..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE BANJIR DARAH BUKIT SILUMAN

Banjir Darah Bukit Siluman

 BANJIR DARAH DI BUKIT SILUMAN

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza Lt. II, B52/69

Samanhudi No. 14-16, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Gambar Sampul oleh David

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

dalam episode: Banjir Darah Di Bukit Si-

luman


SATU


Mudah-mudahan Ratih dan keempat ka-

wannya dapat meloloskan diri dari kepungan ini. Aku 

tak tahu seberapa banyak jumlah mereka? Tapi aku 

tak mau perduli dengan semua yang bakal akan terja-

di, apapun dan siapa pun mereka itu, yang pasti keda-

tangan mereka dengan membawa maksud-maksud 

yang tak baik. Setidak-tidaknya aku harus bertahan di 

sini selama mungkin, kalau pun mereka mengetahui 

keberadaanku aku hanya berharap perhatian mereka 

hanya tertuju padaku, sehingga Ratih punya kesempa-

tan untuk meloloskan diri. Batin pemuda berkuncir itu 

sembari memandang ke sekeliling bukit yang saat itu 

telah di penuhi dengan cahaya obor para pengepung-

nya

Setindak demi setindak pemuda keturunan Ba-

ja negeri Bunian ini melangkah undur mendekati pa-

depokan. Sepasang matanya menatap liar menjaga se-

tiap kemungkinan. Semakin lama tubuhnya pun se-

makin dekat dengan pondok yang sudah tidak ber-

penghuni itu. Dia terus merapat ke dinding, dengan 

maksud bergerak ke bagian belakang. Tapi akhirnya 

dia menghentikan langkah saat mana kaki kirinya me-

nyentuh sesuatu di depannya. Sejenak pemuda berwa-

jah tampan itu memperhatikan sosok yang tergeletak 

di depannya. Begitu dia memeriksa, betapa terperan-

jatnya pemuda itu setelah memeriksa sosok tubuh 

yang tergeletak tadi.

"Celaka... orang-orang ini ternyata murid-murid 

padepokan? Mereka tewas di depan hidungku, bahkan 

di luar sepengetahuanku pula! Lalu siapa keempat 

orang yang pergi bersama Dewi Ratih tadi? Tololnya la-

gi Ratih pun pasti tidak tahu dengan siapa dia pergi.


Kalau begitu dia benar-benar berada dalam keadaan 

bahaya...!" Katanya pula seorang diri. Dalam pada itu 

orang-orang yang mengepung padepokan itu semakin 

dekat jaraknya dengan posisi si pemuda berkuncir 

atau yang lebih di kenal dengan Pendekar Hina Kelana. 

Bahkan suara-suara teriakan mulai pula berkuman-

dang. Satu-satunya suara pengepung itu yang sampai 

begitu jelas di telinga Buang Sengketa adalah suara 

yang datangnya dari bagian Utara bukit itu. Suara 

orang itu parau dan bahkan mendekati sengau. Dari 

suaranya yang begitu keras, Buang Sengketa dapat 

memperhitungkan bahwa pemiliknya pastilah seorang 

tinggi besar dan memiliki tenaga dalam yang cukup 

tinggi.

"Kepada orang-orang yang berada di dalam pa-

depokan, menyerahlah kalian secara baik-baik. Pade-

pokan ini sudah terkepung...!" Begitu teriakan keras 

itu merobek keheningan malam, maka suasana di se-

kelilingnya mendadak saja berobah menjadi sunyi sepi. 

Tiada sahutan apa pun dari Buang, sebaliknya para 

pengepung yang jumlahnya tak kurang dari empat pu-

luh orang ini, si pemuda dapat memastikan mereka ki-

ranya terdiri dari berbagai golongan rimba persilatan.

"Orang-orang yang ada di padepokan, kalian ti-

dak memiliki waktu banyak untuk berpikir, lebih baik 

menyerah untuk menerima hukuman setimpal atas 

ulah Sepasang Walet Merah yang kami tahu masih me-

rupakan orang-orangmu...!" Teriak suara perempuan 

yang berada di bagian sebelah Barat. 

"Hemmm. Kiranya mereka mencari Sepasang 

Walet Merah berarti kedatangan mereka hanyalah in-

gin meminta pertanggung jawaban...!" Pendekar Hina 

Kelana lagi-lagi bergumam di dalam hati. "Aku tak ta-

hu sudah berapa banyak korban jatuh di tangan Dewi 

Ratih Juwita dan Bagas Salaya. Apa pun yang menjadi


sasaran dari pembunuhan-pembunuhan mereka yang 

jelas ke dua murid terkutuk itu benar-benar telah 

mencemarkan nama baik padepokan bukit berkabung 

yang hampir tiada memiliki kekuatan apa-apa...!" Seje-

nak lamanya pemuda berwajah tampan itu memperhi-

tungkan segala sesuatunya untuk mengambil langkah 

lebih lanjut. "Jumlah mereka cukup banyak tak 

mungkin aku menghadapi mereka tanpa menimbulkan 

korban yang sebenarnya tak perlu ada. Tapi kalau ti-

dak dari sekarang aku berusaha menjelaskan duduk 

persoalan yang sesungguhnya. Semuanya tidak dapat 

dianggap selesai begitu saja...!" Ketika Buang sedang 

mempertimbangkan segala sesuatunya itu, tiba-tiba 

kembali terdengar bentakan menggeledek, "Manusia-

manusia keparat! Kalau kalian tidak mematuhi seruan 

kami, jangan salahkan andai sekejap lagi padepokan 

yang sudah tiada guna itu kami bakar menjadi de-

bu...!" Teriak suara yang berada di posisi bagian Barat. 

Tiga tindak pemuda negeri bunian itu melangkahkan 

kaki. Setelah memandang ke sekelilingnya, maka tan-

pa mengerahkan tenaga dalam dia pun menjawab. 

"Tuan-tuan terhormat! Datang malam-malam 

begini ada keperluan apakah?" Tanya si pemuda. Den-

gan adanya jawaban Buang Sengketa, tanpa di sangka-

sangka orang-orang yang mengepung padepokan, itu-

pun berlarian mendekati si pemuda dengan posisi te-

tap mengurung. Semakin mereka mendekat ke pade-

pokan maka semakin bertambah jelaslah sosok tubuh 

berpakaian merah kumal ini. Buang angkat sebelah 

tangan menutupi sebagian wajah untuk menghindari 

silau cahaya obor yang sangat banyak itu. Selain orang 

kebanyakan yang rata-rata membawa berbagai jenis 

senjata, pertama-tama yang dia lihat datang mendekat 

adalah seorang perempuan setengah baya berpakaian 

kelabu, berambut kelabu dengan ikat kepala, berwarna


kelabu pula. Sedangkan di tangan nenek ini tergeng-

gam sebuah tongkat berwarna kuning, dan dibagian 

ujung tongkat itu terdapat sebuah ukiran bergambar 

kepala burung Rangko. Kemudian dari bagian lain 

muncul pula seorang kakek tinggi besar berhidung 

bengkok mirip paruh burung kakak tua. Walau pun 

kakek ini sudah berusia lanjut, namun tubuhnya ma-

sih kelihatan kekar berotot, tak terdapat senjata lain-

nya di bagian tubuhnya terkecuali sebuah gada beru-

kuran tak lebih besar dari ibu jari. Kemudian dari 

samping kanan Pendekar Hina Kelana menyeruak pula 

sosok tubuh yang tingginya tak lebih satu meter, ber-

pakaian warna hitam dengan kumis dan jenggot yang 

dibiarkan tumbuh memanjang sampai sebatas pusar. 

Dibandingkan dengan dua orang tokoh lainnya maka 

penampilan kakek berkumis panjang ini selintas mem-

beri kesan lucu, apalagi dengan dua buah senjatanya 

yang sangat mirip dengan pemukul gong. Penampilan-

nya lebih cenderung berkesan seorang badut ketim-

bang seorang tokoh persilatan. Walau pun begitu ka-

langan persilatan tak berani bertindak sembarangan 

dengan kakek berpenampilan lucu ini. Sebab selain 

memiliki senjata andalan yang mirip dengan pemukul

gong tadi kakek berkumis panjang itu juga memiliki 

pukulan sakti yang mampu membuat roboh puluhan 

orang pihak lawan dengan sekali gebrak saja. Kalan-

gan persilatan mengenalnya sebagai 'Si Kumis Panjang 

Gong Akherat'. Sedangkan perempuan berambut serta 

berpakaian kelabu dengan tongkatnya berkepala bu-

rung Rangko itu di kalangan persilatan lebih di kenal 

dengan julukan "Si Tongkat Maut Dari Lembah Pang-

gang". Sesuai dengan julukannya selama ini perem-

puan berpakaian kelabu ini tinggal di lembah Pang-

gang bersama dengan beberapa orang muridnya

Sedangkan kakek tinggi besar berhidung beng


kok dalam rimba persilatan lebih di kenal dengan julu-

kan si 'Gada Wisa', tak jauh menyimpang dari julu-

kannya. Maka senjatanya yang berupa gada sebesar 

ibu jari itu memiliki racun yang sangat ganas, belum 

pernah dalam sejarahnya selama malang melintang di 

rimba persilatan pihak lawan mampu bertahan hidup 

apabila sampai tersentuh gada beracun itu, jangankan 

lagi sampai terpukul. Selama ini Gada Wisa atau Gusti 

Durjana berkuasa di Belantara Maliau dan Taruak. Dia 

juga merupakan pemimpin tertinggi dalam Gerombolan 

Sinar Kayangan (Untuk lebih jelasnya dalam episode 

Kisah Sepasang Walet Merah). Yang jelas hanya rom-

bongan yang di pimpin oleh si tinggi hidung bengkok 

sajalah yang merupakan rombongan beraliran sesat, 

sedangkan rombongan yang dipimpin oleh si rambut 

kelabu atau Sumirah dan si Kumis Panjang Gong Ak-

herat merupakan dua rombongan yang beraliran putih. 

Hanya secara kebetulan sajalah mereka bertemu da-

lam perjalanan, dan entah mengapa dua golongan yang 

saling bertentangan itu secara sepakat sama mendaki 

bukit berkabung. Mungkin karena secara kebetulan 

mereka memiliki tujuan yang sama saja.

Saat itu Buang Sengketa dengan sangat teliti 

memperhatikan ketiga orang ini satu demi satu. Tapi 

sekejap kemudian sebelum dia berkomentar apa-apa 

kembali terdengar bentakan si tinggi besar.

"Hemm! Kurasa kuping mu belum tuli untuk 

mendengar apa yang kukatakan di bawah sana tadi!" 

Dalam keadaan terkepung seperti itu, Buang Sengketa 

masih juga sempat cengar cengir kayak seekor monyet 

yang baru saja habis pacaran. Tapi itu pun hanya ber-

langsung sekejap saja, karena kemudian dia sudah be-

rucap: "Maaf, aku memang tidak tuli! Tapi sama sekali 

aku tak tahu apa yang anda katakan itu!" Katanya 

dengan nada bersungguh-sungguh. Si tinggi besar hi


dung bengkok kepalkan tangannya. Dia tampaknya 

merasa sangat tersinggung sekali dengan jawaban si 

pemuda.

"Bicaramu seperti monyet cacingan, cepat se-

rahkan kawanmu, atau engkau menghendaki supaya 

aku berbuat kasar?" makinya dengan geraham berge-

meletukan.

"Aku tak tahu apa yang kau maksudkan orang 

tua...!"

"Kalau kau tak tahu, suruh si Girinda mene-

muiku...!" perintahnya dengan mata melotot.

"Maaf orang yang kau maksudkan telah pulang 

menutup mata beberapa hari yang lalu." kata si pemu-

da dengan wajah menunduk sedih (Mengenai sebab-

sebab kematian Eyang Girinda terdapat dalam Episode 

Kisah Sepasang Walet Merah). Bukan si kakek tinggi 

besar saja yang merasa terkejut demi mendengar ke-

matian Girinda, namun perempuan rambut kelabu 

pun keli-hatannya sama-sama terperanjat. 

"Menyesal kami tak dapat melihatmu pada saat 

hari terakhirmu, sobat...!" Kata kedua tokoh itu secara 

hampir bersamaan. Dari nada ucapan dua tokoh itu 

tampaknya Buang dapat menyimpulkan bahwa si 

Rambut kelabu dan si Kakek Panjang Kumis masih 

mempunyai hubungan persahabatan dengan Eyang 

Girinda. Lain lagi halnya dengan si Gada Wisa, begitu 

dia mendengar tentang kematian sesepuh Padepokan 

Bukit Berkabung langsung saja meledak tawanya.

"Haha... huaahaha... ha...! Akhirnya kau mam-

pus juga Girinda! Heh... dulu kau boleh tertawa atas 

kekalahanku melawan ayahmu, tapi seandainya kau 

masih hidup sampai kini kaupun tak luput dari hu-

kumanku karena muridmu telah membunuh Sudiro 

dan kawan-kawannya," katanya. Mendadak pandangan 

matanya berubah liar, si Gada Wisa sejenak lamanya


memperhatikan ke arah bagian rumah padepokan 

yang gelap gulita, kemudian kembali berpaling pada 

Buang. "Huh, sekarang kau mau mengatakan bahwa 

muridnya yang berjuluk Sepasang Walet Merah juga 

sedang tak berada di rumah...?" tukas si tinggi besar 

mengejek. 

Pendekar Hina Kelana sejak dari tadi memang 

berusaha menahan diri untuk tidak larut dalam emosi, 

namun lama-kelamaan dia muak juga melihat tam-

pang dan lagu ketua gerombolan Sinar Kayangan yang 

sangat angkuh itu, apalagi ketika dia teringat saat ma-

na dia melintasi hutan Maliau dan Taruak beberapa 

pekan yang lalu. Mau tak mau kini dia harus bersikap 

tegas juga.

"Orang yang memiliki julukan Sepasang Walet 

Merah bukanlah murid Padepokan Bukit Berkabung. 

Kalau pun ada dua orang murid terkutuk itu sekarang 

bukan lagi merupakan murid padepokan ini. Mereka 

telah terusir sejak lama, nah kalau orang-orangmu 

terbunuh di tangan mereka, bukan di tempat ini kalian 

harus mencari...!"

"Kurang ajar, gembel amoh! Aku tau kau bu-

kanlah murid Girinda, kuperintahkan jangan ikut 

campur urusan kami. Menyingkir! Kami mau geledah 

rumah itu...!" Teriakan yang di sertai dengan pengera-

han tenaga dalam itu dengan maksud untuk membuka 

mata bagi si pemuda yang belum di kenalnya. Si tinggi 

besar berharap agar orang yang berdiri di hadapannya 

itu tau siapa sesungguhnya manusia yang memiliki ju-

lukan 'si Gada Wisa'.

Kenyataannya Buang memang merasa-kan be-

tapa tubuhnya tergetar ketika mendengar ucapan 

orang ini, namun dengan sedikit mengerahkan tenaga 

saktinya, maka pengaruh bentakan itu pun lenyap se-

ketika. Kejut di hati Gada Wisa bukan alang kepalang,


sedikit pun dia tiada menyangka, bahwa pemuda gem-

bel yang berdiri di hadapannya itu memiliki kepan-

daian yang belum dia ketahui betapa tingginya.

"Menyingkir kataku...!" Bentak si kakek berhi-

dung bengkok mengulangi perintahnya.

"Baiknya kau menyingkir orang muda! Kami 

memang ingin memeriksa kediaman Girinda untuk 

mencari kepastian apakah orang yang telah membu-

nuh murid-murid kami berdua ada di tempat atau ti-

dak...!" Menimpali si Kakek Panjang Kumis dan si pe-

rempuan rambut kelabu.

"Sudah kukatakan bahwa orang yang kalian ca-

ri, yaitu si murid terkutuk itu tak ada di tempat, kalau 

pun kalian memaksa juga, maka aku tak akan mem-

biarkannya begitu saja. Sebab keutuhan padepokan ini 

merupakan amanah yang perlu kukerjakan dari Eyang 

Girinda...!" kata si pemuda begitu tegas. Si rambut ke-

labu dan si panjang kumis tampaknya tidak bereaksi 

apa-apa atas pernyataan yang diucapkan oleh Buang 

Sengketa. Dan yang sebenarnya mereka sudah dapat 

mengerti duduk persoalan yang sebenarnya. Sepenuh 

hati mereka percaya dengan kejujuran ucapan pemuda 

itu. Bagi mereka tak ada jalan lain selain meninggal-

kan tempat itu. Mengingat persahabatan mereka den-

gan sesepuh padepokan yang kini telah mereka sama 

ketahui meninggal pula. Lalu mereka memutuskan un-

tuk mencarinya di tempat lain. Itu sebabnya beberapa 

saat kemudian si rambut kelabu dan si Kakek Panjang 

Kumis beserta murid-muridnya segera beranjak menu-

runi puncak padepokan.

Lain lagi halnya dengan pemimpin gerombolan

Sinar Kayangan, kata-kata Buang yang bernada me-

nantang ini merupakan sebuah pengalaman baru yang 

selama malang melintang dalam dunia persilatan be-

lum pernah terjadi. Dia beranggapan kalau pun tadi


pemuda ini mampu mengatasi serangan tenaga da-

lamnya, itu bukan berarti dia harus mengurungkan 

niatnya untuk mengobrak abrik padepokan bukit Ber-

kabung. Mengingat selain murid-muridnya sempat te-

was di tangan Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih 

pabila terkenang pada kekalahannya dulu. Maka siapa 

pun adanya pemuda berperiuk ini dia sudah tidak per-

duli lagi.

"Bocah! Masih jugakah kau pada pendirian-

mu...?" Bertanya si Gada Wisa dengan sikap sangat 

penasaran.

"Selamanya aku tak pernah merobah segala apa 

yang pernah kuucapkan...!" jawab Buang Sengketa 

dengan sikap waspada. Semakin bertambah panas hati 

ketua gerombolan Sinar Kayangan ini, kemudian dia 

memberi tanda pada murid-muridnya untuk menyerbu 

ke dalam padepokan. Sementara dia sendiri ingin men-

jajal sampai di mana kehebatan pemuda yang belum di 

kenalnya itu.

"Anak-anak! Cari bangsat pembunuh itu di pa-

depokan, biar aku meremukkan batok kepala bocah 

konyol ini...!" teriaknya tak sabaran lagi.

"Beet!"

Buang melompat lima tindak ke belakang, sorot 

matanya liar mengawasi setiap gerakan yang akan ter-

jadi. Lalu sebelum gerombolan Sinar Kayangan bertin-

dak lebih jauh. Dia pun mengerahkan tenaga dalam 

untuk melepas ilmu 'Lengkingan Pemenggal Roh'.

"Tak akan kubiarkan setan manapun memasu-

ki padepokan...!"

"Jangan hiraukan ocehannya! Cepat bertin-

dak...!" bentak kakek tinggi besar demi melihat keragu-

raguan membayang di wajah murid-muridnya. Akhir-

nya orang-orang berangasan itu mulai bertindak.

"Heeiiikgh...!"


Laksana merobek keheningan malam lengkin-

gan Ilmu Pemenggal Roh terlepas dari mulut si pemu-

da, tujuh dari duapuluh orang murid Gada Wisa ter-

jengkang menemui ajal dengan telinga mengalirkan 

banyak darah. Tanah di sekitar tempat mereka terasa 

bagai di guncang tangan-tangan raksasa. Mereka yang 

masih sempat menutup indera pendengarnya tampak 

tergetar tubuhnya. Begitupun rasa sakit di bagian da-

da masih begitu menggigit. Sedangkan si kakek berhi-

dung bengkok sendiri meskipun tidak menerima akibat 

yang sangat patal karena dia pun melindungi diri den-

gan pengerahan tenaga sakti. Namun tetap harus 

mengakui bahwa selama ini dia belum pernah melihat 

seorang pemuda bertampang gembel seperti orang 

yang berpakaian merah di hadapannya memiliki ilmu 

aneh yang mampu membunuh lawan-lawannya hanya 

dengan sekali jeritan melengking itu.

Saat itu Pendekar Hina Kelana sedikit demi se-

dikit mulai membuka matanya yang terpejam. Melalui 

cahaya obor yang berserakan di atas tanah, dia dapat 

melihat wajah Gada Wisa, sebentar memerah dan di 

lain saat berubah pucat. Hal itu tidak begitu lama ber-

langsung, sebab detik selanjutnya wajah itu telah 

kembali pada keadaannya yang asli. Dingin menye-

ramkan.

"Hebat! Baru kali ini aku melihat dengan mata 

kepala sendiri ada ilmu segila itu. Hemm. Pantasan 

kau berani bertingkah di depan mataku! Bagus, kalau 

kau tak menghendaki aku mendobrak padepokan milik 

Girinda, maka pertama-tama yang akan kulakukan 

adalah mendobrak nyawamu hingga terbang ke nera-

ka...!" Kakek tinggi besar ini kemudian mengerang ba-

gai harimau terluka, dengan di sertai ilmu meringan-

kan tubuh yang sudah sangat sempurna dia melaku-

kan satu tubrukan di depan.


****


DUA


Buang Sengketa nampaknya sudah memperhi-

tungkan apa yang bakal di lakukan oleh pihak lawan-

nya. Sekali ini dia ingin menjajaki sejauh mana tenaga 

dalam yang dimiliki oleh pihak lawannya. Dengan se-

dikit menggeser tubuhnya, maka dengan mempergu-

nakan jurus 'Membendung Gelombang Menimba Sa-

mudra' kedua tangannya dia putar sedemikian rupa

sehingga membentuk sebuah perisai yang sangat ko-

koh. Pakaian yang menempel di tubuh si tinggi besar 

tampak berkibar-kibar di terpa angin yang ditimbulkan 

akibat putaran kedua tangan si pemuda. 'Gada Wisa' 

hanya sesaat saja tersentak. Satu tenaga dorongan 

dengan mengandalkan setengah dari tenaga dalamnya 

membuat tubuh kakek tinggi besar ini melesat ke de-

pan dengan sangat sebat sekali.

"Weees! Duuuk!"

"Ahh...!" Satu benturan telak terjadi, Buang 

Sengketa tergetar tubuhnya. Telapak tangan yang sal-

ing berbenturan itu terasa sakit. Sukur dia kebal den-

gan segala bentuk racun, andai tidak sejak benturan 

tadi sudah barang tentu jiwanya melayang. Sebab se-

lain pada senjatanya, tangan kakek ini juga mengan-

dung racun yang jahat.

Di pihak Gada Wisa hanya terhuyung saja satu 

tindak, namun dia tidak merasakan apapun akibat 

benturan tenaga dalam tadi. Merasa dirinya berada di 

atas angin, maka tiada tertahankan lagi, laki-laki be-

rusia enam puluhan ini pun tergelak-gelak.

"Sekejap lagi, kau benar-benar mampus sobat


kecil...!" geramnya sembari menyerang Buang dengan 

jurus-jurus silat tangan kosong yang dimilikinya. Pen-

dekar Hina Kelana tidak mau mengalah begitu saja, 

apalagi bila dia mengingat akan keselamatan Dewi Ra-

tih yang masih berada dalam tanggung jawabnya. 

Bahkan kini dia merasa tak perlu berlama-lama ber-

hadapan dengan gerombolan Sinar Kayangan. Apa 

yang dia sadari belakangan adalah menyelamatkan Ra-

tih terlebih dahulu. Toh kalau pun terjadi sesuatu 

dengan padepokan belakang hari masih dapat diper-

baiki. Mengingat sampai sejauh itu tiba-tiba mengutu-

ki dirinya sendiri yang terlalu tolol.

Pada gebrakan selanjutnya Buang merasa tak 

perlu melayani si Gada Wisa dengan jurus silat tangan 

kosong. Cepat sekali dia mempersiapkan pukulan 'Si 

Hina Kelana Merana' yaitu satu pukulan puncak yang 

dimilikinya.

"Heaaat...!"

Setengah berputar tubuh Pendekar Hina Kelana 

meletik ke udara. Tampaknya si Kakek Tinggi Besar 

menyadari kalau si pemuda tidak melayaninya dengan 

jurus silat tangan kosong. Tidak membuang waktu se-

detik setelah pukulan Si Hina Kelana Merana dile-

paskan oleh Buang. Maka diapun melepas pukulan 

'Topan Gunung' yang sudah barang tentu mengandung 

unsur racun ganas. Serangkum gelombang sinar me-

rah yang mengandung hawa panas datang menggebu, 

tak kalah rendah pukulan Topan Gunung berwarna 

dingin datang menyambut.

"Blaaar!"

Terdengar satu ledakan keras saat kedua puku-

lan sakti itu saling bertemu di tengah-tengah perjala-

nan. Kakek tinggi besar terjengkang tubuhnya, seba-

liknya Buang sendiri dengan sangat bersusah payah 

cepat-cepat merangkak bangun, lalu tanpa menghiraukan darah yang meleleh, pemuda ini sudah menge-

rahkan ilmu lari cepatnya 'Ajian Sepi Angin'. Kejab 

kemudian pemuda itu telah lenyap dalam kegelapan 

malam, satu tujuan yang ada dalam benak si pemuda 

bahwa dia harus mencari jejak ke arah di mana le-

nyapnya Dewi Ratih beserta keempat orang yang se-

mula dianggapnya sebagai sisa-sisa murid padepokan.

Dalam pada itu si Gada Wisa demi mengetahui 

musuhnya telah lenyap dari depan mata, menjadi san-

gat marah sekali. Dia menyadari pukulan yang menda-

tangkan hawa panas yang telah di lancarkan oleh si 

pemuda memang sempat menggoyahkan pertahanan-

nya. Bahkan akibat benturan tenaga sakti tadi dia me-

rasakan dadanya masih terus berdenyut-denyut, darah 

meleleh dari celah bibir dan lubang hidung. Ini me-

nandakan pihak lawan tidak berada di bawahnya, tapi 

yang membuat dia heran adalah justru pada saat ke-

dua tangan mereka berbenturan, si pemuda tampak-

nya tidak menerima akibat apa-apa. Padahal pada ba-

gian tangannya juga memiliki racun ganas yang sangat 

cepat reaksinya. Mungkinkah gembel berperiuk itu 

kebal ter-hadap racun miliknya? Kakek tinggi besar itu 

tampaknya merasa sangat penasaran sekali. Lalu dia 

menoleh pada murid-murid yang kini hanya tinggal 

sembilan orang itu.

"Cepat kalian geledah seisi padepokan...!" ben-

taknya berang. 

"Baik, guruuu...!"

Serentak kesembilan orang muridnya bergerak 

cepat, sebentar saja mereka sudah mendobrak pintu 

padepokan lalu menyeruak masuk. Setelah menggele-

dah setiap kamar yang ada dan tak mendapati sesuatu 

apa pun. Maka kesembilan orang itu kembali keluar 

dari dalamnya. Seorang di antara mereka memberi laporan.


"Padepokan kosong! Tak seorang pun ada di da-

lamnya...!"

"Sialan! Kalau begitu bocah gembel itu tidak 

berbohong. Tak ada jalan lain, bakar sarang kutu ku-

pret itu...!" perintahnya. Tanpa menunggu lebih lama 

beberapa orang murid kakek tinggi besar langsung me-

lemparkan beberapa obor di tangan mereka. Sekejap

kemudian api pun berkobar. Semakin lama bertambah 

membesar dan membubung tinggi. Lalu keadaan di se-

kelilingnya berobah menjadi terang benderang. Dalam 

keadaan terang seperti itu, pandangan mata si Gada 

Wisa yang jeli melihat adanya sosok mayat tergeletak 

tidak begitu jauh dari tempat dia berada. Cepat-cepat 

dia melakukan pemeriksaan, setelah meneliti beberapa 

saat lamanya tahulah dia bahwa keempat mayat itu 

merupakan murid-murid Padepokan Bukit Berkabung. 

Merasa kesal di tendangnya keempat mayat itu hingga 

melayang ke bagian bawah kaki bukit. Namun begitu 

dia menoleh ke jurusan lain, dia melihat adanya sosok 

lainnya yang juga dalam keadaan tergeletak kaku.

"Melihat pakaiannya, rasa-rasanya mayat yang 

satu itu tidak asing bagiku! Ada baiknya kalau aku 

memeriksanya...!" menggumam Gada Wisa seorang di-

ri. Dengan langkah lambat-lambat, dia hampiri sosok 

tubuh yang terbujur kaku di depannya. Mendadak 

langkahnya terhenti, hatinya terasa tercekat. 

"Gajah Mungkur!" desisnya tanpa sadar. "Aku 

tak tahu apakah pemuda yang memiliki ilmu aneh itu 

telah membunuhmu! Oh... Gajah Mungkur saha-

batku...! Tak pernah kusangka kau bisa tewas di tan-

gan bocah gembel itu, padahal ilmu kepandaianmu ti-

dak begitu beda dengan kepandaian yang ku miliki. 

Sahabat... sahabatku telah pergi!" katanya lirih.

"Keparaaat...! Siapa pun adanya bocah gembel 

itu, aku bersumpah, selain membunuh Sepasang Walet Merah, pemuda itu juga tak akan luput dari tan-

ganku...!" geramnya marah.

"Anak-anak!" Sembilan Orang muridnya begitu 

dipanggil langsung datang menghampiri.

"Ada apa, Guru...?" tanya mereka hampir ber-

samaan.

"Cepat kalian kuburkan kawanku ini sekarang 

juga!" perintahnya sambil berusaha memendam kema-

rahannya.

"Baik, Guru...!"

Dengan cepat mereka mengerjakan apa yang 

diperintahkan oleh gurunya, sementara Gada Wisa 

sendiri tampak sedang memperhatikan kobaran api 

yang terus melahap padepokan. Tak lama setelah pe-

kerjaan murid-muridnya selesai, maka bergeraklah 

Gada Wisa beserta murid-muridnya menuruni lereng 

bukit Berkabung. Di belakang mereka tampak padepo-

kan yang pernah mencapai jaman keemasan itu kini 

hanya tinggal bara api menganga berselimutkan abu 

yang masih hangat.

***

Sekarang marilah kita lihat dulu perjalanan 

Dewi Ratih beserta empat orang lainnya yang turut 

serta dalam pelarian itu. Setelah berlari-lari kencang 

dengan mengerahkan segenap kemampuan yang dimi-

likinya, tak sampai seperempat jam kemudian mereka 

sudah berada jauh dari Padepokan Bukit Berkabung. 

Suasana di sekitarnya dalam keadaan gelap gulita se-

hingga Ratih tiada melihat dengan jelas keempat orang 

yang menyertainya. Bahkan dia pun sampai tak ingat 

mengapa keempat orang itu kalaulah memang benar 

murid-murid padepokan dapat mengikuti lari cepat-

nya. Padahal dia tahu bahwa keempat murid itu berada jauh di bawahnya dalam berbagai kepandaian ilmu 

yang di milikinya. Saat itu apa yang ada dalam piki-

rannya adalah mengenai keselamatan Buang Sengketa, 

yang pasti akan menghadapi keroyokan sekian banyak 

orang yang berada di lereng bukit. Entah mengapa dia 

lebih mencemaskan keselamatan pemuda tampan ber-

pakaian kumuh itu ketimbang keselamatan dirinya 

sendiri. Bahkan dia merasa sangat menyesal membiar-

kan pemuda itu seorang diri menghadapi keroyokan 

yang mungkin saja akan terjadi. Seandainya dia tidak 

menuruti segala apa yang diperintahkan pemuda itu 

kepadanya. Setidak-tidaknya dia dapat membantu si 

pemuda, seandainya harus mati sekalipun dia merasa 

rela untuk mati bersama-sama. Ingin rasanya dia ber-

balik langkah mendaki Bukit Berkabung yang telah dia 

tinggalkan itu, dia merasa tak perlu cemas dengan se-

gala apa yang bakal terjadi.

Namun apabila akal sehatnya telah bicara, ma-

ka dia menganggap bahwa apa yang dilakukan oleh si 

pemuda semua itu semata-mata hanyalah demi kese-

lamatan Batu Walet Merah yang ada pada dirinya. "Tak 

mengapa, moga-moga saja Kakang Kelana selalu dalam 

lindungan Sang Hyang Widi!" batinnya mencoba 

menghibur diri. Dalam kegelapan tanpa cahaya rembu-

lan itu, mendadak dia berpaling pada keempat orang 

yang berada begitu dekat dengan dirinya. Dalam keke-

rasannya dia pun bertanya:

"Ehh... kalian bagaimana mungkin bisa begitu 

cepat menyusulku...!?"

"Kami mengerahkan segenap kemampuan yang 

kami miliki, Kak Ratih...!" jawab salah seorang dianta-

ra mereka.

"Kak Ratih...?" Membatin Dewi Ratih sembari 

mengingat-ingat sesuatu. Rasa-rasanya suara itu tak 

pernah di kenalnya. Suara berat dan parau, keempat


orang murid padepokan tak ada yang memiliki suara 

seperti itu. Lalu pabila dia mencoba meneliti orang 

yang baru saja menjawab pertanyaannya tadi. Dia tak 

dapat melihat dengan jelas, hanya samar-samar saja. 

Tapi ada bayangan menyeramkan dari sosok manu-

sianya. Satu demi satu si gadis berusaha meneliti wa-

jah ke empat orang yang menyertainya. Dua orang di 

antaranya seperti dia kenal, namun pabila dia menga-

jukan pertanyaan pada orang itu, tak satu pun ada 

yang menjawabnya. Mendadak pucatlah wajah Dewi 

Ratih, kemudian dengan suara bergetar dia menyela; 

"Ka... kalian bukan empat murid Padepokan Bukit 

Berkabung...!" bentaknya. Yang di bentak pun tiada 

mengeluarkan suara apa-apa. Hanya orang pertama 

yang buka suara tadilah yang bicara: 

"Hemmm... membuang-buang waktu saja. 

Ringkusss...!" perintah si suara serak sembari memberi 

aba-aba pada seorang kawannya. Dua orang ini cepat 

bergerak dan keluarkan sesuatu dari balik bajunya. 

Sedangkan dua orang lainnya hanya diam menonton, 

kemungkinan juga mereka merupakan pimpinan. Dewi 

Ratih demi melihat gelagat yang tak baik ini nampak-

nya berusaha menghindari sergapan yang dilakukan 

oleh lawannya. Tapi di luar dugaan si gadis sama seka-

li kedua orang ini melemparkan sesuatu yang diambil 

dari balik bajunya tadi dari delapan penjuru. 

"Buuumm!"

Terdengar delapan kali ledakan, asap mengepul 

dan menyelimuti tubuh Dewi Ratih. "Asap pembius...!"

Menyadari adanya bahaya seperti itu secepat-

nya dia berusaha membebaskan diri dari kungkungan 

asap pembius tadi. Malangnya dia sempat menghirup 

asap yang menyelimuti dirinya. Nafas terasa sesak, ke-

pala berdenyut-denyut di sertai pandangan matanya 

yang langsung mengabur.



"Bruuuk...!"

Ratih jatuh terduduk dan tak ingat apa-apa la-

gi.

"Cepat ambil cincin batu yang ada di jarinya...!" 

kata salah seorang yang dari tadi hanya menonton sa-

ja.

"Cincinnya tak ada di bagian tangannya...!" de-

sis si pemeriksa memberi laporan pada si pemberi pe-

rintah.

"Kalau begitu periksa seluruh tubuhnya...!" pe-

rintahnya lagi.

"Jangan dia yang memeriksa! Biar aku yang 

melakukannya...!" sergah yang berada di sebelah pem-

beri perintah. Dengan cepat orang itu bertindak meng-

gerayangi tubuh Ratih. Dan ternyata Batu Walet Merah 

dia dapatkan di bagian belahan dada si gadis yang ha-

lus mulus. Tapi si pemeriksa tidak menampakkan 

reaksi apa-apa terkecuali mengambil cincin itu. Se-

mentara dua orang yang merobohkan Dewi Ratih den-

gan asap pembius tampak leletkan lidah.

"Kalian tak punya hak berbuat kurang ajar pa-

da seorang gadis yang tidak sadarkan diri, ini perin-

tahku...!" kata orang itu sembari menimang-nimang 

cincin Batu Walet Merah di tangannya.

"Kami mengerti juragan! Kalau juragan sudah 

beri perintah begitu, seujung rambut pun kami tak 

akan mengganggunya...!" janji kedua orang bertam-

pang seram pada orang di depannya.

"Sekarang kita tinggalkan tempat ini secepat-

nya...!" kata orang itu.

"Lalu bocah pemalas ini bagaimana...?"

"Tinggalkan saja, dia akan siuman dengan sen-

dirinya...!" perintah si pemegang cincin Batu Walet Me-

rah. Tanpa berani membantah lagi, dengan sekeleba-

tan saja keempat orang itu pun telah lenyap dari tempat itu. Tinggallah Ratih seorang diri yang masih tetap 

tidak sadarkan diri.

***

TIGA



Ketika matahari mulai menampakkan diri di 

ufuk Timur, Pendekar Hina Kelana yang merasa kehi-

langan jejak Dewi Ratih tampak masih berputar dan 

mengelilingi seputar hutan pinus. Dia merasakan tu-

buhnya sangat lelah, mata perih karena memang ham-

pir semalaman dia tidak tidur walau barang sepicing 

pun. Tanpa menghiraukan rasa letih bercampur ngan-

tuk yang mendera dirinya, dia terus berputar-putar 

mencari. Sampai pada akhirnya dia merasa hampir pu-

tus asa dan merencanakan untuk mencari di tempat 

lain. Satu dua tindak dia melangkah, sampai pada ak-

hirnya dia melihat rumput-rumput berserakan seperti 

bekas terinjak-injak sosok yang berat. Tak lama sete-

lahnya pandangannya yang awas itu melihat adanya 

sosok menggeletak berpakaian hijau merah dan berikat 

kepala merah pula.

"Ratih...!" gumamnya lalu memburu ke arah 

tempat Dewi Ratih berada. Di balikkannya tubuh yang 

tertelungkup itu, dengan seksama dia memeriksa. Ti-

dak terdapat bekas luka atau sejenisnya. Cepat-cepat 

dia memeriksa denyut nadi di bagian pergelangan tan-

gan.

"Dia hanya pingsan! Mungkin juga sedang ter-

kena sejenis obat pembius yang dapat melenyapkan 

kesadaran untuk beberapa waktu lamanya." ucapnya 

berusaha menarik kesimpulan. Lalu tanpa komentar 

lagi dia memeriksa pada bagian mata. "Hemm... tepat


seperti apa yang kuduga, dia terkena asap pembius 

yang keras daya kerjanya. Kalau kubiarkan menunggu 

dia sadar, barangkali sampai sore nanti belum tentu 

dia sudah sadar. Cara satu-satunya adalah dengan 

menyalurkan hawa hangat lewat bagian dadanya. Ta-

pi...!" Pemuda itu meragu, apa nanti kata Ratih andai 

sampai dia mengetahui cara pertolongan yang dia la-

kukan itu. Tentu si gadis akan mengatakannya sebagai 

pemuda yang sangat kurang ajar, atau bahkan dia ma-

lah akan membenci dirinya untuk selama-lamanya. 

Lama sekali dia memutar pikiran untuk menentukan 

jalan terbaik dalam menentukan pertolongan yang 

akan dia berikan.

"Kalau kusalurkan hawa murni melalui bagian 

perutnya, mungkin dia tak akan begitu marah. Kalau 

pun harus marah, tokh akhirnya harus di sadarinya 

juga bahwa cara apapun yang kulakukan semata-mata 

hanya untuk membantunya untuk memulihkan kea-

daan!" batinnya lagi. Selanjutnya dengan wajah mero-

na merah dan tangan gemetaran dia menyingkap pa-

kaian Ratih pada bagian perut, kemudian sembari 

memalingkan muka, tangan yang gemetaran itu me-

nyelinap di balik pakaian si gadis. Secara perlahan dia 

mulai mengerahkan hawa murni. Hawa hangat mulai 

menjalar dari bagian perut, terus merata ke seluruh 

bagian tubuh lainnya. Gadis itu mulai menggeliat, se-

cara perlahan mengerjabkan matanya yang terasa be-

rat. Secepatnya ketika melihat si gadis mulai sadar, 

Buang Sengketa menarik balik tangannya. Tapi ter-

lambat, Dewi Ratih sempat melihatnya.

"Splaaak...!"

Dua tamparan bertubi-tubi mendarat di pipi ki-

ri Pendekar Hina Kelana. Si pemuda yang pada saat itu 

dalam posisi berjongkok, langsung saja jatuh terdu-

duk. Tamparan Dewi Ratih sungguh pun tidak disertai


dengan pengerahan tenaga dalam, namun karena da-

lam keadaan marah sudah jelas begitu keras. Bahkan 

bekas tamparan itu sendiri meninggalkan bekas tela-

pak tangan Ratih yang memerah di pipi si pemuda.

"Kurang ajar... begitu tingkah seorang pendekar 

terhadapku, Kakang...!" bentak si gadis sambil berusa-

ha menahan air mata yang hampir saja menggelinding.

"Maaf! Kau salah pengertian Ratih... aku....!"

"Aku apa! Kau hanya bermaksud berbuat ku-

rang ajar padaku, bukan...?" teriak Dewi Ratih sema-

kin bertambah memuncak emosinya. Sementara wajah 

si pemuda semakin bertambah memerah karena me-

nanggung rasa malu.

"Ratih! Memang kau justru berpikir yang bu-

kan-bukan, aku tadi hanya bermaksud membantumu 

agar cepat sadar, tak ada maksud-maksud yang 

lain...!" bantah si pemuda setengah kesal. Dewi Ratih 

terdiam, dia akhirnya memang menyadari selama be-

berapa jam terakhir ini dia tak dapat mengingat apa-

apa. Hanya satu yang masih samar, di dalam ingatan-

nya adalah tentang keempat orang yang telah melaku-

kan penyergapan secara curang atas dirinya. Lalu pa-

bila dia teringat pada Batu Walet Merah yang tersem-

bunyi, di bagian dadanya, secara cepat dia membalik-

kan badan dan melihat kenyataan bahwa batu itu su-

dah tak ada lagi di tempat 

"Kakang...! pekiknya setengah menyesali atas 

perbuatannya. "Kakang maafkan atas kesalahanku."

"Tak mengapa, sudah selayaknya engkau ma-

rah. Tapi mengapa tiba-tiba saja wajahmu berubah se-

perti itu...?"

"Batu itu Kakang...! Batu Walet Merah telah di-

larikan oleh orang-orang yang tak kukenal...!" ucapnya 

sedih.

"Sudah kuduga...!



"Bagaimana kakang dapat mengetahuinya...?!" 

tukas si gadis berusaha mencari jalan lewat tatapan 

sepasang mata Buang Sengketa.

"Sebelum para pengepung itu benar-benar 

sampai di padepokan, aku melihat mayat keempat mu-

rid menggeletak tidak begitu jauh dari depan pintu. Di 

situ baru kusadari kalau empat orang yang pergi ber-

samamu itu bukanlah murid padepokan yang sesung-

guhnya!"

"Lalu bagaimana keadaan di padepokan dan 

bagaimana pula kau bisa sampai ke sini Kakang...?" 

tanya Dewi Ratih keheranan.

"Dua partai di antaranya ternyata masih meru-

pakan sahabat baik eyangmu, begitu mereka selesai 

mendengar penjelasanku langsung meninggalkan pa-

depokan untuk mencari si Walet Merah di tempat yang 

lain. Sedangkan partai lainnya adalah Gerombolan Si-

nar Kayangan yang ternyata selain murid-muridnya 

terbunuh oleh Sepasang Walet Merah, juga punya 

dendam pribadi dengan Padepokan Bukit Berkabung. 

Hanya sekejap saja aku terlibat bentrok dengan mere-

ka, setelah itu aku berusaha menyusulmu menelusuri 

jalan yang sama. Menurutku Padepokan Bukit Berka-

bung mungkin sudah mereka bakar! Maaf aku tak bisa 

mencegah karena aku justru menghkawatirkan kese-

lamatanmu dan Batu Walet Merah...!" desah si pemuda 

dengan wajah tertunduk. Sedih! Dewi Ratih semakin 

kalut hatinya bila mengenang semua kejadian yang, 

berlalu begitu cepat. Dengan suara tersendat kemu-

dian dia berkata.

"Kakang, ternyata Batu Walet Merah tidak da-

pat kupertahankan. Padepokan berantakan menjadi 

debu, rasa-rasanya sudah habis segala apa yang kumi-

liki, Kakang...!" kata si gadis disertai derai air mata. 

Pendekar Hina Kelapa menarik nafas pendek.


"Tidak! Segalanya tidak berakhir sampai di situ 

saja. Masih ada yang kau miliki dan tak pernah hilang 

dalam hidupmu...!"

"Apakah yang Kakang maksudkan?"

"Sebuah semangat untuk memulai segala-

galanya dengan cara baru...!" jawab si pemuda pasti.

"Tapi kita tak memiliki kekuatan untuk mencari 

Batu Walet Merah yang berada di tangan saudara-

saudaraku...!" ujar Ratih dengan wajah membayang-

kan rasa putus asa yang dalam. Buang hanya terse-

nyum tawar, entah mengapa dia merasa begitu iba pa-

da gadis berambut panjang dan berikat kepala merah

itu.

"Ratih!" panggilnya lirih. "Masih banyak cara 

untuk mendapatkan Batu Walet Merah yang telah 

membuat susah bagi banyak orang. Sedangkan batu 

yang ada padamu itu cepat atau lambat kita pasti da-

pat mengetahui siapa sesungguhnya yang menjadi 

pencurinya...!" 

"Kalau batu yang satunya saja tidak mampu ki-

ta menjaga keamanannya, bagaimana mungkin kita 

memiliki kemampuan untuk merebut yang satunya la-

gi! Keadaan kita sekarang ini benar-benar dalam situa-

si yang sangat sulit, Kakang...!"

"He... he...he...! Untuk melaksanakan amanah 

gurumu, aku rela berkorban apa saja demi mempero-

lehnya kembali...!" kata si pemuda seperti sedang ber-

janji pada dirinya sendiri.

"Benarkah itu Kakang!?" tanya si gadis seolah 

tak percaya dengan apa yang di katakana oleh pemuda 

itu.

"Aku telah mengatakannya padamu, itu berarti 

aku akan melaksanakan segala apa yang kukatakan 

tadi!"

"Terima kasih, Kakang...!"

Buang Sengketa hanya mengangguk-angguk, 

namun kemudian dia melanjutkan ucapannya

"Ada baiknya kalau sekarang juga kita mulai 

melakukan perjalanan. Kalau nasib kita memang baik, 

tentu kita akan mendapatkan dan menghancurkan Se-

pasang Walet Merah yang telah begitu berani membo-

bol pintu makam leluhurnya sendiri!" rutuknya dalam 

kemarahan yang terpendam. (Untuk lebih jelasnya da-

lam Episode Kisah Sepasang Walet Merah). Kemudian 

melangkahlah kedua muda mudi ini dengan perasaan 

mantap dan dalam satu tujuan yang pasti mencari Ba-

tu Walet Merah yang telah dilarikan orang dan mem-

bunuh Sepasang Walet Merah yang masih merupakan 

saudaranya sendiri.

***

EMPAT



Satu purnama setelah kepergiannya ke Bukit 

Berkabung si Tongkat Maut dari lembah Panggang

yang bernama Sumirah itu kembali memutuskan un-

tuk mencari Sepasang Walet Merah yang pernah terli-

bat kasus pembunuhan beberapa orang muridnya 

yang saat itu sedang melakukan perjalanan untuk me-

nemui sesepuh Padepokan Bukit Berkabung yang ma-

sih merupakan sahabat baiknya selama ini. Tak lama 

setelah pembunuhan keji itu terjadi si Rambut Kelabu 

memutuskan untuk menuntut balas dan meminta per-

tanggungjawaban Eyang Girinda. Seperti yang dia ke-

tahui selama puluhan tahun, bahwa siapa pun manu-

sianya yang menamakan dirinya sebagai Walet Merah 

jelas memiliki hubungan yang sangat dekat dengan ke-

turunan Bukit Berkabung. Tapi ketika secara kebetulan si rambut kelabu ini bertemu dengan sahabat la-

manya yaitu si Panjang Kumis dari lembah Putus Nya-

wa, dan Gerombolan Sinar Kayangan yang dipimpin 

langsung oleh kakek hidung bengkok Gada Wisa. Dia 

menjadi prihatin dan kecewa, karena sahabatnya 

Eyang Girinda telah pula menutup mata. Sekemba-

linya dari Bukit Berkabung dia mulai memikirkan jalan 

terbaik untuk menghentikan sepak terjang Sepasang 

Walet Merah yang kononnya mulai menyusun kekua-

tan yang terdiri dari golongan sesat untuk membangun 

sebuah perserikatan yang sangat besar dalam rimba

persilatan. Rencana gila-gilaan itu sudah barang tentu 

membuat kalangan persilatan golongan putih menjadi 

gempar. Sebab seperti yang mereka ketahui Sepasang 

Walet Merah merupakan keturunan tokoh persilatan 

golongan putih, mendapat didikan dengan cara-cara

golongan putih pula. Kalau mereka menyimpang dari 

per-aturan kehidupan golongannya, itu sama artinya 

Sepasang Walet Merah benar-benar membuat malu go-

longan sendiri. Hal itu tak boleh terjadi! Batin pengua-

sa Lembah Panggang.

Demikianlah pagi itu dengan disertai tiga orang 

murid pilihan Si Tongkat Maut dari Lembah Pangrongo

ini tampak meninggalkan lembah, kembali menuju ke 

dunia bebas untuk mencari Sepasang Walet Merah 

yang dia anggap telah murtad dari golongannya sendi-

ri. Seiring dengan perjalanan yang mereka tempuh, 

sang waktu pun bergulir tanpa terasa. Menjelang ten-

gah hari perempuan berpenampilan serba kelabu ini 

telah pula melalui beberapa desa yang sangat padat 

penduduk. Dari keterangan-keterangan yang didapat 

dari penduduk desa, ternyata sepak terjang Sepasang 

Walet Merah semakin merajalela sampai ke berbagai 

pelosok rimba persilatan. Korban kebiadaban Walet 

Merah berge-limpangan di mana-mana. Pengejaran


dan berburu Walet Merah pun dilakukan oleh berbagai 

kalangan dari pihak-pihak yang merasa telah dirugi-

kan oleh Sepasang Walet Merah. Namun sejauh ini me-

reka hanya menemui kematian secara sia-sia. Sepa-

sang Walet Merah yang mencuat namanya dengan Ba-

tu Walet Merah yang menyimpan kekuatan sangat 

dahsyat itu, untuk yang kedua kalinya dalam sejarah-

nya telah meminta korban yang tidak sedikit.

Kini bukan pihak si Tongkat Maut dari Lembah 

Panggang saja yang memburu Walet Merah, tetapi juga 

si Panjang Kumis dan berbagai partai lainnya ikut pula 

mengambil bagian dalam melacak keberadaan 

'Sepasang Walet Merah' yang sangat ganas akan sepak 

terjangnya itu. Namun di luar sepengetahuan siapa 

pun, sesungguhnya dari pihak golongan hitam banyak 

yang mensyukuri tentang kehadiran sepasang pende-

kar yang berasal dari golongan putih namun segala 

tindak tanduknya lebih cenderung mengarah, pada 

kaum sesat ini.

Di antara mereka itu adalah kakak beradik be-

rasal dari puncak Gunung si Beruk, yang menamakan 

dirinya sebagai 'Dua Bersaudara Monyet Hitam'. Mere-

ka ini sudah hampir lebih dari empat purnama meng-

gabungkan diri dengan Walet Merah. Mereka juga me-

rupakan tokoh persilatan golongan sesat yang paling 

pertama menggabungkan diri. Kelihaian maupun ju-

rus-jurus sakti Monyet Hitam yang tinggi dan keah-

liannya dalam mempergunakan segala macam jenis ra-

cun penghilang kesadaran membuat mereka dalam 

waktu sekejap saja telah mendapat kepercayaan seba-

gai tangan kanan si Walet Merah. Kemudian tokoh-

persilatan yang menggabungkan diri dengan Walet Me-

rah adalah Sepasang suami istri Maling Durjana. Me-

reka ini masih merupakan saudara seperguruan den-

gan Kakek Hidung Bengkok yang berkuasa di Rimba


Belantara Maliau dan Taruak. Sungguh pun mereka ini 

sama-sama segolongan dan berasal dari satu pergu-

ruan. Tetapi sepasang suami istri Maling Durjana tidak 

pernah mengalami kecocokan dengan saudaranya 'si 

Gada Wisa' yang mereka kenal sebagai orang yang 

sangat angkuh dan bahkan pernah membunuh gu-

runya sendiri, hanya karena demi senjata beracun 

yang diberi nama 'Gada Wisa' itu. Selain tidak pernah 

memiliki keinginan untuk bergabung dengan "si Gada 

Wisa", Maling Durjana juga mempunyai niat untuk 

membalas dendam atas kematian guru mereka. Tetapi 

niat itu masih belum kesampaian karena selain si Hi-

dung Bengkok memiliki senjata rampasan 'Gada Wisa' 

yang sangat berbahaya itu juga ilmu mereka masih be-

rada satu tingkat di bawah saudaranya yang paling 

tua. Itulah sebabnya ketika mereka mendengar adanya 

sepasang pendekar muda yang menamakan dirinya 

dengan julukan 'Sepasang Walet Merah' suami istri 

Maling Durjana kemudian menyatakan diri untuk ber-

gabung dengan kedua tokoh muda yang memiliki sen-

jata sangat istimewa itu, yaitu berupa sebuah batu 

cincin Walet Merah yang memiliki daya kekuatan tidak 

meragukan.

Di pihak Walet Merah sendiri bukanlah manu-

sia bodoh, setiap kalangan persilatan yang menyata-

kan diri untuk bergabung dengan mereka harus mela-

lui syarat-syarat tertentu. Adapun salah satu syarat 

yang harus mereka kerjakan adalah menemukan atau 

setidak tidaknya merampas Batu Walet Merah yang 

jantannya dari tangan murid Padepokan Bukit Berka-

bung yang bernama Dewi Ratih. Mengapa berita ten-

tang keberadaan Batu Walet Merah yang jantannya 

sampai di ketahui oleh Sepasang Walet Merah? Ketika 

Dewi Ratih Juwita dan Bagas Salaya yang kemudian 

muncul di kalangan persilatan dengan julukan Sepa



sang Walet Merah, baru saja meninggalkan Bukit Si-

luman setelah berhasil mencuri Batu Walet Merah be-

tina yang tersimpan di antara peti-peti mayat leluhur-

nya, dalam perjalanannya untuk memulai sepak ter-

jang bersama-sama kekasihnya, yang juga masih me-

rupakan saudara tirinya sendiri. Secara kebetulan me-

reka melintasi bukit Begal Sewu. Dalam pada itu me-

reka melihat adanya beberapa puluh orang perampok 

sedang melakukan pengeroyokan terhadap sebuah ke-

reta kuda yang saisnya merupakan seorang pemuda 

tampan berpakaian gembel dan belum pernah mereka 

kenal.

Tetapi mereka kenal dengan seorang gadis yang 

bernama Dewi Ratih, yang tak lain masih adik kan-

dung Bagas Salaya dan merupakan adik tiri Dewi Rat-

na Juwita. Kemunculan mereka dengan maksud me-

nuju Bukit Siluman sudah barang tentu merupakan 

perhatian sepasang kekasih terkutuk itu. Sebab seperti 

mereka ketahui, Bukit Siluman pantang dijarah oleh 

siapa pun terkecuali dengan satu keperluan. Yaitu 

mengubur atau mengantarkan salah seorang jenazah 

kerabatnya. Selidik punya selidik tahulah mereka, 

bahwa saat itu adik mereka sedang mengantarkan 

Eyang Girinda untuk, dikuburkan di Bukit Siluman 

yang semasa hidupnya dulu pernah mengusir mereka 

berdua dari padepokan Bukit Berkabung, karena men-

getahui hubungan percintaan antara sesama saudara 

tirinya. Sudah jelas akibat pencegatan yang dilakukan 

oleh para perampok, kejadian lebih lanjut mereka ingin 

mengetahuinya. Bahkan diapun ingin mengetahui sia-

pa sesungguhnya pemuda aneh berperiuk yang menja-

di kusir kereta kuda yang membawa peti mati kakek 

mereka itu. Tetapi pada akhirnya pertarungan si pe-

muda melawan keroyokan begal-begal itu menjadi ti-

dak menarik perhatian mereka, ketika kedua orang itu


melihat Dewi Ratih mengeluarkan Batu Walet Merah 

lainnya, yang selama ini mereka ketahui berada di 

Sungai Banyu Urip. (Untuk lebih jelasnya dalam epi-

sode Kisah Sepasang Walet Merah)

Setelah kematian kepala begal yang tewas seke-

tika akibat terhantam sinar merah yang berasal dari 

batu cincin Walet Merah di tangan Ratih, secara diam-

diam mereka meninggalkan tempat itu, sambil berpi-

kir-pikir mencari cara terbaik untuk merampas Batu 

Walet Merah yang berada di tangan adiknya. Satu pur-

nama setelah melakukan pengembaraan dengan mem-

buat teror di mana-mana, mereka kemudian bertemu 

dengan 'Dua Bersaudara Monyet Hitam' berasal dari 

Gunung Beruk yang menyatakan diri ingin bergabung 

dengan mereka. Akhirnya mereka menerima kehadiran 

dua bersaudara itu setelah sebelumnya menunjukkan 

segala kebolehannya di depan 'Sepasang Walet Merah'. 

Satu purnama kemudian datang pula suami istri Mal-

ing Durjana, yang juga menyatakan diri untuk berga-

bung dibawah perintah Sepasang Walet Merah. Nah, 

melalui tangan-tangan mereka inilah akhirnya pasan-

gan Walet Merah menyerahkan tugas untuk mendaki 

di Bukit Berkabung dalam usaha merampas Batu Wa-

let Merah yang jantannya, dan semua itu sudah ba-

rang tentu dalam pengawasan Dewi Ratna Juwita dan 

Bagas Salaya. Kebetulan saat itu dari berbagai arah 

muncul berpuluh-puluh obor menuju Padepokan Bukit 

Berkabung yang hanya memiliki sisa murid empat 

orang itu. Mempergunakan kesempatan yang sangat 

singkat. Di luar padepokan keempat orang utusan ini 

membunuh keempat orang murid padepokan. Dalam 

keadaan terkepung seperti itu, mujur dan merupakan 

kemudahan bagi mereka, pemuda berkuncir yang 

mengemban tugas dari almarhum Eyang Girinda 

memberi perintah pada Dewi Ratih untuk meninggal



kan padepokan bersama empat murid lainnya. Kesem-

patan itu tentu tidak disia-siakan oleh keempat orang 

suruhan Walet Merah. Hingga akhirnya di sebuah 

tempat yang sunyi, mereka berhasil merampas Batu 

Walet Merah yang jantannya dari tangan Ratih setelah 

terlebih dahulu melumpuhkan si gadis dengan asap 

pembius.

Kini kedua Batu Walet Merah benar-benar telah 

berada di tangan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita. 

Dengan kedua batu tangan mereka teror demi teror 

mereka lakukan. Sementara tugas demi tugas yang di-

bebankan pada keempat orang pembantunya tidak 

kunjung henti. Saat itu Sepasang Walet Merah yang 

memiliki markas berpindah-pindah ini memberi perin-

tah pada dua Bersaudara Monyet Hitam dan suami is-

tri Maling Durjana untuk mengobrak abrik kekuasaan 

Rambut Kelabu di lembah Panggang. Menerima tugas-

tugas rutin seperti itu, sudah barang tentu keempat 

orang ini sedikit pun tiada pernah merasa keberatan. 

Sungguh pun orang yang memberi perintah pada 

keempatnya berusia jauh lebih muda dari mereka. Ka-

rena selain dijanjikan akan mendapat kedudukan yang 

layak seandainya rencana mereka berhasil kelak, tetapi 

juga dalam setiap melakukan tugas mereka di beri 

upah uang emas yang sangat cukup. Demikianlah ke-

tika menjelang tengah hari, dua Monyet Hitam Bersau-

dara beserta suami istri Maling Durjana telah sampai 

di sebuah perbukitan berbatu cadas dan sangat langka 

dengan berbagai macam tumbuh-tumbuhan itu. Tapi 

mereka tiada menghiraukan keadaan di sekelilingnya. 

Terus saja melangkah, dan sekali-kali mengerahkan 

ilmu lari cepat mereka. Begitulah keadaan keempat 

orang kepercayaan itu, tampaknya saling menunjuk-

kan kebolehannya masing-masing. Namun sejauh itu 

mereka kelihatan akur-akur saja.


Tak sampai setengah jam kemudian mereka 

sudah melewati sebuah tikungan tajam yang lebih di-

kenal dengan nama Tikungan Seribu Jalan Kematian. 

Pada saat itu dari arah yang berlawanan, muncul pula 

si Rambut Kelabu dengan tiga orang muridnya. Keha-

diran empat orang golongan sesat itu tentu tidak asing 

lagi bagi si Tongkat Maut dari Lembah Panggang ini. 

Tapi selama ini mereka tak pernah terlibat permusu-

han apa pun, karena pada dasarnya mereka saling tak 

mau usil dengan segala macam urusan orang lain. Tapi 

kini begitu mereka saling berpapasan, Dua Bersaudara 

Monyet Hitam langsung menyelak: "Tunggu dulu so-

bat...! Ada sesuatu yang ingin kutanyakan padamu!" 

Berkata salah seorang si Monyet Hitam berbadan pen-

dek sambil menyunggingkan seulas senyum. Si Tong-

kat Maut dari Lembah Panggang hentikan langkah dan 

putar badan, hingga kini benar-benar telah berhada-

pan dengan manusia berkulit hitam legam yang di se-

kujur tubuhnya ditumbuhi dengan bulu-bulu lebat 

kayak lutung.

"Ada perlu apakah engkau menghentikan perja-

lanan orang lain yang tak punya urusan denganmu, Ki 

Sanak?" tukas Sumirah merasa kurang sreg berlama-

lama bertanya jawab dengan manusia golongan sesat 

itu.

"Sungguh pun kita dari golongan yang berbeda, 

berbincang bersama-sama rasanya tak ada salahnya, 

Nyi Sumirah...!" kata istri Maling Durjana ikut menim-

pali.

"Dua tokoh sesat yang satu dari Selatan yang 

lainnya dari Tenggara, bisa bersatu dan melakukan 

perjalanan bersama-sama. Tentu ada apa-apanya!" 

membatin Nyi Sumirah.

Lalu dia berpikir-pikir apa sebabnya keempat 

orang itu sampai berada di tempat itu, sedangkan ka


lau jalan lurus yang telah dilaluinya ditelusuri oleh 

orang-orang sesat itu, sudah pasti tiada tempat lain 

yang mereka tuju terkecuali Lembah Panggang.

"Eeh... kalau tak salah, bukankah anda berdua 

sepasang suami istri Maling Durjana...?" tanya si 

Tongkat Maut tampak mengernyitkan alisnya.

"Ahh. Tak kusangka kiranya anda memiliki 

penglihatan yang tajam, Tongkat Maut...!" ujar si Mal-

ing Durjana tersenyum tipis. Tapi dalam pandangan 

Nyi Sumirah senyum itu tak jauh beda dengan orang 

yang hendak menangis. Diam-diam perempuan be-

rambut kelabu ini geli hatinya.

"Bukan penglihatanku yang tajam, tapi kebera-

daan anda dan kelihatan anda di bagian Selatan sana 

sudah sangat sering aku mendengarnya...!" 

"Anda terlalu berlebih-lebihan Ni Sanak...!" ser-

gah salah seorang Monyet Hitam bersaudara. Sekejap 

si Tongkat Maut menoleh dan memandang penuh rasa 

jijik pada manusia hitam berbulu itu.

"Hemm... melihat tampangmu, rasa-rasanya 

seumur hidup baru kali ini aku bertemu. Perduli 

apa...?" tukas Nyi Sumirah. Entah mengapa sejak ber-

selisih jalan tadi dia merasa begitu muak melihat ke-

hadiran Dua Monyet Hitam Bersaudara. Itu makanya 

begitu Monyet Hitam ikut bicara dia langsung menge-

jek.

***


LIMA



Hemm...! Begitukah caranya orang golongan 

putih bertegur sapa dengan orang lain...?" tanya si 

Monyet Tinggi kurus macam Cerangkong, nampak


sangat tersinggung. Si Rambut Kelabu kembali nyele-

tuk dengan kata-kata ketus.

"Oh maaf! Kiranya keturunan para monyet se-

lain mampu bicara dengan baik, juga mengerti segala 

macam peradatan!"

"Jahanam! Kau benar-benar sudah bosan hi-

dup rupanya. He... he... he...!" Dua Bersaudara Monyet 

Hitam terkekeh-kekeh. "Tak salah kalau ketua kami 

menyuruh kami untuk membunuh manusia yang tak 

tahu peradatan sepertimu...!"

"Oh... ketua mengatakan supaya membunuhku! 

Huh... siapa sih ketuamu itu? Mungkin Bapak 

moyangnya para monyet menjijikkan sepertimu ya...?" 

pancing si Rambut Kelabu. Nampaknya apa yang diin-

ginkan oleh si Tongkat Maut itu mendatangkan hasil. 

Sebab tak begitu lama kemudian setelah saling ber-

pandangan sesamanya.

"Kalau kau ingin kenal siapa yang menjadi ke-

tua kami... hhoaa... ha... ha...! Kenalkah kau dengan 

Sepasang Walet Merah?" tanya si Monyet Hitam Ber-

saudara hampir bersamaan. Sungguh pun si Rambut 

Kelabu merasa sangat terkejut begitu mendengar uca-

pan mereka tapi sedapatnya dia berusaha menutu-

pinya. Bahkan kini dia menyadari apa sesungguhnya 

maksud kedatangan mereka di lembah Panggang. Tak 

lain dengan membawa maksud-maksud tak baik.

"Oh jadi kalian inilah para begundalnya murid-

murid terkutuk itu? Pantasan saja kalian begitu patuh 

pada iblis berkedok manusia itu!"

"Bangsat! Mulutmu terlalu cerewet manusia 

tengik!" makinya, kemudian setelah memandang pada 

kawan-kawannya beberapa saat lamanya dia pun 

membentak garang. "Bersiap-siaplah kalian untuk 

mampus...!" teriak si Monyet Hitam Bersaudara sengit.

Selanjutnya dengan diawali teriakan melengking tak ubahnya bagai teriakan monyet hutan yang se-

dang dilanda kemarahan besar.

Kedua orang berbadan hitam legam itu lang-

sung menerkam si Tongkat Maut. Gerakan kedua 

orang itu sungguh cepat luar biasa, hingga tahu-tahu 

kedua tangan mereka yang berkuku runcing itu ham-

pir saja mencakar bagian muka si Rambut Kelabu an-

dai dia tak secepatnya menggeser tubuhnya dua lang-

kah ke samping kiri.

"Hajar terus saudara Monyet Hitam...!" seru si 

Maling Durjana yang saat itu sudah mulai terlibat per-

tarungan dengan tiga orang murid si Rambut Kelabu. 

Pada dasarnya mereka adalah merupakan dua golon-

gan persilatan yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah 

sebabnya begitu mereka terlibat pertarungan, maka 

masing-masing lawan telah pula mengeluarkan jurus-

jurus silat tangan kosong yang paling hebat. Jurus 

demi jurus terus berlangsung. Dalam sekejapan saja 

pakaian mereka telah basah oleh keringat.

"Caat... ciaat... hiaaa...!"

Suara jeritan menggeledek itu disertai dengan 

berkelebatnya tubuh Monyet Hitam Bersaudara. Satu 

pukulan dan satu tendangan kaki dengan telak dila-

kukan oleh Monyet Hitam Bersaudara. Si Rambut Ke-

labu sebagai orang yang sudah kenyang makan asam 

garam dunia persilatan tampaknya sudah dapat men-

duga kemana sasaran yang dituju oleh serangan be-

runtun yang dilakukan oleh dua orang bersaudara ini. 

Maka dengan gesit dan tanpa terduga-duga dia putar 

tongkatnya. 

"Tak! Duk! Duk...!"

"Ah... kampret...!" maki Monyet Hitam Bersau-

dara begitu merasakan sakit yang sangat luar biasa 

saat mana kaki dan tangannya, membentur tongkat 

berwarna kuning di tangan si Rambut Kelabu. Serangan pertama mereka yang berhasil digagalkan oleh si 

Rambut Kelabu membuat kedua orang ini menjadi 

sangat marah. Kemudian mereka menerjang kembali 

dengan serangan-serangan yang lebih gencar.

Sementara itu pertarungan antara sepasang 

suami istri Maling Durjana dengan tiga orang murid si 

Rambut Kelabu ini sudah mencapai puncaknya. Tam-

paknya menghadapi sepasang suami istri ini, tiga mu-

rid pilihan si Rambut Kelabu tidak mampu berbuat 

banyak. Terbukti dalam pertarungan mencapai sepu-

luh jurus ketiga orang itu sudah tampak mulai keteter. 

Bahkan menjelang lima jurus selanjutnya mereka 

hanya mampu mengelak dan menangkis serangan-

serangan yang datang. Mau tak mau, ketiga orang itu 

langsung mencabut senjatanya yang berupa sebuah 

tongkat yang panjangnya tidak lebih dari satu meter. 

Mengetahui semua apa yang dilakukan oleh tiga orang 

murid si Rambut Kelabu, suami istri Maling Durjana 

tertawa terbahak-bahak

"Ha... he... he...! Segala tongkat pemukul anjing 

seperti itu, bagusnya memang untuk menggebuk diri 

sendiri...!" teriak suami istri Maling Durjana dengan 

maksud mengejek.

"Jangan banyak mulut, majulah kalian! Sekejap 

lagi kepalamu pasti berhasil kuremukkan...!" selak sa-

lah seorang di antara mereka. Lalu dengan cepat sekali 

mereka putar tongkatnya. Tongkat di tangan mereka 

menderu-deru hingga menimbulkan angin bersiuran. 

Sambil memutar tongkat untuk melindungi diri dari 

serangan lawan, sekali dua mereka juga kirimkan se-

rangan yang sangat cepat mengarah pada bagian tu-

buh lawan yang agak melemah pertahanannya.

"Saaaa...!"

Sekali suami istri Maling Durjana bergebrak da-

ri arah yang berlawanan, maka satu pukulan maut


yang diberi nama 'Maling Celaka Menguntit Pengemis 

Hina' mereka lepaskan. Tak pelak lagi, selarik sinar 

berwarna pelangi menderu laksana kilat mengarah pa-

da ketiga orang lawannya. Di luar dugaan si Maling 

Durjana kiranya semua pertarungan yang terjadi anta-

ra sesama mereka masih sempat diperhatikan oleh si 

Rambut Kelabu yang saat itu terlibat pertarungan den-

gan 'Dua Bersaudara Monyet Hitam'. Sekali si Rambut 

Kelabu mengebutkan tongkatnya dengan pengerahan 

tenaga dalam yang cukup tinggi. Maka menderulah sa-

tu gelombang angin topan begitu kuat laksana prahara 

memapaki pukulan yang dilakukan oleh sepasang su-

ami istri Maling Durjana saling berbenturan di tengah-

tengah jalan.

"Blaaaaam...!"

Dua kali ledakan keras terdengar, si Rambut 

Kelabu tampak terbanting tubuhnya, namun cepat 

bangkit kembali. Penguasa Lembah Panggang itu kini 

tak ingin bersikap tanggung-tanggung lagi. Beberapa 

detik kemudian dia mulai membuka jurus-jurus tong-

kat mautnya.

Sementara itu suami istri Maling Durjana yang 

tampak terpelanting roboh akibat beradunya dua pu-

kulan sakti tadi, tampak kerengkangan berusaha 

bangkit. Dua-duanya terbatuk-batuk sekejap, dada 

mereka terasa sesak. Namun setelah menyeka darah 

yang meleleh di bagian sudut bibirnya kini dengan 

sangat beringas sekali kembali melancarkan pukulan 

'Maling Celaka Menguntit Pengemis' tingkatan kesepu-

luh. Tiga orang murid si Rambut Kelabu menyadari be-

tapa berbahayanya pukulan yang dilepaskan oleh su-

ami istri maling itu. Tadi saja andai tidak dibantu oleh 

gurunya, mungkin mereka sudah menemui ajal atau 

setidak-tidaknya sudah terluka parah. Dan kini dalam 

keadaan gurunya sibuk seperti itu Maling Durjana


mengirimkan pukulan maut yang berkekuatan sangat 

besar, sudah tentu mereka putar tongkatnya dengan 

segenap kemampuan yang ada untuk menyelamatkan 

diri dari pukulan yang di lepas oleh lawannya. Lagi-lagi 

selarik sinar warna pelangi melabrak cepat ke arah 

mereka.

"Wuuus! Deeer...!"

"Wuaaaah...!"

Tongkat di tangan mereka hancur berantakan 

dihantam pukulan yang dilepaskan oleh Maling Durja-

na. Tubuh mereka terpelanting tujuh tombak. Sekejap

murid-murid si Rambut Kelabu ini berusaha bangkit, 

namun begitu mereka menggerakkan badan dan men-

coba merangkak. Pukulan susulan pun dilepaskan 

oleh suami istri Maling Durjana. Tubuh mereka yang 

sudah menderita luka dalam cukup parah ini kembali 

terbanting roboh tanpa mampu bangkit lagi. Suami is-

tri Maling Durjana tertawa tergelak-gelak.

"He... he... he...! Akhirnya mampus juga kau 

bocah-bocah tolol...!" desisnya puas sendiri meman-

dang mayat-mayat murid si Rambut Kelabu.

Saat itu si Rambut Kelabu demi melihat kema-

tian murid-muridnya yang sangat mengenaskan ini 

tampak gusar dan marah

"Monyet Hitam dan maling terkutuk! Kalian be-

nar-benar harus membayar mahal atas kematian mu-

rid-muridku!" teriaknya sambil terus memperhebat se-

rangan dan melakukan tekanan-tekanan gencar terha-

dap dua bersaudara Monyet Hitam.

"Jangan besar mulut. Sekejap lagi, kau pun 

akan menyusul murid-muridmu ke neraka sana...!" se-

lak dua bersaudara Monyet Hitam.

"Buktikanlah...!" teriak si Tongkat Maut dari 

lembah Panggang ini sambil mengayunkan tongkatnya 

mengarah pada bagian kaki dan lambung Monyet Hi


tam bersaudara. Dalam pada itu si Maling Durjana 

hanya menyaksikan pertarungan itu dari jarak yang ti-

dak begitu jauh. Sebab mereka merasa saat itu ra-

sanya mereka masih belum perlu untuk turun mem-

bantu. 

"Shaaaa...! Bet! Bet...!"

Tongkat di tangan si Rambut Kelabu nyaris 

menghajar badan dada, Monyet Hitam kurus kerem-

peng, tapi karena begitu gesit manusia kulit pembalut 

tulang ini mengelakkannya, maka dia luput dari sabe-

tan tongkat maut berwarna kuning itu. Sebaliknya 

tongkat itu terus menderu mencecar monyet gemuk 

yang berada di sebelah kirinya.

"Haes...!" 

Monyet Gemuk membuang tubuhnya ke samp-

ing, saat mana merasakan adanya sambaran angin 

pada bagian kepalanya. Tapi kiranya gerakan memu-

kul ke arah kepala itu sesungguhnya hanyalah meru-

pakan tipuan belaka. Karena begitu Monyet Gemuk 

membuang tubuhnya ke samping, tongkat di tangan si 

Rambut Kelabu datang menyambar.

"Brebeeet...!"

"Angk...!"

Monyet Gemuk keluarkan seruan tertahan, ba-

gian bahunya yang tersambar tongkat milik si Rambut 

Kelabu terasa nyeri dan banyak mengeluarkan darah. 

Tapi begitu tak merasakan rasa sakit yang menggigit, 

si Monyet Gemuk sudah bangkit dan bersiap-siap 

membangun serangan. Saat itu si Monyet kurus telah 

pula bersiap-siap mempergunakan asap pembius yang 

selama ini merupakan senjata yang sangat mereka an-

dalkan. Namun sebelum niat itu kesampaian, tiba-tiba 

terdengar seruan dari si Maling Durjana yang sejak ta-

di hanya menonton pertarungan itu,

"Jangan lakukan itu saudara Monyet Hitam!



Terlalu enak baginya untuk mampus begitu saja!"

"Aku tak menginginkan pekerjaan yang bertele-

tele...!" dengus Monyet Hitam tampak tersinggung.

"Mari kita keroyok mereka beramai-ramai...!" 

teriak suami istri Maling Durjana laksana kilat dia 

langsung menerjang dengan jurus-jurus andalan. Ma-

ka beberapa jurus setelah pengeroyokan itu. Tampak-

lah kalau si Tongkat Maut sudah mulai keteter. Den-

gan sebat dia kembali kerahkan ilmu tongkat yang di-

milikinya, namun serangan keempat orang itu juga ti-

dak kalah gencarnya. Terlebih-lebih setelah suami istri 

Maling Durjana keluarkan senjata mereka yang berupa 

kipas berwarna hitam legam. Maka pada jurus-jurus 

selanjutnya tampaklah kalau si Rambut Kelabu sema-

kin terdesak hebat. Dari keempat lawan-lawannya itu, 

nyatalah sudah bahwa yang memiliki serangan sangat 

berbahaya adalah suami istri Maling Durjana yang 

bersenjatakan kipas. Sedangkan dua bersaudara Mo-

nyet Hitam sungguh pun melakukan serangan dengan 

kuku-kukunya yang sangat panjang dan mengandal-

kan tenaga dalam, namun tidaklah sehebat Maling 

Durjana. Hanya keunggulan yang dimiliki oleh dua 

bersaudara Monyet Hitam terletak pada asap pem-

biusnya yang telah merenggut banyak korban itu.

"Ciaaat...!"

Kipas di tangan suami istri Maling Durjana 

menderu dari bagian depan. Sedangkan dari bagian 

belakang dan samping dua bersaudara Monyet Hitam 

menyerang dengan sambaran-sambaran kuku-

kukunya yang tajam dan mengandung racun ganas. 

Menghadapi serangan yang begitu tiba-tiba dan datang 

dari berbagai penjuru ini, pikiran si Rambut Kelabu 

bekerja cepat.

Tanpa menyia-nyiakan kesempatan yang hanya 

beberapa detik itu, si Rambut Kelabu putar tongkatnya


ke segala penjuru untuk melindungi diri.

"Traak...! Traaak...!"

"Buuuk...!"

Dua kali benturan keras terjadi saat mana sen-

jata mereka saling bertemu, tubuh masing-masing la-

wan sama-sama tergetar. Celakanya mempergunakan 

kesempatan itu, secara curang si Monyet Kurus han-

tamkan tinjunya dengan kekuatan hampir tiga perem-

pat tenaga dalamnya. Tanpa ampun tubuh si Rambut 

Kelabu terbanting keras menghajar batu cadas yang 

terdapat di tikungan itu. Belum lagi tubuh yang sudah 

dalam keadaan terluka parah itu mampu bangkit kem-

bali, satu pukulan jarak jauh dilepaskan oleh suami is-

tri Maling Durjana. Satu kali pukulan yang meman-

carkan cahaya sinar pelangi itu menghantam tubuh si

Rambut Kelabu tanpa mampu tertangkis atau pun ter-

hindari. Maka tak ayal lagi pukulan itu menghantam 

tubuhnya yang sudah dalam keadaan terluka parah. 

Sekejap saja tubuh si Rambut Kelabu telah berubah 

menghitam, dengan nyawa terlepas dari badannya.

"Kita telah berhasil...!" teriak keempat orang itu 

bersorak kegirangan.

"Belum, si Panjang Kumis belum tewas di tan-

gan kita...!" sergah si Monyet Kurus. Seraya ngeloyor 

pergi dengan diikuti oleh yang lain-lainnya.

***

ENAM



Pagi yang cerah, burung-burung pun bernyanyi 

merdu menyambut kehidupan baru dalam suasana 

kedamaian yang abadi. Dari Barat daya, angin ber-

hembus sepoi-sepoi membisikkan suasana romantis


bagi sepasang muda mudi yang sedang dimabuk as-

mara. Nun di bawah pohon besar yang memiliki akar-

akar rambat berjuntai, di celah-celah sebuah gua kecil 

dan sempit. Di sanalah kedua pasangan terkutuk itu 

memadu asmara hampir semalaman suntuk. Si pemu-

da berwajah lumayan tampan, si gadis bertubuh sintal 

dengan tinggi semampai dan memiliki wajah ayu me-

nawan, namun memiliki keganasan tersembunyi.

Dialah Sepasang Walet Merah yang akhir-akhir 

ini mencuat namanya di kalangan persilatan karena 

sepak terjangnya yang membuat setiap orang menjadi 

ciut nyalinya karena kesadisan setiap tindak tanduk-

nya. Mereka kini memang boleh berpuas hati dengan 

adanya sepasang Batu Walet Merah di tangannya. Me-

reka memang pantas memiliki ambisi untuk memben-

tuk sebuah partai besar dalam rimba persilatan di wi-

layah Selatan. Tidak ada satu hambatan apa pun ter-

kecuali mereka masih merasa bingung untuk menen-

tukan markas mereka untuk hari-hari selanjutnya. 

Saat itu, Sepasang Walet Merah sedang berkasak ma-

syuk dengan kekasihnya. Tampak Dewi Ratna Juwita 

sedang duduk dalam pelukan Bagas Salaya. Tangan 

pemuda itu tak henti-hentinya merambat kian ke mari 

pada bagian tubuh si gadis yang sesungguhnya masih 

merupakan kakak tirinya sendiri. Sesekali si gadis me-

rintih manja, dan di lain saat membalas pelukan itu 

dengan hangat, (Maklum selain terkutuk mereka juga 

merupakan orang yang paling sesat). Lalu di saat lain 

mereka terlibat percakapan serius.

"Adik Bagas! Kamu nakal sekali, masakan su-

dah hampir semalaman kau tidak bosan-bosan...!" 

ucapnya sambil bersungut-sungut manja.

"He... he... he...! Habisnya kamu cantik sih, 

membuat aku semakin penasaran!" jawab Bagas Sa-

laya.


"Uuh... mestinya kau tidak memanggilku kakak 

lagi, tapi cukup dengan panggilan adik, sedangkan aku 

akan memanggilmu kakang! Bagaimana...?" tanya De-

wi Ratna Juwita. Bagas Salaya tampak terdiam bebe-

rapa saat lamanya, kemudian mengangguk setuju.

"Kita ini merupakan suami istri, masakan kita 

harus mempergunakan peradatan seperti dulu-dulu 

juga...!" ujar Bagas Salaya, lalu memeluk Dewi Ratna 

Juwita lebih erat lagi. "Coba sekarang kau mulai me-

manggilku, Kakang...!" Tanpa merasa malu-malu lagi.

"Kakang Bagas...!"

"Woii... mesranya...!" seru Bagas Salaya seten-

gah melonjak kegirangan. Sambil bersungut-sungut 

Dewi Ratna Juwita berkata:

"Sekarang kakang harus mengatakan yang sa-

ma seperti apa yang kukatakan tadi!" pintanya.

"Adik Dewi, istriku...!" ucapnya tersipu malu. 

Sesaat setelahnya meledaklah tawa mereka sebagai ra-

sa peluapan rasa kegembiraannya.

"Sekarang engkau menjadi istriku, Adik De-

wi...!"

"Kau pun kini telah menjadi suamiku, Kakang 

Bagas...!"

"Dengan begitu tercapailah sudah apa yang 

menjadi tujuan kita selama ini...!" Berkata Bagas Sa-

laya, seraya langsung beranjak berdiri. Tapi dilihatnya 

Dewi Ratna Juwita geleng-geleng kepalanya. Hal ini 

tentu mengundang tanda tanya di hati Bagas Salaya. 

"Mengapa...?"

Si gadis tampak menarik nafas dalam-dalam,

kemudian menghembuskannya kembali dengan kuat.

"Cita-cita kita belum sepenuhnya terpenuhi, 

masih ada satu lagi, yaitu membentuk sebuah partai 

besar yang memiliki anggota sangat banyak...!"

"Hemm. Betul sekali, kita harus menunjukkan


pada dunia bahwa kita juga mampu menjadi penguasa 

di kolong jagad ini. Bukan eyang buyut saja yang 

mampu mendirikan sebuah padepokan yang terma-

shur, tapi kita juga akan mendirikan sebuah partai be-

sar yang pasti lebih hebat dari pada hanya sekedar Pa-

depokan Bukit Berkabung beberapa puluh tahun yang 

lalu. Ya... kita pasti mampu mewujudkan cita-cita yang 

suci itu dengan adanya sepasang Batu Walet Merah di 

tangan kita," kata Dewi Ratna Juwita penuh percaya 

diri.

"Tentu, selain nama kita menjadi sangat ter-

kenal juga akan di segani oleh kalangan persilatan 

manapun juga, ya Adik Dewi...!"

"Benar Kakang!" ucapnya bersemangat.

Setelah melampiaskan uneg-unegnya kemudian 

mereka saling diam, tapi suasana seperti itu tidak ber-

langsung lama, karena sesaat setelahnya Dewi Ratna 

Juwita nyeletuk: "Tapi kita mulai sekarang harus 

mempunyai markas yang tetap, Kakang! Kita masih 

harus menentukan markas itu!" Sebelum menjawab 

Bagas Salaya nampak memperhatikan istrinya lekat-

lekat.

"Hemm, bagaimana kalau kita membangun

markas di Bukit Berkabung...!" tanya Bagas Salaya 

memberikan satu usul.

"Bukit Berkabung? Rasa-rasanya Bukit Berka-

bung bukanlah tempat yang pantas untuk sebuah 

markas besar. Pula bagaimana halnya dengan Adik 

Dewi Ratih, aku merasa tak tega untuk mengusir dia 

dari tempat itu! Selama ini dia sudah terlalu mengalah 

pada kita. Maksudku biarlah Bukit Berkabung meru-

pakan tempat tinggalnya selama-lamanya. Tokh sela-

ma ini dia tak pernah mengganggu kita!"

"Bagaimana nanti seandainya dia mengetahui 

kita sudah menjadi suami istri lalu apa tindakanmu ji


ka nanti dia memusuhi kita...?" tanya Bagas Salaya 

merasa was-was.

"Kalau dia berani mencampuri urusan kita! Tak 

perduli siapa pun adanya dia, maka sudah selayaknya 

kalau kita membunuhnya!" jawab Dewi Ratna Juwita 

tegas.

"Sebuah usul yang bagus!" gumam Bagas Sa-

laya setengah bimbang. Mendadak Dewi Ratna Juwita 

kernyitkan alisnya, pandangan matanya jauh menatap 

ke depan sana, Bagas Salaya juga ikut memperhatikan 

apa yang sedang menjadi pusat perhatian istrinya. Se-

buah titik hitam bergerak cepat ke arah mereka, sema-

kin lama titik hitam itu semakin mendekat dan ber-

tambah dekat.

"Hhh... seorang kakek tua dengan kumis di-

biarkan memanjang sampai hampir melebihi perut. 

Dan dua pemukul yang mirip dengan alat untuk me-

mukul gong itu. Aku belum pernah melihat orang sea-

neh itu...!" gumam Dewi Ratna Juwita hampir tak ter-

dengar.

"Orang aneh itu menuju ke mari, Adik Dewi!"

Sekejap Dewi Ratna Juwita mengerling pada 

Bagas Salaya: "Mengapa harus cemas! Kita masing-

masing memiliki Batu Walet Merah. Mungkin kedatan-

gan badut pendek itu ingin minta di gebuk! Tenang sa-

jalah...!"

"Jleeegkh!"

Hanya sekelebatan saja, tahu-tahu kakek tua 

berbadan pendek dengan jenggot dan kumis sangat 

panjang itu sudah berada di depan mereka berdua. 

Begitu sampai langsung cengar cengir bagai monyet 

sinting.

"Sepasang pemuda yang gagah! Sungguh me-

rupakan pasangan yang sangat cocok sekali." gumam 

si kakek aneh ini yang tak lain adalah si Panjang Ku



mis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa. "Tapi bila 

ku lihat wajah-wajah kalian, aku jadi teringat pada 

anak Girinda yang telah tewas di Sungai Banyu Urip. 

Sayangnya sahabatku itu telah tewas pula...! He... he... 

he... siapakah kalian ini...!" lanjut kakek itu. Sepasang 

Walet Merah pandang sesamanya. Bagas Salaya ke-

mudian menyahut:

"Sayangnya kami tak begitu kenal dengan orang 

yang anda maksudkan, kakek aneh?!"

"Wee... kau bilang aku orang aneh, kau tidak 

kenal pula dengan sesepuh Padepokan Bukit Berka-

bung? Mustahil, semua orang tahu bagaimana hebat 

Padepokan Bukit Berkabung pada beberapa waktu 

yang lampau, sedangkan aku ini hanyalah jenis manu-

sia yang di kenal sebagai 'si Kumis Panjang Gong Ak-

herat'. He... he... he...!" kata si kakek tanpa terlepas 

dari tawanya.

"Kelayapan sampai ke mari ada keperluan apa-

kah?" tanya Dewi Ratna Juwita setelah mengetahui se-

gala sesuatunya tentang kakek itu.

"Siapakah kalian...?" tanya si Panjang Kumis 

tiba-tiba, tanpa menghiraukan pertanyaan Dewi Ratna 

Juwita.

"Orang-orang persilatan mengenal kami sebagai 

Sepasang Walet Merah...!" Bagas Salaya mengakui. 

Terbelalaklah kakek tua ini demi mendengar penga-

kuan laki-laki muda yang berdiri tegak di hadapannya. 

Tiba-tiba saja wajahnya berobah memerah, kemara-

hannya pun meluap tanpa terbendung lagi.

"Manusia terkutuk! Jadi kalianlah orangnya 

yang telah berani membongkar pintu Gua Bukit Silu-

man dan bercinta dengan saudaranya sendiri? Kalian 

benar-benar manusia terkutuk...!" teriak si Panjang 

Kumis Gong Akherat dengan tubuh menggigil dibakar 

amarah.



"Kakek kumis ijuk. Persetan denganmu, aku 

tak pernah menyuruhmu datang ke mari. Apa pun 

yang kulakukan itu adalah hak kami...!" tukas Dewi 

Ratna Juwita tak kalah sengitnya.

"Sumpah dunia, biarkan para dewa membakar 

kalian di neraka kelak. Puih... aku memang sengaja 

datang dari tempat yang jauh hanya ingin mencari bi-

angnya iblis yang telah membunuh beberapa orang 

muridku, lebih dari itu aku juga punya kewajiban un-

tuk menghukum kalian yang telah begitu berani men-

curi kunci pintu Gua Siluman tempat penyimpanan 

peti jenazah para leluhurmu. Hemm... dengan barang 

hasil curian yang berupa Batu Walet Merah itulah eng-

kau coba-coba meneruskan jalan sesat yang sangat 

terkutuk itu...?" maki si Panjang Kumis Gong Akherat. 

Mendapat makian dan kata-kata pedas seperti itu ten-

tu saja Sepasang Walet Merah menjadi sangat tersing-

gung.

"Keparat...!" balas Dewi Ratna Juwita tak kalah 

sengitnya. "Mulutmu benar-benar sangat lancang se-

kali kakek peot! Tidak tahukah kau bahwa sesung-

guhnya Sepasang Walet Merah tak pernah memandang 

bulu terhadap siapa saja yang coba-coba berani meng-

halangi sepak terjangnya?"

Sepasang mata Gong Akherat menggerimit 

bahkan semakin bertambah menyipit, sekilas dia meli-

rik pada bagian jemari tangan kedua muda mudi itu. 

Kemudian tahulah dia bahwa sepasang Batu Walet Me-

rah berada di tangan mereka. "Hemm. Satu kesulitan 

besar tampaknya bakal kuhadapi. Senjata maut yang 

mengandung kesaktian gaib itu tidak bisa di buat 

main-main. Benda celaka itu telah merenggut banyak 

jiwa dari berbagai golongan. Bahkan tokoh sakti dari 

bukit hampar yang memiliki kepandaian sangat luar 

biasa saja sampai tewas ketika berhadapan dengan


Eyang Buyut Resi Mamba. Sialnya kalau aku sampai 

tak dapat menjatuhkan mereka berdua maka semakin 

banyaklah nantinya korban yang berjatuhan, satu ke-

sempatan baik andai aku dalam keberuntungan ada-

lah dengan cara menghancurkan tangan mereka sam-

pai ke tulang belulangnya. Andai itu dapat kulakukan, 

cepat atau lambat aku pasti dapat merampas benda 

terkutuk yang ada pada mereka itu!" batin si Panjang 

Kumis Gong Akherat, coba-coba mencari jalan terbaik 

untuk menghadapi lawannya.

"Anak muda.... Sebagai keturunan tokoh persi-

latan golongan lurus, tak kusangka langkahmu malah 

kesasar jauh dalam kesesatan. Betapa arwah para le-

luhurmu akan menjerit dan merintih-rintih di alam 

kuburnya sana...!" kata si Panjang Kumis menyesalkan 

"Cukuuup...!" teriak Bagas Salaya. "Kau, benar-

benar tak akan kami ampuni, manusia kropos. Asal 

kau ingat saja sekali kau berhadapan dengan Sepa-

sang Walet Merah selamanya kau tak mungkin dapat 

kembali ke Lembah Putus Nyawa. Maafkanlah atas se-

gala keputusan yang telah menjadi ketetapan kami!" 

lanjut pemuda itu, dengan wajah memerah. Si Panjang 

Kumis Gong Akherat dari Lembah Putus Nyawa terta-

wa-tawa begitu mendengar ucapan Bagas Salaya yang 

mengeluarkan ancaman itu. Kemudian dengan arif, dia 

pun berucap pelan namun mantap!

"Bocah! Mengingat usiaku yang sudah sangat 

lanjut, aku sudah sangat letih hidup dalam dunia pana 

ini. Kematian bagiku adalah sesuatu yang sangat ku-

rindukan. Tapi apakah dengan kematianku di tangan-

mu engkau menjadi puas...?" 

Marah bercampur heran Bagas Salaya dan De-

wi Ratna Juwita mendengar kata-kata kakek tua yang 

berdiri tegak di hadapannya itu. Tapi sedikit pun me-

reka tidak berusaha mencari makna dalam kata-kata

yang telah diucapkan oleh si Panjang Kumis. Sebalik-

nya dia malah membentak:

"Kakek renta, seribu nyawa tiada harga seper-

timu masih belum membuatku puas terkecuali kami 

telah mencapai ambisi kami membentuk sebuah partai 

persilatan yang sangat besar dan tiada duanya!"

"Cekk... cekk... cek...!" Si Panjang Kumis ge-

leng-gelengkan kepalanya. "Cita-cita kalian memang 

sungguh besar orang muda, sayang... semuanya itu 

dikendalikan oleh hawa nafsu, sehingga membuat ka-

lian selain tersesat juga merupakan orang yang paling 

sesat di dunia ini!"

"Tua celaka! Kamu benar-benar telah menghina 

kami...!" selak Bagas Salaya, seraya lalu bersiap-siap 

membangun sebuah serangan.

"Kakang, padanya kita tak perlu basa basi! Kita 

bunuh dia...!" teriak Dewi Ratna Juwita tidak sabaran.

***

TUJUH



Memang benar, berkomentar terhadap manusia 

semacam ini memang tidak banyak guna, baiknya kita

hancurkan dia!" kata Bagas Salaya. Kejab kemudian 

kedua muda mudi ini telah menggempur si Panjang 

Kumis dengan jurus-jurus silat tangan kosong warisan 

Padepokan Bukit Berkabung. Kakek tua dari Lembah 

Putus Nyawa ini tidak ingin bertindak gegabah, sekali 

saja tubuhnya berkelebat maka senjata andalannya 

yang berupa dua alat mirip pemukul gong berkelebat 

menyambar mengarah pada bagian tangan masing-

masing lawannya.

"Wuuut! Beet!"



"Ihhh...!" Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya 

keluarkan seruan tertahan saat mana kedua senjata 

yang sesungguhnya remeh namun sangat berbahaya 

ini nyaris menghantam pergelangan tangannya. Me-

nyadari akan adanya bahaya yang sangat mengancam 

diri mereka, maka secara serentak mereka mencabut 

pedangnya 

"Sring! Sriiing...!"

Pedang di tangan Sepasang Walet Merah yang 

mengkilat tajam itu terus berkelebat menyambar den-

gan ganas. Pada dasarnya permainan pedang yang me-

reka miliki juga bersumber dari empat kitab jurus Pe-

dang Dewa Berkabung, karena jumlah kitab jurus pe-

dang maupun jurus silat milik Padepokan Bukit Ber-

kabung jumlah sesungguhnya ada lima kitab, sudah 

jelas, sehebat manapun mereka memainkan pedang di 

tangan, tetap saja kunci penutupnya tidak mereka mi-

liki. Apalagi si Panjang Kumis sedikit banyaknya sudah 

banyak mengetahui perkembangan jurus pedang yang 

mereka mainkan. Maka dengan sangat mudah saja, se-

tiap gerakan pedang di tangan lawan-lawannya sudah 

terbaca oleh si Panjang Kumis. Tak heran pada setiap 

gebrakan-gebrakan yang dilakukan oleh Sepasang Wa-

let Merah selalu saja kandas di tengah jalan.

"Haiiit...!"

"Hieee... he... he...! Cuma segitu saja permainan 

pedang Sepasang Walet Merah yang bikin onar di ma-

na-mana itu...!"

"Jangan ngebacot dulu, Kakek sial...!" maki 

Dewi Ratna Juwita sambil berloncatan menghindari 

sergapan-sergapan senjata pemukul gong di tangan 

Kakek Panjang Kumis.

"Kampret...!" si Panjang Kumis balas memaki, 

dalam keadaan seperti itu terlintas pula dalam benak-

nya bahwa sesungguhnya dia tidak mungkin mengulur


waktu lebih lama lagi menghadapi Sepasang Walet Me-

rah yang memiliki senjata yang tidak bisa dianggap 

main-main. Melalui pertarungan itu saja si Kakek Pan-

jang Kumis sudah dapat menarik kesimpulan, bahwa 

kehebatan Sepasang Walet Merah mungkin terletak 

Batu Permata Walet Merah itu sendiri, dia berpikir an-

dai tidak cepat-cepat dia bertindak mungkin tak lama 

lagi dia akan celaka. Maka tanpa pikir panjang lagi si 

Panjang Kumis Gong Akherat mulai bersiap-siap mem-

pergunakan pukulan saktinya yang diberi nama 'Tiga 

Nyanyian Penghantar Kematian'. Sekejap saja begitu si 

Panjang Kumis kerahkan tenaga dalamnya, maka tan-

gan kakek tua itu segera berubah warna menjadi me-

rah bara. Karena saat itu tubuh si kakek terus saja 

berkelebat tiada henti. Maka otomatis perubahan yang 

sangat mendadak itu luput dari perhatian Sepasang 

Walet Merah.

"Hiyaaaa...!" 

Mempergunakan jurus mengentengi tubuh 

yang sudah mencapai tahap sempurna, tubuh Kakek 

Panjang Kumis meletik ke udara. Saat mana dia memi-

liki kesempatan yang sangat baik untuk melepaskan 

pukulan 'Tiga Nyanyian Penghantar Kematian', maka 

sambil bersalto beberapa kali. Kakek Panjang Kumis 

hantamkan tangan kanannya menghadap pada Bagas 

Salaya, sedangkan tangan kiri kirimkan satu pukulan 

ke arah Dewi Ratna Juwita. 

"Wuuus! Wuuus!"

Serangkum gelombang sinar yang menebarkan 

hawa panas, melesat sedemikian cepatnya memburu 

ke arah lawan-lawannya. Sepasang Walet Merah tam-

pak terkesima untuk beberapa kejab lamanya. Namun 

detik kemudian mereka sudah memutar pedangnya 

sambil berloncatan menghindari terjangan tenaga sakti 

yang telah dilepas oleh si Kakek Panjang Kumis dari


Lembah Putus Nyawa ini. Yang lebih celakanya lagi 

kemana pun mereka berusaha menghindar, maka kesi-

tulah pukulan itu memburunya. Melihat kenyataan 

seperti itu selain Sepasang Walet Merah dibuat panik, 

juga kehabisan akal untuk mencari jalan keluar mele-

paskan diri dari kejaran pukulan maut yang terus 

mengejar bagai memiliki mata itu.

"Batu Walet Merah, Adik Dewi...!" teriak Bagas 

Salaya, dan dalam keadaan kepepet seperti itu menda-

dak dia teringat tentang Batu Walet Merah yang men-

jadi senjata pusaka andalannya. Tanpa banyak mem-

buang-buang waktu lagi, Dewi Ratna Juwita dan Bagas 

Salaya mengerahkan tenaga dalamnya ke arah bagian 

tangan kanan yang terdapat Batu Walet Merah di ba-

gian jari manisnya. Beberapa saat berlangsung, begitu 

tenaga dalam yang tersalurkan lewat tangan itu sam-

pai pada batu, maka perubahan pun terjadilah. Mula-

mula tubuh Sepasang Walet Merah tampak gemetaran 

bagai orang yang sedang dilanda birahi. Kejab kemu-

dian setelah wajah mereka bersemu merah, maka se-

cara perlahan Batu Walet Merah yang melingkar di ba-

gian jari manis mereka mulai memancarkan sinar me-

rah menyala. Beberapa saat kemudian, kedua orang ini 

mengarahkan batu itu pada gelombang pukulan yang 

mengejar diri mereka. Tak ayal lagi selarik sinar ber-

warna merah kebiru-biruan yang berbentuk pipih me-

lesat dari batu di tangan mereka.

"Buuuuum! Buuuuuum!"

Dua kali dentuman keras terdengar berturut-

turut. Pukulan Tiga Nyanyian Kematian buyar seketika 

itu juga di sapu lesatan sinar yang bersumber dari Ba-

tu Walet Merah di tangan lawan-lawannya. Tanpa am-

pun tubuh si Panjang Kumis terjengkang tiga tombak, 

sebaliknya tubuh kedua lawannya hanya tergetar saja 

dengan merasakan akibat yang tiada berarti. Sebalik


nya begitu terbanting di atas tanah keras, dari bibir 

kakek Lembah Putus Nyawa ini meleleh darah kental. 

Dadanya terasa sesak luar biasa, jantung berdenyut-

denyut sakit dan nyeri. Sementara kepalanya pusing 

bukan alang kepalang. Tanpa menghiraukan keadaan-

nya sendiri, secara cepat dia sudah bangkit. Saat itu 

lawan-lawannya sudah berdiri tegar sambil berkacak 

pinggang.

"Kau benar-benar akan menemui kematian di 

tangan kami, Kakek malang...!" desis Dewi Ratna Juwi-

ta sambil menyunggingkan seulas senyum sinis. 

"Sudah kukatakan bagiku kematian bukanlah 

hal yang menakutkan. Kupasrahkan nyawaku di tan-

gan Sang Hyang Widi...!" kata Kakek Panjang Kumis 

tersenyum lembut.

"Kampret tua! Bukan di tangan Sang Hyang 

Widi nyawamu di serahkan, tetapi di tangan kamilah 

nyawamu tercabut secara paksa...!" selak Bagas Sa-

laya. Lagi-lagi dia mengerahkan tenaga dalamnya ke 

bagian yang sama. Menyadari ancaman yang sangat 

membahayakan keselamatan jiwanya, maka si Panjang 

Kumis lipat gandakan tenaga dalamnya. Masih mem-

pergunakan Tiga Nyanyian Kematian tingkat kedua 

kakek ini untuk yang kedua kalinya hantamkan kedua 

tangannya mendahului lawan-lawannya. Kembali sela-

rik gelombang pukulan yang menebarkan udara lebih 

panas dari yang pertama tadi menderu-deru hingga 

timbulkan angin berciutan. Pada saat itu Sepasang 

Walet Merah juga sudah mengarahkan Batu Walet Me-

rah ke arah lawannya. 

"Hweeee! Hweeee...!"

Sinar pipih berwarna merah kebiru-biruan 

kembali melesat memapak pukulan yang dilepaskan 

oleh si Panjang Kumis. Terdengar suara menggemuruh 

saat mana tiga sinar sakti itu saling memburu.


"Dweeeer! Dwweeeer...!"

"Wuaaa...!" 

Sekali lagi tubuh si Panjang Kumis dari Lembah 

Putus Nyawa itu terpelanting lima tombak. Darah se-

makin banyak yang menyembur dari dalam mulutnya. 

Sementara dari lubang hidungnya juga mulai menga-

lirkan darah kental berwarna kehitam-hitaman. Di pi-

hak lawannya, baik Dewi Ratna Juwita maupun Bagas 

Salaya, sungguh pun tidak sampai tersungkur jatuh, 

namun tetap saja terhuyung-huyung. Selama malang 

melintang beberapa purnama ini, baru kali inilah me-

reka menjumpai tanding yang seimbang. Begitupun 

mereka masih sempat tergelak-gelak demi melihat kea-

daan si Panjang Kumis yang sudah menderita luka da-

lam cukup serius.

"Nyawa tuamu benar-benar alot sekali, orang 

tua! Tapi kau jangan berpuas dulu betapa pun hebat-

nya pukulan sakti yang kau miliki, cepat atau lambat 

engkau pasti harus mengakui, bahwa kau bukanlah 

lawan tandingan Sepasang Walet Merah. Siapa pun 

manusianya tak kan pernah mampu mengalahkan-

nya...!" selak Dewi Ratna Juwita sambil memandang 

sinis pada lawannya yang saat itu sudah berdiri kem-

bali. Meskipun dengan kuda-kuda yang sangat goyah. 

"Hek... kalian memang sepasang manusia ter-

kutuk yang hebat. Sayangnya dan entah mengapa 

nyawa lapuk ini masih begitu lekat dengan jasad renta 

yang sudah tak banyak guna. He... he... he...! Tiada 

mengapa, tapi sedikit banyaknya kau juga harus ingat, 

bahwa di atas langit masih ada langit...!"

"Apa maksudmu, orang tua...?" tanya Bagas Sa-

laya tiada mengerti.

Si Panjang Kumis terdiam sejenak lamanya 

sembari mengurut-urut dadanya yang terasa panas 

bagai terbakar. Setelah memandang lawannya dengan


tatapan iba, maka dia pun berkata:

"Saat ini, esok atau lusa, kalian memang boleh 

berbangga diri dengan Batu Walet Merah yang berada 

dalam kekuasaan kalian itu. Tapi ingatlah suatu saat 

kelak pirasatku mengatakan bahwa akan datang pa-

damu seorang lawan yang sangat tangguh yang tak 

dapat kau jatuhkan begitu saja. Hek... hek... hek...!"

"Keparat! Kau jangan coba-coba menggertak 

kami orang tua celaka!" maki Dewi Ratna Juwita mera-

sa sudah tidak mampu menahan kesabarannya lagi

"Memakilah sepuas hati kalian! Apa yang kuka-

takan itu kelak akan terbukti juga...!"

Sepasang Walet Merah agak meremang teng-

kuknya demi mendengar ucapan yang se-akan-akan 

merupakan sebuah kutuk ini. Namun untuk membe-

sarkan hati suaminya, Dewi Ratna Juwita berucap te-

gas.

"Kakang Bagas! Jangan kau hiraukan ucapan 

manusia sinting itu, mari kita gempur! Sebentar lagi 

dia pasti binasa di tangan kita...!"

"Mari, Adik Dewi!" jawab Bagas Salaya. Sekali 

ini tanpa banyak cakap lagi kedua orang itu langsung 

mengerahkan Batu Walet Merah pada si Panjang Ku-

mis Gong Akherat.

"Weeer! Weeer!"

Dua lesatan sinar merah kebiru-biruan kembali 

meluruk si Panjang Kumis, kakek tua ini langsung 

menyambutnya dengan pukulan 'Tiga Nyanyian Kema-

tian' tingkat yang paling tinggi.

"Blaam...!"

Kali ini bukan tubuh si Panjang Kumis saja 

yang terpelanting sampai tujuh tombak, tetapi kedua 

lawannya juga terjengkang ke belakang. Namun sece-

pat mereka terbanting maka secepat itu pula mereka 

bangkit berdiri tanpa kekurangan sesuatu apa pun


terkecuali merasakan nyeri di bagian dada. Si Panjang 

Kumislah yang menerima akibat yang paling fatal da-

lam peristiwa itu, tubuhnya yang sudah menderita lu-

ka dalam sejak mulai pukulan pertama dan kedua kini 

semakin bertambah parah. Wajah kakek tua itu tam-

pak pucat pasi. Dari bibir dan hidungnya darah tiada 

henti-hentinya mengalir. Sepasang Walet Merah bukan 

tak menyadari kalau saat itu lawannya sudah tiada 

memiliki daya apa-apa, tapi mereka tampaknya sudah 

tiada perduli lagi. Sekali lagi mereka mengarahkan cin-

cin Batu Walet Merah. Lesatan-lesatan sinar merah 

kebiru-biruan kembali meluruk si Panjang Kumis. Da-

lam keadaan sekarat seperti itu, kakek tua ini kiranya 

masih menyadari adanya ancaman bahaya. Dua pe-

mukul gong yang selama ini dia pergunakan sebagai 

senjata andalan dia lontarkan dengan sisa-sisa tenaga 

yang dia miliki. 

"Beees!"

Senjata sakti itu hancur berkeping-keping di 

landa pukulan lawannya. Sinar tadi terus melabrak 

tubuh si Panjang Kumis yang sudah tiada memiliki 

daya apa-apa.

"Bruaaak!"

Tiada terdengar lolongan atau pun rintihan. 

Tubuh yang sudah tiada bernyawa itu terhempas begi-

tu saja, dengan keadaan yang sangat menggenaskan. 

Sepasang Walet Merah saling pandang, dan sama-

sama tersenyum puas.

"Baiknya mulai saat sekarang kita menuju Bu-

kit Siluman sekalian membuat markas di sana...!"

"Ayolah...!" Dewi Ratna Juwita langsung men-

gangguk setuju, lalu keduanya segera melangkah pergi 

menuju Bukit siluman.


DELAPAN


Mengandalkan ajian Sepi Angin Pendekar Hina 

Kelana terus berlari-lari tanpa pernah perduli dengan 

suasana di sekelilingnya. Sementara di belakangnya 

Dewi Ratih merasa kewalahan mengikuti cara lari pe-

muda berwajah tampan ini yang begitu cepat laksana 

terbang. Walaupun saat itu Ratih telah mengerahkan 

segenap kemampuannya untuk mengimbangi ilmu lari 

yang dimiliki oleh Buang Sengketa, tapi tetap saja ga-

dis itu tertinggal jauh. Napas si gadis terasa memburu 

tidak beraturan. Dia merasakan tubuhnya sangat letih 

sekali.

"Kakang...!" panggilnya di sela-sela tarikan na-

fasnya yang memburu. Buang Sengketa sejenak la-

manya menoleh ke belakang.

"Ada apa Ratih...?" tanyanya serta merta dia 

mengurangi kecepatan larinya.

"Berhentilah, Kakang! Kau lari bagaikan hem-

busan angin, kalau terus menerus begitu sebentar lagi 

nafasku bisa putus!" keluh si gadis.

"Bukankah tadi kau yang mengajakku berlari-

lari?"

"Ya... ya... tapi aku tak menyangka kau memili-

ki kemampuan lari yang segila itu...!" dengus Dewi Ra-

tih, saat itu dia sudah berhenti berlari dan mulai berja-

lan sebagaimana biasa. Buang menjadi tak tega untuk 

membiarkan gadis itu berjalan di belakangnya. Maka 

pemuda ini pun ikut-ikutan berjalan.

"Kita telah mencari Kakang Bagas Salaya dan 

Kak Dewi Ratna Juwita ke mana-mana, Kakang! Tapi 

tampaknya mereka berpindah-pindah!!" desah Dewi 

Ratih sembari melirik pada Buang yang secara diam-

diam dikaguminya itu.


"Semakin lama aku bertahan di daerahmu ini 

aku merasa semakin perihatin! Ketika kita pergi menu-

ju Lembah Panggang untuk menjumpai sahabat al-

marhum eyangmu bukan keterangan yang kita dapat, 

sebaliknya berita duka tentang kematian si Rambut 

Kelabu yang kita peroleh. Demikian juga ketika kita 

menuju Lembah Selaksa Mayat, kita tak menjumpai si 

Panjang Kumis, ketika dalam perjalanan, kita justru 

menjumpai mayat Si Panjang Kumis yang sudah ham-

pir membusuk...!" desahnya seperti tak bersemangat.

"Apakah kakang yakin, Sepasang Walet Merah-

lah pelaku pembunuhan itu?" tanya si gadis was-was. 

Buang Sengketa tampak kerutkan alisnya begitu men-

dengar apa yang dikatakan oleh Dewi Ratih. Jika meli-

hat luka-luka yang di derita oleh si Panjang Kumis, 

memang tak dapat disangkal bahwa semua itu akibat 

perbuatan Sepasang Walet Merah, luka-luka itu benar-

benar sangat jauh berbeda dengan luka yang dialami 

oleh Nyi Sumirah dan ketiga orang muridnya. Itu be-

rarti pembunuhan yang terjadi atas diri tokoh golongan 

putih itu dilakukan oleh orang yang berbeda. Mung-

kinkah pembunuhan atas diri si Rambut Kelabu ada 

hubungannya dengan Sepasang Walet Merah? Kalau 

memang ternyata benar, itu sama artinya bahwa Sepa-

sang Walet Merah kini sudah memiliki sekutu. Siapa

pun adanya orang itu, Buang merasa yakin mereka 

pasti berasal dari golongan sesat.

"Kakang! Mengapa engkau malah diam saja?" 

selak si gadis menyadarkan si pemuda dari lamunan-

nya.

"Ee...! Tidak, aku hanya merasa sedih atas ke-

matian si Rambut Kelabu dan si Panjang Kumis!" 

"Dan kau merasa yakin bahwa Sepasang Walet 

Merahlah pelakunya?" desak Dewi Ratih merasa tidak 

sabaran lagi.


"Kemungkinan itu ada, tapi tidak keseluruhan-

nya benar."

Dewi Ratih merasa tidak mengerti dengan kata-

kata si pemuda, bahkan selama beberapa hari ini 

Buang Sengketa sering banyak berdiam diri bila di-

bandingkan dengan hari-hari biasanya. Juga dia tidak 

mengerti apa yang menyebabkannya.

"Apakah maksudmu, Kakang...?"

"Sebelum Nyi Sumirah dikuburkan beberapa 

hari yang lalu, tidakkah kau melihat luka-luka bekas 

cakaran seperti binatang buas ataupun monyet hu-

tan?"

"Ya... aku melihatnya...!"

"Aku merasa si Rambut Kelabu tewas di tangan 

orang yang memiliki semacam ilmu binatang, walau 

memang tak kupungkiri bekas luka akibat pukulan te-

naga dalam memang tak bisa dianggap enteng! Nah 

sedangkan mengenai kematian si Panjang Kumis Gong 

Akherat, aku merasa yakin Sepasang Walet Merahlah 

pelakunya!"

"Apa alasan kakang bisa mengatakan demi-

kian?" 

Pendekar Hina Kelana tersenyum pias, dalam 

hati dia mengakui bahwa sesungguhnya Dewi Ratih 

merupakan gadis yang lugu dan masih hijau pengala-

man.

"Masih ingatkah kau tentang kematian ketua 

begal yang tewas di tanganmu?" tanya si pemuda seo-

lah-olah mengingatkan.

"Ya, masih...!"

"Tubuh orang itu melepuh dan membiru, se-

dangkan waktu itu kau mempergunakan Batu Walet 

Merah. Keadaannya sama seperti apa yang dialami 

oleh penguasa Lembah Putus Nyawa!" 

Dewi Ratih mengangguk-anggukkan kepalanya:


"Benar juga pendapatmu itu kakang...!"

"Lalu apa yang kita lakukan...?" 

Setelah mencari ke sana kemari kita tidak bisa 

mendapatkan jejak Sepasang Walet Merah, mungkin 

ada baiknya kalau kita pergi ke Bukit Siluman!"

"Mengapa harus ke sana? Tempat itu tak lebih 

hanya merupakan makam para leluhur kami!"

"Justru tempat itu merupakan kuburan para le-

luhurmulah maka ada kemungkinan mereka mulai 

membangun markas di sana!"

"Baiklah aku selalu percaya padamu, moga-

moga saja dugaan kakang tidak meleset!" kata Dewi 

Ratih mengalah.

Beberapa saat kemudian tanpa banyak basa 

basi lagi Buang Sengketa dan Dewi Ratih sudah beran-

jak meninggalkan tempat itu. Namun baru beberapa 

saat saja mereka meninggalkan tempat itu, mendadak 

terdengar suara bentakan-bentakan di belakang mere-

ka. Belum lagi suara bentakan-bentakan tadi lenyap 

sama sekali. Tampak berkelebat beberapa sosok tubuh 

yang langsung menghadang jalan di depan mereka.

Sejenak Buang Sengketa dan Dewi Ratih terpa-

ku di tempatnya. Sorot mata si pemuda yang begitu ta-

jam menusuk, dalam waktu se bentar saja sudah da-

pat menduga bahwa para penghadang itu mempunyai 

maksud-maksud yang tak baik. 

"Ha... ha... ha...! Seorang pemuda gembel berja-

lan dengan seorang nona cantik! Hendak kemana-

kah...?" 

"Muka Monyet, atau tepatnya monyet yang 

mampu berkata-kata. Sedangkan laki-laki dan perem-

puan itu juga sebelumnya aku tak pernah melihat 

tampang mereka. Sedikit banyaknya aku harus tau 

siapa mereka ini!" membatin Pendekar Hina Kelana.

"Kampret! Mungkin kedua orang ini merupakan


jenis manusia tuli, kawan-kawan?" kata si Monyet Hi-

tam yang memiliki badan paling gemuk dibandingkan 

ketiga orang kawannya.

"Kisanak! Sungguh sopan sekali bicaramu, be-

gitu datang langsung bicara tak karuan...?" selak si 

pemuda merasa kurang senang melihat tingkah si Mo-

nyet Hitam.

"Ah... ah... sopan santun! Rupanya sopan san-

tun saja aku tak pernah tau. Pula masihkah manusia 

hina sepertimu memerlukan segala macam perada-

tan...?" tanya si Monyet gemuk dengan sunggingkan 

senyum mengejek.

"Kakang Kelana, mendengar suaranya tak sa-

lah! Dialah yang telah merampas Batu Walet Merah 

malam itu...!" teriak Dewi Ratih tiba-tiba. Selain Buang 

Sengketa, keempat orang itu juga tak kalah terkejut-

nya. Wajah mereka mendadak pucat pias bagai tak 

memiliki darah lagi. Untuk menutupi rasa malu mere-

ka, mendadak suami istri Maling Durjana membentak: 

"Bocah! Mulutmu lancang sekali, bertemu mu-

ka dengan kalian saja baru kali ini, bagaimana mung-

kin kau bisa menuduh kami telah merampas sesuatu 

yang tidak kami ketahui sama sekali...!"

"Dia benar-benar ingin mencari penyakit ka-

wan-kawan..." tukas si Monyet kurus ikut menimpali. 

"Benarkah mereka ini? Apakah kau tak salah 

duga Ratih?" tanya Buang Sengketa tampak berubah 

paras mukanya.

"Tidak salah! Aku cukup tanda dengan suara 

manusia Monyet Hitam ini...!" kata Dewi Ratih ber-

sungguh-sungguh.

"Hei... siapakah engkau ini, sejak tadi bicaramu 

ngelantur tiada menentu. Kami benar-benar tak men-

gerti apa yang kau maksudkan!" sergah si Monyet kurus.


"Di dunia ini mana ada maling yang mau men-

gakui perbuatannya...!" sentak Pendekar Hina Kelana 

tampak sudah tidak sabaran lagi.

"Keparat! Kau benar-benar sangat keterlaluan 

sekali!" Sejenak dia memandang pada ketiga orang ka-

wannya. Lalu

"Anak-anak! Ringkus bajingan dan gadis itu!" 

teriak si Monyet Hitam yang memiliki badan gemuk.

"Tak perlu beramai-ramai, biarkan kami berdua 

yang menangkapnya hidup-hidup." Tukas istri Maling 

Durjana! Seraya melangkah satu tindak dan mulai 

bersiap-siap membangun serangan.

"Ho'oh! Biar kita berdua saja yang meringkus-

nya! Kau yang pemuda gembel itu, dan aku meringkus 

yang perempuan!" kata suami si Maling Durjana me-

nimpali. Tapi sebelum mereka bertindak, istri Maling 

Durjana membentak garang pada suaminya, agaknya 

dia merasa cemburu.

"Kurang ajar, kau suamiku! Tidak bisa seenak 

perutmu saja, biar aku yang meringkus gadis itu, se-

dangkan kau yang membekuk pemuda gembel di de-

panmu!"

"Baiklah... baik... aku menurut saja...!"

"Kalian harus bisa meringkusnya tidak lebih 

dari sepuluh jurus, kalau tidak terpaksa si Monyet Hi-

tam bersaudara ikut turun tangan...!" kata si Monyet 

kurus langsung menonton pertarungan itu dengan ja-

rak yang tidak begitu jauh.

Tampaknya Dewi Ratih dan Buang Sengketa 

merasa sudah tak sabaran lagi untuk melakukan ge-

brakan-gebrakan serangannya. Terbukti begitu tubuh-

nya melompat ke depan lawannya dia langsung menge-

rahkan jurus silat tangan kosong ‘Membendung Ge-

lombang Menimba Samudra’. Sebaliknya Dewi Ratih 

lebih awal lagi telah menyerang istri si Maling Durjana


dengan jurus silat yang terdapat pada lima kitab milik 

Padepokan Bukit Berkabung. Di bandingkan dengan 

Dewi Ratna Juwita dan Bagas Salaya, maka tingkat

kepandaian Dewi Ratih lebih tinggi lagi, justru karena 

dia berhasil mempelajari kelima kitab itu sampai pada 

tingkatannya yang terakhir yaitu tingkat yang ketujuh. 

Sebaliknya istri Maling Durjana bukanlah bocah kema-

rin sore yang baru terjun di dalam rimba persilatan. 

Selama sepuluh tahun mereka malang melintang di 

dunia persilatan dengan senjata andalannya yang be-

rupa kipas warna hitam telah begitu banyak korban-

korban berjatuhan, di tangannya, selama ini hanya si 

Kakek Tinggi Besar yang berkuasa di Maliau dan Ta-

ruak saja yang tak pernah mampu mereka hadapi ber-

dua.

Seperti diketahui Gada Wisa masih merupakan 

saudara seperguruan mereka yang paling tua. Yang 

pasti memiliki ilmu silat yang tinggi, di samping senja-

tanya yang berupa gada itu sangat berbahaya sekali 

bagi lawan-lawannya. Sebelum gurunya meninggal, 

suami istri Maling Durjana mendapat tugas untuk 

mengambil gada pusaka itu dari tangan si Gada Wisa 

yang telah melarikannya selama hampir lebih dari lima 

belas tahun. Dengan senjata berupa gada yang besar-

nya tak lebih dari ibu jari itu dia berhasil membentuk 

sebuah gerombolan yang menamakan dirinya sebagai 

Gerombolan Sinar Kayangan. Kalau pun mereka yang 

sebenarnya memiliki ilmu tangguh tapi kemudian me-

milih bergabung dengan Sepasang Walet Merah hal itu 

bukan berarti ilmu mereka di bawah ilmu Sepasang 

Walet Merah. Sama sekali tidak. Mereka melakukan itu 

adalah karena Sepasang Walet Merah meskipun tidak 

berilmu tinggi, namun memiliki senjata andalan yaitu 

berupa sepasang Batu Walet Merah yang mereka perki-

rakan dapat menandingi Gada Wisa. Dengan cara ber


gabung seperti itu cepat atau lambat mereka berharap 

dapat mempengaruhi Sepasang Walet Merah untuk 

melakukan penyerangan terhadap gerombolan Sinar 

Kayangan yang berkuasa di Daerah Maliau dan Ta-

ruak. Wajar saja kalau kemudian mereka bersikap pa-

tuh dan tunduk di bawah perintah Sepasang Walet 

Merah, termasuk juga menjalankan tugas-tugas pent-

ing, yaitu mencuri atau lebih tepatnya merampas Batu 

Walet Merah yang satunya lagi dari tangan Dewi Ratih, 

melakukan pembunuhan terhadap tokoh-tokoh golon-

gan putih termasuk juga dalam membinasakan si 

Rambut Kelabu penguasa lembah Panggang.

Tapi mereka sama sekali tiada menyangka ka-

lau dalam perjalanannya menuju Bukit Siluman guna 

menemui pemimpin mereka di tengah jalan mereka 

bertemu dengan Pendekar Hina Kelana dan seorang 

gadis yang pernah mereka tinggalkan di tengah-tengah 

hutan pinus beberapa waktu yang lalu. Siapa pun 

adanya gadis itu, keempat orang itu sudah merasa ya-

kin bahwa sebenarnya dia masih merupakan keturu-

nan Padepokan Bukit Berkabung. Sedangkan si pemu-

da menurut anggapan mereka tentu juga memiliki ke-

pandaian yang tiada seberapa. Dengan keyakinan se-

perti itu mereka merasa cukup untuk dihadapi satu 

lawan satu. Tetapi setelah menyaksikan pertarungan 

yang sedang berlangsung, jurus demi jurus baik dua 

bersaudara Monyet Hitam dari Gunung Beruk, mau-

pun suami istri si Maling Durjana mau tak mau harus 

membuka mata demi melihat kenyataannya bahwa si 

pemuda berpakaian kumuh dekil dengan sebuah pe-

riuk besar menggelantung di pinggangnya itu ternyata 

memiliki kepandaian yang tinggi. Terbukti walau pun 

sejauh itu si pemuda belum pernah membalas setiap 

serangan yang dilakukan oleh suami Maling Durjana, 

namun tak satu pun pukulan manusia maling itu yang


mengenai.

***

SEMBILAN



Walaupun mereka menyadari bahwa si pemuda 

tak mungkin mampu dirobohkan oleh kawannya tetapi 

Monyet Hitam bersaudara tak ingin mempermalukan 

kawannya dengan cara melakukan pengeroyokan. Pula 

Maling Durjana masih kelihatan belum keteter. Demi-

kian sambil menyaksikan pertarungan yang sedang 

berlangsung, Monyet Hitam bersaudara mempelajari 

dan mencari titik kelemahan jurus-jurus yang dimain-

kan oleh Buang Sengketa. Tapi mereka akhirnya men-

jadi puyeng sendiri, karena pada dasarnya jurus-jurus 

silat yang dimainkan oleh si pemuda senantiasa beru-

bah-ubah.

"Heaat...! Haiiiit... Shaaaa...!"

Saat itu Buang Sengketa yang telah banyak 

memberi kesempatan pada suami Maling Durjana 

tampaknya sudah tidak sabaran lagi. Setelah memper-

gunakan jurus Membendung Gelombang Menimba 

Samudra. Kini dia merobah jurus silatnya dengan ju-

rus 'Si Gila Mengamuk'. Mempergunakan jurus ini, 

permainan silat Pendekar Hina Kelana berobah secara 

total. Kalau tadinya dia mengandalkan kecepatan ge-

rak dengan memutar kedua tangannya membentuk 

sebuah benteng pertahanan, maka kini tubuhnya tam-

pak seperti limbung dan hendak tersungkur. Gerakan 

silatnya kacau tak beraturan, terkadang terhuyung-

huyung bagai orang yang mabuk berat. Sempoyongan 

ke depan dan ke belakang, miring kiri dan ke kanan. 

Justru dengan begitu tak satu pun serangan-serangan


yang dibangun oleh suami Maling Durjana yang men-

genai sasarannya. Laki-laki berpakaian hitam dan 

kuning ini tampaknya sangat gusar sekali, padahal 

saat itu dia telah mempergunakan jurus 'Maling Tidur 

di Rumah Janda Kesiangan'. Selama ini tak seorang 

pun lawan-lawannya mampu mengelakkan serangan-

serangannya yang terkenal cepat dan ganas. Namun 

sekarang jurus andalan itu dipergunakan untuk me-

nyerang si pemuda, rasa-rasanya dia kena batunya 

dan mati kutu. Bagaimana tidak, secepat mana pun 

gerakan tangan dan kakinya melancarkan tendangan 

dan pukulan, namun tetap saja dia tak mampu me-

mukul lawannya, jangankan memukul menyentuh 

rambutnya saja dia tidak mampu. Hingga pada satu 

kesempatan tubuhnya melompat bagai orang yang 

hendak terjatuh. Kirimkan satu tendangan mengarah 

pada bagian selangkangan, sedangkan tangan kanan-

nya mengancam pada bagian dada. Menyadari adanya 

ancaman bahaya seperti itu, suami Maling Durjana 

membanting tubuhnya sambil memaki. Satu sapuan 

telak yang mendatangkan angin bersiuran mampu di-

elakkan oleh pemuda itu malangnya satu jotosan tak 

mampu dia elakkan dengan baik.

"Buuuk!"

"Aghhk...!"

Suami Maling Durjana keluarkan jeritan terta-

han. Dadanya yang terserempet tinju lawannya terasa 

berdenyut-denyut sakit. Bahkan di bagian itu terasa 

sesak dan nyeri. Kiranya Maling Durjana ini memiliki 

daya tahan yang lumayan. Terbukti seperti tak mera-

sakan pukulan yang menghantam tubuhnya, secepat 

dia jatuh secepat itu pula dia telah bangkit kembali.

"Sreet!"

Kipas berwarna hitam yang terselip di ping-

gangnya tercabut sudah. Sejenak di pandanginya pe


muda yang menjadi lawannya itu dengan tatapan seo-

lah tak percaya, kemudian dengan suara menggeledek 

dia membentak. 

"Bocah! Mungkin kau manusia yang hebat, tapi 

berhadapan dengan Maling Durjana jangan kau berha-

rap bakal menang! Sebelum kematianmu, katakanlah 

siapa kau ini agar kami mudah menuliskannya di batu 

nisanmu nanti...!" selak si Maling Durjana berapi-api! 

Pendekar Hina Kelana hanya senyum-senyum 

di kulum menanggapi kata-kata Maling Durjana. Ting-

kah si pemuda itu sudah barang tentu membuat suami 

Maling Durjana menjadi berang. 

"Kuperingatkan padamu sekali lagi, katakanlah 

siapa namamu agar kau tak mati penasaran...!" bentak 

Maling Durjana sambil katupkan rahang rapat-rapat.

"Ha... ha... ha...! Segala maling comberan saja 

coba-coba menggertakku. Hemm! Kalau! kalian ingin 

tahu siapa aku, inilah orangnya si Hina Kelana...!" 

ucap Buang Sengketa tanpa ada memiliki maksud un-

tuk membanggakan diri. Bukan suami istri Maling 

Durjana saja yang tampak terkejut, sebaliknya dua 

Bersaudara Monyet Hitam juga menunjukkan hal yang 

sama. Sungguh pun selama ini mereka hanya men-

dengar sepak terjang pendekar yang namanya kesohor 

sampai di pelosok-pelosok rimba persilatan yang san-

gat jauh. Tapi menurut cerita yang mereka dengar, 

pendekar yang memiliki banyak keanehan dengan il-

mu-ilmu saktinya itu tak pernah mengenal kompromi 

dalam membasmi golongan sesat. Bahkan pendekar itu 

akan menjadi sangat berbahaya sekali dengan pusaka 

Golok Buntung dan Cambuk Gelap Sayuto di tangan-

nya.

Namun mereka juga menjadi sedikit ragu, be-

narkah Pendekar Hina Kelana berpenampilan mirip 

seorang gembel hina dengan segala periuk yang meng


gelantung di pinggangnya itu. Kalau memang benar, 

itu sama saja artinya mereka hari ini benar-benar telah 

berhadapan dengan hantu rimba persilatan.

"Kawan-kawan! Jangan percaya dengan segala 

bualannya, bocah gemblung anaknya gembel ini hanya 

mengaku-ngaku. Percayakah kalian tampangnya pen-

dekar Golok Buntung seperti ini? Dia kira kalau men-

gaku sebagai Pendekar Hina Kelana kita akan per-

caya...!", kata Dua Bersaudara Monyet Hitam untuk 

memberikan semangat pada suami istri Maling Durja-

na yang hampir lenyap keberaniannya.

"Aha... hak... hak...!" Buang tertawa lepas. "Ku-

pertaruhkan nyawa untuk menyeberangi laut, meram-

bah belantara dan mendaki gunung. Apa artinya aku 

mengaku sebagai Pendekar Hina Kelana, kalau bukan 

kejahatan yang harus sirna!" bentak pemuda keturu-

nan Raja Bunian itu sembari memandang tajam pada 

keempat lawan yang kini juga sudah menghentikan 

pertarungan.

"Hemm... siapa mau percaya dengan omon-

ganmu, budak gembel! Terkecuali kau mampu menun-

jukkan pusaka Golok Buntung dan Cambuk Gelap 

Sayuto di hadapan kami!" ujar istri Maling Durjana 

meragu.

"Permintaan yang sama juga pernah mereka 

ajukan padaku! Sayang... mereka tak pernah melihat 

kehebatan golok itu terkecuali merasakan ketajaman-

nya...!" tukas Buang Sengketa dingin.

"Kau hanya seorang pembual besar! Mana 

mungkin kami percaya begitu saja terhadap segala 

macam omonganmu!" bantah si Monyet Gemuk, sambil 

berkata dia langsung maju dua tindak

"Bagus! Aku memang tak pernah mengharap 

segala kepercayaan dari orang-orang sebangsa monyet 

seperti kalian. Nah sekarang tunggu apa lagi, kalian


bertiga, maling keparat dan dua ekor Monyet Hitam 

majulah secara bersama-sama...!" tantangnya merasa 

tidak sabar lagi. Sebaliknya ketiga orang itu menjadi 

panas juga hatinya mendapat tantangan seperti itu. 

"Kau terlalu jumawa bocah gombal amoh! Jan-

gan salahkan kami andai dalam tiga gebrakan di muka 

kau terkapar menjadi bangkai...!" selak si Monyet Ku-

rus.

"Wei... malah bagus, aku pun jadi ingin melihat 

siapa di antara kalian yang mempergunakan kuku 

panjang dalam bertarung nanti. Dengan begitu tak su-

sah-susah bagiku untuk menentukan hukuman bagi 

pembunuh si Rambut Kelabu...!"

"Tak perlu melihat nanti, kalau kau ingin tahu, 

kamilah orangnya...!" jawab si Monyet Gemuk. Selan-

jutnya tanpa memberi kesempatan lagi pada Buang 

Sengketa untuk berbicara, dia langsung membuka ju-

rus-jurus mautnya. Pertarungan kini menjadi semakin 

seru dengan turunnya Monyet Hitam Bersaudara.

Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratih 

dengan istri Maling Durjana juga berlanjut kembali. 

Kalau tadinya masing-masing lawan bertarung dengan 

mempergunakan jurus silat tangan kosong, maka kini 

mereka mengeluarkan senjata masing-masing. Di ten-

gah-tengah berdentingnya senjata itu, sekali dua pu-

kulan-pukulan maut pun mereka lepaskan.

"Ciaaat...!"

"Wuuus!"

Senjata kipas di tangan istri Maling Durjana 

menderu mengincar bagian kepala dan perut Ratih, 

sebaliknya dengan mempergunakan pedangnya Ratih 

berusaha mematahkan serangan kipas di tangan la-

wannya. Satu tendangan mempergunakan kaki kanan 

dilakukan oleh gadis itu menyertai sabetan pedang di 

tangannya.


"Preeet! Traaang!"

"Duuuk!"

Ketika dua senjata itu saling berbenturan, satu 

tendangan kaki yang datangnya laksana kilat terlepas 

dari perhatian istri Maling Durjana. Tubuh perempuan 

berusia lima puluhan itu terbanting dan terguling-

guling di atas tanah. Sementara Ratih sendiri dapat 

merasakan betapa akibat beradunya dua senjata tadi 

tangannya menjadi sakit dan terasa kesemutan. Tu-

buhnya juga tergetar dengan wajah sedikit memucat. 

Lain lagi halnya yang dirasakan oleh istri Maling Dur-

jana. Dia hanya merasa perutnya yang tertendang kaki 

lawannya terasa mules, mual dan mau muntah. Se-

dangkan pada bagian tangannya hanya terasa kesemu-

tan, dan itu pun kejab kemudian telah lenyap sama 

sekali. Istri Maling Durjana secepatnya bangkit kemba-

li. Lalu disalurkannya tenaga dalam ke arah bagian 

tangan kirinya. Saat itu dia sudah bersiap-siap untuk 

melepaskan pukulan 'Maling Bangsawan Menggebuk 

Pengemis Kelaparan'.

"Wuuus!"

Serangkum gelombang berwarna kuning men-

deru, menghadapi pukulan yang mengandung seten-

gah dari tenaga dalam yang dimiliki oleh istri maling 

durjana sebagai gadis yang masih hijau dalam dunia 

persilatan tak banyak yang dapat dilakukannya terke-

cuali memutar pedangnya untuk melindungi diri. Hal 

ini benar-benar dapat membahayakan keselamatan 

Dewi Ratih. Sebab selain pukulan itu mengandung 

hawa dingin juga di dalamnya terkandung racun yang 

sangat ganas. Masih untung, Buang Sengketa yang se-

jak tadi sembari bertempur melawan Monyet Hitam 

Bersaudara dan suami maling durjana masih sempat 

mengawasi jalannya pertarungan antara Ratih dan istri 

Maling Durjana. Pemuda itu sambil berkelit menghindar cakaran dan sabetan kipas yang datang, dia le-

paskan pukulan Empat Anasir Kehidupan untuk 

membantu Dewi Ratih.

Semua yang sedang melakukan pengeroyokan 

atas diri si pemuda nampak sangat terkejut sekali. Se-

dikit pun mereka tiada menyangka kalau sedang da-

lam keadaan bertempur menghadapi lawan yang rata-

rata memiliki ilmu tinggi, si pemuda masih mampu 

melepaskan pukulan demi untuk membela Dewi Ratih 

yang sedang menghadapi bahaya yang sangat besar 

itu. Serangkum gelombang berwarna Ultra Violet tak 

pelak lagi menyongsong pukulan yang dilepaskan oleh 

istri Maling Durjana. Perempuan berusia lima puluhan 

itu mengeluarkan seruan tertahan saat mana samba-

ran angin pukulan menerpa bagian bahunya.

"Blaam...!"

Satu letupan keras terdengar ketika dua puku-

lan maut itu saling bertemu di udara. Bumi tempat 

mereka berpijak terasa bergetar, tubuh istri Maling 

Durjana terpelanting roboh. Saat itu dari hidung dan 

bibirnya meleleh darah segar, dengan susah payah dia 

berusaha bangkit, namun sebelum perempuan itu da-

pat berdiri tegak pada posisinya, Dewi Ratih telah 

memburunya dengan pedang terhunus, satu jurus pe-

dang tingkatan ketujuh yang terdapat pada kitab keli-

ma dia mainkan. Istri Maling Durjana yang saat itu 

sudah dalam keadaan terluka parah hanya sempat 

membuang tubuhnya ke samping. Namun pedang di 

tangan Ratih bagai bermata saja layaknya terus mem-

buru dirinya.

"Haiiiiit!"

"Jrooos! Aggrhk!"

Istri Maling Durjana langsung terkulai tewas 

sesaat setelah mata pedang di tangan Dewi Ratih 

menghunjam dadanya.


Kematian sang istri sudah barang tentu mem-

buat suami Maling Durjana menjadi kalap. Begitu tu-

buh Buang tersungkur saat bentrok dengan pukulan 

yang dilepaskan oleh istrinya, maka dengan senjata 

mautnya yang berupa sebuah kipas warna hitam dia 

langsung melakukan satu lompatan sembari hantam-

kan kipasnya ke arah bagian punggung lawannya.

"Craaak...!"

Buang Sengketa menyeringai menahan sakit 

ketika merasakan sambaran kipas itu merobek kulit 

punggungnya. Tapi dia sudah tak menghiraukan rasa 

nyeri itu, sambil terus berguling-guling dia berusaha 

menghindari sergapan-sergapan yang dilakukan oleh 

ketiga lawannya. Lagi-lagi sambaran kipas di tangan 

suami Maling Durjana mengancam pada bagian kepa-

lanya.

Dalam keadaan kritis seperti itu, Dewi Ratih 

datang membantu. 

"Traaang...!"

"Jahanam...!" maki suami Maling Durjana men-

getahui serangannya dapat dipatahkan oleh Dewi Ra-

tih. Pertarungan dua lawan satu pun langsung terjadi, 

tiba-tiba tubuh Buang Sengketa tanpa terduga-duga 

nampak meletik ke udaranya.

"Adik Ratih! menyingkirlah jauh-jauh!" berte-

riak Pendekar Hina Kelana masih dalam keadaan ber-

jumpalitan. Dewi Ratih cepat-cepat menyingkir. Saat 

itu dengan disertai satu raungan keras, pendekar dari 

negeri Bunian itu hantamkan tangan kanannya. Satu 

gelombang pukulan yang memancarkan sinar merah 

menyala melesat dengan disertai suara bergemuruh 

bagai badai angin ribut. Tak salah lagi saat itu Buang 

sedang melepaskan pukulan Si Hina Kelana Merana.

***

SEPULUH


Tampaknya ketiga orang itu menyadari dengan 

akibat yang mungkin ditimbulkan akibat pukulan yang 

dilepaskan oleh pihak lawannya. Yang membuat ketiga 

orang ini menjadi terkejut adalah karena sesaat setelah 

pukulan maut itu terlepas, mendadak pukulan 'Si Hina 

Kelana Merana' membelah menjadi tiga bagian. Dan 

masing-masing bagian yang terbelah itu menghajar ke 

arah lawannya. Berbuatlah masing-masing lawan den-

gan segenap kemampuan yang ada demi menyela-

matkan jiwa masing-masing. Suami Maling Durjana 

cepat-cepat memutar kipas mautnya, sementara Mo-

nyet Hitam Bersaudara melepaskan satu pukulan yang 

diberi nama 'Sepuluh Menuju Jalan Kematian'. Begitu 

kedua tangan bergerak melambai, tak ampun lagi 

menderulah satu gelombang angin topan yang sangat 

kencang sekali. Pakaian maupun rambut si pemuda 

tampak melambai-lambai di terpa gelombang pukulan 

yang dilakukan oleh Dua Monyet Hitam Bersaudara.

"Dweeer! Dweer...!"

Empat tubuh dari mereka yang sedang berta-

rung itu tampak berpentalan ke berbagai tempat. Ber-

temunya tiga tenaga sakti yang telah dilepaskan oleh 

masing-masing lawan, membuat Dua Bersaudara Mo-

nyet Hitam merasakan tubuhnya bagai remuk, sekali 

saja dia terbatuk, maka menggelogoklah darah kental 

dari mulut mereka. Sementara suami Maling Durjana 

yang mempergunakan senjata kipas hitam nya sebagai 

perisai tampak merangkak berusaha bangkit, sedang-

kan kipas di tangannya hancur berkeping-keping. Ti-

dak terkecuali Pendekar Hina Kelana.

"Celaka...! Mereka benar-benar tiga orang lawan 

yang cukup berarti bagiku! Tampaknya aku tak punya


pilihan lain untuk menandingi mereka terkecuali 

mempergunakan pusaka Golok Buntung...!" batin pen-

dekar ini seraya seka darahnya yang mengalir memba-

sahi bibir dan pakaiannya.

"Kampreeeet... ternyata kau merupakan seo-

rang pendekar yang memiliki kemampuan yang sangat 

hebat. Tapi rasakan ini...!" kata si Monyet Hitam. Lalu 

cepat-cepat rogoh saku bajunya dan melemparkan se-

buah benda berbentuk bulat. Benda itu langsung me-

ledak begitu menyentuh tubuh Pendekar Hina Kelana.

"Buuum...!"

Asap tebal sekejap saja menyelimuti diri si pe-

muda, lalu dalam gumpalan asap itu terdengar suara 

terbatuk-batuk.

"Kakang...!" pekik Dewi Ratih demi melihat ba-

haya yang sedang mengancam diri pemuda itu. Ratih 

menyadari apa yang akan terjadi andai sampai si pe-

muda tak sadarkan diri. Tapi para lawannya yang ta-

dinya sempat menarik nafas lega, akhirnya menjadi 

sangat terkejut begitu mendengar suara gelak tawa 

yang berasal dari gumpalan kabut tadi.

"Ahaa... ha... ha...! Sialan ini bau asap pembius 

apa kentut kuda... wah kalian kira aku bisa kelenger 

dengan segala asap pembius yang tiada berguna ini...!" 

selak Pendekar Hina Kelana. Sungguh pun dia tertawa 

tergelak-gelak, tapi sebenarnya kesabaran yang dia mi-

liki telah sampai pada puncaknya. Kedua matanya pun 

telah berubah memerah saga, sementara dari sela-sela 

bibirnya memperdengarkan bunyi mendesis bagai ular 

pi-ton yang sedang dilanda kemarahan.

"Sriiing...!"

Sekali tangannya meraba pada bagian ping-

gangnya, maka senjata Golok Buntung itu pun terca-

but dari sarungnya. Kejab itu juga terlihat sinar merah 

menyala dari senjata andalan di tangan Buang Sengketa. Mereka menjadi lebih terkejut lagi ketika mereka 

merasakan udara di sekitarnya mendadak berubah 

dingin luar biasa. Tubuh mereka menggigil, namun se-

telah mengerahkan tenaga dalam yang mereka miliki, 

rasa dingin itu sedikit demi sedikit menjadi hilang, wa-

lau tidak dapat dikata hilang sama sekali.

"Kalian lihatlah apa yang ingin kalian lihat dari 

Pendekar Hina Kelana sebelumlah segala-galanya be-

nar-benar terlambat, persiapkan segala apa yang ka-

lian miliki...!" menggeram si pemuda. Sekejap kemu-

dian dengan disertai teriakan tinggi melengking, maka 

senjata di tangan Pendekar Hina Kelana berkelebat 

menyambar. 

"Nguuung...!"

Terdengar suara menggaung bagai auman sua-

ra pukulan harimau terluka saat sinar merah berkele-

bat menyambar. Kini sadarlah para lawan-lawannya 

bahwa saat itu mereka sedang berhadapan dengan 

Pendekar Golok Buntung. Tapi apa mau dikata, semu-

anya terasa jadi terlambat, senjata itu begitu ganas 

menyambar-nyambar bagaikan memiliki mata.

Tak ada jalan lain yang lebih baik bagi ketiga 

lawannya selain hanya bertahan dan berusaha menge-

lakkan setiap serangan-serangan yang datang. 

"Haiiit...!"

Teriak Pendekar Hina Kelana, sembari memper-

gunakan jurus si Jadah Terbuang laksana kilat dia 

melompat ganas ke depannya. Yang menjadi sasaran-

nya adalah suami Maling Durjana. Demi menyela-

matkan selembar nyawanya, Maling Durjana lepaskan 

satu pukulan mautnya. Tapi gerakan Golok Buntung 

di tangan si pemuda datang lebih cepat dari perhitun-

gannya.

"Creeess...!"

"Arggkh...!"



Suami Maling Durjana melolong panjang saat 

mana senjata di tangan Buang Sengketa membabat 

bagian dadanya. Dengan menderita luka babatan yang 

sangat dalam tubuh Maling Durjana terpelanting ro-

boh. Tubuhnya bersimbah darah, berkelejetan seben-

tar, kemudian diam untuk selama-lamanya.

Kini tinggallah Dua Bersaudara Monyet Hitam 

yang tampak tertegun-tegun memandangi mayat Mal-

ing Durjana.

"Monyet Hitam! Bersiap-siaplah untuk segera 

menyusul kawanmu...!" bentak si pemuda dengan ta-

tapan sinis.

"Kami akan mengadu jiwa denganmu, Hina Ke-

lana...!"

"Bagus! Majulah...!" tantang pemuda itu, seraya 

kembali bergebrak.

"Heiiik."

"Nguuung...!"

Dengan sangat nekad Dua Monyet Hitam Ber-

saudara memapaki serangan senjata di tangan lawan-

nya. Golok Buntung berkelebat menyambar.

"Crook! Craaas...!"

Tubuh kedua orang itu tampak berputar-putar 

bagai orang yang sedang bingung. Bagian dada dan 

kepala mereka hampir saja terbelah di landa ketaja-

man senjata Golok Buntung. Sebelum tubuh sesat itu 

ambruk ke bumi, sekali lagi senjata itu berkelebat ce-

pat

Tanpa ampun kedua Monyet Hitam langsung 

ambruk menggelosoh di atas rerumputan. Berkelojotan 

sebentar, lalu diam dengan jiwa melayang. Melihat ke-

matian lawan-lawannya, Buang menarik nafas pendek, 

kemudian dia menoleh dan memandang pada Dewi Ra-

tih yang segera berlari dari mendekat ke arahnya.

"Kakang! Selama ini kiranya kau merahasiakan


nama kebesaranmu! Tak, kusangka orang yang memi-

liki gelar besar Pendekar Hina Kelana engkaulah 

orangnya. Aku merasa sangat beruntung dapat ber-

jumpa dan bersama-sama denganmu!" ucap gadis itu 

sambil memandang sendu pada pemuda berwajah 

tampan itu.

"Sudahlah, tak perlu kau menyanjungku se-

tinggi langit! Tugas kita untuk mendapatkan Batu Wa-

let Merah dari tangan manusia terkutuk itu pun belum 

tercapai!" sela Buang Sengketa merana tak enak den-

gan sanjungan dan pujian yang diucapkan oleh Dewi 

Ratih.

"Jadi sekarang kita hendak kemana, Ka-

kang...?" 

Si pemuda tampak berpikir sebentar dan lang-

sung menyahut.

"Sudah kukatakan tak ada tempat yang aman 

bagi Sepasang Walet Merah, terkecuali di Bukit Silu-

man." 

"Tapi, bagaimana dengan mayat-mayat itu...?" 

tanya Ratih, sungguh pun mayat-mayat itu sebagai 

musuhnya, tapi dia merasa tak tega membiarkan 

mayat-mayat itu bergelimpangan begitu saja.

"Biarkan saja! Tokh di hutan ini masih banyak 

macan kelaparan yang membutuhkan santapan!"

"Kalau begitu kita secepatnya meninggalkan 

tempat ini, Kakang?"

"Lebih cepat justru malah lebih baik...!" ujar 

Buang Sengketa. 

***


SEBELAS


Ketika ketua Gerombolan Sinar Kayangan me-

rasa sudah tidak mempunyai pilihan lain lagi untuk 

bersikap menunggu secara terus-menerus. Maka saat 

itu dua hal yang selalu datang dalam benak Gada Wisa 

adalah bagaimana caranya mendapatkan Batu Walet 

Merah dan juga membalas kematian murid-muridnya 

di tangan Sepasang Walet Merah. Tunggu punya tung-

gu tak ada tanda-tanda kalau Sepasang Walet Merah 

mau datang ke Maliau dan Taruak, yaitu dua daerah 

yang menjadi kekuasaannya selama beberapa tahun 

belakangan ini. Akhirnya dia merasa kesal, dia pun 

memutuskan untuk meluruk Sepasang Walet Merah ke 

Bukit Siluman sebagai mana dilaporkan oleh murid 

utamanya si Cacing Kalung dan si Tanduk Maut yang 

diutus untuk melakukan penyelidikan. 

Setelah mengetahui titik lemah dan kekuatan 

yang dimiliki oleh Sepasang Walet Merah, maka be-

rangkatlah satu rombongan yang sangat besar, ber-

jumlah tak kurang dari empat puluh orang menuju 

Bukit Siluman. Karena mereka hampir keseluruhan-

nya mempergunakan kendaraan berkuda. Maka men-

jelang dua hari kemudian sampailah rombongan Ge-

rombolan Sinar Kayangan ini di Bukit Siluman. Kenya-

taannya Sepasang Walet Merah memang berada di sa-

na.

"Rombongan besar, merupakan orang-orang 

kasar! Apakah tujuan kalian menyambangi Bukit Si-

luman...!" tanya Sepasang Walet Merah, sesaat meneliti 

orang-orang yang hadir di situ.

"Heh...! Inikah kunyuknya yang menamakan di-

rinya sebagai Sepasang Walet Merah? Kudengar ka-

lianlah yang telah membunuh murid-muridku?" tanya


si Kakek Tinggi Semampai, lalu menatap tajam pada 

Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita. Walet Merah ter-

senyum mencibir, betapa pun mereka yakin dengan 

kemampuan yang mereka miliki, namun keduanya ju-

ga memperhitungkan jumlah lawan-lawannya sangat 

besar. Kakek Tinggi Besar dan dua orang lainnya ke-

mungkinan sekali memiliki kesaktian yang dapat dian-

dalkan

"Tak salah, kamilah Sepasang Walet Merah!" 

Si Gada Wisa tergelak-gelak mendengar penga-

kuan kedua muda mudi itu, lalu dia membuang pan-

dangan matanya jauh-jauh. Ke arah kerangka rumah 

di atas bukit kapur yang belum jadi. Hatinya saat itu 

membatin, "Mungkin di sinilah kedua pemuda itu akan 

membangun sebuah kekuatan baru". Setelah puas 

memandangi kerangka rumah tadi maka dia kembali 

memandang pada Sepasang Walet Merah.

"Bagus! Sebaiknya kalian menyerah kepada 

kami dan serahkan Batu Walet Merah yang ada pada 

kalian itu...!" perintah si Kakek Tinggi Besar.

"Hi... hi... hi...! Semudah itukah, Kakek tolol! 

Pantasnya malah kalianlah yang menyerah atau paling 

tidak bersekutu pada kami...!"

"Hah...! Bocah ingusan macam kalian mengajak 

bersekutu dengan aku, seorang penguasa di Maliau 

dan Taruak...?" ejek Gada Wisa

"Tak salah...!"

"Hemm! Kalau itulah yang kalian inginkan!" 

Kakek Tinggi Besar memandang pada para muridnya, 

lalu memberi perintah

"Anak-anak! Cincang kedua orang itu!" katanya 

tegas.

Begitu melihat aba-aba yang diberikan oleh gu-

runya, maka hampir empat puluh orang murid-murid 

Gada Wisa secara berlomba-lomba datang menyerbu.


Sepasang Walet Merah bukanlah orang yang takut pa-

da keroyokan, namun menghadapi jumlah yang sekian 

banyaknya, mau tak mau keduanya langsung kerepo-

tan.

***

Saat itu juga mereka sudah mencabut pedang-

nya masing-masing. Begitu pedang di tangan mereka 

berkelebat, tiga orang murid Gada Wisa menjerit ro-

boh. Tapi murid-murid dari Maliau dan Taruak ini me-

rupakan murid-murid yang tiada mengenal rasa takut, 

mengetahui kawannya tersungkur bermandikan darah, 

mereka menjadi semakin bertambah beringas. Dalam 

waktu sekejap terjadilah pertarungan sengit di bukit 

berkapur yang selama ini merupakan sebuah tempat 

yang sangat dikeramatkan oleh keturunan Padepokan 

Bukit Berkabung.

Korban di pihak murid kakek Gada Wisa, jurus 

demi jurus terus berjatuhan, sejauh itu Si Gada Wisa, 

Caring Kalung dan si Tanduk Maut hanya berdiri me-

nonton. Tapi tak lama kemudian Kakek Tinggi Tegap 

ini menoleh pada murid andalannya itu.

"Bantu mereka...!" perintahnya. Si Cacing Ka-

lung dan Tanduk Maut tanpa menunggu diperintah 

dua kali segera menghambur di arena pertempuran. 

Kemunculan dua orang murid utama itu membuat se-

gala-galanya berobah, kalau pertama tadi Sepasang 

Walet Merah dengan begitu mudahnya merobohkan 

lawan-lawannya yang sebenarnya memiliki kepandaian 

yang tidak seberapa tinggi ini, namun setelah si Cacing 

Kalung dan Tanduk Maut datang membantu. Maka se-

karang terlalu sulit bagi keduanya untuk menjatuhkan 

lawan-lawannya. Si Tanduk Maut dan Cacing Kalung 

dengan senjatanya yang berupa pedang bergerigi mirip


gergaji, tampak menyeruak menyongsong datangnya 

sambaran pedang di tangan Sepasang Walet Merah. 

Pedang bergerigi di tangan si Cacing Kalung dan Tan-

duk Maut datang menggebu, memapaki senjata di tan-

gan lawan yang meluncur deras ke arah bagian perut 

mereka. Satu sapuan kaki pun menyertai berkelebat-

nya senjata di tangan Walet Merah.

"Traaang! Buuuk!" 

"Ughk...!" 

Terlihat senjata di tangan masing-masing lawan 

tergetar hebat. Tetapi si Tanduk Maut dan Cacing Ka-

lung tak luput dari sambaran kaki Dewi Ratna Juwita, 

hingga mengakibatkan tubuh mereka terjengkang.

Sementara itu Bagas Salaya setelah mendapat 

isyarat dari Dewi Ratna Juwita dengan gerakan yang 

sangat gesit, segera membagi medan pertarungan men-

jadi dua bagian. Puluhan murid-murid Gada Wisa te-

rus meluruk ke arahnya dengan babatan senjata di 

tangan mereka. Sekali dua Bagas Salaya keluarkan 

tawa mengekeh, dia merasa bahwa lawan yang sedang 

dihadapinya bukanlah berarti apa-apa bila dibanding-

kan dengan kemampuan yang dia miliki. Akibatnya 

sering terlihat kelengahan-kelengahan yang tiada be-

rarti membuat dia menjadi rugi sendiri. Seperti pada 

satu kesempatan, dengan seenaknya saja dia memba-

bat lawan yang berada di depannya. Lawan itu roboh 

dengan tubuh bermandi darah, tapi dari belakangnya 

menyusul satu pukulan telak

"Buuuk!"

"Ahkk... kampreet...!"

Maki Bagas Salaya ketika tubuhnya tersungkur 

ke depan dengan bagian punggung terasa remuk. 

Tampaknya dia menjadi kalap atas kelengahannya 

sendiri. Tanpa ampun Bagas Salaya mengerahkan se-

bagian tenaga dalamnya ke arah bagian jemari tangannya.

Detik selanjutnya tubuh pemuda itu mengge-

letar, wajahnya berubah menjadi kemerah-merahan. 

Bagas Salaya menyadari apa artinya dia mengerahkan 

tenaga ke arah bagian jemari tangannya itu. Memang 

tak dapat disangkal kalau saat itu Bagas Salaya se-

dang berusaha membangkitkan kekuatan Batu Walet 

Merah yang melingkar di jari manisnya. Tak lama sete-

lah tenaga dalamnya sampai pada Batu Walet Merah 

yang melingkar di bagian jarinya itu. Maka kejab ke-

mudian Batu Walet Merah telah pula memancarkan 

sinar merah kekuning-kuningan. Tanpa membuang-

buang waktu lagi Bagas Salaya mulai mengarahkan 

mata batu itu pada lawan yang datang mengeroyok di 

sekelilingnya. Dua tiga lesatan tampak meluncur dari 

batu yang berada di tangan Bagas Salaya. Selarik sinar 

yang berhawa dingin dan panas dan berbentuk pipih 

menghantam tubuh lawan-lawannya.

Tak dapat dicegah, berpelantinganlah tubuh 

murid-murid Gada Wisa bagai batu-batu bertebaran. 

Kejadian seperti itu dilakukan berulang-ulang oleh Ba-

gas Salaya sehingga dalam waktu tak lebih dari seten-

gah jam, murid-murid Gada Wisa yang jumlahnya 

mencapai puluhan itu, kini hanya tinggal beberapa ge-

lintir saja. Mengetahui hampir seluruh muridnya ter-

sapu bersih di tangan Bagas Salaya, Kakek tinggi Be-

sar itu menjadi sangat marah sekali. Dengan disertai 

raungan bagai serigala yang kehilangan anak-anaknya, 

tubuh Gada Wisa tampak melesat ke depan. Tahu-

tahu telah berdiri empat tombak di depan Bagas Sa-

laya.

"Keparat...! Kau telah membunuh orang-

orangku...!" geram Gada Wisa sambil mencabut senjata 

andalannya yang berupa sebuah gada yang berukuran 

tak lebih dari ibu jari itu.


"Aha... ha... ha...! Kalau kau tak ingin melihat 

murid-muridmu terbunuh, mengapa kau hanya diam 

saja sedari tadi, Kakek pikun…!" ejek Bagas Salaya.

"Kau harus mampus di tanganku, Bocah kepa-

rat...!" rutuk si Tinggi semampai lalu bersiap-siap me-

lakukan serangan dengan senjatanya.

"Bagus! Mari kita tentukan siapa yang paling 

berhak hidup di kolong langit ini lebih lama lagi...!" 

dengus Bagas Salaya. Menyadari bahwa lawannya 

mungkin saja memiliki kepandaian yang sangat tinggi, 

maka begitu menghadang Bagas Salaya selain memu-

tar pedang di tangan kirinya juga mulai lancarkan pu-

kulan-pukulan yang bersumber dari kekuatan sakti 

yang ada pada Batu Walet Merah di tangannya. 

Sementara itu pertarungan antara Dewi Ratna 

Juwita dan Cacing Kalung juga Tanduk Maut tampak 

telah mencapai puncaknya. Lebih dari dua kali tangan 

dan kaki si Cacing Kalung dan Tanduk Maut berhasil 

memukul bagian punggung, perut dan juga pada peli-

pis Dewi Ratna Juwita. Sungguh pun pukulan itu den-

gan mempergunakan tenaga dalam, namun hanya 

mengakibatkan tubuh si gadis hanya terpelanting ro-

boh. Untuk kemudian bangkit kembali. Bagi Dewi Rat-

na Juwita hal itu tak menjadi soal, asal saja dia mam-

pu menghindari terjangan senjata di tangan lawannya. 

Karena itu justru yang dia nilai sangat berbahaya se-

kali. Namun ketika satu jotosan yang dilakukan oleh si 

Cacing Kalung berhasil menghantam bagian dadanya. 

Maka berubahlah paras Dewi Ratna Juwita seketika. 

Dia sangat marah sekali, sebaliknya si Cacing Kalung 

dan Tanduk Maut tergelak-gelak.

"Bagaimana, Cacing Kalung! Empuk ya...!"

"Ho'oh...!" Si Cacing Kalung menyahuti, sambil 

berusaha menyerang kembali.

"Keparat...! Kalian benar-benar tak akan mendapat pengampunan dari si Walet Merah!" maki Dewi 

Ratna Juwita, selain merasakan sakit di bagian da-

danya juga merasa sangat malu sekali. 

"Haiiit...!"

Satu serangan balasan dilakukan oleh Dewi 

Ratna Juwita, sesungguhnya serangan pedang ini ha-

nyalah merupakan tipuan belaka, karena niat yang 

terkandung dalam hati gadis itu hanyalah ingin me-

nyalurkan tenaga dalamnya pada bagian jemari tan-

gannya. Kedua lawannya memapaki dengan sabetan 

senjata di tangan.

"Traak! Traaang...!"

Cacing Kalung dan Tanduk Maut menyurut dua 

langkah, tangan mereka terasa kesemutan dan nyeri. 

Dengan wajah sedikit memucat keduanya secara se-

rentak cepat-cepat melakukan serangan kembali. Te-

tapi betapa wajah mereka semakin bertambah memu-

cat kala melihat sinar merah kuning dan biru me-

nyongsong kedatangan serangan mereka, Cacing Ka-

lung menyadari bahwa tenaga sakti itu bersumber dari 

Batu Walet Merah yang memancar, secepatnya dia be-

rusaha berkelit dan membuang tubuhnya jauh-jauh ke 

samping kanan. Lain halnya dengan si Cacing Kalung 

yang selalu bertindak hati-hati. Lain lagi halnya den-

gan si Tanduk Maut yang dalam melakukan serangan 

selalu dibarengi dengan emosi yang meluap-luap. Saat 

dia menyadari datangnya sinar yang mematikan itu, 

dia sudah tak dapat berbuat banyak selain menjadi 

gugup dan hantamkan senjatanya ke depan.

"Traaang! Breeees...!"

"Uaghkkh...!"

Senjata di tangan berantakan berkeping-keping, 

sementara tubuh si Tanduk Maut terpelanting roboh. 

Dalam waktu sekejap saja tubuh itu pun telah berubah 

membiru, tiada erangan mau pun lolongan maut. Bahkan berkelojotan pun tidak, karena sesaat setelah pe-

rubahan itu terjadi jiwa si Tanduk Maut pun telah me-

lesat pergi meninggalkan raganya. Tinggallah si Cacing 

Kalung yang terlongong-longong dengan rasa tak per-

caya. Se-baliknya si Kakek Berbadan Tinggi yang kala 

bertarung dengan Bagas Salaya, dan sempat melihat 

apa yang dialami oleh murid kesayangannya. Tampak 

menjadi sangat murka sekali. Tapi dia pun hanya 

mampu mencaci maki dengan kata-kata kotor. Sebab 

saat itu dia pun sedang kerepotan menghadapi terjan-

gan-terjangan sinar merah yang bersumber dari Batu 

Walet Merah. Sukur dia memiliki pukulan ampuh dan 

senjata yang dapat dipergunakan untuk menandingi 

kehebatan Batu Walet Merah. Andai tidak, mungkin 

dia sendiri tidak mampu menjaga keselamatannya pri-

badi.

"Mengapa harus bengong seperti itu, Cacing 

Kurus! Cepat serahkanlah nyawamu!" bentak Dewi 

Ratna Juwita tiba-tiba. Dan lebih cepat lagi gadis itu 

mengarahkan Batu Walet Merah pada si Cacing Ka-

lung.

"Keparat...!" makinya sambil hantamkan satu 

pukulan ‘Bara Sakti’ yang merupakan pukulan anda-

lannya.

"Buuuum!"

"Gusraak...!"

Dewi Ratna Juwita hanya tergetar saja tubuh-

nya, walau tidak dapat disangkal bagian rongga da-

danya terasa sakit sekali. Sebaliknya tubuh si Cacing 

Kalung selain terpelanting dan jatuh nyungsep. Juga 

menderita luka dalam yang cukup fatal. Dengan ber-

susah payah dia berusaha bangkit, namun sebelum 

niatnya kesampaian. Lagi-lagi Dewi Ratna Juwita yang 

sudah menjadi kalap ini mengarahkan Batu Walet Me-

rah di tangannya.



"Wuuus!"

Si Cacing Kalung sedapatnya berusaha mele-

paskan satu pukulan dengan mempergunakan sisa-

sisa tenaganya. Celakanya jangankan untuk menge-

rahkan tenaga, sedangkan untuk menggerakkan tan-

gannya saja dia sudah tiada mampu. Dengan mata 

membelalak lebar dia menyongsong pukulan itu den-

gan sikap pasrah.

"Bruues..!"

"Arrghk...!"

Si Cacing Kalung berkelejat-kelejat tubuhnya, 

secara perlahan namun pasti tubuh itu kemudian ter-

diam tak berkutik-kutik lagi.

"Jahanam...!" Murid-muridku tewas semuanya 

di tangan kalian, aku tak akan tinggal diam...!" pekik si 

Gada Wisa.

"Kakang Bagas! Jangan hiraukan mulutnya! 

Mari kita kroyok kakek goblok ini beramai-ramai...!" te-

riak Dewi Ratna Juwita. Sebentar kemudian kedua 

orang itu sudah menghujani si Gada Wisa dengan ke-

kuatan Batu Walet Merah di tangan masing-masing. 

Menghadapi Bagas Salaya saja Gada Wisa tak mampu 

berbuat banyak, bahkan pukulan mautnya sudah tak 

banyak berarti, jangankan kini menghadapi dua orang 

lawan yang mempergunakan Batu Walet Merah yang 

dia tahu sangat berbahaya itu. Mau tak mau Gada Wi-

sa harus berjuang mati-matian untuk menyelamatkan 

dirinya.

"Kakek tolol! Lebih baik menyerah saja...!" pe-

rintah Dewi Ratna Juwita.

"Lebih baik aku mati berkalang tanah, daripada 

harus menyerah pada kroco-kroco seperti kalian...!" 

bantah Gada Wisa sembari mengayunkan gadanya. 

Lalu selarik sinar melesat dari gada di tangan si 

Kakek Ketua Gerombolan Sinar Kayangan ini. Bagas


Salaya dan Dewi Ratna Juwita tak mau ambil resiko, 

maka dengan mengarahkan Batu Walet Merah di tan-

gan masing-masing, selarik gelombang merah, kuning 

dan biru yang berbentuk pipih sekali menderu ke arah 

si Kakek Tinggi Besar. Tak terelakkan lagi dua kekua-

tan dahsyat yang bergulung-gulung itu pun bertabra-

kan di tengah jalan.

"Blaaam!" 

Masing-masing lawan tergetar hebat tubuhnya, 

tapi mereka tetap berada pada posisinya masing-

masing. Dan sebelum kakek ini dapat bertindak lebih 

jauh, Sepasang Walet Merah kembali mengarahkan ba-

tu yang melingkar di bagian jarinya.

"Wuuuss!" 

Lebih cepat lagi Gada Wisa mempergunakan 

gada andalannya untuk memapaki datangnya sinar ta-

di.

"Buuummm...!"

Gada di tangan kakek besar tinggi meleleh, 

bahkan dia terpaksa mencampakkannya saat mana 

hawa panas menjalari tubuhnya.

"Brees!"

"Auughk...!"

Gada Wisa melolong panjang, tubuhnya ter-

campak jauh setelah dua sinar maut dengan telak 

menghantam tubuhnya. Saat tubuhnya rubuh meng-

hantam pohon, selembar nyawa melayang dari ra-

ganya. Sepasang Walet Merah tersenyum penuh keme-

nangan.

***

DUA BELAS


Ketika Pendekar Hina Kelana dan Dewi Ratih 

sampai di Bukit Siluman, mereka melihat mayat-mayat 

bergelimpangan di mana-mana. Melihat keadaan 

mayat-mayat itu, tampaknya kejadiannya berlangsung 

satu hari sebelum kedatangan mereka. Buang Sengke-

ta menarik napas pendek, sebelum kata-katanya ke-

mudian lepas:

"Tampaknya telah terjadi pertarungan besar-

besaran di sini, Adik Ratih...!" ucapnya sambil menoleh 

pada Dewi Ratih yang tak begitu jauh berdiri di si-

sinya. Dewi Ratih hanya mengangguk pelan.

"Melihat bekas luka-luka yang dialami oleh me-

reka! Rasa-rasanya tak salah kalau aku menarik ke-

simpulan bahwa mereka tewas di tangan Sepasang 

Walet Merah!"

"Jelas mereka ada di sekitar tempat ini, Ra-

tih...!" kata si pemuda kemudian. Sesaat mereka saling 

berpandangan, lalu hampir bersamaan mereka me-

mandang ke sekelilingnya. Tak ada tanda-tanda Sepa-

sang Walet Merah berada di sekitar perbukitan itu.

"Bagaimana kalau kita menuju ke Gua Silu-

man?" tanya si pemuda mengajukan satu usul pada 

gadis yang berada di sampingnya.

"Sebuah ide yang sangat baik...!" berkata Dewi 

Ratih. Kemudian keduanya segera bergerak menuju 

Gua Siluman yang terletak tak kurang dari sepuluh 

tombak di sebuah tikungan di depannya. Sebentar ke-

mudian keduanya pun telah sampai di depan mulut 

gua, secara tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya 

dua sosok tubuh dari dalam gua yang pintunya sudah 

tidak terkunci lagi.

Beberapa detik kemudian muncullah dua sosok


tubuh yang sangat dikenal oleh Ratih, berdiri tegak di 

hadapan mereka. Tampaknya di antara mereka sama-

sama menunjukkan rasa saling terkejut.

"Kakang Bagas! Kakak Dewi...! Kalian benar-

benar telah mencemarkan nama baik Padepokan Bukit 

Berkabung. Lebih dari hanya sekedar pencuri tengik, 

kalian juga telah menodai kesucian diri kalian sendiri! 

Hemm. Pantas kalau Eyang Girinda almarhum mengu-

sir kalian dari padepokan. Kalian memang benar ma-

nusia terkutuk menjalin cinta dengan saudara sendiri!" 

dengus Ratih dengan pandangan sinis.

"Hei Adik Ratih! Begitu datang kau langsung 

marah-marah, bersama gembel itu apakah yang kau 

inginkan...?" tanya Bagas Salaya marah.

"Tak banyak yang kuminta dari kalian, orang-

orang terkutuk! Serahkan sepasang Batu Walet Merah, 

setelah itu kalian tinggalkan tempat keramat ini...!"

"Keparat! Sukur aku tak membunuhmu men-

gingat kita masih ada hubungan saudara, andai tidak 

kau pasti mampus di tangan kami...!" maki Dewi Ratna 

Juwita gusar.

"Jangan kau mengaku-ngaku sebagai saudara. 

Aku tak memiliki saudara sepertimu!" bantah Dewi Ra-

tih.

"Bagus! Kalau kau tak mengakui kami sebagai 

saudaramu lagi, tidak ada terkecualinya lagi bahwa 

kau dan manusia gembel itu barus mampus di tangan 

kami...!"

"Lakukanlah kalau kalian mampu kunyuk hi-

na...!" maki si pemuda yang sedari hanya memperhati-

kan perdebatan antara sesama saudara itu.

"Adik Dewi! Mari kita remukkan batok kepala 

bocah gembel ini beramai-ramai...!"

"Adik Dewi?!" seru Ratih. "Kalian berdua benar-

benar telah menjadi gila...!"



"Kakak di panggil adik, adik di panggil ka-

kang... memang benar-benar sudah nggak waras ku-

nyuk jantan dan kunyuk betina ini, Ratih...!" kata 

Buang Sengketa menimpali.

"Keparat...! Kalian benar-benar ingin mencari 

mampus...!" teriak Bagas Salaya. Lalu tanpa sungkan-

sungkan lagi, pemuda ini segera menyerang Pendekar 

Hina Kelana dengan jurus-jurus andalannya. Saat itu 

Ratih langsung pula berhadapan dengan Dewi Ratna 

Juwita.

"Menyesal sekali sebagai saudara aku harus 

membunuhmu, Ratih...!" desis Dewi Ratna Juwita, se-

raya segera mencabut pedangnya. Dewi Ratih pun tak 

mau kalah.

"Sriiing! Sriiing!"

Senjata yang mengkilat-kilat karena ketaja-

mannya itu langsung menderu, maka bertarunglah 

dua bersaudara itu dengan mempergunakan jurus-

jurus pedang yang berasal dari satu sumber. Sekejap 

saja denting beradunya senjata tajam terasa merobek 

kesunyian di pagi hari. Dua gadis yang masih bersau-

dara itu kelihatan sama-sama gesitnya, berulang kali 

pedang di tangan mereka beradu. Tapi betapa terke-

jutnya hati Dewi Ratna Juwita saat mana merasakan 

tangannya berdenyut-denyut sakit. Mulanya hanya da-

lam waktu tujuh jurus saja dia merasa segera dapat 

menjatuhkan lawannya. Tapi siapa sangka dalam 

mengadu tenaga dalam tadi dia merasakan tenaganya 

setingkat berada di bawah adiknya sendiri.

"Tak usah heran perempuan sundel! Kalau kau 

berhasil mempelajari kitab warisan Bukit Berkabung 

hanya sampai pada yang keempat, tapi aku yang pe-

malas ini telah menguasai kitab yang kelima...!" kata 

Ratih dengan sesungging senyum mengejek.

"Keparat! Kalau begitu sekarang juga kau harus


merasakan bagaimana dahsyatnya Batu Walet Merah 

di tanganku ini...!" maki Dewi Ratna Juwita merasa ti-

dak akan unggulan menghadapi Dewi Ratih dengan ju-

rus-jurus pedang yang jelas berada di bawah lawan-

nya. Dengan cepat Dewi Ratna Juwita. mengerahkan 

tenaga dalamnya ke arah bagian tangannya. Sekejap 

saja Batu Walet Merah di bagian jemari tangannya 

memancarkan cahaya merah, kuning dan biru. Ratih 

terkesiap, wajahnya berubah pucat pasi, dia berpikir 

tak mungkin Batu Walet Merah dapat dia atasi dengan 

jurus pedang atau pun pukulan yang hanya berintikan 

tenaga dalam biasa. Dalam pada itu walaupun dalam 

keadaan bertarung, tampaknya Pendekar Hina Kelana 

juga tidak melepaskan perhatiannya pada Ratih. Begi-

tu dia melihat sinar merah di jemari tangan Dewi Rat-

na Juwita. Maka sebelum gadis itu mengarahkan batu 

maut itu pada Ratih. Buang Sengketa hantamkan satu 

pukulan yang paling sangat diandalkannya, Si Hina 

Kelana Merana. Selanjutnya begitu tangannya dia do-

rongkan ke depan, maka serangkum gelombang yang 

memancarkan sinar merah dan berhawa panas luar 

biasa meluruk ke arah Dewi Ratna Juwita. Saat itu 

pun dua lesatan sinar menderu di udara, timbulkan 

hawa dingin dan panas yang tak kalah hebatnya.

"Blaarr...!"

Debu tampak mengepul ke udara, bumi terasa 

bergetar hebat, tak ayal sungguh pun Ratih dapat ter-

hindar dari ancaman maut, namun tubuh Bang Seng-

keta tak pelak lagi terjengkang dua tombak. Begitupun 

halnya yang dialami oleh Dewi Ratna Juwita. Mulut 

kedua orang itu sama-sama menyemburkan darah 

kental. Bagas Salaya tampak tercengang dan menga-

watirkan keadaan istrinya. Serta merta emosinya me-

luap-luap. Lalu dengan pedang terhunus dia memburu 

Pendekar Hina Kelana yang sedang berusaha menghimpun hawa murni untuk menghilangkan rasa nyeri 

yang sangat luar biasa pada bagian dadanya.

"Kakang Kelana...!" pekik Dewi Ratih histeris 

demi melihat Bagas Salaya membabatkan pedangnya 

ke bagian tengkuk si pemuda. Sesungguhnya dia ingin 

bertindak membantu pendekar itu. Namun karena ja-

raknya yang begitu jauh membuat dia merasa tak da-

pat melakukannya. Namun dalam saat-saat mene-

gangkan seperti itu Buang cepat-cepat memperguna-

kan jurus Koreng Seribu yang memiliki daya hisap 

yang sangat tinggi.

"Kreeeep...!"

Dengan mempergunakan jemari tangannya, dia 

sambut sabetan pedang di tangan Bagas Salaya. Pe-

muda terkutuk itu terkejut bukan main. Apalagi dia 

merasa tak-mampu untuk melepaskan senjatanya dari 

jepitan jari Buang Sengketa. Tarik menarik pun ber-

langsung beberapa saat lamanya. Celakanya semakin 

kuat Bagas Salaya mengerahkan tenaga dalamnya un-

tuk membebaskan pedang itu kembali, maka semakin 

sulitlah bagi pemuda itu untuk membetot senjatanya. 

Bahkan lama-kelamaan dia menyadari tenaganya tera-

sa terbetot keluar melalui pedang di tangannya 

"Keparat! Ilmu Siluman...!" maki Bagas Salaya 

mulai berusaha mengerahkan bagian tenaganya untuk 

dipergunakan membangkitkan kesaktian dari Batu 

Walet Merah. Usahanya itu tampaknya mendatangkan 

hasil, sebab kejab kemudian Batu Walet Merah di tan-

gannya memancarkan sinar merah kuning dan biru. 

Secara perlahan dia mengarahkan batu itu pada pihak 

lawannya yang berjarak tak kurang dari satu meter di 

hadapannya. Lebih celaka lagi saat itu pun Dewi Ratna 

Juwita mengarahkan batu di tangannya kepada sasa-

ran yang sama. 

"Weer! Weeer...!"


Dalam detik-detik yang sangat menentukan an-

tara hidup dan mati itu, serta merta Buang Sengketa 

mencabut Golok Buntung yang terselip di pinggang-

nya. Laksana kilat dipergunakannya golok tadi untuk 

menerima sinar yang bersumber dari Batu Walet Me-

rah.

"Bleeer! Seeet...!"

Kekuatan yang sangat dahsyat itu langsung 

menghajar golok di tangan si pemuda yang diperguna-

kannya sebagai tameng.

Sepasang Walet Merah menjadi terkejut luar bi-

asa saat mana sinar yang mereka lepaskan malah le-

nyap begitu saja dan tampak bagai terserap. Bahkan 

lama kelamaan mereka merasakan selain tenaga sakti 

yang ditimbulkan oleh Batu Walet Merah lenyap begitu 

saja, tapi malah tubuh mereka ikut tersedot. Sungguh 

pun mereka berusaha mati-matian untuk tetap berta-

han pada posisinya, namun tetap saja tubuh mereka 

tertarik mendekat ke arah Buang Sengketa. Seketika 

pucat wajah Sepasang Walet Merah, terlebih-lebih Ba-

gas Salaya yang berada paling dekat dengan Buang 

Sengketa. Tiba-tiba pemuda itu dorongkan Golok 

Mautnya ke depan dan ke samping disertai dengan sa-

tu bentakan:

"Hembus kalian sana...!" 

Tenaga dorongan yang dilakukan oleh si pemu-

da menyebabkan tubuh kedua lawannya terpelanting. 

Dengan merangkak mereka sudah bangkit kembali, 

dan berusaha membangun sebuah serangan baru. Ta-

pi begitu melihat pada lawan yang berdiri tegak di de-

pannya lagi-lagi mereka menjadi terbelalak tak per-

caya.

"Pendekar Hina Kelana...!" serunya tanpa sadar.

Buang Sengketa diam tiada bergeming. Di tan-

gan kirinya tergenggam Pecut Gelap Sayuto, sedang


kan di tangan kanannya tergenggam pula Pusaka Go-

lok Buntung yang juga memancarkan sinar merah me-

nyala.

Darah Siluman di dalam tubuh pendekar ini 

saat itu memang telah merasuk dalam emosinya yang 

tertahan-tahan. Betapa bencinya dia melihat tampang 

Sepasang Walet Merah yang sesungguhnya masih ada 

hubungan darah. Namun tetap nekad melakukan per-

cintaan itu.

"Manusia berjiwa hewan seperti kalian memang 

tak layak untuk hidup lebih lama lagi. Mampuslah...!" 

Serta merta, sebelum Sepasang Walet Merah sempat 

menyahut. Cambuk Gelap Sayuto di tangan Buang 

Sengketa menderu.

"Ctaar.... Ctaaar...! Ctaaar...!"

Mendadak bertiuplah angin yang sangat ken-

cang disertai dengan bunyi petir sambung-

menyambung. Awan hitam segera menyelimuti suasa-

na di sekitarnya. Suasana pagi yang cerah berganti 

dengan suasana kegelapan yang nyata. Terkesiaplah 

Sepasang Walet Merah demi melihat kejadian seperti 

itu, dalam kegelapan itu mereka hanya melihat berke-

lebatnya sinar merah yang bersumber dari Golok Bun-

tung yang berada di tangan lawannya. Sementara 

cambuk di tangan Buang tidak henti-hentinya melecut, 

hingga menimbulkan suara hingar bingar memekak-

kan gendang telinga

Pabila terdengar suara mendesis-desis bagai 

ular piton yang sedang marah. Maka di situlah Pusaka 

Golok Buntung menderu. Tapi Sepasang Walet Merah 

mengimbanginya dengan batu di tangannya. Lesatan 

sinar merah yang bersumber dari Batu Walet Merah 

bubar berantakan dilanda lecutan Cambuk Gelap 

Sayuto. Tiada menyia-nyiakan kesempatan Buang 

Sengketa dengan Golok di tangannya merangsak maju.


"Craaas! Creeees...!" 

"Aghhk...!"

Tubuh Sepasang Walet Merah ambruk ke ta-

nah. Darah menyembur dari luka di bagian pangkal 

leher mereka. Hanya sesaat saja mereka berkelojotan, 

kemudian tewas dalam keadaan berpelukan.

"Kakang, kau telah membunuhnya?" jerit Dewi 

Ratih sedih, bagaimana pun mereka tetap saudara

"Dengan sangat terpaksa sekali! Biarlah mereka 

terus bercinta sampai di akherat sana...!" kata si pe-

muda sesaat setelah kegelapan itu sirna. Pendekar Hi-

na Kelana segera mencopoti Batu Walet Merah di tan-

gan Bagas Salaya dan Dewi Ratna Juwita, menyerah-

kannya pada Dewi Ratih.

"Kakang aku tak menyalahkanmu! Kalau kita 

biarkan mereka hidup, pasti akan jatuh korban lebih 

banyak lagi. Marilah kita kubur mereka Kakang..,!" 

ucap si gadis tersendat. Lalu tanpa basa basi lagi me-

reka mengubur mayat Sepasang Walet Merah. Tak be-

gitu lama pekerjaannya pun selesai

"Kakang aku akan menutup pintu gua itu...!" 

kata Ratih sembari berjalan menuju ke arah gua. Na-

mun begitu gadis ini kembali untuk menjumpai Pen-

dekar Hina Kelana, pemuda tampan itu telah lenyap 

dari tempatnya semula. Berdebar dada Ratih. Dia me-

rasakan, sesuatu telah terenggutkan dari hidupnya. 

Tidak sesedih di tinggalkan oleh saudaranya. Tapi dia 

lebih sedih justru karena pemuda yang secara diam-

diam dicintainya itu telah pergi meninggalkan dirinya 

tanpa pesan apa pun. 

"Kakang Kelana! Tidak tahukah kau kalau se-

lama ini aku sangat mencintaimu!" desah gadis itu di 

sela-sela isak tangisnya. Lalu gadis berwajah ayu itu 

pun berlari mengejar ke arah lenyapnya Pendekar Hina Kelana.


                            TAMAT


















Share:

0 comments:

Posting Komentar