..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 28 Februari 2025

GENTO GUYON EPISODE KI ANJENG KEPARAT

matjenuh khairil

 

1

Matahari hampir tenggelam ke balik peraduan-
nya saat pemuda gondrong bertelanjang dada dan ka-
kek berbadan gendut besar luar biasa itu sampai di 
sebuah tebing sungai Topo Wates. Beberapa saat la-
manya si gondrong dan si gendut yang bukan lain ada-
lah Gento Guyon dan gurunya kakek gendut Gentong 
Ketawa menelusuri tebing curam di tepi sungai Topo 
Wates ini mendadak hentikan langkahnya. Si kakek 
gendut memandang lurus ke depan, orang tua ini ke-
mudian menarik nafas.
"Matahari baru saja tenggelam, mengapa dae-
rah ini cepat sekali berubah gelap. Padahal tebing ini 
tidak terlindung oleh pepohonan tinggi atau gunung 
menjulang." berkata si kakek dengan suara perlahan 
namun juga ada sekelumit rasa heran dalam nada su-
aranya itu.
Si gondrong bercelana biru sama mengawasi 
tempat sekelilingnya. "Keadaan seperti ini apa aneh-
nya. Kiara Condong masih jauh dari sini. Sebaiknya ki-
ta teruskan saja perjalanan ini!" ujar si gondrong me-
nanggapi. Gentong Ketawa gelengkan kepala.
"Perjalanan tidak diteruskan malam ini. Aku 
perlu mencari tempat berlindung untuk melepas lelah. 
Besok pagi sekali baru kita lanjutkan perjalanan kita!"
"Mengapa begitu? Aku tidak merasa lelah. Ka-
lau guru mau bermalam di sini sendirian silahkan, se-
dangkan aku tetap melanjutkan perjalanan seorang di-
ri." kata Gento.
"Rupanya kau tahu arah ke Kiara Condong?" 
tanya si kakek gendut, lalu cibirkan mulutnya.
"Ha ha ha. Ndut... gendut. Itulah gunanya


punya mulut. Walau aku kurang tahu letak daerah itu. 
Di perjalanan aku bisa bertanya pada siapa saja yang 
kujumpai disana. Aku akan menuju ke arah matahari 
terbit. Bukankah daerah yang hendak kita tuju letak-
nya seperti yang kusebutkan tadi?"
Si kakek gendut unjukkan wajah cemberut. 
Tanpa pernah terduga tangan kirinya berkelebat me-
nyambar. Tahu-tahu kini bahu kiri Gento sudah bera-
da dalam cengkeraman gurunya.
"Hei, apa-apaan ini gendut? Apakah kau sudah 
gila!" teriak si pemuda. Lalu dengan gerakan cepat 
Gento Guyon gerakkan bahunya yang dicengkeram gu-
runya. Tapi jangankan terlepas, sebaliknya akibat ge-
rakan meloloskan diri yang dilakukannya membuat 
cengkeraman semakin bertambah keras. Sakit yang di-
timbulkan akibat cengkeraman itu sungguh sangat 
luar biasa sekali.
"Kau tidak pernah pergi kemanapun, apalagi 
untuk pertemuan para pendekar di Kiara Condong 
tanpa diriku! ha ha ha."
"Gendut sinting. Kau berlaku sesuka hatimu 
pada muridmu. Jangan salahkan jika aku terpaksa 
bersikap kurang ajar!" selesai berucap dengan gerakan 
cepat bukan main si pemuda memutar tubuhnya, lalu 
sikunya dihantamkan ke dada gurunya yang gembrot.
Desss!
Tak menyangka mendapat serangan seperti itu 
dari muridnya. Tubuh besar dengan bobot lebih dari 
dua ratus kati itu jatuh terpental. "Walah bocah edan, 
memukul tidak bilang!" damprat si kakek. Dengan ge-
rakan ringan si kakek bangkit berdiri. Ia usap dadanya 
bekas pukulan yang berwarna kemerahan. Di depan-
nya Gento Guyon berdiri berkacak pinggang.
"Kau mau minta tambah lagi ndut?" tanya Gento disertai seringai mengejek.
Kakek gendut Gentong Ketawa tersenyum sinis 
pula.
Enak saja dia menjawab. "Boleh juga, sudah 
lama aku menginginkan hal seperti ini. Pukulan dan 
tendangan bisa membuat badanku seperti dipijit. Tapi 
jika cuma pukulan seperti yang kau lakukan ini, bagi-
ku tidak ada artinya sama sekali. Sekarang carilah ba-
gian tubuhku yang paling empuk, kau boleh menghan-
tam bagian mana saja yang kau suka. Ha ha ha." Dan 
si gendut pun kemudian tertawa gelak-gelak.
Baru saja murid si Gento Guyon hendak men-
gatakan sesuatu, mendadak sontak terdengar suara 
bergemuruh hebat yang datang dari arah sebelah sela-
tan muara sungai Topo Wates. Gento tercekat, sebalik-
nya tawa si kakek lenyap seketika. Orang tua itu me-
mutar badan menghadap langsung ke arah terdengar-
nya suara menggemuruh yang semakin bertambah ke-
ras itu.
Dalam kegelapan petang menjelang malam, 
murid dan guru sama pentang matanya lebar-lebar. 
Tak ada kata yang terucap, namun baik Gento dan si 
kakek tanpa sadar segera bersikap waspada.
Suara bergemuruh semakin mendekat disertai 
dengan hembusan angin kencang yang pada akhirnya 
diiringi dengan munculnya cahaya putih bergulung-
gulung ke arah si kakek.
Melihat cahaya putih yang datang bersama pu-
saran angin bergemuruh yang menyergap ke arah si 
kakek. Maka Gento pun berteriak keras.
"Gendut menyingkir!"
Dan sebelum teriakan si pemuda lenyap si gen-
dut dengan gerakan cepat jatuhkan diri lalu bergulin-
gan menjauhi sergapan cahaya putih itu. Serangan cahaya aneh yang datang ini begitu luput dari sasaran-
nya kini malah menyerang ke arah Gento yang berdiri 
di depannya. Tak tinggal diam pemuda itu hantamkan 
kedua tangannya yang telah teraliri tenaga dalam ke 
arah cahaya putih yang begulung berputar ke arahnya. 
Begitu dua tangan dilontarkan sinar merah menderu, 
sedangkan sosok Gento melesat ke udara.
Buuuum!
Benturan yang demikian keras tidak membuat 
pecahan cahaya putih itu hancur atau tercerai berai. 
Malah kini setelah bergetar hebat bergerak ke kiri me-
labrak Gentong ketawa. Si kakek tercekat, dia melihat 
di sebelah sana Gento baru saja jejakkan kakinya. Wa-
laupun saat itu suasana dalam keadaan gelap, namun 
agaknya si kakek tahu muridnya mengkhawatirkan
keselamatannya.
Sama seperti apa yang dilakukan oleh Gento 
tadi, si gendut pun tanpa membuang waktu segera do-
rongkan kedua tangannya ke arah lingkaran cahaya 
yang berpilin-pilin mengejar ke arahnya.
Wuuut!
Plesh!
Satu keanehan yang sulit dipercaya terjadi. Sa-
tu gelombang angin yang bersumber dari pukulan si 
kakek menderu dan menghantam lingkaran cahaya 
putih yang bergerak disertai hembusan angin keras 
luar biasa. Tapi yang mengherankan dan membuat si 
gendut geleng kepala, hantaman bertenaga dalam ting-
gi yang dilepaskannya tadi sama sekali tidak membawa 
akibat apa pun sebagaimana yang diharapkannya. Ma-
lah kini Gentong Ketawa merasakan seolah tubuhnya 
ikut tertarik memasuki lingkaran cahaya putih yang 
terus bergerak ke arahnya.
Dalam keadaan heran bercampur rasa kecut itu

si kakek kembali mengumbar pukulan-pukulan maut-
nya. Tapi gerakan maupun serangan yang dilakukan-
nya ini saking kerasnya daya tarik sang cahaya di da-
lam pandangan muridnya segala gerakkan yang dila-
kukan si kakek seolah seperti gerakan orang tenggelam 
menggapaikan tangannya.
"Guru.... apa-apaan kau?" seru Gento yang 
menganggap gurunya terus bercanda.
Pada saat itu si kakek semakin tenggelam da-
lam lingkaran cahaya putih. aneh yang mengurungnya.
"Gento... kau larilah selamatkan dirimu!" dalam
keadaan terjebak demikian rupa si kakek berteriak 
memberi ingat pada muridnya. Melihat keadaan gu-
runya yang seperti tidak berdaya. Barulah Gento men-
gerti bahwa yang dilihatnya tadi bukan suatu kenya-
taan yang dibuat-buat melainkan satu bukti bahwa 
gurunya saat itu tengah menghadapi satu masalah 
rumit tak terpecahkan. Apapun dan dari manapun asal 
usul cahaya putih yang datang bersama hembusan to-
pan puting beliung itu Gento tidak tahu sama sekali. 
Hanya pemuda itu merasa pasti ada sesuatu yang ti-
dak beres bakal segera terjadi. Karena itu dengan hati 
diliputi perasaan tegang Gento mencoba menolong gu-
runya. Dia melompat ke depan, tangan kiri siap mele-
paskan pukulan sakti Raja Dewa Ketawa sedangkan 
tangan kanan siap menghantam dengan pukulan Dewa 
Awan Mengejar Iblis. Masing-masing pukulan sakti itu 
adalah warisan gurunya Gentong Ketawa dan Tabib 
Setan.
Dua tangan siap di dorongkannya ke depan. 
Tapi tak urung si gondrong bertelanjang dada ini di-
buat melengak ketika melihat kini betapa sosok gu-
runya kini sudah terangkat naik terbungkus dalam 
lingkaran cahaya putih yang terus berputar seperti

gasing.
"Guru... apa yang terjadi dengan dirimu!" teriak 
Gento cemas.
Dari balik cahaya sebening kaca mulut si kakek 
nampak bergerak-gerak seolah memberi jawaban. He-
rannya Gento sama sekali tak dapat mendengar suara 
gurunya. Seolah suara si kakek terhalang satu tembok 
kaca.
"Kurang ajar! Bagaimana semua ini bisa terja-
di?" seru Gento sengit dan tanpa fikir panjang lagi dua 
tangannya langsung dihantamkan ke atas.
Wuuuues! Wuuus!
Sinar merah dan sinar biru berkiblat melesat 
cepat dari telapak tangan pemuda itu, tapi karena ja-
rak sasaran sudah sangat jauh dari jangkauan maka 
pukulan Gento yang menghantam tepat pada sasaran 
tidak menimbulkan akibat apa-apa. Sementara itu ca-
haya putih yang berhasil memulas dan menggulung 
tubuh si gendut kini terus melesat bersama si kakek 
yang telah diringkusnya.
"Celaka, guru...?!" desis si gondrong. Tanpa 
membuang waktu lagi pemuda ini mengejar ke arah 
lenyapnya Gentong Ketawa. Sampai di satu tempat dia
terpaksa hentikan pengejaran begitu melihat cahaya 
yang membawa gurunya mendadak raib dari pandan-
gan mata.
"Kurang ajar? Tidak akan ada cahaya yang 
mampu membawa guruku. Aku yakin cahaya itu pasti 
berasal dari ilmu kesaktian seseorang. Tapi siapa 
orangnya yang memiliki ilmu sehebat itu. Guruku yang 
gendut saja mampu diringkus dan dibawanya, apalagi 
aku? Kemana aku harus mencari. Mungkinkah ada se-
seorang yang tidak menghendaki aku dan guruku pergi 
ke Kiara Condong? Aku mencium adanya satu gelagat

yang tidak baik. Aku harus menyelidiki semua ini. Aku 
berharap tidak terjadi sesuatu yang tidak diingini pada 
si gendut. Malam begini gelap, apakah aku harus terus 
mengejar guruku atau bermalam di daerah ini." kata 
Gento seorang diri.
Pemuda ini menarik nafas pendek. Kemudian 
dia duduk di atas gundukan batu besar. Dia terdiam, 
tercenung dan mencoba memikirkan segala suatu yang 
baru saja terjadi pada gurunya. Selagi Gento terom-
bang ambing dalam fikirannya sendiri. Pada saat yang 
sama hidungnya mengendus bau sesuatu yang sangat 
menyengat. Bau kemenyan.
Gento melengak kaget, cepat dia palingkan ke-
pala dan memandang ke arah mana bau menyengat 
yang membuat dingin tengkuknya itu berasal. Tidak 
ada sosok apapun yang terlihat, terkecuali kegelapan 
yang demikian pekatnya.
"Aneh, tidak ada siapapun, tidak ada pula 
hembusan angin. Tapi aku mencium bau aneh ini ber-
campur bau orang yang sudah hampir mati. Jangan-
jangan memang ada mahluk halus pemakan kemenyan 
gentayangan di sekitar tempat ini?" fikir si pemuda.

2


Tak lama berselang belum lagi hilang rasa he-
ran di hati sang pendekar, mendadak terlihat ada ca-
haya putih laksana kilat menyambar dari langit. Seke-
tika kegelapan di sekitar bibir tebing di tepi sungai 
Topo Wates berubah menjadi terang benderang. Dan 
pemuda itu mengusap matanya beberapa kali ketika 
melihat di sebelah kirinya entah dari mana datangnya

muncul kabut putih tebal mengapung di udara dalam 
ketinggian tidak lebih dari setengah tombak. Selagi 
pemuda itu diliputi rasa heran yang amat sangat, ca-
haya kilat lenyap dan suasana di sekeliling tempat itu 
kembali di saput kegelapan.
"Anak manusia yang bernama Gento Guyon. 
Lihat dan pandanglah kemari!" satu suara berseru 
membuat Gento melengak kaget dan berpaling ke arah 
mana suara tadi terdengar. Kali ini Gento benar-benar 
melengak kaget. Tidak jauh di sebelah kirinya dimana 
tadi kabut putih munculkan diri kini berdiri tegak se-
sosok tubuh. Sosok dalam rupa seorang kakek tua 
renta bermata jernih dengan tatap matanya yang me-
nyorot tajam namun mengandung sejuta kasih dan ke-
lembutan. Sosok kakek itu berpakaian serba putih, 
kedua pipi cekung, gigi putih laksana kilauan mutiara. 
Sedangkan di atas kepala orang tua ini bertengger se-
buah songkok putih yang menutupi rambutnya yang 
juga putih dalam keadaan tergelung.
Melihat kemunculan orang tak dikenal, timbul 
kecurigaan di hati sang pendekar bukan mustahil ke-
munculan orang tua berwajah bersih seakan tanpa do-
sa ini ada kaitan dengan lenyapnya sang guru.
Walaupun begitu Gento untuk beberapa saat 
lamanya tak mampu bicara apapun melihat kemuncu-
lan orang tua yang tidak terduga ini.
"Pemuda gondrong, aku datang untuk menjem-
put mu lalu membawamu ke suatu tempat yang jauh 
dari gemerlapnya kehidupan dunia." kembali si kakek 
berucap.
Gento tersenyum, lalu ajukan pertanyaan. 
"Orang tua siapa dirimu ini? Kau mengatakan hendak 
menjemputku dan meninggalkan gemerlapnya kehidu-
pan dunia. Maksudmu apakah kau hendak membawa

ku ke akherat?"
Kakek di depan Gento tersenyum. Dia kemu-
dian menjawab. "Kau boleh memanggilku Manusia Se-
ribu Tahun. Aku bukan hendak membawamu ke akhe-
rat. Tapi ke satu tempat yang kuberi nama Alam Batas 
Kehidupan."
Gento tertawa bergelak. Sesaat setelah tawanya 
lenyap dia berucap. "Alam Batas Kehidupan? Tempat 
apakah itu? Apakah alamnya orang-orang sekarat dan 
mereka yang hendak mati? Huh...orang tua, siapapun 
dirimu. Ketahuilah sekarang ini fikiran ku sedang pus-
ing, begitu banyak persoalan yang harus kuselesaikan 
bersama guruku. Tapi entah siapa yang punya ulah, 
mendadak guruku lenyap entah dibawa kemana oleh 
cahaya putih celaka. Atau mungkin kau tahu kemana 
cahaya putih itu membawa guruku?" tanya sang pen-
dekar sambil menatap sosok kakek yang berdiri men-
gambang di atas tanah.
"Mengenai gurumu tidak susah kau fikirkan. 
Nasibnya tergantung apa yang dia lakukan. Takdir 
apapun yang terjadi pada gurumu, semua itu merupa-
kan kehendak Gusti Allah, tak seorang pun manusia 
yang dapat menentang takdir kehendak Tuhan!" si ka-
kek menjawab.
"Orang tua, apa yang kau katakan adalah sua-
tu kenyataan yang tidak dapat ku pungkiri. Tapi terus 
terang aku tidak dapat pergi begitu saja tanpa aku ta-
hu bagaimana nasib guruku!"
"Bocah nakal, waktuku tidak banyak. Sudah 
kukatakan jangan kau fikirkan gurumu. Kau harus 
ikut denganku, sekarang juga!!" tegas si kakek namun 
tetap dengan nada lembut membujuk.
Sang pendekar menyeka wajahnya, memandang 
ke arah si kakek sesaat kemudian tawanya pun meledak.
"Kakek aneh, aku bukan barang yang gampang 
di tenteng mudah dibawa. Aku juga bukan bocah tolol 
yang mau ikut dengan orang yang tak kukenal begitu 
saja, tanpa kuketahui maksud dan tujuanmu memba-
waku. Jika kau tak mau mengatakan tujuanmu yang 
sebenarnya, jangan harap aku ikut denganmu!" tegas 
Gento.
"Hem." si kakak menggumam sambil usap-usap 
jenggotnya yang putih berkilau. "Gento... aku memba-
wamu ke tempat kediamanku karena aku ingin menja-
dikan mu sebagai seorang pendekar sakti. Seorang 
pendekar bukanlah seperti dirimu yang sekarang. Kau 
harus digembleng lagi secara lahir batin. Hingga kelak 
bukan hanya keadaan lahirnya saja yang menjadi ko-
koh, tapi sebaliknya batinmu juga akan memiliki ke-
kuatan yang seimbang. Harusnya kau patut bersyukur 
kepada Gusti Allah karena kau terpilih olehku menjadi 
manusia yang kuharapkan dapat menegakkan keadi-
lan dan menjadi pembela kebenaran, menolong kaum 
lemah yang tertindas dari tangan penguasa yang sewe-
nang-wenang dan kejamnya kehidupan dunia ini. Itu 
adalah bagian yang terkecil yang perlu kusampaikan 
kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah kau untuk mela-
kukan perjalanan denganku!" berkata begitu kakek 
yang mengaku bergelar Manusia Seribu Tahun itu tan-
pa terduga julurkan tangannya. Anehnya tangan yang 
terjulur itu mendadak berubah panjang, meliuk berke-
lok-kelok bagaikan lidah siap melilit tubuh sang pen-
dekar.
Meskipun Gento sempat dibuat heran juga me-
lihat tangan si kakek dapat berubah sedemikian rupa. 
Tapi Gento tak kehilangan kewaspadaannya. Ketika dia 
melihat tangan si kakek mencengkeram ke arah pinggang pemuda ini melompat mundur selamatkan diri 
sambil melepaskan pukulan mautnya.
Wuuus!
Dari telapak tangan Gento lidah api mencuat 
dan menyambar tangan si kakek. Orang tua ini diam-
diam terkejut, tapi kemudian mengumbar senyum 
sambil berkata. "Pukulan Selaksa Duka? Sungguh pu-
kulan seperti itu dimataku menjadi tidak berguna!"
Habis berkata tangan si kakek yang terjulur 
dan berubah menjadi panjang itu kemudian sengaja di 
tadahkan.
"Sengaja mencari mati, buntung tanganmu!" 
desis si pemuda dalam hati. Dan dengan telak pukulan 
itu menghantam tangan si kakek. 
Besss!
Dengan telak pukulan yang dilancarkan Gento 
mengenai sasarannya. Tapi sungguh aneh pukulan 
yang menghantam tangan kakek itu sama sekali tidak 
mengakibatkan apapun bagi Manusia Seribu Tahun.
"Bukan aku bicara sombong andaipun kau per-
gunakan seluruh ilmu pukulan yang kau miliki. Bagi-
ku semua itu tidak akan ada gunanya. "kata si kakek.
Mendengar ucapan orang yang terkesan men-
cemooh itu Gento jadi kesal sehingga tanpa bicara 
apapun murid si kakek gendut Gentong Ketawa ini se-
cara bertubi-tubi dan silih berganti mengumbar puku-
lan mautnya.
Pukulan maut yang dilepaskan secara berun-
tun itu menimbulkan ledakan-ledakan keras mengge-
legar membuat tebing di pinggir sungai itu laksana di 
guncang gempa. Tapi kenyataan yang terjadi di depan-
nya sungguh membuat Gento jadi tercengang. Sosok 
kakek di depannya sana walaupun terkena pukulan 
Gento yang bertubi-tubi, jangankan terluka atau roboh, sedang bergeming pun tidak.
"Celaka! Kakek ini kukira bukan manusia bena-
ran, tapi mungkin setan yang menjelma menjadi ma-
nusia? Jika dia memang manusia sungguhan pasti se-
jak tadi tubuhnya hancur berkeping-keping terkena 
pukulanku!" batin Gento dalam hati sambil menarik 
nafas dan gelengkan kepala.
Di depannya sana sambil tersenyum seolah 
mengerti apa yang tersimpan di lubuk hati pemuda itu 
Manusia Seribu Tahun berucap. "Ketahuilah anak ma-
nusia yang bernama Gento Guyon. Aku bukan setan, 
bukan pula iblis, bukan hantu atau sebangsanya me-
medi. Diriku sama halnya seperti dirimu. Terdiri dari 
darah, tulang dan daging. Cuma aku memiliki tingka-
tan lebih tinggi dari manusia lain. Sekarang... demi ke-
baikanmu sendiri kau harus ikut denganku. Pergi ke 
suatu tempat....!"
"Ha ha ha! Bicara melantur boleh saja. Tapi 
persoalannya menjadi tidak semudah yang kau 
bayangkan. Kau boleh membawa pergi bayangan ku, 
orang tua. Sedangkan aku bebas pergi kemanapun aku 
suka!" berkata begitu murid Gentong Ketawa ini balik-
kan badan lalu berkelebat pergi tinggalkan Manusia 
Seribu Tahun.
Dalam gelapnya malam sosok Gento lenyap dari 
pandangan si kakek. Orang tua itu tertawa bergelak.
"Ha ha ha. Bocah keblinger. Kau belum tahu, 
gerak dan langkahku tidak terbatas pada jarak, ruang 
dan waktu. Walaupun kau dapat lari secepat yang di-
lakukan setan, namun aku dapat mengejarmu hanya 
dalam sekedipan mata!" kata si kakek.
Di kejauhan sana Gento yang masih mendengar 
ucapan Manusia Seribu Tahun sambil terus berlari 
sunggingkan senyum sinis. "Dasar kakek gila. Dia

mengira dapat mengejarku yang sudah berlari sejauh 
ini. Coba saja kalau mampu!"
Plash!
Jlik!
"Hah....!" Gento terperangah. Sekonyong-
konyong langkahnya terhenti ketika secara tak terduga 
orang yang ditinggalkannya kini telah menghadangnya.
"Kau hendak lari kemana, bocah? Aku baru sa-
ja hendak menunjukkan mu suatu jalan menuju ke 
surga, tapi kau malah memilih jalan ke neraka. Sung-
guh manusia tolol!"
"Orang tua, aku tak sudi ikut denganmu!" den-
gus si gondrong. Seperti tadi dia cepat balikkan badan 
dan siap meninggalkan Manusia Seribu Tahun. Tapi 
apa yang terjadi kemudian membuat pemuda ini terce-
kat. Mendadak dia merasa sekujur tubuhnya tak dapat 
digerakkan, kaku seperti tertotok walau sebenarnya 
Manusia Seribu Tahun tidak menotoknya.
"Habis sudah! Apa yang dilakukan kakek ini 
terhadapku? Aku hanya merasakan hembusan angin 
menerpa punggungku, setelah itu aku tak mampu ber-
gerak sama sekali!" Sang pendekar diam-diam menge-
luh. Sebelum Gento sempat bicara apapun atas keja-
dian yang menimpa dirinya, pada saat itu dia merasa-
kan ada satu tangan yang begitu besar mencengkeram 
pinggangnya. Setelah itu Gento merasa tubuhnya se-
perti diangkat dan dibawa melesat ke udara.
"Hei, apa-apaan ini...!" teriak si gondrong, se-
dangkan tangannya menggapai kian kemari mencari 
selamat.
Pada saat itu terdengar bentakan di belakang-
nya. "Kau mau meloloskan diri, lalu minggat mencari 
gurumu. Lakukanlah, aku akan melepaskanmu. Begi-
tu kulepas tubuhmu akan melayang dan jatuh. Sampai

di bawah kepalamu menghempas batu lalu remuk. Ji-
ka kepalamu hancur, rohmu gentayangan penasaran, 
tidak diterima langit tidak diterima bumi!"
"Sialan memang sekarang aku berada di ma-
na?" teriak Gento masih juga meronta.
"Ha ha ha. Buka matamu, setelah itu lihat ke 
bawah!" seru si kakek keras.
Tanpa sadar Gento lakukan apa yang diperin-
tahkan si kakek. Mendadak sontak gerakan meronta 
yang dilakukannya terhenti. Mata si pemuda mendelik 
besar mulut ternganga. Tubuh menggigil tengkuknya 
tidak terasa tengkuk lagi, melainkan setelah berubah 
menjadi dingin laksana es. Dengan suara bergetar, dan 
dalam takut yang demikian mencekam Gento akhirnya 
mampu juga membuka mulut ajukan pertanyaan. 
"Kk... kau membawaku terbang?"
"Ha ha ha! Anggap saja begitu!" menyahuti si 
kakek.
"Ah, gila. Sulit kupercaya. Tidak punya sayap 
kok bisa terbang!" desis sang pendekar dengan pera-
saan kecut. Dalam takutnya diapun pejamkan mata. 
Sedangkan hati tidak putus-putusnya memanjatkan 
doa. Dalam keadaan seperti itu pula tanpa sadar ba-
gian bawah celana Gento basah kuyup, entah karena 
keringat atau air kencing.


3


Dinginnya udara malam menjelang pagi terasa 
mencucuk hingga ke sumsum tulang. Suasana dalam 
keadaan gelap dan hanya diterangi cahaya bintang 
gemintang yang bertaburan angkasa sana.
Di satu pendataran tanah berbatu, satu sosok 
terkapar disitu dalam keadaan menelentang, sedang-
kan tangan serta kedua kakinya terbelenggu empat 
rantai panjang terbuat dari batu yang kerasnya mele-
bihi baja.
Sosok itu sama sekali tidak bergerak, wajah 
menengadah ke atas sedangkan kedua matanya yang 
terlindung rambut panjang awut-awutan melotot me-
mandang ke arah bintang yang bertaburan di langit.
Dilihat sepintas lalu sosok berpakaian hitam ini 
tidak ubahnya seperti orang yang sudah meninggal 
dunia, karena sekujur tubuhnya seakan diam membe-
ku, sedangkan dada sama sekali tidak bergerak seba-
gaimana umumnya orang yang sudah mati.
Keadaan seperti itu ternyata tidak berlangsung 
lama karena sesaat kemudian satu keanehan terjadi 
pada diri orang ini. Sosok yang diam itu bergetar he-
bat, getaran diiringi dengan keluarnya asap tipis yang 
bergulung-gulung seperti kabut. Kabut itu kemudian 
menebar ke seluruh permukaan tubuh si gadis, hingga 
sosoknya seolah lenyap. Seiring dengan itu pula, tan-
gan dan kaki yang terbelenggu rantai bergetar hingga 
menimbulkan suara berkerontakan berisik.
"Hraaagh...!"
Terdengar suara pekik melengking. Kabut putih 
yang menyelimuti sosok kakek berpakaian hitam le-
nyap. Bersamaan dengan itu pula belenggu rantai batu 
yang melilit kedua tangan dan kaki si kakek berubah 
merah laksana bara. Cahaya merah semakin menjadi-
jadi. Anehnya si kakek tidak merasakan panas akibat 
semua ini. Malah dia dengan segenap tenaga yang dia 
miliki akhirnya menggerakkan kedua kaki dan tangan-
nya serentak.
Rettt! Raaak!

Satu sentakan yang keras luar biasa membuat 
rantai batu hancur menjadi kepingan bara api menyala 
yang berlesatan ke segala penjuru arah dan menerangi 
suasana di sekelilingnya yang di saput kegelapan.
Begitu tangan serta kakinya terbebas dari be-
lenggu rantai batu meledaklah tawa sosok kakek ber-
pakaian hitam itu. "Ha ha ha! Pada akhirnya aku dapat 
juga menikmati kebebasan dari akhir sebuah huku-
man. Sekarang aku dapat pergi kemanapun aku su-
ka.!" kata orang tua itu.
Dia lalu gerakan badan dan duduk di tempat 
mana dirinya selama ini terbaring. Baru saja suara si 
kakek lenyap. Di belakangnya tiba-tiba terdengar satu 
suara menyahuti. "Kau tidak akan pernah pergi kema-
napun, tua bangka. Walau kau mampu membebaskan 
diri dari rantai batu yang membelenggu tangan dan 
kedua kakimu!"
Bagaikan di sengat kalajengking yang sangat 
berbisa, si kakek berjingkrak kaget, serentak dia me-
mutar badan menghadap ke belakang lalu matanya je-
lalatan memandang ke depan. Kakek yang baru terbe-
bas dari belenggu rantai jadi tercekat.
Wajahnya memucat dibasahi keringat dingin. 
Sepasang mata membeliak sedangkan mulut ternganga 
lebar.
"Kunti Menak.... Bagaimana kau tahu-tahu 
muncul kembali di sini?" desis si kakek. Heran juga 
merasa jerih. Dalam gelapnya malam si nenek dongak-
kan wajah, lalu tongkat hitam di tangan kiri diketuk-
kan di atas batu tiga kali. Setelah itu perempuan ber-
badan bongkok inipun mengumbar tawanya.
Puas dia tertawa nenek yang dipanggil Kunti 
Menak menatap lurus ke arah kakek yang duduk di 
depannya.

"Aku bisa muncul di mana saja Ki Anjeng Lak-
nat! Aku gentayangan seperti setan, walaupun aku bu-
kan turunan setan sungguhan. Hik hik hik!" jawab pe-
rempuan itu disertai tawa.
"Kunti, apapun katamu, sekarang aku mohon 
kebijaksanaan mu. Dulu kau pernah mengatakan, jika 
aku mampu menghancurkan rantai batu ini, berarti 
aku sudah bebas dari hukumanmu. Sekarang aku 
mampu menghancurkan rantai batu yang telah mema-
sung ku selama ini. Sesuai dengan perjanjian aku min-
ta kebebasan!" ujar si kakek.
Nenek di depannya berkacak pinggang. Dari 
mulut perempuan itu terdengar suara dengusan pan-
jang. Sementara dada si nenek nampak kembang kem-
pis seakan tengah berusaha meredam satu gejolak 
yang membuncah di dalam hatinya. Dengan suara lan-
tang dia membentak. "Kau tidak akan pernah mempe-
roleh kebebasan apapun Anjeng Laknat. Aku telah ke-
hilangan segalanya. Kau harus menjalani hukuman 
lain sampai tiba masanya rasa puas di hati gundah di 
hatiku hilang tak berbekas."
"Kunti.... segala sesuatu yang telah terjadi tak 
mungkin dapat kembali sebagaimana keadaan semula. 
Muridmu yang tewas tak mungkin dapat hidup lagi. 
Semuanya sudah merupakan takdir ketentuan yang 
maha kuasa. Lagi pula muridmu kini sudah ada yang 
menggantikan, yaitu anaknya. Dia sudah menjadi pe-
muda dewasa, selain itu dia bahkan telah mewarisi 
hampir semua ilmu yang diturunkan oleh adikku. Se-
harusnya kau merasa bangga mempunyai cucu sehe-
bat Lira Watu Sasangka. Aku sudah menerima salah.... 
aku jalani hukuman yang kau jatuhkan selama hampir 
dua puluh tahun. Jika saja aku tidak mengingat hu-
bungan lama, apakah kau mengira aku mau kau perlakukan seperti ini? Aku bisa bertempur denganmu 
sampai salah seorang dari kita terpaksa menjadi bang-
kai tak berguna."
Mendengar ucapan si kakek, nenek bertongkat 
hitam itu merasa darahnya laksana mendidih. "Tua 
bangka keparat. Apapun alasanmu kau tetap tidak da-
pat menghidupkan muridku yang sudah mati. Ki An-
jeng Laknat hukuman itu harus kau jalani lagi, paling 
tidak sampai sepuluh tahun mendatang. Jika kau me-
nolak aku akan jatuhkan tangan keras kepadamu!" Si 
nenek mengancam. Ki Anjeng Laknat tertawa tergelak-
gelak, lalu gelengkan kepala.
"Kunti.... menurutkan sebaiknya kita sudahi 
saja persoalan ini. Kau seharusnya ingat dulu kau 
adalah kekasihku. Karena persoalan Mawar Pelangi 
membuat hubungan kita yang baik menjadi renggang. 
Sekarang sudah saatnya kita berbaikan kembali, lalu 
kita jalani hidup ini sebagaimana adanya susah se-
nang kita tanggung berdua. Kita bahkan bisa menik-
mati manisnya sisa madu asmara meskipun kita su-
dah tua. Ha ha ha!"
Merah padam wajah si nenek, kedua matanya 
mendelik besar. Mata berkilat-kilat memancarkan ca-
haya kebencian. Dengan geram pula dia membentak. 
"Tua bangka keparat. Aku ingat, dulu pernah menjadi 
kekasihmu selama belasan tahun. Tidak terhitung kau 
mengajakku berbuat terkutuk, tapi kau tidak pernah 
mau bersedia menikahi ku. Tua bangka tak bertang-
gungjawab. Jangan kau pernah berfikir kita bisa ber-
baikan kembali, kau tetap berada disini. Aku akan me-
rantai mu, sampai tiba saatnya masa pembebasan se-
puluh tahun yang akan datang!" Kunti Menak mene-
gaskan. Lalu laksana kilat dia gerakan tangannya ke 
udara, detik kemudian entah dari mana datangnya di

tangan si nenek tergenggam dua buah rantai batu baja 
yang berlubang pada bagian tengahnya. Melihat dua 
benda di tangan si nenek, Ki Anjeng Laknat tercekat. 
Dia sadar, walau rantai itu terlihat sebagai barang 
yang sangat sederhana namun bila sampai dilempar-
kan ke udara bisa berubah menjadi senjata yang san-
gat berbahaya. Setiap saat ujung rantai bisa meliuk, 
melilit atau mematuk tidak ubahnya seperti seekor 
ular.
"Kunti... kau jangan main-main dengan benda 
di tanganmu, urungkan keinginanmu. Sebaiknya kita 
berdamai dan akhiri segala silang sengketa yang terjadi 
antara kita selama ini!" pinta Ki Anjeng Laknat.
"Siapa yang main-main?"
"Kunti kekasihku?!"
"Aku bukan kekasihmu!" hardik si nenek tegas.
"Oh Kunti. Ingat... Kunti, aku menyesal atas ke-
jadian itu. Namun satu hal yang harus kau sadari, jika 
seluruh manusia dan jin bersatu kekuatan untuk 
menghidupkan orang yang mati, semua itu tidak 
mungkin pernah tercapai. Tidak ada manusia yang 
mampu menentang kehendak takdir yang telah diga-
riskan Gusti Allah." Si kakek masih berusaha menya-
darkan Kunti Menak.
Perempuan itu tertawa panjang menyeramkan. 
"Gusti Allah, kau ingat pada Nya? Selama hidup kau 
bergelimang kesesatan bermandi dosa. Selama hidup 
banyak orang kau bunuh semena-mena, banyak pula 
anak gadis orang yang kau nodai. Ini salah satu kor-
ban dari ilmu tololmu itu!" selesai berkata si nenek 
dengan gerakan perlahan ketukkan tongkat hitam di 
tangannya. Tanah kemudian bergetar disertai suara 
gemuruh hebat. Api menyala yang menerangi pendata-
ran puncak bukit tersibak, lalu tanah di bagian bawah

api unggun meledak. Api unggun bertebaran di udara, 
bersamaan dengan itu dari bagian tanah yang meledak 
melesat satu sosok tubuh berambut panjang riap-
riapan. Si nenek melesat ke udara, dengan tangan ka-
nan dia sambuti sosok telanjang yang baru saja ter-
lempar keluar dari dalam tanah yang terbelah itu.
Kemudian ketika si nenek jejakkan kakinya ke 
tanah, dia memondong sosok tubuh perempuan telan-
jang tadi. Dengan perlahan dia baringkan sosok kaku 
telanjang di atas tanah.
Sejurus dia memandang ke depan, setelah itu 
dia berseru. "Ki Anjeng Laknat kau lihatlah perempuan 
malang ini. Tubuhnya putih mulus, dada montok ping-
gul bagus. Perempuan secantik ini seharusnya tidak 
mati secepat itu. Dia layak hidup lima puluh tahun la-
gi, dia pantas mendapat kehangatan pelukan laki-laki. 
Tapi... karena ulahmu dia menemui ajal secara sia-
sia.!"
Di depan sana Ki Anjeng Laknat sibakkan se-
bagian rambutnya yang memutih panjang riap-riapan 
menutupi wajah. Sepasang mata yang seperti amblas 
ke dalam rongga terbuka lebar. Bagian hidungnya yang 
seperti remuk bekas benturan benda keras kembang 
kempis mengendus. Dengan tatap tak berkedip dia 
pandangi sosok yang dalam keadaan polos telanjang 
tanpa nyawa tersebut. Sosok mayat telanjang itu me-
mang tidak kehilangan kecantikannya bagian tubuh 
masih utuh karena si nenek sengaja membaluri mayat 
itu dengan sejenis ramuan yang membuatnya tidak ru-
sak. Sedetik lamanya si kakek merasa darahnya lak-
sana mendidih, tenggorokan turun naik. Namun bila 
perhatiannya beralih ke arah bagian perut, si kakek 
mendadak merasa mual dan jadi miris sendiri.
Di bagian perut mayat terdapat sebuah luka

menganga yaitu berupa robekan besar memanjang. 
Luka itu terjadi sekitar dua puluh tahun yang lalu, 
saat si mayat yang bernama Mawar Pelangi hendak 
melahirkan anaknya. Meskipun dua puluh tahun telah 
berlalu luka itu nampaknya tidak pernah berubah, be-
gitu juga dengan tubuhnya yang hanya tinggal sosok 
tanpa nyawa.
"Tatap dan pandanglah baik-baik. Pandang 
dengan hati nurani mu sebagai manusia, bukan den-
gan nafsumu. Andai dia yang sudah mati bisa bicara, 
dia pasti ingin membunuhmu seratus kali. Kebencian 
serta rasa dendamnya kepadamu dia bawa sampai ma-
ti. Ki Anjeng Laknat, ingatlah akan segala kesalahan 
yang telah kau perbuat, buka fikiranmu, lapangkan 
dadamu!" kata si nenek dengan suara perlahan namun 
membuat si kakek jadi tersentak kaget.
Dengan suara tersendat dia kemudian menja-
wab. "Semuanya terjadi luar perhitungan. Aku ingin 
menjadikan anaknya sebagai raja diraja dunia persila-
tan. Jika akhirnya nyawa Mawar tidak tertolong, tentu 
ini diluar kuasa dan kemampuanku!" Ki Anjeng Laknat 
membela diri.
"Puah, laki-laki keparat. Enak saja kau bicara. 
Serahkan kedua tangan serta kedua kakimu jika tak 
ingin mencari perkara!" hardik Kunti Menak.
"Kunti aku tidak takutkan dirimu. Aku menga-
lah semata-mata karena aku masih punya rasa cinta 
kepadamu. Aku tak tega menurunkan tangan jahat 
kepadamu. Kunti, percayalah walau kita sudah sama 
tua cintaku padamu selalu panas menggebu. Bukan-
kah lebih baik kau lupakan saja mimpi buruk itu. Kita 
bisa menjalin cinta kembali, bersenang-senang layak-
nya pengantin?!"
Semakin bertambah gusar Kunti Menak men
dengarnya. Sambil menahan kemarahan si nenek pan-
dang sosok Mawar yang tergeletak dekat api unggun. 
Melihat mayat itu terkenang kembali segala kejadian 
yang telah berlangsung puluhan tahun yang silam.

4


Puri Bahagia Setan dua puluh tahun yang lalu. 
Pagi itu mendung tebal menyelimuti daerah sekitarnya. 
Di salah satu ruangan seorang perempuan tua berba-
dan bongkok beberapa kali ketukkan tongkat hitamnya 
di atas perut seorang perempuan muda berwajah can-
tik berpakaian kembang-kembang. Walaupun ketukan 
itu cuma perlahan saja, namun sakit yang ditimbulkan 
akibat ketukan sungguh sangat luar biasa. Perempuan 
cantik itu menggeliat, merintih namun tak berani men-
jerit. Tatap matanya menerawang kosong memandang 
ke bagian langit-langit kamarnya. Sedangkan dari ma-
tanya air mata terus bergulir tiada henti.
"Mawar Pelangi....setelah kuketuk perutmu, se-
telah kurasakan gerakan yang ada. Sekarang aku tahu 
mengapa kau muntah, kepalamu pusing sepanjang ha-
ri. Muntah mu itu pasti karena kau terlalu banyak ti-
dur dengan laki-laki. Gadis goblok tolol, sekarang kau 
bunting sudah. Siapa laki-laki bejad yang telah mem-
buatmu jadi seperti ini?" hardik perempuan itu sengit. 
"Guru... laki-laki itu adalah Rajo Penitis." sahut 
Mawar Pelangi. Mendengar jawab muridnya si perem-
puan bertongkat berjingkrak kaget dan sampai surut 
dua langkah. Sepasang mata membelalak lebar.
"Bangsat jahanam. Bagaimana gadis secantik-
mu bisa tertarik dan jatuh dalam pelukan laki-laki

gendut pendek hidung pesek berbibir dower itu? Agak-
nya matamu sudah terbalik, otak berubah pikun. Ba-
nyak pemuda gagah yang bisa kau taklukkan. Tapi 
kau malah tergoda pada bangsat penggoda wanita yang 
anak turunnya keleleran di sepanjang jalan. Bukan 
hanya bergaul, tapi bunting segala malah. Semprul 
edan!" teriak sang guru. Melihat kemarahan gurunya, 
sementara ujung tongkat orang tua itu masih bersite-
kan pada perutnya yang putih mulus, tentu saja Ma-
war Pelangi tak berani bertindak sembarangan yang 
dapat membuat perempuan itu jadi gelap mata.
Dengan suara tercekat dia menyahuti. "Guru.... 
antara aku dan Rajo Penitis sudah sama saling cinta. 
Kami juga diluar sepengetahuan guru sudah menikah. 
Jika sekarang aku hamil buat apa hal ini kita ri-
butkan. Anak ini kelak akan membuat suasana di Puri 
Bahagia Setan akan menjadi lebih hidup!"
"Jadah! Kau menikah dengan bangsat laknat 
itu di luar sepengetahuanku. Aku tak sudi meres-
tuinya, dan aku tetap menganggap hubunganmu den-
gannya tidak sah. Jika orang melempar wajahku den-
gan kotoran sapi sakitnya kuanggap tidak seberapa. 
Jika kau menusukkan seribu mata pedang di tubuh-
ku, kuanggap kematianku sebagai hal yang lumrah. 
Tapi kau mencoreng wajahku dengan aib besar serta 
rasa malu yang tak terhingga. Inikah balas budimu se-
lama bertahun-tahun aku mengurus mu?!"
"Guru harap maafkan aku. Aku sangat mencin-
tainya. Karena itu aku menikah dengannya secara di-
am-diam." kata Mawar Pelangi membela diri. 
"Kau menikah, kau kawin diam-diam kau men-
gatakan cinta padanya, apakah semua itu kau lakukan 
bukan karena nafsu?" 
"Cinta campur nafsu, guru." jawab Mawar Pe

langi. 
"Setan! aku tak akan biarkan anak itu hidup 
dan terlahir ke dunia ini. Dia harus kubunuh. Kelak 
kau harus menikah dengan laki-laki yang aku senan-
gi!" Selesai berkata perempuan ini jauhkan tongkat da-
ri perut Mawar Pelangi. Dengan tangan kiri yang telah 
teraliri tenaga sakti berhawa dingin si nenek bermak-
sud mengeluarkan calon bayi di dalam rahim murid-
nya. Tidal lama berselang tangan yang telah dialiri te-
naga dalam itu kemudian ditempelkan di bagian perut 
sebelah bawah.
Melihat apa yang dilakukan gurunya dan sete-
lah merasakan adanya hawa panas yang mengalir de-
ras ke bagian rahim Mawar Pelangi berseru. "Guru apa 
yang hendak kau lakukan?"
"Perempuan tolol, tentu saja mengeluarkan ca-
lon bayi dari perutmu!" dengus si nenek.
"Tidak. Kau tidak boleh melakukannya.!" cegah 
gadis itu. Dengan sekuat tenaga dia berusaha membe-
baskan diri dan menepis tangan kiri gurunya yang 
menekan di bawah perut. Tapi laksana kilat gurunya 
menotok beberapa bagian tubuhnya hingga membuat 
Mawar Pelangi tak dapat berbuat apapun.
Tak ada yang dapat dilakukan oleh si gadis ter-
kecuali menangis. Sementara itu hawa panas yang 
menyakitkan mulai mengalir deras menembus bagian 
letak janin. Di bagian perut terasa ada gerakan serta 
getaran-getaran seolah janin di dalam rahim itu me-
ronta.
Perempuan setengah baya itu mendadak ker-
nyitkan keningnya. Ada sesuatu yang membuatnya ka-
get. Selagi hati Kunti Menak ini dipenuhi rasa kaget 
dan tanda tanya besar. Satu tenaga yang sangat hebat 
menghantam tangan kirinya yang menempel di bagian

perut Mawar Pelangi.
Dess! Dess! Dess! 
"Akhh....!" 
Laksana dicampakkan Kunti Menak jatuh ter-
pental. Punggungnya menabrak dinding. Dinding Puri 
Bahagia Setan hancur berkeping-keping. Perempuan 
itu dalam kejutnya berusaha bangkit berdiri. Apa yang 
dilakukannya itu ternyata tidak mudah karena pung-
gungnya seperti remuk. Wajah pucat, nafas sesak dan 
hidung kembang kempis.
Kunti Menak himpun tenaganya, begitu bangkit 
dia memandang ke arah balai ketiduran dimana mu-
ridnya rebah di situ tak bisa bergerak hanya bisa kelu-
arkan suara. 
"Siapa yang memukulku tadi. Mustahil Mawar 
yang melakukannya. Tubuh bocah kupret itu dalam 
keadaan tertotok"
Kunti Menak gelengkan kepalanya yang terasa 
pusing. Dia mencoba berfikir, mengingat-ingat. Sewak-
tu dia kerahkan tenaga sakti yang mematikan tadi, ti-
ba-tiba dia merasa ada satu kekuatan dan dalam yang 
bergerak menolak kekuatan tenaga dalamnya. Satu 
kekuatan hebat yang bukan saja membuat tangan ki-
rinya terasa lumpuh tapi juga mampu mencampakkan 
Kunti Menak bahkan melukai tubuh di bagian dalam.
"Jadi... jadi bayi itukah yang telah menyerang-
ku tadi? bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?" de-
sis Kunti Menak masih belum juga mampu menghi-
langkan rasa kagetnya.
Sebaliknya Mawar Pelangi sendiri sebenarnya 
juga merasa heran dan tak pernah mengerti mengapa 
gurunya sampai terbanting. Tapi paling tidak untuk 
sementara dia merasa lega karena gurunya tidak beru-
saha membuat janinnya celaka. Jauh di dalam hati dia

berharap agar Rajo Penitis yang menjadi suaminya da-
tang ke Puri Kebahagiaan Setan guna menyelamatkan 
dirinya.
Di depannya sana sang guru tertegun. Dia ma-
sih berniat melakukan keinginannya. Tapi keraguan 
menyelimuti diri perempuan itu, takut hal yang sama 
terulang kembali.
"Ada yang tidak beres. Aku yakin sekali. Aku 
harus menemui Ki Anjeng Laknat. Hanya dia yang bisa 
mengetahui berbagai hal yang tak dapat dilihat oleh 
kasat mata." fikir Kunti Menak. Tanpa bicara apapun 
pada muridnya lagi Kunti Menak tinggalkan kamar 
muridnya dan berkelebat pergi menuju ke tempat ting-
gal Ki Anjeng Laknat yang letaknya tak jauh dari Puri 
Bahagia Setan.
***
Ki Anjeng Laknat duduk diam di atas tumpu-
kan lima tengkorak kepala manusia yang dilapisi jera-
mi pada bagian atasnya. Rambut yang panjang kelabu 
dan hampir memutih secara keseluruhan dibiarkan 
menutupi sebagian wajahnya. Di depan tokoh sesat, 
momok yang sangat ditakuti di dunia persilatan itu 
terdapat sebuah benda bulat mirip bola berwarna kebi-
ru-biruan. Kelebihan bola itu bila disentuh akan me-
mancarkan cahaya terang mengagumkan. Selain itu 
melalui benda bulat yang berasal dari batu bernama 
Batu Bola Neraka itu pemiliknya dapat melihat hal-hal 
yang berhubungan dunia gaib atau sesuatu yang tak 
mampu ditembus dengan kasat mata.
Duduk lama di depan Batu Bola Neraka, kakek 
yang memiliki bola mata melesak ke dalam rongga ber-
hidung remuk berpakaian hitam tampak tak pernah

bergerak sama sekali. Sepasang matanya memandang 
ke depan. Tapi tak urung ketika dia mendengar suara 
langkah-langkah kaki mendekati pintu rumahnya dia 
alihkan perhatian ke arah pintu.
"Ki Anjeng Laknat aku hendak bertemu den-
ganmu. Apakah kau ada di dalam?" tanya satu suara. 
Si kakek yang mengenali suara orang langsung menja-
wab.
"Masuklah Kunti Menak. Untuk kepentingan 
mu pintu rumahku selalu terbuka." sahut Ki Anjeng 
Laknat disertai tawa pendek.
"Maksudku apakah kau tidak sedang....?!" sua-
ra Kunti Menak terputus seolah ragu untuk melan-
jutkan. 
Di dalam terdengar suara tawa panjang. Ru-
panya Ki Anjeng Laknat tahu arah ucapan Kunti Me-
nak.
"Kau tak usah khawatir. Pintu ku terbuka sela-
lu, tapi bukan berarti tubuhku juga dalam keadaan 
terbuka seluruhnya. Tapi jika kau mau, jika kau me-
minta aku tak keberatan melakukannya, kekasihku! 
Ha ha ha!!" kata si kakek disertai tawa panjang.
"Tua bangka gila. Jangan bicara melantur. Saat 
ini aku punya satu kepentingan yang tak dapat ditun-
da. Aku butuh pertolonganmu." dengus si nenek sen-
git.
"Untukmu pertolongan selalu pula kuberikan. 
Tapi setelah itu kau harus mengucapkan janji untuk 
bersenang-senang denganku. Sudah lama kita tidak 
bermesraan. Padahal darahku selalu panas bergelora, 
kekasihku!" ujar Ki Anjeng Laknat.
Kunti Menak memaki panjang pendek, pintu di-
tendangnya hingga terbuka lebar. Memandang ke da-
lam ruangan suasana nampak gelap temaram. Kunti

Menak juga melihat si kakek yang bernama Ki Anjeng 
Laknat duduk menghadap bola batu. Perempuan itu 
melangkah masuk. Ki Anjeng Laknat yang memperha-
tikan kehadirannya sejak tadi mengulum senyum dan 
menelan ludah. 
"Beberapa purnama tidak bertemu ternyata kau 
semakin bertambah cantik Kunti. Ingin sekali rasanya 
aku memelukmu!" kata kakek angker itu sambil me-
nyeka bibirnya. 
"Jangan berani kau berlaku kurang ajar pada-
ku. Aku bisa membunuhmu!" hardik Kunti Menak. 
Walau begitu dia tetap menghampiri Ki Anjeng Laknat 
bahkan kini duduk di hadapan kakek itu.
Ki Anjeng Laknat sama sekali tak hiraukan 
ucapan Kunti Menak. Malah ketika bicara kemudian 
ucapannya berbau mesum. "Seribu kali kau mengan-
camku hendak membunuh. Tapi setelah kau jatuh da-
lam pelukan kau malah merengek, meminta tambah 
lagi... dan lagi. Kunti Menak, bagaimana kalau malam 
nanti kita habiskan waktu untuk bersenang dan ber-
puas-puas diri. Kau pasti bersedia melayaniku bukan!" 
kata si kakek, lagi-lagi dia tertawa.
Blaak!
Satu tamparan keras mendarat dipipi si kakek 
hingga membuat orang tua itu terjajar.
Pipi keriputnya memerah sedangkan bibirnya 
meneteskan darah. Ki Anjeng Laknat usap pipinya be-
kas tamparan pulang balik. Bukannya marah dia ma-
lah tersenyum. Kini dia sadar kalau kekasihnya saat 
itu sedang membawa satu persoalan yang serius.
Selesai mengusap pipi Ki Anjeng Laknat ajukan 
pertanyaan. "Kunti sayang ku, baiklah sekarang kata-
kan apa keperluanmu menyambangi diriku?!" ujar si 
kakek bersikap sungguh-sungguh.

"Aku datang kemari semata-mata karena murid 
tolol itu. Mawar Pelangi hamil?!" menerangkan Kunti 
Menak. Semula dia berharap kakek tua yang menjadi 
kekasih gelapnya selama ini terkejut mendengar penje-
lasannya. Tapi apa yang diharapkannya itu ternyata
tidak terjadi. Wajah angker Ki Anjeng Laknat tidak 
menunjukkan perubahan apa-apa, tetap datar biasa 
saja.
"Sudah menjadi kodratnya perempuan memang 
harus melahirkan, itu kenyataan yang wajar. Lain lagi 
halnya bila ada laki-laki hamil. Kurasa itu baru meru-
pakan suatu kejutan. Dan aku merasa perlu melihat-
nya. Lalu apa istimewanya bila muridmu hamil. Kau 
sendiri sering hamil, hamil denganku diluar nikah. 
Anak-anak yang kau kandung tak pernah hidup, kare-
na kau memaksanya keluar selagi dia masih berada 
dalam kandungan." kata Ki Anjeng Laknat memberi 
tanggapan.
Kunti Menak delikkan mata mendengar ucapan 
kekasihnya. Tubuhnya bergetar menahan amarah. 
Dengan suara tertekan dia membuka mulut. "Keparat 
tua. Jangan kau ungkit masalah pribadiku. Semua ini 
gara-gara ulahmu. Sedangkan mengenai muridku Ma-
war Pelangi. Aku tak mau dia meniru apa yang telah 
terjadi denganku," dengus Kunti Menak.
Ki Anjeng Laknat menarik nafas pendek. Dia 
terdiam sejenak, berfikir baru kemudian melanjutkan.
"Tak ada gunanya kita bertengkar. Sekarang 
lanjutkan ucapanmu!"
"Adapun orang yang menghamili Mawar Pelangi 
adalah si keparat Rajo Penitis." ujar Kunti Menak. Dia 
lalu menceritakan segala sesuatu yang terjadi terma-
suk juga saat dirinya hendak memijit hancur calon 
bayi yang dikandung oleh Mawar Pelangi. Selesai Kunti

Menak menceriterakan segala sesuatunya, Ki Anjeng 
Laknat jadi geleng kepala juga merasa takjub.
"Ini merupakan kejadian yang sangat luar bi-
asa. Kunti Menak.... jika kau mau turut apa kataku. 
Sebaiknya kau jangan bunuh bayi itu. Biarkan dia hi-
dup. Aku yakin bila besar nanti dia akan menjadi raja 
diraja dunia persilatan sepanjang masa." ujar si kakek. 
Mendengar keputusan Ki Anjeng Laknat, Kunti 
Menak jadi terkesiap. Apa yang dikatakan kekasihnya 
sungguh bertentangan dengan apa yang menjadi kein-
ginannya. 
"Aku tak mau memelihara anak turun Rajo Pe-
nitis. Akupun tak sudi mempercayai ucapanmu begitu 
saja. Terkecuali kau bisa membuktikannya melalui Ba-
tu Bola Neraka. Aku melihat dengan mata kepalaku 
apa yang tergambar di dalam batu biru kemudian aku 
akan mempertimbangkannya." tegas perempuan itu te-
tap ngotot.
Ki Anjeng Laknat terdiam, tapi hatinya berkata. 
"Jika aku tidak salah kehamilan Mawar Pelangi pernah 
tergambar di dalam mimpi ku. Aku sudah mendapat 
semacam petunjuk. Jika kau berhasil merawatnya dan 
menjaga Mawar Pelangi sampai tiba waktunya mela-
hirkan, barangkali kelak aku bisa menjadikan bayi 
yang terlahir sebagai raja diraja dunia persilatan. 
Hem.......... aku bisa menurunkan ilmuku selagi bayi 
itu dalam kandungan. Mawar Pelangi adalah gadis 
yang cantik. Sudah lama aku inginkan dia, kurasa jika 
aku dapat mengancamnya dia pasti bersedia menuruti 
apa permintaanku. Untuk menjadikan bayi itu sem-
purna tak ada salahnya jika aku ikut membantu lahir 
batin" Ki Anjeng Laknat tersenyum penuh arti.
"Tua bangka, apa yang membuatmu terse-
nyum?" tanya Kunti Menak setengah membentak.

Ki Anjeng Laknat gelengkan kepala. "Tak ada 
kekasihku. Jika pun aku tersenyum, semata-mata ka-
rena aku mengingat betapa keras kepalanya dirimu. 
Aku maklum, sekarang juga akan ku penuhi permin-
taanmu. Nanti aku akan tahu apakah bayi dalam kan-
dungan muridmu itu punya arti di masa depan atau 
tidak. Jika ternyata dugaanku meleset dan kehadiran-
nya tidak membawa guna bagi kita, seperti keinginan-
mu maka kita harus membunuhnya." tegas Ki Anjeng 
Laknat.
Kakek tua itu lalu memberi isyarat dengan ang-
gukkan kepala agar Kunti Menak mendekat padanya.
Dengan cepat Kunti Menak mendekati si kakek. 
Setelah dia duduk di sebelah Ki Anjeng Laknat, si ka-
kek beringsut lebih ke depan mendekati Batu Bola Ne-
raka.
Ki Anjeng Laknat tarik nafas dan menghem-
buskannya dengan perlahan. Kedua mata yang melesat 
ke dalam rongga setengah dipejamkan. Bibirnya yang 
berwarna merah segar berkemak-kemik seperti mem-
baca mantra sedangkan kedua tangannya yang hitam 
ditumbuhi bulu lebat dijulurkan lurus ke arah Batu 
Bola Neraka yang sengaja diletakkan di atas tungku 
dupa batu. Saat kedua telapak tangan menempel di 
kedua sisi Batu Bola Neraka, maka batu itu bergetar. 
Bukan hanya Batu Bola Neraka saja yang bergetar he-
bat. Tapi sekujur tubuh si kakek ikut bergetar, se-
dangkan bagian wajahnya bermandikan keringat. Per-
lahan namun pasti bola batu yang berwarna biru 
nampak memijar, memancarkan cahaya biru terang 
namun sejuk. Hingga membuat siapapun yang meli-
hatnya jadi merasa ngantuk.
Beberapa saat berlalu, semakin lama Batu Bola 
Neraka semakin bertambah terang. Sedangkan ra

cauan dari mulut Ki Anjeng Laknat semakin bertam-
bah keras dan jelas. "Batu sakti batu bertuah, pembe-
rian iblis bingkisan setan. Aku ingin kau perlihatkan 
kesaktianmu. Dunia gaib menjadi tempat asal usulmu. 
Antara gaib dengan gaib saling berhubungan. Aku in-
gin kau memperlihatkan bagaimana bentuk janin dan 
masa depan bayi itu kelak, bayi yang saat ini berada 
dalam kandungan seorang anak manusia bernama 
Mawar Pelangi." kata Ki Anjeng Laknat.
Baru saja kakek itu katupkan bibirnya, detik 
itu pula dari bagian Batu Bola Neraka terdengar suara 
desisan panjang yang diiringi dengan menebarnya asap 
biru yang memenuhi seluruh permukaan bola batu. 
Asap biru berbau amis membubung tinggi ke udara. 
Suara desisan yang mengepulkan asap lenyap berganti 
dengan letupan dua kali berturut-turut. Suara letupan 
itu membuat asap biru yang menyelimuti sekeliling bo-
la batu juga bagian kedua tangan Ki Anjeng Laknat le-
nyap seketika. Batu Bola Neraka nampak seperti biasa, 
hanya warnanya lebih biru. Sedangkan pada salah sa-
tu bagian permukaannya terlihat satu bentuk perut 
dan sosok perempuan cantik dalam keadaan hamil 
empat bulan.
Ki Anjeng Laknat menoleh ke arah Kunti Menak 
sambil berkata. "Kau lihatlah baik-baik."
Secara aneh begitu Kunti Menak memperhati-
kan bagian perut mengandung janin yang terlihat di 
permukaan bola batu biru semakin membesar. Sema-
kin lama terlihat sebentuk sosok calon anak manusia. 
Tetapi yang mengherankan sosok calon bayi itu nam-
paknya mengalami pengerasan dan seperti terbungkus 
sesuatu berbentuk bulat tidak ubahnya bagai anak 
ayam yang terbungkus cangkang telur.
"Ada sesuatu yang aneh, ada yang tidak beres.

Tapi mungkinkah....!" batin Ki Anjeng Laknat. Dia lalu 
berkata keras. "Batu Bola Neraka, katakan, perli-
hatkan pada kami apakah bayi itu kelak punya guna 
dan kekuasaan di dunia ini atau tidak!"
Batu Bola Neraka bergetar. Seakan mengerti 
dari bagian kepala bayi memancarkan cahaya terang 
berwarna merah laksana darah. Melihat isyarat ini wa-
jah Ki Anjeng Laknat berubah berseri-seri. Dia bahkan 
anggukkan kepala ke arah Kunti Menak. 
Puas melihat apa yang telah diperlihatkan oleh 
Batu Bola Neraka itu, mulut Ki Anjeng Laknat kembali 
berkemak-kemik. Dua tangan yang menempel pada bo-
la batu digerak-gerakkan. Cahaya biru yang memancar 
dari sekeliling batu sakti nampak meredup kehilangan 
cahaya, hingga pada akhirnya bola batu itu kembali 
seperti semula.
Ki Anjeng Laknat angkat kedua tangan dari bo-
la itu. Dia memutar tubuh hingga kini duduk saling 
berhadapan dengan Kunti Menak.
"Sekarang segalanya semakin bertambah jelas. 
Bayi itu kelak akan merubah wajah dunia, kemungki-
nan besar dia bisa menjadi raja diraja dunia persilatan. 
Semua bukti sudah kau lihat sendiri. Sebagian dianta-
ra bukti dari kebesaran baik itu kau sudah merasa-
kannya. Kekasihku... jika kau membunuh bayi itu sa-
ma artinya kau menghilangkan satu keberuntungan 
yang sangat besar. Tapi untuk membuat dia menjadi 
seperti yang kita inginkan, sebaiknya Mawar Pelangi 
aku yang merawatnya sampai dia melahirkan." tegas Ki 
Anjeng Laknat.
"Apa? kau yang merawatnya? Tidakkah kau 
punya niat mesum, memanfaatkan kesempatan yang 
ada dengan mengail di air keruh?" sindir Kunti Menak 
sambil memandang tajam pada si kakek.

Ki Anjeng Laknat tertawa. "Kunti-Kunti. Sama 
sekali rupanya kau tak percaya padaku. Masa aku tega 
berbuat yang tidak-tidak pada muridmu. Bagiku dapat 
bermesraan denganmu pun sudah kuanggap lebih dari 
cukup. Walaupun aku hidup dalam kesesatan, tapi ha-
tiku tak pernah mendua!" kata kakek. Walau dia bicara 
begitu tapi hatinya lain lagi.
"Kejadian ini sungguh memalukan. Bocah itu 
telah mencorengkan kotoran di wajahku. Tapi kau se-
perti membelanya." kata si nenek seolah menyesalkan.
"Tak ada siapapun yang ku bela, karena kau 
tahu rasa kesalmu adalah kekesalanku juga. Kunti.... 
sudahlah, jangan banyak berfikir. Tugasku sudah sele-
sai. Sebaiknya kita bersenang-senang saja." ujar Ki An-
jeng Laknat. Berkata begitu si kakek raih bahu Kunti 
Menak. Tak lama kemudian dia sudah tenggelam da-
lam pelukan si kakek.
Sepasang tangan Ki Anjeng Laknat gentayangan 
ke sekujur tubuh Kunti Menak. Sedangkan nafasnya 
mendengus bagaikan kuda tua yang habis berlari jauh. 
Walaupun Kunti Menak nampak meronta, namun si 
kakek tahu kalau penolakannya itu hanya suatu kepu-
ra-puraan saja. Di langit dua kelompok mega berben-
tuk kuda seakan berkejar-kejaran. Sementara di seke-
liling rumah kediaman Ki Anjeng Laknat suasana 
nampak sunyi.

5

Menunggu datangnya masa kelahiran, berbagai 
ramuan berkhasiat telah dimakan oleh Mawar Pelangi. 
Selama itu dia benar-benar dimanja oleh Ki Anjeng 
Laknat. Segala permintaan perempuan cantik itu dipenuhi, terkecuali satu hal yaitu mencari Rajo Penitis 
suami dari perempuan itu. Hanya diluar sikap baik 
kakek ini, di balik sepengetahuan Kunti Menak dalam 
waktu-waktu tertentu Ki Anjeng Laknat meminta sesu-
atu berupa imbalan pada Mawar Pelangi. Imbalan itu 
berupa pelampiasan nafsu keji dari si kakek.
Karena permintaan itu disertai ancaman yang 
bisa membahayakan keselamatan Mawar Pelangi juga 
bayi yang dikandungnya. Maka perempuan cantik itu 
tak kuasa menolak. Apalagi Ki Anjeng Laknat menga-
takan melalui hubungan seperti itulah dia dapat me-
nyalurkan sekaligus menurunkan kesaktian yang dimi-
likinya pada sang bayi.
Siang itu genap menginjak bulan ketiga belas 
kehamilan Mawar Pelangi. Di dalam kamarnya dia 
nampak merintih tidak berkeputusan. Ki Anjeng Lak-
nat dengan telaten menungguinya.
"Paman... perutku mulas sekali. Aku sudah ti-
dak tahan." keluh Mawar Pelangi sambil menyeringai 
kesakitan.
"Kehamilan mu ini memang sangat luar biasa. 
Seharusnya kau melahirkan tepat di saat kandungan
mu berumur sembilan bulan, tapi aneh sampai usia 
kandungan mencapai usia tiga belas bulan tanda-
tanda melahirkan itu baru ada. Bersabarlah... aku 
pasti membantumu!" kata Ki Anjeng Laknat dengan 
dada berdebar. Kakek tua ini lalu memijit perut Mawar 
Pelangi. Astaga! Si kakek jadi kaget ketika merasakan 
perut Mawar Pelangi kerasnya melebihi batu.
"Celaka. Dia tidak mungkin bisa melahirkan se-
cara wajar. Tubuh bayi dalam perutnya ini pasti dis-
elubungi lapisan keras seperti batu. Apa yang harus 
kulakukan?" batin Ki Anjeng Laknat. Si kakek terdiam, 
sedangkan matanya memandang bagian bawah perut

Mawar Pelangi yang tertutup kain hingga sebatas ba-
gian paha. Apa yang dilihatnya kemudian membuat si 
kakek jadi tercekat.
Diantara cairan bening dia melihat adanya cai-
ran darah bergumpal-gumpal. Bahkan semakin diper-
hatikan darah yang keluar dari bagian bawah perut itu 
semakin banyak yang keluar. 
"Dia mengalami pendarahan hebat!" desis Ki 
Anjeng Laknat panik. Sementara itu Mawar Pelangi 
nampak semakin lemah, wajah perempuan itu kian 
bertambah pucat. Sedangkan matanya sayu seolah te-
lah kehilangan harapan untuk hidup lebih lama.
"Mawar... Mawar.... bertahanlah. Aku akan me-
lakukan sesuatu untukmu!" kata si kakek. Dengan 
tergopoh-gopoh dia berlari ke ruangan depan dimana 
Batu Bola Neraka berada. Langkah si kakek tertahan 
ketika dirinya sampai diambang pintu. Sepasang mata 
si kakek mendelik seperti melihat setan. Ada rasa ta-
kut membayang diwajahnya.
"Kk... kau... Bagaimana kau bisa mengetahui 
Mawar saat ini telah menunjukkan tanda-tanda mela-
hirkan?" tanya si kakek. 
Si perempuan yang ternyata adalah Kunti Me-
nak adanya diam tak memberi jawaban. Dia malah me-
lompat ke arah tempat tidur. Sampai di balai ketiduran 
muridnya dia langsung memeriksa nadi di pergelangan 
tangan Mawar Pelangi. Tidak ada detak nadi, tak ada 
pula detak jantung. Saat dia memandang ke bagian 
wajah perempuan itu dilihatnya sepasang mata Mawar 
Pelangi membeliak lebar dan tak pernah berkedip lagi. 
"Dia mati. Sekarang mana tanggung jawabmu 
tua bangka Laknat? Muridku-muridku mati. Huhu-
hu....!" seru Kunti Menak sambil menangis tersedu-sedu.


"Kunti... dia tadi masih hidup. Dia hendak me-
lahirkan, aku telah berusaha untuk menolongnya. 
Kunti, bayi itu tidak bisa keluar dari jalan yang semes-
tinya. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyela-
matkannya!" sergah Ki Anjeng Laknat.
"Tua bangka keparat, penipu tengik sialan. 
Mawar muridku telah mati. Apa lagi yang hendak kau 
lakukan padanya heh?!" bentak Kunti Menak sengit.
"Menyingkirlah sebentar. Mawar boleh saja ma-
ti, tapi anaknya harus diselamatkan!" seru Ki Anjeng 
Laknat.
"Kau hanya membuat muridku menderita. Apa-
pun yang kau lakukan nanti, bagiku bayi itu tidak 
penting. Kau harus menerima hukuman pasung dari-
ku.!" Sekali lagi si nenek berteriak. Namun dia masih 
memberi kesempatan pada Ki Anjeng Laknat untuk 
mengerjakan apa yang ingin dilakukannya.
Ki Anjeng Laknat tanpa fikir panjang lagi lang-
sung dekati Mawar Pelangi. Dengan mempergunakan 
kuku jari telunjuknya yang panjang dia membelah ba-
gian bawah perut perempuan itu. Begitu perut bawah 
terkuak dia mengeluarkan sesuatu berbentuk bulat 
seperti telur dari bagian rahim Mawar Pelangi. Benda 
terbalut cairan darah itu ternyata memang sangat ke-
ras luar biasa. Tak mungkin dapat dibelah walaupun 
dengan menggunakan golok tajam sekalipun.
Sementara itu Kunti Menak begitu melihat apa 
yang dilakukan oleh Ki Anjeng Laknat jadi marah be-
sar.
"Ki Anjeng apa yang kau lakukan. Kau menjebol 
perut Mawar. Kubunuh kau, kubunuh?!" teriak si ne-
nek menggerung.
"Kau boleh membunuhku, kau boleh menghu-
kumku, tapi nanti setelah aku selesai memecahkan selubung batu yang menyelimuti bayi ini." sahut si kakek 
dengan sikap seakan tidak peduli. Tanpa merasa kha-
watir Kunti Menak memukulnya dari arah belakang si 
kakek menggunakan seluruh kesaktiannya untuk 
menghancurkan selubung batu yang bentuknya mirip 
kulit telur itu. Berkali-kali usaha ini dilakukannya
dengan sangat hati-hati. Pada kali yang ke tujuh selu-
bung lapisan batu yang menyelimuti sang bayi dapat 
dihancurkan.
Begitu selubung batu terkuak, maka bayi laki-
laki itu menangis. Si kakek berjingkrak kegirangan. 
Sebaliknya Kunti Menak tetap menangis 
"Bocah hebat ini, Kunti lihatlah. Di bagian da-
danya terdapat tujuh buah sisik besar. Sisik ini seperti 
sisik ular, tapi juga keras seperti lapisan batu. Bayi 
hebat bayi ajaib!"
"Aku tidak perduli dengan bayi itu. Kelahiran-
nya telah merenggutkan nyawa muridku. Kau harus 
bertanggung jawab, kau harus dihukum." kata Kunti 
Menak. Tiba-tiba saja dia bangkit berdiri. Dia melang-
kah cepat mendekati Ki Anjeng Laknat. Si kakek cepat 
menoleh dan bersikap melindungi bayi. Dia jadi kaget 
begitu melihat di tangan Kunti Menak kini telah ter-
genggam dua buah rantai batu. Itulah rantai belenggu 
yang siap memasung kaki dan tangan kekasihnya.
"Kunti, kemarahan tidak pernah menyelesaikan 
persoalan. Eling Kunti. Ingat, hati boleh panas tapi ke-
pala harus dingin."
"Dulu kau pernah mengatakan akan bertang-
gung jawab bila sampai terjadi sesuatu pada muridku."
"Memang, aku tidak akan mengingkari janji. 
Tapi. Apakah kau sudi mengurus bayi ini?" tanya Ki 
Anjeng Laknat.
"Aku lebih senang merawat mayat Mawar dari

pada bayi itu." tegas Kunti Menak dingin.
"Bukankah bocah ini cucumu?"
"Aku tak pernah mengakui dia sebagai cucuku. 
Karena kuanggap kehadirannya sebagai pembawa 
bala."
Si kakek gelengkan kepala. "Baiklah Kunti. Hu-
kuman pasung itu akan kuterima, tapi aku harus me-
nunggu Begawan Panji Kwalat adikku. Sebab selama 
aku menjalani hukuman yang kau jatuhkan. Anak ini 
akan kutitipkan padanya. Aku tahu dia pasti akan da-
tang sebentar lagi!" ujar si kakek. 
Baru saja suara si kakek lenyap mendadak pin-
tu depan terbuka dihembus angin keras. Baik Ki An-
jeng Laknat maupun Kunti Menak sama palingkan ke-
pala dan sama pula memandang ke arah pintu.
Tak berselang lama muncul satu sosok. Sosok 
seorang kakek tua berpakaian hitam berambut pan-
jang, berkaki lumpuh. Dia tidak berjalan dengan kaki 
maupun tangannya. Melainkan mengambang di udara 
dalam keadaan bersila.
"Adikku Begawan Panji Kwalat, syukur salam 
gaib mu sampai padamu. Kau datang tepat pada wak-
tunya!" kata Ki Anjeng Laknat disertai senyum. Si kaki 
lumpuh yang datang dengan keadaan bersila dan tu-
buh mengambang itu sama sekali tak bergeming. Tatap 
matanya mencorong tajam memandang pada Ki Anjeng 
dan Kunti Menak. Sebaliknya Kunti Menak tentu saja 
jadi kaget karena baru pertama kali ini bertemu den-
gan Begawan Panji Kwalat yang bukan lain adalah adik 
Ki Anjeng Laknat.
"Setan lumpuh ini agaknya memiliki kesaktian 
tinggi. Konon kudengar setiap kata yang diucapkannya 
dapat menimbulkan bencana bagi musuh-musuhnya. 
Tapi siapa perdulikan dia?!" dengus Kunti Menak dalam hati.
"Kakang seperti mimpi ku tadi malam, bayi ba-
tu ini lahir hari ini. Sungguh sulit kupercaya. Kita da-
pat rejeki besar. Bayi ini kelak akan menjadi manusia 
hebat. Biarkan aku mengurusnya." ujar Begawan Panji 
Kwalat. Masih dalam keadaan mengambang di udara, 
Sang Begawan dekat bayi itu. Dia meneliti, mulutnya 
berdecak beberapa kali. Setelah mengambil bayi dari 
atas balai-balai bambu. Begawan Panji Kwalat berpal-
ing dan memandang ke arah Kunti Menak. "Kakak.... 
aku yakin kau adalah kekasih kakang ku. Aku Bega-
wan Panji Kwalat tidak mau mencampuri urusanmu 
dengan kakang ku. Terus terang bayi ini akan kubawa 
pergi." tegas sang Begawan yang telah menggendong
bayi. Dia lalu menoleh pada Ki Anjeng Laknat. "Kakang 
janji apapun yang telah kau ucapkan padanya kau tak 
boleh mengingkarinya. Jalani hukuman itu. Jangan 
kau fikirkan bayi ini karena aku akan mendidiknya. 
Kelak, jika ada umur panjang mungkin kita bisa 
menggembleng bayi aneh ini bersama-sama." Selesai 
berkata Begawan Panji Kwalat berkelebat pergi.
Seperginya Begawan itu Ki Anjeng Laknat ber-
kata pada Kunti Menak. "Kunti kekasihku. Aku tahu 
kesaktianku tiga kali lebih tinggi di atasmu. Tapi aku 
tak mau menyakitimu. Sekarang jika kau hendak 
menghukum aku dengan rantai batu pemasung jasad 
itu lakukanlah!" ujar si kakek.
Kunti Menak mendengus. "Jika menurut kata 
hati aku ingin sekali membunuhmu. Tapi biarlah. Hu-
kuman pasung badan ini juga tidak lebih ringan dari 
hukuman mati." dengus Kunti Menak. 
Perempuan itu lalu lemparkan dua rantai batu. 
Satu ke bagian tangan si kakek sedangkan satunya la-
gi ke bagian kaki.

Rantai batu melayang dan menjerat kaki serta 
tangan Ki Anjeng Laknat hingga kakek itu jatuh terdu-
duk dalam keadaan tidak dapat bergerak sama sekali.
Sedangkan Kunti Menak segera mengurus 
mayat Mawar Pelangi untuk diawetkan.

6


Sudahlah kau ingat semuanya Ki Anjeng Lak-
nat. Tidakkah dapat kau bayangkan betapa pedihnya 
hatiku? Aku terus merasa kehilangan muridku Mawar 
Pelangi. Itulah sebabnya sampai hari aku selalu me-
nyimpan mayatnya. Agar dapat selalu ku kenang sega-
la kelucuannya di masa kecil. Tapi kau membuat sega-
lanya menjadi rusak dan berubah. Atau mungkin keti-
ka muridku ini berada dalam pengasuhan mu kau te-
lah memintanya untuk melakukan tindakan keji seba-
gaimana yang kau lakukan padaku? Kau harus men-
gaku Ki Anjeng. Kau tak bisa memungkirinya!"
Ki Anjeng Laknat tersentak dari lamunannya. 
Beberapa saat berlalu si kakek berambut putih pan-
jang riap-riapan hanya mampu memandangi Kunti 
Menak.
"Kau diam, berarti semua apa yang kukatakan 
ini memang benar adanya. Bukankah begitu Ki Anjeng, 
kau memaksa Mawar untuk tidur denganmu.?" tanya 
si nenek disertai seringai sinis. 
"Kunti... bagiku kau adalah....!"
"Cukup! Kurasa semua laki-laki memang begi-
tu. Pandai berdusta dan suka menipu. Serahkan tan-
gan dan kakiku cepat!" perintah Kunti Menak.
Karena semua yang dikatakan oleh bekas kekasihnya itu merupakan suatu kenyataan yang tak 
mungkin disangkal, maka Ki Anjeng Laknat ulurkan 
kedua tangannya pada Kunti Menak. Begitu tangan 
terjulur dan kedua kaki dirapatkan, maka Kunti Me-
nak gerakkan tangan ke depan. Satu ke arah tangan 
sedangkan yang satunya lagi ke bagian kaki. Dua ran-
tai batu di tangan si nenek laksana kilat meluncur se-
bat ke dua arah. Tahu-tahu ke dua rantai batu telah 
melilit tangan sekaligus kaki Ki Anjeng Laknat
Sreet! Sreeet!
Melihat belenggu rantai telah menjerat dua 
anggota tubuh penting Ki Anjeng Laknat, maka Kunti 
Menak pun tertawa tergelak-gelak. Si kakek tentu saja 
menjadi kaget. Dia tak tahu apa yang akan dilakukan 
oleh nenek tua ini. 
"Dasar laki-laki bodoh. Sekarang ini apakah 
kau mengira aku hanya sekedar menghukum dengan 
cara seperti itu. Apa kau menduga sikapmu yang pura-
pura baik dan menurut itu akan membuat hatiku 
menjadi luluh. Lalu kau berharap aku akan kembali 
jatuh dalam pelukan mu. Tua bangka rongsokan, perlu 
kiranya kau ketahui sejak Mawar Pelangi meninggal 
pintu hatiku telah tertutup untukmu. Mawar melebihi 
anakku sendiri. Tapi secara tidak sengaja kau telah 
menyia-nyiakan titipan ku. Tindakanmu itu merupa-
kan suatu kesalahan besar yang tak dapat ku maaf-
kan!"
Ki Anjeng Laknat tatap ke depan. "Kunti, buruk 
nian nasib tua bangka ini. Apakah aku sudah tidak bo-
leh membuka pintu hatimu mengetuk pintu maaf, 
memohon pengertian darimu."
"Huh, mana mungkin. Pintu hatiku telah ter-
kunci, kuberi palang dan kupantek dari bagian dalam. 
Tidak ada maaf bagimu."

"Kunti, apakah aku tidak boleh berdiri atau du-
duk di depan pintu mu yang telah terkunci itu?" tanya 
si kakek memelas.
"Tidak bisa walau cuma di emperannya saja." 
dengus Kunti Menak sinis.
"Kunti, aku bisa mati. Tanpa cinta mu aku tak 
akan bisa hidup lebih lama lagi."
"Semua itu akan lebih bagus agar dunia ini ti-
dak penuh sesak oleh manusia busuk sepertimu."
"Oh, kiamatlah sudah harapanku." si kakek 
mengeluh tertahan.
Kunti Menak sama sekali tak menjawab, tong-
kat di tangan kanannya digerakkan ke atas, sedangkan 
tangan kiri menarik bagian ujung tongkat. 
Sreeet!
Ternyata tongkat itu bukan hanya sekedar 
tongkat biasa. Karena begitu salah satu ujungnya dis-
entakkan maka terlihatlah kilatan cahaya putih menyi-
laukan.
Ki Anjeng Laknat tercekat, mata mendelik se-
dangkan tubuh kucurkan keringat dingin.
"Kun... Kunti jangan main-main dengan senjata 
itu. Kau hendak berbuat apa?" tanya si kakek, sua-
ranya bergetar dilanda ketakutan. Dia sadar jika si ne-
nek menggunakan pedang untuk mencelakainya, jelas 
ini bisa membahayakan keselamatan jiwa, karena saat 
itu tangan dan kakinya dalam keadaan terikat.
Di depan sana Kunti Menak tertawa tergelak-
gelak. Tawa lenyap, dengan mata mendelik dia meng-
hardik. "Siapa yang main-main dengan tongkat pe-
dang. Dasar tua bangka pikun. Beratus kali menipuku, 
kau perdayai aku dengan cinta palsumu. Kini Mawar 
Pelangi telah tiada. Dia mati harapanku lenyap. Me-
nanti janjimu hanya satu kedustaan saja. Kau sering
mengatakan hendak menikahi ku, mengawini aku. Ta-
pi sampai sekarang, hingga wajah yang dulu cantik ini 
jadi keriput dan tubuh segar menggairahkan jadi reyot 
segala janjimu tak pernah kau laksanakan."
"Kunti masalah kawin bukankah sudah, hanya 
menikahnya saja yang selalu tertunda. Sekarang be-
baskan aku, kita cari dukun untuk menikahkan kita!" 
kata Ki Anjeng Laknat. Saking gugupnya dia tidak da-
pat mengontrol kata-katanya hingga jadi salah ucap.
Kunti Menak menjadi berang, lalu putar pedang 
merangkap tongkat yang tergenggam di tangannya. Pe-
dang menderu memancarkan gulungan sinar putih 
kemilau memedihkan mata.
"Rupanya otakmu benar-benar sudah pikun. 
Orang kawin harus ke juru nikah, bukan ke dukun!" 
hardik Kunti Menak sengit.
"I... iya kau betul. Maksudku juga ke situ, aku 
hanya salah bicara!" kata Ki Anjeng Laknat yang mera-
sa semakin miris karena sinar pedang itu kini bergerak 
membabat ke bagian lengan dan kaki.
"Celaka, Kunti.....!"
Teriakan si kakek sudah tak dihiraukanya lagi. 
Pedang terus meluncur membabat bagian pangkal len-
gan kiri kanan. Sekejap lagi nampaknya Ki Anjeng 
Laknat benar-benar kehilangan tangannya jika saja 
pada saat itu tidak terdengar suara teriakan menggele-
dek merobek kesunyian.
"Pedangmu pedang tumpul. Yang kau babat 
adalah baja keras. Pedang patah dan bagian ujungnya 
menembus dadamu sendiri!" Apa yang terjadi kemu-
dian memang sama persis dengan apa yang dikatakan 
oleh suara tadi. Pedang Kunti Menak mengeluarkan 
suara berdentring keras saat menghantam pangkal 
lengan Ki Anjeng Laknat. Tidak hanya sampai disitu

saja. Pedang itu patah, bagian ujungnya terpental ber-
balik lalu meluncur deras ke arah Kunti Menak. Kejut 
si nenek bukan alang-alang. Dia lebih kaget lagi ketika 
melihat patahan pedang berbalik meluncur menghan-
tam ke bagian dada.
Perempuan tua ini melompat ke samping, ja-
tuhkan diri dan terus bergulingan. Cepat sekali dia 
bangkit, lalu memutar tubuh memandang ke arah da-
tangnya suara.
"Begawan Panji Kwalat! Begawan edan berani 
kau mencampuri urusan orang!" hardik Kunti Menak 
kalap. Begawan Panji Kwalat kalap. Begawan Panji 
Kwalat yang datang dengan membawa seorang pemuda 
yang dalam keadaan terluka di atas pangkuannya ini 
hanya tersenyum sinis. Dia yang selalu berjalan den-
gan tubuh mengambang sesuai dengan yang dia ke-
hendaki malah alihkan perhatiannya pada Ki Anjeng 
Laknat.
"Kakang sampai kapan kau berlaku bodoh aki-
bat diperbudak cinta. Dua puluh tahun kau dihukum 
seperti itu. Kini malah kedua tangan dan kakimu hen-
dak dia buntungi. Celakanya kau hanya diam saja, pa-
dahal kesaktian yang kau miliki jauh lebih tinggi ting-
katannya dibandingkan diriku dan dirinya. Sebaiknya 
kita habisi saja dia sekarang agar tak menjadi penyakit 
di kemudian hari!" dengus Begawan Panji Kwalat sen-
git.
"Adikku, jangan kau bunuh dia. Dia sorgaku, 
dia permataku. Jika dia mati aku bisa kehilangan sor-
ga!" cegah Ki Anjeng Laknat. Berkata begitu si kakek 
diam-diam perhatikan pemuda gondrong berpakaian 
merah yang nampaknya dalam keadaan terluka itu. 
"Mungkinkah yang dibawa Begawan Panji Kwalat ada-
lah si bocah itu. Si bocah itu Lira Watu Sasangka?" batin si kakek.
"Kakang seribu gadis bisa ku carikan untukmu. 
Buat apa kau mencintai nenek rongsokan itu? Dia cu-
ma rongsokan hidup yang tidak ada gunanya." kata 
sang Begawan mencemooh.
Akibat campur tangan si Begawan saja sudah 
membuat Kunti Menak menjadi marah bukan main, 
apalagi kini Begawan berkaki lumpuh itu menghinanya 
dengan kata-kata yang menyakitkan. Kunti Menak ten-
tu semakin tidak dapat menahan diri.
"Begawan palsu, manusia laknat lahir batin. 
Kau memang layak kubuat mampus!" si nenek berte-
riak lantang. Laksana kilat dia hantamkan kedua tan-
gannya ke arah sang Begawan. Sinar hitam melesat 
dari telapak tangan Kunti Menak, hawa panas memba-
kar. Begawan Panji Kwalat walaupun membawa beban 
namun dengan cepat bergerak ke samping. Tangan di-
putar lalu diangkat, satu gelombang sinar putih ber-
bentuk kerucut terbalik menyambut hantaman si ne-
nek.
"Dingin....!" teriak si kakek lumpuh yang berja-
lan mengambang di udara. Ketika pukulan berhawa 
panas itu memasuki lingkaran kerucut dari cahaya 
mendadak saja pukulan sakti Kunti Menak berubah 
menjadi dingin. Masih dengan memangku pemuda 
yang dibawanya dia angkat tangan kirinya siap meng-
habisi Kunti Menak.
"Adikku.... jangan bunuh dia. Ku mohon....!" 
satu suara berseru. Tak perlu melihat ke arah datang-
nya suara Begawan Panji Kwalat yang sekujur tubuh-
nya dipenuhi serbuk kapur sudah tahu yang baru saja 
bicara tadi adalah kakangnya Ki Anjeng Laknat.
"Kau meminta aku tidak membunuhnya, padahal dia hampir membuat kau celaka. Mengingat kita

saudara sedaging, baiklah permintaanmu ini akan ku-
kabulkan. Aku hanya akan membuatnya menjadi pa-
tung!" sahut Begawan itu dingin. Dia lalu robah gera-
kan tangannya. Tangan diangkat tinggi, lalu bergerak 
turun seperti gerakan mengusap ke arah Kunti Menak, 
mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki.
"Jadilah kau patung hidup. Tidak akan pernah 
terjaga tidak pula dapat bergerak terkecuali ada suara 
petir menyambar dekat telingamu!" seru si kakek. 
Ucapannya ini bukan ucapan biasa, tapi mengandung 
satu kekuatan yang bisa membuat orang menjadi se-
perti yang diinginkannya. Dan memang itulah yang 
kemudian terjadi pada Kunti Menak. Si nenek yang 
masih dalam keadaan tercengang melihat serangannya 
dapat dilumpuhkan lawan tiba-tiba merasakan ada 
hawa dingin yang sangat luar biasa menyergap tubuh-
nya mulai dari ujung rambut hingga ke ujung kaki. 
Bersamaan dengan itu pula dia tak dapat menggerak-
kan seluruh bagian tubuhnya. Tubuh itu bukan saja 
hanya terasa kaku, tapi juga terasa dingin luar biasa.
"Kurang ajar! Aku tak mau dipermalukan se-
perti ini." rutuk Kunti Menak. Dia kemudian bang-
kitkan tenaga dalam berhawa panas yang bersumber 
dari bagian pusar. Tenaga dalam tidak bekerja, reaksi 
yang diharapkan tidak kunjung muncul. Pucat pasi 
wajah si nenek.
"Bangsat kau Begawan. Jika tidak kau bunuh 
aku hari ini, aku bersumpah kelak pasti akan menca-
rimu!" teriak Kunti Menak. Suara makian hanya diba-
las dengan tawa panjang Begawan Panji Kwalat. Se-
mentara itu dia semburkan ludahnya ke rantai batu 
yang mengitari tangan serta kaki Ki Anjeng Laknat. 
Saat rantai batu terkena semburan ludah maka rantai 
batu mengepulkan asap putih disertai suara gemeretak. Rantai hancur berkeping-keping. Ki Anjeng Laknat 
begitu terbebas langsung berlari mendapatkan Kunti 
Menak.
"Kekasihku... kekasihku, kau tidak apa-apa 
bukan?" tanya si kakek merasa cemas.
Akan tetapi si nenek malah mendampratnya. 
"Tua gila, sebaiknya minggat kau ke neraka. Aku tak 
sudi melihatmu lagi!"
Ki Anjeng Laknat nampak kecewa sekali. Meli-
hat sang kakak berubah sedih Begawan Panji Kwalat 
sudah tak dapat lagi menahan rasa jengkelnya pada 
sang kakek.
"Dia muak melihat tampangmu kakang. Se-
baiknya kau ikuti aku. Muridku Lira Watu Sasangka, 
Panji Anom Penggetar Jagad perlu kita obati!" seru si 
kakek.
Seakan baru tersadar Ki Anjeng Laknat cepat 
berpaling. "Diakah orangnya yang waktu masih dalam 
kandungan ku rawat dulu?" tanya Ki Anjeng Laknat. 
Adiknya Begawan Panji Kwalat tidak menanggapi, dia 
malah melesat tinggalkan tempat itu.
Tidak menunggu lebih lama, setelah meman-
dang ke arah Kunti Menak si kakek pun berkelebat 
pergi.
"Bangsat kakak beradik itu, kelak aku pasti 
akan menghabisinya. Tapi apakah pemuda tadi me-
mang benar anak Mawar Pelangi? Anak jahanam se-
perti itu firasat ku mengatakan hanya menjadi penebar 
bencana saja!" rutuk Kunti Menak sinis.

7

Dua ekor kuda di pacu cepat meninggalkan 
Kiara Condong. Di atas punggung kuda berbulu hitam 
itu masing-masing ditunggangi oleh seorang laki-laki 
berbadan tegak, berpakaian serba hitam, berwajah 
angker dipenuhi cambang brewok lebat. Melihat cara 
mereka menunggang kuda yang tidak ubahnya seperti 
di kejar setan, paling tidak mereka sedang tergesa-gesa 
atau hendak melakukan sesuatu yang amat penting.
Sampai di tepi hutan Watu Gamping, penung-
gang kuda yang berada di bagian belakang memper-
lambat lari kudanya. Sampai akhirnya kuda tunggan-
gan dihentikan secara mendadak.
Melihat orang di depan hentikan kuda, maka 
yang berada di belakang juga ikut menghentikan tung-
gangannya.
"Mengapa berhenti?" tanya si brewok yang ber-
badan agak pendek.
"Adik Sugriwa? Tidakkah kau mendengar ada 
seseorang yang mengikuti kita?" kata orang yang di 
depan resah.
"Suara apa? Sejak tadi aku tak mendengar sua-
ra apapun." sahut si berewok yang dipanggil Sugriwa. 
Mendengar jawaban itu si tinggi besar yang wajahnya 
tak kalah seram dengan sang teman nampak tidak 
puas. Dia geleng kepala. Tatap matanya memandang 
ke jurusan hutan yang terdapat di sebelah kiri mereka.
"Aku mendengar suara siulan. Sejak mening-
galkan pemuda itu perasaanku entah mengapa jadi ti-
dak enak. Jangan-jangan dia tak mempercayai kita. 
Lalu sengaja membiarkan kita pergi, untuk kemudian 
membunuh kita di tempat ini!" Mendengar ucapan si 
tinggi tegap Sugriwa bulu kuduknya meremang. Hati 
dan fikirannya jadi tidak enak. Tapi dia malah tertawa.
"Kakang Subali. Jangan perturutkan kata hati

dan perasaan. Pemuda jahanam itu tak mungkin me-
nyusul kita. Bukankah kita sudah berjanji untuk men-
gabdi kepadanya? Dia malah menjanjikan imbalan be-
sar, jika kita sanggup menggagalkan pertemuan para 
pendekar di Kiara Condong nanti."
"Mengabdi...? desis Subali disertai seringai 
aneh, namun wajah membayangkan rasa tidak puas. 
Dengan perasaan jengkel dia melanjutkan. "Sejak ne-
nek moyang kita masih hidup, Macan Seribu belum 
pernah hidup menjadi budak orang lain. Sampai seka-
rang sebagai keturunannya kita juga tidak layak men-
gabdi kepada siapa saja, juga termasuk kepada pemu-
da jahanam yang tidak kita kenal asal usulnya!" den-
gus Subali.
"Aku sendiri juga punya tekad yang sama. Tapi 
pemuda itu telah memberikan minuman beracun pada 
kita. Kita tak mungkin lolos dari kematian, hanya dia 
yang dapat memunahkan racun di dalam tubuh kita. 
Pengaruh racun itu kurasakan semakin menghebat, 
kalau tidak percaya coba kakang hirup udara dalam-
dalam." kata Sugriwa
Di sertai senyum mencibir Subali menarik na-
fas dalam-dalam. Mendadak dia merasakan dadanya 
jadi sakit, sesak luar biasa. Sedangkan Sugriwa dapat 
melihat wajah Subali berubah pucat laksana mayat.
"Kakang wajahmu....?!" seru Sugriwa.
"Keparat jahanam!" maki Subali gusar. Dia 
mencoba mengatur nafasnya yang memburu. Sedang-
kan matanya dipejamkan. Dengan mata masih terpe-
jam pula dia berkata. "Kau benar, pemuda sial itu ti-
dak main-main dengan ancamannya. Baru kali ini kita 
kena dikerjai orang."
"Apakah engkau masih tidak mau mengakui 
kenyataan yang terjadi dengan kita kakang?!"

"Diam...!" Subali berteriak marah. "Tidak, per-
nah kusangka kelalaian kita yang sekejap itu harus 
dibayar mahal. Hem... agaknya kita memang tidak 
punya pilihan lain. Kita harus turuti apa yang menjadi 
keinginannya. Tidak mengapa, tapi bila kelak dia 
memberikan obat penawar racun itu pada kita, disitu-
lah kesempatan kita untuk membalas dendam!" geram 
Subali.
"Sekarang apa yang harus kita lakukan, ka-
kang?" tanya Sugriwa.
Yang ditanya terdiam beberapa saat lamanya. 
Setelah itu dia menggelengkan kepala.
"Pemuda itu menyuruh kita menghalangi setiap 
orang yang dalam perjalanan ke Kiara Condong. Apa-
pun tujuannya jelas dia tidak ingin siapapun sampai 
ke tempat itu."
"Konon di tempat itu akan diadakan pertemuan 
para pendekar dan beberapa tokoh golongan lurus. 
Apa maksud dan tujuan dari pertemuan mereka aku 
tak tahu!" jelas Sugriwa.
"Tugas kita tidak ringan. Yang akan kita hadapi 
adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Ini akan 
menyulitkan kita."
"Tapi untuk mundur nampaknya juga tidak 
mudah. Kita hanya punya kesempatan hidup selama 
lima puluh hari lagi. Jika sampai pada waktu yang di-
tetapkan kita tidak kembali menemui pemuda itu, ajal 
segera datang menjemput. Riwayat Macan Seribu ta-
mat, dan kita mati sia-sia." Sugriwa menimpali.
"Sudahlah, kita memang sedang dihadapkan 
pada pilihan sulit. Seandainya kita tidak turuti keingi-
nan pemuda itu kita bakal kehilangan kesempatan un-
tuk memandang indahnya dunia lebih lama. Karena 
itu sebaiknya kita turuti saja keinginannya." pada akhirnya Subali memutuskan.
Sugriwa tentu saja merasa senang. Karena jauh 
di lubuk hati laki-laki itu dia tidak ingin mati muda. 
Kalau mungkin dia ingin hidup seribu tahun lagi.
"Kakang... dalam keadaan seperti ini kurasa pi-
lihan mu adalah pilihan yang bijaksana. Sekarang 
alangkah baiknya kita lanjutkan saja perjalanan ini!" 
kata Sugriwa siap menyentakkan tali kekang kuda. Ba-
ru saja Subali anggukkan kepala, pada saat itu kemba-
li terdengar suara siulan panjang. Macan Seribu ter-
sentak kaget. Hampir bersamaan mereka memandang 
ke arah datangnya suara.
Di sebelah kiri jalan dimana suara siulan tadi 
terdengar tidak terlihat siapapun berada di sana. Sub-
ali dan Sugriwa saling pandang.
"Apa kataku, sejak kita meninggalkan pemuda 
itu aku merasa seperti ada orang yang mengikuti. Du-
gaanku ternyata tidak meleset!" desis Subali. Suaranya 
lirih perlahan.
"Ada suara tak ada orangnya. Jelas suara si-
ulan itu datang dari satu tempat yang sangat jauh. Be-
rarti siapapun orangnya pasti memiliki tenaga dalam 
serta kesaktian yang tidak rendah!" Sugriwa menyahu-
ti.
"Kau benar. Agaknya inilah tugas pertama yang 
harus kita bereskan!" berkata begitu Subali kitarkan 
pandang matanya ke sekeliling tempat dimana mereka 
berada. 
Orang yang keluarkan siulan sama sekali masih 
belum terlihat. Subali menjadi gusar. "Kurang ajar, ada 
orang hendak mempermainkan kita!" kata laki-laki 
bertampang seram itu sambil kepalkan tinjunya.
"Kakang lihat....!" Sugriwa tiba-tiba keluarkan 
seruan tercekat. Dia menunjuk ke depan dengan mata

mendelik.
Seketika Subali pun memandang ke arah yang 
dimaksud. Laki-laki itu terperangah ketika melihat di 
tengah jalan setapak itu berdiri tegak seorang kakek 
berpakaian kuning gading berambut panjang riap-
riapan. Wajah orang itu sama sekali tidak terlihat ka-
rena tertutup rambut. Melihat kehadiran orang yang 
entah sejak kapan berada disitu, Macan Serbu mak-
lum siapapun adanya kakek ini tentu dia bukan orang 
sembarangan. Sehingga Subali berbisik pada Sugriwa. 
"Aku mencium adanya gelagat yang tidak beres. Hen-
daknya kau bersikap waspada!"
Sementara itu kakek yang berdiri di tengah ja-
lan saat itu membuka mulut berucap. "Keadaan begini 
gelap, padahal matahari panas membakar. Kiara Con-
dong entah berada dimana, si tua berjalan tidak tahu 
arah. Wahai saudara dapatkah kau tunjukkan arah 
kepadaku?"
"Siapa dirimu adanya?" tanya Subali
"Ha ha ha. Orang memanggilku Si Mata Aneh, 
padahal lihatlah, apakah aku memiliki mata?" berkata 
begitu orang berpakaian kuning gading singkapkan 
rambutnya yang panjang menutupi wajah.
"Hah...!" Sugriwa dan Subali sama keluarkan 
seruan tertahan ketika melihat seraut wajah seorang 
kakek di penuhi cacat parut besar, sedangkan sepa-
sang matanya sama sekali lenyap, hanya tinggal beru-
pa rongga besar berwarna hitam kemerahan. Sungguh 
mengerikan sekaligus menjijikkan keadaannya.
Di depan mereka si kakek tertawa mengekeh. 
Beberapa saat sepasang mata yang hanya berupa dua 
rongga besar itu seolah memandang ke arah Subali 
dan Sugriwa.
"Setelah berpuas diri melihatku, sekarang aku

ingin meminta pada kalian untuk mengantarku ke Kia-
ra Condong!" kata Si Mata Aneh. Subali tertegun, rasa 
takutnya melihat keadaan kakek itu kini mendadak le-
nyap berganti dengan keberanian begitu teringat pada 
pemuda yang telah meracuni mereka.
"Orang tua apa kepentinganmu pergi ke tempat 
itu.?" tanya Subali.
"Apa kepentinganku, buat apa kuberitahukan 
pada kalian. Cepat antarkan aku kesana jika kalian ti-
dak ingin mendapat kesulitan!" hardik si kakek.
"Kakek buta, kami bukan budakmu. Bagaima-
na mungkin kami harus mengantarmu ke Kiara Con-
dong, sedangkan seseorang telah memberikan tugas 
pada kami untuk membunuh siapa saja yang coba-
coba datang ke sana!" dengus Sugriwa. Tanpa disadari 
dia telah keterlepasan bicara.
Si kakek dongakkan kepalanya ke atas lalu 
umbar tawanya. Begitu suara tawa lenyap dia meng-
hardik. "Dua kurcaci keparat, berani menolak permin-
taanku apakah tidak takut mati?"
"Percuma kau mengancam kami kakek buta. 
Kami Macan Seribu mana takut mati." dengus Subali 
gusar.
"Macan Seribu.... Macan Seribu....!" Si kakek 
berkata sambil mengingat-ingat. Begitu teringat siapa 
adanya Macan Seribu tawa Si Mata Aneh pun seolah
tidak terbendung lagi.
"Macan Seribu, nama kalian pernah aku den-
gar. Orang lain boleh takut mendengar gelaran kalian, 
tapi bagiku tidak ada artinya sama sekali!" ucap Si Ma-
ta Aneh dingin. Merasa tidak dipandang muka oleh Si 
Mata Aneh, Subali dan Sugriwa pun menjadi berang. 
Dia berpaling pada adiknya sambil berteriak. "Bunuh 
tua bangka buta itu!"

"Ha ha ha. Yang kau minta memang yang ku-
tunggu sejak tadi!" jawab Sugriwa.
"Jika minta mampus mengapa tidak maju seka-
ligus?" tantang Si Mata Aneh.
"Kakek buta keparat. Melihat cacat mu rasanya 
kau tidak layak menghadapi kami berdua!" seru Sub-
ali.
"Ha ha ha. Oh... begitu. Sikap takabur dan 
memandang rendah orang lain hanya akan mencela-
kakan diri sendiri. Sekarang tunggu apalagi, majulah!" 
teriak Si Mata Aneh sinis.
Subali sama sekali tidak menanggapi, sebalik-
nya Sugriwa tanpa menunggu lebih lama lagi langsung 
menggebrak kudanya. Kuda meringkik keras, lalu ber-
gerak menerjang Si Mata Aneh. Sementara Sugriwa 
yang duduk di atasnya langsung menghantam kepala 
kakek itu dengan pukulan tangan kosong. Si Mata 
Aneh tertawa tergelak begitu merasakan adanya hawa 
dingin menyambar kepala. Seakan melihat saja dia me-
lompat ke belakang hindari pukulan lawan, sedangkan 
tangan kiri dihantamkannya ke bagian kaki depan ku-
da yang bergerak menerjang ke bagian dada.
Wuut!
Kraak! Kraak!
Terdengar suara tulang bederak. Kuda besar itu 
meringkik keras ketika dua kaki depannya patah ter-
kena hantaman pukulan si kakek. Kuda tersungkur ke 
depan. Jika Sugriwa tidak melompat ke udara ber-
jungkir balik tiga kali niscaya tubuhnya ikut terbant-
ing.
"Jahanam keparat! Kau patahkan kaki kudaku, 
tua bangka buta!" teriak laki-laki itu kalap.
"Sekarang kaki kuda, sekejap lagi kaki dan le-
hermu yang kau patahkah!" sahut Si Mata Aneh.

Kalaplah Sugriwa mendengar ucapan sinis la-
wannya. Sementara Subali yang tidak pernah me-
nyangka kehebatan yang dimiliki lawan diam-diam 
terkejut. "Kakek buta jahanam itu. Ternyata dia tidak 
dapat dipandang enteng. Jika Sugriwa tidak segera 
menggunakan goloknya. Bisa jadi Si Mata Aneh dapat 
mencelakainya!" batin Subali. Namun dia masih belum 
turun tangan membantu Sugriwa.
Seakan mendengar apa yang dikatakan Subali, 
Sugriwa tiba-tiba mencabut golok besarnya yang ter-
gantung di pinggang. Golok yang berbadan lebar pada 
bagian ujungnya dan mempunyai empat lubang yang 
berderet rapi dari bagian ujung hingga ke pangkal itu 
berwarna merah darah. Sambil mengacungkan golok di 
atas kepala Sugriwa berteriak. "Mata Aneh.... kau lihat 
apa yang di tanganku ini?" Seru laki-laki itu lantang.
Si Mata Aneh yang saat itu berdiri bertolak 
pinggang, dengan rongga matanya yang bolong me-
mandang lurus ke depan. Tak lama dia tersenyum si-
nis.
"Mataku buta, mata batin melihat saat ini kau 
memegang senjata. Aku tak dapat memastikan senjata 
apa, tapi aku dapat merasakan perbawa ketajaman-
nya!" sahut si kakek.
"Bagus." ujar Sugriwa yang sempat terkejut ka-
rena lawan mengenali benda yang digenggamnya wa-
laupun dia tak memiliki mata sama sekali.
"Dengan golok ini aku aka memenggal kepala-
mu!"
"Jangankan memenggal kepala, menggores tu-
buhku sekalipun barangkali tak akan mampu melaku-
kannya! Ha ha ha."
***
8

Wajah Sugriwa semakin mengelam mendengar 
ucapan Si Mata Aneh. Perlahan golok bergerak turun. 
Mata golok menghadap ke depan, sedangkan pung-
gungnya menempel di bagian hidung. Sugriwa berko-
mat-kamit, tubuhnya bergetar hebat. Lalu golok yang 
menempel pada hidung dan dahinya itu beberapa ke-
jab kemudian nampak mengepulkan asap kemerahan. 
Wuut!
Disertai kepulan asap menebar bau amis darah 
golok berkelebat ke depan menyambar pinggang Si Ma-
ta Aneh. Sambaran golok yang disertai menebar hawa 
dingin luar biasa itu membuat si kakek maklum senja-
ta di tangan lawan bahkan senjata sembarangan, pal-
ing tidak mengandung racun jahat. Karena itu dia tak 
mau bersikap ayal. Begitu golok membabat pinggang 
dia berkelit ke belakang. Sambaran golok luput dari 
sasaran, tapi dengan cepat Sugriwa sudah membalik-
kan badan. Dengan beringas dia mengayunkan senja-
tanya ke arah dada. Selagi senjata itu menderu Mata 
Aneh miringkan tubuhnya ke kiri. Tangan kanan beru-
saha memukul pergelangan tangan lawan yang meme-
gang golok. Sedangkan kepalanya di gelengkan ke de-
pan.
Sugriwa yang tak menyangka lawan dapat me-
lakukan serangan balik seperti itu begitu sabetan go-
loknya luput dia cepat tarik senjata ke belakang. Tapi 
pada saat itu hantaman rambut di kakek yang tiba-
tiba berubah kaku laksana kawat baja mendera wajahnya.
"Kurang ajar!" seru Sugriwa. Cepat sekali dia 
tarik wajahnya hindari sambaran rambut. Namun tak 
urung bahunya masih kena di hantam belasan ujung 
rambut lawannya.
Ceep! Cep! Cep!
"Akh....!"
Terhuyung-huyung dengan muka pucat Sugri-
wa masih dapat selamatkan diri. Akan tetapi bahunya 
mengucurkan darah. Rasa nyeri mendera membuat la-
ki-laki itu mengernyit kesakitan.
"Hantam kepalanya Sugriwa!" teriak Subali.
Tidak diingatkan sekalipun Sugriwa saat itu 
memang bermaksud menghantam kepala lawannya. 
Tapi laki-laki itu tidak langsung menyerang bagian 
yang diincarnya. Begitu dia melihat kesempatan senja-
ta di tangannya berkelebat menderu menghantam ke-
dua kaki Si Mata Aneh. Mendapat serangan seperti itu 
si kakek yang mengandalkan pendengaran itu melom-
pat di udara.
Bret! Breet!
Cess! Cess!
Kedua orang itu sama keluarkan pekikan keras. 
Ketika Si Mata Aneh jejakkan kakinya kembali nampak 
jelas bagian pahanya kanan kiri mengucurkan darah. 
Celana di bagian paha robek besar, sedangkan Sugriwa 
sendiri sekarang dekap wajahnya yang mengucurkan 
darah. Golok besar di tangan terlepas mental jauh dari 
jangkauan. Kiranya ketika melompat ke atas tadi la-
wan kibaskan rambut panjangnya yang dapat melentur 
atau berubah keras laksana kawat baja. Tak pelak lagi 
ketika Sugriwa dengan penuh semangat dapat melukai 
paha lawan, di sisi lain rambut si kakek bagaikan ja-
rum menancapi wajah Sugriwa.

Melihat kejadian yang berlangsung sangat cepat 
ini, Subali menggerung marah. Dia mencabut goloknya 
dengan gerakan laksana kilat laki-laki itu melesat dari 
atas punggung kuda. Sambil berkelebat golok terayun 
ke bagian dada, leher dan perut Si Mata Aneh. Sinar 
Merah menderu dan agaknya si kakek tak mungkin la-
gi dapat menghindar selamatkan diri.
Perhitungan Subali ternyata meleset, karena 
lawan dengan mengandalkan ilmu mengentengi tubuh 
kini berkelebat melesat di udara. Selagi tubuhnya 
mengambang di udara tangan kiri bergerak mengusap 
telunjuk jari tangan kanan. Begitu diusap, dari bagian 
punggung jemari tangan Mata Aneh terkuak. Sesuatu 
yang mirip dengan mata tapi berwarna putih polos 
berkedip. Jemari telunjuk itu kemudian diarahkannya 
pada Subali dan Sugriwa.
Wuus! Wuus! Wuuus!
Sebagaimana julukannya, si kakek bergelar Si 
Mata Aneh. Karena dia memiliki senjata andalan beru-
pa sebuah mata yang secara aneh melekat di bagian 
jari telunjuk. Kenyataan ini nampaknya baru disadari 
oleh Subali ketika dia melihat dari punggung jari telun-
juk lawan menderu berturut-turut tiga larik sinar me-
rah kehitaman yang langsung menghantam tiba bagian 
tubuhnya.
Rasa kaget di hati laki-laki itu berlangsung se-
kejap saja, di lain saat dia memutar golok di tangannya 
hingga membentuk perisai diri yang amat kokoh.
Trang!
Subali memekik kaget ketika golok besarnya 
yang dipergunakan untuk menangkis nampak leleh 
seperti dilebur di atas bara. Subali terpaksa campak-
kan golok yang kini hanya tinggal setengahnya. Dia ja-
tuhkan diri berguling-guling mencari selamat.

"Bagus kalau kau bisa mengelak. Sekarang ku-
bunuh dulu adikmu!" gumam Si Mata Aneh yang saat 
itu telah jejakkan kedua kakinya sejarak empat tom-
bak dari Sugriwa. Begitu kaki si kakek menyentuh lan-
tai, dia kibaskan tangannya ke arah laki-laki itu. Su-
griwa yang saat itu menjerit-jerit karena kedua ma-
tanya yang berlumuran darah tak dapat dipergunakan 
untuk melihat lagi nekad menyerang si kakek dengan 
sambaran kuku-kuku tangannya yang panjang hitam 
mengandung racun.
Meskipun Si Mata Aneh tak dapat melihat, se-
rangan berbahaya Sugriwa ini dengan cepat dapat di-
elakkan. Sambil mengelak ibu jari digerakkan dari ka-
nan ke kiri.
Wuut! Wuut!
Buuum!
Sugriwa terbanting keras ketika sinar maut 
yang memancar dari punggung jari telunjuk si kakek 
menghantam dada dan perutnya. Laki-laki itu menjerit 
setinggi langit, dadanya berlubang, isi perut berbu-
raian keluar. Sugriwa berkelojotan sesaat, kemudian 
terdiam tak berkutik lagi. Melihat kematian adiknya 
Subali menggerung. Dengan mata mendelik besar dia 
berteriak. "Kau bunuh saudaraku satu-satunya. Sung-
guh aku tak akan mengampuni jiwamu!"
"Ha ha hai. Untuk membunuhku bukan persoa-
lan yang mudah. Majulah, aku telah siap untuk mene-
rima hukuman darimu!" kata Si Mata Aneh lantang.
Benar si kakek berkata begitu, malah dia meli-
pat kedua tangan di depan dada bersikap seperti orang 
yang pasrah siap menerima kematian. Tapi ketika 
Subali menyerang Si Mata Aneh dengan jurus-jurus 
Macan Seribu, lawan ternyata tidak tinggal diam. Den-
gan gesit dia menghindari sambaran kuku-kuku Subali. Tendangan beruntung yang dilakukan laki-laki itu 
juga dapat dielakkannya.
Melihat ketangguhan lawan, Subali jadi tambah 
penasaran. Dia lipat gandakan tenaga dalamnya, sete-
lah kembali menyerang dengan kecepatan luar biasa. 
Dua sosok tubuh itu kini tak ubahnya seperti bayan-
gan saja. Saling serang dan saling gempur tidak berke-
putusan. Sampai akhirnya terdengar suara bergedebu-
kan disertai suara robeknya kain di susul dengan ter-
pentalnya dua sosok tubuh, satu ke kanan dan sa-
tunya lagi ke sebelah kiri.
Si Mata Aneh dekap dadanya yang robek terke-
na sambaran kuku Subali. Baju kuningnya robek be-
sar, darah meleleh dan si kakek menyeringai menahan 
sakit.
Tak jauh didepannya Subali nampak megap-
megap akibat terkena pukulan Mata Aneh di bagian 
dadanya. Susah payah Subali mencoba bangkit berdiri. 
Tapi belum lagi dia semua berdiri tegak, lawan telah 
menyerangnya dengan mempergunakan kekuatan ma-
ta tunggal di bagian jari telunjuk.
Serangan pertama si kakek dapat dihindarinya, 
tapi ketika dari mata tunggal di atas jari telunjuk 
membersit tiga larik sinar merah berturut-turut Subali 
tak mampu menghindar seluruh serangan itu. Salah 
satu sinar menghantam bagian kening. Subali jatuh 
terpental, keningnya berlubang besar mengepulkan 
asap tipis. Ketika sosok laki-laki ini jatuh menyentuh 
tanah dia tewas seketika dengan mata mendelik. Mata 
aneh tertawa dingin. Tanpa menghiraukan mayat la-
wannya dia balikkan badan dan berkelebat pergi ting-
galkan tempat itu.
***

Kakek bersongkok putih Manusia Seribu Tahun 
membawa Gento Guyon melewati pintu gerbang putih 
yang diselimuti kabut putih tebal setelah sampai pada 
akhir batas perjalanan mereka.
Setelah melewati pintu gerbang dia merasakan 
sekujur tubuhnya menjadi enteng dan sejuk. Lalu per-
lahan pemuda itu merasakan kakinya menyentuh be-
ludru yang amat sejuk.
Gento membuka mata ketika tidak lagi merasa-
kan sentuhan tangan orang di bagian punggungnya. 
Dia memperhatikan suasana di sekelilingnya. Si pe-
muda jadi tercekat ketika mendapati dirinya berada di 
suatu tempat yang asing di mana tanah, bukit serta 
bebatuan yang terdapat di tempat berwarna biru ba-
gaikan hamparan laut luas.
"Kakek Seribu Tahun, dimana saat ini aku be-
rada? Aku belum pernah melihat pemandangan seperti 
ini sebelumnya." kata Gento heran juga bingung. Tapi, 
tak ada jawaban. Ketika pemuda itu palingkan kepala 
ke belakang dia jadi tambah kaget karena Manusia Se-
ribu Tahun yang telah membawa ke tempat itu sama 
sekali lenyap entah kemana.
"Kakek... dimanakah kau?" tanya Gento lagi, 
beberapa saat lamanya dia menunggu. Gema suaranya 
lenyap, namun dia tetap tidak melihat atau mendengar 
suara si kakek. Gento berpaling ke belakang. Sepi! 
Yang terlihat tidak lebih hanya hamparan kabut me-
mutih bagaikan permadani yang menghalangi pandan-
gan mata.
"Celaka, jangan-jangan dia memang sengaja 
hendak mencampakkan aku di tempat ini? Tempat apa 
ini namanya? Tidak ada manusia, tidak ada siapapun 
meski cuma seekor kecoak." gerutu si pemuda. Gento

kemudian berjalan mondar-mandir di atas hamparan 
tanah berwarna biru itu dengan hati diliputi kebim-
bangan.
"Mungkin inilah tempatnya yang sering disebut 
orang sebagai tanah tak bertuan. Tanpa kakek itu jelas 
aku tak mungkin bisa menemukan jalan pulang. Aneh, 
dia seperti orang yang tidak bertanggung jawab. Aku 
jadi khawatir bukan mustahil dia telah menipuku!" fi-
kir Gento.
Selagi fikirannya dibuncah berbagai perasaan 
curiga, maka pada saat itu pula mendadak sontak ter-
dengar suara raungan aneh sayup-sayup di kejauhan. 
Murid kakek gendut Gentong Ketawa tersentak kaget. 
Dia cepat balikkan badan dan memandang ke arah 
mana suara tadi berasal. Belum lagi lenyap rasa kaget 
yang menyelimuti perasaannya pada saat itu pula di 
depannya muncul satu sosok angker mengerikan. Sa-
ma seperti dirinya sosok itu bertelanjang dada. Sekujur 
tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu hitam lebat, berkuku 
panjang, rambut panjang hitam riap-riapan. Sedang-
kan wajahnya juga ditumbuhi bulu, alis mata hitam 
kereng, mata merah laksana bara. Selain itu di sudut 
bibir sosok angker ini mencuat dua pasang taring yang 
runcing dan tajam berlumuran darah.
Yang membuat Gento jadi bertambah heran 
raut wajah sosok bercelana biru itu sama persis seperti 
dirinya. Hanya tubuhnya dua kali lebih tinggi dari di-
rinya.
"Mahluk salah kaprah, siapa dirimu adanya? 
Wajahmu mirip sekali dengan diriku, sedangkan ba-
gian yang lainnya seperti setan. Atau kau memang se-
tan kesasar yang sengaja menyaru seperti diriku?" 
tanya Gento heran.
"Ya, karena aku adalah amarah, aku kebencian,

aku angkara murka dan aku malapetaka. Aku adalah 
bagian dari dirimu yang paling buruk. Gento.... sosok
ku ada dalam diri setiap orang. Siapa saja yang mengi-
kuti sifat-sifat yang kusebutkan dia berada dalam ke-
sesatan, hidup dalam kehinaan dan sengsara sela-
manya. Ha ha ha!" kata sosok angker mirip Gento.
"Tapi... aku tak pernah merasakan kehadiran 
dirimu. Bagaimana kau bisa mengaku kau adalah ba-
gian dari diriku. Sejak kapan kau mengikuti aku?" 
tanya Gento heran.
Sosok Gento berwajah angker mengerikan di 
depan sana menyeringai. "Aku tidak mengikutimu, tapi 
menyertaimu, menyatu dalam jiwa dan telah ada sejak 
kau dilahirkan di dunia ini. Aku adalah amarah.... 
ujud ku baru terlihat dalam bentuk perbuatan. Celaka-
lah orang yang selalu mengikuti kehendakku. Betapa 
mulia orang yang mampu merantai tangan dan kaki-
ku." kata sosok itu pelan.
"Sekarang aku mengerti, jadi kau ini adalah 
emosi jiwa?"
"Kau benar."
"Lalu mengapa kau memperlihatkan diri?" 
tanya si pemuda. "Apakah kau ingin aku merantai
mu?"
"Kau hanya bisa melakukan itu bila telah me-
mahami sifat ku. Bila kau membuatku tidur selamanya 
berarti kau telah membelenggu seluruh tubuhku!"
"Berarti aku harus bersikap sabar, menahan di-
ri dari amarah."
"Benar. Karena kau adalah seorang calon pen-
dekar sakti, maka kau harus mengutamakan sikap sa-
bar."
"Hal seperti itu sangat sulit dilakukan manusia 
pada umumnya, terkecuali para dewa."

"Kau bukan manusia umum, bukan orang ke-
banyakan. Sikap sabar harus lebih banyak kau tum-
buhkan dalam dirimu. Jika kau tidak ingin aku men-
gendalikan hidupmu. Andai aku yang menjadi kendali 
dalam kehidupanmu, maka yang kau dapatkan hanya 
malapetaka dan segala keburukan yang seharusnya ti-
dak perlu terjadi!"
"Baiklah, sekarang lebih baik kau pergi saja. 
Aku muak melihat tampangmu!" kata Gento sambil 
tertawa.
"Hmm, aku memang akan pergi. Sebelum pergi 
dan kembali dalam dirimu kau harus mengingat satu 
hal, aku hanya bisa kau kalahkan dengan akalmu!" 
ujar si sosok angker.
Gento anggukkan kepala. Begitu si pemuda 
mengangguk, pemuda ini merasakan adanya hembu-
san angin yang menampar sekujur tubuhnya. Samba-
ran angin yang terasa panas itu membuat si gondrong 
memandang ke depan. Gento dibuat melongo, karena 
sosok angker yang mengaku sebagai bagian dari di-
rinya itu ternyata telah lenyap. Sebagai gantinya kini 
muncul sosok Gento yang lain. Sosok serba putih ber-
kepala besar bukan main, kemudian di sebelah kirinya 
muncul sosok lain berwarna merah seperti darah. Tak 
sampai di situ saja di sebelah kanan sosok serba putih 
yang berasal dari kabut itu muncul pula sosok Gento 
yang sangat besar luar biasa.
Kehadiran ketiga sosok yang semuanya mirip 
dengan dirinya ini membuat menjadi lemas, lututnya 
goyah dan diapun jatuh terduduk.
"Kalian siapa lagi? Apakah masih merupakan 
bagian dari diriku? Mengapa banyak amat?" tanya pe-
muda itu dengan suara bergetar.
"Benar, kami memang merupakan bagian dari

dirimu." ketiga sosok yang berdiri tegak di depan Gento 
dan nampak meliuk-liuk ketika ditiup angin menjawab 
serentak. Aneh bahkan sungguh sulit dipercaya, hing-
ga membuat Gento gelengkan kepala berulang kali.
"Apa yang kulihat saat ini rasanya tidak masuk 
akal!" katanya.
"Gento, akulah akalmu. Atas izin Gusti Allah 
dan dengan keinginan orang yang telah membawamu 
ke alam Tanpa Benci itu, kami yang merupakan bagian 
dari dirimu hadir di depanmu." Yang menjawab adalah 
sosok serba putih yang berdiri tegak diantara dua 
lainnya.
"Kau siapa?" tanya Gento sambil matanya men-
cari-cari kalau Manusia Seribu Tahun hadir pula dis-
itu. Tapi kakek itu bersongkok hitam yang usianya 
mendekati seribu tahun itu tak terlihat.
"Aku adalah akalmu, Gento. Jika kau mampu 
membuat aku terjaga selamanya, maka aku bisa me-
nunggang nafsumu, aku bisa mengendalikan sosok 
yang bernama amarah, aku bisa mengatur nafsu serta 
berbagai keinginan rendah yang ada dalam dirimu. Ji-
ka kau menjadi kendali dalam dirimu, hidup berada 
dalam keselamatan, sebaliknya jika aku yang dikenda-
likan nafsu serta amarahmu. Kau akan hidup dalam 
kesesatan dan celaka." kata sosok serba putih tenang.
"Lalu yang di sebelah kirimu siapa?" tanya mu-
rid Gentong Ketawa sambil melirik ke arah sosok serba 
merah seperti darah.
"Aku adalah bagian dirimu yang terlihat." me-
nyahuti sosok serba merah. "Aku adalah ujud kasar-
mu, terdiri dari kulit daging tulang dan darah. Aku 
adalah selimut sekaligus tempat bernaung dari tiga 
bagian lainnya. Tiga bagian yang berteduh dalam 
naungan ku adalah, akal atau fikiran. Perasaan yang

terbagi menjadi beberapa bagian. Diantaranya adalah 
yang menemuimu pertama tadi, lalu perasaan kesaba-
ran dan kasih sayang. Bagian ketiga yang berada da-
lam perlindungan ku adalah tenaga....!" menerangkan
sosok serba putih.
"Akulah tenaga!" menyambungi sosok Gento 
yang berbadan besar luar bisa. "Aku adalah kekuatan. 
Dengan kehadiranku kau dapat berbuat apa saja. Tapi 
diriku akan sangat menderita bila kau pergunakan pa-
da jalan yang dimurka Gusti Allah."
"Seumur hidup baru kali ini aku melihat ba-
gian-bagian dari diriku sendiri." ujar Gento takjub.
"Kau merasa beruntung karena semua ini atas 
bantuan Manusia Seribu Tahun. Jika bukan atas ke-
mauannya dan juga atas izin Gusti Allah, jangan harap 
kau dapat melakukannya." kata sosok akal.
"Lalu apa tujuan kalian memperlihatkan diri?" 
tanya si pemuda penuh rasa ingin tahu.
"Kami tidak punya kuasa untuk menerangkan-
nya. tanyakan saja semua itu pada Manusia Seribu 
Tahun! Sekarang sudah tiba waktunya bagi kami un-
tuk menyatu kembali dengan dirimu!" kata sosok serba 
putih.
Tak berselang lama sosok berkepala besar 
ujudnya memudar, semakin lama semakin melenyap, 
ia berubah menjadi cahaya putih. Secara aneh cahaya 
itu akhirnya melesat, bergerak di bagian ubun-ubun 
Gento lalu lenyap dari pandangan mata.
Gento merasakan fikiran dan pandangan ma-
tanya menjadi terang kembali. Kemudian hal yang sa-
ma juga terjadi pada sosok serba merah yang mengaku 
sebagai ujud kasar Gento. Kemudian disusul pula oleh 
sosok tenaga. Sosok besar yang telah berubah menjadi 
cahaya kemilau itu kemudian bergerak menyelimuti

Gento dan meresap ke sekujur tubuhnya.
"Akkh....!"
Gento mengeluh tertahan ketika merasakan 
hawa panas terasa seolah menembusi sekujur tubuh-
nya. Dia rebah terkapar, sepasang matanya menatap 
ke arah langit biru. Apa yang dilihat dan yang terjadi 
tadi rasanya memang sulit di terima olehnya.
Sejuta tanya kini menemui otaknya. Ingin seka-
li dia bertemu dengan manusia Seribu Tahun secepat-
nya. Tapi dia tak tahu dimana orang tua itu saat ini 
berada. Kakek itu setelah melewati gerbang putih me-
ninggalkan dirinya begitu saja. Padahal begitu banyak 
masalah yang ingin ditanyakannya.

9


Saat murid gendut Gentong Ketawa masih da-
lam menelentang seperti itu tiba-tiba dia mendengar 
suara langkah kaki yang begitu ringan di belakangnya. 
Gento cepat bangkit, duduk sambil palingkan kepala 
ke belakang. Pemuda ini tertegun ketika melihat seo-
rang gadis berpakaian serba putih berdiri tegak hanya 
dua langkah di belakangnya.
"Kau... kau siapa?" tanya si pemuda terbata-
bata.
"Aku utusan Manusia Seribu Tahun. Dia mem-
beri perintah padaku untuk membawamu ke ruangan 
penggodokan!" sahut gadis cantik itu tegas.
"Ruang penggodokan! Apakah ini berarti dia 
hendak memasak ku hidup-hidup? Hei... kau jangan 
bercanda. Sekarang ini aku sedang bingung, jangan 
kau buat aku jadi marah!"

"Bukankah amarah telah bertemu dengan diri-
mu? Bukankah dia telah memperlihatkan rupanya 
yang asli. Mengapa kau lebih suka membebaskan ran-
tai yang membelenggunya?"
"Ah, ternyata kau sudah tahu. Bagus, sekarang 
aku ingin bertemu dengan kakek itu!" kata si pemuda.
"Kalau kau ingin bertemu, sebaiknya ikuti aku!" 
kata si gadis.
Gento bangkit berdiri. Ketika dia hendak men-
gikuti si gadis mendadak pemuda itu jadi ragu. 
"Apa lagi yang kau tunggu?" tanya gadis berpa-
kaian putih begitu melihat Gento tidak juga beranjak 
dari tempatnya.
"Aku khawatir kau menipuku, sebagaimana 
kakek itu menipu diriku!"
Terlihat ada kilatan aneh dimata si gadis begitu 
mendengar ucapan Gento. "Kakek itu tak pernah me-
nipumu, kau sekarang berada di Alam Batas Biru. Di 
tempat ini tidak ada manusia lain yang dirugikan!"
"Baik. Jika kau sudah berkata begitu. Sekarang 
kita temui kakek itu." kata Gento akhirnya.
Gadis berpakaian serba putih itu memutar tu-
buhnya, lalu berkelebat pergi dengan diikuti oleh Gen-
to di belakangnya. Tak lama mereka berlari sampailah 
mereka di satu tempat yang diselimuti tabir merah. 
Tabir merah yang membentang di depan mereka ben-
tuknya seperti bangunan megah menjulang tinggi ke 
langit. Si gadis mendekati pintu yang bentuknya seper-
ti tabir. Lalu tangannya menyentuh tabir itu dengan 
gerakkan menyibak sebanyak tiga kali. Tabir di depan 
si gadis mendadak terbuka, dari dalam ruangan yang 
diselimuti tabir itu memancar cahaya merah terang. 
Dari tempatnya berdiri meskipun ada cahaya yang 
memancar dari balik tabir Gento sama sekali tak dapat

melihat apapun yang terdapat di dalamnya. Namun 
pada saat itu pula Gento mendengar suara yang sangat 
di kenalnya, suara Manusia Seribu Tahun.
"Masuklah anak manusia yang terlahir dengan 
nama Gento Guyon!" kata si kakek. Orang tua itu ke-
mudian bicara ditujukan pada sang dara. "Terima ka-
sih atas bantuanmu, Ratih Kumala. Kembalilah ke 
tempat peristirahatan mu!" Si gadis rangkapkan kedua 
tangannya di depan dada. Kemudian tubuhnya di-
bungkukkan sebagaimana orang yang memberi peng-
hormatan pada orang yang sangat dihormatinya.
"Terima kasih, kek." kata Ratih Kumala. Ber-
samaan dengan itu pula saat kening si gadis menyen-
tuh tanah, maka terdengar suara letusan keras yang 
disertai dengan menebarnya asap tebal berwarna putih 
menghalangi pemandangan. Ketika asap lenyap, maka 
sosok Ratih Kumala pun lenyap dari pandangan mata.
"Gadis itu, mungkin saja gadis jejadian. Boleh 
jadi dia tercipta dari angin!" Sekali lagi Gento geleng-
kan kepala.
Setelah itu si pemuda langkahkan kakinya me-
nuju tabir merah. Dia lalu memasuki pintu tabir yang 
terbuka. Sampai di dalam ruangan yang diselimuti ta-
bir dan diterangi cahaya merah menyala dia melihat 
Manusia Seribu Tahun duduk di atas batu biru ber-
bentuk bundar. Gento bergerak lebih mendekat lalu 
duduk tak jauh di depan orang tua bersongkok putih 
tersebut. Perlahan sepasang mata si kakek yang terpe-
jam nampak membuka. Sekejap dan pandangi pemuda 
itu dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Setelah 
itu mulutnya yang tertutup kumis serba putih mem-
buka berucap. "Aku melihat begitu banyak beban per-
tanyaan yang memenuhi kepalamu. Sebelum aku bica-
ra pada inti persoalan, sekarang ini jika di hatimu ada

ganjalan, katakan saja!"
Gento terdiam sejenak, berfikir. Tak lama ke-
mudian dia bertanya. "Kek.... setelah melewati gerbang 
putih, mengapa kau meninggalkan aku?" 
Dengan tenang si kakek menjawab. "Sengaja ku 
tinggalkan dirimu karena aku ingin memberimu ke-
sempatan untuk bertemu dengan dirimu."
"Dengan diriku sendiri? Apa maksudmu?" tanya 
si pemuda tak mengerti.
Si kakek tersenyum, namun hanya sekedar se-
nyum sekilas dan tidak berlebihan. Setelah senyu-
mannya lenyap dia berkata. "Bukankah atas kuasa 
Gusti Allah kau telah bertemu dengan amarahmu, naf-
su yang membuat manusia jadi gelap mata kehilangan 
kendali diri. Kemudian kau berjumpa dengan akal so-
sok yang tidak dapat dilihat namun dapat dirasa keha-
dirannya. Akal itu adalah puncak dari segalanya. Akal 
pula yang menentukan baik buruk, jahat tidaknya se-
seorang."
"Lalu sosok merah yang menyerupai diriku itu 
siapakah?" tanya Gento.
"Dia sudah mengatakan bahwa dirinya meru-
pakan bagian dari tubuhmu, atau jasad kasarmu. 
Tanpa jasad manusia tidak akan terlihat. Jasad tidak 
ubahnya seperti rumah. Di rumah itu diam beberapa 
anggota keluarga yang satu sama lain mempunyai ika-
tan dan rasa saling ketergantungan. Jika rumah bo-
brok dan hancur, maka para penghuninya menjadi 
sangat menderita bahkan mati. Di samping semua itu 
Gento, dengan adanya jasad kasar manusia jadi mem-
punyai tenaga. Tenaga adalah satu kekuatan, dia siap 
melakukan apa saja. Sedangkan baik buruknya diri 
apa yang dihasilkan tenaga itu segalanya tergantung 
akal dan niat." jelas si kakek.

"Jadi apa artinya dari semua yang kau perli-
hatkan kepadaku itu kek?" tanya Gento.
"Aku tidak akan menerangkan segalanya secara 
lebih mendalam. Karena jika kau tak kuat meneri-
manya kau menjadi gila."
"Padahal sekarang ini sudah agak miring, bu-
kankah begitu kek?" ujar Gento disertai senyum.
"Terserah kau menilai dirimu apa. Yang jelas 
dirimu terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Itu 
ujud kasarmu. Sedangkan ujud yang tak terlihat ada-
lah, akal fikiran, nafsu, roh dan tenaga. Segala apa 
yang kusebutkan ini membuat dirimu bernama Gento. 
Itulah unsur kesatuan yang tidak dapat dipisah-
pisahkan. Yang ingin kubicarakan saat ini bukan men-
genai dirimu, melainkan tenaga yang ada dalam dirimu 
yang dapat dipergunakan untuk menolong sesama 
manusia, membela golongan yang tertindas dan men-
jadi penegak kebenaran. Kelak kau dapat menjadi sa-
lah satu Pendekar Penegak kebenaran. Untuk menjadi 
seorang pendekar yang tangguh, pendekar sakti kau 
harus kuat lahir dan batin."
"Kek, jika masalah kekuatan batin kau tak per-
lu risau. Kujamin batin ku kuat, karena hampir setiap 
pagi aku minum ramuan jamu yang dicampur dengan 
telor setengah matang!" celetuk si pemuda.
"Bocah pokrol kampret. Yang ku maksud bukan 
itu. Kuat batin bukan berarti kau sanggup memberi 
kebahagiaan kepada istri. Yang ku maksud dengan ba-
tin yang kuat kau harus mempunyai pendirian teguh, 
mampu mengendalikan nafsu rendah dan sanggup 
menghadapi segala cobaan yang terjadi dalam hidup-
mu! Kau harus mampu mengekang amarahmu, kau 
juga mesti sanggup menggunakan akal sehat dalam si-
tuasi apapun."

"Kalau begitu berat juga kek. Terus terang aku 
masih muda, orang muda pantang melihat kulit mulus 
dan jidat licin. Artinya jika melihat gadis yang cantik 
aku masih suka tertarik." kata si pemuda polos.
"Jidat ku juga licin Gento. Apakah kau tertarik 
juga?"
Gento cepat gelengkan kepala.
"Walah, aku belum gila, otak belum lagi rusak, 
bagaimana mungkin aku bisa menyukai kaum sejenis. 
Ha ha ha!"
"Anak manusia, batasi bicaramu." hardik Ma-
nusia Seribu Tahun. Mendapat teguran seperti itu 
Gento langsung katupkan mulutnya. "Dengar Gento. 
Sebagai manusia normal wajar saja tertarik pada la-
wan jenisnya. Tapi harap kau tahu batas dan aturan. 
Aku ingin menjadikan mu sebagai seorang Pendekar 
Sakti. Aku mau kau bisa mewakili keinginan baikku 
untuk menegakkan keadilan di dunia persilatan. Kare-
na itu aku akan menurunkan beberapa ilmu sakti 
yang kumiliki kepadamu. Di samping itu aku akan 
mengajarimu cara menghimpun atau membangkitkan 
tenaga sakti yang bersumber dari tujuh bagian di tu-
buhmu. Pusat pembangkit tenaga itu aku menama-
kannya Cakra."
Mendengar ucapan si kakek Gento jadi tercen-
gang. "Kek.... selama ini yang ku tahu orang hanya bi-
sa menghimpun atau mengerahkan tenaga dalam dari 
bagian pusarnya saja. Bagaimana kau bisa mengata-
kan tenaga dalam bisa dihimpun dan dikerahkan dari 
tujuh titik di bagian tubuh seseorang?" tanya si pemu-
da heran.
"Cara seperti yang kau sebutkan itu sudah ku-
no, aku tahu cara seperti itu yang paling banyak dipa-
kai oleh orang-orang di rimba persilatan."

"Memang benar, kek."
"Membangkitkan tenaga atau Cakra hanya dari 
satu sumber sangat berbahaya bagi orang itu. Karena 
jika seseorang memusnahkan sumber pembangkit te-
naga dalam satu-satunya itu, dia berarti telah kehilan-
gan kekuatan dan kesempatan. Dengan begitu dia 
dengan mudah dapat ditaklukkan oleh lawannya. Tapi 
jika selain itu orang memiliki enam pembangkit cakra 
lainnya. Maka orang itu tidak mudah ditundukkan, dia 
dapat menggunakan sumber tenaga dari bagian mana 
saja yang dia inginkan!" jelas Manusia Seribu Tahun.
Mendengar penjelasan si kakek Gento manggut-
manggut penuh rasa takjub. "Kek kalau begitu aku 
mau kau mengajari aku membangkitkan tenaga sakit 
di enam bagian tubuhku yang lain." ujar si pemuda 
penuh semangat.
"Boleh saja. Semua itu segera kau dapatkan. 
Cuma....!" Manusia Seribu Tahun tidak lanjutkan uca-
pannya.
"Cuma apa kek?"
Si kakek gelengkan kepala.
"Apakah aku tidak pantas mempelajarinya?"
"Bukan itu." sahut si orang tua.
"Apakah kau menilai orang geblek macamku ini 
tidak sanggup mengamalkannya?"
"Lalu apa?" tanya Gento lagi.
"Untuk memudahkan mu menyerap ilmu dan 
membuka enam titik sumber pembangkit cakra yang 
baru kau harus menjalani puasa tidak makan, tidak 
minum di tambah tidak tidur selama dua puluh satu 
hari. Kau sanggup?" ujar si kakek.
Mendengar jawaban Manusia Seribu Tahun 
Gento terdiam. Namun setelah berfikir sejenak akhir-
nya dia anggukkan kepalanya. "Aku sanggup... aku

akan mencobanya!" ujar si pemuda.
"Bagus. Kalau begitu tetaplah kau duduk dis-
itu, jangan bergerak, jangan pula bersuara. Sampai 
aku membangunkan mu dua puluh satu hari yang 
akan datang!" habis berkata sosok si kakek mendadak 
raib. Gento sendiri tak melihat kemana lenyapnya ka-
kek itu.
Dia menarik nafas pendek, lalu perlahan mulai 
pejamkan matanya.

10


Dalam dua puluh dua di Tabir Batas Biru, bu-
lan empat belas memancarkan cahayanya yang kuning 
kemilau. Sinar bulan yang kuning keemasan meman-
tul dipermukaan tanah biru, menyajikan pemandan-
gan sejuk indah dipandang mata.
Sementara di dalam tabir merah yang berben-
tuk sebuah bangunan tempat tinggal Gento telah dua 
puluh satu hari melakukan tapa tanpa makan minum 
juga tidur. Gento benar-benar sangat tersiksa sekali. 
Apalagi di tempat itu bila siang hari panas terik bukan 
main, sedangkan malam hari dinginnya bukan main. 
Tapi berkat semangat ketabahan serta keyakinan diri, 
Gento akhirnya mampu juga menyelesaikan tapa seba-
gaimana yang diminta oleh si kakek.
Malam itu tepat tengah malam Gento membuka 
matanya ketika dia mendengar suara langkah-langkah 
kaki mendekat ke tengah ruangan. Sepasang matanya 
terbelalak lebar ketika melihat berbagai jenis buah-
buahan terhidang di depannya. Dapat dibayangkan 
bagaimana perasaan Gento yang selama dua puluh satu hari tidak makan walau barang sebutir nasi pun. 
Melihat buah-buahan yang terhidang di depannya 
Gento julurkan tangan hendak mengambil buah-
buahan itu. Selagi tangannya hampir menyentuh ane-
ka buah-buahan yang terhidang, pada saat itu pula dia 
mendengar suara seseorang menegurnya.
"Eitt... jangan kau sentuh. Jangan pula kau 
makan!"
Kaget murid Gentong Ketawa segera palingkan 
wajah dan memandang langsung ke arah datangnya 
suara. Wajah Gento jadi cemberut ketika mengetahui 
orang yang menegurnya tadi bukan lain adalah Manu-
sia Seribu Tahun.
"Orang tua, perutku lapar sekali. Ada makanan 
mengapa tidak boleh dimakan, kalau cuma membuat 
aku ngiler mengapa kau suguhkan di hadapanku?" ka-
ta pemuda itu dengan suara lirih.
"Kau lihat baik-baik, apakah yang terhidang di
hadapanmu memang makanan atau sebaliknya?" ujar 
si kakek. Gento pun melakukan apa yang diperintah-
kan si kakek. Dia jadi tercengang begitu melihat buah-
buah tadi kini sama sekali berubah menjadi belatung 
berwarna hitam kecoklat-coklatan. Gento merasakan 
perutnya bergelung, mual dan ingin muntah.
"Orang tua apa maksud dari semua ini?" tanya 
Gento merasa jijik ada marah juga ada. Si kakek me-
langkah mendekati. Dia mengulurkan kendi berisi air 
berwarna putih pada pemuda itu. Setelah itu dia ki-
baskan tangannya ke arah nampan tanah berisi bela-
tung.
Nampan mental dan langsung lenyap begitu 
menyentuh selubung merah yang menyelimuti tempat 
itu.
"Minumlah sampai habis. Air itu akan membuat

tubuhmu yang lemah menjadi segar kembali." kata si 
kakek. Sesuai anjuran Manusia Seribu Tahun Gento 
meneguk isi kendi sedikit-demi sedikit hingga tuntas. 
Beberapa saat kemudian pemuda merasakan sekujur 
tubuhnya terasa segar dan ringan sekali. Gento pan-
dangi kendi yang telah kosong. "Hemm, enak sekali, air 
apa ini namanya?"
"Aku menamakannya air Pelenyap Sejuta Kele-
suan. Siapa yang meminumnya tubuhnya yang lemah 
akan terasa segar, tenaga yang dia miliki juga akan pu-
lih seperti sediakala."
"Apa yang kau katakan nampaknya memang 
benar. Kini aku merasakan semua yang kau katakan 
itu!" kata Gento.
Manusia Seribu Tahun tersenyum. Dia kemu-
dian berkata. "Gento.... agaknya sekarang saatnya ba-
giku untuk mengatakan bahwa aku akan menurunkan 
sebagian ilmu sakti yang kumiliki. Tapi sebelum itu 
aku akan jelaskan padamu tentang tujuh Inti Cakra 
pembangkit tenaga manusia."
"Kakek Seribu Tahun, sebelumnya aku 
ucapkan terima kasih atas kepercayaan yang kau beri-
kan. Tapi apakah engkau mau menurunkan cara 
membangkitkan tenaga dalam itu padaku?" tanya si 
pemuda. Manusia Seribu Tahun anggukkan kepala.
"Tepat. Karena itu duduklah yang baik!"
Gento memperbaiki sikap duduknya. Kedua 
kaki dalam keadaan bersila sedangkan kedua tangan-
nya ditumpangkan di atas lutut. Setelah memperhati-
kan Gento sekilas si kakek melanjutkan. "Pada dasar-
nya di dalam tubuh manusia yang satu tersimpan tu-
juh sumber pembangkit tenaga sakti. Tujuh sumber 
pembangkit tenaga, atau cakra manusia terletak di tu-
juh titik mulai dari bagian kepala sampai ke bagian

punggung. Masing-masing pusat cakra atau pusat ke-
kuatan mempunyai kemampuan daya serang tersendi-
ri. Aku akan menyebutkan ketujuh pusat cakra itu. 
Agar kau lebih mudah mengingatkannya pusat pem-
bangkit cakra sebagai pusat pembangkit tenaga. Kau 
paham?" Gento anggukan kepala.
"Pusat pembangkit tenaga manusia yang per-
tama berada di bagian atas kepala. Sebenarnya inilah 
pusat seluruh kekuatan. Jika kau mampu menghim-
pun tenaga dan mengerahkannya dari bagian atas ke-
palamu, aku mampu menghancurkan apa saja yang 
ada di depanmu. Tapi yang terpenting segala apapun 
yang kau lakukan akibatnya harus kau tanggung sen-
diri. Sedangkan yang kedua adalah tenaga yang berpu-
sat di bagian kening. Orang yang mampu membang-
kitkan tenaga hendaknya dia sanggup berfikir secara 
jernih dalam menghadapi masalah. Sedangkan pem-
bangkit tenaga yang ketiga terletak dibagian tenggoro-
kan. Jika kau mampu membangkitkan tenaga dari ba-
gian yang kusebutkan ini hendaknya kau sanggup un-
tuk bicara benar. Katakan saja jika memang salah dan 
katakan yang benar jika itu benar. Lalu pusat pem-
bangkit tenaga ke empat berada di bagian jantung. Ji-
ka kau telah mampu mengerahkan tenaga dalam dari 
bagian jantung ini, dengan sendirinya kau memiliki ra-
sa cinta, rasa kasihan. Kekuatan yang bersumber dari 
jantungmu bahkan sanggup menumbuhkan berbagai 
penyakit batin. Bila kau pergunakan untuk mengha-
dapi musuh yang keras kepala lagi tinggi hati, mudah-
mudahan segala sifat yang dia miliki akan luntur. La-
wan bisa berubah menjadi kawan, sedangkan rasa 
benci dapat berubah menjadi rasa cinta. Karena se-
sungguhnya segala kekerasan serta pertikaian yang 
terjadi di dunia ini karena tidak adanya rasa saling

sayang menyayangi dan kasih mengasihi sesamanya. 
Sedangkan yang kelima pusat pembangkit tenaga sati 
itu letaknya berada di bagian pusar. Kau sudah tahu 
cara menghimpun serta mengerahkan tenaga yang 
bersumber dari bagian ini. Bagian pusat juga merupa-
kan tempat bersemayamnya keangkuhan manusia. Ka-
rena itu kau harus pandai mengekangnya. Sebab ke-
sombongan cepat atau lambat dapat menghancurkan 
manusia itu sendiri. Yang ke enam adalah sumber te-
naga yang berpusat di sekitar bagian alat kelamin ma-
nusia. Sumber tenaga yang berpusat di bagian ini san-
gat jarang sekali dipergunakan, terkecuali bila seseo-
rang ingin punya keturunan atau orang itu sudah me-
nikah....!"
"Kek... bagaimana kalau aku kebetulan lupa 
dan sampai menggunakannya?" tanya Gento tiba-tiba.
"Kalau sampai lupa, sebaiknya kau mengarah-
kannya ke pohon berduri atau pohon bambu." sahut si 
kakek. walau Gento tersenyum-senyum, namun wajah 
si kakek tetap nampak begitu serius. "Bagaimana kau 
bisa lupa terkecuali kewarasan otakmu benar-benar 
terganggu. Kau dengar... yang ke tujuh adalah Pusat 
tenaga sakti yang bersumber dari bagian dasar pung-
gungmu. Bagian ini adalah pusat segala pertahanan-
mu yang terakhir. Kau bisa menggunakannya kapan 
saja dimana kau butuhkan." 
Lagi-lagi Gento memotong. "Kalau ku kerahkan
tenaga dalam dari bagian bawah punggung apakah 
orang tidak marah padaku?" 
"Maksudmu?"
"Karena aku pasti tak dapat menahan kentut!" 
ujar Gento.
Wajah si kakek mengernyit, tapi matanya yang 
bening nampak berbinar. "Ya, paling tidak kau harus

bisa melakukannya bila kentut. Karena dengan begitu 
daya serangnya akan makin bertambah hebat. Siapa-
pun yang kau hadapi dapat kau jatuhkan tanpa kau 
lukai, sementara dia akan sadar kembali begitu tenaga 
yang terkandung dalam serangan dasar punggungmu 
lenyap!" menerangkan si kakek.
Gento gelengkan kepala sambil unjukkan tam-
pang cemberut. "Akibatnya tentu akan membuat malu 
diriku kek. Orang pasti akan memberi ku gelar baru 
Pendekar tukang buang angin, tukang kentut. Lebih 
baik aku tak usah mengajarkan yang satu itu padaku 
kek."
"Anak manusia. Tidak bisa, tujuh titik yang ku-
sebutkan itu merupakan satu kesatuan. Tujuh kekua-
tan yang terdapat dalam satu tubuh, satu jasad, satu 
diri, yaitu dirimu Gento. Jika kelak kau tinggalkan 
tempat ini kau akan kuberi gelar Pendekar Sakti 71 
Gento Guyon apakah semua ini tidak menyenangkan 
hatimu?"
"Setiap kepercayaan yang kau berikan padaku 
adalah suatu amanah yang harus kujalankan. Bukan-
kah menyia-nyiakan kepercayaan orang adalah suatu 
dosa, bagaimana aku bisa senang?" ujar Gento.
"Bagus, ternyata otakmu cukup cerdik. Seka-
rang kau bersiap-siaplah! Aku akan mengerahkan se-
bagian kekuatan sakti yang kumiliki kepadamu!" ujar 
si kakek.
Gento menarik nafas dalam, lalu menghem-
buskannya secara perlahan. Setelah itu diapun memejamkan matanya.

11

Di depan sana Manusia Seribu Tahun silang-
kan kedua tangannya di depan dada. Mulut orang tua 
ini berkemak-kemik, lalu secara perlahan sekujur tu-
buh kakek itu nampak bergetar. Getaran semakin la-
ma semakin menghebat yang disusul dengan menge-
pulnya kabut tipis berwarna seperti pelangi. Ketika ka-
but yang keluar dari bagian ubun-ubun Manusia Seri-
bu Tahun bergerak dalam ketinggian sejengkal di atas 
kepala si kakek, kabut itu membentuk sosok Manusia 
Seribu Tahun dalam rupa cahaya tujuh warna yang 
berkilauan menyilaukan mata. Cahaya selanjutnya 
bergerak melesat dari sosok Manusia Seribu Tahun 
melesat kebagian atas kepala Gento. Kemudian secara 
perlahan seolah tersedot masuk ke dalam tubuh si 
pemuda melalui bagian atas kepalanya.
Gento terguncang, tubuhnya menggeletar dan 
dibasahi keringat bercucuran ketika tujuh cahaya da-
lam membentuk serta rupa si kakek menjalar ke seku-
jur tubuhnya. Pemuda ini meronta, menggeliat dan ke-
luarkan suara raungan hebat.
Hawa panas dan hawa dingin mendera pemuda 
itu silih berganti. Tubuh laksana dicabik, tulang belu-
langnya seperti bertanggalan. Keadaan seperti itu ber-
langsung cukup lama, bahkan kemudian terlihat ada 
darah menetes dari bagian hidung, lubang telinga serta 
mulut Gento.
Tidak kurang dari sepeminum teh, cahaya tu-
juh warna dalam tujuh rupa bayangan Manusia Seribu 
Tahun bergerak keluar, berpindah dari bagian atas 
ubun-ubun Gento kebagian kepala sosok si kakek 
yang duduk bersila di depan pemuda itu. Tujuh sinar 
pelangi pada akhirnya lenyap dan amblas kembali ke 
dalam tubuh orang tua itu. Di depannya sana Gento 
mengerang. Sekujur tubuhnya mendadak seperti terse

rang demam tinggi. Dia berusaha membuka mata, tapi 
begitu mata terbuka pandangan matanya malah men-
jadi gelap. Murid kakek gendut Gentong Ketawa itu 
akhirnya terguling tidak sadarkan diri.
Manusia Seribu Tahun turunkan kedua tan-
gannya yang bersilangan di depan dada. Setelah itu dia 
bangkit berdiri. Kembali mulutnya berkomat-kamit. 
Setelah itu jari telunjuknya diacungkan. Berturut-
turut tujuh larik sinar melesat dari ujung jemari si ka-
kek. Sinar pertama berwarna putih melesat ke bagian 
atas kepala Gento. Sinar itu segera lenyap begitu me-
nyentuh kepala Gento. Sedangkan sinar kedua yang 
melesat dari ujung jemari tangan si kakek berwarna 
Ungu. Sinar ini menderu ke bagian kening dan segera 
lenyap begitu menyentuh pertengahan kening Gento. 
Begitu sinar ungu amblas meresap ke bagian kening-
nya, maka melesat pula sinar yang ketiga. Sinar ke tiga 
berupa sinar biru yang bergerak lurus ke bagian teng-
gorokan si pemuda. Sebagaimana dua sinar lainnya. 
Sinar biru ini langsung lenyap begitu menyentuh teng-
gorokan. Setelah itu dari ujung jemari si kakek melesat 
sinar hijau kemerahan. Sinar ini bergerak ke arah jan-
tung dan hati Gento. Lalu sinar yang ke lima, ke enam 
dan ketujuh masing-masing berwarna, kuning, kuning 
gading dan merah. Ketiga sinar itu berturut-turut me-
lesat ke bagian pusar, bawah pusat juga bagian dasar 
punggung Gento.
Meresapnya tujuh larik sinar yang mengenai tu-
juh titik bagian di tubuh pemuda itu membuat sosok 
Gento yang masih belum sadarkan diri berguncang 
hebat.
Tetapi ternyata apa yang dilakukan si kakek ti-
dak hanya sampai disitu saja. Dia kemudian mengam-
bil sesuatu dari balik saku bajunya. Benda yang diam

bil si kakek ternyata berupa kalung bermata batu ber-
warna putih buram kecoklatan, berbentuk bulat lon-
jong. Si kakek menimang kalung di tangannya sekejap. 
Mulutnya seakan bergumam berucap. "Kalung Batu 
Raja Langit. Orang yang kita tunggu telah datang. Aku 
telah mengisi tubuhnya dengan ilmu Menitis Bayangan 
Raga dan Ilmu Membelah Jasad. Aku juga sudah 
membuka tujuh titik pembangkit cakra, tujuh pem-
bangkit tenaga dalam di tubuhnya. Selanjutnya, batu 
Raja Langit kau boleh menyertai Pendekar Sakti 71 
Gento Guyon!" kata si kakek. Mendadak dia memegang 
mata kalung dengan jari telunjuk dan ibu jari. Bagian 
depan mata kalung yang bertitik hitam pada bagian 
tengahnya di arahkan pada bagian telapak tangan dan 
dada kiri pemuda itu. Setelah itu Manusia Seribu Ta-
hun menekan kedua sisi mata kalung. 
Set! Seet!
Berturut-turut dari titik hitam di bagian depan 
mata kalung menderu angin laksana topan yang diser-
tai melesatnya dua larik sinar biru. Sinar itu masing-
masing menghantam dada kiri juga telapak tangan ka-
nan Gento. Asap bercampur menebarkannya bau se-
perti daging terbakar mengepul. Ketika asap lenyap, 
baik di bagian dada kiri maupun di bagian telapak 
tangan kanan Gento yang terkena hantaman sinar biru 
tadi kini tertera rajah berupa angka 71. Manusia Seri-
bu Tahun selanjutnya menghampiri Gento. Kalung 
bermata batu berbentuk bujur telur lalu dilingkarkan 
dileher pemuda itu.
Tak berselang lama si kakek berdiri tegak kem-
bali Lalu tangan kirinya dilambaikan ke arah dada te-
pat di bagian jantung pemuda itu. Gento yang dalam 
keadaan tak sadarkan diri tersentak. Beberapa jenak 
lamanya dia tertegun. Pertama yang dirasakannya ada

lah rasa sakit di dada juga dibagian telapak tangan. 
Ketika dia melihat telapak tangan dan dadanya pemu-
da ini tersendak kaget.
"Tujuh satu, apa-apaan ini kek?" desis pemuda 
itu. Dia mengusap dadanya pulang balik. Tapi angka 
71 juga tidak mau hilang.
"Ha ha ha. Seperti yang kukatakan aku membe-
rimu gelar Pendekar Sakti 71 Gento Guyon. Selain itu 
aku juga telah menurunkan ilmu Menitis Bayangan 
Raja dan ilmu Membelah Jasad."
"Menitis Bayangan Raga, bagaimana caranya 
aku menggunakannya?" tanya si pemuda. 
"Kedua ilmu itu dapat kau pergunakan di saat 
kau benar-benar terdesak. Cukup kau menyebut kebe-
saran Gusti Allah, setelah itu bayangkanlah wajahku. 
Maka kedua ilmu itu dapat bekerja dengan sendirinya." 
Menerangkan si kakek. Gento menjadi terkesan sekali 
mendengar uraian Manusia Seribu Tahun. Sekali lagi 
dia memandang dadanya, kembali dan dibuat kaget 
ketika melihat sebuah kalung bermata batu melingkar 
di lehernya. 
"Kalung apa ini kek, jelek amat?"
"Itulah kalung Batu Raja Langit. Kalung itu 
menyimpan kesaktian dan kekuatan dahsyat. Kau bisa 
menggunakannya cukup dengan mengerahkan tenaga 
dalam ke bagian mata kalung, lalu mengusap kalung 
itu tiga kali." ujar si kakek.
"Apakah aku boleh mencoba seluruh ilmu yang 
kau berikan di tempat ini kek?" 
Manusia Seribu Tahun gelengkan kepala
"Alam Batas Biru adalah tempat yang sangat 
rawan dengan berbagai gangguan. Jika kau menggu-
nakan ilmu itu di tempat ini, berarti tempat tinggalku 
akan jadi porak poranda. Ketahuilah, ketika dirimu tidak sadarkan diri aku telah membuka tujuh titik pem-
bangkit tenaga dalammu. Cara menggunakan tenaga 
dalam yang terletak di enam titik itu sama seperti 
mengerahkan atau menghimpun tenaga dalam yang 
bersumber dari bagian pusar. Hanya penggunaan te-
naga dalam di bagian atas kepalamu boleh diperguna-
kan tiga purnama sekali. Jika kau melanggar pantan-
gan ini jangan salahkan aku jika nantinya kau beru-
bah menjadi orang yang kurang waras."
"Segala pesanmu akan ku ingat baik-baik. Aku 
mengucapkan rasa terima kasih atas segala apa yang 
kau berikan padaku. Tapi kek, setelah pergi dari sini 
apakah kelak aku boleh menyambangimu?"
"Sebaiknya tak usah. Jika aku merasa ada yang 
ingin kusampaikan, aku pasti akan mencarimu."
"Bagaimana kalau aku memerlukanmu kek?"
"Kau cukup mengetuk bumi tiga kali sambil 
memanggil namaku!" jawab si kakek. "Nah, usai sudah 
apa yang menjadi kewajibanku. Selanjutnya aku ti-
tipkan amanat kepadamu. Sekarang bersiap-siaplah 
kau. Aku akan mengantarmu ke alam kehidupanmu 
yang sebenarnya!"
"Kek sebelum pergi, apakah boleh aku bertemu 
dengan Ratih Kumala sekedar ingin mengucapkan te-
rimakasih dan salam perpisahan?" tanya Gento sambil 
menyeringai.
Si kakek gelengkan kepala.
"Salam mu akan kusampaikan. Kelak kau pasti 
bertemu dengannya!"
Walaupun agak kecewa mendengar ucapan si 
kakek, namun akhirnya Gento berdiri juga. "Aku su-
dah siap kek?" Tanpa bicara barang sepatah katapun 
si kakek mendekati Gento. Begitu Manusia Seribu Ta-
hun menyentuh punggungnya Gento merasakan tubuhnya laksana di bawa terbang. Sekejap kemudian 
Gento merasakan tangan si kakek yang menempel di 
punggungnya di tarik lepas. Gento jadi kaget ketika 
mendengar suara orang tua itu.
"Cukup hingga disini aku mengantarmu!"
"Kek....!" ucapan Gento mendadak terputus ke-
tika mendapati tubuhnya meluncur deras ke bawah, 
lalu jatuh berkerosakan menimpa reranting pepoho-
nan.
Bluk!
Pendekar Sakti Gento Guyon jatuh bergedebu-
kan dan terhempas di pinggir sungai. Pemuda itu me-
ringis kesakitan, tubuhnya menggeliat, matanya ter-
pentang lebar. Mata itu makin membulat besar ketika 
dia melihat sosok seorang gadis setengah telanjang 
yang mandi di kali itu nampak repot menutupi aurat-
nya sambil berlari ke balik semak belukar.
"Ha ha ha! Nasibku tidak jelek-jelek amat. Ka-
kek itu iseng menjatuhkan aku di pinggir sungai ini. 
Agaknya dia sengaja agar aku berkesempatan melihat 
pemandangan bagus.!" kata pemuda itu sambil tertawa 
terkekeh. Sejurus lamanya dia memandang ke arah le-
nyapnya sang dara, lalu tanpa menunggu lama lagi dia 
berkelebat pergi.




                           TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar