..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 22 Desember 2024

JAKA SEMBUNG EPISODE KEBANGKITAN ILMU ILMU IBLIS

Kebangkitan Ilmu Ilmu Iblis


KEBANGKITAN ILMU-ILMU IBLIS

Karya Djair Warni

Serial Jaka Sembung

Cover Oleh: Djair

Alih Versi Oleh: Danny Situmenang

Jakarta, 1991; cet. Ke-1

Penerbit Sarana Karya, Jakarta

SK 91-85S, 128 hlm; 11 x 18 cm

Hak cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini

tanpa izin tertulis dari Penerbit

Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh, tempat 

atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka



SATU


Debur ombak menggelegar! Gelombang air 

laut menciptakan garis-garis putih, memanjang seolah-

olah saling berkejaran atau saling berlomba lebih dulu 

sampai di pantai. Terdengar air laut berdesah meman-

jat tepi pantai yang landai, kemudian turun dan kem-

bali bersatu dengan gelombang yang datang menyusul.

Hari masih pagi, namun karena sang surya 

sedang cerah, permukaan laut tampak berkilau-kilau. 

Cukup indah. Tetapi hempasan ombak yang datang 

bergulung-gulung seolah-olah menutupi keindahannya 

dan kemudian menimbulkan kesan menakutkan. Gu-

lungan ombak itu terkadang sampai sekitar sepuluh 

meter, tampak siap melumat benda apa saja yang ada 

di sekitarnya.

Burung-burung camar terbang berkelompok-

kelompok di langit biru. Beberapa ekor di antaranya 

menukik cepat sekali, kemudian melesat lagi ke atas, 

bergabung dengan rombongannya.

Dinding batu karang di tepi laut menjadi ge-

ronggang terkikis hantaman ombak. Tak diragukan la-

gi, laut di tempat itu sangat ganas! Siapa saja yang 

pernah terjun langsung ke lautan itu atau hanya men-

dengarnya, mengakui hal tersebut. Ganasnya gelom-

bang tidak hanya dapat menghanyutkan perahu uku-

ran besar, tetapi juga mampu membuatnya hancur 

berkeping-keping.

Itulah laut Arafuru!

Laut Arafuru merupakan rangkaian samudra 

Hindia dari Barat ke Timur, sampai sekarang masih 

dikenal sebagai laut berombak besar dan ganas. Meru-

pakan pemisah Kepulauan Tanimbar dan Kepulauan 

Aru dengan benua Australia, yang dikenal sebagai ne


geri Kanguru. Di sebelah Barat adalah laut Timor, dan 

di sebelah Barat Laut membentang laut Banda.

Kepulauan Aru yang merupakan gugusan pu-

lau-pulau kecil berada di sebelah Barat Daya Irian 

Jaya sekarang. Dari kepulauan itulah kisah ini dimulai 

beratus-ratus tahun silam. Kisah petualangan para 

pendekar muda dari Pulau Jawa.

Jika sebagian orang mendengar debur ombak 

yang menggelegar di laut Arafuru sudah ngeri atau ciut 

nyalinya, justru sekarang tampak seorang lelaki beru-

sia muda duduk berendam di perairan yang dangkal.

Usianya baru sekitar dua puluh lima tahun. 

Tubuhnya tegap dan kekar. Rambutnya yang panjang 

sebatas bahu diikat dengan sepotong kain. Tampaknya 

ia sudah cukup lama dan terbiasa pula duduk berse-

medi di laut, sehingga wajahnya berubah agak kehi-

tam-hitaman. Namun wajahnya yang mencerminkan 

kejujuran itu tetap terlihat tampan dan simpatik.

Itulah dia Karta yang lebih dikenal dengan ju-

lukan si Gila Dari Muara Bondet. Pendekar itu duduk 

di perairan dengan sikap tegak, kedua tangan dilipat di 

dada, sedangkan kedua matanya dipejamkan. Walau-

pun arus ombak cukup kuat, tubuhnya tetap tegak ti-

dak bergerak-gerak sehingga dari kejauhan tampak 

seperti patung.

Nun jauh di atas tebing, berdiri pula seorang 

wanita sambil menggendong anaknya yang masih kecil. 

Ia masih muda, sekitar dua puluh satu tahun. Ram-

butnya yang panjang dikuncir dan dihiasi manik-

manik. Wajahnya yang bulat lonjong berkulit putih 

bersih kelihatan memancarkan kecantikan. Namun ki-

ni wajah itu tampak muram, bagaikan cakrawala di-

hiasi mendung, sepasang matanya juga redup, mena-

tap suaminya yang sedang bersemedi di laut.

Nomina, adik kandung Kepala Suku bernama


Pampani adalah istri Karta. Mereka sekarang sudah 

dikaruniai seorang anak. Kehidupan rumah tangga 

Karta selama ini sebetulnya cukup sejahtera, selalu 

diwarnai keceriaan. Nomina dan Karta saling mencintai 

dan pengertian satu sama lain.

Namun kedamaian itu tidak terlalu lama me-

reka rasakan. Bukan karena di antara mereka terjadi 

kesalah pahaman. Tetapi karena suku yang dipimpin 

Pampani sedang terlibat perang suku dengan kelom-

pok-kelompok Wan-Da-I dan Womere. Tokoh dari go-

longan sesat ini sudah sekian lama berambisi menggu-

lingkan Pampani. Segala cara mereka tempuh untuk 

bisa menjadi penguasa di Kepulauan Aru

Dalam suatu pertempuran baru-baru ini Kar-

ta menderita luka dalam yang cukup parah, sehingga 

berhari-hari ia harus bersemedi di laut untuk memu-

lihkan kesehatannya. Dengan setia, Nomina istrinya 

itu sering menjenguknya dari atas tebing dan berharap 

suaminya itu secepatnya sembuh seperti sedia kala.

Dari arah belakang Nomina, terdengar suara 

langkah tertatih-tatih. Lelaki itu menutupi kepalanya 

dengan topi jenis caping lebar sehingga wajahnya ter-

lindung dari sengatan terik matahari. Ia sudah cukup

tua, mungkin sudah mencapai empat puluh tahun 

atau lebih. Ia selalu menggunakan tongkat, karena ka-

ki kanannya telah buntung sebatas lutut.

Namanya Baureksa. Namun karena kakinya 

yang buntung tetapi tetap mempunyai ilmu silat yang 

tinggi, di kalangan persilatan ia dijuluki Pendekar Kaki 

Tunggal. Ia sekarang melangkah menghampiri Nomina. 

Sejenak Baureksa menatap Nomina dengan mata sen-

du. Ia merasa sangat terharu, karena terasa benar 

olehnya betapa besar cinta dan kesetiaan adik Kepala 

Suku itu terhadap suaminya, Karta.

"Tuanku Ratu," ujar si Kaki Tunggal dengan


suara lembut. Nomina sudah mengenal suara itu. 

Mungkin itu sebabnya ia tidak berpaling, masih me-

layangkan pandangan matanya ke hamparan laut di 

bawah sana.

"Sudahlah tuanku putri. Hari sudah mulai 

petang. Sebaiknya kalian berdua pulang saja. Uda-

ranya tidak baik untuk si orok yang masih lemah. Ka-

sihan, nanti jadi sakit."

Perlahan-lahan Nomina membalikkan badan, 

menatap Baureksa dengan mata berkaca-kaca.

"Biarlah aku yang menunggui suamimu. Da-

lam beberapa hari lagi ia tentu akan selesai bersemedi. 

Ia telah mengalami luka dalam cukup parah. Karena 

itu diperlukan waktu yang cukup lama untuk me-

nyembuhkannya. Tapi pasti sembuh! Ayolah biar aku 

antarkan kalian pulang."

Akhirnya dengan gerak perlahan, Nomina 

mengangguk, "Terima kasih," ujarnya lirih. Di tengah 

perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan suami 

istri Umang dan Mirah. Sepasang pendekar muda itu 

mengangguk hormat, lalu tersenyum ramah.

"Oh, kau Umang dan Mirah. Kebetulan, tolong 

kawal tuan permaisuri ke istana. Aku akan berjaga-

jaga di sini." 

"Baik, kami akan antarkan!"

Sementara itu di sudut lain pantai karang, 

tampaklah seorang lelaki tegap dan tinggi besar berja-

lan menyusuri pantai karang. Ia mempunyai tinggi tu-

buh sekitar dua meter. Tubuhnya yang penuh otot itu 

hanya ditutupi semacam cawat, menutupi kemaluan-

nya. Kedua lengan atas dan pergelangan tangannya 

dihiasi gelang-gelang perak, demikian juga pergelangan 

kakinya. Sementara di daun telinganya dihiasi anting-

anting bulat besar. 

Wori, demikian nama lelaki raksasa itu. Ia se


benarnya bukan penduduk pribumi Kepulauan Aru, 

melainkan suku asli dari negeri Kanguru yang seka-

rang bernama Australia. Sama seperti suku asli di ne-

gerinya, ia juga menggunakan senjata bumerang, ter-

buat dari logam campuran baja dan kuningan. Senjata 

itu berbentuk setengah lingkaran hingga mirip bulan 

sabit, yang kedua ujungnya sangat runcing. Adapun 

keistimewaan senjata bumerang adalah jika dilempar-

kan namun tidak mengenai sasaran, akan kembali ke-

pada si pemiliknya.

Setiap senjata memang mempunyai kelebihan 

dan kekurangan tersendiri. Namun karena sudah san-

gat ahli menggunakannya, senjata andalan Wori ha-

nyalah bumerang itu. Makanya di kepulauan Aru ia di-

juluki Pendekar Bumerang. Ia sudah cukup lama ber-

gabung dengan suku pimpinan Pampani, setelah da-

lam petualangannya terdampar di Kepulauan Aru.

Kini ia sedang berdiri tegak di dekat dinding 

cadas tepi pantai. Sepasang matanya yang besar me-

natap liar, mengamati batu cadas. Lalu dengan gera-

kan cepat, ia melemparkan bumerang di tangannya, 

meluncur menghantam batu cadas. Bumerang itu ke-

mudian berbalik ke tangan Wori.

"Bukan! Suaranya biasa saja," kata Wori pada 

dirinya sendiri. Berkali-kali lelaki kekar dan tinggi be-

sar itu melemparkan senjatanya yang unik ke setiap 

dinding cadas yang dijumpainya. Sampai suatu saat 

suara benturan bumerang terdengar lain. Wajah Wori 

tiba-tiba berubah jadi berseri-seri, matanya bersinar-

sinar.

"Nah, ini dia! Suaranya agak lain!" katanya. 

Lalu ia mengetuk-ngetuk dinding cadas sambil mele-

katkan telinganya. Setelah yakin bahwa dinding itulah 

yang dicarinya, maka ia pun mundur beberapa lang-

kah dan memasang kuda-kuda. Kedua tangannya dis


ilangkan di dada, nafasnya ditahan beberapa saat.

Sambil berteriak dengan suara menggelegar, 

tiba-tiba Wori menyeruduk dinding cadas itu. Kepa-

lanya yang botak menghantam dengan dahsyat bagai-

kan godam raksasa.

"Bruuk!" Dinding cadas itupun jebol, hancur 

berkeping-keping, membuat lubang yang cukup besar, 

Wori agak pusing juga, tetapi ia menarik nafas lega, 

karena telah berhasil menemukan sebuah terowongan 

yang belum pernah diketahui sebelumnya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Wori segera 

masuk ke terowongan itu. Hanya beberapa saat kemu-

dian, ia masuk ke dalam suatu ruangan yang cukup 

besar, yang sekelilingnya merupakan dinding batu ca-

das pula. Di sudut ruangan itu tampak sebuah pintu 

terbuat dari sebongkah batu besar. 

"Aku akan menggeser pintu ini," pikir Wori 

sambil mengerahkan tenaga. Namun jangankan ter-

geser, bergeming pun tidak. Kembali ia mencoba sam-

pai sekujur tubuhnya dibasahi keringat, tetapi usa-

hanya tetap sia-sia, karena pintu batu itu mempunyai 

urat-urat yang saling menjalin.

"Mungkin ada cara khusus untuk membu-

kanya," kata Wori, lalu memeriksa sudut-sudut batu 

itu. Namun ia tak menemukan apa-apa. Dengan rasa 

penasaran, ia mencoba lagi mengerahkan segenap te-

naganya menggeser pintu rahasia tadi.

Karena belum juga berhasil, pendekar bume-

rang itu akhirnya memutuskan cara lain. Ia mundur 

beberapa langkah, lalu berdiri tegak lurus dengan po-

sisi kedua kaki setengah terbuka. Kedua tangannya 

disilangkan di dada. Sepasang matanya mencorong ta-

jam menatap ke pintu batu, udara dihirup banyak-

banyak dan untuk beberapa saat ditahan hingga da-

danya tampak membusung.


"Hiyaaaat!" Wori berteriak dengan suara 

mengguntur dan bersamaan dengan itu ia berlari ken-

cang. Tangan kanannya ditarik ke belakang, lalu ia 

menghantam batu itu dengan telapak tangan seperti 

sedang menampar.

Tenaga dalam pendekar bumerang itu me-

mang dahsyat luar biasa. Sewaktu tangannya mendo-

brak lurus ke urat nadi pintu batu, terdengar suara 

menggelegar bagaikan gunung runtuh. Pintu batu itu 

pun hancur berkeping-keping.

Dengan, wajah berseri-seri, namun tetap 

waspada, Wori segera melangkah masuk. Pintu batu 

itu ternyata menutupi sebuah lorong yang cukup sem-

pit, sehingga Wori harus agak menunduk sewaktu me-

nyusurinya. Suasana di dalam itu cukup gelap, karena 

cahaya hanya sedikit yang masuk. 

Baru sekitar sepuluh meter melangkah, Wori 

melihat sebuah obor tergantung di dinding batu. Tim-

bullah niat di dalam hatinya untuk menyalakannya. 

Lalu ia menarik obor itu dengan tangan kanan. Tetapi 

tanpa diduga-duga, terdengar suara berderak. Batu 

yang diinjak Wori bergeser dan sebelum ia sempat me-

nyadari apa yang terjadi, tubuhnya amblas ke bawah.

Ternyata obor itu adalah jebakan, yang diatur 

sedemikian rupa sehingga jika ditarik, batu yang diin-

jak akan amblas. Wori ingin meraih lantai batu yang 

tidak ikut amblas, namun terlambat sudah, tubuhnya 

sudah keburu melayang jatuh. Ia hanya bisa berteriak 

kaget.

"Buk!" Bagian punggung Wori terbanting ke-

ras ke dasar lubang, membuatnya kembali berteriak 

kesakitan. Lelaki bertubuh raksasa itu geram dan 

mengumpat dalam hati. Punggungnya terasa sakit, te-

tapi bukan hanya itu yang membuatnya kesal, tetapi 

terutama adalah karena merasa tertipu dan diper


mainkan. Ia segera bangkit berdiri dan menyapu kea-

daan di sekelilingnya dengan tatapan mata liar.

Sebelum sempat berbuat apa-apa, terdengar 

suara berdesir kalajengking yang jumlahnya mungkin 

ratusan atau bahkan ribuan, menyerbu Wori dari sega-

la jurusan. Binatang itu sangat berbisa, sekali menggi-

git korbannya bisa tewas, atau paling tidak akan kera-

cunan yang sangat berbahaya. Tak terkatakan betapa 

terkejutnya Pendekar Bumerang, apalagi karena bina-

tang-binatang berbisa itu mulai merayapi sekujur tu-

buhnya.

Kalau saja Wori bukanlah pendekar berilmu 

tinggi dan belum mempunyai pengalaman, pastilah ia 

akan berteriak-teriak panik sambil berlari-larian ke 

sana ke mari. Tetapi dengan ketabahan yang luar bi-

asa, ia berdiri tegak tanpa bergerak-gerak. Nafasnya ia 

tahan beberapa saat dan mengeluarkannya sepelan 

mungkin. Memang itulah satu-satunya jalan terbaik 

bagi Wori, sebab kalau ia bergerak sedikit saja, kala-

jengking itu pasti akan menyengatnya.

***


DUA



Cukup lama juga Pendekar Bumerang diam 

bagaikan patung. Hingga akhirnya ketika mulai cemas 

tidak mampu bertahan, terdengar suara air meluncur 

dari celah-celah dinding batu yang retak, terkena pu-

kulannya tadi. Karena tempat itu kebetulan lebih ren-

dah dari permukaan laut, dalam sekejap sudah penuh 

dengan air. Sungguh suatu pertolongan yang sangat 

menguntungkan, karena kalajengking takut air, se-

hingga segera berlarian dari tubuh Wori.


Barulah pendekar dari pulau Kanguru itu bi-

sa menarik nafas lega. Makin lama, air yang masuk ke 

tempat itu makin tinggi hingga akhirnya hampir me-

nenggelamkan dirinya sendiri.

Tetapi justru hal itu membuatnya dengan 

mudah mencapai pintu lubang jebakan. Ia berenang ke 

atas, lalu meraih pinggir jebakan dan akhirnya dapat 

keluar dari dasar yang dalam serta gelap itu.

Kembali ia meneruskan langkahnya dengan 

sikap yang lebih hati-hati lagi. Apalagi karena lorong 

berikutnya jauh lebih gelap lagi. Langkah kakinya di-

usahakan seringan mungkin, sementara kedua telin-

ganya dipasang sewaspada mungkin, siapa tahu ada 

suara mencurigakan.

Akan tetapi tampaknya lorong itu penuh den-

gan jebakan yang sangat membahayakan. Tiba-tiba 

Wori menginjak kayu melintang di dasar lorong. Hanya 

beberapa saat kemudian, dari kiri kanan dinding me-

luncur tombak-tom-bak runcing yang dirangkai hingga 

menyerupai pagar, mengarah ke tubuh Wori.

Sambil berseru kaget, laki-laki tegap itu 

membantingkan tubuh ke samping. Loloslah pendekar 

bertenaga dahsyat itu dari maut, walaupun tangan dan 

kakinya terluka mengeluarkan darah segar. Lelaki itu 

menggeram, kembali nyawanya nyaris terbang mening-

galkan raga. Dipukulnya jebakan maut itu hingga je-

bol.

Wori menghela nafas dalam-dalam dalam ke-

tertegunannya. Ia tak berani membayangkan bagaima-

na kalau pintu bergigi runcing itu menggencet tubuh-

nya. Hanya dalam beberapa helaan nafas saja, ia tentu 

akan tewas. Keadaan itu membuatnya merasa perlu 

meningkatkan kewaspadaan, walaupun tidaklah mem-

buatnya gentar dan mengurungkan niat.

Ia terus melangkah menyusuri lorong di de



pannya dan tak lama berselang sampailah dirinya ke 

sebuah ruangan yang cukup besar, berukuran sekitar 

empat kali empat meter dan semua dindingnya terbuat 

dari batu cadas.

Di dinding itu ada pula gagang kayu yang 

tampaknya merupakan kunci dari gerbang batu di de-

pannya. Wori sekarang lebih berhati-hati. Diperiksanya 

lantai kayu yang diinjaknya, karena ia bermaksud 

akan memutar gagang kayu itu. Namun tidak terjadi 

sesuatu yang tak diinginkan ketika gagang itu diputar, 

bahkan secara perlahan-lahan gerbang batu di depan-

nya terbuka, setelah bergerak naik ke atas.

Masuk ke lorong melalui gerbang tadi itu, Wo-

ri menemukan lorong yang sedikit lebar. Kira-kira se-

puluh meter di depannya terdapat sebuah belokan. Di 

ujung belokan itu terlihat cahaya memancar membuat 

Wori ingin secepatnya mengetahui benda apa yang 

bercahaya itu. 

Astaga! Wori hampir tak percaya pada pengli-

hatannya sendiri. Matanya terbelalak lebar. Sekitar li-

ma meter di depannya ada sebuah cungkup (sumur) 

berbentuk segi empat, agak tinggi tempatnya. Di empat 

sudutnya terdapat alat penerangan terbuat dari api 

alam (gas bumi), sehingga tempat itu terang bende-

rang.

Cungkup itu terbuat dari batu pualam yang 

ditata apik hingga tampak sangat indah dan di bawah-

nya dua anak tangga, mirip seperti singgasana raja. 

Wori melangkah mendekat dan ia kembali terbelalak 

menyaksikan cungkup berukuran sekitar enam kali 

enam meter itu penuh butir-butir mutiara. Seumur hi-

dup Wori belum pernah melihat mutiara sebanyak itu, 

bahkan membayangkannya pun tidak. Lama pendekar 

bumerang itu tertegun memikirkan untuk apa tumpu-

kan mutiara sebanyak itu dan dari mana saja dikum


pulkan.

Di hadapannya terpampang pula sebuah 

akuarium raksasa. Dindingnya terbuat dari batu kaca 

yang langsung dipahat hingga cukup tipis dan halus, 

serta tembus pandang. Di balik akuarium itu tampak 

dasar laut sepanjang kanal buatan itu. Di dalam akua-

rium itu berkeliaran berpuluh-puluh ekor ikan hiu. 

Sungguh suatu pemandangan yang menakjubkan. Te-

tapi lebih menakjubkan lagi kemahiran teknik Maleang 

Pangaru membangun cungkup berisi mutiara, akua-

rium dari kaca batu dan kanal buatan.

Wori sendiri tidak pernah membayangkan 

bahwa tokoh sesat Maleang Pangaru sudah mencapai 

kemahiran sehebat itu. Maleang Pangaru yang dijuluki 

Iblis Pulau Aru sebetulnya adalah adik dari ayah Pam-

pani, tetapi selama hidupnya ia tidak pernah akur 

dengan kakaknya pemimpin suku di pulau tersebut. 

Selain memiliki ilmu silat yang sangat tinggi, tokoh se-

sat ini juga dikenal memiliki ilmu sihir yang tiada ban-

dingannya.

Dalam petualangannya sebagai jagoan dari 

dunia hitam, Maleang Pangaru sering pula dijuluki si 

Manusia Hiu, karena bentuk mukanya persis kepala 

ikan hiu, yang bagian ekornya memanjang sampai ke 

batas lututnya melalui punggung.

Agaknya semasa hidupnya Iblis Pulau Aru itu 

telah mengumpulkan banyak sekali mutiara di dalam 

lorong rahasia. Setelah ia meninggal, lorong rahasia 

atau bangunan bawah tanah itupun dikuasai anaknya 

Wan-Da-I, yang juga mewarisi sifat buruk ayahnya. 

Dalam keadaan seperti itu, Wan-Da-I yang menaruh 

dendam kesumat kepada Pampani bermaksud meng-

gunakan timbunan mutiara itu untuk bisa menjadi 

penguasa di Kepulauan Aru.

Sekarang Wori yang merupakan sahabat de


kat musuh besarnya itu sedang di tempat penyembu-

nyian mutiara. Pendekar bumerang itu meraup mutia-

ra-mutiara itu dan memandangnya sambil menggeleng-

gelengkan kepala. Ia tak habis pikir untuk apa mutiara 

sebanyak itu. Tetapi menurut perkiraannya, kalau 

hendak membangun istana terbuat dari mutiara tentu-

lah bisa.

Ketika Wori masih tetap mengagumi mutiara-

mutiara itu, tiba-tiba sebuah bayangan bergerak di be-

lakangnya, lalu melemparkan beberapa lembar kertas. 

Wori menjadi terkejut mendengar suara gemerisik itu. 

Secepat kilat ia berbalik dan menatap liar keadaan di 

sekelilingnya.

"Heh! Siapa itu?" bentaknya sambil mema-

sang kuda-kuda. Ia segera meloncat ke balik lorong 

itu, di mana terdapat sebuah lemari kayu. Kebetulan 

ada seekor tikus melintas di antara kertas-kertas itu. 

Ah, cuma seekor tikus, pikir Wori, lalu memungut ker-

tas. Kertas itu diperiksanya sejenak, ternyata berisi tu-

lisan. Sayang sekali ia tidak bisa membaca sama seka-

li. Wori kemudian memasukkannya ke sela-sela cawat-

nya dan nanti akan ia tunjukkan kepada Pampani, 

siapa tahu tulisan itu berisikan sesuatu yang sangat 

penting. 

Sementara itu, penduduk pimpinan Pampani 

masih sibuk membangun kembali istana baru di atas 

puing-puing istana yang lama. Mereka tampak bekerja 

sangat tekunnya, sehingga tanpa terasa hari sudah 

siang.

Pampani melangkah menghampiri para peker-

ja itu. Wajahnya tampak berseri-seri melihat kesung-

guhan warganya. Bentuk kasar istana itu sudah terli-

hat dan menurut perkiraannya, dalam beberapa hari 

lagi pastilah akan rampung. Sebuah istana yang mirip 

dengan rumah tradisional, cuma jauh lebih besar dan


indah karena ditata bagus dan diberi warna-warni kon-

tras seperti kebiasaan penduduk pribumi di sekitar 

laut Arafuru.

Seperti halnya rumah lainnya, istana itu di-

bangun dengan tiang penyangga yang cukup tinggi dan 

bagian atapnya dibuat melengkung dari ujung ke 

ujung. Terdiri dari beberapa ruangan yang luasnya 

berbeda-beda sesuai keperluannya, ruang pertemuan, 

kamar tidur dan peristirahatan, tempat singgasana, 

ruang penyimpanan buku-buku dan harta istana lain-

nya, ruang penjagaan dan yang lainnya.

Pekarangan istana itu sangat luas dan diberi 

pagar rapat dan tinggi sekitar enam meter, di mana 

ujung-ujungnya dibuat runcing, sehingga akan sulitlah 

bagi orang melewatinya tanpa diketahui penjaga kare-

na di sudut kanan pekarangan istana itu dibangun pu-

la menara pengawas. Walaupun belum rampung, da-

patlah diyakini bahwa istana baru itu jauh lebih bagus 

dan kuat dibandingkan istana lama.

"Waktu bersantap sudah tiba. Marilah tamu-

tamu kehormatanku! Berkumpullah untuk bersantap!" 

kata Pampani dengan ramah.

Para pekerja itu sama-sama menghentikan 

pekerjaannya. Mereka segera berkumpul di ruang ten-

gah istana itu. Di bagian paling ujung duduklah Pam-

pani. Di sebelah kanannya Pendekar Kaki Tunggal dan 

Bungoru, yang tubuhnya tinggi besar. Perawakannya 

hampir sama dengan Wori, hingga mirip raksasa. Di 

sebelah kiri Pampani duduklah sepasang suami istri 

Umang dan Mirah. Sedangkan di hadapan mereka te-

lah terhidang makanan serta lauk pauknya.

"Di manakah saudara kita Wori? Barangkali 

ia sedang sibuk di luar," kata Pampani.

"Sejak tadi aku belum melihatnya," sahut 

Bungoru.


"Kita tunggu saja barang sebentar. Lebih 

nikmat rasanya kalau bersantap bersama-sama," 

Umang menimpali.

Sejenak mereka berdiam diri sambil menung-

gu Wori yang sejak tadi tidak kelihatan batang hidung-

nya. Setelah itu, si Kaki Tunggal berkata: "Hm, sayang 

sekali! Di saat-saat seperti ini sudah berhari-hari sau-

dara Karta tak hadir di tengah-tengah kita. Kurang 

nikmat rasanya."

"Ya, apa boleh buat! Kita harapkan saja se-

moga dia lekas sembuh. Hm, Bungoru. Coba kau 

panggil saudara Wori!" kata Pampani.

"Daulat, tuanku!"

Tepat ketika Bungoru bangkit dari duduknya, 

muncullah Wori di ambang pintu. Laki-laki bertubuh 

raksasa itu tertawa terkekeh-kekeh, "Tak usah repot-

repot. Aku sudah datang!" katanya.

"Huh dari mana saja kau?" kata Bungoru.

"Maafkan aku! Rupanya kalian agak cemas 

menunggu. Aku kebetulan sedang menemukan sesua-

tu yang sangat penting."

"Apakah yang kau maksudkan itu?" tanya 

Baureksa, si Kaki Tunggal.

"Sebaiknya kita makan saja dulu! Aku pun 

sudah sangat lapar!"

Mereka pun segera bersantap dengan sangat 

lahapnya. Sama seperti Bungoru, Wori pun makannya 

sangat cepat dan banyak. Mulut lelaki raksasa itu ber-

decap-decap diiringi gerak perut yang gendut turun 

naik sehingga kelihatan sangat lucu. Orang lain tentu-

lah akan geli melihat cara makan Wori dan Bungoru.

Tetapi orang-orang di ruangan itu sudah ter-

biasa melihatnya, jadi telah dianggap hal yang biasa 

pula.

Usai makan, Wori segera menceritakan pen



galaman dan temuannya di dalam bangunan rahasia 

Iblis Pulau Aru.

"Aku membawa kabar penting untuk baginda 

Kepala Suku dan kita semua. Menjelang matahari ter-

bit, aku telah berhasil menemukan gudang penyimpa-

nan mutiara dari Iblis Pulau Aru. Banyak sekali, ham-

pir aku tidak percaya di sini ada mutiara sebanyak 

itu."

"Hah? Jadi kau telah menemukannya?" kata 

Bungoru terkejut.

"Ya! Tak percuma kan aku dijuluki Pendekar 

Bumerang?" kata Wori bangga.

"Lalu bagaimana keadaan di sana?" tanya 

Baureksa.

"Penuh dengan jebakan mematikan. Aku 

hampir saja masuk liang kubur." Lalu Wori menyodor-

kan berkas-berkas kertas yang ditemukannya, "Aku 

tak bisa membaca. Tolong kau yang membacanya. 

Mungkin berisi sesuatu yang sangat penting!"

Baureksa menjadi tertawa masam, "Wah, sa-

rua keneh! Waktu kecil aku cuma diajari tulisan Arab 

di pesantren. Kalau tulisan Belanda mah' teu tiasa 

jang, he-he-he!"

"Kalau tulisan Latin sebaiknya serahkan saja 

pada Mirah. Dia adalah putri bekas pejabat di Kunin-

gan, tentu bisa baca!" kata si Lengan Tunggal Umang.

Wori segera menyerahkan kertas-kertas itu 

kepada Mirah. Tetapi wanita itu pun rupanya rada-

rada buta huruf pula. Dengan susah payah ia mencoba 

mengeja huruf demi huruf, namun tetap saja ia tak bi-

sa membacanya dengan sempurna.

"Ini... ini surat penjualan mutiara-mutiara 

kepada Belanda," kata Mirah agak ragu-ragu.

"Hah?" Pampani berseru kaget mendengar 

ucapan Mirah, "Benarkah itu?"


"Ya, benarkah itu, Mirah?" tanya Baureksa 

pula ingin memperoleh kepastian.

Mirah kembali mengeja-ngeja huruf demi hu-

ruf. Beberapa saat kemudian, ia mengangguk mantap, 

"Benar! Tidak salah lagi, Tulisan ini memang surat 

penjualan mutiara kepada Belanda!"

Para pendekar di ruangan itu saling pandang 

satu sama lain, seolah-olah ingin bertanya, kalau me-

mang benar demikian, apakah gerangan maksud Wan-

Da-I menjual mutiara-mutiara itu kepada Belanda? 

Dapat diterka, tokoh sesat itu pun tentu telah meren-

canakan sesuatu yang lebih hebat lagi untuk bisa jadi 

penguasa di Kepulauan Aru. Dan itu membuat Pam-

pani serta teman-temannya pendekar dari Pulau Jawa 

merasa harus meningkatkan kewaspadaan.

***

TIGA



Di tepi pantai, si Gila Dari Muara Bondet ma-

sih duduk bersemedi di antara terpaan gelombang laut 

yang cukup kuat. Kedua matanya terpejam dan tu-

buhnya tegak diam, pertanda bahwa ia benar-benar 

hanyut dalam semedinya.

Sesosok bayangan berkelebat cepat sekali di 

atas tebing, lalu mengintai dari balik pepohonan. Tan-

gannya yang kekar memegang sebatang lembing yang 

ukurannya kecil dan pendek, sehingga mirip anak pa-

nah. Tanpa menimbulkan suara mencurigakan, lelaki 

misterius itu menyambitkan lembing itu dari atas teb-

ing ke arah punggung si Gila Dari Muara Bondet.

Agaknya lelaki yang melancarkan serangan 

gelap itu memiliki tenaga dalam yang luar biasa kuat


nya, sehingga benda runcing bergagang panjang itu 

meluncur bagaikan kilat dan menimbulkan suara ber-

desing.

"Club!" Dengan kecepatan luar biasa, si Gila 

Dari Muara Bondet meloncat ke atas, sehingga senjata 

rahasia itu hanya menancap di dasar air tempat Karta 

tadi duduk bersemedi. Dalam semedinya, si Gila Dari 

Muara Bondet ternyata tetap memasang kewaspadaan, 

sehingga ketika senjata itu meluncur ke arahnya, ia 

segera mengetahui lewat pendengarannya yang sangat 

tajam.

Tubuhnya bersalto beberapa kali dengan ge-

rakan yang sangat ringan dan cepat. Kakinya, kemu-

dian mendarat di atas tebing dengan gerakan yang 

hampir tidak menimbulkan suara, pertanda ia sudah 

memiliki ilmu meringankan tubuh yang amat tinggi.

"Haiiiit!" Karta langsung memasang kuda-

kuda sambil menatap liar ke sekelilingnya. Tetapi 

alangkah kecewanya dia, manakala menyadari bahwa 

orang yang menyerangnya telah lenyap. Sadarlah Karta 

bahwa orang itu pasti memiliki ilmu yang sangat tinggi 

dan mempunyai sifat kejam serta sadis. Kalau saja 

senjata itu tadi mengenai sasaran, kemungkinan Karta 

akan tewas, atau paling tidak akan menderita luka pa-

rah.

Dengan kesal, Karta meloncat turun dan 

kembali duduk bersemedi di dalam air. Sebelum ha-

nyut dalam semedinya, pendekar itu masih sempat 

bertanya-tanya siapakah gerangan musuh yang me-

nyerangnya secara diam-diam tadi?

Sementara itu, Pampani dan kawan-

kawannya masih duduk berbicara serius mengenai pe-

nemuan Wori yang sangat menakjubkan. Dari wajah 

mereka, terlihat adanya ketegangan.

"Bagaimana pendapat kalian mengenai pen


jualan mutiara-mutiara peninggalan Iblis Pulau Aru?" 

tanya Pampani.

"Menurut pendapatku lebih baik jual beli ini 

tidak diteruskan. Kita ambil mutiara-mutiara itu dan 

kita kembalikan kepada rakyat yang berhak," kata Mi-

rah mengajukan pendapatnya. 

"Hm, aku ada akal lain," sahut Baureksa, 

"Lebih baik mutiara-mutiara itu kita jual ke lain bang-

sa, tetapi bukan kepada Belanda. Kita jual saja kepada 

bangsa Inggris, kita cari persaingan harga yang lebih 

tinggi. Siapa yang berani bayar tinggi, merekalah yang 

dapat."

"Tapi apa bedanya?" kata Wori tampak ku-

rang setuju dengan saran si Kaki Tunggal, "Dengan ca-

ra seperti itu, sama saja meneruskan pekerjaan Ma-

leang."

"Tunggu dulu! Maksudku, dengan cara seperti 

itu maka akan timbul perang dagang di antara orang-

orang kulit putih. Biarlah mereka saling cakar-cakaran 

satu sama lain. Kita yang makan untungnya. Apakah 

kalian setuju?"

"Ha ha ha!" Wori tertawa tergelak-gelak se-

hingga perutnya berguncang-guncang, "Bagus! Bagus 

sekali. Aku setuju. Inggris kita adu dengan Belanda!"

Pampani tampak manggut-manggut. Wajah-

nya pun tampak berseri-seri, dan dengan nada ceria ia 

berkata: "Aku pun setuju! Tapi siapa orangnya yang 

bisa menghubungi bangsa Inggris?"

Sebelum sempat ada yang menjawab, tiba-

tiba si Kaki Tunggal berteriak nyaring. Tongkatnya 

yang ujungnya bergagang dua disambitkan sambil 

mengerahkan tenaga dalam, sehingga meluncur bagai-

kan kilat ke atas atap istana.

"Hiyaaaat!" Suami istri Umang dan Mirah pun 

meluncurkan golok mereka. Wori pun tak ketinggalan,


bumerang mautnya menyambar bagaikan kilat menyu-

sul senjata teman-temannya. 

Hampir secara berbarengan, semua senjata 

itu menembus atap. Terdengar suara seruan kaget se-

seorang yang sejak tadi rupanya mengintai dari atas 

atap. Tetapi agaknya lelaki itu bukanlah orang semba-

rangan. Tubuhnya segera berkelebatan di antara kila-

tan-kilatan cahaya senjata dari Pulau Jawa itu.

Tidak sampai satu helaan nafas berselang, 

tubuh keempat pendekar itu sudah melesat naik ke 

atap istana. Senjata bumerang Wori mencoba mengha-

dang laki-laki misterius itu. Namun sambil bersalto di 

udara, kaki kanannya menendang bumerang itu den-

gan gerakan yang sangat cepat dan kuat, sehingga sen-

jata itu berbalik meluncur ke arah pemiliknya. Hampir 

saja senjata makan tuan, karena gerakan lelaki itu 

sungguh tidak terduga-duga. Untunglah Wori segera 

berkelit disertai seruan kaget, dari bumerang itupun 

tertancap ke dinding istana.

Sewaktu para pendekar kawan akrab Pampa-

ni itu mendaratkan kakinya di atap istana, mereka 

hanya sempat menyaksikan sesosok bayangan berke-

lebat bagaikan anak panah, sehingga wajahnya tidak 

sempat terlihat. 

"Setan! Gerakannya cepat luar biasa! Apa ka-

lian sempat melihat wajahnya tadi?" tanya si Kaki 

Tunggal dengan wajah merah padam karena marah, te-

tapi juga bercampur kagum. Kalau pendekar berilmu 

tinggi seperti Baureksa sampai memaki lantaran ka-

gum, dapatlah dibayangkan betapa hebatnya ilmu me-

ringankan tubuh laki-laki misterius tadi.

"Sayang sekali tidak sempat. Cuma potongan 

tubuhnya agak kurus," sahut Umang. Pendekar ber-

lengan tunggal ini pun sangat kagum dan diam-diam 

harus mengakui bahwa kepandaiannya belum tentu


lebih tinggi dari orang itu.

"Maleang Pangaru memang bertubuh kurus. 

Tetapi Wan-Da-I pun demikian. Entah siapa sebenar-

nya orang itu?" kata Baureksa sambil menghela nafas 

dalam-dalam. Agaknya orang tua itu mulai dapat me-

rasakan bahwa saat ini musuh yang teramat lihai telah 

muncul yang setiap saat tidak mustahil dapat mence-

lakakan mereka. Karena itu ia pun berfikir bahwa da-

lam waktu dekat mereka pasti akan menghadapi kesu-

litan yang tak boleh dianggap remeh.

"Saya rasa itu bukan Wan-Da-I." kata Umang 

mantap. Bukankah pemberontak berilmu sihir itu be-

lum memiliki kelihaian setinggi itu? Demikianlah per-

hitungan si Lengan Tunggal sehingga ia merasa sangat 

yakin akan kebenaran tebakannya.

Mereka kemudian meloncat turun ke hala-

man istana, di mana Pampani sudah menunggu den-

gan wajah yang sedikit memancarkan ketegangan. Be-

tapa tidak, empat temannya pendekar dari Pulau Jawa 

itu bukanlah orang sembarangan. Namun rupanya ti-

dak berhasil menangkap lelaki yang tadi mencoba 

mencuri dengar pembicaraan mereka. Tidak mungkin 

ada tokoh persilatan yang bisa lolos dari tangan te-

man-temannya, kalau tak memiliki kesaktian yang 

sangat tinggi. 

"Sudahlah," kata Pampani menghibur diri 

sendiri, "Sekarang mari kita buktikan siapa sebenar-

nya dia! Kita bongkar kuburan Maleang Pangaru! Ka-

lau betul dia sudah mati, jenazahnya tentu akan terli-

hat, tapi kalau masih hidup seperti yang dikatakan 

Wan-Da-I, apa boleh buat kita terpaksa harus menga-

du nyawa dengannya!"

"Baiklah kalau begitu. Sekarang mari kita be-

rangkat, makin cepat makin baik," kata Baureksa.

"Ya, tetapi kita harus tetap hati-hati dan siap


siaga. Siapa tahu nanti datang musuh berikutnya. Kita 

harus membagi kekuatan. Sebaiknya saudara Umang 

dan Mirah menjaga dalam istana, melindungi tuan pu-

tri. Sedangkan aku, Wori serta Pendekar Kaki Tunggal 

pergi ke kuburan itu."

"Baik, kami siap berjaga-jaga di istana!" sahut 

Umang.

"Berhati-hatilah, engkau saudaraku! Awasi 

setiap gerakan yang mencurigakan. Kami secepatnya 

akan kembali!" 

Pampani, Wori dan Baureksa segera menyu-

suri jalan kecil, menembus hutan di malam yang gelap 

itu. Perjalanan menuju lembah kuburan Iblis Pulau 

Aru cukup memakan waktu, karena selain cukup jauh, 

langkah mereka pun sering terhambat semak-semak 

dan akar pepohonan yang kurang jelas terlihat. Un-

tunglah saat itu rembulan bersinar cukup terang, se-

hingga sangat membantu ketiga pendekar itu. Setelah 

hampir satu jam menempuh perjalanan menurun, me-

reka akhirnya sampai ke kuburan Maleang Pangaru. 

Keadaan di tempat itu sangat sepi, bahkan terasa me-

nyeramkan. Gundukan tanah dan batu nisan makam 

tokoh sesat itu tampak seperti menyimpan sebuah 

misteri yang terlalu sukar dimengerti maknanya. Bebe-

rapa ekor burung malam terbang dari dahan pohon di 

dekat kuburan itu karena terkejut menyaksikan keda-

tangan tiga laki-laki tadi. Beberapa Saat terdengar bu-

rung memecah kesunyian malam, berbaur dengan de-

sah dedaunan diterpa angin. 

Pampani dan kedua sahabatnya berdiri tegak 

di sisi kuburan itu. Sejenak Pampani memeriksa kubu-

ran itu, lalu sambil menatap si Kaki Tunggal dan Wori 

bergantian, ia berkata: "Inilah kuburan Maleang Pan-

garu. Oleh karena dia adalah adik dari ayahku, maka 

ia berhak mendapat cara penguburan kehormatan. Te


tapi ia tidak berhak dikuburkan di halaman istana," 

kata Pampani.

"Bagaimana dengan Wan-Da-I?" tanya Bau-

reksa. 

"Wan-Da-I telah dianggap sebagai musuh su-

ku, karena ia adalah anak haram dari pamanku. Oleh 

karena itu, derajatnya sama dengan pendeta Naomi, 

mayatnya dibuang begitu saja."

"Sudahlah, kita tak perlu terlalu banyak bica-

ra sekarang. Sebaiknya kita menggali kuburannya!" 

kata Wori. Lalu tanpa menunggu lebih lama lagi, ia 

menggali kuburan itu dengan peralatan yang salah sa-

tu ujungnya berfungsi seperti cangkul sedang ujung 

yang satunya lagi berfungsi sebagai sekop. 

Wori yang memiliki tenaga bagaikan banteng, 

dengan sangat cekatan melakukan pekerjaan itu, se-

dangkan Pampani dan si Kaki Tunggal menunggu di 

dekat kuburan. Tak lama kemudian peti kuburan itu 

sudah kelihatan.

"Bukalah!" kata Pampani dengan wajah te-

gang.

Hanya dengan jari-jari tangannya, Wori mem-

buka peti itu. Terdengar suara gemeretak, dan peti itu 

pun terbuka. 

"Hah? Kosong?" seru Pampani dan Baureksa 

berbarengan. Ternyata peti itu kosong melompong. Ti-

dak ada mayat Maleang di dalamnya seperti yang me-

reka perkirakan sebelumnya. Bukankah Iblis Pulau 

Aru itu sudah tewas? Bagaimana mungkin petinya ko-

song? Apakah mayatnya diambil orang atau memang ia 

hidup kembali?

"Tak mungkin ia dapat hidup kembali. Racun 

buatan paman Cebol sangat ampuh. Tidak pernah 

gagal!" kata Pampani masih belum bisa mengatasi rasa 

kagetnya. Ia memang tahu persis, beberapa waktu lalu


Maleang Pangaru tewas oleh racun paman Cebol dan 

setelah itu dikuburkan di lembah, agak jauh dari ista-

na. 

"Kalau begitu...." sahut Wori ragu-ragu. 

"Pasti ada orang lain yang telah membongkar 

kuburannya!" sela Pampani cepat, "Mungkin orang itu 

mempunyai maksud tertentu. Tidak mungkin hidup 

kembali!"

"Jika demikian, siapakah gerangan yang 

membongkarnya?" 

Sebelum sempat menjawabnya, tiba-tiba se-

buah jaring berupa jala menyambar turun dan lang-

sung menyergap ketiga pendekar itu. Tanpa sempat 

mengelak, mereka menjadi terjebak. Sambil berseru 

kaget, ketiganya mencoba mengerahkan segenap tena-

ga untuk meronta. Namun rupanya jala itu terbuat da-

ri benda yang sangat lemas tapi kuat sekali, sehingga 

makin meronta tubuh ketiga pendekar itu makin terje-

rat.

"Keparat! Kupecahkan kepalamu!" bentak Wo-

ri dengan suara mengguntur. Tiba-tiba terdengar suara 

terbahak-bahak, sambung-menyambung sehingga te-

rasa menggetarkan daun-daunan di sekitar lembah itu.

"Ha-ha-ha! Sekali tanggok tiga nyawa sekali-

gus! Terima kasih karena kalian telah menggali kubur 

sendiri. Nah, sekarang nikmatilah ajal kalian!"

Bersamaan dengan itu, menyemburlah gum-

palan asap berwarna ungu dari atas tebing dan lang-

sung menyelimuti Pampani dan kedua sahabatnya.

"Ahhh....! Asap beracun!" teriak Baureksa ter-

kejut. Ia mencoba menahan pernafasannya, tetapi ra-

cun berupa gas itu sudah terlanjur masuk ke paru-

parunya. Demikian juga halnya Pampani dan Wori. 

Dada mereka terasa sangat sesak, seolah-olah hendak 

meledak dan nyeri sekali. Sekujur tubuh mereka ba


gaikan ditusuk-tusuk ribuan jarum dan seketika le-

maslah tubuh mereka, seperti telah kehilangan semua 

tenaga dan kesaktian mereka. Tak diragukan lagi, gas 

beracun itu sangatlah berbahaya, sehingga pendekar 

sakti seperti Baurekso, Wori dan Pampani langsung 

terkulai lemas dalam waktu yang sangat singkat. Bebe-

rapa saat, tubuh mereka berkelojotan, lalu diam tak 

bergerak-gerak lagi.

"Nah, sudah mampus!" teriak lelaki itu sambil 

tertawa puas.

Muncullah dua lelaki bertubuh tinggi besar 

bagaikan raksasa. Rambut kedua lelaki itu dikuncir ke 

atas, sama seperti Wori keduanya pun mengenakan 

anting-anting besar di daun telinga dan hanya menge-

nakan cawat. Usia mereka sekitar empat puluh lima 

tahun. Tetapi melihat gerak-gerik dan cara mereka 

memandang sesuatu, dapat diterka keduanya memiliki 

sifat yang sangat kejam, seperti hewan buas yang siap 

diperintah setiap saat untuk melakukan apa saja. 

Di tempat itu telah berdiri pula si ahli sihir 

Womere. Ternyata laki-laki itulah yang memasang je-

bakan dan meracuni Pampani dan kedua sahabatnya. 

Ia berusia sekitar empat puluh tahun dengan tubuh 

yang sedang namun tegap dan tampak penuh otot be-

risi pertanda bahwa dirinya memiliki tenaga yang san-

gat kuat. Rambutnya keriting dan hitam dan selalu 

mengembang membuat kepalanya terlihat lebih besar. 

Tidak seperti penduduk asli Pulau Aru, tokoh sesat ini 

mengenakan pakaian berupa jubah. Matanya terlihat 

jarang sekali berkedip dan selalu memancarkan sesua-

tu yang sangat mudah karena mempengaruhi orang 

lain.

Hal itu tidak mengherankan, karena ia me-

mang adalah ahli ilmu sihir yang sangat jahat dan se-

tiap saat bisa mencelakakan lawan bila berhadapan


dengannya

"Angkat mereka ke atas!" perintah Womere 

dengan berwibawa.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu segera 

mengeluarkan tubuh ketiga tawanan mereka dari da-

lam jaring. Lalu hanya sekali cemplak, tubuh Pampani 

dan Baureksa telah tergantung lemas di atas pundak 

kedua laki-laki raksasa itu.

"Sekarang lemparkan Pampani dan si Bun-

tung ke dalam kanal ikan-ikan hiu. Tetapi si pendekar 

bumerang Wori harus kalian bawa ke markas! Jalan-

kan tugas kalian dengan baik! Aku masih ada urusan 

lain!"

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ke-

dua orang bertubuh raksasa itu menjalankan perintah 

atasannya dengan patuh. Mereka berjalan melalui te-

rowongan air, yang merupakan bangunan alam. Lo-

rong-lorong gelap itu cukup panjang dan banyak ber-

kelok-kelok. Akhirnya mereka sampai ke dalam gua di 

bawah tanah. Lorong di tempat itu jauh lebih sempit, 

sehingga kadang-kadang kedua anak buah Womere itu 

terpaksa harus membungkukkan badan agar bisa le-

wat.

***

EMPAT



Di pinggir lorong itu, terlihat tumpukan tu-

lang-belulang dan tengkorak manusia berserakan. 

Agaknya tempat itu dulunya merupakan ruangan yang 

khusus dibangun untuk tempat pembantaian orang-

orang yang dianggap pembangkang atau musuh. Meli-

hat keadaan tulang-belulang dan tengkorak itu sudah


mulai lapuk, kemungkinan mereka dibunuh beberapa 

tahun atau bahkan mungkin puluhan tahun silam.

Penduduk biasa tentulah akan ngeri atau se-

dikitnya merasa terkejut melihat pemandangan itu. 

Tengkorak-tengkorak itu seperti menyeringai buas, 

seolah-olah siap menerkam siapa saja. Tetapi kadang-

kadang terlihat seperti merintih kesakitan, bagaikan 

hendak mengungkapkan penderitaan yang sangat me-

nyiksa sebelum mereka dihabisi. Kedua anak buah

Womere melewatinya dengan tenang, bahkan ada ka-

lanya menginjak tengkorak-tengkorak itu dengan mi-

mik wajah biasa-biasa saja.

Tak jauh dari tumpukan-tumpukan tengko-

rak itu, terdapat kanal buatan tempat tersekapnya 

ikan-ikan hiu yang sangat ganas, karena sangat jarang 

diberikan makan. Itu memang disengaja, sehingga ka-

lau ada seseorang yang dilemparkan ke sana sebagai 

hukuman, maka orang tersebut akan segera menemui 

ajalnya disantap habis-habisan oleh ikan-ikan hiu itu.

Kedua laki-laki bertubuh raksasa tadi memu-

tar-mutar tubuh Baureksa dan Pampani dengan cepat 

sekali hingga berubah bagaikan baling-baling. Agaknya 

keduanya sengaja membuat ancang-ancang agar dapat 

melempar tawanannya lebih jauh.

Yang mendapat giliran pertama adalah Kepala 

Suku berusia muda Pampani. Setelah dibuat baling-

baling beberapa saat, tubuhnya dilemparkan melayang 

tinggi ke arah kanal maut itu. Tubuh itu kemudian 

meluncur turun dan agaknya tidak akan dapat disela-

matkan lagi. Tetapi tiba-tiba sebuah bayangan berke-

lebat bagaikan kilat menyambar tubuh Pampani hing-

ga terhindar dari kanal maut itu. Sesosok bayangan itu 

sambil mengapit tubuh Pampani bersalto beberapa kali 

dan akhirnya mendarat ringan di pinggir kanal.

"Bangsat!" Anak buah Womere berteriak, lan


taran merasa terkejut bukan main. Sungguh tak di-

nyana masih ada yang berani menggagalkan pekerjaan 

mereka. Dan lebih hebat lagi, tubuh Pampani yang 

hanya tinggal beberapa jengkal dari permukaan kanal 

buatan itu dapat diselamatkan. Sungguh merupakan 

kelihaian yang luar biasa! Entah kapan pula lelaki itu 

masuk ke dalam ruang bawah tanah.

Tak terkatakan betapa marahnya kedua anak 

buah Womere. Biarpun mereka sama-sama menyadari 

bahwa musuh yang muncul cepat bagaikan siluman 

itu sangat tinggi ilmunya, keduanya tampak tidak gen-

tar sedikitpun juga. Keduanya segera memasang kuda-

kuda dan dari sinar mata mereka terlihat jelas bahwa 

mereka akan membunuh lelaki itu. (Ternyata bayan-

gan yang berkelebat menyambar tubuh Pampani ada-

lah si Gila Dari Muara Bondet Karta. Tadi kebetulan 

saja ia keluar dari air tempatnya bersemedi dan sem-

pat menyaksikan Baureksa serta Pampani dibawa ke 

dalam gua bawah tanah. Pendekar dari Bondet itu pun 

segera menguntit dari belakang. Karena ilmu merin-

gankan tubuhnya sudah sangat tinggi, kehadirannya 

sama sekali tidak diketahui. Maka ketika tubuh Kepala 

Suku itu dilemparkan ke dalam kanal ikan hiu, ia se-

gera bertindak cepat, sehingga loloslah Pampani dan 

cengkeraman maut.

Sambil berteriak nyaring, kedua raksasa hi-

tam itu menerjang dari sebelah kiri dan kanan. Walau-

pun tubuh mereka tinggi besar, namun ternyata bisa 

bergerak cepat. Sebelum tubuh mereka menyentuh tu-

buh Karta, sudah terasa angin pukulan menyambar 

pertanda tenaga mereka sangat dahsyat.

Karta yang sejak tadi sudah menurunkan tu-

buh Pampani segera bersiap-siap menghadapi seran-

gan maut kedua lawan. Ketika pukulan tangan kiri la-

wan menyambar lehernya, ia segera menunduk dan


hampir bersamaan dengan itu, ia mengangkat lutut 

kanannya menyambar perut lawan.

"Buk!" Serangan itu mendarat telak, membuat 

lawan berteriak kesakitan. Namun sebelum ia sempat 

mengatur keseimbangan, pukulan tangan kanan Karta 

sudah menyusul menghantam punggungnya

Demikian kuatnya tenaga dalam yang dike-

rahkan si Gila Dari Muara Bondet, sehingga tubuh 

raksasa itu terlempar dan melayang ke dalam kanal 

buatan.

"Byuuur!" Tubuh itu pun tercebur dan hampir 

bersamaan dengan itu air kanal berdeburan karena 

rontaan lelaki bertubuh raksasa itu. Air kanal itu seke-

tika berubah menjadi merah, karena puluhan ekor 

ikan hiu yang sedang lapar dengan amat ganasnya 

mencabik-cabik sekujur tubuh korbannya.

"Mampus kau!" teriak Karta geram, karena 

tadi hampir saja sahabat sekaligus kakak iparnya yang 

jadi korban kanal maut. Tetapi kemudian tiba-tiba ia 

berseru kaget, karena ikan-ikan hiu itu terlempar dari 

dalam kanal.

Hanya beberapa saat kemudian, muncullah 

laki-laki bertubuh raksasa itu dari dalam kanal, den-

gan keadaan tubuh yang sangat mengerikan berlumu-

ran darah. Kaki kanannya telah buntung sebatas lutut 

terkena sambaran ikan-ikan hiu, demikian juga perge-

langan tangan kanannya telah buntung. Bahkan wa-

jahnya hampir tidak mempunyai bentuk lagi, karena di 

beberapa bagian tubuh tulang-tulangnya sudah keliha-

tan. Darah dan air mengucur deras dari tubuh laki-laki 

itu.

Akan tetapi sungguh luar biasa, ia dalam 

keadaan yang sangat mengerikan itu masih dapat ber-

jalan tertatih-tatih ke arah Karta, dengan cara melom-

pat-lompat. Mata kirinya mengalami luka yang sangat


parah, sehingga pendekar sakti yang sudah sangat 

berpengalaman dan sudah sangat sering pula mengha-

dapi beraneka macam kesulitan seperti si Gila Dari 

Muara Bondet sempat tertegun dibuatnya.

Sambil menggereng bagaikan singa kelapa-

ran, lelaki bertubuh raksasa yang sangat mengerikan 

menerkam Karta. Tubuhnya melayang dan tangan ki-

rinya mencengkeram ke arah leher lawan. Tentu saja si 

Gila tidak mau jadi korban keganasan lawan. Ia segera 

berkelit, sehingga tubuh yang sudah berlumuran da-

rah itu terpelanting ke belakang. 

Karta membalikkan badan dan ia kembali 

berteriak kaget manakala menyaksikan lawannya su-

dah bangkit kembali. Bahkan dengan gerakan yang 

cukup cepat laki-laki bertubuh raksasa itu sudah me-

nerjangnya kembali,

"Hiyaaaat!" Karta berteriak nyaring, lalu ke-

mudian membantingkan tubuh ke samping. Bersa-

maan dengan itu, kaki kirinya yang telah dialiri tenaga 

dalam menyambar tubuh lawan dengan dahsyat. 

"Buk!" Tendangan yang sangat telak meng-

hantam perut, sehingga tubuh raksasa mengerikan itu 

kembali terlempar. Tetapi seperti dikendalikan tenaga 

gaib, laki-laki itu bangkit kembali. Hampir tak bisa di-

percaya, karena menurut pengalaman Karta, tendan-

gan yang dilakukan sambil mengerahkan tenaga dalam 

sepenuhnya tentulah akan meremukkan perut lawan. 

Jika tidak tewas seketika, sedikitnya akan menderita 

luka yang sangat parah. Entah bagaimana caranya le-

laki bertubuh raksasa itu mampu berbuat sehebat itu.

"Kurang ajar! Kubunuh kau!" bentak Karta 

geram.

Akan tetapi tanpa memperdulikan bentakan-

nya, laki-laki bertubuh raksasa itu kembali telah me-

nerkamnya dengan dahsyat. Temannya yang satu lagi


juga telah menurunkan tubuh Baureksa dan ikut serta 

menyerang, dari arah yang berlawanan.

Karta berteriak nyaring sambil meloncat cepat 

di depan hidung lawannya yang kedua, yang tampak 

masih segar bugar. Tetapi karena kurang memperhati-

kan lawannya yang satu lagi tadi, ia hampir saja dapat 

dilumpuhkan. Untunglah secepat yang bisa dilakukan 

ia membantingkan diri ke depan.

Gerakan Karta sebetulnya masih cepat, tetapi 

karena tadi ia sempat terpengaruh oleh keadaan la-

wan, ia jadi terlambat bertindak sehingga kedua ka-

kinya dapat ditangkap lawan. Akibatnya tubuh pende-

kar dari Muara Bondet itu pun terjungkal dan terbant-

ing keras ke tanah.

"Aduh!" Karta mengaduh kesakitan akibat ra-

sa nyeri luar biasa di punggungnya. Ia berusaha me-

ronta, namun tenaga kedua lelaki raksasa itu sangat 

kuat. Tubuhnya kini terjembreng seperti selembar ser-

bet dapur yang hendak dirobek-robek.

Kembali pendekar gagah perkasa itu meringis 

menahan sakit pada pangkal pahanya. Ia mencoba 

mengangkat tubuh dengan cara menumpukan kedua 

tangan ke tanah. Tetapi justru hal itu membuat pang-

kal pahanya semakin sakit, seolah-olah sudah lepas 

persendiannya.

Adalah satu hal yang luar biasa, seorang lela-

ki berkaki buntung dan masih mengucurkan darah bi-

sa memiliki tenaga sekuat itu sehingga Karta sama se-

kali tidak bisa berkutik. Makin lama, kaki kiri dan ka-

nannya yang ditarik dari dua arah berlawanan mem-

buatnya semakin tak berdaya. Hampir saja pendekar 

itu putus asa, namun tiba-tiba ia teringat kepada pe-

dang di pinggangnya.

Dengan sangat bersusah payah, Karta berha-

sil mencabut senjata itu. Dan tanpa menunggu lebih


lama lagi, ia segera mengayunkannya, menyambar pe-

rut kedua lawan.

"Akh!" Kedua laki-laki bertubuh raksasa itu 

menjerit. Pedang Karta dengan telah merobek tubuh 

lawan, sehingga ususnya terburai menyemburkan da-

rah segar. Karena sangat kaget dan kesakitan, pegan-

gan kedua anak buah Womere tadi terlepas. Karta se-

gera meloncat dan menyaksikan kedua tubuh yang 

bersimbah darah itu menggelepar-gelepar beberapa 

saat. Lalu diam tak bergerak-gerak lagi. Nyawanya pun 

melayang sudah meninggalkan raga.

Karta menghela nafas lega. Hampir saja tadi 

ia celaka di tangan kedua lawannya. Kalau saja tidak 

berhasil membabat tubuh lawan, kedua kakinya akan 

terpisah sebatas selangkangan. Sungguh memalukan 

bagi seorang pendekar seperti dia tewas dengan cara 

seperti itu.

Setelah menyarungkan senjatanya, ia segera 

menolong Pampani dan si Kaki Tunggal yang sedang 

sekarat akibat gas beracun yang mereka hirup melalui 

pernafasan sewaktu terjerat perangkap musuh. Dipe-

riksanya denyut nadi kedua sahabatnya itu, masih 

berdenyut walaupun sangat lemah. Berarti mereka 

masih hidup dan mempunyai harapan bisa disela-

matkan.

Karta segera menyedot gas racun dari rongga 

paru-paru mereka. Lalu kemudian langsung dimun-

tahkan kembali. Cara pengobatan seperti itu memerlu-

kan perhitungan yang sangat tepat, karena kalau salah 

misalnya menghirup gas beracun itu tanpa sengaja, 

malah dia sendiri yang akan celaka. Karta menempel-

kan mulutnya ke mulut kedua sahabatnya itu secara 

bergantian, dan menghisap gas beracun secara beru-

lang-ulang.

Setelah yakin gas beracun sudah habis dari


rongga paru-paru Pampani dan si Kaki Tunggal, Karta 

segera membuat pernafasan buatan. Dada kedua lelaki 

yang sedang sekarat itu diurut-urut serta dikembang-

kempiskan dengan cermat. Usahanya ternyata tidak 

sia-sia. Beberapa saat kemudian, Pampani dan Bau-

reksa siuman kembali.

Kedua mengejap-ngejapkan kelopak mata, ka-

rena pandangan yang masih kabur dan agak berku-

nang-kunang. Sekujur tubuh mereka pun terasa san-

gat lemas, namun begitu melihat kehadiran Karta, me-

reka sangat bersyukur. Semangat pun menyala, se-

hingga dengan perlahan-lahan dapat bangun dan du-

duk.

"Alhamdulillah!" kata Baureksa sembari me-

mijit-mijit kepalanya yang terasa pening.

"Syukurlah kau segera datang, Karta! Kalau 

tidak, tentu kami hanya akan tinggal nama saja. Ah, 

entah bagaimana bisa kami telah berada di sini. Dan.... 

oh, ikan-ikan hiu itu tampaknya berdarah. Apa sebe-

narnya yang telah terjadi? Kenapa kedua orang ini?" 

tanya Pampani sambil mengernyitkan kening.

"Sudahlah, nanti saja aku ceritakan semua-

nya. Sekarang marilah kita mencari saudara kita Wori. 

Tadi ia dibawa secara terpisah entah ke mana. Kita ha-

rus secepatnya menemukan dia. Tampaknya ia pun 

sedang menghadapi bahaya!"

"Ya! Tapi bagaimana dengan tongkatku? Aku 

tidak bisa berjalan tanpa itu. Atau apakah engkau mau 

menggendong aku?" tanya Baureksa.

"Tenang! Aku menyimpannya di dalam lorong 

itu!" Karta segera berlari masuk ke dalam lorong gelap 

di ujung ruangan rahasia itu. Tak lama kemudian, ia 

balik lagi sambil membawa tongkat dan caping si Kaki 

Tunggal, "Kaki kananmu sudah kubawa ke sini. Ini 

dia! Dan ini senjata piring terbangmu yang sangat am


puh!"

"Ha-he-he! kau ada-ada saja, kawan!"

"Ayo, kita cari sahabat kita!"

"Ya, tapi kita harus hati-hati. Menurut Wori, 

tempat ini penuh jebakan maut. Salah sedikit saja 

nyawa kita bisa melayang," kata Pampani.

Mereka segera menempuh lorong-lorong ba-

wah tanah di sekitar kanal maut itu. Tetapi sampai ke 

ujung lorong, ketiganya tidak menemukan hambatan 

apa-apa. Di ujung lorong itu terdapat pintu putar ter-

buat dari batu cadas yang dibuat berbentuk persegi 

empat. Tanpa melepaskan kewaspadaan, ketiga pen-

dekar itu segera menghampiri pintu yang bentuknya 

sangat aneh itu. Seperti buah belimbing, sehingga jika 

dilewati langsung tertutup kembali karena berputar.

"Lihat, seperti pintu. Tetapi aneh sekali ben-

tuknya," kata Karta sambil mengamati pintu itu den-

gan seksama.

"Awas hati-hati! Siapa tahu di balik pintu itu 

maut sedang menanti. Kurasa Wori disembunyikan di 

sana," kata Pampani was-was.

"Biar aku yang memeriksa," ujar Baureksa. 

Lalu ia dan Karta mendekati pintu aneh itu. Keduanya 

meraba-raba hendak menemukan sesuatu yang mung-

kin merupakan kunci rahasia pintu.

"Tidak ada engselnya! Aneh sekali!" kata Bau-

reksa.

"Ini pasti pintu putar. Mari kita dorong ber-

sama-sama!"

Kedua pendekar yang memiliki tenaga dalam 

yang sangat kuat itu sama-sama mengerahkan sege-

nap kemampuannya mendorong pintu. Namun jan-

gankan berputar, bergeming pun tidak. Akhirnya ke-

duanya merasa yakin bahwa untuk bisa membuka pin-

tu itu tidak boleh dengan kekerasan, melainkan harus

melalui rahasianya.

***

LIMA



Ketika Baureksa dan Karta sedang meraba-

raba pintu itu, Pampani pun memeriksa setiap jengkal 

dinding batu cadas. Telapak tangannya ditempelkan 

dan bergerak turun-naik mencari kunci rahasia itu. 

Namun belum juga berhasil.

"Tunggu dulu! Aku masih berusaha mencari 

kuncinya. Pasti ada di sekitar dinding ini," kata Pam-

pani. Tiba-tiba ia menyentuh benda agak menonjol di 

dinding. Namun sebelum sempat memeriksanya, ia 

sudah dikejutkan suara berderak di pintu. Sewaktu ia 

berpaling, tampaklah olehnya pintu berbentuk buah 

belimbing itu berputar, sehingga kedua sahabatnya 

pun terbawa ikut berputar.

"Oh, Dewa! Celaka, saudara Karta dan Kaki 

Tunggal sudah masuk jebakan!" kata Pampani dengan 

dada berdebar-debar.

Karta dan Baureksa pun tidak kalah kaget-

nya. Tubuh mereka terus berputar di sela-sela pintu 

rahasia. "Hei, kita terjebak!" teriak Karta.

"Ya, pintu ini berputar terus!"

Kemudian tubuh mereka muncul lagi di ha-

dapan Pampani setelah pintu itu berputar seratus de-

lapan puluh derajat. Tetapi Karta dan Baureksa tidak 

segera dapat menyadari keistimewaan pintu itu, se-

hingga keduanya sempat menduga pintu itu merupa-

kan jebakan yang dilengkapi ilmu siluman.

"Hei, kenapa kita berada di luar kembali? Itu 

Pampani!" teriak si Kaki Tunggal terheran-heran.


"Hai, kalian berdua tidak apa-apa!" teriak pe-

mimpin suku itu pula girang.

Tiba-tiba Karta tertawa tergelak-gelak seolah-

olah lupa bahwa saat ini mereka sedang berada di sa-

rang musuh. Ia telah mengerti rahasia pintu itu, kare-

na merupakan pintu putar, kalau diam tetap di tempat 

tentu saja akan ikut terus berputar.

"Kenapa aku jadi tolol begini? Pintu ini jelas 

berbentuk buah belimbing. Tentu saja kita akan terus 

berputar. Lihat, dasar pintu tempat kita berdiri ben-

tuknya bulat. Jadi kalau kita hendak masuk ke dalam 

sana, begitu tubuh kita ikut berputar, kita harus sege-

ra melangkah!"

"Kurasa juga begitu. Tadi aku sempat melihat 

sebuah pintu di dalamnya," sambung Baureksa.

"Tak salah lagi! Kalau begitu, kita harus men-

dorongnya perlahan-lahan saja agar tidak melewati 

ambang pintu itu!"

"Mari, aku akan ikut membantu mendorong-

nya!" kata Pampani. Ia memberi aba-aba, sehingga se-

cara perlahan-lahan pintu rahasia itu berputar dan 

membawa ketiga pendekar itu ke depan sebuah ruan-

gan besar dan luas.

"Kita sudah berhasil masuk!" kata Karta gi-

rang.

"Ya, tapi hati-hati langkahmu, Karta. Di sini 

tidak mustahil telah dipasang jebakan," si Kaki Tung-

gal menasehati sambil menatap liar keadaan di sekeli-

lingnya.

"Heran, rupanya teknik bangunan mereka 

sudah sangat tinggi, sehingga kita sudah ketinggalan 

jauh. Entah dari mana mereka mempunyai pengeta-

huan membangun pintu ajaib seperti ini," ujar Pampa-

ni kagum.

"Tidak dapat diragukan lagi, mereka pasti


mempunyai ahli bangunan yang sangat pintar. Karena 

itu kita harus lebih hati-hati. Coba perhatikan...."

Sebelum Baureksa sempat meneruskan uca-

pannya, mendadak tiga kilatan cahaya menyambar ke 

arah ketiga pendekar itu. Ternyata adalah tiga buah 

lembing runcing melesat cepat sekali ke arah bagian 

tubuh yang sangat berbahaya bagi lawan.

"Hait!" Karta berteriak kaget, karena sungguh 

tak menyangka akan diserang secara mendadak dan 

secepat itu. Secepat kilat ia menundukkan badan, na-

mun masih sempat merobek baju di bagian bahunya 

sehingga kembali ia berseru kaget tanpa sadar. Namun 

dengan gerakan yang cukup mantap dan meyakinkan, 

pendekar gagah perkasa itu masih sempat menangkap 

tombak yang nyaris melukai dirinya. Baureksa yang 

berada beberapa langkah di belakang Karta tidak se-

kaget si Gila. Ia mengangkat tongkatnya menangkis 

senjata lawan sehingga terdengar suara berdentang ke-

ras, agaknya tombak terbuat dari logam yang keras, 

hingga tidak patah sewaktu beradu keras dengan 

tongkat Baureksa. Setelah memapaki senjata lawan, si 

Kaki Tunggal menangkap tombak itu dengan tangan 

kirinya.

"Hayiiiit!" Pampani pun berteriak kaget meli-

hat kilatan senjata lawan menyambar ke arah leher-

nya. Tetapi dengan gerakan yang sangat cepat dan 

kuat, ia mundur selangkah lalu menangkap tombak itu 

dengan kedua tangannya. Sama seperti kedua saha-

batnya Kepala Suku itu pun merasa kedua tangannya 

bergetar, menandakan tenaga dalam musuh tidak bo-

leh dianggap remeh.

Hampir bersamaan dengan itu, berloncatan-

lah tiga laki-laki di ruangan itu. Perawakan mereka 

tinggi besar dan kekar, sangat mirip dengan dua laki-

laki bertubuh raksasa yang tadi hendak melemparkan



Pampani serta Baureksa ke dalam kanal ikan hiu. 

Agaknya ketiga pria yang tampak sangat bengis itu 

memiliki tenaga yang sangat besar dan hanya men-

gandalkan nya hingga tak seorang pun di antaranya 

memegang senjata. Ketiga-tiganya sama-sama mengge-

reng bagaikan singa kelaparan hendak menerkam 

mangsa.

Sadarlah Pampani dan kedua sahabatnya 

bahwa saat ini mereka sedang menghadapi musuh 

yang tangguh dan kuat. Ketiga musuh yang baru mun-

cul itu sudah memasang kuda-kuda. Gerakannya ter-

lihat agak lamban, namun terasa sangat kuat. Setiap 

kali menghentakkan kakinya, terdengar suara berde-

bum disertai ber-getarnya ruangan itu.

"Hati-hati!" teriak Baureksa, lalu bersama 

Karta dan Pampani segera memasang kuda-kuda den-

gan senjata lembing yang mereka tangkap tadi, siap di-

gunakan merobohkan lawan.

Tak lama kemudian, terjadilah pertarungan 

sengit. Ketiga laki-laki tinggi besar itu menerkam la-

wan masing-masing. Sewaktu tubuhnya masih me-

layang di udara, kedua tangan diulurkan dengan posisi 

hendak mencengkeram.

"Ciyaat!" Pampani berteriak nyaring. Tombak 

di tangannya diayunkan dan dengan telak menghan-

tam paha lawan. Namun sungguh luar biasa, laki-laki 

itu tidak bergeming sama sekali, bahkan merasa sakit 

pun tampaknya tidak. Ia justru menerjang Pampani 

hingga Kepala Suku itu terpaksa harus membanting-

kan diri ke samping menghindari cengkeraman lawan. 

Secepat kilat ia bangkit lagi, lalu melancarkan seran-

gan yang lebih dahsyat lagi. Ujung tombak di tangan-

nya diarahkan ke bagian-bagian tubuh vital, supaya 

dapat secepatnya merobohkan laki-laki bertubuh rak-

sasa itu.


Si Gila Dari Muara Bondet juga harus menga-

kui kekuatan lawan, yang memiliki tenaga bagaikan 

banteng. Setiap kali mengadu kekuatan terasa betapa 

lengannya bergetar hebat dan kesemutan. Itulah se-

babnya ia selalu berusaha menghindari bentroknya 

pukulannya dengan lawan. Akan tetapi lawannya itu 

agaknya menyadari keunggulan tenaganya. Setiap kali 

pukulan tangan kiri Karta menyambar, ia sengaja tidak 

mengelak, bahkan memapakinya, dengan posisi jari-

jari tangan mencengkeram.

Karta tentu saja tidak mau melayani keingi-

nan lawan. Ia pun tidak terlalu banyak melancarkan 

pukulan, kecuali kalau benar-benar dalam posisi men-

guntungkan. Ia lebih banyak memainkan tombak di 

tangannya, memutarnya cepat sekali hingga mencipta-

kan gulungan sinar kehitam-hitaman dan menimbul-

kan suara menderu-deru. Sekali-sekali gulungan sinar 

senjata itu mencuat menyambar ke arah tubuh lawan 

yang vital.

Memasuki jurus kedua puluh, Karta dapat 

mendesak lawan. Ujung senjatanya beberapa kali nya-

ris menghunjam telak. Untunglah laki-laki bertubuh 

raksasa yang dihadapinya itu memiliki gerakan yang 

cukup cepat, sehingga masih bisa menghindar. Karta 

menjadi penasaran. Ia meningkatkan tekanannya den-

gan mengeluarkan jurus-jurus mautnya.

Suatu ketika ujung tombaknya menyambar 

ke arah lawan ketika penjaga gua itu sedang terdesak. 

Tampaknya akan sulitlah bagi lawan untuk menghin-

dar, atau kalaupun dapat mengelak, serangan berikut-

nya pastilah akan mencelakakan dirinya. Namun 

sungguh di luar perhitungan Karta, lelaki itu menun-

duk sambil membuka mulutnya lebar-lebar dan den-

gan sangat jitu berhasil menggigit gagang tombak yang 

sedang meluncur dengan kecepatan luar biasa.


"Krek!" Terdengar suara gemeretak, namun 

sungguh luar biasa gigi laki-laki bertubuh raksasa itu 

tidak copot sama sekali, padahal Karta sudah menge-

rahkan hampir segenap tenaga dalamnya. Lebih terke-

jut lagi dia ketika menarik senjata itu, ternyata tidak 

bisa. Gigi lawannya seperti jepitan baja saja.

"Kurang ajar!" bentak Karta geram bercampur 

kagum melihat kehebatan lawan.

Sebelum sempat berbuat apa-apa, lawannya 

menggerak-gerakkan leher sambil berputar cepat. Aki-

batnya tubuh Karta ikut terangkat dan berputar-putar 

sesuai gerakan lawan.

"Eit!" teriak Karta kaget lantaran merasa tu-

buhnya bagaikan kapas saja dipermainkan seperti itu. 

Untunglah ia segera mencabut pedangnya, lalu secepat 

kilat membacok gagang tombak itu hingga putus seke-

tika.

Lawannya tampak terpana melihat kecepatan 

gerak Karta. Sebelum sempat menguasai perasaannya, 

tiba-tiba ia melihat kilatan cahaya menyambar dari 

atas ke arah ubun-ubunnya. Ia hendak mengelak, na-

mun terlambat sudah. Pedang Karta dengan telak 

membabat kepalanya hingga terbelah dua dari ubun-

ubun sampai ke dada.

"Blug!" Tubuh raksasa itu pun roboh bersim-

bah darah. Hanya beberapa saat menggelepar-gelepar, 

kemudian diam tak bernyawa lagi.

"Mampus kau!" bentak Karta geram. Ia segera 

memperhatikan keadaan kedua sahabatnya. Ternyata 

mereka pun sudah dapat menyudutkan lawan masing-

masing. Hanya beberapa saat setelah Karta meroboh-

kan lawannya, si Kaki Tunggal pun berhasil menghun-

jamkan tongkatnya ke dada musuhnya hingga tembus 

ke punggung.

"Huk!" Laki-laki tinggi besar itu menjerit ter


tahan, lalu roboh bagaikan sebatang pohon tumbang 

ditebang. Darah menyembur dari luka di tubuhnya ke-

tika tongkat Baureksa dicabut.

"Rasakan kau!" geram si Kaki Tunggal mema-

ki.

Pada saat bersamaan, Pampani pun berhasil 

menyudutkan lawannya hingga tersandar ke sudut gua 

tanpa berani berkutik. Ujung tombak Pampani telah 

menempel di lehernya, siap menghujam kalau ia berani

bergerak. 

"Ayo, jawab! Siapa kalian dan siapa yang me-

merintahkan kalian di sini, hah? Kalau kau tidak men-

jawab, tombak ini akan menembus lehermu!" bentak 

Pampani geram. Agaknya Kepala Suku itu tadi sengaja 

tidak membunuh lawan karena ingin memaksanya un-

tuk mengungkapkan rahasia dirinya.

"Hu....u!" Lelaki bertubuh raksasa itu tidak 

menyahut, selain sambil mengeluarkan suara yang mi-

rip orang gagu,

"Diam! Kau jangan coba-coba berlagak bodoh 

di hadapanku! Lihat tombak ini siap mencabut nya-

wamu!"

Karta memperhatikan raut wajah lawan Pam-

pani. Agaknya lelaki itu bersama kedua temannya tadi 

telah gagu, karena Karta tadi sempat memperhatikan 

lawannya mempunyai lidah yang buntung, seperti sen-

gaja dipotong agar mereka tidak bisa bicara.

"Bunuh saja dia, Pampani! Percuma kita me-

maksanya, karena pasti tidak akan memperoleh jawa-

ban. Lihat, lidah mereka semua telah dipotong hingga 

tidak bisa bicara lagi!"

Entah sengaja atau hanya karena kebetulan 

saja, laki-laki itu membuka mulut sampai setengah 

menganga. Pampani memperhatikan lidahnya. Ternya-

ta benar juga ucapan Karta.


Maka Kepala Suku itu pun kecewa sekali, lalu 

menghunjamkan tombak di tangannya ke leher lawan 

hingga tembus sampai ke gagangnya.

"Kurang ajar! Nyaris saja kita celaka karena 

kelicikan mereka. Untung kita waspada tadi!" kata 

Pampani.

Mereka kemudian mengalihkan perhatian 

terhadap sebuah peti berbentuk bulat dengan diameter 

sekitar satu meter dan panjang sekitar dua setengah 

meter, terletak di bagian sudut gua itu. Bentuk peti itu 

sangat unik dan dihiasi ukir-ukiran tradisional, se-

hingga tampak cukup indah dan terlihat lebih cende-

rung sebagai peti tempat penyimpanan harta pusaka 

daripada peti mati.

"Saya rasa Wori ada di dalam peti itu!" kata 

Baureksa pelan. 

Mereka sama-sama melangkah menghampiri 

peti itu. Sejenak ketiga pendekar itu saling berpandan-

gan, seolah-olah ingin bertanya apa yang harus dila-

kukan.

"Sebaiknya kita buka peti ini. Kita periksa apa 

isinya. Pasti sesuatu yang sangat penting," ujar Pam-

pani.

"Ya, tapi kita harus hati-hati. Firasatku men-

gatakan peti ini bukan peti sembarangan. Rasa-

rasanya ada sesuatu yang membahayakan di dalam-

nya," kata Baureksa yang tampaknya mempunyai na-

luri tajam dan sering bicara berdasarkan bisikan hati 

nuraninya.

"Kelihatannya tidak dikunci. Mari kita buka!" 

Karta dan Pampani membuka tutup peti yang ternyata 

tidak dikunci.

"Hah? Wori?" Ketiga pendekar itu sama-sama 

berseru kaget menyaksikan Wori terbaring kaku di da-

lam peti itu. Wajah mereka menjadi pucat pasi, karena


sekilas pandang tak terlihat lagi tanda-tanda sahabat 

mereka itu masih hidup. Dadanya tidak turun naik lagi 

dan desah nafasnya pun tak terdengar.

"Wori....?" kata Pampani tercekat

"Tenang! Biar aku periksa, mudah-mudahan 

saja jantungnya masih berdenyut!" kata Karta. Lalu ia 

meraba-raba bagian dada pendekar bumerang itu. Te-

tapi tiba-tiba lengan Wori yang kekar dan kuat itu 

menghantam dada Karta dengan telak.

"Buk!"

"Aaaaakh!" Karta menjerit panjang. Demikian 

kuatnya hantaman Wori, sehingga tubuh si Gila terpe-

lanting dan langsung terbanting ke dinding gua. Tu-

buhnya kemudian bergedebuk ambruk ke lantai gua 

dalam keadaan sangat memprihatinkan. Segumpal da-

rah kehitam-hitaman tersembur dari mulutnya, per-

tanda luka dalamnya kambuh lagi akibat pukulan tadi.

"Karta!" Pampani dan Baureksa berteriak ka-

get dan bermaksud memburu sahabat mereka. Namun 

tiba-tiba peti itu berderak keras dan hancur berkeping-

keping. Bersamaan dengan itu, tubuh Wori meloncat 

ke luar bagaikan harimau lapar keluar dari sarangnya. 

***

ENAM



Tubuh Wori langsung melayang ke arah Pam-

pani dan Baureksa dari belakang. Kedua lengannya 

menyambar ke arah punggung kedua lelaki itu.

"Buk! Buk!" Kedua tangan Wori mendarat te-

lak di punggung Pampani dan si Kaki Tunggal. Akibat-

nya, tubuh keduanya pun terjerembab. Agaknya tadi, 

kedua pendekar itu belum menyadari apa yang telah


terjadi, sehingga mereka tidak sempat mengelak.

Sambil menahan rasa sakit luar biasa di ba-

gian punggung, Pampani dan si Kaki Tunggal meloncat 

bangun. Ketika keduanya berpaling, alangkah terke-

jutnya mereka setelah menyadari bahwa yang menye-

rang mereka adalah Wori sendiri.

"Wo.... Wori?" teriak Pampani terkejut.

"Kau Wori? Kenapa kau menyerang kami?" Si 

Kaki Tunggal pun bertanya.

Akan tetapi Wori tidak menyahut. Ia malahan 

menggereng sambil mengatupkan gigi hingga gemere-

tak. Kedua matanya melotot dan tampak merah sekali 

bagaikan memancarkan api. Tampaknya ia belum 

mengenali ketiga pendekar yang merupakan sahabat 

baiknya itu.

"Wori, ada apa denganmu? Kenapa kau tega 

menyerang kami?" tanya Pampani lagi.

Dengan perasaan ragu-ragu, Pampani dan 

Baureksa melangkah mendekati pendekar bumerang 

itu. Keduanya mengira Wori masih terpengaruh oleh 

racun gas yang dihisapnya, sehingga kesadarannya be-

lum pulih seperti sedia kala. 

"Wori, kami adalah sahabatmu!" kata Pampa-

ni lembut. 

Tetapi tiba-tiba Wori menerkam dengan ga-

nas. Kedua tangannya langsung mencengkeram lutut 

kaki Pampani dan si Kaki Tunggal.

"Awas!" Baureksa berteriak kaget sambil be-

rusaha meloncat mundur. Namun sudah terlambat, 

kakinya dan kaki Pampani sudah tercengkeram oleh 

Wori dengan sangat kuatnya. Kedua pendekar itu be-

rusaha meronta, tetapi cengkeraman Wori bagaikan je-

pitan baja, bukan hanya tak bisa dilepaskan, tetapi ju-

ga menimbulkan rasa sakit luar biasa.

Karena kesal, si Kaki Tunggal mengayun-kan


tongkatnya menghantam kepala gundul Wori.

"Tak!" Tongkat itu mendarat telak di kepala 

Wori. Namun karena terdorong rasa persahabatan, si 

Kaki Tunggal hanya mengerahkan sedikit saja tena-

ganya, sehingga tidak mencelakakan Wori. Namun aki-

batnya sungguh di luar dugaan. Pendekar bumerang 

itu malah semakin beringas. Sekali menggerakkan tan-

gan, maka terlemparlah tubuh Pampani dan Baureksa.

Pampani tidak sempat menguasai keseimban-

gan tubuh, sehingga punggungnya terbanting keras ke 

dinding gua. Si Kaki Tunggal agak beruntung, karena 

berkat ilmu meringankan tubuhnya yang sudah sangat 

tinggi, ia masih sempat berjumpalitan di udara untuk 

mengatur keseimbangan tubuh, lalu mendarat dengan 

ringan sekitar tujuh meter dari hadapan Wori.

"Gila kau, Wori!" bentak Pampani kesal.

"Eh, kenapa kau jadi begitu, Wori? Apakah 

kau tidak mau perduli pada kami teman-temanmu 

ini?"

Karta yang masih sadar walaupun sangat le-

mah lebih cepat menyadari apa yang telah terjadi pada 

diri Wori. Dari sinar mata Wori, ia dapat menilai bahwa 

sahabat mereka itu bertindak tanpa kesadaran sendiri, 

melainkan telah dikuasai orang lain yang memiliki il-

mu sihir atau ilmu menguasai jiwa. Ilmu seperti itu 

sangat jahat dan berbahaya, sehingga jangankan ka-

wan, membunuh istri atau saudara sendiri pun Orang 

yang terkena pengaruh jahat ilmu itu mau. Semua tin-

dakannya dikendalikan, sehingga apapun yang dilaku-

kannya bukanlah atas kehendak atau kemauannya 

sendiri melainkan orang yang mengendalikannya.

Di Pulau Jawa pun, si Gila Dari Muara Bon-

det yang bertahun-tahun malang melintang dalam du-

nia persilatan, sudah sering menghadapi ilmu sihir se-

perti itu. Cuma ilmu sihir yang menguasai Wori tam


paknya jauh lebih kuat, dan tentu saja lebih berba-

haya. Pendekar bumerang itu tampak telah dikuasai 

nafsu membunuh yang sangat besar dan terasa oleh 

Karta, sahabatnya itu tidak akan puas sebelum berha-

sil melampiaskan gejolak di dadanya.

"Hentikan!" teriak Karta dengan suara agak 

tersendat-sendat akibat rasa sakit di bagian dadanya, 

"Kalian jangan meladeni dia! Kita akan saling membu-

nuh teman sendiri. Rupanya Wori telah kena pengaruh 

sihir jahat!"

"Benar kata Karta! Pampani, ayo kita lari dari 

sini!" teriak si Kaki Tunggal. Lalu bersama si Gila, me-

reka segera melarikan diri dari ruangan itu. Tetapi ti-

ba-tiba Wori mencabut senjata bumerangnya, kemu-

dian melemparkannya. Senjata berbentuk bulan sabit 

itu meluncur bagaikan kilat. 

"Awas....!" teriak Karta sambil tiarap diikuti 

kedua sahabatnya, sehingga senjata unik itu tidak 

mengenai sasaran dan segera meluncur kembali ke 

arah pemiliknya. Wori menangkapnya, lalu menyam-

bitkan kembali senjatanya ke arah ketiga sahabatnya.

"Cepat kalian menuju pintu belimbing itu! 

Aku akan melindungi kalian!" teriak Baureksa.

Saat bumerang Wori meluncur lagi, ia segera 

mengangkat tongkatnya untuk menangkis.

"Traaak!" Bumerang itu melilit pada tongkat 

Baureksa dan berputar seperti kitiran. Lalu dengan do-

rongan tenaga dalam, Kaki Tunggal melemparkan bu-

merang itu kembali kepada tuannya.

"Yeaaa!" teriak Kaki Tunggal, sambil memper-

hatikan senjata unik itu meluncur bagaikan kilat ke 

arah Wori. Tetapi bumerang itu seperti lengket di tan-

gan Wori, dengan mudah ia menyambutnya, kemudian 

menyambitkan kembali ke arah Baureksa. Daya lun-

curnya malah lebih hebat lagi, hingga nyaris meme


cahkan batok kepala Baureksa. Untunglah pendekar 

berkaki tunggal itu berkelit ke samping.

"Trak!" Bumerang itu menghantam dinding 

gua, sehingga tidak berbalik lagi kepada pemiliknya. 

Kesempatan itu digunakan Baureksa melarikan diri 

dari ruangan itu menyusul Pampani dan Karta.

"Dia benar-benar telah kesetanan!" kata Bau-

reksa setelah bersama kedua temannya itu berlari me-

lalui lorong-lorong

"Sial, kita hampir saja terkena senjata maut-

nya," sambung Pampani. Mereka terus berlari sambil 

sesekali berpaling ke belakang, ingin memastikan apa-

kah Wori masih mengejar. Tetapi sampai mereka ke-

luar dari tempat dan tiba di tepian pantai karang, tidak 

ada lagi hambatan atau serangan.

Mereka sama-sama merasa lega. Namun ke-

mudian Pampani dan si Kaki Tunggal merasa cemas, 

karena kondisi Karta tampak semakin parah. Setelah 

berada di luar lorong itu, Karta kembali memuntahkan 

darah segar. Kepala Suku dan Kaki Tunggal terpaksa 

harus memapah sahabat mereka itu.

"Tampaknya keadaanmu semakin mempriha-

tinkan. Biarlah aku membimbingmu sampai ke istana. 

Kuatkan hatimu," kata Pampani sedih melihat keadaan 

adik iparnya itu.

"Tidak! Kalian tak usah repot-repot. Biarlah 

aku kembali ke laut. Dalam keadaan seperti ini, berada 

di laut lebih menguntungkan bagiku daripada di darat. 

Aku masih kuat, kalian tak perlu cemas, sebaiknya ka-

lian pulang ke istana. Siapa tahu ada sesuatu hal yang 

harus segera kalian tangani!"

"Tapi....."

"Saya rasa lebih baik begitu," sela si Kaki 

Tunggal, "Biarlah Karta kembali ke laut. Itu memang 

lebih baik. Sekarang marilah kita kembali ke istana.


Saudara Karta, harap kau menjaga dirimu baik-baik." 

"Terimakasih! Aku akan memperhatikan sa-

ranmu!" 

Si Kaki Tunggal dan Pampani segera mening-

galkan tempat itu. Lama keduanya berdiam diri memi-

kirkan keadaan Karta, maupun sikap Wori yang ham-

pir tidak masuk di akal. Cukup lama mereka hidup se-

penderitaan dengan pendekar Pulau Kanguru itu, ber-

jalan beriringan, berat sama dipikul, ringan sama di-

jinjing. Hubungan di antara mereka pun rasanya bu-

kan hanya sekedar persahabatan, tetapi sudah meru-

pakan persaudaraan, saling mengasihi dan saling 

membantu.

Akan tetapi sekarang, sahabat baik mereka 

tiba-tiba saja berubah, tak ada lagi rasa persahabatan. 

Yang ada cuma permusuhan dan nafsu membunuh 

yang sangat besar. Tidak disangka dan tidak diduga 

sahabat baik jadi musuh.

Hanya saja, kedua pendekar itu masih mera-

sa agak terhibur karena menyadari bahwa Wori bersi-

kap begitu hanyalah karena terpengaruh ilmu sihir 

yang sangat jahat. Kalau saja dia sadar sepenuhnya, 

mustahil dia bersikap sekasar itu.

"Untung saja Wori kehilangan jejak atau tidak 

mampu mengejar kita. Apa boleh buat, untuk semen-

tara kita harus berpisah dengannya," kata Pampani 

yang tampak masih sangat sedih memikirkan keadaan 

sahabatnya itu.

"Ya! Dan satu hal yang patut kita syukuri, dia 

masih hidup. Masalah sikapnya yang aneh itu, saya 

rasa masih bisa berubah. Kita cari akal untuk membe-

baskannya dari pengaruh sihir. Entah siapa sebenar-

nya yang menguasai pikirannya."

"Entahlah. Tapi yang pasti, Iblis Pulau Aru 

pun memiliki ilmu sihir seperti itu. Aneh, kuburannya


kosong dan ilmunya pun mendadak muncul kembali. 

Sepertinya....." Tiba-tiba Pampani menghentikan uca-

pannya, karena di hadapan mereka kini telah berdiri 

Wori.

"Hah? Wori?" Pampani dan si Kaki Tunggal 

berseru kaget.

Rupanya Karta yang tadi sudah sempat turun 

ke laut sempat mendengar kedatangan Wori. Maka ia 

pun memaksakan diri menghampiri kedua sahabatnya. 

Ia memegang bahu Baureksa sebagai tumpuan agar ti-

dak terjatuh karena hampir tak bertenaga lagi.

"Wori, kami adalah sahabatmu! Apakah kau 

masih tega hendak membunuh kami? Lihatlah, sauda-

ra kita Karta sedang menderita luka-luka akibat puku-

lanmu barusan. Sadarlah, sahabatku! Mudah-

mudahan angin segar di alam terbuka ini membuat 

otakmu jernih kembali," kata si Kaki Tunggal dengan 

suara lembut dan bersahabat. 

"Aku tahu, kau sedang dipengaruhi orang 

lain. Ingat-ingatlah siapa dirimu sebenarnya dan siapa 

yang sedang kau hadapi. Wori, temukan dirimu, ingat 

bangsamu yang sedang dijajah Inggris. Ingatlah kami!"

Tetapi Wori diam saja, mematung seperti ro-

bot yang belum menerima perintah melalui otak kom-

puternya, Baureksa mengira kata-katanya itu sudah 

mulai dapat mempengaruhi pikiran Wori. Maka ia pun 

tambah bersemangat meneruskan ucapannya:

"Ingat, Wori! Kau jauh-jauh mengembara dari 

negerimu untuk menuntut ilmu demi bangsamu! Nasib 

bangsamu ada di tanganmu, di tanganmu, Wori! Oleh 

karena itu, jaga dirimu baik-baik sampai usahamu itu 

berhasil!"

"Nasib bangsamu adalah sama dengan nasib 

bangsaku, Jadi kita sama-sama senasib dan seper-

juangan."


Rupanya kata-kata si Kaki Tunggal sedikit 

banyak dapat mempengaruhi pikiran Wori. Wajah dan 

sinar matanya tampak mulai meredup dan lebih te-

nang. Si Kaki Tunggal dan kedua sahabatnya mulai 

gembira dan mulai mempunyai harapan bahwa usaha 

mereka menyadarkan Wori akan berhasil.

***

TUJUH



Sementara itu, suasana di dalam istana Kepa-

la Suku tampak sepi di malam yang diterangi sinar 

rembulan. Atap istana terlihat berkilauan, cukup in-

dah namun terasa mengandung ketegangan. Di kehe-

ningan malam itu, sekali-sekali terdengar suara bu-

rung hantu, mungkin sebagai sebuah isyarat bahwa 

sesuatu yang tidak diinginkan akan segera terjadi.

Di dahan pepohonan rindang di belakang is-

tana, burung-burung itu terbang dari satu pohon ke 

pohon lainnya. Matanya yang tajam serta bercahaya 

menatap liar ke dalam istana. Tetapi kemudian, bu-

rung itu terbang menjauh. Suaranya pun terdengar 

sayup-sayup, kemudian hilang terbawa angin. 

"Ooooaaaaa!"

Tiba-tiba suasana hening itu dikejutkan sua-

ra jeritan tangis bayi dari dalam kamar tidur sang pu-

tri. Mirah yang sedang tidur di kamar sebelah menjadi 

terkejut dan semakin kaget lagi ketika mendengar sua-

ra langkah kaki yang sangat mencurigakan di dalam 

kamar permaisuri. Mendengar suara tangis bayi itu, 

yakinlah Mirah bahwa si bayi sedang dibawa oleh se-

seorang yang masuk ke dalam istana tanpa diketahui.

Maka Mirah pun meloncat dari tempat tidur


nya, kemudian menerjang dinding pemisah kamar 

yang terbuat dari papan hingga jebol. Alangkah terke-

jutnya ia menyaksikan Nomina terkapar dalam kea-

daan tak berdaya di lantai. Sementara si bayi pun ti-

dak ada lagi di atas tempat tidur.

"Astaga! Tuanku Putri" seru Mirah dengan 

suara gemetar menahan rasa kaget dan amarah yang 

meluap-luap. Dengan tatapan mata liar si wanita can-

tik itu menyapu ke sekelilingnya, nyaris memekik ka-

get tatkala menyaksikan sesosok tubuh berkepala ikan 

hiu sedang berdiri di sudut kamar sambil memangku 

bayi sang putri, menangis menjerit-jerit.

Tak terkatakan betapa terkejutnya Mirah me-

lihat orang aneh itu. Sebetulnya kepala lelaki itu bu-

kannya terbuat dari ikan hiu, melainkan hanyalah se-

macam topeng dari kulit ikan hiu yang dikeringkan 

yang bagian tubuh dan ekornya terus memanjang 

sampai ke lutut. Wajahnya pun tidak dapat dilihat, se-

bab yang terlihat hanyalah sepasang matanya dari lu-

bang kecil di kulit ikan hiu itu.

Akan tetapi bukan itu yang membuat Mirah 

terkejut setengah mati, melainkan karena orang itu 

sangat mirip dengan Iblis Pulau Aru. Tokoh sesat itu 

pun demikian adanya. Ketika Mirah mengamatinya ra-

sanya tidak ada bedanya. Lantas hatinya pun ber-

tanya-tanya, apakah memang betul Iblis Pulau Aru 

yang beberapa waktu lalu tewas telah hidup kembali?

"Kau.... kau Iblis Pulau Aru? Tapi.... tak, tidak 

mungkin. Tidak mungkin....." kata Mirah tersendat-

sendat karena belum bisa menguasai rasa kagetnya.

Tiba-tiba beberapa berkas sinar menyambar 

ke arah bagian-bagian tubuh Mirah, yang tak lain tak 

bukan adalah tulang-tulang ikan hiu yang dibuat men-

jadi semacam senjata rahasia. Senjata rahasia itu me-

luncur cepat sekali sehingga yang tampak hanyalah ki


latan cahayanya saja.

"Yeaaa!" Mirah meloncat kemudian jungkir 

balik menghindari serangan yang sangat mendadak 

itu. Setelah menginjakkan kakinya di lantai, wanita itu 

lalu meloncat menerjang lawan dengan goloknya. Ia 

segera mengeluarkan ilmu simpanannya, karena dis-

adarinya lawannya sekarang bukanlah orang semba-

rangan. Goloknya diayunkan membabat dan terdengar 

mengeluarkan suara mendesing nyaring ketika dielak-

kan laki-laki berpakaian hiu itu. Golok yang lolos dari 

sasaran itu membuat gerakan melengkung dan mem-

balik, menyambar dari bawah ke atas sebagai serangan 

susulan yang lebih dahsyat lagi.

Kembali si Manusia Hiu itu mengelak dengan 

gerakan cepat, lalu dari samping mendorong dengan 

kedua tangannya. Dari kedua telapak tangan itu tim-

bul angin pukulan yang membuat Mirah nyaris ter-

jengkang. Wanita itu berseru kaget dan meloncat ke 

belakang. Kesempatan itu digunakan si Manusia Hiu 

untuk melarikan diri melalui jendela. Tetapi Mirah ten-

tu saja tidak mau mendiamkannya, secepat kilat ia 

meloncat bagaikan terbang mengejar lawan.

Si Manusia Hiu yang sudah menyadari seran-

gan lawan cukup berbahaya, berkelit. Berhasil dia 

mengelak dengan cara meloncat tinggi ke atas, namun 

bayi di tangannya terlepas dan tanpa ampun lagi jatuh 

terhempas ke bawah.

"Ya, Allah! Bayi itu terlempar ke luar!" pekik 

Mirah terkejut bagaikan disambar petir. Secepat kilat 

ia mengulurkan tangan melalui jendela hendak men-

jangkau tubuh bayi itu, namun sudah terlambat. Ma-

sih dengan suara tangisnya yang melengking, tubuh 

bayi itu terus terhempas dari atas.

"Ya, Allah! Terlambat, bayi itu......!"

Kesempatan itu tidak disia-siakan manusia


berkerudung kulit ikan hiu, sambil berteriak nyaring ia 

menyambitkan senjata rahasia di tangannya. Mirah 

yang masih terperangah melihat si bayi terjatuh tidak 

sempat mengelak.

"Aaaakh!" Ia menjerit ketika tulang-tulang 

dan taring ikan hiu menancap di bagian punggungnya. 

Sebelum sempat berbuat apa-apa sebuah pukulan 

kembali menghantam punggungnya.

"Buk!" Tubuh Mirah terlempar lalu terbanting 

keras ke lantai kamar. Cairan darah segar dan kehi-

tam-hitaman tersembur dari mulut wanita itu. Golok di 

tangannya terlempar entah ke mana, tetapi ia masih 

berusaha bangkit karena tak ingin diserang lagi. Kem-

bali ia memuntahkan darah segar dan ketika berpaling 

ke samping, terlihatlah olehnya Manusia Hiu itu telah 

berkelebat melarikan diri dari jendela.

Mirah sebenarnya hampir tak berdaya lagi, 

dadanya terasa nyeri bukan main, seperti diaduk-aduk 

atau seperti dibebani ribuan kilo batu. Akan tetapi me-

lihat si Manusia Hiu melarikan diri, semangatnya tera-

sa berkobar kembali. Ia menyambar goloknya yang ter-

nyata terlempar tak jauh dari tempatnya. 

"Jangan lari, bangsat!" teriak Mirah sambil 

mengayunkan golok di tangannya meluncur deras ke 

arah si Manusia Hiu yang sedang melarikan diri. Na-

mun karena sangat terburu-buru dan keadaannya pun 

cukup memprihatinkan, sasarannya tidak tepat lagi. 

Golok itu tertancap di dinding. Dengan sangat gesit-

nya, sosok tubuh misterius itu menghilang di kegela-

pan malam.

Hampir tubuh Mirah terhenyak lemas karena 

rasa sakit yang dideritanya serta karena sangat kece-

wa. Ia tidak berhasil meringkus musuh, bahkan di-

rinya yang terluka dan yang lebih gawat lagi, bayi No-

mina terjatuh dari jendela. Ingat akan bayi itu, seman


gat Mirah menyala kembali. Dicabutnya golok yang ter-

tancap di dinding, lalu sambil berteriak nyaring ia me-

loncat turun.

Mata wanita itu menatap liar ke sekelilingnya, 

tetapi ia menjadi lemas ketika menyadari bahwa bayi 

itu tidak ada di sekitar tempatnya sekarang berdiri. Ke 

mana gerangan bayi itu? Apakah si Manusia Hiu yang 

memungutnya tadi lalu membawanya kabur? Mirah 

memeriksa tanah di sekitar tempat itu. Kalau misalnya 

jatuh terhempas ke tanah, paling tidak akan mening-

galkan bekas atau tidak mustahil berdarah. Namun ti-

dak ada sama sekali. Maka hampir saja ia menangis 

karena tidak bisa menguasai perasaan.

Menurut perkiraan Mirah kalau tidak terjadi

sesuatu hal yang luar biasa bayi itu tentulah sudah 

tewas. Tulang-tulangnya yang masih muda tentu re-

muk, karena tempatnya terjatuh cukup tinggi, sekitar 

enam meter. Tapi paling tidak, ia harus menemukan 

mayatnya. Maka ia pun bergegas memeriksa setiap su-

dut-sudut gelap dan kolong-kolong rumah panggung 

itu dengan hati cemas. Malam semakin larut, Mirah 

belum juga berhasil menemukan tanda-tanda di mana 

bayi itu berada, sementara keadaannya semakin pa-

rah. Setiap kali menghela nafas, dadanya terasa sesak 

dan nyeri bukan main. Tetapi ia belum mau berhenti 

mencari sebelum berhasil menemukannya!

Tiba-tiba sebuah bayangan serba hitam ber-

kelebat, entah dari mana datangnya langsung saja me-

nerkam Mirah dari belakang. Sosok itu tak ubahnya 

seekor monyet tinggi besar. Mulai dari kepala hingga 

kakinya ditutupi bulu-bulu hitam. Mulutnya tampak 

sangat lebar dengan gigi-gigi yang panjang dan runc-

ing-runcing. Kuku kaki dan tangannya pun pan-jang-

panjang melengkung dan sangat runcing. Tangan ka-

nannya mencengkeram bahu Mirah dari belakang.


"Ah!" Mirah berseru kaget dan dengan gerak 

reflek menyabetkan goloknya sambil memutar kedua 

kaki. Senjata itu menyambar dahsyat, namun dengan 

gerakan yang sangat ringan, sosok itu meloncat ke 

atas. Mirah masih mencoba memutar senjatanya dari 

posisi menyabet ke samping menjadi menyambar lurus 

ke atas. Namun baru saja memutar pergelangan tan-

gan, lengan lawan sudah menyambar mencengkeram 

ubun-ubunnya

"Akh!" Mirah terkejut bukan main, sungguh 

tak menyangka lawan bisa bergerak secepat dan sete-

pat itu. Ia terpaksa meloncat mundur untuk menghin-

dar. Namun lawan yang dihadapinya kini sepertinya 

mempunyai seribu kaki yang bergerak secara aneh, 

sehingga membuat tubuhnya seperti bisa menghilang 

lalu muncul dari arah yang sama sekali tidak terduga. 

Setiap kali golok Mirah menyambar, tubuh itu 

lenyap dan langsung menyambar dari arah lain. Aki-

batnya, senjata di tangan Mirah hanya bisa menerpa 

angin membuatnya semakin penasaran. Semua ilmu 

yang dikuasainya sudah ia keluarkan, namun jangan-

kan mendesak sekedar mengimbangi pun tidak mam-

pu.

Sebetulnya tubuh manusia Kera itu tidak bisa 

menghilang, tetapi karena gerakannya sangat cepat 

dan gesit disertai langkah kaki yang aneh tubuhnya 

seperti menghilang. Apalagi dalam keadaan tubuh 

yang sudah terluka-luka, gerakan Mirah jauh lebih 

lamban dan tenaganya pun sudah hampir habis.

Makin lama ia makin terdesak. Kuku-kuku 

panjang Manusia Kera itu berkali-kali menjambret ke-

mudian merobek-robek pakaian yang melekat di tubuh 

Mirah. Inginlah wanita itu menjerit dan menangis keti-

ka kain penutup dadanya pun sudah terbang entah ke 

mana. Secara reflek ia menutupi dadanya dengan tan


gan kiri.

Kesempatan itu digunakan lawan untuk me-

nerkamnya dengan kedua tangan mencengkeram den-

gan kecepatan luar biasa. Mirah hanya sempat melihat 

bayangan hitam berkelebat. Ia ingin mengelak sambil 

berteriak, namun suaranya tercekat, karena lehernya 

sudah dicekik kuat sekali. Tubuh Mirah pun terjeng-

kang ke belakang, namun tubuh si Manusia Kera tetap 

menindih sambil mencengkeram lehernya bagaikan je-

pitan baja. 

Habislah harapan Mirah untuk bisa menye-

lamatkan diri. Nafasnya sudah hampir putus, pandan-

gan matanya pun berkunang-kunang dan kepala pus-

ing tujuh keliling. Namun di saat yang genting itu, 

mendadak sebuah bayangan berkelebat dan langsung 

menerjang punggung si Manusia Kera. 

"Deg!"

Tendangan yang menghantam tubuh si Ma-

nusia Kera kuat luar biasa, sehingga terpelanting 

hampir enam meter! Dan beberapa saat tidak mampu 

bangkit lagi. 

Mirah merasa lega karena selamat dari maut, 

dan lebih senang lagi karena yang menyelamatkannya 

adalah Umang, suaminya sendiri. Umang datang sam-

bil menggendong si bayi yang masih menangis me-

raung-raung.

"Mirah! Apa yang telah terjadi?"

"U.... Umang! Bayi itu?"

"Kau tak perlu cemas, dia tidak kurang suatu 

apapun. Tadi secara kebetulan aku mendengar suara 

ribut-ribut di kamar sang putri dan secepatnya keluar 

ingin melihat apa yang terjadi. Tapi saat itu aku meli-

hat si bayi terjatuh dan aku berhasil menangkapnya. 

Beberapa saat kemudian aku melihat orang bertopeng 

itu melarikan diri, lalu kukejar. Sayang sekali, ia se


perti setan saja. Aku kehilangan jejak."

"Syukurlah putra Karta selamat. Apakah kau 

tidak tahu siapa sebenarnya si Manusia Hiu itu?"

"Mirah, awas di belakangmu!" Umang tidak 

menjawab pertanyaan istrinya, karena tiba-tiba mah-

luk berwujud monyet raksasa itu telah menerjang Mi-

rah kembali.

Mirah segera meloncat ke dekat suaminya, la-

lu menatap liar ke arah lawannya tadi terlempar. Ter-

nyata si Manusia Kera itu sudah bangkit kembali dan 

tampak siap menyerang dengan buas.

"Mirah, kau telah mengalami luka-luka. Lebih 

baik kau selamatkan bayi ini dulu. Aku akan meng-

hambat monyet besar itu," Umang menyerahkan bayi 

itu kepada istrinya, lalu menyuruh Mirah secepatnya 

melarikan diri.

Saat itu, si Manusia Kera telah menerjang 

Umang dengan ganas. Tubuhnya yang tinggi besar me-

layang dan kedua tangan diulurkan menyambar dah-

syat ke arah kepala dan ulu Umang. Tentu saja Umang 

tidak mau tinggal diam, sambil berteriak nyaring ia 

berkelit ke kiri dan hanya beberapa saat kemudian go-

loknya sudah menyambar bagaikan kilat ke arah dada 

lawan.

"Krep!" Si Manusia Kera menundukkan kepa-

la sehingga sabetan golok si Lengan Tunggal tepat 

menghantam ke arah mulutnya. Lalu entah bagaimana 

caranya, senjata itu telah digigitnya dan menempel 

kuat sekali seolah-olah gigi-giginya terbuat dari jepitan 

baja.

"Akh!" Umang berseru terkejut bukan main. 

Tadi ia sudah girang melihat senjatanya tampak tidak 

akan bisa ditangkis oleh lawan lagi. Namun sungguh di 

luar perhitungannya, senjatanya malah lengket dan 

ketika ia berusaha membetotnya ia kembali berseru


kaget karena tidak kuat melepaskan senjatanya dari 

gigitan lawan.

Monyet besar itu menggerak-gerakkan kepa-

lanya ke kiri dan ke kanan, sehingga golok itu terlepas 

dari tangan Umang dan langsung menyambar cepat 

sekali ke arah lehernya, 

"Ehh!" Umang kaget dan buru-buru memban-

tingkan diri ke belakang. Golok itu pun melayang me-

lintas di atas kepalanya lalu tertancap di dinding. Se-

belum sempat berbuat apa-apa, Manusia Kera itu telah 

menerkamnya dan mencekik leher Umang hingga na-

fas pendekar berlengan tunggal itu megap-megap.

Untunglah di saat itu Mira berpapasan den-

gan laskar-laskar Pampani.

"Cepat! Tolonglah Umang! Hati-hati monyet 

itu sangat ganas!" teriak Mira. Puluhan laskar segera 

berlari ke arah pertarungan itu dengan senjata tombak 

terhunus.

"Ciaaaat! Hayiiit!" Laskar-laskar itu menyerbu 

dari segala penjuru. Ujung tombak menyambar-

nyambar dahsyat ke arah Manusia Kera. Akibatnya, 

Manusia Kera itu lalu melarikan diri. Para laskar se-

makin bersemangat mengejar sambil berteriak-teriak 

nyaring. Tetapi tanpa diduga-duga, monyet besar itu 

berbalik dan sekali gebrak, tombak-tombak itu patah 

berantakan.

"Kurang ajar!" Para laskar berteriak kaget, 

namun sebelum sempat berbuat apa-apa kedua tangan 

dan kaki makhluk berwujud monyet itu sudah berge-

rak menyambar-nyambar dahsyat.

Satu per satu tubuh para penjaga istana itu 

roboh berpelantingan dengan luka-luka parah, bahkan 

beberapa di antaranya langsung tewas. Kuku-kuku 

monyet itu ternyata tajam dan kuat sekali, setiap me-

nyambar dan mengenai sasaran, maka tubuh laskar


itu langsung tercabik-cabik.

Menyaksikan keadaan itu, Umang menjadi 

terkejut. Hanya dalam sekejap mata saja puluhan pa-

sukan kerajaan telah roboh bermandikan darah. Pen-

dekar Lengan Tunggal itu pun berteriak menyuruh pa-

sukan itu mundur untuk mencegah semakin banyak-

nya korban berjatuhan. Ia sendiri segera bangkit dan 

menerjang melancarkan serangan mautnya, tetapi kali 

ini ia sudah lebih berhati-hati, karena dalam pertarun-

gan pertama tadi ia sudah merasakan sendiri betapa 

lihainya makhluk aneh itu.

Dengan tangkas, monyet besar itu melesat ke 

udara menghindari sabetan golok Umang. Lalu dengan 

gerak kilat, tangan kanannya menyambar ulu hati 

pendekar lengan tunggal. Salah seorang laskar melom-

pat memapaki cengkeraman tangan monyet itu, se-

mentara Umang menyabet sehingga makhluk aneh itu 

menjadi terdesak.

"Cecar terus! Jangan kasih kesempatan!" te-

riak Umang memberi aba-aba. Monyet besar dan serba 

hitam itu makin terdesak, namun karena gerakannya 

sangat gesit, tak satu pun tombak laskar yang berhasil 

melukainya. Ia kemudian meloncat bagaikan terbang 

dan bersalto beberapa kali dengan gerakan yang sukar 

diikuti pandangan mata. Para laskar menjadi ter-kejut 

dan ketika mereka menengadahkan wajah tampaklah 

Manusia Kera itu telah berada di atas atap istana. Se-

kali loncat, tubuhnya berkelebat bagaikan angin dan 

menghilang di kegelapan malam. 

"Kurang ajar! Kejar!" teriak para laskar itu ge-

ram. 

"Tidak perlu!" teriak Umang sambil memben-

tangkan kedua tangannya. Ia menatap para laskar itu 

satu per satu, lalu dengan suara penuh wibawa, ia 

berkata lagi


"Kita tidak akan mampu mengejarnya seka-

rang. Sebaiknya kita mengurus teman-teman yang 

menderita luka-luka."

"Luar biasa, makhluk itu bagaikan setan sa-

ja!"

"Ya, tadi kita memang bisa mendesaknya wa-

laupun belum berhasil melukainya. Aku rasa lain wak-

tu ia pasti akan datang lagi untuk meminta korban be-

rikutnya. Kita harus tetap waspada untuk menghada-

pinya. Ayo, rawatlah teman-teman kita yang luka-luka. 

Kasihan, teman kita ada yang meninggal!" ujar Umang 

sedih. 

Sementara itu, Mira dengan tergesa-gesa me-

masuki istana sambil menggendong bayi Karta. Ia se-

gera memasuki kamar putri Nomina yang tadi tergele-

tak dalam keadaan tak berdaya, 

Tetapi mendadak langkahnya terhenti! Ia ka-

get luar biasa menyaksikan sesosok tubuh wanita tua 

renta itu bertongkat berdiri di hadapannya. Rambut 

wanita tua itu semuanya sudah memutih dan dikuncir 

ke atas. Wajahnya kurus panjang dan penuh keriput 

dengan dagu yang tampak sangat panjang. Lehernya 

yang kurus kecil tampak pula lebih jenjang dari yang 

lazim. Kaki kanannya sudah buntung sebatas lutut 

hingga kalau berjalan ia selalu bertumpu pada tong-

katnya. Sorot matanya tampak sangat dingin dan ta-

jam, seolah-olah sanggup menembus relung-relung ha-

ti setiap orang yang memandangnya. Pakaiannya yang 

serba hitam tampak bagai bayang-bayang di bawah si-

nar penerangan yang remang-remang.

"Hah? Astaga! Si... siapa kau? Kau.....kau 

Pendeta Naomi...." kata Mirah tercekat. Jiwanya kem-

bali tergoncang karena tokoh sesat pendeta Naomi su-

dah tewas beberapa waktu lalu. Tetapi sama-sama 

halnya si Manusia Kera, tiba-tiba saja berdiri di hada


pannya mengherankan jika ia terperangah, walaupun 

ia sebenarnya adalah seorang pendekar yang memiliki 

kesaktian cukup tinggi.

Sosok tubuh kurus itu tidak menyahut, tetapi 

sinar matanya terus menatap Mirah dengan tajam tan-

pa berkedip.

"Tidak mungkin! Aku tahu kau sudah mati. 

Tubuhmu tak berwujud lagi ketika jatuh ke jurang!" te-

riak Mirah antara geram dan takut. Lalu bagaikan da-

lam mimpi, ia menerjang sosok tubuh itu. Goloknya 

diayunkan cepat sekali menyambar bagian pinggang 

wanita tua itu hingga putus menjadi dua. Sinar mata 

senjatanya kemudian menyambar leher, tangan dan 

kaki lawan hingga terpotong-potong berserakan di lan-

tai.

"Mampus kau! Mampus, Manusia iblis!" teriak 

Mirah sambil menyabet-nyabetkan goloknya. Suara ri-

but-ribut itu rupanya mengundang perhatian Bungoru, 

yang segera berlari ke ruangan itu. Alangkah terkejut-

nya ia melihat Mirah mengamuk membabi buta memo-

tong-motong sebuah boneka dari gabus.

"Mirah, apa yang terjadi padamu? Tenanglah, 

Mirah! Hentikan! Hentikan golokmu! Ya, Dewa, tenan-

glah Mirah" 

Mendengar teriakan itu, Mirah tampak sema-

kin beringas. Ia menatap Bungoru dengan tatapan ma-

ta liar dan buas. "Jangan coba-coba merampas anak 

itu dari tanganku. Kubunuh kau!" teriaknya mengan-

cam bagaikan singa betina yang terluka.

Dengan tangkas, Bungoru menangkap lengan 

Mirah yang memegang golok, "Tenanglah, Mirah! Atur 

nafasmu baik-baik dan tenangkan pikiran. Curahkan 

perhatianmu pada diri sendiri." 

"Oh, kau Bungoru. Hh.......Hh...!" kata Mirah 

dengan nafas tersengal-sengal.


"Kini lihatlah apa yang ada di hadapanmu, 

Mirah? Tadi kau hanya mengiris-iris sebuah boneka 

kecil dari gabus. Agaknya kau telah dipengaruhi sihir 

yang sangat jahat, sehingga kau merasa seperti betul-

betul sedang menghadapi musuh yang paling kau ta-

kuti!"

Mirah menjadi tersentak setelah menyadari 

apa yang telah terjadi. Di hadapannya memang berse-

rakan potongan-potongan boneka gabus yang entah 

bagaimana tadi dilihatnya sebagai pendeta Naomi.

"Astaga! Benar apa katamu! Tapi tadi aku se-

perti melihat pendeta Naomi hendak merampas bayi ini 

dari tanganku."

"Ini pasti ilmu sihir dari Pulau Kolepom dekat 

muara sungai Digul, di pulau yang semua penghu-

ninya orang-orang berkulit hitam. Tetapi siapa yang 

memasukkan ilmu jahat itu ke sini, Mirah?"

"Sihir Pulau Kolepom?" tanya Mirah mengere-

nyitkan kening.

"Ya. Berarti sekarang kita sedang menghadapi 

musuh yang sangat tangguh dari luar Kepulauan Aru. 

Tidak salah lagi! kita harus hati-hati, Mirah!"

"Kurang ajar! Kalau ketemu orangnya, akan 

kucincang tubuhnya! Kubunuh bedebah itu!" kata Mi-

rah geram karena merasa dipermainkan dengan ilmu 

sihir yang sangat jahat. 

"Jangan terlalu cepat emosi, Mirah! Ingat, il-

mu sihir seperti itu akan lebih cepat mempengaruhi 

pikiran kalau kita tidak tenang. Seperti tadi, kau lang-

sung panik hingga mengira boneka kecil sebagai pen-

deta Naomi!"

"Ah, terima kasih, Bungoru! Aku akan mem-

perhatikan nasehatmu ini. Lalu bagaimana dengan tu-

anku putri?"

"Dia berhasil kita selamatkan! Kini beliau


berbaring di bangsal dalam keadaan yang tidak 

mengkhawatirkan. Oh, tampaknya kau mengalami lu-

ka-luka juga. Lihat punggungmu mengucurkan darah. 

Kurang ajar! Tampaknya seseorang telah melukaimu 

dengan senjata rahasia!" 

"Ya, sebelum Manusia Kera itu muncul, aku 

sudah terlebih dulu melihat Iblis Pulau Aru. Dia hen-

dak membawa kabur bayi ini dan sempat terjatuh dari 

jendela. Untung Umang masih sempat menangkapnya. 

Kalau tidak....," Mirah tidak meneruskan ucapannya, 

karena ia pun tidak berani membayangkan apa jadinya 

bayi itu kalau sampai terhempas ke tanah dari keting-

gian sekitar enam meter. 

"Sebaiknya kita ke kamar keputrian dulu. Se-

telah itu, aku akan mengobati luka-lukamu. Sekarang 

bangsal dijaga ketat oleh laskar-laskar pilihan. Walau-

pun aku tahu kekuatan mereka mungkin belum bisa 

menandingi kekuatan musuh kita." Bungoru mem-

bimbing Mirah ke dalam kamar keputrian.

Nomina ternyata sudah berbaring di atas 

tempat tidur, dijaga ketat puluhan laskar pilihan den-

gan senjata tombak siap di tangan. "Kasihan, agaknya 

dia masih pingsan," ujar Mirah.

"Dia terkejut, menderita rasa takut luar biasa. 

Tapi tidak apa-apa. Sebentar lagi kesehatannya pasti 

akan pulih seperti sedia kala. Sekarang, biarlah bayi 

itu berbaring di sini. Aku akan mengobati lukamu."

"Terima kasih!"

***

DELAPAN



Sementara itu, si Kaki Tunggal, Pampani dan

Karta masih berdiri berhadap-hadapan dengan pende-

kar bumerang Wori. Ketiganya masih menunggu den-

gan harap-harap cemas. Tampaknya tadi sikap Wori 

agak berubah menjadi jinak. Tetapi ia belum mengu-

capkan sepatah kata pun terhadap sahabat-

sahabatnya. Pendekar dari Negeri Kanguru itu tetap 

berdiri tegak bagaikan patung. Matanya menatap ko-

song, seperti kehilangan dirinya sendiri.

"Bagaimana, Wori? Apakah kau belum mau 

ikut dengan kami? Sadarlah, kami sangat mengha-

rapkan kedatanganmu!" kata si Kaki Tunggal.

Akan tetapi sungguh di luar dugaan, menda-

dak sikap Wori berubah menjadi ganas sekali. Ia 

menggeram hebat dengan wajah merah padam dan si-

nar matanya pun tampak merah sekali bagaikan men-

geluarkan api. Giginya gemeretak, siap menerkam keti-

ga pendekar yang berada di hadapannya.

"Wori, kau..... "

"Yeeaaaaa!" Wori berteriak nyaring dengan 

sekujur tubuh bergetar hebat, sehingga bukit batu 

yang diinjaknya bergetar bagai diguncang gempa dah-

syat. Batu-batuan pun berjatuhan mengelinding ke 

arah Pampani dan kedua sahabatnya yang berdiri di 

bawahnya.

"Astaga! Pengaruh ilmu iblis keparat itu lebih 

kuat daripada kita dan dirinya sendiri," teriak Baurek-

sa terkejut.

"Awas! Lari!" teriak Pampani melihat hujan 

batu yang berguguran dari atas bukit mengancam ke-

selamatan jiwa mereka. Ketiga pendekar itu pun men-

jadi kerepotan berloncatan ke sana ke mari menghin-

dari terjangan batu yang sebagian di antaranya sebe-

sar kerbau dewasa.

"Hyaaaaat!" pekikan Wori kembali membelah 

angkasa dan menggetarkan bumi. Tubuhnya mencelat


bagaikan terbang ke arah tiga tokoh silat itu. Wori 

mendorong dengan kedua tangannya sehingga serang-

kum angin pukulan dahsyat menyambar ke arah Bau-

reksa serta kedua sahabatnya. 

"Awas!"

"Haiit!" Si Kaki Tunggal berteriak memberikan 

peringatan dan secara spontan Karta meloncat tinggi 

untuk menghindari terkaman Wori. Akan tetapi karena 

kurang hati-hati dan kondisi tubuhnya pun sudah 

sangat lemah, si Gila Dari Muara Bondet menjadi salah 

tindak dan berakibat fatal. Tubuhnya tergelincir dan 

langsung terhempas dari atas tebing ke tepi pantai cu-

ram, di mana batu-batu cadas runcing siap menyam-

but tubuhnya.

"Aaaaaaa!" Karta berteriak panjang. Putuslah 

harapannya untuk bisa menyelamatkan diri dari inca-

ran maut di dasar tebing. Si Kaki Tunggal pun tidak 

kalah terkejutnya, karena ia sadar sekali tubuh Karta 

terhempas ke jurang yang penuh batu cadas itu, nya-

wanya tidak akan terselamatkan lagi.

Dalam keadaan panik, si Kaki Tunggal me-

luncurkan topi pandannya ke bawah sana, "Kartaaaa! 

Ini topiku!" teriak pendekar berkaki tunggal itu. Karena 

topi itu dilemparkan sambil mengerahkan tenaga da-

lam, maka benda itu pun meluncur cepat sekali dan 

dapat mendahului tubuh Karta yang sedang meluncur. 

Dalam keadaan nyawa terancam, Karta masih 

sempat mendengar teriakan sahabatnya. Ia juga sem-

pat melihat si Kaki Tunggal meluncur dengan kecepa-

tan tinggi. Maka dengan sisa tenaga yang ada pende-

kar gagah perkasa itu bersalto di udara dan kedua 

ujung kakinya dengan tepat menjejak topi yang dilem-

parkan Baureksa. Sungguh suatu pemandangan yang 

sangat mendebarkan, sebab salah sedikit saja, nyawa 

Karta tentu akan melayang. Tetapi rupa-nya nasib mu


jur masih menyertai pendekar itu, sehingga dengan 

menjejak topi ajaib itu, ia dapat meloncat lebih jauh 

lagi hingga tubuhnya tercebur ke laut, bukannya ter-

hempas ke batu karang tajam.

"Byur!" Tubuh pendekar itu masuk ke dalam 

air laut yang kebetulan cukup dalam dan terus melun-

cur ke bawah tersedot oleh bobot tubuhnya sendiri 

menuju dasar laut. Beberapa ekor ikan kecil yang tadi 

berenang-renang riang gembira di laut itu menjadi ter-

kejut, lalu berpencaran menjauh karena ketakutan.

Namun celakanya, Karta tidak sadarkan diri 

lagi. Rupanya hempasan yang cukup keras sewaktu 

terhempas ke permukaan air laut tadi membuatnya 

pingsan seketika. Hal itu karena dirinya memang su-

dah terluka parah, sehingga sekarang tidak berdaya 

lagi menyelamatkan diri dari sedotan air laut

Tiba-tiba tubuh yang tak berdaya itu bergerak 

berputar, makin lama makin kencang. Ternyata ia te-

lah terkena jaringan air pusaran di dasar laut. Arus air 

dalam laut itu akhirnya menyeret tubuh si Gila Muara 

Bondet dengan derasnya dari poros putaran.

***

SEMBILAN



Arus itu semakin kencang, sehingga membuat 

tubuh Karta meluncur semakin jauh dari tempat se-

mula. Makin lama tubuhnya tampak makin kecil dan 

akhirnya hilang tergulung ombak laut yang besar.

Kepala Suku Pampani pun sebenarnya ikut 

juga terjatuh tadi. Tetapi ia sempat berpegangan pada 

pinggiran tebing hingga tidak ikut terhempas ke bawah 

sana. Sedangkan si Kaki Tunggal nasibnya sedikit lebih baik, hanya sempat terjengkang di atas tanah. 

"Baiklah. Aku sudah siap!"

"Maafkan kami, Wori. Kita terpaksa harus 

bermusuhan!"

Sambil berteriak nyaring, kedua pendekar itu 

menyerang Wori dengan dahsyat. Tongkat si Kaki 

Tunggal menyambar bagaikan kilat ke arah leher Wori. 

Sedangkan Pampani mengulurkan kedua tangan den-

gan cengkeraman mautnya mengarah ke bagian ubun-

ubun dan pusar Wori.

Sungguh suatu serangan yang sangat dahsyat 

dan mematikan. Salah satu saja serangan itu menge-

nai sasaran, maka Wori akan menderita luka-luka pa-

rah bahkan tidak mustahil akan menemui ajalnya.

Akan tetapi dengan gerakan yang sangat ce-

pat, ia menundukkan kepala sehingga hantaman tong-

kat Kaki Tunggal luput. Pada saat hampir bersamaan, 

tangan kanan Wori menangkis pukulan Pampani, se-

dang tangan kirinya menyambar dahsyat ke arah dada 

Kaki Tunggal.

"Duk! Buk!" Kaki tangan Wori beradu keras 

dengan tangan Pampani sedangkan tangan kirinya 

dengan telak berhasil menghantam dada Kaki Tunggal. 

Akibatnya, tubuh Pampani terdorong beberapa lang-

kah sedangkan tubuh Baureksa sempat terpelanting 

beberapa meter.

"Kurang ajar!" bentak pendekar berkaki tung-

gal itu sambil meloncat bangun. Ia kini mengandalkan 

ilmu meringankan tubuh untuk menyerang lawan. Ge-

takannya sangat cepat sehingga tubuhnya lenyap dan 

berubah menjadi bayangan yang menyambar-nyambar 

dari segala penjuru disertai hantaman tongkat yang 

sangat berbahaya.

Namun kembali Wori menggeram dan men-

gimbangi serangan lawan dengan gerakan kaki berloncatan cepat dan kuat, sehingga semua serangan Bau-

reksa dapat dihindarkan atau ditangkisnya. Kalau ge-

rakan lawan sangat cepat, gerakan pendekar bume-

rang itu sendiri sangat aneh, seolah-olah geseran ka-

kinya sudah cukup untuk menghindar dan jika ada 

kesempatan, tangannya pun langsung menyambar 

dahsyat.

Pampani pun tidak mau tanggung-tanggung 

lagi, sebab bukan hanya sekali tetapi bahkan sudah 

beberapa kali ia dan sahabat-sahabatnya nyaris tewas 

di tangan Wori. Itu sudah cukup baginya untuk tidak 

mau bermain-main lagi. Tepat seperti yang diucapkan 

si Kaki Tunggal biarpun menghadapi sahabat kental 

sendiri, yang namanya bertarung adalah lebih baik 

membunuh daripada dibunuh. Maka ia pun segera 

mengeluarkan segenap kemampuannya untuk mero-

bohkan lawan.

Memang sungguh tragis, dua belah pihak 

yang dulunya bersahabat bahkan sudah merasa sena-

sib seperuntungan, kini bertarung mati-matian. Sedikit 

lengah saja, mereka bisa celaka! Tetapi itulah kenya-

taannya, di mana pengaruh ilmu sihir yang sangat ja-

hat telah menguasai pikiran Wori, sehingga tampak 

bahwa dia tak segan-segan untuk berbuat kejam.

Memasuki jurus yang keempat puluh, Pam-

pani dan Baureksa berhasil mendesak Wori. Bahkan 

Kepala Suku itu berhasil mendaratkan pukulan tangan 

kirinya ke dada lawan, menyusul hantaman tongkat si 

Kaki Tunggal ke dada pendekar bumerang. Akan tetapi 

agaknya hal itu memang sengaja dibiarkan Wori, kare-

na pada saat yang hampir bersamaan, kedua sikut 

tangannya berhasil mendarat telak di dada kedua la-

wannya.

"Duk" Tubuh Pampani dan si Kaki Tunggal 

terpelanting beberapa meter, kemudian terbanting ke


ras ke tanah. Ketika keduanya berusaha bangkit, tam-

paklah beberapa gumpal darah kental tersembur dari 

mulut mereka pertanda keduanya telah menderita luka 

dalam yang cukup parah. 

"Celaka, Pampani! Ternyata dia bukan tan-

dingan kita. Dia terlalu tangguh dan bertenaga raksa-

sa!"

Pampani mengeluh perlahan. Pandangan ma-

tanya mulai berkunang-kunang, sama seperti nasib 

temannya si Kaki Tunggal. Meskipun demikian, seba-

gai pendekar yang gagah perkasa, mereka tentu saja 

tak mau menyerah begitu saja. Keduanya segera bang-

kit sambil berusaha menahan rasa sakit di dada. 

Kembali terjadi pertarungan dahsyat, namun 

tidak sehebat tadi lagi, karena baik Pampani maupun 

si Kaki Tunggal tidak berani lagi terlalu memaksakan 

tenaga dalam mereka. Bagaimanapun juga, dalam 

keadaan terluka seperti itu adalah tidak baik menge-

rahkan tenaga karena tentu akan membuat luka da-

lam mereka bertambah parah. Kedua pendekar itu 

hanya mengandalkan kelincahan tubuh tanpa mau 

mengadu tenaga lagi, namun jika mempunyai kesem-

patan mereka melancarkan serangan mautnya.

Akan tetapi diam-diam kedua pendekar itu 

mengeluh. Mereka sudah berusaha bertarung sebaik 

mungkin dan telah mengeluarkan segenap kemam-

puan, tetapi serangan kedua pendekar itu seperti 

membentur tembok yang sangat kuat dan kokoh. Ma-

kin lama, kondisi mereka pun makin lemah. Kesempa-

tan itu digunakan Wori melancarkan serangan maut-

nya, sehingga kedua lawannya kembali terpelanting 

dan tidak mampu bangkit lagi.

"Pampani, kita benar-benar tak berdaya lagi," 

kata Baureksa dengan suara tercekat.

"Apa boleh buat, mungkin sudah takdir kita


harus mati di tangan sahabat sendiri. Semoga Dewa 

yang Agung mengampuni kesalahannya."

Pada saat itu, pendekar bumerang melangkah 

dengan pasti ke arah musuh-musuhnya. Sorot ma-

tanya yang sangat dingin dan tajam menandakan bah-

wa tak mungkin lagi dia, mau mengampuni Pampani 

maupun si Kaki Tunggal

Mendadak kedua pendekar itu berseru kaget 

melihat perubahan dalam diri Wori. Makin dekat kepa-

da mereka, tubuh laki-laki itu tampak semakin tinggi 

besar, bagaikan balon ditiup. Hampir tak di percaya, 

sehingga berulang kali Pampani dan Baureksa menge-

jap-ngejapkan mata, seolah-olah belum yakin akan 

pandangan mata mereka sendiri.

Hanya beberapa langkah lagi, Wori berdiri di 

hadapan kedua pendekar yang sedang tergeletak tak 

berdaya itu. Tubuh pendekar bumerang tampak telah 

setinggi pohon kelapa atau belasan meter sehingga ia 

tampak seperti seorang manusia dewasa di hadapan 

dua ekor semut.

"Heh? Astaga! Dia berubah menjadi raksasa!" 

seru si Kaki Tunggal.

"Ya, Dewa!" teriak Pampani pula.

"Lari, Pampani!" pekik si Kaki Tunggal yang 

tiba-tiba saja merasa menemukan kekuatannya kem-

bali. Sewaktu telapak kaki Wori yang lebarnya hampir 

satu meter itu hendak menginjak tubuhnya, ia segera 

bergulingan.

"Bum!" Terdengar suara berdebum dahsyat 

ketika telapak kaki berukuran raksasa itu menginjak 

tanah hanya beberapa jengkal dari tubuh si Kaki 

Tunggal. Tanah di sekitar tempat itu pun terguncang 

bagaikan dilanda gempa dahsyat. Pampani pun masih 

sempat mengelak dengan cara seperti yang dilakukan 

sahabatnya. Dalam keadaan semakin terdesak, si Kaki


Tunggal masih sempat mengayunkan tongkatnya 

menghantam kaki Wori.

"Duk!" Dengan telak, tongkat itu menghantam 

kaki Wori. Tetapi laki-laki bertubuh raksasa itu tam-

pak tidak kesakitan sama sekali, bahkan tongkat si 

Kaki Tunggal berbalik keras, seolah-olah memukul 

benda berupa karet.

"Grrrrrr!" Wori menggeram dan langsung 

menginjak tubuh si Kaki Tunggal dan Pampani sekali-

gus. Demikian besarnya telapak kaki Wori, sehingga 

tubuh kedua pendekar itu tenggelam diinjaknya, tak 

ubahnya manusia menginjak semut.

"Aaaaaaa!" Pampani dan Baureksa menjerit 

panjang ketika merasakan tubuh mereka telah remuk 

tertimpa benda keras yang beratnya ribuan ton. Wa-

laupun demikian, Wori tidak kasihan sama sekali. Ia 

terus menginjak, hingga kedua lawannya hampir tak 

bisa bernafas lagi, selain menggigit bibir menahan rasa 

sakit luar biasa.

Tiba-tiba sebuah bayangan sosok tubuh serba 

hitam mengenakan pakaian jubah, muncul di atas teb-

ing tak jauh dari arena pertarungan itu. Dialah si ahli 

sihir Womere, yang entah dari mana datangnya tiba-

tiba saja sudah berada di tempat itu. Sambil terse-

nyum puas, laki-laki itu berujar dengan suara yang 

penuh wibawa.......

"Cukup, Wori! Untuk kali ini kau telah me-

nunjukkan kesetiaan terhadap perintah-perintahku! 

Lepaskan saja kunyuk-kunyuk kecil itu. Lepaskanlah!"

Wori mengurungkan niatnya dan mengangkat 

kakinya, sehingga si Kaki Tunggal dan Pampani mera-

sa bagaikan lepas dari beban yang teramat berat serta 

menyakitkan. Pada saat itu, keduanya juga terkejut 

menyaksikan tubuh Wori telah mengecil kembali se-

perti sediakala. Lalu dengan langkah perlahan-lahan,


meninggalkan kedua pendekar yang tadi hampir saja 

remuk redam ia injak. 

"He, lihat! Dia berubah jadi kecil!" teriak 

Pampani seperti tanpa sadar.

"Naiklah ke mari, Wori!" ujar Womere lagi. 

"Kau kini betul-betul sudah dapat dipercaya untuk 

menjalankan tugas selanjutnya. Mengenai nyawa ti-

kus-tikus kecil itu, kita tangguhkan dulu. Tapi lain 

waktu mereka tidak akan bisa lolos lagi. Itu persoalan 

kecil. Masih ada tugas yang lebih penting bagimu dan 

harus kau lakukan sebaik-baiknya. Tuanmu ingin ber-

bicara langsung denganmu, Wori! Kini marilah ikut 

dengan aku!" 

Pampani dan si Kaki Tunggal sangat terkejut 

menyaksikan kehadiran lelaki yang tampaknya adalah 

ahli sihir yang menguasai pikiran Wori. Setiap kali 

berbicara, suaranya terdengar sangat berwibawa, se-

hingga sedikit pun pendekar bumerang itu tidak mau 

membantah.

"Kurang ajar! Rupanya dialah biang kela-

dinya!" kata si Kaki Tunggal geram.

"Ya, pasti dialah orangnya. Tapi aneh sekali, 

kita belum mengenalnya. Agaknya dia baru datang ke 

pulau ini. Dia bukan penduduk peribumi kepulauan 

Aru ini. Dia pasti datang dari negeri lain.

Sementara Pampani dan si Kaki Tunggal bica-

ra perlahan-lahan namun mengandung emosi yang 

membara, Womere dan Wori pun masih terlibat pembi-

caraan dengan nada seorang hamba terhadap maji-

kannya. 

"Sekarang adalah waktunya untukmu untuk 

beristirahat. Kau perlu mengumpulkan tenaga, sebab 

aku lihat kau sudah cukup capek. Mari, Wori! Kau ha-

rus turut semua perintahku!" 

Wori cuma mengangguk dan mengikuti lang


kah tokoh sesat itu bagaikan kerbau dicucuk hidung. 

Sejenak masih terdengar suara Womere sayup-sayup 

di keheningan malam itu, lalu tak lama berselang tu-

buh keduanya pun lenyap di balik tebing-tebing.

Pampani dan Baureksa bagaikan terpaku 

memandang kepergian sahabat mereka. Tak dapat di-

lukiskan bagaimana perasaan mereka sekarang. Ada 

rasa lega, karena barusan dapat selamat dari maut. 

Tapi ada juga rasa sedih, sebab kawan baik mereka 

sekarang telah dikuasai seorang tokoh sesat berilmu 

tinggi.

Terbayang di benak Kepala Suku maupun si 

Kaki Tunggal ketika mereka masih hidup bersama-

sama dengan Wori. Pendekar Benua Kanguru itu san-

gat baik, selalu dengan tulus hati memberikan ban-

tuan atau bahkan berkorban demi suku yang dipimpin 

Pampani. Wori selain ramah tamah, juga sangat suka 

bercanda, sehingga kehadirannya terasa membuat su-

asana jadi semarak penuh tawa ceria. Entah dosa apa 

sebenarnya yang dilakukannya, sehingga jatuh ke da-

lam cengkeraman tokoh sesat berilmu jahat.

"Apa yang harus kita lakukan sekarang, sau-

dara Kaki Tunggal?" Pampani bertanya setelah bebera-

pa saat terdiam dan hanyut dalam pikiran masing-

masing.

"Aku sendiri pun masih bingung. Tapi kau 

jangan berkecil hati atau terlalu menyesali keadaan ini. 

Sebaiknya kita sama-sama mencari jalan keluar untuk 

mengatasi persoalan ini. Tampaknya di Pulau Aru ini 

telah muncul tokoh sesat berilmu tinggi yang ingin 

menobatkan dirinya sebagai penguasa. Cepat atau 

lambat, kita akan menghadapi persoalan yang tidak 

boleh dianggap remeh. Mulai sekarang kita harus ber-

siap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sayang..... 

kawan kita yang cukup bisa diandalkan sudah berada


dalam cengkeraman musuh. Ini merupakan suatu ke-

rugian besar bagi kita."

"Ya, saya pun memikirkannya. Ancaman yang 

kita hadapi kini tidak boleh dianggap remeh, terutama 

karena tampaknya musuh yang ada sekarang datang 

dari luar pulau. Bisa jadi kedatangan lelaki tadi meru-

pakan isyarat bagi kita bahwa mereka telah bersiap-

siap melakukan penyerbuan. Mudah-mudahan kita 

berhasil mengatasi mereka nanti. Lalu sekarang, ba-

gaimana dengan saudara Karta? Marilah kita menca-

rinya. Tadi ia jatuh ke bawah tebing, entah bagaimana 

nasibnya kini."

"Entahlah! Tadi sewaktu terjatuh, keadaan-

nya sudah sangat parah. Tetapi aku sempat melihat ia 

menginjakkan kakinya di atas topi yang kulemparkan. 

Mudah-mudahan ia masih mempunyai kekuatan un-

tuk menyelamatkan diri."

"Kalau begitu, marilah kita bersama-sama 

mencarinya!"

"Tunggu, Pampani! Biarlah aku sendiri yang 

mencarinya. Kau sebaiknya pulang saja ke istana. Kau 

berjaga-jaga di sana. Firasatku mengatakan bahwa is-

tana kita pun sedang dalam incaran musuh."

"Baiklah kalau begitu. Maafkan, aku bukan-

nya tak mau mencari saudara Karta. Tetapi tampaknya 

aku harus kembali ke istana sekarang. Setibanya di 

sana nanti, aku akan mengirimkan sejumlah laskar 

untuk membantumu mencari saudara Karta. Semoga 

dia selamat tak kurang suatu apapun!" 

Pampani segera mengayunkan langkah me-

ninggalkan tempat itu. Ia tampak sedih, tetapi juga 

agak tegang karena sudah dapat merasakan kehadiran 

orang yang sedang mengancam keselamatan suku 

pimpinannya, maupun kedudukannya sebagai Kepala 

Suku di Kepulauan Aru. Wajah laki-laki tadi yang


tampaknya telah benar-benar menguasai pikiran Wori, 

terbayang lagi di benaknya. Dadanya menjadi penuh 

gejolak amarah nan membara. Dikepalnya kedua tin-

junya dan dalam hati bertekad, suatu saat nanti ia in-

gin berhadapan dengan orang itu kemudian membu-

nuhnya!

Setelah berpisah dengan Pampani, si Kaki 

Tunggal bergegas menuruni tebing-tebing cadas itu. 

Yang pertama kali ia temukan adalah tudungnya, yang 

segera dipakainya dengan perasaan lega dan mengha-

rapkan dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi sege-

ra dapat menemukan Karta. Akan tetapi di sekitar 

tempat itu ia tak berhasil menemukan sahabatnya itu. 

Bahkan tak terlihat adanya tanda-tanda bahwa si Gila 

Dari Muara Bondet berada di sekitar tempat itu.

Pendekar berkaki tunggal itu kemudian me-

nyelusuri pantai karang tajam sambil mempertinggi 

daya tangkap panca inderanya. Dia sengaja turun ke 

dalam air laut, karena jika Karta berada di dalam laut, 

pendengarannya yang sangat tajam seperti kuping lin-

tah, tentu akan dapat mendengar suara langkah kaki 

Baureksa. Tetapi sampai ia kelelahan dan hari mulai 

subuh, ia tetap tidak berhasil menemukan Karta.

Pendekar dari Muara Bondet itu seolah-olah 

hilang ditelan bumi. Tidak meninggalkan bekas sama 

sekali. Si Kaki Tunggal mulai putus asa, lalu berteriak 

sekuat-kuat tenaga memanggil Karta. Suaranya ber-

gema ke segala penjuru berbaur dengan desah ombak 

laut yang datang bergulung-gulung. Tidak ada sahu-

tan! Dan suara teriakan si Kaki Tunggal pun hilang di-

telan angin malam.



                              TAMAT


Bagaimanakah nasib si Gila Dari Muara Bon-

det selanjutnya? Apakah dia akan menemui ajalnya di 

dasar laut? Bagaimana pula nasib Pendekar Bumerang 

Wori yang sudah dikuasai ilmu sihir lawan. Tampak-

nya dalam waktu dekat akan terjadi pertumpahan da-

rah di kepulauan Aru, setelah munculnya dua tokoh 

sesat. 

Ikuti kisah selanjutnya dalam episode:

'Raja Sihir Dari Kolepom'




 

Share:

0 comments:

Posting Komentar