh laki-laki besar dan 

bungkuk ini pun terpelanting tujuh tombak se-

dangkan di pihak lawan hanya tergetar saja. Wa-

laupun memang tidak dapat disangkal, saat itu 

mereka merasakan dada mereka sesak luar biasa.



Namun setelah menghimpun hawa murni, maka 

rasa sesak itu pun mulai berkurang. 

Laki-laki bungkuk mata picak, yang sudah 

tidak dilindungi oleh Ajian Panglemunan nampak 

tertatih-tatih. Wajahnya yang pucat bagaikan ma-

yat, semakin bertambah pucat. Sementara dari 

bibir dan hidungnya mengalir darah kental kehi-

tam-hitaman. Nampaklah kalau saat itu Candra 

Kila sedang menderita luka dalam yang cukup pa-

rah. 

"Ha... ha... ha...! Kau akan segera mampus, 

Candra Kila...!" 

"Jangan diberi kesempatan hidup padanya 

lebih lama lagi...!" geram Setan Gila. 

"Ciaaat...!" 

Setan Gila kembali hantamkan pukulan 

mautnya. Dengan tubuh sempoyongan laki-laki 

bungkuk dari Gua Bintang ini berusaha menghin-

dari pukulan yang dilancarkan oleh Setan Gila. 

"Dwuuuuueeer...!" 

"Geeeekh...!" 

Candra Kila terpelanting roboh. Tubuhnya 

yang berubah membiru itu hanya berkelojotan se-

saat saja. Selanjutnya terdiam untuk selama-

lamanya. 

"Mampus juga laki-laki bungkuk ini akhir-

nya...!" geram Iblis Dua muka. Lalu kedua ma-

nusia sesat ini saling berpandangan sesamanya. 

Tetapi mereka akhirnya dibuat terperangah ke-tika 

mereka mendengar suara teriakan-teriakan dan 

dentingan beradunya senjata tajam. 

"Jahanam! Pekerjaan siapa lagi itu, Saudara

Setan Gila...!" 

"Aku pun tidak tahu, tapi ada baiknya ka-

lau kita ke sana. Siapa tahu manusia bungkuk ini 

membawa orang lain ke sini...!" 

"Ayolah...!" 

Tanpa buang-buang waktu lagi, keduanya 

pun segera berlari-lari di sela-sela kobaran api 

yang sedang berkobar membumihanguskan Kota 

Hantu. 


SEPULUH



Ketika Pendekar Hina Kelana dan Lukita 

Sari sampai di Kota Hantu. Mereka melihat kota 

angker ini sudah dilanda kobaran api. Siapapun 

yang melakukan pembakaran atas Kota Hantu, 

keduanya tidak perduli. Yang pasti orang itu seti-

dak-tidaknya telah mengetahui situasi di dalam-

nya. Juga termasuk mayat-mayat bergentayangan 

yang selama ini menghuni di dalamnya. 

"Jleeek...!" 

Dengan posisi yang berada di sebelah Ti-

mur. Dengan jelas mereka dapat melihat pertarun-

gan yang sedang terjadi di ujung lorong. Antara 

seorang tokoh melawan puluhan mayat-mayat 

bergentayangan yang sedang berusaha membe-

baskan diri dari kepungan api. Dari sini sadarlah 

Buang Sengketa maupun Lukita Sari, sesung-

guhnya kelemahan mayat-mayat suruhan itu terle-

tak pada api. Tanpa sungkan-sungkan lagi, kedua 

muda mudi menyerbu ke tengah-tengah kota yang


di sekelilingnya sudah dilanda kobaran api. Den-

gan menggunakan obor, Buang maupun gadis ber-

topi caping itu membantai mayat suruhan yang 

sedang sibuk menyelamatkan diri dan dilanda ke-

panikan. Sepuluh tombak maju ke depannya, 

Buang Sengketa melihat beberapa sosok tubuh 

menggapai-gapai tangannya dari sebuah ruangan 

bawah tanah. 

Tanpa menunggu lebih lama keduanya pun 

menyerbu ke sana. Setelah melihat keadaan orang-

orang yang terbelenggu rantai dan mengenali se-

cara pasti, dua diantaranya. Tahulah pemuda 

keturunan Raja Ular Piton Utara dari Negeri 

Bunian ini, bahwa mereka adalah para tawanan 

yang berusaha mencari selamat. 

Karena rantai yang membelenggu tangan 

dan kaki mereka, terasa begitu sulit untuk di-

buka. Tak ayal lagi Buang Sengketa mempergu-

nakan Pusaka Golok Buntung untuk memutus-

kan rantai yang membelenggu tangan dan kaki pa-

ra tawanan itu. 

"Craaaang...! Traaas...! Traaaas...!" 

"Pendekar Golok Buntung...!" seru Panjul 

dan Panut yang dulunya pernah bertemu bahkan 

terlibat pertarungan dengan pendekar itu, ketika 

mereka masih menjadi murid di perguruan Jagad 

Kelanggengan. (Dalam episode Satria Penggali Ku-

bur). 

"Cepat bebaskan kawan-kawan kalian yang 

lain...!" perintah pemuda itu tanpa menghirau-kan 

ucapan Panjul yang terus membelalak begitu meli-

hat berkelebatnya Pusaka Golok Buntung di tangan Buang Sengketa. 

"Lagi-lagi! Kami berhutang nyawa padamu, 

Pendekar...!" 

"Bagaimana kami harus membalasnya...!" 

kata Panut ikut bicara. 

"Guobloook...! Sudah kubilang, kalian sela-

matkan kawan-kawanmu...!" bentak pemuda itu. 

Dengan tergopoh-gopoh, orang-orang itu kembali 

menuruni tangga menuju ruangan bawah tanah. 

Tak begitu lama setelah orang-orang yang baru sa-

ja dibebaskan pendekar ini lenyap dari pandangan 

si pemuda. Dari arah lain, nampak berkelebat se-

sosok tubuh ke arah mereka. 

"Weeer...!" 

Tanpa diduga-duga, pendatang tak dikenal 

ini lambaikan jubahnya. Akibatnya sungguh di 

luar dugaan Buang Sengketa dan Lukita Sari. Tu-

buh kedua muda mudi ini terhuyung-huyung. An-

dai saja mereka tidak cepat-cepat memasang ku-

da-kuda. Dapat dipastikan dua-duanya ter-

jengkang. 

Begitu menjejakkan kakinya, satu bentak-

an yang disertai pengerahan tenaga dalam yang 

cukup tinggi pun menggeledek. 

"Bocah-bocah pentil...! Berani kalian datang 

ke Kota Hantu, itu sama saja artinya kalian mem-

buat urusan yang cukup dengan kami...!" kata la-

ki-laki tua berjubah hitam tanpa dapat menyem-

bunyikan kemarahannya. 

Buang Sengketa terdiam, tetapi Lukita Sari 

nampak terus menerus memandangi laki-laki itu 

dengan pandangan tiada berkedip sedikitpun juga.


"Mungkin inilah kakek Durga Wungu, yang meru-

pakan kakak tiri Nenek Gombrang. Tak salah, ma-

nusia yang sudah hendak masuk liang kubur ini 

tak pernah berubah seperti apa yang dikatakan 

oleh Penyihir Tunggal Pantai Selatan." batin gadis 

bertopi caping itu. 

"Belum pernah aku melihat tampang kalian 

sebelumnya, sekarang cepat-cepatlah katakan pa-

daku. Siapa kalian yang sesungguhnya...!" 

"Engkaukah yang bernama Durga Wun-

gu...?" selak Lukita Sari tanpa menghiraukan per-

tanyaan kakek berjenggot panjang itu. 

"Hrrrrt.... Keparat...! Ditanya malah balik 

bertanya. Tapi baiklah, kalau aku memang Durga 

Wungu, engkau mau apa…?" 

"Kalau memang betul anda Durga Wungu. 

Maka maksud kedatanganku ke sini adalah untuk 

mengambil jiwamu...!" 

"Haah... apa....! Tidak salahkah apa yang 

kudengar...? Ha... ha... ha....! Begitu berhargakah 

jiwa lapukku ini hingga kau menginginkannya...?" 

menggeram kakek berjubah hitam ini. 

"Ingatkah anda pada adik tiri anda yang 

bernama Sangra Wulan....!" desis gadis bertopi 

caping ini sinis. 

Begitu Lukita Sari menyebut-nyebut nama 

Sangra Wulan. Durga Wungu pun nampak terdiam 

beberapa saat lamanya. Alis mata mengkerut, tan-

da hatinya sedang diliputi dengan berbagai pera-

saan. 

"Sangra Wulan, adik tiri yang tiada guna. 

Dengan ilmu sihir picisan dia coba-coba menuntut


balas padaku... he... he... he....! Andai saja waktu 

itu dia tak kabur dalam pertempuran. Mungkin 

saat ini hanya tinggal namanya belaka....!" 

"Bocah! Apakah kedatanganmu kemari se-

ngaja mewakilinya...?" bentak Durga Wungu den-

gan pandangan berapi-api. 

"Terkutuklah engkau tua bangka. Kau-

pembunuh orang tua sendiri, kau kangkangi harta 

bendanya. Lalu kau singkirkan pula adik sendi-

ri....!" sentak Lukita Sari, nampaknya saat itu dia 

sudah merasa tak mampu membendung luapan 

kemarahannya. 

"Aku... aku pembunuh orang tuaku sendi-

ri.... huhu... hu... hu...! Bangsat bajingan Candra 

Kila itulah yang telah melakukannya. Aku menye-

salkan hal itu, tetapi segalanya mungkin memang 

harus terjadi. Dan itu bukanlah kesalahanku... 

ya... bukan kesalahanku...!" 

"Kau mau memungkiri semuanya! Dosa-

dosamu kelewat besar, para Dewa sekalipun tak 

mungkin mau memaafkanmu. Kalau pun engkau 

mati, itu pun belum setimpal untuk menebus se-

gala kesalahan yang pernah kau lakukan...!" teriak 

Lukita Sari. Menyadari kakek tua berpakaian ser-

ba hitam ini memiliki kepandaian yang begitu ting-

gi. Maka sejak awal dia telah mempersiapkan sega-

la sesuatunya. 

"Herrng...! Kau utusannya si Buntung San-

gra Wulan. Hok... hok... hooo...! Pucuk dicinta 

ulam menyerah. Kau memang pantas mampus di 

tanganku...!" geram Durga Wungu. 

Kejap kemudian dia sudah bermaksud


membuka serangan, namun pada saat itu terden-

gar satu seruan yang disertainya berkelebatnya 

dua sosok tubuh, dan langsung berdiri di sisi Dur-

ga Wungu. 

"Tuan...! Biarkan kami yang meringkus dua 

ekor tikus muda ini untuk tuan...!" sergah Setan 

Gila. 

Sejenak Durga Wungu memandangi dua 

orang tangan kanannya, lalu mendengus dengan 

sikap tidak senang: "Kota Hantu yang selama ini 

ku bangga-banggakan sudah diambang kehan-

curan, kini kalian datang hanya dengan maksud 

menghibur ku.... Puih...! Kalian berdua hadapi bo-

cah gombal itu! Biarkan gadis cantik ini menjadi 

bagianku....'" bentak kakek renta berpakaian serba 

hitam ini gusar. 

Menyadari majikannya sedang dilanda ke-

marahan, maka tanpa menunggu diperintah dua 

Iblis Dua Muka dan Setan Gila segera menyerang 

Pendekar Hina Kelana dengan jurus-jurus an-

dalannya. 

"Hiaaaat...!" 

"Haeeees...!" Buang Sengketa mengelak-

kannya dengan cara menggeser tubuhnya ke 

samping kiri. Selanjutnya satu tendangan kilat dia 

lakukan, namun dengan cara berjumpalitan Setan 

Gila dan Iblis Dua Muka berhasil pula menghin-

dari serangan lawannya. Sebentar saja pertarun-

gan seru pun segera terjadi. Nampaknya masing-

masing lawan mulai mengeluarkan jurus-jurus 

simpanannya. 

Sementara itu, pertarungan antara Lukita



Sari dan Durga Wungu juga tak kalah hebatnya. 

Apalagi kakek berpakaian serba hitam ini meru-

pakan tokoh sesat yang dulunya pernah menga-

lahkan guru si gadis. Sungguh pun begitu, Lukita 

Sari juga bukanlah bocah kemarin sore yang dapat 

dianggap remeh. 

Rahasia Ilmu Sihir yang diberi nama 'Ba-

yang-Bayang Dewa' yang berhasil dipelajarinya 

merupakan Ilmu Sihir yang sangat langka dan 

mengandung banyak tipu muslihat. Maka ketika 

pertarungan tingkat tinggi itu berlangsung, kesak-

tian yang mereka miliki pun segera mereka gelar 

dalam pertempuran itu. 

"Chaaaa...!" 

Tubuh Durga Wungu melambung tinggi ke 

angkasa dalam keadaan seperti itu sambil ber-

siap-siap melepaskan pukulan 'Musnah Tanpa Ka-

rana', kakek berpakaian serba hitam ini berseru. 

"Bocah bau ingus! Kau tahanlah pukulan 

mautku ini, kerahkan segala kemampuan yang 

kau miliki. Seandainya nasibmu baik, mungkin 

kau masih dapat melihat matahari esok pagi...!" te-

riak Durga Wungu. Pada saat seperti itu, kedua 

tangan kakek tua ini telah pula berubah putih 

menyilaukan mata. Bahkan sebentar kemudian se-

luruh tubuhnya telah pula berubah putih. Tak da-

pat dibayangkan betapa hebatnya pukulan yang 

akan dilepaskan oleh lawannya. 

Lukita Sari menyadari akan datangnya ba-

haya ini, dalam pertarungan menghadapi tokoh 

tingkat tinggi untuk kali ini, dia tak mau mem-

pergunakan segala bentuk ilmu sihir yang di


milikinya, karena dia pun berpikir. Walau bagai 

mana pun lawannya yang pernah bentrok dengan 

gurunya pastilah mengetahui kelemahan ilmu sihir 

yang dimilikinya. Akhirnya tanpa merasa cang-

gung-canggung lagi, gadis bertopi caping ini men-

cabut Keris Jalak. Yaitu senjata pemberian gu-

runya yang berhasil dicurinya dari tangan Durga 

Wungu ketika mereka saling bentrok dulu. 

"Hiaaaiiit...!" 

"Hwwwweeeeeesss...!" 

Serangkum gelombang sinar putih yang 

menimbulkan angin ribut dan hawa panas tak ter-

tahankan menghantam tubuh Lukita Sari yang ha-

lus mulus. Sedemikian cepatnya datangnya gelom-

bang pukulan yang dilepaskan oleh Durga Wungu 

itu, sehingga semua orang yang berada di tempat 

itu memperkirakan gadis bertopi caping ini tak 

mungkin mampu menghindarinya. 

"Sriiing...!" 

Dalam keadaan yang sangat kritis itu, serta 

merta Lukita Sari mencabut senjata kegelapan 

yang terselip di bagian pinggangnya. 

"Plaaas...!" 

Tubuh Lukita Sari secara gaib lenyap begitu 

saja, begitu pun dia tetap tidak bergeser dari tem-

patnya semula. 

"Jleeeeng...!" 

Pukulan yang dilepaskan oleh Durga Wun-

gu bagai membentur dinding baja. Bahkan puku-

lan itu membalik dengan sendirinya. Andai Durga 

Wungu tidak cepat-cepat membuang tubuhnya. 

Pasti dia termakan pukulannya sendiri.


"Celaka...! Senjata kegelapan milikku, kira-

nya ada di tanganmu.... Sangra Wulan benar-

benar seorang pencuri yang licik...!" maki Durga 

Wungu di dalam hati. 

"Kerahkanlah segenap kemampuan yang 

kau miliki Durga Wungu. Senjata kegelapan yang 

merupakan segala kelemahan dari ilmu kesaktian 

yang kau miliki, kini telah berada di tanganku...!" 

ejek Lukita Sari dalam suaranya yang tidak beru-

jut. 

"Kau hanya membual! Aku tak kan pernah 

dapat dikalahkan dengan senjata jenis apapun...!" 

balas Durga Wungu berusaha menutupi keresahan 

hatinya. 

"Kalau begitu, bersiap-siaplah kau untuk 

mampus...!" desis Lukita Sari. Kali ini malah ber-

balik menyerbu. 

Ketika itu, tidak jauh dari tempat perta-

rungan antara Durga Wungu dengan Lukita Sari. 

Buang Sengketa sedang berusaha mengatasi gem-

puran-gempuran yang dilakukan oleh Iblis Dua 

Muka dan Setan Gila. Pada hakekatnya ilmu pu-

kulan tangan kosong yang dimiliki oleh kedua la-

wannya memang mengandung racun yang sangat 

panas. Bahkan dalam menghadapi setiap lawan-

lawannya, selama ini kedua tokoh sesat tingkat 

tinggi ini cukup hanya mengandalkan pukulan 

‘Mayat Gentayangan’ yang tidak perlu diragukan 

lagi keampuhannya. 

Menjelang pertarungan lima puluh jurus, 

Buang dengan telak kena dihajar pukulan yang di-

lepaskan oleh Setan Gila. Tubuh pemuda ini terjengkang tiga tombak, darah meleleh dari hidung 

dan bibirnya, sementara bagian dada maupun pe-

rut, terasa sesak luar biasa. 

"Ha... ha... ha...! Pukulan Mayat Gentayan-

gan tidak dapat dianggap sembrono, Bocah...! Ra-

cun yang bekerja di dalam tubuhmu sebentar lagi 

segera membuat nyawamu terbang ke neraka...!" 

"Hoeeek...! Glook.... Glook...!" Dua kali 

Buang Sengketa terbatuk. Maka darah kental pun 

menggelogok dari mulutnya. Dalam keadaan seper-

ti itu pun pemuda ini masih mampu menyung-

gingkan seulas senyum rawan. Di luar dugaan ke-

dua lawannya, Buang Sengketa dengan langkah 

terhuyung-huyung segera bangkit berdiri. 

"Nguuuung...!" 

Begitu dia meraba pinggangnya, maka Pu-

saka Golok Buntung pun telah tercabut dari sa-

rungnya. Baik Setan Gila maupun Iblis Dua Muka 

nampak sama-sama terkejut begitu melihat sen-

jata di tangan lawannya memancarkan sinar 

merah menyala. 

"Pendekar Golok Buntung...!" 

"Hmmm...!" gumam Pendekar Hina Kelana. 

Sementara itu dari sela-sela bibirnya mengeluar-

kan bunyi mendesis-desis bagai seekor ular piton 

yang sedang marah. "Seandainya aku merupakan 

seekor monyet tolol, tentu aku sudah mampus di 

tangan kalian para iblis! Berpuluh-puluh kesem-

patan telah kuberikan pada kalian.... Menyesal ka-

lian tak pernah becus mempergunakan setiap ke-

sempatan dengan baik. Kini rasakanlah akibat-

nya...!" geram pemuda itu. "Hiaaaaat...!"


Tubuh Buang Sengketa kemudian melom-

pat ke depan, Golok Buntung di tangannya berke-

lebat-kelebat menyambar. Sekejap saja tubuh pe-

muda itu telah terbungkus sinar merah yang di-

pancarkan oleh senjata pusaka yang memiliki pa-

mor sangat tinggi ini. Sekali dua untuk mem-

porakporandakan pertahanan lawannya, pemuda 

ini melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana. 

Yang menimbulkan hawa sedemikian hebat pa-

nasnya. 

Pada kenyataannya setelah pertempuran 

dengan mempergunakan senjata berlangsung tidak 

lebih tujuh jurus. Setan Gila dan Iblis Dua Muka 

sudah terdesak hebat. Tidak sedikit pun peluang 

bagi mereka untuk melepaskan pukul-an-pukulan 

saktinya. 

Semakin lama jarak antara si pemuda den-

gan lawannya semakin bertambah dekat, lagi-lagi 

pemuda dari Negeri Bunian ini melompat sambil 

membabatkan senjatanya. 

"Hiaaaat...!" 

"Craaas...!" 

Setan Gila terhuyung-huyung sambil men-

dekap bagian mukanya yang berlumuran darah. 

Tetapi tiada terdengar suara apapun dari mulut-

nya. Buang Sengketa tiada perduli. Sekali ini dia 

merangsak ke arah Iblis Dua Muka. Laki-laki ber-

wajah menyeramkan ini melompat mundur dan 

bermaksud meninggalkan pertempuran. Namun 

nampaknya Buang sudah tidak memberikan ke-

sempatan lagi.... 

"Jraaas...!"


"Akgrrr...!" 

Begitu bagian leher Iblis Dua Muka tersam-

bar senjata di tangan Buang Sengketa, sekejap 

kemudian tubuh orang ini ambruk ke bumi. Ber-

kelejat-kelejat sebentar, lalu diam untuk selama-

lamanya. Belum lagi Pendekar Hina Kelana meno-

leh ke arah Setan Gila yang sudah tak berada di 

tempatnya. Terdengar pula satu jeritan. 

"Kau memang pantas mampus, manusia 

paling durhaka di kolong langit...!" geram Lukita 

Sari. Rupanya saat itu, gadis bertopi caping yang 

sedang terlibat pertempuran dengan Durga Wungu 

berhasil merobohkan kakek renta itu dengan sen-

jata kegelapan pemberian Penyihir Tunggal Pantai 

Selatan. 

"Satu orang lawan berhasil lolos dari ta-

nganku, Adik Ita...!" kata si pemuda setelah kedu-

anya saling mendatangi. 

"Suatu saat, Setan Gila pasti akan mencari 

kita Kakang...!" kata si gadis dengan tatapan sen-

du. 

"Yeaaah... di suatu saat kelak! Mungkin kita 

pun kan bertemu kembali...!" 

"Kakang... aku harus kembali menemui gu-

ruku di Daerah Tanah Bernyawa! Apakah kau mau 

ikut...?" tanya si gadis penuh harap. 

"Tidak sekarang! Tetapi di suatu saat ke-

lak...!" 

"Kita berpisah, Kakang...!" ujar Lukita Sari 

dengan tatapan kecewa. 

Tanpa berkata apa-apa pemuda berwajah 

tampan ini semakin mendekat. Wajah si gadis semakin memerah. 

"Kau tak ingin memberi ku satu kenang-

kenangan Kakang...!". tanya si gadis ketika mem-

balikkan langkah. 

"Ya...!" ujar Buang Sengketa. Lalu wajah 

mereka saling mendekat, Lukita Sari gemetar tu-

buhnya lalu memejamkan mata. Dengan tulus 

pemuda dari Negeri Bunian ini pun mencium bibir 

si gadis. Begitu lembut, namun tak sampai sekedi-

pan mata. 

"Itulah sebuah kenangan yang ingin kuberi-

kan padamu...!" kata Buang Sengketa ketika gadis 

bertopi caping itu membuka matanya kembali. 

"Aha... asyiiik...!" kata Panjul, Panut dan 

Godot ketika melihat adegan itu. Lukita Sari se-

makin bertambah memerah wajahnya, karena me-

rasa malu maka tanpa membuang-buang waktu, 

gadis itu pun berlari-lari cepat meninggalkan si 

pemuda dengan meninggalkan kerlingan penuh ar-

ti. 

"Maafkan kami Pendekar...! Kami bukan 

bermaksud mengganggu Pendekar! Sama sekali ti-

dak... kami hanya ingin mengucapkan rasa terima 

kasih...!" ucap ketiga orang lalu membungkuk 

hormat. Namun begitu mereka menoleh dan me-

mandang ke depannya, Pendekar Hina Kelana su-

dah tak ada lagi di depan mereka. 




                            TAMAT























 

Share:

0 comments:

Posting Komentar