AIR MATA
DISINDANG
DARAH
Oleh D. Affandy
© Penerbit Mutiara Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
Dalam bentuk apapun
Tanpa Ijin tertulis dari penerbit
D. Affandy
Serial Pendekar Hina Kelana
Dalam episode 003:
Air Mata Di Sindang Darah
SATU
Suasana dingin mencekam mewarnai
Dusun Bajul yang akhir-akhir ini dilanda
keresahan. Sejak sore, pintu-pintu rumah
sudah terkunci rapat. Apalagi malam ini
hujan gerimis mengguyur daerah
sekitarnya tiada henti, keadaan ini
tentu semakin membuat hati mereka
semakin was-was. Siapa tahu malam ini
segerombolan manusia bertopeng datang
lagi. Kemudia merampok harta benda
penduduk, lebih dari itu korban pun
berjatuhan kembali. Kini mereka menanti
dengan harap-harap cemas,bagai anak ayam
kehilangan induknya mereka kelabakan,
bingung tak tau apa yang harus mereka
perbuat.
Wirakarta, Kepala Dusun yang
bijaksana dengan beberapa orang
bawahannya sudah hampir dua hari tidak
pulang ke Dusun itu. Padahal seperti
pesan Wirakarta sendiri, ketika mereka
hendak berangkat mencari sarang manusia
bertopeng. Berhasil atau tidak mereka
akan kembali pada hari itu juga.
Wirakarta yang telah kehilangan
istrinya itu memang patut berjuang
mati-matian, guna mencari tahu apakah
istri tercinta yang telah disandera oleh
kawanan orang-orang bertopeng, masih
hidup atau tidak. Begitu pun seluruh
penduduk desa hanya mampu berdoa, semoga
istri pamong desa mereka masih dapat
diselamatkan. Mereka tak dapat
membayangkan bagaimana jadinya dengan
nasib Wanti Sarati, anak tunggal Kepala
Desa yang masih berumur sembilan tahun
itu nantinya.
Sementara tidak begitu jauh di
pinggiran dusun, dalam sebuah gubuk tua
terlihat sebuah pelita minyak dengan
enggan menerangi seisi ruangan yang
sangat bersahaja. Di tengah-tengah
ruangan gubuk itu, di atas sebuah balai
seorang nenek peot sedang kerepotan
membujuk seorang gadis kecil yang masih
saja merengek dan menangis. Siapa lagi
anak itu kalau bukan Wanti Sarati, putri
tunggal kepala desa.
Seperti diketahui, sejak umur lima
tahun Wanti Sarati oleh Wirakarta memang
sengaja dimomongkan oleh nenek peot yang
penyabar dan sekaligus merupakan guru
silat bocah itu. Meskipun nenek ini sudah
keiihatan sangat tua bangka, tapi dia
masih kelihatan segar bugar. Semua
penduduk desa Bajul tahu kalau nenek yang
di usia senja itu masih tetap perawan,
dalunya adalah merupakan seorang tokoh
persilatan dari Kurung Lawer yang sangat
disegani oleh kawan maupun lawan. Lalu
mengapa malam itu Wanti Sarati yang sudah
biasa tinggal bersama si nenek peot
nampak menangis tidak henti?
Tak lain hanyalah karena sudah
hampir tiga hari kedua orang tuanya belum
datang-datang menjenguknya. Hal itulah
yang membuat Wanti Sarati uring-uringan
dan sulit dibujuk. Si nenek peot yang
memang sudah kehabisan akal,
lama-kelamaan menjadi jengkel, marah dan
bahkan senewen. Wanti Sarati mana mau
tahu dengan keadaan si nenek, gadis cilik
itu terus menangis dan menangis.
Akhirnya kesabaran si nenek peot
habislah sudah, meskipun nada ucapannya
tidak membentak, akan tetapi dari
getaran ucapannya sudah dapat diketahui
kalau nenek peot berusaha meredam
kemarahannya.
"Nduk... diamlah! Kalau tidak mau
diam, nanti kau dipelototi setan!"
Mendengar si nenek peot
menyebut-nyebut setan, gadis itu
hentikan tangisnya sejenak. Lalu
kucek-kucek matanya.
"Setan...? Rupanya setan suka
melototi orang yang lagi nangis...?"
Nenek peot angguk-anggukkan
janggutnya yang lonjong.
"Nenek pernah lihat setan?" Wanti
Sarati bertanya lugu.
"Sudah!" sahut nenek peot. "Setan
itu jelek, wajahnya seram menakutkan!
Kalau kau tidak mau diam nanti
setan-setan berdatangan kemari...."
Begitu mendengar kata-kata si nenek
peot, mendadak tangis Wanti Sarati
bertambah keras. Nenek peot bengong
melompong.
"Lho kok bertambah keras!" Nenek
peot membanting-bantingkan kakinya yang
keriput dan segemuk kaki meja.
"Nenek... aku mau lihat setan! Biar
aku nangis kuat-kuat!" Tangis Wanti
Sarati semakin menjadi-jadi. Nenek peot
jadi kalang kabut. Tapi begitu dia
mendapat akal, nenek peot tersenyum
membujuk.
"Nduk. Kalau mau lihat setan nggak
boleh nangis keras-keras. Setan malah
jadi takut...." kata nenek peot menyela.
Lagi-lagi gadis cilik itu hentikan
tangisnya sambil menatap heran pada si
nenek.
"Habisnya bagaimana nek. Bapak
nggak datang, ibu pun enggak ke mari dan
setan-setan pun tak mau datang, habisnya
aku mau main dengan siapa...!" ujar Wanti
Sarati berkata lugu.
Nenek peot segera duduk di sisi
Wanti Sarati, kemudian tangan-tangannya
yang keriputan itu membelai-belai rambut
si bocah. Dengan penuh kasih sayang ia
berkata: "Wanti... nenek kan selalu ada
di dekatmu. Kita boleh bermain apa saja!"
Wanti Sarati geleng-gelengkan kepala,
lain tersenyum mencemooh.
"Main sama nenek membosankan, tidak
enak! Paling bisanya cuma, silat...
haiit... huiit... gabruk!"
"Bagaimana kalau kita nyanyi
saja...!" Nenek peot coba mengalihkan
perhatian. Wanti Sarati menoleh dan
memandang nenek peot beberapa saat
lamanya.
"Nyanyi...!" ulangnya menirukan
ucapan si nenek.
Nenek peot anggukkan kepalanya.
Wajah gadis cilik itu berubah cerah,
"Kalau nyanyi aku mau. Sedari tadi
aku juga pengin nyanyi...!"
Berkata begitu Wanti Sarati segera
turun dan bermaksud melangkah ke pintu
bela-kang. Hal ini tentu saja membuat
heran si nenek peot. Dengan segera ia
memanggil Wanti Sarati.
"Eeh mau kemana...?"
Wanti Sarati yang saat itu sudah
membuka grendel pintu menoleh.
"Katanya.Wanti disuruh nyanyi!
Sudah pengen nyanyi nenek malah larang!"
"Nyanyi sih boleh Nduk, tapi jangan
jauh-jauh! Kalau mau nyanyi di telinga
nenek saja...!" kata si nenek peot.
Seraya merebahkan badannya di atas
balai-balai. Sambil melangkah kembali ke
arah si nenek. Wanti Sarati menyela:
"Nanti kalau aku nyanyi di telinga
nenek, aku takut nenek malah marah...!"
ujar gadis cilik itu was-was.
Nenek peot tertawa panjang.
"Jangan takut. Nenek tidak akan
marah."
Dengan enggan Wanti Sarati segera
naik ke atas balai-balai, si nenek yang
sudah pejamkan mata, mana tahu kalau
gadis itu telah mengangkangi kepalanya.
Barulah ketika ia merasakan ada sesuatu
yang telah menyiram kuping dan
kepalanya, cepat-cepat dia tersentak dan
bangun. Begitu melihat ke arah Wanti
Sarati alangkah terperanjatnya nenek
peot ini, karena ternyata Wanti Sarati
telah ke-cing di atas kepalanya.
"Wee... bocah nakal, kau telah
kencing di atas kepalaku...?" nenek peot
menjadi geram. Sebaliknya Wanti Sarati
maiah tertawa gelak-gelak.
"Nenek ini lucu! Tadi nenek bilang
aku disuruh nyanyi di telingamu, ee
sekarang kok malah marah-marah...!"
Katanya mau nyanyi, bukah mau
kencing...?" Nenek peot semakin sewot.
Masih dengan sesungging senyum di
bibirnya Wanti Sarati meleceh: "Ibu
bilang kalau mau kencing itu, katanya
menyanyi! Nenek saja yang sudah
pikun...!"
Nenek peot manggut-manggut membe-
narkan, kemudian sambil menyeka
sisa-sisa air yang membasahi wajahnya.
Nenek per-wan yang berusia sangat lanjut
itu menyela.
"Ya, sudah, memang dasar aku yang
tolol! Sekarang kau tidur...!" Si nenek
peot memerintah.
Dengan sikap enggan Wanti Sarati
menurut, akan tetapi sebelum gadis itu
memejamkan matanya, dia menyela:
"Nenek... mengapa nenek selalu
menyelipkan tusuk konde jelek ini di atas
rambutku...!" sela Wanti Sarati sambil
meraba kepalanya.
"Biar jelek tapi kau tak boleh
membuangnya atau menggantikannya dengan
yang lainnya...!" Nenek peot menyergah.
"Untuk apa, bukankah yang lebih
bagus dari ini sangat banyak dijual di
pasar sana?"
Nenek peot geleng-gelengkan
kepalanya.
"Nenek pesan sampai kapan pun tusuk
konde itu jangan kau buang, dia bisa
menjaga keselamatanmu ke mana pun kau
pergi. Lebih dari itu tusuk konde itu
merupakan sebuah kunci rahasia pada
suatu tempat!" ujar nenek peot berkata
lirih.
Gadis cilik itu nampak tercenung,
meskipun usianya masih sembilan tahun
akan tetapi dia seorang anak yang cukup
cerdik.
"Kalau begitu aku harus menjaganya,
ya Nek...!" sela Wanti Sarati polos.
"Hendaknya memang begitu."
Gadis cilik itu tiba-tiba menyela
lagi: "Tapi mengapa harus aku yang
menjaganya, bukan nenek saja...!"
Mendengar pertanyaan Wanti Sarati,
nenek keriputan itu tersenyum penuh
arti.
"Nduk... engkau masih terlalu polos
untuk mengetahui lebih banyak tentang
seisi dunia ini. Kelak pada saatnya kau
akan mengetahuinya juga, betapa dunia
ini penuh dengan segala macam kejahatan.
Sampai saat ini yang perlu kau perhatikan
adalah menjaga Tusuk Konde itu agar
jangan sampai terjatuh pada orang Iain
yang berniat tak baik!" jelas si nenek
peot.
Mata Wanti Sarati nampak berkedip-
kedip begitu mendengar kata kata si
nenek. Dalam. hatinya yang lugu telah
timbul berbagai pertanyaan, namun dia
merasa enggan untuk menanyakannya.
Dalam pada itu, terdengar gemerisik
langkah kaki tidak begitu jauh dari gubuk
tua tempat tinggal nenek peot. Wanti
Sarati begitu mengetahui isyarat si
nenek langsung terdiam seribu bahasa.
Nenek peot yang sudab. menaruh
curiga. segera jejakkan kakinya lalu
berjalan berjingkat-jingkat mengham-
piri. dinding yang terbuat dari anyaman
bambu. Melalui dinding tepas yang banyak
berlubang di sana sini, nenek peot dapat
melihat adanya dua bayangan orang-orang
bertopeng. Meskipun suasana malam dalam
keadaan gelap gulita, si nenek peot dapat
merasakan bahwa kehadiran orang-orang
itu adalah dengan membawa maksud-maksud
tak baik. Dengan agak terburu-buru si
nenek peot cepat-cepat kembali
menghampiri Wanti Sarati, kemudian
membisikkan sesuatu di telinga gadis
cilik itu. Wanti Sarati mengangguk-
angguk pelan, agaknya dia menyadari
bahwa ada sesuatu yang sedang mengancam
keselamatan mereka.
Baru saja nenek peot hendak
melangkahkan kaki, menghampiri pintu
depan, tiba-tiba saja terdengar teguran,
pelan namun mengancam .
"Tikus betina yang ada di dalam
rumah! Serahkanlah pusaka rahasia
pembuka Sindang Darah! Kalau tidak kami
akan membakarmu hidup-hidup bersama
gubuk buruk ini!"
Nenek peot terdiam seribu bahasa,
dia mencoba mengingat suara parau namun
berat, rasa-rasanya si nenek peot pernah
mendengar suara seperti itu. Akan tetapi
entah di mana.
Dari luar kembali terdengar
perkataan yang lebih keras.
"Tikus peot, mengapa mematung
seperti orang suiting begitu. Cepat
keluar!" bentak si Drang bertopeng tak
sabaran. "Apakah kau ingin kami
menyeretmu ke luar...!"
"Kita gebuk saja, baru suruh dia
merangkak minta ampun!" tukas yang
satunya lalu memukulkan tangannya ke
arah gubuk reot. Angin pukulan menderu
melabrak dinding bnmbu. Dinding itu
bobol, serangan yang dilancarkan si
orang bertopeng terus meluncur mongarah
pada si nenek peot. Nenek berambut
keperak-perakan ini langsung berkelit ke
samping sambil mengeluarkan seruan
tertahan, Begitu mengetahui serangan
yang dilancarkan oleh orang bertopeng
tahulah dia siapa adanya orang-orang
ini. Si nenek peot melesat ke luar
melalui dinding yang jebol itu. Dengan
tanpa menimbulkan suara, kedua kakinya
mendarat persis di depan orang itu. Nenek
peot langsung saja tunjuk hidung.
"Kalau tak salah penglihatanku!
Tentu kalian berdua adalah kunyuk-kunyuk
dari Gunung Kadas! Mau apa kalian?" tanya
si nenek sambil bertolak pinggang.
Kedua orang bertopeng itu langsung
terkekeh: "Rupanya mata tuamu masih awas
juga, bagus! Kalau kau memang masih
mengenali kami! Cepat serahkan kunci
rahasia Sindang Darah!" perintahnya.
"Hihihi... kalian sudah menjadi
pecundangku. Apakah aku tidak salah
dengar?"
Mendengar jawaban si nenek yang
mencemooh, marahlah si orang bertopeng
dari Gunung Kadas ini.
"Tua bangka keparat... sepuluh
tahun yang lalu kau boleh jual lagak di
depan kami."
* * *
DUA
Lagi-lagi nenek peot terkekeh,
sampai-sampai giginya yang tinggal tiga
ikut bergoyang-goyang. Hal ini tentu
saja membuat si orang bertopeng semakin
bertambah marah.
"Tikus peot, hanya dua pilihan ada
padamu, kau serahkan kunci rahasia
Sindang Darah atau kukirim kau ke liang
kubur...!" ancam dua bangsat dari Gunung
Kadas.
Nenek peot hentikan tawa, lalu
gertakkan mining yang sudah tak bergigi
lagi.
"Setan-setan tak berguna, dulu
nyawa busuk kalian telah kuampuni! Kini
kalian hendak meminta kunci rahasia!"
bentak nenek peot geram. "Kalau kalian
mau, nih kunci kakus...!"
Bersamaan dengan ucapannya, nenek
perlihatkan dua lempengan batu cadas
tepat kearah ke perut si orang bertopeng.
Kedua bangsat itu tergelak-gelak.
"Segala tua bangka bau tanah mau
bertingkah didepan topeng hitam...!"
Orang-orang bertopeng serentak
tadahkan tangan.
"Grep... Grep...!
Sambitan lempengan batu cadas yang
telah dialiri tenaga dalam itu dapat
ditangkap dengan baik oleh si manusia
bertopeng. Lain dengan kekuatan yang
berlipat ganda, orang bertopeng itu
mengembalikan serangan.
"Weer... weer...!"
Laksana kilat batu lempengan itu
melesat tanpa ampun.
Begitu diiihatnya batu itu mengarah
pada dua jalan kematian, sambil berseru
kaget nenek peot berjumpalitan.
Batu-batu itu terus mendera, kemudian
menghantam sebatang pohon. Pohon itu pun
roboh menimbulkan suara berisik,
sedangkan yang satu lagi melesat entah ke
mana. Demi melihat kemajuan yang
dimiliki Topeng Hitam, terkesiaplah
darah si nenek peot. Dia benar-benar
tiada menyangka kalau dalam waktu hanya
sepuluh tahun si Topeng Hitam telah
memiliki kemajuan yang demikian
pesatnya. Si orang bertopeng demi
melihat si nenek peot berdiri tegak
laksana patung, keduanya lalu
tergelak-gelak.
"Nenek pikun! Kau tentu heran
melihat kehebatan yang telah kami
miliki, ketahuilah dunia yang gersang
ini penuh dengan kemungkinan!" ujar
Topeng Hitam. "Tunggu apa lagi, kalau kau
sayang pada jiwamu yang tiada harga!
Cepat serahkan Kunci Rahasia dan
merangkaklah seperti seekor monyet,
mudah-mudahan kami berkenan mengam-
punimu...!"
"Puih, manusia-manusia anjing!
Mampus lebih terhormat bagiku daripada
harus menyembah pada budak iblis...!"
Nenek peot nampak marah sekali. Si
Topeng Hitam kembali tergelak-gelak.
"Hemm... rupanya kau jenis manusia
kepala batu, mampuslah...!"
Berkata begitu dua orang bertopeng
ini kirimkan serangan dahsyat sekaligus.
Andai saja nenek peot tidak bersikap
waspada sejak semula, tentu dengan
sekali bantam remuklah dadanya yang
kurus kerempeng itu, akan tetapi bukan si
nenek peot kalau dalam segebrakan saja
dia kena dipukul roboh. Seperti
diketahui, dulunya nenek ini adalah
seorang tokoh persilatan dari bagian
Tenggara yang dijuluki oleh banyak orang
"PERAWAN KELABANG UNGU." Selama malang
melintang di rimba persilatan, dia
sangat disegani oleh kawan maupun lawan,
apalagi dengan senjata andalan berupa
"Kelabaag Ungu" yang sangat tidak
diragukan kemampuannya. Dengan senja-
tanya yang sangat beracun itu dalam tempo
sekejap mata saja dia mampu merobohkan
sepuluh bahkan lebih secara bersamaan.
Demikianlah dengan sedikit berkelit
kesamping kiri serangan yang dilancarkan
oleh si Topeng Hitam pertama dapat
dielakkan, sedangkan serangan si Topeng
Hitam kedua karena datangnya hampir
bersamaan sangat sulit baginya untuk
melakukan hal yang sama. Tak pelak lagi
tangannya berkelebat menangkis.
"Plak... plak...!"
Dua tangan yang sudah dialiri tenaga
dalam itu bertemu, si Topeng Hitam kedua
terjengkang mencium tanah, sedangkan si
nenek peot bersurut dua langkah ke
belakang. Belum lagi si nenek siap pada
posisinya, si Topeng Hitam pertama sudah
kembali menyerangnya dengan gencar.
Nampaknya si Topeng Hitam ini ingin
segera menghabisi riwayat si nenek peot.
Kini dengan Ajian Bolo Sewu, yang baru
saja dipelajarinya, kemampuan si Topeng
Hitam ini, baik dalam hal tenaga,
kekuatan maupun kesempurnaan kemampuan
batinnya nampak lebih mantap dan patut
dia banggakan. Si nenek peot terus
berkelit menghindar, angin pukulan
menyambar-nyambar. Bahkan rambut dan
pakaian si nenek yang berwarna putih itu
sampai berkibar.
Nenek peot dibuat kalang kabut,
apalagi si Topeng Hitam kedua kini sudah
bangkit dan langsung ikut menyerang si
nenek peot tanpa ampun, dari dua arah si
nenek mendapat perlawanan yang cukup
sengit. Pertarungan berlangsung dua
puluh jurus, sejauh itu dia hanya mampu
membendung dan menangkis serangan
serangan yang dilancarkan lawan. Agaknya
faktor usia yang sudah sangat jauh
berbeda ditambah lagi dengan kemajuan
yang dimiliki oleh si Topeng Hitam.
Beberapa saat kemudian dia segera jatuh
di bawah angin, si nenek semakin terdesak
hebat, hingga pada satu saat yang tepat
si Topeng Hitam pertama berhasil
menyarangkan sebuah pukulan yang diberi
nama "Gajah Menendang Semut." Tanpa
ampun tubuh nenek peot terpelanting
roboh dan muntah darah. Si Topeng Hitam
terus memburu dan melancarkan
pukulan-pukulan andalan. Tubuh si nenek
yang sudah terluka itu berguling-guling.
Topeng Hitam kedua agaknya sudah tidak
sabar lagi untuk segera mengakhiri
riwayat si nenek, Dengan jarak yang
sangat dekat dia terus mencecar nenek
peot. Perawan bangkotan ini semakin
tunggang langgang. Merasa benar-benar
sangat keteter, nenek peot merogoh
jubahnya, sekah tangannya bergerak,
seekor kelabang warna ungu melesat ke
arah tangan si Topeng Hitam kedua. Orang
ini sudah tidak sempat menarik tangannya
yang sudah sempat terjulur. Tak ayal
Kelabang Ungu yang disambitkan nenek
peot menekat erat dan melukai tangan si
Topeng Hitam. Si Topeng Hitam menjerit
setinggi langit sambil inemegangi
tangannya yang mulai berubah warna ungu.
Demi menyaksikan adiknya kena dicederai
oleh senjata si nenek, Si Topeng Hitam
pertama semakin bertambah gusar. Sambil
mengeluarkan jurus-jurus yang paling
diandalkan, Topeng Hitam pertama
membentak:
"Peot, sialan bau cacing tanah, kau
pasti akan menyesali perbuatanmu itu
sampai keliang kubur! Sekarang terimalah
kematian...!"
Bersamaan dengan ucapannya, si
Topeng Hitam pertama lancarkan pukulan
yang cukup telak. Nenek peot meskipun
berusaha menghindar, namun jemari tangan
si Topeng Hitam bagai bermata terus saja
mengejar ke mana pun nenek peot berkelit.
Akibatnya:
"Buuuuk...!"
Untuk yang kedua kalinya nenek peot
terlempar beberapa tombak dengan
menderita luka dalam yang teramat parah.
Darah kental membasahi pakaian yang
dikenakannya. Nenek peot menggeliat
beberapa kali. Agaknya si Topeng Hitam
masih kurang puas dengan keadaan yang
terjadi. Lalu rangkapkan kedua
tangannya, sekali saja tangan itu
berkelebat, meluncurlah puluhan benda
hitam runcing menderu. Tanpa ampun
puluhan benda itu menembusi tubuh yang
sudah tiada berdaya. Tubuh nenek peot
menggeliat sesaat dan kemudian diam
untuk selama-lamanya. Topeng Hitam
tersenyum tipis, sepasang matanya yang
tipis menyiratkan rasa puas. Sambil
melangkah mendekati mayat nenek peot, Si
Topeng Hitam bergumam:
"Dasar nenek sial! Diberi jalan ke
surga, ee... malah memilih jalan ke
neraka!" Topeng Hitam berjongkok dekat
tubuh si nenek peot yang mulai membeku,
kemudian dia langsung menggeledah
pakaian yang dikenakan si nenek peot.
Begitu dia mendapatkan sesuatu yang
terselip di pinggang si nenek. Si Topeng
Hitam tertawa tergelak-gelak. Akan
tetapi begitu dia menoleh ke belakang
betapa terkejutnya orang dan Gunung
Kadas ini begitu melihat kawannya
tergeletak pingsan.
Dengan cepat dia membara, si Topeng
Hitam segera memeriksa keadaan kawannya
yang satu ini. Begitu mengetahui apa yang
sesungguhnya sedang terjadi, pucatlah si
Topeng Hitam ini. Kiranya bisa Kelabang
Ungu yang sempat melukai tangan Topeng
Hitam kedua mulai menjalar ke mana-mana.
Topeng Hitam pertama segera menotok
jalan darah utama untuk mencegah jangan
sampai bisa yang sangat ganas ini
menjalar ke jantung. Tubuh kawannya ini
segera pula diumtnya pada bagian-bagian
tertentu. Beberapa saat kemudian tubuh
Topeng Hitam kedua menggeliat lemah,
dengan mengeluarkan erangan dia mencoba
bangkit untuk duduk, si Topeng Hitam
pertama segera membantu.
"Saudaraku... kau tadi sempat
kelenger! Bisa Kelabang milik tua bangka
keparat itu bisa merenggut nyawamu!
Bagaimana ini...?" Hela si Topeng Hitam
pertama kebingungan.
"Bagaimana...! Apakah kau sudah
mendapatkan kunci rahasia Sindang Darah
dari si terkutuk itu...?"
Yang ditanya hanya mengangguk.
"Kalau begitu potong saja tangan
yang sudah tak berguna ini...!" tukas si
Topeng Hitam kedua pasrah. Sebaiknya
kawannya menjadi tampak ragu. Hal ini
membuat jengkel Topeng Hitam yang
terluka.
"Tunggu apa lagi, apakah kau mau
menungguku sampai mampus baru kemudian
memotong mayatku...!"
"Tapi Saudaraku...!"
"Tak ada tapi-tapi! Cepat
kerjakan...!" bentak Topeng Hitam kedua
tak sabar. Lalu tanpa menunggu
diperintah dua kali orang ini pun segera
mencabut belati yang sangat tajam
mengkilap. Sekali saja belati yang
sangat tajam itu berkelebat.
"Craas...!"
Darah memancar deras dari lengan
tangan yang sudah terkutung. Dengan
cepat si Topeng Hitam pertama menotok
pembuluh nadi besar demi mencegah
mengalirnya darah lebih banyak lagi.
Meskipun si Topeng Hitam kedua telah
merelakan tangannya untuk dibuntungi tak
urung orang ini menjerit-jerit
kesakitan. Tanpa buang-buang waktu lagi,
si Topeng Hitam pertama segera menyambar
tubuh kawannya. Akhirnya dengan
memanggul tubuh si Topeng Hitam kedua,
orang ini pun berkelebat pergi. Beberapa
saat kemudian mereka lenyap ditelan
kegelapan malam.
Sementara itu Wanti Sarati yang
sejak awal ikut menyaksikan pertarungan
melalui lubang dinding dapur, kini
mengetahui nenek peot terkapar kojor
segera memburu ke luar.
Begitu sampai di sisi tubuh si nenek
peot, demi mengetahui keadaannya yang
sangat menyedihkan. Menjeritlah gadis
cilik ini. Dipelukinya tubuh yang kaku
membeku itu. Diiringi tangis yang tiada
henti.
"Nenek peot... huhuhu... apa dosamu
nek! Jangan tinggalkan aku...." Wanti
Sarati terus menangis, hingga tak berapa
lama kemudian tetangga di kanan kiri pun
berdatangan. Dusun Karta kembali gempar,
berita tentang kematian si nenek peot
cepat tersebar dari mulut ke mulut.
Dalam pada itu Wanti Sarati yang
telah kehilangan kedua orang tua dan kini
harus kehilangan nenek peot satu-satunya
orang yang paling dekat dalam hidupnya.
Mendadak hentikan tangis. Tangannya yang
kecil mungil terkepal, mulut terkatup
rapat. Gadis cilik yang cerdik ini nampak
marah sekali.
"Manusia Topeng busuk...!
Nantikanlah pembalasanku!"
Berkata begitu Wanti Sarati di luar
sepengetahuan orang-orang dusun segera
bergegas pergi.
* * *
Langit terang, resik tiada ber-
gumpal awan. Matahari di pagi itupun
bersinar sangat cerah. Kehidupan mahluk
di pagi hari berjaian seperti hari-hari
sebelumnya. Di sebuah jalan setapak
seorang pemuda berwajah sangat tampan,
nampak berjalan melenggang menuruni kaki
bukit. Sinar matahari pagi yang berwarna
kemilau kekuning-kuningan mengiringi
langkahnya yang ringan. Dengan pakaian
warna merah darah, sebuah periuk besar
yang selalu dia bawa ke mana-mana. Siapa
lagi gerangan pemuda ini kalau bukan
Buang Sengketa, si Hina Kelana dari
negeri Bunian.
Sejak Buang hentikan langkah, tak
begitu jauh di depannya dia melihat
seorang bocah kecil melangkah
terseok-seok menjauh darinya.
"Hemm, Siapa bocah itu, sepagi ini
telah berada di bukit tandus seorang
diri!" gumam Buang Sengketa dalam hati.
Begitu pemuda tampan ini kembali
memandang ke depan bocah cilik yang tadi
dilihatnya kini sudah tak tampak lagi.
Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin
sebentar saja tubuh pemuda itu melesat
laksana terbang. Hanya dalam tempo yang
singkat dia sudah sampai didekat si bocah
cilik yang tak Iain merupakan seorang
perempuan. Semenjak Buang Sengketa
memperhatikan gadis yang tengah njelepok
di atas batu pinggiran jalan. Sepasang
matanya yang sayu, nampak tak perduii
pada kehadirannya. Sebaliknya malah
menatap kosong pada tumpukan batu-batu
yang berserakan.
* * *
TIGA
Tentu saja tingkah si bocah menarik
perhatian Buang Sengketa. Dengan
hati-hati Pendekar Hina Kelana bermaksud
menghampiri bocah itu. Namun baru saja
dia melangkah beberapa tindak, gadis
cilik itu dengan garang membentak.
"Jangan dekati aku! Sekali lagi kau
melangkah, aku akan terjun ke dalam
jurang sana...."
Gadis cilik itu mengancam membuat
Buang Sengketa membatalkan niatnya.
Buang Sengketa sendiri merasa heran
mengapa bocah ini bertingkah sangat
aneh. Mungkinkah telah terjadi sesuatu
dengannya, sehingga dia menaruh curiga
pada setiap orang.
"Nduk. Jangan nekad, aku bukan orang
jahat...!"
Pendekar Hina Kelana coba membujuk.
Gadis cilik itu mencibir sambil
memandang penuh kebencian.
"Jangan bohong... semua orang
jahat!" tukasnya.
"Mereka menculik Ibu, membunuh
Ayah! Nenek peot juga mereka bunuh. Masih
kau mungkir bahwa kau juga bukan orang
jahat...?"
Tudingnya seolah menuduh.
Mengertilah pemuda ini apa
sesungguhnya yang sedang terjadi pada
gadis itu. Buang Sengketa nampak
berpikir sejenak, kemudian ucapnya
dengan suara pelan.
"Percayalah Nduk, Ibuku juga mati
dibunuh orang! Kau tidak sendirian, aku
juga mengalami nasib seperti engkau."
Si gadis cilik yang tak lain Wanti
Sarati adanya, walau masih berumur
sembilan tahun sebagai bocah yang
berpikiran cerdas tentu dapat memahami
apa yang diucapkan Buang Sengketa.
Mendadak dia menoleh.
"Jadi Ibumu juga sudah mati...?"
selanya tak percaya.
"Benar! Ibuku telah tiada bahkan
ketika aku masih berumur satu hari...!"
Mendengar pengakuan Buang Sengketa,
serta merta gadis itu langsung bangkit
dari duduknya.
"Paman!" Ujar si gadis berubah
sopan. "Aku ingin membalas dendam...
mereka harus mati paman...!"
Tanpa ragu lagi Buang Sengketa
menghampirinya. Gadis itu berlari dan
memeluk si Hina Kelana. Dalam pelukan
Buang Sengketa dia menangis
sejadi-jadinya. Untuk beberapa saat dia
membiarkan hal itu berlalu. Akan tetapi
tak lama kemudian dia membujuk.
"Nduk, siapakah namamu?"
Wanti Sarati hentikan tangisnya,
kemudian memandang agak lama pada Buang
Sengketa. Lalu tanpa ragu lagi dia
berucap.
"Namaku Wanti Sarati, paman...!"
"Wanti Sarati! Asalmu dari
mana...?" tanya si Hina Kelana lebih
lanjut.
"Dusun Karta...! Paman sendiri
siapa...?"
Wanti Sarati balik bertanya. Buang
Sengketa tersenyum ramah, kemudian
mengajak Wanti Sarati berteduh di bawah
sebatang pohon. Pendekar dari negeri
Bunian itu segera mengeluarkan dendeng
ikan lumba-lumba dari dalam periuknya.
Pemuda itu memberikan beberapa potong
dendeng pada Wanti Sarati.
"Makanlah... dendeng ini enak
sekali...!" ujar Buang Sengketa sambil
menikmati bekal yang selalu dia bawa,
"Paman tadi belum menjawab
pertanyaanku...!" kata Wanti Sarati
menuntut.
Lagi-lagi Buang Sengketa tersenyum.
"Namaku Buang Sengketa...!"
"Buang Sengketa! Namamu aneh sekali
paman...?" ujar Wanti Sarati heran.
"Buang... adalah karena memang
sejak bayi aku sudah dibuang! Sedangkan
Sengketa karena memang kelahiranku
dipersoalkan oleh banyak orang...!" kata
Buang Sengketa seadanya. Wanti Sarati
masih mengangguk heran.
"Paman aneh sekali... lalu paman
berasal dari mana...?"
Pendekar Hina Kelana tergelak gelak
be gitu dia melihat bahwa sesungguhnya
Wanti Sarati meskipun merupakan bocah
yang sangat cerdik tetapi juga lugu.
Sambil mengusap-usap rambut Wanti
Sarati, pemuda itu melanjutkan.
"Aku datang dari negeri yang jauh.
Wanti..!"
"Maksud Paman?"
"Aku perpaduan antara alam gaib dan
nyata! Tapi kurasa akalmu belum sampai
untuk menerima apa yang kukatakan ini.
Dan kurasa itu tak begitu penting bagimu.
Sekarang katakanlah kau hendak ke mana.
Kalau mungkin Paman akan membantumu...!"
kata Buang Sengketa tegas.
Wanti Sarati begitu mendengar
keputusan Buang Sengketa kelihatan
sangat bergembira sekali.
"Benarkah itu Paman...!" sela Wanti
Sarati tak begitu yakin.
Pendekar dari negeri Bunian ini
hanya mengangguk pasti.
"Katakan dulu kau mau ke mana!"
Dengan mantap pula dia menjawab.
"Aku mau mencari si Topeng Hitam
yang telah membunuh bapak dan nenek
peot!"
Mendengar penjelasan Wanti Sarati,
Pendekar Hina Kelana ini gelengkan
kepala dan garuk-garuk rambutnya yang
tak gatal.
"Wanti... dendam mendendam itu
tidak baik! Lagipula apa yang akan kau
lakukan seandainya bertemu dengan
orang-orang itu?"
Wanti Sarati katupkan gerahamnya
rapat-rapat, kemudian dengan bibir
bergetar: "Aku akan membunuh mereka
dengan tusuk konde ini...!" Wanti Sarati
mencabut tusuk konde yang berada di atas
rambutnya. Kemudian segera memper-
lihatkannya pada Buang Sengketa. Pemuda
itu segera mengamati tusuk konde yang
diberikan Wanti Sarati padanya. Buang
Sengketa mendadak tersentak kaget.
Meskipun tusuk konde itu sudah sangat
butut, akan tetapi dengan pasti dia dapat
memastikan bahwa tusuk konde itu
sesungguhnya merupakan sebuah pusaka
yang sangat ampuh. Kemudian apabila ia
memperhatikan lebih jauh lagi maka
pemuda ini semakin bertambah terkejut,
sebab pada sisi yang lainnya terdapat
sebuah lekukan-lekukan kecil yang sangat
mirip dengan sebuah anak kunci.
"Jangan-jangan tusuk konde ini
merupakan sebuah kunci rahasia yang kini
sedang dicari-cari oleh berbagai
golongan persilatan. Kalau memang benar
apa yang dia duga, tentu Wanti Sarati
dalam bahaya." Dengan cepat Buang
Sengketa segera bertanya:
"Wanti... dari mana kau peroleh
tusuk konde ini...!" tanya Buang
Sengketa tiada berkedip.
"Mengapa Paman! Mengapa Paman
terkejut seperti itu...!" tanya Wanti
Sarati keheranan.
"Wanti. Itu tidak penting, yang
ingin Paman ketahui dari mana kau
dapatkan tusuk konde ini...?"
Mendadak Wanti Sarati tertawa.
"Hihihi... paman lucu, tusuk konde
itu pemberian nenek peot. Katanya dia
dapat menjaga keselamatanku. Lagi pula
pesan nenek tusuk konde ini tidak boleh
sampai hilang atau terjatuh ke tangan
orang lain...!"
Kini semakin yakinlah Buang
Sengketa bahwa tusuk konde yang ada pada
gadis cilik itu merupakan sebuah kunci
pusaka pembuka pintu rahasia Sindang
Darah. Demi menjaga keselamatan Wanti
Sarati dia pun lalu berucap pada gadis
cilik itu: "Wanti. Bagaimana kalau
engkau ikut Paman saja...!"
Wanti Sarati gelengkan kepala.
"Tidak Paman! Aku mau mencari si
Topeng Hitam yang membuat hidupku
sengsara...!" jawab gadis itu tegas.
"Jadi kau benar-benar tak mau ikut
dengan Paman...!"
"Tidak...!" tegas-tegas Wanti
Sarati menjawab.
"Bagaimana kalau Paman juga berniat
mencari si Topeng Hitam,..?" pancing
pendekar Hina Kelana menunggu beberapa
saat lamanya.
"Kalau begitu aku mau...!" kata
Wanti Sarati tersenyum cerah.
"Kalau begitu, marilah kita
berangkat!" kata Buang Sengketa.
Kemudian dengan menggandeng tangan
Wanti Sarati keduanya melesat dan
terbang laksana angin.
* * *
Dengan rambutnya yang setengah
botak dan berwarna keabu-abuan, dia
terus melangkah, seolah dia begitu
mengenali jalan yang sedang dilaluinya.
Padahal kedua matanya buta sama sekali.
Siapa lagi si rambut setengah botak dan
berpakaian putih ini? Dia tak lain adalah
si Padri Mata Elang adanya.
Hampir seluruh kaum rimba
persilatan mengenali dia. Kemampuan
silat yang tiada memiliki tanding,
jurus-jurus elang mautnya yang dahsyat
serta tindakannya yang sewenang-wenang.
Membuat semua orang merasa jerih
terhadap Padri Buta dari lembah hantu
ini. Konon sudah sangat lama Padri Buta
ini sudah sangat jarang sekali
menampakkan diri di dunia ramai, selama
bertahun-tahun terakhir dia
mengasingkan diri dan menyepi di lembah
hantu. Dari kabar yang dapat dipercaya
kebenarannya. Sejak Padri Mata Elang
berhasil dikalahkan oleh saudara
seperguruannya, yaitu Padri Agung
Sindang Darah, belakangan dia
memperdalam dan menciptakan ilmu sakti
yang sangat langka. Tujuannya jelas
ingin membalas dendam atas kekalahannya
pada Padri Agung Sindang Darah.
Lain lagi halnya dengan Padri Agung
Sindang Darah, semenjak terjadinya
keributan yang memakan banyak korban itu
kini dia mengasingkan diri di
tengah-tengah pulau yang terletak di
Sindang Darah. Dia benar-benar telah
insyaf dan menyesali perbuatannya yang
dengan tega membunuh gurunya sendiri,
yaitu Padri Suci Pengayom Jagat. Semua
itu sampai terjadi adalah karena akibat
ulah Padri Mata Elang yang telah
menghasutnya untuk bersekutu demi
merebut sebuah kitab pusaka "Pembelah
Jagat." Tak urung setelah semuanya
kesampaian tahulah Padri Sindang Darah
bahwa dirinya telah diperalat oleh
saudara seperguruannya. Untuk itu dia
menuntut agar kitab pusaka Pembelah
Jagat dikembaiikan ke tempat asalnya.
Akan tetapi mana mau Padri Mata Elang
melakukan permintaan Padri Agung Sindang
Darah, sebaliknya Padri Mata Elang malah
mengerahkan murid-muridnya untuk
mengeroyok Padri Agung Sindang Darah.
Pertarungan itu berakhir dengan
kemenangan di pihak Padri Agung Sindang
Darah. Dendam kesumat pun terbawa pergi.
Kebencian terhadap almarhum gurunya yang
selalu pilih kasih terhadap
murid-muridnya, ditambah lagi kekalahan
yang dia terima dari Padri Agung Sindang
Darah semua berbaur menjadi satu, dan
membulatkan satu tekad untuk mempelajari
kitab pusaka Pembelah Jagad dalam waktu
sesingkat mungkin.
Sementara Padri Agung Sindang Darah
sejak peristiwa itu segera menyerahkan
sebuah kunci rahasia yang berupa tusuk
konde pada salah seorang murid
wanitanya. Dan Padri pun menyuruh sang
murid untuk mengunci pintu rahasia dari
luar.
Kalau siang itu Padri Mata Elang
keluar dari sarangnya Lembah Hantu sudah
barang tentu ada sesuatu yang sangat
penting yang sempat sampai ke
telinganya. Seperti yang dilaporkan oleh
salah seorang muridnya bahwa kunci
Rahasia Sindang Darah kiranya kini
menjadi rebutan berbagai golongan yang
punya ambisi untuk mengangkangi
pusaka-pusaka yang berada di sebuah
daratan yang masih dalam wilayah yang
dijadikan tempat nyepi oleh Padri Agung
Sindang Darah.
Padri Mata Elang begitu mendengar
berita itu, mana mau hanya berpangku
tangan begitu saja. Apalagi sejak dulu
semasih gurunya hidup dia memang puny a
ambisi besar untuk menguasai segala
peninggalan almarhum gurunya.
Kini ada orang lain pula yang ingin
mengangkangi kitab-kitab pusaka yang
sangat berharga itu. "Huh. Hal ini tidak
boleh terjadi, dia harus menjagal
orang-orang yang berniat serakah itu!"
Tanpa menghiraukan situasi di
sekelilingnya Padri Buta itu terus
melangkahkan kakinya. Semilir angin
berhembus sepoi-sepoi sesekali
mengibarkan jubah panjang yang
dipakainya.
Meskipun Padri Mata Elang selama
melangkah tiada pernah menoleh ke
belakang akan tetapi dia tahu kalau sejak
tadi ada beberapa orang yang sedang
menguntit perjalanannya. Hingga tak
begitu lama kemudian sampailah dia di
sebuah tikungan jalan yang sangat
sempit. Padri Mata Elang hentikan
langkah, kemudian tanpa menoleh ke be-
lakang dia gerakkan tangannya.
"Weer... weeer...!"
Senjata rahasia yang berupa Ular
Hijau itu melesat bagaikan anak panah. Si
penguntit yang tiada menduga akan
gerakan Padri Mata Elang yang begitu
tiba-tiba, beberapa orang di antara
mereka sudah tidak dapat mengelak lagi.
Ular-ular melekat erat pada bagian dada,
tangan bahkan mata para korbannya.
Saat itu juga pekik kematian
menggema di tempat itu. Anehnya begitu
ular-ular hijau itu telah membunuh
mangsanya mereka bagai mengerti saja
segera kembali pada tuannya.
* * *
EMPAT
Tanpa diperintah ular-ular itu
berebut memasuki kantong jubah Padri
Mata Elang. Terkesiaplah hati para
penguntit Padri Mata Elang, namun karena
mereka disertai oleh pemimpinnya, maka
sedikit banyaknya rasa gentar itu
perlahan-lahan mulai pupus. Apalagi
mereka cukup tahu bahwa sang pemimpin
mempunyai kemampuan yang sangat luar
biasa.
Ketika mereka saling berpandangan
sesamanya, saat itu pula Padri Mata Elang
membentak:
"Penguntit sialan... mengapa hanya
saling pandang seperti itu, Cepat
menyingkir... atau aku harus mengirim
kalian ke liang kubur?"
Meskipun mereka tahu bahwa Padri
Mata Elang yang mereka hadapi ini masih
sangat awas perasaannya agaknya
orang-orang ini merasa takut. Bahkan dua
orang di antara mereka melompat dan
langsung berhadapan dengan si Padri
Buta.
"Padri mata picak... lancang sekali
perbuatanmu telah berani membunuh
kawan-kawan kami...!" bentak pimpinan
mereka yang berbadan kurus macam
Jerangkong. Sesuai dengan keadaan
tubuhnya, dunia persilatan mengenalnya
sebagai Si Jerangkong Hidup. Usianya
juga tidak jauh beda dengan si Padri Mata
Elang. Sama halnya dengan si Padri Mata
Elang beberapa tahun terakhir, Si
Jerangkong Hidup sudah sangat jarang
sekali berkeliaran di dunia ramai.
Agaknya dia juga punya tujuan yang sama
dengan si Padri Mata Elang, yaitu
sama-sama ingin memperebutkan berbagai
kitab pusaka yang tiada ternilai
harganya.
"Segala tikus-tikus tiada guna,
bapak moyangnya sekalipun berani
bertingkah di hadapanku tak kan kuberi
kesempatan hidup...!" Padri Mata Elang
balik membentak. Tiba-tiba Si Jerangkong
Hidup tertawa tergelak-gelak.
"Hak... hak... hak...! Padri
terkutuk, raja dari segala malapetaka.
Kau sudah menjadi pecundang saudara
seperguruanmu! Masihkah engkau mau unjuk
gigi di depanku...!" ejek Si Jerangkong
Hidup diiringi derai para
kembrat-kembratnya. Padri Mata Elang
terdiam sesaat, dia mencoba
mengingat-ingat siapa gerangan adanya.
Tapi begitu dia ingat suara tawanya,
Padri Mata Elang malah tertawa ganda.
Suara tawanya sambung menyambung tiada
henti, hingga mereka yang berada di
sekitarnya merasakan rasa sakit yang
sangat luar biasa. Mengetahui
kawan-kawannya kena dipengaruhi oleh si
Padri Buta, marahlah Si Jerangkong Hidup
bukan alang kepalang.
"Padri gila! Kau mau pamer suara
tawa si Gelitik Setan! Huh... cuma mainan
bocah saja kau pamerkan di depanku...!"
Si Jerangkong Hidup mendengus.
Mendadak Padri Mata Elang hentikan
tawanya, sebagian alisnya yang sudah
memutih nampak bergerak-gerak.
"Jerangkong Hidup... mau sebut nama
saja mengapa kau sungkan-sungkan...!"
"Bagus kalau kau sudah mengenaliku!
Aku jadi tidak usah repot-repot menagih
hutang darah yang telah kau lakukan pada
adik seperguruanku...!" kata Si
Jerangkong Hidup sambil menyiapkan
senjatanya yang berupa sebuah Gunting
Raksasa. Agaknya Padri Mata Elang juga
mengetahui apa yang sedang dilakukan
oleh Si Jerangkong Hidup. Lalu dia
berkata mengejek:
"Jerangkong tukang potong rumput.
Mengapa tidak dulu-dulu kau
melakukannya, atau bukan karena tergiur
pada kitab Pusaka milik perguruan kami
maka engkau mencariku...!" Padri Mata
Elang tersenyum sinis.
Si Jerangkong Hidup semakin ber-
tambah geram.
"Hak... hak... hak! Setelah kau
membunuh guru sendiri, masihkah kau
hendak mengaku bahwa Padri Agung
Pengayom Jagat itu gurumu...!" sindir Si
Jerangkong Hidup.
Marahlah Padri Mata Elang mendapat
penghinaan seperti itu.
"Jahanam! Kau terlalu mencampuri
urusanku. Mampuslah...!"
Bersamaan dengan kata-katanya Padri
Mata Elang angkat tangan ke atas,
kemudian sekali saja tangan itu
berkelebat, tapi Si Jerangkong Hidup
sebagai orang yang seangkatan dengan
Padri Mata Elang tidaklah berkepandaian
rendah. Dengan segala kemampuan, dia pun
malah menerang ke depan. Sebentar saja
perlarungan menjadi seru. Agaknya yang
ada di dalam otak pikiran Si Jerangkong
Hidup adalah bagaimana agar secepatnya
dapat merobohkan si Padri Mata Elang yang
telah membunuh saudara seperguruannya.
Si Jerangkong Hidup dengan mengandalkan
ilmu totokan yang dimilikinya terus
mencecar lawan, kedua tangannya yang
bagaikan bermata itu berkiblat ke segala
arah. Sementara itu Padri Mata Elang
dengan mempergunakan jurus-jurus
andalan yang diberi nama "Elang Maut
Kepakkan Sayap" juga tidak kalah
hebatnya. Sambil kirimkan satu pukulan
mengarah ke dada, kakinya juga menendang
ke arah selangkangan Si Jerangkong
Hidup. Lawannya begitu mengetahui
gerakan yang sangat berbahaya ini segera
menarik balik totokannya, akan tetapi
tanpa terduga tubuhnya melesat ke atas.
Meskipun matanya buta kiranya Padri Mata
Elang mengetahui apa yang akan dilakukan
oleh lawannya, dia pun segera bertindak
cepat. Begitu tubuh Si Jerangkong Hidup
menukik ke bawah dan langsung kirimkan
satu pukulan, tak ayal lagi Padri Mata
Elang yang sempat merasakan adanya angin
menyambar ke arah kepalanya dengan cepat
dia memapasi. Tak dapat dihindari lagi:
"Braaasss...!."
"Wer... wer...!"
Tubuh Padri Mata Elang tergetar
untuk beberapa saat lamanya, sementara
itu Si Jerangkong Hidup begitu kakinya
menginjak ke tanah hanya terpeleset
sedikit saja.
"Hak... hak... hak...!" Si
Jerangkong Hidup tertawa ngakak.
"Sebentar lagi kau kubikin mampus mata
picak...." geram Si Jerangkong Hidup.
Kemudian tanpa ampun dia menerjang
lagi. Sebentar saja pertarungan sudah
berlangsung puluhan jurus. Sementara
kembrat-kembrat Si Jerangkong Hidup
nampak menanti dengan sikap tak sabar.
Dalam pada itu tiba-tiba saja, Padri Mata
Elang melompat beberapa langkah
kebelakang ketika pada saat yang tepat Si
Jerangkong Hidup berhasil menotok
bagian dada Padri Mata Elang. Agaknya
Padri Mata Elang sangat kebal terhadap
segala macain ilmu totokan. Terbukti
ilmu totokan Si Jerangkong Hidup yang
dikenal tiada duanya tidak berpengaruh
apa-apa terhadap Padri Mata Elang. Hal
ini tentu sangat mengejutkan hati Si
Jerangkong Hidup, sebab sepanjang yang
dia ketahui Padri Mata Elang ini
sesungguhnya bukanlah manusia yang kebal
terhadap berbagai senjata tajam apalagi
dengan ilmu totokan si Jari Sakti yang
dia miliki. Dalam keragu-raguan seperti
itu mendadak Padri Mata Elang tertawa
tergelak-gelak.
"Tengkorak Hidup, ketahuilah bahwa
Padri Mata Elang yang kini sedang kau
hadapi bukanlah Padri Mata Elang yang kau
jumpai beberapa tahun yang lalu. Dengan
ilmu Pusaka Pembelah Jagat yang telah
kukuasai, jangankan kau yang tiada
harga. Guruku sekalipun andai masih
hidup tak akan mampu menghadapiku!"
tukas Padri Mata Elang mengejek.
"Manusia sombong sialan! Nanti
setelah menjelang ajal baru kau tahu
siapa di antara kita yang paling pantas
hidup di kolong langit ini...!" Si
Jerangkong Hidup segera cabut senjatanya
yang berupa sebuah Tasbih Raksasa.
Bersamaan dengan itu pula kawan-kawannya
yang lain serentak ikut maju, lalu
beramai-ramai mengeroyok Padri Mata
Elang. Orang buta dari Lembah Hantu itu
pun tertawa ganda:
"Bagus...! Majulah kalian semuanya!
Aku pun tak ingin buang-buang waktu
melayani tikus-tikus tiada berguna...!"
Disertai dengan sebuah bentakan
Padri Mata Elang menerjang maju. Dalam
waktu sekejap saja dia sudah terkurung
dari segala penjuru.
Akan tetapi walaupun begitu dengan
sikap tenang Padri Mata Elang melayani
mereka. Bahkan bagai orang yang sedang
kesetanan, dengan gencar dia mencecar
lawan-lawannya. Dalam pada itu si Padri
Mata Elang mendapat perlawanan yang
sangat sengit dari Jerangkong Hidup. Dan
sesungguhnya dari sekitar sembilan orang
pengeroyoknya hanya serangan Si
Jerangkong Hiduplah yang paling sangat
berbahaya. Dengan senjata tasbih di
tangan Si Jerangkong Hidup mengumbar
segenap kemampuannya, hingga pada satu
kesempatan:
"Craaak...!"
Tubuh Padri Mata Elang terhuyung,
meski dalam keadaan begitu tangannya
masih sempat menyambar dua pergelangan
tangan lawan sekaligus. Dengan
mempergunakan tubuh lawan dia berusaha
melindungi diri dari serangan-serangan
tasbih Si Jerangkong Hidup. Sudah barang
tentu Si Jerangkong Hidup menarik balik
serangannya. Kali ini Si Jerangkong
Hidup dengan dibantu oleh beberapa orang
kawannya terus mencecar mengarah ke
bagian kaki. Padri Mata Elang bergerak
cepat dan terus memutar tubuh lawan yang
ia pergunakan sebagai perisai itu,
bagaikan sebuah baling-baling. Praktis
kedua lawan yang dia pergunakan sebagai
tameng pelindung menjerit-jerit
ketakutan. Lama kelamaan agaknya Si
Jerangkong Hidup sudah hilang
kesabarannya, hingga dia sudah tidak
perduli lagi dengan keselamatan
kawannya. Keadaan ini tentu sangat
menguntungkan bagi Si Padri Mata Elang.
Hingga beberapa saat kemudian senjata di
tangan Si Jerangkong Hidup menderu ke
arah bagian kepalanya, dengan sangat
mudah sekali Padri Mata Elang berkelit.
Dengan sedikit mengangkat tubuh lawannya
ke atas. Jerangkong Hidup sudah tak
sempat menarik serangannya yang terus
meluncur tanpa kompromi. Maka:
"Proook... prook!"
Jeritan kematian menyertai
berkelojotannya tubuh kawannya sendiri
masih di tangan Padri Mata Elang.
Terkejutlah kawan-kawan Si Jerangkong
Hidup begitu melihat nasib maiang yang
dialami oleh kawan-kawannya.
Padri Mata Elang dengan tersenyum
mengejek berkata: "Hmm... nih, kawanmu
yang sudah tiada guna kukembalikan."
Bersamaan dengan ucapannya,tubuh
lawannya yang sudah menjadi mayat itu dia
lemparkan meng-arah pada Si Jerangkong
Hidup. Terdengar suara bergedebukan
begitu tubuh-tubuh itu nyungsep ke bumi.
Semakin marahlah Si Jerangkong Hidup
melihat ulah Padri Mata Elang yang
menyebalkan itu.
"Mata picak terkutuk... kekejamanmu
sudah melampaui batas! Kau harus mati
secara mengerikan di tanganku...!"
bentak Si Jerangkong Hidup dengan
pandangan yang berapi-api.
"Nyalimu saja yang besar! Mulutmu
berkoar bagai perempuan yang kebingungan
bahkan kini kawanmu sendiri kau bunuh.
Apakah bukan pertanda bahwa kau memang
sudah edan?" ejek Padri Mata Elang.
"Keparat. Anjing licik...!"
Si Jerangkong Hidup menoleh pada
kawan-kawannya yang tinggal tiga orang
lagi, lalu dia membentak gusar: "Minggir
kalian, biar aku sendiri yang menghadapi
si picak iblis ini...!"
Lagi-lagi Padri Mata Elang
tersenyum penuh kemenangan.
"Kau pikir aku akan membiarkan
kawan-kawanmu yang tiada guna itu!
Sebelum aku membinasakan biangnya, nih
kalian makan...!"
"Weer... werr!"
Senjata rahasia yang berupa ular
hijau itu melesat begitu cepat,
sampai-sampai tiga orang kawan Si
Jerangkong Hidup tidak sempat mengelak
lagi.
"Grep... crep... crep...!"
Disertai jerit lolong yang panjang
tiga orang kawan Si Jerangkong Hidup
ambuk ke bumi dengan nyawa melayang.
Semakin bertambah besar kemaraban
Si Jerangkong Hidup demi menyaksikan
nasib yang dialami oleh kawan-kawannya.
"Keparat terkutuk...!" Lagi-lagi Si
Jerangkong Hidup melabrak. Kali ini
serangannya semakin bertubi-tubi.
Agaknya Padri Mata Elang pun sudah tak
sabar untuk segera menyudahi
pertarungan. Mendadak dia merobah
jurus-jurus silatnya. Suatu ketika
tubuhnya berkelebat lenyap bagai
bayang-bayang, dan di lain waktu dengan
pukulan-pukulan tangan kosong dia
memapaki serangan-serangan tasbih
lawannya. Dan apabila kedua tangannya
sudah dirakapkan ke depan dada,
sementara mulutnya berkomat-kamit.
Dalam keadaan seperti itulah pukulan
Pembelah Jagat telah menguasai dirinya.
Tasbih di tangan Si Jerangkong Hidup
terus berkelebat dan menghantam tubuh
Padri Mata Elang bertubi-tubi. Namun
sedikit pun Padri Mata Elang yang sudah
menjadi kebal karena mantra ajian
Pembelah Jagat tidak bergeming. Hingga
beberapa saat kemudian begitu tasbih di
tangan Si Jerangkong Hidup dan kembali
menderu mengarah pada bagian kepala. Ta-
ngan Padri Mata Elang pun bergerak cepat.
"Creep...!" Bahkan langsung.
"Prook...!" Tanpa sempat menjerit
Si Jerangkong Hidup roboh ke tanah dengan
kepala remuk dan nyawa terputus. Padri
Mata Elang tergelak-gelak tanda puas,
kemudian tanpa menolah lagi tubuhnya
melesat pergi bagai angin.
* * *
LIMA
Desa Sindang Sari adalah sebuah desa
yang merupakan perbatasan antara Sindang
Darah di sebelah Selatan dan desa Sindang
Warakan di sebelah Utara.
Pagi itu seorang pemuda tampan
berpakaian merah darah dengan sebuah
priuk besar yang selalu dia bawa ke
mana-mana. Nampak sedang memasuki desa
Sindang Sari yang berpenduduk sangat
padat namun penuh dengan keramah
tamahan. Dengan langkahnya yang
melenggak lenggok sementara seorang
bocah perempuan duduk ongkang-ongkang di
atas pundaknya. Sepintas orang tentu
mengira bahwa pemuda dan bocah yang duduk
di atas pundaknya itu tak lain adalah
seorang gelandangan yang kebetulan
kesasar di desa mereka.
Apapun tanggapan mereka sesung-
guhnya pemuda yang selalu nampak kumuh
dan kotor ini tak lain adalah Pendekar si
Hina Kelana adanya. Seperti diketahui
pemuda keturunan manusia alam gaib itu
sedang berusaha untuk mengejar orang
bertopeng yang telah membunuh orang tua
Wanti Sarati. Hari itu merupakan hari
yang kesepuluh daiam perjalanannya
mencari jejak si manusia bertopeng.
Namun sejauh itu masih belum ada
tanda-tanda bahwa manusia bertopeng akan
segera ditemukan. Kalau tujuan si
manusia bertopeng itu hanyalah ke
Sindang Darah, mengapa dia tak tanyakan
saja di mana letak Sindang Darah yang
sesungguhnya? Berpikir sampai di situ,
Buang Sengketa segera belokkan langkah
menghampiri sebuah warung yang terletak
di sisi jalan itu. Suasana pagi yang
segar serta bau aroma makanan yang lezat
membuat perut si pemuda berkerukukan
minta diisi.
Begitu dia sampai di dalam warung
yang saat itu memang sarat dengan
pengunjung, Buang Sengketa langsung
memesan makanan pada pemiliknya.
"Sediakan kami dua mangkuk nasi
berikut lauk-pauknya, dan juga dua
bumbung tuak...!"kata pemuda itu ramah.
"Baik Kisanak... tapi tunggulah di
meja yang kosong itu!" kata pemilik
warung lalu menunjuk tempat yang
dimaksudkan.
Buang Sengketa setelah menurunkan
Wanti Sarati dari pundaknya segera
melangkah ke arah meja yang terletak di
sudut ruangan.
"Paman. Sampai di manakah kita
ini...?" tanya Wanti Sarati sambil
memperhatikan orang-orang di seke-
lilingnya.
"Paman juga tidak tahu. Tapi nanti
bisa kita tanyakan pada pemilik warung."
"Tempat ini ramai sekali, Paman...!"
Buang Sengketa tersenyum sambil
memandangi wajah Wanti Sarati yang polos
dan cantik.
"Hemmm... kau suka tempat seperti
ini...?"
"Suka, tapi aku kurang suka pada
orang-orang yang galak seperti mereka
itu!" Ujar Wanti Sarati.
"Hus. Tak boleh bicara seperti itu,
nanti mereka marah...!"
Buang Sengketa menegur dengan suara
lunak.
Wanti Sarati tiba-tiba menjadi
cemberut.
"Mengapa Paman melarangku! Bukankah
aku bicara yang sebenarnya...?" protes
Wanti Sarati mengajuk.
Buang Sengketa kembali kembangkan
senyum.
"Wanti, memang tidak salah, tapi
orang bisa tersinggung dengan ucapanmu
itu." Ujar pemuda itu menasehati. Wanti
Sarati manggut-manggut.
"Tapi aku suka pada Paman! Paman
selalu baik dan sayang sama Wanti...!"
Mendengar pujian yang lugu, Buang
Sengketa terenyuh. Kemudian dengan
perasaan sayang dibelainya rambut Wanti
Sarati yang panjang sebatas pinggang.
"Lupakanlah itu Wanti! Lihat
pesanan kita sudah datang."
Begitu Wanti Sarati menoleh,
tahu-tahu pemilik warung sudah berada di
depan meja mereka. Dengan cepat pemilik
warung itu segera menghidangkan makanan
di atas meja. Begitu selesai dengan
pekerjaannya. Laki-laki yang masih
sangat muda itu bermaksud meninggalkan
mereka berdua. Buang Sengketa segera
menggamit tangannya. Laki-laki itu
menoleh.
"Ada apa Ki sanak?" tanya si pemilik
warung sekilas mengamati Buang Sengketa
dengan perasaan ragu.
"Dapatkah kau katakan padaku, desa
ini desa apa namanya...?"
"Agaknya Kisanak datang dari daerah
yang lain?"
"Benar...!" Jawab pemuda itu jujur.
"Desa ini bernama desa Sindang
Sari...."
Mendengar jawaban si pemilik
warung, pemuda itu nampak mengangguk-
anggukkan kepala. "Kalau begitu tentu
sebuah tempat yang bernama Sindang Darah
itu letaknya sudah tidak begitu jauh lagi
dari tempat ini." Batin Pendekar Hina
Kelana.
"Saudara... masih jauhkah letak
Sindang Darah dari desa ini...?" tanya si
pemuda kemudian.
Si pemilik warung nampak terkejut
begitu mendapat pertanyaan seperti itu.
Kemudian tanpa sadar dipahdanginya Buang
Sengketa dari ujung ram but hingga ke
ujung kaki. Melihat penampilan Buang
Sengketa yang agak ganjil dari
kebanyakan orang umum, mengertilah
pemilik warung yang masih sangat muda ini
bahwa sesungguhnya dia sedang berhadapan
dengan orang kalangan persilatan.
Kemudian setelah melirik kanan dan kiri
laki-laki itu dengan gemetar menjawab
pelan:
"Apakah Ki sanak bermaksud datang ke
tempat yang menakutkan itu...?"
Tanpa menjawab Pendekar Hina Kelana
mengangguk. Tapi curiga. "Kisanak!
Akhir-akhir ini Sindang Darah banyak
dibicarakan orang...!"
"Maksudmu...?!"
Sejenak pemilik warung itu menarik
nafas pendek.
"Dari berbagai penjuru mereka
datang untuk memperebutkan kitab-kitab
pusaka peninggalan Padri Agung Pengayom
Jagat. Bahkan mereka saling bertarung
mati-matian sesamanya. Tetapi sejauh itu
mereka masih belum mampu membuka pintu
rahasia yang merupakan jalan
satu-satunya menuju tempat penyimpanan
kitab-kitab peninggalan Padri Agung
Pengayom Jagat...!" Ujar pemilik warung.
Mendengar penjelasan pemilik
warung, Buang Sengketa semakin bertambah
tertarik. Tanpa sadar pemuda itu melirik
Wanti Sarati yang sedang sibuk melahap
makanan. Kini dia kembali menoleh pada
laki-laki itu.
"Saudara. Tadi saudara belum
jeiaskan padaku di nama letak Sindang
Darah. Dan mungkin juga kau dapat
jeiaskan padaku, mengapa tempat itu
bernama Sindang Darah...?"
Lagi-lagi pemilik warung itu
menoleh ke sekelilingnya. Kemudian masih
dengan suara yang serupa dia berkata
lagi:
"Sesungguhnya Ki sanak, aku sangat
takut untuk menjelaskan persoalan ini
pada Kisanak!" Jawabnya sambil
celingukan.
"Katakan saja mengapa mesti takut!
Aku yang akan bertanggung jawab kalau
sampai terjadi sesuatu di tempat
ini...!" Jawab si pemuda pasti.
"Baiklah kalau sudah begitu
keinginan Ki sanak."
Pemilik warung tersenyum lega.
Kemudian setelah berpikir-pikir
sejenak:
"Sindang Darah letaknya di sebelah
Tenggara desa ini, untuk sampai ke sana
hanya memakan waktu dua hari perjalanan
kaki. Dulunya tempat itu merupakan
sebuah tempat suci sekaligus rumah
tinggal Padri Agung Pengayom Jagat
bersama para muridnya. Akan tetapi sejak
terbunuhnya Padri Agung Pengayom Jagat
oleh muridnya sendiri, tiba-tiba saja
tempat itu telah berubah menjadi sebuah
tempat yang sangat menyeramkan bahkan
sampai kini...."
"Maksudmu...?" Potong pendekar Hina
Kelana.
Pemilik warung itu tampak terdiam
beberapa saat lamanya. Tapi kemudian dia
menyambung lagi:
"Padri Agung Pengayom Jagat
menjelang kematiannya sempat mengutuk
tempat itu. Bahkan tidak tahu dari mana
datangnya, air di dalam Sindang yang
hampir seluas danau kini telah dipenuhi
oleh buaya kuning. Dalam waktu-waktu
tertentu air di dalam Sindang bisa
berubah warna menjadi merah darah.
Itulah makanya Sindang Darah yang
dulunya bernama Sindang Pengayom jadi
berubah nama!" Jelas si pemilikwarung
sambil memijit-mijit keningnya.
Lagi-lagi Buang Sengketa
angguk-anggukkan kepalanya macam buruk
pelatuk.
"Benarkah seperti kata orang, bahwa
di tengah-tengah sindang itu terdapat
sebuah daratan yang luas?" Sela pendekar
Hina Kelana tiba-tiba.
"Sesungguhnya yang paling tepat
adalah sebuah pulau. Pulau Cadas yang
dipenuhi dengan gua-gua buatan!" Ujar
laki-laki itu, kemudian menyela kembali:
"Apakah Ki sanak bermaksud untuk datang
ke sana?"
Perasaan was-was membayang jelas di
wajah laki-laki pemilik warung.
Buang Sengketa anggukkan kepala.
"Kalau bisa jangan Kisanak...!"
Kata pemilik warung bermaksud mencegah.
Melihat kekhawatiran laki-laki itu,
Buang Sengketa tergelak-gelak. Kemudian
dia hentikan tawanya lalu memandang pada
pemilik warung sejurus.
"Mengapa kau melarangku...?" Pemuda
itu menegur dengan sikap tak senang.
"Eee.. anu, Kisanak tempat itu
benar-benar sangat berbahaya!" Jawabnya
terbata-bata.
Begitu mendengar ucapan laki-laki
itu Pendekar Hina Kelana tersenyum
kecut, lalu selanya:
"Mengapa takut! Jalan yang kutempuh
memang selalu penuh dengan kekerasan.
Kalau memang Sang Hyang Widi memang sudah
menentukan bahwa aku harus mati, aku pun
harus rela menerimanya. Tapi kalau belum
pada saatnya siapa yang bisa
melakukannya..,?"
"Kalau memang sudah begitu
keinginan Kisanak, tentu saya tak
mungkin mencegah, saya hanya memberitahu
saja."
"Hemm... terima kasih atas
peringatanmu."
Laki-laki itu hanya menganggukkan
kepala untuk kemudian melangkah pergi
melayani tamu-tamu yang lain.
Baru saja Pendekar Hina Kelana
menyuap makanannya beberapa kali,
mendadak orang-orang yang berada didalam
warung itu berlarian ke luar. Tak seorang
pun di antara mereka yang tersisa.
Tinggallah laki-laki pemilik warung yang
nampak menggigil ketakutan sambil
memandang ke arah pintu. Begitu Buang
Sengketa menoleh ke tempat yang sama. Dia
melihat seorang laki-laki dan seorang
perempuan tua dengan rambut yang sudah
memutih sedang berdiri di ambang pintu.
Yang mengherankan hati pendekar
Hina Kelana, adalah penampilan Kakek dan
Nenek ini yang sangat menyolok mata. Si
Kakek berpakaian putih perak
berkilat-kilat dengan dandanan yang
sangat rapih. Sementara si Nenek
mengenakan jubah warna biru langit.
Meskipun sudah tua bangka bau tanah agak-
nya kedua orang aneh ini termasuk pesolek
berat. Dan sesungguhnya kaum persilatan
mengenalnya sebagai "Sepasang Sejoli
Dari Timur". Di bagian Timur mereka
inilah yang merupakan rajanya kaum
persilatan dari semua golongan. Memiliki
kepandaian silat yang sangat tinggi dan
selama malang melintang dalam rimba
persilatan belum pernah terkalahkan.
Kini mata mereka menyapu kesegenap
penjuru ruangan, mereka hanya melihat
seorang pemuda dan seorang bocah
perempuan sedang duduk ongkang-ongkang
menikmati hidangan yang mereka pesan.
Tanpa ragu kedua orang ini segera
melangkah ketengah-tengah ruangan,
kemudian duduk saling berhadapan
mengelilingi sebuah meja besar yang
berukir indah.
"Pelayan! Cepat sediakan makanan
kesukaan kami...!" Perintah si nenek.
"Baik, junjungan."
Dengan langkah terburu-buru pemilik
warung segera bergegas ke belakang.
Dengan cepat dia telah kembali pula
membawakan makanan yang dipesan oleh
kedua orang aneh ini. Ketika pemilik
warung itu sedang sibuk menghidangkan
makanan di depan mereka tiba-tiba saja si
Kakek berjubah putih dengan suaranya
yang kecil mirip suara perempuan,
menegur:
"Pelayan goblok! Padamu kami pernah
berpesan apa...?" bentaknya marah.
Pemilik warung nampak menjadi
gugup. Kemudian dengan suara tersendat
dia menjawab: "Jun... junjungan bilang
tak seorang pun berada di warung ini pada
saat junjungan datang...!" Ujarnya
sambil melirik ke arah Buang Sengketa
yang masih enak-enakan menikmati
hidangan.
* * *
ENAM
Bagus sekali kalau kau masih ingat.
Itu menandakan bahwa kau masih
menghormati kami." Sela Kakek tua
berpakaian putih mulai geram. Sebaliknya
laki-laki pemilik warung yang tak
menyadari bahwa Sepasang Sejoli dari
Timur ini sedang marah, malah menyahuti:
"Pesan junjungan saya memang selalu
mengingatnya." jawabnya sedikit bangga.
Mendengar jawaban laki-laki itu
memuncaklah amarah si Kakek. Lalu tanpa
terduga dia langsung mengebrak meja.
Meja berikut makanan yang baru mereka
pesan berantakan dan bertaburan ke
mana-mana. Pucatlah wajah pemilik warung
itu. Dengan mata melotot si Nenek ikut
membentak:
"Kalau kau masih ingat pesanku,
mengapa masih kau biarkan dua ekor lalat
menjijikkan itu berada di dalam
warungmu...!"
Menggigillah tubuh laki-laki itu
ketakutan. Dia tak mampu menjawab hanya
pandangan matanya silih berganti melirik
pada Buang Sengketa dan Sejoli Dari
Timur. Buang Sengketa meskipun menyadari
bahwa yang dimaksud si Nenek pesolek itu
sesungguhnya adalah mereka berdua. Akan
tetapi tetap saja dia acuh.
"Pelayan! Kalau kau tidak segera
mengusir lalat-lalat gembel itu dari
warungmu, maka aku akan segera
menyeretnya ke luar." Sela si Nenek
pesolek semakin gusar. Buang Sengketa
segera menyudahi makannya. Sementara
Wanti Sarati nampak tenang-tenang saja.
Pemilik warung kini nampak
kebingungan, dalam pada itu Buang
Sengketa maju beberapa tindak.
"Orang tua, lagumu setinggi langit.
Sepertinya hanya kalian sendiri yang
berhak hidup di Kolong Jagat ini! Toh
warung ini bukan milik bapak moyangmu,
semua orang punya hak untuk berada di
sini!" sela Buang Sengketa pelan namun
menyakitkan.
"Bocah keparat! Lancang sekali
mulutmu...!" Ben tak Nenek berpakaian
biru langit marah sekali. Selama malang
melintang dalam rimba persilatan baru
kali ini ada seorang bocah yang masih
hijau dan tak dikenal asal usulnya berani
membentak sedemikian rupa. Dan ini
sangat keterlaluan sekali.
"Kau telah berani menghina Sepasang
Sejoli dari Timur, itu berarti tiada
pilihan lain bagimu kecuali mati...!"
Kakek berambut putih ikut menyela.
Mendadak Buang Sengketa tertawa
panjang-panjang.
"Hemm... monyet tua bangka!
Kematian bagimu, kau sendiri tak tahu
kapan datangnya. Bagaimana kau bisa
menentukan kematian orang lain...?"
Sepasang Sejoli dari Timur
kertakkan rahang, kemudian dengan satu
hentakan dahsyat secara bersamaan Kakek
Nenek rambut putih itu kirimkan pukulan
jarak jauh dan pada saat itu juga
gelombang angin pukulan berhawa panas
menderu mengarah pada Buang Sengketa dan
Wanti Sarati. Secepat kilat pendekar
dari negeri Bunian sambar tubuh Wanti
Sarati, lalu tanpa banyak bicara segera
dia memasukkan tubuh Wanti Sarati ke da-
lam periuk besar yang disandangnya.
Diperlakukan begitu Wanti Sarati yang
mengetahui gelagat tak baik hanya
menurut.
Demikianlah ketika pukulan maut
yang dilepaskan oleh Sepasang Sejoli
dari Timur itu hampir saja melabrak tubuh
Buang Sengketa, dengan gerakan yang
sangat indah sekali dia berkelit untuk
kemudian kirimkan satu pukulan pula.
Begitu tangan kanannya dia dorongkan ke
depan, tak ayal selarik sinar Ultra
Violet yang menimbulkan suara bergemuruh
bagai air bah melesat ke arah Sepasang
Sejoli dari Timur. Mereka yang tidak
menyangka bahwa si pemuda berpakaian
gembel itu sangat terkejut begitu Buang
Sengketa lepaskan pukulan. Serta merta
secara berbareng Sepasang Sejoli dari
Timur memapaki.
"Blaar...!"
Kakek dan Nenek pesolek ini
terhuyung beberapa tindak, meja dan
kursi di kanan kiri mereka jadi
berantakan tersambar dua pukulan sakti.
Memucatlah wajah kedua orang ini begitu
mengetahui kehebatan lawannya. Sesaat
sesudahnya Kakek dan Nenek rambut putih
itu saling pan dang sesamanya. Bocah ini
masih sangat muda, usianya pun paling
baru berkisar dua puluhan, akan tetapi
sudah memiliki tenaga dalam yang sangat
sempurna. Bahkan dapat digolongkan dan
setaraf dengan tokoh-tokoh sakti
angkatan tua. Begitulah yang ada di benak
mereka. Akan tetapi meskipun mereka
sudah mengetahui kehebatan si pemuda
mana mau Sepasang Sejoli dari Timur ini
mengakuinya. Mereka yang selalu bersifat
tinggi hati belum pernah dalam hidupnya
mengaku kehebatan orang lain, meskipun
pada akhirnya mereka akan jadi
pecundang. Kini setelah agak lama
memandangi Buang Sengketa kemudian
mereka membentak:
"Rupanya kau cukup berisi juga. Tapi
jangan kau kira kau bisa bertingkah di
depan Sepasang Sejoli dari Timur."
Tukasnya. "Sebutkanlah namamu bocah
hina, agar kami dapat menuliskannya di
nisanmu nanti...!"
Pendekar Hina Kelana tertawa ganda.
"Kunyuk bau tanah. Galilah kuburmu
dulu nanti kalau sudah di liang kubur
kalian berbulan madu kembali."
Merahlah paras kedua orang ini
mendapat ejekan sedemikian rupa.
"Jahanam terkutuk... jangan
salahkan kami kalau kau tetap tak ingin
sebutkan nama...!"
"Huahahaha...! Apa artinya sebuah
nama bagimu, kalau hidup yang hanya
sekejap hanya bikin onar di mana-mana.
Meskipun hari ini kau ingin bertobat
semuanya sudah terlambat Sejoli
gila...!"
"Keparat...!"
Disertai dengan lengkingan dahsyat
kedua Sejoli irii serentak menerjang.
Buang Sengketa segera bertindak cepat,
bagai bayang-bayang tubuhnya berkelebat
mengarah ke halaman warung.
"Bocah sialan mau lari ke mana
kau...!" bentak si Kakek tua suara
perempuan.
"Kita main-main di sini Sejoli gila!
Aku tak ingin warung itu kotor dengan
darah anjingmu...!" ejek si Hina Kelana.
Tanpa berkata Sepasang Sejoli dari
Timur ini kembali menerjang dan kirimkan
jurus-jurus yang paling diandalkan.
Buang Sengketa pun tak mau memberi hati
lagi pada Si Pesolek Dari Timur ini.
Dengan jurus si Hina Mengusir Lalat,
tubuhnyaa berkelebat kian ke mari.
Sekali waktu dia lancarkan pukulan Empat
Anasir Kehidupan. Pukulan yang datangnya
bagai gelombang dan bertubi-tubi ini
membuat Sepasang Sejoli dari Timur ini
kerepotan, bahkan terkadang mereka harus
menarik balik serangannya dan berganti
merubah jurus-jurus silatnya untuk
melindungi diri. Pada saat itulah Buang
Sengketa menyadari bahwa gempuran-
gempurannya tak akan banyak berarti bila
salah seorang dari mereka tidak dibunuh
terlebih dulu.
Otaknya bekerja cepat untuk melihat
situasi yang sangat memungkinkan, pada
saat-saat seperti itulah tiba-tiba dari
dua arah Kakek dan Nenek rambut putih
kirimkan pukulan yang sangat mereka
andalkan. Sebuah pukulan yang sangat
sulit untuk dicari duanya. "Sepasang
Sejoli Bermesraan." Dua pukulan
bertenaga sakti itu terus menderu dan
mengeluarkan suara bergemuruh bagai
angin top an, mengarah pada bagian yang
sangat berbahaya. Waktu yang hanya
beberapa detik itu tiada mungkin bagi
Buang Sengketa untuk mengelakkannya.
Tiada pilihan lain baginya, maka dengan
nekad ia memapaki.
"Creep... creep...!"
Satu kesalahan telah dilakukan oleh
si pemuda. Salah satu sifat ilmu Sepasang
Sejoli Bermesraan adalah menyedot habis
tenaga lawannya. Dan hal itu tanpa dapat
dihindari telah dilakukan oleh Buang
Sengketa. Tak ayal kedua tangannya kini
melekat erat dengan tangan-tangan
musuhnya.
Baik Kakek maupun si Nenek rambut
putih kedua-duanya nampak tersenyum
puas.
Mereka dapat memastikan bahwa
sebentar lagi tentu pemuda berkuncir ini
akan mati lemas kehabisan tenaga. Buang
Sengketa sejak bertemunya kedua
tangannya dengan tangan-tangan lawannya
bukan tak menyadari bahwa ada sesuatu di
dalam tubuhnya mengalir ke luar lewat
telapak tangannya. Akan tetapi dia
berusaha sekuat tenaga agar sesuatu yang
meledak-ledak mengalir deras ke arah
kedua tangannya itu mampu dicegahnya.
Keringat dingin mulai berlelehan
membasahi pakaian Buang Sengketa. Begitu
juga halnya dengan Sepasang Sejoli dari
Timur, akan tetapi mereka masih tetap
tersenyum mengejek.
Sementara itu tubuh Pendekar Hina
Kelana mulai goyah dan nampak gemetaran.
Perasaan lemas terasa mulai menjalar ke
mana-mana. Dalam keadaan terancam maut
seperti itu tiba-tiba dia teringat pesan
gurunya. Maka dengan cepat dia
mengerahkan unsur api mengaliri
tangannya. Karena sifat ilmu Sepasang
Sejoli Bermesraan adalah menyedot. Tak
ayal lagi hawa panas yang sangat luar
biasa dari tangan Buang Sengketa pun ikut
terse dot pula. Sejoli Dari Timur itu
tersentak kaget begitu hawa yang sangat
panas itu mengalir deras dari tangan yang
menyatu, akan tetapi mereka masih belum
melepaskan tangannya dari tangan
Pendekar Hina Kelana. Buang Sengketa
kembali meningkatkan kemampuannya. Hawa
panas yang lebih hebat lagi kembali
mengalir lewat tangannya, Sejoli Dari
Timur kembali terbelalak begitu mereka
merasakan panas yang sangat luar biasa.
Namun sejauh itu masih belum ada
tanda-tanda bahwa Sepasang Sejoli dari
Timur berniat melepaskan tangan-tangan
mereka yang melekat erat pada tangan
Pendekar Hina Kelana. Mengetahui bahwa
Sepasang Sejoli dari Timur ini memang
menghendaki nyawanya. Marahlah pemuda
ini, secepatnya dia keluarkan suara
lengkingan dari ilmu Pemenggal Roh.
"Haiiiiiiik...!"
Bergemuruhlah suara jeritan yang
sambung menyambung tiada
henti-hentinya. Daun dan ranting kering
luruh berjatuhan kebumi, jerit pekik
ketakutan serta tunggang langgang dari
mereka yang ingin menyelamatkan diri
berbaur menjadi satu. Bahkan pemilik
warung yang sejak tadi menyaksikan
pertarungan itu dengan wajah tegang.
Kini nampak terkapar dengan hidung dan
kuping mengalirkan darah. Masih untung
Wanti Sarati berada dalam priuk yang
kedap suara. Andaikata tidak, sudah
barang tentu gadis cilik itu mengalami
nasib tak jauh beda dengan orang-orang
yang menyaksikan pertarungan itu.
Meskipun Sepasang Sejoli dari Timur
ini berkepandaian sangat tinggi dan
bahkan sempat menutup jalan indra
pendengaran mereka, akan tetapi suara
lengkingan yang sambung menyambung tiada
putus-putusnya ini membuat pertahanan
mereka hancur juga. Darah mulai menetes
dari hidung dan kuping Sepasang Sejoli
dari Timur ini. Bagi mereka kalau ingin
nyawa selamat, maka tiada pilihan lain
kecuali menarik tangan yang melekat pada
tangan musuhnya. Bersamaan dengan itu
Kakek dan Nenek rambut putih secara
serentak menarik balik tangannya.
"Wut!"
"Wut!"
Sepasang Sejoli Dari Timur
terguling-guling beberapa tombak!
Buang Sengketa terhuyung beberapa
tindak ke belakang. Dengan cepat dia
menghimpun hawa murni, akan tetapi
meskipun begitu dia masih merasakan
lemas yang teramat. Pemuda dari negeri
Bunian itu tersenyum getir begitu
melihat Sepasang Sejoli dari Timur yang
nampak saling berpandangan sesamanya.
"Tua bangka. Mengapa kalian
bertatapan mata seperti itu...!" Buang
Sengketa mencemooh.
Kakek dan Nenek rambut putih itu
segera berdiri sambil menyeka darah yang
meleleh di bibir dan telinga mereka.
"Budak hina... kau pikir kami takut
dengan ilmu gila yang kau miliki itu?"
bentak Nenek rambut putih lalu meludah.
"Kalau kalian tidak merasa jeri dan
takut mati. Mengapa kalian hanya
berhenti sampai di situ...!" cibir Buang
Sengketa.
"Kami masih punya urusan di Sindang
Darah, lain waktu kami pasti akan
membunuhmu...."
Kakek rambut putih suara perempuan
ikut menyela.
Tahulah Pendekar Hina Kelana bahwa
Sepasang Sejoli dari Timur ini telah ciut
nyalinya.
* * *
TUJUH
"Hemm Apakah kalian mengira bahwa
aku akan membiarkan kalian pergi begitu
saja! Enak sekali...!" sela Buang
Sengketa diiringi sesungging senyum
rawan.
Memerahlah wajah Sepasang Sejoli
Dari Timur seketika itu juga. Untuk kabur
bagi mereka bukanlah jalan yang sulit.
Akan tetapi bagaimana tanggapan kaum
persilatan nantinya, tentu mereka akan
menertawakan tindakan yang pengecut itu.
Terlebih-lebih lawan yang mereka hadapi
hanyalan bocah yang masih bau ingus.
Memalukan!
"Gembel sombong! Jangan kira kau
sudah mehang, kami akan mengadu jiwa
denganmu." Nenek rambut putih mendengus.
Bagus... biar aku tak usah
sungkan-sungkan membasmi bibit penyakit
dari permukaan bumi ini...!"
Belum lagi Buang selesai dengan
kata-katanya Sepasang Sejoli Dari Timur
sudah lancarkan satu rangkaian serangan
yang bertubi-tubi. Kakek rambut putih
mencecar tubuh lawannya pada bagian
bawab, sedangkan si Nenek pesolek
menyerang pada bagian atasnya. Dengan
mempergunakan jurus si Hina Mengusir
Lalat tangan Buang Sengketa berputar
bagai sebuah baling-baling. Pada satu
kesempatan Nenek rambut putih kirimkan
satu sodokan mengarah ke ulu hati
sedangkan kaki kanan mengirimkan satu
sapuan yang mengarah ke bagian perut.
Begitu pun Kakek rambut putih tak kalah
hebatnya, dengan sebelah kaki kiri agak
ditekuk, kemudian tangan kanan kirimkan
satu jotosan yang mengarah ke bagian
vital. Secara bersamaan mereka lancarkan
serangan. Buang Sengketa secara
tiba-tiba pula rubah jurus-jurus
silatnya, si Gila Mengamuk.
Sebentar saja keadaan menjadi kacau
balau, tubuh pemuda itu meliuk-liuk
bagaikan seekor ular Piton yang sedang
marah. Sementara gerakan-gerakan
silatnya menjadi berubah tak beraturan,
kadang kaki kiri menendang, tangan kanan
memukul atau bahkan tubuhnya melompat-
lompat bagai seekor monyet yang terkena
penyakit gatal. Meskipun gerakan
gerakan silat Pendekar Hina Kelana tak
ubahnya bagai orang sinting yang lagi
mabuk. Akan tetapi sejauh itu serangan-
serangan lawannya selalu dapat dia
kandaskan, bahkan sekali waktu dia dapat
mengirimkan sebuah pukulan yang sangat
telak. Mengetahui lawannya dapat
mengelakkan bahkan mematahkan setiap
serangan yang mereka lancarkan. Sepasang
Sejoli Dari Timur nampak sangat marah
sekali. Kembali mereka menggempur Buang
Sengketa dari berbagai penjuru. Bahkan
mereka sudah sampai pada tingkat jurus
silat yang paling tinggi yang mereka
miliki. Sebegitu jauh semakin hebat
Sepasang Sejoli Dari Timur berusaha
menekan kawannya, maka semakin menggila
pula gerakan-gerakan silat yang
dimainkan oleh si pemuda. Sementara itu
pertarungan sudah memakan puluhan jurus.
Deru angin pukulan saling menyambar
bercuitan debu dan pasir berterbangan
kemana-mana. Tapi masih belum ada
tanda-tanda siapa yang bakal keluar
hidup-hidup dalam pertarungan maut itu.
Kini Pendekar Hina Kelana merubah
jurus-jurus silatnya. Gerakan silat yang
tadinya kacau balau tak beraturan kini
telah berubah seperti biasa, akan tetapi
dia lebih hebat dan tak kalah hebatnya
dengan gerakan-gerakan terdahulu. Jurus
apalagi kalau bukan jurus si Jadah
Terbuang.
Dalam waktu sekejap saja Pendekar
Hina Kelana sudah berada di atas angin.
Sepasang Sejoli Dari Timur semakin
terdesak hebat. Tidak ada kesempatan
bagi mereka untuk berpikir lagi. Hingga
pada satu kesempatan yang sangat tepat.
Buang Sengketa berhasil mendaratkan
pukulannya pada batok kepala si Kakek
rambut putih.
"Prook...!"
Si Kakek rambut putih melolong
setinggi langit, tubuhnya terpelanting
beberapa tombak dengan kepala remuk dan
otak berhamburan ke mana-mana. Tubuh
Kakek rambut putih diam tiada berkutik
lagi. Nenek pesolek begitu mengetahui
suaminya roboh dengan nyawa terputus
nampak meraung sejadi-jadinya. Setelah
puas menangisi jenazah suaminya, kini
dia menoleh dan memandang pada Buang
Sengketa dengan penuh kebencian.
"Manusia sombong! Kau harus
membayar mahal nyawa suamiku dengan
nyawa Anjingmu...!" bentak Nenek rambut
putih sinis.
Buang Sengketa tergelak-gelak.
"Hemm... bagus kalau begitu. Biar
hari ini aku si Hina Kelana akan
menggusur nama besar kalian dari kolong
langit ini...!"
Mendengar Buang Sengketa menyebut
nama julukannya, terkejutlah si Nenek
pesolek ini. Belakangan ini dia memang
telah mendengar adanya tokoh muda yang
berjuluk si Hina Kelana. Bahkan
kesadisannya dalam membasmi lawan-
lawannya yang tiada mengenal ampun telah
membuat gempar dunia persilatan. Siapa
sangka hari ini dia berhadapan langsung
dengan tokoh muda yang ditakuti
lawan-lawannya. Pula telah membunuh
suaminya sendiri. Meskipun Nenek rambut
putih ini tidak yakin dapat mengalahkan
pemuda tampan yang membuat heboh itu.
Akan tetapi sedikit pun dia tiada gentar.
Mati bersama suami tercinta baginya
lebih baik daripada harus hidup seorang
diri.
"Oh... jadi kaulah kunyuknya yang
berjuluk Pendekar Hina Kelana dari
negeri Bunian itu." sela si Nenek rambut
putih sambil gertakkan rahang. "Ahik...
ahik... ahik...! Aku jadi ingin tahu
bagaimana hebatnya Pusaka Golok Buntung
sekaligus cambuk Gelap Sayuto yang
menghebohkan itu...!"
"Sayangnya sebelum kau sempat
menyaksikan semua yang ingin kau lihat,
nyawamu keburu melayang!" kata Buang
Sengketa lirih.
"Puih, kau pikir hanya kau seorang
yang paling hebat di kolong langit
ini...?" Nenek rambut putih mencemooh.
"Aku tak pernah berkata begitu Nenek
bau tanah...!"
Tanpa menyahut, Nenek rambut putih
segera keluarkan senjatanya yang berupa
sebuah Badik Pendek. Dengan senjata di
tangannya Nenek rambut putih dengan
ganas menerjang Buang Sengketa. Berulang
kali senjata yang tajam mengkilat itu
nyaris merobek lambung, leher bahkan
kepala Buang Sengketa. Kini pemuda itu
harus mengakui bahwa senjata yang
berkiblat-kiblat itu benar-benar
merupakan senjata yang sangat berbahaya.
Pendekar Hina Kelana akhirnya tidak mau
terlalu ambil resiko. Sekali tubuhnya
berkelebat dan hiking lenyap, Nenek
rambut putih nampak kebingungan. Dalam
pada itu terdengarlah suara mendesis
bagai bunyi seekor ular Piton yang sedang
marah. Tubuh Buang Sengketa nampak
berkelebat. Diiringi dengan sebuah
bentakan menggelegar sinar merah yang
berkilauan menyambar ke arah bagian
perut Nenek rambut putih. Nenek pesolek
ini berseru kaget lalu kiblatkan Badik
pendeknya.
"Traaang...!"
Senjata di tangan si Nenek hancur
berantakan dilanda golok buntung yang
berada di tangan Buang Sengketa. Tidak
berhenti sampai di situ saja, golok itu
bagai bermata terus menyambar-nyambar,
Nenek rambut putih yang tiada memiliki
senjata itu pun menjadi gugup. Tak
terelakkan lagi:
"Craaas... craaas...!"
Nenek rambut putih sudah tidak
sempat melolong atau pun menjerit,
dengan leher hampir terputus tubuhnya
terpelanting, lalu roboh bagaikan batang
pisang ditebang. T-matlah nama besar
Sepasang Sejoli Dari Timur pada saat itu
juga. Buang Sengketa segera buka tutup
periuknya. Kepala Wanti Sarati segera
tersembul kemudian melompat keluar.
"Paman, orang yang hebat! Aku ingin
jadi seperti Paman...!" kata Wanti
Sarati penuh kagum. Tanpa menanggapi
ocehan Wanti Sarati dia segera sambar
tubuh gadis cilik itu, setelah mendukung
di pundaknya tubuh Pendekar Hina Kelana
berkelebat pergi seperti angin.
* * *
Riuh rendah suara lebih dari tiga
puluh orang manusia bergemuruh di
pinggir Sindang Darah yang tenang
menyimpan seribu satu macam misteri.
Agaknya rombongan dari bagian Barat yang
sampai ke tempat itu paling awal sudah
merasa yakin bahwa merekalah yang akan
berhasil memiliki kitab-kitab pening-
galan Padri Agung Pengayom Jagat. Kini
partai persilatan Hantu Berkabung yang
dipimpin langsung oleh Baja Wungu itu
sudah keiihatan mulai mendirikan
beberapa tenda darurat.
Menjelang tengah hari datang pula
rombongan manusia bertopeng yang
jumlahnya tak kurang dari empat puluh
orang. Mereka ini juga dipimpin langsung
oleh ketuanya yaitu dua bersaudara
manusia bertopeng. Berbeda dengan
rombongan Hantu Bergabung yang berusaha
memiliki kitab-kitab pusaka itu masih
bersifat untung-untungan. Sedang
rombongan manusia bertopeng sudah merasa
sangat yakin bahwa merekalah yang paling
berhak untuk memiliki seluruh
kitab-kitab pusaka peninggalan Padri
Agung Pengayom Jagad. Sebab seperti
diketahui bahwa ketua mereka telah
mendapatkan kunci rahasia yang
menghubungkan tempat penyimpanan kitab
dengan ruang-ruang yang sangat banyak
jumlahnya.
Sebagiamana yang dilakukan oleh
rombongan Hantu Berkabung, rombongan
orang-orang bertopeng ini pun segera
mendirikan tenda-tenda darurat.
Nampaknya di antara mereka ada saling
tenggang rasa. Terbukti meskipun mereka
telah di tempat itu dengan tujuan yang
sama. Tapi nampaknya di antara dua
rombongan itu tidak ada tanda-tanda
saling mencurigai. Mereka saling acuh
dan bahkan tidak ambil perduli dengan
kegiatan rombongan yang lain.
Ketika semuanya dirasa beres, hari
sudah menjelang malam. Di belahan Timur
bulan sabit yang hanya merupakan
bayang-bayang merah nampak mengintip di
celah-celah dedaunan. Suara sepi
mencekam mewarnai alam sekitarnya. Tak
ada suara tawa dan canda. Masing-masing
orang tenggelam dalam lamunan yang tiada
berkesudahan. Di luar tenda perkemahan
dari dua rombongan yang cukup besar
jumlahnya, nampak beberapa orang
pengawal sedang berjaga-jaga. Udara
dingin yang terasa menggigil membuat
beberapa orang di antara mereka ber-
gerombol mengelilingi api unggun.
Sementara itu di dalam tenda
rombongan Topeng Hitam nampak para ketua
mereka sedang berbicara serius tentang
rencana mereka untuk menyeberangi
Sindang Darah dalam waktu secepatnya.
Malam itu juga dicapai kata sepakat bahwa
kira-kira menjelang pertengahan malam
mereka harus mendahului menyeberangi
Sindang Darah yang sesungguhnya sangat
luas.
Apa pun yang akan mereka kerjakan
semua itu di luar sepengetahuan
rombongan Hantu Berkabung.
Demikianlah waktu terus berjaian
tanpa terasa, hingga saat yang
ditunggu-tunggu akhirnya datang juga.
Lebih dari separoh rombongan Topeng
Hitam berikut ketua mereka kini sudah
berkumpul di tepi Sindang. Air Sindang
yang begitu luas sedikit pun tiada
menimbulkan rasa curiga. Ketua
perkumpulan si Topeng Hitam tidak begitu
lama mulai memberi aba-aba pada
orang-orangnya.
"Aku berharap kalian bisa sampai ke
sana dengan masing-masing kelompok
sebanyak tiga orang. Usahakan jangan
sampai menimbulkan suara berisik hingga
memancing perhatian orang lain. Bila
kalian bisa sampai dengan selamat dan
kembali ke sini dalam keadaan yang sama
pula, maka sebagai ketua, aku sudah
memutuskan untuk memberi hadiah pada
kalian...!" ujar ketua Topeng Hitam pada
tiga anggota yang akan diberangkatkan
lebih awal.
"Terima kasih ketua...!" jawab
ketiga orang bawahannya sambil
mengangguk hormat.
"Sekarang kalian boleh mulai...!"
Ketua Topeng Hitam mulai memberi
aba-aba.
"Byuuur...!"
Air di dalam Sindang nampak
bergelombang menerima berat tubuh mereka
bertiga.
* * *
DELAPAN
Selanjutnya tanpa ragu-ragu lagi,
mereka mulai berenang menuju ke pulau
karang yang terletak di tengah-tengah
Sindang. Namun di luar sepengetahuan
mereka, puluhan ekor mahluk-mahluk
ampibi yang berwarna kuning keemasan
nampak bergerak cepat mengarah pada
ketiga orang penyebrang itu. Agaknya
mahluk-mahluk melata itu saling berlomba
untuk memperebutkan mangsa yang sudah
berada di depan mata. Begitu cepat sekali
gerak mahluk-mahluk reptil ini, dalam
waktu sebentar saja mahluk-mahluk ini
sudah begitu dekat dengan mereka. Begitu
buaya-buaya ini sudah hampir di
sekeliling penyeberang, dengan ganas dan
mulut ternganga lebar mereka langsung
menyerang mangsanya tanpa ampun. Air di
dalam Sindang langsung bergolak.
Beberapa saat mereka terlibat
pergumulan, ingin berteriak minta
pertolongan mereka tidak berani, hanya
bungkam seribu bahasa. Mereka yang sudah
sampai di tengah-tengah Sindang kiranya
tidak terawasi dengan baik oleh ketua
Topeng Hitam. Sungguh malang nasib
mereka manusia bertopeng ini.
Dalam waktu sekejap saja tubuh
mereka sudah tercabik-cabik oleh
gigi-gigi yang tajam. Air Sindang masih
terus bergolak, warna air di sekitarnya
berubah menjadi merah. Hanya dalam waktu
yang singkat, tubuh mereka mulai
tenggelam diseret mahluk-mahluk melata
itu. Suasana di. tengah Sindang kembali
tenang seperti sediakala. Seperti tidak
pernah terjadi sesuatu di dalamnya.
Nampak tenang mengerikan.
Sementara itu di tepian Sindang
Darah, tiga orang penyebrang telah
bersiap-siap menyusul para penda-
hulunya.
Ketua Topeng Hitam memberi aba-aba
kembali.
"Byuur...!"
Sama seperti pendahulunya, mereka
ini juga tidak menyadari bahwa bahaya
sedang menanti mereka di depan sana.
Agaknya mahluk-mahluk reptil yang
lainnya mengetahui bahwa ada mangsa yang
secara rela menyerahkan diri. Sebab
begitu mahluk-mahluk ini mencium bau
darah, mereka yang tadinya berada di
tepian pulau karang nampak saling
berlomba bergerak ke tengah-tengah
Sindang.
Kini jumlah mereka semakin ber-
tambah banyak saja. Semuanya nampak
tenang menantikan datangnya sang mangsa.
Orang-orang malang itu tak menyadari
bahwa ajal mereka semakin di ambang
pintu.
Bagitu mahluk melata itu meluncur ke
arah mereka. Ketiga penyebrang ini
terbelalak tak percaya. Namun hanya
sesaat keadaan itu berlalu karena pada
saat-saat berikutnya mereka sudah harus
berjuang mati-matian melawan maut. Lebih
lima ekor setiap orangnya melayani
mahluk air yang sangat ganas itu.
Betapapun tingginya ilmu silat mereka,
namun berada pada posisi yang sangat
tidak menguntungkan ditambah lagi jumlah
mahluk-mahluk ini yang tidak kepalang
tanggung, lama kelamaan tenaga mereka
terkuras habis. Darah kembali mewarnai
air Sindang. Tubuh mereka tercabik-cabik
tak karuan ujudnya. Dalam waktu hanya
beberapa saat saja tubuh mereka telah
lenyap dari permukaan air.
Kini mahluk-mahluk reptil itu
bergerak lebih berani lagi. Tanpa
mengenal rasa takut mereka mulai
berenang agak ke tepi. Agaknya mereka
juga tahu dari mana sebenarnya sumber
makanan itu datang.
Pada saat yang sama Ketua Topeng
Hitam sudah nampak menyiapkan para
perenangnya yang handal. Baru saja ketua
Topeng Hitam ini bermaksud memberi
aba-aba pada ahli-ahli renangnya,
mendadak wakil ketua Topeng Hitam
menunjuk ke tengah-tengah Sindang.
Walaupun cahaya bulan sudah tak
keiihatan lagi, tetapi mereka dapat
melihat sesuatu di dalam Sindang yang
bergerak-gerak. Lama kelamaan semakin
jelas ujudnya. Apa-lagi mata mahluk
melata itu menyiratkan cahaya berwarna
kemerah-merahan. Tak pelak lagi ketua
Topeng Hitam berseru kaget:
"Hah... buaya?" ucapnya tertahan.
"Dari mana datangnya mahluk-mahluk
keparat itu...?"
"Celaka kakang! Orang-orang kita
pasti tak akan pernah sampai di pulau
Karang...!" sela wakil ketua Topeng
Hitam cemas.
"Kalau begitu kita harus singkirkan
mahluk-mahluk sialan itu...!" ketua
Topeng Hitam kertakkan rahang geram.
"Tidak usah... kita tak mungkin
melakukannya...!" bantah yang menjadi
wakilnya. Tentu saja ketua Topeng Hitam
menjadi heran. Korban sudah berjatuhan
tapi mengapa kawannya yang bertangan
buntung ini maiah melarangnya untuk
bertindak. Lama sekali ketua Topeng
Hitam berpikir, sejauh itu dia tak tahu
mengapa saudaranya maiah mencegah
niatnya.
"Tidak tahukah engkau, sudah berapa
banyak korban di pihak kita?" tanya ketua
Topeng Hitam penasaran.
"Korban akan lebih banyak lagi,
apabila kita membiarkan orang-orang kita
menyeberang menantang maut. Kakang harus
ingat bukan kita saja yang ingin memiliki
kitab yang sangat berharga itu. Tokh kita
masih bisa menunggu di sini sambil
menunggu kesempatan yang lebih baik
lagi...." wakil ketua Topeng Hitam
menjelaskan.
"Maksudmu...?"
Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum
licik.
"Kita biarkan saja mereka menanam
apa saja, setelah berbuah baru kita
memetik hasilnya!"
"Maksudmu kita harus membiarkan me-
reka berangkat menuju pulau Karang
setelah itu kita merampas kitab-kitab
itu dari tangan mereka?"
"Tak salah...!"
Meskipun Topeng Hitam merupakan ka-
um persilatan golongan hitam tapi dia
kurang setuju dengan gagasan yang
diberikan oleh wakilnya.
"Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku
ingin mendapatkannya dengan cara bersih.
Lagi pula kunci rahasia itu ada di tangan
kita, tak seorang pun yang bisa membuka
pintu rahasia di dalam goa tanpa
kehadiran kita...!"
Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum
kecut begitu mendengar ucapan ketuanya
yang dia anggap berpandangan picik.
"Kakang percaya bahwa kunci itu
merupakan kunci yang sesungguhnya...?"
"Mengapa tidak...?" ujar ketua
Topeng Hitam begitu yakin.
Wakil ketua Topeng Hitam nampak
geleng-gelengkan kepalanya.
Ketua Topeng Hitam menjadi sangat
heran dengan tingkah saudaranya itu.
"Apa maksudmu...?"
"Kakang jangan bertindak bodoh!
Coba pikir saja, mana mungkin nenek peot
mau bertindak gegabah. Begitu sembrono
membawa-bawa kunci pusaka yang sangat
berharga. Menurut cerita yang aku
dengar, kunci rahasia pembuka goa karang
adalah sebuah tusuk konde yang sudah
butut!" jelas wakil ketua Topeng Hitam.
Mendengar kata-kata saudaranya
ketua Topeng Hitam nampak merenung
sejenak.
"Tapi kita tak menemukannya pada
saat tubuh nenek peot kuperiksa!"
"Mungkin saja kakang kurang
teliti...!"
"Kurang teliti emakmu! Semuanya
sudah kuperiksa bahkan sampai ke
pusernya, masihkah kau bilang aku kurang
teliti...?" ketua Topeng Hitam nampak
tersinggung. Wakil ketua Topeng Hitam
tersenyum geli begitu mendengar keterus
terangan saudaranya. Dengan menahan tawa
wakil ketua Topeng Hitam menyela:
"Mungkin saja nenek peot
menyimpannya pada suatu tempat yang
sangat dirahasiakan. Atau mungkin juga
dia punya seorang murid kemudian
menitipkan padanya!" kata wakil ketua
Topeng Hitam mereka-reka.
Ketua Topeng Hitam kerutkan kening,
pikirannya berputar-putar, dia
berkesimpulan bahwa mungkin saja ada
seseorang yang sangat dipercaya oleh si
nenek. Lalu padanya si nenek peot
titipkan barang yang sangat berharga
itu.
"Mungkin juga anggapanmu itu benar,
Adi...!" Ketua Topeng Hitam mengakui.
"Bagaimana tanggapan kakang tentang
gagasanku tadi?"
Ketua Topeng Hitam kembali
manggut-manggut.
"Agaknya kita harus berbuat begitu!
Tak usah susah payah mengorbankan
orang-orang kita. Kita hanya menunggu
siapa yang bakal keluar jadi pemenang,
setelah itu dengan sangat mudah kita
merampasnya!" sela ketua Topeng Hitam
dengan sesungging senyum penuh
kelicikan.
Tak lama setelah memberi perintah
pada anggotanya, mereka segera kembali
ke tenda. Sebentar saja suasana menjadi
sepi kembali.
* * *
Pagi itu udara nampak cerah,
burung-burung berkicauan terbang dari
dahan yang satu hinggap di dahan lainnya.
Apabila ketua Topeng Hitam maupun ketua
Hantu Berkabung menyingkap pintu
tendanya, terkejutlah hati mereka. Nun
jauh di sana sebelah Barat, Timur, Utara
dan Selatan telah bermunculan
tenda-tenda baru. Sungguh pemandangan
yang sangat luar biasa. Bagai jamur di
musim hujan tenda-tenda itu bermunculan.
Anehnya mereka sampai tidak tahu kapan
tenda-tenda baru itu dipasang.
Kini setelah kehadiran empat
rombongan lainnya maka jumlah mereka
semakin be-tambah menjadi enam kelompok.
Tidak sampai setengah setelahnya
suasana di sekeliling Sindang telah
ramai dipenuhi oleh pendatang dari
berbagai golongan persilatan.
Masing-masing kelompok telah menyiapkan
ahli-ahli penyeberangan. Nampaknya
mereka saling berlomba mendahului. Dari
sekian banyak rombongan hanya di kemah
Topeng Hitam saja yang nampak lenggang.
Agaknya pagi itu mereka hanya akan
bertindak sebagai penonton saja. Apabila
tontonan yang akan digelar di
tengah-tengah Sindang oleh orang-orang
goblok itu adalah satu tontonan yang
sangat menarik lagi gratis. Air Sindang
yang menyimpan seribu satu macam
misteri, buaya kuning yang ganas, serta
jerit kematian yang menyayat. Semua itu
akan terjadi tak begitu lama lagi.
Diam-diam ketua Topeng Hitam tersenyum
mengejek.
"Orang-orang tolol itu sebentar
lagi pada mampus semuanya, ya Adi...!"
kata ketua Topeng Hitam menoleh sekilas
pada wakilnya yang berdiri mengawasi
kesibukan rombongan lainnya.
Wakil ketua Topeng Hitam mengangguk
pelan.
"Hemm... biar tahu rasa! Nanti kalau
daging mereka sudah berada di perut buaya
keparat itu, tentu mereka segera
menemukan kitab-kitab itu...!"
"Hei... lihatlah! Agaknya Hantu
Berkabung mulai memberi perintah untuk
terjun ke dalam Sindang...!" seru ketua
Topeng Hitam sambil menunjuk ke sebelah
Tenggara.
"Bagus sekali. Rupanya mereka ingin
cepat-cepat terkubur di perut mahluk
mahluk menjijikkan, yang berada di
pinggiran Pulau Karang...!"
Benar saja apa yang mereka duga,
orang-orang penyebrang dari kelompok
Hantu Berkabung mulai melaksanakan
tugasnya. Disusul dengan rombongan lain
yang jauh di sebelah Barat. Mereka ini
berasal dari perburuan Lumpang, yang
dipimpin langsung oleh ketuanya yang
bernama Mujiman, beberapa saat
berikutnya di sebelah Timur menyusul
pula Padepokan Gunung Kuali yang juga
dipimpin langsung oleh ketuanya si Cebol
Gagu. Tak lama kemudian menyusul pula
perguruan Angkara Murka yang juga
dipimpin oleh ketua mereka yang bernama
Soka Durjana. Kelompok terakhir yang
mengutus orang-orangnya melakukan
penyebrangan adalah rombongan yang
berada di sebelah Selatan.
Mereka ini berasal dari Sungai mati,
yang hanya bekerja secara kelompok dan
tidak memiliki ketua. Meskipun jumlah
mereka hanya berkisar tiga orang. Akan
tetapi tiga orang dari Sungai Mati ini
memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Rimba persilatan mengenal mereka sebagai
Tiga Kembar Berhati Suci. Dari ikan yang
mereka miliki saja sudah jelas bahwa
mereka merupakan kaum persilatan
golongan lurus.
Demikianlah masing-masing rombo-
ngan telah mengirim orang-orang keper
cayaan mereka untuk menyebrangi sindang
Darah.
Berbeda dengan rombongan lainnya.
Tiga Kembar dari Sungai Mati ini
bertindak sangat hati-hati. Bahkan
sebelum ketiga orang itu secara
keseluruhannya terjun ke dalam Sindang
salah seorang di antara mereka yang
memiliki penciuman pembeda rasa, sejak
awal sudah meneliti keadaan air.
Begitulah ketika orang yang bernama
Kakang Barep itu sedang sibuk dengan
tugasnya, adiknya yang paling bungsu
datang menegur.
"Bagaimana kakang Barep? Apakah
Sindang ini tidak berbahaya bagi
kita...?" tanya adiknya yang kerap
dipanggil Adi Ragil.
Laki-laki jangkung itu menoleh pada
kedua adiknya yang berdiri tegak tidak
jauh darinya.
"Lebih baik kita tak usah menyebrang
ke sana...!" ujar si Barep memutuskan.
Serentak dua orang yang lainnya menoleh.
"Mengapa Kakang Barep tiba-tiba
saja memutuskan begitu...?" tanya
saudara yang nomor dua. Saudara-
saudaranya yang lain Bering menyebutnya
dengan kakang Tengah atau adi Tengah.
Laki-laki jangkung kerutkan kening.
Kemudian menarik nafas pendek.
"Sindang ini terlalu bahaya buat
kita. Lebih baik kita menonton
pertunjukan yang sebentar lagi bakal
menarik...!"
"Kami semakin tak mengerti saja
dengan maksud kata-katamu kakang
Barep...!" sela mereka hampir bersamaah.
"Sindang ini dipenuhi buaya-buaya
yang ganas...!" tukasnya pendek.
Terbelalaklah saudaranya yang lain
demi mendengar penjelasan si Jangkung.
"Benarkah apa yang kau katakan itu
Kakang...?!" tanya yang paling bungsu.
"Kita li...!" Belum lagi si Barep
menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba di
tengah-tengah Sindang terdengar jerit
pekik para penyeberang dari berbagai
rombongan. Serangan Buaya Kuning yang
datangnya hampir bersamaan itu membuat
suasana menjadi hiruk pikuk.
Masing-masing orang berusaha melepaskan
diri dari ancaman mahluk melata yang
bergigi tajam itu. Bahkan sebisa mungkin
mereka , melakukan perlawanan. Melihat
bahaya mengancam kawan-kawan mereka,
tentu kawan-kawannya yang lain tidak
tinggal diam. Dengan senjata terhunus,
masing-masing kelompok mengirim bala
bantuan. Tanpa berpikir panjang mereka
langsung terjun dan memburu ke tengah.
Keadaan semakin bertambah gempar.
Satu demi satu korban-korban mulai
berjatuhan. Sebentar saja air Sindang
sudah berubah warna merah. Darah!
Kiranya buaya-buaya itu bagai
mengerti saja, begitu lawan-lawannya
berdatangan lebih banyak, maka
buaya-buaya yang masih berada di Pulau
Karang langsung terjun membantu
kawan-kawannya yang lain.. Mereka tidak
hanya sekedar memangsa saja, akan tetapi
sebagaimana layaknya manusia, mereka
langsung menyerang anggota itu secara
bertubi-tubi. Meskipun dengan membawa
bekal berupa senjata andalan dan juga
kepandaian silat yang mereka miliki.
Akan tetapi bertarung di dalam air dengan
mahluk-mahluk yang sangat ganas itu,
sudah barang tentu sangat tidak
menguntungkan bagi pihak penyebrang.
Sementara dengan ekornya yang tajam dan
panjang, buaya-buaya itu dengan begitu
mudahnya melibasi tubuh lawan-lawannya.
Akan tetapi meskipun korban telah banyak
yang berjatuhan, bagai tiada mengenal
rasa jeri, kawan-kawan mereka yang masih
berada di darat, bagai sudah kemasukan
ibhs saling berlomba terjun ke dalam
sindang. Air sindang benar-benar telah
berubah menjadi danau darah.
Pada saat itu di luar perkemahan
Topeng Hitam, gelak tawa yang sambung
menyambung tiada henti mewarnai
rombongan itu. Seperti apa yang mereka
duga, tontonan yang sangat menarik itu
kini benar-benar terbentang di depan
mata.
"Kek... kek... kek...!" ketua
Topeng Hitam tertawa lebar. "Orang-orang
tolol itu benar-benar menghendaki
kematian adi!"
Wakilnya yang sejak tadi juga ikut
tertawa tiada henti menyahut:
"Biar pada mati semua! Tokh mereka
bukan orang-orang kita...!"
"Mungkin tak lama lagi ketua mereka
pun ikut terjun, kakang...!" selanya.
"Itu bagus, biar kita tahu bagaimana
hebatnya kesaktian ketua Hantu Berkabung
dan juga empat partai-partai persilatan
lainnya. Andai mereka selamat dan keluar
sebagai pemenang. Tentu kita segera
serang mereka...!" ketua Topeng Hitam
menyela. Wakilnya manggut-manggut
setuju. Akan tetapi tak lama setelah itu
dia bergumam:
"Sayangnya Tiga Kembar dari Sungai
Mati tak ikut ambil bagian! Siapa tahu
mereka juga mempunyai siasat seperti
kita! Kalau dugaanku ini benar, tentunya
ketiga orang itu akan merepotkan
kita...!"
Ketua Topeng Hitam gelengkan
kepalanya.
"Kau tak perlu curiga pada mereka!
Aku tahu betul siapa mereka. Tak mungkin
mereka mau mencampuri urusan yang
beginian...!"
"Kalau Tiga Kembar dari Sungai Mati
tidak menghendaki Kitab Pusaka
peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat,
lalu apa mau mereka, sehingga ikut hadir
di sini...!" tanya wakil Topeng Hitam
penasaran.
Ketua Topeng Hitam nampak
tersenyum.
"Adi. Dulu ketika Partai kita belum
terbentuk, pernah terjadi perebutan
pusaka peninggalan Resi Karma di Gunung
Sumbing. Pada saat itu aku juga melihat
kehadiran mereka. Seperti engkau mulanya
aku juga mencurigai mereka. Akan tetapi
setelah peristiwa berdarah itu terjadi
ternyata kecurigaanku tidak beralasan.
Mereka datang ke sana kiranya hanya
menjadi penonton dalam peristiwa itu.
Mungkin juga mereka membawa maksud yang
sama datang ke tempat ini!"
"Apapun alasan mereka, kita harus
tetap berhati-hati kakang...!" wakil
ketua perguruan Topeng Hitam
mengingatkan.
"Oh, itu sudah barang tentu...!"
jawabnya pasti.
Sementara itu sedikit demi sedikit
anggota dari empat rombongan itu mulai
berkurang. Akan tetapi agaknya ketua
Hantu Berkabung maupun ketua partai yang
liannya sudah tidak memperdulikan
keselamatan anak buahnya lagi. Meskipun
baik yang ditolong mau pun yang menolong
tidak satu pun yang selamat, mereka masih
tetap saja bersikeras. Mengirimkan
orang-orangnya untuk membinasakan
mahluk-mahluk reptil yang ganas itu.
Menyaksikan adegan yang terjadi di
ha dapan mereka, Tiga Kembar dari Sungai
Mati yang tadinya hanya menjadi penonton
akhirnya sudah tidak dapat lagi menahan
kesabarannya. Menurut pendapat mereka
bertiga, langkah yang telah diambil baik
oleh ketua perkumpulan Hantu Berkabung,
maupun tiga partai lainnya, sesungguhnya
hanya karena mementingkan diri sendiri,
mereka begitu tega mengorbankan
pengikut-pengikutnya. Hal ini harus
dicegah demi menghindari banyak nya
korban yang berjatuhan. Untuk itu mereka
segera bergerak mendekati tenda-tenda
yang terpasang hampir di sekeliling
Sindang Darah.
Pada saat Tiga Kembar dari Sungai
Mati itu sampai di tenda Hantu Berkabung,
mereka melihat hanya tinggal lima orang
saja, sisa anggota Hantu Berkabung.
Tanpa sungkan-sungkan lagi salah seorang
yang berbadan jangkung menegur ketua
rombongan Hantu Berkabung:
"Saudara Ketua Baja Wungu. Ah... tak
menyangka hari ini kita bertemu
kembali...!" ujar si jangkung sambil
mengangguk hormat pada ketua Hantu
Berkabung. Disapa sedemikian rupa, ketua
Hantu Berkabung ini nampak keheranan.
Sejenak wajahnya nampak berkerut, dia
meneliti si Tiga Kembar dari ujung rambut
sampai ke ujung kaki. Rasa-rasanya dia
pernah bertemu dengan laki-laki berbadan
kurus jangkung ini, tapi entah di mana.
"Masa saudara Baja Wungu sudah lupa
pada kami yang pernah menjadi penunjuk
jalan di Gunung Sumbing tujuh tahun yang
lalu...!" si tinggi jangkung
mengingatkan. Seketika wajah ketua Hantu
Berkabung ini berubah cerah.
Sambil menepuk-nepuk jidatnya yang
licin, Baja Wungu menjawab dengan ramah
pula: "Aha... tidak dinyana, kiranya aku
Baja Wungu yang pernah berhutang budi
pada saudara kembar dari Sungai Mati,
hari ini bertemu kembali...!" Baja Wungu
membalas hormat.
"Saudara ketua Hantu Berkabung,
terlalu berlebihan!" Si Ragil menyela.
"Kenyataannya memang begitu saudara
kembar...!" jawab Baja Wungu lunak.
"Bagaimana keadaan orang-orangmu
saudara ketua...!" tanya si Barep
mengalihkan persoalan.
Ditanya seperti itu, wajah ketua
Hantu Berkabung nampak resah. Kemudian
dipandanginya ketiga wajah sahabat
lamanya ini dengan hati bimbang. Lalu
ketua Hantu Berkabung itu tanpa sadar
bergumam:
"Semuanya terlalu cepat, bagai
sebuah mimpi buruk yang sangat
menakutkan. Salahku sendiri, mengapa aku
harus mengambil keputusan begitu cepat;
Mungkin berita tentang kitab pusaka itu
hanya merupakan kabar angin belaka.
Orang-orangku sudah terlanjur habis jadi
korban keganasan buaya-buaya keparat
itu!" Baja Wungu menyela menyesali
nasib.
"Tapi saudara Baja Wungu, masih
punya kesempatan untuk menarik diri.
Percayalah, andaipun berita tentang
pusaka itu memang benar adanya, akan
tetapi sangat tidak mungkin untuk
memperolehnya. Mahluk-mahluk mengerikan
itu agaknya merupakan penjaga
kitab-kitab peninggalan Padri Agung
Pengayom Jagat!"
"Pula, andaipun berhasil,
musuh-musuh telah menanti di depan
mata!" Adi tengah ikut menimpali sambil
mengerling pada tenda-tenda yang berada
di sekitarnya.
Ketua Hantu Berkabung nampak
anggukkan kepala.
"Tapi orang-orangku sudah terlanjur
habis...!" kata Baja Wungu meragu.
"Anggaplah itu merupakan suatu
kekeliruan yang paling pahit...!" ujar
Adi Ragil. Kembali Baja Wungu anggukkan
kepala.
"Kalian ada benarnya! Tadi aku
sempat berpikir ingin terjun langsung
andai orang-orangku habis. Untuk kalian
segera datang...!" Dengan jujur ketua
Hantu Berkabung mengakui.
"Sekali lagi kalian menghutangkan
budi padaku, tentu aku tak dapat
membalasnya...!"
"Saudara Baja Wungu, sudah
sepantasnya kami mengingatkan saudara
sebagai sahabat lama...!"
Setelah berkata begitu si Tiga
Kembar dari Sungai Mati ini bermaksud
meninggalkan tempat bersama ketua Hantu
Berkabung serta lima orang sisa anak
buahnya. Namun baru saja mereka
melangkah beberapa ti-dak, dari tenda si
Topeng Hitam terdengar
bentakan-bentakan yang menggelegar.
"Tiga Setan Penghasut Dari Sungai
Mati... berhenti...!"
Belum lagi hilang rasa terkejut di
hati si Tiga Kembar. Tahu-tahu ketua dan
wakil ketua Topeng Hitam telah
menghadang langkah mereka.
"Saudara Topeng Hitam! Ada
keperluan apakah hingga saudara
menghadang langkah kami...!" tanya si
Janggkung mewakili yang lainnya.
Ditanya seperti itu, marahlah ketua
Topeng Hitam, sambil meludah ke tanah dia
menyela:
"Manusia kembar tak tahu adat! Masih
juga kau berpura-pura...!"
Dimaki sedemikian rupa, sudah
barang tentu saudara kembar lainnya tak
bisa terima. Adi Tengah mendamprat:
"Monyet busuk bertopeng....
katakanlah apa kesalahan kami! Jangan
marah-marah begitu...!"
* * *
SEMBILAN
Wakil ketua Topeng Hitam kertakkan
rahang kemudian maju selangkah. Lalu
memaki habis-habisan.
"Budak hina... kalian telah
menghasut ketua Hantu Berkabung untuk
tidak meneruskan usahanya mendapatkan
kitab-kitab itu. Padahal keberhasilan
sudah di pelupuk mata. Lihatlah
gara-gara ulah kalian menghentikan usaha
Hantu Berkabung, mereka semua
terpengaruh...!"
Mengertilan si Tiga Kembar akan
maksud yang tersembunyi di balik ucapan
wakil ketua Topeng Hitam. Adi Tengah
langsung meloncat ke depan, keduanya
kini saling berhadapan. Sejurus dia
memandang maka tertawalah dia
panjang-panjang.
"Setan licik, Pengecut. Kalau
kalian merasa hebat, mengapa tidak
sekalian orang-orangmu saja yang
dikorbankan pada binatang-binatang
itu...?"
"Mungkin dia bermaksud menangguk di
air keruh Kakang Tengah...!" si kembar
paling bungsu ikut menimpali.
Memerahlah wajah wakil ketua maupun
ketua Topeng Hitam.
"Aku yakin monyet bertopeng ini
merasa jera! Sebab tadi malam
orang-orangnya sempat terkubur di dalam
perut buaya-buaya itu...!" Ketua Hantu
Berkabung yang memang sudah tak dapat
menahan kesabarannya ikut nyeletuk.
Marah bercampur malu berbaur
menjadi satu, ketua Topeng Hitam
benar-benar tiada menyangka kalau
kejadian yang sangat memalukan itu
sempat juga diketahui oleh orang lain.
Meskipun belangnya sudah ketahuan akan
tetapi masih saja orang bertopeng ini
membentak:
"Bangsat rendah Iblis Berkabung!
Tidak tahu membalas guna. Dibela malah
menghina...!"
Si Topeng Hitam menyela geram.
Begitu mendengar ucapan si Topeng
Hitam, baik si Tiga Kembar, maupun Ketua
Hantu Berkabung serentak tertawa
tergelak-gelak.
"Katakan saja bahwa kau ingin
mempergunakan kemampuan orang lain untuk
memiliki kitab pusaka itu...!" Hantu
Berkabung mengejek.
Mendidihlah darah ketua Topeng
Hitam sampai ke ubun-ubun.
"Keparat...! Kalian lebih baik
mampus...!" Diawali dengan satu teriakan
menggelegar ketua dan wakil ketua Topeng
Hitam langsung menerjang dan kirimkan
pukulan-pukulan yang mematikan.
Mengetahui ketua mereka terlibat
pertarungan, maka anggota Topeng Hitam
yang lainnya pun serentak ikut menyerbu.
Dalam waktu sekejap saja
pertarungan sangit pun terjadi di
wilayah Sindang Darah. Jerit kematian
mulai terdengar di mana-mana. Dalam
keadaan seperti itu masing-masing pihak
telah mengeluarkan senjata maupun
jurus-jurus andalan. Dan dalam waktu
singkat pertarungan sudah berlangsung
puluhan jurus. Agaknya dalam segi jumlah
si Tiga Kembar dan Ketua Hantu Berkabung
kalah banyak bila dibandingkan dengan
anggota Topeng Hitam. Walaupun begitu si
Tiga Kembar dan ketua Hantu Berkabung,
adalah orang-orang yang punya segudang
pengalaman dalam berbagai pertarungan,
dan pula merupakan lawan yang sangat
tangguh. Tidak mudah bagi anggota Topeng
Hitam untuk dapat mencapai kemenangan.
Si Topeng Hitam ketua dan wakilnya
mendapat perlawanan sengit dari si Tiga
Kembar. Bahkan kerjasama di antara
mereka yang terbina dengan baik ditambah
banyaknya variasi jurus-jurus yang
mereka miliki dalam waktu sekejap saja,
ketua dan wakil Topeng Hitam ini sudah
terdesak hebat.
Sementara itu dengan bersenjatakan
Pedang Mustika dibantu oleh lima orang
bawahannya. Ketua Hantu Berkabung dengan
sangat mudahnya membabat habis semua
kroco-kroco Topeng Hitam.
Ketua Hantu Berkabung yang sudah
sangat muak melihat sepak terjang Si
Topeng Hitam segera ikut mengeroyok.
Melawan si Tiga Kembar saja mereka ini
sudah sangat kerepotan dan bahkan sering
terdesak, apalagi kini dengan pedang di
tangannya Baja Wungu ikut melabrak,
kedua si Topeng Hitam semakin tak mampu
berbuat banyak. Dari segala penjuru
serangan datang bertubi-tubi, si Topeng
Hitam nampak kalang kabut, mengelak dan
menangkis serangan itulah yang dapat
mereka lakukan.
Kini pertarungan maut itu
disaksikan oleh partai-partai lainnya.
Akan tetapi rupanya dari tiga partai yang
tersisa, yang jumlah keseluruhannya tak
lebih dari lima belas orang nampaknya
cenderung berpihak pada si Topeng Hitam,
hingga suara-suara sumbang mulai
terdengar.
Saat itu Kakang Barep berhasil
menendang jatuh wakil ketua Topeng
Hitam, Baja Wungu yang mengetahui
kesempatan yang sangat baik segera
bertindak cepat dengan pedang terhunus
dia memburu wakil Topeng Hitam dan
bermaksud memenggal lehernya. Nampaknya
wakil ketua Topeng Hitam ini sudah tiada
mampu berkelit, dia sudah pasrah
menerima nasib. Namun pada saat yang
kritis itu tiba-tiba terdengar bentakan
melengking dari salah seorang ketua
partai yang tidak terlibat pertempuran.
"Berhenti...!"
Bentakan itu benar-benar sangat
berpengaruh bagi mereka yang sedang
terlibat pertarungan. Secara serentak
mereka bagai dihipnotis menghentikan
pertarungan. Baja Wungu yang hampir saja
berhasil membabatkan pedangnya pada
leher lawannya, secara tiba-tiba
menghentikan gerakannya. Barulah
setelah dia mengerahkan hawa murni, dia
dapat menoleh dan memperhatikan
orang-orang yang berada di seke-
lilingnya.
"Tak tahu malu bertarung main
keroyokan...!"
Seorang laki-laki dengan kumisnya
yang tebal menyela. Begitu Baja Wungu dan
si Tiga Kembar menoleh tahulah mereka
bahwa orang inilah yang telah melakukan
serangan jarak jauh pada mereka.
Baja Wungu yang kiranya telah
mengenal orang ini segera menegur:
"Saudara Soka Durjana ketua
perguruan Angkara Murka! Maksud apakah
mencampuri urusan orang lain...?" tanya
Baja Wungu berusaha meredam
kemarahannya.
Yang di tanya melengos, sambil
meludah. Si Tiga Kembar melihat tingkah
si kumis tebal macam ijuk nampak marah
sekali. Kalau saja Baja Wungu tidak
memberi isyarat pada mereka untuk
menahan diri, sudah barang tentu Kakang
Barep sudah melabrak Soka
Durjana mati-matian. Meskipun
begitu si jangkung ini mencaci maki
habis-habisan:
"Durjana keparat! Selamanya kami
tidak pernah bermusuhan dengan perguruan
Angkara Murka. Tak dinyana, hari ini
engkau berani lancang mencampuri urusan
kami...!"
Ketua perguruan Angkara Murka
men-dengus! Tiba-tiba dia meloncat ke
depan, kemudian sambil bertolak pinggang
dia mencela:
"Bertarung main kroyok! Begitu
mengaku orang gagah! Aku sendiri sebagai
dedengkotnya golongan hitam, belum
pernah bertindak sepengecut kalian...!"
Soka Durjana mencemooh.
"Anjing sinting! Rupanya kalian
semua memang sengaja cari persoalan.
Hmm... bagus, kami si Tiga Kembar dari
Sungai Mati tidak akan sungkan-sungkan
membasmi tikus comberan...!" Adi Ragil
ikut mencela.
"Seratus Kembar lagi pun datang di
hadapanku, akan kupotes kepalanya!
Jangankan hanya kalian bertiga!" Soka
Durjana memanasi.
Usai dengan ucapannya, Soka Durjana
memberi isyarat pada. seluruh sisa
partai yang ada. Maka dengan serentak
mereka berbareng maju menyerang si Tiga
Kembar dan Baja Wungu.
Sambil maju bergerak memapaki
serangan lawannya, Baja Wungu berseru
marah:
"Anjing-anjing biadab, rupanya
kalian sudab. bersekongkol untuk
mengeroyok kami...!"
Berkata begitu Baja Wungu langsung
membabatkan pedangnya. Beberapa orang
yang berada paling depan roboh seketika
dengan bermandikan darah. Pertarungan
dalam sekejap saja telah menjadi seru
kembali. Hiruk pikuk dan denting
beradunya senjata tajam berbaur menjadi
satu. Baik anggota si Cebol Gagu dari
Gunung Kuali, maupun anggota dari
perguruan Lumpang dan Angkara Murka satu
demi satu roboh tak berkutik. Kini
tinggallah pentolan dari masing-masing
perguruan ditambah dengan ketua dan
wakil Topeng Hitam. Jumlah keselu-
ruhannya sebanyak lima orang, meskipun
boleh dikata hampir seimbang. Akan
tetapi mereka merupakan lawan-lawan yang
sangat tangguh. Ilmu dan kepandaian
silat mereka sama-sama satu tingkat, dan
mungkin ada beberapa orang di atas
mereka. Bahkan!
Apalagi si Cebol Gagu, dengan
senjatanya berupa sebuah tombak sakti
bermata ganda. Berkelebat menderu
mencecar pada bagian yang mematikan.
Baja Wungu yang berhadapan dengan si
Cebol Gagu nampak mulai terdesak. Begitu
pula yang terjadi dengan si Tiga Kembar
dari Sungai Mati ini. Agaknya keempat
orang lawannya sudah mengetahui
kelemahan jurus-jurus gabungan yang
diberi nama Tiga Tarian Walet Kembar.
Terbukti bagai diobrak-abrik mereka
mulai kelihatan cerai berai. Beberapa
jurus berikutnya mereka sudah kena
didesak oleh lawan-lawannya.
Pertarungan sudah berlangsung empat
puluh jurus. Baik Baja Wungu maupun si
Tiga Kembar dari Sungai Mati sudah jatuh
di bawah angin. Bahkan tombak Sakti
bermata ganda milik si Cebol Gagu,
berulang kali nyaris merobek bagian
lambung Baja Wungu. Kalau saja dia tidak
memiliki ilmu mengentengi tubuh yang
sudah sangat sempurna, sudah barang
tentu sudah sejak tadi nyawanya
melayang. Walaupun begitu beberapa saat
di depan, laki-laki itu nampak terdesak
hebat, hingga akhirnya Baja Wungu
benar-benar kepepet, senjata di tangan
si Cebol Gagu terus meluncur mengancam
bagian perutnya. Bagi Baja Wungu
meskipun dirinya benar-benar dalam
bahaya, namun otaknya segera berpikir
cepat. Hanya ada satu pilihan demi
menyelamatkan nyawanya, yang tidak ada
dijual di waning mana pun. Secepat kilat
dia kiblatkan pedangnya.
"Traaang...!"
Terlihat bunga api berpijar dari
kedua senjata yang saling berbenturan.
Baja Wungu berseru kaget dan langsung
bergulungan di atas tanah. Pedang
Mustika milik ketua Hantu Berkabung
patah menjadi dua, sementara Tombak
Sakti bermata ganda milik si Cebol Gagu,
tanpa ampun terus memburunya, ke mana pun
dia berusaha menghindar. Sampai pada:
"Craas!"
Dan pada saat yang sama.
"Tuuuuk!"
Baja Wungu berseru kaget karena
tangan kanannya sempat robek tersambar
mata Tombak milik si Cebol Gagu.
Sementara Cebol Gagu melenguh pelan
tanpa mampu menggerakkan tubuhnya.
Jerit tertahan dari mulut Baja Wungu
membuat perhatian si Tiga Kembar jadi
terpecah. Kelengahan yang hanya sesaat
itu pun dimanfaatkan oleh lawan-
lawannya. Dengan diiringi bentakan
menggelegar keempat orang musuhnya
kirimkan pukulan yang sangat telak.
"Bunk!"
"Buuk!"
"Buuk!"
Si Tiga Kembar terpental tujuh
tombak lalu memuntahkan darah segar.
Agaknya lawan-lawannya tidak ingin
bertindak tanggung-tanggung, mereka
sudah bersiap-siap untuk mengakhiri
lawan-lawannya dengan pukulan yang
paling ampuh. Namun begitu mereka
bermaksud menerjang secara bersamaan
pula.
"Tees! Tess! Tees! Tees...!"
Tubuh mereka mendadak terus kaku
sangat sulit untuk digerakkan. Tentu
saja kejadian yang sangat tiba-tiba ini
benar-benar mengejutkan hati dan
sekaligus melegakan hati Baja Wungu
maupun si Tiga Kembar. Dan mereka
menyadari jiwa mereka telah di
selamatkan oleh seseorang yang tentunya
berilmu sangat tinggi. Siapa pun adanya
orang itu, mereka patut mengucapkan
terima kasih.
* * *
SEPULUH
Pada saat hati mereka diliputi
pertanyaan seperti itulah tiba-tiba di
atas air sindang telah berdiri seorang
pemuda yang sangat tampan serta seorang
gadis cilik duduk di atas pundaknya.
Bukan saja lawan-lawan Baja Wungu yang
nampak menjadi jerih, melihat kehadiran
pemuda berpakaian merah darah. Akan
tetapi orang yang di tolong oleh si
pemuda penyandang periuk besar itu pun
merasakan hal yang sama. Mereka menduga
tentu pemuda berkuncir ini merupakan
Dewa Penunggu Sindang Darah. Sebab
seperti yang mereka lihat pemuda
berpakaian merah-merah itu ternyata
kedua kakinya bukanlah terapung di atas
permukaan air. Tidak sama sekali. Dengan
mata melotot mereka dapat melihat bahwa
kedua kaki pemuda ini ternyata berpijak
di atas punggung buaya-buaya yang ada di
tengah Sindang. Bahkan buaya yang
jumlahnya mencapai ratusan ekor itu kini
nampak sangat patuh. Seolah mereka
sedang mengawal sang rajanya.
Mengapa hal itu sampai bisa terjadi?
Sebenarnya pada malam yang sama, Buang
Sengketa juga sudah sampai di Sindang
Darah. Pada saat itu dia sudah menemukan
rombongan Topeng Hitam, yaitu seorang
musuh yang telah membunuh orang tua dan
sekaligus nenek peot, orang tua asuh
gadis cilik Wanti Sarati yang sampai saat
itu turut dalam pengembaraannya. Pada
saat itu dia sudah hampir turun tangan
untuk membunuh ketua Topeng Hitam, kalau
saja di dalam Sindang itu tidak terjadi
sesuatu yang sangat mengejutkan hatinya.
Topeng Hitam yang kemaruk kitab pusaka
ternyata menurunkan orang-orang
kepercayaannya malam itu juga. Seperti
yang telah diceritakan di atas, kiranya
pemuda ini juga sempat menyaksikan
bagaimana buasnya mahluk-mahluk reptil
itu dalam membantai mangsanya. Lalu
timbullah rasa penasarannya. seperti
yang pernah dituturkan oleh gurunya,
yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu bahwa
ayah kandungnya. Yaitu si Piton Utara
adalah merupakan raja dari segala raja
binatang melata. Mahluk melata apa pun
akan selalu tunduk dan patuh kepadanya.
Sebagai keturunan langsung dari Raja
mahluk melata tentu dia ingin mencoba
tentang kebenaran cerita gurunya. Buang
Sengketa seketika berubah niat.
Tujuannya untuk membunuh si Topeng Hitam
dia tangguhkan. Kemudian berkelebat
pergi menghampiri sekawanan Buaya Kuning
yang sudah siap menunggu mangsanya.
Mulanya dengan hati berdebar Buang
Sengketa mempergunakan sebatang ranting
untuk mengusik ketenangan buaya-buaya
itu, akan tetapi diperlakukan sedemikian
rupa, buaya kuning itu tidak bergeming.
Kemudian dengan sangat berani Buang
Sengketa mempergunakan kaki kirinya,
keadaan tetap tak berubah. Apabila
pemuda itu mengeluarkan bunyi mendesis
mirip dengan seekor ular Piton,
tiba-tiba dari berbagai penjuru
berdatangan buaya-buaya kuning dari
berbagai ukuran. Yang membuat pendekar
dari negeri Bunian itu keheranan
kedatangan buaya-buaya itu bagai
menghaturkan sembah terhadap putra Sang
Raja. Tentu saja kejadian ini sangat
melegakan hati pendekat Hina Kelana.
Dengan penuh suka cita dia melompat ke
punggung buaya yang paling besar, dengan
tujuan ingin segera melihat pulau yang
terletak di tengah-tengah sindang.
Dengan diantar dan dikawan oleh puluhan
ekor buaya yang berukuran besar,
akhirnya sampai juga mereka ini di pulau
Karang yang menyeramkan. Tidak begitu
sulit bagi mereka untuk menemukan pintu
rahasia gua karang, dengan mempergunakan
tusuk konde yang berada di atas rambut
Wanti Sarati dengan mudah dia dapat
membuka pintu utama. Akan tetapi betapa
terkejutnya hati pemuda ini begitu pintu
terbuka dia melihat sosok tubuh yang
sudah sangat berumur nampak sedang
semedi. Pemuda itu lalu menegur, akan
tetapi setelah tak ada jawaban dia
menghampiri orang itu. Tahulah dia
kiranya orang tua itu sudah mati dalam
keadaan semedi. Ketika pemuda itu
memeriksa keadaan sekelilingnya
ternyata tidak begitu jauh di hadapan
jenazah kakek tua itu terdapat sebuah
surat yang ditulis dengan guratan tangan
di atas selembar kulit buaya. Pesan surat
itu berbunyi:
Siapa yang sampai di Pulau
Karang ini dilarang membuka
pintu kedua. Tiada Kitab Pusaka,
kecuali malapetaka...
Buat pembawa kunci pintu rahasia.
Kuhadiahkan sebuah
Buku silat hasil ciptaanku....
Mohon dibuka setelah jauh
dari tempat ini.
Dan kunci rahasia lemparkan
ke dalam Sindang Darah....
Murid Durhaka...
Paderi Agung Sindang Darah
Setelah membaca pesan di dalam surat
itu Pendekar Hina Kelana untuk beberapa
saat lamanya nampak merenungi makna
kata-kata yang tertulis di atas kulit
buaya itu. Hingga Buang Sengketa pun
sampai pada kesimpulan bahwa sampai pada
akhir hayatnya. Kiranya Paderi Agung
Sindang Darah masih menyesali
perbuatannya yang telah membunuh Sang
Guru.
Sejenak Buang Sengketa memandang
iba pada jenazah Paderi Agung Sindang
Darah. Kemudian dia membungkuk hormat,
lalu ucapnya:
"Maaf orang tua, aku akan
menyempurnakan kuburmu...!"
Setelah berkata begitu Buang
Sengketa dengan cepat membuatkan sebuah
kubur, untuk Paderi Agung Sindang Darah.
Tak lama kemudian setelah mengambil
sebuah kitab yang terletak di bawah
tempat duduk jenazah Paderi Agung
Sindang Darah maka seperti pesannya
Buang Sengketa segera melemparkan tusuk
konde kunci pembuka gua karang ke
tengah-tengah Sindang.
Dengan diantar oleh buaya-buaya
yang berdiam di dalam Sindang, Buang
Sengketa dan Wanti Sarati kembali
bergerak ke daratan. Namun begitu dia
hampir mencapai tepian sindang, korban
telah berjatuhan. Masih untung ketua
Hantu Berkabung dan lainnya yang
diketahui oleh Pendekar Hina Kelana
sebagai kaum yang beraliran lurus masih
dapat dia selamatkan dari ancaman si
Cebol Gagu dan empat partai lainnya.
Buang Sengketa menatap sinis pada
Ketua Topeng Hitam dan juga pada
kembrat-kembratnya. Tapi lama kemudian
dia membentak:
"Monyet-monyet bertopeng, dosa
kalian sudah kelewat batas! Aku tak
mungkin memberi ampun pada kalian.
Kalaupun ada yang dapat memberimu ampun
hanyalah bocah ini...!" sela si pemuda
sambil menepuk bahu Wanti Sarati yang
kini juga telah berdiri di atas punggung
buaya-buaya itu.
"Jawab... kalian toh masih bisa
bicara...!"
Mendengar ancaman si pemuda yang
nampak bersungguh-sungguh, ketua dan
wakil ketua Topeng Hitam tubuhnya nampak
menggigil ketakutan. Dengan gemetar
mereka bertanya:
"Apa ya... yang harus kami jawab!
Sedangkan kami merasa tidak pernah
membunuh seorang nenek apalagi seorang
suami istri...!" Ketua Topeng Hitam
berusaha berkelit.
"Mulutmu sungguh busuk Topeng
Hitam! Bukankah kalian telah membunuh
nenek peot beberapa bulan yang lalu?
Masihkah kalian ingin mungkir...?"
Agaknya Topeng Hitam sudah tidak
dapat menyangkal tuduhan Buang Sengketa.
Kini mereka nampak diam seribu bahasa.
"Wanti... mereka telah membuat
hidupmu sengsara! Menurutmu hukuman
apakah yang paling pantas buat
mereka...?" tanya Pendekar Hina Kelana
pada Wanti Sarati yang berdiri di
sebelahnya.
Wanti Sarati yang merupakan seorang
bocah cerdik, tanpa berpikir segera
menjawab:
"Mereka harus memotong kedua
tangannya masing-masing Paman...!"
Wanti Sarati berkata tegas.
Saat itu juga ketua dan wakil ketua
Topeng Hitam berubah pucat parasnya.
"Ti... tidak! Jangan! Kami membunuh
nenek peot karena nenek itu telah
berhutang nyawa kepada kami...!" wakil
ketua Topeng Hitam beralasan.
Pendekar Hina Kelana berkata ketus:
"Hmm... lagi-lagi engkau
berbohong...!"
Kemudian pemuda itu merenung
sejenak. Lalu berkata lugas.
"Wanti... apa hukumannya bagi orang
pembohong?"
Kembali jawaban Wanti Sarati sangat
mengejutkan ketua Topeng Hitam.
"Untuk seorang pembohong mereka
harus memotong lidahnya sendiri...!"
sela gadis cilik itu polos.
"Hmm... kalian berdua telah
mendengar sendiri hukuman apa yang harus
kalian jalani, sekarang aku akan
membebaskan kalian dari pengaruh
totokan!"
Seiring dengan ucapannya Buang
Sengketa segera sentilkan jari
telunjuknya mengarah pada tubuh si
Topeng Hitam dua buah benda sebesar
butiran pasir segera meluncur dan
membentur bekas totokan secara lunak.
Kedua orang ini segera terbebas dari
pengaruh totokan.
Buang Sengketa melirik pada Baja
Wungu lalu berseru:
"Saudara Baja Wungu! Ambil pedang
yang tergeletak di atas tanah itu,
kemudian serahkan pada monyet-monyet
sialan di depanmu...!"
Tanpa menjawab Baja Wungu melakukan
apa yang diperintah oleh orang yang telah
menyelamatkan jiwa mereka, untuk
kemudian, bermaksud menyerahkannya pada
si Topeng Hitam. Akan tetapi di luar
dugaan mereka semua setelah pedang itu
berada dalam genggamannya. Dengan nekad
ketua Topeng Hitam menyerang Baja Wungu
yang paling dengat dengan dirinya. Masih
untung sejak semula Baja Wungu sudah
memperhitungkan adanya kemungkinan ini,
kalau tidak tentu dia sudah kojor dengan
dada tertembus pedang. Baja Wungu
berkelit dan melakukan serangan balasan.
Dalam keadaan nekad serangan-serangan
vang dilancarkan oleh Topeng Hitam
bersaudara nampak ganas sekali.
Pendekar Hina Kelana demi
menyaksikan kenekatan Topeng Hitam,
nampak sangat marah. Apalagi tadi,
nyaris membunuh Baja Wungu. Dengan
sekali genjot tubuhnya melentik ke atas,
kemudian tanpa menimbulkan suara dia
menginjakkan kakinya tepat di sebelah si
Tiga Kembar. Tanpa menoleh dia berpesan.
"Saudara bertiga harap jaga bocah
ini! Aku mau mengkremus batok kepala
mereka...!"
Tanpa menunggu jawaban si Tiga Kem-
bar, Pendekar Hina Kelana langsung
meluruk si Topeng Hitam. Kemudian dia
berseru pada Baja Wungu:
"Saudara Baja Wungu menying-
kirlah...!"
Mendengar aba-aba yang diberikan
Buang Sengketa, Baja Wungu segera
melompat mundur, kemudian bergabung
dengan si Tiga Kembar dan Wanti Sarati.
Kini si Topeng Hitam tersenyum
mengejek, lalu mencemooh:
"Budak hina... kau pikir kami akan
menuruti keinginanmu yang gila itu?"
kata Topeng Hitam mendengus. "Kami lebih
baik mati dalam pertarungan daripada
harus bertekuk lutut di bawah
perintahmu...!"
Buang Sengketa kertakkan rahang.
Dia benar-benar merasa sangat jengkel
sekali. Kemudian dia berkata lantang.
"Agaknya buaya-buaya di bawah sana
lebih pantas menyantap bangkai kalian
daripada harus bersusah-susah menggali
kubur...!"
Pendekar Hina Kelana lalu menoleh
pada tiga partai yang bersekutu dengan
Topeng Hitam. Yang keadaannya masih
tertotok, sekali saja tangan pemuda itu
bergerak orang-orang itu pun terbebas
dari pengaruh totokan. Suasana nampak
tegang. Tak lama kemudian Buang Sengketa
membentak:
"Sekarang tikus-tikus telah
kubebaskan semuanya, kalian hanya bisa
selamat apabila mampu menghindari setiap
seranganku. Andai tidak jangan harap
bertemu esok...!"
"Bocah sombong mampuslah...!"
Soka Durjana tanpa banyak cingcong
langsung menerjang.
* * *
SEBELAS
Tak begitu lama diikuti pula oleh
kawan-kawan mereka yang lain. Meskipun
sesungguhnya hati mereka masih diliputi
perasaan jerih. Akan tetapi bagi mereka
lebih baik bertarung daripada harus
pasrah menerima nasib. Demikianlah hanya
dalam beberapa saat saja pertarungan
sudah berlangsung puluhan jurus.
Masing-masing telah mengeluarkan
jurus-jurus yang paling sangat mereka
andalkan. Sementara si Cebol Gagu dengan
senjatanya tombak sakti terus mencecar
lawannya dengan beringas. Apalagi tadi
pemuda itu sempat mengerjai dirinya.
Peristiwa itu sungguh sangat memalukan
dan patut dibalas. Akan tetapi jurus
silat yang dimainkan oleh si pemuda
sering berubah-rubah. Kadang tubuh
lawannya nampak bergerak cepat sambil
melancarkan serangan-serangan yang
mematikan, di lain saat berkelebat dan
hanya merupakan bayang-bayang merah. Hal
ini sudah barang tentu sangat
membingungkan lawan-lawan Buang
Sengketa. Hingga beberapa saat kemudian
dia nampak sudah tak sabar.
Kini mulailah dia melancarkan
pukulan-pukulan Empat Anasir Kehidupan
yang sangat diandalkannya. Agaknya lawan
yang berjumlah lima orang ini bagi Buang
Sengketa bukan merupakan lawan yang
tangguh.
Sekali waktu pemuda itu melepaskan
dan kiblatkan tangannya, selarik sinar
Ultra Violet menderu mengarah pada ketua
dan wakil Topeng Hitam, angin pukulan
bercuitan. Pukulan yang datangnya begitu
mendadak dan terasa sangat cepat membuat
kedua orang itu tak mampu mengelak lagi,
sinar yang sangat panas itu tanpa ampun
melabrak tubuh mereka.
"Brees...!"
"Arrggghhk...!"
Jerit kematian bergema di penjuru
Sindang. Tubuh Topeng Hitam yang hangus
itu terlempar beberapa tombak dan
langsung tercebur ke dalam Sindang
Darah. Sebentar saja tubuh manusia
bertopeng yang sudah tidak bernyawa
menjadi mangsa yang sangat empuk bagi
buaya-buaya yang berada di dalamnya.
Sementara itu pada saat yang hampir
bersamaan Buang Sengketa yang kini
sedang dicecar oleh tiga orang lawan
nampaknya tidak ingin membuang banyak
waktu. Sekali saja jemari tangannya
meraba pinggang kemudian berkelebat
memapasi Tombak Sakti milik si Cebol
Gagu. Tombak di tangan si Cebol
berantakan dilanda Pusaka Golok Buntung
di tangan pendekar negeri Bunian. Bahkan
tanpa tanggung-tanggung lagi senjata
pusaka di tangan Buang Sengketa
bertindak lebih lanjut:
"Craas!"
"Crees!"
Darah memancar dari leher si Cebol
Gagu yang hampir terputus, sementara
nasib Mujiman ketua padepokan Gunung
Lumpang pun tidak jauh berbeda, Darah
bercucuran dari bagian perut yang robek
terbabat Pusaka Golok Buntung di tangan
Pendekar Hina Kelana. Hanya beberapa
saat tubuhnya limbung untuk kemudian
ambruk ke bumi dengan nyawa melayang.
Mengetahui sobat-sobatnya berge-
limpangan ke bumi dengan keadaan yang
sangat mengerikan Soka Durjana yang
tinggal seorang diri menjadi lumer
nyalinya. Dengan hati kecut dia
memandangi Buang Sengketa tiada
berkedip. Agaknya pemuda ini tidak akan
memberi kesempatan pada Soka Durjana
untuk hidup selanjutnya.
"Cecunguk sial! Hanya tinggal kau
seorang yang masih hidup, mungkin kau
masih punya keinginan mengaju jiwa
denganku. Majulah...!" Pendekar Hina
Kelana mencemooh.
"Hari ini aku memang kalah! Tetapi
tunggulah pembalasaanku nanti...!" Usai
berkata Soka Durjana membalikkan tubuh,
dan bermaksud ambil langkah seribu.
Buang Sengketa segera bertindak cepat.
"Tak seorang pun musuh-musuhku
pergi dengan seenaknya! Mampuslah...!"
Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya
ke depan. Tak pelak lagi selarik sinar
ultra violet menderu dahsyat ke arah Soka
Durjana. Jerit kematian tak terelakkan
lagi. Soka Durjana terlempar ke depan
dilanda gelombang yang panas membakar.
Soka Durjana ketua perguruan angkara
murka tewas seketika itu juga dalam
keadaan hangus menyedihkan.
Buang Sengketa sudah bermaksud
menghampiri Baja Wungu, si Tiga Kembar
juga Wanti Sarati ketika terdengar gelak
tawa yang menimbulkan suara bergemuruh
tidak begitu jauh dari mereka. Begitu
Buang Sengketa menoleh tahu-tahu di
tempat itu telah berdiri seorang
laki-laki berambut setengah botak dengan
matanya yang buta. Baik Baja Wungu maupun
si Tiga Kembar yang sudah pernah mengenal
itu tanpa sadar berseru: "Padri Mata
Elang...!" Tanpa menghiraukan mereka,
Padri Mata Elang melirik pada Pendekar
Hina Kelana. Rasa-rasanya dia belum
pernah melihat pemuda berkuncir ini.
Akan tetapi sepak terjangnya.
Benar-benar membuat Padri Mata Elang
berdecak kagum.
"Hahahaha... rupanya aku sebagai
tuan rumah terlambat datang ke tempat
suci ini! Sungguh sayang keparat dari
mana yang telah mengotori tempat ini
dengan bangkai-bangkai yang tiada
harga...!"
Padri Mata Elang mencaci maki
habis-habisan. Walaupun Padri Mata Elang
tidak langsung menunjuk hidung akan
tetapi dia menyadari bahwa ucapan padri
buta ditunjukkan padanya. Baja Wungu
maupun si Tiga Kembar dari Sungai Mati
meskipun hatinya tersinggung dengan
ucapan Padri Mata Elang tetapi dia hanya
mampu menahan perasaan marah di hati.
Mereka merasa jerih untuk berurusan
dengan orang sadis dari Lembah Hantu ini.
Lain lagi dengan Pendekar Hina Kelana.
Dimaki sedemikian rupa sudah barang
tentu dia menjadi sangat marah. Dia yang
sudah merasa yakin bahwa laki-laki buta
ini sesungguhnya adalah Padri Mata
Elang, tanpa sungkan-sungkan lagi balas
membentak:
"Orang tua mata picak ada apakah
hingga kau marah-marah seperti setan?"
Padri Mata Elang kertakkan rahang.
"Bocah edan, siapakah kau! Berani
benar pada Pewaris Sindang Darah...?"
Pendekar Hina Kelana tersenyum
mencibir. "Pandai sekali si tua buta ini
bersilat lidah!" batinnya.
"Tua bangka tidak tahu diri. Siapa
kata kau merupakan pewaris Kitab Pusaka
peninggalan Paderi Agung Pengayom Jagad?
Bukankah kau merupakan murid durhaka
yang telah begitu tega membunuh guru
sendiri...?" ejek pemuda ini.
Terkesiaplah darah Padri Mata
Elang. Wajahnya nampak memerah seketika.
Bagaimana mungkin bocah ini bisa
mengetahui apa yang pernah dilakukan.
"Lancang sekali mulutmu...
katakanlah siapa namamu supaya kau tidak
menyesal nantinya."
Buang Sengketa tertawa ganda. Kemu-
dian:
"Aku ini si Hina Kelana yang tiada
harga, apa gunanya kau mau tahu namaku?"
pemuda itu menyela.
Begitu mendengar julukan si pemuda,
Padri Buta ini kerutkan kening. Tak kalah
terkejutnya dengan Baja Wungu dan si Tiga
Kembar. Mereka benar-benar tak mengira
bahwa Pendekar Hina Kelana yang
belakangan ini membikin gempar dunia
persilatan karena sepak terjangnya,
ternyata masih muda belia. Beberapa saat
kemudian Padri Mata Elang
tergelak-gelak.
"Hahaha... kek... kek... kek! Hemm,
kiranya kau budak hina yang akhir-akhir
ini bikin heboh berbagai golongan
persilatan itu. Bagus! Aku jadi ingin
tahu berapa hebatnya sepak terjangmu
yang membuat tikus-tikus tiada guna lari
terkencing-kencing...!" kata Padri Mata
Elang.
"Tua durhaka! Tidak seorang pun
manusia di atas dunia ini yang lebih
perkasa dari Sang Pencipta. Aku yang hina
ini mana mungkin sanggup menandingimu!"
Meskipun Pendekar Hina Kelana
berkata merendah akan tetapi Padri Mata
Elang cukup tahu bahwa pemuda itu
sesungguhnya tengah mengejeknya.
"Keparat... bicaramu hanya membikin
perutku mau muntah! Terimalah ini...!"
Tangan Padri Mata Elang berkelebat,
kemudian meluncurlah benda-benda
berwarna kekuning-kuningan. Pendekar
Hina Kelana maklum bahwa si Padri Buta
telah melemparkan senjata rahasia
padanya. Untuk tidak membuat Padri Mata
Elang semakin besar kepala, Buang
Sengketa segera kirimkan satu pukulan
dahsyat dari Empat Anasir Kehidupan.
Selarik sinar Ultra Violet yang berhawa
sangat panas menderu dan timbulkan suara
bereuitan. Senjata rahasia bertemu
dengan sebuah kekuatan yang dahsyat.
"Brees.....Blaar...!"
Senjata rahasia milik si Padri Mata
Elang yang berupa puluhan Ekor Ular
Kuning berpentalan ke segala arah dengan
keadaan hangus dan mati. Padri Mata Elang
keluarkan seruan tertahan begitu
merasakan hawa pukulan yang sangat panas
melanda tubuhnya. Kalau tidak
cepat-cepat lompat ke samping tentu
tubuh Padri Mata Elang menjadi sasaran
pukulan yang dilancarkan Buang Sengketa.
Padri Buta Mata Elang seolah bagai
tak percaya nampak tertegun untuk
beberapa saat lamanya.
"Padri Buta, ajal sudah di depan
mata! Bersiap-siaplah untuk mampus...!"
"Keparat...!" Padri Buta mendengus.
Lalu secara hampir bersamaan dia
menerjang dan langsung kirimkan
serangan-serangan yang sangat dahsyat.
Sebentar saja pertarungan sengit
pun terjadi, masing-masing lawan segera
melancarkan pukulan yang bertubi-tubi.
Dan di antara lawan-lawannya terdahulu
nampaknya kali ini Buang Sengketa
benar-benar berhadapan dengan seorang
lawan yang sangat tangguh.
Beberapa saat saja pertarungan
sudah mencapai belasan jurus. Buang
Sengketa kerahkan segenap kemampuan yang
ada. Begitu juga halnya dengan Padri Mata
Elang. Dengan Jurus Elang Menyambar
Mangsa, tubuhnya berkelebat, mencecar
dengan serangan yang bertubi-tubi.
Begitu pun dengan lawannya. Dengan jurus
si Gila Mengamuk, tubuh si pemuda
meliuk-liuk tak beraturan, terkadang
kakinya menendang atau di lain saat
tangannya mencakar dan bergerak pada
bagian-bagian yang mematikan. Sejauh itu
dia masih belum mampu mendesak lawannya.
Bahkan beberapa saat berikutnya dia
malah terdesak hebat. Hingga pada satu
kesempatan Padri Mata Elang berhasil
mendaratkan satu pukulan telak pada
bagian dada pemuda itu:
"Puuk!"
"Bruuk!"
Buang Sengketa terjengkang,
tubuhnya terlempar beberapa tombak. Dia
merasakan dadanya bagai remuk. Pandangan
matanya berkunang-kunang. Perasaan mual
berbaur menjadi satu. Dengan cepat
Pendekar Hina Kelana gelengkan kepalanya
beberapa kali. Begitu rasa sakitnya agak
berkurang, sudah tiada kesempatan lagi
pemuda itu untuk berdiri. Padri Agung
Mata Elang yang terus memburunya segera
kirimkan satu pukulan yang sangat
diandalkan. Seberkas sinar be-warna
kebiru-biruan meluruk dan menderu ke
arahnya. Itulah salah satu pukulan sakti
yang diberi nama Elang Buta Menubruk
Mangsa yang terkenal ganas. Sinar itu
terus meluruk. Tentu saja Buang Sengketa
tak ingin mati konyol, secepat kilat dia
kiblatkan tangannya. Kembali selarik
sinar Ultra Violet menderu dan timbulkan
suara bergemuruh. Tak terelakkan lagi,
dua tenaga sakti bertemu.
"Blaar...!"
Bumi bergetar terasa mau kiamat.
Batu-batu bertebangan ke segala arah.
Tubuh Buang yang masih dalam posisi
terlentang amblas beberapa centi ke
dalam tanah. Sementara Padri Mata Elang
terlempar jauh, darah berlelehan dari
lubang hidung dan bibirnya. Padri Mata
Elang segera bangkit kembali, begitu
pula dengan Buang Sengketa. Sambil
memandang dengan penuh kebencian dia
membentak:
"Budak Hina! Aku akan mengadu jiwa
denganmu!"
Disertai dengan lengkingan dahsyat
Padri Mata Elang langsung menyerang
kembali. Namun kiranya Buang Sengketa
sudah tak ingin mengulur-ulur waktu.
Sekali kedua tangannya meraba
pinggang, maka pusaka Golok Buntung dan
Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Dengan
sinarnya yang berwarna kemerahan golok
dan cambuk di tangan si pemuda segera
berkelebat. Menyambar kian ke mari. Di
lain waktu cambuk Gelap Sayuto di tangan
kirinya melecut.
"Ctar.... Ctaar.... Ctar...!"
Seketika itu juga langit berubah
gelap gulita, petir dan halilintar
sambung menyambung. Terkesiaplah mereka
yang berada di tempat itu.
Terlebih-lebih Padri Mata Elang.
Tanpa membuang waktu ke lengan Padri
Mata Elang yang hanya sekejap itupun
dimanfaatkan oleh Pendekar Hina Kelana.
Pusaka Golok Puntung di tangannya
berkiblat:
"Craas...!"
Akibatnya sungguh sangat mengerikan
sekali. Padri Mata Elang hanya melotot
beberapa saat lamanya. Darah memancar
dari tenggorokan yang menganga. Tanpa
mampu mengeluh tubuhnya langsung ambruk
ke bumi untuk selama-lamanya.
Tak lama kemudian suasana berubah
sepi, secara perlahan kegelapan alam
sekitar mulai pudar. Kemudian menjadi
terang kembali. Begitu Baja Wungu maupun
si Tiga Kembar menoleh mereka sudah tak
melihat Buang Sengketa dan Wanti Sarati.
Yang ada hanyalah mayat Padri Mata Elang
yang tewas dalam keadaan yang sangat
menyedihkan.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar