..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE DENDAM DAN ASMARA

Matjenuh khairil

 

SATU

Waktu datang dan pergi. Sejarah hadir dan berganti. 
Manusia lahir dan mati. Roda kehidupan terus ber-
jalan tanpa ada yang dapat menghentikannya. Dan 
selama itu pula dunia persilatan selalu diwarnai 
berjuta kisah. Tentang darah dan nyawa, tentang 
cinta, tentang perjuangan, dan tentang pengorbanan. 
Sejak Begal Ireng yang berjuluk si Pencabut Nyawa 
berani unjuk taring kembali dalam dunia persilatan, 
hari-hari makin tersaput warna merah karena terlalu 
banyak darah tertumpah. Tidak hanya pem-
berontakan pada Prabu Bratasena yang dilakukan-
nya. Tapi, juga keangkaramurkaan yang membumi-
hanguskan orang-orang tak berdaya. Pembantaian 
yang terjadi di mana-mana, kini bukan lagi kisah luar 
biasa. Di setiap tempat dan di setiap waktu, bisa saja 
terjadi secara tiba-tiba. Lengking kematian kerap ter-
dengar, seiring isak tangis pilu para korban yang 
teraniaya. 
Saat ini, dunia persilatan memang tengah mem-
butuhkan 'Sang Penyelamat'! Karena hukum kerajaan 
yang diberlakukan Prabu Bratasena pun ternyata 
tidak memiliki kekuatan dalam menghadapi 
kebuasan Begal Ireng dan kawanannya. 
Sementara itu, di Lembah Kutukan yang jauh dari 
hingar-bingar dunia persilatan, seorang pemuda 
tampan bermuka tirus tampak tengah menjalani per-
juangan antara hidup dan mati. Dan orang itu adalah 
Andika. Setelah beberapa tahun menekuni ilmu olah 
kanuragan di lembah itu, dia sudah menjadi pemuda

berbadan tegap berotot. Rambutnya sebatas bahu tak 
teratur. Wajahnya yang tampan dihiasi oleh mata 
tajam menusuk. Sedangkan alis mata yang menukik 
bagai sayap elang, memperlihatkan ketajaman muka-
nya. Kini, dalam masa penyempurnaannya sebagai 
seorang pendekar keturunan keluarga Lembah 
Kutukan. Dan dia harus menerima sesuatu yang tak 
terduga. 
Saat itu, Andika baru menyelesaikan jurus ketiga 
puluh yang bernama 'Petir Selaksa' hasil ciptaannya. 
Di antara gencarnya juluran lidah petir, tubuhnya 
tampak berkelebat kian kemari dalam satu rangkaian 
gerakan ganjil. Seluruh tubuhnya sudah dibanjiri 
keringat yang tak henti-hentinya mengalir dari lubang 
pori-porinya. 
Kini tampak, juluran lidah petir yang amat 
menyilaukan mata menghujam ke arah Andika dari 
arah samping kanan. Dan pemuda itu dapat merasa-
kan kalau sambaran petir kali ini memiliki kekuatan 
beberapa kali lipat lebih dahsyat, beda dari biasanya. 
Tentu saja anak muda itu tidak sudi tubuhnya ter-
panggang, karena keganjilan yang baru kali ini 
ditemui. Dengan sigap, tubuhnya berkelebat ke 
samping dengan kecepatan melebihi suara. Kekuatan 
lidah api yang hendak mengganyangnya memang 
luput sejengkal dari tubuhnya. Namun ketika kaki kiri-
nya menjejak salah satu dari susunan batu yang 
teratur rapi, mendadak tanah di sekitar batu itu 
amblas! 
Belum sempat Andika menyadari apa yang terjadi, 
tubuhnya tersedot ke lubang besar yang kini tercipta. 
Srrr! 
Anak muda bertubuh gagah itu benar-benar tidak 
bisa lagi menguasai keseimbangannya. Tubuhnya

terus meluncur dalam lubang menurun yang panjang 
berliku. Bunyi kerikil dan pasir yang ikut terseret 
tubuhnya, terdengar seperti desis ribuan ular berbisa. 
Sampai suatu ketika.... 
Buk! 
Tubuh kekar Andika terbanting keras di tanah 
dasar lubang itu. Karena pantatnya yang jatuh lebih 
dulu, maka bagian itu pula yang mengalami rasa sakit 
paling parah. Wajahnya langsung meringis-ringis 
seperti orang telat buang air. Dengan terduduk me-
nahan sakit, tangannya meraba bagian pantatnya 
yang berdenyut-denyut bukan kepalang. 
“Huh! Daripada pantatku terbentur seperti ini, 
lebih baik tersambar petir...,” keluh pemuda itu, 
jengkel. 
“Kalau tahu jadi pendekar sakti harus sesengsara 
ini, rasanya lebih baik jadi tukang sayur saja.” 
Selesai menggerutu panjang pendek, Andika mulai 
mengawasi keadaan sekitarnya. Rupanya, di 
sekelilingnya merupakan sebuah ruangan yang sama 
sekali asing. 
Ruangan ini cukup luas, berdinding batu cadas 
yang melingkar hingga ke bagian atas. Pada beberapa 
bagian dinding tertancap obor-obor yang tampaknya 
dihidupi oleh gas alam. Hawa di dalam ruangan itu 
sangat sejuk, seolah-olah ada saluran udara khusus 
yang tersembunyi. 
Namun, bukan hal itu yang menarik perhatian 
Andika. Rupanya ada sesuatu yang membuat kening-
nya berkernyit dalam. Di salah satu sudut ruangan ini, 
ternyata ada seorang lelaki tua bertubuh kurus. Dia 
tengah duduk tenang dengan mata terpejam di atas 
sebuah batu yang permukaannya pipih. Seluruh 
pakaian yang dikenakannya berwarna putih. Amat

pantas dengan keadaannya yang begitu meng-
gambarkan ketenangan. Dari caranya duduk dengan 
tangan terlipat di dada, Andika yakin kalau laki-laki 
tua itu sedang bersemadi. 
Dan ada satu lagi yang membuat Andika terheran-
heran. Ternyata di depan lelaki tua itu terdapat meja 
beralaskan kain kotak-kotak hitam dan putih seperti 
papan catur. Bahkan di atasnya tampak pula 
beberapa buah catur. 
Andika jadi terheran-heran sendiri seraya men-
dekati lelaki tua itu dengan langkah hati-hati. Ber-
macam-macam dugaan berkecamuk dalam benaknya 
saat ini. Tapi, tak satu pun yang terjawab, sehingga 
makin membangkitkan rasa ingin tahunya yang 
terkadang liar. 
Andika melangkah makin dekat. Hatinya semakin 
tegang, hingga tanpa disadari, napasnya diatur 
sedemikian rupa, agar tidak terdengar oleh lelaki tua 
yang kini dihampirinya. 
“Ki...,” tegur Andika setengah berbisik ketika telah 
berada di sisi orang tua berbaju putih itu. 
Andika diam sebentar, sambil terus mengamati 
tindakan orang tua itu. 
“Ki...! Hey, Kisanak,” ulang Andika lebih keras. 
Tapi orang yang ditegur tetap saja mematung 
tanpa gerak sedikit pun. 
Andika mencoba memanggil lagi. Bahkan tangan-
nya pun sudah bergerak-gerak nakal di depan wajah 
orang tua itu. Hasilnya, tetap nihil. Orang tua itu 
belum juga memberi tanggapannya. Sekali lagi di-
cobanya untuk menegur dengan suara lebih keras, 
sampai akhirnya, dia jadi menggerutu sendiri. 
“Huh!” 
Andika mulai jengkel, karena orang yang di

tegurnya seakan menganggapnya sekadar nyamuk 
buduk. 
“Apa kau memang tuli, Ki? Apa aku harus berteriak 
tepat di telingamu? Ya..., baiklah!” gumam pemuda 
bermuka tirus ini, seperti orang kehilangan akal. 
Lalu.... 
“Kisanak...! Oooi, Kisanak!” jerit Andika tak 
tanggung-tanggung, tepat di telinga lelaki tua yang 
mulai menjengkelkannya. 
Tanpa disadarinya, kekuatan sakti dalam tubuh 
Andika mengalir bersama jeritannya. Hal itu meng-
akibatkan dinding batu cadas di sekelilingnya ber-
getar, lalu runtuh sebagian. 
“Uf, maaf tak sengaja. He he he...,” ucap Andika 
cepat, saat menyadari akibat teriakan gilanya. 
Dan lagi-lagi, pemuda ini harus jengkel. Bagaimana 
mungkin laki-laki jompo itu tidak mendengar 
teriakannya? Kalau dinding cadas saja dapat 
berantakan seperti kerupuk, kenapa gendang telinga 
laki-laki itu tidak pecah? Andika makin diseret 
kedongkolan, karena rasa herannya. 
“Kau sudah mati ya, Kisanak? Ya...! Pasti kau 
sudah mati!” 
Kini Andika mendekatkan telinganya ke dada 
kurus lelaki tua. Beberapa saat diperhatikannya 
denyut jantung laki-laki tua yang terus diam seperti 
patung. Cukup lama juga, sampai dia benar-benar 
yakin kalau telinganya tidak menangkap detak 
jantung orang tua itu sedikit pun. 
“Kasihan kau, Kisanak. Rupanya kau memikirkan 
langkah-langkah catur ini, sampai mati karenanya,” 
oceh Andika seraya melirik ke buah catur di 
hadapannya. 
Sebentar kening Andika berkerut, melihat langkah

langkah buah catur di hadapannya. Otaknya terus 
bekerja, seperti mengotak-atik biji-biji catur berwarna 
putih, agar dapat mematikan raja hitam. 
“Padahal langkah biji catur hitam amat mudah 
untuk menghindari kematian. Kalau saja dari dulu 
kau katakan hal ini padaku, tentu tak akan mati 
pusing seperti ini,” celoteh Andika sambil meng-
geleng-gelengkan kepalanya. Seakan-akan, dialah 
orang terhebat dalam permainan catur. 
Tiba-tiba.... 
“Siapa yang mengatakan aku sudah mati?!” 
Andika terlonjak bukan main, begitu tiba-tiba 
terdengar suara berat mendengus. Bahkan tubuhnya 
sampai terlempar tiga tindak ke belakang. Wajahnya 
tampak pucat-pasi karena terkejut. Alis matanya yang 
hitam terangkat tinggi-tinggi. Ditatapnya lelaki tua tadi 
dengan sinar mata ngeri. 
“Arwah gentayangan, ini pasti hantunya!” bisiknya 
dengan bahu menciut. “Hiy...!” 
“Siapa yang kau katakan hantu?!” hardik lelaki tua 
yang matanya kini telah terbuka. 
“K... kau, Kisanak! Kau pasti arwah gentayangan. 
Kau..., kau sudah mati. Kau har... rus kembali ke 
alammu. Ayo, sssana! Husss!” ujar Andika tergagap. 
Tangannya mengibas-ngibas, seperti mengusir. 
“Bocah goblok! Baru pertama kali ini aku bertemu 
seorang yang ingin jadi pendekar, tapi bernyali 
kodok!” bentak orang tua itu lagi. Kali ini matanya 
menatap Andika. 
“Aku bukannya takut, Hanya....” 
“Hanya apa?!” 
Andika menelan ludah. “Cuma seram...,” tambah 
Andika setelah menelan ludah, dengan mata masih 
terbelalak seperti hendak keluar.

“Apa kau kira aku ini arwah gentayangan?” 
Andika tidak menjawab. Dia sendiri sudah begitu 
yakin kalau orang tua di depannya sudah mati dan 
arwahnya kini kembali karena dia telah mengusiknya. 
“Aku bukan setan, Tolol! Kenapa kau masih 
melotot seperti orang cacingan?!” bentak orang tua 
itu lagi. Jenggot putihnya tampak tergetar saat mem-
bentak. 
“Jadi kau bukan arwah gentayangan? Ah, bohong! 
Kau pasti setan yang suka berbohong!” tukas Andika. 
Lelaki tua itu malah tertawa. 
“Ke sini kau!” perintah laki-laki tua itu tiba-tiba. 
“Tidak mau...,” tolak Andika, seraya meng-
gelengkan kepala kuat-kuat. 
“Kesini!” 
“Tidak mauuu...!” 
“Kalau tidak ke sini, kau akan kucekik sampai 
mati. Ingat, aku adalah arwah gentayangan yang 
paling suka mencekik orang!” ancam lelaki tua ber-
jenggot putih. 
Lagi-lagi Andika menelan ludah. Dia berpikir, “Dari-
pada dicekik, lebih baik menuruti kemauannya saja”. 
Kakinya mulai beringsut, mendekati orang tua itu. 
“Sekarang duduk!” perintah orang tua itu kembali, 
sewaktu anak muda itu sudah selangkah di depan-
nya. 
Andika meringis ngeri, mendengar permintaan 
orang tua itu. “Setelah aku duduk, mau diapakan 
lagi?” 
“Duduklah. Jangan takut, aku tak akan men-
cekikmu!” ujar orang tua itu, seperti dapat membaca 
pikiran Andika. 
Akhirnya, Andika menurut. Sambil tetap menatap 
orang tua itu, dia duduk takut-takut.

“Dengarkan baik-baik,” ujar orang tua itu, saat 
Andika sudah duduk menciut. “Namaku, Ki 
Saptacakra. Aku tahu, kau belum kenal padaku. Maka 
itu, akan kuperkenalkan diriku kalau aku adalah 
buyutmu, Pendekar Lembah Kutukan....” 
Wajah Andika langsung menengadah, bagai baru 
saja mendapat mimpi. Bagaimana hatinya tidak 
tersentak seperti sedang bermimpi, kalau orang tua di 
depannya mengaku sebagai Pendekar Lembah 
Kutukan yang tinggal menjadi cerita rakyat selama 
lebih dari seabad. 
Namun Andika juga berpikir, “Kalau orang tua yang 
mengaku bernama Ki Saptacakra, pasti arwah 
gentayangan yang sinting! Masalahnya, dia mengaku 
sebagai buyutku.” 
“Jangan sembarangan mengaku-ngaku sebagai 
buyutku, Kisanak!” bentak Andika kesal. 
Tiba-tiba saja harga diri Andika sebagai keturunan 
langsung pendekar tersohor itu terusik. Dia berpikir, 
Ki Saptacakra sedang mengejek keluarganya. 
Padahal, Andika sendiri belum pernah mengenal satu 
pun dari anggota keluarga Pendekar Lembah 
Kutukan.” 
Sementara, Ki Saptacakra terkekeh. 
“Rupanya kau tidak terlalu pengecut, ya?” sindir 
orang tua itu. 
“Pengecut? Hei, bagaimana mungkin keturunan 
Pendekar Lembah Kutukan bisa pengecut?” sergah 
Andika seraya membusungkan dada, biarpun 
sebenarnya masih gemetar juga. “Dan aku tidak 
terima kalau kau mengaku-ngaku seenaknya!” 
“Kalau kau tidak percaya, terserah,” kata Ki 
Saptacakra amat tenang. Setenang bias wajahnya 
yang ditumbuhi jenggot putih panjang. “Tapi kau

mesti tahu, aku akan mewariskan sesuatu yang 
belum kau miliki....” 
“Terima kasih, aku sudah hebat,” sela Andika, 
seenak dengkul. 
“Bagiku. kau hanya anak bawang. Anak pengecut 
yang pongah dan keras kepala,” kata Ki Saptacakra 
kembali sambil terkekeh. 
Andika langsung bangkit, lalu berkacak pinggang. 
Hatinya benar-benar mangkel. 
“Ngomong-ngomong soal pengecut, sebenarnya 
tadi aku hanya agak kaget..., itu pun hanya sedikit 
sekali. Ingat itu,” ujar Andika membela diri. “Dan soal 
anak bawang itu. Bisa kubuktikan kalau aku ini 
biangnya bawang! Eh..., maksudku aku memang 
hebat. Bagaimana aku harus membuktikannya? Apa 
mesti menggigit telingamu sampai mengejang mati?” 
“Kau bisa main catur?” tanya Ki Saptacakra. 
“Main catur? Apa hubungannya dengan kesaktian-
ku? Percuma saja selama enam purnama, aku 
pontang-panting di Lembah Kutukan kalau hanya 
ditantang main catur,” remeh Andika. 
“Itulah sikap keras kepalamu!” ejek Ki Saptacakra. 
“Aku tidak keras kepala!” teriak Andika. Ke-
dongkolannya sudah naik sampai ke ubun-ubun. 
“Baik, baik. Tantangan konyolmu kuterima....” 
Akhirnya Andika menerima tantangan itu. Dia tidak 
mau disebut keras kepala, meski memang begitu. 
“Kau bereskan dulu buah caturnya!” perintah Ki 
Saptacakra. 
Mata Andika jadi menyipit. Alisnya bertaut amat 
erat. Masalahnya, Ki Saptacakra seenaknya me-
nyuruh Andika membereskan buah catur. Andika jadi 
menggerutu. Tapi karena tidak mau disebut keras 
kepala lagi, akhirnya menyerah.

Dengan malas-malasan, tangan anak muda itu 
menjulur ke buah catur yang masih tersusun pada 
tempatnya masing-masing. Begitu hendak meng-
angkat satu buah catur, keningnya langsung ber-
kernyit. Ternyata buah catur itu sulit diangkat. 
Digenggamnya buah catur itu kuat-kuat, lalu di-
hentakkan. Ajaib! Buah catur kayu itu tetap saja tidak 
bergeming. Apalagi terangkat. 
Andika baru sadar. Tentu buah catur itu telah 
disalurkan tenaga dalam oleh Ki Saptacakra. Dengan 
bibir menyeringai kesal, tenaga saktinya segera 
dikerahkan. 
“Hiaaat!” 
Usaha pertama tidak berhasil. 
“Hiaaat!” 
Kembali tenaga saktinya. Dan ternyata usaha 
kedua pun nihil. 
“Hiaaat!” 
Usaha ketiga pun sia-sia. 
Dut... bret... bret... bruuut! Nah, itu usaha selanjut-
nya. Andika sampai terkentut-kentut. 
“Sialan!” maki Andika putus asa. “Terang saja, ini 
di tempatmu sendiri, Ki. Kalau tidak....” 
Walaupun tidak berhasil, Andika masih berkilah 
mencari-cari alasan. Sementara Ki Saptacakra hanya 
tersenyum-senyum mengejek. 
Andika segera melepaskan genggaman tangannya 
pada buah catur tadi dengan wajah tertekuk. 
“Aku tak sudi melanjutkan permainan konyol ini,” 
gerutu pemuda itu. 
“Itu artinya kau menyerah,” cemooh Ki Saptacakra. 
“Suka-sukamulah, Ki. Toh, tak ada seorang pun 
yang menyaksikan kekalahanku...,” kata Andika, lesu. 
“Jadi kau mau menerima warisanku, kan?”

Ki Saptacakra tersenyum geli. Sedangkan Andika 
makin menekuk wajah. 
“Tapi sebelum menerimanya, kau harus berusaha 
mencari jalan keluar dari tempat ini,” kata Ki 
Saptacakra kembali. Wajahnya yang semula cerah 
karena tersenyum, kini mulai memutih lagi. 
“Permainan macam apa lagi yang kau berikan 
padaku, Ki?” tanya Andika. “Kalau begitu caranya, 
aku lebih suka tidak menerima warisanmu.” 
Sementara, Andika terus mondar-mandir di depan 
Ki Saptacakra yang masih duduk tenang. 
“Itu sama artinya kau tidak ingin keluar dari 
tempat ini.” 
“Apa maksudmu?” Andika menghentikan langkah-
nya. 
“Ya! Karena hanya dengan menerima per-
syaratanku tadi, kau bisa keluar dari tempat ini. 
Sekaligus, menerima warisanku,” jelas Ki Saptacakra 
datar. 
“Ini benar-benar menyebalkan! Menjengkelkan! 
Mendongkolkan!” umpat Andika seraya melanjutkan 
langkah. 
Kembali pemuda itu mondar-mandir. Sementara, 
tangannya mengacak-ngacak rambut sendiri, seakan 
mulai dirasuki setan kudis. 
“Aku tidak mau tinggal di tempat ini sepanjang 
hidup. Aku masih ingin makan tempe. Dan, aku juga 
mau kawin!” teriak Andika. 
“Kalau begitu, cari jalan keluarnya. Aku akan 
melanjutkan semadiku,” ujar Ki Saptacakra. 
Laki-laki tua itu seperti tidak mengindahkan 
kesewotan Andika yang memuncak. Matanya kembali 
terpejam, lalu perlahan napasnya tak terdengar. 
“Hei, Ki. Kau harus memberitahuku jalan keluar

dari tempat ini.” 
Tapi, Ki Saptacakra sudah larut kembali dalam 
kekhusyukan semadinya. 
“Aku tak ingin kurang ajar dengan orang tua 
sepertimu, Ki. Tapi kau mempermainkanku, maaf 
kalau aku sampai memakimu.... Setan Belang! Kentut 
Tuyul! Tua bangka brengsek, kau!” 
*** 
Telah dua hari dua malam Andika terkurung di 
dalam goa, tempat Ki Saptacakra bersemadi. Selama 
itu, tak ada sepotong makanan pun yang dapat 
dimakan, kecuali menelan air yang merembas di 
antara dinding cadas. Selama itu pula, dia telah 
berusaha mencari jalan keluar. Tentu saja hasilnya 
sia-sia. 
Kini Andika terduduk lesu di salah satu sudut 
ruangan. Dipandangnya Ki Saptacakra dengan 
tatapan kesal. Kalau saja masih punya tenaga, akan 
dimakinya orang tua yang tetap tenang dalam semadi 
itu. Sekarang, jangankan untuk berteriak-teriak 
mengumpat. Untuk berdiri saja, dia sudah begitu 
lemah. Perutnya yang kosong jelas membuatnya 
demikian. 
Berkali-kali Andika menarik napas, melepas rasa 
putus asa yang mulai menelusup dalam rongga 
hatinya. Untunglah dia anak muda keras kepala. 
Meski tubuhnya sudah lemas, namun otaknya masih 
tetap bekerja. 
“Kalau aku mencoba keluar dari lubang yang mem-
bawa tubuhku ke tempat ini, belum tentu masih ter-
buka. Bisa saja lubang itu telah tertimbun reruntuhan 
tanah kembali. Apa mungkin tidak ada jalan keluar

lagi? Ah, mustahil! Udara yang tetap sejuk dan tak 
pengap di ruangan ini jelas membuktikan kalau ada 
bagian terbuka yang menjadi tempat keluar masuk-
nya udara. Itu pasti pintu keluar yang dimaksud orang 
tua brengsek ini. Tapi di mana?” gumam Andika, 
bicara pada diri sendiri. 
Lama pemuda itu memutar otak, mencari 
kemungkinan letak pintu keluar. Sampai suatu saat, 
matanya terantuk pada meja catur di depan Ki 
Saptacakra. 
“Catur itu!” pekik pemuda itu girang. “Langkah-
langkah catur itu pasti petunjuk menuju jalan keluar!” 
Bergegas Andika menghampiri meja catur kembali. 
Diperhatikannya buah catur di atasnya. Tampak buah 
catur hitam milik Ki Saptacakra dalam keadaan 
terdesak. Rajanya terancam dalam beberapa jurus. 
Otaknya yang memang cerdas mulai berjalan lagi. 
“Dengan membebaskan buah raja, pasti aku akan 
mendapat arah menuju pintu keluar,” gumam 
pemuda itu yakin. 
Mulailah pemuda itu mereka-reka buah catur yang 
mana yang harus digerakkan untuk menyelamatkan 
buah raja. Beberapa waktu kemudian.... 
“Dapat!” 
Segera tangan pemuda itu bergerak menuju buah 
catur. Kali ini tak ada kesulitan dalam mengangkat 
buah catur itu. Setelah memindahkan beberapa buah 
catur, Andika dapat membebaskan buah raja yang 
terancam. 
“Kuda makan prajurit. Prajurit maju satu langkah, 
perdana menteri selangkah ke kanan, dan raja maju 
selangkah ke depan,” bisik Andika, mengingat-ingat. 
Tak lama, Andika bangkit berdiri. Dan dia mulai 
melangkah sesuai langkah catur yang telah dijalan


kannya. Sampai akhirnya, berdiri tepat di belakang 
tubuh Ki Saptacakra. 
“Sekarang bagaimana lagi?” gumam pemuda itu. 
Andika terdiam dengan otak mereka-reka kembali. 
Matanya menyipit. Sementara telunjuk tangan 
kanannya menempel di pelipis. 
“Tanah yang kupijak ini pasti merupakan kunci 
pembuka jalan keluar.” 
Andika memperhatikan tanah tempat yang 
dipijaknya. Semakin diperhatikan, semakin tampak 
jelas kalau ada bagian yang menjorok ke dalam di 
tanah itu. Dan bagian itu segera diinjaknya. 
Kemudian.... 
Grrr! 
Dinding di sisi kiri Andika perlahan terkuak, 
memperdengarkan deram bagai geraman naga. 
“Yah! Aku berhasil, Ki! Aku berhasil! Aku bisa 
kawin!” teriak Andika seperti orang gila. Kakinya 
cepat melangkah mendekati Ki Saptacakra. 
Andika menjulurkan kedua tangannya, memegang 
bahu Ki Saptacakra. 
“Ki...! Hei, Ki! Aku berhasil!” seru Andika seraya 
menggoyang-goyangkan tubuh Ki Saptacakra. 
Namun, tubuh Ki Saptacakra tetap terdiam seperti 
patung. 
“Aaah! Kau jangan berpura-pura mati lagi, Ki! Aku 
sudah tahu....” 
Ketika tangan Andika melepaskan tubuh orang tua 
itu, Ki Saptacakra terjatuh dari duduknya dalam 
keadaan kaku. 
“Ki....” 
***

DUA

Andika berhasil keluar dari tempat Ki Saptacakra, dan 
segera memasuki sebuah ruang lain dengan melewati 
pintu batu yang terbuka, setelah menginjak bagian 
yang menjorok ke bawah. 
Di ruangan yang baru dimasukinya itu, Andika 
melihat sebuah kolam alam kecil seperti dalam Goa 
Lembah Kutukan. Kalau tepian kolam di Goa Lembah 
Kutukan dipenuhi tumbuhan berbuah seperti tomat, 
maka di ruang ini tepian kolam itu dipenuhi peti-peti 
berukir. 
Pemuda itu segera melangkah mendekati tepi 
kolam. Tubuhnya segera membungkuk, mengambil 
sebuah peti. Begitu seterusnya. Dan setiap kali satu 
peti dibuka, mata pemuda itu terbelalak lebar. Andika 
benar-benar terperangah, karena peti-peti itu ternyata 
berisi tumpukan emas permata. 
Dan pada peti terakhir yang dibukanya, ternyata 
ada satu peti yang isinya berbeda. Di dalamnya hanya 
ada buah ranum berwarna hijau pekat, sebesar 
kepalan tangan. Saat itu Andika benar-benar dibuat 
bingung. Apa maksud Ki Saptacakra dengan 
mengatakan kalau mau memberi warisan? Kalau 
emas permata yang bertumpuk dalam peti, Andika 
benar-benar tak berminat. Sebab disadari banyak 
manusia yang menjadi bejat karena harta. 
Otak Andika sudah demikian lelah diperas terus-
menerus untuk memecahkan teka-teki agar dapat 
keluar dari ruang semadi Ki Saptacakra. Sehingga,

dia tidak peduli lagi dengan warisan yang dikatakan 
orang tua itu. Yang jelas, dia ingin secepatnya pergi 
dari tempat itu. Apalagi, perutnya terasa sangat lapar, 
maka tanpa pikir panjang, tangannya langsung 
mengambil buah dari peti itu. Sebentar kemudian, 
mulutnya telah mengunyah dengan nikmat. 
Tanpa disadari, Andika sebenarnya telah me-
makan buah langka bernama Inti Petir. Buah itu 
tumbuh di Lembah Kutukan dalam waktu seratus 
tahun sekali. Seseorang yang memakan buah ber-
warna merah yang tumbuh di Goa Lembah Kutukan, 
sekaligus memakan buah hijau dari dalam peti itu, 
tubuhnya akan mampu menyerap kekuatan petir! 
Sesungguhnya, itulah yang hendak diwariskan Ki 
Saptacakra alias Pendekar Lembah Kutukan yang 
telah menjadi cerita rakyat. 
Ketika menemukan buah Inti Petir, Ki Saptacakra 
sudah mulai menyingkir dari hingar-bingar dunia 
persilatan. Dia kemudian bersemadi berpuluh tahun. 
Tujuannya adalah memohon pada Tuhan, agar diberi 
kesempatan untuk bertemu salah seorang keturunan-
nya yang akan diwarisi buah langka itu. Sebagai salah 
seorang keturunan Ki Saptacakra, Andika beruntung. 
Hanya dia yang rupanya dapat bertemu langsung 
dengan buyutnya yang sudah menjadi dongeng 
kepahlawanan itu. Sekaligus menerima warisan ter-
akhirnya yang amat dahsyat! 
Maka ketika Andika telah berhasil membuka pintu 
batu dalam ruang semadinya, Ki Saptacakra pun 
menyerahkan jiwanya ke hadirat Tuhan. Dia wafat 
bersama senyum puas di bibir keriputnya. 
Setelah perutnya tidak lapar lagi, Andika harus 
menemui jalan keluar kembali. Sebentar matanya 
beredar ke sekeliling ruang yang hanya diterangi

nyala obor yang terpancar di dinding. Sebenarnya, 
pemuda itu heran juga, karena obor itu seperti tak 
kunjung padam. 
Pemuda itu jadi tertarik, kemudian mendekati 
obor. Lalu, diraihnya tangkai obor. Dan begitu tangan-
nya mencabut obor, tiba-tiba.... 
Derrr! 
Mendadak, dinding batu cadas di hadapan Andika 
bergeser ke kiri bersama obor yang baru saja ditarik. 
Perlahan-lahan dinding itu bergerak, hingga akhirnya 
membentuk lubang yang menembus langsung ke 
dunia luar. 
“He?!” 
Andika terhenyak kaget. Buru-buru kakinya me-
langkah, mendekati lubang itu. Tubuhnya lalu mem-
bungkuk, karena lubang itu hanya setinggi anak kecil 
berusia tujuh tahun, dengan lebar tak lebih dari 
setengah tombak. Dan begitu diterobos, ternyata 
Andika telah berada di puncak bukit, di atas Lembah 
Kutukan! 
*** 
Di kaki langit sebelah timur, matahari tersembul 
memantulkan sinar rona jingga. Ayam jantan liar 
mengumandangkan kokoknya yang gagah, menyapa 
hari di ambang pagi. Gumpalan awan berarak di 
cakrawala. Sementara, tiupan angin sejuk melengkapi 
lahirnya hari ini. 
Dalam terpaan lembut hawa pagi, Andika me-
matung di puncak bukit yang memagari Lembah 
Kutukan. Tubuhnya terlihat bagai tonggak kayu tak 
bernyawa saja. Di bawah sana, di Lembah Kutukan, 
dia telah menyelesaikan masa penyempurnaannya

sebagai seorang pendekar dari Lembah Kutukan. Ya! 
Penyempurnaan dirinya memang telah selesai. Tapi 
hatinya tak pernah berhenti bertanya, “Benarkah aku 
telah benar-benar sempurna?” Andika takut kalau 
telah melalaikan sesuatu saat di Lembah Kutukan, 
hingga tidak mampu mengemban amanat yang di-
serahkan padanya. Sementara amanat tersebut 
bukanlah sesuatu yang ringan. Panji-panji keadilan 
dan kebenaran harus ditegakkan. Betapa takut 
Andika jika ternyata gagal dalam tugas suci itu, hanya 
karena kelalaiannya dalam menjalani penyempurna-
an. 
“Telah sempurnakah aku?!” bisik hati pemuda itu. 
Namun sisi hatinya yang lain berbisik, kalau 
penyempurnaan kedigdayaan yang telah dilakukan-
nya di Lembah Kutukan memang tidak menjamin. 
Bukankah di dunia ini tak ada manusia yang 
sempurna? 
“Ya! Aku tak perlu mengkhawatirkan kegagalan 
dalam setiap langkah perjuanganku. Yang penting 
aku mesti melaksanakan yang terbaik sebatas 
kemampuan,” tekad batin Andika dalam bisik samar 
yang tersapu angin lalu. 
Kakinya mulai melangkah menuruni pegunungan 
berbatu. 
*** 
Siang di Desa Sariadi. Pasar di tengah desa itu 
masih ramai oleh kesibukan. Para pedagang tetap 
gigih menjajakan barang, meski sinar matahari terus 
menusuk di atas kepala. Sama halnya para pembeli 
yang datang kesiangan. Mereka menyatu dalam satu 
irama bising.

Di antara orang-orang yang lalu-lalang, tampak 
seorang pemuda berjubah putih yang sudah sangat 
lusuh. Dan orang itu ternyata Andika yang baru saja 
tiba di desa ini. 
Penampilannya amat tak sedap dipandang. Jubah 
peninggalan Ki Saptacakra yang dikenakannya sudah. 
seperti kain lusuh. Di samping karena sering dibakar 
sambaran petir ketika di Lembah Kutukan, juga 
karena selama dia menciptakan jurus-jurus silat. 
Gerakannya yang dahsyat, berkali-kali mengoyak 
pakaiannya. 
Langkah pemuda itu tampak gontai ketika me-
masuki bagian pasar yang agak ramai. Di kanan 
kirinya, orang-orang sibuk dengan urusan masing-
masing tanpa mempedulikan kehadirannya. Barang-
kali mereka sudah terlalu sering menemukan 
pengemis yang berpakaian compang-camping seperti 
Andika di pasar ini. 
Andika tidak tahu, apa tujuannya ke pasar yang 
memusingkan ini. Bahkan tidak tahu ke mana tujuan-
nya yang pasti. Dia hanya ingin berjalan sampai 
benaknya menemukan rencana untuk memulai tugas 
yang diemban. 
Lebih jauh memasuki pasar, beberapa pedagang 
yang tak mendapat pembeli memperhatikan Andika. 
Mereka berbisik satu sama lain, lalu memper-
dengarkan tawa tertahan sampai ke telinga Andika. 
Makin memasuki pasar, makin banyak orang yang 
memperhatikannya. Seakan-akan, dirinya adalah 
tontonan menarik. Sialnya lagi, ada beberapa orang 
yang tak sungkan-sungkan tertawa terbahak-bahak 
persis di depan hidung Andika. 
Jelas saja Andika kebingungan. Alis legamnya 
terangkat tinggi. Sementara, tangannya terangkat ke

depan dada dengan telapak terbuka, seperti hendak 
bertanya. 
“Hua ha ha...! Pengemis sinting!” ledek seorang 
pedagang sayur. 
“Pengemis? Sinting pula? Sialan! Mimpi apa 
semalam, sampai orang menganggap aku pengemis 
sinting...,” gumam Andika dongkol. 
Kedongkolan Andika makin memuncak tatkala 
banyak gadis cantik yang terkikik menahan tawa, saat 
melihat dirinya. Wajahnya yang tirus dan agak pucat, 
mendadak merah matang. Hidungnya pun sudah 
kembang-kempis seperti hidung kelinci. Rasanya, 
saat itu dia ingin mendengus berkali-kali agar panas 
dalam dirinya bisa terbuang. 
“Apa salahku?!” bentak Andika tiba-tiba. 
Dua gadis desa yang menggendong bakul sayur 
langsung terlonjak kaget. Wajah mereka meringis 
ngeri, saat menemukan mata Andika membelalak 
sejadi-jadinya. 
“Kalau kalian naksir aku, kenapa tidak bicara 
langsung saja?! Atau kalian tidak pernah menemukan 
lelaki setampan aku?” omel Andika seraya mencak-
mencak. 
Dua gadis desa itu menatap Andika takut-takut, 
dengan wajah pucat. 
“Maaf, Kang. Anu...,” kata salah seorang gadis, 
mencoba menjawab. 
“Anunya siapa?! Eh, anu apa?!” potong Andika, 
galak. 
Gadis itu tidak bisa mengeluarkan kata-kata lagi, 
karena mulutnya sibuk menelan ludah. Hanya jari 
tangannya saja yang bergerak, menunjuk bagian 
belakang tubuh Andika. Setelah itu, tubuhnya 
langsung berbalik dan kabur bersama kawannya yang

menjerit-jerit minta ditunggu. 
“Hei! Tunggu!” seru Andika. 
Namun, mereka makin tunggang-langgang. 
Sementara, puluhan pasang mata lain memandang 
Andika dengan takut. Sedangkan Andika hanya ter-
bengong-bengong. Lalu, tangan kirinya mencoba 
meraba pantatnya. 
“Kutu koreng! Rupanya ini penyakitnya,” gerutu 
Andika. “Tentu kain ini tersangkut di ikat pinggangku 
sewaktu membopong tubuh Ki Saptacakra untuk 
dikuburkan.” 
Pantas saja mereka menganggap Andika sebagai 
orang sinting. Bagaimana tidak? Ternyata persis di 
pantatnya menjulur kain bercorak papan catur yang 
terlihat seperti ekor. Kain itulah yang dimaksud gadis 
tadi. 
Andika menggoyang-goyangkan pantatnya, mem-
buat kain itu bergerak-gerak gemulai. 
“Ah! Ekor kuda pun tak sebagus ekorku,” gumam 
pemuda itu, menghibur diri di sela kejengkelan. 
Setelah kain alas catur milik Ki Saptacakra 
dipindahkan ke bahu, Andika melanjutkan langkah-
nya. Tidak dipedulikannya lagi beberapa orang yang 
masih menertawakan di sepanjang jalan. Perutnya 
sudah berontak minta diisi. Menurutnya, perut inilah 
yang lebih baik diurus. 
Belum sempat menemukan kedai nasi, Andika 
dikejutkan oleh kegaduhan yang mendadak tercipta 
beberapa puluh tombak di belakangnya. 
Semula pemuda berpenampilan mengharukan ini 
tidak peduli. Karena dipikirnya, orang-orang di pasar 
mulai meledek lagi. Tapi ketika keramaian itu 
diwarnai jeritan-jeritan ngeri, tubuhnya lantas ber-balik.

Saat itu mata tajam Andika dapat menangkap 
kepulan asap hitam mulai menodai angkasa. Lalu, 
para pengunjung pasar berhamburan kian kemari 
tanpa terkendali. Suasana sudah seperti dilabrak 
gempa! 
Andika tidak yakin kalau kejadian itu hanya 
kebakaran biasa. Pasti ada sesuatu yang tidak beres 
di balik kebakaran itu! 
Jiwa kependekaran Andika kontan tergetar. Pijar 
keksatriaannya meletup di dadanya. Bisikan dari 
relung hati terdalamnya menyemangati, kalau tugas 
telah menanti. 
Tanpa menunggu teriakan menyayat melabrak 
telinganya lagi, tubuh Andika melesat cepat menuju 
asal kericuhan. Di antara puluhan orang yang berlari 
simpang-siur, tubuh Andika berkelebat lincah disertai 
ilmu meringankan tubuh seperti walet di antara batu-
batu karang. 
Tak heran dalam sekejap saja, Andika sudah tiba 
di tempat kejadian. Dan tubuhnya langsung melenting 
ke udara. Lalu, sepasang kakinya menjejak mantap di 
atas sebuah kedai, dekat bangunan yang dilahap api. 
Beberapa tombak di bawah, tampak lima lelaki kasar 
sedang menghajar seorang pemuda. Mereka 
memukul, menendang, menginjak, dan menyeret 
secara bergantian. Bagi kelima lelaki itu, pemuda 
yang dihajar habis-habisan tidak lebih dari anjing 
geladak. 
“Aaakh!” rintih pemuda yang dikeroyok itu. Wajah 
pemuda yang usianya tak lebih dari dua puluh lima 
tahun itu sudah habis dihiasi memar dan darah. 
Bajunya yang berwarna kuning cerah, harus dinodai 
darah yang tersembur dari mulutnya. 
“Kau harus memohon ampun pada kami! Lalu akui

kesalahanmu. Maka, nyawamu akan terbebas dari 
maut!” perintah salah satu dari lima lelaki. 
Wajah orang itu nampak bersih. Namun sinar 
matanya mencorong kejam. Hidungnya yang melancip 
terlihat seperti paruh burung pemakan bangkai. 
Sedangkan bibirnya tebal. Menilik pakaian yang 
dikenakannya yang sama dengan keempat lelaki 
temannya, tentu dia berasal dari perkumpulan yang 
sama. 
“Aku tak akan sudi memohon ampun padamu! Kau 
bisa membunuhku. Tapi tak akan bisa membuat aku 
memohon belas kasihan padamu!” jawab si pemuda 
itu bersama erangan. 
“Rupanya kau lebih suka mati, ya?! Kau lebih 
menghargai harga dirimu ketimbang nyawamu?” 
cemooh lelaki berwajah bersih itu. 
“Aku bukan menghargai harga diriku. Tapi aku 
menjunjung tinggi nilai kebenaran!” sahut pemuda 
itu, tak mempedulikan rasa sakitnya. 
“Hei..., hei! Kau minta aku mempercepat 
kematianmu? Baik, jika itu yang kau minta.” 
Sring! 
Lelaki berhidung lancip itu mengeluarkan pisau 
kecil dari balik bajunya. Ketika sinar matahari 
menerabas, terbersitlah pantulan sinar menyilaukan 
dari mata pisau yang setajam taring harimau itu. 
“Pisau ini akan menyayatmu sedikit demi sedikit, 
sampai mau mengakui kesalahanmu,” ancam lelaki 
berhidung lancip dengan mata berbinar-binar 
mengerikan. 
“Atau menyayat burungmu yang belum disunat itu, 
ya?!” selak seseorang di belakangnya. 
Laki-laki berhidung lancip ini kontan tersentak. 
Jelas, suara itu bukan suara temannya. Matanya

segera mencari sumber suara. Berbareng dengan 
dengusan keras, tubuhnya berbalik ke arah suara di 
belakangnya. 
“Apa kabar?” sapa Andika seraya melambaikan 
tangan kirinya. 
Memang, Andikalah yang tadi menyelak keasyikan 
lima lelaki yang kini tepat di hadapannya dalam jarak 
lima tombak. 
“Siapa kau?!” bentak lelaki berhidung lancip. 
“Aku? O, aku tukang daging yang pisaunya tadi kau 
pinjam. Masa' lupa?” jawab Andika asal bunyi. 
“Keparat!” 
“Iya, babat. Aku akan memotong daging babat. 
Jadi, aku mau minta pisauku kembali....” 
“Jangan melawak di sini, Gembel! Lebih baik pergi 
sebelum nasibmu seperti pemuda itu!” seru lelaki 
yang lain. 
Andika menarik napas dalam-dalam. Satu alisnya 
terangkat. Setelah itu, dia malah melepas kain 
bercorak catur yang tersampir di pundaknya. 
Digelarnya kain itu di tanah berdebu. 
“Kalau pisauku belum juga dikembalikan, aku 
akan tunggu di sini,” kata Andika seraya duduk di 
atasnya sambil memeluk lutut. 
Habis sudah kesabaran lelaki berhidung lancip itu. 
Lewat lambaian tangan, diperintahkannya empat 
lelaki lain untuk menghajar Andika. 
“Langsung dihabisi saja, ya Kang? Gembel ini 
hanya mengganggu acara kita,” ujar seorang lelaki 
yang bertubuh paling kurus, yang disambut anggukan 
berat dari laki-laki berhidung lancip di sampingnya. 
Keempatnya kemudian melangkah makin dekat 
pada Andika. Mereka benar-benar menganggap 
Andika kecoak yang mudah diinjak begitu saja, lalu

mati. Hal itu terlihat dari bibir mereka yang berlekuk 
meremehkan. 
“Lho... lho, tunggu dulu!” seru Andika sambil 
bangkit tergesa. 
Empat lelaki itu menduga anak muda di hadapan 
mereka hendak lari. Dan mereka memang lebih suka 
begitu. Dengan demikian urusan lebih cepat selesai. 
Maka seketika itu juga mereka menghentikan 
langkah. 
“Nanti kalau menyerang, kalian bergerak 
sekaligus, ya? Jangan satu-satu! Aku biasa kerja 
borongan, kok...,” oceh Andika seraya bangkit berdiri. 
Langsung dikebutkannya kain yang tadi dihampar-
kan. Maka debu seketika berhamburan dari kain itu. 
Akibatnya, empat lelaki yang sudah tidak jauh dari 
Andika langsung terbatuk-batuk diserbu gulungan 
debu. 
“Ukh! Ukh!” 
“Ukh..., brengsek!” 
Mereka kini bisa menikmati akal bulus Andika. 
“Hua ha ha...!” 
Di lain pihak, anak muda itu terpingkal-pingkal 
diberondong tawanya yang membludak. Badannya 
yang tegap bergelinjang kian kemari, seakan dikelitiki 
sekawanan tuyul. 
“Hiaaat!” 
Sebelum Andika puas tertawa, keempat lelaki itu 
melabraknya penuh nafsu. Dibenak masing-masing 
hanya berkobar keinginan untuk mencincang menjadi 
potongan-potongan kecil tubuh pemuda yang telah 
mempermainkan mereka. 
Dua lelaki serempak membabat. Satu ke bagian 
kepala dan yang lain ke bagian dada Andika. 
“Eit!”

Andika hanya menggeser tubuhnya ke belakang, 
maka sabetan ganas itu hanya memakan angin. 
Sedangkan tangan kanannya yang masih memegang 
kain catur bergerak sekejap, menyabet ke bawah. 
Ctat! 
Ctat! 
Begitu cepat gerakan Andika, sehingga tak seorang 
pun yang mampu menghindari. 
Kedua lelaki yang ingin merencah tubuh Andika 
lebih dulu, mendapat rejeki lumayan. Kantung 
menyan di selangkangan masing-masing kontan 
terasa pedih berdenyut-denyut, terkena sabetan kain 
Andika. Bahkan ngilunya sampai ke ulu hati. Dan 
keduanya langsung melompat-lompat belingsatan 
sambil memegangi bagian rahasia yang terkena itu. 
Sementara itu, dua lelaki lain mencoba mem-
bokong. Golok mereka berdesing deras di belakang 
Andika. Namun belum sempat senjata mereka 
merejam punggung, pemuda itu sudah berjumpalitan 
ke depan. Lagi-lagi, dilepaskannya serangan balasan 
yang nakal. Sambil berguling ke depan, jari tangannya 
menjentik selangkangan kedua lawannya yang masih 
meluncur. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... 
Tuk! 
Tuk! 
Dua buah sentilan keras mendarat telak di bagian 
rahasia milik kedua laki-laki yang akan membokong 
Andika. Kini mereka melompat-lompat seperti anak 
kodok terinjak. 
“Hap! Hap! Hap!” seru Andika. 
Begitu bangkit, Andika mengikuti gerakan 
melompat mereka. Setelah puas meledek, tubuhnya 
bergerak lagi. Kali ini, gerakannya amat santai. 
Dihampiri lawannya satu persatu, lalu ditotoknya

aliran darah mereka. 
Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! 
Tubuh keempat laki-laki itu langsung ambruk, 
begitu mendapat totokan di punggung masing-
masing. Bruk! 
“Kalian istirahat dulu ya, Manis. Aku akan 
mengurus kawan kalian yang belum kebagian 
jatah...,” ucap Andika seraya mengelus jenggot 
seorang lawannya. 
Mendengar perkataan Andika barusan, tentu saja 
lelaki berhidung lancip yang tidak ikut menyerang jadi 
tergagap. Matanya mendelik seperti hendak me-
lompat keluar, membayangkan ketakutan yang amat 
sangat. Dia membayangkan, benda-benda rahasia 
kawannya sudah pecah semua. Padahal, Andika 
hanya menyalurkan sedikit tenaga dalamnya saat itu. 
Meski begitu, mereka tetap mengerang-erang dengan 
mata melotot. Dan ini dikira laki-laki berhidung lancip 
itu, keempat temannya sedang mengalami sekarat. 
Pikir punya pikir, akhirnya lelaki itu memutuskan 
untuk lari. Dengan wajah bertekuk-tekuk ketakutan, 
kakinya bergerak lebar-lebar. Dia berusaha kabur, 
namun.... 
“Kena!” teriak Andika. 
Tuk! 
Andika memang telah melesat cepat disertai 
pengerahan tenaga dalam tinggi, melewati orang yang 
kabur itu. Lalu, langsung dilepaskannya sebuah 
totokan di punggung. Akibatnya, orang itu kontan 
ambruk. 
*** 
Setelah kelima bajingan tengik itu dibereskan,

orang-orang di pasar mulai berani berkumpul. Satu 
demi satu mereka menghampiri tempat kejadian. Dari 
kejauhan tadi, sebenarnya mereka menyaksikan ulah 
Andika terhadap kelima lawannya. Kalaupun orang-
orang itu menghampiri tempat kejadian, karena 
memang ingin menegaskan wajah Andika. Wajah 
anak muda tampan yang membereskan kericuhan 
dengan amat mudah. Lucu, tapi juga konyol. Maka 
kasak-kusuk kemudian menyebar ketika mereka 
sudah membentuk kerumunan. 
“Siapa dia, ya? Kalau dia pendekar, kenapa 
tingkahnya slebor? Apa ada Pendekar Slebor?” kata 
salah seorang dari mereka. 
“Hus! Nanti dia dengar, lho! Kamu mau 'perkutut' 
kamu disentil!” 
“Hiiiy!” 
Mendapati orang-orang yang berkumpul seperti itu, 
Andika jadi geleng-geleng kepala. 
“Hey! Kenapa kalian jadi senang nonton sejak aku 
sampai di sini? Kalau kalian ingin terus nonton, 
silakan. Tapi aku tidak mau disalahkan bila pasar 
milik kalian habis terbakar!”seru Andika, seraya 
menunjuk api besar yang melalap sebuah kedai 
kelontong. 
Seperti baru disadarkan dari mimpi, orang-orang 
itu langsung serabutan kian kemari, mereka langsung 
mencari ember dan air untuk memadamkan api yang 
sudah berhasil menghanguskan satu bangunan. 
“Air! Air! Ambil air!” 
“Ember, ember! Ambil ember!” 
Teriak mereka kalang kabut. 
“Goblok.... Goblok! Kalian goblok!” rutuk Andika 
setengah mangkel. Kemudian, dihampirinya pemuda 
yang menjadi bulan-bulanan tadi.

“Ada apa sebenarnya, Kisanak?” tanya Andika 
sopan, setelah tiba di depan pemuda yang umurnya 
lebih tua darinya. 
“Aku juga tidak tahu,” jawab pemuda itu seraya 
menyapu sudut bibirnya yang masih mengalirkan 
darah. 
“Hm..., boleh aku panggil Kakang?” tanya Andika. 
“Boleh. Tapi, aku lebih suka kalau dipanggil Jaka,” 
sahut pemuda yang ternyata bernama Jaka, diiringi 
anggukan. 
“O, iya. Aku Andika,” sambut Andika. Tangannya 
langsung disodorkan. 
Mereka berjabat tangan. 
Dan Andika segera membantu Jaka untuk bangkit. 
 “Bisa kau ceritakan, kenapa mereka memukuli-
mu?” tanya Andika. 
Mulailah Jaka menceritakan kejadian naas yang 
menimpanya. 
“Tadi aku melihat seorang gadis cantik di pasar ini. 
Sebagai pemuda yang ingin disebut laki-laki, aku 
langsung tertarik oleh keayuannya. Namun sebelum-
nya, aku agak ragu, karena wanita itu menyandang 
pedang bergagang kepala naga di punggung. Dan 
kupikir, hanya wanita-wanita pendekar saja yang 
menyandang senjata seperti itu. Tapi aku berusaha 
nekat. Akhirnya kuikuti juga wanita itu. Pada suatu 
kesempatan, aku berhasil mendekatinya. Wanita itu 
kutegur dengan sikap ramah,” tutur Jaka, seraya 
menghentikan ceritanya sebentar. 
Sementara, Andika masih menatap wajah Jaka. 
Ada sesuatu yang mengganjal dadanya. Tapi dia 
berusaha menahan, sampai Jaka memutuskan 
ceritanya. 
“Sikap ramahku ternyata mendapat sambutan

yang baik dari wanita itu. Dan dia memintaku untuk 
mengantarkan ke kedai kelontong yang menyediakan 
pakaian wanita. Tentu saja membuat hatiku mekar,” 
lanjut Jaka. “Maka aku mengantarkannya ke 
kelontong terdekat. Sesampainya di tempat itu, dia 
membeli beberapa keperluan. Usai urusannya, dia 
memberiku uang. Benar-benar sial nasibku hari itu. 
Rupanya wanita yang kutaksir menyangka kalau aku 
adalah pesuruh pasar. Tapi, lebih sial lagi ketika 
datang lima orang bertampang seram yang 
menuduhku mata-mata.” 
“Mata-mata siapa?” tanya Andika, memotong 
cerita Jaka. 
“Aku juga tidak tahu. Mereka lalu menanyakan 
tujuanku bersama wanita itu. Bahkan mereka, mem-
bakar begitu saja kedai kelontong tempat belanja 
wanita yang kudekati. Ah! Aku jadi tidak mengerti...,” 
keluh Jaka. 
Tiba-tiba Andika ingat tentang ganjalan hatinya, 
dari cerita Jaka tadi. 
“Tadi kau katakan, wanita itu menyandang pedang 
bergagang kepala naga?” tanya Andika. 
Jaka mengangguk pertanyaan Andika. 
“Pedang bergagang kepala naga? Siapa lagi 
pendekar wanita yang memiliki pedang seperti itu, 
kalau bukan Purwasih yang berjuluk si Naga Wanita! 
Hm..., rupanya kita akan bertemu di sekitar daerah 
ini, Naga Wanita keparat!” desis Andika tak sabar 
(untuk lebih jelasnya, silakan baca episode: 'Lembah 
Kutukan'). 
“Kenapa, Andika?” tanya Jaka, terheran-heran. 
***

TIGA

Senja merayap. Sinar matahari telah meredup 
merata. Hamparan langit terlihat kian sayu. Bersama 
jangkrik yang mulai berderik, hari akhirnya rebah 
dalam singgasana malam. 
Dan Andika sekarang sudah mempunyai rencana 
untuk memulai tugas sucinya. Setelah kejadian siang 
tadi, dia memutuskan untuk mencari Purwasih yang 
lebih terkenal berjuluk Naga Wanita. Sejak sepanjang 
siang tadi, dijelajahinya daerah sekitar itu. Tapi, 
wanita yang dicarinya belum juga ditemukan. 
Badan Andika mulai menuntut istirahat. Pegal dan 
linu melantakkan seluruh persendiannya. Yang 
terbaik baginya saat itu hanya istirahat. Kalaupun 
pencarian terus dilakukan, akan sia-sia saja karena 
kegelapan malam akan mempersulitnya. Dan saat ini, 
dia tengah berada di bawah sebuah pohon besar. 
Sebentar kepalanya didongakkan ke atas, lalu 
bibirnya tersenyum. Kemudian.... 
Hup! 
Andika langsung melesat ke atas, disertai ilmu 
meringankan tubuhnya yang telah tinggi tingkatannya. 
Dan manis sekali kakinya menjejak salah satu cabang 
pohon yang sangat kuat menahan tubuhnya. 
“Huaaah...!” 
Di atas sebuah batang pohon randu yang besar, 
Andika menguap. Tubuhnya langsung direbahkan di 
cabang pohon itu. Dia memang tidak punya uang 
untuk menyewa penginapan. Makan tadi siang saja

harus dibayarnya dengan mencuci piring di kedai. 
Malah tadi sempat dibentak oleh pemilik kedai yang 
piringnya mau sebersih cermin. Tapi bagi Andika itu 
tidak apa-apa, yang penting bisa mengisi perut. 
Mata pemuda itu seolah demikian berat. 
Kerdipannya mulai lambat. Sebentar saja Andika 
terpulas dalam selimut alam. 
“Aaakh...!” 
Namun belum beberapa lama terbang ke alam 
mimpi, Andika dikejutkan oleh teriakan seseorang. 
Maka sontak matanya terbuka lebar-lebar. Sesaat 
matanya mengerjap-ngerjap, mengusir rasa pening 
akibat bangun mendadak. Kemudian telinganya 
dipasang tajam-tajam, berharap dapat mendengar 
teriakan berikutnya, dan dapat menentukan asalnya. 
Beberapa saat Andika terdiam. Suara yang 
ditunggu-tunggunya ternyata tidak kunjung terdengar. 
Dan dia mulai ragu dengan telinganya. 
“Ah! Pasti hanya mimpi,” gumam Andika. 
Mata pemuda itu mulai terpejam lagi. 
“Aaakh...!” 
Dan pada saat itu juga, kembali terdengar teriakan 
membahana, menguak udara malam yang dingin. 
“Dari sebelah utara,” desis Andika. 
Bergegas Andika menggenjot tubuhnya dan 
melenting turun. Lalu seketika tubuhnya melesat 
cepat ke arah utara. Tak lama dia sudah menembus 
hutan randu yang cukup lebat. Dan sebentar saja, 
matanya sudah menangkap cahaya api unggun 
sebelas tombak di depannya. 
Andika mengendap hati-hati, mendekati api 
unggun. Kakinya baru berhenti melangkah, ketika 
melihat seorang wanita sedang berdiri di depan api 
unggun. Beberapa tombak di hadapannya, tampak


seorang lelaki tengah tergantung di atas pohon 
dengan kepala di bawah. Di balik semak-semak, 
Andika menyembunyikan tubuhnya sambil terus 
memperhatikan. 
Melihat penampilan wanita itu, Andika seperti 
pernah mengenalnya. Tubuhnya yang agak mungil 
terbungkus baju hijau lumut. Rambutnya yang 
panjang dikepang ekor kuda. Karena Andika berdiri di 
belakangnya, anak muda itu tidak bisa jelas melihat 
wajahnya. Tapi dia tetap yakin pernah bertemu 
dengannya. 
Pedang berkepala naga di punggung, membuat 
Andika memastikan kalau gadis yang diintainya dari 
sepanjang siang tadi dicarinya, pasti Purwasih. 
Andika memutuskan untuk bertahan dulu 
beberapa saat di tempat persembunyiannya. Dia ingin 
tahu, apa yang dikerjakan Purwasih terhadap lelaki 
yang digantungnya di atas pohon. 
“Kau masih bertahan untuk tidak bicara?” kata 
Purwasih di antara gemeretak kayu yang terbakar. 
“Kau pikir aku akan mudah bersuara untukmu, 
Naga Merah?” jawab lelaki yang digantung. Tubuhnya 
dipenuhi koyak akibat sayatan pedang. Masih dengan 
meringis menahan pedih, dia menatap berbalik pada 
Purwasih. “Tanyakan saja pada iblis hutan randu ini!” 
“Ooo, kau ingin diberi sedikit paksaan lagi?” tukas 
Purwasih, dingin. “Baik....” 
Kemudian Purwasih bangkit. Dihampirinya lelaki 
itu. Lalu.... Sret! 
Purwasih mencabut pedangnya di punggung. 
Langsung dibabatkan pedangnya ke arah paha laki-
laki yang digantung. 
“Aaakh!” 
Kembali terdengar jeritan menyayat. Tampak

darah meleleh dari paha yang tersayat itu. 
“Bagaimana, apa kau masih tidak ingin bicara?” 
desak Purwasih. 
Orang yang dipaksa bicara hanya menatap dengan 
sinar mata dendam. 
Sementara di tempat persembunyian, Andika 
mengutuk perbuatan Purwasih yang telengas itu. 
Ternyata dugaannya dulu bahwa Naga Wanita 
adalah bajingan perempuan yang mengaku-ngaku 
sebagai utusan adipati, kini terbukti. 
Darah Andika menggelegak hingga ke ujung 
kepala. Dadanya berderu keras dilanda kemarahan 
yang tiba-tiba membakar. Terlebih, saat benaknya 
dibawa kembali pada peristiwa pembokongan dirinya 
oleh Purwasih ketika bertempur melawan Begal Ireng 
dulu. Seketika saja, tangannya meraba sesuatu di 
tanah. Lalu.... 
Singngng! 
Tes! 
Tali pengikat lelaki yang digantung terputus, begitu 
Andika mengebutkan tangannya. Rupanya, kerikil 
yang dijentikkan bersama tenaga dalam membuat tali 
terputus, sehingga orang yang digantung meluncur ke 
tanah. 
Brukkk! 
Lelaki tadi jatuh menghantam tanah. 
Sementara Purwasih terkesiap. Sinar matanya 
terlihat garang saat mencari orang yang hendak ikut 
campur urusannya. 
“Siapa setan busuk yang berani lancang?! Keluar!” 
bentak gadis berbaju hijau lumut penuh amarah. 
Jawaban yang muncul justru kelebatan sesosok 
tubuh yang datang dari samping. Dan, Purwasih 
langsung membabatkan pedangnya yang masih

tergenggam di tangan, untuk memapak serangan itu. 
Tapi hatinya jadi terkejut, karena tebasannya seperti 
mengenai angin. Padahal dia sudah yakin kalau 
penyerangnya akan segera menggelepar terbabat. 
Ternyata orang yang berkelebat tiba-tiba melenting ke 
atas, seraya mengebutkan tangannya. Dan.... Tuk! 
Keterkejutan Purwasih bertambah dua kali lipat, 
ketika menyadari tubuhnya terasa tak memiliki tulang 
lagi. Rupanya si penyerang telah menotok jalan 
darahnya! Sebentar saja, tubuh Purwasih telah 
ambruk ke tanah. 
“Apa kabar, Naga Wanita? Masih ingat padaku 
yang tampan ini?” sapa Andika, begitu menjejakkan 
kakinya di depan Purwasih. 
Mulanya, gadis itu hanya menatap Andika dengan 
alis merapat dan mata yang menyipit geram. 
Penampilan Andika yang sudah seperti gembel itu 
sudah tidak dikenalinya. Baju pemuda itu koyak-
koyak dan mengenakan kain bercorak catur yang 
menutupi bagian belakang tubuhnya. Tapi ketika 
matanya tertumbuk pada wajah pemuda itu.... 
“Kau... Andika?” desis Purwasih, ingin 
memastikan. 
“Ya! Aku Andika, anak muda yang pernah kau 
bokong dulu...,” kata Andika penuh getaran pada 
setiap kata-katanya. 
“Ah! Kau masih saja slebor seperti dulu, Andika. 
Kalau ingin mengucapkan salam pertemuan, kenapa 
harus menotok? Dasar slebor...,” kata Purwasih, 
tanpa bisa bergerak sedikit pun di tanah. 
“Diam!” hardik Andika mengguntur. Purwasih 
langsung tercekat. 
“Apa-apaan kau ini?!” dengus Purwasih, makin 
tercekat bercampur heran.

“Jangan berpura-pura, Perempuan Tengik! Kukira 
kau benar-benar utusan Prabu Bratasena yang 
sedang menyelidiki pemberontakan Begal Ireng. Tapi, 
ternyata kau tak lebih dari penipu!” desis Andika. 
“Apa?! Gila! Gila kau, Andika! Tak pantas kau 
menuduhku seperti itu!” balas Purwasih, tak kalah 
sengit. 
Mata Andika melotot. Sambil berjalan mengelilingi 
Purwasih yang tergeletak tanpa gerak, matanya terus 
terpaku pada gadis itu. 
“Tak pantas? Setelah kau berusaha membunuhku 
saat bertempur melawan Begal Ireng dulu? Setelah 
aku tahu, kalau kau ternyata dicari-cari lima lelaki 
dari kerajaan, karena kau adalah mata-mata? Setelah 
kau menyiksa secara keji lelaki tadi?” kata Andika 
lagi, sinis. 
“Hi hi hi...!” 
Mendadak Purwasih tertawa tertahan. 
“Kenapa tertawa?! Aku tidak sedang melucu!” 
Dibentak Andika seperti itu, wajah Purwasih 
kembali mengejang. 
“Tolol! Tak kukira, ternyata pikiranmu masih 
tolol...,” dengus Purwasih. 
“Diaaam!” potong Andika. 
“Kau yang diam! Dengarkan aku!” balas Purwasih, 
tak kalah sengit. “Aku memang utusan Prabu 
Bratasena. Dan aku pula yang dulu membokongmu. 
Tapi....” 
“Tapi kau hanya bajingan perempuan!” potong 
Andika sekali lagi. 
Mata Purwasih meredup. Sakit hatinya dikatakan 
bajingan. 
“Andika.... Bukalah totokanmu. Akan kujelaskan 
semuanya,” ratap gadis itu agak perlahan. Dia

berusaha menguasai kejengkelan yang mem-
berontaki dirinya. 
“Setelah kau kubebaskan, lalu akan buron? Huh! 
Nanti dulu....” 
“Apa kau pikir aku bisa menandingi kehebatanmu? 
Apa kau lupa, kalau kau adalah keturunan Pendekar 
Lembah Kutukan yang diwarisi kecepatan gerak yang 
sulit tertandingi?” 
Andika menggaruk-garuk kepala seperti orang 
bodoh. “Memang benar apa yang dikatakan 
perempuan brengsek ini. Ilmu meringankan tubuhku 
sudah demikian sempurna.” Kepala pemuda itu jadi 
mengangguk-angguk. 
“Kenapa hanya mengangguk-angguk seperti 
burung kakaktua? Bebaskan aku!” seru Purwasih. 
“Baik... baik. Kenapa jadi begitu sewot? Aku tak 
akan menciummu atau berbuat yang macam-macam 
padamu,” ucap Andika, mulai timbul lagi sifat ugal-
ugalan seorang anak gelandangan yang sudah 
tertanam dalam dirinya. 
Pemuda itu segera merunduk. Seketika tangannya 
bergerak cepat ke arah punggung gadis itu. Dan.... 
Tuk! 
Purwasih seketika terbebas dari totokan itu. Gadis 
itu segera bangkit seraya menepuk-nepuk baju 
hijaunya yang dipenuhi kotoran. Dan ini membuat 
Andika jadi tidak sabar. 
“Cepat buktikan ucapanmu! Kenapa kau jadi 
lambat kayak pesinden?!” rutuk Andika. 
“Iya..., iya!” omel Purwasih. 
Tangan gadis itu segera bergerak mengeluarkan 
pisau-pisau kecil dari balik bajunya. 
“Hey! Kau mau main api padaku, ya?!” 
“Ah, dasar anak tolol! Apa kau tak mau kubuktikan

kalau aku tidak bermaksud membunuhmu waktu 
itu?” tukas wanita itu seraya mengacungkan pisau 
tanpa gagang, namun terdapat rumbai-rumbai di 
ujung belakangnya. Pisau seperti itulah yang dulu 
menancap di badan Andika dulu. 
“Baik..., buktikanlah! Tapi kalau main curang, kau 
akan kucium sampai mati!” 
Di antara sinar api unggun yang menerpa wajah 
cantik Purwasih, seketika rona merah dadu 
merayapinya. Ucapan terakhir Andika yang sedikit 
nakal, membuatnya mati kutu. Mulutnya terkunci 
rapat, tak dapat lagi berkata apa-apa. 
“Ayo, tunggu apa lagi?!” sentak Andika. 
Tiba-tiba tangan Purwasih bergerak. 
Zing...! 
Zing...! 
Zing...! 
Tiga pisau kecil langsung meluncur pada sisa tali 
yang dipakai untuk menggantung lelaki yang kini telah 
lenyap entah lari ke mana. 
Tes! 
Tes! 
Tes! 
Tali itu langsung terpotong tiga bagian dengan 
ukuran sama. Namun Andika mengernyitkan kening, 
tidak mengerti maksud Purwasih. 
“Apa maksudmu sebenarnya? Kalau hanya jengkel 
dengan ucapanku tadi, aku akan menariknya 
kembali. Aku tak akan mengancam dengan men-
ciummu sampai mati. Tapi....” 
“Diam, Andika!” selak Purwasih. Gadis itu tidak 
ingin wajahnya bertambah merah, lalu diketahui 
pemuda tampan ini. 
“Kau sudah lihat, aku dapat memutuskan tali itu

dengan senjata rahasia, bukan? lanjut Purwasih. 
Andika mengangguk-angguk dengan tangan 
memegangi dagu. Sementara Purwasih mengira 
Andika sudah mengerti maksudnya. Makanya 
ditariknya napas lega beberapa saat. 
“Jadi apa maksudmu?” tanya Andika sambil meng-
garuk kepala. 
Purwasih menarik napas lagi. Tapi kali ini karena 
jengkel. 
“Kalau aku ingin membunuhmu waktu itu, akan 
mudah kulaksanakan. Sengaja aku membokongmu, 
agar Begal Ireng menyangka kau mati sehingga 
selamat dari tangannya,” urai Purwasih menjelaskan. 
“O, jadi kau tidak mengarahkan pisau itu ke 
jantungku?” 
“Ya! Aku hanya mengarahkan pada titik yang 
menghentikan gerakan jantung sesaat. Sehingga, 
Begal Ireng menyangka kau mati.” 
Andika mengangguk-angguk kembali. Dia mulai 
percaya penjelasan wanita cantik yang kini kembali 
duduk di dekat api unggun. Karena dia sendiri pernah 
bertemu seseorang yang mampu menghentikan 
denyut jantungnya. Siapa lagi kalau bukan Ki 
Saptacakra. 
Dihampirinya Purwasih yang terduduk kesal. 
Bagaimana wanita itu tidak kesal, kalau lelaki yang 
sedang dipaksa bicara tadi akhirnya kabur karena 
perbuatan yang dilakukan Andika. Dan sementara 
Andika sudah duduk di sisinya. 
“Lalu siapa lima lelaki yang kutemui siang tadi? 
Apa mereka dari kerajaan?” tanyanya, mulai lembut. 
Saat bertanya, mata Andika yang setajam mata 
naga memperhatikan wajah Purwasih di dalam 
selimut cahaya merah api unggun. Dan tentu saja

gadis itu jadi salah tingkah. Dia bangkit, seraya 
melangkah perlahan. 
“Mereka memang orang-orang kerajaan, anak 
buah seorang perwira yang berkhianat. Makanya aku 
memaksa lelaki tadi berbicara tentang perwira itu. 
Karena sampai saat ini, dia tetap menjadi musuh 
dalam selimut...,” jelas Purwasih, sambil terus 
melangkah memutari api unggun. 
Andika ikut bangkit. 
“Aduh! Jadi, lelaki tadi antek-anteknya Begal Ireng? 
Ck ck ck.... Tolol sekali aku, ya?” tutur Andika 
kebodoh-bodohan. 
“Lelaki itu pantas mendapat perlakuan yang tadi 
kuperbuat padanya. Karena, dia sendiri kerapkali 
berlaku keji pada orang-orang lemah dan tak 
berdosa,” lanjut Purwasih, seperti tidak mendengar 
ucapan Andika. 
Sesaat gadis cantik berusia sekitar dua puluh 
sembilan tahun itu mematung dalam diam. 
Sedangkan Andika mendekatinya. 
“Gara-garamu, aku gagal mencari tahu siapa 
perwira yang berkhianat di kerajaan!” bentak gadis itu 
tiba-tiba saat Andika baru saja berdiri di sampingnya. 
Andika tersentak. Cepat-cepat dadanya diusap. 
“Bangun-bangun... makan nasi sama racun.... 
*** 
Pagi bangkit kembali bersama senyum mentari di 
sudut timur. Hawa dingin mengepung hutan randu 
tempat Andika dan Purwasih bermalam. Kabut tipis 
bergerak lamban, seperti iring-iringan peri hutan. 
“Huaaah....” 
Andika menguap panjang. Bersama satu geliat

tubuhnya, dia terjaga. 
“Pagi, Andika,” salam seseorang di sampingnya. 
Rupanya. Purwasih bangun lebih dahulu, dan sedang 
meletakkan kayu bakar yang baru saja dicari di 
sekitar hutan randu itu. 
“Pagi...,” sahut Andika agak malu, karena tidur 
seperti orang mati sehingga bangun kesiangan. 
“Apa rencanamu hari ini, Andika?” tanya Purwasih, 
sementara tangannya memutar kayu sebesar jari 
yang berujung lancip di atas kayu lain untuk 
menyalakan api unggun. Dan begitu api telah tercipta, 
maka semakin berkobar membakar kayu bakar. 
Jadilah api unggun. 
“Aku tidak tahu,” sahut Andika singkat. 
“Bukankah kau akan mencari Begal Ireng?” 
“Memang.” 
“Kau hendak mencarinya ke mana?” 
“Kau sendiri bagaimana?” Andika malah balik 
bertanya. 
“Aku sendiri sudah kebingungan mencarinya. Dia 
sulit sekali ditemukan. Lebih-lebih karena markasnya 
tidak tetap. Gerombolannya selalu berpindah-pindah 
dari satu hutan ke hutan lain, dari satu kampung ke 
kampung lain,” jawab Purwasih. 
Tubuh gadis itu agak menjauh dari api unggun 
yang mulai menjilat-jilat. Rasa hangat perlahan 
menebar, sedikit mengusir dingin yang dirasakan. 
“Kalau kau telah menemukan, apa yang akan kau 
lakukan?” tanya Andika. 
Purwasih menggeleng. 
“Tak tahu,” jawab gadis itu singkat. “Untuk 
melawan Begal Ireng dan gerombolannya, paling tidak 
seluruh prajurit beserta perwira kerajaan harus 
dikerahkan. Itu pun tidak menjamin akan menang.”

“Aneh,” desah Andika, setelah mendengar 
penjelasan Purwasih. 
Telinga wanita itu sempat menangkap desahan 
Andika. 
“Aneh bagaimana?” tanya Purwasih ingin tahu 
pikiran Andika saat itu. 
Andika lalu mendekati api unggun, dan duduk di 
depan Purwasih. 
“Apa kau tak heran? Mengapa Begal Ireng tidak 
menyerbu kerajaan, sementara kekuatan gerombolan 
yang dimiliki bisa saja menghancurkan kerajaan?” 
Andika mengajukan pertanyaan. 
Purwasih menatap Andika dengan mata menyipit. 
Diakui perkataan pemuda di depannya memang 
benar. 
“Begal Ireng ingin merebut kekuasaan Prabu 
Bratasena, kan?” 
Purwasih mengangguk. 
“Nah! Tunggu apa lagi kalau kekuatannya sudah 
sanggup merebut kekuasaan prabu?” 
Purwasih mengangguk-angguk. Hatinya diam-diam 
memuji kecerdasan Andika dalam mencium hal itu. 
Dia sendiri tak pernah berpikir sampai sejauh itu, 
meski menyelidiki setiap gerakan pasukan Begal 
Ireng dari waktu ke waktu. Ditatapnya kembali mata 
pemuda tampan itu dengan sinar kekaguman. 
“Kenapa kau menatapku seperti itu?” tanya 
Andika, tanpa diduga Purwasih. 
Wanita mana yang tidak menjadi merah padam 
kalau tertangkap basah seperti itu? Purwasih juga 
demikian. Buru-buru wajahnya disembunyikan 
dengan menunduk. 
“Anak muda brengsek!” umpatnya dalam hati. 
“Eit... eit.... Kenapa wajahmu jadi kebakaran?”

goda Andika. “Kau naksir aku, ya? Kalau naksir, 
kenapa tidak bilang dari dulu?” 
Purwasih menatap saja. Dan seketika tangannya 
bergerak. Maka.... 
Tak! 
“Aduh!” 
Andika mengusap-usap jidatnya yang dicium 
gagang pedang Purwasih. Memang ledekannya sudah 
kelewatan. 
“Itu bukan cara orang naksir, Purwasih. Mestinya 
kau cium aku di kening, di pipi, atau di dengkul juga 
boleh,” lanjut Andika belum kapok. 
Mata Purwasih membelalak, memelototi Andika. 
Dia tidak peduli lagi pada warna wajahnya yang 
semakin matang. 
“Kau ingin kupukul lagi, ya?!” bentak gadis itu 
sewot. 
“Ampun... ampun!” 
Dan Andika menyingkir ngeri. 
Pagi terus berlanjut tanpa peduli pada dua insan 
yang sedang bercanda. Sepenggalan demi 
sepenggalan, matahari merangkak menuju puncak 
tahtanya. Mestinya, setiap manusia bisa berbagi suka 
seperti mereka. Bercanda, saling memperhatikan dan 
saling membagi kebahagiaan satu sama lain. 
Kalau saja manusia memiliki berjuta benih kasih 
yang dapat ditebarkan di dunia ini.... 
***

EMPAT

Andika dan Purwasih sepakat untuk mengunjungi 
Kerajaan Alengka. Rencananya, Purwasih akan 
memperkenalkan Andika pada Prabu Bratasena. 
Mulanya Andika menolak tawaran Purwasih. Alasan-
nya, dia tidak mau masuk istana, sehingga terpaksa 
harus mengikuti tata cara dalam hal menghadap 
prabu. Apalagi, Andika benci penghormatan yang ber-
lebihan terhadap seorang raja. Tapi karena Purwasih 
terus mendesak, akhirnya pemuda itu menyerah. 
“Tapi sebelum kita berangkat ke kerajaan, kau 
harus ganti baju dulu,” ujar Purwasih pada Andika. 
“Ganti baju?” tanya Andika. Ditatapnya pakaian 
yang compang-camping. Memang, selama menjalani 
penyempurnaan, pakaiannya sering tersambar petir 
atau terkoyak akibat gerakan-gerakan silatnya yang 
terlalu cepat luar biasa. “Ini masih lumayan kok, 
ketimbang telanjang seperti kambing.” 
“Tapi kambing tidak akan menghadap prabu,” 
tukas Purwasih cepat. “Jangan khawatir, kita akan 
singgah dulu di Desa Sariadi. Lalu akan kubelikan kau 
pakaian yang pantas.” 
“Sebenarnya aku enggan melepas pakaianku. 
Benda ini adalah warisan dari Ki Sanca, lelaki tua 
yang sudah seperti ayahku sendiri,” desah Andika 
dengan mata menerawang, mengenang gurunya 
tatkala berada di Perguruan Trisula Kembar (baca 
episode pertama: 'Lembah Kutukan'). 
“Gimana kau akan bertemu prabu kalau pakaian-
mu seperti ini?” Purwasih memperhatikan pakaian

Andika. “Kau lebih semrawut dari keranjang sampah!” 
“Kau yang malu, apa karena malu sama Prabu 
Bratasena?” sindir Andika. 
“Dua-duanya, lah!” jawab Purwasih, kesal. 
“Tapi kau berjanji?” tawar Andika. 
“Janji? Janji apa?” 
“Kalau aku sudah ganti pakaian, kau harus mem-
perkenalkan diriku sebagai tunanganmu pada Prabu 
ratasena....” 
“Apa?!” 
*** 
Akhirnya anak muda keras kepala itu bisa juga 
digiring Purwasih ke Desa Sariadi. Mereka kini 
memasuki pasar di desa ini untuk membeli beberapa 
keperluan di perjalanan nanti, sekaligus membeli 
pakaian untuk Andika. 
Seperti biasa, pasar pagi itu ramai oleh pedagang 
dan pengunjung. Kedai kelontong yang terbakar 
kemarin siang, tampak mulai dibersihkan oleh 
beberapa orang. 
Ketika tubuh Purwasih dan Andika sudah menyatu 
dalam arus manusia di pasar, beberapa orang di 
pinggir jalan terdengar berbisik-bisik. Sementara, 
mata mereka menatap Andika lekat-lekat. Andika 
yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian di pasar itu. 
tentu saja mengusik keingintahuan Purwasih. Tapi 
sebelum bertanya langsung pada anak muda di 
sampingnya, kasak-kusuk yang ditangkap telinganya 
sudah cukup menjelaskan, kenapa Andika diper-
hatikan mereka begitu rupa. 
“Itu kan, pendekar yang kemarin mengusir lima 
pengacau, ya?” tunjuk salah seorang.


“O, iya... si Pendekar Slebor, kan?” timpal yang 
lain. 
“Hus!” 
Kasak-kusuk makin seru. 
Mendengar semua itu, Purwasih jadi tersenyum 
sendiri. 
“Rupanya kau sudah terkenal sekali, ya? Kau pun 
mendapat gelar kehormatan Pendekar Slebor! Hm, 
gelar yang bagus,” ledek Purwasih sambil menahan 
tawa yang hendak meledak saat itu juga. 
Andika pura-pura tidak dengar. Dia melangkah 
terus tanpa menoleh. Sampai akhirnya, mereka tiba 
di salah satu kedai kelontong. 
Setelah menyelesaikan urusan di kedai kelontong, 
mereka singgah di kedai makan untuk memenuhi 
tuntutan perut mereka yang mulai bernyanyi. 
Kebetulan, kedai itu bersebelahan dengan kedai 
kelontong. Andika sudah berganti baju dan celana 
baru, hadiah dari Purwasih. Wanita itu pula yang 
memilihkannya untuk Andika. Menurut Purwasih, 
Andika cocok mengenakan pakaian warna hijau 
pupus. Dan Andika menerimanya. Sedangkan pada 
punggung Andika tersampir kain bercorak seperti 
papan catur, sehingga kain itu terlihat seperti jubah. 
Sebelum makanan pesanan tiba, Purwasih terus 
menatap anak muda itu lekat-lekat. Hatinya tak habis-
habisnya memuji kegagahan pemuda di hadapannya 
dalam pakaian baru. Biarpun usia antara dirinya 
dengan Andika bertaut cukup jauh, tetap saja 
Purwasih tidak bisa mendustai perasaan kagumnya 
pada Andika. 
Sementara, orang yang sedang diperhatikan malah 
sibuk melirik kian kemari. Terutama pada beberapa 
wanita yang berada dalam kedai.

“Bagaimana, Andika?” tanya Purwasih, mengusik 
keasyikan Andika. 
“Wah, cantik-cantik...,” jawab Andika cepat. 
“Aku tidak menanyakan gadis-gadis itu! Aku tanya, 
apa kau merasa lebih nyaman dengan pakaian itu?” 
tukas Purwasih. 
“Ooo, itu. Pakaian hadiahmu ini boleh jugalah,” 
ucap Andika jujur. “Paling tidak, aku bisa dilirik 
beberapa gadis di tempat ini....” 
Purwasih geleng-geleng kepala. Dia jadi meng-
gerutu dalam hati. Masalahnya, kenapa pemuda ini 
sulit sekali sungguh-sungguh. Pantas saja penduduk 
desa di pasar tadi menyebutnya Pendekar Slebor.... 
Beberapa saat kemudian, makanan pesanan tiba. 
Lalu mereka mulai menyantap, setelah hidangan 
diletakkan di meja oleh pelayan. Sebagai orang 
kerajaan, ternyata selera makan Purwasih tidak 
berlebihan. Yang dipesannya hanya makanan 
sederhana yang murah meriah. Padahal kalau mau, 
dia bisa makan lebih mewah dari yang tersedia 
sekarang ini. 
“Oya, Andika...,” kata Purwasih saat mereka 
hampir menyelesaikan makan. “Aku turut prihatin 
atas nasib Ningrum waktu itu.” 
Andika menarik napas dalam-dalam. Setiap kali 
ingat akan gadis yang disebutkan Purwasih, hatinya 
langsung terasa dijepit gunung karang. Sesak 
seketika melanda dadanya. 
“Maaf, Andika. Aku tak bermaksud mengganggu 
selera makanmu,” sesal Purwasih ketika menemukan 
wajah Andika dikurung mendung. 
“Tidak apa-apa,” sahut Andika perlahan. “Kenapa 
waktu itu kau hendak menyelamatkan aku dengan 
melempar senjata rahasiamu ke diriku?” Andika


seperti sengaja mengalihkan pembicaraan tentang 
diri Ningrum yang terlalu menyakitkan baginya. 
“Karena kerajaan perlu dirimu. Begitu juga rakyat. 
Begal Ireng sudah terlalu membawa petaka bagi 
negeri ini. Sementara untuk menyingkirkannya, pihak 
kerajaan tak bisa berbuat banyak. Banyak pendekar 
golongan lurus yang menjadi marah, lalu mencoba 
melenyapkannya. Tapi, usaha mereka hanya mem-
buang nyawa. Kau sebagai seorang keturunan 
Pendekar Lembah Kutukan yang diwarisi ilmu 
kedigdayaan tinggi, tentu menjadi satu-satunya 
harapan rakyat untuk membebaskan mereka dari 
cengkeraman kuku-kuku kekuasaan Begal Ireng,” urai 
Purwasih panjang. 
Andika mengangguk-angguk. Bukan karena 
bangga terhadap keberadaan dirinya yang begitu 
dibutuhkan. Tapi, karena memahami betapa berat 
tugas yang dibebankan ke pundaknya, mengemban 
suara hati rakyat yang menderita. 
“Kenapa kau tanyakan itu?” tanya Purwasih ingin 
tahu. 
“Tadinya kukira kau menyelamatkan aku karena 
naksir...,” jawab Andika, sambil mengangkat bahu. 
“Kau mulai slebor lagi, Andika!” hardik Purwasih 
tertahan. 
Kemudian jemari lentik gadis itu mencubit gemas 
perut Andika. Dia sendiri tidak tahu, kenapa tiba-tiba 
ingin berbuat seperti itu. Apa mungkin mulai dirasuki 
keinginan bermanja-manja dengan pemuda tampan 
itu? 
Sementara di meja lain yang tak jauh dari meja 
mereka, seseorang duduk memperhatikan tanpa 
geming. Dari balik caping yang menyembunyikan 
wajahnya, mata orang itu terus mengawasi Purwasih

dan Andika. Sinar matanya berkobar-kobar tajam. 
Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, dan tidak pula 
terlalu tegap, terbungkus pakaian berwarna merah 
darah. 
Memang tanpa diketahui Purwasih maupun 
Andika, orang itu telah mengikuti mereka berdua 
selama beberapa hari. Siapa dia? 
*** 
Perjalanan menuju Kerajaan Alengka memakan 
waktu sehari perjalanan. Setelah melewati beberapa 
kampung, mereka harus melewati hutan cemara di 
bukit yang membelah wilayah utara dengan kotapraja. 
Ketika mulai berjalan mendaki, hari sudah menjelang 
petang. 
Matahari mulai tersungkur lebih di kaki langit 
sebelah barat. Lembayung pun melukis langit dengan 
warna jingga. Dan sinarnya menerabas di antara 
pucuk-pucuk cemara yang bersusun tak teratur. 
“Kita terpaksa bermalam di tempat ini dulu, 
Andika,” ujar Purwasih. “Kalau kita teruskan per-
jalanan, tidak mustahil kita akan tersesat dalam 
kegelapan hutan cemara.” 
“Aku setuju saja apa katamu,” sambut Andika. 
“Kita masih punya waktu untuk mencari tempat yang 
cukup nyaman agar....” 
Belum lagi tuntas ucapan Purwasih, dari arah 
selatan terdengar ringkik kuda, seiring derap sayup-
sayup tertangkap di telinga. 
“Rupanya ada orang lain di tempat ini,” bisik 
Andika kepada Purwasih. 
“Ah! Mungkin hanya penduduk yang hendak pergi 
ke kotapraja,” duga Purwasih.


Andika menggeleng. 
“Kau salah,” kata Andika. “Berapa ekor kuda yang 
terdengar olehmu?” 
Purwasih menajamkan pendengarannya sesaat. 
“Tampaknya dua ekor,” jawab Purwasih. 
“Apa mungkin dua orang penduduk biasa berani 
melintasi hutan ini menjelang malam seperti 
sekarang? Bukankah kau pernah mengatakan kalau 
gerombolan Begal Ireng sering menjelajah hutan-
hutan seperti ini?” 
“Jadi, menurutmu siapa mereka?” 
“Apa kau dengar langkah lain, selain langkah 
kuda?” tanya Andika lagi. 
Purwasih menggeleng. 
“Itu artinya, mereka memiliki ilmu meringankan 
tubuh yang cukup bagus. Bukankah di jalan mendaki 
yang cukup curam ini para pengendara kuda hanya 
menuntun kuda mereka?” lanjut Andika, membuat 
Purwasih harus mengakui kecerdasannya. 
“Jadi mereka orang persilatan?” tebak Purwasih. 
“Tepat!” sambut Andika, tetap berbisik. “Hanya 
kita belum tahu apakah mereka dari golongan hitam 
atau putih. Untuk itu, kita harus mengintai. Siapa tahu 
mereka adalah salah seorang pengikut Begal Ireng 
keparat itu....” 
Selesai berkata demikian, Andika memberi isyarat 
pada Purwasih untuk bersembunyi di semak-semak 
lebat. Sementara langkah kuda semakin jelas 
terdengar. Langkah itu kian dekat, sampai akhirnya 
terlihatlah dua orang lelaki yang sedang menuntun 
kuda, tepat seperti dugaan Andika. 
Salah seorang tampak mengenakan pakaian Iurik 
ketat, membungkus tubuhnya yang demikian gempal 
berotot. Wajahnya terlihat angker dengan rahang

berbentuk persegi. Hidungnya yang agak pendek, 
mata yang berkelopak besar serta bibir yang tebal, 
menggambarkan kekerasan kehidupan yang dijalani. 
Terlebih ditambah kulitnya yang legam. 
Orang itu berbeda dengan lelaki yang berjalan di 
sebelahnya. Wajah orang itu terlihat berwibawa dan 
bersih. Dapat diduga, kalau dia termasuk orang 
kalangan atas. Apalagi, pakaiannya sepertinya hanya 
dimiliki pembesar. Kumisnya melengkung rapih di 
atas bibir. Walau usia sekitar lima puluh tahun, tapi 
wajahnya masih tampak muda serta tampan. 
“Patih Ranggapati...,” bisik Purwasih di tempat 
persembunyian ketika melihat lelaki yang berbaju 
pembesar itu. 
Segera Purwasih mengajak Andika keluar dari 
persembunyiannya. Gadis itu memang kenal lelaki 
tadi, sebagai perwira kerajaan yang memimpin 
pasukan khusus berkuda. 
“Jadi kau mengenal orang itu, Purwasih?” tanya 
Andika seraya mengikuti Purwasih yang telah 
menggenjot tubuh, keluar dari semak-semak. 
“Ratih Ranggapati!” panggil Purwasih. 
Lelaki yang ditegur, seketika menoleh. Wajahnya 
tampak agak terkejut ketika mendengar seruan 
Purwasih. Namun ketika matanya sudah menangkap 
sosok orang yang memanggilnya, malah diper-
lihatkannya senyum. 
“Ah, Purwasih.... Kebetulan,” desah orang ber-
wibawa itu, menyambut Purwasih. 
“Kenapa Patih ke tempat ini?” tanya Purwasih saat 
sudah berdiri di depan lelaki setengah baya itu. 
“Aku memang hendak mencarimu,” jawab Patih 
Ranggapati pada Purwasih. 
“Mencariku? Ada apa?” tanya Purwasih, aga


heran. 
“Bukankah selama sebulan ini kau belum memberi 
laporan tentang penyelidikanmu terhadap Mahapatih 
Guntur Slaksa?” 
“Astaga! Kenapa aku jadi lupa? O, iya. Ini Andika,” 
kata Purwasih memperkenalkan pemuda yang kini 
berdiri di sampingnya. “Dialah pendekar muda yang 
kita tunggu-tunggu selama ini. Pendekar dari 
keturunan keluarga....” 
“Ah! Senang sekali berjumpa denganmu, Patih 
Ranggapati,” potong Andika, tidak ingin mendengar 
sanjungan Purwasih. 
“Sama-sama aku pun demikian. Hm..., dan ini 
Bayureksa,” kata Patih Ranggapati memperkenalkan 
lelaki bersamanya. “Dia seorang prajurit khusus 
kerajaan yang menjadi tangan kananku.” 
Orang yang bernama Bayureksa itu merundukkan 
kepala sebagai tanda hormat, meski wajahnya tak 
memperlihatkan senyum. 
Mau tak mau, Andika turut menundukkan kepala 
seperti nenek-nenek latah. Bukan apa-apa. Bagi 
Andika, seorang yang sudah memberi penghormatan, 
mestinya memang dihormati pula. Padahal ketika 
menyapa Patih Ranggapati, tak ada acara demikian. 
Kecuali, senyumnya yang lebih mirip cengengesan 
orang tolol. 
Sementara Bayureksa juga menjura pada 
Purwasih, yang dibalas dengan menjura juga. Seperti 
saat menjura pada Andika, Bayureksa pun tak mem-
perlihatkan senyumnya. Bahkan sekadar sepatah 
kata pun tidak. Dia memang termasuk prajurit yang 
jarang berbicara. Sifatnya pun agak kaku. Tapi dalam 
hal pengabdian pada negara, patut mendapat 
acungan jempol beratus kali.

“Kebetulan sekali, kami juga hendak ke istana. 
Karena hari mulai gelap, kami terpaksa hendak 
bermalam dulu di hutan ini,” tutur Purwasih kembali. 
“Apa tak sebaiknya kita lanjutkan saja?” usul Patih 
Ranggapati. “Bayureksa adalah prajurit khusus yang 
memiliki keahlian merambah hutan, meski di malam 
buta sekalipun.” 
“Kalau memang begitu, baiklah,” jawab Purwasih. 
Mereka mulai melanjutkan perjalanan. Sekarang, 
Purwasih tidak perlu terlalu khawatir akan tersesat di 
hutan cemara ini. Lain halnya Andika. Belum lama 
mereka beriringan, dia kelihatan bersungut-sungut 
saja. 
“Kenapa kau menyetujui tawaran Patih 
Ranggapati, sih? Kita kan bisa jalan berdua saja. Itu 
lebih indah. Kita bisa berjalan bergandengan tangan 
di bawah sinar bintang gemerlap dan di antara gigitan 
nyamuk-nyamuk hutan. Indahkan?” oceh Andika 
setengah berbisik, agar tak sampai di telinga dua 
lelaki yang berjalan beberapa tombak di depan 
mereka. 
Purwasih langsung menyikut perut Andika. 
Duk! 
“Ukh.... Ssst, Purwasih. Bayureksa itu orang benar, 
apa hanya orang-orangan, sih? Kenapa kaku sekali.” 
Belum lagi sakit di perutnya hilang, mulut Andika 
sudah cuap-cuap kembali. Terpaksa Purwasih meng-
gerakkan tangannya kembali ke perut Andika. 
Duk! 
“Ukh!” 
Dalam sinar bulan sabit yang temaram mereka 
terus menyusuri jalan mendaki dalam hutan cemara 
lebat. Jangkrik terus bersenandung memainkan lagu 
alam bersama binatang malam lain.

Sampai suatu saat.... 
Kresk! 
Terdengar ranting kering yang patah terpijak. Maka 
serempak keempat orang itu langsung menoleh ke 
asal suara. Mata masing-masing bergerak-gerak 
waspada, berusaha menemukan sesuatu yang men-
curigakan. Dalam keadaan seperti saat itu, seringkali 
mereka dikecoh oleh binatang hutan yang menginjak 
ranting. Namun, bukan berarti lengah terhadap bunyi-
bunyi mencurigakan seperti tadi. Bisa juga bunyi itu 
disebabkan injakan kaki manusia yang bermaksud 
tidak baik. 
“Siapa itu?!” bentak Bayureksa keras. 
Tak ada jawaban. Hanya terdengar derik jangkrik di 
sana-sini. Sesaat kemudian.... 
Zing! 
Zing! 
Dua berkas sinar di bawah siraman cahaya bulan 
tampak melesat menuju Patih Ranggapati. Mata 
Andika yang amat terlatih dalam menangkap gerakan 
kilat, tentu saja dapat mengenali benda itu. Rupanya, 
dua bilah pisau kecil meluncur deras ke arah Patih 
Ranggapati. Meski begitu, Andika memang tidak 
mungkin lagi bisa mendahului kecepatan pisau 
terbang ini. Di samping karena jaraknya dengan Patih 
Ranggapati cukup jauh, juga karena lesatan pisau 
terbang itu lebih dekat ke tubuh Patih Ranggapati, 
sehingga.... 
“Haaakh!” 
Untung saja Patih Ranggapati juga waspada. Dia 
berkelit dengan membuang tubuh ke sisi kiri. Hanya 
itu cara menghindari pisau terbang yang hendak 
memangsa tubuhnya. Tapi untuk itu, bahunya 
langsung membentur sebuah batang pohon cemara

amat keras. 
“Aaakh!” 
Sementara itu, Andika dengan sigap menyerbu ke 
arah si pelempar pisau. Sekali genjot saja, tubuhnya 
sudah melenting ringan di antara rerimbunan daun 
cemara. 
“Hei, jangan lari! Kujadikan makanan tikus, kau!” 
seru Andika ketika matanya menangkap kelebatan 
seseorang berbaju merah darah, bercaping di kepala. 
Dan orang itu akhirnya menghilang di balik tebing 
curam. 
***

LIMA

Kerajaan Alengka mempunyai wilayah kekuasaan 
cukup luas. Sebelum Begal Ireng muncul kembali, 
rakyat di bawah kekuasaan Prabu Bratasena yang 
memerintah merasa sangat aman, tentram, dan 
berkecukupan. 
Namun sejak Begal Ireng kembali dengan 
kesaktian yang dimiliki, semuanya jadi kacau. Rakyat 
menderita dalam tekanan yang menyengsarakan. 
Kerusuhan demi kerusuhan, pembunuhan demi 
pembunuhan. berlangsung di bawah tindak-tanduk 
Begal Ireng dan gerombolannya. Hukum yang selama 
ini dijalankan jadi limbung. Sedangkan kekuatan 
gerombolan Begal Ireng rupanya tidak mudah 
dilumpuhkan. Apalagi, tatkala pemimpin kerusuhan 
itu merangkul tokoh-tokoh golongan hitam. Maka 
gelombang petaka pun terus berlanjut. 
Sementara itu, di bawah siraman cahaya matahari 
pagi. Andika, Purwasih, Patih Ranggapati, dan 
Bayureksa tiba di kotapraja. Dari gerbang masuk, 
mereka hanya perlu berjalan sekitar dua jam untuk 
tiba di Kerajaan Alengka. 
Karena peristiwa semalam, Patih Ranggapati ter-
luka kembali. Dan sebenarnya, luka di bahunya yang 
banyak mengeluarkan darah, bukan karena ter-
tumbuk batang cemara. Purwasih sendiri agak heran 
ketika memeriksa luka yang diderita Patih 
Ranggapati. Karena, luka itu tampak seperti luka 
sayatan benda tajam! Menurut Patih Ranggapati, luka 
itu memang akibat sabetan golok ketika harus ber

hadapan dengan orang-orang Begal Ireng. Sebenar-
nya, lukanya sudah mengering andai saja tidak ter-
bentur batang pohon cemara semalam. 
Kini keempat orang itu tiba di pintu gerbang 
Kerajaan Alengka, yang dijaga ketat oleh enam 
prajurit dengan sikap siaga. Ketika melihat ke-
datangan empat orang itu, mereka segera menjura 
dalam-dalam. 
Memasuki lingkungan istana, puluhan prajurit yang 
sedang berlatih perang-perangan langsung meng-
hormat. Andika mengira, karena para prajurit meng-
hormati Patih Ranggapati sebagai seorang perwira 
tinggi kerajaan. Tapi ketika lelaki setengah baya itu 
dibawa Bayureksa dan beberapa prajurit untuk 
dirawat, prajurit lain yang bertemu Purwasih dan 
Andika tetap menjura khidmat. Andika yakin, 
Purwasih memang memiliki pengaruh yang cukup 
besar di kerajaan itu. Dan Andika tak bisa meng-
hindar dari keterpanaan ketika.... 
“Selamat datang Tuan Putri, Paduka Bratasena 
telah menunggu kedatangan Paduka...,” sambut 
seorang kepala prajurit, ketika mereka menuju ruang 
kehormatan Prabu Bratasena. Laki-laki berusia tiga 
puluh lima tahun itu membungkuk dalam-dalam. 
“Jadi, kau putri Prabu Bratasena sendiri?” cetus 
Andika seraya menatap Purwasih lekat-lekat. Matanya 
tampak membesar tanpa berkedip. 
“Ah! Jangan terlalu dipersoalkan,” tukas Purwasih 
tenang, sambil terus melangkah. 
“Tapi kau telah membohongi aku selama ini,” 
sungut Andika, agak kesal. 
“Memangnya sikapmu akan berbeda kalau tahu 
aku ini anak raja?” sergah Purwasih tanpa menoleh. 
“Tentu saja tidak. Buat apa aku memperlakukan

mu berlebihan. Biar kau anak raja sekalipun, kau 
tetap makan seperti yang aku makan juga,” jawab 
Andika, lebih mirip menggerutu. 
*** 
Desa Karangwesi terletak di wilayah selatan, 
masih kekuasaan Kerajaan Alengka. Hamparan 
sawah luas mengelilingi desa itu. Padi yang 
menguning dan bergerak tertunduk-tunduk ditiup 
angin, adalah harapan penduduk desa yang memeras 
keringat demi melanjutkan hidup keluarga. 
Setiap orang yang singgah di Desa Karangwesi 
harus mengakui keindahannya. Sungai berarus deras 
yang membelah desa, bagai ular raksasa yang meliuk-
liuk. Rumah-rumah tersusun dalam jarak teratur. Dan 
pepohonan hijau tumbuh di pekarangan setiap 
rumah. 
Suasana damai desa itu tiba-tiba dipecahkan oleh 
gemuruh derap puluhan pengendara kuda yang 
memasuki gerbang perbatasan bersama kepulan 
asap yang merambah udara. Wajah para penunggang 
kuda itu menyimpan kebengisan. Sinar mata mereka 
pun berkilat garang. Terlebih, saat berteriak untuk 
menghela kuda yang ditunggangi. Pada pinggang 
masing-masing penunggang kuda, terselip senjata 
berlainan jenis yang membersit saat sinar matahari 
menimpa. 
Dari cara memasuki desa terlihat jelas kalau niat 
mereka tidak baik. Dan itu makin jelas saja, ketika 
beberapa orang di antaranya turun di depan rumah 
pertama yang ditemui. Tanpa banyak cakap. mereka 
langsung mendobrak pintu rumah secara paksa. 
“Jangan, tolong...! Tolong...!”

“Aaakh...!” 
Beberapa saat kemudian, terdengar jerit 
mengenaskan seorang wanita tua. Kemudian disusul 
erangan seorang lelaki. 
Tak lama setelah itu, keempat lelaki tadi keluar 
dengan membopong barang-barang berharga. Sudah 
dapat diduga, apa yang dilakukan oleh para penung-
gang kuda itu. 
“Perampoook!” jerit wanita tua pemilik rumah. 
Jeritan itu merambah ke seluruh desa, mengusik 
telinga penduduknya. Dari sawah, puluhan lelaki desa 
yang kebetulan sedang istirahat siang, segera 
memburu ke asal jeritan. Namun belum lagi mereka 
sempat menyadari apa yang terjadi, para penunggang 
kuda sudah menyambut dengan sabetan-sabetan 
senjata haus darah. 
Wet! 
Sing! 
Bret! 
“Aaakh!” 
Teriakan mengerikan kembali melengking ke 
angkasa. Kali ini tidak hanya sekali atau dua kali. 
Tapi, puluhan jeritan susul-menyusul terdengar dari 
orang-orang tak berdosa yang dijagal. Bau anyir darah 
membasahi tanah. Warna merah mulai menodai 
bumi, sebagai tanda keangkaramurkaan manusia. 
Tak cukup hanya membantai jiwa-jiwa manusia. 
Para penunggang kuda berjiwa iblis itu juga menjarah 
harta penduduk. Selesai menguras harta, rumah pun 
dibakar. Maka seketika api membumbung ke langit, 
memberi warna merah jelaga bercampur hitam di 
cakrawala. 
Suasana makin hingar-bingar. Gemeletak kayu 
termakan api, jeritan ngeri para wanita, tangisan

meninggi anak-anak kecil, ringkik derap kaki kuda, 
serta teriakan penunggangnya. telah membaur dalam 
sebuah untai kekacauan. 
Apakah jiwa manusia sudah terlalu tak berarti bagi 
sementara pihak? Atau nilai manusia sudah lebih 
hina daripada seekor anjing? Dalam setiap 
peperangan dan kezaliman pertanyaan itu selalu 
pantas dilontarkan. 
Tapi bagi mereka yang telah menyatu dengan sifat 
durjana iblis, pertanyaan seperti tadi tak pernah hadir 
dalam hati. Mereka terus membantai. Dan liur haus 
darah mereka yang lebih menjijikkan daripada liur 
anjing kudis, terus menetes mengiringi. 
Pada saat pesta pora gila tersebut makin men-
jadi.... 
“Berhenti!” 
Tiba-tiba terdengar lantang seseorang lewat 
penyaluran tenaga dalam tingkat sempurna. Akibat-
nya, para penunggang kuda kontan menghentikan 
semua kegilaan itu. 
Di ujung jalan dekat gerbang desa, tampaklah 
seseorang berpakaian merah darah. Sulit ditentukan, 
siapa orang itu karena wajahnya tertutup caping 
pelepah kelapa lebar. Dia berdiri jumawa menghadap 
para begal, dengan sikap menantang! 
“Manusia mana yang mencari mati ini?” geram 
pemimpin pasukan berkuda itu. 
Dia seorang lelaki bertampang buruk, lebih buruk 
daripada seekor tikus buduk. Matanya yang besar 
terlihat seperti mata barong. Hidungnya melebar, 
seperti bibirnya. Sementara, garis matanya menam-
pakkan kekejian dalam dirinya. Pakaian yang 
dikenakannya perlente, tapi tetap tak dapat menutupi 
kebusukan hatinya.

“Aku tak sekadar menyuruh kalian meninggalkan 
desa ini secepatnya. Aku juga akan memaksa kalian 
meninggalkan dunia ini sesegera mungkin,” kata 
orang yang baru datang penuh nada ancaman. 
“Hua ha ha...!” laki-laki bertampang buruk yang 
merupakan pemimpin pasukan berkuda itu tertawa 
riuh. “Apakah kau sudah merasa menjadi malaikat 
maut yang mampu mencabut nyawa kami?” 
“Membunuh kalian sama mudahnya, seperti tikus-
tikus sawah!” 
“Bangsat!” 
“Ya! Makilah aku, selama masih sempat memaki!” 
Dua lelaki penunggang kuda diperintahkan 
pemimpinnya untuk segera menghabisi orang yang 
baru datang itu. Keduanya segera menghentakkan 
kekang, sehingga kuda mereka meluncur bergemuruh 
seiring teriakan murka. Tapi sebelum keduanya men-
capai lima tombak, pisau-pisau kecil sudah terlepas 
dari tangan lelaki bercaping yang berkelebat cepat ini. 
Zing! 
Jep! 
Begitu cepat kebutan tangan orang bercaping itu, 
sehingga.... 
“Huaaa!” 
Kuda mereka kontan terlonjak diiringi satu 
ringkikan panjang, melemparkan tubuh penunggang-
nya yang tertikam pisau-pisau yang melesat cepat. 
Tubuh keduanya pun mencium tanah tanpa nyawa, 
dengan darah mengucur dari bagian dada yang ter-
tembus pisau. 
“Kalian lihat! Aku telah menepati janjiku terhadap 
dua kawan kalian?” cemooh orang bercaping, dingin. 
Menyadari kalau orang bercaping tak bisa 
diremehkan, pemimpin pasukan berkuda ini memberi

perintah agar anak buahnya menyerbu orang ber-
caping itu. 
Maka lima belas ekor kuda yang membawa 
penunggangnya seketika menyerbu serempak. 
Sehingga, gemuruh dahsyat dari derap kaki kuda 
langsung tercipta. Dengan senjata terhunus, mereka 
berteriak liar dalam satu serangan maut. 
“Hiaaat!” 
“Hiaaat!” 
Meski serbuan kelima belas lelaki itu makin dekat, 
tapi orang bercaping itu tampak masih berdiri tenang. 
Sedikit pun tak terlihat tubuhnya bergerak. Tapi 
ketika para penyerangnya tinggal tiga tombak dari 
tempatnya berdiri, tubuhnya melenting cepat, lalu 
berputar ke depan beberapa kali. Pada saat melayang 
di udara itulah, tangannya kembali bergerak. Dan.... 
Zing! 
Zing! 
Enam orang penyerang seketika rontok seperti 
daun kering, terhujam senjata rahasia orang ber-
caping ini. Tepat di dada masing-masing tampak 
menancap pisau kecil yang langsung menghentikan 
kerja jantung mereka. Kuda-kuda mereka menjadi 
panik, ketika enam tubuh berdebum menimpa tanah. 
Tanpa dapat dikendalikan, kuda-kuda itu menendang-
nendang dengan kaki depan disertai ringkikan riuh. 
Pada saat itu orang bercaping ini sudah men-
jejakkan kaki di antara lawan-lawannya. Dan tanpa 
banyak kesulitan, sepasang pisau kecil di tangannya 
merobek perut para penunggang kuda itu. 
Sret! 
Sret! 
“Aaakh!” 
Darah kembali berhamburan dari perut dua lelaki

yang terbabat pisau orang bercaping ini. Tidak hanya 
itu. Isi perut mereka pun terburai melalui sayatan 
tadi. Tanpa dapat menarik napas untuk kedua kali, 
mereka ambruk kehilangan nyawa. 
Dan seperti tak ingin memberi peluang pada para 
lawan untuk hidup lebih lama, orang bercaping terus 
menyabetkan pisau kecilnya, ke arah sisa penung-
gang kuda yang lain. Dengan begitu, makin besar 
kesempatan orang bercaping untuk membantai 
seluruh lawan. Maka satu persatu mereka tertebas 
dan mati, dengan darah berhamburan dari bagian 
yang terluka. 
Di antara ringkikan kuda, teriakan mengerikan ikut 
mengimbangi. Sampai akhirnya, kuda-kuda itu ber-
larian liar tanpa penunggang sama sekali. Dan kini, 
tinggal pemimpin pasukan yang terpaku di atas 
kudanya, melihat seluruh anak buahnya berkalang 
tanah! 
“Cepatlah kau ke sini! Aku tak mau membuang-
buang waktu!” seru orang bercaping itu pada si 
pemimpin. 
Menyadari keadaannya terjepit, pemimpin 
pasukan itu segera menghentakkan tali kekang kuda, 
hendak lari. 
“Hiaaa...!” 
Begitu kudanya berbalik ke belakang dengan 
kecepatan penuh, si pemimpin itu melesat cepat. 
Namun belum lagi jauh dia sudah terpental dari 
punggung kuda. Rupanya, orang bercaping telah 
melemparkan sepasang pisau di tangannya lalu 
menembus bokong pemimpin pasukan. 
“Aaakh!” 
Brukkk! 
Sekali lagi, bumi dihantam oleh tubuh tak

bernyawa. Darah mengalir tampak dari lubang 
tembusan pisau di tubuh pemimpin pasukan yang 
menyusul anak buahnya ke neraka. 
Suasana kembali lengang. Sayup-sayup terdengar 
gemeretak puing-puing rumah yang habis termakan 
api. Di angkasa, asap hitam merayap dalam satu 
iring-iringap panjang. Demikian pula isak tangis 
kehilangan dari para istri, anak, atau saudara 
penduduk Desa Karangwesi. 
“Mereka pantas membayar semua perbuatan ini 
dengan nyawa. Kalaupun mereka memiliki sepuluh 
nyawa tetap saja belum bisa melunasi petaka yang 
diciptakan,” desah orang bercaping. 
Setelah itu, dia melangkah gontai di bawah 
terpaan terik mentari. 
*** 
Waktu berlalu tanpa dapat ditahan. Suka atau 
tidak hari bergulir terus. Dan sudah sepuluh hari ter-
lewati, sejak kejadian di Desa Karangwesi. 
Sementara di Kerajaan Alengka sedang diadakan 
pertemuan di dalam ruang kehormatan, setelah 
Purwasih mengusulkan untuk mengadakan penyam-
butan sederhana untuk kedatangan Andika. Itu pun 
tanpa sepengetahuan Andika. Purwasih tahu, Andika 
tidak bakal menyukainya. Dalam pribadinya yang 
sering ugal-ugalan. Andika memang menyimpan 
kerendahan hati. 
Ruang kehormatan yang luas ini terletak di tengah 
istana, berbatasan dengan Taman Anjangsana 
keluarga raja. Di tengah ruangan tampak meja 
persegi yang besar dan panjang. Di sisinya tersusun 
kursi-kursi jati berukir, ditambah kursi khusus untuk

Bayureksa di ujung meja. Dinding ruang itu diperindah 
oleh lukisan keluarga istana dan lukisan-lukisan 
panorama negeri Alengka. 
Setelah para dayang menyajikan makanan serta 
minuman yang ditata dengan apik, para undangan 
memasuki ruangan besar ini. Satu persatu mereka 
masuk, termasuk Patih Ranggapati yang sudah 
tampak segar kembali setelah luka di bahunya 
dirawat dengan baik oleh tabib istana. Mahapatih 
Guntur Slaksa, dan beberapa pembesar lain juga 
terlihat di situ. Sedangkan Bayureksa masuk paling 
akhir, beriringan dengan Purwasih dan Andika. 
Begitu tiba di istana, Purwasih langsung mem-
perkenalkan Andika pada ayahandanya, Prabu 
Bratasena. Tentu saja beliau menjadi gembira ketika 
putrinya memberitahukan kalau anak muda yang 
bersamanya adalah seorang keturunan keluarga 
Pendekar Lembah Kutukan. Jadi tidak heran kalau 
ketika orang itu nampak sudah akrab ketika 
memasuki ruang kehormatan. 
Andika dan Purwasih duduk di kursi di depan 
Prabu Bratasena, satu baris dengan undangan lain. 
Saat ketiganya mengambil tempat duduk, para 
pembesar kerajaan serentak berdiri seraya menjura 
hormat. 
Dan Prabu Bratasena membalas penghormatan, 
dengan senyum serta anggukan kepala. Begitu juga 
Purwasih. Kecuali, Andika. Anak muda itu malah ikut 
menjura. Purwasih berusaha menahan, karena 
menurutnya Andika adalah tamu kehormatan yang 
tak pantas menjura seperti itu. 
Dengan tangan kanannya, Purwasih menahan 
tubuh Andika yang bergerak membungkuk. Tapi 
bukan Andika kalau tidak keras kepala. Dalam

hatinya, orang yang menghormati seseorang sudah 
semestinya dibalas dengan penghormatan setimpal. 
Jadi, dengan acuh tak acuh, dipegangnya per-
gelangan tangan Purwasih. Lalu, tubuhnya digeser ke 
samping agar bisa tetap membungkuk untuk 
menjura. 
Purwasih langsung memperlihatkan wajah asam. 
“Huh! Dasar kepala batu!” umpat gadis itu dalam 
hati. 
Setelah Prabu Bratasena mempersilakan duduk, 
semua yang hadir pun meletakkan tubuh di kursi 
masing-masing. Beberapa saat suasana sunyi. Para 
pembesar kerajaan menatap wajah Prabu Bratasena 
yang berumur sekitar enam puluh delapan tahun. Tak 
heran kalau rambut, alis, dan kumisnya sudah 
memutih. Namun, kerutan di kening dan pipinya 
sama sekali tidak menghapus kewibawaan yang 
terpancar di wajahnya. Apalagi, dengan mata yang 
bergaris ramah serta hidung mancung. Sehingga 
menambah kesan kalau dia memiliki keteguhan hati. 
Tubuhnya tidak terlalu gemuk, terlihat dari pakaian 
kebesarannya yang agak longgar. 
“Saudara-saudara sekalian, para pembesar 
Kerajaan Alengka yang sangat aku kasihi. Hari ini kita 
berkumpul di sini untuk menyambut kedatangan 
seorang pendekar yang patut dipuji sebagai pendekar 
bagi kaum tertindas...,” kata Prabu Bratasena 
memulai. “Namanya, Andika. Dia adalah pendekar 
muda dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan yang 
amat dekat di hati rakyat. Pendekar yang menjadi 
cerita kepahlawanan hingga saat ini....” 
Mendengar sanjungan yang menurutnya ber-
lebihan, Andika hanya dapat menundukkan kepala. 
Sedangkan Purwasih yang melihat sikap Andika

menjadi suka melihat kerendahan hati pemuda itu. 
Memang di dunia yang dipenuhi beragam watak 
manusia, sikap rendah hati sangat jarang ditemui. 
Manusia seringkali lebih suka terkagum-kagum pada 
setiap kelebihan diri sendiri, ketimbang harus 
menyembunyikannya. 
Sementara itu, Patih Ranggapati tampak terkejut 
ketika Prabu Bratasena memperkenalkan Andika 
sebagai keturunan Pendekar Lembah Kutukan. 
Sungguh sama sekali tidak disangka akan hal itu. 
Melihat penampilannya saja, orang tentu tidak yakin 
kalau pemuda itu seorang pendekar sakti! Apalagi 
melihat wajahnya yang terlalu muda dan terkadang 
terlihat agak bodoh. 
Memang, sewaktu pertama kali Purwasih mem-
perkenalkannya pada anak muda itu, Andika 
langsung memotong ucapan Purwasih. Sehingga, 
Purwasih tidak sempat menyebutkan, siapa Andika 
sebenarnya. 
“Pendekar muda kita ini berniat membantu kita 
memecahkan masalah pemberontakan Begal Ireng 
dan gerombolannya. Mereka telah terlalu banyak 
menimbulkan penderitaan rakyat. Terlalu banyak 
membuat keangkaramurkaan. Karena itu, hati anak 
muda ini rupanya tergerak untuk segera mengulurkan 
tangan. Bukan begitu, Andika?” sambung Prabu 
Bratasena. 
Andika sebentar terkesiap. 
“Oh! Ng... iya. Begitulah..., kira-kira,” jawab 
pemuda itu terbata. 
“Apa kau tak ingin memperkenalkan julukanmu 
pada para pembesar kerajaan? Agar kami bisa lebih 
dekat mengenalmu?” tambah Prabu Bratasena. 
Andika segera berdiri. Dan dia sendiri tak tahu,

kenapa harus berdiri. Pokoknya, hanya ingin berdiri 
saja. 
“Aku sebenarnya tidak pernah dijuluki oleh tokoh 
persilatan dengan sebutan apa pun. Karena, aku 
sendiri baru terjun ke dunia persilatan, setelah...,” 
Andika ragu. 
“Setelah apa, Andika?” desak Prabu Bratasena. 
Sementara pandangan Purwasih dan para 
pembesar kerajaan tertuju lurus ke arah Andika, 
seperti menanti kelanjutannya. 
“Setelah aku menjalani penyempurnaan di 
Lembah Kutukan...,” sambung Andika akhirnya. 
Seketika terdengarlah decakan kagum yang susul-
menyusul memenuhi ruang kehormatan. Bagi orang 
lain di luar keluarga Pendekar Lembah Kutukan, 
lembah yang baru saja disebut Andika memang amat 
mengerikan. Tak seorang pun yang pernah kembali, 
ketika secara kebetulan menemukan tempat itu. 
Mereka pernah mendengar cerita dari mulut ke 
mulut, kalau lembah itu dihujani petir setiap saat. 
Pernah juga seorang tokoh aliran sesat tanpa sengaja 
menemukan lembah itu, melalui jajaran pegunungan 
selatan yang terkenal ganas. Ketika melihat 
kedahsyatan lembah itu, dia kembali dalam keadaan 
gila dengan mulut terus mengoceh tentang ribuan 
lidah petir. 
“Jadi, aku belum menerima julukan,” lanjut Andika, 
mengusik ketercengangan para pembesar istana. 
“Tapi. beberapa orang menyebutku...” 
Para pembesar istana dan Prabu Bratasena 
menunggu kelanjutan ucapan Andika. Dalam benak 
masing-masing, terdapat dugaan kalau julukan yang 
diberikan orang-orang yang disebutkan Andika tadi 
berkesan garang, segarang Lembah Kutukan.

“Ng.... Aku disebut sebagai Pendekar Slebor. He he 
he....” 
Mendadak saja, semua orang yang hadir di situ 
memegang perut masing-masing, menahan tawa yang 
mau meletus! 
“Yang Mulia!” 
Tiba-tiba seorang prajurit berdiri di ambang pintu 
masuk ruang kehormatan. 
“Ada apa?” tanya Prabu Bratasena. “Ada seorang 
yang mengaku kenal baik dengan Tuan Andika. Dia 
ingin bertemu Tuan Andika,” lapor si prajurit. 
Andika mengernyitkan kening. Rasanya, dia 
memang belum banyak mengenal orang selama 
terjun ke dunia persilatan. Bahkan hanya Purwasih 
yang dikenalnya. 
“Kalau begitu, suruh dia masuk!” titah Prabu 
Bratasena. 
Prajurit tadi segera berlari dari ambang pintu. Tak 
lama kemudian, dia datang lagi bersama seorang 
wanita. 
Mata Andika terbelalak. Lebih-lebih, Purwasih. 
“Ningsih?” ucap Andika. 
“Ningrum?” ucap Purwasih. 
Lalu keduanya saling berpandangan. Ningrum atau 
Ningsih? 
***

ENAM

Andika sulit mengerti, mengapa Ningsih menyusulnya 
hingga ke istana. Sepengetahuannya, Ningsih 
maupun Perguruan Naga Merah telah menyelesaikan 
tugasnya, mengantarkan Andika dalam menjalani 
penyempurnaan kesaktian. 
Setelah memohon diri pada Prabu Bratasena dan 
para pembesar kerajaan, Andika dan Purwasih segera 
menemui wanita itu lalu mengajaknya ke taman 
istana. Mereka lalu berjalan beriring menuju taman 
istana. 
“Ada apa Ningsih?” tanya Andika, begitu tiba di 
taman istana. 
“Ningrum! Rupanya kau...,” timpal Purwasih. 
Purwasih lalu memandang Andika. Dia masih bingung 
kenapa Andika memanggil wanita itu Ningsih? 
Bukankah dia bernama Ningrum? 
“Sudah dua kali kau menyebut Ningrum dengan 
panggilan Ningsih. Apa memang dia punya dua 
nama?” tanya Purwasih pada Andika. 
“Ah! Aku hampir lupa,” tukas Andika bergegas. 
Andika memang lupa untuk menjelaskan pada 
Purwasih tentang saudara kembar Ningrum, yaitu 
Ningsih. “Ini Ningsih, saudara kembar Ningrum.” 
(Lihat episode pertama: 'Lembah Kutukan'). 
“Jadi Ningrum benar-benar telah mati di tangan 
Begal Ireng? Ah! Kasihan sekali dia.... Kukira kau 
Ningrum. Habis mirip sekali dengan dia,” tutur 
Purwasih pada wanita di sisinya dengan wajah 
prihati

Wanita yang diajak bicara malah menggelengkan 
kepala. 
“Aku memang Ningrum,” kata gadis yang justru 
malah mengaku Ningrum, perlahan. 
Kini giliran Andika yang dibuat bingung. Bibirnya 
ditekuk seperti sedang meringis. 
“Kau sedang bercanda kan, Ningsih?” tanya 
Andika seraya menggaruk-garuk kepala. 
“Sungguh! Aku memang Ningrum,” jawab gadis itu 
lagi. 
Dipandangnya wajah pemuda tampan itu lekat-
lekat. Wajah dan bias mata gadis itu sulit digambar-
kan dengan kata-kata, bagai memendam sebongkah 
kekalutan serta kehilangan. 
Andika mengernyitkan kening dalam-dalam. “Aku 
pasti salah dengar,” gumam Andika. 
“Tapi Andika...,” sela Ningrum. “Bisa kubuktikan 
kalau aku adalah Ningrum! Aku kenal Purwasih atau 
Naga Wanita. Dia pernah bertempur denganku 
sewaktu pertama kali berjumpa di Lembah Pandam. 
Waktu itu, kau hendak menunggu si 'Penjaga Pintu'. 
Dan ternyata orangnya, aku. “Kalau aku Ningsih, 
mana mungkin kenal Purwasih?” 
Andika menghentikan langkahnya. Tubuhnya 
mematung, membelakangi Ningrum dan Purwasih. 
Tampak, hatinya masih belum percaya kalau Ningrum 
masih hidup. Masih dapat dirasakan puing-puing 
kehancuran dalam hatinya, ketika mendengar berita 
kematian Ningrum, orang yang menanam benih cinta 
pertamanya. Sampai kini, luka di hatinya masih 
menganga. Dan tiba-tiba saja, wanita di belakangnya 
mengaku Ningrum? 
Semestinya Andika gembira. Tapi kenapa yang 
hadir dalam hatinya pada saat itu justru setumpuk

kekecewaan? Dia sendiri tak tahu. Atau, barangkali 
karena merasa telah dibohongi? Dengan kebohongan 
itu, harapan dan kebeningan cintanya pada Ningrum 
hancur. 
“Kau tak gembira kalau aku masih hidup Andika?” 
desah Ningrum, dibebani rasa penyesalan. “Aku 
mengaku salah. karena telah membohongimu. Dan 
tentang saudara kembarku yang sebenarnya, 
memang tak pernah ada. Tapi itu terpaksa kulakukan, 
agar kau memiliki semangat berapi-api untuk men-
jalani penyempurnaan, karena dorongan dendam 
terhadap Begal Ireng yang telah berusaha mem-
bunuhku....” 
“Aku sudah memiliki dendam pada Begal Ireng 
waktu itu!” penggal Andika kasar. “Kau ingat pada Ki 
Sanca, guru Perguruan Trisula Kembar yang 
kuanggap sebagai orangtuaku? Atau, pada Kang 
Soma yang sudah menjadi kakak bagi diriku? Mereka 
dibunuh oleh keparat itu! Dan itu cukup menjadi 
pembakar semangatku untuk menjalani penyem-
purnaan!” 
Dada Andika turun naik. Napasnya kontan ber-
hembus cepat. Kegusaran yang tiba-tiba membludak 
berusaha dihelanya. 
Sementara Purwasih jadi tercekat. Sungguh tidak 
disangka Andika yang selama ini dikenal sebagai 
anak muda ugal-ugalan, ternyata dapat meledak-
ledak seperti itu. 
Sementara itu, Ningrum menundukkan kepala 
dalam-dalam. Matanya terhujam pada rerumputan 
halus di sekitar kakinya. Taman yang asri, berhias 
ragam bunga aneka warna tidak membuatnya 
menjadi nyaman. Kegalauan seketika mengepungnya 
dari setiap sudut.

“Kalau begitu, maafkan aku, Andika. Aku 
mengira....” 
Ningrum terdiam sesaat. Seperti ada sesuatu yang 
berat hendak diangkat ke tenggorokannya. 
“Aku mengira kau mencintaiku. Sehingga, aku 
mengarang cerita itu agar kau benar-benar memiliki 
kekerasan hati untuk menjalani penyempurnaan,” 
tutur Ningrum, lirih. “Rupanya aku salah. Ternyata, 
kau tidak mencintaiku. Maafkan aku, Andika....” 
Kali ini kata-kata gadis itu dibarengi dengan isak 
halus. 
“Tapi kedatanganku ke sini bukan untuk meminta 
belas kasihanmu, Andika. Yang jelas, ada sesuatu 
yang mesti kusampaikan. Begal Ireng dan 
gerombolannya dua minggu lalu berhasil menemukan 
perguruan kami. Bahkan semua murid Perguruan 
Naga Merah dibantainya tanpa belas kasihan. 
Termasuk, guru besar kami sendiri. Meski sebenarnya 
aku ingin mati saja bersama mereka, tapi guru 
menyuruhku lari dari sebuah jalan rahasia agar aku 
dapat menyampaikan kabar ini kepadamu,” sambung 
Ningrum. 
Ningrum tak kuasa lagi membendung tangisnya. 
Dua tetes bening merambat perlahan di kedua belah 
pipinya yang putih. 
“Begal Ireng keparat!” bentak Andika meledak, 
tiba-tiba. Tubuhnya langsung berbalik menghadang 
Ningrum dan Purwasih. “Dari mana dia tahu letak 
perguruan itu? Bukankah letaknya dirahasiakan?” 
“Kau ingat kitab kayu warisan Pendekar Lembah 
Kutukan yang dulu kau miliki?” tanya Ningrum, masih 
tersendat. 
“Astaga! Tentu dia mencurinya dari balik bajuku, 
ketika aku tergeletak sehabis bertempur dengannya

di Desa Banyu Gerabak!” 
“Ya! Itu sebabnya, dia tahu tentang 'Penjaga Pintu' 
yang memiliki Kipas Naga. Ketika seorang murid 
perguruan kami turun gunung untuk mencari 
kebutuhan sandang, pasukan Begal Ireng berhasil 
mengikutinya sampai di perguruan kami. Entah 
bagaimana, anak buah Begal Ireng dapat melihat 
Kipas Naga milik murid itu. Sehingga, salah seorang 
murid Perguruan Naga Merah itu dapat mengenalinya 
sebagai 'Penjaga Pintu' juga,” sambung Ningrum 
masih menutup wajahnya dengan kedua tangan. 
Tangisnya makin kentara. 
Saat itu, kegusaran Andika terhadap Ningrum 
perlahan-lahan surut. Bahkan sudah diganti dengan 
rasa iba melihat gadis yang terseguk-seguk di 
hadapannya. Hatinya yang sebenarnya lembut ter-
sentuh. Hatinya benar-benar terenyuh. 
“Kini aku sebatang kara, Andika,” kata Ningrum 
lirih, nyaris tak kentara. 
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Andika segera 
menghampiri dan mendekapnya. Lalu, dibiarkannya 
Ningrum menumpahkan segala duka yang kini 
merejamnya di dada Andika. 
“Maafkan aku, Ningrum. Aku tidak bermaksud 
kasar padamu. Sebenarnya, aku juga mencintaimu,” 
bisik Andika, di antara anak rambut Ningrum yang 
dipermainkan angin. 
Purwasih yang ada di dekat mereka hanya mem-
perhatikan. Sinar matanya sulit dijabarkan. Sebuah 
tatapan yang didorong rasa iba dan cemburu, berbaur 
jadi satu. 
***

Desa Umbulwetan direbahi cahaya jingga. 
Matahari memang telah begitu redup tanda datang-
nya senja. Di saat seperti itu, penduduk desa itu 
seorang demi seorang meninggalkan sawah, me-
manggul cangkul masing-masing. Mereka me-
lenggang ke rumah, menemui keluarga tercinta yang 
telah menunggu. 
Desa Umbulwetan yang berbatasan dengan 
kotapraja bagian utara ini memerlukan waktu 
beberapa hari perjalanan untuk menuju ke pusat 
pemerintahan Alengka. Karena letaknya cukup dekat 
dengan pelabuhan di pesisir selatan, maka Desa 
Umbulwetan selalu menjadi jalan tembus bagi kereta-
kereta kerajaan yang datang dari dermaga. 
Seperti juga hari ini, sebuah kereta yang ditarik 
empat ekor kuda meluncur cepat di jalan tanah yang 
membelah Desa Umbulwetan. Di belakangnya, enam 
prajurit berkereta mengawal penuh waspada. 
“Hiaaa...!” 
Kusir kereta kuda berteriak lantang, seraya 
menghentakkan tali kekang. Memang muatan ini 
mesti secepatnya dibawa ke kerajaan. Dorongan 
tangung jawab membuatnya begitu bersemangat. 
Lagi pula, dia tidak ingin pasukan Begal Ireng 
mengetahui perjalanan ini, lalu merampok muatan 
keretanya. 
Tanah yang digenangi air karena baru saja diguyur 
hujan sesaat, menghamburkan percikan berwarna 
coklat ketika kaki-kaki kuda menghantamnya. 
Tapi laju kereta kuda itu tiba-tiba terhenti, ketika 
sepasukan orang berkuda menghadang. Kusir 
seketika menarik tali kekang dan kuda pun berhenti. 
Sebagai orang yang berpengalaman membawa 
muatan, dia amat hafal gelagat orang-orang yang

berniat tak baik. Segera tali kekangnya ditarik ke kiri, 
agar kuda-kudanya berbalik untuk menghindari 
penghadangan. Sementara, enam prajurit pengawal 
terus melaju menuju para penghadang. 
“Usahakan agar muatan itu benar-benar sampai! 
Sampaikan pada pasukan Bratasena, kalau kami 
menghadapi kawanan Begal Ireng!” teriak pemimpin 
prajurit pengawal, pada kusir kereta kuda. 
Kemudian, keenam prajurit gagah itu berhenti 
sekitar tujuh tombak di depan para penghadang 
berkuda yang terdiri dari lima belas orang. Keenam 
prajurit itu sudah tahu, kalau sedang menghadapi 
gerombolan Begal Ireng yang memang memiliki ciri 
khas. Mereka berpakaian hitam, seperti juga Begal 
Ireng. 
“Rupanya kalian memilih mati, Prajurit-Prajurit 
dungu!” bentak seorang anak buah Begal Ireng kasar. 
“Kami tidak akan membiarkan kalian merampok 
muatan kereta yang amat dibutuhkan rakyat!” sahut 
pemimpin prajurit kerajaan. 
Dia seorang lelaki gagah berkumis melintang. 
Umurnya masih muda, sekitar tiga puluh tahun. 
Wajahnya tampan, dengan raut mencerminkan 
keberanian dan kegagahan. 
“Apa kau kira akan menang melawan kami?!” 
“Aku tak berharap menang! Aku hanya ingin, 
muatan itu sampai kepada rakyat. Untuk itu, kami 
rela mempertaruhkan nyawa!” 
“Hua ha ha...! Benar-benar Tikus-tikus tolol! Kalian 
hanya buang nyawa saja!” 
“Kami cukup tahu, mana yang benar dan mana 
yang harus ditumpas!” seru pemimpin pasukan 
pengawal. 
“Babi congek! Bantai mereka!” perintah laki-laki
setengah baya yang berwajah seram. Dialah 
pemimpin para penghadang ini. Maka seketika para 
penghadang berseragam hitam itu menyerang para 
pengawal barang. 
Dan pertempuran meletus. Diawali oleh gemuruh 
langkah kuda, dua pasukan pun bertemu. 
“Hiaaat...!” 
Trang! 
Trang! 
Sebentar saja sudah terdengar senjata yang 
berbenturan ganas. Dalam kancah pertempuran di 
punggung kuda seperti itu, gerakan mereka jadi 
terbatas. Tapi bagi enam prajurit istana, pertempuran 
di punggung kuda memang suatu keahlian khusus. 
Meski dikeroyok lima belas lawan, mereka nyatanya 
mampu mengadakan perlawanan sengit. 
Trang! 
Trang! 
Suasana jadi gegap gempita oleh denting senjata, 
ringkik kuda, dan teriakan perang. Biarpun matahari 
bersinar redup, cahaya yang menimpa senjata 
masing-masing menghasilkan kelebatan-kelebatan 
menggidikkan. Setiap kelebatan mengarah pada 
bagian yang mematikan. Namun sampai sejauh itu, 
belum ada yang menjadi korban. 
Dan itu bukan berarti tidak ada pihak yang 
terdesak. Menghadapi kekuatan yang tidak seimbang, 
tentu saja para prajurit kerajaan mulai kerepotan. 
Meskipun sudah mencoba beberapa siasat perang 
berkuda, harus tetap diakui kalau tenaga mereka 
sedikit demi sedikit terkuras menghadapi kekuatan 
yang lebih besar. 
Siasat perang terakhir yang dikerahkan kini adalah 
'Benteng Melingkar'. Bentuk seperti itu biasanya

hanya digunakan pada saat-saat terdesak. Mereka 
menggiring kuda dalam bentuk lingkaran rapat, 
sehingga ekor kuda masing-masing hampir bertemu. 
Dengan siasat perang seperti itu, mereka bisa 
menghindari musuh yang menyerang dari belakang 
dan samping. Dan musuh hanya bisa menyerang dari 
depan. Dan itu jelas lebih mengurangi tenaga yang 
terbuang sia-sia. 
Tapi, rupanya musuh benar-benar bisa membaca 
siasat ini. Dengan satu siasat licik, tujuh orang di 
antara mereka mundur teratur. Sedangkan yang lain 
tetap menggempur dari sisi yang berbeda. Tanpa 
takut terkena kawan sendiri, ketujuh orang itu 
mengeluarkan senjata rahasia masing-masing. Begitu 
tangan mereka mengebut, senjata rahasia itu 
melayang ke arah para prajurit istana. 
Dalam keadaan yang rapat, tentu saja para prajurit 
mengalami kesulitan untuk menghindari pisau-pisau 
kecil yang meluncur deras ke arah mereka. Prajurit 
terdepan yang melihat, segera berkelit seraya mem-
peringatkan kawannya yang berada di belakang. 
“Awas pisau terbang!” 
Namun, terlambat bagi tiga kawannya yang mem-
belakangi. Mereka tentu saja jadi santapan empuk 
pisau-pisau terbang tadi. 
Jep! 
Jep! 
Jep! 
“Aaakh!” 
Tiga prajurit langsung rubuh dari punggung 
kudanya begitu tertembus pisau pada badan bagian 
belakang masing-masing. Beberapa saat tubuh 
mereka meregang-regang, kemudian diam dijemput 
maut. Ketiga lelaki gagah itu mati sebagai pahlawan

kerajaan. 
Dan akibat matinya tiga prajurit, bentuk perang 
'Benteng Melingkar' menjadi kacau-balau. Tiga lelaki 
lain yang selamat dari tikaman pisau terbang segera 
diserbu delapan lawan di belakangnya. Tanpa ampun, 
mereka dibokong dengan pedang dan golok setajam 
taring iblis pada punggung. 
Sret! Jep! 
“Aaakh...!” 
Ketiga lelaki itu pun menyusul temannya yang 
lebih dahulu tewas sebagai ksatria sejati, begitu 
ambruk di tanah. 
Begitu tak ada lagi prajurit yang hidup, para 
penghadang berseragam hitam itu segera meninggal-
kan tempat ini. Maka suasana kembali dikungkung 
sepi. Alam membisu dalam seribu makna yang sulit 
dipahami! Mungkin mentari, bumi, pepohonan, dan 
langit sedang meratapi kepergian enam lelaki gagah 
yang merelakan nyawa demi rakyat menderita. 
*** 
Senja telah ditelan malam. Kini alam dikuasai 
sepenuhnya oleh kegelapan. Angin dingin berlari di 
permukaan bumi, sebagai sekutu malam yang setia. 
Di singgasananya, Prabu Bratasena terduduk 
gelisah. Enam prajurit pilihan dan seorang kusir yang 
ditugaskan menjemput rempah-rempahan dengan 
kereta kuda mestinya sudah kembali sejak sore tadi. 
Tapi hingga kini, belum juga menampakkan batang 
hidung. 
“Pasti ada yang tidak beres,” gumam Prabu 
Bratasena, setengah berbisik. 
“Tampaknya ada gangguan dari pihak Begal Ireng,

Paduka,” duga Mahapatih Guntur Slaksa, menang-
gapi gumaman Prabu Bratasena yang sempat ter-
tangkap telinganya. Bersama beberapa pembesar 
kerajaan, patih bertubuh tinggi besar itu duduk di 
hadapan raja mereka. Sementara Patih Ranggapati 
pun tampak di sana. 
“Itu yang kutakutkan, Mahapatih,” sahut Prabu 
Bratasena pada lelaki bertubuh tinggi besar. 
Wajah Mahapatih Guntur Slaksa amat angker, 
seangker namanya. Rahangnya yang berbentuk 
persegi, bermata bulat dan besar, sungguh-sungguh 
memperjelas keangkerannya. 
Saat itu, secara tiba-tiba datang kusir kuda yang 
membawa muatan rempah-rempah dengan napas 
memburu. 
“Ampun Paduka. Izinkan hamba melapor,” pinta 
kusir itu tersengal seraya menjura. 
“Katakanlah, Paman.” pinta Prabu Bratasena. 
berusaha setenang mungkin. 
“Kami telah dijegal kawanan Begal Ireng di Desa 
Umbulwetan, Paduka,” lanjut lelaki tua berusia 
sekitar enam puluh tujuh tahun yang masih tetap 
gagah itu. “Untunglah para prajurit pilihan berhasil 
menahan mereka. Kalau tidak, rempah-rempah yang 
sangat dibutuhkan rakyat tidak akan sampai ke sini.” 
Demi mendengar laporan ini, Prabu Bratasena 
menjadi geram. Rahangnya mengeras seketika. 
Seraya memegangi keningnya yang terasa berdenyut 
akibat luapan marah, Raja Alengka itu merayapi para 
pembantunya dengan sapuan mata yang sulit 
diartikan. 
“Pemberontak itu rupanya benar-benar ingin meng-
hancurkan negeri ini...,” kata Prabu Bratasena, 
dengan suara bergetar.

“Yang hamba heran, Paduka,” kata kusir kembali. 
“Kenapa gerombolan Begal Ireng dapat mengetahui 
perjalanan kami? Sedangkan semua prajurit 
pengawal sudah mengenakan pakaian biasa, 
sehingga tidak tampak lagi sebagai prajurit kerajaan. 
Lalu, dari mana gerombolan itu tahu tentang kami? 
Dan, dari mana pula mereka tahu kalau kami akan 
menjemput muatan pada saat itu?” 
“Karena di antara kita ada seorang pengkhianat. 
Dia telah membocorkan rencana itu,” jawab Prabu 
Bratasena cepat. Wajahnya menegang demikian rupa, 
memperlihatkan kemurkaan. 
Kembali mata Prabu Bratasena beredar tajam 
pada semua pembesar kerajaan yang hadir di tempat 
itu. Warna merah mulai menyapu sepasang matanya. 
“Di antara kita pasti ada seorang pengkhianat,” 
ulang penguasa Kerajaan Alengka. “Setiap pembesar 
kerajaan, bisa saja jadi manusia busuk itu!” 
Para pembesar kerajaan tampak tertunduk, tidak 
kuasa beradu pandang dengan Prabu Bratasena yang 
terlihat seperti seekor naga murka. Kecuali, 
seseorang Mahapatih Slaksa Guntur! 
“Maaf, Paduka. Bukankah dengan begitu Paduka 
telah meragukan kesetiaan kami pada kerajaan dan 
rakyat?” cetus Mahapatih Guntur Slaksa, agak risih 
mendengar ucapan Prabu Bratasena. 
Rupanya lelaki tinggi besar itu tersinggung oleh 
perkataan rajanya tadi. Di antara pembesar kerajaan 
lain, Mahapatih Guntur Slaksa memang seorang yang 
berwatak keras. 
“Bukannya meragukan kalian semua, tapi hanya 
meragukan kesetiaan seorang di antara kalian,” 
sahut Prabu Bratasena. 
“Sekali lagi hamba mohon maaf, Paduka. Tapi

bukankah itu sama saja artinya mencurigai setiap 
orang dari kami?” desak Mahapatih Guntur Slaksa. 
Dari getar ucapannya, tampak sekali kalau hatinya 
setengah gusar. 
“Aku tahu, kalian memang telah banyak berjuang 
untuk kepentingan negeri ini. Pantas saja kalau kau 
berkata seperti itu, Mahapatih. Tapi kalau merasa 
tidak berkhianat, kenapa kau mesti tersinggung?” 
sahut Prabu Bratasena. 
Meski dirinya sedang dikecamuk kemurkaan, tapi 
selaku seorang raja, dia merasa harus menghadapi 
segala sesuatu dengan kepala dingin. Dan ini mem-
buat Mahapatih Guntur Slaksa tersudut, sehingga 
tidak bisa membantah lagi. Matanya saja yang 
berbinar gusar, namun hal itu tidak diperlihatkan 
pada Prabu Bratasena. Kewibawaan rajanya, mem-
buat dia hanya bisa menyembunyikan kegusaran 
dalam hatinya. 
“Hamba mohon diperbolehkan angkat bicara, 
Paduka,” selak Patih Ranggapati. 
“Silakan, Patih,” sahut Prabu Bratasena. 
“Hamba rasa, Paduka maupun Mahapatih Guntur 
Slaksa dalam hal ini sama-sama tidak salah. Di 
antara kami memang ada seorang pengkhianat. Itu 
pasti. Yang tak pasti, kami semua berkhianat. 
Mungkin Mahapatih Guntur Slaksa hanya meng-
ingatkan Paduka, supaya tidak melontarkan pendapat 
tadi terlalu dini,” jelas Patih Ranggapati, bijak. “Untuk 
itu, kami semua akan berembuk untuk mencari jalan 
keluar agar dapat menemukan si pengkhianat. Kami 
tak segan-segan akan memancung kepalanya jika 
telah jelas terbukti.” 
Prabu Bratasena mengangguk berwibawa, menye-
tujui ucapan Patih Ranggapati.

*** 
Taman Anjangsana keluarga istana temaram di 
malam hari. Bunga beraneka warna tertunduk 
menikmati udara malam. Hanya bunga sedap malam 
yang bermekaran, menebar keharuman ke seluruh 
taman. 
Sejak Ningrum datang, Andika lebih sering ber-
samanya daripada bersama Purwasih. Termasuk, 
malam ini. Mereka tampak asyik berbincang-bincang 
dalam siraman cahaya purnama. 
“Aku dendam sekali pada gerombolan Begal Ireng, 
Andika,” kata Ningrum. 
“Aku tahu. Aku juga pernah merasa kehilangan, 
kan? Meski Perguruan Naga Merah bukan keluarga-
mu sendiri, tapi mereka sudah menjadi bagian dari 
dirimu. Begitu, kan?” timpal Andika. Tapi, bukan 
berarti kau harus berbuat bodoh dengan mendatangi 
gerombolan itu untuk menuntut balas. Serahkan 
semuanya pada Yang Maha Kuasa. Kalau kita tak 
mampu menuntut keadilan dari orang-orang yang 
telah merampas sesuatu yang kita cintai, Tuhan tak 
akan mengharuskan kita. Berbuatlah hal-hal yang 
bisa diperbuat, sebatas kemampuanmu.” 
“Tapi aku tidak bisa begitu saja melupakan pem-
bantaian mereka terhadap orang-orang yang kucintai. 
Bagaimana mereka menghabisi guru, dan saudara 
seperguruanku,” ucap Ningrum penuh desakan 
dendam. “Aku ingin melihat mereka mati di tanganku, 
Andika.” 
“Ssst... ssst!” Andika menggeleng-gelengkan 
kepala, mencoba untuk meredupkan kemarahan 
Ningrum dengan lembut. “Aku tidak mau kehilangan-
mu. Kalau kau berbuat nekat, maka hidupku akan

seperti neraka....” 
Andika langsung meraih bahu Ningrum, lalu 
mengajaknya berjalan ke ruang kehormatan yang 
bersebelahan dengan Taman Anjangsana keluarga 
raja. Dan saat kaki mereka melangkah beriringan, 
mendadak Andika memperdengarkan tawa kecil. 
“Kenapa tertawa?” tanya Ningrum, heran. 
“Aku hanya teringat kenekatanku dulu, sewaktu 
ingin membunuh Begal Ireng di Desa Banyu Gerabak. 
Saat itu, aku juga tak memikirkan apa-apa, kecuali 
membunuh keparat itu. Sekarang, bisa-bisanya aku 
menasihatimu. Aku merasa diriku mendadak menjadi 
orang bijak karbitan,” kata Andika, seraya tertawa 
lagi. 
Ningrum tak juga terikut keriangannya. 
“Ayolah, Ningrum.... Kenapa tidak tertawa sedikit 
saja untukku?” bujuk Andika. “Kalaupun tawamu 
sejelek cengiran kuda, aku tetap bahagia....” 
Kali ini Ningrum tampak memperlihatkan senyum 
kecil. 
Kini mereka sampai di dalam ruang kehormatan. 
Sambil tetap bergandengan, mata keduanya mem-
perhatikan lukisan-lukisan yang terpajang di dinding 
ruangan. 
Ketika mata Andika tertumbuk pada satu lukisan 
keluarga kerajaan, mendadak keningnya berkerut 
rapat. Alisnya yang legam menukik, turut bertaut. 
Wajah lelaki tua dalam lukisan itu seperti dikenalinya. 
Dan tiba-tiba pula tangannya dilepas dari bahu 
Ningrum. 
“Kau tunggu di sini sebentar, Ningrum...,” ujar 
Andika terburu. 
“Kau mau ke mana, Andika?” 
Tapi Andika sudah melesat, melalui pintu keluar.


TUJUH


“Purwasih! Dari mana saja kau? Aku mencari-cari kau 
ke mana-mana!” Andika datang tergesa-gesa. 
Pemuda itu memang tengah mencari-cari Purwasih 
yang menghilang entah ke mana setelah melihat 
Andika dan Ningrum selalu berdua. Dan ternyata 
gadis itu tengah berdiri di halaman istana. Entah, apa 
yang diperbuatnya. 
Sementara, orang yang dipanggil tampak tak 
peduli dan terus mematung. Pandangannya mene-
rawang ke arah bintang-bintang yang saling menger-
dip. 
“Aku harus bicara padamu,” kata Andika setelah 
berada di sisinya. 
Purwasih tetap tak peduli. Entah apa yang ada 
dalam benaknya saat itu. Andika berusaha menduga-
duga, tapi tak dilanjutkannya. Masalahnya, ada hal 
yang lebih penting yang harus disampaikan pada 
Purwasih. 
“Kau kemasukan setan pusing, ya? Aku ingin 
bicara denganmu, Purwasih. Ada hal penting yang 
mesti kutanyakan!” seru Andika persis di telinga 
Purwasih. 
“Aku tak mau bicara denganmu!” dengus 
Purwasih, ketus. Dan hal ini membuat Andika 
menggaruk-garuk kepala tak mengerti. 
“Kenapa kau jadi aneh begitu? Apa tindakanku 
salah?” 
“Apa pedulimu?!” 
“Wah, tambah gawat...,” gumam Andika.

Kembali tangan pemuda itu menggaruk-garuk 
kepalanya sendiri. Sungguh-sungguh sulit dimengerti 
perubahan sikap Purwasih yang tiba-tiba ini. 
“Apa sikapmu yang panas seperti kotoran kerbau 
ini karena kedatangan Ningrum?” duga Andika asal 
bunyi. 
Purwasih tak menjawab, dan hanya sibuk menyem-
bunyikan wajahnya yang mendadak memerah. 
Pertanyaan Andika barusan rupanya tepat mengusik 
sudut hatinya. Memang, kecemburuannya pada 
Ningrum membuatnya merasa dibuang oleh pemuda 
itu. Dia sendiri sering bertanya pada diri sendiri, 
“Kenapa harus mencintai seseorang yang usianya 
jauh di bawahnya? Andika berusia delapan belas 
tahun. Sedangkan dirinya berusia dua puluh sembilan 
tahun. Apakah itu pantas?” 
Pantas tidak pantas, hati Purwasih tetap mengakui 
kalau pribadi Andika membuatnya terjatuh dalam 
kubangan cinta yang ganjil. Ya! Ganjil karena men-
cintai pemuda yang usianya terpaut jauh. Tapi, bukan-
kah cinta tak mengenal kata ganjil? Karena, cinta itu 
sendiri pun aneh. Bisa datang tiba-tiba, dan menimpa 
siapa saja. 
“Apakah aku sungguh-sungguh mencintai pemuda 
ini?” keluh gadis itu dalam hati. 
Terkadang Ningrum memang bersikap seperti 
remaja belasan tahun ketika bersama Andika. Apakah 
itu tanda cintanya pada Andika? 
“Ah, aku bingung...,” desah Purwasih, tak sabar. 
Pemuda tampan di sisinya yang menangkap 
gumaman tadi langsung saja mengernyitkan kening-
nya. 
“Mestinya aku yang bilang begitu! Apa kita 
memang sama-sama bingung? Daripada kau bingung


dan aku bingung, lalu kita seperti orang yang ber-
lomba bingung, ah...! Kenapa omonganku malah jadi 
bikin bingung! Pokoknya kau mesti ikut aku!” ujar 
Andika. 
Lantas tangan Purwasih ditarik Andika. Tak peduli 
apakah nanti wanita itu akan mengamuk. 
“Mau dibawa ke mana aku?” jerit Purwasih 
jengkel. 
“Yang pasti tidak ke kamar!” 
“Kunyuk jorok!” 
“Hua ha ha...!” 
Dengan langkah terseret-seret, Purwasih mengikuti 
Andika. Dan tak lama keduanya sampai di ruang 
kehormatan. Di tempat itu, Ningrum masih menunggu 
kedatangan Andika. Dan melihat pemuda yang 
ditunggunya telah datang terburu-buru bersama 
Purwasih. Ningrum jadi agak heran. Apalagi Andika 
menarik pergelangan tangan Purwasih yang tampak 
sewot. 
Tanpa mempedulikan Ningrum yang terpaku. 
Andika langsung menarik Purwasih ke tempat lukisan 
yang menarik perhatiannya. 
“Kau tahu, siapa orang dalam lukisan ini?” tanya 
Andika pada Purwasih. 
“Ada perlu apa kau bertanya tentang lukisan itu?” 
Purwasih malah balik bertanya. Suaranya terdengar 
makin ketus, saat melihat Ningrum juga berdiri di 
ruang ini. 
“Ini penting, Purwasih!” tegas Andika sungguh-
sungguh. 
Namun. Purwasih malah menatapnya tajam. 
“Baik..., baik. Aku memang suka konyol, suka 
bergurau keterlaluan. Tapi, kali ini aku tidak main-
main, Purwasih!” ujar Andika lagi.

“Kenapa aku harus mempercayaimu?” cibir 
Purwasih. 
Pandangan gadis itu dibuang ke arah lain. Dan ini 
membuat Andika digelayuti kejengkelan, yang terasa 
sekali di tenggorokannya. 
“Kalau aku bilang ini menyangkut kepentingan 
negeri Alengka, berkaitan dengan pemberontakan 
Begal Ireng dan gerombolannya, kau mau percaya?” 
desah Andika agak kasar. 
Sekali lagi, mata lentik Purwasih menghujam 
manik-manik mata pemuda itu. Kalau tadi binarnya 
diwarnai kejengkelan, kini binar matanya memper-
lihatkan keterkejutan. 
“Kenapa kau menatapku seperti melihat naga 
gondrong? Cepat katakan padaku, siapa orang dalam 
lukisan ini?” hardik Andika, tidak sabar. 
“Lelaki tua itu bernama Saptacakra. Dia adik 
buyutku, raja keturunan kesembilan Kerajaan 
Alengka,” jawab Purwasih, akhirnya. “Sekarang jelas-
kan padaku, ada apa sebenarnya?” 
“Yah! Sudah kuduga!” 
Bukannya menjawab pertanyaan Purwasih, Andika 
malah berteriak seperti orang edan! Tangannya ter-
kepal keras seraya meninju angin. Saat itu, dia 
teringat pada lelaki tua di Lembah Kutukan. 
“Kau menduga apa?!” tanya Purwasih, penasaran. 
Ningrum pun melangkah mendekati keduanya. 
Gadis itu ikut tertarik mendengar pembicaraan Andika 
dan Purwasih. Kemudian dia berdiri di sisi kanan 
Andika. 
“Kau ingat pembicaraan kita dulu? Kau bilang 
padaku, Begal Ireng sebenarnya memiliki kekuatan 
yang cukup untuk menyerbu ke istana ini. Tapi, itu tak 
dilakukannya. Kenapa hal itu terjadi...?” tanya Andika.

Ucapannya dihentikan, membuat Purwasih makin 
penasaran setengah mati. 
“Kenapa?!” desak Purwasih sengit. 
“Karena tujuan Begal Ireng sebenarnya hanya 
ingin membunuh ayahmu, Prabu Bratasena,” jawab 
Andika, sambil menatap Purwasih dengan ekor mata 
yang naik ke atas kelopak mata. 
Purwasih kontan menautkan alis. Gadis cantik itu 
masih belum menangkap maksud Andika. 
“Kenapa tak dijelaskan secara gamblang, Andika! 
Jangan buat Purwasih mati berdiri karena 
penasaran!” timpal Ningrum. 
“Baik..., baik. Kenapa kalian jadi kelewat tolol, 
sih?” 
“Aku bukan tolol! Aku hanya tidak tahu, apa yang 
kau maksudkan!” selak Purwasih, tersinggung oleh 
ucapan Andika yang asal bunyi. 
Andika cengar-cengir seraya mengangkat-angkat 
kedua alisnya yang lebat. 
“Iya, ya. Mana ada putri raja yang tolol?” ejek 
pemuda itu. 
“Diam! Jelaskan saja padaku!” bentak Purwasih. 
Wajahnya merah padam, seperti baru dipanggang. 
“Ki Saptacakra yang kau kenal sebagai paman 
buyutmu, sebenarnya adalah Pendekar Lembah 
Kutukan. Rupanya, beliau memilih untuk hidup di 
antara rakyat, daripada di dalam kemewahan istana. 
Lalu, dia menuntut kesaktian agar dapat melindungi 
rakyat dari angkara murka,” urai Andika. 
“Dari mana kau tahu?” tanya Purwasih, heran. 
Andika memelototi Purwasih. Memang pertanyaan 
wanita itu terdengar seperti tidak mempercayai 
keterangannya. 
“Aku pernah bertemu langsung dengan beliau!”

tukas Andika. 
“Jangan ngigau! Pendekar Lembah Kutukan lebih 
dari seratus tahun yang lalu. Kisah kependekarannya 
pun tinggal menjadi cerita rakyat. Bagaimana 
mungkin dia masih hidup?” 
Andika tambah dongkol. Dibukanya ikatan kain 
bercorak catur dari lehernya. 
“Ini buktinya! Aku dapat kain ini dari tempat 
bersemadi beliau!” tegas Andika ngotot, sampai urat 
lehernya tertarik. 
Tangan Purwasih menyambar kain yang dipegang 
Andika. 
“Kain lusuh ini? Di pasar bisa didapat dengan 
harga amat murah!” cemooh Purwasih. Lalu sepasang 
tangannya bergerak hendak mengoyak kain itu. 
“Hey, jangan! Itu kain tanda mata milikku dari 
Lembah Kutukan!” cegah Andika. 
Tapi, tangan Purwasih sudah telanjur bergerak. 
Dan.... 
Kain itu ternyata tidak terkoyak! Sekali lagi 
Purwasih merentangkannya kuat-kuat. Tapi, tetap 
juga kain di tangannya tidak terkoyak. Bahkan ketika 
mencoba mengerahkan tenaga dalamnya untuk 
menghancurkan benda itu, tetap saja hasilnya nihil. 
Purwasih jadi kesal. Pedang besar dikeluarkannya 
dari punggung. Lalu, kain yang terpegang di tangan 
kiri dilemparkannya ke udara. Dan sebentar saja, 
tangannya sudah membabatkan pedangnya ke arah 
kain itu. 
Wut! Wut! Wut! 
Andika dan Ningrum melihat, bagaimana pedang 
itu membabat kain bercorak catur milik Andika 
beberapa kali. Tapi, apa yang terjadi? 
Kain itu hanya melayang ringan, lalu jatuh terkulai

di lantai tanpa cacat sedikit pun. Tentu saja mata 
Andika dan Ningrum jadi terbelalak lebar menyaksi-
kan kenyataan itu. Lebih-lebih Purwasih. 
“Jadi tanpa sengaja, aku telah membawa kain 
pusaka Lembah Kutukan?” desis Andika. Wajahnya 
masih terlolong, disarati kesan keterkejutan. 
“Sekarang aku baru percaya,” ujar Purwasih lemah 
dan menyerah. 
“Jadi, apa kaitannya Begal Ireng dengan Prabu 
Bratasena, Andika?” tanya Ningrum saat Andika 
memungut kain miliknya. 
Andika tidak menjawab. Matanya masih me-
melototi kain gombal di tangannya. Sementara. dari 
mulutnya terdengar decakan beberapa kali. 
“Cepat jawab, Andika! Bukankah kau bilang ini 
adaah persoalan keselamatan negeri ini?!” omel 
Purwasih. 
Andika tetap mematung. Sepertinya pemuda di 
sisinya kehilangan akal. Namun, Purwasih tidak 
peduli. Asal Andika bisa menjelaskan hubungan 
antara pemberontakan Begal Ireng dengan ayahnya. 
Tapi, pemuda konyol itu terlihat lebih bodoh dari 
orang yang kehilangan akal. Itulah yang membuatnya 
jadi mangkel. Maka tiba-tiba saja Purwasih meng-
gunakan tangannya yang masih memegang pedang. 
Dan.... 
Tak! 
Gagang pedang Purwasih mendarat gemas di 
kening Andika. 
“Aouw!” 
“Cepat katakan, atau kau kupukul lagi!” ancam 
Purwasih, setengah berteriak. 
“Jangan berteriak-teriak, aku tidak tuli! Baik, akan 
kujelaskan. Ayahmu, Prabu Bratasena, hendak

dibunuh Begal Ireng karena termasuk keluarga Ki 
Saptacakra. Atau....” 
“Cucu dari saudara Ki Saptacakra!” duga Ningrum. 
“Pintar! Begal Ireng sebenarnya tidak sungguh-
sungguh bermaksud merebut kekuasaan Prabu 
Bratasena. Kepentingannya hanyalah melenyapkan 
seluruh garis keturunan Pendekar Lembah Kutukan. 
Dia begitu dendam pada Ki Panji Agung yang telah 
menggagalkan rencananya saat pertama kali hendak 
merebut kekuasaan prabu.” (Mengenai Ki Panji 
Agung, lihat kembali episode: 'Lembah Kutukan'). 
“Jadi, kali ini rencananya untuk merebut 
kekuasaan hanya sebagai topeng untuk menutupi 
niat sesungguhnya?” tanya Purwasih, ingin memasti-
kan. 
“Ya! Kalau dia sungguh-sungguh ingin merebut 
kekuasaan Prabu Bratasena, tentu sudah mengerah-
kan seluruh kekuatannya yang mampu meng-
hancurkan kerajaan ini. Dan dia hanya menunggu 
kesempatan yang tepat untuk membunuh ayahmu. 
Dengan begitu, kekuatan gerombolannya bisa tetap 
terjaga,” jelas Andika lagi. 
“Ya..., ya. Tanpa meruntuhkan kerajaan ini, Begal 
Ireng pun sebenarnya sudah lebih berkuasa daripada 
Prabu Bratasena. Tokoh aliran sesat yang dikumpul-
kannya begitu banyak. Sehingga, kekuatan 
gerombolannya bisa jadi lebih hebat daripada seluruh 
pasukan tempur istana,” selak Ningrum. 
“Lalu, bagaimana dia tahu kalau ada kesempatan 
yang tepat untuk membunuh ayahku?” tanya 
Purwasih, cemas. 
“Kau tidak ingat pengkhianat kerajaan ini? Tentu 
orang itu yang akan memberitahukan, kapan bajingan 
Begal Ireng dapat menghabisi Prabu Bratasena tanpa

membuang-buang nyawa pasukannya,” jawab Andika 
pasti. 
“Oh, Tuhan...,” desah Purwasih bergetar. 
Hati gadis itu langsung didera lecutan ke-
khawatiran terhadap keselamatan ayahnya. 
“Aku takut, ayahku akan terbunuh, Andika,” desah 
gadis itu lirih, nyaris terisak. 
“Jangan cengeng! Apa kau lupa dengan julukan si 
Naga Wanita yang disegani?” bentak Andika, tidak 
sungguh-sungguh. 
Pemuda itu sebenarnya hanya ingin menekan 
kekhawatiran yang berlebihan pada diri wanita itu. 
Andika sendiri dapat maklum kalau Purwasih seperti 
itu. Biar bagaimanapun dia tetap tak lepas dari 
kodratnya sebagai seorang wanita yang berhati halus 
dan peka. Apalagi, ini menyangkut orang yang paling 
dicintainya. 
“Jangan khawatir, aku punya rencana bagus. Kalau 
Tuhan mengizinkan, kita akan segera menumpas 
Begal Ireng keparat itu.” janji Andika pada Purwasih, 
sambil menepuk-nepuk pipinya yang halus. 
*** 
Malam makin terlelap kegelapan. Bulan sepotong 
masih menebar cahaya temaram, meski telah 
condong sepenggalan. Di kamarnya, Andika tidak bisa 
memicingkan mata sedikit pun. Pikirannya masih 
terseret pada rencananya untuk menumpas Begal 
Ireng, biang kekacauan negeri. 
Dari rebahnya, Andika bangkit. Sedikit udara segar 
memang diperlukan untuk menenangkan pikirannya. 
Perlahan kakinya berjalan menuju pintu. Perlahan 
pula dikuaknya pintu kamar, lalu kembali melangkah

keluar. 
Dari serambi kamarnya di Istana Kerajaan Alengka, 
Andika bisa melihat jelas Taman Anjangsana keluarga 
istana, serta bagian lain. Tapi matanya lebih suka 
memperhatikan bintang yang bertaburan di langit 
lepas. Keindahan alam tak mungkin ditandingi oleh 
karya manusia mana pun! Kemegahan langit yang 
dihampar Tuhan, seakan mengingatkan tentang 
kelemahan manusia. Tentang ketidakberdayaan 
manusia, dan tentang kekerdilan manusia dibanding 
kekuasaanNya. 
Ingat ketidakberdayaan manusia, Andika tiba-tiba 
teringat kembali pada asal-usul dirinya. Banyak 
pertanyaan yang belum terjawab mengenai dirinya 
sendiri. Meskipun beberapa saat lalu Andika telah 
mengetahui kalau buyutnya yang bernama Ki 
Saptacakra, adalah seorang keluarga istana, bukan 
berarti bisa mengetahui pasti siapa orangtuanya. 
Silsilah keluarga istana pada keturunan kesembilan 
ternyata tidak lengkap. Dalam buku riwayat keluarga 
kerajaan di perpustakaan istana, keturunan Ki 
Saptacakra memang tidak tercantum di dalamnya. 
Ya! Andika merasakan ketidakberdayaannya untuk 
menemukan orangtua yang selama ini dirindukan. 
Juga tentang penyebab, kenapa dirinya dibuang di 
pinggir hutan (baca serial Pendekar Slebor, dalan 
episode: 'Lembah Kutukan'). Hatinya hanya bisa 
berharap pada Tuhan, agar dirinya dipertemukan 
kembali. Tanpa pertolonganNya, Andika memang 
tidak mampu berbuat apa-apa. 
Lama Andika memperhatikan tanda berbentuk 
bintang berwarna merah di tangan kanannya yang 
didapat sejak lahir. Mudah-mudahan Tuhan akan 
menjadikan tanda ini menjadi satu titik terang untuk

menemukan mereka, seperti bintang yang menunjuk-
kan arah bagi nahkoda kapal dalam malam gelap. 
Lalu matanya kembali menatap kerlip bintang yang 
tetap bercahaya selama berjuta tahun. 
Ditariknya napas dalam-dalam, seakan hendak 
memuji secara tak langsung ke hadapan Yang Maha 
Kuasa. “Memang bodoh sekali manusia yang 
menyombongkan kekuasaan yang hakikatnya hanya 
bernilai setitik debu di luasnya alam semesta!” bisik 
hatinya. 
Di saat hatinya terhanyut dalam renungan yang 
dalam, tiba-tiba saja perhatiannya teralih pada 
sesosok bayangan yang mengendap-endap di atas 
istana. Dari kejauhan, Andika bisa melihat orang itu 
mengenakan caping lebar. Sinar bulan yang cukup 
terang juga membuatnya bisa mengenali warna 
pakaian orang di atap itu. 
“Heh?! Itu orang yang telah membokong Patih 
Ranggapati di hutan cemara...,” bisik Andika, setelah 
mengenali pakaian merah darah orang yang meng-
endap-endap. “Mau apa dia menyantroni istana? Mau 
cari koreng?” 
Dalam sekejap, tubuh pemuda yang telah dijuluki 
Pendekar Slebor itu sudah berada di atap istana. Kali 
ini, orang itu tidak akan dibiarkan lolos begitu saja. 
Andika menduga, dia adalah kaki tangan Begal Ireng. 
Dengan menangkapnya, barangkali bisa mengorek 
keterangan tentang gerombolan pemberontak itu. 
“Bakikuk!” seru Andika ketika tubuhnya sudah 
berdiri tepat di belakang orang yang dicurigainya. 
Tentu saja orang bercaping menjadi tersentak. 
Tubuhnya langsung berbalik, seraya memasang kuda-
kuda sigap. Tapi Andika sudah raib entah ke mana. 
Sesaat orang itu hanya terpaku, seperti tidak

mempercayai pendengarannya. 
“Bakikuk!” seru Andika lagi. 
Tubuh Pendekar Slebor sudah berdiri di belakang 
orang bercaping. Sudah pasti kecepatan seperti itu 
sangat sulit dilakukan orang berkepandaian 
tanggung. 
Dan sekali lagi orang bercaping itu bergerak cepat 
berbalik. Dan sekali lagi dia terkecoh. Matanya 
ternyata tidak menemukan seorang pun. 
“Keparat,” desis orang itu, setelah mengetahui ada 
seseorang yang sedang mempermainkannya. 
“Bakikuknya sekarang pakai jurus 'Ular Iseng 
Menotok Babi',” ucap seseorang di belakang orang 
bercaping itu. 
Belum sempat tubuh orang bercaping bergeming, 
sebuah totokan sudah mendarat di bagian 
punggungnya. Tuk! 
Tubuh orang bercaping itu kontan terkulai lemas, 
tanpa sempat menghindar. Dan sebelum orang itu 
menyentuh tanah, Andika cepat menyambarnya. 
“Wah! Rupanya kau sudah mengantuk berat, ya? 
Apa kau mabuk? Kapan minumnya? Kemarin?” oceh 
Pendekar Slebor, saat memanggul tubuh orang 
bercaping dengan senyum lebar di bibirnya. 
Secepat bayangan setan, tubuh Pendekar Slebor 
berkelebat. Orang itu memang akan dibawanya ke 
kamar, agar bisa dipaksa bicara. Mudah-mudahan dia 
termasuk orang yang tidak pelit dengan keterangan. 
“Nah, sekarang kau boleh beristirahat di sini...,” 
kata Andika sesampai di kamar. Lalu…. 
Buk! 
Tubuh orang bercaping menggeloso di lantai 
kamar. Andika rupanya berusaha bersikap sekasar 
mungkin pada orang yang telah membokong Patih

Ranggapati waktu itu. Buktinya, tubuh itu dilempar 
begitu saja ke lantai. 
“Aku cukup ramah, bukan? Tapi kalau memasuki 
kamar orang lain, harus membuka capingmu...,” kata 
Pendekar Slebor. 
Setelah itu, tangan Andika menyambar caping 
lebar tawanannya. 
“Setan buntung gantung diri!” seru Andika. 
Mata Pendekar Slebor langsung terbelalak lebar 
saat melihat wajah orang itu. 
“Ningrum...?” desis Andika, nyaris tak percaya. 
Ningrum hanya bisa menatap Andika. Sebenarnya, 
dia bisa bicara. Tapi karena kartunya sudah terbuka, 
mulutnya jadi malas berkata-kata. 
“Apa-apaan kau ini?!” gerutu Andika. 
Segera dibebaskannya totokan di tubuh Ningrum. 
Dan gadis itu segera bangkit. Tangannya memegangi 
pinggangnya yang terasa berdenyut-denyut nyeri 
akibat menghantam lantai kamar. Dan bibirnya juga 
meringis-ringis. 
“Jadi, kau yang menyerang Patih Ranggapati waktu 
itu?” tanya Andika. 
Ningrum hanya menyembunyikan wajah ayunya 
dengan kepala yang tertunduk. Memang, gadis itulah 
yang telah membokong Patih Ranggapati dengan 
pisau-pisau terbang saat Andika, Purwasih, 
Bayureksa, dan Patih Ranggapati menembus hutan 
cemara di atas bukit. 
“O, bagus!” rutuk Andika. “Kau telah menyerang 
pembesar istana. Itu tindakan bagus! Kau tahu 
artinya itu? Kalau ketahuan, kau bisa dianggap 
bersekongkol dengan gerombolan Begal Ireng!” 
“Tapi Andika...!” 
“Tapi apa?! Aku tidak mengerti, apa maumu

sebenarnya!” potong Pendekar Slebor. 
“Kau akan mengerti kalau memberiku kesempatan 
bicara!” 
Andika melotot, lalu membanting caping di 
tangannya keras-keras. 
“Baik, bicaralah! Tapi, ingat. Kalau kau mengarang 
cerita yang bukan-bukan, aku tak segan-segan 
menyerahkanmu pada Patih Ranggapati supaya bisa 
menerima hukumanmu!” ancam Andika, sungguh-
sungguh. 
Dalam hal menegakkan keadilan, Pendekar Slebor 
tidak mau pandang bulu. Meski yang harus menerima 
hukuman adalah orang yang amat dicintai. Selama 
orang itu memang terbukti bersalah, Andika tak 
peduli. 
Sebelum mulai bicara, Ningrum menarik napas 
beberapa kali. Seakan, dia hendak mempersiapkan 
sesuatu yang hendak didorong tenggorokannya. 
“Sejak Begal Ireng dan gerombolannya membantai 
perguruanku, aku menyimpan dendam yang tak dapat 
kukuasai lagi. Lalu, aku bertekad menuntut balas. 
Untuk muncul terang-terangan, aku takut kaki tangan 
Begal Ireng mengenali. Bahkan bisa-bisa mereka 
menangkapku untuk dijadikan sandera, agar kau 
menyerahkan diri pada Begal Ireng. Maka itu, aku 
menyamar dengan pakaian lelaki dan caping lebar ini. 
Sengaja senjata kipasku tak kugunakan dengan 
alasan tadi. Sebagai gantinya, kugunakan pisau-pisau 
kecil sebagai senjataku,” jelas Ningrum. 
“Tapi bagaimana kalau tokoh-tokoh golongan 
hitam yang bergabung dengan Begal Ireng 
menangkap, kemudian menyerahkan dirimu pada 
pemimpin mereka? Bukankah Begal Ireng sudah 
mengenalimu? Kalau sudah begitu, kau tetap akan

dijadikan sandera!” penggal Andika keras. 
Pendekar Slebor bukan takut menghadapi tokoh 
aliran sesat itu, tapi hanya khawatir keselamatan 
Ningrum. 
Ningrum kembali menancapkan pandangan ke 
lantai kamar. Mulutnya membisu, seperti juga lantai 
kamar yang ditatapnya. Dalam hati diakui kebenaran 
ucapan Andika barusan. Betapa bodohnya dia, hanya 
mengikuti gejolak dendam tanpa berpikir panjang! 
“Lalu, kenapa kau menyerang Patih Ranggapati?” 
cukil Andika kembali. 
“Pembesar itu berkhianat, Andika. Aku menyaksi-
kan dengan mata kepalaku sendiri, dia sedang 
mengadakan pertemuan rahasia bersama seorang 
kaki tangan Begal Ireng. Aku mengenal kaki tangan 
Begal Ireng, karena dia juga ikut membantai 
Perguruan Naga Merah....” 
“Astaga...,” desis Andika. 
*** 
“Purwasih! Kau tahu, siapa yang berkhianat dalam 
kerajaan ini?” tanya Andika berbisik, ketika 
menemukan Purwasih sedang melatih jurus-jurus silat 
di halaman istana. Saat itu matahari tidak begitu 
ganas, karena memang belum lama lagi. 
Purwasih langsung menghentikan gerakan. Tanpa 
memasukkan pedang ke sarungnya kembali, ditatap-
nya Andika penuh keingintahuan. 
“Siapa?” tanya gadis itu. 
“Patih Ranggapati...,” jawab Andika hati-hati. 
“Ha ha ha....” 
Wanita itu mendadak tertawa keras-keras. Tentu 
saja Andika jadi kelimpungan menahan suara tawa

yang begitu keras-. 
“Ssst! Gila, kau! Bisa dicurigai pengkhianat itu!” 
Pendekar Slebor memperingatkan. 
“Kau yang gila, Andika. Aku kenal betul lelaki itu. 
Dia sudah seperti pamanku sendiri. Itu sebabnya, 
kenapa dia memanggilku Purwasih saja, tanpa embel-
embel tuan putri yang memuakkan itu,” tukas 
Purwasih, dan hendak melanjutkan latihannya. 
“Hey! Aku sedang tidak ingin bercanda!” tegas 
Andika dengan wajah sungguh-sungguh. 
“Kau sungguh-sungguh?” tanya Purwasih seraya 
menatap lelaki di depannya lekat-lekat. 
“Ningrum yang menyaksikan Patih Ranggapati 
sedang mengadakan pertemuan rahasia bersama 
seorang kaki tangan Begal Ireng....” 
Secara singkat, Andika menguraikan cerita tentang 
Ningrum pada Purwasih. 
“Ah! Rasanya sulit sekali kupercayai berita ini, 
Andika,” desah Purwasih setelah Andika selesai 
bicara. 
“Tapi, begitulah kenyataannya.” 
“Tapi Patih Ranggapati sudah seperti keluargaku 
sendiri!” ucap Purwasih tak mau kalah. 
“Aku yakin, pernah terjadi bentrokan antara 
ayahmu dengan lelaki itu,” duga Pendekar Slebor. 
Lama mata Purwasih terhujam pada dinding 
benteng istana. Tampaknya dia sedang diusik 
sesuatu yang tersembul di benaknya. Beberapa kali 
wanita itu menghempas napas galau. 
“Kau ingat sesuatu, Purwasih?” usik Andika. 
“Ya. Patih Ranggapati memang pernah ber-
sengketa dengan ayahku. Dia mencintai seorang 
wanita bernama Tanjungsari. Bertahun-tahun wanita 
itu berusaha untuk diperistrinya, tapi tidak berhasil.

Dan wanita itu malah terpincut pada ayahku, sampai 
akhirnya keduanya menikah...,” cerita Purwasih. 
Matanya tetap menerawang jauh. 
“Wanita itu ibumu?” Purwasih mengangguk lamat. 
Jelas sudah bagi Andika, alasan Patih Ranggapati 
berkhianat pada Kerajaan Alengka... 
***

DELAPAN

Pagi baru berlalu sekian saat. Sang Raja Siang 
merayap perlahan menuju puncaknya. Panas terasa 
mulai tak bersahabat. Di sebuah jalan rumput yang 
membelah padang luas, terlihat arak-arakan kecil. 
Beberapa orang terlihat berjalan di belakang kereta 
kuda yang dihela seorang kusir bertubuh ramping. 
Empat orang di antaranya mengendarai kuda. Dua 
berada paling depan, sedangkan sisanya berada di 
barisan paling belakang. Melihat dari bendera yang 
dibawa, bisa ditebak kalau arak-arakan itu adalah 
rombongan kerajaan. 
Dua hari yang lalu, Prabu Bratasena merencana-
kan pergi untuk menemui raja dari negeri tetangga 
yang akan bekerjasama dengannya memberantas 
gerombolan Begal Ireng. Menurut Prabu Bratasena, 
raja negeri tetangga mulai merasa khawatir oleh 
meluasnya kekuasaan Begal Ireng ke wilayahnya. 
Makanya, dia mengirim pesan rahasia pada Prabu 
Bratasena untuk mengadakan kerjasama. Tawaran 
itu tentu saja diterima gembira. 
Agar kepergian ini tidak dicurigai mata-mata Begal 
Ireng, Prabu Bratasena memerintah para prajurit 
pengawal untuk mengenakan pakaian biasa. Pakaian 
kerajaan yang menandakan mereka sebagai prajurit 
istana harus ditanggalkan. 
Sementara pembesar kerajaan yang ikut bersama 
rombongan adalah Mahapatih Guntur Slaksa. Lima 
belas prajurit khusus serta tiga perwira istana 
langsung dipimpinnya. Dan seorang perwira yang

menyertainya adalah Patih Ranggapati. 
“Berjalanlah perlahan, agar kita tidak dicurigai!” 
seru Prabu Bratasena dari dalam kereta kudanya 
yang tertutup. “Mudah-mudahan pengkhianat ke-
rajaan tidak mengetahui rencana kita.” 
Tapi, apa benar begitu? 
*** 
Di ujung padang rumput yang dibatasi deretan 
bukit kecil, Begal Ireng bersama beberapa orang 
pilihannya ternyata telah menunggu. Wajah pemimpin 
pemberontak itu terlihat berapi-api, diberontaki 
hasrat membunuh. Bibirnya sesekali menyeringai, 
seakan seekor serigala menunggu mangsa. 
Lelaki itu berpakaian hitam-hitam, terbuat dari 
sutera. Wajahnya tampan dan kelimis, namun ber-
kesan amat dingin. Di bagian pinggangnya melilit 
sebuah cemeti pusaka yang terbuat dari akar 
tumbuhan langka berduri tajam, seperti ekor ikan 
pari. Dia duduk gagah di punggung kuda putihnya. 
Di sisi kanan dan kirinya, berdiri dua lelaki tangan 
kanannya. Mereka adalah, si Kembar dari Tiongkok 
yang berpenampilan serupa. Baik dari wajah, hingga 
pakaian mereka. Kepala mereka juga sama-sama 
gundul, dan mata mereka juga sipit. Ditambah oleh 
keadaan kulit yang kuning, sudah dapat diduga kalau 
keduanya berasal dari daratan Tiongkok. Dan 
sebenarnya, si Kembar dari Tiongkok adalah dua 
tokoh aliran sesat yang lari dari negerinya, karena 
menjadi buronan pihak kerajaan di Tiongkok. Bekal 
mereka ke nusantara ini adalah ilmu bela diri yang 
tinggi dan kekejaman. 
Empat lelaki lain tampak berdiri dengan wajah

tegang di belakang Begal Ireng. Mereka adalah tokoh 
sesat aliran hitam yang akan membantu penyerangan 
Begal Ireng terhadap rombongan kerajaan. 
Seperti juga Begal Ireng, keempat orang itu ber-
pakaian hitam-hitam pula. Itu memang salah satu ciri 
khas gerombolan pemberontak di bawah perintah 
Begal Ireng. Dua orang yang tidak mengenakan 
pakaian hitam-hitam dalam gerombolan ini hanyalah 
si Kembar dari Tiongkok. Mereka justru berpakaian 
putih-putih. 
Di balik bebatuan besar di kaki bukit, ketujuh lelaki 
itu mengintai. Mata mereka lepas ke padang rumput 
yang terhampar di depan. Dan ketika rombongan 
kerajaan mulai terlihat seperti titik kecil di kejauhan, 
Begal Ireng mengangkat tangannya. 
“Saat Bratasena keparat dan pasukannya tiba di 
celah bukit, kita habisi mereka. Ingat! Habisi! Jangan 
biarkan ada yang tersisa!” 
Si Kembar dari Tiongkok hanya mengangguk-
angguk lamat. Sedangkan empat lelaki lain menjawab 
dengan suara dingin dan datar, seakan sedang 
menikmati gelora nafsu membunuh. 
Sehari lalu, seorang kaki tangan Begal Ireng 
menyampaikan berita tentang kepergian Prabu 
Bratasena yang didapat dari si pengkhianat. Tak 
heran kalau kini mereka menghadang rombongan. 
Sementara itu, rombongan kerajaan makin dekat 
menuju tempat persembunyian Begal Ireng dan 
pengikutnya yang berjumlah enam orang itu. Dugaan 
Andika beberapa waktu yang lalu memang tidak 
meleset. Begal Ireng memang tidak ingin membuang 
nyawa pasukannya. Tujuan sebenarnya adalah mem-
bunuh Prabu Bratasena, yang memiliki garis 
keturunan Pendekar Lembah Kutukan. Dia tak akan

menyerang kerajaan secara langsung, dan hanya 
menunggu kesempatan yang baik untuk menghabisi 
raja bijaksana itu. 
Setombak demi setombak, rombongan kerajaan 
makin menghampiri perangkap yang dipasang Begal 
Ireng. Saat mereka berada di celah antara dua bukit 
yang menjadi jalan tembus, Begal Ireng dan kaki 
tangannya siap akan menyergap. 
Saat itu, rombongan kerajaan sudah memasuki 
mulut celah bukit. Dan.... 
“Maju!” perintah Begal Ireng pada anak buahnya, 
penuh nafsu. 
Seketika dari bebatuan besar yang menyembunyi-
kan tubuh mereka, Begal Ireng dan anak buahnya 
berhamburan keluar. Bersama si Kembar dari 
Tiongkok, dia menghadang di depan. Sementara, 
empat anak buahnya yang lain menghadang di 
belakang. 
Rombongan kerajaan kini benar-benar terjepit, 
tanpa dapat meloloskan diri lagi. Bagaimana mereka 
bisa meloloskan diri kalau di sisi-sisi adalah tebing 
terjal menjulang yang mustahil didaki. Sedangkan di 
depan dan di belakang mereka, musuh sudah siap 
merencah. 
Celah bukit sepi, maut yang akan menjemput. 
Hanya desir angin yang meluncur di antara dinding 
cadas. 
“Bratasena! Akhirnya kau akan menyusul 
saudaramu Panji Agung ke dasar neraka!” seru Begal 
Ireng keras, namun dingin. Tak ada perubahan sedikit 
pun di wajahnya. Sementara, anak rambut dan ujung 
pakaiannya dipermainkan angin. 
Tak ada jawaban dari pihak kerajaan. 
“Bratasena! Apakah kau sudah siap untuk

menerima kematianmu. Atau, kau memang tuli?” 
bentak Begal Ireng sekali lagi. 
“Hua ha ha...!” 
Kali ini, terdengar tanggapan dari kereta kuda. 
Tapi hanya tawa. 
“Kau pikir ini lucu, hah?!” bentak Begal Ireng 
kembali. 
“Ya. Tapi aku tak tertawa karena ucapanmu. Aku 
hanya teringat pada syair Iagu. Kau mau dengar? 
Begini....” Kemudian dari dalam kereta kuda 
terdengar senandung berisi pantun. 
“Debrut-brut-brut kentut kuda. 
Bikin ngantuk sejuta angsa. 
'Cecurut tua 'yang awet muda. 
Mengira mampu berkuasa...?” 
“Keparat!” hardik Begal Ireng. Memang, usia Begal 
Ireng sebenarnya hampir mencapai sembilan puluh 
tahun, tapi karena menganut ilmu awet muda, 
penampilannya masih tampak seperti lelaki berusia 
tiga puluhan. 
Tanpa memerintah anak buahnya, Begal Ireng 
langsung meluruk ke arah kereta kuda. Tentu saja ini 
sangat mengejutkan Mahapatih Guntur Slaksa. Maka 
lelaki itu segera ikut melesat ke arah kereta kuda. 
Namun sebelum Begal Ireng atau Mahapatih 
Guntur Slaksa benar-benar sampai, tiba-tiba sesosok 
tubuh mencelat bagai bayangan hantu. Setelah 
berputar beberapa kali di udara, orang yang melesat 
dari kereta kerajaan itu menjejak persis setombak di 
depan Begal Ireng yang mendadak menghentikan 
larinya.

“Bakikuk!” seru orang itu. 
Ternyata, dia adalah Andika! Tentu saja Begal Ireng 
terkesiap. Matanya terbelalak bagai kelereng. 
Sungguh tak diduga. Ternyata orang yang berada 
dalam kereta kuda itu bukan Prabu Bratasena. 
Memang, inilah rencana yang pernah dijanjikan 
Andika pada Purwasih. Dengan rencananya ini, dia 
berhasil memancing Begal Ireng keluar dari sarang-
nya. Sengaja Andika mengatur agar Prabu Bratasena 
tampak sungguh-sungguh hendak me-nemui raja 
negeri tetangga. Dan hal itu, lalu dibicarakan di depan 
para pembesar kerajaan. Ternyata perhitungan 
Andika berjalan lancar. Rencana kepergian itu 
buktinya bocor, sampai ke telinga Begal Ireng. Hanya 
saja, orang yang berada dalam kereta sudah berganti. 
Bukan Prabu Bratasena, tapi Andika sendiri. 
Bukan hanya Begal Ireng yang terkejut. Mahapatih 
Guntur Slaksa pun demikian. Bahkan telah melompat 
dari punggung kudanya, lalu melesat menuju kereta 
kuda. Namun langkahnya dihentikan seperti halnya 
Begal Ireng. Bahkan dua perwira dan lima belas 
prajurit kerajaan tadi membelalakkan mata. Apalagi, 
Patih Ranggapati. 
Kenapa mereka bisa ikut terkecoh? Sekali lagi, ini 
akal bulus Pendekar Slebor itu. Andika memang 
mengatur rapi, agar kusir kereta kuda digantikan 
Ningrum yang mengenakan pakaian lelaki. Pada saat 
Prabu Bratasena sudah masuk ke dalam kereta kuda 
di hadapan para pembesar istana, Andika men-
jentikkan kerikil kecil ke tubuh salah seekor kuda. 
Akibatnya kuda itu langsung terkejut dan berlari 
sehingga ketiga kuda lain yang mengikutinya. 
Ketika kuda berlari sekian langkah di dekat 
sebuah pohon besar, Andika segera masuk ke dalam.

Sedangkan, Prabu Bratasena keluar dan bersembunyi 
di balik pohon besar itu. Kejadian ini begitu cepat. 
Sehingga, beberapa perwira yang memburu untuk 
menghentikan lari kuda tak sempat melihatnya. 
“Wah wah wah...! Kenapa matamu melotot seperti 
orang banyak hutang, Begal Ireng?” ejek Andika 
seraya memutar-mutar kain bercorak catur di depan 
dada, seperti orang kepanasan. 
“Kau..., ternyata kau belum mati?” kata Begal 
Ireng, geram. 
“Aku selalu punya nyawa cadangan yang kusimpan 
dalam perutku. Kau mau lihat nyawa cadanganku?” 
ujar Andika acuh. “Nih....” 
Truut... dut! Du... brot! 
Andika mengeluarkan angin yang dikatakannya 
tadi sebagai nyawa cadangan. Dan angin itu 
dikeluarkan melalui lubang pantatnya! 
“Hebat, bukan?” 
“Keparat!” geram Begal Ireng amat memuncak. 
Mata tokoh hitam ini mendadak memerah. 
Wajahnya pun terbakar kemurkaan. Karena dirinya 
telah dipermainkan anak muda bau kencur 
berpakaian hitam pupus ini. 
“Kali ini kau tak akan lolos lagi dari maut, Anak 
Babi!” umpat Begal Ireng. 
“Tapi kalau aku lolos lagi, bisa jadi kau yang akan 
dijemput maut, Bapak Babi!” timpal Andika, semakin 
membakar kemarahan lawannya. 
Sampai di situ Begal Ireng tidak bisa lagi menahan 
kemurkaannya. Dengan satu genjotan, tubuhnya 
meluruk ke arah Pendekar Slebor. Di benaknya hanya 
terbayang bagaimana anak muda kurus itu tergeletak 
menjadi mayat.

“Adouw, tidak kena!” teriak Andika seraya bergeser 
ke samping. Namun, kaki kirinya yang masih tetap di 
tempat semula langsung menyapu kaki lawan. 
Begal Ireng yang menyerang Andika dengan jurus 
'Terkaman Naga', segera menghentak kakinya yang 
hendak disapu lawan. Tubuhnya langsung melenting 
ke udara. Setelah berputar di udara beberapa kali, 
kakinya kembali menjejak mantap di tanah. Dari sini 
bisa dilihat kehebatan ilmu meringankan tubuhnya. 
“Kau bertempur menggunakan jurus apa, Begal 
Ireng? Apakah nama jurus itu 'Kodok Bisul Cari 
Makan'? Kalau begitu, aku harus menghadapimu 
dengan jurus 'Kupu-kupu Bingung',” kata Andika, 
pendekar muda yang mendapat julukan Pendekar 
Slebor ini. 
Tubuh tegap pemuda itu bergerak. Kain bercorak 
papan catur yang tergenggam di tangannya terlihat 
dibentangkan. Sepasang kakinya melekuk keluar 
seperti seorang yang menahan sakit perut. Lalu, 
tubuhnya mulai berputar-putar setengah terhuyung 
dalam satu lingkaran kecil. 
“Anak sinting cari mampus!” maki Begal Ireng 
ketika melihat lawannya mulai mengejek kembali. 
Serangan selanjutnya dilancarkan Begal Ireng, 
langsung memasuki jurus kesepuluh 'Terkaman 
Naga'. Di samping karena sudah menduga kalau 
lawannya telah menjalani penyempurnaan, lelaki itu 
juga ingin secepatnya menyudahi pertarungan ini. 
Sementara itu tanpa diduga Patih Ranggapati, dari 
kereta kuda meluncur seseorang berpakaian merah 
menyala dengan kepala ditutup caping pelepah 
kelapa. Dan dia tepat mendarat di depan Patih 
Ranggapati. 
Memang, rupanya Andika tidak mau tanggung

tanggung menjalankan rencananya untuk memancing 
pengkhianat Kerajaan Alengka. Secara sembunyi-
sembunyi, Purwasih disuruhnya untuk naik kereta, 
setelah diminta untuk mengenakan pakaian Ningrum 
berikut capingnya. 
Lagi-lagi semua orang di sekitar tempat itu menjadi 
terperanjat. Terlebih Patih Ranggapati. Dan matanya 
jadi terbelalak untuk yang kedua kali! 
“Kau terkejut, Paman Patih?” tanya Purwasih 
seraya membuka caping penutup wajahnya. 
“Purwasih?” sahut Patih Ranggapati, tanpa sadar. 
“Ya, aku Purwasih, putri Prabu Bratasena yang kau 
khianati. Aku juga seorang yang menganggap kau 
adalah pamanku, tapi mulai saat ini dengan berat hati 
kau kuanggap sebagai musuh negeri Alengka....” 
“Purwasih! Apa-apaan kau ini?!” kata Patih 
Ranggapati, bergetar. 
“Paman Guntur Slaksa, periksalah bahu kiri Patih 
Ranggapati! Sewaktu pulang bersamaku dulu, dia 
mengatakan kalau luka di bahunya adalah akibat 
serangan orang-orang Begal Ireng. Sesungguhnya, 
luka itu akibat sayatan Kipas Naga milik Ningrum, 
yang kini menjadi kusir kereta kuda kita...,” sambung 
Purwasih pada Mahapatih Guntur Slaksa, tanpa 
mempedulikan keterkejutan Patih Ranggapati. 
Rupanya, Purwasih sudah mulai mempercayai 
siasat yang diterapkan Andika, untuk membuktikan 
keterlibatan Patih Ranggapati dalam menebar 
bencana di Kerajaan Alengka. 
Lelaki tinggi besar bernama Mahapatih Guntur 
Slaksa menatap Patih Ranggapati dengan sinar mata 
tidak percaya. Bagaimana mungkin orang yang 
selama ini dikenal baik sebagai perwira kerajaan 
dengan kesetiaannya yang tak diragukan itu berkhianat? Namun mengingat yang memerintah adalah 
putri raja, mau tak mau Mahapatih Guntur Slaksa 
mengabulkannya. 
“Kemarilah, Patih Ranggapati!” ujar Mahapatih 
Guntur Slaksa. 
Dia berusaha menjangkau pakaian Patih 
Ranggapati untuk melihat bahu sebelah kirinya, tapi 
ternyata lelaki yang dicurigai sebagai pengkhianat 
kerajaan ini menghindar cepat. 
“Kenapa kau menghindar, Patih Ranggapati? Apa 
memang benar ucapan Tuan Putri Purwasih kalau kau 
adalah pengkhianat kerajaan?” desis Mahapatih 
Guntur Slaksa penuh tekanan. 
Melihat tindakan Patih Ranggapati, Purwasih 
makin yakin kalau laki-laki yang selama ini sudah 
dianggap pamannya adalah seorang pengkhianat. 
Pantas saja selama ini segala kegiatan kerajaan 
selalu bocor ke telinga Begal Ireng. Dan kini, jelas 
pancingan Andika mengena. 
Sementara Patih Ranggapati hanya menatap 
Mahapatih Guntur Slaksa dengan wajah memerah. 
Setapak demi setapak kudanya melangkah ke 
belakang seperti siap hendak melarikan diri. 
“Tangkap pengkhianat itu, Paman Guntur Slaksa!” 
seru Purwasih. 
“Hiaaa...!” 
Tubuh Mahapatih Guntur Slaksa langsung 
melenting tinggi ke arah Patih Ranggapati. 
Sementara, orang yang diserang juga tidak tinggal 
diam. Dia juga langsung melenting, memapak 
serangan Mahapatih Guntur Slaksa. 
Kini kancah pertempuran makin hingar-bingar 
karena pertarungan meluas menjadi beberapa 
bagian. Andika melawan Begal Ireng, Mahapatih

Guntur Slaksa dengan Patih Ranggapati, menyusul 
Purwasih dan Ningrum yang menyerbu ke arah si 
Kembar dari Tiongkok. Sedangkan prajurit khusus 
kerajaan menyerang empat kaki tangan Begal Ireng 
yang lain. 
Sementara itu, pertempuran Andika melawan 
Begal Ireng makin sengit. Keduanya bertukar jurus 
bertubi-tubi dalam satu kelebatan yang sulit 
ditangkap mata orang awam. Berkali-kali Begal Ireng 
dibuat penasaran oleh jurus-jurus Pendekar Slebor 
yang tampak seperti main-main. Dan setiap kali Begal 
Ireng melabrak, selalu saja dapat dipatahkan Andika. 
Sampai suatu saat.... 
Begal Ireng mencoba melepaskan tendangan 
tipuan ke arah pinggang Pendekar Slebor. Dan begitu 
melihat lawannya menghindar dengan melenting ke 
atas, Begal Ireng tak menyia-nyiakannya. Seketika 
tenaga dalamnya kini digenjot. Lalu, tubuhnya 
melesat sambil melepaskan pukulan maut ke arah 
Andika yang masih berputaran di udara. 
Melihat serangan mendadak ini, Pendekar Slebor 
rupaya memang sudah menduga. Dalam keadaan 
masih di udara, langsung dipapaknya serangan Begal 
Ireng dengan tangan kanannya. Sehingga.... Plak! 
Begitu kuat tenaga dalam yang dikerahkan 
Pendekar Slebor, sehingga tangan kanannya yang tak 
tergoyah langsung meluruk dengan jari-jari lurus ke 
arah dada Begal Ireng. Tak ada kesempatan bagi 
tokoh hitam ini untuk menghindar. Apalagi, 
keseimbangannya cukup goyah akibat benturan 
tangan tadi. Akibatnya.... Des! 
Tak ayal lagi, dada Begal Ireng kontan terhantam 
jari-jari tangan kanan Andika dengan telak. Tubuhnya 
terdorong deras, dan jatuh keras di tanah,

menimbulkan debu-debu yang berterbangan di 
sekitarnya. Bukan main terkejutnya Begal Ireng 
menerima totokan jari Pendekar Slebor. Sambil 
menahan sesak luar biasa, dia berusaha bangkit. 
Sebenarnya jurus-jurus Pendekar Slebor memang 
sulit diduga. Bahkan seringkali terlihat ngawur. 
Namun akibat yang dihasilkannya sungguh sulit 
dipercaya. Padahal, benteng pertahanan Begal Ireng 
selama ini tidak bisa ditembus oleh tokoh sakti mana 
pun. Ki Panji Agung lawannya dulu pun harus 
bertempur lebih dari ratusan jurus untuk bisa 
menembus pertahanannya. Tapi lawannya yang 
berusia belasan tahun ini mampu membobol 
pertahanan Begal Ireng tak kurang dari tiga puluh 
jurus! 
“Kenapa kaget? Sekarang kau baru berkenalan 
dengan Pendekar Slebor yang baru turun gunung. 
Kau ingin lihat kekonyolanku? Lihatlah....” 
Selesai berkata demikian, Andika melabrak lawan 
seperti orang gila yang sedang mengamuk sejadi-
jadinya. Sepasang tangannya mengebut kian kemari 
dengan telapak dan jari tangan terbuka lebar-lebar. 
Kakinya menendang-nendang kacau seperti seekor 
kuda liar. Sedangkan kepalanya berputar-putar, 
sehingga rambutnya berantakan tak karuan. 
“Hus... hus! Hus... hus!” Andika menggusah. 
Seakan-akan menganggap Begal Ireng, tokoh sakti 
papan atas aliran hitam itu sebagai ayam miliknya 
yang hendak digiring ke dalam kandang. 
Begal Ireng menjadi kalang kabut menghadapi 
serangan ganjil lawannya. Selama menjadi tokoh 
sakti, dia hanya berhadapan dengan lawan yang 
mengerahkan jurus-jurus terarah. Tapi lawannya kali 
ini sungguh membingungkan. Serangan yang dikira

mengarah ke biji mata, ternyata menyempong ke biji 
'terlarang'. Serangan yang mengarah ke ulu hati, 
ternyata meliuk ke ubun-ubun. Gerakannya seperti 
daun kering tertiup angin, sewaktu-waktu dapat 
berubah arah tanpa terduga! Itulah jurus 'Memapak 
Petir Membabibuta'! Jurus yang berhasil dicipta-
kannya dalam purnama kedua di Lembah Kutukan. 
Maka akibatnya.... 
Duk! 
Plak! 
Plak! 
Secara beruntun, serangan gencar Pendekar 
Slebor bersarang di tubuh lawan. Kepalanya berhasil 
menyeruduk kening lawan. Sedangkan telapak 
tangannya yang terbuka mengenai dua belahan 
pantat lawan. 
Tubuh Begal Ireng langsung terjengkang, lalu 
kembali menghantam tanah dengan keras. 
Sesaat mata tokoh hitam ini mengerjap-ngerjap 
dan kepalanya digerak-gerakkan. Kepalanya pusing 
bukan kepalang akibat benturan kepala lawannya 
pada bagian kening. Sedangkan kedua tangannya 
memegangi bagian pantatnya yang terasa seperti 
tersayat. 
“Hua ha ha...!” Andika tergelak-gelak sambil 
memegangi perut. “Kau seperti anak kecil yang 
sedang antri di jamban, Begal Ireng!” 
“Anjing kurap!” Begal Ireng bangkit kembali. 
Kemarahan tokoh sesat ini sudah membakar 
seluruh dadanya. Ubun-ubunnya pun sudah seperti 
mau meledak. Segera dilepasnya cemeti dari 
pinggang. Dia tak mau tanggung-tanggung lagi meng-
hadapi lawannya yang ganjil ini. 
“Waduh! Kau mulai main-main dengan buntut

tuyulmu itu, ya? Hati-hati, nanti bisa dimarahi 
abahmu!” Andika berkoar seenak udel. 
“Hiaaat!” 
Wut! 
Pertempuran berlanjut. Tapi kali ini lebih ganas, 
karena masing-masing telah mengeluarkan senjata. 
Begal Ireng yang telah kalap, tak peduli lagi 
dengan lawannya yang masih muda. Yang jelas, 
keturunan Pendekar Lembah Kutukan harus 
dilenyapkan. 
Begal Ireng ccpat mengebutkan cemetinya ke 
bagian kepala Andika, lewat jurus ketujuh 'Sabetan 
Ekor Iblis”. Namun, tubuh Pendekar Slebor itu justru 
mencelat ke atas menuju kepala lawan. Di udara, 
tangannya yang telah memegangi kain catur pusaka 
memecutkan senjata itu ke tangan Begal Ireng. 
setelah terlebih dahulu meliukkan tubuhnya meng-
hindari jilatan cemeti. 
Ctar! 
Cemeti di tangan Begal Ireng terlepas seketika. 
Sedangkan tubuh Pendekar Slebor meluncur turun di 
belakang Begal Ireng. Begitu mendarat, dengan satu 
gerakan sulit dihindari, kain catur pusakanya 
menyergap wajah Begal Ireng saat masih di udara. 
Akibatnya Begal Ireng tidak dapat melihat apa-apa 
lagi. Kain itu berusaha dilepaskan dari wajahnya 
dengan melempar tubuh ke belakang. Tapi, dengan 
segera Andika mengikuti gerakannya. Beberapa kali 
tubuh mereka bergantian berputaran. Dan ternyata 
Begal Ireng tetap tak dapat melepaskan ceng-
keraman kain catur pusaka yang membelit seluruh 
wajahnya. 
Sampai suatu ketika....

“Aaakh!” 
Dalam keadaan begitu, mata Pendekar Slebor 
melihat tubuh Ningrum melayang mengerikan. 
Rupanya, seorang dari si Kembar dari Tiongkok 
berhasil menghempaskan tubuh gadis itu dengan 
pukulan jarak jauh yang pernah dipakai untuk 
melumpuhkan Ki Panji Agung dulu. 
“Ningrum!” teriak Andika terkejut. Pada saat itu, 
perhatiannya pada Begal Ireng buyar. Sehingga, 
pegangan pada kain catur pusaka mengendor. 
“Hiaaat!” 
Berbareng satu gerakan berputar, Begal Ireng yang 
berjuluk Pencabut Nyawa berhasil melepaskan kain 
catur pusaka milik Andika dari wajahnya. Setelah 
tubuhnya menghadap ke arah Pendekar Slebor, 
tangannya bergerak bergantian secara beruntun. 
Des! Des! Des! Des! 
Empat pukulan sakti ajian 'Brajamusti' meng-
hantam dada pendekar itu. Jika satu pukulan itu 
dapat meremukkan batu karang sebesar benteng, 
bisa dibayangkan bagaimana parahnya luka yang 
diderita Andika menerima empat pukulan sekaligus! 
“Aaakh!” 
Tubuh Andika terjengkang menyusul Ningrum yang 
lebih dulu menghantam sisi bukit karang. 
Tubuh Pendekar Slebor lunglai setelah menabrak 
tebing terlebih dahulu. Dari celah bibirnya mengalir 
darah kental kehitam-hitaman. Sedangkan dari 
dadanya tampak mengepul asap tipis. 
“Andikaaa!” pekik Purwasih, melihat pemuda yang 
dicintainya tergeletak tanpa gerak. 
“Hua ha ha...! Jangan dikira dapat mengalahkanku, 
Bocah Ingusan,” ledek Begal Ireng puas.

Pertempuran terhenti ketika Purwasih berlari 
menuju tubuh Andika dengan derai air mata di pipi. 
Semuanya tertegun menyaksikan seorang pendekar 
dari keluarga Pendekar Lembah Kutukan ternyata 
mengalami nasib mengerikan di tangan Begal Ireng. 
Di langit, awan gelap yang pekat berarak menutupi 
seluruh celah bukit. Warnanya yang menyeramkan, 
sedikit pun tidak membiarkan sinar matahari 
menerobos. Gumpalan raksasa berkekuatan 
sengatan alam yang mana dahsyat itu saling 
berbenturan. Dan.... 
Jlegar! Jlegar! Jlegar! Jlegar! 
Empat jilatan lidah petir mengkerjap, menyengat 
tubuh lunglai Andika, sebelum Purwasih sempat 
memeluknya. Bahkan tubuh wanita itu terhempas 
karena ledakan petir yang merasuki tubuh Andika 
secara aneh. 
Krttt! 
Dari tempat yang agak jauh, semua mata 
menyaksikan bagaimana tubuh pendekar muda itu 
menyala terang bagai disinari ribuan lidah api. 
Warnanya merah kebiru-biruan, memancar hingga 
sepuluh tombak dari tubuhnya. Purwasih yang berada 
paling dekat dengan Andika langsung memekik 
nyaring, seraya menutupi kedua mata dengan tangan. 
Bahkan para prajurit yang berada di ujung celah ikut 
menyipitkan mata karena silau. 
Sesaat berikutnya tubuh Andika mengejang, lalu 
bergetar hebat. Sebuah kekuatan alam yang maha 
dahsyat telah bergolak dalam tubuhnya. Itulah akibat 
yang terjadi, setelah beberapa waktu lalu Pendekar 
Slebor ini memakan buah langka Inti Petir warisan Ki 
Saptacakra. Dan mendadak saja tubuhnya bangkit 
dalam satu erangan panjang.

“Ngrh!” 
Dengan tubuh masih berpijar menyilaukan, 
sepasang tangan Pendekar Slebor menyilang ke 
depan dalam getaran keras. Dari sepasang 
telapaknya, tiba-tiba saja meluncur dua larik sinar 
tebal berwarna kebiru-biruan seperti petir, menuju ke 
arah Begal Ireng. 
Tokoh berjuluk si Pencabut Nyawa yang tertegun 
menyaksikan keajaiban itu, tak mampu lagi meng-
hindar. Dia benar-benar terpaku melihat kejadian itu. 
Ctarrr! 
“Aaakh!” 
Lengkingan tinggi menguak angkasa terdengar. 
Hanya sesaat mulut tokoh sakti itu melontarkan 
teriakan menggidikkan. lalu tubuhnya ambruk dan 
telah hangus matang di atas tanah. Asap tipis berbau 
menjijikkan menyebar di celah bukit, lalu hilang 
tersapu angin. 
Melihat kenyataan yang mengendorkan 
keberanian mereka, anak buah Begal Ireng langsung 
mengambil keputusan untuk melarikan diri. 
Termasuk, si Kembar dari Tiongkok. Mereka tidak 
mau menjadi korban berikutnya dari ilmu aneh 
Pendekar Slebor! 
Begitu cepat mereka melesat, sesaat kemudian 
keenam lelaki itu sudah menghilang di balik bukit 
tanpa ada yang bisa mencegahnya. 
Sementara, tubuh Andika kini telah biasa kembali. 
Sinar menyilaukan telah menghilang perlahan 
beberapa saat lalu, bagai diisap bumi. Lalu, Pendekar 
Slebor melangkah menghampiri Ningrum. 
“Bawa Patih Panggapati ke istana, Paman Guntur 
Slaksa,” ujar Purwasih memecah kesunyian celah bukit.

Mahapatih Guntur Slaksa mengangguk. Dengan 
cukup hormat, diajak Patih Ranggapati yang telah 
menyerah untuk ikut ke istana untuk diadili. Bersama 
dua perwira dan sembilan prajurit yang masih hidup, 
mereka meninggalkan celah bukit. 
Di pangkuan Andika, Ningrum tersengal-sengal 
mempertahankan nyawa yang di ambang maut. 
Darah membasahi sebagian pakaiannya, setelah 
mengalir dari mulutnya yang tersapu warna merah. 
“Andika. Rupanya takdir akan memisahkan kita. 
Kalau dulu aku bisa diselamatkan guruku, kini aku 
tak yakin akan ada orang yang bisa menyelamat-
kanku. Aku mencintaimu, Andika. Dan aku yakin, kau 
memang mencintaiku. Tapi ketika aku tahu kalau kau 
ternyata seorang keluarga kerajaan, aku merasa tidak 
berharga di matamu. Dan itu kuketahui sewaktu 
berada di ruang kehormatan untuk melihat lukisan Ki 
Saptacakra. Barangkali, kau harus menerima cinta 
Purwasih, Andika....” 
Setelah itu, Ningrum meregang. Nyawanya pun 
hanyut dalam alunan irama kematian. Kelopak 
matanya yang mengatur perlahan bersama 
hembusan napas terakhir. 
“Ningrum...,” desis Andika. 
Sebenarnya ada sesuatu yang mengganjal dada 
Andika. “Walaupun dia keluarga kerajaan, tapi 
siapakah orangtuanya yang sebenarnya? Dan 
mengapa dia dibuang di pinggir hutan?” ini yang 
menjadi beban pikirannya. 
Awan gelap beringsut diatas sana. Sinar matahari 
sore menerabas lembut di celah bukit yang bisu, 
menyinari Andika yang memeluk tubuh Ningrum. Tak 
ada kata yang ingin diucapkannya. Tak ada sesuatu

pun yang ingin diperbuatnya. Kecuali, memeluk erat 
tubuh beku Ningrum, untuk mengantar kepergiannya 
ke alam abadi. 




                            SELESAI 
 
 


Share:

0 comments:

Posting Komentar