TITISAN SILUMAN
HARIMAU
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Titisan Siluman Harimau
SATU
Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika me-
reka beristirahat di tepi hutan. Tapi panasnya bukan
main. Sejak tadi Tiren terus berjingkrakan sambil men-
jerit beberapa kali. Kemudian hewan kecil berbulu hi-
tam kecoklatan itu melompat dari satu cabang pohon
ke cabang pohon yang lain ketika dilihatnya Bayu me-
nangkap seekor kelinci untuk makan siangnya.
"Kaaaakh...!"
"Hei...!"
Bayu terkejut mendengar suara itu, Dan mengge-
lengkan kepala ketika dilihatnya Tiren kembali sambil
menenteng daun pisang kering yang dibuat seperti ke-
ranjang. Di dalamnya penuh berisi buah-buahan se-
gar. Wajah hewan kecil itu tampak meringis sambil
menahan berat bawaannya…
"Makanya, kalau untuk urusan perut jangan sera-
kah...."
"Nguk! Nguuuk…!"
"Daging kelinci ini kan cukup untuk kita berdua."
"Kaaakh...!"
Tiren jungkir balik di tanah setelah meletakkan
bawaannya. Kemudian menuding-nuding Bayu dan
daging kelinci yang sedang dipanggang bergantian.
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk!"
"Maaf Tiren, aku cuma bercanda. Kau tentu tak
suka daging kelinci ini bukan?"
Tiren menganggukkan kepala, kemudian mulai
menggerogoti buah-buahan yang tadi dibawanya. Di-
lemparnya beberapa buah ke arah Bayu.
"Hup!"
"Aaaah, segar betul rasanya...."
Bayu menepuk-nepuk perutnya. Daging kelinci tadi
telah tandas semua. Dan setelah habis buah-buahan
mereka berdua, Bayu merebahkan tubuh di bawah se-
buah batang pohon besar. Tiren sendiri tampak masih
bergelantungan di cabang-cabang pohon sambil ber-
main-main.
Angin bertiup semilir membuat suasana siang yang
terik itu menambah rasa kantuk Bayu.
"Keaaakh...!"
"Heh?!"
Bayu tersentak kaget. Tiren berdiri di depannya
sambil berjingkrak-jingkrak dengan. suara ribut. Tan-
gannya menunjuk pada satu arah.
"Ada apa Tiren?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menarik-narik lengan Bayu seperti hendak
menunjukkan sesuatu. Dengan malas Bayu bangkit
dan mengikuti langkah Tiren.
"Nguk!"
"Sebentar, mataku masih mengantuk. Ada apa bu-
ru-buru? Seperti dikejar harimau saja kau ini."
Tapi Tiren seperti tak perduli. Monyet kecil itu te-
rus menarik-narik tangan Bayu sambil terus melompat
ke cabang pohon. Bayu cepat mengerti. Dia segera
menggenjot tubuh, dan sebentar saja telah melesat da-
ri satu cabang pohon ke cabang pohon lain seperti ber-
lomba dengan monyet kecil itu.
Tiba di satu dataran yang agak luas, Bayu ter-
kejut. Belasan ekor burung nazar berkeliling di angka-
sa. Di bawahnya terlihat pemandangan yang menge-
naskan dari puluhan orang yang tergeletak tanpa nya-
wa.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada mereka?!"
"Nguk!"
Bayu langsung mendekat sambil memeriksa mayat
mayat yang bergelimpangan itu satu persatu. Tubuh
mereka terkoyak-koyak seperti dicabik binatang buas.
Dari pakaian serta beberapa gerobak yang terdapat di
situ dia menduga mereka adalah para pengantar ba-
rang.
"Hus... hus!"
Diusirnya beberapa ekor burung pemakan bangkai
yang akan mematuk-matuk mayat-mayat itu sambil te-
rus memeriksa kalau saja ada di antara mereka yang
masih hidup.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Ada apa Tiren?"
Bayu mendekat pada sebuah gerobak yang di-
temukan Tiren. Di antara tumpukan barang terlihat
seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun merin-
tih lemah. Buru-buru Bayu menggendong bocah itu
dan dibawanya ke luar. Ternyata bocah itu perempuan.
"Tiren, coba kau carikan air untuknya. Agak-nya
bocah ini masih bisa diselamatkan."
"Nguuuk...!"
Tiren monyet kecil cerdik itu cepat menjalan-kan
perintah.
*
* *
Bayu mengurut-urut beberapa bagian tubuh bocah
perempuan itu beberapa saat kemudian. Ketika bocah
itu mulai menggeliat lemah, buru-buru dituangkan be-
berapa teguk air.
"Gluk! Aaaaah...!"
"Ayo bocah, minum air ini yang banyak agar tu-
buhmu terasa lebih segar."
Bocah perempuan itu membuka kelopak matanya.
Yang pertama dilihatnya seorang pemuda berambut
gondrong berwajah tampan dan keras.
"Siapa...?"
"Jangan takut, Bocah. Namaku Bayu, dan ini ka-
wanku, Tiren," jelas Bayu sambil tersenyum ramah.
"Nguk! Nguuk!"
Monyet kecil itu melompat-lompat di tanah sambil
menyeringai lebar menunjukkan tanda persahabatan-
nya.
"Mana Paman-paman yang lain?"
"Paman? Siapa yang kau maksud dengan Paman-
pamanmu? Apakah mereka yang tewas itu?"
"Apa? Mereka telah tewas?!"
Bocah perempuan itu segera bangkit dan memper-
hatikan ke sekitarnya.
"Paman! Paman!" panggilnya sambil berlari kecil ke
arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Ooh, kenapa jadi begini? Bangun, Paman...! Ban-
gun...!"
"Sudahlah adik manis, mereka tak mungkin bang-
kit lagi," bujuk Bayu menarik lengan bocah perempuan
itu yang berusaha berontak.
"Tidak! Tidaaak! Mereka harus bangun, Paman!
Mereka harus bangun dan mengantarkan ku pulang!"
"Pulang? Memangnya rumahmu di mana? Biar Pa-
man yang akan mengantarkanmu pulang."
Bocah perempuan itu menatap wajah Bayu bebe-
rapa saat kemudian. Wajah itu menunjukkan ketaba-
han luar biasa. Bola matanya jernih berbinar-binar.
Dan rasanya bocah ini adalah bocah periang sebelum
kejadian ini. Kasihan, seharusnya dia kini sedang ber-
suka ria sambil tertawa-tawa. Walau tak merasa takut
terhadap Bayu, namun ada rasa curiga di hatinya ter-
hadap orang asing di hadapannya itu.
"Paman melarangku untuk percaya pada orang
yang tidak dikenal. Banyak orang yang bermaksud
baik tapi sebenarnya berhati jahat...."
"Kalau demikian biarlah aku yang bermaksud jahat
tapi berhati baik? Kau tentu percaya bukan?"
Bocah perempuan itu berdiam sesaat, kemudian
tersenyum manis.
"Orang yang bermaksud jahat biasanya sering me-
lakukan niat jahatnya itu. Mungkin Paman juga akan
begitu nantinya...." sahut bocah yang kelihatan cerdik
itu.
Bayu menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil.
"Kau cerdik sekali adik manis, tapi ingat, setiap
orang yang akan bermaksud jahat pada kita pasti ada
sesuatu yang diinginkannya. Entah berupa harta ben-
da atau tebusan kepada orang tuanya. Tapi kalau Pa-
man ingin berbuat jahat padamu, apa yang Paman in-
car? Paman tidak tahu orang tuamu kaya atau miskin,
Paman juga tidak melihat ada benda berharga yang
kau bawa. Nah, mana mungkin Paman akan berniat
jahat padamu?"
Bocah kecil itu sejak pembicaraan mereka tak hen-
ti-hentinya menatap Bayu. Seolah ingin me-yakinkan
pada hatinya sendiri akan kebaikan hati Bayu. Kemu-
dian kembali ia tersenyum gemas.
"Sungguhkah Paman akan mengantarkan ku pu-
lang?"
"Tentu saja."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang ini?"
"Nanti akan kita bawa bersama. Eh, ngomong-
ngomong kau belum memperkenalkan nama adik kecil.
Siapa namamu?"
"Namaku Juminten, Paman."
"Juminten?"
Bayu berpikir sejenak. Melihat penampilan dan ca-
ranya berbicara bocah perempuan ini bukan berasal
dari kaum petani. Paling tidak dia anak seorang har
tawan. Tapi kok namanya Juminten? Seperti nama
anak petani?
"Baiklah, Juminten. Mari kita berangkat sekarang."
Bayu bersiap-siap menuju gerobak yang di-
anggapnya masih baik dan memindahkan isi gerobak
lain ke situ. Tapi Juminten masih ragu dan mematung
di tempatnya tadi. Terpaksa Bayu menghampirinya
kembali.
"Ada apa lagi? Kau tidak mau pulang?"
"Bukan. Tapi bagaimana dengan nasib Paman-
paman ini?" tunjuknya pada mayat-mayat yang berge-
limpangan itu.
"Nanti juga ada yang mengurusinya."
"Siapa? Apakah burung-burung pemakan bangkai
itu? Aku tak akan pergi sebelum kita menguburkan
mayat-mayat ini!" sentak Juminten.
Bayu menghela nafas. Buatnya tak jadi ma-salah,
apakah mayat-mayat itu harus dikubur atau tidak.
Yang jadi masalah hanya bila dia mengubur mayat-
mayat itu tentu tenaganya banyak terkuras, dan hal
itu akan sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak?
Mayat-mayat itu saja jumlahnya tak kurang dari tiga
belas orang.
"Mereka satukan saja dalam satu lubang besar ya?"
"Tidak, Paman! Aku tak tega mereka berhimpit-
himpitan!"
"Orang yang sudah mati tak akan merasakan apa-
apa, adik kecil."
"Pokoknya tidak mau! Mereka harus dikubur sen-
diri-sendiri!" bantah Juminten.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al. Tiren sendiri sudah sejak tadi menjerit kecil berkali-
kali sambil melompat kesatu cabang pohon dan meng-
garuk-garuk kepalanya, bahkan Tiren seperti tahu
akan kekesalan hati Bayu. Dia berulang kali mendekat
dan menarik-narik lengan baju Pendekar Pulau Neraka
seperti hendak mengajaknya untuk cepat-cepat pergi
saja dari situ. Bayu bukannya tak mengerti, tapi dia
betul-betul tak tega meninggalkan Juminten seorang
diri di tempat ini.
"Ayolah, Paman. Kita kuburkan mereka satu per
satu. Aku kuat menggali lubang buat mereka!"
"Kau kuat? Nah, buatlah lubangnya dulu baru
nanti Paman yang angkat mereka." sahut Bayu seke-
nanya.
Juminten cemberut dengan wajah kesal.
"Aku kuat kalau untuk mengeluarkan tanahnya
sedikit-sedikit, tapi yang membuat lubang yah harus
Paman!"
"Memangnya mereka itu apamu?"
"Paman-paman ku! Bukankah tadi sudah ku-
ceritakan pada Paman?"
"Heh?!"
Bayu tiba-tiba saja tersentak ketika ingat se-suatu.
"Juminten, kau belum menceritakan padaku, keja-
dian apa yang menimpa mereka? Apakah kalian dibeg-
al oleh sekawanan Perampok atau diserang harimau
buas?"
Mendengar pertanyaan itu, Juminten terdiam bebe-
rapa saat lamanya. Rasa ketakutan mulai membayang
diwajahnya, dan bocah perempuan itu seperti tergagap
ketika mulutnya bergetar hebat.
"Tenang Juminten, kau aman bersamaku. Cerita-
kanlah, apa yang telah menimpa kalian?" bujuk Bayu
meyakinkan bocah kecil itu.
"Paman, aku takut sekali...."
Juminten tiba-tiba memeluk tubuh kekar itu sam-
bil berusaha meleburkan ketakutan hatinya di pelukan
Bayu. Bayu sendiri mengelus-elus rambut Juminten
sambil terus berusaha menenangkan hatinya.
"Kau tak perlu takut. Paman akan menjagamu
sampai kau tiba di rumah orang tuamu. Nah, se-
karang ceritakanlah. Apa sebenarnya yang terjadi den-
gan rombongan kalian?"
Perlahan-lahan Juminten melepaskan pelukannya
sambil menghapus airmata yang tadi merembang di
kedua kelopak matanya.
"Kami... kami dihadang oleh...."
"Ha ha ha ha...!"
Terdengar tawa yang menggelegar menghen-tikan
kata-kata Juminten. Keduanya tersentak kaget. Tiren
sampai mencelat ke pundak Bayu. Tak jauh dari mere-
ka berdiri tiga sosok tubuh kekar. Wajah mereka ga-
rang dan tak bersahabat. Dua orang memegang sebilah
golok besar, dan seorang lagi terlihat sebuah keris ter-
selip di pinggang kiri.
"Siapa kalian, Ki sanak. Dan ada keperluan apa da-
tang dengan tiba-tiba?" tanya Bayu dengan nada datar.
Walau batinnya mengatakan mereka bermaksud bu-
ruk, tapi Bayu mencoba bersikap bersahabat.
"Namaku Reksopati, dan kedua orang ini ada-lah
anak buahku, Drupala dan Drupali. Kami bertiga ter-
kenal dengan gelar Jagal Maut Alas Roban. Siapa pun
yang memasuki kawasan hutan ini harus membayar
upeti kalau ingin nyawanya selamat!" jelas orang yang
berada di tengah.
Sikap orang itu sombong sekali kelihatannya. Apa-
lagi ketika dia berkacak pinggang. Sepasang matanya
melotot garang dengan kumis tipis yang turun naik
seirama dengan nada suaranya. Orang inilah yang
memiliki senjata keris di pinggangnya.
"Hem, kalian rupanya yang punya gelar hebat itu?"
sindir Bayu sambil tersenyum kecil.
"Apa yang kalian mau dari kami?"
"Serahkan isi gerobak-gerobak itu!"
Bayu melirik ke arah Juminten, kemudian katanya
sambil berbisik.
"Apakah isi gerobak-gerobak itu barang-barang
berharga, Juminten?"
"Kalau pun bukan barang-barang berharga, tapi
barang-barang itu harus sampai pada pemiliknya yang
sah. Kalau tidak usaha paman ku nanti tak akan di-
percaya orang lagi." sahut Juminten tegas.
"Kau benar, Juminten. Lagipula orang-orang itu
sombong sekali. Baiknya kita hajar saja ya...?"
Juminten memandang pemuda, itu yang tersenyum
kecil padanya. Dasar bocah nakal, dia malah men-
gangguk setuju sambil berseru girang.
"Iya, Paman. Hajar saja orang itu! Aku pun sebal
melihat tingkahnya yang sombong."
"Nah, Ki sanak. Kalian dengar bukan? Kami kebe-
ratan memberikan barang-barang ini begitu saja, ke-
cuali kau bisa melangkahi mayatku," teriak Bayu pada
ketiganya.
Mendengar itu tampak wajah ketiganya se-makin
garang. Orang yang bersenjatakan keris itu mengaku
bernama Reksopati langsung memberi isyarat pada
temannya untuk menghabisi kedua orang yang mereka
anggap menghalangi niatnya.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu berkelit sambil mendorong tubuh Juminten
menjauh. Bocah perempuan itu agaknya tak takut me-
lihat pertarungan. Dengan tenang dia duduk tak jauh
dari pertarungan ditemani oleh Tiren.
"Ayo Paman, hajar mereka! Hajar mereka biar tahu
rasa!" teriaknya sambil bertepuk tangan.
"Kaaakh...!"
Melihat tingkah bocah itu Tiren berteriak nyaring
sambil ikut-ikutan bertepuk tangan. Monyet kecil itu
kemudian jungkir balik berkali-kali.
"Monyet kecil, kau yakin Paman Bayu akan berha-
sil menghajar mereka?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menyeringai lebar, kemudian dia menggerak-
gerakkan sebelah tangan ke atas. Kedua kakinya me-
lompat-lompat sambil menginjak-injak sebatang rant-
ing kecil. Melihat itu Juminten terkekeh.
"Ha ha ha ha...! Kau benar. Tentu sebentar lagi me-
reka akan bertekuk lutut di kaki Paman Bayu." sahut
Juminten seperti mengerti apa yang dimaksud monyet
kecil itu.
Sebenarnya kata-kata Juminten tanpa diucap-kan
pun akan terbukti, sebab dalam beberapa gebrakan sa-
ja Bayu dapat merasakan bahwa mereka hanya memi-
liki ilmu silat kacang. Kalau pun tadi Bayu memuji ke-
hebatan nama mereka, itu hanya untuk menyindir be-
laka. Tapi agaknya mereka salah terima dan mengang-
gap Bayu itu menjadi takut.
"Hiyaaa...."
"Plak! Plak!"
"Hughk!"
Kedua orang itu terdesak dengan mata melotot ke-
luar. Dalam satu serangan mendadak, kedua tangan
Bayu menghantam masing-masing pergelangan tangan
mereka hingga senjatanya terpental jauh. Kemudian
dengan gerakan yang tak terduga, kedua kakinya ber-
putar sambil mengapung di udara dan tepat menghan-
tam kerongkongan keduanya.
"Horeee...! Paman menang! Paman menang!" teriak
Juminten girang kemudian bertepuk tangan lebih ken-
cang.
Tiren yang ada di sebelahnya pun tak mau tinggal
diam. Dia jungkir balik beberapa kali, kemudian men
gangkat kedua tangan ke atas sambil bertepuk tangan.
Sementara itu Reksopati bukan main garang meli-
hat kedua temannya dapat dijatuhkan dengan begitu
mudah. Padahal dia yakin betul, pemuda berbaju kulit
harimau itulah yang dalam sekejap akan tewas.
"Bedebah! Kau harus membayar perbuatanmu itu,
bocah!" makinya garang.
"Apa? Kau ingin semaput seperti mereka?" sahut
Bayu pura-pura tuli sambil tersenyum mengejek.
"Bangsat!"
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu berkelit cepat ketika ujung keris Reksopati
nyaris merobek tenggorokannya. Tangan kirinya coba
menghantam ke pergelangan tangan lawan, namun
orang yang memiliki mata juling itu cepat berkelit.
Bahkan secara tak terduga mengirim satu tendangan
kilat ke selangkangan Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!"
Dengan gerakan manis tubuh Bayu mencelat ke
atas setinggi setengah tombak. Gerakan itu ternyata
berputar, hingga posisinya terbalik dengan kepala di
bawah dan kedua kaki di atas.
"Mampus kau!" bentak Reksopati menghunus-kan
keris melihat peluang baik itu.
"Kaulah yang akan mampus!" desis Bayu dengan
penuh kejengkelan.
Dua jari tangan kanannya menjepit keris lawan
dengan kuat, dan tangan kirinya menghantam ke arah
dada.
"Begkh!"
"Hugkh!"
Seperti kedua temannya, tubuh Reksopati sem-
poyongan dan ambruk sambil mendekap dada. Nafas-
nya megap-megap dan terasa sesak. Bayu memang be
lum bermaksud menghabisi mereka bertiga. Tapi kali
ini kejengkelannya telah memuncak. Dan bersiap men-
gangkat tangan untuk menghabisi ketiga orang itu.
"Paman, hentikan!" teriak Juminten berlari kecil
menghampiri.
"Ada apa Juminten?"
"Ng... sebaiknya jangan dibunuh Paman. Kata
orang membunuh sesama manusia itu tidak baik. La-
gipula mereka masih berguna untuk kita."
"Juminten, mereka orang jahat. Kalau tidak kita
bunuh sekarang, mungkin nanti mereka yang akan
membunuh kita di saat kita lengah."
"A... Aden, ampunilah kami. Kami... berjanji tak
akan melakukan itu padamu...." Reksopati memohon
sambil merangkak ke dekat Bayu.
Bayu jadi ragu menghabisi mereka. Lebih-lebih ke-
tika Juminten kembali angkat bicara.
"Paman, ampunilah mereka. Menghadapi keheba-
tan Paman tentu mereka tak akan berani macam-
macam. Kalau Paman masih bisa dikelabui oleh mere-
ka, tentu Paman masih bodoh dan merekalah yang
pintar."
"Sial...!" dengus Bayu dalam hati.
Bayu berpikir sesaat. Kata-kata Juminten ada be-
narnya walau terasa memanas-manasi hatinya. Siapa
sudi disebut orang bodoh? Apalagi dibandingkan den-
gan ketiga cecurut itu.
"Baiklah. Tapi apa gunanya mereka buat kita?"
"Paman, kita cuma punya seekor kuda yang masih
hidup, sedangkan barang-barang ini belum tentu bisa
diangkut dengan satu gerobak...."
"Aku mengerti maksudmu!" potong Bayu cepat.
"Syukurlah...." sahut Juminten terkekeh.
"Nah, kalian dengar bukan? Kali ini kuampuni
nyawa kalian, tapi sebagai gantinya kalian harus me
narik sebuah gerobak berisi barang-barang itu. Awas,
jangan coba-coba kabur! Kalau tidak ingin mampus."
"Ba... baik, Den...." sahut ketiganya serentak. Wa-
lau gondok dan kesal, namun ketiganya terpaksa me-
lakukan apa yang diperintahkan Bayu, yaitu menarik
sebuah gerobak seperti seekor kuda saja. Hanya kali
ini beban mereka agak ringan karena dipikul bertiga.
*
* *
DUA
Ratna Puspa termenung di beranda depan. Piki-
rannya menerawang jauh tiada terhingga. Gadis beru-
sia sekitar tujuh belas tahun itu baru tersentak kaget
ketika pamannya berdehem keras.
"Ehhh.... Paman."
"Sudah lama kau berada di sini? Memikirkan sia-
pa? Kedua orang tuamu lagi? Atau... Pandu Sukma?"
selidik laki-laki separuh baya itu sambil tersenyum ke-
cil.
"Ah, Paman bisa saja. Kalau memikirkan kedua
orang tuaku itu sudah tentu, tapi kalau... Kakang
Pandu...." suara gadis itu agak ragu melanjutkan kata-
katanya.
"Kalau Pandu kenapa, Ratna?"
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Seha-
rusnya rombongan itu sudah pulang. Jarak yang me-
reka tempuh adalah empat hari perjalanan pulang per-
gi. Itupun sudah termasuk beristirahat selama di per-
jalanan, tapi ini sudah hari yang kelima. Mungkinkah
mereka mendapat halangan di jalan?
"Betul kan? Kali ini kau tidak lagi memikirkan kedua orang tuamu yang cerai berai entah di mana, tapi
memikirkan Pandu yang tak kunjung pulang juga...."
goda Paman Patisena lagi.
"Paman, sudahlah! Aku tak mau dengar lagi!" seru
Ratna sambil berlari ke dalam. Wajahnya tampak ber-
semu merah.
Laki-laki separuh baya itu menghela nafas pendek.
Senyum kecilnya menghilang. Kalau Ratna memikir-
kan pujaan hatinya, itu tak salah. Tapi dia pun punya
beban pikiran yang hampir sama.
Beberapa hari berselang Pandu Sukma diper-
cayakan untuk memimpin rombongan pengantar ba-
rang yang merupakan pegawai-pegawai Patisena, atau
Paman dari Ratna Puspa. Pemuda itu sudah lama be-
kerja padanya, dan kali ini Patisena percaya akan ke-
beranian dan kejujurannya. Tapi mereka seharusnya
sudah tiba kemarin. Dan paling lambat sore harinya.
Tapi menjelang sore hari ini tak juga terlihat tanda-
tanda kehadiran mereka. Patisena mulai was-was.
Apakah mereka mengalami hambatan? Atau...?
"Tak mungkin Pandu berkhianat!" bantahnya
menghalau praduga buruk tentang pemuda itu.
"Selama ini dia begitu jujur padaku dan teman-
temannya. Tapi...?"
"Paman mencurigai Kakang Pandu?"
Terdengar pertanyaan halus menusuk dari bela-
kang. Patisena tersentak. Ratna Puspa telah berdiri la-
gi di belakangnya dengan tatapan dingin.
"Paman tidak bermaksud demikian, Ratna."
"Ratna telah mendengar kata-kata Paman tadi...."
potong gadis itu dengan suara halus.
"Dengarlah dulu, Ratna. Paman tak bermaksud
menuduhnya. Tapi barang-barang itu sangat berharga.
Kemungkinan saja orang bisa khilaf, atau dia dan te-
man-temannya mengalami halangan. Entah itu dari
perampok-perampok atau yang sebangsanya...."
"Kakang Pandu bukan orang yang lemah, Paman.
Dia pasti bisa mengatasi perampok-perampok itu!"
"Paman pun berharap begitu. Tapi tak semua pe-
rampok berilmu rendah. Ada juga yang berasal dari to-
koh-tokoh persilatan golongan sesat. Pandu memang
berilmu tinggi, tapi...."
"Maksud Paman, dia tak mampu mengungguli me-
reka?"
Patisena mengangguk pelan.
"Ohhh...."
Ratna Puspa tiba-tiba teringat sesuatu. Tadi malam
dia bermimpi aneh sekali. Mereka berkejar-kejaran
berdua, lalu Pandu terpeleset dan berguling-gulingan
hingga jatuh ke jurang yang tak ketahuan dasarnya.
Dia cuma bisa menjerit-jerit sampai akhirnya terjaga.
Dan pagi ini kata-kata Pamannya semakin mem-
buat hatinya resah. Walau Pandu berilmu tinggi, tapi
di luar sana masih banyak mereka yang berilmu lebih
tinggi. Kalau salah seorang di antara mereka yang me-
rampok rombongan yang dipimpin Pandu... ohhh, apa-
kah dia bisa selamat?
Lalu kalau Pandu sampai celaka dan tewas, siapa
lagikah kini yang paling memperhatikannya setelah
kedua orang tuanya pergi entah ke mana?
Cuma ada Paman Patisena. Tapi laki-laki itu terlalu
sibuk dengan usahanya, dan tak punya banyak waktu
untuk memperhatikannya.
Ratna Puspa tersentak. Dari kejauhan terlihat abu
mengepul di udara. Wajahnya seketika gembira.
"Paman, mereka kembali!" teriak Ratna Puspa gi-
rang.
Patisena cuma mengangguk sambil tersenyum. Di-
lihatnya gadis itu berlari-lari kecil menyongsongnya.
Namun semakin dekat jarak mereka, jantungnya ber
detak terasa berdetak lebih kencang. Yang terlihat ju-
stru pemandangan yang sangat aneh. Tiga orang ber-
tampang seram sedang menarik gerobak yang paling
depan sambil berlari. Dan di belakangnya mengikuti
gerobak lain yang ditarik seekor kuda. Saisnya seorang
pemuda berwajah tampan dan keras dengan seorang
bocah perempuan mungil. Bocah perempuan itu lang-
sung berteriak begitu mengetahui siapa yang sedang
menyongsong mereka.
"Kak Ratna!"
"Roro Intan...?!"
Bocah kecil itu tiba-tiba melompat ketika gerobak
yang dinaikinya berjalan pelan. Pemuda tampan di se-
belahnya langsung menarik tali kekang.
"Heaaah...!"
Diperhatikannya mereka sesaat sebelum dia me-
langkah ke gerobak yang berada di depan dan menyu-
ruh ketiga orang penariknya pergi dari tempat itu.
"Te... terima kasih, Den...." kata mereka seren-tak
sambil berjalan tertatih-tatih memegang punggungnya
yang lecet.
"Hmmm...."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara alias si
Pendekar Pulau Neraka itu cuma bergumam kecil
memperhatikan mereka. Kemudian dia bersandar dan
mengalihkan perhatian pada bocah kecil yang masih
berangkulan dengan seorang gadis berwajah jelita.
"Ehem!"
"Ehhh...."
"Maaf mengagetkan Kisanak. Siapakah anda dan
apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Patisena yang
tadi mendehem mengagetkan Bayu.
"Kisanak siapa?"
"Namaku Patisena, dan gerobak-gerobak ini adalah
milikku. Gadis kecil itu adalah keponakanku. Nah, Kisanak...."
"Namaku Bayu, Paman Patisena," sahut Bayu me-
motong kata-kata Patisena.
"Oh, Bayu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dan
di mana mereka sekarang?"
"Maaf Paman. Aku sendiri tak tahu apa yang telah
terjadi. Saat kutemukan, mereka telah menjadi mayat.
Dan kini ku tumpuk di gerobak ini...."
Belum habis kata-kata Bayu, tiba-tiba gadis berwa-
jah jelita itu berteriak histeris sambil berlari kecil ke
arah gerobak di dekatnya.
"Kakang Pandu...!"
*
* *
Bayu tak mengerti ketika gadis itu tiba-tiba menye-
ruak ke dalam gerobak dan memeriksa mayat-mayat di
dalamnya satu per satu. Tapi ketika gadis itu mene-
mukan sesosok mayat yang agaknya telah ditemukan-
nya gadis itu menangis semakin keras sambil merata-
pinya. Bayu mulai mengerti. Saat dilihatnya laki-laki
yang tadi juga bercakap-cakap dengannya seperti ha-
nyut dalam suasana itu, perlahan-lahan dia mening-
galkan tempat itu.
"Paman...!"
Bayu menoleh. Dilihatnya bocah perempuan yang
tadi bersamanya berdiri tegak dengan wajah sedih me-
natap kepergiannya.
"Ada apa Juminten?"
"Paman mau ke mana?"
"Aku harus pergi...."
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja kaki melangkah tentunya."
"Aku ikut, Paman...."
Wajah bocah perempuan itu tampak sendu. Perla-
han-lahan dia mendekat dan menundukkan kepala ke-
tika telah berada dekat di depan Bayu.
"Aku ikut denganmu, Paman. Bawalah aku pergi ke
mana saja...."
Bayu berjongkok dan mengangkat wajah Juminten
sampai mereka saling bertatapan.
"Perjalanan Paman jauh dan melelahkan. Kau ten-
tu tak kuat. Bukankah di sini kau cukup aman? Ada
Pamanmu dan... gadis itu yang akan merawatmu...."
"Aku tak punya kawan. Paman selalu sibuk, dan
Kak Ratna tak pernah lagi memperhatikan sejak ber-
kawan dengan Kakang Pandu...."
"Siapa Kakang Pandu itu? Apakah mayat yang se-
dang diratapinya itu?"
Juminten mengangguk pelan.
Bayu menghela nafas pendek. Kemudian ditatap-
nya kembali wajah bocah itu.
"Tapi kini dia pasti akan lebih memperhatikan-mu.
Asalkan kau tidak nakal, selalu bersikap baik dan ju-
jur."
"Aku selalu melakukan itu, tapi tetap saja mereka
tak sayang!"
"Betul?"
"Betul!"
"Nah, sekarang saja kau telah berbohong, bagai-
mana mungkin seorang pembohong bisa berbuat
baik?"
"Aku tak bohong, Paman!" bantah Juminten.
"Baiklah. Kalau kau tidak bohong, kenapa kau
memperkenalkan dirimu dengan nama Juminten, se-
dangkan tadi kakakmu memanggil dengan sebutan Ro-
ro Intan?"
"Itu... itu...."
"Ayo, bukankah kau tak mau berbohong? Kalau
kau memberi jawaban bohong berarti telah dua kali
kau lakukan. Dan aku paling benci dengan anak yang
suka membohong."
"Dia tidak berbohong. Yang ada cuma salah pen-
gertian...."
Lagi-lagi Paman Patisena ikut bicara.
"Persoalannya panjang, Nak Bayu. Kalau tak kebe-
ratan, mampirlah ke pondok. Kami tentu akan senang
sekali menjamu Anda."
"Terima kasih, Paman. Tapi...."
Sebenarnya Bayu hendak menolak ajakan laki-laki
itu, namun ketika melihat wajah Juminten atau Roro
Intan yang menghiba, dia tak sampai hati. Bayu pun
akhirnya mengangguk.
Setelah mereka menguburkan mayat-mayat itu sa-
tu persatu, Patisena dan Bayu terlibat obrolan santai
di ruang tengah. Malam telah tiba, dan di luar terlihat
beberapa orang berjaga-jaga. Kebanyakan dari mereka
adalah orang yang bekerja pada Patisena. Dan seba-
gian lagi jago-jago bayaran yang khusus untuk men-
gawal barang-barang berharga. Usaha yang dijalankan
Patisena memang menuntut orang-orang seperti mere-
ka.
"Menurut apa yang diceritakan Roro Intan, pela-
kunya cuma satu orang. Dia sendiri tak melihat persis.
Cuma terdengar auman dahsyat seperti harimau men-
gamuk."
"Harimau?!"
Patisena mengangguk dengan wajah ragu. Di-
perhatikan pemuda di hadapannya itu pun terlihat tak
percaya.
"Memang mustahil, tapi itulah kenyataannya. Yang
mengganggu perasaanku saat ini, tak mungkin mereka
bisa dilumpuhkan begitu mudah oleh seekor harimau.
Pasti ada seorang tokoh sakti yang bersenjatakan cakar berbentuk harimau yang terbuat dari pisau-pisau
tajam."
"Kenapa Paman berpikir begitu?"
"Pandu yang memimpin rombongan itu memang
bukan termasuk tokoh kelas satu, tapi dulu sebelum
bergabung denganku dia adalah seorang pengembara
dan pernah menewaskan seekor harimau. Rasanya
mustahil kali ini dia sampai tewas oleh seekor hari-
mau. Apalagi jumlah mereka cukup banyak."
Bayu menganggukkan kepala. Apa yang di-katakan
Patisena mungkin bisa diterima akal. Biasanya para
pengawal barang seperti mereka me-miliki ilmu silat
yang lumayan. Dan jumlah yang segitu banyak bukan
tak mungkin menaklukkan seekor harimau.
"Lalu siapa menurut Paman pelakunya?"
"Seingatku mungkin ada dua. Yang pertama ada
yang ingin merampok barang-barang yang mereka ba-
wa, dan yang kedua adalah saingan kami dalam usaha
ini."
"Saingan? Apakah Paman punya saingan dalam
menjalankan usaha ini?"
"Ada. Namanya Aria Menda."
"Aria Menda? Siapa orang itu?"
"Dia merupakan saingan kami yang utama. Orang
itu ingin menguasai sendiri usaha ini di wilayah bagian
barat. Dia banyak menyewa jago-jago bayaran tang-
guh. Tapi karena kami sering tepat waktu dan barang-
barang selalu utuh ditujuan, maka usaha kami lebih
maju. Dulu dia pernah iri, dan mencari gara-gara den-
gan mengancam beberapa orang-orangku. Dan ba-
rangkali ancamannya di lakukan sekarang...."
"Apakah Paman yakin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Bayu menghela nafas pendek. Diliriknya sekilas
Roro Intan yang sedang bercanda dengan Tiren. Wajah
bocah itu tampak riang. Sesekali dia tertawa lepas.
"Kasihan mereka...." gumam Patisena pelan.
"Ke mana orang tua mereka Paman?"
Paman Patisena menarik nafas agak panjang sebe-
lum bercerita.
"Mereka telah lama berpisah sejak Ratna Puspa
masih kecil dan Roro Intan masih bayi. Keduanya ada-
lah tokoh persilatan yang gila mendalami ilmu silat.
Mereka belum puas sebelum menguasai segala ilmu si-
lat tingkat tinggi. Dan puncaknya adalah saat kelahi-
ran Roro Intan, mereka berpisah dan sampai sekarang
belum ketahuan lagi kabar beritanya," ujar Paman Pa-
tisena mengakhiri ceritanya.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sungguh kasihan mereka...." gumam Bayu.
Bayu tiba-tiba teringat akan keadaan dirinya sendi-
ri. Sejak bayi pun dia tak pernah tahu siapa ayah dan
ibunya. Yang dikenalnya cuma Eyang Gardika yang te-
lah mengasuhnya dari bayi hingga dewasa. Mungkin
apa yang dialami Roro Intan saat ini sama dengan apa
yang dirasakannya. Rasa rindu dan ingin berjumpa
dengan kedua orang tua yang melahirkannya. Kalau
dia barangkali hanya ada dalam bayangannya karena
hal itu tak mungkin. Kedua orang tuanya telah tiada,
tapi Roro Intan masih ada harapan.
*
* *
Pagi-pagi sekali Bayu terbangun, dia terkejut ketika
melihat di halaman depan rumah Paman Patisena te-
lah ramai orang-orang berkumpul lengkap dengan sen-
jata masing-masing seperti akan terjadi pertarungan
besar.
Diintipnya lewat lubang di dinding kamar, Patisena
turun perlahan dari undakan tangga. Belasan anak
buahnya telah menunggu dan bersiap melindungi. Se-
mentara tak jauh di depan mereka tampak sekitar dua
puluh orang telah menunggu dengan sikap tak sabar.
Salah seorang duduk di atas sebuah pedati yang dita-
rik kuda. Tubuhnya besar dan berbaju mewah. Wajah-
nya ditumbuhi cambang bawuk lebat. Orang inilah
yang bernama Aria Menda, saingan usaha Patisena.
"Pagi-pagi kau berada di sini sungguh ke-betulan
sekali. Apakah kau bermaksud mohon ampunan dari-
ku?" sindir Patisena dengan suara di-tekan sedemikian
mungkin.
"Puih...! Patisena keparat! Jangan banyak omong
kau! Hari ini ingin kudengar pembelaanmu yang telah
membantai anak buahku?!" sahut Aria Menda dengan
nada geram.
Mendengar itu bukan main panasnya hati Patisena.
Dalam sangkaannya tentulah Aria Menda bermaksud
lempar batu sembunyi tangan, pura-pura menuduh
untuk lepas dari tuduhannya.
"Aria Menda, jangan keterlaluan kau! Apa mak-
sudmu menuduh kami berbuat begitu? Sudah jelas ka-
lianlah yang telah melakukan pembantaian terhadap
anak buahku!"
"Dasar culas, tetap saja kali ini mau berkelit!" den-
gus Aria Menda semakin garang dituduh demikian.
"Jangan sembarangan menuduh kau Aria Menda!
Kau lihat kuburan-kuburan itu, itulah mayat-mayat
anak buahku yang kau bantai secara biadab!" tunjuk
Patisena pada beberapa gundukan tanah yang tak jauh
dari situ.
Aria Menda cuma mendengus sinis melihat hal itu,
kemudian kembali berpaling masih dengan wajah be-
rang.
"Huh, bisa saja kau melakukan tipu muslihat itu.
Tapi untukku kau tak akan lepas dari tanggung jawab.
Saat ini juga kau harus mampus untuk menebus ke-
matian anak buahku!"
Aria Menda menggerakkan sebelah tangannya. Saat
itu juga mencelat dua orang bertubuh besar dari
samping pedatinya, dan langsung menyerang Patisena
dengan senjata golok masing-masing. Tapi dipihak Pa-
tisena sendiri pun tak tinggal diam. Dua orang anak
buahnya yang terpercaya segera menghadang dan yang
lainnya melindungi majikan mereka.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Trak! Trak!"
Pertarungan di antara kedua belah pihak tak dapat
dihindari lagi saat ini. Keduanya betul-betul bernafsu
untuk menghabisi lawannya. Tak heran bila pertarun-
gan semakin ramai ketika yang lainnya juga mencari
lawan masing-masing.
Dalam keadaan demikianlah tiba-tiba terdengar
bentakan yang keras.
"Berhenti...!"
Semuanya tersentak kaget. Dan dengan sendirinya
menghentikan pertarungan. Tak jauh dari situ muncul
seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan
dan keras, serta berbaju kulit harimau. Di pundak ka-
nannya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam
menyeringai lebar pada mereka.
Aria Menda yang lebih dulu bertanya garang.
"Siapa kau?"
"Aku cuma seorang tamu di sini. Namaku Bayu
Hanggara...!"
Aria Menda mungkin tak begitu mengenal nama
itu, tapi para jago-jago bayarannya yang terdiri dari
orang-orang persilatan, tentu saja tahu betul siapa to-
koh yang bernama itu. Demikian juga halnya dengan
anak buah Patisena. Tanpa sadar mereka berdesis me-
nyebut gelar pemuda itu.
"Pendekar Pulau Neraka...!"
*
* *
TIGA
"Pendekar Pulau Neraka? Siapa sebenarnya pemu-
da itu?" tanya Aria Menda berbisik pada salah seorang
anak buahnya.
"Dia seorang tokoh hebat, Den. Ilmunya tinggi dan
namanya belakangan ini amat menggemparkan dunia
persilatan."
"Hmmm... kalau dia ikut campur habisi saja!"
"A... aaa, tidak Den! Tidak! Kami lebih baik berhen-
ti bekerja kalau Tuan memaksa kami agar kami mela-
wannya," sahut anak buahnya dengan tubuh gemetar.
"Pengecut! Apa kau yakin dia tidak berbohong un-
tuk mengelabui kita?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membawa-bawa
monyet serta memiliki senjata Cakra Maut di tangan
kanannya. Ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda
ini."
"Kenapa tidak kalian coba saja? Siapa tahu dia
cuma pepesan kosong yang mengaku-ngaku dengan
nama pendekar itu."
"Ti... tidak, Den. Kami tidak berani. Pendekar itu
terkenal ganas dan tak kenal ampun. Kami tak mau
mati sia-sia...."
"Brengsek! Kalian ku gaji bukan untuk menjadi
pengecut, tapi untuk melindungi serta barang-barang
ku dan harus patuh pada perintahku!" dengus Aria
Menda kesal.
Sementara itu Bayu angkat bicara. Ditatapnya me-
reka satu persatu.
"Ki sanak semua, kudengar kalian saling tuduh
menuduh tentang peristiwa yang menimpa anak buah
kalian. Aku tidak bermaksud memihak pada Paman
Patisena karena memang tiada guna menyelesaikan
persoalan ini. Kedatanganku ke sini justru membawa
mayat-mayat anak buahnya yang tewas secara menge-
naskan. Akulah yang menjadi saksi atas tewasnya
anak buah Paman Patisena. Nah, jawaban apa yang
kalian bisa berikan untuk melepaskan tuduhan dari
pihak Paman Patisena kalau bukan kalian pelakunya?"
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Aria Menda
dengan nada masih tak bersahabat.
"Kira-kira kurang dari dua hari yang lalu...." "Saat
itu sebagian besar anak buahku sedang mengantar ba-
rang ke tempat kediaman Bupati yang baru diangkat
baginda raja."
"Bagaimana kau membuktikannya?"
"Kau boleh tanyakan sendiri pada Kanjeng Bupati.
Kalau ternyata aku berdusta, penggallah leherku!"
"Hmmm...." Bayu bergumam pelan. Kemudian dia
menatap ke arah Patisena.
"Paman Patisena, aku percaya pada kata-kata
orang ini. Dia tak melakukan apa yang paman tuduh-
kan."
"Bagaimana kau bisa berkata demikian Bayu?"
"Kalau terbukti dia yang melakukannya, aku sendi-
ri yang akan datang ke tempatnya!" sahut Bayu meya-
kinkan.
Patisena tak bisa berkata apa-apa mendengar ja-
waban itu. Bayu pun kemudian berpaling lagi pada
Aria Menda.
"Nah, Ki sanak. Demikian juga halnya Paman Pati
sena. Beliau tidak melakukan apa yang kau tuduhkan.
Aku tidak berpihak. Jika ternyata kelak Paman Patise-
na melakukan perbuatan keji itu aku pun akan datang
kembali ke sini dan meminta pertanggung-
jawabannya."
"Bagaimana mungkin kami mempercayai omongan
mu?" tanya Aria Menda masih kurang puas.
Salah seorang anak buahnya pun menimpali.
"Ki sanak, bukankah kau yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka?"
"Tak salah. Demikianlah orang-orang menyebutku."
"Kami bukan tak percaya padamu. Tapi kau pergi
mengembara ke mana-mana. Bagaimana mungkin kau
bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil kalau kau
sendiri tak ada di tem-pat?"
"Siapa yang mengatakan aku tak ada di tempat?
Aku akan turun tangan menyelidikinya di samping ka-
lian!" ujar Bayu tegas.
"Syukurlah kalau kau berniat begitu. Dengan
adanya pendekar seperti kau mudah-mudahan titik te-
rang akan kita peroleh bersama dan si pelakunya da-
pat ditangkap untuk dihukum sesuai dengan perbua-
tannya," sahut orang itu lagi merasa lega.
Tak berapa lama Aria Menda dan anak buahnya
kembali pulang. Bayu menghela nafas pendek. Dia
bermaksud meninggalkan tempat itu secepatnya ketika
Paman Patisena memanggilnya.
"Bayu, kami sangat berterima kasih atas apa yang
kau lakukan. Tapi yakinkah kau bahwa bukan mereka
pelakunya?"
"Paman, aku pun belum yakin benar. Ini hanya du-
gaan. Melihat dari sikap dan gerak-gerik mereka, ten-
tulah mereka bukan sedang berpura-pura."
"Maksudmu mereka pun mengalami hal yang sama
seperti kematian anak buahku?"
Bayu mengangguk pelan.
"Siapa kira-kira orang keparat itu?" tanya Paman
Patisena dengan wajah geram.
"Aku sendiri pun tak tahu, Paman. Kita pun tak bi-
sa menduga hal itu dilakukan oleh manusia. Siapa ta-
hu sekawanan serigala atau beruang."
"Tak mungkin Bayu!" bantah Paman Patisena ce-
pat.
Patisena menjelaskan perbedaan antara cakaran
harimau dengan serigala maupun beruang dengan se-
suatu cakar palsu yang terbuat dari bilah-bilah besi ta-
jam seperti pisau yang kuat.
Bayu mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Mungkin juga. Tapi walau bagaimana pun aku te-
lah berjanji akan menyelidikinya. Mau tak mau hal ini
harus kujalankan...."
"Terimakasih, Bayu. Kalau sudi bawalah beberapa
anak buahku untuk membantumu!"
"Tidak usah, Paman. Mereka lebih dibutuhkan di
sini untuk menjaga Paman, Ratna dan Roro Intan. Oh
ya, ke mana mereka? Sejak tadi aku tak melihatnya?!"
"Aaaah... sungguh bandel anak-anak itu! Pasti me-
reka main lagi di kebun belakang dekat sungai."
"Tak mengapa, Paman. Salam buat mereka. Aku
pergi sekarang!" kata Bayu sambil berlalu meninggal-
kan tempat itu. Patisena hanya bisa menatap pung-
gung pemuda bertubuh kekar itu yang semakin lama
semakin menjauh dan menghilang.
Baru saja tiba di ujung jalan, Bayu terkesiap. Dua
sosok tubuh menunggunya di situ!
*
* *
"Ratna! Roro...! Apa yang kalian kerjakan di sini?!"
tanyanya kaget.
Keduanya memang orang yang sudah dikenal Bayu
sebagai keponakan Paman Patisena. Di pundak mere-
ka masing-masing membawa buntalan seperti orang
yang siap merantau jauh.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" ulang Bayu ke-
tika tak ada sahutan dari mereka.
Keduanya masih tetap menundukkan wajah.
"Roro, sedang apa di sini?" tanya Bayu pada bocah
kecil itu sambil berjongkok dan menjawil dagunya.
Gadis itu melirik sekilas pada kakaknya, kemudian
menatap Bayu lekat-lekat.
"Roro mau ikut Paman, tapi Kak Ratna malah min-
ta ikut juga...."
"Bohong! Kamulah yang minta ikut!" bantah Ratna
cepat.
"Roro sudah bilang sebelumnya pada Paman ini...."
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
"Kenapa tidak? Untuk apa tinggal di situ tanpa ada
orang yang menyayangi?"
"Kata siapa tak ada yang menyayangimu?"
"Tidak kata siapa-siapa, tapi Roro sendiri yang me-
rasakannya!"
Mendengar kata-kata Roro Intan, Ratna Puspa se-
perti tersentak hatinya. Ditatapnya Roro Intan dalam-
dalam. Betulkah selama ini dia mengabaikan adiknya?
Perlahan-lahan Ratna mendekat lalu berjongkok sam-
bil mendekap pundaknya ketika Bayu menepi.
"Roro, siapa bilang di rumah tak ada yang me-
nyayangimu? Kakak sangat menyayangimu!"
"Kakak selalu menyayangi Kakang Pandu!"
"Tapi bukan berarti kakak melupakanmu."
"Bohong!"
"Roro, Kakak berkata yang sebenarnya. Kakak be-
tul-betul menyayangimu...."
"Bohong! Kalau kakak betul-betul sayang padaku,
pulanglah kembali ke rumah Paman Patisena dan bi-
arkan aku ikut dengan Paman Bayu ke mana saja ka-
kiku melangkah."
Setelah berkata begitu, Roro melangkah ke arah
Bayu dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu.
Ratna baru saja akan mengejar kalau tak ingat bahwa
di situ ada Bayu. Dia salah tingkah dan membuang
muka dengan wajah gelisah.
Bayu memang sengaja mendiamkannya saja kare-
na dia belum mengerti betul apa yang mereka ri-
butkan. Yang sedikit diketahuinya adalah Roro seperti
kurang kasih sayang tinggal di rumah pamannya itu.
"Tuan pendekar...!" panggil Ratna dengan suara
gemetar.
"Panggil saja namaku, Bayu!"
"Bayu... ng... eh, bisakah kita bicara tanpa di-
ketahui Roro?"
"Tidak! Tidak mau! Kak Ratna tentu akan membu-
juk Paman Bayu agar aku tak boleh ikut!" sentak Roro
sambil mendekap kaki Bayu erat-erat.
"Tidak, Roro. Kakak hanya ingin bicara sedikit den-
gan Paman Bayu...." bujuk Ratna Puspa.
"Bohong!"
Ratna menghela nafas dengan wajah kecewa. Tam-
paknya Roro Intan curiga sekali bahwa dirinya akan
mengakali agar dia tak ikut dengan Bayu.
"Roro, bukankah kau mau ikut dengan Paman?"
Gadis kecil itu mengangguk ketika Bayu bertanya
sambil tersenyum.
"Nah, sekarang bermainlah dulu bersama Tiren.
Paman berjanji tak akan meninggalkanmu. Di mana
ada Paman di situ ada Tiren. Paman tak mungkin pergi
tanpa Tiren. Kalau dia bermain denganmu, sudah pasti
Paman akan menunggunya kembali. Dengan begitu
Paman tidak bisa menipumu bukan?"
Roro Intan adalah gadis yang cerdik. Sekilas saja
dia dapat menangkap apa yang dimaksud Bayu. Maka
sambil mengajak Tiren bermain agak jauh dari tempat
itu, dia tersenyum kecil.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun agaknya senang juga dapat punya kawan
seperti Roro Intan. Terbukti dengan semangat dia
mengikuti ajakan bocah kecil itu.
"Nah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
tanya Bayu setelah Roro sudah berada agak jauh dari
mereka berdua.
Ratna Puspa tak buru-buru menjawab. Dia meng-
hela nafas beberapa kali sambil membuang pandan-
gan. Agaknya berat baginya mengatakan apa yang ter-
kandung dalam hati. Tapi akhirnya keluar juga meski
dengan suara pelan.
"Kudengar Anda ingin membantu Paman Patisena
menyelidiki peristiwa itu?"
"Ya...!"
"Siapa pun adanya, dia harus mati di tangan-ku!"
tekad Ratna Puspa dengan sorot mata tajam berapi-api
penuh dendam.
Bayu menatapnya sekilas. Wajah gadis ini cantik
menawan. Lebih lagi bila dia tersenyum. Dan dalam
keadaan mendendam begini pun kecantikannya seperti
tak pudar. Tapi bukan hal itu yang membuatnya harus
memandang gadis ini agak lama, melainkan ingin
meyakinkan atas dasar apa Ratna Puspa memiliki te-
kad demikian?
"Kebathilan harus dilenyapkan di muka bumi ini!
Bukankah begitu niat dari setiap pendekar pembela
kebenaran?" tangkisnya ketika Bayu menanyakan hal
itu.
"Betul apa yang kau katakan. Tapi niatmu bukan
itu. Kau tidak usah menipu dirimu sendiri. Tekadmu
cuma sebatas ketidak relaanmu melihat nasib Pandu
yang tewas dengan cara demikian. Balas dendammu
hanya akan mencelakakan dirimu sendiri."
"Apa maksudmu?!"
"Lebih baik kau berada di rumah bersama Paman
Patisena."
"Tidak. Walau bagaimana pun harus kucari orang
itu!"
Bayu memandang Ratna Puspa sekilas, kemudian
mengalihkan pandangan sambil bersuit nyaring.
"Suiiit...."
Tak berapa lama terlihat Tiren, sahabat kecil-nya
itu berlari-lari kecil menghampiri diikuti oleh Roro In-
tan. Begitu dekat, Tiren langsung melompat ke atas
pundak Bayu.
"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Roro In-
tan.
Bayu tersenyum. Tubuhnya membungkuk, dan
menjawil dagu gadis kecil itu.
"Ya, Paman harus pergi sekarang. Kau harus te-
mani kakakmu dan Paman Patisena ya...."
"Tidak! Aku akan ikut dengan Paman Bayu!"
"Roro, kau masih kecil. Perjalanan Paman jauh dan
penuh bahaya. Tinggallah di rumah, kapan-kapan Pa-
man akan berkunjung lagi...."
"Tidak! Tidak mau!" teriak Roro Intan.
Gadis kecil itu berteriak histeris dan bermaksud
memeluk tubuh Bayu. Tapi dalam sekejapan mata
Pendekar Pulau Neraka raib dari hadapannya.
Ratna Puspa sendiri kaget melihat kecepatan ber-
gerak pemuda berambut gondrong itu. Walau dia me-
miliki sedikit ilmu silat, rasanya sulit untuk bergerak
sedemikian cepat. Gadis itu baru tersentak sadar dari
kekagumannya ketika Roro Intan menjerit keras sambil
berlari sekuat tenaganya menyusul kepergian Bayu.
"Paman Bayu...!"
"Roro... kembali! Kembali...!" teriak Ratna Puspa
ikut mengejar adiknya.
"Roro, kembali...!"
"Paman Bayu...!"
"Roro, mari kita pulang!" teriak Ratna Puspa ketika
sedikit lagi berhasil mengejar lari adiknya.
"Tidak mau! Tidak mau! Aku mau menyusul Paman
Bayu!" teriak Roro Intan histeris dan berusaha beron-
tak ketika Ratna Puspa sudah berhasil menangkapnya.
"Paman Bayu sudah pergi, dan kau tak mungkin
menyusulnya!"
"Aku tak perduli! Akan kucari ke mana pun Paman
pergi!"
"Mau mencari di mana?"
"Di mana saja!"
"Roro, jangan membandel. Bukankah Paman Bayu
telah mengatakan bahwa dia akan mengunjungimu
kapan-kapan...."
"Tidak mau! Pokoknya aku tak mau kembali lagi ke
rumah kalian tak ada yang sayang padaku. Aku mau
menyusul ayah dan ibu!"
"Roro, kau tak tahu di mana mereka sekarang...."
"Aku akan minta Paman Bayu mencarinya. Dia
pasti mau!"
Ratna Puspa tak tahu lagi harus dengan cara apa
dia membujuk adiknya pulang. Dalam pada itulah en-
tah dari mana datangnya serombongan orang yang ti-
ba-tiba saja telah mengelilingi mereka. Ratna Puspa
tersentak kaget, dan mundur beberapa langkah. Na-
mun ketika dia menoleh ke belakang, tempat itu seper-
ti telah dipagar oleh barisan orang-orang tak dikenal.
Salah seorang gadis berambut panjang dengan wa-
jah ayu mendekatinya perlahan. Bajunya kembang
kembang merah dengan dasar putih, melekat erat
hingga dadanya yang membusung terlihat menonjol. Di
punggungnya terselip sebatang pedang. Sorot matanya
tajam manakala menatap Ratna Puspa dari ujung kaki
hingga kepala.
"Hmmm... wajahmu amat ayu, bocah. Melihat dari
caramu tentu kau anak desa yang sedang ke sasar di
hutan. Mari ikut dengan kami."
"Siapa kalian?" tanya Ratna Puspa curiga.
"Namaku Dewi Sukma Wening, dan mereka ini ada-
lah anak buahku. Kami akan mengantar kalian berdua
pulang ke rumah," sahut wanita itu dengan senyum
genit.
Hal itu tentu saja menambah kecurigaan di hati
Ratna Puspa. Wajah mereka liar, dan sudah tentu bu-
kan orang baik-baik. Lebih dari dua puluh orang laki-
laki mengelilingi tempat itu tak satu pun dilihatnya
mencerminkan sikap mereka sebagai orang baik-baik.
Dan wanita ini dengan segala niat busuknya bersem-
bunyi dalam wajah cantiknya yang terkesan binal.
"Tidak, terimakasih. Kami bisa pulang sendiri..,."
"Ah, tidak baik menolak niat orang yang akan ber-
buat baik pada kalian. Ayolah, mari ikut kami...."
"Jangan mendekat!" sentak Ratna Puspa ketika di-
lihatnya wanita itu melangkah mendekati sambil men-
gulurkan tangan.
Mendengar itu paras wajah Dewi Sukma Wening
berubah. Kini terlihat kemarahannya.
"Sudahlah, Nini Dewi. Untuk apa membujuk sega-
la. Kita tangkap dia lalu bawa pergi dari sini, be-
reskan? Hitung-hitung sebagai hiburan karena buruan
kita belum juga ketemu!" sahut salah seorang anak
buahnya yang kelihatan sudah tak sabar.
Wajah Ratna Puspa semakin gelisah dan berubah
pucat. Diliriknya orang itu sekilas. Jantungnya seperti
berhenti berdetak. Orang itu menyeringai penuh nafsu
mengisyaratkan nafsu setannya yang berkobar-kobar.
Ketika dia melirik pada beberapa orang yang lain, rata-
rata mereka pun memiliki niat yang sama. Tak terasa
tubuhnya semakin gemetar.
"Baiklah kalau kau tak mau diperlakukan se-cara
baik, kami terpaksa memaksamu. Seno, dan kau Ki-
mung. Tangkap mereka! Bawa gadis molek itu dan
singkirkan bocah pentil itu!" perintah Dewi Sukma
Wening.
"Siap...!"
Kedua orang yang bertubuh besar itu langsung me-
lompat hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro In-
tan sambil menyeringai lebar. Namun saat itulah ter-
dengar bentakan nyaring yang menggema di sekitar
tempat itu.
"Bajingan laknat! Hentikan niat kotor kalian!"
*
* *
EMPAT
Sesosok bayangan tiba-tiba melesat di hadapan
Ratna Puspa dan Roro Intan. Seorang pemuda beram-
but gondrong berbaju kulit harimau berdiri tegak. Wa-
jahnya tampan dan keras. Di pundaknya terdapat see-
kor monyet kecil berbulu hitam yang langsung menye-
ringai dengan sikap mengancam pada orang-orang as-
ing itu.
Melihat siapa yang datang, Roro Intan langsung
berteriak girang sambil menghambur memeluk pemu-
da itu.
"Paman Bayu...!"
"Tenanglah, Roro. Mereka tak akan mengganggu-
mu..." bujuk pemuda yang baru muncul itu yang tak
lain dari Bayu Hanggara.
"Paman, mereka akan berniat jahat pada kami."
Bayu menatap mereka satu per satu. Kedua orang
tadi yang bersiap hendak menangkap Ratna Puspa dan
Roro Intan menghentikan langkah dan mendengus
dengan sikap mengancam.
"Siapa kau? Pergilah cepat dari sini sebelum kami
merencahmu hidup-hidup!" kata salah seorang yang
bertubuh agak tinggi. Di tangannya ter-genggam seba-
tang pedang yang tajam berkilat.
"Siapa aku, bukan masalah. Sebaiknya kalian-lah
yang pergi dan jangan mengganggu mereka!"
"Bedebah! Agaknya kau belum mengenal Perseku-
tuan Iblis Merah. Cepat tinggalkan tempat ini dan jan-
gan campuri urusan kami. Kalau tidak kau akan pu-
lang tinggal nama!" gertak orang itu lagi.
Bayu tersenyum sinis.
"Kisanak, ancamanmu boleh juga. Tapi hanya pan-
tas buat menakut-nakuti tikus got. Tapi jangan coba-
coba kalian lakukan padaku," sahut Bayu dingin.
"Keparat!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang itu langsung menerjang Bayu dengan
serangan kilat menebas leher dan pinggangnya. Tapi
Bayu hanya berkelit sedikit dan begitu merasakan
sambaran pedang mereka yang di-anggapnya tak me-
miliki tenaga dalam hebat, dua buah jari masing-
masing tangannya langsung menangkap senjata lawan
dan menyentaknya kuat hingga terpental dalam kea-
daan patah dua.
"Hup!"
"Tak!"
Keduanya tersentak. Waktu yang sekian detik cukup bagi Bayu untuk menghajar mereka satu persatu.
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan. Tubuh keduanya terlem-
par dua tombak sambil muntah darah.
Bukan main murkanya Dewi Sukma Wening meli-
hat hal itu. Sepasang matanya menatap tajam ke arah
Pendekar Pulau Neraka dari atas sampai ke bawah
seolah hendak mengukur sampai di mana kemampuan
pemuda berambut gondrong itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara
lunak.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya cepat
tinggalkan tempat ini!" sahut Bayu dingin nada men-
gancam.
Dewi Sukma Wening tersenyum sinis.
"Tak sembarangan orang boleh menghina Per-
sekutuan Iblis Merah. Kau akan kena batunya, Ki sa-
nak!"
Selesai berkata demikian Dewi Sukma Wening
langsung memberi isyarat. Dan saat berikutnya lima
orang dari mereka mengepung Bayu dengan sikap me-
nyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Melihat mereka langsung menyerangnya dengan
ganas, Bayu tak tinggal diam. Begitu tubuh mereka
bergerak, dia langsung menerjang dengan kecepatan
tinggi.
"Trak! Trak!"
"Begkh!"
"Des!"
Tiga orang langsung terjungkal dengan pedang di
tangan terpental entah ke mana. Tubuh mereka me
layang sejauh dua tombak sambil menjerit ke-sakitan
dan muntah darah. Dua orang lagi segera menyusul.
Bukan main kagetnya Dewi Sukma Wening melihat
kedahsyatan sepak terjang Bayu. Dalam waktu sekejap
mata dia mampu menumbangkan lima anak buahnya
tanpa mengalami kesulitan. Wanita itu mulai ragu
apakah dia mampu meneruskan niatnya untuk me-
nangkap Ratna Puspa dan menyingkirkan Roro Intan
dengan terlebih dahulu menghabisi pemuda berbaju
kulit harimau ini.
"Pergilah sebelum aku bertambah muak melihat
tampang kalian!" bentak Bayu mulai jengkel.
"Huh! Baru punya kepandaian segitu saja hendak
berlagak di hadapanku. Jangankan cuma seorang, se-
puluh orang sepertimu pun aku tak akan lari!" desis
Dewi Sukma Wening geram.
Roro Intan yang mendengar percakapan itu sejak
tadi, dan menyaksikan kehebatan Bayu, tiba-tiba saja
menimpali dengan suara mengejek.
"Hi hi hi hi...! Kuntilanak jelek, mana mungkin ka-
lian bisa menandingi Pamanku. Jangankan kalian, le-
bih banyak dari ini pun Pamanku dengan mudah
membunuh kalian semua!"
"Nguk! Nguuuk...!"
"Betulkan Tiren?"
"Kaaakh...!"
Dewi Sukma Wening geram bukan main menden-
gar kata-kata bocah itu. Ingin rasanya saat itu juga di-
remasnya mulut mungil yang bijak itu. Tapi tiba-tiba
terlintas satu ingatan dalam benaknya. Ditatapnya
Bayu sekali lagi seolah ingin memastikan, bahwa pe-
muda di hadapannya ini adalah tokoh yang namanya
menggetarkan rimba persilatan belakangan ini.
"Ki sanak, kalau tak salah bukankah kau yang
bergelar Pendekar Pulau Neraka?!"
"Nah, setelah tahu gelar Pamanku, apakah kunti-
lanak sepertimu berani mengganggu kami lagi?" bentak
Roro Intan dengan sikap nakal.
Kembali Dewi Sukma Wening bertambah geram
mendengar kata-kata bocah itu. Tapi diam-diam di ha-
tinya timbul sedikit rasa cemasnya. Apalagi ketika
Bayu kemudian mengangguk.
"Tak salah dugaanmu. Begitulah orang-orang me-
manggilku...."
"Hmmm, kalau begitu ternyata kami sedang berha-
dapan dengan seorang pendekar kesohor. Maaf Ki sa-
nak, mataku buta tak melihat gunung Mahameru men-
julang tinggi di mata. Kalau demikian, biarlah persoa-
lan ini selesai sampai di sini saja, dan kami akan ber-
lalu...."
"Huh, enak saja mau pergi! Kalian pikir Pamanku
akan membiarkan begitu saja?!" sentak Roro Intan.
"Heh?!"
Dewi Sukma Wening berbalik dan mendengus ge-
ram pada bocah itu. Tapi Bayu buru-buru menimpali.
"Begitu lebih baik daripada membuat perselisihan
yang tak ada guna...."
"Tapi paman, orang jahat seperti mereka tak boleh
dibiarkan begitu saja!" protes Roro Intan kesal.
"Nguk!" Tiren menimpali.
"Sudahlah, Roro. Biarkan mereka pergi. Kalau me-
reka sudah tidak lagi berniat jahat tak perlu lagi
menghukum mereka," sahut Bayu.
Mendengar jawaban itu Roro Intan hanya bisa
cemberut sambil memalingkan wajah.
Bayu menghela nafas, kemudian berpaling pada
Ratna Puspa yang menundukkan wajah.
* * *
"Kenapa kalian tak juga pulang?"
"Aku akan pulang setelah menemukan pembunuh
biadab itu!" sahut Ratna Puspa pelan dengan nada
pasti.
"Itu pekerjaan sia-sia. Kalian seperti menghadang
bahaya besar di depan mata."
"Aku tak perduli!"
"Apakah kau juga tak perduli dengan ke-selamatan
Roro?"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat kemudian.
"Mari kuantar kalian pulang," ajak Bayu.
"Tak perlu! Kalau anda mau berbaik hati, antarlah
Roro pulang. Aku akan terus pada niatku semula!" sa-
hut Ratna Puspa berkeras.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al.
"Kau masih muda, masih punya masa depan yang
terbentang. Paman kalian juga baik. Apakah hal seper-
ti itu akan kau sia-siakan?"
"Apa pedulimu pada masa depanku?"
"Memang tak ada sangkut pautnya, tapi mana bisa
aku mendiamkan kalian mendapat bahaya begitu sa-
ja."
"Kalau begitu kenapa Paman tidak mengijinkan
kami ikut denganmu saja?" sela Roro Intan.
Bayu menghela nafas. Tatapannya jauh ke depan.
Rombongan yang tadi menamakan dirinya sebagai Per-
sekutuan Iblis Merah telah tak nampak batang hi-
dungnya. Mereka pergi satu per satu. Pikirannya saat
ini agak bingung. Kalau mereka di ajaknya, tentu per-
jalanannya akan terhambat, tapi kalau tidak diajak-
nya, tentu keselamatan mereka tidak terjamin. Walau
dia tak pernah berkata akan melindungi mereka di ha-
dapan Patisena, setidaknya saat dia kembali untuk
melaporkan peristiwa yang akan diselidikinya itu, ma
na mungkin dia akan membawa berita buruk tentang
mereka berdua.
"Baiklah, kalian boleh ikut denganku..." kata Bayu
pelan.
"Horeee...!" Roro Intan bersorak girang.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun bersorak sambil bertepuk tangan di atas
kepalanya. Agaknya monyet kecil itu memang suka se-
kali bermain dengan Roro Intan.
"Tapi harus ada syaratnya..." potong Bayu cepat.
"Apa paman?"
"Kalau nanti Kakakmu pulang, kau pun harus pu-
lang. Bagaimana?"
"Ah, tidak mau! Aku mau ikut Paman terus!"
"Kalau begitu Paman tidak bersedia mengajak-mu
sekarang!"
Roro Intan melirik kakaknya beberapa saat. Dan
belum memberi jawaban sampai Bayu mengalihkan
pandangan ke arah Ratna Puspa.
"Bagaimana? Kalian boleh ikut denganku, tapi sete-
lah persoalan ini selesai, maka kau harus mengajak
adikmu pulang?"
Ratna Puspa mengangguk cepat.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Mereka baru berjalan kurang lebih dua puluh
langkah ketika terdengar jeritan nyaring yang sayup-
sayup terdengar.
"Paman, apa itu?!"
"Sebaiknya coba kita lihat ke sana. Mari Roro!" sa-
hut Bayu sambil menyambar tubuh Roro dan berlari
cepat.
Tapi Bayu terpaksa memperlambat larinya ketika
melihat Ratna Puspa terengah-engah jauh di belakang.
Bayu terpaksa menunggu sambil menggelengkan kepa-
la.
*
* *
Arah jeritan itu datangnya dari tepi hutan yang
agak lebat. Ketika mereka tiba di sana, terlihat peman-
dangan yang mengerikan. Sebagian besar anak buah
Persekutuan Iblis. Merah yang memang mengambil ja-
lan ke arah ini terkapar dalam keadaan mengenaskan.
Tubuh mereka rusak berat seperti tercakar binatang
buas. Sementara dua orang yang masih tersisa tampak
berusaha menyelamatkan diri dari serangan seorang
yang tampak bergerak amat cepat.
"Paman, orang itu... orang itu..." tunjuk Roro den-
gan wajah pucat.
"Siapa orang itu, Roro?"
"Orang itu yang membunuh kakang Pandu dan
Paman-paman yang lain..." sahut Roro gemetar.
Belum lagi habis kata-kata Roro Intan, Bayu telah
melesat dengan kecepatan tinggi ke arah orang itu.
"Yeaaah...!"
Namun orang asing yang rambutnya terurai bebas
itu tak kalah gesit. Nalurinya cepat mengetahui sesua-
tu ketika tubuhnya langsung berbalik menyambut se-
rangan Bayu, Pendekar Pulau Neraka dan meninggal-
kan dua lawan terakhirnya yang ter-luka parah.
"Graungrrr...!"
"Plak! Plak!"
Bayu tersentak kaget ketika tangannya beradu. Ku-
lit orang itu keras bagai baja. Dan yang membuatnya
lebih terkejut lagi adalah sambaran kuku-kuku tan-
gannya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku itu se-
perti bukan layaknya kuku seorang manusia, tapi lebih
menyerupai cakar harimau dengan bentuk yang lebih
panjang serta lebih kuat.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu mela
kukan pembantaian selama ini?" tanya Bayu ketika
tubuhnya terpental, namun dengan manis hinggap di
atas kedua telapak kakinya.
"Graungrrr...!"
Bukannya jawaban yang diberikan orang asing itu,
tapi malah menerjangnya sambil melompat dengan
gaya seekor harimau menerkam mangsa. Aumannya
terdengar dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dibanding-
kan dengan harimau biasa.
Bayu, si Pendekar Pulau Neraka sempat terkejut
ketika memperhatikan lawannya. Tubuhnya biasa saja,
dengan rambut gondrong sebatas punggung di lepas
serta mengenakan pakaian serba hitam. Tapi bukan
itu yang membuatnya terkejut, melainkan melihat se-
pasang mata yang merah nyalang penuh nafsu mem-
bunuh. Dua buah taring terlihat disudut bibirnya kala
dia menyeringai buas dengan air liur yang bertetesan.
Tubuhnya agak membungkuk ketika dia bersiap me-
nyerang lawan.
"Hup!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Sosok tubuh yang tingkah lakunya mirip dengan
seekor harimau mengeluh pelan ketika tubuhnya kena
dihantam Bayu. Meski terhuyung-huyung, dia cepat
bangkit dan kembali melompat menerkam lawan.
"Astaga! Manusia macam apa dia ini?" tanya batin
Bayu seperti tak percaya bahwa pukulannya tadi yang
mampu melumpuhkan banteng liar hanya membuat
lawannya terhuyung-huyung.
"Auuum...!"
"Heh?!"
"Cras!"
Bayu mengeluh pelan ketika lengan kirinya di
sambar dengan cepat oleh cakar lawan. Masih untung
dia terus jungkir balik menghindari serangan berikut-
nya. Kaki kanannya menendang ke kepala lawan, na-
mun dengan gesit orang itu menghindar. Lalu dengan
kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, cakar
tangan kirinya menghantam dada Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Uts, haaa...!" Dengan tidak terduga, tubuh Bayu
mencelat ke atas kaki kirinya kembali menghantam te-
lak ke dada lawan.
"Thak!"
Akibat tendangan itu sungguh hebat terlihat. La-
wannya terjungkal sejauh dua tombak, namun mampu
berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh lim-
bung. Sepasang matanya bertambah nyalang menatap
ke arah Bayu.
Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantam-kan
pukulan yang berisi tenaga dalam kuat ketika terden-
gar teriakan nyaring dari arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan ber-
maksud mencegah Ratna Puspa berbuat nekad dengan
menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Me-
lihat ada orang mendekat dengan sikap mengancam,
manusia siluman langsung menerkam sambil menge-
luarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sem-
pat menyelamatkan nyawa Ratna, namun tak urung
satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang
Ratna Puspa.
"Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat di
pungutnya untuk menyerang lawan terpental entah ke
mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak
sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakak-
nya.
Sedangkan Bayu dan lawannya masing-masing
terhuyung-huyung setelah keduanya saling menya-
rangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki perge-
langan tangan lawan yang hendak mencakar lawan,
sedang tinju kanannya bersarang di dada lawan. Wa-
lau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat
merobek kulit dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan
langsung berbalik dan melompat hendak me-nyambar
Ratna Puspa kembali.
Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi Bayu untuk
menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung
dikibaskan ke atas.
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut lang-
sung menghantam ke arah lawan.
"Thakr !”
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali
tak berhasil melukai lawan. Bahkan ketika senjata itu
kembali melesat dan menghantam, tetap saja tak ber-
hasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya
Pendekar Pulau Neraka. Selama ini senjatanya malang
melintang di dunia persilatan dan menjadi momok
yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari samba-
rannya. Tak heran bila telah banyak tokoh yang tewas
oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan
namun Cakra Maut itu cukup merepotkannya. Tenaga
dorongan senjata itu mampu membuatnya terhuyung-
huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu
dia akan kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mu-
lai bangkit dan mencecarnya habis-habisan.
"Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pu-
lau Neraka menghantam dada lawan. Manusia siluman
itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini dari
sudut bibirnya menetes darah kental. Bayu tak mau
menyia-nyiakan kesempatan. Begitu tangannya terki-
bas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke arah la-
wan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari be-
lakang dengan satu serangan yang mengandung tena-
ga dalam kuat.
"Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat ting-
gi dan terus kabur dari tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur se-
enaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak me-
manggil dengan suara cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya
mengejar Manusia Siluman itu. Roro Intan menangis
terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna
Puspa yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan
banyak darah. Buru-buru Bayu menghampiri dan me-
notok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa un-
tuk menghentikan pendarahan yang terlalu banyak la-
gi.
"Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di-tolong?"
tanya Roro Intan cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!"
Bayu berusaha menenangkan hati Roro Intan. Se-
benarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa ter
tolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena da-
rahnya banyak terkuras. Tengah Bayu merenung, dua
orang yang tersisa dari gerombolan Persekutuan Iblis
Merah mendekat ke arahnya.
*
* *
LIMA
"Terima kasih atas pertolongan Anda, Ki sanak..."
kata salah seorang di antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seo-
rang gadis cantik dengan baju ketat. Dialah yang me-
mimpin Persekutuan Iblis Merah. Mereka pun agaknya
tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa
jadi mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang
lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ke-tua
kami punya seorang tabib yang mungkin bisa mengo-
bati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu me-
nawarkan jasa.
Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau
saja ikut mereka?" protes Roro Intan dengan wajah
masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat,
bukan? Kalau mereka berniat baik mau menolong,
apakah kita harus curiga? Hal itu tidak baik, Roro.
Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali
ini," jelas Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang,
namun ketika mereka melangkah dia mengekor juga
dari belakang.
Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara
wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain
Dewi Sukma Wening itu berjalan di sebelahnya. Roro
sendiri tampak enggan beriringan dengan yang lain-
nya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga
membuatnya sedikit terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang
kami tanpa sebab..." jelas Dewi Sukma Wening tanpa
diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak
membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih
berbinar kalau dia bersikap lemah lembut seperti ini.
Kesan binalnya yang tadi tampak seolah sirna. Bayu
cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan ter-
jadi pada kami. Mungkin kami akan gagal menjalan-
kan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami te-
lah gagal menjalankan tugas dari beliau..." lanjut Dewi
Sukma Wening itu lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?"
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas
dengan seluruh tubuh terkoyak seperti di cakar hari-
mau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau
itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbua-
tan binatang, melainkan seorang tokoh persilatan yang
menggunakan senjata seperti cakar harimau. Tapi tak
disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa
berbuat apa-apa. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya
pun amat cepat. Lebih dari itu dia tak mempan senjata
tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?"
"Ya...!"
Bayu terdiam sejenak dengan wajah geram.
Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka
itu tak luput dari perhatian gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Pa-
man bocah ini. Aku berjanji padanya untuk menyele-
saikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma
Wening tak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?"
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka...
kalau Anda tak keberatan, ketua kami tentu akan me-
rasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-
buru Dewi Sukma Wening melarat ketika mendengar
Bayu bergumam.
"Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya se-
bagai seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi. Setiap
kali kemunculannya, ilmu silatnya seperti bertambah.
Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin
berlipat ganda. Terutama senjata utamanya berupa se-
lendang yang mampu kaku bagai sebilah pedang pan-
jang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa? Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding
dengan nama Pendekar Pulau Neraka mungkin beliau
tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu
sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan
yang lain, masih banyak tokoh-tokoh yang berilmu
tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik Anda
memanggilku dengan sebutan Bayu saja...."
"Bayu...? Hmm, baiklah kalau memang anda tak
keberatan. Anda pun cukup memanggilku dengan De-
wi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening...? Nama yang bagus," puji
Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian.
Belum lama mereka berjalan, tiba-tiba terlihat se-
seorang yang mendekat dari arah samping. Seorang
laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan
ramah. Rambutnya yang sebagian telah memutih di ge-
lung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh seorang
gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung mene-
gur dengan sikap ramah.
*
* *
"Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah? Nama-
ku Jaladara dan mengerti sedikit soal obat-obatan. Ka-
lau tak keberatan biarlah ku coba untuk mengoba-
tinya."
Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut.
Laki-laki ini tak sedikit pun mengesankan bahwa dia
mempunyai maksud-maksud tertentu dari niat baik-
nya itu.
Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis
itu menaruh curiga melihat ada orang yang tak di ken-
al dengan tiba-tiba saja menawarkan jasa baiknya. Ta-
pi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu
sedikit percaya dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu meng-
obatinya aku akan sangat berterima kasih sekali. Ta
pi...."
"Apakah kalian curiga padaku? He he he..., itu
memang kusadari. Kita baru saling mengenal dan du-
nia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi per-
cayalah, aku bermaksud baik. Pengetahuanku tentang
obat-obatan harus kusumbangkan untuk kepentingan
orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya hidupku
tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara
orang lain banyak yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya.
Paling tidak untuk keselamatan Ratna Puspa sendiri.
Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke mar-
kasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih
baik. Apalagi perjalanan mereka agak jauh. Sementara
ada orang lain yang menawarkan jasa dan kelihatan-
nya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa,
apa salah di coba?
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada
kata-katanya? Siapa tahu dia bermaksud lain," sergah
Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya piki-
ran yang sama dengannya tentang laki-laki itu, yaitu
menaruh curiga dan menolak niatnya itu. Tapi dengan
tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyam-
but baik niat laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baik-mu,
begitu juga aku percaya pada Paman Jaladara. Nyawa
Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu be-
liau mampu menolongnya, sahut Bayu.
"Terserah padamu saja. Tapi kami akan mene-
ruskan perjalanan ke markas. Selamat jalan, mudah-
mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak se-
belum mereka melangkah pergi.
Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang
sama. Setelah melangkah beberapa tindak, dia melirik
ke arah Bayu sambil tersenyum. Kemudian berlalu
tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pa-
da orang lain," gumam Paman Jaladara.
Bayu tak menyahut.
Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak
mereka ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu.
Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma Wening tak be-
nar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada
Paman Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan kese-
lamatan Ratna Puspa. Walau demikian dia sama sekali
tak melepaskan perhatian terhadap gerak-gerik laki-
laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda
bahwa orang itu punya niat buruk.
Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak
berapa lama setelah mencekoki Ratna Puspa dengan
ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak
bergerak dulu. Lukamu sedang dibalut." kata Bayu pe-
lan.
"Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika ter-
akhir menatap laki-laki separuh baya yang meng-
obatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat peru-
bahan di wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia
untuk saling tolong menolong bukan? Ehh.... Ki sa-
nak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering
beberapa hari lagi. Kalau kalian sudi, kalian boleh
tinggal di sini selama beberapa hari menungguinya.
Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku
mempunyai sebuah pedati. Kalian bisa mema-
kainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan.
Biarlah dia kugendong saja," sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro ter-
senyum malu.
"Kenapa?!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bo-
cah itu memalingkan wajah ke Ratna Puspa, kakak-
nya.
"Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?"
Ratna Puspa tak memberikan jawaban. Wajahnya
terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak kebe-
ratan, kami bermaksud meminjam pedatimu saja. Nan-
ti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi te-
lah kutawarkan pada kalian?"
"Terima kasih, Paman...?"
*
* *
Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap ga-
rang. Namun setelah Dewi Sukma Wening men-
ceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perla-
han-lahan terlihat parasnya berubah datar.
"Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa.
Kalau Nini bermaksud menghukum, aku pun siap me-
nerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu ke-jam
pada anak buahku sendiri. Ceritakanlah lagi padaku
tentang mereka, dan apa saja yang kau ketahui ten-
tang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit
memerintah yang berusia sekitar empat puluh tahun
itu.
"Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada
jari-jari kaki dan tangannya, tumbuh kuku-kuku yang
kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan senjata ta-
jam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau
Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pu-
lau Neraka berhasil mendesak orang itu. Namun dia
terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman
gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening.
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat
yang hebat, bahkan mampu menghajar si Pendekar
Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang
terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak
mampu melukai lawan, namun dia dan senjatanya
lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku
yakin, kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawan-
nya itu pasti mampu ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan
di kenal sebagai Selendang Maut itu menganggukkan
kepala.
"Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mende-
saknya, dia tentu harus mampus di tanganku!" desis
wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku? Apa kau
beranggapan si Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu
silat lebih tinggi di bandingkan denganku?!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan
orang sembarangan. Dalam pertarungan itu bukan sa-
ja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, bahkan pu-
kulan-pukulan si Pendekar Pulau Neraka yang meng-
gunakan tenaga dalam hebat pun seperti tak berarti
apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh me-
remehkan kemampuan si Selendang Maut!" bentak
wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!"
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain.
Biar kali ini aku yang pimpin langsung rombongan.
Kau tak becus dan selalu menuruti ke-mauan anak
buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung
lupa pada tujuan semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menye-
nangkan anak buahmu bukan? Tapi itu tindakan sa-
lah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru
anak buahmu kau pikirkan. Bukankah selama ini me-
reka selalu mampu mencari kepuasan sendiri? Mereka
bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tem-
pat itu dan mengumpulkan anak buahnya yang lain.
Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk
mencari orang yang di maksud.
Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata
geram pada orang yang telah menewaskan beberapa
anak buahnya, melainkan ada maksud tertentu. Sela-
ma malang melintang di dunia persilatan, tak seorang
pun yang pernah mengalahkannya. Namanya amat di
segani dan di takuti bukan saja karena ketinggian ilmu
silatnya tapi juga karena kesadisannya dalam membu-
nuh lawan.
Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang
Pendekar Pulau Neraka dan bermaksud menjajal ke-
pandaian pendekar itu. Namun belum ada kesempatan
untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa pende-
kar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh
yang menewaskan anak buahnya, si Selendang Maut
bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin
sendiri anak buahnya. Kalaupun dia tak bertemu den-
gan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan Dewi
Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini
sudah merupakan tantangan yang tak bisa dielakkan-
nya sebagai orang yang merasa kepandaiannya tiada
yang menandingi.
*
* *
ENAM
Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka
mereka dikembalikan kepada Paman Patisena. Tapi
Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh
yang lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat
perjalanannya ketimbang memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...."
kata Roro Intan dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja? Kali ini Pa-
man menghadapi tugas yang bisa mencelakakanmu
nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari
ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon
pamit setelah segala sesuatunya beres. Namun tanpa
diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap lewat
jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak
jauh. Bayu sendiri sebenarnya merasa ada seseorang
yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi tak terpi-
kir kalau itu langkah kaki seorang gadis yang dikenal-
nya.
Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan
tempat tabib itu berada. Setelah mengembalikan pedati
yang dipinjamnya tadi, Bayu mulai mengitari daerah
sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang
yang dicarinya bersembunyi tak jauh dari tempat itu.
Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya tak kunjung
terlihat.
"Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren.
Kau tentu lelah bukan?" tanyanya pada monyet kecil
sahabatnya yang selalu berada di dekat-nya.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan me-
nangkap kelinci hutan untuk mengisi perutku yang
sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang po-
hon dan menghilang ke cabang pohon yang lain untuk
mencari buah-buahan pelengkap santap malam mere-
ka.
Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat
ke arah Bayu dan mencolek pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren
menyeringai lebar.
"Nguk!"
Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti
dan memberi isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan.
Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu
bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!"
"Krusaaak!"
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang
tadi dicengkeramnya dari balik semak-semak menjerit
keras seperti suara seorang wanita. Cepat-cepat Bayu
menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa?! Apa yang kau lakukan malam-
malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan
kata-katanya. Bayu menggelengkan kepala dan lang-
sung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan api
unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat
dimatikannya.
"Ada apa kau sampai ke sini? Bukankah tabib itu
mengatakan kau harus banyak istirahat? Lukamu be-
lum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan
semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna
Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar
kata-kata itu.
"Ratna, kau bicara apa? Dengan keadaanmu. yang
sehat saja kau tak akan mampu melawannya, apalagi
dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu
sama saja artinya kau mengantarkan nyawa secara
percuma."
"Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat
itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat ke-
matiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak be
rarti lagi. Untuk apa lama-lama menderita kalau tiada
guna? Lebih baik mati tapi berguna bagi orang ba-
nyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi ke-
baikan, malah kau akan meninggalkan penderitaan
bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena,
yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu.
Roro Intan, tak mungkin dia berkeras ingin ikut den-
ganku kalau saja kasih sayangnya padamu terbalas.
Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang pada-
mu karena sejak kecil telah mengurus kalian. Seka-
rang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa ke-
nekatanmu ini kau lakukan? Apakah bukan karena
kekasihmu yang tewas di tangan orang itu, sehingga
kau rela mengorbankan orang-orang yang mencintai-
mu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya
yang masih mampu kau raih di depan mata?!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya men-
dengar kata-kata Bayu. Lama dia menundukkan wajah
ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang
membabi buta seperti itu. Pulanglah, dan hi-dup baha-
gia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini
menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa? Kau belum tahu juga bahwa masih ada
sesuatu yang lebih baik kau lakukan daripada memi-
kirkan soal dendam yang sebetulnya bukan urusan-
mu."
"Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu
sudah membuat hatiku lega."
"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian
mengalihkan pandangan pada api unggun di depan-
nya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan
menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengan-nya.
Aku yakin kau mampu mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat
itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan.
Kalau kau merasa bahwa nanti aku membebani lang-
kahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan keselama-
tanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna
Puspa, agaknya niat gadis itu tak bisa di-halangi lagi.
Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu menyu-
litkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat,
harus mengikuti perintahku!" ujar Bayu akhirnya.
Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk cepat.
*
* *
Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang
tingkah lakunya mirip harimau liar itu sungguh hebat.
Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak
seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemun-
culannya selalu tiba-tiba, dan menghilang bagai sa-
puan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya.
Begitu juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak se
patah kata pun keluar dari mulut-nya tentang siapa
dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu.
Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung me-
nyerang orang yang menjadi sasarannya tanpa sebab.
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalan-
gan yang merasa ilmu silat mereka tak seberapa, dan
sekaligus membuat geram beberapa tokoh persilatan
yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun
mulai terkenal karena keampuhannya mengobati to-
koh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang
tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam wak-
tu singkat saja berduyun-duyun orang datang kepa-
danya untuk berobat, yang pada akhirnya tidak cuma
terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga
penyakit-penyakit yang lain.
Siang ini terlihat beberapa orang tampak se-dang
melakukan perjalanan di dekat hutan. Daerah itu tak
begitu jauh dari kediaman Tabib Jaladara. Tiga orang
menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka se-
ram dengan masing-masing golok besar di punggung-
nya. Sementara di bagian belakang terdapat sebuah
pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar sua-
ra erangan orang yang kesakitan.
"Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan
sampai ke tempat tabib itu," kata salah seorang pe-
nunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di
samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau di-
ganggu. Banyak orang yang sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anak-
ku, akan kupenggal kepalanya!" desis orang yang di-
panggil guru tadi dengan geram.
"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya
itu terdiam dan tak bicara sepatah kata lagi. Pikiran-
nya menerawang jauh. Memang putra bungsu gurunya
ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia
selalu mengerang-ngerang tanpa tahu di mana letak
rasa sakitnya. Untuk itulah ketika mendengar nama
Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan
berbagai penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi
hari ini seperti biasanya Tabib Jaladara tak mau mene-
rima pasien. Dan hal itu dipatuhi betul oleh mereka
yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di
Sana mereka memaksa tabib itu?
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya
orang yang di depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut pe-
nunggang kuda yang berada di sebelah kirinya yang
dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan? Kau takut pada
tabib itu?!" tanya orang pertama yang dipanggil Gondar
dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa yang
sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gon-
dar, nama Tunggadewa amat disegani di rimba persila-
tan. Begitu juga halnya dengan perguruan kita Rajawa-
li Perak. Jadi untuk apa takut? Tujuan kita benar. Ka-
lau si tabib tak mau mengobati anakku, berarti dia
bukanlah orang pemurah yang membiarkan orang
menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak
sesuai dengan apa yang kau dengar tentang kemura-
han hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gu-
runya yang bernama Tunggadewa ini memang agak
sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya.
Tak ada gunanya berdebat, toh dia tak akan menyu-
rutkan niatnya semula.
Dalam pada itu tiba-tiba melesat satu sosok
bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan dan
langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai
seekor harimau lapar.
"Auuum...!"
*
* *
"Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada
murid-muridnya.
Namun walau dia telah memberi peringatan, tak
urung seorang muridnya yang berada di sebelah kanan
terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabat-nya
menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang
robek lebar.
Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan te-
mannya karena orang asing itu kembali melesat me-
nyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut sen-
jata dan langsung membabat menyerang ke tubuh la-
wannya.
"Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak
mampu melukai lawan sedikit pun. Bahkan dengan
sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga
tombak dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali
Perak itu mulai khawatir. Dengan waktu singkat dua
muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hi-
dup atau sudah tewas karena dia sendiri tak sempat
untuk melihat keadaan mereka. Menyesal dia mengapa
tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau? Kau akan menyesal berhadapan den-
ganku!" bentak Tunggadewa keras dengan nada tak
senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mi-
rip seekor harimau itu tak menyahut, melainkan terus
menerjang ke arahnya sambil mengaum keras.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu.
Percuma saja dia bertanya dan memaki-maki, tapi la-
wan tetap diam membisu dan terus menyerangnya
dengan tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa me-
rasa bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk.
Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki la-
wan yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit
tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya luka hebat.
Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah
mencapai tingkat sempurna yang menyelamatkan
nyawanya sesaat. Tapi itu tak berlangsung lama. Kea-
daannya terus terdesak. Rasanya lima kali gerakan lagi
dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus jan-
tung dan perutnya.
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompa-
tannya dapat dihindari lawan dengan untung-
untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-
nyala memancarkan dendam dan kebencian, serta naf
su membunuh.
"Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul
banyak orang di tempat itu. Melihat dari cara berpa-
kaian, agaknya mereka adalah tokoh-tokoh persilatan.
Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini?!" serunya pada
seorang laki-laki tua yang bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini
punya hutang nyawa. Dia telah banyak membunuh
murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksa-
dana, atau lebih dikenal sebagai Clurit Sakti Bulan
Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut
Tunggadewa bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan ge-
rakannya pun luar biasa. Lebih dari itu dia tak mem-
pan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku
kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nase-
hatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan
pada yang lain. Karena pada saat itu juga terdengar je-
ritan menyayat. Dua orang pengeroyok Manusia Silu-
man itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi me-
nyusul begitu tubuhnya melesat sambil melompat dan
mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin
murka saja melihat kedatangan orang-orang yang
bermaksud mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke
leher lawan. Bersamaan dengan itu tubuh Tunggadewa
pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke
pinggang lawan.
"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Sen-
jata mereka tak mampu melukai lawan. Dengan see-
naknya lawan menangkis dan tangannya yang lain
menyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh
mata biasa ke perut keduanya.
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung
menghadang dan menyerang ke arah lawan-nya. Den-
gan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tung-
gadewa dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh
yang tengah mereka keroyok itu.
"Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis
Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Se-
lain tak mengenal lelah, gerakan serta kekuatannya
seperti tidak pernah berkurang," sahut Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kele-
mahannya."
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan
diri dengan yang lainnya menyerang lawan.
Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang
terlihat bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggade-
wa lebih menonjol. Ujung golok besar Tunggadewa
mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana
mengarah ke bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu
begitu tangkas melindungi sepasang matanya, dan ke-
tika senjata Ruksadana beberapa kali sempat meng
hantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan se-
rangan balik dari Manusia Siluman itu yang secara tak
terduga membuat keduanya kembali terlempar dengan
luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!"
"Cres! Cras!"
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana
robek perutnya dihajar cakaran orang asing itu. Kali
ini agaknya dia tak memberi kesempatan sekali lagi
pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebe-
lum keduanya menyentuh tanah, Manusia Siluman itu
kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
*
* *
TUJUH
Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan
nyaring. Bersamaan dengan itu menderu angin ken-
cang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya
jungkir balik di udara. Namun dengan gesit dia bersal-
to dan hinggap di tanah dengan kedua kaki dalam po-
sisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada
rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling
depan adalah seorang wanita berusia sekitar empat
puluh tahun dengan selendang panjang warna hitam
melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat meng-
hebohkan itu?" desis wanita itu yang tak lain dari si
Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia
Siluman itu tak menyerang langsung. Dia terdiam be-
berapa saat menatap ke arah wanita itu dengan sek-
sama, sehingga kali ini semua yang berada di situ da-
pat melihat dengan jelas.
Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata
merah yang nyalang mirip seekor harimau. Pada kedua
ujung bibirnya tampak sepasang taring. Rambutnya
yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja se-
panjang punggung. Berdirinya agak bungkuk, dan ke-
dua tangannya terus membentuk cakar dengan kuku-
kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas
dan memiliki ilmu yang tiada tandingan?!" ejek si Se-
lendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa? Apakah kali ini kau takut menghadapi-
ku? Atau kebiasaanmu cuma mengaum?"
"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak
kenal ampun sama sekali!" teriak Tunggadewa mempe-
ringatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasan-
nya?" dengus si Selendang Maut sambil meloloskan se-
lendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke
arah lawan. Suaranya terdengar nyaring bagai petir
membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat ter-
kejut dan mundur beberapa langkah. Namun kesuda-
hannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar-mu
yang hebat itu untuk merencah tubuhku?" ejek si Se-
lendang Maut sambil melecutkan kembali senjatanya.
Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si
orang asing. Dengan didahului auman dahsyat, tu-
buhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat me-
nyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tu-
buh Manusia Siluman itu. Jangankan tubuh manusia
yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu
besar sebesar kerbau pun mungkin akan hancur di-
hantam ujung selendang yang disalurkan tenaga da-
lam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram
ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan
ketika kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula
dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau
tahan pukulanku ini!"
"Yeaaa...!"
"Bet!"
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang me-liuk-
liuk menyambar tubuh lawan, telapak tangan kirinya
siap menghantam. Tapi lawan kali ini ter-nyata telah
memperhitungkannya. Tubuhnya bergerak lincah
menghindari sambaran senjata lawan.
Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut meng-
hantam ke arah dada, tubuh orang asing itu mencelat
ke atas. Kaki kanannya menghantam wajah lawan.
Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan
menghantamkan tinju kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Ku-
litmu keras seperti batu!" umpat si Selendang Maut
sambil mengeluh pelan merasakan tangan kanannya
yang kesemutan.
Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak mem-
beri kesempatan sedikit pun untuk berleha-leha. Ma-
nusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti. Sam-
baran kedua cakarnya nyaris merobek kulit tubuh la-
wan kalau saja Selendang Maut tidak cepat berkelit.
Untuk beberapa saat si Selendang Maut dibuat kewa-
lahan.
Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut
menggeram sambil mengeluarkan seluruh kepan-
daiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi se-
mata-mata seperti lecutan sebuah cambuk, namun se-
kali-kali berubah kaku bagai pedang panjang yang
menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk,
ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu
menerjang ke arah lawannya. Si Selendang Maut ter-
kesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu berge-
rak begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manu-
sia Siluman itu. Dia meringis kesakitan. Namun satu
pukulan telak tinju kanannya berhasil menghantam
perut Manusia Siluman itu dan membuatnya terjung-
kal beberapa tombak. Ketika dia bangkit sambil meng-
geram, terlihat dari sudut bibirnya menetes darah ken-
tal. Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam se-
penuhnya itu mampu melukai tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi
berdiam diri sambil memburu ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak
apa-apa!" bentak Selendang Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"
"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak
Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi se-
lain kembali ke tempatnya semula. Sudah menjadi ke-
biasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila
sedang bertarung. Kecuali oleh suatu sebab, misalnya
dia tewas barulah anak buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke
arah Selendang Maut, sementara si Selendang Maut te-
lah bersiap pula dengan senjatanya.
*
* *
"Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh
Manusia Siluman itu dan menyentaknya hingga tu-
buhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga
orang asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si
Selendang Maut terkejut sambil terhuyung ke bela-
kang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek
senjata andalannya itu. Selain terbuat dari serat sutra
halus yang kuat, senjata itu pun dipergunakan dengan
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang ber-
hasil merobek Selendang Mautnya, sama artinya ber-
hasil memukul tenaga dalamnya. Dan hal itu yang te-
lah dilakukan oleh Manusia Siluman itu.
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se-cepat
itu pula Manusia Siluman yang tingkahnya menyeru
pai harimau itu kembali melesat menyerang lawan se-
telah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang
melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat
keadaan ketuanya.
Tapi terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berha-
sil merobek perut si Selendang Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika
melihat Manusia Siluman itu bermaksud melancarkan
serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk
menghajar Manusia Siluman itu kembali!" teriak Tung-
gadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksa-
dana telah melesat begitu ucapan Tunggadewa selesai.
Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengeru-
buti orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman se-makin
liar. Sekali dia berkelebat paling tidak dua atau tiga
orang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau
tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang ter-
burai keluar atau leher yang nyaris putus. Tak heran
bila dalam sekejap saja korban banyak berjatuhan.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tung-
gadewa yang langsung memapaki dengan kelebatan go-
lok besarnya.
"Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana mem-
peringatkan.
"Tak!"
"Cras!"
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah
tangan Manusia Siluman itu, sementara tangan yang
lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak sempat
terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Silu-
man itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat
membabatkan aritnya.
Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun
melompat menghajar lawan beserta beberapa orang
anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening
menghantam telak di punggung dan tengkuk lawan.
Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu
menggores kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melu-
kainya. Namun serangan balasan yang diluncurkan
dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Ca-
kar mautnya kembali meminta korban. Perut Ruksa-
dana kena disabet hingga terlihat isinya yang terburai
keluar. Ruksadana meraung kesakitan.
Sementara tiga orang lainnya mengalami nasib
yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedi-
kit beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai
merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan
mengamuk sejadi-jadinya pada sisa-sisa pengeroyok-
nya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa
tubuh melayang dalam keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa dengan
mu!" desis si Selendang Maut sambil membalut ping-
gangnya yang robek dengan selendang.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat
mengirim satu pukulan jarak jauh. Di seputar tempat
itu terasa angin menderu kuat tertuju ke arah Manusia
Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pa-
da pohon-pohon yang berada di dekatnya bergoyang
kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesaki-
tan yang parau dari kerongkongannya. Namun dengan
cepat tubuhnya yang terpelanting kembali melesat ke
arah lawan saat menyentuh tanah.
"Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ke-
tika dia bermaksud memapaki serangan lawan, telapak
tangan kanannya berhasil menghantam dada lawan.
Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Ke-
duanya terhuyung-huyung beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan
sambil melesat menghadang Manusia Siluman itu yang
seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal saat
itu si Selendang Maut tengah melilitkan selendangnya
untuk menutupi bagian pinggang serta perutnya yang
robek. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya
yang gemetar melawan rasa sakit yang bukan kepa-
lang. Namun demikian sorot matanya masih meman-
carkan kegarangan serta dendam membara.
Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening be-
rusaha mencegah lawan untuk membinasakan ketua-
nya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang
dapat dia lakukan untuk mengulur-ulur waktu agar
ketuanya dapat terhindar dari kematian Manusia Si-
luman itu.
Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba melesat
satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki se-
rangan Manusia Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
*
* *
DELAPAN
"Plak!"
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental
bersamaan. Dan seperti biasanya Manusia Siluman itu
kembali mendarat di atas kedua kakinya. Tak jauh di
hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut
gondrong dengan baju rompi terbuat dari kulit hari-
mau yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu dalam
sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti hal-nya
berhadapan dengan si Selendang Maut, kali ini dia pun
tak langsung menyerang. Mungkin karena pernah ber-
tarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki ke-
pandaian yang sempurna hingga membuatnya harus
berhati-hati.
"Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga
sudah berada di tempat itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah geli-
sah.
"Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna
Puspa baik-baik..." ujar Bayu.
Walaupun sepasang matanya tak luput memperha-
tikan setiap gerakan yang dibuat lawan, namun Bayu
sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening.
Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan
kata terima kasih atas pertolongannya di saat yang te-
pat tadi.
"Ayo, Ki sanak? Bukankah kau ingin melumat-kan
setiap orang? Nah, kenapa kau hanya diam saja?"
tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang
matanya menyipit seperti menyiratkan kebencian luar
biasa. Kemudian dengan satu lompatan ringan tubuh-
nya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan ber-
kelit ke samping dan kemudian menghantamkan pu-
kulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu
mampu menghindar dengan menekuk tubuhnya. Ke-
mudian dengan tiba-tiba Manusia Siluman itu balik
berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris me-
robek leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka ka-
lau tak buru-buru membuang diri ke bawah. Namun
gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu be-
lum sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan
kembali menuju ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka
melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung
setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke
atas sambil menggeram buas. Bersamaan dengan itu
tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan
pengerahan tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit da-
danya tercakar lawan. Namun tinju kanannya pun
sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit ke-
sakitan dengan tubuh terlempar sejauh tiga tombak.
Kali ini Manusia Siluman jatuh tidak di atas kedua ka-
kinya. Ketika berusaha bangkit terlihat darah kental
keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali tak
memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang
Bayu. Bayu terkesiap. Rasanya mustahil tubuh manu-
sia mampu menahan pukulannya yang bertenaga da-
lam kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam
tinggi, paling tidak gerakannya akan terhambat oleh
rasa sakit yang dideritanya. Tapi Manusia Siluman itu
seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit
pun. Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis
Bayu seperti tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan
tangan kanannya ke atas.
"Zwiing!"
"Tak!"
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melu-
kai kulit lawan, tapi Bayu mencoba mengarahkan sen-
jata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan
mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya me-
luncur menyambar wajah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemu-
dian bersalto dengan gerakan indah menyambar Cakra
Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang
setelah serangan pertamanya gagal.
"Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri
kesempatan dan melesat dengan gerakan cepat meng-
hantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga
yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak mempe-
ringatkan.
"Nini...!"
*
* *
"Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit
menangkis serangan Selendang Maut. Wanita itu ter-
pekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun
pada saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka
menyarangkan pukulan keras ke dada lawan. Kedua
tubuh itu terpental jauh.
"Nini...?!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang
Maut yang sekarat menahan menunggu ajal.
"De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jala-
dara. Mudah-mudahan kau bisa tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terba-
ta-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca...
cari anak-anakku yang tempo hari... ku ceritakan pa-
damu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir
Selendang Maut mendengar pesan-pesannya lebih lan-
jut.
Sementara itu Bayu semakin geram saja melihat
lawannya yang kuat luar biasa. Walaupun tubuhnya
terlempar di hajarnya dengan pukulan yang mengan-
dung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa bang-
kit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil
mengibaskan Cakra Maut di tangannya.
"Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah
Manusia Siluman. Kali ini Bayu berharap bahwa senja-
tanya itu mampu mencari titik kelemahan lawan, se-
bab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat den-
gan lawan amat membahayakan. Maka ketika lawan
menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak menghindar
sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Seper-
tinya dia mengerti bahwa kali ini lawan tak bermaksud
mengadakan kontak tubuh pada jarak dekat dengan-
nya, maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi
Cakra Maut yang saat ini terus menghantam pada se
tiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika
Manusia Siluman itu menerjang ke arahnya. Sambil
bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut
kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam
pada telapak kaki lawan. Kalau kali ini tak berhasil ju-
ga, tipis sudah harapannya sebab seluruh tubuh yang
lain sama sekali kebal terhadap senjatanya. Malah pa-
da sepasang mata lawan terlihat tak begitu ketat dilin-
dungi seperti memberi isyarat bahwa di bagian itu bu-
kan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit se-tinggi
langit dan ambruk di tanah sambil menggelepar-
gelepar. Darah mengucur deras dari se-belah telapak
kakinya yang di tembus Cakra Maut. Bayu tak menyia-
nyiakan kesempatan ini. Sebelum lawan berusaha
bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghan-
tam telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga
terdengar lolongan panjang.
"Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!"
desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikan-nya
dengan seksama, tubuh Manusia Siluman itu berubah
perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis
dan menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah
menjadi bersih dengan senyum ramah. Matanya tak
lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kemba-
li normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua
taring di sudut bibirnya pun kembali menjadi biasa.
Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah
menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu be
tul-betul bisa mengenali siapa orang itu.
"Tabib Jaladara?!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget men-
dengar ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Astaga?!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke
arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba ter-
dengar panggilan lirih si Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh
pelan. Wajahnya terlihat pucat.
"Sur.... Surtiningsih?! Kau... kau... ohh, apa yang
kulakukan padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu
juga yang lain. Bayu hanya menuruti saja ketika Tabib
Jaladara minta didekatkan dengan Selendang Maut.
Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu
saling meremas jari sambil tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." li-
rih suara Selendang Maut yang dipanggil Surtiningsih
itu.
"Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maaf-
kan aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama
salah karena saling mengagulkan kepandaian masing-
masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin men-
jadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah
kita berpisah, aku menemukan sebuah kitab tentang
ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi
ternyata aku salah mempelajarinya. Ilmu itu tak mam-
pu ku kendalikan. Sewaktu-waktu aku menjelma dan
merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar yang
haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku
tak bisa mengenali siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluar-
nya?"
"Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan
ramuan obat. Itulah sebabnya pada saat-saat sadar
aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti
namaku menjadi Jaladara agar tak di kenali orang
lain. Tapi hasilnya tetap nihil...."
Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng le-
mah. Kemudian dia menatap ke arah Selendang Maut
sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah ka-
rena masing-masing merasa memiliki kepandaian yang
hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih
ingat bukan? Pembantu setia kita yang dipungut ke-
luargaku ketika masih kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui
mereka? Barangkali mereka sudah besar sekarang,
dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis
yang sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi
aku sedang mengandung saat itu. Dan lahir bayi pe-
rempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!"
*
* *
Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembi-
caraan mereka tersentak kaget. Buru-buru dia me-
nunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku,
Roro Intan yang dititipkan pada Paman Patisena sejak
kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau
Selendang Maut yang lebih dulu tersenyum dengan
wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa?!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh
wanita separuh baya itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan
wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu.
Selagi mereka melampiaskan perasaan suka cita
karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggal-
kan tempat itu secara diam-diam bersama Tiren. Tapi
baru saja Bayu melangkah beberapa tindak, seseorang
menegurnya.
"Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?"
Dewi Sukma Wening menunduk sambil me-
mandangi tangan kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan...? Beruntunglah mereka di-
bandingkan dengan diriku..." lanjutnya lirih.
Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada
bicara Dewi Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat
dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa
bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula
dengan demikian mereka selamanya tak akan pernah
bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam memper-
temukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan
betul adalah kedukaan di batin gadis itu. Baru saja dia
bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama lagi ha-
rus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehi-
langan kedua orang tuaku sejak masih kecil..." lirih
suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu ba-
nyak di alami umat manusia. Dahulu kukira cuma aku
saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?"
Bayu tak sempat menjawab. Ketika itu terdengar
jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya me-
noleh dan melihat bahwa dua insan yang saling me-
nyintai telah meninggal dalam pelukan Ratna Puspa
dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma
Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari bela-
kang. Lama Bayu membujuk gadis itu dan menen-
tramkan hatinya.
Tak lama kemudian mereka mengangkat kedua
mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang
berada di situ. Bayu telah berjanji pada Ratna Puspa
untuk menemaninya beberapa hari di tempat Paman
Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro
Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sem-
pat melambaikan tangan pada Dewi Sukma Wening
yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu ber-
maksud mengembara mengikuti ke mana saja kakinya
melangkah.
Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambut-
nya bersama dengan dedaunan kuning yang bergugu-
ran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka.
Bayu tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil
melirik ke arah Ratna Puspa. Kemudian menghela ku-
danya.
"Heaaa...!"
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar