BENCANA PEDANG ASMARA
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-
ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Bencana Pedang Asmara
SATU
Perguruan Kerudung Biru merupakan sebuah
perguruan silat beraliran putih, yang memiliki sejum-
lah murid yang terdiri dari kaum wanita. Sejak berpu-
luh-puluh tahun yang lalu, perguruan yang terletak di
kaki bukit Arjuna ini sangat disegani baik oleh kawan
maupun lawan, justru karena kehebatan Jurus Pedang
Delapan Penjuru Mautnya. Tak seorang pun berani
mengusik ataupun mencari perkara dengan Perguruan
Kerudung Biru yang dipimpin oleh nenek sakti berju-
luk Bidadari Pedang Maut ini. Kalaupun ada, mereka
itu tak lebih merupakan manusia-manusia nekad yang
ingin mencari mati.
Pagi itu bukit Arjuna diguyur hujan lebat, kea-
daan seperti ini memang sering terjadi di daerah yang
sangat subur ini. Tanah-tanah di sekitarnya nampak
lembab dan becek. Dalam keadaan hujan lebat seperti
itu, biasanya murid-murid Perguruan Kerudung Biru
lebih suka berada di dalam pondok perguruan, mengu-
rung diri dalam bilik kamar masing-masing. Atau ber-
kumpul dengan sesama anggota perguruan sambil
menikmati singkong rebus, yang mereka peroleh dari
kebun di belakang pondok. Tradisi seperti itu telah
berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada
saat itu. Dalam keadaan hujan lebat, tiga sosok tubuh
berjubah hitam nampak bermunculan dari balik bukit
Arjuna. Mereka ini dengan mempergunakan ilmu men-
gentengi tubuh terus berlari-lari mendekati pondok.
Ketika jarak mereka sudah berada begitu dekat dengan
pondok Perguruan Kerudung Biru. Serta merta mereka
hentikan langkah, tiap pasang mata berkilat-kilat aneh
langsung memusatkan perhatiannya di seputar pondok
yang lengang.
"Shinta...! Menurut laporanmu, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru jumlahnya mencapai bela-
san orang... tapi tak kulihat seorang pun di luar sa-
na...?" tanya salah seorang yang memiliki tubuh ramp-
ing dengan wajah coreng moreng.
"Tiga orang diantaranya pasti berada di dalam
pondok itu. Sedangkan lainnya seperti yang kuketahui
selalu pulang ke tempat tinggal masing-masing tidak
jauh dari tempat ini...!" jawab gadis yang bernama
Shinta.
Perempuan bertubuh ramping yang memiliki
nama Peri Lingga nampak mengeluarkan suara guma-
nan yang tak begitu jelas.
"Satu kemudahan bagi kita! Tak perlu mengoto-
ri tangan dengan banyak darah...!"
"Bagaimana kalau perawan-perawan yang be-
rada di dalam itu mengadakan perlawanan sengit?"
tanya Jubah Hitam wajah coreng moreng yang lainnya.
"Kau tak perlu resah Santy, aku telah mempela-
jari semua situasi di tempat ini. Pula guru mereka Bi-
dadari Tangan Maut sedang tak berada di tempat! Wa-
kil ketua, Lingga! Lebih baik kita memulainya sekarang
juga...!"
"Sebuah usul yang sangat baik! Mari kita urus
orang-orang yang berada di dalam pondok itu...!" Tiada
jawaban, tapi secara serentak tubuh jubah hitam wa-
jah coreng moreng bergerak mengepung pondok. Pada
saat mereka melakukan pengepungan itu, hujan lebat
nampak sudah mulai reda. Walaupun gerakan mereka
tidak menimbulkan suara mencurigakan, sebagai mu-
rid-murid yang sudah terlatih baik. Mereka yang bera-
da di dalam pondok seperti mengetahui kehadiran me-
reka.
"Hhh. Dengar! Seperti ada sesuatu di luaran
sana?" sentak salah seorang murid yang paling tua.
Kemudian memberi isyarat pada tiga orang kawannya.
"Mungkin guru yang datang...!" sahut yang
lainnya. Sambil berkata begitu gadis berpakaian kun-
ing ini melangkah ringan ke sudut kamarnya untuk
mengambil senjatanya yang berupa pedang Kembar.
"Kepulangan guru masih begitu lama, mereka
pastilah orang-orang yang mempunyai maksud-
maksud tak baik. Mari kita keluar...!"
Belum lagi langkah mereka mencapai pintu, sa-
tu pukulan yang begitu keras dari arah bagian luar
pondok telah melabrak pintu itu sehingga hancur ber-
keping-keping. Secepatnya empat murid Perguruan Ke-
rudung Biru membuang tubuhnya ke belakang dengan
jalan bersalto beberapa kali. Tiada terduga-duga, dari
bagian pintu belakang pukulan yang sama pun mem-
buat porak poranda pintu yang terletak di bagian bela-
kang.
"Pendatang-pendatang tengik, siapakah kalian
ini...?" Bentak murid tertua bernama Sekar Asih, lalu
membuang tubuhnya ke samping kiri untuk menghin-
dari sambaran pukulan yang menebarkan rebawa aneh
itu.
"Jangan banyak mulut! Perguruan Kerudung
Biru telah kami kepung...! Sebaiknya kalian menyerah
saja...!" perintah Peri Lingga sambil menyeruak mema-
suki pondok itu.
"Kurang ajar! Manusia muka hantu jubah hi-
tam! Enyahlah...!" Sebuah bentakan nyaring terdengar.
Empat orang murid Perguruan Kerudung Biru lang-
sung menyongsong kedatangan Jubah Hitam dengan
sambaran pedang kembar mereka. Tapi tiga orang
pendatang itu lihainya bukan main, dengan gerakan
yang sangat gesit mereka selalu berhasil menghindari
serangan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut, yang
selama ini dikenal karena pamornya yang tinggi. Ge-
brakan-gebrakan seru terus berlangsung, menjelang
pertarungan lima belas jurus, empat orang murid Ke-
rudung Biru sudah mulai nampak terdesak.
"Hemm! Tak disangka hanya segitu saja kehe-
batan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut yang sangat
ditakuti oleh tikus-tikus persilatan itu...!" gumam si
tubuh ramping, terus merangsak dalam jarak yang
sangat dekat sambil lancarkan totokan-totokan ganas.
Pada satu kesempatan yang kritis, murid-murid
Perguruan Kerudung Biru, dengan satu lompatan
langsung menerjang ke arah lawan-lawannya. Gerakan
serentak itu sebenarnya merupakan titik awal untuk
membuka jurus 'Delapan Penjuru Maut" yang mereka
miliki. Demikianlah dengan dimulainya gerakan berba-
reng seperti itu, maka senjata di tangan mereka pun
bergerak cepat. Tusukan senjata maupun babatan pe-
dang yang bertubi-tubi. Membuat lawan yang bertan-
gan kosong untuk beberapa jurus di depan hanya
mampu mengelak dan menangkis. Empat murid Pergu-
ruan Kerudung Biru merasa mendapat angin, serangan
senjata mereka pun semakin lama semakin bertambah
gencar. Tanpa disadari oleh murid Kerudung Biru ki-
ranya tiga orang lawan wajah coreng moreng sedang
mencari titik lemah jurus pedang yang mereka miliki.
"Hiih....! Breeet...!"
Satu sambaran pedang kembar di tangan gadis
itu berhasil merobek pangkal lengan salah seorang si
jubah hitam. Orang itu terhuyung-huyung, murid-
murid Kerudung Biru merasa mendapat angin untuk
melakukan gebrakan berikutnya. Tapi tiada mereka
sangka-sangka, lawannya yang bernama Peri Lingga
yang sudah mengetahui kelemahan jurus pedang me-
reka lancarkan serangan balasan.
"Haiit...!"
"Tuuk...!"
"Gabruuk...!"
Satu totokan berhasil mengenai jalan gerak di
bagian tubuh lawannya. Sehingga membuat salah seo-
rang murid Kerudung terjatuh dengan keadaan terto-
tok.
"Keparaat...!" maki Sekar Asih merasa semakin
terdesak.
"Gebrak murid-murid Kerudung Biru. Jangan
lukai, ketua pasti menyukai orang-orang yang cantik-
cantik ini...!"
Sadarlah Sekar Asih dan kawan-kawannya, apa
yang bakal terjadi andai sampai mereka tak dapat
memenangkan pertarungan itu. Kenyataannya, sung-
guhpun mereka sudah berusaha mengerahkan sege-
nap kepandaian yang mereka miliki, namun dengan
gerakan-gerakan menghindar yang sangat manis. Se-
rangan gencar yang mereka lancarkan selalu saja
mencapai sasaran yang kosong. Bahkan secara hampir
bersamaan si jubah hitam tubuh ramping berhasil me-
notok urat gerak di tubuh mereka.
"Tuuuk! Tuuuuk! Tuuuk...!"
"Ahhh...!"
Tiga orang murid Kerudung Biru kembali ter-
jengkang dalam keadaan tertotok. Jubah hitam muka
coreng moreng sunggingkan senyum sinis. Lalu mem-
beri perintah pada dua orang lainnya.
"Mereka tak mungkin kita bawa semua! Pilih
saja yang tercantik di antara keempat gadis ini...!"
Tanpa membantah, orang-orang itupun langsung men-
gadakan pemeriksaan atas diri empat orang murid Ke-
rudung Biru.
Sekar Asih, Sekar Taji dan Sekar Kencana ter-
nyata gadis-gadis yang termasuk dalam daftar orang-
orang yang mereka anggap cantik. Akhirnya dengan
gerakan yang gesit dengan memanggul tubuh gadis-
gadis itu. Tiga orang perempuan wajah coreng moreng
berlari-lari cepat meninggalkan bukit Arjuna.
Tinggallah Sekar Sari, yang terus berguling-
guling di atas lantai pondok dalam keadaan tertotok
dan menangisi kepergian saudara-saudaranya yang te-
lah dibawa lari oleh si jubah hitam.
***
Kematian Seranggana, Tapak Api dan belasan
prajurit Katemenggungan ketika sedang melakukan
tugas penyitaan di rumah saudagar Legawa. Membuat
semua kerabat Jayeng Rono dan Lesmana menjadi
gempar. Siang itu dalam suasana tegang, pembicaraan
berlangsung di ruangan tengah. Dalam keadaan ber-
kabung, Tumenggung Jayeng Rono. Lesmana dan Jela-
tu nampak berkumpul mengelilingi sebuah meja beru-
kuran panjang.
"Paman Jelatu! Coba ceritakan padaku menga-
pa tugas yang telah saya perintahkan kepada rombon-
gan yang dipimpin oleh Uwa Senggerana sampai men-
dapat musibah seperti ini...?" Tanya Tumenggung
Jayeng Rono, dengan muka merah. Namun hatinya di-
liputi oleh kedukaan yang mendalam. Jelatu yang
sempat luput dari kematian nampak menundukkan
wajahnya. Ada rasa penyesalan membersit di sana.
"Begini tetua! Saat kami sampai di rumah sau-
dagar Legawa, nampak-nampaknya saudagar itu me-
mang tak ingin menyerahkan harta bendanya begitu
saja. Hal ini terbukti saudagar yang telah membuat
malu keluarga Katemenggungan itu telah pula me-
nyiapkan para pembantunya dengan senjata lengkap.
Dugaan saya kemudian terbukti dengan kemunculan
seorang pemuda yang tidak kami kenal di tempat
itu...!"
"Pemuda tak dikenal! Bagaimanakah yang pa-
man maksudkan?" tanya Lesmana merasa curiga.
"Pemuda itu berpakaian kumal, bagai sudah
berbulan-bulan nggak pernah ganti. Wajahnya sangat
tampan sekali. Rambutnya panjang dikuncir menjela
sampai ke bahu. Sedangkan di bagian pinggangnya
tergantung sebuah periuk berjelaga, pemuda itu memi-
liki senjata yang memancarkan sinar merah menyala,
dan senjata itu pulalah yang telah menewaskan Ka-
kang Senggerono dan Adik Tapak Api...!" Mendengar
laporan Jelatu Tumenggung Jayeng Rono semakin
memerah wajahnya karena dilanda kemarahan yang
meluap-luap. Sebaliknya, putranya yang bernama
Lesmana sedang berusaha mengingat-ingat siapakah
gerangan pemuda yang disebut-sebut sebagai pembu-
nuh orang-orang katemenggungan. Namun ciri-ciri
yang disebutkan oleh Jelatu memang sama sekali tidak
di kenalinya. Bahkan bertemupun rasa-rasanya belum
pernah. Setelah lebih dari sepemakan sirih mereka sal-
ing berdiam diri, akhirnya suara Lesmana pun terden-
gar memecah keheningan.
"Paman Jelatu, dan ayahanda...! Aku merasa
tak pernah mengenali orang yang baru saja disebut-
sebut oleh paman...! Mungkin pemuda itu sengaja dis-
ewa dari daerah lain oleh saudagar Legawa yang telah
menipuku itu. Ananda tau, saudagar keparat itu pasti-
lah tidak menginginkan harta bendanya disita oleh pi-
hak Katemenggungan. Bahkan secara terang-terangan
mereka telah membunuh orang-orang kita. Ini benar-
benar sangat keterlaluan sekali. Mereka telah mengo-
barkan api peperangan pada pihak kita. Sebagai anak
yang tahu berbakti pada orang tua dan bumi persada,
ananda tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat
ini, ananda akan mengumpulkan seluruh sahabat
kaum persilatan untuk menggantung saudagar Lega-
wa, dan pemuda yang telah bergabung dengan sauda-
gar itu...!"
"Usul yang sangat baik! Memang sesungguh-
nya, sekarang ini sudah saatnya bagimu untuk me-
nunjukkan bakti pada orang tua. Pula ini menyangkut
persoalan pribadimu, layak saja kalau kau berusaha
mengatasinya...!"
"Tat... tapi Den Lesmana! Orang berperiuk itu
memiliki ilmu kepandaian yang bermacam-macam.
Saya takut, kalau pasukan kita tidak benar-benar
tangguh. Usaha kita hanya akan menjadi sia-sia...!"
"Jangan memandang remeh. Paman Jelatu be-
lum mengetahui tokoh-tokoh yang akan kuhubungi
itu. Lihatlah! Tak sampai dua minggu mendatang me-
reka telah berkumpul di Katemenggungan ini...!" sahut
Lesmana. Ada rasa kurang senang dalam nada uca-
pannya.
"Sudahlah, anakku Lesmana! Aku tak mengin-
ginkan kalian berbantahan dengan orang-orang sendi-
ri. Kalau memang benar saudagar Legawa memiliki ke-
kuatan yang tangguh. Ada baiknya mulai saat seka-
rang kita mempersiapkan diri...!"
"Baiklah tetua! Katemenggungan telah menda-
pat satu penghinaan yang sangat besar. Hal ini tidak
mungkin kita biarkan begitu saja...!" kata Jelatu. Tu-
menggung Jayeng Rono dan Lesmana nampak men-
gangguk setuju. Setelah mereka menganggap tidak ada
lagi pembicaraan yang perlu. Lesmana segera bermo-
hon diri pada ayahandanya untuk pergi menghubungi
tokoh-tokoh persilatan yang dikatakan oleh Lesmana
sebagai sahabat baiknya. Entah tokoh persilatan yang
bagaimana yang akan dihubungi oleh putera Tumeng-
gung Jayeng Rono yang memiliki watak aneh ini.
Hanya Lesmana sendirilah yang tahu. Sementara itu
Jelatu dan Tumenggung Jayengrono, mulai saat itu
mulai mempersiapkan pasukannya dalam jumlah yang
lebih besar.
***
DUA
Di atas kubur belasan orang prajurit-prajurit
Katemenggungan, sudah hampir tiga hari pemuda
berwajah tampan itu berada di sana. Pabila dilihat se-
pintas lalu, maka pemuda ini tak ubahnya bagai se-
buah arca berdiri tegak, tak pernah bergeming walau
sengatan panas matahari dan dingin angin malam me-
landa tubuhnya hampir setiap waktu. Sesungguhnya
apakah yang sedang dilakukan oleh pemuda itu, di
tempat sunyi seperti di daerah pekuburan keramat ini?
Setelah menguburkan jenazah prajurit-prajurit
Katemenggungan beberapa hari bersama Legawa dan
Indah Dewi. Entah mengapa secara tiba-tiba pemuda
berbaju merah dengan rambut dikuncir ini teringat
kembali pada almarhum gurunya, Si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Lalu teringat pula olehnya akan sebuah
kematian. Teringat kematian, teringat pula olehnya
tentang dirinya sendiri. Di sepanjang pengembaraan-
nya selama ini, sudah beratus-ratus jiwa melayang di
tangannya. Mereka semua terdiri dari berbagai golon-
gan sesat yang selama hidupnya selalu membuat resah
kaum persilatan dan masyarakat banyak. Namun pabi-
la dia kembali berpaling pada dirinya sendiri. Benar-
kah pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukan-
nya tidak membawa dosa? Satu koreksi diri yang dila-
kukannya di tempat itu hanyalah ingin bertemu den-
gan roh si Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Cara satu
satunya yang dapat dilakukannya adalah hanya den-
gan mempergunakan ajian Tinggal Rogo, yang sebe-
narnya masih belum dia kuasai dengan baik.
Tidak seperti waktu dulu, kali ini dia merasa
begitu sulit untuk memisahkan diri antara raga yang
kasar dengan rohnya yang tiada terlihat. Sungguhpun
hal itu telah dia lakukan berulang kali. Hingga tanpa
disadarinya pekerjaan konyol seperti itu telah berlang-
sung hampir tiga hari. Karena selama itu pemuda ke-
turunan Raja Ular dari negeri alam gaib (Bunian) su-
dut-sudut matanya pun nampak cekung.
Roh di dalam jiwa yang tenang Sesaat aku ingin
bertemu dengan guruku. Guru tua yang sudah tiada
memiliki jasad. Dan tak terlihat dengan kasat mata....
Berilah aku Ridho, hai Sang Hyang Widi Perkenankan-
lah hajat seorang hamba Adalah diri kasarku si Hina
Kelana Pertemukanlah dengan guruku, Bangkotan Ko-
reng Seribu...
Sekejap tubuh pendekar ini nampak menggele-
tar bagai orang yang sedang dilanda badai salju. Alam
pikiran kosong dari segala permasalah yang berhu-
bungan dengan keduniawiaan, kosong tanpa beban
apapun yang memberati. Sampai pada klimaksnya:
"Plaaass...!"
Roh Buang Sengketa meninggalkan jasad ka-
sarnya, namun baru saja dalam jarak yang tak dapat
diperhitungkan, di hadapan pemuda itu. Kakek Bang-
kotan Koreng Seribu dalam tubuh halusnya sudah
menghadang perjalanan roh Pendekar Hina Kelana.
Sebagaimana tabiat kakek aneh itu. Maka kini setelah
bertemu terjadilah dialog alam gaib:
"Bocah Guoblok! Sekali lagi kau bertingkah ko-
nyol seperti dulu, ada apa kau memanggil-manggil di
riku...?" tanya badan halus si Bangkotan Koreng Seri-
bu.
"Eee... anu kek! Aku cuma ingin bertemu den-
ganmu, sekalian jalan-jalan melihat alam asing yang
sebelumnya tak pernah dilihat oleh siapapun terkecua-
li orang-orang yang sudah mati...!" ujar si pemuda je-
naka.
"Weiii...! Bocah ini benar-benar semakin keblin-
ger...! Tahukah kau resiko apa yang bakal kau hadapi
andai jasad kasarmu sampai diketahui oleh orang
lain...?" Bentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu, se-
makin bertambah murung.
"Tau kek! Tapi salah kakek sendiri, nggak mau
muncul! Mencari tempat tapa ayah juga sejak dulu be-
lum ketemu... hidupku selalu diwarnai dengan kese-
pian kek...!" kata pemuda itu mengeluh.
"Tolol! Kita sudah berada dalam alam yang ber-
beda, mana mungkin aku bisa menemuimu. Pula ka-
lau aku masih hidup siapa sudi menjumpai murid ber-
periuk sepertimu...!"
"Ah kakek! Aku sendiri sekarang bisa mene-
muimu. Mengapa engkau tidak...?"
"Semua itu berkat ilmu Tinggal Rogo yang kau
pelajari. Andai tidak jangan harap kau dapat berbuat
seperti sekarang ini...! Pula kalau kamu merasa kese-
pian, mengapa nggak cepat-cepat kawin saja...?"
"Siapa sudi dengan pemuda Hina seperti ini,
Kek! Hanya seorang pengelana yang tiada berharta, ke-
setiaan dan kejujuran di jaman ini mana dipandang
mata oleh kaum wanita, Kek...!"
"Hhh. Bicara denganmu selamanya memang
membuat kuping berdenyut-denyut...!" sentak Kakek
Bangkotan Koreng Seribu gusar.
"Kek...!" Buang Sengketa merengek seperti anak
kecil.
"Ada apa...?" dengus si kakek.
"Menurutmu, benarkah apa yang telah kulaku-
kan selama ini...?" tanya si pemuda, ragu-ragu.
"Kalau tidak benar! Sungguhpun aku sudah be-
rada di alam lain pasti akan menegurmu...!" ujar si ka-
kek begitu yakin.
"Kalau sekarang aku membela saudagar Lega-
wa, apakah tindakanku itu juga benar?" Kakek Bang-
kotan Koreng Seribu terdiam beberapa saat lamanya.
Kemudian dengan berwibawa diapun berkata: "Selama
pertolonganmu itu tanpa pamrih dan mengharapkan
imbalan atas jerih payahmu, aku menganggap hal itu
baik. Sebab akupun tahu kalau saudagar yang baru
insap dari gemerlapnya dunia itu memang sedang dili-
ciki oleh putranya katemenggungan. Nah tunggu apa
lagi, cepat-cepatlah merat dari hadapanku. Sebentar
lagi tentu anak saudagar yang patah hati itu telah da-
tang menyusulmu...!"
"Baa... baik kek...! Akupun tak pernah mengha-
rapkan apa-apa dari mereka. Kalaupun aku mengaju-
kan persaratan seperti yang pernah kuucapkan itu, hal
ini semata-mata hanya untuk mengetahui seberapa
jauh niat saudagar Legawa dengan segala keinginan-
nya..."
Si Bangkotan Koreng Seribu yang memang su-
dah begitu hapal dengan watak muridnya, hanya men-
dengus.
"Sudah muak aku melihatmu! Cepat kembali ke
dalam jasadmu, orang-orang itu segera sampai di tem-
pat ini...!" Tanpa berkata-kata lagi, pendekar dari nege-
ri Bunian segera kembali pada jasadnya.
"Plaaas...!"
Roh dan jasad itupun kembali menyatu, seben-
tar kemudian tubuh pemuda itu sudah bergerak-gerak
kembali. Lalu sepasang matanya yang terpejam pun te
lah membuka pula.
Kenyataannya memang benar seperti apa yang
dikatakan oleh roh Kakek Bangkotan Koreng Seribu.
Tak lama setelah bersatunya antara jasad dan roh si
pemuda, dari jalan setapak pinggiran kuburan itu,
muncul beberapa orang berkuda yang sudah sangat
dikenali oleh si pemuda.
"Kakang Kelana...!" seru wanita berpakaian un-
gu, lalu melompat dari atas punggung kudanya diikuti
oleh empat orang pengiring.
"Indah Dewi! Mengapa kau justru menyusulkan
kemari...?" tanya si pemuda keheranan. Gadis yang di-
hianati oleh suami yang tidak dicintainya itupun hanya
tersenyum dikulum, kemudian dia mendekati si pemu-
da. (Untuk jelasnya siapa Indah Dewi, terdapat pada
episode terdahulu dalam judul ‘Ksatria Pedang Asma-
ra’) Setelah mereka saling berhadap-hadapan: "Ayah
yang menyuruhku menyusulmu! Sudah tiga hari ka-
kang tidak pulang. Ayah khawatir kalau ada sesuatu
yang terjadi denganmu...!"
"Ternyata aku tak kekurangan sesuatu apapun.
Ada baiknya kalau kau pulang duluan saja."
"Apa yang kau lakukan di tempat ini...?" tanya
Indah Dewi curiga.
"Aku tidak apa-apa...!" ujar Buang Sengketa
tawar.
"Tapi ayah mengharap agar kakang bisa pulang
ke rumah saat ini juga, katanya dia takut kalau sewak-
tu-waktu orang-orang dari Katemenggungan datang
menyerbu...!" Pemuda dari negeri Bunian itu geleng-
geleng kepalanya: "Ayahmu tak perlu khawatir. Seti-
dak-tidaknya orang dari Katemenggungan masih perlu
waktu yang agak lama untuk melakukan penyerangan.
Aku tak bisa pulang ke rumahmu sekarang, karena
aku perlu melakukan penyelidikan terlebih dahulu...!"
"Baiklah kalau kakang Kelana sudah memu-
tuskan begitu, maka sekarang juga aku akan kembali.
Tapi ingat, jangan terlalu lama bepergian, tanpamu
kami pasti akan mengalami nasib yang sulit untuk di-
bayangkan...!" katanya wanti-wanti.
"Aku akan menepati janjiku...!" jawab Buang
Sengketa tanpa ragu-ragu lagi. Setelah memberikan
perbekalan buat si pemuda, Indah Dewi kemudian
membalikkan langkah. Berjalan cepat menghampiri
kudanya dengan diikuti oleh empat orang pembantu.
Setelah melompat ke punggung kuda masing-masing,
Indah Dewi pun langsung membedal kudanya tanpa
menoleh-noleh lagi.
"Ah, gadis malang! Korban keegoisan orang tua
yang selalu silau dengan harta benda, pangkat serta
kedudukan. Tak disangka-sangka kalau akhirnya ma-
lah menimbulkan malapetaka...!" gumam pemuda itu,
selanjutnya menjauh meninggalkan Kuburan Kramat
menuju ke arah Tenggara.
***
Langit terang resik tiada berawan, di langit le-
pas bintang berkerlap kerlip memancarkan cahaya pu-
tih kebiruan. Dan bulan purnama, baru saja menam-
pakkan diri dari balik bukit.
Pada saat itu di sebuah gua batu cadas yang
terletak tidak begitu jauh dari lereng bukit. Suasana di
dalam sana nampak lengang, seolah gua yang selalu
diterangi dengan cahaya lampu minyak yang berwarna
merah tiada berpenghuni. Keadaan itu berlangsung se-
lama beberapa jam sampai akhirnya beberapa orang
berjubah hitam wajah coreng moreng menyeruak me-
masuki gua itu. Orang-orang tersebut kemudian du-
duk di sebuah altar yang berukuran sangat luas. Da
lam waktu yang sangat singkat jumlah merekapun se-
makin bertambah banyak hingga mencapai belasan
orang. Orang bercadar dengan jubah hitamnya yang
menjela sampai ke tanah itu. Kemudian secara seren-
tak seperti sedang mengucapkan kalimat doa. Tapi ka-
ta-kata yang keluar dari mulut mereka tak begitu jelas.
Bagai suara gumanan.
Sementara itu di dalam sebuah ruangan lain,
tiga orang gadis nampak terbaring lemah di atas ran-
jang dalam keadaan tertotok dan tubuh menelentang.
Tiga orang gadis berwajah cantik itu tak lain, Sekar
Asih, Sekar Taji dan juga Sekar Kencana. Yang meru-
pakan murid-murid Perguruan Kerudung Biru yang
bermarkas di kaki bukit Arjuna. Sebagaimana diketa-
hui tiga orang murid Bidadari Pedang Maut ini berhasil
diculik oleh wakil kerudung Hitam dan kawannya sete-
lah kalah dalam pertarungan yang cukup sengit.
Kini dalam ruangan yang hanya diterangi oleh
beberapa lampu minyak itu, tiga orang gadis murid
Perguruan Kerudung Biru seperti sedang menunggu
ponis hukuman mati. Hati masing-masing diliputi ber-
bagai tanda tanya bagaimanakah rupanya laki-laki
yang menjadi ketua perserikatan jubah hitam.
Dalam menunggu dengan diliputi ketegangan
ini, mendadak muncul seorang laki-laki berusia sangat
muda, dengan wajah coreng moreng dan juga menge-
nakan jubah hitam menjela. Laki-laki muda bertam-
pang dingin ini nampak berjalan menghampiri mereka
bertiga. Beberapa saat pemuda itu memperhatikan ca-
lon-calon korbannya satu persatu.
"Gadis-gadis cantik! Tubuhnya padat berisi...
sayang aku tak pernah mendambakan kehangatan tu-
buh gadis manapun! Darah mereka sangat pantas un-
tuk kupersembahkan pada Pedang Asmara...!" gumam
pemuda bernama Andika dalam hati.
Namun apa yang sedang bergolak di dalam ha-
tinya, serta merta pemuda berjubah hitam ini nampak
mengatupkan gerahamnya erat-erat, lalu terdengar pu-
la suaranya yang begitu pelan, namun membuat
mengkirik bulu kuduk tiga orang gadis itu:
Gadis-gadis malang...
Dulu pernah kusimpan cinta di selembar harap
Saat kasih sayang selalu kudamba
Tapi mengapa semuanya membuat aku kecewa
Kini lihatlah mataku yang tiada tetes tangis
Dan luka-luka yang dulu tiada kunjung sembuh
Karena asmara celaka
Yang telah membawa sebuah derita teramat
panjang...
Usai berkata begitu, pemuda wajah coreng mo-
reng jubah hitam ini menatap sinis pada ketiga gadis
yang terlentang di atas ranjang tiada berdaya.
"Sriiing...!"
Serta merta Andika mencabut senjatanya yang
menggelantung di bagian pundaknya. Pedang itu ber-
warna hitam kebiru-biruan, yang membuat gadis-gadis
yang dalam keadaan tertotok itu menjadi ketakutan se-
tengah mati justru karena Pedang Asmara di tangan
Andika nampak menggeletar dan menimbulkan bunyi
yang sangat aneh.
"Bocah-bocah cantik! Sesungguhnya aku ingin
meniduri kalian satu persatu. Sering kubayangkan be-
tapa indahnya bersama-sama seorang wanita. Namun
keinginan seperti itu kini tiada lagi. Anak-anak ma-
nis... lantunkanlah doa, sebelum maut menyambut.
Semoga kematian tak ubahnya bagai sebuah tidur
yang teramat panjang... Hiaaat...!"
Seusai mengucapkan segala sesuatunya, tubuh
Andika nampak berputar-putar. Di salah sebuah ran-
jang calon korbannya. Pandangan matanya yang ko-
song dan dingin itu memandang tiada berkedip ke se-
kujur tubuh gadis yang bernama Sekar Taji. Yang di-
pandang kelihatan semakin bertambah ketakutan, jan-
tung berdetak kian cepat. Nafas tersengal-sengal, hing-
ga membuat bagian dadanya yang padat berisi itu ter-
guncang-guncang turun naik. Tiada rangsangan birahi
atas diri pemuda ini, sebaliknya sorot matanya beru-
bah menjadi sinis. Pelan namun cukup pasti, pemuda
jubah hitam menjela-jela ini menggerakkan senjatanya
ke arah bagian dada.
"Breet...!"
"Auuu...!"
Gadis yang bernama Sekar Taji itupun kelua-
rkan jeritan tertahan saat mana, pakaiannya di bagian
dada robek lebar di sambar pedang. Yang membuat
wajahnya semakin memerah adalah akibat terobeknya
pakaian di bagian depan itu membuat dua bukit kem-
barnya yang halus mulus padat dan berwarna putih
itu tersingkap, menantang. Tapi pemuda dari Lembah
Patah Hati ini nampaknya tiada menghiraukan pe-
mandangan seperti itu. Sekar Taji yang dalam keadaan
tertotok bagian urat geraknya hanya mampu menjerit-
jerit.
"Lepaskan kami, laki-laki keparat! Kami akan
mengadu jiwa atas perlakuanmu yang memalukan
ini...?" teriak gadis itu, namun tetap tak memiliki ke-
mampuan untuk menutupi bagian dadanya yang ter-
singkap begitu lebar.
"Jangan banyak tingkah! Tak banyak pilihan
yang dapat kulakukan untuk kalian. Darah perawan
memang sangat dibutuhkan oleh Pedang Asmara mi-
likku. Agar lebih ampuh untuk membasmi siapapun
yang coba-coba berani menghalangi sepak terjang
ku...!" gumam si pemuda. Selanjutnya tanpa ampun
lagi pedang di tangan pemuda itupun terangkat tinggi-
tinggi, kemudian laksana kilat. Senjata itu melesat ke
arah bagian dada si gadis. Gadis itu hanya membela-
lakkan matanya saat pedang di tangan Andika melun-
cur. Cepat ke tengah-tengah dada.
"Haaiiit...!"
"Jrooos...!"
"Ahhkkgh...!"
Hanya pekik tertahan yang terdengar, saat ma-
na senjata di tangan Andika menembus bagian dada
Sekar Taji. Tiada pula darah yang menetes, tubuh Se-
kar nampak berkelojotan untuk sesaat lamanya. Lalu
diam tiada berkutik-kutik lagi.
Melihat kematian kawannya, Sekar Asih dan
Sekar Kencana nampak membelalakkan kedua ma-
tanya. Sama sekali mereka tiada menyangka kalau
pemuda yang mereka hadapi kiranya tak ubahnya ba-
gai seorang pembunuh berdarah dingin. Namun mere-
ka juga nampaknya tiada memiliki pilihan lain. Tubuh
mereka tertotok, ini yang membuat mereka tak memi-
liki kemampuan untuk berbuat banyak.
"Manusia terkutuk...! Begitu kejam perbuatan-
mu itu... Sang Hyang Widi pasti tak pernah mengam-
puni dosa-dosamu...!" teriak Sekar Asih, dengan kema-
rahan yang tiada tertahankan lagi.
"Kaummu juga pernah berbuat lebih dari apa
yang kulakukan. Wajar saja kalau kini aku melakukan
sesuatu yang sesuai dengan apa yang pernah ku rasa-
kan dulu! Hemm...!" kata Andika, lalu dari sela-sela bi-
birnya terdengar suara geraman yang begitu aneh. Tu-
buh kembali bergetar hebat, pedang di tangannya
mendengung-dengung dan mulai terasa sulit untuk di-
kendalikan.
"Baiklah! Kuturuti segala keinginanmu, hei Pedang Asmara...!" teriak Andika bagai sedang berbicara
dengan sesuatu yang tiada terlihat. Selanjutnya den-
gan disertai satu bentakan yang sangat keras. Tubuh
pemuda itu melompat ke atas, dan sebelum bagian ke-
palanya menyentuh langit-langit gua. Maka tubuh laki-
laki wajah coreng moreng itu telah kembali melesat ke
bawah sambil lakukan dua babatan menyilang dalam
waktu berbarengan:
"Hiaaat...!"
"Jrooos! Jreees...!"
Luka akibat sabetan senjata Andika nampak
begitu memanjang, tapi sama seperti yang terjadi atas
korban yang pertama tadi. Kali ini pun bekas luka itu
tiada berdarah sama sekali. Mungkin inilah kharisma
yang dimiliki Pedang Asmara di tangan Andika. Dan
anehnya setelah pedang itu menghirup darah korban-
korbannya, maka senjata yang memancarkan prabawa
aneh itupun tidak lagi mengeluarkan bunyi menden-
gung-dengung seperti pertama tadi. Dengan gerakan
yang sangat cepat Andika memasukkan senjata itu ke
dalam sarungnya. Selanjutnya terdengarlah suara ta-
wanya yang begitu dingin, lalu menjauh dan menuju
ke arah ruangan lain.
Sesampainya di ruangan lain, suara bergemu-
ruh menyambut kehadirannya. Mereka itu merupakan
anak buah dan pembantunya sendiri. Orang-orang itu
sama seperti dirinya juga mengenakan jubah berwarna
hitam.
"Terima kasih atas bakti yang telah kalian la-
kukan selama ini! Tetapi aku tak pernah puas sebelum
semua kalangan persilatan bertekuk lutut di bawah
kakiku...!" kata pemuda itu, setelah agak lama mem-
perhatikan anggotanya yang berjumlah lebih dari dua-
puluh orang.
"Ketua! Beberapa murid maupun guru di ka
langan persilatan telah kita culik. Bahkan hampir se-
mua orang-orang itu telah kita bunuh pula...! Sebe-
narnya yang manakah di antara sekian banyak kaum
persilatan yang menjadi musuh besar ketua...?" tanya
perempuan berwajah cantik, tubuh ramping yang ber-
nama Peri Lingga. Andika tidak buru-buru menjawab,
sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Ada
rasa tidak senang yang terpancar lewat tatapan mata
itu.
"Kau benar! Peri Lingga... memang telah begitu
banyak kaum persilatan berbagai golongan yang telah
tewas di tanganku. Tapi aku tak pernah merasa puas
atas kematian mereka...?"
"Justru mengapa ketua membunuh mereka be-
gitu saja tanpa ada keinginan untuk merasakan ke-
hangatan tubuh mereka...!"
"Heeh... kau tau apa! Sisa-sisa hidupku tak
pernah membutuhkan kehangatan apa-apa. Satu yang
ingin kulakukan bahwa setiap wanita yang berada di
kolong langit ini harus patuh di bawah perintahku...!"
Pemuda bertubuh tegap itu pun mendengus.
"Sebuah ide yang bagus ketua! Tapi cuma sebe-
gitukah cita-citamu...?" tanya Peri Lingga lebih jauh la-
gi.
"Hoo... tentu tidak...! Dalam waktu tidak begitu
lama lagi aku ingin menunjukkan bakti pada orang tu-
aku yang telah tiada... ha... ha... ha...! Keparat sauda-
gar Legawa! Selain begitu tega menghinakan diriku, ki-
ranya dia juga telah membunuh kedua orang tuaku...!
Mereka adalah orang-orang yang telah masuk dalam
daftar kematian. Begitu pun halnya dengan Lesmana
dan Tamenggung Jayeng Rono yang telah menghan-
curkan semua harapanku... ya mereka memang pantas
mati... harus...!" geram pemuda itu dengan geraham
berkerokotan.
"Kami selalu mendukung segala rencanamu,
ketua yang kami hormati...!" teriak pengikut-pengikut
Andika secara serentak.
"Bagus...! Namun sebelum rencana besar itu ki-
ta mulai, alangkah baiknya kekuatan lain yang tiada
seberapa itu kita hancurkan...!"
"Kami pun mendukung gagasan baru yang ke-
tua rencanakan itu...!" ujar Peri Lingga merasa setuju.
"Hhh. Kurasa untuk saat ini, hanya itulah dulu
yang perlu kusampaikan pada kalian. Dan jangan lu-
pa, mulai dari sekarang hancurkan kaum persilatan
golongan manapun. Seret setiap perempuan yang ka-
lian jumpai, hingga berhadapan dengan aku...!" kata
pemuda itu begitu tandas.
"Kami akan melakukannya, ketua...!" sahut me-
reka hampir bersamaan.
"Heiii... jangan semuanya yang berangkat! Ting-
galkan beberapa orang untuk tetap menemaniku di si-
ni...!"
"Aku hanya membutuhkan enam orang yang
memiliki kepandaian tinggi...!" ujar Peri Lingga, sambil
menunjuk pada orang-orang yang dimaksudkan.
"Kalau begitu, cepatlah kalian pergi... kukira
saatnya sekarang ini kita mulai melakukan kejutan-
kejutan itu...!" katanya dengan suara semakin bertam-
bah dingin menggidikkan.
Tak lama setelahnya, rombongan itu pun be-
rangkat meninggalkan gua merah yang merupakan
markasnya orang-orang patah hati. Sesungging se-
nyum sinis menyertai kepergian orang-orangnya. En-
tah apa makna dari senyum itu, hanya Andika sendiri-
lah yang mengetahuinya.
***
TIGA
Tiga kawan-kawan persilatan berhasil dihu-
bungi oleh Lesmana dalam upayanya untuk menghan-
curkan saudagar Legawa bekas mertuanya sendiri.
Adapun orang-orang yang berhasil dihubungi oleh
Lesmana antara lain, Baja Kuning yaitu kelompok
Begal dan bajak sungai dari daerah sungai Bilah Hulu.
Kemudian Roda Paksi, yaitu sekelompok pemburu wa-
nita yang dikenal karena kejahatannya dalam mencu-
lik dan memperkosa anak istri orang. Sedangkan satu
kelompok lagi adalah merupakan kelompok Maling
Durjana. Tak jauh bedanya dengan maling-maling
lainnya, maka pekerjaan mereka pun mencuri segala
bentuk harta benda.
Dapat dibayangkan orang yang bagaimana pu-
tranya Tumenggung Jayeng Rono ini. Kawan-
kawannya di dunia persilatan saja kebanyakan terdiri
dari golongan hitam. Yang pasti berbagai kelicikanlah
yang selalu bercokol di dalam hati Lesmana. Demikian-
lah siang itu, orang-orang yang telah berhasil dihu-
bungi oleh Lesmana nampak sedang berkumpul di ha-
laman rumah Kincir Mabur, yaitu salah seorang tokoh
sesat yang sangat sakti dan merupakan sahabat baik
Lesmana sejak puluhan tahun. Sebagaimana pembica-
raan terdahulu, yang telah sama-sama mereka sepaka-
ti. Kincir Angin mengatakan kesanggupannya untuk
membantu Lesmana dalam menyelesaikan masalahnya
dengan saudagar Legawa.
Demikianlah ketika mereka telah berkumpul di
halaman rumah Kincir Angin yang begitu luas, maka
pembicaraan seriuspun berlangsung: "Kami sengaja
mengumpulkan saudara-saudara sekalian di rumah
kediaman Paman Kincir Angin, tak lain karena saya
membutuhkan uluran tenaga saudara-saudara seka-
lian untuk menghadapi saudagar Legawa yang telah
membuat malu bahkan berani menentang kewibawaan
Katemenggungan...!"
"Eee... iiyee... mulutku yang tua bangka ini...
saudagar Legawa merupakan seorang saudagar yang
tiada memiliki kepandaian apa-apa..! Jadi bagaimana
mungkin orang-orang Katemenggungan dapat dikalah-
kan oleh orang itu...?!" tanya si Kincir Angin dengan
suaranya yang agak sengau.
"Mestinya orang-orang kepercayaan ayahanda
tidak mungkin dapat dikalahkan oleh saudagar Legawa
dan pembantunya, Paman Kincir Angin...! Namun ka-
rena ada seorang pemuda tak dikenal dengan penam-
pilannya yang aneh telah turut membantu saudagar
Legawa. Maka mau tak mau orang-orang kepercayaan
ayahanda menjadi kucar kacir...!" jawab Lesmana ber-
bohong, karena yang sesungguhnya hampir seluruh
orang-orang kepercayaan ayahandanya tewas, ketika
sedang berusaha melakukan penyitaan di rumah sau-
dagar Legawa beberapa hari yang lalu.
"Tuan Lesmana!" Kali ini yang membuka suara
adalah ketua dari Kepala Bajak Sungai Bilah Hulu
yang bernama Baja Kuning. "Maksud tuan menghu-
bungi kami, telah dapat kami mengerti maknanya.
Namun setiap kerja sama pasti akan ada balas jasa se-
bagai imbalannya. Maaf... kami tanyakan hal ini den-
gan arti bukan kami tak mempercayai Tuan Lesmana!
Tapi kami kira itu perlu demi menghindari terjadinya
sesuatu yang tidak diingini terjadi di kemudian hari...!"
Wajah Lesmana maupun, Kincir Angin, Roda
Paksi maupun Maling Durjana nampak memerah seke-
tika begitu mendengar kata-kata yang baru saja di-
ucapkan oleh Baja Kuning. Walau bagaimana pun me-
reka sesama golongan sendiri pertanyaan yang baru
saja diucapkan oleh Baja Kuning sebagai kata-kata
yang dianggap sangat keterlaluan sekali.
"Saudara Baja Kuning! Mengumbar kata-kata
seperti itu, adalah sesuatu yang tak pantas diucapkan
oleh seorang sahabat sesama kaum kepada sahabat-
nya yang sedang ditimpa kesusahan...!" tukas Roda
Paksi nampak sangat marah. Dan memang pada ke-
nyataannya, kelompok Bajak Sungai ini memang ter-
masuk kalangan persilatan segolongan yang banyak
menentang segala tindak tanduk kawan yang lainnya.
"Ah... Saudara Roda Paksi terlalu polos dan ju-
jur. Masakan anda tidak tahu, bahwa apa yang akan
diperjuangkan ini menyangkut sejumlah harta yang
tak pernah habis walau dimakan tujuh turunan...!" tu-
kas Baja Kuning dengan sesungging senyum licik.
"Memang tidak salah! Tapi apa yang diperjua-
ngkan adalah menyangkut nama baik keluarga Kate-
menggungan. Kalaupun harta itu ada, semuanya juga
tidak dapat diganggu gugat. Karena merupakan barang
sitaan...!" kilah Lesmana semakin merasa tak enak sa-
ja hatinya.
"Hemm. Sungguhpun terhadap sahabat sendiri,
kami tak ingin membantu tanpa pamrih apa-apa, ter-
kecuali kami menolong orang-orang yang hendak ma-
suk ke liang kubur!" kata Baja Kuning tanpa memper-
hitungkan akibatnya.
"Keparat! Kau benar-benar telah menghinaku
kaummu sendiri, Baja Kuning...!" teriak Kincir Angin.
Sambil berkata begitu laki-laki berumur lima puluh li-
ma tahun ini dorongkan telapak tangannya ke depan.
Begitu tangan itu berkiblat, maka serangkum gelom-
bang angin pukulan yang begitu dingin menusuk tu-
lang sungsum Baja Kuning dan sepuluh orang anggo-
tanya. Laki-laki yang memiliki tampang mirip Tikus
Warok itu keluarkan seruan tertahan. Namun dia pun
tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan yang manis
tubuhnya melenting ke udara. Masih dalam keadaan
seperti itu Baja Kuning berucap:
"Tak pernah kusangka, kalau akhirnya memilih
jalan kekerasan hanya untuk membela orang yang se-
lama ini telah menyuapi kalian dengan janji yang mu-
luk-muluk."
"Baja Kuning! Sedari dulu kau dan kaummu
memang merupakan orang-orang yang paling suka
membangkang pada kawan sendiri. Maka tidak salah
andai hari ini kami berusaha memberi sedikit gamba-
ran atas kecerobohanmu itu,..!" sentak Maling Durja-
na. Dan nampaknya orang itu pun tidak tinggal diam.
Dengan cepat Maling Durjana hantamkan tinjunya
mengarah pada bagian dada Baja Kuning. Sambaran
angin yang sangat kencang menyertai datangnya pu-
kulan yang dilakukan oleh Maling Durjana.
Seperti diketahui, selama ini Maling Durjana
sangat disegani oleh lawan-lawannya justru karena
pukulan Tinju Guntur yang mampu membuat remuk
dada setiap lawannya. Baja Kuning nampaknya mak-
lum akan kelebihan yang dimiliki oleh lawannya. Itu
sebabnya begitu mengelak dia langsung cabut senja-
tanya dan memapaki datangnya pukulan menggeledek
yang dilancarkan oleh Maling Durjana.
"Weees! Cleeeng...!" terdengar satu benturan
yang sangat keras begitu, pedang di tangan Baja Kun-
ing yang juga memiliki warna kuning saling berbentu-
ran dengan pukulan lawannya. Baja Kuning menjadi
tercengang justru pedang di tangannya dia rasakan tak
ubahnya bagai membentur batu gunung. Secara ke-
nyataan Maling Durjana kiranya sangat kebal terhadap
berbagai senjata tajam.
"Minggir saudara-saudara semua! Sekali sekali,
begal dari sungai Bilah Hulu ini memang perlu diberi
pelajaran...!" teriak Maling Durjana memberi peringa-
tan pada orang-orang yang hadir di situ.
"Sekali waktu, seorang maling pengecut me-
mang perlu berhadapan dengan seorang bajak sungai
sepertiku...!" guman Baja Kuning dengan sesungging
seringai sinis.
"Jangan banyak bacot! Majulah...!" tantang
Maling Durjana sambil bersiap-siap membangun se-
buah serangan.
"Hiaaat...!"
Sekali saja tubuh Baja Kuning menerjang ke
depan. Maka pedang ditangannya pun berbicara. Mal-
ing Durjana tergelak-gelak begitu melihat berkelebat-
nya senjata di tangan Baja Kuning yang nyaris mem-
babat buntung bagian kakinya. Dengan gerakan yang
manis Maling Durjana membuang tubuhnya ke samp-
ing kiri. Serangan lawan luput, sebagai gantinya Mal-
ing Durjana kirimkan satu tendangan dengan disertai
satu jotosan mengarah bagian pelipis lawannya.
"Sial...!" maki Baja Kuning begitu berhasil
menghindari tendangan yang dilakukan oleh Maling
Durjana, sebaliknya satu jotosan keras yang datang
menyusul tendangan itu tak dapat di hindari oleh laki-
laki muka tikus warok dari Sungai Bilah Hulu ini.
"Dess...!"
"Gusraak...!"
Tubuh Baja Kuning terpelanting tiga tombak,
bagian wajahnya yang kena dijotos oleh Maling Durja-
na, memar bengkak dan membiru. Namun orang ini
nampaknya sudah tiada menghiraukan rasa sakit yang
mendera tubuhnya. Secepat kilat dia bangkit kembali,
dan langsung kirimkan satu pukulan 'Si Raja Air Me-
nerjang Pusara.' Begitu cepat sekali pukulan yang dile-
pas oleh Baja Kuning. Sehingga dalam waktu hanya
sekedipan mata, serangkum gelombang sinar yang
menimbulkan hawa panas luar biasa telah mengancam
diri si Maling Durjana. Namun seperti meremehkan
pukulan yang dilakukan oleh pihak lawannya untuk
kali ini pun Maling Durjana keluarkan suara tawa ter-
gelak-gelak. Hal ini membuat orang-orang yang me-
nyaksikan pertandingan itu menjadi kebat kebit ha-
tinya. Di luar dugaan, Maling Durjana julurkan tan-
gannya ke depan. Selanjutnya melakukan satu gera-
kan memukul.
"Weeer...!"
"Deeerr...!"
Maling Durjana nampak terhuyung-huyung tiga
tindak. Sebaliknya tubuh Baja Kuning kembali terpe-
lanting tujuh tombak. Begitu tubuh gembong bajak
sungai itu membentur batu, maka tak ayal lagi, dari
mulut, lubang hidung serta dari bagian telinganya
mengalir darah kental.
"Baja Kuning! Kuperingatkan bagimu untuk
menyudahi pertengkaran yang tiada arti ini. Jika tidak
aku takkan pernah mau mengampuni jiwamu lagi...!"
bentak Maling Durjana ketika menyadari pihak lawan
yang sebenarnya masih kawan sendiri ini tak mungkin
mampu menahan pukulan berikutnya. Namun Baja
Kuning sungguhpun telah menderita luka dalam yang
cukup parah tidak pernah mengindahkan peringatan
Maling Durjana. Dengan tubuh terhuyung-huyung. Ba-
ja Kuning memberi isyarat pada kawan-kawannya.
"Berhenti! Jangan kalian turuti keinginan ketua
kalian. Berhenti kataku...!" bentak Kincir Angin dengan
suaranya yang tak begitu jelas. Antara memenuhi ke-
wajiban dan mematuhi perintah tokoh kosen yang ber-
nama Kincir Angin itu. Membuat belasan orang anak
buah Baja Kuning menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan
seperti itu. Baja Kuning kembali keluarkan suara ben-
takan menggelegar:
"Orang-orang tolol! Jangan hiraukan perintah
mereka. Lebih baik kita mengadu jiwa dengan seorang
maling yang telah melakukan penghinaan terhadap
kaum bajak sungai...!" teriak pemimpinnya. Benar saja
seperti dugaan Kincir Angin dan Roda Paksi, orang-
orang dari Sungai Bilah Hulu ini kemudian menuruti
segala perintah atasannya. Namun nampaknya Kincir
Angin dan Roda Paksi tidak tinggal diam begitu saja.
Dengan masih tetap berdiri tegak di tempatnya, secara
bersamaan kedua orang itu kirimkan pukulan menga-
rah pada anak buah Baja Kuning yang sedang berusa-
ha membantu ketuanya. "Wuuut...!"
Karena pukulan yang dilepas oleh dua tokoh
sesat itu hanya dengan tujuan untuk menghalau
orang-orang Baja Kuning, tanpa maksud melukai. Ma-
ka akibatnya cuma membuat belasan orang begal sun-
gai terpelanting roboh tanpa mengalami luka dalam
yang cukup serius. Dengan kerengkangan mereka be-
rusaha bangkit kembali, namun satu bentakan keras
kembali terdengar: "Kalian harus berhenti menyerang!
Andai tidak, nyawa kalian tidak pernah kami ampu-
ni...!" Yang berkata sekali ini adalah Kincir Angin, yaitu
orang yang memiliki pengaruh tinggi di antara mereka.
Mau tak mau orang-orang bajak sungai itu menghenti-
kan serangannya.
Namun lain halnya lagi dengan Baja Kuning
yang sudah dilanda kemarahan besar. Dengan mem-
pergunakan jurus Sekawanan Bajak membunuh Anai
Anai, pedang di tangan laki-laki muka tikus itu berpu-
tar cepat membentuk perisai diri. Detik-detik selanjut-
nya senjata itu menerjang Maling Durjana dengan tu-
juan mengincar bagian punggungnya. Lagi-lagi secara
nekad Maling Durjana yang kebal terhadap senjata je-
nis apapun ini, hantamkan tinjunya secara beruntun.
"Traak...!"
"Ihhk...!"
Karena saat menghantamkan pukulan itu dis-
ertai dengan tenaga dalam yang cukup tinggi, begitu
juga halnya yang dilakukan oleh lawannya. Maka saat
pukulan tangan dengan pedang itu saling bertemu,
maka tubuh mereka sama-sama tergetar hebat. Bah-
kan Maling Durjana sendiri merasakan tangannya
sampai terasa sakit dan berdenyut-denyut nyeri. Akan
tetapi di luar dugaan, Maling Durjana kirim satu ten-
dangan satu pukulan susulan yang memiliki kecepatan
luar biasa. Baja Kuning yang masih dalam keadaan
terhuyung-huyung itu kiranya masih belum siap den-
gan posisinya.
"Weees...!"
"Deees...!"
Tanpa dapat dicegah lagi, akibat pukulan yang
dilakukan lawannya membuat tubuh Baja Kuning ter-
lempar begitu jauh. Sangat telak sekali pukulan yang
dilakukan oleh Maling Durjana, sehingga membuat Ba-
ja Kuning tak mampu bergerak-gerak lagi untuk sela-
ma-lamanya. Mengetahui ketuanya tewas di tangan si
Maling Durjana. Pucatlah wajah belasan anak buah
Baja Kuning.
"Hemm...! Hanya kalian yang masih hidup,
apakah kalian ingin panjang umur atau mau mampus
sekarang menyusul ketua kalian?" sentak Kincir Angin
bukanlah hanya gertakan kosong.
"Kami ingin panjang umur, Tuan...! Jangan bu-
nuh kami... kami bersedia melakukan semua perintah
yang akan tuan-tuan berikan kepada kami. Asal saja
kami diberi hidup untuk melihat hari esok...!" ujar sa-
lah seorang di antara mereka terbata-bata.
"Baik. Kalau kalian memang ingin tetap hidup,
mulai dari sekarang harus mengikuti semua perintah
yang kami berikan pada kalian... dan jangan sekali-kali
meninggalkan kami terkecuali ada ijin dari kami...!"
"Kami semua akan patuh kepada tuan...!" janji
orang-orang sungai itu dengan kepala mengangguk-
angguk. Roda Paksi untuk selanjutnya memandang
pada kawan-kawannya yang berada di tempat itu.
"Kakang Kincir Angin, Adi Maling Durjana dan
Adi Lesmana...!" Semua-semuanya telah terjadi dengan
keadaan yang begini menyedihkan! Kakang Baja Kun-
ing telah tewas, di tangan Adi Maling Durjana...! Hal
itu kukira tak perlu di sesalkan. Apa yang sekarang ini
mengganggu pikiranku adalah, apakah kita masih me-
nunggu waktu terbaik untuk menyerang saudagar Le-
gawa itu...?" tanyanya, lalu melirik pada Lesmana yang
sedari tadi hanya diam saja.
"Ttt... tidak begitu Kakang Roda Paksi! Menu-
rutku karena tak ada lagi persoalan di antara kita,
maka ada baiknya kalau kita berangkat sekarang ju-
ga...!" jawab Lesmana.
"Usul yang baik! Akupun merasa setuju kalau
kita berangkat sekarang juga...!" kata Kincir Angin.
Nampaknya masing-masing mereka yang berada di
tempat itu saling menyetujui apa yang baru saja dika-
takan oleh Lesmana. Itu makanya tak begitu lama ke-
mudian berangkatlah rombongan itu, untuk bergabung
dengan orang-orang Katemenggungan yang sudah ten-
tu telah pula bersiap-siap untuk melakukan penyeran-
gan ke rumah kediaman Saudagar Legawa.
***
EMPAT
Matahari mengintip di upuk Timur, embun
yang menempel di ujung-ujung dedaunan luruh satu
satu. Dan burung-burung masih tetap bermalas-
malasan di dalam sangkarnya. Udara memang terasa
begitu sejuk, karena daerah sekitarnya merupakan da-
taran tinggi yang sangat langka oleh musim kemarau.
Karena daerahnya yang subur. Maka tak begitu heran
jika di daerah itu tumbuh bermacam-macam kayu hi-
tam dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Dalam suasana
pagi seperti itu biasanya daerah Cagak Langit ini sunyi
sepi. Tak seorang pun kelihatan sedang melakukan ke-
sibukan di sana.
Namun tidak demikian halnya yang terjadi di
pagi itu, dari kejauhan nampak berkelebat sesosok
bayangan tubuh menuju ke arah Utara. Orang yang
sedang melakukan1 perjalanan itu nampaknya dalam
keadaan tergesa-gesa. Terbukti, hampir sepanjang ja-
lan yang di tempuhnya. Secara terus-menerus dia
mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kalau dilihat secara
seksama, maka semakin jelaslah bahwa orang yang
sedang melakukan perjalanan itu ternyata seorang
wanita, dengan rambut disanggul, badan kurus kering.
Sedangkan di bagian punggungnya menggelantung dua
bilah pedang yang tidak seberapa panjang dan besar-
nya. Karena badannya sedemikian kurus, maka dalam
keadaan berlari seperti itu tubuhnya nampak seperti
melambai-lambai ditiup angin. Namun perempuan tua
berusia sekitar lima puluh lima tahun ini sudah tiada
menghiraukan hal itu. Dia terus berlari-lari, semakin
lama tubuhnya semakin menjauh melewati hutan-
hutan di sekitarnya.
Di luar sepengetahuan si nenek, kiranya dalam
jarak yang tak begitu jauh. Nampak berkelebat pula
bayangan merah mengikuti kemana saja si nenek ber-
lari. Semakin lama jarak di antara mereka nampaknya
sudah semakin bertambah dekat. Sampai pada satu
kesempatan yang tiada dapat diduga-duga, sambil ber
lari-lari. nenek bertubuh kerempeng itu menggempos
badannya.
"Weeess...!"
Mendadak saja tubuh perempuan itu lenyap
bagai ditelan bumi. Orang yang menguntit di bela-
kangnya merasa kehilangan jejak. Kemudian celingu-
kan memandang ke arah sekelilingnya. Tapi pemuda
berkuncir itu tak melihat siapapun bersembunyi di
tempat itu. Sambil garuk-garuk kepalanya, pemuda ini
pun kemudian berucap seperti untuk dirinya sendiri:
"Wei... perempuan itu lenyap begitu saja. Pa-
dahal aku belum melihat tampangnya. Entah nenek-
nenek atau masih perawan... Sayang semestinya aku
tanyakan hal itu ketika masih berlari tadi. Jangan-
jangan orang itu sebangsanya kuntilanak kesian-
gan...!" gumam si pemuda masih tetap memperhatikan
suasana di sekelilingnya.
"Tapi kuntilanak biasanya rambutnya panjang,
sedangkan orang itu disanggul. Pula di bagian pung-
gungnya menyandang dua bilah pedang...!"
"Bocah! Sejak tadi kau mengikuti terus, apa
yang kau inginkan!"
"Ee... aku hanya ingin melihat-lihat pemandan-
gan di sini...!" sahut si pemuda yang tak lain Buang
Sengketa adanya.
"Hanya ingin melihat-lihat, tapi mengikuti aku
terus ke mana pun aku melangkah...?"
"Mungkin kita hanya kebetulan belaka...!" ja-
wab si pemuda, lalu tersenyum-senyum.
"Kurang ajar... kau bilang hanya kebetulan...?
Kau kira aku tak tau sejak tadi kau terus mengekor di
belakangku...?"
"Maaf orang tua! Sungguh aku tak punya niat
apa-apa, walau aku mengikutimu sejak tadi...!" ujar
Pendekar Hina Kelana, lalu mengangguk hormat.
Perempuan tua itu hentakkan kakinya bebera-
pa kali. Di luar dugaan tanah di sekitar tempat itu te-
rasa bergetar bagai dilalui lintasan gempa. Tingkah si
nenek yang semula dianggap hanya iseng saja oleh si
pemuda sudah tentu berbalik dengan rasa kagumnya
terhadap tenaga dalam yang dimiliki oleh perempuan
ini. Dan akhirnya dia mengetahui bahwa nenek yang
sedang berdiri di hadapannya itu tak dapat dianggap
sembarangan, maka dengan gugup pemuda ini kembali
menjura hormat beberapa kali. Kemudian lanjutnya:
"Siapakah engkau ini orang tua? Maafkan aku karena
aku yang bodoh ini telah begitu berani mempermain-
kanmu...!" Yang diajak bicara nampak diam saja, seba-
liknya matanya yang cekung menjorok ke dalam rong-
ga itu memandang sinis pada Buang Sengketa dari
ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Melihat tampangmu, rasanya aku baru kali
bertemu dengan seorang gembel berperiuk sepertimu!
Kalau kulihat lagi dengan mata hatiku, sungguhpun
gembel namun kau bukan pemuda sembarangan. Aku
si Bidadari Pedang Maut yang telah kehilangan bebe-
rapa orang murid kesayangan jadi ingin tahu. Apakah
kau cukup pantas melakukan sebuah penculikan
ataukah lebih pantas lagi untuk bersedia membantuku
dalam mencari murid-muridku yang hilang...!" kata si
nenek berpedang kembar yang ternyata ketua Pergu-
ruan Kerudung Biru yang berjuluk Bidadari Pedang
Maut. Buang Sengketa yang masih baru satu purnama
berada di daerah yang masih merupakan kekuasaan
Tumenggung Jayeng Rono, sudah barang tentu tidak
mengenal siapa adanya 'Bidadari Pedang Maut' ini. Apa
yang dia ketahui dari setiap gelagat yang tak baik ada-
lah, mempertahankan diri dari segala kemungkinan
yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.
"Orang tua, kurasa aku tak memiliki kesalahan
apa-apa denganmu, tapi mengapa secara tiba-tiba kau
malah bermaksud menyerangku...?" Nampaknya sia-
sia saja kata-kata bernada memberi peringatan yang
diucapkan oleh Buang Sengketa. Si nenek bagai orang
tuli sudah membuka jurus-jurus silatnya.
"Ah... orang tua ini agaknya jenis manusia sint-
ing! Susah diajak kompromi, dan bukan tak mungkin
dia memiliki maksud untuk membunuhku...!" batin
Buang Sengketa. Masih dalam keadaan terlolong-
lolong.
"Bocah geblek! Kau jangan merasa mampu
mengatasi jurus-jurus silatku. Bersiap-siaplah!
Hiaaaat...!"
"Wuuus...!"
Begitu melakukan gebrakan pertama, Bidadari
Pedang Maut telah pula menurunkan pukulan tangan
kosong yang bernama, 'Bidadari Cakar Seribu'. Buang
Sengketa merasakan adanya sambaran angin pukulan
mengancam bahu sebelah kiri. Namun hatinya yang
dalam keadaan ragu-ragu itu, kiranya juga tidak men-
dukung posisi kuda-kuda si pemuda. Akibatnya sam-
baran angin yang sangat keras membuat tubuh si pe-
muda terdorong ke belakang dan terjengkang. Bidadari
Pedang Maut dari Perguruan Kerudung Biru ini nam-
paknya merasa belum puas sampai di situ saja. Dia te-
rus memburu, dan hantamkan pukulan-pukulan
mautnya secara gencar. Melihat gelagat yang ada,
Buang Sengketa menyadari bahwa nenek ceking ini
memang bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Sia-
papun adanya nenek berkepandaian tinggi ini, yang je-
las Buang Sengketa tak mungkin mau menerima begi-
tu saja. Selanjutnya dengan mempergunakan jurus
'Membendung Gelombang Menimba Samudra', Buang
Sengketa nampak mulai membuat satu pertahanan
yang sangat kokoh dengan jalan memutar kedua tan
gannya sedemikian cepat. Sedangkan bagian kaki ka-
nan melakukan sapuan yang telak pada bagian perta-
hanan tubuh lawan bagian bawah.
Bidadari Pedang Maut kembali lakukan satu
sodokan keras, kaki si pemuda datang menyambut.
"Deees...!"
"Gubraaak...!"
Kali ini tubuh kurus Bidadari Pedang Maut ter-
lempar dua tombak. Celakanya bagian kepala perem-
puan itu ini menghantam sebatang pohon, dan pohon
sebesar dua pelukan orang dewasa itu pun tergetar,
tapi bukan itu yang membuat Bidadari Pedang Maut
menjadi uring-uringan, tetapi karena akibat benturan
dengan pohon tadi dia mendapat benjol di kepalanya
sebesar telur angsa. Bahkan selain itu, kepalanya juga
jadi berkunang-kunang.
"Sudahlah orang tua! Di antara kita tak ada
permusuhan, untuk apa kita bertengkar?" kata Buang
Sengketa mengingatkan. Tapi sebaliknya Bidadari Pe-
dang Maut menjadi gusar dan marah atas teguran
Buang Sengketa. Kemudian dengan rahang gemerta-
kan menahan amarah, nenek berbadan ceking ini
mencabut pedang kembarnya, "Sriiing... Sriiing...!"
Pedang di tangan Bidadari Pedang Maut nam-
pak berkilat keemasan ditimpa cahaya matahari yang
baru saja menampakkan diri di upuk Timur.
"Kau harus merasai dulu kehebatan jurus pe-
dang yang kumiliki...!"
"Aku tak memiliki kepandaian apa-apa, orang
tua. Aku bisa celaka di tanganmu...!"
"Kalau kau tak memiliki kepandaian apa-apa...!
Mungkin kau luput dari daftar orang-orang yang kucu-
rigai, namun tak pernah lepas dari maut...!" teriak Bi-
dadari Pedang Maut.
Belum sempat si pemuda mengucapkan kata
kata protes, senjata kembar di tangan ketua Perguruan
Kerudung Biru itupun telah berkelebat menyambar
bagian-bagian tubuh si pemuda dengan gencarnya.
Mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk, pendekar
keturunan raja Ular Piton Utara ini mencoba menghin-
dari setiap babatan maupun tusukan pedang yang da-
tangnya secara sambung menyambung dan tiada kun-
jung henti.
Tubuh Buang Sengketa terkadang nampak me-
liuk-liuk, di lain saat terhuyung-huyung dan bagai
orang yang akan terjerembat. Tetapi di saat lain, den-
gan gerakan yang tiada terduga-duga pemuda ini me-
nerjang lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit
untuk diikuti kasat mata.
"Hiaat...!"
"Weuuus...!"
"Kurang ajar! Nyeploss lagi...!" teriak si nenek
begitu mengetahui serangannya berhasil dihindari oleh
pihak lawannya.
"Nih jurus Bidadari Menimba Sumur...!" gumam
Bidadari Pedang Maut. Lalu sekali saja tubuhnya me-
lompat ke udara dengan satu gerakan yang sangat
manis, maka ketika tubuh kurus itu kembali melayang
turun. Dengan gerakan secepat Burung Walet me-
nyambar ikan. Bidadari Pedang Mautpun hantamkan
pedangnya mengarah pada bagian kepala si pemuda.
Buang merasakan adanya satu sambaran angin yang
sangat keras dari bagian atas kepalanya. Tanpa mera-
sa sungkan-sungkan lagi pemuda ini hantamkan tan-
gannya ke arah atas. Serangkum gelombang Ultra Vio-
let melesat sedemikian pesatnya ke arah si nenek cek-
ing yang hampir saja membacok bagian kepala lawan-
nya. Namun akhirnya dia harus mengurungkan niat-
nya, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri saat dia
sendiri merasakan adanya sambaran hawa yang begitu
panas ke arah bagian dadanya.
"Weiii...!"
"Zeeet... serr...!"
Pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa le-
nyap begitu saja ditelan udara. Sebaliknya, begitu
menjatuhkan diri Bidadari Pedang Maut terus bergul-
ing-guling sambil babatkan pedang kembarnya ke arah
bagian kaki.
"Wuuuk...!"
"Jreep...!"
Pedang yang menghantam kaki Buang Sengketa
melekat sedemikian erat, nenek ceking yang merupa-
kan ketua Perguruan Kerudung Biru menjadi terkejut
bukan alang kepalang. Namun kiranya diapun menjadi
penasaran juga. Tanpa menunggu lebih lama perem-
puan ini hantamkan pedang yang satunya lagi.
"Creep...!"
Tak jauh bedanya dengan apa yang telah terjadi
pada pedang pertama tadi. Kali inipun senjata di tan-
gan si nenek melekat sedemikian eratnya di bagian ka-
ki si pemuda. Bidadari Pedang Maut nampaknya juga
tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dengan mem-
pergunakan sebagian tenaga dalamnya dia berusaha
menarik senjatanya yang semakin menempel erat di
kaki Buang Sengketa.
Namun sehebat apapun Bidadari Pedang Maut
mengeluarkan tenaga untuk membetot senjatanya. Ta-
pi tetap saja tidak mendatangkan hasil yang sebagai-
mana dia harapkan. Bahkan serang ketua Perguruan
Kerudung Biru itu mulai merasakan kehilangan tenaga
yang begitu besar. Pada kenyataannya saat itu Buang
Sengketa memang telah mempergunakan jurus Koreng
Seribu, peninggalan terakhir almarhum Gurunya, Si
Bangkotan Koreng Seribu.
"Heh...! Ilmu iblis... mengapa sekarang ini aku
menjadi sedemikian bodoh. Aku merasakan sejak tadi
tenagaku tersedot keluar. Ini berarti sifat ilmu yang
dimiliki oleh pemuda aneh ini menarik sebanyak
mungkin tenaga dalam yang dimiliki oleh lawannya. Itu
sama saja artinya dengan membuang tenaga dalam
percuma. Seharusnya aku menarik balik tenagaku...!"
batin ketua Perguruan Kerudung Biru ini. Kemudian:
"Chaaat...!"
Dengan tiada mengerahkan kekuatannya, si
nenek ceking menyentakkan senjatanya. Pedang terle-
pas, tubuh Bidadari Pedang Maut terguling-guling
dengan wajah pucat seputih kain kapan. Namun pe-
rempuan ini segera pula bangkit, lalu memandang ta-
jam pada Buang Sengketa yang tetap tegak di tempat-
nya sambil cengengesan.
"Bocah berperiuk! Siapakah engkau ini...?"
tanya ketua Perguruan Kerudung Biru tanpa merasa
malu.
"Untuk apa kau tanyakan namaku, nenek pi-
kun...!" tukas si pemuda bersungut-sungut.
"Ah... kau masih marah dengan segala tinda-
kanku tadi...?"
"Mungkin saja tidak! Tapi karena engkau ham-
pir saja membelah kepalaku, sudah selayaknya kalau
aku marah...!" Sambutnya ketus.
"Hemm...! Maafkanlah aku...! Karena aku telah
berperasangka buruk padamu. Penampilanmu yang ti-
dak meyakinkan itu membuat aku mencurigaimu...!"
"Aku tak mengerti mengapa justru kau malah
mencurigaiku...! Padahal aku tak pernah membuat ke-
salahan di daerah ini...!"
"Omong kosong...! Pekerjaanmu membantu
saudagar Legawa saja sudah merupakan satu kesala-
han bagimu. Masihkah kau mau mungkir...?"
"He... orang ini mengetahui, aku membantu
saudagar Legawa! Padahal sebelumnya aku tak pernah
bertemu dengannya...!" batin Buang Sengketa.
"Kau tak perlu berpura-pura! Aku telah meli-
hatnya...!"
"Tapi aku hanya ingin menjernihkan suasana
yang keruh dalam keluarga kedua belah pihak...!"
"Omong kosong...!" dengus Bidadari Pedang
Maut. "Mereka yang kau bela, dan mereka yang memu-
suhi sama-sama memiliki sifat tamak. Tak berguna
kau membela mereka mati-matian... kau harus ingat
Katemenggungan sebagaimana biasanya tentu tidak
tinggal diam melihat orang-orang kepercayaannya te-
was di tanganmu..."
"Aku tak takut menghadapi siapapun...!" kata si
pemuda ketus.
"Ah, sayangnya aku sedang banyak urusan
orang muda, kalau tidak aku ada minat melihat kehe-
batan seorang pendekar yang berjuluk, Si Hina Kelana
itu. Nantilah kalau urusanku mencari murid-murid
yang hilang sudah kutemukan. Dan nyawa masih me-
lekat di badanku, mudah-mudahan kau dapat bertemu
denganku...!" kata nenek ceking ketua Perguruan Ke-
rudung Biru, lalu seperti tak pernah terjadi sesuatu
apapun di tempat itu, Bidadari Pedang Maut segera
pergi meninggalkan tempat itu.
"Aku seperti mengenali suaranya...! Suaranya
seperti seorang gadis muda. Tapi wajahnya sudah ke-
riputan dan tua... jangan-jangan dia merupakan...! Ah
tak mungkin Wanti Sarati berkeliaran di tempat ini...!"
batin si pemuda. (Untuk jelasnya siapa si Cantik Wanti
Saraty, terdapat dalam Episode Satria Penggali Kubur).
"Mudah-mudahan bukan dia...!" ujar si pemu-
da, kemudian tanpa menoleh-noleh lagi langkahnya
pun terayun menuju rumah kediaman Saudagar Legawa.
LIMA
Di atas batu-batu yang terdapat di depan gua,
setiap hari mayat-mayat yang terdiri dari kaum wanita
berumur belasan tahun bergelimpangan. Dan setiap
kali pembunuhan itu terjadi. Selalu saja diakhiri den-
gan sebuah doa yang diucapkan dengan gumaman-
gumaman yang tak jelas. Biasanya setelah melam-
piaskan kemarahannya, Andika atau yang berjuluk Sa-
tria Pedang Asmara itu selalu menyunggingkan seulas
senyum puas. Selanjutnya terdengar pula untaian ka-
ta-katanya yang berpangkal dari galau masa lalunya:
Di sepanjang jalan berselimut kabut
Dalam lorong sepi tiada pelita...
Kegelapan menyambut datangnya sang Aku
Di sini ini...
Dalam jurang nestapa,
Ada jiwa dibakar angkara murka.
Duh...
Andai masih mungkin, ingin kugapai
bintang dan rembulan
Yang sunggingkan senyum mengejek,
Setiap diri berada dalam belengguh cinta...
Tapi mungkinkah?
Hari-hariku kini, sudah enggan bicara...
Tangan menyapa dengan ujung pedang berlu-
mur darah...
Oh...
Angkara, kau datang coba tepiskan dendam
Sebuah dendam lama yang membuat jiwa berge-
limang tanpa nyawa
Puaskah aku dengan semua yang kudapat?
Kujawab dengan kata puas...
Namun Pedang Asmara mengatakannya tidak
Lalu siapakah yang akan kuturut...
Andai setiap waktu maut datang menjemput...
Selalu saja seusai melantunkan bait-bait syair-
nya pemuda ini tergelak-gelak. Sebuah tawa yang se-
sungguhnya hanyalah merupakan penjelmaan rasa
pedih yang menyelimuti hatinya. Hanya dia sendiri
yang tau, apa sesungguhnya sedang terjadi di dalam
hatinya;
Tak sampai sepeminum teh, pemuda berjubah
hitam dengan wajah coreng moreng ini memandangi
mayat-mayat tanpa darah yang saat itu sedang di-
usung oleh para anak buahnya, menuju jurang tempat
pembuangan mayat yang berada tak begitu jauh dari
tempat itu.
"Peri Lingga!" sapanya, dingin. Perempuan yang
berada tak begitu jauh dari tempat si pemuda berdiri
nampak menoleh.
"Ada apa ketua...?" tanya perempuan wajah co-
reng moreng dengan sikap sungkan.
"Aku merasakan kehadiran tamu tak diundang
di sekitar tempat kita ini. Coba kalian periksa...!" pe-
rintah pemuda dari Lembah Patah Hati ini dengan si-
kap acuh.
"Kami akan melakukannya, Ketua...!" jawab Pe-
ri Lingga. Selanjutnya dengan gerakan yang sangat
ringan tubuh Peri Lingga dalam sekejaban saja telah
lenyap dalam kerimbunan pohon. Namun tiada dis-
angka-sangka, dari arah lain nampak melompat bebe-
rapa sosok tubuh menghampiri si pemuda yang berdiri
tegak dengan sikap menunggu.
"Jleeek...!"
"Jliiik...!"
Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah dua
orang pendatang yang terdiri dari seorang kakek dan
nenek tua renta langsung menyerang Andika dengan
senjatanya yang berupa sebuah ruyung berwarna kun-
ing emas. Pemuda wajah coreng moreng ini memang
merasa terkejut dengan kehadiran dua tokoh ini. Na-
mun dia tak begitu terkejut dengan adanya serangan
yang dilakukan secara tiba-tiba ini. Dengan gerakan
yang sangat indah, Andika geser tubuhnya ke samping
satu langkah. Tapi senjata di tangan lawannya terus
memburu ke arahnya. Satu sambaran angin yang di-
timbulkan oleh senjata di tangan lawannya terasa me-
nerpa bagian wajah Andika. Ada hawa keji yang me-
nyertai berkelebatnya senjata itu.
"Haiiit!"
"Hemmm...!"
Dengan sekali lompatan yang tiada menimbul-
kan suara sedikitpun. Sepasang kakinya yang kokoh
berotot telah mendarat dengan mulus di atas sebong-
kah batu. Kakek nenek dengan ruyung mautnya terus
memburu. Dan secara hampir bersamaan hantamkan
ruyungnya ke arah bagian pinggang lawannya.
"Hiaaat...!"
Sekali lagi, pemuda wajah coreng moreng den-
gan sangat mudahnya menghindar. Senjata di tangan
lawannya terus menerjang ke arah batu itu.
"Dweeer...!"
Batu bekas tempat bertumpunya si pemuda
hancur berkeping-keping, serpihan debu dan batu ke-
cil-kecil bertebaran di mana-mana.
"Peri Lingga! Tamunya sudah datang sendiri!
Apa saja kerjamu di situ, heh...!" tanyanya dengan se-
sungging senyum rawan.
"Wuuus! Jleeek...!"
Dari semak-semak yang terletak di sebelah Uta-
ra, sesosok tubuh ramping dengan jubah menjela telah
hadir pula di tempat itu. Bahkan tak lama kemudian di
depan mulut gua itu telah dipenuhi oleh belasan wani-
ta dan pria berjubah hitam.
"Minggir kalian semuanya! Biarkan aku sendiri
yang akan menjajal kehebatan aki nini bersenjata
ruyung penggebuk anjing ini...!" perintah Andika, begi-
tu melihat para bawahannya mulai bergerak dengan
tujuan menyerang dua kakek nenek yang belum mere-
ka ketahui identitasnya ini.
"Mampuslah kalian orang-orang berpenyakit ji-
wa...!" teriak si nenek berambut merah. Lalu hantam-
kan satu pukulan yang menimbulkan serangkum ge-
lombang berhawa panas luar biasa. Pada saat yang
sama kakek rambut putih juga kirimkan satu pukulan
yang menimbulkan udara dingin melebihi salju.
Dua pukulan sakti yang dilepas dengan sasa-
ran yang sama membuat Andika mengerutkan alisnya.
Walau bagaimanapun dua kekuatan ini memiliki aki-
bat yang berbeda-beda. Antara dingin dan panas. Se-
muanya sama-sama dapat menimbulkan akibat yang
sangat patal. Tapi Andika adalah seorang tokoh muda
yang memiliki senjata serta tenaga dalam yang dapat
menimbulkan rebawa aneh. Dan bahkan pemuda ini
tak pernah gentar menghadapi resiko yang bagaimana
pun bentuknya. Maka dengan nekad dia memapaki
pukulan 'Geletar Jagat' yang dilepaskan oleh dua la-
wannya dengan pukulan 'Jiwa Merana Di Tinggal Ke-
kasih' yang telah dikuasainya dengan baik.
"Wuuuk...!"
Pukulan tanpa ujud namun menimbulkan aki-
bat yang sangat luar biasa ini laksana kilat menyong-
song datangnya pukulan yang membawa dua sifat be-
da.
"Duuummm...!" Kakek nenek rambut merah
putih terdorong dua tindak ke belakang. Sementara
pemuda wajah coreng moreng jubah menjela, hanya
tergetar saja beberapa saat lamanya. Dapat dibayang-
kan betapa tenaga dalam yang dimiliki oleh pemuda itu
berada satu tingkat di atas lawan-lawannya.
"Hebat! Dari dulu hingga kini, baru kutemui
dua ekor monyet ompong yang memiliki tenaga dalam
yang lumayan." Tanpa merasa malu-malu, Andika
memuji. "Sebelum kalian binasa di ujung Pedang As-
mara, kukira tak salah kalau kalian harus menye-
butkan asal usul kalian. Dan mengapa pula datang-
datang langsung menyerang...?" hardik Andika dengan
wajah tanpa ekperesi.
"Huh... manusia berpenyakit sarap. Sudah ber-
bulan-bulan kami mencari murid kami yang hilang
tiada tentu rimbanya. Tiada dinyana, kiranya disinilah
sarangnya para iblis pembunuh berdarah dingin itu...!
Manusia keparaaat... apakah salah dan dosa mere-
ka...?" maki si kakek rambut putih dengan senjata
menyilang di depan dada. Andika hanya mendengus
mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh si
kakek. Kini mengertilah dia akan duduk persoalan
yang sebenarnya. Di luar dugaan si nenek maupun
kakek itu, seperti pada dirinya sendiri, pemuda wajah
coreng moreng ini berucap:
Langit hitam, cakrawala hati hitam
Manusia tak tahu bagaimana bumi bermula
Juga tiada mengerti bagaimana langit ditegak-
kan
Gelimang harta hanya menimbulkan keegoisan
Tapi lihatlah sekeping hati
Dalam jiwa ini...
Yang dulu tergilas oleh ketidakpastian jaman
Ah...
Engkau dan aku, juga siapa saja tak mungkin
tahu,
Apa yang akan terjadi di hari esok
Tiada manusia tempat bertanya,
Juga tiada yang pasti...
Karena kepastian itu, hanyalah sebuah kema-
tian...
Kakek dan nenek yang dalam dunia persilatan
terkenal dengan julukan 'Sepasang Ruyung Emas',
nampak saling pandang sesamanya. Rasanya kali ini
mereka berhadapan dengan orang berpenyakit jiwa
yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Dari pulau
Tak Bertuan mereka datang untuk mencari muridnya
yang tiada pernah kembali. Tetapi begitu mereka telah
menemukan jejaknya, kiranya tokoh yang dihadapinya
itu memiliki kepandaian yang sangat luar biasa.
Sebagaimana murid-murid dari berbagai pergu-
ruan yang tiada dikenalnya, kakek rambut putih dan
nenek rambut merah merasa yakin bahwa mayat yang
telah membusuk yang mereka temukan di dalam ju-
rang pembuangan mayat itu, tiga diantaranya pastilah
merupakan murid-murid wanitanya. Apabila mereka
mengingat kematian murid-muridnya yang secara
menggenaskan itu, maka amarah di dalam dada mere-
kapun berkobar-kobar. Mereka pada akhirnya sudah
tiada perduli lagi dengan kehebatan yang dimiliki oleh
lawannya. Dengan amarah yang tertahan-tahan, ak-
hirnya dua orang tokoh dari pulau Tak Bertuan inipun
membentak:" Penyair edan... manusia sinting, berotak
miring! Kau telah menculik dan membunuh tiga orang
muridku! Sungguhpun kepandaianmu setinggi gunung
dan sebanyak buih sabun! Kami tak pernah merasa
gentar untuk menghadapimu...!" Lagi-lagi Andika me
nyambutnya dengan sesungging senyum yang begitu
dingin.
"Perjuangan yang sia-sia adalah perjuangan
yang tak pernah di perhitungkan dengan matang...!
Begitu juga halnya dengan kematian yang sia-sia, juga
karena hanya menuruti api dendam...! Hak... hak...
hak...! Kuberi kesempatan pada kalian untuk menga-
lahkanku. Namun jika kalian tak mampu melakukan-
nya. Kalian harus bersedia berbakti kepadaku...!" kata
Andika mengancam.
"Jangan banyak mulut! Makanlah senjata kami
ini...!" bentak si nenek rambut merah. Kemudian den-
gan gerakan yang sangat cepat, dua-duanya langsung
menerjang dengan hantamkan ruyung berwarna emas
yang dapat mengembang dan menguncup secara se-
pontan.
"Ha... ha... ha...!" Andika tergelak-gelak. Gera-
kan tubuhnya ringan saja, seolah senjata yang diha-
dapinya hanya merupakan senjata mainan anak-anak.
Dalam keadaan mengkelit menghindari sambaran sen-
jata lawannya, Andika meraba bagian punggungnya
dan langsung mencabut senjatanya yang berupa sebi-
lah Pedang berwarna hitam kebiru-biruan. Ketika sen-
jata yang telah menelan banyak korban itu tercabut
dari sarungnya. Maka mendengunglah bunyi aneh
yang tiada berketentuan. Tangan pemuda wajah coreng
moreng ini langsung bergetar hebat. Wajah kedua la-
wannya terkesiap, mereka menyadari betapa berba-
hayanya senjata di tangan lawannya itu. Bahkan sebe-
lum mereka bertarung dengan pemuda itu, mereka me-
lihat betapa senjata itu secara terus menerus menge-
luarkan bunyi mendengung. Selanjutnya dengan
mempergunakan jurus 'Di Tinggal Kekasih', senjata di
tangan Andika menerpa deras ke arah senjata di tan-
gan kakek rambut putih. Namun sebelum senjata itu
berhasil mencapai sasarannya, senjata di tangan ne-
nek rambut merah menyambut dari bagian samping
kanannya. "Traaak...!"
Secara aneh senjata di tangan pemuda muka
coreng moreng berbalik menghantam senjata di tangan
si nenek. Ruyung emas di tangan nenek rambut merah
terbelah menjadi dua. Bahkan seandainya nenek ini ti-
dak cepat-cepat menarik tangannya, sudah barang
tentu tangannyapun menjadi korban Pedang Asmara di
tangan Andika.
"Keparat...!" maki nenek rambut merah sambil
berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya.
"Kubun...!" mengetahui senjata istrinya dapat
dihancurkan oleh Andika, kakek rambut putih menjadi
gusar. Namun belum lagi dia berhasil melampiaskan
amarahnya, senjata di tangan Andika berhasil memba-
bat buntung senjata di tangan kakek rambut putih.
Bahkan mungkin, jika Andika mau melakukannya
tangan si kakek yang keriputan itupun dapat dia bun-
tungi sekaligus. Sungguhpun dia tak berniat membun-
tungi tangan si kakek. Namun satu tendangan yang
begitu telak tetap dilakukannya.
"Buuk...!"
"Gusruuk...!"
"Kampret! Pemuda iblis itu telah memaksaku
mencium kotoran sapi!" maki si kakek di dalam hati.
Dengan bersusah payah dia berusaha bangkit kembali,
setelah melap mukanya yang belepotan kotoran sapi,
laki-laki dari pulau Tak Bertuan ini bermaksud mener-
jang kembali dengan pukulan-pukulan tangan kosong-
nya. Namun tiada diduga-duga tubuh Andika nampak
melesat laksana terbang. Cepat sekali gerakan Andika,
hingga satu detik kemudian dua pekerjaan yang mem-
butuhkan kelihaian luar biasa berhasil dia selesaikan
dengan baik:
"Tuuk! Tuuk!"
Dua totokan berturut-turut mendarat tepat di
bagian tubuh, nenek rambut merah dan si kakek ram-
but putih. Secara peraktis tubuh yang dalam keadaan
tertotok itupun terasa sulit untuk digerakkan. Tiada
yang dapat dilakukan oleh tokoh dari pulau Tak Ber-
tuan ini terkecuali mencaci maki dengan kata-kata
yang begitu kasar.
"Kalau aku mau, bukankah sejak dari tadi aku
dapat membunuh kalian berdua? Heh tapi aku tak in-
gin melakukannya. Tenaga kalian masih kubutuhkan
untuk menggempur Saudagar Legawa...!" kata Andika
dengan senyum mengejek.
"Jangan kira kami mau bersekongkol dengan
manusia iblis sepertimu...!" tukas kakek dan nenek da-
ri Pulau Tak Bertuan hampir bersamaan. Tanpa meng-
hiraukan kata-kata kedua orang tua ini. Andika mem-
beri isyarat pada Peri Lingga untuk memenjarakan me-
reka di ruangan bawah tanah. Pembantu-pembantu
setia inipun dengan sigap melakukan perintah yang
diberikan oleh atasan mereka.
***
ENAM
Hampir setiap malam rumah besar yang sangat
mewah dijaga ketat oleh belasan orang para pembantu
saudagar Legawa. Penjagaan bukan saja dilakukan di
bagian depan, namun di bagian belakang rumah yang
berpagar tembok tinggi itu juga tak luput dari penja-
gaan. Demikianlah hal seperti itu secara terus-
menerus di lakukan oleh saudagar Legawa sejak
adanya peristiwa pertempuran yang menelan korban
belasan orang prajurit-prajurit Katemenggungan.
Setiap saat hati saudagar ini selalu diliputi oleh
rasa was-was dan perasaan bersalah. Bagaimanapun
orang yang sekarang ini dihadapinya adalah merupa-
kan orang yang mempunyai pengaruh besar terhadap
pemerintahan kerajaan Rantingkam yang berpusat di
Kota Sabuk Intan. Bukan mustahil seandainya Tu-
menggung Jayeng Rono meminta bantuan dari Kota
Raja akan berdatangan sekian banyak bala bantuan
yang sudah pasti memiliki ilmu perang yang sangat
tinggi. Sedangkan dipihaknya sendiri, orang yang pal-
ing dia andalkan adalah Pendekar Hina Kelana. Dan
pemuda itupun hingga sampai saat itu masih belum
juga kembali dari bepergian. Menghadapi kenyataan
seperti itu, hampir sepanjang malam saudagar yang
dulunya silau dengan pangkat dan kedudukan ini
menjadi semakin gelisah.
Sementara itu di halaman yang begitu luas,
nampak beberapa orang pembantu saudagar Legawa
dengan senjata siap di tangan berjalan hilir mudik me-
lakukan tugasnya. Udara malam yang terasa begitu
menggigit sudah tiada mereka hiraukan. Mereka nam-
pak bersemangat dalam melakukan tugasnya. Hal ini
dapat dimaklumi karena saudagar Legawa telah mem-
beri mereka tambahan upah yang begitu besar.
"Njul...! Malam ini rasanya sangat dingin sekali
ya...! Masih jam sembilan mataku sudah ngantuk...
eeh... ngantuk...!" Selak salah seorang dari penjaga itu
pada kawan yang berjalan di sisinya.
"Ho'oh...! Aku pun begitu, mana lagi malam
sangat dingin sekali...!" Kata kawannya yang disebut
panjul.
"Hmm! Pantesan, malam ini malam Jumat Kli-
won! Saat-saat seperti ini hantu pasti pada bergen-
tayangan..."
"Ahk... kau bikin suasana jadi serem aja...!"
"Sangkut... Sangkut... kau ini orang pengecut!
Tak pantas menjadi centeng apalagi peronda malam
seperti sekarang ini...!" celetuk Baginjul.
"Pantesnya aku jadi apa...?"
"Kalau kau mau jadi pedagang terasi atau ubi...
malam-malam begini kau pasti di rumah bersama
anak bini... Hidup anteng, malam yang dingin jadi an-
get...!"
"Ah bicaramu parno melulu...!"
"Bukan parno, goblook...!" protes kawannya.
"Jadi apa...?"
"Porno...!"
"Porno...?!" Sambut Sangkut merasa terheran-
heran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh ka-
wannya.
"Porno makanan apa sih...!"
"Makanan ringan, tolol...!" celetuk Baginjul se-
kenanya. Kedua penjaga malam itu kemudian tertawa
ngakak, kemudian berjalan cepat menuju ke arah ban-
gunan bagian belakang. Namun serta merta suara ta-
wa mereka terhenti saat mana terdengar suara jeritan
yang begitu panjang menyayat. Kedua orang itu nam-
pak saling berpandangan untuk beberapa saat la-
manya. Detik kemudian mereka mendengar suara
denting beradunya senjata tajam.
"Di sebelah Utara rumah ini...!" teriak Sangkut
pada Baginjul. Dengan gerakan yang sangat gesit, ke-
duanyapun berlarian ke arah itu. Ketika mereka sam-
pai di tempat terjadinya pertempuran. Mereka melihat
dua orang pendatang telah berhasil merobohkan enam
orang penjaga yang berada di tempat itu.
Melihat sepak terjang orang-orang ini, Baginjul
dan Sangkut sudah dapat menduga bahwa dua orang
pendatang ini ternyata memiliki kepandaian yang ting
gi. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Baginjul dan Sangkut
yaitu pembantu Legawa yang memiliki kepandaian
yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan kawan-
kawannya segera menerjang maju sambil hantamkan
senjatanya yang berupa tombak berukuran sangat
panjang. Mendapat tekanan yang datangnya secara ti-
ba-tiba ini sudah tentu membuat dua orang pendatang
jadi terkejut. Namun hal itu hanya sesaat saja terjadi,
karena beberapa detik kemudian mereka pun sudah
berhadapan dengan Baginjul dan Sangkut.
"Kepandaianmu boleh juga, Sobat...!" geram sa-
lah seorang dari pendatang itu sambil mengerahkan
jurus-jurus tangan kosongnya.
"Pendatang tengik. Siapakah kalian ini...?" te-
riak Baginjul, dengan suara menggembor bagai ban-
teng marah.
"Siapa kami? Huh... suruh dulu keluar sauda-
gar Legawa manusia terkutuk itu. Nanti baru akan ku
jelaskan pada kalian...!" dengus salah seorang penda-
tang bertubuh pendek kurus. Lalu tanpa sungkan-
sungkan pula terus berusaha mendesak Sangkut, den-
gan sabetan-sabetan kipasnya yang dapat mengem-
bang dan menguncup. Nampaknya Sangkut dan Ba-
ginjul sebagai orang yang telah berpengalaman dan
memiliki ilmu lumayan tinggi tidak mudah di tunduk-
kan begitu saja, terbukti sampai sejauh itu serangan
senjata lawannya masih dapat dielakkan oleh Sangkut
dan Baginjul. "Hemm. Keparaat juga, anjing-anjing
penjaga saudagar Legawa ini...!" maki si pendatang
sambil melompat ke belakang beberapa kali.
"Heeuuup...!"
Dua orang pendatang bertubuh kurus pendek
ini secara serentak nampak merangkapkan kedua tan-
gannya di depan dada. Kemudian secara perlahan tan-
gan itu menyilang dengan senjata kipas merentang lebar.
"Zeeb... Zeeeb...!"
"Haaiiiit...!" Terdengar dua teriakan menggele-
dek, saat mana dua orang pendatang ini membuka ju-
rus silat 'Kipas Berkabut', yaitu sebuah jurus kipas
andalan yang selama ini telah mengangkat nama me-
reka di dalam dunia persilatan. Sangat jarang orang
yang tau tentang asal usul si Kipas Kembar ini, tapi
kalangan persilatan cukup mengenal mereka sebagai
orang yang tidak menyukai segala bentuk kerja sama
dengan partai maupun pihak lain. Permainan kipas
mereka yang dikenal sebagai sangat beracun dengan
uapnya yang kebiru-biruan telah banyak merenggut
korban jiwa. Namun sesungguhnya bukan itu saja
yang dikuasai, Kipas Kembar adalah merupakan tipe
manusia yang punya kegemaran mengumpulkan ben-
da-benda langka. Salah satu diantaranya adalah men-
gumpulkan berbagai jenis mutiara.
Konon dari daerah yang terletak di Selatan sa-
na, sering mereka mendengar berita yang disampaikan
dari mulut ke mulut. Di daerah yang masih merupa-
kan wilayah kekuasaan Tumenggung Jayeng Rono,
terdapat saudagar yang sangat kaya yang selama ini
dikenal sebagai pedagang mutiara dan intan. Apa yang
mereka dengar sudah barang tentu sangat menarik
perhatian mereka, bahkan merekapun berambisi ingin
menguasai barang-barang yang sangat berharga itu.
Dengan modal tekad dan semangat yang menggebu-
gebu, berangkatlah mereka menuju ke Utara. Yaitu
yang merupakan tempat tinggal saudagar kaya yang
kemudian mereka ketahui bernama Legawa. Di sepan-
jang perjalanan yang mereka tempuh, tak bosan-
bosannya mereka bertanya pada orang yang mereka
temui. Akhirnya mereka pun mengetahui bahwa sau-
dagar Legawa sesungguhnya telah membina hubungan
kekeluargaan dengan pihak Katemenggungan. Namun
hubungan itu seperti diketahui berubah menjadi se-
buah permusuhan yang telah merenggut korban jiwa,
hanya dikarenakan keluarga Tumenggung merasa ter-
tipu atas perkawinan yang dilakukan oleh putranya
atas putri saudagar Legawa. Seperti diketahui dari pi-
hak keluarga saudagar Legawa kemudian tak mau te-
rima begitu saja.
Nah mempergunakan kesempatan itu si Kipas
Kembar cepat-cepat mengambil keputusan dan lang-
sung bertindak. Karena mengira para penjaga di sepu-
tar tempat itu tidak begitu ketat, maka seenaknya saja
mereka melompati dinding tembok yang memiliki tinggi
tak lebih dari tiga meter. Tapi ketika mereka harus
berhadapan dengan Sangkut dan Baginjul, mereka me-
rasa di dalam rumah kediaman saudagar Legawa ma-
sih terdapat banyak lawan-lawan yang mungkin saja
berilmu tangguh. Itu sebabnya mereka tak ingin me-
nyia-nyiakan kesempatan yang terbatas itu. Sesaat se-
telah si Kipas Kembar keluarkan jurus-jurus andalan-
nya, maka dalam waktu beberapa jurus di muka per-
mainan tombak di tangan Baginjul dan Sangkut nam-
pak sudah tidak berkembang lagi. Bahkan beberapa
jurus di muka, dua orang pembantu saudagar Legawa
ini sudah kena di desak.
"Wuut...!"
"Haeees...!"
Tubuh Baginjul nyaris terhantam kipas temba-
ga di tangan lawannya. Sedangkan Sangkut saat itu
sudah kena ditendang oleh lawannya yang lain. Dalam
keadaan tunggang langgang ini Sangkut cepat-cepat
bangkit kembali, lalu berteriak-teriak memberi perin-
tah kepada kawan-kawannya.
"Cepat kalian beri tahu saudagar...!"
"Cepaaat...!" Baginjul yang sudah dalam kea
daan semakin terdesak itu menyambung. Tanpa
buang-buang waktu lagi, tiga orang pembantu, lang-
sung berlari-lari menuju ke dalam bangunan besar itu.
"Keadaan bisa runyam, Hiihh...!" Sambil ber-
guman salah seorang dari lawannya hantamkan kipas
di tangannya mengarah bagian dada Baginjul. Masih
untung laki-laki bersenjata tombak ini masih sempat
membaca kemana arah gerakan senjata lawannya.
Dengan sangat cepat dia miringkan tubuhnya ke
samping.
"Breet...!"
"Ahkgh...!"
Baginjul keluarkan seruan tertahan saat mana
bagian bahunya masih juga tersambar ujung kipas di
tangan lawannya. Darah kehitam-hitaman meleleh dari
bagian luka yang terobek. Rasa nyeri dan linu segera
menjalari bagian tubuh yang terluka ini. Sadarlah Ba-
ginjul ternyata senjata di tangan lawannya mengan-
dung racun yang sangat keji. Si Kipas Kembar dari Se-
latan ini keluarkan suara tawa mengekeh. Sedetik ke-
mudian kedua orang itu memburu dua orang lawannya
dengan maksud menghabisinya sekaligus. Kali ini ke-
mungkinan untuk menghindari serangan mematikan
dari lawannya sudah sangat tipis sekali.
"Wuuuk...!"
Baginjul dan Sangkut masih berusaha me-
nangkis serangan kipas yang datangnya begitu cepat.
"Ahh. Nyeplos...!" seru salah seorang lawannya.
Kemudian dengan disertai sesungging senyum menge-
rikan kipas di tangan kedua orang itu menderu. Bagin-
jul dan Sangkut masih berusaha menghindari terjan-
gan kipas itu. Namun agaknya sebentar lagi maut pasti
akan menjemput mereka andai pada saat-saat yang
sangat menegangkan itu tidak berkelebat sosok bayan-
gan merah ke arah mereka! "Braaak! Braak...!"
Si Kipas Kembar keluarkan seruan tertahan.
Tubuh mereka terdorong tiga tombak ke belakang.
Orang-orang ini merasakan senjata mereka membentur
sesuatu yang begitu keras, hingga menyebabkan tan-
gan-tangan mereka terasa nyeri dan sakit.
"Keparat...! Siapakah kau ini...?" bentak salah
seorang diantara mereka begitu melihat kehadiran seo-
rang pemuda berpakaian merah dengan rambut pan-
jang dikuncir. Pemuda itu berdiri tegak dengan kedua
tangan menyilang di depan dada,
"Semestinya akulah yang bertanya, siapakah
kalian ini...!" gumam si pemuda dengan sikap acuh.
"Saudara Baginjul dan Sangkut! Menepilah aku
ingin menjajal sampai di mana kehebatan dua ekor
kunyuk ini...!" Perintahnya lagi tanpa memperdulikan
dua orang lawannya yang masih dalam keadaan ter-
bengong-bengong. Yang diperintah nampak menuruti
apa yang diinginkan oleh pemuda berkuncir yang su-
dah tak asing lagi bagi kita ini.
"Kurang ajar! Sebelum kau mampus di tangan
kami, lebih baik kau sebutkan nama bapak moyang-
mu...!"
"Tak perlu! Aku sudah mengetahui siapa
adanya kalian ini. Bahkan siang tadi aku juga sudah
mendengar apa yang kalian bicarakan... he... he...
he...! Maling tengik, kalau kalian tidak cepat-cepat me-
rat dari hadapanku. Kalian segera tahu apa akibat-
nya...!"
"Kalau begitu kau akan segera mampus...!" ben-
tak dua orang itu. Lalu tanpa menunggu lebih lama la-
gi, keduanya pun mulai membuka serangan-serangan
gencar. Tapi mungkin Kipas Kembar tiada menyadari
bahwa lawan yang dihadapinya kali ini adalah seorang
tokoh muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi.
Dan mereka pada akhirnya harus membuka matanya
lebar-lebar saat mana serangan-serangan sengit yang
dilakukannya selalu saja mencapai sasaran yang ko-
song. Sebaliknya yang menjadi lawannya masih den-
gan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk terus
bergerak cepat tak berketentuan. Kadang tubuhnya
nampak terhuyung-huyung, di lain saat dengan kece-
patan yang sangat luar biasa dia menerjang lawannya
dengan tendangan-tendangan yang mematikan. Kea-
daan seperti itu tak berlangsung lama, sekejap kemu-
dian si pemuda melentingkan tubuhnya ke arah tem-
bok batu, selanjutnya pemuda dari negeri Bunian in-
ipun hantamkan tangannya mengarah pada pihak la-
wan yang berusaha memburu dirinya. "Wuuust...!"
Serangkum gelombang sinar Ultra Violet den-
gan telak menghantam tubuh mereka. Dua orang la-
wannya terpelanting roboh dengan keadaan tubuh se-
tengah matang. Tiada erangan maupun rintihan yang
keluar dari mulut mereka ini. Tubuh mereka hanya
berkelojotan sesaat, kemudian terdiam untuk selama-
lamanya.
"Untung anda cepat datang saudara Kelana! Ji-
ka tidak entah bagaimana dengan nasib kami se-
mua...!" sambut saudagar yang selalu takut pada ke-
matian ini dengan disertai sesungging senyum keme-
nangan.
"Sudahlah! Aku sudah mengetahui semuanya.
Orang-orang ini datang dari Selatan dengan tujuan in-
gin merampok harta bendamu...!" jawab si pemuda ta-
war.
"Tapi kita pantas merayakan kepulanganmu
dan atas kemenangan yang kau peroleh." ujar Legawa.
"Di depan sana masih terlalu banyak musuh
yang mengancam keselamatanmu, saudagar! Ada
baiknya kalau kita istirahat malam ini...!"
"Baiklah... silakan...!" ujar saudagar Legawa
dengan sikap mengalah.
***
TUJUH
Sesuai dengan keputusan yang sudah sama-
sama disetujui oleh Lesmana dan orang tuanya. Yaitu
Tumenggung Jayeng Rono sendiri, berikut para pem-
bantu-pembantunya. Penyerangan yang akan dilaku-
kan oleh keluarga Katemenggungan terhadap keluarga
Legawa dilakukan dua tahap. Tahap pertama dipimpin
oleh Lesmana putera Tumenggung Jayeng Rono. Yang
ikut serta dalam penyerangan pertama ini antara lain
adalah Roda Paksi dan Maling Durjana serta puluhan
prajurit-prajurit Katemenggungan yang bersenjata
lengkap. Sedangkan serangan kedua dipimpin lang-
sung oleh Tumenggung Jayeng Rono sendiri dengan
dibantu oleh Kincir Angin, Jelatu dan dua puluh orang
perajuritnya yang bersenjatakan panah.
Hampir tiga hari persiapan yang telah di perhi-
tungkan secara matang itu dilakukan. Dan ketika ma-
tahari hampir tenggelam di upuk Barat, dan suasana
di seluruh alam diliputi kegelapan. Maka iring-iringan
pasukan yang sudah siap melakukan pertempuran itu
berangkatlah menuju tempat kediaman Saudagar Le-
gawa.
Di sepanjang perjalanan yang mereka tempuh,
tak seorangpun yang berani mengeluarkan suara atau
bahkan bicara barang sepatah katapun. Yang terden-
gar saat itu hanyalah derap langkah kaki kuda tung-
gangan yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Se-
dangkan yang selebihnya hanyalah kesunyian belaka.
Perjalanan berkuda yang mereka tempuh sebenarnya
tidaklah begitu jauh, bahkan hanya memakan waktu
tak kurang dari tiga jam. Namun daerah yang mereka
lalui setelah meninggalkan istana Katemenggungan
adalah daerah yang di kelilingi oleh hutan lebat yang di
dalamnya selalu berkeliaran binatang buas, terlebih-
lebih pabila malam hari begini.
Setengah jam melewati hutan perawan di se-
panjang jalan itu, jalan yang ditempuh selanjutnya
adalah lereng-lereng bukit gundul dan berbatu cadas
serta agak sulit untuk dilalui, karena selain jalan itu
sempit, di sebelah sisi kiri jalan itu adalah sebuah ju-
rang menganga yang sangat sulit untuk diukur keda-
lamnya. Sampai di jalan terjal berbatu ini, rombongan
berkuda itu dengan sangat terpaksa harus mengurangi
kecepatan lari kuda-kuda tunggangan mereka. Saat itu
Lesmana yang berada di depan rombongan itu nampak
memberi isyarat pada kawan-kawannya:
"Orang-orang yang berada di belakang, kurangi
kecepatan kalian. Jalan ini terlalu sulit buat kita lalui.
Berhati-hatilah, salah melangkah di sisi kiri jurang te-
lah siap menanti kalian...!" Kawan-kawan dan para
bawahannya nampaknya tak perlu memberi jawaban
atas peringatan Lesmana itu. Sebab mereka pun sudah
melihat tentang adanya bahaya yang mengancam di si-
si kiri mereka. Demi menjaga terjadinya sesuatu yang
tidak diingini, maka perjalanan itu bagai rangkak ku-
da-kuda tunggangan yang baru saja belajar berlari.
Namun dengan sikap sabar para penunggangnya terus
menghela kuda-kuda itu dengan kewaspadaan penuh.
Dalam kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan
yang remang-remang, mendadak kuda tunggangan
yang berada di bagian paling depan meringkik keras,
kaki depan terangkat ke udara, bahkan kuda-kuda itu
kemudian melonjak-lonjak bagai melihat sesuatu yang
menakutkan. Andai saja para penunggangnya tidak li
hai dalam mengendalikan kuda, dapat dipastikan me-
reka sudah terbanting sejak tadi.
"Hiihiiieeeh...! Hieeeeh...!"
"Hitam! Apakah yang kalian lihat, hingga ham-
pir membuat celaka tuanmu sendiri?"
"Mungkin ada sesuatu yang tak beres di tempat
ini, Tuan Lesmana...?" Yang menyahuti adalah Roda
Paksi yang saat itu juga sedang berusaha mengendali-
kan kudanya.
"Tapi aku tak melihat sesuatu apapun di depan
sana...?" bantah Lesmana setelah memperhatikan sua-
sana di depan.
"Hikhik... hieehh...!" Kuda tunggangan itu kem-
bali meronta-ronta dan berubah liar. Hampir saja Les-
mana terbanting dari atas kuda yang ditungganginya.
"Keparaat! Pada dedemit yang bersembunyi di
kegelapan! Cepat-cepatlah tunjukkan diri, sebelum
tuanmu ini benar-benar menjadi marah...!" bentak
Lesmana dengan disertai pengerahan tenaga dalam
yang cukup kuat. Sejenak adalah kesunyian belaka.
Tiada jawaban apapun. Dan suara Lesmana bergema
sampai ke dasar jurang. Barulah saat kemudian ter-
dengar suara tawa menyeramkan yang bersumber dari
balik bukit batu cadas yang terletak di sebelah kanan
mereka.
"Hee...ha... hhaaa... haa... huaaa... ha,...! Ma-
nusia licik yang bernama Lesmana! Setelah kau reng-
gut kehormatan istrimu sendiri, kini kau datang den-
gan tujuan ingin menyebar malapetaka...! Sayang...
sungguh sayang...! Manusia gila kehormatan seperti
Legawa tak pernah menyadari atas kelicikanmu...!"
Sambut suara itu seperti mencemoohkan diri Lesmana.
Mendengar kata-kata yang terasa bagai menelanjangi
dirinya di depan orang banyak sudah barang tentu
Lesmana menjadi gusar. Selanjutnya laki-laki berusia
lebih dari seperempat abad inipun melompat dari atas
punggung kudanya dengan diikuti oleh Roda Paksi dan
Maling Durjana.
"Manusia bangsat yang bersembunyi di kegela-
pan. Kau benar-benar seorang pemfitnah keji, keluar-
lah...!" teriak Lesmana. Jika saja saat itu suasana da-
lam keadaan terang benderang, sudah barang pasti
mereka yang berada di sekeliling Lesmana dapat meli-
hat betapa wajah pemuda itu nampak memerah.
"Putra Tumenggung keparaat...! Orang-orang
lain boleh mendewa-dewakan dirimu seperti seorang
Maharaja besar. Tapi tidak buat si Pedang Asmara...
aku akan membongkar semua kedokmu Lesmana!" ka-
ta Satria Pedang Asmara dari balik kepekatan malam.
Selanjutnya terdengarlah lantunan bait-bait sairnya:
Lembah Patah Hati sehari telah tertinggal jauh...
Si anak malang berjalan gontai menelusuri ka-
but
Antara ada dan tiada ia mendengar gamelan
pengantin
Nun jauh di sana, di sebuah tempat yang tersa-
mar
Desah keriangan adalah senyummu yang penuh
kelicikan
Malam pengantin bernoda dengan darah...
Selembar kesucian telah terengkut
Titik-titik air mata, terbalas sesungging senyum
iblis
Dan kau berlalu dalam malam
Tidak lebih dari perampok jalanan yang kelapa-
ran...
Kau adalah anak singa
Yang mampu mencabik-cabik raga dengan taring
dan kuku-kukumu
Dan korbanmu adalah keledai-keledai dunguh
Yang selalu dahaga karena kemarau panjang
Sedangkan siaku yang empunya bicara, adalah
sisi terhempas
Yang kini menuntut balas...
Andika atau yang lebih dikenal sebagai Satria
Pedang Asmara, terdiam sejenak. Dari balik kegelapan
itu dia dan orang-orangnya dapat melihat. Betapa
Lesmana, Roda Paksi dan Maling Durjana nampak sal-
ing pandang sesamanya. Kemudian setelah maju se-
langkah Roda Paksi mewakili yang lain-lainnya.
"Penyair sinting yang berjuluk Satria Pedang
Asmara...? Kami tak pernah mengenalmu, mengapa
kau menghadang perjalanan kami...!" kata laki-laki
bertubuh jangkung ini, menyadari lawan berilmu tinggi
dia berbicara dengan suara merendah. Terdengar sua-
ra erangan marah, kemudian disertai dengan berkele-
batnya beberapa sosok tubuh menghampiri rombongan
Lesmana. Dengan tanpa menimbulkan suara, Andika
dan orang-orangnya menjejakkan kakinya tepat lima
langkah di depan Lesmana dan kawan-kawannya.
"Manusia pembawa roda pedati! Kau tak men-
getahui duduk persoalannya. Kuperintahkan menying-
kirlah kau...!" bentak Andika, namun sepasang ma-
tanya tak pernah beralih dari Lesmana. Sebaliknya
Lesmana berusaha mengenali siapa laki-laki berwajah
coreng moreng ini. Mendengar suaranya sepertinya dia
pernah mengenal si pemilik suara yang saat itu terus
memandang sinis ke arah dirinya.
"Persoalanmu dengan Tuan Lesmana, itu berar-
ti persoalanku juga! Jangan harap kami mau mematu-
hi perintahmu...!"
"Kalau begitu, kaupun termasuk anjing-anjing
Katemenggungan yang perlu dihukum!" maki Satria
Pedang Asmara. Saat itu dia sudah memberi aba-aba
pada Peri Lingga, kakek rambut putih, nenek rambut
merah yang berhasil dia pengaruhi dengan serbuk Ra-
cun Bunga Asmara. Namun sebelum mereka sempat
melakukan gebrakan, terdengar suara bentakan keras
dari mulut Lesmana:
"Tahan...!" teriak laki-laki itu, lalu melompat ke
depan.
"Kau takut mati, manusia tengik...?"
"Hemm!" Lesmana berguman. "Rasa-rasanya
aku seperti mengenalmu, kau pasti Andika, yang dulu
pernah terusir dari rumah saudagar Legawa...!" ucap-
nya dengan sesungging senyum sinis.
"Bagus! Di saat ajal menjemputmu, kau ternya-
ta masih mengenaliku...!"
"Ha... ha... ha!" Tanpa tertahankan lagi, tawa
Lesmana pun lepas. "Selama ini kau pasti menderita
karena cintamu selalu di tolak. Bertahun-tahun kau
menghilang, kukira kau sudah mampus karena putus
asa. Tak dinyana kini kau muncul lagi dengan sebuah
julukan yang tidak lucu...!" kata Putra Tumenggung
Jayeng Rono dengan disertai tawa berkepanjangan.
Andika nampak diam saja begitu mendengar kata-kata
yang terasa merobek luka-luka lama ini. Otot-otot tu-
buhnya terasa menegang, sepasang matanya menco-
rong tajam tanpa ekperesi. Tiada diduga-duga, pemuda
wajah coreng moreng jubah menjela ini pun hantam-
kan satu pukulan ke arah Lesmana. Selarik Gelom-
bang sinar yang tiada berujud menerjang ke depan.
Roda Paksi, Maling Durjana secara hampir berbareng
melompat ke samping menghindari datangnya pukulan
yang mendatangkan hawa aneh ini. Tapi beberapa
orang prajurit Katemenggungan berikut kuda-kuda
tunggangan menjadi korban pukulan ganas yang dile-
paskan oleh Andika. Lima orang prajurit Katemeng
gungan berikut kuda yang mereka tunggangi terjung-
kal roboh dan tiada berkutik-kutik lagi. Terbelalak se-
tiap pasang mata demi melihat akibat pukulan yang di-
lepaskan oleh pihak lawannya. Roda Paksi yang terga-
bung dalam rombongan itu, dan gampang naik darah.
Langsung saja melepas roda-roda yang memiliki empat
sisi tajam yang selama ini merupakan senjata yang di
andalkannya. Senjata berbentuk bulat macam roda
pedati ini mendesing dan mengancam bagian leher ser-
ta kepala Andika. Namun lebih cepat lagi, pemuda dari
lembah Patah Hati ini berhasil menghindari terjangan
senjata yang berbentuk aneh ini.
Tanpa dapat dihindari lagi, pertarunganpun pe-
cah. Perempuan jubah hitam beserta belasan orang
bawahannya langsung merangsak ke arah prajurit-
prajurit berkuda, Nenek rambut merah dan kakek
rambut putih dari Pulau Tak Bertuan secara bersa-
maan menggempur Maling Durjana. Sedangkan Andika
atau Satria Pedang Asmara berhadapan dengan Roda
Paksi dan Lesmana. Dalam gebrakan pertama ini,
Lesmana maupun Roda Paksi langsung mencecar la-
wannya dengan senjata mautnya. Sejauh itu Andika
masih terus melayaninya dengan pukulan-pukulan
andalannya.
Di lain pihak pertarungan Peri Lingga yang di-
bantu oleh belasan anak buahnya melawan prajurit-
prajurit kerajaan nampak berlangsung tak seimbang,
Hanya dalam waktu beberapa jurus saja, prajurit-
prajurit Katemenggungan ini telah berdesak hebat.
Bahkan secara pelan namun cukup pasti, satu demi
satu prajurit-prajurit Katemenggungan ini bergelim-
pangan dengan tubuh berlumur darah terbabat senjata
di tangan Peri Lingga dan kawan-kawannya. Pada ke-
nyataannya, lawan-lawan yang dihadapi oleh prajurit
Katemenggungan ini memang merupakan lawan yang
tangguh, bahkan boleh dikata bukan tandingan mere-
ka. Terbukti menjelang pertempuran empat puluh ju-
rus, seluruh prajurit-prajurit Katemenggungan terba-
bat habis dan tiada bersisa lagi. Peri Lingga dan ka-
wan-kawannya yang telah berhasil memenangkan per-
tempuran, akhirnya hanya diam di tempat sambil men-
jaga segala kemungkinan yang tidak diingini.
Sementara itu pertarungan antara Maling Dur-
jana melawan keroyokan sepasang Ruyung Maut,
nampak berlangsung seru dan seimbang. Masing-
masing lawan sudah mengarahkan jurus-jurus maut-
nya. Bahkan pukulan-pukulan yang disertai dengan
pengerahan tenaga dalam cukup tinggi yang mereka
milikipun telah mereka lepaskan. Sejauh itu masih be-
lum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai
pemenangnya.
Denting beradunya senjata andalan yang mere-
ka miliki terasa bagai merobek keheningan malam. Di
sudut lain, Lesmana dan Roda Paksi sudah banyak
menguras tenaga dalam usaha merubuhkan lawan-
lawannya. Tubuh mereka bahkan telah bermandi ke-
ringat, padahal saat itu malam terasa begitu dingin.
Pukulan-pukulan beruntun tak ayal lagi saling bertu-
brukan, bunga api berpijar. Hingga membuat kegela-
pan yang menyungkup itu menjadi terang diperciki
bunga api. Menjelang pertempuran tujuh puluh lima
jurus, senjata Lesmana yang berupa sebilah pedang
bergagang Intan berhasil melukai bagian pangkal len-
gan Andika. Bahkan selang beberapa saat setelahnya,
roda maut yang melayang bagaikan gasing dari tangan
Roda Paksi berhasil pula melukai bagian dada Satria
Pedang Asmara. Sungguhpun luka-luka yang ditim-
bulkan akibat sambaran senjata di tangan lawannya
tidak begitu parah. Namun cukup membuat tubuh An-
dika terhuyung-huyung, darah merembas tanpa henti.
Melihat kenyataan ini, Peri Lingga sudah bermaksud
turun ke gelanggang pertempuran membantu ketua
mereka. Namun niat itu akhirnya mereka urungkan
begitu melihat ketuanya mencabut Pedang Asmara
yang menggelantung di bagian punggungnya. Seiring
dengan tercabutnya pedang yang telah banyak me-
renggut korban jiwa itu dari bagian punggungnya, ma-
ka tanpa ayal lagi, kata-katanyapun menyambut:
Kepada si empunya jiwa Serakah...
Sambutlah nyanyian kematian yang tiada mem-
bekas...
Pedang Asmara menghunjam tanpa darah
Dan aku yang akan melakukannya...
"Hiaaat...!" teriakan yang terasa bagai menca-
bik-cabik gendang telinga di sertai suara mendengung
yang begitu aneh. Sementara pedang itu terus mengge-
letar tanpa dapat dikendalikan lagi. Begitu bergebrak,
Andika telah pula mempergunakan jurus ‘Menanti Ke-
kasih Tiada Kunjung Datang’ yaitu jurus tingkatan ke-
tiga dari empat jurus Pedang Asmara yang telah dikua-
sainya. Menghadapi saat-saat menegangkan seperti itu
Roda Paksi lontarkan senjatanya yang bulat namun
bersisi tajam. Tanpa ayal, senjata aneh itu melesat
mengancam bagian tenggorokan Andika. Tapi Satria
Pedang Asmara, tiada bergeming sedikitpun, pedang di
tangan tetap berputar sedemikian rupa, membuat se-
buah perisai diri. Hingga sampai senjata yang berupa
roda terbang itu melabrak ke arah pertahanan dirinya.
"Braaak...!"
Menyusul roda-roda yang satunya lagi.
"Braaal...!"
Senjata itu hancur berkeping-keping. Roda
Paksi tercengang, namun kelengahan yang hanya beberapa detik itu harus ditebusnya dengan sangat mah-
al.
"Jrees...!" Andika tiada melihat bagaimana dada
yang tertembus senjata miliknya itu berkelojotan, ka-
rena pada saat itu senjata di tangannya yang secara te-
rus menerus memperdengarkan bunyi mendengung ini
telah membelok ke arah lain. Dan yang menjadi sasa-
ran mata pedangnya kali ini adalah Lesmana. Putra
Tunggal Tumenggung Jayeng Rono itu menjadi terke-
siap, sama sekali dia tiada menyangka senjata di tan-
gan lawannya mampu melakukan gerakan aneh seperti
itu. Menyadari bahaya mengancam jiwanya, Lesmana
putar senjatanya untuk melindungi diri. Namun tetap
saja senjata di tangan Andika mampu menembus per-
tahanan lawan.
"Braak... Praaang... Jroos....!"
Pedang di tangan Lesmana hancur menjadi be-
berapa bagian, sebaliknya Pedang Asmara terus men-
deru meminta korban. Putra Tumenggung Jayeng Rono
keluarkan jeritan menyayat. Sesaat tubuhnya limbung,
kemudian ambruk ke bumi tanpa mengeluarkan darah
setetespun. Pada saat yang hampir bersamaan terden-
gar pula jeritan lain. Begitu Andika menoleh sambil
menyarungkan pedang pada rangkanya, pemuda wajah
coreng-moreng itu melihat tubuh Maling Durjana juga
ambruk ke bumi termakan senjata ruyung di tangan
kakek dan nenek dari Pulau Tak Bertuan.
"Bagus! Kalian telah melakukannya dengan
baik! Tapi tugas kita belum selesai." kata Andika pelan.
"Aku ingin menjajal kehebatan saudagar Angkuh Le-
gawa dan Tumenggung Jayeng Rono yang pasti akan
menuntut balas atas kematian putranya...!"
"Apakah kita akan meluruk ke rumah kedia-
man Saudagar Legawa...!" tanya Peri Lingga.
"Kita memang harus berangkat sekarang ju
ga...!" kata Andika, dingin.
***
DELAPAN
"Menurut kabar yang kudengar dari orang-
orangku, iring-iringan rombongan Lesmana yang ber-
maksud meluruk ke mari, semuanya tewas terbantai di
Bukit Tumojong...!" kata saudagar Legawa siang itu ke-
tika mengadakan pertemuan dengan pendekar Hina
Kelana di ruangan pribadinya.
"Aku telah melihatnya sendiri, sebelum orang-
orangmu melihat mayat-mayat bergelimpangan di te-
pian jurang berikut kuda-kuda yang mereka tunggan-
gi...!"
"Bagus! Si keparaat Lesmana mampus, mung-
kin itu sudah karmanya...!" selak Indah Dewi. Pada
roman mukannya tidak sedikitpun menunjukkan rasa
duka atas kematian bekas suami yang tiada dicin-
tainya itu.
"Mungkin malam itu mereka akan melakukan
penyerbuan kemari! Namun keburu dihadang oleh
orang lain...!" desah Legawa tanpa menghiraukan kata-
kata putrinya yang begitu sinis.
"Puluhan prajurit bersenjata lengkap, dengan di
bantu oleh beberapa orang tokoh golongan hitam. Tak
salah, pastilah putranya Tumenggung Jayeng Rono itu
termasuk sahabatnya para golongan sesat!" gumam si
pemuda. "Tapi melihat luka-luka yang tiada mening-
galkan darah sedikitpun, aku jadi tak mengerti bagai-
mana mungkin di kolong langit ini ada senjata yang
memiliki keanehan seperti itu?"
"Kakang, Kelana...?"
"Hemm! Ada apa...?" tanya si pemuda, kemu-
dian melirik pada Indah Dewi.
"Tahukah kakang siapa yang telah melakukan
pembunuhan itu...?" Buang Sengketa gelengkan kepa-
lanya pelan.
"Aku yakin pasti dia yang telah melakukan-
nya...!"
"Dia siapa, putriku...?" tanya Legawa secara se-
pontanitas Indah Dewi nampak terdiam, ada keragu-
raguan membayangi wajahnya yang tidak begitu can-
tik.
"Katakanlah, putriku... siapa yang kau mak-
sudkan dengan dia...?" desak Saudagar Legawa dengan
hati berdebar.
"Orang yang telah melakukan pembunuhan itu
pastilah, Kakang Andika...!" jawab Indah Dewi tersen-
dat-sendat.
"Andika...?" desis Legawa terperangah. "Bagai-
mana mungkin...?"
"Di dunia ini, kemungkinan apapun bisa terja-
di, Tuan Legawa... oh ya, siapakah Andika itu...?"
tanya Buang Sengketa. Mendengar pertanyaan yang di-
lontarkan Buang Sengketa, maka semakin bertambah
memerahlah wajah saudagar Legawa dibuatnya
"Sebuah kesalahan besar dulu pernah kulaku-
kan. Ya, saat itu mata hatiku memang benar-benar bu-
ta..! Sering kunilai kehebatan seseorang itu dari segi-
segi kemampuan duniawi...! Hingga aku mengabaikan
kesucian cinta seorang anak manusia terhadap lawan
jenisnya...!" desah saudagar kaya ini sambil menarik
nafas pendek.
"Apakah maksudmu, Tuan...?" tanya si pemuda
penasaran.
"Orang yang bernama Andika itu dulunya ada-
lah kekasih Indah Dewi. Kuakui, dia dan putriku ini
sama-sama saling mencinta. Sayangnya sebagaimana
yang kukatakan tadi, bahwa saat itu aku benar-benar
buta dan tergila-gila pada pangkat dan kedudukan...!
Aku dengan sengaja telah memisahkan mereka, bah-
kan orang-orangku telah melakukan penyiksaan pada
pemuda itu. Tanpa sengaja ayah ibunyapun tewas di
tangan orang-orang kepercayaanku... oh betapa besar
kesalahanku pada anak itu, dia telah begitu menderita.
Semua ini gara-gara ulah si keparat Tumenggung
Jayeng Rono dan putra Tunggalnya Lesmana...!" gu-
mam Legawa sambil berusaha menahan air matanya
agar tak sampai menggelinding jatuh.
Semua apa yang dikatakan oleh Legawa sudah
barang tentu membuat kaget mereka, yang hadir di
ruangan itu. Terlebih-lebih Indah Dewi, yang selama
ini menyangka bahwa kematian orang tua Andika ha-
nyalah sebuah kecelakaan biasa yang terjadi diladang
orang tuanya. Seperti diketahuinya, orang tua Andika
bekerja di kebun saudagar Legawa setengah hari, sete-
lah kembali dari berdagang tape uli dan ikan asin.
"Jad... jadi, ayahlah yang telah menyebabkan
kematian orang tua, Kakang Andika?" kata Indah Dewi
tersendat-sendat. "Sungguh keterlaluan, orang terhor-
mat semacammu begitu tega melakukan pembunuhan
terhadap orang-orang yang tiada berdaya...!" Semakin
bertambah merah wajah saudagar Legawa mendengar
kata-kata pedas yang baru saja diucapkan oleh pu-
trinya. Dalam hati dia mengakui kesalahannya, tapi
dia sadar, penyesalan yang terjadi juga sudah tiada
gunanya. Tak mungkin dapat membangkitkan orang
yang sudah mati.
"Itulah sisi terburuk dari kehidupan masa lalu-
ku, Indah...! Rasa-rasanya sekarang ini aku tak punya
muka untuk menghabiskan sisa-sisa hidupku lebih
lama lagi!" ucap saudagar Legawa seperti putus asa.
Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya, ba-
gaimanapun dia maklum dengan guncangan batin
yang dialami oleh laki-laki berumur lima puluhan ini.
Selanjutnya dengan suara berwibawa, pemuda ini be-
rucap:
"Sudahlah! Tiada guna menyesalkan masa lalu,
kesedihan yang berlarut-larut tak akan pernah menye-
lesaikan masalah dalam bentuk apapun! Katakanlah,
sekarang ini sang Hyang Widi telah membukakan ca-
krawala hati tuan, dan anda pantas bersukur kare-
nanya."
"Dosa-dosaku bertumpuk. Bahkan sulit untuk
diampuni, ah... semoga saja, satu saat kelak pemuda
itu datang kemari untuk menagih hutang nyawa...!"
katanya pasrah.
"Hemm! Aku hanya berdoa, semoga pemuda itu
masih punya hati untuk memaafkan segala kesala-
hanmu...!"
"Apa? Memaafkan aku...? Heh... tidak, semua
itu hanya akan menyeretku dalam penyesalan yang
berkepanjangan...!" sentak saudagar itu dengan mata
melotot.
"Ayah! Untuk apa bersikeras, semuanya sudah
berlalu, ayah...!" rintih janda kembang ini dengan hati
pedih.
Ketika mereka sedang terlibat perbincangan se-
perti itu, tiba-tiba salah seorang pembantu saudagar
Legawa datang tergopoh-gopoh memberi laporan:
"Laporan saudagar!" kata pembantu merangkap
pengawal ini dengan nafas terengah-engah.
"Apa yang telah terjadi...?" tanya saudagar Le-
gawa dengan perasaan cemas.
"Tumenggung Jayeng Rono beserta prajurit-
perajuritnya mengamuk di halaman depan. Lima orang
bawahan tewas, juga dua ekor kerbau yang berada di
kandang sebelah dibunuhnya...!"
"Kurang ajar! Segala macam kerbau kau bawa-
bawa...! Sudah kembali ke depan, kami segera datang
ke sana...!" bentak saudagar Legawa. Kemudian beran-
jak dari tempat duduknya, namun begitu dia menoleh
ke arah Pendekar Pedang Kelana. Pemuda berkuncir
itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan sangat
tergesa-gesa, bapak dan anak ini tak menunggu lebih
lama terus bergegas menuju halaman depan rumah-
nya.
Sementara itu, Buang Sengketa yang paling du-
luan sampai di halaman rumah saudagar Legawa,
langsung berhadapan dengan Tumenggung Jayeng Ro-
no yang telah berdiri di halaman luas beserta belasan
orang anak buahnya yang bersenjatakan panah.
"Pemuda gembel! Mana saudagar Legawa yang
telah bikin sengsara putraku...! Suruh dia keluar ce-
pat...! Kalau tidak, rumah mewah ini akan kubakar...!"
teriak Tumenggung Jayeng Rono dalam kemarahan-
nya.
"Kau datang telah membunuhi sekian banyak
orang! Dan putramu tewas bukan di tempat ini. Kesa-
lahan manakah yang kau tuntut...?" tanya si pemuda
begitu tenangnya.
"Aku tak perlu bicara denganmu, bocah berpe-
riuk..! Yang kuinginkan nyawanya saudagar Legawa...
dan putrinya...!" bentak Tumenggung Jayeng Rono,
dan wajahnya yang sudah dipenuhi kerut-merut ini
berubah kelam membesi.
"Aku telah mengetahui duduk persoalan yang
sebenarnya. Kuharap engkau mau menyudahi persoa-
lan ini sampai di sini saja, pulanglah...!" kata si pemu-
da bagai memerintah seorang anak kecil.
"Keparaat! Kau malah mau mengguruiku...!"
"Ha,... ha... ha...!" Buang Sengketa tergelak
gelak. "Putramu yang licik itu kau bela mati-matian.
Kau merupakan orang terhormat, Tumenggung...! Tapi
kulihat kau tak pernah becus mengurus putramu yang
telah begitu banyak membuat kesalahan-kesalahan
besar...!"
"Jadah! Kau benar-benar membuat kesabaran-
ku lenyap, budak gembel...! Kuperingatkan padamu
sekali lagi, cepat suruh keluar Saudagar Legawa...!" pe-
rintah Tumenggung Jayeng Rono, dengan nafas mem-
buru karena dibakar api kemarahannya sendiri.
"Tak perlu kau memerintah pemuda ini, bekas
besan! Sekarang katakan apa yang kau inginkan...!"
Tukas Legawa, yang secara tiba-tiba telah berdiri di si-
si Buang Sengketa bersama putrinya. Begitu sinis ta-
tapan mata Tumenggung Jayeng Rono begitu melihat
kehadiran Legawa dan Indah Dewi. Sementara itu, be-
lasan prajurit Katemenggungan yang bersenjatakan
panah telah siap membidik ke arah sasarannya.
"Kau telah menipu kami dengan rasa malu yang
begitu besar. Sesuai perjanjian semua harta bendamu
harus disita! Tapi... kiranya kalian membangkang. Ka-
lian pikir kehadiran bocah berperiuk itu mampu me-
lindungi dirimu dari hunjaman panah-panah kami...?"
"Untuk sebuah kebenaran kami tak pernah ta-
kut mati, Tumenggung keparat!" tantang saudagar Le-
gawa tanpa merasa sungkan.
"Jahanam...!" geram Tumenggung Jayeng Rono.
Kemudian tanpa berkata-kata lagi dia memberi isyarat
pada belasan prajurit pemanah.
"Bunuh mereka...!" teriak Tumenggung itu pa-
nik.
"Menepi dan berlindung tuan Legawa...!" perin-
tah Buang Sengketa. Kemudian laksana kilat dia han-
tamkan pukulan Empat Anasir Kehidupan, menyong-
song ratusan batang anak panah yang memburu ke
arah dirinya.
"Brees...!"
Ratusan batang anak panah yang meluncur de-
ras ke arah dirinya hancur berkeping-keping di tengah
jalan. Sedangkan yang lainnya berpentalan ke segala
arah. Namun belum lagi si pemuda sempat menarik
nafas. Ratusan batang anak panah, kembali mendera
ke arahnya. Dengan mengandalkan jurus si Jadah
Terbuang, tubuh si pemuda bergerak cepat, menghin-
dar. Sekali lagi dia hantamkan pukulan Empat Anasir
Kehidupan yang menimbulkan hawa panas itu ke arah
panah yang telah terlepas dari busurnya. Lagi-lagi ra-
tusan batang anak panah itu hancur berkeping-
keping. Tumenggung Jayeng Rono demi melihat kehe-
batan yang dimiliki oleh si pemuda nampak terkagum-
kagum, di samping rasa kejut yang bukan alang kepa-
lang.
"Panah...!" Tumenggung Jayeng Rono sekali lagi
memberi perintah. Dengan cepat pasukan pemanah
itupun mengerjakan apa yang dikatakan oleh atasan-
nya.
"Edan! Kalau terus kuumbar pukulan-pukulan
saktiku, lama-kelamaan tenagaku bisa terkuras habis.
Padahal dalam tabung busur di punggung mereka
jumlah anak panah masih sedemikian banyaknya...!
Aku harus menghemat tenaga, sementara biarlah sau-
dagar Legawa dan putrinya bersembunyi di tempat
yang aman...!" batin pemuda titisan raja Ular Piton
Utara ini di dalam hati.
Demikianlah saat ratusan anak panah itu kem-
bali menghunjam dirinya, tak ayal lagi, pemuda inipun
lepaskan pukulan maut pamungkas Si Hina Kelana
Merana, dengan disertai Lengkingan Ilmu Pemenggal
Roh.
"Heiiikgh...!"
Pemuda ini melesat ke udara, begitu tubuhnya
berjumpalitan ke bawah. Maka diapun hantamkan
tangannya ke depan.
"Wuuuuss...!"
Serangkum gelombang sinar berwarna merah
menyala, menyambar ke arah ratusan batang anak
panah tadi, bahkan akibatnya tidak sampai disitu saja.
Ratusan batang anak panah itu hancur menjadi serpi-
han kecil, sedangkan pukulan itu terus menderu dan
menghantam belasan regu pemanah. Tubuh orang-
orang itu berpelantingan roboh dengan keadaan han-
gus. Sedangkan sisanya yang selamat, beberapa detik
kemudian juga tersungkur roboh. Semua yang terjadi
ini sudah pasti akibat lengkingan ilmu Pemenggal Roh.
Memang tak dapat disangkal karena ternyata dari te-
linga dan hidung mereka mengalirkan darah kental.
Tak satupun prajurit-prajurit Katemenggungan yang
tersisa, mereka semua roboh dalam keadaan mengge-
naskan. Sedangkan yang tertinggal adalah tiga orang
pentolan yang sudah jelas memiliki tenaga dalam yang
tinggi. Mereka itu antara lain, Kincir Angin, Jelatu dan
Tumenggung Jayeng Rono sendiri.
"Tunggu apa lagi, manusia-manusia keparaat!"
"Jahanam, kau telah membunuhi semua anak
buahku hanya dalam waktu beberapa gebrakan saja!
Siapakah kau ini...!" bentak Jayeng Rono, masih belum
hilang rasa keterkejutannya.
"Ha... ha... ha...! Kalau kalian ingin tahu, aku-
lah si Hina Kelana...?" kata si pemuda.
Hal ini tentu membuat terperanjat Kincir Angin
yang telah begitu banyak mengetahui tentang sepak
terjang pemuda keturunan negeri alam gaib itu. Jan-
gankan dirinya, sedangkan gurunya sendiri, yaitu Pa-
dri Mata Elang tewas di tangan Pendekar Golok Bun-
tung ketika terjadi pertempuran di Sindang Darah. Sedangkan ilmu kepandaian yang sekarang di milikinya
tak lebih dari apa yang diberikan oleh gurunya dulu.
"Ah, aku tak mungkin menandingi pemuda ini. Lesma-
na sahabat yang akan kutolong telah mati. Biarlah su-
atu saat kelak andai kepandaianku telah memenuhi
persaratan, akan kucari pemuda berkuncir itu...!" ba-
tin si Kincir Angin. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh
lagi, laki-laki berbadan kurus itupun pontang panting
melarikan diri.
"Hei... saudara Kincir Angin, mau kemana
kau...?" tanya Tumenggung Jayeng Rono tidak menger-
ti.
"Ah... urusanku masih banyak! Aku segan ber-
hadapan dengan gembel itu! Uruslah persoalanmu
sendiri sampai selesai...!" kata Kincir Angin, dengan
sekali berkelebat lenyaplah orang itu dari pandangan
mereka.
"Kau tak ikut-ikutan kabur Tumenggung
Jayeng Rono...?" sindir Buang Sengketa sambil mena-
tap sinis pada sang Tumenggung.
"Aku tak sepengecut dia! Lihatlah, aku ingin
mengadu jiwa denganmu...!" teriak Tumenggung itu,
selanjutnya dengan dibantu oleh Jelatu. Kedua orang
ini segera menerjang ke arah lawannya dengan pedang
di tangan masing-masing. Buang Sengketa nampaknya
sudah memperhitungkan seberapa jauh kemampuan
yang dimiliki oleh seorang Tumenggung. Dia tak ingin
bertindak setengah-setengah. Tanpa menunggu lebih
lama. Pemuda dari negeri Bunian ini langsung menca-
but pusaka Golok Buntung yang terselip di bagian
pinggangnya. Suasana di sekeliling tempat itu menda-
dak berubah dingin luar biasa, dan Tumenggung
Jayeng Rono serta Jelatu menjadi lebih terkejut lagi
saat melihat senjata di tangan Buang Sengketa me-
mancarkan sinar merah menyala. Tapi mereka tak
sempat lagi berpikir lebih lama, karena saat-saat se-
lanjutnya senjata di tangan si pemuda telah menderu
mencecar pertahanan lawan.
Di luar sepengetahuan siapapun, kiranya ada
sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan sepak
terjang si pemuda dengan cermat. Pemilik sepasang
mata itu diam-diam mengagumi kehebatan yang dimi-
liki si pemuda. Namun di lain saat orang itupun terse-
nyum sinis.
"Dia berada di pihak saudagar Legawa! Pasti
pemuda berperiuk itu merupakan lawan yang paling
tangguh buatku. Aku yakin Pedang Asmara di tangan-
ku mampu mengatasi senjatanya yang berupa golok
buntung itu...!" batin si pemilik sepasang mata yang
tak lain Andika adanya. Tapi pemuda wajah coreng-
moreng itu kemudian memusatkan perhatian ke arah
pertempuran saat mana dia mendengar jeritan salah
seorang dari mereka yang sedang bertempur. Saat itu
tubuh Jelatu, yaitu yang merupakan pembantu kedua
Tumenggung Jayeng Rono, nampak terhuyung-
huyung. Luka menganga di bagian lehernya begitu ba-
nyak menyemburkan darah. Tak lama setelahnya tu-
buh laki-laki itu terjengkang, berkelojotan sesaat ke-
mudian diam untuk selama-lamanya. Belum lagi hi-
lang keterkejutan pemuda dari Lembah Patah Hati ini,
lagi-lagi terdengar satu jeritan. Dan yang menjadi kor-
bannya adalah Tumenggung Jayeng Rono sendiri. Mata
pemuda itu membelalak, tapi kejadian itu tidak pernah
mengurangi niatnya untuk menghadapi pemuda itu.
"Sungguh Hebat... dalam waktu yang begitu singkat
dia telah membunuh orang-orang yang memiliki ke-
pandaian tinggi." batinnya lagi. Sementara itu, Buang
Sengketa sudah menyarungkan pusaka Golok Buntung
ke dalam tempatnya. Saudagar Legawa dan Indah Dewi
datang menghampiri, dari sebuah tempat persembunyiannya.
"Pendekar yang sangat tangguh! Kau telah me-
nyelesaikan segala-galanya...!" puji Legawa sambil me-
nepuk bahu si pemuda.
***
SEMBILAN
"Segala-galanya belum berakhir, saudagar ter-
hormat! Kau belum membayar hutang nyawa dua
orang tukang kebunmu, yang dulu dibunuh dengan
cara menyiksanya. Hanya karena anaknya telah mena-
ruh cinta pada putrimu...!" kata Andika dari atas tem-
bok pagar.
"Kakang Andika...!" pekik Indah Dewi membu-
ru. Tapi jawaban yang keluar dari mulut pemuda wa-
jah coreng-moreng menyambut dingin.
"Aku bukan Andika! Pemuda yang kau cintai
itu telah mati terkubur di dasar Lembah Patah Hati,
orang tuamu yang menyuruh dirinya untuk membu-
nuh diri. Haha... ha... ha...! Sedangkan aku adalah
orang yang mewakilinya, untuk menagih hutang nyawa
pada laki-laki yang bernama Legawa...!" berkata begitu,
pemuda berjubah hitam ini melompat turun dari atas
tembok pagar yang tingginya tidak lebih dari tiga me-
ter. Gerakan tubuhnya begitu ringan, dan tanpa me-
nimbulkan suara dia telah menjejakkan kakinya di de-
pan Buang Sengketa dan Legawa.
"Andika... aku menyadari kekeliruanku dulu.
Kalau sekarang engkau datang ingin menagih nyawa
padaku, aku rela untuk kau bunuh dengan cara apa-
pun, asalkan hatimu puas. Tapi jangan sakiti putriku,
karena akulah yang bersalah. Sedangkan putriku tak
tahu apa-apa...!" kata si saudagar, pasrah.
"Huh... sudah kukatakan aku bukan Andika!
Orang itu telah mati di Lembah Patah Hati...!" dengus
Andika dengan sikap acuh.
"Baiklah kalau kau tak mengakui dirimu sendi-
ri, sekarang kalau kau menghendaki nyawaku, laku-
kanlah...!" kata saudagar Legawa.
"Kematianmu segera datang, secara pelan na-
mun pasti! Tapi sebelumnya aku akan menjajal sampai
di mana kehebatan yang dimiliki oleh pemuda berpe-
riuk yang selama ini menjadi kaki tanganmu...!"
"Kakang Andika! Jangan lakukan, kakang!
Orang itu selama ini telah banyak menolong keluarga-
ku dari maut...!" desis Indah Dewi dengan mata berka-
ca-kaca.
"Sudah kukatakan aku bukan Andika! Pula apa
perdulimu jika aku ingin menjajal kehebatan manusia
gembel yang menjadi pelindung keluarga terhormat
saudagar Legawa...?" kertak Andika dengan sikap se-
makin bertambah acuh. Pedih rasanya hati Indah Dewi
mendapat kenyataan seperti itu. Telah begitu dingin-
kah hati pemuda yang dulu pernah mencintai dirinya
dengan sepenuh hati? Dalam pada itu, Pendekar Hina
Kelana yang sudah merasa tersinggung. Langsung
membentak marah:
"Mulutmu keterlaluan sekali, Satria Pedang
Asmara! Tak pernah kusangka urusan asmara dalam
hidupmu kiranya merupakan persoalan yang sangat
besar dan paling berarti. Tapi tak kulihat orang-
orangmu turut serta bersamamu, apakah kau merasa
malu bila orang-orang itu tahu duduk persoalan yang
sebenarnya...?" sindir pendekar ini tanpa sungkan-
sungkan lagi.
"Itu bukan urusanmu... Cabut senjatamu, mari
kita buktikan siapa yang paling hebat di antara kita...!"
"Hiaaaat... Chaiiiit...!"
"Siiingg...!"
Menyadari yang menjadi lawannya kali ini ada-
lah seorang tokoh muda yang sangat tangguh. Maka
begitu menggerakkan tubuhnya mengawali serangan,
Satria Pedang Asmara langsung mencabut senjatanya
yang berwarna hitam kebiru-biruan.
"Tuan Legawa, Indah Dewi...! Menyingkirlah...!"
Perintah Buang Sengketa begitu merasakan hawa yang
sangat keji menyebar lewat sambaran-sambaran pe-
dang yang sangat ganas. Buang Sengketa melentikkan
tubuhnya ke udara, dengan mempergunakan jurus si
Gila Mengamuk dan juga jurus Si Jadah Terbuang. Ge-
rakan-gerakan silat kedua pemuda itu ternyata sangat
cepat luar biasa. Hanya dalam waktu yang begitu sing-
kat, pertempuran yang menentukan hidup matinya
kedua orang ini telah berlangsung lima belas jurus.
Keringat meleleh membasahi pakaian kedua belah pi-
hak. Tapi kenyataan ini malah membuat keduanya ba-
gai dirasuki iblis yang sudah siap saling bunuh. Satu
ketika Andika sambil membabatkan pedangnya yang
mengeluarkan bunyi aneh, juga lepaskan satu pukulan
yang diberi nama 'Menanti Kekasih Tidak Kunjung Da-
tang' Pukulan itu sesungguhnya tidak berwujud, na-
mun Buang dapat merasakan akibat yang ditimbul-
kannya. Begitu pukulan itu menderu ke arah pertaha-
nannya, tubuh Buang Sengketa terdorong beberapa
tindak, dada secara tiba-tiba terasa sesak dan sulit
bernafas. "Bangsat! Orang itu benar-benar bermaksud
ingin membunuhku!" batinnya. Tapi dia pun tidak
tinggal diam, lalu dia kerahkan tiga perempat tenaga
dalamnya. Selanjutnya pukulan si 'Hina Kelana Mera-
na' yang memancarkan cahaya merah menyala itupun
dia lepaskan dengan telak.
"Wuuus...!"
Serangkum gelombang berhawa panas luar bi-
asa menyongsong datangnya pukulan tanpa ujud yang
dilepas oleh Andika.
"Blaaam...!"
Akibat bertemunya dua kekuatan sakti itu
membuat tubuh keduanya terpelanting roboh. Masing-
masing lawan nampaknya sama-sama mendapat luka
dalam yang cukup berarti. Bahkan darah kentalpun
nampak meleleh dari celah hidung dan bibir mereka.
Namun bagai tak merasakan akibat apa-apa, Andika
cepat-cepat bangkit mengatur posisi. Pedang Asmara di
tangannya terus bergetar dan memperdengarkan suara
yang sangat aneh. Sementara itu Buang Sengketa sen-
diri saat itu dengan tertatih-tatih berusaha bangkit
dan mengatur pernafasan serta mengimpun tenaga da-
lamnya.
"Hiaat...!"
Diiringi dengan satu jeritan tinggi melengking.
Tubuh Andika nampak melesat dengan senjata terhu-
nus.
"Heiiikgh...!"
Di sertai lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, pe-
muda itupun cabut senjatanya yang berupa Golok an-
dalan.
"Nguuung...!"
Tak ayal lagi senjata yang memiliki pamor tinggi
itupun berputar sedemikian cepat membentuk perisai
diri. Secara peraktis tubuh Buang Sengketa terbung-
kus sinar Merah yang ditimbulkan oleh pusaka Golok
Buntung di tangannya. Dingin beradu dengan dingin
membuat tubuh masing-masing lawan terasa beku.
Tapi Buang Sengketa juga berusaha mengerahkan te-
naga dalamnya sebaik mungkin agar dirinya tak ter-
pengaruh dengan pamor pedang yang berada dalam
genggaman lawannya.
"Traaang...!"
Terlihat percikan bunga api berpijar manakala
dua buah senjata yang memiliki pamor tinggi itu saling
berbenturan dengan keras. Tangan masing-masing la-
wan sama-sama tergetar dan kesemutan. Sesaat kedua
pemuda yang sedang bertarung itupun terhuyung-
huyung. Dan merekapun sama-sama menyeringai. Ta-
pi kejab kemudian mereka telah terlibat lagi dalam per-
tarungan yang lebih seru. Andika pun telah mengelua-
rkan jurus pedang 'Hidup Hampa' yaitu jurus tingka-
tan terakhir yang dimilikinya.
"Haiiit...!"
Teriakan pemuda wajah coreng-moreng itu
membahana, terasa bagai merobek suasana pagi. Di
pihak Buang Sengketa, tanpa sungkan-sungkan lagi
segera pula mencabut senjata lain yang berupa Cam-
buk Gelap Sayuto.
"Nguung... Jdarr... Jdaar...!"
Cambuk itu melecut, akibat yang ditimbulkan-
nya sungguh membuat Andika jadi terperangah. Kea-
daan di sekelilingnya mendadak menjadi redup. Petir
dan halilintar sambung-menyambung, kemudian sua-
sana adalah kegelapan yang menakutkan. Tapi Andika
nampaknya sudah tiada memperdulikan keadaan ini.
Kemudian dia babatkan pedangnya, cambuk di tangan
Buang menyambut...!
"Praaang... Jdaaarr...!"
Cambuk di tangan pendekar Hina Kelana ber-
hasil melibat pertengahan Pedang Asmara yang berada
dalam genggaman Andika. Betot membetotpun akhir-
nya berlangsung. Masing-masing lawan mengerahkan
segenap tenaga dalamnya. Tapi keadaan tidak beru-
bah. Dan pabila Buang Sengketa teringat pada jurus
Koreng Seribu. Serta merta dia menarik balik tenaga
dalamnya. Anehnya Andika merasakan tenaganya am
blas begitu saja, tubuhnya bagai tersedot oleh satu ke-
kuatan yang tiada kelihatan.
"Lepas...!"
Dengan sekali sentak, pedang yang menimbul-
kan hawa aneh itupun telah berpindah tangan. Begitu
pedang itu berada di tangan Buang Sengketa, dia me-
rasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya.
"Pedang Iblis!" teriak si pemuda kemudian me-
nyambitkan pedang di tangannya dengan segenap ke-
kuatan yang dimilikinya.
"Ahhk, pedangku...!" rintih Andika, kemudian
terhuyung-huyung. Selanjutnya ambruk.
"Maafkan aku, Indah Dewi...!"
"Kakang Andika...!" jerit Indah Dewi yang ter-
nyata tetap mencintai pemuda itu.
"Bawalah dia! Dalam bimbinganmu, kurasa dia
dapat mengobati luka-luka hatinya!" kata Buang Seng-
keta. Dan dalam kegelapan itu, pemuda keturunan ra-
ja dari negeri Bunian itupun berkelebat pergi. Tiada
yang mengetahui kepergiannya, sebab
saat itu saudagar Legawapun sedang sibuk mengurusi
calon mantunya yang dalam keadaan pingsan.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar