BANJIR DARAH DI BUKIT SILUMAN
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69
Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Gambar Sampul oleh David
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
dalam episode: Banjir Darah Di Bukit Si-
luman
SATU
Mudah-mudahan Ratih dan keempat ka-
wannya dapat meloloskan diri dari kepungan ini. Aku
tak tahu seberapa banyak jumlah mereka? Tapi aku
tak mau perduli dengan semua yang bakal akan terja-
di, apapun dan siapa pun mereka itu, yang pasti keda-
tangan mereka dengan membawa maksud-maksud
yang tak baik. Setidak-tidaknya aku harus bertahan di
sini selama mungkin, kalau pun mereka mengetahui
keberadaanku aku hanya berharap perhatian mereka
hanya tertuju padaku, sehingga Ratih punya kesempa-
tan untuk meloloskan diri. Batin pemuda berkuncir itu
sembari memandang ke sekeliling bukit yang saat itu
telah di penuhi dengan cahaya obor para pengepung-
nya
Setindak demi setindak pemuda keturunan Ba-
ja negeri Bunian ini melangkah undur mendekati pa-
depokan. Sepasang matanya menatap liar menjaga se-
tiap kemungkinan. Semakin lama tubuhnya pun se-
makin dekat dengan pondok yang sudah tidak ber-
penghuni itu. Dia terus merapat ke dinding, dengan
maksud bergerak ke bagian belakang. Tapi akhirnya
dia menghentikan langkah saat mana kaki kirinya me-
nyentuh sesuatu di depannya. Sejenak pemuda berwa-
jah tampan itu memperhatikan sosok yang tergeletak
di depannya. Begitu dia memeriksa, betapa terperan-
jatnya pemuda itu setelah memeriksa sosok tubuh
yang tergeletak tadi.
"Celaka... orang-orang ini ternyata murid-murid
padepokan? Mereka tewas di depan hidungku, bahkan
di luar sepengetahuanku pula! Lalu siapa keempat
orang yang pergi bersama Dewi Ratih tadi? Tololnya la-
gi Ratih pun pasti tidak tahu dengan siapa dia pergi.
Kalau begitu dia benar-benar berada dalam keadaan
bahaya...!" Katanya pula seorang diri. Dalam pada itu
orang-orang yang mengepung padepokan itu semakin
dekat jaraknya dengan posisi si pemuda berkuncir
atau yang lebih di kenal dengan Pendekar Hina Kelana.
Bahkan suara-suara teriakan mulai pula berkuman-
dang. Satu-satunya suara pengepung itu yang sampai
begitu jelas di telinga Buang Sengketa adalah suara
yang datangnya dari bagian Utara bukit itu. Suara
orang itu parau dan bahkan mendekati sengau. Dari
suaranya yang begitu keras, Buang Sengketa dapat
memperhitungkan bahwa pemiliknya pastilah seorang
tinggi besar dan memiliki tenaga dalam yang cukup
tinggi.
"Kepada orang-orang yang berada di dalam pa-
depokan, menyerahlah kalian secara baik-baik. Pade-
pokan ini sudah terkepung...!" Begitu teriakan keras
itu merobek keheningan malam, maka suasana di se-
kelilingnya mendadak saja berobah menjadi sunyi sepi.
Tiada sahutan apa pun dari Buang, sebaliknya para
pengepung yang jumlahnya tak kurang dari empat pu-
luh orang ini, si pemuda dapat memastikan mereka ki-
ranya terdiri dari berbagai golongan rimba persilatan.
"Orang-orang yang ada di padepokan, kalian ti-
dak memiliki waktu banyak untuk berpikir, lebih baik
menyerah untuk menerima hukuman setimpal atas
ulah Sepasang Walet Merah yang kami tahu masih me-
rupakan orang-orangmu...!" Teriak suara perempuan
yang berada di bagian sebelah Barat.
"Hemmm. Kiranya mereka mencari Sepasang
Walet Merah berarti kedatangan mereka hanyalah in-
gin meminta pertanggung jawaban...!" Pendekar Hina
Kelana lagi-lagi bergumam di dalam hati. "Aku tak ta-
hu sudah berapa banyak korban jatuh di tangan Dewi
Ratih Juwita dan Bagas Salaya. Apa pun yang menjadi
sasaran dari pembunuhan-pembunuhan mereka yang
jelas ke dua murid terkutuk itu benar-benar telah
mencemarkan nama baik padepokan bukit berkabung
yang hampir tiada memiliki kekuatan apa-apa...!" Seje-
nak lamanya pemuda berwajah tampan itu memperhi-
tungkan segala sesuatunya untuk mengambil langkah
lebih lanjut. "Jumlah mereka cukup banyak tak
mungkin aku menghadapi mereka tanpa menimbulkan
korban yang sebenarnya tak perlu ada. Tapi kalau ti-
dak dari sekarang aku berusaha menjelaskan duduk
persoalan yang sesungguhnya. Semuanya tidak dapat
dianggap selesai begitu saja...!" Ketika Buang sedang
mempertimbangkan segala sesuatunya itu, tiba-tiba
kembali terdengar bentakan menggeledek, "Manusia-
manusia keparat! Kalau kalian tidak mematuhi seruan
kami, jangan salahkan andai sekejap lagi padepokan
yang sudah tiada guna itu kami bakar menjadi de-
bu...!" Teriak suara yang berada di posisi bagian Barat.
Tiga tindak pemuda negeri bunian itu melangkahkan
kaki. Setelah memandang ke sekelilingnya, maka tan-
pa mengerahkan tenaga dalam dia pun menjawab.
"Tuan-tuan terhormat! Datang malam-malam
begini ada keperluan apakah?" Tanya si pemuda. Den-
gan adanya jawaban Buang Sengketa, tanpa di sangka-
sangka orang-orang yang mengepung padepokan, itu-
pun berlarian mendekati si pemuda dengan posisi te-
tap mengurung. Semakin mereka mendekat ke pade-
pokan maka semakin bertambah jelaslah sosok tubuh
berpakaian merah kumal ini. Buang angkat sebelah
tangan menutupi sebagian wajah untuk menghindari
silau cahaya obor yang sangat banyak itu. Selain orang
kebanyakan yang rata-rata membawa berbagai jenis
senjata, pertama-tama yang dia lihat datang mendekat
adalah seorang perempuan setengah baya berpakaian
kelabu, berambut kelabu dengan ikat kepala, berwarna
kelabu pula. Sedangkan di tangan nenek ini tergeng-
gam sebuah tongkat berwarna kuning, dan dibagian
ujung tongkat itu terdapat sebuah ukiran bergambar
kepala burung Rangko. Kemudian dari bagian lain
muncul pula seorang kakek tinggi besar berhidung
bengkok mirip paruh burung kakak tua. Walau pun
kakek ini sudah berusia lanjut, namun tubuhnya ma-
sih kelihatan kekar berotot, tak terdapat senjata lain-
nya di bagian tubuhnya terkecuali sebuah gada beru-
kuran tak lebih besar dari ibu jari. Kemudian dari
samping kanan Pendekar Hina Kelana menyeruak pula
sosok tubuh yang tingginya tak lebih satu meter, ber-
pakaian warna hitam dengan kumis dan jenggot yang
dibiarkan tumbuh memanjang sampai sebatas pusar.
Dibandingkan dengan dua orang tokoh lainnya maka
penampilan kakek berkumis panjang ini selintas mem-
beri kesan lucu, apalagi dengan dua buah senjatanya
yang sangat mirip dengan pemukul gong. Penampilan-
nya lebih cenderung berkesan seorang badut ketim-
bang seorang tokoh persilatan. Walau pun begitu ka-
langan persilatan tak berani bertindak sembarangan
dengan kakek berpenampilan lucu ini. Sebab selain
memiliki senjata andalan yang mirip dengan pemukul
gong tadi kakek berkumis panjang itu juga memiliki
pukulan sakti yang mampu membuat roboh puluhan
orang pihak lawan dengan sekali gebrak saja. Kalan-
gan persilatan mengenalnya sebagai 'Si Kumis Panjang
Gong Akherat'. Sedangkan perempuan berambut serta
berpakaian kelabu dengan tongkatnya berkepala bu-
rung Rangko itu di kalangan persilatan lebih di kenal
dengan julukan "Si Tongkat Maut Dari Lembah Pang-
gang". Sesuai dengan julukannya selama ini perem-
puan berpakaian kelabu ini tinggal di lembah Pang-
gang bersama dengan beberapa orang muridnya
Sedangkan kakek tinggi besar berhidung beng
kok dalam rimba persilatan lebih di kenal dengan julu-
kan si 'Gada Wisa', tak jauh menyimpang dari julu-
kannya. Maka senjatanya yang berupa gada sebesar
ibu jari itu memiliki racun yang sangat ganas, belum
pernah dalam sejarahnya selama malang melintang di
rimba persilatan pihak lawan mampu bertahan hidup
apabila sampai tersentuh gada beracun itu, jangankan
lagi sampai terpukul. Selama ini Gada Wisa atau Gusti
Durjana berkuasa di Belantara Maliau dan Taruak. Dia
juga merupakan pemimpin tertinggi dalam Gerombolan
Sinar Kayangan (Untuk lebih jelasnya dalam episode
Kisah Sepasang Walet Merah). Yang jelas hanya rom-
bongan yang di pimpin oleh si tinggi hidung bengkok
sajalah yang merupakan rombongan beraliran sesat,
sedangkan rombongan yang dipimpin oleh si rambut
kelabu atau Sumirah dan si Kumis Panjang Gong Ak-
herat merupakan dua rombongan yang beraliran putih.
Hanya secara kebetulan sajalah mereka bertemu da-
lam perjalanan, dan entah mengapa dua golongan yang
saling bertentangan itu secara sepakat sama mendaki
bukit berkabung. Mungkin karena secara kebetulan
mereka memiliki tujuan yang sama saja.
Saat itu Buang Sengketa dengan sangat teliti
memperhatikan ketiga orang ini satu demi satu. Tapi
sekejap kemudian sebelum dia berkomentar apa-apa
kembali terdengar bentakan si tinggi besar.
"Hemm! Kurasa kuping mu belum tuli untuk
mendengar apa yang kukatakan di bawah sana tadi!"
Dalam keadaan terkepung seperti itu, Buang Sengketa
masih juga sempat cengar cengir kayak seekor monyet
yang baru saja habis pacaran. Tapi itu pun hanya ber-
langsung sekejap saja, karena kemudian dia sudah be-
rucap: "Maaf, aku memang tidak tuli! Tapi sama sekali
aku tak tahu apa yang anda katakan itu!" Katanya
dengan nada bersungguh-sungguh. Si tinggi besar hi
dung bengkok kepalkan tangannya. Dia tampaknya
merasa sangat tersinggung sekali dengan jawaban si
pemuda.
"Bicaramu seperti monyet cacingan, cepat se-
rahkan kawanmu, atau engkau menghendaki supaya
aku berbuat kasar?" makinya dengan geraham berge-
meletukan.
"Aku tak tahu apa yang kau maksudkan orang
tua...!"
"Kalau kau tak tahu, suruh si Girinda mene-
muiku...!" perintahnya dengan mata melotot.
"Maaf orang yang kau maksudkan telah pulang
menutup mata beberapa hari yang lalu." kata si pemu-
da dengan wajah menunduk sedih (Mengenai sebab-
sebab kematian Eyang Girinda terdapat dalam Episode
Kisah Sepasang Walet Merah). Bukan si kakek tinggi
besar saja yang merasa terkejut demi mendengar ke-
matian Girinda, namun perempuan rambut kelabu
pun keli-hatannya sama-sama terperanjat.
"Menyesal kami tak dapat melihatmu pada saat
hari terakhirmu, sobat...!" Kata kedua tokoh itu secara
hampir bersamaan. Dari nada ucapan dua tokoh itu
tampaknya Buang dapat menyimpulkan bahwa si
Rambut kelabu dan si Kakek Panjang Kumis masih
mempunyai hubungan persahabatan dengan Eyang
Girinda. Lain lagi halnya dengan si Gada Wisa, begitu
dia mendengar tentang kematian sesepuh Padepokan
Bukit Berkabung langsung saja meledak tawanya.
"Haha... huaahaha... ha...! Akhirnya kau mam-
pus juga Girinda! Heh... dulu kau boleh tertawa atas
kekalahanku melawan ayahmu, tapi seandainya kau
masih hidup sampai kini kaupun tak luput dari hu-
kumanku karena muridmu telah membunuh Sudiro
dan kawan-kawannya," katanya. Mendadak pandangan
matanya berubah liar, si Gada Wisa sejenak lamanya
memperhatikan ke arah bagian rumah padepokan
yang gelap gulita, kemudian kembali berpaling pada
Buang. "Huh, sekarang kau mau mengatakan bahwa
muridnya yang berjuluk Sepasang Walet Merah juga
sedang tak berada di rumah...?" tukas si tinggi besar
mengejek.
Pendekar Hina Kelana sejak dari tadi memang
berusaha menahan diri untuk tidak larut dalam emosi,
namun lama-kelamaan dia muak juga melihat tam-
pang dan lagu ketua gerombolan Sinar Kayangan yang
sangat angkuh itu, apalagi ketika dia teringat saat ma-
na dia melintasi hutan Maliau dan Taruak beberapa
pekan yang lalu. Mau tak mau kini dia harus bersikap
tegas juga.
"Orang yang memiliki julukan Sepasang Walet
Merah bukanlah murid Padepokan Bukit Berkabung.
Kalau pun ada dua orang murid terkutuk itu sekarang
bukan lagi merupakan murid padepokan ini. Mereka
telah terusir sejak lama, nah kalau orang-orangmu
terbunuh di tangan mereka, bukan di tempat ini kalian
harus mencari...!"
"Kurang ajar, gembel amoh! Aku tau kau bu-
kanlah murid Girinda, kuperintahkan jangan ikut
campur urusan kami. Menyingkir! Kami mau geledah
rumah itu...!" Teriakan yang di sertai dengan pengera-
han tenaga dalam itu dengan maksud untuk membuka
mata bagi si pemuda yang belum di kenalnya. Si tinggi
besar berharap agar orang yang berdiri di hadapannya
itu tau siapa sesungguhnya manusia yang memiliki ju-
lukan 'si Gada Wisa'.
Kenyataannya Buang memang merasa-kan be-
tapa tubuhnya tergetar ketika mendengar ucapan
orang ini, namun dengan sedikit mengerahkan tenaga
saktinya, maka pengaruh bentakan itu pun lenyap se-
ketika. Kejut di hati Gada Wisa bukan alang kepalang,
sedikit pun dia tiada menyangka, bahwa pemuda gem-
bel yang berdiri di hadapannya itu memiliki kepan-
daian yang belum dia ketahui betapa tingginya.
"Menyingkir kataku...!" Bentak si kakek berhi-
dung bengkok mengulangi perintahnya.
"Baiknya kau menyingkir orang muda! Kami
memang ingin memeriksa kediaman Girinda untuk
mencari kepastian apakah orang yang telah membu-
nuh murid-murid kami berdua ada di tempat atau ti-
dak...!" Menimpali si Kakek Panjang Kumis dan si pe-
rempuan rambut kelabu.
"Sudah kukatakan bahwa orang yang kalian ca-
ri, yaitu si murid terkutuk itu tak ada di tempat, kalau
pun kalian memaksa juga, maka aku tak akan mem-
biarkannya begitu saja. Sebab keutuhan padepokan ini
merupakan amanah yang perlu kukerjakan dari Eyang
Girinda...!" kata si pemuda begitu tegas. Si rambut ke-
labu dan si panjang kumis tampaknya tidak bereaksi
apa-apa atas pernyataan yang diucapkan oleh Buang
Sengketa. Dan yang sebenarnya mereka sudah dapat
mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Sepenuh
hati mereka percaya dengan kejujuran ucapan pemuda
itu. Bagi mereka tak ada jalan lain selain meninggal-
kan tempat itu. Mengingat persahabatan mereka den-
gan sesepuh padepokan yang kini telah mereka sama
ketahui meninggal pula. Lalu mereka memutuskan un-
tuk mencarinya di tempat lain. Itu sebabnya beberapa
saat kemudian si rambut kelabu dan si Kakek Panjang
Kumis beserta murid-muridnya segera beranjak menu-
runi puncak padepokan.
Lain lagi halnya dengan pemimpin gerombolan
Sinar Kayangan, kata-kata Buang yang bernada me-
nantang ini merupakan sebuah pengalaman baru yang
selama malang melintang dalam dunia persilatan be-
lum pernah terjadi. Dia beranggapan kalau pun tadi
pemuda ini mampu mengatasi serangan tenaga da-
lamnya, itu bukan berarti dia harus mengurungkan
niatnya untuk mengobrak abrik padepokan bukit Ber-
kabung. Mengingat selain murid-muridnya sempat te-
was di tangan Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih
pabila terkenang pada kekalahannya dulu. Maka siapa
pun adanya pemuda berperiuk ini dia sudah tidak per-
duli lagi.
"Bocah! Masih jugakah kau pada pendirian-
mu...?" Bertanya si Gada Wisa dengan sikap sangat
penasaran.
"Selamanya aku tak pernah merobah segala apa
yang pernah kuucapkan...!" jawab Buang Sengketa
dengan sikap waspada. Semakin bertambah panas hati
ketua gerombolan Sinar Kayangan ini, kemudian dia
memberi tanda pada murid-muridnya untuk menyerbu
ke dalam padepokan. Sementara dia sendiri ingin men-
jajal sampai di mana kehebatan pemuda yang belum di
kenalnya itu.
"Anak-anak! Cari bangsat pembunuh itu di pa-
depokan, biar aku meremukkan batok kepala bocah
konyol ini...!" teriaknya tak sabaran lagi.
"Beet!"
Buang melompat lima tindak ke belakang, sorot
matanya liar mengawasi setiap gerakan yang akan ter-
jadi. Lalu sebelum gerombolan Sinar Kayangan bertin-
dak lebih jauh. Dia pun mengerahkan tenaga dalam
untuk melepas ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh'.
"Tak akan kubiarkan setan manapun memasu-
ki padepokan...!"
"Jangan hiraukan ocehannya! Cepat bertin-
dak...!" bentak kakek tinggi besar demi melihat keragu-
raguan membayang di wajah murid-muridnya. Akhir-
nya orang-orang berangasan itu mulai bertindak.
"Heeiiikgh...!"
Laksana merobek keheningan malam lengkin-
gan Ilmu Pemenggal Roh terlepas dari mulut si pemu-
da, tujuh dari duapuluh orang murid Gada Wisa ter-
jengkang menemui ajal dengan telinga mengalirkan
banyak darah. Tanah di sekitar tempat mereka terasa
bagai di guncang tangan-tangan raksasa. Mereka yang
masih sempat menutup indera pendengarnya tampak
tergetar tubuhnya. Begitupun rasa sakit di bagian da-
da masih begitu menggigit. Sedangkan si kakek berhi-
dung bengkok sendiri meskipun tidak menerima akibat
yang sangat patal karena dia pun melindungi diri den-
gan pengerahan tenaga sakti. Namun tetap harus
mengakui bahwa selama ini dia belum pernah melihat
seorang pemuda bertampang gembel seperti orang
yang berpakaian merah di hadapannya memiliki ilmu
aneh yang mampu membunuh lawan-lawannya hanya
dengan sekali jeritan melengking itu.
Saat itu Pendekar Hina Kelana sedikit demi se-
dikit mulai membuka matanya yang terpejam. Melalui
cahaya obor yang berserakan di atas tanah, dia dapat
melihat wajah Gada Wisa, sebentar memerah dan di
lain saat berubah pucat. Hal itu tidak begitu lama ber-
langsung, sebab detik selanjutnya wajah itu telah
kembali pada keadaannya yang asli. Dingin menye-
ramkan.
"Hebat! Baru kali ini aku melihat dengan mata
kepala sendiri ada ilmu segila itu. Hemm. Pantasan
kau berani bertingkah di depan mataku! Bagus, kalau
kau tak menghendaki aku mendobrak padepokan milik
Girinda, maka pertama-tama yang akan kulakukan
adalah mendobrak nyawamu hingga terbang ke nera-
ka...!" Kakek tinggi besar ini kemudian mengerang ba-
gai harimau terluka, dengan di sertai ilmu meringan-
kan tubuh yang sudah sangat sempurna dia melaku-
kan satu tubrukan di depan.
****
DUA
Buang Sengketa nampaknya sudah memperhi-
tungkan apa yang bakal di lakukan oleh pihak lawan-
nya. Sekali ini dia ingin menjajaki sejauh mana tenaga
dalam yang dimiliki oleh pihak lawannya. Dengan se-
dikit menggeser tubuhnya, maka dengan mempergu-
nakan jurus 'Membendung Gelombang Menimba Sa-
mudra' kedua tangannya dia putar sedemikian rupa
sehingga membentuk sebuah perisai yang sangat ko-
koh. Pakaian yang menempel di tubuh si tinggi besar
tampak berkibar-kibar di terpa angin yang ditimbulkan
akibat putaran kedua tangan si pemuda. 'Gada Wisa'
hanya sesaat saja tersentak. Satu tenaga dorongan
dengan mengandalkan setengah dari tenaga dalamnya
membuat tubuh kakek tinggi besar ini melesat ke de-
pan dengan sangat sebat sekali.
"Weees! Duuuk!"
"Ahh...!" Satu benturan telak terjadi, Buang
Sengketa tergetar tubuhnya. Telapak tangan yang sal-
ing berbenturan itu terasa sakit. Sukur dia kebal den-
gan segala bentuk racun, andai tidak sejak benturan
tadi sudah barang tentu jiwanya melayang. Sebab se-
lain pada senjatanya, tangan kakek ini juga mengan-
dung racun yang jahat.
Di pihak Gada Wisa hanya terhuyung saja satu
tindak, namun dia tidak merasakan apapun akibat
benturan tenaga dalam tadi. Merasa dirinya berada di
atas angin, maka tiada tertahankan lagi, laki-laki be-
rusia enam puluhan ini pun tergelak-gelak.
"Sekejap lagi, kau benar-benar mampus sobat
kecil...!" geramnya sembari menyerang Buang dengan
jurus-jurus silat tangan kosong yang dimilikinya. Pen-
dekar Hina Kelana tidak mau mengalah begitu saja,
apalagi bila dia mengingat akan keselamatan Dewi Ra-
tih yang masih berada dalam tanggung jawabnya.
Bahkan kini dia merasa tak perlu berlama-lama ber-
hadapan dengan gerombolan Sinar Kayangan. Apa
yang dia sadari belakangan adalah menyelamatkan Ra-
tih terlebih dahulu. Toh kalau pun terjadi sesuatu
dengan padepokan belakang hari masih dapat diper-
baiki. Mengingat sampai sejauh itu tiba-tiba mengutu-
ki dirinya sendiri yang terlalu tolol.
Pada gebrakan selanjutnya Buang merasa tak
perlu melayani si Gada Wisa dengan jurus silat tangan
kosong. Cepat sekali dia mempersiapkan pukulan 'Si
Hina Kelana Merana' yaitu satu pukulan puncak yang
dimilikinya.
"Heaaat...!"
Setengah berputar tubuh Pendekar Hina Kelana
meletik ke udara. Tampaknya si Kakek Tinggi Besar
menyadari kalau si pemuda tidak melayaninya dengan
jurus silat tangan kosong. Tidak membuang waktu se-
detik setelah pukulan Si Hina Kelana Merana dile-
paskan oleh Buang. Maka diapun melepas pukulan
'Topan Gunung' yang sudah barang tentu mengandung
unsur racun ganas. Serangkum gelombang sinar me-
rah yang mengandung hawa panas datang menggebu,
tak kalah rendah pukulan Topan Gunung berwarna
dingin datang menyambut.
"Blaaar!"
Terdengar satu ledakan keras saat kedua puku-
lan sakti itu saling bertemu di tengah-tengah perjala-
nan. Kakek tinggi besar terjengkang tubuhnya, seba-
liknya Buang sendiri dengan sangat bersusah payah
cepat-cepat merangkak bangun, lalu tanpa menghiraukan darah yang meleleh, pemuda ini sudah menge-
rahkan ilmu lari cepatnya 'Ajian Sepi Angin'. Kejab
kemudian pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan
malam, satu tujuan yang ada dalam benak si pemuda
bahwa dia harus mencari jejak ke arah di mana le-
nyapnya Dewi Ratih beserta keempat orang yang se-
mula dianggapnya sebagai sisa-sisa murid padepokan.
Dalam pada itu si Gada Wisa demi mengetahui
musuhnya telah lenyap dari depan mata, menjadi san-
gat marah sekali. Dia menyadari pukulan yang menda-
tangkan hawa panas yang telah di lancarkan oleh si
pemuda memang sempat menggoyahkan pertahanan-
nya. Bahkan akibat benturan tenaga sakti tadi dia me-
rasakan dadanya masih terus berdenyut-denyut, darah
meleleh dari celah bibir dan lubang hidung. Ini me-
nandakan pihak lawan tidak berada di bawahnya, tapi
yang membuat dia heran adalah justru pada saat ke-
dua tangan mereka berbenturan, si pemuda tampak-
nya tidak menerima akibat apa-apa. Padahal pada ba-
gian tangannya juga memiliki racun ganas yang sangat
cepat reaksinya. Mungkinkah gembel berperiuk itu
kebal ter-hadap racun miliknya? Kakek tinggi besar itu
tampaknya merasa sangat penasaran sekali. Lalu dia
menoleh pada murid-murid yang kini hanya tinggal
sembilan orang itu.
"Cepat kalian geledah seisi padepokan...!" ben-
taknya berang.
"Baik, guruuu...!"
Serentak kesembilan orang muridnya bergerak
cepat, sebentar saja mereka sudah mendobrak pintu
padepokan lalu menyeruak masuk. Setelah menggele-
dah setiap kamar yang ada dan tak mendapati sesuatu
apa pun. Maka kesembilan orang itu kembali keluar
dari dalamnya. Seorang di antara mereka memberi laporan.
"Padepokan kosong! Tak seorang pun ada di da-
lamnya...!"
"Sialan! Kalau begitu bocah gembel itu tidak
berbohong. Tak ada jalan lain, bakar sarang kutu ku-
pret itu...!" perintahnya. Tanpa menunggu lebih lama
beberapa orang murid kakek tinggi besar langsung me-
lemparkan beberapa obor di tangan mereka. Sekejap
kemudian api pun berkobar. Semakin lama bertambah
membesar dan membubung tinggi. Lalu keadaan di se-
kelilingnya berobah menjadi terang benderang. Dalam
keadaan terang seperti itu, pandangan mata si Gada
Wisa yang jeli melihat adanya sosok mayat tergeletak
tidak begitu jauh dari tempat dia berada. Cepat-cepat
dia melakukan pemeriksaan, setelah meneliti beberapa
saat lamanya tahulah dia bahwa keempat mayat itu
merupakan murid-murid Padepokan Bukit Berkabung.
Merasa kesal di tendangnya keempat mayat itu hingga
melayang ke bagian bawah kaki bukit. Namun begitu
dia menoleh ke jurusan lain, dia melihat adanya sosok
lainnya yang juga dalam keadaan tergeletak kaku.
"Melihat pakaiannya, rasa-rasanya mayat yang
satu itu tidak asing bagiku! Ada baiknya kalau aku
memeriksanya...!" menggumam Gada Wisa seorang di-
ri. Dengan langkah lambat-lambat, dia hampiri sosok
tubuh yang terbujur kaku di depannya. Mendadak
langkahnya terhenti, hatinya terasa tercekat.
"Gajah Mungkur!" desisnya tanpa sadar. "Aku
tak tahu apakah pemuda yang memiliki ilmu aneh itu
telah membunuhmu! Oh... Gajah Mungkur saha-
batku...! Tak pernah kusangka kau bisa tewas di tan-
gan bocah gembel itu, padahal ilmu kepandaianmu ti-
dak begitu beda dengan kepandaian yang ku miliki.
Sahabat... sahabatku telah pergi!" katanya lirih.
"Keparaaat...! Siapa pun adanya bocah gembel
itu, aku bersumpah, selain membunuh Sepasang Walet Merah, pemuda itu juga tak akan luput dari tan-
ganku...!" geramnya marah.
"Anak-anak!" Sembilan Orang muridnya begitu
dipanggil langsung datang menghampiri.
"Ada apa, Guru...?" tanya mereka hampir ber-
samaan.
"Cepat kalian kuburkan kawanku ini sekarang
juga!" perintahnya sambil berusaha memendam kema-
rahannya.
"Baik, Guru...!"
Dengan cepat mereka mengerjakan apa yang
diperintahkan oleh gurunya, sementara Gada Wisa
sendiri tampak sedang memperhatikan kobaran api
yang terus melahap padepokan. Tak lama setelah pe-
kerjaan murid-muridnya selesai, maka bergeraklah
Gada Wisa beserta murid-muridnya menuruni lereng
bukit Berkabung. Di belakang mereka tampak padepo-
kan yang pernah mencapai jaman keemasan itu kini
hanya tinggal bara api menganga berselimutkan abu
yang masih hangat.
***
Sekarang marilah kita lihat dulu perjalanan
Dewi Ratih beserta empat orang lainnya yang turut
serta dalam pelarian itu. Setelah berlari-lari kencang
dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimi-
likinya, tak sampai seperempat jam kemudian mereka
sudah berada jauh dari Padepokan Bukit Berkabung.
Suasana di sekitarnya dalam keadaan gelap gulita se-
hingga Ratih tiada melihat dengan jelas keempat orang
yang menyertainya. Bahkan dia pun sampai tak ingat
mengapa keempat orang itu kalaulah memang benar
murid-murid padepokan dapat mengikuti lari cepat-
nya. Padahal dia tahu bahwa keempat murid itu berada jauh di bawahnya dalam berbagai kepandaian ilmu
yang di milikinya. Saat itu apa yang ada dalam piki-
rannya adalah mengenai keselamatan Buang Sengketa,
yang pasti akan menghadapi keroyokan sekian banyak
orang yang berada di lereng bukit. Entah mengapa dia
lebih mencemaskan keselamatan pemuda tampan ber-
pakaian kumuh itu ketimbang keselamatan dirinya
sendiri. Bahkan dia merasa sangat menyesal membiar-
kan pemuda itu seorang diri menghadapi keroyokan
yang mungkin saja akan terjadi. Seandainya dia tidak
menuruti segala apa yang diperintahkan pemuda itu
kepadanya. Setidak-tidaknya dia dapat membantu si
pemuda, seandainya harus mati sekalipun dia merasa
rela untuk mati bersama-sama. Ingin rasanya dia ber-
balik langkah mendaki Bukit Berkabung yang telah dia
tinggalkan itu, dia merasa tak perlu cemas dengan se-
gala apa yang bakal terjadi.
Namun apabila akal sehatnya telah bicara, ma-
ka dia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh si
pemuda semua itu semata-mata hanyalah demi kese-
lamatan Batu Walet Merah yang ada pada dirinya. "Tak
mengapa, moga-moga saja Kakang Kelana selalu dalam
lindungan Sang Hyang Widi!" batinnya mencoba
menghibur diri. Dalam kegelapan tanpa cahaya rembu-
lan itu, mendadak dia berpaling pada keempat orang
yang berada begitu dekat dengan dirinya. Dalam keke-
rasannya dia pun bertanya:
"Ehh... kalian bagaimana mungkin bisa begitu
cepat menyusulku...!?"
"Kami mengerahkan segenap kemampuan yang
kami miliki, Kak Ratih...!" jawab salah seorang dianta-
ra mereka.
"Kak Ratih...?" Membatin Dewi Ratih sembari
mengingat-ingat sesuatu. Rasa-rasanya suara itu tak
pernah di kenalnya. Suara berat dan parau, keempat
orang murid padepokan tak ada yang memiliki suara
seperti itu. Lalu pabila dia mencoba meneliti orang
yang baru saja menjawab pertanyaannya tadi. Dia tak
dapat melihat dengan jelas, hanya samar-samar saja.
Tapi ada bayangan menyeramkan dari sosok manu-
sianya. Satu demi satu si gadis berusaha meneliti wa-
jah ke empat orang yang menyertainya. Dua orang di
antaranya seperti dia kenal, namun pabila dia menga-
jukan pertanyaan pada orang itu, tak satu pun ada
yang menjawabnya. Mendadak pucatlah wajah Dewi
Ratih, kemudian dengan suara bergetar dia menyela;
"Ka... kalian bukan empat murid Padepokan Bukit
Berkabung...!" bentaknya. Yang di bentak pun tiada
mengeluarkan suara apa-apa. Hanya orang pertama
yang buka suara tadilah yang bicara:
"Hemmm... membuang-buang waktu saja.
Ringkusss...!" perintah si suara serak sembari memberi
aba-aba pada seorang kawannya. Dua orang ini cepat
bergerak dan keluarkan sesuatu dari balik bajunya.
Sedangkan dua orang lainnya hanya diam menonton,
kemungkinan juga mereka merupakan pimpinan. Dewi
Ratih demi melihat gelagat yang tak baik ini nampak-
nya berusaha menghindari sergapan yang dilakukan
oleh lawannya. Tapi di luar dugaan si gadis sama seka-
li kedua orang ini melemparkan sesuatu yang diambil
dari balik bajunya tadi dari delapan penjuru.
"Buuumm!"
Terdengar delapan kali ledakan, asap mengepul
dan menyelimuti tubuh Dewi Ratih. "Asap pembius...!"
Menyadari adanya bahaya seperti itu secepat-
nya dia berusaha membebaskan diri dari kungkungan
asap pembius tadi. Malangnya dia sempat menghirup
asap yang menyelimuti dirinya. Nafas terasa sesak, ke-
pala berdenyut-denyut di sertai pandangan matanya
yang langsung mengabur.
"Bruuuk...!"
Ratih jatuh terduduk dan tak ingat apa-apa la-
gi.
"Cepat ambil cincin batu yang ada di jarinya...!"
kata salah seorang yang dari tadi hanya menonton sa-
ja.
"Cincinnya tak ada di bagian tangannya...!" de-
sis si pemeriksa memberi laporan pada si pemberi pe-
rintah.
"Kalau begitu periksa seluruh tubuhnya...!" pe-
rintahnya lagi.
"Jangan dia yang memeriksa! Biar aku yang
melakukannya...!" sergah yang berada di sebelah pem-
beri perintah. Dengan cepat orang itu bertindak meng-
gerayangi tubuh Ratih. Dan ternyata Batu Walet Merah
dia dapatkan di bagian belahan dada si gadis yang ha-
lus mulus. Tapi si pemeriksa tidak menampakkan
reaksi apa-apa terkecuali mengambil cincin itu. Se-
mentara dua orang yang merobohkan Dewi Ratih den-
gan asap pembius tampak leletkan lidah.
"Kalian tak punya hak berbuat kurang ajar pa-
da seorang gadis yang tidak sadarkan diri, ini perin-
tahku...!" kata orang itu sembari menimang-nimang
cincin Batu Walet Merah di tangannya.
"Kami mengerti juragan! Kalau juragan sudah
beri perintah begitu, seujung rambut pun kami tak
akan mengganggunya...!" janji kedua orang bertam-
pang seram pada orang di depannya.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini secepat-
nya...!" kata orang itu.
"Lalu bocah pemalas ini bagaimana...?"
"Tinggalkan saja, dia akan siuman dengan sen-
dirinya...!" perintah si pemegang cincin Batu Walet Me-
rah. Tanpa berani membantah lagi, dengan sekeleba-
tan saja keempat orang itu pun telah lenyap dari tempat itu. Tinggallah Ratih seorang diri yang masih tetap
tidak sadarkan diri.
***
TIGA
Ketika matahari mulai menampakkan diri di
ufuk Timur, Pendekar Hina Kelana yang merasa kehi-
langan jejak Dewi Ratih tampak masih berputar dan
mengelilingi seputar hutan pinus. Dia merasakan tu-
buhnya sangat lelah, mata perih karena memang ham-
pir semalaman dia tidak tidur walau barang sepicing
pun. Tanpa menghiraukan rasa letih bercampur ngan-
tuk yang mendera dirinya, dia terus berputar-putar
mencari. Sampai pada akhirnya dia merasa hampir pu-
tus asa dan merencanakan untuk mencari di tempat
lain. Satu dua tindak dia melangkah, sampai pada ak-
hirnya dia melihat rumput-rumput berserakan seperti
bekas terinjak-injak sosok yang berat. Tak lama sete-
lahnya pandangannya yang awas itu melihat adanya
sosok menggeletak berpakaian hijau merah dan berikat
kepala merah pula.
"Ratih...!" gumamnya lalu memburu ke arah
tempat Dewi Ratih berada. Di balikkannya tubuh yang
tertelungkup itu, dengan seksama dia memeriksa. Ti-
dak terdapat bekas luka atau sejenisnya. Cepat-cepat
dia memeriksa denyut nadi di bagian pergelangan tan-
gan.
"Dia hanya pingsan! Mungkin juga sedang ter-
kena sejenis obat pembius yang dapat melenyapkan
kesadaran untuk beberapa waktu lamanya." ucapnya
berusaha menarik kesimpulan. Lalu tanpa komentar
lagi dia memeriksa pada bagian mata. "Hemm... tepat
seperti apa yang kuduga, dia terkena asap pembius
yang keras daya kerjanya. Kalau kubiarkan menunggu
dia sadar, barangkali sampai sore nanti belum tentu
dia sudah sadar. Cara satu-satunya adalah dengan
menyalurkan hawa hangat lewat bagian dadanya. Ta-
pi...!" Pemuda itu meragu, apa nanti kata Ratih andai
sampai dia mengetahui cara pertolongan yang dia la-
kukan itu. Tentu si gadis akan mengatakannya sebagai
pemuda yang sangat kurang ajar, atau bahkan dia ma-
lah akan membenci dirinya untuk selama-lamanya.
Lama sekali dia memutar pikiran untuk menentukan
jalan terbaik dalam menentukan pertolongan yang
akan dia berikan.
"Kalau kusalurkan hawa murni melalui bagian
perutnya, mungkin dia tak akan begitu marah. Kalau
pun harus marah, tokh akhirnya harus di sadarinya
juga bahwa cara apapun yang kulakukan semata-mata
hanya untuk membantunya untuk memulihkan kea-
daan!" batinnya lagi. Selanjutnya dengan wajah mero-
na merah dan tangan gemetaran dia menyingkap pa-
kaian Ratih pada bagian perut, kemudian sembari
memalingkan muka, tangan yang gemetaran itu me-
nyelinap di balik pakaian si gadis. Secara perlahan dia
mulai mengerahkan hawa murni. Hawa hangat mulai
menjalar dari bagian perut, terus merata ke seluruh
bagian tubuh lainnya. Gadis itu mulai menggeliat, se-
cara perlahan mengerjabkan matanya yang terasa be-
rat. Secepatnya ketika melihat si gadis mulai sadar,
Buang Sengketa menarik balik tangannya. Tapi ter-
lambat, Dewi Ratih sempat melihatnya.
"Splaaak...!"
Dua tamparan bertubi-tubi mendarat di pipi ki-
ri Pendekar Hina Kelana. Si pemuda yang pada saat itu
dalam posisi berjongkok, langsung saja jatuh terdu-
duk. Tamparan Dewi Ratih sungguh pun tidak disertai
dengan pengerahan tenaga dalam, namun karena da-
lam keadaan marah sudah jelas begitu keras. Bahkan
bekas tamparan itu sendiri meninggalkan bekas tela-
pak tangan Ratih yang memerah di pipi si pemuda.
"Kurang ajar... begitu tingkah seorang pendekar
terhadapku, Kakang...!" bentak si gadis sambil berusa-
ha menahan air mata yang hampir saja menggelinding.
"Maaf! Kau salah pengertian Ratih... aku....!"
"Aku apa! Kau hanya bermaksud berbuat ku-
rang ajar padaku, bukan...?" teriak Dewi Ratih sema-
kin bertambah memuncak emosinya. Sementara wajah
si pemuda semakin bertambah memerah karena me-
nanggung rasa malu.
"Ratih! Memang kau justru berpikir yang bu-
kan-bukan, aku tadi hanya bermaksud membantumu
agar cepat sadar, tak ada maksud-maksud yang
lain...!" bantah si pemuda setengah kesal. Dewi Ratih
terdiam, dia akhirnya memang menyadari selama be-
berapa jam terakhir ini dia tak dapat mengingat apa-
apa. Hanya satu yang masih samar, di dalam ingatan-
nya adalah tentang keempat orang yang telah melaku-
kan penyergapan secara curang atas dirinya. Lalu pa-
bila dia teringat pada Batu Walet Merah yang tersem-
bunyi, di bagian dadanya, secara cepat dia membalik-
kan badan dan melihat kenyataan bahwa batu itu su-
dah tak ada lagi di tempat
"Kakang...! pekiknya setengah menyesali atas
perbuatannya. "Kakang maafkan atas kesalahanku."
"Tak mengapa, sudah selayaknya engkau ma-
rah. Tapi mengapa tiba-tiba saja wajahmu berubah se-
perti itu...?"
"Batu itu Kakang...! Batu Walet Merah telah di-
larikan oleh orang-orang yang tak kukenal...!" ucapnya
sedih.
"Sudah kuduga...!
"Bagaimana kakang dapat mengetahuinya...?!"
tukas si gadis berusaha mencari jalan lewat tatapan
sepasang mata Buang Sengketa.
"Sebelum para pengepung itu benar-benar
sampai di padepokan, aku melihat mayat keempat mu-
rid menggeletak tidak begitu jauh dari depan pintu. Di
situ baru kusadari kalau empat orang yang pergi ber-
samamu itu bukanlah murid padepokan yang sesung-
guhnya!"
"Lalu bagaimana keadaan di padepokan dan
bagaimana pula kau bisa sampai ke sini Kakang...?"
tanya Dewi Ratih keheranan.
"Dua partai di antaranya ternyata masih meru-
pakan sahabat baik eyangmu, begitu mereka selesai
mendengar penjelasanku langsung meninggalkan pa-
depokan untuk mencari si Walet Merah di tempat yang
lain. Sedangkan partai lainnya adalah Gerombolan Si-
nar Kayangan yang ternyata selain murid-muridnya
terbunuh oleh Sepasang Walet Merah, juga punya
dendam pribadi dengan Padepokan Bukit Berkabung.
Hanya sekejap saja aku terlibat bentrok dengan mere-
ka, setelah itu aku berusaha menyusulmu menelusuri
jalan yang sama. Menurutku Padepokan Bukit Berka-
bung mungkin sudah mereka bakar! Maaf aku tak bisa
mencegah karena aku justru menghkawatirkan kese-
lamatanmu dan Batu Walet Merah...!" desah si pemuda
dengan wajah tertunduk. Sedih! Dewi Ratih semakin
kalut hatinya bila mengenang semua kejadian yang,
berlalu begitu cepat. Dengan suara tersendat kemu-
dian dia berkata.
"Kakang, ternyata Batu Walet Merah tidak da-
pat kupertahankan. Padepokan berantakan menjadi
debu, rasa-rasanya sudah habis segala apa yang kumi-
liki, Kakang...!" kata si gadis disertai derai air mata.
Pendekar Hina Kelapa menarik nafas pendek.
"Tidak! Segalanya tidak berakhir sampai di situ
saja. Masih ada yang kau miliki dan tak pernah hilang
dalam hidupmu...!"
"Apakah yang Kakang maksudkan?"
"Sebuah semangat untuk memulai segala-
galanya dengan cara baru...!" jawab si pemuda pasti.
"Tapi kita tak memiliki kekuatan untuk mencari
Batu Walet Merah yang berada di tangan saudara-
saudaraku...!" ujar Ratih dengan wajah membayang-
kan rasa putus asa yang dalam. Buang hanya terse-
nyum tawar, entah mengapa dia merasa begitu iba pa-
da gadis berambut panjang dan berikat kepala merah
itu.
"Ratih!" panggilnya lirih. "Masih banyak cara
untuk mendapatkan Batu Walet Merah yang telah
membuat susah bagi banyak orang. Sedangkan batu
yang ada padamu itu cepat atau lambat kita pasti da-
pat mengetahui siapa sesungguhnya yang menjadi
pencurinya...!"
"Kalau batu yang satunya saja tidak mampu ki-
ta menjaga keamanannya, bagaimana mungkin kita
memiliki kemampuan untuk merebut yang satunya la-
gi! Keadaan kita sekarang ini benar-benar dalam situa-
si yang sangat sulit, Kakang...!"
"He... he...he...! Untuk melaksanakan amanah
gurumu, aku rela berkorban apa saja demi mempero-
lehnya kembali...!" kata si pemuda seperti sedang ber-
janji pada dirinya sendiri.
"Benarkah itu Kakang!?" tanya si gadis seolah
tak percaya dengan apa yang di katakana oleh pemuda
itu.
"Aku telah mengatakannya padamu, itu berarti
aku akan melaksanakan segala apa yang kukatakan
tadi!"
"Terima kasih, Kakang...!"
Buang Sengketa hanya mengangguk-angguk,
namun kemudian dia melanjutkan ucapannya
"Ada baiknya kalau sekarang juga kita mulai
melakukan perjalanan. Kalau nasib kita memang baik,
tentu kita akan mendapatkan dan menghancurkan Se-
pasang Walet Merah yang telah begitu berani membo-
bol pintu makam leluhurnya sendiri!" rutuknya dalam
kemarahan yang terpendam. (Untuk lebih jelasnya da-
lam Episode Kisah Sepasang Walet Merah). Kemudian
melangkahlah kedua muda mudi ini dengan perasaan
mantap dan dalam satu tujuan yang pasti mencari Ba-
tu Walet Merah yang telah dilarikan orang dan mem-
bunuh Sepasang Walet Merah yang masih merupakan
saudaranya sendiri.
***
EMPAT
Satu purnama setelah kepergiannya ke Bukit
Berkabung si Tongkat Maut dari lembah Panggang
yang bernama Sumirah itu kembali memutuskan un-
tuk mencari Sepasang Walet Merah yang pernah terli-
bat kasus pembunuhan beberapa orang muridnya
yang saat itu sedang melakukan perjalanan untuk me-
nemui sesepuh Padepokan Bukit Berkabung yang ma-
sih merupakan sahabat baiknya selama ini. Tak lama
setelah pembunuhan keji itu terjadi si Rambut Kelabu
memutuskan untuk menuntut balas dan meminta per-
tanggungjawaban Eyang Girinda. Seperti yang dia ke-
tahui selama puluhan tahun, bahwa siapa pun manu-
sianya yang menamakan dirinya sebagai Walet Merah
jelas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ke-
turunan Bukit Berkabung. Tapi ketika secara kebetulan si rambut kelabu ini bertemu dengan sahabat la-
manya yaitu si Panjang Kumis dari lembah Putus Nya-
wa, dan Gerombolan Sinar Kayangan yang dipimpin
langsung oleh kakek hidung bengkok Gada Wisa. Dia
menjadi prihatin dan kecewa, karena sahabatnya
Eyang Girinda telah pula menutup mata. Sekemba-
linya dari Bukit Berkabung dia mulai memikirkan jalan
terbaik untuk menghentikan sepak terjang Sepasang
Walet Merah yang kononnya mulai menyusun kekua-
tan yang terdiri dari golongan sesat untuk membangun
sebuah perserikatan yang sangat besar dalam rimba
persilatan. Rencana gila-gilaan itu sudah barang tentu
membuat kalangan persilatan golongan putih menjadi
gempar. Sebab seperti yang mereka ketahui Sepasang
Walet Merah merupakan keturunan tokoh persilatan
golongan putih, mendapat didikan dengan cara-cara
golongan putih pula. Kalau mereka menyimpang dari
per-aturan kehidupan golongannya, itu sama artinya
Sepasang Walet Merah benar-benar membuat malu go-
longan sendiri. Hal itu tak boleh terjadi! Batin pengua-
sa Lembah Panggang.
Demikianlah pagi itu dengan disertai tiga orang
murid pilihan Si Tongkat Maut dari Lembah Pangrongo
ini tampak meninggalkan lembah, kembali menuju ke
dunia bebas untuk mencari Sepasang Walet Merah
yang dia anggap telah murtad dari golongannya sendi-
ri. Seiring dengan perjalanan yang mereka tempuh,
sang waktu pun bergulir tanpa terasa. Menjelang ten-
gah hari perempuan berpenampilan serba kelabu ini
telah pula melalui beberapa desa yang sangat padat
penduduk. Dari keterangan-keterangan yang didapat
dari penduduk desa, ternyata sepak terjang Sepasang
Walet Merah semakin merajalela sampai ke berbagai
pelosok rimba persilatan. Korban kebiadaban Walet
Merah berge-limpangan di mana-mana. Pengejaran
dan berburu Walet Merah pun dilakukan oleh berbagai
kalangan dari pihak-pihak yang merasa telah dirugi-
kan oleh Sepasang Walet Merah. Namun sejauh ini me-
reka hanya menemui kematian secara sia-sia. Sepa-
sang Walet Merah yang mencuat namanya dengan Ba-
tu Walet Merah yang menyimpan kekuatan sangat
dahsyat itu, untuk yang kedua kalinya dalam sejarah-
nya telah meminta korban yang tidak sedikit.
Kini bukan pihak si Tongkat Maut dari Lembah
Panggang saja yang memburu Walet Merah, tetapi juga
si Panjang Kumis dan berbagai partai lainnya ikut pula
mengambil bagian dalam melacak keberadaan
'Sepasang Walet Merah' yang sangat ganas akan sepak
terjangnya itu. Namun di luar sepengetahuan siapa
pun, sesungguhnya dari pihak golongan hitam banyak
yang mensyukuri tentang kehadiran sepasang pende-
kar yang berasal dari golongan putih namun segala
tindak tanduknya lebih cenderung mengarah, pada
kaum sesat ini.
Di antara mereka itu adalah kakak beradik be-
rasal dari puncak Gunung si Beruk, yang menamakan
dirinya sebagai 'Dua Bersaudara Monyet Hitam'. Mere-
ka ini sudah hampir lebih dari empat purnama meng-
gabungkan diri dengan Walet Merah. Mereka juga me-
rupakan tokoh persilatan golongan sesat yang paling
pertama menggabungkan diri. Kelihaian maupun ju-
rus-jurus sakti Monyet Hitam yang tinggi dan keah-
liannya dalam mempergunakan segala macam jenis ra-
cun penghilang kesadaran membuat mereka dalam
waktu sekejap saja telah mendapat kepercayaan seba-
gai tangan kanan si Walet Merah. Kemudian tokoh-
persilatan yang menggabungkan diri dengan Walet Me-
rah adalah Sepasang suami istri Maling Durjana. Me-
reka ini masih merupakan saudara seperguruan den-
gan Kakek Hidung Bengkok yang berkuasa di Rimba
Belantara Maliau dan Taruak. Sungguh pun mereka ini
sama-sama segolongan dan berasal dari satu pergu-
ruan. Tetapi sepasang suami istri Maling Durjana tidak
pernah mengalami kecocokan dengan saudaranya 'si
Gada Wisa' yang mereka kenal sebagai orang yang
sangat angkuh dan bahkan pernah membunuh gu-
runya sendiri, hanya karena demi senjata beracun
yang diberi nama 'Gada Wisa' itu. Selain tidak pernah
memiliki keinginan untuk bergabung dengan "si Gada
Wisa", Maling Durjana juga mempunyai niat untuk
membalas dendam atas kematian guru mereka. Tetapi
niat itu masih belum kesampaian karena selain si Hi-
dung Bengkok memiliki senjata rampasan 'Gada Wisa'
yang sangat berbahaya itu juga ilmu mereka masih be-
rada satu tingkat di bawah saudaranya yang paling
tua. Itulah sebabnya ketika mereka mendengar adanya
sepasang pendekar muda yang menamakan dirinya
dengan julukan 'Sepasang Walet Merah' suami istri
Maling Durjana kemudian menyatakan diri untuk ber-
gabung dengan kedua tokoh muda yang memiliki sen-
jata sangat istimewa itu, yaitu berupa sebuah batu
cincin Walet Merah yang memiliki daya kekuatan tidak
meragukan.
Di pihak Walet Merah sendiri bukanlah manu-
sia bodoh, setiap kalangan persilatan yang menyata-
kan diri untuk bergabung dengan mereka harus mela-
lui syarat-syarat tertentu. Adapun salah satu syarat
yang harus mereka kerjakan adalah menemukan atau
setidak tidaknya merampas Batu Walet Merah yang
jantannya dari tangan murid Padepokan Bukit Berka-
bung yang bernama Dewi Ratih. Mengapa berita ten-
tang keberadaan Batu Walet Merah yang jantannya
sampai di ketahui oleh Sepasang Walet Merah? Ketika
Dewi Ratih Juwita dan Bagas Salaya yang kemudian
muncul di kalangan persilatan dengan julukan Sepa
sang Walet Merah, baru saja meninggalkan Bukit Si-
luman setelah berhasil mencuri Batu Walet Merah be-
tina yang tersimpan di antara peti-peti mayat leluhur-
nya, dalam perjalanannya untuk memulai sepak ter-
jang bersama-sama kekasihnya, yang juga masih me-
rupakan saudara tirinya sendiri. Secara kebetulan me-
reka melintasi bukit Begal Sewu. Dalam pada itu me-
reka melihat adanya beberapa puluh orang perampok
sedang melakukan pengeroyokan terhadap sebuah ke-
reta kuda yang saisnya merupakan seorang pemuda
tampan berpakaian gembel dan belum pernah mereka
kenal.
Tetapi mereka kenal dengan seorang gadis yang
bernama Dewi Ratih, yang tak lain masih adik kan-
dung Bagas Salaya dan merupakan adik tiri Dewi Rat-
na Juwita. Kemunculan mereka dengan maksud me-
nuju Bukit Siluman sudah barang tentu merupakan
perhatian sepasang kekasih terkutuk itu. Sebab seperti
mereka ketahui, Bukit Siluman pantang dijarah oleh
siapa pun terkecuali dengan satu keperluan. Yaitu
mengubur atau mengantarkan salah seorang jenazah
kerabatnya. Selidik punya selidik tahulah mereka,
bahwa saat itu adik mereka sedang mengantarkan
Eyang Girinda untuk, dikuburkan di Bukit Siluman
yang semasa hidupnya dulu pernah mengusir mereka
berdua dari padepokan Bukit Berkabung, karena men-
getahui hubungan percintaan antara sesama saudara
tirinya. Sudah jelas akibat pencegatan yang dilakukan
oleh para perampok, kejadian lebih lanjut mereka ingin
mengetahuinya. Bahkan diapun ingin mengetahui sia-
pa sesungguhnya pemuda aneh berperiuk yang menja-
di kusir kereta kuda yang membawa peti mati kakek
mereka itu. Tetapi pada akhirnya pertarungan si pe-
muda melawan keroyokan begal-begal itu menjadi ti-
dak menarik perhatian mereka, ketika kedua orang itu
melihat Dewi Ratih mengeluarkan Batu Walet Merah
lainnya, yang selama ini mereka ketahui berada di
Sungai Banyu Urip. (Untuk lebih jelasnya dalam epi-
sode Kisah Sepasang Walet Merah)
Setelah kematian kepala begal yang tewas seke-
tika akibat terhantam sinar merah yang berasal dari
batu cincin Walet Merah di tangan Ratih, secara diam-
diam mereka meninggalkan tempat itu, sambil berpi-
kir-pikir mencari cara terbaik untuk merampas Batu
Walet Merah yang berada di tangan adiknya. Satu pur-
nama setelah melakukan pengembaraan dengan mem-
buat teror di mana-mana, mereka kemudian bertemu
dengan 'Dua Bersaudara Monyet Hitam' berasal dari
Gunung Beruk yang menyatakan diri ingin bergabung
dengan mereka. Akhirnya mereka menerima kehadiran
dua bersaudara itu setelah sebelumnya menunjukkan
segala kebolehannya di depan 'Sepasang Walet Merah'.
Satu purnama kemudian datang pula suami istri Mal-
ing Durjana, yang juga menyatakan diri untuk berga-
bung dibawah perintah Sepasang Walet Merah. Nah,
melalui tangan-tangan mereka inilah akhirnya pasan-
gan Walet Merah menyerahkan tugas untuk mendaki
di Bukit Berkabung dalam usaha merampas Batu Wa-
let Merah yang jantannya, dan semua itu sudah ba-
rang tentu dalam pengawasan Dewi Ratna Juwita dan
Bagas Salaya. Kebetulan saat itu dari berbagai arah
muncul berpuluh-puluh obor menuju Padepokan Bukit
Berkabung yang hanya memiliki sisa murid empat
orang itu. Mempergunakan kesempatan yang sangat
singkat. Di luar padepokan keempat orang utusan ini
membunuh keempat orang murid padepokan. Dalam
keadaan terkepung seperti itu, mujur dan merupakan
kemudahan bagi mereka, pemuda berkuncir yang
mengemban tugas dari almarhum Eyang Girinda
memberi perintah pada Dewi Ratih untuk meninggal
kan padepokan bersama empat murid lainnya. Kesem-
patan itu tentu tidak disia-siakan oleh keempat orang
suruhan Walet Merah. Hingga akhirnya di sebuah
tempat yang sunyi, mereka berhasil merampas Batu
Walet Merah yang jantannya dari tangan Ratih setelah
terlebih dahulu melumpuhkan si gadis dengan asap
pembius.
Kini kedua Batu Walet Merah benar-benar telah
berada di tangan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita.
Dengan kedua batu tangan mereka teror demi teror
mereka lakukan. Sementara tugas demi tugas yang di-
bebankan pada keempat orang pembantunya tidak
kunjung henti. Saat itu Sepasang Walet Merah yang
memiliki markas berpindah-pindah ini memberi perin-
tah pada dua Bersaudara Monyet Hitam dan suami is-
tri Maling Durjana untuk mengobrak abrik kekuasaan
Rambut Kelabu di lembah Panggang. Menerima tugas-
tugas rutin seperti itu, sudah barang tentu keempat
orang ini sedikit pun tiada pernah merasa keberatan.
Sungguh pun orang yang memberi perintah pada
keempatnya berusia jauh lebih muda dari mereka. Ka-
rena selain dijanjikan akan mendapat kedudukan yang
layak seandainya rencana mereka berhasil kelak, tetapi
juga dalam setiap melakukan tugas mereka di beri
upah uang emas yang sangat cukup. Demikianlah ke-
tika menjelang tengah hari, dua Monyet Hitam Bersau-
dara beserta suami istri Maling Durjana telah sampai
di sebuah perbukitan berbatu cadas dan sangat langka
dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan itu. Tapi
mereka tiada menghiraukan keadaan di sekelilingnya.
Terus saja melangkah, dan sekali-kali mengerahkan
ilmu lari cepat mereka. Begitulah keadaan keempat
orang kepercayaan itu, tampaknya saling menunjuk-
kan kebolehannya masing-masing. Namun sejauh itu
mereka kelihatan akur-akur saja.
Tak sampai setengah jam kemudian mereka
sudah melewati sebuah tikungan tajam yang lebih di-
kenal dengan nama Tikungan Seribu Jalan Kematian.
Pada saat itu dari arah yang berlawanan, muncul pula
si Rambut Kelabu dengan tiga orang muridnya. Keha-
diran empat orang golongan sesat itu tentu tidak asing
lagi bagi si Tongkat Maut dari Lembah Panggang ini.
Tapi selama ini mereka tak pernah terlibat permusu-
han apa pun, karena pada dasarnya mereka saling tak
mau usil dengan segala macam urusan orang lain. Tapi
kini begitu mereka saling berpapasan, Dua Bersaudara
Monyet Hitam langsung menyelak: "Tunggu dulu so-
bat...! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu!"
Berkata salah seorang si Monyet Hitam berbadan pen-
dek sambil menyunggingkan seulas senyum. Si Tong-
kat Maut dari Lembah Panggang hentikan langkah dan
putar badan, hingga kini benar-benar telah berhada-
pan dengan manusia berkulit hitam legam yang di se-
kujur tubuhnya ditumbuhi dengan bulu-bulu lebat
kayak lutung.
"Ada perlu apakah engkau menghentikan perja-
lanan orang lain yang tak punya urusan denganmu, Ki
Sanak?" tukas Sumirah merasa kurang sreg berlama-
lama bertanya jawab dengan manusia golongan sesat
itu.
"Sungguh pun kita dari golongan yang berbeda,
berbincang bersama-sama rasanya tak ada salahnya,
Nyi Sumirah...!" kata istri Maling Durjana ikut menim-
pali.
"Dua tokoh sesat yang satu dari Selatan yang
lainnya dari Tenggara, bisa bersatu dan melakukan
perjalanan bersama-sama. Tentu ada apa-apanya!"
membatin Nyi Sumirah.
Lalu dia berpikir-pikir apa sebabnya keempat
orang itu sampai berada di tempat itu, sedangkan ka
lau jalan lurus yang telah dilaluinya ditelusuri oleh
orang-orang sesat itu, sudah pasti tiada tempat lain
yang mereka tuju terkecuali Lembah Panggang.
"Eeh... kalau tak salah, bukankah anda berdua
sepasang suami istri Maling Durjana...?" tanya si
Tongkat Maut tampak mengernyitkan alisnya.
"Ahh. Tak kusangka kiranya anda memiliki
penglihatan yang tajam, Tongkat Maut...!" ujar si Mal-
ing Durjana tersenyum tipis. Tapi dalam pandangan
Nyi Sumirah senyum itu tak jauh beda dengan orang
yang hendak menangis. Diam-diam perempuan be-
rambut kelabu ini geli hatinya.
"Bukan penglihatanku yang tajam, tapi kebera-
daan anda dan kelihatan anda di bagian Selatan sana
sudah sangat sering aku mendengarnya...!"
"Anda terlalu berlebih-lebihan Ni Sanak...!" ser-
gah salah seorang Monyet Hitam bersaudara. Sekejap
si Tongkat Maut menoleh dan memandang penuh rasa
jijik pada manusia hitam berbulu itu.
"Hemm... melihat tampangmu, rasa-rasanya
seumur hidup baru kali ini aku bertemu. Perduli
apa...?" tukas Nyi Sumirah. Entah mengapa sejak ber-
selisih jalan tadi dia merasa begitu muak melihat ke-
hadiran Dua Monyet Hitam Bersaudara. Itu makanya
begitu Monyet Hitam ikut bicara dia langsung menge-
jek.
***
LIMA
Hemm...! Begitukah caranya orang golongan
putih bertegur sapa dengan orang lain...?" tanya si
Monyet Tinggi kurus macam Cerangkong, nampak
sangat tersinggung. Si Rambut Kelabu kembali nyele-
tuk dengan kata-kata ketus.
"Oh maaf! Kiranya keturunan para monyet se-
lain mampu bicara dengan baik, juga mengerti segala
macam peradatan!"
"Jahanam! Kau benar-benar sudah bosan hi-
dup rupanya. He... he... he...!" Dua Bersaudara Monyet
Hitam terkekeh-kekeh. "Tak salah kalau ketua kami
menyuruh kami untuk membunuh manusia yang tak
tahu peradatan sepertimu...!"
"Oh... ketua mengatakan supaya membunuhku!
Huh... siapa sih ketuamu itu? Mungkin Bapak
moyangnya para monyet menjijikkan sepertimu ya...?"
pancing si Rambut Kelabu. Nampaknya apa yang diin-
ginkan oleh si Tongkat Maut itu mendatangkan hasil.
Sebab tak begitu lama kemudian setelah saling ber-
pandangan sesamanya.
"Kalau kau ingin kenal siapa yang menjadi ke-
tua kami... hhoaa... ha... ha...! Kenalkah kau dengan
Sepasang Walet Merah?" tanya si Monyet Hitam Ber-
saudara hampir bersamaan. Sungguh pun si Rambut
Kelabu merasa sangat terkejut begitu mendengar uca-
pan mereka tapi sedapatnya dia berusaha menutu-
pinya. Bahkan kini dia menyadari apa sesungguhnya
maksud kedatangan mereka di lembah Panggang. Tak
lain dengan membawa maksud-maksud tak baik.
"Oh jadi kalian inilah para begundalnya murid-
murid terkutuk itu? Pantasan saja kalian begitu patuh
pada iblis berkedok manusia itu!"
"Bangsat! Mulutmu terlalu cerewet manusia
tengik!" makinya, kemudian setelah memandang pada
kawan-kawannya beberapa saat lamanya dia pun
membentak garang. "Bersiap-siaplah kalian untuk
mampus...!" teriak si Monyet Hitam Bersaudara sengit.
Selanjutnya dengan diawali teriakan melengking tak ubahnya bagai teriakan monyet hutan yang se-
dang dilanda kemarahan besar.
Kedua orang berbadan hitam legam itu lang-
sung menerkam si Tongkat Maut. Gerakan kedua
orang itu sungguh cepat luar biasa, hingga tahu-tahu
kedua tangan mereka yang berkuku runcing itu ham-
pir saja mencakar bagian muka si Rambut Kelabu an-
dai dia tak secepatnya menggeser tubuhnya dua lang-
kah ke samping kiri.
"Hajar terus saudara Monyet Hitam...!" seru si
Maling Durjana yang saat itu sudah mulai terlibat per-
tarungan dengan tiga orang murid si Rambut Kelabu.
Pada dasarnya mereka adalah merupakan dua golon-
gan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah
sebabnya begitu mereka terlibat pertarungan, maka
masing-masing lawan telah pula mengeluarkan jurus-
jurus silat tangan kosong yang paling hebat. Jurus
demi jurus terus berlangsung. Dalam sekejapan saja
pakaian mereka telah basah oleh keringat.
"Caat... ciaat... hiaaa...!"
Suara jeritan menggeledek itu disertai dengan
berkelebatnya tubuh Monyet Hitam Bersaudara. Satu
pukulan dan satu tendangan kaki dengan telak dila-
kukan oleh Monyet Hitam Bersaudara. Si Rambut Ke-
labu sebagai orang yang sudah kenyang makan asam
garam dunia persilatan tampaknya sudah dapat men-
duga kemana sasaran yang dituju oleh serangan be-
runtun yang dilakukan oleh dua orang bersaudara ini.
Maka dengan gesit dan tanpa terduga-duga dia putar
tongkatnya.
"Tak! Duk! Duk...!"
"Ah... kampret...!" maki Monyet Hitam Bersau-
dara begitu merasakan sakit yang sangat luar biasa
saat mana kaki dan tangannya, membentur tongkat
berwarna kuning di tangan si Rambut Kelabu. Serangan pertama mereka yang berhasil digagalkan oleh si
Rambut Kelabu membuat kedua orang ini menjadi
sangat marah. Kemudian mereka menerjang kembali
dengan serangan-serangan yang lebih gencar.
Sementara itu pertarungan antara sepasang
suami istri Maling Durjana dengan tiga orang murid si
Rambut Kelabu ini sudah mencapai puncaknya. Tam-
paknya menghadapi sepasang suami istri ini, tiga mu-
rid pilihan si Rambut Kelabu tidak mampu berbuat
banyak. Terbukti dalam pertarungan mencapai sepu-
luh jurus ketiga orang itu sudah tampak mulai keteter.
Bahkan menjelang lima jurus selanjutnya mereka
hanya mampu mengelak dan menangkis serangan-
serangan yang datang. Mau tak mau, ketiga orang itu
langsung mencabut senjatanya yang berupa sebuah
tongkat yang panjangnya tidak lebih dari satu meter.
Mengetahui semua apa yang dilakukan oleh tiga orang
murid si Rambut Kelabu, suami istri Maling Durjana
tertawa terbahak-bahak
"Ha... he... he...! Segala tongkat pemukul anjing
seperti itu, bagusnya memang untuk menggebuk diri
sendiri...!" teriak suami istri Maling Durjana dengan
maksud mengejek.
"Jangan banyak mulut, majulah kalian! Sekejap
lagi kepalamu pasti berhasil kuremukkan...!" selak sa-
lah seorang di antara mereka. Lalu dengan cepat sekali
mereka putar tongkatnya. Tongkat di tangan mereka
menderu-deru hingga menimbulkan angin bersiuran.
Sambil memutar tongkat untuk melindungi diri dari
serangan lawan, sekali dua mereka juga kirimkan se-
rangan yang sangat cepat mengarah pada bagian tu-
buh lawan yang agak melemah pertahanannya.
"Saaaa...!"
Sekali suami istri Maling Durjana bergebrak da-
ri arah yang berlawanan, maka satu pukulan maut
yang diberi nama 'Maling Celaka Menguntit Pengemis
Hina' mereka lepaskan. Tak pelak lagi, selarik sinar
berwarna pelangi menderu laksana kilat mengarah pa-
da ketiga orang lawannya. Di luar dugaan si Maling
Durjana kiranya semua pertarungan yang terjadi anta-
ra sesama mereka masih sempat diperhatikan oleh si
Rambut Kelabu yang saat itu terlibat pertarungan den-
gan 'Dua Bersaudara Monyet Hitam'. Sekali si Rambut
Kelabu mengebutkan tongkatnya dengan pengerahan
tenaga dalam yang cukup tinggi. Maka menderulah sa-
tu gelombang angin topan begitu kuat laksana prahara
memapaki pukulan yang dilakukan oleh sepasang su-
ami istri Maling Durjana saling berbenturan di tengah-
tengah jalan.
"Blaaaaam...!"
Dua kali ledakan keras terdengar, si Rambut
Kelabu tampak terbanting tubuhnya, namun cepat
bangkit kembali. Penguasa Lembah Panggang itu kini
tak ingin bersikap tanggung-tanggung lagi. Beberapa
detik kemudian dia mulai membuka jurus-jurus tong-
kat mautnya.
Sementara itu suami istri Maling Durjana yang
tampak terpelanting roboh akibat beradunya dua pu-
kulan sakti tadi, tampak kerengkangan berusaha
bangkit. Dua-duanya terbatuk-batuk sekejap, dada
mereka terasa sesak. Namun setelah menyeka darah
yang meleleh di bagian sudut bibirnya kini dengan
sangat beringas sekali kembali melancarkan pukulan
'Maling Celaka Menguntit Pengemis' tingkatan kesepu-
luh. Tiga orang murid si Rambut Kelabu menyadari be-
tapa berbahayanya pukulan yang dilepaskan oleh su-
ami istri maling itu. Tadi saja andai tidak dibantu oleh
gurunya, mungkin mereka sudah menemui ajal atau
setidak-tidaknya sudah terluka parah. Dan kini dalam
keadaan gurunya sibuk seperti itu Maling Durjana
mengirimkan pukulan maut yang berkekuatan sangat
besar, sudah tentu mereka putar tongkatnya dengan
segenap kemampuan yang ada untuk menyelamatkan
diri dari pukulan yang di lepas oleh lawannya. Lagi-lagi
selarik sinar warna pelangi melabrak cepat ke arah
mereka.
"Wuuus! Deeer...!"
"Wuaaaah...!"
Tongkat di tangan mereka hancur berantakan
dihantam pukulan yang dilepaskan oleh Maling Durja-
na. Tubuh mereka terpelanting tujuh tombak. Sekejap
murid-murid si Rambut Kelabu ini berusaha bangkit,
namun begitu mereka menggerakkan badan dan men-
coba merangkak. Pukulan susulan pun dilepaskan
oleh suami istri Maling Durjana. Tubuh mereka yang
sudah menderita luka dalam cukup parah ini kembali
terbanting roboh tanpa mampu bangkit lagi. Suami is-
tri Maling Durjana tertawa tergelak-gelak.
"He... he... he...! Akhirnya mampus juga kau
bocah-bocah tolol...!" desisnya puas sendiri meman-
dang mayat-mayat murid si Rambut Kelabu.
Saat itu si Rambut Kelabu demi melihat kema-
tian murid-muridnya yang sangat mengenaskan ini
tampak gusar dan marah
"Monyet Hitam dan maling terkutuk! Kalian be-
nar-benar harus membayar mahal atas kematian mu-
rid-muridku!" teriaknya sambil terus memperhebat se-
rangan dan melakukan tekanan-tekanan gencar terha-
dap dua bersaudara Monyet Hitam.
"Jangan besar mulut. Sekejap lagi, kau pun
akan menyusul murid-muridmu ke neraka sana...!" se-
lak dua bersaudara Monyet Hitam.
"Buktikanlah...!" teriak si Tongkat Maut dari
lembah Panggang ini sambil mengayunkan tongkatnya
mengarah pada bagian kaki dan lambung Monyet Hi
tam bersaudara. Dalam pada itu si Maling Durjana
hanya menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang ti-
dak begitu jauh. Sebab mereka merasa saat itu ra-
sanya mereka masih belum perlu untuk turun mem-
bantu.
"Shaaaa...! Bet! Bet...!"
Tongkat di tangan si Rambut Kelabu nyaris
menghajar badan dada, Monyet Hitam kurus kerem-
peng, tapi karena begitu gesit manusia kulit pembalut
tulang ini mengelakkannya, maka dia luput dari sabe-
tan tongkat maut berwarna kuning itu. Sebaliknya
tongkat itu terus menderu mencecar monyet gemuk
yang berada di sebelah kirinya.
"Haes...!"
Monyet Gemuk membuang tubuhnya ke samp-
ing, saat mana merasakan adanya sambaran angin
pada bagian kepalanya. Tapi kiranya gerakan memu-
kul ke arah kepala itu sesungguhnya hanyalah meru-
pakan tipuan belaka. Karena begitu Monyet Gemuk
membuang tubuhnya ke samping, tongkat di tangan si
Rambut Kelabu datang menyambar.
"Brebeeet...!"
"Angk...!"
Monyet Gemuk keluarkan seruan tertahan, ba-
gian bahunya yang tersambar tongkat milik si Rambut
Kelabu terasa nyeri dan banyak mengeluarkan darah.
Tapi begitu tak merasakan rasa sakit yang menggigit,
si Monyet Gemuk sudah bangkit dan bersiap-siap
membangun serangan. Saat itu si Monyet kurus telah
pula bersiap-siap mempergunakan asap pembius yang
selama ini merupakan senjata yang sangat mereka an-
dalkan. Namun sebelum niat itu kesampaian, tiba-tiba
terdengar seruan dari si Maling Durjana yang sejak ta-
di hanya menonton pertarungan itu,
"Jangan lakukan itu saudara Monyet Hitam!
Terlalu enak baginya untuk mampus begitu saja!"
"Aku tak menginginkan pekerjaan yang bertele-
tele...!" dengus Monyet Hitam tampak tersinggung.
"Mari kita keroyok mereka beramai-ramai...!"
teriak suami istri Maling Durjana laksana kilat dia
langsung menerjang dengan jurus-jurus andalan. Ma-
ka beberapa jurus setelah pengeroyokan itu. Tampak-
lah kalau si Tongkat Maut sudah mulai keteter. Den-
gan sebat dia kembali kerahkan ilmu tongkat yang di-
milikinya, namun serangan keempat orang itu juga ti-
dak kalah gencarnya. Terlebih-lebih setelah suami istri
Maling Durjana keluarkan senjata mereka yang berupa
kipas berwarna hitam legam. Maka pada jurus-jurus
selanjutnya tampaklah kalau si Rambut Kelabu sema-
kin terdesak hebat. Dari keempat lawan-lawannya itu,
nyatalah sudah bahwa yang memiliki serangan sangat
berbahaya adalah suami istri Maling Durjana yang
bersenjatakan kipas. Sedangkan dua bersaudara Mo-
nyet Hitam sungguh pun melakukan serangan dengan
kuku-kukunya yang sangat panjang dan mengandal-
kan tenaga dalam, namun tidaklah sehebat Maling
Durjana. Hanya keunggulan yang dimiliki oleh dua
bersaudara Monyet Hitam terletak pada asap pem-
biusnya yang telah merenggut banyak korban itu.
"Ciaaat...!"
Kipas di tangan suami istri Maling Durjana
menderu dari bagian depan. Sedangkan dari bagian
belakang dan samping dua bersaudara Monyet Hitam
menyerang dengan sambaran-sambaran kuku-
kukunya yang tajam dan mengandung racun ganas.
Menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba dan datang
dari berbagai penjuru ini, pikiran si Rambut Kelabu
bekerja cepat.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang hanya
beberapa detik itu, si Rambut Kelabu putar tongkatnya
ke segala penjuru untuk melindungi diri.
"Traak...! Traaak...!"
"Buuuk...!"
Dua kali benturan keras terjadi saat mana sen-
jata mereka saling bertemu, tubuh masing-masing la-
wan sama-sama tergetar. Celakanya mempergunakan
kesempatan itu, secara curang si Monyet Kurus han-
tamkan tinjunya dengan kekuatan hampir tiga perem-
pat tenaga dalamnya. Tanpa ampun tubuh si Rambut
Kelabu terbanting keras menghajar batu cadas yang
terdapat di tikungan itu. Belum lagi tubuh yang sudah
dalam keadaan terluka parah itu mampu bangkit kem-
bali, satu pukulan jarak jauh dilepaskan oleh suami is-
tri Maling Durjana. Satu kali pukulan yang meman-
carkan cahaya sinar pelangi itu menghantam tubuh si
Rambut Kelabu tanpa mampu tertangkis atau pun ter-
hindari. Maka tak ayal lagi pukulan itu menghantam
tubuhnya yang sudah dalam keadaan terluka parah.
Sekejap saja tubuh si Rambut Kelabu telah berubah
menghitam, dengan nyawa terlepas dari badannya.
"Kita telah berhasil...!" teriak keempat orang itu
bersorak kegirangan.
"Belum, si Panjang Kumis belum tewas di tan-
gan kita...!" sergah si Monyet Kurus. Seraya ngeloyor
pergi dengan diikuti oleh yang lain-lainnya.
***
ENAM
Pagi yang cerah, burung-burung pun bernyanyi
merdu menyambut kehidupan baru dalam suasana
kedamaian yang abadi. Dari Barat daya, angin ber-
hembus sepoi-sepoi membisikkan suasana romantis
bagi sepasang muda mudi yang sedang dimabuk as-
mara. Nun di bawah pohon besar yang memiliki akar-
akar rambat berjuntai, di celah-celah sebuah gua kecil
dan sempit. Di sanalah kedua pasangan terkutuk itu
memadu asmara hampir semalaman suntuk. Si pemu-
da berwajah lumayan tampan, si gadis bertubuh sintal
dengan tinggi semampai dan memiliki wajah ayu me-
nawan, namun memiliki keganasan tersembunyi.
Dialah Sepasang Walet Merah yang akhir-akhir
ini mencuat namanya di kalangan persilatan karena
sepak terjangnya yang membuat setiap orang menjadi
ciut nyalinya karena kesadisan setiap tindak tanduk-
nya. Mereka kini memang boleh berpuas hati dengan
adanya sepasang Batu Walet Merah di tangannya. Me-
reka memang pantas memiliki ambisi untuk memben-
tuk sebuah partai besar dalam rimba persilatan di wi-
layah Selatan. Tidak ada satu hambatan apa pun ter-
kecuali mereka masih merasa bingung untuk menen-
tukan markas mereka untuk hari-hari selanjutnya.
Saat itu, Sepasang Walet Merah sedang berkasak ma-
syuk dengan kekasihnya. Tampak Dewi Ratna Juwita
sedang duduk dalam pelukan Bagas Salaya. Tangan
pemuda itu tak henti-hentinya merambat kian ke mari
pada bagian tubuh si gadis yang sesungguhnya masih
merupakan kakak tirinya sendiri. Sesekali si gadis me-
rintih manja, dan di lain saat membalas pelukan itu
dengan hangat, (Maklum selain terkutuk mereka juga
merupakan orang yang paling sesat). Lalu di saat lain
mereka terlibat percakapan serius.
"Adik Bagas! Kamu nakal sekali, masakan su-
dah hampir semalaman kau tidak bosan-bosan...!"
ucapnya sambil bersungut-sungut manja.
"He... he... he...! Habisnya kamu cantik sih,
membuat aku semakin penasaran!" jawab Bagas Sa-
laya.
"Uuh... mestinya kau tidak memanggilku kakak
lagi, tapi cukup dengan panggilan adik, sedangkan aku
akan memanggilmu kakang! Bagaimana...?" tanya De-
wi Ratna Juwita. Bagas Salaya tampak terdiam bebe-
rapa saat lamanya, kemudian mengangguk setuju.
"Kita ini merupakan suami istri, masakan kita
harus mempergunakan peradatan seperti dulu-dulu
juga...!" ujar Bagas Salaya, lalu memeluk Dewi Ratna
Juwita lebih erat lagi. "Coba sekarang kau mulai me-
manggilku, Kakang...!" Tanpa merasa malu-malu lagi.
"Kakang Bagas...!"
"Woii... mesranya...!" seru Bagas Salaya seten-
gah melonjak kegirangan. Sambil bersungut-sungut
Dewi Ratna Juwita berkata:
"Sekarang kakang harus mengatakan yang sa-
ma seperti apa yang kukatakan tadi!" pintanya.
"Adik Dewi, istriku...!" ucapnya tersipu malu.
Sesaat setelahnya meledaklah tawa mereka sebagai ra-
sa peluapan rasa kegembiraannya.
"Sekarang engkau menjadi istriku, Adik De-
wi...!"
"Kau pun kini telah menjadi suamiku, Kakang
Bagas...!"
"Dengan begitu tercapailah sudah apa yang
menjadi tujuan kita selama ini...!" Berkata Bagas Sa-
laya, seraya langsung beranjak berdiri. Tapi dilihatnya
Dewi Ratna Juwita geleng-geleng kepalanya. Hal ini
tentu mengundang tanda tanya di hati Bagas Salaya.
"Mengapa...?"
Si gadis tampak menarik nafas dalam-dalam,
kemudian menghembuskannya kembali dengan kuat.
"Cita-cita kita belum sepenuhnya terpenuhi,
masih ada satu lagi, yaitu membentuk sebuah partai
besar yang memiliki anggota sangat banyak...!"
"Hemm. Betul sekali, kita harus menunjukkan
pada dunia bahwa kita juga mampu menjadi penguasa
di kolong jagad ini. Bukan eyang buyut saja yang
mampu mendirikan sebuah padepokan yang terma-
shur, tapi kita juga akan mendirikan sebuah partai be-
sar yang pasti lebih hebat dari pada hanya sekedar Pa-
depokan Bukit Berkabung beberapa puluh tahun yang
lalu. Ya... kita pasti mampu mewujudkan cita-cita yang
suci itu dengan adanya sepasang Batu Walet Merah di
tangan kita," kata Dewi Ratna Juwita penuh percaya
diri.
"Tentu, selain nama kita menjadi sangat ter-
kenal juga akan di segani oleh kalangan persilatan
manapun juga, ya Adik Dewi...!"
"Benar Kakang!" ucapnya bersemangat.
Setelah melampiaskan uneg-unegnya kemudian
mereka saling diam, tapi suasana seperti itu tidak ber-
langsung lama, karena sesaat setelahnya Dewi Ratna
Juwita nyeletuk: "Tapi kita mulai sekarang harus
mempunyai markas yang tetap, Kakang! Kita masih
harus menentukan markas itu!" Sebelum menjawab
Bagas Salaya nampak memperhatikan istrinya lekat-
lekat.
"Hemm, bagaimana kalau kita membangun
markas di Bukit Berkabung...!" tanya Bagas Salaya
memberikan satu usul.
"Bukit Berkabung? Rasa-rasanya Bukit Berka-
bung bukanlah tempat yang pantas untuk sebuah
markas besar. Pula bagaimana halnya dengan Adik
Dewi Ratih, aku merasa tak tega untuk mengusir dia
dari tempat itu! Selama ini dia sudah terlalu mengalah
pada kita. Maksudku biarlah Bukit Berkabung meru-
pakan tempat tinggalnya selama-lamanya. Tokh sela-
ma ini dia tak pernah mengganggu kita!"
"Bagaimana nanti seandainya dia mengetahui
kita sudah menjadi suami istri lalu apa tindakanmu ji
ka nanti dia memusuhi kita...?" tanya Bagas Salaya
merasa was-was.
"Kalau dia berani mencampuri urusan kita! Tak
perduli siapa pun adanya dia, maka sudah selayaknya
kalau kita membunuhnya!" jawab Dewi Ratna Juwita
tegas.
"Sebuah usul yang bagus!" gumam Bagas Sa-
laya setengah bimbang. Mendadak Dewi Ratna Juwita
kernyitkan alisnya, pandangan matanya jauh menatap
ke depan sana, Bagas Salaya juga ikut memperhatikan
apa yang sedang menjadi pusat perhatian istrinya. Se-
buah titik hitam bergerak cepat ke arah mereka, sema-
kin lama titik hitam itu semakin mendekat dan ber-
tambah dekat.
"Hhh... seorang kakek tua dengan kumis di-
biarkan memanjang sampai hampir melebihi perut.
Dan dua pemukul yang mirip dengan alat untuk me-
mukul gong itu. Aku belum pernah melihat orang sea-
neh itu...!" gumam Dewi Ratna Juwita hampir tak ter-
dengar.
"Orang aneh itu menuju ke mari, Adik Dewi!"
Sekejap Dewi Ratna Juwita mengerling pada
Bagas Salaya: "Mengapa harus cemas! Kita masing-
masing memiliki Batu Walet Merah. Mungkin kedatan-
gan badut pendek itu ingin minta di gebuk! Tenang sa-
jalah...!"
"Jleeegkh!"
Hanya sekelebatan saja, tahu-tahu kakek tua
berbadan pendek dengan jenggot dan kumis sangat
panjang itu sudah berada di depan mereka berdua.
Begitu sampai langsung cengar cengir bagai monyet
sinting.
"Sepasang pemuda yang gagah! Sungguh me-
rupakan pasangan yang sangat cocok sekali." gumam
si kakek aneh ini yang tak lain adalah si Panjang Ku
mis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa. "Tapi bila
ku lihat wajah-wajah kalian, aku jadi teringat pada
anak Girinda yang telah tewas di Sungai Banyu Urip.
Sayangnya sahabatku itu telah tewas pula...! He... he...
he... siapakah kalian ini...!" lanjut kakek itu. Sepasang
Walet Merah pandang sesamanya. Bagas Salaya ke-
mudian menyahut:
"Sayangnya kami tak begitu kenal dengan orang
yang anda maksudkan, kakek aneh?!"
"Wee... kau bilang aku orang aneh, kau tidak
kenal pula dengan sesepuh Padepokan Bukit Berka-
bung? Mustahil, semua orang tahu bagaimana hebat
Padepokan Bukit Berkabung pada beberapa waktu
yang lampau, sedangkan aku ini hanyalah jenis manu-
sia yang di kenal sebagai 'si Kumis Panjang Gong Ak-
herat'. He... he... he...!" kata si kakek tanpa terlepas
dari tawanya.
"Kelayapan sampai ke mari ada keperluan apa-
kah?" tanya Dewi Ratna Juwita setelah mengetahui se-
gala sesuatunya tentang kakek itu.
"Siapakah kalian...?" tanya si Panjang Kumis
tiba-tiba, tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi Ratna
Juwita.
"Orang-orang persilatan mengenal kami sebagai
Sepasang Walet Merah...!" Bagas Salaya mengakui.
Terbelalaklah kakek tua ini demi mendengar penga-
kuan laki-laki muda yang berdiri tegak di hadapannya.
Tiba-tiba saja wajahnya berobah memerah, kemara-
hannya pun meluap tanpa terbendung lagi.
"Manusia terkutuk! Jadi kalianlah orangnya
yang telah berani membongkar pintu Gua Bukit Silu-
man dan bercinta dengan saudaranya sendiri? Kalian
benar-benar manusia terkutuk...!" teriak si Panjang
Kumis Gong Akherat dengan tubuh menggigil dibakar
amarah.
"Kakek kumis ijuk. Persetan denganmu, aku
tak pernah menyuruhmu datang ke mari. Apa pun
yang kulakukan itu adalah hak kami...!" tukas Dewi
Ratna Juwita tak kalah sengitnya.
"Sumpah dunia, biarkan para dewa membakar
kalian di neraka kelak. Puih... aku memang sengaja
datang dari tempat yang jauh hanya ingin mencari bi-
angnya iblis yang telah membunuh beberapa orang
muridku, lebih dari itu aku juga punya kewajiban un-
tuk menghukum kalian yang telah begitu berani men-
curi kunci pintu Gua Siluman tempat penyimpanan
peti jenazah para leluhurmu. Hemm... dengan barang
hasil curian yang berupa Batu Walet Merah itulah eng-
kau coba-coba meneruskan jalan sesat yang sangat
terkutuk itu...?" maki si Panjang Kumis Gong Akherat.
Mendapat makian dan kata-kata pedas seperti itu ten-
tu saja Sepasang Walet Merah menjadi sangat tersing-
gung.
"Keparat...!" balas Dewi Ratna Juwita tak kalah
sengitnya. "Mulutmu benar-benar sangat lancang se-
kali kakek peot! Tidak tahukah kau bahwa sesung-
guhnya Sepasang Walet Merah tak pernah memandang
bulu terhadap siapa saja yang coba-coba berani meng-
halangi sepak terjangnya?"
Sepasang mata Gong Akherat menggerimit
bahkan semakin bertambah menyipit, sekilas dia meli-
rik pada bagian jemari tangan kedua muda mudi itu.
Kemudian tahulah dia bahwa sepasang Batu Walet Me-
rah berada di tangan mereka. "Hemm. Satu kesulitan
besar tampaknya bakal kuhadapi. Senjata maut yang
mengandung kesaktian gaib itu tidak bisa di buat
main-main. Benda celaka itu telah merenggut banyak
jiwa dari berbagai golongan. Bahkan tokoh sakti dari
bukit hampar yang memiliki kepandaian sangat luar
biasa saja sampai tewas ketika berhadapan dengan
Eyang Buyut Resi Mamba. Sialnya kalau aku sampai
tak dapat menjatuhkan mereka berdua maka semakin
banyaklah nantinya korban yang berjatuhan, satu ke-
sempatan baik andai aku dalam keberuntungan ada-
lah dengan cara menghancurkan tangan mereka sam-
pai ke tulang belulangnya. Andai itu dapat kulakukan,
cepat atau lambat aku pasti dapat merampas benda
terkutuk yang ada pada mereka itu!" batin si Panjang
Kumis Gong Akherat, coba-coba mencari jalan terbaik
untuk menghadapi lawannya.
"Anak muda.... Sebagai keturunan tokoh persi-
latan golongan lurus, tak kusangka langkahmu malah
kesasar jauh dalam kesesatan. Betapa arwah para le-
luhurmu akan menjerit dan merintih-rintih di alam
kuburnya sana...!" kata si Panjang Kumis menyesalkan
"Cukuuup...!" teriak Bagas Salaya. "Kau, benar-
benar tak akan kami ampuni, manusia kropos. Asal
kau ingat saja sekali kau berhadapan dengan Sepa-
sang Walet Merah selamanya kau tak mungkin dapat
kembali ke Lembah Putus Nyawa. Maafkanlah atas se-
gala keputusan yang telah menjadi ketetapan kami!"
lanjut pemuda itu, dengan wajah memerah. Si Panjang
Kumis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa terta-
wa-tawa begitu mendengar ucapan Bagas Salaya yang
mengeluarkan ancaman itu. Kemudian dengan arif, dia
pun berucap pelan namun mantap!
"Bocah! Mengingat usiaku yang sudah sangat
lanjut, aku sudah sangat letih hidup dalam dunia pana
ini. Kematian bagiku adalah sesuatu yang sangat ku-
rindukan. Tapi apakah dengan kematianku di tangan-
mu engkau menjadi puas...?"
Marah bercampur heran Bagas Salaya dan De-
wi Ratna Juwita mendengar kata-kata kakek tua yang
berdiri tegak di hadapannya itu. Tapi sedikit pun me-
reka tidak berusaha mencari makna dalam kata-kata
yang telah diucapkan oleh si Panjang Kumis. Sebalik-
nya dia malah membentak:
"Kakek renta, seribu nyawa tiada harga seper-
timu masih belum membuatku puas terkecuali kami
telah mencapai ambisi kami membentuk sebuah partai
persilatan yang sangat besar dan tiada duanya!"
"Cekk... cekk... cek...!" Si Panjang Kumis ge-
leng-gelengkan kepalanya. "Cita-cita kalian memang
sungguh besar orang muda, sayang... semuanya itu
dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga membuat ka-
lian selain tersesat juga merupakan orang yang paling
sesat di dunia ini!"
"Tua celaka! Kamu benar-benar telah menghina
kami...!" selak Bagas Salaya, seraya lalu bersiap-siap
membangun sebuah serangan.
"Kakang, padanya kita tak perlu basa basi! Kita
bunuh dia...!" teriak Dewi Ratna Juwita tidak sabaran.
***
TUJUH
Memang benar, berkomentar terhadap manusia
semacam ini memang tidak banyak guna, baiknya kita
hancurkan dia!" kata Bagas Salaya. Kejab kemudian
kedua muda mudi ini telah menggempur si Panjang
Kumis dengan jurus-jurus silat tangan kosong warisan
Padepokan Bukit Berkabung. Kakek tua dari Lembah
Putus Nyawa ini tidak ingin bertindak gegabah, sekali
saja tubuhnya berkelebat maka senjata andalannya
yang berupa dua alat mirip pemukul gong berkelebat
menyambar mengarah pada bagian tangan masing-
masing lawannya.
"Wuuut! Beet!"
"Ihhh...!" Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya
keluarkan seruan tertahan saat mana kedua senjata
yang sesungguhnya remeh namun sangat berbahaya
ini nyaris menghantam pergelangan tangannya. Me-
nyadari akan adanya bahaya yang sangat mengancam
diri mereka, maka secara serentak mereka mencabut
pedangnya
"Sring! Sriiing...!"
Pedang di tangan Sepasang Walet Merah yang
mengkilat tajam itu terus berkelebat menyambar den-
gan ganas. Pada dasarnya permainan pedang yang me-
reka miliki juga bersumber dari empat kitab jurus Pe-
dang Dewa Berkabung, karena jumlah kitab jurus pe-
dang maupun jurus silat milik Padepokan Bukit Ber-
kabung jumlah sesungguhnya ada lima kitab, sudah
jelas, sehebat manapun mereka memainkan pedang di
tangan, tetap saja kunci penutupnya tidak mereka mi-
liki. Apalagi si Panjang Kumis sedikit banyaknya sudah
banyak mengetahui perkembangan jurus pedang yang
mereka mainkan. Maka dengan sangat mudah saja, se-
tiap gerakan pedang di tangan lawan-lawannya sudah
terbaca oleh si Panjang Kumis. Tak heran pada setiap
gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh Sepasang Wa-
let Merah selalu saja kandas di tengah jalan.
"Haiiit...!"
"Hieee... he... he...! Cuma segitu saja permainan
pedang Sepasang Walet Merah yang bikin onar di ma-
na-mana itu...!"
"Jangan ngebacot dulu, Kakek sial...!" maki
Dewi Ratna Juwita sambil berloncatan menghindari
sergapan-sergapan senjata pemukul gong di tangan
Kakek Panjang Kumis.
"Kampret...!" si Panjang Kumis balas memaki,
dalam keadaan seperti itu terlintas pula dalam benak-
nya bahwa sesungguhnya dia tidak mungkin mengulur
waktu lebih lama lagi menghadapi Sepasang Walet Me-
rah yang memiliki senjata yang tidak bisa dianggap
main-main. Melalui pertarungan itu saja si Kakek Pan-
jang Kumis sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa
kehebatan Sepasang Walet Merah mungkin terletak
Batu Permata Walet Merah itu sendiri, dia berpikir an-
dai tidak cepat-cepat dia bertindak mungkin tak lama
lagi dia akan celaka. Maka tanpa pikir panjang lagi si
Panjang Kumis Gong Akherat mulai bersiap-siap mem-
pergunakan pukulan saktinya yang diberi nama 'Tiga
Nyanyian Penghantar Kematian'. Sekejap saja begitu si
Panjang Kumis kerahkan tenaga dalamnya, maka tan-
gan kakek tua itu segera berubah warna menjadi me-
rah bara. Karena saat itu tubuh si kakek terus saja
berkelebat tiada henti. Maka otomatis perubahan yang
sangat mendadak itu luput dari perhatian Sepasang
Walet Merah.
"Hiyaaaa...!"
Mempergunakan jurus mengentengi tubuh
yang sudah mencapai tahap sempurna, tubuh Kakek
Panjang Kumis meletik ke udara. Saat mana dia memi-
liki kesempatan yang sangat baik untuk melepaskan
pukulan 'Tiga Nyanyian Penghantar Kematian', maka
sambil bersalto beberapa kali. Kakek Panjang Kumis
hantamkan tangan kanannya menghadap pada Bagas
Salaya, sedangkan tangan kiri kirimkan satu pukulan
ke arah Dewi Ratna Juwita.
"Wuuus! Wuuus!"
Serangkum gelombang sinar yang menebarkan
hawa panas, melesat sedemikian cepatnya memburu
ke arah lawan-lawannya. Sepasang Walet Merah tam-
pak terkesima untuk beberapa kejab lamanya. Namun
detik kemudian mereka sudah memutar pedangnya
sambil berloncatan menghindari terjangan tenaga sakti
yang telah dilepas oleh si Kakek Panjang Kumis dari
Lembah Putus Nyawa ini. Yang lebih celakanya lagi
kemana pun mereka berusaha menghindar, maka kesi-
tulah pukulan itu memburunya. Melihat kenyataan
seperti itu selain Sepasang Walet Merah dibuat panik,
juga kehabisan akal untuk mencari jalan keluar mele-
paskan diri dari kejaran pukulan maut yang terus
mengejar bagai memiliki mata itu.
"Batu Walet Merah, Adik Dewi...!" teriak Bagas
Salaya, dan dalam keadaan kepepet seperti itu menda-
dak dia teringat tentang Batu Walet Merah yang men-
jadi senjata pusaka andalannya. Tanpa banyak mem-
buang-buang waktu lagi, Dewi Ratna Juwita dan Bagas
Salaya mengerahkan tenaga dalamnya ke arah bagian
tangan kanan yang terdapat Batu Walet Merah di ba-
gian jari manisnya. Beberapa saat berlangsung, begitu
tenaga dalam yang tersalurkan lewat tangan itu sam-
pai pada batu, maka perubahan pun terjadilah. Mula-
mula tubuh Sepasang Walet Merah tampak gemetaran
bagai orang yang sedang dilanda birahi. Kejab kemu-
dian setelah wajah mereka bersemu merah, maka se-
cara perlahan Batu Walet Merah yang melingkar di ba-
gian jari manis mereka mulai memancarkan sinar me-
rah menyala. Beberapa saat kemudian, kedua orang ini
mengarahkan batu itu pada gelombang pukulan yang
mengejar diri mereka. Tak ayal lagi selarik sinar ber-
warna merah kebiru-biruan yang berbentuk pipih me-
lesat dari batu di tangan mereka.
"Buuuuum! Buuuuuum!"
Dua kali dentuman keras terdengar berturut-
turut. Pukulan Tiga Nyanyian Kematian buyar seketika
itu juga di sapu lesatan sinar yang bersumber dari Ba-
tu Walet Merah di tangan lawan-lawannya. Tanpa am-
pun tubuh si Panjang Kumis terjengkang tiga tombak,
sebaliknya tubuh kedua lawannya hanya tergetar saja
dengan merasakan akibat yang tiada berarti. Sebalik
nya begitu terbanting di atas tanah keras, dari bibir
kakek Lembah Putus Nyawa ini meleleh darah kental.
Dadanya terasa sesak luar biasa, jantung berdenyut-
denyut sakit dan nyeri. Sementara kepalanya pusing
bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan keadaan-
nya sendiri, secara cepat dia sudah bangkit. Saat itu
lawan-lawannya sudah berdiri tegar sambil berkacak
pinggang.
"Kau benar-benar akan menemui kematian di
tangan kami, Kakek malang...!" desis Dewi Ratna Juwi-
ta sambil menyunggingkan seulas senyum sinis.
"Sudah kukatakan bagiku kematian bukanlah
hal yang menakutkan. Kupasrahkan nyawaku di tan-
gan Sang Hyang Widi...!" kata Kakek Panjang Kumis
tersenyum lembut.
"Kampret tua! Bukan di tangan Sang Hyang
Widi nyawamu di serahkan, tetapi di tangan kamilah
nyawamu tercabut secara paksa...!" selak Bagas Sa-
laya. Lagi-lagi dia mengerahkan tenaga dalamnya ke
bagian yang sama. Menyadari ancaman yang sangat
membahayakan keselamatan jiwanya, maka si Panjang
Kumis lipat gandakan tenaga dalamnya. Masih mem-
pergunakan Tiga Nyanyian Kematian tingkat kedua
kakek ini untuk yang kedua kalinya hantamkan kedua
tangannya mendahului lawan-lawannya. Kembali sela-
rik gelombang pukulan yang menebarkan udara lebih
panas dari yang pertama tadi menderu-deru hingga
timbulkan angin berciutan. Pada saat itu Sepasang
Walet Merah juga sudah mengarahkan Batu Walet Me-
rah ke arah lawannya.
"Hweeee! Hweeee...!"
Sinar pipih berwarna merah kebiru-biruan
kembali melesat memapak pukulan yang dilepaskan
oleh si Panjang Kumis. Terdengar suara menggemuruh
saat mana tiga sinar sakti itu saling memburu.
"Dweeeer! Dwweeeer...!"
"Wuaaa...!"
Sekali lagi tubuh si Panjang Kumis dari Lembah
Putus Nyawa itu terpelanting lima tombak. Darah se-
makin banyak yang menyembur dari dalam mulutnya.
Sementara dari lubang hidungnya juga mulai menga-
lirkan darah kental berwarna kehitam-hitaman. Di pi-
hak lawannya, baik Dewi Ratna Juwita maupun Bagas
Salaya, sungguh pun tidak sampai tersungkur jatuh,
namun tetap saja terhuyung-huyung. Selama malang
melintang beberapa purnama ini, baru kali inilah me-
reka menjumpai tanding yang seimbang. Begitupun
mereka masih sempat tergelak-gelak demi melihat kea-
daan si Panjang Kumis yang sudah menderita luka da-
lam cukup serius.
"Nyawa tuamu benar-benar alot sekali, orang
tua! Tapi kau jangan berpuas dulu betapa pun hebat-
nya pukulan sakti yang kau miliki, cepat atau lambat
engkau pasti harus mengakui, bahwa kau bukanlah
lawan tandingan Sepasang Walet Merah. Siapa pun
manusianya tak kan pernah mampu mengalahkan-
nya...!" selak Dewi Ratna Juwita sambil memandang
sinis pada lawannya yang saat itu sudah berdiri kem-
bali. Meskipun dengan kuda-kuda yang sangat goyah.
"Hek... kalian memang sepasang manusia ter-
kutuk yang hebat. Sayangnya dan entah mengapa
nyawa lapuk ini masih begitu lekat dengan jasad renta
yang sudah tak banyak guna. He... he... he...! Tiada
mengapa, tapi sedikit banyaknya kau juga harus ingat,
bahwa di atas langit masih ada langit...!"
"Apa maksudmu, orang tua...?" tanya Bagas Sa-
laya tiada mengerti.
Si Panjang Kumis terdiam sejenak lamanya
sembari mengurut-urut dadanya yang terasa panas
bagai terbakar. Setelah memandang lawannya dengan
tatapan iba, maka dia pun berkata:
"Saat ini, esok atau lusa, kalian memang boleh
berbangga diri dengan Batu Walet Merah yang berada
dalam kekuasaan kalian itu. Tapi ingatlah suatu saat
kelak pirasatku mengatakan bahwa akan datang pa-
damu seorang lawan yang sangat tangguh yang tak
dapat kau jatuhkan begitu saja. Hek... hek... hek...!"
"Keparat! Kau jangan coba-coba menggertak
kami orang tua celaka!" maki Dewi Ratna Juwita mera-
sa sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi
"Memakilah sepuas hati kalian! Apa yang kuka-
takan itu kelak akan terbukti juga...!"
Sepasang Walet Merah agak meremang teng-
kuknya demi mendengar ucapan yang se-akan-akan
merupakan sebuah kutuk ini. Namun untuk membe-
sarkan hati suaminya, Dewi Ratna Juwita berucap te-
gas.
"Kakang Bagas! Jangan kau hiraukan ucapan
manusia sinting itu, mari kita gempur! Sebentar lagi
dia pasti binasa di tangan kita...!"
"Mari, Adik Dewi!" jawab Bagas Salaya. Sekali
ini tanpa banyak cakap lagi kedua orang itu langsung
mengerahkan Batu Walet Merah pada si Panjang Ku-
mis Gong Akherat.
"Weeer! Weeer!"
Dua lesatan sinar merah kebiru-biruan kembali
meluruk si Panjang Kumis, kakek tua ini langsung
menyambutnya dengan pukulan 'Tiga Nyanyian Kema-
tian' tingkat yang paling tinggi.
"Blaam...!"
Kali ini bukan tubuh si Panjang Kumis saja
yang terpelanting sampai tujuh tombak, tetapi kedua
lawannya juga terjengkang ke belakang. Namun sece-
pat mereka terbanting maka secepat itu pula mereka
bangkit berdiri tanpa kekurangan sesuatu apa pun
terkecuali merasakan nyeri di bagian dada. Si Panjang
Kumislah yang menerima akibat yang paling fatal da-
lam peristiwa itu, tubuhnya yang sudah menderita lu-
ka dalam sejak mulai pukulan pertama dan kedua kini
semakin bertambah parah. Wajah kakek tua itu tam-
pak pucat pasi. Dari bibir dan hidungnya darah tiada
henti-hentinya mengalir. Sepasang Walet Merah bukan
tak menyadari kalau saat itu lawannya sudah tiada
memiliki daya apa-apa, tapi mereka tampaknya sudah
tiada perduli lagi. Sekali lagi mereka mengarahkan cin-
cin Batu Walet Merah. Lesatan-lesatan sinar merah
kebiru-biruan kembali meluruk si Panjang Kumis. Da-
lam keadaan sekarat seperti itu, kakek tua ini kiranya
masih menyadari adanya ancaman bahaya. Dua pe-
mukul gong yang selama ini dia pergunakan sebagai
senjata andalan dia lontarkan dengan sisa-sisa tenaga
yang dia miliki.
"Beees!"
Senjata sakti itu hancur berkeping-keping di
landa pukulan lawannya. Sinar tadi terus melabrak
tubuh si Panjang Kumis yang sudah tiada memiliki
daya apa-apa.
"Bruaaak!"
Tiada terdengar lolongan atau pun rintihan.
Tubuh yang sudah tiada bernyawa itu terhempas begi-
tu saja, dengan keadaan yang sangat menggenaskan.
Sepasang Walet Merah saling pandang, dan sama-
sama tersenyum puas.
"Baiknya mulai saat sekarang kita menuju Bu-
kit Siluman sekalian membuat markas di sana...!"
"Ayolah...!" Dewi Ratna Juwita langsung men-
gangguk setuju, lalu keduanya segera melangkah pergi
menuju Bukit siluman.
DELAPAN
Mengandalkan ajian Sepi Angin Pendekar Hina
Kelana terus berlari-lari tanpa pernah perduli dengan
suasana di sekelilingnya. Sementara di belakangnya
Dewi Ratih merasa kewalahan mengikuti cara lari pe-
muda berwajah tampan ini yang begitu cepat laksana
terbang. Walaupun saat itu Ratih telah mengerahkan
segenap kemampuannya untuk mengimbangi ilmu lari
yang dimiliki oleh Buang Sengketa, tapi tetap saja ga-
dis itu tertinggal jauh. Napas si gadis terasa memburu
tidak beraturan. Dia merasakan tubuhnya sangat letih
sekali.
"Kakang...!" panggilnya di sela-sela tarikan na-
fasnya yang memburu. Buang Sengketa sejenak la-
manya menoleh ke belakang.
"Ada apa Ratih...?" tanyanya serta merta dia
mengurangi kecepatan larinya.
"Berhentilah, Kakang! Kau lari bagaikan hem-
busan angin, kalau terus menerus begitu sebentar lagi
nafasku bisa putus!" keluh si gadis.
"Bukankah tadi kau yang mengajakku berlari-
lari?"
"Ya... ya... tapi aku tak menyangka kau memili-
ki kemampuan lari yang segila itu...!" dengus Dewi Ra-
tih, saat itu dia sudah berhenti berlari dan mulai berja-
lan sebagaimana biasa. Buang menjadi tak tega untuk
membiarkan gadis itu berjalan di belakangnya. Maka
pemuda ini pun ikut-ikutan berjalan.
"Kita telah mencari Kakang Bagas Salaya dan
Kak Dewi Ratna Juwita ke mana-mana, Kakang! Tapi
tampaknya mereka berpindah-pindah!!" desah Dewi
Ratih sembari melirik pada Buang yang secara diam-
diam dikaguminya itu.
"Semakin lama aku bertahan di daerahmu ini
aku merasa semakin perihatin! Ketika kita pergi menu-
ju Lembah Panggang untuk menjumpai sahabat al-
marhum eyangmu bukan keterangan yang kita dapat,
sebaliknya berita duka tentang kematian si Rambut
Kelabu yang kita peroleh. Demikian juga ketika kita
menuju Lembah Selaksa Mayat, kita tak menjumpai si
Panjang Kumis, ketika dalam perjalanan, kita justru
menjumpai mayat Si Panjang Kumis yang sudah ham-
pir membusuk...!" desahnya seperti tak bersemangat.
"Apakah kakang yakin, Sepasang Walet Merah-
lah pelaku pembunuhan itu?" tanya si gadis was-was.
Buang Sengketa tampak kerutkan alisnya begitu men-
dengar apa yang dikatakan oleh Dewi Ratih. Jika meli-
hat luka-luka yang di derita oleh si Panjang Kumis,
memang tak dapat disangkal bahwa semua itu akibat
perbuatan Sepasang Walet Merah, luka-luka itu benar-
benar sangat jauh berbeda dengan luka yang dialami
oleh Nyi Sumirah dan ketiga orang muridnya. Itu be-
rarti pembunuhan yang terjadi atas diri tokoh golongan
putih itu dilakukan oleh orang yang berbeda. Mung-
kinkah pembunuhan atas diri si Rambut Kelabu ada
hubungannya dengan Sepasang Walet Merah? Kalau
memang ternyata benar, itu sama artinya bahwa Sepa-
sang Walet Merah kini sudah memiliki sekutu. Siapa
pun adanya orang itu, Buang merasa yakin mereka
pasti berasal dari golongan sesat.
"Kakang! Mengapa engkau malah diam saja?"
selak si gadis menyadarkan si pemuda dari lamunan-
nya.
"Ee...! Tidak, aku hanya merasa sedih atas ke-
matian si Rambut Kelabu dan si Panjang Kumis!"
"Dan kau merasa yakin bahwa Sepasang Walet
Merahlah pelakunya?" desak Dewi Ratih merasa tidak
sabaran lagi.
"Kemungkinan itu ada, tapi tidak keseluruhan-
nya benar."
Dewi Ratih merasa tidak mengerti dengan kata-
kata si pemuda, bahkan selama beberapa hari ini
Buang Sengketa sering banyak berdiam diri bila di-
bandingkan dengan hari-hari biasanya. Juga dia tidak
mengerti apa yang menyebabkannya.
"Apakah maksudmu, Kakang...?"
"Sebelum Nyi Sumirah dikuburkan beberapa
hari yang lalu, tidakkah kau melihat luka-luka bekas
cakaran seperti binatang buas ataupun monyet hu-
tan?"
"Ya... aku melihatnya...!"
"Aku merasa si Rambut Kelabu tewas di tangan
orang yang memiliki semacam ilmu binatang, walau
memang tak kupungkiri bekas luka akibat pukulan te-
naga dalam memang tak bisa dianggap enteng! Nah
sedangkan mengenai kematian si Panjang Kumis Gong
Akherat, aku merasa yakin Sepasang Walet Merahlah
pelakunya!"
"Apa alasan kakang bisa mengatakan demi-
kian?"
Pendekar Hina Kelana tersenyum pias, dalam
hati dia mengakui bahwa sesungguhnya Dewi Ratih
merupakan gadis yang lugu dan masih hijau pengala-
man.
"Masih ingatkah kau tentang kematian ketua
begal yang tewas di tanganmu?" tanya si pemuda seo-
lah-olah mengingatkan.
"Ya, masih...!"
"Tubuh orang itu melepuh dan membiru, se-
dangkan waktu itu kau mempergunakan Batu Walet
Merah. Keadaannya sama seperti apa yang dialami
oleh penguasa Lembah Putus Nyawa!"
Dewi Ratih mengangguk-anggukkan kepalanya:
"Benar juga pendapatmu itu kakang...!"
"Lalu apa yang kita lakukan...?"
Setelah mencari ke sana kemari kita tidak bisa
mendapatkan jejak Sepasang Walet Merah, mungkin
ada baiknya kalau kita pergi ke Bukit Siluman!"
"Mengapa harus ke sana? Tempat itu tak lebih
hanya merupakan makam para leluhur kami!"
"Justru tempat itu merupakan kuburan para le-
luhurmulah maka ada kemungkinan mereka mulai
membangun markas di sana!"
"Baiklah aku selalu percaya padamu, moga-
moga saja dugaan kakang tidak meleset!" kata Dewi
Ratih mengalah.
Beberapa saat kemudian tanpa banyak basa
basi lagi Buang Sengketa dan Dewi Ratih sudah beran-
jak meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa
saat saja mereka meninggalkan tempat itu, mendadak
terdengar suara bentakan-bentakan di belakang mere-
ka. Belum lagi suara bentakan-bentakan tadi lenyap
sama sekali. Tampak berkelebat beberapa sosok tubuh
yang langsung menghadang jalan di depan mereka.
Sejenak Buang Sengketa dan Dewi Ratih terpa-
ku di tempatnya. Sorot mata si pemuda yang begitu ta-
jam menusuk, dalam waktu se bentar saja sudah da-
pat menduga bahwa para penghadang itu mempunyai
maksud-maksud yang tak baik.
"Ha... ha... ha...! Seorang pemuda gembel berja-
lan dengan seorang nona cantik! Hendak kemana-
kah...?"
"Muka Monyet, atau tepatnya monyet yang
mampu berkata-kata. Sedangkan laki-laki dan perem-
puan itu juga sebelumnya aku tak pernah melihat
tampang mereka. Sedikit banyaknya aku harus tau
siapa mereka ini!" membatin Pendekar Hina Kelana.
"Kampret! Mungkin kedua orang ini merupakan
jenis manusia tuli, kawan-kawan?" kata si Monyet Hi-
tam yang memiliki badan paling gemuk dibandingkan
ketiga orang kawannya.
"Kisanak! Sungguh sopan sekali bicaramu, be-
gitu datang langsung bicara tak karuan...?" selak si
pemuda merasa kurang senang melihat tingkah si Mo-
nyet Hitam.
"Ah... ah... sopan santun! Rupanya sopan san-
tun saja aku tak pernah tau. Pula masihkah manusia
hina sepertimu memerlukan segala macam perada-
tan...?" tanya si Monyet gemuk dengan sunggingkan
senyum mengejek.
"Kakang Kelana, mendengar suaranya tak sa-
lah! Dialah yang telah merampas Batu Walet Merah
malam itu...!" teriak Dewi Ratih tiba-tiba. Selain Buang
Sengketa, keempat orang itu juga tak kalah terkejut-
nya. Wajah mereka mendadak pucat pias bagai tak
memiliki darah lagi. Untuk menutupi rasa malu mere-
ka, mendadak suami istri Maling Durjana membentak:
"Bocah! Mulutmu lancang sekali, bertemu mu-
ka dengan kalian saja baru kali ini, bagaimana mung-
kin kau bisa menuduh kami telah merampas sesuatu
yang tidak kami ketahui sama sekali...!"
"Dia benar-benar ingin mencari penyakit ka-
wan-kawan..." tukas si Monyet kurus ikut menimpali.
"Benarkah mereka ini? Apakah kau tak salah
duga Ratih?" tanya Buang Sengketa tampak berubah
paras mukanya.
"Tidak salah! Aku cukup tanda dengan suara
manusia Monyet Hitam ini...!" kata Dewi Ratih ber-
sungguh-sungguh.
"Hei... siapakah engkau ini, sejak tadi bicaramu
ngelantur tiada menentu. Kami benar-benar tak men-
gerti apa yang kau maksudkan!" sergah si Monyet kurus.
"Di dunia ini mana ada maling yang mau men-
gakui perbuatannya...!" sentak Pendekar Hina Kelana
tampak sudah tidak sabaran lagi.
"Keparat! Kau benar-benar sangat keterlaluan
sekali!" Sejenak dia memandang pada ketiga orang ka-
wannya. Lalu
"Anak-anak! Ringkus bajingan dan gadis itu!"
teriak si Monyet Hitam yang memiliki badan gemuk.
"Tak perlu beramai-ramai, biarkan kami berdua
yang menangkapnya hidup-hidup." Tukas istri Maling
Durjana! Seraya melangkah satu tindak dan mulai
bersiap-siap membangun serangan.
"Ho'oh! Biar kita berdua saja yang meringkus-
nya! Kau yang pemuda gembel itu, dan aku meringkus
yang perempuan!" kata suami si Maling Durjana me-
nimpali. Tapi sebelum mereka bertindak, istri Maling
Durjana membentak garang pada suaminya, agaknya
dia merasa cemburu.
"Kurang ajar, kau suamiku! Tidak bisa seenak
perutmu saja, biar aku yang meringkus gadis itu, se-
dangkan kau yang membekuk pemuda gembel di de-
panmu!"
"Baiklah... baik... aku menurut saja...!"
"Kalian harus bisa meringkusnya tidak lebih
dari sepuluh jurus, kalau tidak terpaksa si Monyet Hi-
tam bersaudara ikut turun tangan...!" kata si Monyet
kurus langsung menonton pertarungan itu dengan ja-
rak yang tidak begitu jauh.
Tampaknya Dewi Ratih dan Buang Sengketa
merasa sudah tak sabaran lagi untuk melakukan ge-
brakan-gebrakan serangannya. Terbukti begitu tubuh-
nya melompat ke depan lawannya dia langsung menge-
rahkan jurus silat tangan kosong ‘Membendung Ge-
lombang Menimba Samudra’. Sebaliknya Dewi Ratih
lebih awal lagi telah menyerang istri si Maling Durjana
dengan jurus silat yang terdapat pada lima kitab milik
Padepokan Bukit Berkabung. Di bandingkan dengan
Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya, maka tingkat
kepandaian Dewi Ratih lebih tinggi lagi, justru karena
dia berhasil mempelajari kelima kitab itu sampai pada
tingkatannya yang terakhir yaitu tingkat yang ketujuh.
Sebaliknya istri Maling Durjana bukanlah bocah kema-
rin sore yang baru terjun di dalam rimba persilatan.
Selama sepuluh tahun mereka malang melintang di
dunia persilatan dengan senjata andalannya yang be-
rupa kipas warna hitam telah begitu banyak korban-
korban berjatuhan, di tangannya, selama ini hanya si
Kakek Tinggi Besar yang berkuasa di Maliau dan Ta-
ruak saja yang tak pernah mampu mereka hadapi ber-
dua.
Seperti diketahui Gada Wisa masih merupakan
saudara seperguruan mereka yang paling tua. Yang
pasti memiliki ilmu silat yang tinggi, di samping senja-
tanya yang berupa gada itu sangat berbahaya sekali
bagi lawan-lawannya. Sebelum gurunya meninggal,
suami istri Maling Durjana mendapat tugas untuk
mengambil gada pusaka itu dari tangan si Gada Wisa
yang telah melarikannya selama hampir lebih dari lima
belas tahun. Dengan senjata berupa gada yang besar-
nya tak lebih dari ibu jari itu dia berhasil membentuk
sebuah gerombolan yang menamakan dirinya sebagai
Gerombolan Sinar Kayangan. Kalau pun mereka yang
sebenarnya memiliki ilmu tangguh tapi kemudian me-
milih bergabung dengan Sepasang Walet Merah hal itu
bukan berarti ilmu mereka di bawah ilmu Sepasang
Walet Merah. Sama sekali tidak. Mereka melakukan itu
adalah karena Sepasang Walet Merah meskipun tidak
berilmu tinggi, namun memiliki senjata andalan yaitu
berupa sepasang Batu Walet Merah yang mereka perki-
rakan dapat menandingi Gada Wisa. Dengan cara ber
gabung seperti itu cepat atau lambat mereka berharap
dapat mempengaruhi Sepasang Walet Merah untuk
melakukan penyerangan terhadap gerombolan Sinar
Kayangan yang berkuasa di Daerah Maliau dan Ta-
ruak. Wajar saja kalau kemudian mereka bersikap pa-
tuh dan tunduk di bawah perintah Sepasang Walet
Merah, termasuk juga menjalankan tugas-tugas pent-
ing, yaitu mencuri atau lebih tepatnya merampas Batu
Walet Merah yang satunya lagi dari tangan Dewi Ratih,
melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh golon-
gan putih termasuk juga dalam membinasakan si
Rambut Kelabu penguasa lembah Panggang.
Tapi mereka sama sekali tiada menyangka ka-
lau dalam perjalanannya menuju Bukit Siluman guna
menemui pemimpin mereka di tengah jalan mereka
bertemu dengan Pendekar Hina Kelana dan seorang
gadis yang pernah mereka tinggalkan di tengah-tengah
hutan pinus beberapa waktu yang lalu. Siapa pun
adanya gadis itu, keempat orang itu sudah merasa ya-
kin bahwa sebenarnya dia masih merupakan keturu-
nan Padepokan Bukit Berkabung. Sedangkan si pemu-
da menurut anggapan mereka tentu juga memiliki ke-
pandaian yang tiada seberapa. Dengan keyakinan se-
perti itu mereka merasa cukup untuk dihadapi satu
lawan satu. Tetapi setelah menyaksikan pertarungan
yang sedang berlangsung, jurus demi jurus baik dua
bersaudara Monyet Hitam dari Gunung Beruk, mau-
pun suami istri si Maling Durjana mau tak mau harus
membuka mata demi melihat kenyataannya bahwa si
pemuda berpakaian kumuh dekil dengan sebuah pe-
riuk besar menggelantung di pinggangnya itu ternyata
memiliki kepandaian yang tinggi. Terbukti walau pun
sejauh itu si pemuda belum pernah membalas setiap
serangan yang dilakukan oleh suami Maling Durjana,
namun tak satu pun pukulan manusia maling itu yang
mengenai.
***
SEMBILAN
Walaupun mereka menyadari bahwa si pemuda
tak mungkin mampu dirobohkan oleh kawannya tetapi
Monyet Hitam bersaudara tak ingin mempermalukan
kawannya dengan cara melakukan pengeroyokan. Pula
Maling Durjana masih kelihatan belum keteter. Demi-
kian sambil menyaksikan pertarungan yang sedang
berlangsung, Monyet Hitam bersaudara mempelajari
dan mencari titik kelemahan jurus-jurus yang dimain-
kan oleh Buang Sengketa. Tapi mereka akhirnya men-
jadi puyeng sendiri, karena pada dasarnya jurus-jurus
silat yang dimainkan oleh si pemuda senantiasa beru-
bah-ubah.
"Heaat...! Haiiiit... Shaaaa...!"
Saat itu Buang Sengketa yang telah banyak
memberi kesempatan pada suami Maling Durjana
tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Setelah memper-
gunakan jurus Membendung Gelombang Menimba
Samudra. Kini dia merobah jurus silatnya dengan ju-
rus 'Si Gila Mengamuk'. Mempergunakan jurus ini,
permainan silat Pendekar Hina Kelana berobah secara
total. Kalau tadinya dia mengandalkan kecepatan ge-
rak dengan memutar kedua tangannya membentuk
sebuah benteng pertahanan, maka kini tubuhnya tam-
pak seperti limbung dan hendak tersungkur. Gerakan
silatnya kacau tak beraturan, terkadang terhuyung-
huyung bagai orang yang mabuk berat. Sempoyongan
ke depan dan ke belakang, miring kiri dan ke kanan.
Justru dengan begitu tak satu pun serangan-serangan
yang dibangun oleh suami Maling Durjana yang men-
genai sasarannya. Laki-laki berpakaian hitam dan
kuning ini tampaknya sangat gusar sekali, padahal
saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Maling Tidur
di Rumah Janda Kesiangan'. Selama ini tak seorang
pun lawan-lawannya mampu mengelakkan serangan-
serangannya yang terkenal cepat dan ganas. Namun
sekarang jurus andalan itu dipergunakan untuk me-
nyerang si pemuda, rasa-rasanya dia kena batunya
dan mati kutu. Bagaimana tidak, secepat mana pun
gerakan tangan dan kakinya melancarkan tendangan
dan pukulan, namun tetap saja dia tak mampu me-
mukul lawannya, jangankan memukul menyentuh
rambutnya saja dia tidak mampu. Hingga pada satu
kesempatan tubuhnya melompat bagai orang yang
hendak terjatuh. Kirimkan satu tendangan mengarah
pada bagian selangkangan, sedangkan tangan kanan-
nya mengancam pada bagian dada. Menyadari adanya
ancaman bahaya seperti itu, suami Maling Durjana
membanting tubuhnya sambil memaki. Satu sapuan
telak yang mendatangkan angin bersiuran mampu di-
elakkan oleh pemuda itu malangnya satu jotosan tak
mampu dia elakkan dengan baik.
"Buuuk!"
"Aghhk...!"
Suami Maling Durjana keluarkan jeritan terta-
han. Dadanya yang terserempet tinju lawannya terasa
berdenyut-denyut sakit. Bahkan di bagian itu terasa
sesak dan nyeri. Kiranya Maling Durjana ini memiliki
daya tahan yang lumayan. Terbukti seperti tak mera-
sakan pukulan yang menghantam tubuhnya, secepat
dia jatuh secepat itu pula dia telah bangkit kembali.
"Sreet!"
Kipas berwarna hitam yang terselip di ping-
gangnya tercabut sudah. Sejenak di pandanginya pe
muda yang menjadi lawannya itu dengan tatapan seo-
lah tak percaya, kemudian dengan suara menggeledek
dia membentak.
"Bocah! Mungkin kau manusia yang hebat, tapi
berhadapan dengan Maling Durjana jangan kau berha-
rap bakal menang! Sebelum kematianmu, katakanlah
siapa kau ini agar kami mudah menuliskannya di batu
nisanmu nanti...!" selak si Maling Durjana berapi-api!
Pendekar Hina Kelana hanya senyum-senyum
di kulum menanggapi kata-kata Maling Durjana. Ting-
kah si pemuda itu sudah barang tentu membuat suami
Maling Durjana menjadi berang.
"Kuperingatkan padamu sekali lagi, katakanlah
siapa namamu agar kau tak mati penasaran...!" bentak
Maling Durjana sambil katupkan rahang rapat-rapat.
"Ha... ha... ha...! Segala maling comberan saja
coba-coba menggertakku. Hemm! Kalau! kalian ingin
tahu siapa aku, inilah orangnya si Hina Kelana...!"
ucap Buang Sengketa tanpa ada memiliki maksud un-
tuk membanggakan diri. Bukan suami istri Maling
Durjana saja yang tampak terkejut, sebaliknya dua
Bersaudara Monyet Hitam juga menunjukkan hal yang
sama. Sungguh pun selama ini mereka hanya men-
dengar sepak terjang pendekar yang namanya kesohor
sampai di pelosok-pelosok rimba persilatan yang san-
gat jauh. Tapi menurut cerita yang mereka dengar,
pendekar yang memiliki banyak keanehan dengan il-
mu-ilmu saktinya itu tak pernah mengenal kompromi
dalam membasmi golongan sesat. Bahkan pendekar itu
akan menjadi sangat berbahaya sekali dengan pusaka
Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangan-
nya.
Namun mereka juga menjadi sedikit ragu, be-
narkah Pendekar Hina Kelana berpenampilan mirip
seorang gembel hina dengan segala periuk yang meng
gelantung di pinggangnya itu. Kalau memang benar,
itu sama saja artinya mereka hari ini benar-benar telah
berhadapan dengan hantu rimba persilatan.
"Kawan-kawan! Jangan percaya dengan segala
bualannya, bocah gemblung anaknya gembel ini hanya
mengaku-ngaku. Percayakah kalian tampangnya pen-
dekar Golok Buntung seperti ini? Dia kira kalau men-
gaku sebagai Pendekar Hina Kelana kita akan per-
caya...!", kata Dua Bersaudara Monyet Hitam untuk
memberikan semangat pada suami istri Maling Durja-
na yang hampir lenyap keberaniannya.
"Aha... hak... hak...!" Buang tertawa lepas. "Ku-
pertaruhkan nyawa untuk menyeberangi laut, meram-
bah belantara dan mendaki gunung. Apa artinya aku
mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana, kalau bukan
kejahatan yang harus sirna!" bentak pemuda keturu-
nan Raja Bunian itu sembari memandang tajam pada
keempat lawan yang kini juga sudah menghentikan
pertarungan.
"Hemm... siapa mau percaya dengan omon-
ganmu, budak gembel! Terkecuali kau mampu menun-
jukkan pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap
Sayuto di hadapan kami!" ujar istri Maling Durjana
meragu.
"Permintaan yang sama juga pernah mereka
ajukan padaku! Sayang... mereka tak pernah melihat
kehebatan golok itu terkecuali merasakan ketajaman-
nya...!" tukas Buang Sengketa dingin.
"Kau hanya seorang pembual besar! Mana
mungkin kami percaya begitu saja terhadap segala
macam omonganmu!" bantah si Monyet Gemuk, sambil
berkata dia langsung maju dua tindak
"Bagus! Aku memang tak pernah mengharap
segala kepercayaan dari orang-orang sebangsa monyet
seperti kalian. Nah sekarang tunggu apa lagi, kalian
bertiga, maling keparat dan dua ekor Monyet Hitam
majulah secara bersama-sama...!" tantangnya merasa
tidak sabar lagi. Sebaliknya ketiga orang itu menjadi
panas juga hatinya mendapat tantangan seperti itu.
"Kau terlalu jumawa bocah gombal amoh! Jan-
gan salahkan kami andai dalam tiga gebrakan di muka
kau terkapar menjadi bangkai...!" selak si Monyet Ku-
rus.
"Wei... malah bagus, aku pun jadi ingin melihat
siapa di antara kalian yang mempergunakan kuku
panjang dalam bertarung nanti. Dengan begitu tak su-
sah-susah bagiku untuk menentukan hukuman bagi
pembunuh si Rambut Kelabu...!"
"Tak perlu melihat nanti, kalau kau ingin tahu,
kamilah orangnya...!" jawab si Monyet Gemuk. Selan-
jutnya tanpa memberi kesempatan lagi pada Buang
Sengketa untuk berbicara, dia langsung membuka ju-
rus-jurus mautnya. Pertarungan kini menjadi semakin
seru dengan turunnya Monyet Hitam Bersaudara.
Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratih
dengan istri Maling Durjana juga berlanjut kembali.
Kalau tadinya masing-masing lawan bertarung dengan
mempergunakan jurus silat tangan kosong, maka kini
mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Di ten-
gah-tengah berdentingnya senjata itu, sekali dua pu-
kulan-pukulan maut pun mereka lepaskan.
"Ciaaat...!"
"Wuuus!"
Senjata kipas di tangan istri Maling Durjana
menderu mengincar bagian kepala dan perut Ratih,
sebaliknya dengan mempergunakan pedangnya Ratih
berusaha mematahkan serangan kipas di tangan la-
wannya. Satu tendangan mempergunakan kaki kanan
dilakukan oleh gadis itu menyertai sabetan pedang di
tangannya.
"Preeet! Traaang!"
"Duuuk!"
Ketika dua senjata itu saling berbenturan, satu
tendangan kaki yang datangnya laksana kilat terlepas
dari perhatian istri Maling Durjana. Tubuh perempuan
berusia lima puluhan itu terbanting dan terguling-
guling di atas tanah. Sementara Ratih sendiri dapat
merasakan betapa akibat beradunya dua senjata tadi
tangannya menjadi sakit dan terasa kesemutan. Tu-
buhnya juga tergetar dengan wajah sedikit memucat.
Lain lagi halnya yang dirasakan oleh istri Maling Dur-
jana. Dia hanya merasa perutnya yang tertendang kaki
lawannya terasa mules, mual dan mau muntah. Se-
dangkan pada bagian tangannya hanya terasa kesemu-
tan, dan itu pun kejab kemudian telah lenyap sama
sekali. Istri Maling Durjana secepatnya bangkit kemba-
li. Lalu disalurkannya tenaga dalam ke arah bagian
tangan kirinya. Saat itu dia sudah bersiap-siap untuk
melepaskan pukulan 'Maling Bangsawan Menggebuk
Pengemis Kelaparan'.
"Wuuus!"
Serangkum gelombang berwarna kuning men-
deru, menghadapi pukulan yang mengandung seten-
gah dari tenaga dalam yang dimiliki oleh istri maling
durjana sebagai gadis yang masih hijau dalam dunia
persilatan tak banyak yang dapat dilakukannya terke-
cuali memutar pedangnya untuk melindungi diri. Hal
ini benar-benar dapat membahayakan keselamatan
Dewi Ratih. Sebab selain pukulan itu mengandung
hawa dingin juga di dalamnya terkandung racun yang
sangat ganas. Masih untung, Buang Sengketa yang se-
jak tadi sembari bertempur melawan Monyet Hitam
Bersaudara dan suami maling durjana masih sempat
mengawasi jalannya pertarungan antara Ratih dan istri
Maling Durjana. Pemuda itu sambil berkelit menghindar cakaran dan sabetan kipas yang datang, dia le-
paskan pukulan Empat Anasir Kehidupan untuk
membantu Dewi Ratih.
Semua yang sedang melakukan pengeroyokan
atas diri si pemuda nampak sangat terkejut sekali. Se-
dikit pun mereka tiada menyangka kalau sedang da-
lam keadaan bertempur menghadapi lawan yang rata-
rata memiliki ilmu tinggi, si pemuda masih mampu
melepaskan pukulan demi untuk membela Dewi Ratih
yang sedang menghadapi bahaya yang sangat besar
itu. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet tak
pelak lagi menyongsong pukulan yang dilepaskan oleh
istri Maling Durjana. Perempuan berusia lima puluhan
itu mengeluarkan seruan tertahan saat mana samba-
ran angin pukulan menerpa bagian bahunya.
"Blaam...!"
Satu letupan keras terdengar ketika dua puku-
lan maut itu saling bertemu di udara. Bumi tempat
mereka berpijak terasa bergetar, tubuh istri Maling
Durjana terpelanting roboh. Saat itu dari hidung dan
bibirnya meleleh darah segar, dengan susah payah dia
berusaha bangkit, namun sebelum perempuan itu da-
pat berdiri tegak pada posisinya, Dewi Ratih telah
memburunya dengan pedang terhunus, satu jurus pe-
dang tingkatan ketujuh yang terdapat pada kitab keli-
ma dia mainkan. Istri Maling Durjana yang saat itu
sudah dalam keadaan terluka parah hanya sempat
membuang tubuhnya ke samping. Namun pedang di
tangan Ratih bagai bermata saja layaknya terus mem-
buru dirinya.
"Haiiiiit!"
"Jrooos! Aggrhk!"
Istri Maling Durjana langsung terkulai tewas
sesaat setelah mata pedang di tangan Dewi Ratih
menghunjam dadanya.
Kematian sang istri sudah barang tentu mem-
buat suami Maling Durjana menjadi kalap. Begitu tu-
buh Buang tersungkur saat bentrok dengan pukulan
yang dilepaskan oleh istrinya, maka dengan senjata
mautnya yang berupa sebuah kipas warna hitam dia
langsung melakukan satu lompatan sembari hantam-
kan kipasnya ke arah bagian punggung lawannya.
"Craaak...!"
Buang Sengketa menyeringai menahan sakit
ketika merasakan sambaran kipas itu merobek kulit
punggungnya. Tapi dia sudah tak menghiraukan rasa
nyeri itu, sambil terus berguling-guling dia berusaha
menghindari sergapan-sergapan yang dilakukan oleh
ketiga lawannya. Lagi-lagi sambaran kipas di tangan
suami Maling Durjana mengancam pada bagian kepa-
lanya.
Dalam keadaan kritis seperti itu, Dewi Ratih
datang membantu.
"Traaang...!"
"Jahanam...!" maki suami Maling Durjana men-
getahui serangannya dapat dipatahkan oleh Dewi Ra-
tih. Pertarungan dua lawan satu pun langsung terjadi,
tiba-tiba tubuh Buang Sengketa tanpa terduga-duga
nampak meletik ke udaranya.
"Adik Ratih! menyingkirlah jauh-jauh!" berte-
riak Pendekar Hina Kelana masih dalam keadaan ber-
jumpalitan. Dewi Ratih cepat-cepat menyingkir. Saat
itu dengan disertai satu raungan keras, pendekar dari
negeri Bunian itu hantamkan tangan kanannya. Satu
gelombang pukulan yang memancarkan sinar merah
menyala melesat dengan disertai suara bergemuruh
bagai badai angin ribut. Tak salah lagi saat itu Buang
sedang melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana.
***
SEPULUH
Tampaknya ketiga orang itu menyadari dengan
akibat yang mungkin ditimbulkan akibat pukulan yang
dilepaskan oleh pihak lawannya. Yang membuat ketiga
orang ini menjadi terkejut adalah karena sesaat setelah
pukulan maut itu terlepas, mendadak pukulan 'Si Hina
Kelana Merana' membelah menjadi tiga bagian. Dan
masing-masing bagian yang terbelah itu menghajar ke
arah lawannya. Berbuatlah masing-masing lawan den-
gan segenap kemampuan yang ada demi menyela-
matkan jiwa masing-masing. Suami Maling Durjana
cepat-cepat memutar kipas mautnya, sementara Mo-
nyet Hitam Bersaudara melepaskan satu pukulan yang
diberi nama 'Sepuluh Menuju Jalan Kematian'. Begitu
kedua tangan bergerak melambai, tak ampun lagi
menderulah satu gelombang angin topan yang sangat
kencang sekali. Pakaian maupun rambut si pemuda
tampak melambai-lambai di terpa gelombang pukulan
yang dilakukan oleh Dua Monyet Hitam Bersaudara.
"Dweeer! Dweer...!"
Empat tubuh dari mereka yang sedang berta-
rung itu tampak berpentalan ke berbagai tempat. Ber-
temunya tiga tenaga sakti yang telah dilepaskan oleh
masing-masing lawan, membuat Dua Bersaudara Mo-
nyet Hitam merasakan tubuhnya bagai remuk, sekali
saja dia terbatuk, maka menggelogoklah darah kental
dari mulut mereka. Sementara suami Maling Durjana
yang mempergunakan senjata kipas hitam nya sebagai
perisai tampak merangkak berusaha bangkit, sedang-
kan kipas di tangannya hancur berkeping-keping. Ti-
dak terkecuali Pendekar Hina Kelana.
"Celaka...! Mereka benar-benar tiga orang lawan
yang cukup berarti bagiku! Tampaknya aku tak punya
pilihan lain untuk menandingi mereka terkecuali
mempergunakan pusaka Golok Buntung...!" batin pen-
dekar ini seraya seka darahnya yang mengalir memba-
sahi bibir dan pakaiannya.
"Kampreeeet... ternyata kau merupakan seo-
rang pendekar yang memiliki kemampuan yang sangat
hebat. Tapi rasakan ini...!" kata si Monyet Hitam. Lalu
cepat-cepat rogoh saku bajunya dan melemparkan se-
buah benda berbentuk bulat. Benda itu langsung me-
ledak begitu menyentuh tubuh Pendekar Hina Kelana.
"Buuum...!"
Asap tebal sekejap saja menyelimuti diri si pe-
muda, lalu dalam gumpalan asap itu terdengar suara
terbatuk-batuk.
"Kakang...!" pekik Dewi Ratih demi melihat ba-
haya yang sedang mengancam diri pemuda itu. Ratih
menyadari apa yang akan terjadi andai sampai si pe-
muda tak sadarkan diri. Tapi para lawannya yang ta-
dinya sempat menarik nafas lega, akhirnya menjadi
sangat terkejut begitu mendengar suara gelak tawa
yang berasal dari gumpalan kabut tadi.
"Ahaa... ha... ha...! Sialan ini bau asap pembius
apa kentut kuda... wah kalian kira aku bisa kelenger
dengan segala asap pembius yang tiada berguna ini...!"
selak Pendekar Hina Kelana. Sungguh pun dia tertawa
tergelak-gelak, tapi sebenarnya kesabaran yang dia mi-
liki telah sampai pada puncaknya. Kedua matanya pun
telah berubah memerah saga, sementara dari sela-sela
bibirnya memperdengarkan bunyi mendesis bagai ular
pi-ton yang sedang dilanda kemarahan.
"Sriiing...!"
Sekali tangannya meraba pada bagian ping-
gangnya, maka senjata Golok Buntung itu pun terca-
but dari sarungnya. Kejab itu juga terlihat sinar merah
menyala dari senjata andalan di tangan Buang Sengketa. Mereka menjadi lebih terkejut lagi ketika mereka
merasakan udara di sekitarnya mendadak berubah
dingin luar biasa. Tubuh mereka menggigil, namun se-
telah mengerahkan tenaga dalam yang mereka miliki,
rasa dingin itu sedikit demi sedikit menjadi hilang, wa-
lau tidak dapat dikata hilang sama sekali.
"Kalian lihatlah apa yang ingin kalian lihat dari
Pendekar Hina Kelana sebelumlah segala-galanya be-
nar-benar terlambat, persiapkan segala apa yang ka-
lian miliki...!" menggeram si pemuda. Sekejap kemu-
dian dengan disertai teriakan tinggi melengking, maka
senjata di tangan Pendekar Hina Kelana berkelebat
menyambar.
"Nguuung...!"
Terdengar suara menggaung bagai auman sua-
ra pukulan harimau terluka saat sinar merah berkele-
bat menyambar. Kini sadarlah para lawan-lawannya
bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan
Pendekar Golok Buntung. Tapi apa mau dikata, semu-
anya terasa jadi terlambat, senjata itu begitu ganas
menyambar-nyambar bagaikan memiliki mata.
Tak ada jalan lain yang lebih baik bagi ketiga
lawannya selain hanya bertahan dan berusaha menge-
lakkan setiap serangan-serangan yang datang.
"Haiiit...!"
Teriak Pendekar Hina Kelana, sembari memper-
gunakan jurus si Jadah Terbuang laksana kilat dia
melompat ganas ke depannya. Yang menjadi sasaran-
nya adalah suami Maling Durjana. Demi menyela-
matkan selembar nyawanya, Maling Durjana lepaskan
satu pukulan mautnya. Tapi gerakan Golok Buntung
di tangan si pemuda datang lebih cepat dari perhitun-
gannya.
"Creeess...!"
"Arggkh...!"
Suami Maling Durjana melolong panjang saat
mana senjata di tangan Buang Sengketa membabat
bagian dadanya. Dengan menderita luka babatan yang
sangat dalam tubuh Maling Durjana terpelanting ro-
boh. Tubuhnya bersimbah darah, berkelejetan seben-
tar, kemudian diam untuk selama-lamanya.
Kini tinggallah Dua Bersaudara Monyet Hitam
yang tampak tertegun-tegun memandangi mayat Mal-
ing Durjana.
"Monyet Hitam! Bersiap-siaplah untuk segera
menyusul kawanmu...!" bentak si pemuda dengan ta-
tapan sinis.
"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Hina Ke-
lana...!"
"Bagus! Majulah...!" tantang pemuda itu, seraya
kembali bergebrak.
"Heiiik."
"Nguuung...!"
Dengan sangat nekad Dua Monyet Hitam Ber-
saudara memapaki serangan senjata di tangan lawan-
nya. Golok Buntung berkelebat menyambar.
"Crook! Craaas...!"
Tubuh kedua orang itu tampak berputar-putar
bagai orang yang sedang bingung. Bagian dada dan
kepala mereka hampir saja terbelah di landa ketaja-
man senjata Golok Buntung. Sebelum tubuh sesat itu
ambruk ke bumi, sekali lagi senjata itu berkelebat ce-
pat
Tanpa ampun kedua Monyet Hitam langsung
ambruk menggelosoh di atas rerumputan. Berkelojotan
sebentar, lalu diam dengan jiwa melayang. Melihat ke-
matian lawan-lawannya, Buang menarik nafas pendek,
kemudian dia menoleh dan memandang pada Dewi Ra-
tih yang segera berlari dari mendekat ke arahnya.
"Kakang! Selama ini kiranya kau merahasiakan
nama kebesaranmu! Tak, kusangka orang yang memi-
liki gelar besar Pendekar Hina Kelana engkaulah
orangnya. Aku merasa sangat beruntung dapat ber-
jumpa dan bersama-sama denganmu!" ucap gadis itu
sambil memandang sendu pada pemuda berwajah
tampan itu.
"Sudahlah, tak perlu kau menyanjungku se-
tinggi langit! Tugas kita untuk mendapatkan Batu Wa-
let Merah dari tangan manusia terkutuk itu pun belum
tercapai!" sela Buang Sengketa merana tak enak den-
gan sanjungan dan pujian yang diucapkan oleh Dewi
Ratih.
"Jadi sekarang kita hendak kemana, Ka-
kang...?"
Si pemuda tampak berpikir sebentar dan lang-
sung menyahut.
"Sudah kukatakan tak ada tempat yang aman
bagi Sepasang Walet Merah, terkecuali di Bukit Silu-
man."
"Tapi, bagaimana dengan mayat-mayat itu...?"
tanya Ratih, sungguh pun mayat-mayat itu sebagai
musuhnya, tapi dia merasa tak tega membiarkan
mayat-mayat itu bergelimpangan begitu saja.
"Biarkan saja! Tokh di hutan ini masih banyak
macan kelaparan yang membutuhkan santapan!"
"Kalau begitu kita secepatnya meninggalkan
tempat ini, Kakang?"
"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" ujar
Buang Sengketa.
***
SEBELAS
Ketika ketua Gerombolan Sinar Kayangan me-
rasa sudah tidak mempunyai pilihan lain lagi untuk
bersikap menunggu secara terus-menerus. Maka saat
itu dua hal yang selalu datang dalam benak Gada Wisa
adalah bagaimana caranya mendapatkan Batu Walet
Merah dan juga membalas kematian murid-muridnya
di tangan Sepasang Walet Merah. Tunggu punya tung-
gu tak ada tanda-tanda kalau Sepasang Walet Merah
mau datang ke Maliau dan Taruak, yaitu dua daerah
yang menjadi kekuasaannya selama beberapa tahun
belakangan ini. Akhirnya dia merasa kesal, dia pun
memutuskan untuk meluruk Sepasang Walet Merah ke
Bukit Siluman sebagai mana dilaporkan oleh murid
utamanya si Cacing Kalung dan si Tanduk Maut yang
diutus untuk melakukan penyelidikan.
Setelah mengetahui titik lemah dan kekuatan
yang dimiliki oleh Sepasang Walet Merah, maka be-
rangkatlah satu rombongan yang sangat besar, ber-
jumlah tak kurang dari empat puluh orang menuju
Bukit Siluman. Karena mereka hampir keseluruhan-
nya mempergunakan kendaraan berkuda. Maka men-
jelang dua hari kemudian sampailah rombongan Ge-
rombolan Sinar Kayangan ini di Bukit Siluman. Kenya-
taannya Sepasang Walet Merah memang berada di sa-
na.
"Rombongan besar, merupakan orang-orang
kasar! Apakah tujuan kalian menyambangi Bukit Si-
luman...!" tanya Sepasang Walet Merah, sesaat meneliti
orang-orang yang hadir di situ.
"Heh...! Inikah kunyuknya yang menamakan di-
rinya sebagai Sepasang Walet Merah? Kudengar ka-
lianlah yang telah membunuh murid-muridku?" tanya
si Kakek Tinggi Semampai, lalu menatap tajam pada
Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita. Walet Merah ter-
senyum mencibir, betapa pun mereka yakin dengan
kemampuan yang mereka miliki, namun keduanya ju-
ga memperhitungkan jumlah lawan-lawannya sangat
besar. Kakek Tinggi Besar dan dua orang lainnya ke-
mungkinan sekali memiliki kesaktian yang dapat dian-
dalkan
"Tak salah, kamilah Sepasang Walet Merah!"
Si Gada Wisa tergelak-gelak mendengar penga-
kuan kedua muda mudi itu, lalu dia membuang pan-
dangan matanya jauh-jauh. Ke arah kerangka rumah
di atas bukit kapur yang belum jadi. Hatinya saat itu
membatin, "Mungkin di sinilah kedua pemuda itu akan
membangun sebuah kekuatan baru". Setelah puas
memandangi kerangka rumah tadi maka dia kembali
memandang pada Sepasang Walet Merah.
"Bagus! Sebaiknya kalian menyerah kepada
kami dan serahkan Batu Walet Merah yang ada pada
kalian itu...!" perintah si Kakek Tinggi Besar.
"Hi... hi... hi...! Semudah itukah, Kakek tolol!
Pantasnya malah kalianlah yang menyerah atau paling
tidak bersekutu pada kami...!"
"Hah...! Bocah ingusan macam kalian mengajak
bersekutu dengan aku, seorang penguasa di Maliau
dan Taruak...?" ejek Gada Wisa
"Tak salah...!"
"Hemm! Kalau itulah yang kalian inginkan!"
Kakek Tinggi Besar memandang pada para muridnya,
lalu memberi perintah
"Anak-anak! Cincang kedua orang itu!" katanya
tegas.
Begitu melihat aba-aba yang diberikan oleh gu-
runya, maka hampir empat puluh orang murid-murid
Gada Wisa secara berlomba-lomba datang menyerbu.
Sepasang Walet Merah bukanlah orang yang takut pa-
da keroyokan, namun menghadapi jumlah yang sekian
banyaknya, mau tak mau keduanya langsung kerepo-
tan.
***
Saat itu juga mereka sudah mencabut pedang-
nya masing-masing. Begitu pedang di tangan mereka
berkelebat, tiga orang murid Gada Wisa menjerit ro-
boh. Tapi murid-murid dari Maliau dan Taruak ini me-
rupakan murid-murid yang tiada mengenal rasa takut,
mengetahui kawannya tersungkur bermandikan darah,
mereka menjadi semakin bertambah beringas. Dalam
waktu sekejap terjadilah pertarungan sengit di bukit
berkapur yang selama ini merupakan sebuah tempat
yang sangat dikeramatkan oleh keturunan Padepokan
Bukit Berkabung.
Korban di pihak murid kakek Gada Wisa, jurus
demi jurus terus berjatuhan, sejauh itu Si Gada Wisa,
Caring Kalung dan si Tanduk Maut hanya berdiri me-
nonton. Tapi tak lama kemudian Kakek Tinggi Tegap
ini menoleh pada murid andalannya itu.
"Bantu mereka...!" perintahnya. Si Cacing Ka-
lung dan Tanduk Maut tanpa menunggu diperintah
dua kali segera menghambur di arena pertempuran.
Kemunculan dua orang murid utama itu membuat se-
gala-galanya berobah, kalau pertama tadi Sepasang
Walet Merah dengan begitu mudahnya merobohkan
lawan-lawannya yang sebenarnya memiliki kepandaian
yang tidak seberapa tinggi ini, namun setelah si Cacing
Kalung dan Tanduk Maut datang membantu. Maka se-
karang terlalu sulit bagi keduanya untuk menjatuhkan
lawan-lawannya. Si Tanduk Maut dan Cacing Kalung
dengan senjatanya yang berupa pedang bergerigi mirip
gergaji, tampak menyeruak menyongsong datangnya
sambaran pedang di tangan Sepasang Walet Merah.
Pedang bergerigi di tangan si Cacing Kalung dan Tan-
duk Maut datang menggebu, memapaki senjata di tan-
gan lawan yang meluncur deras ke arah bagian perut
mereka. Satu sapuan kaki pun menyertai berkelebat-
nya senjata di tangan Walet Merah.
"Traaang! Buuuk!"
"Ughk...!"
Terlihat senjata di tangan masing-masing lawan
tergetar hebat. Tetapi si Tanduk Maut dan Cacing Ka-
lung tak luput dari sambaran kaki Dewi Ratna Juwita,
hingga mengakibatkan tubuh mereka terjengkang.
Sementara itu Bagas Salaya setelah mendapat
isyarat dari Dewi Ratna Juwita dengan gerakan yang
sangat gesit, segera membagi medan pertarungan men-
jadi dua bagian. Puluhan murid-murid Gada Wisa te-
rus meluruk ke arahnya dengan babatan senjata di
tangan mereka. Sekali dua Bagas Salaya keluarkan
tawa mengekeh, dia merasa bahwa lawan yang sedang
dihadapinya bukanlah berarti apa-apa bila dibanding-
kan dengan kemampuan yang dia miliki. Akibatnya
sering terlihat kelengahan-kelengahan yang tiada be-
rarti membuat dia menjadi rugi sendiri. Seperti pada
satu kesempatan, dengan seenaknya saja dia memba-
bat lawan yang berada di depannya. Lawan itu roboh
dengan tubuh bermandi darah, tapi dari belakangnya
menyusul satu pukulan telak
"Buuuk!"
"Ahkk... kampreet...!"
Maki Bagas Salaya ketika tubuhnya tersungkur
ke depan dengan bagian punggung terasa remuk.
Tampaknya dia menjadi kalap atas kelengahannya
sendiri. Tanpa ampun Bagas Salaya mengerahkan se-
bagian tenaga dalamnya ke arah bagian jemari tangannya.
Detik selanjutnya tubuh pemuda itu mengge-
letar, wajahnya berubah menjadi kemerah-merahan.
Bagas Salaya menyadari apa artinya dia mengerahkan
tenaga ke arah bagian jemari tangannya itu. Memang
tak dapat disangkal kalau saat itu Bagas Salaya se-
dang berusaha membangkitkan kekuatan Batu Walet
Merah yang melingkar di jari manisnya. Tak lama sete-
lah tenaga dalamnya sampai pada Batu Walet Merah
yang melingkar di bagian jarinya itu. Maka kejab ke-
mudian Batu Walet Merah telah pula memancarkan
sinar merah kekuning-kuningan. Tanpa membuang-
buang waktu lagi Bagas Salaya mulai mengarahkan
mata batu itu pada lawan yang datang mengeroyok di
sekelilingnya. Dua tiga lesatan tampak meluncur dari
batu yang berada di tangan Bagas Salaya. Selarik sinar
yang berhawa dingin dan panas dan berbentuk pipih
menghantam tubuh lawan-lawannya.
Tak dapat dicegah, berpelantinganlah tubuh
murid-murid Gada Wisa bagai batu-batu bertebaran.
Kejadian seperti itu dilakukan berulang-ulang oleh Ba-
gas Salaya sehingga dalam waktu tak lebih dari seten-
gah jam, murid-murid Gada Wisa yang jumlahnya
mencapai puluhan itu, kini hanya tinggal beberapa ge-
lintir saja. Mengetahui hampir seluruh muridnya ter-
sapu bersih di tangan Bagas Salaya, Kakek tinggi Be-
sar itu menjadi sangat marah sekali. Dengan disertai
raungan bagai serigala yang kehilangan anak-anaknya,
tubuh Gada Wisa tampak melesat ke depan. Tahu-
tahu telah berdiri empat tombak di depan Bagas Sa-
laya.
"Keparat...! Kau telah membunuh orang-
orangku...!" geram Gada Wisa sambil mencabut senjata
andalannya yang berupa sebuah gada yang berukuran
tak lebih dari ibu jari itu.
"Aha... ha... ha...! Kalau kau tak ingin melihat
murid-muridmu terbunuh, mengapa kau hanya diam
saja sedari tadi, Kakek pikun…!" ejek Bagas Salaya.
"Kau harus mampus di tanganku, Bocah kepa-
rat...!" rutuk si Tinggi semampai lalu bersiap-siap me-
lakukan serangan dengan senjatanya.
"Bagus! Mari kita tentukan siapa yang paling
berhak hidup di kolong langit ini lebih lama lagi...!"
dengus Bagas Salaya. Menyadari bahwa lawannya
mungkin saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi,
maka begitu menghadang Bagas Salaya selain memu-
tar pedang di tangan kirinya juga mulai lancarkan pu-
kulan-pukulan yang bersumber dari kekuatan sakti
yang ada pada Batu Walet Merah di tangannya.
Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratna
Juwita dan Cacing Kalung juga Tanduk Maut tampak
telah mencapai puncaknya. Lebih dari dua kali tangan
dan kaki si Cacing Kalung dan Tanduk Maut berhasil
memukul bagian punggung, perut dan juga pada peli-
pis Dewi Ratna Juwita. Sungguh pun pukulan itu den-
gan mempergunakan tenaga dalam, namun hanya
mengakibatkan tubuh si gadis hanya terpelanting ro-
boh. Untuk kemudian bangkit kembali. Bagi Dewi Rat-
na Juwita hal itu tak menjadi soal, asal saja dia mam-
pu menghindari terjangan senjata di tangan lawannya.
Karena itu justru yang dia nilai sangat berbahaya se-
kali. Namun ketika satu jotosan yang dilakukan oleh si
Cacing Kalung berhasil menghantam bagian dadanya.
Maka berubahlah paras Dewi Ratna Juwita seketika.
Dia sangat marah sekali, sebaliknya si Cacing Kalung
dan Tanduk Maut tergelak-gelak.
"Bagaimana, Cacing Kalung! Empuk ya...!"
"Ho'oh...!" Si Cacing Kalung menyahuti, sambil
berusaha menyerang kembali.
"Keparat...! Kalian benar-benar tak akan mendapat pengampunan dari si Walet Merah!" maki Dewi
Ratna Juwita, selain merasakan sakit di bagian da-
danya juga merasa sangat malu sekali.
"Haiiit...!"
Satu serangan balasan dilakukan oleh Dewi
Ratna Juwita, sesungguhnya serangan pedang ini ha-
nyalah merupakan tipuan belaka, karena niat yang
terkandung dalam hati gadis itu hanyalah ingin me-
nyalurkan tenaga dalamnya pada bagian jemari tan-
gannya. Kedua lawannya memapaki dengan sabetan
senjata di tangan.
"Traak! Traaang...!"
Cacing Kalung dan Tanduk Maut menyurut dua
langkah, tangan mereka terasa kesemutan dan nyeri.
Dengan wajah sedikit memucat keduanya secara se-
rentak cepat-cepat melakukan serangan kembali. Te-
tapi betapa wajah mereka semakin bertambah memu-
cat kala melihat sinar merah kuning dan biru me-
nyongsong kedatangan serangan mereka, Cacing Ka-
lung menyadari bahwa tenaga sakti itu bersumber dari
Batu Walet Merah yang memancar, secepatnya dia be-
rusaha berkelit dan membuang tubuhnya jauh-jauh ke
samping kanan. Lain halnya dengan si Cacing Kalung
yang selalu bertindak hati-hati. Lain lagi halnya den-
gan si Tanduk Maut yang dalam melakukan serangan
selalu dibarengi dengan emosi yang meluap-luap. Saat
dia menyadari datangnya sinar yang mematikan itu,
dia sudah tak dapat berbuat banyak selain menjadi
gugup dan hantamkan senjatanya ke depan.
"Traaang! Breeees...!"
"Uaghkkh...!"
Senjata di tangan berantakan berkeping-keping,
sementara tubuh si Tanduk Maut terpelanting roboh.
Dalam waktu sekejap saja tubuh itu pun telah berubah
membiru, tiada erangan mau pun lolongan maut. Bahkan berkelojotan pun tidak, karena sesaat setelah pe-
rubahan itu terjadi jiwa si Tanduk Maut pun telah me-
lesat pergi meninggalkan raganya. Tinggallah si Cacing
Kalung yang terlongong-longong dengan rasa tak per-
caya. Se-baliknya si Kakek Berbadan Tinggi yang kala
bertarung dengan Bagas Salaya, dan sempat melihat
apa yang dialami oleh murid kesayangannya. Tampak
menjadi sangat murka sekali. Tapi dia pun hanya
mampu mencaci maki dengan kata-kata kotor. Sebab
saat itu dia pun sedang kerepotan menghadapi terjan-
gan-terjangan sinar merah yang bersumber dari Batu
Walet Merah. Sukur dia memiliki pukulan ampuh dan
senjata yang dapat dipergunakan untuk menandingi
kehebatan Batu Walet Merah. Andai tidak, mungkin
dia sendiri tidak mampu menjaga keselamatannya pri-
badi.
"Mengapa harus bengong seperti itu, Cacing
Kurus! Cepat serahkanlah nyawamu!" bentak Dewi
Ratna Juwita tiba-tiba. Dan lebih cepat lagi gadis itu
mengarahkan Batu Walet Merah pada si Cacing Ka-
lung.
"Keparat...!" makinya sambil hantamkan satu
pukulan ‘Bara Sakti’ yang merupakan pukulan anda-
lannya.
"Buuuum!"
"Gusraak...!"
Dewi Ratna Juwita hanya tergetar saja tubuh-
nya, walau tidak dapat disangkal bagian rongga da-
danya terasa sakit sekali. Sebaliknya tubuh si Cacing
Kalung selain terpelanting dan jatuh nyungsep. Juga
menderita luka dalam yang cukup fatal. Dengan ber-
susah payah dia berusaha bangkit, namun sebelum
niatnya kesampaian. Lagi-lagi Dewi Ratna Juwita yang
sudah menjadi kalap ini mengarahkan Batu Walet Me-
rah di tangannya.
"Wuuus!"
Si Cacing Kalung sedapatnya berusaha mele-
paskan satu pukulan dengan mempergunakan sisa-
sisa tenaganya. Celakanya jangankan untuk menge-
rahkan tenaga, sedangkan untuk menggerakkan tan-
gannya saja dia sudah tiada mampu. Dengan mata
membelalak lebar dia menyongsong pukulan itu den-
gan sikap pasrah.
"Bruues..!"
"Arrghk...!"
Si Cacing Kalung berkelejat-kelejat tubuhnya,
secara perlahan namun pasti tubuh itu kemudian ter-
diam tak berkutik-kutik lagi.
"Jahanam...!" Murid-muridku tewas semuanya
di tangan kalian, aku tak akan tinggal diam...!" pekik si
Gada Wisa.
"Kakang Bagas! Jangan hiraukan mulutnya!
Mari kita kroyok kakek goblok ini beramai-ramai...!" te-
riak Dewi Ratna Juwita. Sebentar kemudian kedua
orang itu sudah menghujani si Gada Wisa dengan ke-
kuatan Batu Walet Merah di tangan masing-masing.
Menghadapi Bagas Salaya saja Gada Wisa tak mampu
berbuat banyak, bahkan pukulan mautnya sudah tak
banyak berarti, jangankan kini menghadapi dua orang
lawan yang mempergunakan Batu Walet Merah yang
dia tahu sangat berbahaya itu. Mau tak mau Gada Wi-
sa harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan
dirinya.
"Kakek tolol! Lebih baik menyerah saja...!" pe-
rintah Dewi Ratna Juwita.
"Lebih baik aku mati berkalang tanah, daripada
harus menyerah pada kroco-kroco seperti kalian...!"
bantah Gada Wisa sembari mengayunkan gadanya.
Lalu selarik sinar melesat dari gada di tangan si
Kakek Ketua Gerombolan Sinar Kayangan ini. Bagas
Salaya dan Dewi Ratna Juwita tak mau ambil resiko,
maka dengan mengarahkan Batu Walet Merah di tan-
gan masing-masing, selarik gelombang merah, kuning
dan biru yang berbentuk pipih sekali menderu ke arah
si Kakek Tinggi Besar. Tak terelakkan lagi dua kekua-
tan dahsyat yang bergulung-gulung itu pun bertabra-
kan di tengah jalan.
"Blaaam!"
Masing-masing lawan tergetar hebat tubuhnya,
tapi mereka tetap berada pada posisinya masing-
masing. Dan sebelum kakek ini dapat bertindak lebih
jauh, Sepasang Walet Merah kembali mengarahkan ba-
tu yang melingkar di bagian jarinya.
"Wuuuss!"
Lebih cepat lagi Gada Wisa mempergunakan
gada andalannya untuk memapaki datangnya sinar ta-
di.
"Buuummm...!"
Gada di tangan kakek besar tinggi meleleh,
bahkan dia terpaksa mencampakkannya saat mana
hawa panas menjalari tubuhnya.
"Brees!"
"Auughk...!"
Gada Wisa melolong panjang, tubuhnya ter-
campak jauh setelah dua sinar maut dengan telak
menghantam tubuhnya. Saat tubuhnya rubuh meng-
hantam pohon, selembar nyawa melayang dari ra-
ganya. Sepasang Walet Merah tersenyum penuh keme-
nangan.
***
DUA BELAS
Ketika Pendekar Hina Kelana dan Dewi Ratih
sampai di Bukit Siluman, mereka melihat mayat-mayat
bergelimpangan di mana-mana. Melihat keadaan
mayat-mayat itu, tampaknya kejadiannya berlangsung
satu hari sebelum kedatangan mereka. Buang Sengke-
ta menarik napas pendek, sebelum kata-katanya ke-
mudian lepas:
"Tampaknya telah terjadi pertarungan besar-
besaran di sini, Adik Ratih...!" ucapnya sambil menoleh
pada Dewi Ratih yang tak begitu jauh berdiri di si-
sinya. Dewi Ratih hanya mengangguk pelan.
"Melihat bekas luka-luka yang dialami oleh me-
reka! Rasa-rasanya tak salah kalau aku menarik ke-
simpulan bahwa mereka tewas di tangan Sepasang
Walet Merah!"
"Jelas mereka ada di sekitar tempat ini, Ra-
tih...!" kata si pemuda kemudian. Sesaat mereka saling
berpandangan, lalu hampir bersamaan mereka me-
mandang ke sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda Sepa-
sang Walet Merah berada di sekitar perbukitan itu.
"Bagaimana kalau kita menuju ke Gua Silu-
man?" tanya si pemuda mengajukan satu usul pada
gadis yang berada di sampingnya.
"Sebuah ide yang sangat baik...!" berkata Dewi
Ratih. Kemudian keduanya segera bergerak menuju
Gua Siluman yang terletak tak kurang dari sepuluh
tombak di sebuah tikungan di depannya. Sebentar ke-
mudian keduanya pun telah sampai di depan mulut
gua, secara tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya
dua sosok tubuh dari dalam gua yang pintunya sudah
tidak terkunci lagi.
Beberapa detik kemudian muncullah dua sosok
tubuh yang sangat dikenal oleh Ratih, berdiri tegak di
hadapan mereka. Tampaknya di antara mereka sama-
sama menunjukkan rasa saling terkejut.
"Kakang Bagas! Kakak Dewi...! Kalian benar-
benar telah mencemarkan nama baik Padepokan Bukit
Berkabung. Lebih dari hanya sekedar pencuri tengik,
kalian juga telah menodai kesucian diri kalian sendiri!
Hemm. Pantas kalau Eyang Girinda almarhum mengu-
sir kalian dari padepokan. Kalian memang benar ma-
nusia terkutuk menjalin cinta dengan saudara sendiri!"
dengus Ratih dengan pandangan sinis.
"Hei Adik Ratih! Begitu datang kau langsung
marah-marah, bersama gembel itu apakah yang kau
inginkan...?" tanya Bagas Salaya marah.
"Tak banyak yang kuminta dari kalian, orang-
orang terkutuk! Serahkan sepasang Batu Walet Merah,
setelah itu kalian tinggalkan tempat keramat ini...!"
"Keparat! Sukur aku tak membunuhmu men-
gingat kita masih ada hubungan saudara, andai tidak
kau pasti mampus di tangan kami...!" maki Dewi Ratna
Juwita gusar.
"Jangan kau mengaku-ngaku sebagai saudara.
Aku tak memiliki saudara sepertimu!" bantah Dewi Ra-
tih.
"Bagus! Kalau kau tak mengakui kami sebagai
saudaramu lagi, tidak ada terkecualinya lagi bahwa
kau dan manusia gembel itu barus mampus di tangan
kami...!"
"Lakukanlah kalau kalian mampu kunyuk hi-
na...!" maki si pemuda yang sedari hanya memperhati-
kan perdebatan antara sesama saudara itu.
"Adik Dewi! Mari kita remukkan batok kepala
bocah gembel ini beramai-ramai...!"
"Adik Dewi?!" seru Ratih. "Kalian berdua benar-
benar telah menjadi gila...!"
"Kakak di panggil adik, adik di panggil ka-
kang... memang benar-benar sudah nggak waras ku-
nyuk jantan dan kunyuk betina ini, Ratih...!" kata
Buang Sengketa menimpali.
"Keparat...! Kalian benar-benar ingin mencari
mampus...!" teriak Bagas Salaya. Lalu tanpa sungkan-
sungkan lagi, pemuda ini segera menyerang Pendekar
Hina Kelana dengan jurus-jurus andalannya. Saat itu
Ratih langsung pula berhadapan dengan Dewi Ratna
Juwita.
"Menyesal sekali sebagai saudara aku harus
membunuhmu, Ratih...!" desis Dewi Ratna Juwita, se-
raya segera mencabut pedangnya. Dewi Ratih pun tak
mau kalah.
"Sriiing! Sriiing!"
Senjata yang mengkilat-kilat karena ketaja-
mannya itu langsung menderu, maka bertarunglah
dua bersaudara itu dengan mempergunakan jurus-
jurus pedang yang berasal dari satu sumber. Sekejap
saja denting beradunya senjata tajam terasa merobek
kesunyian di pagi hari. Dua gadis yang masih bersau-
dara itu kelihatan sama-sama gesitnya, berulang kali
pedang di tangan mereka beradu. Tapi betapa terke-
jutnya hati Dewi Ratna Juwita saat mana merasakan
tangannya berdenyut-denyut sakit. Mulanya hanya da-
lam waktu tujuh jurus saja dia merasa segera dapat
menjatuhkan lawannya. Tapi siapa sangka dalam
mengadu tenaga dalam tadi dia merasakan tenaganya
setingkat berada di bawah adiknya sendiri.
"Tak usah heran perempuan sundel! Kalau kau
berhasil mempelajari kitab warisan Bukit Berkabung
hanya sampai pada yang keempat, tapi aku yang pe-
malas ini telah menguasai kitab yang kelima...!" kata
Ratih dengan sesungging senyum mengejek.
"Keparat! Kalau begitu sekarang juga kau harus
merasakan bagaimana dahsyatnya Batu Walet Merah
di tanganku ini...!" maki Dewi Ratna Juwita merasa ti-
dak akan unggulan menghadapi Dewi Ratih dengan ju-
rus-jurus pedang yang jelas berada di bawah lawan-
nya. Dengan cepat Dewi Ratna Juwita. mengerahkan
tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya. Sekejap
saja Batu Walet Merah di bagian jemari tangannya
memancarkan cahaya merah, kuning dan biru. Ratih
terkesiap, wajahnya berubah pucat pasi, dia berpikir
tak mungkin Batu Walet Merah dapat dia atasi dengan
jurus pedang atau pun pukulan yang hanya berintikan
tenaga dalam biasa. Dalam pada itu walaupun dalam
keadaan bertarung, tampaknya Pendekar Hina Kelana
juga tidak melepaskan perhatiannya pada Ratih. Begi-
tu dia melihat sinar merah di jemari tangan Dewi Rat-
na Juwita. Maka sebelum gadis itu mengarahkan batu
maut itu pada Ratih. Buang Sengketa hantamkan satu
pukulan yang paling sangat diandalkannya, Si Hina
Kelana Merana. Selanjutnya begitu tangannya dia do-
rongkan ke depan, maka serangkum gelombang yang
memancarkan sinar merah dan berhawa panas luar
biasa meluruk ke arah Dewi Ratna Juwita. Saat itu
pun dua lesatan sinar menderu di udara, timbulkan
hawa dingin dan panas yang tak kalah hebatnya.
"Blaarr...!"
Debu tampak mengepul ke udara, bumi terasa
bergetar hebat, tak ayal sungguh pun Ratih dapat ter-
hindar dari ancaman maut, namun tubuh Bang Seng-
keta tak pelak lagi terjengkang dua tombak. Begitupun
halnya yang dialami oleh Dewi Ratna Juwita. Mulut
kedua orang itu sama-sama menyemburkan darah
kental. Bagas Salaya tampak tercengang dan menga-
watirkan keadaan istrinya. Serta merta emosinya me-
luap-luap. Lalu dengan pedang terhunus dia memburu
Pendekar Hina Kelana yang sedang berusaha menghimpun hawa murni untuk menghilangkan rasa nyeri
yang sangat luar biasa pada bagian dadanya.
"Kakang Kelana...!" pekik Dewi Ratih histeris
demi melihat Bagas Salaya membabatkan pedangnya
ke bagian tengkuk si pemuda. Sesungguhnya dia ingin
bertindak membantu pendekar itu. Namun karena ja-
raknya yang begitu jauh membuat dia merasa tak da-
pat melakukannya. Namun dalam saat-saat mene-
gangkan seperti itu Buang cepat-cepat memperguna-
kan jurus Koreng Seribu yang memiliki daya hisap
yang sangat tinggi.
"Kreeeep...!"
Dengan mempergunakan jemari tangannya, dia
sambut sabetan pedang di tangan Bagas Salaya. Pe-
muda terkutuk itu terkejut bukan main. Apalagi dia
merasa tak-mampu untuk melepaskan senjatanya dari
jepitan jari Buang Sengketa. Tarik menarik pun ber-
langsung beberapa saat lamanya. Celakanya semakin
kuat Bagas Salaya mengerahkan tenaga dalamnya un-
tuk membebaskan pedang itu kembali, maka semakin
sulitlah bagi pemuda itu untuk membetot senjatanya.
Bahkan lama-kelamaan dia menyadari tenaganya tera-
sa terbetot keluar melalui pedang di tangannya
"Keparat! Ilmu Siluman...!" maki Bagas Salaya
mulai berusaha mengerahkan bagian tenaganya untuk
dipergunakan membangkitkan kesaktian dari Batu
Walet Merah. Usahanya itu tampaknya mendatangkan
hasil, sebab kejab kemudian Batu Walet Merah di tan-
gannya memancarkan sinar merah kuning dan biru.
Secara perlahan dia mengarahkan batu itu pada pihak
lawannya yang berjarak tak kurang dari satu meter di
hadapannya. Lebih celaka lagi saat itu pun Dewi Ratna
Juwita mengarahkan batu di tangannya kepada sasa-
ran yang sama.
"Weer! Weeer...!"
Dalam detik-detik yang sangat menentukan an-
tara hidup dan mati itu, serta merta Buang Sengketa
mencabut Golok Buntung yang terselip di pinggang-
nya. Laksana kilat dipergunakannya golok tadi untuk
menerima sinar yang bersumber dari Batu Walet Me-
rah.
"Bleeer! Seeet...!"
Kekuatan yang sangat dahsyat itu langsung
menghajar golok di tangan si pemuda yang diperguna-
kannya sebagai tameng.
Sepasang Walet Merah menjadi terkejut luar bi-
asa saat mana sinar yang mereka lepaskan malah le-
nyap begitu saja dan tampak bagai terserap. Bahkan
lama kelamaan mereka merasakan selain tenaga sakti
yang ditimbulkan oleh Batu Walet Merah lenyap begitu
saja, tapi malah tubuh mereka ikut tersedot. Sungguh
pun mereka berusaha mati-matian untuk tetap berta-
han pada posisinya, namun tetap saja tubuh mereka
tertarik mendekat ke arah Buang Sengketa. Seketika
pucat wajah Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih Ba-
gas Salaya yang berada paling dekat dengan Buang
Sengketa. Tiba-tiba pemuda itu dorongkan Golok
Mautnya ke depan dan ke samping disertai dengan sa-
tu bentakan:
"Hembus kalian sana...!"
Tenaga dorongan yang dilakukan oleh si pemu-
da menyebabkan tubuh kedua lawannya terpelanting.
Dengan merangkak mereka sudah bangkit kembali,
dan berusaha membangun sebuah serangan baru. Ta-
pi begitu melihat pada lawan yang berdiri tegak di de-
pannya lagi-lagi mereka menjadi terbelalak tak per-
caya.
"Pendekar Hina Kelana...!" serunya tanpa sadar.
Buang Sengketa diam tiada bergeming. Di tan-
gan kirinya tergenggam Pecut Gelap Sayuto, sedang
kan di tangan kanannya tergenggam pula Pusaka Go-
lok Buntung yang juga memancarkan sinar merah me-
nyala.
Darah Siluman di dalam tubuh pendekar ini
saat itu memang telah merasuk dalam emosinya yang
tertahan-tahan. Betapa bencinya dia melihat tampang
Sepasang Walet Merah yang sesungguhnya masih ada
hubungan darah. Namun tetap nekad melakukan per-
cintaan itu.
"Manusia berjiwa hewan seperti kalian memang
tak layak untuk hidup lebih lama lagi. Mampuslah...!"
Serta merta, sebelum Sepasang Walet Merah sempat
menyahut. Cambuk Gelap Sayuto di tangan Buang
Sengketa menderu.
"Ctaar.... Ctaaar...! Ctaaar...!"
Mendadak bertiuplah angin yang sangat ken-
cang disertai dengan bunyi petir sambung-
menyambung. Awan hitam segera menyelimuti suasa-
na di sekitarnya. Suasana pagi yang cerah berganti
dengan suasana kegelapan yang nyata. Terkesiaplah
Sepasang Walet Merah demi melihat kejadian seperti
itu, dalam kegelapan itu mereka hanya melihat berke-
lebatnya sinar merah yang bersumber dari Golok Bun-
tung yang berada di tangan lawannya. Sementara
cambuk di tangan Buang tidak henti-hentinya melecut,
hingga menimbulkan suara hingar bingar memekak-
kan gendang telinga
Pabila terdengar suara mendesis-desis bagai
ular piton yang sedang marah. Maka di situlah Pusaka
Golok Buntung menderu. Tapi Sepasang Walet Merah
mengimbanginya dengan batu di tangannya. Lesatan
sinar merah yang bersumber dari Batu Walet Merah
bubar berantakan dilanda lecutan Cambuk Gelap
Sayuto. Tiada menyia-nyiakan kesempatan Buang
Sengketa dengan Golok di tangannya merangsak maju.
"Craaas! Creeees...!"
"Aghhk...!"
Tubuh Sepasang Walet Merah ambruk ke ta-
nah. Darah menyembur dari luka di bagian pangkal
leher mereka. Hanya sesaat saja mereka berkelojotan,
kemudian tewas dalam keadaan berpelukan.
"Kakang, kau telah membunuhnya?" jerit Dewi
Ratih sedih, bagaimana pun mereka tetap saudara
"Dengan sangat terpaksa sekali! Biarlah mereka
terus bercinta sampai di akherat sana...!" kata si pe-
muda sesaat setelah kegelapan itu sirna. Pendekar Hi-
na Kelana segera mencopoti Batu Walet Merah di tan-
gan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita, menyerah-
kannya pada Dewi Ratih.
"Kakang aku tak menyalahkanmu! Kalau kita
biarkan mereka hidup, pasti akan jatuh korban lebih
banyak lagi. Marilah kita kubur mereka Kakang..,!"
ucap si gadis tersendat. Lalu tanpa basa basi lagi me-
reka mengubur mayat Sepasang Walet Merah. Tak be-
gitu lama pekerjaannya pun selesai
"Kakang aku akan menutup pintu gua itu...!"
kata Ratih sembari berjalan menuju ke arah gua. Na-
mun begitu gadis ini kembali untuk menjumpai Pen-
dekar Hina Kelana, pemuda tampan itu telah lenyap
dari tempatnya semula. Berdebar dada Ratih. Dia me-
rasakan, sesuatu telah terenggutkan dari hidupnya.
Tidak sesedih di tinggalkan oleh saudaranya. Tapi dia
lebih sedih justru karena pemuda yang secara diam-
diam dicintainya itu telah pergi meninggalkan dirinya
tanpa pesan apa pun.
"Kakang Kelana! Tidak tahukah kau kalau se-
lama ini aku sangat mencintaimu!" desah gadis itu di
sela-sela isak tangisnya. Lalu gadis berwajah ayu itu
pun berlari mengejar ke arah lenyapnya Pendekar Hina Kelana.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar