Cerita ini adalah fiktif.
Persamaan nama, tempat dan ide, hanya ke-
betulan belaka
BADAI SELAT MALAKA
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara, Jakarta
Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69
Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat
Setting Oleh: Trias Typesetting
Cetakan Pertama, 1991
Hak Cipta ada pada Penerbit.
Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-
tulis dari penerbit
SATU
Bila dia memandang pada hamparan laut luas
yang terbentang di hadapannya. Maka hanya satu saja
yang ada di dalam hatinya, tentang gurunya yang tak
pernah dia lupa. Si Bangkotan Koreng Seribu, manusia
sakti yang hidup selama ratusan tahun. Padanya dia
pernah berhutang segala-galanya yang tak mungkin
terbayar walau sampai kapanpun. Padanya dia sering
menyimpan rindu, padanya dia selalu ingin bertemu
lalu berkumpul kembali. Tapi, akh... sedalam apapun
kerinduannya pada kakek sakti itu. Untuk bertemu ra-
sa-rasanya sangat tidak mungkin, kakek yang memiliki
perangai sangat aneh itu sudah pasti akan marah pa-
danya, petualangannya masih belum berakhir. Jalan
hidup yang akan dilalui masih terlalu panjang dan
sangat melelahkan.
Kini satu-satunya harapan yang masih terus
membuncah di hatinya adalah ingin bertemu dan
mencari ayahandanya. Raja Ular Piton Utara dari nege-
ri alam gaib (Negeri Bunian). Namun setelah bertahun-
tahun melakukan petualangan, ke mana pun dia men-
cari, masih belum juga bertemu dengan orang yang te-
lah menyebabkan kehadirannya di dunia ini.
Menurut si Tangan Setan yang tinggal di Pulau
Bidadari (Dalam Episode: Kembalinya si Tangan Se-
tan). Perempuan sakti itu merupakan penunggu perta-
paan Raja Piton Utara. Dia tahu banyak tentang ayah-
nya, sialnya dalam pertarungan dengan lawan-
lawannya, gadis itu lenyap begitu saja bahkan dia sen-
diri kehilangan jejak untuk mengikuti perempuan ber-
tangan sakti tersebut.
Terkadang kalau mengingat tentang nasibnya
yang sebatang kara, dia menjadi sangat sedih sekali.
Selanjutnya bagai seorang penyair saja layaknya
dia pun berkata pada dirinya sendiri:
Kepada nasib yang selalu tak pernah
berfihak pada kaum yang lemah.
Manusia terlahir sebagai penyebar
malapetaka di mana-mana.
Manusia ingin berkuasa atas diri
manusia yang lain
Harta benda selalu menjadi tolak ukur
dalam menentukan tinggi rendahnya
derajat hidup seseorang.
Di atas penderitaan kaum yang lemah.
Mereka menari-nari
Oh....
Kepada raja yang berkuasa di mana pun,
lihatlah apa yang terjadi di bawah sana....
Lihat pula bumi hidup dan
telah enggan menyapa
Jangan pula mata pedang ikut bicara
Karena mereka juga masih seorang manusia.
Sampai di situ Buang Sengketa atau yang lebih
kita kenal sebagai Pendekar Sakti Hina Kelana nampak
terdiam. Selanjutnya tepuk-tepuk jidatnya sendiri.
"Goublok, mengapa bicaraku sampai ngelantur
tak karuan. Aku sendiri hidup dalam ketidakmenen-
tuan. Mengapa harus ku pikirkan orang lain, dasar
sinting!" makinya seorang diri.
Selanjutnya pemuda berwajah sangat tampan itu
mengitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru
laut. Sejauh-jauh mata memandang, hanya kebiruan
air laut saja yang menampak di depan sana.
"Hemm. Mungkinkah sebaiknya saat ini juga aku
menyelam di dalam laut itu. Tapi sejauh manakah
daya tahan ku untuk berenang di dalamnya. Mungkin-
kah Pati Rasa dapat mengatasi kesulitan yang aku
alami? Ah, sebaiknya aku coba saja, siapa tahu ke-
mungkinan itu masih dapat kumiliki..." batinnya, se-
lanjutnya untuk beberapa saat lamanya dia nampak
terdiam. Lalu terdengar pula dari bibirnya mengelua-
rkan bunyi mendesis bagai seekor anak ular yang ingin
menemukan kedamaian di sisi orang tuanya. Menyer-
tai suara desisan itu, mulut Pendekar Golok Buntung
itupun berkomat-kamit. Lalu dari bagian tubuh dan
terlebih-lebih pada bagian ubun-ubunnya, nampak pu-
la mengepul kabut putih. Tubuh pendekar keturunan
Raja Negeri Alam Gaib itupun menggeletar, se-kejab
saja tubuhnya pun telah bermandikan keringat. Mula-
mula dari bagian kakinya terasa kebas, semakin lama
semakin tak terasa sama sekali, selanjutnya rasa ke-
semutan itu menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.
Buang Sengketa merasakan tubuhnya bagaikan
mati, semua indera yang dimilikinya seolah bagai su-
dah tiada berfungsi lagi. Ringan tubuhnya tak melebihi
dari kapas yang diterbangkan angin. Kenyataan yang
lebih jauh lagi, Buang Sengketa telah lebih berani me-
langkah satu tingkat di atas ajian Pati Rasa. Yaitu
ajian Tinggal Rogo yang sesungguhnya merupakan se-
buah ilmu langka yang dulu pernah diajarkan oleh gu-
runya si Bangkotan Koreng Seribu (Dalam Episode:
Utusan Orang-Orang Sesat). Ajian itu sesungguhnya
tidak dapat dipergunakan secara sembarangan. Sebab,
secara umum diketahui bahwa siapa pun yang memilih
ajian Tunggal Rogo, dan mempergunakan ajian terse-
but. Itu sama saja artinya, perpisahan sementara anta-
ra jasad dan roh. Semuanya dapat berlangsung dalam
waktu-waktu tertentu lamanya. Atau tak akan lebih
dari satu jam saja, dan itupun dengan satu ketentuan
tak ada orang lain yang mengganggu jasad yang diting
galkannya. Dan Buang Sengketa nampaknya telah be-
gitu berani mengambil satu keputusan yang memiliki
resiko yang sangat besar. Semua itu dia lakukan
hanya demi orang yang paling dia rindukan sepanjang
hidupnya yang pernah dia lalui.
Saat itu posisi Pendekar Hina Kelana dalam kea-
daan tegak bagaikan arca. Wajahnya dengan matanya
yang terpejam itu memandang ke laut lepas. Sedang-
kan kesadarannya adalah antara ada dan tiada. Secara
perlahan namun cukup pasti rohnya mulai bergerak
meninggalkan raganya.
Semakin lama rohnya telah pula mengambang
jauh, selanjutnya secara cepat laksana kilat roh itu
melayang, menuju ke sebuah tempat dan mencari-cari
ke alam dasar laut. Tapi roh Buang Sengketa pada ak-
hirnya harus terperangah, begitu sosok yang sama
menghadang di depannya. Sosok roh itu begitu sangat
dikenalnya, dia memandang pada Pendekar Hina Kela-
na, selanjutnya menyunggingkan senyum mencibir.
Namun semua itu hanya sekejapan saja. Sebab tak
lama kemudian roh yang tak lain merupakan gurunya
sendiri sudah menegurnya dengan kemarahan yang te-
ramat sangat.
"Buang Sengketa, murid konyol dan tolol. Apakah
kau ingin mati dengan ketololan mu itu? Jasad mu
kau tinggalkan begitu saja, padahal alam dunia penuh
dengan kekerasan dan kelicikan. Bagaimana nanti ka-
lau jasad mu yang bagaikan patung goblok itu digotong
orang, atau mereka cincang menjadi dendeng. Kema-
nakah kau akan kembali? Bocah geblek! Ajian Mati
Rogo yang kau miliki itu belumlah sempurna benar,
mengapa kau malah menyiksa batin dan raga mu sen-
diri. Cepat kau kembali ke raga mu, sebelum orang
lain menemukan tubuhmu kemudian membuangnya
ke laut...!" kata roh si Bangkotan Koreng Seribu mem
beri peringatan.
"Guru...! Ammpuuun... murid ingin bertemu den-
gan ayahanda, hanya cara inilah jalan satu-satunya
yang dapat kutempuh agar aku bisa sampai padanya!"
katanya, selanjutnya roh Buang Sengketa berlutut di
depan roh si Bangkotan Koreng Seribu.
"Murid tolol, berjumpa dengan ayahmu bukan
dengan cara begini, bapak moyangmu bisa menendang
mu sampai babak belur andai kamu berani-berani me-
nyiksa jasad mu sendiri. Cepat kau kembali, atau kau
ingin aku menggebuk mu?" tanya si Bangkotan Koreng
Seribu.
"Ba... ba... baiklah, Guru... tapi tolong katakan
padaku mengapa guru bisa sampai ke alam yang seka-
rang sedang ku telusuri ini...?" tanya roh Buang Seng-
keta, merasa sangat penasaran sekali. Roh si Bangko-
tan Koreng Seribu terdiam beberapa saat lamanya. Se-
lanjutnya dia pun berkata pelan namun tanpa kehilan-
gan wibawa.
"Bocah tolol, setelah ku nanti sekian tahun la-
manya. Ternyata kau terlalu lama mengembara. Tapi
aku senang karena apa yang kuberikan padamu telah
kau pergunakan pula untuk jalan kebenaran. Tapi kau
juga harus ingat, hidupku selama seratus delapan pu-
luh tahun. Adalah usia yang sangat renta untuk ber-
tahan hidup. Buang... sungguh ini merupakan sebuah
pertemuan yang konyol dan paling tidak aku sukai.
Bocah... aku sudah meninggalkan dunia mu lebih dari
setahun yang lalu...!"
Maka tak dapat dicegah lagi, demi mendengar
ucapan gurunya. Buang Sengketa menjadi tersentak
kaget. Kedua bola matanya terbelalak ke luar, serta
merta dia pun menangis sejadi-jadinya.
"Ahik... ahuk...! Guru, mengapa kau harus mati
terlebih dulu, kau kan tahu kalau muridmu yang tolol
ini belum dapat membalas segala kebaikan yang per-
nah kau berikan padaku. Bagaimana ini, Guru...?!"
tanya Buang Sengketa sesenggukan.
Roh si Bangkotan Koreng Seribu tertawa tergelak-
gelak, wajahnya yang selasam itu semakin bertambah
kusam saja.
"Murid sinting, percuma saja setelah berkelana
sekian tahun ternyata bukan bertambah pengalaman-
mu. Tetapi malah sebaliknya. Goblok dan bego, tahu-
kah kau bahwa aku hidup damai di alamku. Jangan
kau hiraukan segala macam balas jasa. Tapi kuminta
secepatnyalah kau kembali ke jasad mu, setelah itu
pergilah ke tempat tinggalku di Tanjung Api. Beberapa
golongan persilatan tingkat tinggi, sedang bergerak ke
sana. Dengan tujuan ingin memiliki kitab-kitab jurus
Golok Buntung yang terakhir kuciptakan untukmu."
kata roh si Bangkotan Koreng Seribu.
"Tapi, bagaimana persoalanku ingin bertemu
dengan ayahanda! Guru telah pergi meninggalkan du-
nia. Guru bilang, guru cukup bahagia di sana, tapi di
alam dunia muridmu ini menderita, bagaimana kalau
aku ikut dengan kakek saja...?" tanya roh Buang
Sengketa. Dan pertanyaan yang konyol ini sudah ba-
rang tentu membuat roh si Bangkotan Koreng Seribu
semakin bertambah masam saja.
"Dengan ajian Tinggal Rogo yang cuma setahi ku-
ku itu, kau secara sembrono mau meninggalkan dunia
mu? Kau tinggalkan jasad mu... sungguh satu tinda-
kan yang sangat ceroboh kau mengambil satu keputu-
san yang tidak pada tempatnya. Kau harus banyak be-
lajar, Buang Sengketa. Belajar dalam segala banyak
hal yang pada akhirnya membuat seseorang itu dapat
bertindak lebih dewasa. Apakah kau mengerti dengan
segala apa yang kukatakan itu...? Dan engkau jangan
sekali-kali mencoba menyalahi kodrat, Sang Hyang
Widi bisa murka padamu. Sekarang juga kau harus
kembali ke jasad mu. Kalau tidak para bajak laut yang
melihat yang sudah berada sangat dekat dengan tu-
buhmu di pinggiran pantai itu akan segera menggo-
tongnya ke laut...!" katanya. Membuat roh Pendekar
Hina Kelana menjadi ciut.
"Baiklah, Guru.... Aku akan segera kembali ke
dalam jasad ku...!" Setelah berkata begitu dan mengha-
turkan sembah. Roh Buang Sengketa secepatnya me-
layang kembali mendekati jasadnya yang masih tetap
terpacak di tempatnya.
Namun baru saja dia hampir sampai pada jasad-
nya mendadak dari semak-semak belukar bermuncu-
lan beberapa sosok tubuh bertelanjang dada. Di ping-
gang mereka menggelantung sebuah senjata yang be-
rupa sebilah pedang yang sangat pendek. Mereka yang
berjumlah tidak lebih dari tujuh orang itu langsung
mendekati jasad Buang Sengketa yang berdiri terpacak
bagaikan arca.
Roh Buang Sengketa menjadi kebat kebit, dan
sebelum mereka yang ada di situ sempat bertindak se-
suatu, laksana kilat roh Pendekar Hina Kelana kembali
memasuki jasadnya. Begitu semuanya telah menyatu
kembali, maka tubuhnya pun bergerak-gerak lalu ke-
dua matanya yang mengatup itupun membuka. Kenya-
taan itu sudah barang tentu membuat kejut hati mere-
ka yang ada di situ.
"Kupret. Dia bukan arca...!"
"Kubilang tadi juga begitu, coba kalau tadi cepat-
cepat pereteli harta bendanya. Pasti resikonya tidak
terlalu besar...!" Menyela salah seorang laki-laki berba-
dan kurus dengan kumisnya yang jarang-jarang. Dan
sesungguhnya mereka yang berjumlah tujuh orang itu
kesemuanya memiliki badan kurus kering.
"Kalian mau apa...?" tanya Buang Sengketa tanpa
mengalihkan perhatiannya dari laut yang membentang
di hadapannya.
Ketujuh orang itu saling berpandangan sesa-
manya, lalu derai tawa mereka pun berhamburan me-
ningkahi suara deburan ombak yang menghempas di
pantai.
"He... he... he....! Bocah, kirain kau arca yang
berharga. Eee... tak taunya cuma seorang gembel yang
lagi ketiduran. Sialan betul...!" maki salah seorang dari
mereka.
"Tapi... jangan tergesa-gesa mengambil keputu-
san, Sobat. Siapa tau di dalam periuk bututnya dia
menyimpan harta benda yang berharga. Lumayan kan
untuk menyambung hidup sampai esok hari...!"
Pemuda dari Negeri Bunian ini yang sejak semula
berusaha menahan kesabarannya, kini menjadi naik
pitam.
***
DUA
"Ha... ha... ha...! Harta benda? Hemm, memang
betul. Di dalam periukku ini ada ku simpan emas dan
permata. Kalau kalian mau, ambillah...!" kata pemuda
itu sembari mengembangkan kedua tangannya.
Kata-kata Pendekar Hina Kelana yang hanya ber-
pura-pura itu ternyata membuat para bajak laut ber-
badan kurus kerempeng itu jadi jejingkrakan. Mereka
mengira apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa ada-
lah benar adanya. Maka dengan keangkeran yang di-
buat-buat salah seorang di antaranya membentak:
"Lekas kau serahkan periuk yang berharga itu
pada kami, kalau tidak...!"
"Kalau tidak kalian bisa berbuat apa, Cacing ku-
rus...?" tanya pendekar ini lalu tersenyum mengejek.
Geram bukan main para bajak laut itu dibuatnya.
Lalu tanpa basa basi lagi mereka segera mencabut pe-
dang pendek yang terselip di bagian pinggangnya.
"Criiing! Cruuk...!"
"Wah para cacing ingin minta di gebuk. Kasihan
badan kurus begitu, kalau sekali ku pukul tulang be-
lulangnya pasti pada remuk...!"
Belum lagi Buang Sengketa usai dengan kata-
katanya, secara serentak mereka sudah mengurung
pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat
mematikan. Sungguhpun badan mereka kurus tinggal
kulit pembalut tulang, namun para bajak laut itu me-
miliki tenaga yang sangat besar sekali. Bahkan jurus-
jurus pedang Bajak Laut Menggulung Mangsa, keliha-
tan benar-benar sebuah jurus pedang yang oleh Pen-
dekar Hina Kelana dinilai sangat berbobot.
Namun betapapun hebatnya mereka ini, tapi
Pendekar Hina Kelana bukanlah seorang lawan yang
dapat dianggap ringan. Selama malang melintang da-
lam dunia persilatan hanya beberapa gelintir tokoh
persilatan saja yang dapat menandingi kesaktian yang
dimilikinya. Itupun pada akhirnya harus mengakui
keunggulan pendekar itu, setelah Pusaka Golok Bun-
tung dan Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Sungguh-
pun dia merupakan seorang tokoh muda dan masih
terhitung baru beberapa tahun saja turun dalam dunia
persilatan. Tetapi banyak orang merasa gentar bila
berhadapan dengan dirinya.
"Haeees...! Cacing kurapan...!" makinya begitu sa-
lah sebuah pedang lawannya sempat membabat bebe-
rapa helai rambutnya yang berkibar-kibar. Maka den-
gan perasaan kesal, tubuhnya pun berkelebat cepat.
Tak ayal lagi, begitu menghadapi serangan ganas yang
datangnya bertubi-tubi. Pemuda ini pun cepat-cepat
mempergunakan jurus silat tangan kodong, Memben-
dung Gelombang Menimba Samudra. Menghadapi pe-
rubahan dan gerakan-gerakan kaki dan tangan secepat
itu. Nampaknya para bajak laut itu dibuat bingung un-
tuk beberapa saat lamanya. Namun keadaan itu tidak
berlangsung lama ketika detik berikutnya, salah seo-
rang yang jadi pimpinannya berseru lantang.
"Kutu kampret! Bocah gombal amoh ini kiranya
punya kebisaan juga. Anak-anak cepat pergunakan ju-
rus Bajak Laut Memenggal Kepala Bangau...!" teriak-
nya memberi aba-aba semua anak buahnya.
"Wuuut!"
"Sialan...!" maki pemuda itu, sambil mengkelit
tusukan pedang yang datangnya secara beruntun itu.
Baru saja dia terlepas dari sergapan yang perta-
ma, mendadak sebelum dia sempat menarik napas, se-
rangan berikutnya datang menggebu. Buang Sengketa
coba-coba kirim-kan satu sapuan mengarah pada ba-
gian ba-wah yang lowong. Nampaknya orang-orang itu
tiada menyadari adanya serangan yang sangat menda-
dak itu.
"Plook! Kraaak...!"
"Argggkh...!" Tiga orang pembajak terjengkang
tubuhnya. Sementara kaki mereka nampak patah aki-
bat tersapu tendangan kaki Buang Sengketa yang tera-
liri tenaga dalam.
"Kurang asem...! Nguuuung...!" maki kepala bajak
laut, sambil babatkan pedangnya. Andai saja Buang ti-
dak cepat-cepat menundukkan kepalanya, sudah ba-
rang tentu kepala akan terputus terbabat pedang.
"Bangsat! Terimalah ini...!" Sambil berteriak begi-
tu, Buang Sengketa berjumpalitan. Selanjutnya tu-
buhnya melentik bagaikan seekor udang sungai meng-
hindari terjangan mata pedang yang dibabatkan oleh
keempat lawannya.
"Mampuslah. Wuuut...!"
Saat tubuh pendekar ini menukik ke bawah, dia
telah kirimkan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang
menebarkan hawa panas yang sangat luar biasa itu.
Selanjutnya selarik Sinar Ultra Violet yang dilepaskan
oleh Buang Sengketa menggerung memapaki datang-
nya kilatan pedang yang dilakukan oleh lawan-
lawannya.
"Beeees! Praaang...!"
Keempat orang itu terpental tubuhnya sampai
puluhan tombak, tiga di antaranya menabrak beberapa
batang kayu api. Dan tak ampun lagi dalam keadaan
tubuh hangus, tulang belulang mereka pun berpata-
han.
Tiada erangan maupun jeritan yang terdengar,
sementara itu yang jadi pimpinannya nampak tersuruk
ke dalam pasir. Keadaan yang dideritanya pun tak le-
bih baik dari apa yang dialami oleh kawan-kawannya.
Darah kental menggelogok dari bibirnya, semen-
tara kedua matanya memandang jeri pada lawan yang
tetap berdiri tegak tanpa kekurangan sesuatu apapun.
Sesungging seringai menghiasi bibir Buang Sengketa,
tapi tiada hawa pembunuhan yang terpancar di bola
matanya.
"Cacing kurus... cepat-cepatlah merat dari hada-
panku sebelum aku berobah pendirian...!" bentak Pen-
dekar Hina Kelana.
Bentakan yang disertai tenaga dalam itu, nam-
paknya cukup berpengaruh bagi kepala bajak dan ke-
tiga kawannya. Dengan terbata-bata mereka menya-
hut.
"Ba... baiklah... pendekar! Kau memang hebat,
kami mengaku kalah...!" katanya hampir bersamaan.
Lalu dengan langkah tergesa dan kaki terpin
cang-pincang, orang itupun cepat-cepat bergegas me-
ninggalkan Buang Sengketa yang saat itu juga telah
berlari sangat cepat menuju Tanjung Api tempat ke-
diaman gurunya si Bangkotan Koreng Seribu. (Dalam
Episode: Utusan Orang-Orang Sesat).
Begitu cepat sekali gerakannya, karena pada saat
itu dia telah pula mengerahkan ilmu lari cepatnya yang
diberi nama Ajian Sepi Angin. Tak ayal lagi kalau
hanya dalam waktu sekedipan mata pemuda dari Ne-
geri Bunian itu telah lenyap dari pandangan mata,
* * *
Bara Seta adalah merupakan seorang Ketua Per-
guruan Candak Ginaka yang selama ini bermukim di
Lubuk Sikaping, daerah bagian Barat Tanjung Api!
Murid-muridnya tidak banyak, hanya berjumlah
belasan orang saja. Namun sungguhpun begitu, mu-
rid-muridnya yang hanya berjumlah lima belas orang
itu, merupakan murid yang pilih tanding. Selama Bara
Seta selalu mendidiknya dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya. Sehingga mereka menjadi murid-
murid yang berkepandaian tinggi. Beberapa tahun be-
lakangan dia telah pula menjalin hubungan yang san-
gat baik dengan Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Den-
gan orang tua yang sakti mandraguna itu dia diangkat
sebagai seorang anak. Itu makanya begitu mendengar
tentang kabar kematian si Bangkotan Koreng Seribu,
yang agak terlambat sampai padanya. Bara Seta sejak
dua hari yang lalu sudah melakukan perjalanan ke
daerah Tanjung Api.
Tujuannya sudah jelas ingin menyelamatkan se-
mua peninggalan orang tua angkatnya itu dari tangan-
tangan orang yang bermaksud menguasainya. Seperti
yang diketahui, dalam beberapa purnama terakhir, si
Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan sebuah
kitab jurus-jurus Koreng Seribu untuk seorang murid-
nya yang selama ini sedang melakukan pengembaraan
dalam mencari ayahandanya. Bara Seta masih ingat,
kala dalam keadaan sakit-sakitan bapak angkatnya itu
pernah berkata padanya.
"Bara Seta...! Hidup selama seratus delapan pu-
luh tahun. Sesungguhnya aku ini sudah sangat letih,
dan pada saatnya aku juga akan kembali pada Sang
Hyang Widi. Tubuhku sudah lapuk, dan dalam usia
yang menjelang malam ini. Aku telah menciptakan ju-
rus-jurus silat Koreng Seribu untuk kuwariskan pada
si Hina Kelana murid tunggalku itu...!" katanya dalam
sisa-sisa kelelahan yang menggurat di wajahnya yang
keriput. Masih teringat oleh Bara Seta saat itu Kakek
Bangkotan Koreng Seribu menyambung lagi. "Sebenar-
nya aku sudah sangat rindu pada murid geblek itu.
Tapi salahku sendiri, dulu aku pernah memberi perin-
tah padanya agar tidak segera kembali. Sebab aku in-
gin agar dia menimba pengalaman sebanyak-
banyaknya di dunia luar sana agar pengalaman yang
didapatnya membuat dia menjadi lebih dewasa. Na-
mun terkadang sebagai seorang guru dan ayah ang-
katnya, ada perasaan tak tega melihat dia pergi begitu
jauh dariku. Tahukah kau bahwa muridku itu terka-
dang selalu terlambat untuk mengambil keputusan
maupun tindakan yang sesungguhnya sangat perlu
untuk menjaga keselamatan dirinya. Aku suka merasa
kasihan padanya. Sejak kecil dia telah ditinggal mati
oleh ibunya, aku yang menemukan dirinya dalam kea-
daan terombang ambing di permainkan Badai Selat
Malaka di atas sebuah kotak yang membawanya dalam
sebuah perjalanan yang sangat menyedihkan...!"
"Lalu bersama bapak dia tinggal di sini?" tanya
Bara Seta saat itu.
"Betul, aku juga telah mengajarkan segala sesua-
tu yang menjadi milikku selama aku malang melintang
dalam dunia persilatan dulu. Kalaupun hari ini aku
memanggilmu, Bara Seta, tak lain karena aku ingin
menyampaikan satu rahasia yang nantinya harus kau
sampaikan pula pada si Buang Sengketa...."
"Rahasia apakah itu, Bapak...?" tanya Bara Seta
yang telah berumur tak kurang dari lima puluh empat
tahun itu penuh perhatian.
Si Bangkotan Koreng Seribu menarik nafasnya
pendek: "Aku telah menyimpan sebuah kitab terakhir
hasil ciptaanku, yang kuberi nama Jurus-jurus Koreng
Seribu. Kitab itu telah kusimpan di sebuah karang gua
yang terdapat di jajaran karang yang sangat banyak
itu. Murid tunggalku itu pasti mengetahui di gua ka-
rang yang mana telah kusimpan kitab itu. Pesanku,
andai umurku tak sampai hingga menjelang Buang
Sengketa kembali ke Tanjung Api ini. Maka jagalah
tempatku ini dari tangan orang-orang yang mempunyai
keinginan tak baik. Akan celakalah dunia persilatan
andai saja kitab ciptaanku yang terakhir itu sampai ja-
tuh ke dalam golongan orang-orang yang sesat...!"
"Tapi, Bapak. Mungkinkah murid yang telah lama
mengadakan pengembaraan itu akan segera kembali
lagi ke sini...?" tanya Bara Seta kala itu.
Kakek berwajah murung itu, nampak tersenyum.
Sebuah senyum enggan yang Menandakan rasa malas
dari usianya yang telah lanjut.
"Aku yakin dia pasti akan kembali pada gurunya,
kalau pun tidak maka aku yang akan memanggilnya
pulang...!"
"Baiklah, aku akan mengingat pesan-pesan ba-
pak, dan mudah-mudahan aku tidak akan mengece-
wakan harapan bapak...!"
"Ingat, selamatkan dan pertahankanlah tempat
ini sampai muridku si Buang Sengketa kembali ke
tempat ini...!" Pesan si Bangkotan Koreng Seribu.
Apa yang dikatakan oleh orang tua angkatnya itu
terus mengiang di telinga Bara Seta. Serta merta dia
menggebrak laju kudanya, tanpa komentar murid-
muridnya pun melakukan hal yang sama.
Lebih kurang tiga jam kemudian maka mereka
sudah hampir sampai di Tanjung Api. Namun betapa
terperanjatnya mereka ketika melihat kepulan asap hi-
tam membubung tinggi di udara. Sesaat lamanya Bara
Seta menghentikan laju kudanya. Sementara kedua
matanya memandang pada kepulan asap yang disertai
kobaran api yang menjulang tinggi.
Seperti yang dia ketahui di pantai sekitar Tan-
jung Api tak ada penghuni lain terkecuali hanya se-
buah rumah yang merupakan tempat tinggal Kakek
Bangkotan Koreng Seribu. Dalam kegusarannya itu, ti-
ba-tiba dia berseru lantang pada murid-muridnya:
"Kebakaran! Sumber asap itu berasal dari rumah
orang yang sangat aku hormati. Anak-anak, pertahan-
kan rumah dan seluruh yang ada di tempat tinggal
Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Ayo kita ke sana se-
cepatnya...!" teriak Bara Seta yang sedang diliputi ke-
gusaran yang teramat sangat.
Selanjutnya bagai dikejar-kejar setan saja, kuda-
kuda itupun melesat bagaikan anak panah yang terle-
pas dari busurnya. Akhirnya tak sampai sepemakan
sirih, sampailah mereka di Tanjung Api. Dan rombon-
gan berkuda ini lebih terperanjat lagi, karena mereka
melihat di sekeliling rumah tempat tinggal mendiang si
Bangkotan Koreng Seribu. Telah dikerumuni banyak
tokoh dari berbagai aliran.
Mereka yang hadir di situ, hanya memandang se-
kilas begitu melihat kehadiran Bara Seta dan murid-
muridnya. Selanjutnya mereka kembali memandang
kobaran api yang membakar rumah tinggal si Bangko-
tan Koreng Seribu. Bahkan salah seorang di antara
mereka yang memiliki tampang sangar dengan pa-
kaiannya yang terbuat dari kulit Beruang Merah me-
nyela:
"Ha... ha... ha...! Bangkotan Koreng Seribu, ter-
nyata setelah kau mampus. Nama besarmu yang men-
julang ke langit itu tidak ada apa-apanya. Lihatlah ru-
mahmu yang kami bakar ini saja tak menimbulkan
reaksi apa-apa. Sungguhpun mayatmu tidak kami ke-
tahui. Tapi kami puas, dan kami akan mencari kitab
ciptaanmu yang terakhir itu, sungguhpun sampai ke
lubang semut sekalipun...!" kata laki-laki itu dengan
sorot matanya yang penuh ambisi.
***
TIGA
"Engkau pun tolol, Adi Basra Panewu, orang yang
sudah mati mana bisa berbuat apa-apa. Pula untuk
apa kita hiraukan segala macam mayatnya yang tiada
berharga dan jauh-jauh kita datang ke mari hanyalah
untuk mendapatkan Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu
yang sangat berharga itu...!" Menyela Sudak Pari sam-
bil memandang pada murid-muridnya yang berjumlah
lebih dari dua puluh orang.
Sementara itu Bara Seta dan murid-muridnya
sangar marah sekali, begitu orang-orang itu mengu-
capkan kata-kata yang bernada sangat menghina ter-
hadap orang yang paling dihormatinya. Maka begitu
melompat dari atas punggung kudanya masing-masing
orang itu langsung tunjuk hidung.
"Kepada maling-maling yang tidak di undang!
Hmm, kulihat kalian semuanya terdiri dari empat per-
guruan. Bangsat... kalian telah begitu berani memba-
kar rumah orang yang sangat kami hormati...!"
Sekejap wakil ketua Beruang Merah yang berna-
ma Basra Panewu memandang pada Bara Seta dengan
sinisnya. Lalu dia pun membentak marah:
"Keparat... begitu datang kau malah marah-
marah sedemikian rupa? Apamukah almarhum si
Bangkotan Koreng Seribu itu...?"
"Kampret. Orang tua itu merupakan ayah ang-
katku, aku sebagai anaknya wajib melindungi semua
peninggalan milik si Bangkotan Koreng Seribu...!" ban-
tah Bara Seta lalu gertakkan rahang.
"Oho, kiranya si Bangkotan Koreng Seribu meru-
pakan bapak moyang angkatmu. Bagus! Kalau begitu
kau pasti tahu di mana orang tua yang namanya men-
jadi momok dalam dunia persilatan itu menyimpan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu...?" menyela Sudak Pari
yang merupakan ketua Perguruan Bruang Merah. Se-
mentara itu beberapa perguruan yang lain hanya diam
saja, melihat perdebatan yang mulai memanas.
"Hemm. Kalian memang benar-benar bangsat sia-
lan. Sudah membakar rumahnya, kini inginkan pula
yang sesungguhnya tak pernah ada itu...!" menukas
Bara Seta coba menutup-nutupi.
Tapi mana mau orang-orang Beruang Merah dan
lain-lainnya percaya begitu saja. Dari keterangan yang
dapat dipercaya, hampir menjelang akhir hidupnya si
Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan jurus-
jurus yang paling dahsyat. Dari semua jurus silat yang
pernah ada. Keterangan itu benar-benar sangat mutlak
kebenarannya, dan kalau sekarang ini, Bara Seta men-
gatakan sebaliknya mereka beranggapan bahwa den-
gan begitu berarti jurus-jurus Koreng Seribu tak akan
pernah terjatuh ke tangan orang lain. Keparat betul.
Maki Sudak Pari dalam hati. Sejenak dia meneliti la-
wan bicaranya, sekilas rasa-rasanya dia pernah men-
genali laki-laki enam puluhan yang berbadan gemuk
bagai karung itu. Mendadak dia tertawa tergelak-gelak.
Selanjutnya begitu tawanya usai:
"Karung kubut! melihat tampangmu rasanya kau
ini dari Lubuk Sikaping, tokoh golongan lurus yang
dulu hampir mampus di tangan Tiga Iblis dari Pulau
Berhala. He... he... he... Syukur kalau kau mau bersi-
kap jujur padaku. Kami pasti akan mengampuni jiwa-
mu...!" bentak Sudak Pari dengan liciknya.
"Oho... orang-orang Beruang Merah manusia se-
rakah! Bisa berbuat apakah kalian padaku. Tokh aku
sendiri merasa tak pernah bermusuhan pada siapa
pun...?"
Mendengar ucapan itu, baik Basra Panewu, Su-
dak Pari maupun tiga kelompok kaum persilatan lain-
nya berseru mencemooh.
"Dasar karung bodol! Bicaramu sebakul-bakul,
kalau kau memang tak mengatakan di mana Bangko-
tan Koreng Seribu menyimpan Kitab Jurus-jurus Ko-
reng Seribu. Maka kami akan mengobrak-abrik Tan-
jung Api berikut kau dan murid-muridmu itu...!" teriak
Sudak Pari, lalu meludah ke tanah.
Sudah barang tentu murid-murid Candak Ginaka
menjadi sangat marah sekali. Seperti mereka ketahui,
selama ini Bara Seta adalah orang yang paling dihor-
mati oleh banyak orang. Bahkan seingat mereka sela-
ma ini Bara Seta adalah orang yang sering bertindak
bijaksana pada siapa pun. Tak pernah menyakiti orang
lain. Mungkin seekor semut pun dia tak tega untuk
membunuhnya.
"Ketua mengapa hanya diam saja! Orang-orang
itu sangat keterlaluan sekali. Baiknya kita rejam mere-
ka beramai-ramai...!" kata salah seorang murid dari
perguruan Candak Ginaka.
"Weii... kurang ajar betul, kau bocah pentil...?
Kurobek-robek nanti mulutmu yang tak tahu adat
itu...!" teriak salah seorang dari tiga perguruan yang
diketuai oleh Lukas Asmoro. Lalu tanpa basa-basi lagi
dia sambitkan tangannya yang telah menggenggam be-
berapa batang jarum perak.
"Weeer!"
Selarik sinar berwarna putih mengkilat melesat
sedemikian cepatnya mengarah pada beberapa orang
murid-murid Perguruan Candak Ginaka. Namun san-
gat mengagumkan sekali. Tanpa berkesip dari tempat-
nya berdiri, mereka segera pukulkan tangannya ke de-
pan. Sungguh di luar dugaan Lukas Asmoro, kalau da-
lam waktu yang sangat singkat. Jarum perak itu bebe-
rapa batang di antaranya sempat berpelantingan dan
tak kurang tiga di antaranya membalik. Lukas Asmoro
berkelit ke samping, lalu lambaikan tangannya sehing-
ga membuat jarum-jarum itu berjatuhan ke tanah.
"Bangsaaat! Murid-murid Perguruan Candak Gi-
naka kiranya punya kepandaian juga...! Anak-anak!
Bunuh mereka semua...!" Perintah Lukas Asmoro pada
beberapa orang murid-muridnya.
Baru saja murid-murid itu hendak bergerak,
mendadak terdengar suara bentakan yang sangat me-
mekakkan gendang-gendang telinga.
"Kalian tak perlu bersusah-susah membantai
orang-orang dari Lubuk Sikaping ini. Biarkan aku yang
akan membereskannya...!" kata Basra Panewu, dan se-
bentar saja sudah turun ke dalam kalangan. Tak ayal
lagi murid-murid Perguruan Candak Ginaka yang rata-
rata memiliki ilmu yang sangat tangguh itupun segera
mengurung Basra Panewu. Laki-laki berkumis tebal
yang merupakan wakil dari Perguruan Beruang Merah
itupun segera memainkan jurus-jurus Beruang Merah
yang sangat diandalkannya. Dalam waktu sekejap saja
pertarungan yang sangat menegangkan pun terjadilah.
Maka tinggallah perguruan lain menjadi penonton da-
lam pertarungan yang sangat seru itu.
"Hiaaa...!"
Mendadak Basra Panewu kirimkan satu tendan-
gan dan satu cakaran memapaki datangnya serangan
senjata yang berupa golok yang panjang hampir dari
satu meter itu.
"Wuuung!"
Senjata-senjata yang sangat tajam itu menderu
ke arah bagian dada, leher, kaki dan perut Basra Pa-
newu. Lalu dengan sekali genjot, tubuhnya sudah me-
layang membubung ke udara. Selanjutnya begitu dia
kembali menjejakkan kakinya di atas tanah. Maka satu
pukulan yang diberi nama Beruang Merah Merobek
Sarang Lebah dilepaskan oleh Basra Panewu.
Selanjutnya tak dapat disangkal lagi, serangkum
sinar berwarna putih kebiru-biruan menderu melabrak
para pengeroyoknya. Namun sebelum pukulan yang di-
lepaskannya mencapai sasaran yang tepat, mendadak
kejadian yang tiada diduga-duga pun terjadi. Murid-
murid Candak Ginaka pukulkan tangannya mengarah
serangkum gelombang yang menderu ke arah mereka.
"Wuuut!"
Maka tak pelak lagi, beberapa larik gelombang
pukulan yang diberi nama Candak Ginaka Memburu
Mangsa yang berwarna ungu itupun saling bertubru-
kan dengan pukulan yang dilepas oleh Basra Panewu.
Akibatnya benturan dengan menimbulkan suara ber-
dentum yang berkepanjangan pun terdengar.
Murid-murid Candak Ginaka tersentak tubuh-
nya, namun Basra Panewu juga hampir terjengkang.
Dalam adu tenaga dalam itu ternyata satu lawan lebih
dari lima orang sama-sama memiliki kekuatan yang
berimbang.
Basra Panewu nampak mengurut dadanya yang
terasa sesak. Namun begitu dia mengerahkan tenaga
dalamnya, rasa sesak itupun segera menghilang. Baik
Basra Panewu maupun yang lain-lainnya kelihatan
sangat gusar sekali. Sama sekali mereka tiada me-
nyangka kalau murid-murid Candak Ginaka kiranya
merupakan murid-murid yang tangguh.
"Caiiiit... Huaaa...!" Basra Panewu yang sudah
dalam keadaan emosi itupun kembali menghantamkan
kedua tangannya ke arah lawannya. Lagi-lagi selarik
gelombang pukulan Beruang Merah Merobek Sarang
Lebah dia lepaskan. Pukulan itu berisi kurang lebih ti-
ga perempat dari tenaga dalamnya. Mengetahui kawan-
kawannya dalam keadaan bahaya, maka yang lainnya
pun turun membantu. Sambil berjumpalitan tak ku-
rang dari delapan orang Candak Ginaka, kiblatkan
tangannya memapaki datangnya serangan yang ber-
hawa panas itu.
"Bluduuk...!"
Tubuh Basra Panewu terpelanting bahkan nyaris
terjerumus ke dalam kobaran api yang hanya tinggal
baranya saja. Sebaliknya delapan murid Candak Gina-
ka terjengkang satu tombak. Terlihat darah segar mele-
leh dari hidung mereka, keadaan Candak Ginaka ma-
lah lebih parah lagi. Sungguhpun dia berusaha me-
nyembunyikan apa yang sedang dideritanya, namun
dari raut wajahnya yang pucat, nampak nyata sekali
kalau dia sedang menderita luka dalam yang cukup se-
rius. Dadanya masih terasa menyesak, pandangan ma-
tanya mengabur dan berkunang-kunang. Namun demi
menjaga gengsi di depan orang yang begitu banyak, dia
cepat-cepat bangkit berdiri.
Saat itu murid-murid Candak Ginaka sudah siap-
siap untuk melakukan serangan balasan. Tapi menda
dak segalanya berubah begitu cepatnya. Sudak Pari
begitu melihat wakilnya tunggang langgang dalam
menghadapi murid-murid Candak Ginaka nampaknya
menjadi sangat murka sekali. Selanjutnya dengan te-
riakan-teriakan yang sangat lantang, ketua Partai Be-
ruang Merah itupun memerintah:
"Kuharap. Dari semua perguruan yang ada mari-
lah beramai-ramai mencincang tikus-tikus dari Can-
dak Ginaka... tapi kalau tak setuju, cepat-cepat ting-
galkan tempat ini. Sebab tak satu pun di antara kalian
nantinya kubiarkan terima bersih dalam mendapatkan
Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu...!" Sejenak suasana
di se-kitar tempat itu menjadi hening, masing-masing
perguruan saling pandang sesamanya.
Sementara itu Bara Seta sendiri nampak sedang
berfikir keras bagaimana caranya mengatasi lawan
yang jumlahnya tidak kurang dari enam puluh orang.
Andaipun memang benar, murid-muridnya merupakan
murid-murid yang tangguh. Tapi jumlah lawan boleh di
bilang cukup besar. Sehebat apapun kekuatan mereka,
namun mungkinkah mereka dapat mempertahankan
diri?
Persetan, mati berkorban untuk orang yang dia
hormati adalah jauh lebih baik daripada harus ber-
diam diri membiarkan orang-orang itu menghancurkan
dan mengobrak abrik tempat itu. Batinnya dalam hati.
Maka akhirnya tanpa pikir panjang lagi dia pun
memberi isyarat pada murid-muridnya. Lalu dengan
mempergunakan jurus-jurus Candak Ginaka, mereka
ini pun tanpa basa basi lagi segera melakukan seran-
gan menghadapi enam puluh orang murid dan ketua
gabungan dari empat perguruan.
Semakin bertambah gusarlah, Basra Panewu,
Sudak Pari dan Lukas Asmoro dibuatnya. Maka, den-
gan kemarahan yang menggebu-gebu, masing-masing
ketua perguruan itu memberi perintah serupa pada
murid-muridnya:
"Basmi orang-orang Candak Ginaka...!"
"Hoiiaaat...!"
"Cring! Cring!"
Dalam sekejap saja kobaran pertarungan pun
sudah tak dapat dihindari lagi, denting beradunya ber-
bagai senjata tajam meningkahi jerit menyayat dari
korban-korban dari kedua belah pihak yang mulai ber-
jatuhan. Enam puluh orang murid perguruan gabun-
gan bertarung melawan lima belas orang murid-murid
Bara Seta.
Sementara Bara Seta sendiri tengah berjuang
menghadapi empat orang ketua perguruan yang rata-
rata memiliki ilmu sangat tinggi. Tubuh Bara Seta se-
bentar saja sudah bermandi peluh, sejauh itu perta-
rungan tokoh-tokoh kelas menengah ini masih saja
mempergunakan jurus-jurus tangan kosong. Sekali
dua pukulan-pukulan maut pun mereka lancarkan si-
lih berganti. Namun nampaknya Bara Seta yang memi-
liki ajian Inti Bumi itu merupakan manusia yang ma-
tang dalam hal pertempuran. Kala itu, Basra Panewu,
Sudak Pari, Lukas Asmoro dan Tiklu Sara dengan ali-
ran yang berbeda-beda mulai melancarkan pukulan-
pukulan mautnya. Dengan sangat gencar dan datang-
nya bertubi-tubi.
"Wess! Wut! Wut! Wut!"
Dari empat penjuru mata angin pukulan maut
yang memiliki hawa dingin dan panas itupun datang
menggebu.
Bara Seta menyadari kalaupun dia bermaksud
untuk memapaki pukulan yang datangnya secara ber-
samaan itu. Pasti akibatnya sangat patal sekali. Tu-
buhnya bisa hancur berkeping-keping, atau paling ku-
rang tulang belulangnya menjadi remuk dengan jiwa
tiada tertolong lagi.
***
EMPAT
Maka dalam keadaan yang sangat kritis itu sece-
patnya dia kerahkan ajian Inti Bumi yang sangat am-
puh itu.
"Bleeees!"
Begitu tangan kanannya dia pukulkan pada per-
mukaan tanah yang merupakan tempat dia berpijak,
maka kejab kemudian tubuhnya pun lenyap begitu sa-
ja. Sementara pukulan yang dilepaskan oleh lawan-
lawannya saling bertubrukan sesamanya. Tak dapat
disangkal lagi pukulan yang dilepas dengan kobaran
nafsu membunuh itupun berakibat sangat patal bagi
murid-murid kedua belah pihak yang saat itu sedang
melakukan pertarungan.
"Kampret! Si bangsat itu kiranya memiliki ilmu
setan. Cari dia sampai ketemu...!" teriak Sudak Pari
merasa penasaran sekali dibuatnya.
"Tak usah dicari-cari segala, beruang celaka. Aku
ada di sini...!" kata Bara Seta, serta merta bagai setan
gentayangan saja telah pula berdiri di depan lawan-
lawannya dengan sikapnya yang angker.
"Setan pengecut! Nih makan pukulanku...!"
Belum lagi ucapannya usai, mendadak dia telah
kirimkan satu pukulan yang sangat dahsyat menyong-
song tubuh Bara Seta yang sudah melayang sambil le-
paskan satu pukulan maut yang diberi nama, Candak
Ginaka Kibarkan Bendera. Selaksa gelombang mende-
ru sedemikian cepatnya. Sudak Pari yang sama sekali
tidak menyangka kalau Bara Seta masih sempat ki
rimkan satu pukulan penangkal nampaknya menjadi
sangat geram, lalu kirimkan satu pukulan susulan.
"Bum! Bum!"
"Auooooo...! Kampret...!" maki Sudak Pari begitu
pukulan lawannya beradu dengan pukulan Beruang
Merah Menggerung, miliknya. Sudak Pari tunggang
langgang dengan posisi tubuh melipat bagai seekor
trenggiling yang berjungkiran di atas tanah berbatu.
Sementara Bara Seta dengan sangat baik masih dapat
mendaratkan kakinya, tiga tombak jauhnya dari para
lawan-lawannya. Namun belum lagi dia sempat mena-
rik napas, tiga orang ketua perguruan lainnya dengan
sikap tak sabar telah pula menyerangnya dengan sen-
jata mereka yang beraneka ragam.
Saat itu murid-murid Candak Ginaka yang se-
dang berusaha bertahan mati-matian menghadapi se-
rangan-serangan brutal yang dilakukan oleh tak ku-
rang dari empat puluh orang murid gabungan empat
perguruan.
Pihak Candak Ginaka, kini hanya tinggal berjum-
lah sepuluh orang saja. Lima orang di antaranya telah
tewas dengan keadaan yang sangat menyedihkan seka-
li. Sungguhpun mereka hanya tinggal berjumlah sepu-
luh orang saja, namun semangat tempur mereka se-
makin menggila. Dengan tubuh saling merapat ber-
punggungan sesamanya, mereka bahu membahu da-
lam mempertahankan diri. Tapi juga di lain saat secara
serentak mereka melakukan serangan kilat yang tiada
terduga-duga. Pukulan-pukulan maut yang tak kalah
hebatnya dari guru mereka sendiri pun mereka le-
paskan. Akibatnya celakalah bagi murid-murid gabun-
gan empat perguruan yang coba-coba menghancurkan
pertahanan Candak Ginaka. Jerit dan lolongan maut
pun kembali terdengar. Masing-masing ketua pergu-
ruan pihak lawan menjadi sangat marah sekali melihat
murid-murid mereka terbantai secara mengerikan oleh
musuh murid-murid Candak Ginaka. Maka tak saba-
ran lagi Lukas Asmoro dari Perguruan Batu Kiambang
dan Tiklu Sara dari Perguruan Hamparan Perak segera
bergabung dengan murid-muridnya. Sementara itu
saudara kakak beradik, Basra Panewu dan Sudak Pari
terus bertarung melawan Bara Seta.
"Keparat kalian murid-murid Candak Ginaka...!"
maki Lukas Asmoro, selanjutnya mendahului seku-
tunya, Tiklu Sara dan langsung memporak porandakan
pertahanan murid-murid Candak Ginaka. Tiklu Sara
pun tiada tinggal diam.
"Sobat Lukas Asmoro! Jangan ajak bicara mere-
ka, kita mampusin saja semuanya biar mereka tidak
bisa ketemu anak bini lagi...!" Sambil mengekeh Tiklu
Sara.
"Ku pertahankan dan tidak kami biarkan anjing
mana pun merongrong tempat tinggal orang tua yang
sangat kami hormati hingga titik darah yang penghabi-
san!" teriak salah seorang murid Candak Ginaka. Saat
itu mereka sudah mencabut pedangnya masing-
masing, selanjutnya menggempur lawan-lawannya
tanpa ampun lagi.
"Segala kutu kupret, mau bertingkah di hadapan
empat perguruan gabungan. Caaat, mampus...!" maki
Tiklu Sara. Dan sekali saja senjatanya yang berupa
kebutan itu menyambar. Maka hancurlah wajah salah
seorang murid Candak Ginaka yang tak sempat me-
nangkis serangan itu.
Tubuhnya terhempas di atas tanah berpasir,
menggelupur sekejab selanjutnya diam untuk selama-
lamanya. Tiklu Sara yang sudah kerasukan setan itu
tiada lagi menghiraukan lawannya yang sudah terka-
par itu. Sebaliknya bagai tak pernah mengenal puas,
Tiklu Sara sudah menghantam murid-murid Candak
Ginaka yang lainnya. Satu demi satu murid-murid Ba-
ra Seta berguguran, sungguhpun hal itu tidak terlepas
dari perhatian gurunya. Namun Bara Seta tak mampu
berbuat banyak, sebab dia sendiri sedang berjuang
menghadapi Basra Panewu dan Sudak Pari yang ter-
nyata memiliki ilmu simpanan yang sangat berbahaya
sekali bagi Bara Seta. Malang sekali nasib Bara Seta
dan gurunya. Agaknya murid-muridnya yang hanya
tinggal empat orang itu sekejab lagi pasti akan ter-
bantai habis andai saja pada saat-saat yang sangat kri-
tis itu tidak muncul sosok bayangan berpakaian me-
rah-merah. Begitu sosok bayangan itu melayang turun
dari atas sebuah pohon kayu api-api. Maka tak ampun
lagi dia langsung kirimkan pukulan Empat Anasir Ke-
hidupan secara bertubi-tubi, pada murid-murid ga-
bungan empat perguruan. Sontak keadaan menjadi
berbalik, begitu pukulan yang memancarkan Sinar
Violet dan berhawa panas luar biasa itu melabrak tu-
buh mereka, jerit kematian dan lolongan kesakitan
pun membahana bagai merobek angkasa yang diseli-
muti mendung.
Kehadiran pemuda yang tak lain merupakan mu-
rid tunggal si Bangkotan Koreng Seribu ini benar-
benar membuat keadaan pihak lawan menjadi kacau
balau. Tubuh-tubuh berpelantingan dengan keadaan
hangus dan jiwa melayang. Namun Buang Sengketa
tak ingin berhenti sampai di situ saja, Pukulan si Hina
Kelana Merana yang menimbulkan udara dingin yang
teramat sangat itupun dia lepaskan silih berganti. Da-
lam waktu tidak sampai sepemakan sirih, murid-murid
perguruan gabungan itupun hanya tinggal beberapa
gelintir saja. Maka terkejutlah empat ketua partai itu
demi melihat sepak terjang pemuda yang tiada mereka
kenal itu. Dan lebih terbelalak lagi begitu melihat mu-
rid-murid mereka terbantai habis di tangan pemuda
itu.
Dengan kegusaran yang bukan alang ke-palang,
serentak mereka-mereka yang sedang terlibat perta-
rungan itupun bagai dikomando saja segera menghen-
tikan pertarungan.
Di antara mereka yang hadir di situ hanya Bara
Seta saja yang kelihatan tenang-tenang. Sebab begitu
dia melihat kehadiran Buang Sengketa, menurut ciri-
ciri yang diberikan oleh almarhum si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Apa yang dilihat dari pemuda itu adalah
sangat persis sekali. Baik pakaiannya, wajahnya yang
sangat tampan, mau pun sebuah periuk yang mengge-
lantung di pinggangnya. Semuanya persis dengan apa
yang dikatakan oleh orang tua angkatnya.
"Hmm. Masih sedemikian muda, namun memiliki
kepandaian yang sangat mengagumkan sekali!" batin
Bara Seta.
Sementara itu, Buang Sengketa setelah lama
memandang rumah tempat tinggal almarhum gurunya,
kini memandang pada semua orang yang hadir di situ
secara silih berganti. Begitu dingin dan angker tatapan
matanya, menandakan bahwa pemuda itu benar-benar
merasa sangat tidak senang dengan tindakan yang
sangat menghina tersebut,
"Sungguh hanya setan-setan yang berani mati sa-
ja, yang begitu sanggup membakar rumah guruku. Tak
satu pun di antara kalian yang kubiarkan hidup. Cela-
ka sekali nasib kalian hari ini...!"
"Bangsat... begitu datang kau bagai iblis membu-
nuhi murid-murid kami. Kemudian manusia gembel
semacammu berani pula mengaku-ngaku sebagai mu-
ridnya si Bangkotan Koreng Seribu... siapakah kau ini,
Bocah hina...?" tanya Basra Panewu sangat gusar ber-
campur jerih.
Memerah wajah Buang Sengketa saat itu juga,
kedua gerahamnya mengatup rapat. Namun sedikitpun
perhatiannya tiada pernah berpaling dari Basra Pane-
wu yang bermulut runcing bagai tikus curut itu.
"Orang-orang celaka, akulah Buang Sengketa
murid tunggalnya Kakek Bangkotan Koreng Seribu
yang rumahnya telah kalian bakar itu...!"
"Kami tak pernah percaya...!"
"Aku juga yang hampir lapuk dimakan usia tidak
pernah mempercayai keterangan-mu itu, Bocah sint-
ing...!" Sudak Pari, Lukas Asmoro dan Tiklu Sara me-
nyahut hampir berbarengan.
"Hak... kek... kak... ke...! Percaya atau tidak per-
caya itu bukan urusanku. Yang jelas kalian datang ke
mari hanya ingin merampok Kitab Jurus-jurus Koreng
Seribu yang telah diciptakan oleh guruku, nah seka-
rang bersiap-siaplah kalian untuk kukirim ke neraka.
Hiaaat...!"
Selanjutnya tanpa mengenal kompromi lagi,
Buang segera menerjang Basra Panewu dan Sudak Pa-
ri. Sementara itu Bara Seta segera pula berhadapan
dengan Lukas Asmoro dan Tiklu Sara.
Menghadapi Lukas Asmoro dan Tiklu Sara bagi
Bara Seta bukanlah sesuatu yang sangat istimewa. Se-
bab seperti yang dia ketahui, Tiklu Sara dan Lukas
Asmoro hanyalah merupakan wakil maupun kurir dari
salah satu perguruan yang berasal dari daerah Tengga-
ra. Itu sebabnya dalam waktu hanya sekejab saja dia
telah pula mengetahui kunci dari jurus-jurus yang di-
mainkan oleh kedua lawannya. Begitu segala rahasia
jurus-jurus silat lawannya telah diingatnya dengan
baik, maka detik kemudian dia telah melakukan se-
rangan balasan dengan mempergunakan tenaga yang
berlipat ganda.
Sementara itu Buang Sengketa yang berhadapan
dengan Basra Panewu dan Sudak Pari nampak sedang
menggempur lawannya dengan mempergunakan jurus-
jurus tangan kosong yang diberi nama si Gila Menga-
muk.
Selanjutnya senjata Basra Panewu dan Sudak
Pari yang berupa sebatang toya itupun menderu men-
girimkan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat.
Namun Pendekar Hina Kelana bukanlah pendekar ke-
marin sore, sungguhpun usianya relatip sangat muda,
tapi dia merupakan tokoh silat yang memiliki ilmu sak-
ti yang beraneka ragam. Jurus silat si Gila Mengamuk
juga merupakan jurus tingkat dua setelah jurus tan-
gan kosong Membendung Gelombang Menimba Samu-
dra. Sungguhpun mempergunakan jurus ini, permai-
nan silatnya nampak kacau balau dan sangat tidak te-
ratur. Namun serangan toya yang begitu gencar itupun
masih belum mampu menyentuh selembar rambut
Buang Sengketa.
Orang-orang dari Perguruan Beruang Merah itu-
pun gusarnya bukan main, sebaliknya kini tubuh
Buang Sengketa berkelebat sangat cepat, hanya terasa
angin sambaran tubuh pemuda itu saja yang mengi-
bar-ngibarkan pakaian Basra Panewu dan Sudak Pari.
Sekejab kedua orang itu nampak kebingungan sekali.
Pada saat seperti itulah, dengan diawali jerit tinggi me-
lengking Buang Sengketa pukulkan tangannya ke de-
pan. Serangkum sinar berwarna Ultra Violet yang me-
nimbulkan hawa sangat panas luar biasa datang
menggebu meluruk ke arah lawan-lawannya.
Akibat pukulan yang sangat ganas itu tadi mere-
ka sempat melihat dari apa yang dialami oleh murid-
muridnya. Dan mereka pun sadar bahwa saat itu la-
wan pasti mempergunakan pukulan maut yang berke-
kuatan besar. Maka secepatnya mereka putar toyanya
untuk melindungi diri.
"Weeertt...! Blaaaam...!"
Pukulan Empat Anasir kehidupan yang dilepas
oleh Pendekar Hina Kelana menghantam kedua orang
itu, tunggang langgang tubuh mereka terbanting, toya
berantakan menjadi beberapa keping. Pada saat itu
terdengar teriakan Bara Seta:
"Bangsat! Setelah merasa tidak ungkulan, kalian
mau kabur, jangan harap...!" Berkata begitu Bara Seta
bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi Buang
Sengketa mencegahnya.
"Jangan, Paman...! Masih banyak persoalan yang
harus kita selesaikan di sini. Pula kedua bangs...!"
Buang Sengketa tak melanjutkan ucapannya karena
begitu dia menoleh, lawan-lawannya yang tadi terpe-
lanting itupun sudah tidak ada di tempatnya.
"Mereka juga kabur! Namun aku yakin cepat atau
lambat mereka pasti akan kembali lagi ke sini...!" kata
Buang Sengketa, lalu menarik nafas pendek. Sementa-
ra itu Bara Seta dan empat orang murid yang tersisa
sudah menghampiri si pemuda. Selanjutnya tanpa ra-
gu-ragu lagi dia pun menyela:
"Engkaukah yang bernama Buang Sengketa?" ta-
nyanya penuh perhatian.
Pendekar Hina Kelana anggukkan kepalanya pe-
lan.
***
LIMA
"Kalau begitu tak salah seperti apa yang dikata-
kan oleh Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Bahwa Pen-
dekar Hina Kelana itu, engkaulah adanya...!" Dalam
nada ucapannya, jelaslah sudah bahwa kepulangan
Buang Sengketa di Tanjung Api membuat Bara Seta
dan keempat muridnya merasa sangat girang sekali.
"Mengapa kejadian ini sampai terjadi, dan siapa-
kah adanya paman ini...?" tanya pemuda itu setelah
gejolak di dalam hatinya menjadi reda kembali.
Kemudian secara singkat Bara Seta menceritakan
mengenai hubungannya dengan Kakek Bangkotan Ko-
reng Seribu. Akhirnya mengertilah Pendekar Hina Ke-
lana tentang duduk persoalan yang sebenarnya. Selan-
jutnya dengan sikap persaudaraan Buang Sengketa
segera bertanya:
"Paman! Apakah paman tahu di mana kira-kira
jenazah kakek guru berada?" Ditanya begitu Bara Seta
nampak tercenung beberapa saat lamanya. Lalu sepa-
sang matanya yang agak menyipit itupun memandang
pada hamparan batu-batu karang yang ada di pinggi-
ran pantai.
"Sebagai muridnya, tentu kau tahu tentang gua-
gua yang ada di celah-celah batu karang itu. Nah
mungkin di sanalah dia berada...!"
Pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itupun
nampak angguk-anggukkan kepalanya.
"Gua di batu karang itu banyak sekali, namun
aku merasa sangat khawatir andai sekarang ini kita ke
sana, nantinya akan datang lagi tokoh-tokoh persilatan
untuk merampas Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu ha-
sil ciptaan yang terakhir kali...!"
"Ya, ancaman itu akan selalu ada, Buang! Tapi
akan tegakah kita-kita membiarkan jenazah orang
yang kita hormati menderita lebih lama lagi di alam
pana ini...?" tanya Bara Seta seperti pada dirinya sen-
diri.
"Betul juga!" kata pemuda itu, lalu angguk-
anggukkan kepalanya. Lalu sambungnya lagi: "Apapun
yang akan terjadi kita harus dapatkan kakek guru hari
ini juga...."
"Kalau begitu sekarang juga kita mulai pencaha-
rian itu...!" ajak Bara Seta, maka berangkatlah keenam
orang itu menelusuri tebing karang yang saat itu se-
dang dalam keadaan pasang surut.
"Paman! Aku melihat semua pintu gua karang
yang ada di sini tertutup dengan sangat baik. Aku sen-
diri merasa yakin pintu batu karang itu tak akan ter-
buka walau didorong oleh sepuluh tenaga kuda. Yang
mana satu kira-kira yang merupakan tempat peristira-
hatan terakhir guru...?" ujar Buang Sengketa mereka-
reka.
"Sebagai muridnya, tentu kau tahu gua yang ma-
na yang paling sering dipergunakan oleh bapak untuk
keperluan-keperluan tertentu...!"
"Guru orangnya payah sekali, Paman! Tingkah-
nya suka yang aneh-aneh dan bikin kepalaku pusing
berdenyut-denyut. Sesuatu yang pasti tak pernah ada
dalam hidupnya. Kecuali kematian dan hidupnya sen-
diri. Aku bisa saja menduga kalau guru berada di se-
buah gua karang yang sangat besar itu! Namun siapa
tahu dia malah sengaja menyembunyikan diri di atas
pohon-pohon. Atau barangkali di dalam perut bumi...!"
Sesungguhnya mendengar kata-kata Buang
Sengketa, Bara Seta menjadi geli hatinya, namun
hanya keadaanlah yang membuat dia menahan segala
bentuk tawanya cukup di dalam hati saja. Sebaliknya
dia malah berkata serius sekali.
"Rasanya dalam keadaan yang sangat serius, dia
tak akan pernah main-main, Buang? Menurutmu,
yang mana satu gua yang sering dipergunakan oleh
bapak untuk menyimpan sesuatu yang sangat raha-
sia...?"
"Maksud paman tentang kitab itu...?" Buang
Sengketa malah balik bertanya. Bara Seta gelengkan
kepalanya.
"Maksudku bukan itu! Mengenai kitab semuanya
bisa kita selesaikan kemudian! Yang terpenting bagai-
mana caranya kita cari tahu tentang jenazah kakek
Bangkotan Koreng Seribu...!"
Pendekar Hina Kelana nampak terdiam untuk se-
saat lamanya, kembali pandangannya menerawang ke
laut lepas. Lalu teringat pula olehnya masa-masa keti-
ka masih kecil dulu. Di tempat itu, di Pantai Tanjung
Api yang memiliki ombak yang sangat ganas. Kakek
tua itu telah menggemblengnya sedemikian rupa, siang
dan malam tanpa mengenai lelah. Dengan segenap jiwa
raganya, kakek sakti itu menciptakan jurus-jurus,
maupun pukulan-pukulan yang sangat ampuh. Semua
itu hanya diperuntukkan untuk dirinya, ah, betapa ha-
tinya menjadi pedih, sampai akhir hayatnya dia seba-
gai orang yang pernah dididik dan diberi kasih sayang
sedemikian rupa. Namun tak sekalipun dia pernah
mampu membalas segala kebaikan yang pernah dibe-
rikan oleh orang tua itu. Mengapa semuanya begitu
cepat berlalu, padahal selama ini dalam pengembaraan
yang sangat melelahkan itu dia teramat sering ingin
bertemu dengan orang tua yang baginya merupakan
segala-galanya. Mengenang semua itu, tanpa sadar air
mata pemuda itupun menetes, dan tentu saja keadaan
itu membuat heran semua yang ada di tempat itu.
Namun sebelum keheranan itu tertanyakan, mendadak
Buang Sengketa bergumam seperti pada dirinya sendi-
ri.
"Aku ini seorang murid yang tolol! Tak pernah
mampu berbakti pada orang yang paling berarti dalam
hidupku! Dia yang merupakan segala-galanya bagiku
kini telah tiada. Pada siapa aku harus membalas sega-
la kebaikannya. Oh... dasar... nasib, hidup di atas du-
nia hanya sebatang kara.... Pendekar Hina Kelana...
manusia hina sengsara...! Buang Sengketa... bocah
terbuang yang kehadirannya dipersengketakan oleh
banyak orang. Ahik... hu... hu...hu...! Guru, jalan yang
manakah semestinya yang harus kutempuh. Semua-
nya jadi serba rumit dan membingungkan. Guru eng-
kau manusia terdahulu sebelum kehadiranku. Kau bi-
lang aku ini tak boleh menangis menyesali nasib, tapi
aku juga tak pernah menyesalkannya, Guru...! Namun
berilah aku titik terang, agar hatiku dijauhkan dari ke-
resahan dan rasa bersalah...!" kata pemuda itu, tu-
buhnya nampak terguncang-guncang. Dia merasa san-
gat terpukul sekali atas kepergian gurunya.
Bara Seta dan murid-muridnya nampak sedih
melihat apa yang sedang dialami oleh pemuda yang
sangat mengagumkan itu. Selanjutnya sambil meme-
gang pundak si pemuda dia berkata setengah menasi-
hatkan:
"Sudahlah, Buang! Mengapa kau tangisi orang
yang sudah tiada! Hal itu hanya akan membuat resah
arwah bapak di nirwana. Berbuat kebaikan sesama
umat manusia sesungguhnya merupakan sesuatu
yang sangat terpuji. Kalau pun dia kini telah tiada lagi.
Tokh kau bisa melakukan kebaikan pada orang lain.
Pahalanya juga sama. Nah sekarang lebih baik kita co-
ba membuka dinding gua itu satu demi satu. Jangan
bersedih, malu nanti kalau sampai orang-orang persi-
latan tahu, kalau pendekar yang namanya kesohor di
mana-mana itu ternyata memiliki hati yang rapuh...!"
ujar Bara Seta dengan sikapnya yang kebapakan.
Mendengar ucapan Bara Seta, pemuda itu bant-
ing-banting kakinya sambil berkelesetan bagai anak
kecil yang kehilangan tetek ibunya. Lalu dengan ter-
sendat-sendat dia berucap:
"Ma... masa bodoh! Aku tak bisa bersikap pura-
pura! Biarkan semua orang di penjuru dunia tahu, aku
tak akan perduli. Aku paling tak bisa memendam pera
saan. Kakek guru bilang, kalau banyak memendam pe-
rasaan jika sampai memuncak ke kepala bisa jadi
uban, kalau bergerak ke muka jadi jerawat. Sebaliknya
kalau turun ke pantat bisa jadi bisul. Oho... aku tak
ingin berpura-pura, Paman! Paman dengarkah itu?"
ucap Buang Sengketa setengah bertanya.
Semakin bertambah geli saja hati Bara Seta.
Bahkan keempat orang murid tersisa sudah tak dapat
memendam tawanya lagi. Serta merta Buang Sengketa
menyadari tingkahnya yang bagaikan anak kecil itu,
lalu teringat pula kebencian gurunya akan sebuah ke-
cengengan. Selanjutnya cepat-cepat dia seka air ma-
tanya. Mendadak saja wajahnya berubah menjadi ceria
seperti sediakala. Sementara itu, Bara Seta sudah ang-
guk-anggukkan kepalanya bagai burung puntul yang
mengais ikan di pinggiran pantai.
"Gurumu mau pun bapak angkatku memang ti-
dak salah. Itu makanya aku ingin sekarang juga kita
mencari lokasi di mana Kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu berada, setelah kita temukan jenazahnya, maka ki-
ta adakan upacara sederhana untuk selanjutnya me-
nyemayamkan jenazahnya di tempat yang sangat
layak...!"
"Marilah, kita mulai dari yang di tengah itu. Na-
mun untuk mendobrak pintunya, aku harus mengge-
rakkan segenap pukulan sakti yang kumiliki...!" kata
Buang tegas.
"Cara apapun yang akan kau lakukan sepenuh-
nya kuserahkan padamu...!"
Lalu tanpa menjawab, mereka pun me-langkah
kembali. Barulah setelah sampai di depan pintu gua
yang tertutup batu karang, pemuda itu menghentikan
langkahnya diikuti oleh yang lain-lainnya.
"Hemm! Nampaknya aku harus mempergunakan
pukulan si Hina Kelana Merana." batin Buang Sengketa. Selanjutnya tanpa banyak basa basi lagi, dia segera
mengerahkan tenaga saktinya ke arah kedua belah
tangannya.
Tubuh Buang Sengketa menggeletar untuk bebe-
rapa saat lamanya, selanjutnya dari kedua belah tan-
gannya itu mengeluarkan uap panas, semakin lama
tangan itu berobah memerah. Mereka yang menyaksi-
kan kejadian itu nampak sangat terkejut sekali, na-
mun sebelum kejut mereka hilang sama sekali. Men-
dadak Buang Sengketa berteriak dengan suara tinggi
melengking.
"Haaiiiit...! Huaaa!!"
Buang pukulkan kedua tangannya mengarah pa-
da pintu gua karang, maka sekejab kemudian satu ge-
lombang sinar berwarna merah menyala meluruk ke
arah pintu gua karang yang berukuran sangat tebal
itu.
"Bluuuuaarrr...!"
Pintu gua karang itupun jebol berantakan, Pen-
dekar Hina Kelana langsung menyerbu ke dalamnya.
Setelah jalan hilir mudik dalam ruangan yang beruku-
ran sangat luas itu dia pun terdiam di tengah-tengah
ruangan yang berhawa hangat udara laut.
"Bagaimana, Buang...?" tanya Bara Seta sambil
mengitarkan pandangan matanya. Pemuda itu geleng-
gelengkan kepalanya perlahan.
"Nampaknya tak ada tanda-tanda kalau Kakek
Bangkotan Koreng Seribu mengakhiri hayatnya di
tempat ini...!" ujar Pendekar Hina Kelana dengan alis
mengerimit tanda bahwa dia sedang memikirkan tem-
pat yang sering merupakan pengasingan bagi gurunya
tersebut.
"Lalu bagaimana...?"
"Masih banyak gua karang yang belum kita lihat!
Cobalah kita ke gua lainnya, barangkali dia ada di
tempat itu...!" kata Buang Sengketa. Selanjutnya dia
meninggalkan gua yang sudah berantakan pintunya
menuju gua karang yang lainnya. Sesampainya di gua
karang yang terletak tak begitu jauh dari gua karang
pertama Buang Sengketa kembali menghentikan lang-
kahnya. Dalam pada itu Bara Seta sudah pula berkata:
"Mestinya ada tanda-tanda tertentu yang dapat kau
pahami maknanya...!"
Saat itu Pendekar Hina Kelana sudah bersiap-
siap dengan pukulan dahsyatnya si Hina Kelana Mera-
na, namun begitu mendengar apa yang dikatakan oleh
Bara Seta akhirnya dia menjadi urung. Dia tercenung,
dalam hati membenarkan apa yang dikatakan oleh Ba-
ra Seta.
"Betul juga! Mengapa tak kucari saja, tanda-
tanda seperti apa yang dikatakan oleh Paman Bara Se-
ta. Almarhum Kakek Bangkotan Koreng Seribu pasti
ada meninggalkan sesuatu yang hanya aku dan dia sa-
ja yang mengetahui maknanya." batinnya lagi. Selan-
jutnya dia melangkah mendekat, lalu memperhatikan
dengan seksama kalau apa yang diharapkannya ada di
depan pintu gua karang yang tertutup.
Dibantu oleh Bara Seta dan keempat orang mu-
rid-muridnya, satu demi satu pemuda ini meneliti se-
tiap pintu gua yang ada, dua empat dan enam telah
mereka periksa, namun mereka tak menemui apa yang
mereka harapkan. Sehingga setelah sampai pada pintu
gua karang yang ke delapan mereka mulai menemukan
sebuah titik terang yang mungkin juga merupakan se-
buah petunjuk untuk menemukan di mana adanya
mayat gurunya berada.
"Lihat, Paman! Sepertinya guratan-guratan ini
merupakan sebuah petunjuk yang dibuat oleh kakek
guru...!" Buang Sengketa setengah berseru. Bara Seta
dan keempat orang muridnya mendekat, dan ikut pula
meneliti. Namun mereka tiada pula mengerti akan
makna dari coretan-coretan yang ada.
"Betul katamu, Buang! Namun aku yang telah
lamur ini tak tahu apa arti dari tulisan yang digurat
dengan jemari bapak!"
Agak lama juga Pendekar Hina Kelana ini mere-
nung di situ, sampai akhirnya teringatlah dia akan ju-
rus-jurus di Gila Mengamuk yang pernah diajarkan
oleh si Bangkotan Koreng Seribu.
"Hemm. Tulisan ini sungguh mirip sekali dengan
jurus-jurus si Gila Mengamuk seperti yang tertulis da-
lam kitab terdahulu." batinnya lagi. Selanjutnya dia
coba-coba mengingat tentang abjad jurus-jurus si Gila
Mengamuk yang telah dikuasainya. Maka dalam tuli-
san yang seperti cakar ayam itu, dapatlah dia artikan
sebagai berikut:
"Buat muridku yang goblok. Usah tangisi keper-
gianku, aku telah pergi meninggalkan dunia ini.. Tapi
jangan pula kau menangis, karena menangis itu hanya-
lah pekerjaan perempuan atau pekerjaan bayi.. Ada sa-
tu yang ku tinggalkan padamu, yaitu tentang sebuah Ki-
tab Jurus-jurus ‘Koreng Seribu’ hasil ciptaan ku. Tapi
ingat, berhati-hatilah dalam mempelajari kitab itu, se-
bab salah sedikit saja kau mengerahkan tenaga, maka
jiwamu bisa melayang. Hal lain yang perlu kau perhati-
kan adalah tentang jenazah ku. Dia berada di gua ke-
sepuluh, seandainya jasad itu masih ada, maka itu be-
rarti aku masih seperti manusia biasa. Namun andai ti-
dak, maka itu berarti aku ini manusia setengah dewa.
Satu saja pesanku, Buang! Kitab itu ada di sebuah gua
kecil yang menghadap ke Timur Laut. Selama kau
mempelajari kitab tersebut, bahaya akan selalu men-
gancam mu. Maka bekerja samalah dengan baik pada
Bara Seta. Mudah-mudahan segala rintangan dapat
kau atasi!
Buat Murid Guoblok
Si Bangkotan Koreng Seribu
"Sialan," umpat Buang Sengketa begitu selesai
membaca, tanda-tanda yang mirip dengan cakar ayam
itu. Sebentar dia memandang pada Bara Seta dan
keempat murid-muridnya. Lalu dengan suara hampir-
hampir tak terdengar dia pun berkata:
"Kita harus pergi ke gua karang yang kesepuluh,
Paman. Menurut petunjuk di sini, di gua itulah Kakek
Bangkotan Koreng Seribu berada... marilah secepatnya
kita ke sana...!"
"Ayolah...!"
Selanjutnya mereka pun melangkah kembali me-
nuju ke gua kesepuluh. Sekejab kemudian mereka pun
telah sampai di depan mulut gua karang kesepuluh.
"Inilah tempat yang dimaksudkan oleh kakek!
Menjauhlah sedikit, Paman! Aku akan mengerahkan
pukulan Hina Kelana Merana."
Tanpa menjawab, Bara Seta dan murid-muridnya
menjauh, sekejab kemudian mereka telah merasakan
betapa udara di sekitarnya menjadi sangat panas luar
biasa. Padahal saat itu angin laut berhembus sangat
kencang sekali. Maka sekejab kemudian, kedua tangan
Buang Sengketa menggeletar, selanjutnya berubah
warna merah pun terjadilah.
"Heiiiik...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan kedua tangan-
nya ke depan. Lalu selarik gelombang berhawa panas
luar biasa menderu menerjang pintu gua batu karang
yang berada satu tombak di hadapannya.
Pintu gua batu karang itupun hancur beranta-
kan. Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara.
Dan sekejab kemudian pintu gua batu karang itupun
sudah menganga lebar sekali.
ENAM
Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi,
Pendekar Hina Kelana dengan diikuti oleh yang lainnya
segera memasuki gua tersebut. Keadaan di dalam gua
itu gelap gulita adanya, sehingga menimbulkan kesan
yang sangat angker. Namun setelah Buang Sengketa
menyalakan sebuah pelita, maka ruangan di dalam
gua karang yang lembab dan licin itupun menjadi te-
rang temaraman. Buang dan Bara Seta mengitarkan
pandangan matanya ke segenap penjuru ruangan itu,
tetapi nampaknya di ruangan induk tak mereka dapati
adanya jenazah si Bangkotan Koreng Seribu, maka un-
tuk selanjutnya dia bergerak ke ruangan yang lainnya.
Dan di dalam ruangan yang berukuran sangat kecil
itulah Buang Sengketa melihat sebuah pelita lain den-
gan nyalanya yang terang benderang. Di sebuah lantai
dalam ruangan yang sangat sempit itu, Buang Sengke-
ta melihat adanya sebuah keranda yang ditutupi den-
gan selembar kain putih yang sangat panjang. Kain itu
terjuntai sampai menutupi keseluruhan keranda.
Buang Sengketa berdebar hatinya, selanjutnya
dengan langkah gemetaran dia menghampiri keranda
tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat
Buang Sengketa segera membuka penutup keranda.
Begitu penutup keranda itu dibuka, maka terciumlah
bau harum semerbak dari dalamnya. Maka terlihatlah
jenazah si Bangkotan Koreng Seribu, tubuhnya terbu-
jur, dengan wajahnya yang keriput dan pucat bagaikan
kapas. Namun anehnya, sungguhpun si Bangkotan
Koreng Seribu sudah meninggal lebih dari satu pur-
nama, namun tak tercium bau bangkai sebagaimana
mestinya.
"Kakek...!" Tak urung Buang Sengketa merintih,
kemudian berlutut di depan jenazah si Bangkotan Ko-
reng Seribu. Dipandanginya wajah orang tua renta
yang kini nampak diam tiada bergeming lagi.
"Bapak, eee... aku merasa bersyukur sekarang ini
aku telah dipertemukan dengan muridmu! Tapi, Ba-
pak... rumah tinggalmu telah terbakar... orang-orang
sialan itulah yang telah membakarnya...!" ucap Bara
Seta pula.
Suasana di sekelilingnya kemudian adalah kehe-
ningan belaka. Masing-masing mereka sama-sama
tenggelam dalam fikirannya.
"Sebaiknya sekarang juga kita rumat jenazah ka-
kek, hari masih siang! Kesempatan masih ada hanya
untuk mengadakan upacara pemakaman secara kecil-
kecilan."
"Marilah, Buang...!" jawab Bara Seta, seraya be-
ranjak berdiri dari tempatnya. Selanjutnya keempat
orang murid Bara Seta segera mengusung keranda
yang berisi jenazah si Bangkotan Koreng Seribu. Seke-
jab kemudian di tempat itu terlihatlah kesibukan-
kesibukan untuk mengebumikan jenazah orang tua
yang mereka hormati.
Keempat murid Bara Seta segera membuat se-
buah lubang kubur, sementara Buang Sengketa den-
gan dibantu oleh Bara Seta segera merawat jenazah si
Bangkotan Koreng Seribu. Saat itu di langit lepas,
nampak awan hitam bergumpal dan bergulung-gulung
dihembus angin tenggara.
Tak lama kemudian terdengar pula gelegar bunyi
petir bagaikan membelah jagad. Selanjutnya, hujan
pun mulai turun rintik-rintik. Namun mereka tiada
menghiraukan semua itu, sebaliknya jenazah si Bang-
kotan Koreng Seribu telah mulai memasuki liang lahat.
Tubuh Buang Sengketa nampak menggigil dalam duka.
Tetapi dia selalu berusaha untuk tetap tabah mengha-
dapi kenyataan yang ada.
Murid-murid Bara Seta tak lama kemudian telah
pula mengurus jenazah si Bangkotan Koreng Seribu
dengan tanah. Hujan mulai turun sangat lebat, dan
pada saat yang sama gelegar bunyi petir sambung me-
nyambung tiada henti. Namun mereka yang sedang
mengikuti upacara pemakaman sederhana itu, sedikit-
pun tiada pula merasa terusik. Bahkan tak lama ke-
mudian terdengar pula suara Buang Sengketa mening-
kahi gemuruh suara hujan:
"Kapal tua yang selama ini memberi perlindungan
hangat terhadap seorang bocah. Kini telah pergi ber-
layar menuju pelabuhan terakhir. Dia tetap akan berla-
buh di sana selama-lamanya menunggu pengadilan
Yang Maha Adil. Tinggallah sebuah kenangan atas ja-
sa-jasanya. Seorang bocah pasti selalu mengingatnya.
Pergilah hai, Kapal tua, aku melepasmu dengan hati
ridho, dan moga pula engkau selalu diridhoi."
Usai berkata begitu, Buang Sengketa dengan di-
ikuti oleh yang lainnya nampak merangkapkan kedua
tangannya di depan dada, selanjutnya dia pun mem-
bungkuk penuh hormat. Sementara itu hujan semakin
bertambah lebat, terlihat pula air laut mulai pasang
naik.
Lewat sepemakan sirih upacara pemakaman itu-
pun segera usai, Buang Sengketa dan yang lainnya
yang sudah basah kuyup cepat-cepat meninggalkan
tempat itu, kemudian melangkah memasuki gua ka-
rang tempat di mana si Bangkotan Koreng Seribu ta-
dinya berada.
* * *
Perguruan Batu Kiambang adalah sebuah pergu-
ruan yang memiliki murid yang sangat besar jumlah-
nya. Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh sakti
yang memiliki badan sangat kerdil sekali.
Siang itu Jumparing Retno atau si tokoh kerdil
yang jadi pimpinan partai sekaligus merupakan ketua
Perguruan Batu Kiambang. Nampak sedang berkumpul
dengan para murid-muridnya.
Sejenak laki-laki katai itu memandang pada se-
mua murid-muridnya, lalu perhatiannya pun terhenti
setelah kedua matanya yang angker itu bersitatap den-
gan mata Lukas Asmoro.
Laki-laki berjenggot kambing itu nampak me-
nundukkan kepalanya begitu, Jumparing Retno me-
mandang tajam padanya.
"Baru kali ini seumur hidupku aku mempunyai
seorang murid nomor satu, namun memiliki jiwa yang
sangat pengecut sekali. Kawan-kawanmu terbunuh
semuanya, padahal menurut laporanmu kalian berga-
bung dengan ketiga partai yang lainnya. Lalu partai
semacam apakah yang merupakan sebuah perseku-
tuan bagi kalian? Kalau dalam menghadapi murid si
Bangkotan Koreng Seribu saja, kalian sudah keok?"
"Orang itu sangat sakti sekali, Ketua! Dia memili-
ki pukulan yang sangat dahsyat. Padahal sebelum ke-
hadirannya, kami sudah hampir dapat menghancur-
kan orang-orang Candak Ginaka...!" jawab Lukas As-
moro masih dengan wajah tertunduk.
"Dan nyatanya kau lari terkencing-kencing, sete-
lah mengetahui kehebatan tikus itu. Puih...! Padahal
aku memberi perintah padamu, dengan cara bagaima-
na pun kalian harus mendapatkan kitab jurus-jurus
Koreng Seribu yang sangat luar biasa itu. Semuanya
jadi berantakan, murid-murid pada kojor semuanya.
Lalu apa yang dapat aku harapkan dari kalian sebagai
seorang murid...?" tanya si Katai Jumparing Retno
dengan nada meninggi. Maka semakin bertambah
menciut sajalah hati Lukas Asmoro dibuatnya. Lalu
dengan terbata-bata dia menyahut:
"Gu... guru dan ketua... maafkan muridmu yang
bodoh ini, murid berjanji untuk menebus kesalahan
ini, walau nyawa sebagai taruhannya...!"
Jumparing Retno yang hanya bercawat itupun
hanya tersenyum sinis begitu mendengar apa yang di-
katakan oleh Lukas Asmoro.
"Omonganmu seperti beo saja, Lukas Asmoro!
Tapi kau memiliki jiwa seorang pengecut. Kau kira aku
akan membiarkanmu pergi dengan kawan-kawanmu
yang lain? Sama sekali tidak! Kalau pun kau pergi ke
Tanjung Api, maka aku juga akan ke sana, dan aku
pun ingin lihat bagaimana sih hebatnya murid si
Bangkotan Koreng Seribu yang membuat heboh dunia
persilatan itu...?" tukas Jumparing Retno mencemooh.
Sebaliknya Lukas Asmoro demi mendengar kepu-
tusan gurunya nampak menarik nafas pendek.
"Jadi kapan kita berangkat, Guru...?" tanyanya
bersemangat.
"Sekarang juga kita harus berangkat ke sana!"
jawabnya berapi-api.
Lukas Asmoro nampak meragu, dengan sangat
hati-hati dia berucap:
"Mengapa harus sekarang, Ketua...? Bukankah
lebih baik esok, atau bahkan lusa saja..."
Jumparing Retno nampak terkesiap, bahkan tu-
buhnya sangat pendek itu sampai terlonjak dari atas
singgasananya yang berlapiskan kain sutera. Dengan
sangat gusar sekali, laki-laki kerdil itu menghentakkan
kakinya ke lantai. Lantai itupun amblas hingga mem-
buat kaki laki-laki kerdil itu terbenam sebatas lutut.
Lalu cepat-cepat dia menyentakkan kakinya yang ter-
benam itu.
"Lukas Asmoro, andai saja kau bukan murid
yang paling kuperhatikan selama ini. Sudah pasti aku
telah membunuhmu sejak tadi-tadi...!" bentaknya den-
gan tubuh menggigil karena dilanda kemarahan yang
tertahan-tahan. Pucat wajah Lukas Asmoro, seketika
itu juga. Tiada kata yang terucap. Wajahnya semakin
menunduk dalam-dalam.
"Aku tak mau tahu, yang penting sekarang juga
kita harus berangkat. Siapkan kuda-kuda yang ter-
baik. Aku tak ingin Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu
sampai terjatuh ke tangan orang lain...!" teriak Jum-
paring Retno.
Sementara itu Lukas Asmoro tanpa berani berka-
ta apapun, segera mengerjakan apa yang diperintah-
kan oleh ketuanya.
Tidak sampai setengah jam kemudian rombongan
berkuda itupun telah berlalu meninggalkan perguruan,
menuju Pantai Tanjung Api.
***
TUJUH
Guru Beruang Merah sesungguhnya merupakan
seorang perempuan tua renta yang berusia sekitar
sembilan puluh tahun. Pada jaman jaya-jayanya dulu,
selama hampir tiga puluh tahun malang melintang di
dunia persilatan. Perempuan renta yang bernama Nyai
Tambak Sari ini merupakan seorang tokoh sesat yang
sangat telengas dan suka berlaku sewenang-wenang
terhadap berbagai golongan kaum persilatan. Dengan
jurus dan pukulan-pukulan Beruang Merah yang
membuat geger dunia persilatan, dia menyebarkan
onar di mana-mana. Ratusan jiwa telah melayang di-
renggutkan tangannya yang keji.
Dari sekian banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi,
hanya seorang saja tokoh persilatan yang selama itu
mampu mengalahkan dirinya. Bahkan kedua matanya
pun buta akibat ulah laki-laki itu. Sampai menjelang
pengasingannya di Pulau Beruang Merah dia masih
menaruh dendam pada laki-laki itu
Beberapa waktu yang lalu, manakala dia men-
dengar musuh bebuyutannya itu meninggal dunia,
maka dengan segera dia mengutus murid, sekaligus
merupakan Ketua Beruang Merah.
Namun nampaknya dia terpaksa harus menelan
kina pahit, setelah seminggu kemudian para utusan-
nya itu kembali dengan membawa kekalahan. Dia san-
gat terpukul sekali dengan kejadian yang dialami oleh
murid-muridnya.
Sebagai seorang guru yang telah menurunkan
segala apa yang dipunyainya kepada murid-muridnya.
Sedikit banyaknya timbul juga tanda tanya di hatinya.
Basra Panewu dan Sudak Pari adalah dua orang mu-
rid, yang selama ini sepak terjangnya menjadi hantu
dalam dunia persilatan. Ilmu kepandaian dan juga pu-
kulan Beruang Merah yang mereka miliki juga sudah
mencapai taraf yang sangat sempurna.
Dan menurut laporan murid-muridnya, yang
mengalahkan mereka di Tanjung Api hanyalah seorang
pemuda yang berpakaian gembel bahkan terbilang ma-
sih sangat muda. Yang membuat heran Nyai Tambak
Sari adalah karena pemuda berkuncir itu mengaku-
aku sebagai muridnya si Bangkotan Koreng Seribu.
Padahal seperti dia ketahui, selama ini si Bangkotan
Koreng Seribu tak memiliki atau bahkan tak pernah
mengangkat seorang murid pun.
Rasa penasaran dan keingintahuan pada akhir-
nya telah membulatkan tekadnya untuk sampai di
Tanjung Api, sekaligus untuk mendapatkan Kitab Ju-
rus-jurus Koreng Seribu.
Hari itu juga dengan membawa rombongan yang
sangat besar, berangkatlah Nyai Tambak Sari, Basra
Panewu dan Sudak Pari menuju Pantai Tanjung Api.
Sementara itu pada saat yang sama di sebuah tempat
yang bernama Sendang Hamparan Perak. Kegiatan
yang sama pun nampak sedang berlangsung di tempat
itu. Jauh berbeda dengan par-tai-partai lainnya. Tiklu
Sara dan beberapa orang murid yang tersisa, kelihatan
sedang menghadap ke arah sendang yang memiliki air
sangat jernih sekali.
Tak lama setelahnya, Tiklu Sara segera melapor-
kan segala sesuatunya yang telah menimpa mereka.
Suaranya begitu lantang, sehingga menggema di mana-
mana. Bahkan getaran suara itu sampai pula menem-
bus ke dasar sendang.
Suara Tiklu Sara nampaknya cukup di-dengar
oleh sosok mahluk yang berada di dasar sendang itu.
Mahluk yang berujud sangat mengerikan itu seperti
terjaga dari tidurnya. Mula-mula bagian ekornya
menggeliat, air di dalam sendang itu bergolak-golak.
Selanjutnya manakala sosok panjang yang berujud
seekor ular naga itu meluncur ke atas permukaan air.
Maka saat itu pula ujudnya yang sangat mengerikan
itu secara perlahan pun telah berubah menjadi sosok
tubuh berjubah putih.
"Byuur!"
Sosok naga yang telah berubah menjadi manusia
setengah tua dan rambut, kumis serta jenggotnya yang
sangat panjang dan telah memutih pula, kelihatan
berdiri tegak di atas permukaan air. Begitu melihat ke-
hadiran laki-laki itu, maka serentak Tiklu Sara dan
beberapa murid yang hadir di tempat itu, nampak se-
gera menghaturkan sembah.
"Guru Bagawan Ardi Soma! Murid kembali den-
gan membawa sebuah kekalahan... maafkanlah mu-
ridmu ini. Kami telah berusaha sedapat yang kami bi-
sa, namun ternyata, si Bangkotan Koreng Seribu me-
miliki seorang murid yang sangat tangguh sekali...!"
berkata Tiklu Sara dengan wajah bersemu merah.
Laki-laki setengah tua dengan tubuhnya yang
semampai itu memandang sejenak pada muridnya. So-
rot matanya tajam, dan membuat jeri bagi siapapun
yang memandangnya. Laki-laki itu menggumam den-
gan suara yang hampir saja tak terdengar.
"Tiklu Sara... tahukah kau tugas apa yang telah
aku berikan padamu?" tanya Begawan Ardi Soma pe-
nuh teguran.
"Murid selalu mengingatnya...!"
Begawan Ardi Soma geleng-gelengkan kepalanya.
"Bohong! Kau tak pernah mengingatnya,
Tiklu Sara...! Beberapa waktu yang lalu aku sengaja
mengutus mu ke sana adalah untuk melihat benarkah
si Bangkotan Koreng Seribu telah meninggal dunia?
Namun ternyata setelah kau sampai di sana pendi-
rianmu berubah, kau telah bersekutu dengan orang-
orang sesat. Kau bergabung dengan mereka, untuk
kemudian kalian maju bersama-sama mengeroyok mu-
rid-murid Candak Ginaka yang tak berdosa itu. Tidak-
kah segala tindakanmu itu memalukan aku sebagai
seorang begawan yang seharusnya menjadi pelindung
dan pembimbing semua umat yang membutuhkan per-
tolongan...?"
"Guru...!" sergah Tiklu Sara, lalu menjatuhkan
diri dan berlutut di atas tanah. "Murid takut pada an-
caman orang-orang Beruang Merah, pula mereka tak
tahu dari golongan manakah murid berasal...!" bantah
Tiklu Sara setengah membujuk. Sesungging senyum
yang tak dapat diduga maknanya oleh Tiklu Sara
menghiasi bibir Begawan Ardi Soma. Namun sekejab
kemudian dia sudah berkata: "Hemm. Beginikah ting-
kah laku orang yang ingin mengorbankan hidupnya
sebagai seorang begawan? Sejak dulu pun aku selalu
meragukan kejujuran hatimu, Tiklu Sara. Itu makanya
walaupun sudah berpuluh-puluh tahun kau menjadi
muridku, aku masih belum juga mengangkatmu men-
jadi seorang calon begawan. Sebab apa? Semua itu ka-
rena aku masih selalu melihat ketidak jujuran hati-
mu... tahukah kau bahwa menjadi orang tua yang baik
itu terlalu sulit. Tapi menjadi orang tua yang benar-
benarnya orang tua jauh lebih sulit lagi. Tiklu Sara, sa-
tu kesalahan yang tak pernah terampuni adalah apabi-
la sebuah kepercayaan tak pernah dilaksanakan seba-
gaimana mestinya. Karena kesalahan itu telah kau
perbuat, dan kulihat pula ketidak jujuran di hatimu.
Maka sebagai kutuk ku. Tetaplah kau tinggal di dalam
sendang ini selama sepuluh tahun. Sementara itu biar
aku sendiri yang akan berangkat ke Tanjung Api untuk
melihat keramaian yang akan terjadi di sana!" berkata
Begawan Ardi Soma pada Tiklu Sara dan tiga orang
murid-murid tersisa.
Tak dapat disangkal lagi, menggigillah tubuh Tik-
lu Sara demi mendengar keputusan gurunya.
"Guru, sampai hatikah engkau menghukum mu-
ridmu sampai sedemikian rupa? Bukankah baru sekali
ini saja murid melakukan sebuah kesalahan...?" kata
Tiklu Sara menghiba.
"Ha... he... he...he...! Karena kau telah melaku-
kan banyak kesalahan, maka kesalahan yang paling
besar saja yang selalu kau ingat! Hemm. Sungguh se-
kalipun segala keputusanku tak pernah berobah, dan
kau harus dengan rela menjalaninya. Sebab hanya ja
lan inilah satu-satunya yang terbaik buatmu...!"
"Guru, mengapa kau tak pernah memberiku
maaf?" tanya Tiklu Sara merasa kurang puas dengan
keputusan yang telah diambil oleh gurunya.
"Maaf selalu kuberikan pada siapa pun! Namun
kalau maaf itu kuberikan padamu, maka kau akan
menjadi manusia yang paling banyak melakukan do-
sa...!"
"Kalau begitu murid, tak terima...!" bantah Tiklu
Sara dengan wajah memerah karena menahan amarah
yang sejak tadi dipendamnya. Kiranya segala apa yang
ada di hati Tiklu Sara, rupanya bagi Begawan Ardi So-
ma sudah berada di dalam perhitungannya.
"Tiklu Sara murid murtad! Karena kedurhakaan
mu itu, maka aku telah mengutukmu menjadi sebuah
Patung Naga Banjaran. Diamlah kau di situ selama-
lamanya, tak akan pernah berakhir kutuk ku itu, ter-
kecuali akan datang seseorang padamu, seorang pe-
muda pengelana dengan membawa sebuah Cambuk
Gelap Sayuto di tangannya. Jalanilah kutukan mu itu,
semoga kau menyadari sejauh mana kau telah me-
langkah di sebuah jalan yang sangat lurus...!" kata Be-
gawan Ardi Soma.
Sesaat saja setelah ucapan itu, maka bertiuplah
angin yang sangat kencang sekali. Nampaknya kutuk
yang telah dijatuhkan oleh Begawan Ardi Soma pada
muridnya mulai berlaku.
Mula-mula, tubuh Tiklu Sara tersentak ke bela-
kang. Sementara sepatah kata pun tak mampu terucap
dari bibir Tiklu Sara, lidah terasa kelu membeku. Ta-
nah di sekitar tempat itu kemudian tergetar, mata mu-
rid Begawan Ardi Soma terbelalak, bagai melihat setan
di tengah hari bolong.
Kemudian seiring dengan berhembusnya badai
topan, maka tubuh Tiklu Sara sedikit demi sedikit mu
lai mengalami perubahan ujud. Empat orang murid
lainnya nampak terheran demi melihat kejadian yang
berlangsung di depan mata mereka. Dan dalam hati
mereka timbul satu pertanyaan, akankah keadaan se-
perti itu juga menimpa, diri mereka semuanya.
Saat itu tubuh Tiklu Sara benar-benar telah be-
rubah menjadi sosok Naga Banjaran dengan rupa yang
sangat menyeramkan. Mulut menganga dengan lidah
menjulur ke luar. Sorot matanya memancarkan rasa
ketidak senangan yang tiada tertahankan. Namun Be-
gawan Ardi Soma sudah tiada memperdulikan keadaan
itu. Satu kalimat kemudian terucap dari bibirnya.
"Itulah karmaku. Sebuah karma kebenaran! Dan
kalian empat murid lainnya, jadilah kalian penjaga pa-
tung Tiklu Sara di tempat ini selama-lamanya, sampai
kemudian datang seseorang pada kalian. Kalau kalian
selama menjalani kutukan ini dapat melakukannya
dengan ikhlas, maka dewata akan menggugah hati
pemuda itu untuk membebaskan diri kalian dari kutuk
ku...! Nah selamat menjalani...!" kata begawan yang
dapat merobah-robah ujudnya itu dengan hati mantap.
Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi, Begawan
Ardi Soma segera bergerak tubuhnya dari atas permu-
kaan air sendang nan jernih. Tubuh tokoh sakti kea-
gamaan itu akhirnya melayang bagai tiada memiliki
bobot. Dalam waktu sekejab saja begawan yang men-
diami Sendang Hamparan Perak itupun telah lenyap
dari pandangan keempat muridnya yang tiada sanggup
bergerak ke mana-mana.
***
DELAPAN
"Haiiiit... Shaaa...!" Tubuh Buang Sengketa berge-
rak sedemikian cepatnya, sehingga tinggal merupakan
bayang-bayang belaka. Tubuhnya yang bertelanjang
dada itupun sudah bercucuran dengan keringat.
Sungguhpun begitu bagai tak kenal rasa lelah saja dia
terus melatih diri dengan jurus-jurus baru peninggalan
terakhir, si Bangkotan Koreng Seribu. Baginya jurus-
jurus tangan kosong Koreng Seribu, merupakan jurus
silat yang paling rumit yang pernah dia pelajari. Selain
itu juga banyak menyita tenaga dan harus berkonsen-
trasi penuh, andai tidak ingin celaka.
Jurus silat tangan kosong Koreng Seribu secara
lahiriah tak ubahnya bagai jurus si Gila Mengamuk.
Gerakan maupun pukulannya tiada beraturan dan ti-
dak pula berketentuan, tapi tak dapat disangkal kalau
jurus peninggalan si Bangkotan Koreng Seribu itu
memiliki banyak kelebihan dibandingkan jurus-jurus
silat tangan kosong yang telah dikuasainya.
"Hiaaat.... Wuuut.... Bluaaar...!"
Sambil berkelebat cepat, Buang lepaskan satu
pukulan ke arah deretan batu-batu karang yang men-
julang tinggi. Pukulan yang dilepaskannya menderu
dahsyat dan bahkan sampai timbulkan suara bercui-
tan. Begitu satu rangkaian gelombang sinar yang ber-
hawa panas luar biasa itu mencapai pada sasarannya.
Maka satu letupan yang membuat berantakan batu
karang itupun terdengar.
Begitulah halnya yang terjadi hampir setiap ha-
rinya di tempat itu. Apa yang ada dalam hati Pendekar
Hina Kelana adalah bagaimana caranya agar dalam
waktu yang sangat singkat dia sudah dapat menguasai
semua jurus Koreng Seribu yang merupakan warisan
gurunya yang terakhir.
"Buang! Istirahatlah... sejak pagi kau tenggelam
dalam latihanmu yang sangat melelahkan itu...!" ber-
kata Bara Seta, selanjutnya laki-laki berbadan gemuk
dari Lubuk Sikaping itu mengangsurkan beberapa ekor
ikan laut yang baru saja di panggangnya.
Buang Sengketa menerimanya, kemudian di atas
batu-batu karang mereka terlibat percakapan.
"Buang Sengketa...!" ucap Bara setelah agak lama
dia memandangi wajah pemuda yang sangat tampan
ini. Yang dipanggil hanya menelengkan kepalanya se-
bentar, tapi kemudian telah kembali lagi tatapan ma-
tanya ke laut lepas,
"Ada apa, Paman...?"
Bara Seta menarik nafas pendek, seperti ada se-
suatu yang mendesak dan ingin ditanyakan secara
langsung.
"Aku ingin mengetahui sesuatu lebih banyak lagi
tentang kau, tetapi...?" Bara Seta sejenak nampak me-
ragu.
"Katakan saja, Paman... mengapa harus sung-
kan-sungkan...?!" menyela pemuda dari Negeri Bunian
itu dan kali ini sudah menatap tajam pada Bara Seta.
"Buang! Menurut bapak, benarkah kau hidup se-
batang kara di dunia pana ini?"
Pendekar Hina Kelana untuk sesaat lamanya
hanya terdiam, tapi tak lama kemudian dia sudah
menganggukkan kepalanya pelan.
"Kau seorang keturunan raja di alam gaib sana,
apakah juga benar...?" lanjut Bara Seta setengah me-
nyelidik.
Buang hanya tersenyum-senyum saja, walau se-
sungguhnya hati kecilnya menjerit. Raja Ular Piton di
alam Negeri Bunian, itu memang benar adanya. Tetapi
untuk apa Bara Seta menanyakan hal itu? Batin Pen-
dekar Hina Kelana merasa risih dengan pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan oleh Bara Seta.
"Mungkin begitu, Paman! Aku sendiri tak dapat
memastikannya, sebab sejauh ini aku belum pernah
bertemu dengan ayahanda ku...!" jawab si pemuda ak-
hirnya.
"Sendiko, Gusti! Kalau begitu aku harus men-
gabdikan hidupku padamu, Buang!" kata Bara Seta,
kemudian menjura hormat dalam-dalam.
"Ha... apa-apaan ini, Paman Bara Seta!" ucap si
pemuda nampak terperangah.
"Sudah menjadi kodrat seandainya aku bertemu
dengan seorang pemuda dari negeri alam gaib, aku ha-
rus mengabdi padanya...!"
"Tapi aku tak mau begitu, Paman...?" sahutnya
setengah tersentak. Sebaliknya Bara Seta dan keempat
orang muridnya masih tetap dengan posisinya. Mem-
bungkuk hormat.
"Jangan sungkan-sungkan, Buang! Kami akan
mengabdi padamu...!"
"Aku tetap tak mau!" kata Buang Sengketa tetap
pada pendiriannya.
Sementara dalam keadaan seperti itu, di luar se-
pengetahuan mereka serombongan orang-orang ber-
kuda nampak telah mengepung Pantai Tanjung Api
yang merupakan tempat tinggal mereka.
Jumlah para pengepung itu tak lebih dari lima
belas orang. Suatu jumlah yang sesungguhnya tidak
terlalu besar. Namun karena mereka telah siap dengan
pasukan pemanahnya maka hal itu akan menjadi san-
gat berbahaya sekali bagi keselamatan Buang Sengke-
ta, Bara Seta dan keempat orang muridnya. Masih un-
tung dalam keadaan terkepung seperti itu, salah seo-
rang murid Bara Seta sempat melihat beberapa orang
di atas batu karang dengan senjata siap di tangan.
"Guru, lihat! Orang-orang itu akan menghujani
kita dengan panah-panah mereka!" teriaknya, dan saat
itu juga mereka langsung mencabut senjatanya. Hanya
sekejab saja Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana me-
nyapu pandang pada bukit karang yang ada di seki-
tarnya, ternyata memang benar apa yang dikatakan
oleh salah seorang muridnya. Tempat itu kini telah
terkepung oleh murid-murid Batu Kiambang.
"Buat pertahanan Candak Ginaka Mem-
pertahankan Pedang Mustika!" perintah Bara Seta.
Dan sungguh luar biasa sekali, belum lagi Bara Seta
usai dengan ucapannya keempat orang muridnya su-
dah membentuk posisi melingkar, membentuk sebuah
pertahanan yang sangat kokoh.
Demi menghadapi kenyataan yang tiada terduga-
duga sebelumnya, Buang nampak menjadi sangat gu-
sar sekali.
"Manusia-manusia pengecut! Kalian benar-benar
ingin mencari penyakit telah begitu berani berurusan
denganku...!" maki pemuda itu dengan suara yang lan-
tang sekali.
Sesaat suasana di sekitarnya menjadi sunyi sepi,
tiada apapun yang terdengar, hanya deburan ombak di
laut nan luas. Namun sesaat kemudian terdengar sua-
ra tawa yang sangat menyakitkan gendang-gendang te-
linga bagi siapa saja yang mendengarnya.
Selanjutnya terdengar pula suara ucapan yang
lebih condong pada perintah dan makian.
"Kepada bocah yang mengaku dirinya sebagai si
Hina Kelana. Menyerah dan serahkan Kitab Jurus-
jurus Koreng Seribu. Jika tidak, aku Jumparing Retno
dari Perguruan Batu Kiambang, akan menghapuskan
nama besarmu dari permukaan bumi ini!"
Buang Sengketa terpana, dari nada suaranya ra
sa-rasanya dia baru kali ini melihat orang itu. Tapi dia
pun tak dapat menyangkal bahwa orang yang baru bi-
cara tadi sesungguhnya memiliki tenaga dalam yang
sudah sangat sempurna sekali. Diam-diam dia mulai
memperhitungkan seberapa banyak orang-orang yang
berada di atas bukit-bukit karang tersebut. Akhirnya
tanpa mengesampingkan lawan bersenjatakan panah
yang jumlahnya sangat lumayan itu, Buang Sengketa
pun balas membentak:
"Hemm. Enak betul bicaramu! Sungguhpun kau
seorang iblis dari neraka sekalipun, jangan kira aku
akan undur walau barang setapak pun!" bantahnya
dengan suara dingin sekali. Sudah barang tentu, jawa-
ban si pemuda yang di luar perhitungannya itu, mem-
buat Jumparing Retno. Atau si tokoh kerdil ini menjadi
gusar luar biasa.
"Kuperingatkan sekali lagi, serahkanlah Kitab Ju-
rus-jurus Koreng Seribu kepada kami. Jika tidak,
seandainya gurumu masih hidup sekalipun tidak nan-
tinya dia ungkulan menghadapi aku!"
"Hanya manusia edan saja yang mau percaya
dengan segala bualanmu...!" ejek Buang Sengketa.
Saat itu kemarahan Jumparing Retno sudah
sampai pada puncak kemarahannya, maka tanpa ba-
nyak cakap lagi dia langsung memberi isyarat pada
murid-muridnya.
"Hajar mereka, dengan hujan panah...!" teriak
Jumparing Retno. Maka sedetik kemudian berhambu-
ranlah anak-anak panah yang jumlahnya sangat besar
sekali. Murid-murid Candak Ginaka yang jumlahnya
hanya empat orang itu, segera putar pedangnya. Se-
dangkan Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana, sebe-
lum panah-panah beracun itu sampai padanya telah
pula kirimkan pukulan jarak jauhnya.
"Wus... wusss.... Trang... trang...!"
Panah-panah itu berpentalan ke segala arah, be-
gitu pedang di tangan murid Bara Seta maupun puku-
lan-pukulan yang dilepas-kan oleh Buang dan Bara
Seta menyongsong datangnya hujan panah yang tiada
henti-hentinya itu.
"Arrrrrgkh...!"
Beberapa orang yang berada di atas batu karang
itu menjerit roboh, saat mana Buang menyambitkan
beberapa batang anak panah yang berada di dekatnya.
Namun karena datangnya hujan panah itu tiada henti.
Maka mau tak mau Buang Sengketa habis juga kesa-
barannya. Lalu satu pukulan Empat Anasir Kehidupan
dia lepaskan mengarah pada pasukan pemanah itu.
Satu gelombang sinar yang berhawa sangat pa-
nas luar biasa datang menggebu. Beberapa murid Batu
Kiambang tersentak, namun sudah tidak keburu un-
tuk menyelamatkan diri. Tanpa ampun lagi, sinar Ultra
Violet itupun langsung menghajar tubuh mereka.
"Blaaaar!"
"Arrrgghk!"
Mereka ini tewas seketika dengan keadaan tubuh
hangus secara mengerikan. Baik Lukas Asmoro mau-
pun Jumparing Retno, nampaknya sangat terperanjat
demi melihat nasib yang dialami oleh murid-muridnya.
Tapi sebelum rasa kejut di hati mereka lenyap sama
sekali, Buang Sengketa telah lepaskan satu pukulan si
Hina Kelana Merana. Lagi-lagi selarik gelombang yang
menimbulkan hawa lebih panas lagi melesat menghan-
tam murid-murid Batu Kiambang. Lebih dari lima
orang pemanah menemui ajalnya menyusul kawan-
kawannya terdahulu.
"Berhenti...!" perintah Jumparing Retno, merasa
tak tega melihat nasib tragis yang dialami oleh murid-
muridnya. Diikuti oleh Lukas Asmoro, Jumparing Ret-
no melesat dari tempat persembunyiannya.
"Jliiik! Jliiiik!"
Jumparing Retno dan Lukas Asmoro menda-
ratkan kakinya di atas tanah berpasir putih tanpa me-
nimbulkan suara sedikitpun. Selanjutnya dia mengi-
tarkan pandangan matanya pada Buang Sengketa, Ba-
ra Seta dan juga pada keempat orang murid yang lain-
nya.
Pada saat itu, hal yang sama pun dilakukan oleh
Buang Sengketa. Pemuda ini tampak agak tertegun be-
gitu melihat sosok katai yang hanya mengenakan ca-
wat saja. Manusia katai itu berusia berkisar lima pu-
luh enam tahun. Di tangannya menggenggam tongkat
berkepala srigala, sedangkan pada bagian kepalanya
yang hanya ditumbuhi rambut beberapa helai itu ditu-
tup dengan sebuah topi dari kulit menjangan.
"Heh, kiranya engkaulah kunyuknya yang telah
begitu berani kelayapan sampai ke Tanjung Api ini...?"
gerutu Pendekar Hina Kelana dengan sesungging se-
nyum mengejek.
Laki-laki katai itu mendengus, masih dengan
memandang remeh tak kalah sengitnya dia pun ikut
membentak.
"Kaukah yang punya julukan si Hina Kelana itu?
Beh, kau lebih pantas menjadi rajanya para gembel.
Sayangnya kau segera mampus... dan kematianmu
hanya bisa ditunda pabila kau mau menyerahkan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu!" bentak Jumparing
Retno sambil tudingkan telunjuknya yang hanya dua
inci itu.
Buang Sengketa tersenyum sinis, wajahnya
membayangkan sesungging seringai maut. Sementara
itu Bara Seta yang sudah tiada sabaran lagi, segera
pula membentak.
"Buang, mengapa harus bertele-tele, lebih baik
kita gebuk cacing kerdil kurang makan ini, biar dia ti
dak ngebacot di depan kita...!" tukas Bara Seta merasa
sudah tak sabaran lagi.
Jumparing Retno menjadi semakin panas saja
hatinya, maka dengan kedua bola mata melotot bagai
mau melompat ke luar dia pun berseru:
"Ikan Buntal tak tahu adat, makanlah nih puku-
lanku. Sheaaat...!" Berkata begitu, Jumparing Retno
pukulkan tangan kanannya mengarah pada Bara Seta.
Sudah barang tentu Bara Seta yang sudah bersiap sia-
ga sejak tadi juga tidak tinggal diam. Serta merta dia
pun pukulkan tangan kirinya memapaki serangan
yang dilancarkan oleh si kerdil.
Maka tak terelakkan lagi, pukulan Candak Gina-
ka Menjungkir Batu Membabat Bukit, itupun menderu
memapaki datangnya pukulan Srigala Hutan Mener-
kam Mangsa itupun saling bertemu.
"Bluuummm!"
Tanah di sekitar pantai itu nampak tergetar, pa-
sir-pasir yang berwarna putih itupun beterbangan. Ba-
ra Seta terpelanting sampai tiga tombak jauhnya, se-
mentara itu darah mengalir dari celah-celah bibirnya
yang berkumis sangat lebat. Tapi sungguh hebat daya
tahan Bara Seta, sebab tak lama kemudian dia telah
bangkit kembali dengan keadaan siap melakukan se-
rangan balasan.
Saat itu Jumparing Retno yang masih tetap ber-
diri tegak di tempatnya tanpa kekurangan sesuatu
apapun, keluarkan tawa mengekeh.
"Ah... ahh... ha...! Cuma segitu saja rupanya ke-
kuatan dedengkot Candak Ginaka!"
Sejenak dia berpaling pada Pendekar Hina Kela-
na, lalu lanjutnya. "Bocah gembel! Maju saja sekalian,
biar aku tak usah bersusah payah mengirim kalian ke
neraka!" tantangnya dengan nada sangat meremehkan
sekali.
"Baik... itulah keinginanmu, Paman Bara Seta!
Hadapilah tikus-tikus itu! Biar akan kujajal sampai di
mana kehebatan kerdil jelek ini...!" berkata begitu,
Buang Sengketa segera melangkah setindak dua. Saat
itu Bara Seta sudah pula berhadapan dengan Lukas
Asmoro dan beberapa orang murid yang tersisa.
"Sekarang kita ketemu lagi, Lukas Asmoro. Apa-
kah dengan mengandalkan cacing kerdil itu kau ber-
harap dapat berbuat banyak?" tanya Bara Seta dengan
disertai sesungging senyum mengejek.
"Kutu kampret! Kali ini aku akan mengadu jiwa
denganmu...!" maki Lukas Asmoro. Sesaat kemudian
dengan dibantu oleh murid-muridnya, Lukas Asmoro
sudah menggempur Bara Seta dan keempat orang mu-
rid yang tersisa.
Sementara itu Buang Sengketa dan si kerdil ber-
kancut, sudah bergebrak mendahului, dengan seran-
gan-serangan yang sangat dahsyat. Buang Sengketa
juga tak ingin bertindak sungkan-sungkan. Dengan
mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong.
Buang Sengketa mengerahkan segenap kemampuan-
nya. Maka dalam waktu sekejab saja pertarungan itu-
pun berlangsung sangat seru sekali. Buang segera pula
mempergunakan jurus Membendung Gelombang Me-
nimba Samudra saat mana Jumparing Retno menye-
rangnya dengan jurus Srigala Menyergap Harimau
Tua.
Pukulan-pukulan dahsyat untuk selanjutnya me-
reka lancarkan. Sementara tubuh mereka berkelebat
sangat cepat sekali. Masing-masing lawan nampaknya
berusaha secepatnya ingin menjatuhkan pihak lawan.
"Ciaaaaat.... Haiiiiit...!" Dalam kesempatan itu
guru kerdil dari Batu Kiambang itu telah lancarkan
pukulan dahsyat yang diberi nama Srigala Bergabung
Menghalau Burung Hantu. Tak pelak lagi selarik sinar
yang berwarna biru keperak-perakan melesat sedemi-
kian cepatnya mengarah ke bagian dada Pendekar Hi-
na Kelana. Menyadari bahaya yang sedang mengancam
jiwanya, Buang juga melepaskan satu pukulan yang
tak kalah dahsyatnya.
Pukulan Empat Anasir Kehidupan, maka saat itu
juga segelombang sinar yang berwarna Ultra Violet
dengan menebarkan hawa panas luar biasa datang
menggebu memapaki datangnya sinar yang berhawa
sangat dingin luar biasa.
"Blaaaaam!"
Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya,
tubuh si kerdil Jumparing Retno terpelanting sepuluh
tombak. Andai saja dia tidak memiliki tenaga dalam
yang sudah mencapai taraf yang sudah sangat sem-
purna, sudah barang tentu tubuhnya akan menjadi
remuk manakala membentur batu karang yang berada
di belakangnya.
***
SEMBILAN
Sementara tubuh Pendekar Hina Kelana sendiri
nampak tergetar dengan kaki amblas ke tanah sampai
sebatas lututnya. Dengan cepat dia cabut kedua ka-
kinya yang terbenam di dalam pasir pantai itu. Kemu-
dian dia hanya leletkan lidahnya saat mana dia mera-
sakan dadanya sesak luar biasa. Maka secepatnya dia
himpun hawa murni, dan tak lama kemudian tubuh-
nya telah kembali seperti sediakala. Karena saat itu
Jumparing Retno telah kembali menyerangnya dengan
pukulan-pukulan andalan. Maka Buang tak ingin lagi
membuang-buang waktu dengan percuma, sekejab
kemudian tubuhnya telah berkelebat lenyap hingga
tinggal merupakan bayang-bayang mereka.
"Shaaaa...!"
Lagi-lagi Jumparing Retno kirimkan satu puku-
lan yang sangat ganas, yaitu pukulan Selaksa Halilin-
tar Menggempur Bukit. Begitu tangannya berkiblat,
maka detik kemudian menderulah serangkum gelom-
bang berwarna kuning menggebrak ke arah tubuh
Buang Sengketa. Saat itu juga Buang yang sudah san-
gat kesal melihat tingkah si katai bertopi kulit manjan-
gan ini segera melepas pukulan si Hina Kelana Mera-
na.
Detik itu serangkum sinar berwarna merah me-
nyala datang membadai memapaki datangnya pukulan
yang dilepaskan oleh Jumparing Retno. Dua tenaga
sakti itupun tanpa dapat dihindari lagi akhirnya saling
bertubrukan di udara.
"Dhweeeeer!"
Kembali tubuh Jumparing Retno tunggang lang-
gang dengan posisi tak karuan, dan keadaan Buang
sendiri saat itu tidak lebih baik dengan apa yang di-
alami oleh si katai yang merupakan guru dari Partai
Batu Kiambang.
"Sialan! Bangsat cebol itu kiranya memiliki puku-
lan beracun yang hebat. Hmm untung aku kebal ter-
hadap segala pukulan beracun, andai tidak sudah se-
jak tadi aku kojor dibuatnya!" batin pemuda itu. Selan-
jutnya dengan tubuh sempoyongan pemuda yang me-
rupakan keturunan raja dari segala macam mahluk
halus (Siluman) segera bersiap-siap dengan posisinya.
Tapi kali ini kemarahan yang tiada tertahankan lebih
menguasai dirinya.
Sementara itu Bara Seta yang sedang bertarung
melawan Lukas Asmoro dan murid-muridnya nampak
sedang dalam keadaan terdesak hebat. Walaupun saat
itu memang sudah banyak murid-murid dari Batu
Kiambang yang berguguran termakan pukulan Candak
Ginaka Membahana, akan tetapi di lain pihak murid
Bara Seta yang tinggal empat orang saja, saat itu tiga
di antaranya telah gugur pula dengan keadaan yang
sangat menggenaskan.
Masing-masing lawan kelihatannya telah mele-
paskan pukulan-pukulan mautnya, sedangkan murid-
murid Batu Kiambang yang tersisa hanya tinggal bebe-
rapa gelintir itupun menyerang Bara Seta dengan sen-
jatanya yang beraneka ragam.
"Caiiiit...! Mampusss!" teriak Lukas Asmoro. Pe-
dang pendek yang sangat tipis dengan warnanya yang
hitam legam itupun berkelebat.
Hanya sesaat sebelum senjata tajam dan men-
gandung racun yang sangat keji itu mencapai sasaran-
nya. Bara Seta telah membuang dirinya ke samping
kanan, selanjutnya dia berguling-guling. Akan tetapi
senjata di tangan Lukas Asmoro terus memburunya
tanpa kenal ampun.
Bara Seta yang bertubuh gemuk itu tak ubahnya
bagai sebuah karung saja, terus menggelinding kian ke
mari. Namun bersikap seperti itu tak mungkin sela-
manya dapat dia pertahankan. Hingga kemudian kesa-
barannya pun benar-benar telah melampaui takaran-
nya. Dia sudah naik pitam, tanpa ampun lagi begitu
dia menggenjot tubuhnya dengan mempergunakan il-
mu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf
sempurna. Maka badan yang beratnya lebih dari satu
kwintal itupun sudah melesat ke udara. Dalam kea-
daan seperti itu, dia pun mencabut senjatanya yang
berupa sebilah keris bereluk sepuluh.
Begitu keris pusaka Perguruan Candak Ginaka
itu berada di tangannya, maka terlihat cahaya berkilat-
kilat karena ketajamannya yang dipantulkan oleh sinar
matahari.
Selanjutnya dengan teriakan menggembor bagai
seekor kerbau jantan terluka. Senjata di tangan Bara
Seta menderu mencari titik lemah pertahanan pihak
lawan yang bersenjatakan sebilah pedang pendek.
Sesaat kemudian terdengar pula lolongan maut,
saat mana salah seorang murid Batu Kiambang beru-
saha menyerobot pertahanan Bara Seta secara curang.
Murid bertubuh tinggi semampai itu menekan bagian
lambungnya yang terobek keris Bara Seta tak kurang
dari sejengkal lebarnya.
Tubuh si tinggi semampai terhuyung-huyung,
sementara tangannya yang mendekap bagian lambung
sudah basah oleh darah. Mata melotot bagai melihat
setan yang bangkit dari neraka. Selanjutnya tubuh
itupun limbung, lalu ambruk manakala darah terakhir
membanjiri pasir yang putih.
Bukan main marahnya Lukas Asmoro demi meli-
hat kawan dekatnya tewas di tangan Bara Seta secara
menggenaskan.
"Keparat! Ka... kau... telah membunuh orang
yang paling berharga dalam hidupku. Kau benar-benar
sangat keji...!" maki Lukas Asmoro sangat marahnya.
Bara Seta tergelak-gelak demi melihat kegusaran
lawannya. Maka masih dengan sesungging senyum si-
nis dia berkata tajam.
"He... he... he...! Membantai orang-orang kesasar
merupakan pekerjaanku. Mengapa harus disesali.
Tokh kematian itu juga akan datang pada setiap mah-
luk bernyawa secara cepat atau lambat...!"
"Kutu kupret...! Mampus...!"
"Ngguuuung!"
Lukas Asmoro yang sudah sangat kesal itu tanpa
banyak cingcong lagi, kembali babatkan pedangnya.
Bara Seta pun tidak ingin bertindak setengah-setengah
lagi, segera saja mencecar dan melakukan serangan-
serangan balasan dengan gerakan yang sangat cepat
dan sulit diduga-duga.
Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hina
Kelana dan Jumparing Retno telah mencapai puncak-
nya. Baik Buang maupun si katai bertopi kulit men-
jangan, sejak tadi jatuh bangun dalam adu tenaga sak-
ti yang saling mereka lepaskan. Hingga beberapa saat
kemudian, nampaknya si kerdil ini sudah tidak sabar
lagi menghadapi perlawanan yang cukup sengit dari
pihak lawannya.
Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, Jumparing
Retno sudah mencabut sebuah tongkat sakti yang ber-
kepala srigala. Tongkat itu berwarna hitam mengkilat
tertimpa cahaya matahari. Demi melihat apa yang di-
lakukan oleh lawannya yang masih tetap saja nekad,
maka Buang semakin bertambah jengkel saja dibuat-
nya. Kini sudah jelaslah baginya, bahwa Jumparing
Retno benar-benar menghendaki nyawanya.
"Mampuslah, kau! Budak hina...!" berkata begitu
manusia katai dari Partai Batu Kiambang itu sudah
menyerang si pemuda dengan serangan-serangan
tongkatnya yang sangat berbahaya itu. Pemuda ketu-
runan Raja Ular Piton Utara dari Negeri Bunian itu,
sudah tak dapat berpikir panjang lagi.
"Emaaaak...!" jeritnya, manakala tongkat di tan-
gan Jumparing Retno, nyaris memukul remuk batok
kepalanya. Masih belum dia berhasil menghindari ter-
jangan tongkat itu dengan baik. Satu sodokan susulan
datang beruntun. Semakin lama semakin menggila.
Karena memang sesungguhnya saat itu Jumparing
Retno sedang mempergunakan jurus Tongkat Srigala
Menggila.
Buang meskipun sudah mempergunakan jurus
silat tangan kosong si Gila Mengamuk, namun kesela
matannya masih juga terancam. Dalam keadaan kepe-
pet seperti itu, tiba-tiba dia teringat akan sebuah jurus
awal yang belum sepenuhnya dipelajari dan dikua-
sainya, dari jurus-jurus Koreng Seribu, ciptaan terak-
hir gurunya.
"Hiaaaa...!" Buang keluarkan jeritan melengking
bagai gaung suara ratusan para siluman yang terluka.
Seiring dengan suara jeritannya yang membahana itu,
maka bagai ditelan bumi. Pemuda itu lenyap dari pan-
dangan mata Jumparing Retno.
"Bangsat! Ilmu siluman...!" maki manusia katai
itu sambil celingukkan bagai seekor monyet yang ke-
tinggalan rombongannya. Tahu-tahu:
"Buuuuk!"
Kaki Buang Sengketa mendarat di bagian pung-
gung Jumparing Retno. Namun dalam keadaan sem-
poyongan itu dia masih sempat hantamkan tongkat-
nya.
"Breeeet...!"
"Arrgggh...!" jerit Buang Sengketa. Bagian bawah
ketiaknya terasa perih sekali. Dalam keadaan sakit,
namun cepat bangkit kembali. Buang Sengketa sempat
berfikir. Mengapa jurus-jurus Koreng Seribu hasil cip-
taan gurunya yang terakhir tidak ada apa-apanya?
Bahkan tidak memiliki kekuatan yang dapat diandal-
kan? Bagai orang bego yang tiada memiliki kepandaian
apa-apa, selanjutnya dirinya dipermainkan oleh Jum-
paring Retno yang semakin bertambah besar kepala.
Jangan-jangan kelanjutan jurus Koreng Seribu hanya-
lah sebuah kitab mainan bocah cilik! Kalau begitu
sungguh keterlaluan kakek pemuram itu. Batin Buang
Sengketa dalam hati.
Akhirnya sampailah dia pada kesimpulan demi
untuk menyelamatkan selembar jiwanya yang tiada di-
jual di warung mana pun, dia segera merubah jurus
jurus silatnya yang paling sangat diandalkan selama
ini.
Si Jadah Terbuang! Tak salah lagi, jurus yang
sangat dahsyat itulah yang kini dipergunakan oleh
Buang Sengketa dalam menghadapi serangan tongkat
sakti yang berada dalam genggaman tangan lawannya.
Menghadapi perubahan yang sangat mendadak
itu, sudah barang tentu manusia kerdil dari Perguruan
Batu Kiambang ini menjadi terkejut bukan alang kepa-
lang. Sama sekali dia tiada menyangka kalau si pemu-
da memiliki jurus silat tangan kosong yang sangat he-
bat luar bias!
***
SEPULUH
Di lain pihak, Pendekar Hina Kelana demi mera-
sakan rasa sakit yang teramat sangat akibat pukulan
maupun sabetan tongkat sakti milik Jumparing Retno.
Nampak sudah tak dapat lagi menahan kesabarannya,
dalam posisi berdiri sejauh empat meter jaraknya dari
pihak lawan. Pemuda itu memandang tajam pada
Jumparing Retno. Kedua bibirnya terkatup rapat, den-
gan rahang bergemeletukkan. Dingin pandangan ma-
tanya, hawa pembunuhan terpancar dari wajahnya
yang menegang. Selanjutnya adalah bunyi mendesis
bagai seekor Ulat Piton yang sedang dilanda kemara-
han.
"Manusia katai berfikiran picik! Semua kesaba-
ranku sebagai seorang anak manusia telah kuberikan!
Sepanjang itu kau tak pernah menyadarinya. Kau kira
dengan kemampuan yang kau miliki itu, kau sanggup
meruntuhkan kodrat yang telah digariskan. Bukan ke
sombonganku kalau hari ini aku harus menggusur
nama besar Perguruan Batu Kiambang. Maafkan aku,
karena aku juga masih merupakan keturunan raja di
negeri alam gaib, terkadang kodratku sebagai titisan
raja siluman menjadi peredam dalam kodrat amarahku
sebagai seorang anak manusia!" ucap Pendekar Hina
Kelana.
"Kentut busuk! Katakan saja kalau kau merasa
jera berhadapan denganku!" maki Jumparing Retno.
Tiada kata yang terucap dari mulut pemuda itu,
hanya satu lengkingan ilmu Pemenggal Roh saja yang
menyertai berkelebatnya tubuh pemuda dari Negeri
Bunian itu. Begitupun membuat tubuh murid-murid
Batu Kiambang yang hanya bersisa tiga orang itu
menggelepur roboh dengan telinga mengalirkan darah.
Baik Bara Seta, Lukas Asmoro, maupun Jumparing
Retno nampak terkesima. Demi mendengar lengkingan
ilmu Pemenggal Roh yang dapat merontokkan tebing
batu karang yang ada di sekitarnya. Namun rasa ke-
terkejutan itu nampaknya tidak berlangsung lama, ka-
rena detik kemudian dia harus berjuang mati-matian
demi mempertahankan keselamatannya sendiri.
"Wuuus!"
Tongkat di tangan Jumparing Retno datang men-
gibas manakala Buang kirimkan satu pukulan ke arah
bagian dada manusia katai itu. Tangkisan yang tiada
terduga-duga itu membuat pendekar kita ini tak sem-
pat menarik balik pukulannya.
"Bleetak!"
"Auggh...!" Pendekar Hina Kelana terpekik, saat
mana tangannya yang telah teraliri tenaga dalam itu
membentur tongkat di tangan Jumparing Retno. Tan-
gan Buang yang membentur tongkat sakti tersebut te-
rasa sakit luar biasa. Maka sambil menyeringai mena-
han sakit. Tak tertahankan lagi Buang segera cabut
pusaka Golok Buntung yang sangat menggemparkan
itu. Begitu senjata maut itu telah tergenggam di tangan
pendekar ini. Tak ayal lagi, seberkas sinar warna me-
rah menyala terpancar dari senjata yang sangat tinggi
pamornya. Jumparing Retno jadi keder nyalinya, bah-
kan wajahnya semakin bertambah pucat saja, saat
mana dia merasakan udara di sekitarnya mendadak
menjadi sangat dingin luar biasa. Namun Pendekar Hi-
na Kelana yang sudah mencapai puncak kemarahan-
nya itu, nampaknya sudah tiada memperdulikan kea-
daan Jumparing Retno.
"Heiiik!"
Teriak si pemuda, sementara dari bibirnya terus
memperdengarkan bunyi mendesis bagai seekor Ular
Piton yang sedang marah.
"Hiaaat... cia... ciaaa...!" Jumparing Retno bertin-
dak mendahului, dan dengan tongkatnya dia berusaha
mendesak Buang dari segala penjuru.
Pendekar Hina Kelana habis sudah kesabaran-
nya, pada satu kesempatan tubuhnya kembali berge-
rak cepat, hingga tinggal merupakan bayang-bayang
merah saja. Saat itu, golok di tangannya menderu
hingga timbulkan suara bergemuruh dan menerbang-
kan pasir dan mengibarkan rambut lawannya yang
hanya beberapa helai saja.
"Wuuus!"
Manusia katai kiblatkan tongkatnya dengan
maksud menangkis senjata pihak lawan.
"Braaaak!"
Tongkat sakti di tangan manusia katai itu hancur
berkeping-keping, manakala golok di tangan Buang
menyambarnya. Pucat wajahnya membayangkan keta-
kutan yang teramat sangat. Namun lagi-lagi pendekar
ini sudah tidak memberi kesempatan lagi pada lawan-
nya.
Senjata di tangan Buang Sengketa kembali berke-
lebat sangat cepat, Jumparing Retno hanya terkesima
begitu melihat berkelebatnya sinar merah, mengarah
pada bagian tubuhnya.
Maka tak terelakkan lagi:
"Craaat! Craaas!"
Jumparing Retno menjerit setinggi langit. Tubuh-
nya limbung, sesaat kemudian kedua tangannya nam-
pak menekan bagian luka yang sangat mengerikan itu.
Namun semua usahanya itu tidak juga mampu. meng-
hentikan darah yang menyembur ke luar. Detik kemu-
dian tubuh Jumparing Retno ambruk ke bumi, berke-
lojotan sebentar, untuk kemudian terdiam dengan jiwa
melayang.
Pendekar Hina Kelana menarik nafas pendek, se-
kejab dipandanginya mayat manusia katai dari Partai
Batu Kiambang, kemudian beralih pula pada mayat-
mayat yang lainnya. Wajahnya tertunduk, saat itu Pu-
saka Golok Buntung masih tergenggam erat di tangan-
nya. Nampaknya pemuda dari Negeri Bunian itu larut
dalam lamunannya. Tetapi manakala dia mendengar
denting suara beradunya senjata tajam tak jauh dari
tempat dia berada, maka teringatlah olehnya Bara Se-
ta, yang sedang bertarung melawan Lukas Asmoro. Se-
kilas dia menoleh, maka tampak saat itu Bara Seta se-
tengah kewalahan dalam menghadapi Lukas Asmoro.
"Kampret sialan muridnya kerdil dungu itu me-
mang perlu secepatnya diberangkatkan ke liang ku-
bur...!" batinnya dalam hati.
Dengan sekali lompat dan bahkan dengan gera-
kan yang sangat ringan dia telah berada di tengah-
tengah pertarungan.
"Paman Bara Seta! Menyingkirlah...!"
Bara Seta tanpa menunggu diperintah dua kali
segera menuruti apa yang diperintahkan oleh Pendekar
Hina Kelana. Maka begitu berhadapan dengan Buang,
menggigillah tubuh murid Jumparing Retno yang cuma
tinggal satu-satunya ini.
Lalu ditudingnya Lukas Asmoro dengan jari te-
lunjuknya. Kemudian dengan berapi-api dia pun mem-
bentak.
"Kau... ha... ha... ha...!" Buang Sengketa tertawa
mengekeh. "Jangan kira aku akan membiarkanmu hi-
dup...!" Berkata begitu pendekar ini langsung mener-
jang Lukas Asmoro dengan senjata andalannya. Kalau
Jumparing Retno saja sebagai gurunya menjadi kela-
bakan saat mana menghadapi kehebatan Pusaka Go-
lok Buntung. Tak terbayangkan lagi, kalau saat itu ju-
ga Lukas Asmoro menjadi ciut nyalinya.
"Nguuung...!"
Golok di tangan Buang menderu dahsyat, dan de-
tik selanjutnya tanpa mengalami banyak kesulitan
Buang Sengketa kembali babatkan golok di tangannya.
Lukas Asmoro hanya sesaat saja terperangah, lalu:
"Craas...! Craaas...!"
"Arggghk...!"
Lukas Asmoro menjerit, darah muncrat dari
punggungnya yang terbabat golok di tangan lawannya.
Setelah memutar tubuh Lukas Asmoro menggeletar,
kemudian terjengkang tanpa mampu berkutik lagi.
"Hemm. Banyak orang di kolong langit ini mene-
mui kematian karena ulahnya sendiri...!" Bergumam
pendekar ini seperti pada dirinya sendiri.
Saat itu Bara Seta telah pula berdiri di samping
si pemuda dengan hanya ditemani seorang muridnya
yang cuma tinggal satu-satunya.
"Satu ilmu langka yang telah kulihat untuk per-
tama kalinya, di dalam hidupku. Hemm... Pusaka Go-
lok Buntung itu... baru kali ini aku menyaksikan den-
gan mata kepala sendiri tentang apa yang selama ini
diceritakan oleh Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Kau
benar-benar seorang pendekar sejati, Kelana...!" puji
Bara Seta tanpa bermaksud melebih-lebihkan. Semen-
tara Buang Sengketa hanya geleng-gelengkan kepa-
lanya pelan.
"Sudahlah, Paman. Aku bukanlah apa-apa bila
dibandingkan dengan kebesaran Sang Hyang Pencipta.
Pula nampaknya kita akan menghadapi lawan-lawan
yang sangat berbahaya sekali. Sedangkan di lain pi-
hak, aku merasakan seperti ada sesuatu rahasia di ba-
lik Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu yang diciptakan
oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ujar Buang
Sengketa berhati-hati.
"Apa maksudmu, Buang...?" tanya Bara Seta pe-
nuh ketidak mengertian.
Pendekar Hina Kelana membuang pandangan
matanya jauh-jauh. Selanjutnya Bara Seta mendengar
helaan nafasnya yang terasa berat.
"Paman! Mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng
Seribu, nampaknya memerlukan waktu beberapa pur-
nama. Aku menyadari betapa tololnya aku ini, selama
beberapa hari aku mempelajari kitab itu, ternyata aku
melakukan satu kesalahan yang bisa berakibat sangat
patal sekali...!"
Bara Seta nampaknya semakin tidak me-ngerti
saja dengan apa yang dikatakan oleh pendekar yang
sangat dikaguminya itu.
"Buang! Katakanlah sesuatu padaku agar aku
dapat menjadi mengerti...!"
"Paman Bara Seta! Agaknya paman pun harus
tahu bahwa selama ini Kakek Bangkotan Koreng Seri-
bu sengaja merahasiakan intisari dari jurus-jurus hasil
ciptaannya yang terakhir. Hari-hari kemarin ternyata
aku mempelajari sesuatu yang tiada gunanya. Kata-
kanlah bahwa itu sebuah tipuan atau mainan anak
anak yang tidak ada manfaatnya." kata Buang Sengke-
ta lirih. Lalu sesaat kemudian dia telah mengambil ki-
tab yang tebalnya tak lebih dari empat puluh halaman.
Sebentar dia membolak balik kitab yang terbuat dari
kulit ikan hiu tersebut. Satu halaman di antaranya dia
angkat tinggi-tinggi menghadap ke arah matahari. Lalu
tampaklah olehnya sebuah guratan-guratan yang tiada
teratur. Dan saat mana dia meletakkan lembaran kitab
tersebut di atas batu karang, maka guratan-guratan
tadi sudah tidak kelihatan lagi. Yang ada hanyalah ge-
rakan-gerakan silat yang hari-hari kemarin telah dipe-
lajarinya. Namun ternyata salah besar!
Buang Sengketa tanpa sadar tepuk-tepuk jidat-
nya sambil leletkan lidah yang terasa kelu. Lalu tanpa
ditanya dia pun berucap:
"Sungguh, kakek merupakan orang yang berpiki-
ran cerdas. Begitu pandai dia menjaga rahasia kitab
dan isinya, hingga andai pun sampai terjatuh ke tan-
gan orang lain. Sampai botak sekalipun mereka tetap
tak akan mampu memahami makna yang terkandung
di dalamnya. Oh betapa besar perhatiannya padaku si
Hina Kelana, sampai akhir hayatnya ini pun aku tak
mampu membalas sedikit dari sekian banyak kebaikan
yang pernah dia berikan padaku. Kakek... guru...
maafkanlah muridmu yang tak dapat membalas budi
ini...!" kata Buang Sengketa dengan hati pedih.
Saat itu nampaknya Bara Seta merasa tak sam-
pai hati membiarkan Buang Sengketa berlarut-larut
dalam kesedihan, sambil menepuk-nepuk bahu si pe-
muda, Bara Seta pun pada akhirnya berucap.
"Sudahlah, Kelana...! Dalam kehidupan manusia,
tolong menolong adalah merupakan satu perbuatan
yang sangat terpuji. Kalau pun engkau tak dapat
membalas segala kebaikan bapak, maka kau dapat
melakukannya pada orang lain. Yang terpenting seka
rang ini kita harus memikirkan jalan keluarnya untuk
mencari tempat yang aman guna mempelajari kitab
warisan gurumu yang terakhir...!"
Nampaknya Pendekar Hina Kelana jadi terkesima
demi mendengar apa yang dikatakan oleh Bara Seta.
Dia pun berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh laki-
laki dari Lubuk Sikaping itu benar adanya. Tanjung
Api kini bukanlah merupakan sebuah tempat yang
aman untuk mempelajari sebuah kitab yang sangat
dahsyat.
"Menurutmu bagaimanakah, Paman?"
"Satu-satunya jalan kita harus meninggalkan
tempat ini, untuk mencari sebuah tempat yang ter-
sembunyi demi keselamatan kitab itu!"
Buang Sengketa angguk-anggukkan kepalanya.
Lalu dipandanginya Bara Seta dengan hati masgul.
"Aku menurut apa yang paman katakan, kalau
bisa secepatnya pula kita tinggalkan tempat ini...!"
Tanpa berkata-kata lagi, Buang Sengketa, Bara
Seta dan seorang muridnya yang bernama Pamuja ini
pun segera menghampiri makam si Bangkotan Koreng
Seribu. Selanjutnya setelah memberi penghormatan
pada makam guru dan sekaligus merupakan orang tua
angkat Bara Seta. Maka ketiga orang itupun berlalu
meninggalkan Tanjung Api.
***
SEBELAS
Rombongan berkuda dari Partai Beruang Merah
yang dipimpin langsung oleh ketua-nya, Nyai Tambak
Sari itu kini telah sampai di Tanjung Kait. Itu berarti
tak sampai setengah jam lagi mereka telah sampai di
Tanjung Api. Dalam keadaan tergesa-gesa takut dida-
hului oleh yang lainnya. Rombongan itu semakin
mempercepat laju kuda-kuda mereka.
Sementara itu tanpa mereka sadari, sosok tubuh
yang sedang menggerakkan lari cepatnya itu terus
mengikuti gerak laju kuda orang-orang Beruang Me-
rah. Namun agaknya orang yang sedang mengerahkan
ilmu lari cepatnya itu sudah tak sabaran lagi. Karena
tak sampai satu menit kemudian dia telah mengha-
dang jalan yang akan dilalui oleh rombongan orang-
orang berkuda ini. Tentu saja gerakannya yang sangat
cepat itu membuat terkejut para penunggang kuda ter-
sebut. Serta merta mereka menarik tali kekang ku-
danya, dan kuda-kuda itu meringkik keras langsung
hentikan langkah.
Nyai Tambak Sari yang menjadi kepala rombon-
gan dan bermata buta itu bagai me-ngerti saja bahwa-
sanya ada orang yang sedang menghadang jalan mere-
ka. Maka tanpa sabar lagi dia pun membentak.
"Sialan betul! Kunyuk mana yang telah begitu be-
rani menghadang jalan yang akan kami lalui...?" teriak
Nyai Tambak Sari sambil kedip-kedipkan matanya
yang berongga mengerikan.
"Kunyuk berpakaian pendeta ini nampaknya sen-
gaja mencari gara-gara pada kita, Ketua...!" menyela
Basra Panewu, memberi gambaran tentang ciri-ciri
orang yang menghadang mereka.
Alis Nyai Tambak Sari menggemirit, dia berusaha
mereka-reka siapakah gerangan orang yang berdiri te-
gak di hadapannya itu. Sekali lagi dia membentak gu-
sar: "Kunyuk tuli! Kuperintahkan sekali lagi padamu,
cepat-cepat minggirlah kau dari hadapanku...!"
Orang yang menghadang di tengah jalan dan tak
lain Begawan Ardi Soma adanya tertawa ganda. Suara
tawanya sesungguhnya hanya pelan saja, namun ka
rena suara tawa itu disertai dengan tenaga dalam yang
lumayan. Tak urung beberapa orang murid Beruang
Merah cepat-cepat menutup telinganya yang berde-
nyut-denyut sakit. Bahkan kuda-kuda tunggangan me-
reka pun meringkik keras.
Nyai Tambak Sari yang buta matanya itu nampak
geleng-gelengkan kepalanya. Nampaknya dia berusaha
keras untuk mengingat-ingat suara tawa yang tak
ubahnya bagai jerit seekor ular naga tersebut. Seper-
tinya dia masih ingat siapa adanya. laki-laki ini. Tak
salah di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh saja
yang mampu mengeluarkan suara tawa seperti itu. Be-
gawan Ardi Soma, ya hanya dialah satu-satunya tokoh
yang dapat berubah ujud seperti itu. Batin Nyai Tam-
bak Sari. Namun sebelum Nyai Tambak Sari mampu
berkata apa-apa, mendadak orang yang sedang dipi-
kirkannya, sudah pula berkata:
"Kalian orang-orang sableng dari Beruang Merah!
Hendak ke manakah hingga kelihatan bagai dikejar-
kejar setan...?!"
"Kampret sialan! Begawan Ardi Soma, jangan kira
aku tak dapat mengenali siapa adanya engkau itu. Aku
tak punya urusan denganmu, maka cepat menyingkir-
lah...!" maki Nyai Tambak Sari
Lagi-lagi Begawan Ardi Soma tertawa mengekeh,
sepanjang sepak terjang ketua Beruang Merah ini, ra-
sa-rasanya dia sudah mengetahui ke mana tujuan
rombongan berkuda yang dipimpin oleh manusia sesat
tersebut. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi dia pun
menyela:
"Nyai Tambak Sari! Kulihat dulu matamu pernah
dibutakan oleh si Bangkotan Koreng Seribu. Kulihat
hari ini kau mau ke Tanjung Api, ada keperluan apa-
kah gerangan...?" pancing Begawan Ardi Soma dengan
sesungging senyum penuh misteri. Kata-kata sang begawan meskipun diucapkan biasa-biasa saja namun
bagi Nyai Tambak Sari merupakan sesuatu yang san-
gat menyakitkan hatinya.
"Begawan palsu! Dulu si Bangkotan Koreng Seri-
bu, boleh unjuk gigi di depan siapapun. Tapi tidak un-
tuk saat ini. Akan kubuntungi kedua tangan dan ka-
kinya, kemudian kubutakan pula matanya, agar dia
tahu bahwa di kalangan persilatan akulah yang paling
berkuasa...!" tukas Nyai Tambak Sari berusaha menu-
tup-nutupi tujuan yang sesungguhnya.
"Hua... ha... ha... ha...! Si Bangkotan Koreng Se-
ribu telah meninggal dua purnama yang telah lewat.
Bahkan jenazahnya pun telah dikuburkan lebih dari
satu purnama yang lalu. Hemm, si Bangkotan Koreng
Seribu yang manakah yang akan kau buntungi kedua
kaki dan tangannya? Dan mata siapakah yang akan
kau butakan...? Aku malah khawatir bahwa kedatan-
gan kalian ke sana hanyalah untuk membunuh Pen-
dekar Hina Kelana sekaligus untuk mendapatkan Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu yang dahsyat itu...!" se-
lanya tanpa tedeng aling-aling lagi.
Saat itu juga baik Basra Panewu, Sudak Pari
maupun Nyai Tambak Sari kelihatan berubah paras-
nya. Terlebih-lebih dedengkot Beruang Merah, tubuh-
nya sampai tergetar karena menahan kemarahan yang
luar biasa. Dengan gigi-gigi bergemeletukkan, Nyai
Tambak Sari membentak:
"Keparat tengik! Kiranya kau memang sengaja
mencari permusuhan dengan kami dan bukan tak
mungkin pula bahwa kau juga punya ambisi untuk
mendapatkan kitab yang tiada ternilai harganya itu...!"
"Kita cincang saja begawan gila ini, Ketua...!" Su-
dak Pari yang sudah tidak sabaran itupun ikut pula
menyela. Tanpa menghiraukan ucapan Sudak Pari,
Begawan Ardi Soma menatap tajam pada Nyai Tambak
Sari, nenek renta namun punya ambisi setinggi langit.
"Tambak Sari manusia salah kaprah! Tiada sedi-
kit pun terbetik di hatiku untuk mengangkangi segala
kitab yang berbau keduniawian. Asal kau tahu saja,
bahwasanya si Bangkotan Koreng Seribu adalah salah
seorang yang merupakan sahabat karib ku... kebera-
daan kami tak ubahnya bagai daging dengan darah...!"
Nenek buta terperangah begitu mendengar kata-
kata Begawan Ardi Soma. Dalam hati sedikitpun dia
tiada menyangka kalau laki-laki yang berdiam di Sen-
dang Hamparan Perak itu masih merupakan sahabat
karib si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang be-
nar apa yang dikatakan oleh Begawan Ardi Soma, ma-
ka itu berarti bahwa dia harus berhadapan dengan to-
koh yang berilmu sangat tinggi. Dia pun tahu kepan-
daian yang dimiliki mungkin hanya setingkat di atas
begawan itu. Namun itu adalah beberapa puluh tahun
yang lalu. Sedangkan sebagaimana hebat kesaktian
Begawan Ardi Soma saat ini, sama sekali dia tidak ke-
tahui. Buta sebuta matanya.
"Ho... ho... ho! Jadi sekarang apa yang kau ingin-
kan dari kami...?" tanya Nyai Tambak Sari berusaha
menghindari terjadinya bentrokan dengan Begawan
Ardi Soma. Laki-laki berambut, kumis serta jenggot
yang sudah memutih ini berobah tegas.
"Mengingat di antara kita tidak ada permusuhan.
Aku minta batalkan niat kalian untuk datang ke Tan-
jung Api. Andai tidak...?"
"Andai tidak kau mau apa, Begawan sinting...?"
tanya Nyai Tambak Sari seolah sudah mengerti ke ma-
na arah pembicaraan Begawan Ardi Soma.
"Andai tidak! Aku akan merintangi tujuan ka-
lian...!"
"Caile... enak betul! Jangan kira aku akan mun-
dur dalam menghadapimu, Begawan keparat...!" maki
Nyai Tambak Sari dalam kemarahan yang sudah tiada
terkontrol lagi. Serta merta dia memberi isyarat pada
Basra Panewu dan Sudak Pari. Maka tanpa dapat dice-
gah lagi, dengan masih berada di atas punggung ku-
danya masing-masing, baik Basra Panewu dan Sudak
Pari langsung kirimkan satu pukulan yang diberi nama
Sekawanan Beruang Merah Menyergap Harimau Tua.
"Weeees!"
Serangkum gelombang berhawa sangat dingin
luar biasa menderu ke arah Begawan Ardi Soma. Dan
nampaknya begawan ini tahu betul bahwa pukulan
maut yang memancar-kan sinar ungu itu mengandung
racun yang sangat ganas. Sebagai seorang begawan
yang sudah kenyang makan asam garam kelicikan
kaum sesat. Dia tak ingin ambil resiko yang dapat
membahayakan keselamatan dirinya. Dalam gebrakan
pertama ini dia juga ingin menjajal sampai di mana
kehebatan murid-murid Beruang Merah. Maka tanpa
bergeser dari tempatnya dia kirimkan empat pukulan
beruntun sekaligus.
"Wret! Wer! Wer! Wer...!"
Dalam gebrakan pertama ini saja Begawan Ardi
Soma sudah mempergunakan pukulan Ekor Naga Me-
lecut Karang. Saat itu juga menderulah satu gelom-
bang sinar berwarna jingga. Begitu pukulan Begawan
Ardi Soma terlepaskan, maka udara yang teramat din-
gin menyelimuti daerah sekitarnya. Sejenak lawan-
lawannya nampak tersentak, tapi hanya sekejapan sa-
ja, karena tak lama berselang terdengar dua letupan
disertai pekik ringkik kuda milik Basra Panewu dan
Sudak Pari.
Bersamaan dengan ambruknya kuda tunggan-
gan kedua orang itu, tubuh Basra Panewu dan Sudak
Pari mencelat dari punggung kudanya. Akan tetapi me-
reka cepat-cepat bangkit kembali tanpa kekurangan
sesuatu apapun. Namun begitu melihat kuda-kuda mi-
liknya tewas dengan tubuh membeku. Dua orang mu-
rid utama ini menjadi berang. Dan langsung menuding
Begawan Ardi Soma yang masih tetap berdiri tegak
tanpa kekurangan sesuatu apapun.
"Kampret! Kau telah membunuh kuda kesayan-
gan kami. Puih, jika nyawa kuda itu ditukar dengan
nyawamu, itupun belum bisa dianggap lunas!" maki
Sudak Pari.
"Kuda adalah tetap kuda! Siapa sudi menukar
nyawaku dengan nyawa kudamu?" teriak Begawan Ar-
di Soma semakin bertambah jengkel saja.
Dalam kesempatan itu, Nyai Tambak Sari masih
memberi kesempatan pada dua orang pembantunya
untuk menjajal kepandaian yang dimiliki oleh Begawan
Ardi Soma. Sungguhpun kedua matanya sudah tidak
dapat melihat apa-apa, namun nalurinya mengatakan
bahwa ternyata murid-muridnya yang cukup tangguh
itupun masih kalah dalam hal adu tenaga dalam. Di-
am-diam dia ingin mengikuti perkembangan selanjut-
nya.
Sementara Begawan Ardi Soma sudah terlibat
pertarungan kembali dengan Sudak Pari dan Basra
Panewu. Namun kali ini mereka dibantu oleh murid-
murid utama lainnya yang berjumlah tak kurang dari
sepuluh orang. Mereka-mereka ini dengan mempergu-
nakan senjatanya yang terbuat dari kebutan kelihatan
merangsek Begawan Ardi Soma dari segala penjuru.
Mau tak mau begawan dari Sendang Ham-paran
Perak dibuat kerepotan juga. Dengan gerakan-gerakan
silat mengkelit dan menghindar yang diberi nama Naga
Sendang Gelengkan Kepala. Berulang kali serangan-
serangan gencar yang dilakukan oleh pihak lawan
menjadi luput.
Dalam keadaan seperti itu dan berlangsung terus
menerus, pada akhirnya membuat murid-murid Be-
ruang Merah menjadi gusar, yang pasti Sudak Pari dan
Basra Panewu tak dapat melepaskan pukulan mautnya
kalau tak ingin mengenai kawannya sendiri.
Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh Bega-
wan Ardi Soma untuk melepaskan pukulan-pukulan
Naga Kibarkan Ekor. Tak dapat dihindari lagi lolongan
maut pun terdengar dari murid-murid Beruang Merah
yang terhantam pukulan yang dilepaskan oleh sang
begawan.
"Minggir kalian semua...!" teriak Basra Panewu
dan Sudak Pari hampir bersamaan. Selang beberapa
saat setelahnya murid-murid Beruang Merah telah pu-
la mengikuti perintah Basra Panewu dan Sudak Pari.
Kini dengan sangat leluasa mereka dapat mele-
paskan pukulan-pukulan mautnya. Begitu pun Bega-
wan Ardi Soma bukanlah lawan yang enteng bagi me-
reka. Sebab setiap mereka melepaskan pukulan Be-
ruang Merah Menyergap Harimau Tua, Begawan Ardi
Soma selalu saja dapat mematahkan pukulan gencar
itu di tengah jalan.
Berulang kali mereka dibuat jatuh bangun oleh
pukulan mereka yang membalik, sementara darah pun
tiada henti mengalir diri celah-celah bibir mereka. Na-
mun sebagai golongan sesat yang tiada kenal menye-
rah mereka masih saja berusaha menekan pihak lawan
dengan jalan apapun.
Murka Nyai Tambak Sari demi melihat pemban-
tu-pembantu utamanya masih belum juga dapat men-
gatasi Begawan Ardi Soma. Sebaliknya dia pun sung-
guh tidak melihat, masih dapat merasakan bahwa mu-
rid-muridnya merasa kewalahan dalam menghadapi
tokoh sakti itu. Dia tidak ingin lagi bicara, namun in-
dera pendengarannya mulai memperkirakan posisi pi-
hak lawan saat itu berada.
Tak lama kemudian setelah mengetahui kebera-
daan Begawan Ardi Soma, maka satu pukulan mengge-
ledek yang sangat memekak-kan gendang-gendang te-
linga pun menyambar ke bagian tubuh laki-laki dari
Sendang Hamparan Perak ini.
Begawan Ardi Soma adalah seorang tokoh yang
penuh dengan pengalaman, itu makanya begitu mera-
sakan adanya sambaran angin pukulan di belakang-
nya, laksana kilat tubuh Ardi Soma melesat ke udara.
"Blaaammm!"
Pukulan Beruang Merah yang dilepaskan oleh
Nyai Tambak Sari mencapai pada sasaran yang ko-
song.
***
DUA BELAS
Nyai Tambak Sari mencaci maki habis-habisan.
Serta merta dia melompat dari atas punggung ku-
danya. Sesaat berikutnya dia pun sudah membentak:
"Begawan keparat! Jangan panggil aku sebagai
Ketua Beruang Merah jika aku tak dapat membunuh-
mu...!" teriaknya.
Yang dibentak hanya diam saja, namun di dalam
hatinya telah pula membaca ajian Naga Sendang yang
telah dikuasainya dengan baik selama berpuluh-puluh
tahun. Begitu dia selesai merapal ajian Naga Sendang,
kemudian.
"Peeesss!"
"Hieeek... hurrr...!"
Dengan memperdengarkan bunyi yang sangat
menggidikkan tubuh Naga Sendang itupun meliuk-liuk
dalam kemarahannya. Selanjutnya dengan ekor dan
kepalanya dia melabrak apa saja yang berada di seki-
tar tempat itu. Celakalah nasib murid-murid Beruang
Merah yang berjarak sangat dekat dengan naga pen-
jelmaan Begawan Ardi Soma. Sekali waktu dia menju-
lurkan lidahnya, satu demi satu murid-murid malang
itu lenyap dalam mulut naga yang bergigi runcing
mengerikan.
"Ketua... hati-hati, begawan sialan itu kini telah
berubah menjadi seekor naga yang ganas...." teriak Ba-
sra Panewu.
Mendengar peringatan Basra Panewu, Nyai Tam-
bak Sari malah tertawa tergelak-gelak.
"Hemm. Naga belekan bisa berbuat apa pada Ke-
tua Beruang Merah...!" maki Nyai Tambak Sari. Selan-
jutnya begitu tubuhnya mencelat, secara berbarengan
dengan gerakan yang dilakukan oleh pembantu uta-
manya. Maka mereka pun secara bersamaan mele-
paskan satu pukulan tingkat tinggi yang diberi nama,
Beruang Merah Mencabik Musuh Besar.
"Weeer! Weeer! Weeer!"
Nampaknya Naga Sendang itu juga menyadari
bahaya yang mengancamnya. Dengan posisi setengah
tegak dia pun membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu
begitu naga itu menghembuskan nafasnya, maka sem-
buran lidah api melesat lebih cepat lagi memapaki da-
tangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawan-
lawannya.
"Bruuus! Bluaaaar...!"
Tiga orang tokoh tingkat tinggi itupun terpelant-
ing jatuh, dua di antaranya menderita luka dalam yang
cukup serius. Sedangkan Nyai Tambak Sari masih te-
tap terkekeh-kekeh, sungguhpun dadanya terasa sesak
luar biasa.
Di lain pihak, Naga Sendang yang merupakan
penjelmaan Begawan Ardi Soma ter-banting tubuhnya.
Tubuhnya menggelepar, dan berusaha bangkit dari
keadaan yang tidak menyenangkan itu. Matanya yang
merah semakin bertambah merah.
"Ngiiik...!"
Bagai merintih dia berusaha kembali ke dalam
ujudnya semula. Detik selanjutnya. Naga Sendang itu-
pun telah berubah menjadi Begawan Ardi Soma.
"Kalian benar-benar manusia sesat yang memiliki
ilmu sangat tangguh. Aku berpikir, aku memang tak
bakal ungkulan menghadapi kunyuk-kunyuk sesat se-
perti kalian. Tapi kutuk yang kuberikan pada siapapun
akan tetap berlaku bagi siapapun...!" Berkata Begawan
Ardi Soma, sambil berpikir-pikir kutukan apa yang pal-
ing pantas dijatuhkan pada orang-orang Beruang Me-
rah.
Namun sebelum dia memperoleh kepastian untuk
menjatuhkan hukuman pada orang-orang Beruang
Merah dan murid-muridnya. Tiba-tiba terdengar suara
teguran seorang. Bersamaan dengan suaranya itu,
mendadak muncul seorang pemuda berkuncir yang tak
lain Buang Sengketa adanya.
Mengapa Buang Sengketa sampai di tempat itu?
Seperti diketahui Buang dan Bara Seta Setelah menga-
lahkan Jumparing Retno dan murid-muridnya, ber-
maksud meninggalkan Pantai Tanjung Api guna men-
cari sebuah tempat yang aman untuk mempelajari Ki-
tab Jurus-jurus Koreng Seribu hasil ciptaan terakhir
gurunya yaitu si Bangkotan Koreng Seribu.
Namun baru saja setengah jam melakukan perja-
lanan, baik Bara Seta maupun Pendekar Hina Kelana
mendengar adanya orang yang sedang bertarung. Di-
desak oleh rasa keingintahuan, maka bergeraklah
Buang Sengketa dan Bara Seta mendekati tempat per-
tarungan. Karena keduanya sempat mendengar perde-
batan dari mereka yang sedang bertarung, maka men
gertilah mereka siapa sesungguhnya Begawan Ardi
Soma. Tapi sejauh itu mereka masih belum juga mau
turun tangan membantu Begawan Ardi Soma. Barulah
kemudian setelah merasa bahwa sang begawan dalam
keadaan kepepet. Maka dengan meninggalkan Bara Se-
ta untuk menjaga keselamatan Kitab Jurus-jurus Ko-
reng Seribu, di tempat persembunyiannya. Buang
Sengketa berkelebat dan menghambur ke dalam perta-
rungan.
Saat itu, mereka yang saling bersitegang itu
nampak sama-sama terkesima melihat kehadiran
Buang Sengketa.
"Paman Begawan Ardi Soma! Aku muridnya Ka-
kek Bangkotan Koreng Seribu, kuminta paman mene-
pilah, sebab sekedar kutukan tak mungkin membuat
mereka menjadi jera. Aku ingin membasmi cecurut Be-
ruang Merah ini sekarang juga...!" berkata Buang
Sengketa lalu memandang dingin pada Nyai Tambak
Sari yang buta dan juga pada Basra Panewu dan Su-
dak Pari silih berganti. Sementara Begawan Ardi Soma
kelihatan menyingkir dari kalangan pertarungan, teta-
pi Nyai Tambak Sari malah tertawa tergelak-gelak.
"Kau kiranya yang telah membuat tunggang lang-
gang para pembantuku. Heii, kunyuk Bangkotan Ko-
reng Seribu sudah mampus, padahal dia telah meng-
hutangkan matanya padaku. Karena sampai akhir
hayatnya si Bangkotan Koreng Seribu itu tak dapat
membayar hutang-hutangnya, maka sebagai murid-
nya. Kaulah yang harus membayar hutang-hutangnya
yang tak pernah terlunasi itu...!" teriak Nyai Tambak
Sari dengan rahang bergemeletukkan.
"Ha... ha... ha...! Simpanlah mimpimu sampai ke
alam sana, Nenek keriput. Semua dalih yang kau per-
gunakan untuk menutup-nutupi ambisimu dalam
menguasai kitab jurus Koreng Seribu telah kuketahui.
Satu pilihan saja yang ada padamu, menyingkir berarti
keselamatan bagimu...!" ancam Pendekar Hina Kelana
rawan.
"Puih, Bocah bau kencur! Makanlah pukulan Be-
ruang Merah Menggebrak Landak Hutan...!"
Satu rangkaian sinar berwarna merah kebiru-
biruan meluruk pada si pemuda, dan hal ini sudah da-
lam perhitungannya.
"Weeeer!"
Tak kalah dahsyatnya dia pun lepaskan pukulan
Empat Anasir Kehidupan. Tak ayal lagi selarik sinar
Ultra Violet datang menggebu menyongsong pukulan
yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari. Benturan dua
tenaga sakti itupun tak dapat dihindari lagi.
"Blaaam!"
Tubuh kedua orang itu sama-sama tergetar he-
bat, bahkan dari mulut Pendekar Hina Kelana meleleh
darah kental kehitam-hitaman. Belum lagi dia sempat
menghimpun hawa murni untuk mengurangi rasa se-
sak yang terasa menghimpit rongga dadanya. Menda-
dak datang lagi sambaran angin pukulan yang tak ka-
lah ganasnya. Pukulan yang sama itu dilepaskan oleh
Basra Panewu dan Sudak Pari secara berbarengan.
"Sialan!" maki pendekar ini, sedapatnya berusaha
memapaki serangan yang datangnya sangat cepat itu.
Lagi-lagi benturan tenaga sakti itupun saling ber-
tubrukan. Tanpa ampun tubuh Buang Sengketa ter-
buntang tiga tombak. Dari mulutnya menggelogok da-
rah segar. Melihat kejadian ini sudah barang tentu Be-
gawan Ardi Soma sangat marah sekali. Tak dapat dice-
gah lagi mengamuklah sang begawan, dengan puku-
lan-pukulan yang sangat handal. Satu saja yang ada
dalam hatinya, membela kebenaran walau dengan ja-
lan kekerasan sekalipun bila perlu harus dilakukan.
Kini yang menjadi sasaran pukulan-pukulan
mautnya adalah murid-murid Beruang Merah lainnya.
Sekejab saja jerit kematian menggema di tempat itu.
Sementara itu, Buang Sengketa yang secara terus me-
nerus diburu oleh lawan-lawannya akhirnya menjadi
lenyap pula kesabarannya. Rasa sakit di sekujur tu-
buhnya membangkitkan amarah yang tak dapat dita-
war-tawar lagi.
"Heiiiik...!" Satu jeritan dari ajian Pemenggal Roh,
disertai tercabutnya Pusaka Golok Buntung dari balik
pinggangnya. Membuat ketiga lawannya jadi terkesima.
Suara lengkingan ajian ilmu Pemenggal Roh itu saja
sudah membuat jantung mereka serasa bagai copot.
Sementara telinga terasa sakit luar biasa. Andai saja
mereka ini tidak memiliki tenaga dalam yang cukup
sempurna, sudah barang tentu mereka kojor sejak ta-
di-tadi.
Kini masing-masing lawan saling pan-dang sesa-
manya, ada rasa jeri membayang dalam sinar mata
mereka. Apalagi, terkecuali Nyai Tambak Sari, Basra
Panewu dan Sudak Pari dapat melihat betapa golok di
tangan Buang Sengketa memancarkan sinar merah
menyala. Satu hal lain yang dapat mereka sama-sama
rasakan adalah karena mendadak udara di sekitar
tempat itu berubah menjadi sangat dingin luar biasa.
Hanya Buang Sengketa saja yang tidak perduli dengan
perubahan itu, sebab saat itu hawa membunuh sudah
bersarang di dadanya yang masih berdenyut-denyut
sakit. Selanjutnya dengan disertai bunyi mendesis ba-
gai seekor raja piton yang sedang marah. Golok di tan-
gan pendekar ini menderu memburu lawan-lawannya
ke mana pun mereka bergerak.
"Weeer!"
Membela keselamatan para muridnya, Nyai Tam-
bak Sari lepaskan satu pukulan dahsyat. Sesaat ke-
mudian pukulan yang mengandung unsur racun yang
sangat ganas itupun segera melabrak ke arah Pende-
kar Hina Kelana. Menyadari pukulan yang sangat ga-
nas itu, maka tak ayal lagi Buang Sengketa kiblatkan
senjatanya.
"Traaaang...!"
Pukulan yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari
membalik bahkan nyaris menghantam tubuhnya, an-
dai saja dia tidak cepat-cepat mengelak. Semakin pe-
nasaran saja Pendekar Hina Kelana dibuatnya. Sambil
bersurut dua tombak si pemuda berseru lantang.
"Nenek buta dan kembrat-kembratnya manusia
sial! Jangan salahkan aku karena kecerobohan kalian
ini...."
"Jangan banyak cingcong, Bocah edan...!
Hiaaaat...!" Satu pukulan pamungkas melesat dari
tangan Nyai Tambak Sari.
Namun tubuh Buang Sengketa telah berkelebat
lenyap. Manakala kemudian terdengar suara lecutan.
Maka pucatlah wajah orang-orang yang berada di seki-
tar tempat yang terlebih-lebih di pihak lawan-
lawannya.
"Ctarrr...! Ctaaar...! Ctaaar...!"
Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggang
pendekar itu, kini ikut pula bicara. Begitu cambuk itu
memperdengarkan gelegar bagai suara petir. Maka pe-
rubahan yang sangat cepat pun terjadilah.
Terik matahari yang tadinya terasa panas mem-
bakar kini telah tertutup awan hitam, bagai topan ber-
tiup sangat kencang sekali. Seiring dengan lecutan
cambuk selanjutnya. Maka di angkasa kelam sana ter-
dengar gelegar petir sambung menyambung tiada hen-
ti. Saat itu hanya kilatan sinar merah yang terpancar
dari pusaka Golok Buntung saja yang terlihat mene-
rangi sebagian wajahnya yang dipenuhi kobaran ama-
rah.
"Nguuuuung!"
Berkelebatnya tubuh Pendekar Hina Kelana me-
nyertai menderunya senjata yang berada dalam geng-
gaman si pemuda. Orang pertama yang menjadi sasa-
ran senjata maut itu adalah yang paling dekat posi-
sinya dengan si pemuda.
"Haiiiit!" jerit pendekar itu. Menggigillah tubuh
Sudak Pari begitu senjata itu berkelebat mengarah pa-
danya.
"Craas!"
Sudak Pari sudah tak sempat menjerit lagi, tu-
buhnya limbung dengan tenggorokan hampir terputus.
Namun Buang sudah tiada perduli, dia terus saja ber-
gerak merangsek Basra Panewu. Kembali senjata maut
itu menghajar tubuh lawannya.
"Crak! Craaas!"
"Arrrrrgk...!"
Basra Panewu melolong setinggi langit, bagian
lambungnya terobek hampir sejengkal. Tak lama ke-
mudian sambil tetap memegangi bagian perutnya,
pembantu Ketua Partai Beruang Merah itupun ambruk
untuk selama-lamanya.
Pendekar Hina Kelana menoleh dengan maksud
menggempur Nyai Tambak Sari, namun dalam kegela-
pan itu dia tak melihat adanya tokoh nomor satu dari
Beruang Merah ini. Bukan main gusarnya dia demi
melihat kenyataan ini.
"Sialan! Nenek peot itu kiranya telah kabur di
luar sepengetahuan siapapun!" makinya dalam hati.
Secepatnya Buang Sengketa menyimpan kedua
senjata yang sangat menggemparkan itu. Secara perla-
han dan berangsur-angsur langit kembali berubah ce-
rah. Mataharipun kembali menampakkan sinarnya.
Tiada orang lain yang terlihat di sana terkecuali, Bega-
wan Ardi Soma dan Bara Seta yang telah keluar dari
tempat persembunyiannya. Sedangkan yang lainnya
adalah tubuh tumpang tindih dari murid-murid Be-
ruang Merah yang telah binasa di tangan Begawan Ardi
Soma. Setelah memperkenalkan diri, di antara mereka
kemudian saling berucap:
"Tidak percuma kalau sahabatku Koreng Seribu
telah memiliki murid tunggal yang setangguh kau." Se-
kejab Begawan Ardi Soma melirik Bara Seta dan seo-
rang muridnya. Kemudian lanjutnya: "Kutitipkan mu-
rid kawanku ini padamu Saudara Bara Seta. Selama
mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu. Jagalah
keselamatannya. Mudah-mudahan dengan kerja sama
yang baik itu segala sesuatunya berjalan lancar...!"
"Terima kasih, Paman...!" kata Buang Sengketa
menjura hormat.
"Kepercayaan begawan sungguh merupakan satu
kehormatan bagiku. Aku akan memenuhinya...!"
"Berhati-hatilah kalian selalu...!" pesan Begawan
Ardi Soma, lalu kejab kemudian tubuhnya telah lenyap
dari pandangan mereka. Bara Seta, Pendekar Hina Ke-
lana dan seorang murid Bara Seta tanpa berkata-kata
lagi segera bergerak pula untuk mencari tempat yang
aman guna mempelajari jurus-jurus Koreng Seribu pe-
ninggalan terakhir sang guru. (Kisah ini masih ber-
sambung pada Episode Rahasia Kitab Jurus Koreng
Seribu).
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar