..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 30 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE BENCANA PEDANG ASMARA



 

BENCANA PEDANG ASMARA

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian atau selu-

ruh isi buku ini tanpa ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Bencana Pedang Asmara


SATU


Perguruan Kerudung Biru merupakan sebuah 

perguruan silat beraliran putih, yang memiliki sejum-

lah murid yang terdiri dari kaum wanita. Sejak berpu-

luh-puluh tahun yang lalu, perguruan yang terletak di 

kaki bukit Arjuna ini sangat disegani baik oleh kawan 

maupun lawan, justru karena kehebatan Jurus Pedang 

Delapan Penjuru Mautnya. Tak seorang pun berani 

mengusik ataupun mencari perkara dengan Perguruan 

Kerudung Biru yang dipimpin oleh nenek sakti berju-

luk Bidadari Pedang Maut ini. Kalaupun ada, mereka 

itu tak lebih merupakan manusia-manusia nekad yang 

ingin mencari mati.

Pagi itu bukit Arjuna diguyur hujan lebat, kea-

daan seperti ini memang sering terjadi di daerah yang 

sangat subur ini. Tanah-tanah di sekitarnya nampak 

lembab dan becek. Dalam keadaan hujan lebat seperti 

itu, biasanya murid-murid Perguruan Kerudung Biru 

lebih suka berada di dalam pondok perguruan, mengu-

rung diri dalam bilik kamar masing-masing. Atau ber-

kumpul dengan sesama anggota perguruan sambil 

menikmati singkong rebus, yang mereka peroleh dari 

kebun di belakang pondok. Tradisi seperti itu telah 

berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu.

Namun tidak demikian halnya yang terjadi pada 

saat itu. Dalam keadaan hujan lebat, tiga sosok tubuh 

berjubah hitam nampak bermunculan dari balik bukit 

Arjuna. Mereka ini dengan mempergunakan ilmu men-

gentengi tubuh terus berlari-lari mendekati pondok. 

Ketika jarak mereka sudah berada begitu dekat dengan 

pondok Perguruan Kerudung Biru. Serta merta mereka 

hentikan langkah, tiap pasang mata berkilat-kilat aneh 

langsung memusatkan perhatiannya di seputar pondok


yang lengang.

"Shinta...! Menurut laporanmu, murid-murid 

Perguruan Kerudung Biru jumlahnya mencapai bela-

san orang... tapi tak kulihat seorang pun di luar sa-

na...?" tanya salah seorang yang memiliki tubuh ramp-

ing dengan wajah coreng moreng. 

"Tiga orang diantaranya pasti berada di dalam 

pondok itu. Sedangkan lainnya seperti yang kuketahui 

selalu pulang ke tempat tinggal masing-masing tidak 

jauh dari tempat ini...!" jawab gadis yang bernama 

Shinta. 

Perempuan bertubuh ramping yang memiliki 

nama Peri Lingga nampak mengeluarkan suara guma-

nan yang tak begitu jelas.

"Satu kemudahan bagi kita! Tak perlu mengoto-

ri tangan dengan banyak darah...!"

"Bagaimana kalau perawan-perawan yang be-

rada di dalam itu mengadakan perlawanan sengit?" 

tanya Jubah Hitam wajah coreng moreng yang lainnya.

"Kau tak perlu resah Santy, aku telah mempela-

jari semua situasi di tempat ini. Pula guru mereka Bi-

dadari Tangan Maut sedang tak berada di tempat! Wa-

kil ketua, Lingga! Lebih baik kita memulainya sekarang 

juga...!"

"Sebuah usul yang sangat baik! Mari kita urus 

orang-orang yang berada di dalam pondok itu...!" Tiada 

jawaban, tapi secara serentak tubuh jubah hitam wa-

jah coreng moreng bergerak mengepung pondok. Pada 

saat mereka melakukan pengepungan itu, hujan lebat 

nampak sudah mulai reda. Walaupun gerakan mereka 

tidak menimbulkan suara mencurigakan, sebagai mu-

rid-murid yang sudah terlatih baik. Mereka yang bera-

da di dalam pondok seperti mengetahui kehadiran me-

reka.

"Hhh. Dengar! Seperti ada sesuatu di luaran


sana?" sentak salah seorang murid yang paling tua. 

Kemudian memberi isyarat pada tiga orang kawannya.

"Mungkin guru yang datang...!" sahut yang 

lainnya. Sambil berkata begitu gadis berpakaian kun-

ing ini melangkah ringan ke sudut kamarnya untuk 

mengambil senjatanya yang berupa pedang Kembar.

"Kepulangan guru masih begitu lama, mereka 

pastilah orang-orang yang mempunyai maksud-

maksud tak baik. Mari kita keluar...!"

Belum lagi langkah mereka mencapai pintu, sa-

tu pukulan yang begitu keras dari arah bagian luar 

pondok telah melabrak pintu itu sehingga hancur ber-

keping-keping. Secepatnya empat murid Perguruan Ke-

rudung Biru membuang tubuhnya ke belakang dengan 

jalan bersalto beberapa kali. Tiada terduga-duga, dari 

bagian pintu belakang pukulan yang sama pun mem-

buat porak poranda pintu yang terletak di bagian bela-

kang.

"Pendatang-pendatang tengik, siapakah kalian 

ini...?" Bentak murid tertua bernama Sekar Asih, lalu 

membuang tubuhnya ke samping kiri untuk menghin-

dari sambaran pukulan yang menebarkan rebawa aneh 

itu.

"Jangan banyak mulut! Perguruan Kerudung 

Biru telah kami kepung...! Sebaiknya kalian menyerah 

saja...!" perintah Peri Lingga sambil menyeruak mema-

suki pondok itu. 

"Kurang ajar! Manusia muka hantu jubah hi-

tam! Enyahlah...!" Sebuah bentakan nyaring terdengar. 

Empat orang murid Perguruan Kerudung Biru lang-

sung menyongsong kedatangan Jubah Hitam dengan 

sambaran pedang kembar mereka. Tapi tiga orang 

pendatang itu lihainya bukan main, dengan gerakan 

yang sangat gesit mereka selalu berhasil menghindari 

serangan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut, yang


selama ini dikenal karena pamornya yang tinggi. Ge-

brakan-gebrakan seru terus berlangsung, menjelang 

pertarungan lima belas jurus, empat orang murid Ke-

rudung Biru sudah mulai nampak terdesak.

"Hemm! Tak disangka hanya segitu saja kehe-

batan jurus Pedang Delapan Penjuru Maut yang sangat 

ditakuti oleh tikus-tikus persilatan itu...!" gumam si 

tubuh ramping, terus merangsak dalam jarak yang 

sangat dekat sambil lancarkan totokan-totokan ganas.

Pada satu kesempatan yang kritis, murid-murid 

Perguruan Kerudung Biru, dengan satu lompatan 

langsung menerjang ke arah lawan-lawannya. Gerakan 

serentak itu sebenarnya merupakan titik awal untuk 

membuka jurus 'Delapan Penjuru Maut" yang mereka 

miliki. Demikianlah dengan dimulainya gerakan berba-

reng seperti itu, maka senjata di tangan mereka pun 

bergerak cepat. Tusukan senjata maupun babatan pe-

dang yang bertubi-tubi. Membuat lawan yang bertan-

gan kosong untuk beberapa jurus di depan hanya 

mampu mengelak dan menangkis. Empat murid Pergu-

ruan Kerudung Biru merasa mendapat angin, serangan 

senjata mereka pun semakin lama semakin bertambah 

gencar. Tanpa disadari oleh murid Kerudung Biru ki-

ranya tiga orang lawan wajah coreng moreng sedang 

mencari titik lemah jurus pedang yang mereka miliki.

"Hiih....! Breeet...!"

Satu sambaran pedang kembar di tangan gadis 

itu berhasil merobek pangkal lengan salah seorang si 

jubah hitam. Orang itu terhuyung-huyung, murid-

murid Kerudung Biru merasa mendapat angin untuk 

melakukan gebrakan berikutnya. Tapi tiada mereka 

sangka-sangka, lawannya yang bernama Peri Lingga 

yang sudah mengetahui kelemahan jurus pedang me-

reka lancarkan serangan balasan.

"Haiit...!"


"Tuuk...!"

"Gabruuk...!"

Satu totokan berhasil mengenai jalan gerak di 

bagian tubuh lawannya. Sehingga membuat salah seo-

rang murid Kerudung terjatuh dengan keadaan terto-

tok.

"Keparaat...!" maki Sekar Asih merasa semakin 

terdesak.

"Gebrak murid-murid Kerudung Biru. Jangan 

lukai, ketua pasti menyukai orang-orang yang cantik-

cantik ini...!"

Sadarlah Sekar Asih dan kawan-kawannya, apa 

yang bakal terjadi andai sampai mereka tak dapat 

memenangkan pertarungan itu. Kenyataannya, sung-

guhpun mereka sudah berusaha mengerahkan sege-

nap kepandaian yang mereka miliki, namun dengan 

gerakan-gerakan menghindar yang sangat manis. Se-

rangan gencar yang mereka lancarkan selalu saja 

mencapai sasaran yang kosong. Bahkan secara hampir 

bersamaan si jubah hitam tubuh ramping berhasil me-

notok urat gerak di tubuh mereka.

"Tuuuk! Tuuuuk! Tuuuk...!"

"Ahhh...!"

Tiga orang murid Kerudung Biru kembali ter-

jengkang dalam keadaan tertotok. Jubah hitam muka 

coreng moreng sunggingkan senyum sinis. Lalu mem-

beri perintah pada dua orang lainnya.

"Mereka tak mungkin kita bawa semua! Pilih 

saja yang tercantik di antara keempat gadis ini...!" 

Tanpa membantah, orang-orang itupun langsung men-

gadakan pemeriksaan atas diri empat orang murid Ke-

rudung Biru.

Sekar Asih, Sekar Taji dan Sekar Kencana ter-

nyata gadis-gadis yang termasuk dalam daftar orang-

orang yang mereka anggap cantik. Akhirnya dengan


gerakan yang gesit dengan memanggul tubuh gadis-

gadis itu. Tiga orang perempuan wajah coreng moreng 

berlari-lari cepat meninggalkan bukit Arjuna.

Tinggallah Sekar Sari, yang terus berguling-

guling di atas lantai pondok dalam keadaan tertotok 

dan menangisi kepergian saudara-saudaranya yang te-

lah dibawa lari oleh si jubah hitam.

***

Kematian Seranggana, Tapak Api dan belasan 

prajurit Katemenggungan ketika sedang melakukan 

tugas penyitaan di rumah saudagar Legawa. Membuat 

semua kerabat Jayeng Rono dan Lesmana menjadi 

gempar. Siang itu dalam suasana tegang, pembicaraan 

berlangsung di ruangan tengah. Dalam keadaan ber-

kabung, Tumenggung Jayeng Rono. Lesmana dan Jela-

tu nampak berkumpul mengelilingi sebuah meja beru-

kuran panjang.

"Paman Jelatu! Coba ceritakan padaku menga-

pa tugas yang telah saya perintahkan kepada rombon-

gan yang dipimpin oleh Uwa Senggerana sampai men-

dapat musibah seperti ini...?" Tanya Tumenggung 

Jayeng Rono, dengan muka merah. Namun hatinya di-

liputi oleh kedukaan yang mendalam. Jelatu yang 

sempat luput dari kematian nampak menundukkan 

wajahnya. Ada rasa penyesalan membersit di sana.

"Begini tetua! Saat kami sampai di rumah sau-

dagar Legawa, nampak-nampaknya saudagar itu me-

mang tak ingin menyerahkan harta bendanya begitu 

saja. Hal ini terbukti saudagar yang telah membuat 

malu keluarga Katemenggungan itu telah pula me-

nyiapkan para pembantunya dengan senjata lengkap. 

Dugaan saya kemudian terbukti dengan kemunculan 

seorang pemuda yang tidak kami kenal di tempat


itu...!" 

"Pemuda tak dikenal! Bagaimanakah yang pa-

man maksudkan?" tanya Lesmana merasa curiga.

"Pemuda itu berpakaian kumal, bagai sudah 

berbulan-bulan nggak pernah ganti. Wajahnya sangat 

tampan sekali. Rambutnya panjang dikuncir menjela 

sampai ke bahu. Sedangkan di bagian pinggangnya 

tergantung sebuah periuk berjelaga, pemuda itu memi-

liki senjata yang memancarkan sinar merah menyala, 

dan senjata itu pulalah yang telah menewaskan Ka-

kang Senggerono dan Adik Tapak Api...!" Mendengar 

laporan Jelatu Tumenggung Jayeng Rono semakin 

memerah wajahnya karena dilanda kemarahan yang 

meluap-luap. Sebaliknya, putranya yang bernama 

Lesmana sedang berusaha mengingat-ingat siapakah 

gerangan pemuda yang disebut-sebut sebagai pembu-

nuh orang-orang katemenggungan. Namun ciri-ciri 

yang disebutkan oleh Jelatu memang sama sekali tidak 

di kenalinya. Bahkan bertemupun rasa-rasanya belum 

pernah. Setelah lebih dari sepemakan sirih mereka sal-

ing berdiam diri, akhirnya suara Lesmana pun terden-

gar memecah keheningan. 

"Paman Jelatu, dan ayahanda...! Aku merasa 

tak pernah mengenali orang yang baru saja disebut-

sebut oleh paman...! Mungkin pemuda itu sengaja dis-

ewa dari daerah lain oleh saudagar Legawa yang telah 

menipuku itu. Ananda tau, saudagar keparat itu pasti-

lah tidak menginginkan harta bendanya disita oleh pi-

hak Katemenggungan. Bahkan secara terang-terangan 

mereka telah membunuh orang-orang kita. Ini benar-

benar sangat keterlaluan sekali. Mereka telah mengo-

barkan api peperangan pada pihak kita. Sebagai anak 

yang tahu berbakti pada orang tua dan bumi persada, 

ananda tidak akan tinggal diam. Dalam waktu dekat 

ini, ananda akan mengumpulkan seluruh sahabat


kaum persilatan untuk menggantung saudagar Lega-

wa, dan pemuda yang telah bergabung dengan sauda-

gar itu...!"

"Usul yang sangat baik! Memang sesungguh-

nya, sekarang ini sudah saatnya bagimu untuk me-

nunjukkan bakti pada orang tua. Pula ini menyangkut 

persoalan pribadimu, layak saja kalau kau berusaha 

mengatasinya...!"

"Tat... tapi Den Lesmana! Orang berperiuk itu 

memiliki ilmu kepandaian yang bermacam-macam. 

Saya takut, kalau pasukan kita tidak benar-benar 

tangguh. Usaha kita hanya akan menjadi sia-sia...!"

"Jangan memandang remeh. Paman Jelatu be-

lum mengetahui tokoh-tokoh yang akan kuhubungi 

itu. Lihatlah! Tak sampai dua minggu mendatang me-

reka telah berkumpul di Katemenggungan ini...!" sahut 

Lesmana. Ada rasa kurang senang dalam nada uca-

pannya.

"Sudahlah, anakku Lesmana! Aku tak mengin-

ginkan kalian berbantahan dengan orang-orang sendi-

ri. Kalau memang benar saudagar Legawa memiliki ke-

kuatan yang tangguh. Ada baiknya mulai saat seka-

rang kita mempersiapkan diri...!"

"Baiklah tetua! Katemenggungan telah menda-

pat satu penghinaan yang sangat besar. Hal ini tidak 

mungkin kita biarkan begitu saja...!" kata Jelatu. Tu-

menggung Jayeng Rono dan Lesmana nampak men-

gangguk setuju. Setelah mereka menganggap tidak ada 

lagi pembicaraan yang perlu. Lesmana segera bermo-

hon diri pada ayahandanya untuk pergi menghubungi 

tokoh-tokoh persilatan yang dikatakan oleh Lesmana 

sebagai sahabat baiknya. Entah tokoh persilatan yang 

bagaimana yang akan dihubungi oleh putera Tumeng-

gung Jayeng Rono yang memiliki watak aneh ini. 

Hanya Lesmana sendirilah yang tahu. Sementara itu

Jelatu dan Tumenggung Jayengrono, mulai saat itu 

mulai mempersiapkan pasukannya dalam jumlah yang 

lebih besar.

***

DUA


Di atas kubur belasan orang prajurit-prajurit

Katemenggungan, sudah hampir tiga hari pemuda 

berwajah tampan itu berada di sana. Pabila dilihat se-

pintas lalu, maka pemuda ini tak ubahnya bagai se-

buah arca berdiri tegak, tak pernah bergeming walau 

sengatan panas matahari dan dingin angin malam me-

landa tubuhnya hampir setiap waktu. Sesungguhnya 

apakah yang sedang dilakukan oleh pemuda itu, di 

tempat sunyi seperti di daerah pekuburan keramat ini?

Setelah menguburkan jenazah prajurit-prajurit

Katemenggungan beberapa hari bersama Legawa dan 

Indah Dewi. Entah mengapa secara tiba-tiba pemuda 

berbaju merah dengan rambut dikuncir ini teringat 

kembali pada almarhum gurunya, Si Bangkotan Ko-

reng Seribu. Lalu teringat pula olehnya akan sebuah 

kematian. Teringat kematian, teringat pula olehnya 

tentang dirinya sendiri. Di sepanjang pengembaraan-

nya selama ini, sudah beratus-ratus jiwa melayang di 

tangannya. Mereka semua terdiri dari berbagai golon-

gan sesat yang selama hidupnya selalu membuat resah 

kaum persilatan dan masyarakat banyak. Namun pabi-

la dia kembali berpaling pada dirinya sendiri. Benar-

kah pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukan-

nya tidak membawa dosa? Satu koreksi diri yang dila-

kukannya di tempat itu hanyalah ingin bertemu den-

gan roh si Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Cara satu



satunya yang dapat dilakukannya adalah hanya den-

gan mempergunakan ajian Tinggal Rogo, yang sebe-

narnya masih belum dia kuasai dengan baik.

Tidak seperti waktu dulu, kali ini dia merasa 

begitu sulit untuk memisahkan diri antara raga yang 

kasar dengan rohnya yang tiada terlihat. Sungguhpun 

hal itu telah dia lakukan berulang kali. Hingga tanpa 

disadarinya pekerjaan konyol seperti itu telah berlang-

sung hampir tiga hari. Karena selama itu pemuda ke-

turunan Raja Ular dari negeri alam gaib (Bunian) su-

dut-sudut matanya pun nampak cekung.

Roh di dalam jiwa yang tenang Sesaat aku ingin 

bertemu dengan guruku. Guru tua yang sudah tiada 

memiliki jasad. Dan tak terlihat dengan kasat mata.... 

Berilah aku Ridho, hai Sang Hyang Widi Perkenankan-

lah hajat seorang hamba Adalah diri kasarku si Hina 

Kelana Pertemukanlah dengan guruku, Bangkotan Ko-

reng Seribu...

Sekejap tubuh pendekar ini nampak menggele-

tar bagai orang yang sedang dilanda badai salju. Alam 

pikiran kosong dari segala permasalah yang berhu-

bungan dengan keduniawiaan, kosong tanpa beban 

apapun yang memberati. Sampai pada klimaksnya:

"Plaaass...!"

Roh Buang Sengketa meninggalkan jasad ka-

sarnya, namun baru saja dalam jarak yang tak dapat 

diperhitungkan, di hadapan pemuda itu. Kakek Bang-

kotan Koreng Seribu dalam tubuh halusnya sudah 

menghadang perjalanan roh Pendekar Hina Kelana. 

Sebagaimana tabiat kakek aneh itu. Maka kini setelah 

bertemu terjadilah dialog alam gaib:

"Bocah Guoblok! Sekali lagi kau bertingkah ko-

nyol seperti dulu, ada apa kau memanggil-manggil di


riku...?" tanya badan halus si Bangkotan Koreng Seri-

bu. 

"Eee... anu kek! Aku cuma ingin bertemu den-

ganmu, sekalian jalan-jalan melihat alam asing yang 

sebelumnya tak pernah dilihat oleh siapapun terkecua-

li orang-orang yang sudah mati...!" ujar si pemuda je-

naka.

"Weiii...! Bocah ini benar-benar semakin keblin-

ger...! Tahukah kau resiko apa yang bakal kau hadapi 

andai jasad kasarmu sampai diketahui oleh orang 

lain...?" Bentak Kakek Bangkotan Koreng Seribu, se-

makin bertambah murung. 

"Tau kek! Tapi salah kakek sendiri, nggak mau 

muncul! Mencari tempat tapa ayah juga sejak dulu be-

lum ketemu... hidupku selalu diwarnai dengan kese-

pian kek...!" kata pemuda itu mengeluh.

"Tolol! Kita sudah berada dalam alam yang ber-

beda, mana mungkin aku bisa menemuimu. Pula ka-

lau aku masih hidup siapa sudi menjumpai murid ber-

periuk sepertimu...!"

"Ah kakek! Aku sendiri sekarang bisa mene-

muimu. Mengapa engkau tidak...?"

"Semua itu berkat ilmu Tinggal Rogo yang kau 

pelajari. Andai tidak jangan harap kau dapat berbuat 

seperti sekarang ini...! Pula kalau kamu merasa kese-

pian, mengapa nggak cepat-cepat kawin saja...?"

"Siapa sudi dengan pemuda Hina seperti ini, 

Kek! Hanya seorang pengelana yang tiada berharta, ke-

setiaan dan kejujuran di jaman ini mana dipandang 

mata oleh kaum wanita, Kek...!"

"Hhh. Bicara denganmu selamanya memang 

membuat kuping berdenyut-denyut...!" sentak Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu gusar.

"Kek...!" Buang Sengketa merengek seperti anak 

kecil.


"Ada apa...?" dengus si kakek.

"Menurutmu, benarkah apa yang telah kulaku-

kan selama ini...?" tanya si pemuda, ragu-ragu.

"Kalau tidak benar! Sungguhpun aku sudah be-

rada di alam lain pasti akan menegurmu...!" ujar si ka-

kek begitu yakin.

"Kalau sekarang aku membela saudagar Lega-

wa, apakah tindakanku itu juga benar?" Kakek Bang-

kotan Koreng Seribu terdiam beberapa saat lamanya. 

Kemudian dengan berwibawa diapun berkata: "Selama 

pertolonganmu itu tanpa pamrih dan mengharapkan 

imbalan atas jerih payahmu, aku menganggap hal itu 

baik. Sebab akupun tahu kalau saudagar yang baru 

insap dari gemerlapnya dunia itu memang sedang dili-

ciki oleh putranya katemenggungan. Nah tunggu apa 

lagi, cepat-cepatlah merat dari hadapanku. Sebentar 

lagi tentu anak saudagar yang patah hati itu telah da-

tang menyusulmu...!"

"Baa... baik kek...! Akupun tak pernah mengha-

rapkan apa-apa dari mereka. Kalaupun aku mengaju-

kan persaratan seperti yang pernah kuucapkan itu, hal 

ini semata-mata hanya untuk mengetahui seberapa 

jauh niat saudagar Legawa dengan segala keinginan-

nya..."

Si Bangkotan Koreng Seribu yang memang su-

dah begitu hapal dengan watak muridnya, hanya men-

dengus.

"Sudah muak aku melihatmu! Cepat kembali ke 

dalam jasadmu, orang-orang itu segera sampai di tem-

pat ini...!" Tanpa berkata-kata lagi, pendekar dari nege-

ri Bunian segera kembali pada jasadnya.

"Plaaas...!"

Roh dan jasad itupun kembali menyatu, seben-

tar kemudian tubuh pemuda itu sudah bergerak-gerak 

kembali. Lalu sepasang matanya yang terpejam pun te


lah membuka pula.

Kenyataannya memang benar seperti apa yang 

dikatakan oleh roh Kakek Bangkotan Koreng Seribu. 

Tak lama setelah bersatunya antara jasad dan roh si 

pemuda, dari jalan setapak pinggiran kuburan itu, 

muncul beberapa orang berkuda yang sudah sangat 

dikenali oleh si pemuda.

"Kakang Kelana...!" seru wanita berpakaian un-

gu, lalu melompat dari atas punggung kudanya diikuti 

oleh empat orang pengiring.

"Indah Dewi! Mengapa kau justru menyusulkan 

kemari...?" tanya si pemuda keheranan. Gadis yang di-

hianati oleh suami yang tidak dicintainya itupun hanya 

tersenyum dikulum, kemudian dia mendekati si pemu-

da. (Untuk jelasnya siapa Indah Dewi, terdapat pada 

episode terdahulu dalam judul ‘Ksatria Pedang Asma-

ra’) Setelah mereka saling berhadap-hadapan: "Ayah 

yang menyuruhku menyusulmu! Sudah tiga hari ka-

kang tidak pulang. Ayah khawatir kalau ada sesuatu 

yang terjadi denganmu...!"

"Ternyata aku tak kekurangan sesuatu apapun. 

Ada baiknya kalau kau pulang duluan saja."

"Apa yang kau lakukan di tempat ini...?" tanya 

Indah Dewi curiga.

"Aku tidak apa-apa...!" ujar Buang Sengketa 

tawar.

"Tapi ayah mengharap agar kakang bisa pulang 

ke rumah saat ini juga, katanya dia takut kalau sewak-

tu-waktu orang-orang dari Katemenggungan datang 

menyerbu...!" Pemuda dari negeri Bunian itu geleng-

geleng kepalanya: "Ayahmu tak perlu khawatir. Seti-

dak-tidaknya orang dari Katemenggungan masih perlu 

waktu yang agak lama untuk melakukan penyerangan. 

Aku tak bisa pulang ke rumahmu sekarang, karena 

aku perlu melakukan penyelidikan terlebih dahulu...!"


"Baiklah kalau kakang Kelana sudah memu-

tuskan begitu, maka sekarang juga aku akan kembali. 

Tapi ingat, jangan terlalu lama bepergian, tanpamu 

kami pasti akan mengalami nasib yang sulit untuk di-

bayangkan...!" katanya wanti-wanti.

"Aku akan menepati janjiku...!" jawab Buang 

Sengketa tanpa ragu-ragu lagi. Setelah memberikan 

perbekalan buat si pemuda, Indah Dewi kemudian 

membalikkan langkah. Berjalan cepat menghampiri 

kudanya dengan diikuti oleh empat orang pembantu. 

Setelah melompat ke punggung kuda masing-masing, 

Indah Dewi pun langsung membedal kudanya tanpa 

menoleh-noleh lagi.

"Ah, gadis malang! Korban keegoisan orang tua 

yang selalu silau dengan harta benda, pangkat serta 

kedudukan. Tak disangka-sangka kalau akhirnya ma-

lah menimbulkan malapetaka...!" gumam pemuda itu, 

selanjutnya menjauh meninggalkan Kuburan Kramat 

menuju ke arah Tenggara.

***

Langit terang resik tiada berawan, di langit le-

pas bintang berkerlap kerlip memancarkan cahaya pu-

tih kebiruan. Dan bulan purnama, baru saja menam-

pakkan diri dari balik bukit.

Pada saat itu di sebuah gua batu cadas yang 

terletak tidak begitu jauh dari lereng bukit. Suasana di 

dalam sana nampak lengang, seolah gua yang selalu 

diterangi dengan cahaya lampu minyak yang berwarna 

merah tiada berpenghuni. Keadaan itu berlangsung se-

lama beberapa jam sampai akhirnya beberapa orang 

berjubah hitam wajah coreng moreng menyeruak me-

masuki gua itu. Orang-orang tersebut kemudian du-

duk di sebuah altar yang berukuran sangat luas. Da


lam waktu yang sangat singkat jumlah merekapun se-

makin bertambah banyak hingga mencapai belasan 

orang. Orang bercadar dengan jubah hitamnya yang 

menjela sampai ke tanah itu. Kemudian secara seren-

tak seperti sedang mengucapkan kalimat doa. Tapi ka-

ta-kata yang keluar dari mulut mereka tak begitu jelas. 

Bagai suara gumanan.

Sementara itu di dalam sebuah ruangan lain, 

tiga orang gadis nampak terbaring lemah di atas ran-

jang dalam keadaan tertotok dan tubuh menelentang. 

Tiga orang gadis berwajah cantik itu tak lain, Sekar 

Asih, Sekar Taji dan juga Sekar Kencana. Yang meru-

pakan murid-murid Perguruan Kerudung Biru yang 

bermarkas di kaki bukit Arjuna. Sebagaimana diketa-

hui tiga orang murid Bidadari Pedang Maut ini berhasil 

diculik oleh wakil kerudung Hitam dan kawannya sete-

lah kalah dalam pertarungan yang cukup sengit.

Kini dalam ruangan yang hanya diterangi oleh 

beberapa lampu minyak itu, tiga orang gadis murid 

Perguruan Kerudung Biru seperti sedang menunggu 

ponis hukuman mati. Hati masing-masing diliputi ber-

bagai tanda tanya bagaimanakah rupanya laki-laki 

yang menjadi ketua perserikatan jubah hitam.

Dalam menunggu dengan diliputi ketegangan 

ini, mendadak muncul seorang laki-laki berusia sangat 

muda, dengan wajah coreng moreng dan juga menge-

nakan jubah hitam menjela. Laki-laki muda bertam-

pang dingin ini nampak berjalan menghampiri mereka 

bertiga. Beberapa saat pemuda itu memperhatikan ca-

lon-calon korbannya satu persatu.

"Gadis-gadis cantik! Tubuhnya padat berisi... 

sayang aku tak pernah mendambakan kehangatan tu-

buh gadis manapun! Darah mereka sangat pantas un-

tuk kupersembahkan pada Pedang Asmara...!" gumam 

pemuda bernama Andika dalam hati.



Namun apa yang sedang bergolak di dalam ha-

tinya, serta merta pemuda berjubah hitam ini nampak 

mengatupkan gerahamnya erat-erat, lalu terdengar pu-

la suaranya yang begitu pelan, namun membuat 

mengkirik bulu kuduk tiga orang gadis itu:

Gadis-gadis malang...

Dulu pernah kusimpan cinta di selembar harap

Saat kasih sayang selalu kudamba

Tapi mengapa semuanya membuat aku kecewa

Kini lihatlah mataku yang tiada tetes tangis 

Dan luka-luka yang dulu tiada kunjung sembuh 

Karena asmara celaka 

Yang telah membawa sebuah derita teramat 

panjang...

Usai berkata begitu, pemuda wajah coreng mo-

reng jubah hitam ini menatap sinis pada ketiga gadis 

yang terlentang di atas ranjang tiada berdaya.

"Sriiing...!"

Serta merta Andika mencabut senjatanya yang 

menggelantung di bagian pundaknya. Pedang itu ber-

warna hitam kebiru-biruan, yang membuat gadis-gadis 

yang dalam keadaan tertotok itu menjadi ketakutan se-

tengah mati justru karena Pedang Asmara di tangan 

Andika nampak menggeletar dan menimbulkan bunyi 

yang sangat aneh.

"Bocah-bocah cantik! Sesungguhnya aku ingin 

meniduri kalian satu persatu. Sering kubayangkan be-

tapa indahnya bersama-sama seorang wanita. Namun 

keinginan seperti itu kini tiada lagi. Anak-anak ma-

nis... lantunkanlah doa, sebelum maut menyambut. 

Semoga kematian tak ubahnya bagai sebuah tidur 

yang teramat panjang... Hiaaat...!"

Seusai mengucapkan segala sesuatunya, tubuh


Andika nampak berputar-putar. Di salah sebuah ran-

jang calon korbannya. Pandangan matanya yang ko-

song dan dingin itu memandang tiada berkedip ke se-

kujur tubuh gadis yang bernama Sekar Taji. Yang di-

pandang kelihatan semakin bertambah ketakutan, jan-

tung berdetak kian cepat. Nafas tersengal-sengal, hing-

ga membuat bagian dadanya yang padat berisi itu ter-

guncang-guncang turun naik. Tiada rangsangan birahi 

atas diri pemuda ini, sebaliknya sorot matanya beru-

bah menjadi sinis. Pelan namun cukup pasti, pemuda 

jubah hitam menjela-jela ini menggerakkan senjatanya 

ke arah bagian dada.

"Breet...!"

"Auuu...!"

Gadis yang bernama Sekar Taji itupun kelua-

rkan jeritan tertahan saat mana, pakaiannya di bagian 

dada robek lebar di sambar pedang. Yang membuat 

wajahnya semakin memerah adalah akibat terobeknya 

pakaian di bagian depan itu membuat dua bukit kem-

barnya yang halus mulus padat dan berwarna putih 

itu tersingkap, menantang. Tapi pemuda dari Lembah 

Patah Hati ini nampaknya tiada menghiraukan pe-

mandangan seperti itu. Sekar Taji yang dalam keadaan 

tertotok bagian urat geraknya hanya mampu menjerit-

jerit.

"Lepaskan kami, laki-laki keparat! Kami akan 

mengadu jiwa atas perlakuanmu yang memalukan 

ini...?" teriak gadis itu, namun tetap tak memiliki ke-

mampuan untuk menutupi bagian dadanya yang ter-

singkap begitu lebar.

"Jangan banyak tingkah! Tak banyak pilihan 

yang dapat kulakukan untuk kalian. Darah perawan 

memang sangat dibutuhkan oleh Pedang Asmara mi-

likku. Agar lebih ampuh untuk membasmi siapapun 

yang coba-coba berani menghalangi sepak terjang


ku...!" gumam si pemuda. Selanjutnya tanpa ampun 

lagi pedang di tangan pemuda itupun terangkat tinggi-

tinggi, kemudian laksana kilat. Senjata itu melesat ke 

arah bagian dada si gadis. Gadis itu hanya membela-

lakkan matanya saat pedang di tangan Andika melun-

cur. Cepat ke tengah-tengah dada.

"Haaiiit...!"

"Jrooos...!"

"Ahhkkgh...!"

Hanya pekik tertahan yang terdengar, saat ma-

na senjata di tangan Andika menembus bagian dada 

Sekar Taji. Tiada pula darah yang menetes, tubuh Se-

kar nampak berkelojotan untuk sesaat lamanya. Lalu 

diam tiada berkutik-kutik lagi.

Melihat kematian kawannya, Sekar Asih dan 

Sekar Kencana nampak membelalakkan kedua ma-

tanya. Sama sekali mereka tiada menyangka kalau 

pemuda yang mereka hadapi kiranya tak ubahnya ba-

gai seorang pembunuh berdarah dingin. Namun mere-

ka juga nampaknya tiada memiliki pilihan lain. Tubuh 

mereka tertotok, ini yang membuat mereka tak memi-

liki kemampuan untuk berbuat banyak.

"Manusia terkutuk...! Begitu kejam perbuatan-

mu itu... Sang Hyang Widi pasti tak pernah mengam-

puni dosa-dosamu...!" teriak Sekar Asih, dengan kema-

rahan yang tiada tertahankan lagi.

"Kaummu juga pernah berbuat lebih dari apa 

yang kulakukan. Wajar saja kalau kini aku melakukan 

sesuatu yang sesuai dengan apa yang pernah ku rasa-

kan dulu! Hemm...!" kata Andika, lalu dari sela-sela bi-

birnya terdengar suara geraman yang begitu aneh. Tu-

buh kembali bergetar hebat, pedang di tangannya 

mendengung-dengung dan mulai terasa sulit untuk di-

kendalikan.

"Baiklah! Kuturuti segala keinginanmu, hei Pedang Asmara...!" teriak Andika bagai sedang berbicara 

dengan sesuatu yang tiada terlihat. Selanjutnya den-

gan disertai satu bentakan yang sangat keras. Tubuh 

pemuda itu melompat ke atas, dan sebelum bagian ke-

palanya menyentuh langit-langit gua. Maka tubuh laki-

laki wajah coreng moreng itu telah kembali melesat ke 

bawah sambil lakukan dua babatan menyilang dalam 

waktu berbarengan:

"Hiaaat...!"

"Jrooos! Jreees...!"

Luka akibat sabetan senjata Andika nampak 

begitu memanjang, tapi sama seperti yang terjadi atas 

korban yang pertama tadi. Kali ini pun bekas luka itu 

tiada berdarah sama sekali. Mungkin inilah kharisma 

yang dimiliki Pedang Asmara di tangan Andika. Dan 

anehnya setelah pedang itu menghirup darah korban-

korbannya, maka senjata yang memancarkan prabawa 

aneh itupun tidak lagi mengeluarkan bunyi menden-

gung-dengung seperti pertama tadi. Dengan gerakan 

yang sangat cepat Andika memasukkan senjata itu ke 

dalam sarungnya. Selanjutnya terdengarlah suara ta-

wanya yang begitu dingin, lalu menjauh dan menuju 

ke arah ruangan lain.

Sesampainya di ruangan lain, suara bergemu-

ruh menyambut kehadirannya. Mereka itu merupakan 

anak buah dan pembantunya sendiri. Orang-orang itu 

sama seperti dirinya juga mengenakan jubah berwarna 

hitam.

"Terima kasih atas bakti yang telah kalian la-

kukan selama ini! Tetapi aku tak pernah puas sebelum 

semua kalangan persilatan bertekuk lutut di bawah 

kakiku...!" kata pemuda itu, setelah agak lama mem-

perhatikan anggotanya yang berjumlah lebih dari dua-

puluh orang.

"Ketua! Beberapa murid maupun guru di ka


langan persilatan telah kita culik. Bahkan hampir se-

mua orang-orang itu telah kita bunuh pula...! Sebe-

narnya yang manakah di antara sekian banyak kaum 

persilatan yang menjadi musuh besar ketua...?" tanya 

perempuan berwajah cantik, tubuh ramping yang ber-

nama Peri Lingga. Andika tidak buru-buru menjawab, 

sebaliknya sepasang matanya terbuka lebar-lebar. Ada 

rasa tidak senang yang terpancar lewat tatapan mata 

itu.

"Kau benar! Peri Lingga... memang telah begitu 

banyak kaum persilatan berbagai golongan yang telah 

tewas di tanganku. Tapi aku tak pernah merasa puas 

atas kematian mereka...?"

"Justru mengapa ketua membunuh mereka be-

gitu saja tanpa ada keinginan untuk merasakan ke-

hangatan tubuh mereka...!"

"Heeh... kau tau apa! Sisa-sisa hidupku tak 

pernah membutuhkan kehangatan apa-apa. Satu yang 

ingin kulakukan bahwa setiap wanita yang berada di 

kolong langit ini harus patuh di bawah perintahku...!" 

Pemuda bertubuh tegap itu pun mendengus.

"Sebuah ide yang bagus ketua! Tapi cuma sebe-

gitukah cita-citamu...?" tanya Peri Lingga lebih jauh la-

gi.

"Hoo... tentu tidak...! Dalam waktu tidak begitu 

lama lagi aku ingin menunjukkan bakti pada orang tu-

aku yang telah tiada... ha... ha... ha...! Keparat sauda-

gar Legawa! Selain begitu tega menghinakan diriku, ki-

ranya dia juga telah membunuh kedua orang tuaku...! 

Mereka adalah orang-orang yang telah masuk dalam 

daftar kematian. Begitu pun halnya dengan Lesmana 

dan Tamenggung Jayeng Rono yang telah menghan-

curkan semua harapanku... ya mereka memang pantas 

mati... harus...!" geram pemuda itu dengan geraham 

berkerokotan.


"Kami selalu mendukung segala rencanamu, 

ketua yang kami hormati...!" teriak pengikut-pengikut 

Andika secara serentak.

"Bagus...! Namun sebelum rencana besar itu ki-

ta mulai, alangkah baiknya kekuatan lain yang tiada 

seberapa itu kita hancurkan...!"

"Kami pun mendukung gagasan baru yang ke-

tua rencanakan itu...!" ujar Peri Lingga merasa setuju.

"Hhh. Kurasa untuk saat ini, hanya itulah dulu 

yang perlu kusampaikan pada kalian. Dan jangan lu-

pa, mulai dari sekarang hancurkan kaum persilatan 

golongan manapun. Seret setiap perempuan yang ka-

lian jumpai, hingga berhadapan dengan aku...!" kata 

pemuda itu begitu tandas.

"Kami akan melakukannya, ketua...!" sahut me-

reka hampir bersamaan.

"Heiii... jangan semuanya yang berangkat! Ting-

galkan beberapa orang untuk tetap menemaniku di si-

ni...!"

"Aku hanya membutuhkan enam orang yang 

memiliki kepandaian tinggi...!" ujar Peri Lingga, sambil 

menunjuk pada orang-orang yang dimaksudkan.

"Kalau begitu, cepatlah kalian pergi... kukira 

saatnya sekarang ini kita mulai melakukan kejutan-

kejutan itu...!" katanya dengan suara semakin bertam-

bah dingin menggidikkan.

Tak lama setelahnya, rombongan itu pun be-

rangkat meninggalkan gua merah yang merupakan 

markasnya orang-orang patah hati. Sesungging se-

nyum sinis menyertai kepergian orang-orangnya. En-

tah apa makna dari senyum itu, hanya Andika sendiri-

lah yang mengetahuinya.

***


TIGA


Tiga kawan-kawan persilatan berhasil dihu-

bungi oleh Lesmana dalam upayanya untuk menghan-

curkan saudagar Legawa bekas mertuanya sendiri. 

Adapun orang-orang yang berhasil dihubungi oleh 

Lesmana antara lain, Baja Kuning yaitu kelompok 

Begal dan bajak sungai dari daerah sungai Bilah Hulu. 

Kemudian Roda Paksi, yaitu sekelompok pemburu wa-

nita yang dikenal karena kejahatannya dalam mencu-

lik dan memperkosa anak istri orang. Sedangkan satu 

kelompok lagi adalah merupakan kelompok Maling 

Durjana. Tak jauh bedanya dengan maling-maling 

lainnya, maka pekerjaan mereka pun mencuri segala 

bentuk harta benda.

Dapat dibayangkan orang yang bagaimana pu-

tranya Tumenggung Jayeng Rono ini. Kawan-

kawannya di dunia persilatan saja kebanyakan terdiri 

dari golongan hitam. Yang pasti berbagai kelicikanlah 

yang selalu bercokol di dalam hati Lesmana. Demikian-

lah siang itu, orang-orang yang telah berhasil dihu-

bungi oleh Lesmana nampak sedang berkumpul di ha-

laman rumah Kincir Mabur, yaitu salah seorang tokoh 

sesat yang sangat sakti dan merupakan sahabat baik 

Lesmana sejak puluhan tahun. Sebagaimana pembica-

raan terdahulu, yang telah sama-sama mereka sepaka-

ti. Kincir Angin mengatakan kesanggupannya untuk 

membantu Lesmana dalam menyelesaikan masalahnya 

dengan saudagar Legawa.

Demikianlah ketika mereka telah berkumpul di 

halaman rumah Kincir Angin yang begitu luas, maka 

pembicaraan seriuspun berlangsung: "Kami sengaja 

mengumpulkan saudara-saudara sekalian di rumah 

kediaman Paman Kincir Angin, tak lain karena saya


membutuhkan uluran tenaga saudara-saudara seka-

lian untuk menghadapi saudagar Legawa yang telah 

membuat malu bahkan berani menentang kewibawaan 

Katemenggungan...!"

"Eee... iiyee... mulutku yang tua bangka ini... 

saudagar Legawa merupakan seorang saudagar yang 

tiada memiliki kepandaian apa-apa..! Jadi bagaimana 

mungkin orang-orang Katemenggungan dapat dikalah-

kan oleh orang itu...?!" tanya si Kincir Angin dengan 

suaranya yang agak sengau.

"Mestinya orang-orang kepercayaan ayahanda 

tidak mungkin dapat dikalahkan oleh saudagar Legawa 

dan pembantunya, Paman Kincir Angin...! Namun ka-

rena ada seorang pemuda tak dikenal dengan penam-

pilannya yang aneh telah turut membantu saudagar 

Legawa. Maka mau tak mau orang-orang kepercayaan 

ayahanda menjadi kucar kacir...!" jawab Lesmana ber-

bohong, karena yang sesungguhnya hampir seluruh 

orang-orang kepercayaan ayahandanya tewas, ketika 

sedang berusaha melakukan penyitaan di rumah sau-

dagar Legawa beberapa hari yang lalu.

"Tuan Lesmana!" Kali ini yang membuka suara 

adalah ketua dari Kepala Bajak Sungai Bilah Hulu 

yang bernama Baja Kuning. "Maksud tuan menghu-

bungi kami, telah dapat kami mengerti maknanya. 

Namun setiap kerja sama pasti akan ada balas jasa se-

bagai imbalannya. Maaf... kami tanyakan hal ini den-

gan arti bukan kami tak mempercayai Tuan Lesmana! 

Tapi kami kira itu perlu demi menghindari terjadinya 

sesuatu yang tidak diingini terjadi di kemudian hari...!"

Wajah Lesmana maupun, Kincir Angin, Roda 

Paksi maupun Maling Durjana nampak memerah seke-

tika begitu mendengar kata-kata yang baru saja di-

ucapkan oleh Baja Kuning. Walau bagaimana pun me-

reka sesama golongan sendiri pertanyaan yang baru


saja diucapkan oleh Baja Kuning sebagai kata-kata 

yang dianggap sangat keterlaluan sekali.

"Saudara Baja Kuning! Mengumbar kata-kata 

seperti itu, adalah sesuatu yang tak pantas diucapkan 

oleh seorang sahabat sesama kaum kepada sahabat-

nya yang sedang ditimpa kesusahan...!" tukas Roda 

Paksi nampak sangat marah. Dan memang pada ke-

nyataannya, kelompok Bajak Sungai ini memang ter-

masuk kalangan persilatan segolongan yang banyak 

menentang segala tindak tanduk kawan yang lainnya.

"Ah... Saudara Roda Paksi terlalu polos dan ju-

jur. Masakan anda tidak tahu, bahwa apa yang akan 

diperjuangkan ini menyangkut sejumlah harta yang 

tak pernah habis walau dimakan tujuh turunan...!" tu-

kas Baja Kuning dengan sesungging senyum licik.

"Memang tidak salah! Tapi apa yang diperjua-

ngkan adalah menyangkut nama baik keluarga Kate-

menggungan. Kalaupun harta itu ada, semuanya juga 

tidak dapat diganggu gugat. Karena merupakan barang 

sitaan...!" kilah Lesmana semakin merasa tak enak sa-

ja hatinya.

"Hemm. Sungguhpun terhadap sahabat sendiri, 

kami tak ingin membantu tanpa pamrih apa-apa, ter-

kecuali kami menolong orang-orang yang hendak ma-

suk ke liang kubur!" kata Baja Kuning tanpa memper-

hitungkan akibatnya.

"Keparat! Kau benar-benar telah menghinaku 

kaummu sendiri, Baja Kuning...!" teriak Kincir Angin. 

Sambil berkata begitu laki-laki berumur lima puluh li-

ma tahun ini dorongkan telapak tangannya ke depan. 

Begitu tangan itu berkiblat, maka serangkum gelom-

bang angin pukulan yang begitu dingin menusuk tu-

lang sungsum Baja Kuning dan sepuluh orang anggo-

tanya. Laki-laki yang memiliki tampang mirip Tikus 

Warok itu keluarkan seruan tertahan. Namun dia pun


tidak tinggal diam. Dengan satu gerakan yang manis 

tubuhnya melenting ke udara. Masih dalam keadaan 

seperti itu Baja Kuning berucap:

"Tak pernah kusangka, kalau akhirnya memilih 

jalan kekerasan hanya untuk membela orang yang se-

lama ini telah menyuapi kalian dengan janji yang mu-

luk-muluk."

"Baja Kuning! Sedari dulu kau dan kaummu 

memang merupakan orang-orang yang paling suka

membangkang pada kawan sendiri. Maka tidak salah 

andai hari ini kami berusaha memberi sedikit gamba-

ran atas kecerobohanmu itu,..!" sentak Maling Durja-

na. Dan nampaknya orang itu pun tidak tinggal diam. 

Dengan cepat Maling Durjana hantamkan tinjunya 

mengarah pada bagian dada Baja Kuning. Sambaran 

angin yang sangat kencang menyertai datangnya pu-

kulan yang dilakukan oleh Maling Durjana.

Seperti diketahui, selama ini Maling Durjana 

sangat disegani oleh lawan-lawannya justru karena 

pukulan Tinju Guntur yang mampu membuat remuk 

dada setiap lawannya. Baja Kuning nampaknya mak-

lum akan kelebihan yang dimiliki oleh lawannya. Itu 

sebabnya begitu mengelak dia langsung cabut senja-

tanya dan memapaki datangnya pukulan menggeledek 

yang dilancarkan oleh Maling Durjana.

"Weees! Cleeeng...!" terdengar satu benturan 

yang sangat keras begitu, pedang di tangan Baja Kun-

ing yang juga memiliki warna kuning saling berbentu-

ran dengan pukulan lawannya. Baja Kuning menjadi 

tercengang justru pedang di tangannya dia rasakan tak 

ubahnya bagai membentur batu gunung. Secara ke-

nyataan Maling Durjana kiranya sangat kebal terhadap 

berbagai senjata tajam.

"Minggir saudara-saudara semua! Sekali sekali, 

begal dari sungai Bilah Hulu ini memang perlu diberi


pelajaran...!" teriak Maling Durjana memberi peringa-

tan pada orang-orang yang hadir di situ.

"Sekali waktu, seorang maling pengecut me-

mang perlu berhadapan dengan seorang bajak sungai 

sepertiku...!" guman Baja Kuning dengan sesungging 

seringai sinis.

"Jangan banyak bacot! Majulah...!" tantang 

Maling Durjana sambil bersiap-siap membangun se-

buah serangan.

"Hiaaat...!"

Sekali saja tubuh Baja Kuning menerjang ke 

depan. Maka pedang ditangannya pun berbicara. Mal-

ing Durjana tergelak-gelak begitu melihat berkelebat-

nya senjata di tangan Baja Kuning yang nyaris mem-

babat buntung bagian kakinya. Dengan gerakan yang 

manis Maling Durjana membuang tubuhnya ke samp-

ing kiri. Serangan lawan luput, sebagai gantinya Mal-

ing Durjana kirimkan satu tendangan dengan disertai 

satu jotosan mengarah bagian pelipis lawannya.

"Sial...!" maki Baja Kuning begitu berhasil 

menghindari tendangan yang dilakukan oleh Maling 

Durjana, sebaliknya satu jotosan keras yang datang 

menyusul tendangan itu tak dapat di hindari oleh laki-

laki muka tikus warok dari Sungai Bilah Hulu ini.

"Dess...!"

"Gusraak...!"

Tubuh Baja Kuning terpelanting tiga tombak, 

bagian wajahnya yang kena dijotos oleh Maling Durja-

na, memar bengkak dan membiru. Namun orang ini 

nampaknya sudah tiada menghiraukan rasa sakit yang 

mendera tubuhnya. Secepat kilat dia bangkit kembali, 

dan langsung kirimkan satu pukulan 'Si Raja Air Me-

nerjang Pusara.' Begitu cepat sekali pukulan yang dile-

pas oleh Baja Kuning. Sehingga dalam waktu hanya 

sekedipan mata, serangkum gelombang sinar yang


menimbulkan hawa panas luar biasa telah mengancam 

diri si Maling Durjana. Namun seperti meremehkan 

pukulan yang dilakukan oleh pihak lawannya untuk 

kali ini pun Maling Durjana keluarkan suara tawa ter-

gelak-gelak. Hal ini membuat orang-orang yang me-

nyaksikan pertandingan itu menjadi kebat kebit ha-

tinya. Di luar dugaan, Maling Durjana julurkan tan-

gannya ke depan. Selanjutnya melakukan satu gera-

kan memukul.

"Weeer...!"

"Deeerr...!"

Maling Durjana nampak terhuyung-huyung tiga 

tindak. Sebaliknya tubuh Baja Kuning kembali terpe-

lanting tujuh tombak. Begitu tubuh gembong bajak 

sungai itu membentur batu, maka tak ayal lagi, dari 

mulut, lubang hidung serta dari bagian telinganya 

mengalir darah kental.

"Baja Kuning! Kuperingatkan bagimu untuk 

menyudahi pertengkaran yang tiada arti ini. Jika tidak 

aku takkan pernah mau mengampuni jiwamu lagi...!" 

bentak Maling Durjana ketika menyadari pihak lawan 

yang sebenarnya masih kawan sendiri ini tak mungkin 

mampu menahan pukulan berikutnya. Namun Baja 

Kuning sungguhpun telah menderita luka dalam yang 

cukup parah tidak pernah mengindahkan peringatan 

Maling Durjana. Dengan tubuh terhuyung-huyung. Ba-

ja Kuning memberi isyarat pada kawan-kawannya.

"Berhenti! Jangan kalian turuti keinginan ketua 

kalian. Berhenti kataku...!" bentak Kincir Angin dengan 

suaranya yang tak begitu jelas. Antara memenuhi ke-

wajiban dan mematuhi perintah tokoh kosen yang ber-

nama Kincir Angin itu. Membuat belasan orang anak 

buah Baja Kuning menjadi ragu-ragu. Dalam keadaan 

seperti itu. Baja Kuning kembali keluarkan suara ben-

takan menggelegar:


"Orang-orang tolol! Jangan hiraukan perintah 

mereka. Lebih baik kita mengadu jiwa dengan seorang 

maling yang telah melakukan penghinaan terhadap 

kaum bajak sungai...!" teriak pemimpinnya. Benar saja 

seperti dugaan Kincir Angin dan Roda Paksi, orang-

orang dari Sungai Bilah Hulu ini kemudian menuruti 

segala perintah atasannya. Namun nampaknya Kincir 

Angin dan Roda Paksi tidak tinggal diam begitu saja. 

Dengan masih tetap berdiri tegak di tempatnya, secara 

bersamaan kedua orang itu kirimkan pukulan menga-

rah pada anak buah Baja Kuning yang sedang berusa-

ha membantu ketuanya. "Wuuut...!"

Karena pukulan yang dilepas oleh dua tokoh 

sesat itu hanya dengan tujuan untuk menghalau 

orang-orang Baja Kuning, tanpa maksud melukai. Ma-

ka akibatnya cuma membuat belasan orang begal sun-

gai terpelanting roboh tanpa mengalami luka dalam 

yang cukup serius. Dengan kerengkangan mereka be-

rusaha bangkit kembali, namun satu bentakan keras 

kembali terdengar: "Kalian harus berhenti menyerang! 

Andai tidak, nyawa kalian tidak pernah kami ampu-

ni...!" Yang berkata sekali ini adalah Kincir Angin, yaitu 

orang yang memiliki pengaruh tinggi di antara mereka. 

Mau tak mau orang-orang bajak sungai itu menghenti-

kan serangannya.

Namun lain halnya lagi dengan Baja Kuning 

yang sudah dilanda kemarahan besar. Dengan mem-

pergunakan jurus Sekawanan Bajak membunuh Anai 

Anai, pedang di tangan laki-laki muka tikus itu berpu-

tar cepat membentuk perisai diri. Detik-detik selanjut-

nya senjata itu menerjang Maling Durjana dengan tu-

juan mengincar bagian punggungnya. Lagi-lagi secara 

nekad Maling Durjana yang kebal terhadap senjata je-

nis apapun ini, hantamkan tinjunya secara beruntun.

"Traak...!"


"Ihhk...!"

Karena saat menghantamkan pukulan itu dis-

ertai dengan tenaga dalam yang cukup tinggi, begitu 

juga halnya yang dilakukan oleh lawannya. Maka saat 

pukulan tangan dengan pedang itu saling bertemu, 

maka tubuh mereka sama-sama tergetar hebat. Bah-

kan Maling Durjana sendiri merasakan tangannya 

sampai terasa sakit dan berdenyut-denyut nyeri. Akan 

tetapi di luar dugaan, Maling Durjana kirim satu ten-

dangan satu pukulan susulan yang memiliki kecepatan 

luar biasa. Baja Kuning yang masih dalam keadaan 

terhuyung-huyung itu kiranya masih belum siap den-

gan posisinya.

"Weees...!"

"Deees...!"

Tanpa dapat dicegah lagi, akibat pukulan yang 

dilakukan lawannya membuat tubuh Baja Kuning ter-

lempar begitu jauh. Sangat telak sekali pukulan yang 

dilakukan oleh Maling Durjana, sehingga membuat Ba-

ja Kuning tak mampu bergerak-gerak lagi untuk sela-

ma-lamanya. Mengetahui ketuanya tewas di tangan si 

Maling Durjana. Pucatlah wajah belasan anak buah 

Baja Kuning.

"Hemm...! Hanya kalian yang masih hidup, 

apakah kalian ingin panjang umur atau mau mampus 

sekarang menyusul ketua kalian?" sentak Kincir Angin 

bukanlah hanya gertakan kosong.

"Kami ingin panjang umur, Tuan...! Jangan bu-

nuh kami... kami bersedia melakukan semua perintah 

yang akan tuan-tuan berikan kepada kami. Asal saja 

kami diberi hidup untuk melihat hari esok...!" ujar sa-

lah seorang di antara mereka terbata-bata.

"Baik. Kalau kalian memang ingin tetap hidup, 

mulai dari sekarang harus mengikuti semua perintah 

yang kami berikan pada kalian... dan jangan sekali-kali


meninggalkan kami terkecuali ada ijin dari kami...!"

"Kami semua akan patuh kepada tuan...!" janji 

orang-orang sungai itu dengan kepala mengangguk-

angguk. Roda Paksi untuk selanjutnya memandang 

pada kawan-kawannya yang berada di tempat itu.

"Kakang Kincir Angin, Adi Maling Durjana dan 

Adi Lesmana...!" Semua-semuanya telah terjadi dengan 

keadaan yang begini menyedihkan! Kakang Baja Kun-

ing telah tewas, di tangan Adi Maling Durjana...! Hal 

itu kukira tak perlu di sesalkan. Apa yang sekarang ini 

mengganggu pikiranku adalah, apakah kita masih me-

nunggu waktu terbaik untuk menyerang saudagar Le-

gawa itu...?" tanyanya, lalu melirik pada Lesmana yang 

sedari tadi hanya diam saja.

"Ttt... tidak begitu Kakang Roda Paksi! Menu-

rutku karena tak ada lagi persoalan di antara kita, 

maka ada baiknya kalau kita berangkat sekarang ju-

ga...!" jawab Lesmana.

"Usul yang baik! Akupun merasa setuju kalau 

kita berangkat sekarang juga...!" kata Kincir Angin. 

Nampaknya masing-masing mereka yang berada di 

tempat itu saling menyetujui apa yang baru saja dika-

takan oleh Lesmana. Itu makanya tak begitu lama ke-

mudian berangkatlah rombongan itu, untuk bergabung 

dengan orang-orang Katemenggungan yang sudah ten-

tu telah pula bersiap-siap untuk melakukan penyeran-

gan ke rumah kediaman Saudagar Legawa.

***

EMPAT



Matahari mengintip di upuk Timur, embun 

yang menempel di ujung-ujung dedaunan luruh satu

satu. Dan burung-burung masih tetap bermalas-

malasan di dalam sangkarnya. Udara memang terasa 

begitu sejuk, karena daerah sekitarnya merupakan da-

taran tinggi yang sangat langka oleh musim kemarau. 

Karena daerahnya yang subur. Maka tak begitu heran 

jika di daerah itu tumbuh bermacam-macam kayu hi-

tam dan tumbuh-tumbuhan lainnya. Dalam suasana 

pagi seperti itu biasanya daerah Cagak Langit ini sunyi 

sepi. Tak seorang pun kelihatan sedang melakukan ke-

sibukan di sana.

Namun tidak demikian halnya yang terjadi di 

pagi itu, dari kejauhan nampak berkelebat sesosok 

bayangan tubuh menuju ke arah Utara. Orang yang 

sedang melakukan1 perjalanan itu nampaknya dalam 

keadaan tergesa-gesa. Terbukti, hampir sepanjang ja-

lan yang di tempuhnya. Secara terus-menerus dia 

mengerahkan ilmu lari cepatnya. Kalau dilihat secara 

seksama, maka semakin jelaslah bahwa orang yang 

sedang melakukan perjalanan itu ternyata seorang 

wanita, dengan rambut disanggul, badan kurus kering. 

Sedangkan di bagian punggungnya menggelantung dua 

bilah pedang yang tidak seberapa panjang dan besar-

nya. Karena badannya sedemikian kurus, maka dalam 

keadaan berlari seperti itu tubuhnya nampak seperti 

melambai-lambai ditiup angin. Namun perempuan tua 

berusia sekitar lima puluh lima tahun ini sudah tiada 

menghiraukan hal itu. Dia terus berlari-lari, semakin 

lama tubuhnya semakin menjauh melewati hutan-

hutan di sekitarnya.

Di luar sepengetahuan si nenek, kiranya dalam 

jarak yang tak begitu jauh. Nampak berkelebat pula 

bayangan merah mengikuti kemana saja si nenek ber-

lari. Semakin lama jarak di antara mereka nampaknya 

sudah semakin bertambah dekat. Sampai pada satu 

kesempatan yang tiada dapat diduga-duga, sambil ber

lari-lari. nenek bertubuh kerempeng itu menggempos 

badannya.

"Weeess...!"

Mendadak saja tubuh perempuan itu lenyap 

bagai ditelan bumi. Orang yang menguntit di bela-

kangnya merasa kehilangan jejak. Kemudian celingu-

kan memandang ke arah sekelilingnya. Tapi pemuda 

berkuncir itu tak melihat siapapun bersembunyi di 

tempat itu. Sambil garuk-garuk kepalanya, pemuda ini 

pun kemudian berucap seperti untuk dirinya sendiri:

"Wei... perempuan itu lenyap begitu saja. Pa-

dahal aku belum melihat tampangnya. Entah nenek-

nenek atau masih perawan... Sayang semestinya aku 

tanyakan hal itu ketika masih berlari tadi. Jangan-

jangan orang itu sebangsanya kuntilanak kesian-

gan...!" gumam si pemuda masih tetap memperhatikan 

suasana di sekelilingnya.

"Tapi kuntilanak biasanya rambutnya panjang, 

sedangkan orang itu disanggul. Pula di bagian pung-

gungnya menyandang dua bilah pedang...!"

"Bocah! Sejak tadi kau mengikuti terus, apa 

yang kau inginkan!"

"Ee... aku hanya ingin melihat-lihat pemandan-

gan di sini...!" sahut si pemuda yang tak lain Buang 

Sengketa adanya.

"Hanya ingin melihat-lihat, tapi mengikuti aku 

terus ke mana pun aku melangkah...?"

"Mungkin kita hanya kebetulan belaka...!" ja-

wab si pemuda, lalu tersenyum-senyum.

"Kurang ajar... kau bilang hanya kebetulan...? 

Kau kira aku tak tau sejak tadi kau terus mengekor di 

belakangku...?"

"Maaf orang tua! Sungguh aku tak punya niat 

apa-apa, walau aku mengikutimu sejak tadi...!" ujar 

Pendekar Hina Kelana, lalu mengangguk hormat.


Perempuan tua itu hentakkan kakinya bebera-

pa kali. Di luar dugaan tanah di sekitar tempat itu te-

rasa bergetar bagai dilalui lintasan gempa. Tingkah si 

nenek yang semula dianggap hanya iseng saja oleh si 

pemuda sudah tentu berbalik dengan rasa kagumnya 

terhadap tenaga dalam yang dimiliki oleh perempuan 

ini. Dan akhirnya dia mengetahui bahwa nenek yang 

sedang berdiri di hadapannya itu tak dapat dianggap 

sembarangan, maka dengan gugup pemuda ini kembali 

menjura hormat beberapa kali. Kemudian lanjutnya: 

"Siapakah engkau ini orang tua? Maafkan aku karena 

aku yang bodoh ini telah begitu berani mempermain-

kanmu...!" Yang diajak bicara nampak diam saja, seba-

liknya matanya yang cekung menjorok ke dalam rong-

ga itu memandang sinis pada Buang Sengketa dari 

ujung rambut hingga ke ujung kaki.

"Melihat tampangmu, rasanya aku baru kali 

bertemu dengan seorang gembel berperiuk sepertimu! 

Kalau kulihat lagi dengan mata hatiku, sungguhpun 

gembel namun kau bukan pemuda sembarangan. Aku 

si Bidadari Pedang Maut yang telah kehilangan bebe-

rapa orang murid kesayangan jadi ingin tahu. Apakah 

kau cukup pantas melakukan sebuah penculikan 

ataukah lebih pantas lagi untuk bersedia membantuku 

dalam mencari murid-muridku yang hilang...!" kata si 

nenek berpedang kembar yang ternyata ketua Pergu-

ruan Kerudung Biru yang berjuluk Bidadari Pedang 

Maut. Buang Sengketa yang masih baru satu purnama 

berada di daerah yang masih merupakan kekuasaan 

Tumenggung Jayeng Rono, sudah barang tentu tidak 

mengenal siapa adanya 'Bidadari Pedang Maut' ini. Apa 

yang dia ketahui dari setiap gelagat yang tak baik ada-

lah, mempertahankan diri dari segala kemungkinan 

yang dapat mencelakakan dirinya sendiri.

"Orang tua, kurasa aku tak memiliki kesalahan


apa-apa denganmu, tapi mengapa secara tiba-tiba kau 

malah bermaksud menyerangku...?" Nampaknya sia-

sia saja kata-kata bernada memberi peringatan yang 

diucapkan oleh Buang Sengketa. Si nenek bagai orang 

tuli sudah membuka jurus-jurus silatnya.

"Ah... orang tua ini agaknya jenis manusia sint-

ing! Susah diajak kompromi, dan bukan tak mungkin 

dia memiliki maksud untuk membunuhku...!" batin 

Buang Sengketa. Masih dalam keadaan terlolong-

lolong.

"Bocah geblek! Kau jangan merasa mampu 

mengatasi jurus-jurus silatku. Bersiap-siaplah! 

Hiaaaat...!"

"Wuuus...!"

Begitu melakukan gebrakan pertama, Bidadari 

Pedang Maut telah pula menurunkan pukulan tangan 

kosong yang bernama, 'Bidadari Cakar Seribu'. Buang 

Sengketa merasakan adanya sambaran angin pukulan 

mengancam bahu sebelah kiri. Namun hatinya yang 

dalam keadaan ragu-ragu itu, kiranya juga tidak men-

dukung posisi kuda-kuda si pemuda. Akibatnya sam-

baran angin yang sangat keras membuat tubuh si pe-

muda terdorong ke belakang dan terjengkang. Bidadari 

Pedang Maut dari Perguruan Kerudung Biru ini nam-

paknya merasa belum puas sampai di situ saja. Dia te-

rus memburu, dan hantamkan pukulan-pukulan 

mautnya secara gencar. Melihat gelagat yang ada, 

Buang Sengketa menyadari bahwa nenek ceking ini 

memang bermaksud untuk mengakhiri hidupnya. Sia-

papun adanya nenek berkepandaian tinggi ini, yang je-

las Buang Sengketa tak mungkin mau menerima begi-

tu saja. Selanjutnya dengan mempergunakan jurus 

'Membendung Gelombang Menimba Samudra', Buang 

Sengketa nampak mulai membuat satu pertahanan 

yang sangat kokoh dengan jalan memutar kedua tan


gannya sedemikian cepat. Sedangkan bagian kaki ka-

nan melakukan sapuan yang telak pada bagian perta-

hanan tubuh lawan bagian bawah.

Bidadari Pedang Maut kembali lakukan satu 

sodokan keras, kaki si pemuda datang menyambut.

"Deees...!"

"Gubraaak...!"

Kali ini tubuh kurus Bidadari Pedang Maut ter-

lempar dua tombak. Celakanya bagian kepala perem-

puan itu ini menghantam sebatang pohon, dan pohon 

sebesar dua pelukan orang dewasa itu pun tergetar, 

tapi bukan itu yang membuat Bidadari Pedang Maut 

menjadi uring-uringan, tetapi karena akibat benturan 

dengan pohon tadi dia mendapat benjol di kepalanya 

sebesar telur angsa. Bahkan selain itu, kepalanya juga 

jadi berkunang-kunang.

"Sudahlah orang tua! Di antara kita tak ada 

permusuhan, untuk apa kita bertengkar?" kata Buang 

Sengketa mengingatkan. Tapi sebaliknya Bidadari Pe-

dang Maut menjadi gusar dan marah atas teguran 

Buang Sengketa. Kemudian dengan rahang gemerta-

kan menahan amarah, nenek berbadan ceking ini 

mencabut pedang kembarnya, "Sriiing... Sriiing...!"

Pedang di tangan Bidadari Pedang Maut nam-

pak berkilat keemasan ditimpa cahaya matahari yang 

baru saja menampakkan diri di upuk Timur.

"Kau harus merasai dulu kehebatan jurus pe-

dang yang kumiliki...!"

"Aku tak memiliki kepandaian apa-apa, orang 

tua. Aku bisa celaka di tanganmu...!"

"Kalau kau tak memiliki kepandaian apa-apa...! 

Mungkin kau luput dari daftar orang-orang yang kucu-

rigai, namun tak pernah lepas dari maut...!" teriak Bi-

dadari Pedang Maut.

Belum sempat si pemuda mengucapkan kata


kata protes, senjata kembar di tangan ketua Perguruan 

Kerudung Biru itupun telah berkelebat menyambar 

bagian-bagian tubuh si pemuda dengan gencarnya. 

Mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk, pendekar 

keturunan raja Ular Piton Utara ini mencoba menghin-

dari setiap babatan maupun tusukan pedang yang da-

tangnya secara sambung menyambung dan tiada kun-

jung henti.

Tubuh Buang Sengketa terkadang nampak me-

liuk-liuk, di lain saat terhuyung-huyung dan bagai 

orang yang akan terjerembat. Tetapi di saat lain, den-

gan gerakan yang tiada terduga-duga pemuda ini me-

nerjang lawannya dengan kecepatan yang sangat sulit 

untuk diikuti kasat mata.

"Hiaat...!"

"Weuuus...!"

"Kurang ajar! Nyeploss lagi...!" teriak si nenek 

begitu mengetahui serangannya berhasil dihindari oleh 

pihak lawannya.

"Nih jurus Bidadari Menimba Sumur...!" gumam 

Bidadari Pedang Maut. Lalu sekali saja tubuhnya me-

lompat ke udara dengan satu gerakan yang sangat 

manis, maka ketika tubuh kurus itu kembali melayang 

turun. Dengan gerakan secepat Burung Walet me-

nyambar ikan. Bidadari Pedang Mautpun hantamkan 

pedangnya mengarah pada bagian kepala si pemuda. 

Buang merasakan adanya satu sambaran angin yang 

sangat keras dari bagian atas kepalanya. Tanpa mera-

sa sungkan-sungkan lagi pemuda ini hantamkan tan-

gannya ke arah atas. Serangkum gelombang Ultra Vio-

let melesat sedemikian pesatnya ke arah si nenek cek-

ing yang hampir saja membacok bagian kepala lawan-

nya. Namun akhirnya dia harus mengurungkan niat-

nya, lalu membuang tubuhnya ke samping kiri saat dia 

sendiri merasakan adanya sambaran hawa yang begitu


panas ke arah bagian dadanya.

"Weiii...!"

"Zeeet... serr...!"

Pukulan yang dilepas oleh Buang Sengketa le-

nyap begitu saja ditelan udara. Sebaliknya, begitu 

menjatuhkan diri Bidadari Pedang Maut terus bergul-

ing-guling sambil babatkan pedang kembarnya ke arah 

bagian kaki.

"Wuuuk...!"

"Jreep...!"

Pedang yang menghantam kaki Buang Sengketa 

melekat sedemikian erat, nenek ceking yang merupa-

kan ketua Perguruan Kerudung Biru menjadi terkejut 

bukan alang kepalang. Namun kiranya diapun menjadi 

penasaran juga. Tanpa menunggu lebih lama perem-

puan ini hantamkan pedang yang satunya lagi.

"Creep...!"

Tak jauh bedanya dengan apa yang telah terjadi 

pada pedang pertama tadi. Kali inipun senjata di tan-

gan si nenek melekat sedemikian eratnya di bagian ka-

ki si pemuda. Bidadari Pedang Maut nampaknya juga 

tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dengan mem-

pergunakan sebagian tenaga dalamnya dia berusaha 

menarik senjatanya yang semakin menempel erat di 

kaki Buang Sengketa.

Namun sehebat apapun Bidadari Pedang Maut 

mengeluarkan tenaga untuk membetot senjatanya. Ta-

pi tetap saja tidak mendatangkan hasil yang sebagai-

mana dia harapkan. Bahkan serang ketua Perguruan 

Kerudung Biru itu mulai merasakan kehilangan tenaga 

yang begitu besar. Pada kenyataannya saat itu Buang 

Sengketa memang telah mempergunakan jurus Koreng 

Seribu, peninggalan terakhir almarhum Gurunya, Si 

Bangkotan Koreng Seribu.

"Heh...! Ilmu iblis... mengapa sekarang ini aku


menjadi sedemikian bodoh. Aku merasakan sejak tadi 

tenagaku tersedot keluar. Ini berarti sifat ilmu yang 

dimiliki oleh pemuda aneh ini menarik sebanyak 

mungkin tenaga dalam yang dimiliki oleh lawannya. Itu 

sama saja artinya dengan membuang tenaga dalam 

percuma. Seharusnya aku menarik balik tenagaku...!" 

batin ketua Perguruan Kerudung Biru ini. Kemudian:

"Chaaat...!"

Dengan tiada mengerahkan kekuatannya, si 

nenek ceking menyentakkan senjatanya. Pedang terle-

pas, tubuh Bidadari Pedang Maut terguling-guling 

dengan wajah pucat seputih kain kapan. Namun pe-

rempuan ini segera pula bangkit, lalu memandang ta-

jam pada Buang Sengketa yang tetap tegak di tempat-

nya sambil cengengesan.

"Bocah berperiuk! Siapakah engkau ini...?" 

tanya ketua Perguruan Kerudung Biru tanpa merasa 

malu.

"Untuk apa kau tanyakan namaku, nenek pi-

kun...!" tukas si pemuda bersungut-sungut.

"Ah... kau masih marah dengan segala tinda-

kanku tadi...?"

"Mungkin saja tidak! Tapi karena engkau ham-

pir saja membelah kepalaku, sudah selayaknya kalau 

aku marah...!" Sambutnya ketus.

"Hemm...! Maafkanlah aku...! Karena aku telah 

berperasangka buruk padamu. Penampilanmu yang ti-

dak meyakinkan itu membuat aku mencurigaimu...!"

"Aku tak mengerti mengapa justru kau malah 

mencurigaiku...! Padahal aku tak pernah membuat ke-

salahan di daerah ini...!"

"Omong kosong...! Pekerjaanmu membantu 

saudagar Legawa saja sudah merupakan satu kesala-

han bagimu. Masihkah kau mau mungkir...?"

"He... orang ini mengetahui, aku membantu


saudagar Legawa! Padahal sebelumnya aku tak pernah 

bertemu dengannya...!" batin Buang Sengketa.

"Kau tak perlu berpura-pura! Aku telah meli-

hatnya...!"

"Tapi aku hanya ingin menjernihkan suasana 

yang keruh dalam keluarga kedua belah pihak...!"

"Omong kosong...!" dengus Bidadari Pedang 

Maut. "Mereka yang kau bela, dan mereka yang memu-

suhi sama-sama memiliki sifat tamak. Tak berguna 

kau membela mereka mati-matian... kau harus ingat 

Katemenggungan sebagaimana biasanya tentu tidak 

tinggal diam melihat orang-orang kepercayaannya te-

was di tanganmu..."

"Aku tak takut menghadapi siapapun...!" kata si 

pemuda ketus.

"Ah, sayangnya aku sedang banyak urusan 

orang muda, kalau tidak aku ada minat melihat kehe-

batan seorang pendekar yang berjuluk, Si Hina Kelana 

itu. Nantilah kalau urusanku mencari murid-murid 

yang hilang sudah kutemukan. Dan nyawa masih me-

lekat di badanku, mudah-mudahan kau dapat bertemu 

denganku...!" kata nenek ceking ketua Perguruan Ke-

rudung Biru, lalu seperti tak pernah terjadi sesuatu 

apapun di tempat itu, Bidadari Pedang Maut segera 

pergi meninggalkan tempat itu.

"Aku seperti mengenali suaranya...! Suaranya 

seperti seorang gadis muda. Tapi wajahnya sudah ke-

riputan dan tua... jangan-jangan dia merupakan...! Ah 

tak mungkin Wanti Sarati berkeliaran di tempat ini...!" 

batin si pemuda. (Untuk jelasnya siapa si Cantik Wanti 

Saraty, terdapat dalam Episode Satria Penggali Kubur).

"Mudah-mudahan bukan dia...!" ujar si pemu-

da, kemudian tanpa menoleh-noleh lagi langkahnya 

pun terayun menuju rumah kediaman Saudagar Legawa.


LIMA


Di atas batu-batu yang terdapat di depan gua, 

setiap hari mayat-mayat yang terdiri dari kaum wanita 

berumur belasan tahun bergelimpangan. Dan setiap 

kali pembunuhan itu terjadi. Selalu saja diakhiri den-

gan sebuah doa yang diucapkan dengan gumaman-

gumaman yang tak jelas. Biasanya setelah melam-

piaskan kemarahannya, Andika atau yang berjuluk Sa-

tria Pedang Asmara itu selalu menyunggingkan seulas 

senyum puas. Selanjutnya terdengar pula untaian ka-

ta-katanya yang berpangkal dari galau masa lalunya:

Di sepanjang jalan berselimut kabut

Dalam lorong sepi tiada pelita...

Kegelapan menyambut datangnya sang Aku

Di sini ini... 

Dalam jurang nestapa,

Ada jiwa dibakar angkara murka.

Duh...

Andai masih mungkin, ingin kugapai

bintang dan rembulan 

Yang sunggingkan senyum mengejek,

Setiap diri berada dalam belengguh cinta... 

Tapi mungkinkah?

Hari-hariku kini, sudah enggan bicara... 

Tangan menyapa dengan ujung pedang berlu-

mur darah... 

Oh...

Angkara, kau datang coba tepiskan dendam 

Sebuah dendam lama yang membuat jiwa berge-

limang tanpa nyawa 

Puaskah aku dengan semua yang kudapat?


Kujawab dengan kata puas... 

Namun Pedang Asmara mengatakannya tidak 

Lalu siapakah yang akan kuturut...

Andai setiap waktu maut datang menjemput...

Selalu saja seusai melantunkan bait-bait syair-

nya pemuda ini tergelak-gelak. Sebuah tawa yang se-

sungguhnya hanyalah merupakan penjelmaan rasa 

pedih yang menyelimuti hatinya. Hanya dia sendiri 

yang tau, apa sesungguhnya sedang terjadi di dalam 

hatinya;

Tak sampai sepeminum teh, pemuda berjubah 

hitam dengan wajah coreng moreng ini memandangi 

mayat-mayat tanpa darah yang saat itu sedang di-

usung oleh para anak buahnya, menuju jurang tempat 

pembuangan mayat yang berada tak begitu jauh dari 

tempat itu.

"Peri Lingga!" sapanya, dingin. Perempuan yang 

berada tak begitu jauh dari tempat si pemuda berdiri 

nampak menoleh.

"Ada apa ketua...?" tanya perempuan wajah co-

reng moreng dengan sikap sungkan.

"Aku merasakan kehadiran tamu tak diundang 

di sekitar tempat kita ini. Coba kalian periksa...!" pe-

rintah pemuda dari Lembah Patah Hati ini dengan si-

kap acuh.

"Kami akan melakukannya, Ketua...!" jawab Pe-

ri Lingga. Selanjutnya dengan gerakan yang sangat 

ringan tubuh Peri Lingga dalam sekejaban saja telah 

lenyap dalam kerimbunan pohon. Namun tiada dis-

angka-sangka, dari arah lain nampak melompat bebe-

rapa sosok tubuh menghampiri si pemuda yang berdiri 

tegak dengan sikap menunggu.

"Jleeek...!"


"Jliiik...!"

Begitu menjejakkan kakinya di atas tanah dua 

orang pendatang yang terdiri dari seorang kakek dan 

nenek tua renta langsung menyerang Andika dengan 

senjatanya yang berupa sebuah ruyung berwarna kun-

ing emas. Pemuda wajah coreng moreng ini memang 

merasa terkejut dengan kehadiran dua tokoh ini. Na-

mun dia tak begitu terkejut dengan adanya serangan 

yang dilakukan secara tiba-tiba ini. Dengan gerakan 

yang sangat indah, Andika geser tubuhnya ke samping 

satu langkah. Tapi senjata di tangan lawannya terus 

memburu ke arahnya. Satu sambaran angin yang di-

timbulkan oleh senjata di tangan lawannya terasa me-

nerpa bagian wajah Andika. Ada hawa keji yang me-

nyertai berkelebatnya senjata itu.

"Haiiit!"

"Hemmm...!"

Dengan sekali lompatan yang tiada menimbul-

kan suara sedikitpun. Sepasang kakinya yang kokoh 

berotot telah mendarat dengan mulus di atas sebong-

kah batu. Kakek nenek dengan ruyung mautnya terus 

memburu. Dan secara hampir bersamaan hantamkan 

ruyungnya ke arah bagian pinggang lawannya.

"Hiaaat...!"

Sekali lagi, pemuda wajah coreng moreng den-

gan sangat mudahnya menghindar. Senjata di tangan 

lawannya terus menerjang ke arah batu itu.

"Dweeer...!"

Batu bekas tempat bertumpunya si pemuda 

hancur berkeping-keping, serpihan debu dan batu ke-

cil-kecil bertebaran di mana-mana.

"Peri Lingga! Tamunya sudah datang sendiri! 

Apa saja kerjamu di situ, heh...!" tanyanya dengan se-

sungging senyum rawan.

"Wuuus! Jleeek...!"



Dari semak-semak yang terletak di sebelah Uta-

ra, sesosok tubuh ramping dengan jubah menjela telah 

hadir pula di tempat itu. Bahkan tak lama kemudian di 

depan mulut gua itu telah dipenuhi oleh belasan wani-

ta dan pria berjubah hitam.

"Minggir kalian semuanya! Biarkan aku sendiri 

yang akan menjajal kehebatan aki nini bersenjata 

ruyung penggebuk anjing ini...!" perintah Andika, begi-

tu melihat para bawahannya mulai bergerak dengan 

tujuan menyerang dua kakek nenek yang belum mere-

ka ketahui identitasnya ini.

"Mampuslah kalian orang-orang berpenyakit ji-

wa...!" teriak si nenek berambut merah. Lalu hantam-

kan satu pukulan yang menimbulkan serangkum ge-

lombang berhawa panas luar biasa. Pada saat yang 

sama kakek rambut putih juga kirimkan satu pukulan 

yang menimbulkan udara dingin melebihi salju.

Dua pukulan sakti yang dilepas dengan sasa-

ran yang sama membuat Andika mengerutkan alisnya. 

Walau bagaimanapun dua kekuatan ini memiliki aki-

bat yang berbeda-beda. Antara dingin dan panas. Se-

muanya sama-sama dapat menimbulkan akibat yang 

sangat patal. Tapi Andika adalah seorang tokoh muda 

yang memiliki senjata serta tenaga dalam yang dapat 

menimbulkan rebawa aneh. Dan bahkan pemuda ini 

tak pernah gentar menghadapi resiko yang bagaimana 

pun bentuknya. Maka dengan nekad dia memapaki 

pukulan 'Geletar Jagat' yang dilepaskan oleh dua la-

wannya dengan pukulan 'Jiwa Merana Di Tinggal Ke-

kasih' yang telah dikuasainya dengan baik. 

"Wuuuk...!"

Pukulan tanpa ujud namun menimbulkan aki-

bat yang sangat luar biasa ini laksana kilat menyong-

song datangnya pukulan yang membawa dua sifat be-

da.


"Duuummm...!" Kakek nenek rambut merah 

putih terdorong dua tindak ke belakang. Sementara 

pemuda wajah coreng moreng jubah menjela, hanya 

tergetar saja beberapa saat lamanya. Dapat dibayang-

kan betapa tenaga dalam yang dimiliki oleh pemuda itu 

berada satu tingkat di atas lawan-lawannya.

"Hebat! Dari dulu hingga kini, baru kutemui 

dua ekor monyet ompong yang memiliki tenaga dalam 

yang lumayan." Tanpa merasa malu-malu, Andika 

memuji. "Sebelum kalian binasa di ujung Pedang As-

mara, kukira tak salah kalau kalian harus menye-

butkan asal usul kalian. Dan mengapa pula datang-

datang langsung menyerang...?" hardik Andika dengan 

wajah tanpa ekperesi.

"Huh... manusia berpenyakit sarap. Sudah ber-

bulan-bulan kami mencari murid kami yang hilang 

tiada tentu rimbanya. Tiada dinyana, kiranya disinilah 

sarangnya para iblis pembunuh berdarah dingin itu...! 

Manusia keparaaat... apakah salah dan dosa mere-

ka...?" maki si kakek rambut putih dengan senjata 

menyilang di depan dada. Andika hanya mendengus 

mendengar kata-kata kasar yang diucapkan oleh si 

kakek. Kini mengertilah dia akan duduk persoalan 

yang sebenarnya. Di luar dugaan si nenek maupun 

kakek itu, seperti pada dirinya sendiri, pemuda wajah 

coreng moreng ini berucap:

Langit hitam, cakrawala hati hitam

Manusia tak tahu bagaimana bumi bermula 

Juga tiada mengerti bagaimana langit ditegak-

kan 

Gelimang harta hanya menimbulkan keegoisan

Tapi lihatlah sekeping hati 

Dalam jiwa ini...

Yang dulu tergilas oleh ketidakpastian jaman


Ah...

Engkau dan aku, juga siapa saja tak mungkin 

tahu,

Apa yang akan terjadi di hari esok

Tiada manusia tempat bertanya,

Juga tiada yang pasti...

Karena kepastian itu, hanyalah sebuah kema-

tian...

Kakek dan nenek yang dalam dunia persilatan 

terkenal dengan julukan 'Sepasang Ruyung Emas', 

nampak saling pandang sesamanya. Rasanya kali ini 

mereka berhadapan dengan orang berpenyakit jiwa 

yang memiliki kepandaian sangat tinggi. Dari pulau 

Tak Bertuan mereka datang untuk mencari muridnya 

yang tiada pernah kembali. Tetapi begitu mereka telah 

menemukan jejaknya, kiranya tokoh yang dihadapinya 

itu memiliki kepandaian yang sangat luar biasa.

Sebagaimana murid-murid dari berbagai pergu-

ruan yang tiada dikenalnya, kakek rambut putih dan 

nenek rambut merah merasa yakin bahwa mayat yang 

telah membusuk yang mereka temukan di dalam ju-

rang pembuangan mayat itu, tiga diantaranya pastilah 

merupakan murid-murid wanitanya. Apabila mereka 

mengingat kematian murid-muridnya yang secara 

menggenaskan itu, maka amarah di dalam dada mere-

kapun berkobar-kobar. Mereka pada akhirnya sudah 

tiada perduli lagi dengan kehebatan yang dimiliki oleh 

lawannya. Dengan amarah yang tertahan-tahan, ak-

hirnya dua orang tokoh dari pulau Tak Bertuan inipun 

membentak:" Penyair edan... manusia sinting, berotak 

miring! Kau telah menculik dan membunuh tiga orang 

muridku! Sungguhpun kepandaianmu setinggi gunung 

dan sebanyak buih sabun! Kami tak pernah merasa 

gentar untuk menghadapimu...!" Lagi-lagi Andika me


nyambutnya dengan sesungging senyum yang begitu 

dingin.

"Perjuangan yang sia-sia adalah perjuangan 

yang tak pernah di perhitungkan dengan matang...! 

Begitu juga halnya dengan kematian yang sia-sia, juga 

karena hanya menuruti api dendam...! Hak... hak... 

hak...! Kuberi kesempatan pada kalian untuk menga-

lahkanku. Namun jika kalian tak mampu melakukan-

nya. Kalian harus bersedia berbakti kepadaku...!" kata 

Andika mengancam.

"Jangan banyak mulut! Makanlah senjata kami 

ini...!" bentak si nenek rambut merah. Kemudian den-

gan gerakan yang sangat cepat, dua-duanya langsung 

menerjang dengan hantamkan ruyung berwarna emas 

yang dapat mengembang dan menguncup secara se-

pontan.

"Ha... ha... ha...!" Andika tergelak-gelak. Gera-

kan tubuhnya ringan saja, seolah senjata yang diha-

dapinya hanya merupakan senjata mainan anak-anak. 

Dalam keadaan mengkelit menghindari sambaran sen-

jata lawannya, Andika meraba bagian punggungnya 

dan langsung mencabut senjatanya yang berupa sebi-

lah Pedang berwarna hitam kebiru-biruan. Ketika sen-

jata yang telah menelan banyak korban itu tercabut 

dari sarungnya. Maka mendengunglah bunyi aneh 

yang tiada berketentuan. Tangan pemuda wajah coreng 

moreng ini langsung bergetar hebat. Wajah kedua la-

wannya terkesiap, mereka menyadari betapa berba-

hayanya senjata di tangan lawannya itu. Bahkan sebe-

lum mereka bertarung dengan pemuda itu, mereka me-

lihat betapa senjata itu secara terus menerus menge-

luarkan bunyi mendengung. Selanjutnya dengan 

mempergunakan jurus 'Di Tinggal Kekasih', senjata di 

tangan Andika menerpa deras ke arah senjata di tan-

gan kakek rambut putih. Namun sebelum senjata itu


berhasil mencapai sasarannya, senjata di tangan ne-

nek rambut merah menyambut dari bagian samping 

kanannya. "Traaak...!"

Secara aneh senjata di tangan pemuda muka 

coreng moreng berbalik menghantam senjata di tangan 

si nenek. Ruyung emas di tangan nenek rambut merah 

terbelah menjadi dua. Bahkan seandainya nenek ini ti-

dak cepat-cepat menarik tangannya, sudah barang 

tentu tangannyapun menjadi korban Pedang Asmara di 

tangan Andika.

"Keparat...!" maki nenek rambut merah sambil 

berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya.

"Kubun...!" mengetahui senjata istrinya dapat 

dihancurkan oleh Andika, kakek rambut putih menjadi 

gusar. Namun belum lagi dia berhasil melampiaskan 

amarahnya, senjata di tangan Andika berhasil memba-

bat buntung senjata di tangan kakek rambut putih. 

Bahkan mungkin, jika Andika mau melakukannya 

tangan si kakek yang keriputan itupun dapat dia bun-

tungi sekaligus. Sungguhpun dia tak berniat membun-

tungi tangan si kakek. Namun satu tendangan yang 

begitu telak tetap dilakukannya.

"Buuk...!" 

"Gusruuk...!"

"Kampret! Pemuda iblis itu telah memaksaku 

mencium kotoran sapi!" maki si kakek di dalam hati. 

Dengan bersusah payah dia berusaha bangkit kembali, 

setelah melap mukanya yang belepotan kotoran sapi, 

laki-laki dari pulau Tak Bertuan ini bermaksud mener-

jang kembali dengan pukulan-pukulan tangan kosong-

nya. Namun tiada diduga-duga tubuh Andika nampak 

melesat laksana terbang. Cepat sekali gerakan Andika, 

hingga satu detik kemudian dua pekerjaan yang mem-

butuhkan kelihaian luar biasa berhasil dia selesaikan 

dengan baik:

"Tuuk! Tuuk!"

Dua totokan berturut-turut mendarat tepat di 

bagian tubuh, nenek rambut merah dan si kakek ram-

but putih. Secara peraktis tubuh yang dalam keadaan 

tertotok itupun terasa sulit untuk digerakkan. Tiada 

yang dapat dilakukan oleh tokoh dari pulau Tak Ber-

tuan ini terkecuali mencaci maki dengan kata-kata 

yang begitu kasar.

"Kalau aku mau, bukankah sejak dari tadi aku 

dapat membunuh kalian berdua? Heh tapi aku tak in-

gin melakukannya. Tenaga kalian masih kubutuhkan 

untuk menggempur Saudagar Legawa...!" kata Andika 

dengan senyum mengejek.

"Jangan kira kami mau bersekongkol dengan 

manusia iblis sepertimu...!" tukas kakek dan nenek da-

ri Pulau Tak Bertuan hampir bersamaan. Tanpa meng-

hiraukan kata-kata kedua orang tua ini. Andika mem-

beri isyarat pada Peri Lingga untuk memenjarakan me-

reka di ruangan bawah tanah. Pembantu-pembantu 

setia inipun dengan sigap melakukan perintah yang 

diberikan oleh atasan mereka.

***

ENAM



Hampir setiap malam rumah besar yang sangat 

mewah dijaga ketat oleh belasan orang para pembantu 

saudagar Legawa. Penjagaan bukan saja dilakukan di 

bagian depan, namun di bagian belakang rumah yang 

berpagar tembok tinggi itu juga tak luput dari penja-

gaan. Demikianlah hal seperti itu secara terus-

menerus di lakukan oleh saudagar Legawa sejak 

adanya peristiwa pertempuran yang menelan korban


belasan orang prajurit-prajurit Katemenggungan.

Setiap saat hati saudagar ini selalu diliputi oleh 

rasa was-was dan perasaan bersalah. Bagaimanapun 

orang yang sekarang ini dihadapinya adalah merupa-

kan orang yang mempunyai pengaruh besar terhadap 

pemerintahan kerajaan Rantingkam yang berpusat di 

Kota Sabuk Intan. Bukan mustahil seandainya Tu-

menggung Jayeng Rono meminta bantuan dari Kota 

Raja akan berdatangan sekian banyak bala bantuan 

yang sudah pasti memiliki ilmu perang yang sangat 

tinggi. Sedangkan dipihaknya sendiri, orang yang pal-

ing dia andalkan adalah Pendekar Hina Kelana. Dan 

pemuda itupun hingga sampai saat itu masih belum

juga kembali dari bepergian. Menghadapi kenyataan 

seperti itu, hampir sepanjang malam saudagar yang 

dulunya silau dengan pangkat dan kedudukan ini 

menjadi semakin gelisah.

Sementara itu di halaman yang begitu luas, 

nampak beberapa orang pembantu saudagar Legawa 

dengan senjata siap di tangan berjalan hilir mudik me-

lakukan tugasnya. Udara malam yang terasa begitu 

menggigit sudah tiada mereka hiraukan. Mereka nam-

pak bersemangat dalam melakukan tugasnya. Hal ini 

dapat dimaklumi karena saudagar Legawa telah mem-

beri mereka tambahan upah yang begitu besar.

"Njul...! Malam ini rasanya sangat dingin sekali 

ya...! Masih jam sembilan mataku sudah ngantuk... 

eeh... ngantuk...!" Selak salah seorang dari penjaga itu 

pada kawan yang berjalan di sisinya.

"Ho'oh...! Aku pun begitu, mana lagi malam 

sangat dingin sekali...!" Kata kawannya yang disebut 

panjul.

"Hmm! Pantesan, malam ini malam Jumat Kli-

won! Saat-saat seperti ini hantu pasti pada bergen-

tayangan..."


"Ahk... kau bikin suasana jadi serem aja...!"

"Sangkut... Sangkut... kau ini orang pengecut! 

Tak pantas menjadi centeng apalagi peronda malam 

seperti sekarang ini...!" celetuk Baginjul.

"Pantesnya aku jadi apa...?"

"Kalau kau mau jadi pedagang terasi atau ubi... 

malam-malam begini kau pasti di rumah bersama 

anak bini... Hidup anteng, malam yang dingin jadi an-

get...!"

"Ah bicaramu parno melulu...!"

"Bukan parno, goblook...!" protes kawannya.

"Jadi apa...?"

"Porno...!"

"Porno...?!" Sambut Sangkut merasa terheran-

heran dengan apa yang baru saja dikatakan oleh ka-

wannya.

"Porno makanan apa sih...!"

"Makanan ringan, tolol...!" celetuk Baginjul se-

kenanya. Kedua penjaga malam itu kemudian tertawa 

ngakak, kemudian berjalan cepat menuju ke arah ban-

gunan bagian belakang. Namun serta merta suara ta-

wa mereka terhenti saat mana terdengar suara jeritan 

yang begitu panjang menyayat. Kedua orang itu nam-

pak saling berpandangan untuk beberapa saat la-

manya. Detik kemudian mereka mendengar suara 

denting beradunya senjata tajam.

"Di sebelah Utara rumah ini...!" teriak Sangkut 

pada Baginjul. Dengan gerakan yang sangat gesit, ke-

duanyapun berlarian ke arah itu. Ketika mereka sam-

pai di tempat terjadinya pertempuran. Mereka melihat 

dua orang pendatang telah berhasil merobohkan enam 

orang penjaga yang berada di tempat itu.

Melihat sepak terjang orang-orang ini, Baginjul 

dan Sangkut sudah dapat menduga bahwa dua orang 

pendatang ini ternyata memiliki kepandaian yang ting

gi. Tanpa sungkan-sungkan lagi, Baginjul dan Sangkut 

yaitu pembantu Legawa yang memiliki kepandaian 

yang lumayan tinggi bila dibandingkan dengan kawan-

kawannya segera menerjang maju sambil hantamkan 

senjatanya yang berupa tombak berukuran sangat 

panjang. Mendapat tekanan yang datangnya secara ti-

ba-tiba ini sudah tentu membuat dua orang pendatang 

jadi terkejut. Namun hal itu hanya sesaat saja terjadi, 

karena beberapa detik kemudian mereka pun sudah 

berhadapan dengan Baginjul dan Sangkut. 

"Kepandaianmu boleh juga, Sobat...!" geram sa-

lah seorang dari pendatang itu sambil mengerahkan 

jurus-jurus tangan kosongnya.

"Pendatang tengik. Siapakah kalian ini...?" te-

riak Baginjul, dengan suara menggembor bagai ban-

teng marah.

"Siapa kami? Huh... suruh dulu keluar sauda-

gar Legawa manusia terkutuk itu. Nanti baru akan ku

jelaskan pada kalian...!" dengus salah seorang penda-

tang bertubuh pendek kurus. Lalu tanpa sungkan-

sungkan pula terus berusaha mendesak Sangkut, den-

gan sabetan-sabetan kipasnya yang dapat mengem-

bang dan menguncup. Nampaknya Sangkut dan Ba-

ginjul sebagai orang yang telah berpengalaman dan 

memiliki ilmu lumayan tinggi tidak mudah di tunduk-

kan begitu saja, terbukti sampai sejauh itu serangan 

senjata lawannya masih dapat dielakkan oleh Sangkut 

dan Baginjul. "Hemm. Keparaat juga, anjing-anjing 

penjaga saudagar Legawa ini...!" maki si pendatang 

sambil melompat ke belakang beberapa kali.

"Heeuuup...!"

Dua orang pendatang bertubuh kurus pendek 

ini secara serentak nampak merangkapkan kedua tan-

gannya di depan dada. Kemudian secara perlahan tan-

gan itu menyilang dengan senjata kipas merentang lebar.

"Zeeb... Zeeeb...!"

"Haaiiiit...!" Terdengar dua teriakan menggele-

dek, saat mana dua orang pendatang ini membuka ju-

rus silat 'Kipas Berkabut', yaitu sebuah jurus kipas 

andalan yang selama ini telah mengangkat nama me-

reka di dalam dunia persilatan. Sangat jarang orang 

yang tau tentang asal usul si Kipas Kembar ini, tapi 

kalangan persilatan cukup mengenal mereka sebagai 

orang yang tidak menyukai segala bentuk kerja sama 

dengan partai maupun pihak lain. Permainan kipas 

mereka yang dikenal sebagai sangat beracun dengan 

uapnya yang kebiru-biruan telah banyak merenggut 

korban jiwa. Namun sesungguhnya bukan itu saja 

yang dikuasai, Kipas Kembar adalah merupakan tipe 

manusia yang punya kegemaran mengumpulkan ben-

da-benda langka. Salah satu diantaranya adalah men-

gumpulkan berbagai jenis mutiara.

Konon dari daerah yang terletak di Selatan sa-

na, sering mereka mendengar berita yang disampaikan 

dari mulut ke mulut. Di daerah yang masih merupa-

kan wilayah kekuasaan Tumenggung Jayeng Rono, 

terdapat saudagar yang sangat kaya yang selama ini 

dikenal sebagai pedagang mutiara dan intan. Apa yang 

mereka dengar sudah barang tentu sangat menarik 

perhatian mereka, bahkan merekapun berambisi ingin 

menguasai barang-barang yang sangat berharga itu. 

Dengan modal tekad dan semangat yang menggebu-

gebu, berangkatlah mereka menuju ke Utara. Yaitu 

yang merupakan tempat tinggal saudagar kaya yang 

kemudian mereka ketahui bernama Legawa. Di sepan-

jang perjalanan yang mereka tempuh, tak bosan-

bosannya mereka bertanya pada orang yang mereka 

temui. Akhirnya mereka pun mengetahui bahwa sau-

dagar Legawa sesungguhnya telah membina hubungan


kekeluargaan dengan pihak Katemenggungan. Namun 

hubungan itu seperti diketahui berubah menjadi se-

buah permusuhan yang telah merenggut korban jiwa, 

hanya dikarenakan keluarga Tumenggung merasa ter-

tipu atas perkawinan yang dilakukan oleh putranya 

atas putri saudagar Legawa. Seperti diketahui dari pi-

hak keluarga saudagar Legawa kemudian tak mau te-

rima begitu saja.

Nah mempergunakan kesempatan itu si Kipas 

Kembar cepat-cepat mengambil keputusan dan lang-

sung bertindak. Karena mengira para penjaga di sepu-

tar tempat itu tidak begitu ketat, maka seenaknya saja 

mereka melompati dinding tembok yang memiliki tinggi 

tak lebih dari tiga meter. Tapi ketika mereka harus 

berhadapan dengan Sangkut dan Baginjul, mereka me-

rasa di dalam rumah kediaman saudagar Legawa ma-

sih terdapat banyak lawan-lawan yang mungkin saja 

berilmu tangguh. Itu sebabnya mereka tak ingin me-

nyia-nyiakan kesempatan yang terbatas itu. Sesaat se-

telah si Kipas Kembar keluarkan jurus-jurus andalan-

nya, maka dalam waktu beberapa jurus di muka per-

mainan tombak di tangan Baginjul dan Sangkut nam-

pak sudah tidak berkembang lagi. Bahkan beberapa 

jurus di muka, dua orang pembantu saudagar Legawa 

ini sudah kena di desak.

"Wuut...!"

"Haeees...!"

Tubuh Baginjul nyaris terhantam kipas temba-

ga di tangan lawannya. Sedangkan Sangkut saat itu 

sudah kena ditendang oleh lawannya yang lain. Dalam 

keadaan tunggang langgang ini Sangkut cepat-cepat 

bangkit kembali, lalu berteriak-teriak memberi perin-

tah kepada kawan-kawannya.

"Cepat kalian beri tahu saudagar...!"

"Cepaaat...!" Baginjul yang sudah dalam kea


daan semakin terdesak itu menyambung. Tanpa 

buang-buang waktu lagi, tiga orang pembantu, lang-

sung berlari-lari menuju ke dalam bangunan besar itu.

"Keadaan bisa runyam, Hiihh...!" Sambil ber-

guman salah seorang dari lawannya hantamkan kipas 

di tangannya mengarah bagian dada Baginjul. Masih 

untung laki-laki bersenjata tombak ini masih sempat 

membaca kemana arah gerakan senjata lawannya. 

Dengan sangat cepat dia miringkan tubuhnya ke 

samping.

"Breet...!"

"Ahkgh...!"

Baginjul keluarkan seruan tertahan saat mana 

bagian bahunya masih juga tersambar ujung kipas di 

tangan lawannya. Darah kehitam-hitaman meleleh dari 

bagian luka yang terobek. Rasa nyeri dan linu segera 

menjalari bagian tubuh yang terluka ini. Sadarlah Ba-

ginjul ternyata senjata di tangan lawannya mengan-

dung racun yang sangat keji. Si Kipas Kembar dari Se-

latan ini keluarkan suara tawa mengekeh. Sedetik ke-

mudian kedua orang itu memburu dua orang lawannya 

dengan maksud menghabisinya sekaligus. Kali ini ke-

mungkinan untuk menghindari serangan mematikan 

dari lawannya sudah sangat tipis sekali.

"Wuuuk...!"

Baginjul dan Sangkut masih berusaha me-

nangkis serangan kipas yang datangnya begitu cepat.

"Ahh. Nyeplos...!" seru salah seorang lawannya. 

Kemudian dengan disertai sesungging senyum menge-

rikan kipas di tangan kedua orang itu menderu. Bagin-

jul dan Sangkut masih berusaha menghindari terjan-

gan kipas itu. Namun agaknya sebentar lagi maut pasti 

akan menjemput mereka andai pada saat-saat yang 

sangat menegangkan itu tidak berkelebat sosok bayan-

gan merah ke arah mereka! "Braaak! Braak...!"


Si Kipas Kembar keluarkan seruan tertahan. 

Tubuh mereka terdorong tiga tombak ke belakang. 

Orang-orang ini merasakan senjata mereka membentur 

sesuatu yang begitu keras, hingga menyebabkan tan-

gan-tangan mereka terasa nyeri dan sakit. 

"Keparat...! Siapakah kau ini...?" bentak salah 

seorang diantara mereka begitu melihat kehadiran seo-

rang pemuda berpakaian merah dengan rambut pan-

jang dikuncir. Pemuda itu berdiri tegak dengan kedua 

tangan menyilang di depan dada,

"Semestinya akulah yang bertanya, siapakah 

kalian ini...!" gumam si pemuda dengan sikap acuh.

"Saudara Baginjul dan Sangkut! Menepilah aku 

ingin menjajal sampai di mana kehebatan dua ekor 

kunyuk ini...!" Perintahnya lagi tanpa memperdulikan 

dua orang lawannya yang masih dalam keadaan ter-

bengong-bengong. Yang diperintah nampak menuruti 

apa yang diinginkan oleh pemuda berkuncir yang su-

dah tak asing lagi bagi kita ini.

"Kurang ajar! Sebelum kau mampus di tangan 

kami, lebih baik kau sebutkan nama bapak moyang-

mu...!"

"Tak perlu! Aku sudah mengetahui siapa 

adanya kalian ini. Bahkan siang tadi aku juga sudah 

mendengar apa yang kalian bicarakan... he... he... 

he...! Maling tengik, kalau kalian tidak cepat-cepat me-

rat dari hadapanku. Kalian segera tahu apa akibat-

nya...!"

"Kalau begitu kau akan segera mampus...!" ben-

tak dua orang itu. Lalu tanpa menunggu lebih lama la-

gi, keduanya pun mulai membuka serangan-serangan 

gencar. Tapi mungkin Kipas Kembar tiada menyadari 

bahwa lawan yang dihadapinya kali ini adalah seorang 

tokoh muda yang memiliki kepandaian sangat tinggi. 

Dan mereka pada akhirnya harus membuka matanya


lebar-lebar saat mana serangan-serangan sengit yang 

dilakukannya selalu saja mencapai sasaran yang ko-

song. Sebaliknya yang menjadi lawannya masih den-

gan mempergunakan jurus Si Gila Mengamuk terus 

bergerak cepat tak berketentuan. Kadang tubuhnya 

nampak terhuyung-huyung, di lain saat dengan kece-

patan yang sangat luar biasa dia menerjang lawannya 

dengan tendangan-tendangan yang mematikan. Kea-

daan seperti itu tak berlangsung lama, sekejap kemu-

dian si pemuda melentingkan tubuhnya ke arah tem-

bok batu, selanjutnya pemuda dari negeri Bunian in-

ipun hantamkan tangannya mengarah pada pihak la-

wan yang berusaha memburu dirinya. "Wuuust...!"

Serangkum gelombang sinar Ultra Violet den-

gan telak menghantam tubuh mereka. Dua orang la-

wannya terpelanting roboh dengan keadaan tubuh se-

tengah matang. Tiada erangan maupun rintihan yang 

keluar dari mulut mereka ini. Tubuh mereka hanya 

berkelojotan sesaat, kemudian terdiam untuk selama-

lamanya.

"Untung anda cepat datang saudara Kelana! Ji-

ka tidak entah bagaimana dengan nasib kami se-

mua...!" sambut saudagar yang selalu takut pada ke-

matian ini dengan disertai sesungging senyum keme-

nangan.

"Sudahlah! Aku sudah mengetahui semuanya. 

Orang-orang ini datang dari Selatan dengan tujuan in-

gin merampok harta bendamu...!" jawab si pemuda ta-

war.

"Tapi kita pantas merayakan kepulanganmu 

dan atas kemenangan yang kau peroleh." ujar Legawa.

"Di depan sana masih terlalu banyak musuh 

yang mengancam keselamatanmu, saudagar! Ada 

baiknya kalau kita istirahat malam ini...!"

"Baiklah... silakan...!" ujar saudagar Legawa

dengan sikap mengalah.

***

TUJUH



Sesuai dengan keputusan yang sudah sama-

sama disetujui oleh Lesmana dan orang tuanya. Yaitu 

Tumenggung Jayeng Rono sendiri, berikut para pem-

bantu-pembantunya. Penyerangan yang akan dilaku-

kan oleh keluarga Katemenggungan terhadap keluarga 

Legawa dilakukan dua tahap. Tahap pertama dipimpin 

oleh Lesmana putera Tumenggung Jayeng Rono. Yang 

ikut serta dalam penyerangan pertama ini antara lain 

adalah Roda Paksi dan Maling Durjana serta puluhan 

prajurit-prajurit Katemenggungan yang bersenjata 

lengkap. Sedangkan serangan kedua dipimpin lang-

sung oleh Tumenggung Jayeng Rono sendiri dengan 

dibantu oleh Kincir Angin, Jelatu dan dua puluh orang 

perajuritnya yang bersenjatakan panah.

Hampir tiga hari persiapan yang telah di perhi-

tungkan secara matang itu dilakukan. Dan ketika ma-

tahari hampir tenggelam di upuk Barat, dan suasana 

di seluruh alam diliputi kegelapan. Maka iring-iringan 

pasukan yang sudah siap melakukan pertempuran itu 

berangkatlah menuju tempat kediaman Saudagar Le-

gawa.

Di sepanjang perjalanan yang mereka tempuh, 

tak seorangpun yang berani mengeluarkan suara atau 

bahkan bicara barang sepatah katapun. Yang terden-

gar saat itu hanyalah derap langkah kaki kuda tung-

gangan yang jumlahnya mencapai puluhan ekor. Se-

dangkan yang selebihnya hanyalah kesunyian belaka. 

Perjalanan berkuda yang mereka tempuh sebenarnya


tidaklah begitu jauh, bahkan hanya memakan waktu 

tak kurang dari tiga jam. Namun daerah yang mereka 

lalui setelah meninggalkan istana Katemenggungan 

adalah daerah yang di kelilingi oleh hutan lebat yang di 

dalamnya selalu berkeliaran binatang buas, terlebih-

lebih pabila malam hari begini.

Setengah jam melewati hutan perawan di se-

panjang jalan itu, jalan yang ditempuh selanjutnya 

adalah lereng-lereng bukit gundul dan berbatu cadas 

serta agak sulit untuk dilalui, karena selain jalan itu 

sempit, di sebelah sisi kiri jalan itu adalah sebuah ju-

rang menganga yang sangat sulit untuk diukur keda-

lamnya. Sampai di jalan terjal berbatu ini, rombongan 

berkuda itu dengan sangat terpaksa harus mengurangi 

kecepatan lari kuda-kuda tunggangan mereka. Saat itu 

Lesmana yang berada di depan rombongan itu nampak 

memberi isyarat pada kawan-kawannya:

"Orang-orang yang berada di belakang, kurangi 

kecepatan kalian. Jalan ini terlalu sulit buat kita lalui. 

Berhati-hatilah, salah melangkah di sisi kiri jurang te-

lah siap menanti kalian...!" Kawan-kawan dan para 

bawahannya nampaknya tak perlu memberi jawaban 

atas peringatan Lesmana itu. Sebab mereka pun sudah 

melihat tentang adanya bahaya yang mengancam di si-

si kiri mereka. Demi menjaga terjadinya sesuatu yang 

tidak diingini, maka perjalanan itu bagai rangkak ku-

da-kuda tunggangan yang baru saja belajar berlari. 

Namun dengan sikap sabar para penunggangnya terus 

menghela kuda-kuda itu dengan kewaspadaan penuh. 

Dalam kegelapan yang hanya diterangi sinar bulan 

yang remang-remang, mendadak kuda tunggangan 

yang berada di bagian paling depan meringkik keras, 

kaki depan terangkat ke udara, bahkan kuda-kuda itu 

kemudian melonjak-lonjak bagai melihat sesuatu yang 

menakutkan. Andai saja para penunggangnya tidak li


hai dalam mengendalikan kuda, dapat dipastikan me-

reka sudah terbanting sejak tadi.

"Hiihiiieeeh...! Hieeeeh...!"

"Hitam! Apakah yang kalian lihat, hingga ham-

pir membuat celaka tuanmu sendiri?"

"Mungkin ada sesuatu yang tak beres di tempat 

ini, Tuan Lesmana...?" Yang menyahuti adalah Roda 

Paksi yang saat itu juga sedang berusaha mengendali-

kan kudanya.

"Tapi aku tak melihat sesuatu apapun di depan 

sana...?" bantah Lesmana setelah memperhatikan sua-

sana di depan.

"Hikhik... hieehh...!" Kuda tunggangan itu kem-

bali meronta-ronta dan berubah liar. Hampir saja Les-

mana terbanting dari atas kuda yang ditungganginya.

"Keparaat! Pada dedemit yang bersembunyi di 

kegelapan! Cepat-cepatlah tunjukkan diri, sebelum 

tuanmu ini benar-benar menjadi marah...!" bentak 

Lesmana dengan disertai pengerahan tenaga dalam 

yang cukup kuat. Sejenak adalah kesunyian belaka. 

Tiada jawaban apapun. Dan suara Lesmana bergema 

sampai ke dasar jurang. Barulah saat kemudian ter-

dengar suara tawa menyeramkan yang bersumber dari 

balik bukit batu cadas yang terletak di sebelah kanan 

mereka.

"Hee...ha... hhaaa... haa... huaaa... ha,...! Ma-

nusia licik yang bernama Lesmana! Setelah kau reng-

gut kehormatan istrimu sendiri, kini kau datang den-

gan tujuan ingin menyebar malapetaka...! Sayang... 

sungguh sayang...! Manusia gila kehormatan seperti 

Legawa tak pernah menyadari atas kelicikanmu...!" 

Sambut suara itu seperti mencemoohkan diri Lesmana. 

Mendengar kata-kata yang terasa bagai menelanjangi 

dirinya di depan orang banyak sudah barang tentu 

Lesmana menjadi gusar. Selanjutnya laki-laki berusia


lebih dari seperempat abad inipun melompat dari atas 

punggung kudanya dengan diikuti oleh Roda Paksi dan 

Maling Durjana.

"Manusia bangsat yang bersembunyi di kegela-

pan. Kau benar-benar seorang pemfitnah keji, keluar-

lah...!" teriak Lesmana. Jika saja saat itu suasana da-

lam keadaan terang benderang, sudah barang pasti 

mereka yang berada di sekeliling Lesmana dapat meli-

hat betapa wajah pemuda itu nampak memerah.

"Putra Tumenggung keparaat...! Orang-orang 

lain boleh mendewa-dewakan dirimu seperti seorang 

Maharaja besar. Tapi tidak buat si Pedang Asmara... 

aku akan membongkar semua kedokmu Lesmana!" ka-

ta Satria Pedang Asmara dari balik kepekatan malam. 

Selanjutnya terdengarlah lantunan bait-bait sairnya: 

Lembah Patah Hati sehari telah tertinggal jauh...

Si anak malang berjalan gontai menelusuri ka-

but

Antara ada dan tiada ia mendengar gamelan 

pengantin

Nun jauh di sana, di sebuah tempat yang tersa-

mar

Desah keriangan adalah senyummu yang penuh 

kelicikan

Malam pengantin bernoda dengan darah... 

Selembar kesucian telah terengkut

Titik-titik air mata, terbalas sesungging senyum 

iblis

Dan kau berlalu dalam malam

Tidak lebih dari perampok jalanan yang kelapa-

ran...

Kau adalah anak singa

Yang mampu mencabik-cabik raga dengan taring 

dan kuku-kukumu


Dan korbanmu adalah keledai-keledai dunguh

Yang selalu dahaga karena kemarau panjang

Sedangkan siaku yang empunya bicara, adalah 

sisi terhempas

Yang kini menuntut balas...

Andika atau yang lebih dikenal sebagai Satria 

Pedang Asmara, terdiam sejenak. Dari balik kegelapan 

itu dia dan orang-orangnya dapat melihat. Betapa 

Lesmana, Roda Paksi dan Maling Durjana nampak sal-

ing pandang sesamanya. Kemudian setelah maju se-

langkah Roda Paksi mewakili yang lain-lainnya.

"Penyair sinting yang berjuluk Satria Pedang 

Asmara...? Kami tak pernah mengenalmu, mengapa 

kau menghadang perjalanan kami...!" kata laki-laki 

bertubuh jangkung ini, menyadari lawan berilmu tinggi 

dia berbicara dengan suara merendah. Terdengar sua-

ra erangan marah, kemudian disertai dengan berkele-

batnya beberapa sosok tubuh menghampiri rombongan 

Lesmana. Dengan tanpa menimbulkan suara, Andika 

dan orang-orangnya menjejakkan kakinya tepat lima 

langkah di depan Lesmana dan kawan-kawannya.

"Manusia pembawa roda pedati! Kau tak men-

getahui duduk persoalannya. Kuperintahkan menying-

kirlah kau...!" bentak Andika, namun sepasang ma-

tanya tak pernah beralih dari Lesmana. Sebaliknya 

Lesmana berusaha mengenali siapa laki-laki berwajah 

coreng moreng ini. Mendengar suaranya sepertinya dia 

pernah mengenal si pemilik suara yang saat itu terus 

memandang sinis ke arah dirinya.

"Persoalanmu dengan Tuan Lesmana, itu berar-

ti persoalanku juga! Jangan harap kami mau mematu-

hi perintahmu...!"

"Kalau begitu, kaupun termasuk anjing-anjing 

Katemenggungan yang perlu dihukum!" maki Satria


Pedang Asmara. Saat itu dia sudah memberi aba-aba 

pada Peri Lingga, kakek rambut putih, nenek rambut 

merah yang berhasil dia pengaruhi dengan serbuk Ra-

cun Bunga Asmara. Namun sebelum mereka sempat 

melakukan gebrakan, terdengar suara bentakan keras 

dari mulut Lesmana:

"Tahan...!" teriak laki-laki itu, lalu melompat ke 

depan.

"Kau takut mati, manusia tengik...?"

"Hemm!" Lesmana berguman. "Rasa-rasanya 

aku seperti mengenalmu, kau pasti Andika, yang dulu 

pernah terusir dari rumah saudagar Legawa...!" ucap-

nya dengan sesungging senyum sinis.

"Bagus! Di saat ajal menjemputmu, kau ternya-

ta masih mengenaliku...!"

"Ha... ha... ha!" Tanpa tertahankan lagi, tawa 

Lesmana pun lepas. "Selama ini kau pasti menderita 

karena cintamu selalu di tolak. Bertahun-tahun kau 

menghilang, kukira kau sudah mampus karena putus 

asa. Tak dinyana kini kau muncul lagi dengan sebuah 

julukan yang tidak lucu...!" kata Putra Tumenggung 

Jayeng Rono dengan disertai tawa berkepanjangan. 

Andika nampak diam saja begitu mendengar kata-kata 

yang terasa merobek luka-luka lama ini. Otot-otot tu-

buhnya terasa menegang, sepasang matanya menco-

rong tajam tanpa ekperesi. Tiada diduga-duga, pemuda 

wajah coreng moreng jubah menjela ini pun hantam-

kan satu pukulan ke arah Lesmana. Selarik Gelom-

bang sinar yang tiada berujud menerjang ke depan. 

Roda Paksi, Maling Durjana secara hampir berbareng 

melompat ke samping menghindari datangnya pukulan 

yang mendatangkan hawa aneh ini. Tapi beberapa 

orang prajurit Katemenggungan berikut kuda-kuda 

tunggangan menjadi korban pukulan ganas yang dile-

paskan oleh Andika. Lima orang prajurit Katemeng


gungan berikut kuda yang mereka tunggangi terjung-

kal roboh dan tiada berkutik-kutik lagi. Terbelalak se-

tiap pasang mata demi melihat akibat pukulan yang di-

lepaskan oleh pihak lawannya. Roda Paksi yang terga-

bung dalam rombongan itu, dan gampang naik darah. 

Langsung saja melepas roda-roda yang memiliki empat 

sisi tajam yang selama ini merupakan senjata yang di 

andalkannya. Senjata berbentuk bulat macam roda 

pedati ini mendesing dan mengancam bagian leher ser-

ta kepala Andika. Namun lebih cepat lagi, pemuda dari 

lembah Patah Hati ini berhasil menghindari terjangan 

senjata yang berbentuk aneh ini.

Tanpa dapat dihindari lagi, pertarunganpun pe-

cah. Perempuan jubah hitam beserta belasan orang 

bawahannya langsung merangsak ke arah prajurit-

prajurit berkuda, Nenek rambut merah dan kakek 

rambut putih dari Pulau Tak Bertuan secara bersa-

maan menggempur Maling Durjana. Sedangkan Andika 

atau Satria Pedang Asmara berhadapan dengan Roda 

Paksi dan Lesmana. Dalam gebrakan pertama ini, 

Lesmana maupun Roda Paksi langsung mencecar la-

wannya dengan senjata mautnya. Sejauh itu Andika 

masih terus melayaninya dengan pukulan-pukulan 

andalannya.

Di lain pihak pertarungan Peri Lingga yang di-

bantu oleh belasan anak buahnya melawan prajurit-

prajurit kerajaan nampak berlangsung tak seimbang, 

Hanya dalam waktu beberapa jurus saja, prajurit-

prajurit Katemenggungan ini telah berdesak hebat. 

Bahkan secara pelan namun cukup pasti, satu demi 

satu prajurit-prajurit Katemenggungan ini bergelim-

pangan dengan tubuh berlumur darah terbabat senjata 

di tangan Peri Lingga dan kawan-kawannya. Pada ke-

nyataannya, lawan-lawan yang dihadapi oleh prajurit

Katemenggungan ini memang merupakan lawan yang


tangguh, bahkan boleh dikata bukan tandingan mere-

ka. Terbukti menjelang pertempuran empat puluh ju-

rus, seluruh prajurit-prajurit Katemenggungan terba-

bat habis dan tiada bersisa lagi. Peri Lingga dan ka-

wan-kawannya yang telah berhasil memenangkan per-

tempuran, akhirnya hanya diam di tempat sambil men-

jaga segala kemungkinan yang tidak diingini.

Sementara itu pertarungan antara Maling Dur-

jana melawan keroyokan sepasang Ruyung Maut, 

nampak berlangsung seru dan seimbang. Masing-

masing lawan sudah mengarahkan jurus-jurus maut-

nya. Bahkan pukulan-pukulan yang disertai dengan 

pengerahan tenaga dalam cukup tinggi yang mereka 

milikipun telah mereka lepaskan. Sejauh itu masih be-

lum ada tanda-tanda siapa yang bakal keluar sebagai 

pemenangnya.

Denting beradunya senjata andalan yang mere-

ka miliki terasa bagai merobek keheningan malam. Di 

sudut lain, Lesmana dan Roda Paksi sudah banyak 

menguras tenaga dalam usaha merubuhkan lawan-

lawannya. Tubuh mereka bahkan telah bermandi ke-

ringat, padahal saat itu malam terasa begitu dingin. 

Pukulan-pukulan beruntun tak ayal lagi saling bertu-

brukan, bunga api berpijar. Hingga membuat kegela-

pan yang menyungkup itu menjadi terang diperciki 

bunga api. Menjelang pertempuran tujuh puluh lima 

jurus, senjata Lesmana yang berupa sebilah pedang 

bergagang Intan berhasil melukai bagian pangkal len-

gan Andika. Bahkan selang beberapa saat setelahnya, 

roda maut yang melayang bagaikan gasing dari tangan 

Roda Paksi berhasil pula melukai bagian dada Satria 

Pedang Asmara. Sungguhpun luka-luka yang ditim-

bulkan akibat sambaran senjata di tangan lawannya 

tidak begitu parah. Namun cukup membuat tubuh An-

dika terhuyung-huyung, darah merembas tanpa henti.


Melihat kenyataan ini, Peri Lingga sudah bermaksud 

turun ke gelanggang pertempuran membantu ketua 

mereka. Namun niat itu akhirnya mereka urungkan 

begitu melihat ketuanya mencabut Pedang Asmara 

yang menggelantung di bagian punggungnya. Seiring 

dengan tercabutnya pedang yang telah banyak me-

renggut korban jiwa itu dari bagian punggungnya, ma-

ka tanpa ayal lagi, kata-katanyapun menyambut:

Kepada si empunya jiwa Serakah...

Sambutlah nyanyian kematian yang tiada mem-

bekas...

Pedang Asmara menghunjam tanpa darah 

Dan aku yang akan melakukannya...

"Hiaaat...!" teriakan yang terasa bagai menca-

bik-cabik gendang telinga di sertai suara mendengung 

yang begitu aneh. Sementara pedang itu terus mengge-

letar tanpa dapat dikendalikan lagi. Begitu bergebrak, 

Andika telah pula mempergunakan jurus ‘Menanti Ke-

kasih Tiada Kunjung Datang’ yaitu jurus tingkatan ke-

tiga dari empat jurus Pedang Asmara yang telah dikua-

sainya. Menghadapi saat-saat menegangkan seperti itu 

Roda Paksi lontarkan senjatanya yang bulat namun 

bersisi tajam. Tanpa ayal, senjata aneh itu melesat 

mengancam bagian tenggorokan Andika. Tapi Satria 

Pedang Asmara, tiada bergeming sedikitpun, pedang di 

tangan tetap berputar sedemikian rupa, membuat se-

buah perisai diri. Hingga sampai senjata yang berupa 

roda terbang itu melabrak ke arah pertahanan dirinya. 

"Braaak...!"

Menyusul roda-roda yang satunya lagi. 

"Braaal...!"

Senjata itu hancur berkeping-keping. Roda 

Paksi tercengang, namun kelengahan yang hanya beberapa detik itu harus ditebusnya dengan sangat mah-

al.

"Jrees...!" Andika tiada melihat bagaimana dada 

yang tertembus senjata miliknya itu berkelojotan, ka-

rena pada saat itu senjata di tangannya yang secara te-

rus menerus memperdengarkan bunyi mendengung ini 

telah membelok ke arah lain. Dan yang menjadi sasa-

ran mata pedangnya kali ini adalah Lesmana. Putra 

Tunggal Tumenggung Jayeng Rono itu menjadi terke-

siap, sama sekali dia tiada menyangka senjata di tan-

gan lawannya mampu melakukan gerakan aneh seperti 

itu. Menyadari bahaya mengancam jiwanya, Lesmana 

putar senjatanya untuk melindungi diri. Namun tetap 

saja senjata di tangan Andika mampu menembus per-

tahanan lawan.

"Braak... Praaang... Jroos....!"

Pedang di tangan Lesmana hancur menjadi be-

berapa bagian, sebaliknya Pedang Asmara terus men-

deru meminta korban. Putra Tumenggung Jayeng Rono 

keluarkan jeritan menyayat. Sesaat tubuhnya limbung, 

kemudian ambruk ke bumi tanpa mengeluarkan darah 

setetespun. Pada saat yang hampir bersamaan terden-

gar pula jeritan lain. Begitu Andika menoleh sambil

menyarungkan pedang pada rangkanya, pemuda wajah 

coreng-moreng itu melihat tubuh Maling Durjana juga 

ambruk ke bumi termakan senjata ruyung di tangan 

kakek dan nenek dari Pulau Tak Bertuan.

"Bagus! Kalian telah melakukannya dengan 

baik! Tapi tugas kita belum selesai." kata Andika pelan. 

"Aku ingin menjajal kehebatan saudagar Angkuh Le-

gawa dan Tumenggung Jayeng Rono yang pasti akan 

menuntut balas atas kematian putranya...!"

"Apakah kita akan meluruk ke rumah kedia-

man Saudagar Legawa...!" tanya Peri Lingga.

"Kita memang harus berangkat sekarang ju

ga...!" kata Andika, dingin.

***

DELAPAN



"Menurut kabar yang kudengar dari orang-

orangku, iring-iringan rombongan Lesmana yang ber-

maksud meluruk ke mari, semuanya tewas terbantai di 

Bukit Tumojong...!" kata saudagar Legawa siang itu ke-

tika mengadakan pertemuan dengan pendekar Hina 

Kelana di ruangan pribadinya.

"Aku telah melihatnya sendiri, sebelum orang-

orangmu melihat mayat-mayat bergelimpangan di te-

pian jurang berikut kuda-kuda yang mereka tunggan-

gi...!"

"Bagus! Si keparaat Lesmana mampus, mung-

kin itu sudah karmanya...!" selak Indah Dewi. Pada 

roman mukannya tidak sedikitpun menunjukkan rasa 

duka atas kematian bekas suami yang tiada dicin-

tainya itu.

"Mungkin malam itu mereka akan melakukan 

penyerbuan kemari! Namun keburu dihadang oleh 

orang lain...!" desah Legawa tanpa menghiraukan kata-

kata putrinya yang begitu sinis.

"Puluhan prajurit bersenjata lengkap, dengan di 

bantu oleh beberapa orang tokoh golongan hitam. Tak 

salah, pastilah putranya Tumenggung Jayeng Rono itu 

termasuk sahabatnya para golongan sesat!" gumam si 

pemuda. "Tapi melihat luka-luka yang tiada mening-

galkan darah sedikitpun, aku jadi tak mengerti bagai-

mana mungkin di kolong langit ini ada senjata yang 

memiliki keanehan seperti itu?"

"Kakang, Kelana...?"

"Hemm! Ada apa...?" tanya si pemuda, kemu-

dian melirik pada Indah Dewi.

"Tahukah kakang siapa yang telah melakukan 

pembunuhan itu...?" Buang Sengketa gelengkan kepa-

lanya pelan.

"Aku yakin pasti dia yang telah melakukan-

nya...!"

"Dia siapa, putriku...?" tanya Legawa secara se-

pontanitas Indah Dewi nampak terdiam, ada keragu-

raguan membayangi wajahnya yang tidak begitu can-

tik.

"Katakanlah, putriku... siapa yang kau mak-

sudkan dengan dia...?" desak Saudagar Legawa dengan 

hati berdebar.

"Orang yang telah melakukan pembunuhan itu 

pastilah, Kakang Andika...!" jawab Indah Dewi tersen-

dat-sendat.

"Andika...?" desis Legawa terperangah. "Bagai-

mana mungkin...?"

"Di dunia ini, kemungkinan apapun bisa terja-

di, Tuan Legawa... oh ya, siapakah Andika itu...?" 

tanya Buang Sengketa. Mendengar pertanyaan yang di-

lontarkan Buang Sengketa, maka semakin bertambah 

memerahlah wajah saudagar Legawa dibuatnya

"Sebuah kesalahan besar dulu pernah kulaku-

kan. Ya, saat itu mata hatiku memang benar-benar bu-

ta..! Sering kunilai kehebatan seseorang itu dari segi-

segi kemampuan duniawi...! Hingga aku mengabaikan 

kesucian cinta seorang anak manusia terhadap lawan 

jenisnya...!" desah saudagar kaya ini sambil menarik 

nafas pendek.

"Apakah maksudmu, Tuan...?" tanya si pemuda 

penasaran.

"Orang yang bernama Andika itu dulunya ada-

lah kekasih Indah Dewi. Kuakui, dia dan putriku ini



sama-sama saling mencinta. Sayangnya sebagaimana 

yang kukatakan tadi, bahwa saat itu aku benar-benar 

buta dan tergila-gila pada pangkat dan kedudukan...! 

Aku dengan sengaja telah memisahkan mereka, bah-

kan orang-orangku telah melakukan penyiksaan pada 

pemuda itu. Tanpa sengaja ayah ibunyapun tewas di 

tangan orang-orang kepercayaanku... oh betapa besar 

kesalahanku pada anak itu, dia telah begitu menderita. 

Semua ini gara-gara ulah si keparat Tumenggung 

Jayeng Rono dan putra Tunggalnya Lesmana...!" gu-

mam Legawa sambil berusaha menahan air matanya 

agar tak sampai menggelinding jatuh.

Semua apa yang dikatakan oleh Legawa sudah 

barang tentu membuat kaget mereka, yang hadir di 

ruangan itu. Terlebih-lebih Indah Dewi, yang selama 

ini menyangka bahwa kematian orang tua Andika ha-

nyalah sebuah kecelakaan biasa yang terjadi diladang 

orang tuanya. Seperti diketahuinya, orang tua Andika 

bekerja di kebun saudagar Legawa setengah hari, sete-

lah kembali dari berdagang tape uli dan ikan asin.

"Jad... jadi, ayahlah yang telah menyebabkan 

kematian orang tua, Kakang Andika?" kata Indah Dewi 

tersendat-sendat. "Sungguh keterlaluan, orang terhor-

mat semacammu begitu tega melakukan pembunuhan 

terhadap orang-orang yang tiada berdaya...!" Semakin 

bertambah merah wajah saudagar Legawa mendengar 

kata-kata pedas yang baru saja diucapkan oleh pu-

trinya. Dalam hati dia mengakui kesalahannya, tapi 

dia sadar, penyesalan yang terjadi juga sudah tiada 

gunanya. Tak mungkin dapat membangkitkan orang 

yang sudah mati.

"Itulah sisi terburuk dari kehidupan masa lalu-

ku, Indah...! Rasa-rasanya sekarang ini aku tak punya 

muka untuk menghabiskan sisa-sisa hidupku lebih 

lama lagi!" ucap saudagar Legawa seperti putus asa.


Buang Sengketa terdiam untuk sesaat lamanya, ba-

gaimanapun dia maklum dengan guncangan batin 

yang dialami oleh laki-laki berumur lima puluhan ini. 

Selanjutnya dengan suara berwibawa, pemuda ini be-

rucap:

"Sudahlah! Tiada guna menyesalkan masa lalu, 

kesedihan yang berlarut-larut tak akan pernah menye-

lesaikan masalah dalam bentuk apapun! Katakanlah, 

sekarang ini sang Hyang Widi telah membukakan ca-

krawala hati tuan, dan anda pantas bersukur kare-

nanya."

"Dosa-dosaku bertumpuk. Bahkan sulit untuk 

diampuni, ah... semoga saja, satu saat kelak pemuda 

itu datang kemari untuk menagih hutang nyawa...!" 

katanya pasrah.

"Hemm! Aku hanya berdoa, semoga pemuda itu 

masih punya hati untuk memaafkan segala kesala-

hanmu...!"

"Apa? Memaafkan aku...? Heh... tidak, semua 

itu hanya akan menyeretku dalam penyesalan yang 

berkepanjangan...!" sentak saudagar itu dengan mata 

melotot.

"Ayah! Untuk apa bersikeras, semuanya sudah 

berlalu, ayah...!" rintih janda kembang ini dengan hati 

pedih.

Ketika mereka sedang terlibat perbincangan se-

perti itu, tiba-tiba salah seorang pembantu saudagar 

Legawa datang tergopoh-gopoh memberi laporan:

"Laporan saudagar!" kata pembantu merangkap 

pengawal ini dengan nafas terengah-engah.

"Apa yang telah terjadi...?" tanya saudagar Le-

gawa dengan perasaan cemas.

"Tumenggung Jayeng Rono beserta prajurit-

perajuritnya mengamuk di halaman depan. Lima orang 

bawahan tewas, juga dua ekor kerbau yang berada di


kandang sebelah dibunuhnya...!"

"Kurang ajar! Segala macam kerbau kau bawa-

bawa...! Sudah kembali ke depan, kami segera datang 

ke sana...!" bentak saudagar Legawa. Kemudian beran-

jak dari tempat duduknya, namun begitu dia menoleh 

ke arah Pendekar Pedang Kelana. Pemuda berkuncir 

itu sudah tak ada lagi di tempatnya. Dengan sangat 

tergesa-gesa, bapak dan anak ini tak menunggu lebih 

lama terus bergegas menuju halaman depan rumah-

nya.

Sementara itu, Buang Sengketa yang paling du-

luan sampai di halaman rumah saudagar Legawa, 

langsung berhadapan dengan Tumenggung Jayeng Ro-

no yang telah berdiri di halaman luas beserta belasan 

orang anak buahnya yang bersenjatakan panah.

"Pemuda gembel! Mana saudagar Legawa yang 

telah bikin sengsara putraku...! Suruh dia keluar ce-

pat...! Kalau tidak, rumah mewah ini akan kubakar...!" 

teriak Tumenggung Jayeng Rono dalam kemarahan-

nya.

"Kau datang telah membunuhi sekian banyak 

orang! Dan putramu tewas bukan di tempat ini. Kesa-

lahan manakah yang kau tuntut...?" tanya si pemuda 

begitu tenangnya.

"Aku tak perlu bicara denganmu, bocah berpe-

riuk..! Yang kuinginkan nyawanya saudagar Legawa... 

dan putrinya...!" bentak Tumenggung Jayeng Rono, 

dan wajahnya yang sudah dipenuhi kerut-merut ini 

berubah kelam membesi.

"Aku telah mengetahui duduk persoalan yang 

sebenarnya. Kuharap engkau mau menyudahi persoa-

lan ini sampai di sini saja, pulanglah...!" kata si pemu-

da bagai memerintah seorang anak kecil.

"Keparaat! Kau malah mau mengguruiku...!"

"Ha,... ha... ha...!" Buang Sengketa tergelak


gelak. "Putramu yang licik itu kau bela mati-matian. 

Kau merupakan orang terhormat, Tumenggung...! Tapi 

kulihat kau tak pernah becus mengurus putramu yang 

telah begitu banyak membuat kesalahan-kesalahan 

besar...!"

"Jadah! Kau benar-benar membuat kesabaran-

ku lenyap, budak gembel...! Kuperingatkan padamu 

sekali lagi, cepat suruh keluar Saudagar Legawa...!" pe-

rintah Tumenggung Jayeng Rono, dengan nafas mem-

buru karena dibakar api kemarahannya sendiri.

"Tak perlu kau memerintah pemuda ini, bekas 

besan! Sekarang katakan apa yang kau inginkan...!" 

Tukas Legawa, yang secara tiba-tiba telah berdiri di si-

si Buang Sengketa bersama putrinya. Begitu sinis ta-

tapan mata Tumenggung Jayeng Rono begitu melihat 

kehadiran Legawa dan Indah Dewi. Sementara itu, be-

lasan prajurit Katemenggungan yang bersenjatakan 

panah telah siap membidik ke arah sasarannya.

"Kau telah menipu kami dengan rasa malu yang 

begitu besar. Sesuai perjanjian semua harta bendamu 

harus disita! Tapi... kiranya kalian membangkang. Ka-

lian pikir kehadiran bocah berperiuk itu mampu me-

lindungi dirimu dari hunjaman panah-panah kami...?"

"Untuk sebuah kebenaran kami tak pernah ta-

kut mati, Tumenggung keparat!" tantang saudagar Le-

gawa tanpa merasa sungkan.

"Jahanam...!" geram Tumenggung Jayeng Rono. 

Kemudian tanpa berkata-kata lagi dia memberi isyarat 

pada belasan prajurit pemanah.

"Bunuh mereka...!" teriak Tumenggung itu pa-

nik.

"Menepi dan berlindung tuan Legawa...!" perin-

tah Buang Sengketa. Kemudian laksana kilat dia han-

tamkan pukulan Empat Anasir Kehidupan, menyong-

song ratusan batang anak panah yang memburu ke


arah dirinya.

"Brees...!"

Ratusan batang anak panah yang meluncur de-

ras ke arah dirinya hancur berkeping-keping di tengah 

jalan. Sedangkan yang lainnya berpentalan ke segala 

arah. Namun belum lagi si pemuda sempat menarik 

nafas. Ratusan batang anak panah, kembali mendera 

ke arahnya. Dengan mengandalkan jurus si Jadah 

Terbuang, tubuh si pemuda bergerak cepat, menghin-

dar. Sekali lagi dia hantamkan pukulan Empat Anasir 

Kehidupan yang menimbulkan hawa panas itu ke arah 

panah yang telah terlepas dari busurnya. Lagi-lagi ra-

tusan batang anak panah itu hancur berkeping-

keping. Tumenggung Jayeng Rono demi melihat kehe-

batan yang dimiliki oleh si pemuda nampak terkagum-

kagum, di samping rasa kejut yang bukan alang kepa-

lang.

"Panah...!" Tumenggung Jayeng Rono sekali lagi 

memberi perintah. Dengan cepat pasukan pemanah 

itupun mengerjakan apa yang dikatakan oleh atasan-

nya.

"Edan! Kalau terus kuumbar pukulan-pukulan 

saktiku, lama-kelamaan tenagaku bisa terkuras habis. 

Padahal dalam tabung busur di punggung mereka 

jumlah anak panah masih sedemikian banyaknya...! 

Aku harus menghemat tenaga, sementara biarlah sau-

dagar Legawa dan putrinya bersembunyi di tempat 

yang aman...!" batin pemuda titisan raja Ular Piton 

Utara ini di dalam hati.

Demikianlah saat ratusan anak panah itu kem-

bali menghunjam dirinya, tak ayal lagi, pemuda inipun 

lepaskan pukulan maut pamungkas Si Hina Kelana 

Merana, dengan disertai Lengkingan Ilmu Pemenggal 

Roh.

"Heiiikgh...!"


Pemuda ini melesat ke udara, begitu tubuhnya 

berjumpalitan ke bawah. Maka diapun hantamkan 

tangannya ke depan.

"Wuuuuss...!"

Serangkum gelombang sinar berwarna merah 

menyala, menyambar ke arah ratusan batang anak 

panah tadi, bahkan akibatnya tidak sampai disitu saja. 

Ratusan batang anak panah itu hancur menjadi serpi-

han kecil, sedangkan pukulan itu terus menderu dan 

menghantam belasan regu pemanah. Tubuh orang-

orang itu berpelantingan roboh dengan keadaan han-

gus. Sedangkan sisanya yang selamat, beberapa detik 

kemudian juga tersungkur roboh. Semua yang terjadi 

ini sudah pasti akibat lengkingan ilmu Pemenggal Roh. 

Memang tak dapat disangkal karena ternyata dari te-

linga dan hidung mereka mengalirkan darah kental. 

Tak satupun prajurit-prajurit Katemenggungan yang 

tersisa, mereka semua roboh dalam keadaan mengge-

naskan. Sedangkan yang tertinggal adalah tiga orang 

pentolan yang sudah jelas memiliki tenaga dalam yang 

tinggi. Mereka itu antara lain, Kincir Angin, Jelatu dan 

Tumenggung Jayeng Rono sendiri.

"Tunggu apa lagi, manusia-manusia keparaat!"

"Jahanam, kau telah membunuhi semua anak 

buahku hanya dalam waktu beberapa gebrakan saja! 

Siapakah kau ini...!" bentak Jayeng Rono, masih belum 

hilang rasa keterkejutannya.

"Ha... ha... ha...! Kalau kalian ingin tahu, aku-

lah si Hina Kelana...?" kata si pemuda.

Hal ini tentu membuat terperanjat Kincir Angin 

yang telah begitu banyak mengetahui tentang sepak 

terjang pemuda keturunan negeri alam gaib itu. Jan-

gankan dirinya, sedangkan gurunya sendiri, yaitu Pa-

dri Mata Elang tewas di tangan Pendekar Golok Bun-

tung ketika terjadi pertempuran di Sindang Darah. Sedangkan ilmu kepandaian yang sekarang di milikinya 

tak lebih dari apa yang diberikan oleh gurunya dulu. 

"Ah, aku tak mungkin menandingi pemuda ini. Lesma-

na sahabat yang akan kutolong telah mati. Biarlah su-

atu saat kelak andai kepandaianku telah memenuhi 

persaratan, akan kucari pemuda berkuncir itu...!" ba-

tin si Kincir Angin. Selanjutnya tanpa menoleh-noleh 

lagi, laki-laki berbadan kurus itupun pontang panting 

melarikan diri.

"Hei... saudara Kincir Angin, mau kemana 

kau...?" tanya Tumenggung Jayeng Rono tidak menger-

ti.

"Ah... urusanku masih banyak! Aku segan ber-

hadapan dengan gembel itu! Uruslah persoalanmu 

sendiri sampai selesai...!" kata Kincir Angin, dengan 

sekali berkelebat lenyaplah orang itu dari pandangan 

mereka.

"Kau tak ikut-ikutan kabur Tumenggung 

Jayeng Rono...?" sindir Buang Sengketa sambil mena-

tap sinis pada sang Tumenggung.

"Aku tak sepengecut dia! Lihatlah, aku ingin 

mengadu jiwa denganmu...!" teriak Tumenggung itu, 

selanjutnya dengan dibantu oleh Jelatu. Kedua orang 

ini segera menerjang ke arah lawannya dengan pedang 

di tangan masing-masing. Buang Sengketa nampaknya 

sudah memperhitungkan seberapa jauh kemampuan 

yang dimiliki oleh seorang Tumenggung. Dia tak ingin 

bertindak setengah-setengah. Tanpa menunggu lebih 

lama. Pemuda dari negeri Bunian ini langsung menca-

but pusaka Golok Buntung yang terselip di bagian 

pinggangnya. Suasana di sekeliling tempat itu menda-

dak berubah dingin luar biasa, dan Tumenggung 

Jayeng Rono serta Jelatu menjadi lebih terkejut lagi 

saat melihat senjata di tangan Buang Sengketa me-

mancarkan sinar merah menyala. Tapi mereka tak


sempat lagi berpikir lebih lama, karena saat-saat se-

lanjutnya senjata di tangan si pemuda telah menderu 

mencecar pertahanan lawan.

Di luar sepengetahuan siapapun, kiranya ada 

sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan sepak 

terjang si pemuda dengan cermat. Pemilik sepasang 

mata itu diam-diam mengagumi kehebatan yang dimi-

liki si pemuda. Namun di lain saat orang itupun terse-

nyum sinis.

"Dia berada di pihak saudagar Legawa! Pasti 

pemuda berperiuk itu merupakan lawan yang paling 

tangguh buatku. Aku yakin Pedang Asmara di tangan-

ku mampu mengatasi senjatanya yang berupa golok 

buntung itu...!" batin si pemilik sepasang mata yang 

tak lain Andika adanya. Tapi pemuda wajah coreng-

moreng itu kemudian memusatkan perhatian ke arah

pertempuran saat mana dia mendengar jeritan salah 

seorang dari mereka yang sedang bertempur. Saat itu 

tubuh Jelatu, yaitu yang merupakan pembantu kedua 

Tumenggung Jayeng Rono, nampak terhuyung-

huyung. Luka menganga di bagian lehernya begitu ba-

nyak menyemburkan darah. Tak lama setelahnya tu-

buh laki-laki itu terjengkang, berkelojotan sesaat ke-

mudian diam untuk selama-lamanya. Belum lagi hi-

lang keterkejutan pemuda dari Lembah Patah Hati ini, 

lagi-lagi terdengar satu jeritan. Dan yang menjadi kor-

bannya adalah Tumenggung Jayeng Rono sendiri. Mata 

pemuda itu membelalak, tapi kejadian itu tidak pernah 

mengurangi niatnya untuk menghadapi pemuda itu. 

"Sungguh Hebat... dalam waktu yang begitu singkat 

dia telah membunuh orang-orang yang memiliki ke-

pandaian tinggi." batinnya lagi. Sementara itu, Buang 

Sengketa sudah menyarungkan pusaka Golok Buntung 

ke dalam tempatnya. Saudagar Legawa dan Indah Dewi 

datang menghampiri, dari sebuah tempat persembunyiannya.

"Pendekar yang sangat tangguh! Kau telah me-

nyelesaikan segala-galanya...!" puji Legawa sambil me-

nepuk bahu si pemuda.

***

SEMBILAN



"Segala-galanya belum berakhir, saudagar ter-

hormat! Kau belum membayar hutang nyawa dua 

orang tukang kebunmu, yang dulu dibunuh dengan 

cara menyiksanya. Hanya karena anaknya telah mena-

ruh cinta pada putrimu...!" kata Andika dari atas tem-

bok pagar.

"Kakang Andika...!" pekik Indah Dewi membu-

ru. Tapi jawaban yang keluar dari mulut pemuda wa-

jah coreng-moreng menyambut dingin.

"Aku bukan Andika! Pemuda yang kau cintai 

itu telah mati terkubur di dasar Lembah Patah Hati, 

orang tuamu yang menyuruh dirinya untuk membu-

nuh diri. Haha... ha... ha...! Sedangkan aku adalah 

orang yang mewakilinya, untuk menagih hutang nyawa 

pada laki-laki yang bernama Legawa...!" berkata begitu, 

pemuda berjubah hitam ini melompat turun dari atas 

tembok pagar yang tingginya tidak lebih dari tiga me-

ter. Gerakan tubuhnya begitu ringan, dan tanpa me-

nimbulkan suara dia telah menjejakkan kakinya di de-

pan Buang Sengketa dan Legawa.

"Andika... aku menyadari kekeliruanku dulu. 

Kalau sekarang engkau datang ingin menagih nyawa 

padaku, aku rela untuk kau bunuh dengan cara apa-

pun, asalkan hatimu puas. Tapi jangan sakiti putriku, 

karena akulah yang bersalah. Sedangkan putriku tak


tahu apa-apa...!" kata si saudagar, pasrah.

"Huh... sudah kukatakan aku bukan Andika! 

Orang itu telah mati di Lembah Patah Hati...!" dengus 

Andika dengan sikap acuh.

"Baiklah kalau kau tak mengakui dirimu sendi-

ri, sekarang kalau kau menghendaki nyawaku, laku-

kanlah...!" kata saudagar Legawa.

"Kematianmu segera datang, secara pelan na-

mun pasti! Tapi sebelumnya aku akan menjajal sampai 

di mana kehebatan yang dimiliki oleh pemuda berpe-

riuk yang selama ini menjadi kaki tanganmu...!"

"Kakang Andika! Jangan lakukan, kakang! 

Orang itu selama ini telah banyak menolong keluarga-

ku dari maut...!" desis Indah Dewi dengan mata berka-

ca-kaca.

"Sudah kukatakan aku bukan Andika! Pula apa 

perdulimu jika aku ingin menjajal kehebatan manusia 

gembel yang menjadi pelindung keluarga terhormat 

saudagar Legawa...?" kertak Andika dengan sikap se-

makin bertambah acuh. Pedih rasanya hati Indah Dewi 

mendapat kenyataan seperti itu. Telah begitu dingin-

kah hati pemuda yang dulu pernah mencintai dirinya 

dengan sepenuh hati? Dalam pada itu, Pendekar Hina 

Kelana yang sudah merasa tersinggung. Langsung 

membentak marah:

"Mulutmu keterlaluan sekali, Satria Pedang 

Asmara! Tak pernah kusangka urusan asmara dalam 

hidupmu kiranya merupakan persoalan yang sangat 

besar dan paling berarti. Tapi tak kulihat orang-

orangmu turut serta bersamamu, apakah kau merasa 

malu bila orang-orang itu tahu duduk persoalan yang 

sebenarnya...?" sindir pendekar ini tanpa sungkan-

sungkan lagi.

"Itu bukan urusanmu... Cabut senjatamu, mari 

kita buktikan siapa yang paling hebat di antara kita...!"


"Hiaaaat... Chaiiiit...!"

"Siiingg...!" 

Menyadari yang menjadi lawannya kali ini ada-

lah seorang tokoh muda yang sangat tangguh. Maka 

begitu menggerakkan tubuhnya mengawali serangan, 

Satria Pedang Asmara langsung mencabut senjatanya 

yang berwarna hitam kebiru-biruan.

"Tuan Legawa, Indah Dewi...! Menyingkirlah...!" 

Perintah Buang Sengketa begitu merasakan hawa yang 

sangat keji menyebar lewat sambaran-sambaran pe-

dang yang sangat ganas. Buang Sengketa melentikkan 

tubuhnya ke udara, dengan mempergunakan jurus si 

Gila Mengamuk dan juga jurus Si Jadah Terbuang. Ge-

rakan-gerakan silat kedua pemuda itu ternyata sangat 

cepat luar biasa. Hanya dalam waktu yang begitu sing-

kat, pertempuran yang menentukan hidup matinya 

kedua orang ini telah berlangsung lima belas jurus. 

Keringat meleleh membasahi pakaian kedua belah pi-

hak. Tapi kenyataan ini malah membuat keduanya ba-

gai dirasuki iblis yang sudah siap saling bunuh. Satu 

ketika Andika sambil membabatkan pedangnya yang 

mengeluarkan bunyi aneh, juga lepaskan satu pukulan 

yang diberi nama 'Menanti Kekasih Tidak Kunjung Da-

tang' Pukulan itu sesungguhnya tidak berwujud, na-

mun Buang dapat merasakan akibat yang ditimbul-

kannya. Begitu pukulan itu menderu ke arah pertaha-

nannya, tubuh Buang Sengketa terdorong beberapa 

tindak, dada secara tiba-tiba terasa sesak dan sulit 

bernafas. "Bangsat! Orang itu benar-benar bermaksud 

ingin membunuhku!" batinnya. Tapi dia pun tidak 

tinggal diam, lalu dia kerahkan tiga perempat tenaga 

dalamnya. Selanjutnya pukulan si 'Hina Kelana Mera-

na' yang memancarkan cahaya merah menyala itupun 

dia lepaskan dengan telak. 

"Wuuus...!"


Serangkum gelombang berhawa panas luar bi-

asa menyongsong datangnya pukulan tanpa ujud yang 

dilepas oleh Andika.

"Blaaam...!"

Akibat bertemunya dua kekuatan sakti itu 

membuat tubuh keduanya terpelanting roboh. Masing-

masing lawan nampaknya sama-sama mendapat luka 

dalam yang cukup berarti. Bahkan darah kentalpun 

nampak meleleh dari celah hidung dan bibir mereka. 

Namun bagai tak merasakan akibat apa-apa, Andika 

cepat-cepat bangkit mengatur posisi. Pedang Asmara di 

tangannya terus bergetar dan memperdengarkan suara 

yang sangat aneh. Sementara itu Buang Sengketa sen-

diri saat itu dengan tertatih-tatih berusaha bangkit 

dan mengatur pernafasan serta mengimpun tenaga da-

lamnya.

"Hiaat...!"

Diiringi dengan satu jeritan tinggi melengking. 

Tubuh Andika nampak melesat dengan senjata terhu-

nus.

"Heiiikgh...!"

Di sertai lengkingan Ilmu Pemenggal Roh, pe-

muda itupun cabut senjatanya yang berupa Golok an-

dalan.

"Nguuung...!"

Tak ayal lagi senjata yang memiliki pamor tinggi 

itupun berputar sedemikian cepat membentuk perisai 

diri. Secara peraktis tubuh Buang Sengketa terbung-

kus sinar Merah yang ditimbulkan oleh pusaka Golok 

Buntung di tangannya. Dingin beradu dengan dingin 

membuat tubuh masing-masing lawan terasa beku. 

Tapi Buang Sengketa juga berusaha mengerahkan te-

naga dalamnya sebaik mungkin agar dirinya tak ter-

pengaruh dengan pamor pedang yang berada dalam 

genggaman lawannya.


"Traaang...!"

Terlihat percikan bunga api berpijar manakala 

dua buah senjata yang memiliki pamor tinggi itu saling 

berbenturan dengan keras. Tangan masing-masing la-

wan sama-sama tergetar dan kesemutan. Sesaat kedua 

pemuda yang sedang bertarung itupun terhuyung-

huyung. Dan merekapun sama-sama menyeringai. Ta-

pi kejab kemudian mereka telah terlibat lagi dalam per-

tarungan yang lebih seru. Andika pun telah mengelua-

rkan jurus pedang 'Hidup Hampa' yaitu jurus tingka-

tan terakhir yang dimilikinya. 

"Haiiit...!"

Teriakan pemuda wajah coreng-moreng itu 

membahana, terasa bagai merobek suasana pagi. Di 

pihak Buang Sengketa, tanpa sungkan-sungkan lagi 

segera pula mencabut senjata lain yang berupa Cam-

buk Gelap Sayuto.

"Nguung... Jdarr... Jdaar...!"

Cambuk itu melecut, akibat yang ditimbulkan-

nya sungguh membuat Andika jadi terperangah. Kea-

daan di sekelilingnya mendadak menjadi redup. Petir 

dan halilintar sambung-menyambung, kemudian sua-

sana adalah kegelapan yang menakutkan. Tapi Andika 

nampaknya sudah tiada memperdulikan keadaan ini. 

Kemudian dia babatkan pedangnya, cambuk di tangan 

Buang menyambut...!

"Praaang... Jdaaarr...!"

Cambuk di tangan pendekar Hina Kelana ber-

hasil melibat pertengahan Pedang Asmara yang berada 

dalam genggaman Andika. Betot membetotpun akhir-

nya berlangsung. Masing-masing lawan mengerahkan 

segenap tenaga dalamnya. Tapi keadaan tidak beru-

bah. Dan pabila Buang Sengketa teringat pada jurus 

Koreng Seribu. Serta merta dia menarik balik tenaga 

dalamnya. Anehnya Andika merasakan tenaganya am


blas begitu saja, tubuhnya bagai tersedot oleh satu ke-

kuatan yang tiada kelihatan.

"Lepas...!"

Dengan sekali sentak, pedang yang menimbul-

kan hawa aneh itupun telah berpindah tangan. Begitu 

pedang itu berada di tangan Buang Sengketa, dia me-

rasakan sesuatu yang aneh menjalari tubuhnya.

"Pedang Iblis!" teriak si pemuda kemudian me-

nyambitkan pedang di tangannya dengan segenap ke-

kuatan yang dimilikinya.

"Ahhk, pedangku...!" rintih Andika, kemudian 

terhuyung-huyung. Selanjutnya ambruk.

"Maafkan aku, Indah Dewi...!"

"Kakang Andika...!" jerit Indah Dewi yang ter-

nyata tetap mencintai pemuda itu.

"Bawalah dia! Dalam bimbinganmu, kurasa dia 

dapat mengobati luka-luka hatinya!" kata Buang Seng-

keta. Dan dalam kegelapan itu, pemuda keturunan ra-

ja dari negeri Bunian itupun berkelebat pergi. Tiada 

yang mengetahui kepergiannya, sebab

saat itu saudagar Legawapun sedang sibuk mengurusi 

calon mantunya yang dalam keadaan pingsan.



                            TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar