MEMBABAT KIYAI MURTAD
Karya Djair Warni
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Sang surya menyinari alam raya ini dengan si-
narnya yang keemasan memberikan kehidupan bagi
makhluk yang berada di muka bumi tak terkecuali
makhluk kecil maupun makhluk yang terbesar.
Awan yang bergumpal-gumpal tipis seakan-
akan berjalan mengikuti arah angin yang berhembus.
Langit pun menjadi cerah membuat mentari dapat
mengeluarkan cahaya tanpa penghalang, sehingga ha-
wa menjadi panas.
Di kejauhan terlihat sosok tubuh manusia se-
dang menelusuri dataran yang sangat luas dengan
pemandangan di kiri kanannya sawah-sawah yang se-
dang menguning dan pohon-pohon yang tumbuh den-
gan suburnya, dengan dibatasi bebatuan yang me-
nyembul dari permukaan bumi membentuk bukit-
bukit kecil sehingga sosok tubuh itu terlihat sangat
kecil sekali bila dibandingkan alam sekitarnya yang
begitu luas.
Sosok tubuh itu melangkah dengan langkah
pasti dan yakin dengan sebilah tongkat besi tergeng-
gam dalam jari-jari tangannya yang kuat. Ya... dialah
Parmin alias Jaka Sembung yang meneruskan perjala-
nannya yang masih jauh. Ia harus melewati Desa Cili-
raus dan desa-desa lainnya di seluruh Kabupaten Ku-
ningan.
Terik matahari yang bersinar cerah membuat
peluh membasahi tubuhnya dan butir-butir keringat
yang keluar di wajahnya dihapusnya dengan telapak
tangan sekali-kali agar pandangan matanya tidak ter-
ganggu.
Temannya yang setia terus mengikuti perjala
nannya dengan bertengger di pundak Parmin sambil
sekali bersiul membuat irama lagu yang membang-
kitkan semangat dalam jiwa yang mendengarkannya.
Selang beberapa saat langkahnya terhenti. Na-
luri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang
tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati
keadaan sekitar dengan pandangan mata yang tajam,
Parmin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan
penuh kewaspadaan.
Tiba-tiba secara serempak, entah dari mana da-
tangnya berpuluh-puluh bongkahan batu besar dan
kecil berjatuhan seperti hujan dari langit mengancam
tubuh Parmin. Akan tetapi naluri kependekarannya
dengan cepat bereaksi. Tubuh Parmin bersalto dengan
cepat menghindari dan berlompatan ke sana ke mari di
sela-sela hujan bongkahan batu-batu itu. Tongkat besi
beraninya diputar-putar dengan cepat membuat peri-
sai untuk melindungi tubuhnya dan batu-batu yang
terkena besi beraninya hancur berhamburan serta ka-
kinya membuat tendangan keras dengan menyalurkan
tenaga dalamnya mengarah bongkahan batu-batu yang
seketika hancur menjadi kerikil-kerikil dan debu pun
beterbangan ke udara kemudian hilang terbawa hem-
busan angin.
Parmin membuat gerakan-gerakan salto dengan
manisnya di sela-sela bongkahan batu tersebut, yang
seakan-akan tidak ada henti-hentinya menghujani di-
rinya. Ketika Parmin sedang jungkir balik dan menen-
dang sebuah bongkahan batu yang besar, tiba-tiba
terdengar suara ledakan yang sangat keras memecah-
kan gendang telinga bagi yang tidak mempunyai ilmu
dalam yang cukup tinggi.
"Duuaaaar...!" Suara itu menggema keras ke se-
luruh dataran itu dan seketika bukit batu yang berada
tidak jauh dari Parmin mendarat, hancur berantakan
dan pecahan-pecahannya mengarah ke tubuh Parmin
begitu cepatnya dengan debu-debu yang beterbangan
membuat pandangan mata Parmin agak terganggu.
Namun bukanlah pendekar Jaka Sembung ka-
lau tidak bisa menghindari semua itu. Dengan sekali
hentakkan tubuhnya melambung ke udara menerobos
pecahan-pecahan batu itu dengan cepatnya dan men-
darat lebih jauh dari tempat semula dengan pijakan
kaki mantap, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Belum lagi tubuhnya tegak sempurna, kembali
serangan datang ke arahnya dengan bunyi berdesir
sangat kencang yang mengitari tubuhnya.
"Hah... benda apa ini?!" sentak Parmin terpe-
ranjat sambil memasang kuda-kuda dengan menyi-
langkan tangan kanannya yang menggenggam tongkat
besi berani ke dadanya yang bidang, dengan sorot ma-
ta tajam mengikuti gerak benda aneh itu dengan pe-
nuh kewaspadaan.
Benda aneh itu terus berputar mengitari tubuh
Parmin. Desiran angin yang ditimbulkannya membuat
debu-debu dan kerikil-kerikil beterbangan sehingga
kain yang melekat di tubuh Parmin yang diselempang-
kan di pundaknya, turut tergerai terkena desiran ben-
da aneh tersebut.
Pada suatu kesempatan Parmin menangkis
benda itu dengan sabetan tongkat besinya dengan
mengerahkan tenaga dalamnya.
"Triing...!"
Benturan kedua benda itu sangat nyaring se-
hingga menimbulkan bunga-bunga api dan asap hitam
yang mengepul ke udara dan segera menghilang ter-
tiup angin.
Benda aneh itu kembali menyerangnya setelah
memantul dari benturan tongkat besi berani Parmin
dan dibarengi dengan suara tertawa yang memekakkan
gendang telinga dan bergema tak putus-putusnya.
Jaka Sembung berdiri dengan kewaspadaan
penuh sambil merasakan getaran di telapak tangannya
yang terasa kesemutan. Telapak tangannya lalu digo-
sok-gosok dengan telapak tangan yang lain dan ma-
tanya nyalang mencari sumber suara yang mengan-
dung tenaga dalam untuk melemahkan urat saraf bagi
yang mendengarkan suara itu.
Jaka Sembung pun segera memusatkan tenaga
dalamnya untuk mengusir pengaruh suara yang da-
tang dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya yang
kedua, yaitu Begawan Sokalima yang dinamakan 'Ilmu
melepas sukma'. Dengan demikian terhindarlah Par-
min dari pengaruh tersebut dan segera dapat melihat
dengan jelas ke atas sebuah batu besar, di mana di
atas batu itu telah berdiri seorang laki-laki dengan ter-
tawa terbahak-bahak.
"Ha... ha... ha... ha! Tak percuma gelar yang
kau miliki itu, pendekar Gunung Sembung!" teriaknya
keras memuji kehebatan Parmin yang dalam serangan
tadi dapat menghindari dengan baik, dan dalam me-
nangkal tenaga dalam pun sanggup melakukannya
dengan baik.
"Siapakah anda?" tanya Parmin keheranan se-
telah melihat wajah orang tersebut, yang sama sekali
belum dikenalnya, sambil tetap dengan kewaspadaan
penuh kalau-kalau orang itu kembali menyerangnya.
"Oh... tentu! Tentu! Kau harus tahu siapa aku
sebelum kau menjadi bangkai busuk! Ha... ha... ha...
ha!! Pernahkah kau ingat seorang Hindustan yang mati
di tanganmu, Gembel busuk?! Ketahuilah aku kakak-
nya yang bernama Goga Khan yang akan menuntut
balas!!" bentaknya keras dengan sorot mata penuh
dendam ingin membunuh sambil menggerakkan senja-
tanya berputar-putar, membuat daun-daun kering ber-
jatuhan ke tanah terkena hempasan anginnya.
Goga Khan berwajah cukup menyeramkan. Ma-
tanya melotot seperti mata burung hantu, dan hidung
seperti burung betet dengan jenggot dan kumis yang
menyambung, menutupi mulutnya yang lebar, tumbuh
dengan lebatnya sampai mencapai leher. Dengan berte-
lanjang dada sehingga dadanya yang bidang yang di-
tumbuhi bulu-bulu halus yang menutupi seluruh da-
danya, ia terlihat seperti seekor gorila. Kepalanya yang
botak pelontos licin seperti jalan tol menambah pe-
nampilannya semakin angker bagi yang bernyali kecil.
Otot-otot tangannya yang kekar dan tubuh yang tinggi
besar dengan senjatanya yang aneh yang berbentuk
bundar seperti durian, namun terbuat dari bahan lo-
gam keras dengan diikat pada rantai yang panjang
yang tergenggam dengan kokoh di tangan kanannya.
Tangan sebelah kiri menggenggam rantai untuk pengu-
lur di waktu menyerang lawan dari jarak jauh.
Senjata yang berbentuk durian itu kini diputar-
putarnya lebih kencang sehingga Parmin yang berada
di bawahnya dapat merasakan angin yang ditimbulkan
oleh senjata tersebut.
"Duuaar!"
Bunyi itu begitu keras ketika menyerang Par-
min dan mengenai ruang kosong manakala Parmin
dengan begitu indahnya membuat gerakan bersalto ke
belakang menghindari serangan tersebut dan membuat
tanah yang terkena senjata itu menjadi berlobang
sampai setengah meter dalamnya.
Parmin yang melihat berapa dalamnya lobang
tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya merasa ka
gum.
"Bukan main tingginya ilmu dalam Goga Khan
ini!" gumam Parmin dalam hati sambil mengerahkan
juga tenaga dalamnya dan memasang kuda-kuda me-
nantikan serangan yang akan datang.
Goga Khan dengan wajah bengis dan dengus
napas ingin membunuh sudah kembali memutar-
mutar senjatanya dan detik berikutnya senjata itu te-
lah melesat menuju sasarannya yaitu Parmin yang su-
dah bersiap-siap menantikan dengan penuh kewaspa-
daan.
"Hiiyaaaaat...!" teriak Parmin dengan gerakan
cepat menghindari senjata yang bagaikan peluru ken-
dali itu. Tubuhnya terus berjumpalitan menjauhi se-
rangan yang datang secara bertubi-tubi dan setiap
senjata itu mengenai tempat kosong yang telah di ting-
galkan oleh Parmin. Kembali tanah yang terkena itu
berubah menjadi sebuah lobang sehingga terlihat di
tempat mereka bertempur lobang-lobang kecil seperti
permukaan sebuah sumur di sana sini.
Parmin berusaha menghindari serangan-
serangan tersebut dengan mengerahkan semua ilmu
yang didapat dari gurunya, Ki Sapu Angin dan Bega-
wan Sokalima.
Pada suatu kesempatan Parmin melesat ke se-
buah hutan yang berada tak jauh dari tempat mereka
bertempur. Hutan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon
beraneka macam jenisnya dengan daun-daunnya yang
tumbuh lebat menutupi rantingnya.
Tetapi kembali senjata maut itu menyerang
Parmin seperti mempunyai mata saja senjata itu me-
nyerang ke mana Parmin bergerak untuk mengelak.
Pohon-pohon yang terkena sambaran senjata
maut itu menjadi tumbang dengan batang yang hancur
nyaris menimpa tubuh Parmin untuk menguburnya
hidup-hidup. Daun dan ranting menjadi beterbangan
oleh angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.
Terpaksa Parmin kembali melesat ke luar dari
hutan itu. Kini ia tegak berdiri dengan kaki agak dite-
kuk dan menyilangkan tangannya di depan dada.
"Ha... ha... ha... ha! Aku akan membuat sendi-
sendi mu menggigil dahulu sebelum senjataku ini me-
lumat batok kepalamu!!" ancam Goga Khan keras den-
gan nada mengejek dan bibir mencibir sambil memu-
tar-mutarkan senjata mautnya yang mengeluarkan su-
ara mendesing seperti angin puyuh membuat daun-
daun kering dan ranting-ranting yang telah rapuh be-
terbangan ke udara.
Sepersekian detik senjata maut itu telah mele-
sat dengan cepat mengarah ke batok kepala Parmin.
Begitu senjata maut yang seperti durian itu sudah de-
kat ke arahnya, dengan gerakan cepat Parmin melesat
tinggi ke udara sambil bersalto. Sebaliknya Goga Khan
dengan cepat pula menarik senjatanya dengan tangan-
nya yang sudah terlatih sempurna untuk mengubah
arah senjata mautnya, sehingga mengancam Parmin
yang masih bersalto di udara.
Jaka Sembung sudah kehilangan akal untuk
menghindari serbuan senjata maut yang dimainkan
oleh tangan yang ahli dan membuat Jaka Sembung
terdesak. Akhirnya, Parmin mengambil suatu keputu-
san hidup atau mati!
Maka secara tiba-tiba Parmin yang masih ber-
salto di udara itu membuat gerakan yang tidak diduga
oleh Goga Khan, sehingga membuat ia menjadi terke-
jut.
Kiranya Parmin dengan ilmu 'Menyatukan
Sukma' telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh
yang sempurna mendaratkan kakinya tepat di atas bo-
la senjata maut yang berduri itu dan otomatis mem-
buat tubuhnya ikut berputar-putar di udara mengeli-
lingi musuhnya seperti sebuah komidi putar dengan
Goga Khan sebagai porosnya.
Pada detik kelengahan dari Goga Khan, Parmin
membuat gerakan meloncat menerobos pagar pertaha-
nan Goga Khan dari arah belakang dengan golok pen-
deknya yang terhunus di tangan kanannya dan...
"Sreet...!"
"Eek!" teriak Goga Khan tertahan sambil me-
nundukkan kepalanya menghindari serangan yang tak
diduga sebelumnya, tetapi sayang Goga Khan kalah
cepat dengan serangan yang dilakukan Parmin sehing-
ga ia terlambat bergerak. Kepalanya yang botak plontos
itu tergores golok Parmin yang tajamnya seperti pisau
cukur membuat garis sepanjang jari telunjuk dan da-
lamnya sekitar dua sentimeter dan darah pun terburai
dari luka itu membasahi wajahnya. Goga Khan meng-
hapus dengan tangan kanannya, darah yang mengalir
ke matanya agar tidak menghalangi penglihatannya.
"Sampai di sini dulu! Selamat tinggal! Tunggu-
lah pembalasanku!!" bentak Goga Khan sambil melom-
pat dan menghilang di balik bebatuan.
Melihat lawannya telah menghilang dari pan-
dangan mata, Parmin menghela nafas dalam-dalam.
"Hm... ia begitu cepat menghilang seperti kilat!
Suatu saat dia tentu akan mencariku lagi untuk mem-
balas dendam! Ia akan selalu penasaran untuk bisa
membunuhku!" gumam Parmin dalam hati sambil tan-
gannya menghapus peluh di dahi dan membersihkan
bajunya yang penuh debu. Sementara itu si Beo ter-
bang menghampiri Parmin dan hinggap di pundak
Parmin. Kemudian Parmin melanjutkan perjalanannya.
Matahari hampir condong ke Barat dan mem-
buat bayangan memanjang. Ketika Parmin akan mele-
wati dataran rumput ilalang di kejauhan sana mata
Parmin melihat sesosok tubuh sedang berjalan ke
arahnya. Sosok tubuh itu adalah seorang tua yang su-
dah keriput kulitnya. Di wajahnya terlihat jelas kerut-
kerut ketuaan dengan warna kulit hitam terkena terik-
nya matahari di dalam pengembaraannya, sehingga
kulitnya yang memang sudah hitam menjadi semakin
hitam legam. Tubuhnya gemuk gempal dan ototnya
terlihat masih kuat. Ia berjalan dengan ditopang se-
buah tongkat kayu jati bercagak.
Bentuk tubuhnya bongkok sehingga orang me-
nyebutnya si Bongkok dengan membawa buntelan
yang ditaruh di pundaknya sehingga membuat tubuh-
nya yang sudah bongkok terlihat semakin bongkok sa-
ja. Ia berjalan dengan langkah perlahan.
Dengan rambut panjang yang berwarna putih
awutan-awutan dan pakaiannya yang ditambal di sana
sini membuat ia tampak seperti seorang gembel saja
layaknya.
"Kukira pengembara tua renta di hadapanku ini
pastilah bukan orang sembarangan! Lihatlah sepasang
matanya begitu tajam mengawasi ku. Aku harus hati-
hati!" kata Parmin dalam hati setelah melihat dari ja-
rak beberapa meter dan ia melangkah dengan senyum
ramah yang tersungging.
Si Bongkok pun terus melangkah mendekati
Parmin dengan langkah perlahan namun dengan tata-
pan matanya tajam seakan-akan ingin menembus isi
kepala Parmin. Setelah dekat dengan Parmin si Bong-
kok lalu memberi salam.
"Assalamualaikum...!" sapanya dengan suara
agak ditekan namun bibirnya tidak bergerak.
"Wa'alaikum salam...!" jawab Parmin sambil
memindahkan tongkatnya ke tangan sebelah kiri dan
menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.
"Hem... he... he... he! Melihat sinar wajahmu
aku tentu tidak salah tebak bahwa kau pasti seorang
pendekar yang alim! He... he... kebetulan... kebetulan!"
katanya sambil jari telunjuknya menuding Parmin
yang segera menarik kembali tangannya dengan tanda
tanya. Kemudian si Bongkok melanjutkan bicara sea-
kan-akan Parmin tidak boleh bicara dulu.
"He... hem! Kau tentu bisa menjawab perta-
nyaanku, Anak muda! Aku punya sebuah pertanyaan
mengenai sesuatu!"
"Apa maksud anda, Pak?!" sergah Parmin sam-
bil mengerutkan dahinya tidak mengerti.
"Bila engkau bisa menjawabnya, aku akan
memberi sebuah hadiah! Aku pernah membaca sebuah
tulisan. Tulisan itu aku baca di sebuah dinding rumah
seorang muslim yang berbunyi: 'Sesungguhnya agama
yang diterima di sisi Allah adalah Islam, kalau benar
apakah ini bukan semacam bujukan terhadap calon
pemeluknya? Karena sesungguhnya yang benar itu tak
perlu menonjolkan dirinya benar dan yang baik itu ti-
dak perlu menonjolkan dirinya baik?!" katanya dengan
sorot mata penuh tantangan menatap mata Parmin
yang terdiam sejenak memikirkan pertanyaan si Bong-
kok itu.
"Semua agama itu baik, tetapi tidak semua
yang baik itu benar. Agama Islam adalah agama yang
baik dan benar. Apapun nama agama yang ada di du-
nia ini jika ternyata ajarannya baik dan benar adalah
Islam," jawab Parmin dengan cara yang cukup diplo-
matis, membuat dahi si Kakek Bongkok menjadi se-
makin berkerut.
Sejenak si Bongkok terdiam untuk mencerna
jawaban yang diberikan Parmin dan beberapa saat
kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berse-
ri gembira seperti anak kecil yang mendapat permen
coklat sehingga giginya yang ompong terlihat jelas.
"Ha... ha... heh... heh! Aku mengerti sekarang
anak muda! Terima kasih! Terima kasih! Dan sebagai
hadiah yang kujanjikan tadi, terimalah sebuah cincin
batu kecubung ini sebagai satu-satunya pusaka yang
kumiliki!" kata si Bongkok sambil menyodorkan batu
cincin yang berikat tembaga, serta menjelaskan kha-
siat dari batu tersebut.
"Batu kecubung adalah batu pemikat perem-
puan. Bila kau pakai maka akan banyak wanita yang
tergila-gila kepadamu! Aku sudah tua tak memerlukan
ini lagi! Terimalah anak muda!" ujarnya sungguh-
sungguh.
"Terima kasih! Simpanlah cincin batu itu kem-
bali. Maafkanlah aku tidak bisa memakainya. Tuhan
telah menciptakan manusia beserta daya tarik masing-
masing, oleh karena itu manusia tak usah memakai
jimat-jimat untuk memikat lawan jenisnya! Salah seka-
li bila kita mengharapkan suatu anugerah dari benda-
benda yang ada di atas dunia yang fana ini. Tempat
memohon hanyalah kepada Allah Tuhan Yang Maha
Esa! Benda yang anda percayai 'berkat' nya itu ternya-
ta hanya segelincir batu yang juga diciptakan oleh Tu-
han Yang Maha Esa!" jawab Parmin membuat wajah
kakek tua itu menjadi merah padam.
"Baiklah, sampai bertemu lagi anak muda!"
ucap si Bongkok dengan nada sinis dan berlalu dari
hadapan Parmin tanpa menoleh ke belakang.
Tinggallah Parmin sendiri menggeleng-
gelengkan kepalanya melihat tingkah laku si kakek
Bongkok. Parmin menghela nafas dalam-dalam dan
kemudian meneruskan perjalanannya kembali.
Matahari sudah lama terbenam di ufuk Barat.
Siang pun telah berganti dengan malam ditandai den-
gan munculnya sang rembulan di ufuk Timur, dengan
cahaya emasnya yang menerangi alam maya pada ini.
Setelah melewati dataran yang ditumbuhi rum-
put ilalang, Parmin melihat dari kejauhan beberapa
bangunan tua di pinggiran desa. Parmin menuju ke
arah bangunan itu dengan maksud hendak beristira-
hat.
Bangunan tua itu memiliki tiang-tiang batu
yang sudah berlumut dan sudut-sudutnya telah dipe-
nuhi banyak sarang laba-laba, sehingga mirip sebuah
bangunan yang angker. Genteng-gentengnya dan su-
dah banyak yang pecah hingga berserakan di lantai
yang juga sudah berdebu tebal. Pelatarannya pun su-
dah banyak sampah-sampah dedaunan kering serta
dahan pohon yang berjatuhan. Pohon-pohon yang
tumbuh di sekitar bangunan tersebut sangat rindang
namun tidak terurus oleh jamahan tangan-tangan ma-
nusia.
DUA
Beberapa saat Parmin melihat keadaan di da-
lam bangunan tua itu melalui sinar rembulan yang
masuk dari celah-celah genteng lalu ia kembali ke luar
dan duduk pada sebuah anak tangga di depan bangu-
nan tua itu.
Tanpa sepengetahuan Parmin, sesosok tubuh
berkelebat mengikuti gerak gerik Parmin melalui atap
bubungan bangunan yang lain. Dengan sorot mata ta
jam ia mengawasi Parmin yang sedang memandang
sang rembulan. Saat itu Parmin tengah terbayang wa-
jah sang kekasih yang nun jauh di sana, di desa Kan-
dang Haur. Pada malam-malam terang bulan dengan
angin berhembus perlahan menambah keindahan ma-
lam, sangatlah sempurna bila di sampingnya ada sang
kekasih yang dicintainya.
Malam pun telah beringsut-ingsut menuju la-
rut, namun sepasang mata tajam itu terus mengawa-
sinya dan kini kian memancarkan sinar nafsu mem-
bunuh. Dengan berkacak pinggang di atas bubungan
itu, sinar rembulan menerpa tubuhnya, maka jelaslah
siapa orang tersebut.
"Ha... ha... ha... ha... ha! Agaknya di sini kita
bisa berjumpa lagi!!" ujarnya keras yang disertai tenaga
dalam untuk melumpuhkan syaraf lawan.
Parmin tersentak dari lamunannya dan mera-
sakan ada getaran masuk secara tiba-tiba melalui gen-
dang telinganya. Ia lalu berdiri setelah berhasil meno-
lak getaran itu dengan hawa murni dari bawah pusat
perutnya, dan dengan segera ia membalikkan tubuh-
nya ke arah dari mana datangnya suara itu. Kalau saja
orang biasa yang mendengar suara itu, sudah dapat
dipastikan akan melorot meraung-raung dengan gen-
dang telinga pecah berhamburan darah.
Namun bukanlah Jaka Sembung bila tidak da-
pat mengatasi semua itu dengan cepat. Dengan tenang
ia melangkah empat langkah dan berdiri di tengah ha-
laman bangunan tua itu sambil memandang ke atas
dengan sorot matanya yang tajam, sinar bulan mem-
bantu menerangi tubuh orang yang berada di atas
bangunan itu. Dengan cepat Parmin sudah mengenai
siapa orang tersebut.
"Memang bukan sembarangan orang dapat lolos
dari serangan halimun maut di puncak Gunung Cire-
mai! Aku kagumi kau dalam hal ini, Dewa Suci Penye-
bar Bala!" sergah Parmin dengan suara lantang men-
gingatkan peristiwa yang dialaminya di puncak Gu-
nung Ciremai di mana dirinya hampir saja celaka.
Ya! Memang seperti telah dikisahkan pada awal
cerita yang lalu di dalam episode "Lagu Rindu dari
Puncak Ciremai" Parmin telah bentrok dengan seorang
yang menamakan dirinya 'Dewa Suci Penyebar Bala'
yang berasal dari daratan Tiongkok. Dalam duel terse-
but Parmin hampir jatuh ke dasar jurang setelah men-
gadu tenaga dalam. Untung ada sebuah pohon yang
tumbuh pada dinding tebing di saat dirinya sedang me-
layang ke bawah, sehingga ia dapat selamat.
Setelah selamat dari jurang terjal itu, Parmin
menghadapi bahaya yang lebih ganas lagi yaitu
'halimun maut' yang bisa membekukan tubuh manu-
sia. Meskipun sudah mengeluarkan ilmu andalannya,
masih belum mampu ia menghadapi halimun maut itu,
kalau tidak ditolong oleh Begawan Sokalima.
"Ha... ha... ha... ha! Dewa Suci tak melupakan
janji! Di sini kita harus bertanding habis-habisan! Mari
kita buktikan, bangsaku atau bangsa mu yang lebih
unggul dalam ilmu silat! Kita bertempur atas nama le-
luhur kita masing-masing!!" ujarnya dengan nada sinis
dan gigi gemeretak menahan kemarahan.
"Hm... Dewa Suci! Agaknya kau terlalu me-
nyombongkan kepandaian yang kau miliki!" Ujar Par-
min tegas sambil mengamati lawan yang berada di atas
bubungan rumah.
"Haiyaaa! Tutup bacotmu, Gembel!!! Ciiaaat...!!"
bentak Dewa Suci sambil melemparkan senjata rahasia
berupa pisau-pisau kecil ke arah Parmin dengan diser-
tai tenaga dalam yang dahsyat sekali
Parmin melihat cahaya-cahaya yang datang be-
gitu cepatnya maka dengan cepat pula Parmin miring-
kan tubuhnya ke kanan sehingga pisau-pisau itu lolos
menemui tempat kosong dan menancap pada tiang be-
ton sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan berge-
raknya tubuh Parmin, si Beo pun terbang dan berteng-
ger di sudut jendela bangunan tua tersebut.
Sebelum Parmin berbuat banyak, kembali kila-
tan-kilatan pisau menghunjam deras ke mana saja tu-
buh Parmin berkelebat. Agaknya kali ini Dewa Suci tak
akan memberi kesempatan kepada Parmin dan ia pun
terus melancarkan serangan-serangan yang memati-
kan.
"Ciiaaat...!!" teriak Parmin sambil bersalto bebe-
rapa kali ke udara, menghindari pisau-pisau itu. Tong-
katnya diputar-putar dengan cepat untuk melindungi
tubuhnya dari serangan maut tersebut.
Lima jurus, sepuluh jurus, sampai tiga puluh
jurus Parmin mengeluarkan ilmu silatnya menghindari
serangan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil
yang dilemparkan oleh si Dewa Suci. Pertahanan Par-
min niscaya akan bobol jika secara kebetulan ia tidak
memiliki tongkat besi berani pemberian gurunya yang
kedua, yaitu Begawan Sokalima.
Berpuluh-puluh batang pisau telah melekat
pada tongkatnya dan dengan gerakan cepat ia men-
gembalikan kepada sang pemilik dengan disertai tena-
ga dalam yang lebih dahsyat lagi, sehingga sang pemi-
lik harus jungkir balik menghindar.
Dalam melakukan jungkir balik itu, tangan si
Dewa Suci membuat gerakan yang sangat cepat dan
dengan jari-jari yang lentur ia menangkap dan menje-
pit beberapa buah pisau yang dilemparkan Parmin dan
dengan cepat pula mengembalikan serangan ke biji
mata Parmin.
Tubuh Dewa Suci yang bertubuh gemuk den-
gan lincah terus berjungkir balik sambil mengirimkan
serangan yang mematikan ke arah Parmin dengan pi-
sau-pisau yang tersedia, sehingga Parmin dibuat kere-
potan.
Tubuhnya yang gemuk gempal itu bagaikan ka-
pas saja waktu ia melakukan lompatan atau pun ber-
salto ke udara. Ya... memang si Dewa Suci ini telah
memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sem-
purna sehingga gerakannya tidak terpengaruh walau-
pun tubuhnya gembrot seperti itu. Dengan gesitnya ia
melakukan jungkir balik dan melompat ke sana dan ke
sini.
Parmin yang memang sudah mengetahui kehe-
batan si Dewa Suci itu terus melayani serangan demi
serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Bukanlah
Jaka Sembung kalau tidak mempunyai ketenangan
dan keuletan dalam menghadapi segala kesulitan.
Memang betul. Dengan bermodal ketenangan
apapun akan bisa teratasi. Apalagi Parmin telah di-
gembleng oleh gurunya Ki Sapu Angin di Pantai Eretan
yang ombaknya besar dan anginnya kencang serta oleh
gurunya yang kedua, Begawan Sokalima di puncak
Gunung Ciremai, tepatnya di Lembah 'Banyu Panas'
yang belerangnya sangat menyesakkan pernapasan
dan airnya yang mendidih, ditambah lagi segudang
pengalaman dalam pengembaraannya.
Parmin mengelakkan serangan yang dilancar-
kan si Dewa Suci dengan tongkat besi beraninya se-
hingga sepasang pisau yang hendak mengancam biji
matanya segera menempel di tongkatnya dan pisau
lainnya lolos di celah-celah kakinya yang direntangkan
sambil melompat tinggi dan bersalto menuju bubungan
atap bangunan.
Ketika si Dewa Suci melihat Parmin menghin-
dar jauh, maka dengan segera ia bersalto untuk men-
gejarnya.
Parmin yang masih berada di udara segera me-
nangkap adanya bayangan yang mengejar dari arah
belakang.
Si Dewa Suci dengan geram menyerang Parmin,
jari-jari tangannya siap mencengkeram tubuh Parmin.
Namun Parmin dengan gerakan manis membuat gera-
kan dengan menyontekkan ujung tongkatnya ke gen-
teng dan tubuhnya kembali melayang melewati tubuh
si Dewa Suci sambil menyabetkan tongkatnya ke pun-
dak lawannya. Dengan gesit si Dewa Suci berkelit, na-
mun terlambat sedikit sehingga bajunya sobek di ba-
hu. Untung kulitnya masih utuh tidak terkena sabetan
Parmin, sehingga serangannya mengenai tempat yang
kosong, yang menjadi sasaran cengkeraman mautnya
itu adalah genteng- genteng yang menjadi berantakan
dan yang diremasnya menjadi debu halus.
Memasuki jurus ke tujuh puluh lima, si Dewa
Suci mengeluarkan jurus andalannya, yaitu jurus
'Cengkeraman Singa Dari Gurun Gobi'. Jari-jari tan-
gannya mengeluarkan asap hitam dan kakinya yang
sebelah kanan diangkat sedikit, lalu dengan geraman
keras ia menerkam Parmin. Geraman itu memecahkan
suasana yang sunyi dan membuat daun-daun kering
berjatuhan.
Parmin segera memasang kuda-kuda untuk
mengusir getaran yang datang akibat geraman yang
dikeluarkan si Dewa Suci dan bersiap-siap menanti se-
rangan tersebut.
"Haaiiit...!!!" Sambil melompat tinggi, Parmin
menghindari dari cengkeraman tangan maut si Dewa
Suci dan menangkis dengan tongkatnya.
"Triing!"
Tongkat Parmin menerpa jari Dewa Suci yang
menjadi keras seperti baja dan tangan si Dewa Suci se-
cepat kilat menyampok kaki Parmin yang sedang me-
layang. Kakinya nyaris menendang selangkangan Par-
min sehingga tubuh Parmin terpaksa harus bergerak
menghindar dengan melambung ke atas.
"Hm... angin pukulannya cukup untuk mero-
bohkan sebatang pohon kelapa!" kata Parmin dalam
hati sambil bersalto menghindar.
Si Dewa Suci melihat musuhnya masih dapat
menyelamatkan diri dari serangan jurus mautnya.
Dengan segera ia membuat jurus kembangan dari ju-
rus maut cengkeraman 'Singa Dari Gurun Gobi' yang
terdiri dari lima belas jurus. Tangannya digerak-
gerakan dengan cepat sehingga menimbulkan suara
berdesing dan angin keras pun keluar dari gerakan
tersebut.
Parmin dengan cepat memutar tongkatnya
membuat perisai untuk menghalangi tubuhnya dari
serangan tangan si Dewa Suci yang menimbulkan an-
gin sangat kencang sambil mengerahkan tenaga da-
lamnya supaya tidak terpental. Adu tenaga dalam pun
kian meningkat. Parmin mengerahkan seluruh ke-
mampuan yang diajarkan oleh gurunya yang kedua,
yaitu Begawan Sokalima, yang didapat di saat mempe-
lajari jurus terakhir dari ilmu tongkat sakti. Caranya
dengan menyalurkan tenaga dalam ke suatu titik yang
berada di tangan Parmin, sehingga tongkat besi bera-
ninya berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa
panas menolak serangan yang dilancarkan si Dewa
Suci. Terlihat asap mengepul ke udara akibat bera-
dunya tenaga dalam mereka.
Si Dewa Suci menambah daya serangan dengan
sekali melompat kakinya diluruskan ke depan menga-
rah pertahanan Parmin yang sedang memutar-
mutarkan tongkatnya yang semakin cepat.
"Hiiyaaat...!!!" si Dewa Suci memekik keras den-
gan mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuyar-
kan konsentrasi Parmin dan tubuhnya melesat cepat
dengan jari-jari tangan siap mencengkeram batok ke-
pala Parmin, sedangkan kakinya lurus ke depan men-
garah perut Parmin.
"Duk!!"
Bunyi beradunya tenaga dalam mereka mem-
buat genteng-genteng yang berada di sekitar mereka
jadi hancur berantakan, tubuh Parmin terpental enam
langkah sedangkan si Dewa Suci terpental empat lang-
kah.
Tubuh Parmin sempoyongan ke belakang sea-
kan-akan hendak jatuh ke bawah. Di saat itu si Dewa
Suci sudah bersiap-siap kembali dengan jurus kem-
bangan yang kesepuluh dari jurus 'Cengkeraman Singa
dari Gurun Gobi'. Tangannya masih tetap hendak
mencengkeram lawan, namun kali ini kepalanya yang
botak plontos dimajukan agak ke depan sehingga seja-
jar dengan tangannya dan mulutnya terbuka lebar dan
dengan geraman yang keras sekali membuat bulu ku-
duk berdiri.
Tubuh si Dewa Suci melesat dengan cepat seka-
li mengarah Parmin yang masih sempoyongan. Namun
di saat yang bersamaan tiba-tiba bayangan hitam
membelah pertempuran yang menegangkan itu.
"Hiiyaaat...!!" Suara itu demikian keras menga-
lahkan suara si Dewa Suci yang seketika menghenti-
kan serangannya dan dengan segera miringkan tubuh-
nya ke kanan sehingga serangan yang dilancarkan oleh
bayangan tersebut lolos mengenai tempat yang kosong
dan sosok bayangan itu kemudian jungkir balik ke bu-
bungan yang lain. Dengan sekali lompat Parmin men-
jauh dari dua orang tersebut.
Kini terlihatlah dengan jelas setelah bayangan
itu berdiri tegak dan sinar rembulan menerangi tu-
buhnya.
Tubuh bayangan hitam itu terbungkus baju
koko dengan lengan panjang sampai pergelangan tan-
gannya. Lengan bajunya lebar sehingga bila tertiup an-
gin lengan bajunya itu akan tergerai melambai-lambai
dan ujungnya bersetrip putih. Celana pangsinya ber-
warna hitam sampai ke pangkal kaki dan bersetrip pu-
la, serta pinggangnya diikat kain putih selebar telapak
tangan dengan tutup kepala yang menyerupai mang-
kok berwarna hitam. Kumisnya yang tipis dibiarkan
tumbuh sampai ke dagu dan matanya yang sipit den-
gan alis mata berwarna putih serta giginya yang ham-
pir mencuat ke depan.
Tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang keri-
put menandakan usianya sudah lanjut namun melihat
bentuk tulangnya yang masih amat kuat dan gerakan
tangannya sangat cepat bila ia sedang memainkan ju-
rus-jurus kuntauw dengan kuda-kuda yang kokoh, ia
bukanlah orang sembarangan.
Kini mereka sudah berhadapan muka dengan
masing-masing berdiri di atas bubungan rumah.
Si Dewa Suci Penyebar Bala dengan berkacak
pinggang memperhatikan terus bayangan hitam itu
dengan waspada.
Bayangan hitam yang bernama Boen Sio Liong
merentangkan tangannya sehingga tangannya yang
kurus seakan-akan menjadi besar oleh lengan bajunya
yang tertiup angin.
"Haiiyaaa!! Kiranya kau berada di sini Dewa
Kualat! Bertahun-tahun aku mencarimu ke segala pe-
losok daratan Tiongkok, baru detik ini kita saling ber-
hadapan di negeri orang!" ujar Boen Sio Liong dengan
senyum sinis.
"Hm... kiranya kau kakek keriput!" jawab si
Dewa Suci setelah mengetahui siapa bayangan hitam
tersebut.
"Haiiyaaa! Agaknya kau masih mengenalku!
Baik! Bersiap-siaplah untuk membuat perhitungan ki-
ta di negeri leluhur dulu! Akhirnya kau tak akan bisa
lari lagi dari tanganku dan hari ini tamatlah petualan-
ganmu!!" bentaknya dengan suara keras penuh anca-
man sambil tangan kanannya menuding dengan jari
membentuk jurus kuntauw. Si Dewa Suci yang ditud-
ing seketika tertawa terbahak-bahak sehingga perut-
nya yang buncit bergerak-gerak turun naik.
"Ha... ha... ha! Tidak semudah itu kau berbuat,
Kakek kurus!" sergah si Dewa Suci sambil tangan ki-
rinya mengusap usap kepalanya yang botak tanda ia
meremehkan lawannya.
Parmin yang berada di atas bubungan lain me-
nyaksikan dengan serius dua seteru dari negeri sebe-
rang itu yang kini bersiap-siap memasang kuda-kuda
masing-masing.
Boen Sio Liong dengan kaki kanan ke depan
yang ditekuk sedikit, lalu menggeser kaki kirinya ke
belakang sehingga tubuhnya agak turun ke bawah,
namun pantatnya tidak mengenai genteng. Tangan ka-
nannya yang membentuk jurus kuntauw diluruskan ke
depan dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka me-
nempel pada jempol tangan kanannya dan seketika da-
ri telapak tangannya keluar asap kemerah-merahan.
Si Dewa Suci Penyebar Bala melihat lawannya
telah mengeluarkan jurus tenaga dalamnya lalu mem-
buat kuda-kuda dengan kaki terbentang lebar dan
agak ditekuk sedikit dan kedua tangannya dikepal lalu
disilangkan di depan dadanya kemudian terlihatlah
asap berwarna hitam keluar dari tangan si Dewa Suci.
Kedua seteru itu kemudian melepaskan puku-
lan jarak jauhnya dengan menggunakan lwekang mas-
ing-masing. Suasana malam yang kian larut dengan
hawanya yang dingin namun menegangkan syaraf bagi
yang melihat pertandingan adu tenaga dalam tersebut.
Sinar merah dan hitam saling mendorong satu
dengan yang lainnya dan tubuh mereka bergoyang-
goyang menahan dorongan yang dilancarkan. Sinar-
sinar tersebut saling bergulung-gulung sehingga me-
nimbulkan hawa panas di sekitarnya membuat daun-
daun serta ranting-ranting pohon yang terdekat han-
gus terbakar.
Parmin yang menyaksikan pertarungan itu me-
rasakan ada hawa panas yang tak wajar menerpanya
sehingga ia segera menyalurkan hawa murni dari ba-
wah perutnya dan berhasil mengusirnya.
Pertarungan itu pun berlanjut terus sehingga
tubuh mereka terlihat terangkat dua jengkal dari posisi
semula dan sinar-sinar itu semakin bergulung-gulung
kemudian menghilang ke udara. Ternyata mereka sa-
ma-sama memiliki ilmu dalam yang seimbang dan li-
hai.
"Kau memang banyak kemajuan dewa laknat!
Tetapi terimalah ini! Hiiiyaaa!!!" bentaknya keras sam-
bil mengerahkan tenaga dalamnya dan bagai kilat si
jubah hitam itu melompat menyerang Dewa Suci den-
gan tangan kanannya menusuk biji mata dan tangan
kirinya terbuka mengarah batok kepala serta kaki ka-
nannya mengarah perut.
Si Dewa Suci dengan kewaspadaan penuh dan
perhitungan yang matang menggeser tubuhnya ke kiri
dan kepalan tangannya siap menghantam iga si Jubah
Hitam.
"Tak!!" bunyi beradu dua tulang seperti hendak
patah dan tubuh si Dewa Suci sempoyongan beberapa
meter, sebaliknya tubuh si Jubah Hitam meletik ke
udara dengan bersalto seperti kapas tertiup angin. Tu-
buh Boen Sio Liong begitu ringannya sehingga dalam
bentrokan tadi tubuhnya bisa melayang kembali sete-
lah terkena tenaga yang dilancarkan si Dewa Suci dan
tenaga tersebut dijadikan sebagai pantulan tubuhnya.
Pada saat tubuh si Jubah Hitam sedang me-
lambung ke udara, sebuah bayangan lain berkelebat
menyambarnya dengan tusukan yang mematikan
mengarah leher. Bayangan itu begitu cepatnya menye-
rang si Jubah Hitam, namun dengan gerakan cepat
pula si Jubah Hitam berkelit memutar tubuhnya yang
masih bersalto dan loloslah serangan yang dilakukan
oleh bayangan tersebut.
"Haiyaa... curang!!" bentak si Jubah Hitam
menghindar setelah tahu ada orang lain yang menye-
rangnya dengan sabetan-sabetan yang mematikan
mengarah ke tubuhnya.
Bayangan yang membokong itu tak lain adalah
Ling Pei, dara manis putra si Dewa Suci yang terus
mengikuti ke mana ayahnya mengembara!
Ya! Dalam episode yang terdahulu pun Ling Pie
telah membokong Parmin yang sedang melakukan sho-
lat, namun indra kependekaran yang dimiliki Jaka
Sembung sudah sangat terlatih sehingga serangan ge-
lap berupa pisau-pisau kecil yang mengarah ke tubuh
Parmin dapat dihindarinya, sedangkan serangan senja-
ta sepasang pedang Ling Pei di tangannya pun dengan
mudah dihindari Jaka Sembung.
Kini Ling Pie dengan sepasang pedangnya kem-
bali menyerbu si Jubah Hitam yang sudah mendarat di
bubungan tak jauh dari tempat Ling Pei berdiri. Tubuh
Ling Pei melesat seperti anak panah terlepas dari bu-
surnya dengan kedua pedang mengarah leher serta pe-
rut. si Jubah Hitam tetapi dengan gerakan yang tak
terduga oleh Ling Pei menyelinap di antara kedua pe-
dangnya dan tanpa ampun lagi tangan kanan si Jubah
Hitam yang telah diisi tenaga dalam tersebut mendo-
brak dada si dara manis itu.
"Plak!!" Tangan itu menggedor dada Ling Pei
dan dengan suara tertahan tubuh Ling Pei melayang
tak berdaya meluncur deras dari bubungan dengan da-
rah berhamburan dari rongga mulutnya.
Parmin yang menyaksikan tubuh dara itu me-
layang ke bawah dengan cepat bertindak hendak me-
nolong agar tubuh dara tersebut tidak berdebam di ta-
nah. Dengan sekali gerakan Jaka Sembung telah bera-
da tepat di bawah tubuh molek yang sedang melayang
tanpa terkendali. Kedua belah tangannya yang kokoh
dibentangkan ke depan, menyongsong tubuh dara ter-
sebut.
"Tap!!" Tubuh dara itu disambut oleh tangan
Parmin, yang lalu membopongnya dan meletakkannya
di anak tangga di depan bangunan tua itu. Sayang.
Ternyata nyawa Ling Pei telah melayang entah ke mana
dengan darah berhamburan ke luar dari mulutnya
hingga membasahi bajunya.
"Inalillahi...!" ucap Parmin setelah mengetahui
bahwa dara tersebut telah meninggal dunia. Parmin la-
lu teringat akan pesan gurunya Ki Sapu Angin bila kau
melihat ada orang yang terkena musibah ucapkanlah
'Inalillahi wainnailaihi rodzi'un', segala yang berasal
dari-Nya akan berpulang kepada-Nya jua.
TIGA
Di atas bubungan yang lain dua seteru masih
bertarung hidup dan mati. Mereka mengeluarkan selu-
ruh ilmu yang mereka miliki. Ilmu silat mereka me-
mang berimbang, keduanya sama-sama mengeluarkan
jurus-jurus ilmu silat tertinggi sehingga tubuh mereka
tampak seperti gulungan-gulungan sinar yang saling
menindih dan sekali-sekali menekan lawannya sehing-
ga orang yang berilmu rendah tidak mampu mengikuti
pertarungan yang begitu cepat.
Parmin yang menyaksikan dari bawah berdecak
kagum melihat kedua orang itu bertarung dengan ilmu
silat yang paling tinggi, yang mereka miliki. Apakah
yang mereka perebutkan? Kekuasaan? Kehormatan?
Atau harta peninggalan nenek moyang mereka? Jika-
lau mereka memperebutkan kekuasaan, apakah mere-
ka sanggup melawan penjajah Kumpeni Belanda yang
sedang berkuasa di negeri ini? Apabila mereka mempe-
rebutkan harta peninggalan nenek moyang mereka,
mengapa harus jauh-jauh bertarung di negeri ini? An-
daikan mereka mencari kehormatan, apalah artinya
kehormatan itu? Kehormatan dengan mempertaruhkan
nyawa. Sungguh suatu hal yang salah besar! Kehorma-
tan dunia tidaklah mutlak. Lihatlah orang-orang yang
mempunyai harta benda yang melimpah ruah, segala
keinginannya terpenuhi dengan segera apa-apa yang
mereka mau dengan cepat terlaksana. Apakah itu yang
dinamakan kehormatan? Mungkin anggapan mereka
itulah kehormatan. Tetapi bila harta tersebut telah ha
bis atau telah lenyap dan nyawa mereka telah diambil
oleh Sang Maha Pencipta. Apakah kehormatan itu ma-
sih kita miliki? Tidak! sekali lagi tidak! Yang tinggal
hanyalah kesedihan dan kesengsaraan. Kehormatan
yang hakiki hanyalah di hadapan Allah Sang Maha
Pencipta.
Parmin menarik napas dalam-dalam. Matanya
yang tajam terus mengikuti pertempuran di atas bu-
bungan di mana kedua seteru itu masih saling menye-
rang satu dengan lainnya dengan jurus-jurus maut
yang mematikan.
"Kau telah membunuh putri ku, Jahanam ke-
parat!!!" bentak Dewa Suci dengan geraman keras dan
gigi gemeretuk menahan amarah yang meledak melihat
putri tersayangnya telah menjadi mayat. Dengan gera-
kan cepat kakinya menendang perut si Jubah Hitam,
sedangkan tangannya mengarah ke tenggorokan. Teta-
pi dengan sekali hentakan, tubuh si Jubah Hitam telah
melesat ke atas dan membuat gerakan salto sambil
kakinya menendang tengkuk si Dewa Suci. Akan tetapi
ketika si Dewa Suci melihat tubuh musuhnya melewati
kepalanya, ia segera membuat gerakan tak terduga.
Kakinya yang telah mengarah ke perut lawan tiba-tiba
dialihkan dengan berguling-guling memburu selang-
kangan si Jubah Hitam yang masih jumpalitan di uda-
ra. Kembali si Jubah Hitam membuat gerakan lain.
Dengan tubuh yang masih jumpalitan ia membuat ke-
balikan dari arah semula, di mana ia diserang dan se-
gera berdiri tegak tanpa menimbulkan suara, serta
langsung memasang kuda-kuda. Sebaliknya si Dewa
Suci dengan cepat berdiri dengan penuh kewaspadaan.
Mereka kini telah siap kembali dengan jurus
maut yang mereka miliki. Di detik selanjutnya terden-
gar suara menggelegar memecahkan suasana.
"Hiiyaaatt...!!" Suara mereka keras hampir ber-
samaan dan seketika itu tubuh mereka melesat ke
udara. Terlihatlah berkas sinar saling menyongsong.
"Duuaaarr...!!" Sinar itu bertemu di udara den-
gan suara ledakan yang menggema ke sekeliling tem-
pat itu. Asap hitam pun mengepul membubung ke
udara dan hilang tertiup angin. Dalam benturan itu
tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang dan
keduanya sama-sama bersalto menjaga keseimbangan
tubuh agar tak terjatuh dari atap bangunan.
Embun pagi telah membasahi dedaunan dan
rumput ilalang, namun mereka tetap bertempur den-
gan jurus-jurus maut yang mematikan, walaupun be-
lum terlihat seorang pun yang bakal kalah.
Berpuluh-puluh jurus telah mereka keluarkan,
peluh membasahi tubuh sehingga pakaian mereka ba-
sah kuyup. Memasuki jurus keseratus, mereka menge-
luarkan ilmu andalannya masing-masing.
Si Dewa Suci mengeluarkan jurus maut dari il-
mu silat Gurun Gobi, sedangkan Boen Sio Liong alias
si Jubah Hitam mengeluarkan jurus andalannya dari
Pegunungan Himalaya.
Kedua seteru ini telah bersiap-siap dengan ilmu
andalannya masing-masing.
Dewa Suci mengerahkan tenaga dalam dengan
sepenuhnya. Terlihat sewaktu ia menggerak-gerakan
tangannya yang dikepal lalu terbuka, dan dikepal lagi
sehingga menimbulkan hawa panas dan telapak tan-
gannya menjadi merah seperti bara.
Si Jubah Hitam yang merasakan hawa panas
tersebut segera menolak dengan jari-jari tangan terbu-
ka seperti hendak menerkam lawan. Dari tangannya
keluar asap putih mengepul dan segera asap itu meno-
lak hawa panas yang datang. Jurus ini disebut Jurus
Beruang Sakti dari Gunung Himalaya sebuah jurus
maut yang sangat ampuh.
Sinar merah dan putih saling mendorong untuk
menjatuhkan lawan dan akibatnya genteng-genteng di
atap bangunan yang terdekat menjadi terbakar.
Pada detik selanjutnya Dewa Suci menerjang
dengan seluruh tenaga dalamnya. Tangannya lurus
mengarah ulu hati si Jubah Hitam dan dengan gera-
man keras disertai nafsu membunuh, ia merangsak
Jubah Hitam dan berhasil menggedor dada lawan. Ber-
samaan itu si Jubah Hitam menyongsong serangan la-
wan dengan kedua tangan yang siap menerkam.
"Buk! Prak!"
Bunyi bentrokan itu keras sekali, hampir ber-
samaan terdengar oleh Parmin yang berada di bawah
dan senantiasa menggeleng-geleng kepala menyaksi-
kan pertarungan langka tersebut.
Tangan kanan si Dewa Suci tepat mendarat di
dada si Jubah Hitam. Darah keluar dari mulut si Ju-
bah Hitam akibat dadanya terguncang hebat dan terli-
hat baju di depan dadanya pun terbakar, akan tetapi
bersamaan dengan itu tangan kiri si Jubah Hitam te-
pat menghantam batok kepala si Dewa Suci yang botak
plontos.
Jari-jari si Jubah Hitam amblas ke dalam hing-
ga tak terlihat dan dengan sekuat tenaga menjebol ba-
tok kepala tersebut hingga berantakan. Darah merah
berhamburan membasahi muka lawan sehingga tan-
gan kiri si Jubah Hitam menjadi merah dan batok ke-
pala si Dewa Suci Penyebar Bala menjadi hancur se-
perti kerupuk.
Pekik mereka berdua tertahan sejenak ketika
tangan mereka mendobrak sasaran. Kemudian tubuh
mereka melayang deras ke bawah tanpa terkendali dan
tepat jatuh di depan Parmin yang sempat menggeser
kakinya ke belakang sehingga terhindar dari kejatuhan
dua sosok tubuh tersebut.
Tubuh mereka berdua menggeletak tak ber-
nyawa lagi, dalam keadaan bersimbah darah. Parmin
termangu-mangu memandangi tiga sosok tubuh yang
telah menjadi mayat.
"Inilah penyelesaian yang paling baik bagi Dewa
Suci dan agaknya ia memang ditakdirkan mati di tan-
gan orang bangsanya sendiri!" gumam Parmin dalam
hati.
Sang waktu terus merangsek perlahan namun
pasti, rembulan telah memasuki peraduannya. Di ufuk
Timur mentari telah menyinarkan cahaya keperakan,
memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di
bumi ini. Burung-burung serta unggas yang saling
bernyanyi menyambut sang surya. Kicauan burung-
burung yang saling bersahutan memberi kenikmatan
hidup bagi yang mendengarnya. Sungguh Maha Besar
Sang Pencipta alam raya ini.
Parmin pun segera membuat liang lahat dan
beberapa saat kemudian ia telah selesai menguburkan
mayat-mayat itu. Setelah itu Parmin mencari mata air
yang terdekat. Tidak lama kemudian ia telah menemu-
kan mata air tersebut dan segera menanggalkan pa-
kaiannya, Parmin lalu merendam tubuhnya di mata air
tersebut.
"Uh... sejuknya air ini membuat tubuhku terasa
lebih segar! Ayo Beo, mandi! Bukankah kau telah satu
minggu tidak mandi?!" ujar Parmin kepada sahabatnya
itu. Dengan segera burung Beo itu terbang lalu hing-
gap di pundak Parmin dengan perlahan sehingga kulit
Parmin tidak terluka oleh kukunya yang tajam. Kemu-
dian dua makhluk yang berlainan jenis itu segera terli
hat canda ria di pagi yang cerah.
Setelah puas menikmati air yang jernih itu dan
tubuhnya terasa lebih segar, Parmin melanjutkan per-
jalanannya kembali.
Matahari telah menampakkan cahayanya,
membuat titik-titik embun menguap dan hilang dari
dedaunan. Dengan langkah perlahan namun pasti,
Parmin terus berjalan memenuhi tugas yang diberikan
gurunya, Ki Sapu Angin, untuk mempersatukan para
pendekar di seluruh daerah Pasundan guna melawan
Penjajah Kumpeni Belanda.
Beberapa jam kemudian Parmin telah sampai di
perbatasan desa Cilimus. Perutnya pun telah berbunyi
minta diisi. Pemandangan di perbatasan desa tersebut
cukup indah dengan batu-batu yang tersembul dari
permukaan tanah. Gundukan-gundukan besar tersu-
sun di kanan kiri dan pohon-pohon yang rindang den-
gan daun-daunnya yang berwarna hijau tumbuh den-
gan suburnya.
"Aku haus dan lapar! Tetapi di sini orang pen-
datang tak boleh minum di sembarang tempat! Semua
makanan dan minuman akan dapat menjadi sebab
kematian! Aku harus berhati-hati memasuki Desa Ci-
limus ini. Guruku berpesan bahwa di sini banyak pen-
dekar yang memiliki ilmu hitam yang berbahaya!!" gu-
mam Parmin dalam hatinya sambil mengingat-ingat
pesan gurunya. Ia melanjutkan langkahnya dengan te-
nang.
Sementara itu tanpa disadari oleh Parmin, se-
pasang mata mengawasi gerak geriknya dari sela-sela
semak-semak pohon dan kemudian sosok tubuh terse-
but menyelinap dengan gerakan yang ringan tanpa
mengeluarkan suara. Setelah beberapa saat menem-
puh perjalanan, Parmin melihat sebuah warung di tepi
sebuah jalan setapak. Ia pun segera mempercepat ja-
lannya menuju warung tersebut.
Tetapi warung itu terbuat dari daun tebu yang
disusun rapi dan tiang-tiangnya terbuat dari bambu
serta bangku yang hanya satu buah terbuat dari papan
namun terlihat kokoh.
Beberapa saat sebelum Parmin tiba di warung
itu, sosok tubuh yang mengintai gerak gerik Parmin
tadi telah terlebih dahulu tiba di warung tersebut.
Orang itu berwajah bengis. Matanya tajam liar serta
golok yang sudah terlepas dari sarungnya mengancam
pemilik warung itu dan dengan kasar memaksa pemilik
warung supaya mengikuti semua perintahnya. Pemilik
warung yang sudah tua itu mendadak semakin tua ka-
rena ketakutan yang amat sangat ketika orang yang
mengancamnya menempelkan golok ke lehernya.
"Hai, Pak Tua! Taburkan bubuk ini ke dalam
gelasnya bila pendatang beserta burung Beonya mam-
pir ke sini, mengerti!? Jika kau tidak mau, lehermu
aku bikin putus!!" bentaknya mengancam pemilik wa-
rung sambil memberikan sebungkus bubuk misterius
kemudian ia bersembunyi di dalam warung tersebut.
"Baik, Gan, Saya akan laksanakan!" jawab Pak
Tua gemetar. Tangannya mengambil bungkusan itu,
lalu ia letakkan bungkusan itu di antara guci-guci
tempat kopi dan gula.
"Assalamualaikum..." sapa Parmin lembut sete-
lah sampai di warung tersebut dan melihat ke sekelil-
ing kalau-kalau ada orang mencurigakan dan Parmin
bernapas lega karena di warung itu tidak ada seorang
pun yang duduk.
"Wa'alaikum salam...! Silahkan duduk, Den!
Mau minum kopi, teh manis atau mau makan, Den!"
"Hm... teh segelas dengan gula aren, Pak! Kalau
ada tolong juga pisangnya untuk burung kesayangan-
ku ini, Pak!"
"Baik, Den!" Tunggu, akan saya persiapkan!"
ujar Pak Tua sambil membalikkan tubuhnya. Ia segera
membuat air teh yang dipesan Parmin dengan tak lupa
mencampurkan bubuk yang diberikan orang tadi. Se-
kali-sekali matanya melirik ke arah Parmin yang se-
dang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya,
kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh Parmin, sang
pendatang.
"Silahkan minum, Den! Dan ini pisangnya!" ujar
Pak Tua sambil menyodorkan gelas berisi air teh panas
dan sesisir pisang.
Sosok tubuh yang berada di dalam warung itu
sedang mengintipnya dari lubang bilik dengan dada
berdebar-debar.
Parmin pun segera mengambil gelas itu dan ke-
tika ia hendak menghirup air teh itu, tiba-tiba kening-
nya berkerut dan seketika ia teringat pesan gurunya.
Jikalau kau sudah memasuki daerah Cilimus hendak-
nya kau jangan sembarangan makan dan minum di
kedai atau di warung yang kau jumpai, karena di dae-
rah itu banyak sekali orang-orang yang memiliki ilmu
hitam yang sering mencelakai orang pendatang. Sete-
lah mengingat pesan gurunya, Parmin segera menghe-
ningkan cipta mengerahkan konsentrasinya ke dalam
gelas itu. Beberapa saat kemudian terjadilah suatu
keajaiban, air teh tersebut perlahan-lahan berubah
dan buih itu semakin banyak. Parmin terus menyalur-
kan hawa murni ke tangannya. Karena kuatnya tenaga
yang tersalur, air teh itu menjadi mendidih dan mele-
daklah gelas yang Parmin pegang menjadi berkeping-
keping dan airnya muncrat membasahi meja.
"Prak!"
"Racun!!" sentak Parmin dengan membeliak dan
segera tangannya mencengkeram pundak sang pemilik
warung itu.
"Heh, Pak! Mengapa kau bermaksud membu-
nuhku dengan racun?!" bentak Parmin geram sambil
mengangkat tubuh Pak Tua itu ke atas meja membuat
Pak Tua ketakutan.
"Aa... am... pun, Den! Tobat, Den! Aku hanya
disuruh...!"
"Siapa yang menyuruhmu? Cepat, katakan!!"
Belum sempat orang tua itu menjawab, sebuah cahaya
meluncur dengan cepat dan mengenai punggungnya.
Sebuah senjata rahasia menghunjam dari arah bela-
kang.
"Jep...!"
"Ach!" Dengan suara tertahan orang tua itu
menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mata
melotot dan mulut menganga. Kiranya sebuah pisau
belati telah menancap di punggungnya dan tembus ke
ulu hatinya menandakan orang yang melemparkan pi-
sau itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.
"Oh! Innalillahi...!" sentak Parmin terkejut den-
gan sekali gerakan tubuhnya telah melesat ke atas
atap warung itu dan ia segera melihat sosok tubuh
yang melarikan diri dan hilang di balik bebatuan.
"Ilmu larinya boleh juga! Dia tentu bukan orang
sembarangan." gumam Parmin meloncat turun dan
berkelebat mengejarnya.
Tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tiga
sosok bayangan berlompatan menghadang pengejar-
nya, maka dengan segera Parmin menghentikan la-
rinya.
"Berhenti!" bentak mereka hampir bersamaan.
"Heh, siapakah kalian? Mengapa menghalang
halangiku?"
"Hm... andakah Pendekar Gunung Sembung
yang perkasa dan terkenal itu? E... hm, pucuk dicinta
ulam tiba! Kami 'Tiga Melati' sedang mencari anda dan
secara kebetulan kita bertemu di sini!" sergah seseo-
rang dari mereka dengan nada ketus dan bibir terse-
nyum genit. Mereka segera mengepung Parmin dengan
kuda-kuda kaki depan mereka agak ditekuk sedikit
dan kaki kiri dipentangkan ke belakang.
Parmin bagaikan tersengat lebah terkejut tak
percaya pada pandangan matanya, ketika ia melihat ti-
ga dara kembar yang cantik-cantik telah berada di ha-
dapannya dan tersenyum penuh arti melihatnya. Par-
min menghela napas dalam-dalam.
Tiga dara yang menamakan dirinya 'si Tiga Me-
lati' memiliki wajah yang sama bila dilihat sepintas la-
lu. Mereka seakan-akan sama satu dengan yang lain-
nya. Namun bila diteliti dengan seksama ada perbe-
daan pada wajah mereka. Mereka bertiga mengenakan
pakaian yang bercorak sama berwarna merah bergaris-
garis berbentuk baju kurung dengan bukaan lebar di
depan sehingga belahan dada mereka terlihat jelas
dengan bentuk buah dada yang padat. Pinggang mere-
ka ramping dengan lengan panjang tiga perempat, se-
hingga pergelangan tangan mereka yang kecil dengan
jari tangan yang mungil terlihat jelas. Celana pangsi
mereka pun sama coraknya dengan baju mereka. Pan-
jangnya sebatas betis, membungkus ketat kaki mereka
sehingga betis mereka yang bunting padi terlihat manis
dipandang mata. Wajah mereka yang bulat telur den-
gan dagu agak panjang serta bibir yang merekah bak
buah delima. Hidung yang agak mancung dan pipi
yang lesung pipit, serta bola mata hitam dengan bulu
mata lentik dan alis mata kecil membentuk bulan sabit
menambah keelokan wajah mereka. Rambut mereka
terurai sampai punggung, agak berombak dengan ikat
kepala berwarna merah muda dan ikat pinggang yang
melilit berwarna merah muda pula dengan sebilah pe-
dang terselip di pinggang masing-masing. Kulit mereka
halus dan putih bersih. Di bibir mereka terdapat tahi
lalat kecil yang berbeda-beda letaknya, yang tertua
dengan tahi lalat di bibir atas menghiasi wajahnya dan
yang kedua dengan tahi lalat di bibir bawah dan yang
nomor tiga dengan tahi lalat melekat di pinggir sebelah
kanan bibirnya sehingga bila mereka tersenyum me-
nambah kecantikan mereka.
"Adik-adikku! Hari ini kita bertemu dengan de-
wa silat!" ujar yang tertua dengan senyum menantang.
"Baiklah, kami memperkenalkan did! Aku ada-
lah yang tertua di antara kami. Namaku Riska dan
yang kedua ini bernama Risma, serta yang paling
bungsu bernama Rani!" lanjutnya dengan sorot mata
tak berkedip menatap wajah Parmin yang tersipu-sipu
melihat senyum mereka yang selalu menggoda.
"Apa maksud kalian bertiga mencegatku?! Aku
sedang mengejar seseorang dan karena kalian aku ke-
hilangan jejak!" sergah Parmin dengan nada agak jeng-
kel.
"Kami bermaksud mencoba anda! Sampai di
mana keahlian orang yang punya nama masyhur di
seantero Pasundan ini!!!" kata Riska sambil menyi-
langkan kedua tangannya di dada diikuti oleh adik-
adik.
"Ada suatu syarat! Bagaimana jika kalian ka-
lah?" tanya Parmin dengan membentangkan kakinya
memasang kuda-kuda sambil tersenyum simpul.
"Kami bertiga rela jadi istri anda dan kami mau
melakukan apa saja di bawah perintah anda!" jawab
Riska ketus sambil memberi isyarat kepada adik-
adiknya untuk menyerang Parmin. Secara serempak,
tiba-tiba si Tiga Melati menyerang Parmin dengan sen-
jata terhunus mengarah bagian leher, dada dan kaki
Parmin, namun dengan cepat tubuh Parmin meletik
bagaikan seekor belalang di sela-sela kilatan pedang
dara-dara manis yang menyerangnya dengan ketat.
"Tunggu dulu! Aku tak dapat menerima sya-
ratmu itu, Nona!" bentak Parmin sambil bersalto men-
jauhi si Tiga Melati. Namun belum sampai kakinya
menyentuh tanah, kembali si Tiga Dara tersebut me-
nyerang Parmin dengan sabetan-sabetan pedang se-
hingga debu-debu beterbangan terkena angin yang di-
timbulkan olehnya dan kembali Parmin terpaksa ber-
jumpalitan di udara menghindari serangan tersebut.
Tubuh Parmin ringan bergerak bagaikan se-
gumpal kapas tertiup angin. Tubuhnya ke sana ke ma-
ri berjumpalitan menghindar dari babatan dan sabetan
pedang si Tiga Melati yang menyerangnya dengan ber-
tubi-tubi, namun sampai detik ini Parmin belum mem-
balas serangan si Tiga Dara cantik dan centil itu.
Memang dalam hati Parmin ingin benar menge-
tahui sampai di mana tingkat ilmu silat mereka dan
setelah memasuki jurus yang ke dua puluh Parmin
mengetahui bahwa tingkat ilmu mereka cukup lu-
mayan. Tetapi dibandingkan dengan ilmu yang dimili-
kinya tentu masih jauh di bawah tingkatannya, dan se-
lanjutnya Parmin menggunakan jurus 'angin puyuh'
yang dengan sengaja membuat gaya secara demostra-
tif.
"Hiiyaaaaat...!!" bentak Parmin keras sambil
meliuk-liukkan tubuhnya dengan cepat dan tongkat-
nya menyambar pedang dara-dara manis itu yang
menjadi terkejut melihat bayangan tubuh Parmin yang
begitu cepatnya.
"Trak. Trak! Trak!"
Suara beradu senjata-senjata mereka dengan
tongkat Parmin. Seketika telapak tangan mereka terasa
kesemutan disusul pedang yang terlepas dari gengga-
man tangan masing-masing.
"Aku di sini, Nona! Ambillah kembali pedang-
pedang kalian! Nona bertiga kalah, tetapi aku tetap tak
mau menerima syarat itu!!" ujar Parmin sambil menyo-
dorkan tongkat besi beraninya yang ditempeli oleh tiga
buah pedang milik si Tiga Melati. Si Tiga Melati terke-
jut melihat kenyataan itu dengan mata melotot dan
mulut terbuka dengan decak kagum mereka segera
mengambil pedang masing-masing dan menyarung-
kannya kembali di balik ikat pinggangnya.
"Syarat lain kami tak punya! Kami tak punya
apa-apa sebagai barang taruhan. Kami masing-masing
hanya mempunyai sekujur badan ini!" jawab Risma
sambil membusungkan dadanya sehingga buah da-
danya yang mekar itu tersembul dan membuat mata
siapa pun yang memandang menjadi terkesima meli-
hatnya.
"Anda jangan ragu-ragu, Pendekar! Kami berti-
ga rela hidup bersama anda ke mana anda pergi dan
ketahuilah bahwa kami bertiga masih menyandang ge-
lar perawan-perawan tulen yang baru mekar! Aku saja
baru berumur lima belas tahun sedangkan kakakku
berumur enam belas tahun dan kakakku yang tertua
berumur tujuh belas tahun! Apakah kami bukan seba-
gai buah yang sedang ranum?" tantang si Bungsu yang
bernama Rani dengan ketus sambil mengerdipkan ma-
tanya sebelah mengandung arti.
EMPAT
Parmin melihat gelagat itu segera menarik na-
pas dalam-dalam, dan dengan tenang ia kemudian
berbicara seperti seorang bapak menasehati anaknya.
"Kalian telah membuat suatu lelucon yang tidak
lucu buatku! Aku akan meneruskan perjalananku
yang masih jauh! Selamat berpisah! Hanya kuharap
kalian bertiga bisa menjadi pendekar yang mengabdi
kepada kebenaran dan keadilan! Tuhan telah menen-
tukan jodoh bagi setiap insan, begitu juga halnya den-
gan kalian bertiga...! Bersabarlah! Jodoh tidak bisa di-
buru atau dipertaruhkan, jika sudah waktunya asam
di gunung garam di laut pun bisa bertemu dalam be-
langa! Ingatlah itu baik-baik, Riska, Risma dan Rani!"
Parmin menasehati dara-dara manis yang ma-
sih muda belia itu. Dengan sorot mata tajam mereka
mengikuti sang pendekar dari Gunung Sembung itu
melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Kini
tinggallah mereka pergi dengan kesan yang melekat di
dalam hati masing-masing setelah menyaksikan kehe-
batan pendekar pujaannya yang terkenal itu.
"Dia sama sekali tidak tertarik kepada kita!"
ujar Riska dengan nada seperti orang yang berputus
asa dan bibirnya cemberut tanda kecewa.
"Kita harus belajar ilmu silat yang lebih tang-
guh dari dia! Jika dia kalah tentu dengan sendirinya ia
akan menerima syarat kita!" kata si Bungsu yang ber-
nama Rani dengan ketus sambil matanya terus me-
mandang Parmin yang hampir menghilang di belokan
jalan.
Beberapa saat kemudian mereka dengan lesu
meninggalkan tempat tersebut dengan suatu tekad
akan membantu pendekar kesayangannya mereka da-
lam suka dan duka, maka dengan langkah pasti mere-
ka segera mengikuti arah perjalanan Parmin.
Tatkala bergegas mengejar, angin sepoi-sepoi
menerpa wajah mereka bertiga sehingga rambut mere-
ka yang dibiarkan terurai bergerai tertiup angin dan
membuat wajah mereka menjadi semakin cantik mem-
pesona.
Baiklah kita tinggalkan dulu dara-dara manis
yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' yang sedang
mengejar langkah Parmin si Jaka Sembung.
Sekarang kita ikuti perjalanan pendekar kita
Parmin, alias si Jaka Sembung itu sendiri. Parmin te-
rus melangkahkan kakinya menuju ke tengah-tengah
Desa Cilumus.
Matahari telah hampir condong ke Barat mem-
buat bayangan-bayangan memanjang. Parmin men-
gayunkan langkahnya perlahan namun pasti. Angin
yang berhembus sepoi-sepoi basah menerpa wajahnya
dan dedaunan yang bergoyang terkena hembusan an-
gin membuat daun-daun kering yang sudah tua bergu-
guran.
Awan hitam di langit sana mulai tarn pak ber-
gumpal-gumpal memayungi Desa Cilumus saat itu dan
kilatan-kilatan petir menyambar kian ke mari menan-
dakan hujan akan segera turun. Penduduk Desa Cilu-
mus yang masih berada di luar rumahnya bergegas
memasuki rumah masing-masing, sementara anak-
anak kecil bersorak-sorai menantikan hujan, namun
orang tua mereka segera menyuruh anaknya untuk
memasuki rumah.
Tidak berapa lama kemudian air hujan mulai
menetes satu per satu membasahi bumi. Parmin mem-
percepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh,
tetapi tanpa sepengetahuan Parmin sepasang mata
yang mencorong mengikuti gerak geriknya.
Sosok tubuh itu dengan wajah bengis dan golok
yang terselip di pinggangnya berhenti di balik sebuah
batang pohon besar sehingga tubuhnya terhalang oleh
batang pohon tersebut. Parmin pun berteduh di samp-
ing rumah seorang penduduk.
"Kurang ajar! Gembel busuk itu bisa lolos dari
racun itu! Aku harus segera lapor kepada Pak Kiyai!"
gumamnya dalam hati dengan gigi gemerutuk mena-
han marah.
Hujan yang rintik-rintik kemudian menjadi be-
sar disusul dengan curahan yang menderas diselingi
guntur yang menggelegar memecahkan kesunyian di
Desa Cilumus yang penduduknya telah memasuki ru-
mahnya masing-masing.
Hujan deras itu tak henti-hentinya sampai ma-
tahari lenyap ke permukaan bumi dan alam yang su-
dah gelap kini menjadi kian pekat. Udara malam yang
dingin kini semakin dingin disertai angin kencang. Ge-
nangan air hujan telah membentuk kubangan dan
membuat tanah menjadi becek.
Dari celah-celah derasnya air hujan serta angin
kencang yang membuat badan menjadi menggigil terli-
hat Parmin dan sahabatnya yang setia si Burung Beo
sedang berteduh. Kaki serta pakaiannya telah basah
terkena cipratan air hujan.
"Kau kedinginan, Beo? Masuklah berlindung
dalam kain sarung ku." ujar Parmin hampir tak ter-
dengar di sela-sela gemuruh suara hujan yang sema-
kin deras.
Tiba-tiba telinganya mendengar sayu-sayup su-
ara percakapan penghuni rumah tempat ia berteduh.
"Mini, oh. Mini anakku yang malang... Mengapa
sampai terjadi semua ini? Siapa...? Siapa? Katakanlah
kepada ibu siapa yang telah
menodai mu?" tanya ibunya dengan lirih melihat
anaknya kini sedang hamil dan perutnya yang kian
membesar.
"Oh, ibu... Kang Wangsa... ampunilah aku! Am-
punilah aku! Oh, Tuhan kutuklah aku!" ujar Mini den-
gan tangis terisak penuh penyesalan.
"Katakanlah, Nak...! Katakanlah!" desak ibunya
penasaran.
"Kiyai... Kiyai... Subeni!" jawab Mini terputus-
putus sambil menutup wajahnya dengan kedua belah
tangannya dan menangis meraung-raung sangat me-
milukan hati.
"He...? Hah?" sentak ibu dan Wangsa hampir
bersamaan seperti disambar petir mendengar nama
Kiyai Subeni disebut.
"Kiyai Subeni yang menodai mu, Mini? Masya
Allah, Ki Subeni guru ngaji mu itu?" Desak ibunya ka-
rena tidak percaya sambil mengerutkan dahinya dan
terlihat wajahnya semakin tua.
"Kurang ajar! Keji! Murtad! Lagi-lagi perbuatan
Kiyai cabul itu!!" bentak Wangsa sebagai tunangan ga-
dis bernama Mini itu dengan suara keras. Tangannya
dikepal menahan amarah, membuat Parmin yang be-
rada di luar tersentak kaget.
"Hh!! Hachh!! Sudah berapa perawan yang ia
rusak bedebah! Semua orang mendiamkan tingkah la-
ku keparat itu! Mereka penakut semua! Apa yang dita-
kutkan? Aku tidak takut!! Akan kubunuh iblis murtad
itu! Persetan dengan ilmu sihir dan guna-guna yang
dimilikinya! Tunggulah ajalmu Kiyai Iblis!!!" bentaknya
keras mencaci maki sepuasnya, disertai loncatan me-
nerjang daun pintu yang terbuat dari bilik bambu dan
ia melompat ke luar.
Di tengah-tengah derasnya hujan dan petir ser-
ta guntur yang menggelegar sang tunangan yang ma-
lang itu berlari-lari dengan golok telanjang menuju
rumah Kiyai Subeni. Namun di tengah perjalanan ia
dicegat oleh sesosok manusia yang berwajah beringas.
"Berhenti! Mau ke mana, Kunyuk?!" bentak
orang itu keras dengan mata yang menyiratkan nafsu
ingin membunuh.
"Siapa kau?! Heh, Ki Burik, tangan kanan si
Subeni! Bagus! Mampuslah anjingnya dulu!
Hiiyaaaaat!!" bentak Wangsa keras sambil menya-
betkan goloknya mengarah pinggang si Burik dengan
cepat, namun dengan sekali menggerakkan tubuhnya
Burik telah melesat ke atas dan lolos dari serangan
Wangsa.
Wangsa terus merangsek Ki Burik yang masih
berjumpalitan dengan goloknya yang tajam seperti pi-
sau cukur, tetapi Ki Burik dengan mudah menghindari
serangan-serangan tersebut dan dalam jurus yang ke-
tiga sebuah tendangan berat yang mengandung tenaga
dalam menimpa dada Wangsa.
"Buk!"
"Hkh..." suara tendangan itu disertai pekik ter-
tahan dari Wangsa yang seketika tubuhnya terjerem-
bab kegenangan air. Ketika tubuh Wangsa hendak
bangkit kembali tiba-tiba dadanya terasa terbongkar
disusul dengan tersemburnya darah segar dan setelah
menggeliat beberapa kali untuk meregang nyawa, tu-
buh Wangsa tak berkutik lagi... biru mengejang dan
nyawanya lepas entah ke mana. Darah membasahi tu-
buhnya dan air di sekitarnya menjadi merah karena
darahnya sendiri.
Ki Burik melihat korbannya mati dengan sekali
gebrakan dengan serta merta tertawa terbahak-bahak
sambil berkacak pinggang, tetapi sedetik kemudian
berkelebatlah bayangan Parmin menyerang tubuh Ki
Burik yang sedang tertawa dengan babatan tongkat
besi beraninya disertai tenaga dalam mengarah leher
Ki Burik.
Tawa Ki Burik dengan seketika terhenti dan tu-
buhnya melejit ke belakang menghindari serangan
Parmin. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah
kembali Parmin menyerang dengan tendangan kakinya
mengarah selangkangan Ki Burik. Tetapi dengan jeli Ki
Burik melentikan tubuhnya dan menjauhi Parmin
hendak melarikan diri. Namun kembali Parmin menye-
rang dengan totokan tongkatnya.
"Hek!" suara Ki Burik tertahan dan dengan tu-
buh sempoyongan ia melompat ke semak belukar.
Seketika terjadilah kejar mengejar yang seru di
bawah siraman hujan yang semakin deras dengan kilat
menyambar dan guntur yang menggelegar.
"Tak salah lagi! Dia tentu orang yang menyuruh
pelayan warung itu untuk meracuni ku!" gumam Par-
min dalam hati sambil mempercepat larinya, tetapi tu-
buh Ki Burik telah menghilang ditelan kegelapan ma-
lam. Tinggallah Parmin seorang diri di atas bubungan
rumah penduduk sambil termangu-mangu dan sesaat
kemudian ia telah kembali ke tempat di mana mayat
Wangsa tergeletak dan dengan perasaan terenyuh di-
bopongnya mayat Wangsa yang berlumuran darah ke
tempat di mana Parmin tadi berteduh.
Setelah memberitahukan kepada si pemilik ru-
mah, Parmin segera berlalu dari tempat itu dan segera
melangkah dengan cepat menuju ke kediaman Kiyai
Subeni tanpa menghiraukan hujan yang turun dengan
deras membasahi tubuhnya. Sungguh ia sangat me-
nyesal terlambat bertindak sehingga pemuda yang ma-
lang itu sudah tewas di tangan seseorang yang berjiwa
keji.
Sementara itu di suatu tempat dengan peka-
rangannya yang luas dipagari batang-batang bambu
setinggi pinggang berdiri sebuah bangunan cukup me-
gah dengan tiang-tiang terbuat dari kayu jati berukir.
Bangunan panggung tersebut memiliki anak tangga
yang terbuat dari kayu jati dan berlantai kayu yang
mengkilap. Di sudut kiri kanan terdapat kendi besar
terbuat dari tanah liat berukir berbentuk burung elang
sedang mematuk seekor ular.
Sayup-sayup terdengar alunan suara yang
merdu mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an seakan
menembus derasnya hujan.
Di ruang dalam terdapat beberapa orang dara
cantik sedang mengaji dengan khusu' dan tertib di ba-
wah bimbingan seorang Kiyai. Dara-dara cantik itu
memakai pakaian kain kebaya dengan kerudung me-
nutupi kepalanya. Di hadapan mereka duduk bersila
sang Kiyai dengan pandangan mata tajam menatap
wajah mereka satu persatu membuat yang dipandang
menundukkan kepala. Orang tersebut yang tak lain
adalah Kiyai Subeni dengan sosok tubuh gemuk serta
pipinya yang tembem membuat hidungnya yang pesek
menjadi semakin pesek. Ia memakai baju koko bersu-
lam benang emas di leher bajunya dan memakai pici
berwarna putih yang dililit dengan sorban putih serta
sehelai kain bercorak kotak-kotak diletakkan di pun-
dak kirinya dan kain sarung yang dipakainya berwarna
putih bergaris hitam.
"Si Zaitun kurang fasih dalam mengucapkan la
falnya! Mulai Jum’at besok kau harus mengaji sendi-
rian sebagai pelajaran tambahan!" tegur Kiyai dengan
suara berat namun tegas dengan mata yang menyi-
ratkan sesuatu.
"Aku tak bisa datang ke mari sendirian, Kiyai!
Biarlah kekurangannya akan kupelajari sendiri di ru-
mah. Ayah dan ibu mungkin bisa memberi petunjuk!"
sanggah Zaitun pelan sambil menundukkan kepa-
lanya.
"Jangan bicara sebodoh itu, Zaitun! Ayah dan
ibumu telah mempercayakan semua ini kepadaku!!!"
bentak Kiyai Subeni agak keras dan disambut oleh Zai-
tun dengan tarikan napas panjang.
"Aku adalah gurumu, guru ngaji kalian! Kalian
sebagai murid harus taat pada perintah dan ucapan
guru! Kalau kalian membandel akan celakalah dan tia-
da bermanfaat ilmu yang kalian pelajari! Bagaimana
Zaitun! Masihkah kau membantah? Pengajian mu ba-
nyak ketinggalan dari kawan-kawanmu!!" bentak Kiyai
dengan suara keras memperingati Zaitun serta murid
yang lainnya. Semua murid yang berada di situ tidak
ada yang berani bersuara apalagi menggerakkan ba-
dannya. Semua diam dengan kepala tertunduk. Begitu
pun Zaitun murid yang tercantik itu menjadi lemas
sendi-sendinya.
Apa yang harus diperbuat? Ia tertunduk sayu
di bawah sorotan mata Kiyai Subeni yang bagaikan bi-
sa menembus sampai ke lubuk hatinya dan meman-
carkan suatu tenaga gaib yang menghanyutkan.
"Bagaimana, Zaitun?" tanya Kiyai Subeni den-
gan mata memaksa dan sorot mata tajam menatap Zai-
tun.
Suasana di ruangan itu menjadi sunyi namun
menegangkan. Akan tetapi ketegangan itu tiba-tiba
terpecah dengan datangnya Ki Burik dengan sekujur
badan yang basah kuyup.
"Ki...! Kiyai! Celaka, Ki! Pendekar Gunung Sem-
bung itu sudah sampai di sini dan sedang mengejar-
ku!" ujar Ki Burik pelan dengan tubuh gemetar.
"Apa, hah?" bentak Kiyai Subeni kaget menden-
gar nama tersebut sambil menatap tajam ke arah Ki
Burik.
Sementara itu hujan di luar belum juga ada
tanda-tanda reda. Beberapa detik kemudian berkele-
batlah tubuh Parmin melompati pagar bambu dan ber-
diri tegak di tengah pekarangan pesantren milik Kiyai
Subeni.
"Kiyai Subeni! Sebagai tamu, aku sangat meng-
hargai kekuasaan tuan rumah. Maka aku tak hendak
masuk rumahmu dan memaksa anda untuk keluar.
Tetapi anda pun harus keluar untuk mengulangi pe-
nyambutan anda yang telah gagal!!" ucap Parmin keras
mengalahkan bunyi hujan yang semakin deras. Parmin
teringat peristiwa tadi siang di perbatasan Desa Cilu-
mus, di warung itu, di mana ia hampir saja minum air
teh yang berisi racun dan kiranya Kiyai Subenilah da-
langnya.
Hujan yang turun terus menerus itu menggigil-
kan tubuh Parmin dan agaknya Kiyai Subeni tahu
akan hal itu dan sengaja membiarkan penantangnya
berdiri di luar sampai kaku. Tetapi Jaka Sembung
yang telah dididik oleh gurunya yang kedua Begawan
Sokalima di Puncak Ciremai melalui latihan melawan
hawa yang sangat dingin, dengan tenang tetap berdiri
di bawah curahan hujan dan dengan tubuh basah
kuyup.
"Aku tahu akal bulus Kiyai murtad ini! Baik!
Aku harus mengejeknya supaya ia keluar!" gumam
Parmin dalam hati.
"Hai, Subeni! Bandot tua bermata keranjang!
Memang enak cuaca dingin begini mengerami murid-
mu yang cantik-cantik!! Ha... ha... ha... ha!" Tantang
Parmin dengan lantang dan mengandung ejekan yang
sangat pedas.
Betul juga dugaan Parmin, karena tiba-tiba
daun pintu bergerak dan sesosok tubuh bulat gempal
melompat ke luar dan langsung menyerang Parmin
yang memang sudah siap-siaga. Kiyai Subeni dengan
cengkeraman mautnya yang disertai tenaga dalam
yang sempurna menimbulkan hawa panas dari telapak
tangannya.
Namun Parmin dengan sangat cekatan melaya-
ni serangan itu sambil mengerahkan tenaga dalamnya.
Melihat musuhnya tidak memakai senjata, Parmin se-
gera melempar tongkat besi beraninya sambil berjum-
palitan menghindari cengkeraman tangan Kiyai Subeni
yang mengarah ke perut.
"Oh, inikah tampang Kiyai yang menghalalkan
maksiat untuk memuaskan nafsu iblisnya?! Manusia
seperti inilah penghuni neraka jahanam yang paling
bawah!!!" ujar Parmin dengan lugasnya sambil bersalto
ke belakang guna mengambil jarak.
"Tutup rapat-rapat bacotmu, Monyet gelandan-
gan! Hiiiich...! Mampus!!" bentak Kiyai Subeni sambil
menyerang Parmin secara bertubi-tubi.
"Kau menodai kesucian agama! Copotlah kedok
Kiyai mu itu, hai gadungan!!!" bentak Parmin keras
dan dengan cepat menyerang Ki Subeni.
Mereka berdua mengeluarkan jurus-jurus maut
dari ilmu silat tinggi sehingga tubuh mereka hanya ter-
lihat seperti gulungan sinar dan gulungan sinar itu
saling silang satu dengan yang lainnya dengan gerak
yang begitu cepat.
Beberapa saat kemudian gulungan sinar itu be-
rubah langkah dan kini saling menyongsong dengan
kecepatan tinggi. Teriakan mereka hampir bersamaan
memecahkan suara derasnya hujan karena disertai te-
naga dalam, sehingga Ki Burik yang menyaksikan ja-
lannya pertempuran itu segera bersemedi mengusir
suara keras yang masuk ke telinganya.
"Buk! Hk!"
Terdengar suara tertahan disusul oleh tubuh
Parmin yang terlempar ke belakang beberapa depa dan
tubuhnya menabrak sebuah pohon besar membuat
ranting dan daun kering berguguran.
Parmin merasa bumi yang dipijaknya berputar-
putar, kepalanya pening dan dadanya sesak terkena
gedoran tangan Ki Subeni yang mengandung tenaga
dalam. Parmin berusaha untuk bangkit, tetapi pan-
dangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang dan
dadanya terasa hendak meledak.
"Hoak!" darah segera keluar dari mulutnya
membasahi genangan air di sekitarnya yang seketika
berubah menjadi merah dan tubuhnya ambruk ber-
mandikan darahnya sendiri.
"Nah kini terimalah ajalmu gembel busuk!!!" te-
riak Ki Subeni keras dengan geraman nafsu ingin
membunuh dan tubuhnya melesat cepat dengan kaki
mengarah ke depan dengan pasti hendak menghabisi
riwayat Jaka Sembung.
Pada saat kritis itu tiba-tiba bcrkelebat tiga
bayangan menyambar tubuh Parmin yang sudah tak
berdaya itu.
Tanah becek tempat Parmin tergeletak meledak
seperti kena bom, ketika kaki maut Ki Subeni itu ber-
debam menemui tempat kosong dan melihat tubuh
musuhnya yang sudah tak berdaya itu melesat dibawa
lari oleh tiga dara manis yang kini menyerangnya den-
gan pedang telanjang mengarah pinggangnya. Mereka
ternyata si Tiga Melati yang selama ini mengikuti perja-
lanan Parmin.
Dua orang gadis di antaranya yang tak lain
adalah Risma dan Rani segera melesat sambil membo-
pong tubuh Parmin yang terluka parah dan menghi-
lang dikegelapan malam.
"Cepat kita lari! Biarlah Kak Riska meladeni
orang gemuk!" sergah Risma kepada adiknya Rani dan
segera lari.
Sementara itu Riska dengan mengandalkan ke-
gesitan tubuhnya meliuk-liuk ke sana ke mari sambil
sekali-sekali coba menusuk atau membabatkan pe-
dangnya.
"Siapa kalian, heh? Kenapa ikut campur?" ujar
Ki Subeni dengan kesal sambil mengirim serangan
maut.
"Kami adalah bidadari-bidadari penolong dari
kahyangan! Aku tak ingin lama-lama meladenimu ber-
canda, Kiyai gendut!" sergah Riska sambil bersalto
menjauhi Ki Subeni ke semak-semak belukar dan
menghilang di telan kegelapan malam.
"Bebel sial! Awewe jurig!!!" bentak Ki Subeni
kesal setelah melihat musuhnya telah lenyap.
Tinggallah Ki Subeni seorang diri dan dengan
wajah kesal memasuki rumahnya dan segera memerin-
tahkan Ki Burik untuk melakukan pengejaran.
"Burik cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan
segera bawa ke mari bangsat Sembung itu!!!" ujarnya
keras dengan nada kesal.
"Baik, Pak Kiyai!" jawab Ki Burik dan segera
meninggalkan tempat itu untuk mengumpulkan ka
wan-kawannya.
Riska dengan ilmu larinya yang sempurna sege-
ra dapat menyusul adik-adiknya yang masih membo-
pong tubuh Parmin di celah-celah hujan yang deras
itu.
"Terus ke lembah sebelah Timur itu di sana ada
sebuah goa! Si gemuk gendut itu pasti tak mengejar ki-
ta! Ia lebih senang mengerami murid-muridnya yang
cantik-cantik!" ujar Riska memberi petunjuk kepada
adik-adiknya.
Beberapa lama kemudian mereka sampai pada
sebuah goa di balik bukit dan segera tubuh Parmin di-
baringkan di lantai batu yang beralas ilalang kering.
Sang waktu terus merambat pada jalurnya
dengan pasti dan hujan diluar telah lama reda.
"Lihat! Dadanya terbakar kena pukulan
'Samber Nyawa' Ki Subeni!" sentak Riska setelah me-
meriksa dada Parmin yang membekas berbentuk tela-
pak tangan Ki Subeni. Dada Parmin hangus membiru
terkena gedoran pukulan Ki Subeni yang amat dah-
syat.
"Kalian tak perlu cemas Pendekar Gunung
Sembung tidak mati... dia sedang melawan racun pu-
kulan itu dengan tenaga dalamnya. Sebentar lagi tentu
bangun." ujar Riska setelah meraba dada Parmin dan
telapak tangannya merasakan ada denyutan perlahan.
Kokok ayam jantan saling bersahut-sahutan
menyambut sang fajar yang tersembul dari balik bukit
dengan sinar emasnya, burung-burung pun bernyanyi
menyambut pagi dengan irama merdu pertanda masih
ada kehidupan.
Parmin belum sadarkan diri. Tubuhnya masih
terbaring di atas tumpukan ilalang rumput kering dan
dijaga oleh tiga dara manis yang menamakan dirinya
'si Tiga Melati' dengan sabar.
"Rani! Coba kau carikan air! Air pegunungan
yang dingin cukup membantu pernapasan dan kelan-
caran peredaran darah dalam tubuhnya, sementara itu
aku membantu dengan mengurutnya!" ujar Riska me-
nyuruh si Bungsu.
"Aku saja yang kau suruh-suruh, coba sekali-
sekali si Risma itu!" bantah Rani sambil cemberut.
"Sudah! Jalankan perintah! Aku adalah sauda-
ramu yang tertua berhak mengatur dan semua ini de-
mi untuk kepentingan bersama!" bentak Riska tegas
sambil melotot matanya.
Matahari telah mulai meninggi sehingga mem-
buat hawa di sekitar goa menjadi hangat dan selang
beberapa lama kemudian Parmin telah sadar dan sege-
ra menyandarkan dirinya ke dinding.
"Oh,, terima kasih... kaliankah yang telah me-
nolongku? Riska, Risma dan Rani semoga Tuhan
membalas kebaikan hati kalian!" ujar Parmin pelan
sambil mendekap dadanya dan memijit kepalanya yang
masih agak pusing.
"Mengapa Tuhan yang membalas?" tanya Riska
berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan Par-
min.
"Kami ingin kau sendiri yang membalas kebai-
kan hati kami, kami bertiga bersedia ikut ke mana kau
pergi. Jadikanlah kami bertiga istri-istrimu!" sela Rani
ketus dengan senyum dibuat-buat agar Parmin tergu-
gah hatinya.
"Tidak bisa! Ketahuilah oleh kalian, aku sudah
punya kekasih di Desa Kandang Haur!" jawab Parmin
cepat dan mengaku dengan jujur.
"Kekasihmu itu tentu seorang gadis yang cantik
sekali... ya?" ujar Risma sambil menggeser duduknya
agar lebih dekat dengan Parmin.
"Pendekar Gunung Sembung! Biarlah kami
menjadi istrimu atau menjadi selir-selirmu! Bukankah
agama kita mengijinkan seorang laki-laki mempunyai
istri lebih dari satu orang?" ujar Riska sambil tangan-
nya bergelayutan di pundak Parmin, namun dengan
halus Parmin menepiskannya.
"Itu memang dibenarkan oleh agama, tetapi
dengan syarat: pertama harus bisa membagi rata kasih
sayang, kedua harus berbuat adil dengan nafkah harta
maupun nafkah bathin. Pada kenyataannya manusia
tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, tak terke-
cuali juga aku sendiri! Sekarang begini, bagaimana jika
kita bersahabat saja? Hubungan sebagai kawan adalah
lebih baik, karena tak dikotori oleh rasa cemburu! Dan
bagaimana pendapat kalian untuk menyingkirkan Ki
Subeni?"
"Ia ditakuti karena punya anak buah yang me-
miliki kekuatan ilmu hitam dan ilmu silat yang tinggi!"
ujar Riska memperingatkan.
"Gampang! Kita bakar kemarahan penduduk
desa ini! Kurasa di antara mereka ada yang memiliki
kepandaian silat yang cukup, cuma mereka takut ber-
tindak sendiri-sendiri," potong Rani ketus sambil men-
gepalkan tangannya.
"Bagaimana caranya baiklah kuserahkan kepa-
da kalian! Aku sendiri akan mencoba nasib sekali lagi
melawan Ki Subeni!"
"Jangan khawatir pendekar! Kami akan mem-
bantumu sampai titik darah yang penghabisan!" ser-
gah Risma bersemangat dengan mata berbinar-binar.
"Ya pendekar, kami akan membakar semangat
penduduk untuk menumpas Kiyai murtad itu!" ujar
Riska lebih bersemangat dan menggebu-gebu.
Parmin yang mendengar semua itu tersenyum
bangga dalam hati. Andai kata para pendekar di selu-
ruh nusantara tercinta ini memiliki semangat seperti si
Tiga Melati ini niscaya penjajah Kumpeni Belanda akan
musnah dari bumi pertiwi!
"Nah sekarang kembalilah kalian ke desa! Hin-
dari bentrokan dengan para begundal Ki Subeni! Lak-
sanakan tugas mulia ini, semoga Tuhan bersama kita!"
ujar Parmin pelan namun berwibawa.
Si Tiga Melati dengan langkah pasti meninggal-
kan Parmin yang memandangi mereka dengan rasa
kagum. Tak lama kemudian ketiga gadis kembar itu
menghilang di balik bukit.
Matahari telah membuat bayangan-bayangan
memanjang, angin pun berhembus sepoi-sepoi mener-
pa dedaunan membuat daun-daun kering berjatuhan
dan tunas-tunas baru tumbuh menggantikan. Burung-
burung dengan kicauan-kicauan merdu saling bersa-
hut-sahutan kembali ke sarangnya masing-masing.
Tinggallah Parmin seorang diri di dalam goa.
Namun tak lama kemudian ia pun meninggalkan tem-
pat itu. Parmin terus berjalan melewati bukit bebatuan
untuk mencari tempat yang aman guna penyembuhan
lukanya. Di tengah perjalanannya itu Parmin menden-
gar suara yang khas dimiliki sahabatnya, si Beo yang
tiba-tiba tampak datang dengan terbang rendah dan
kemudian hinggap di pundak Parmin sebelah kiri den-
gan lunaknya.
"Hm... aku sudah cemas kehilangan kau, Beo!"
ujar Parmin tersenyum gembira dan disambut oleh si
Beo dengan mengibaskan sayapnya yang sebelah ka-
nan mengusap pipi Parmin.
"Kau tentu lapar, Beo! Nah mari kita cari tem-
pat istirahat sambil mencari makanan!" lanjut Parmin
sambil mengelus kepala si Beo dan si Beo pun meme-
jamkan matanya dengan manja.
Kita tinggalkan dahulu Parmin dan sahabatnya
yang setia dan selalu menemaninya dalam suka dan
duka itu.
Di suatu senja dengan anginnya yang semilir
membuat awan tipis di udara bergerak berarak-arak
dan pohon-pohon yang tumbuh dengan daun-daunnya
yang lebat dan rindang bergoyang-goyang sehingga
menimbulkan gerak bagai seorang penari yang lemah
gemulai dan meliuk-liuk.
Di suatu tempat, di antara rumah-rumah pen-
duduk Desa Cilumus terlihat dara manis yang mena-
makan dirinya 'si Tiga Melati' sedang berteriak-teriak
keras penuh semangat.
"Haayooo! Haayooo!! Kalian semua keluar, ke-
luar! Kami ingin bicara!" teriak si tiga dara cantik itu
bersama-sama dengan penuh semangat, sehingga sua-
ranya berkumandang ke segenap pelosok desa.
Mendengar suara teriakan-teriakan itu semua
penghuni rumah ke luar memenuhi halamannya mas-
ing-masing sehingga dalam sekejap mereka sudah ber-
kumpul.
"Heii, ayo berkumpul semua! Jangan berdiam
diri saja! Dengarlah baik-baik! Kalian selama ini mem-
biarkan seseorang yang berkedok Kiyai, tetapi ternyata
melakukan praktek-praktek mesum!" ujar Riska ber-
semangat dengan suara lantang untuk membakar hati
penduduk Desa Cilumus.
Mereka semua yang mendengar menjadi heran
tercengang-cengang. Tiga orang dara muda belia begitu
beraninya dan dengan terang-terangan menyinggung
seseorang yang selama ini mereka segani dan paling
mereka takuti di Desa Cilumus ini. Pada sore hari ini
mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala me-
reka masing-masing bagaimana tiga dara manis den-
gan semangat menggebu menentang dan mencaci maki
orang tersebut.
Dengan semangat yang berapi-api si Tiga Melati
terus membakar semangat penduduk Cilumus yang
mulai tergugah dan menyadari diri.
"Setiap muslim tentu merasa tercoreng oleh
tindakan semena-mena dan menginjak-injak kesucian
agama Islam!" teriak Risma sambil mengangkat tan-
gannya tinggi-tinggi mengepal.
"Orang itu berlagak sebagai Kiyai alim, tetapi
sesungguhnya adalah iblis yang paling murtad!!!" sam-
bung Rani tak kalah keras dengan mata berbinar-
binar.
"Sudah berapa banyak anak perawan yang di-
nodai? Apakah kalian akan terus membiarkan begitu
saja? Apakah kalian merasa takut dengan kekuatan
sihir Ki Subeni?! Cuiih!! Mari kita angkat senjata! Kita
enyahkan iblis itu!!!" ujar Riska bersemangat sambil
mengacungkan goloknya ke atas. Maka dengan cepat
penduduk yang berada di situ berteriak menyambut
himbauan si Tiga Melati.
"Betul! Ayo, kita serbu!!!" teriak seseorang den-
gan penuh semangat.
"Hancurkan Kiyai cabul itu.!!" ujar si kumis me-
lintang sambil menguak kerumunan dan maju ke de-
pan sehingga si Tiga Melati melihat dengan jelas.
"Kepruk saja kepalanya, kita jadikan perke-
del!!!" seru orang yang brewok sambil melemparkan go-
loknya ke udara dan disambutnya kembali goloknya
itu dengan sigap sehingga seketika tepuk tangan ber-
gemuruh dari mereka yang menyaksikan demonstrasi
tersebut.
"Sudah tiba saatnya kita menumpas Kiyai iblis
itu!!!" teriak seorang wanita muda dengan suara me-
lengking dan wajahnya menjadi merah padam mena-
han amarah yang sudah sekian lama terpendam.
Agaknya mungkin ia merupakan salah seorang korban
Kiyai Subeni juga.
"Tuummpaass!! Serbuuuu!! Ganyaaanngg!!" te-
riak mereka bersahut-sahutan sehingga suasana di
tempat tersebut hiruk pikuk tak menentu, membuat si
Tiga Melati menjadi kerepotan mengaturnya.
"Tenang saudara-saudara!! Teenaangg!!!" teriak
si Tiga Melati hampir bersamaan dengan suara keras
sekali sambil memberi aba-aba dengan tangannya su-
paya penduduk tenang. Dengan seketika suara yang
hiruk pikuk tersebut menjadi berhenti dan mereka
memperhatikan si Tiga Melati berbicara.
"Tenang saudara-saudara! Belum tiba saatnya
bagi kita untuk menyerang! Tunggulah dalam beberapa
hari ini! Bila pendekar kita Jaka Sembung telah mem-
beri komando untuk menyerang baru kita menyerang!!
Janganlah kalian bertindak sendiri-sendiri! Ingatlah
bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!!!" ujar Riska
lantang memperingatkan penduduk yang kini telah
terbakar semangatnya.
Setelah memberikan petunjuk kapan saat me-
mulai pergerakan, si Tiga Melati segera meninggalkan
tempat tersebut untuk menemui Parmin di tempat
yang telah ditentukan.
Di suatu tempat dengan pekarangannya yang
luas terlihat beberapa orang sedang berjaga-jaga di se-
kitar bangunan yang cukup besar sambil berbincang-
bincang menikmati kopi hangat yang telah tersedia.
Udara di sore hari itu cukup sejuk dengan an-
gin bertiup kencang dan awan di udara bergumpal
gumpal kehitaman pertanda hujan akan segera turun
dan guntur yang bergemuruh memecahkan kesunyian
menjelang malam yang sebentar lagi tiba.
Para begundal Ki Subeni dengan asyiknya me-
nikmati kopi hangat sambil bermain kartu domino di
teras rumah tersebut dengan tertawa-tawa. Wajah-
wajah mereka menyeramkan dan bengis dengan mata
yang berbinar-binar.
"Ayo Kupret! Angkat kakimu dari sini, uangmu
sudah habis!" ujar si Brewok dengan bibir mencibir
mengejek.
"Sialan! Lagi-lagi aku sial!!!" sentak Kupret kes-
al sambil berdiri dan membanting kartu yang dipe-
gangnya ke atas meja dan berlalu diiringi gelak tawa
teman-temannya.
Suasana di luar rumah tersebut sangat kontras
dengan keadaan di ruangan dalam di mana dua sosok
manusia sedang berhadap-hadapan dengan ketegan-
gan masing-masing.
"Rokhimah! Duduknya jangan jauh-jauh, sua-
ramu tidak kedengaran!" perintah Ki Subeni dengan
sorot mata tajam memandangi muridnya yang sedang
membaca ayat suci Al Qur'an.
"Pak Kiyai hari sudah malam dan hujan pun
segera turun! Bolehkan saya pulang?" tanya Rokhimah
sambil membetulkan kerudungnya hingga menutupi
sebagian dahinya.
"Tidak Rokhimah! Kamu jangan takut, setelah
selesai kau boleh pulang dan nanti kau diantar oleh
orang-orangku!" ujar Ki Subeni sambil menggeser du-
duknya lebih dekat dengan sorot mata tetap meman-
dang wajah Rokhimah yang menjadi gemetar dan ke-
ringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.
"Te... ta... pi... biarlah dilanjutkan besok sore
saja, Kiyai!" sanggahnya pelan hampir tak terdengar
karena menahan takut yang amat sangat melihat guru
ngajinya kian mendekati dirinya dengan sorot mata
yang mengeluarkan sinar menembus lubuk hatinya.
"Rokhimah...! Rokhimah! Pandanglah ke mari,
Anak manis!!" ujar Ki Subeni pelan namun berwibawa
dengan napas yang memburu dan tangannya telah
membelai pundak Rokhimah.
"Ja... jang..an, Kiyai!!" sergah Rokhimah terpu-
tus-putus dan tanpa sadar memandang mata Kiyai
Subeni yang mengandung magnit itu, dan seketika tu-
buhnya menjadi lemas tak berdaya. Kemudian tangan
jahil itu mulai beraksi melepas helai demi helai busana
yang melekat di tubuh Rokhimah yang telah terhipno-
tis.
Binatang-binatang malam tidak ada yang bera-
ni keluar, semuanya berlindung di sarangnya masing-
masing hanya suara katak yang bersahut-sahutan
seakan-akan memanggil hujan agar segera turun. Sua-
ra katak tersebut membuat irama magis bertalu-talu
dan tak lama kemudian hujan rintik-rintik turun
membasahi bumi, dedaunan serta tanah yang dengan
seketika menjadi basah tergenang air hujan dan mem-
buat suara katak yang berirama itu berhenti selanjut-
nya berganti suara hujan dengan irama tersendiri.
Udara pun bertambah dingin dan para begun-
dal Ki Subeni yang sedang tertawa-tawa sambil ber-
main domino seakan-akan mengiringi sang iblis yang
telah merasuki jiwa Kiyai Subeni untuk merusak ak-
hlak manusia yang kurang imannya dan udara yang
dingin itu justru menambah gejolak di dalam tubuh
manusia yang telah dirasuki nafsu iblis tersebut.
Demikian yang terjadi diri Kiyai Subeni yang te-
lah lupa akan dirinya dan nafsu setannya yang telah
terlaksana merenggut mahkota yang termahal dari seo-
rang gadis remaja. Hujan yang rintik-rintik seakan-
akan tak mau reda mengiringi tangis terisak dari seo-
rang gadis yang bernama Rokhimah, namun apa daya
ia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.
Waktu terus berputar membawa irama kehidu-
pan di Desa Cilumus dan sekitarnya. Parmin dengan
sahabatnya, si Burung Beo, berjalan dengan tenang
menyelusuri bukit-bukit kecil yang terdapat di Desa
Cilumus sebelah Timur guna mencari tempat yang
aman untuk mengobati dirinya sendiri yang terkena
pukulan dari Kiyai Subeni.
Parmin mendapatkan sebuah pohon besar den-
gan daun-daunnya yang tumbuh lebat dan ranting-
ranting yang menjuntai menambah rindangnya pohon
itu. Ia segera bersila di bawahnya dengan posisi tangan
berada di kedua belah pahanya dan matanya terpejam
memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Wahyu Taqwa'
suatu ilmu yang amat dahsyat dari jurus silat Gunung
Sembung yang diajarkan oleh gurunya yang pertama
Ki Sapu Angin, tetapi kali ini Parmin mempergunakan-
nya tidak untuk bertempur melawan musuh, melain-
kan untuk menyembuhkan luka dalamnya.
Parmin menyalurkan hawa murni dari bawah
perutnya dan seketika uap putih mengepul dari ubun-
ubunnya yang jelas terlihat di bawah sinar rembulan
yang masuk di sela-sela dedaunan dan dada Parmin
turun naik mengatur pernafasannya.
Malam pun merambat perlahan namun pasti,
rembulan yang bersinar kini kian condong ke Barat
membuat bayangan-bayangan memanjang dan tubuh
Parmin tetap pada posisinya semula. Binatang-
binatang malam telah kembali ke sarangnya dan rem-
bulan pun telah hilang di balik bukit.
Sinar mentari pagi telah tersembul dari ufuk
Timur dan semburat dengan sinar emasnya menerangi
ke seluruh mayapada ini.
Burung-burung bernyanyi bersenda gurau be-
terbangan kian ke mari serta ayam jantan yang berko-
kok saling bersahut-sahutan menambah suasana men-
jadi terasa bergairah dalam menyongsong datangnya
hari baru.
Sinar matahari pagi menembus dari sela-sela
dedaunan menyinari wajah Parmin dan seketika mem-
buka matanya sambil menghela napas dalam-dalam
menghirup udara pagi yang menyegarkan.
Embun pagi telah menguap dan Parmin segera
meninggalkan tempat tersebut dengan keadaan tu-
buhnya yang segar bugar setelah ia bersemadi sema-
lam suntuk. Langkahnya yang pasti menyelusuri te-
pian sungai itu dengan tujuan kembali ke pesantren
milik Kiyai Subeni.
Parmin berjalan sambil menikmati keindahan
alam di sekitarnya sementara di dekatnya air sungai
mengalir dengan tenangnya. Parmin terus mengayun-
kan langkahnya, akan tetapi segera berhenti karena
naluri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang
tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati
keadaan sekitarnya dengan sorot matanya yang tajam
sambil mengerahkan ilmu 'Menyatukan Sukma' ia me-
langkah dengan penuh kewaspadaan.
Baru saja Parmin melangkahkan kakinya, tiba-
tiba tanah yang di hadapannya meledak seketika se-
perti terkena dinamit dan dengan segera Parmin ber-
salto beberapa kali ke belakang.
"Bush! Bush!"
Suara itu menggelegar memecahkan suasana di
pagi hari membuat burung-burung beterbangan dan
tanah yang terkena benda tersebut menjadi berlubang
dan debu-debu pun beterbangan ke sana ke mari.
Dengan cekatan Parmin menghindari setiap serangan
yang mengarah ke tubuhnya dan setiap kali benda itu
mengenai tempat kosong.
Senjata yang menyerang Parmin itu ternyata
berbentuk bundar seperti bola terbuat dari logam ke-
ras berduri runcing-runcing dan dikendalikan oleh
rantai yang kuat dan panjang sehingga desiran angin
yang ditimbulkan sangat kuat dan kencang membuat
daun-daun kering beterbangan dan berguguran terke-
na hempasan anginnya.
Parmin baru ingat akan benda yang menye-
rangnya yang tak lain adalah kepunyaan seorang dari
negeri Hindustan yang bernama Goga Khan dengan il-
mu silat tinggi dan pernah bertarung dengannya bebe-
rapa bulan yang lalu, ketika Parmin dalam perjalanan
menuju Desa Cilumus. Ketika itu Goga Khan terkena
golok pendek Parmin yang menggores kulit batok kepa-
lanya dan Goga Khan berjanji akan kembali mencari
Parmin untuk membalas kematian kakaknya.
Kini kembali Parmin menghadapi senjata yang
dahsyat itu dan dimainkan dengan sangat terampil
dan cekatan oleh orang yang berilmu silat tinggi den-
gan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatnya.
Namun dengan ketenangan yang dimilikinya dan ilmu
silat Gunung Sembung yang sudah menjadi darah da-
gingnya, ia hadapi senjata maut Goga Khan dengan te-
nangnya.
Sementara itu suara berisik pertarungan telah
membuat makhluk penghuni sungai mulai bermuncu-
lan. Belasan ekor buaya mengangakan moncongnya
siap melahap mangsa yang terjerumus ke dalam air.
Tiba-tiba tubuh Parmin meletik ke udara
menghindari senjata maut itu dan kemudian dengan
gerakan yang sangat ringan seperti kapas, tubuhnya
membuat gerakan bersalto beberapa kali dan ia meng-
gunakan punggung buaya-buaya itu sebagai jembatan
penyeberangan.
Akibatnya adalah...
"Crot! Crot!"
Suara batok kepala buaya yang pecah terkena
senjata maut itu dan darah pun segera mewarnai air
sungai. Terhindarlah Parmin dari serangan tersebut,
sebaliknya bagi buaya-buaya yang terluka dan berda-
rah mengundang teman-temannya yang kelaparan dan
dengan seketika tubuh kawannya yang sudah tak ber-
daya lagi menjadi bahan rebutan untuk dimangsa dan
air pun berubah menjadi merah berbuih-buih dengan
gejolak air yang bergulung-gulung menandai pesta po-
ra binatang yang ganas itu.
Tubuh Parmin yang masih melayang di udara
terus dikejar oleh senjata yang dahsyat itu yang bagai-
kan mempunyai mata mengikuti ke mana Parmin ber-
gerak dan selalu senjata itu mengenai tempat kosong
membuat orang yang menyerangnya menjadi semakin
marah.
Parmin dengan gesit terus menghindar dengan
penuh perhitungan. Gulungan-gulungan sinar dari pu-
taran senjata maut itu terus mengurung tubuh Parmin
hingga Parmin menjadi terdesak, tetapi dengan ilmu si-
lat tinggi yang diwariskan oleh gurunya, Ki Sapu Angin
sampai saat ini nyawanya masih selamat dan tubuh-
nya meletik ke sana ke mari bagaikan seekor udang
menerobos celah-celah sinar tersebut.
Baru saja kakinya menyentuh tepi kali, kembali
bola logam berduri itu menyerangnya bertubi-tubi dan
tubuh Parmin terpaksa kembali melompat tinggi sam
bil menyabetkan tongkat besi beraninya.
"Trang!"
Suara keras yang ditimbulkan oleh beradunya
dua senjata yang telah diisi dengan tenaga dalam itu
sehingga menimbulkan bunga-bunga api disusul den-
gan melayangnya tubuh Parmin ke belakang sambil
bersalto dua kali dan mendarat dengan ringan pada
sebuah batu besar dengan mantapnya. Sedangkan
senjata berduri itu terpental kembali menuju ke arah
sang pemilik, dengan cepat mengarah batang leher
tuannya tanpa terkendali.
"Siing!"
Senjata maut itu bagaikan anak panah terlepas
dari busur mengancam nyawanya. Tetapi dengan keje-
lian matanya Goga Khan dengan cepat menundukkan
kepalanya sehingga senjata mautnya lewat di atas ke-
palanya sendiri dan menghantam pohon besar sampai
terporak poranda.
Dua puluh jurus, tiga puluh jurus hingga lima
puluh jurus pertempuran itu terlihat masih seimbang
walau telah mengerahkan seluruh kemampuan mas-
ing-masing untuk saling menjatuhkan. Desiran angin
yang ditimbulkan oleh senjata maut Goga Khan mem-
buat daun-daun kering serta debu-debu beterbangan
menutupi pandangan mata Parmin.
Parmin alias Jaka Sembung sambil berkelit
memutar tongkatnya dengan cepat sehingga tubuhnya
terlindung dari serangan tersebut. Akan tetapi senjata
maut itu terus mencecar tubuhnya di sela-sela gulun-
gan debu yang menutupi pandangan dengan dahsyat-
nya membuat Parmin pontang panting.
"Ha.... ha.., ha... ha...ha! Kali ini kau takkan bi-
sa menghindari sapu jagatku, Gembel busuk!!!" bentak
Goga Khan keras dengan senyum sinis sambil memu
tar senjatanya lebih cepat sehingga menimbulkan sua-
ra angin ribut membuat ranting dan debu serta daun-
daun kering beterbangan bagai diserang oleh angin be-
liung.
"Dibandingkan dengan beberapa waktu yang la-
lu senjata maut ini sekarang lebih dahsyat lagi keam-
puhannya! Angin sambarannya menimbulkan hawa
dingin dan panas!" gumam Parmin kagum dengan so-
rot mata tajam mengikuti ke mana arah bola logam
berduri itu bergerak.
"Hiiyaaat!!" teriak Parmin keras sambil melom-
pat tinggi menghindari senjata maut itu yang menga-
rah ke perutnya sambil bersalto beberapa kali dan
mendarat tepat, tanpa disadari di pinggir batu cadas
dan di bawahnya telah siap menanti moncong-
moncong buaya yang kelaparan.
"Ha... ha... ha...! Mau lari ke mana kau, Tikus
busuk?" Terdengar bentakan keras Goga Khan dengan
bibir mencibir sinis melihat lawannya berdiri di mulut
jurang dan dengan cepat sekali memutar senjatanya
mengurung Parmin. Hawa panas dan dingin yang di-
timbulkan senjata tersebut membuat Parmin segera
mengeluarkan jurus andalannya.
"Senjata mu memang aneh dalam dunia persila-
tan! Tetapi janganlah kau tertawa dulu, Sobat!" gumam
Parmin dalam hati sambil memasang kuda-kuda dan
memusatkan konsentrasinya membuat jurus andalan-
nya dari ilmu silat Gunung Sembung yang dinamakan
jurus 'Wahyu Taqwa', jurus pilihan antara hidup dan
mati.
"Bismillah...!" Tubuh Parmin berkelebat me-
nembus lingkaran berduri yang amat dahsyat itu lang-
sung mengancam batok kepala yang botak dari pende-
kar Hindustan itu. Dengan gerakan cepat bagaikan
anak panah melesat dari busur, tubuh Parmin telah
berada tepat di atas kepala Goga Khan yang tak men-
duga akan datang serangan yang demikian cepatnya.
Sedetik kemudian golok pendek Parmin yang tajamnya
seperti pisau cukur itu membelah batok kepala bela-
kang Goga Khan.
"Sret!"
"Ach!!" Suara tertahan yang keluar dari mulut
Goga Khan dengan luka di kepala dan darah serta
otaknya keluar membasahi punggungnya sehingga da-
rah yang terburai itu mengguyur tubuhnya dan Goga
Khan menjadi bergoyang tak sanggup menguasai ke-
seimbangan tubuhnya. Parmin sambil bersalto bebera-
pa kali dengan ujung tongkat besi beraninya menyon-
tek senjata Goga Khan yang sedang meluncur tak ter-
kendali itu.
"Tring!"
Ujung tongkat Parmin menghantam senjata
maut Goga Khan dan kini arahnya menuju tubuh Goga
Khan yang sedang menahan sakit luar biasa dengan
kedua tangannya menutupi luka yang terus mengelua-
rkan darah segar. Senjata mautnya yang diterpa ujung
tongkat Parmin itu tepat mengenai perutnya dan tu-
buhnya terpental jauh ke tengah kali dengan isi perut
berhamburan keluar dan tubuh Goga Khan langsung
disambut oleh moncong-moncong buaya yang ganas
dan kelaparan.
"Byuur!"
Tubuh Goga Khan tercebur di air kali dan per-
cikan-percikan air kali tersebut seketika berwarna me-
rah akibat darah luka Goga Khan yang segera men-
gundang penghuni sungai yang sudah siap menunggu.
Pekikan tertahan itu se-kejap mata lenyap bersama
dengan gemeretaknya taring-taring tajam yang berpu
luh-puluh jumlahnya merobek-robek tubuh Goga Khan
yang tinggi besar tanpa mengenai ampun sehingga air
pun berubah menjadi merah.
Dari atas sebuah batu besar Parmin memper-
hatikan tubuh Goga Khan yang lenyap dalam gumulan
binatang reptil yang mengerikan itu.
"Akhirnya kau menyusul adikmu dengan kema-
tian yang sama!" gumam Parmin dalam hati dan ia te-
ringat kembali beberapa tahun yang lalu, di sebuah
tempat di mana Parmin pernah bentrok dengan adik-
nya Goga Khan, dan adiknya pun mati dengan cara
yang dialami kakaknya.
LIMA
Sementara itu si Tiga Melati sedang berlari-lari
di tengah-tengah dataran luas berbatu dalam udara
yang cukup panas sehingga peluh di dahi mereka ter-
lihat jelas berbutir-butir dan sekali-sekali mereka ha-
pus dengan telapak tangan agar pandangannya tidak
terganggu.
Pada sebuah tikungan mereka dihadang oleh
dua orang yang berwajah seram dan bengis dengan
mata yang memancarkan nafsu membunuh. Si Tiga
Melati memperlambat larinya dan berhenti di hadapan
dua orang tersebut dengan pandangan penuh kewas-
padaan.
"Berhenti!! katakan di mana kau sembunyikan
pendekar Sembung itu, hah?!" bentak salah seorang
dari mereka yang bertampang seram dengan codet se-
panjang jari tengah di sebelah pipi kiri dan memiliki
ekspresi wajah yang sangat kaku sehingga di waktu bi
cara bibirnya seperti tidak bergerak.
Si Tiga Melati mendengar pendekar kesayan-
gannya dicari orang tersebut dengan serta merta me-
nyerang mereka.
"Kau pasti anjing-anjingnya Ki Subeni!! Rasa-
kan ini! Hiiyaatt...!!" teriak Riska sambil menghunus
pedangnya dan diikuti adik-adiknya, Risma dan Rani,
yang secara serempak mencabut pedangnya dan me-
nyerang teman si Codet.
Pedang Riska lurus ke depan mengarah batang
leher si Codet dengan gerakan cepat sekali, tetapi si
Codet dengan gesit miringkan tubuhnya ke samping
dan loloslah serangan pedang Riska. Sementara itu
sambil menjatuhkan dirinya si Codet memberi sebuah
tendangan keras dengan kaki kirinya ke arah lambung
sebelah kanan Riska, namun dengan jeli Riska melihat
gerakan kaki si Codet itu.
"Duk!"
Telapak kaki mereka berbenturan dengan keras
membuat tubuh Riska melayang ke atas sedangkan
tubuh si Codet berguling-guling di tanah merasakan
kesemutan di sekitar kakinya akibat benturan itu.
Akan tetapi belum sempat ia berdiri tiba-tiba tubuh
Riska berbalik dan menukik cepat bagaikan seekor bu-
rung Rajawali menerkam anak ayam. Pedang Riska lu-
rus ke depan mengarah tubuh si Codet yang terus ber-
gulingan berusaha menghindari setiap tusukan ujung
pedang Riska, dan pada kesempatan yang baik si Co-
det menyabetkan goloknya menangkis pedang lawan-
nya.
"Triing!"
Suara beradunya senjata mereka menimbulkan
bunga-bunga api. Tubuh Riska terpental ke belakang
sambil mengusap telapak tangannya yang panas aki
bat benturan itu. Untunglah tidak membuat pedang-
nya terlepas. Kesempatan yang sekejap itu diperguna-
kan si Codet untuk berdiri mengatur pernapasan.
Sementara itu dua adik kandungnya, Risma
dan Rani yang di bawah ilmu silat kakaknya bahu
membahu menyerang teman si Codet yang setingkat
lebih atas dari pada ilmu silat mereka berdua. Namun
dengan semangat yang berapi-api mereka berdua ma-
sih sanggup melayani serangan kawan si Codet yang
menamakan dirinya 'Kudro Pencabut Nyawa'.
Risma dan Rani dengan mengandalkan kegesi-
tan dan kelincahannya terus jumpalitan ke sana ke
mari menghindari serangan golok yang dilancarkan
dengan bertubi-tubi oleh Kudro Pencabut Nyawa se-
hingga tubuh mereka seperti gulungan-gulungan sinar
yang saling berkelebat di sekitar lawannya.
Pertarungan Riska dan si Codet telah memasu-
ki jurus yang kedua puluh lima. Namun sampai detik
ini belum ada tanda-tanda di antara mereka yang ka-
lah. Baju mereka telah basah dengan peluh. Riska
dengan semangatnya yang berapi-api serta kelincahan
yang dimilikinya terus mendesak si Codet dengan pe-
dangnya mengarah ke titik kematian di tubuh si Codet.
Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-tiba
Riska membuat gerakan pedang berputar seperti mata
bor mengarah biji mata si Codet dan tangan kirinya
mengancam batang lehernya, namun dengan cekatan
si Codet menggeser kakinya ke samping. Ternyata pe-
dang Riska yang mengarah biji mata si Codet hanyalah
tipuan belaka dan dengan cepat sekali pedangnya tiba-
tiba berputar arah dan dengan suatu sabetan kilat pe-
dangnya berhasil merobek perut si Codet.
"Ach!" Terdengar jeritan si Codet sambil mende-
kap lukanya dengan kedua belah tangan menahan isi
perutnya yang akan berhamburan ke luar, maka seke-
tika melayanglah nyawa si Codet dengan bersimbah
darah.
Sementara itu adik kandungnya Risma dan Ra-
ni bertarung dengan mati-matian mempertahankan
nyawanya yang terancam oleh sabetan dan tusukan
golok si Kudro Pencabut Nyawa. Akan tetapi dengan
gesit dan cekatan kedua kakak beradik itu selalu dapat
menghindari serangan maut itu. Tiba-tiba si Kudro
Pencabut Nyawa mengangkat tinggi-tinggi goloknya
dan menyabet-nyabetkan ke udara sehingga menim-
bulkan suara angin yang menderu-deru membuat de-
bu-debu beterbangan dan menghalangi pandangan
mata Risma dan Rani yang mendadak menjadi terde-
sak. Detik berikutnya dengan cepat tubuh Kudro me-
layang dengan golok mengancam.
"Ciiyaaat...!!" teriak Kudro Pencabut Nyawa
dengan keras tubuhnya melayang ke arah musuhnya
yang sudah tak berdaya itu. Namun sedetik sebelum
goloknya menghunjam sasarannya, tiba-tiba berkele-
bat bayangan orang lain dari arah belakang.
"Seet!"
Sebuah pedang dengan cepat menghantam ba-
tang leher si Kudro dan seketika tubuhnya terhenti di
udara dan kemudian jatuh berdebam ke tanah dengan
kepala terpisah dari tubuhnya serta nyawa melayang
entah ke mana. Kiranya yang melakukan itu adalah
Riska. Setelah membersihkan pedangnya dan mema-
sukkannya kembali ke dalam sarungnya, ia mengham-
piri adik-adiknya untuk segera meninggalkan tempat
tersebut guna menemui Parmin di tempat yang telah
dijanjikan.
Sang waktu serasa berputar dengan cepatnya
tanpa kita sadari dan senja pun telah datang dengan
bayangan-bayangan memanjang. Pada suatu tempat
terlihat empat orang sedang menyusun rencana, mere-
ka tak lain adalah Parmin dan si Tiga Melati. Setelah
selesai dengan semua rencana, lalu mereka berpisah.
Hari Jum'at telah datang dan mulai hari itu
Kiyai Subeni lebih tekun mengajar pembacaan Al
Qur'an kepada Zaitun, sementara teman-teman Zaitun
telah pulang semuanya, Zaitun mulai Jum'at itu diha-
ruskan menerima pelajaran tambahan.
Di ruang dalam terlihat Kiyai Subeni sedang
bersila dan di hadapannya duduk Zaitun yang sedang
mengaji. Ruangan itu hanya diterangi oleh tiga buah
pelita yang ditaruh di dinding.
"Zaitun suaramu usahakan lebih keras lagi
agar terdengar!" ujar Kiyai Subeni dengan suara yang
berwibawa dan sorot matanya tajam menembus lubuk
hati Zaitun.
"Pak Kiyai... hari sudah petang. Bolehkah saya
pulang untuk sembahyang maghrib?" tanya Zaitun pe-
lan hampir tak terdengar dengan kepala tertunduk.
"Orang menuntut ilmu tak boleh mengenal
waktu! Berilmu adalah bekal untuk beramal! Kalau
kau hendak sholat maghrib, kau kerjakan di sini saja,
apa salahnya? Orang tuamu telah memberi keper-
cayaan kepadaku untuk membimbingmu menjadi seo-
rang gadis yang alim dan saleh!"
"Tetapi... biarlah saya lanjutkan besok sore saja
Ki Subeni" sergah Zaitun dengan suara gemetar.
"Zaitun... Zaitun! Pandanglah aku, anak manis
Ki Subeni" ujar Ki Subeni berdecak sambil mendekati
Zaitun.
"Jangan, Ki! Jangan...!" sergah Zaitun namun
tiba-tiba tanpa disadari tangannya melempar kerudung
penutup kepalanya dan memejamkan mata. Bersa
maan dengan tangan Ki Subeni yang mulai meraba
leher Zaitun serta membuka kancing-kancing ke-
bayanya, dua buah lampu pelita padam seketika se-
hingga menambah ketegangan di ruangan tersebut.
Sementara itu di tempat lain terlihat si Tiga Me-
lati sedang mengumpulkan penduduk Cilumus dengan
berteriak-teriak keras sekali,
"Haayoo! Haayoo...! Kalian, ke luar semua!!" te-
riak mereka bertiga bersamaan dengan lantang.
Penduduk yang mendengar suara itu lalu ber-
duyun-duyun ke luar dan berkumpul di halaman yang
sangat luas.
"Ayo berkumpul semua! Hari ini tiba saatnya
kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis laknat itu
sampai ke akar-akarnya!" teriak Riska bersemangat
membakar jiwa penduduk Cilumus.
"Hayooo! Kita serbu beramai-ramai! Kita basmi
iblis itu!" teriak Risma dan Rani bersama-sama dengan
berapi-api dan disambut dengan gegap gempita oleh
penduduk kampung Cilumus.
"Hancurkan...! Ayo kita serbu!! Kepruk saja!!
Tumpaass!! Serrbuuuu!" Suara penduduk Cilumus
bersahut-sahutan memecahkan suasana malam yang
telah tiba.
Berpuluh-puluh bahkan ratusan penduduk Ci-
lumus tergerak mendengar teriakan-teriakan yang ge-
gap gempita. Dengan senjata-senjata terhunus yang
beraneka ragam, ada yang membawa cangkul, arit, go-
lok, beliung dan tak ketinggalan beberapa obor yang
mereka bawa sebagai alat penerang.
"Allahhu Akbar!! Allahu Akbar!!!" suara pendu-
duk Cilumus bersemangat bergemuruh ke udara men-
gikuti si Tiga Melati menuju pesantren Ki Subeni.
Tiba-tiba di tengah perjalanan, di sebuah data
ran luas mereka dihadang oleh tujuh sosok tubuh
dengan wajah seram dan bengis yang keluar dari balik
bebatuan besar.
"Haaiiit...!! kalian mau mampus semua?!" ben-
tak seseorang dari mereka dengan bengis sambil
menghunus pedangnya.
"Grrrt...!! Jika kalian tidak ingin tertumpas
sampai ke anak beranak, jangan coba-coba melang-
kahkan kaki setapak lagi pun!" hardik seorang dari
mereka yang bertubuh jangkung dan kekar dengan
bertelanjang dada. Ia dijuluki si 'Raksasa Penyebar
Maut'.
Ketujuh orang yang bertampang sangat menge-
rikan itu sudah terkenal sebagai tukang pukul Kiyai
Subeni untuk membungkam orang-orang penduduk
Desa Cilumus yang coba-coba menentangnya dan tak
segan-segan untuk menghabisi nyawanya pula.
"Demi kesucian agama Islam dan keagungan
Tuhan! Seerrbuuu!!" teriak Riska keras sekali mem-
bangkitkan semangat penduduk Cilumus dan tubuh-
nya menerjang si raksasa dengan sabetan-sabetan
yang mematikan ke arah lawannya demikian pula yang
dilakukan adik-adiknya Risma dan Rani serta pendu-
duk Cilumus.
"Allahh... hu Akbar!! Allaaa... hh... hu Akbar!!"
pekik histeris berkumandang saling sahut-sahutan
memecahkan kesunyian malam di Desa Cilumus yang
sedang berontak dan dalam sekejap kemudian terjadi-
lah pertempuran massal yang gegap gempita,
Ki Burik dengan tangan mautnya yang men-
gandung tenaga dalam menyambar orang-orang yang
mendekatinya dan terdengar suara tertahan dengan
batok kepala remuk serta dada yang berlubang. Sudah
belasan orang yang mati di tangan Ki Burik ini. Sedang
si raksasa dengan gada mautnya yang amat dahsyat
itu menghantam orang-orang yang menyerangnya. Tu-
buh Riska dengan ringannya berkelit menghindari se-
rangan si raksasa itu sehingga yang menjadi sasaranya
adalah penduduk Cilumus. Jerit tangis serta pekik
kematian dari penduduk Cilimus serta darah yang ter-
burai tak membuat yang masih hidup menjadi gentar,
bahkan semakin bersemangat dan maju menggantikan
kawannya yang gugur tanpa merasa takut sambil ber-
teriak histeris membangkitkan semangat kawan-
kawannya dengan senjata terhunus.
Sementara itu suasana ketegangan sedang ber-
langsung di dalam pesantren Ki Subeni, di mana kini
Zaitun sudah rebah terpaku dengan pasrah dan semua
busananya telah terlepas dan tinggallah tubuh bugil di
bawah tatapan mata serigala yang lapar berteteskan
air liur melihat sang calon korban yang sudah tak ber-
daya.
"Ja... jang... ngan Ki...!" suara Zaitun lirih me-
melas sambil mendekap buah dadanya yang baru
tumbuh mengkal. Tangan Ki Subeni telah mengge-
rayangi sekujur tubuh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba
dinding bilik di belakang Ki Subeni jebol dan muncul-
lah sesosok tubuh yang tak lain si Jaka Sembung.
"Braak!!"
"Subeni! Hentikan perbuatan maksiat mu itu!!"
bentak Parmin keras sambil melancarkan serangan ke
arah pinggang Ki Subeni dengan tendangan yang amat
keras sebelum Ki Subeni sempat membalikkan tubuh-
nya.
"Yaaatt...!!"
"Buk!!"
Tubuh Ki Subeni terpental beberapa depa
menghantam sebuah lemari besar yang berisi jemban
gan-jembangan antik yang seketika menjadi pecah
berkeping-keping.
Sementara itu Zaitun tersadar dari pengaruh
hipnotis Ki Subeni, dengan tunggang langgang berlari
ke luar sambil meraih kain sarungnya untuk menutupi
dadanya dan berteriak meminta pertolongan.
Ki Subeni dengan gigi gemeretuk menahan ma-
rah yang membludak segera bangkit menyerang Par-
min dengan cengkeraman tangan yang seketika itu be-
rubah menjadi kemerahan dan mengeluarkan asap
mengepul.
"Rak!!"
"Lumaaat!!" bentak Ki Subeni geram dengan
nafsu membunuh. Tetapi dengan cepat Parmin melom-
pat ke samping sehingga tangan maut itu menghantam
dinding kayu sampai hancur berantakan. Setelah
menghindar, Parmin membuat serangan balasan dan
tubuhnya mencelat cepat dengan kaki mengarah lam-
bung Ki Subeni.
"Ciiiyaaatt...!!" teriak Parmin keras.
"Buk!"
Tanpa Parmin ketahui tangan Ki Subeni segera
berubah arah menyerang tubuh Parmin yang masih
melayang dan tepat mengenai dada Parmin sehingga
tubuhnya terpental ke belakang dan dadanya terasa
mau pecah. Darah segar pun ke luar dari mulutnya
Parmin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Baru
saja Parmin berbalik, Ki Subeni sudah menanti dengan
tombak di tangan dan secepat kilat menyerang Parmin.
"Jep!"
"Yach!!"
Tombak itu menghunjam bahunya, sementara
itu dengan cepat Parmin menyabetkan golok pendek-
nya sehingga tubuh Ki Subeni terpental ke belakang
dengan dada tergores memanjang dan darah pun ke-
luar dengan derasnya membuat kedudukan menjadi
satu-satu. Dalam keadaan sempoyongan, Parmin beru-
saha ke luar dengan menabrak pintu untuk menjauh-
kan dirinya dari Ki Subeni. Tubuh Parmin berguling-
guling untuk menghindari lebih jauh lagi sambil beru-
saha memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Hening
Cipta'. Jaka Sembung segera bangkit memasang kuda-
kuda dengan kedua tangan menyilang di dada dan siap
menantikan serangan Ki Subeni.
"Jangan lari, Monyet!!" bentak Ki Subeni geram
dengan mata menyala menahan nafsu yang bergemu-
ruh. Dengan sekali lompatan, tubuh gendut itu me-
layang cepat ke arah Parmin dengan kaki lurus ke de-
pan dan tangan siap menerkam. Namun dengan cepat
Parmin berkelit ke samping sambil menghunjamkan
tombak tadi dengan tenaga dalam penuh.
"Ach!!" Pekik tertahan Parmin mengoyak suasa-
na dan tombak itu menembus tubuhnya, untuk bebe-
rapa saat ia mencoba mencabut tombak tersebut, na-
mun patah menjadi dua bagian mengakibatkan darah
bercucuran dari depan dan belakang tubuhnya yang
terluka. Ia menggeram hebat dengan mata yang meme-
rah penuh dendam dan nafsu membunuh.
"Ki Subeni. Aku mengagumi anda! Dengan da-
rah yang terus mengucur seperti itu anda kelihatan
semakin segar!" ujar Parmin memuji dengan napas ter-
senggal.
"Seharusnya anda dengan mudah dapat mem-
bunuhku! Ilmu silatku tak ada seujung rambut anda!
Tetapi satu hal yang anda lupa bahwa Tuhan selalu di
pihak yang benar! Sangat kusesalkan bahwa orang be-
rilmu tinggi seperti anda berbuat sesuatu yang terku-
tuk! Anda telah menghina citra muslimin, anda telah
mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!" lan-
jut Parmin sambil menyandarkan tubuhnya dan tan-
gan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementa-
ra luka di bahunya terus mengucurkan darah.
Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita
kembali kepada pertempuran massal yang sengit anta-
ra antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilu-
mus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya
seekor banteng, lama kelamaan akan tumbang karena
keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan
mereka, antek-antek Ki Subeni itu. Mereka menemui
ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh
hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung
jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas
semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki
Subeni.
"Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus
jenazah-jenazah kawan-kawan kita yang gugur! Seba-
gian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung
Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat... serr-
buuuu...!!" si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa
Cilumus yang berteriak histeris menuju kemenangan
yang indah di depan mata.
Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa
mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana
di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan
dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan. Ki Sub-
eni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan
kedua tangannya yang merah membawa sehingga ha-
wa panas menyerang Parmin dan dengan segera Par-
min menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah ber-
getar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa re-
muk.
"Ya... Allah! Berilah hamba kekuatan!!" gumam
mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!" lan-
jut Parmin sambil menyandarkan tubuhnya dan tan-
gan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementa-
ra luka di bahunya terus mengucurkan darah.
Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita
kembali kepada pertempuran massal yang sengit anta-
ra antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilu-
mus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya
seekor banteng, lama kelamaan akan tumbang karena
keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan
mereka, antek-antek Ki Subeni itu. Mereka menemui
ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh
hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung
jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas
semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki
Subeni.
"Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus
jenazah-jenazah kawan-kawan kita yang gugur! Seba-
gian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung
Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat... serr-
buuuu...!!" si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa
Cilumus yang berteriak histeris menuju kemenangan
yang indah di depan mata.
Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa
mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana
di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan
dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan. Ki Sub-
eni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan
kedua tangannya yang merah membawa sehingga ha-
wa panas menyerang Parmin dan dengan segera Par-
min menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah ber-
getar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa re-
muk.
"Ya... Allah! Berilah hamba kekuatan!!" gumam
Parmin dalam hati memohon.
"Ciiaat...!!" teriak Ki Subeni keras dengan kedua
belah tangan ke depan terbuka, mengarah dada dan
perut Parmin. Namun dengan sisa-sisa tenaganya
Parmin berkelit sambil bersalto ke udara beberapa kali
menghindari serangan tangan maut Ki Subeni.
Di saat keadaan Parmin terjepit, tiba-tiba seper-
ti air bah yang datang. Berpuluh-puluh bahkan bera-
tus-ratus orang datang menyerbu Ki Subeni yang di-
pimpin oleh si Tiga Melati. Ki Subeni terperangah seje-
nak menyadari dirinya telah terkepung dan senjata-
senjata tajam yang menghunjam ke arah tubuhnya. Ki
Subeni menggeram hebat dan tangan mautnya beraksi
membuat pengeroyok itu terpental dengan dada remuk
dan mati seketika. Namun dengan segera pengeroyok
lainnya datang secara bergelombang membuat Ki Sub-
eni kewalahan dan ia segera mengambil langkah seri-
bu. Darah menetes sepanjang jalan yang dilaluinya
membuat rakyat tidak bisa kehilangan jejak dan terus
mengejarnya. Sekuat-kuatnya tenaga manusia tentu
ada batasnya. Setelah kejar mengejar semalam suntuk
akhirnya sebuah teriakan panjang mengerikan men-
gakhiri hidup Kiyai cabul itu. Kemarahan rakyat tak
bisa dibendung lagi, membuat tubuh Ki Subeni itu
hancur dirajam tanpa secuil daging pun yang selamat.
"Pendekar Gunung Sembung terluka berat!
Risma dan Rani! Mari kita segera menolongnya!!" ser-
gah Riska khawatir setelah melihat Parmin yang sem-
poyongan menahan tubuhnya berdiri.
Seminggu lamanya Parmin dirawat oleh si Tiga
Melati. Penduduk Cilumus menunjukkan simpati yang
besar dan berdoa semoga Parmin lekas sembuh. Me-
masuki minggu kedua pendekar kita Jaka Sembung te-
lah berangsur-angsur sembuh kembali dan tubuhnya
sehat seperti sedia kala. Dengan demikian tibalah
saatnya Parmin untuk meneruskan perjalanannya, ba-
gaimana pun berat si Tiga Melati yang senantiasa me-
mujanya itu.
"Kalian bertiga telah banyak menolongku dan
hendaknya kalian jadikan pegangan bahwa tidak ada
manusia yang luar biasa di atas dunia ini! Janganlah
kalian mendewakan manusia karena tidak ada manu-
sia yang sempurna! Sebagai contoh diriku! Dulu kalian
seakan-akan menganggapku sebagai dewa persilatan
tetapi seperti kalian lihat sendiri kepandaianku dalam
ilmu silat tidak ada seujung rambut pun bila diban-
dingkan dengan ilmu silat yang dimiliki Ki Subeni!"
ujar Parmin menasehati si Tiga Melati yang berusaha
mengerti.
Pada hari yang cerah itu Parmin pamitan kepa-
da seluruh penduduk Cilumus dan si Tiga Melati. Den-
gan rasa berat hati mereka mengantar Parmin sampai
ke batas desa dan mereka bersyukur bahwa desa me-
reka sekarang telah bebas dari cengkeraman sebuah
tirani seorang Kiyai cabul. Bersama Jaka Sembung,
mereka telah berhasil membabat Kiyai murtad itu...!
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar