..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE TERDAMPAR DI PULAU HITAM

Terdampar di pulau hitam

 

TERDAMPAR DI PULAU HITAM

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Jakarta, 1991; cet. Ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit


SATU


Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


Di atas pasir pantai dengan debur ombak yang 

bergemuruh, seorang pemuda tampan dalam pakaian 

seorang pendekar, perlahan-lahan membuka kelopak 

matanya... 

"Terdampar di manakah aku...? Rasanya pantai 

ini asing bagiku!"

Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah 

menimpa dirinya, dan apa yang terjadi atas diri kawan-

kawannya. Belum sempat ingatannya pulih semua, en-

tah dari mana datangnya, tahu-tahu beberapa batang 

tombak telah meluncur di depan hidungnya.

Betapa terkejutnya pemuda itu menghadapi 

kenyataan ini. "Ha!" Seakan tak percaya dengan apa 

yang dilihatnya.

Sambil tengkurap dengan kedua tangan yang 

terbelenggu rantai besi, ia memandang beberapa orang 

yang pakaiannya hanya menutup sebatas kemaluan. 

Orang-orang itu berkulit hitam legam, rambut keriting, 

raut wajah dihiasi coretan berwarna kuning, putih dan 

merah serta mata yang beringas. Serentet taring babi 

sebagai penghias leher dan tulang lain yang mencocok 

lobang hidung dan telinga mereka, menandakan bah-

wa mereka belum beradab.

Suasana di pinggir pantai itu tegang sejenak. 

Debur ombak terasa makin menggelegar memecahkan


telinga. Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi 

aba-aba dengan isyarat gerakan tangan. Pemuda yang 

masih terbelenggu itu berusaha bersikap tenang serta 

menuruti kemauan orang-orang dari suku primitif itu.

Sepanjang jalan, sang pemuda yang ternyata 

adalah Parmin, si Jaka Sembung, terus berpikir. Baru 

kali ini dia melihat orang berkulit hitam legam dan be-

rambut keriting dengan tubuh hampir telanjang bulat 

seperti itu.

"Suku apakah ini? Aku tahu maksud mereka. 

Mereka ingin aku untuk ikut mereka! Yach, melawan 

pun tak ada gunanya. Barang kali saja aku nanti bisa 

mengorek keterangan dari orang-orang ini!" gumam-

nya dalam hati.

Seperti kerbau dicocok hidung, pendekar muda 

ini mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang-orang 

bertampang seram dan menakutkan itu.

Sebelum kita mengikuti lebih jauh lagi perjala-

nan Parmin, kita ikuti bagaimana dia bisa sampai ke 

daerah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Men-

gapa Parmin bisa sampai ke tempat tersebut?

Kala itu Parmin dan kawan-kawan se-dang be-

rada di atas kapal. Baru saja ia mengatur kemudi ke 

arah yang akan mereka tempuh, tiba-tiba dari arah Se-

latan badai datang dan memporakporandakan kapal-

nya. Dengan menggunakan papan kepingan kapal yang 

hancur itu mereka masing-masing selamat, hanya 

sayangnya mereka terdampar di pulau yang berlainan. 

Parmin alias si Jaka Sembung terdampar di sebuah 

pulau yang bernama 'PAPUA' atau Pulau Hitam.

Di sepanjang jalan yang ditumbuhi semak be-

lukar, pepohonan raksasa serta jalan setapak yang 

mereka lewati, masih saja Parmin berpikir. Kali ini pi-

kirannya tertuju kepada teman-temannya.

"Mudah-mudahan saja yang lainnya selamat


dan dapat berkumpul kembali!"

Parmin digiring terus dengan todongan ujung-

ujung tombak persis berada di punggung dan teng-

kuknya. Matahari telah berada tepat di atas ubun-

ubun membuat suasana saat itu panas bukan alang-

kepalang. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung 

membasahi keningnya.

Setelah beberapa lama masuk hutan belantara, 

akhirnya mereka sampai di sebuah dataran terbuka. 

Bangunan-bangunan tempat tinggal berbentuk keru-

cut-kerucut besar yang berderet-deret dan membentuk 

sebuah lingkaran yang mengelilingi sebuah halaman

yang luas dengan tonggak-tonggak kayu terpancang di 

tengah-tengahnya. Jika diperhatikan lebih teliti, ter-

nyata tonggak-tonggak kayu tersebut adalah sebuah 

patung ukir yang bersusun ke atas membentuk pilar 

kayu yang cukup tinggi.

Setelah agak dalam memasuki halaman per-

kampungan suku itu, seorang yang berjalan paling de-

pan memberi isyarat berhenti. Parmin dan sejumlah 

pengawal pun patuh mengikuti perintahnya. Orang itu 

lalu berjalan menuju sebuah bangunan yang paling 

besar beratap ijuk dengan puncak atap berukiran tra-

disionil.

"Itu pasti rumah kediaman kepala suku mere-

ka! Dan bukan tidak mungkin, mereka adalah suku 

pemakan daging manusia."

Baru saja Parmin berpikir begitu, beberapa 

orang bertampang beringas datang menyeret dan men-

gikatnya kuat-kuat pada sebuah tiang di tengah hala-

man. Sebagian yang lainnya berjingkrakan mengita-

rinya sambil meneriakkan kalimat dan kata-kata yang 

tak dapat dimengerti olehnya. Suara kendang yang di-

tabuh kencang-kencang menambah riuh suasana. Tak 

ubahnya seperti upacara agama para suku-suku pri


mitif.

"Dugaanku tidak meleset!" bisiknya dalam hati.

Sementara itu di dalam bangunan besar yang 

dihiasi berbagai tengkorak kepala binatang-binatang 

buas dan taring babi, bulu-bulu burung Cendrawasih, 

beberapa tombak terpampang di atas dinding. Topeng-

topeng aneh menambah seram suasana bangunan itu. 

Kepala pasukan langsung menghadap kepala suku 

sambil membungkukkan badan hampir rebah ke lan-

tai. Dia berbicara dengan bahasa yang mirip suara bu-

rung kepada orang yang duduk di atas singgasana 

yang terbungkus kulit-kulit binatang dan dihiasi ma-

nik-manik aneka warna dan ditemani lima orang 

dayang-dayang yang terdiri dari gadis-gadis berkulit hi-

tam dengan dada telanjang dan tubuh bagian bawah 

hanya ditutupi ram-bak rambai dari kulit kayu.

"Awom, kau mendapat tawanan orang asing? 

Bagus! Aku akan datang menemuinya! Siapkan saja 

segera upacara persembahan untuk nenek moyang ki-

ta!" ujar kepala suku.

Kepala suku segera berdiri meninggalkan kur-

sinya dengan diiringi dayang-dayang dan seorang pim-

pinan agama suku yang berjubah kebesaran, kepa-

lanya yang dihiasi dengan bulu-bulu burung Cendra-

wasih dan tangannya memegang tongkat dengan hia-

san-hiasan unik.

Ketika kepala suku menginjakkan kaki di ha-

laman, semua hiruk-pikuk suara manusia dan tetabu-

han mendadak sontak berhenti. Suasana menjadi hen-

ing seketika.

Kepala suku terus melangkah mendekati tiang 

di tengah halaman di mana Parmin si Jaka Sembung 

terikat tak berkutik.

"Hai! orang asing, coba jelaskan siapa kau, dan 

dari mana asalmu? Ketahuilah bahwa aku adalah ke


pala suku di sini!"

Bukan main terkejutnya. Betapa tidak, semula 

dia sangka kepala suku orang-orang primitif itu seo-

rang laki-laki yang tegap dan hitam menyeramkan, ke-

nyataannya justru bertolak belakang. Kepala suku ter-

nyata seorang wanita cantik berkulit putih dan beram-

but pirang serta bertubuh tinggi semampai dengan le-

kuk tubuh yang sangat indah, menyapanya dengan 

bahasa Melayu yang cukup fasih. Parmin tak percaya 

dengan apa yang dihadapinya. Rasanya ia sedang ber-

mimpi.

Kepala suku primitif itu ternyata seorang gadis 

bule yang rupawan. Gadis ini dapat memaklumi apa 

yang sedang berkecamuk pada diri pendekar muda itu. 

Maka segera dia berkata,

"Tenanglah! Anda pasti selamat! Aku percaya 

anda adalah salah seorang dari suku lain yang sudah 

beradab! Mereka menganggap bahasa Belanda dan ba-

hasa Melayu sebagai bahasa dewa-dewa mereka. Oleh 

karena itu berbicaralah dengan bahasa yang membuat 

anda seperti dewa!" si cantik itu mengajari.

"Baiklah, kepala suku! Apakah yang harus ku-

perbuat sekarang? Apakah anda akan memerintahkan 

anak buah anda untuk membuatku jadi sate?" tanya 

Parmin. 

"Tentu saja tidak! Malah aku sangat membu-

tuhkan anda. Kita bisa saling membantu! Ketahuilah, 

aku dengan mudah mempengaruhi mereka, termasuk 

pemimpin agama suku yang berdiri di sampingku, ini!" 

katanya sambil menunjuk seorang lelaki hitam yang 

sejak tadi menunjukkan tampang angkernya sebagai 

seorang yang sangat berpengaruh setelah keberadaan 

sang kepala suku.

"Baiklah, apa yang harus kuperbuat?"

"Sebagai orang Timur, anda pasti punya keah



lian dalam ilmu-ilmu aneh! Nah, tunjukkanlah kepada 

mereka suatu keajaiban yang mempesona! Dengan be-

gitu mereka lebih percaya bahwa anda adalah utusan 

dewa!"

"Baiklah!" jawab Parmin memakluminya.

Untuk beberapa saat suasana menjadi hening 

namun menegangkan. Tiba-tiba tali yang melilit tubuh 

pendekar muda itu putus. 

Laksana Bhatara Bayu yang sedang murka da-

lam pewayangan, Parmin mendemontrasikan jurus 

'Wahyu Taqwa' suatu jurus yang maha dahsyat. Dia 

melangkah ke tengah lingkaran orang-orang hitam itu 

berdiri, lalu kedua kakinya dibuka untuk membentuk 

kuda-kuda. Setelah itu dia me-narik nafas dalam-

dalam dan mengeluarkannya berbarengan dengan ke-

dua tangan yang terletak di atas pinggang. Hembusan 

angin mendadak keluar dari kedua telapak tangannya, 

diikuti bunyi gemerincing ran-tai besi yang masih 

membelenggu. Hembusan angin kencang itu membuat 

debu-debu berhamburan ke angkasa, daun-daun ron-

tok dari dahannya. Pohon-pohon terangkat dan tum-

bang. Binatang-binatang keluar dari tempat persem-

bunyiannya, bangunan ambruk seketika serta para 

pengawal yang berada di arena upacara itu berjumpali-

tan, sehingga membuat kepala suku cepat bertindak.

"Hentikan!! Cukup...!! Anda cukup hebat untuk 

menjadi seorang dewa!"

Setelah pertunjukan kehebatan utusan dewa 

usai, kepala suku segera berbicara kepada rakyatnya 

dalam bahasa suku tersebut.

"Rakyatku! Menyembahlah kalian! Orang yang 

kalian tangkap ini ternyata utusan dewa!"

Bagaikan tonggak-tonggak kayu yang roboh ter-

tiup angin, rakyat suku primitif itu segera menjatuh-

kan diri seketika, dan berlutut di hadapan Parmin un

tuk me-nyembah. Parmin melihat perlakuan seperti itu 

menjadi rikuh dan menahan rasa geli dalam hati.

Setelah memberi aba-aba kepada rakyatnya un-

tuk berdiri kembali, sang kepala suku menoleh ke arah 

Parmin sambil berkata:

"Akan kami sediakan tempat tinggal untuk an-

da di sini. Nanti malam, aku mengundang anda untuk 

bertukar pikiran serta mengenal riwayat masing-

masing!" Parmin mengangguk tanda setuju, tetapi di-

am-diam Jaka Sembung merasa risih berdekatan den-

gan seorang wanita muda bangsa asing dengan tubuh 

nyaris telanjang saja yang ditutupi dengan hiasan be-

berapa batok kerang besar dililit oleh seuntai tali seba-

gai pengikatnya.

***


DUA



Matahari kian condong ke arah Barat dan hi-

lang ditelan awan yang berwarna kemerahan. Rakyat 

suku primitif itu mulai memasuki tempat tinggal mas-

ing-masing dan sebagian lagi berjaga-jaga di setiap su-

dut halaman dengan senjata tombak dan panah. Sinar 

matahari tak terlihat menembus sela-sela pohon, per-

tanda hari mulai berganti malam. Para penjaga pun 

menyalakan api unggun untuk pemanas dan peneran-

gan perkampungan mereka.

Tak seberapa jauh dari tempat kediaman kepa-

la suku, tampaklah seorang pemuda tampan yang tak 

lain adalah Parmin si Jaka Sembung sedang merebah-

kan diri di atas kasur yang terbuat dari tumpukan ijuk 

dan rumput ilalang. Sebagai seorang pendekar yang 

beriman, Parmin tak melupakan kewajibannya untuk


menunaikan Sholat Maghrib. Walaupun tak terdengar 

suara adzan dan beduk, Parmin bisa mengirakan ka-

pan waktu Maghrib tiba.

Ia segera bangun dari istirahatnya dan lang-

sung mempersiapkan keperluan Sholat. Kemudian 

Parmin keluar untuk berwudlu. Ternyata ia mendapat 

kesulitan untuk mencari air, maka terpaksalah ia me-

lakukan tayammum dengan pasir halus yang cukup 

bersih di halaman tempat tinggal.

Parmin menunaikan Sholat Maghrib. Tak lama 

kemudian Parmin duduk tafakur seraya berdo'a sambil 

mengangkat kedua belah tangannya yang masih terbe-

lenggu rantai besi. Rantai buatan serdadu kompeni Be-

landa yang sulit untuk dibuka.

"Ya Allah! Semoga Kau selalu memberi petunjuk 

dan bimbingan kepada hamba-Mu, semoga pula kau 

selamatkan kawan-kawan seperjuanganku... Amin ya 

Robbal Alamin!"

Sesaat kemudian....

"Sekarang aku perlu keterangan dari wanita 

kulit putih itu," pikirnya dan langsung bergegas untuk 

menemui kepala suku di tempat tinggalnya yang terle-

tak di seberang tempat tinggalnya.

Belum jauh dia melangkah, tiba-tiba dia men-

dengar suara wanita dari arah rumah kepala suku.

"Auww...!!"

Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya 

Parmin melompat. Secepat kilat ia telah menjajakkan 

kaki di pintu masuk rumah kepala suku dan...

"Terlambat!" keluhnya.

Setelah melihat kepala suku tak ada di tempat, 

Parmin langsung melihat-lihat keadaan sekeliling 

ruangan singgasana itu, dan apa yang terjadi, para 

pengawal kepala suku juga sudah terbunuh semua.

Mereka bergelimpangan di sekitar kursi singga


sana dan pintu kamar kepala suku dengan tubuh han-

gus di bagian dada. Setelah menyapu pandang ke selu-

ruh pelosok ruangan, tiba-tiba matanya melihat ke su-

atu tempat yang terlihat porak poranda.

"Hmm, ternyata mereka menjebol dinding terle-

bih dahulu, kemudian menculik kepala suku... Kalau 

begitu aku harus segera mengejarnya!" pikir Parmin.

Parmin segera berkelebat dari ruangan singga-

sana kepala suku langsung ke dalam hutan dengan 

melewati jebolan dinding itu. Ia sengaja mengambil ja-

lan menerobos ke semak-semak belukar, agar dirinya 

tak diketahui orang lain. Baru saja akan melanjutkan 

perjalanannya, mendadak dia melihat sesosok bayan-

gan yang melintas di hadapannya. Dengan cepat Jaka 

Sembung menyergap bayangan tadi.

Ternyata.... 

"Heh, kau panglima suku, bukan? Apa yang te-

lah terjadi dengan kepala suku mu, Awom?" tanya 

Parmin tak sabar. 

Baru saja akan dijawab, serta merta...

"Chraaaa!!" Sebuah serangan mengancam di-

rinya sehingga Jaka Sembung harus berkelit...

"Minggir!!" teriak Parmin sambil mendorong tu-

buh panglima suku agar menjauh dari bahaya, se-

dangkan kakinya menggaet kaki penyerang gelap tadi. 

Maka tak ayal lagi si penyerang terhuyung-huyung ja-

tuh menghantam pohon besar di hadapannya. Tetapi, 

dia cepat bangkit untuk menyerang.

Dengan buasnya dia menyerang dari menghan-

tam Parmin. Untunglah Parmin bergerak cepat, kalau 

tidak apa yang akan terjadi pada dirinya tentu sangat 

fatal. Dapat dibuktikan bahwa serangan yang dahsyat 

itu menghantam sebuah pohon besar di belakangnya. 

Cengkeraman tangan lawan membuat pohon itu som-

plak dan tumbang seketika. Sekilas Parmin dapat me


lihat wajah lawannya bertopeng tengkorak dengan ke-

pala bertanduk dan bersurai terbuat dari ijuk.

"Gila...!! Hem, aku yakin, dia pasti bukan orang 

sembarangan dan jurus-jurus silatnya seperti kuken-

al," gumamnya.

Penyerang gelap itu tak memberi ampun terha-

dap Parmin, dia menyerang dengan membabi buta, se-

hingga pohon-pohon banyak yang tumbang dan debu 

serta kerikil berterbangan ke udara terhempas oleh te-

naga dalam yang luar biasa. Dengan menjatuhkan diri 

dan berguling-guling, Parmin dapat menghindari puku-

lan maut yang dapat menghanguskan apa saja. Tetapi 

di luar dugaan, serta merta penyerang gelap tersebut 

berkelebat pergi.

"Eh, dia pergi...? Mengapa dia lari? Kurasa aku-

lah yang kalah bila pertarungan tadi dilanjutkan," pikir 

Parmin. Belum lagi habis herannya, dia dikejutkan 

oleh sesuatu yang ditinggalkan oleh lawannya tadi di 

atas tanah. "Heh! Bekas telapak hitam, dan rumput-

rumput sekitarnya terbakar hangus? Sebuah pukulan 

yang tak asing lagi bagiku," gumamnya.

Setelah dirasakan aman, Parmin menyuruh ke-

luar sang panglima suku dari tempat persembunyian-

nya di balik semak belukar.

"Keluarlah tak ada bahaya lagi!"

Panglima suku bergegas dan menghampiri Par-

min. "Lantas ke mana kita mencari kepala suku? Bisa-

kah kau memberi petunjuk padaku?" tanya Parmin 

dengan bahasa Melayu diiringi dengan gerakan-

gerakan tangan sebagai bahasa isyarat.

Dengan susah payah panglima suku mencoba 

mengerti maksud Parmin, lalu dengan susah payah 

pula ia memberi keterangan dengan bahasa isyarat.

"Hm, ya... ya! Aku mengerti sedikit-sedikit mak-

sudmu! Kepala suku diculik oleh suku Papua yang


bertubuh kerdil, bukan?"

"Baik, mari kau tunjukkan tempat tinggal suku 

Papua kerdil itu," pinta Parmin kepada panglima suku 

yang bernama Awom itu.

Namun belum sempat mereka melangkah un-

tuk melanjutkan perjalanan, Parmin melihat wajah 

Awom seperti hendak me-nyatakan sesuatu yang cu-

kup penting. "Ada apa lagi...?"

Dengan gaya yang tangkas dan gesit laksana 

cecak menangkap mangsanya, Awom menjambret sa-

lah satu pohon tanggung yang ada di dekatnya. Dan...

"Hm, dia mencabuti daun-daunnya untuk 

apa...?" tanya Parmin dalam hati.

Dengan isyarat kembali Awom memberi kete-

rangan sambil menunjuk-nunjuk daun-daun yang ba-

ru diambilnya itu. Mengertilah Parmin dengan apa 

yang dimaksud panglima suku.

"Oh, kau bilang daun-daun ini harus kita ku-

nyah agar kita terbebas dari gigitan binatang-binatang 

yang berbisa? Baiklah, ini memang perlu untuk menja-

ga diri, terima kasih!" jawab Jaka Sembung sambil 

mengunyah daun-daun itu. Awom tersenyum senang 

karena melihat utusan dewa mau menuruti sarannya.

***


TIGA



Setelah mengunyah daun-daunan tersebut, 

Parmin dan Awom melanjutkan perjalanannya untuk 

mencari kepala sukunya. Sepanjang jalan mereka 

menjelajahi rimba belantara pedalaman pulau Hitam 

Papua. Suasana sunyi mencekam dalam perjalanan 

tanpa seberkas cahaya pun menerangi langkah mereka. Seringkali kaki mereka tersandung akar-akar po-

hon yang melintang atau terperosok ke dalam lobang 

yang sudah tertutup humus daun-daun kering.

Berkilo-kilo meter jalan setapak dan hutan be-

lantara yang telah mereka lewati. Perjalanan yang san-

gat melelahkan, lapar pun mulai menghantui perutnya. 

Mata Parmin menjelajah ke atas mencari buah-buahan 

untuk mengganjal perut dan sambil bersiap siaga ter-

hadap serangan mendadak atau sergapan binatang 

buas, menjadi santapan segar suku pemakan daging 

manusia kalau mereka lengah.

Separoh perjalanan sudah terlewati. Mereka 

berdua tidak tidur, karena memang kesempatan untuk 

beristirahat tidak ada. Di samping itu pula tempat 

yang aman untuk pelepasan lelah kurang memungkin-

kan. Suhu udara semakin dingin mencekam sampai 

tembus ke tulang sumsum. Sinar rembulan dari ke-

jauhan mulai menipis, lambat laun bergeser ke bela-

han bumi bagian Timur. Suara-suara binatang hutan 

pun mulai terdengar kembali pertanda hari mulai pagi. 

Pagi subuh itu Parmin mengajak Awom beristi-

rahat dan mencari air untuk men-cuci muka dan ber-

wudhu. Tetapi setelah menjelajahi seluruh hutan di 

sekitarnya, mereka tak menemukan air. Akhirnya me-

reka kembali lagi ke tempat semula, tempat yang agak 

memadai untuk menunaikan Sholat Shubuh.

Panglima suku duduk di samping pohon besar 

kemudian Parmin mencari embun yang membasahi 

dedaunan untuk digunakannya sebagai air wudhu. Dia 

berdiri menghadap suatu arah yang ia yakini sebagai 

kiblat. Seraya mengangkat kedua tangannya sambil 

berucap "Allahu Akbar...!", Parmin mulai melakukan 

Takbir.

Awom memperhatikan setiap gerakan Parmin. 

Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati. Dalam hatinya ingin rasanya ia bertanya apa yang sedang dila-

kukan Parmin. Dari berdiri, mengangkat kedua ta-

ngan, berjongkok, duduk lalu berdiri lagi terakhir ten-

gok kanan kiri serta mengusap muka dengan kedua te-

lapak tangannya,

Setelah menyelesaikan suatu rangkaian gera-

kan yang mengherankan bagi Awom, Parmin berdiri 

menghampiri orang berkulit hitam yang sudah menjadi 

sahabatnya itu sambil berkata,

"Kau tentu heran dengan apa yang baru kuker-

jakan tadi... Jika kau menyembah arwah nenek 

moyangmu, maka aku menyembah Tuhan yang men-

ciptakan seluruh alam dan isinya, yang juga termasuk 

menciptakan nenek moyangmu," Parmin berusaha 

memberi keterangan dan pengertian panglima suku 

itu. Namun demikian panglima suku masih keheranan, 

bahkan ia bertanya lebih jauh lagi dengan bahasa isya-

rat perihal Tuhan yang disebut-sebut Parmin sebagai 

penguasa jagad dan isinya. 

"Apakah Tuhannya lebih tinggi dari apa yang 

selama ini mereka sembah?"

"Ya, tentu saja Tuhan pencipta alam ini, lebih 

tinggi dari kekuatan nenek moyangmu atau dewa-dewa 

sekalipun! Dia jauh lebih tinggi...! Baiklah, kelak lam-

bat laun kau akan mengerti! Sekarang mari kita lan-

jutkan perjalanan," jelas Parmin sambil mengajak 

Awom untuk melanjutkan perjalanan.

Beberapa saat kemudian mereka sudah berada 

di tengah hutan belantara. Ribuan pohon-pohon rak-

sasa, tanah berbatu serta sungai-sungai kecil mereka

lewati. Butir-butir keringat telah membasahi seluruh 

tubuh mereka. Akhirnya ketika matahari mulai me-

ninggi, mereka sampai ke sebuah dataran yang indah. 

Mereka melangkah ke arah batu besar yang terletak 

persis di tepi bukit. Di atas batu besar itu Parmin dan



Awom melihat-lihat pemandangan yang sangat menye-

garkan mata. Bukit-bukit tinggi yang ditumbuhi pepo-

honan serta hamparan rumput ilalang, laksana gelaran 

permadani menambah suasana menjadi semakin ber-

tambah asri.

"Indah sekali lembah ini! Pernahkah kau ke si-

ni?" tanya Parmin.

Panglima suku Kaimana tak menjawab sepatah 

katapun, ia hanya mengangguk sambil tersenyum 

bangga dengan apa yang dimiliki negerinya. Setelah 

beberapa saat melihat keindahan perbukitan itu, tiba-

tiba Awom menunjuk ke arah gunung yang menjulang 

tinggi dengan puncaknya yang diselimuti sesuatu ber-

warna putih kemilau. Ia kemudian memberi penjelasan 

kepada Parmin dengan bahasa isyarat.

"Oh, puncak gunung itu kalian nama-kan tem-

pat bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang? Dan 

warna putih menyilaukan di puncaknya itu kalian 

anggap sebagai istana dewa-dewa?" tanya Jaka Sem-

bung dengan hati-hati jangan sampai teman barunya 

itu tersinggung. Parmin tersenyum dan berkata dalam 

hati...

"Hm, sebenarnya hanya salju yang menutupi 

puncak gunung itu. Karena begitu tingginya gunung-

gunung di sini, maka salju itu tak pernah meleleh. Sal-

ju abadi."

Setelah menyaksikan beberapa keindahan dan 

keanehan di sekitar kaki gunung yang berselimut salju 

tebal tadi, Parmin dan Awom melanjutkan perjalanan.

Menjelang tengah hari Jaka Sembung dan Pan-

glima suku memasuki suatu lembah. Perjalanan mere-

ka sudah cukup jauh dari Kaimana tempat yang mere-

ka tinggalkan. Selama di perjalanan mereka saling be-

lajar bahasa masing-masing sambil mencari buah-

buahan apa saja yang dapat dimakan untuk menggan


jal perut yang beberapa hari belum terisi.

"Kau bilang sudah dekat? Baiklah, kita beristi-

rahat sejenak."

Belum lagi mereka sempat merebahkan tubuh, 

tiba-tiba Parmin menangkap gerakan halus dari atas 

pohon yang berada di hadapannya. Lalu apa yang ter-

jadi? Secepat kilat Jaka Sembung mendorong tubuh 

Awom ke samping sehingga luput dari sasaran.

"Awas!!! Hiyaaaat!!!" teriak Parmin dan tubuh 

Awom berguling.

Parmin berusaha sekuat daya untuk menghin-

dari serbuan jarum-jarum yang mengancam. Bukanlah 

si Jaka Sembung bila dia tidak bisa menguasai kea-

daan seperti itu. Dengan ketangkasan luar biasa, mela-

lui keahlian menangkis senjata rahasia yang dimili-

kinya, ia mengembalikan senjata-senjata kecil tadi. Se-

ketika itu pula rontoklah beberapa tubuh cebol dari 

atas pohon termakan oleh senjatanya sendiri yang ter-

nyata berupa paser-paser beracun yang dilontarkan 

dengan sumpitan itu.

"Kedebuk! Gusrak!" Laksana durian jatuh.

"Inikah yang kau maksud dengan suku Papua 

kerdil itu?" tanya Parmin kepada panglima suku.

Belum sempat pertanyaan itu terjawab menda-

dak tubuh kecil lain dari arah yang tidak terduga me-

nyerang dengan gesitnya. Tak dapat dipungkiri lagi 

pertarungan yang tak seimbang segera terjadi.

Tidak kurang dari dua puluh orang cebol me-

nyerang Parmin dan Awom. Mereka tak memberi ke-

sempatan pada keduanya mengatur nafas barang seje-

nak.

Bagaikan binatang yang ganas dan kelaparan 

mereka menerjang dan menerkam dua orang penda-

tang itu. Ada yang menggigit, mencekik dan ada pula 

yang mencakar bagian tubuh Parmin, sehingga baju


yang dipakainya terkoyak.

"Tubuh mereka kecil-kecil, tetapi Masya Allah 

gerakannya lebih tangkas dari monyet..., kita bisa ce-

laka dikeroyok suku kerdil yang ganas ini!" 

Parmin tak tinggal diam, dan tak mau ambil re-

siko. Ia segera mengerahkan tenaga dalamnya, disertai 

teriakan laksana binatang buas Jaka Sembung meng-

kibaskan tangan ke depan sehingga manusia-manusia 

mini itu berpentalan ke segala penjuru. 

"Ayo maju lagi!" seru Parmin dengan sinar mata 

beringas dan mengancam.

Dengan kejadian yang baru saja mereka alami, 

orang-orang kerdil itu nampak ketakutan. Langsung 

saja mereka ambil langkah seribu pontang-panting me-

lintasi semak belukar meninggalkan Jaka Sembung 

dan Awom. 

"Mereka lari! Ayo kita kejar terus, sampai kita 

tahu di mana tempat persembunyian mereka," ujar 

Parmin.

Belum lagi jauh Parmin dan panglima suku 

mengejar, salah seorang dari gerombolan orang kerdil 

itu mengambil sesuatu dari semak-semak pohon diiku-

ti oleh kawan-kawannya. 

"Lihat! Mereka mengambil apa dari balik se-

mak-semak?" teriak Jaka Sembung. "Oh, mereka me-

nuangkan cairan kental dari guci-guci itu! Apakah 

itu?"

Belum sempat Parmin berbuat sesuatu cairan 

itu sudah membanjiri tanah yang berada di hadapan-

nya. Tak ayal lagi begitu Parmin dan Awom menginjak

cairan itu, mereka tergelincir jatuh!

"Ah, licin!!" keluh Parmin kesal.

Sementara Parmin dan Awom bergulat dengan 

cairan tersebut, kesempatan itu tak disia-siakan oleh 

gerombolan manusia kate untuk lari jauh dari kejaran


mereka. Dengan hati dongkol namun kagum Parmin 

berdesis, "Mereka cukup pintar untuk menghalangi ki-

ta!"

Dalam kesempatan itu panglima suku Kaimana 

berusaha menjelaskan cairan apa dan terbuat dari 

apa. Karena dia belum dapat menggunakan bahasa 

Melayu dengan baik, maka ia campur adukkan penje-

lasannya dengan bahasa isyarat.

"Minyak ini terbuat dari getah pohon-pohon 

opak!"

Sambil mengangguk tanda mengerti Parmin 

mengalihkan pandangannya ke arah guci-guci itu 

"Aha, mereka meninggalkan guci-guci itu, salah satu di 

antaranya masih berisi cairan itu. Aku yakin minyak 

ajaib ini berguna buatku."

"Untuk apa?" tanya Awom.

"Nanti kau akan tahu gunanya...!"

Setelah mengambil guci itu, kemudian Parmin 

mencelupkan kedua tangannya yang masih terbeleng-

gu rantai besi sampai sebatas pergelangan. Apa yang 

dilakukan Parmin? Ternyata ia menggunakan minyak 

itu sebagai bahan pelumas untuk melepas-kan beleng-

gu besinya. Ia mengerutkan jari jemarinya dan pelan-

pelan ia mengurut gelang besi yang sudah dilumuri 

minyak yang sangat licin itu. Maka beberapa saat ke-

mudian lepaslah besi sial yang selama ini membuatnya 

repot. "Nah, sekarang lega rasanya! Cukup lama be-

lenggu ini membatasi gerakanku... Sekarang mari kita 

lanjut-kan perjalanan kita! Kita ikuti saja jejak orang 

kate itu!"

***


EMPAT


Setelah merasa tak ada lagi yang mengganggu 

gerakannya, Parmin dan Awom melanjutkan perjala-

nannya. Berhari-hari mereka telah menempuh perjala-

nan. Siang dan malam tanpa mengenal lelah. Dengan 

menelusuri lembah ngarai serta hutan belantara yang 

belum terjamah manusia. Se-lama itu panglima suku 

pun tak henti-hentinya memberi penjelasan mengenai 

berbagai hal yang belum diketahui Parmin, agar pen-

dekar muda itu lebih hati-hati.

Dari Kaimana yang terletak di teluk Etna, kini 

mereka telah sampai di pinggiran Danau Jamur di kaki 

pegunungan puncak Jayawijaya. Sepanjang perjala-

nan, sebagaimana biasa kedua insan itu terus mene-

rus saling belajar bahasa masing-masing. Parmin su-

dah sedikit lancar bahasa suku Kaimana. Mereka me-

lewati bukit-bukit yang menjulang tinggi, terhias ham-

paran pohon yang hijau dan tidak ketinggalan burung-

burung yang indah yang hanya dimiliki oleh pulau Pa-

pua, antara lain burung Cendrawasih yang terkenal 

itu. Ketika Parmin menengadah ke atas dan melihat 

seekor hewan yang sangat indah dipandang mata, ia 

bertanya pada teman seperjalanannya itu. "Burung 

apakah itu? Bulunya indah sekali!" 

"Suku kami menyebutnya burung surga," jelas 

Awom sambil tersenyum bangga.

Parmin coba lebih mendekat untuk menikmati 

keindahan burung itu sambil membunyikan jari jema-

rinya dan bersiul. Burung itu menyambut sapaan 

Parmin dengan membentangkan sayapnya yang berbu-

lu indah, berwarna warni. Jaka Sembung begitu ka-

gum melihatnya dan dalam hati ia memuji kebesaran 

nama Sang Maha Pencipta. Diam-diam pula ia merasa


bangga bahwa sebenarnya kepulauan di kawasan Nu-

santara ini memiliki kekayaan yang sangat berlimpah, 

baik hasil bumi, rempah-rempah maupun flora dan 

faunanya. Seperti kata Awom tentang nama burung 

itu, benarlah bahwa tanah air tercinta ini bagaikan 

surga yang terbentang di katulistiwa sehingga dam-

baan bangsa-bangsa lain untuk menguasai dan memi-

likinya. Terbukti dengan adanya bangsa Belanda yang 

sedang menjajah negerinya.

Tak seberapa jauh dari hutan itu nampaklah 

danau yang dikelilingi bukit-bukit yang menjulang 

tinggi serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret.

"Inilah Danau Jamur! Tempat tinggal suku Pa-

pua kerdil itu, ada di sebelah sana," Awom memberita-

hu Parmin sambil menunjuk ke arah pinggiran Danau 

Jamur sebelah Selatan.

"Kau katakan tempat mereka dekat, tapi astaga! 

Sudah berapa hari kita menempuh perjalanan ini?" 

ucap Parmin yang baru sadar dengan apa yang telah 

mereka tempuh selama ini.

Setelah sekian lama menyusuri pinggiran Da-

nau Jamur, sampailah mereka pada sebuah tempat 

yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Sambil men-

gendap-endap di balik pepohonan, Parmin membuka 

matanya lebar-lebar untuk mengamati segala penjuru 

dan tak lupa bersiap-siap untuk menghadapi segala 

kemungkinan. 

"Awom! Coba kau lihat! Apakah itu?" tanya 

Parmin kepada panglima suku dengan keheranan.

"Nah, itulah perkampungan suku Papua kerdil!" 

jawab Awom.

Parmin melihat pemandangan yang cukup 

aneh. Tampaklah pada cabang-cabang pohon itu ber-

gantungan benda-benda besar seperti sarang lebah. 

Yang tak lain adalah rumah-rumah tempat suku kerdil


bermukim. "Mereka memanjat dengan tang-kasnya se-

perti kera. Mereka adalah suku perusuh yang paling 

ditakuti oleh suku-suku lain," jelas Awom lebih jauh.

Belum lagi sempat memahami apa yang dije-

laskan Awom tiba-tiba Parmin terbelalak melihat seso-

sok manusia yang bertopeng tengkorak dengan surai 

ijuk dan berjubah sedang berdiri di bawah pohon-po-

hon raksasa itu.

"Apakah tidak salah penglihatanku...? Ternyata 

yang berada di sana itu adalah orang yang telah mem-

bokong kita di halaman rumah kepala suku mu," ujar 

Parmin kepada Awom. Awom mengangguk dengan gigi 

gemeretak karana geram.

Parmin berusaha tenang sambil memperhati-

kan apa yang sedang diperbuat orang misterius itu di 

perkampungan suku kerdil ini.

Dengan bahasa yang tidak dimengerti orang 

lain, orang berjubah dan bertopeng seram itu berteriak 

sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak la-

ma kemudian dari dalam sarang tawon raksasa itu, se-

rentak keluar tubuh-tubuh kecil bergelayutan ke ba-

wah. Kemudian dengan cepat mereka membentuk ba-

risan mengelilingi manusia bertopeng itu.

Suasana hening sejenak, lalu tiba-tiba dengan 

bahasa suku Papua kerdil, orang itu menunjuk-

nunjuk ke suatu arah. Dengan serentak mereka berla-

rian menuju tempat yang ditunjuk. Tak lama kemu-

dian mereka kembali membawa sesosok tubuh molek 

yang meronta-ronta dalam usungan mereka.

"Lepaskan aku!! Kau mau bawa ke mana diri-

ku?" teriak si tubuh molek yang ternyata seorang gadis 

berkulit putih dan berambut pirang. Namun teriakan 

itu tak mereka perdulikan.

Beberapa saat kemudian orang itu memerin-

tahkan orang-orang suku cebol membawa gadis bule


ke sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu yang 

memang telah disiapkan di tengah-tengah halaman.

Gadis itu direbahkannya perlahan-lahan di atas 

balai dengan tangan terikat ke belakang. Sang mak-

hluk menyeramkan itu kemudian menghampiri tubuh 

menggiurkan dengan pakaian teramat minim tersebut. 

Orang itu memperhatikan sosok tubuh yang indah mu-

lus di hadapannya sambil beberapa kali menelan ludah 

diiringi tatapan mata penuh nafsu birahi. Tubuh itu 

diraba-raba dari atas sampai bawah, dari pipi, leher 

sampai dada. Berhenti sejenak dan menyingkap penu-

tup buah dada yang besar mengencang itu. Diremas-

nya perlahan-lahan membuat sang gadis bule terus 

meronta dan akhirnya dia memaki sambil menyem-

protkan air ludah ke wajah bertopeng seram itu.

"Lepaskan jahanam!!!"

"Cuihhh!!! Manusia busuk!!"

Betapa kaget dan marahnya orang itu, dengan 

cepat dia meninggalkan tubuh molek itu menggeliat-

geliat dan meronta-ronta berusaha melepaskan tali 

ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia, ikatan itu ter-

lalu kuat buat seorang gadis seperti dia.

Parmin yang sejak tadi mengintai dari kejau-

han, terkejut setelah melihat pemandangan itu.

"Astaga! Itu adalah kepala suku mu, Awom! Dia 

dalam bahaya!" bisik Jaka Sembung kepada Awom 

agar suaranya tak ter-dengar oleh orang-orang kerdil di 

depan-nya.

Jaka Sembung mulai memutar otaknya guna 

mencari akal. Tak lama kemudian, dia berbisik lagi ke-

pada Awom untuk memberi tahu bagaimana cara me-

nyelamatkan gadis bule itu.

"Ssst! Kerjakanlah menurut petunjukku Awom!" 

"Ya, baik!" Awom menjawab sebagai tanda setu-

ju dengan maksud Parmin. Seketika itu juga keduanya


berpencar untuk mencari tempat untuk memulai ren-

cana mereka.

Tubuh molek berwajah cantik itu kini tak ber-

daya terlentang di atas balai sambil menanti apa yang 

akan diperbuat suku kerdil itu terhadap dirinya. Se-

mentara itu orang-orang kerdil yang mengelilinginya 

kini sedang sibuk menumpuk kayu bakar dan ditem-

patkan di balai bambu tersebut.

Manusia misterius itu tiba-tiba berteriak,

"Ambil minyak! Lalu siramkan ke tumpukan 

kayu itu!" 

Secepat kilat orang-orang kerdil itu berlompa-

tan untuk masing-masing mengambil guci yang berisi-

kan minyak dan mengerjakan apa yang diperintahkan 

kepada mereka. 

Setelah beres semuanya orang bertopeng itu 

mengambil sebuah obor yang sedang dipegang oleh sa-

lah seorang suku kerdil, lalu ia lemparkan ke bawah 

balai-balai bambu di mana tumpukan kayu sudah siap 

untuk dibakar.

Kepala suku Kaimana tak dapat berbuat apa-

apa. Karena tubuhnya terikat kuat-kuat pada balai-

balai bambu yang kini mulai terbakar. Gadis itu putus 

asa dan berdo'a sambil memanggil nama ayahnya. 

"Ayah!! Ayah!! Di manakah kau berada, ayah? Apakah 

kita harus berpisah untuk selama-lamanya, oh Tuhan 

tolonglah hambaMu! Aku tidak mau mati sebelum ber-

temu dengan ayahku!"

Api sudah mulai menjalar dan makhluk kecil 

itu berjingkrakan sambil meneriakkan kata-kata sakral 

menurut kepercayaan mereka. Seakan mereka bangga 

dengan apa yang akan mereka persembahkan kepada 

arwah-arwah nenek moyangnya.

Dari semak belukar Parmin tak punya pilihan 

selain harus cepat bertindak. "Aku harus segera ber


tindak sebelum api itu menjilat tubuh gadis kulit putih 

itu!"

Dengan nekad Parmin berkelebat menuju tem-

pat upacara itu. Tapi sayang, sebelum ia sampai ke 

arah tujuan, tiba-tiba makhluk misterius itu menyam-

but tubuh Parmin yang sedang melayang dengan se-

buah tendangan yang telak mengenai dadanya. Tak 

ayal lagi tubuh Parmin terjerembab ke atas balai yang 

mulai dijilat api.

Api mengelegak seakan marah dan ingin mela-

hap korbannya. Tapi Parmin bukanlah pendekar sem-

barangan. Dia dapat bertindak cepat dalam situasi ga-

wat sekalipun. Maka dengan sebuah hentakan, ia 

bangkit dan langsung meraih tubuh gadis itu menjauhi 

balai-balai bambu yang ham-pir roboh karena dilahap 

si jago merah.

"Cepat anda berguling ke dalam belukar! Awom 

akan melindungi anda di sana!"

Tetapi saat itu sang gadis melihat nyala api 

yang membakar baju Parmin. "Aww!! Baju anda terba-

kar," teriaknya.

Tapi sebelum Jaka Sembung berbuat sesuatu, 

mendadak dadanya digedor oleh tendangan keras yang 

menerjangnya. Parmin merintih menahan sakit di da-

danya dan darah segarpun keluar dari mulutnya, se-

dangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.

Dengan sekuat tenaga Parmin menerjang sam-

bil menggaet kaki lawan hingga terjungkal terperosok

ke semak-semak belukar. Kesempatan yang sedetik itu 

ia gunakan untuk melucuti bajunya yang sudah terba-

kar dan siap memasang kuda-kuda untuk menyambut 

serangan lawan berikutnya.

Saat itu gadis kulit putih pun terancam bahaya. 

Tiga orang kerdil datang menyergapnya. Betapa kaget-

nya sang gadis. Tapi beruntung baju yang berkobar api


yang dilepaskan Parmin, tanpa sengaja berhasil meno-

longnya. Tiga tubuh cebol itu terberangus oleh urukan 

baju tersebut, dan si gadis pun lari mencari tempat 

berlindung.

Sementara itu lawan yang bertopeng seram 

yang terjungkal kini sudah bangun kembali dengan 

menggeram siap menerjang dengan seluruh tenaganya 

bertumpu pada tangannya yang berbentuk cakar sin-

ga. 

"Celaka! Ia bersiap-siap hendak melancarkan 

pukulan yang menghanguskan itu?" gumam Jaka 

Sembung dalam hati dengan cemas.

Namun tiba-tiba lawan yang misterius itu ter-

paksa menunda pukulannya karena sebuah rumah 

mirip sarang laba-laba raksasa mendadak dengan de-

ras jatuh ke arahnya. Pada detik kritis itu si topeng se-

ram menyambut benda besar itu dengan sebuah puku-

lan dahsyat.

"Hyaaaaaat...!"

Tak ayal lagi hancurlah rumah-rumah itu ber-

keping-keping. Bersama rumah yang hancur beranta-

kan, melayang jatuh sebuah benda berbentuk cakar. 

Saat itu pula Parmin terkejut.

"Hah?! Tangannya copot?"

Tapi orang seram itu menubruk benda yang 

masih melayang di udara dengan gerakan laksana see-

kor tupai. Kemudian dengan sebuah loncatan lagi dia 

kabur ke dalam semak belukar dan menghilang di sa-

na.

"Heh! Dia menghindar lagi! Agaknya ia sengaja 

mengulur-ulur waktu," umpat Jaka Sembung.

***


LIMA


Baru saja manusia bertopeng yang memimpin 

suku kerdil itu pergi, dari arah belakang Parmin pulu-

han orang suku kerdil menyerang dengan tombak-

tombak mereka. Namun demikian mereka bukan la-

wan tanding Parmin. Sekali hentak, puluhan manusia 

kerdil itu beterbangan laksana kapas ditiup angin. 

Kendati pun demikian mereka tidak jera, bahkan ban-

gun kembali untuk menyerang. Kali ini mereka menye-

rang serentak dengan tangan-tangan yang saling ber-

gandengan seperti anyaman pagar.

"Gila! Mereka benar-benar makhluk kecil yang 

ulet," pikir Parmin.

Usaha mereka tetap sia-sia. Tubuh-tubuh ber-

deret itu kembali terpelanting seperti serentetan bunga 

rampai. Kali ini tubuh itu terpental menjadi santapan 

kobaran api, yang sudah bergelagak menelan balai 

bambu tadi. Seperti kata pepatah hilang satu tumbuh 

seribu, kini yang lain datang lagi menyerang dari arah 

belakang.

Dari arah yang berlawanan datang pula sege-

rombolan dari mereka, namun belum sempat menye-

rang tiba-tiba malaikat penolong datang dengan me-

mutuskan tali-tali pengikat rumah yang banyak berge-

lantungan di dahan pohon-pohon besar itu. Rumah-

rumah yang berjatuhan itu berhasil mengacaukan me-

reka. Ternyata itu adalah ulah Awom sang panglima 

suku.

Kesempatan demikian tak disia-siakan Parmin 

untuk melepaskan sang gadis kulit putih itu dari tali 

yang masih membelenggu tangannya. "Cepat kita lari, 

nona!" ajak Parmin.

Tetapi sebelum melangkah, sekonyong-konyong


Parmin membuka kain sarung yang dipakainya, dan 

menyuruh gadis bule itu menggunakan kain tersebut 

untuk menutupi tubuhnya yang nyaris bugil itu.

"Maaf, keindahan tubuhmu itu akan meng-

ganggu pikiranku, nona."

Baru saja gadis bermata biru itu akan menge-

nakan kain sarung yang biasa digunakan Parmin un-

tuk Sholat, mendadak terdengar suitan yang datang 

dari salah seorang suku cebol. Entah apa yang terjadi 

seketika itu pula terdengar suara gemuruh datang dari 

balik semak belukar. Membuat Parmin terperangah.

"Hah! Suara apakah itu dari dalam hutan?"

Ternyata suara itu adalah suara pasukan kava-

leri suku kerdil yang terdiri dari penunggang-

penunggang burung Kasuari. Pasukan burung Onta itu 

datang sebagai bala bantuan.

Betapa kagetnya Parmin melihat se-rombongan 

laskar pengendara burung ganas itu. Parmin si Jaka 

Sembung mau tak mau harus melindungi kepala suku 

Kaimana dengan menerjang seluruh pasukan itu se-

kuat kemampuannya. Tapi tak urung gadis bule itu 

mendadak diserang oleh salah seekor burung. Untung 

saja Parmin bertindak cepat dan langsung menghajar 

burung itu tepat di batang lehernya, membuat si gadis 

berkulit putih itu lepas dari cengkeramannya. Parmin 

segera menggendong tubuhnya sambil berkata: "Pe-

gang aku kuat-kuat, nona! Kita harus segera lari dari 

sini!!"

Bagaikan sebuah barisan yang rapat, burung 

itu mengurung Parmin dari segala penjuru. Pada saat 

yang sulit itu Awom berusaha membantu Parmin dan 

kepala sukunya. Dari atas pohon Awom menghajar sa-

lah seorang dari mereka dengan tombak. Sayangnya 

tombak yang ada hanya satu-satunya. Namun demi-

kian Awom tak kehabisan akal. Sampailah pikirannya


untuk menggunakan ranting-ranting pohon di sekitar-

nya.

Laksana anak panah yang melesat dari busur-

nya, patahan ranting-ranting itu menembus tubuh-

tubuh cebol. Burung-burung ganas itu pun tak dapat 

mengelak dari serbuan ranting-ranting pohon yang di-

gunakan Awom.

Parmin tak mau membuang-buang kesempatan 

untuk lolos dari serbuan binatang-binatang ganas dan 

liar itu. Dengan sekuat tenaga ia terus berlari sambil 

menggendong gadis bule tersebut. Sementara itu luka 

bekas tendangan makhluk berjubah dan bertopeng 

tengkorak tadi mulai terasa sakitnya, membuat nafas 

Parmin menjadi sesak. Sambil terengah-engah Jaka 

Sembung terus berlari, sedangkan pasukan kavaleri 

yang masih tersisa terus memburunya.

"Mereka mengejar kita!" teriak kepala suku 

Kaimana dengan cemas. Pasukan hampir mendekat, 

mereka memburu Parmin dengan kecepatan penuh. 

Karena beban yang ia gendong dan pernafasannya 

yang mulai sesak itulah, Parmin dengan mudah dapat 

dikejar.

Awom yang saat itu masih berada di atas pohon 

sempat melihat kesulitan yang dialami Parmin. Dia be-

rusaha turun untuk membantu meringankan beban 

dengan mengambil alih gendongannya. Laksana mo-

nyet yang turun dari atas pohon, Awom bergelayutan 

pada akar pohon untuk mencapai tempat di mana 

Parmin berada.

"Berikan kepala suku padaku! Aku masih 

punya banyak tenaga," pintanya kepada Jaka Sem-

bung.

Belum lagi terjadi timbang terima, tiba-tiba ba-

haya lain yang tak kalah gilanya menghadang mereka 

dari depan.


Ternyata yang datang itu serombongan babi hu-

tan yang sangat buas menuju ke arahnya. Taring-

taring yang runcing dari binatang itu cukup membuat 

orang bergidik melihatnya.

Karena dari dua arah yang berlawanan bahaya 

mengepung, Parmin, Awom dan gadis bule itu terjepit. 

Kepala suku Kaimana itu cemas, namun Parmin beru-

saha sedapat mungkin menghibur hatinya. "Aww!! Ba-

gaimana kita kini!" 

"Tenanglah! Kita pasti selamat dan dapat keluar 

dari bahaya ini! Bismillah...." Disusul dengan teriakan 

keras Parmin mengajak Awom untuk melompati bari-

san celeng-celeng yang menyerbu. "Loncat Awom!! 

Hiyaaaaat!!" Bagaikan mendapat suatu dorongan te-

naga baru Parmin dan Awom meloncati gerombolan 

babi hutan itu. Maka apa yang terjadi sesudahnya ada-

lah suatu tubrukan masal antara gerombolan babi hu-

tan dan laskar burung Onta. Hukum rimba benar-

benar berlaku di sini, siapa yang kuat mereka yang 

menang. Korban pun berjatuhan. Tak sedikit dari 

orang-orang kerdil itu habis tergilas oleh babi hutan.

Amanlah sudah bagi Jaka Sembung dan ka-

wan-kawannya. Mereka benar-benar dapat menarik 

nafas lega.

Di tempat yang jauh dari keganasan penghuni 

hutan belantara, Parmin mengajak mereka beristira-

hat. Di tepi Danau Jamur itu mereka merebahkan diri 

dengan terengah-engah.

"Kita berhenti dulu di sini, Awom!! Nafasku te-

rasa sesak dan mau putus!!"

"Uuuh, sungguh mengerikan," keluh gadis bule 

itu.

Nafas mereka laksana tersekat di tenggorokan 

dan keringat jatuh bercucuran. Seluruh sendi tubuh 

terasa lemas.


"Tuhan telah menyelamatkan kita, saudara 

Parmin! Untunglah benda ini selalu berada dalam 

genggamanku!" gadis itu berkata sambil mengeluarkan 

sesuatu dari balik rambutnya yang pirang itu.

"Apakah itu...?" balas Parmin.

"Salib suci! Yang selalu mengusir anasir-anasir 

jahat yang selalu mengancam jiwaku di pulau Hitam 

ini."

"Kau tampak terluka... Dadamu sakit?"

Sambil berdiri dan menuju ke pinggir Danau 

Jamur, Parmin berkata: "Tak apa-apa nona! Aku akan 

berusaha untuk pulih kembali."

Gadis bule dan panglima suku bingung dengan 

sikap Parmin yang tenang seakan tak terjadi apa-apa 

terhadap dirinya.

Setelah menuruni tepi danau, Parmin langsung 

membasahi mukanya dengan air itu. Jaka Sembung 

mengangkat tangannya untuk berkonsentrasi, lalu per-

lahan-lahan ia memejamkan kedua matanya dengan 

mengucapkan kalimat do'a di dalam hati.

"Bismillahir Rahmanir Rahim, atas kekuasaan 

ya Allah berikanlah kepadaku kesembuhan melalui 

kekuatan dalam tubuh-ku...."

Setelah berucap dalam hati Parmin mulai me-

musatkan tenaga dalamnya ke arah dadanya sendiri. 

Inilah jurus 'Hening Cipta' sebuah jurus yang mengu-

tamakan konsentrasi diri untuk penyembuhan. Si ga-

dis pun terpukau melihat kehebatan Jaka Sembung. 

Diam-diam dia memuji kehebatan pendekar muda itu.

"Memang banyak sekali keajaiban yang kute-

mui di belahan dunia sebelah Timur ini." 

Beberapa saat Parmin mengheningkan cipta. 

Setelah ia merasakan tubuhnya normal kembali, sedi-

kit demi sedikit ia membuka kedua matanya sambil 

mengucap: "Al-Hamdulillah...."


Dengan gembira gadis berambut pirang itu 

menghampiri Parmin yang sudah segar kembali. Den-

gan pancaran mata yang ceria gadis itu menyapa Par-

min. 

"Anda tampak segar kembali! Sungguh menak-

jubkan!"

"Tak usah heran nona! Cuma pengobatan tradi-

sionil! Bangsa kami memang belum mengenal cara pe-

nyembuhan seperti bangsa-bangsa barat! Oleh karena 

itu kami hanya dapat menggunakan cara ini!" 

"Tubuh manusia adalah bentuk kecil dari alam 

semesta ini, hampir semua zat-zat yang ada dalam 

alam terdapat pula dalam tubuh kita. Dengan latihan-

latihan tertentu kita bisa mengerahkan zat-zat dalam 

tubuh kita sendiri untuk menolak zat-zat yang akan 

merusak tubuh," Parmin berusaha menjelaskan kepa-

da kepala suku Kaimana itu agar ia dapat memahami 

secara rasional.

Untuk sementara kita tinggalkan dulu mereka 

yang sedang bercakap. Kita ikuti ke mana larinya ma-

nusia bertopeng seram yang selama ini telah bertindak 

sebagai kepala suku Papua kerdil itu.

Dari kejauhan nampak sosok bayangan tubuh 

tersebut lari tungang-langgang dan terhuyung-huyung, 

kelihatannya dia terluka dalam.

Sosok bayangan itu tak lain adalah kepala suku 

Papua kerdil. Dengan sangat kesal dia memaki dirinya 

sendiri,

"Gagal lagi...! Saatnya memang belum tepat, 

aku terlalu terburu-buru! Luka-luka dalam tubuhku 

belum sembuh betul, inilah yang menghalangi gera-

kanku!"

Sambil terus memaki dirinya, kepala suku Pa-

pua kerdil itu meneruskan perjalanannya menembus 

semak belukar. Namun pada suatu saat di bawah po


hon yang rindang, ia merasakan nafasnya sesak dan 

seketika itu juga darah beku berwarna hitam kental 

keluar dari mulutnya.

"Darah! Lukaku berdarah lagi! Mungkin karena 

aku terlalu banyak bergerak dan mengeluarkan tena-

ga, tapi aku penasaran kalau belum mengenyahkan 

dia!" Cakar singanya menghantam tanah sebagai pe-

lampiasan.

Kita kembali lagi pada Parmin. Gadis kulit pu-

tih itu sedang menceritakan riwayatnya.

"Aku bersama ayahku Van Boerman dan pende-

ta Jorgen mengemban tugas missionari dari Gereja Ka-

tholik untuk daerah Timur Jauh!"

"Kami bertolak dari negeri Belanda pada awal 

musim semi menyusuri pantai Selatan Eropa, Timur 

Tengah, menuju tujuan perjalanan kami yaitu Nusan-

tara. Ayahku bekerja pada biro perjalanan untuk misi 

Gereja, dan hampir seluruh waktunya ia baktikan ke-

pada kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus Kris-

tus. Sampai di Batavia, Pemerintah Kompeni Belanda 

menugaskan kami untuk melanjutkan misi ke pulau-

pulau bagian Timur Nusantara ini yang penduduknya 

rata-rata masih primitif dan kanibalis. Apapun yang 

akan terjadi aku sudah membulatkan tekad untuk tu-

rut serta walau bahaya mengancam jiwa sekalipun."

"Aku mencintai tugas suci dan mulia itu. Kare-

na Yesus Kristus juru selamat bagi seluruh umat ma-

nusia. Dengan kasih sayangNya Ia mencari dan menye-

lamatkan domba-domba sesat menuju jalan terang!"

"Tetapi untuk menempuh jalan Tuhan memang 

sangat berat. Berbagai rintangan selalu merintangi dan 

menghadang. Kami harus menghadapi perompak-

perompak laut yang ganas di perairan pulau Celebes 

dan Halmahera. Berkat lindungan Tuhan serdadu-

serdadu pengawal kami selalu berhasil menyikat habis


setiap rintangan itu. Namun dari semua yang paling 

dahsyat adalah bahaya alam."

"Kapal kami tak kuasa menahan dan melawan 

badai yang mengamuk di sekitar laut Banda dan Ara-

fura. Kapal kami hancur berkeping-keping. Aku tak in-

gat lagi apa yang terjadi setelah itu, hanya Tuhan jua-

lah yang menyelamatkan hambaNya. Di kala aku si-

uman, aku telah berada di pantai sebuah pulau... tapi 

aku seorang diri! Lalu aku bertanya dalam hati, ya Tu-

han ke mana pendeta Jorgen dan ayahku? Bagaimana 

nasib mereka...? Setelah sekian lama aku tergolek tak 

sadarkan diri, ternyata kuketahui bahwa aku terdam-

par di Kaimana di sebuah teluk yang indah. Teluk Et-

na."

"Sampai akhirnya aku diketemukan oleh pri-

bumi Pulau Papua ini dan untung sekali mereka bu-

kan suku pemakan daging manusia. Justru mereka 

menganggapku sebagai manusia dari langit yang ditu-

runkan untuk mereka dan mengangkat ku sebagai ke-

pala suku."

"Apa mau dikata, barangkali nasibku memang 

demikian. Maka akupun menurut saja dengan apa 

yang baik menurut anggapan mereka. Mereka domba-

domba sesat. Oleh karena itu harus diselamatkan."

"Suku pribumi Kaimana bukan suku Kanibalis. 

Tapi mereka memuja arwah nenek moyang, sejenis 

Animisme. Mereka memajang tengkorak-tengkorak le-

luhur sebagai maskot penolak bala."

"Setiap saat aku berdo'a kepada Tuhan dan 

berharap selalu pada suatu saat aku dapat merubah 

kepercayaan suku Kaimana menuju kepada ajaran 

Tuhan! Demikianlah riwayatku kenapa aku berada di 

pulau ini."

Setelah beberapa saat bercerita, gadis bule yang 

bernama Yulia itu melanjutkan pembicaraannya,


"Aku selalu berdo'a untuk keselamatan pendeta 

Jorgen dan ayahku Van Boer-man!" ungkapnya.

"Saudari Yulia, sangat kuhargai perjuangan 

dan pengabdianmu terhadap agama. Semua agama 

baik. Nabi Isa adalah Rasul Allah juga. Satu di antara 

dua puluh lima Rasul yang diturunkan Allah untuk 

umat-Nya di dunia ini! Anda dapat membimbing mere-

ka perlahan-lahan!" Jaka Sembung memberi semangat.

"Akupun sangat menghargai perjuangan bang-

samu yang tertindas saudara Parmin!" timpal Yulia.

Parmin agak tercengang mendengar perkataan 

Yulia. Ternyata gadis ini mempunyai rasa simpati ke-

pada bangsanya yang sedang tertindas. "Syukurlah ji-

ka anda mengerti jeritan bangsaku!" jawab Parmin 

sambil menatap dalam-dalam mata biru Yulia.

"Aku berbicara atas nama kemanusiaan, terle-

pas dari rasa kebangsaanku sebagai gadis Belanda. 

Aku berdo'a semoga bangsamu segera terlepas dari be-

lenggu penjajahan!" ungkapnya sambil memandangi 

ketampanan Parmin. Pemuda itu tampak begitu tam-

pan apalagi bulu-bulu halus tumbuh meremang di wa-

jahnya yang belum sempat bercukur itu.

Setelah cukup lama mereka saling bertukar pi-

kiran ditemani panglima suku Kaimana yang belum 

banyak mengerti bahasa melayu. Akhirnya mereka 

bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Parmin 

berdiri sambil berkata, "Sekarang marilah kita te-

ruskan perjalanan! Insya Allah aku bisa membantu 

mencari ayahmu dan pendeta Jorgen!" 

Setelah istirahat secukupnya mereka melan-

jutkan perjalanan ke arah Timur meninggalkan Danau 

Jamur.


ENAM



Berhari-hari mereka meneruskan perjalanan 

menjelajahi pedalaman hutan Papua. Di tengah perja-

lanan mereka bercakap-cakap sekedar untuk menghi-

langkan ketegangan dan rasa jenuh selama perjalanan 

panjang dan melelahkan itu.

"Ke mana kita mencari?" tanya Yulia.

"Kita jumpai saja setiap suku di pulau ini. Sia-

pa tahu ayahmu dan pendeta Jorgen ada di sana men-

jadi tawanan mereka!" ucap Parmin menduga-duga.

Baru saja mereka akan melanjutkan perjala-

nan, Yulia melihat burung Onta melintas di hadapan 

mereka.

"Parmin burung-burung Onta itu mengejar kita 

kembali!" teriak Yulia.

"Hah?!" Parmin berdesis.

Baru saja Parmin dan Awom akan bertindak, 

mendadak panglima suku itu melihat sesuatu keganji-

lan. Seraya berkata,

"Tapi itu bukan dari pasukan orang-orang ker-

dil! Dan lihat ada apakah itu? Asap bergulung-gulung 

ke udara!"

Benarlah apa kata pemuda suku Kaimana itu, 

terlihat kepulan asap dari arah hutan.

"Oh! Hutan terbakar!" teriak Parmin memasti-

kan.

Betul juga dugaan Parmin. Berpuluh-puluh bi-

natang hutan berhamburan seperti terkuras dari tem-

pat persembunyiannya masing-masing. Kasuari, Bu-

rung Cendrawasih, Babi hutan dan lain-lain bercam-

pur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan mereka, 

yaitu menyelamatkan nyawa masing-masing dari jila-

tan api yang mengejar dengan cepat. Binatang-

binatang itu tak memperdulikan apapun kecuali 

menghindar jauh-jauh dari ancaman maut yang hen


dak merenggut.

Laksana kiamat, api melahap hutan belantara. 

Angin bertiup kencang membuat api itu merambat ce-

pat sekali. Pepohonan tumbang, rumput-rumput han-

gus terbakar. Saat itu udara panas sekali bagaikan di 

dalam neraka. Jeritan binatang-binatang hutan me-

nimbulkan kebisingan hingga membuat panik ketiga 

orang itu.

Parmin, Yulia dan Awom berusaha mencari 

tempat berlindung sementara.

"Kita harus segera lari sebelum api sampai ke 

mari!" teriak Awom. Belum lagi Awom bertindak, Par-

min berteriak,

"Jangan lari mengikuti arah binatang-binatang 

itu, Awom! Angin bertiup sangat kencang! Kita akan 

kalah cepat oleh api!"

"Api telah dekat sekali apa yang harus kita per-

buat?!" tanya Awom kepada Parmin dengan tak sabar 

lagi.

"Cari tempat yang agak lowong! Kita terobos api 

itu!" jawab Jaka Sembung tegas.

Sebelum itu Parmin menyuruh mereka agar 

menggunakan daun-daunan sebagai pembungkus ka-

ki.

"Cepat kita bungkus dulu telapak kaki kita 

dengan daun-daun yang segar! Cepat Awom, bantu ke-

pala suku mu!" pinta Parmin kepada Awom.

Pemuda Papua ini cepat tanggap dan bergegas 

membantu kepala sukunya mengikatkan daun-daun 

segar sebagai alas kaki sambil mengendap-endap, 

mencari tempat lowong di tengah-tengah amukan api, 

akhirnya Parmin menemukan tempat yang di-carinya. 

Sebuah celah di antara kobaran api yang sedang ber-

golak.

"Di tempat itu lowong! Kita harus bergerak ce


pat Yulia, berdoalah!" ungkap Parmin sambil menun-

juk ke arah yang akan mereka lewati.

"Sesaat kemudian mereka berdo'a dengan cara 

mereka masing-masing, Yulia segera menggenggam 

Rosarionya.

"Demi Bapa, Putra dan Roh Kudus... Amin" Yu-

lia mengawali dilanjutkan oleh Awom dengan caranya 

sendiri, sedangkan Jaka Sembung dengan membaca, 

"Bismi-llah...!"

Maka dengan tekad bulat ketiga orang itu me-

nerobos api yang berkobar-kobar dengan ganasnya. 

Dengan sekuat tenaga Parmin menggotong tubuh Yulia 

agar bisa melewati tembok api itu. Dengan sekali hen-

tak dan diikuti Awom, mereka berhasil keluar dari ne-

raka itu.

Teori Parmin memang benar. Di balik tembok 

api yang dahsyat itu terlihat membentang hamparan 

tanah kosong yang ter-diri dari medan abu dan arang, 

bekas hutan yang telah musnah. Mereka tertatih-tatih 

menahan hawa panas dari asap yang masih mengepul 

dari tanah gundul itu. Butir-butir keringat keluar dari 

tubuh mereka. Kulit mereka kebiru-biruan karena 

asap panas dan sengatan matahari yang tepat di atas 

ubun-ubun.

Asap mengepul hitam ke langit, cahaya mata-

hari lenyap ditelan kepulan asap, langit pun keruh di-

buatnya. Angin meniup kencang mendorong kobaran 

api semakin jauh di belakang mereka, sehingga ketiga 

orang itu terbebas dari bahaya api.

"Uu... uh! Panas! Aku tak sanggup!" keluh gadis 

bule itu.

Dia tak tahan dengan panasnya api, kulitnya 

yang putih berubah menjadi merah kebiru-biruan.

"Mari cepat! Sebentar lagi pasti kita terbebas 

dari hawa panas ini," hibur Parmin sambil menggen


dong sang gadis yang sudah tidak sabar.

Sedikit demi sedikit mereka telah cukup jauh 

menempuh dataran abu yang panas itu. Awom sang 

panglima terus mengikuti jejak-jejak Parmin dari bela-

kang, sementara daun-daun pembungkus kaki me-

reka mulai mengering tertembus abu dan arang sisa-

sisa kebakaran tersebut.

Sementara itu dari suatu tempat manusia ber-

topeng menyeringai puas. Pikirnya dengan membakar 

hutan, dia yakin ketiga orang musuhnya yang ada di 

dalam hutan itu pasti sudah hangus dilalap kobaran 

api.

"Ha., ha., ha., ha., ha! Tentu mereka sudah 

mampus diberengus api atau setidak-tidaknya mereka 

sudah tak berbentuk manusia lagi!" si topeng seram 

berkata dalam hati sambil mencampakkan obor bekas 

alat penyulut kebakaran itu.

"Angin kencang di musim kemarau ini telah 

membantuku untuk melampiaskan dendam."

Tapi dugaannya benar-benar meleset, karena 

Jaka Sembung, gadis bule atau panglima suku itu se-

lamat, walau harus menderita luka-luka kecil.

"Kau tak apa-apa, Awom?" tanya Parmin kepa-

da panglima suku.

"Tak apa-apa, hanya terbakar sedikit!" jawab-

nya singkat.

Setelah menempuh perjalanan yang menegang-

kan itu, Parmin mengajak mereka untuk beristirahat di 

tempat yang cukup teduh. Ternyata masih ada sebuah 

pohon yang tersisa dari amukan api karena terletak di 

sebuah dataran yang tinggi. Sambil merebahkan tubuh 

Yulia yang digendongnya itu, dia berkata kepadanya,

"Kuharap kau baik-baik juga, Yulia!"

Sambil mencium Rosarionya dia menjawab,

"Tuhan telah menyelamatkan kita, Parmin!"


Mereka melepaskan lelah di bawah pohon ter-

sebut sambil melucuti daun-daun pembungkus kaki 

mereka. Seketika Parmin dapat memastikan diri sambil 

melepaskan arah pandangannya ke arah kobaran api 

itu, seraya berkata:

"Aku yakin ini perbuatan seseorang untuk 

membunuh kita! Tapi sungguh keji. Untuk membunuh 

dan melenyapkan tiga orang saja harus membakar hu-

tan!"

***


TUJUH


Setelah cukup istirahat, mereka kembali mene-

ruskan perjalanan dengan niat semula mencari ayah 

Yulia dan pendeta Jorgen.

Di bawah teriknya sinar matahari, mereka terus 

melangkah. Suasana sunyi lengang terasa di tengah 

padang abu dan arang tersebut.

Tak seekor binatang pun menampak-kan ba-

tang hidungnya. Tak terdengar siul-an burung. Sege-

nap penghuni hutan seakan berkabung dengan apa 

yang baru saja terjadi. Sengat matahari bertambah pa-

nas karena kini tidak ada lagi pohon-pohon tempat 

berteduh. Rasa gatal dan kering menggerogot kerong-

kongan. Mereka ingin segera menemukan sumber air 

untuk sekedar membasahi kerongkongan. Setelah ber-

jalan cukup lama di ujung tanah gersang kerontang 

itu, akhirnya mereka menemukan sebuah danau.

"Anda lelah, Yulia? Baiklah kita istirahat di sini 

untuk melepas dahaga sambil membersihkan luka-

luka!" ajak Jaka Sembung kepada kepala suku dan 

panglima suku Kaimana. Seakan mengerti situasi,


Awom sengaja memisahkan diri dari pasangan muda-

mudi itu, ia merebahkan dirinya di bawah pohon rak-

sasa yang daunnya lebat serta batangnya sebesar tiga 

kali pelukan manusia.

Yulia turun ke pinggiran danau dan member-

sihkan tubuh serta wajahnya yang telah dicoreng-

moreng abu dengan air danau yang jernih dan sejuk 

itu. Begitu juga halnya dengan Parmin.

"Biarkan kubersihkan luka-lukamu, Parmin!" 

pinta Yulia.

"Tak usah repot-repot, Yulia! Biarlah kulakukan 

sendiri!"

Dengan halus Jaka Sembung menolak, tapi Yu-

lia bergegas menghampiri Parmin dan menggosokkan

air dengan jari-jarinya yang halus ke bagian tubuh 

Parmin yang kotor karena abu.

"Pedih?"

"Tidak!"

Sesaat mereka berdua beradu pandang. Dengan 

matanya yang biru Yulia menatap Parmin. Sinar mata 

gadis itu seakan berusaha menembus bola mata Jaka 

Sembung. Di pihak lain, ditatap seperti itu Parmin 

menjadi rikuh juga.

"Mengapa, Yulia? Kau seperti hendak mengata-

kan sesuatu padaku!" tanya Parmin untuk menghi-

langkan rasa serba salah.

"Parmin...! Oh, aku begitu mengagumimu! Be-

lum pernah aku menjumpai seorang laki-laki segagah 

dan setangkas engkau!"

"Keadaanlah yang memaksa bangsa kami un-

tuk menjadi laki-laki tangkas dan cekatan!" ujar Par-

min coba merendahkan diri.

"Ya, aku mengerti. Karena bangsamu tertindas! 

Tapi pada dirimu kulihat segala-galanya, Parmin! Ga-

gah, tangkas, halus perasaanmu... Dan kulihat kau


sangat taat menjalankan agamamu di saat apapun 

atau di mana pun!" puji kepala suku Kaimana dengan 

nada ketulusan.

"Ah, itu memang sudah kewajiban seorang pe-

meluk agama! Engkau pun setiap saat berdo'a dan 

ta'at kepada agamamu, bukan?"

"Kurasa kau terlalu memujiku... Kita hanya 

bertiga di tengah hutan belantara yang luas dan 

sunyi... Oleh karena itu kau tentu melihatku sebagai 

manusia yang paling hebat!" Parmin tetap merendah-

kan diri

"Tidak, Parmin...! Aku kadang-kadang merin-

dukan seorang pria yang sanggup melindungiku den-

gan segala kesukaran dan keresahanku!"

Belum lagi selesai Yulia berkata. Parmin cepat 

memotongnya, karena Jaka Sembung melihat suatu 

gejala yang tidak ia inginkan dari gadis kulit putih ini.

"Maaf... Jangan kau teruskan kata-katamu, Yu-

lia! Jangan!"

"Kau terlalu baik untukku dan bukan itu saja, 

kau ibarat Musafir di padang pasir yang sedang keha-

bisan bekal air, dan kau belum banyak menjumpai te-

laga!" lanjut Parmin agar Yulia mau mengerti apa yang 

diharapkannya. Namun kenyataannya tidak, bahkan 

Yulia seakan tidak mau tahu terhadap sikap Jaka 

Sembung.

"Oh, tidak! Aku telah banyak melihat telaga te-

tapi tidak sebening dan sesejuk air telagamu!"

Kata-kata Yulia laksana deburan om-bak besar 

yang menghantam onggokan batu karang. Namun batu 

karang yang satu ini keras dan begitu tegar tak ter-

goyahkan, maka ia berusaha menjawab dengan kata-

kata halus dan hati-hati agar si gadis bule itu tidak 

merasa tersinggung. Belum selesai Parmin mengutara-

kan sikapnya, tiba-tiba ia melihat benda-benda kecil


berkilat menukik ke arah Awom. Parmin berteriak 

memperingatinya.

"Awom! Awas!...."

Terlambat, beberapa anak panah yang telah 

melesat dari busurnya itu menancap ke tanah mema-

gari tubuh Awom dengan ketatnya, sehingga membuat 

panglima suku Kaimana itu tak berdaya seakan-akan 

tubuhnya terpatok kuat-kuat di atas tanah.

Nasib yang sama segera dialami pula oleh Par-

min dan Yulia. Anak-anak panah itu bagaikan beleng-

gu yang meringkus tubuh mereka.

Baru saja Jaka Sembung hendak bergerak, ti-

ba-tiba dari semak belukar di sekitar mereka bermun-

culan sekawanan suku Papua yang masih buas den-

gan tombak-tombak yang mengancam. Tetapi dalam 

keadaan seperti itu, mendadak Parmin menghentak 

dengan diiringi kibasan kedua tangannya yang menca-

but anak-anak panah dan sekaligus melemparkannya 

kembali. Anak-anak panah itu berdesing menuju tu-

annya masing-masing.

Mereka menjerit tertahan disusul dengan tum-

bangnya tubuh mereka berguguran ke bumi dan tak 

berkutik lagi.

Awom yang sudah terbebas dari belenggu anak-

anak panah itu tak tinggal diam, dengan meniru apa 

yang diperbuat Parmin dia berhasil menghalau, seba-

gian kecil pasukan penyerang itu.

"Hiyaaaaat...!" Awom begitu cepat menyerap il-

mu Parmin si Jaka Sembung.

Sekali hentak lima orang suku Kanibal yang hi-

dungnya berhias tulang belulang itu ambruk seketika. 

Tak ayal lagi nyawanya melayang oleh anak panah me-

reka sendiri.

Namun baru saja Awom dan Parmin merasa bi-

sa bernafas, mendadak dari atas pohon beberapa


orang suku pemakan daging manusia itu menjerat tu-

buh mereka dengan tali yang terbuat dari akar-akar 

pohon raksasa.

Secepat kilat tubuh Parmin dan Awom terhen-

tak ke atas. Keduanya bergelantung-an dengan kepala 

di bawah. Yulia yang sejak tadi memperhatikan perta-

rungan kedua kawannya, juga tak lepas dari sergapan 

orang-orang buas dan menyeramkan itu.

Dalam waktu yang tak seberapa lama mereka 

sudah tertangkap sebagai tawanan.

Mereka menurunkan tubuh Parmin dan Awom 

yang bergelantungan itu. Lalu setelah tiba di bawah 

mereka segera mengikat keduanya dengan akar-akar 

pohon dan langsung menyeret ketiga orang itu menuju 

ke perkampungan mereka.

Di bawah teriknya matahari mereka diseret ba-

gai binatang hasil buruan.

Beberapa saat setelah menelusuri hutan belan-

tara, akhirnya mereka sampai di sebuah perkampun-

gan. Para penduduknya bersorak ramai menyambut 

kedatangan para pemburunya yang telah datang den-

gan membawa hasil yang tak kepalang tanggung, tiga 

orang sekaligus.

Parmin, Yulia dan Awom segera diikat, masing-

masing pada sebuah tonggak kayu yang terpancang di 

tengah halaman perkampungan suku primitif itu. 

Hari mulai gelap, beberapa wanita penghuni 

perkampungan itu menyiapkan kayu bakar yang telah 

disediakan dan diletakkan di hadapan mereka bertiga. 

Yulia mulai gelisah. Dia menoleh ke arah Awom dan 

Parmin sambil bertanya

"Mau diapakan kita ini, Parmin?"

Dengan tenang Parmin menjawab:

"Sabar saja, kita lihat apa yang akan mereka 

perbuat!"


Kayu-kayu yang tertumpuk mulai dibakar dan 

perlahan-lahan api itu menjalar dan berkobar dengan 

mengeluarkan kepulan asap tebal.

Malam sudah lama turun, api unggun mene-

rangi seluruh perkampungan itu. Di tengah-tengah ha-

laman kini berlangsung upacara yang dimeriahkan 

oleh teriakan gegap gempita. Ada yang menari sambil 

mengitari api unggun yang berkobar-kobar dan ada 

pula yang menabuh gendang, berbaur hingga menim-

bulkan kebisingan.

Para wanitanya pun tak tinggal diam, mereka 

turut memeriahkan upacara dengan menari-nari sam-

bil menambah tumpukan kayu yang mulai habis ter-

makan api. Sebagian laki-laki yang lain duduk bersila

membuat lingkaran di tengah halaman. Sementara itu 

Parmin, Yulia dan Awom terikat kuat-kuat tak berdaya.

Mendadak sorak sorai itu berhenti. Ternyata 

sang kepala suku kanibal berdiri mengangkat kedua 

tangannya tinggi-tinggi dan berpidato di hadapan war-

ganya dengan bahasa mereka, disambut dengan sorak 

sorai dengan riuh rendah.

Setelah sedikit memberi ulasan, sang kepala 

suku duduk kembali sambil mengarahkan jari telun-

juknya kepada Yulia yang terikat di tonggak upacara.

Dengan cepat dua orang yang duduk mengeli-

lingi arena upacara itu bangkit mendekati Yulia, dan 

melepaskan tali belenggu pengikat tubuh gadis-itu.

Parmin bertanya dalam hati:

"Mau diapakan dia, mengapa wanita dulu?" 

Setelah bergumam begitu, dia menoleh ke arah 

Awom seraya bertanya:

"Kau mengerti bahasa mereka, Awom?"

"Ya, sebelum dijadikan santapan, para tawanan 

harus menghibur mereka dulu! Kepala suku Kaimana 

akan diadu dengan jago-jago wanita dari suku ini!!" je


las Awom singkat.

Betul saja, diiringi sorak-sorai, muncullah di 

tengah gelanggang tiga wanita suku Papua kanibal dan 

mengurung Yulia.

Wanita bertampang beringas dengan buah dada 

seperti pepaya dan hanya memakai cawat dari kulit bi-

natang itu agak-nya memang sudah dilatih untuk ber-

kelahi dalam upacara-upacara tradisionil seperti ini.

Dengan hiasan tulang belulang di leher serta 

hidungnya membuat wanita-wanita itu bertambah se-

ram dipandang. Mata Yulia begitu gugup dan tidak ta-

hu apa yang harus dilakukannya.

"Oh, Tuhan apa yang harus kuperbuat, mereka 

hendak merobek-robek tubuh-ku...!"

Dengan garang ketiga wanita itu menyerang Yu-

lia, kukunya yang panjang dan runcing itu siap mero-

bek kulit Yulia yang putih mulus.

Dalam keadaan kritis itu Parmin membisikkan 

kata-kata dari kejauhan.

"Jangan gugup, Yulia! Hadapi dia dengan te-

nang! Ketengangan akan lebih mudah mengatasi sega-

la kesulitan." 

Bagaikan diguyur seember air segar, semangat 

Yulia sekonyong-konyong bangkit kembali, sekarang 

dia telah siap untuk menghadapi serangan ketiga la-

wannya itu.

Yulia tak lupa berdo'a... 

"Aku tidak takut karena Tuhan adalah pelin-

dungku."

Baru saja dia mengucapkan do'a, ketiga lawan-

nya yang ganas itu menyergap Yulia. Parmin dari ke-

jauhan dengan cepat memberi aba-aba:

"Yulia! Lompat ke kiri dan gaet kakinya!"

Yulia mempraktekkan apa yang dikatakan 

Parmin, tak ayal lagi tubuh orang hitam itu terjerem


bab jatuh. Yulia melihat suatu kenyataan yang meng-

gembirakan hati.

"Benar juga kata Parmin, dia jatuh tapi yang 

dua orang lagi bagaimana?"

Ketika Yulia mengamati lawannya yang sudah 

tersungkur, tiba-tiba Parmin berteriak...

"Awas, Yulia!! Ah!"

Yulia tak sempat berbuat apa-apa karena dia 

lengah sehingga dengan mudah tubuhnya disergap 

wanita suku primitif itu. Permulaan terjadi, keduanya 

berguling-guling. Para lelaki yang sedang asyik menon-

ton pergumulan itu mau tak mau diam, mereka berso-

rak sorai memberi semangat kepada jagoan mereka.

"Ayo hajar! Gigit tengkuknya!"

"Patahkan kakinya yang gurih itu!"

Yulia dihajar habis-habisan. Rambutnya dijam-

bak kuat-kuat, sementara tubuhnya tersingkap, se-

hingga pahanya yang putih mulus itu semakin men-

gundang selera mereka untuk cepat-cepat makan dag-

ing manusia. Batang leher Yulia yang jenjang dicekik, 

untuk sesaat nafasnya serasa hampir putus oleh 

cengkraman tangan perempuan hitam itu.

Para penonton gembira melihat jago mereka 

hampir memenangi pertarungan. Namun Parmin tak 

henti-hentinya memberikan petunjuk kepada Yulia.

"Yulia! Jepit pinggangnya kuat-kuat dengan ka-

kimu! Lalu lemparkan tubuhnya ke samping!"

Ucapan Jaka Sembung dipraktekkan lagi. Den-

gan sisa-sisa tenaganya Yulia menghempaskan tubuh 

lawan yang menindihnya itu sehingga tubuh hitam itu 

terpental. Namun Yulia kembali terperangah dengan 

apa yang dihadapi ketika tiba-tiba Parmin berteriak la-

gi,

"Cepat bangkit, Yulia! Awas di belakangmu!"

Terlambat... Kedua tangan hitam yang berkuku



panjang itu telah bersarang di batang lehernya. Yulia 

berusaha berkelit untuk melepaskan cengkeraman la-

wan wanitanya itu. Tapi sepasang tangan wanita hitam 

itu bagaikan terpatri dan sulit untuk dilepaskan.

Yulia merasakan nafasnya semakin sesak. Ke-

ringat bercucuran dari tubuhnya sehingga kulit yang 

putih itu kini berkilat seperti pualam. Di saat-saat me-

negangkan itu Jaka Sembung berontak dan tali-tali 

pengikat tubuhnya putus seketika. Dengan teriakan 

yang membahana ia melompat.

Seketika itu juga orang-orang kanibal yang se-

dang menonton pertarungan men-jadi terperangah ka-

get. Namun panglima suku segera memerintahkan agar 

menghujani Parmin dengan senjata mereka.

Bagaikan kilat, tombak-tombak itu melesat dari 

tuannya. Tetapi dengan cekatan Jaka Sembung me-

nangkis tombak-tombak itu dengan tonggak kayu yang 

dicabutnya. "Jep.....!Jep...!"

Kemudian tonggak kayu itu digunakan Parmin 

untuk menyerang orang-orang kanibal yang mengha-

dangnya.

"Hiyaaaaaaat...."

Tubuh mereka ambruk seketika bersama tong-

gak kayu yang menimpanya. Dengan sigap Parmin 

berkelebat untuk menolong Yulia yang sedang menanti 

saat kematiannya.

Bagaikan binatang buas dan ganas wanita hi-

tam itu tak mau melepaskan tubuh lawannya. Maka 

sebuah tendangan keras dari Parmin mendarat di tu-

buhnya. Dengan jerit keras, tubuh hitam itu terpental 

dan nyawanya pun lenyap seketika. 

Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan. Den-

gan cekatan Jaka Sembung membopong tubuh Yulia 

yang hampir kehabisan nafas, sambil menyarangkan 

kakinya kepada siapa pun yang coba-coba menghalan


ginya. Tak ayal lagi mereka pun ambruk berpelanti-

ngan.

Nasib baik yang menyertai Awom yang sejak ta-

di masih berusaha melepaskan ikatannya, tahu-tahu 

sebilah tombak nyasar memutuskan tali tersebut.

"Bagus!" ujarnya gembira.

Kesempatan baik itu digunakan Awom untuk 

menggunakan balok kayu di hadapannya untuk digu-

nakan sebagai senjata seperti apa yang dilakukan oleh 

Jaka Sembung. 

"Uuuh! Berat betul! Kok tidak kuat?!"

Ternyata balok yang tertancap dalam tanah itu 

tak berhasil diangkatnya. Di saat itu beberapa orang 

suku kanibal datang menyerang Awom yang masih pe-

nasaran ingin dapat mencabut balok kayu tersebut.

"Sial, tonggak ini tak bisa ku bedol...!"

Dalam pada itu serangan telah mengancam ji-

wanya tetapi Awom, dengan cepat membalikkan ba-

dannya menirukan gaya Jaka Sembung.

"Hiyaaaat...!"

Dengan tangan dikibaskan ke samping, kemu-

dian kaki menerjang ke depan menghantam dada la-

wan yang menyerangnya. Tak ayal lagi tubuh-tubuh 

itu terpental jauh dari hadapan Awom untuk tak ber-

kutik lagi selamanya.

"Heh, sekali tepuk tujuh nyawa! Hebat betul!" 

ucapnya bangga dalam hati.

Di saat sedang memandangi tubuh-tubuh la-

wannya yang telah menjadi mayat, Awom melihat seso-

sok bayangan berkelebat dengan bersenjatakan sebuah 

kapak ke arah Parmin.

"Aya, kepala suku kanibal itu hendak membo-

kong Parmin!"

Baru saja kapak itu hendak diayunkan ke ba-

tok kepala Parmin alias Jaka Sembung, mendadak ka


kinya tersangkut. Betapa kagetnya kepala suku itu, 

ternyata yang menggaetnya adalah Awom.

Tak bisa disangkal lagi, tubuh kepala suku ka-

nibal itu ambruk. Ketika ia berusaha bangkit, dengan 

cepat Awom menghantam tubuh kepala suku itu ber-

tubi-tubi dengan tendangan geledek gaya Jaka Sem-

bung yang berhasil ditirunya.

Kepalan tangan Awom yang keras bertubi-tubi 

dihujamkan ke wajah serta sikutnya bersarang telak di 

perut kepala suku kanibal itu.

"Nih, pukulan gaya Parmin! Tiga sekaligus.

"Dan ini tendangan geledek Parmin. Hiyaaaaat!"

Seketika tubuh kepala suku terhuyung-

huyung. Baru saja Awom hendak bertindak lebih jauh,

ia mendengar suatu gerakan orang yang akan membo-

kongnya dengan sebilah tombak.

"Aya, ada yang menyerangku dari belakang!"

Dengan gerakan reflek, kakinya di-ayunkan ke 

belakang menendang tubuh si penyerang. itu. "Gede-

buk!" Tepat bersarang di perut. Orang hitam itu berte-

riak keras karena perutnya mulas, tubuhnya ter-

huyung-huyung menyebabkan tombak yang digeng-

gamnya lepas. Dengan cepat Awom menyambar tom-

bak yang masih melayang di udara, "Tap...!" Awom 

langsung menyarangkan tombak tersebut ke perut la-

wan. Untuk sesaat si pembokong itu berkelojotan me-

regang nyawa, kemudian terkulai tak berkutik lagi. 

Kepala suku yang baru sadar dari pingsannya 

kini bangkit lagi siap menyerang Awom. Dia melompat 

dengan cepat laksana seekor serigala lapar sambil 

mengayunkan kapaknya ke batok kepala Awom. Tapi 

Awom berkelit dengan cepat sambil menangkis seran-

gan lawannya dengan tombak yang baru saja diguna-

kannya.

"Heit!"


Bersamaan dengan patahnya tombak akibat 

hantaman kapak, Awom mengibaskan tangan kirinya 

sambil berteriak penuh percaya diri.

"Masuk...!"

Tak ayal lagi tubuh hitam kelam itu termakan 

patahan batang tombak di tangan Awom, darah me-

nyembur dari lambungnya, dan tubuhnya terhuyung-

huyung ke belakang.

Dengan gemilang Awom berhasil merobohkan 

sang kepala suku kanibal itu. Serentak Awom berteriak 

keras sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seperti 

seekor gorila yang menang bertanding. Hal ini sengaja 

ia lakukan agar anggota suku kanibal yang tersisa 

menjadi ngeri kepadanya.

"Berhentiiiiiiii! Berhenti semua! Kepala suku 

kalian sudah mampus di tanganku!!" teriaknya dengan 

penuh kewibawaan.

Suasana hening sejenak, orang-orang suku ka-

nibal yang sedang mengeroyok Parmin, seketika berba-

lik memandangi Awom seperti tak percaya dengan ke-

nyataan yang terjadi.

""Kalian tak percaya?! Lihatlah ini!" Awom ber-

teriak sambil memperlihatkan apa yang sedang dipe-

gangnya.

Sementara Awom sedang mendemontrasikan, 

Parmin merebahkan tubuh Yulia dari gendongannya 

dan segera menolongnya memberikan pernafasan bua-

tan. Dengan cara meniupkan udara dari mulut ke mu-

lut, Yulia telah siuman.

"Oh...!! lenguhnya dengan lirih.

"Untunglah masih bisa tertolong!" ucap Parmin. 

Tapi agaknya pertolongan darurat itu telah menimbul-

kan kesan dan prasangka lain pada diri gadis Belanda 

ini, kelembutan bibir Jaka Sembung telah membuat-

nya melambung ke alam impian yang sudah lama ia


nantikan. Oleh karena itu begitu siuman, Yulia serta 

merta memeluk tubuh Parmin.

"Oh! Parmin! Aku takut...!!

"Tenanglah, Yulia! Kita selamat!" Jaka Sembung 

berusaha melepaskan pelukan gadis jelita itu. Terasa 

sekali betapa getaran tubuh Yulia seakan menuntut 

kejantanan pemuda yang dikaguminya.

"Bagaimana mungkin kita bisa selamat dari tar-

ing-taring suku kanibal itu?!" tanya Yulia dengan tata-

pan mata menantang.

"Panglima perangmu itu berhasil memenggal 

kepala suku buas itu dan sedang meyakinkan mereka 

bahwa kita utusan dewa!" Benar kata Parmin, Yulia 

mendengar suara Awom sedang berbicara di depan ra-

kyat itu persis seperti gaya Yulia sendiri ketika meya-

kinkan suku Kaimana dulu.

"Biar kulitku sama dengan kalian, aku adalah 

utusan dewa!!"

"Aku adalah dewa hitam! Dewa yang memerin-

tah sekalian binatang di hutan belantara ini! Beliau 

yang itu," sambil menunjuk ke arah Parmin. "Adalah 

dewa coklat yang menguasai bumi yang berwarna cok-

lat ini! Sedangkan yang satu lagi dewa putih yang 

menguasai langit dan awan putih yang bergumpal-

gumpal di atas sana!"

Namun agaknya mereka tidak gampang percaya 

dan puluhan suku kanibal telah mengurung mereka. 

Perhatian mereka ter-utama ditujukan kepada Awom 

yang diang-gap telah memperdayakan mereka.

"Kita cincang!" 

"Kupingnya untukku, disambal go-reng!!"

"Bikin sate!"

Mereka masing-masing berkata sekehendak pe-

rutnya dan segera menyerang Awom dengan ganasnya.

Awom yang memang tak banyak berbuat ba


nyak gelagapan dengan keroyokan orang-orang itu.

"Wah! Celaka aku bisa mampus dibuatnya!!"

Nyawa Awom bagai di ujung tanduk. Di saat 

yang genting itu tiba-tiba Parmin si Jaka Sembung 

bersalto ke udara menuju tonggak kayu yang masih 

terpancang di tengah-tengah arena.

Dengan mengerahkan ilmu yang sangat dah-

syat, dia menghajar tonggak pohon raksasa itu dengan 

menggunakan telapak tangan miring. "Hiyaaaaaaa!!"

Tonggak kayu yang cukup besar itu hancur 

berkeping-keping seperti dibelah kapak dan jatuh ber-

serakan di hadapan mereka.

Parmin tak diam hingga di situ dan dengan 

menggunakan kepingan kayu itu ia mendemontrasikan 

kebolehannya. Maka bagaikan anak-anak panah yang 

melesat dari busurnya, patahan kayu itu menancap 

menghiasi batang-batang pohon raksasa di sekitar ha-

laman perkampungan itu.

Suku kanibal terperanjat melihat kehebatan 

Parmin. Ada yang melotot seakan mau keluar biji ma-

tanya dan sebagian dari mereka ada yang menggigil 

karena ketakutan.

Dalam kesempatan itu Awom berkhotbah lagi 

walau sebenarnya ia masih merasa khawatir apakah 

Jaka Sembung sudah meyakinkan mereka. Tapi kecer-

dikan pemuda Kaimana ini sanggup menguasai kea-

daan.

"He, he., he., he! Apa aku kata? Jangan main-

main!"

Sambil menunjuk ke arah kepingan balok yang 

menancap di batang-batang pohon besar itu dia berka-

ta:

"Coba lihat! Batok kayu yang besar dan keras 

seperti itu saja bisa bobol, apalagi batok kepala kalian 

semua...!"


"Kalian tidak percaya bahwa kami semua ini 

utusan dewa! Ayo kalian bersujud semua! Menyem-

bah!!"

Bagaikan gerak sebuah ombak laut, orang-

orang suku primitif itu menurut apa yang diucap 

Awom, lalu mereka menjatuhkan diri untuk bersujud 

ke hadapan mereka. Pada saat itulah Yulia melihat 

bahwa salah seorang di antara mereka mengenakan 

sebuah rosario.

Suasana sunyi sejenak lalu pada saat itu Jaka 

Sembung menyuruh Awom untuk menanyakan sesua-

tu kepada suku kanibal itu.

"Awom, tanyakan kepada mereka, di mana me-

reka mendapatkan kalung salib itu?"

Spontan Awom bertanya kepada salah seorang 

yang berada di barisan paling de-pan. 

"Dewa coklat berbicara dalam bahasa kahyan-

gan, beliau bertanya di mana kalian mendapatkan ka-

lung orang kulit putih itu!"

Sambil menunjuk ke arah bukit yang menju-

lang tinggi, orang itu berkata:

"Di bukit hulu sungai sebelah Timur!"

Setelah mendapat keterangan Parmin dan ka-

wan-kawannya segera melanjutkan perjalanannya. Yu-

lia meminta Rosario itu dari mereka dan ia segera 

mengenali bahwa kalung salib itu adalah milik ayah-

nya sendiri.

"Cepat! Kita pergi dari sini untuk menyelidiki 

tempat itu," ajak Yulia, Baru saja satu langkah, Awom 

berbalik dan berkata:

"Dewa-dewa mengampuni jiwa kalian! Kami 

akan segera pergi dari sini dan kalian boleh mengang-

kat kepala suku baru!"

"Cepat kita pergi sebelum mereka tahu kita de-

wa-dewa palsu, Awom!" teriak Parmin memberi perin


gatan.

Parmin dan Yulia terus melangkah, sedangkan 

Awom masih penasaran terhadap apa yang baru dila-

kukan Parmin terhadap tonggak kayu yang terpancang 

di tengah arena upacara. Ia segera menghampiri tong-

gak kayu lain yang masih berdiri tegak.

"Hebat sekali.;.! Bismillah," kemudian teriak-

nya, "Ciaaaat...!

Dengan suatu loncatan dan teriakan dia meng-

hajar tonggak kayu itu dengan pukulan telapak tangan 

dimiringkan. Kalau Parmin bisa berbuat begitu karena 

memiliki ilmunya, sedangkan Awom yang hanya meni-

ru-niru, maka akibatnya menjadi sangat fatal, tangan 

itu menjadi bengkak seketika. Dia berusaha menahan 

sakit dan menyembunyikan tangan yang babak belur 

itu ke dalam celah pahanya dari penglihatan orang-

orang suku kanibal sambil cepat berlalu sambil ter-

bungkuk-bungkuk. Orang-orang suku kanibal yang 

sedang memperhatikan mereka bertiga, seketika kaget 

melihat tingkah laku Awom yang konyol tersebut. Me-

reka saling pandang dan bertanya-tanya.

Belum lagi suku kanibal itu mengerti permasa-

lahannya, Awom cepat berkata:

"Uuuh! Kalian jangan heran! Dewa juga kadang 

suka melucu, he., he., he., he!"

Akhirnya sambil berlari dan nyengir nyengir 

bajing menahan sakit, Awom memaki-maki mereka da-

lam bahasa melayu.

"Selamat tinggal kerbau-kerbau dungu!"

***


DELAPAN


Tiga hari sudah mereka meninggalkan perkam-

pungan suku Papua pemakan daging manusia itu. Be-

berapa kali pula mereka beristirahat untuk mele-

paskan lelah. Kadangkala mereka bercerita tentang 

kampung halamannya masing-masing sampai larut 

malam. Mereka tidur secara bergantian. Itu juga kalau 

suasana memungkinkan, atau kadangkala mereka ti-

dak tidur sama sekali.

Pagi itu cuaca cerah sekali, sang fajar mulai 

menampakkan kemilau sinarnya. Binatang hutan ber-

larian hilir mudik.

Pagi berganti siang, matahari mulai bergeser ke 

titik Kulminasinya. Binatang yang pagi hari berkeliaran 

kini tak nampak lagi. Mereka berteduh di tempatnya 

masing-masing dari sengatan matahari,

Nampak Awom dan Parmin yang menggandeng 

tangan Yulia berjalan tertatih-tatih menuruni perbuki-

tan setelah keluar masuk hutan belantara. Dengan su-

sah payah akhirnya mereka di tepi sungai dengan ke-

dua tepinya agak gundul tak terdapat pohon-pohon 

tinggi.

"Ini sungainya!" Awom memberitahu-kan Par-

min sambil menyapu pandang ke tempat yang jauh di 

seberang sana.

"Mungkin bukit di depan itu yang mereka mak-

sud!"

Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan 

perjalanan menuju bukit tersebut. Mereka berputar 

mencari bagian sungai yang agak dangkal untuk me-

reka seberangi. Kira-kira beberapa ratus meter me-

langkahkan kaki, akhirnya mereka mene-mukan ba-

gian sungai yang banyak terdapat batu-batu besar.

Setelah menyeberangi sungai itu mereka sam-

pai di kaki sebuah tebing yang agak terjal. Parmin, Yu-

lia dan Awom naik merambat ke atas dan sampailah


mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.

Mereka terus melangkah sambil mengamati be-

kas jejak-jejak sepatu yang cukup banyak terdapat di 

sana. Tanpa mereka sadari sepasang mata dari balik 

bebatuan mengintai mereka.

"Apakah kau yakin ayahku masih hidup, Par-

min?" tanya Yulia.

"Aku tak bermaksud mendahului keputusan 

Tuhan, tapi firasatku mengatakan demikian, Yulia," 

jawab Jaka Sembung mantap.

Sepasang mata yang mengintai mereka bertiga 

mengarahkan mulut bedil lalu mengokangnya. Parmin 

yang memang sudah terlatih pendengarannya segera 

bergerak untuk bertindak.

"Tiaraaaaap!" teriak Parmin.

Dengan cepat mereka menjatuhkan diri mas-

ing-masing, hingga sebuah timah panas luput dari sa-

saran. Namun demikian orang asing yang di atas sana 

tak cuma sekali memuntahkan pelurunya, bahkan se-

makin membabi buta. "Dar... dor... dor!!"

"Awas, Yulia!" teriak Parmin sekali lagi.

"Auww...!"

Hampir saja Yulia terserempet peluru. Dalam 

situasi seperti itu, Parmin segera mengatur siasat.

"Lari ke sungai, Awom! Cepat!"

Awom melompat sambil berguling-guling menu-

ju ke arah sungai.

Baru saja ia sampai di tepi sungai, sebuah pe-

luru berdesing nyaris menyambar-nya. Untung saja ia 

langsung menjatuhkan tubuhnya ke sungai. "Byur...!" 

Berondong-an peluru bedil itu terus mencecarnya. 

Awom menyelam lebih dalam untuk menghindari ti-

mah panas itu. Ketika merasa tak ada lagi bunyi tem-

bakan, Awom segera menyembulkan kepalanya ke atas 

permukaan air.



Selang berapa lama dia berenang, tiba-tiba ba-

haya yang lebih ganas datang menghadangnya. Awom 

terkejut, binatang yang ternyata ular yang sebesar ba-

tang pisang mendadak melilit tubuhnya.

Pergumulan tak dapat dielakkan lagi. Ular itu 

terus melilit seakan hendak meremukkan tulang-

belulang pemuda kulit hitam ini. Awom mencengkeram 

leher ular dan mencekiknya kuat-kuat. Air sungai yang 

semula tenang, kini bergejolak menimbulkan deburan 

ombak dan gelombang-gelombang air.

Parmin dari kejauhan menyaksikan pertarun-

gan antara hidup dan mati itu.

"Yulia! Awom diserang ular!"

Yulia yang sudah kenal keahlian orang suku 

Kaimana dengan tenang menjawab:

"Biarkan saja! Suku Kaimana terkenal sebagai 

penakluk binatang buas dan berbisa!"

Benar saja apa yang diucapkan Yulia. Kini 

Awom sudah dapat menguasai keadaan. Tangannya 

dengan cekatan memukulkan kepala ular ke sebuah 

batu besar hingga batok kepala binatang reptil itu pe-

cah seketika tak berkutik lagi. Namun baru saja lolos 

dari lobang jarum, beberapa tembakan kini datang 

mengarah kepadanya. Awom berkelit sambil melem-

parkan ular itu ke si penembak gelap yang berada di 

atas bukit.

Ular besar yang masih dalam sekarat itu kini 

segar kembali dan melilit mangsanya. Orang asing itu 

berusaha melepaskan lilitan itu dari tubuhnya. Namun 

usahanya itu sia-sia, bahkan jepitan ular itu semakin 

keras dan masih dapat mematuk tepat mengenai peli-

pisnya, Tak ampun lagi tubuh orang asing itu kaku 

dan ambruk berguling-guling dari atas bukit ke lembah 

tempat Parmin dan Yulia berada.

Parmin dan Yulia menghampiri tubuh itu dan


membalikkannya, ternyata tubuh itu sudah tak ber-

nyawa lagi. Parmin mengamati tubuh orang kulit putih 

itu dan bertanya,

"Apakah itu ayahmu?"

"Kurasa bukan! Pakaian ayahku adalah sera-

gam kelasi!" sahut Yulia.

Sengatan matahari kian bertambah hebatnya, 

apalagi ditambah hawa panas dari dalam bumi yang 

gundul berbatu-batu itu membuat mereka mandi ke-

ringat.

Parmin dan Yulia memanfaatkan kesempatan 

yang ada untuk membasahi tubuh dengan sungai. Se-

gar rasanya setelah terkena siraman air.

Setelah itu Parmin mengajak Yulia dan Awom 

untuk menaiki bukit batu di atas, dengan maksud agar 

mereka lebih leluasa mengamati sekeliling tempat ter-

sebut.

"Coba kita agak ke atas! Dari sana mungkin ki-

ta lebih leluasa melihat ke sekeliling kita!"

Baru saja beberapa langkah mereka menaiki 

bukit, Parmin mendengar suara orang berbicara. Den-

gan berlindung di balik sebuah batu besar, mereka me-

longok ke bawah.

"Sssst!! Coba lihat di bawah sana! Ada dua 

orang asing sedang menggali tanah!" ucap Parmin 

sambil menunjuk ke arah dua orang asing yang dili-

hatnya. Yulia seakan tak percaya dengan apa yang ba-

ru dilihatnya. Dua orang asing dengan pakaian com-

pang-camping sedang menggali tanah, Yulia terus 

mengamati dua orang asing itu yang tak lain adalah 

orang sebangsanya sendiri yang memiliki warna kulit 

sama dan rambut yang sama pula. Sedang mencari 

apa mereka menggali tanah di tempat gersang seperti 

ini! Pikirnya.

Ingin rasanya Yulia memanggil dan berteriak


siapa mereka itu sebenarnya. Baru saja hendak dila-

kukannya, dengan cepat Parmin mendekap mulut Yu-

lia, seraya berkata:

"Tenang, Yulia! Jangan bertindak gegabah! 

Nanti mereka mengetahui kedatangan kita sebelum ki-

ta sendiri menguasai situasi lembah ini," jelas Parmin.

"Oh, maafkan aku, Parmin. Aku sudah tidak 

dapat menahan rindu kepada ayahku!" keluh Yulia.

"Ya.. ya... ya. Aku mengerti perasaanmu, tapi 

bersabarlah sebentar!" pinta Parmin.

Sambil berusaha menenangkan hati gadis Be-

landa itu, mereka juga melihat beberapa orang kulit 

putih dengan pakaian serdadu Kompeni Belanda me-

megang bedil dan bertindak sebagai seperti sedang 

mengawal budak-budak yang sedang kerja paksa. 

"Godverdom zeg! Ayo kerja terus!" bentak salah 

seorang dari mereka sambil menenggak air untuk 

membasahi tenggorokannya.

"Berilah aku minum! Aku haus!" rintih salah 

seorang pekerja sambil memohon agar diberi seteguk 

air untuk membasahi kerongkongan yang kering. Na-

mun permintaannya itu tak dihiraukan oleh serdadu

penjaga itu dan berbalik membentak, "Kerja dulu, baru 

minum!!"

Yulia yang sejak tadi memperhatikan tingkah 

orang yang memegang senjata tak dapat menahan 

emosinya ketika ternyata pekerja yang minta minum 

itu ternyata adalah orang yang selama ini sedang dica-

rinya.

"Oh Tuhan! Itu... Itu ayahku!" teriak Yulia.

Terlambat Parmin mendekap mulut Yulia yang 

terlanjut berteriak memanggil ayahnya. Saking keras-

nya teriakan Yulia, orang-orang berseragam serdadu 

itu ter-perangah dan menoleh ke arah mereka berada, 

"Hei, suara siapa di atas?! Raf!! Rafles?!!" orang bersen


jata itu memanggil nama temannya namun tak ada ja-

waban.

Merasa teriakannya tak dapat jawaban, dia 

sengit dan naik pitam. Sambil mengancam dia mem-

bentak,

"Menyahut atau kutembak! Cepaaaaaaat!"

Baru saja dia akan menarik pelatuknya, tiba-

tiba dia mendengar suara batu-batu yang berguguran 

dari atas bukit.

"Godverdom zeg!" teriaknya.

Ternyata penyebabnya adalah sekumpulan ke-

lelawar yang keluar dari sebuah lobang di atas tempat 

ia berdiri. Terdengar ia memaki lagi dengan bahasa Be-

landa.

Setelah kelelawar itu berlalu, tiba-tiba dia ingat 

kepada temannya yang disuruh ambil air di sungai,

"Godverdom zeg! Lama sekali si Rafles men-

gambil air di sungai!" gerutunya dengan kesal.

Sambil bersungut-sungut matanya berputar 

untuk melihat bukit tandus itu. Tiba-tiba dia menden-

gar percakapan orang yang sedang menggali tanah, 

"Hah?! Apa ini?..,! Huh?! Bongkahan kuning berca-

haya... Tapi bukan belerang!" 

Belum lagi si penggali tanah mengamati te-

muannya, mendadak orang yang bersenjata itu telah 

berada di hadapannya, seraya menodongkan moncong 

senjatanya.

"Hah, apa kau bilang?! Berikan batu-batu itu 

padaku!!"

Ia segera mengamati benda alam yang kekun-

ing-kuningan itu.

"Ha... ha... ha! Ini bongkahan emas! Tambang 

emas! Sudah kukatakan bahwa di sini banyak terdapat 

emas!"

Sambil menendangkan kakinya ke tubuh orang


yang menggali tanah itu, dia dengan kasar memberi-

kan perintah,

"Ayo kerja terus, zeg! Gali lagi biar banyak! Kita 

akan menjadi kaya raya! Ha... ha... ha... ha!"

Saking asyiknya orang itu dengan kegembi-

raannya, dia tak menyadari bahwa beberapa pasang 

mata terus mengintainya.

"Benar itu ayahku!! Sengsara betul keadaan-

nya!" tanpa sengaja Yulia mengeluarkan suara keras 

hingga terdengar oleh penjaga yang bersenjata itu, "Eit!

Ada suara orang dari atas bukit! Aku yakin itu bukan 

suara Rafles!!"

"Jangan-jangan ada yang memata-matai tam-

bang mas kita! Kau tunggu di sini! Aku akan mengon-

trol ke atas bukit!"

Ia terus menaiki bukit sambil mengendap-

endap dan akhirnya sampai tepat di belakang Parmin 

dan Yulia. Dari tempat ketinggian ia bermaksud mem-

bokong para pengintai itu. Baru saja dia mengokang 

dan mengarahkan senapannya ke arah Parmin dan Yu-

lia mendadak dari belakang ada orang yang menyer-

gapnya. Senapan itu pun meletus lepas mengarah ke 

langit yang tinggi, "Dor!" Mendengar suara tembakan 

itu, Yulia dan Parmin membalikkan badan dan ber-

siap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

"Oh, itu Awom di atas! Ia berusaha menyela-

matkan kita!" teriak Yulia.

Awom tak memberi kesempatan orang kulit pu-

tih itu, ia terus memitingnya dengan sekuat tenaga. 

Tapi tubuh besar itu terus-menerus meronta hingga 

Awom tidak bisa mengimbangi lawannya.

"Orang kulit putih ini punya tenaga raksasa, 

aku bisa dibantingnya!"

Saat itu Awom terus berpikir bagaimana cara 

untuk melumpuhkan lawannya yang besar itu. Akhir


nya ia menemukan sesuatu sebagai jalan keluar dan 

serta merta ia meraih sebuah benda yang tak lain se-

buah kelewang yang tersandang di pinggang serdadu 

itu...

"Nah pedang ini harus memakan tuannya!" pi-

kir Awom sambil menancapkan pedang itu ke perut 

tuannya sendiri.

Suara teriakan kencang keluar dari mulut 

orang kulit putih itu, "Aaaaaaaa...!" Seketika itu pula 

Awom menghempaskan tubuh raksasa itu ke bawah 

bukit yang terjal berbatu-batu kerikil yang runcing dan 

tajam.

Melihat kejadian itu penggali tanah kaget bu-

kan main, sementara tubuh serdadu kumpeni Belanda 

itu ambruk ke bumi dengan kepala remuk. Tubuh itu 

menegang beberapa saat sebelum terkulai untuk se-

lama-lamanya.

Melihat itu, si penggali tanah segera berlari 

sambil menjerit-jerit dengan paniknya.

"Simon! Simooooooon!! Kau... Kau mati?! Oh, 

jangan tinggalkan aku sendiri, Simon! Aku takut!" Dia 

terus merangkul tubuh kawannya yang sudah terbujur 

kaku. Belum lagi hilang rasa takut menghantui di-

rinya, tiba-tiba seorang pemuda kulit hitam telah be-

rada di hadapannya. Orang bule bertubuh kurus dan 

kotor itu terperangah melihatnya. 

"Hah, orang kulit hitam!" pekiknya "Aaaaaaaa... 

Jangan bunuh aku! Jangan!!" orang bule itu memohon 

dengan penuh ketakutan.

Namun Awom tetap diam berdiri mematung tak 

mengeluarkan sepatah kata, bahkan terus memandang 

dengan garang. Orang bule itu menjadi ketakutan apa-

lagi Awom lebih menampakkan keangkeran dengan so-

rot mata yang tajam.

"Aaaaa!! Jangan!!"


Ketika rasa takutnya kian memuncak, Yulia 

berlari menghampirinya diiringi Parmin dari belakang. 

Sambil teriak-teriak,

"Ayah!! Ayah!!"

Namun panggilan Yulia itu tak membuat orang 

bule berpakaian compang camping itu sadar, justru 

rasa takutnya semakin menjadi-jadi dengan tubuh 

yang gemetar hebat.

"Jangan!! Jangan bunuh aku!!" teriaknya sam-

bil tangan kirinya ke belakang untuk mengambil be-

lencong yang digunakan menggali tanah tadi siap akan 

dihantam-kan ke tubuh Awom. Sementara si bule ber-

tubuh kurus itu jadi ketakutan sendiri, tak kuasa 

menggunakan belencong terse-but.

Yulia kini berada beberapa langkah dari orang 

tua kulit putih sambil merentangkan kedua tangan-

nya.

"Ayah!! Ayah!! Ini Yulia, ayah...!"

Tapi agaknya orang Belanda ini sudah tak 

mengenali siapa lawan siapa kawan lagi bahkan ia be-

rubah menjadi kalap dan beringas.

Parmin segera maklum bahwa ayah Yulia telah 

mengalami goncangan jiwa yang sangat berat sehingga 

menjadi sakit ingatan. Van Boerman semakin menjauh 

dan bergegas menaiki bukit.

"Pergi! Pergi!! Atau kubunuh kalian!" teriaknya 

dengan sinar mata liar.

"Ayah! Ini aku! Anakmu!" Yulia berteriak den-

gan tangisan berharap kepada ayahnya agar dia men-

genalinya sebagai anaknya sendiri yang hilang terpisah 

se-lama ini.

Parmin pendekar Gunung Sembung yang sejak 

tadi memperhatikan suasana memprihatinkan itu 

menghampiri Yulia sambil memberikan gambaran agar 

dia dapat memahami keadaan ayahnya.


"Sabar, Yulia! Jangan kau dekati dia! Pikiran-

nya mungkin telah terganggu akibat tekanan batin

yang dialaminya selama ini!"

Orang tua kulit putih itu terus melangkah, ia 

berusaha melarikan diri ke atas bukit yang menjulang 

tinggi itu sambil berteriak-teriak seperti orang keseta-

nan. "Pergi! Pergi!!"

Yulia hanya dapat memandang dengan sedih 

dan pilu dari kejauhan, ia benar-benar merasa prihatin 

melihat kenyataan bahwa orang yang dirindukannya 

selama ini ternyata sudah tak mengenalinya lagi.

Dengan tangis tertahan, ia membenamkan diri 

ke dada Parmin.

"Oh!!!" isaknya menggebu.

"Yulia, tenang! Ia akan membunuhmu dengan 

belencong di tangannya itu jika kau mendekat!" Parmin 

menasihati Yulia dengan sabar. Lalu dia menoleh ke 

belakang ke arah Awom yang masih berdiri di tempat-

nya karena tak tahu mesti berbuat apa untuk meng-

hadapi situasi seperti itu.

"Awom! Kau ikuti dia! Cegat dari atas dan ingat, 

jangan sampai mengejutkan dia! Hati-hati!" perintah 

Parmin kepada panglima suku yang setia itu.

Dengan mengangguk, ia pergi ke arah yang ber-

lawanan dengan bukit di depan-nya. Akalnya yang 

cerdas membuat ia mengambil inisiatif itu.

Sementara Van Boerman terus melangkah jauh 

meninggalkan Yulia dan Parmin dengan langkah ter-

seok-seok sambil ngoceh dan memaki. Keringatnya 

bercucuran karena sengatan matahari di atas bukit 

yang tandus itu. Tak lama kemudian orang Belanda 

kurus itu telah sampai di atas puncak bukit. Dia tidak 

menghiraukan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Ta-

ngannya mengacung ke atas sambil menggenggam be-

lencongnya. Matanya mendelik seakan mau ke luar


dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak,

"Ha., ha., ha., ha! Kalian jangan cari mampus! 

Naiklah! Belencong ini akan berbicara! Ayo naik!"

Mungkin menurut anggapannya ketiga orang

pendatang itu bermaksud hendak membantainya. Itu 

ia ketahui dari kematian kawannya yang berseragam 

serdadu Kumpeni Belanda tadi. Kini dia harus menye-

lamatkan diri, terutama dari ancaman seorang pemuda 

kulit hitam yang menurut anggapannya pastilah seo-

rang suku primitif yang suka makan daging manusia.

Sementara itu Awom sendiri sudah mengambil 

jalan pintas memutar dan sedang menaiki bukit itu da-

ri arah belakang. Dengan sangat hati-hati ia merayap 

agar tidak diketahui oleh lelaki tua kulit putih yang 

sedang kalap itu.

Awom kini sudah berada tepat di belakang Van 

Boerman yang sedang dihantui oleh pikirannya sendiri. 

Perlahan-lahan Awom mendekati orang tua itu dan pa-

da kesempatan yang baik, dia menyergap tubuh kurus 

kering dan kumal itu. "Hep!!" "Raaaaaa?!"

Orang itu berteriak sambil meronta-ronta serta 

mengibas-ngibaskan belencongnya dengan sepasang 

tangannya yang sangat kokoh.

Awom mendekap dengan sekuat tenaga. Tetapi 

di luar dugaannya tubuh kurus itu seperti memiliki 

kekuatan yang luar biasa. Dengan sebuah hentakan 

keras, ia meronta dan berhasil meloloskan diri dari be-

kukan Awom.

Kenyataan yang mengejutkan itu membuat 

Awom kehilangan keseimbangan dan kakinya tergelin-

cir di bibir tebing. Maka tak ayal lagi tubuh mereka 

berdua terhempas ke bawah, merosot di dinding bukit 

yang penuh dengan tonjolan batu runcing dan tajam. 

Awom merasakan tersenggol sesuatu dan akhirnya ke-

sempatan itu dia gunakan tangannya untuk menjambret benda yang ternyata akar pohon liar yang tumbuh 

di dinding bukit sebagai tempat bertahan sementara.

Yulia yang sejak tadi memperhatikan adegan 

menegangkan itu semakin bertambah cemas. Betapa 

tidak tubuh orang yang dikasihi dan panglima suku 

yang setia itu nyaris hancur jatuh ke bawah. Dia me-

nutup matanya yang tak kuasa menyaksikan hal itu. 

Dia berusaha untuk tetap tabah sambil berdo'a.

Parmin tak tinggal diam. Ia melompat dengan 

cepat menyambar belencong yang masih melayang di 

udara. "Tap! Tap...!"

Kedua tubuh yang sedang bergelayut di akar 

pohon tampak sudah kehabisan tenaga karena harus 

menahan bobot tubuh sendiri.

Sementara Parmin yang telah berhasil me-

nyambar belencong, berlari ke kaki bukit seraya me-

lemparkan belencong itu sekuat tenaga agar dapat ter-

tancap kuat-kuat di dinding tebing.

"Awom! Peganglah ini!" 

"Dep.. dep!" Bersamaan dengan tertancapnya 

belencong di dinding bukit, akar tempat bergelayut itu 

pun patah. Kraak! Untunglah Awom dengan cekatan 

menyambar gagang belencong tersebut. Tab! Kini tu-

buh mereka telah bergelantungan pada gagang be-

lencong, seketika itu Parmin berteriak.

"Awom, lepaskan tubuh orang kulit putih itu!! 

Belencong yang kau pegang itu tak mampu menahan-

nya!"

Segera Awom melepaskan tubuh dalam deka-

pannya. Serta merta tubuh itu melayang laksana ka-

pas yang ditiup angin. Parmin si Jaka Sembung yang 

benda di bawah kaki bukit itu telah siap untuk me-

nangkap tubuh kerempeng itu dengan memasang ku-

da-kuda yang cukup kuat sedangkan Yulia lagi-lagi 

menutupi mukanya karena tak kuasa melihat adegan


yang mengerikan itu.

Dengan pengaturan nafas dan keyakinan yang 

kuat Parmin menangkap tubuh Van Boerman dengan 

selamat. "Hep! Tab!" 

Sedangkan Awom mulai berdebar-de-bar meli-

hat belencong yang sebentar lagi akan lepas dari tan-

capannya di dinding tebing itu.

"Oh, Dewa! Mengapa manusia tidak mempunyai 

sayap seperti burung?! Dan mengapa kejadian seperti 

ini terjadi pada diriku!" Awom berdo'a menanti datang-

nya dewa penolong yang akan membebaskannya. Se-

mentara itu Parmin sedang meletakkan tubuh kerem-

peng yang sudah tak sadarkan diri itu di hadapan Yu-

lia. Kini dia bergegas untuk menolong Awom yang se-

dang dalam keadaan kritis.

"Sekarang giliranmu, Awom! Ayo lepaskan pe-

ganganmu!" teriak Jaka Sembung.

Tanpa berpikir panjang lagi Awom langsung 

melepaskan tangannya dari gagang belencong yang di-

pegangnya. Seketika itu tubuhnya melayang. Parmin 

dengan tegap dan kokoh memasang kuda-kuda sambil 

merentangkan kedua tangannya siap menyambut tu-

buh Awom yang melayang deras ke bawah. Tubuh pe-

muda hitam itu dengan selamat ditangkapnya.

Peristiwa yang menegangkan itu kini telah ber-

lalu. Parmin dan Awom segera menghampiri Yulia yang 

sedang memeluk tubuh Van Boerman yang belum sa-

darkan diri. Tubuh lelaki itu diguncang-guncangnya 

perlahan-lahan.

"Ayah! Ayah! Sadarlah, ayah! Ini aku Yulia 

anakmu!"

Beberapa saat kemudian Van Boerman mem-

buka kelopak matanya perlahan-lahan, Yulia berteriak 

gembira.

"Ayah! Ini aku Yulia anakmu!" Namun apa yang


diharapkan oleh gadis Belanda ini belumlah tercapai. 

Van Boerman tiba-tiba mendelik dengan sinar mata 

liar.

"Waw! Jangan bunuh aku! Pergi! Pergi! Aku tak 

mau dicincang! Seperti kalian mencincang kawan-

kawanku!"

Van Boerman masih saja dibayangi oleh peris-

tiwa yang terjadi pada diri ka-wan-kawannya di waktu 

yang lampau.

"Ayah! Sadar! Aku ini Yulia anakmu bukan su-

ku kanibal yang kau maksud itu!"

"Oh, tidak! Tidak!" jawabnya sambil mengang-

kat kepala dan memandang Yulia. Dia belum juga be-

rada dalam kewarasannya. Yulia mengeluarkan sebuah 

benda yang menurut pendapatnya akan menyembuh-

kan ingatan ayahnya.

"Lihatlah! Salib suci ini, ayah!"

Betapa kagetnya lelaki tua itu setelah melihat 

rosario yang dikenalnya sebagai pembangkit spiritual 

bagi dirinya.

Bagaikan disiram seember air orang itu mulai 

ingat akan dirinya.

"Oh, Bapa yang di surga! Ampunilah aku!"

Ingatannya mulai membaik dan memandangi 

seorang gadis cantik bermata biru di hadapannya den-

gan serius.

"Yulia! Kaukah anakku?" tanya Van Boerman 

dengan bergetar.

Betapa gembiranya Yulia mendengar kata-kata 

seperti itu, dia langsung mendekap erat-erat tubuh 

ayahnya yang setelah sekian lama terpisah darinya. 

Dengan linangan air mata yang membasahi pipi, Yulia 

tak henti-hentinya menciumi ayahnya.

"Ayah!! Oh, ayah betapa gembiranya hatiku!"

"Yulia! Syukurlah kau selamat, sayang! Aku


sudah putus asa mencari dirimu!" jawab sang ayah 

dengan luapan rindu yang tak terbendung lagi.

Matahari yang mulai bergeser ke ufuk Barat ke-

lihatan cerah seakan turut gembira serta bahagia me-

lihat pertemuan anak dan bapak tersebut. Mereka te-

rus berpelukan tanpa menghiraukan orang-orang di 

sekelilingnya.

Parmin dan Awom juga turut terharu melihat 

peristiwa yang menggembirakan itu. Air mata berkaca-

kaca di pelupuk mata mereka. Sejenak ingatan Jaka 

Sembung melayang ke tempat nan jauh di sana, pulau

Jawa tempat ia berasal. Ia ingat Eretan tempat tinggal 

gurunya. Ia ingat Kandang Haur tempat tinggal keka-

sih hati yang sangat dicintainya. Entah kapan ia dapat 

bertemu kembali dengan Roijah yang telah lama di-

tinggalkannya. Lamunan Parmin tiba-tiba tersentak, 

karena mendengar orang tua yang bernama lengkap 

Yan Van Boerman itu berbicara sambil tak lepas dari 

dekapan anak gadisnya.

"Terima kasihku tak terhingga kepada anda 

berdua, tuan pendekar yang gagah!" ucapnya dengan 

bergetar menahan luapan rasa gembira dan rasa syu-

kur yang sangat dalam.

"Entah bagaimana jadinya seandainya tidak 

ada tuan berdua, kami tentu akan terpisah untuk se-

lama-lamanya," sambungnya sambil menahan isak 

tangis.

"Semuanya adalah berkat rahmat Ilahi, tuan 

Boerman! Tuhan telah mempersatukan anda berdua 

melalui usaha kami," jawab Parmin dengan rendah ha-

ti.

"Anda telah menolong orang asing yang justru 

berasal dari bangsa yang sedang menjajah tanah air 

anda sendiri, anak muda!" sambung Van Boerman.

"Bangsa kalian memang sedang menjajah bang


sa kami. Tetapi kami tidak memusuhi siapa pun kare-

na kami cinta damai. Kalaupun kami berperang mela-

wan Kompeni Belanda, itu kami lakukan karena lebih 

mencintai kemerdekaan!" jawab Parmin si Jaka Sem-

bung dengan mantap.

"Sesungguhnya kami bukan memerangi bangsa 

Belanda, tetapi memerangi bangsa mana pun yang 

bermaksud menjajah tanah air kami. Oleh karena itu 

kami ikhlas memberikan pertolongan kepada anda 

berdua atas dasar kewajiban sebagai makhluk Tuhan, 

bukan atas dasar sebagai dua bangsa yang sedang 

bermusuhan!" sambung Jaka Sembung dengan tegas 

namun sangat diplomatis.

Semua ucapan Jaka Sembung terdengar begitu 

berkesan bagi seorang pemuda Papua yang berjiwa pa-

triot seperti Awom. Sosoknya memang masih primitif, 

namun jiwanya dengan cepat menyerap peradaban dan 

sikap mental yang diperlihatkan oleh pendekar muda 

dari pulau Jawa itu. 

Dalam hati Awom kini tumbuh suatu keyakinan 

baru bahwa penjajahan itu sesuatu yang harus dipe-

rangi. Bukan memerangi orangnya, tetapi memerangi 

sifat jahat yang ada padanya! Dengan kata lain,

biar pun Yulia dan ayahnya adalah orang Belanda, te-

tapi bukan musuhnya karena mereka tidak bersifat  menjajah.



                              TAMAT









Share:

0 comments:

Posting Komentar