..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 21 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE MEMBABAT KIYAI MURTAD

MEMBABAT KIYAI MURTAD

 

MEMBABAT  KIYAI  MURTAD

Karya Djair Warni

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, 

tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka


SATU


Sang surya menyinari alam raya ini dengan si-

narnya yang keemasan memberikan kehidupan bagi 

makhluk yang berada di muka bumi tak terkecuali 

makhluk kecil maupun makhluk yang terbesar.

Awan yang bergumpal-gumpal tipis seakan-

akan berjalan mengikuti arah angin yang berhembus. 

Langit pun menjadi cerah membuat mentari dapat 

mengeluarkan cahaya tanpa penghalang, sehingga ha-

wa menjadi panas.

Di kejauhan terlihat sosok tubuh manusia se-

dang menelusuri dataran yang sangat luas dengan 

pemandangan di kiri kanannya sawah-sawah yang se-

dang menguning dan pohon-pohon yang tumbuh den-

gan suburnya, dengan dibatasi bebatuan yang me-

nyembul dari permukaan bumi membentuk bukit-

bukit kecil sehingga sosok tubuh itu terlihat sangat 

kecil sekali bila dibandingkan alam sekitarnya yang 

begitu luas.

Sosok tubuh itu melangkah dengan langkah 

pasti dan yakin dengan sebilah tongkat besi tergeng-

gam dalam jari-jari tangannya yang kuat. Ya... dialah 

Parmin alias Jaka Sembung yang meneruskan perjala-

nannya yang masih jauh. Ia harus melewati Desa Cili-

raus dan desa-desa lainnya di seluruh Kabupaten Ku-

ningan.

Terik matahari yang bersinar cerah membuat 

peluh membasahi tubuhnya dan butir-butir keringat 

yang keluar di wajahnya dihapusnya dengan telapak 

tangan sekali-kali agar pandangan matanya tidak ter-

ganggu.

Temannya yang setia terus mengikuti perjala


nannya dengan bertengger di pundak Parmin sambil 

sekali bersiul membuat irama lagu yang membang-

kitkan semangat dalam jiwa yang mendengarkannya.

Selang beberapa saat langkahnya terhenti. Na-

luri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang 

tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati 

keadaan sekitar dengan pandangan mata yang tajam, 

Parmin kemudian melanjutkan perjalanannya dengan 

penuh kewaspadaan.

Tiba-tiba secara serempak, entah dari mana da-

tangnya berpuluh-puluh bongkahan batu besar dan 

kecil berjatuhan seperti hujan dari langit mengancam 

tubuh Parmin. Akan tetapi naluri kependekarannya 

dengan cepat bereaksi. Tubuh Parmin bersalto dengan 

cepat menghindari dan berlompatan ke sana ke mari di 

sela-sela hujan bongkahan batu-batu itu. Tongkat besi 

beraninya diputar-putar dengan cepat membuat peri-

sai untuk melindungi tubuhnya dan batu-batu yang 

terkena besi beraninya hancur berhamburan serta ka-

kinya membuat tendangan keras dengan menyalurkan 

tenaga dalamnya mengarah bongkahan batu-batu yang 

seketika hancur menjadi kerikil-kerikil dan debu pun 

beterbangan ke udara kemudian hilang terbawa hem-

busan angin.

Parmin membuat gerakan-gerakan salto dengan 

manisnya di sela-sela bongkahan batu tersebut, yang 

seakan-akan tidak ada henti-hentinya menghujani di-

rinya. Ketika Parmin sedang jungkir balik dan menen-

dang sebuah bongkahan batu yang besar, tiba-tiba 

terdengar suara ledakan yang sangat keras memecah-

kan gendang telinga bagi yang tidak mempunyai ilmu 

dalam yang cukup tinggi.

"Duuaaaar...!" Suara itu menggema keras ke se-

luruh dataran itu dan seketika bukit batu yang berada


tidak jauh dari Parmin mendarat, hancur berantakan 

dan pecahan-pecahannya mengarah ke tubuh Parmin 

begitu cepatnya dengan debu-debu yang beterbangan 

membuat pandangan mata Parmin agak terganggu.

Namun bukanlah pendekar Jaka Sembung ka-

lau tidak bisa menghindari semua itu. Dengan sekali 

hentakkan tubuhnya melambung ke udara menerobos 

pecahan-pecahan batu itu dengan cepatnya dan men-

darat lebih jauh dari tempat semula dengan pijakan 

kaki mantap, tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Belum lagi tubuhnya tegak sempurna, kembali 

serangan datang ke arahnya dengan bunyi berdesir 

sangat kencang yang mengitari tubuhnya.

"Hah... benda apa ini?!" sentak Parmin terpe-

ranjat sambil memasang kuda-kuda dengan menyi-

langkan tangan kanannya yang menggenggam tongkat 

besi berani ke dadanya yang bidang, dengan sorot ma-

ta tajam mengikuti gerak benda aneh itu dengan pe-

nuh kewaspadaan.

Benda aneh itu terus berputar mengitari tubuh 

Parmin. Desiran angin yang ditimbulkannya membuat 

debu-debu dan kerikil-kerikil beterbangan sehingga 

kain yang melekat di tubuh Parmin yang diselempang-

kan di pundaknya, turut tergerai terkena desiran ben-

da aneh tersebut. 

Pada suatu kesempatan Parmin menangkis 

benda itu dengan sabetan tongkat besinya dengan 

mengerahkan tenaga dalamnya.

"Triing...!"

Benturan kedua benda itu sangat nyaring se-

hingga menimbulkan bunga-bunga api dan asap hitam 

yang mengepul ke udara dan segera menghilang ter-

tiup angin.

Benda aneh itu kembali menyerangnya setelah


memantul dari benturan tongkat besi berani Parmin 

dan dibarengi dengan suara tertawa yang memekakkan 

gendang telinga dan bergema tak putus-putusnya.

Jaka Sembung berdiri dengan kewaspadaan 

penuh sambil merasakan getaran di telapak tangannya 

yang terasa kesemutan. Telapak tangannya lalu digo-

sok-gosok dengan telapak tangan yang lain dan ma-

tanya nyalang mencari sumber suara yang mengan-

dung tenaga dalam untuk melemahkan urat saraf bagi 

yang mendengarkan suara itu.

Jaka Sembung pun segera memusatkan tenaga 

dalamnya untuk mengusir pengaruh suara yang da-

tang dengan ilmu yang diberikan oleh gurunya yang 

kedua, yaitu Begawan Sokalima yang dinamakan 'Ilmu 

melepas sukma'. Dengan demikian terhindarlah Par-

min dari pengaruh tersebut dan segera dapat melihat 

dengan jelas ke atas sebuah batu besar, di mana di 

atas batu itu telah berdiri seorang laki-laki dengan ter-

tawa terbahak-bahak.

"Ha... ha... ha... ha! Tak percuma gelar yang 

kau miliki itu, pendekar Gunung Sembung!" teriaknya 

keras memuji kehebatan Parmin yang dalam serangan 

tadi dapat menghindari dengan baik, dan dalam me-

nangkal tenaga dalam pun sanggup melakukannya 

dengan baik.

"Siapakah anda?" tanya Parmin keheranan se-

telah melihat wajah orang tersebut, yang sama sekali 

belum dikenalnya, sambil tetap dengan kewaspadaan 

penuh kalau-kalau orang itu kembali menyerangnya.

"Oh... tentu! Tentu! Kau harus tahu siapa aku 

sebelum kau menjadi bangkai busuk! Ha... ha... ha... 

ha!! Pernahkah kau ingat seorang Hindustan yang mati 

di tanganmu, Gembel busuk?! Ketahuilah aku kakak-

nya yang bernama Goga Khan yang akan menuntut


balas!!" bentaknya keras dengan sorot mata penuh 

dendam ingin membunuh sambil menggerakkan senja-

tanya berputar-putar, membuat daun-daun kering ber-

jatuhan ke tanah terkena hempasan anginnya.

Goga Khan berwajah cukup menyeramkan. Ma-

tanya melotot seperti mata burung hantu, dan hidung 

seperti burung betet dengan jenggot dan kumis yang 

menyambung, menutupi mulutnya yang lebar, tumbuh 

dengan lebatnya sampai mencapai leher. Dengan berte-

lanjang dada sehingga dadanya yang bidang yang di-

tumbuhi bulu-bulu halus yang menutupi seluruh da-

danya, ia terlihat seperti seekor gorila. Kepalanya yang 

botak pelontos licin seperti jalan tol menambah pe-

nampilannya semakin angker bagi yang bernyali kecil. 

Otot-otot tangannya yang kekar dan tubuh yang tinggi 

besar dengan senjatanya yang aneh yang berbentuk 

bundar seperti durian, namun terbuat dari bahan lo-

gam keras dengan diikat pada rantai yang panjang 

yang tergenggam dengan kokoh di tangan kanannya. 

Tangan sebelah kiri menggenggam rantai untuk pengu-

lur di waktu menyerang lawan dari jarak jauh.

Senjata yang berbentuk durian itu kini diputar-

putarnya lebih kencang sehingga Parmin yang berada 

di bawahnya dapat merasakan angin yang ditimbulkan 

oleh senjata tersebut.

"Duuaar!"

Bunyi itu begitu keras ketika menyerang Par-

min dan mengenai ruang kosong manakala Parmin 

dengan begitu indahnya membuat gerakan bersalto ke 

belakang menghindari serangan tersebut dan membuat 

tanah yang terkena senjata itu menjadi berlobang 

sampai setengah meter dalamnya.

Parmin yang melihat berapa dalamnya lobang 

tersebut menggeleng-gelengkan kepalanya merasa ka


gum.

"Bukan main tingginya ilmu dalam Goga Khan 

ini!" gumam Parmin dalam hati sambil mengerahkan 

juga tenaga dalamnya dan memasang kuda-kuda me-

nantikan serangan yang akan datang.

Goga Khan dengan wajah bengis dan dengus 

napas ingin membunuh sudah kembali memutar-

mutar senjatanya dan detik berikutnya senjata itu te-

lah melesat menuju sasarannya yaitu Parmin yang su-

dah bersiap-siap menantikan dengan penuh kewaspa-

daan.

"Hiiyaaaaat...!" teriak Parmin dengan gerakan 

cepat menghindari senjata yang bagaikan peluru ken-

dali itu. Tubuhnya terus berjumpalitan menjauhi se-

rangan yang datang secara bertubi-tubi dan setiap 

senjata itu mengenai tempat kosong yang telah di ting-

galkan oleh Parmin. Kembali tanah yang terkena itu 

berubah menjadi sebuah lobang sehingga terlihat di 

tempat mereka bertempur lobang-lobang kecil seperti 

permukaan sebuah sumur di sana sini.

Parmin berusaha menghindari serangan-

serangan tersebut dengan mengerahkan semua ilmu 

yang didapat dari gurunya, Ki Sapu Angin dan Bega-

wan Sokalima.

Pada suatu kesempatan Parmin melesat ke se-

buah hutan yang berada tak jauh dari tempat mereka 

bertempur. Hutan itu ditumbuhi dengan pohon-pohon 

beraneka macam jenisnya dengan daun-daunnya yang 

tumbuh lebat menutupi rantingnya.

Tetapi kembali senjata maut itu menyerang 

Parmin seperti mempunyai mata saja senjata itu me-

nyerang ke mana Parmin bergerak untuk mengelak.

Pohon-pohon yang terkena sambaran senjata 

maut itu menjadi tumbang dengan batang yang hancur


nyaris menimpa tubuh Parmin untuk menguburnya 

hidup-hidup. Daun dan ranting menjadi beterbangan 

oleh angin yang ditimbulkan oleh senjata tersebut.

Terpaksa Parmin kembali melesat ke luar dari 

hutan itu. Kini ia tegak berdiri dengan kaki agak dite-

kuk dan menyilangkan tangannya di depan dada. 

"Ha... ha... ha... ha! Aku akan membuat sendi-

sendi mu menggigil dahulu sebelum senjataku ini me-

lumat batok kepalamu!!" ancam Goga Khan keras den-

gan nada mengejek dan bibir mencibir sambil memu-

tar-mutarkan senjata mautnya yang mengeluarkan su-

ara mendesing seperti angin puyuh membuat daun-

daun kering dan ranting-ranting yang telah rapuh be-

terbangan ke udara.

Sepersekian detik senjata maut itu telah mele-

sat dengan cepat mengarah ke batok kepala Parmin. 

Begitu senjata maut yang seperti durian itu sudah de-

kat ke arahnya, dengan gerakan cepat Parmin melesat 

tinggi ke udara sambil bersalto. Sebaliknya Goga Khan 

dengan cepat pula menarik senjatanya dengan tangan-

nya yang sudah terlatih sempurna untuk mengubah 

arah senjata mautnya, sehingga mengancam Parmin 

yang masih bersalto di udara.

Jaka Sembung sudah kehilangan akal untuk 

menghindari serbuan senjata maut yang dimainkan 

oleh tangan yang ahli dan membuat Jaka Sembung 

terdesak. Akhirnya, Parmin mengambil suatu keputu-

san hidup atau mati!

Maka secara tiba-tiba Parmin yang masih ber-

salto di udara itu membuat gerakan yang tidak diduga 

oleh Goga Khan, sehingga membuat ia menjadi terke-

jut.

Kiranya Parmin dengan ilmu 'Menyatukan 

Sukma' telah mengerahkan ilmu meringankan tubuh


yang sempurna mendaratkan kakinya tepat di atas bo-

la senjata maut yang berduri itu dan otomatis mem-

buat tubuhnya ikut berputar-putar di udara mengeli-

lingi musuhnya seperti sebuah komidi putar dengan 

Goga Khan sebagai porosnya.

Pada detik kelengahan dari Goga Khan, Parmin 

membuat gerakan meloncat menerobos pagar pertaha-

nan Goga Khan dari arah belakang dengan golok pen-

deknya yang terhunus di tangan kanannya dan...

"Sreet...!"

"Eek!" teriak Goga Khan tertahan sambil me-

nundukkan kepalanya menghindari serangan yang tak 

diduga sebelumnya, tetapi sayang Goga Khan kalah 

cepat dengan serangan yang dilakukan Parmin sehing-

ga ia terlambat bergerak. Kepalanya yang botak plontos 

itu tergores golok Parmin yang tajamnya seperti pisau 

cukur membuat garis sepanjang jari telunjuk dan da-

lamnya sekitar dua sentimeter dan darah pun terburai 

dari luka itu membasahi wajahnya. Goga Khan meng-

hapus dengan tangan kanannya, darah yang mengalir 

ke matanya agar tidak menghalangi penglihatannya.

"Sampai di sini dulu! Selamat tinggal! Tunggu-

lah pembalasanku!!" bentak Goga Khan sambil melom-

pat dan menghilang di balik bebatuan.

Melihat lawannya telah menghilang dari pan-

dangan mata, Parmin menghela nafas dalam-dalam.

"Hm... ia begitu cepat menghilang seperti kilat! 

Suatu saat dia tentu akan mencariku lagi untuk mem-

balas dendam! Ia akan selalu penasaran untuk bisa 

membunuhku!" gumam Parmin dalam hati sambil tan-

gannya menghapus peluh di dahi dan membersihkan 

bajunya yang penuh debu. Sementara itu si Beo ter-

bang menghampiri Parmin dan hinggap di pundak 

Parmin. Kemudian Parmin melanjutkan perjalanannya.


Matahari hampir condong ke Barat dan mem-

buat bayangan memanjang. Ketika Parmin akan mele-

wati dataran rumput ilalang di kejauhan sana mata 

Parmin melihat sesosok tubuh sedang berjalan ke 

arahnya. Sosok tubuh itu adalah seorang tua yang su-

dah keriput kulitnya. Di wajahnya terlihat jelas kerut-

kerut ketuaan dengan warna kulit hitam terkena terik-

nya matahari di dalam pengembaraannya, sehingga 

kulitnya yang memang sudah hitam menjadi semakin 

hitam legam. Tubuhnya gemuk gempal dan ototnya 

terlihat masih kuat. Ia berjalan dengan ditopang se-

buah tongkat kayu jati bercagak.

Bentuk tubuhnya bongkok sehingga orang me-

nyebutnya si Bongkok dengan membawa buntelan 

yang ditaruh di pundaknya sehingga membuat tubuh-

nya yang sudah bongkok terlihat semakin bongkok sa-

ja. Ia berjalan dengan langkah perlahan.

Dengan rambut panjang yang berwarna putih 

awutan-awutan dan pakaiannya yang ditambal di sana 

sini membuat ia tampak seperti seorang gembel saja 

layaknya.

"Kukira pengembara tua renta di hadapanku ini 

pastilah bukan orang sembarangan! Lihatlah sepasang 

matanya begitu tajam mengawasi ku. Aku harus hati-

hati!" kata Parmin dalam hati setelah melihat dari ja-

rak beberapa meter dan ia melangkah dengan senyum 

ramah yang tersungging.

Si Bongkok pun terus melangkah mendekati 

Parmin dengan langkah perlahan namun dengan tata-

pan matanya tajam seakan-akan ingin menembus isi 

kepala Parmin. Setelah dekat dengan Parmin si Bong-

kok lalu memberi salam.

"Assalamualaikum...!" sapanya dengan suara 

agak ditekan namun bibirnya tidak bergerak.


"Wa'alaikum salam...!" jawab Parmin sambil 

memindahkan tongkatnya ke tangan sebelah kiri dan 

menjulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan.

"Hem... he... he... he! Melihat sinar wajahmu 

aku tentu tidak salah tebak bahwa kau pasti seorang 

pendekar yang alim! He... he... kebetulan... kebetulan!" 

katanya sambil jari telunjuknya menuding Parmin 

yang segera menarik kembali tangannya dengan tanda 

tanya. Kemudian si Bongkok melanjutkan bicara sea-

kan-akan Parmin tidak boleh bicara dulu.

"He... hem! Kau tentu bisa menjawab perta-

nyaanku, Anak muda! Aku punya sebuah pertanyaan 

mengenai sesuatu!"

"Apa maksud anda, Pak?!" sergah Parmin sam-

bil mengerutkan dahinya tidak mengerti.

"Bila engkau bisa menjawabnya, aku akan 

memberi sebuah hadiah! Aku pernah membaca sebuah 

tulisan. Tulisan itu aku baca di sebuah dinding rumah 

seorang muslim yang berbunyi: 'Sesungguhnya agama 

yang diterima di sisi Allah adalah Islam, kalau benar 

apakah ini bukan semacam bujukan terhadap calon 

pemeluknya? Karena sesungguhnya yang benar itu tak 

perlu menonjolkan dirinya benar dan yang baik itu ti-

dak perlu menonjolkan dirinya baik?!" katanya dengan 

sorot mata penuh tantangan menatap mata Parmin 

yang terdiam sejenak memikirkan pertanyaan si Bong-

kok itu.

"Semua agama itu baik, tetapi tidak semua 

yang baik itu benar. Agama Islam adalah agama yang 

baik dan benar. Apapun nama agama yang ada di du-

nia ini jika ternyata ajarannya baik dan benar adalah 

Islam," jawab Parmin dengan cara yang cukup diplo-

matis, membuat dahi si Kakek Bongkok menjadi se-

makin berkerut.


Sejenak si Bongkok terdiam untuk mencerna 

jawaban yang diberikan Parmin dan beberapa saat 

kemudian tertawa terkekeh-kekeh dengan wajah berse-

ri gembira seperti anak kecil yang mendapat permen 

coklat sehingga giginya yang ompong terlihat jelas.

"Ha... ha... heh... heh! Aku mengerti sekarang 

anak muda! Terima kasih! Terima kasih! Dan sebagai 

hadiah yang kujanjikan tadi, terimalah sebuah cincin 

batu kecubung ini sebagai satu-satunya pusaka yang 

kumiliki!" kata si Bongkok sambil menyodorkan batu 

cincin yang berikat tembaga, serta menjelaskan kha-

siat dari batu tersebut.

"Batu kecubung adalah batu pemikat perem-

puan. Bila kau pakai maka akan banyak wanita yang 

tergila-gila kepadamu! Aku sudah tua tak memerlukan 

ini lagi! Terimalah anak muda!" ujarnya sungguh-

sungguh.

"Terima kasih! Simpanlah cincin batu itu kem-

bali. Maafkanlah aku tidak bisa memakainya. Tuhan 

telah menciptakan manusia beserta daya tarik masing-

masing, oleh karena itu manusia tak usah memakai 

jimat-jimat untuk memikat lawan jenisnya! Salah seka-

li bila kita mengharapkan suatu anugerah dari benda-

benda yang ada di atas dunia yang fana ini. Tempat 

memohon hanyalah kepada Allah Tuhan Yang Maha 

Esa! Benda yang anda percayai 'berkat' nya itu ternya-

ta hanya segelincir batu yang juga diciptakan oleh Tu-

han Yang Maha Esa!" jawab Parmin membuat wajah 

kakek tua itu menjadi merah padam.

"Baiklah, sampai bertemu lagi anak muda!" 

ucap si Bongkok dengan nada sinis dan berlalu dari 

hadapan Parmin tanpa menoleh ke belakang.

Tinggallah Parmin sendiri menggeleng-

gelengkan kepalanya melihat tingkah laku si kakek


Bongkok. Parmin menghela nafas dalam-dalam dan 

kemudian meneruskan perjalanannya kembali.

Matahari sudah lama terbenam di ufuk Barat. 

Siang pun telah berganti dengan malam ditandai den-

gan munculnya sang rembulan di ufuk Timur, dengan 

cahaya emasnya yang menerangi alam maya pada ini.

Setelah melewati dataran yang ditumbuhi rum-

put ilalang, Parmin melihat dari kejauhan beberapa 

bangunan tua di pinggiran desa. Parmin menuju ke 

arah bangunan itu dengan maksud hendak beristira-

hat.

Bangunan tua itu memiliki tiang-tiang batu 

yang sudah berlumut dan sudut-sudutnya telah dipe-

nuhi banyak sarang laba-laba, sehingga mirip sebuah 

bangunan yang angker. Genteng-gentengnya dan su-

dah banyak yang pecah hingga berserakan di lantai 

yang juga sudah berdebu tebal. Pelatarannya pun su-

dah banyak sampah-sampah dedaunan kering serta 

dahan pohon yang berjatuhan. Pohon-pohon yang 

tumbuh di sekitar bangunan tersebut sangat rindang 

namun tidak terurus oleh jamahan tangan-tangan ma-

nusia.


DUA



Beberapa saat Parmin melihat keadaan di da-

lam bangunan tua itu melalui sinar rembulan yang 

masuk dari celah-celah genteng lalu ia kembali ke luar 

dan duduk pada sebuah anak tangga di depan bangu-

nan tua itu.

Tanpa sepengetahuan Parmin, sesosok tubuh 

berkelebat mengikuti gerak gerik Parmin melalui atap 

bubungan bangunan yang lain. Dengan sorot mata ta


jam ia mengawasi Parmin yang sedang memandang 

sang rembulan. Saat itu Parmin tengah terbayang wa-

jah sang kekasih yang nun jauh di sana, di desa Kan-

dang Haur. Pada malam-malam terang bulan dengan 

angin berhembus perlahan menambah keindahan ma-

lam, sangatlah sempurna bila di sampingnya ada sang

kekasih yang dicintainya.

Malam pun telah beringsut-ingsut menuju la-

rut, namun sepasang mata tajam itu terus mengawa-

sinya dan kini kian memancarkan sinar nafsu mem-

bunuh. Dengan berkacak pinggang di atas bubungan 

itu, sinar rembulan menerpa tubuhnya, maka jelaslah 

siapa orang tersebut.

"Ha... ha... ha... ha... ha! Agaknya di sini kita 

bisa berjumpa lagi!!" ujarnya keras yang disertai tenaga 

dalam untuk melumpuhkan syaraf lawan.

Parmin tersentak dari lamunannya dan mera-

sakan ada getaran masuk secara tiba-tiba melalui gen-

dang telinganya. Ia lalu berdiri setelah berhasil meno-

lak getaran itu dengan hawa murni dari bawah pusat 

perutnya, dan dengan segera ia membalikkan tubuh-

nya ke arah dari mana datangnya suara itu. Kalau saja 

orang biasa yang mendengar suara itu, sudah dapat 

dipastikan akan melorot meraung-raung dengan gen-

dang telinga pecah berhamburan darah.

Namun bukanlah Jaka Sembung bila tidak da-

pat mengatasi semua itu dengan cepat. Dengan tenang 

ia melangkah empat langkah dan berdiri di tengah ha-

laman bangunan tua itu sambil memandang ke atas 

dengan sorot matanya yang tajam, sinar bulan mem-

bantu menerangi tubuh orang yang berada di atas 

bangunan itu. Dengan cepat Parmin sudah mengenai 

siapa orang tersebut.

"Memang bukan sembarangan orang dapat lolos


dari serangan halimun maut di puncak Gunung Cire-

mai! Aku kagumi kau dalam hal ini, Dewa Suci Penye-

bar Bala!" sergah Parmin dengan suara lantang men-

gingatkan peristiwa yang dialaminya di puncak Gu-

nung Ciremai di mana dirinya hampir saja celaka.

Ya! Memang seperti telah dikisahkan pada awal 

cerita yang lalu di dalam episode "Lagu Rindu dari 

Puncak Ciremai" Parmin telah bentrok dengan seorang 

yang menamakan dirinya 'Dewa Suci Penyebar Bala' 

yang berasal dari daratan Tiongkok. Dalam duel terse-

but Parmin hampir jatuh ke dasar jurang setelah men-

gadu tenaga dalam. Untung ada sebuah pohon yang 

tumbuh pada dinding tebing di saat dirinya sedang me-

layang ke bawah, sehingga ia dapat selamat.

Setelah selamat dari jurang terjal itu, Parmin 

menghadapi bahaya yang lebih ganas lagi yaitu 

'halimun maut' yang bisa membekukan tubuh manu-

sia. Meskipun sudah mengeluarkan ilmu andalannya, 

masih belum mampu ia menghadapi halimun maut itu, 

kalau tidak ditolong oleh Begawan Sokalima.

"Ha... ha... ha... ha! Dewa Suci tak melupakan 

janji! Di sini kita harus bertanding habis-habisan! Mari 

kita buktikan, bangsaku atau bangsa mu yang lebih 

unggul dalam ilmu silat! Kita bertempur atas nama le-

luhur kita masing-masing!!" ujarnya dengan nada sinis 

dan gigi gemeretak menahan kemarahan.

"Hm... Dewa Suci! Agaknya kau terlalu me-

nyombongkan kepandaian yang kau miliki!" Ujar Par-

min tegas sambil mengamati lawan yang berada di atas 

bubungan rumah.

"Haiyaaa! Tutup bacotmu, Gembel!!! Ciiaaat...!!" 

bentak Dewa Suci sambil melemparkan senjata rahasia 

berupa pisau-pisau kecil ke arah Parmin dengan diser-

tai tenaga dalam yang dahsyat sekali


Parmin melihat cahaya-cahaya yang datang be-

gitu cepatnya maka dengan cepat pula Parmin miring-

kan tubuhnya ke kanan sehingga pisau-pisau itu lolos 

menemui tempat kosong dan menancap pada tiang be-

ton sampai ke pangkalnya. Bersamaan dengan berge-

raknya tubuh Parmin, si Beo pun terbang dan berteng-

ger di sudut jendela bangunan tua tersebut.

Sebelum Parmin berbuat banyak, kembali kila-

tan-kilatan pisau menghunjam deras ke mana saja tu-

buh Parmin berkelebat. Agaknya kali ini Dewa Suci tak 

akan memberi kesempatan kepada Parmin dan ia pun 

terus melancarkan serangan-serangan yang memati-

kan.

"Ciiaaat...!!" teriak Parmin sambil bersalto bebe-

rapa kali ke udara, menghindari pisau-pisau itu. Tong-

katnya diputar-putar dengan cepat untuk melindungi 

tubuhnya dari serangan maut tersebut.

Lima jurus, sepuluh jurus, sampai tiga puluh 

jurus Parmin mengeluarkan ilmu silatnya menghindari 

serangan senjata rahasia berupa pisau-pisau kecil 

yang dilemparkan oleh si Dewa Suci. Pertahanan Par-

min niscaya akan bobol jika secara kebetulan ia tidak 

memiliki tongkat besi berani pemberian gurunya yang 

kedua, yaitu Begawan Sokalima.

Berpuluh-puluh batang pisau telah melekat 

pada tongkatnya dan dengan gerakan cepat ia men-

gembalikan kepada sang pemilik dengan disertai tena-

ga dalam yang lebih dahsyat lagi, sehingga sang pemi-

lik harus jungkir balik menghindar.

Dalam melakukan jungkir balik itu, tangan si 

Dewa Suci membuat gerakan yang sangat cepat dan 

dengan jari-jari yang lentur ia menangkap dan menje-

pit beberapa buah pisau yang dilemparkan Parmin dan 

dengan cepat pula mengembalikan serangan ke biji


mata Parmin.

Tubuh Dewa Suci yang bertubuh gemuk den-

gan lincah terus berjungkir balik sambil mengirimkan 

serangan yang mematikan ke arah Parmin dengan pi-

sau-pisau yang tersedia, sehingga Parmin dibuat kere-

potan.

Tubuhnya yang gemuk gempal itu bagaikan ka-

pas saja waktu ia melakukan lompatan atau pun ber-

salto ke udara. Ya... memang si Dewa Suci ini telah 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang sangat sem-

purna sehingga gerakannya tidak terpengaruh walau-

pun tubuhnya gembrot seperti itu. Dengan gesitnya ia 

melakukan jungkir balik dan melompat ke sana dan ke 

sini.

Parmin yang memang sudah mengetahui kehe-

batan si Dewa Suci itu terus melayani serangan demi 

serangan yang dilancarkan oleh lawannya. Bukanlah 

Jaka Sembung kalau tidak mempunyai ketenangan 

dan keuletan dalam menghadapi segala kesulitan.

Memang betul. Dengan bermodal ketenangan 

apapun akan bisa teratasi. Apalagi Parmin telah di-

gembleng oleh gurunya Ki Sapu Angin di Pantai Eretan 

yang ombaknya besar dan anginnya kencang serta oleh 

gurunya yang kedua, Begawan Sokalima di puncak 

Gunung Ciremai, tepatnya di Lembah 'Banyu Panas' 

yang belerangnya sangat menyesakkan pernapasan 

dan airnya yang mendidih, ditambah lagi segudang 

pengalaman dalam pengembaraannya.

Parmin mengelakkan serangan yang dilancar-

kan si Dewa Suci dengan tongkat besi beraninya se-

hingga sepasang pisau yang hendak mengancam biji 

matanya segera menempel di tongkatnya dan pisau 

lainnya lolos di celah-celah kakinya yang direntangkan 

sambil melompat tinggi dan bersalto menuju bubungan


atap bangunan.

Ketika si Dewa Suci melihat Parmin menghin-

dar jauh, maka dengan segera ia bersalto untuk men-

gejarnya.

Parmin yang masih berada di udara segera me-

nangkap adanya bayangan yang mengejar dari arah 

belakang.

Si Dewa Suci dengan geram menyerang Parmin, 

jari-jari tangannya siap mencengkeram tubuh Parmin. 

Namun Parmin dengan gerakan manis membuat gera-

kan dengan menyontekkan ujung tongkatnya ke gen-

teng dan tubuhnya kembali melayang melewati tubuh 

si Dewa Suci sambil menyabetkan tongkatnya ke pun-

dak lawannya. Dengan gesit si Dewa Suci berkelit, na-

mun terlambat sedikit sehingga bajunya sobek di ba-

hu. Untung kulitnya masih utuh tidak terkena sabetan 

Parmin, sehingga serangannya mengenai tempat yang 

kosong, yang menjadi sasaran cengkeraman mautnya 

itu adalah genteng- genteng yang menjadi berantakan 

dan yang diremasnya menjadi debu halus.

Memasuki jurus ke tujuh puluh lima, si Dewa 

Suci mengeluarkan jurus andalannya, yaitu jurus 

'Cengkeraman Singa Dari Gurun Gobi'. Jari-jari tan-

gannya mengeluarkan asap hitam dan kakinya yang 

sebelah kanan diangkat sedikit, lalu dengan geraman 

keras ia menerkam Parmin. Geraman itu memecahkan 

suasana yang sunyi dan membuat daun-daun kering 

berjatuhan.

Parmin segera memasang kuda-kuda untuk 

mengusir getaran yang datang akibat geraman yang 

dikeluarkan si Dewa Suci dan bersiap-siap menanti se-

rangan tersebut.

"Haaiiit...!!!" Sambil melompat tinggi, Parmin 

menghindari dari cengkeraman tangan maut si Dewa


Suci dan menangkis dengan tongkatnya.

"Triing!"

Tongkat Parmin menerpa jari Dewa Suci yang 

menjadi keras seperti baja dan tangan si Dewa Suci se-

cepat kilat menyampok kaki Parmin yang sedang me-

layang. Kakinya nyaris menendang selangkangan Par-

min sehingga tubuh Parmin terpaksa harus bergerak 

menghindar dengan melambung ke atas.

"Hm... angin pukulannya cukup untuk mero-

bohkan sebatang pohon kelapa!" kata Parmin dalam 

hati sambil bersalto menghindar.

Si Dewa Suci melihat musuhnya masih dapat 

menyelamatkan diri dari serangan jurus mautnya. 

Dengan segera ia membuat jurus kembangan dari ju-

rus maut cengkeraman 'Singa Dari Gurun Gobi' yang 

terdiri dari lima belas jurus. Tangannya digerak-

gerakan dengan cepat sehingga menimbulkan suara 

berdesing dan angin keras pun keluar dari gerakan 

tersebut.

Parmin dengan cepat memutar tongkatnya 

membuat perisai untuk menghalangi tubuhnya dari 

serangan tangan si Dewa Suci yang menimbulkan an-

gin sangat kencang sambil mengerahkan tenaga da-

lamnya supaya tidak terpental. Adu tenaga dalam pun 

kian meningkat. Parmin mengerahkan seluruh ke-

mampuan yang diajarkan oleh gurunya yang kedua, 

yaitu Begawan Sokalima, yang didapat di saat mempe-

lajari jurus terakhir dari ilmu tongkat sakti. Caranya 

dengan menyalurkan tenaga dalam ke suatu titik yang 

berada di tangan Parmin, sehingga tongkat besi bera-

ninya berubah menjadi merah dan mengeluarkan hawa 

panas menolak serangan yang dilancarkan si Dewa 

Suci. Terlihat asap mengepul ke udara akibat bera-

dunya tenaga dalam mereka.


Si Dewa Suci menambah daya serangan dengan 

sekali melompat kakinya diluruskan ke depan menga-

rah pertahanan Parmin yang sedang memutar-

mutarkan tongkatnya yang semakin cepat.

"Hiiyaaat...!!!" si Dewa Suci memekik keras den-

gan mengerahkan tenaga dalamnya untuk membuyar-

kan konsentrasi Parmin dan tubuhnya melesat cepat 

dengan jari-jari tangan siap mencengkeram batok ke-

pala Parmin, sedangkan kakinya lurus ke depan men-

garah perut Parmin. 

"Duk!!"

Bunyi beradunya tenaga dalam mereka mem-

buat genteng-genteng yang berada di sekitar mereka 

jadi hancur berantakan, tubuh Parmin terpental enam 

langkah sedangkan si Dewa Suci terpental empat lang-

kah.

Tubuh Parmin sempoyongan ke belakang sea-

kan-akan hendak jatuh ke bawah. Di saat itu si Dewa 

Suci sudah bersiap-siap kembali dengan jurus kem-

bangan yang kesepuluh dari jurus 'Cengkeraman Singa 

dari Gurun Gobi'. Tangannya masih tetap hendak 

mencengkeram lawan, namun kali ini kepalanya yang 

botak plontos dimajukan agak ke depan sehingga seja-

jar dengan tangannya dan mulutnya terbuka lebar dan 

dengan geraman yang keras sekali membuat bulu ku-

duk berdiri.

Tubuh si Dewa Suci melesat dengan cepat seka-

li mengarah Parmin yang masih sempoyongan. Namun 

di saat yang bersamaan tiba-tiba bayangan hitam 

membelah pertempuran yang menegangkan itu.

"Hiiyaaat...!!" Suara itu demikian keras menga-

lahkan suara si Dewa Suci yang seketika menghenti-

kan serangannya dan dengan segera miringkan tubuh-

nya ke kanan sehingga serangan yang dilancarkan oleh


bayangan tersebut lolos mengenai tempat yang kosong 

dan sosok bayangan itu kemudian jungkir balik ke bu-

bungan yang lain. Dengan sekali lompat Parmin men-

jauh dari dua orang tersebut.

Kini terlihatlah dengan jelas setelah bayangan 

itu berdiri tegak dan sinar rembulan menerangi tu-

buhnya.

Tubuh bayangan hitam itu terbungkus baju 

koko dengan lengan panjang sampai pergelangan tan-

gannya. Lengan bajunya lebar sehingga bila tertiup an-

gin lengan bajunya itu akan tergerai melambai-lambai 

dan ujungnya bersetrip putih. Celana pangsinya ber-

warna hitam sampai ke pangkal kaki dan bersetrip pu-

la, serta pinggangnya diikat kain putih selebar telapak 

tangan dengan tutup kepala yang menyerupai mang-

kok berwarna hitam. Kumisnya yang tipis dibiarkan 

tumbuh sampai ke dagu dan matanya yang sipit den-

gan alis mata berwarna putih serta giginya yang ham-

pir mencuat ke depan.

Tubuhnya yang kurus serta kulitnya yang keri-

put menandakan usianya sudah lanjut namun melihat 

bentuk tulangnya yang masih amat kuat dan gerakan 

tangannya sangat cepat bila ia sedang memainkan ju-

rus-jurus kuntauw dengan kuda-kuda yang kokoh, ia 

bukanlah orang sembarangan.

Kini mereka sudah berhadapan muka dengan 

masing-masing berdiri di atas bubungan rumah.

Si Dewa Suci Penyebar Bala dengan berkacak 

pinggang memperhatikan terus bayangan hitam itu 

dengan waspada.

Bayangan hitam yang bernama Boen Sio Liong 

merentangkan tangannya sehingga tangannya yang 

kurus seakan-akan menjadi besar oleh lengan bajunya 

yang tertiup angin.


"Haiiyaaa!! Kiranya kau berada di sini Dewa 

Kualat! Bertahun-tahun aku mencarimu ke segala pe-

losok daratan Tiongkok, baru detik ini kita saling ber-

hadapan di negeri orang!" ujar Boen Sio Liong dengan 

senyum sinis.

"Hm... kiranya kau kakek keriput!" jawab si 

Dewa Suci setelah mengetahui siapa bayangan hitam 

tersebut.

"Haiiyaaa! Agaknya kau masih mengenalku! 

Baik! Bersiap-siaplah untuk membuat perhitungan ki-

ta di negeri leluhur dulu! Akhirnya kau tak akan bisa 

lari lagi dari tanganku dan hari ini tamatlah petualan-

ganmu!!" bentaknya dengan suara keras penuh anca-

man sambil tangan kanannya menuding dengan jari 

membentuk jurus kuntauw. Si Dewa Suci yang ditud-

ing seketika tertawa terbahak-bahak sehingga perut-

nya yang buncit bergerak-gerak turun naik.

"Ha... ha... ha! Tidak semudah itu kau berbuat, 

Kakek kurus!" sergah si Dewa Suci sambil tangan ki-

rinya mengusap usap kepalanya yang botak tanda ia 

meremehkan lawannya.

Parmin yang berada di atas bubungan lain me-

nyaksikan dengan serius dua seteru dari negeri sebe-

rang itu yang kini bersiap-siap memasang kuda-kuda 

masing-masing.

Boen Sio Liong dengan kaki kanan ke depan 

yang ditekuk sedikit, lalu menggeser kaki kirinya ke 

belakang sehingga tubuhnya agak turun ke bawah, 

namun pantatnya tidak mengenai genteng. Tangan ka-

nannya yang membentuk jurus kuntauw diluruskan ke 

depan dan tangan kirinya dengan jari-jari terbuka me-

nempel pada jempol tangan kanannya dan seketika da-

ri telapak tangannya keluar asap kemerah-merahan. 

Si Dewa Suci Penyebar Bala melihat lawannya


telah mengeluarkan jurus tenaga dalamnya lalu mem-

buat kuda-kuda dengan kaki terbentang lebar dan 

agak ditekuk sedikit dan kedua tangannya dikepal lalu 

disilangkan di depan dadanya kemudian terlihatlah 

asap berwarna hitam keluar dari tangan si Dewa Suci.

Kedua seteru itu kemudian melepaskan puku-

lan jarak jauhnya dengan menggunakan lwekang mas-

ing-masing. Suasana malam yang kian larut dengan 

hawanya yang dingin namun menegangkan syaraf bagi 

yang melihat pertandingan adu tenaga dalam tersebut.

Sinar merah dan hitam saling mendorong satu 

dengan yang lainnya dan tubuh mereka bergoyang-

goyang menahan dorongan yang dilancarkan. Sinar-

sinar tersebut saling bergulung-gulung sehingga me-

nimbulkan hawa panas di sekitarnya membuat daun-

daun serta ranting-ranting pohon yang terdekat han-

gus terbakar.

Parmin yang menyaksikan pertarungan itu me-

rasakan ada hawa panas yang tak wajar menerpanya 

sehingga ia segera menyalurkan hawa murni dari ba-

wah perutnya dan berhasil mengusirnya.

Pertarungan itu pun berlanjut terus sehingga 

tubuh mereka terlihat terangkat dua jengkal dari posisi 

semula dan sinar-sinar itu semakin bergulung-gulung 

kemudian menghilang ke udara. Ternyata mereka sa-

ma-sama memiliki ilmu dalam yang seimbang dan li-

hai.

"Kau memang banyak kemajuan dewa laknat! 

Tetapi terimalah ini! Hiiiyaaa!!!" bentaknya keras sam-

bil mengerahkan tenaga dalamnya dan bagai kilat si 

jubah hitam itu melompat menyerang Dewa Suci den-

gan tangan kanannya menusuk biji mata dan tangan 

kirinya terbuka mengarah batok kepala serta kaki ka-

nannya mengarah perut.


Si Dewa Suci dengan kewaspadaan penuh dan 

perhitungan yang matang menggeser tubuhnya ke kiri 

dan kepalan tangannya siap menghantam iga si Jubah 

Hitam.

"Tak!!" bunyi beradu dua tulang seperti hendak 

patah dan tubuh si Dewa Suci sempoyongan beberapa 

meter, sebaliknya tubuh si Jubah Hitam meletik ke 

udara dengan bersalto seperti kapas tertiup angin. Tu-

buh Boen Sio Liong begitu ringannya sehingga dalam 

bentrokan tadi tubuhnya bisa melayang kembali sete-

lah terkena tenaga yang dilancarkan si Dewa Suci dan 

tenaga tersebut dijadikan sebagai pantulan tubuhnya.

Pada saat tubuh si Jubah Hitam sedang me-

lambung ke udara, sebuah bayangan lain berkelebat 

menyambarnya dengan tusukan yang mematikan 

mengarah leher. Bayangan itu begitu cepatnya menye-

rang si Jubah Hitam, namun dengan gerakan cepat 

pula si Jubah Hitam berkelit memutar tubuhnya yang 

masih bersalto dan loloslah serangan yang dilakukan 

oleh bayangan tersebut.

"Haiyaa... curang!!" bentak si Jubah Hitam 

menghindar setelah tahu ada orang lain yang menye-

rangnya dengan sabetan-sabetan yang mematikan 

mengarah ke tubuhnya.

Bayangan yang membokong itu tak lain adalah 

Ling Pei, dara manis putra si Dewa Suci yang terus 

mengikuti ke mana ayahnya mengembara!

Ya! Dalam episode yang terdahulu pun Ling Pie 

telah membokong Parmin yang sedang melakukan sho-

lat, namun indra kependekaran yang dimiliki Jaka 

Sembung sudah sangat terlatih sehingga serangan ge-

lap berupa pisau-pisau kecil yang mengarah ke tubuh 

Parmin dapat dihindarinya, sedangkan serangan senja-

ta sepasang pedang Ling Pei di tangannya pun dengan


mudah dihindari Jaka Sembung.

Kini Ling Pie dengan sepasang pedangnya kem-

bali menyerbu si Jubah Hitam yang sudah mendarat di 

bubungan tak jauh dari tempat Ling Pei berdiri. Tubuh 

Ling Pei melesat seperti anak panah terlepas dari bu-

surnya dengan kedua pedang mengarah leher serta pe-

rut. si Jubah Hitam tetapi dengan gerakan yang tak 

terduga oleh Ling Pei menyelinap di antara kedua pe-

dangnya dan tanpa ampun lagi tangan kanan si Jubah 

Hitam yang telah diisi tenaga dalam tersebut mendo-

brak dada si dara manis itu.

"Plak!!" Tangan itu menggedor dada Ling Pei 

dan dengan suara tertahan tubuh Ling Pei melayang 

tak berdaya meluncur deras dari bubungan dengan da-

rah berhamburan dari rongga mulutnya.

Parmin yang menyaksikan tubuh dara itu me-

layang ke bawah dengan cepat bertindak hendak me-

nolong agar tubuh dara tersebut tidak berdebam di ta-

nah. Dengan sekali gerakan Jaka Sembung telah bera-

da tepat di bawah tubuh molek yang sedang melayang 

tanpa terkendali. Kedua belah tangannya yang kokoh 

dibentangkan ke depan, menyongsong tubuh dara ter-

sebut.

"Tap!!" Tubuh dara itu disambut oleh tangan 

Parmin, yang lalu membopongnya dan meletakkannya 

di anak tangga di depan bangunan tua itu. Sayang. 

Ternyata nyawa Ling Pei telah melayang entah ke mana 

dengan darah berhamburan ke luar dari mulutnya 

hingga membasahi bajunya.

"Inalillahi...!" ucap Parmin setelah mengetahui 

bahwa dara tersebut telah meninggal dunia. Parmin la-

lu teringat akan pesan gurunya Ki Sapu Angin bila kau 

melihat ada orang yang terkena musibah ucapkanlah 

'Inalillahi wainnailaihi rodzi'un', segala yang berasal


dari-Nya akan berpulang kepada-Nya jua.


TIGA



Di atas bubungan yang lain dua seteru masih 

bertarung hidup dan mati. Mereka mengeluarkan selu-

ruh ilmu yang mereka miliki. Ilmu silat mereka me-

mang berimbang, keduanya sama-sama mengeluarkan 

jurus-jurus ilmu silat tertinggi sehingga tubuh mereka 

tampak seperti gulungan-gulungan sinar yang saling 

menindih dan sekali-sekali menekan lawannya sehing-

ga orang yang berilmu rendah tidak mampu mengikuti 

pertarungan yang begitu cepat.

Parmin yang menyaksikan dari bawah berdecak 

kagum melihat kedua orang itu bertarung dengan ilmu 

silat yang paling tinggi, yang mereka miliki. Apakah 

yang mereka perebutkan? Kekuasaan? Kehormatan? 

Atau harta peninggalan nenek moyang mereka? Jika-

lau mereka memperebutkan kekuasaan, apakah mere-

ka sanggup melawan penjajah Kumpeni Belanda yang 

sedang berkuasa di negeri ini? Apabila mereka mempe-

rebutkan harta peninggalan nenek moyang mereka, 

mengapa harus jauh-jauh bertarung di negeri ini? An-

daikan mereka mencari kehormatan, apalah artinya 

kehormatan itu? Kehormatan dengan mempertaruhkan 

nyawa. Sungguh suatu hal yang salah besar! Kehorma-

tan dunia tidaklah mutlak. Lihatlah orang-orang yang 

mempunyai harta benda yang melimpah ruah, segala 

keinginannya terpenuhi dengan segera apa-apa yang 

mereka mau dengan cepat terlaksana. Apakah itu yang 

dinamakan kehormatan? Mungkin anggapan mereka 

itulah kehormatan. Tetapi bila harta tersebut telah ha


bis atau telah lenyap dan nyawa mereka telah diambil 

oleh Sang Maha Pencipta. Apakah kehormatan itu ma-

sih kita miliki? Tidak! sekali lagi tidak! Yang tinggal 

hanyalah kesedihan dan kesengsaraan. Kehormatan 

yang hakiki hanyalah di hadapan Allah Sang Maha 

Pencipta.

Parmin menarik napas dalam-dalam. Matanya 

yang tajam terus mengikuti pertempuran di atas bu-

bungan di mana kedua seteru itu masih saling menye-

rang satu dengan lainnya dengan jurus-jurus maut 

yang mematikan.

"Kau telah membunuh putri ku, Jahanam ke-

parat!!!" bentak Dewa Suci dengan geraman keras dan 

gigi gemeretuk menahan amarah yang meledak melihat 

putri tersayangnya telah menjadi mayat. Dengan gera-

kan cepat kakinya menendang perut si Jubah Hitam, 

sedangkan tangannya mengarah ke tenggorokan. Teta-

pi dengan sekali hentakan, tubuh si Jubah Hitam telah 

melesat ke atas dan membuat gerakan salto sambil 

kakinya menendang tengkuk si Dewa Suci. Akan tetapi 

ketika si Dewa Suci melihat tubuh musuhnya melewati

kepalanya, ia segera membuat gerakan tak terduga. 

Kakinya yang telah mengarah ke perut lawan tiba-tiba 

dialihkan dengan berguling-guling memburu selang-

kangan si Jubah Hitam yang masih jumpalitan di uda-

ra. Kembali si Jubah Hitam membuat gerakan lain. 

Dengan tubuh yang masih jumpalitan ia membuat ke-

balikan dari arah semula, di mana ia diserang dan se-

gera berdiri tegak tanpa menimbulkan suara, serta 

langsung memasang kuda-kuda. Sebaliknya si Dewa 

Suci dengan cepat berdiri dengan penuh kewaspadaan.

Mereka kini telah siap kembali dengan jurus 

maut yang mereka miliki. Di detik selanjutnya terden-

gar suara menggelegar memecahkan suasana.


"Hiiyaaatt...!!" Suara mereka keras hampir ber-

samaan dan seketika itu tubuh mereka melesat ke 

udara. Terlihatlah berkas sinar saling menyongsong.

"Duuaaarr...!!" Sinar itu bertemu di udara den-

gan suara ledakan yang menggema ke sekeliling tem-

pat itu. Asap hitam pun mengepul membubung ke 

udara dan hilang tertiup angin. Dalam benturan itu 

tubuh mereka sama-sama terpental ke belakang dan 

keduanya sama-sama bersalto menjaga keseimbangan 

tubuh agar tak terjatuh dari atap bangunan.

Embun pagi telah membasahi dedaunan dan 

rumput ilalang, namun mereka tetap bertempur den-

gan jurus-jurus maut yang mematikan, walaupun be-

lum terlihat seorang pun yang bakal kalah.

Berpuluh-puluh jurus telah mereka keluarkan, 

peluh membasahi tubuh sehingga pakaian mereka ba-

sah kuyup. Memasuki jurus keseratus, mereka menge-

luarkan ilmu andalannya masing-masing.

Si Dewa Suci mengeluarkan jurus maut dari il-

mu silat Gurun Gobi, sedangkan Boen Sio Liong alias 

si Jubah Hitam mengeluarkan jurus andalannya dari 

Pegunungan Himalaya.

Kedua seteru ini telah bersiap-siap dengan ilmu 

andalannya masing-masing.

Dewa Suci mengerahkan tenaga dalam dengan 

sepenuhnya. Terlihat sewaktu ia menggerak-gerakan 

tangannya yang dikepal lalu terbuka, dan dikepal lagi 

sehingga menimbulkan hawa panas dan telapak tan-

gannya menjadi merah seperti bara.

Si Jubah Hitam yang merasakan hawa panas 

tersebut segera menolak dengan jari-jari tangan terbu-

ka seperti hendak menerkam lawan. Dari tangannya 

keluar asap putih mengepul dan segera asap itu meno-

lak hawa panas yang datang. Jurus ini disebut Jurus


Beruang Sakti dari Gunung Himalaya sebuah jurus 

maut yang sangat ampuh.

Sinar merah dan putih saling mendorong untuk 

menjatuhkan lawan dan akibatnya genteng-genteng di 

atap bangunan yang terdekat menjadi terbakar.

Pada detik selanjutnya Dewa Suci menerjang 

dengan seluruh tenaga dalamnya. Tangannya lurus 

mengarah ulu hati si Jubah Hitam dan dengan gera-

man keras disertai nafsu membunuh, ia merangsak 

Jubah Hitam dan berhasil menggedor dada lawan. Ber-

samaan itu si Jubah Hitam menyongsong serangan la-

wan dengan kedua tangan yang siap menerkam.

"Buk! Prak!"

Bunyi bentrokan itu keras sekali, hampir ber-

samaan terdengar oleh Parmin yang berada di bawah 

dan senantiasa menggeleng-geleng kepala menyaksi-

kan pertarungan langka tersebut.

Tangan kanan si Dewa Suci tepat mendarat di 

dada si Jubah Hitam. Darah keluar dari mulut si Ju-

bah Hitam akibat dadanya terguncang hebat dan terli-

hat baju di depan dadanya pun terbakar, akan tetapi 

bersamaan dengan itu tangan kiri si Jubah Hitam te-

pat menghantam batok kepala si Dewa Suci yang botak 

plontos.

Jari-jari si Jubah Hitam amblas ke dalam hing-

ga tak terlihat dan dengan sekuat tenaga menjebol ba-

tok kepala tersebut hingga berantakan. Darah merah 

berhamburan membasahi muka lawan sehingga tan-

gan kiri si Jubah Hitam menjadi merah dan batok ke-

pala si Dewa Suci Penyebar Bala menjadi hancur se-

perti kerupuk.

Pekik mereka berdua tertahan sejenak ketika 

tangan mereka mendobrak sasaran. Kemudian tubuh 

mereka melayang deras ke bawah tanpa terkendali dan


tepat jatuh di depan Parmin yang sempat menggeser 

kakinya ke belakang sehingga terhindar dari kejatuhan 

dua sosok tubuh tersebut.

Tubuh mereka berdua menggeletak tak ber-

nyawa lagi, dalam keadaan bersimbah darah. Parmin 

termangu-mangu memandangi tiga sosok tubuh yang 

telah menjadi mayat.

"Inilah penyelesaian yang paling baik bagi Dewa 

Suci dan agaknya ia memang ditakdirkan mati di tan-

gan orang bangsanya sendiri!" gumam Parmin dalam 

hati.

Sang waktu terus merangsek perlahan namun 

pasti, rembulan telah memasuki peraduannya. Di ufuk 

Timur mentari telah menyinarkan cahaya keperakan, 

memberikan kehidupan bagi makhluk yang berada di 

bumi ini. Burung-burung serta unggas yang saling 

bernyanyi menyambut sang surya. Kicauan burung-

burung yang saling bersahutan memberi kenikmatan 

hidup bagi yang mendengarnya. Sungguh Maha Besar 

Sang Pencipta alam raya ini.

Parmin pun segera membuat liang lahat dan 

beberapa saat kemudian ia telah selesai menguburkan 

mayat-mayat itu. Setelah itu Parmin mencari mata air 

yang terdekat. Tidak lama kemudian ia telah menemu-

kan mata air tersebut dan segera menanggalkan pa-

kaiannya, Parmin lalu merendam tubuhnya di mata air 

tersebut.

"Uh... sejuknya air ini membuat tubuhku terasa

lebih segar! Ayo Beo, mandi! Bukankah kau telah satu 

minggu tidak mandi?!" ujar Parmin kepada sahabatnya 

itu. Dengan segera burung Beo itu terbang lalu hing-

gap di pundak Parmin dengan perlahan sehingga kulit 

Parmin tidak terluka oleh kukunya yang tajam. Kemu-

dian dua makhluk yang berlainan jenis itu segera terli


hat canda ria di pagi yang cerah.

Setelah puas menikmati air yang jernih itu dan 

tubuhnya terasa lebih segar, Parmin melanjutkan per-

jalanannya kembali.

Matahari telah menampakkan cahayanya, 

membuat titik-titik embun menguap dan hilang dari 

dedaunan. Dengan langkah perlahan namun pasti, 

Parmin terus berjalan memenuhi tugas yang diberikan 

gurunya, Ki Sapu Angin, untuk mempersatukan para 

pendekar di seluruh daerah Pasundan guna melawan 

Penjajah Kumpeni Belanda.

Beberapa jam kemudian Parmin telah sampai di 

perbatasan desa Cilimus. Perutnya pun telah berbunyi 

minta diisi. Pemandangan di perbatasan desa tersebut 

cukup indah dengan batu-batu yang tersembul dari 

permukaan tanah. Gundukan-gundukan besar tersu-

sun di kanan kiri dan pohon-pohon yang rindang den-

gan daun-daunnya yang berwarna hijau tumbuh den-

gan suburnya.

"Aku haus dan lapar! Tetapi di sini orang pen-

datang tak boleh minum di sembarang tempat! Semua 

makanan dan minuman akan dapat menjadi sebab 

kematian! Aku harus berhati-hati memasuki Desa Ci-

limus ini. Guruku berpesan bahwa di sini banyak pen-

dekar yang memiliki ilmu hitam yang berbahaya!!" gu-

mam Parmin dalam hatinya sambil mengingat-ingat 

pesan gurunya. Ia melanjutkan langkahnya dengan te-

nang.

Sementara itu tanpa disadari oleh Parmin, se-

pasang mata mengawasi gerak geriknya dari sela-sela 

semak-semak pohon dan kemudian sosok tubuh terse-

but menyelinap dengan gerakan yang ringan tanpa 

mengeluarkan suara. Setelah beberapa saat menem-

puh perjalanan, Parmin melihat sebuah warung di tepi


sebuah jalan setapak. Ia pun segera mempercepat ja-

lannya menuju warung tersebut.

Tetapi warung itu terbuat dari daun tebu yang 

disusun rapi dan tiang-tiangnya terbuat dari bambu 

serta bangku yang hanya satu buah terbuat dari papan 

namun terlihat kokoh.

Beberapa saat sebelum Parmin tiba di warung 

itu, sosok tubuh yang mengintai gerak gerik Parmin 

tadi telah terlebih dahulu tiba di warung tersebut. 

Orang itu berwajah bengis. Matanya tajam liar serta 

golok yang sudah terlepas dari sarungnya mengancam 

pemilik warung itu dan dengan kasar memaksa pemilik 

warung supaya mengikuti semua perintahnya. Pemilik 

warung yang sudah tua itu mendadak semakin tua ka-

rena ketakutan yang amat sangat ketika orang yang 

mengancamnya menempelkan golok ke lehernya.

"Hai, Pak Tua! Taburkan bubuk ini ke dalam 

gelasnya bila pendatang beserta burung Beonya mam-

pir ke sini, mengerti!? Jika kau tidak mau, lehermu 

aku bikin putus!!" bentaknya mengancam pemilik wa-

rung sambil memberikan sebungkus bubuk misterius 

kemudian ia bersembunyi di dalam warung tersebut.

"Baik, Gan, Saya akan laksanakan!" jawab Pak 

Tua gemetar. Tangannya mengambil bungkusan itu, 

lalu ia letakkan bungkusan itu di antara guci-guci 

tempat kopi dan gula.

"Assalamualaikum..." sapa Parmin lembut sete-

lah sampai di warung tersebut dan melihat ke sekelil-

ing kalau-kalau ada orang mencurigakan dan Parmin 

bernapas lega karena di warung itu tidak ada seorang 

pun yang duduk.

"Wa'alaikum salam...! Silahkan duduk, Den! 

Mau minum kopi, teh manis atau mau makan, Den!"

"Hm... teh segelas dengan gula aren, Pak! Kalau


ada tolong juga pisangnya untuk burung kesayangan-

ku ini, Pak!"

"Baik, Den!" Tunggu, akan saya persiapkan!" 

ujar Pak Tua sambil membalikkan tubuhnya. Ia segera 

membuat air teh yang dipesan Parmin dengan tak lupa 

mencampurkan bubuk yang diberikan orang tadi. Se-

kali-sekali matanya melirik ke arah Parmin yang se-

dang duduk menikmati pemandangan alam sekitarnya, 

kalau-kalau perbuatannya diketahui oleh Parmin, sang 

pendatang.

"Silahkan minum, Den! Dan ini pisangnya!" ujar 

Pak Tua sambil menyodorkan gelas berisi air teh panas 

dan sesisir pisang.

Sosok tubuh yang berada di dalam warung itu 

sedang mengintipnya dari lubang bilik dengan dada 

berdebar-debar.

Parmin pun segera mengambil gelas itu dan ke-

tika ia hendak menghirup air teh itu, tiba-tiba kening-

nya berkerut dan seketika ia teringat pesan gurunya. 

Jikalau kau sudah memasuki daerah Cilimus hendak-

nya kau jangan sembarangan makan dan minum di 

kedai atau di warung yang kau jumpai, karena di dae-

rah itu banyak sekali orang-orang yang memiliki ilmu 

hitam yang sering mencelakai orang pendatang. Sete-

lah mengingat pesan gurunya, Parmin segera menghe-

ningkan cipta mengerahkan konsentrasinya ke dalam 

gelas itu. Beberapa saat kemudian terjadilah suatu 

keajaiban, air teh tersebut perlahan-lahan berubah 

dan buih itu semakin banyak. Parmin terus menyalur-

kan hawa murni ke tangannya. Karena kuatnya tenaga 

yang tersalur, air teh itu menjadi mendidih dan mele-

daklah gelas yang Parmin pegang menjadi berkeping-

keping dan airnya muncrat membasahi meja. 

"Prak!"


"Racun!!" sentak Parmin dengan membeliak dan 

segera tangannya mencengkeram pundak sang pemilik 

warung itu.

"Heh, Pak! Mengapa kau bermaksud membu-

nuhku dengan racun?!" bentak Parmin geram sambil 

mengangkat tubuh Pak Tua itu ke atas meja membuat 

Pak Tua ketakutan.

"Aa... am... pun, Den! Tobat, Den! Aku hanya 

disuruh...!"

"Siapa yang menyuruhmu? Cepat, katakan!!" 

Belum sempat orang tua itu menjawab, sebuah cahaya 

meluncur dengan cepat dan mengenai punggungnya. 

Sebuah senjata rahasia menghunjam dari arah bela-

kang. 

"Jep...!"

"Ach!" Dengan suara tertahan orang tua itu 

menghembuskan nafasnya yang terakhir dengan mata 

melotot dan mulut menganga. Kiranya sebuah pisau 

belati telah menancap di punggungnya dan tembus ke 

ulu hatinya menandakan orang yang melemparkan pi-

sau itu memiliki tenaga dalam yang dahsyat.

"Oh! Innalillahi...!" sentak Parmin terkejut den-

gan sekali gerakan tubuhnya telah melesat ke atas 

atap warung itu dan ia segera melihat sosok tubuh 

yang melarikan diri dan hilang di balik bebatuan.

"Ilmu larinya boleh juga! Dia tentu bukan orang 

sembarangan." gumam Parmin meloncat turun dan 

berkelebat mengejarnya.

Tiba-tiba dari arah semak-semak belukar tiga 

sosok bayangan berlompatan menghadang pengejar-

nya, maka dengan segera Parmin menghentikan la-

rinya.

"Berhenti!" bentak mereka hampir bersamaan.

"Heh, siapakah kalian? Mengapa menghalang


halangiku?"

"Hm... andakah Pendekar Gunung Sembung 

yang perkasa dan terkenal itu? E... hm, pucuk dicinta 

ulam tiba! Kami 'Tiga Melati' sedang mencari anda dan 

secara kebetulan kita bertemu di sini!" sergah seseo-

rang dari mereka dengan nada ketus dan bibir terse-

nyum genit. Mereka segera mengepung Parmin dengan 

kuda-kuda kaki depan mereka agak ditekuk sedikit 

dan kaki kiri dipentangkan ke belakang.

Parmin bagaikan tersengat lebah terkejut tak 

percaya pada pandangan matanya, ketika ia melihat ti-

ga dara kembar yang cantik-cantik telah berada di ha-

dapannya dan tersenyum penuh arti melihatnya. Par-

min menghela napas dalam-dalam.

Tiga dara yang menamakan dirinya 'si Tiga Me-

lati' memiliki wajah yang sama bila dilihat sepintas la-

lu. Mereka seakan-akan sama satu dengan yang lain-

nya. Namun bila diteliti dengan seksama ada perbe-

daan pada wajah mereka. Mereka bertiga mengenakan 

pakaian yang bercorak sama berwarna merah bergaris-

garis berbentuk baju kurung dengan bukaan lebar di 

depan sehingga belahan dada mereka terlihat jelas 

dengan bentuk buah dada yang padat. Pinggang mere-

ka ramping dengan lengan panjang tiga perempat, se-

hingga pergelangan tangan mereka yang kecil dengan 

jari tangan yang mungil terlihat jelas. Celana pangsi 

mereka pun sama coraknya dengan baju mereka. Pan-

jangnya sebatas betis, membungkus ketat kaki mereka 

sehingga betis mereka yang bunting padi terlihat manis 

dipandang mata. Wajah mereka yang bulat telur den-

gan dagu agak panjang serta bibir yang merekah bak 

buah delima. Hidung yang agak mancung dan pipi 

yang lesung pipit, serta bola mata hitam dengan bulu 

mata lentik dan alis mata kecil membentuk bulan sabit


menambah keelokan wajah mereka. Rambut mereka 

terurai sampai punggung, agak berombak dengan ikat 

kepala berwarna merah muda dan ikat pinggang yang 

melilit berwarna merah muda pula dengan sebilah pe-

dang terselip di pinggang masing-masing. Kulit mereka 

halus dan putih bersih. Di bibir mereka terdapat tahi 

lalat kecil yang berbeda-beda letaknya, yang tertua 

dengan tahi lalat di bibir atas menghiasi wajahnya dan 

yang kedua dengan tahi lalat di bibir bawah dan yang 

nomor tiga dengan tahi lalat melekat di pinggir sebelah 

kanan bibirnya sehingga bila mereka tersenyum me-

nambah kecantikan mereka.

"Adik-adikku! Hari ini kita bertemu dengan de-

wa silat!" ujar yang tertua dengan senyum menantang.

"Baiklah, kami memperkenalkan did! Aku ada-

lah yang tertua di antara kami. Namaku Riska dan 

yang kedua ini bernama Risma, serta yang paling 

bungsu bernama Rani!" lanjutnya dengan sorot mata 

tak berkedip menatap wajah Parmin yang tersipu-sipu 

melihat senyum mereka yang selalu menggoda.

"Apa maksud kalian bertiga mencegatku?! Aku 

sedang mengejar seseorang dan karena kalian aku ke-

hilangan jejak!" sergah Parmin dengan nada agak jeng-

kel.

"Kami bermaksud mencoba anda! Sampai di 

mana keahlian orang yang punya nama masyhur di 

seantero Pasundan ini!!!" kata Riska sambil menyi-

langkan kedua tangannya di dada diikuti oleh adik-

adik.

"Ada suatu syarat! Bagaimana jika kalian ka-

lah?" tanya Parmin dengan membentangkan kakinya 

memasang kuda-kuda sambil tersenyum simpul.

"Kami bertiga rela jadi istri anda dan kami mau 

melakukan apa saja di bawah perintah anda!" jawab


Riska ketus sambil memberi isyarat kepada adik-

adiknya untuk menyerang Parmin. Secara serempak, 

tiba-tiba si Tiga Melati menyerang Parmin dengan sen-

jata terhunus mengarah bagian leher, dada dan kaki 

Parmin, namun dengan cepat tubuh Parmin meletik 

bagaikan seekor belalang di sela-sela kilatan pedang 

dara-dara manis yang menyerangnya dengan ketat.

"Tunggu dulu! Aku tak dapat menerima sya-

ratmu itu, Nona!" bentak Parmin sambil bersalto men-

jauhi si Tiga Melati. Namun belum sampai kakinya 

menyentuh tanah, kembali si Tiga Dara tersebut me-

nyerang Parmin dengan sabetan-sabetan pedang se-

hingga debu-debu beterbangan terkena angin yang di-

timbulkan olehnya dan kembali Parmin terpaksa ber-

jumpalitan di udara menghindari serangan tersebut.

Tubuh Parmin ringan bergerak bagaikan se-

gumpal kapas tertiup angin. Tubuhnya ke sana ke ma-

ri berjumpalitan menghindar dari babatan dan sabetan 

pedang si Tiga Melati yang menyerangnya dengan ber-

tubi-tubi, namun sampai detik ini Parmin belum mem-

balas serangan si Tiga Dara cantik dan centil itu.

Memang dalam hati Parmin ingin benar menge-

tahui sampai di mana tingkat ilmu silat mereka dan 

setelah memasuki jurus yang ke dua puluh Parmin 

mengetahui bahwa tingkat ilmu mereka cukup lu-

mayan. Tetapi dibandingkan dengan ilmu yang dimili-

kinya tentu masih jauh di bawah tingkatannya, dan se-

lanjutnya Parmin menggunakan jurus 'angin puyuh' 

yang dengan sengaja membuat gaya secara demostra-

tif.

"Hiiyaaaaat...!!" bentak Parmin keras sambil 

meliuk-liukkan tubuhnya dengan cepat dan tongkat-

nya menyambar pedang dara-dara manis itu yang 

menjadi terkejut melihat bayangan tubuh Parmin yang


begitu cepatnya.

"Trak. Trak! Trak!"

Suara beradu senjata-senjata mereka dengan 

tongkat Parmin. Seketika telapak tangan mereka terasa 

kesemutan disusul pedang yang terlepas dari gengga-

man tangan masing-masing.

"Aku di sini, Nona! Ambillah kembali pedang-

pedang kalian! Nona bertiga kalah, tetapi aku tetap tak 

mau menerima syarat itu!!" ujar Parmin sambil menyo-

dorkan tongkat besi beraninya yang ditempeli oleh tiga 

buah pedang milik si Tiga Melati. Si Tiga Melati terke-

jut melihat kenyataan itu dengan mata melotot dan 

mulut terbuka dengan decak kagum mereka segera 

mengambil pedang masing-masing dan menyarung-

kannya kembali di balik ikat pinggangnya.

"Syarat lain kami tak punya! Kami tak punya 

apa-apa sebagai barang taruhan. Kami masing-masing 

hanya mempunyai sekujur badan ini!" jawab Risma 

sambil membusungkan dadanya sehingga buah da-

danya yang mekar itu tersembul dan membuat mata 

siapa pun yang memandang menjadi terkesima meli-

hatnya.

"Anda jangan ragu-ragu, Pendekar! Kami berti-

ga rela hidup bersama anda ke mana anda pergi dan 

ketahuilah bahwa kami bertiga masih menyandang ge-

lar perawan-perawan tulen yang baru mekar! Aku saja 

baru berumur lima belas tahun sedangkan kakakku 

berumur enam belas tahun dan kakakku yang tertua 

berumur tujuh belas tahun! Apakah kami bukan seba-

gai buah yang sedang ranum?" tantang si Bungsu yang 

bernama Rani dengan ketus sambil mengerdipkan ma-

tanya sebelah mengandung arti.


EMPAT


Parmin melihat gelagat itu segera menarik na-

pas dalam-dalam, dan dengan tenang ia kemudian 

berbicara seperti seorang bapak menasehati anaknya.

"Kalian telah membuat suatu lelucon yang tidak 

lucu buatku! Aku akan meneruskan perjalananku 

yang masih jauh! Selamat berpisah! Hanya kuharap 

kalian bertiga bisa menjadi pendekar yang mengabdi 

kepada kebenaran dan keadilan! Tuhan telah menen-

tukan jodoh bagi setiap insan, begitu juga halnya den-

gan kalian bertiga...! Bersabarlah! Jodoh tidak bisa di-

buru atau dipertaruhkan, jika sudah waktunya asam 

di gunung garam di laut pun bisa bertemu dalam be-

langa! Ingatlah itu baik-baik, Riska, Risma dan Rani!"

Parmin menasehati dara-dara manis yang ma-

sih muda belia itu. Dengan sorot mata tajam mereka 

mengikuti sang pendekar dari Gunung Sembung itu 

melangkahkan kakinya meninggalkan mereka. Kini 

tinggallah mereka pergi dengan kesan yang melekat di 

dalam hati masing-masing setelah menyaksikan kehe-

batan pendekar pujaannya yang terkenal itu.

"Dia sama sekali tidak tertarik kepada kita!" 

ujar Riska dengan nada seperti orang yang berputus 

asa dan bibirnya cemberut tanda kecewa.

"Kita harus belajar ilmu silat yang lebih tang-

guh dari dia! Jika dia kalah tentu dengan sendirinya ia 

akan menerima syarat kita!" kata si Bungsu yang ber-

nama Rani dengan ketus sambil matanya terus me-

mandang Parmin yang hampir menghilang di belokan 

jalan.

Beberapa saat kemudian mereka dengan lesu 

meninggalkan tempat tersebut dengan suatu tekad


akan membantu pendekar kesayangannya mereka da-

lam suka dan duka, maka dengan langkah pasti mere-

ka segera mengikuti arah perjalanan Parmin.

Tatkala bergegas mengejar, angin sepoi-sepoi 

menerpa wajah mereka bertiga sehingga rambut mere-

ka yang dibiarkan terurai bergerai tertiup angin dan 

membuat wajah mereka menjadi semakin cantik mem-

pesona.

Baiklah kita tinggalkan dulu dara-dara manis 

yang menamakan dirinya 'si Tiga Melati' yang sedang 

mengejar langkah Parmin si Jaka Sembung.

Sekarang kita ikuti perjalanan pendekar kita 

Parmin, alias si Jaka Sembung itu sendiri. Parmin te-

rus melangkahkan kakinya menuju ke tengah-tengah 

Desa Cilumus.

Matahari telah hampir condong ke Barat mem-

buat bayangan-bayangan memanjang. Parmin men-

gayunkan langkahnya perlahan namun pasti. Angin 

yang berhembus sepoi-sepoi basah menerpa wajahnya 

dan dedaunan yang bergoyang terkena hembusan an-

gin membuat daun-daun kering yang sudah tua bergu-

guran.

Awan hitam di langit sana mulai tarn pak ber-

gumpal-gumpal memayungi Desa Cilumus saat itu dan 

kilatan-kilatan petir menyambar kian ke mari menan-

dakan hujan akan segera turun. Penduduk Desa Cilu-

mus yang masih berada di luar rumahnya bergegas 

memasuki rumah masing-masing, sementara anak-

anak kecil bersorak-sorai menantikan hujan, namun 

orang tua mereka segera menyuruh anaknya untuk 

memasuki rumah.

Tidak berapa lama kemudian air hujan mulai 

menetes satu per satu membasahi bumi. Parmin mem-

percepat langkahnya untuk mencari tempat berteduh,


tetapi tanpa sepengetahuan Parmin sepasang mata 

yang mencorong mengikuti gerak geriknya.

Sosok tubuh itu dengan wajah bengis dan golok 

yang terselip di pinggangnya berhenti di balik sebuah 

batang pohon besar sehingga tubuhnya terhalang oleh 

batang pohon tersebut. Parmin pun berteduh di samp-

ing rumah seorang penduduk.

"Kurang ajar! Gembel busuk itu bisa lolos dari 

racun itu! Aku harus segera lapor kepada Pak Kiyai!" 

gumamnya dalam hati dengan gigi gemerutuk mena-

han marah.

Hujan yang rintik-rintik kemudian menjadi be-

sar disusul dengan curahan yang menderas diselingi 

guntur yang menggelegar memecahkan kesunyian di 

Desa Cilumus yang penduduknya telah memasuki ru-

mahnya masing-masing.

Hujan deras itu tak henti-hentinya sampai ma-

tahari lenyap ke permukaan bumi dan alam yang su-

dah gelap kini menjadi kian pekat. Udara malam yang 

dingin kini semakin dingin disertai angin kencang. Ge-

nangan air hujan telah membentuk kubangan dan 

membuat tanah menjadi becek.

Dari celah-celah derasnya air hujan serta angin 

kencang yang membuat badan menjadi menggigil terli-

hat Parmin dan sahabatnya yang setia si Burung Beo 

sedang berteduh. Kaki serta pakaiannya telah basah 

terkena cipratan air hujan. 

"Kau kedinginan, Beo? Masuklah berlindung 

dalam kain sarung ku." ujar Parmin hampir tak ter-

dengar di sela-sela gemuruh suara hujan yang sema-

kin deras.

Tiba-tiba telinganya mendengar sayu-sayup su-

ara percakapan penghuni rumah tempat ia berteduh.

"Mini, oh. Mini anakku yang malang... Mengapa



sampai terjadi semua ini? Siapa...? Siapa? Katakanlah 

kepada ibu siapa yang telah

menodai mu?" tanya ibunya dengan lirih melihat 

anaknya kini sedang hamil dan perutnya yang kian 

membesar.

"Oh, ibu... Kang Wangsa... ampunilah aku! Am-

punilah aku! Oh, Tuhan kutuklah aku!" ujar Mini den-

gan tangis terisak penuh penyesalan.

"Katakanlah, Nak...! Katakanlah!" desak ibunya 

penasaran.

"Kiyai... Kiyai... Subeni!" jawab Mini terputus-

putus sambil menutup wajahnya dengan kedua belah 

tangannya dan menangis meraung-raung sangat me-

milukan hati.

"He...? Hah?" sentak ibu dan Wangsa hampir 

bersamaan seperti disambar petir mendengar nama 

Kiyai Subeni disebut.

"Kiyai Subeni yang menodai mu, Mini? Masya 

Allah, Ki Subeni guru ngaji mu itu?" Desak ibunya ka-

rena tidak percaya sambil mengerutkan dahinya dan 

terlihat wajahnya semakin tua.

"Kurang ajar! Keji! Murtad! Lagi-lagi perbuatan 

Kiyai cabul itu!!" bentak Wangsa sebagai tunangan ga-

dis bernama Mini itu dengan suara keras. Tangannya 

dikepal menahan amarah, membuat Parmin yang be-

rada di luar tersentak kaget.

"Hh!! Hachh!! Sudah berapa perawan yang ia 

rusak bedebah! Semua orang mendiamkan tingkah la-

ku keparat itu! Mereka penakut semua! Apa yang dita-

kutkan? Aku tidak takut!! Akan kubunuh iblis murtad 

itu! Persetan dengan ilmu sihir dan guna-guna yang 

dimilikinya! Tunggulah ajalmu Kiyai Iblis!!!" bentaknya


keras mencaci maki sepuasnya, disertai loncatan me-

nerjang daun pintu yang terbuat dari bilik bambu dan 

ia melompat ke luar.

Di tengah-tengah derasnya hujan dan petir ser-

ta guntur yang menggelegar sang tunangan yang ma-

lang itu berlari-lari dengan golok telanjang menuju 

rumah Kiyai Subeni. Namun di tengah perjalanan ia 

dicegat oleh sesosok manusia yang berwajah beringas.

"Berhenti! Mau ke mana, Kunyuk?!" bentak 

orang itu keras dengan mata yang menyiratkan nafsu 

ingin membunuh.

"Siapa kau?! Heh, Ki Burik, tangan kanan si 

Subeni! Bagus! Mampuslah anjingnya dulu! 

Hiiyaaaaat!!" bentak Wangsa keras sambil menya-

betkan goloknya mengarah pinggang si Burik dengan 

cepat, namun dengan sekali menggerakkan tubuhnya 

Burik telah melesat ke atas dan lolos dari serangan 

Wangsa.

Wangsa terus merangsek Ki Burik yang masih 

berjumpalitan dengan goloknya yang tajam seperti pi-

sau cukur, tetapi Ki Burik dengan mudah menghindari 

serangan-serangan tersebut dan dalam jurus yang ke-

tiga sebuah tendangan berat yang mengandung tenaga 

dalam menimpa dada Wangsa. 

"Buk!"

"Hkh..." suara tendangan itu disertai pekik ter-

tahan dari Wangsa yang seketika tubuhnya terjerem-

bab kegenangan air. Ketika tubuh Wangsa hendak 

bangkit kembali tiba-tiba dadanya terasa terbongkar 

disusul dengan tersemburnya darah segar dan setelah 

menggeliat beberapa kali untuk meregang nyawa, tu-

buh Wangsa tak berkutik lagi... biru mengejang dan 

nyawanya lepas entah ke mana. Darah membasahi tu-

buhnya dan air di sekitarnya menjadi merah karena


darahnya sendiri.

Ki Burik melihat korbannya mati dengan sekali 

gebrakan dengan serta merta tertawa terbahak-bahak 

sambil berkacak pinggang, tetapi sedetik kemudian 

berkelebatlah bayangan Parmin menyerang tubuh Ki 

Burik yang sedang tertawa dengan babatan tongkat 

besi beraninya disertai tenaga dalam mengarah leher 

Ki Burik.

Tawa Ki Burik dengan seketika terhenti dan tu-

buhnya melejit ke belakang menghindari serangan 

Parmin. Namun sebelum kakinya menyentuh tanah 

kembali Parmin menyerang dengan tendangan kakinya 

mengarah selangkangan Ki Burik. Tetapi dengan jeli Ki 

Burik melentikan tubuhnya dan menjauhi Parmin 

hendak melarikan diri. Namun kembali Parmin menye-

rang dengan totokan tongkatnya.

"Hek!" suara Ki Burik tertahan dan dengan tu-

buh sempoyongan ia melompat ke semak belukar.

Seketika terjadilah kejar mengejar yang seru di 

bawah siraman hujan yang semakin deras dengan kilat 

menyambar dan guntur yang menggelegar.

"Tak salah lagi! Dia tentu orang yang menyuruh 

pelayan warung itu untuk meracuni ku!" gumam Par-

min dalam hati sambil mempercepat larinya, tetapi tu-

buh Ki Burik telah menghilang ditelan kegelapan ma-

lam. Tinggallah Parmin seorang diri di atas bubungan 

rumah penduduk sambil termangu-mangu dan sesaat 

kemudian ia telah kembali ke tempat di mana mayat 

Wangsa tergeletak dan dengan perasaan terenyuh di-

bopongnya mayat Wangsa yang berlumuran darah ke 

tempat di mana Parmin tadi berteduh.

Setelah memberitahukan kepada si pemilik ru-

mah, Parmin segera berlalu dari tempat itu dan segera 

melangkah dengan cepat menuju ke kediaman Kiyai


Subeni tanpa menghiraukan hujan yang turun dengan 

deras membasahi tubuhnya. Sungguh ia sangat me-

nyesal terlambat bertindak sehingga pemuda yang ma-

lang itu sudah tewas di tangan seseorang yang berjiwa 

keji.

Sementara itu di suatu tempat dengan peka-

rangannya yang luas dipagari batang-batang bambu 

setinggi pinggang berdiri sebuah bangunan cukup me-

gah dengan tiang-tiang terbuat dari kayu jati berukir. 

Bangunan panggung tersebut memiliki anak tangga 

yang terbuat dari kayu jati dan berlantai kayu yang 

mengkilap. Di sudut kiri kanan terdapat kendi besar 

terbuat dari tanah liat berukir berbentuk burung elang 

sedang mematuk seekor ular.

Sayup-sayup terdengar alunan suara yang 

merdu mengalunkan ayat-ayat suci Al Qur'an seakan 

menembus derasnya hujan.

Di ruang dalam terdapat beberapa orang dara 

cantik sedang mengaji dengan khusu' dan tertib di ba-

wah bimbingan seorang Kiyai. Dara-dara cantik itu 

memakai pakaian kain kebaya dengan kerudung me-

nutupi kepalanya. Di hadapan mereka duduk bersila 

sang Kiyai dengan pandangan mata tajam menatap 

wajah mereka satu persatu membuat yang dipandang 

menundukkan kepala. Orang tersebut yang tak lain 

adalah Kiyai Subeni dengan sosok tubuh gemuk serta 

pipinya yang tembem membuat hidungnya yang pesek 

menjadi semakin pesek. Ia memakai baju koko bersu-

lam benang emas di leher bajunya dan memakai pici 

berwarna putih yang dililit dengan sorban putih serta 

sehelai kain bercorak kotak-kotak diletakkan di pun-

dak kirinya dan kain sarung yang dipakainya berwarna 

putih bergaris hitam.

"Si Zaitun kurang fasih dalam mengucapkan la


falnya! Mulai Jum’at besok kau harus mengaji sendi-

rian sebagai pelajaran tambahan!" tegur Kiyai dengan 

suara berat namun tegas dengan mata yang menyi-

ratkan sesuatu.

"Aku tak bisa datang ke mari sendirian, Kiyai! 

Biarlah kekurangannya akan kupelajari sendiri di ru-

mah. Ayah dan ibu mungkin bisa memberi petunjuk!" 

sanggah Zaitun pelan sambil menundukkan kepa-

lanya.

"Jangan bicara sebodoh itu, Zaitun! Ayah dan 

ibumu telah mempercayakan semua ini kepadaku!!!" 

bentak Kiyai Subeni agak keras dan disambut oleh Zai-

tun dengan tarikan napas panjang.

"Aku adalah gurumu, guru ngaji kalian! Kalian 

sebagai murid harus taat pada perintah dan ucapan 

guru! Kalau kalian membandel akan celakalah dan tia-

da bermanfaat ilmu yang kalian pelajari! Bagaimana 

Zaitun! Masihkah kau membantah? Pengajian mu ba-

nyak ketinggalan dari kawan-kawanmu!!" bentak Kiyai 

dengan suara keras memperingati Zaitun serta murid 

yang lainnya. Semua murid yang berada di situ tidak 

ada yang berani bersuara apalagi menggerakkan ba-

dannya. Semua diam dengan kepala tertunduk. Begitu 

pun Zaitun murid yang tercantik itu menjadi lemas 

sendi-sendinya.

Apa yang harus diperbuat? Ia tertunduk sayu 

di bawah sorotan mata Kiyai Subeni yang bagaikan bi-

sa menembus sampai ke lubuk hatinya dan meman-

carkan suatu tenaga gaib yang menghanyutkan.

"Bagaimana, Zaitun?" tanya Kiyai Subeni den-

gan mata memaksa dan sorot mata tajam menatap Zai-

tun.

Suasana di ruangan itu menjadi sunyi namun 

menegangkan. Akan tetapi ketegangan itu tiba-tiba


terpecah dengan datangnya Ki Burik dengan sekujur 

badan yang basah kuyup.

"Ki...! Kiyai! Celaka, Ki! Pendekar Gunung Sem-

bung itu sudah sampai di sini dan sedang mengejar-

ku!" ujar Ki Burik pelan dengan tubuh gemetar.

"Apa, hah?" bentak Kiyai Subeni kaget menden-

gar nama tersebut sambil menatap tajam ke arah Ki 

Burik.

Sementara itu hujan di luar belum juga ada 

tanda-tanda reda. Beberapa detik kemudian berkele-

batlah tubuh Parmin melompati pagar bambu dan ber-

diri tegak di tengah pekarangan pesantren milik Kiyai 

Subeni.

"Kiyai Subeni! Sebagai tamu, aku sangat meng-

hargai kekuasaan tuan rumah. Maka aku tak hendak 

masuk rumahmu dan memaksa anda untuk keluar. 

Tetapi anda pun harus keluar untuk mengulangi pe-

nyambutan anda yang telah gagal!!" ucap Parmin keras 

mengalahkan bunyi hujan yang semakin deras. Parmin 

teringat peristiwa tadi siang di perbatasan Desa Cilu-

mus, di warung itu, di mana ia hampir saja minum air 

teh yang berisi racun dan kiranya Kiyai Subenilah da-

langnya.

Hujan yang turun terus menerus itu menggigil-

kan tubuh Parmin dan agaknya Kiyai Subeni tahu 

akan hal itu dan sengaja membiarkan penantangnya 

berdiri di luar sampai kaku. Tetapi Jaka Sembung 

yang telah dididik oleh gurunya yang kedua Begawan 

Sokalima di Puncak Ciremai melalui latihan melawan 

hawa yang sangat dingin, dengan tenang tetap berdiri 

di bawah curahan hujan dan dengan tubuh basah 

kuyup.

"Aku tahu akal bulus Kiyai murtad ini! Baik! 

Aku harus mengejeknya supaya ia keluar!" gumam


Parmin dalam hati.

"Hai, Subeni! Bandot tua bermata keranjang! 

Memang enak cuaca dingin begini mengerami murid-

mu yang cantik-cantik!! Ha... ha... ha... ha!" Tantang 

Parmin dengan lantang dan mengandung ejekan yang 

sangat pedas.

Betul juga dugaan Parmin, karena tiba-tiba 

daun pintu bergerak dan sesosok tubuh bulat gempal 

melompat ke luar dan langsung menyerang Parmin 

yang memang sudah siap-siaga. Kiyai Subeni dengan 

cengkeraman mautnya yang disertai tenaga dalam 

yang sempurna menimbulkan hawa panas dari telapak 

tangannya.

Namun Parmin dengan sangat cekatan melaya-

ni serangan itu sambil mengerahkan tenaga dalamnya. 

Melihat musuhnya tidak memakai senjata, Parmin se-

gera melempar tongkat besi beraninya sambil berjum-

palitan menghindari cengkeraman tangan Kiyai Subeni 

yang mengarah ke perut.

"Oh, inikah tampang Kiyai yang menghalalkan 

maksiat untuk memuaskan nafsu iblisnya?! Manusia 

seperti inilah penghuni neraka jahanam yang paling 

bawah!!!" ujar Parmin dengan lugasnya sambil bersalto 

ke belakang guna mengambil jarak.

"Tutup rapat-rapat bacotmu, Monyet gelandan-

gan! Hiiiich...! Mampus!!" bentak Kiyai Subeni sambil 

menyerang Parmin secara bertubi-tubi.

"Kau menodai kesucian agama! Copotlah kedok 

Kiyai mu itu, hai gadungan!!!" bentak Parmin keras 

dan dengan cepat menyerang Ki Subeni.

Mereka berdua mengeluarkan jurus-jurus maut 

dari ilmu silat tinggi sehingga tubuh mereka hanya ter-

lihat seperti gulungan sinar dan gulungan sinar itu 

saling silang satu dengan yang lainnya dengan gerak


yang begitu cepat.

Beberapa saat kemudian gulungan sinar itu be-

rubah langkah dan kini saling menyongsong dengan 

kecepatan tinggi. Teriakan mereka hampir bersamaan 

memecahkan suara derasnya hujan karena disertai te-

naga dalam, sehingga Ki Burik yang menyaksikan ja-

lannya pertempuran itu segera bersemedi mengusir 

suara keras yang masuk ke telinganya. 

"Buk! Hk!"

Terdengar suara tertahan disusul oleh tubuh 

Parmin yang terlempar ke belakang beberapa depa dan 

tubuhnya menabrak sebuah pohon besar membuat 

ranting dan daun kering berguguran.

Parmin merasa bumi yang dipijaknya berputar-

putar, kepalanya pening dan dadanya sesak terkena 

gedoran tangan Ki Subeni yang mengandung tenaga 

dalam. Parmin berusaha untuk bangkit, tetapi pan-

dangan matanya menjadi gelap berkunang-kunang dan 

dadanya terasa hendak meledak.

"Hoak!" darah segera keluar dari mulutnya 

membasahi genangan air di sekitarnya yang seketika 

berubah menjadi merah dan tubuhnya ambruk ber-

mandikan darahnya sendiri.

"Nah kini terimalah ajalmu gembel busuk!!!" te-

riak Ki Subeni keras dengan geraman nafsu ingin 

membunuh dan tubuhnya melesat cepat dengan kaki 

mengarah ke depan dengan pasti hendak menghabisi 

riwayat Jaka Sembung.

Pada saat kritis itu tiba-tiba bcrkelebat tiga 

bayangan menyambar tubuh Parmin yang sudah tak 

berdaya itu. 

Tanah becek tempat Parmin tergeletak meledak 

seperti kena bom, ketika kaki maut Ki Subeni itu ber-

debam menemui tempat kosong dan melihat tubuh


musuhnya yang sudah tak berdaya itu melesat dibawa 

lari oleh tiga dara manis yang kini menyerangnya den-

gan pedang telanjang mengarah pinggangnya. Mereka 

ternyata si Tiga Melati yang selama ini mengikuti perja-

lanan Parmin.

Dua orang gadis di antaranya yang tak lain 

adalah Risma dan Rani segera melesat sambil membo-

pong tubuh Parmin yang terluka parah dan menghi-

lang dikegelapan malam. 

"Cepat kita lari! Biarlah Kak Riska meladeni 

orang gemuk!" sergah Risma kepada adiknya Rani dan 

segera lari. 

Sementara itu Riska dengan mengandalkan ke-

gesitan tubuhnya meliuk-liuk ke sana ke mari sambil 

sekali-sekali coba menusuk atau membabatkan pe-

dangnya.

"Siapa kalian, heh? Kenapa ikut campur?" ujar 

Ki Subeni dengan kesal sambil mengirim serangan 

maut.

"Kami adalah bidadari-bidadari penolong dari 

kahyangan! Aku tak ingin lama-lama meladenimu ber-

canda, Kiyai gendut!" sergah Riska sambil bersalto 

menjauhi Ki Subeni ke semak-semak belukar dan 

menghilang di telan kegelapan malam.

"Bebel sial! Awewe jurig!!!" bentak Ki Subeni 

kesal setelah melihat musuhnya telah lenyap.

Tinggallah Ki Subeni seorang diri dan dengan 

wajah kesal memasuki rumahnya dan segera memerin-

tahkan Ki Burik untuk melakukan pengejaran.

"Burik cepat kumpulkan kawan-kawanmu dan 

segera bawa ke mari bangsat Sembung itu!!!" ujarnya 

keras dengan nada kesal.

"Baik, Pak Kiyai!" jawab Ki Burik dan segera 

meninggalkan tempat itu untuk mengumpulkan ka


wan-kawannya.

Riska dengan ilmu larinya yang sempurna sege-

ra dapat menyusul adik-adiknya yang masih membo-

pong tubuh Parmin di celah-celah hujan yang deras 

itu.

"Terus ke lembah sebelah Timur itu di sana ada 

sebuah goa! Si gemuk gendut itu pasti tak mengejar ki-

ta! Ia lebih senang mengerami murid-muridnya yang 

cantik-cantik!" ujar Riska memberi petunjuk kepada 

adik-adiknya.

Beberapa lama kemudian mereka sampai pada 

sebuah goa di balik bukit dan segera tubuh Parmin di-

baringkan di lantai batu yang beralas ilalang kering.

Sang waktu terus merambat pada jalurnya 

dengan pasti dan hujan diluar telah lama reda.

"Lihat! Dadanya terbakar kena pukulan 

'Samber Nyawa' Ki Subeni!" sentak Riska setelah me-

meriksa dada Parmin yang membekas berbentuk tela-

pak tangan Ki Subeni. Dada Parmin hangus membiru 

terkena gedoran pukulan Ki Subeni yang amat dah-

syat.

"Kalian tak perlu cemas Pendekar Gunung 

Sembung tidak mati... dia sedang melawan racun pu-

kulan itu dengan tenaga dalamnya. Sebentar lagi tentu 

bangun." ujar Riska setelah meraba dada Parmin dan 

telapak tangannya merasakan ada denyutan perlahan.

Kokok ayam jantan saling bersahut-sahutan 

menyambut sang fajar yang tersembul dari balik bukit 

dengan sinar emasnya, burung-burung pun bernyanyi 

menyambut pagi dengan irama merdu pertanda masih 

ada kehidupan.

Parmin belum sadarkan diri. Tubuhnya masih 

terbaring di atas tumpukan ilalang rumput kering dan 

dijaga oleh tiga dara manis yang menamakan dirinya


'si Tiga Melati' dengan sabar.

"Rani! Coba kau carikan air! Air pegunungan 

yang dingin cukup membantu pernapasan dan kelan-

caran peredaran darah dalam tubuhnya, sementara itu 

aku membantu dengan mengurutnya!" ujar Riska me-

nyuruh si Bungsu. 

"Aku saja yang kau suruh-suruh, coba sekali-

sekali si Risma itu!" bantah Rani sambil cemberut.

"Sudah! Jalankan perintah! Aku adalah sauda-

ramu yang tertua berhak mengatur dan semua ini de-

mi untuk kepentingan bersama!" bentak Riska tegas 

sambil melotot matanya.

Matahari telah mulai meninggi sehingga mem-

buat hawa di sekitar goa menjadi hangat dan selang 

beberapa lama kemudian Parmin telah sadar dan sege-

ra menyandarkan dirinya ke dinding.

"Oh,, terima kasih... kaliankah yang telah me-

nolongku? Riska, Risma dan Rani semoga Tuhan 

membalas kebaikan hati kalian!" ujar Parmin pelan 

sambil mendekap dadanya dan memijit kepalanya yang 

masih agak pusing.

"Mengapa Tuhan yang membalas?" tanya Riska 

berpura-pura tidak mengerti apa yang diucapkan Par-

min.

"Kami ingin kau sendiri yang membalas kebai-

kan hati kami, kami bertiga bersedia ikut ke mana kau 

pergi. Jadikanlah kami bertiga istri-istrimu!" sela Rani 

ketus dengan senyum dibuat-buat agar Parmin tergu-

gah hatinya.

"Tidak bisa! Ketahuilah oleh kalian, aku sudah 

punya kekasih di Desa Kandang Haur!" jawab Parmin 

cepat dan mengaku dengan jujur.

"Kekasihmu itu tentu seorang gadis yang cantik 

sekali... ya?" ujar Risma sambil menggeser duduknya


agar lebih dekat dengan Parmin.

"Pendekar Gunung Sembung! Biarlah kami 

menjadi istrimu atau menjadi selir-selirmu! Bukankah 

agama kita mengijinkan seorang laki-laki mempunyai 

istri lebih dari satu orang?" ujar Riska sambil tangan-

nya bergelayutan di pundak Parmin, namun dengan 

halus Parmin menepiskannya.

"Itu memang dibenarkan oleh agama, tetapi 

dengan syarat: pertama harus bisa membagi rata kasih 

sayang, kedua harus berbuat adil dengan nafkah harta 

maupun nafkah bathin. Pada kenyataannya manusia 

tidak bisa memenuhi syarat-syarat tersebut, tak terke-

cuali juga aku sendiri! Sekarang begini, bagaimana jika 

kita bersahabat saja? Hubungan sebagai kawan adalah 

lebih baik, karena tak dikotori oleh rasa cemburu! Dan 

bagaimana pendapat kalian untuk menyingkirkan Ki 

Subeni?"

"Ia ditakuti karena punya anak buah yang me-

miliki kekuatan ilmu hitam dan ilmu silat yang tinggi!" 

ujar Riska memperingatkan.

"Gampang! Kita bakar kemarahan penduduk 

desa ini! Kurasa di antara mereka ada yang memiliki 

kepandaian silat yang cukup, cuma mereka takut ber-

tindak sendiri-sendiri," potong Rani ketus sambil men-

gepalkan tangannya.

"Bagaimana caranya baiklah kuserahkan kepa-

da kalian! Aku sendiri akan mencoba nasib sekali lagi 

melawan Ki Subeni!"

"Jangan khawatir pendekar! Kami akan mem-

bantumu sampai titik darah yang penghabisan!" ser-

gah Risma bersemangat dengan mata berbinar-binar.

"Ya pendekar, kami akan membakar semangat 

penduduk untuk menumpas Kiyai murtad itu!" ujar 

Riska lebih bersemangat dan menggebu-gebu.


Parmin yang mendengar semua itu tersenyum 

bangga dalam hati. Andai kata para pendekar di selu-

ruh nusantara tercinta ini memiliki semangat seperti si 

Tiga Melati ini niscaya penjajah Kumpeni Belanda akan 

musnah dari bumi pertiwi!

"Nah sekarang kembalilah kalian ke desa! Hin-

dari bentrokan dengan para begundal Ki Subeni! Lak-

sanakan tugas mulia ini, semoga Tuhan bersama kita!" 

ujar Parmin pelan namun berwibawa.

Si Tiga Melati dengan langkah pasti meninggal-

kan Parmin yang memandangi mereka dengan rasa 

kagum. Tak lama kemudian ketiga gadis kembar itu 

menghilang di balik bukit.

Matahari telah membuat bayangan-bayangan 

memanjang, angin pun berhembus sepoi-sepoi mener-

pa dedaunan membuat daun-daun kering berjatuhan 

dan tunas-tunas baru tumbuh menggantikan. Burung-

burung dengan kicauan-kicauan merdu saling bersa-

hut-sahutan kembali ke sarangnya masing-masing.

Tinggallah Parmin seorang diri di dalam goa. 

Namun tak lama kemudian ia pun meninggalkan tem-

pat itu. Parmin terus berjalan melewati bukit bebatuan 

untuk mencari tempat yang aman guna penyembuhan 

lukanya. Di tengah perjalanannya itu Parmin menden-

gar suara yang khas dimiliki sahabatnya, si Beo yang 

tiba-tiba tampak datang dengan terbang rendah dan 

kemudian hinggap di pundak Parmin sebelah kiri den-

gan lunaknya.

"Hm... aku sudah cemas kehilangan kau, Beo!" 

ujar Parmin tersenyum gembira dan disambut oleh si 

Beo dengan mengibaskan sayapnya yang sebelah ka-

nan mengusap pipi Parmin.

"Kau tentu lapar, Beo! Nah mari kita cari tem-

pat istirahat sambil mencari makanan!" lanjut Parmin


sambil mengelus kepala si Beo dan si Beo pun meme-

jamkan matanya dengan manja.

Kita tinggalkan dahulu Parmin dan sahabatnya 

yang setia dan selalu menemaninya dalam suka dan 

duka itu.

Di suatu senja dengan anginnya yang semilir 

membuat awan tipis di udara bergerak berarak-arak 

dan pohon-pohon yang tumbuh dengan daun-daunnya 

yang lebat dan rindang bergoyang-goyang sehingga 

menimbulkan gerak bagai seorang penari yang lemah 

gemulai dan meliuk-liuk.

Di suatu tempat, di antara rumah-rumah pen-

duduk Desa Cilumus terlihat dara manis yang mena-

makan dirinya 'si Tiga Melati' sedang berteriak-teriak 

keras penuh semangat.

"Haayooo! Haayooo!! Kalian semua keluar, ke-

luar! Kami ingin bicara!" teriak si tiga dara cantik itu 

bersama-sama dengan penuh semangat, sehingga sua-

ranya berkumandang ke segenap pelosok desa.

Mendengar suara teriakan-teriakan itu semua 

penghuni rumah ke luar memenuhi halamannya mas-

ing-masing sehingga dalam sekejap mereka sudah ber-

kumpul.

"Heii, ayo berkumpul semua! Jangan berdiam 

diri saja! Dengarlah baik-baik! Kalian selama ini mem-

biarkan seseorang yang berkedok Kiyai, tetapi ternyata 

melakukan praktek-praktek mesum!" ujar Riska ber-

semangat dengan suara lantang untuk membakar hati 

penduduk Desa Cilumus.

Mereka semua yang mendengar menjadi heran 

tercengang-cengang. Tiga orang dara muda belia begitu 

beraninya dan dengan terang-terangan menyinggung 

seseorang yang selama ini mereka segani dan paling 

mereka takuti di Desa Cilumus ini. Pada sore hari ini


mereka menyaksikan sendiri dengan mata kepala me-

reka masing-masing bagaimana tiga dara manis den-

gan semangat menggebu menentang dan mencaci maki 

orang tersebut.

Dengan semangat yang berapi-api si Tiga Melati 

terus membakar semangat penduduk Cilumus yang 

mulai tergugah dan menyadari diri.

"Setiap muslim tentu merasa tercoreng oleh 

tindakan semena-mena dan menginjak-injak kesucian 

agama Islam!" teriak Risma sambil mengangkat tan-

gannya tinggi-tinggi mengepal.

"Orang itu berlagak sebagai Kiyai alim, tetapi 

sesungguhnya adalah iblis yang paling murtad!!!" sam-

bung Rani tak kalah keras dengan mata berbinar-

binar.

"Sudah berapa banyak anak perawan yang di-

nodai? Apakah kalian akan terus membiarkan begitu 

saja? Apakah kalian merasa takut dengan kekuatan 

sihir Ki Subeni?! Cuiih!! Mari kita angkat senjata! Kita 

enyahkan iblis itu!!!" ujar Riska bersemangat sambil 

mengacungkan goloknya ke atas. Maka dengan cepat 

penduduk yang berada di situ berteriak menyambut 

himbauan si Tiga Melati.

"Betul! Ayo, kita serbu!!!" teriak seseorang den-

gan penuh semangat.

"Hancurkan Kiyai cabul itu.!!" ujar si kumis me-

lintang sambil menguak kerumunan dan maju ke de-

pan sehingga si Tiga Melati melihat dengan jelas.

"Kepruk saja kepalanya, kita jadikan perke-

del!!!" seru orang yang brewok sambil melemparkan go-

loknya ke udara dan disambutnya kembali goloknya 

itu dengan sigap sehingga seketika tepuk tangan ber-

gemuruh dari mereka yang menyaksikan demonstrasi 

tersebut.


"Sudah tiba saatnya kita menumpas Kiyai iblis 

itu!!!" teriak seorang wanita muda dengan suara me-

lengking dan wajahnya menjadi merah padam mena-

han amarah yang sudah sekian lama terpendam. 

Agaknya mungkin ia merupakan salah seorang korban 

Kiyai Subeni juga.

"Tuummpaass!! Serbuuuu!! Ganyaaanngg!!" te-

riak mereka bersahut-sahutan sehingga suasana di 

tempat tersebut hiruk pikuk tak menentu, membuat si 

Tiga Melati menjadi kerepotan mengaturnya.

"Tenang saudara-saudara!! Teenaangg!!!" teriak 

si Tiga Melati hampir bersamaan dengan suara keras 

sekali sambil memberi aba-aba dengan tangannya su-

paya penduduk tenang. Dengan seketika suara yang 

hiruk pikuk tersebut menjadi berhenti dan mereka 

memperhatikan si Tiga Melati berbicara.

"Tenang saudara-saudara! Belum tiba saatnya 

bagi kita untuk menyerang! Tunggulah dalam beberapa 

hari ini! Bila pendekar kita Jaka Sembung telah mem-

beri komando untuk menyerang baru kita menyerang!! 

Janganlah kalian bertindak sendiri-sendiri! Ingatlah 

bersatu kita teguh bercerai kita runtuh!!!" ujar Riska 

lantang memperingatkan penduduk yang kini telah 

terbakar semangatnya.

Setelah memberikan petunjuk kapan saat me-

mulai pergerakan, si Tiga Melati segera meninggalkan 

tempat tersebut untuk menemui Parmin di tempat 

yang telah ditentukan.

Di suatu tempat dengan pekarangannya yang 

luas terlihat beberapa orang sedang berjaga-jaga di se-

kitar bangunan yang cukup besar sambil berbincang-

bincang menikmati kopi hangat yang telah tersedia.

Udara di sore hari itu cukup sejuk dengan an-

gin bertiup kencang dan awan di udara bergumpal


gumpal kehitaman pertanda hujan akan segera turun 

dan guntur yang bergemuruh memecahkan kesunyian 

menjelang malam yang sebentar lagi tiba.

Para begundal Ki Subeni dengan asyiknya me-

nikmati kopi hangat sambil bermain kartu domino di 

teras rumah tersebut dengan tertawa-tawa. Wajah-

wajah mereka menyeramkan dan bengis dengan mata 

yang berbinar-binar.

"Ayo Kupret! Angkat kakimu dari sini, uangmu 

sudah habis!" ujar si Brewok dengan bibir mencibir 

mengejek.

"Sialan! Lagi-lagi aku sial!!!" sentak Kupret kes-

al sambil berdiri dan membanting kartu yang dipe-

gangnya ke atas meja dan berlalu diiringi gelak tawa 

teman-temannya.

Suasana di luar rumah tersebut sangat kontras 

dengan keadaan di ruangan dalam di mana dua sosok 

manusia sedang berhadap-hadapan dengan ketegan-

gan masing-masing.

"Rokhimah! Duduknya jangan jauh-jauh, sua-

ramu tidak kedengaran!" perintah Ki Subeni dengan 

sorot mata tajam memandangi muridnya yang sedang 

membaca ayat suci Al Qur'an.

"Pak Kiyai hari sudah malam dan hujan pun 

segera turun! Bolehkan saya pulang?" tanya Rokhimah 

sambil membetulkan kerudungnya hingga menutupi 

sebagian dahinya. 

"Tidak Rokhimah! Kamu jangan takut, setelah 

selesai kau boleh pulang dan nanti kau diantar oleh 

orang-orangku!" ujar Ki Subeni sambil menggeser du-

duknya lebih dekat dengan sorot mata tetap meman-

dang wajah Rokhimah yang menjadi gemetar dan ke-

ringat dingin telah membasahi sekujur tubuhnya.

"Te... ta... pi... biarlah dilanjutkan besok sore


saja, Kiyai!" sanggahnya pelan hampir tak terdengar 

karena menahan takut yang amat sangat melihat guru 

ngajinya kian mendekati dirinya dengan sorot mata 

yang mengeluarkan sinar menembus lubuk hatinya.

"Rokhimah...! Rokhimah! Pandanglah ke mari, 

Anak manis!!" ujar Ki Subeni pelan namun berwibawa 

dengan napas yang memburu dan tangannya telah 

membelai pundak Rokhimah.

"Ja... jang..an, Kiyai!!" sergah Rokhimah terpu-

tus-putus dan tanpa sadar memandang mata Kiyai 

Subeni yang mengandung magnit itu, dan seketika tu-

buhnya menjadi lemas tak berdaya. Kemudian tangan 

jahil itu mulai beraksi melepas helai demi helai busana 

yang melekat di tubuh Rokhimah yang telah terhipno-

tis.

Binatang-binatang malam tidak ada yang bera-

ni keluar, semuanya berlindung di sarangnya masing-

masing hanya suara katak yang bersahut-sahutan 

seakan-akan memanggil hujan agar segera turun. Sua-

ra katak tersebut membuat irama magis bertalu-talu 

dan tak lama kemudian hujan rintik-rintik turun 

membasahi bumi, dedaunan serta tanah yang dengan 

seketika menjadi basah tergenang air hujan dan mem-

buat suara katak yang berirama itu berhenti selanjut-

nya berganti suara hujan dengan irama tersendiri.

Udara pun bertambah dingin dan para begun-

dal Ki Subeni yang sedang tertawa-tawa sambil ber-

main domino seakan-akan mengiringi sang iblis yang 

telah merasuki jiwa Kiyai Subeni untuk merusak ak-

hlak manusia yang kurang imannya dan udara yang 

dingin itu justru menambah gejolak di dalam tubuh 

manusia yang telah dirasuki nafsu iblis tersebut.

Demikian yang terjadi diri Kiyai Subeni yang te-

lah lupa akan dirinya dan nafsu setannya yang telah


terlaksana merenggut mahkota yang termahal dari seo-

rang gadis remaja. Hujan yang rintik-rintik seakan-

akan tak mau reda mengiringi tangis terisak dari seo-

rang gadis yang bernama Rokhimah, namun apa daya 

ia hanyalah makhluk lemah tak berdaya.

Waktu terus berputar membawa irama kehidu-

pan di Desa Cilumus dan sekitarnya. Parmin dengan 

sahabatnya, si Burung Beo, berjalan dengan tenang 

menyelusuri bukit-bukit kecil yang terdapat di Desa 

Cilumus sebelah Timur guna mencari tempat yang 

aman untuk mengobati dirinya sendiri yang terkena 

pukulan dari Kiyai Subeni.

Parmin mendapatkan sebuah pohon besar den-

gan daun-daunnya yang tumbuh lebat dan ranting-

ranting yang menjuntai menambah rindangnya pohon 

itu. Ia segera bersila di bawahnya dengan posisi tangan 

berada di kedua belah pahanya dan matanya terpejam 

memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Wahyu Taqwa' 

suatu ilmu yang amat dahsyat dari jurus silat Gunung 

Sembung yang diajarkan oleh gurunya yang pertama 

Ki Sapu Angin, tetapi kali ini Parmin mempergunakan-

nya tidak untuk bertempur melawan musuh, melain-

kan untuk menyembuhkan luka dalamnya.

Parmin menyalurkan hawa murni dari bawah 

perutnya dan seketika uap putih mengepul dari ubun-

ubunnya yang jelas terlihat di bawah sinar rembulan 

yang masuk di sela-sela dedaunan dan dada Parmin 

turun naik mengatur pernafasannya.

Malam pun merambat perlahan namun pasti, 

rembulan yang bersinar kini kian condong ke Barat 

membuat bayangan-bayangan memanjang dan tubuh 

Parmin tetap pada posisinya semula. Binatang-

binatang malam telah kembali ke sarangnya dan rem-

bulan pun telah hilang di balik bukit.


Sinar mentari pagi telah tersembul dari ufuk 

Timur dan semburat dengan sinar emasnya menerangi 

ke seluruh mayapada ini.

Burung-burung bernyanyi bersenda gurau be-

terbangan kian ke mari serta ayam jantan yang berko-

kok saling bersahut-sahutan menambah suasana men-

jadi terasa bergairah dalam menyongsong datangnya 

hari baru.

Sinar matahari pagi menembus dari sela-sela 

dedaunan menyinari wajah Parmin dan seketika mem-

buka matanya sambil menghela napas dalam-dalam 

menghirup udara pagi yang menyegarkan.

Embun pagi telah menguap dan Parmin segera 

meninggalkan tempat tersebut dengan keadaan tu-

buhnya yang segar bugar setelah ia bersemadi sema-

lam suntuk. Langkahnya yang pasti menyelusuri te-

pian sungai itu dengan tujuan kembali ke pesantren 

milik Kiyai Subeni.

Parmin berjalan sambil menikmati keindahan 

alam di sekitarnya sementara di dekatnya air sungai 

mengalir dengan tenangnya. Parmin terus mengayun-

kan langkahnya, akan tetapi segera berhenti karena 

naluri kependekarannya mengatakan ada sesuatu yang 

tak beres berada di sekitarnya. Setelah mengamati 

keadaan sekitarnya dengan sorot matanya yang tajam 

sambil mengerahkan ilmu 'Menyatukan Sukma' ia me-

langkah dengan penuh kewaspadaan. 

Baru saja Parmin melangkahkan kakinya, tiba-

tiba tanah yang di hadapannya meledak seketika se-

perti terkena dinamit dan dengan segera Parmin ber-

salto beberapa kali ke belakang.

"Bush! Bush!"

Suara itu menggelegar memecahkan suasana di 

pagi hari membuat burung-burung beterbangan dan


tanah yang terkena benda tersebut menjadi berlubang 

dan debu-debu pun beterbangan ke sana ke mari. 

Dengan cekatan Parmin menghindari setiap serangan 

yang mengarah ke tubuhnya dan setiap kali benda itu 

mengenai tempat kosong.

Senjata yang menyerang Parmin itu ternyata 

berbentuk bundar seperti bola terbuat dari logam ke-

ras berduri runcing-runcing dan dikendalikan oleh 

rantai yang kuat dan panjang sehingga desiran angin 

yang ditimbulkan sangat kuat dan kencang membuat 

daun-daun kering beterbangan dan berguguran terke-

na hempasan anginnya. 

Parmin baru ingat akan benda yang menye-

rangnya yang tak lain adalah kepunyaan seorang dari 

negeri Hindustan yang bernama Goga Khan dengan il-

mu silat tinggi dan pernah bertarung dengannya bebe-

rapa bulan yang lalu, ketika Parmin dalam perjalanan 

menuju Desa Cilumus. Ketika itu Goga Khan terkena 

golok pendek Parmin yang menggores kulit batok kepa-

lanya dan Goga Khan berjanji akan kembali mencari 

Parmin untuk membalas kematian kakaknya.

Kini kembali Parmin menghadapi senjata yang 

dahsyat itu dan dimainkan dengan sangat terampil 

dan cekatan oleh orang yang berilmu silat tinggi den-

gan tenaga dalam yang sudah sempurna tingkatnya. 

Namun dengan ketenangan yang dimilikinya dan ilmu 

silat Gunung Sembung yang sudah menjadi darah da-

gingnya, ia hadapi senjata maut Goga Khan dengan te-

nangnya.

Sementara itu suara berisik pertarungan telah 

membuat makhluk penghuni sungai mulai bermuncu-

lan. Belasan ekor buaya mengangakan moncongnya 

siap melahap mangsa yang terjerumus ke dalam air.

Tiba-tiba tubuh Parmin meletik ke udara


menghindari senjata maut itu dan kemudian dengan 

gerakan yang sangat ringan seperti kapas, tubuhnya 

membuat gerakan bersalto beberapa kali dan ia meng-

gunakan punggung buaya-buaya itu sebagai jembatan 

penyeberangan.

Akibatnya adalah... 

"Crot! Crot!"

Suara batok kepala buaya yang pecah terkena 

senjata maut itu dan darah pun segera mewarnai air 

sungai. Terhindarlah Parmin dari serangan tersebut, 

sebaliknya bagi buaya-buaya yang terluka dan berda-

rah mengundang teman-temannya yang kelaparan dan 

dengan seketika tubuh kawannya yang sudah tak ber-

daya lagi menjadi bahan rebutan untuk dimangsa dan 

air pun berubah menjadi merah berbuih-buih dengan 

gejolak air yang bergulung-gulung menandai pesta po-

ra binatang yang ganas itu.

Tubuh Parmin yang masih melayang di udara 

terus dikejar oleh senjata yang dahsyat itu yang bagai-

kan mempunyai mata mengikuti ke mana Parmin ber-

gerak dan selalu senjata itu mengenai tempat kosong 

membuat orang yang menyerangnya menjadi semakin 

marah.

Parmin dengan gesit terus menghindar dengan 

penuh perhitungan. Gulungan-gulungan sinar dari pu-

taran senjata maut itu terus mengurung tubuh Parmin 

hingga Parmin menjadi terdesak, tetapi dengan ilmu si-

lat tinggi yang diwariskan oleh gurunya, Ki Sapu Angin 

sampai saat ini nyawanya masih selamat dan tubuh-

nya meletik ke sana ke mari bagaikan seekor udang 

menerobos celah-celah sinar tersebut.

Baru saja kakinya menyentuh tepi kali, kembali 

bola logam berduri itu menyerangnya bertubi-tubi dan 

tubuh Parmin terpaksa kembali melompat tinggi sam


bil menyabetkan tongkat besi beraninya. 

"Trang!"

Suara keras yang ditimbulkan oleh beradunya 

dua senjata yang telah diisi dengan tenaga dalam itu 

sehingga menimbulkan bunga-bunga api disusul den-

gan melayangnya tubuh Parmin ke belakang sambil 

bersalto dua kali dan mendarat dengan ringan pada 

sebuah batu besar dengan mantapnya. Sedangkan 

senjata berduri itu terpental kembali menuju ke arah 

sang pemilik, dengan cepat mengarah batang leher 

tuannya tanpa terkendali.

"Siing!"

Senjata maut itu bagaikan anak panah terlepas 

dari busur mengancam nyawanya. Tetapi dengan keje-

lian matanya Goga Khan dengan cepat menundukkan 

kepalanya sehingga senjata mautnya lewat di atas ke-

palanya sendiri dan menghantam pohon besar sampai 

terporak poranda.

Dua puluh jurus, tiga puluh jurus hingga lima 

puluh jurus pertempuran itu terlihat masih seimbang 

walau telah mengerahkan seluruh kemampuan mas-

ing-masing untuk saling menjatuhkan. Desiran angin 

yang ditimbulkan oleh senjata maut Goga Khan mem-

buat daun-daun kering serta debu-debu beterbangan 

menutupi pandangan mata Parmin.

Parmin alias Jaka Sembung sambil berkelit 

memutar tongkatnya dengan cepat sehingga tubuhnya 

terlindung dari serangan tersebut. Akan tetapi senjata 

maut itu terus mencecar tubuhnya di sela-sela gulun-

gan debu yang menutupi pandangan dengan dahsyat-

nya membuat Parmin pontang panting.

"Ha.... ha.., ha... ha...ha! Kali ini kau takkan bi-

sa menghindari sapu jagatku, Gembel busuk!!!" bentak 

Goga Khan keras dengan senyum sinis sambil memu


tar senjatanya lebih cepat sehingga menimbulkan sua-

ra angin ribut membuat ranting dan debu serta daun-

daun kering beterbangan bagai diserang oleh angin be-

liung.

"Dibandingkan dengan beberapa waktu yang la-

lu senjata maut ini sekarang lebih dahsyat lagi keam-

puhannya! Angin sambarannya menimbulkan hawa 

dingin dan panas!" gumam Parmin kagum dengan so-

rot mata tajam mengikuti ke mana arah bola logam 

berduri itu bergerak.

"Hiiyaaat!!" teriak Parmin keras sambil melom-

pat tinggi menghindari senjata maut itu yang menga-

rah ke perutnya sambil bersalto beberapa kali dan 

mendarat tepat, tanpa disadari di pinggir batu cadas 

dan di bawahnya telah siap menanti moncong-

moncong buaya yang kelaparan.

"Ha... ha... ha...! Mau lari ke mana kau, Tikus 

busuk?" Terdengar bentakan keras Goga Khan dengan 

bibir mencibir sinis melihat lawannya berdiri di mulut 

jurang dan dengan cepat sekali memutar senjatanya 

mengurung Parmin. Hawa panas dan dingin yang di-

timbulkan senjata tersebut membuat Parmin segera 

mengeluarkan jurus andalannya.

"Senjata mu memang aneh dalam dunia persila-

tan! Tetapi janganlah kau tertawa dulu, Sobat!" gumam 

Parmin dalam hati sambil memasang kuda-kuda dan 

memusatkan konsentrasinya membuat jurus andalan-

nya dari ilmu silat Gunung Sembung yang dinamakan 

jurus 'Wahyu Taqwa', jurus pilihan antara hidup dan 

mati.

"Bismillah...!" Tubuh Parmin berkelebat me-

nembus lingkaran berduri yang amat dahsyat itu lang-

sung mengancam batok kepala yang botak dari pende-

kar Hindustan itu. Dengan gerakan cepat bagaikan


anak panah melesat dari busur, tubuh Parmin telah 

berada tepat di atas kepala Goga Khan yang tak men-

duga akan datang serangan yang demikian cepatnya. 

Sedetik kemudian golok pendek Parmin yang tajamnya 

seperti pisau cukur itu membelah batok kepala bela-

kang Goga Khan.

"Sret!"

"Ach!!" Suara tertahan yang keluar dari mulut 

Goga Khan dengan luka di kepala dan darah serta 

otaknya keluar membasahi punggungnya sehingga da-

rah yang terburai itu mengguyur tubuhnya dan Goga 

Khan menjadi bergoyang tak sanggup menguasai ke-

seimbangan tubuhnya. Parmin sambil bersalto bebera-

pa kali dengan ujung tongkat besi beraninya menyon-

tek senjata Goga Khan yang sedang meluncur tak ter-

kendali itu. 

"Tring!"

Ujung tongkat Parmin menghantam senjata 

maut Goga Khan dan kini arahnya menuju tubuh Goga 

Khan yang sedang menahan sakit luar biasa dengan 

kedua tangannya menutupi luka yang terus mengelua-

rkan darah segar. Senjata mautnya yang diterpa ujung 

tongkat Parmin itu tepat mengenai perutnya dan tu-

buhnya terpental jauh ke tengah kali dengan isi perut 

berhamburan keluar dan tubuh Goga Khan langsung 

disambut oleh moncong-moncong buaya yang ganas 

dan kelaparan.

"Byuur!"

Tubuh Goga Khan tercebur di air kali dan per-

cikan-percikan air kali tersebut seketika berwarna me-

rah akibat darah luka Goga Khan yang segera men-

gundang penghuni sungai yang sudah siap menunggu. 

Pekikan tertahan itu se-kejap mata lenyap bersama 

dengan gemeretaknya taring-taring tajam yang berpu


luh-puluh jumlahnya merobek-robek tubuh Goga Khan 

yang tinggi besar tanpa mengenai ampun sehingga air 

pun berubah menjadi merah.

Dari atas sebuah batu besar Parmin memper-

hatikan tubuh Goga Khan yang lenyap dalam gumulan 

binatang reptil yang mengerikan itu.

"Akhirnya kau menyusul adikmu dengan kema-

tian yang sama!" gumam Parmin dalam hati dan ia te-

ringat kembali beberapa tahun yang lalu, di sebuah 

tempat di mana Parmin pernah bentrok dengan adik-

nya Goga Khan, dan adiknya pun mati dengan cara 

yang dialami kakaknya.


LIMA



Sementara itu si Tiga Melati sedang berlari-lari 

di tengah-tengah dataran luas berbatu dalam udara 

yang cukup panas sehingga peluh di dahi mereka ter-

lihat jelas berbutir-butir dan sekali-sekali mereka ha-

pus dengan telapak tangan agar pandangannya tidak 

terganggu.

Pada sebuah tikungan mereka dihadang oleh 

dua orang yang berwajah seram dan bengis dengan 

mata yang memancarkan nafsu membunuh. Si Tiga 

Melati memperlambat larinya dan berhenti di hadapan 

dua orang tersebut dengan pandangan penuh kewas-

padaan.

"Berhenti!! katakan di mana kau sembunyikan 

pendekar Sembung itu, hah?!" bentak salah seorang 

dari mereka yang bertampang seram dengan codet se-

panjang jari tengah di sebelah pipi kiri dan memiliki 

ekspresi wajah yang sangat kaku sehingga di waktu bi


cara bibirnya seperti tidak bergerak.

Si Tiga Melati mendengar pendekar kesayan-

gannya dicari orang tersebut dengan serta merta me-

nyerang mereka.

"Kau pasti anjing-anjingnya Ki Subeni!! Rasa-

kan ini! Hiiyaatt...!!" teriak Riska sambil menghunus 

pedangnya dan diikuti adik-adiknya, Risma dan Rani, 

yang secara serempak mencabut pedangnya dan me-

nyerang teman si Codet.

Pedang Riska lurus ke depan mengarah batang 

leher si Codet dengan gerakan cepat sekali, tetapi si 

Codet dengan gesit miringkan tubuhnya ke samping 

dan loloslah serangan pedang Riska. Sementara itu 

sambil menjatuhkan dirinya si Codet memberi sebuah 

tendangan keras dengan kaki kirinya ke arah lambung 

sebelah kanan Riska, namun dengan jeli Riska melihat 

gerakan kaki si Codet itu.

"Duk!"

Telapak kaki mereka berbenturan dengan keras 

membuat tubuh Riska melayang ke atas sedangkan 

tubuh si Codet berguling-guling di tanah merasakan 

kesemutan di sekitar kakinya akibat benturan itu. 

Akan tetapi belum sempat ia berdiri tiba-tiba tubuh 

Riska berbalik dan menukik cepat bagaikan seekor bu-

rung Rajawali menerkam anak ayam. Pedang Riska lu-

rus ke depan mengarah tubuh si Codet yang terus ber-

gulingan berusaha menghindari setiap tusukan ujung 

pedang Riska, dan pada kesempatan yang baik si Co-

det menyabetkan goloknya menangkis pedang lawan-

nya. 

"Triing!"

Suara beradunya senjata mereka menimbulkan 

bunga-bunga api. Tubuh Riska terpental ke belakang 

sambil mengusap telapak tangannya yang panas aki


bat benturan itu. Untunglah tidak membuat pedang-

nya terlepas. Kesempatan yang sekejap itu diperguna-

kan si Codet untuk berdiri mengatur pernapasan.

Sementara itu dua adik kandungnya, Risma 

dan Rani yang di bawah ilmu silat kakaknya bahu 

membahu menyerang teman si Codet yang setingkat 

lebih atas dari pada ilmu silat mereka berdua. Namun 

dengan semangat yang berapi-api mereka berdua ma-

sih sanggup melayani serangan kawan si Codet yang 

menamakan dirinya 'Kudro Pencabut Nyawa'.

Risma dan Rani dengan mengandalkan kegesi-

tan dan kelincahannya terus jumpalitan ke sana ke 

mari menghindari serangan golok yang dilancarkan 

dengan bertubi-tubi oleh Kudro Pencabut Nyawa se-

hingga tubuh mereka seperti gulungan-gulungan sinar 

yang saling berkelebat di sekitar lawannya.

Pertarungan Riska dan si Codet telah memasu-

ki jurus yang kedua puluh lima. Namun sampai detik 

ini belum ada tanda-tanda di antara mereka yang ka-

lah. Baju mereka telah basah dengan peluh. Riska 

dengan semangatnya yang berapi-api serta kelincahan 

yang dimilikinya terus mendesak si Codet dengan pe-

dangnya mengarah ke titik kematian di tubuh si Codet.

Memasuki jurus yang ketiga puluh, tiba-tiba 

Riska membuat gerakan pedang berputar seperti mata 

bor mengarah biji mata si Codet dan tangan kirinya 

mengancam batang lehernya, namun dengan cekatan 

si Codet menggeser kakinya ke samping. Ternyata pe-

dang Riska yang mengarah biji mata si Codet hanyalah 

tipuan belaka dan dengan cepat sekali pedangnya tiba-

tiba berputar arah dan dengan suatu sabetan kilat pe-

dangnya berhasil merobek perut si Codet.

"Ach!" Terdengar jeritan si Codet sambil mende-

kap lukanya dengan kedua belah tangan menahan isi


perutnya yang akan berhamburan ke luar, maka seke-

tika melayanglah nyawa si Codet dengan bersimbah 

darah.

Sementara itu adik kandungnya Risma dan Ra-

ni bertarung dengan mati-matian mempertahankan 

nyawanya yang terancam oleh sabetan dan tusukan 

golok si Kudro Pencabut Nyawa. Akan tetapi dengan 

gesit dan cekatan kedua kakak beradik itu selalu dapat 

menghindari serangan maut itu. Tiba-tiba si Kudro 

Pencabut Nyawa mengangkat tinggi-tinggi goloknya 

dan menyabet-nyabetkan ke udara sehingga menim-

bulkan suara angin yang menderu-deru membuat de-

bu-debu beterbangan dan menghalangi pandangan 

mata Risma dan Rani yang mendadak menjadi terde-

sak. Detik berikutnya dengan cepat tubuh Kudro me-

layang dengan golok mengancam. 

"Ciiyaaat...!!" teriak Kudro Pencabut Nyawa 

dengan keras tubuhnya melayang ke arah musuhnya 

yang sudah tak berdaya itu. Namun sedetik sebelum 

goloknya menghunjam sasarannya, tiba-tiba berkele-

bat bayangan orang lain dari arah belakang. 

"Seet!"

Sebuah pedang dengan cepat menghantam ba-

tang leher si Kudro dan seketika tubuhnya terhenti di 

udara dan kemudian jatuh berdebam ke tanah dengan 

kepala terpisah dari tubuhnya serta nyawa melayang 

entah ke mana. Kiranya yang melakukan itu adalah 

Riska. Setelah membersihkan pedangnya dan mema-

sukkannya kembali ke dalam sarungnya, ia mengham-

piri adik-adiknya untuk segera meninggalkan tempat 

tersebut guna menemui Parmin di tempat yang telah 

dijanjikan.

Sang waktu serasa berputar dengan cepatnya 

tanpa kita sadari dan senja pun telah datang dengan


bayangan-bayangan memanjang. Pada suatu tempat 

terlihat empat orang sedang menyusun rencana, mere-

ka tak lain adalah Parmin dan si Tiga Melati. Setelah 

selesai dengan semua rencana, lalu mereka berpisah.

Hari Jum'at telah datang dan mulai hari itu 

Kiyai Subeni lebih tekun mengajar pembacaan Al 

Qur'an kepada Zaitun, sementara teman-teman Zaitun 

telah pulang semuanya, Zaitun mulai Jum'at itu diha-

ruskan menerima pelajaran tambahan.

Di ruang dalam terlihat Kiyai Subeni sedang 

bersila dan di hadapannya duduk Zaitun yang sedang 

mengaji. Ruangan itu hanya diterangi oleh tiga buah 

pelita yang ditaruh di dinding.

"Zaitun suaramu usahakan lebih keras lagi 

agar terdengar!" ujar Kiyai Subeni dengan suara yang 

berwibawa dan sorot matanya tajam menembus lubuk 

hati Zaitun.

"Pak Kiyai... hari sudah petang. Bolehkah saya 

pulang untuk sembahyang maghrib?" tanya Zaitun pe-

lan hampir tak terdengar dengan kepala tertunduk.

"Orang menuntut ilmu tak boleh mengenal 

waktu! Berilmu adalah bekal untuk beramal! Kalau 

kau hendak sholat maghrib, kau kerjakan di sini saja, 

apa salahnya? Orang tuamu telah memberi keper-

cayaan kepadaku untuk membimbingmu menjadi seo-

rang gadis yang alim dan saleh!"

"Tetapi... biarlah saya lanjutkan besok sore saja 

Ki Subeni" sergah Zaitun dengan suara gemetar.

"Zaitun... Zaitun! Pandanglah aku, anak manis 

Ki Subeni" ujar Ki Subeni berdecak sambil mendekati 

Zaitun. 

"Jangan, Ki! Jangan...!" sergah Zaitun namun 

tiba-tiba tanpa disadari tangannya melempar kerudung 

penutup kepalanya dan memejamkan mata. Bersa


maan dengan tangan Ki Subeni yang mulai meraba 

leher Zaitun serta membuka kancing-kancing ke-

bayanya, dua buah lampu pelita padam seketika se-

hingga menambah ketegangan di ruangan tersebut.

Sementara itu di tempat lain terlihat si Tiga Me-

lati sedang mengumpulkan penduduk Cilumus dengan 

berteriak-teriak keras sekali,

"Haayoo! Haayoo...! Kalian, ke luar semua!!" te-

riak mereka bertiga bersamaan dengan lantang.

Penduduk yang mendengar suara itu lalu ber-

duyun-duyun ke luar dan berkumpul di halaman yang 

sangat luas.

"Ayo berkumpul semua! Hari ini tiba saatnya 

kita angkat senjata! Kita enyahkan iblis laknat itu 

sampai ke akar-akarnya!" teriak Riska bersemangat 

membakar jiwa penduduk Cilumus.

"Hayooo! Kita serbu beramai-ramai! Kita basmi 

iblis itu!" teriak Risma dan Rani bersama-sama dengan 

berapi-api dan disambut dengan gegap gempita oleh 

penduduk kampung Cilumus.

"Hancurkan...! Ayo kita serbu!! Kepruk saja!! 

Tumpaass!! Serrbuuuu!" Suara penduduk Cilumus 

bersahut-sahutan memecahkan suasana malam yang 

telah tiba. 

Berpuluh-puluh bahkan ratusan penduduk Ci-

lumus tergerak mendengar teriakan-teriakan yang ge-

gap gempita. Dengan senjata-senjata terhunus yang 

beraneka ragam, ada yang membawa cangkul, arit, go-

lok, beliung dan tak ketinggalan beberapa obor yang 

mereka bawa sebagai alat penerang.

"Allahhu Akbar!! Allahu Akbar!!!" suara pendu-

duk Cilumus bersemangat bergemuruh ke udara men-

gikuti si Tiga Melati menuju pesantren Ki Subeni.

Tiba-tiba di tengah perjalanan, di sebuah data


ran luas mereka dihadang oleh tujuh sosok tubuh 

dengan wajah seram dan bengis yang keluar dari balik 

bebatuan besar.

"Haaiiit...!! kalian mau mampus semua?!" ben-

tak seseorang dari mereka dengan bengis sambil 

menghunus pedangnya.

"Grrrt...!! Jika kalian tidak ingin tertumpas 

sampai ke anak beranak, jangan coba-coba melang-

kahkan kaki setapak lagi pun!" hardik seorang dari 

mereka yang bertubuh jangkung dan kekar dengan 

bertelanjang dada. Ia dijuluki si 'Raksasa Penyebar 

Maut'.

Ketujuh orang yang bertampang sangat menge-

rikan itu sudah terkenal sebagai tukang pukul Kiyai 

Subeni untuk membungkam orang-orang penduduk 

Desa Cilumus yang coba-coba menentangnya dan tak 

segan-segan untuk menghabisi nyawanya pula.

"Demi kesucian agama Islam dan keagungan 

Tuhan! Seerrbuuu!!" teriak Riska keras sekali mem-

bangkitkan semangat penduduk Cilumus dan tubuh-

nya menerjang si raksasa dengan sabetan-sabetan 

yang mematikan ke arah lawannya demikian pula yang 

dilakukan adik-adiknya Risma dan Rani serta pendu-

duk Cilumus.

"Allahh... hu Akbar!! Allaaa... hh... hu Akbar!!" 

pekik histeris berkumandang saling sahut-sahutan 

memecahkan kesunyian malam di Desa Cilumus yang 

sedang berontak dan dalam sekejap kemudian terjadi-

lah pertempuran massal yang gegap gempita,

Ki Burik dengan tangan mautnya yang men-

gandung tenaga dalam menyambar orang-orang yang 

mendekatinya dan terdengar suara tertahan dengan 

batok kepala remuk serta dada yang berlubang. Sudah 

belasan orang yang mati di tangan Ki Burik ini. Sedang


si raksasa dengan gada mautnya yang amat dahsyat 

itu menghantam orang-orang yang menyerangnya. Tu-

buh Riska dengan ringannya berkelit menghindari se-

rangan si raksasa itu sehingga yang menjadi sasaranya 

adalah penduduk Cilumus. Jerit tangis serta pekik 

kematian dari penduduk Cilimus serta darah yang ter-

burai tak membuat yang masih hidup menjadi gentar, 

bahkan semakin bersemangat dan maju menggantikan 

kawannya yang gugur tanpa merasa takut sambil ber-

teriak histeris membangkitkan semangat kawan-

kawannya dengan senjata terhunus.

Sementara itu suasana ketegangan sedang ber-

langsung di dalam pesantren Ki Subeni, di mana kini 

Zaitun sudah rebah terpaku dengan pasrah dan semua 

busananya telah terlepas dan tinggallah tubuh bugil di 

bawah tatapan mata serigala yang lapar berteteskan 

air liur melihat sang calon korban yang sudah tak ber-

daya.

"Ja... jang... ngan Ki...!" suara Zaitun lirih me-

melas sambil mendekap buah dadanya yang baru 

tumbuh mengkal. Tangan Ki Subeni telah mengge-

rayangi sekujur tubuh gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba 

dinding bilik di belakang Ki Subeni jebol dan muncul-

lah sesosok tubuh yang tak lain si Jaka Sembung.

"Braak!!"

"Subeni! Hentikan perbuatan maksiat mu itu!!" 

bentak Parmin keras sambil melancarkan serangan ke 

arah pinggang Ki Subeni dengan tendangan yang amat 

keras sebelum Ki Subeni sempat membalikkan tubuh-

nya.

"Yaaatt...!!"

"Buk!!"

Tubuh Ki Subeni terpental beberapa depa 

menghantam sebuah lemari besar yang berisi jemban


gan-jembangan antik yang seketika menjadi pecah 

berkeping-keping.

Sementara itu Zaitun tersadar dari pengaruh 

hipnotis Ki Subeni, dengan tunggang langgang berlari 

ke luar sambil meraih kain sarungnya untuk menutupi 

dadanya dan berteriak meminta pertolongan.

Ki Subeni dengan gigi gemeretuk menahan ma-

rah yang membludak segera bangkit menyerang Par-

min dengan cengkeraman tangan yang seketika itu be-

rubah menjadi kemerahan dan mengeluarkan asap 

mengepul.

"Rak!!"

"Lumaaat!!" bentak Ki Subeni geram dengan 

nafsu membunuh. Tetapi dengan cepat Parmin melom-

pat ke samping sehingga tangan maut itu menghantam 

dinding kayu sampai hancur berantakan. Setelah 

menghindar, Parmin membuat serangan balasan dan 

tubuhnya mencelat cepat dengan kaki mengarah lam-

bung Ki Subeni.

"Ciiiyaaatt...!!" teriak Parmin keras.

"Buk!"

Tanpa Parmin ketahui tangan Ki Subeni segera 

berubah arah menyerang tubuh Parmin yang masih 

melayang dan tepat mengenai dada Parmin sehingga 

tubuhnya terpental ke belakang dan dadanya terasa 

mau pecah. Darah segar pun ke luar dari mulutnya 

Parmin berusaha sekuat tenaga untuk berdiri. Baru 

saja Parmin berbalik, Ki Subeni sudah menanti dengan 

tombak di tangan dan secepat kilat menyerang Parmin.

"Jep!"

"Yach!!"

Tombak itu menghunjam bahunya, sementara 

itu dengan cepat Parmin menyabetkan golok pendek-

nya sehingga tubuh Ki Subeni terpental ke belakang


dengan dada tergores memanjang dan darah pun ke-

luar dengan derasnya membuat kedudukan menjadi 

satu-satu. Dalam keadaan sempoyongan, Parmin beru-

saha ke luar dengan menabrak pintu untuk menjauh-

kan dirinya dari Ki Subeni. Tubuh Parmin berguling-

guling untuk menghindari lebih jauh lagi sambil beru-

saha memusatkan konsentrasi dengan jurus 'Hening 

Cipta'. Jaka Sembung segera bangkit memasang kuda-

kuda dengan kedua tangan menyilang di dada dan siap 

menantikan serangan Ki Subeni.

"Jangan lari, Monyet!!" bentak Ki Subeni geram 

dengan mata menyala menahan nafsu yang bergemu-

ruh. Dengan sekali lompatan, tubuh gendut itu me-

layang cepat ke arah Parmin dengan kaki lurus ke de-

pan dan tangan siap menerkam. Namun dengan cepat 

Parmin berkelit ke samping sambil menghunjamkan 

tombak tadi dengan tenaga dalam penuh.

"Ach!!" Pekik tertahan Parmin mengoyak suasa-

na dan tombak itu menembus tubuhnya, untuk bebe-

rapa saat ia mencoba mencabut tombak tersebut, na-

mun patah menjadi dua bagian mengakibatkan darah 

bercucuran dari depan dan belakang tubuhnya yang 

terluka. Ia menggeram hebat dengan mata yang meme-

rah penuh dendam dan nafsu membunuh.

"Ki Subeni. Aku mengagumi anda! Dengan da-

rah yang terus mengucur seperti itu anda kelihatan 

semakin segar!" ujar Parmin memuji dengan napas ter-

senggal.

"Seharusnya anda dengan mudah dapat mem-

bunuhku! Ilmu silatku tak ada seujung rambut anda! 

Tetapi satu hal yang anda lupa bahwa Tuhan selalu di 

pihak yang benar! Sangat kusesalkan bahwa orang be-

rilmu tinggi seperti anda berbuat sesuatu yang terku-

tuk! Anda telah menghina citra muslimin, anda telah


mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!" lan-

jut Parmin sambil menyandarkan tubuhnya dan tan-

gan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementa-

ra luka di bahunya terus mengucurkan darah.

Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita 

kembali kepada pertempuran massal yang sengit anta-

ra antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilu-

mus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya 

seekor banteng, lama kelamaan akan tumbang karena 

keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan 

mereka, antek-antek Ki Subeni itu. Mereka menemui 

ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh 

hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung 

jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas 

semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki 

Subeni.

"Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus 

jenazah-jenazah kawan-kawan kita yang gugur! Seba-

gian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung 

Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat... serr-

buuuu...!!" si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa 

Cilumus yang berteriak histeris menuju kemenangan 

yang indah di depan mata.

Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa 

mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana 

di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan 

dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan. Ki Sub-

eni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan 

kedua tangannya yang merah membawa sehingga ha-

wa panas menyerang Parmin dan dengan segera Par-

min menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah ber-

getar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa re-

muk.

"Ya... Allah! Berilah hamba kekuatan!!" gumam


mengotori ajaran agama dan keagungan Tuhan!!" lan-

jut Parmin sambil menyandarkan tubuhnya dan tan-

gan mendekap dadanya yang terluka dalam. Sementa-

ra luka di bahunya terus mengucurkan darah.

Kita tinggalkan dua seteru itu dan kini kita 

kembali kepada pertempuran massal yang sengit anta-

ra antek-antek Ki Subeni melawan rakyat desa Cilu-

mus yang dipimpin si Tiga Melati. Betapa pun gigihnya 

seekor banteng, lama kelamaan akan tumbang karena 

keroyokan ratusan tikus begitu pun halnya dengan 

mereka, antek-antek Ki Subeni itu. Mereka menemui 

ajalnya satu per satu di tangan rakyat dengan tubuh 

hancur tak berbentuk. Korban rakyat tak terhitung 

jumlahnya tetapi orang-orang murtad itu telah tewas 

semua dan yang tinggal hanyalah dedengkotnya, Ki 

Subeni.

"Saudara-saudara! Sebagian harus mengurus 

jenazah-jenazah kawan-kawan kita yang gugur! Seba-

gian lainnya ikut kami membantu pendekar Gunung 

Sembung! Risma, Rani, mari jangan terlambat... serr-

buuuu...!!" si Tiga Melati berkelebat diikuti rakyat desa 

Cilumus yang berteriak histeris menuju kemenangan 

yang indah di depan mata.

Angin berhembus kencang menyapu sisa-sisa 

mendung dan daun-daun kering berguguran. Suasana 

di halaman pesantren sunyi senyap penuh ketegangan 

dan dua seteru itu masih berhadap-hadapan. Ki Sub-

eni tegak menyusun sebuah jurus pamungkas dengan 

kedua tangannya yang merah membawa sehingga ha-

wa panas menyerang Parmin dan dengan segera Par-

min menolak serangan itu. Tubuh Parmin sudah ber-

getar hebat menahan sakit di dadanya yang terasa re-

muk.

"Ya... Allah! Berilah hamba kekuatan!!" gumam


Parmin dalam hati memohon.

"Ciiaat...!!" teriak Ki Subeni keras dengan kedua

belah tangan ke depan terbuka, mengarah dada dan 

perut Parmin. Namun dengan sisa-sisa tenaganya 

Parmin berkelit sambil bersalto ke udara beberapa kali 

menghindari serangan tangan maut Ki Subeni.

Di saat keadaan Parmin terjepit, tiba-tiba seper-

ti air bah yang datang. Berpuluh-puluh bahkan bera-

tus-ratus orang datang menyerbu Ki Subeni yang di-

pimpin oleh si Tiga Melati. Ki Subeni terperangah seje-

nak menyadari dirinya telah terkepung dan senjata-

senjata tajam yang menghunjam ke arah tubuhnya. Ki 

Subeni menggeram hebat dan tangan mautnya beraksi 

membuat pengeroyok itu terpental dengan dada remuk 

dan mati seketika. Namun dengan segera pengeroyok 

lainnya datang secara bergelombang membuat Ki Sub-

eni kewalahan dan ia segera mengambil langkah seri-

bu. Darah menetes sepanjang jalan yang dilaluinya 

membuat rakyat tidak bisa kehilangan jejak dan terus 

mengejarnya. Sekuat-kuatnya tenaga manusia tentu 

ada batasnya. Setelah kejar mengejar semalam suntuk 

akhirnya sebuah teriakan panjang mengerikan men-

gakhiri hidup Kiyai cabul itu. Kemarahan rakyat tak 

bisa dibendung lagi, membuat tubuh Ki Subeni itu 

hancur dirajam tanpa secuil daging pun yang selamat.

"Pendekar Gunung Sembung terluka berat! 

Risma dan Rani! Mari kita segera menolongnya!!" ser-

gah Riska khawatir setelah melihat Parmin yang sem-

poyongan menahan tubuhnya berdiri.

Seminggu lamanya Parmin dirawat oleh si Tiga 

Melati. Penduduk Cilumus menunjukkan simpati yang 

besar dan berdoa semoga Parmin lekas sembuh. Me-

masuki minggu kedua pendekar kita Jaka Sembung te-

lah berangsur-angsur sembuh kembali dan tubuhnya


sehat seperti sedia kala. Dengan demikian tibalah 

saatnya Parmin untuk meneruskan perjalanannya, ba-

gaimana pun berat si Tiga Melati yang senantiasa me-

mujanya itu.

"Kalian bertiga telah banyak menolongku dan 

hendaknya kalian jadikan pegangan bahwa tidak ada 

manusia yang luar biasa di atas dunia ini! Janganlah 

kalian mendewakan manusia karena tidak ada manu-

sia yang sempurna! Sebagai contoh diriku! Dulu kalian 

seakan-akan menganggapku sebagai dewa persilatan 

tetapi seperti kalian lihat sendiri kepandaianku dalam 

ilmu silat tidak ada seujung rambut pun bila diban-

dingkan dengan ilmu silat yang dimiliki Ki Subeni!" 

ujar Parmin menasehati si Tiga Melati yang berusaha 

mengerti.

Pada hari yang cerah itu Parmin pamitan kepa-

da seluruh penduduk Cilumus dan si Tiga Melati. Den-

gan rasa berat hati mereka mengantar Parmin sampai 

ke batas desa dan mereka bersyukur bahwa desa me-

reka sekarang telah bebas dari cengkeraman sebuah 

tirani seorang Kiyai cabul. Bersama Jaka Sembung, 

mereka telah berhasil membabat Kiyai murtad itu...!



                             TAMAT



Share:

0 comments:

Posting Komentar