TERDAMPAR DI PULAU HITAM
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
SATU
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Di atas pasir pantai dengan debur ombak yang
bergemuruh, seorang pemuda tampan dalam pakaian
seorang pendekar, perlahan-lahan membuka kelopak
matanya...
"Terdampar di manakah aku...? Rasanya pantai
ini asing bagiku!"
Ia berusaha mengingat-ingat apa yang telah
menimpa dirinya, dan apa yang terjadi atas diri kawan-
kawannya. Belum sempat ingatannya pulih semua, en-
tah dari mana datangnya, tahu-tahu beberapa batang
tombak telah meluncur di depan hidungnya.
Betapa terkejutnya pemuda itu menghadapi
kenyataan ini. "Ha!" Seakan tak percaya dengan apa
yang dilihatnya.
Sambil tengkurap dengan kedua tangan yang
terbelenggu rantai besi, ia memandang beberapa orang
yang pakaiannya hanya menutup sebatas kemaluan.
Orang-orang itu berkulit hitam legam, rambut keriting,
raut wajah dihiasi coretan berwarna kuning, putih dan
merah serta mata yang beringas. Serentet taring babi
sebagai penghias leher dan tulang lain yang mencocok
lobang hidung dan telinga mereka, menandakan bah-
wa mereka belum beradab.
Suasana di pinggir pantai itu tegang sejenak.
Debur ombak terasa makin menggelegar memecahkan
telinga. Tiba-tiba salah seorang dari mereka memberi
aba-aba dengan isyarat gerakan tangan. Pemuda yang
masih terbelenggu itu berusaha bersikap tenang serta
menuruti kemauan orang-orang dari suku primitif itu.
Sepanjang jalan, sang pemuda yang ternyata
adalah Parmin, si Jaka Sembung, terus berpikir. Baru
kali ini dia melihat orang berkulit hitam legam dan be-
rambut keriting dengan tubuh hampir telanjang bulat
seperti itu.
"Suku apakah ini? Aku tahu maksud mereka.
Mereka ingin aku untuk ikut mereka! Yach, melawan
pun tak ada gunanya. Barang kali saja aku nanti bisa
mengorek keterangan dari orang-orang ini!" gumam-
nya dalam hati.
Seperti kerbau dicocok hidung, pendekar muda
ini mengikuti apa yang diperintahkan oleh orang-orang
bertampang seram dan menakutkan itu.
Sebelum kita mengikuti lebih jauh lagi perjala-
nan Parmin, kita ikuti bagaimana dia bisa sampai ke
daerah yang sama sekali belum dikenalnya itu. Men-
gapa Parmin bisa sampai ke tempat tersebut?
Kala itu Parmin dan kawan-kawan se-dang be-
rada di atas kapal. Baru saja ia mengatur kemudi ke
arah yang akan mereka tempuh, tiba-tiba dari arah Se-
latan badai datang dan memporakporandakan kapal-
nya. Dengan menggunakan papan kepingan kapal yang
hancur itu mereka masing-masing selamat, hanya
sayangnya mereka terdampar di pulau yang berlainan.
Parmin alias si Jaka Sembung terdampar di sebuah
pulau yang bernama 'PAPUA' atau Pulau Hitam.
Di sepanjang jalan yang ditumbuhi semak be-
lukar, pepohonan raksasa serta jalan setapak yang
mereka lewati, masih saja Parmin berpikir. Kali ini pi-
kirannya tertuju kepada teman-temannya.
"Mudah-mudahan saja yang lainnya selamat
dan dapat berkumpul kembali!"
Parmin digiring terus dengan todongan ujung-
ujung tombak persis berada di punggung dan teng-
kuknya. Matahari telah berada tepat di atas ubun-
ubun membuat suasana saat itu panas bukan alang-
kepalang. Butiran-butiran keringat sebesar biji jagung
membasahi keningnya.
Setelah beberapa lama masuk hutan belantara,
akhirnya mereka sampai di sebuah dataran terbuka.
Bangunan-bangunan tempat tinggal berbentuk keru-
cut-kerucut besar yang berderet-deret dan membentuk
sebuah lingkaran yang mengelilingi sebuah halaman
yang luas dengan tonggak-tonggak kayu terpancang di
tengah-tengahnya. Jika diperhatikan lebih teliti, ter-
nyata tonggak-tonggak kayu tersebut adalah sebuah
patung ukir yang bersusun ke atas membentuk pilar
kayu yang cukup tinggi.
Setelah agak dalam memasuki halaman per-
kampungan suku itu, seorang yang berjalan paling de-
pan memberi isyarat berhenti. Parmin dan sejumlah
pengawal pun patuh mengikuti perintahnya. Orang itu
lalu berjalan menuju sebuah bangunan yang paling
besar beratap ijuk dengan puncak atap berukiran tra-
disionil.
"Itu pasti rumah kediaman kepala suku mere-
ka! Dan bukan tidak mungkin, mereka adalah suku
pemakan daging manusia."
Baru saja Parmin berpikir begitu, beberapa
orang bertampang beringas datang menyeret dan men-
gikatnya kuat-kuat pada sebuah tiang di tengah hala-
man. Sebagian yang lainnya berjingkrakan mengita-
rinya sambil meneriakkan kalimat dan kata-kata yang
tak dapat dimengerti olehnya. Suara kendang yang di-
tabuh kencang-kencang menambah riuh suasana. Tak
ubahnya seperti upacara agama para suku-suku pri
mitif.
"Dugaanku tidak meleset!" bisiknya dalam hati.
Sementara itu di dalam bangunan besar yang
dihiasi berbagai tengkorak kepala binatang-binatang
buas dan taring babi, bulu-bulu burung Cendrawasih,
beberapa tombak terpampang di atas dinding. Topeng-
topeng aneh menambah seram suasana bangunan itu.
Kepala pasukan langsung menghadap kepala suku
sambil membungkukkan badan hampir rebah ke lan-
tai. Dia berbicara dengan bahasa yang mirip suara bu-
rung kepada orang yang duduk di atas singgasana
yang terbungkus kulit-kulit binatang dan dihiasi ma-
nik-manik aneka warna dan ditemani lima orang
dayang-dayang yang terdiri dari gadis-gadis berkulit hi-
tam dengan dada telanjang dan tubuh bagian bawah
hanya ditutupi ram-bak rambai dari kulit kayu.
"Awom, kau mendapat tawanan orang asing?
Bagus! Aku akan datang menemuinya! Siapkan saja
segera upacara persembahan untuk nenek moyang ki-
ta!" ujar kepala suku.
Kepala suku segera berdiri meninggalkan kur-
sinya dengan diiringi dayang-dayang dan seorang pim-
pinan agama suku yang berjubah kebesaran, kepa-
lanya yang dihiasi dengan bulu-bulu burung Cendra-
wasih dan tangannya memegang tongkat dengan hia-
san-hiasan unik.
Ketika kepala suku menginjakkan kaki di ha-
laman, semua hiruk-pikuk suara manusia dan tetabu-
han mendadak sontak berhenti. Suasana menjadi hen-
ing seketika.
Kepala suku terus melangkah mendekati tiang
di tengah halaman di mana Parmin si Jaka Sembung
terikat tak berkutik.
"Hai! orang asing, coba jelaskan siapa kau, dan
dari mana asalmu? Ketahuilah bahwa aku adalah ke
pala suku di sini!"
Bukan main terkejutnya. Betapa tidak, semula
dia sangka kepala suku orang-orang primitif itu seo-
rang laki-laki yang tegap dan hitam menyeramkan, ke-
nyataannya justru bertolak belakang. Kepala suku ter-
nyata seorang wanita cantik berkulit putih dan beram-
but pirang serta bertubuh tinggi semampai dengan le-
kuk tubuh yang sangat indah, menyapanya dengan
bahasa Melayu yang cukup fasih. Parmin tak percaya
dengan apa yang dihadapinya. Rasanya ia sedang ber-
mimpi.
Kepala suku primitif itu ternyata seorang gadis
bule yang rupawan. Gadis ini dapat memaklumi apa
yang sedang berkecamuk pada diri pendekar muda itu.
Maka segera dia berkata,
"Tenanglah! Anda pasti selamat! Aku percaya
anda adalah salah seorang dari suku lain yang sudah
beradab! Mereka menganggap bahasa Belanda dan ba-
hasa Melayu sebagai bahasa dewa-dewa mereka. Oleh
karena itu berbicaralah dengan bahasa yang membuat
anda seperti dewa!" si cantik itu mengajari.
"Baiklah, kepala suku! Apakah yang harus ku-
perbuat sekarang? Apakah anda akan memerintahkan
anak buah anda untuk membuatku jadi sate?" tanya
Parmin.
"Tentu saja tidak! Malah aku sangat membu-
tuhkan anda. Kita bisa saling membantu! Ketahuilah,
aku dengan mudah mempengaruhi mereka, termasuk
pemimpin agama suku yang berdiri di sampingku, ini!"
katanya sambil menunjuk seorang lelaki hitam yang
sejak tadi menunjukkan tampang angkernya sebagai
seorang yang sangat berpengaruh setelah keberadaan
sang kepala suku.
"Baiklah, apa yang harus kuperbuat?"
"Sebagai orang Timur, anda pasti punya keah
lian dalam ilmu-ilmu aneh! Nah, tunjukkanlah kepada
mereka suatu keajaiban yang mempesona! Dengan be-
gitu mereka lebih percaya bahwa anda adalah utusan
dewa!"
"Baiklah!" jawab Parmin memakluminya.
Untuk beberapa saat suasana menjadi hening
namun menegangkan. Tiba-tiba tali yang melilit tubuh
pendekar muda itu putus.
Laksana Bhatara Bayu yang sedang murka da-
lam pewayangan, Parmin mendemontrasikan jurus
'Wahyu Taqwa' suatu jurus yang maha dahsyat. Dia
melangkah ke tengah lingkaran orang-orang hitam itu
berdiri, lalu kedua kakinya dibuka untuk membentuk
kuda-kuda. Setelah itu dia me-narik nafas dalam-
dalam dan mengeluarkannya berbarengan dengan ke-
dua tangan yang terletak di atas pinggang. Hembusan
angin mendadak keluar dari kedua telapak tangannya,
diikuti bunyi gemerincing ran-tai besi yang masih
membelenggu. Hembusan angin kencang itu membuat
debu-debu berhamburan ke angkasa, daun-daun ron-
tok dari dahannya. Pohon-pohon terangkat dan tum-
bang. Binatang-binatang keluar dari tempat persem-
bunyiannya, bangunan ambruk seketika serta para
pengawal yang berada di arena upacara itu berjumpali-
tan, sehingga membuat kepala suku cepat bertindak.
"Hentikan!! Cukup...!! Anda cukup hebat untuk
menjadi seorang dewa!"
Setelah pertunjukan kehebatan utusan dewa
usai, kepala suku segera berbicara kepada rakyatnya
dalam bahasa suku tersebut.
"Rakyatku! Menyembahlah kalian! Orang yang
kalian tangkap ini ternyata utusan dewa!"
Bagaikan tonggak-tonggak kayu yang roboh ter-
tiup angin, rakyat suku primitif itu segera menjatuh-
kan diri seketika, dan berlutut di hadapan Parmin un
tuk me-nyembah. Parmin melihat perlakuan seperti itu
menjadi rikuh dan menahan rasa geli dalam hati.
Setelah memberi aba-aba kepada rakyatnya un-
tuk berdiri kembali, sang kepala suku menoleh ke arah
Parmin sambil berkata:
"Akan kami sediakan tempat tinggal untuk an-
da di sini. Nanti malam, aku mengundang anda untuk
bertukar pikiran serta mengenal riwayat masing-
masing!" Parmin mengangguk tanda setuju, tetapi di-
am-diam Jaka Sembung merasa risih berdekatan den-
gan seorang wanita muda bangsa asing dengan tubuh
nyaris telanjang saja yang ditutupi dengan hiasan be-
berapa batok kerang besar dililit oleh seuntai tali seba-
gai pengikatnya.
***
DUA
Matahari kian condong ke arah Barat dan hi-
lang ditelan awan yang berwarna kemerahan. Rakyat
suku primitif itu mulai memasuki tempat tinggal mas-
ing-masing dan sebagian lagi berjaga-jaga di setiap su-
dut halaman dengan senjata tombak dan panah. Sinar
matahari tak terlihat menembus sela-sela pohon, per-
tanda hari mulai berganti malam. Para penjaga pun
menyalakan api unggun untuk pemanas dan peneran-
gan perkampungan mereka.
Tak seberapa jauh dari tempat kediaman kepa-
la suku, tampaklah seorang pemuda tampan yang tak
lain adalah Parmin si Jaka Sembung sedang merebah-
kan diri di atas kasur yang terbuat dari tumpukan ijuk
dan rumput ilalang. Sebagai seorang pendekar yang
beriman, Parmin tak melupakan kewajibannya untuk
menunaikan Sholat Maghrib. Walaupun tak terdengar
suara adzan dan beduk, Parmin bisa mengirakan ka-
pan waktu Maghrib tiba.
Ia segera bangun dari istirahatnya dan lang-
sung mempersiapkan keperluan Sholat. Kemudian
Parmin keluar untuk berwudlu. Ternyata ia mendapat
kesulitan untuk mencari air, maka terpaksalah ia me-
lakukan tayammum dengan pasir halus yang cukup
bersih di halaman tempat tinggal.
Parmin menunaikan Sholat Maghrib. Tak lama
kemudian Parmin duduk tafakur seraya berdo'a sambil
mengangkat kedua belah tangannya yang masih terbe-
lenggu rantai besi. Rantai buatan serdadu kompeni Be-
landa yang sulit untuk dibuka.
"Ya Allah! Semoga Kau selalu memberi petunjuk
dan bimbingan kepada hamba-Mu, semoga pula kau
selamatkan kawan-kawan seperjuanganku... Amin ya
Robbal Alamin!"
Sesaat kemudian....
"Sekarang aku perlu keterangan dari wanita
kulit putih itu," pikirnya dan langsung bergegas untuk
menemui kepala suku di tempat tinggalnya yang terle-
tak di seberang tempat tinggalnya.
Belum jauh dia melangkah, tiba-tiba dia men-
dengar suara wanita dari arah rumah kepala suku.
"Auww...!!"
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya
Parmin melompat. Secepat kilat ia telah menjajakkan
kaki di pintu masuk rumah kepala suku dan...
"Terlambat!" keluhnya.
Setelah melihat kepala suku tak ada di tempat,
Parmin langsung melihat-lihat keadaan sekeliling
ruangan singgasana itu, dan apa yang terjadi, para
pengawal kepala suku juga sudah terbunuh semua.
Mereka bergelimpangan di sekitar kursi singga
sana dan pintu kamar kepala suku dengan tubuh han-
gus di bagian dada. Setelah menyapu pandang ke selu-
ruh pelosok ruangan, tiba-tiba matanya melihat ke su-
atu tempat yang terlihat porak poranda.
"Hmm, ternyata mereka menjebol dinding terle-
bih dahulu, kemudian menculik kepala suku... Kalau
begitu aku harus segera mengejarnya!" pikir Parmin.
Parmin segera berkelebat dari ruangan singga-
sana kepala suku langsung ke dalam hutan dengan
melewati jebolan dinding itu. Ia sengaja mengambil ja-
lan menerobos ke semak-semak belukar, agar dirinya
tak diketahui orang lain. Baru saja akan melanjutkan
perjalanannya, mendadak dia melihat sesosok bayan-
gan yang melintas di hadapannya. Dengan cepat Jaka
Sembung menyergap bayangan tadi.
Ternyata....
"Heh, kau panglima suku, bukan? Apa yang te-
lah terjadi dengan kepala suku mu, Awom?" tanya
Parmin tak sabar.
Baru saja akan dijawab, serta merta...
"Chraaaa!!" Sebuah serangan mengancam di-
rinya sehingga Jaka Sembung harus berkelit...
"Minggir!!" teriak Parmin sambil mendorong tu-
buh panglima suku agar menjauh dari bahaya, se-
dangkan kakinya menggaet kaki penyerang gelap tadi.
Maka tak ayal lagi si penyerang terhuyung-huyung ja-
tuh menghantam pohon besar di hadapannya. Tetapi,
dia cepat bangkit untuk menyerang.
Dengan buasnya dia menyerang dari menghan-
tam Parmin. Untunglah Parmin bergerak cepat, kalau
tidak apa yang akan terjadi pada dirinya tentu sangat
fatal. Dapat dibuktikan bahwa serangan yang dahsyat
itu menghantam sebuah pohon besar di belakangnya.
Cengkeraman tangan lawan membuat pohon itu som-
plak dan tumbang seketika. Sekilas Parmin dapat me
lihat wajah lawannya bertopeng tengkorak dengan ke-
pala bertanduk dan bersurai terbuat dari ijuk.
"Gila...!! Hem, aku yakin, dia pasti bukan orang
sembarangan dan jurus-jurus silatnya seperti kuken-
al," gumamnya.
Penyerang gelap itu tak memberi ampun terha-
dap Parmin, dia menyerang dengan membabi buta, se-
hingga pohon-pohon banyak yang tumbang dan debu
serta kerikil berterbangan ke udara terhempas oleh te-
naga dalam yang luar biasa. Dengan menjatuhkan diri
dan berguling-guling, Parmin dapat menghindari puku-
lan maut yang dapat menghanguskan apa saja. Tetapi
di luar dugaan, serta merta penyerang gelap tersebut
berkelebat pergi.
"Eh, dia pergi...? Mengapa dia lari? Kurasa aku-
lah yang kalah bila pertarungan tadi dilanjutkan," pikir
Parmin. Belum lagi habis herannya, dia dikejutkan
oleh sesuatu yang ditinggalkan oleh lawannya tadi di
atas tanah. "Heh! Bekas telapak hitam, dan rumput-
rumput sekitarnya terbakar hangus? Sebuah pukulan
yang tak asing lagi bagiku," gumamnya.
Setelah dirasakan aman, Parmin menyuruh ke-
luar sang panglima suku dari tempat persembunyian-
nya di balik semak belukar.
"Keluarlah tak ada bahaya lagi!"
Panglima suku bergegas dan menghampiri Par-
min. "Lantas ke mana kita mencari kepala suku? Bisa-
kah kau memberi petunjuk padaku?" tanya Parmin
dengan bahasa Melayu diiringi dengan gerakan-
gerakan tangan sebagai bahasa isyarat.
Dengan susah payah panglima suku mencoba
mengerti maksud Parmin, lalu dengan susah payah
pula ia memberi keterangan dengan bahasa isyarat.
"Hm, ya... ya! Aku mengerti sedikit-sedikit mak-
sudmu! Kepala suku diculik oleh suku Papua yang
bertubuh kerdil, bukan?"
"Baik, mari kau tunjukkan tempat tinggal suku
Papua kerdil itu," pinta Parmin kepada panglima suku
yang bernama Awom itu.
Namun belum sempat mereka melangkah un-
tuk melanjutkan perjalanan, Parmin melihat wajah
Awom seperti hendak me-nyatakan sesuatu yang cu-
kup penting. "Ada apa lagi...?"
Dengan gaya yang tangkas dan gesit laksana
cecak menangkap mangsanya, Awom menjambret sa-
lah satu pohon tanggung yang ada di dekatnya. Dan...
"Hm, dia mencabuti daun-daunnya untuk
apa...?" tanya Parmin dalam hati.
Dengan isyarat kembali Awom memberi kete-
rangan sambil menunjuk-nunjuk daun-daun yang ba-
ru diambilnya itu. Mengertilah Parmin dengan apa
yang dimaksud panglima suku.
"Oh, kau bilang daun-daun ini harus kita ku-
nyah agar kita terbebas dari gigitan binatang-binatang
yang berbisa? Baiklah, ini memang perlu untuk menja-
ga diri, terima kasih!" jawab Jaka Sembung sambil
mengunyah daun-daun itu. Awom tersenyum senang
karena melihat utusan dewa mau menuruti sarannya.
***
TIGA
Setelah mengunyah daun-daunan tersebut,
Parmin dan Awom melanjutkan perjalanannya untuk
mencari kepala sukunya. Sepanjang jalan mereka
menjelajahi rimba belantara pedalaman pulau Hitam
Papua. Suasana sunyi mencekam dalam perjalanan
tanpa seberkas cahaya pun menerangi langkah mereka. Seringkali kaki mereka tersandung akar-akar po-
hon yang melintang atau terperosok ke dalam lobang
yang sudah tertutup humus daun-daun kering.
Berkilo-kilo meter jalan setapak dan hutan be-
lantara yang telah mereka lewati. Perjalanan yang san-
gat melelahkan, lapar pun mulai menghantui perutnya.
Mata Parmin menjelajah ke atas mencari buah-buahan
untuk mengganjal perut dan sambil bersiap siaga ter-
hadap serangan mendadak atau sergapan binatang
buas, menjadi santapan segar suku pemakan daging
manusia kalau mereka lengah.
Separoh perjalanan sudah terlewati. Mereka
berdua tidak tidur, karena memang kesempatan untuk
beristirahat tidak ada. Di samping itu pula tempat
yang aman untuk pelepasan lelah kurang memungkin-
kan. Suhu udara semakin dingin mencekam sampai
tembus ke tulang sumsum. Sinar rembulan dari ke-
jauhan mulai menipis, lambat laun bergeser ke bela-
han bumi bagian Timur. Suara-suara binatang hutan
pun mulai terdengar kembali pertanda hari mulai pagi.
Pagi subuh itu Parmin mengajak Awom beristi-
rahat dan mencari air untuk men-cuci muka dan ber-
wudhu. Tetapi setelah menjelajahi seluruh hutan di
sekitarnya, mereka tak menemukan air. Akhirnya me-
reka kembali lagi ke tempat semula, tempat yang agak
memadai untuk menunaikan Sholat Shubuh.
Panglima suku duduk di samping pohon besar
kemudian Parmin mencari embun yang membasahi
dedaunan untuk digunakannya sebagai air wudhu. Dia
berdiri menghadap suatu arah yang ia yakini sebagai
kiblat. Seraya mengangkat kedua tangannya sambil
berucap "Allahu Akbar...!", Parmin mulai melakukan
Takbir.
Awom memperhatikan setiap gerakan Parmin.
Ia heran dan bertanya-tanya dalam hati. Dalam hatinya ingin rasanya ia bertanya apa yang sedang dila-
kukan Parmin. Dari berdiri, mengangkat kedua ta-
ngan, berjongkok, duduk lalu berdiri lagi terakhir ten-
gok kanan kiri serta mengusap muka dengan kedua te-
lapak tangannya,
Setelah menyelesaikan suatu rangkaian gera-
kan yang mengherankan bagi Awom, Parmin berdiri
menghampiri orang berkulit hitam yang sudah menjadi
sahabatnya itu sambil berkata,
"Kau tentu heran dengan apa yang baru kuker-
jakan tadi... Jika kau menyembah arwah nenek
moyangmu, maka aku menyembah Tuhan yang men-
ciptakan seluruh alam dan isinya, yang juga termasuk
menciptakan nenek moyangmu," Parmin berusaha
memberi keterangan dan pengertian panglima suku
itu. Namun demikian panglima suku masih keheranan,
bahkan ia bertanya lebih jauh lagi dengan bahasa isya-
rat perihal Tuhan yang disebut-sebut Parmin sebagai
penguasa jagad dan isinya.
"Apakah Tuhannya lebih tinggi dari apa yang
selama ini mereka sembah?"
"Ya, tentu saja Tuhan pencipta alam ini, lebih
tinggi dari kekuatan nenek moyangmu atau dewa-dewa
sekalipun! Dia jauh lebih tinggi...! Baiklah, kelak lam-
bat laun kau akan mengerti! Sekarang mari kita lan-
jutkan perjalanan," jelas Parmin sambil mengajak
Awom untuk melanjutkan perjalanan.
Beberapa saat kemudian mereka sudah berada
di tengah hutan belantara. Ribuan pohon-pohon rak-
sasa, tanah berbatu serta sungai-sungai kecil mereka
lewati. Butir-butir keringat telah membasahi seluruh
tubuh mereka. Akhirnya ketika matahari mulai me-
ninggi, mereka sampai ke sebuah dataran yang indah.
Mereka melangkah ke arah batu besar yang terletak
persis di tepi bukit. Di atas batu besar itu Parmin dan
Awom melihat-lihat pemandangan yang sangat menye-
garkan mata. Bukit-bukit tinggi yang ditumbuhi pepo-
honan serta hamparan rumput ilalang, laksana gelaran
permadani menambah suasana menjadi semakin ber-
tambah asri.
"Indah sekali lembah ini! Pernahkah kau ke si-
ni?" tanya Parmin.
Panglima suku Kaimana tak menjawab sepatah
katapun, ia hanya mengangguk sambil tersenyum
bangga dengan apa yang dimiliki negerinya. Setelah
beberapa saat melihat keindahan perbukitan itu, tiba-
tiba Awom menunjuk ke arah gunung yang menjulang
tinggi dengan puncaknya yang diselimuti sesuatu ber-
warna putih kemilau. Ia kemudian memberi penjelasan
kepada Parmin dengan bahasa isyarat.
"Oh, puncak gunung itu kalian nama-kan tem-
pat bersemayamnya arwah-arwah nenek moyang? Dan
warna putih menyilaukan di puncaknya itu kalian
anggap sebagai istana dewa-dewa?" tanya Jaka Sem-
bung dengan hati-hati jangan sampai teman barunya
itu tersinggung. Parmin tersenyum dan berkata dalam
hati...
"Hm, sebenarnya hanya salju yang menutupi
puncak gunung itu. Karena begitu tingginya gunung-
gunung di sini, maka salju itu tak pernah meleleh. Sal-
ju abadi."
Setelah menyaksikan beberapa keindahan dan
keanehan di sekitar kaki gunung yang berselimut salju
tebal tadi, Parmin dan Awom melanjutkan perjalanan.
Menjelang tengah hari Jaka Sembung dan Pan-
glima suku memasuki suatu lembah. Perjalanan mere-
ka sudah cukup jauh dari Kaimana tempat yang mere-
ka tinggalkan. Selama di perjalanan mereka saling be-
lajar bahasa masing-masing sambil mencari buah-
buahan apa saja yang dapat dimakan untuk menggan
jal perut yang beberapa hari belum terisi.
"Kau bilang sudah dekat? Baiklah, kita beristi-
rahat sejenak."
Belum lagi mereka sempat merebahkan tubuh,
tiba-tiba Parmin menangkap gerakan halus dari atas
pohon yang berada di hadapannya. Lalu apa yang ter-
jadi? Secepat kilat Jaka Sembung mendorong tubuh
Awom ke samping sehingga luput dari sasaran.
"Awas!!! Hiyaaaat!!!" teriak Parmin dan tubuh
Awom berguling.
Parmin berusaha sekuat daya untuk menghin-
dari serbuan jarum-jarum yang mengancam. Bukanlah
si Jaka Sembung bila dia tidak bisa menguasai kea-
daan seperti itu. Dengan ketangkasan luar biasa, mela-
lui keahlian menangkis senjata rahasia yang dimili-
kinya, ia mengembalikan senjata-senjata kecil tadi. Se-
ketika itu pula rontoklah beberapa tubuh cebol dari
atas pohon termakan oleh senjatanya sendiri yang ter-
nyata berupa paser-paser beracun yang dilontarkan
dengan sumpitan itu.
"Kedebuk! Gusrak!" Laksana durian jatuh.
"Inikah yang kau maksud dengan suku Papua
kerdil itu?" tanya Parmin kepada panglima suku.
Belum sempat pertanyaan itu terjawab menda-
dak tubuh kecil lain dari arah yang tidak terduga me-
nyerang dengan gesitnya. Tak dapat dipungkiri lagi
pertarungan yang tak seimbang segera terjadi.
Tidak kurang dari dua puluh orang cebol me-
nyerang Parmin dan Awom. Mereka tak memberi ke-
sempatan pada keduanya mengatur nafas barang seje-
nak.
Bagaikan binatang yang ganas dan kelaparan
mereka menerjang dan menerkam dua orang penda-
tang itu. Ada yang menggigit, mencekik dan ada pula
yang mencakar bagian tubuh Parmin, sehingga baju
yang dipakainya terkoyak.
"Tubuh mereka kecil-kecil, tetapi Masya Allah
gerakannya lebih tangkas dari monyet..., kita bisa ce-
laka dikeroyok suku kerdil yang ganas ini!"
Parmin tak tinggal diam, dan tak mau ambil re-
siko. Ia segera mengerahkan tenaga dalamnya, disertai
teriakan laksana binatang buas Jaka Sembung meng-
kibaskan tangan ke depan sehingga manusia-manusia
mini itu berpentalan ke segala penjuru.
"Ayo maju lagi!" seru Parmin dengan sinar mata
beringas dan mengancam.
Dengan kejadian yang baru saja mereka alami,
orang-orang kerdil itu nampak ketakutan. Langsung
saja mereka ambil langkah seribu pontang-panting me-
lintasi semak belukar meninggalkan Jaka Sembung
dan Awom.
"Mereka lari! Ayo kita kejar terus, sampai kita
tahu di mana tempat persembunyian mereka," ujar
Parmin.
Belum lagi jauh Parmin dan panglima suku
mengejar, salah seorang dari gerombolan orang kerdil
itu mengambil sesuatu dari semak-semak pohon diiku-
ti oleh kawan-kawannya.
"Lihat! Mereka mengambil apa dari balik se-
mak-semak?" teriak Jaka Sembung. "Oh, mereka me-
nuangkan cairan kental dari guci-guci itu! Apakah
itu?"
Belum sempat Parmin berbuat sesuatu cairan
itu sudah membanjiri tanah yang berada di hadapan-
nya. Tak ayal lagi begitu Parmin dan Awom menginjak
cairan itu, mereka tergelincir jatuh!
"Ah, licin!!" keluh Parmin kesal.
Sementara Parmin dan Awom bergulat dengan
cairan tersebut, kesempatan itu tak disia-siakan oleh
gerombolan manusia kate untuk lari jauh dari kejaran
mereka. Dengan hati dongkol namun kagum Parmin
berdesis, "Mereka cukup pintar untuk menghalangi ki-
ta!"
Dalam kesempatan itu panglima suku Kaimana
berusaha menjelaskan cairan apa dan terbuat dari
apa. Karena dia belum dapat menggunakan bahasa
Melayu dengan baik, maka ia campur adukkan penje-
lasannya dengan bahasa isyarat.
"Minyak ini terbuat dari getah pohon-pohon
opak!"
Sambil mengangguk tanda mengerti Parmin
mengalihkan pandangannya ke arah guci-guci itu
"Aha, mereka meninggalkan guci-guci itu, salah satu di
antaranya masih berisi cairan itu. Aku yakin minyak
ajaib ini berguna buatku."
"Untuk apa?" tanya Awom.
"Nanti kau akan tahu gunanya...!"
Setelah mengambil guci itu, kemudian Parmin
mencelupkan kedua tangannya yang masih terbeleng-
gu rantai besi sampai sebatas pergelangan. Apa yang
dilakukan Parmin? Ternyata ia menggunakan minyak
itu sebagai bahan pelumas untuk melepas-kan beleng-
gu besinya. Ia mengerutkan jari jemarinya dan pelan-
pelan ia mengurut gelang besi yang sudah dilumuri
minyak yang sangat licin itu. Maka beberapa saat ke-
mudian lepaslah besi sial yang selama ini membuatnya
repot. "Nah, sekarang lega rasanya! Cukup lama be-
lenggu ini membatasi gerakanku... Sekarang mari kita
lanjut-kan perjalanan kita! Kita ikuti saja jejak orang
kate itu!"
***
EMPAT
Setelah merasa tak ada lagi yang mengganggu
gerakannya, Parmin dan Awom melanjutkan perjala-
nannya. Berhari-hari mereka telah menempuh perjala-
nan. Siang dan malam tanpa mengenal lelah. Dengan
menelusuri lembah ngarai serta hutan belantara yang
belum terjamah manusia. Se-lama itu panglima suku
pun tak henti-hentinya memberi penjelasan mengenai
berbagai hal yang belum diketahui Parmin, agar pen-
dekar muda itu lebih hati-hati.
Dari Kaimana yang terletak di teluk Etna, kini
mereka telah sampai di pinggiran Danau Jamur di kaki
pegunungan puncak Jayawijaya. Sepanjang perjala-
nan, sebagaimana biasa kedua insan itu terus mene-
rus saling belajar bahasa masing-masing. Parmin su-
dah sedikit lancar bahasa suku Kaimana. Mereka me-
lewati bukit-bukit yang menjulang tinggi, terhias ham-
paran pohon yang hijau dan tidak ketinggalan burung-
burung yang indah yang hanya dimiliki oleh pulau Pa-
pua, antara lain burung Cendrawasih yang terkenal
itu. Ketika Parmin menengadah ke atas dan melihat
seekor hewan yang sangat indah dipandang mata, ia
bertanya pada teman seperjalanannya itu. "Burung
apakah itu? Bulunya indah sekali!"
"Suku kami menyebutnya burung surga," jelas
Awom sambil tersenyum bangga.
Parmin coba lebih mendekat untuk menikmati
keindahan burung itu sambil membunyikan jari jema-
rinya dan bersiul. Burung itu menyambut sapaan
Parmin dengan membentangkan sayapnya yang berbu-
lu indah, berwarna warni. Jaka Sembung begitu ka-
gum melihatnya dan dalam hati ia memuji kebesaran
nama Sang Maha Pencipta. Diam-diam pula ia merasa
bangga bahwa sebenarnya kepulauan di kawasan Nu-
santara ini memiliki kekayaan yang sangat berlimpah,
baik hasil bumi, rempah-rempah maupun flora dan
faunanya. Seperti kata Awom tentang nama burung
itu, benarlah bahwa tanah air tercinta ini bagaikan
surga yang terbentang di katulistiwa sehingga dam-
baan bangsa-bangsa lain untuk menguasai dan memi-
likinya. Terbukti dengan adanya bangsa Belanda yang
sedang menjajah negerinya.
Tak seberapa jauh dari hutan itu nampaklah
danau yang dikelilingi bukit-bukit yang menjulang
tinggi serta pohon-pohon pinus yang berderet-deret.
"Inilah Danau Jamur! Tempat tinggal suku Pa-
pua kerdil itu, ada di sebelah sana," Awom memberita-
hu Parmin sambil menunjuk ke arah pinggiran Danau
Jamur sebelah Selatan.
"Kau katakan tempat mereka dekat, tapi astaga!
Sudah berapa hari kita menempuh perjalanan ini?"
ucap Parmin yang baru sadar dengan apa yang telah
mereka tempuh selama ini.
Setelah sekian lama menyusuri pinggiran Da-
nau Jamur, sampailah mereka pada sebuah tempat
yang ditumbuhi pohon-pohon raksasa. Sambil men-
gendap-endap di balik pepohonan, Parmin membuka
matanya lebar-lebar untuk mengamati segala penjuru
dan tak lupa bersiap-siap untuk menghadapi segala
kemungkinan.
"Awom! Coba kau lihat! Apakah itu?" tanya
Parmin kepada panglima suku dengan keheranan.
"Nah, itulah perkampungan suku Papua kerdil!"
jawab Awom.
Parmin melihat pemandangan yang cukup
aneh. Tampaklah pada cabang-cabang pohon itu ber-
gantungan benda-benda besar seperti sarang lebah.
Yang tak lain adalah rumah-rumah tempat suku kerdil
bermukim. "Mereka memanjat dengan tang-kasnya se-
perti kera. Mereka adalah suku perusuh yang paling
ditakuti oleh suku-suku lain," jelas Awom lebih jauh.
Belum lagi sempat memahami apa yang dije-
laskan Awom tiba-tiba Parmin terbelalak melihat seso-
sok manusia yang bertopeng tengkorak dengan surai
ijuk dan berjubah sedang berdiri di bawah pohon-po-
hon raksasa itu.
"Apakah tidak salah penglihatanku...? Ternyata
yang berada di sana itu adalah orang yang telah mem-
bokong kita di halaman rumah kepala suku mu," ujar
Parmin kepada Awom. Awom mengangguk dengan gigi
gemeretak karana geram.
Parmin berusaha tenang sambil memperhati-
kan apa yang sedang diperbuat orang misterius itu di
perkampungan suku kerdil ini.
Dengan bahasa yang tidak dimengerti orang
lain, orang berjubah dan bertopeng seram itu berteriak
sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. Tak la-
ma kemudian dari dalam sarang tawon raksasa itu, se-
rentak keluar tubuh-tubuh kecil bergelayutan ke ba-
wah. Kemudian dengan cepat mereka membentuk ba-
risan mengelilingi manusia bertopeng itu.
Suasana hening sejenak, lalu tiba-tiba dengan
bahasa suku Papua kerdil, orang itu menunjuk-
nunjuk ke suatu arah. Dengan serentak mereka berla-
rian menuju tempat yang ditunjuk. Tak lama kemu-
dian mereka kembali membawa sesosok tubuh molek
yang meronta-ronta dalam usungan mereka.
"Lepaskan aku!! Kau mau bawa ke mana diri-
ku?" teriak si tubuh molek yang ternyata seorang gadis
berkulit putih dan berambut pirang. Namun teriakan
itu tak mereka perdulikan.
Beberapa saat kemudian orang itu memerin-
tahkan orang-orang suku cebol membawa gadis bule
ke sebuah balai-balai yang terbuat dari bambu yang
memang telah disiapkan di tengah-tengah halaman.
Gadis itu direbahkannya perlahan-lahan di atas
balai dengan tangan terikat ke belakang. Sang mak-
hluk menyeramkan itu kemudian menghampiri tubuh
menggiurkan dengan pakaian teramat minim tersebut.
Orang itu memperhatikan sosok tubuh yang indah mu-
lus di hadapannya sambil beberapa kali menelan ludah
diiringi tatapan mata penuh nafsu birahi. Tubuh itu
diraba-raba dari atas sampai bawah, dari pipi, leher
sampai dada. Berhenti sejenak dan menyingkap penu-
tup buah dada yang besar mengencang itu. Diremas-
nya perlahan-lahan membuat sang gadis bule terus
meronta dan akhirnya dia memaki sambil menyem-
protkan air ludah ke wajah bertopeng seram itu.
"Lepaskan jahanam!!!"
"Cuihhh!!! Manusia busuk!!"
Betapa kaget dan marahnya orang itu, dengan
cepat dia meninggalkan tubuh molek itu menggeliat-
geliat dan meronta-ronta berusaha melepaskan tali
ikatannya. Namun usahanya itu sia-sia, ikatan itu ter-
lalu kuat buat seorang gadis seperti dia.
Parmin yang sejak tadi mengintai dari kejau-
han, terkejut setelah melihat pemandangan itu.
"Astaga! Itu adalah kepala suku mu, Awom! Dia
dalam bahaya!" bisik Jaka Sembung kepada Awom
agar suaranya tak ter-dengar oleh orang-orang kerdil di
depan-nya.
Jaka Sembung mulai memutar otaknya guna
mencari akal. Tak lama kemudian, dia berbisik lagi ke-
pada Awom untuk memberi tahu bagaimana cara me-
nyelamatkan gadis bule itu.
"Ssst! Kerjakanlah menurut petunjukku Awom!"
"Ya, baik!" Awom menjawab sebagai tanda setu-
ju dengan maksud Parmin. Seketika itu juga keduanya
berpencar untuk mencari tempat untuk memulai ren-
cana mereka.
Tubuh molek berwajah cantik itu kini tak ber-
daya terlentang di atas balai sambil menanti apa yang
akan diperbuat suku kerdil itu terhadap dirinya. Se-
mentara itu orang-orang kerdil yang mengelilinginya
kini sedang sibuk menumpuk kayu bakar dan ditem-
patkan di balai bambu tersebut.
Manusia misterius itu tiba-tiba berteriak,
"Ambil minyak! Lalu siramkan ke tumpukan
kayu itu!"
Secepat kilat orang-orang kerdil itu berlompa-
tan untuk masing-masing mengambil guci yang berisi-
kan minyak dan mengerjakan apa yang diperintahkan
kepada mereka.
Setelah beres semuanya orang bertopeng itu
mengambil sebuah obor yang sedang dipegang oleh sa-
lah seorang suku kerdil, lalu ia lemparkan ke bawah
balai-balai bambu di mana tumpukan kayu sudah siap
untuk dibakar.
Kepala suku Kaimana tak dapat berbuat apa-
apa. Karena tubuhnya terikat kuat-kuat pada balai-
balai bambu yang kini mulai terbakar. Gadis itu putus
asa dan berdo'a sambil memanggil nama ayahnya.
"Ayah!! Ayah!! Di manakah kau berada, ayah? Apakah
kita harus berpisah untuk selama-lamanya, oh Tuhan
tolonglah hambaMu! Aku tidak mau mati sebelum ber-
temu dengan ayahku!"
Api sudah mulai menjalar dan makhluk kecil
itu berjingkrakan sambil meneriakkan kata-kata sakral
menurut kepercayaan mereka. Seakan mereka bangga
dengan apa yang akan mereka persembahkan kepada
arwah-arwah nenek moyangnya.
Dari semak belukar Parmin tak punya pilihan
selain harus cepat bertindak. "Aku harus segera ber
tindak sebelum api itu menjilat tubuh gadis kulit putih
itu!"
Dengan nekad Parmin berkelebat menuju tem-
pat upacara itu. Tapi sayang, sebelum ia sampai ke
arah tujuan, tiba-tiba makhluk misterius itu menyam-
but tubuh Parmin yang sedang melayang dengan se-
buah tendangan yang telak mengenai dadanya. Tak
ayal lagi tubuh Parmin terjerembab ke atas balai yang
mulai dijilat api.
Api mengelegak seakan marah dan ingin mela-
hap korbannya. Tapi Parmin bukanlah pendekar sem-
barangan. Dia dapat bertindak cepat dalam situasi ga-
wat sekalipun. Maka dengan sebuah hentakan, ia
bangkit dan langsung meraih tubuh gadis itu menjauhi
balai-balai bambu yang ham-pir roboh karena dilahap
si jago merah.
"Cepat anda berguling ke dalam belukar! Awom
akan melindungi anda di sana!"
Tetapi saat itu sang gadis melihat nyala api
yang membakar baju Parmin. "Aww!! Baju anda terba-
kar," teriaknya.
Tapi sebelum Jaka Sembung berbuat sesuatu,
mendadak dadanya digedor oleh tendangan keras yang
menerjangnya. Parmin merintih menahan sakit di da-
danya dan darah segarpun keluar dari mulutnya, se-
dangkan tubuhnya terhuyung-huyung ke belakang.
Dengan sekuat tenaga Parmin menerjang sam-
bil menggaet kaki lawan hingga terjungkal terperosok
ke semak-semak belukar. Kesempatan yang sedetik itu
ia gunakan untuk melucuti bajunya yang sudah terba-
kar dan siap memasang kuda-kuda untuk menyambut
serangan lawan berikutnya.
Saat itu gadis kulit putih pun terancam bahaya.
Tiga orang kerdil datang menyergapnya. Betapa kaget-
nya sang gadis. Tapi beruntung baju yang berkobar api
yang dilepaskan Parmin, tanpa sengaja berhasil meno-
longnya. Tiga tubuh cebol itu terberangus oleh urukan
baju tersebut, dan si gadis pun lari mencari tempat
berlindung.
Sementara itu lawan yang bertopeng seram
yang terjungkal kini sudah bangun kembali dengan
menggeram siap menerjang dengan seluruh tenaganya
bertumpu pada tangannya yang berbentuk cakar sin-
ga.
"Celaka! Ia bersiap-siap hendak melancarkan
pukulan yang menghanguskan itu?" gumam Jaka
Sembung dalam hati dengan cemas.
Namun tiba-tiba lawan yang misterius itu ter-
paksa menunda pukulannya karena sebuah rumah
mirip sarang laba-laba raksasa mendadak dengan de-
ras jatuh ke arahnya. Pada detik kritis itu si topeng se-
ram menyambut benda besar itu dengan sebuah puku-
lan dahsyat.
"Hyaaaaaat...!"
Tak ayal lagi hancurlah rumah-rumah itu ber-
keping-keping. Bersama rumah yang hancur beranta-
kan, melayang jatuh sebuah benda berbentuk cakar.
Saat itu pula Parmin terkejut.
"Hah?! Tangannya copot?"
Tapi orang seram itu menubruk benda yang
masih melayang di udara dengan gerakan laksana see-
kor tupai. Kemudian dengan sebuah loncatan lagi dia
kabur ke dalam semak belukar dan menghilang di sa-
na.
"Heh! Dia menghindar lagi! Agaknya ia sengaja
mengulur-ulur waktu," umpat Jaka Sembung.
***
LIMA
Baru saja manusia bertopeng yang memimpin
suku kerdil itu pergi, dari arah belakang Parmin pulu-
han orang suku kerdil menyerang dengan tombak-
tombak mereka. Namun demikian mereka bukan la-
wan tanding Parmin. Sekali hentak, puluhan manusia
kerdil itu beterbangan laksana kapas ditiup angin.
Kendati pun demikian mereka tidak jera, bahkan ban-
gun kembali untuk menyerang. Kali ini mereka menye-
rang serentak dengan tangan-tangan yang saling ber-
gandengan seperti anyaman pagar.
"Gila! Mereka benar-benar makhluk kecil yang
ulet," pikir Parmin.
Usaha mereka tetap sia-sia. Tubuh-tubuh ber-
deret itu kembali terpelanting seperti serentetan bunga
rampai. Kali ini tubuh itu terpental menjadi santapan
kobaran api, yang sudah bergelagak menelan balai
bambu tadi. Seperti kata pepatah hilang satu tumbuh
seribu, kini yang lain datang lagi menyerang dari arah
belakang.
Dari arah yang berlawanan datang pula sege-
rombolan dari mereka, namun belum sempat menye-
rang tiba-tiba malaikat penolong datang dengan me-
mutuskan tali-tali pengikat rumah yang banyak berge-
lantungan di dahan pohon-pohon besar itu. Rumah-
rumah yang berjatuhan itu berhasil mengacaukan me-
reka. Ternyata itu adalah ulah Awom sang panglima
suku.
Kesempatan demikian tak disia-siakan Parmin
untuk melepaskan sang gadis kulit putih itu dari tali
yang masih membelenggu tangannya. "Cepat kita lari,
nona!" ajak Parmin.
Tetapi sebelum melangkah, sekonyong-konyong
Parmin membuka kain sarung yang dipakainya, dan
menyuruh gadis bule itu menggunakan kain tersebut
untuk menutupi tubuhnya yang nyaris bugil itu.
"Maaf, keindahan tubuhmu itu akan meng-
ganggu pikiranku, nona."
Baru saja gadis bermata biru itu akan menge-
nakan kain sarung yang biasa digunakan Parmin un-
tuk Sholat, mendadak terdengar suitan yang datang
dari salah seorang suku cebol. Entah apa yang terjadi
seketika itu pula terdengar suara gemuruh datang dari
balik semak belukar. Membuat Parmin terperangah.
"Hah! Suara apakah itu dari dalam hutan?"
Ternyata suara itu adalah suara pasukan kava-
leri suku kerdil yang terdiri dari penunggang-
penunggang burung Kasuari. Pasukan burung Onta itu
datang sebagai bala bantuan.
Betapa kagetnya Parmin melihat se-rombongan
laskar pengendara burung ganas itu. Parmin si Jaka
Sembung mau tak mau harus melindungi kepala suku
Kaimana dengan menerjang seluruh pasukan itu se-
kuat kemampuannya. Tapi tak urung gadis bule itu
mendadak diserang oleh salah seekor burung. Untung
saja Parmin bertindak cepat dan langsung menghajar
burung itu tepat di batang lehernya, membuat si gadis
berkulit putih itu lepas dari cengkeramannya. Parmin
segera menggendong tubuhnya sambil berkata: "Pe-
gang aku kuat-kuat, nona! Kita harus segera lari dari
sini!!"
Bagaikan sebuah barisan yang rapat, burung
itu mengurung Parmin dari segala penjuru. Pada saat
yang sulit itu Awom berusaha membantu Parmin dan
kepala sukunya. Dari atas pohon Awom menghajar sa-
lah seorang dari mereka dengan tombak. Sayangnya
tombak yang ada hanya satu-satunya. Namun demi-
kian Awom tak kehabisan akal. Sampailah pikirannya
untuk menggunakan ranting-ranting pohon di sekitar-
nya.
Laksana anak panah yang melesat dari busur-
nya, patahan ranting-ranting itu menembus tubuh-
tubuh cebol. Burung-burung ganas itu pun tak dapat
mengelak dari serbuan ranting-ranting pohon yang di-
gunakan Awom.
Parmin tak mau membuang-buang kesempatan
untuk lolos dari serbuan binatang-binatang ganas dan
liar itu. Dengan sekuat tenaga ia terus berlari sambil
menggendong gadis bule tersebut. Sementara itu luka
bekas tendangan makhluk berjubah dan bertopeng
tengkorak tadi mulai terasa sakitnya, membuat nafas
Parmin menjadi sesak. Sambil terengah-engah Jaka
Sembung terus berlari, sedangkan pasukan kavaleri
yang masih tersisa terus memburunya.
"Mereka mengejar kita!" teriak kepala suku
Kaimana dengan cemas. Pasukan hampir mendekat,
mereka memburu Parmin dengan kecepatan penuh.
Karena beban yang ia gendong dan pernafasannya
yang mulai sesak itulah, Parmin dengan mudah dapat
dikejar.
Awom yang saat itu masih berada di atas pohon
sempat melihat kesulitan yang dialami Parmin. Dia be-
rusaha turun untuk membantu meringankan beban
dengan mengambil alih gendongannya. Laksana mo-
nyet yang turun dari atas pohon, Awom bergelayutan
pada akar pohon untuk mencapai tempat di mana
Parmin berada.
"Berikan kepala suku padaku! Aku masih
punya banyak tenaga," pintanya kepada Jaka Sem-
bung.
Belum lagi terjadi timbang terima, tiba-tiba ba-
haya lain yang tak kalah gilanya menghadang mereka
dari depan.
Ternyata yang datang itu serombongan babi hu-
tan yang sangat buas menuju ke arahnya. Taring-
taring yang runcing dari binatang itu cukup membuat
orang bergidik melihatnya.
Karena dari dua arah yang berlawanan bahaya
mengepung, Parmin, Awom dan gadis bule itu terjepit.
Kepala suku Kaimana itu cemas, namun Parmin beru-
saha sedapat mungkin menghibur hatinya. "Aww!! Ba-
gaimana kita kini!"
"Tenanglah! Kita pasti selamat dan dapat keluar
dari bahaya ini! Bismillah...." Disusul dengan teriakan
keras Parmin mengajak Awom untuk melompati bari-
san celeng-celeng yang menyerbu. "Loncat Awom!!
Hiyaaaaat!!" Bagaikan mendapat suatu dorongan te-
naga baru Parmin dan Awom meloncati gerombolan
babi hutan itu. Maka apa yang terjadi sesudahnya ada-
lah suatu tubrukan masal antara gerombolan babi hu-
tan dan laskar burung Onta. Hukum rimba benar-
benar berlaku di sini, siapa yang kuat mereka yang
menang. Korban pun berjatuhan. Tak sedikit dari
orang-orang kerdil itu habis tergilas oleh babi hutan.
Amanlah sudah bagi Jaka Sembung dan ka-
wan-kawannya. Mereka benar-benar dapat menarik
nafas lega.
Di tempat yang jauh dari keganasan penghuni
hutan belantara, Parmin mengajak mereka beristira-
hat. Di tepi Danau Jamur itu mereka merebahkan diri
dengan terengah-engah.
"Kita berhenti dulu di sini, Awom!! Nafasku te-
rasa sesak dan mau putus!!"
"Uuuh, sungguh mengerikan," keluh gadis bule
itu.
Nafas mereka laksana tersekat di tenggorokan
dan keringat jatuh bercucuran. Seluruh sendi tubuh
terasa lemas.
"Tuhan telah menyelamatkan kita, saudara
Parmin! Untunglah benda ini selalu berada dalam
genggamanku!" gadis itu berkata sambil mengeluarkan
sesuatu dari balik rambutnya yang pirang itu.
"Apakah itu...?" balas Parmin.
"Salib suci! Yang selalu mengusir anasir-anasir
jahat yang selalu mengancam jiwaku di pulau Hitam
ini."
"Kau tampak terluka... Dadamu sakit?"
Sambil berdiri dan menuju ke pinggir Danau
Jamur, Parmin berkata: "Tak apa-apa nona! Aku akan
berusaha untuk pulih kembali."
Gadis bule dan panglima suku bingung dengan
sikap Parmin yang tenang seakan tak terjadi apa-apa
terhadap dirinya.
Setelah menuruni tepi danau, Parmin langsung
membasahi mukanya dengan air itu. Jaka Sembung
mengangkat tangannya untuk berkonsentrasi, lalu per-
lahan-lahan ia memejamkan kedua matanya dengan
mengucapkan kalimat do'a di dalam hati.
"Bismillahir Rahmanir Rahim, atas kekuasaan
ya Allah berikanlah kepadaku kesembuhan melalui
kekuatan dalam tubuh-ku...."
Setelah berucap dalam hati Parmin mulai me-
musatkan tenaga dalamnya ke arah dadanya sendiri.
Inilah jurus 'Hening Cipta' sebuah jurus yang mengu-
tamakan konsentrasi diri untuk penyembuhan. Si ga-
dis pun terpukau melihat kehebatan Jaka Sembung.
Diam-diam dia memuji kehebatan pendekar muda itu.
"Memang banyak sekali keajaiban yang kute-
mui di belahan dunia sebelah Timur ini."
Beberapa saat Parmin mengheningkan cipta.
Setelah ia merasakan tubuhnya normal kembali, sedi-
kit demi sedikit ia membuka kedua matanya sambil
mengucap: "Al-Hamdulillah...."
Dengan gembira gadis berambut pirang itu
menghampiri Parmin yang sudah segar kembali. Den-
gan pancaran mata yang ceria gadis itu menyapa Par-
min.
"Anda tampak segar kembali! Sungguh menak-
jubkan!"
"Tak usah heran nona! Cuma pengobatan tradi-
sionil! Bangsa kami memang belum mengenal cara pe-
nyembuhan seperti bangsa-bangsa barat! Oleh karena
itu kami hanya dapat menggunakan cara ini!"
"Tubuh manusia adalah bentuk kecil dari alam
semesta ini, hampir semua zat-zat yang ada dalam
alam terdapat pula dalam tubuh kita. Dengan latihan-
latihan tertentu kita bisa mengerahkan zat-zat dalam
tubuh kita sendiri untuk menolak zat-zat yang akan
merusak tubuh," Parmin berusaha menjelaskan kepa-
da kepala suku Kaimana itu agar ia dapat memahami
secara rasional.
Untuk sementara kita tinggalkan dulu mereka
yang sedang bercakap. Kita ikuti ke mana larinya ma-
nusia bertopeng seram yang selama ini telah bertindak
sebagai kepala suku Papua kerdil itu.
Dari kejauhan nampak sosok bayangan tubuh
tersebut lari tungang-langgang dan terhuyung-huyung,
kelihatannya dia terluka dalam.
Sosok bayangan itu tak lain adalah kepala suku
Papua kerdil. Dengan sangat kesal dia memaki dirinya
sendiri,
"Gagal lagi...! Saatnya memang belum tepat,
aku terlalu terburu-buru! Luka-luka dalam tubuhku
belum sembuh betul, inilah yang menghalangi gera-
kanku!"
Sambil terus memaki dirinya, kepala suku Pa-
pua kerdil itu meneruskan perjalanannya menembus
semak belukar. Namun pada suatu saat di bawah po
hon yang rindang, ia merasakan nafasnya sesak dan
seketika itu juga darah beku berwarna hitam kental
keluar dari mulutnya.
"Darah! Lukaku berdarah lagi! Mungkin karena
aku terlalu banyak bergerak dan mengeluarkan tena-
ga, tapi aku penasaran kalau belum mengenyahkan
dia!" Cakar singanya menghantam tanah sebagai pe-
lampiasan.
Kita kembali lagi pada Parmin. Gadis kulit pu-
tih itu sedang menceritakan riwayatnya.
"Aku bersama ayahku Van Boerman dan pende-
ta Jorgen mengemban tugas missionari dari Gereja Ka-
tholik untuk daerah Timur Jauh!"
"Kami bertolak dari negeri Belanda pada awal
musim semi menyusuri pantai Selatan Eropa, Timur
Tengah, menuju tujuan perjalanan kami yaitu Nusan-
tara. Ayahku bekerja pada biro perjalanan untuk misi
Gereja, dan hampir seluruh waktunya ia baktikan ke-
pada kegiatan penyebaran ajaran-ajaran Yesus Kris-
tus. Sampai di Batavia, Pemerintah Kompeni Belanda
menugaskan kami untuk melanjutkan misi ke pulau-
pulau bagian Timur Nusantara ini yang penduduknya
rata-rata masih primitif dan kanibalis. Apapun yang
akan terjadi aku sudah membulatkan tekad untuk tu-
rut serta walau bahaya mengancam jiwa sekalipun."
"Aku mencintai tugas suci dan mulia itu. Kare-
na Yesus Kristus juru selamat bagi seluruh umat ma-
nusia. Dengan kasih sayangNya Ia mencari dan menye-
lamatkan domba-domba sesat menuju jalan terang!"
"Tetapi untuk menempuh jalan Tuhan memang
sangat berat. Berbagai rintangan selalu merintangi dan
menghadang. Kami harus menghadapi perompak-
perompak laut yang ganas di perairan pulau Celebes
dan Halmahera. Berkat lindungan Tuhan serdadu-
serdadu pengawal kami selalu berhasil menyikat habis
setiap rintangan itu. Namun dari semua yang paling
dahsyat adalah bahaya alam."
"Kapal kami tak kuasa menahan dan melawan
badai yang mengamuk di sekitar laut Banda dan Ara-
fura. Kapal kami hancur berkeping-keping. Aku tak in-
gat lagi apa yang terjadi setelah itu, hanya Tuhan jua-
lah yang menyelamatkan hambaNya. Di kala aku si-
uman, aku telah berada di pantai sebuah pulau... tapi
aku seorang diri! Lalu aku bertanya dalam hati, ya Tu-
han ke mana pendeta Jorgen dan ayahku? Bagaimana
nasib mereka...? Setelah sekian lama aku tergolek tak
sadarkan diri, ternyata kuketahui bahwa aku terdam-
par di Kaimana di sebuah teluk yang indah. Teluk Et-
na."
"Sampai akhirnya aku diketemukan oleh pri-
bumi Pulau Papua ini dan untung sekali mereka bu-
kan suku pemakan daging manusia. Justru mereka
menganggapku sebagai manusia dari langit yang ditu-
runkan untuk mereka dan mengangkat ku sebagai ke-
pala suku."
"Apa mau dikata, barangkali nasibku memang
demikian. Maka akupun menurut saja dengan apa
yang baik menurut anggapan mereka. Mereka domba-
domba sesat. Oleh karena itu harus diselamatkan."
"Suku pribumi Kaimana bukan suku Kanibalis.
Tapi mereka memuja arwah nenek moyang, sejenis
Animisme. Mereka memajang tengkorak-tengkorak le-
luhur sebagai maskot penolak bala."
"Setiap saat aku berdo'a kepada Tuhan dan
berharap selalu pada suatu saat aku dapat merubah
kepercayaan suku Kaimana menuju kepada ajaran
Tuhan! Demikianlah riwayatku kenapa aku berada di
pulau ini."
Setelah beberapa saat bercerita, gadis bule yang
bernama Yulia itu melanjutkan pembicaraannya,
"Aku selalu berdo'a untuk keselamatan pendeta
Jorgen dan ayahku Van Boer-man!" ungkapnya.
"Saudari Yulia, sangat kuhargai perjuangan
dan pengabdianmu terhadap agama. Semua agama
baik. Nabi Isa adalah Rasul Allah juga. Satu di antara
dua puluh lima Rasul yang diturunkan Allah untuk
umat-Nya di dunia ini! Anda dapat membimbing mere-
ka perlahan-lahan!" Jaka Sembung memberi semangat.
"Akupun sangat menghargai perjuangan bang-
samu yang tertindas saudara Parmin!" timpal Yulia.
Parmin agak tercengang mendengar perkataan
Yulia. Ternyata gadis ini mempunyai rasa simpati ke-
pada bangsanya yang sedang tertindas. "Syukurlah ji-
ka anda mengerti jeritan bangsaku!" jawab Parmin
sambil menatap dalam-dalam mata biru Yulia.
"Aku berbicara atas nama kemanusiaan, terle-
pas dari rasa kebangsaanku sebagai gadis Belanda.
Aku berdo'a semoga bangsamu segera terlepas dari be-
lenggu penjajahan!" ungkapnya sambil memandangi
ketampanan Parmin. Pemuda itu tampak begitu tam-
pan apalagi bulu-bulu halus tumbuh meremang di wa-
jahnya yang belum sempat bercukur itu.
Setelah cukup lama mereka saling bertukar pi-
kiran ditemani panglima suku Kaimana yang belum
banyak mengerti bahasa melayu. Akhirnya mereka
bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Parmin
berdiri sambil berkata, "Sekarang marilah kita te-
ruskan perjalanan! Insya Allah aku bisa membantu
mencari ayahmu dan pendeta Jorgen!"
Setelah istirahat secukupnya mereka melan-
jutkan perjalanan ke arah Timur meninggalkan Danau
Jamur.
ENAM
Berhari-hari mereka meneruskan perjalanan
menjelajahi pedalaman hutan Papua. Di tengah perja-
lanan mereka bercakap-cakap sekedar untuk menghi-
langkan ketegangan dan rasa jenuh selama perjalanan
panjang dan melelahkan itu.
"Ke mana kita mencari?" tanya Yulia.
"Kita jumpai saja setiap suku di pulau ini. Sia-
pa tahu ayahmu dan pendeta Jorgen ada di sana men-
jadi tawanan mereka!" ucap Parmin menduga-duga.
Baru saja mereka akan melanjutkan perjala-
nan, Yulia melihat burung Onta melintas di hadapan
mereka.
"Parmin burung-burung Onta itu mengejar kita
kembali!" teriak Yulia.
"Hah?!" Parmin berdesis.
Baru saja Parmin dan Awom akan bertindak,
mendadak panglima suku itu melihat sesuatu keganji-
lan. Seraya berkata,
"Tapi itu bukan dari pasukan orang-orang ker-
dil! Dan lihat ada apakah itu? Asap bergulung-gulung
ke udara!"
Benarlah apa kata pemuda suku Kaimana itu,
terlihat kepulan asap dari arah hutan.
"Oh! Hutan terbakar!" teriak Parmin memasti-
kan.
Betul juga dugaan Parmin. Berpuluh-puluh bi-
natang hutan berhamburan seperti terkuras dari tem-
pat persembunyiannya masing-masing. Kasuari, Bu-
rung Cendrawasih, Babi hutan dan lain-lain bercam-
pur aduk menjadi satu. Hanya satu tujuan mereka,
yaitu menyelamatkan nyawa masing-masing dari jila-
tan api yang mengejar dengan cepat. Binatang-
binatang itu tak memperdulikan apapun kecuali
menghindar jauh-jauh dari ancaman maut yang hen
dak merenggut.
Laksana kiamat, api melahap hutan belantara.
Angin bertiup kencang membuat api itu merambat ce-
pat sekali. Pepohonan tumbang, rumput-rumput han-
gus terbakar. Saat itu udara panas sekali bagaikan di
dalam neraka. Jeritan binatang-binatang hutan me-
nimbulkan kebisingan hingga membuat panik ketiga
orang itu.
Parmin, Yulia dan Awom berusaha mencari
tempat berlindung sementara.
"Kita harus segera lari sebelum api sampai ke
mari!" teriak Awom. Belum lagi Awom bertindak, Par-
min berteriak,
"Jangan lari mengikuti arah binatang-binatang
itu, Awom! Angin bertiup sangat kencang! Kita akan
kalah cepat oleh api!"
"Api telah dekat sekali apa yang harus kita per-
buat?!" tanya Awom kepada Parmin dengan tak sabar
lagi.
"Cari tempat yang agak lowong! Kita terobos api
itu!" jawab Jaka Sembung tegas.
Sebelum itu Parmin menyuruh mereka agar
menggunakan daun-daunan sebagai pembungkus ka-
ki.
"Cepat kita bungkus dulu telapak kaki kita
dengan daun-daun yang segar! Cepat Awom, bantu ke-
pala suku mu!" pinta Parmin kepada Awom.
Pemuda Papua ini cepat tanggap dan bergegas
membantu kepala sukunya mengikatkan daun-daun
segar sebagai alas kaki sambil mengendap-endap,
mencari tempat lowong di tengah-tengah amukan api,
akhirnya Parmin menemukan tempat yang di-carinya.
Sebuah celah di antara kobaran api yang sedang ber-
golak.
"Di tempat itu lowong! Kita harus bergerak ce
pat Yulia, berdoalah!" ungkap Parmin sambil menun-
juk ke arah yang akan mereka lewati.
"Sesaat kemudian mereka berdo'a dengan cara
mereka masing-masing, Yulia segera menggenggam
Rosarionya.
"Demi Bapa, Putra dan Roh Kudus... Amin" Yu-
lia mengawali dilanjutkan oleh Awom dengan caranya
sendiri, sedangkan Jaka Sembung dengan membaca,
"Bismi-llah...!"
Maka dengan tekad bulat ketiga orang itu me-
nerobos api yang berkobar-kobar dengan ganasnya.
Dengan sekuat tenaga Parmin menggotong tubuh Yulia
agar bisa melewati tembok api itu. Dengan sekali hen-
tak dan diikuti Awom, mereka berhasil keluar dari ne-
raka itu.
Teori Parmin memang benar. Di balik tembok
api yang dahsyat itu terlihat membentang hamparan
tanah kosong yang ter-diri dari medan abu dan arang,
bekas hutan yang telah musnah. Mereka tertatih-tatih
menahan hawa panas dari asap yang masih mengepul
dari tanah gundul itu. Butir-butir keringat keluar dari
tubuh mereka. Kulit mereka kebiru-biruan karena
asap panas dan sengatan matahari yang tepat di atas
ubun-ubun.
Asap mengepul hitam ke langit, cahaya mata-
hari lenyap ditelan kepulan asap, langit pun keruh di-
buatnya. Angin meniup kencang mendorong kobaran
api semakin jauh di belakang mereka, sehingga ketiga
orang itu terbebas dari bahaya api.
"Uu... uh! Panas! Aku tak sanggup!" keluh gadis
bule itu.
Dia tak tahan dengan panasnya api, kulitnya
yang putih berubah menjadi merah kebiru-biruan.
"Mari cepat! Sebentar lagi pasti kita terbebas
dari hawa panas ini," hibur Parmin sambil menggen
dong sang gadis yang sudah tidak sabar.
Sedikit demi sedikit mereka telah cukup jauh
menempuh dataran abu yang panas itu. Awom sang
panglima terus mengikuti jejak-jejak Parmin dari bela-
kang, sementara daun-daun pembungkus kaki me-
reka mulai mengering tertembus abu dan arang sisa-
sisa kebakaran tersebut.
Sementara itu dari suatu tempat manusia ber-
topeng menyeringai puas. Pikirnya dengan membakar
hutan, dia yakin ketiga orang musuhnya yang ada di
dalam hutan itu pasti sudah hangus dilalap kobaran
api.
"Ha., ha., ha., ha., ha! Tentu mereka sudah
mampus diberengus api atau setidak-tidaknya mereka
sudah tak berbentuk manusia lagi!" si topeng seram
berkata dalam hati sambil mencampakkan obor bekas
alat penyulut kebakaran itu.
"Angin kencang di musim kemarau ini telah
membantuku untuk melampiaskan dendam."
Tapi dugaannya benar-benar meleset, karena
Jaka Sembung, gadis bule atau panglima suku itu se-
lamat, walau harus menderita luka-luka kecil.
"Kau tak apa-apa, Awom?" tanya Parmin kepa-
da panglima suku.
"Tak apa-apa, hanya terbakar sedikit!" jawab-
nya singkat.
Setelah menempuh perjalanan yang menegang-
kan itu, Parmin mengajak mereka untuk beristirahat di
tempat yang cukup teduh. Ternyata masih ada sebuah
pohon yang tersisa dari amukan api karena terletak di
sebuah dataran yang tinggi. Sambil merebahkan tubuh
Yulia yang digendongnya itu, dia berkata kepadanya,
"Kuharap kau baik-baik juga, Yulia!"
Sambil mencium Rosarionya dia menjawab,
"Tuhan telah menyelamatkan kita, Parmin!"
Mereka melepaskan lelah di bawah pohon ter-
sebut sambil melucuti daun-daun pembungkus kaki
mereka. Seketika Parmin dapat memastikan diri sambil
melepaskan arah pandangannya ke arah kobaran api
itu, seraya berkata:
"Aku yakin ini perbuatan seseorang untuk
membunuh kita! Tapi sungguh keji. Untuk membunuh
dan melenyapkan tiga orang saja harus membakar hu-
tan!"
***
TUJUH
Setelah cukup istirahat, mereka kembali mene-
ruskan perjalanan dengan niat semula mencari ayah
Yulia dan pendeta Jorgen.
Di bawah teriknya sinar matahari, mereka terus
melangkah. Suasana sunyi lengang terasa di tengah
padang abu dan arang tersebut.
Tak seekor binatang pun menampak-kan ba-
tang hidungnya. Tak terdengar siul-an burung. Sege-
nap penghuni hutan seakan berkabung dengan apa
yang baru saja terjadi. Sengat matahari bertambah pa-
nas karena kini tidak ada lagi pohon-pohon tempat
berteduh. Rasa gatal dan kering menggerogot kerong-
kongan. Mereka ingin segera menemukan sumber air
untuk sekedar membasahi kerongkongan. Setelah ber-
jalan cukup lama di ujung tanah gersang kerontang
itu, akhirnya mereka menemukan sebuah danau.
"Anda lelah, Yulia? Baiklah kita istirahat di sini
untuk melepas dahaga sambil membersihkan luka-
luka!" ajak Jaka Sembung kepada kepala suku dan
panglima suku Kaimana. Seakan mengerti situasi,
Awom sengaja memisahkan diri dari pasangan muda-
mudi itu, ia merebahkan dirinya di bawah pohon rak-
sasa yang daunnya lebat serta batangnya sebesar tiga
kali pelukan manusia.
Yulia turun ke pinggiran danau dan member-
sihkan tubuh serta wajahnya yang telah dicoreng-
moreng abu dengan air danau yang jernih dan sejuk
itu. Begitu juga halnya dengan Parmin.
"Biarkan kubersihkan luka-lukamu, Parmin!"
pinta Yulia.
"Tak usah repot-repot, Yulia! Biarlah kulakukan
sendiri!"
Dengan halus Jaka Sembung menolak, tapi Yu-
lia bergegas menghampiri Parmin dan menggosokkan
air dengan jari-jarinya yang halus ke bagian tubuh
Parmin yang kotor karena abu.
"Pedih?"
"Tidak!"
Sesaat mereka berdua beradu pandang. Dengan
matanya yang biru Yulia menatap Parmin. Sinar mata
gadis itu seakan berusaha menembus bola mata Jaka
Sembung. Di pihak lain, ditatap seperti itu Parmin
menjadi rikuh juga.
"Mengapa, Yulia? Kau seperti hendak mengata-
kan sesuatu padaku!" tanya Parmin untuk menghi-
langkan rasa serba salah.
"Parmin...! Oh, aku begitu mengagumimu! Be-
lum pernah aku menjumpai seorang laki-laki segagah
dan setangkas engkau!"
"Keadaanlah yang memaksa bangsa kami un-
tuk menjadi laki-laki tangkas dan cekatan!" ujar Par-
min coba merendahkan diri.
"Ya, aku mengerti. Karena bangsamu tertindas!
Tapi pada dirimu kulihat segala-galanya, Parmin! Ga-
gah, tangkas, halus perasaanmu... Dan kulihat kau
sangat taat menjalankan agamamu di saat apapun
atau di mana pun!" puji kepala suku Kaimana dengan
nada ketulusan.
"Ah, itu memang sudah kewajiban seorang pe-
meluk agama! Engkau pun setiap saat berdo'a dan
ta'at kepada agamamu, bukan?"
"Kurasa kau terlalu memujiku... Kita hanya
bertiga di tengah hutan belantara yang luas dan
sunyi... Oleh karena itu kau tentu melihatku sebagai
manusia yang paling hebat!" Parmin tetap merendah-
kan diri
"Tidak, Parmin...! Aku kadang-kadang merin-
dukan seorang pria yang sanggup melindungiku den-
gan segala kesukaran dan keresahanku!"
Belum lagi selesai Yulia berkata. Parmin cepat
memotongnya, karena Jaka Sembung melihat suatu
gejala yang tidak ia inginkan dari gadis kulit putih ini.
"Maaf... Jangan kau teruskan kata-katamu, Yu-
lia! Jangan!"
"Kau terlalu baik untukku dan bukan itu saja,
kau ibarat Musafir di padang pasir yang sedang keha-
bisan bekal air, dan kau belum banyak menjumpai te-
laga!" lanjut Parmin agar Yulia mau mengerti apa yang
diharapkannya. Namun kenyataannya tidak, bahkan
Yulia seakan tidak mau tahu terhadap sikap Jaka
Sembung.
"Oh, tidak! Aku telah banyak melihat telaga te-
tapi tidak sebening dan sesejuk air telagamu!"
Kata-kata Yulia laksana deburan om-bak besar
yang menghantam onggokan batu karang. Namun batu
karang yang satu ini keras dan begitu tegar tak ter-
goyahkan, maka ia berusaha menjawab dengan kata-
kata halus dan hati-hati agar si gadis bule itu tidak
merasa tersinggung. Belum selesai Parmin mengutara-
kan sikapnya, tiba-tiba ia melihat benda-benda kecil
berkilat menukik ke arah Awom. Parmin berteriak
memperingatinya.
"Awom! Awas!...."
Terlambat, beberapa anak panah yang telah
melesat dari busurnya itu menancap ke tanah mema-
gari tubuh Awom dengan ketatnya, sehingga membuat
panglima suku Kaimana itu tak berdaya seakan-akan
tubuhnya terpatok kuat-kuat di atas tanah.
Nasib yang sama segera dialami pula oleh Par-
min dan Yulia. Anak-anak panah itu bagaikan beleng-
gu yang meringkus tubuh mereka.
Baru saja Jaka Sembung hendak bergerak, ti-
ba-tiba dari semak belukar di sekitar mereka bermun-
culan sekawanan suku Papua yang masih buas den-
gan tombak-tombak yang mengancam. Tetapi dalam
keadaan seperti itu, mendadak Parmin menghentak
dengan diiringi kibasan kedua tangannya yang menca-
but anak-anak panah dan sekaligus melemparkannya
kembali. Anak-anak panah itu berdesing menuju tu-
annya masing-masing.
Mereka menjerit tertahan disusul dengan tum-
bangnya tubuh mereka berguguran ke bumi dan tak
berkutik lagi.
Awom yang sudah terbebas dari belenggu anak-
anak panah itu tak tinggal diam, dengan meniru apa
yang diperbuat Parmin dia berhasil menghalau, seba-
gian kecil pasukan penyerang itu.
"Hiyaaaaat...!" Awom begitu cepat menyerap il-
mu Parmin si Jaka Sembung.
Sekali hentak lima orang suku Kanibal yang hi-
dungnya berhias tulang belulang itu ambruk seketika.
Tak ayal lagi nyawanya melayang oleh anak panah me-
reka sendiri.
Namun baru saja Awom dan Parmin merasa bi-
sa bernafas, mendadak dari atas pohon beberapa
orang suku pemakan daging manusia itu menjerat tu-
buh mereka dengan tali yang terbuat dari akar-akar
pohon raksasa.
Secepat kilat tubuh Parmin dan Awom terhen-
tak ke atas. Keduanya bergelantung-an dengan kepala
di bawah. Yulia yang sejak tadi memperhatikan perta-
rungan kedua kawannya, juga tak lepas dari sergapan
orang-orang buas dan menyeramkan itu.
Dalam waktu yang tak seberapa lama mereka
sudah tertangkap sebagai tawanan.
Mereka menurunkan tubuh Parmin dan Awom
yang bergelantungan itu. Lalu setelah tiba di bawah
mereka segera mengikat keduanya dengan akar-akar
pohon dan langsung menyeret ketiga orang itu menuju
ke perkampungan mereka.
Di bawah teriknya matahari mereka diseret ba-
gai binatang hasil buruan.
Beberapa saat setelah menelusuri hutan belan-
tara, akhirnya mereka sampai di sebuah perkampun-
gan. Para penduduknya bersorak ramai menyambut
kedatangan para pemburunya yang telah datang den-
gan membawa hasil yang tak kepalang tanggung, tiga
orang sekaligus.
Parmin, Yulia dan Awom segera diikat, masing-
masing pada sebuah tonggak kayu yang terpancang di
tengah halaman perkampungan suku primitif itu.
Hari mulai gelap, beberapa wanita penghuni
perkampungan itu menyiapkan kayu bakar yang telah
disediakan dan diletakkan di hadapan mereka bertiga.
Yulia mulai gelisah. Dia menoleh ke arah Awom dan
Parmin sambil bertanya
"Mau diapakan kita ini, Parmin?"
Dengan tenang Parmin menjawab:
"Sabar saja, kita lihat apa yang akan mereka
perbuat!"
Kayu-kayu yang tertumpuk mulai dibakar dan
perlahan-lahan api itu menjalar dan berkobar dengan
mengeluarkan kepulan asap tebal.
Malam sudah lama turun, api unggun mene-
rangi seluruh perkampungan itu. Di tengah-tengah ha-
laman kini berlangsung upacara yang dimeriahkan
oleh teriakan gegap gempita. Ada yang menari sambil
mengitari api unggun yang berkobar-kobar dan ada
pula yang menabuh gendang, berbaur hingga menim-
bulkan kebisingan.
Para wanitanya pun tak tinggal diam, mereka
turut memeriahkan upacara dengan menari-nari sam-
bil menambah tumpukan kayu yang mulai habis ter-
makan api. Sebagian laki-laki yang lain duduk bersila
membuat lingkaran di tengah halaman. Sementara itu
Parmin, Yulia dan Awom terikat kuat-kuat tak berdaya.
Mendadak sorak sorai itu berhenti. Ternyata
sang kepala suku kanibal berdiri mengangkat kedua
tangannya tinggi-tinggi dan berpidato di hadapan war-
ganya dengan bahasa mereka, disambut dengan sorak
sorai dengan riuh rendah.
Setelah sedikit memberi ulasan, sang kepala
suku duduk kembali sambil mengarahkan jari telun-
juknya kepada Yulia yang terikat di tonggak upacara.
Dengan cepat dua orang yang duduk mengeli-
lingi arena upacara itu bangkit mendekati Yulia, dan
melepaskan tali belenggu pengikat tubuh gadis-itu.
Parmin bertanya dalam hati:
"Mau diapakan dia, mengapa wanita dulu?"
Setelah bergumam begitu, dia menoleh ke arah
Awom seraya bertanya:
"Kau mengerti bahasa mereka, Awom?"
"Ya, sebelum dijadikan santapan, para tawanan
harus menghibur mereka dulu! Kepala suku Kaimana
akan diadu dengan jago-jago wanita dari suku ini!!" je
las Awom singkat.
Betul saja, diiringi sorak-sorai, muncullah di
tengah gelanggang tiga wanita suku Papua kanibal dan
mengurung Yulia.
Wanita bertampang beringas dengan buah dada
seperti pepaya dan hanya memakai cawat dari kulit bi-
natang itu agak-nya memang sudah dilatih untuk ber-
kelahi dalam upacara-upacara tradisionil seperti ini.
Dengan hiasan tulang belulang di leher serta
hidungnya membuat wanita-wanita itu bertambah se-
ram dipandang. Mata Yulia begitu gugup dan tidak ta-
hu apa yang harus dilakukannya.
"Oh, Tuhan apa yang harus kuperbuat, mereka
hendak merobek-robek tubuh-ku...!"
Dengan garang ketiga wanita itu menyerang Yu-
lia, kukunya yang panjang dan runcing itu siap mero-
bek kulit Yulia yang putih mulus.
Dalam keadaan kritis itu Parmin membisikkan
kata-kata dari kejauhan.
"Jangan gugup, Yulia! Hadapi dia dengan te-
nang! Ketengangan akan lebih mudah mengatasi sega-
la kesulitan."
Bagaikan diguyur seember air segar, semangat
Yulia sekonyong-konyong bangkit kembali, sekarang
dia telah siap untuk menghadapi serangan ketiga la-
wannya itu.
Yulia tak lupa berdo'a...
"Aku tidak takut karena Tuhan adalah pelin-
dungku."
Baru saja dia mengucapkan do'a, ketiga lawan-
nya yang ganas itu menyergap Yulia. Parmin dari ke-
jauhan dengan cepat memberi aba-aba:
"Yulia! Lompat ke kiri dan gaet kakinya!"
Yulia mempraktekkan apa yang dikatakan
Parmin, tak ayal lagi tubuh orang hitam itu terjerem
bab jatuh. Yulia melihat suatu kenyataan yang meng-
gembirakan hati.
"Benar juga kata Parmin, dia jatuh tapi yang
dua orang lagi bagaimana?"
Ketika Yulia mengamati lawannya yang sudah
tersungkur, tiba-tiba Parmin berteriak...
"Awas, Yulia!! Ah!"
Yulia tak sempat berbuat apa-apa karena dia
lengah sehingga dengan mudah tubuhnya disergap
wanita suku primitif itu. Permulaan terjadi, keduanya
berguling-guling. Para lelaki yang sedang asyik menon-
ton pergumulan itu mau tak mau diam, mereka berso-
rak sorai memberi semangat kepada jagoan mereka.
"Ayo hajar! Gigit tengkuknya!"
"Patahkan kakinya yang gurih itu!"
Yulia dihajar habis-habisan. Rambutnya dijam-
bak kuat-kuat, sementara tubuhnya tersingkap, se-
hingga pahanya yang putih mulus itu semakin men-
gundang selera mereka untuk cepat-cepat makan dag-
ing manusia. Batang leher Yulia yang jenjang dicekik,
untuk sesaat nafasnya serasa hampir putus oleh
cengkraman tangan perempuan hitam itu.
Para penonton gembira melihat jago mereka
hampir memenangi pertarungan. Namun Parmin tak
henti-hentinya memberikan petunjuk kepada Yulia.
"Yulia! Jepit pinggangnya kuat-kuat dengan ka-
kimu! Lalu lemparkan tubuhnya ke samping!"
Ucapan Jaka Sembung dipraktekkan lagi. Den-
gan sisa-sisa tenaganya Yulia menghempaskan tubuh
lawan yang menindihnya itu sehingga tubuh hitam itu
terpental. Namun Yulia kembali terperangah dengan
apa yang dihadapi ketika tiba-tiba Parmin berteriak la-
gi,
"Cepat bangkit, Yulia! Awas di belakangmu!"
Terlambat... Kedua tangan hitam yang berkuku
panjang itu telah bersarang di batang lehernya. Yulia
berusaha berkelit untuk melepaskan cengkeraman la-
wan wanitanya itu. Tapi sepasang tangan wanita hitam
itu bagaikan terpatri dan sulit untuk dilepaskan.
Yulia merasakan nafasnya semakin sesak. Ke-
ringat bercucuran dari tubuhnya sehingga kulit yang
putih itu kini berkilat seperti pualam. Di saat-saat me-
negangkan itu Jaka Sembung berontak dan tali-tali
pengikat tubuhnya putus seketika. Dengan teriakan
yang membahana ia melompat.
Seketika itu juga orang-orang kanibal yang se-
dang menonton pertarungan men-jadi terperangah ka-
get. Namun panglima suku segera memerintahkan agar
menghujani Parmin dengan senjata mereka.
Bagaikan kilat, tombak-tombak itu melesat dari
tuannya. Tetapi dengan cekatan Jaka Sembung me-
nangkis tombak-tombak itu dengan tonggak kayu yang
dicabutnya. "Jep.....!Jep...!"
Kemudian tonggak kayu itu digunakan Parmin
untuk menyerang orang-orang kanibal yang mengha-
dangnya.
"Hiyaaaaaaat...."
Tubuh mereka ambruk seketika bersama tong-
gak kayu yang menimpanya. Dengan sigap Parmin
berkelebat untuk menolong Yulia yang sedang menanti
saat kematiannya.
Bagaikan binatang buas dan ganas wanita hi-
tam itu tak mau melepaskan tubuh lawannya. Maka
sebuah tendangan keras dari Parmin mendarat di tu-
buhnya. Dengan jerit keras, tubuh hitam itu terpental
dan nyawanya pun lenyap seketika.
Parmin tak menyia-nyiakan kesempatan. Den-
gan cekatan Jaka Sembung membopong tubuh Yulia
yang hampir kehabisan nafas, sambil menyarangkan
kakinya kepada siapa pun yang coba-coba menghalan
ginya. Tak ayal lagi mereka pun ambruk berpelanti-
ngan.
Nasib baik yang menyertai Awom yang sejak ta-
di masih berusaha melepaskan ikatannya, tahu-tahu
sebilah tombak nyasar memutuskan tali tersebut.
"Bagus!" ujarnya gembira.
Kesempatan baik itu digunakan Awom untuk
menggunakan balok kayu di hadapannya untuk digu-
nakan sebagai senjata seperti apa yang dilakukan oleh
Jaka Sembung.
"Uuuh! Berat betul! Kok tidak kuat?!"
Ternyata balok yang tertancap dalam tanah itu
tak berhasil diangkatnya. Di saat itu beberapa orang
suku kanibal datang menyerang Awom yang masih pe-
nasaran ingin dapat mencabut balok kayu tersebut.
"Sial, tonggak ini tak bisa ku bedol...!"
Dalam pada itu serangan telah mengancam ji-
wanya tetapi Awom, dengan cepat membalikkan ba-
dannya menirukan gaya Jaka Sembung.
"Hiyaaaat...!"
Dengan tangan dikibaskan ke samping, kemu-
dian kaki menerjang ke depan menghantam dada la-
wan yang menyerangnya. Tak ayal lagi tubuh-tubuh
itu terpental jauh dari hadapan Awom untuk tak ber-
kutik lagi selamanya.
"Heh, sekali tepuk tujuh nyawa! Hebat betul!"
ucapnya bangga dalam hati.
Di saat sedang memandangi tubuh-tubuh la-
wannya yang telah menjadi mayat, Awom melihat seso-
sok bayangan berkelebat dengan bersenjatakan sebuah
kapak ke arah Parmin.
"Aya, kepala suku kanibal itu hendak membo-
kong Parmin!"
Baru saja kapak itu hendak diayunkan ke ba-
tok kepala Parmin alias Jaka Sembung, mendadak ka
kinya tersangkut. Betapa kagetnya kepala suku itu,
ternyata yang menggaetnya adalah Awom.
Tak bisa disangkal lagi, tubuh kepala suku ka-
nibal itu ambruk. Ketika ia berusaha bangkit, dengan
cepat Awom menghantam tubuh kepala suku itu ber-
tubi-tubi dengan tendangan geledek gaya Jaka Sem-
bung yang berhasil ditirunya.
Kepalan tangan Awom yang keras bertubi-tubi
dihujamkan ke wajah serta sikutnya bersarang telak di
perut kepala suku kanibal itu.
"Nih, pukulan gaya Parmin! Tiga sekaligus.
"Dan ini tendangan geledek Parmin. Hiyaaaaat!"
Seketika tubuh kepala suku terhuyung-
huyung. Baru saja Awom hendak bertindak lebih jauh,
ia mendengar suatu gerakan orang yang akan membo-
kongnya dengan sebilah tombak.
"Aya, ada yang menyerangku dari belakang!"
Dengan gerakan reflek, kakinya di-ayunkan ke
belakang menendang tubuh si penyerang. itu. "Gede-
buk!" Tepat bersarang di perut. Orang hitam itu berte-
riak keras karena perutnya mulas, tubuhnya ter-
huyung-huyung menyebabkan tombak yang digeng-
gamnya lepas. Dengan cepat Awom menyambar tom-
bak yang masih melayang di udara, "Tap...!" Awom
langsung menyarangkan tombak tersebut ke perut la-
wan. Untuk sesaat si pembokong itu berkelojotan me-
regang nyawa, kemudian terkulai tak berkutik lagi.
Kepala suku yang baru sadar dari pingsannya
kini bangkit lagi siap menyerang Awom. Dia melompat
dengan cepat laksana seekor serigala lapar sambil
mengayunkan kapaknya ke batok kepala Awom. Tapi
Awom berkelit dengan cepat sambil menangkis seran-
gan lawannya dengan tombak yang baru saja diguna-
kannya.
"Heit!"
Bersamaan dengan patahnya tombak akibat
hantaman kapak, Awom mengibaskan tangan kirinya
sambil berteriak penuh percaya diri.
"Masuk...!"
Tak ayal lagi tubuh hitam kelam itu termakan
patahan batang tombak di tangan Awom, darah me-
nyembur dari lambungnya, dan tubuhnya terhuyung-
huyung ke belakang.
Dengan gemilang Awom berhasil merobohkan
sang kepala suku kanibal itu. Serentak Awom berteriak
keras sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri seperti
seekor gorila yang menang bertanding. Hal ini sengaja
ia lakukan agar anggota suku kanibal yang tersisa
menjadi ngeri kepadanya.
"Berhentiiiiiiii! Berhenti semua! Kepala suku
kalian sudah mampus di tanganku!!" teriaknya dengan
penuh kewibawaan.
Suasana hening sejenak, orang-orang suku ka-
nibal yang sedang mengeroyok Parmin, seketika berba-
lik memandangi Awom seperti tak percaya dengan ke-
nyataan yang terjadi.
""Kalian tak percaya?! Lihatlah ini!" Awom ber-
teriak sambil memperlihatkan apa yang sedang dipe-
gangnya.
Sementara Awom sedang mendemontrasikan,
Parmin merebahkan tubuh Yulia dari gendongannya
dan segera menolongnya memberikan pernafasan bua-
tan. Dengan cara meniupkan udara dari mulut ke mu-
lut, Yulia telah siuman.
"Oh...!! lenguhnya dengan lirih.
"Untunglah masih bisa tertolong!" ucap Parmin.
Tapi agaknya pertolongan darurat itu telah menimbul-
kan kesan dan prasangka lain pada diri gadis Belanda
ini, kelembutan bibir Jaka Sembung telah membuat-
nya melambung ke alam impian yang sudah lama ia
nantikan. Oleh karena itu begitu siuman, Yulia serta
merta memeluk tubuh Parmin.
"Oh! Parmin! Aku takut...!!
"Tenanglah, Yulia! Kita selamat!" Jaka Sembung
berusaha melepaskan pelukan gadis jelita itu. Terasa
sekali betapa getaran tubuh Yulia seakan menuntut
kejantanan pemuda yang dikaguminya.
"Bagaimana mungkin kita bisa selamat dari tar-
ing-taring suku kanibal itu?!" tanya Yulia dengan tata-
pan mata menantang.
"Panglima perangmu itu berhasil memenggal
kepala suku buas itu dan sedang meyakinkan mereka
bahwa kita utusan dewa!" Benar kata Parmin, Yulia
mendengar suara Awom sedang berbicara di depan ra-
kyat itu persis seperti gaya Yulia sendiri ketika meya-
kinkan suku Kaimana dulu.
"Biar kulitku sama dengan kalian, aku adalah
utusan dewa!!"
"Aku adalah dewa hitam! Dewa yang memerin-
tah sekalian binatang di hutan belantara ini! Beliau
yang itu," sambil menunjuk ke arah Parmin. "Adalah
dewa coklat yang menguasai bumi yang berwarna cok-
lat ini! Sedangkan yang satu lagi dewa putih yang
menguasai langit dan awan putih yang bergumpal-
gumpal di atas sana!"
Namun agaknya mereka tidak gampang percaya
dan puluhan suku kanibal telah mengurung mereka.
Perhatian mereka ter-utama ditujukan kepada Awom
yang diang-gap telah memperdayakan mereka.
"Kita cincang!"
"Kupingnya untukku, disambal go-reng!!"
"Bikin sate!"
Mereka masing-masing berkata sekehendak pe-
rutnya dan segera menyerang Awom dengan ganasnya.
Awom yang memang tak banyak berbuat ba
nyak gelagapan dengan keroyokan orang-orang itu.
"Wah! Celaka aku bisa mampus dibuatnya!!"
Nyawa Awom bagai di ujung tanduk. Di saat
yang genting itu tiba-tiba Parmin si Jaka Sembung
bersalto ke udara menuju tonggak kayu yang masih
terpancang di tengah-tengah arena.
Dengan mengerahkan ilmu yang sangat dah-
syat, dia menghajar tonggak pohon raksasa itu dengan
menggunakan telapak tangan miring. "Hiyaaaaaaa!!"
Tonggak kayu yang cukup besar itu hancur
berkeping-keping seperti dibelah kapak dan jatuh ber-
serakan di hadapan mereka.
Parmin tak diam hingga di situ dan dengan
menggunakan kepingan kayu itu ia mendemontrasikan
kebolehannya. Maka bagaikan anak-anak panah yang
melesat dari busurnya, patahan kayu itu menancap
menghiasi batang-batang pohon raksasa di sekitar ha-
laman perkampungan itu.
Suku kanibal terperanjat melihat kehebatan
Parmin. Ada yang melotot seakan mau keluar biji ma-
tanya dan sebagian dari mereka ada yang menggigil
karena ketakutan.
Dalam kesempatan itu Awom berkhotbah lagi
walau sebenarnya ia masih merasa khawatir apakah
Jaka Sembung sudah meyakinkan mereka. Tapi kecer-
dikan pemuda Kaimana ini sanggup menguasai kea-
daan.
"He, he., he., he! Apa aku kata? Jangan main-
main!"
Sambil menunjuk ke arah kepingan balok yang
menancap di batang-batang pohon besar itu dia berka-
ta:
"Coba lihat! Batok kayu yang besar dan keras
seperti itu saja bisa bobol, apalagi batok kepala kalian
semua...!"
"Kalian tidak percaya bahwa kami semua ini
utusan dewa! Ayo kalian bersujud semua! Menyem-
bah!!"
Bagaikan gerak sebuah ombak laut, orang-
orang suku primitif itu menurut apa yang diucap
Awom, lalu mereka menjatuhkan diri untuk bersujud
ke hadapan mereka. Pada saat itulah Yulia melihat
bahwa salah seorang di antara mereka mengenakan
sebuah rosario.
Suasana sunyi sejenak lalu pada saat itu Jaka
Sembung menyuruh Awom untuk menanyakan sesua-
tu kepada suku kanibal itu.
"Awom, tanyakan kepada mereka, di mana me-
reka mendapatkan kalung salib itu?"
Spontan Awom bertanya kepada salah seorang
yang berada di barisan paling de-pan.
"Dewa coklat berbicara dalam bahasa kahyan-
gan, beliau bertanya di mana kalian mendapatkan ka-
lung orang kulit putih itu!"
Sambil menunjuk ke arah bukit yang menju-
lang tinggi, orang itu berkata:
"Di bukit hulu sungai sebelah Timur!"
Setelah mendapat keterangan Parmin dan ka-
wan-kawannya segera melanjutkan perjalanannya. Yu-
lia meminta Rosario itu dari mereka dan ia segera
mengenali bahwa kalung salib itu adalah milik ayah-
nya sendiri.
"Cepat! Kita pergi dari sini untuk menyelidiki
tempat itu," ajak Yulia, Baru saja satu langkah, Awom
berbalik dan berkata:
"Dewa-dewa mengampuni jiwa kalian! Kami
akan segera pergi dari sini dan kalian boleh mengang-
kat kepala suku baru!"
"Cepat kita pergi sebelum mereka tahu kita de-
wa-dewa palsu, Awom!" teriak Parmin memberi perin
gatan.
Parmin dan Yulia terus melangkah, sedangkan
Awom masih penasaran terhadap apa yang baru dila-
kukan Parmin terhadap tonggak kayu yang terpancang
di tengah arena upacara. Ia segera menghampiri tong-
gak kayu lain yang masih berdiri tegak.
"Hebat sekali.;.! Bismillah," kemudian teriak-
nya, "Ciaaaat...!
Dengan suatu loncatan dan teriakan dia meng-
hajar tonggak kayu itu dengan pukulan telapak tangan
dimiringkan. Kalau Parmin bisa berbuat begitu karena
memiliki ilmunya, sedangkan Awom yang hanya meni-
ru-niru, maka akibatnya menjadi sangat fatal, tangan
itu menjadi bengkak seketika. Dia berusaha menahan
sakit dan menyembunyikan tangan yang babak belur
itu ke dalam celah pahanya dari penglihatan orang-
orang suku kanibal sambil cepat berlalu sambil ter-
bungkuk-bungkuk. Orang-orang suku kanibal yang
sedang memperhatikan mereka bertiga, seketika kaget
melihat tingkah laku Awom yang konyol tersebut. Me-
reka saling pandang dan bertanya-tanya.
Belum lagi suku kanibal itu mengerti permasa-
lahannya, Awom cepat berkata:
"Uuuh! Kalian jangan heran! Dewa juga kadang
suka melucu, he., he., he., he!"
Akhirnya sambil berlari dan nyengir nyengir
bajing menahan sakit, Awom memaki-maki mereka da-
lam bahasa melayu.
"Selamat tinggal kerbau-kerbau dungu!"
***
DELAPAN
Tiga hari sudah mereka meninggalkan perkam-
pungan suku Papua pemakan daging manusia itu. Be-
berapa kali pula mereka beristirahat untuk mele-
paskan lelah. Kadangkala mereka bercerita tentang
kampung halamannya masing-masing sampai larut
malam. Mereka tidur secara bergantian. Itu juga kalau
suasana memungkinkan, atau kadangkala mereka ti-
dak tidur sama sekali.
Pagi itu cuaca cerah sekali, sang fajar mulai
menampakkan kemilau sinarnya. Binatang hutan ber-
larian hilir mudik.
Pagi berganti siang, matahari mulai bergeser ke
titik Kulminasinya. Binatang yang pagi hari berkeliaran
kini tak nampak lagi. Mereka berteduh di tempatnya
masing-masing dari sengatan matahari,
Nampak Awom dan Parmin yang menggandeng
tangan Yulia berjalan tertatih-tatih menuruni perbuki-
tan setelah keluar masuk hutan belantara. Dengan su-
sah payah akhirnya mereka di tepi sungai dengan ke-
dua tepinya agak gundul tak terdapat pohon-pohon
tinggi.
"Ini sungainya!" Awom memberitahu-kan Par-
min sambil menyapu pandang ke tempat yang jauh di
seberang sana.
"Mungkin bukit di depan itu yang mereka mak-
sud!"
Setelah berhenti sejenak, mereka melanjutkan
perjalanan menuju bukit tersebut. Mereka berputar
mencari bagian sungai yang agak dangkal untuk me-
reka seberangi. Kira-kira beberapa ratus meter me-
langkahkan kaki, akhirnya mereka mene-mukan ba-
gian sungai yang banyak terdapat batu-batu besar.
Setelah menyeberangi sungai itu mereka sam-
pai di kaki sebuah tebing yang agak terjal. Parmin, Yu-
lia dan Awom naik merambat ke atas dan sampailah
mereka ke suatu tempat yang mereka tuju.
Mereka terus melangkah sambil mengamati be-
kas jejak-jejak sepatu yang cukup banyak terdapat di
sana. Tanpa mereka sadari sepasang mata dari balik
bebatuan mengintai mereka.
"Apakah kau yakin ayahku masih hidup, Par-
min?" tanya Yulia.
"Aku tak bermaksud mendahului keputusan
Tuhan, tapi firasatku mengatakan demikian, Yulia,"
jawab Jaka Sembung mantap.
Sepasang mata yang mengintai mereka bertiga
mengarahkan mulut bedil lalu mengokangnya. Parmin
yang memang sudah terlatih pendengarannya segera
bergerak untuk bertindak.
"Tiaraaaaap!" teriak Parmin.
Dengan cepat mereka menjatuhkan diri mas-
ing-masing, hingga sebuah timah panas luput dari sa-
saran. Namun demikian orang asing yang di atas sana
tak cuma sekali memuntahkan pelurunya, bahkan se-
makin membabi buta. "Dar... dor... dor!!"
"Awas, Yulia!" teriak Parmin sekali lagi.
"Auww...!"
Hampir saja Yulia terserempet peluru. Dalam
situasi seperti itu, Parmin segera mengatur siasat.
"Lari ke sungai, Awom! Cepat!"
Awom melompat sambil berguling-guling menu-
ju ke arah sungai.
Baru saja ia sampai di tepi sungai, sebuah pe-
luru berdesing nyaris menyambar-nya. Untung saja ia
langsung menjatuhkan tubuhnya ke sungai. "Byur...!"
Berondong-an peluru bedil itu terus mencecarnya.
Awom menyelam lebih dalam untuk menghindari ti-
mah panas itu. Ketika merasa tak ada lagi bunyi tem-
bakan, Awom segera menyembulkan kepalanya ke atas
permukaan air.
Selang berapa lama dia berenang, tiba-tiba ba-
haya yang lebih ganas datang menghadangnya. Awom
terkejut, binatang yang ternyata ular yang sebesar ba-
tang pisang mendadak melilit tubuhnya.
Pergumulan tak dapat dielakkan lagi. Ular itu
terus melilit seakan hendak meremukkan tulang-
belulang pemuda kulit hitam ini. Awom mencengkeram
leher ular dan mencekiknya kuat-kuat. Air sungai yang
semula tenang, kini bergejolak menimbulkan deburan
ombak dan gelombang-gelombang air.
Parmin dari kejauhan menyaksikan pertarun-
gan antara hidup dan mati itu.
"Yulia! Awom diserang ular!"
Yulia yang sudah kenal keahlian orang suku
Kaimana dengan tenang menjawab:
"Biarkan saja! Suku Kaimana terkenal sebagai
penakluk binatang buas dan berbisa!"
Benar saja apa yang diucapkan Yulia. Kini
Awom sudah dapat menguasai keadaan. Tangannya
dengan cekatan memukulkan kepala ular ke sebuah
batu besar hingga batok kepala binatang reptil itu pe-
cah seketika tak berkutik lagi. Namun baru saja lolos
dari lobang jarum, beberapa tembakan kini datang
mengarah kepadanya. Awom berkelit sambil melem-
parkan ular itu ke si penembak gelap yang berada di
atas bukit.
Ular besar yang masih dalam sekarat itu kini
segar kembali dan melilit mangsanya. Orang asing itu
berusaha melepaskan lilitan itu dari tubuhnya. Namun
usahanya itu sia-sia, bahkan jepitan ular itu semakin
keras dan masih dapat mematuk tepat mengenai peli-
pisnya, Tak ampun lagi tubuh orang asing itu kaku
dan ambruk berguling-guling dari atas bukit ke lembah
tempat Parmin dan Yulia berada.
Parmin dan Yulia menghampiri tubuh itu dan
membalikkannya, ternyata tubuh itu sudah tak ber-
nyawa lagi. Parmin mengamati tubuh orang kulit putih
itu dan bertanya,
"Apakah itu ayahmu?"
"Kurasa bukan! Pakaian ayahku adalah sera-
gam kelasi!" sahut Yulia.
Sengatan matahari kian bertambah hebatnya,
apalagi ditambah hawa panas dari dalam bumi yang
gundul berbatu-batu itu membuat mereka mandi ke-
ringat.
Parmin dan Yulia memanfaatkan kesempatan
yang ada untuk membasahi tubuh dengan sungai. Se-
gar rasanya setelah terkena siraman air.
Setelah itu Parmin mengajak Yulia dan Awom
untuk menaiki bukit batu di atas, dengan maksud agar
mereka lebih leluasa mengamati sekeliling tempat ter-
sebut.
"Coba kita agak ke atas! Dari sana mungkin ki-
ta lebih leluasa melihat ke sekeliling kita!"
Baru saja beberapa langkah mereka menaiki
bukit, Parmin mendengar suara orang berbicara. Den-
gan berlindung di balik sebuah batu besar, mereka me-
longok ke bawah.
"Sssst!! Coba lihat di bawah sana! Ada dua
orang asing sedang menggali tanah!" ucap Parmin
sambil menunjuk ke arah dua orang asing yang dili-
hatnya. Yulia seakan tak percaya dengan apa yang ba-
ru dilihatnya. Dua orang asing dengan pakaian com-
pang-camping sedang menggali tanah, Yulia terus
mengamati dua orang asing itu yang tak lain adalah
orang sebangsanya sendiri yang memiliki warna kulit
sama dan rambut yang sama pula. Sedang mencari
apa mereka menggali tanah di tempat gersang seperti
ini! Pikirnya.
Ingin rasanya Yulia memanggil dan berteriak
siapa mereka itu sebenarnya. Baru saja hendak dila-
kukannya, dengan cepat Parmin mendekap mulut Yu-
lia, seraya berkata:
"Tenang, Yulia! Jangan bertindak gegabah!
Nanti mereka mengetahui kedatangan kita sebelum ki-
ta sendiri menguasai situasi lembah ini," jelas Parmin.
"Oh, maafkan aku, Parmin. Aku sudah tidak
dapat menahan rindu kepada ayahku!" keluh Yulia.
"Ya.. ya... ya. Aku mengerti perasaanmu, tapi
bersabarlah sebentar!" pinta Parmin.
Sambil berusaha menenangkan hati gadis Be-
landa itu, mereka juga melihat beberapa orang kulit
putih dengan pakaian serdadu Kompeni Belanda me-
megang bedil dan bertindak sebagai seperti sedang
mengawal budak-budak yang sedang kerja paksa.
"Godverdom zeg! Ayo kerja terus!" bentak salah
seorang dari mereka sambil menenggak air untuk
membasahi tenggorokannya.
"Berilah aku minum! Aku haus!" rintih salah
seorang pekerja sambil memohon agar diberi seteguk
air untuk membasahi kerongkongan yang kering. Na-
mun permintaannya itu tak dihiraukan oleh serdadu
penjaga itu dan berbalik membentak, "Kerja dulu, baru
minum!!"
Yulia yang sejak tadi memperhatikan tingkah
orang yang memegang senjata tak dapat menahan
emosinya ketika ternyata pekerja yang minta minum
itu ternyata adalah orang yang selama ini sedang dica-
rinya.
"Oh Tuhan! Itu... Itu ayahku!" teriak Yulia.
Terlambat Parmin mendekap mulut Yulia yang
terlanjut berteriak memanggil ayahnya. Saking keras-
nya teriakan Yulia, orang-orang berseragam serdadu
itu ter-perangah dan menoleh ke arah mereka berada,
"Hei, suara siapa di atas?! Raf!! Rafles?!!" orang bersen
jata itu memanggil nama temannya namun tak ada ja-
waban.
Merasa teriakannya tak dapat jawaban, dia
sengit dan naik pitam. Sambil mengancam dia mem-
bentak,
"Menyahut atau kutembak! Cepaaaaaaat!"
Baru saja dia akan menarik pelatuknya, tiba-
tiba dia mendengar suara batu-batu yang berguguran
dari atas bukit.
"Godverdom zeg!" teriaknya.
Ternyata penyebabnya adalah sekumpulan ke-
lelawar yang keluar dari sebuah lobang di atas tempat
ia berdiri. Terdengar ia memaki lagi dengan bahasa Be-
landa.
Setelah kelelawar itu berlalu, tiba-tiba dia ingat
kepada temannya yang disuruh ambil air di sungai,
"Godverdom zeg! Lama sekali si Rafles men-
gambil air di sungai!" gerutunya dengan kesal.
Sambil bersungut-sungut matanya berputar
untuk melihat bukit tandus itu. Tiba-tiba dia menden-
gar percakapan orang yang sedang menggali tanah,
"Hah?! Apa ini?..,! Huh?! Bongkahan kuning berca-
haya... Tapi bukan belerang!"
Belum lagi si penggali tanah mengamati te-
muannya, mendadak orang yang bersenjata itu telah
berada di hadapannya, seraya menodongkan moncong
senjatanya.
"Hah, apa kau bilang?! Berikan batu-batu itu
padaku!!"
Ia segera mengamati benda alam yang kekun-
ing-kuningan itu.
"Ha... ha... ha! Ini bongkahan emas! Tambang
emas! Sudah kukatakan bahwa di sini banyak terdapat
emas!"
Sambil menendangkan kakinya ke tubuh orang
yang menggali tanah itu, dia dengan kasar memberi-
kan perintah,
"Ayo kerja terus, zeg! Gali lagi biar banyak! Kita
akan menjadi kaya raya! Ha... ha... ha... ha!"
Saking asyiknya orang itu dengan kegembi-
raannya, dia tak menyadari bahwa beberapa pasang
mata terus mengintainya.
"Benar itu ayahku!! Sengsara betul keadaan-
nya!" tanpa sengaja Yulia mengeluarkan suara keras
hingga terdengar oleh penjaga yang bersenjata itu, "Eit!
Ada suara orang dari atas bukit! Aku yakin itu bukan
suara Rafles!!"
"Jangan-jangan ada yang memata-matai tam-
bang mas kita! Kau tunggu di sini! Aku akan mengon-
trol ke atas bukit!"
Ia terus menaiki bukit sambil mengendap-
endap dan akhirnya sampai tepat di belakang Parmin
dan Yulia. Dari tempat ketinggian ia bermaksud mem-
bokong para pengintai itu. Baru saja dia mengokang
dan mengarahkan senapannya ke arah Parmin dan Yu-
lia mendadak dari belakang ada orang yang menyer-
gapnya. Senapan itu pun meletus lepas mengarah ke
langit yang tinggi, "Dor!" Mendengar suara tembakan
itu, Yulia dan Parmin membalikkan badan dan ber-
siap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.
"Oh, itu Awom di atas! Ia berusaha menyela-
matkan kita!" teriak Yulia.
Awom tak memberi kesempatan orang kulit pu-
tih itu, ia terus memitingnya dengan sekuat tenaga.
Tapi tubuh besar itu terus-menerus meronta hingga
Awom tidak bisa mengimbangi lawannya.
"Orang kulit putih ini punya tenaga raksasa,
aku bisa dibantingnya!"
Saat itu Awom terus berpikir bagaimana cara
untuk melumpuhkan lawannya yang besar itu. Akhir
nya ia menemukan sesuatu sebagai jalan keluar dan
serta merta ia meraih sebuah benda yang tak lain se-
buah kelewang yang tersandang di pinggang serdadu
itu...
"Nah pedang ini harus memakan tuannya!" pi-
kir Awom sambil menancapkan pedang itu ke perut
tuannya sendiri.
Suara teriakan kencang keluar dari mulut
orang kulit putih itu, "Aaaaaaaa...!" Seketika itu pula
Awom menghempaskan tubuh raksasa itu ke bawah
bukit yang terjal berbatu-batu kerikil yang runcing dan
tajam.
Melihat kejadian itu penggali tanah kaget bu-
kan main, sementara tubuh serdadu kumpeni Belanda
itu ambruk ke bumi dengan kepala remuk. Tubuh itu
menegang beberapa saat sebelum terkulai untuk se-
lama-lamanya.
Melihat itu, si penggali tanah segera berlari
sambil menjerit-jerit dengan paniknya.
"Simon! Simooooooon!! Kau... Kau mati?! Oh,
jangan tinggalkan aku sendiri, Simon! Aku takut!" Dia
terus merangkul tubuh kawannya yang sudah terbujur
kaku. Belum lagi hilang rasa takut menghantui di-
rinya, tiba-tiba seorang pemuda kulit hitam telah be-
rada di hadapannya. Orang bule bertubuh kurus dan
kotor itu terperangah melihatnya.
"Hah, orang kulit hitam!" pekiknya "Aaaaaaaa...
Jangan bunuh aku! Jangan!!" orang bule itu memohon
dengan penuh ketakutan.
Namun Awom tetap diam berdiri mematung tak
mengeluarkan sepatah kata, bahkan terus memandang
dengan garang. Orang bule itu menjadi ketakutan apa-
lagi Awom lebih menampakkan keangkeran dengan so-
rot mata yang tajam.
"Aaaaa!! Jangan!!"
Ketika rasa takutnya kian memuncak, Yulia
berlari menghampirinya diiringi Parmin dari belakang.
Sambil teriak-teriak,
"Ayah!! Ayah!!"
Namun panggilan Yulia itu tak membuat orang
bule berpakaian compang camping itu sadar, justru
rasa takutnya semakin menjadi-jadi dengan tubuh
yang gemetar hebat.
"Jangan!! Jangan bunuh aku!!" teriaknya sam-
bil tangan kirinya ke belakang untuk mengambil be-
lencong yang digunakan menggali tanah tadi siap akan
dihantam-kan ke tubuh Awom. Sementara si bule ber-
tubuh kurus itu jadi ketakutan sendiri, tak kuasa
menggunakan belencong terse-but.
Yulia kini berada beberapa langkah dari orang
tua kulit putih sambil merentangkan kedua tangan-
nya.
"Ayah!! Ayah!! Ini Yulia, ayah...!"
Tapi agaknya orang Belanda ini sudah tak
mengenali siapa lawan siapa kawan lagi bahkan ia be-
rubah menjadi kalap dan beringas.
Parmin segera maklum bahwa ayah Yulia telah
mengalami goncangan jiwa yang sangat berat sehingga
menjadi sakit ingatan. Van Boerman semakin menjauh
dan bergegas menaiki bukit.
"Pergi! Pergi!! Atau kubunuh kalian!" teriaknya
dengan sinar mata liar.
"Ayah! Ini aku! Anakmu!" Yulia berteriak den-
gan tangisan berharap kepada ayahnya agar dia men-
genalinya sebagai anaknya sendiri yang hilang terpisah
se-lama ini.
Parmin pendekar Gunung Sembung yang sejak
tadi memperhatikan suasana memprihatinkan itu
menghampiri Yulia sambil memberikan gambaran agar
dia dapat memahami keadaan ayahnya.
"Sabar, Yulia! Jangan kau dekati dia! Pikiran-
nya mungkin telah terganggu akibat tekanan batin
yang dialaminya selama ini!"
Orang tua kulit putih itu terus melangkah, ia
berusaha melarikan diri ke atas bukit yang menjulang
tinggi itu sambil berteriak-teriak seperti orang keseta-
nan. "Pergi! Pergi!!"
Yulia hanya dapat memandang dengan sedih
dan pilu dari kejauhan, ia benar-benar merasa prihatin
melihat kenyataan bahwa orang yang dirindukannya
selama ini ternyata sudah tak mengenalinya lagi.
Dengan tangis tertahan, ia membenamkan diri
ke dada Parmin.
"Oh!!!" isaknya menggebu.
"Yulia, tenang! Ia akan membunuhmu dengan
belencong di tangannya itu jika kau mendekat!" Parmin
menasihati Yulia dengan sabar. Lalu dia menoleh ke
belakang ke arah Awom yang masih berdiri di tempat-
nya karena tak tahu mesti berbuat apa untuk meng-
hadapi situasi seperti itu.
"Awom! Kau ikuti dia! Cegat dari atas dan ingat,
jangan sampai mengejutkan dia! Hati-hati!" perintah
Parmin kepada panglima suku yang setia itu.
Dengan mengangguk, ia pergi ke arah yang ber-
lawanan dengan bukit di depan-nya. Akalnya yang
cerdas membuat ia mengambil inisiatif itu.
Sementara Van Boerman terus melangkah jauh
meninggalkan Yulia dan Parmin dengan langkah ter-
seok-seok sambil ngoceh dan memaki. Keringatnya
bercucuran karena sengatan matahari di atas bukit
yang tandus itu. Tak lama kemudian orang Belanda
kurus itu telah sampai di atas puncak bukit. Dia tidak
menghiraukan apa yang bakal terjadi pada dirinya. Ta-
ngannya mengacung ke atas sambil menggenggam be-
lencongnya. Matanya mendelik seakan mau ke luar
dan mulutnya tak henti-hentinya berteriak,
"Ha., ha., ha., ha! Kalian jangan cari mampus!
Naiklah! Belencong ini akan berbicara! Ayo naik!"
Mungkin menurut anggapannya ketiga orang
pendatang itu bermaksud hendak membantainya. Itu
ia ketahui dari kematian kawannya yang berseragam
serdadu Kumpeni Belanda tadi. Kini dia harus menye-
lamatkan diri, terutama dari ancaman seorang pemuda
kulit hitam yang menurut anggapannya pastilah seo-
rang suku primitif yang suka makan daging manusia.
Sementara itu Awom sendiri sudah mengambil
jalan pintas memutar dan sedang menaiki bukit itu da-
ri arah belakang. Dengan sangat hati-hati ia merayap
agar tidak diketahui oleh lelaki tua kulit putih yang
sedang kalap itu.
Awom kini sudah berada tepat di belakang Van
Boerman yang sedang dihantui oleh pikirannya sendiri.
Perlahan-lahan Awom mendekati orang tua itu dan pa-
da kesempatan yang baik, dia menyergap tubuh kurus
kering dan kumal itu. "Hep!!" "Raaaaaa?!"
Orang itu berteriak sambil meronta-ronta serta
mengibas-ngibaskan belencongnya dengan sepasang
tangannya yang sangat kokoh.
Awom mendekap dengan sekuat tenaga. Tetapi
di luar dugaannya tubuh kurus itu seperti memiliki
kekuatan yang luar biasa. Dengan sebuah hentakan
keras, ia meronta dan berhasil meloloskan diri dari be-
kukan Awom.
Kenyataan yang mengejutkan itu membuat
Awom kehilangan keseimbangan dan kakinya tergelin-
cir di bibir tebing. Maka tak ayal lagi tubuh mereka
berdua terhempas ke bawah, merosot di dinding bukit
yang penuh dengan tonjolan batu runcing dan tajam.
Awom merasakan tersenggol sesuatu dan akhirnya ke-
sempatan itu dia gunakan tangannya untuk menjambret benda yang ternyata akar pohon liar yang tumbuh
di dinding bukit sebagai tempat bertahan sementara.
Yulia yang sejak tadi memperhatikan adegan
menegangkan itu semakin bertambah cemas. Betapa
tidak tubuh orang yang dikasihi dan panglima suku
yang setia itu nyaris hancur jatuh ke bawah. Dia me-
nutup matanya yang tak kuasa menyaksikan hal itu.
Dia berusaha untuk tetap tabah sambil berdo'a.
Parmin tak tinggal diam. Ia melompat dengan
cepat menyambar belencong yang masih melayang di
udara. "Tap! Tap...!"
Kedua tubuh yang sedang bergelayut di akar
pohon tampak sudah kehabisan tenaga karena harus
menahan bobot tubuh sendiri.
Sementara Parmin yang telah berhasil me-
nyambar belencong, berlari ke kaki bukit seraya me-
lemparkan belencong itu sekuat tenaga agar dapat ter-
tancap kuat-kuat di dinding tebing.
"Awom! Peganglah ini!"
"Dep.. dep!" Bersamaan dengan tertancapnya
belencong di dinding bukit, akar tempat bergelayut itu
pun patah. Kraak! Untunglah Awom dengan cekatan
menyambar gagang belencong tersebut. Tab! Kini tu-
buh mereka telah bergelantungan pada gagang be-
lencong, seketika itu Parmin berteriak.
"Awom, lepaskan tubuh orang kulit putih itu!!
Belencong yang kau pegang itu tak mampu menahan-
nya!"
Segera Awom melepaskan tubuh dalam deka-
pannya. Serta merta tubuh itu melayang laksana ka-
pas yang ditiup angin. Parmin si Jaka Sembung yang
benda di bawah kaki bukit itu telah siap untuk me-
nangkap tubuh kerempeng itu dengan memasang ku-
da-kuda yang cukup kuat sedangkan Yulia lagi-lagi
menutupi mukanya karena tak kuasa melihat adegan
yang mengerikan itu.
Dengan pengaturan nafas dan keyakinan yang
kuat Parmin menangkap tubuh Van Boerman dengan
selamat. "Hep! Tab!"
Sedangkan Awom mulai berdebar-de-bar meli-
hat belencong yang sebentar lagi akan lepas dari tan-
capannya di dinding tebing itu.
"Oh, Dewa! Mengapa manusia tidak mempunyai
sayap seperti burung?! Dan mengapa kejadian seperti
ini terjadi pada diriku!" Awom berdo'a menanti datang-
nya dewa penolong yang akan membebaskannya. Se-
mentara itu Parmin sedang meletakkan tubuh kerem-
peng yang sudah tak sadarkan diri itu di hadapan Yu-
lia. Kini dia bergegas untuk menolong Awom yang se-
dang dalam keadaan kritis.
"Sekarang giliranmu, Awom! Ayo lepaskan pe-
ganganmu!" teriak Jaka Sembung.
Tanpa berpikir panjang lagi Awom langsung
melepaskan tangannya dari gagang belencong yang di-
pegangnya. Seketika itu tubuhnya melayang. Parmin
dengan tegap dan kokoh memasang kuda-kuda sambil
merentangkan kedua tangannya siap menyambut tu-
buh Awom yang melayang deras ke bawah. Tubuh pe-
muda hitam itu dengan selamat ditangkapnya.
Peristiwa yang menegangkan itu kini telah ber-
lalu. Parmin dan Awom segera menghampiri Yulia yang
sedang memeluk tubuh Van Boerman yang belum sa-
darkan diri. Tubuh lelaki itu diguncang-guncangnya
perlahan-lahan.
"Ayah! Ayah! Sadarlah, ayah! Ini aku Yulia
anakmu!"
Beberapa saat kemudian Van Boerman mem-
buka kelopak matanya perlahan-lahan, Yulia berteriak
gembira.
"Ayah! Ini aku Yulia anakmu!" Namun apa yang
diharapkan oleh gadis Belanda ini belumlah tercapai.
Van Boerman tiba-tiba mendelik dengan sinar mata
liar.
"Waw! Jangan bunuh aku! Pergi! Pergi! Aku tak
mau dicincang! Seperti kalian mencincang kawan-
kawanku!"
Van Boerman masih saja dibayangi oleh peris-
tiwa yang terjadi pada diri ka-wan-kawannya di waktu
yang lampau.
"Ayah! Sadar! Aku ini Yulia anakmu bukan su-
ku kanibal yang kau maksud itu!"
"Oh, tidak! Tidak!" jawabnya sambil mengang-
kat kepala dan memandang Yulia. Dia belum juga be-
rada dalam kewarasannya. Yulia mengeluarkan sebuah
benda yang menurut pendapatnya akan menyembuh-
kan ingatan ayahnya.
"Lihatlah! Salib suci ini, ayah!"
Betapa kagetnya lelaki tua itu setelah melihat
rosario yang dikenalnya sebagai pembangkit spiritual
bagi dirinya.
Bagaikan disiram seember air orang itu mulai
ingat akan dirinya.
"Oh, Bapa yang di surga! Ampunilah aku!"
Ingatannya mulai membaik dan memandangi
seorang gadis cantik bermata biru di hadapannya den-
gan serius.
"Yulia! Kaukah anakku?" tanya Van Boerman
dengan bergetar.
Betapa gembiranya Yulia mendengar kata-kata
seperti itu, dia langsung mendekap erat-erat tubuh
ayahnya yang setelah sekian lama terpisah darinya.
Dengan linangan air mata yang membasahi pipi, Yulia
tak henti-hentinya menciumi ayahnya.
"Ayah!! Oh, ayah betapa gembiranya hatiku!"
"Yulia! Syukurlah kau selamat, sayang! Aku
sudah putus asa mencari dirimu!" jawab sang ayah
dengan luapan rindu yang tak terbendung lagi.
Matahari yang mulai bergeser ke ufuk Barat ke-
lihatan cerah seakan turut gembira serta bahagia me-
lihat pertemuan anak dan bapak tersebut. Mereka te-
rus berpelukan tanpa menghiraukan orang-orang di
sekelilingnya.
Parmin dan Awom juga turut terharu melihat
peristiwa yang menggembirakan itu. Air mata berkaca-
kaca di pelupuk mata mereka. Sejenak ingatan Jaka
Sembung melayang ke tempat nan jauh di sana, pulau
Jawa tempat ia berasal. Ia ingat Eretan tempat tinggal
gurunya. Ia ingat Kandang Haur tempat tinggal keka-
sih hati yang sangat dicintainya. Entah kapan ia dapat
bertemu kembali dengan Roijah yang telah lama di-
tinggalkannya. Lamunan Parmin tiba-tiba tersentak,
karena mendengar orang tua yang bernama lengkap
Yan Van Boerman itu berbicara sambil tak lepas dari
dekapan anak gadisnya.
"Terima kasihku tak terhingga kepada anda
berdua, tuan pendekar yang gagah!" ucapnya dengan
bergetar menahan luapan rasa gembira dan rasa syu-
kur yang sangat dalam.
"Entah bagaimana jadinya seandainya tidak
ada tuan berdua, kami tentu akan terpisah untuk se-
lama-lamanya," sambungnya sambil menahan isak
tangis.
"Semuanya adalah berkat rahmat Ilahi, tuan
Boerman! Tuhan telah mempersatukan anda berdua
melalui usaha kami," jawab Parmin dengan rendah ha-
ti.
"Anda telah menolong orang asing yang justru
berasal dari bangsa yang sedang menjajah tanah air
anda sendiri, anak muda!" sambung Van Boerman.
"Bangsa kalian memang sedang menjajah bang
sa kami. Tetapi kami tidak memusuhi siapa pun kare-
na kami cinta damai. Kalaupun kami berperang mela-
wan Kompeni Belanda, itu kami lakukan karena lebih
mencintai kemerdekaan!" jawab Parmin si Jaka Sem-
bung dengan mantap.
"Sesungguhnya kami bukan memerangi bangsa
Belanda, tetapi memerangi bangsa mana pun yang
bermaksud menjajah tanah air kami. Oleh karena itu
kami ikhlas memberikan pertolongan kepada anda
berdua atas dasar kewajiban sebagai makhluk Tuhan,
bukan atas dasar sebagai dua bangsa yang sedang
bermusuhan!" sambung Jaka Sembung dengan tegas
namun sangat diplomatis.
Semua ucapan Jaka Sembung terdengar begitu
berkesan bagi seorang pemuda Papua yang berjiwa pa-
triot seperti Awom. Sosoknya memang masih primitif,
namun jiwanya dengan cepat menyerap peradaban dan
sikap mental yang diperlihatkan oleh pendekar muda
dari pulau Jawa itu.
Dalam hati Awom kini tumbuh suatu keyakinan
baru bahwa penjajahan itu sesuatu yang harus dipe-
rangi. Bukan memerangi orangnya, tetapi memerangi
sifat jahat yang ada padanya! Dengan kata lain,
biar pun Yulia dan ayahnya adalah orang Belanda, te-
tapi bukan musuhnya karena mereka tidak bersifat menjajah.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar