..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 11 Desember 2024

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE AIR MATA DI SINDANG DARAH

PENDEKAR HINA KELANA EPISODE AIR MATA DI SINDANG DARAH

 AIR MATA 

DISINDANG 

DARAH

Oleh D. Affandy

© Penerbit Mutiara Jakarta

Cetakan Pertama

Dilarang mengutip, memproduksi

Dalam bentuk apapun

Tanpa Ijin tertulis dari penerbit

D. Affandy

Serial Pendekar Hina Kelana

Dalam episode 003: 

Air Mata Di Sindang Darah


SATU


Suasana dingin mencekam mewarnai 

Dusun Bajul yang akhir-akhir ini dilanda 

keresahan. Sejak sore, pintu-pintu rumah 

sudah terkunci rapat. Apalagi malam ini 

hujan gerimis mengguyur daerah 

sekitarnya tiada henti, keadaan ini 

tentu semakin membuat hati mereka 

semakin was-was. Siapa tahu malam ini 

segerombolan manusia bertopeng datang 

lagi. Kemudia merampok harta benda 

penduduk, lebih dari itu korban pun 

berjatuhan kembali. Kini mereka menanti 

dengan harap-harap cemas,bagai anak ayam 

kehilangan induknya mereka kelabakan, 

bingung tak tau apa yang harus mereka 

perbuat.

Wirakarta, Kepala Dusun yang 

bijaksana dengan beberapa orang 

bawahannya sudah hampir dua hari tidak 

pulang ke Dusun itu. Padahal seperti 

pesan Wirakarta sendiri, ketika mereka 

hendak berangkat mencari sarang manusia 

bertopeng. Berhasil atau tidak mereka 

akan kembali pada hari itu juga.

Wirakarta yang telah kehilangan 

istrinya itu memang patut berjuang 

mati-matian, guna mencari tahu apakah 

istri tercinta yang telah disandera oleh 

kawanan orang-orang bertopeng, masih 

hidup atau tidak. Begitu pun seluruh 

penduduk desa hanya mampu berdoa, semoga 

istri pamong desa mereka masih dapat


diselamatkan. Mereka tak dapat 

membayangkan bagaimana jadinya dengan 

nasib Wanti Sarati, anak tunggal Kepala 

Desa yang masih berumur sembilan tahun 

itu nantinya.

Sementara tidak begitu jauh di 

pinggiran dusun, dalam sebuah gubuk tua 

terlihat sebuah pelita minyak dengan 

enggan menerangi seisi ruangan yang 

sangat bersahaja. Di tengah-tengah 

ruangan gubuk itu, di atas sebuah balai 

seorang nenek peot sedang kerepotan 

membujuk seorang gadis kecil yang masih 

saja merengek dan menangis. Siapa lagi 

anak itu kalau bukan Wanti Sarati, putri 

tunggal kepala desa.

Seperti diketahui, sejak umur lima 

tahun Wanti Sarati oleh Wirakarta memang 

sengaja dimomongkan oleh nenek peot yang 

penyabar dan sekaligus merupakan guru 

silat bocah itu. Meskipun nenek ini sudah 

keiihatan sangat tua bangka, tapi dia 

masih kelihatan segar bugar. Semua 

penduduk desa Bajul tahu kalau nenek yang 

di usia senja itu masih tetap perawan, 

dalunya adalah merupakan seorang tokoh 

persilatan dari Kurung Lawer yang sangat

disegani oleh kawan maupun lawan. Lalu 

mengapa malam itu Wanti Sarati yang sudah 

biasa tinggal bersama si nenek peot 

nampak menangis tidak henti?

Tak lain hanyalah karena sudah 

hampir tiga hari kedua orang tuanya belum 

datang-datang menjenguknya. Hal itulah


yang membuat Wanti Sarati uring-uringan 

dan sulit dibujuk. Si nenek peot yang 

memang sudah kehabisan akal, 

lama-kelamaan menjadi jengkel, marah dan 

bahkan senewen. Wanti Sarati mana mau 

tahu dengan keadaan si nenek, gadis cilik 

itu terus menangis dan menangis. 

Akhirnya kesabaran si nenek peot 

habislah sudah, meskipun nada ucapannya 

tidak membentak, akan tetapi dari 

getaran ucapannya sudah dapat diketahui 

kalau nenek peot berusaha meredam 

kemarahannya.

"Nduk... diamlah! Kalau tidak mau 

diam, nanti kau dipelototi setan!"

Mendengar si nenek peot 

menyebut-nyebut setan, gadis itu 

hentikan tangisnya sejenak. Lalu 

kucek-kucek matanya.

"Setan...? Rupanya setan suka 

melototi orang yang lagi nangis...?"

Nenek peot angguk-anggukkan 

janggutnya yang lonjong.

"Nenek pernah lihat setan?" Wanti 

Sarati bertanya lugu.

"Sudah!" sahut nenek peot. "Setan 

itu jelek, wajahnya seram menakutkan! 

Kalau kau tidak mau diam nanti 

setan-setan berdatangan kemari...."

Begitu mendengar kata-kata si nenek 

peot, mendadak tangis Wanti Sarati 

bertambah keras. Nenek peot bengong 

melompong.


"Lho kok bertambah keras!" Nenek 

peot membanting-bantingkan kakinya yang 

keriput dan segemuk kaki meja.

"Nenek... aku mau lihat setan! Biar 

aku nangis kuat-kuat!" Tangis Wanti 

Sarati semakin menjadi-jadi. Nenek peot 

jadi kalang kabut. Tapi begitu dia 

mendapat akal, nenek peot tersenyum 

membujuk.

"Nduk. Kalau mau lihat setan nggak 

boleh nangis keras-keras. Setan malah 

jadi takut...." kata nenek peot menyela. 

Lagi-lagi gadis cilik itu hentikan 

tangisnya sambil menatap heran pada si 

nenek.

"Habisnya bagaimana nek. Bapak 

nggak datang, ibu pun enggak ke mari dan 

setan-setan pun tak mau datang, habisnya 

aku mau main dengan siapa...!" ujar Wanti 

Sarati berkata lugu.

Nenek peot segera duduk di sisi 

Wanti Sarati, kemudian tangan-tangannya 

yang keriputan itu membelai-belai rambut 

si bocah. Dengan penuh kasih sayang ia 

berkata: "Wanti... nenek kan selalu ada 

di dekatmu. Kita boleh bermain apa saja!" 

Wanti Sarati geleng-gelengkan kepala, 

lain tersenyum mencemooh.

"Main sama nenek membosankan, tidak 

enak! Paling bisanya cuma, silat... 

haiit... huiit... gabruk!"

"Bagaimana kalau kita nyanyi 

saja...!" Nenek peot coba mengalihkan 

perhatian. Wanti Sarati menoleh dan


memandang nenek peot beberapa saat 

lamanya.

"Nyanyi...!" ulangnya menirukan 

ucapan si nenek.

Nenek peot anggukkan kepalanya. 

Wajah gadis cilik itu berubah cerah,

"Kalau nyanyi aku mau. Sedari tadi 

aku juga pengin nyanyi...!"

Berkata begitu Wanti Sarati segera 

turun dan bermaksud melangkah ke pintu 

bela-kang. Hal ini tentu saja membuat 

heran si nenek peot. Dengan segera ia 

memanggil Wanti Sarati.

"Eeh mau kemana...?"

Wanti Sarati yang saat itu sudah 

membuka grendel pintu menoleh.

"Katanya.Wanti disuruh nyanyi! 

Sudah pengen nyanyi nenek malah larang!"

"Nyanyi sih boleh Nduk, tapi jangan 

jauh-jauh! Kalau mau nyanyi di telinga 

nenek saja...!" kata si nenek peot. 

Seraya merebahkan badannya di atas 

balai-balai. Sambil melangkah kembali ke 

arah si nenek. Wanti Sarati menyela: 

"Nanti kalau aku nyanyi di telinga 

nenek, aku takut nenek malah marah...!" 

ujar gadis cilik itu was-was.

Nenek peot tertawa panjang.

"Jangan takut. Nenek tidak akan 

marah."

Dengan enggan Wanti Sarati segera 

naik ke atas balai-balai, si nenek yang 

sudah pejamkan mata, mana tahu kalau 

gadis itu telah mengangkangi kepalanya.


Barulah ketika ia merasakan ada sesuatu 

yang telah menyiram kuping dan 

kepalanya, cepat-cepat dia tersentak dan 

bangun. Begitu melihat ke arah Wanti 

Sarati alangkah terperanjatnya nenek 

peot ini, karena ternyata Wanti Sarati 

telah ke-cing di atas kepalanya.

"Wee... bocah nakal, kau telah 

kencing di atas kepalaku...?" nenek peot 

menjadi geram. Sebaliknya Wanti Sarati 

maiah tertawa gelak-gelak.

"Nenek ini lucu! Tadi nenek bilang 

aku disuruh nyanyi di telingamu, ee 

sekarang kok malah marah-marah...!"

Katanya mau nyanyi, bukah mau 

kencing...?" Nenek peot semakin sewot. 

Masih dengan sesungging senyum di 

bibirnya Wanti Sarati meleceh: "Ibu 

bilang kalau mau kencing itu, katanya 

menyanyi! Nenek saja yang sudah 

pikun...!"

Nenek peot manggut-manggut membe-

narkan, kemudian sambil menyeka 

sisa-sisa air yang membasahi wajahnya. 

Nenek per-wan yang berusia sangat lanjut 

itu menyela.

"Ya, sudah, memang dasar aku yang 

tolol! Sekarang kau tidur...!" Si nenek 

peot memerintah.

Dengan sikap enggan Wanti Sarati 

menurut, akan tetapi sebelum gadis itu 

memejamkan matanya, dia menyela:

"Nenek... mengapa nenek selalu 

menyelipkan tusuk konde jelek ini di atas


rambutku...!" sela Wanti Sarati sambil 

meraba kepalanya.

"Biar jelek tapi kau tak boleh 

membuangnya atau menggantikannya dengan 

yang lainnya...!" Nenek peot menyergah.

"Untuk apa, bukankah yang lebih 

bagus dari ini sangat banyak dijual di 

pasar sana?"

Nenek peot geleng-gelengkan 

kepalanya.

"Nenek pesan sampai kapan pun tusuk 

konde itu jangan kau buang, dia bisa 

menjaga keselamatanmu ke mana pun kau 

pergi. Lebih dari itu tusuk konde itu 

merupakan sebuah kunci rahasia pada 

suatu tempat!" ujar nenek peot berkata 

lirih.

Gadis cilik itu nampak tercenung, 

meskipun usianya masih sembilan tahun 

akan tetapi dia seorang anak yang cukup 

cerdik.

"Kalau begitu aku harus menjaganya, 

ya Nek...!" sela Wanti Sarati polos.

"Hendaknya memang begitu."

Gadis cilik itu tiba-tiba menyela 

lagi: "Tapi mengapa harus aku yang 

menjaganya, bukan nenek saja...!"

Mendengar pertanyaan Wanti Sarati, 

nenek keriputan itu tersenyum penuh 

arti.

"Nduk... engkau masih terlalu polos 

untuk mengetahui lebih banyak tentang 

seisi dunia ini. Kelak pada saatnya kau 

akan mengetahuinya juga, betapa dunia


ini penuh dengan segala macam kejahatan. 

Sampai saat ini yang perlu kau perhatikan 

adalah menjaga Tusuk Konde itu agar 

jangan sampai terjatuh pada orang Iain 

yang berniat tak baik!" jelas si nenek 

peot.

Mata Wanti Sarati nampak berkedip-

kedip begitu mendengar kata kata si 

nenek. Dalam. hatinya yang lugu telah 

timbul berbagai pertanyaan, namun dia 

merasa enggan untuk menanyakannya.

Dalam pada itu, terdengar gemerisik 

langkah kaki tidak begitu jauh dari gubuk 

tua tempat tinggal nenek peot. Wanti 

Sarati begitu mengetahui isyarat si 

nenek langsung terdiam seribu bahasa.

Nenek peot yang sudab. menaruh 

curiga. segera jejakkan kakinya lalu 

berjalan berjingkat-jingkat mengham-

piri. dinding yang terbuat dari anyaman 

bambu. Melalui dinding tepas yang banyak 

berlubang di sana sini, nenek peot dapat 

melihat adanya dua bayangan orang-orang 

bertopeng. Meskipun suasana malam dalam 

keadaan gelap gulita, si nenek peot dapat 

merasakan bahwa kehadiran orang-orang 

itu adalah dengan membawa maksud-maksud 

tak baik. Dengan agak terburu-buru si 

nenek peot cepat-cepat kembali 

menghampiri Wanti Sarati, kemudian 

membisikkan sesuatu di telinga gadis 

cilik itu. Wanti Sarati mengangguk-

angguk pelan, agaknya dia menyadari


bahwa ada sesuatu yang sedang mengancam 

keselamatan mereka.

Baru saja nenek peot hendak 

melangkahkan kaki, menghampiri pintu 

depan, tiba-tiba saja terdengar teguran, 

pelan namun mengancam .

"Tikus betina yang ada di dalam 

rumah! Serahkanlah pusaka rahasia 

pembuka Sindang Darah! Kalau tidak kami 

akan membakarmu hidup-hidup bersama 

gubuk buruk ini!"

Nenek peot terdiam seribu bahasa, 

dia mencoba mengingat suara parau namun 

berat, rasa-rasanya si nenek peot pernah 

mendengar suara seperti itu. Akan tetapi 

entah di mana.

Dari luar kembali terdengar 

perkataan yang lebih keras.

"Tikus peot, mengapa mematung 

seperti orang suiting begitu. Cepat 

keluar!" bentak si Drang bertopeng tak

sabaran. "Apakah kau ingin kami 

menyeretmu ke luar...!"

"Kita gebuk saja, baru suruh dia 

merangkak minta ampun!" tukas yang 

satunya lalu memukulkan tangannya ke 

arah gubuk reot. Angin pukulan menderu 

melabrak dinding bnmbu. Dinding itu 

bobol, serangan yang dilancarkan si 

orang bertopeng terus meluncur mongarah 

pada si nenek peot. Nenek berambut 

keperak-perakan ini langsung berkelit ke 

samping sambil mengeluarkan seruan 

tertahan, Begitu mengetahui serangan


yang dilancarkan oleh orang bertopeng 

tahulah dia siapa adanya orang-orang 

ini. Si nenek peot melesat ke luar 

melalui dinding yang jebol itu. Dengan 

tanpa menimbulkan suara, kedua kakinya 

mendarat persis di depan orang itu. Nenek 

peot langsung saja tunjuk hidung.

"Kalau tak salah penglihatanku! 

Tentu kalian berdua adalah kunyuk-kunyuk 

dari Gunung Kadas! Mau apa kalian?" tanya 

si nenek sambil bertolak pinggang.

Kedua orang bertopeng itu langsung 

terkekeh: "Rupanya mata tuamu masih awas 

juga, bagus! Kalau kau memang masih 

mengenali kami! Cepat serahkan kunci 

rahasia Sindang Darah!" perintahnya. 

"Hihihi... kalian sudah menjadi 

pecundangku. Apakah aku tidak salah 

dengar?"

Mendengar jawaban si nenek yang 

mencemooh, marahlah si orang bertopeng 

dari Gunung Kadas ini.

"Tua bangka keparat... sepuluh 

tahun yang lalu kau boleh jual lagak di 

depan kami."

* * *


DUA


Lagi-lagi nenek peot terkekeh, 

sampai-sampai giginya yang tinggal tiga 

ikut bergoyang-goyang. Hal ini tentu 

saja membuat si orang bertopeng semakin 

bertambah marah.

"Tikus peot, hanya dua pilihan ada 

padamu, kau serahkan kunci rahasia 

Sindang Darah atau kukirim kau ke liang 

kubur...!" ancam dua bangsat dari Gunung 

Kadas.

Nenek peot hentikan tawa, lalu 

gertakkan mining yang sudah tak bergigi 

lagi.

"Setan-setan tak berguna, dulu 

nyawa busuk kalian telah kuampuni! Kini 

kalian hendak meminta kunci rahasia!" 

bentak nenek peot geram. "Kalau kalian 

mau, nih kunci kakus...!"

Bersamaan dengan ucapannya, nenek 

perlihatkan dua lempengan batu cadas 

tepat kearah ke perut si orang bertopeng. 

Kedua bangsat itu tergelak-gelak.

"Segala tua bangka bau tanah mau 

bertingkah didepan topeng hitam...!"

Orang-orang bertopeng serentak 

tadahkan tangan.

"Grep... Grep...!

Sambitan lempengan batu cadas yang 

telah dialiri tenaga dalam itu dapat 

ditangkap dengan baik oleh si manusia 

bertopeng. Lain dengan kekuatan yang


berlipat ganda, orang bertopeng itu 

mengembalikan serangan.

"Weer... weer...!" 

Laksana kilat batu lempengan itu 

melesat tanpa ampun.

Begitu diiihatnya batu itu mengarah 

pada dua jalan kematian, sambil berseru 

kaget nenek peot berjumpalitan. 

Batu-batu itu terus mendera, kemudian 

menghantam sebatang pohon. Pohon itu pun 

roboh menimbulkan suara berisik, 

sedangkan yang satu lagi melesat entah ke 

mana. Demi melihat kemajuan yang 

dimiliki Topeng Hitam, terkesiaplah 

darah si nenek peot. Dia benar-benar 

tiada menyangka kalau dalam waktu hanya 

sepuluh tahun si Topeng Hitam telah 

memiliki kemajuan yang demikian 

pesatnya. Si orang bertopeng demi 

melihat si nenek peot berdiri tegak 

laksana patung, keduanya lalu 

tergelak-gelak.

"Nenek pikun! Kau tentu heran 

melihat kehebatan yang telah kami 

miliki, ketahuilah dunia yang gersang 

ini penuh dengan kemungkinan!" ujar 

Topeng Hitam. "Tunggu apa lagi, kalau kau 

sayang pada jiwamu yang tiada harga! 

Cepat serahkan Kunci Rahasia dan 

merangkaklah seperti seekor monyet, 

mudah-mudahan kami berkenan mengam-

punimu...!"


"Puih, manusia-manusia anjing! 

Mampus lebih terhormat bagiku daripada 

harus menyembah pada budak iblis...!"

Nenek peot nampak marah sekali. Si 

Topeng Hitam kembali tergelak-gelak.

"Hemm... rupanya kau jenis manusia 

kepala batu, mampuslah...!"

Berkata begitu dua orang bertopeng 

ini kirimkan serangan dahsyat sekaligus. 

Andai saja nenek peot tidak bersikap 

waspada sejak semula, tentu dengan 

sekali bantam remuklah dadanya yang 

kurus kerempeng itu, akan tetapi bukan si 

nenek peot kalau dalam segebrakan saja 

dia kena dipukul roboh. Seperti 

diketahui, dulunya nenek ini adalah 

seorang tokoh persilatan dari bagian 

Tenggara yang dijuluki oleh banyak orang 

"PERAWAN KELABANG UNGU." Selama malang 

melintang di rimba persilatan, dia 

sangat disegani oleh kawan maupun lawan, 

apalagi dengan senjata andalan berupa 

"Kelabaag Ungu" yang sangat tidak 

diragukan kemampuannya. Dengan senja-

tanya yang sangat beracun itu dalam tempo

sekejap mata saja dia mampu merobohkan 

sepuluh bahkan lebih secara bersamaan.

Demikianlah dengan sedikit berkelit 

kesamping kiri serangan yang dilancarkan 

oleh si Topeng Hitam pertama dapat 

dielakkan, sedangkan serangan si Topeng 

Hitam kedua karena datangnya hampir 

bersamaan sangat sulit baginya untuk


melakukan hal yang sama. Tak pelak lagi 

tangannya berkelebat menangkis.

"Plak... plak...!"

Dua tangan yang sudah dialiri tenaga 

dalam itu bertemu, si Topeng Hitam kedua 

terjengkang mencium tanah, sedangkan si

nenek peot bersurut dua langkah ke 

belakang. Belum lagi si nenek siap pada 

posisinya, si Topeng Hitam pertama sudah 

kembali menyerangnya dengan gencar. 

Nampaknya si Topeng Hitam ini ingin 

segera menghabisi riwayat si nenek peot. 

Kini dengan Ajian Bolo Sewu, yang baru 

saja dipelajarinya, kemampuan si Topeng 

Hitam ini, baik dalam hal tenaga, 

kekuatan maupun kesempurnaan kemampuan 

batinnya nampak lebih mantap dan patut 

dia banggakan. Si nenek peot terus 

berkelit menghindar, angin pukulan 

menyambar-nyambar. Bahkan rambut dan 

pakaian si nenek yang berwarna putih itu 

sampai berkibar.

Nenek peot dibuat kalang kabut, 

apalagi si Topeng Hitam kedua kini sudah 

bangkit dan langsung ikut menyerang si 

nenek peot tanpa ampun, dari dua arah si 

nenek mendapat perlawanan yang cukup 

sengit. Pertarungan berlangsung dua 

puluh jurus, sejauh itu dia hanya mampu 

membendung dan menangkis serangan 

serangan yang dilancarkan lawan. Agaknya 

faktor usia yang sudah sangat jauh 

berbeda ditambah lagi dengan kemajuan 

yang dimiliki oleh si Topeng Hitam.


Beberapa saat kemudian dia segera jatuh 

di bawah angin, si nenek semakin terdesak 

hebat, hingga pada satu saat yang tepat 

si Topeng Hitam pertama berhasil 

menyarangkan sebuah pukulan yang diberi 

nama "Gajah Menendang Semut." Tanpa 

ampun tubuh nenek peot terpelanting 

roboh dan muntah darah. Si Topeng Hitam 

terus memburu dan melancarkan 

pukulan-pukulan andalan. Tubuh si nenek 

yang sudah terluka itu berguling-guling. 

Topeng Hitam kedua agaknya sudah tidak 

sabar lagi untuk segera mengakhiri 

riwayat si nenek, Dengan jarak yang 

sangat dekat dia terus mencecar nenek 

peot. Perawan bangkotan ini semakin 

tunggang langgang. Merasa benar-benar 

sangat keteter, nenek peot merogoh 

jubahnya, sekah tangannya bergerak, 

seekor kelabang warna ungu melesat ke 

arah tangan si Topeng Hitam kedua. Orang 

ini sudah tidak sempat menarik tangannya 

yang sudah sempat terjulur. Tak ayal 

Kelabang Ungu yang disambitkan nenek 

peot menekat erat dan melukai tangan si 

Topeng Hitam. Si Topeng Hitam menjerit 

setinggi langit sambil inemegangi 

tangannya yang mulai berubah warna ungu. 

Demi menyaksikan adiknya kena dicederai 

oleh senjata si nenek, Si Topeng Hitam 

pertama semakin bertambah gusar. Sambil 

mengeluarkan jurus-jurus yang paling 

diandalkan, Topeng Hitam pertama 

membentak:


"Peot, sialan bau cacing tanah, kau 

pasti akan menyesali perbuatanmu itu 

sampai keliang kubur! Sekarang terimalah 

kematian...!"

Bersamaan dengan ucapannya, si 

Topeng Hitam pertama lancarkan pukulan 

yang cukup telak. Nenek peot meskipun 

berusaha menghindar, namun jemari tangan 

si Topeng Hitam bagai bermata terus saja 

mengejar ke mana pun nenek peot berkelit. 

Akibatnya:

"Buuuuk...!"

Untuk yang kedua kalinya nenek peot 

terlempar beberapa tombak dengan 

menderita luka dalam yang teramat parah. 

Darah kental membasahi pakaian yang 

dikenakannya. Nenek peot menggeliat 

beberapa kali. Agaknya si Topeng Hitam 

masih kurang puas dengan keadaan yang 

terjadi. Lalu rangkapkan kedua 

tangannya, sekali saja tangan itu 

berkelebat, meluncurlah puluhan benda 

hitam runcing menderu. Tanpa ampun 

puluhan benda itu menembusi tubuh yang 

sudah tiada berdaya. Tubuh nenek peot 

menggeliat sesaat dan kemudian diam 

untuk selama-lamanya. Topeng Hitam 

tersenyum tipis, sepasang matanya yang 

tipis menyiratkan rasa puas. Sambil 

melangkah mendekati mayat nenek peot, Si 

Topeng Hitam bergumam:

"Dasar nenek sial! Diberi jalan ke 

surga, ee... malah memilih jalan ke 

neraka!" Topeng Hitam berjongkok dekat


tubuh si nenek peot yang mulai membeku, 

kemudian dia langsung menggeledah 

pakaian yang dikenakan si nenek peot. 

Begitu dia mendapatkan sesuatu yang 

terselip di pinggang si nenek. Si Topeng 

Hitam tertawa tergelak-gelak. Akan 

tetapi begitu dia menoleh ke belakang 

betapa terkejutnya orang dan Gunung 

Kadas ini begitu melihat kawannya 

tergeletak pingsan.

Dengan cepat dia membara, si Topeng 

Hitam segera memeriksa keadaan kawannya 

yang satu ini. Begitu mengetahui apa yang 

sesungguhnya sedang terjadi, pucatlah si 

Topeng Hitam ini. Kiranya bisa Kelabang 

Ungu yang sempat melukai tangan Topeng 

Hitam kedua mulai menjalar ke mana-mana. 

Topeng Hitam pertama segera menotok 

jalan darah utama untuk mencegah jangan 

sampai bisa yang sangat ganas ini 

menjalar ke jantung. Tubuh kawannya ini 

segera pula diumtnya pada bagian-bagian 

tertentu. Beberapa saat kemudian tubuh 

Topeng Hitam kedua menggeliat lemah, 

dengan mengeluarkan erangan dia mencoba 

bangkit untuk duduk, si Topeng Hitam 

pertama segera membantu.

"Saudaraku... kau tadi sempat 

kelenger! Bisa Kelabang milik tua bangka 

keparat itu bisa merenggut nyawamu! 

Bagaimana ini...?" Hela si Topeng Hitam 

pertama kebingungan.


"Bagaimana...! Apakah kau sudah 

mendapatkan kunci rahasia Sindang Darah 

dari si terkutuk itu...?"

Yang ditanya hanya mengangguk.

"Kalau begitu potong saja tangan 

yang sudah tak berguna ini...!" tukas si 

Topeng Hitam kedua pasrah. Sebaiknya 

kawannya menjadi tampak ragu. Hal ini 

membuat jengkel Topeng Hitam yang 

terluka.

"Tunggu apa lagi, apakah kau mau 

menungguku sampai mampus baru kemudian 

memotong mayatku...!"

"Tapi Saudaraku...!"

"Tak ada tapi-tapi! Cepat 

kerjakan...!" bentak Topeng Hitam kedua 

tak sabar. Lalu tanpa menunggu 

diperintah dua kali orang ini pun segera

mencabut belati yang sangat tajam 

mengkilap. Sekali saja belati yang 

sangat tajam itu berkelebat.

"Craas...!"

Darah memancar deras dari lengan 

tangan yang sudah terkutung. Dengan 

cepat si Topeng Hitam pertama menotok 

pembuluh nadi besar demi mencegah 

mengalirnya darah lebih banyak lagi. 

Meskipun si Topeng Hitam kedua telah 

merelakan tangannya untuk dibuntungi tak 

urung orang ini menjerit-jerit 

kesakitan. Tanpa buang-buang waktu lagi, 

si Topeng Hitam pertama segera menyambar 

tubuh kawannya. Akhirnya dengan 

memanggul tubuh si Topeng Hitam kedua,


orang ini pun berkelebat pergi. Beberapa 

saat kemudian mereka lenyap ditelan 

kegelapan malam.

Sementara itu Wanti Sarati yang 

sejak awal ikut menyaksikan pertarungan 

melalui lubang dinding dapur, kini 

mengetahui nenek peot terkapar kojor 

segera memburu ke luar.

Begitu sampai di sisi tubuh si nenek 

peot, demi mengetahui keadaannya yang 

sangat menyedihkan. Menjeritlah gadis 

cilik ini. Dipelukinya tubuh yang kaku 

membeku itu. Diiringi tangis yang tiada 

henti.

"Nenek peot... huhuhu... apa dosamu 

nek! Jangan tinggalkan aku...." Wanti 

Sarati terus menangis, hingga tak berapa 

lama kemudian tetangga di kanan kiri pun 

berdatangan. Dusun Karta kembali gempar, 

berita tentang kematian si nenek peot 

cepat tersebar dari mulut ke mulut.

Dalam pada itu Wanti Sarati yang 

telah kehilangan kedua orang tua dan kini 

harus kehilangan nenek peot satu-satunya 

orang yang paling dekat dalam hidupnya. 

Mendadak hentikan tangis. Tangannya yang 

kecil mungil terkepal, mulut terkatup 

rapat. Gadis cilik yang cerdik ini nampak 

marah sekali.

"Manusia Topeng busuk...! 

Nantikanlah pembalasanku!"

Berkata begitu Wanti Sarati di luar 

sepengetahuan orang-orang dusun segera 

bergegas pergi.


* * *

Langit terang, resik tiada ber-

gumpal awan. Matahari di pagi itupun 

bersinar sangat cerah. Kehidupan mahluk 

di pagi hari berjaian seperti hari-hari 

sebelumnya. Di sebuah jalan setapak 

seorang pemuda berwajah sangat tampan, 

nampak berjalan melenggang menuruni kaki 

bukit. Sinar matahari pagi yang berwarna 

kemilau kekuning-kuningan mengiringi 

langkahnya yang ringan. Dengan pakaian 

warna merah darah, sebuah periuk besar 

yang selalu dia bawa ke mana-mana. Siapa 

lagi gerangan pemuda ini kalau bukan 

Buang Sengketa, si Hina Kelana dari 

negeri Bunian.

Sejak Buang hentikan langkah, tak 

begitu jauh di depannya dia melihat 

seorang bocah kecil melangkah 

terseok-seok menjauh darinya. 

"Hemm, Siapa bocah itu, sepagi ini 

telah berada di bukit tandus seorang 

diri!" gumam Buang Sengketa dalam hati. 

Begitu pemuda tampan ini kembali 

memandang ke depan bocah cilik yang tadi 

dilihatnya kini sudah tak tampak lagi. 

Dengan mempergunakan ajian Sapu Angin 

sebentar saja tubuh pemuda itu melesat 

laksana terbang. Hanya dalam tempo yang 

singkat dia sudah sampai didekat si bocah

cilik yang tak Iain merupakan seorang 

perempuan. Semenjak Buang Sengketa 

memperhatikan gadis yang tengah njelepok


di atas batu pinggiran jalan. Sepasang 

matanya yang sayu, nampak tak perduii 

pada kehadirannya. Sebaliknya malah 

menatap kosong pada tumpukan batu-batu 

yang berserakan.

* * *


TIGA



Tentu saja tingkah si bocah menarik 

perhatian Buang Sengketa. Dengan 

hati-hati Pendekar Hina Kelana bermaksud 

menghampiri bocah itu. Namun baru saja 

dia melangkah beberapa tindak, gadis 

cilik itu dengan garang membentak.

"Jangan dekati aku! Sekali lagi kau

melangkah, aku akan terjun ke dalam 

jurang sana...."

Gadis cilik itu mengancam membuat 

Buang Sengketa membatalkan niatnya. 

Buang Sengketa sendiri merasa heran 

mengapa bocah ini bertingkah sangat 

aneh. Mungkinkah telah terjadi sesuatu 

dengannya, sehingga dia menaruh curiga 

pada setiap orang.

"Nduk. Jangan nekad, aku bukan orang 

jahat...!"

Pendekar Hina Kelana coba membujuk. 

Gadis cilik itu mencibir sambil 

memandang penuh kebencian.

"Jangan bohong... semua orang 

jahat!" tukasnya.


"Mereka menculik Ibu, membunuh 

Ayah! Nenek peot juga mereka bunuh. Masih 

kau mungkir bahwa kau juga bukan orang 

jahat...?"

Tudingnya seolah menuduh.

Mengertilah pemuda ini apa 

sesungguhnya yang sedang terjadi pada 

gadis itu. Buang Sengketa nampak 

berpikir sejenak, kemudian ucapnya 

dengan suara pelan.

"Percayalah Nduk, Ibuku juga mati 

dibunuh orang! Kau tidak sendirian, aku 

juga mengalami nasib seperti engkau."

Si gadis cilik yang tak lain Wanti 

Sarati adanya, walau masih berumur 

sembilan tahun sebagai bocah yang 

berpikiran cerdas tentu dapat memahami 

apa yang diucapkan Buang Sengketa. 

Mendadak dia menoleh.

"Jadi Ibumu juga sudah mati...?" 

selanya tak percaya.

"Benar! Ibuku telah tiada bahkan 

ketika aku masih berumur satu hari...!"

Mendengar pengakuan Buang Sengketa, 

serta merta gadis itu langsung bangkit 

dari duduknya.

"Paman!" Ujar si gadis berubah 

sopan. "Aku ingin membalas dendam... 

mereka harus mati paman...!"

Tanpa ragu lagi Buang Sengketa 

menghampirinya. Gadis itu berlari dan 

memeluk si Hina Kelana. Dalam pelukan 

Buang Sengketa dia menangis 

sejadi-jadinya. Untuk beberapa saat dia


membiarkan hal itu berlalu. Akan tetapi 

tak lama kemudian dia membujuk. 

"Nduk, siapakah namamu?"

Wanti Sarati hentikan tangisnya, 

kemudian memandang agak lama pada Buang 

Sengketa. Lalu tanpa ragu lagi dia 

berucap.

"Namaku Wanti Sarati, paman...!"

"Wanti Sarati! Asalmu dari 

mana...?" tanya si Hina Kelana lebih 

lanjut.

"Dusun Karta...! Paman sendiri 

siapa...?"

Wanti Sarati balik bertanya. Buang 

Sengketa tersenyum ramah, kemudian 

mengajak Wanti Sarati berteduh di bawah 

sebatang pohon. Pendekar dari negeri 

Bunian itu segera mengeluarkan dendeng 

ikan lumba-lumba dari dalam periuknya. 

Pemuda itu memberikan beberapa potong 

dendeng pada Wanti Sarati.

"Makanlah... dendeng ini enak 

sekali...!" ujar Buang Sengketa sambil 

menikmati bekal yang selalu dia bawa,

"Paman tadi belum menjawab 

pertanyaanku...!" kata Wanti Sarati 

menuntut.

Lagi-lagi Buang Sengketa tersenyum. 

"Namaku Buang Sengketa...!" 

"Buang Sengketa! Namamu aneh sekali 

paman...?" ujar Wanti Sarati heran.

"Buang... adalah karena memang 

sejak bayi aku sudah dibuang! Sedangkan 

Sengketa karena memang kelahiranku


dipersoalkan oleh banyak orang...!" kata 

Buang Sengketa seadanya. Wanti Sarati 

masih mengangguk heran.

"Paman aneh sekali... lalu paman 

berasal dari mana...?"

Pendekar Hina Kelana tergelak gelak 

be gitu dia melihat bahwa sesungguhnya 

Wanti Sarati meskipun merupakan bocah 

yang sangat cerdik tetapi juga lugu. 

Sambil mengusap-usap rambut Wanti 

Sarati, pemuda itu melanjutkan.

"Aku datang dari negeri yang jauh. 

Wanti..!"

"Maksud Paman?"

"Aku perpaduan antara alam gaib dan 

nyata! Tapi kurasa akalmu belum sampai 

untuk menerima apa yang kukatakan ini. 

Dan kurasa itu tak begitu penting bagimu. 

Sekarang katakanlah kau hendak ke mana. 

Kalau mungkin Paman akan membantumu...!" 

kata Buang Sengketa tegas.

Wanti Sarati begitu mendengar 

keputusan Buang Sengketa kelihatan 

sangat bergembira sekali.

"Benarkah itu Paman...!" sela Wanti 

Sarati tak begitu yakin.

Pendekar dari negeri Bunian ini 

hanya mengangguk pasti.

"Katakan dulu kau mau ke mana!"

Dengan mantap pula dia menjawab.

"Aku mau mencari si Topeng Hitam 

yang telah membunuh bapak dan nenek 

peot!"


Mendengar penjelasan Wanti Sarati, 

Pendekar Hina Kelana ini gelengkan 

kepala dan garuk-garuk rambutnya yang 

tak gatal.

"Wanti... dendam mendendam itu 

tidak baik! Lagipula apa yang akan kau 

lakukan seandainya bertemu dengan 

orang-orang itu?"

Wanti Sarati katupkan gerahamnya 

rapat-rapat, kemudian dengan bibir 

bergetar: "Aku akan membunuh mereka 

dengan tusuk konde ini...!" Wanti Sarati 

mencabut tusuk konde yang berada di atas 

rambutnya. Kemudian segera memper-

lihatkannya pada Buang Sengketa. Pemuda 

itu segera mengamati tusuk konde yang 

diberikan Wanti Sarati padanya. Buang

Sengketa mendadak tersentak kaget. 

Meskipun tusuk konde itu sudah sangat 

butut, akan tetapi dengan pasti dia dapat 

memastikan bahwa tusuk konde itu 

sesungguhnya merupakan sebuah pusaka 

yang sangat ampuh. Kemudian apabila ia 

memperhatikan lebih jauh lagi maka 

pemuda ini semakin bertambah terkejut, 

sebab pada sisi yang lainnya terdapat 

sebuah lekukan-lekukan kecil yang sangat 

mirip dengan sebuah anak kunci.

"Jangan-jangan tusuk konde ini 

merupakan sebuah kunci rahasia yang kini 

sedang dicari-cari oleh berbagai 

golongan persilatan. Kalau memang benar 

apa yang dia duga, tentu Wanti Sarati


dalam bahaya." Dengan cepat Buang 

Sengketa segera bertanya:

"Wanti... dari mana kau peroleh 

tusuk konde ini...!" tanya Buang 

Sengketa tiada berkedip.

"Mengapa Paman! Mengapa Paman 

terkejut seperti itu...!" tanya Wanti 

Sarati keheranan.

"Wanti. Itu tidak penting, yang 

ingin Paman ketahui dari mana kau 

dapatkan tusuk konde ini...?"

Mendadak Wanti Sarati tertawa.

"Hihihi... paman lucu, tusuk konde 

itu pemberian nenek peot. Katanya dia 

dapat menjaga keselamatanku. Lagi pula 

pesan nenek tusuk konde ini tidak boleh 

sampai hilang atau terjatuh ke tangan 

orang lain...!"

Kini semakin yakinlah Buang 

Sengketa bahwa tusuk konde yang ada pada 

gadis cilik itu merupakan sebuah kunci 

pusaka pembuka pintu rahasia Sindang 

Darah. Demi menjaga keselamatan Wanti 

Sarati dia pun lalu berucap pada gadis 

cilik itu: "Wanti. Bagaimana kalau 

engkau ikut Paman saja...!"

Wanti Sarati gelengkan kepala.

"Tidak Paman! Aku mau mencari si 

Topeng Hitam yang membuat hidupku 

sengsara...!" jawab gadis itu tegas.

"Jadi kau benar-benar tak mau ikut 

dengan Paman...!"

"Tidak...!" tegas-tegas Wanti 

Sarati menjawab.


"Bagaimana kalau Paman juga berniat 

mencari si Topeng Hitam,..?" pancing 

pendekar Hina Kelana menunggu beberapa 

saat lamanya.

"Kalau begitu aku mau...!" kata 

Wanti Sarati tersenyum cerah.

"Kalau begitu, marilah kita 

berangkat!" kata Buang Sengketa.

Kemudian dengan menggandeng tangan 

Wanti Sarati keduanya melesat dan 

terbang laksana angin.

* * *

Dengan rambutnya yang setengah 

botak dan berwarna keabu-abuan, dia 

terus melangkah, seolah dia begitu 

mengenali jalan yang sedang dilaluinya. 

Padahal kedua matanya buta sama sekali. 

Siapa lagi si rambut setengah botak dan 

berpakaian putih ini? Dia tak lain adalah 

si Padri Mata Elang adanya.

Hampir seluruh kaum rimba 

persilatan mengenali dia. Kemampuan 

silat yang tiada memiliki tanding, 

jurus-jurus elang mautnya yang dahsyat 

serta tindakannya yang sewenang-wenang. 

Membuat semua orang merasa jerih 

terhadap Padri Buta dari lembah hantu 

ini. Konon sudah sangat lama Padri Buta 

ini sudah sangat jarang sekali 

menampakkan diri di dunia ramai, selama 

bertahun-tahun terakhir dia 

mengasingkan diri dan menyepi di lembah


hantu. Dari kabar yang dapat dipercaya 

kebenarannya. Sejak Padri Mata Elang 

berhasil dikalahkan oleh saudara 

seperguruannya, yaitu Padri Agung 

Sindang Darah, belakangan dia 

memperdalam dan menciptakan ilmu sakti 

yang sangat langka. Tujuannya jelas 

ingin membalas dendam atas kekalahannya 

pada Padri Agung Sindang Darah.

Lain lagi halnya dengan Padri Agung 

Sindang Darah, semenjak terjadinya 

keributan yang memakan banyak korban itu 

kini dia mengasingkan diri di 

tengah-tengah pulau yang terletak di 

Sindang Darah. Dia benar-benar telah 

insyaf dan menyesali perbuatannya yang 

dengan tega membunuh gurunya sendiri, 

yaitu Padri Suci Pengayom Jagat. Semua 

itu sampai terjadi adalah karena akibat 

ulah Padri Mata Elang yang telah 

menghasutnya untuk bersekutu demi 

merebut sebuah kitab pusaka "Pembelah 

Jagat." Tak urung setelah semuanya 

kesampaian tahulah Padri Sindang Darah 

bahwa dirinya telah diperalat oleh 

saudara seperguruannya. Untuk itu dia 

menuntut agar kitab pusaka Pembelah 

Jagat dikembaiikan ke tempat asalnya. 

Akan tetapi mana mau Padri Mata Elang 

melakukan permintaan Padri Agung Sindang 

Darah, sebaliknya Padri Mata Elang malah 

mengerahkan murid-muridnya untuk 

mengeroyok Padri Agung Sindang Darah. 

Pertarungan itu berakhir dengan


kemenangan di pihak Padri Agung Sindang 

Darah. Dendam kesumat pun terbawa pergi. 

Kebencian terhadap almarhum gurunya yang 

selalu pilih kasih terhadap 

murid-muridnya, ditambah lagi kekalahan 

yang dia terima dari Padri Agung Sindang 

Darah semua berbaur menjadi satu, dan 

membulatkan satu tekad untuk mempelajari 

kitab pusaka Pembelah Jagad dalam waktu 

sesingkat mungkin.

Sementara Padri Agung Sindang Darah 

sejak peristiwa itu segera menyerahkan 

sebuah kunci rahasia yang berupa tusuk 

konde pada salah seorang murid 

wanitanya. Dan Padri pun menyuruh sang 

murid untuk mengunci pintu rahasia dari 

luar.

Kalau siang itu Padri Mata Elang 

keluar dari sarangnya Lembah Hantu sudah 

barang tentu ada sesuatu yang sangat 

penting yang sempat sampai ke 

telinganya. Seperti yang dilaporkan oleh 

salah seorang muridnya bahwa kunci 

Rahasia Sindang Darah kiranya kini 

menjadi rebutan berbagai golongan yang 

punya ambisi untuk mengangkangi 

pusaka-pusaka yang berada di sebuah 

daratan yang masih dalam wilayah yang 

dijadikan tempat nyepi oleh Padri Agung 

Sindang Darah.

Padri Mata Elang begitu mendengar 

berita itu, mana mau hanya berpangku 

tangan begitu saja. Apalagi sejak dulu 

semasih gurunya hidup dia memang puny a


ambisi besar untuk menguasai segala 

peninggalan almarhum gurunya.

Kini ada orang lain pula yang ingin 

mengangkangi kitab-kitab pusaka yang 

sangat berharga itu. "Huh. Hal ini tidak 

boleh terjadi, dia harus menjagal 

orang-orang yang berniat serakah itu!" 

Tanpa menghiraukan situasi di 

sekelilingnya Padri Buta itu terus 

melangkahkan kakinya. Semilir angin 

berhembus sepoi-sepoi sesekali 

mengibarkan jubah panjang yang 

dipakainya.

Meskipun Padri Mata Elang selama 

melangkah tiada pernah menoleh ke 

belakang akan tetapi dia tahu kalau sejak 

tadi ada beberapa orang yang sedang 

menguntit perjalanannya. Hingga tak 

begitu lama kemudian sampailah dia di 

sebuah tikungan jalan yang sangat

sempit. Padri Mata Elang hentikan 

langkah, kemudian tanpa menoleh ke be-

lakang dia gerakkan tangannya.

"Weer... weeer...!"

Senjata rahasia yang berupa Ular 

Hijau itu melesat bagaikan anak panah. Si 

penguntit yang tiada menduga akan 

gerakan Padri Mata Elang yang begitu 

tiba-tiba, beberapa orang di antara 

mereka sudah tidak dapat mengelak lagi. 

Ular-ular melekat erat pada bagian dada, 

tangan bahkan mata para korbannya.

Saat itu juga pekik kematian 

menggema di tempat itu. Anehnya begitu


ular-ular hijau itu telah membunuh 

mangsanya mereka bagai mengerti saja 

segera kembali pada tuannya.

* * *


EMPAT


Tanpa diperintah ular-ular itu 

berebut memasuki kantong jubah Padri 

Mata Elang. Terkesiaplah hati para 

penguntit Padri Mata Elang, namun karena 

mereka disertai oleh pemimpinnya, maka 

sedikit banyaknya rasa gentar itu 

perlahan-lahan mulai pupus. Apalagi 

mereka cukup tahu bahwa sang pemimpin 

mempunyai kemampuan yang sangat luar 

biasa.

Ketika mereka saling berpandangan 

sesamanya, saat itu pula Padri Mata Elang 

membentak:

"Penguntit sialan... mengapa hanya 

saling pandang seperti itu, Cepat 

menyingkir... atau aku harus mengirim 

kalian ke liang kubur?"

Meskipun mereka tahu bahwa Padri 

Mata Elang yang mereka hadapi ini masih 

sangat awas perasaannya agaknya 

orang-orang ini merasa takut. Bahkan dua 

orang di antara mereka melompat dan 

langsung berhadapan dengan si Padri 

Buta.


"Padri mata picak... lancang sekali 

perbuatanmu telah berani membunuh

kawan-kawan kami...!" bentak pimpinan 

mereka yang berbadan kurus macam 

Jerangkong. Sesuai dengan keadaan 

tubuhnya, dunia persilatan mengenalnya 

sebagai Si Jerangkong Hidup. Usianya 

juga tidak jauh beda dengan si Padri Mata 

Elang. Sama halnya dengan si Padri Mata 

Elang beberapa tahun terakhir, Si 

Jerangkong Hidup sudah sangat jarang 

sekali berkeliaran di dunia ramai. 

Agaknya dia juga punya tujuan yang sama 

dengan si Padri Mata Elang, yaitu 

sama-sama ingin memperebutkan berbagai 

kitab pusaka yang tiada ternilai 

harganya.

"Segala tikus-tikus tiada guna, 

bapak moyangnya sekalipun berani 

bertingkah di hadapanku tak kan kuberi 

kesempatan hidup...!" Padri Mata Elang 

balik membentak. Tiba-tiba Si Jerangkong 

Hidup tertawa tergelak-gelak.

"Hak... hak... hak...! Padri 

terkutuk, raja dari segala malapetaka. 

Kau sudah menjadi pecundang saudara 

seperguruanmu! Masihkah engkau mau unjuk 

gigi di depanku...!" ejek Si Jerangkong 

Hidup diiringi derai para 

kembrat-kembratnya. Padri Mata Elang 

terdiam sesaat, dia mencoba 

mengingat-ingat siapa gerangan adanya. 

Tapi begitu dia ingat suara tawanya, 

Padri Mata Elang malah tertawa ganda.


Suara tawanya sambung menyambung tiada 

henti, hingga mereka yang berada di 

sekitarnya merasakan rasa sakit yang 

sangat luar biasa. Mengetahui 

kawan-kawannya kena dipengaruhi oleh si 

Padri Buta, marahlah Si Jerangkong Hidup 

bukan alang kepalang.

"Padri gila! Kau mau pamer suara 

tawa si Gelitik Setan! Huh... cuma mainan 

bocah saja kau pamerkan di depanku...!" 

Si Jerangkong Hidup mendengus.

Mendadak Padri Mata Elang hentikan 

tawanya, sebagian alisnya yang sudah 

memutih nampak bergerak-gerak.

"Jerangkong Hidup... mau sebut nama 

saja mengapa kau sungkan-sungkan...!"

"Bagus kalau kau sudah mengenaliku! 

Aku jadi tidak usah repot-repot menagih 

hutang darah yang telah kau lakukan pada 

adik seperguruanku...!" kata Si 

Jerangkong Hidup sambil menyiapkan 

senjatanya yang berupa sebuah Gunting 

Raksasa. Agaknya Padri Mata Elang juga 

mengetahui apa yang sedang dilakukan 

oleh Si Jerangkong Hidup. Lalu dia 

berkata mengejek:

"Jerangkong tukang potong rumput. 

Mengapa tidak dulu-dulu kau 

melakukannya, atau bukan karena tergiur 

pada kitab Pusaka milik perguruan kami 

maka engkau mencariku...!" Padri Mata 

Elang tersenyum sinis.

Si Jerangkong Hidup semakin ber-

tambah geram.


"Hak... hak... hak! Setelah kau 

membunuh guru sendiri, masihkah kau 

hendak mengaku bahwa Padri Agung 

Pengayom Jagat itu gurumu...!" sindir Si 

Jerangkong Hidup.

Marahlah Padri Mata Elang mendapat 

penghinaan seperti itu.

"Jahanam! Kau terlalu mencampuri 

urusanku. Mampuslah...!"

Bersamaan dengan kata-katanya Padri 

Mata Elang angkat tangan ke atas, 

kemudian sekali saja tangan itu 

berkelebat, tapi Si Jerangkong Hidup 

sebagai orang yang seangkatan dengan 

Padri Mata Elang tidaklah berkepandaian 

rendah. Dengan segala kemampuan, dia pun 

malah menerang ke depan. Sebentar saja 

perlarungan menjadi seru. Agaknya yang 

ada di dalam otak pikiran Si Jerangkong

Hidup adalah bagaimana agar secepatnya 

dapat merobohkan si Padri Mata Elang yang 

telah membunuh saudara seperguruannya. 

Si Jerangkong Hidup dengan mengandalkan 

ilmu totokan yang dimilikinya terus 

mencecar lawan, kedua tangannya yang 

bagaikan bermata itu berkiblat ke segala 

arah. Sementara itu Padri Mata Elang 

dengan mempergunakan jurus-jurus 

andalan yang diberi nama "Elang Maut

Kepakkan Sayap" juga tidak kalah 

hebatnya. Sambil kirimkan satu pukulan 

mengarah ke dada, kakinya juga menendang 

ke arah selangkangan Si Jerangkong 

Hidup. Lawannya begitu mengetahui


gerakan yang sangat berbahaya ini segera 

menarik balik totokannya, akan tetapi 

tanpa terduga tubuhnya melesat ke atas. 

Meskipun matanya buta kiranya Padri Mata 

Elang mengetahui apa yang akan dilakukan 

oleh lawannya, dia pun segera bertindak 

cepat. Begitu tubuh Si Jerangkong Hidup 

menukik ke bawah dan langsung kirimkan 

satu pukulan, tak ayal lagi Padri Mata 

Elang yang sempat merasakan adanya angin 

menyambar ke arah kepalanya dengan cepat 

dia memapasi. Tak dapat dihindari lagi:

"Braaasss...!."

"Wer... wer...!"

Tubuh Padri Mata Elang tergetar 

untuk beberapa saat lamanya, sementara 

itu Si Jerangkong Hidup begitu kakinya 

menginjak ke tanah hanya terpeleset 

sedikit saja.

"Hak... hak... hak...!" Si 

Jerangkong Hidup tertawa ngakak. 

"Sebentar lagi kau kubikin mampus mata 

picak...." geram Si Jerangkong Hidup.

Kemudian tanpa ampun dia menerjang 

lagi. Sebentar saja pertarungan sudah 

berlangsung puluhan jurus. Sementara 

kembrat-kembrat Si Jerangkong Hidup 

nampak menanti dengan sikap tak sabar. 

Dalam pada itu tiba-tiba saja, Padri Mata 

Elang melompat beberapa langkah 

kebelakang ketika pada saat yang tepat Si 

Jerangkong Hidup berhasil menotok 

bagian dada Padri Mata Elang. Agaknya 

Padri Mata Elang sangat kebal terhadap


segala macain ilmu totokan. Terbukti 

ilmu totokan Si Jerangkong Hidup yang 

dikenal tiada duanya tidak berpengaruh 

apa-apa terhadap Padri Mata Elang. Hal 

ini tentu sangat mengejutkan hati Si 

Jerangkong Hidup, sebab sepanjang yang 

dia ketahui Padri Mata Elang ini 

sesungguhnya bukanlah manusia yang kebal 

terhadap berbagai senjata tajam apalagi 

dengan ilmu totokan si Jari Sakti yang 

dia miliki. Dalam keragu-raguan seperti 

itu mendadak Padri Mata Elang tertawa 

tergelak-gelak.

"Tengkorak Hidup, ketahuilah bahwa 

Padri Mata Elang yang kini sedang kau 

hadapi bukanlah Padri Mata Elang yang kau 

jumpai beberapa tahun yang lalu. Dengan 

ilmu Pusaka Pembelah Jagat yang telah 

kukuasai, jangankan kau yang tiada 

harga. Guruku sekalipun andai masih 

hidup tak akan mampu menghadapiku!" 

tukas Padri Mata Elang mengejek.

"Manusia sombong sialan! Nanti 

setelah menjelang ajal baru kau tahu 

siapa di antara kita yang paling pantas 

hidup di kolong langit ini...!" Si 

Jerangkong Hidup segera cabut senjatanya 

yang berupa sebuah Tasbih Raksasa. 

Bersamaan dengan itu pula kawan-kawannya 

yang lain serentak ikut maju, lalu 

beramai-ramai mengeroyok Padri Mata 

Elang. Orang buta dari Lembah Hantu itu 

pun tertawa ganda:


"Bagus...! Majulah kalian semuanya! 

Aku pun tak ingin buang-buang waktu 

melayani tikus-tikus tiada berguna...!"

Disertai dengan sebuah bentakan 

Padri Mata Elang menerjang maju. Dalam 

waktu sekejap saja dia sudah terkurung 

dari segala penjuru.

Akan tetapi walaupun begitu dengan 

sikap tenang Padri Mata Elang melayani 

mereka. Bahkan bagai orang yang sedang 

kesetanan, dengan gencar dia mencecar 

lawan-lawannya. Dalam pada itu si Padri 

Mata Elang mendapat perlawanan yang 

sangat sengit dari Jerangkong Hidup. Dan 

sesungguhnya dari sekitar sembilan orang 

pengeroyoknya hanya serangan Si 

Jerangkong Hiduplah yang paling sangat 

berbahaya. Dengan senjata tasbih di 

tangan Si Jerangkong Hidup mengumbar 

segenap kemampuannya, hingga pada satu 

kesempatan:

"Craaak...!"

Tubuh Padri Mata Elang terhuyung, 

meski dalam keadaan begitu tangannya 

masih sempat menyambar dua pergelangan 

tangan lawan sekaligus. Dengan 

mempergunakan tubuh lawan dia berusaha 

melindungi diri dari serangan-serangan 

tasbih Si Jerangkong Hidup. Sudah barang 

tentu Si Jerangkong Hidup menarik balik 

serangannya. Kali ini Si Jerangkong 

Hidup dengan dibantu oleh beberapa orang 

kawannya terus mencecar mengarah ke 

bagian kaki. Padri Mata Elang bergerak


cepat dan terus memutar tubuh lawan yang 

ia pergunakan sebagai perisai itu, 

bagaikan sebuah baling-baling. Praktis 

kedua lawan yang dia pergunakan sebagai 

tameng pelindung menjerit-jerit 

ketakutan. Lama kelamaan agaknya Si 

Jerangkong Hidup sudah hilang 

kesabarannya, hingga dia sudah tidak 

perduli lagi dengan keselamatan 

kawannya. Keadaan ini tentu sangat 

menguntungkan bagi Si Padri Mata Elang. 

Hingga beberapa saat kemudian senjata di 

tangan Si Jerangkong Hidup menderu ke 

arah bagian kepalanya, dengan sangat 

mudah sekali Padri Mata Elang berkelit. 

Dengan sedikit mengangkat tubuh lawannya 

ke atas. Jerangkong Hidup sudah tak 

sempat menarik serangannya yang terus 

meluncur tanpa kompromi. Maka: 

"Proook... prook!"

Jeritan kematian menyertai 

berkelojotannya tubuh kawannya sendiri 

masih di tangan Padri Mata Elang. 

Terkejutlah kawan-kawan Si Jerangkong 

Hidup begitu melihat nasib maiang yang 

dialami oleh kawan-kawannya.

Padri Mata Elang dengan tersenyum 

mengejek berkata: "Hmm... nih, kawanmu 

yang sudah tiada guna kukembalikan." 

Bersamaan dengan ucapannya,tubuh 

lawannya yang sudah menjadi mayat itu dia 

lemparkan meng-arah pada Si Jerangkong 

Hidup. Terdengar suara bergedebukan 

begitu tubuh-tubuh itu nyungsep ke bumi.


Semakin marahlah Si Jerangkong Hidup 

melihat ulah Padri Mata Elang yang 

menyebalkan itu.

"Mata picak terkutuk... kekejamanmu 

sudah melampaui batas! Kau harus mati 

secara mengerikan di tanganku...!" 

bentak Si Jerangkong Hidup dengan 

pandangan yang berapi-api.

"Nyalimu saja yang besar! Mulutmu 

berkoar bagai perempuan yang kebingungan 

bahkan kini kawanmu sendiri kau bunuh. 

Apakah bukan pertanda bahwa kau memang 

sudah edan?" ejek Padri Mata Elang.

"Keparat. Anjing licik...!"

Si Jerangkong Hidup menoleh pada 

kawan-kawannya yang tinggal tiga orang 

lagi, lalu dia membentak gusar: "Minggir 

kalian, biar aku sendiri yang menghadapi 

si picak iblis ini...!"

Lagi-lagi Padri Mata Elang 

tersenyum penuh kemenangan.

"Kau pikir aku akan membiarkan 

kawan-kawanmu yang tiada guna itu! 

Sebelum aku membinasakan biangnya, nih 

kalian makan...!"

"Weer... werr!"

Senjata rahasia yang berupa ular 

hijau itu melesat begitu cepat, 

sampai-sampai tiga orang kawan Si 

Jerangkong Hidup tidak sempat mengelak 

lagi.

"Grep... crep... crep...!"


Disertai jerit lolong yang panjang 

tiga orang kawan Si Jerangkong Hidup 

ambuk ke bumi dengan nyawa melayang.

Semakin bertambah besar kemaraban 

Si Jerangkong Hidup demi menyaksikan 

nasib yang dialami oleh kawan-kawannya.

"Keparat terkutuk...!" Lagi-lagi Si 

Jerangkong Hidup melabrak. Kali ini 

serangannya semakin bertubi-tubi. 

Agaknya Padri Mata Elang pun sudah tak 

sabar untuk segera menyudahi 

pertarungan. Mendadak dia merobah 

jurus-jurus silatnya. Suatu ketika 

tubuhnya berkelebat lenyap bagai 

bayang-bayang, dan di lain waktu dengan 

pukulan-pukulan tangan kosong dia 

memapaki serangan-serangan tasbih 

lawannya. Dan apabila kedua tangannya 

sudah dirakapkan ke depan dada, 

sementara mulutnya berkomat-kamit. 

Dalam keadaan seperti itulah pukulan 

Pembelah Jagat telah menguasai dirinya. 

Tasbih di tangan Si Jerangkong Hidup 

terus berkelebat dan menghantam tubuh 

Padri Mata Elang bertubi-tubi. Namun 

sedikit pun Padri Mata Elang yang sudah 

menjadi kebal karena mantra ajian 

Pembelah Jagat tidak bergeming. Hingga 

beberapa saat kemudian begitu tasbih di 

tangan Si Jerangkong Hidup dan kembali 

menderu mengarah pada bagian kepala. Ta-

ngan Padri Mata Elang pun bergerak cepat.

"Creep...!" Bahkan langsung.


"Prook...!" Tanpa sempat menjerit 

Si Jerangkong Hidup roboh ke tanah dengan 

kepala remuk dan nyawa terputus. Padri 

Mata Elang tergelak-gelak tanda puas, 

kemudian tanpa menolah lagi tubuhnya 

melesat pergi bagai angin.

* * *

LIMA



Desa Sindang Sari adalah sebuah desa 

yang merupakan perbatasan antara Sindang 

Darah di sebelah Selatan dan desa Sindang 

Warakan di sebelah Utara.

Pagi itu seorang pemuda tampan 

berpakaian merah darah dengan sebuah 

priuk besar yang selalu dia bawa ke 

mana-mana. Nampak sedang memasuki desa 

Sindang Sari yang berpenduduk sangat 

padat namun penuh dengan keramah 

tamahan. Dengan langkahnya yang

melenggak lenggok sementara seorang 

bocah perempuan duduk ongkang-ongkang di 

atas pundaknya. Sepintas orang tentu 

mengira bahwa pemuda dan bocah yang duduk 

di atas pundaknya itu tak lain adalah 

seorang gelandangan yang kebetulan 

kesasar di desa mereka.

Apapun tanggapan mereka sesung-

guhnya pemuda yang selalu nampak kumuh 

dan kotor ini tak lain adalah Pendekar si 

Hina Kelana adanya. Seperti diketahui


pemuda keturunan manusia alam gaib itu 

sedang berusaha untuk mengejar orang 

bertopeng yang telah membunuh orang tua 

Wanti Sarati. Hari itu merupakan hari 

yang kesepuluh daiam perjalanannya 

mencari jejak si manusia bertopeng. 

Namun sejauh itu masih belum ada 

tanda-tanda bahwa manusia bertopeng akan 

segera ditemukan. Kalau tujuan si 

manusia bertopeng itu hanyalah ke 

Sindang Darah, mengapa dia tak tanyakan 

saja di mana letak Sindang Darah yang 

sesungguhnya? Berpikir sampai di situ, 

Buang Sengketa segera belokkan langkah 

menghampiri sebuah warung yang terletak 

di sisi jalan itu. Suasana pagi yang 

segar serta bau aroma makanan yang lezat 

membuat perut si pemuda berkerukukan 

minta diisi.

Begitu dia sampai di dalam warung 

yang saat itu memang sarat dengan 

pengunjung, Buang Sengketa langsung 

memesan makanan pada pemiliknya.

"Sediakan kami dua mangkuk nasi 

berikut lauk-pauknya, dan juga dua 

bumbung tuak...!"kata pemuda itu ramah.

"Baik Kisanak... tapi tunggulah di 

meja yang kosong itu!" kata pemilik 

warung lalu menunjuk tempat yang 

dimaksudkan.

Buang Sengketa setelah menurunkan 

Wanti Sarati dari pundaknya segera 

melangkah ke arah meja yang terletak di 

sudut ruangan.


"Paman. Sampai di manakah kita 

ini...?" tanya Wanti Sarati sambil 

memperhatikan orang-orang di seke-

lilingnya.

"Paman juga tidak tahu. Tapi nanti 

bisa kita tanyakan pada pemilik warung." 

"Tempat ini ramai sekali, Paman...!"

Buang Sengketa tersenyum sambil 

memandangi wajah Wanti Sarati yang polos 

dan cantik.

"Hemmm... kau suka tempat seperti 

ini...?"

"Suka, tapi aku kurang suka pada 

orang-orang yang galak seperti mereka 

itu!" Ujar Wanti Sarati.

"Hus. Tak boleh bicara seperti itu, 

nanti mereka marah...!"

Buang Sengketa menegur dengan suara 

lunak.

Wanti Sarati tiba-tiba menjadi 

cemberut.

"Mengapa Paman melarangku! Bukankah 

aku bicara yang sebenarnya...?" protes 

Wanti Sarati mengajuk.

Buang Sengketa kembali kembangkan 

senyum.

"Wanti, memang tidak salah, tapi 

orang bisa tersinggung dengan ucapanmu 

itu." Ujar pemuda itu menasehati. Wanti 

Sarati manggut-manggut.

"Tapi aku suka pada Paman! Paman 

selalu baik dan sayang sama Wanti...!"

Mendengar pujian yang lugu, Buang

Sengketa terenyuh. Kemudian dengan


perasaan sayang dibelainya rambut Wanti 

Sarati yang panjang sebatas pinggang.

"Lupakanlah itu Wanti! Lihat 

pesanan kita sudah datang."

Begitu Wanti Sarati menoleh, 

tahu-tahu pemilik warung sudah berada di 

depan meja mereka. Dengan cepat pemilik 

warung itu segera menghidangkan makanan 

di atas meja. Begitu selesai dengan 

pekerjaannya. Laki-laki yang masih 

sangat muda itu bermaksud meninggalkan 

mereka berdua. Buang Sengketa segera 

menggamit tangannya. Laki-laki itu 

menoleh.

"Ada apa Ki sanak?" tanya si pemilik 

warung sekilas mengamati Buang Sengketa 

dengan perasaan ragu.

"Dapatkah kau katakan padaku, desa 

ini desa apa namanya...?"

"Agaknya Kisanak datang dari daerah 

yang lain?"

"Benar...!" Jawab pemuda itu jujur. 

"Desa ini bernama desa Sindang 

Sari...."

Mendengar jawaban si pemilik 

warung, pemuda itu nampak mengangguk-

anggukkan kepala. "Kalau begitu tentu 

sebuah tempat yang bernama Sindang Darah 

itu letaknya sudah tidak begitu jauh lagi 

dari tempat ini." Batin Pendekar Hina 

Kelana.

"Saudara... masih jauhkah letak 

Sindang Darah dari desa ini...?" tanya si 

pemuda kemudian.


Si pemilik warung nampak terkejut 

begitu mendapat pertanyaan seperti itu. 

Kemudian tanpa sadar dipahdanginya Buang 

Sengketa dari ujung ram but hingga ke 

ujung kaki. Melihat penampilan Buang 

Sengketa yang agak ganjil dari 

kebanyakan orang umum, mengertilah 

pemilik warung yang masih sangat muda ini 

bahwa sesungguhnya dia sedang berhadapan 

dengan orang kalangan persilatan. 

Kemudian setelah melirik kanan dan kiri 

laki-laki itu dengan gemetar menjawab 

pelan:

"Apakah Ki sanak bermaksud datang ke 

tempat yang menakutkan itu...?"

Tanpa menjawab Pendekar Hina Kelana 

mengangguk. Tapi curiga. "Kisanak! 

Akhir-akhir ini Sindang Darah banyak 

dibicarakan orang...!"

"Maksudmu...?!"

Sejenak pemilik warung itu menarik 

nafas pendek.

"Dari berbagai penjuru mereka 

datang untuk memperebutkan kitab-kitab 

pusaka peninggalan Padri Agung Pengayom 

Jagat. Bahkan mereka saling bertarung 

mati-matian sesamanya. Tetapi sejauh itu 

mereka masih belum mampu membuka pintu 

rahasia yang merupakan jalan 

satu-satunya menuju tempat penyimpanan 

kitab-kitab peninggalan Padri Agung 

Pengayom Jagat...!" Ujar pemilik warung.

Mendengar penjelasan pemilik 

warung, Buang Sengketa semakin bertambah


tertarik. Tanpa sadar pemuda itu melirik 

Wanti Sarati yang sedang sibuk melahap 

makanan. Kini dia kembali menoleh pada 

laki-laki itu.

"Saudara. Tadi saudara belum 

jeiaskan padaku di nama letak Sindang 

Darah. Dan mungkin juga kau dapat 

jeiaskan padaku, mengapa tempat itu 

bernama Sindang Darah...?"

Lagi-lagi pemilik warung itu 

menoleh ke sekelilingnya. Kemudian masih 

dengan suara yang serupa dia berkata 

lagi:

"Sesungguhnya Ki sanak, aku sangat 

takut untuk menjelaskan persoalan ini 

pada Kisanak!" Jawabnya sambil 

celingukan.

"Katakan saja mengapa mesti takut! 

Aku yang akan bertanggung jawab kalau 

sampai terjadi sesuatu di tempat 

ini...!" Jawab si pemuda pasti.

"Baiklah kalau sudah begitu 

keinginan Ki sanak."

Pemilik warung tersenyum lega. 

Kemudian setelah berpikir-pikir 

sejenak:

"Sindang Darah letaknya di sebelah 

Tenggara desa ini, untuk sampai ke sana 

hanya memakan waktu dua hari perjalanan 

kaki. Dulunya tempat itu merupakan 

sebuah tempat suci sekaligus rumah 

tinggal Padri Agung Pengayom Jagat 

bersama para muridnya. Akan tetapi sejak 

terbunuhnya Padri Agung Pengayom Jagat


oleh muridnya sendiri, tiba-tiba saja 

tempat itu telah berubah menjadi sebuah 

tempat yang sangat menyeramkan bahkan 

sampai kini...."

"Maksudmu...?" Potong pendekar Hina 

Kelana.

Pemilik warung itu tampak terdiam 

beberapa saat lamanya. Tapi kemudian dia 

menyambung lagi:

"Padri Agung Pengayom Jagat 

menjelang kematiannya sempat mengutuk 

tempat itu. Bahkan tidak tahu dari mana 

datangnya, air di dalam Sindang yang 

hampir seluas danau kini telah dipenuhi 

oleh buaya kuning. Dalam waktu-waktu 

tertentu air di dalam Sindang bisa 

berubah warna menjadi merah darah. 

Itulah makanya Sindang Darah yang 

dulunya bernama Sindang Pengayom jadi 

berubah nama!" Jelas si pemilikwarung 

sambil memijit-mijit keningnya.

Lagi-lagi Buang Sengketa 

angguk-anggukkan kepalanya macam buruk 

pelatuk.

"Benarkah seperti kata orang, bahwa 

di tengah-tengah sindang itu terdapat 

sebuah daratan yang luas?" Sela pendekar 

Hina Kelana tiba-tiba.

"Sesungguhnya yang paling tepat 

adalah sebuah pulau. Pulau Cadas yang 

dipenuhi dengan gua-gua buatan!" Ujar 

laki-laki itu, kemudian menyela kembali: 

"Apakah Ki sanak bermaksud untuk datang 

ke sana?"


Perasaan was-was membayang jelas di 

wajah laki-laki pemilik warung.

Buang Sengketa anggukkan kepala.

"Kalau bisa jangan Kisanak...!" 

Kata pemilik warung bermaksud mencegah.

Melihat kekhawatiran laki-laki itu, 

Buang Sengketa tergelak-gelak. Kemudian 

dia hentikan tawanya lalu memandang pada 

pemilik warung sejurus.

"Mengapa kau melarangku...?" Pemuda 

itu menegur dengan sikap tak senang.

"Eee.. anu, Kisanak tempat itu 

benar-benar sangat berbahaya!" Jawabnya 

terbata-bata.

Begitu mendengar ucapan laki-laki 

itu Pendekar Hina Kelana tersenyum 

kecut, lalu selanya:

"Mengapa takut! Jalan yang kutempuh 

memang selalu penuh dengan kekerasan. 

Kalau memang Sang Hyang Widi memang sudah 

menentukan bahwa aku harus mati, aku pun 

harus rela menerimanya. Tapi kalau belum 

pada saatnya siapa yang bisa 

melakukannya..,?"

"Kalau memang sudah begitu 

keinginan Kisanak, tentu saya tak 

mungkin mencegah, saya hanya memberitahu 

saja."

"Hemm... terima kasih atas 

peringatanmu."

Laki-laki itu hanya menganggukkan 

kepala untuk kemudian melangkah pergi 

melayani tamu-tamu yang lain.


Baru saja Pendekar Hina Kelana 

menyuap makanannya beberapa kali, 

mendadak orang-orang yang berada didalam 

warung itu berlarian ke luar. Tak seorang 

pun di antara mereka yang tersisa. 

Tinggallah laki-laki pemilik warung yang 

nampak menggigil ketakutan sambil 

memandang ke arah pintu. Begitu Buang 

Sengketa menoleh ke tempat yang sama. Dia 

melihat seorang laki-laki dan seorang 

perempuan tua dengan rambut yang sudah 

memutih sedang berdiri di ambang pintu.

Yang mengherankan hati pendekar 

Hina Kelana, adalah penampilan Kakek dan 

Nenek ini yang sangat menyolok mata. Si 

Kakek berpakaian putih perak 

berkilat-kilat dengan dandanan yang 

sangat rapih. Sementara si Nenek 

mengenakan jubah warna biru langit. 

Meskipun sudah tua bangka bau tanah agak-

nya kedua orang aneh ini termasuk pesolek 

berat. Dan sesungguhnya kaum persilatan 

mengenalnya sebagai "Sepasang Sejoli 

Dari Timur". Di bagian Timur mereka 

inilah yang merupakan rajanya kaum 

persilatan dari semua golongan. Memiliki 

kepandaian silat yang sangat tinggi dan 

selama malang melintang dalam rimba 

persilatan belum pernah terkalahkan.

Kini mata mereka menyapu kesegenap 

penjuru ruangan, mereka hanya melihat 

seorang pemuda dan seorang bocah 

perempuan sedang duduk ongkang-ongkang 

menikmati hidangan yang mereka pesan.


Tanpa ragu kedua orang ini segera 

melangkah ketengah-tengah ruangan, 

kemudian duduk saling berhadapan 

mengelilingi sebuah meja besar yang 

berukir indah.

"Pelayan! Cepat sediakan makanan 

kesukaan kami...!" Perintah si nenek.

"Baik, junjungan."

Dengan langkah terburu-buru pemilik 

warung segera bergegas ke belakang. 

Dengan cepat dia telah kembali pula 

membawakan makanan yang dipesan oleh 

kedua orang aneh ini. Ketika pemilik 

warung itu sedang sibuk menghidangkan 

makanan di depan mereka tiba-tiba saja si 

Kakek berjubah putih dengan suaranya 

yang kecil mirip suara perempuan, 

menegur:

"Pelayan goblok! Padamu kami pernah 

berpesan apa...?" bentaknya marah.

Pemilik warung nampak menjadi 

gugup. Kemudian dengan suara tersendat 

dia menjawab: "Jun... junjungan bilang 

tak seorang pun berada di warung ini pada 

saat junjungan datang...!" Ujarnya 

sambil melirik ke arah Buang Sengketa 

yang masih enak-enakan menikmati 

hidangan.

* * *



ENAM



Bagus sekali kalau kau masih ingat. 

Itu menandakan bahwa kau masih 

menghormati kami." Sela Kakek tua 

berpakaian putih mulai geram. Sebaliknya 

laki-laki pemilik warung yang tak 

menyadari bahwa Sepasang Sejoli dari 

Timur ini sedang marah, malah menyahuti:

"Pesan junjungan saya memang selalu 

mengingatnya." jawabnya sedikit bangga. 

Mendengar jawaban laki-laki itu 

memuncaklah amarah si Kakek. Lalu tanpa 

terduga dia langsung mengebrak meja. 

Meja berikut makanan yang baru mereka 

pesan berantakan dan bertaburan ke 

mana-mana. Pucatlah wajah pemilik warung 

itu. Dengan mata melotot si Nenek ikut 

membentak:

"Kalau kau masih ingat pesanku, 

mengapa masih kau biarkan dua ekor lalat 

menjijikkan itu berada di dalam 

warungmu...!"

Menggigillah tubuh laki-laki itu 

ketakutan. Dia tak mampu menjawab hanya 

pandangan matanya silih berganti melirik 

pada Buang Sengketa dan Sejoli Dari 

Timur. Buang Sengketa meskipun menyadari 

bahwa yang dimaksud si Nenek pesolek itu 

sesungguhnya adalah mereka berdua. Akan 

tetapi tetap saja dia acuh.

"Pelayan! Kalau kau tidak segera 

mengusir lalat-lalat gembel itu dari 

warungmu, maka aku akan segera

menyeretnya ke luar." Sela si Nenek 

pesolek semakin gusar. Buang Sengketa 

segera menyudahi makannya. Sementara 

Wanti Sarati nampak tenang-tenang saja.

Pemilik warung kini nampak 

kebingungan, dalam pada itu Buang 

Sengketa maju beberapa tindak.

"Orang tua, lagumu setinggi langit. 

Sepertinya hanya kalian sendiri yang 

berhak hidup di Kolong Jagat ini! Toh 

warung ini bukan milik bapak moyangmu, 

semua orang punya hak untuk berada di 

sini!" sela Buang Sengketa pelan namun 

menyakitkan.

"Bocah keparat! Lancang sekali 

mulutmu...!" Ben tak Nenek berpakaian 

biru langit marah sekali. Selama malang 

melintang dalam rimba persilatan baru 

kali ini ada seorang bocah yang masih 

hijau dan tak dikenal asal usulnya berani 

membentak sedemikian rupa. Dan ini 

sangat keterlaluan sekali.

"Kau telah berani menghina Sepasang 

Sejoli dari Timur, itu berarti tiada 

pilihan lain bagimu kecuali mati...!" 

Kakek berambut putih ikut menyela. 

Mendadak Buang Sengketa tertawa 

panjang-panjang.

"Hemm... monyet tua bangka! 

Kematian bagimu, kau sendiri tak tahu 

kapan datangnya. Bagaimana kau bisa 

menentukan kematian orang lain...?"

Sepasang Sejoli dari Timur 

kertakkan rahang, kemudian dengan satu


hentakan dahsyat secara bersamaan Kakek 

Nenek rambut putih itu kirimkan pukulan 

jarak jauh dan pada saat itu juga 

gelombang angin pukulan berhawa panas 

menderu mengarah pada Buang Sengketa dan 

Wanti Sarati. Secepat kilat pendekar 

dari negeri Bunian sambar tubuh Wanti 

Sarati, lalu tanpa banyak bicara segera 

dia memasukkan tubuh Wanti Sarati ke da-

lam periuk besar yang disandangnya. 

Diperlakukan begitu Wanti Sarati yang 

mengetahui gelagat tak baik hanya 

menurut.

Demikianlah ketika pukulan maut 

yang dilepaskan oleh Sepasang Sejoli 

dari Timur itu hampir saja melabrak tubuh 

Buang Sengketa, dengan gerakan yang 

sangat indah sekali dia berkelit untuk 

kemudian kirimkan satu pukulan pula. 

Begitu tangan kanannya dia dorongkan ke 

depan, tak ayal selarik sinar Ultra 

Violet yang menimbulkan suara bergemuruh 

bagai air bah melesat ke arah Sepasang 

Sejoli dari Timur. Mereka yang tidak 

menyangka bahwa si pemuda berpakaian 

gembel itu sangat terkejut begitu Buang 

Sengketa lepaskan pukulan. Serta merta 

secara berbareng Sepasang Sejoli dari 

Timur memapaki. 

"Blaar...!"

Kakek dan Nenek pesolek ini 

terhuyung beberapa tindak, meja dan 

kursi di kanan kiri mereka jadi 

berantakan tersambar dua pukulan sakti.

Memucatlah wajah kedua orang ini begitu 

mengetahui kehebatan lawannya. Sesaat 

sesudahnya Kakek dan Nenek rambut putih 

itu saling pan dang sesamanya. Bocah ini 

masih sangat muda, usianya pun paling 

baru berkisar dua puluhan, akan tetapi 

sudah memiliki tenaga dalam yang sangat 

sempurna. Bahkan dapat digolongkan dan 

setaraf dengan tokoh-tokoh sakti 

angkatan tua. Begitulah yang ada di benak 

mereka. Akan tetapi meskipun mereka 

sudah mengetahui kehebatan si pemuda 

mana mau Sepasang Sejoli dari Timur ini 

mengakuinya. Mereka yang selalu bersifat 

tinggi hati belum pernah dalam hidupnya 

mengaku kehebatan orang lain, meskipun 

pada akhirnya mereka akan jadi 

pecundang. Kini setelah agak lama 

memandangi Buang Sengketa kemudian 

mereka membentak:

"Rupanya kau cukup berisi juga. Tapi 

jangan kau kira kau bisa bertingkah di 

depan Sepasang Sejoli dari Timur." 

Tukasnya. "Sebutkanlah namamu bocah 

hina, agar kami dapat menuliskannya di 

nisanmu nanti...!"

Pendekar Hina Kelana tertawa ganda.

"Kunyuk bau tanah. Galilah kuburmu 

dulu nanti kalau sudah di liang kubur 

kalian berbulan madu kembali."

Merahlah paras kedua orang ini 

mendapat ejekan sedemikian rupa.

"Jahanam terkutuk... jangan 

salahkan kami kalau kau tetap tak ingin 

sebutkan nama...!"

"Huahahaha...! Apa artinya sebuah 

nama bagimu, kalau hidup yang hanya 

sekejap hanya bikin onar di mana-mana. 

Meskipun hari ini kau ingin bertobat 

semuanya sudah terlambat Sejoli 

gila...!"

"Keparat...!"

Disertai dengan lengkingan dahsyat 

kedua Sejoli irii serentak menerjang. 

Buang Sengketa segera bertindak cepat, 

bagai bayang-bayang tubuhnya berkelebat 

mengarah ke halaman warung.

"Bocah sialan mau lari ke mana 

kau...!" bentak si Kakek tua suara 

perempuan.

"Kita main-main di sini Sejoli gila! 

Aku tak ingin warung itu kotor dengan 

darah anjingmu...!" ejek si Hina Kelana.

Tanpa berkata Sepasang Sejoli dari 

Timur ini kembali menerjang dan kirimkan 

jurus-jurus yang paling diandalkan. 

Buang Sengketa pun tak mau memberi hati 

lagi pada Si Pesolek Dari Timur ini. 

Dengan jurus si Hina Mengusir Lalat, 

tubuhnyaa berkelebat kian ke mari. 

Sekali waktu dia lancarkan pukulan Empat 

Anasir Kehidupan. Pukulan yang datangnya 

bagai gelombang dan bertubi-tubi ini 

membuat Sepasang Sejoli dari Timur ini 

kerepotan, bahkan terkadang mereka harus

menarik balik serangannya dan berganti


merubah jurus-jurus silatnya untuk 

melindungi diri. Pada saat itulah Buang 

Sengketa menyadari bahwa gempuran-

gempurannya tak akan banyak berarti bila 

salah seorang dari mereka tidak dibunuh 

terlebih dulu.

Otaknya bekerja cepat untuk melihat 

situasi yang sangat memungkinkan, pada 

saat-saat seperti itulah tiba-tiba dari 

dua arah Kakek dan Nenek rambut putih 

kirimkan pukulan yang sangat mereka 

andalkan. Sebuah pukulan yang sangat 

sulit untuk dicari duanya. "Sepasang 

Sejoli Bermesraan." Dua pukulan 

bertenaga sakti itu terus menderu dan 

mengeluarkan suara bergemuruh bagai 

angin top an, mengarah pada bagian yang 

sangat berbahaya. Waktu yang hanya 

beberapa detik itu tiada mungkin bagi 

Buang Sengketa untuk mengelakkannya. 

Tiada pilihan lain baginya, maka dengan 

nekad ia memapaki.

"Creep... creep...!"

Satu kesalahan telah dilakukan oleh 

si pemuda. Salah satu sifat ilmu Sepasang 

Sejoli Bermesraan adalah menyedot habis 

tenaga lawannya. Dan hal itu tanpa dapat 

dihindari telah dilakukan oleh Buang 

Sengketa. Tak ayal kedua tangannya kini 

melekat erat dengan tangan-tangan 

musuhnya.

Baik Kakek maupun si Nenek rambut 

putih kedua-duanya nampak tersenyum 

puas.


Mereka dapat memastikan bahwa 

sebentar lagi tentu pemuda berkuncir ini 

akan mati lemas kehabisan tenaga. Buang 

Sengketa sejak bertemunya kedua 

tangannya dengan tangan-tangan lawannya 

bukan tak menyadari bahwa ada sesuatu di 

dalam tubuhnya mengalir ke luar lewat 

telapak tangannya. Akan tetapi dia 

berusaha sekuat tenaga agar sesuatu yang 

meledak-ledak mengalir deras ke arah 

kedua tangannya itu mampu dicegahnya.

Keringat dingin mulai berlelehan 

membasahi pakaian Buang Sengketa. Begitu 

juga halnya dengan Sepasang Sejoli dari 

Timur, akan tetapi mereka masih tetap 

tersenyum mengejek.

Sementara itu tubuh Pendekar Hina 

Kelana mulai goyah dan nampak gemetaran. 

Perasaan lemas terasa mulai menjalar ke 

mana-mana. Dalam keadaan terancam maut 

seperti itu tiba-tiba dia teringat pesan 

gurunya. Maka dengan cepat dia 

mengerahkan unsur api mengaliri 

tangannya. Karena sifat ilmu Sepasang 

Sejoli Bermesraan adalah menyedot. Tak 

ayal lagi hawa panas yang sangat luar 

biasa dari tangan Buang Sengketa pun ikut 

terse dot pula. Sejoli Dari Timur itu 

tersentak kaget begitu hawa yang sangat 

panas itu mengalir deras dari tangan yang 

menyatu, akan tetapi mereka masih belum 

melepaskan tangannya dari tangan 

Pendekar Hina Kelana. Buang Sengketa 

kembali meningkatkan kemampuannya. Hawa

panas yang lebih hebat lagi kembali 

mengalir lewat tangannya, Sejoli Dari 

Timur kembali terbelalak begitu mereka 

merasakan panas yang sangat luar biasa. 

Namun sejauh itu masih belum ada 

tanda-tanda bahwa Sepasang Sejoli dari 

Timur berniat melepaskan tangan-tangan 

mereka yang melekat erat pada tangan 

Pendekar Hina Kelana. Mengetahui bahwa 

Sepasang Sejoli dari Timur ini memang 

menghendaki nyawanya. Marahlah pemuda 

ini, secepatnya dia keluarkan suara 

lengkingan dari ilmu Pemenggal Roh.

"Haiiiiiiik...!"

Bergemuruhlah suara jeritan yang 

sambung menyambung tiada 

henti-hentinya. Daun dan ranting kering 

luruh berjatuhan kebumi, jerit pekik 

ketakutan serta tunggang langgang dari 

mereka yang ingin menyelamatkan diri 

berbaur menjadi satu. Bahkan pemilik 

warung yang sejak tadi menyaksikan 

pertarungan itu dengan wajah tegang. 

Kini nampak terkapar dengan hidung dan 

kuping mengalirkan darah. Masih untung 

Wanti Sarati berada dalam priuk yang 

kedap suara. Andaikata tidak, sudah 

barang tentu gadis cilik itu mengalami 

nasib tak jauh beda dengan orang-orang 

yang menyaksikan pertarungan itu.

Meskipun Sepasang Sejoli dari Timur 

ini berkepandaian sangat tinggi dan 

bahkan sempat menutup jalan indra 

pendengaran mereka, akan tetapi suara


lengkingan yang sambung menyambung tiada 

putus-putusnya ini membuat pertahanan 

mereka hancur juga. Darah mulai menetes 

dari hidung dan kuping Sepasang Sejoli 

dari Timur ini. Bagi mereka kalau ingin 

nyawa selamat, maka tiada pilihan lain 

kecuali menarik tangan yang melekat pada 

tangan musuhnya. Bersamaan dengan itu 

Kakek dan Nenek rambut putih secara 

serentak menarik balik tangannya.

"Wut!"

"Wut!"

Sepasang Sejoli Dari Timur 

terguling-guling beberapa tombak!

Buang Sengketa terhuyung beberapa 

tindak ke belakang. Dengan cepat dia 

menghimpun hawa murni, akan tetapi 

meskipun begitu dia masih merasakan 

lemas yang teramat. Pemuda dari negeri 

Bunian itu tersenyum getir begitu 

melihat Sepasang Sejoli dari Timur yang 

nampak saling berpandangan sesamanya.

"Tua bangka. Mengapa kalian 

bertatapan mata seperti itu...!" Buang 

Sengketa mencemooh.

Kakek dan Nenek rambut putih itu 

segera berdiri sambil menyeka darah yang 

meleleh di bibir dan telinga mereka.

"Budak hina... kau pikir kami takut 

dengan ilmu gila yang kau miliki itu?" 

bentak Nenek rambut putih lalu meludah.

"Kalau kalian tidak merasa jeri dan 

takut mati. Mengapa kalian hanya


berhenti sampai di situ...!" cibir Buang 

Sengketa.

"Kami masih punya urusan di Sindang 

Darah, lain waktu kami pasti akan 

membunuhmu...."

Kakek rambut putih suara perempuan 

ikut menyela.

Tahulah Pendekar Hina Kelana bahwa 

Sepasang Sejoli dari Timur ini telah ciut 

nyalinya.

* * *

TUJUH



"Hemm Apakah kalian mengira bahwa 

aku akan membiarkan kalian pergi begitu 

saja! Enak sekali...!" sela Buang 

Sengketa diiringi sesungging senyum 

rawan.

Memerahlah wajah Sepasang Sejoli 

Dari Timur seketika itu juga. Untuk kabur 

bagi mereka bukanlah jalan yang sulit. 

Akan tetapi bagaimana tanggapan kaum 

persilatan nantinya, tentu mereka akan 

menertawakan tindakan yang pengecut itu. 

Terlebih-lebih lawan yang mereka hadapi 

hanyalan bocah yang masih bau ingus. 

Memalukan!

"Gembel sombong! Jangan kira kau 

sudah mehang, kami akan mengadu jiwa 

denganmu." Nenek rambut putih mendengus.

Bagus... biar aku tak usah 

sungkan-sungkan membasmi bibit penyakit 

dari permukaan bumi ini...!"

Belum lagi Buang selesai dengan 

kata-katanya Sepasang Sejoli Dari Timur 

sudah lancarkan satu rangkaian serangan 

yang bertubi-tubi. Kakek rambut putih 

mencecar tubuh lawannya pada bagian 

bawab, sedangkan si Nenek pesolek 

menyerang pada bagian atasnya. Dengan 

mempergunakan jurus si Hina Mengusir 

Lalat tangan Buang Sengketa berputar 

bagai sebuah baling-baling. Pada satu 

kesempatan Nenek rambut putih kirimkan 

satu sodokan mengarah ke ulu hati 

sedangkan kaki kanan mengirimkan satu 

sapuan yang mengarah ke bagian perut. 

Begitu pun Kakek rambut putih tak kalah 

hebatnya, dengan sebelah kaki kiri agak 

ditekuk, kemudian tangan kanan kirimkan 

satu jotosan yang mengarah ke bagian 

vital. Secara bersamaan mereka lancarkan 

serangan. Buang Sengketa secara 

tiba-tiba pula rubah jurus-jurus 

silatnya, si Gila Mengamuk.

Sebentar saja keadaan menjadi kacau 

balau, tubuh pemuda itu meliuk-liuk 

bagaikan seekor ular Piton yang sedang 

marah. Sementara gerakan-gerakan 

silatnya menjadi berubah tak beraturan, 

kadang kaki kiri menendang, tangan kanan 

memukul atau bahkan tubuhnya melompat-

lompat bagai seekor monyet yang terkena 

penyakit gatal. Meskipun gerakan


gerakan silat Pendekar Hina Kelana tak 

ubahnya bagai orang sinting yang lagi 

mabuk. Akan tetapi sejauh itu serangan-

serangan lawannya selalu dapat dia 

kandaskan, bahkan sekali waktu dia dapat

mengirimkan sebuah pukulan yang sangat 

telak. Mengetahui lawannya dapat 

mengelakkan bahkan mematahkan setiap 

serangan yang mereka lancarkan. Sepasang 

Sejoli Dari Timur nampak sangat marah 

sekali. Kembali mereka menggempur Buang 

Sengketa dari berbagai penjuru. Bahkan 

mereka sudah sampai pada tingkat jurus 

silat yang paling tinggi yang mereka 

miliki. Sebegitu jauh semakin hebat 

Sepasang Sejoli Dari Timur berusaha 

menekan kawannya, maka semakin menggila 

pula gerakan-gerakan silat yang 

dimainkan oleh si pemuda. Sementara itu 

pertarungan sudah memakan puluhan jurus. 

Deru angin pukulan saling menyambar 

bercuitan debu dan pasir berterbangan 

kemana-mana. Tapi masih belum ada 

tanda-tanda siapa yang bakal keluar 

hidup-hidup dalam pertarungan maut itu.

Kini Pendekar Hina Kelana merubah 

jurus-jurus silatnya. Gerakan silat yang 

tadinya kacau balau tak beraturan kini 

telah berubah seperti biasa, akan tetapi 

dia lebih hebat dan tak kalah hebatnya 

dengan gerakan-gerakan terdahulu. Jurus 

apalagi kalau bukan jurus si Jadah 

Terbuang.


Dalam waktu sekejap saja Pendekar 

Hina Kelana sudah berada di atas angin. 

Sepasang Sejoli Dari Timur semakin 

terdesak hebat. Tidak ada kesempatan 

bagi mereka untuk berpikir lagi. Hingga 

pada satu kesempatan yang sangat tepat. 

Buang Sengketa berhasil mendaratkan 

pukulannya pada batok kepala si Kakek 

rambut putih.

"Prook...!"

Si Kakek rambut putih melolong 

setinggi langit, tubuhnya terpelanting 

beberapa tombak dengan kepala remuk dan 

otak berhamburan ke mana-mana. Tubuh 

Kakek rambut putih diam tiada berkutik 

lagi. Nenek pesolek begitu mengetahui 

suaminya roboh dengan nyawa terputus 

nampak meraung sejadi-jadinya. Setelah 

puas menangisi jenazah suaminya, kini 

dia menoleh dan memandang pada Buang 

Sengketa dengan penuh kebencian.

"Manusia sombong! Kau harus 

membayar mahal nyawa suamiku dengan 

nyawa Anjingmu...!" bentak Nenek rambut 

putih sinis.

Buang Sengketa tergelak-gelak.

"Hemm... bagus kalau begitu. Biar 

hari ini aku si Hina Kelana akan 

menggusur nama besar kalian dari kolong 

langit ini...!"

Mendengar Buang Sengketa menyebut 

nama julukannya, terkejutlah si Nenek 

pesolek ini. Belakangan ini dia memang 

telah mendengar adanya tokoh muda yang


berjuluk si Hina Kelana. Bahkan 

kesadisannya dalam membasmi lawan-

lawannya yang tiada mengenal ampun telah 

membuat gempar dunia persilatan. Siapa 

sangka hari ini dia berhadapan langsung 

dengan tokoh muda yang ditakuti 

lawan-lawannya. Pula telah membunuh 

suaminya sendiri. Meskipun Nenek rambut 

putih ini tidak yakin dapat mengalahkan 

pemuda tampan yang membuat heboh itu. 

Akan tetapi sedikit pun dia tiada gentar. 

Mati bersama suami tercinta baginya 

lebih baik daripada harus hidup seorang 

diri.

"Oh... jadi kaulah kunyuknya yang 

berjuluk Pendekar Hina Kelana dari 

negeri Bunian itu." sela si Nenek rambut 

putih sambil gertakkan rahang. "Ahik... 

ahik... ahik...! Aku jadi ingin tahu 

bagaimana hebatnya Pusaka Golok Buntung 

sekaligus cambuk Gelap Sayuto yang 

menghebohkan itu...!"

"Sayangnya sebelum kau sempat 

menyaksikan semua yang ingin kau lihat, 

nyawamu keburu melayang!" kata Buang 

Sengketa lirih.

"Puih, kau pikir hanya kau seorang 

yang paling hebat di kolong langit 

ini...?" Nenek rambut putih mencemooh.

"Aku tak pernah berkata begitu Nenek 

bau tanah...!"

Tanpa menyahut, Nenek rambut putih 

segera keluarkan senjatanya yang berupa 

sebuah Badik Pendek. Dengan senjata di


tangannya Nenek rambut putih dengan 

ganas menerjang Buang Sengketa. Berulang 

kali senjata yang tajam mengkilat itu 

nyaris merobek lambung, leher bahkan 

kepala Buang Sengketa. Kini pemuda itu 

harus mengakui bahwa senjata yang 

berkiblat-kiblat itu benar-benar 

merupakan senjata yang sangat berbahaya. 

Pendekar Hina Kelana akhirnya tidak mau 

terlalu ambil resiko. Sekali tubuhnya 

berkelebat dan hiking lenyap, Nenek 

rambut putih nampak kebingungan. Dalam 

pada itu terdengarlah suara mendesis 

bagai bunyi seekor ular Piton yang sedang 

marah. Tubuh Buang Sengketa nampak 

berkelebat. Diiringi dengan sebuah 

bentakan menggelegar sinar merah yang 

berkilauan menyambar ke arah bagian 

perut Nenek rambut putih. Nenek pesolek 

ini berseru kaget lalu kiblatkan Badik 

pendeknya. 

"Traaang...!"

Senjata di tangan si Nenek hancur 

berantakan dilanda golok buntung yang 

berada di tangan Buang Sengketa. Tidak 

berhenti sampai di situ saja, golok itu 

bagai bermata terus menyambar-nyambar, 

Nenek rambut putih yang tiada memiliki 

senjata itu pun menjadi gugup. Tak 

terelakkan lagi:

"Craaas... craaas...!"

Nenek rambut putih sudah tidak 

sempat melolong atau pun menjerit, 

dengan leher hampir terputus tubuhnya


terpelanting, lalu roboh bagaikan batang 

pisang ditebang. T-matlah nama besar 

Sepasang Sejoli Dari Timur pada saat itu 

juga. Buang Sengketa segera buka tutup 

periuknya. Kepala Wanti Sarati segera 

tersembul kemudian melompat keluar.

"Paman, orang yang hebat! Aku ingin 

jadi seperti Paman...!" kata Wanti 

Sarati penuh kagum. Tanpa menanggapi 

ocehan Wanti Sarati dia segera sambar 

tubuh gadis cilik itu, setelah mendukung 

di pundaknya tubuh Pendekar Hina Kelana 

berkelebat pergi seperti angin.

* * *

Riuh rendah suara lebih dari tiga 

puluh orang manusia bergemuruh di 

pinggir Sindang Darah yang tenang 

menyimpan seribu satu macam misteri. 

Agaknya rombongan dari bagian Barat yang 

sampai ke tempat itu paling awal sudah 

merasa yakin bahwa merekalah yang akan 

berhasil memiliki kitab-kitab pening-

galan Padri Agung Pengayom Jagat. Kini 

partai persilatan Hantu Berkabung yang 

dipimpin langsung oleh Baja Wungu itu 

sudah keiihatan mulai mendirikan 

beberapa tenda darurat.

Menjelang tengah hari datang pula 

rombongan manusia bertopeng yang 

jumlahnya tak kurang dari empat puluh 

orang. Mereka ini juga dipimpin langsung 

oleh ketuanya yaitu dua bersaudara


manusia bertopeng. Berbeda dengan 

rombongan Hantu Bergabung yang berusaha 

memiliki kitab-kitab pusaka itu masih 

bersifat untung-untungan. Sedang 

rombongan manusia bertopeng sudah merasa 

sangat yakin bahwa merekalah yang paling 

berhak untuk memiliki seluruh 

kitab-kitab pusaka peninggalan Padri 

Agung Pengayom Jagad. Sebab seperti 

diketahui bahwa ketua mereka telah 

mendapatkan kunci rahasia yang 

menghubungkan tempat penyimpanan kitab 

dengan ruang-ruang yang sangat banyak 

jumlahnya.

Sebagiamana yang dilakukan oleh 

rombongan Hantu Berkabung, rombongan 

orang-orang bertopeng ini pun segera 

mendirikan tenda-tenda darurat. 

Nampaknya di antara mereka ada saling 

tenggang rasa. Terbukti meskipun mereka 

telah di tempat itu dengan tujuan yang 

sama. Tapi nampaknya di antara dua 

rombongan itu tidak ada tanda-tanda 

saling mencurigai. Mereka saling acuh 

dan bahkan tidak ambil perduli dengan 

kegiatan rombongan yang lain.

Ketika semuanya dirasa beres, hari 

sudah menjelang malam. Di belahan Timur 

bulan sabit yang hanya merupakan 

bayang-bayang merah nampak mengintip di 

celah-celah dedaunan. Suara sepi 

mencekam mewarnai alam sekitarnya. Tak 

ada suara tawa dan canda. Masing-masing 

orang tenggelam dalam lamunan yang tiada


berkesudahan. Di luar tenda perkemahan 

dari dua rombongan yang cukup besar 

jumlahnya, nampak beberapa orang 

pengawal sedang berjaga-jaga. Udara 

dingin yang terasa menggigil membuat 

beberapa orang di antara mereka ber-

gerombol mengelilingi api unggun.

Sementara itu di dalam tenda 

rombongan Topeng Hitam nampak para ketua 

mereka sedang berbicara serius tentang 

rencana mereka untuk menyeberangi 

Sindang Darah dalam waktu secepatnya. 

Malam itu juga dicapai kata sepakat bahwa 

kira-kira menjelang pertengahan malam 

mereka harus mendahului menyeberangi 

Sindang Darah yang sesungguhnya sangat 

luas.

Apa pun yang akan mereka kerjakan 

semua itu di luar sepengetahuan 

rombongan Hantu Berkabung.

Demikianlah waktu terus berjaian 

tanpa terasa, hingga saat yang 

ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. 

Lebih dari separoh rombongan Topeng 

Hitam berikut ketua mereka kini sudah 

berkumpul di tepi Sindang. Air Sindang 

yang begitu luas sedikit pun tiada 

menimbulkan rasa curiga. Ketua 

perkumpulan si Topeng Hitam tidak begitu 

lama mulai memberi aba-aba pada 

orang-orangnya.

"Aku berharap kalian bisa sampai ke 

sana dengan masing-masing kelompok 

sebanyak tiga orang. Usahakan jangan


sampai menimbulkan suara berisik hingga 

memancing perhatian orang lain. Bila 

kalian bisa sampai dengan selamat dan 

kembali ke sini dalam keadaan yang sama 

pula, maka sebagai ketua, aku sudah 

memutuskan untuk memberi hadiah pada 

kalian...!" ujar ketua Topeng Hitam pada 

tiga anggota yang akan diberangkatkan 

lebih awal.

"Terima kasih ketua...!" jawab 

ketiga orang bawahannya sambil 

mengangguk hormat.

"Sekarang kalian boleh mulai...!" 

Ketua Topeng Hitam mulai memberi 

aba-aba.

"Byuuur...!"

Air di dalam Sindang nampak 

bergelombang menerima berat tubuh mereka 

bertiga.

* * *

DELAPAN



Selanjutnya tanpa ragu-ragu lagi, 

mereka mulai berenang menuju ke pulau 

karang yang terletak di tengah-tengah 

Sindang. Namun di luar sepengetahuan 

mereka, puluhan ekor mahluk-mahluk 

ampibi yang berwarna kuning keemasan 

nampak bergerak cepat mengarah pada 

ketiga orang penyebrang itu. Agaknya 

mahluk-mahluk melata itu saling berlomba 

untuk memperebutkan mangsa yang sudah


berada di depan mata. Begitu cepat sekali 

gerak mahluk-mahluk reptil ini, dalam 

waktu sebentar saja mahluk-mahluk ini 

sudah begitu dekat dengan mereka. Begitu 

buaya-buaya ini sudah hampir di 

sekeliling penyeberang, dengan ganas dan 

mulut ternganga lebar mereka langsung 

menyerang mangsanya tanpa ampun. Air di 

dalam Sindang langsung bergolak. 

Beberapa saat mereka terlibat 

pergumulan, ingin berteriak minta 

pertolongan mereka tidak berani, hanya 

bungkam seribu bahasa. Mereka yang sudah 

sampai di tengah-tengah Sindang kiranya

tidak terawasi dengan baik oleh ketua 

Topeng Hitam. Sungguh malang nasib 

mereka manusia bertopeng ini.

Dalam waktu sekejap saja tubuh 

mereka sudah tercabik-cabik oleh 

gigi-gigi yang tajam. Air Sindang masih 

terus bergolak, warna air di sekitarnya 

berubah menjadi merah. Hanya dalam waktu 

yang singkat, tubuh mereka mulai 

tenggelam diseret mahluk-mahluk melata 

itu. Suasana di. tengah Sindang kembali 

tenang seperti sediakala. Seperti tidak 

pernah terjadi sesuatu di dalamnya. 

Nampak tenang mengerikan.

Sementara itu di tepian Sindang 

Darah, tiga orang penyebrang telah 

bersiap-siap menyusul para penda-

hulunya.

Ketua Topeng Hitam memberi aba-aba 

kembali.


"Byuur...!"

Sama seperti pendahulunya, mereka 

ini juga tidak menyadari bahwa bahaya 

sedang menanti mereka di depan sana. 

Agaknya mahluk-mahluk reptil yang 

lainnya mengetahui bahwa ada mangsa yang 

secara rela menyerahkan diri. Sebab 

begitu mahluk-mahluk ini mencium bau 

darah, mereka yang tadinya berada di 

tepian pulau karang nampak saling 

berlomba bergerak ke tengah-tengah 

Sindang.

Kini jumlah mereka semakin ber-

tambah banyak saja. Semuanya nampak 

tenang menantikan datangnya sang mangsa. 

Orang-orang malang itu tak menyadari 

bahwa ajal mereka semakin di ambang 

pintu.

Bagitu mahluk melata itu meluncur ke 

arah mereka. Ketiga penyebrang ini 

terbelalak tak percaya. Namun hanya 

sesaat keadaan itu berlalu karena pada 

saat-saat berikutnya mereka sudah harus 

berjuang mati-matian melawan maut. Lebih 

lima ekor setiap orangnya melayani 

mahluk air yang sangat ganas itu. 

Betapapun tingginya ilmu silat mereka, 

namun berada pada posisi yang sangat 

tidak menguntungkan ditambah lagi jumlah 

mahluk-mahluk ini yang tidak kepalang 

tanggung, lama kelamaan tenaga mereka 

terkuras habis. Darah kembali mewarnai 

air Sindang. Tubuh mereka tercabik-cabik 

tak karuan ujudnya. Dalam waktu hanya


beberapa saat saja tubuh mereka telah 

lenyap dari permukaan air.

Kini mahluk-mahluk reptil itu 

bergerak lebih berani lagi. Tanpa 

mengenal rasa takut mereka mulai 

berenang agak ke tepi. Agaknya mereka 

juga tahu dari mana sebenarnya sumber 

makanan itu datang.

Pada saat yang sama Ketua Topeng 

Hitam sudah nampak menyiapkan para 

perenangnya yang handal. Baru saja ketua 

Topeng Hitam ini bermaksud memberi 

aba-aba pada ahli-ahli renangnya, 

mendadak wakil ketua Topeng Hitam 

menunjuk ke tengah-tengah Sindang.

Walaupun cahaya bulan sudah tak 

keiihatan lagi, tetapi mereka dapat 

melihat sesuatu di dalam Sindang yang 

bergerak-gerak. Lama kelamaan semakin 

jelas ujudnya. Apa-lagi mata mahluk 

melata itu menyiratkan cahaya berwarna 

kemerah-merahan. Tak pelak lagi ketua 

Topeng Hitam berseru kaget:

"Hah... buaya?" ucapnya tertahan. 

"Dari mana datangnya mahluk-mahluk 

keparat itu...?"

"Celaka kakang! Orang-orang kita 

pasti tak akan pernah sampai di pulau 

Karang...!" sela wakil ketua Topeng 

Hitam cemas.

"Kalau begitu kita harus singkirkan 

mahluk-mahluk sialan itu...!" ketua 

Topeng Hitam kertakkan rahang geram.


"Tidak usah... kita tak mungkin 

melakukannya...!" bantah yang menjadi 

wakilnya. Tentu saja ketua Topeng Hitam 

menjadi heran. Korban sudah berjatuhan 

tapi mengapa kawannya yang bertangan 

buntung ini maiah melarangnya untuk 

bertindak. Lama sekali ketua Topeng 

Hitam berpikir, sejauh itu dia tak tahu

mengapa saudaranya maiah mencegah 

niatnya.

"Tidak tahukah engkau, sudah berapa 

banyak korban di pihak kita?" tanya ketua 

Topeng Hitam penasaran.

"Korban akan lebih banyak lagi, 

apabila kita membiarkan orang-orang kita 

menyeberang menantang maut. Kakang harus 

ingat bukan kita saja yang ingin memiliki 

kitab yang sangat berharga itu. Tokh kita 

masih bisa menunggu di sini sambil 

menunggu kesempatan yang lebih baik 

lagi...." wakil ketua Topeng Hitam 

menjelaskan. 

"Maksudmu...?"

Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum 

licik.

"Kita biarkan saja mereka menanam 

apa saja, setelah berbuah baru kita 

memetik hasilnya!"

"Maksudmu kita harus membiarkan me-

reka berangkat menuju pulau Karang 

setelah itu kita merampas kitab-kitab 

itu dari tangan mereka?"

"Tak salah...!"


Meskipun Topeng Hitam merupakan ka-

um persilatan golongan hitam tapi dia 

kurang setuju dengan gagasan yang 

diberikan oleh wakilnya.

"Aku tak ingin hal itu terjadi. Aku 

ingin mendapatkannya dengan cara bersih. 

Lagi pula kunci rahasia itu ada di tangan 

kita, tak seorang pun yang bisa membuka 

pintu rahasia di dalam goa tanpa 

kehadiran kita...!"

Wakil ketua Topeng Hitam tersenyum 

kecut begitu mendengar ucapan ketuanya 

yang dia anggap berpandangan picik.

"Kakang percaya bahwa kunci itu 

merupakan kunci yang sesungguhnya...?"

"Mengapa tidak...?" ujar ketua 

Topeng Hitam begitu yakin.

Wakil ketua Topeng Hitam nampak 

geleng-gelengkan kepalanya.

Ketua Topeng Hitam menjadi sangat

heran dengan tingkah saudaranya itu. 

"Apa maksudmu...?"

"Kakang jangan bertindak bodoh! 

Coba pikir saja, mana mungkin nenek peot 

mau bertindak gegabah. Begitu sembrono 

membawa-bawa kunci pusaka yang sangat 

berharga. Menurut cerita yang aku 

dengar, kunci rahasia pembuka goa karang 

adalah sebuah tusuk konde yang sudah 

butut!" jelas wakil ketua Topeng Hitam.

Mendengar kata-kata saudaranya 

ketua Topeng Hitam nampak merenung 

sejenak.


"Tapi kita tak menemukannya pada 

saat tubuh nenek peot kuperiksa!"

"Mungkin saja kakang kurang 

teliti...!"

"Kurang teliti emakmu! Semuanya 

sudah kuperiksa bahkan sampai ke 

pusernya, masihkah kau bilang aku kurang 

teliti...?" ketua Topeng Hitam nampak 

tersinggung. Wakil ketua Topeng Hitam 

tersenyum geli begitu mendengar keterus 

terangan saudaranya. Dengan menahan tawa 

wakil ketua Topeng Hitam menyela:

"Mungkin saja nenek peot 

menyimpannya pada suatu tempat yang 

sangat dirahasiakan. Atau mungkin juga 

dia punya seorang murid kemudian 

menitipkan padanya!" kata wakil ketua 

Topeng Hitam mereka-reka.

Ketua Topeng Hitam kerutkan kening, 

pikirannya berputar-putar, dia 

berkesimpulan bahwa mungkin saja ada 

seseorang yang sangat dipercaya oleh si 

nenek. Lalu padanya si nenek peot 

titipkan barang yang sangat berharga 

itu.

"Mungkin juga anggapanmu itu benar, 

Adi...!" Ketua Topeng Hitam mengakui.

"Bagaimana tanggapan kakang tentang 

gagasanku tadi?"

Ketua Topeng Hitam kembali 

manggut-manggut.

"Agaknya kita harus berbuat begitu! 

Tak usah susah payah mengorbankan 

orang-orang kita. Kita hanya menunggu


siapa yang bakal keluar jadi pemenang, 

setelah itu dengan sangat mudah kita 

merampasnya!" sela ketua Topeng Hitam 

dengan sesungging senyum penuh 

kelicikan.

Tak lama setelah memberi perintah 

pada anggotanya, mereka segera kembali 

ke tenda. Sebentar saja suasana menjadi 

sepi kembali.

* * *

Pagi itu udara nampak cerah, 

burung-burung berkicauan terbang dari 

dahan yang satu hinggap di dahan lainnya. 

Apabila ketua Topeng Hitam maupun ketua 

Hantu Berkabung menyingkap pintu 

tendanya, terkejutlah hati mereka. Nun 

jauh di sana sebelah Barat, Timur, Utara 

dan Selatan telah bermunculan 

tenda-tenda baru. Sungguh pemandangan 

yang sangat luar biasa. Bagai jamur di 

musim hujan tenda-tenda itu bermunculan. 

Anehnya mereka sampai tidak tahu kapan 

tenda-tenda baru itu dipasang.

Kini setelah kehadiran empat 

rombongan lainnya maka jumlah mereka 

semakin be-tambah menjadi enam kelompok.

Tidak sampai setengah setelahnya 

suasana di sekeliling Sindang telah 

ramai dipenuhi oleh pendatang dari 

berbagai golongan persilatan. 

Masing-masing kelompok telah menyiapkan 

ahli-ahli penyeberangan. Nampaknya


mereka saling berlomba mendahului. Dari 

sekian banyak rombongan hanya di kemah 

Topeng Hitam saja yang nampak lenggang. 

Agaknya pagi itu mereka hanya akan 

bertindak sebagai penonton saja. Apabila 

tontonan yang akan digelar di 

tengah-tengah Sindang oleh orang-orang 

goblok itu adalah satu tontonan yang 

sangat menarik lagi gratis. Air Sindang

yang menyimpan seribu satu macam 

misteri, buaya kuning yang ganas, serta 

jerit kematian yang menyayat. Semua itu 

akan terjadi tak begitu lama lagi. 

Diam-diam ketua Topeng Hitam tersenyum 

mengejek.

"Orang-orang tolol itu sebentar 

lagi pada mampus semuanya, ya Adi...!" 

kata ketua Topeng Hitam menoleh sekilas 

pada wakilnya yang berdiri mengawasi 

kesibukan rombongan lainnya.

Wakil ketua Topeng Hitam mengangguk 

pelan.

"Hemm... biar tahu rasa! Nanti kalau 

daging mereka sudah berada di perut buaya 

keparat itu, tentu mereka segera 

menemukan kitab-kitab itu...!"

"Hei... lihatlah! Agaknya Hantu 

Berkabung mulai memberi perintah untuk 

terjun ke dalam Sindang...!" seru ketua 

Topeng Hitam sambil menunjuk ke sebelah 

Tenggara.

"Bagus sekali. Rupanya mereka ingin 

cepat-cepat terkubur di perut mahluk


mahluk menjijikkan, yang berada di 

pinggiran Pulau Karang...!"

Benar saja apa yang mereka duga, 

orang-orang penyebrang dari kelompok 

Hantu Berkabung mulai melaksanakan 

tugasnya. Disusul dengan rombongan lain 

yang jauh di sebelah Barat. Mereka ini 

berasal dari perburuan Lumpang, yang 

dipimpin langsung oleh ketuanya yang 

bernama Mujiman, beberapa saat 

berikutnya di sebelah Timur menyusul 

pula Padepokan Gunung Kuali yang juga 

dipimpin langsung oleh ketuanya si Cebol 

Gagu. Tak lama kemudian menyusul pula 

perguruan Angkara Murka yang juga 

dipimpin oleh ketua mereka yang bernama 

Soka Durjana. Kelompok terakhir yang 

mengutus orang-orangnya melakukan 

penyebrangan adalah rombongan yang 

berada di sebelah Selatan.

Mereka ini berasal dari Sungai mati, 

yang hanya bekerja secara kelompok dan 

tidak memiliki ketua. Meskipun jumlah 

mereka hanya berkisar tiga orang. Akan 

tetapi tiga orang dari Sungai Mati ini 

memiliki ilmu silat yang amat tinggi. 

Rimba persilatan mengenal mereka sebagai 

Tiga Kembar Berhati Suci. Dari ikan yang 

mereka miliki saja sudah jelas bahwa 

mereka merupakan kaum persilatan 

golongan lurus.

Demikianlah masing-masing rombo-

ngan telah mengirim orang-orang keper


cayaan mereka untuk menyebrangi sindang 

Darah.

Berbeda dengan rombongan lainnya. 

Tiga Kembar dari Sungai Mati ini 

bertindak sangat hati-hati. Bahkan 

sebelum ketiga orang itu secara 

keseluruhannya terjun ke dalam Sindang 

salah seorang di antara mereka yang 

memiliki penciuman pembeda rasa, sejak 

awal sudah meneliti keadaan air. 

Begitulah ketika orang yang bernama 

Kakang Barep itu sedang sibuk dengan 

tugasnya, adiknya yang paling bungsu 

datang menegur.

"Bagaimana kakang Barep? Apakah 

Sindang ini tidak berbahaya bagi 

kita...?" tanya adiknya yang kerap 

dipanggil Adi Ragil.

Laki-laki jangkung itu menoleh pada 

kedua adiknya yang berdiri tegak tidak 

jauh darinya.

"Lebih baik kita tak usah menyebrang 

ke sana...!" ujar si Barep memutuskan. 

Serentak dua orang yang lainnya menoleh.

"Mengapa Kakang Barep tiba-tiba 

saja memutuskan begitu...?" tanya 

saudara yang nomor dua. Saudara-

saudaranya yang lain Bering menyebutnya 

dengan kakang Tengah atau adi Tengah.

Laki-laki jangkung kerutkan kening. 

Kemudian menarik nafas pendek.

"Sindang ini terlalu bahaya buat 

kita. Lebih baik kita menonton


pertunjukan yang sebentar lagi bakal 

menarik...!"

"Kami semakin tak mengerti saja 

dengan maksud kata-katamu kakang 

Barep...!" sela mereka hampir bersamaah.

"Sindang ini dipenuhi buaya-buaya 

yang ganas...!" tukasnya pendek.

Terbelalaklah saudaranya yang lain 

demi mendengar penjelasan si Jangkung.

"Benarkah apa yang kau katakan itu 

Kakang...?!" tanya yang paling bungsu.

"Kita li...!" Belum lagi si Barep 

menyelesaikan ucapannya, tiba-tiba di 

tengah-tengah Sindang terdengar jerit 

pekik para penyeberang dari berbagai 

rombongan. Serangan Buaya Kuning yang 

datangnya hampir bersamaan itu membuat 

suasana menjadi hiruk pikuk. 

Masing-masing orang berusaha melepaskan 

diri dari ancaman mahluk melata yang 

bergigi tajam itu. Bahkan sebisa mungkin 

mereka , melakukan perlawanan. Melihat 

bahaya mengancam kawan-kawan mereka, 

tentu kawan-kawannya yang lain tidak 

tinggal diam. Dengan senjata terhunus, 

masing-masing kelompok mengirim bala 

bantuan. Tanpa berpikir panjang mereka 

langsung terjun dan memburu ke tengah.

Keadaan semakin bertambah gempar. 

Satu demi satu korban-korban mulai 

berjatuhan. Sebentar saja air Sindang 

sudah berubah warna merah. Darah!

Kiranya buaya-buaya itu bagai 

mengerti saja, begitu lawan-lawannya


berdatangan lebih banyak, maka 

buaya-buaya yang masih berada di Pulau 

Karang langsung terjun membantu 

kawan-kawannya yang lain.. Mereka tidak 

hanya sekedar memangsa saja, akan tetapi 

sebagaimana layaknya manusia, mereka 

langsung menyerang anggota itu secara 

bertubi-tubi. Meskipun dengan membawa 

bekal berupa senjata andalan dan juga 

kepandaian silat yang mereka miliki. 

Akan tetapi bertarung di dalam air dengan 

mahluk-mahluk yang sangat ganas itu, 

sudah barang tentu sangat tidak 

menguntungkan bagi pihak penyebrang. 

Sementara dengan ekornya yang tajam dan 

panjang, buaya-buaya itu dengan begitu 

mudahnya melibasi tubuh lawan-lawannya. 

Akan tetapi meskipun korban telah banyak 

yang berjatuhan, bagai tiada mengenal 

rasa jeri, kawan-kawan mereka yang masih 

berada di darat, bagai sudah kemasukan 

ibhs saling berlomba terjun ke dalam 

sindang. Air sindang benar-benar telah 

berubah menjadi danau darah.

Pada saat itu di luar perkemahan 

Topeng Hitam, gelak tawa yang sambung 

menyambung tiada henti mewarnai 

rombongan itu. Seperti apa yang mereka 

duga, tontonan yang sangat menarik itu 

kini benar-benar terbentang di depan 

mata.

"Kek... kek... kek...!" ketua 

Topeng Hitam tertawa lebar. "Orang-orang


tolol itu benar-benar menghendaki 

kematian adi!"

Wakilnya yang sejak tadi juga ikut 

tertawa tiada henti menyahut:

"Biar pada mati semua! Tokh mereka 

bukan orang-orang kita...!"

"Mungkin tak lama lagi ketua mereka 

pun ikut terjun, kakang...!" selanya.

"Itu bagus, biar kita tahu bagaimana 

hebatnya kesaktian ketua Hantu Berkabung 

dan juga empat partai-partai persilatan 

lainnya. Andai mereka selamat dan keluar 

sebagai pemenang. Tentu kita segera 

serang mereka...!" ketua Topeng Hitam 

menyela. Wakilnya manggut-manggut 

setuju. Akan tetapi tak lama setelah itu 

dia bergumam:

"Sayangnya Tiga Kembar dari Sungai 

Mati tak ikut ambil bagian! Siapa tahu 

mereka juga mempunyai siasat seperti 

kita! Kalau dugaanku ini benar, tentunya 

ketiga orang itu akan merepotkan 

kita...!"

Ketua Topeng Hitam gelengkan 

kepalanya.

"Kau tak perlu curiga pada mereka! 

Aku tahu betul siapa mereka. Tak mungkin 

mereka mau mencampuri urusan yang 

beginian...!"

"Kalau Tiga Kembar dari Sungai Mati 

tidak menghendaki Kitab Pusaka 

peninggalan Padri Agung Pengayom Jagat, 

lalu apa mau mereka, sehingga ikut hadir


di sini...!" tanya wakil Topeng Hitam 

penasaran.

Ketua Topeng Hitam nampak 

tersenyum.

"Adi. Dulu ketika Partai kita belum 

terbentuk, pernah terjadi perebutan 

pusaka peninggalan Resi Karma di Gunung 

Sumbing. Pada saat itu aku juga melihat 

kehadiran mereka. Seperti engkau mulanya 

aku juga mencurigai mereka. Akan tetapi 

setelah peristiwa berdarah itu terjadi 

ternyata kecurigaanku tidak beralasan. 

Mereka datang ke sana kiranya hanya 

menjadi penonton dalam peristiwa itu. 

Mungkin juga mereka membawa maksud yang 

sama datang ke tempat ini!"

"Apapun alasan mereka, kita harus 

tetap berhati-hati kakang...!" wakil 

ketua perguruan Topeng Hitam 

mengingatkan.

"Oh, itu sudah barang tentu...!" 

jawabnya pasti.

Sementara itu sedikit demi sedikit 

anggota dari empat rombongan itu mulai 

berkurang. Akan tetapi agaknya ketua 

Hantu Berkabung maupun ketua partai yang 

liannya sudah tidak memperdulikan 

keselamatan anak buahnya lagi. Meskipun 

baik yang ditolong mau pun yang menolong 

tidak satu pun yang selamat, mereka masih 

tetap saja bersikeras. Mengirimkan 

orang-orangnya untuk membinasakan 

mahluk-mahluk reptil yang ganas itu.


Menyaksikan adegan yang terjadi di 

ha dapan mereka, Tiga Kembar dari Sungai 

Mati yang tadinya hanya menjadi penonton 

akhirnya sudah tidak dapat lagi menahan 

kesabarannya. Menurut pendapat mereka 

bertiga, langkah yang telah diambil baik 

oleh ketua perkumpulan Hantu Berkabung, 

maupun tiga partai lainnya, sesungguhnya 

hanya karena mementingkan diri sendiri, 

mereka begitu tega mengorbankan 

pengikut-pengikutnya. Hal ini harus 

dicegah demi menghindari banyak nya 

korban yang berjatuhan. Untuk itu mereka 

segera bergerak mendekati tenda-tenda 

yang terpasang hampir di sekeliling 

Sindang Darah.

Pada saat Tiga Kembar dari Sungai 

Mati itu sampai di tenda Hantu Berkabung, 

mereka melihat hanya tinggal lima orang 

saja, sisa anggota Hantu Berkabung. 

Tanpa sungkan-sungkan lagi salah seorang 

yang berbadan jangkung menegur ketua 

rombongan Hantu Berkabung:

"Saudara Ketua Baja Wungu. Ah... tak 

menyangka hari ini kita bertemu 

kembali...!" ujar si jangkung sambil 

mengangguk hormat pada ketua Hantu 

Berkabung. Disapa sedemikian rupa, ketua 

Hantu Berkabung ini nampak keheranan. 

Sejenak wajahnya nampak berkerut, dia 

meneliti si Tiga Kembar dari ujung rambut 

sampai ke ujung kaki. Rasa-rasanya dia 

pernah bertemu dengan laki-laki berbadan 

kurus jangkung ini, tapi entah di mana.


"Masa saudara Baja Wungu sudah lupa 

pada kami yang pernah menjadi penunjuk 

jalan di Gunung Sumbing tujuh tahun yang 

lalu...!" si tinggi jangkung 

mengingatkan. Seketika wajah ketua Hantu 

Berkabung ini berubah cerah.

Sambil menepuk-nepuk jidatnya yang 

licin, Baja Wungu menjawab dengan ramah 

pula: "Aha... tidak dinyana, kiranya aku 

Baja Wungu yang pernah berhutang budi 

pada saudara kembar dari Sungai Mati, 

hari ini bertemu kembali...!" Baja Wungu 

membalas hormat.

"Saudara ketua Hantu Berkabung, 

terlalu berlebihan!" Si Ragil menyela.

"Kenyataannya memang begitu saudara 

kembar...!" jawab Baja Wungu lunak.

"Bagaimana keadaan orang-orangmu

saudara ketua...!" tanya si Barep 

mengalihkan persoalan.

Ditanya seperti itu, wajah ketua 

Hantu Berkabung nampak resah. Kemudian 

dipandanginya ketiga wajah sahabat 

lamanya ini dengan hati bimbang. Lalu 

ketua Hantu Berkabung itu tanpa sadar 

bergumam:

"Semuanya terlalu cepat, bagai 

sebuah mimpi buruk yang sangat 

menakutkan. Salahku sendiri, mengapa aku 

harus mengambil keputusan begitu cepat; 

Mungkin berita tentang kitab pusaka itu 

hanya merupakan kabar angin belaka. 

Orang-orangku sudah terlanjur habis jadi 

korban keganasan buaya-buaya keparat


itu!" Baja Wungu menyela menyesali 

nasib.

"Tapi saudara Baja Wungu, masih 

punya kesempatan untuk menarik diri. 

Percayalah, andaipun berita tentang 

pusaka itu memang benar adanya, akan 

tetapi sangat tidak mungkin untuk 

memperolehnya. Mahluk-mahluk mengerikan 

itu agaknya merupakan penjaga 

kitab-kitab peninggalan Padri Agung 

Pengayom Jagat!"

"Pula, andaipun berhasil, 

musuh-musuh telah menanti di depan 

mata!" Adi tengah ikut menimpali sambil 

mengerling pada tenda-tenda yang berada 

di sekitarnya.

Ketua Hantu Berkabung nampak 

anggukkan kepala.

"Tapi orang-orangku sudah terlanjur 

habis...!" kata Baja Wungu meragu.

"Anggaplah itu merupakan suatu 

kekeliruan yang paling pahit...!" ujar 

Adi Ragil. Kembali Baja Wungu anggukkan 

kepala.

"Kalian ada benarnya! Tadi aku 

sempat berpikir ingin terjun langsung 

andai orang-orangku habis. Untuk kalian 

segera datang...!" Dengan jujur ketua 

Hantu Berkabung mengakui.

"Sekali lagi kalian menghutangkan 

budi padaku, tentu aku tak dapat 

membalasnya...!"


"Saudara Baja Wungu, sudah 

sepantasnya kami mengingatkan saudara 

sebagai sahabat lama...!"

Setelah berkata begitu si Tiga 

Kembar dari Sungai Mati ini bermaksud 

meninggalkan tempat bersama ketua Hantu 

Berkabung serta lima orang sisa anak 

buahnya. Namun baru saja mereka 

melangkah beberapa ti-dak, dari tenda si 

Topeng Hitam terdengar 

bentakan-bentakan yang menggelegar.

"Tiga Setan Penghasut Dari Sungai 

Mati... berhenti...!"

Belum lagi hilang rasa terkejut di 

hati si Tiga Kembar. Tahu-tahu ketua dan 

wakil ketua Topeng Hitam telah 

menghadang langkah mereka.

"Saudara Topeng Hitam! Ada 

keperluan apakah hingga saudara 

menghadang langkah kami...!" tanya si 

Janggkung mewakili yang lainnya.

Ditanya seperti itu, marahlah ketua 

Topeng Hitam, sambil meludah ke tanah dia 

menyela:

"Manusia kembar tak tahu adat! Masih 

juga kau berpura-pura...!"

Dimaki sedemikian rupa, sudah 

barang tentu saudara kembar lainnya tak 

bisa terima. Adi Tengah mendamprat:

"Monyet busuk bertopeng.... 

katakanlah apa kesalahan kami! Jangan

marah-marah begitu...!"

* * *

SEMBILAN



Wakil ketua Topeng Hitam kertakkan 

rahang kemudian maju selangkah. Lalu 

memaki habis-habisan.

"Budak hina... kalian telah 

menghasut ketua Hantu Berkabung untuk 

tidak meneruskan usahanya mendapatkan 

kitab-kitab itu. Padahal keberhasilan 

sudah di pelupuk mata. Lihatlah 

gara-gara ulah kalian menghentikan usaha 

Hantu Berkabung, mereka semua 

terpengaruh...!"

Mengertilan si Tiga Kembar akan 

maksud yang tersembunyi di balik ucapan 

wakil ketua Topeng Hitam. Adi Tengah 

langsung meloncat ke depan, keduanya 

kini saling berhadapan. Sejurus dia 

memandang maka tertawalah dia 

panjang-panjang.

"Setan licik, Pengecut. Kalau 

kalian merasa hebat, mengapa tidak 

sekalian orang-orangmu saja yang 

dikorbankan pada binatang-binatang 

itu...?"

"Mungkin dia bermaksud menangguk di 

air keruh Kakang Tengah...!" si kembar 

paling bungsu ikut menimpali.

Memerahlah wajah wakil ketua maupun 

ketua Topeng Hitam.

"Aku yakin monyet bertopeng ini 

merasa jera! Sebab tadi malam 

orang-orangnya sempat terkubur di dalam 

perut buaya-buaya itu...!" Ketua Hantu


Berkabung yang memang sudah tak dapat 

menahan kesabarannya ikut nyeletuk.

Marah bercampur malu berbaur 

menjadi satu, ketua Topeng Hitam 

benar-benar tiada menyangka kalau 

kejadian yang sangat memalukan itu 

sempat juga diketahui oleh orang lain. 

Meskipun belangnya sudah ketahuan akan 

tetapi masih saja orang bertopeng ini 

membentak:

"Bangsat rendah Iblis Berkabung! 

Tidak tahu membalas guna. Dibela malah 

menghina...!"

Si Topeng Hitam menyela geram.

Begitu mendengar ucapan si Topeng 

Hitam, baik si Tiga Kembar, maupun Ketua 

Hantu Berkabung serentak tertawa 

tergelak-gelak.

"Katakan saja bahwa kau ingin 

mempergunakan kemampuan orang lain untuk 

memiliki kitab pusaka itu...!" Hantu 

Berkabung mengejek.

Mendidihlah darah ketua Topeng 

Hitam sampai ke ubun-ubun.

"Keparat...! Kalian lebih baik 

mampus...!" Diawali dengan satu teriakan 

menggelegar ketua dan wakil ketua Topeng 

Hitam langsung menerjang dan kirimkan 

pukulan-pukulan yang mematikan. 

Mengetahui ketua mereka terlibat 

pertarungan, maka anggota Topeng Hitam 

yang lainnya pun serentak ikut menyerbu.

Dalam waktu sekejap saja 

pertarungan sangit pun terjadi di


wilayah Sindang Darah. Jerit kematian 

mulai terdengar di mana-mana. Dalam 

keadaan seperti itu masing-masing pihak 

telah mengeluarkan senjata maupun 

jurus-jurus andalan. Dan dalam waktu 

singkat pertarungan sudah berlangsung 

puluhan jurus. Agaknya dalam segi jumlah 

si Tiga Kembar dan Ketua Hantu Berkabung 

kalah banyak bila dibandingkan dengan 

anggota Topeng Hitam. Walaupun begitu si 

Tiga Kembar dan ketua Hantu Berkabung, 

adalah orang-orang yang punya segudang 

pengalaman dalam berbagai pertarungan, 

dan pula merupakan lawan yang sangat 

tangguh. Tidak mudah bagi anggota Topeng 

Hitam untuk dapat mencapai kemenangan. 

Si Topeng Hitam ketua dan wakilnya 

mendapat perlawanan sengit dari si Tiga 

Kembar. Bahkan kerjasama di antara 

mereka yang terbina dengan baik ditambah 

banyaknya variasi jurus-jurus yang 

mereka miliki dalam waktu sekejap saja, 

ketua dan wakil Topeng Hitam ini sudah 

terdesak hebat.

Sementara itu dengan bersenjatakan 

Pedang Mustika dibantu oleh lima orang 

bawahannya. Ketua Hantu Berkabung dengan 

sangat mudahnya membabat habis semua 

kroco-kroco Topeng Hitam.

Ketua Hantu Berkabung yang sudah 

sangat muak melihat sepak terjang Si 

Topeng Hitam segera ikut mengeroyok. 

Melawan si Tiga Kembar saja mereka ini 

sudah sangat kerepotan dan bahkan sering


terdesak, apalagi kini dengan pedang di 

tangannya Baja Wungu ikut melabrak, 

kedua si Topeng Hitam semakin tak mampu 

berbuat banyak. Dari segala penjuru 

serangan datang bertubi-tubi, si Topeng 

Hitam nampak kalang kabut, mengelak dan 

menangkis serangan itulah yang dapat 

mereka lakukan.

Kini pertarungan maut itu 

disaksikan oleh partai-partai lainnya. 

Akan tetapi rupanya dari tiga partai yang 

tersisa, yang jumlah keseluruhannya tak 

lebih dari lima belas orang nampaknya 

cenderung berpihak pada si Topeng Hitam, 

hingga suara-suara sumbang mulai 

terdengar.

Saat itu Kakang Barep berhasil 

menendang jatuh wakil ketua Topeng 

Hitam, Baja Wungu yang mengetahui 

kesempatan yang sangat baik segera 

bertindak cepat dengan pedang terhunus 

dia memburu wakil Topeng Hitam dan 

bermaksud memenggal lehernya. Nampaknya 

wakil ketua Topeng Hitam ini sudah tiada 

mampu berkelit, dia sudah pasrah 

menerima nasib. Namun pada saat yang 

kritis itu tiba-tiba terdengar bentakan 

melengking dari salah seorang ketua 

partai yang tidak terlibat pertempuran. 

"Berhenti...!"

Bentakan itu benar-benar sangat

berpengaruh bagi mereka yang sedang 

terlibat pertarungan. Secara serentak 

mereka bagai dihipnotis menghentikan


pertarungan. Baja Wungu yang hampir saja 

berhasil membabatkan pedangnya pada 

leher lawannya, secara tiba-tiba 

menghentikan gerakannya. Barulah 

setelah dia mengerahkan hawa murni, dia 

dapat menoleh dan memperhatikan 

orang-orang yang berada di seke-

lilingnya.

"Tak tahu malu bertarung main 

keroyokan...!"

Seorang laki-laki dengan kumisnya 

yang tebal menyela. Begitu Baja Wungu dan 

si Tiga Kembar menoleh tahulah mereka 

bahwa orang inilah yang telah melakukan 

serangan jarak jauh pada mereka.

Baja Wungu yang kiranya telah 

mengenal orang ini segera menegur:

"Saudara Soka Durjana ketua 

perguruan Angkara Murka! Maksud apakah 

mencampuri urusan orang lain...?" tanya 

Baja Wungu berusaha meredam 

kemarahannya.

Yang di tanya melengos, sambil 

meludah. Si Tiga Kembar melihat tingkah 

si kumis tebal macam ijuk nampak marah 

sekali. Kalau saja Baja Wungu tidak 

memberi isyarat pada mereka untuk 

menahan diri, sudah barang tentu Kakang 

Barep sudah melabrak Soka

Durjana mati-matian. Meskipun 

begitu si jangkung ini mencaci maki 

habis-habisan:

"Durjana keparat! Selamanya kami 

tidak pernah bermusuhan dengan perguruan


Angkara Murka. Tak dinyana, hari ini 

engkau berani lancang mencampuri urusan 

kami...!"

Ketua perguruan Angkara Murka 

men-dengus! Tiba-tiba dia meloncat ke 

depan, kemudian sambil bertolak pinggang 

dia mencela:

"Bertarung main kroyok! Begitu 

mengaku orang gagah! Aku sendiri sebagai 

dedengkotnya golongan hitam, belum 

pernah bertindak sepengecut kalian...!" 

Soka Durjana mencemooh.

"Anjing sinting! Rupanya kalian 

semua memang sengaja cari persoalan. 

Hmm... bagus, kami si Tiga Kembar dari 

Sungai Mati tidak akan sungkan-sungkan 

membasmi tikus comberan...!" Adi Ragil 

ikut mencela.

"Seratus Kembar lagi pun datang di 

hadapanku, akan kupotes kepalanya! 

Jangankan hanya kalian bertiga!" Soka 

Durjana memanasi.

Usai dengan ucapannya, Soka Durjana 

memberi isyarat pada. seluruh sisa 

partai yang ada. Maka dengan serentak

mereka berbareng maju menyerang si Tiga 

Kembar dan Baja Wungu.

Sambil maju bergerak memapaki 

serangan lawannya, Baja Wungu berseru 

marah:

"Anjing-anjing biadab, rupanya 

kalian sudab. bersekongkol untuk 

mengeroyok kami...!"


Berkata begitu Baja Wungu langsung 

membabatkan pedangnya. Beberapa orang 

yang berada paling depan roboh seketika 

dengan bermandikan darah. Pertarungan 

dalam sekejap saja telah menjadi seru 

kembali. Hiruk pikuk dan denting 

beradunya senjata tajam berbaur menjadi 

satu. Baik anggota si Cebol Gagu dari 

Gunung Kuali, maupun anggota dari 

perguruan Lumpang dan Angkara Murka satu 

demi satu roboh tak berkutik. Kini 

tinggallah pentolan dari masing-masing 

perguruan ditambah dengan ketua dan 

wakil Topeng Hitam. Jumlah keselu-

ruhannya sebanyak lima orang, meskipun 

boleh dikata hampir seimbang. Akan 

tetapi mereka merupakan lawan-lawan yang 

sangat tangguh. Ilmu dan kepandaian 

silat mereka sama-sama satu tingkat, dan 

mungkin ada beberapa orang di atas 

mereka. Bahkan!

Apalagi si Cebol Gagu, dengan 

senjatanya berupa sebuah tombak sakti 

bermata ganda. Berkelebat menderu 

mencecar pada bagian yang mematikan. 

Baja Wungu yang berhadapan dengan si 

Cebol Gagu nampak mulai terdesak. Begitu 

pula yang terjadi dengan si Tiga Kembar 

dari Sungai Mati ini. Agaknya keempat 

orang lawannya sudah mengetahui 

kelemahan jurus-jurus gabungan yang

diberi nama Tiga Tarian Walet Kembar. 

Terbukti bagai diobrak-abrik mereka 

mulai kelihatan cerai berai. Beberapa


jurus berikutnya mereka sudah kena 

didesak oleh lawan-lawannya. 

Pertarungan sudah berlangsung empat 

puluh jurus. Baik Baja Wungu maupun si 

Tiga Kembar dari Sungai Mati sudah jatuh 

di bawah angin. Bahkan tombak Sakti 

bermata ganda milik si Cebol Gagu, 

berulang kali nyaris merobek bagian 

lambung Baja Wungu. Kalau saja dia tidak 

memiliki ilmu mengentengi tubuh yang 

sudah sangat sempurna, sudah barang 

tentu sudah sejak tadi nyawanya 

melayang. Walaupun begitu beberapa saat 

di depan, laki-laki itu nampak terdesak 

hebat, hingga akhirnya Baja Wungu 

benar-benar kepepet, senjata di tangan 

si Cebol Gagu terus meluncur mengancam 

bagian perutnya. Bagi Baja Wungu 

meskipun dirinya benar-benar dalam 

bahaya, namun otaknya segera berpikir 

cepat. Hanya ada satu pilihan demi 

menyelamatkan nyawanya, yang tidak ada 

dijual di waning mana pun. Secepat kilat 

dia kiblatkan pedangnya. 

"Traaang...!"

Terlihat bunga api berpijar dari 

kedua senjata yang saling berbenturan. 

Baja Wungu berseru kaget dan langsung 

bergulungan di atas tanah. Pedang 

Mustika milik ketua Hantu Berkabung 

patah menjadi dua, sementara Tombak 

Sakti bermata ganda milik si Cebol Gagu, 

tanpa ampun terus memburunya, ke mana pun 

dia berusaha menghindar. Sampai pada:


"Craas!"

Dan pada saat yang sama.

"Tuuuuk!"

Baja Wungu berseru kaget karena 

tangan kanannya sempat robek tersambar 

mata Tombak milik si Cebol Gagu.

Sementara Cebol Gagu melenguh pelan 

tanpa mampu menggerakkan tubuhnya.

Jerit tertahan dari mulut Baja Wungu 

membuat perhatian si Tiga Kembar jadi 

terpecah. Kelengahan yang hanya sesaat 

itu pun dimanfaatkan oleh lawan-

lawannya. Dengan diiringi bentakan 

menggelegar keempat orang musuhnya 

kirimkan pukulan yang sangat telak.

"Bunk!"

"Buuk!"

"Buuk!"

Si Tiga Kembar terpental tujuh 

tombak lalu memuntahkan darah segar.

Agaknya lawan-lawannya tidak ingin 

bertindak tanggung-tanggung, mereka 

sudah bersiap-siap untuk mengakhiri 

lawan-lawannya dengan pukulan yang 

paling ampuh. Namun begitu mereka 

bermaksud menerjang secara bersamaan 

pula.

"Tees! Tess! Tees! Tees...!"

Tubuh mereka mendadak terus kaku 

sangat sulit untuk digerakkan. Tentu 

saja kejadian yang sangat tiba-tiba ini 

benar-benar mengejutkan hati dan 

sekaligus melegakan hati Baja Wungu 

maupun si Tiga Kembar. Dan mereka


menyadari jiwa mereka telah di

selamatkan oleh seseorang yang tentunya 

berilmu sangat tinggi. Siapa pun adanya 

orang itu, mereka patut mengucapkan 

terima kasih.

* * *


SEPULUH


Pada saat hati mereka diliputi 

pertanyaan seperti itulah tiba-tiba di 

atas air sindang telah berdiri seorang 

pemuda yang sangat tampan serta seorang 

gadis cilik duduk di atas pundaknya. 

Bukan saja lawan-lawan Baja Wungu yang 

nampak menjadi jerih, melihat kehadiran 

pemuda berpakaian merah darah. Akan 

tetapi orang yang di tolong oleh si 

pemuda penyandang periuk besar itu pun 

merasakan hal yang sama. Mereka menduga 

tentu pemuda berkuncir ini merupakan 

Dewa Penunggu Sindang Darah. Sebab 

seperti yang mereka lihat pemuda 

berpakaian merah-merah itu ternyata 

kedua kakinya bukanlah terapung di atas 

permukaan air. Tidak sama sekali. Dengan 

mata melotot mereka dapat melihat bahwa 

kedua kaki pemuda ini ternyata berpijak 

di atas punggung buaya-buaya yang ada di 

tengah Sindang. Bahkan buaya yang 

jumlahnya mencapai ratusan ekor itu kini 

nampak sangat patuh. Seolah mereka 

sedang mengawal sang rajanya.

Mengapa hal itu sampai bisa terjadi? 

Sebenarnya pada malam yang sama, Buang 

Sengketa juga sudah sampai di Sindang 

Darah. Pada saat itu dia sudah menemukan 

rombongan Topeng Hitam, yaitu seorang 

musuh yang telah membunuh orang tua dan 

sekaligus nenek peot, orang tua asuh 

gadis cilik Wanti Sarati yang sampai saat 

itu turut dalam pengembaraannya. Pada 

saat itu dia sudah hampir turun tangan 

untuk membunuh ketua Topeng Hitam, kalau 

saja di dalam Sindang itu tidak terjadi 

sesuatu yang sangat mengejutkan hatinya. 

Topeng Hitam yang kemaruk kitab pusaka 

ternyata menurunkan orang-orang 

kepercayaannya malam itu juga. Seperti 

yang telah diceritakan di atas, kiranya 

pemuda ini juga sempat menyaksikan 

bagaimana buasnya mahluk-mahluk reptil 

itu dalam membantai mangsanya. Lalu 

timbullah rasa penasarannya. seperti 

yang pernah dituturkan oleh gurunya, 

yaitu Si Bangkotan Koreng Seribu bahwa 

ayah kandungnya. Yaitu si Piton Utara 

adalah merupakan raja dari segala raja 

binatang melata. Mahluk melata apa pun 

akan selalu tunduk dan patuh kepadanya. 

Sebagai keturunan langsung dari Raja 

mahluk melata tentu dia ingin mencoba 

tentang kebenaran cerita gurunya. Buang 

Sengketa seketika berubah niat. 

Tujuannya untuk membunuh si Topeng Hitam 

dia tangguhkan. Kemudian berkelebat


pergi menghampiri sekawanan Buaya Kuning 

yang sudah siap menunggu mangsanya.

Mulanya dengan hati berdebar Buang 

Sengketa mempergunakan sebatang ranting 

untuk mengusik ketenangan buaya-buaya 

itu, akan tetapi diperlakukan sedemikian 

rupa, buaya kuning itu tidak bergeming. 

Kemudian dengan sangat berani Buang 

Sengketa mempergunakan kaki kirinya, 

keadaan tetap tak berubah. Apabila 

pemuda itu mengeluarkan bunyi mendesis 

mirip dengan seekor ular Piton, 

tiba-tiba dari berbagai penjuru 

berdatangan buaya-buaya kuning dari 

berbagai ukuran. Yang membuat pendekar 

dari negeri Bunian itu keheranan 

kedatangan buaya-buaya itu bagai 

menghaturkan sembah terhadap putra Sang 

Raja. Tentu saja kejadian ini sangat 

melegakan hati pendekat Hina Kelana. 

Dengan penuh suka cita dia melompat ke 

punggung buaya yang paling besar, dengan 

tujuan ingin segera melihat pulau yang 

terletak di tengah-tengah sindang. 

Dengan diantar dan dikawan oleh puluhan 

ekor buaya yang berukuran besar, 

akhirnya sampai juga mereka ini di pulau 

Karang yang menyeramkan. Tidak begitu 

sulit bagi mereka untuk menemukan pintu 

rahasia gua karang, dengan mempergunakan 

tusuk konde yang berada di atas rambut 

Wanti Sarati dengan mudah dia dapat 

membuka pintu utama. Akan tetapi betapa 

terkejutnya hati pemuda ini begitu pintu


terbuka dia melihat sosok tubuh yang 

sudah sangat berumur nampak sedang 

semedi. Pemuda itu lalu menegur, akan 

tetapi setelah tak ada jawaban dia 

menghampiri orang itu. Tahulah dia 

kiranya orang tua itu sudah mati dalam 

keadaan semedi. Ketika pemuda itu 

memeriksa keadaan sekelilingnya 

ternyata tidak begitu jauh di hadapan 

jenazah kakek tua itu terdapat sebuah 

surat yang ditulis dengan guratan tangan 

di atas selembar kulit buaya. Pesan surat 

itu berbunyi:

Siapa yang sampai di Pulau

Karang ini dilarang membuka

pintu kedua. Tiada Kitab Pusaka,

kecuali malapetaka...

Buat pembawa kunci pintu rahasia.

Kuhadiahkan sebuah

Buku silat hasil ciptaanku....

Mohon dibuka setelah jauh

dari tempat ini.

Dan kunci rahasia lemparkan

ke dalam Sindang Darah....

Murid Durhaka... 

Paderi Agung Sindang Darah

Setelah membaca pesan di dalam surat 

itu Pendekar Hina Kelana untuk beberapa 

saat lamanya nampak merenungi makna 

kata-kata yang tertulis di atas kulit 

buaya itu. Hingga Buang Sengketa pun


sampai pada kesimpulan bahwa sampai pada 

akhir hayatnya. Kiranya Paderi Agung 

Sindang Darah masih menyesali 

perbuatannya yang telah membunuh Sang 

Guru.

Sejenak Buang Sengketa memandang 

iba pada jenazah Paderi Agung Sindang 

Darah. Kemudian dia membungkuk hormat, 

lalu ucapnya:

"Maaf orang tua, aku akan 

menyempurnakan kuburmu...!"

Setelah berkata begitu Buang 

Sengketa dengan cepat membuatkan sebuah 

kubur, untuk Paderi Agung Sindang Darah. 

Tak lama kemudian setelah mengambil 

sebuah kitab yang terletak di bawah 

tempat duduk jenazah Paderi Agung 

Sindang Darah maka seperti pesannya

Buang Sengketa segera melemparkan tusuk 

konde kunci pembuka gua karang ke 

tengah-tengah Sindang.

Dengan diantar oleh buaya-buaya 

yang berdiam di dalam Sindang, Buang 

Sengketa dan Wanti Sarati kembali 

bergerak ke daratan. Namun begitu dia 

hampir mencapai tepian sindang, korban 

telah berjatuhan. Masih untung ketua 

Hantu Berkabung dan lainnya yang 

diketahui oleh Pendekar Hina Kelana 

sebagai kaum yang beraliran lurus masih 

dapat dia selamatkan dari ancaman si 

Cebol Gagu dan empat partai lainnya.

Buang Sengketa menatap sinis pada 

Ketua Topeng Hitam dan juga pada


kembrat-kembratnya. Tapi lama kemudian 

dia membentak:

"Monyet-monyet bertopeng, dosa 

kalian sudah kelewat batas! Aku tak 

mungkin memberi ampun pada kalian. 

Kalaupun ada yang dapat memberimu ampun 

hanyalah bocah ini...!" sela si pemuda 

sambil menepuk bahu Wanti Sarati yang 

kini juga telah berdiri di atas punggung 

buaya-buaya itu.

"Jawab... kalian toh masih bisa 

bicara...!"

Mendengar ancaman si pemuda yang 

nampak bersungguh-sungguh, ketua dan 

wakil ketua Topeng Hitam tubuhnya nampak 

menggigil ketakutan. Dengan gemetar 

mereka bertanya:

"Apa ya... yang harus kami jawab! 

Sedangkan kami merasa tidak pernah 

membunuh seorang nenek apalagi seorang 

suami istri...!" Ketua Topeng Hitam 

berusaha berkelit.

"Mulutmu sungguh busuk Topeng 

Hitam! Bukankah kalian telah membunuh 

nenek peot beberapa bulan yang lalu? 

Masihkah kalian ingin mungkir...?"

Agaknya Topeng Hitam sudah tidak 

dapat menyangkal tuduhan Buang Sengketa. 

Kini mereka nampak diam seribu bahasa.

"Wanti... mereka telah membuat 

hidupmu sengsara! Menurutmu hukuman 

apakah yang paling pantas buat 

mereka...?" tanya Pendekar Hina Kelana


pada Wanti Sarati yang berdiri di 

sebelahnya.

Wanti Sarati yang merupakan seorang 

bocah cerdik, tanpa berpikir segera 

menjawab:

"Mereka harus memotong kedua 

tangannya masing-masing Paman...!" 

Wanti Sarati berkata tegas.

Saat itu juga ketua dan wakil ketua 

Topeng Hitam berubah pucat parasnya.

"Ti... tidak! Jangan! Kami membunuh 

nenek peot karena nenek itu telah 

berhutang nyawa kepada kami...!" wakil 

ketua Topeng Hitam beralasan.

Pendekar Hina Kelana berkata ketus:

"Hmm... lagi-lagi engkau 

berbohong...!"

Kemudian pemuda itu merenung 

sejenak. Lalu berkata lugas.

"Wanti... apa hukumannya bagi orang 

pembohong?"

Kembali jawaban Wanti Sarati sangat 

mengejutkan ketua Topeng Hitam.

"Untuk seorang pembohong mereka 

harus memotong lidahnya sendiri...!" 

sela gadis cilik itu polos.

"Hmm... kalian berdua telah 

mendengar sendiri hukuman apa yang harus 

kalian jalani, sekarang aku akan 

membebaskan kalian dari pengaruh 

totokan!"

Seiring dengan ucapannya Buang 

Sengketa segera sentilkan jari 

telunjuknya mengarah pada tubuh si


Topeng Hitam dua buah benda sebesar 

butiran pasir segera meluncur dan 

membentur bekas totokan secara lunak. 

Kedua orang ini segera terbebas dari 

pengaruh totokan.

Buang Sengketa melirik pada Baja 

Wungu lalu berseru:

"Saudara Baja Wungu! Ambil pedang 

yang tergeletak di atas tanah itu, 

kemudian serahkan pada monyet-monyet 

sialan di depanmu...!"

Tanpa menjawab Baja Wungu melakukan 

apa yang diperintah oleh orang yang telah 

menyelamatkan jiwa mereka, untuk

kemudian, bermaksud menyerahkannya pada 

si Topeng Hitam. Akan tetapi di luar 

dugaan mereka semua setelah pedang itu 

berada dalam genggamannya. Dengan nekad 

ketua Topeng Hitam menyerang Baja Wungu 

yang paling dengat dengan dirinya. Masih 

untung sejak semula Baja Wungu sudah 

memperhitungkan adanya kemungkinan ini, 

kalau tidak tentu dia sudah kojor dengan 

dada tertembus pedang. Baja Wungu 

berkelit dan melakukan serangan balasan. 

Dalam keadaan nekad serangan-serangan 

vang dilancarkan oleh Topeng Hitam 

bersaudara nampak ganas sekali.

Pendekar Hina Kelana demi 

menyaksikan kenekatan Topeng Hitam, 

nampak sangat marah. Apalagi tadi, 

nyaris membunuh Baja Wungu. Dengan 

sekali genjot tubuhnya melentik ke atas, 

kemudian tanpa menimbulkan suara dia


menginjakkan kakinya tepat di sebelah si 

Tiga Kembar. Tanpa menoleh dia berpesan.

"Saudara bertiga harap jaga bocah 

ini! Aku mau mengkremus batok kepala 

mereka...!"

Tanpa menunggu jawaban si Tiga Kem-

bar, Pendekar Hina Kelana langsung 

meluruk si Topeng Hitam. Kemudian dia

berseru pada Baja Wungu:

"Saudara Baja Wungu menying-

kirlah...!"

Mendengar aba-aba yang diberikan 

Buang Sengketa, Baja Wungu segera 

melompat mundur, kemudian bergabung 

dengan si Tiga Kembar dan Wanti Sarati.

Kini si Topeng Hitam tersenyum 

mengejek, lalu mencemooh:

"Budak hina... kau pikir kami akan 

menuruti keinginanmu yang gila itu?" 

kata Topeng Hitam mendengus. "Kami lebih 

baik mati dalam pertarungan daripada 

harus bertekuk lutut di bawah 

perintahmu...!"

Buang Sengketa kertakkan rahang. 

Dia benar-benar merasa sangat jengkel 

sekali. Kemudian dia berkata lantang.

"Agaknya buaya-buaya di bawah sana 

lebih pantas menyantap bangkai kalian 

daripada harus bersusah-susah menggali 

kubur...!"

Pendekar Hina Kelana lalu menoleh 

pada tiga partai yang bersekutu dengan 

Topeng Hitam. Yang keadaannya masih 

tertotok, sekali saja tangan pemuda itu


bergerak orang-orang itu pun terbebas 

dari pengaruh totokan. Suasana nampak 

tegang. Tak lama kemudian Buang Sengketa 

membentak:

"Sekarang tikus-tikus telah 

kubebaskan semuanya, kalian hanya bisa 

selamat apabila mampu menghindari setiap 

seranganku. Andai tidak jangan harap 

bertemu esok...!"

"Bocah sombong mampuslah...!"

Soka Durjana tanpa banyak cingcong 

langsung menerjang.

* * *

SEBELAS



Tak begitu lama diikuti pula oleh 

kawan-kawan mereka yang lain. Meskipun 

sesungguhnya hati mereka masih diliputi 

perasaan jerih. Akan tetapi bagi mereka 

lebih baik bertarung daripada harus 

pasrah menerima nasib. Demikianlah hanya 

dalam beberapa saat saja pertarungan 

sudah berlangsung puluhan jurus. 

Masing-masing telah mengeluarkan 

jurus-jurus yang paling sangat mereka 

andalkan. Sementara si Cebol Gagu dengan 

senjatanya tombak sakti terus mencecar 

lawannya dengan beringas. Apalagi tadi 

pemuda itu sempat mengerjai dirinya. 

Peristiwa itu sungguh sangat memalukan 

dan patut dibalas. Akan tetapi jurus 

silat yang dimainkan oleh si pemuda

sering berubah-rubah. Kadang tubuh 

lawannya nampak bergerak cepat sambil 

melancarkan serangan-serangan yang 

mematikan, di lain saat berkelebat dan 

hanya merupakan bayang-bayang merah. Hal 

ini sudah barang tentu sangat 

membingungkan lawan-lawan Buang 

Sengketa. Hingga beberapa saat kemudian 

dia nampak sudah tak sabar.

Kini mulailah dia melancarkan 

pukulan-pukulan Empat Anasir Kehidupan 

yang sangat diandalkannya. Agaknya lawan 

yang berjumlah lima orang ini bagi Buang 

Sengketa bukan merupakan lawan yang 

tangguh.

Sekali waktu pemuda itu melepaskan 

dan kiblatkan tangannya, selarik sinar 

Ultra Violet menderu mengarah pada ketua 

dan wakil Topeng Hitam, angin pukulan 

bercuitan. Pukulan yang datangnya begitu 

mendadak dan terasa sangat cepat membuat 

kedua orang itu tak mampu mengelak lagi, 

sinar yang sangat panas itu tanpa ampun 

melabrak tubuh mereka.

"Brees...!" 

"Arrggghhk...!"

Jerit kematian bergema di penjuru 

Sindang. Tubuh Topeng Hitam yang hangus 

itu terlempar beberapa tombak dan 

langsung tercebur ke dalam Sindang 

Darah. Sebentar saja tubuh manusia 

bertopeng yang sudah tidak bernyawa 

menjadi mangsa yang sangat empuk bagi 

buaya-buaya yang berada di dalamnya.


Sementara itu pada saat yang hampir 

bersamaan Buang Sengketa yang kini 

sedang dicecar oleh tiga orang lawan 

nampaknya tidak ingin membuang banyak 

waktu. Sekali saja jemari tangannya 

meraba pinggang kemudian berkelebat 

memapasi Tombak Sakti milik si Cebol 

Gagu. Tombak di tangan si Cebol 

berantakan dilanda Pusaka Golok Buntung 

di tangan pendekar negeri Bunian. Bahkan 

tanpa tanggung-tanggung lagi senjata 

pusaka di tangan Buang Sengketa 

bertindak lebih lanjut:

"Craas!"

"Crees!"

Darah memancar dari leher si Cebol 

Gagu yang hampir terputus, sementara 

nasib Mujiman ketua padepokan Gunung 

Lumpang pun tidak jauh berbeda, Darah 

bercucuran dari bagian perut yang robek 

terbabat Pusaka Golok Buntung di tangan 

Pendekar Hina Kelana. Hanya beberapa 

saat tubuhnya limbung untuk kemudian 

ambruk ke bumi dengan nyawa melayang.

Mengetahui sobat-sobatnya berge-

limpangan ke bumi dengan keadaan yang 

sangat mengerikan Soka Durjana yang 

tinggal seorang diri menjadi lumer 

nyalinya. Dengan hati kecut dia 

memandangi Buang Sengketa tiada 

berkedip. Agaknya pemuda ini tidak akan 

memberi kesempatan pada Soka Durjana 

untuk hidup selanjutnya.


"Cecunguk sial! Hanya tinggal kau 

seorang yang masih hidup, mungkin kau 

masih punya keinginan mengaju jiwa 

denganku. Majulah...!" Pendekar Hina 

Kelana mencemooh.

"Hari ini aku memang kalah! Tetapi 

tunggulah pembalasaanku nanti...!" Usai 

berkata Soka Durjana membalikkan tubuh, 

dan bermaksud ambil langkah seribu. 

Buang Sengketa segera bertindak cepat.

"Tak seorang pun musuh-musuhku 

pergi dengan seenaknya! Mampuslah...!" 

Pendekar Hina Kelana pukulkan tangannya 

ke depan. Tak pelak lagi selarik sinar 

ultra violet menderu dahsyat ke arah Soka 

Durjana. Jerit kematian tak terelakkan 

lagi. Soka Durjana terlempar ke depan 

dilanda gelombang yang panas membakar. 

Soka Durjana ketua perguruan angkara 

murka tewas seketika itu juga dalam 

keadaan hangus menyedihkan.

Buang Sengketa sudah bermaksud 

menghampiri Baja Wungu, si Tiga Kembar 

juga Wanti Sarati ketika terdengar gelak 

tawa yang menimbulkan suara bergemuruh 

tidak begitu jauh dari mereka. Begitu 

Buang Sengketa menoleh tahu-tahu di 

tempat itu telah berdiri seorang 

laki-laki berambut setengah botak dengan 

matanya yang buta. Baik Baja Wungu maupun 

si Tiga Kembar yang sudah pernah mengenal 

itu tanpa sadar berseru: "Padri Mata 

Elang...!" Tanpa menghiraukan mereka, 

Padri Mata Elang melirik pada Pendekar


Hina Kelana. Rasa-rasanya dia belum 

pernah melihat pemuda berkuncir ini. 

Akan tetapi sepak terjangnya. 

Benar-benar membuat Padri Mata Elang 

berdecak kagum.

"Hahahaha... rupanya aku sebagai 

tuan rumah terlambat datang ke tempat 

suci ini! Sungguh sayang keparat dari 

mana yang telah mengotori tempat ini 

dengan bangkai-bangkai yang tiada 

harga...!"

Padri Mata Elang mencaci maki 

habis-habisan. Walaupun Padri Mata Elang 

tidak langsung menunjuk hidung akan 

tetapi dia menyadari bahwa ucapan padri 

buta ditunjukkan padanya. Baja Wungu 

maupun si Tiga Kembar dari Sungai Mati 

meskipun hatinya tersinggung dengan 

ucapan Padri Mata Elang tetapi dia hanya 

mampu menahan perasaan marah di hati. 

Mereka merasa jerih untuk berurusan 

dengan orang sadis dari Lembah Hantu ini. 

Lain lagi dengan Pendekar Hina Kelana. 

Dimaki sedemikian rupa sudah barang 

tentu dia menjadi sangat marah. Dia yang 

sudah merasa yakin bahwa laki-laki buta 

ini sesungguhnya adalah Padri Mata 

Elang, tanpa sungkan-sungkan lagi balas 

membentak:

"Orang tua mata picak ada apakah 

hingga kau marah-marah seperti setan?"

Padri Mata Elang kertakkan rahang.

"Bocah edan, siapakah kau! Berani 

benar pada Pewaris Sindang Darah...?"


Pendekar Hina Kelana tersenyum 

mencibir. "Pandai sekali si tua buta ini 

bersilat lidah!" batinnya.

"Tua bangka tidak tahu diri. Siapa 

kata kau merupakan pewaris Kitab Pusaka 

peninggalan Paderi Agung Pengayom Jagad? 

Bukankah kau merupakan murid durhaka 

yang telah begitu tega membunuh guru 

sendiri...?" ejek pemuda ini.

Terkesiaplah darah Padri Mata 

Elang. Wajahnya nampak memerah seketika. 

Bagaimana mungkin bocah ini bisa 

mengetahui apa yang pernah dilakukan.

"Lancang sekali mulutmu... 

katakanlah siapa namamu supaya kau tidak 

menyesal nantinya."

Buang Sengketa tertawa ganda. Kemu-

dian:

"Aku ini si Hina Kelana yang tiada 

harga, apa gunanya kau mau tahu namaku?" 

pemuda itu menyela.

Begitu mendengar julukan si pemuda, 

Padri Buta ini kerutkan kening. Tak kalah 

terkejutnya dengan Baja Wungu dan si Tiga 

Kembar. Mereka benar-benar tak mengira 

bahwa Pendekar Hina Kelana yang 

belakangan ini membikin gempar dunia 

persilatan karena sepak terjangnya, 

ternyata masih muda belia. Beberapa saat 

kemudian Padri Mata Elang 

tergelak-gelak.

"Hahaha... kek... kek... kek! Hemm, 

kiranya kau budak hina yang akhir-akhir 

ini bikin heboh berbagai golongan


persilatan itu. Bagus! Aku jadi ingin 

tahu berapa hebatnya sepak terjangmu 

yang membuat tikus-tikus tiada guna lari 

terkencing-kencing...!" kata Padri Mata 

Elang.

"Tua durhaka! Tidak seorang pun 

manusia di atas dunia ini yang lebih 

perkasa dari Sang Pencipta. Aku yang hina 

ini mana mungkin sanggup menandingimu!"

Meskipun Pendekar Hina Kelana 

berkata merendah akan tetapi Padri Mata 

Elang cukup tahu bahwa pemuda itu 

sesungguhnya tengah mengejeknya.

"Keparat... bicaramu hanya membikin 

perutku mau muntah! Terimalah ini...!"

Tangan Padri Mata Elang berkelebat, 

kemudian meluncurlah benda-benda 

berwarna kekuning-kuningan. Pendekar 

Hina Kelana maklum bahwa si Padri Buta 

telah melemparkan senjata rahasia 

padanya. Untuk tidak membuat Padri Mata 

Elang semakin besar kepala, Buang 

Sengketa segera kirimkan satu pukulan 

dahsyat dari Empat Anasir Kehidupan. 

Selarik sinar Ultra Violet yang berhawa 

sangat panas menderu dan timbulkan suara 

bereuitan. Senjata rahasia bertemu 

dengan sebuah kekuatan yang dahsyat.

"Brees.....Blaar...!"

Senjata rahasia milik si Padri Mata 

Elang yang berupa puluhan Ekor Ular 

Kuning berpentalan ke segala arah dengan 

keadaan hangus dan mati. Padri Mata Elang 

keluarkan seruan tertahan begitu


merasakan hawa pukulan yang sangat panas 

melanda tubuhnya. Kalau tidak 

cepat-cepat lompat ke samping tentu 

tubuh Padri Mata Elang menjadi sasaran 

pukulan yang dilancarkan Buang Sengketa.

Padri Buta Mata Elang seolah bagai 

tak percaya nampak tertegun untuk 

beberapa saat lamanya.

"Padri Buta, ajal sudah di depan 

mata! Bersiap-siaplah untuk mampus...!"

"Keparat...!" Padri Buta mendengus.

Lalu secara hampir bersamaan dia 

menerjang dan langsung kirimkan 

serangan-serangan yang sangat dahsyat.

Sebentar saja pertarungan sengit 

pun terjadi, masing-masing lawan segera 

melancarkan pukulan yang bertubi-tubi. 

Dan di antara lawan-lawannya terdahulu 

nampaknya kali ini Buang Sengketa 

benar-benar berhadapan dengan seorang 

lawan yang sangat tangguh.

Beberapa saat saja pertarungan 

sudah mencapai belasan jurus. Buang 

Sengketa kerahkan segenap kemampuan yang 

ada. Begitu juga halnya dengan Padri Mata 

Elang. Dengan Jurus Elang Menyambar 

Mangsa, tubuhnya berkelebat, mencecar 

dengan serangan yang bertubi-tubi. 

Begitu pun dengan lawannya. Dengan jurus 

si Gila Mengamuk, tubuh si pemuda 

meliuk-liuk tak beraturan, terkadang 

kakinya menendang atau di lain saat 

tangannya mencakar dan bergerak pada 

bagian-bagian yang mematikan. Sejauh itu


dia masih belum mampu mendesak lawannya. 

Bahkan beberapa saat berikutnya dia 

malah terdesak hebat. Hingga pada satu 

kesempatan Padri Mata Elang berhasil 

mendaratkan satu pukulan telak pada 

bagian dada pemuda itu:

"Puuk!"

"Bruuk!"

Buang Sengketa terjengkang, 

tubuhnya terlempar beberapa tombak. Dia 

merasakan dadanya bagai remuk. Pandangan 

matanya berkunang-kunang. Perasaan mual 

berbaur menjadi satu. Dengan cepat 

Pendekar Hina Kelana gelengkan kepalanya 

beberapa kali. Begitu rasa sakitnya agak 

berkurang, sudah tiada kesempatan lagi 

pemuda itu untuk berdiri. Padri Agung 

Mata Elang yang terus memburunya segera 

kirimkan satu pukulan yang sangat 

diandalkan. Seberkas sinar be-warna 

kebiru-biruan meluruk dan menderu ke 

arahnya. Itulah salah satu pukulan sakti 

yang diberi nama Elang Buta Menubruk 

Mangsa yang terkenal ganas. Sinar itu 

terus meluruk. Tentu saja Buang Sengketa 

tak ingin mati konyol, secepat kilat dia 

kiblatkan tangannya. Kembali selarik 

sinar Ultra Violet menderu dan timbulkan 

suara bergemuruh. Tak terelakkan lagi, 

dua tenaga sakti bertemu.

"Blaar...!" 

Bumi bergetar terasa mau kiamat. 

Batu-batu bertebangan ke segala arah. 

Tubuh Buang yang masih dalam posisi


terlentang amblas beberapa centi ke 

dalam tanah. Sementara Padri Mata Elang 

terlempar jauh, darah berlelehan dari 

lubang hidung dan bibirnya. Padri Mata 

Elang segera bangkit kembali, begitu 

pula dengan Buang Sengketa. Sambil 

memandang dengan penuh kebencian dia 

membentak:

"Budak Hina! Aku akan mengadu jiwa 

denganmu!"

Disertai dengan lengkingan dahsyat 

Padri Mata Elang langsung menyerang 

kembali. Namun kiranya Buang Sengketa 

sudah tak ingin mengulur-ulur waktu.

Sekali kedua tangannya meraba 

pinggang, maka pusaka Golok Buntung dan 

Cambuk Gelap Sayuto ikut bicara. Dengan 

sinarnya yang berwarna kemerahan golok 

dan cambuk di tangan si pemuda segera 

berkelebat. Menyambar kian ke mari. Di

lain waktu cambuk Gelap Sayuto di tangan 

kirinya melecut.

"Ctar.... Ctaar.... Ctar...!"

Seketika itu juga langit berubah 

gelap gulita, petir dan halilintar 

sambung menyambung. Terkesiaplah mereka 

yang berada di tempat itu. 

Terlebih-lebih Padri Mata Elang.

Tanpa membuang waktu ke lengan Padri 

Mata Elang yang hanya sekejap itupun 

dimanfaatkan oleh Pendekar Hina Kelana. 

Pusaka Golok Puntung di tangannya 

berkiblat:

"Craas...!"


Akibatnya sungguh sangat mengerikan 

sekali. Padri Mata Elang hanya melotot 

beberapa saat lamanya. Darah memancar 

dari tenggorokan yang menganga. Tanpa 

mampu mengeluh tubuhnya langsung ambruk 

ke bumi untuk selama-lamanya.

Tak lama kemudian suasana berubah 

sepi, secara perlahan kegelapan alam 

sekitar mulai pudar. Kemudian menjadi 

terang kembali. Begitu Baja Wungu maupun 

si Tiga Kembar menoleh mereka sudah tak 

melihat Buang Sengketa dan Wanti Sarati. 

Yang ada hanyalah mayat Padri Mata Elang 

yang tewas dalam keadaan yang sangat 

menyedihkan.



                    TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar