BADAI DI LAUT ARAFURU
Karya Djair Warni
Serial Jaka Sembung
Cover Oleh: Djair
Jakarta, 1991; cet. Ke-1
Penerbit Sarana Karya, Jakarta
SK 91-82S, 128 hlm; 11 x 18 cm
Hak cipta dilindungi undang-undang
Dilarang mengutip atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit
Ini adalah kisah fiktif. Persamaan nama tokoh,
tempat atau pun peristiwa hanyalah kebetulan belaka
SATU
Cirebon di akhir abad ke-XVII....
Dari sinilah kisah Badai di Laut Arafuru dimu-
lai.
Hari itu, matahari pagi bersinar cerah. Embun
yang semalam menyirami rumput-rumput di halaman
Gedung Karesidenan Cirebon tampak dari jauh berki-
lau-kilau seperti butiran intan, satu per satu perlahan-
lahan bergulir jatuh ke tanah, terusir oleh kehangatan
surya pagi
Di sana-sini kelihatan kupu-kupu beterbangan
kian ke mari di atas rumput hijau yang laksana per-
madani. Kupu-kupu bersayap indah itu, seakan-akan
riang ceria menyambut suasana baru pergantian peja-
bat tinggi Belanda dari Letnan Jenderal Leonard Van
Eisen yang tewas di Kandanghaur dengan Letnan Jen-
deral Van den Smooth.
Di pagi yang cerah itu, dua orang pejabat Be-
landa berpakaian preman tampak di bagian belakang
gedung Karesidenan sedang menuju ke tempat pe-
nyimpanan kuda. Mereka ialah Letnan Jenderal Van
den Smooth dengan seorang tamunya, perwira tinggi.
"Goed! Kowe orang kerja rajin!" puji Van den
Smooth sambil mendekati kacung perawat kudanya.
Anak muda yang sedang bekerja memandikan kuda itu
kaget. Ia menoleh ke arah datangnya sapaan itu.
"Saya Tuan," ujarnya dengan gugup. Ia mena-
tap wajah pejabat Belanda itu sepintas, kemudian me-
nunduk dan meneruskan pekerjaannya sambil menyi-
kat bulu-bulu kuda serta membersihkan lumpur yang
melekat di celah-celah kukunya. Sementara tamu Van
den Smooth memperhatikan cara kerja dan ketelitian
anak muda itu.
"Jij punya kacung yang rajin," ujar perwira
tinggi yang kurus jangkung sambil tersenyum kepada
jenderal itu, "U punya kuda kelihatan sehat-sehat dan
bersih!"
"Dank U Well! Dia orang inlander yang setia pa-
da majikan, Ik senang dengan kerjanya," tanggap Van
den Smooth. Ia menatap perawat kudanya itu dengan
simpatik.
"Kelihatannya kuda yang satu itu berlumpur
banyak," komentar sang tamu sambil menunjuk pada
seekor kuda hitam kekar.
"Memang! Kuda itu baru melakukan perjalanan
jauh ke Kandanghaur," jelas Van den Smooth, "Jalan-
nya terlalu becek akibat hujan terus-menerus."
"O, ya? Bagaimana dengan Jaka Sembung?"
"Beres! Semua siasat berjalan lancar. Ik berha-
sil memasang perangkap jitu dengan membujuk dan
mengundangnya ke Karesidenan untuk merundingkan
status otonomi."
"Lantas?" usut perwira tinggi itu ingin tahu.
"Pemerintah Kerajaan Belanda, tentu tidak bo-
doh mau berunding dengan pemberontak. Sesampai di
Cirebon, begitu turun dari kereta kuda, ekstremis itu
langsung kita ringkus dan jebloskan ke dalam penjara
tanpa ada perlawanan."
"Wah! Jij punya taktik sudah jempolan!" seru
sang tamu sambil mengeluarkan tangan, mengu-
capkan selamat.
Yang dipuji merasa senang. Kedua mereka be-
rangkulan diakhiri dengan tawa terbahak-bahak.
"Apa rencana Jij selanjutnya terhadap gembong
ekstremis itu, Jenderal?" tanya perwira tinggi itu ber-
semangat.
"Jaka Sembung akan kita singkirkan ke sebuah
pulau di sebelah Timur Hindia Belanda."
"Ke sebuah pulau?"
"Ya, sebuah pulau yang masih hutan belantara
dengan penduduknya yang masih liar," jelas Van den
Smooth terbuka.
"Pulau apa itu, Jenderal?"
"Pulau Papua!"
"Oh, ya, Ik ingat," kata si kurus jangkung itu,
"kalau Ik tak salah, penduduk pulau itu masih terlalu
primitif dan ganas."
"Pulau itulah yang paling ideal untuknya, bu-
kan?"
Tamu itu mengangguk... kemudian tertawa lagi
dengan nada penuh ejekan.
Anak muda, perawat kuda yang turut menden-
gar percakapan itu, baru mendapat keterangan yang
jelas tentang Jaka Sembung, kakak kandungnya yang
sedang dicari-carinya. Di satu segi, anak muda itu me-
rasa senang karena orang yang dicari masih hidup, te-
tapi di pihak lain ia sangat merasa khawatir akan na-
sib saudara kandungnya yang akan dibuang oleh Be-
landa ke suatu pulau terpencil di luar Jawa.
"Jadi," sambung Jenderal Van den Smooth,
"Dengan dibuangnya Jaka Sembung jauh ke seberang
lautan, desa Kandanghaur kembali lagi ke tangan ki-
ta."
"Bagaimana dengan Kapten James?"
"Ia sudah dipindahkan ke Batavia, seminggu
sebelum Jaka Sembung ditangkap."
"Itu tindakan yang tepat," puji perwira tinggi itu
dengan nada sungguh-sungguh.
"Ik sudah lama mendengar, James memang
sangat bersimpati terhadap perjuangan pendekar Islam
itu dalam menentang pemerintah Belanda," komentar
sang tamu yang juga menguasai masalah.
Kacung yang sejak tadi memasang telinganya
mendengar percakapan tersebut, diam-diam berpikir
keras. Hatinya semakin gemas dan khawatir terhadap
rencana jahat Belanda itu.
"Kalau begitu, Jaka Sembung telah ditipu men-
tah-mentah oleh Belanda jahat itu karena mereka tak
mampu menangkapnya dengan jalan kekerasan," geru-
tu anak muda itu sendirian.
"Aku harus segera memberitahukan hal ini ke-
pada Kak Sri Ayuningrum," ujar adik Jaka Sembung
dalam hatinya gelisah.
Malam itu juga, sesosok tubuh tampak ke luar
mengendap-endap dari gedung Karesidenan. Ia berlari
dengan gesitnya menuju ke tempat Sri Ayuningrum
menginap. Di sebuah gubuk terpencil ia berhenti dan
mengetuk pintunya beberapa kali, tetapi tidak ada ja-
waban dari dalam. Hatinya yang sedang cemas, men-
dadak lebih cemas ketika suara dari dalam gubuk ka-
kaknya tidak terdengar sama sekali.
"Kak! Kak! Buka pintunya!" seru anak muda itu
tak sabar.
Keadaan di dalam gubuk tetap sepi. Jawaban
yang diharapkan dari kakaknya tidak juga terdengar.
Antara kesal dan khawatir sekali lagi ia mencoba.
"Kak! Kak! Buka pintu!" serunya dengan kuat
setengah berteriak.
"Siapa?" tanya suara dari dalam.
"Aku Kak, Kaswita!"
Di celah-celah pintu menyembul kepala kakak-
nya dengan kepala masih memakai mukena.
"Kakak sedang sembahyang?" tanya Kaswita
dengan nada malu. "Maafkan aku, Kak!"
"Ada apa, kau seperti dikejar-kejar?" tanya ka-
kaknya heran.
"Celaka, Kak!"
"Celaka bagaimana?" Kakaknya tambah heran.
"Kang Parmin yang sedang kita cari, telah di-
tangkap Kumpeni Belanda," lapor Kaswita dengan gu-
gup dan cemas. Sri Ayuningrum terdiam sejenak se-
perti terpaku di depan pintu.
"Di mana Kang Parmin sekarang?" tanya Sri
sambil membuka mukenanya.
"Dia ditahan di gedung Karesidenan dan dijaga
ketat oleh serdadu dan pendekar bayaran."
"Ya, Allah! Jauh-jauh dari puncak gunung Ci-
remai kita ke mari ingin bertemu dengannya, dia di-
tangkap," gumam Sri Ayuningrum pada dirinya dengan
sedih.
"Untuk apa ia ditangkap? Dan untuk apa ia di-
tahan?" tanya Sri tanpa tahu ke mana pertanyaan itu
diarahkan.
"Kang Parmin dianggap gembong ekstremis,
Kak!"
"Lantas apa maunya?"
"Tak lama lagi, Kang Parmin akan diasingkan
ke luar pulau Jawa," jawab Kaswita dengan nada lesu.
"Dari mana kau tahu?"
"Aku dengar sendiri percakapan Jenderal ku-
nyuk itu tadi pagi, ketika aku sedang membersihkan
kudanya."
"Gawat, kalau begitu!" gumam Sri setengah
berbisik, "Apa akal kita, Dik?"
"Satu-satunya jalan, kita harus berusaha mem-
bebaskan Kang Parmin dalam waktu yang singkat, se-
belum Kang Parmin dinaikkan ke kapal untuk diang-
kut ke luar pulau Jawa ini," jawab Kaswita dengan
bernafsu.
Sri Ayuningrum, adik Jaka Sembung atau ka-
kak Kaswita terdiam sejenak. Ia berpikir keras bagai-
mana cara membebaskan kakaknya itu.
"Kak! Kita tidak akan dapat menyelesaikan ma
salah dengan berpikir terus, tetapi kita harus bertin-
dak cepat. Bagaimana hasilnya, bagaimana nanti," ujar
Kaswita dengan tekad mantap.
"Jadi, bagaimana rencanamu, Dik! Aku ikut sa-
ja," tukas Ayuningrum, membenarkan pendapat adik-
nya.
"Tengah malam nanti, kita harus bertindak. Ki-
ta sudah tidak banyak kesempatan lagi!"
"Baiklah aku setuju!"
Di luar gubuk suasana sepi. Cahaya bulan mu-
da yang baru mengembang mengirimkan sinarnya
yang remang-remang. Angin malam yang berhembus
tenang dari pegunungan membawa rasa sejuk, sehing-
ga hampir seluruh penduduk di kota Cirebon terlena
dalam tidurnya karena kelelahan.
Pada waktu yang sepi, dan sunyi itulah dua
bayangan terlihat sedang mereka-reka tingginya tem-
bok yang mengelilingi gedung Karesidenan. Mereka ti-
dak lain dari Sri Ayuningrum bersama adiknya Kaswi-
ta, yang ingin segera memanjat tembok tinggi itu un-
tuk membebaskan kakak mereka, Jaka Sembung dari
tahanan Kumpeni Belanda.
"Dari sini kita loncat," Terdengar bisik Kaswita,
"Penjagaannya kosong, Kak!"
Ayuningrum segera mendekati Kaswita. Mereka
mengawasi suasana sejenak, kemudian kedua bayan-
gan itu melejit ke atas tembok dengan mudahnya. Te-
tapi, begitu mereka muncul, mereka sangat terperan-
jat. Tiga sosok bayangan mendekati mereka. Sri Ayu-
ningrum secepat kilat menghunus pedangnya dan ke-
tika hendak menyerang dengan jurus maut, terdengar,
"Ssst! Tunggu dulu, kita kawan!"
Sri Ayuningrum menahan pedangnya sambil
bergumam, "Ha! Kawan? Siapa kalian dan apa per-
lunya ke mari?"
"Sama dengan kalian untuk membebaskan Ja-
ka Sembung," jawab salah seorang di antara mereka,
"Kami si Kembar Tiga Malaikat!"
"Kalian wanita semua?"
"Mengapa? Tak ada beda wanita dengan pria
dalam membela kebenaran dan mengusir penjajah Be-
landa," jawab Si Kembar Tiga Melati itu dengan tegas.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Sri Ayu-
ningrum bersahabat.
"Kalian berdua segera masuk menerobos ke
kamar tahanan Jaka Sembung dan kami bertiga siap
menghadapi penjaga-penjaga itu," perintah salah seo-
rang dari Kembar Tiga Melati tanpa membuang-buang
waktu. Ketiga pendekar wanita itu maju lebih dahulu
sambil menahan Sri Ayuningrum dan Kaswita dengan
tangannya.
"Ssst! Itu dia penjaga-penjaga tengik, biar aku
yang membereskan mereka, kalian bersembunyi, le-
kas!" perintah Kepala Kembar Tiga Melati dengan tegas
tanpa ragu. Begitu perintah selesai diucapkan, kedua
anggota Kembar Melati lainnya menyelinap dengan ce-
pat tanpa suara.
Tidak begitu jauh dari situ, terlihat tiga orang
pendekar bayaran yang bekerja untuk Kumpeni Belan-
da mundar-mandir seperti ada firasat jelek. Salah seo-
rang di antara mereka berkata dengan nada curiga,
"Panjul! Rasa-rasanya ada suatu yang tidak beres, ber-
siaplah!"
"Siap!" sahut kedua kawannya dengan seren-
tak.
Seorang pendekar bayaran yang tinggi tegap,
dengan waspada memasang telinga dan mata, menga-
wasi tiap bunyi dan gerak, tetapi tiba-tiba ia menjerit
dengan keras karena punggungnya terbacok golok dari
belakang. Setelah itu ia rubuh ke tanah tidak berkutik
lagi
"Itu imbalan setimpal untuk penghianat bang-
sa," bentak seorang pendekar wanita dengan geram,
sambil menendang pendekar busuk itu dengan jijik.
Tidak lama kemudian terjadilah hiruk-pikuk di
gedung Karesidenan. Serdadu-serdadu Kumpeni Be-
landa dan pendekar sewaan mulai kalang kabut den-
gan senjata di tangan. Mereka terus berusaha menge-
pung pendekar-pendekar si Kembar Tiga Melati.
Salah seorang di antara tiga pendekar Wanita
tersebut, benar-benar terkepung. Berbagai senjata di-
arahkan kepadanya. Teriakan "Maling! Maling! Bunuh
dia! Bunuh!" Terdengar terus-menerus.
Tetapi, apa yang terjadi? Ketika sang pendekar
itu melejit ke atas, puluhan senjata yang diarahkan
kepadanya, namun dengan kecepatan yang luar biasa,
tak satu pun senjata-senjata itu mengenai tubuh me-
reka.
"Alhamdulillah!" ucap pendekar wanita tersebut
sambil melejit kembali ke atas tembok.
"Bangsat awewe, Setan!" serapah pendekar-
pendekar bayaran dengan kesal dan marah. Mereka te-
rus mencoba hendak menangkap pendekar-pendekar
wanita itu, tetapi gerakan mereka benar-benar seperti
angin. Baru saja terlihat dari depan, tiba-tiba berkele-
bat yang lain dari belakang. Banyak korban yang jatuh
dari serdadu-serdadu jaga dan tidak kurang pula pen-
dekar bayaran yang sama sekali tidak berkutik meng-
hadapi gerakan silat Tiga Melati.
Sementara itu, Kaswita dan Sri Ayuningrum
menyelinap perlahan-lahan ke kamar tahanan, tempat
Jaka Sembung ditahan. Tetapi sebelum tiba di tempat
yang dituju, terdengar suatu bentakan keras, "Hei, sia-
pa kau?"
Sri Ayuningrum tidak menjawab, tetapi seren
tak dengan membalik tubuhnya yang ramping, suatu
tusukan pedang menusuk tembus di jantung pengawal
yang membentaknya. Pengawal itu rubuh seketika dan
tidak bangun lagi. Sri tersenyum puas dan berbalik
kembali untuk menuju ke kamar tahanan. Tetapi, tan-
pa diduga dari mana datangnya, sebuah tombak ber-
desing di dekat telinganya, tetapi ia berhasil berkelit
cepat.
Ketika ia melihat ke arah datangnya tombak,
tiba-tiba terdengar teriakan Kaswita, "Kak Sri, kau di-
bokong dari belakang!"
Tetapi, Sri Ayuningrum tidak sempat mengelak
lagi.
Namun Tuhan belum menakdirkan pendekar
wanita itu harus tewas di tangan orang jahat. Ayunan
beliung bermata dua milik Kaswita telah mampir lebih
dahulu membabat leher si pembokong itu.
Sri Ayuningrum secepat itu pula menggunakan
kesempatan untuk menuju ke kamar tahanan Jaka
Sembung.
"Belok ke kanan, Kak Sri" Kaswita memberi pe-
tunjuk kepada kakaknya.
Sementara itu, di luar terdengar suara derap
sepatu serdadu Kumpeni Belanda yang makin lama
makin tambah banyak. Mereka menuju ke bagian be-
lakang gedung tempat terjadinya bentrokan berdarah.
Ketika tiba di sebuah gang, serdadu-serdadu
itu menjadi sangat terperanjat ketika melihat muncul-
nya sesosok tubuh dengan tiba-tiba.
"Hei! Siapa itu?" tanya seorang pendekar yang
membantu serdadu Belanda. Pertanyaan itu tidak ter-
jawab, hanya dari balik kegelapan malam itu, tampak
sepasang mata dengan sorot tajam dan mengancam.
Kemudian muncul perlahan-lahan di suatu tempat
yang terang.
"Ha!?" seru para pendekar bayaran sambil
mengepung tamu yang tidak diundang itu.
"He, kakinya buntung!" teriak salah seorang
pengepungnya. Pendekar buntung itu mulai bergerak
dibantu oleh tongkat penyangga di sebelah kakinya
yang buntung.
Melihat pendekar buntung itu, makin lama ma-
kin mendekat, tiba-tiba dengan gerak serentak para
pengawal menyerbu untuk menyergap pendekar cacat
itu. Tetapi, sebelum sempat mereka menjamah badan
pendekar buntung, satu persatu mereka jatuh terkulai
dengan senjata tajam menancap di badan. Rupanya
senjata-senjata itu berasal dari tongkat penyangga
pendekar buntung.
"Hebat sekali!" bisik seorang serdadu Kumpeni
Belanda yang melihat kejadian tersebut.
Setelah kejadian itu, pendekar buntung dengan
langkah perlahan tetapi pasti segera meninggalkan
tempat itu. Ketika ia melewati tempat-tempat penja-
gaan, sekali lagi pendekar ini dikepung untuk ditang-
kap.
"Kurung Iblis buntung itu!" teriak salah seorang
serdadu.
"Jangan kasih peluang! Tangkap!" teriak yang
lain dengan gemuruh.
Tetapi, pendekar tangguh itu tidak sedikit pun
bergeming. Dengan tenang ia melewati serdadu-
serdadu yang mengepungnya.
"Serang!" Salah seorang pendekar bayaran
memberikan perintah kepada kawan-kawannya. Se-
jumlah pendekar kawakan maju menyerbu untuk me-
nangkap pendekar cacat itu.
Tetapi, tahu-tahu, beberapa orang dari mereka
rubuh ke tanah tanpa gerakan yang berarti dari pen-
dekar tersebut.
Bersamaan dengan peristiwa itu, Sri Ayun-
ingrum dan adiknya Kaswita telah berada di dekat ka-
mar tahanan Jaka Sembung. Kedua adik Jaka Sem-
bung itu mengintip dengan sabar dari kedua sisi ka-
mar. Mereka menunggu kesempatan baik dengan pe-
nuh perhitungan.
Sri Ayuningrum dan Kaswita melihat dua orang
serdadu jaga di kiri kanan pintu dengan senapan mas-
ing-masing di tangan.
"Aku tak khawatir dengan bedil locok itu," kata
Kaswita dalam hati. Apa yang diperkirakan oleh adik-
nya, Sri Ayuningrum pun beranggapan sama.
Kaswita segera memberikan isyarat agar ka-
kaknya memulai serangan dan ia sendiri mendobrak
pintu tahanan. Sri Ayuningrum perlahan-lahan ber-
geser setindak demi setindak ke samping serdadu jaga
yang ada di sebelahnya. Kemudian dengan tenang ia
berkata setengah berbisik, "Jangan ngantuk, Tuan!"
Tentu saja serdadu jaga itu sangat kaget, tetapi sebe-
lum sempat ia membalik badan, Sri Ayuningrum su-
dah lebih dahulu membeset perut serdadu yang ma-
lang itu. Melihat serangan tersebut kawan jaganya se-
gera mengangkat senapan hendak membokong Sri
Ayuningrum dari belakang, tetapi sebelum niatnya ke-
sampaian, Sri telah lebih dahulu menyilangkan pe-
dangnya ke belakang tanpa berbalik. Tusukan pedang
Sri Ayuningrum mengena sasarannya, tepat di jantung
kedua serdadu jaga itu, sebentar berkelojotan mena-
han sakit, kemudian meringkuk dengan kedua tan-
gannya menutup luka.
Sementara itu, tanpa menyia-nyiakan waktu,
Kaswita segera membobol pintu dengan senjata beli-
ungnya yang ampuh. Ketika pintu telah terbuka, Kas-
wita segera melompat ke dalam kamar tahanan, dis-
usul dari belakang oleh Sri Ayuningrum.
"Kosong, Kak!" seru Kaswita dengan kesal. Ha-
rapannya setinggi gunung untuk membebaskan Jaka
Sembung, ternyata sia-sia.
"Mereka mengelabui kita, Dik!"
"Mereka juga menjebak kita, Kak Sri!"
"Cepat keluar meninggalkan tempat ini, tidak
ada gunanya lagi kita berlama-lama di sini," kata Sri
Ayuningrum setengah perintah. Kaswita dengan be-
liung di tangan melompat ke luar kamar tahanan. Di
ujung gang yang panjang sejumlah serdadu Belanda
muncul sambil membentak dengan suara keras, "God-
verdom-me Zeg!"
Kedua adik kakak, Kaswita dan Sri Ayuningrum
segera membalik badan untuk lari ke arah berlawanan,
tetapi gang itu telah terkepung oleh serdadu Belanda.
Puluhan laras senjata bedil terarah kepada mereka.
"Jangan lari!" suatu teriakan keras terdengar,
"Kalau kalian lari kami tembak!" Kaswita dan Sri Ayu-
ningrum tertegun ragu. Kedua mereka memperhatikan
serdadu yang sedang mengepung.
"Hei, kau kacung Letnan Jenderal Van den
Smooth, bukan?" tanya seorang serdadu yang sempat
mengenal Kaswita.
"Bagaimana, Kak?" bisik Kaswita.
"Tidak ada jalan lain, kecuali memberikan per-
lawanan," jawab Sri Ayuningrum, "Gunakan jurus Wa-
lang Sungsang!"
Begitu petunjuk Sri Ayuningrum selesai, kedua
pendekar kakak beradik itu berjumpalitan dengan ge-
rakan yang luar biasa cepatnya, sehingga senapan-
senapan yang ditujukan kepada mereka, meletus tan-
pa sasaran.
Sementara itu, seorang serdadu yang berdiri
terpisah segera membidik senapannya, tetapi "Hiyaat!"
Senjata beliung Kaswita telah mendahuluinya sehingga
pelor yang dibidikkan serdadu itu tidak pernah keluar
dari larasnya sampai ia menghembuskan nafasnya
yang terakhir.
Kaswita yang ahli berjumpalitan, beberapa wak-
tu terus bergerak di udara sehingga beberapa orang
serdadu menerima tendangan telak dari kaki pendekar
muda itu.
Sementara itu, Sri Ayuningrum berkelebat tu-
run di tempat yang diperkirakan tidak berbahaya, te-
tapi dugaannya meleset. Begitu ia berada di tanah, dua
laras senapan dengan cepat mengarah ke dadanya.
"Menyerah Kowe orang!" bentak seorang serda-
du Belanda siap untuk menembak, tetapi Sri Ayunin-
grum dengan cepat mengayunkan pedangnya ke samp-
ing dan tepat mengenai tangan serdadu yang ada di
sebelah kanannya sehingga senapan yang dipegangnya
jatuh terpelanting. Sementara serdadu, yang ada di
samping kirinya mencoba menembak, tetapi sia-sia. Sri
Ayuningrum dalam posisi tidur memutar badannya se-
perti gasing sambil menggaet kaki serdadu itu dengan
cepat sehingga ia terjatuh. Ketika serdadu itu hendak
memungut kembali senapannya, tiba-tiba terus diinjak
dan suatu tendangan kuat yang dilakukan Sri Ayu-
ningrum bersarang di rahang bawahnya, sehingga ia
terjengkang jatuh telentang dan tidak sadarkan diri.
Sri Ayuningrum merasa lega terlepas dari ke-
pungan. Pendekar muda itu tidak menyadari dirinya
sedang diikuti oleh sepasang mata yang mencari ke-
sempatan untuk membokongnya dari belakang.
Tetapi, niat buruk itu tidak kesampaian. Sebe-
lum senapannya memuntahkan peluru ke tubuh pen-
dekar itu, beliung Kaswita telah lebih dahulu merobek
tubuh serdadu itu.
Pertarungan antara serdadu Belanda dengan
pengikut Jaka Sembung yang berlangsung mulai tengah malam sampai menjelang subuh masih belum
berhasil dipadamkan oleh Kumpeni Belanda.
Sementara itu, korban di pihak Kumpeni Be-
landa semakin banyak berjatuhan, tetapi serdadu ban-
tuan terus didatangkan tidak henti-hentinya.
"Kak Sri! Kita harus cepat meninggalkan tempat
ini, sebelum matahari terbit. Tidak ada gunanya lagi
mencari gara-gara dengan Kumpeni Belanda. Orang
yang ingin kita bebaskan pun sudah tak ada di sini,"
kata Kaswita setengah berbisik.
"Memang! Suasananya pun semakin berbahaya.
Belanda terus menerus mendatangkan balabantuan,"
tanggap Sri Ayuningrum.
Begitu perkataan Sri Ayuningrum selesai, begi-
tu pula kedua pendekar muda itu melesat ke udara.
Sebentar kemudian mereka sudah berada di atas tem-
bok pekarangan gedung. Serentak dengan itu, terden-
gar suara tembakan bertubi-tubi memekakkan telinga.
Dalam hujan peluru yang deras itu, mereka
menghilang tanpa seorang pun tahu ke mana per-
ginya....
DUA
Baru sebentar Kaswita dan Sri Ayuningrum tiba
di gubuk mereka yang terpencil itu, dari kejauhan ter-
dengar suara adzan Subuh sayup-sayup, di selingi ko-
kok ayam.
Setelah istirahat sebentar, mereka pun melaku-
kan sholat Subuh. Dalam sholat itu, mereka meman-
jatkan doa kepada Tuhan semoga Jaka Sembung dilin-
dungi-Nya.
"Apa rencana kita sekarang, Dik?" tanya Sri
sambil menatap wajah adiknya dengan tatapan lesu.
"Aku tak tahu, Kak!" jawab Kaswita dengan na-
da sedih. "Tetapi, yang jelas, kita harus berbuat sesua-
tu dalam usaha membebaskan Kang Parmin."
Sejenak kedua pendekar itu mencoba mencari
jalan keluar.
"Apakah tidak mungkin Kang Parmin sudah di-
naikkan ke atas kapal?" kata Kaswita seperti bertanya
pada dirinya.
"Kita ke pantai," ujar Sri Ayuningrum sambil
menghela pedangnya yang terletak di atas tempat ti-
dur.
Kedua mereka segera bergegas menuju pantai.
Dalam suasana remang-remang itu, para nelayan su-
dah mulai ramai. Ada yang baru kembali dari laut den-
gan membawa ikan hasil tangkapannya, ada pula yang
sedang bersiap-siap untuk turun ke laut.
"Dik!" bisik Sri Ayuningrum kepada Kaswita
yang jalan seiring, "Buka matamu. kalau-kalau ada
serdadu Kumpeni Belanda yang memata-matai kita."
Kaswita mengangguk. Mereka terus menuju ke
tepi pantai.
"Mang!" Sri Ayuningrum tiba-tiba berhenti dan
bertanya kepada seorang nelayan yang sedang mena-
tap jauh ke laut, "Kapalnya sudah berangkat?"
Nelayan yang ditanya dengan tiba-tiba itu ka-
get. Kemudian dengan nada ramah menjawab, "Sudah,
Neng!"
"Sudah lama?"
"Kira-kira setengah jam yang lalu."
"Banyak membawa penumpang?" Kaswita me-
nyeling.
"Kali ini tidak membawa penumpang umum, te-
tapi hampir semuanya serdadu Kumpeni Belanda," Ne-
layan itu menjelaskan dengan jujur apa yang diketa-
huinya.
"Mungkin mereka membawa tahanan ba-
rangkali..." kata Kaswita acuh tak acuh untuk membe-
rikan kesan apa yang ditanya itu tidak penting.
"Memang! Kulihat ada seorang tahanan berpe-
rawakan tinggi kekar dikawal serdadu Kumpeni Belan-
da ketika naik tangga dengan tangan dirantai."
"Terima kasih, Mang!" ucap Sri Ayuningrum
sambil menatap Kaswita dengan pandangan berarti.
"Tidak salah lagi, Kak! Tahanan yang dikatakan
Mamang tadi pasti Kang Parmin alias Jaka Sembung,"
ujar Kaswita dengan hati panas.
Apa yang diceritakan nelayan tadi kepada Sri
Ayuningrum dan Kaswita memang benar. Menjelang
Subuh kapal berukuran besar itu mengangkat sauh
dan mengembangkan layar. Kemudian kapal tersebut
berangkat menuju laut lepas dengan membawa taha-
nannya, Jaka Sembung.
Akal licik dan tipu muslihat Kumpeni. Belanda
memang terkenal di mana-mana, terutama di negeri-
negeri jajahannya.
Sejak Jaka Sembung dijadikan tahanan melalui
siasat licik, pemerintah Kumpeni Belanda sudah mem-
perkirakan apa yang bakal terjadi. Mereka sudah me-
nyangka, penahanan Jaka Sembung di gedung Karesi-
denan itu, sama artinya dengan mengundang pende-
kar-pendekar kawakan untuk membuat onar.
Dugaan itu segera menjadi suatu kenyataan.
Malam itu, sebelum peristiwa berdarah terjadi di ge-
dung Karesidenan, Letnan Van den Smooth sudah le-
bih-dahulu mendapat informasi dari penyelidiknya
bahwa akan ada suatu penyerbuan untuk membe-
baskan Jaka Sembung dari sekelompok pendekar yang
simpatisan kepadanya.
Karena itu, Van den Smooth segera memerin-
tahkan orang-orangnya untuk mengamankan Jaka
Sembung di sebuah tempat yang sangat dirahasiakan.
Sebuah, kapal dagang Belanda yang kebetulan sedang
berlabuh di pelabuhan Cirebon, dicarter oleh penguasa
setempat.
Ketika penyerbuan para pendekar simpatisan
Jaka Sembung berlangsung, Jaka Sembung dipindah-
kan ke kapal setelah mereka merasa serbuan itu ham-
pir-hampir tidak terbendung oleh serdadu-serdadu ja-
ga yang begitu banyak jumlahnya.
Semula Letnan Jenderal Van den Smooth hen-
dak menjadikan serbuan pendekar-pendekar tersebut
sebagai suatu perangkap untuk menangkap semua
pendekar simpatisan Jaka Sembung, tetapi pejabat
tinggi itu tidak membayangkan betapa hebatnya sepak
terjang rekan-rekan Jaka Sembung itu. Van den
Smooth sangat kecewa, dan salah perhitungan.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Kaswita.
"Sabar, Dik! Kita harus melakukan sesuatu, te-
tapi tentu dengan pertimbangan yang matang," jawab
kakaknya tersenyum.
Menjelang matahari terbit di sebelah Timur,
tampak sebuah perahu nelayan merapat ke pangkalan
dan membongkar muatan.
"Tuh, ada perahu," ujar Sri Ayuningrum sambil
menarik tangan Kaswita yang sedang melamun.
Mereka segera berlari-lari menuju ke pangka-
lan.
"Pak! Tolong pinjamkan kami perahu," cetus
Kaswita dengan kaku, tanpa berbasa-basi sedikit pun.
Sri Ayuningrum merasakan sikap kaku adiknya itu se-
hingga sempat menatapnya dengan kesal.
Pemilik perahu tertegun sejenak sambil me-
mandang Kaswita dengan pandangan tersinggung.
"Apa katamu, anak muda. Pinjam perahu? Ada-
ada saja," gumam nelayan itu dengan kesal, "Aku be
lum pernah melihat tampang kalian, datang-datang
mau pinjam perahu, apa-apaan ini?"
"Maafkan dia, Pak!" potong Sri Ayuningrum,
"Dia adik saya."
"Apa maksud kalian sebenarnya?" tanya ne-
layan itu lembut.
"Kalau mungkin kami mau menyewa perahu
Bapak untuk beberapa waktu," jelas pendekar wanita
itu dengan ramah.
"Perahu ini bukan punyaku, Neng! Aku hanya
menyewanya dari Cukong dengan cara bagi hasil," to-
lak nelayan itu dengan halus.
"Kalau begitu, Bapak jual saja perahu ini kepa-
da kami. Berapa harganya bukan soal, akan kami
bayar sekarang juga," kata Sri Ayuningrum dengan pe-
nuh basa-basi.
"Aku tidak dapat memberikan harganya, Neng!"
"Ah, sudah, jangan bertele-tele! Ini uang-nya,"
kata Kaswita yang masih tetap bernada kaku karena ia
memang telah terlanjur kaku.
Nelayan pemilik perahu itu segera menyambut
pundi-pundi yang berisi uang tersebut.
"Berapa jumlahnya?"
"Cukup untuk beli 100 ekor kerbau!" jawab
Kaswita ketus.
Tanpa menunggu jawaban boleh atau tidak dari
nelayan itu, Kaswita melompat ke dalam perahu sam-
bil ngedumel, "Habis gajiku selama menjadi kacung
Belanda!"
Tanpa sedikit pun menyia-nyia waktu, Sri Ayu-
ningrum turun ke perahu dan langsung memegang
dayung, sementara Kaswita membelok haluan pera-
hunya dengan cekatan dan meninggalkan pangkalan.
"Hei, anak muda! Kalian mau ke mana?" teriak
nelayan itu dengan gembira.
"Mau berlayar!" jawab Kaswita seenaknya.
"Jangan! Segera balik!" Nelayan tua itu membe-
ri isyarat "Sebentar lagi akan turun angin putaran.
Heeei! Kembali kalian!" Tetapi Kaswita sedikit pun ti-
dak menggubris, meskipun nelayan tua itu berteriak
sekuat-kuatnya.
"Rupanya, mereka sangat khawatir akan kese-
lamatan kita," kata Sri Ayuningrum yang dapat mera-
sakan sikap baik nelayan tua itu.
Kaswita dan Sri Ayuningrum segera mengayuh
perahunya ke tengah.
"Ke mana arah kita, Dik?"
"Tenang saja, Kak! Segalanya akan beres!"
"Beres bagaimana?" tanya Sri Ayuningrum ra-
gu-ragu.
"Aku banyak pengalaman tentang berlayar,
Kak! Kakak terus berdayung dan aku pegang kemudi,"
jawab Kaswita mulai bisa tersenyum lagi.
"Baik, Tuan Nakhoda!" Sri Ayuningrum bergu-
rau dengan adiknya.
"Sekarang Kakak berdayung terus sampai ke
tengah! Kemudian layar kita kembangkan."
"Ya, tetapi di mana letak pulau Papua yang kau
ceritakan itu?"
"Dari sini ke Timur dan terus ke Timur sampai
kita ketemu dengan kapal Belanda yang membawa
Kang Parmin."
"Wah! Sederhana sekali kalau begitu," ujar Sri
Ayuningrum mulai ragu, "Bagaimana kita tahu arah
Timur, jika matahari sudah tenggelam nanti?"
"Pendeknya mudah, Kak!" kata Kaswita sok ta-
hu.
"Hei, jangan semua dipermudah! Nanti salah-
salah bisa kita nyasar ke mana-mana."
"Tidak, Kak! Jika malam hari, arah bisa kita ke
tahui dengan melihat 'Bintang Gubuk Pence ng'."
"Bintang Gubuk Penceng?" ulang Sri Ayu-
ningrum mulai percaya pada kemampuan Kaswita.
Ketika matahari terbit di sebelah Timur, mereka
telah jauh meninggalkan pantai. Kaswita dengan sigap
mulai mengembangkan layar. Perahunya pun melaju
dengan kencang beberapa mil.
"Kalau begini terus lajunya, kita akan cepat da-
pat menyusul kapal keparat itu," ujar Sri Ayuningrum
sambil berhenti mendayung sementara.
Tetapi, tiba-tiba angin bertiup kencang. Langit
yang tadinya biru, kini berangsur-angsur berubah
menjadi hitam pekat dan mendung seperti menggan-
tung di atas kepala mereka.
"Lihat itu ombaknya semakin besar!" keluh Sri
Ayuningrum dengan rasa khawatir, "Kalau salah-salah
ombak itu dapat membalikkan perahu kita, Dik!"
"Tenang, Kak! Berdoalah kepada Tuhan karena
Dia-lah juru selamat kita satu-satunya." Kata-kata
Kaswita ternyata benar-benar merupakan penangkal
keraguan kakaknya.
Sri Ayuningrum dengan tenang menjaga ke-
seimbangan perahunya sambil berdoa dalam hati dan
pasrah kepada Tuhan. Sementara itu terlihat Kaswita
dengan cekatan menurunkan layar untuk menjaga pe-
rahu tidak sampai terbalik.
Ombak raksasa mulai bergulung-gulung dan
sekali-sekali mengangkat perahu kecil yang ditumpan-
gi kedua kakak-beradik itu tinggi-tinggi. Kemudian
perlahan-perlahan terhempas kembali bersama gelom-
bang yang memecah.
"Jangan gugup, Kak! Jaga keseimbangan!"
Hanya itu yang selalu diperingatkan oleh Kaswita. Sri
Ayuningrum semakin tabah menghadapi ancaman
alam yang semakin dahsyat itu.
Sementara itu, ombak kelihatan mulai jinak
kembali dan perahu kecil yang tahan bantingan berge-
rak lagi dengan tenang.
"Alhamdulillah!" ucap Sri Ayuningrum dengan
penuh rasa syukur, tetapi begitu ucapan itu selesai, ti-
ba-tiba di depan mereka terlihat segulungan ombak
yang tinggi menjulang menyongsong perahu kecil me-
reka. Perahu itu seperti terlempar ke atas dan air laut
seperti menghempas badan Sri Ayuningrum ke luar pe-
rahu.
"Kakak!" seru Kaswita dengan keras sambil me-
nyambar tubuh kakaknya yang tercebur ke laut. Teta-
pi, ia tidak berhasil. Ia hanya melihat sepintas lalu
tangan yang menggapai-gapai di permukaan air, agak-
nya jauh dari perahu. Kemudian tubuh itu kelelap hi-
lang dari pandangan.
Gadis pedalaman ini rupanya memang tidak
pandai berenang.
Kaswita menjadi panik. Dengan harap-harap
cemas ia menanti munculnya tangan kakaknya itu ke
permukaan air kembali. Harapannya itu menjadi ke-
nyataan. Rupanya Tuhan belum menentukan ajal Sri
Ayuningrum harus mati di dasar laut. Kaswita segera
menyambar tangan itu dengan sigap dan mengangkat
tubuh kakaknya itu ke dalam perahu. "Alhamdulillah!"
ucap Kaswita sambil menelungkupkan badan Sri Ayu-
ningrum.
Kini laut kembali berangsur-angsur menjadi te-
nang. Angin yang memacu ombak perlahan-lahan ber-
henti sementara langit sedikit demi sedikit cerah kem-
bali.
"Bagaimana Kak?" tanya Kaswita ketika melihat
kakaknya bergerak perlahan-lahan mengangkat kepa-
la.
"Perutku serasa kembung dan kepalaku pus
ing," jawab Sri Ayuningrum. Kemudian kepalanya ter-
golek kembali.
Sehari penuh hari itu mereka bertempur mela-
wan keganasan alam.
Sementara itu, matahari yang sudah condong
ke Barat, perlahan-lahan tenggelam di kaki langit, di-
gantikan oleh ratu malam. Itulah malam pertama dari
petualangan mereka.
Ketika itu langit tampak berwarna biru muda.
Bintang-bintang bertaburan di sana-sini, berkelip-kelip
dari kejauhan seperti taburan mutiara yang berki-
lauan.
Sri Ayuningrum sudah berangsur-angsur sehat
kembali.
"Kita makan, Dik!" ajak sang kakak merasa
berhutang budi. Sri Ayuningrum membuka bagian ba-
wah perahu. Ia mengeluarkan sebuah keranjang ma-
kanan yang berisikan bekal selama dalam perjalanan.
Mereka pun santap bersama dengan penuh ra-
sa nikmat karena perut mereka memang sedang dalam
keadaan lapar.
Sementara itu, perahu kecil ini terus berlayar di
tengah lautan dengan tenang, dikayuh perlahan-lahan
oleh Sri Ayuningrum.
"Kak! Lihatlah bintang itu," seru Kaswita sambil
menunjuk ke sebuah bintang.
"Mengapa?" tanya kakaknya berhenti men-
dayung, sementara perahu melaju terus didorong om-
bak dari belakang,
"Itulah bintang Gubuk Penceng yang kucerita-
kan Kakak siang tadi."
"Yang mana?"
"Itu yang berbentuk salib!"
Sri Ayuningrum mengangguk-angguk pertanda
mengerti.
"Dialah bintang sahabat nelayan, yang selalu
berbaik hati menuntun mereka ke arah tujuan," jelas
Kaswita.
Malam itu laut begitu tenangnya. Ombak kecil-
kecil seperti berkejar-kejaran. Air terlihat berkelip-kelip
seperti hendak mengatakan hidup itu laksana lautan
sebentar bergejolak, sebentar tenang.
Perahu Kaswita melaju dengan tenang. Angin
mendorong dari belakang lewat layar yang dipasang
oleh nahkoda muda, pendekar Kaswita. Malam itu tak
banyak masalah! Pada waktu dinihari, perahu itu telah
memasuki laut Flores.
"Kakak tidur nyenyak sekali!" ujar Kaswita yang
terus semalaman memegang kemudi.
"Aku terlalu lelah, Dik," kata Sri Ayuningrum,
"Dan perutku pun terasa lapar."
"Makanan semalam masih ada, Kak?"
"Mengapa? Kau juga lapar?" Kaswita mengang-
guk sambil tersenyum.
Merekapun menyantap bersama makanan yang
tersisa kemarin.
"Persiapan makanan kita habis!" kata Sri Ayu-
ningrum sambil membuang bungkusan yang sudah
kosong ke laut.
"Jangan khawatir, Kak! Di laut banyak ma-
kanan. Di air ada ikan dan di udara ada burung," ujar
Kaswita sambil menunjuk beberapa ekor burung ca-
mar yang terbang tenang pagi itu.
"Daging burung enak sekali," tambah Kaswita
sambil menelan air liur. "Kalau Kakak suka, gunakan-
lah pedang mata dua Kakak itu."
"Tetapi, bagaimana makannya, mentah-mentah
begitu saja?" tanya Sri Ayuningrum seperti enggan.
"Apa boleh buat! Di sini tidak ada api! Tak ada
pula tetangga yang lewat yang boleh diminta," jawab
Kaswita dengan mata masih saja menatap ke burung-
burung camar yang terbang rendah.
Malam kedua telah pula dilewati dengan mulus.
Pagi hari ketika mereka telah tiba di laut Banda.
"Oh, lihat air laut di sini jernih sekali," kata Sri
Ayuningrum setengah heran. "Ikan-ikannya jinak dan
berkawan-kawan."
Kaswita turut juga menyaksikan keadaan laut
Banda yang sama sekali belum pernah dikunjungi,
meskipun ia pernah mengikuti kapal sebagai seorang
kelasi yang menjelajahi pulau-pulau di Nusantara.
Pagi itu cuaca terang benderang. Matahari
mengirimkan sinar lembutnya ke permukaan laut. Se-
mentara angin pagi berhembus sepoi-sepoi seperti
membelai kedua tubuh pendekar muda yang sedang
menggenggam sebuah tekad untuk membebaskan
saudara mereka dari tangan besi penjajah Belanda.
Laut Banda yang tenang dan jernih itu tampak bersa-
habat dengan mereka.
Layar yang sejak semalam terpasang sangat
membantu tugas Sri Ayuningrum. Gadis muda yang
cantik dan cekatan itu duduk dengan tenang sambil
menatap jauh ke depan. Hatinya berlari jauh lebih ce-
pat dari perahu sehingga di wajahnya membayang rasa
ketidak sabaran. Ingin saja cepat-cepat dapat mence-
gat kapal Belanda yang menyandera kakaknya Jaka
Sembung.
Kaswita yang memegang kemudi, sekali-sekali
menoleh kepada kakaknya dan diam-diam seperti me-
rasakan ada sesuatu yang sedang menjadi lamunan
saudaranya itu.
"Kakak melamun?" tanya Kaswita penuh perha-
tian.
"Tidaaak," jawab Sri Ayuningrum, mencoba
menyembunyikan perasaan hatinya,
"Tetapi kira-kira berapa lama lagi pelayaran ki-
ta ini?"
"Mengapa, Kak? Kakak sudah tidak sabar?" tu-
kas Kaswita dengan tersenyum mencoba menghibur
kakaknya. "Itu sangat tergantung pada cepat lambat-
nya perahu kita ini dapat mengejar kapal besar itu," je-
las pemuda itu.
Ketika mereka sudah melewati laut Banda se-
jauh beberapa mil, dari depan kelihatan langit mulai
mendung dan perlahan-lahan menghitam. Angin seka-
li-sekali datang dengan tiba-tiba disertai gelombang
besar.
"Mungkin badai akan datang lagi," seru Kaswi-
ta, "Kakak berhati-hati!"
Sri Ayuningrum diam membisu. Matanya terus-
menerus mengawasi suasana alam sekitarnya yang dia
sendiri tidak tahu untuk apa? Sementara Kaswita mu-
lai repot dengan kemudi yang selalu dipertahankan ha-
rus tetap ke Timur.
Dalam kesibukan demikian, Kaswita masih
sempat memberikan semangat untuk kakaknya, "Biar
sejuta badai mengamuk, Kak, kita harus tetap sampai
ke tempat tujuan!"
Begitu selesai kata-kata itu lepas dari mulut-
nya, di atas mereka terlihat sesuatu pusaran angin
yang berbentuk kerucut seperti mengebor air laut yang
akan mereka lalui sehingga tidak jauh dari perahu me-
reka ternganga sebuah jurang air laut dalam yang san-
gat mengerikan.
"Puting beliung!" teriak Kaswita yang tetap setia
pada kemudi. Lembah air laut yang dibuat angin put-
ing beliung itu sudah terlalu dekat dengan perahu me-
reka dan tidak mungkin dielakkan lagi.
Ketika perahu mereka berputar-putar seperti
sabut dan terseret ke dalam pusaran air itu, Kaswita
hanya sempat berteriak keras, "Berpegang kuat-kuat
Kak!"
Perahu kecil itu beserta dua orang pendekar
muda yang ada di dalamnya mendadak lenyap dari
permukaan laut tanpa bekas. Sementara suasana di
sekitarnya tenang kembali seperti tak pernah terjadi
apa-apa. Tidak lama kemudian, terlihat perahu naas
itu muncul kembali perlahan-lahan ke permukaan air
dalam keadaan telungkup.
"Kak Sri! Kak Sri, di mana Kakak?" seru adik-
nya ketika ia menyadari dirinya telah berada kembali
di permukaan laut.
"Di sini, Dik! Di sini!" jawab Sri Ayuningrum
sambil mendongakkan kepala ke atas dan melihat
Kaswita ada di depannya.
"Syukur Alhamdulillah, kita diselamatkan Al-
lah," kata Ayuningrum sambil memejam mata. Kemu-
dian ia meminta kepada adiknya, "Apa yang harus kita
lakukan dalam keadaan begini, Dik!"
"Aku belum tahu, Kak! Mari kita pasrahkan diri
kepada Tuhan," ujar Kaswita seraya merapatkan pi-
pinya dengan sisi perahu. Tetapi, tiba-tiba Sri Ayunin-
grum mendengar sesuatu di sekitarnya. Ia memperha-
tikan keadaan di sekelilingnya dan apa yang tampak
olehnya? Sekeliling mereka terlihat sirip ikan hiu yang
muncul ke permukaan air.
"Cepat naik ke atas, Kak! Ikan-ikan itu sangat
berbahaya," kata Kaswita yang sedikit banyak tahu
tentang laut.
"Hati-hati Kak!"
Sebagai pendekar, untuk melejit ke punggung
perahu dalam posisi terbalik itu bukanlah suatu yang
sukar. Ketika kedua penumpang perahu itu terlihat
bergerak, seekor ikan hiu kuning meluncur dengan ce-
pat menyambar kaki Sri Ayuningrum, tetapi ia hanya
berhasil menelan seember air laut asin yang tidak di-
perlukan.
Merasa gagal, akhirnya ikan-ikan hiu itu terli-
hat memukul-mukul air dengan ekornya sambil men-
gelilingi perahu telungkup itu. Kaswita dan kakaknya
berdiri tegak di punggung perahu dengan mulut yang
komat-kamit berdoa kepada Tuhan agar selamat dari
malapetaka yang ngeri itu.
Tetapi, belum selesai dari malapetaka yang sa-
tu, malapetaka lain mengancam pula. Perahu kecil
yang menjadi tumpuan harapan itu bocor. Dari lubang
bocor itu, memancar air ke atas seperti air mancur.
"Wah, Kak! Sewaktu-waktu perahu ini bisa
tenggelam," kata Kaswita yang memang tanggap dalam
semua hal.
"Jadi, apa yang harus kita lakukan?"
"Tak ada yang harus kita lakukan, kecuali men-
jaga keseimbangan," jawab Nahkoda Kaswita yang ti-
dak pernah kehabisan akal.
"Maksudmu supaya tidak terbalik?" tanya Sri
Ayuningrum.
"Ini sudah terbalik" kata Kaswita melucu. Da-
lam keadaan begitu mencekam, anak muda itu masih
sempat bercanda.
"Maksudmu supaya tidak tenggelam?"
"Ya!" Sri Ayuningrum menatap adiknya sejenak.
Diam-diam dalam hatinya mulai merasa lucu.
"Apa tidak bisa kebocoran itu ditutup?" saran
Sri Ayuningrum.
"Tidak mungkin, Kak! Kita tidak punya alat apa
pun, kecuali menutupnya dengan kaki," ujar Kaswita
yang secara tidak sadar telah memberikan jalan.
"Ya, kita tutup saja dengan kaki, sekedar men-
gurangi kebocoran itu," potong Sri Ayuningrum.
"Bagus usul Kakak!" puji Kaswita kagum.
Karena kebocoran itu ada di tengah-tengah,
kaki kiri Kaswita dan kaki kiri kakaknya dirapatkan
menghadap ke Timur, akhirnya lubang kebocoran yang
tidak begitu lebar tertutup rapat oleh telapak kaki me-
reka.
Demikianlah dengan tekad dan semangat baja,
kedua adik-kakak membiarkan diri mereka terkatung-
katung di tengah lautan luas sambil berdoa dan berdoa
kepada Tuhan.
"Kalau begini terus, kita tidak akan dapat men-
capai tujuan. Karena perahu kita hanyut begitu saja
mengikuti arus," kata Kaswita.
"Jadi bagaimana baiknya?" Sri Ayuningrum se-
perti menyerah.
"Sekarang kebocoran itu tidak kita tutup den-
gan telapak kaki, tetapi kita sumbat dengan kain, ke-
mudian kita duduk di atasnya," kata Kaswita menda-
pat gagasan baru.
"Sebagai kemudi sekaligus sebagai pendayung
mungkin pedangku bisa," tambah Sri Ayuningrum me-
lengkapi gagasan adiknya.
"Tetapi, mana kain untuk menutup bocornya?"
tanya Sri Ayuningrum.
"Itu kain batik, Kak!"
Sang Kakak melihat kepada kain yang terbelit
di pinggangnya.
"Tidak apa," pikirnya, "Toh aku masih memiliki
celana ketat yang melekat di badanku."
Dengan kain batik Sri Ayuningrum, lobang ke-
bocoran itu segera ditutup. Air yang tadinya memun-
crat ke atas lewat kebocoran sekarang sudah tidak la-
gi.
Kini semangat mereka marak kembali. Sri Ayu-
ningrum dengan menggunakan pedang bermata dua-
nya mulai mendayung perlahan-lahan, sementara
Kaswita duduk di belakang menggunakan senjata be-
liung sebagai kemudi.
Papan tempat berpijak itu mulai beringsut se-
hasta demi sehasta secara terarah. Untuk pengganjal
perut, mereka menyantap ikan-ikan yang kebetulan
melompat ke atas punggung perahu.
"Sampai kapan kita terus begini, Dik?" tanya
Sri Ayuningrum dengan nada haru, tanpa berhenti
berdayung. Kaswita tertegun sejenak dan matanya
menatap jauh ke depan; kemudian dengan lesu berka-
ta, "Sampai kita berhasil membebaskan Kang Parmin"
Sementara itu, papan tumpangan yang berwu-
jud perahu terbalik itu terus bergerak dengan tetap
dan pasti. Tiba-tiba Kaswita agak kaget ketika ia meli-
hat jauh ke depan sebuah bayangan kapal besar yang
sedang berlayar.
"Kak! Lihatlah itu!" Kaswita menunjuk jauh ke
depan.
"Kapal?"
"Ya, aku yakin itu kapal Belanda yang sedang
kita kejar."
"Kalau ya apa yang harus kita lakukan, Dik?"
"Kita atur siasat mulai sekarang. Bagaimana
caranya kita bisa naik ke kapal?"
"Bukankah itu mudah untuk kita? Sekali mele-
jit kita sudah berada di geladak," kata Sri Ayuningrum
tersenyum.
"Ya! Cuma kita harus hati-hati! Jangan sampai
kehadiran kita ini sempat diketahui oleh Belanda-
belanda licik itu."
Mata Sri Ayuningrum tidak lepas-lepasnya
mengikuti bayangan kapal besar itu dengan penuh pe-
nasaran.
"Kang Parmin! Tunggulah kami datang! Kami
pasti akan membebaskanmu," gumam pendekar wani
ta itu pada dirinya.
"Alhamdulillah, Kak! Penderitaan kita tidak sia-
sia. Apa pun yang akan terjadi, Kang Parmin harus ki-
ta bebaskan, meskipun untuk itu aku harus memberi-
kan nyawaku sebagai tebusan," ujar Kaswita dengan
terharu sambil memeluk kakaknya.
TIGA
Matahari perlahan-lahan tenggelam di kaki lan-
git sebelah Barat. Beberapa perahu tidak jauh dari
Pendekar Kaswita dan kakaknya Pendekar Ayunin-
grum terlihat melaju dengan kencang seperti mengejar
kapal besar yang terus berlayar itu.
Selain itu terlihat pula sebuah perahu kecil
bercadik. Perahu itu didayung oleh sepasang tangan
yang kukuh kuat. Sekali merengkuh, perahu itu mela-
ju jauh seperti terbang di permukaan air. Wajahnya
berewokan dilengkapi dengan kumis tebal yang berwi-
bawa. Sorot matanya tajam seperti mata burung raja-
wali.
Tidak jauh dari perahu itu, tampak pula se-
buah rakit 'koritiki' yang berisi tiga orang. Kelihatan-
nya mereka semua menuju ke satu arah membuntuti
kapal Belanda yang besar itu.
"Hei, batasi, jangan terlalu dekat dengan kapal,"
terdengar sebuah perintah yang keluar dari salah seo-
rang yang ada di atas rakit.
"Ya, kita berhenti agak jauh sedikit sambil me-
nunggu malam," tambah seorang tokoh yang kelihatan
agak lebih tua.
Sementara itu, sebuah perahu besar yang
hampir semua berisikan wanita-wanita remaja, mem
perlambat lajunya perahu. Seorang wanita cantik yang
duduk di buritan mengeluarkan perintah dengan suara
nyaring, "Turunkan layar! Berhenti pada jarak yang ti-
dak terjangkau teropong!"
Begitu perintah itu selesai, terlihat kesibukan
gadis-gadis itu melaksanakan tugasnya masing-
masing.
Tidak lama kemudian, sesuai dengan instruksi,
perahu besar itu pun membuang jangkar menanti ma-
lam tiba.
Terpisah beberapa mil dari perahu besar itu,
terlihat pula sebuah perahu lain, yang juga membun-
tuti kapal Belanda yang membawa pendekar Jaka
Sembung.
"Turunkan layar!" kata yang duduk di buritan
perahu. Seorang wanita yang berada di dekat tiang
layar segera melaksanakan perintah itu.
"Akhirnya, bisa juga kita susul kapal Belanda
laknat itu, Umang!" ujar gadis yang sedang menurun-
kan layar.
"Ya, semua tergantung pada kesungguhan dan
semangat kita, Mira." Laki-laki yang duduk di buritan
perahu, yang disebut Umang terus menatap kapal Be-
landa yang tidak jauh dari depannya berpura-pura
seakan-akan ia sedang memancing.
Ketika itu, kapal Belanda yang berhenti di ten-
gah lautan, melakukan pemeriksaan suasana di laut.
Dua orang Belanda berdiri di buritan kapal sambil me-
neropong jauh ke belakang yang sudah diarunginya.
"Apa tidak mungkin, pendekar-pendekar simpa-
tisan Jaka Sembung menyusul kita, Kapten?" Perta-
nyaan itu muncul ketika pembantu Kapten melihat be-
berapa perahu kecil lewat teropongnya.
"Nee!" jawab Kapten dengan singkat, "Terlalu
berbahaya! Kalau juga mereka melakukannya, perahu
perahu mereka pasti dipukul badai dan menjadi kor-
ban ikan-ikan besar!"
"Tetapi, bukankah mereka orang-orang pribumi
yang terkenal pandai mengarungi samudra luas?"
"Mungkin, tetapi tidak semua inlanders pandai
berlayar. Hanya orang-orang Bugis saja yang dapat
melakukan hal itu, sedangkan ekstremis yang ada di
kapal sekarang adalah orang Jawa atau Sunda," jelas
Kapten kapal yang berpengalaman itu.
"Maaf, Kapten... mereka itu bukan orang-orang
biasa," bantah sang pembantu ingin mengorek penda-
pat, "Mereka pasti pendekar-pendekar yang punya ke-
mampuan dan kecekatan bertarung yang luar biasa
seperti yang terjadi di gedung Karesidenan Cirebon be-
berapa malam yang lalu."
"Gonverdomme zeg!" bentak Kapten itu ketika
mendengar nada pembicaraan pembantunya yang se-
perti memuji pendekar inlanders.
Sementara itu, di sebuah ruangan sempit di ge-
ladak kapal paling bawah, Jaka Sembung meringkuk
sendirian dengan kedua tangan kiri dan kanan terikat
oleh dua rantai besar yang terpisah.
Namun dari wajahnya, sedikit pun tidak terlihat
rasa sedih dan takut. Ia duduk dengan tenang tanpa
kawan yang dapat diajak bicara, seakan-akan ia pa-
srah diri kepada Tuhan.
Sekali-sekali hatinya terasa panas dan mau ra-
sanya ia berteriak-teriak mencaci maki orang-orang
Belanda yang ada di kapal itu. Tetapi, akhirnya ia
kembali bertanya pada diri, "Untuk apa?" Yang penting
baginya, bagaimana ia membebaskan diri dari tawanan
Kumpeni Belanda sekarang ini, untuk kemudian
menghajar mereka habis-habisan.
Hampir setiap malam Jaka Sembung diganggu
oleh kenangannya sendiri. Ia teringat istrinya Roijah
yang sangat dicintainya dan terbayang kembali di de-
pan matanya kelicikan Letnan Jenderal Van den
Smooth yang tanpa moral mengibulinya sehingga ia
masuk tahanan tanpa perlawanan.
Kisah ini berputar kembali seperti rekaman
yang baru terjadi. Jaka Sembung masih ingat pada su-
atu hari, sepasukan tentara berkuda dari Cirebon da-
tang ke Kandanghaur menjumpainya.
Alasan kedatangan itu sebagai utusan Pemerin-
tah Kerajaan Belanda guna menjemput James dan ke-
kasihnya Elsye van Eisen untuk dipindahkan ke Bata-
via.
Sebenarnya, Jaka Sembung tidak percaya pada
alasan itu. Ia telah menduga sejak semula, James dan
Elsye pada suatu ketika pasti akan disingkirkan oleh
Belanda dari Kandanghaur. Belanda tahu benar kedua
orang Belanda itu terlalu dekat dengannya. Karena itu,
selama James masih di Kandanghaur, Belanda sama
sekali tidak dapat melancarkan tipu muslihatnya yang
sudah disusun.
"Bagaimana Tuan?" tanya Van den Smooth ke-
pada Jaka Sembung.
"Saya tidak berhak mempertahankan James
dan Elsye, jika mereka memang bersedia, tetapi suatu
catatan untuk Tuan, kami tidak suka melihat ia dipak-
sa dengan dalih apa pun," jawab Jaka Sembung den-
gan tegas.
Rupanya James dan Elsye memang tidak kebe-
ratan untuk dipindahkan ke Batavia. Karena itu, Jaka
Sembung terpaksa melepaskannya. Jaka Sembung
sangat terharu ketika James merangkulnya dan mem-
bisikkan kata, "Parmin, mijn Broer! Teruskan perjuan-
gan Anda. Aku ikut berdoa dari jauh. Meskipun kita
berlainan bangsa, tetapi persahabatan kita akan tetap
abadi. Aku sangat menyesal sampai sekarang pun aku
belum dapat membantumu."
Kata-kata itu terasa semakin berarti ketika ia
berada dalam tahanan di kapal itu.
Jaka Sembung membayangkan kembali, betapa
akrabnya pergaulan Roijah dengan Elsye. Ketika mere-
ka berpisah, Roijah memeluk Elsye kuat-kuat. Ia terin-
gat kembali betapa tulusnya hati nona Belanda itu ke-
tika hendak menolongnya ke luar dari Rumah Tahanan
Militer Kumpeni sehingga ia sendiri menderita berat
dan James tertembak.
"Roijah, mijn Zus! Kuharap engkau tidak melu-
pakan aku, meskipun kita berpisah jauh. Hanya aku
sangat menyesali diriku sendiri karena tak sempat me-
nyaksikan kelahiran bayimu kelak," kata-kata itu pun
terus terngiang di telinga Jaka Sembung.
Hari itu, Parmin Jaka Sembung dan Roijah Baj-
ing Ireng mengantarkan keberangkatan kedua rekan-
nya itu sampai ke kereta kuda sehingga kereta itu be-
rangkat perlahan-lahan meninggalkan halaman ru-
mah.
Jaka Sembung masih ingat, sebulan setelah
keberangkatan James dan Elsye dari Kandanghaur,
pasukan yang sama datang lagi ke rumahnya untuk
menjemput Parmin menghadap Residen di Cirebon gu-
na merundingkan batas-batas kedaulatan daerah ke-
kuasaan Parmin sebagai penguasa di Kandanghaur
"Bagaimana Tuan Parmin? Tidak keberatan bu-
kan untuk memenuhi panggilan Residen ini?" tanya
Letnan Jenderal Van den Smooth dengan ramah.
Parmin terdiam sejenak. Hatinya ragu terutama
entah apa yang terpikir olehnya, Parmin mengangguk
perlahan-lahan.
"Baiklah Jenderal! Aku penuhi panggilan ini!"
jawab Jaka Sembung dengan mantap.
"Karena perundingan dengan Residen ini tidak
memerlukan waktu lama, kami usulkan agar Tuan
Parmin tidak usah mengikutsertakan pengawal. Pen-
gawalan kami cukup kuat untuk menjaga keamanan
Tuan. Dan kami berjanji akan mengantar Tuan kemba-
li ke desa Kandanghaur setelah perundingan selesai,"
ujar Letnan Jenderal Van den Smooth dengan manis.
Karena yakin akan kesungguhan dan kerama-
han perwira tinggi Belanda yang memimpin pasukan
itu, Parmin sebagai pendekar kesatria sedikit pun tidak
menaruh prasangka jelek kepada pejabat tersebut.
"Baiklah, dengan syarat Tuan benar-benar me-
megang teguh pada ucapan Tuan sendiri sebagai seo-
rang perwira terhormat," kata Parmin Jaka Sembung
sambil memberi hormat.
"Dank U well! Kami atas nama kerajaan Belan-
da akan menepati janji!" supah Letnan Jenderal Van
den Smooth dengan sungguh-sungguh.
Setelah selesai pembicaraan dengan utusan Re-
siden Cirebon, Parmin segera pamit kepada istrinya,
Roijah.
"Kang! Berhati-hatilah!" ucap Roijah dengan se-
dih.
Hari itu Parmin benar-benar mendapat peng-
hormatan istimewa dari Belanda. Dia dipersilahkan
duduk dalam kereta kuda, di samping Letnan Jenderal
Van den Smooth.
Ketika hendak naik ke kereta, gadis kecil Ki-
nong berkata setengah berbisik, "Mengapa tidak mem-
bawa golok dan tongkatmu, Kang?"
Tiba-tiba hati Parmin berdetak mendengar per-
tanyaan gadis kecil itu, tetapi ia segera menjawab, "Oh,
tidak! Kang Parmin pergi dengan tuan-tuan yang baik
hati. Kinong jaga Kak Roijah baik-baik ya!"
"Tetapi, cepat kembali ya Kak!?"
Tetapi kenyataan sama sekali tidak seperti yang
telah dijanjikan. Sesampai di depan gedung Kareside-
nan, Jaka Sembung tidak disambut sebagai tamu yang
terhormat, tetapi disambut oleh serdadu-serdadu
Kumpeni Belanda dengan suatu kepungan yang ketat.
Parmin alias Jaka Sembung sangat terkejut. Ia
sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk me-
lawan... akhirnya ia diangkut ke kapal dengan kedua
belah tangannya dirantai seperti anjing.
Ketika kenangannya sampai di situ, setitik demi
setitik air matanya mengalir menyusuri jalur pipinya.
Kemudian jatuh ke pangkuannya tanpa tangan yang
menyeka, meskipun tangannya sendiri.
Jaka Sembung kaget, ketika ia menyadari ia
menangis.
"Seharusnya aku tidak menangis...!" sesal ha-
tinya dengan mendalam.
* * *
Sementara itu, sejumlah pendekar yang berte-
kad untuk membebaskan Parmin, Jaka Sembung dari
tawanan Kumpeni Belanda, sudah mulai mendekat ke
kapal dengan hati-hati.
"Aneh juga, Mira!" kata Umang sambil ber-
dayung.
"Apa yang aneh?"
"Mengapa Jaka Sembung tidak melawan ketika
ditangkap di gedung Karesidenan?" Umang menyesal-
kan.
"Kita tidak tahu suasana ketika itu. Mungkin
Jaka Sembung tidak melihat kemungkinan itu. Mung-
kin ia sudah memperhitungkan bahwa jika ia melawan
ia pasti tewas, yang berarti perjuangannya berakhir
sampai di situ," Mirah menggambarkan perkiraannya.
Umang terdiam sejenak, sepertinya ia dapat
menerima pikiran Mirah karena belum pernah dalam
sejarah hidup Jaka Sembung sebagai pendekar menye-
rah begitu saja seperti yang terjadi di Cirebon.
"Tetapi, mengapa pula Belanda tidak membu-
nuhnya ketika itu?"
"Pertanyaanmu tidak menyenangkan untuk di-
dengar," kata Mirah. "Seharusnya kita bersyukur Jaka
Sembung tidak mereka bunuh sehingga kita tidak ke-
hilangan seorang kawan yang paling berarti dalam per-
juangan."
Umang tersentak dari lamunannya. Ia tidak
mengira pertanyaannya yang begitu sederhana, mem-
punyai arti yang seburuk itu. Tetapi sebelum sempat ia
menyatakan penyesalannya, Mirah melanjutkan kata-
katanya, "Kewajiban kita sekarang hanya satu yaitu
membebaskan Jaka Sembung dari tawanan Kumpeni
Belanda, bagaimana?" Mirah mendekati Umang sambil
menepuk bahunya.
"Siap, Mirah!" tanggap Umang dengan senyum.
Sementara itu, tidak jauh dari perahu mereka
tampak remang-remang sebuah rakit yang juga searah
dengan mereka.
"Apakah mereka menuju ke kapal itu juga?"
tanya Mirah.
"Kelihatannya memang begitu."
"Kalau begitu," ujar Mirah, "Mari kita dekati
mereka!"
Ketika mereka mendekat ke rakit itu, terdengar
salah seorang yang sedang mendayung rakit dengan
sebilah bambu panjang berkata, "Untung sekali Jaka
Sembung tidak ditembak oleh Belanda!"
Mirah yang berdiri dekat Umang segera menco-
lek paha kawannya.
"Ada apa?" tanya Umang setengah berbisik.
"Mereka juga sedang membicarakan Jaka Sem
bung seperti kita tadi."
"Kalau begitu,"
"Ya, mereka juga pendekar-pendekar yang hen-
dak membebaskan Jaka Sembung dari tawanan Kum-
peni Belanda" potong Mirah, seakan-akan mereka ti-
dak sendiri.
"Ah, tidak semudah itu Kumpeni Belanda bera-
ni menembak Jaka Sembung," terdengar pembicaraan
dari rakit, "Karena kalau itu mereka lakukan persoalan
yang dihadapi Kumpeni Belanda semakin bertambah
banyak. Pemberontakan rakyat akan terjadi besar-
besaran. Para pendekar seluruh Jawa Barat pasti tu-
run tangan. Masalahnya menjadi tambah rumit. Penja-
jah Belanda sekarang ini sedang menghadapi pembe-
rontakan bangsa kita di mana-mana," jelas seorang
yang ada di rakit.
Umang dan Mirah yang mendengar percakapan
mereka sama tersenyum.
"Mirah!" bisik Umang, "Kita tak usah mengusik
mereka yang sedang berbincang itu!"
"Lantas?"
"Kita terus menuju ke kapal!"
Sementara itu percakapan di rakit berjalan te-
rus.
"Di mana saja pemberontakan yang sedang ter-
jadi?" tanya seseorang.
"Banyak Kang! Misalnya di Aceh, di Minangka-
bau, di Makassar dan di tempat-tempat lain," jelas seo-
rang pemuda yang rupanya lebih banyak tahu.
"Seharusnya memang begitu! Untuk mengusir
penjajah, seluruh bangsa kita di Nusantara ini harus
bersatu."
"Benar katamu," potong seorang yang lebih tua,
"Kita tidak bisa melawan mereka sendiri-sendiri. Kare-
na dengan sendiri-sendiri kita akan mudah dimusnah
kan begitu saja. Karena itu, aku mendukung gagasan
Jaka Sembung yang ingin mempersatukan seluruh
pendekar di tanah air."
"Tetapi untuk mewujudkan cita-cita itu memer-
lukan waktu yang panjang, mungkin sampai ke anak-
anak cucu kita yang kesekian," tambah yang lain.
Sementara itu malam semakin turun. Angin
mulai terasa berhembus kencang mengajak ombak
berdansa. Para pendekar pantai yang dapat membaca
gelagat, segera mendayung perahunya. Mereka mende-
kati kapal besar Belanda seperti semut-semut Mara-
bunta yang sedang merayap. Di balik kapal itulah me-
reka berkumpul sambil membuat rencana penyerbuan
ke atas kapal.
Malam yang semakin pekat dan deru ombak
yang susul-menyusul dengan suara yang cukup keras,
ditambah pula angin kencang yang menghantam-
hantam dinding kapal, telah membuat suasana di kap-
al Belanda resah dan khawatir.
"Angin kencang begini akan berlangsung lama,
Kapten," kata Nahkoda memberi pendapat. "Malam ini
mungkin kapal tidak bisa berlayar. Sebaiknya kita be-
ristirahat sampai angin reda."
Kapten kapal dapat menerima usul nahkoda
itu. Ia segera mengumumkan keberangkatan kapal di-
tunda.
Mendengar pengumuman itu, semua yang ada
di kapal merasa senang. Mereka bisa istirahat. Bisa
berdansa di ruangan dansa yang memang tersedia.
Mereka bisa mabuk-mabukkan sampai pagi.
"Suasana dingin seperti ini bisa menjadi sangat
menyenangkan, jika kita rayakan dengan arak dan
wanita, Kapten!" usul nahkoda dengan tersenyum.
"Mengapa, tidak? Kalau itu menyenangkan,"
kata Kapten sependapat.
Kru kapal beserta staf administrasinya sangat
gembira mendapat kesempatan seperti itu. Serdadu
Kumpeni Belanda yang sejak bertolak dari pelabuhan
Cirebon kelihatan muram dan gelisah, kini berkumpul
berkelompok-kelompok sambil minum arak.
"Hore, horee!" teriak beberapa kru; seorang di
antaranya bernyanyi seenaknya, "Arak sudah ada, ma-
na wanitanya?" Nyanyian itu semakin lama semakin
berkembang dan akhirnya dinyanyikan oleh semua kru
dengan meriah.
Kapten yang mendengar kata-kata itu, diam-
diam menyadari hal itu sebagai suatu tuntutan dari
anak buahnya yang iseng. Karena itu sang Kapten
membiarkan saja kegembiraan itu berlalu.
Dalam suasana gembira dan kemeriahan itu, di
lambung kapal tiga sosok tubuh sedang berusaha naik
ke kapal lewat seutas tali.
"Biar kau naik duluan," bisik salah seorang di
antara mereka.
"Hati-hati!"
"Jangan khawatir! Serdadu-serdadu itu sedang
lupa daratan!" Hal-hal yang seperti itu, bukan suatu
yang sulit bagi seorang pendekar. Ketika seorang yang
terakhir mendapat giliran, tiba-tiba dari atas kapal ter-
dengar bentakan keras, "Siapa di situ?"
Orang yang sedang memanjat itu berhenti seje-
nak sambil merapatkan badannya ke dinding anjun-
gan.
Dalam suasana malam yang remang-remang
itu, dua kelasi yang sedang minum-minum, jauh dari
kelompoknya yang lain, tiba-tiba melihat sesosok tu-
buh wanita berwajah cantik dengan dada setengah te-
lanjang.
"Heei! Arak ada, wanitanya pun sudah ada," bi-
sik salah seorang di antara mereka.
"Cantik sekali!"
"Seperti bidadari?" tanya kawannya.
"Ssst!" tiba-tiba wanita cantik itu memberi isya-
rat dengan telunjuk di bibir sambil mendekati kedua
kelasi yang sejak tadi menatapnya. "Jangan berisik!
Aku datang untuk menghibur kalian, mengerti?"
Kedua kelasi itu mengangguk gembira. "Siapa
kau?" tanya seorang dengan suara pelan.
"Kalian tidak tahu siapa aku?"
Kedua kelasi setengah tua itu menggeleng.
"Aku simpanan Kapten kalian, yang tidak per-
nah keluar dari kamarnya." jawab wanita cantik itu
memperlebar bukaan dadanya.
"Mengapa Nona berani ke mari?" tanya seorang
di antara mereka dengan sekelumit rasa takut.
"Kapten kalian sudah tidur pulas di kamarnya
setelah kuninabobokkan. Lantas apa salahnya aku dan
beberapa simpanan Kapten mu itu turut menghibur
kalian sebagai anak buahnya?"
"Apa betul Nona mau menghibur kami?"
"Hei, buat apa aku datang dalam pakaian begi-
ni, jika hanya untuk membohongi kalian?"
"Goed, aku duluan Fred!" kata salah seorang di
antara mereka yang mungkin lebih tinggi kedudukan-
nya dari yang lain.
"Oh, nee! Ik lebih bulu!"
"Aku tidak suka kalian berebut seperti itu," sela
si Nona berpura-pura ngambek. "Sekarang atur baik-
baik siapa duluan dan segera cari kamar kosong."
"Baik, Nona! Ayoh Jos, kita cepat cari kamar!"
Si Nona yang tidak lain dari seorang pendekar
pengikut Jaka Sembung diam-diam tersenyum. Tidak
lama kemudian, nona pendekar itu sudah berada di
sebuah kamar kosong. Celana hitam yang mengetat di
paha ditanggalkan sehingga yang masih tersisa hanya
celana dalamnya. Sang Nona yang pendekar itu ber-
sandiwara sedemikian rupa sehingga tidak sedikit pun
menimbulkan kecurigaan calon korbannya.
Beberapa saat kemudian, Jos yang sejak semu-
la ingin duluan masuk kamar. Ia tersirap sejenak keti-
ka melihat si Nona dalam pakaian minim seperti itu,
dan merebahkan diri dengan pose yang sangat menan-
tang.
"Ayo cepat apa maumu?" bisik si Nona, "Kasi-
han kawanmu menunggu lama di luar."
"Kau cantik sekali, Nona!" ujar Jos seraya
menggerayangkan tangannya ke mana-mana. Tetapi
ketika kelasi itu hendak beraksi, tiba-tiba kedua tan-
gan gadis itu bergerak cepat. Jos jatuh terduduk di
lantai dengan rasa heran sambil mulutnya mengelua-
rkan darah segar, akhirnya kelasi malang itu menemui
ajalnya.
Sang Nona segera bergerak cepat. Tubuh kelasi
yang sudah kaku itu segera diseret ke bawah tempat
tidur.
Sementara Fred yang menunggu di luar sudah
tak sabar. Ia mulai gelisah. Ngebetnya hampir tak ter-
tahan.
"Heei, mengapa begitu lama? Cepat buka pin-
tunya Jos, kita gantian."
Tidak lama kemudian, pintu terbuka perlahan-
lahan. Fred masuk tergesa-gesa. Tetapi, begitu nongol
di depan pintu, sebuah sabetan keras dengan telapak
tangan, yang diayunkan oleh si nona tepat mengenai
lehernya. Korban itu jatuh tidak berkutik
Ketika Nona pendekar Kembar Tiga Melati me-
lakukan tugasnya dengan baik dan lancar sehingga
hanya dalam beberapa waktu saja sejumlah kelasi dan
serdadu Kumpeni Belanda telah menjadi korban. Lima
kamar kosong yang dipakai oleh pendekar-pendekar
Kembar Tiga Melati penuh dengan mayat.
Ketika pembunuhan beruntun di kapal sedang
menjadi-jadi, Sri Ayuningrum dan Kaswita baru tiba di
sisi kapal.
"Mari kita bersiap untuk naik!" ajak Kaswita se-
tengah perintah.
"Kapalnya besar sekali, Dik! Aku sangsi apa
aku mampu melejit sampai ke pagar dek itu tanpa
tempat berpijak untuk locatan?"
"Jadikanlah punggung perahu ini sebagai lan-
dasan loncat, Kak! Biar aku yang menjaga keseimban-
gannya."
"Baiklah kalau begitu," Sri Ayuningrum segera
bersiap. Dengan menggunakan ilmu meringankan tu-
buh sambil mengerahkan segenap kekuatannya, Sri
Ayuningrum melejit dengan cepat ke atas kapal yang
tinggi itu.
"Bagus Kak, kau berhasil!" gumam Kaswita
sendirian.
Sesampai di kapal, Sri Ayuningrum segera
mencari tali tambang yang banyak bertumpuk di buri-
tan. Tali itu diturunkan ke bawah sementara ujungnya
diikat pada sebuah tonggak besi yang ada di tempat
itu. Sebentar kemudian Kaswita sudah berada pula di
atas kapal.
Suasana di geladak kelihatan sepi. Sri Ayu-
ningrum dan Kaswita dengan waspada memperhatikan
keadaan di sekitar itu, "Sudah ke mana semua awak
kapal ini?" tanya Kaswita setengah berbisik.
"Mana Kakak tahu!?"
"Kalau begitu, Kakak coba periksa ke haluan
kapal dan aku ke buritannya," ujar Kaswita membagi
tugas. Ia langsung melompat menuju ke buritan dan
Kaswita bergerak ke haluan.
Ketika Kaswita memasuki bagian buritan kapal,
mendadak ia tertegun. Dari jauh ia melihat dua orang
wanita muda yang sedang sibuk mengangkat sesuatu.
Kaswita perlahan mencoba mendekati tempat kedua
wanita itu berada. Tiba-tiba ia mendengar suatu per-
cakapan dengan jelas.
"Nuna, Neneng! Cepat ke mari bantu aku me-
lemparkan bangkai-bangkai Belanda busuk ini ke
laut!"
"Tunggu Kak Unui, aku sedang berpakaian,"
jawab dua orang yang dipanggil itu di balik sebuah
tiang. Kaswita mencoba melangkah lebih dekat lagi.
Tetapi, alangkah kagetnya ketika ia melihat di sebuah
ruangan terbuka bergelimpangan mayat-mayat Belan-
da, yang sebagian besar telah dilemparkan ke laut oleh
ketiga gadis itu.
"Alangkah hebatnya ketiga gadis itu," pikir
Kaswita, "Kalau begitu mereka pasti kawan, bukan la-
wan. Tetapi, mendekati seorang pendekar secara men-
dadak, akibatnya terlalu besar," pikir pendekar muda
itu. Karena itu, keinginannya untuk berkenalan den-
gan ketiga gadis itu diurungkan sementara.
Tiba-tiba Kaswita mendadak kaget ketika men-
dengar suara gemerincing besi beradu, tidak jauh dari
tempat ia berdiri. Belum hilang lagi kagetnya, tiba-tiba
ia melihat wajah seorang wanita dan gerakannya yang
demikian cekatan.
"Bagus Mirah! Kau pintar melempar tali, di ma-
na kau belajar, hah!?"
Gadis itu dengan riang menjawab, "Dari ilmu
'Lalawa Hideung'."
"Lalawa Hideung?" ulang Kaswita meniru uca-
pan gadis yang baru naik ke atas geladak kapal. "Nama
itu pernah kudengar, di mana ya?"
"Hati-hati Umang!" teriak gadis itu dari atas
kapal.
"Rupanya ada temannya di bawah," pikir Kaswi-
ta dengan penuh tanda tanya. Sementara itu matanya
terus mengawasi gadis di geladak yang sedang me-
nunggu kawannya dari bawah.
Tidak lama kemudian, muncullah sebuah kepa-
la di dinding geladak seperti menggapai-gapai. Gadis
itu segera membantunya sambil mengeluh pelan, "Be-
ginilah susahnya orang buntung tangan."
Gadis itu hanya tersenyum. Kemudian dengan
cara bahu-membahu mereka mengawasi suasana di
sekitar geladak.
"Hati-hati Mirah, bukan tidak mungkin Belanda
memasang perangkap untuk kita. Karena keadaan sepi
seperti ini, tahu-tahu kita dibokong orang dari bela-
kang dan mati konyol."
Mirah tidak menanggapi kata-kata Umang ka-
rena apa yang dikatakan itu sudah diketahui kebena-
rannya.
"Sebaiknya Mirah kita berpencar saja dengan
tujuan yang sama yaitu memeriksa di mana Jaka
Sembung disekap," Umang mengusulkan pendapat.
Pendekar bertangan satu segera bertindak.
"Baik!" ujar Mirah sambil melompat dengan ce-
pat dan lenyap seketika.
Sementara Kaswita yang mengintip tidak jauh
dari tempat itu sesaat menjadi bingung.
"Aneh!" gumamnya sendiri, "Aku pernah meli-
hat pendekar buntung itu di gedung Karesidenan turut
bertempur melawan serdadu Kumpeni Belanda. Kalau
begitu kedua pendekar tadi pasti kawan, bukan mu-
suh," Kaswita menarik kesimpulan.
Diam-diam Kaswita merasa lega karena yang
ingin membebaskan Jaka Sembung dari tahanan Be-
landa, bukan hanya dia dan kakaknya, tetapi banyak,
"Aku ingin memberitahukan hal ini kepada Kak Sri,"
niatnya di hati.
Sementara itu pendekar-pendekar Kembar Tiga
Melati terus sibuk membenahi mayat orang-orang Be-
landa. Mereka semua dibuang ke laut hanyut dibawa
gelombang.
Ketika Nuna, anggota Kembar Tiga Melati se-
dang menyeret seorang serdadu Kumpeni Belanda
yang berbadan gemuk besar, sesosok tubuh yang be-
lum dikenal berpapasan pantat dengannya sehingga
hampir saja ia jatuh.
"Hei, siapa kau?" tanya Nuna dengan bentakan
keras. Yang ditanya belum sempat menjawab karena
kaget, Nuna langsung menuduh, "Tidak salah lagi, kau
pasti antek-antek sewaan Belanda."
"Jangan menuduh kalau belum jelas!" kata la-
wannya dengan tersinggung.
"Jangan banyak bacot kau!" teriak Nuna sambil
menyerang dengan pedangnya secepat kilat. Tak ada
orang yang dapat menahan serangan mendadak seperti
itu, kecuali pendekar-pendekar yang sudah berpenga-
laman.
Begitu serangan Nuna melayang, lawannya ma-
sih sempat menghunus pedang membendung serangan
tersebut sehingga kedua pedang itu melekat satu sama
lain dengan getaran keras.
"Hei, kau jago juga rupanya," ujar Nuna menge-
jek sambil menyerang untuk kedua kalinya. Tetapi, la-
wannya dengan cepat melejit ke atas dan bertengger di
anjungan kapal sambil berteriak, "Aku Mirah! Teman
seperjuangan Jaka Sembung."
Nuna yang hendak melakukan serangan beri-
kutnya terkejut. Lututnya mendadak lemas dan diam-
diam dia menyesali sikapnya yang tanpa selidik lebih
dahulu.
Merasa Nuna salah alamat, Mirah segera turun
dari anjungan dan bersalaman.
"Kita memang belum pernah saling kenal, sia-
pakah nama Anda?" ujar Mirah dengan ramah.
"Aku Nuna, saudara ketiga dari Kembar Tiga
Melati."
"Maafkan aku, Nuna!" ucap Mirah dengan ren-
dah hati dan lembut.
"Aku yang harus minta maaf kepadamu atas
kekasaran ku," jawab Nuna tersipu malu.
"Ah, tidak menjadi soal," tangkis Mirah "Yang
penting kita sudah saling memaafkan." Nuna men-
gangguk seraya pamit. Tetapi Mirah menahannya seje-
nak, "Di mana tempat Jaka Sembung ditawan, Nuna?"
"Maaf, Mirah. Aku juga belum tahu," jawab Nu-
na tersenyum, "Yang penting sekarang serdadu-
serdadu Kumpeni Belanda harus kita singkirkan lebih
dahulu dari kapal ini."
Di bagian lain, Umang sedang mengawasi seso-
sok tubuh yang berkelebat cepat di haluan kapal.
"Gerakannya begitu ringan dan cekatan," gu-
mam Umang dengan penuh kecurigaan. "Orang itu
pasti seorang jago silat yang disewa oleh Kumpeni Be-
landa. Aku harus mengikutinya dan membikin ia
mampus lebih dahulu sebelum ia tahu aku dan Mirah
di kapal ini."
Umang segera melejit menyusul sosok tubuh
yang dianggap musuhnya itu. Sri Ayuningrum sebagai
pendekar wanita yang memiliki ilmu tinggi tiba-tiba ia
merasa ada seseorang yang menguntitnya.
"Kaswita?" tanya hatinya.
"Bukan!" Seakan-akan ada suara yang menja-
wab.
"Belanda?"
"Bukan!"
Kini Sri Ayuningrum bertambah yakin dirinya
diintai orang. Pendekar itu diam-diam segera memper-
siapkan diri untuk menghadapi setiap kemungkinan
yang akan terjadi.
Tiba-tiba suatu serangan deras yang datang da-
ri anjungan kapal, melaju dengan pesat membokong-
nya dari belakang dengan sebilah pedang. Tetapi begi-
tu serangan datang, naluri silat yang sudah mendarah
daging membuatnya berkelit dengan cepat sambil me-
lejit ke atas. Kemudian melakukan serangan balasan
dengan suatu jurus yang ampuh.
"Berapa kau dibayar oleh Belanda, Pendekar
tengik!" bentak Sri Ayuningrum dengan sangat marah.
Lebih-lebih karena serangannya dapat dielakkan begi-
tu saja oleh Umang. Umang tersentak mendengar kata-
kata lawannya yang sedang dihadapi.
Sebelum sempat Umang memikirkan cara
menghentikan pertempuran itu, Sri Ayuningrum kem-
bali melakukan serangan di udara ketika lawannya
tampak hendak menghindarkan diri.
Tetapi Umang, pendekar lengan tunggal itu bu-
kanlah pendekar sembarangan. Dengan kegesitannya,
sekali lagi berhasil mengelak serangan Sri Ayunin-
grum.
Ketika mereka kembali berada di geladak,
Umang dengan napas terengah berteriak, "Tunggu No-
na! Kita kawan, bukan musuh!
"Apa maksudmu?" tanya Sri Ayuningrum den-
gan ketus.
"Aku pernah berjuang bersama-sama Jaka
Sembung melawan Lalawa Hideung," jelas Umang den-
gan sikap sopan. Sementara Sri Ayuningrum menatap-
nya dengan heran.
"Bukankah kau juga yang membantu kami di
gedung Karesidenan beberapa hari yang lalu?"
Umang menatap Sri Ayuningrum dengan pan
dangan penuh penyesalan. "Benar!"
"Oh, maafkan atas kekasaran ku," ujar Sri
sambil menunduk.
"Sebenarnya, Anda ini siapa?" tanya Umang
dengan ramah.
"Aku Sri Ayuningrum, adik Kang Parmin Jaka
Sembung."
"Adik sekandung?" tanya Umang ingin tahu.
"Ya dan aku mempunyai seorang adik bernama
Kaswita yang juga turut bertempur mati-matian di ge-
dung Karesidenan," jelas Sri Ayuningrum terperinci.
"Ah, kalau begitu akulah yang harus meminta
maaf, Dik! Aku telah terlalu banyak berhutang budi
kepada Kakakmu!" Umang memberikan suatu penga-
kuan jujur sambil berlutut di depan Sri Ayuningrum.
Sementara itu di bagian buritan kapal, Kaswita
terus mengadakan penyelidikan sambil mencari tahu
di ruang mana kakaknya, Jaka Sembung ditawan.
Sambil mengawasi suasana kapal, peristiwa tiga dara
yang membuang mayat-mayat serdadu Kumpeni Be-
landa ke laut dan peristiwa seorang dara yang naik ke
kapal bersama seorang kawannya, terus menjadi piki-
ran Kaswita.
Ketika pendekar muda itu sampai di depan se-
buah anjungan di bagian tengah, ia tertegun sejenak
dengan heran. Di ruang yang luas itu, kelihatan oleh-
nya mayat-mayat serdadu Kumpeni Belanda dan kelasi
kapal bergelimpangan.
"Wah! Hasil kerja siapa nih, hebat sekali!" seru
Kaswita tanpa disadari. "Kak Sri? Jelas bukan! Ia be-
rada di bagian haluan kapal," Kaswita berdialog den-
gan dirinya sambil cepat-cepat meninggalkan ruangan
terbuka yang mengerikan itu.
Baru beberapa langkah Kaswita berjalan, tiba-
tiba di sebuah kamar terdengar suara kedebrak
gedebruk. Kaswita segera melompat dan bersembunyi.
Tidak lama kemudian terdengar lagi suara seperti ba-
rang jatuh ke lantai.
Ketika itu rasa ingin tahu Kaswita muncul tak
tertahan. Perlahan-lahan ia keluar dari tempat per-
sembunyiannya. Sambil melihat ke kiri kanan ia men-
dekati sesuatu yang terpental dari kamar.
"Sesosok tubuh tak bernyawa," desisnya pelan
sambil membalikkan mayat yang tertelungkup itu.
"Wah, dia pasti juru mudi kapal ini!" serunya
dalam hati. "Siapa yang membunuhnya?" Kemudian
Kaswita meninggalkan tempat itu, tetapi sebelum be-
ranjak ia dihadang oleh seorang berkaki buntung.
"Orang ini seperti pernah kulihat di gedung Kareside-
nan turut bertempur melawan serdadu Kumpeni Be-
landa, kok sekarang ada di kapal ini?" tanya hatinya.
"Selamat bertemu lagi, kawan!" ucapnya dengan
penuh ramah sambil mendekati Kaswita, "Kau masih
ingat aku?"
"Siapa ya?"
"Aku, teman seperjuangan Jaka Sembung," ja-
wab orang itu dengan mengulurkan tangan. Kaswita
menyambut uluran tangan teman seperjuangan ka-
kaknya itu.
"Aku tahu, anak muda! Kau pendekar hebat,
gagah dan tampan," puji orang yang baru diketemukan
itu, "Persis seperti pendekar agung Jaka Sembung,"
tambahnya.
"Kau berlebih-lebihan menilai ku," ujar Kaswita
tersenyum. Ia memang seorang pemuda yang rendah
hati.
"Sudahlah! Yang penting aku ingin tahu kau ini
siapa?" tanya pendekar buntung itu tetap ramah.
"Apakah itu penting bagi Anda?"
"Kau keberatan asal-usulmu kuketahui?" orang
itu balas bertanya.
"Tidak!" jawab pendekar muda itu, "Aku Kaswi-
ta, adik kandung kakak perempuan bernama Sri Ayu-
ningrum."
"Aku sudah bertemu dengannya," kata pen-
dekar buntung itu.
"Sekarang giliranku ingin tahu siapa kau dan
untuk apa kau berada di kapal Belanda ini,?"
"Aku?"
"Ya, siapa lagi!" ketus Kaswita dengan senyum.
"Aku Baureksa! Kawan-kawan memanggilku
pendekar si Kaki Tunggal. Tujuanku ke kapal ini sama
dengan kalian yaitu untuk membebaskan kakak kalian
pendekar agung Jaka Sembung, jelas?"
"Terima kasih, Akang Baureksa!"
"Nah! Sekarang kita tidak boleh membuang-
buang waktu," kata Baureksa tanpa ragu, "Mari kita
menggeledah seluruh ruangan di kapal ini sampai ke
geledak bawah."
"Mari!"
Sebentar itu juga, kedua pendekar yang baru
saling kenal menghilang dengan suatu rencana. Se-
mentara itu, pendekar Kembar Tiga Melati terus beker-
ja keras membereskan mayat-mayat serdadu dan kela-
si Belanda.
"Hampir selesai tugas kita, Kak Unui!" Neneng
memberi laporan.
"Berapa semuanya?" Unui ingin tahu.
"Tiga puluh lima orang kelasi yang sudah ku
ceburkan ke laut," jawab Neneng.
"Yang belum?"
"Hanya beberapa orang lagi!"
"Segera campakkan ke laut!" perintah Unui te-
gas.
"Hei, tunggu dulu! Aku dan kawan Mirah ini juga telah menyelesaikan tiga belas orang serdadu," lapor
Nuna sambil menggapai tangan Mirah dengan riang.
"Itu belum seberapa," tukas Unui ketus, "Kapal
sebesar ini paling tidak membawa muatan 100 orang.
Yang sudah berhasil kita binasakan baru 48 lebih. Ja-
di masih separuhnya yang harus cepat-cepat kita lum-
puhkan," jelas Unui memperhitungkan dengan rinci.
"Rencanamu memang sangat jitu, Kak Unui!"
puji Nuna.
"Kalau diingat," kata Neneng, "Malam ini kita
berperan menjadi gula-gula maut para hidung belang
Belanda tengik itu!"
"Ssst! Anut-amit jabang bayi," ucap gadis lain
serentak.
"Ya, apa yang sudah kita lakukan malam ini
adalah suatu pengorbanan demi Jaka Sembung dan
perjuangan kita..." kata Unui sambil menatap Mirah
dengan rasa penuh persahabatan.
Sementara kesibukan para pendekar berjalan
terus di kapal Belanda itu, jauh di kaki langit sebelah
Barat, sebuah perahu kecil sedang berlayar di laut Ara-
furu. Dari jauh kelihatan seperti sabut yang sedang di-
permainkan ombak.
"Ya, Tuhan! Berhari-hari aku mengarungi lau-
tan luas ini, tetapi sampai sekarang aku belum berha-
sil apa-apa," terdengar keluhan resah pemilik perahu
itu. Tetapi keluhan seperti itu sama sekali tidak bergu-
na karena begitu lepas, begitu dilahap angin laut tanpa
bekas.
"Apakah kapal yang membawa Jaka Sembung
itu melalui wilayah laut ini? Atau memang aku yang
kesasar karena tidak punya pengetahuan untuk ber-
layar di laut?"
Tetapi, kelihatannya perahu kecil itu terus
mengarungi lautan dengan tabah dan berani. Tiba-tiba
orang yang ada di dalam perahu itu melihat beberapa
benda aneh hanyut terapung-apung dilempar-
lemparkan ombak.
"Heh! Ini mayat-mayat orang Belanda ru-
panya. Apakah kapal mereka pecah dihantam badai
laut Arafuru dan kelasi-kelasinya terbawa arus ke ma-
na-mana? Apa yang terjadi dengan kapal itu? Dibajak
orang kemudian anak buahnya dibunuh oleh bajak
laut itu satu persatu?"
Banyak sekali pertanyaan yang keluar dari
orang yang ada dalam perahu kecil itu. Ia membuat
rekaan tentang apa yang ia lihat dan ia pikirkan sendi-
ri yang belum tentu kebenarannya.
"Kalau benar dugaanku kapal Belanda itu diba-
jak oleh orang-orang Bugis atau Ternate, tentu Jaka
Sembung yang kaki tangan dirantai oleh Belanda turut
dibunuh oleh bajak laut itu dan dibuang ke laut seper-
ti mayat-mayat? Belanda ini," kata orang itu dengan
tersenyum
"Dan aku tidak perlu turun tangan lagi!"
Siapa sebenarnya orang tua yang berada di pe-
rahu kecil itu? Apa tujuannya berlayar sendirian seper-
ti itu serta apa hubungannya dengan pendekar Jaka
Sembung? Belum ada yang tahu.
* * *
Keadaan sepi di kapal Belanda semakin terasa.
Semua kelasi tak kelihatan lagi di atas geladak. Mereka
ada yang sudah masuk ke kamarnya masing-masing
untuk istirahat karena kelelahan akibat pesta dan bu-
kan sedikit pula yang sudah mati akibat tipu daya
pendekar Kembar Tiga Melati, belum terhitung pembu-
nuhan gelap yang dilakukan oleh para pendekar sim-
patisan Jaka Sembung yang lain.
Angin kasar yang tadinya mengamuk serta ge-
lombang besar yang menghambat pelayaran di laut
sudah mereda. Sementara itu, di kaki langit sebelah
Timur, cahaya kemerah-merahan mulai mengintip di
balik awan. Pembesar-pembesar kapal dan stafnya ma-
lam itu tidak begitu terlibat dalam pesta minum-
minum menunggu badai reda. Sebelum menjelang se-
pertiga malam mereka sudah masuk ke kamar untuk
istirahat. Para kelasi dan serdadu-serdadulah yang
bermabuk-mabukan sepanjang malam.
"Heh! Rasanya badai sudah reda," gumam Kap-
ten kapal ketika mendusin dari tidurnya. Perlahan-
lahan ia duduk-duduk di tempat tidurnya sambil tan-
gannya meraba gagang pestol yang terletak di meja ke-
cil di sebelah kanannya. Agaknya ia merasakan firasat
buruk.
"Tentu ada sesuatu yang tidak beres telah ter-
jadi di kapal ini," katanya sambil membuka laci me-
janya dan mengambil peluru.
Ketika Kapten itu membuka pintu, seorang
anggota keamanan kapal sedang berada di depan pin-
tunya.
"Gooden morgen, Kapten!"
"Ada apa?" tanya Kapten tanpa menjawab "Se-
lamat pagi" yang diucapkan oleh anak buahnya itu.
"Ada sesuatu yang tidak beres telah terjadi,
Kapten!"
"Apa maksudmu?"
"Kami tidak tahu, Kapten! Saya tak melihat seo-
rang pun!"
"Jadi, apa kerjamu sebagai petugas keamanan
kapal?"
Petugas itu diam, tidak menjawab. Kepalanya
menunduk ke bawah.
"Godverdomme! Kalian semua harus dipecat,
mengerti?" Kapten kapal menjadi marah. Daun pintu
kamarnya dibanting keras-keras sambil meninggalkan
anggota keamanan kapal dalam keadaan termangu.
Tetapi serdadu Kumpeni Belanda itu sadar bahwa di-
rinya petugas keamanan. Ia cepat menyusul Kapten
yang hendak mengetahui apa yang telah terjadi di kap-
al.
"Apakah peristiwa ini ada hubungannya dengan
tawanan Jaka Sembung?" tanyanya dalam hati. Se-
mentara itu, beberapa perwira kapal terlihat sibuk.
Kapten kapal dengan diiringi beberapa petugas
keamanan bersenjata, segera melakukan pemeriksaan.
"Hei, mengapa begini sepi? Lampu-lampu kapal
padam semua?" tanya Kapten semakin heran. "Mana
kelasi-kelasi semua? Apa mereka masih tidur?"
Tetapi, semua pertanyaan itu tidak ada yang
dapat menjawab.
Hanya suara deburan ombak laut Arafuru yang
terdengar dibawa angin laut sepoi-sepoi pagi.
Kapten kapal menjadi bingung. Ia berdiri den-
gan termangu. Kepalanya sarat dengan pertanyaan-
pertanyaan yang tidak terjawab. Tiba-tiba suatu teria-
kan terdengar di dekat Kapten itu berada, tetapi sebe-
lum sempat ia bertanya, sebuah pedang telah me-
layang ke arahnya dengan cepat, tetapi nasibnya ma-
sih baik. Ia berhasil mengelakkan sabetan pedang ta-
jam itu.
Melihat serangannya gagal, si penyerang pena-
saran. Ia segera mengulang dengan serangan kedua.
Tetapi, ketika si penyerang itu hendak menusukkan
pedangnya ke tubuh Kapten yang sedang merunduk
pasrah, tiba-tiba si penyerang merasakan sesuatu yang
aneh pada dirinya sehingga ia tidak mampu melan-
jutkan serangan itu.
"Oh, celaka! Ada seseorang yang menotok jalan
darahku dari jauh," gumam si penyerang pada dirinya.
Sementara Kapten yang melihat si penyerang urung
melangsungkan penyerangan yang membahayakan di-
rinya itu, ia tercengang sejenak.
"Oh, mijn God! Siapa wanita secantik itu, yang
masih kasihan melihat aku mati?" tanya Kapten kapal
tersebut pada dirinya.
"Siapa kau Nona cantik?" Kapten itu mendekati
si penyerang yang tidak lain dari seorang wanita. Be-
landa itu kehilangan rasa takutnya dan mencoba men-
gelus dan meraba dada penyerangnya.
"Celaka! Tangannya meraba dadaku!" kutuk
wanita cantik itu dalam hatinya. Ketika itu kebetulan
seorang pendekar lain mengintip kejadian itu dari ja-
rak dekat.
"Hei, apa yang telah terjadi?" gumam pendekar
tersebut pada dirinya, "Mengapa pendekar itu urung
berbuat sesuatu terhadap Kapten kapal itu? Pasti ada
sesuatu yang tidak beres!" Begitu selesai ia berkata,
pendekar muda itu segera melompat menyerang si
Kapten, tetapi ia juga tiba-tiba merasa jalan darahnya
terkena totokan gelap seperti yang dialami pendekar
wanita tersebut.
Kapten itu lagi-lagi kebingungan. Dua orang
penyerang yang hendak membunuhnya tiba-tiba men-
gurungkan maksudnya.
Pada saat yang sama, Pendekar Kaki Tunggal
dan Kaswita sedang berada di geladak kapal yang pal-
ing bawah.
"Lihat Kang! Itu ada kamar dengan pintunya
berlapis besi, mungkin di kamar itu Belanda menyekap
Jaka Sembung," ujar Kaswita menduga-duga sambil
bergerak cepat ke tempat itu.
"Tunggu aku Kas! Biar sama-sama kita mendo-
braknya," seru Baureksa yang langsung memburu. Ke
dua pendekar itu segera sampai di tempat yang dituju.
Sebentar berhenti, kemudian kedua pendekar tersebut
mundur ke belakang mengambil ancang-ancang dan
dengan tenaga gabungan mereka mendobrak pintu
berlapis besi tersebut. Tetapi, sebelum kekuatan ga-
bungan itu menghantam pintu, kedua pendekar un-
ggulan itu pun mengalami totokan jalan darah yang di-
lakukan seseorang dari jarak jauh.
Dengan mendengus, pendekar Kaki Tunggal
menoleh ke suatu arah. Sesosok tubuh berdiri dengan
tegar dan tenang.
"Mengapa Anda berpihak kepada penjajah?"
tanya Baureksa.
"Hanya satu kebetulan," jawab orang itu dingin,
"Tetapi aku punya alasan tersendiri."
"Alasan tersendiri?" Baureksa sejenak heran,
"Boleh aku tahu alasannya?"
"Sebenarnya, aku tidak punya alasan khusus
dengan kalian," jawab Orang itu dengan tenang. "Teta-
pi ada orang-orang yang punya sangkutan dengan aku
yang berada di kapal ini termasuk Jaka Sembung,
mengerti?" Kemudian orang yang berdarah dingin itu
membalik badannya sambil meninggalkan tempat ter-
sebut ia berkata dengan nada datar, "Tenanglah kalian
berdiri di tempat ini, aku masih banyak urusan yang
harus kuselesaikan!" Baureksa dan Kaswita sama se-
kali tidak dapat bergerak.
Sementara itu, di anjungan kapal bagian buri-
tan terjadi kesibukan yang luar biasa. Pendekar Kem-
bar Tiga Melati dan Mirah sedang bekerja keras dan
tergesa-gesa.
"Kalian, Neneng dan Nuna bertugas mengem-
bangkan layar kapal. Rekan Mirah mengangkat jang-
kar dan aku akan membelokkan kemudi kapal, bagai-
mana setuju?" tanya Unai sambil membagi tugas.
"Setuju!" terdengar suara setuju secara aklama-
si.
"Mulai! Kita kembali ke Bandar Cirebon!"
Dalam waktu relatif singkat, semua tugas-tugas
yang diberikan oleh Unui kepada Neneng, Nunda dan
Mirah berjalan lancar.
"Sungguh tidak kusangka kalian bertiga adalah
gadis-gadis cekatan. Rencana semula yang kuduga be-
gitu sukar, ternyata mudah sekali," kata Unui sambil
berdiri memegang kemudi.
"Tetapi," tiba-tiba terdengar suara yang sangat
berwibawa, tidak jauh dari tempat mereka berada,
"Jangan harap kalian bisa memboyong Jaka Sembung
kembali, Nona-nona manis!"
"Siapa kau?" teriak Unui dengan jengkel. Tetapi
sebelum Unui sempat menyerang laki-laki itu, Mirah
yang pendiam tetapi berani segera melompat menye-
rang sendirian.
Dengan satu pentilan jari dari jarak jauh, tu-
buh Mirah kelojotan, menjadi kejang berdiri tak mam-
pu bergerak seperti patung.
"Tenang-tenang di sini Nona manis!" ujar orang
itu setengah mengejek.
"Kurang ajar!" teriak Mirah.
Sementara itu Unui yang berada di kamar ke-
mudi mulai melaksanakan tugasnya, "Mudah-
mudahan aku bisa," ujarnya dalam hati.
"Hooo! Siap berlayar!"
Ketika kapal mulai membelok kembali ke arah
Barat, semua layar telah terpasang dengan rapi. Kapal
pun bergerak ditiup angin dari arah Timur.
"Horee! Horee! "
Sementara kapal bertolak dengan lancar, Nuna
berkata kepada kakaknya, "Kak Neneng! Sekarang se-
mua sudah beres, bagaimana kalau kita turun ke ba
wah bergabung dengan kawan-kawan yang lain? Mere-
ka pasti sudah berhasil membebaskan Jaka Sembung."
"Belum tentu Nuna! Prosesnya tidak semudah
itu! Tetapi, kalau kau mau ke bawah pergilah dahulu,
nanti aku menyusul." kata Neneng tanpa bergerak di
samping Unui yang sedang memegang kemudi.
Nuna segera turun ke bawah. Hatinya gembira
karena tugas yang mereka duga semula begitu berat,
ternyata mudah dan lancar. Sebuah kapal yang begitu
besar, berhasil dirampas dari Belanda tanpa banyak
mengeluarkan keringat. Begitulah kira-kira jalan piki-
ran Nuna ketika itu. Gadis itu kelihatannya mabuk
kemenangan.
Tetapi ketika ia tiba di lantai bawah dari anjun-
gan, Nuna sangat terperanjat melihat seorang opsir
kapal menghadangnya dengan pedang di tangan.
"Dia mungkin Kapten kapal ini," gumamnya
menduga.
"Godverdoome!" kutuk Belanda itu dengan nada
marah, "Rupanya kalian inlanders ekstremis yang
menteror anak-anak kapal ini, ha?" kata Kapten kapal
itu sambil mengancam dengan pedangnya.
"Hei, Gecel! Menghadapi kakek bule seperti
kau, cukup dengan tangan kosong," sesumbar Nuna.
Tetapi, apa yang diucapkan itu, memang dibuktikan.
Begitu orang Belanda itu mengayunkan pedangnya,
Nuna segera melejit ke atas sehingga pedang Kapten
kapal itu menetak angin. Melihat kegagalannya menye-
rang gadis cantik tambah pula dengan sikap gadis itu
yang selalu mengejek, hati orang Belanda tersebut se-
makin mendidih. Tiba-tiba dengan membabi buta, ia
mengayunkan pedangnya untuk kedua kali sambil ber-
teriak keras, "Mampus kowe orang!"
Tetapi apa yang terjadi? Nuna hanya berkelit
ringan, kemudian membalik badannya dengan cepat,
"Ini dengkul untukmu" sambil memasukkan dengkul-
nya ke bagian perut orang Belanda tua itu, yang tepat
mengenai ulu hatinya. Kapten kapal tersebut jatuh
perlahan-lahan ke belakang kesakitan dan pedangnya
terpental jauh.
Ketika itu Nuna segera meloncat mengirimkan
suatu depakan maut ke muka Belanda tua itu. Tetapi
Nuna tiba-tiba merasakan suatu sentakan kuat yang
menyebabkan ia jatuh kejang.
Perlahan-lahan Nuna berbalik ke belakang in-
gin tahu siapa yang berbuat usil terhadap dirinya.
"Hei, bajingan tengik, mengapa kau membela penjajah
Belanda?"
Pendekar gelap tidak menjawab. Ia hanya ter-
senyum dengan penuh ejekan. Ketika itu si Kapten
yang melihat kejadian tersebut merasa kagum dan ber-
terima kasih karena jika orang yang berdiri di depan-
nya itu tidak ada, mungkin ia telah mati di tempat itu.
"Tuan ku yang sudah beberapa kali menyela-
matkan aku?"
"Ya, mengapa?" jawab orang itu singkat.
"Tuan siapa, kalau boleh Ik tahu?"
"Namaku tidak penting!"
"Tuan telah beberapa kali menolongku dari se-
rangan ekstrimis gelap. Kurasa Tuan berdiri di pihak
pemerintah kerajaan Belanda!?"
"Ah, itu hanya suatu kebetulan aku berada di
pihak yang menguntungkan Tuan," jawab orang itu
dengan tenang.
"Oh, sendi-sendi ku seperti mau copot," keluh
Nuna dalam hati sambil menahan sakit. Sementara
itu, pendekar yang membela Belanda dan menjatuh-
kan Nuna berjalan beberapa langkah menuju pagar
dek sambil mengulurkan kepalanya ke bawah berkata,
"Lihatlah perahu kecil itu! Dengan perahu itulah aku
mengarungi laut Arafuru yang ganas ini." Kata-kata itu
mengambang begitu saja tak tahu kepada siapa dituju.
"Untuk apa Tuan datang ke kapal ini?" tanya
Kapten kapal memberanikan diri.
"Tentu aku punya alasan tersendiri Tuan!" ja-
wab orang itu dengan tenang, "Tetapi, sayang, keda-
tanganku terlambat sehingga anak buah Tuan dan
serdadu-serdadu Kumpeni Belanda sudah banyak
yang menjadi korban."
Kapten yang sudah berusia lanjut itu menun-
dukkan kepala dan merasa menyesal mengapa harus
membawa Jaka Sembung dengan kapalnya.
Matahari semakin lama semakin condong di
kaki langit di sebelah Barat. Sebentar kemudian tirai
malam mulai turun dan keadaan di kapal semakin pe-
nuh tanda tanya, apa yang akan terjadi?
Orang yang telah berhasil melumpuhkan bebe-
rapa pendekar yang hendak membebaskan Jaka Sem-
bung, mulai menunjukkan sikap berkuasa di kapal itu.
Kesombongan dan keangkuhannya semakin terlihat
seakan-akan ia sanggup menumpas ekstremis-
ekstremis.
Ia kelihatan mondar-mandir di antara Kapten
Belanda dan Nuna yang telah tidak berdaya sambil se-
kali-sekali berdiri di depan si bule itu.
"Berminggu-minggu aku mencari jejak kapal
Tuan, tetapi baru sekarang aku berhasil menemukan-
nya di laut Arafuru ini," kata pendekar misterius itu.
"Apa kepentingan Tuan dengan kapal ini?"
tanya Kapten kapal itu mulai kesal dengan sikapnya
yang serba tidak tegas.
"Nanti juga Tuan akan tahu" jawabnya singkat.
Sementara itu, Neneng turun dari anjungan
menyusul Nuna.
"Nuna! Nuna!" seru Neneng mulai khawatir.
Tiba-tiba Neneng kaget sekali ketika melihat
Kapten kapal terhenyak di dinding sebuah kamar, dan
tidak jauh di depannya Nuna seperti meringkuk tidak
berdaya.
"Apa yang terjadi Nuna," tanya Neneng.
"Hati-hati orang itu, Kak Neneng!" ketus Nuna
sambil menunjuk ke arah pendekar aneh yang sedang
berdiri dengan tangan menyilang ke dada. Tanpa ba-
nyak bicara dan tidak disangka-sangka, Neneng segera
menyerang orang itu dengan suatu jurus andalan, te-
tapi pendekar tak dikenal itu dengan cepat mengelak
sambil mengirimkan sebuah pukulan jarak jauh yang
dahsyat, yang hampir saja menghantam dada Neneng.
Untung pendekar wanita itu berhasil berkelit dengan
gesit sehingga pukulan yang berbahaya itu dapat di-
hindari. Ketika Neneng mendarat di atas geladak, sece-
pat kilat tangannya menyabet dengan golok ke arah
lawan. Tetapi manusia bayangan itu memang tangguh.
Serangan Neneng yang begitu berbahaya dapat dire-
damnya dengan mudah, sekaligus menepak tangan
Neneng dengan keras.
"Aduh! Tanganku seperti kesemutan," pekik
Neneng seraya mengurut-urut pergelangan tangannya
sendiri. Tetapi ketika melihat pendekar jahat itu hen-
dak mendarat di geladak, Neneng yang tak ingin me-
nyia-nyiakan waktu, segera membokong dari samping-
nya, tetapi suatu tepakan keras dengan telapak tan-
gan, golok Neneng pun terpental dan jatuh di sisi Nu-
na.
"Diberi hati, kalian naik ke kepala," bentak
pendekar jahat itu dengan suara serak.
Nuna yang memang keras hati mencoba bang-
kit. Ia berdiri mendampingi kakaknya yang sedang te-
rancam.
"Ini senjatamu kak Neneng, kita harus lawan
manusia jahat ini!" seru Nuna tanpa merasakan lagi
sakit yang sedang dideritanya. Akhirnya terjadilah per-
kelahian sengit dua lawan satu.
Bagaimana hebatnya tenaga tua, sekurang-
kurangnya merasa kewalahan juga menghadapi dua
pendekar muda yang cekatan, gesit dan penuh seman-
gat.
Perkelahian itu semakin seru dan merambat
sampai ke sebuah ruangan di bagian tengah kapal
yang terang benderang. Tiba-tiba Neneng dan Nuna
menjadi sangat terperanjat ketika melihat tampang
musuhnya adalah seorang pendekar yang pernah me-
reka kenal.
"Heeei, Kau... kau Ki Subeni?" teriak Neneng
dan Nuna serentak.
"Ki Subeni atau hantunya bukan persoalan,
yang penting aku datang ke mari untuk menagih nya-
wa kalian," ketus Subeni sambil menyerang dengan ju-
rus andalannya yang aneh dan berbahaya.
"Hati-hati Kak Neneng!" teriak Nuna ketika
melihat pendekar jahat itu membuka serangan. Kali ini
pun pendekar Subeni belum dapat menjatuhkan la-
wannya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu.
Melihat kegagalannya dengan beberapa jurus
andalan, pendekar Subeni bertambah berang dan ber-
nafsu untuk membunuh kedua gadis itu. Dengan te-
kad jahat yang bersarang di hatinya, pendekar Subeni
segera menggunakan jurus andalannya yang terakhir
sambil melakukan suatu gerakan dahsyat. Kedua pen-
dekar wanita bersaudara itu tanpa daya terpelanting
ke sudut geladak berjumpalitan.
"Jangan takut pada manusia iblis itu Nuna!"
kata Neneng kepada Nuna yang terpisah beberapa de-
pa. Neneng dan Nuna bangkit kembali dengan tekad
akan bertempur mati-matian melawan pendekar
pengkhianat bangsa itu.
Sementara itu, tidak jauh dari kapal besar yang
sedang menjadi ajang pertarungan para pendekar, se-
buah tongkang layar ukuran besar segera mengurangi
kecepatan lajunya bahkan menurunkan layarnya keti-
ka melihat kapal besar melaju cepat dari arah Timur.
"Hah! Itu pasti kapal yang sedang kucari," bisik
seorang di tongkang itu. Sebelum berpapasan, orang
yang berada di tongkang besar dapat menangkap sua-
ra hiruk pikuk yang datang dari kapal.
"Apakah sedang terjadi suatu pembajakan di
atas kapal? Atau apa yang sedang terjadi?" gumam
pemilik tongkang dengan penuh rasa ingin tahu. "Aku
harus naik ke atas kapal!"
Selesai berkata begitu, sesosok tubuh segera
melompat ke laut dan berenang dengan cekatan menu-
ju ke kapal besar.
Sebuah perahu kecil yang bermuatan 10 orang
atau lebih dan tidak jauh dari perairan itu, tampak
memperhatikan perenang yang sedang menuju ke kap-
al besar.
"Hei, kawan! Lihat ada seseorang yang hendak
mencapai kapal besar itu. Bagaimana?" tanya salah
seorang di antara mereka.
"Bereskan saja!" seru yang lain serentak sambil
menjangkau panahnya masing-masing. Dan sebentar
kemudian kelihatan puluhan panah berhamburan ke
arah orang yang sedang berenang.
Tampaknya orang yang sedang merenangi lau-
tan menuju ke kapal besar itu bukanlah orang semba-
rangan. Ini terlihat pada caranya melawan anak panah
yang datang bertubi-tubi menyerang dirinya. Tetapi
dengan kecekatannya yang luar biasa, satu pun anak-
anak panah itu tidak berhasil singgah ke tubuhnya.
Namun demikian, serangan dari perahu kecil
itu semakin gencar. Rupanya pendekar tersebut tidak
kehilangan akal. Sebagai penyelam yang berpengala-
man, ia langsung menyelam menghindari anak-anak
panah yang terus menghujani permukaan air.
Sejenak ia merasa aman dari serangan-se-
rangan gelap orang yang tidak dikenal itu, tetapi ba-
haya lain segera menyusul dan mengancam dirinya.
Beberapa ekor ikan buas menguntitnya dari belakang
untuk menyerang pendekar itu. Tetapi nalurinya yang
sangat peka mengisyaratkan adanya bahaya tersebut.
Dengan beberapa gerakan cepat jurus silat
yang sangat berbahaya, pendekar itu segera bertindak
dengan suatu gebrakan dahsyat sehingga hiu-hiu ga-
nas tersebut terpencar-pencar dan ketakutan.
Tidak lama kemudian, dengan ilmu tinggi yang
dimilikinya, pendekar yang ahli berenang itu segera
melejit ke atas kapal yang kebetulan lewat sesuai den-
gan waktu yang diperhitungkan.
Ketika pendekar cekatan ini sampai di geladak
kapal, pertarungan masih terus berkecamuk dengan
seru.
"Ini rupanya suara hiruk pikuk itu," pikir pen-
dekar itu.
Sambil mencari tempat bersembunyi, sejenak ia
mempelajari suasana di kapal yang dari jauh kelihatan
berlayar dengan tenang.
Sementara itu, Kapten kapal yang sejak tadi di
luar pengawasan, perlahan-lahan timbul pikiran ja-
hatnya, "Sementara inlanders itu saling membunuh,
mengapa aku tinggal diam begini? Bukankah lebih
baik aku mencoba membunuh Jaka Sembung daripa-
da ia jatuh ke tangan ekstremis-ekstremis yang sedang
menguasai kapal. Kalaupun aku mati, toch aku sudah
berjasa pada pemerintah Kerajaan Belanda?" Perla-
han-lahan orang Belanda yang sudah berusia lanjut
itu meraba pistol yang ter-sembunyi di balik baju di-
nasnya. "Dengan kedua tangannya yang terantai ketat
seperti sekarang itu, pasti dengan mudah aku dapat
menembak lambung sampai mampus," pikir Kapten
itu dengan nekad dan segera menuju ke kamar taha-
nan Jaka Sembung.
Tetapi baru ia beranjak beberapa langkah, tiba-
tiba ia dikagetkan oleh suatu sapaan mengejek, "Hei,
Buto Terong mau ke mana Kau?" Ketika Kapten Belan-
da itu hendak menembak, orang yang menyapanya,
secepat kilat berbalik dan sebuah tendangan keras te-
pat mengenai dadanya. Kapten kapal itu mengeluarkan
darah segar dari mulutnya. Pistol yang masih tergeng-
gam di tangannya perlahan-lahan jatuh serentak den-
gan terkulainya tubuh gemuk itu ke lantai kapal...
Pendekar yang baru saja melejit ke kapal itu,
diam-diam sudah berhasil mengurangi jumlah orang
Belanda yang ada di kapal. Kemudian berlalu dengan
santai dari tempat itu. Rupanya tanpa disadarinya apa
yang ia lakukan terhadap Kapten kapal disaksikan
dengan jelas oleh empat mata lain.
"Lihat! Orang itu telah menyudahi nyawa Kap-
ten kapal," ujar Baureksa. Kaswita yang turut menyak-
sikan adegan sebabak itu mengangguk.
"Saudara pendekar," tegur Baureksa ketika ke-
betulan pendekar itu lewat di hadapan mereka, "Tolong
kami!"
"Siapakah kalian?" tanya pendekar tersebut
dengan waspada.
"Aku Baureksa si Kaki Tunggal," Ia memperke-
nalkan diri dengan ramah, "Dan ini Kaswita, adik kan-
dung pendekar Jaka Sembung yang sedang ditawan
Belanda di kapal ini."
"Jadi, apa yang bisa kulakukan untuk kalian?"
"Kami mohon bantuan Saudara untuk membe
baskan kami dari totokan jalan darah yang dilakukan
oleh seorang pendekar jahat yang belum kami kenal."
"Kalian tidak bisa bergerak?" tanya pendekar
itu dengan ramah.
"Benar!" jawab Baureksa dan Kaswita serentak.
Pendekar yang dimintai bantuannya itu segera
meraba-raba urat nadi yang ada di belakang kedua tu-
buh yang sedang tidak berdaya itu, kemudian dengan
suatu totokan yang hampir tak terasa, Baureksa dan
Kaswita seketika itu mampu berdiri. Pengaruh totokan
lenyap dari tubuh mereka.
"Terima kasih Saudara Pendekar!" ucap Bau-
reksa sambil mengulurkan tangan tanda bersahabat.
"Terima kasih!" ucap Kaswita dengan terse-
nyum.
"Kau yang adik Jaka Sembung?" tanya pen-
dekar itu. Kaswita mengangguk sambil berjabat tan-
gan.
"Aku Karta, adik angkat Parmin, Jaka Sem-
bung," pendekar itu memperkenalkan diri sambil me-
nyatakan kegembiraannya. Kaswita dan Baureksa ter-
senyum gembira karena mendapat teman seperjuan-
gan.
"Orang menyebutku, si Gila dari Muara Bon-
det," Karta mencoba menambah indentitasnya yang
jauh lebih terkenal daripada namanya sendiri.
Sementara mereka berada dalam suasana gem-
bira, Neneng dan Nuna berada dalam keadaan kritis
karena mendapat luka dalam yang parah akibat puku-
lan Ki Subeni, si pendekar jahat. Di dada kedua gadis
membekas sebuah telapak tangan hitam. Akibat luka
dalamnya, kedua pendekar wanita yang tangguh itu
mengeluarkan darah hitam kental dari mulutnya.
"Kak Neneng!" ujar Nuna dengan susah payah,
"Apakah kita harus menerima kematian dengan cara
begini?"
"Tidak Nuna! Kalau juga harus mati, biarlah
aku mati lebih dahulu menghadapi bangsat Subeni
yang berwatak iblis itu dan kau adikku Nuna segeralah
menghindar dari sini!" jawab Neneng antara marah dan
sedih. "Carilah kawan-kawan kita dan beritahukan!"
"Ha, ha, ha...! Jangan mengigau Nona manis!
Semua kawan-kawanmu telah ku tawan hidup-hidup."
"Keparat kau manusia setan!" bentak Neneng
dengan sangat marah.
"Hei, kau jangan bicara sembarangan yang da-
pat membuat aku marah ya! Aku Ki Subeni, yang akan
mengakhiri petualangan Jaka Sembung dan semua
orang-orangnya, tahu? Tetapi, sebelum Jaka Sembung,
aku ingin membuat kalian lebih dahulu mati perlahan-
lahan. Aku akan siksa kalian dengan caraku sendiri,"
kata pendekar jahat itu dengan sesumbar.
"Bangsat! Terkutuklah kau!" hardik Nuna sam-
bil mencoba bangkit, tetapi mereka tidak berdaya sama
sekali.
"Ha, ha, ha! Makilah aku semaumu Nona-nona
manis, sebelum aku mengerjakan kalian berdua."
"Apa yang hendak kau lakukan terhadap kami,
lakukanlah Setan!" kata Neneng setengah berteriak.
"Wow, aku akan cabut seluruh bulu yang ada
di pori-porimu Nona!" bentak Ki Subeni. "Aku akan
mulai dengan bulu yang paling bawah," ketus Subeni
sambil dengan tangan kirinya merenggut rambut Nuna
dan mengangkatnya ke atas kuat-kuat sehingga kepala
Nuna turut mendongak ke atas kesakitan, sedangkan
dengan tangan kanannya ia mencopot pakaian yang
dikenakan gadis itu sehingga tidak sehelai benang pun
lagi yang tersisa di badannya.
"Anjing kau!" teriak Neneng sambil meludahi jijik.
"Kukira, kau yang akan kubuat jadi anjing tan-
pa pakaian," bentak Ki Subeni sambil mengirimkan se-
buah tamparan ke wajah Neneng. Neneng terkulai ja-
tuh.
"Keparat!" teriak Nuna meronta-ronta melawan
kelemahannya.
"O, yaaa! Sekarang akan ku mulai dengan nona
ini," Sambil menunjuk kepada Nuna, Ki Subeni men-
dekati gadis itu dan melakukan rencananya mencabut
bulu yang paling bawah. Terapi, melakukan rencana
yang demikian tidaklah mudah. Nuna memberikan
perlawanan gesit dengan seluruh kekuatannya yang
masih tersisa.
Tiba-tiba pendekar iblis itu berteriak-teriak se-
kuat-kuatnya karena bahunya digigit Nuna. Ketika itu
juga ia berbalik badan dan menggapai hidung Nuna
yang memang mancung. Hidung itu dipencetnya den-
gan keras sehingga Nuna gelagapan tak dapat berna-
pas.
"Rupanya kau perlu ditotok lebih dahulu su-
paya diam menerima hukuman," ujar Ki Subeni me-
nyeringai, sambil memberikan tamparan keras ke pipi
Nuna. Mata Nuna berkunang-kunang sejenak kemu-
dian ia terkulai lemas.
"Nah! Sekarang hukuman ku akan dapat berja-
lan lancar dan kalian akan merasakan sakit perlahan-
lahan," kata pendekar berdarah dingin itu. Begitu sele-
sai kata-katanya, Ki Subeni pun mendekati Neneng
untuk memulai hukumannya, tetapi sebelum huku-
man itu dilaksanakan, tiba-tiba terdengar desingan
benda-benda berkilat yang menyerbu tubuh Ki Subeni.
Tetapi Ki Subeni memang tangguh! Serangan yang ti-
ba-tiba dilancarkan orang kepadanya, meskipun den-
gan susah payah akhirnya berhasil juga di atasi.
Ki Subeni yang merasakan serangan hebat itu,
dapat memastikan bahwa dirinya sedang menghadapi
tantangan dari pendekar yang ilmunya seimbang den-
gan ilmu silat yang dimilikinya atau mungkin juga di
atas dirinya.
Pendekar Karta, si Gila Dari Muara Bondet se-
gera membebaskan kedua gadis tersebut dari totokan
Ki Subeni dan mengobati luka dalam kedua pendekar
wanita itu.
Kaswita sempat menatap sejenak kedua pende-
kar wanita cantik itu. Dan diam-diam ia teringat pada
apa yang pernah dilihat di buritan kapal dua hari yang
lalu. Tetapi, kesempatan untuk bertanya hal-hal seper-
ti itu belum ada.
Ki Subeni yang penasaran dibokong dari bela-
kang, segera menyerang siapa saja yang melintas di
hadapannya. Tiba-tiba dua sosok tubuh berkelebat di
hadapannya dengan cepat. Ki Subeni tanpa pikir pan-
jang cepat mengejar kedua sosok tubuh itu. Kemudian
dengan goloknya ia melakukan serangan dari jarak
jauh.
Tetapi, orang yang diserang itu berkelit secepat
kilat sehingga golok Ki Subeni menancap di sebuah
dinding tidak jauh dari tempat pendekar Karta berada,
"Gila!"
Merasa gagal, Subeni pun melepaskan ser-
angan jarak jauh untuk kedua kalinya. Tetapi seran-
gan itu pun tidak membawa hasil apa-apa.
"Kaswita!" ujar si Gila Dari Muara Bondet, "Kita
tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Sekarang gi-
liran kita yang menyerang Ki Subeni yang berhati iblis
itu, bagaimana?"
"Mari! Memang tidak boleh memberi hati kepa-
da pendekar jahat berdarah dingin seperti Ki Subeni,"
sambut Kaswita senada.
Sejak itu berkecamuklah pertempuran antara
Ki Subeni melawan si Gila Dari Muara Bondet dan ka-
wan-kawannya. Dalam suatu pertempuran sengit, Ki
Subeni hampir-hampir saja berhasil menghantam
Kaswita dengan pukulan telapak tangan maut, tetapi
Sri Ayuningrum yang telah bebas dari totokan dan ke-
betulan menyaksikan pertempuran tersebut, segera
mengirimkan senjata jarak jauh yang ke-betulan tepat
mengenai tangan pendekar setan itu. Kaswita selamat
dari luka dalam.
Di suatu kesempatan lain, Ki Subeni berhada-
pan langsung dengan Pendekar si Gila dari Muara
Bondet. Permainan silat tingkat tinggi dikeluarkan oleh
kedua pendekar tangguh itu. Mereka saling bertarung,
menyerang dan bertahan. Ketika si Gila dari Muara
Bondet melihat suatu peluang baik, ia segera menye-
rang Ki Subeni dengan pedangnya yang ampuh secara
berantai sehingga pendekar gemuk jahat itu kewalahan
seketika. Tetapi dalam keadaan kepepet seperti itu, Ki
Subeni masih berhasil membuat pedang si Gila dari
Muara Bondet terpental. Karta kaget sejenak. Tiba-tiba
ia mendengar suatu teriakan keras, "Hai, kawan!
Tangkap pedangmu ini!" serentak dengan melayangnya
sebuah pedang.
"Terima kasih Dik!" ucap Karta sambil mengi-
rimkan sebuah senyuman kepada Sri Ayuningrum,
yang rupanya sejak awal terus mengikuti perkelahian
kedua tokoh persilatan tersebut.
"Setan!" teriak Ki Subeni dengan penuh ke-
dongkolan melihat Sri Ayuningrum yang membantu
lawannya. Ketika itu tidak terasa sebuah pedang men-
desing di belakangnya sehingga Ki Subeni terluka.
"Waw! Cuma menyerempet sedikit," terdengar
suara Karta mengejek, tetapi Ki Subeni tidak menggu-
bris ejekan itu karena perhatiannya tertuju pada luka
di punggungnya....
EMPAT
Sementara itu, tanpa disadari malam be-
rangsur-angsur berganti dengan siang. Matahari di ka-
ki langit sebelah Timur tampak muram tertutup men-
dung. Awan pekat seperti menggantung di langit. Angin
laut yang tadinya berhembus tenang membawa hawa
sejuk dan segar, kini perlahan-lahan berubah kencang.
Ombak laut yang tadinya terasa ramah, kini mulai
bergelora. Tiba-tiba hujan lebat pun turun seperti
mengamuk, ombak menghantam dinding kapal. Laut
Arafuru kembali marah menyaksikan tingkah anak
manusia di permukaannya.
Unui yang berada di ruang kemudi menjadi ge-
lisah, "Celaka! Badai akan segera turun," serunya den-
gan penuh rasa khawatir. Ia sangat mengharapkan
Neneng dan Nuna ada di sisinya untuk membantu. Te-
tapi kedua adiknya itu tidak juga muncul padahal da-
lam keadaan begitu layar harus segera diturunkan.
Tak ada jalan lain, kecuali ia sendiri harus se-
gera bertindak. Tanpa banyak perhitungan, Unui me-
ninggalkan kamar kemudi turun dari anjungan. Begitu
Unui tiba di tangga, angin badai mendadak bertiup
kencang dibarengi dengan suara petir dan kilat sam-
bung-menyambung.
Tidak itu saja bahaya yang sedang mengancam,
tetapi bahaya yang lebih dahsyat kelihatan sedang me-
nyongsong. Kapal mulai oleng ke kiri dan ke kanan se-
hingga semua penumpang yang ada di atasnya mulai
panik. Pertarungan dan nafsu permusuhan lenyap se-
ketika. Masing-masing mulai memikirkan keselamatan
dirinya, kecuali Unui. Pendekar ini dengan penuh
tanggung jawab mencoba menurunkan layar kapal un-
tuk mengurangi resiko tenggelam demi keselamatan
para penumpangnya. Ia juga berusaha mencari kedua
adiknya dan merasa cemas terhadap diri mereka, tan-
pa sedikit pun terpikir akan keselamatan dirinya.
Suasana dalam kapal mendadak gelap, meski-
pun sejumlah lampu-lampu penting masih terus me-
nyala. Angin yang semakin berhembus kencang telah
membuat kapal terombang-ambing seperti hendak ter-
balik. Semua isinya bertambah panik. Tubuh Unui
yang semakin lelah, tiba-tiba terpelanting dan nyaris
terlempar ke dalam laut yang sedang mengamuk, teta-
pi untung tangannya masih sempat menggapai pagar
geladak.
Ketika ia melihat ke luar kapal, tiba-tiba ia ber-
teriak keras. Tidak jauh dari kapal terlihat olehnya an-
gin puting beliung sedang membuat pusaran berben-
tuk lembah air yang dalam. Dua perahu layar yang ti-
dak jauh dari kapal mendadak masuk ke dalamnya.
"Ya, Tuhan! Selamatkanlah mereka!" seru Unui dengan
mata terbelalak.
Pada waktu yang sama, tiba-tiba pula tiang
layar kapal besar yang mereka tumpangi mendadak
patah. Sementara, air sudah banyak yang mulai ma-
suk ke kapal.
Belum hilang kekagetan itu, Unui melihat pula
dari jauh dua pendekar sedang berlaga di dekat tiang
layar yang sudah patah. Rupanya keadaan yang sudah
gawat, sedikit pun tidak mempengaruhi para pendekar
untuk terus bertempur.
Sementara si Gila dari Muara Bondet dan pen-
dekar Mirah meladeni musuh, Sri Ayuningrum mem-
bantu Neneng dan Nuna yang sedang terhimpit rerun-
tuhan.
"Cepat bangun kawan! Keadaan kapal semakin
gawat!" ujar Sri Ayuningrum dengan sungguh-
sungguh, "Mari kita bantu mereka sebelum kapal ini
hancur!"
Ketiga pendekar wanita itu segera memburu ke
depan. Tiba-tiba tiang layar kapal bagian depan men-
dadak patah pula. Tiang yang berat ini menghancur-
kan lantai geladak.
Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal sedang be-
rada di geladak paling bawah terkejut.
"Suara apa?" tanya Kaswita pucat.
"Aku tak tahu! Biarkanlah itu!" kata Baureksa
acuh tak acuh.
"Kalau begitu sekarang kita cepat-cepat ke ka-
mar tahanan Jaka Sembung, bagaimana?" tanya Kas-
wita.
Kedua pendekar tersebut menghilang dengan
cepat menuju ke kamar tahanan yang berpintu besi.
Tanpa membuang-buang waktu, mereka segera men-
dobrak pintu tersebut. Tetapi, pintu yang luar biasa
kuatnya itu sedikit pun tidak bergeming.
"Hei, biar ku coba dengan beliung ku ini!" kata
Kaswita serentak dengan menghantamkan beliungnya
ke pintu besi itu.
Sementara Kaswita dan Baureksa berusaha
membuka pintu tahanan, Parmin Jaka Sembung di
kamarnya sedang menghadapi bahaya air yang masuk
dari dinding kapal dengan deras. Ia sama sekali tidak
dapat berusaha mengatasi keadaan karena tangannya
dirantai kiri kanan. Air laut semakin lama semakin
menggenangi kamar.
"Ya, Tuhan berikanlah aku petunjuk apa yang
harus kulakukan! Lindungilah aku dari malapetaka
yang mengerikan ini. Hanya kepada-Mu satu-satunya
tempat aku berlindung dan pasrah diri," Parmin ber-
doa dengan penuh harap.
Air terus meninggi sampai ke lutut. Tidak lama
kemudian sampai ke pinggang. Harapan Jaka Sem
bung untuk lepas dari petaka itu semakin tipis. Satu-
satunya jalan untuk menenangkan diri ialah menghe-
ningkan cipta. Dipusatkan semua konsentrasinya ke
satu titik perhatian yaitu rantai yang membelenggu
kedua belah tangannya.
Sementara itu air terus meningkat sampai ke
lehernya. Harapan secara akal pupus sudah, tetapi ha-
rapan kepada kasih Tuhan terus menyala.
"Bismillah!" ucap Jaka Sembung sambil menge-
rahkan seluruh hawa panas dalam tubuhnya.
Tiba-tiba sesuatu terjadi. Terlihat asap menge-
pul dan kemudian menjadi api yang terus-menerus
menjilat rantai. Akhirnya rantai yang memborgol kedua
tangannya pun mencair dan putus.
"Alhamdulillah" ucapnya sambil kedua telapak
tangannya meraup ke muka. Tetapi masalahnya belum
selesai, Jaka Sembung tetap berada di kamar tahanan
yang cukup kuat.
"Oh, aku tak dapat juga keluar dari sini," gu-
mam Jaka Sembung pada dirinya.
Di luar, Kaswita dan pendekar Kaki Tunggal te-
rus-menerus berusaha mendobrak pintu yang kukuh
itu. Tiba-tiba Kaswita kaget karena dari sisi daun pintu
yang sudah mulai renggang, menyembur air dengan
deras.
Kaswita dan Baureksa segera melompat ke atas
sambil mengawasi air yang deras itu. Tiba-tiba Kaswita
melihat sesosok tubuh menggapai-gapai didorong de-
rasnya air.
"Kang Parmin!" seru Kaswita dengan keras. Ja-
ka Sembung segera menoleh ke arah datangnya suara
itu. Ia segera melejit ke atas dan menatap pemuda
yang berdiri di depannya dengan beliung di tangan.
"Astaga! Kau Kaswita?! Bagaimana sampai kau
berada di kapal jahanam ini?" tanya Jaka Sembung in
gin tahu.
"Panjang ceritanya, Kang!"
Sementara itu haluan kapal perlahan-lahan
menukik ke dalam laut, tetapi sama sekali tidak dihi-
raukan oleh pendekar-pendekar yang sedang bertem-
pur hebat-hebatan.
"Lihat, Kang!" Kaswita menunjuk ke bagian bu-
ritan kapal, "Mereka sedang bertempur di sana!"
"Siapa mereka?" tanya Jaka Sembung heran.
"Pendekar-pendekar yang ingin membebaskan
Kakang dari tawanan Kumpeni Belanda, termasuk
Kang Baureksa ini, dan Kak Sri Ayuningrum."
Saat itu pendekar Lengan Tunggal berlari
menghampiri.
"Hei, kau Umang?!" ujar Jaka Sembung dengan
gembira sambil menarik tangan sahabatnya yang su-
dah lama tidak pernah ketemu.
"Tidak apa-apa kau?"
"Tidak!"
Jaka Sembung menepuk-nepuk bahu sahabat-
nya itu sambil berkata, "Kalau begitu mari kita ke sa-
na! Aku ingin ketemu dengan adikku Sri Ayuningrum."
Ketika tiba di ajang pertarungan itu, Jaka Sem-
bung tiba-tiba melihat seorang pendekar muda yang
sedang bertempur dengan lincah menghadapi antek-
antek penjajah.
"Hei, kalau aku tak salah, itu si Gila Dari Mua-
ra Bondet dan Mirah kawanmu Umang."
"Benar, Parmin," kata Umang dengan penuh
hormat.
"Kalau tiga dara itu...?" kata Jaka Sembung
sambil mengingat-ngingat, "Si Tiga Melati: Unui, Ne-
neng dan Nuna, bukan?"
Kaswita mengangguk. Sri Ayuningrum yang se-
dang bertempur sempat melayangkan pandangannya
ke arah Jaka Sembung, sehingga setelah menyelesai-
kan pertempurannya segera menemui kakang tercin-
tanya itu.
Sementara itu, Ki Subeni yang sejak tadi mem-
perhatikan Jaka Sembung cepat berjumpalitan bebe-
rapa kali, kemudian mendarat tepat di depan Parmin
Jaka Sembung.
"Oh, Ki Subeni?" gumam Jaka Sembung se-
tengah heran, "Bukankah kau sudah meninggal?"
tanya Jaka Sembung dengan nada sopan.
"Memang ia sudah mati, tetapi aku Subekti
saudara kembarnya yang ingin menuntut balas atas
kematiannya."
"Apa kau sungguh-sungguh?" tanya Jaka Sem-
bung, "Waktu kita hanya tinggal sedikit."
"Kau sangka aku tidak punya nyali untuk me-
lawanmu, ha?"
"Baiklah, kalau itu yang kau kehendaki," jawab
Jaka Sembung sambil mengatur langkah. Tetapi, Ki
Subekti tiba-tiba diserang orang dari belakang. Pende-
kar itu secepat kilat berbalik, tetapi tanpa disangka
mendadak ia menyerang Jaka Sembung yang dalam
keadaan lengah.
Jaka Sembung yang bukan pendekar semba-
rangan rupanya sama sekali tidak terkicuh. "Plak!"
Dua tangan yang penuh dengan tenaga dalam,
bertemu seketika. Dari masing-masing tangan itu terli-
hat mengepul asap. Semua yang menyaksikan terhe-
ran-heran. Sri Ayuningrum menatap kedua tangan itu
dengan tak berkedip.
Ki Subekti menyentakkan tangannya sambil
melejit ke belakang dan kembali menyerang lawannya
dengan dahsyat. Parmin yang menunggu dari bawah,
tiba-tiba melihat peluang dan segera memberikan se-
buah kepretan tangan. Tetapi pendekar gemuk itu
dengan empuk bersalto di atas geladak.
"Hiyaaat!"
Dan serangan yang berbahaya itu disambut
oleh Jaka Sembung dengan sodokan keras di bagian
dada Ki Subekti. Jaka Sembung terheran-heran. Ia me-
lihat baju di bagian dadanya terbakar dan api menya-
la-nyala membuat dada pendekar itu panas dan perih.
Sri Ayuningrum yang melihat peristiwa itu segera ber-
teriak, "Tanggalkan bajumu Kang!"
Parmin segera melakukan anjuran adiknya, te-
tapi tidak berhasil. Begitu ia hendak menanggalkan ba-
junya, api itu segera menyambar tangannya dengan
cepat.
Parmin mencoba mundur beberapa langkah, te-
tapi api itu terus membakar bajunya di bagian dada.
Akhirnya ia kehilangan akal dan membiarkan api itu
menyala.
Sementara itu, pukulan sodokan Jaka Sem-
bung yang tepat mengenai ulu hati Ki Subekti juga ti-
dak ringan akibatnya. Pendekar itu terpaksa menahan
sakit yang luar biasa dan kemudian mengeluarkan da-
rah kental dari mulutnya.
Rupanya dalam adu ilmu ternyata Parmin Jaka
Sembung masih berada di bawah musuhnya. Ia me-
nyadari hal tersebut, karena itu, ia mulai berhati-hati
menghadapi Ki Subekti.
Pada waktu Parmin Jaka Sembung memu-
satkan konsentrasi untuk mengusir api itu, tiba-tiba Ki
Subekti melancarkan suatu gempuran mautnya. Teta-
pi, Jaka Sembung pun bukan anak kemarin. Ia segera
berkelit.
"Celaka, kita harus turun tangan!" kata pende-
kar lainnya sambil berpencar.
"Kita harus membalas penghinaan manusia ca-
bul itu," seru Kaswita geregetan. Tetapi dengan tidak
disangka-sangka Sri Ayuningrum yang didampingi oleh
Karta dan Umang lebih dahulu melakukan serangan
bersama.
Meskipun Ki Subekti tidak berada dalam kea-
daan siap tempur karena luka dalam, namun tidak ada
pilihan lain ia terpaksa melayani serangan bersama
yang dilancarkan oleh kawan-kawan Jaka Sembung.
Ki Subekti segera melejit ke atas sambil melem-
parkan dua goloknya yang berhasil dirampas dengan
mudah dari Unui yang juga turut menyerang. Untun-
glah pendekar Kaki Tunggal dengan tangkas mendo-
rong tubuh Sri Ayuningrum dan menangkap kedua go-
lok itu dengan tongkat penyangganya.
Pada saat yang sama, si Gila dari Muara Bon-
det, berhasil pula mencaplok golok yang ditujukan atas
Unui. Ketika Sri Ayuningrum melihat suatu kesempa-
tan baik, ia segera melompat ke atas dengan suatu tu-
sukan kilat. Namun Ki Subekti yang seakan-akan
bermata seribu segera berkelit menghindari tusukan
dahsyat yang dilancarkan Ayu Ningrum. Bahkan si
pendekar gendut itu masih sempat mencaplok golok
yang ada di tangan Mirah. Sri Ayuningrum yang kehi-
langan keseimbangan karena serangan dahsyatnya ti-
dak mengena, terpelanting ke luar pagar geladak. Un-
tung Mirah yang kebetulan ada di tempat itu cepat
menjambretnya sehingga Sri Ayuningrum tidak jadi
terlempar ke laut
"Pegang erat-erat tanganku," ujar Mirah sambil
menarik badan Sri Ayuningrum ke atas geladak.
"Terima kasih, Mirah!"
"Tentang apa?"
"Tentang bantuanmu barusan," jawab Sri Ayu-
ningrum tersenyum.
"Sudah, lupakan! Aku mau membantu Par-
min," kata Mirah sambil memperhatikan gerak-gerik Ki
Subekti.
Ketika Parmin Jaka Sembung sedang membe-
nah diri, tiba-tiba pendekar berhati jahat Ki Subekti
mendadak melakukan serangan terhadap Parmin.
"Awas Jaka Sembung!" teriak Mirah, Parmin
kaget dan dengan naluri silatnya yang sudah menda-
rah daging, pendekar itu cepat mengelak. Serentak
dengan itu Neneng berkelebat dengan cepat memotong
jalan serangan dengan pedangnya sambil berteriak,
"Modar sial!"
Serangan Neneng sekali itu bukan asal-asalan,
tetapi jitu. Ki Subekti jatuh terduduk dengan menga-
duh kesakitan. Lengan kanannya yang memegang go-
lok putus sama sekali. Darah muncrat dari lukanya
yang parah. Nuna yang kebetulan berada di dekat itu,
langsung menusukkan pedangnya ke punggung Ki Su-
bekti, Ow... Okh!
Perkelahian Ki Subekti dengan Jaka Sembung
rupanya menjadi tontonan anak buah Ki Subekti yang
berada di sebuah tongkang besar. Ketika Ki Subekti
mendapat serangan hebat dari Neneng yang mengaki-
batkan lengan kanannya putus, ditambah dengan tu-
sukan pedang Nuna pada punggungnya yang menye-
babkan pendekar itu tidak berkutik, terlihat jelas oleh
para pengikutnya.
"Hai, lihat! Agan kita dikeroyok ramai-ramai. Ki-
ta tidak boleh tinggal diam, tetapi kita harus naik ke
kapal besar itu untuk memberi sedikit pelajaran kepa-
da mereka," kata seorang pendekar yang agak tua di
antara mereka, membakar semangat.
"Benar! Benar! Mari kita menyerbu ke atas kap-
al!"
Kebetulan pada waktu itu badai di laut Arafuru
mulai reda. Ombaknya kelihatan lesu setelah hampir
setengah hari penuh mengamuk dan menghancurkan
apa sana yang mencoba membendungnya.
Anak buah Ki Subekti, dengan segala kesom-
bongan dan keangkuhan, satu persatu melompat ke
laut dan berenang dengan terampil menuju ke kapal
besar. Selama berenang, mereka berteriak-teriak dan
mengancam tak hentinya.
Hal ini menarik perhatian orang-orang di atas
kapal. Tidak kurang dari belasan orang berbaju hitam
menuju ke kapal.
"Kurasa mereka anak buah bajingan ini!" kata
Mirah menutup laporannya kepada Jaka Sembung
sambil menunjuk Ki Subekti dengan kakinya.
"Pendapat Mirah mungkin benar," kata Jaka
Sembung yang dikelilingi oleh seluruh rekannya, "Se-
karang kalian tunggu mereka di pagar geladak! Siapa-
pun yang mencoba naik ke atas kapal ini, segera kirim
kembali ke laut menurut cara kalian masing-masing."
Begitu instruksi selesai diucapkan Jaka Sem-
bung, semua pendekar tersebut langsung menuju ke
tempat tugasnya.
Tidak lama mereka menunggu, satu per satu
kepala anak buah Ki Subekti muncul di pagar geladak.
Hanya nongol sebentar kemudian terlempar kembali ke
laut setelah menerima berbagai hadiah dari atas kapal.
Sebagian besar di antara mereka berteriak kesakitan.
Ki Subekti yang dapat melihat perlakuan seper-
ti itu terhadap anak buahnya. Perlahan-lahan ia men-
gangkat kepala dan berkata,
"Sungguh kalian pengecut! Kalau kalian berani,
ini aku Ki Subekti saudara kembar Ki Subeni, bunuh-
lah!"
"Hati-hati kalian," kata Jaka Sembung, "setan
itu akan bertindak nekat."
Peringatan Jaka Sembung ternyata benar. Ki
Subekti dengan segenap tenaganya yang masih tersisa,
tiba-tiba melakukan serangan dahsyat didahului oleh
suatu pekikan melengking. Gerakan yang sangat ber-
bahaya itu mengagetkan semua pendekar yang berada
di tempat itu. Sementara Kembar Tiga Melati tampak
terjungkal jauh seperti tertiup angin kencang.
"Oh! Kak Unui, Kak Neneng dan Nuna! Tabah-
kanlah hati kalian!" ujar Sri Ayuningrum ketika meli-
hat ketiga kawannya terkena serangan hebat dari Ki
Subekti.
"Dik Sri Ayuningrum!" Unui mencoba membuka
matanya perlahan-lahan sambil berkata dengan lem-
but, "Janganlah kau hiraukan kami lagi Dik Sri! Kami
mendapat luka dalam yang parah, yang mungkin tak
tertolong. Kini yang lebih penting, bangkitlah segera
untuk membantu kakakmu Parmin Jaka Sembung
bersama dengan pendekar lain sahabat kita guna
menghancurkan pendekar iblis itu."
Sri Ayuningrum bangkit perlahan-lahan dengan
duka nestapa di hatinya. Ia meninggalkan tempat itu
dengan suatu kesedihan yang mendalam. Sementara
itu, Ki Subekti terus mengamuk laksana harimau yang
terluka. Ia menyerang siapa saja yang berada di dekat-
nya, terutama pendekar-pendekar pengikut Jaka Sem-
bung.
Tetapi, untung orang-orang yang diserangnya
itu bukanlah orang yang mudah dijatuhkan begitu saja
seperti Pendekar Kaki Tunggal dan si Gila dari Muara
Bondet serta pendekar Tangan Tunggal.
Ki Subekti dengan mata merah dan wajah ben-
gis serta rasa dendam yang membakar di hati, mena-
tap Jaka Sembung yang masih terduduk merasakan
sakitnya. Ia benar-benar sudah nekat dan segera me-
nyerang Jaka Sembung dengan jurus andalannya yang
biasanya tanpa ampun.
Jaka Sembung sebagai seorang pendekar ulung
tak ada pilihan lain kecuali melawan. Ia segera pula
menahan serangan Ki Subekti dengan pukulan maut
'Wahyu Taqwa' yang tepat mengena di ulu hatinya se-
hingga pendekar setan itu rubuh seketika.
Ia melihat tubuh pendekar Subekti gemetar se-
jenak dan akhirnya terkulai lemas. "Sungguh penden-
dam manusia ini!" gumam Jaka Sembung sendirian
sambil mencoba meninggalkan tempat. Tetapi, begitu
ia hendak beranjak, Ki Subekti masih sempat melaku-
kan serangan tiba-tiba sambil duduk. Baureksa yang
sempat melihat kelicikan itu segera menghunjamkan
tongkatnya yang berujung runcing ke lambung Ki Sub-
ekti sebelah kiri menembus ke sebelah kanan. Pende-
kar itu terpekik keras dan meraung kesakitan, lalu ro-
boh tak berkutik lagi.
Jaka Sembung terkejut, "Apa yang terjadi?" ta-
nyanya kepada Umang.
"Ia hendak membokongmu dari belakang."
"Dalam keadaannya yang begitu lemah?"
Umang si Pendekar Tangan Tunggal hanya
mengangguk.
"Memang benar! Sekuat apa pun suatu kejaha-
tan, akhirnya pasti tumbang juga," ujar Jaka Sembung
sambil meninggalkan tempat itu. Karta dan Umang
mengiringinya dari belakang. Mereka menuju ke ba-
gian lain, di mana anggota Kembar Tiga Melati sedang
terbujur. Unui, Neneng dan Nuna sama sekali tak
mampu bangkit akibat luka dalam yang terlalu parah.
Mirah dan Sri Ayuningrum terlihat di situ se-
dang merawat mereka.
"Bagaimana keadaan mereka?" tanya Jaka
Sembung dengan rasa duka.
"Parah, Kang!" jawab Sri Ayuningrum. Di wa-
jahnya terbayang kesedihan. Ketiga pendekar itu ber-
lutut di samping mereka dengan kepala tertunduk. Tak
ada seorang pun di antara mereka yang dapat me-
nyembunyikan rasa duka yang menyelinap di hatinya
masing-masing.
"Unui, Neneng dan Nuna, tabahkan hati kalian!
Pasrahkanlah kepada Tuhan karena setiap yang hidup
pada suatu saat pasti akan kembali kepada-Nya juga,"
ujar Jaka Sembung dengan penuh rasa haru. "Kalian
bertiga sudah banyak berbuat untuk membela kebena-
ran dan menentang penjajahan dan itu akan abadi se-
lamanya di hati rakyat dan terukir dalam sejarah per-
juangan bangsa." tambah Jaka Sembung sambil men-
cium dahi ketiga gadis itu.
Ketika itu, Unui, Neneng dan Nuna serentak
perlahan-lahan memandang Jaka Sembung.
Baureksa, Karta, Umang, Mirah dan Ayuning-
rum bergiliran, kemudian Unui berkata dengan suara
serak:
"Kami bertiga adalah saudara kembar, satu
nyawa dalam tiga jasad. Mati dan hidup kami pun ber-
sama-sama. Aku yang mewakili saudara-saudaraku
hanya mengharap, teruskanlah perjuangan ini sampai
pada suatu saat kelak tanah air dan bangsa kita bebas
dari penderitaan, kemiskinan dan ketakutan."
Sampai di situ Unui terdiam sejenak. Ia mena-
rik nafas dalam-dalam kemudian menyambung kata-
katanya, "Maafkan kami bertiga mendahului kalian,
meskipun keinginan kami masih terus menyala untuk
menyertai perjuangan ini...."
Sampai di situ, Unui menutup matanya perla-
han, disusul oleh Neneng dan Nuna seakan-akan me-
reka memang satu nyawa tiga jasad.
Semua yang hadir di tempat itu saling berpan-
dangan. Mirah dan Sri Ayuningrum yang sejak tadi
menahan kesedihan, kini menangis. "Kak! Sampai hati
kalian meninggalkan kami," ujar Ayuningrum sambil
memeluk tubuh Unui dan Neneng, sementara Mirah
merangkul Nuna ketat-ketat, seakan-akan tak hendak
dilepaskan.
Ketika semua pendekar pengikut Jaka Sem-
bung berkumpul melepaskan kepergian Kembar Tiga
Melati, belasan pengikut Ki Subekti dengan diam-diam
naik ke kapal melalui bagian haluan kapal yang sudah
merunduk ke dasar laut.
Ki Subekti pendekar setan yang seakan-akan
memiliki nyawa cadangan segera mengatur orang-
orangnya untuk menyerang Jaka Sembung dan ka-
wan-kawannya. Ia masih dapat bergerak, sekalipun lu-
kanya begitu parah.
Jaka Sembung yang sama sekali tidak me-
nyangka persengketaan dengan Ki Subekti masih ada
buntutnya, segera berunding dengan kawan-
kawannya, terutama mengenai jenazah Kembar Tiga
Melati. Sebagian mereka menghendaki jenazah-jenazah
itu dikuburkan di darat, tetapi timbul masalah bagai-
mana caranya membawa karena kapal mereka tidak
lama lagi akan tenggelam. Lagi pula mereka berada di
tengah-tengah lautan yang sama sekali tidak terlihat
pantai.
Sementara sebagian lainnya menghendaki pen-
guburan di laut saja karena menahan mayat terlalu
lama bertentangan dengan ajaran Islam. Akhirnya tak
ada pilihan lain, jenazah Kembar Tiga Melati harus se-
gera dikuburkan di laut. Rupanya nasib mereka me-
mang harus berkubur di lautan.
Dengan apa yang mereka miliki, jenazah Kem-
bar Tiga Melati dikuburkan di laut secara sederhana,
diiringi doa dan air mata perjuangan.
"Sekarang masalah sudah selesai," kata Jaka
Sembung mengalih ke acara lain. "Yang harus kita pi-
kirkan bagaimana caranya kita meninggalkan kapal ini
secepat mungkin sebelum tenggelam."
"Benar!" Baureksa menyokong.
"Dengan apa?" tanya Mirah singkat.
Semua berpandang-pandangan. Kemudian se-
mua diam, termasuk Umang. Jaka Sembung sendiri
kaget dan menyesali gagasannya yang tidak memikir-
kan jalan keluar.
"Kau benar, Mirah!" ujar Jaka Sembung terse-
nyum, "Ku cabut gagasan ku itu."
"Jadi?" tanya beberapa pendekar lain serentak.
Belum lagi sempat memikirkan jawaban pende-
kar-pendekar itu, Jaka Sembung dan kawan-
kawannya mendadak kaget. Tidak jauh dari kelompok
mereka, terlihat Ki Subekti sedang menuju ke arah
mereka.
"Aku datang untuk menagih piutang saudara
kembar ku yang ada padamu, Jaka Sembung," kata Ki
Subekti dengan penuh dendam.
"Kau terlalu membesar-besarkan masalah yang
seharusnya sudah dilupakan, Ki! Aku tidak keberatan
kau menuntut balas atas kematiannya, tetapi yang aku
tidak senang kau selalu berusaha menegakkan yang
bathil dan menyebarkan maut pada bangsa mu sendi-
ri." Jaka Sembung tegak dengan mantap di tempatnya
seperti siap menerima akibat dari kata-kata yang di-
ucapkannya itu.
Sejenak Ki Subekti tertegun seakan-akan ha-
tinya tergugah untuk mengurungkan niatnya, tetapi
mendadak ia menjadi beringasan dan langsung menye-
rang Jaka Sembung dengan suatu jurus aneh sehingga
sempat Jaka Sembung dibuat gelagapan sejenak. Teta-
pi, akhirnya ia berhasil menangkis semua serangan
tersebut.
Pengikut Jaka Sembung yang selalu mengang-
gap Ki Subekti sebagai pendekar setan yang sangat
berbahaya, segera menyerang Ki Subekti serempak.
Mereka ingin cepat-cepat menyelesaikan pertempuran
yang bakal berkepanjangan itu. Tetapi maksud pende-
kar-pendekar tersebut tidak menjadi kenyataan karena
tiba-tiba semua penyerang itu terpelanting. Mereka
merasa seperti terdorong oleh sesuatu kekuatan yang
tidak terlihat. Sementara itu dari beberapa jurusan ke-
luar belasan pengikut Ki Subekti. Mereka pun menco-
ba menyerang Jaka Sembung dan para pendekar pen-
gikutnya. Perkelahian sengit pun segera berkecamuk.
Ki Subekti yang sudah tua ditambah dengan
tangannya yang sudah buntung serta luka-luka di ba-
dannya, terus-menerus mencerca Jaka Sembung.
Dendam di hatinya semakin berkobar ketika tiap se-
rangannya tidak berhasil merubuhkan pendekar ulung
itu.
"Ki Subekti!" seru Jaka Sembung sambil mene-
kan goloknya tepat di leher pendekar tua itu, "Seha-
rusnya kau mencoba menyadari, Ki! Kau dan aku be-
lum saling mengenal, bagaimana bisa mendadak kita
saling ingin membunuh? Aku benar-benar tidak tega
membunuh orang seperti kau?"
Pendekar itu seperti tercenung. Seluruh sendi
badannya terasa lemas. la hampir-hampir tak mampu
mengangkat tangan dan kakinya lagi. Melihat peruba-
han yang tiba-tiba terjadi pada diri pendekar tua itu,
Jaka Sembung berangsur-angsur mengangkat golok-
nya dari leher Ki Subekti, yang jika ia mau setidak-
tidaknya dapat melukai tubuh yang sudah tidak ber-
daya itu.
Jaka Sembung dengan cepat melejit me-
ninggalkan Ki Subekti yang semakin menunduk.
"Semoga pendekar tua itu mendapat petunjuk
dari Tuhan!" doa Jaka Sembung dengan hatinya yang
ikhlas.
Pada waktu yang sama, Kaswita, Baureksa dan
Umang sedang dikerubuti anak buah Ki Subekti, se-
mentara Mirah dan Sri Ayuningrum bertarung ketat
menghadapi pendekar-pendekar yang tidak dapat di-
anggap enteng.
"Hei! Mengapa kau mati-matian membela pen-
dekar setan itu?" kata Mirah sambil meloncat lincah
mengelak serangan lawannya.
"Mengapa kau mencaci juragan kami yang sa-
leh, ha?" tanya lawannya heran.
"Baik hati katamu? Kau tidak tahu apa yang
pernah terjadi di kapal ini. Ia pernah mencoba mem-
perkosa dua orang temanku baru-baru ini, itu na-
manya orang saleh?" Mirah terus mencoba menteror
mental musuhnya sambil bertempur.
"Bohong, Kau!" teriak lawannya tersinggung.
"Kau tidak percaya, tanyakan saja kepada ma-
jikanmu itu."
Bertempur sambil bicara, berlangsung terus
berjam-jam lamanya. Tetapi, ketika lawannya lengah,
dengan mendadak Mirah mengirimkan suatu pukulan
dahsyat sehingga lawannya sama sekali tidak berhasil
mengelak. Begitulah siasat tempur yang dilakukan Mi-
rah.
"Benar juga ajaran Umang!" gumam Mirah
sambil tersenyum sendiri. "Beberapa orang musuh su-
dah berhasil kulenyapkan dengan cara yang demi-
kian."
Lain lagi dengan cara yang digunakan oleh Sri
Ayuningrum. Ia menghadapi lawannya dengan santai
sambil juga mengajak bicara.
"Hei, kelihatannya kau boleh juga," kata Sri
Ayuningrum ketika pukulannya berhasil dielak musuh.
"Kau kira aku apa?" tanya lawannya mulai
kembang hidungnya.
"Kukira kau semula cuma badut yang ingin ber-
latih silat, rupanya kau sama cekatannya dengan Ki
Subekti."
"Hei, kau ini ingin berantem denganku apa in-
gin ngobrol, Nona cerewet?" bentak lawannya berpura-
pura, padahal ia senang dipuji.
"Kedua-duanya," jawab Sri Ayuningrum, "Tetapi
lebih baik kita berkencan saja daripada berantem, ba-
gaimana?"
"Hei, kau sungguh-sungguh Nona?" tanya la-
wannya mulai mengendurkan serangannya.
"Mengapa tidak?" jawab Sri Ayuningrum pura-
pura tersenyum.
Akhirnya semangat untuk berkelahi lawan per-
lahan-lahan lenyap. Pada waktu semangat itu men-
gendur, Sri Ayuningrum melepaskan suatu serangan
yang mematikan.
Musuh itu pun terkapar tanpa ampun.
Tipu muslihat seperti itu dilakukan berturut-
turut oleh Sri Ayuningrum yang memang cantik se-
hingga beberapa lawan menjadi korban tanpa perlawa-
nan sama sekali.
"Kalian banyak bisanya," kata Umang yang se-
jak tadi mengintip dari jauh.
"Kakang gurunya, bukan?" kata Mirah dan Sri
Ayuningrum serentak sambil-tertawa terbahak-bahak.
Ketika ketiga pendekar pengikut Jaka Sembung
itu sedang tertawa sejadi-jadinya itu, tiba-tiba tanpa
disadari muncullah seorang laki-laki besar, tinggi dan
tegap dengan kumis lebat melintang di atas bibirnya.
Ia memakai celana pangsi berwarna hitam dengan da-
da telanjang penuh bulu.
"Kau siapa?" tanyanya kepada Umang setengah
membentak.
"Aku seperti yang kau lihat!"
"Namamu siapa, kunyuk!" Orang itu marah se-
raya menghentakkan kakinya.
"Namaku si Lengan Tunggal! Apa kau tak li-
hat?"
Pendekar yang mirip-mirip raksasa itu terse-
nyum.
"Sekarang, pengikut Ki Subekti hanya aku yang
tersisa, yang lain telah kalian bunuh dengan mudah.
Kini giliranku membunuh kalian, semua mengerti?"
kata pendekar raksasa itu penuh dendam.
Umang menoleh ke arah Mirah dan Sri Ayunin-
grum dengan tersenyum.
"Mirah! Dia pikir kita sayuran yang memang
untuk dilalap," kata Umang dengan senyum mengejek.
"Hai! Kau mengejek aku Buntung!?"
"Kalau ya mengapa?"
"Celaka!" desis Mirah ke telinga Sri Ayu-
ningrum, "Kembali kita punya tugas khusus lagi untuk
membereskannya."
"Kurang ajar!" bentak pendekar raksasa itu,
sambil menyerang dengan tangan kosong. Umang se-
gera berkelit dan secepat itu pula ia mengirimkan se-
buah tendangan kuat dengan kaki kanannya ke arah
dada dan mengenai dengan telak
"Buuk".
Tetapi, jangankan ia jatuh terjengkang ke bela-
kang, goyah pun tidak. Malahan pendekar itu terse-
nyum mengejek.
"Begitu kuatkah pukulanmu, Kawan?" tanya si
raksasa itu.
Umang tidak menjawab. Hanya hatinya saja
yang berkata-kata, "Alangkah kuatnya orang ini!"
"Kukira pukulanmu tadi bisa merontokkan tu-
lang-belulangku, tetapi rupanya kekuatanmu hanya
cukup untuk menepuk nyamuk!" lanjut pendekar itu
dengan nada menghina.
"Hai, Kunyuk! Kau manusia sombong, yang
bernyali kecil," bentak Mirah memancing kemarahan
pendekar itu, "Kalau kau berani melawan aku, aku
akan sujud di telapak kakimu hai pendekar dungu!"
Mendengar caci maki dan serapah Mirah, pen-
dekar raksasa itu sangat tersinggung sehingga tanpa
banyak perhitungan ia melompat ke atas kemudian
berjumpalitan dan mendarat di depan Mirah. Tetapi,
sebelum kakinya menginjak tanah, Mirah segera
menggenjot badannya ke atas sambil menusukkan dua
jari tangannya ke mata pendekar raksasa itu. Ketika
itu juga terdengar suatu pekik kesakitan se-sehingga
badannya terjatuh duduk di lantai kapal. Kedua belah
tangannya menutup muka seraya meraung-raung.
"Nah, sekarang aku telah membuat matamu
buta," kata Mirah yang berdiri di depannya, "Apakah
aku harus sekaligus membunuhmu sebagai seekor
nyamuk, ha!?"
Pendekar bertubuh raksasa itu masih me-
raung.
"Jawab! Sebelum aku penasaran," gertak Mirah
berpura-pura sambil melihat ke arah Umang dan Sri
Ayuningrum. Umang menggeleng-geleng kepala.
"Lindungi aku Nona! Aku bukan orang yang
penting lagi di mata kalian," jawab pendekar itu den-
gan nada sedih.
"Biarkan dia hidup, Mira!" bisik Sri Ayuningrum
dengan rasa kasihan, "Ia tidak akan dapat mendatang-
kan kesulitan bagi kita lagi."
Ketika itu datang Kaswita dengan beliung di
tangan dan hampir-hampir saja membolongi bagian
punggung pendekar malang itu dengan beliungnya
yang sudah banyak memakan korban. Tetapi Sri Ayu-
ningrum kembali menyelamatkannya untuk kedua ka
linya.
Belum lama peristiwa itu terjadi, tiba-tiba me-
reka dikagetkan oleh bunyi berderak-derak disertai
goncangan-goncangan keras sehingga hampir saja me-
reka terpelanting.
"Mungkin kapal ini mulai tenggelam," Sri Ayu-
ningrum menduga-duga. Dugaan itu segera terbukti.
Lantai kapal tempat mereka berpijak semakin turun
sedangkan air semakin terasa naik.
"Kaswita! Kau tahu aku tidak dapat berenang."
kata Ayu Ningrum.
"Jangan khawatir, Kak! Aku tidak akan mem-
biarkan mu sendiri!"
Sementara itu, terdengar pula bunyi berderak-
derak yang lebih kuat. Ketika itu kapal semakin teng-
gelam. Suatu ledakan terdengar dan kapal besar itu
pun pecah berantakan. Belahan-belahan papan tera-
pung berserakan di permukaan air.
Kaswita dengan kepandaian berenangnya beru-
saha menyelamatkan kakaknya Sri Ayuningrum dari
serangan ombak. Belum begitu jauh mereka terbawa
arus, tiba-tiba dekat mereka hanyut sekeping bekas
dinding kapal yang cukup besar. Kaswita mengga-
painya dengan cepat, kemudian dengan susah payah
mengangkat Sri Ayuningrum ke atas.
"Alhamdulillah!" ucap gadis itu dengan rasa pe-
nuh syukur.
Ketika itu, matahari perlahan-lahan tenggelam
di kaki langit sebelah Barat, namun cahaya samar-
samar masih juga mewarnai permukaan laut. Sepan-
jang malam itu Kaswita dan Sri Ayuningrum terom-
bang-ambing dibawa ombak. Mereka tidak henti-
hentinya memperhatikan benda-benda yang hanyut di
sekitar mereka harapan kalau-kalau ada teman-teman
yang memerlukan pertolongan. Tetapi, sebegitu jauh,
mereka tidak menemukan apa-apa kecuali serpih-
serpih papan yang tidak berarti. Sementara itu rasa la-
par dan haus semakin menggoda. Sekali-sekali, Sri
Ayuningrum teringat kepada Baureksa dan Umang,
kepada Unui, Neneng dan Nuna. Ia pun sangat terke-
san kepada kebaikan dan keramahan Mirah.
Sekarang semua berantakan. Berpisah satu
sama lain entah ke mana dan mungkin tidak akan ber-
temu lagi. Sri juga teringat kepada kakaknya Jaka
Sembung yang baru bertemu kemudian berpisah lagi.
Mengenang semua itu tanpa disadarinya hatinya terse-
ret kesedihan dan air matanya berlinang menyatu den-
gan air laut yang sama asinnya.
Suasana laut malam itu seperti kolam, tenang
dan ramah. Sementara langit tampak biru bening. Di
sana-sini terlihat bintang bertaburan berkelip-kelip di
kejauhan. Bulan semakin lama semakin benderang
dan angin laut berembus tenang seramah ombak dan
gelombang, seakan-akan menaruh kasihan kepada dua
orang manusia yang sedang terkatung-katung itu.
Akhirnya, karena keletihan dan kesedihan Sri
Ayuningrum dan adiknya Kaswita tertidur pulas di
atas kepingan kapal itu tak tahu lagi apa yang terjadi.
* * *
Suasana pagi itu sangat cerah. Angin laut ber-
hembus tenang. Matahari menyinari pantai berpasir
putih itu, dan dari jauh tampak berbinar-binar.
Burung camar kelihatan terbang mengepak-
ngepak sayap. Sebentar-sebentar menukik rendah ke
permukaan air dan menyambar secepat kilat sambil
membubung kembali dengan ikan tangkapan di ka-
kinya.
Dua sosok tubuh yang tergeletak di pantai itu
tampak masih terbaring. Kedua tubuh yang letih dan
tidak berdaya itu, tidak lain dari Sri Ayuningrum dan
Kaswita.
Cahaya matahari pagi yang lembut memberikan
kehangatan kepada kedua pendekar muda itu. Tiba-
tiba terlihat Sri Ayuningrum menggeliat dan kemudian
membuka kedua matanya perlahan-lahan. Tetapi, se-
cepat itu pula ia terpejam kembali karena silau.
Ketika badannya membalik ke kanan, ia meli-
hat Kaswita tertelungkup di pasir. "Mengapa ia tidur di
pasir?" tanyanya dalam hati. Tetapi kemudian segera ia
merasa dirinya pun sama.
Sri Ayuningrum perlahan-lahan bangun. Ia du-
duk di pantai dan menjilat ujung kakinya.
Perlahan-lahan ia bangkit dan berjalan bebera-
pa langkah ke tempat Kaswita yang masih terbaring.
"Kaswita! Kaswita! Bangun!" serunya sambil
menggoyang-goyang bahu adiknya. Kaswita kaget dan
serentak duduk.
"Di mana kita berada sekarang, Kak?"
"Tuh!" Sri Ayuningrum menunjuk ke laut.
"Wah, rupanya kita terdampar di sini dibawa
gelombang."
"Ya, hanya karena lindungan-Nya kita bisa se-
lamat," ujar Sri dengan mata berkaca-kaca. Kaswita
menunduk kepala membenarkan ucapan kakaknya.
"Yang lain di mana, Kak?"
"Aku tak tahu!"
"Bagaimana kalau kita mencoba menyusuri
pantai ini?" usul Kaswita dengan harapan dapat me-
nemui kawan-kawannya yang lain senasib. Sri Ayunin-
grum mengerti maksud adiknya.
"Aku setuju!"
Kaswita segera membenahi dirinya dan me-
mungut senjata beliungnya yang tak pernah tinggal.
"Mudah-mudahan, Kak, kita bertemu dengan
kawan-kawan yang lain."
"Harapanku pun begitu, terutama dengan Kang
Parmin."
Sambil berbicara mereka terus menyusuri pan-
tai putih yang berkilau-kilau terkena sinar matahari.
Baru kira-kira 100 meter mereka meninggalkan tempat
mereka terdampar, tiba-tiba mereka melihat kepingan
dinding kapal yang pernah mereka gunakan untuk
menyelamatkan diri.
"Benar, Kak! Memang itu papan yang telah
membantu kita sampai selamat," lapor Kaswita kepada
kakaknya setelah papan itu diseret ke darat.
"Kalau begitu, bukan tidak mungkin kawan-
kawan yang lain pun terdampar di sekitar pantai ini,"
kata Sri Ayuningrum mereka-reka.
"Mengapa begitu, Kak?"
"Pasti ada angin kencang yang berhembus dari
satu arah sehingga sampah-sampah laut datang ke si-
ni," kata Sri sambil menunjuk dengan ujung kakinya
pada seonggok sampah kapal yang mendarat pula.
"Termasuk kita?" kata Kaswita.
"Ya!"
Kemudian mereka meneruskan perjalanan itu
di sepanjang pantai.
TAMAT
Pembaca yang setia,
Bagaimana nasib Jaka Sembung? Bagaimana
nasib Unang dan Mirah? Bagaimana nasib si Gila Dari
Muara Bondet?
Bagaimana pula nasib Baureksa? Tunggulah
episode-episode berikutnya, mulai dari episode berju-
dul:
Terdampar Di Pulau Hitam
0 comments:
Posting Komentar