..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 29 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE BADAI SELAT MALAKA

Badai Selat Malaka

 

Cerita ini adalah fiktif. 

Persamaan nama, tempat dan ide, hanya ke-

betulan belaka

BADAI SELAT MALAKA

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara, Jakarta

Pintu Besi baru Plaza lantai2, B69

Samanhudi No. 14, Jakarta Pusat

Setting Oleh: Trias Typesetting

Cetakan Pertama, 1991

Hak Cipta ada pada Penerbit.

Dilarang mengutip atau mengcopy sebagian 

atau seluruh isi buku ini tanpa ijin ter-

tulis dari penerbit


SATU


Bila dia memandang pada hamparan laut luas 

yang terbentang di hadapannya. Maka hanya satu saja 

yang ada di dalam hatinya, tentang gurunya yang tak 

pernah dia lupa. Si Bangkotan Koreng Seribu, manusia 

sakti yang hidup selama ratusan tahun. Padanya dia 

pernah berhutang segala-galanya yang tak mungkin 

terbayar walau sampai kapanpun. Padanya dia sering 

menyimpan rindu, padanya dia selalu ingin bertemu 

lalu berkumpul kembali. Tapi, akh... sedalam apapun 

kerinduannya pada kakek sakti itu. Untuk bertemu ra-

sa-rasanya sangat tidak mungkin, kakek yang memiliki 

perangai sangat aneh itu sudah pasti akan marah pa-

danya, petualangannya masih belum berakhir. Jalan 

hidup yang akan dilalui masih terlalu panjang dan 

sangat melelahkan.

Kini satu-satunya harapan yang masih terus 

membuncah di hatinya adalah ingin bertemu dan 

mencari ayahandanya. Raja Ular Piton Utara dari nege-

ri alam gaib (Negeri Bunian). Namun setelah bertahun-

tahun melakukan petualangan, ke mana pun dia men-

cari, masih belum juga bertemu dengan orang yang te-

lah menyebabkan kehadirannya di dunia ini.

Menurut si Tangan Setan yang tinggal di Pulau 

Bidadari (Dalam Episode: Kembalinya si Tangan Se-

tan). Perempuan sakti itu merupakan penunggu perta-

paan Raja Piton Utara. Dia tahu banyak tentang ayah-

nya, sialnya dalam pertarungan dengan lawan-

lawannya, gadis itu lenyap begitu saja bahkan dia sen-

diri kehilangan jejak untuk mengikuti perempuan ber-

tangan sakti tersebut.

Terkadang kalau mengingat tentang nasibnya 

yang sebatang kara, dia menjadi sangat sedih sekali.


Selanjutnya bagai seorang penyair saja layaknya 

dia pun berkata pada dirinya sendiri:

Kepada nasib yang selalu tak pernah

berfihak pada kaum yang lemah. 

Manusia terlahir sebagai penyebar

malapetaka di mana-mana. 

Manusia ingin berkuasa atas diri

manusia yang lain

Harta benda selalu menjadi tolak ukur

dalam menentukan tinggi rendahnya

derajat hidup seseorang. 

Di atas penderitaan kaum yang lemah.

Mereka menari-nari 

Oh....

Kepada raja yang berkuasa di mana pun,

lihatlah apa yang terjadi di bawah sana....

Lihat pula bumi hidup dan

telah enggan menyapa

Jangan pula mata pedang ikut bicara

Karena mereka juga masih seorang manusia.

Sampai di situ Buang Sengketa atau yang lebih 

kita kenal sebagai Pendekar Sakti Hina Kelana nampak 

terdiam. Selanjutnya tepuk-tepuk jidatnya sendiri.

"Goublok, mengapa bicaraku sampai ngelantur 

tak karuan. Aku sendiri hidup dalam ketidakmenen-

tuan. Mengapa harus ku pikirkan orang lain, dasar 

sinting!" makinya seorang diri.

Selanjutnya pemuda berwajah sangat tampan itu 

mengitarkan pandangan matanya ke segenap penjuru

laut. Sejauh-jauh mata memandang, hanya kebiruan 

air laut saja yang menampak di depan sana.

"Hemm. Mungkinkah sebaiknya saat ini juga aku 

menyelam di dalam laut itu. Tapi sejauh manakah


daya tahan ku untuk berenang di dalamnya. Mungkin-

kah Pati Rasa dapat mengatasi kesulitan yang aku 

alami? Ah, sebaiknya aku coba saja, siapa tahu ke-

mungkinan itu masih dapat kumiliki..." batinnya, se-

lanjutnya untuk beberapa saat lamanya dia nampak 

terdiam. Lalu terdengar pula dari bibirnya mengelua-

rkan bunyi mendesis bagai seekor anak ular yang ingin 

menemukan kedamaian di sisi orang tuanya. Menyer-

tai suara desisan itu, mulut Pendekar Golok Buntung 

itupun berkomat-kamit. Lalu dari bagian tubuh dan 

terlebih-lebih pada bagian ubun-ubunnya, nampak pu-

la mengepul kabut putih. Tubuh pendekar keturunan 

Raja Negeri Alam Gaib itupun menggeletar, se-kejab 

saja tubuhnya pun telah bermandikan keringat. Mula-

mula dari bagian kakinya terasa kebas, semakin lama 

semakin tak terasa sama sekali, selanjutnya rasa ke-

semutan itu menjalar ke seluruh bagian tubuhnya.

Buang Sengketa merasakan tubuhnya bagaikan

mati, semua indera yang dimilikinya seolah bagai su-

dah tiada berfungsi lagi. Ringan tubuhnya tak melebihi 

dari kapas yang diterbangkan angin. Kenyataan yang 

lebih jauh lagi, Buang Sengketa telah lebih berani me-

langkah satu tingkat di atas ajian Pati Rasa. Yaitu 

ajian Tinggal Rogo yang sesungguhnya merupakan se-

buah ilmu langka yang dulu pernah diajarkan oleh gu-

runya si Bangkotan Koreng Seribu (Dalam Episode: 

Utusan Orang-Orang Sesat). Ajian itu sesungguhnya 

tidak dapat dipergunakan secara sembarangan. Sebab, 

secara umum diketahui bahwa siapa pun yang memilih 

ajian Tunggal Rogo, dan mempergunakan ajian terse-

but. Itu sama saja artinya, perpisahan sementara anta-

ra jasad dan roh. Semuanya dapat berlangsung dalam 

waktu-waktu tertentu lamanya. Atau tak akan lebih 

dari satu jam saja, dan itupun dengan satu ketentuan 

tak ada orang lain yang mengganggu jasad yang diting


galkannya. Dan Buang Sengketa nampaknya telah be-

gitu berani mengambil satu keputusan yang memiliki 

resiko yang sangat besar. Semua itu dia lakukan 

hanya demi orang yang paling dia rindukan sepanjang 

hidupnya yang pernah dia lalui.

Saat itu posisi Pendekar Hina Kelana dalam kea-

daan tegak bagaikan arca. Wajahnya dengan matanya 

yang terpejam itu memandang ke laut lepas. Sedang-

kan kesadarannya adalah antara ada dan tiada. Secara 

perlahan namun cukup pasti rohnya mulai bergerak 

meninggalkan raganya.

Semakin lama rohnya telah pula mengambang 

jauh, selanjutnya secara cepat laksana kilat roh itu 

melayang, menuju ke sebuah tempat dan mencari-cari 

ke alam dasar laut. Tapi roh Buang Sengketa pada ak-

hirnya harus terperangah, begitu sosok yang sama 

menghadang di depannya. Sosok roh itu begitu sangat 

dikenalnya, dia memandang pada Pendekar Hina Kela-

na, selanjutnya menyunggingkan senyum mencibir. 

Namun semua itu hanya sekejapan saja. Sebab tak 

lama kemudian roh yang tak lain merupakan gurunya 

sendiri sudah menegurnya dengan kemarahan yang te-

ramat sangat.

"Buang Sengketa, murid konyol dan tolol. Apakah 

kau ingin mati dengan ketololan mu itu? Jasad mu

kau tinggalkan begitu saja, padahal alam dunia penuh 

dengan kekerasan dan kelicikan. Bagaimana nanti ka-

lau jasad mu yang bagaikan patung goblok itu digotong 

orang, atau mereka cincang menjadi dendeng. Kema-

nakah kau akan kembali? Bocah geblek! Ajian Mati 

Rogo yang kau miliki itu belumlah sempurna benar, 

mengapa kau malah menyiksa batin dan raga mu sen-

diri. Cepat kau kembali ke raga mu, sebelum orang 

lain menemukan tubuhmu kemudian membuangnya 

ke laut...!" kata roh si Bangkotan Koreng Seribu mem


beri peringatan.

"Guru...! Ammpuuun... murid ingin bertemu den-

gan ayahanda, hanya cara inilah jalan satu-satunya 

yang dapat kutempuh agar aku bisa sampai padanya!" 

katanya, selanjutnya roh Buang Sengketa berlutut di 

depan roh si Bangkotan Koreng Seribu. 

"Murid tolol, berjumpa dengan ayahmu bukan 

dengan cara begini, bapak moyangmu bisa menendang 

mu sampai babak belur andai kamu berani-berani me-

nyiksa jasad mu sendiri. Cepat kau kembali, atau kau 

ingin aku menggebuk mu?" tanya si Bangkotan Koreng 

Seribu.

"Ba... ba... baiklah, Guru... tapi tolong katakan 

padaku mengapa guru bisa sampai ke alam yang seka-

rang sedang ku telusuri ini...?" tanya roh Buang Seng-

keta, merasa sangat penasaran sekali. Roh si Bangko-

tan Koreng Seribu terdiam beberapa saat lamanya. Se-

lanjutnya dia pun berkata pelan namun tanpa kehilan-

gan wibawa.

"Bocah tolol, setelah ku nanti sekian tahun la-

manya. Ternyata kau terlalu lama mengembara. Tapi 

aku senang karena apa yang kuberikan padamu telah 

kau pergunakan pula untuk jalan kebenaran. Tapi kau 

juga harus ingat, hidupku selama seratus delapan pu-

luh tahun. Adalah usia yang sangat renta untuk ber-

tahan hidup. Buang... sungguh ini merupakan sebuah 

pertemuan yang konyol dan paling tidak aku sukai. 

Bocah... aku sudah meninggalkan dunia mu lebih dari 

setahun yang lalu...!"

Maka tak dapat dicegah lagi, demi mendengar 

ucapan gurunya. Buang Sengketa menjadi tersentak 

kaget. Kedua bola matanya terbelalak ke luar, serta 

merta dia pun menangis sejadi-jadinya.

"Ahik... ahuk...! Guru, mengapa kau harus mati 

terlebih dulu, kau kan tahu kalau muridmu yang tolol


ini belum dapat membalas segala kebaikan yang per-

nah kau berikan padaku. Bagaimana ini, Guru...?!" 

tanya Buang Sengketa sesenggukan.

Roh si Bangkotan Koreng Seribu tertawa tergelak-

gelak, wajahnya yang selasam itu semakin bertambah 

kusam saja.

"Murid sinting, percuma saja setelah berkelana 

sekian tahun ternyata bukan bertambah pengalaman-

mu. Tetapi malah sebaliknya. Goblok dan bego, tahu-

kah kau bahwa aku hidup damai di alamku. Jangan 

kau hiraukan segala macam balas jasa. Tapi kuminta 

secepatnyalah kau kembali ke jasad mu, setelah itu 

pergilah ke tempat tinggalku di Tanjung Api. Beberapa 

golongan persilatan tingkat tinggi, sedang bergerak ke 

sana. Dengan tujuan ingin memiliki kitab-kitab jurus 

Golok Buntung yang terakhir kuciptakan untukmu." 

kata roh si Bangkotan Koreng Seribu.

"Tapi, bagaimana persoalanku ingin bertemu 

dengan ayahanda! Guru telah pergi meninggalkan du-

nia. Guru bilang, guru cukup bahagia di sana, tapi di 

alam dunia muridmu ini menderita, bagaimana kalau 

aku ikut dengan kakek saja...?" tanya roh Buang 

Sengketa. Dan pertanyaan yang konyol ini sudah ba-

rang tentu membuat roh si Bangkotan Koreng Seribu 

semakin bertambah masam saja.

"Dengan ajian Tinggal Rogo yang cuma setahi ku-

ku itu, kau secara sembrono mau meninggalkan dunia 

mu? Kau tinggalkan jasad mu... sungguh satu tinda-

kan yang sangat ceroboh kau mengambil satu keputu-

san yang tidak pada tempatnya. Kau harus banyak be-

lajar, Buang Sengketa. Belajar dalam segala banyak 

hal yang pada akhirnya membuat seseorang itu dapat 

bertindak lebih dewasa. Apakah kau mengerti dengan 

segala apa yang kukatakan itu...? Dan engkau jangan 

sekali-kali mencoba menyalahi kodrat, Sang Hyang


Widi bisa murka padamu. Sekarang juga kau harus 

kembali ke jasad mu. Kalau tidak para bajak laut yang 

melihat yang sudah berada sangat dekat dengan tu-

buhmu di pinggiran pantai itu akan segera menggo-

tongnya ke laut...!" katanya. Membuat roh Pendekar 

Hina Kelana menjadi ciut.

"Baiklah, Guru.... Aku akan segera kembali ke 

dalam jasad ku...!" Setelah berkata begitu dan mengha-

turkan sembah. Roh Buang Sengketa secepatnya me-

layang kembali mendekati jasadnya yang masih tetap 

terpacak di tempatnya.

Namun baru saja dia hampir sampai pada jasad-

nya mendadak dari semak-semak belukar bermuncu-

lan beberapa sosok tubuh bertelanjang dada. Di ping-

gang mereka menggelantung sebuah senjata yang be-

rupa sebilah pedang yang sangat pendek. Mereka yang 

berjumlah tidak lebih dari tujuh orang itu langsung 

mendekati jasad Buang Sengketa yang berdiri terpacak 

bagaikan arca.

Roh Buang Sengketa menjadi kebat kebit, dan 

sebelum mereka yang ada di situ sempat bertindak se-

suatu, laksana kilat roh Pendekar Hina Kelana kembali 

memasuki jasadnya. Begitu semuanya telah menyatu 

kembali, maka tubuhnya pun bergerak-gerak lalu ke-

dua matanya yang mengatup itupun membuka. Kenya-

taan itu sudah barang tentu membuat kejut hati mere-

ka yang ada di situ.

"Kupret. Dia bukan arca...!"

"Kubilang tadi juga begitu, coba kalau tadi cepat-

cepat pereteli harta bendanya. Pasti resikonya tidak 

terlalu besar...!" Menyela salah seorang laki-laki berba-

dan kurus dengan kumisnya yang jarang-jarang. Dan 

sesungguhnya mereka yang berjumlah tujuh orang itu 

kesemuanya memiliki badan kurus kering.

"Kalian mau apa...?" tanya Buang Sengketa tanpa


mengalihkan perhatiannya dari laut yang membentang 

di hadapannya.

Ketujuh orang itu saling berpandangan sesa-

manya, lalu derai tawa mereka pun berhamburan me-

ningkahi suara deburan ombak yang menghempas di 

pantai.

"He... he... he....! Bocah, kirain kau arca yang 

berharga. Eee... tak taunya cuma seorang gembel yang 

lagi ketiduran. Sialan betul...!" maki salah seorang dari 

mereka.

"Tapi... jangan tergesa-gesa mengambil keputu-

san, Sobat. Siapa tau di dalam periuk bututnya dia 

menyimpan harta benda yang berharga. Lumayan kan 

untuk menyambung hidup sampai esok hari...!"

Pemuda dari Negeri Bunian ini yang sejak semula 

berusaha menahan kesabarannya, kini menjadi naik 

pitam.

***


DUA



"Ha... ha... ha...! Harta benda? Hemm, memang 

betul. Di dalam periukku ini ada ku simpan emas dan 

permata. Kalau kalian mau, ambillah...!" kata pemuda 

itu sembari mengembangkan kedua tangannya.

Kata-kata Pendekar Hina Kelana yang hanya ber-

pura-pura itu ternyata membuat para bajak laut ber-

badan kurus kerempeng itu jadi jejingkrakan. Mereka 

mengira apa yang dikatakan oleh Buang Sengketa ada-

lah benar adanya. Maka dengan keangkeran yang di-

buat-buat salah seorang di antaranya membentak:

"Lekas kau serahkan periuk yang berharga itu 

pada kami, kalau tidak...!"


"Kalau tidak kalian bisa berbuat apa, Cacing ku-

rus...?" tanya pendekar ini lalu tersenyum mengejek.

Geram bukan main para bajak laut itu dibuatnya. 

Lalu tanpa basa basi lagi mereka segera mencabut pe-

dang pendek yang terselip di bagian pinggangnya. 

"Criiing! Cruuk...!"

"Wah para cacing ingin minta di gebuk. Kasihan 

badan kurus begitu, kalau sekali ku pukul tulang be-

lulangnya pasti pada remuk...!"

Belum lagi Buang Sengketa usai dengan kata-

katanya, secara serentak mereka sudah mengurung 

pemuda itu dengan serangan-serangan yang sangat 

mematikan. Sungguhpun badan mereka kurus tinggal 

kulit pembalut tulang, namun para bajak laut itu me-

miliki tenaga yang sangat besar sekali. Bahkan jurus-

jurus pedang Bajak Laut Menggulung Mangsa, keliha-

tan benar-benar sebuah jurus pedang yang oleh Pen-

dekar Hina Kelana dinilai sangat berbobot.

Namun betapapun hebatnya mereka ini, tapi 

Pendekar Hina Kelana bukanlah seorang lawan yang 

dapat dianggap ringan. Selama malang melintang da-

lam dunia persilatan hanya beberapa gelintir tokoh 

persilatan saja yang dapat menandingi kesaktian yang 

dimilikinya. Itupun pada akhirnya harus mengakui 

keunggulan pendekar itu, setelah Pusaka Golok Bun-

tung dan Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Sungguh-

pun dia merupakan seorang tokoh muda dan masih 

terhitung baru beberapa tahun saja turun dalam dunia 

persilatan. Tetapi banyak orang merasa gentar bila 

berhadapan dengan dirinya.

"Haeees...! Cacing kurapan...!" makinya begitu sa-

lah sebuah pedang lawannya sempat membabat bebe-

rapa helai rambutnya yang berkibar-kibar. Maka den-

gan perasaan kesal, tubuhnya pun berkelebat cepat. 

Tak ayal lagi, begitu menghadapi serangan ganas yang



datangnya bertubi-tubi. Pemuda ini pun cepat-cepat 

mempergunakan jurus silat tangan kodong, Memben-

dung Gelombang Menimba Samudra. Menghadapi pe-

rubahan dan gerakan-gerakan kaki dan tangan secepat 

itu. Nampaknya para bajak laut itu dibuat bingung un-

tuk beberapa saat lamanya. Namun keadaan itu tidak 

berlangsung lama ketika detik berikutnya, salah seo-

rang yang jadi pimpinannya berseru lantang.

"Kutu kampret! Bocah gombal amoh ini kiranya 

punya kebisaan juga. Anak-anak cepat pergunakan ju-

rus Bajak Laut Memenggal Kepala Bangau...!" teriak-

nya memberi aba-aba semua anak buahnya.

"Wuuut!" 

"Sialan...!" maki pemuda itu, sambil mengkelit 

tusukan pedang yang datangnya secara beruntun itu.

Baru saja dia terlepas dari sergapan yang perta-

ma, mendadak sebelum dia sempat menarik napas, se-

rangan berikutnya datang menggebu. Buang Sengketa 

coba-coba kirim-kan satu sapuan mengarah pada ba-

gian ba-wah yang lowong. Nampaknya orang-orang itu 

tiada menyadari adanya serangan yang sangat menda-

dak itu. 

"Plook! Kraaak...!"

"Argggkh...!" Tiga orang pembajak terjengkang 

tubuhnya. Sementara kaki mereka nampak patah aki-

bat tersapu tendangan kaki Buang Sengketa yang tera-

liri tenaga dalam.

"Kurang asem...! Nguuuung...!" maki kepala bajak 

laut, sambil babatkan pedangnya. Andai saja Buang ti-

dak cepat-cepat menundukkan kepalanya, sudah ba-

rang tentu kepala akan terputus terbabat pedang.

"Bangsat! Terimalah ini...!" Sambil berteriak begi-

tu, Buang Sengketa berjumpalitan. Selanjutnya tu-

buhnya melentik bagaikan seekor udang sungai meng-

hindari terjangan mata pedang yang dibabatkan oleh


keempat lawannya.

"Mampuslah. Wuuut...!"

Saat tubuh pendekar ini menukik ke bawah, dia 

telah kirimkan pukulan Empat Anasir Kehidupan yang 

menebarkan hawa panas yang sangat luar biasa itu. 

Selanjutnya selarik Sinar Ultra Violet yang dilepaskan 

oleh Buang Sengketa menggerung memapaki datang-

nya kilatan pedang yang dilakukan oleh lawan-

lawannya.

"Beeees! Praaang...!"

Keempat orang itu terpental tubuhnya sampai 

puluhan tombak, tiga di antaranya menabrak beberapa 

batang kayu api. Dan tak ampun lagi dalam keadaan 

tubuh hangus, tulang belulang mereka pun berpata-

han.

Tiada erangan maupun jeritan yang terdengar, 

sementara itu yang jadi pimpinannya nampak tersuruk 

ke dalam pasir. Keadaan yang dideritanya pun tak le-

bih baik dari apa yang dialami oleh kawan-kawannya.

Darah kental menggelogok dari bibirnya, semen-

tara kedua matanya memandang jeri pada lawan yang 

tetap berdiri tegak tanpa kekurangan sesuatu apapun. 

Sesungging seringai menghiasi bibir Buang Sengketa, 

tapi tiada hawa pembunuhan yang terpancar di bola 

matanya.

"Cacing kurus... cepat-cepatlah merat dari hada-

panku sebelum aku berobah pendirian...!" bentak Pen-

dekar Hina Kelana.

Bentakan yang disertai tenaga dalam itu, nam-

paknya cukup berpengaruh bagi kepala bajak dan ke-

tiga kawannya. Dengan terbata-bata mereka menya-

hut.

"Ba... baiklah... pendekar! Kau memang hebat, 

kami mengaku kalah...!" katanya hampir bersamaan.

Lalu dengan langkah tergesa dan kaki terpin


cang-pincang, orang itupun cepat-cepat bergegas me-

ninggalkan Buang Sengketa yang saat itu juga telah 

berlari sangat cepat menuju Tanjung Api tempat ke-

diaman gurunya si Bangkotan Koreng Seribu. (Dalam 

Episode: Utusan Orang-Orang Sesat).

Begitu cepat sekali gerakannya, karena pada saat 

itu dia telah pula mengerahkan ilmu lari cepatnya yang 

diberi nama Ajian Sepi Angin. Tak ayal lagi kalau 

hanya dalam waktu sekedipan mata pemuda dari Ne-

geri Bunian itu telah lenyap dari pandangan mata,

* * *

Bara Seta adalah merupakan seorang Ketua Per-

guruan Candak Ginaka yang selama ini bermukim di 

Lubuk Sikaping, daerah bagian Barat Tanjung Api!

Murid-muridnya tidak banyak, hanya berjumlah 

belasan orang saja. Namun sungguhpun begitu, mu-

rid-muridnya yang hanya berjumlah lima belas orang 

itu, merupakan murid yang pilih tanding. Selama Bara 

Seta selalu mendidiknya dengan segenap kemampuan 

yang dimilikinya. Sehingga mereka menjadi murid-

murid yang berkepandaian tinggi. Beberapa tahun be-

lakangan dia telah pula menjalin hubungan yang san-

gat baik dengan Kakek Bangkotan Koreng Seribu. Den-

gan orang tua yang sakti mandraguna itu dia diangkat 

sebagai seorang anak. Itu makanya begitu mendengar 

tentang kabar kematian si Bangkotan Koreng Seribu, 

yang agak terlambat sampai padanya. Bara Seta sejak 

dua hari yang lalu sudah melakukan perjalanan ke 

daerah Tanjung Api.

Tujuannya sudah jelas ingin menyelamatkan se-

mua peninggalan orang tua angkatnya itu dari tangan-

tangan orang yang bermaksud menguasainya. Seperti 

yang diketahui, dalam beberapa purnama terakhir, si


Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan sebuah 

kitab jurus-jurus Koreng Seribu untuk seorang murid-

nya yang selama ini sedang melakukan pengembaraan 

dalam mencari ayahandanya. Bara Seta masih ingat, 

kala dalam keadaan sakit-sakitan bapak angkatnya itu 

pernah berkata padanya.

"Bara Seta...! Hidup selama seratus delapan pu-

luh tahun. Sesungguhnya aku ini sudah sangat letih, 

dan pada saatnya aku juga akan kembali pada Sang 

Hyang Widi. Tubuhku sudah lapuk, dan dalam usia 

yang menjelang malam ini. Aku telah menciptakan ju-

rus-jurus silat Koreng Seribu untuk kuwariskan pada 

si Hina Kelana murid tunggalku itu...!" katanya dalam 

sisa-sisa kelelahan yang menggurat di wajahnya yang 

keriput. Masih teringat oleh Bara Seta saat itu Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu menyambung lagi. "Sebenar-

nya aku sudah sangat rindu pada murid geblek itu. 

Tapi salahku sendiri, dulu aku pernah memberi perin-

tah padanya agar tidak segera kembali. Sebab aku in-

gin agar dia menimba pengalaman sebanyak-

banyaknya di dunia luar sana agar pengalaman yang 

didapatnya membuat dia menjadi lebih dewasa. Na-

mun terkadang sebagai seorang guru dan ayah ang-

katnya, ada perasaan tak tega melihat dia pergi begitu 

jauh dariku. Tahukah kau bahwa muridku itu terka-

dang selalu terlambat untuk mengambil keputusan 

maupun tindakan yang sesungguhnya sangat perlu 

untuk menjaga keselamatan dirinya. Aku suka merasa 

kasihan padanya. Sejak kecil dia telah ditinggal mati 

oleh ibunya, aku yang menemukan dirinya dalam kea-

daan terombang ambing di permainkan Badai Selat 

Malaka di atas sebuah kotak yang membawanya dalam 

sebuah perjalanan yang sangat menyedihkan...!"

"Lalu bersama bapak dia tinggal di sini?" tanya 

Bara Seta saat itu.


"Betul, aku juga telah mengajarkan segala sesua-

tu yang menjadi milikku selama aku malang melintang 

dalam dunia persilatan dulu. Kalaupun hari ini aku 

memanggilmu, Bara Seta, tak lain karena aku ingin 

menyampaikan satu rahasia yang nantinya harus kau 

sampaikan pula pada si Buang Sengketa...."

"Rahasia apakah itu, Bapak...?" tanya Bara Seta 

yang telah berumur tak kurang dari lima puluh empat 

tahun itu penuh perhatian.

Si Bangkotan Koreng Seribu menarik nafasnya 

pendek: "Aku telah menyimpan sebuah kitab terakhir 

hasil ciptaanku, yang kuberi nama Jurus-jurus Koreng 

Seribu. Kitab itu telah kusimpan di sebuah karang gua 

yang terdapat di jajaran karang yang sangat banyak 

itu. Murid tunggalku itu pasti mengetahui di gua ka-

rang yang mana telah kusimpan kitab itu. Pesanku, 

andai umurku tak sampai hingga menjelang Buang 

Sengketa kembali ke Tanjung Api ini. Maka jagalah 

tempatku ini dari tangan orang-orang yang mempunyai 

keinginan tak baik. Akan celakalah dunia persilatan 

andai saja kitab ciptaanku yang terakhir itu sampai ja-

tuh ke dalam golongan orang-orang yang sesat...!"

"Tapi, Bapak. Mungkinkah murid yang telah lama 

mengadakan pengembaraan itu akan segera kembali 

lagi ke sini...?" tanya Bara Seta kala itu.

Kakek berwajah murung itu, nampak tersenyum. 

Sebuah senyum enggan yang Menandakan rasa malas 

dari usianya yang telah lanjut.

"Aku yakin dia pasti akan kembali pada gurunya, 

kalau pun tidak maka aku yang akan memanggilnya 

pulang...!"

"Baiklah, aku akan mengingat pesan-pesan ba-

pak, dan mudah-mudahan aku tidak akan mengece-

wakan harapan bapak...!"

"Ingat, selamatkan dan pertahankanlah tempat


ini sampai muridku si Buang Sengketa kembali ke 

tempat ini...!" Pesan si Bangkotan Koreng Seribu.

Apa yang dikatakan oleh orang tua angkatnya itu 

terus mengiang di telinga Bara Seta. Serta merta dia 

menggebrak laju kudanya, tanpa komentar murid-

muridnya pun melakukan hal yang sama.

Lebih kurang tiga jam kemudian maka mereka 

sudah hampir sampai di Tanjung Api. Namun betapa 

terperanjatnya mereka ketika melihat kepulan asap hi-

tam membubung tinggi di udara. Sesaat lamanya Bara 

Seta menghentikan laju kudanya. Sementara kedua 

matanya memandang pada kepulan asap yang disertai 

kobaran api yang menjulang tinggi.

Seperti yang dia ketahui di pantai sekitar Tan-

jung Api tak ada penghuni lain terkecuali hanya se-

buah rumah yang merupakan tempat tinggal Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu. Dalam kegusarannya itu, ti-

ba-tiba dia berseru lantang pada murid-muridnya:

"Kebakaran! Sumber asap itu berasal dari rumah 

orang yang sangat aku hormati. Anak-anak, pertahan-

kan rumah dan seluruh yang ada di tempat tinggal 

Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Ayo kita ke sana se-

cepatnya...!" teriak Bara Seta yang sedang diliputi ke-

gusaran yang teramat sangat.

Selanjutnya bagai dikejar-kejar setan saja, kuda-

kuda itupun melesat bagaikan anak panah yang terle-

pas dari busurnya. Akhirnya tak sampai sepemakan 

sirih, sampailah mereka di Tanjung Api. Dan rombon-

gan berkuda ini lebih terperanjat lagi, karena mereka 

melihat di sekeliling rumah tempat tinggal mendiang si 

Bangkotan Koreng Seribu. Telah dikerumuni banyak 

tokoh dari berbagai aliran.

Mereka yang hadir di situ, hanya memandang se-

kilas begitu melihat kehadiran Bara Seta dan murid-

muridnya. Selanjutnya mereka kembali memandang


kobaran api yang membakar rumah tinggal si Bangko-

tan Koreng Seribu. Bahkan salah seorang di antara 

mereka yang memiliki tampang sangar dengan pa-

kaiannya yang terbuat dari kulit Beruang Merah me-

nyela:

"Ha... ha... ha...! Bangkotan Koreng Seribu, ter-

nyata setelah kau mampus. Nama besarmu yang men-

julang ke langit itu tidak ada apa-apanya. Lihatlah ru-

mahmu yang kami bakar ini saja tak menimbulkan 

reaksi apa-apa. Sungguhpun mayatmu tidak kami ke-

tahui. Tapi kami puas, dan kami akan mencari kitab 

ciptaanmu yang terakhir itu, sungguhpun sampai ke 

lubang semut sekalipun...!" kata laki-laki itu dengan 

sorot matanya yang penuh ambisi.

***


TIGA



"Engkau pun tolol, Adi Basra Panewu, orang yang 

sudah mati mana bisa berbuat apa-apa. Pula untuk

apa kita hiraukan segala macam mayatnya yang tiada 

berharga dan jauh-jauh kita datang ke mari hanyalah 

untuk mendapatkan Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu 

yang sangat berharga itu...!" Menyela Sudak Pari sam-

bil memandang pada murid-muridnya yang berjumlah 

lebih dari dua puluh orang.

Sementara itu Bara Seta dan murid-muridnya 

sangar marah sekali, begitu orang-orang itu mengu-

capkan kata-kata yang bernada sangat menghina ter-

hadap orang yang paling dihormatinya. Maka begitu 

melompat dari atas punggung kudanya masing-masing 

orang itu langsung tunjuk hidung.

"Kepada maling-maling yang tidak di undang!


Hmm, kulihat kalian semuanya terdiri dari empat per-

guruan. Bangsat... kalian telah begitu berani memba-

kar rumah orang yang sangat kami hormati...!"

Sekejap wakil ketua Beruang Merah yang berna-

ma Basra Panewu memandang pada Bara Seta dengan 

sinisnya. Lalu dia pun membentak marah:

"Keparat... begitu datang kau malah marah-

marah sedemikian rupa? Apamukah almarhum si 

Bangkotan Koreng Seribu itu...?"

"Kampret. Orang tua itu merupakan ayah ang-

katku, aku sebagai anaknya wajib melindungi semua 

peninggalan milik si Bangkotan Koreng Seribu...!" ban-

tah Bara Seta lalu gertakkan rahang.

"Oho, kiranya si Bangkotan Koreng Seribu meru-

pakan bapak moyang angkatmu. Bagus! Kalau begitu 

kau pasti tahu di mana orang tua yang namanya men-

jadi momok dalam dunia persilatan itu menyimpan Ki-

tab Jurus-jurus Koreng Seribu...?" menyela Sudak Pari 

yang merupakan ketua Perguruan Bruang Merah. Se-

mentara itu beberapa perguruan yang lain hanya diam 

saja, melihat perdebatan yang mulai memanas.

"Hemm. Kalian memang benar-benar bangsat sia-

lan. Sudah membakar rumahnya, kini inginkan pula 

yang sesungguhnya tak pernah ada itu...!" menukas 

Bara Seta coba menutup-nutupi.

Tapi mana mau orang-orang Beruang Merah dan 

lain-lainnya percaya begitu saja. Dari keterangan yang 

dapat dipercaya, hampir menjelang akhir hidupnya si 

Bangkotan Koreng Seribu telah menciptakan jurus-

jurus yang paling dahsyat. Dari semua jurus silat yang 

pernah ada. Keterangan itu benar-benar sangat mutlak 

kebenarannya, dan kalau sekarang ini, Bara Seta men-

gatakan sebaliknya mereka beranggapan bahwa den-

gan begitu berarti jurus-jurus Koreng Seribu tak akan 

pernah terjatuh ke tangan orang lain. Keparat betul.


Maki Sudak Pari dalam hati. Sejenak dia meneliti la-

wan bicaranya, sekilas rasa-rasanya dia pernah men-

genali laki-laki enam puluhan yang berbadan gemuk 

bagai karung itu. Mendadak dia tertawa tergelak-gelak. 

Selanjutnya begitu tawanya usai:

"Karung kubut! melihat tampangmu rasanya kau 

ini dari Lubuk Sikaping, tokoh golongan lurus yang 

dulu hampir mampus di tangan Tiga Iblis dari Pulau 

Berhala. He... he... he... Syukur kalau kau mau bersi-

kap jujur padaku. Kami pasti akan mengampuni jiwa-

mu...!" bentak Sudak Pari dengan liciknya.

"Oho... orang-orang Beruang Merah manusia se-

rakah! Bisa berbuat apakah kalian padaku. Tokh aku 

sendiri merasa tak pernah bermusuhan pada siapa 

pun...?"

Mendengar ucapan itu, baik Basra Panewu, Su-

dak Pari maupun tiga kelompok kaum persilatan lain-

nya berseru mencemooh.

"Dasar karung bodol! Bicaramu sebakul-bakul, 

kalau kau memang tak mengatakan di mana Bangko-

tan Koreng Seribu menyimpan Kitab Jurus-jurus Ko-

reng Seribu. Maka kami akan mengobrak-abrik Tan-

jung Api berikut kau dan murid-muridmu itu...!" teriak 

Sudak Pari, lalu meludah ke tanah.

Sudah barang tentu murid-murid Candak Ginaka 

menjadi sangat marah sekali. Seperti mereka ketahui, 

selama ini Bara Seta adalah orang yang paling dihor-

mati oleh banyak orang. Bahkan seingat mereka sela-

ma ini Bara Seta adalah orang yang sering bertindak 

bijaksana pada siapa pun. Tak pernah menyakiti orang 

lain. Mungkin seekor semut pun dia tak tega untuk 

membunuhnya.

"Ketua mengapa hanya diam saja! Orang-orang 

itu sangat keterlaluan sekali. Baiknya kita rejam mere-

ka beramai-ramai...!" kata salah seorang murid dari


perguruan Candak Ginaka.

"Weii... kurang ajar betul, kau bocah pentil...? 

Kurobek-robek nanti mulutmu yang tak tahu adat 

itu...!" teriak salah seorang dari tiga perguruan yang 

diketuai oleh Lukas Asmoro. Lalu tanpa basa-basi lagi 

dia sambitkan tangannya yang telah menggenggam be-

berapa batang jarum perak.

"Weeer!"

Selarik sinar berwarna putih mengkilat melesat 

sedemikian cepatnya mengarah pada beberapa orang 

murid-murid Perguruan Candak Ginaka. Namun san-

gat mengagumkan sekali. Tanpa berkesip dari tempat-

nya berdiri, mereka segera pukulkan tangannya ke de-

pan. Sungguh di luar dugaan Lukas Asmoro, kalau da-

lam waktu yang sangat singkat. Jarum perak itu bebe-

rapa batang di antaranya sempat berpelantingan dan 

tak kurang tiga di antaranya membalik. Lukas Asmoro 

berkelit ke samping, lalu lambaikan tangannya sehing-

ga membuat jarum-jarum itu berjatuhan ke tanah.

"Bangsaaat! Murid-murid Perguruan Candak Gi-

naka kiranya punya kepandaian juga...! Anak-anak! 

Bunuh mereka semua...!" Perintah Lukas Asmoro pada 

beberapa orang murid-muridnya.

Baru saja murid-murid itu hendak bergerak, 

mendadak terdengar suara bentakan yang sangat me-

mekakkan gendang-gendang telinga.

"Kalian tak perlu bersusah-susah membantai 

orang-orang dari Lubuk Sikaping ini. Biarkan aku yang 

akan membereskannya...!" kata Basra Panewu, dan se-

bentar saja sudah turun ke dalam kalangan. Tak ayal 

lagi murid-murid Perguruan Candak Ginaka yang rata-

rata memiliki ilmu yang sangat tangguh itupun segera 

mengurung Basra Panewu. Laki-laki berkumis tebal 

yang merupakan wakil dari Perguruan Beruang Merah 

itupun segera memainkan jurus-jurus Beruang Merah


yang sangat diandalkannya. Dalam waktu sekejap saja 

pertarungan yang sangat menegangkan pun terjadilah. 

Maka tinggallah perguruan lain menjadi penonton da-

lam pertarungan yang sangat seru itu.

"Hiaaa...!"

Mendadak Basra Panewu kirimkan satu tendan-

gan dan satu cakaran memapaki datangnya serangan 

senjata yang berupa golok yang panjang hampir dari 

satu meter itu.

"Wuuung!"

Senjata-senjata yang sangat tajam itu menderu 

ke arah bagian dada, leher, kaki dan perut Basra Pa-

newu. Lalu dengan sekali genjot, tubuhnya sudah me-

layang membubung ke udara. Selanjutnya begitu dia 

kembali menjejakkan kakinya di atas tanah. Maka satu 

pukulan yang diberi nama Beruang Merah Merobek 

Sarang Lebah dilepaskan oleh Basra Panewu.

Selanjutnya tak dapat disangkal lagi, serangkum 

sinar berwarna putih kebiru-biruan menderu melabrak 

para pengeroyoknya. Namun sebelum pukulan yang di-

lepaskannya mencapai sasaran yang tepat, mendadak 

kejadian yang tiada diduga-duga pun terjadi. Murid-

murid Candak Ginaka pukulkan tangannya mengarah 

serangkum gelombang yang menderu ke arah mereka.

"Wuuut!"

Maka tak pelak lagi, beberapa larik gelombang 

pukulan yang diberi nama Candak Ginaka Memburu 

Mangsa yang berwarna ungu itupun saling bertubru-

kan dengan pukulan yang dilepas oleh Basra Panewu. 

Akibatnya benturan dengan menimbulkan suara ber-

dentum yang berkepanjangan pun terdengar.

Murid-murid Candak Ginaka tersentak tubuh-

nya, namun Basra Panewu juga hampir terjengkang. 

Dalam adu tenaga dalam itu ternyata satu lawan lebih 

dari lima orang sama-sama memiliki kekuatan yang


berimbang.

Basra Panewu nampak mengurut dadanya yang 

terasa sesak. Namun begitu dia mengerahkan tenaga 

dalamnya, rasa sesak itupun segera menghilang. Baik 

Basra Panewu maupun yang lain-lainnya kelihatan 

sangat gusar sekali. Sama sekali mereka tiada me-

nyangka kalau murid-murid Candak Ginaka kiranya 

merupakan murid-murid yang tangguh.

"Caiiiit... Huaaa...!" Basra Panewu yang sudah 

dalam keadaan emosi itupun kembali menghantamkan 

kedua tangannya ke arah lawannya. Lagi-lagi selarik 

gelombang pukulan Beruang Merah Merobek Sarang 

Lebah dia lepaskan. Pukulan itu berisi kurang lebih ti-

ga perempat dari tenaga dalamnya. Mengetahui kawan-

kawannya dalam keadaan bahaya, maka yang lainnya 

pun turun membantu. Sambil berjumpalitan tak ku-

rang dari delapan orang Candak Ginaka, kiblatkan 

tangannya memapaki datangnya serangan yang ber-

hawa panas itu. 

"Bluduuk...!"

Tubuh Basra Panewu terpelanting bahkan nyaris 

terjerumus ke dalam kobaran api yang hanya tinggal 

baranya saja. Sebaliknya delapan murid Candak Gina-

ka terjengkang satu tombak. Terlihat darah segar mele-

leh dari hidung mereka, keadaan Candak Ginaka ma-

lah lebih parah lagi. Sungguhpun dia berusaha me-

nyembunyikan apa yang sedang dideritanya, namun 

dari raut wajahnya yang pucat, nampak nyata sekali 

kalau dia sedang menderita luka dalam yang cukup se-

rius. Dadanya masih terasa menyesak, pandangan ma-

tanya mengabur dan berkunang-kunang. Namun demi 

menjaga gengsi di depan orang yang begitu banyak, dia 

cepat-cepat bangkit berdiri.

Saat itu murid-murid Candak Ginaka sudah siap-

siap untuk melakukan serangan balasan. Tapi menda


dak segalanya berubah begitu cepatnya. Sudak Pari 

begitu melihat wakilnya tunggang langgang dalam 

menghadapi murid-murid Candak Ginaka nampaknya 

menjadi sangat murka sekali. Selanjutnya dengan te-

riakan-teriakan yang sangat lantang, ketua Partai Be-

ruang Merah itupun memerintah:

"Kuharap. Dari semua perguruan yang ada mari-

lah beramai-ramai mencincang tikus-tikus dari Can-

dak Ginaka... tapi kalau tak setuju, cepat-cepat ting-

galkan tempat ini. Sebab tak satu pun di antara kalian 

nantinya kubiarkan terima bersih dalam mendapatkan 

Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu...!" Sejenak suasana 

di se-kitar tempat itu menjadi hening, masing-masing 

perguruan saling pandang sesamanya.

Sementara itu Bara Seta sendiri nampak sedang 

berfikir keras bagaimana caranya mengatasi lawan 

yang jumlahnya tidak kurang dari enam puluh orang. 

Andaipun memang benar, murid-muridnya merupakan 

murid-murid yang tangguh. Tapi jumlah lawan boleh di 

bilang cukup besar. Sehebat apapun kekuatan mereka, 

namun mungkinkah mereka dapat mempertahankan 

diri?

Persetan, mati berkorban untuk orang yang dia 

hormati adalah jauh lebih baik daripada harus ber-

diam diri membiarkan orang-orang itu menghancurkan 

dan mengobrak abrik tempat itu. Batinnya dalam hati.

Maka akhirnya tanpa pikir panjang lagi dia pun 

memberi isyarat pada murid-muridnya. Lalu dengan 

mempergunakan jurus-jurus Candak Ginaka, mereka 

ini pun tanpa basa basi lagi segera melakukan seran-

gan menghadapi enam puluh orang murid dan ketua 

gabungan dari empat perguruan.

Semakin bertambah gusarlah, Basra Panewu, 

Sudak Pari dan Lukas Asmoro dibuatnya. Maka, den-

gan kemarahan yang menggebu-gebu, masing-masing


ketua perguruan itu memberi perintah serupa pada 

murid-muridnya:

"Basmi orang-orang Candak Ginaka...!"

"Hoiiaaat...!"

"Cring! Cring!"

Dalam sekejap saja kobaran pertarungan pun 

sudah tak dapat dihindari lagi, denting beradunya ber-

bagai senjata tajam meningkahi jerit menyayat dari 

korban-korban dari kedua belah pihak yang mulai ber-

jatuhan. Enam puluh orang murid perguruan gabun-

gan bertarung melawan lima belas orang murid-murid 

Bara Seta.

Sementara Bara Seta sendiri tengah berjuang 

menghadapi empat orang ketua perguruan yang rata-

rata memiliki ilmu sangat tinggi. Tubuh Bara Seta se-

bentar saja sudah bermandi peluh, sejauh itu perta-

rungan tokoh-tokoh kelas menengah ini masih saja 

mempergunakan jurus-jurus tangan kosong. Sekali 

dua pukulan-pukulan maut pun mereka lancarkan si-

lih berganti. Namun nampaknya Bara Seta yang memi-

liki ajian Inti Bumi itu merupakan manusia yang ma-

tang dalam hal pertempuran. Kala itu, Basra Panewu, 

Sudak Pari, Lukas Asmoro dan Tiklu Sara dengan ali-

ran yang berbeda-beda mulai melancarkan pukulan-

pukulan mautnya. Dengan sangat gencar dan datang-

nya bertubi-tubi.

"Wess! Wut! Wut! Wut!"

Dari empat penjuru mata angin pukulan maut 

yang memiliki hawa dingin dan panas itupun datang 

menggebu.

Bara Seta menyadari kalaupun dia bermaksud 

untuk memapaki pukulan yang datangnya secara ber-

samaan itu. Pasti akibatnya sangat patal sekali. Tu-

buhnya bisa hancur berkeping-keping, atau paling ku-

rang tulang belulangnya menjadi remuk dengan jiwa

tiada tertolong lagi.

***

EMPAT



Maka dalam keadaan yang sangat kritis itu sece-

patnya dia kerahkan ajian Inti Bumi yang sangat am-

puh itu.

"Bleeees!"

Begitu tangan kanannya dia pukulkan pada per-

mukaan tanah yang merupakan tempat dia berpijak, 

maka kejab kemudian tubuhnya pun lenyap begitu sa-

ja. Sementara pukulan yang dilepaskan oleh lawan-

lawannya saling bertubrukan sesamanya. Tak dapat 

disangkal lagi pukulan yang dilepas dengan kobaran 

nafsu membunuh itupun berakibat sangat patal bagi 

murid-murid kedua belah pihak yang saat itu sedang 

melakukan pertarungan.

"Kampret! Si bangsat itu kiranya memiliki ilmu 

setan. Cari dia sampai ketemu...!" teriak Sudak Pari 

merasa penasaran sekali dibuatnya.

"Tak usah dicari-cari segala, beruang celaka. Aku 

ada di sini...!" kata Bara Seta, serta merta bagai setan 

gentayangan saja telah pula berdiri di depan lawan-

lawannya dengan sikapnya yang angker.

"Setan pengecut! Nih makan pukulanku...!"

Belum lagi ucapannya usai, mendadak dia telah 

kirimkan satu pukulan yang sangat dahsyat menyong-

song tubuh Bara Seta yang sudah melayang sambil le-

paskan satu pukulan maut yang diberi nama, Candak 

Ginaka Kibarkan Bendera. Selaksa gelombang mende-

ru sedemikian cepatnya. Sudak Pari yang sama sekali 

tidak menyangka kalau Bara Seta masih sempat ki


rimkan satu pukulan penangkal nampaknya menjadi 

sangat geram, lalu kirimkan satu pukulan susulan.

"Bum! Bum!"

"Auooooo...! Kampret...!" maki Sudak Pari begitu 

pukulan lawannya beradu dengan pukulan Beruang 

Merah Menggerung, miliknya. Sudak Pari tunggang 

langgang dengan posisi tubuh melipat bagai seekor 

trenggiling yang berjungkiran di atas tanah berbatu. 

Sementara Bara Seta dengan sangat baik masih dapat 

mendaratkan kakinya, tiga tombak jauhnya dari para 

lawan-lawannya. Namun belum lagi dia sempat mena-

rik napas, tiga orang ketua perguruan lainnya dengan 

sikap tak sabar telah pula menyerangnya dengan sen-

jata mereka yang beraneka ragam.

Saat itu murid-murid Candak Ginaka yang se-

dang berusaha bertahan mati-matian menghadapi se-

rangan-serangan brutal yang dilakukan oleh tak ku-

rang dari empat puluh orang murid gabungan empat 

perguruan.

Pihak Candak Ginaka, kini hanya tinggal berjum-

lah sepuluh orang saja. Lima orang di antaranya telah 

tewas dengan keadaan yang sangat menyedihkan seka-

li. Sungguhpun mereka hanya tinggal berjumlah sepu-

luh orang saja, namun semangat tempur mereka se-

makin menggila. Dengan tubuh saling merapat ber-

punggungan sesamanya, mereka bahu membahu da-

lam mempertahankan diri. Tapi juga di lain saat secara 

serentak mereka melakukan serangan kilat yang tiada 

terduga-duga. Pukulan-pukulan maut yang tak kalah 

hebatnya dari guru mereka sendiri pun mereka le-

paskan. Akibatnya celakalah bagi murid-murid gabun-

gan empat perguruan yang coba-coba menghancurkan 

pertahanan Candak Ginaka. Jerit dan lolongan maut 

pun kembali terdengar. Masing-masing ketua pergu-

ruan pihak lawan menjadi sangat marah sekali melihat


murid-murid mereka terbantai secara mengerikan oleh 

musuh murid-murid Candak Ginaka. Maka tak saba-

ran lagi Lukas Asmoro dari Perguruan Batu Kiambang 

dan Tiklu Sara dari Perguruan Hamparan Perak segera 

bergabung dengan murid-muridnya. Sementara itu 

saudara kakak beradik, Basra Panewu dan Sudak Pari 

terus bertarung melawan Bara Seta.

"Keparat kalian murid-murid Candak Ginaka...!" 

maki Lukas Asmoro, selanjutnya mendahului seku-

tunya, Tiklu Sara dan langsung memporak porandakan 

pertahanan murid-murid Candak Ginaka. Tiklu Sara 

pun tiada tinggal diam.

"Sobat Lukas Asmoro! Jangan ajak bicara mere-

ka, kita mampusin saja semuanya biar mereka tidak 

bisa ketemu anak bini lagi...!" Sambil mengekeh Tiklu 

Sara.

"Ku pertahankan dan tidak kami biarkan anjing 

mana pun merongrong tempat tinggal orang tua yang 

sangat kami hormati hingga titik darah yang penghabi-

san!" teriak salah seorang murid Candak Ginaka. Saat 

itu mereka sudah mencabut pedangnya masing-

masing, selanjutnya menggempur lawan-lawannya 

tanpa ampun lagi.

"Segala kutu kupret, mau bertingkah di hadapan 

empat perguruan gabungan. Caaat, mampus...!" maki 

Tiklu Sara. Dan sekali saja senjatanya yang berupa 

kebutan itu menyambar. Maka hancurlah wajah salah 

seorang murid Candak Ginaka yang tak sempat me-

nangkis serangan itu.

Tubuhnya terhempas di atas tanah berpasir, 

menggelupur sekejab selanjutnya diam untuk selama-

lamanya. Tiklu Sara yang sudah kerasukan setan itu 

tiada lagi menghiraukan lawannya yang sudah terka-

par itu. Sebaliknya bagai tak pernah mengenal puas, 

Tiklu Sara sudah menghantam murid-murid Candak


Ginaka yang lainnya. Satu demi satu murid-murid Ba-

ra Seta berguguran, sungguhpun hal itu tidak terlepas 

dari perhatian gurunya. Namun Bara Seta tak mampu 

berbuat banyak, sebab dia sendiri sedang berjuang 

menghadapi Basra Panewu dan Sudak Pari yang ter-

nyata memiliki ilmu simpanan yang sangat berbahaya 

sekali bagi Bara Seta. Malang sekali nasib Bara Seta 

dan gurunya. Agaknya murid-muridnya yang hanya 

tinggal empat orang itu sekejab lagi pasti akan ter-

bantai habis andai saja pada saat-saat yang sangat kri-

tis itu tidak muncul sosok bayangan berpakaian me-

rah-merah. Begitu sosok bayangan itu melayang turun 

dari atas sebuah pohon kayu api-api. Maka tak ampun 

lagi dia langsung kirimkan pukulan Empat Anasir Ke-

hidupan secara bertubi-tubi, pada murid-murid ga-

bungan empat perguruan. Sontak keadaan menjadi 

berbalik, begitu pukulan yang memancarkan Sinar 

Violet dan berhawa panas luar biasa itu melabrak tu-

buh mereka, jerit kematian dan lolongan kesakitan 

pun membahana bagai merobek angkasa yang diseli-

muti mendung.

Kehadiran pemuda yang tak lain merupakan mu-

rid tunggal si Bangkotan Koreng Seribu ini benar-

benar membuat keadaan pihak lawan menjadi kacau 

balau. Tubuh-tubuh berpelantingan dengan keadaan 

hangus dan jiwa melayang. Namun Buang Sengketa 

tak ingin berhenti sampai di situ saja, Pukulan si Hina 

Kelana Merana yang menimbulkan udara dingin yang 

teramat sangat itupun dia lepaskan silih berganti. Da-

lam waktu tidak sampai sepemakan sirih, murid-murid 

perguruan gabungan itupun hanya tinggal beberapa 

gelintir saja. Maka terkejutlah empat ketua partai itu 

demi melihat sepak terjang pemuda yang tiada mereka 

kenal itu. Dan lebih terbelalak lagi begitu melihat mu-

rid-murid mereka terbantai habis di tangan pemuda



itu.

Dengan kegusaran yang bukan alang ke-palang, 

serentak mereka-mereka yang sedang terlibat perta-

rungan itupun bagai dikomando saja segera menghen-

tikan pertarungan.

Di antara mereka yang hadir di situ hanya Bara 

Seta saja yang kelihatan tenang-tenang. Sebab begitu 

dia melihat kehadiran Buang Sengketa, menurut ciri-

ciri yang diberikan oleh almarhum si Bangkotan Ko-

reng Seribu. Apa yang dilihat dari pemuda itu adalah 

sangat persis sekali. Baik pakaiannya, wajahnya yang 

sangat tampan, mau pun sebuah periuk yang mengge-

lantung di pinggangnya. Semuanya persis dengan apa 

yang dikatakan oleh orang tua angkatnya.

"Hmm. Masih sedemikian muda, namun memiliki 

kepandaian yang sangat mengagumkan sekali!" batin 

Bara Seta.

Sementara itu, Buang Sengketa setelah lama 

memandang rumah tempat tinggal almarhum gurunya, 

kini memandang pada semua orang yang hadir di situ 

secara silih berganti. Begitu dingin dan angker tatapan 

matanya, menandakan bahwa pemuda itu benar-benar 

merasa sangat tidak senang dengan tindakan yang 

sangat menghina tersebut,

"Sungguh hanya setan-setan yang berani mati sa-

ja, yang begitu sanggup membakar rumah guruku. Tak 

satu pun di antara kalian yang kubiarkan hidup. Cela-

ka sekali nasib kalian hari ini...!"

"Bangsat... begitu datang kau bagai iblis membu-

nuhi murid-murid kami. Kemudian manusia gembel 

semacammu berani pula mengaku-ngaku sebagai mu-

ridnya si Bangkotan Koreng Seribu... siapakah kau ini, 

Bocah hina...?" tanya Basra Panewu sangat gusar ber-

campur jerih.

Memerah wajah Buang Sengketa saat itu juga,


kedua gerahamnya mengatup rapat. Namun sedikitpun

perhatiannya tiada pernah berpaling dari Basra Pane-

wu yang bermulut runcing bagai tikus curut itu.

"Orang-orang celaka, akulah Buang Sengketa 

murid tunggalnya Kakek Bangkotan Koreng Seribu 

yang rumahnya telah kalian bakar itu...!"

"Kami tak pernah percaya...!"

"Aku juga yang hampir lapuk dimakan usia tidak 

pernah mempercayai keterangan-mu itu, Bocah sint-

ing...!" Sudak Pari, Lukas Asmoro dan Tiklu Sara me-

nyahut hampir berbarengan.

"Hak... kek... kak... ke...! Percaya atau tidak per-

caya itu bukan urusanku. Yang jelas kalian datang ke 

mari hanya ingin merampok Kitab Jurus-jurus Koreng 

Seribu yang telah diciptakan oleh guruku, nah seka-

rang bersiap-siaplah kalian untuk kukirim ke neraka. 

Hiaaat...!"

Selanjutnya tanpa mengenal kompromi lagi, 

Buang segera menerjang Basra Panewu dan Sudak Pa-

ri. Sementara itu Bara Seta segera pula berhadapan 

dengan Lukas Asmoro dan Tiklu Sara.

Menghadapi Lukas Asmoro dan Tiklu Sara bagi 

Bara Seta bukanlah sesuatu yang sangat istimewa. Se-

bab seperti yang dia ketahui, Tiklu Sara dan Lukas 

Asmoro hanyalah merupakan wakil maupun kurir dari 

salah satu perguruan yang berasal dari daerah Tengga-

ra. Itu sebabnya dalam waktu hanya sekejab saja dia 

telah pula mengetahui kunci dari jurus-jurus yang di-

mainkan oleh kedua lawannya. Begitu segala rahasia 

jurus-jurus silat lawannya telah diingatnya dengan 

baik, maka detik kemudian dia telah melakukan se-

rangan balasan dengan mempergunakan tenaga yang 

berlipat ganda.

Sementara itu Buang Sengketa yang berhadapan 

dengan Basra Panewu dan Sudak Pari nampak sedang


menggempur lawannya dengan mempergunakan jurus-

jurus tangan kosong yang diberi nama si Gila Menga-

muk.

Selanjutnya senjata Basra Panewu dan Sudak 

Pari yang berupa sebatang toya itupun menderu men-

girimkan gempuran-gempuran yang sangat dahsyat. 

Namun Pendekar Hina Kelana bukanlah pendekar ke-

marin sore, sungguhpun usianya relatip sangat muda, 

tapi dia merupakan tokoh silat yang memiliki ilmu sak-

ti yang beraneka ragam. Jurus silat si Gila Mengamuk 

juga merupakan jurus tingkat dua setelah jurus tan-

gan kosong Membendung Gelombang Menimba Samu-

dra. Sungguhpun mempergunakan jurus ini, permai-

nan silatnya nampak kacau balau dan sangat tidak te-

ratur. Namun serangan toya yang begitu gencar itupun 

masih belum mampu menyentuh selembar rambut 

Buang Sengketa.

Orang-orang dari Perguruan Beruang Merah itu-

pun gusarnya bukan main, sebaliknya kini tubuh 

Buang Sengketa berkelebat sangat cepat, hanya terasa 

angin sambaran tubuh pemuda itu saja yang mengi-

bar-ngibarkan pakaian Basra Panewu dan Sudak Pari. 

Sekejab kedua orang itu nampak kebingungan sekali. 

Pada saat seperti itulah, dengan diawali jerit tinggi me-

lengking Buang Sengketa pukulkan tangannya ke de-

pan. Serangkum sinar berwarna Ultra Violet yang me-

nimbulkan hawa sangat panas luar biasa datang 

menggebu meluruk ke arah lawan-lawannya.

Akibat pukulan yang sangat ganas itu tadi mere-

ka sempat melihat dari apa yang dialami oleh murid-

muridnya. Dan mereka pun sadar bahwa saat itu la-

wan pasti mempergunakan pukulan maut yang berke-

kuatan besar. Maka secepatnya mereka putar toyanya 

untuk melindungi diri.

"Weeertt...! Blaaaam...!"


Pukulan Empat Anasir kehidupan yang dilepas 

oleh Pendekar Hina Kelana menghantam kedua orang 

itu, tunggang langgang tubuh mereka terbanting, toya 

berantakan menjadi beberapa keping. Pada saat itu 

terdengar teriakan Bara Seta:

"Bangsat! Setelah merasa tidak ungkulan, kalian 

mau kabur, jangan harap...!" Berkata begitu Bara Seta 

bermaksud melakukan pengejaran. Tetapi Buang 

Sengketa mencegahnya.

"Jangan, Paman...! Masih banyak persoalan yang 

harus kita selesaikan di sini. Pula kedua bangs...!" 

Buang Sengketa tak melanjutkan ucapannya karena 

begitu dia menoleh, lawan-lawannya yang tadi terpe-

lanting itupun sudah tidak ada di tempatnya.

"Mereka juga kabur! Namun aku yakin cepat atau 

lambat mereka pasti akan kembali lagi ke sini...!" kata 

Buang Sengketa, lalu menarik nafas pendek. Sementa-

ra itu Bara Seta dan empat orang murid yang tersisa 

sudah menghampiri si pemuda. Selanjutnya tanpa ra-

gu-ragu lagi dia pun menyela:

"Engkaukah yang bernama Buang Sengketa?" ta-

nyanya penuh perhatian.

Pendekar Hina Kelana anggukkan kepalanya pe-

lan.

***

LIMA



"Kalau begitu tak salah seperti apa yang dikata-

kan oleh Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Bahwa Pen-

dekar Hina Kelana itu, engkaulah adanya...!" Dalam 

nada ucapannya, jelaslah sudah bahwa kepulangan 

Buang Sengketa di Tanjung Api membuat Bara Seta


dan keempat muridnya merasa sangat girang sekali.

"Mengapa kejadian ini sampai terjadi, dan siapa-

kah adanya paman ini...?" tanya pemuda itu setelah 

gejolak di dalam hatinya menjadi reda kembali.

Kemudian secara singkat Bara Seta menceritakan 

mengenai hubungannya dengan Kakek Bangkotan Ko-

reng Seribu. Akhirnya mengertilah Pendekar Hina Ke-

lana tentang duduk persoalan yang sebenarnya. Selan-

jutnya dengan sikap persaudaraan Buang Sengketa 

segera bertanya:

"Paman! Apakah paman tahu di mana kira-kira 

jenazah kakek guru berada?" Ditanya begitu Bara Seta 

nampak tercenung beberapa saat lamanya. Lalu sepa-

sang matanya yang agak menyipit itupun memandang 

pada hamparan batu-batu karang yang ada di pinggi-

ran pantai.

"Sebagai muridnya, tentu kau tahu tentang gua-

gua yang ada di celah-celah batu karang itu. Nah 

mungkin di sanalah dia berada...!"

Pendekar keturunan Raja Ular Piton Utara itupun 

nampak angguk-anggukkan kepalanya.

"Gua di batu karang itu banyak sekali, namun 

aku merasa sangat khawatir andai sekarang ini kita ke 

sana, nantinya akan datang lagi tokoh-tokoh persilatan 

untuk merampas Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu ha-

sil ciptaan yang terakhir kali...!"

"Ya, ancaman itu akan selalu ada, Buang! Tapi 

akan tegakah kita-kita membiarkan jenazah orang 

yang kita hormati menderita lebih lama lagi di alam 

pana ini...?" tanya Bara Seta seperti pada dirinya sen-

diri.

"Betul juga!" kata pemuda itu, lalu angguk-

anggukkan kepalanya. Lalu sambungnya lagi: "Apapun 

yang akan terjadi kita harus dapatkan kakek guru hari 

ini juga...."


"Kalau begitu sekarang juga kita mulai pencaha-

rian itu...!" ajak Bara Seta, maka berangkatlah keenam 

orang itu menelusuri tebing karang yang saat itu se-

dang dalam keadaan pasang surut.

"Paman! Aku melihat semua pintu gua karang 

yang ada di sini tertutup dengan sangat baik. Aku sen-

diri merasa yakin pintu batu karang itu tak akan ter-

buka walau didorong oleh sepuluh tenaga kuda. Yang 

mana satu kira-kira yang merupakan tempat peristira-

hatan terakhir guru...?" ujar Buang Sengketa mereka-

reka.

"Sebagai muridnya, tentu kau tahu gua yang ma-

na yang paling sering dipergunakan oleh bapak untuk 

keperluan-keperluan tertentu...!"

"Guru orangnya payah sekali, Paman! Tingkah-

nya suka yang aneh-aneh dan bikin kepalaku pusing 

berdenyut-denyut. Sesuatu yang pasti tak pernah ada 

dalam hidupnya. Kecuali kematian dan hidupnya sen-

diri. Aku bisa saja menduga kalau guru berada di se-

buah gua karang yang sangat besar itu! Namun siapa 

tahu dia malah sengaja menyembunyikan diri di atas 

pohon-pohon. Atau barangkali di dalam perut bumi...!"

Sesungguhnya mendengar kata-kata Buang 

Sengketa, Bara Seta menjadi geli hatinya, namun 

hanya keadaanlah yang membuat dia menahan segala 

bentuk tawanya cukup di dalam hati saja. Sebaliknya 

dia malah berkata serius sekali.

"Rasanya dalam keadaan yang sangat serius, dia 

tak akan pernah main-main, Buang? Menurutmu, 

yang mana satu gua yang sering dipergunakan oleh 

bapak untuk menyimpan sesuatu yang sangat raha-

sia...?"

"Maksud paman tentang kitab itu...?" Buang 

Sengketa malah balik bertanya. Bara Seta gelengkan 

kepalanya.


"Maksudku bukan itu! Mengenai kitab semuanya 

bisa kita selesaikan kemudian! Yang terpenting bagai-

mana caranya kita cari tahu tentang jenazah kakek 

Bangkotan Koreng Seribu...!"

Pendekar Hina Kelana nampak terdiam untuk se-

saat lamanya, kembali pandangannya menerawang ke 

laut lepas. Lalu teringat pula olehnya masa-masa keti-

ka masih kecil dulu. Di tempat itu, di Pantai Tanjung 

Api yang memiliki ombak yang sangat ganas. Kakek 

tua itu telah menggemblengnya sedemikian rupa, siang 

dan malam tanpa mengenai lelah. Dengan segenap jiwa 

raganya, kakek sakti itu menciptakan jurus-jurus, 

maupun pukulan-pukulan yang sangat ampuh. Semua 

itu hanya diperuntukkan untuk dirinya, ah, betapa ha-

tinya menjadi pedih, sampai akhir hayatnya dia seba-

gai orang yang pernah dididik dan diberi kasih sayang 

sedemikian rupa. Namun tak sekalipun dia pernah 

mampu membalas segala kebaikan yang pernah dibe-

rikan oleh orang tua itu. Mengapa semuanya begitu 

cepat berlalu, padahal selama ini dalam pengembaraan 

yang sangat melelahkan itu dia teramat sering ingin 

bertemu dengan orang tua yang baginya merupakan 

segala-galanya. Mengenang semua itu, tanpa sadar air 

mata pemuda itupun menetes, dan tentu saja keadaan 

itu membuat heran semua yang ada di tempat itu. 

Namun sebelum keheranan itu tertanyakan, mendadak 

Buang Sengketa bergumam seperti pada dirinya sendi-

ri.

"Aku ini seorang murid yang tolol! Tak pernah 

mampu berbakti pada orang yang paling berarti dalam 

hidupku! Dia yang merupakan segala-galanya bagiku 

kini telah tiada. Pada siapa aku harus membalas sega-

la kebaikannya. Oh... dasar... nasib, hidup di atas du-

nia hanya sebatang kara.... Pendekar Hina Kelana... 

manusia hina sengsara...! Buang Sengketa... bocah


terbuang yang kehadirannya dipersengketakan oleh 

banyak orang. Ahik... hu... hu...hu...! Guru, jalan yang 

manakah semestinya yang harus kutempuh. Semua-

nya jadi serba rumit dan membingungkan. Guru eng-

kau manusia terdahulu sebelum kehadiranku. Kau bi-

lang aku ini tak boleh menangis menyesali nasib, tapi 

aku juga tak pernah menyesalkannya, Guru...! Namun 

berilah aku titik terang, agar hatiku dijauhkan dari ke-

resahan dan rasa bersalah...!" kata pemuda itu, tu-

buhnya nampak terguncang-guncang. Dia merasa san-

gat terpukul sekali atas kepergian gurunya.

Bara Seta dan murid-muridnya nampak sedih 

melihat apa yang sedang dialami oleh pemuda yang 

sangat mengagumkan itu. Selanjutnya sambil meme-

gang pundak si pemuda dia berkata setengah menasi-

hatkan:

"Sudahlah, Buang! Mengapa kau tangisi orang 

yang sudah tiada! Hal itu hanya akan membuat resah 

arwah bapak di nirwana. Berbuat kebaikan sesama 

umat manusia sesungguhnya merupakan sesuatu 

yang sangat terpuji. Kalau pun dia kini telah tiada lagi. 

Tokh kau bisa melakukan kebaikan pada orang lain. 

Pahalanya juga sama. Nah sekarang lebih baik kita co-

ba membuka dinding gua itu satu demi satu. Jangan 

bersedih, malu nanti kalau sampai orang-orang persi-

latan tahu, kalau pendekar yang namanya kesohor di 

mana-mana itu ternyata memiliki hati yang rapuh...!" 

ujar Bara Seta dengan sikapnya yang kebapakan.

Mendengar ucapan Bara Seta, pemuda itu bant-

ing-banting kakinya sambil berkelesetan bagai anak 

kecil yang kehilangan tetek ibunya. Lalu dengan ter-

sendat-sendat dia berucap:

"Ma... masa bodoh! Aku tak bisa bersikap pura-

pura! Biarkan semua orang di penjuru dunia tahu, aku 

tak akan perduli. Aku paling tak bisa memendam pera


saan. Kakek guru bilang, kalau banyak memendam pe-

rasaan jika sampai memuncak ke kepala bisa jadi 

uban, kalau bergerak ke muka jadi jerawat. Sebaliknya 

kalau turun ke pantat bisa jadi bisul. Oho... aku tak 

ingin berpura-pura, Paman! Paman dengarkah itu?" 

ucap Buang Sengketa setengah bertanya.

Semakin bertambah geli saja hati Bara Seta. 

Bahkan keempat orang murid tersisa sudah tak dapat 

memendam tawanya lagi. Serta merta Buang Sengketa 

menyadari tingkahnya yang bagaikan anak kecil itu, 

lalu teringat pula kebencian gurunya akan sebuah ke-

cengengan. Selanjutnya cepat-cepat dia seka air ma-

tanya. Mendadak saja wajahnya berubah menjadi ceria 

seperti sediakala. Sementara itu, Bara Seta sudah ang-

guk-anggukkan kepalanya bagai burung puntul yang 

mengais ikan di pinggiran pantai.

"Gurumu mau pun bapak angkatku memang ti-

dak salah. Itu makanya aku ingin sekarang juga kita 

mencari lokasi di mana Kakek Bangkotan Koreng Seri-

bu berada, setelah kita temukan jenazahnya, maka ki-

ta adakan upacara sederhana untuk selanjutnya me-

nyemayamkan jenazahnya di tempat yang sangat 

layak...!"

"Marilah, kita mulai dari yang di tengah itu. Na-

mun untuk mendobrak pintunya, aku harus mengge-

rakkan segenap pukulan sakti yang kumiliki...!" kata 

Buang tegas.

"Cara apapun yang akan kau lakukan sepenuh-

nya kuserahkan padamu...!"

Lalu tanpa menjawab, mereka pun me-langkah 

kembali. Barulah setelah sampai di depan pintu gua 

yang tertutup batu karang, pemuda itu menghentikan 

langkahnya diikuti oleh yang lain-lainnya.

"Hemm! Nampaknya aku harus mempergunakan 

pukulan si Hina Kelana Merana." batin Buang Sengketa. Selanjutnya tanpa banyak basa basi lagi, dia segera 

mengerahkan tenaga saktinya ke arah kedua belah 

tangannya.

Tubuh Buang Sengketa menggeletar untuk bebe-

rapa saat lamanya, selanjutnya dari kedua belah tan-

gannya itu mengeluarkan uap panas, semakin lama 

tangan itu berobah memerah. Mereka yang menyaksi-

kan kejadian itu nampak sangat terkejut sekali, na-

mun sebelum kejut mereka hilang sama sekali. Men-

dadak Buang Sengketa berteriak dengan suara tinggi 

melengking.

"Haaiiiit...! Huaaa!!"

Buang pukulkan kedua tangannya mengarah pa-

da pintu gua karang, maka sekejab kemudian satu ge-

lombang sinar berwarna merah menyala meluruk ke 

arah pintu gua karang yang berukuran sangat tebal 

itu.

"Bluuuuaarrr...!"

Pintu gua karang itupun jebol berantakan, Pen-

dekar Hina Kelana langsung menyerbu ke dalamnya. 

Setelah jalan hilir mudik dalam ruangan yang beruku-

ran sangat luas itu dia pun terdiam di tengah-tengah 

ruangan yang berhawa hangat udara laut.

"Bagaimana, Buang...?" tanya Bara Seta sambil 

mengitarkan pandangan matanya. Pemuda itu geleng-

gelengkan kepalanya perlahan.

"Nampaknya tak ada tanda-tanda kalau Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu mengakhiri hayatnya di 

tempat ini...!" ujar Pendekar Hina Kelana dengan alis 

mengerimit tanda bahwa dia sedang memikirkan tem-

pat yang sering merupakan pengasingan bagi gurunya 

tersebut. 

"Lalu bagaimana...?"

"Masih banyak gua karang yang belum kita lihat! 

Cobalah kita ke gua lainnya, barangkali dia ada di


tempat itu...!" kata Buang Sengketa. Selanjutnya dia 

meninggalkan gua yang sudah berantakan pintunya 

menuju gua karang yang lainnya. Sesampainya di gua 

karang yang terletak tak begitu jauh dari gua karang 

pertama Buang Sengketa kembali menghentikan lang-

kahnya. Dalam pada itu Bara Seta sudah pula berkata: 

"Mestinya ada tanda-tanda tertentu yang dapat kau 

pahami maknanya...!"

Saat itu Pendekar Hina Kelana sudah bersiap-

siap dengan pukulan dahsyatnya si Hina Kelana Mera-

na, namun begitu mendengar apa yang dikatakan oleh 

Bara Seta akhirnya dia menjadi urung. Dia tercenung, 

dalam hati membenarkan apa yang dikatakan oleh Ba-

ra Seta.

"Betul juga! Mengapa tak kucari saja, tanda-

tanda seperti apa yang dikatakan oleh Paman Bara Se-

ta. Almarhum Kakek Bangkotan Koreng Seribu pasti 

ada meninggalkan sesuatu yang hanya aku dan dia sa-

ja yang mengetahui maknanya." batinnya lagi. Selan-

jutnya dia melangkah mendekat, lalu memperhatikan 

dengan seksama kalau apa yang diharapkannya ada di 

depan pintu gua karang yang tertutup.

Dibantu oleh Bara Seta dan keempat orang mu-

rid-muridnya, satu demi satu pemuda ini meneliti se-

tiap pintu gua yang ada, dua empat dan enam telah 

mereka periksa, namun mereka tak menemui apa yang 

mereka harapkan. Sehingga setelah sampai pada pintu 

gua karang yang ke delapan mereka mulai menemukan 

sebuah titik terang yang mungkin juga merupakan se-

buah petunjuk untuk menemukan di mana adanya 

mayat gurunya berada.

"Lihat, Paman! Sepertinya guratan-guratan ini 

merupakan sebuah petunjuk yang dibuat oleh kakek 

guru...!" Buang Sengketa setengah berseru. Bara Seta 

dan keempat orang muridnya mendekat, dan ikut pula


meneliti. Namun mereka tiada pula mengerti akan 

makna dari coretan-coretan yang ada.

"Betul katamu, Buang! Namun aku yang telah 

lamur ini tak tahu apa arti dari tulisan yang digurat 

dengan jemari bapak!"

Agak lama juga Pendekar Hina Kelana ini mere-

nung di situ, sampai akhirnya teringatlah dia akan ju-

rus-jurus di Gila Mengamuk yang pernah diajarkan 

oleh si Bangkotan Koreng Seribu.

"Hemm. Tulisan ini sungguh mirip sekali dengan 

jurus-jurus si Gila Mengamuk seperti yang tertulis da-

lam kitab terdahulu." batinnya lagi. Selanjutnya dia 

coba-coba mengingat tentang abjad jurus-jurus si Gila 

Mengamuk yang telah dikuasainya. Maka dalam tuli-

san yang seperti cakar ayam itu, dapatlah dia artikan 

sebagai berikut:

"Buat muridku yang goblok. Usah tangisi keper-

gianku, aku telah pergi meninggalkan dunia ini.. Tapi 

jangan pula kau menangis, karena menangis itu hanya-

lah pekerjaan perempuan atau pekerjaan bayi.. Ada sa-

tu yang ku tinggalkan padamu, yaitu tentang sebuah Ki-

tab Jurus-jurus ‘Koreng Seribu’ hasil ciptaan ku. Tapi 

ingat, berhati-hatilah dalam mempelajari kitab itu, se-

bab salah sedikit saja kau mengerahkan tenaga, maka 

jiwamu bisa melayang. Hal lain yang perlu kau perhati-

kan adalah tentang jenazah ku. Dia berada di gua ke-

sepuluh, seandainya jasad itu masih ada, maka itu be-

rarti aku masih seperti manusia biasa. Namun andai ti-

dak, maka itu berarti aku ini manusia setengah dewa. 

Satu saja pesanku, Buang! Kitab itu ada di sebuah gua 

kecil yang menghadap ke Timur Laut. Selama kau 

mempelajari kitab tersebut, bahaya akan selalu men-

gancam mu. Maka bekerja samalah dengan baik pada 

Bara Seta. Mudah-mudahan segala rintangan dapat


kau atasi!

Buat Murid Guoblok 

Si Bangkotan Koreng Seribu

"Sialan," umpat Buang Sengketa begitu selesai 

membaca, tanda-tanda yang mirip dengan cakar ayam 

itu. Sebentar dia memandang pada Bara Seta dan 

keempat murid-muridnya. Lalu dengan suara hampir-

hampir tak terdengar dia pun berkata:

"Kita harus pergi ke gua karang yang kesepuluh, 

Paman. Menurut petunjuk di sini, di gua itulah Kakek 

Bangkotan Koreng Seribu berada... marilah secepatnya 

kita ke sana...!"

"Ayolah...!"

Selanjutnya mereka pun melangkah kembali me-

nuju ke gua kesepuluh. Sekejab kemudian mereka pun 

telah sampai di depan mulut gua karang kesepuluh.

"Inilah tempat yang dimaksudkan oleh kakek! 

Menjauhlah sedikit, Paman! Aku akan mengerahkan 

pukulan Hina Kelana Merana."

Tanpa menjawab, Bara Seta dan murid-muridnya 

menjauh, sekejab kemudian mereka telah merasakan 

betapa udara di sekitarnya menjadi sangat panas luar 

biasa. Padahal saat itu angin laut berhembus sangat 

kencang sekali. Maka sekejab kemudian, kedua tangan 

Buang Sengketa menggeletar, selanjutnya berubah 

warna merah pun terjadilah.

"Heiiiik...!"

Pendekar Hina Kelana pukulkan kedua tangan-

nya ke depan. Lalu selarik gelombang berhawa panas 

luar biasa menderu menerjang pintu gua batu karang 

yang berada satu tombak di hadapannya.

Pintu gua batu karang itupun hancur beranta-

kan. Debu dan batu-batu kecil beterbangan ke udara. 

Dan sekejab kemudian pintu gua batu karang itupun

sudah menganga lebar sekali.


ENAM



Selanjutnya tanpa membuang-buang waktu lagi, 

Pendekar Hina Kelana dengan diikuti oleh yang lainnya 

segera memasuki gua tersebut. Keadaan di dalam gua 

itu gelap gulita adanya, sehingga menimbulkan kesan 

yang sangat angker. Namun setelah Buang Sengketa 

menyalakan sebuah pelita, maka ruangan di dalam 

gua karang yang lembab dan licin itupun menjadi te-

rang temaraman. Buang dan Bara Seta mengitarkan 

pandangan matanya ke segenap penjuru ruangan itu, 

tetapi nampaknya di ruangan induk tak mereka dapati 

adanya jenazah si Bangkotan Koreng Seribu, maka un-

tuk selanjutnya dia bergerak ke ruangan yang lainnya. 

Dan di dalam ruangan yang berukuran sangat kecil 

itulah Buang Sengketa melihat sebuah pelita lain den-

gan nyalanya yang terang benderang. Di sebuah lantai 

dalam ruangan yang sangat sempit itu, Buang Sengke-

ta melihat adanya sebuah keranda yang ditutupi den-

gan selembar kain putih yang sangat panjang. Kain itu 

terjuntai sampai menutupi keseluruhan keranda.

Buang Sengketa berdebar hatinya, selanjutnya 

dengan langkah gemetaran dia menghampiri keranda 

tersebut. Kemudian dengan gerakan yang sangat cepat 

Buang Sengketa segera membuka penutup keranda. 

Begitu penutup keranda itu dibuka, maka terciumlah 

bau harum semerbak dari dalamnya. Maka terlihatlah 

jenazah si Bangkotan Koreng Seribu, tubuhnya terbu-

jur, dengan wajahnya yang keriput dan pucat bagaikan 

kapas. Namun anehnya, sungguhpun si Bangkotan 

Koreng Seribu sudah meninggal lebih dari satu pur-

nama, namun tak tercium bau bangkai sebagaimana 

mestinya.


"Kakek...!" Tak urung Buang Sengketa merintih, 

kemudian berlutut di depan jenazah si Bangkotan Ko-

reng Seribu. Dipandanginya wajah orang tua renta 

yang kini nampak diam tiada bergeming lagi.

"Bapak, eee... aku merasa bersyukur sekarang ini 

aku telah dipertemukan dengan muridmu! Tapi, Ba-

pak... rumah tinggalmu telah terbakar... orang-orang 

sialan itulah yang telah membakarnya...!" ucap Bara 

Seta pula.

Suasana di sekelilingnya kemudian adalah kehe-

ningan belaka. Masing-masing mereka sama-sama 

tenggelam dalam fikirannya.

"Sebaiknya sekarang juga kita rumat jenazah ka-

kek, hari masih siang! Kesempatan masih ada hanya 

untuk mengadakan upacara pemakaman secara kecil-

kecilan."

"Marilah, Buang...!" jawab Bara Seta, seraya be-

ranjak berdiri dari tempatnya. Selanjutnya keempat 

orang murid Bara Seta segera mengusung keranda 

yang berisi jenazah si Bangkotan Koreng Seribu. Seke-

jab kemudian di tempat itu terlihatlah kesibukan-

kesibukan untuk mengebumikan jenazah orang tua 

yang mereka hormati.

Keempat murid Bara Seta segera membuat se-

buah lubang kubur, sementara Buang Sengketa den-

gan dibantu oleh Bara Seta segera merawat jenazah si 

Bangkotan Koreng Seribu. Saat itu di langit lepas, 

nampak awan hitam bergumpal dan bergulung-gulung 

dihembus angin tenggara.

Tak lama kemudian terdengar pula gelegar bunyi 

petir bagaikan membelah jagad. Selanjutnya, hujan 

pun mulai turun rintik-rintik. Namun mereka tiada 

menghiraukan semua itu, sebaliknya jenazah si Bang-

kotan Koreng Seribu telah mulai memasuki liang lahat. 

Tubuh Buang Sengketa nampak menggigil dalam duka.


Tetapi dia selalu berusaha untuk tetap tabah mengha-

dapi kenyataan yang ada.

Murid-murid Bara Seta tak lama kemudian telah 

pula mengurus jenazah si Bangkotan Koreng Seribu 

dengan tanah. Hujan mulai turun sangat lebat, dan 

pada saat yang sama gelegar bunyi petir sambung me-

nyambung tiada henti. Namun mereka yang sedang 

mengikuti upacara pemakaman sederhana itu, sedikit-

pun tiada pula merasa terusik. Bahkan tak lama ke-

mudian terdengar pula suara Buang Sengketa mening-

kahi gemuruh suara hujan:

"Kapal tua yang selama ini memberi perlindungan 

hangat terhadap seorang bocah. Kini telah pergi ber-

layar menuju pelabuhan terakhir. Dia tetap akan berla-

buh di sana selama-lamanya menunggu pengadilan 

Yang Maha Adil. Tinggallah sebuah kenangan atas ja-

sa-jasanya. Seorang bocah pasti selalu mengingatnya. 

Pergilah hai, Kapal tua, aku melepasmu dengan hati 

ridho, dan moga pula engkau selalu diridhoi."

Usai berkata begitu, Buang Sengketa dengan di-

ikuti oleh yang lainnya nampak merangkapkan kedua 

tangannya di depan dada, selanjutnya dia pun mem-

bungkuk penuh hormat. Sementara itu hujan semakin 

bertambah lebat, terlihat pula air laut mulai pasang 

naik.

Lewat sepemakan sirih upacara pemakaman itu-

pun segera usai, Buang Sengketa dan yang lainnya 

yang sudah basah kuyup cepat-cepat meninggalkan 

tempat itu, kemudian melangkah memasuki gua ka-

rang tempat di mana si Bangkotan Koreng Seribu ta-

dinya berada.

* * *


Perguruan Batu Kiambang adalah sebuah pergu-

ruan yang memiliki murid yang sangat besar jumlah-

nya. Perguruan itu dipimpin oleh seorang tokoh sakti 

yang memiliki badan sangat kerdil sekali.

Siang itu Jumparing Retno atau si tokoh kerdil 

yang jadi pimpinan partai sekaligus merupakan ketua 

Perguruan Batu Kiambang. Nampak sedang berkumpul 

dengan para murid-muridnya.

Sejenak laki-laki katai itu memandang pada se-

mua murid-muridnya, lalu perhatiannya pun terhenti 

setelah kedua matanya yang angker itu bersitatap den-

gan mata Lukas Asmoro.

Laki-laki berjenggot kambing itu nampak me-

nundukkan kepalanya begitu, Jumparing Retno me-

mandang tajam padanya.

"Baru kali ini seumur hidupku aku mempunyai 

seorang murid nomor satu, namun memiliki jiwa yang 

sangat pengecut sekali. Kawan-kawanmu terbunuh 

semuanya, padahal menurut laporanmu kalian berga-

bung dengan ketiga partai yang lainnya. Lalu partai 

semacam apakah yang merupakan sebuah perseku-

tuan bagi kalian? Kalau dalam menghadapi murid si 

Bangkotan Koreng Seribu saja, kalian sudah keok?"

"Orang itu sangat sakti sekali, Ketua! Dia memili-

ki pukulan yang sangat dahsyat. Padahal sebelum ke-

hadirannya, kami sudah hampir dapat menghancur-

kan orang-orang Candak Ginaka...!" jawab Lukas As-

moro masih dengan wajah tertunduk.

"Dan nyatanya kau lari terkencing-kencing, sete-

lah mengetahui kehebatan tikus itu. Puih...! Padahal 

aku memberi perintah padamu, dengan cara bagaima-

na pun kalian harus mendapatkan kitab jurus-jurus 

Koreng Seribu yang sangat luar biasa itu. Semuanya 

jadi berantakan, murid-murid pada kojor semuanya.


Lalu apa yang dapat aku harapkan dari kalian sebagai 

seorang murid...?" tanya si Katai Jumparing Retno 

dengan nada meninggi. Maka semakin bertambah 

menciut sajalah hati Lukas Asmoro dibuatnya. Lalu 

dengan terbata-bata dia menyahut:

"Gu... guru dan ketua... maafkan muridmu yang 

bodoh ini, murid berjanji untuk menebus kesalahan 

ini, walau nyawa sebagai taruhannya...!"

Jumparing Retno yang hanya bercawat itupun 

hanya tersenyum sinis begitu mendengar apa yang di-

katakan oleh Lukas Asmoro.

"Omonganmu seperti beo saja, Lukas Asmoro! 

Tapi kau memiliki jiwa seorang pengecut. Kau kira aku 

akan membiarkanmu pergi dengan kawan-kawanmu 

yang lain? Sama sekali tidak! Kalau pun kau pergi ke 

Tanjung Api, maka aku juga akan ke sana, dan aku 

pun ingin lihat bagaimana sih hebatnya murid si 

Bangkotan Koreng Seribu yang membuat heboh dunia 

persilatan itu...?" tukas Jumparing Retno mencemooh.

Sebaliknya Lukas Asmoro demi mendengar kepu-

tusan gurunya nampak menarik nafas pendek.

"Jadi kapan kita berangkat, Guru...?" tanyanya 

bersemangat.

"Sekarang juga kita harus berangkat ke sana!" 

jawabnya berapi-api.

Lukas Asmoro nampak meragu, dengan sangat 

hati-hati dia berucap:

"Mengapa harus sekarang, Ketua...? Bukankah 

lebih baik esok, atau bahkan lusa saja..."

Jumparing Retno nampak terkesiap, bahkan tu-

buhnya sangat pendek itu sampai terlonjak dari atas 

singgasananya yang berlapiskan kain sutera. Dengan 

sangat gusar sekali, laki-laki kerdil itu menghentakkan 

kakinya ke lantai. Lantai itupun amblas hingga mem-

buat kaki laki-laki kerdil itu terbenam sebatas lutut.


Lalu cepat-cepat dia menyentakkan kakinya yang ter-

benam itu.

"Lukas Asmoro, andai saja kau bukan murid 

yang paling kuperhatikan selama ini. Sudah pasti aku 

telah membunuhmu sejak tadi-tadi...!" bentaknya den-

gan tubuh menggigil karena dilanda kemarahan yang 

tertahan-tahan. Pucat wajah Lukas Asmoro, seketika 

itu juga. Tiada kata yang terucap. Wajahnya semakin 

menunduk dalam-dalam.

"Aku tak mau tahu, yang penting sekarang juga 

kita harus berangkat. Siapkan kuda-kuda yang ter-

baik. Aku tak ingin Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu 

sampai terjatuh ke tangan orang lain...!" teriak Jum-

paring Retno.

Sementara itu Lukas Asmoro tanpa berani berka-

ta apapun, segera mengerjakan apa yang diperintah-

kan oleh ketuanya.

Tidak sampai setengah jam kemudian rombongan 

berkuda itupun telah berlalu meninggalkan perguruan, 

menuju Pantai Tanjung Api.

***


TUJUH



Guru Beruang Merah sesungguhnya merupakan 

seorang perempuan tua renta yang berusia sekitar 

sembilan puluh tahun. Pada jaman jaya-jayanya dulu, 

selama hampir tiga puluh tahun malang melintang di 

dunia persilatan. Perempuan renta yang bernama Nyai 

Tambak Sari ini merupakan seorang tokoh sesat yang 

sangat telengas dan suka berlaku sewenang-wenang 

terhadap berbagai golongan kaum persilatan. Dengan 

jurus dan pukulan-pukulan Beruang Merah yang


membuat geger dunia persilatan, dia menyebarkan 

onar di mana-mana. Ratusan jiwa telah melayang di-

renggutkan tangannya yang keji.

Dari sekian banyak tokoh-tokoh tingkat tinggi, 

hanya seorang saja tokoh persilatan yang selama itu 

mampu mengalahkan dirinya. Bahkan kedua matanya 

pun buta akibat ulah laki-laki itu. Sampai menjelang 

pengasingannya di Pulau Beruang Merah dia masih 

menaruh dendam pada laki-laki itu

Beberapa waktu yang lalu, manakala dia men-

dengar musuh bebuyutannya itu meninggal dunia, 

maka dengan segera dia mengutus murid, sekaligus 

merupakan Ketua Beruang Merah.

Namun nampaknya dia terpaksa harus menelan 

kina pahit, setelah seminggu kemudian para utusan-

nya itu kembali dengan membawa kekalahan. Dia san-

gat terpukul sekali dengan kejadian yang dialami oleh 

murid-muridnya.

Sebagai seorang guru yang telah menurunkan 

segala apa yang dipunyainya kepada murid-muridnya. 

Sedikit banyaknya timbul juga tanda tanya di hatinya. 

Basra Panewu dan Sudak Pari adalah dua orang mu-

rid, yang selama ini sepak terjangnya menjadi hantu 

dalam dunia persilatan. Ilmu kepandaian dan juga pu-

kulan Beruang Merah yang mereka miliki juga sudah 

mencapai taraf yang sangat sempurna.

Dan menurut laporan murid-muridnya, yang 

mengalahkan mereka di Tanjung Api hanyalah seorang 

pemuda yang berpakaian gembel bahkan terbilang ma-

sih sangat muda. Yang membuat heran Nyai Tambak 

Sari adalah karena pemuda berkuncir itu mengaku-

aku sebagai muridnya si Bangkotan Koreng Seribu. 

Padahal seperti dia ketahui, selama ini si Bangkotan 

Koreng Seribu tak memiliki atau bahkan tak pernah 

mengangkat seorang murid pun.


Rasa penasaran dan keingintahuan pada akhir-

nya telah membulatkan tekadnya untuk sampai di 

Tanjung Api, sekaligus untuk mendapatkan Kitab Ju-

rus-jurus Koreng Seribu.

Hari itu juga dengan membawa rombongan yang 

sangat besar, berangkatlah Nyai Tambak Sari, Basra 

Panewu dan Sudak Pari menuju Pantai Tanjung Api. 

Sementara itu pada saat yang sama di sebuah tempat 

yang bernama Sendang Hamparan Perak. Kegiatan 

yang sama pun nampak sedang berlangsung di tempat 

itu. Jauh berbeda dengan par-tai-partai lainnya. Tiklu 

Sara dan beberapa orang murid yang tersisa, kelihatan 

sedang menghadap ke arah sendang yang memiliki air 

sangat jernih sekali.

Tak lama setelahnya, Tiklu Sara segera melapor-

kan segala sesuatunya yang telah menimpa mereka. 

Suaranya begitu lantang, sehingga menggema di mana-

mana. Bahkan getaran suara itu sampai pula menem-

bus ke dasar sendang.

Suara Tiklu Sara nampaknya cukup di-dengar 

oleh sosok mahluk yang berada di dasar sendang itu. 

Mahluk yang berujud sangat mengerikan itu seperti 

terjaga dari tidurnya. Mula-mula bagian ekornya 

menggeliat, air di dalam sendang itu bergolak-golak. 

Selanjutnya manakala sosok panjang yang berujud 

seekor ular naga itu meluncur ke atas permukaan air. 

Maka saat itu pula ujudnya yang sangat mengerikan 

itu secara perlahan pun telah berubah menjadi sosok 

tubuh berjubah putih.

"Byuur!"

Sosok naga yang telah berubah menjadi manusia 

setengah tua dan rambut, kumis serta jenggotnya yang 

sangat panjang dan telah memutih pula, kelihatan 

berdiri tegak di atas permukaan air. Begitu melihat ke-

hadiran laki-laki itu, maka serentak Tiklu Sara dan



beberapa murid yang hadir di tempat itu, nampak se-

gera menghaturkan sembah.

"Guru Bagawan Ardi Soma! Murid kembali den-

gan membawa sebuah kekalahan... maafkanlah mu-

ridmu ini. Kami telah berusaha sedapat yang kami bi-

sa, namun ternyata, si Bangkotan Koreng Seribu me-

miliki seorang murid yang sangat tangguh sekali...!" 

berkata Tiklu Sara dengan wajah bersemu merah. 

Laki-laki setengah tua dengan tubuhnya yang 

semampai itu memandang sejenak pada muridnya. So-

rot matanya tajam, dan membuat jeri bagi siapapun 

yang memandangnya. Laki-laki itu menggumam den-

gan suara yang hampir saja tak terdengar.

"Tiklu Sara... tahukah kau tugas apa yang telah 

aku berikan padamu?" tanya Begawan Ardi Soma pe-

nuh teguran.

"Murid selalu mengingatnya...!"

Begawan Ardi Soma geleng-gelengkan kepalanya.

"Bohong! Kau tak pernah mengingatnya,

Tiklu Sara...! Beberapa waktu yang lalu aku sengaja 

mengutus mu ke sana adalah untuk melihat benarkah 

si Bangkotan Koreng Seribu telah meninggal dunia? 

Namun ternyata setelah kau sampai di sana pendi-

rianmu berubah, kau telah bersekutu dengan orang-

orang sesat. Kau bergabung dengan mereka, untuk 

kemudian kalian maju bersama-sama mengeroyok mu-

rid-murid Candak Ginaka yang tak berdosa itu. Tidak-

kah segala tindakanmu itu memalukan aku sebagai 

seorang begawan yang seharusnya menjadi pelindung 

dan pembimbing semua umat yang membutuhkan per-

tolongan...?"

"Guru...!" sergah Tiklu Sara, lalu menjatuhkan 

diri dan berlutut di atas tanah. "Murid takut pada an-

caman orang-orang Beruang Merah, pula mereka tak 

tahu dari golongan manakah murid berasal...!" bantah


Tiklu Sara setengah membujuk. Sesungging senyum 

yang tak dapat diduga maknanya oleh Tiklu Sara 

menghiasi bibir Begawan Ardi Soma. Namun sekejab 

kemudian dia sudah berkata: "Hemm. Beginikah ting-

kah laku orang yang ingin mengorbankan hidupnya 

sebagai seorang begawan? Sejak dulu pun aku selalu 

meragukan kejujuran hatimu, Tiklu Sara. Itu makanya 

walaupun sudah berpuluh-puluh tahun kau menjadi 

muridku, aku masih belum juga mengangkatmu men-

jadi seorang calon begawan. Sebab apa? Semua itu ka-

rena aku masih selalu melihat ketidak jujuran hati-

mu... tahukah kau bahwa menjadi orang tua yang baik 

itu terlalu sulit. Tapi menjadi orang tua yang benar-

benarnya orang tua jauh lebih sulit lagi. Tiklu Sara, sa-

tu kesalahan yang tak pernah terampuni adalah apabi-

la sebuah kepercayaan tak pernah dilaksanakan seba-

gaimana mestinya. Karena kesalahan itu telah kau 

perbuat, dan kulihat pula ketidak jujuran di hatimu. 

Maka sebagai kutuk ku. Tetaplah kau tinggal di dalam 

sendang ini selama sepuluh tahun. Sementara itu biar 

aku sendiri yang akan berangkat ke Tanjung Api untuk 

melihat keramaian yang akan terjadi di sana!" berkata 

Begawan Ardi Soma pada Tiklu Sara dan tiga orang 

murid-murid tersisa.

Tak dapat disangkal lagi, menggigillah tubuh Tik-

lu Sara demi mendengar keputusan gurunya.

"Guru, sampai hatikah engkau menghukum mu-

ridmu sampai sedemikian rupa? Bukankah baru sekali 

ini saja murid melakukan sebuah kesalahan...?" kata 

Tiklu Sara menghiba.

"Ha... he... he...he...! Karena kau telah melaku-

kan banyak kesalahan, maka kesalahan yang paling 

besar saja yang selalu kau ingat! Hemm. Sungguh se-

kalipun segala keputusanku tak pernah berobah, dan 

kau harus dengan rela menjalaninya. Sebab hanya ja


lan inilah satu-satunya yang terbaik buatmu...!"

"Guru, mengapa kau tak pernah memberiku

maaf?" tanya Tiklu Sara merasa kurang puas dengan 

keputusan yang telah diambil oleh gurunya.

"Maaf selalu kuberikan pada siapa pun! Namun 

kalau maaf itu kuberikan padamu, maka kau akan 

menjadi manusia yang paling banyak melakukan do-

sa...!"

"Kalau begitu murid, tak terima...!" bantah Tiklu 

Sara dengan wajah memerah karena menahan amarah 

yang sejak tadi dipendamnya. Kiranya segala apa yang 

ada di hati Tiklu Sara, rupanya bagi Begawan Ardi So-

ma sudah berada di dalam perhitungannya.

"Tiklu Sara murid murtad! Karena kedurhakaan 

mu itu, maka aku telah mengutukmu menjadi sebuah 

Patung Naga Banjaran. Diamlah kau di situ selama-

lamanya, tak akan pernah berakhir kutuk ku itu, ter-

kecuali akan datang seseorang padamu, seorang pe-

muda pengelana dengan membawa sebuah Cambuk 

Gelap Sayuto di tangannya. Jalanilah kutukan mu itu, 

semoga kau menyadari sejauh mana kau telah me-

langkah di sebuah jalan yang sangat lurus...!" kata Be-

gawan Ardi Soma.

Sesaat saja setelah ucapan itu, maka bertiuplah 

angin yang sangat kencang sekali. Nampaknya kutuk 

yang telah dijatuhkan oleh Begawan Ardi Soma pada 

muridnya mulai berlaku.

Mula-mula, tubuh Tiklu Sara tersentak ke bela-

kang. Sementara sepatah kata pun tak mampu terucap 

dari bibir Tiklu Sara, lidah terasa kelu membeku. Ta-

nah di sekitar tempat itu kemudian tergetar, mata mu-

rid Begawan Ardi Soma terbelalak, bagai melihat setan 

di tengah hari bolong.

Kemudian seiring dengan berhembusnya badai 

topan, maka tubuh Tiklu Sara sedikit demi sedikit mu


lai mengalami perubahan ujud. Empat orang murid 

lainnya nampak terheran demi melihat kejadian yang 

berlangsung di depan mata mereka. Dan dalam hati 

mereka timbul satu pertanyaan, akankah keadaan se-

perti itu juga menimpa, diri mereka semuanya.

Saat itu tubuh Tiklu Sara benar-benar telah be-

rubah menjadi sosok Naga Banjaran dengan rupa yang 

sangat menyeramkan. Mulut menganga dengan lidah 

menjulur ke luar. Sorot matanya memancarkan rasa 

ketidak senangan yang tiada tertahankan. Namun Be-

gawan Ardi Soma sudah tiada memperdulikan keadaan 

itu. Satu kalimat kemudian terucap dari bibirnya.

"Itulah karmaku. Sebuah karma kebenaran! Dan 

kalian empat murid lainnya, jadilah kalian penjaga pa-

tung Tiklu Sara di tempat ini selama-lamanya, sampai 

kemudian datang seseorang pada kalian. Kalau kalian 

selama menjalani kutukan ini dapat melakukannya 

dengan ikhlas, maka dewata akan menggugah hati 

pemuda itu untuk membebaskan diri kalian dari kutuk 

ku...! Nah selamat menjalani...!" kata begawan yang 

dapat merobah-robah ujudnya itu dengan hati mantap.

Selanjutnya tanpa berkata-kata lagi, Begawan 

Ardi Soma segera bergerak tubuhnya dari atas permu-

kaan air sendang nan jernih. Tubuh tokoh sakti kea-

gamaan itu akhirnya melayang bagai tiada memiliki 

bobot. Dalam waktu sekejab saja begawan yang men-

diami Sendang Hamparan Perak itupun telah lenyap 

dari pandangan keempat muridnya yang tiada sanggup 

bergerak ke mana-mana.

***


DELAPAN


"Haiiiit... Shaaa...!" Tubuh Buang Sengketa berge-

rak sedemikian cepatnya, sehingga tinggal merupakan 

bayang-bayang belaka. Tubuhnya yang bertelanjang 

dada itupun sudah bercucuran dengan keringat. 

Sungguhpun begitu bagai tak kenal rasa lelah saja dia 

terus melatih diri dengan jurus-jurus baru peninggalan 

terakhir, si Bangkotan Koreng Seribu. Baginya jurus-

jurus tangan kosong Koreng Seribu, merupakan jurus 

silat yang paling rumit yang pernah dia pelajari. Selain 

itu juga banyak menyita tenaga dan harus berkonsen-

trasi penuh, andai tidak ingin celaka.

Jurus silat tangan kosong Koreng Seribu secara 

lahiriah tak ubahnya bagai jurus si Gila Mengamuk. 

Gerakan maupun pukulannya tiada beraturan dan ti-

dak pula berketentuan, tapi tak dapat disangkal kalau 

jurus peninggalan si Bangkotan Koreng Seribu itu 

memiliki banyak kelebihan dibandingkan jurus-jurus 

silat tangan kosong yang telah dikuasainya.

"Hiaaat.... Wuuut.... Bluaaar...!"

Sambil berkelebat cepat, Buang lepaskan satu 

pukulan ke arah deretan batu-batu karang yang men-

julang tinggi. Pukulan yang dilepaskannya menderu 

dahsyat dan bahkan sampai timbulkan suara bercui-

tan. Begitu satu rangkaian gelombang sinar yang ber-

hawa panas luar biasa itu mencapai pada sasarannya. 

Maka satu letupan yang membuat berantakan batu 

karang itupun terdengar.

Begitulah halnya yang terjadi hampir setiap ha-

rinya di tempat itu. Apa yang ada dalam hati Pendekar 

Hina Kelana adalah bagaimana caranya agar dalam 

waktu yang sangat singkat dia sudah dapat menguasai


semua jurus Koreng Seribu yang merupakan warisan 

gurunya yang terakhir.

"Buang! Istirahatlah... sejak pagi kau tenggelam 

dalam latihanmu yang sangat melelahkan itu...!" ber-

kata Bara Seta, selanjutnya laki-laki berbadan gemuk 

dari Lubuk Sikaping itu mengangsurkan beberapa ekor 

ikan laut yang baru saja di panggangnya.

Buang Sengketa menerimanya, kemudian di atas 

batu-batu karang mereka terlibat percakapan.

"Buang Sengketa...!" ucap Bara setelah agak lama 

dia memandangi wajah pemuda yang sangat tampan 

ini. Yang dipanggil hanya menelengkan kepalanya se-

bentar, tapi kemudian telah kembali lagi tatapan ma-

tanya ke laut lepas,

"Ada apa, Paman...?"

Bara Seta menarik nafas pendek, seperti ada se-

suatu yang mendesak dan ingin ditanyakan secara 

langsung.

"Aku ingin mengetahui sesuatu lebih banyak lagi 

tentang kau, tetapi...?" Bara Seta sejenak nampak me-

ragu.

"Katakan saja, Paman... mengapa harus sung-

kan-sungkan...?!" menyela pemuda dari Negeri Bunian

itu dan kali ini sudah menatap tajam pada Bara Seta.

"Buang! Menurut bapak, benarkah kau hidup se-

batang kara di dunia pana ini?"

Pendekar Hina Kelana untuk sesaat lamanya 

hanya terdiam, tapi tak lama kemudian dia sudah 

menganggukkan kepalanya pelan.

"Kau seorang keturunan raja di alam gaib sana, 

apakah juga benar...?" lanjut Bara Seta setengah me-

nyelidik.

Buang hanya tersenyum-senyum saja, walau se-

sungguhnya hati kecilnya menjerit. Raja Ular Piton di 

alam Negeri Bunian, itu memang benar adanya. Tetapi


untuk apa Bara Seta menanyakan hal itu? Batin Pen-

dekar Hina Kelana merasa risih dengan pertanyaan-

pertanyaan yang diajukan oleh Bara Seta.

"Mungkin begitu, Paman! Aku sendiri tak dapat 

memastikannya, sebab sejauh ini aku belum pernah 

bertemu dengan ayahanda ku...!" jawab si pemuda ak-

hirnya.

"Sendiko, Gusti! Kalau begitu aku harus men-

gabdikan hidupku padamu, Buang!" kata Bara Seta, 

kemudian menjura hormat dalam-dalam.

"Ha... apa-apaan ini, Paman Bara Seta!" ucap si 

pemuda nampak terperangah.

"Sudah menjadi kodrat seandainya aku bertemu 

dengan seorang pemuda dari negeri alam gaib, aku ha-

rus mengabdi padanya...!"

"Tapi aku tak mau begitu, Paman...?" sahutnya 

setengah tersentak. Sebaliknya Bara Seta dan keempat 

orang muridnya masih tetap dengan posisinya. Mem-

bungkuk hormat.

"Jangan sungkan-sungkan, Buang! Kami akan 

mengabdi padamu...!"

"Aku tetap tak mau!" kata Buang Sengketa tetap 

pada pendiriannya.

Sementara dalam keadaan seperti itu, di luar se-

pengetahuan mereka serombongan orang-orang ber-

kuda nampak telah mengepung Pantai Tanjung Api 

yang merupakan tempat tinggal mereka.

Jumlah para pengepung itu tak lebih dari lima 

belas orang. Suatu jumlah yang sesungguhnya tidak 

terlalu besar. Namun karena mereka telah siap dengan 

pasukan pemanahnya maka hal itu akan menjadi san-

gat berbahaya sekali bagi keselamatan Buang Sengke-

ta, Bara Seta dan keempat orang muridnya. Masih un-

tung dalam keadaan terkepung seperti itu, salah seo-

rang murid Bara Seta sempat melihat beberapa orang


di atas batu karang dengan senjata siap di tangan.

"Guru, lihat! Orang-orang itu akan menghujani 

kita dengan panah-panah mereka!" teriaknya, dan saat 

itu juga mereka langsung mencabut senjatanya. Hanya 

sekejab saja Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana me-

nyapu pandang pada bukit karang yang ada di seki-

tarnya, ternyata memang benar apa yang dikatakan 

oleh salah seorang muridnya. Tempat itu kini telah 

terkepung oleh murid-murid Batu Kiambang.

"Buat pertahanan Candak Ginaka Mem-

pertahankan Pedang Mustika!" perintah Bara Seta. 

Dan sungguh luar biasa sekali, belum lagi Bara Seta 

usai dengan ucapannya keempat orang muridnya su-

dah membentuk posisi melingkar, membentuk sebuah 

pertahanan yang sangat kokoh.

Demi menghadapi kenyataan yang tiada terduga-

duga sebelumnya, Buang nampak menjadi sangat gu-

sar sekali.

"Manusia-manusia pengecut! Kalian benar-benar 

ingin mencari penyakit telah begitu berani berurusan 

denganku...!" maki pemuda itu dengan suara yang lan-

tang sekali.

Sesaat suasana di sekitarnya menjadi sunyi sepi, 

tiada apapun yang terdengar, hanya deburan ombak di 

laut nan luas. Namun sesaat kemudian terdengar sua-

ra tawa yang sangat menyakitkan gendang-gendang te-

linga bagi siapa saja yang mendengarnya.

Selanjutnya terdengar pula suara ucapan yang 

lebih condong pada perintah dan makian.

"Kepada bocah yang mengaku dirinya sebagai si 

Hina Kelana. Menyerah dan serahkan Kitab Jurus-

jurus Koreng Seribu. Jika tidak, aku Jumparing Retno 

dari Perguruan Batu Kiambang, akan menghapuskan 

nama besarmu dari permukaan bumi ini!"

Buang Sengketa terpana, dari nada suaranya ra


sa-rasanya dia baru kali ini melihat orang itu. Tapi dia 

pun tak dapat menyangkal bahwa orang yang baru bi-

cara tadi sesungguhnya memiliki tenaga dalam yang 

sudah sangat sempurna sekali. Diam-diam dia mulai 

memperhitungkan seberapa banyak orang-orang yang 

berada di atas bukit-bukit karang tersebut. Akhirnya 

tanpa mengesampingkan lawan bersenjatakan panah 

yang jumlahnya sangat lumayan itu, Buang Sengketa 

pun balas membentak:

"Hemm. Enak betul bicaramu! Sungguhpun kau 

seorang iblis dari neraka sekalipun, jangan kira aku 

akan undur walau barang setapak pun!" bantahnya 

dengan suara dingin sekali. Sudah barang tentu, jawa-

ban si pemuda yang di luar perhitungannya itu, mem-

buat Jumparing Retno. Atau si tokoh kerdil ini menjadi 

gusar luar biasa.

"Kuperingatkan sekali lagi, serahkanlah Kitab Ju-

rus-jurus Koreng Seribu kepada kami. Jika tidak, 

seandainya gurumu masih hidup sekalipun tidak nan-

tinya dia ungkulan menghadapi aku!"

"Hanya manusia edan saja yang mau percaya 

dengan segala bualanmu...!" ejek Buang Sengketa.

Saat itu kemarahan Jumparing Retno sudah 

sampai pada puncak kemarahannya, maka tanpa ba-

nyak cakap lagi dia langsung memberi isyarat pada 

murid-muridnya.

"Hajar mereka, dengan hujan panah...!" teriak 

Jumparing Retno. Maka sedetik kemudian berhambu-

ranlah anak-anak panah yang jumlahnya sangat besar 

sekali. Murid-murid Candak Ginaka yang jumlahnya 

hanya empat orang itu, segera putar pedangnya. Se-

dangkan Bara Seta dan Pendekar Hina Kelana, sebe-

lum panah-panah beracun itu sampai padanya telah 

pula kirimkan pukulan jarak jauhnya.

"Wus... wusss.... Trang... trang...!"


Panah-panah itu berpentalan ke segala arah, be-

gitu pedang di tangan murid Bara Seta maupun puku-

lan-pukulan yang dilepas-kan oleh Buang dan Bara 

Seta menyongsong datangnya hujan panah yang tiada 

henti-hentinya itu.

"Arrrrrgkh...!"

Beberapa orang yang berada di atas batu karang 

itu menjerit roboh, saat mana Buang menyambitkan 

beberapa batang anak panah yang berada di dekatnya. 

Namun karena datangnya hujan panah itu tiada henti. 

Maka mau tak mau Buang Sengketa habis juga kesa-

barannya. Lalu satu pukulan Empat Anasir Kehidupan 

dia lepaskan mengarah pada pasukan pemanah itu.

Satu gelombang sinar yang berhawa sangat pa-

nas luar biasa datang menggebu. Beberapa murid Batu 

Kiambang tersentak, namun sudah tidak keburu un-

tuk menyelamatkan diri. Tanpa ampun lagi, sinar Ultra 

Violet itupun langsung menghajar tubuh mereka.

"Blaaaar!"

"Arrrgghk!"

Mereka ini tewas seketika dengan keadaan tubuh 

hangus secara mengerikan. Baik Lukas Asmoro mau-

pun Jumparing Retno, nampaknya sangat terperanjat 

demi melihat nasib yang dialami oleh murid-muridnya. 

Tapi sebelum rasa kejut di hati mereka lenyap sama 

sekali, Buang Sengketa telah lepaskan satu pukulan si 

Hina Kelana Merana. Lagi-lagi selarik gelombang yang 

menimbulkan hawa lebih panas lagi melesat menghan-

tam murid-murid Batu Kiambang. Lebih dari lima 

orang pemanah menemui ajalnya menyusul kawan-

kawannya terdahulu.

"Berhenti...!" perintah Jumparing Retno, merasa 

tak tega melihat nasib tragis yang dialami oleh murid-

muridnya. Diikuti oleh Lukas Asmoro, Jumparing Ret-

no melesat dari tempat persembunyiannya.


"Jliiik! Jliiiik!"

Jumparing Retno dan Lukas Asmoro menda-

ratkan kakinya di atas tanah berpasir putih tanpa me-

nimbulkan suara sedikitpun. Selanjutnya dia mengi-

tarkan pandangan matanya pada Buang Sengketa, Ba-

ra Seta dan juga pada keempat orang murid yang lain-

nya.

Pada saat itu, hal yang sama pun dilakukan oleh 

Buang Sengketa. Pemuda ini tampak agak tertegun be-

gitu melihat sosok katai yang hanya mengenakan ca-

wat saja. Manusia katai itu berusia berkisar lima pu-

luh enam tahun. Di tangannya menggenggam tongkat 

berkepala srigala, sedangkan pada bagian kepalanya 

yang hanya ditumbuhi rambut beberapa helai itu ditu-

tup dengan sebuah topi dari kulit menjangan.

"Heh, kiranya engkaulah kunyuknya yang telah 

begitu berani kelayapan sampai ke Tanjung Api ini...?" 

gerutu Pendekar Hina Kelana dengan sesungging se-

nyum mengejek.

Laki-laki katai itu mendengus, masih dengan 

memandang remeh tak kalah sengitnya dia pun ikut 

membentak.

"Kaukah yang punya julukan si Hina Kelana itu? 

Beh, kau lebih pantas menjadi rajanya para gembel. 

Sayangnya kau segera mampus... dan kematianmu 

hanya bisa ditunda pabila kau mau menyerahkan Ki-

tab Jurus-jurus Koreng Seribu!" bentak Jumparing 

Retno sambil tudingkan telunjuknya yang hanya dua 

inci itu. 

Buang Sengketa tersenyum sinis, wajahnya 

membayangkan sesungging seringai maut. Sementara 

itu Bara Seta yang sudah tiada sabaran lagi, segera 

pula membentak.

"Buang, mengapa harus bertele-tele, lebih baik 

kita gebuk cacing kerdil kurang makan ini, biar dia ti


dak ngebacot di depan kita...!" tukas Bara Seta merasa 

sudah tak sabaran lagi.

Jumparing Retno menjadi semakin panas saja 

hatinya, maka dengan kedua bola mata melotot bagai 

mau melompat ke luar dia pun berseru:

"Ikan Buntal tak tahu adat, makanlah nih puku-

lanku. Sheaaat...!" Berkata begitu, Jumparing Retno 

pukulkan tangan kanannya mengarah pada Bara Seta. 

Sudah barang tentu Bara Seta yang sudah bersiap sia-

ga sejak tadi juga tidak tinggal diam. Serta merta dia 

pun pukulkan tangan kirinya memapaki serangan 

yang dilancarkan oleh si kerdil.

Maka tak terelakkan lagi, pukulan Candak Gina-

ka Menjungkir Batu Membabat Bukit, itupun menderu 

memapaki datangnya pukulan Srigala Hutan Mener-

kam Mangsa itupun saling bertemu.

"Bluuummm!"

Tanah di sekitar pantai itu nampak tergetar, pa-

sir-pasir yang berwarna putih itupun beterbangan. Ba-

ra Seta terpelanting sampai tiga tombak jauhnya, se-

mentara itu darah mengalir dari celah-celah bibirnya 

yang berkumis sangat lebat. Tapi sungguh hebat daya 

tahan Bara Seta, sebab tak lama kemudian dia telah 

bangkit kembali dengan keadaan siap melakukan se-

rangan balasan.

Saat itu Jumparing Retno yang masih tetap ber-

diri tegak di tempatnya tanpa kekurangan sesuatu 

apapun, keluarkan tawa mengekeh.

"Ah... ahh... ha...! Cuma segitu saja rupanya ke-

kuatan dedengkot Candak Ginaka!" 

Sejenak dia berpaling pada Pendekar Hina Kela-

na, lalu lanjutnya. "Bocah gembel! Maju saja sekalian, 

biar aku tak usah bersusah payah mengirim kalian ke 

neraka!" tantangnya dengan nada sangat meremehkan 

sekali.


"Baik... itulah keinginanmu, Paman Bara Seta! 

Hadapilah tikus-tikus itu! Biar akan kujajal sampai di 

mana kehebatan kerdil jelek ini...!" berkata begitu, 

Buang Sengketa segera melangkah setindak dua. Saat 

itu Bara Seta sudah pula berhadapan dengan Lukas 

Asmoro dan beberapa orang murid yang tersisa.

"Sekarang kita ketemu lagi, Lukas Asmoro. Apa-

kah dengan mengandalkan cacing kerdil itu kau ber-

harap dapat berbuat banyak?" tanya Bara Seta dengan 

disertai sesungging senyum mengejek.

"Kutu kampret! Kali ini aku akan mengadu jiwa 

denganmu...!" maki Lukas Asmoro. Sesaat kemudian 

dengan dibantu oleh murid-muridnya, Lukas Asmoro 

sudah menggempur Bara Seta dan keempat orang mu-

rid yang tersisa.

Sementara itu Buang Sengketa dan si kerdil ber-

kancut, sudah bergebrak mendahului, dengan seran-

gan-serangan yang sangat dahsyat. Buang Sengketa 

juga tak ingin bertindak sungkan-sungkan. Dengan 

mempergunakan jurus-jurus silat tangan kosong. 

Buang Sengketa mengerahkan segenap kemampuan-

nya. Maka dalam waktu sekejab saja pertarungan itu-

pun berlangsung sangat seru sekali. Buang segera pula 

mempergunakan jurus Membendung Gelombang Me-

nimba Samudra saat mana Jumparing Retno menye-

rangnya dengan jurus Srigala Menyergap Harimau 

Tua.

Pukulan-pukulan dahsyat untuk selanjutnya me-

reka lancarkan. Sementara tubuh mereka berkelebat 

sangat cepat sekali. Masing-masing lawan nampaknya 

berusaha secepatnya ingin menjatuhkan pihak lawan.

"Ciaaaaat.... Haiiiiit...!" Dalam kesempatan itu 

guru kerdil dari Batu Kiambang itu telah lancarkan 

pukulan dahsyat yang diberi nama Srigala Bergabung 

Menghalau Burung Hantu. Tak pelak lagi selarik sinar

yang berwarna biru keperak-perakan melesat sedemi-

kian cepatnya mengarah ke bagian dada Pendekar Hi-

na Kelana. Menyadari bahaya yang sedang mengancam 

jiwanya, Buang juga melepaskan satu pukulan yang 

tak kalah dahsyatnya.

Pukulan Empat Anasir Kehidupan, maka saat itu 

juga segelombang sinar yang berwarna Ultra Violet 

dengan menebarkan hawa panas luar biasa datang 

menggebu memapaki datangnya sinar yang berhawa 

sangat dingin luar biasa.

"Blaaaaam!"

Untuk pertama kalinya dalam sejarah hidupnya, 

tubuh si kerdil Jumparing Retno terpelanting sepuluh 

tombak. Andai saja dia tidak memiliki tenaga dalam 

yang sudah mencapai taraf yang sudah sangat sem-

purna, sudah barang tentu tubuhnya akan menjadi 

remuk manakala membentur batu karang yang berada 

di belakangnya.

***

SEMBILAN



Sementara tubuh Pendekar Hina Kelana sendiri 

nampak tergetar dengan kaki amblas ke tanah sampai 

sebatas lututnya. Dengan cepat dia cabut kedua ka-

kinya yang terbenam di dalam pasir pantai itu. Kemu-

dian dia hanya leletkan lidahnya saat mana dia mera-

sakan dadanya sesak luar biasa. Maka secepatnya dia 

himpun hawa murni, dan tak lama kemudian tubuh-

nya telah kembali seperti sediakala. Karena saat itu 

Jumparing Retno telah kembali menyerangnya dengan 

pukulan-pukulan andalan. Maka Buang tak ingin lagi 

membuang-buang waktu dengan percuma, sekejab


kemudian tubuhnya telah berkelebat lenyap hingga 

tinggal merupakan bayang-bayang mereka.

"Shaaaa...!"

Lagi-lagi Jumparing Retno kirimkan satu puku-

lan yang sangat ganas, yaitu pukulan Selaksa Halilin-

tar Menggempur Bukit. Begitu tangannya berkiblat, 

maka detik kemudian menderulah serangkum gelom-

bang berwarna kuning menggebrak ke arah tubuh 

Buang Sengketa. Saat itu juga Buang yang sudah san-

gat kesal melihat tingkah si katai bertopi kulit manjan-

gan ini segera melepas pukulan si Hina Kelana Mera-

na.

Detik itu serangkum sinar berwarna merah me-

nyala datang membadai memapaki datangnya pukulan 

yang dilepaskan oleh Jumparing Retno. Dua tenaga 

sakti itupun tanpa dapat dihindari lagi akhirnya saling 

bertubrukan di udara.

"Dhweeeeer!"

Kembali tubuh Jumparing Retno tunggang lang-

gang dengan posisi tak karuan, dan keadaan Buang 

sendiri saat itu tidak lebih baik dengan apa yang di-

alami oleh si katai yang merupakan guru dari Partai 

Batu Kiambang.

"Sialan! Bangsat cebol itu kiranya memiliki puku-

lan beracun yang hebat. Hmm untung aku kebal ter-

hadap segala pukulan beracun, andai tidak sudah se-

jak tadi aku kojor dibuatnya!" batin pemuda itu. Selan-

jutnya dengan tubuh sempoyongan pemuda yang me-

rupakan keturunan raja dari segala macam mahluk 

halus (Siluman) segera bersiap-siap dengan posisinya. 

Tapi kali ini kemarahan yang tiada tertahankan lebih 

menguasai dirinya. 

Sementara itu Bara Seta yang sedang bertarung 

melawan Lukas Asmoro dan murid-muridnya nampak 

sedang dalam keadaan terdesak hebat. Walaupun saat


itu memang sudah banyak murid-murid dari Batu 

Kiambang yang berguguran termakan pukulan Candak 

Ginaka Membahana, akan tetapi di lain pihak murid 

Bara Seta yang tinggal empat orang saja, saat itu tiga 

di antaranya telah gugur pula dengan keadaan yang 

sangat menggenaskan.

Masing-masing lawan kelihatannya telah mele-

paskan pukulan-pukulan mautnya, sedangkan murid-

murid Batu Kiambang yang tersisa hanya tinggal bebe-

rapa gelintir itupun menyerang Bara Seta dengan sen-

jatanya yang beraneka ragam.

"Caiiiit...! Mampusss!" teriak Lukas Asmoro. Pe-

dang pendek yang sangat tipis dengan warnanya yang 

hitam legam itupun berkelebat.

Hanya sesaat sebelum senjata tajam dan men-

gandung racun yang sangat keji itu mencapai sasaran-

nya. Bara Seta telah membuang dirinya ke samping 

kanan, selanjutnya dia berguling-guling. Akan tetapi 

senjata di tangan Lukas Asmoro terus memburunya 

tanpa kenal ampun.

Bara Seta yang bertubuh gemuk itu tak ubahnya 

bagai sebuah karung saja, terus menggelinding kian ke 

mari. Namun bersikap seperti itu tak mungkin sela-

manya dapat dia pertahankan. Hingga kemudian kesa-

barannya pun benar-benar telah melampaui takaran-

nya. Dia sudah naik pitam, tanpa ampun lagi begitu 

dia menggenjot tubuhnya dengan mempergunakan il-

mu mengentengi tubuh yang sudah mencapai taraf 

sempurna. Maka badan yang beratnya lebih dari satu 

kwintal itupun sudah melesat ke udara. Dalam kea-

daan seperti itu, dia pun mencabut senjatanya yang 

berupa sebilah keris bereluk sepuluh.

Begitu keris pusaka Perguruan Candak Ginaka 

itu berada di tangannya, maka terlihat cahaya berkilat-

kilat karena ketajamannya yang dipantulkan oleh sinar


matahari. 

Selanjutnya dengan teriakan menggembor bagai 

seekor kerbau jantan terluka. Senjata di tangan Bara 

Seta menderu mencari titik lemah pertahanan pihak 

lawan yang bersenjatakan sebilah pedang pendek.

Sesaat kemudian terdengar pula lolongan maut, 

saat mana salah seorang murid Batu Kiambang beru-

saha menyerobot pertahanan Bara Seta secara curang. 

Murid bertubuh tinggi semampai itu menekan bagian 

lambungnya yang terobek keris Bara Seta tak kurang 

dari sejengkal lebarnya.

Tubuh si tinggi semampai terhuyung-huyung, 

sementara tangannya yang mendekap bagian lambung 

sudah basah oleh darah. Mata melotot bagai melihat 

setan yang bangkit dari neraka. Selanjutnya tubuh 

itupun limbung, lalu ambruk manakala darah terakhir 

membanjiri pasir yang putih.

Bukan main marahnya Lukas Asmoro demi meli-

hat kawan dekatnya tewas di tangan Bara Seta secara 

menggenaskan.

"Keparat! Ka... kau... telah membunuh orang 

yang paling berharga dalam hidupku. Kau benar-benar 

sangat keji...!" maki Lukas Asmoro sangat marahnya.

Bara Seta tergelak-gelak demi melihat kegusaran 

lawannya. Maka masih dengan sesungging senyum si-

nis dia berkata tajam.

"He... he... he...! Membantai orang-orang kesasar 

merupakan pekerjaanku. Mengapa harus disesali. 

Tokh kematian itu juga akan datang pada setiap mah-

luk bernyawa secara cepat atau lambat...!"

"Kutu kupret...! Mampus...!"

"Ngguuuung!"

Lukas Asmoro yang sudah sangat kesal itu tanpa 

banyak cingcong lagi, kembali babatkan pedangnya. 

Bara Seta pun tidak ingin bertindak setengah-setengah


lagi, segera saja mencecar dan melakukan serangan-

serangan balasan dengan gerakan yang sangat cepat 

dan sulit diduga-duga.

Sementara itu pertarungan antara Pendekar Hina 

Kelana dan Jumparing Retno telah mencapai puncak-

nya. Baik Buang maupun si katai bertopi kulit men-

jangan, sejak tadi jatuh bangun dalam adu tenaga sak-

ti yang saling mereka lepaskan. Hingga beberapa saat 

kemudian, nampaknya si kerdil ini sudah tidak sabar 

lagi menghadapi perlawanan yang cukup sengit dari 

pihak lawannya.

Kini tanpa sungkan-sungkan lagi, Jumparing 

Retno sudah mencabut sebuah tongkat sakti yang ber-

kepala srigala. Tongkat itu berwarna hitam mengkilat 

tertimpa cahaya matahari. Demi melihat apa yang di-

lakukan oleh lawannya yang masih tetap saja nekad, 

maka Buang semakin bertambah jengkel saja dibuat-

nya. Kini sudah jelaslah baginya, bahwa Jumparing 

Retno benar-benar menghendaki nyawanya.

"Mampuslah, kau! Budak hina...!" berkata begitu 

manusia katai dari Partai Batu Kiambang itu sudah 

menyerang si pemuda dengan serangan-serangan 

tongkatnya yang sangat berbahaya itu. Pemuda ketu-

runan Raja Ular Piton Utara dari Negeri Bunian itu, 

sudah tak dapat berpikir panjang lagi.

"Emaaaak...!" jeritnya, manakala tongkat di tan-

gan Jumparing Retno, nyaris memukul remuk batok 

kepalanya. Masih belum dia berhasil menghindari ter-

jangan tongkat itu dengan baik. Satu sodokan susulan 

datang beruntun. Semakin lama semakin menggila. 

Karena memang sesungguhnya saat itu Jumparing 

Retno sedang mempergunakan jurus Tongkat Srigala 

Menggila.

Buang meskipun sudah mempergunakan jurus 

silat tangan kosong si Gila Mengamuk, namun kesela


matannya masih juga terancam. Dalam keadaan kepe-

pet seperti itu, tiba-tiba dia teringat akan sebuah jurus 

awal yang belum sepenuhnya dipelajari dan dikua-

sainya, dari jurus-jurus Koreng Seribu, ciptaan terak-

hir gurunya.

"Hiaaaa...!" Buang keluarkan jeritan melengking 

bagai gaung suara ratusan para siluman yang terluka. 

Seiring dengan suara jeritannya yang membahana itu, 

maka bagai ditelan bumi. Pemuda itu lenyap dari pan-

dangan mata Jumparing Retno.

"Bangsat! Ilmu siluman...!" maki manusia katai 

itu sambil celingukkan bagai seekor monyet yang ke-

tinggalan rombongannya. Tahu-tahu:

"Buuuuk!"

Kaki Buang Sengketa mendarat di bagian pung-

gung Jumparing Retno. Namun dalam keadaan sem-

poyongan itu dia masih sempat hantamkan tongkat-

nya.

"Breeeet...!"

"Arrgggh...!" jerit Buang Sengketa. Bagian bawah 

ketiaknya terasa perih sekali. Dalam keadaan sakit, 

namun cepat bangkit kembali. Buang Sengketa sempat 

berfikir. Mengapa jurus-jurus Koreng Seribu hasil cip-

taan gurunya yang terakhir tidak ada apa-apanya? 

Bahkan tidak memiliki kekuatan yang dapat diandal-

kan? Bagai orang bego yang tiada memiliki kepandaian 

apa-apa, selanjutnya dirinya dipermainkan oleh Jum-

paring Retno yang semakin bertambah besar kepala. 

Jangan-jangan kelanjutan jurus Koreng Seribu hanya-

lah sebuah kitab mainan bocah cilik! Kalau begitu 

sungguh keterlaluan kakek pemuram itu. Batin Buang 

Sengketa dalam hati.

Akhirnya sampailah dia pada kesimpulan demi 

untuk menyelamatkan selembar jiwanya yang tiada di-

jual di warung mana pun, dia segera merubah jurus


jurus silatnya yang paling sangat diandalkan selama 

ini.

Si Jadah Terbuang! Tak salah lagi, jurus yang 

sangat dahsyat itulah yang kini dipergunakan oleh 

Buang Sengketa dalam menghadapi serangan tongkat 

sakti yang berada dalam genggaman tangan lawannya.

Menghadapi perubahan yang sangat mendadak 

itu, sudah barang tentu manusia kerdil dari Perguruan 

Batu Kiambang ini menjadi terkejut bukan alang kepa-

lang. Sama sekali dia tiada menyangka kalau si pemu-

da memiliki jurus silat tangan kosong yang sangat he-

bat luar bias!

***

SEPULUH



Di lain pihak, Pendekar Hina Kelana demi mera-

sakan rasa sakit yang teramat sangat akibat pukulan 

maupun sabetan tongkat sakti milik Jumparing Retno. 

Nampak sudah tak dapat lagi menahan kesabarannya, 

dalam posisi berdiri sejauh empat meter jaraknya dari 

pihak lawan. Pemuda itu memandang tajam pada 

Jumparing Retno. Kedua bibirnya terkatup rapat, den-

gan rahang bergemeletukkan. Dingin pandangan ma-

tanya, hawa pembunuhan terpancar dari wajahnya 

yang menegang. Selanjutnya adalah bunyi mendesis 

bagai seekor Ulat Piton yang sedang dilanda kemara-

han.

"Manusia katai berfikiran picik! Semua kesaba-

ranku sebagai seorang anak manusia telah kuberikan! 

Sepanjang itu kau tak pernah menyadarinya. Kau kira 

dengan kemampuan yang kau miliki itu, kau sanggup 

meruntuhkan kodrat yang telah digariskan. Bukan ke


sombonganku kalau hari ini aku harus menggusur 

nama besar Perguruan Batu Kiambang. Maafkan aku, 

karena aku juga masih merupakan keturunan raja di 

negeri alam gaib, terkadang kodratku sebagai titisan 

raja siluman menjadi peredam dalam kodrat amarahku 

sebagai seorang anak manusia!" ucap Pendekar Hina 

Kelana.

"Kentut busuk! Katakan saja kalau kau merasa 

jera berhadapan denganku!" maki Jumparing Retno.

Tiada kata yang terucap dari mulut pemuda itu, 

hanya satu lengkingan ilmu Pemenggal Roh saja yang 

menyertai berkelebatnya tubuh pemuda dari Negeri 

Bunian itu. Begitupun membuat tubuh murid-murid 

Batu Kiambang yang hanya bersisa tiga orang itu 

menggelepur roboh dengan telinga mengalirkan darah. 

Baik Bara Seta, Lukas Asmoro, maupun Jumparing 

Retno nampak terkesima. Demi mendengar lengkingan 

ilmu Pemenggal Roh yang dapat merontokkan tebing 

batu karang yang ada di sekitarnya. Namun rasa ke-

terkejutan itu nampaknya tidak berlangsung lama, ka-

rena detik kemudian dia harus berjuang mati-matian 

demi mempertahankan keselamatannya sendiri.

"Wuuus!"

Tongkat di tangan Jumparing Retno datang men-

gibas manakala Buang kirimkan satu pukulan ke arah 

bagian dada manusia katai itu. Tangkisan yang tiada 

terduga-duga itu membuat pendekar kita ini tak sem-

pat menarik balik pukulannya. 

"Bleetak!"

"Auggh...!" Pendekar Hina Kelana terpekik, saat 

mana tangannya yang telah teraliri tenaga dalam itu 

membentur tongkat di tangan Jumparing Retno. Tan-

gan Buang yang membentur tongkat sakti tersebut te-

rasa sakit luar biasa. Maka sambil menyeringai mena-

han sakit. Tak tertahankan lagi Buang segera cabut


pusaka Golok Buntung yang sangat menggemparkan 

itu. Begitu senjata maut itu telah tergenggam di tangan 

pendekar ini. Tak ayal lagi, seberkas sinar warna me-

rah menyala terpancar dari senjata yang sangat tinggi 

pamornya. Jumparing Retno jadi keder nyalinya, bah-

kan wajahnya semakin bertambah pucat saja, saat 

mana dia merasakan udara di sekitarnya mendadak 

menjadi sangat dingin luar biasa. Namun Pendekar Hi-

na Kelana yang sudah mencapai puncak kemarahan-

nya itu, nampaknya sudah tiada memperdulikan kea-

daan Jumparing Retno.

"Heiiik!"

Teriak si pemuda, sementara dari bibirnya terus 

memperdengarkan bunyi mendesis bagai seekor Ular 

Piton yang sedang marah.

"Hiaaat... cia... ciaaa...!" Jumparing Retno bertin-

dak mendahului, dan dengan tongkatnya dia berusaha 

mendesak Buang dari segala penjuru. 

Pendekar Hina Kelana habis sudah kesabaran-

nya, pada satu kesempatan tubuhnya kembali berge-

rak cepat, hingga tinggal merupakan bayang-bayang 

merah saja. Saat itu, golok di tangannya menderu 

hingga timbulkan suara bergemuruh dan menerbang-

kan pasir dan mengibarkan rambut lawannya yang 

hanya beberapa helai saja. 

"Wuuus!"

Manusia katai kiblatkan tongkatnya dengan 

maksud menangkis senjata pihak lawan.

"Braaaak!"

Tongkat sakti di tangan manusia katai itu hancur 

berkeping-keping, manakala golok di tangan Buang 

menyambarnya. Pucat wajahnya membayangkan keta-

kutan yang teramat sangat. Namun lagi-lagi pendekar 

ini sudah tidak memberi kesempatan lagi pada lawan-

nya.


Senjata di tangan Buang Sengketa kembali berke-

lebat sangat cepat, Jumparing Retno hanya terkesima 

begitu melihat berkelebatnya sinar merah, mengarah 

pada bagian tubuhnya.

Maka tak terelakkan lagi:

"Craaat! Craaas!"

Jumparing Retno menjerit setinggi langit. Tubuh-

nya limbung, sesaat kemudian kedua tangannya nam-

pak menekan bagian luka yang sangat mengerikan itu. 

Namun semua usahanya itu tidak juga mampu. meng-

hentikan darah yang menyembur ke luar. Detik kemu-

dian tubuh Jumparing Retno ambruk ke bumi, berke-

lojotan sebentar, untuk kemudian terdiam dengan jiwa 

melayang.

Pendekar Hina Kelana menarik nafas pendek, se-

kejab dipandanginya mayat manusia katai dari Partai 

Batu Kiambang, kemudian beralih pula pada mayat-

mayat yang lainnya. Wajahnya tertunduk, saat itu Pu-

saka Golok Buntung masih tergenggam erat di tangan-

nya. Nampaknya pemuda dari Negeri Bunian itu larut 

dalam lamunannya. Tetapi manakala dia mendengar 

denting suara beradunya senjata tajam tak jauh dari 

tempat dia berada, maka teringatlah olehnya Bara Se-

ta, yang sedang bertarung melawan Lukas Asmoro. Se-

kilas dia menoleh, maka tampak saat itu Bara Seta se-

tengah kewalahan dalam menghadapi Lukas Asmoro.

"Kampret sialan muridnya kerdil dungu itu me-

mang perlu secepatnya diberangkatkan ke liang ku-

bur...!" batinnya dalam hati.

Dengan sekali lompat dan bahkan dengan gera-

kan yang sangat ringan dia telah berada di tengah-

tengah pertarungan.

"Paman Bara Seta! Menyingkirlah...!"

Bara Seta tanpa menunggu diperintah dua kali 

segera menuruti apa yang diperintahkan oleh Pendekar



Hina Kelana. Maka begitu berhadapan dengan Buang, 

menggigillah tubuh murid Jumparing Retno yang cuma 

tinggal satu-satunya ini.

Lalu ditudingnya Lukas Asmoro dengan jari te-

lunjuknya. Kemudian dengan berapi-api dia pun mem-

bentak.

"Kau... ha... ha... ha...!" Buang Sengketa tertawa 

mengekeh. "Jangan kira aku akan membiarkanmu hi-

dup...!" Berkata begitu pendekar ini langsung mener-

jang Lukas Asmoro dengan senjata andalannya. Kalau 

Jumparing Retno saja sebagai gurunya menjadi kela-

bakan saat mana menghadapi kehebatan Pusaka Go-

lok Buntung. Tak terbayangkan lagi, kalau saat itu ju-

ga Lukas Asmoro menjadi ciut nyalinya.

"Nguuung...!"

Golok di tangan Buang menderu dahsyat, dan de-

tik selanjutnya tanpa mengalami banyak kesulitan 

Buang Sengketa kembali babatkan golok di tangannya. 

Lukas Asmoro hanya sesaat saja terperangah, lalu:

"Craas...! Craaas...!"

"Arggghk...!"

Lukas Asmoro menjerit, darah muncrat dari 

punggungnya yang terbabat golok di tangan lawannya. 

Setelah memutar tubuh Lukas Asmoro menggeletar, 

kemudian terjengkang tanpa mampu berkutik lagi.

"Hemm. Banyak orang di kolong langit ini mene-

mui kematian karena ulahnya sendiri...!" Bergumam 

pendekar ini seperti pada dirinya sendiri.

Saat itu Bara Seta telah pula berdiri di samping 

si pemuda dengan hanya ditemani seorang muridnya 

yang cuma tinggal satu-satunya.

"Satu ilmu langka yang telah kulihat untuk per-

tama kalinya, di dalam hidupku. Hemm... Pusaka Go-

lok Buntung itu... baru kali ini aku menyaksikan den-

gan mata kepala sendiri tentang apa yang selama ini


diceritakan oleh Bapak Bangkotan Koreng Seribu. Kau 

benar-benar seorang pendekar sejati, Kelana...!" puji 

Bara Seta tanpa bermaksud melebih-lebihkan. Semen-

tara Buang Sengketa hanya geleng-gelengkan kepa-

lanya pelan.

"Sudahlah, Paman. Aku bukanlah apa-apa bila 

dibandingkan dengan kebesaran Sang Hyang Pencipta. 

Pula nampaknya kita akan menghadapi lawan-lawan 

yang sangat berbahaya sekali. Sedangkan di lain pi-

hak, aku merasakan seperti ada sesuatu rahasia di ba-

lik Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu yang diciptakan 

oleh Kakek Bangkotan Koreng Seribu...!" ujar Buang 

Sengketa berhati-hati.

"Apa maksudmu, Buang...?" tanya Bara Seta pe-

nuh ketidak mengertian.

Pendekar Hina Kelana membuang pandangan 

matanya jauh-jauh. Selanjutnya Bara Seta mendengar 

helaan nafasnya yang terasa berat.

"Paman! Mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng 

Seribu, nampaknya memerlukan waktu beberapa pur-

nama. Aku menyadari betapa tololnya aku ini, selama 

beberapa hari aku mempelajari kitab itu, ternyata aku 

melakukan satu kesalahan yang bisa berakibat sangat 

patal sekali...!"

Bara Seta nampaknya semakin tidak me-ngerti 

saja dengan apa yang dikatakan oleh pendekar yang 

sangat dikaguminya itu.

"Buang! Katakanlah sesuatu padaku agar aku 

dapat menjadi mengerti...!"

"Paman Bara Seta! Agaknya paman pun harus 

tahu bahwa selama ini Kakek Bangkotan Koreng Seri-

bu sengaja merahasiakan intisari dari jurus-jurus hasil 

ciptaannya yang terakhir. Hari-hari kemarin ternyata 

aku mempelajari sesuatu yang tiada gunanya. Kata-

kanlah bahwa itu sebuah tipuan atau mainan anak


anak yang tidak ada manfaatnya." kata Buang Sengke-

ta lirih. Lalu sesaat kemudian dia telah mengambil ki-

tab yang tebalnya tak lebih dari empat puluh halaman. 

Sebentar dia membolak balik kitab yang terbuat dari 

kulit ikan hiu tersebut. Satu halaman di antaranya dia 

angkat tinggi-tinggi menghadap ke arah matahari. Lalu 

tampaklah olehnya sebuah guratan-guratan yang tiada 

teratur. Dan saat mana dia meletakkan lembaran kitab 

tersebut di atas batu karang, maka guratan-guratan 

tadi sudah tidak kelihatan lagi. Yang ada hanyalah ge-

rakan-gerakan silat yang hari-hari kemarin telah dipe-

lajarinya. Namun ternyata salah besar!

Buang Sengketa tanpa sadar tepuk-tepuk jidat-

nya sambil leletkan lidah yang terasa kelu. Lalu tanpa 

ditanya dia pun berucap: 

"Sungguh, kakek merupakan orang yang berpiki-

ran cerdas. Begitu pandai dia menjaga rahasia kitab 

dan isinya, hingga andai pun sampai terjatuh ke tan-

gan orang lain. Sampai botak sekalipun mereka tetap 

tak akan mampu memahami makna yang terkandung 

di dalamnya. Oh betapa besar perhatiannya padaku si 

Hina Kelana, sampai akhir hayatnya ini pun aku tak 

mampu membalas sedikit dari sekian banyak kebaikan 

yang pernah dia berikan padaku. Kakek... guru... 

maafkanlah muridmu yang tak dapat membalas budi 

ini...!" kata Buang Sengketa dengan hati pedih.

Saat itu nampaknya Bara Seta merasa tak sam-

pai hati membiarkan Buang Sengketa berlarut-larut 

dalam kesedihan, sambil menepuk-nepuk bahu si pe-

muda, Bara Seta pun pada akhirnya berucap.

"Sudahlah, Kelana...! Dalam kehidupan manusia, 

tolong menolong adalah merupakan satu perbuatan 

yang sangat terpuji. Kalau pun engkau tak dapat 

membalas segala kebaikan bapak, maka kau dapat 

melakukannya pada orang lain. Yang terpenting seka


rang ini kita harus memikirkan jalan keluarnya untuk 

mencari tempat yang aman guna mempelajari kitab 

warisan gurumu yang terakhir...!"

Nampaknya Pendekar Hina Kelana jadi terkesima 

demi mendengar apa yang dikatakan oleh Bara Seta. 

Dia pun berpikir bahwa apa yang dikatakan oleh laki-

laki dari Lubuk Sikaping itu benar adanya. Tanjung 

Api kini bukanlah merupakan sebuah tempat yang 

aman untuk mempelajari sebuah kitab yang sangat 

dahsyat.

"Menurutmu bagaimanakah, Paman?"

"Satu-satunya jalan kita harus meninggalkan 

tempat ini, untuk mencari sebuah tempat yang ter-

sembunyi demi keselamatan kitab itu!"

Buang Sengketa angguk-anggukkan kepalanya. 

Lalu dipandanginya Bara Seta dengan hati masgul.

"Aku menurut apa yang paman katakan, kalau 

bisa secepatnya pula kita tinggalkan tempat ini...!"

Tanpa berkata-kata lagi, Buang Sengketa, Bara 

Seta dan seorang muridnya yang bernama Pamuja ini 

pun segera menghampiri makam si Bangkotan Koreng 

Seribu. Selanjutnya setelah memberi penghormatan 

pada makam guru dan sekaligus merupakan orang tua 

angkat Bara Seta. Maka ketiga orang itupun berlalu 

meninggalkan Tanjung Api.

***

SEBELAS



Rombongan berkuda dari Partai Beruang Merah 

yang dipimpin langsung oleh ketua-nya, Nyai Tambak 

Sari itu kini telah sampai di Tanjung Kait. Itu berarti 

tak sampai setengah jam lagi mereka telah sampai di


Tanjung Api. Dalam keadaan tergesa-gesa takut dida-

hului oleh yang lainnya. Rombongan itu semakin 

mempercepat laju kuda-kuda mereka.

Sementara itu tanpa mereka sadari, sosok tubuh 

yang sedang menggerakkan lari cepatnya itu terus 

mengikuti gerak laju kuda orang-orang Beruang Me-

rah. Namun agaknya orang yang sedang mengerahkan 

ilmu lari cepatnya itu sudah tak sabaran lagi. Karena 

tak sampai satu menit kemudian dia telah mengha-

dang jalan yang akan dilalui oleh rombongan orang-

orang berkuda ini. Tentu saja gerakannya yang sangat 

cepat itu membuat terkejut para penunggang kuda ter-

sebut. Serta merta mereka menarik tali kekang ku-

danya, dan kuda-kuda itu meringkik keras langsung 

hentikan langkah.

Nyai Tambak Sari yang menjadi kepala rombon-

gan dan bermata buta itu bagai me-ngerti saja bahwa-

sanya ada orang yang sedang menghadang jalan mere-

ka. Maka tanpa sabar lagi dia pun membentak.

"Sialan betul! Kunyuk mana yang telah begitu be-

rani menghadang jalan yang akan kami lalui...?" teriak 

Nyai Tambak Sari sambil kedip-kedipkan matanya 

yang berongga mengerikan.

"Kunyuk berpakaian pendeta ini nampaknya sen-

gaja mencari gara-gara pada kita, Ketua...!" menyela 

Basra Panewu, memberi gambaran tentang ciri-ciri 

orang yang menghadang mereka.

Alis Nyai Tambak Sari menggemirit, dia berusaha 

mereka-reka siapakah gerangan orang yang berdiri te-

gak di hadapannya itu. Sekali lagi dia membentak gu-

sar: "Kunyuk tuli! Kuperintahkan sekali lagi padamu, 

cepat-cepat minggirlah kau dari hadapanku...!"

Orang yang menghadang di tengah jalan dan tak 

lain Begawan Ardi Soma adanya tertawa ganda. Suara 

tawanya sesungguhnya hanya pelan saja, namun ka


rena suara tawa itu disertai dengan tenaga dalam yang 

lumayan. Tak urung beberapa orang murid Beruang 

Merah cepat-cepat menutup telinganya yang berde-

nyut-denyut sakit. Bahkan kuda-kuda tunggangan me-

reka pun meringkik keras.

Nyai Tambak Sari yang buta matanya itu nampak 

geleng-gelengkan kepalanya. Nampaknya dia berusaha 

keras untuk mengingat-ingat suara tawa yang tak 

ubahnya bagai jerit seekor ular naga tersebut. Seper-

tinya dia masih ingat siapa adanya. laki-laki ini. Tak 

salah di dunia persilatan hanya ada seorang tokoh saja 

yang mampu mengeluarkan suara tawa seperti itu. Be-

gawan Ardi Soma, ya hanya dialah satu-satunya tokoh 

yang dapat berubah ujud seperti itu. Batin Nyai Tam-

bak Sari. Namun sebelum Nyai Tambak Sari mampu 

berkata apa-apa, mendadak orang yang sedang dipi-

kirkannya, sudah pula berkata:

"Kalian orang-orang sableng dari Beruang Merah! 

Hendak ke manakah hingga kelihatan bagai dikejar-

kejar setan...?!"

"Kampret sialan! Begawan Ardi Soma, jangan kira 

aku tak dapat mengenali siapa adanya engkau itu. Aku 

tak punya urusan denganmu, maka cepat menyingkir-

lah...!" maki Nyai Tambak Sari

Lagi-lagi Begawan Ardi Soma tertawa mengekeh, 

sepanjang sepak terjang ketua Beruang Merah ini, ra-

sa-rasanya dia sudah mengetahui ke mana tujuan 

rombongan berkuda yang dipimpin oleh manusia sesat 

tersebut. Maka tanpa sungkan-sungkan lagi dia pun 

menyela:

"Nyai Tambak Sari! Kulihat dulu matamu pernah 

dibutakan oleh si Bangkotan Koreng Seribu. Kulihat 

hari ini kau mau ke Tanjung Api, ada keperluan apa-

kah gerangan...?" pancing Begawan Ardi Soma dengan 

sesungging senyum penuh misteri. Kata-kata sang begawan meskipun diucapkan biasa-biasa saja namun 

bagi Nyai Tambak Sari merupakan sesuatu yang san-

gat menyakitkan hatinya.

"Begawan palsu! Dulu si Bangkotan Koreng Seri-

bu, boleh unjuk gigi di depan siapapun. Tapi tidak un-

tuk saat ini. Akan kubuntungi kedua tangan dan ka-

kinya, kemudian kubutakan pula matanya, agar dia 

tahu bahwa di kalangan persilatan akulah yang paling 

berkuasa...!" tukas Nyai Tambak Sari berusaha menu-

tup-nutupi tujuan yang sesungguhnya.

"Hua... ha... ha... ha...! Si Bangkotan Koreng Se-

ribu telah meninggal dua purnama yang telah lewat. 

Bahkan jenazahnya pun telah dikuburkan lebih dari 

satu purnama yang lalu. Hemm, si Bangkotan Koreng 

Seribu yang manakah yang akan kau buntungi kedua 

kaki dan tangannya? Dan mata siapakah yang akan 

kau butakan...? Aku malah khawatir bahwa kedatan-

gan kalian ke sana hanyalah untuk membunuh Pen-

dekar Hina Kelana sekaligus untuk mendapatkan Ki-

tab Jurus-jurus Koreng Seribu yang dahsyat itu...!" se-

lanya tanpa tedeng aling-aling lagi.

Saat itu juga baik Basra Panewu, Sudak Pari 

maupun Nyai Tambak Sari kelihatan berubah paras-

nya. Terlebih-lebih dedengkot Beruang Merah, tubuh-

nya sampai tergetar karena menahan kemarahan yang 

luar biasa. Dengan gigi-gigi bergemeletukkan, Nyai 

Tambak Sari membentak:

"Keparat tengik! Kiranya kau memang sengaja 

mencari permusuhan dengan kami dan bukan tak 

mungkin pula bahwa kau juga punya ambisi untuk 

mendapatkan kitab yang tiada ternilai harganya itu...!"

"Kita cincang saja begawan gila ini, Ketua...!" Su-

dak Pari yang sudah tidak sabaran itupun ikut pula 

menyela. Tanpa menghiraukan ucapan Sudak Pari, 

Begawan Ardi Soma menatap tajam pada Nyai Tambak


Sari, nenek renta namun punya ambisi setinggi langit.

"Tambak Sari manusia salah kaprah! Tiada sedi-

kit pun terbetik di hatiku untuk mengangkangi segala 

kitab yang berbau keduniawian. Asal kau tahu saja, 

bahwasanya si Bangkotan Koreng Seribu adalah salah 

seorang yang merupakan sahabat karib ku... kebera-

daan kami tak ubahnya bagai daging dengan darah...!"

Nenek buta terperangah begitu mendengar kata-

kata Begawan Ardi Soma. Dalam hati sedikitpun dia 

tiada menyangka kalau laki-laki yang berdiam di Sen-

dang Hamparan Perak itu masih merupakan sahabat 

karib si Bangkotan Koreng Seribu. Kalau memang be-

nar apa yang dikatakan oleh Begawan Ardi Soma, ma-

ka itu berarti bahwa dia harus berhadapan dengan to-

koh yang berilmu sangat tinggi. Dia pun tahu kepan-

daian yang dimiliki mungkin hanya setingkat di atas 

begawan itu. Namun itu adalah beberapa puluh tahun 

yang lalu. Sedangkan sebagaimana hebat kesaktian 

Begawan Ardi Soma saat ini, sama sekali dia tidak ke-

tahui. Buta sebuta matanya.

"Ho... ho... ho! Jadi sekarang apa yang kau ingin-

kan dari kami...?" tanya Nyai Tambak Sari berusaha 

menghindari terjadinya bentrokan dengan Begawan 

Ardi Soma. Laki-laki berambut, kumis serta jenggot 

yang sudah memutih ini berobah tegas.

"Mengingat di antara kita tidak ada permusuhan. 

Aku minta batalkan niat kalian untuk datang ke Tan-

jung Api. Andai tidak...?"

"Andai tidak kau mau apa, Begawan sinting...?" 

tanya Nyai Tambak Sari seolah sudah mengerti ke ma-

na arah pembicaraan Begawan Ardi Soma.

"Andai tidak! Aku akan merintangi tujuan ka-

lian...!"

"Caile... enak betul! Jangan kira aku akan mun-

dur dalam menghadapimu, Begawan keparat...!" maki


Nyai Tambak Sari dalam kemarahan yang sudah tiada 

terkontrol lagi. Serta merta dia memberi isyarat pada 

Basra Panewu dan Sudak Pari. Maka tanpa dapat dice-

gah lagi, dengan masih berada di atas punggung ku-

danya masing-masing, baik Basra Panewu dan Sudak 

Pari langsung kirimkan satu pukulan yang diberi nama 

Sekawanan Beruang Merah Menyergap Harimau Tua.

"Weeees!"

Serangkum gelombang berhawa sangat dingin 

luar biasa menderu ke arah Begawan Ardi Soma. Dan 

nampaknya begawan ini tahu betul bahwa pukulan 

maut yang memancar-kan sinar ungu itu mengandung 

racun yang sangat ganas. Sebagai seorang begawan 

yang sudah kenyang makan asam garam kelicikan 

kaum sesat. Dia tak ingin ambil resiko yang dapat 

membahayakan keselamatan dirinya. Dalam gebrakan 

pertama ini dia juga ingin menjajal sampai di mana 

kehebatan murid-murid Beruang Merah. Maka tanpa 

bergeser dari tempatnya dia kirimkan empat pukulan 

beruntun sekaligus.

"Wret! Wer! Wer! Wer...!"

Dalam gebrakan pertama ini saja Begawan Ardi 

Soma sudah mempergunakan pukulan Ekor Naga Me-

lecut Karang. Saat itu juga menderulah satu gelom-

bang sinar berwarna jingga. Begitu pukulan Begawan 

Ardi Soma terlepaskan, maka udara yang teramat din-

gin menyelimuti daerah sekitarnya. Sejenak lawan-

lawannya nampak tersentak, tapi hanya sekejapan sa-

ja, karena tak lama berselang terdengar dua letupan 

disertai pekik ringkik kuda milik Basra Panewu dan 

Sudak Pari.

Bersamaan dengan ambruknya kuda tunggan-

gan kedua orang itu, tubuh Basra Panewu dan Sudak 

Pari mencelat dari punggung kudanya. Akan tetapi me-

reka cepat-cepat bangkit kembali tanpa kekurangan


sesuatu apapun. Namun begitu melihat kuda-kuda mi-

liknya tewas dengan tubuh membeku. Dua orang mu-

rid utama ini menjadi berang. Dan langsung menuding 

Begawan Ardi Soma yang masih tetap berdiri tegak 

tanpa kekurangan sesuatu apapun.

"Kampret! Kau telah membunuh kuda kesayan-

gan kami. Puih, jika nyawa kuda itu ditukar dengan 

nyawamu, itupun belum bisa dianggap lunas!" maki 

Sudak Pari.

"Kuda adalah tetap kuda! Siapa sudi menukar 

nyawaku dengan nyawa kudamu?" teriak Begawan Ar-

di Soma semakin bertambah jengkel saja.

Dalam kesempatan itu, Nyai Tambak Sari masih 

memberi kesempatan pada dua orang pembantunya 

untuk menjajal kepandaian yang dimiliki oleh Begawan 

Ardi Soma. Sungguhpun kedua matanya sudah tidak 

dapat melihat apa-apa, namun nalurinya mengatakan 

bahwa ternyata murid-muridnya yang cukup tangguh 

itupun masih kalah dalam hal adu tenaga dalam. Di-

am-diam dia ingin mengikuti perkembangan selanjut-

nya.

Sementara Begawan Ardi Soma sudah terlibat 

pertarungan kembali dengan Sudak Pari dan Basra 

Panewu. Namun kali ini mereka dibantu oleh murid-

murid utama lainnya yang berjumlah tak kurang dari 

sepuluh orang. Mereka-mereka ini dengan mempergu-

nakan senjatanya yang terbuat dari kebutan kelihatan 

merangsek Begawan Ardi Soma dari segala penjuru.

Mau tak mau begawan dari Sendang Ham-paran 

Perak dibuat kerepotan juga. Dengan gerakan-gerakan 

silat mengkelit dan menghindar yang diberi nama Naga 

Sendang Gelengkan Kepala. Berulang kali serangan-

serangan gencar yang dilakukan oleh pihak lawan 

menjadi luput.

Dalam keadaan seperti itu dan berlangsung terus


menerus, pada akhirnya membuat murid-murid Be-

ruang Merah menjadi gusar, yang pasti Sudak Pari dan 

Basra Panewu tak dapat melepaskan pukulan mautnya 

kalau tak ingin mengenai kawannya sendiri.

Salah satu keuntungan yang dimiliki oleh Bega-

wan Ardi Soma untuk melepaskan pukulan-pukulan 

Naga Kibarkan Ekor. Tak dapat dihindari lagi lolongan 

maut pun terdengar dari murid-murid Beruang Merah 

yang terhantam pukulan yang dilepaskan oleh sang 

begawan.

"Minggir kalian semua...!" teriak Basra Panewu 

dan Sudak Pari hampir bersamaan. Selang beberapa 

saat setelahnya murid-murid Beruang Merah telah pu-

la mengikuti perintah Basra Panewu dan Sudak Pari.

Kini dengan sangat leluasa mereka dapat mele-

paskan pukulan-pukulan mautnya. Begitu pun Bega-

wan Ardi Soma bukanlah lawan yang enteng bagi me-

reka. Sebab setiap mereka melepaskan pukulan Be-

ruang Merah Menyergap Harimau Tua, Begawan Ardi 

Soma selalu saja dapat mematahkan pukulan gencar 

itu di tengah jalan.

Berulang kali mereka dibuat jatuh bangun oleh 

pukulan mereka yang membalik, sementara darah pun 

tiada henti mengalir diri celah-celah bibir mereka. Na-

mun sebagai golongan sesat yang tiada kenal menye-

rah mereka masih saja berusaha menekan pihak lawan 

dengan jalan apapun.

Murka Nyai Tambak Sari demi melihat pemban-

tu-pembantu utamanya masih belum juga dapat men-

gatasi Begawan Ardi Soma. Sebaliknya dia pun sung-

guh tidak melihat, masih dapat merasakan bahwa mu-

rid-muridnya merasa kewalahan dalam menghadapi 

tokoh sakti itu. Dia tidak ingin lagi bicara, namun in-

dera pendengarannya mulai memperkirakan posisi pi-

hak lawan saat itu berada.


Tak lama kemudian setelah mengetahui kebera-

daan Begawan Ardi Soma, maka satu pukulan mengge-

ledek yang sangat memekak-kan gendang-gendang te-

linga pun menyambar ke bagian tubuh laki-laki dari 

Sendang Hamparan Perak ini.

Begawan Ardi Soma adalah seorang tokoh yang 

penuh dengan pengalaman, itu makanya begitu mera-

sakan adanya sambaran angin pukulan di belakang-

nya, laksana kilat tubuh Ardi Soma melesat ke udara.

"Blaaammm!"

Pukulan Beruang Merah yang dilepaskan oleh 

Nyai Tambak Sari mencapai pada sasaran yang ko-

song.

***

DUA BELAS



Nyai Tambak Sari mencaci maki habis-habisan. 

Serta merta dia melompat dari atas punggung ku-

danya. Sesaat berikutnya dia pun sudah membentak:

"Begawan keparat! Jangan panggil aku sebagai 

Ketua Beruang Merah jika aku tak dapat membunuh-

mu...!" teriaknya.

Yang dibentak hanya diam saja, namun di dalam 

hatinya telah pula membaca ajian Naga Sendang yang 

telah dikuasainya dengan baik selama berpuluh-puluh 

tahun. Begitu dia selesai merapal ajian Naga Sendang, 

kemudian.

"Peeesss!" 

"Hieeek... hurrr...!"

Dengan memperdengarkan bunyi yang sangat 

menggidikkan tubuh Naga Sendang itupun meliuk-liuk 

dalam kemarahannya. Selanjutnya dengan ekor dan

kepalanya dia melabrak apa saja yang berada di seki-

tar tempat itu. Celakalah nasib murid-murid Beruang 

Merah yang berjarak sangat dekat dengan naga pen-

jelmaan Begawan Ardi Soma. Sekali waktu dia menju-

lurkan lidahnya, satu demi satu murid-murid malang 

itu lenyap dalam mulut naga yang bergigi runcing 

mengerikan.

"Ketua... hati-hati, begawan sialan itu kini telah 

berubah menjadi seekor naga yang ganas...." teriak Ba-

sra Panewu.

Mendengar peringatan Basra Panewu, Nyai Tam-

bak Sari malah tertawa tergelak-gelak.

"Hemm. Naga belekan bisa berbuat apa pada Ke-

tua Beruang Merah...!" maki Nyai Tambak Sari. Selan-

jutnya begitu tubuhnya mencelat, secara berbarengan 

dengan gerakan yang dilakukan oleh pembantu uta-

manya. Maka mereka pun secara bersamaan mele-

paskan satu pukulan tingkat tinggi yang diberi nama, 

Beruang Merah Mencabik Musuh Besar.

"Weeer! Weeer! Weeer!"

Nampaknya Naga Sendang itu juga menyadari 

bahaya yang mengancamnya. Dengan posisi setengah 

tegak dia pun membuka mulutnya lebar-lebar. Lalu 

begitu naga itu menghembuskan nafasnya, maka sem-

buran lidah api melesat lebih cepat lagi memapaki da-

tangnya pukulan yang dilepaskan oleh lawan-

lawannya.

"Bruuus! Bluaaaar...!"

Tiga orang tokoh tingkat tinggi itupun terpelant-

ing jatuh, dua di antaranya menderita luka dalam yang 

cukup serius. Sedangkan Nyai Tambak Sari masih te-

tap terkekeh-kekeh, sungguhpun dadanya terasa sesak 

luar biasa.

Di lain pihak, Naga Sendang yang merupakan 

penjelmaan Begawan Ardi Soma ter-banting tubuhnya.


Tubuhnya menggelepar, dan berusaha bangkit dari 

keadaan yang tidak menyenangkan itu. Matanya yang 

merah semakin bertambah merah.

"Ngiiik...!"

Bagai merintih dia berusaha kembali ke dalam 

ujudnya semula. Detik selanjutnya. Naga Sendang itu-

pun telah berubah menjadi Begawan Ardi Soma.

"Kalian benar-benar manusia sesat yang memiliki 

ilmu sangat tangguh. Aku berpikir, aku memang tak 

bakal ungkulan menghadapi kunyuk-kunyuk sesat se-

perti kalian. Tapi kutuk yang kuberikan pada siapapun 

akan tetap berlaku bagi siapapun...!" Berkata Begawan 

Ardi Soma, sambil berpikir-pikir kutukan apa yang pal-

ing pantas dijatuhkan pada orang-orang Beruang Me-

rah.

Namun sebelum dia memperoleh kepastian untuk 

menjatuhkan hukuman pada orang-orang Beruang 

Merah dan murid-muridnya. Tiba-tiba terdengar suara 

teguran seorang. Bersamaan dengan suaranya itu, 

mendadak muncul seorang pemuda berkuncir yang tak 

lain Buang Sengketa adanya. 

Mengapa Buang Sengketa sampai di tempat itu? 

Seperti diketahui Buang dan Bara Seta Setelah menga-

lahkan Jumparing Retno dan murid-muridnya, ber-

maksud meninggalkan Pantai Tanjung Api guna men-

cari sebuah tempat yang aman untuk mempelajari Ki-

tab Jurus-jurus Koreng Seribu hasil ciptaan terakhir 

gurunya yaitu si Bangkotan Koreng Seribu.

Namun baru saja setengah jam melakukan perja-

lanan, baik Bara Seta maupun Pendekar Hina Kelana 

mendengar adanya orang yang sedang bertarung. Di-

desak oleh rasa keingintahuan, maka bergeraklah 

Buang Sengketa dan Bara Seta mendekati tempat per-

tarungan. Karena keduanya sempat mendengar perde-

batan dari mereka yang sedang bertarung, maka men


gertilah mereka siapa sesungguhnya Begawan Ardi 

Soma. Tapi sejauh itu mereka masih belum juga mau 

turun tangan membantu Begawan Ardi Soma. Barulah 

kemudian setelah merasa bahwa sang begawan dalam 

keadaan kepepet. Maka dengan meninggalkan Bara Se-

ta untuk menjaga keselamatan Kitab Jurus-jurus Ko-

reng Seribu, di tempat persembunyiannya. Buang 

Sengketa berkelebat dan menghambur ke dalam perta-

rungan.

Saat itu, mereka yang saling bersitegang itu 

nampak sama-sama terkesima melihat kehadiran 

Buang Sengketa.

"Paman Begawan Ardi Soma! Aku muridnya Ka-

kek Bangkotan Koreng Seribu, kuminta paman mene-

pilah, sebab sekedar kutukan tak mungkin membuat 

mereka menjadi jera. Aku ingin membasmi cecurut Be-

ruang Merah ini sekarang juga...!" berkata Buang 

Sengketa lalu memandang dingin pada Nyai Tambak 

Sari yang buta dan juga pada Basra Panewu dan Su-

dak Pari silih berganti. Sementara Begawan Ardi Soma 

kelihatan menyingkir dari kalangan pertarungan, teta-

pi Nyai Tambak Sari malah tertawa tergelak-gelak.

"Kau kiranya yang telah membuat tunggang lang-

gang para pembantuku. Heii, kunyuk Bangkotan Ko-

reng Seribu sudah mampus, padahal dia telah meng-

hutangkan matanya padaku. Karena sampai akhir 

hayatnya si Bangkotan Koreng Seribu itu tak dapat 

membayar hutang-hutangnya, maka sebagai murid-

nya. Kaulah yang harus membayar hutang-hutangnya 

yang tak pernah terlunasi itu...!" teriak Nyai Tambak 

Sari dengan rahang bergemeletukkan.

"Ha... ha... ha...! Simpanlah mimpimu sampai ke 

alam sana, Nenek keriput. Semua dalih yang kau per-

gunakan untuk menutup-nutupi ambisimu dalam 

menguasai kitab jurus Koreng Seribu telah kuketahui.


Satu pilihan saja yang ada padamu, menyingkir berarti 

keselamatan bagimu...!" ancam Pendekar Hina Kelana 

rawan.

"Puih, Bocah bau kencur! Makanlah pukulan Be-

ruang Merah Menggebrak Landak Hutan...!"

Satu rangkaian sinar berwarna merah kebiru-

biruan meluruk pada si pemuda, dan hal ini sudah da-

lam perhitungannya.

"Weeeer!"

Tak kalah dahsyatnya dia pun lepaskan pukulan 

Empat Anasir Kehidupan. Tak ayal lagi selarik sinar 

Ultra Violet datang menggebu menyongsong pukulan 

yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari. Benturan dua 

tenaga sakti itupun tak dapat dihindari lagi.

"Blaaam!"

Tubuh kedua orang itu sama-sama tergetar he-

bat, bahkan dari mulut Pendekar Hina Kelana meleleh 

darah kental kehitam-hitaman. Belum lagi dia sempat 

menghimpun hawa murni untuk mengurangi rasa se-

sak yang terasa menghimpit rongga dadanya. Menda-

dak datang lagi sambaran angin pukulan yang tak ka-

lah ganasnya. Pukulan yang sama itu dilepaskan oleh 

Basra Panewu dan Sudak Pari secara berbarengan.

"Sialan!" maki pendekar ini, sedapatnya berusaha 

memapaki serangan yang datangnya sangat cepat itu.

Lagi-lagi benturan tenaga sakti itupun saling ber-

tubrukan. Tanpa ampun tubuh Buang Sengketa ter-

buntang tiga tombak. Dari mulutnya menggelogok da-

rah segar. Melihat kejadian ini sudah barang tentu Be-

gawan Ardi Soma sangat marah sekali. Tak dapat dice-

gah lagi mengamuklah sang begawan, dengan puku-

lan-pukulan yang sangat handal. Satu saja yang ada 

dalam hatinya, membela kebenaran walau dengan ja-

lan kekerasan sekalipun bila perlu harus dilakukan.

Kini yang menjadi sasaran pukulan-pukulan


mautnya adalah murid-murid Beruang Merah lainnya. 

Sekejab saja jerit kematian menggema di tempat itu. 

Sementara itu, Buang Sengketa yang secara terus me-

nerus diburu oleh lawan-lawannya akhirnya menjadi 

lenyap pula kesabarannya. Rasa sakit di sekujur tu-

buhnya membangkitkan amarah yang tak dapat dita-

war-tawar lagi.

"Heiiiik...!" Satu jeritan dari ajian Pemenggal Roh, 

disertai tercabutnya Pusaka Golok Buntung dari balik 

pinggangnya. Membuat ketiga lawannya jadi terkesima. 

Suara lengkingan ajian ilmu Pemenggal Roh itu saja 

sudah membuat jantung mereka serasa bagai copot. 

Sementara telinga terasa sakit luar biasa. Andai saja 

mereka ini tidak memiliki tenaga dalam yang cukup 

sempurna, sudah barang tentu mereka kojor sejak ta-

di-tadi.

Kini masing-masing lawan saling pan-dang sesa-

manya, ada rasa jeri membayang dalam sinar mata 

mereka. Apalagi, terkecuali Nyai Tambak Sari, Basra 

Panewu dan Sudak Pari dapat melihat betapa golok di 

tangan Buang Sengketa memancarkan sinar merah 

menyala. Satu hal lain yang dapat mereka sama-sama 

rasakan adalah karena mendadak udara di sekitar 

tempat itu berubah menjadi sangat dingin luar biasa. 

Hanya Buang Sengketa saja yang tidak perduli dengan 

perubahan itu, sebab saat itu hawa membunuh sudah 

bersarang di dadanya yang masih berdenyut-denyut 

sakit. Selanjutnya dengan disertai bunyi mendesis ba-

gai seekor raja piton yang sedang marah. Golok di tan-

gan pendekar ini menderu memburu lawan-lawannya 

ke mana pun mereka bergerak. 

"Weeer!"

Membela keselamatan para muridnya, Nyai Tam-

bak Sari lepaskan satu pukulan dahsyat. Sesaat ke-

mudian pukulan yang mengandung unsur racun yang


sangat ganas itupun segera melabrak ke arah Pende-

kar Hina Kelana. Menyadari pukulan yang sangat ga-

nas itu, maka tak ayal lagi Buang Sengketa kiblatkan 

senjatanya.

"Traaaang...!"

Pukulan yang dilepaskan oleh Nyai Tambak Sari 

membalik bahkan nyaris menghantam tubuhnya, an-

dai saja dia tidak cepat-cepat mengelak. Semakin pe-

nasaran saja Pendekar Hina Kelana dibuatnya. Sambil 

bersurut dua tombak si pemuda berseru lantang.

"Nenek buta dan kembrat-kembratnya manusia 

sial! Jangan salahkan aku karena kecerobohan kalian 

ini...."

"Jangan banyak cingcong, Bocah edan...! 

Hiaaaat...!" Satu pukulan pamungkas melesat dari 

tangan Nyai Tambak Sari.

Namun tubuh Buang Sengketa telah berkelebat 

lenyap. Manakala kemudian terdengar suara lecutan. 

Maka pucatlah wajah orang-orang yang berada di seki-

tar tempat yang terlebih-lebih di pihak lawan-

lawannya.

"Ctarrr...! Ctaaar...! Ctaaar...!"

Cambuk Gelap Sayuto yang melilit di pinggang 

pendekar itu, kini ikut pula bicara. Begitu cambuk itu 

memperdengarkan gelegar bagai suara petir. Maka pe-

rubahan yang sangat cepat pun terjadilah.

Terik matahari yang tadinya terasa panas mem-

bakar kini telah tertutup awan hitam, bagai topan ber-

tiup sangat kencang sekali. Seiring dengan lecutan 

cambuk selanjutnya. Maka di angkasa kelam sana ter-

dengar gelegar petir sambung menyambung tiada hen-

ti. Saat itu hanya kilatan sinar merah yang terpancar 

dari pusaka Golok Buntung saja yang terlihat mene-

rangi sebagian wajahnya yang dipenuhi kobaran ama-

rah.


"Nguuuuung!"

Berkelebatnya tubuh Pendekar Hina Kelana me-

nyertai menderunya senjata yang berada dalam geng-

gaman si pemuda. Orang pertama yang menjadi sasa-

ran senjata maut itu adalah yang paling dekat posi-

sinya dengan si pemuda.

"Haiiiit!" jerit pendekar itu. Menggigillah tubuh 

Sudak Pari begitu senjata itu berkelebat mengarah pa-

danya.

"Craas!" 

Sudak Pari sudah tak sempat menjerit lagi, tu-

buhnya limbung dengan tenggorokan hampir terputus. 

Namun Buang sudah tiada perduli, dia terus saja ber-

gerak merangsek Basra Panewu. Kembali senjata maut 

itu menghajar tubuh lawannya.

"Crak! Craaas!" 

"Arrrrrgk...!"

Basra Panewu melolong setinggi langit, bagian 

lambungnya terobek hampir sejengkal. Tak lama ke-

mudian sambil tetap memegangi bagian perutnya, 

pembantu Ketua Partai Beruang Merah itupun ambruk 

untuk selama-lamanya.

Pendekar Hina Kelana menoleh dengan maksud 

menggempur Nyai Tambak Sari, namun dalam kegela-

pan itu dia tak melihat adanya tokoh nomor satu dari 

Beruang Merah ini. Bukan main gusarnya dia demi 

melihat kenyataan ini.

"Sialan! Nenek peot itu kiranya telah kabur di 

luar sepengetahuan siapapun!" makinya dalam hati.

Secepatnya Buang Sengketa menyimpan kedua 

senjata yang sangat menggemparkan itu. Secara perla-

han dan berangsur-angsur langit kembali berubah ce-

rah. Mataharipun kembali menampakkan sinarnya. 

Tiada orang lain yang terlihat di sana terkecuali, Bega-

wan Ardi Soma dan Bara Seta yang telah keluar dari


tempat persembunyiannya. Sedangkan yang lainnya 

adalah tubuh tumpang tindih dari murid-murid Be-

ruang Merah yang telah binasa di tangan Begawan Ardi 

Soma. Setelah memperkenalkan diri, di antara mereka 

kemudian saling berucap:

"Tidak percuma kalau sahabatku Koreng Seribu 

telah memiliki murid tunggal yang setangguh kau." Se-

kejab Begawan Ardi Soma melirik Bara Seta dan seo-

rang muridnya. Kemudian lanjutnya: "Kutitipkan mu-

rid kawanku ini padamu Saudara Bara Seta. Selama 

mempelajari Kitab Jurus-jurus Koreng Seribu. Jagalah 

keselamatannya. Mudah-mudahan dengan kerja sama 

yang baik itu segala sesuatunya berjalan lancar...!"

"Terima kasih, Paman...!" kata Buang Sengketa 

menjura hormat.

"Kepercayaan begawan sungguh merupakan satu 

kehormatan bagiku. Aku akan memenuhinya...!"

"Berhati-hatilah kalian selalu...!" pesan Begawan 

Ardi Soma, lalu kejab kemudian tubuhnya telah lenyap 

dari pandangan mereka. Bara Seta, Pendekar Hina Ke-

lana dan seorang murid Bara Seta tanpa berkata-kata 

lagi segera bergerak pula untuk mencari tempat yang 

aman guna mempelajari jurus-jurus Koreng Seribu pe-

ninggalan terakhir sang guru. (Kisah ini masih ber-

sambung pada Episode Rahasia Kitab Jurus Koreng 

Seribu).



                             TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar