TINJU TOPAN DAN BADAI
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Tinju Topan dan Badai
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Lembah Gunung Tangga Langit yang memang in-
dah masih pula diwarnai tumbuhan beraneka pesona.
Tapi pada kenyataannya, lembah yang ter-letak di se-
belah selatan kaki Gunung Tangga Langit ini tidak
pernah didatangi manusia. Jalan menuju ke lembah
itu saja sudah sangat sukar dilalui. Selain tebing-
tebingnya yang curam, tanahnya pun mudah sekali
longsor. Tak heran kalau hanya tokoh-tokoh persilatan
berkepandaian tinggi saja yang mampu sampai di sa-
na.
Dan pada pagi hari ini, di tengah lembah Gunung
Tangga Langit terlihat dua sosok tubuh yang tengah
berdiri berhadapan. Melihat dari sikap dan pandang
mata, jelas mereka menunjukkan permusuhan. Bah-
kan tampaknya sudah siap saling serang.
"Hm..., Dewa Elang Hitam! Apakah kau sudah
siap menandingi 'Jurus Tinju Topan'-ku...?" tanya sa-
lah seorang.
Dia memiliki perawakan sedang, namun agak
bongkok. Meskipun wajahnya sudah lebih dari tujuh
puluh tahun, tapi sinar matanya demikian tajam.
Mendengar tantangan yang jelas-jelas sangat
memandang rendah, sosok berperawakan jangkung
yang dipanggil Dewa Elang Hitam memperdengarkan
suara tawa mengejek. Kendati sinar matanya menyi-
ratkan ketersinggungannya, namun tidak berusaha di-
perlihatkannya.
"Heh heh heh..., Pedang Tujuh Lautan. Seharus-
nya tidak perlu berkata demikian. Toh aku tidak
mungkin berdiri di depan hidungmu, kalau Kitab Tinju
Badai yang ada di tanganku belum sempurna kupela
jari. Tapi menurut hematku, pertarungan di antara ki-
ta tidak perlu terjadi, Bukan karena takut, tapi aku
memiliki pemikiran lebih jernih ketimbang otak
udangmu. Sebaiknya, serahkanlah Kitab Tinju Topan
kepadaku. Setelah itu, baru kau akan kuberikan kitab
yang ada padaku. Bagaimana? Bukankah ini jalan
yang paling baik?" usul Dewa Elang Hitam, yang beru-
sia sekitar tujuh puluh lima tahun itu.
"Hua ha ha...!"
Mendengar perkataan Dewa Elang hitam, laki-
laki yang dipanggil Pedang Tujuh Lautan tertawa ter-
bahak-bahak. Tentu saja suara tawa yang sangat tidak
enak di telinga ini membuat kening Dewa Elang Hitam
berkerut tak senang. Mulutnya cemberut menyiratkan
perasaannya yang terpengaruh oleh suara tawa Pedang
Tujuh Lautan.
"Dewa Elang Hitam!" sentak Pedang Tujuh Lau-
tan, Tiba-tiba menghentikan tawanya. Sepasang ma-
tanya menatap tajam, disertai senyum memuakkan.
"Perkataan itu sudah kau ucapkan sejak lima tahun
yang lalu! Tapi sama sekali tidak kusangka kalau sam-
pai hari ini kau masih saja mengatakannya. Dan aku
bukannya tidak menyetujui usulmu. Tapi justru kau
sendirilah yang tidak mau menjalankannya dengan
baik, sesuai perkataanmu! Coba keluarkan kitab yang
ada padamu dan berikan kepadaku. Apakah kau ber-
sedia...?"
'Tidak! Kau yang lebih dulu harus menyerahkan
Kitab Tinju Topan kepadaku. Bam kemudian, aku
akan memberikan kitab ini kepadamu! Kalau tidak, le-
bih balk kitab ini kusimpan sampai mati!" tegas Dewa
Elang Hitam menolak usul Pedang Tujuh Lautan.
Tentu saja Dewa Elang Hitam tidak ingin kakek
bertubuh bongkok itu menipunya mentah-mentah.
Maka tak heran bila ia berkeras mempertahankan ki-
tabnya, sebelum Pedang Tujuh Lautan lebih dulu me-
nyerahkan Kitab Tinju Topan.
"Kalau begitu, sebaiknya Kita tentukan dengan
pertarungan...!" tukas Pedang Tujuh Lautan geram.
Kemudian langkahnya langsung bergeser ke kanan, se-
telah menyimpan kitab ke dalam pakaiannya.
"Memang begitu seharusnya...!" balas Dewa
Elang Hitam tidak mau kalah. Wajahnya langsung be-
rubah beringas. Malah kakinya sudah bergeser, mem-
persiapkan kuda-kudanya. Siap untuk bertarung mati-
matian!
"Huh! Jadi aku dibawa ke tempat celaka ini
hanya untuk menyaksikan kalian dua orang kakek
bertengkar memperebutkan dua kitab butut! Benar-
benar dunia sudah gila...!"
***
Saat kedua laki-laki tua itu sudah siap saling ge-
brak, terdengar suara lantang dan jernih. Maka seketi-
ka keduanya menghentikan gerakan dan menoleh ber-
samaan.
"Maaf, aku harus pergi! Kalian boleh bertengkar
sampai mampus!" rutuk seorang laki-laki berusia seki-
tar sepuluh tahun.
Bocah yang semula duduk di atas sebuah batu
berjarak tiga tombak dari ajang pertarungan, langsung
saja melompat turun. Gerakannya cukup lincah dan
ringan, menandakan bahwa dia bukan seperti bocah
kebanyakan, dan jelas memiliki ilmu silat lumayan.
"Bocah, tunggu...!"
Ketika melihat bocah laki-laki itu sudah bergerak
hendak meninggalkan tempat, Dewa Elang Hitam berseru mencegah. Tubuhnya cepat melayang bagaikan
terbang di atas permukaan tanah. Dan tahu-tahu, te-
lah tiba di dekat bocah itu.
Bukan hanya Dewa Elang hitam saja yang berge-
rak melesat mencegah kepergian bocah itu. Pedang Tu-
juh Lautan pun sudah pula bergerak dengan kecepa-
tan luar biasa. Dan tahu-tahu, dia telah berdiri di
samping kanan bocah itu.
"Bocah! Mengapa kau berkata demikian? Apa
kau tidak tahu, siapa kami ini...?" tegur kakek bong-
kok itu, dingin dan agak menyombongkan diri.
"Aku tahu!" tukas bocah itu cepat tanpa merasa
gentar sedikit pun. Bahkan ditentangnya pandangan
mata Pedang Tujuh Lautan dengan berani. "Kalian
adalah dua orang kakek sinting yang memperebutkan
kitab butut dan tidak ragu-ragu mengadu nyawa
hanya karena persoalan kecil!"
"Eh?!"
Kata-kata bocah Itu tentu saja membuat Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hitam terperangah den-
gan wajah berubah. Selama ini, mereka belum pernah
menerima hinaan semacam itu. Siapa yang tak kenal
Dewa Elang Hitam dan Pedang Tujuh Lautan? Mereka
adalah tokoh tingkat tinggi, bahkan diakui sebagai da-
tuk-datuk persilatan. Tapi kini, mereka dihina sedemi-
kian rupa oleh seorang bocah! Padahal, jangankan bo-
cah, tokoh-tokoh persilatan ternama pun akan berpikir
seribu kali bila menghina kedua orang kakek itu.
"Dengar, bocah! Kami berdua adalah tokoh-tokoh
persilatan yang nyaris tidak ada tandingannya di ko-
long langit ini, Dan kalau kami mau, sekali sentuh sa-
ja, nyawamu pasti melayang ke neraka. Jadi, sebaik-
nya jaga mulutmu...!" dengus Pedang Tujuh Lautan,
langsung menyombongkan diri sambil memandang wajah bocah itu dengan sorot mata bagai hendak meni-
kam jantung.
"Oh, begitu?" tukas bocah laki-laki berwajah ba-
gus itu tanpa mengalihkan tatapannya pada mata Pe-
dang Tujuh Lautan. "Aku tidak percaya! Kalau benar
kalian berdua datuk-datuk persilatan, mengapa hanya
karena kitab-kitab butut itu harus saling bunuh? Apa
artinya sebuah kitab, bila dibandingkan nyawa manu-
sia? Kalau hanya sebuah kitab, semua orang tentu bi-
sa menulisnya. Tapi, nyawa manusia? Siapa yang bisa
membuatnya, selain sang Maha Pencipta yang mengu-
asai dan member! kehidupan kepada seluruh penghuni
jagad raya ini...."
Entah siapa yang mengajari, nyatanya hebat se-
kali ucapan bocah lelaki berusia sepuluh tahun itu.
Sehingga orang-orang sakti seperti Dewa Elang Hitam
dan Pedang Tujuh Lautan sampai tercengang menden-
garnya. Kalau saja tidak mendengar sendiri, tentu me-
reka tidak akan percaya. Tapi nyatanya bocah ini ber-
pandangan luas. Bahkan manusia dewasa pun, jarang
yang berpikiran seluas itu. Inilah yang membuat kedua
tokoh sakti itu kagum akan kecerdasan serta kebera-
nian bocah lelaki ini.
"Kau tidak tahu, bocah...," kata Dewa Elang Hi-
tam, setelah cukup lama terdiam karena ucapan bocah
itu.
Suara laki-laki bertubuh jangkung itu tidak ke-
ras. Bahkan terdengar lembut. Kini matanya baru ter-
buka kalau bocah itu tidak bisa dianggap sembaran-
gan. Bahkan baru disadari kalau tubuhnya memiliki
susunan tulang yang demikian sempurna. Tentu bila
ditangani orang pandai, kelak akan menjadi seorang
pemuda perkasa yang sulit dicari tandingannya. Itulah
yang membuat Dewa Elang Hitam tidak lagi berkata
keras.
"Bocah! Kau kira kedua kitab ini tidak ada gu-
nanya bagi kami? Kau salah besar! Dengar! Kedua ki-
tab ini sangat didambakan seluruh orang persilatan.
Makanya, kami berdua harus menyembunyikan diri
dari kejaran mereka. Bahkan pertemuan hari ini pun
tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh persilatan. Kalau
mereka sampai tahu, sudah pasti mereka akan saling
bersaing untuk memperebutkan kitab yang ada di tan-
gan kami. Perlu kau ketahui, bila isi kedua kitab ini
digabung, lalu dipelajari seseorang, maka dapat dipas-
tikan orang itu akan menjadi jago nomor satu di ko-
long langit! Nah, apakah kau masih juga menganggap
kami bodoh dan kedua kitab ini tidak berharga sama
sekali?" jelas Pedang Tujuh Lautan panjang lebar. Me-
mang, tentu saja dia tidak sudi dikatakan sebagai ka-
kek sinting yang rela bertaruh nyawa demi mempere-
butkan sebuah kitab butut tak berguna.
Bocah laki-laki itu terdiam setelah mendengar-
kan penjelasan Pedang Tujuh Lautan. Tampaknya,
otaknya sangat cerdas, sehingga seluruh perkataan
Pedang Tujuh Lautan telah dapat dimengerti. Dan kini
la terpaksa diam. Namun demikian, dalam hatinya te-
tap tidak menyetujui pertaruhan nyawa, yang hanya
karena sebuah kitab.
Pedang Tujuh Lautan mengangguk puas, ketika
melihat bocah itu diam. Dan kakek bongkok ini sema-
kin bertambah kagum, karena bocah lelaki berusia se-
puluh tahun itu sepertinya telah mengerti tentang per-
soalan orang-orang rimba persilatan.
"Bagus kalau kau mengerti, Bocah. Nah, seka-
rang saksikanlah pertarungan kami yang mempergu-
nakan jurus-jurus dari kitab di tangan kami masing-
masing," ujar Pedang Tujuh Lautan. Sepertinya kakek
bongkok itu belum melupakan keinginannya untuk
mendapatkan Kitab Tinju Badai demi melengkapi jurus
yang telah dipelajari dari kitab di tangannya.
"Dan kami memerlukan orang ketiga untuk me-
nentukan, siapa yang bakal keluar sebagai pemenang.
Itu sebabnya, kami membawamu ke tempat ini. Ru-
panya kami memang tidak salah pilih. Karena, ternya-
ta kau bocah luar biasa dan berpandangan luas...,"
sambung Dewi Elang Hitam.
"Lalu mengapa aku yang dipilih? Bukankah se-
baiknya kalian menculik tokoh persilatan yang pasti
akan jauh lebih mengerti daripada aku?" tanya bocah
laki-laki itu tak mengerti.
"Karena kami tidak ingin ada seorang tokoh pun
yang menyaksikan ilmu-ilmu dahsyat yang kami pela-
jari dari kitab pusaka ini. Dan kami rasa, kau pun su-
dah lebih dari cukup. Yang penting, ada orang ketiga di
antara kami..," jawab Dewa Elang Hitam. Kemudian
bocah itu dipondongnya dan didudukkannya di atas
batu yang letaknya agak jauh dari ajang pertarungan.
Selain ada dorongan kuat untuk menyaksikan
bagaimana kehebatan ilmu-ilmu yang dipelajari kedua
orang kakek itu dari kitab, bocah ini pun sadar kalau
tidak mungkin dapat lolos dari tangan mereka. Maka,
ia pun duduk tenang menyaksikan pertarungan yang
bakal dimulai.
Sementara, dua datuk persilatan itu telah berdiri
berhadapan dalam jarak kurang dari dua tom-bak. Ma-
ta satu sama lain saling mencorong dengan tajamnya.
Dan...,
"Haaaattt..!"
***
Disertai sebuah bentakan nyaring, kakek bong-
kok yang berjuluk Pedang Tujuh Lautan segera mem-
buka serangan pertamanya. Tubuhnya bergerak ke de-
pan dengan langkah-langkah menyilang sangat cepat
Seolah, tubuhnya telah berubah jadi puluhan banyak-
nya. Sehingga, sulit diterka arah mana yang menjadi
sasaran serangannya.
"Hm...."
Kakek jangkung berjuluk Dewa Elang Hitam
hanya memperdengarkan suara menggumam dingin.
Dan sebelum serangan Pedang Tujuh Lautan tiba, se-
pasang tangannya cepat diputar melebar. Maka seketi-
ka berhembus tiupan angin keras yang membuat pe-
pohonan di sekitarnya berderak ribut. Kemudian tu-
buhnya melesat ke depan, menyambut serangan Pe-
dang Tujuh Lautan.
Plakkk, plakkk!
Dalam gebrakan pertama saja, kedua pasang
tangan yang sama-sama terlindungi tenaga dalam dah-
syat sudah saling berbenturan keras. Akibatnya tubuh
keduanya bergetar mundur dan saling mengakui da-
lam hati kehebatan tenaga dalam masing-masing.
Untuk beberapa saat, kedua tokoh sakti itu kem-
bali saling pandang sambil mengatur langkah. Dan la-
gi-lagi Pedang Tujuh Lautan membuka serangannya.
Whuttt..!
Kali ini serangan Pedang Tujuh Lautan lebih he-
bat Sepasang tangannya yang membentuk kepalan,
berputaran cepat dan saling susul-menyusul menuju
sasaran. Pedang Tujuh Lautan menamakan jurus ini
adalah ' Jurus Tinju Topan Pemecah Langit' yang telah
disempurnakannya.
Hebat luar biasa jurus milik Pedang Tujuh Lau-
tan ini, sehingga seolah-olah ajang pertarungan bagai
terlanda topan mengerikan. Dan dari setiap lontaran
pukulannya mendesir angin tajam berciutan, menan-
dakan betapa hebatnya tenaga dalam Pedang Tujuh
Lautan ini.
Tapi yang dihadapi kakek bongkok itu kali ini
bukanlah tokoh sembarangan yang' bisa dilumpuhkan
begitu saja. Selain telah memiliki kesaktian luar biasa,
Dewa Elang Hitam pun sudah pula meyakini 'Jurus
Tinju Badai Menggulung Jagad'. Sehingga, sama sekali
hatinya tidak gentar untuk menghadapi gempuran he-
bat lawannya.
Dalam sekejap saja, kedua tokoh sakti itu sudah
saling gempur dengan hebatnya. Ajang pertarungan
kini jadi porak-poranda oleh lontaran pukulan yang
menimbulkan angin keras laksana amukan badai to-
pan. Tidak sedikit pepohonan yang tumbang akibat
sambaran angin pukulan nyasar.
"Aaahh...! Tidak kusangka, kalau kedua orang
kakek itu benar-benar memiliki kesaktian seperti de-
wa! Sayang, dalam usia setua itu mereka masih saja
dikuasai nafsu serakah, sehingga ingin diakui sebagai
orang nomor satu di kalangan persilatan. Benar-benar
menyedihkan...," desah bocah laki-laki itu.
Semula, dia duduk dalam menyaksikan pertem-
puran itu dengan jarak cukup jauh. Namun kini, tu-
buhnya telah bergeser dari tempatnya. Karena, di tem-
pat semula ia masih merasakan kuatnya sambaran
angin pukulan kedua orang kakek itu. Maka dipu-
tuskannya untuk menyingkir dan menyaksikan perta-
rungan dari tempat yang lebih jauh dan terhindar dari
bahaya.
Sementara itu pertarungan tampaknya semakin
hebat dan mulai mencapai puncaknya. Gerakan mere-
ka sekarang tak ubahnya dua bayangan iblis yang tengah bertarung, karena sudah tidak bisa lagi ditangkap
oleh mata biasa. Bahkan sulit ditentukan, siapa sebe-
narnya sekarang yang tengah terdesak.
"Heaaaattt..!"
"Hyaaattt..!"
Ketika pertempuran sudah memasuki jurus yang
kedua ratus, Pedang Tujuh Lautan maupun Dewa
Bang Hitam sama-sama mengeluarkan pekik melengk-
ing yang menggetarkan lembah Gunung Tangga Langit
Kemudian tubuh keduanya sama-sama melesat ke
udara, dengan kecepatan luar biasa. Dan....
Blarrrr...!
Tanpa dapat dicegah lagi, kedua pasang lengan
yang sama-sama mengandung tenaga dalam dahsyat
itu saling berbenturan dengan hebatnya. Akibatnya
bumi sekitar tempat itu jadi bergetar laksana digun-
cang gempa.
Akibat yang dialami kedua orang tokoh sakti itu
pun cukup membuat hati mengkelap. Mereka sama-
sama terlempar ke belakang bagaikan daun-daun ker-
ing yang diterbangkan angin. Dan kedua tokoh itu te-
rus meluncur menumbangkan beberapa batang pohon,
untuk kemudian terbanting jatuh ke semak-semak.
Apa yang dialami Pedang Tujuh Lautan rupanya
masih jauh lebih baik ketimbang Dewa Elang hitam.
Kalau laki-laki tua bongkok itu jatuh ke semak-semak,
tubuh Dewa Bang Hitam malah tergelincir dan terus
bergulingan menggilas semak-semak. Rupanya, di ba-
lik semak-semak itu terdapat sebuah dataran yang le-
bih rendah, sehingga kakek jangkung itu akhirnya ter-
hempas di depan sebuah mulut goa yang tidak begitu
besar.
Nasib sial yang menimpa Dewa Elang Hitam, ten-
tu saja sama sekali tidak diketahui lawannya. Karena
keadaan Pedang Tujuh Lautan saat ini memang cukup
parah. Darah yang berkali-kali menyembur dari mu-
lutnya, menandakan kalau kakek bongkok itu telah
menderita luka dalam yang parah. Sehingga, ia hanya
bisa duduk bersandar di batang pohon dengan napas
tersengal satu-satu.
***
DUA
"Aaaahhh...?"
Bocah laki-laki yang menjadi satu-satunya saksi
dalam pertarungan Pedang Tujuh Lautan melawan
Dewa Elang Hitam berseru ngeri dengan wajah pucat
dan muka terbelalak. Untuk beberapa saat ia tidak ta-
hu, apa yang harus, diperbuat. Dia hanya bisa meno-
leh ke kiri-kanan. Wajahnya menggambarkan perasaan
bingung yang amat sangat Ia tidak tahu siapa di anta-
ra kedua kakek itu yang harus lebih dulu dilihat kea-
daannya.
Cukup lama juga bocah itu kebingungan sampai
akhirnya memutuskan untuk melihat keadaan kakek
jangkung yang dikenal berjuluk Dewa Elang Hitam.
Apalagi keadaan Pedang Tujuh Lautan masih dapat
terlihat meski tidak jelas, seberapa parah luka yang
diderita. Dan menurutnya, lebih baik melihat keadaan
Dewa Elang Hitam yang telah lenyap ditelan semak be-
lukar.
Ketika berhasil menerobos semak-semak dan me-
lihat tubuh Dewa Elang Hitam tergeletak di depan se-
buah mulut goa agak jauh di bawahnya, tanpa ragu la-
gi bocah itu pun bergegas turun. Kendati agak sulit
dan harus berpegangan pada akar-akar pohon yang
mencuat keluar di dinding tebing. la sama sekali tidak
takut Kekhawatirannya terhadap nasib kakek jang-
kung itu membuat takutnya terlupakan.
"Sungguh menganggumkan... ?! Kau benar-benar
bukan bocah sembarangan...!" puji Dewa Elang Hitam,
walau nafasnya terengah.
Kakek jangkung itu benar-benar tidak menyang-
ka kalau bocah ini akan berani dan sanggup menuruni
tebing, demi untuk melihat keadaannya.
"Kakek Jangkung, bagaimana keadaanmu...?"
tanya bocah itu. Matanya langsung menatap wajah
Dewa Elang Hitam disertai rasa kecemasan. Dan tentu
saja, ini membuat kakek jangkung itu tersenyum.
"Anak baik.... Coba ceritakan padaku, bagaimana
keadaan Pedang Tujuh Lautan. Apakah lukanya juga
parah sepertiku?" Dewa Elang Hitam malah balik ber-
tanya.
"Aku belum menanyakannya. Dan lebih dulu,
aku ingin melihat keadaanmu, Kek," sahut bocah itu
sejujurnya.
"Bodoh! Seharusnya lihat dulu keadaan keparat
bongkok itu! Baru kemudian, melihat keadaanku.
Dengan demikian, kau bisa menceritakan bagaimana
keadaannya di atas sana...," maki Dewa Elang Hitam
gusar. Kelihatannya ia memang sangat penasaran un-
tuk mengetahui keadaan lawannya.
"Huhhh!"
Bocah itu kelihatan marah mendengar perkataan
Dewa Elang Hitam. la lantas bangkit berdiri, langsung
menatap wajah kakek jangkung itu dengan sinar mata
berkilat
"Dalam keadaan terluka seperti ini, ternyata kau
masih dikuasai nafsu kemenangan! Apakah kau masih
juga belum jera, dan ingin cepat-cepat menghadap ma-
laikat maut?" rutuk bocah itu.
"Eh...?!"
Dewa Elang Hitam terperangah mendengar per-
kataan bocah tampan ini. Wajahnya membayangkan
keheranan besar. Baru sekali Ini selama hidupnya, ia
dimaki orang. Terlebih, yang memaki adalah seorang
bocah yang kini berdiri di depannya. Sehingga, untuk
beberapa saat Dewa Elang Hitam tidak bisa berkata-
kata.
"Bocah! Sebutkan namamu...," pinta Dewa Elang
Hitam begitu tiba-tiba dan agak mengejutkan.
"Namaku Laka Sora...," jawab bocah cerdik dan
pemberani itu, meski agak heran.
"Hm.... Laka Sora! Cepatlah berlutut dan menye-
but guru kepadaku. Karena mulai saat ini, kau kua-
ngkat menjadi muridku...," ujar Dewa Elang Hitam.
Mendengar perkataan Dewa Elang Hitam, Laka
Sora tertegun. Namun demikian, ia tidak buru-buru
mengikuti perintah itu. Tapi ketika melihat luka parah
kakek jangkung itu akhirnya, bocah bernama Laka So-
ra itu mengikuti permintaan Dewa Elang Hitam. Apala-
gi, tarikan napas kakek itu terdengar berat dan lambat
"Guru.... Aku, Laka Sora mengaturkan hormat..,"
ucap bocah cilik itu. Kata-katanya lantang, namun ter-
susun rapi Dan ini membuat wajah Dewa Elang Hitam
menjadi cerah.
"Nah, Laka Sora. Karena sekarang telah menjadi
muridku, maka kitab pusaka ini kuberikan kepadamu.
Tapi kuminta, segera hafalkan isinya diluar kepala. Ka-
rena, kitab ini sangat berbahaya bagi keselamatanmu
jika tidak segera dihancurkan...," ujar Dewa Elang Hi-
tam, segera mengangsurkan kitab butut di tangannya.
"Maaf, Guru. Sebelumnya bolehkah aku mengajukan sebuah permintaan...."
Laka Sora tidak langsung menerima. Dan me-
mandang wajah gurunya penuh harap.
"Katakan, apa permintaanmu itu...?"
"Aku ingin melihat keadaan Kakek Pedang Tujuh
Lautan. Ingin kuketahui, bagaimana kesehatannya...,"
jelas Laka Sora, lantang. Hanya saja, wajahnya tetap
tertunduk, tidak berani menentang pandangan mata
laki-laki tua yang kini resmi menjadi gurunya.
"Hm.... Bagaimana kau bisa sampai ke sana, La-
ka Sora? Lihatlah! Tebing ini tidak mungkin dapat di-
panjat...," tukas Dewa Elang Hitam.
Sama sekali kakek jangkung itu tidak memperli-
hatkan rasa marah. Bahkan ketika menunjuk ke atas,
bibirnya tersenyum, hendak mendengar jawaban mu-
ridnya.
''Biar bagaimanapun, aku harus melihat keadaan
Kakek Pedang Tujuh Lautan, Guru...," tegas Laka Sora,
tanpa ragu sambil memandang tebing yang bakal di-
panjatnya.
Kemudian, Laka Sora memandang wajah gu-
runya. Ketika melihat orang tua itu mengangguk, ber-
gegas dihampirinya tebing di depannya.
Dewa Elang Hitam tersenyum disertai anggukan
kepalanya ketika melihat Laka Sora berusaha meman-
jat tebing dengan berpegangan pada akar pepohonan.
Sepasang matanya memancarkan sinar kekaguman,
melihat muridnya sama sekali tidak putus asa. Bocah
itu terus berusaha memanjat, kendati beberapa kali
tergelincir karena pegangannya pada akar pohon terle-
pas.
"Laka Sora, kemarilah...!"
Setelah melihat kekerasan hati muridnya yang
pantang menyerah, akhirnya Dewa Elang Hitam berseru memanggil bocah yang masih berusaha keras untuk
dapat mencapai bibir tebing.
Laka Sora yang saat itu baru mencapai satu se-
tengah tombak dari permukaan tanah, bergegas meno-
leh. Kemudian, ia bergegas turun ketika melihat gu-
runya mengulapkan tangan. Begitu sampai di tanah,
segera dihampiri kakek jangkung itu dengan penuh
tanda tanya.
"Berdirilah di kedua telapak tanganku...," pe-
rintah kakek jangkung itu tegas dan tidak ingin diban-
tah.
Meski disertai perasaan heran, Laka Sora menu-
ruti juga perintah gurunya. Dan ia baru mengerti, keti-
ka tahu-tahu saja tubuhnya melambung ringan ke
atas. Rupanya dengan sisa tenaga dalamnya, Dewa
Elang Hitam telah menolong muridnya yang memiliki
hati mulia ini. Dan berkat bantuan kakek jangkung
itu, Laka Sora pun dapat mendarat selamat di atas teb-
ing. Kemudian, bergegas dihampiri Pedang Tujuh Lau-
tan setelah terlebih dulu menoleh ke arah gurunya dan
mengucapkan terima kasih.
***
Apa yang dilakukan Pedang Tujuh Lautan tidak
beda jauh dengan Dewa Elang Hitam. Setelah diminta
untuk memperkenalkan namanya, Laka Sora pun di-
minta untuk bersujud dan menyebutkan kakek bong-
kok itu sebagai guru. Juga Pedang Tujuh Lautan pun
menyerahkan kitabnya, serta meminta agar Laka Sora
menghafal seluruh isinya.
Laka Sora juga melihat kalau luka dalam Pedang
Tujuh Lautan sangat parah. Hanya berkat kesaktian-
nyalah kakek bongkok itu masih dapat bertahan hidup. Melihat kenyataan ini, Laka Sora pun bertekad
untuk mematuhi perintah Pedang Tujuh Lautan.
Bukan main gembiranya hati pedang Tujuh Lau-
tan, mendapat kenyataan kalau Laka Sora sangat cer-
das dan sanggup menghafal dalam waktu singkat.
Dan setelah mendapat wejangan yang berarti dari
gurunya yang kedua, Laka Sora mengajukan permin-
taan untuk melihat Dewa Elang Hitam yang juga telah
diceritakannya pada Pedang Tujuh Lautan bahwa ka-
kek itu telah menjadi gurunya. Pada kenyataannya,
Pedang Tujuh Lautan sama sekali tidak merasa kebe-
ratan. Bahkan membantunya dengan pengerahan te-
naga dalam yang memang luar biasa. Sehingga, Laka
Sora tidak perlu lagi merambat turun seperti tadi. Ka-
rena berkat bantuan tenaga dalam Pedang Tujuh Lau-
tan, tubuhnya dapat meluncur turun tanpa kesuka-
ran. Dan kini dia sudah tiba di dekat Dewa Elang Hi-
tam.
***
Selama berhari-hari, Laka Sora bolak-balik men-
gunjungi kedua orang gurunya sambil menghafal ke-
dua macam kitab pusaka, sampai benar-benar melekat
di kepalanya. Dan hal itu ternyata tidak sulit dilaku-
kannya. Sehingga setelah hampir satu minggu, isi ke-
dua kitab itu pun telah pindah ke dalam kepalanya.
Selain memiliki bakat mengagumkan dalam ilmu
silat, Laka Sora pun memiliki kecerdikan luar biasa. Ia
tahu, kedua orang sakti yang mengambilnya sebagai
murid ini saling bermusuhan satu sama lain Maka
timbul pikiran bocah ini untuk menyatukan kedua
orang gurunya. Maksudnya jika harus pergi mening-
galkan dunia ini, tidak ada ganjalan di hati masing-
masing. Dengan pandainya, Laka Sora mengatakan
kepada Dewa Elang Hitam kalau Pedang Tujuh Lautan
meminta maaf atas kekhilafannya. Tentu saja permin-
taan maaf Dewa Elang Hitam disambut balk oleh Pe-
dang Tujuh Lautan. Begitu pula sebaliknya. Maka kini
isi hati kedua orang tokoh sakti itu merasa lapang.
Terlebih, melihat murid mereka dapat menghafal lebih
dari apa yang di perkirakan.
Tentu saja kenyataan ini membuat Dewa Elang
Hitam serta Pedang Tujuh Lautan menjadi gembira
bukan main.
"Laka Sora.... Karena seluruh isi kitab ini telah
pindah ke dalam kepalamu, maka sesuai ucapanku,
kitab ini akan ku bakar agar tidak sampai jatuh ke
tangan orang lain...," ujar Dewa Elang Hitam setelah
menguji muridnya. Dan ia merasa yakin kalau seluruh
isi kitab benar-benar telah dihafal Laka Sora.
Laka Sora tersenyum sambil menganggukkan
kepala. Kemudian diserahkannya Kitab Ilmu Silat Tin-
ju Badai Menggulung Jagad ke tangan gurunya yang
siap dihancurleburkan, dengan menggunakan kedua
tangannya yang terisi tenaga sakti. Tapi....
Whuttt..!
Tiba-tiba saja, sebelum kitab pusaka itu hancur
lebur, tahu-tahu angin keras bertiup mengejutkan.
Kemudian disusul oleh meluncurnya sesosok bayan-
gan dengan kecepatan luar biasa. Belum sempat ada
yang menyadari, bayangan itu langsung menyambar
kitab di tangan Dewa Elang Hitam!
"Aaahhh...?!"
Bukan main kagetnya Dewa Elang Hitam. Seketi-
ka wajahnya berubah pucat, karena kitabnya telah te-
rampas oleh sosok bayangan yang memiliki kecepatan
gerak luar biasa.
***
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa menggelegar, membuat se-
kitar tempat itu bergetar hebat Jelas, betapa hebatnya
tenaga yang terkandung di dalam suara tawa ini.
"Akhirnya Kitab Tinju Badai Menggulung Jagad
jadi milikku...!" kata sosok berpakaian serba hitam.
Meski pakaian sosok itu terlihat masih baru dan ter-
buat dari kain sutera mahal, namun dihiasi tambalan
di beberapa bagian. Dan Dewa Elang Hitam menjadi
kaget, begitu mengenali siapa orang yang telah me-
rampas kitab dari tangannya.
"Pengemis Tongkat Setan...?!" seru Dewa Elang
Hitam.
Wajah kakek jangkung itu kontan berubah pucat
seketika. Karena dikenalinya betul, siapa dan sampai
di mana kesaktian tokoh berpakaian pengemis itu.
"Siapa orang itu, Guru...?" tanya Laka Sora he-
ran, melihat wajah gurunya pucat karena kehadiran
kakek pengemis itu.
"Laka Sora... cepat segera pergi. Temui gurumu
Pedang Tujuh Lautan! Lihat, bagaimana keadaannya!
Dan jangan kembali ke sini lagi.,.!" tukas Dewa Elang
Hitam.
Tentu saja kakek jangkung itu cemas akan kese-
lamatan muridnya. Apalagi, Laka Sora telah terlihat
oleh Pengemis Tongkat Setan yang terkenal sangat ke-
jam dan telah bertahun-tahun memburu kitab pusaka
itu.
Sebenarnya kalau dalam keadaan biasa, Dewa
Elang Hitam tidak akan secemas itu. Tapi saat ini kea-
daannya, tidaklah memungkinkan untuk dapat berta-
rung melawan seorang tokoh seperti Pengemis Tongkat
Setan. Tambahan lagi, pengemis itu merupakan salah
seorang datuk golongan sesat Dan ia tahu, saat ini ti-
dak bakal mungkin dapat mengatasi kesaktian tokoh
berjuluk Pengemis Tongkat Setan.
"Hm.... Siapa bocah itu, Dewa Elang Hitam?"
tanya Pengemis Tongkat Setan, menatap tajam wajah
Laka Sora. "Kalau ia muridmu, tentu harus kule-
nyapkan. Karena, tidak boleh ada seorang pun yang
menguasai 'Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad', ke-
cuali aku. Nah, katakanlah. Apakah kau telah menu-
runkan ilmu itu kepadanya...?"
"Hm.... Gembel gila! Jangan ganggu bocah yang
tidak tahu apa-apa! Meskipun keadaanku terluka, tapi
jangan dikira bisa mengalahkanku begitu saja! Maju-
lah biar kuremukkan kepalamu...!" tantang Dewa
Elang Hitam, tanpa mempedulikan pertanyaan kakek
gembel itu.
"Kurang ajar...! Tanpa diminta pun, aku akan se-
gera mengirimmu ke neraka...!" sentak kakek itu.
Bukan lagi gema suaranya lenyap, tubuh Penge-
mis Tongkat Setan telah melesat ke depan membawa
sebuah pukulan maut yang menimbulkan angin keras.
Sepertinya, ia hendak membuat musuhnya tewas den-
gan sekali pukul!
Melihat datangnya serangan maut, Dewa Elang
Hitam tentu saja sadar akan bahaya mengancam. Tapi
karena sudah tidak bisa bergerak menghindar, maka
dengan nekat disambutnya serangan itu.
Plakkk!
"Arrrgh...!"
Dewa Elang Hitam memang berhasil mematah-
kan serangan. Tapi untuk itu ia, harus menerima ke-
nyataan pahit Tubuhnya kontan terlempar membentur
dinding baru, kemudian memuntahkan darah segar
dari mulutnya.
"Guru...?!"
Laka Sora berlari ke arah gurunya yang tampak
pucat Rupanya, ia masih juga belum rela meninggal-
kan gurunya yang tengah terancam bahaya maut ini.
"Laka Sora, kau belum juga pergi...?" desis Dewa
Elang Hitam.
Kelihatannya, kakek jangkung itu marah melihat
muridnya masih berada di tempat ini. Maka tanpa ba-
nyak bicara lagi, dicengkeramnya leher baju Laka Sora,
dan dilemparkan sekuat tenaga. Sehingga, tubuh bo-
cah itu melambung ke atas. Tapi karena tenaga Dewa
Elang Hitam sudah sangat lemah, tubuh Laka Sora ti-
dak sampai ke bibir tebing. Untunglah bocah itu cukup
cerdik dan cekatan. Maka seketika langsung tangan-
nya diulurkan menyambar akar pepohonan yang ber-
sembulan di dinding tebing itu.
Melihat Laka Sora berusaha merangkak naik,
Dewa Elang Hitam berusaha mengalihkan perhatian
Pengemis Tongkat Setan dari sosok muridnya. Seketika
dengan nekat diserangnya kakek gembel itu.
"Sambutlah seranganku, Gembel busuk...!
Haaat..!"
Seketika itu juga, tubuh Dewa Elang Hitam men-
celat ke udara. Kedua tangannya bergerak susul-
menyusul, dalam jurus 'Tinju Badai Menggulung Ja-
gad'. Meskipun demikian tenaganya telah jauh berku-
rang, namun kedahsyatan serta kehebatan jurus se-
rangannya masih tetap terlihat membahayakan.
"Cuhhh!"
Pengemis Tongkat Setan meludah dengan sikap
sangat kasar dan menghina. Kemudian tongkatnya di-
putar cepat luar biasa, sehingga lenyap menjadi gulun-
gan sinar hitam yang melebar.
Plakkk!
Tiba-tiba terjadi benturan ujung tongkat Penge-
mis Tongkat Setan dengan lengan kanan Dewa Elang
Hitam. Dan itu membuat tubuh Dewa Elang Hitam
terpental batik jatuh terjerembab ke tanah. Kembali
darah segar termuntah dari mulut kakek Jangkung
itu.
"Haaattt..!"
Sebelum Dewa Elang Hitam sempat bergerak
bangkit, Pengemis Tongkat Setan telah datang menyu-
suli serangannya. Tongkat hitam di tangannya men-
gaung, bagaikan suara ribuan lebah marah. Dan...
Desss...!
Tubuh Dewa Elang Hitam terpental deras disertai
jerit kesakitan. Dan tubuhnya kembali terbanting ke
tanah dengan napas semakin berat Hantaman tongkat
itu yang mengenai tubuhnya, membuat luka kakek
jangkung itu semakin bertambah parah.
Tapi Pengemis Tongkat Setan sama sekali tidak
mempedulikan keadaan lawannya. Tawanya terdengar
menggelegar, sebelum tubuhnya kembali melesat un-
tuk segera menghabisi nyawa Dewa Elang Hitam.
Whuttt! Prakh!
Kali ini, hantaman tongkat yang berat dan men-
gandung kekuatan hebat itu langsung menghajar ba-
tok kepala Dewa Elang Hitam yang memang sudah tak
berdaya. Seketika terdengar suara berderak keras, dari
batok kepala kakek jangkung yang pecah terkena han-
taman tongkat.
Dewa Elang Hitam tokoh sakti yang selama ini
ditakuti lawan, kini menggelepar menyedihkan bagai-
kan ayam disembelih. Sebentar kemudian gerakan tu-
buhnya pun terhenti Tewas dengan kepala pecah!
Setelah memperdengarkan suara tawa kemenan-
gannya, Pengemis Tongkat Setan berkelebat lenyap dari tempat itu. Gema tawanya masih terdengar di kejau-
han, bagaikan suara iblis tanpa wujud.
***
TIGA
"Heh heh heh...! Sekarang kau sudah tidak ber-
daya lagi untuk mempertahankan kitab itu, Pedang
Tujuh Lautan. Nah! Bersiaplah menerima kematian-
mu...!"
Kata-kata bernada dingin itu keluar dari mulut
seorang wanita berusia sekitar tiga puluh lima tahun.
Wajahnya masih terlihat cantik dengan tubuh langsing
padat Tangan kanannya langsung bergerak, siap me-
matahkan batang leher Pedang Tujuh Lautan.
"Langkahi dulu mayatku, Perempuan Iblis!" sa-
hut Pedang Tujuh Lautan.
Agaknya, meskipun sadar kalau dalam keadaan
seperti ini tidak berarti apa-apa, namun Pedang Tujuh
Lautan sama sekali tidak merasa gentar dalam meng-
hadapi kematian.
Whuttt, plakk!
Maka Pedang Tujuh Lautan berbuat nekat, me-
mapak tebasan telapak tangan miring perempuan itu
dengan seluruh kekuatan yang tersisa. Akibatnya, tu-
buh lelaki tua yang sudah lumpuh kedua kakinya itu
terpental deras. Kendati demikian, nyawanya masih
berhasil selamat dari ancaman maut
"Haaiiitt..!"
Wanita berpakaian serba hitam berambut riap-
riapan ini sama sekali tidak memberi kesempatan pada
Pedang Tujuh Lautan menarik napas lega. Tubuhnya
kembali meluncur, dengan sebuah tamparan keras
berbau maut!
Desss...!
Kali ini, Pedang Tujuh Lautan tak mampu lagi
melindungi dirinya. Tamparan keras itu langsung
membuat tubuhnya terlempar disertai muntahan da-
rah. Dan seketika lelaki gagah itu terbanting ke tanah
dengan napas terengah. Dia hanya bisa memandang
lawannya dengan sinar tajam menikam jantung. Malah
ketika wanita itu kembali melesat, Pedang Tujuh Lau-
tan tak bergeming sedikit pun. Dan....
Bukkk!
Lagi sebuah tendangan keras membuat tubuh
Pedang Tujuh Lautan melintir disertai pekik kesakitan.
Darah segar kembali termuntah. Dan kali ini, ia benar-
benar sudah dibuat sekarat oleh perempuan berambut
riap-riapan itu.
Tanpa mempedulikan keadaan laki-laki tua ini,
perempuan cantik berwajah bengis itu langsung saja
membungkuk. Seketika, diangkatnya tubuh Pedang
Tujuh Lautan dengan mencengkeram pakaiannya
menggunakan tangan kanan. Sementara tangan ki-
rinya menggerayang ke batik pakaian Pedang Tujuh
Lautan, mencari benda yang diinginkannya.
"Hih hih hih...!"
Perempuan cantik berwajah bengis itu tertawa
melengking sambil mengangkat sebuah kitab tua da-
lam genggaman tangan kiri. Kemudian, dilemparkan
tubuh Pedang Tujuh Lautan begitu saja tanpa rasa ka-
sihan sedikit pun.
"Guru...!"
Laka Sora yang baru tiba di tempat Itu, terkejut
bukan main ketika melihat keadaan gurunya. Cepat
bocah itu lari memburu, dan bersimpuh di samping
tubuh yang tengah sekarat ini.
"Guru..., bagaimana keadaanmu...?" tanya bocah
berusia sepuluh tahun itu, dengan wajah pucat dilan-
da kecemasan.
"Laka Sora.... Katakan, bagaimana keadaan De-
wa Elang Hitam...?" tanya Pedang Tujuh Lautan tanpa
mempedulikan pertanyaan muridnya.
"Beliau... beliau tewas dibunuh Pengemis Tong-
kat Setan, Guru...," jawab Laka Sora tertunduk sedih,
melihat keadaan gurunya yang tengah sekarat.
Mendengar jawaban muridnya, Pedang Tujuh
Lautan menghela napas berat Tangannya terulur
membelai kepala muridnya yang telah mewarisi dua
ilmu kedigdayaan, tanpa disadari bocah itu sendiri.
"Laka Sora, pergilah dan tinggalkan tempat ini.
Jangan sampai perempuan iblis yang berjuluk Kunti-
lanak Bunga Hitam itu, menjadi curiga dan menang-
kapmu. Sembunyikan dua ilmu mukjizat yang telah
kau pelajari dari kami...," ujar Pedang Tujuh Lautan,
lemah dan susah payah.
Tapi sayang, perintah Pedang Tujuh Lautan ter-
lambat Karena tiba-tiba saja, Kuntilanak Bunga Hitam
sudah berkelebat, dengan tangan terulur menjambret
tubuh Laka Sora. Wanita ini tampaknya curiga begitu
mendengar bocah itu menyebut guru kepada Pedang
Tujuh Lautan.
Maka, kaget bukan main hati Pedang Tujuh Lau-
tan. Selebar wajahnya langsung pucat seketika. Tapi,
sewaktu hendak memaksa bangkit, darah segar kem-
bali termuntah dari mulutnya. Dan seketika tokoh sak-
ti yang bernasib sial itu roboh, menghembuskan na-
fasnya yang terakhir
***
"Perempuan Jahat! Apa yang hendak kau laku-
kan padaku?"
Tanpa rasa gentar sedikit pun, Laka Sora menen-
tang pandangan mata Kuntilanak Bunga Hitam.
Wanita cantik berwatak telengas itu sempat ka-
get melihat keberanian bocah laki-laki ini. Melihat si-
nar mata penuh teguran ini mengertilah Kuntilanak
Bunga Hitam mengapa bocah itu menjadi murid Pe-
dang Tujuh Lautan. Selain memiliki keberanian dan
ketabahan, susunan tulangnya pun menunjukkan ba-
kat luar biasa untuk menjadi seorang ahli silat. Sesaat
ada rasa kagum di hati Kuntilanak Bunga Hitam.
"Bocah! Benarkah Pedang Tujuh Lautan adalah
gurumu?" tanya Kuntilanak Bunga Hitam, langsung
mengangkat tubuh Laka Sora tinggi-tinggi. Sehingga,
wajah keduanya kini begitu dekat. Dan suara benta-
kan itu membuat Laka Sora seperti mendengar leda-
kan petir di telinga. Akibatnya kepalanya pening untuk
beberapa saat
"Aku tidak sudi menjawab pertanyaan orang ja-
hat sepertimu!" tukas Laka Sora cepat, dengan suara
tinggi
Mendengar perkataan itu, Kuntilanak Bunga Hi-
tam sama sekali tidak marah. Bahkan bibirnya me-
nyunggingkan senyum licik. Tentu saja Laka Sora
menjadi heran. Padahal, semula ia ingin melihat pe-
rempuan berpakaian serba hitam itu marah.
"Hih hih hih...! Kasihan Pendekar Pedang Tujuh
Lautan! Murid yang dibangga-banggakan ternyata seo-
rang bocah pengecut yang tak sudi mengakui gurunya
sendiri...."
Dengan liciknya, Kuntilanak Bunga Hitam me-
mancing Laka Sora. Sepertinya, perempuan berambut
riap-riapan ini sudah dapat menilai, bagaimana watak
bocah itu.
'Perempuan jahat! Siapa bilang aku pengecut?
Kalau kau ingin jawaban dariku, dengarlah. Aku Laka
Sora, murid Pedang Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hi-
tam! Nah, apa kau puas?" jawab Laka Sora, lantang.
"Bagus! Nah! Sekarang katakanlah, ilmu apa saja
yang sudah diajarkan kedua gurumu itu?" tanya Kun-
tilanak Bunga Hitam lagi.
Diam-diam perempuan itu kaget Nyatanya bocah
ini bukan saja menjadi murid Pedang Tujuh Lautan,
bahkan juga menjadi murid Dewa Elang Hitam! Tentu
saja ia menjadi curiga dan menduga, kalau kedua
orang sakti itu telah menurunkan ilmu mukjizat yang
selama belasan tahun dicarinya.
Laka Sora terdiam mendengar pertanyaan itu.
Sejenak bocah itu teringat pesan terakhir dari gu-
runya, Pedang Tujuh Lautan. Dan ucapan itu tern-
giang-ngiang di telinganya.
"Sembunyikan dua ilmu mukjizat yang kau pela-
jari dari kami...."
Teringat akan pesan itu, Laka Sora pun bung-
kam. Tapi, Kuntilanak Bunga Hitam tentu saja sema-
kin curiga.
"Apakah kau diturunkan pelajaran tentang 'Tinju
Topan Pemecah Langit' dari Pedang Tujuh Lautan dan
'Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad' dari Dewa Elang
Hitam?" desah Kuntilanak Bunga Hitam penuh harap.
Perempuan itu berharap, bila bocah ini mempela-
jarinya, berarti tidak perlu susah-susah mencari Kitab
Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad Karena diyakini,
bocah itu telah mewarisinya dari Dewa Elang Hitam.
Tapi, kali ini Laka Sora tetap bungkam. Bocah
itu sama sekali tidak peduli, meskipun Kuntilanak
Bunga Hitam menyebutnya sebagai pengecut Karena
disadari, hinaan itu hanyalah sebuah siasat untuk
mengorek keterangan.
"Kurang Ajar!"
Plakkk!
Saking marahnya, Kuntilanak Bunga Hitam lupa
kalau yang dihadapinya hanyalah seorang bocah. Aki-
batnya, tamparan keras itu membuat Laka Sora ter-
banting keras ke tanah.
Laka Sora merasakan kepalanya berkunang-
kunang. Bumi yang dipijaknya seolah bergoyang-
goyang, membuat tubuhnya terhuyung-huyung. Tapi,
semua itu malah membuat kening Kuntilanak Bunga
Hitam berkerut Heran bukan main hatinya, melihat
bocah itu tidak tewas. Padahal, tamparannya sanggup
memecahkan baru karang sebesar kerbau bengkak!
Kuntilanak Bunga Hitam sama sekali tidak tahu, kalau
hawa mukjizat yang baru satu minggu dipelajari Laka
Sora dari kedua orang gurunya, telah melindungi dari
kematian. Dari sini dapat dilihat betapa hebat dan luar
biasanya tenaga mukjizat yang menjadi dasar pelaja-
ran Ilmu Tinju Topan dan Badai.
Merasa penasaran, Kuntilanak Bunga Hitam se-
gera melangkah maju. Kemudian, dilepaskannya se-
buah tamparan ke kepala Laka Sora.
Whuttt!
"Hei...?!"
***
Kuntilanak Bunga Hitam memekik tertahan. Be-
tapa herannya dia, melihat tubuh Laka Sora bergerak
aneh. Sehingga, tamparannya luput!
"Hm...." '!
Kuntilanak Bunga Hitam tersenyum iblis. Sadar
kalau bocah itu telah mewarisi ilmu-ilmu mukjizat dari
kedua gurunya, maka kembali diserangnya Laka Sora.
Ini dilakukan untuk memancing dan mempelajari ge-
rakan mengelak bocah itu.
"Nah! Cobalah hindari pukulan ini...!"
Dengan mengurangi tenaga dan kecepatan, Kun-
tilanak Bunga Hitam menyerang Laka Sora. Tapi sebe-
lum serangannya sampai pada sasaran, tiba-tiba ter-
dengar angin keras menyambar. Akibatnya pukulan
perempuan itu menyeleweng. Dan belum juga disadari
apa yang terjadi, berkelebat sesosok bayangan yang
langsung meluncur turun di dekat Laka Sora.
"Kurang ajar! Mengapa kau mencampuri urusan-
ku, Gembel gila!"
Kuntilanak Bunga Hitam terkejut dan marah, ke-
tika mengenali siapa orang yang membuat pukulannya
menyeleweng. Orang itu tak lain Pengemis Tongkat Se-
tan. Rupanya, pengemis gembel itu memang tengah
mencari-cari perginya bocah yang menjadi murid Dewa
Elang Hitam. Dan ketika melihat bocah itu tengah dis-
erang Kuntilanak Bunga Hitam, cepat di cegahnya. Je-
las saja, ia memang tidak ingin bocah itu jatuh di tan-
gan saingannya. Takut kalau-kalau Laka Sora itu telah
mempelajari Ilmu Tinju Badai Menggulung Jagad yang
kitabnya telah didapat, tentu saja ia tidak ingin bocah
itu jatuh ke tangan Kuntilanak Bunga Hitam.
"Hm..:. Aku tidak mencampuri urusan siapa -
siapa! Hanya saja, aku tidak suka melihat kau hendak
melukai seorang bocah!" jawab Pengemis Tongkat Se-
tan, dengan nada sama tinggi.
Setelah berkata demikian, pengemis itu mengu-
lurkan tangannya hendak menangkap tubuh Laka So-
ra. Namun mesti masih bocah, Loka Sora telah mewa-
risi ilmu-ilmu mukjizat dari kedua orang gurunya. Selain itu kecerdikannya benar-benar luar biasa. Maka
serangan itu cepat dielakkannya dengan langkah-
langkah aneh, bahkan berhasil membuat dirinya sela-
mat dari tangkapan Pengemis Tongkat Setan.
"Eh...!"
Pengemis Tongkat Setan tentu saja menjadi kaget
Secepat kilat tubuhnya berbalik, menghadapi Laka So-
ra. Tadi ia memang belum percaya kalau anak itu da-
pat menghindari tangkapannya. Maka niatnya hendak
diulang untuk memastikan, apakah Laka Sora benar-
benar dapat mengelakkan.
"Hm.... Jangan mau enaknya sendiri, Gembel gi-
la...!"
Kuntilanak Bunga Hitam tentu saja tidak tinggal
diam melihat saingannya hendak menangkap Laka So-
ra. Cepat tubuhnya bergerak dan melepaskan sebuah
pukulan keras dari samping.
Bwettt!
Pengemis Tongkat Setan yang semula hendak
menangkap tubuh Laka Sora, bergegas menarik mun-
dur tubuhnya. Dan begitu pukulan perempuan itu le-
wat di depan tubuhnya, langsung dibalasnya dengan
kibasan tongkat.
Whuttt!
Sambaran tongkat yang cepat dan kuat diiringi
suara berkesiutan, meluncur ke arah kepala Kuntila-
nak Bunga Hitam. Tapi, tokoh wanita sesat ini sama
sekali tidak gugup. Tubuhnya cepat membungkuk dan
berputar. Kemudian dilepaskannya satu hantaman ke
arah badan tongkat yang menyambar lewat di depan-
nya.
Plakk!
"Aiiih...!"
Pengemis Tongkat Setan memekik tertahan, ketika luncuran tongkat itu menyambar cepat ke arahnya.
Tapi kekagetan itu hanya sekejap saja, karena kakek
gembel itu cepat menguasai keadaan. Lalu dengan se-
dikit membungkuk, tongkatnya diputar di atas kepala,
dan kembali menyambar mengancam Kuntilanak Bun-
ga Hitam.
"Bagus...!" puji Kuntilanak Bunga Hitam.
Pertarungan kedua orang tokoh sakti itu terus
berlanjut sengitnya. Kuntilanak Bunga Hitam kini su-
dah menggunakan senjata rahasia, berbentuk bunga
melati berwarna hitam. Senjata itu terbuat dari baja pi-
lihan dan telah direndam dalam ramuan beracun. Be-
gitu cepat senjata rahasia itu dilepaskan, membuat
Pengemis Tongkat Setan sempat menjadi sibuk meng-
halaunya. Tapi, 'Ilmu Silat Tongkat Setan' milik pen-
gemis itu pun membuat Kuntilanak Bunga Hitam tidak
boleh lengah. Sedikit saja pikirannya terganggu, nis-
caya tongkat kakek gembel itu akan menghajar tubuh-
nya. Dan Kuntilanak Bunga Hitam memang tidak mau
memandang rendah lawan yang kepandaiannya cukup
diakuinya.
Sementara pertarungan kedua orang tokoh itu
berlangsung, Laka Sora yang sadar kala dirinya men-
jadi rebutan, diam-diam mengambil keputusan untuk
meninggalkan tempat ini. Tubuhnya segera bergerak
mundur perlahan-lahan dan tetap mengawasi kedua
orang yang tengah bertarung. Dan ketika merasa su-
dah agak jauh, tubuhnya berbalik dan melarikan diri
meninggalkan tempat itu.
Tanpa mempedulikan rasa lelah dan tubuh serta
pakaiannya yang tersayat duri dari pohon-pohon di se-
kitarnya, Laka Sora terus berlari sekuat tenaga. Bebe-
rapa kali ia jatuh terguling terantuk akar pohon yang
mencuat dari dalam tanah. Tapi, bocah itu tidak peduli. Ia ingin berlari sejauh-jauhnya, untuk menghindari
kedua orang yang dianggapnya telah gila itu. Tapi....
"Aaahh...?!"
***
Laka Sora yang merasa yakin kalau dirinya akan
dapat terbebas dari kedua orang tokoh sakti itu, tiba-
tiba menghentikan larinya. Sepasang matanya terbela-
lak, melihat dua sosok tubuh yang berdiri menghadang
di depannya. Mereka adalah Pengemis Tongkat Setan
dan Kuntilanak Bunga Hitam. Rupanya, kedua orang
tokoh sesat itu telah mengetahui kepergiannya. Dan
mereka pun langsung menunda perkelahian, untuk
mengejar Laka Sora.
"Hm..., mau lari ke mana kau, Bocah?" tegur
Pengemis Tongkat Setan. Dia berdiri di sebelah kanan
Kuntilanak Bunga Hitam, dalam jarak kurang dari dua
tombak.
Kuntilanak Bunga Hitam sendiri sama sekali ti-
dak berbicara. Hanya sepasang matanya saja yang
menyorot tajam seperti hendak menelan wajah Laka
Sora.
Tapi bocah ini tidak kehilangan akal. Setelah ter-
diam sejenak mencari jalan untuk dapat bebas dari
kedua orang itu, bibirnya pun tersenyum tipis meman-
dang kedua orang tokoh itu bergantian.
"Hm.... Siapakah di antara kalian berdua yang
menjadi pemenang pertarungan tadi? Dan tentu saja
aku akan suka ikut dengan salah satu dari kalian.
Tentunya yang lebih sakti...," ujar Laka Sora bersiasat
Tapi, ucapan Laka Sora malah disambut tawa
berkakakan. Sebagai orang-orang golongan sesat, per-
kara siasat dan kelicikan tentu saja mereka adalah ba-
pak moyangnya. Maka tak heran mereka kontan tertawa begitu mendengar ucapan bocah itu.
Dan setelah tawa itu berhenti, mereka melang-
kah perlahan-lahan mendekati Laka Sora. Sorot mata
mereka jelas mengandung ancaman, dan siap untuk
saling mendahului membekuk Laka Sora.
Melihat gelagat tidak baik, Laka Sora bergerak
mundur-mundur. Kemudian tubuhnya berbalik dan
berlari meninggalkan tempat itu sekuatnya. Tapi.;.,
"Hua ha ha...!"
Pengemis Tongkat Setan tertawa bergelak, dan
tahu-tahu sudah berdiri satu tombak di depan Laka
Sora.
"Jangan mimpi dapat lolos dari kami, Bocah!"
ujar Kuntilanak Bunga hitam tersenyum mengejek.
Perempuan bengis namun kelihatan cantik itu
berkacak pinggang di sebelah kiri Pengemis Tongkat
Setan, dalam jarak satu setengah tombak.
Seperti telah sepakat, tiba-tiba kedua orang to-
koh sesat itu bergerak untuk menangkap Laka Sora.
Seolah, keduanya tengah berlomba ketangkasan. Dan
Laka Sora sebagai hadiahnya.
Tapi, saat Laka Sora tengah kebingungan, tiba-
tiba berhembus angin keras yang disusul berkelebat-
nya dua sosok bayangan Seketika, kedua bayangan itu
masing-masing langsung memapak lengan Pengemis
Tongkat Setan dan Kuntilanak Bunga Hitam.
Plakk, plakkk!
Terdengar benturan keras, ketika lengan kedua
tokoh sesat itu terasa seperti membentur sebatang be-
si. Keduanya mencelat mundur, sambil memijat lengan
masing-masing. Memang, saat berlomba untuk saling
mendahului menangkap Laka Sora, mereka tidak men-
gerahkan banyak tenaga. Sehingga begitu ada yang
menggagalkan, mereka pun kalah tenaga. Apalagi, tenaga orang yang menggagalkan niat mereka tadi begitu
kuatnya.
"Bedebah! Bosan hidup, kau rupanya!" geram
Pengemis Tongkat Setan. Seketika senjatanya disilang-
kan di depan dada, setelah diputar di atas kepala.
"Hm..., Siapa berani main-main dengan Kuntila-
nak Bunga Hitam...?"
Kuntilanak Bunga Hitam menggeram gusar. Se-
pasang matanya menyorot tajam, ke arah dua sosok
tubuh yang kini berdiri di dekat bocah yang dipere-
butkan itu.
***
EMPAT
Sementara dua sosok yang kini sudah berdiri te-
gak itu sama sekali tidak terkejut, ketika Kuntilanak
Bunga Hitam menggertak dengan menyebutkan julu-
kannya sendiri. Sikap dua sosok yang ternyata sepa-
sang anak muda itu tetap tenang, meskipun tatapan
kedua tokoh sesat begitu mengiriskan seperti hendak
menembus jantung.
"Aku mengenal kalian berdua. Tapi perbuatan
kalian yang hendak mencelakakan bocah, tak bisa ku-
biarkan begitu saja. Seharusnya, kalian sebagai tokoh
besar merasa malu dengan mengeroyok seorang bo-
cah," kata sosok yang berjubah putih,
Tekanan suara pemuda berjubah itu terdengar
mengandung perbawa kuat Bahkan sikapnya tenang,
membuat kedua orang tokoh sesat ini menjadi curiga,
dan memperhatikan lebih teliti. Seolah, mereka hendak
mengenali siapa adanya pemuda tampan berjubah putih itu.
Sementara sosok yang berdiri di sebelah pemuda
tampan berjubah putih itu adalah seorang gadis beru-
sia sekitar delapan betas tahun. Agaknya, gadis yang
bukan main cantiknya ini hanya berdiam diri saja. Ku-
litnya yang putih terlihat semakin bersinar, karena pa-
kaian hijau yang dikenakannya demikian pas dengan
warna kulit tubuhnya.
Setelah meneliti ciri-ciri kedua anak muda itu,
balk Pengemis Tongkat Setan maupun Kuntilanak
Bunga Hitam mulai dapat menduga. Kedua tokoh sesat
yang semula saling bersaing ini berpandangan sesaat.
Dan dalam pandang mata yang hanya sekejap, seper-
tinya mereka telah sepakat mengenali, terutama terha-
dap pemuda tampan berjubah putih itu.
"Hm.... Rasanya aku sudah dapat memastikan
namamu, Kisanak. Kalau tidak salah lihat, kau pasti
Pendekar Naga Putih," kata Kuntilanak Bunga Hitam,
tanpa melepaskan pandangan matanya dari wajah
tampan di depannya.
"Dugaanmu tidak salah, Kuntilanak Bunga Hi-
tam. Tapi siapa pun aku, yang jelas akan tetap menen-
tang perbuatan jahat kalian berdua!" jawab pemuda
tampan berjubah putih, yang memang Panji alias Pen-
dekar Naga Putih.
Ucapan terakhir Panji demikian tandas dan te-
gas, menunjukkan sikapnya sebagai ksatria. Sedang-
kan gadis di sebelahnya yang tak lain dari Kenanga,
masih terlihat diam. Namun dari sikapnya, terlihat
waspada.
"Tidak peduli apa pun yang kau katakan, Pende-
kar Naga Putih! Yang jelas, kau nyata-nyata hendak
melawan kami, bukan?"
Kali ini Pengemis Tongkat Setan yang berbicara.
Sorot matanya demikian tajam, seolah hendak mene-
lan tubuh Pendekar Naga Putih bulat-bulat!
"Sudah kukatakan, aku akan menentang setiap
bentuk kejahatan. Siapa pun adanya, aku tidak pedu-
li!" tukas Panji kembali menegasi sikapnya.
"Hm.... Kau tahu, apa sebabnya kami mengingin-
kan bocah itu, bukan? Bocah itu adalah murid Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hitam. Dan dia telah
mewarisi 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang pernah
menggemparkan dunia persilatan. Kau tentu pernah
mendengar tentang perebutan kedua kitab ilmu mukji-
zat itu, belasan tahun silam. Dan kau juga mungkin
pernah dengar, bahwa Pedang Tujuh Lautan dan Dewa
Elang Hitam merupakan dua sahabat baik sebelum
terjadi perebutan kitab itu.
Sejenak wanita kejam itu menghentikan penjela-
sannya. Entah, apa maksudnya. Mungkin hendak me-
lihat tanggapan Pendekar Naga Putih. Namun nya-
tanya Panji malah manggut-manggut sambil meme-
gangi dagunya.
'Tapi, setelah masing-masing mendapatkan se-
buah, terjadilah permusuhan di antara mereka tanpa
ada seorang pun yang mau mengalah. Kedua kitab itu
apabila digabungkan akan menjadi sebuah ilmu dah-
syat tak tertandingi. Tapi, baik Pendekar Pedang Tujuh
Lautan maupun Dewa Elang Hitam sama-sama bersi-
keras ingin merebut kitab masing-masing, sampai ak-
hir hayat mereka. Sekarang, bocah itulah yang menjadi
pewaris keduanya. Dan apabila berita ini sampai ter-
sebar keluar, maka tokoh-tokoh persilatan dari berba-
gai aliran akan saling berebutan untuk mendapatkan
bocah itu. Maka kemungkinan besar, kau pun memili-
ki keinginan yang sama. Dan pasti kau ingin mengua-
sai bocah itu sendiri!"
Kuntilanak Bunga Hitam menghentikan ceri-
tanya. Ditatapnya wajah Pendekar Naga Putih, seperti
hendak membaca apa yang tergambar di wajah pende-
kar muda itu.
Sebenarnya apa yang diceritakan Kuntilanak
Bunga Hitam memang sempat membuat Panji maupun
Kenanga kaget bukan main. Mereka memang pernah
mendengar tentang dua kitab itu dari guru masing-
masing. Dan menurut apa yang pernah didengar, ke-
dua kitab kuno itu adalah peninggalan seorang tokoh
maha sakti, yang telah berumur ratusan tahun. Kalau
sekarang kedua Ilmu mukjizat itu telah diwarisi oleh
bocah yang mereka tolong, artinya nyawa bocah itu
untuk selanjutnya akan selalu diincar bahaya. Dan
sudah pasti, bocah itu akan menjadi rebutan.
"Aku memang sangat suka ilmu silat. Tapi rasa
suka itu tidak akan membuatku tergila-gila. Sebalik-
nya, dari apa yang kalian berdua pikirkan, aku malah
merasa kasihan terhadap nasib bocah malang ini. Dia
pasti tidak akan pernah mengalami ketenangan dalam
hidupnya. Dan demi keadilan, nyawaku akan ku perta-
ruhkan demi menyelamatkan bocah ini dari orang-
orang serakah dan gila ilmu silat! Dan karena kedua
ilmu mukjizat itu telah jatuh ke tangan bocah malang
ini, menurutku itu memang sudah menjadi kehendak
Tuhan. Dialah yang berkuasa mengatur segalanya...,"
sanggah Panji.
"Persetan dengan ocehanmu yang seperti pertapa
itu, Pendekar Naga Putih! Apa pun alasanmu, yang je-
las kau hendak menyerakahi bocah itu untuk mencuri
ilmunya!" bentak Pengemis Tongkat Setan dengan
amarah meluap. Dan kakinya sudah melangkah maju,
sambil memutar-mutar tongkat kayu besinya.
"Nampaknya kita harus merebut bocah itu dari
tangannya, Pengemis Tongkat Setan....," gumam Kunti-
lanak Bunga Hitam.
Perempuan Ini tidak lagi memanggil kakek itu
dengan sebutan gembel gila. Tentu saja, karena ia ti-
dak ingin bermusuhan dalam keadaan seperti itu.
"Terserah. Aku tidak peduli dengan tuduhan ka-
lian. Dan kalau menghendaki bocah ini, kalian harus
melangkahi dulu mayat kami berdua...!" tegas Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih bersiap untuk
menghadapi pertarungan. Disadari, kedua orang calon
lawannya ini adalah tokoh ternama dari golongan hi-
tam. Bahkan terbilang datuknya kaum sesat.
"Kalau begitu sambutlah seranganku, Pendekar
Naga Putih...! Haaattt...!"
Whukkkk!
Pengemis Tongkat Setan sudah langsung mener-
jang Pendekar Naga Putih dengan sambaran tongkat
kayu besinya. Senjata itu meluncur berputar-putar,
menimbulkan tiupan angin menderu-deru. Angin yang
bertiup keras itu membuat pepohonan yang ada dalam
jarak dua tombak, berderak-derak bagaikan dilanda
topan.
Tapi, Panji sudah siap menghadapinya dengan
'Ilmu Silat Naga Putih'. Cepat dihindarinya setiap sam-
baran tongkat yang mengarah tubuhnya. Bahkan lang-
sung melepaskan serangan balasan yang diiringi! hawa
dingin menusuk tulang. Sebentar saja, kedua tokoh ini
sudah terlibat perkelahian sengit yang mendebarkan.
***
Sementara itu, Kuntilanak Bunga Hitam juga ti-
dak tinggal diam. Tokoh wanita sesat ini sudah maju
menerjang Kenanga. Sengaja yang dipilihnya sebagai
lawan bertarung adalah dara jelita itu. Menurut pikirannya, gadis itu sudah pasti tidak akan setangguh
Pendekar Naga Putih. Maka begitu melancarkan seran-
gan, Kuntilanak Bunga Hitam sudah mengeluarkan il-
mu andalannya. Ia ingin selekas mungkin merobohkan
dara jelita ini dan segera membawa lari Laka Sora.
Tapi, tentu saja Kuntilanak Bunga Hitam terlalu
gegabah bila menduga dapat mudah merobohkan Ke-
nanga. Kendati kepandaiannya tidak sehebat Panji, ta-
pi Kenanga bukan lawan ringan. Apalagi, gadis itu
pernah membuat geger rimba persilatan, sehingga diju-
luki sebagai Bidadari Iblis.
"Haiiittt...!"
Kuntilanak Bunga Hitam mencecar Kenanga
dengan serangkaian pukulan maut Sepasang tangan-
nya bergerak cepat luar biasa, menyambar-nyambar
disertai deru angin pukulan yang keras bukan main.
Tampak sekali tokoh wanita sakti, beraliran sesat ini
sudah mengerahkan seluruh tenaganya, agar dapat
melumpuhkan Kenanga dalam waktu singkat
Tapi bukan main kaget hati Kuntilanak Bunga
Hitam, ketika mendapat perlawanan yang gigih dari
dara jelita itu. Serangan-serangan pertamanya bukan
saja dapat digagalkan, bahkan juga mendapat seran-
gan balasan dari Kenanga. Dan ini sempat membuat
Kuntilanak Bunga Hitam terdesak mundur. Sebenar-
nya, ini terjadi bukan karena kepandaian Kenanga le-
bih unggul tapi karena wanita sesat itu terlalu me-
mandang enteng. Dia tidak begitu memperhatikan per-
tahanan diri, akibatnya jadi rugi sendiri.
Whuttt!
Sebuah tebasan sisi telapak tangan miring Ke-
nanga cepat dielakkan Kuntilanak Bunga Hitam den-
gan merunduk dan menekuk kedua kakinya. Kemu-
dian tokoh sesat wanita ini melompat berputar, sambil
melancarkan tendangan sepenuh tenaga.
Kenanga segera menarik mundur tubuhnya
hingga doyong ke belakang. Maka tendangan itu me-
mang berhasil dihindarinya. Tapi, betapa kagetnya Ke-
nanga, ketika Kuntilanak Bunga Hitam masih menyu-
suli dengan serangkaian tendangan cepat dan kuat
Sehingga seolah kedua kaki wanita sesat itu telah be-
rubah menjadi baling-baling.
Karena merasa tak mungkin untuk menghindar,
Kenanga cepat mengangkat tangan kanannya. Lang-
sung ditangkisnya tendangan samping yang mengan-
cam pelipisnya.
Plakk!
"Aaaah!"
Kenanga memekik tertahan, karena lengannya
terasa lumpuh untuk sesaat begitu benturan terjadi.
Dari sini bisa diukur kalau kekuatan tenaga dalamnya
masih berada di bawah Kuntilanak Bunga Hitam. Aki-
batnya, Kenanga kontan terhuyung mundur sampai
hampir satu tombak. Maka kesempatan itu digunakan
Kuntilanak Bunga Hitam sebaik-baiknya.
"Hyaaatt..!"
Sing, sing, sing!
Seiring bentakan keras, Kuntilanak Bunga Hitam
mengebutkan tangannya. Seketika tiga buah sinar hi-
tam meluncur dengan kecepatan laksana sambaran ki-
lat ke arah Kenanga. Rupanya, Kuntilanak Bunga Hi-
tam melepaskan senjata-senjata rahasia yang menjadi
ciri khasnya.
Kenanga memang bukan gadis penakut Tapi me-
lihat lesatan tiga sinar hitam yang meluncur bagai kilat
diiringi suara berdesingan, dia agak gugup juga. Un-
tungnya, selama berpetualang bersama Panji, ia selalu
mendapatkan bimbingan dalam menyempurnakan ilmu silatnya. Terutama sekali, penyempurnaan ilmu
pedang. Sehingga begitu sinar hitam itu mendekat,
dengan gerakan cepat bukan main, Pedang Sinar Bu-
lan yang melibat pinggangnya, diloloskan. Lalu pe-
dangnya langsung dikibaskan menyambut datangnya
senjata-senjata gelap itu.
Trakkk, tring, tring!
Kecepatan dan ketepatan gerak Kenanga mem-
buat ketiga senjata berupa bunga melati berwarna hi-
tam itu berguguran jatuh ke tanah. Bahkan satu di an-
taranya terbelah menjadi dua, karena senjata yang di-
gunakan untuk menangkis memang bukan sembarang
pedang.
Kuntilanak Bunga Hitam yang tak menyangka
serangannya akan menemui kegagalan, menjadi gusar
bukan main, Disertai lengkingan panjang yang meng-
getarkan jantung, tubuhnya meluncur cepat dengan
serangan-serangan jauh lebih mengerikan. Memang,
kali ini tokoh sesat wanita ini sudah menggunakan ca-
kar-cakarnya yang berkuku panjang dan runcing!
Namun dengan Pedang Sinar Bulan-nya, Ke-
nanga menyambut datangnya serangan wanita sesat
itu. Pada pertarungan ini, tampak Kenanga agak lebih
tenang. Memang dengan Pedang Sinar Bulan di tangan
yang memancarkan hawa dingin, kekasih Pendekar
Naga Putih itu bisa mengimbangi permainan Kuntila-
nak Bunga Hitam. Maka kini pertarungan terlihat ma-
sih seimbang, meskipun telah memasuki jurus yang
ketiga puluh.
Di arena lain, Panji yang menghadapi gempuran
Pengemis Tongkat Setan, mulai berada di atas angin.
Betapapun hebatnya 'Ilmu Tongkat Setan' yang dimiliki
kakek itu, tetap saja tidak sanggup menandingi kece-
patan gerak Pendekar Naga Putih dalam penggunaan
'Ilmu Silat Naga Sakti'. Sosok Panji yang kini hanya be-
rupa bayangan putih saja, bergerak turun naik. Sepa-
sang tangannya menyambar-nyambar bergantian men-
gincar pertahanan lawan. Kini pemuda itu tak ubah-
nya seekor naga perkasa yang melayang-layang di uda-
ra tengah menunjukkan keperkasaannya. Dan di lain
saat, tubuhnya menukik turun bagaikan hendak melu-
ruk ke dalam bumi. Inilah yang membuat Pengemis
Tongkat Setan menjadi kelabakan. Sehingga, pengemis
itu hanya mampu membuat benteng pertahanan den-
gan putaran tongkat besinya. Sedangkan untuk mem-
balas serangan, jelas sudah tidak mampu.
"Yeaaahhh...!"
Suatu ketika, Panji melepaskan pukulan jarak
jauh dengan tangan kanannya, tepat begitu meluncur
turun. Kelihatannya, Pendekar Naga Putih hendak
membobol putaran tongkat yang menjadi benteng per-
tahanan lawannya.
Breeshhh…..!
"Aaakh...?!"
Pengemis Tongkat Setan terpekik kaget, begitu
pukulan jarak jauh Pendekar Naga Putih tepat menge-
nai bagian tengah senjatanya. Seketika tongkat itu ter-
pental ke udara dalam keadaan patah menjadi tiga.
Sementara tubuh kakek gembel itu sendiri tampak
terhuyung-huyung dengan wajah memucat.
"Haaaattt..!"
Melihat kakek gembel itu masih belum juga ro-
boh dan kelihatan masih hendak melanjutkan perta-
rungan, Panji langsung melesat cepat bagai kilat. Ke-
dua tangannya menyambar cepat, melakukan dua kali
tamparan keras ke tubuh pengemis itu.
Plakk, desss!
"Ugghhh!"
Kali ini tanpa ampun lagi, tubuh Pengemis Tong-
kat Setan terpelanting dan terbanting keras ke tanah.
Darah segar kontan termuntah dari mulutnya. Hanta-
man Panji memang telak mengenai lambung dan dada
kanannya, sehingga membuat kakek gembel itu tidak
mampu untuk segera bangkit. Nafasnya terasa berat,
membuat wajahnya semakin pucat. Cepat kakek itu
mengatur pernafasannya untuk meredakan guncangan
dalam tubuhnya. , Tapi, Panji sudah tidak mempeduli-
kan keadaan lawannya lagi. Apalagi saat itu kekasih-
nya tampak tengah berusaha mati-matian menghalau
setiap serangan kuku-kuku runcing Kuntilanak Bunga
Hitam. Jelas, Kenanga tengah terdesak hebat. Malah
mungkin tidak akan mampu bertahan dalam lima ju-
rus lagi
"Kuntilanak Bunga Hitam, jaga seranganku...!"
Setelah memberi peringatan agar tidak dituduh
membokong, Panji melayang ke tengah ajang pertarun-
gan. Sepasang tangannya langsung melancarkan se-
rangan kilat, yang membuat Kuntilanak Bunga Hitam
terpaksa melupakan Kenanga. Maka langsung disam-
butnya serangan Pendekar Naga Putih.
Kuntilanak Bunga Hitam yang merasa tetap pal-
ing hebat, segera mengangkat kedua tangannya. Cepat
dipapakinya tamparan dan dorongan tangan Panji, se-
hingga kedua pasang lengan itu saling bertemu.
Plakk! Plakkk!
Terdengar suara nyaring, sehingga membuat u-
ara sekitar bergetar akibat benturan yang terjadi. Dan
Kuntilanak Bunga Hitam benar-benar harus menerima
kenyataan pahit Tangkisan itu justru membuat kedua
lengannya terasa dingin, bagaikan terbungkus salju
tebal. Kuda-kudanya pun tergempur, membuat tubuh-
nya terhuyung-huyung sampai setengah tombak lebih.
"Hahhh!"
Sambil membentak nyaring, Kuntilanak Bunga
Hitam mengerahkan hawa murni untuk mengusir ha-
wa dingin yang membekukan kedua lengannya. Kemu-
dian, kembali dia bersiap untuk menghadapi Pendekar
Naga Putih!
Kuntilanak Bunga Hitam belum juga memulai se-
rangan. Ia hanya bergerak melangkah ke kiri dan ka-
nan dengan sorot mata tertuju lurus pada sepasang
bola mata Pendekar Naga Putih. Tampak wajahnya
memancarkan keraguan menghadapi lawan yang di-
perkirakan berkepandaian sangat tinggi ini.
Terlebih, ketika melihat tidak nampaknya batang
hidung Pengemis Tongkat Setan. Tahulah Kuntilanak
Bunga Hitam kalau kakek gembel itu tentu telah pergi
setelah dikalahkan Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Sayang, aku tidak mempunyai banyak
waktu untuk bermain-main denganmu, Pendekar Naga
Putih. Biarlah lain kali kita lanjutkan pertarungan
ini...," ujar Kuntilanak Bunga Hitam.
Rupanya, wanita itu menyadari kalau keadaan-
nya yang tidak menguntungkan. Apalagi, di situ masih
ada dara jelita berpakaian serba hijau yang cukup
tangguh, selain Pendekar Naga Putih. Maka dengan li-
ciknya ia mengajukan alasan untuk menunda perkela-
hian.
Panji hanya tersenyum mendengar alasan Kunti-
lanak Bunga Hitam. Tentu saja, Pendekar Naga Putih
bukanlah anak kecil yang bisa dikelabuhi dengan ala-
san gombal wanita itu. Tapi dia sama sekali tidak men-
cegah ketika Kuntilanak Bunga Hitam melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau biarkan iblis wanita itu pergi, Ka-
kang? Lain kali dia pasti akan membuat masalah lagi
dengan kita...," tanya Kenanga.
Gadis itu memang merasa penasaran terhadap
Kuntilanak Bunga Hitam. Karena, ia nyaris dibuat ce-
laka kalau saja Panji tidak keburu membantu. Padahal
semula kekasihnya diharapkan akan memberi hajaran
kepada wanita tokoh sesat itu. Mendapat kenyataan
ini, Kenanga jadi kecewa melihat tokoh sesat itu di-
biarkan pergi begitu saja.
"Untuk apa memaksa lawan yang sudah tidak in-
gin bertempur, Kenanga. Bagaimana kalau wanita itu
tidak melakukan perlawanan saat kuserang? Kemu-
dian, seranganku malah mengenai sasaran dan mene-
waskannya? Bukankah aku akan menyesal dan berdo-
sa seumur hidup?" bantah Panji.
Kenanga hanya menggelengkan kepala, tak bisa
membantah. Kemudian pandangannya dialihkan ke
arah tempat bocah yang mereka tolong itu berada. Dan
hatinya merasa lega, ketika melihat bocah itu muncul
dari balik semak-semak, dan terus melangkah meng-
hampiri Panji dan Kenanga.
***
LIMA
"Aku Laka Sora, menghaturkan hormat kepada
Paman dan Bibi berdua yang telah sudi menolongku.
Aku berjanji, kelak akan membalas budi baik ka-
lian...," ucap bocah itu sambil merangkapkan kedua
tangannya dan membungkuk hormat ketika tiba di de-
pan Panji dan Kenanga.
Kenanga dan Panji merasa kagum melihat sikap
dan tutur kata bocah yang seusia demikian sudah
mengenal tatakrama demikian halus. Ucapannya ini
terdengar sopan penuh rasa hormat Sikapnya pun de-
mikian halus. Dan ini membuat sepasang pendekar
muda ini tersenyum.
"Anak baik, dengarlah," ujar Kenanga disertai se-
nyum seraya mengelus rambut kepala Laka Sora pe-
nuh kasih. "Sebagai manusia, kita wajib saling tolong
menolong. Dan apa yang kami berdua lakukan tadi,
jangan dianggap sebagai budi yang harus dibalas. Ka-
lau menolong orang dengan mengharapkan balasan,
itu tidak berarti sama sekali. Kau mengerti...?"
'Terima kasih, Bibi. Nasihat itu akan kusimpan
dalam hati agar dapat selalu kuingat...," ujar Laka So-
ra.
Bocah itu langsung saja merasa suka kepada
Kenanga. Dan ia jadi terharu, merasakan belaian pe-
nuh kasih sayang yang dapat dirasakan dari telapak
tangan wanita cantik jelita bagai bidadari itu.
"Laka Sora.... Apakah kau masih mempunyai
orangtua?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih langsung menatap wajah
bocah lelaki itu disertai perasaan kasihan. Apalagi mu-
lai saat ini Laka Sora akan menjadi rebutan kaum per-
silatan. Memang, telinga orang-orang persilatan tak
ubahnya hidung seekor anjing. Dan Panji tahu pasti,
berita tentang bocah yang telah mewarisi 'Ilmu Tinju
Topan dan Badai' akan segera menggegerkan rimba
persilatan.
"Masih, Paman...," sahut Laka Sora.
Terus terang, bocah ini tidak bisa menyembunyi-
kan kekagumannya kepada lelaki tampan berjubah pu-
tih, yang didengarnya berjuluk Pendekar Naga Putih.
Apalagi, penolongnya ini berkepandaian hebat luar bi-
asa, sehingga mampu mengalahkan dua orang jahat
yang saling memperebutkan dirinya tadi. .
"Katakan, siapa mereka? Dan, di mana tempat
tinggalnya? Kami berdua akan mengantar kamu sam-
pai tiba di rumah orangtua mu dengan selamat," lanjut
Panji. Tentu saja, Pendekar Naga Putih mengambil ke-
putusan untuk mengantarkan bocah itu, tanpa peduli
akan halangan yang bakal dijumpainya dalam perjala-
nan.
"Ayahku memiliki sebuah perguruan yang terle-
tak di dekat Desa Simpang, Paman. Tapi aku tidak ta-
hu, harus lewat mana untuk menuju desa itu. Yang
Jelas, kedua orang yang kemudian menjadi guruku, te-
lah menculik dan membawaku pergi selama kurang le-
bih tujuh hari...," jawab Laka Sora. Kelihatannya, bo-
cah itu agak bingung setelah memberi keterangan ke-
pada Pendekar Naga Putih.
Mendengar jawaban Laka Sora, Panji dan Kenan-
ga termenung beberapa saat Mereka berusaha mengin-
gat, kalau-kalau mereka pernah melewati desa itu se-
lama berpetualang. Tapi meskipun berusaha keras
mengerahkan ingatan untuk mengetahui letak Desa
Simpang, pada akhirnya mereka berdua yakin kalau
belum pernah mendengar atau melewati desa itu.
"Apa nama perguruan yang dipimpin ayahmu itu,
Laka Sora?" tanya Panji, mencari cara lain. Ia berha-
rap, nama perguruan yang dipimpin orangtua bocah
ini cukup terkenal. Sehingga, dapat ditentukan arah
tujuan dengan pasti.
'Perguruan ayah, bernama Harimau Putih, Pa-
man. Apakah Paman pernah mendengarnya?" tanya
Laka Sora, berharap penolongnya mengenal perguruan
yang dipimpin orangtuanya.
"Hhh.... Sayang, aku belum pernah mendengar-
nya, Laka Sora. Sudahlah tidak perlu dipusingkan.
Dan untuk mencari desa tempat tinggalmu, kita bisa
mencari keterangan dari pedagang-pedagang keliling.
Biasanya, mereka banyak tahu tentang nama-nama
desa...," ujar Panji ketika tidak juga tahu, di mana
adanya Perguruan Harimau Putih.
Laka Sora tidak banyak bertanya lagi ketika Ke-
nanga menuntun tangannya meninggalkan tempat itu.
Dan bocah itu merasa aman berada dalam perlindun-
gan dua orang penolongnya yang sangat digdaya ini.
***
Hari masih pagi. Sinar matahari belum seluruh-
nya jatuh menghangati permukaan bumi. Semilir angin
pun masih terasa agak dingin. Panji, Kenanga, dan La-
ka Sora yang memasuki sebuah desa yang cukup pa-
dat penduduknya, sudah langsung singgah di kedai
makan di tepi jalan.
Panji memilih tempat agak ke sudut. Kemudian,
dipesannya makanan kepada seorang pelayan yang da-
tang menghampirinya. Pelayan itu bergegas me-
nyiapkan pesanan untuk tiga orang tamunya.
"Sudah dua hari kita melakukan perjalanan. Tapi
keterangan tentang Desa Simpang atau Perguruan Ha-
rimau Putih, sama sekali belum didapatkan. Bahkan,
beberapa orang pedagang keliling yang kita tanyai, ju-
ga belum pernah mendengarnya...," tutur Kenanga
membuka percakapan. Tapi dalam nada suaranya sa-
ma sekali tidak mencerminkan keluh.
"Mungkin Desa Simpang masih sangat jauh dari
tempat ini. Apalagi bila mengingat Pendekar Pedang
Tujuh Lautan dan Dewa Elang Hitam yang sampai
memerlukan waktu tujuh hari untuk membawa pergi
Laka Sora. Jadi bisa disimpulkan, Desa Simpang tentu
masih sangat jauh dari sini. Toh yang penting, kita tidak terburu-buru dalam melakukan perjalanan," sahut
Panji perlahan. Dia memang tidak ingin kalau pembi-
caraan ini sampai mengganggu orang-orang yang se-
dang makan.
Pembicaraan terhenti ketika pelayan kedai da-
tang membawa makanan pesanan Panji. Tepat ketika
pelayan itu menyelesaikan tugasnya, mereka makan
dengan tenang tanpa berbicara lagi.
Tak lama mereka makan. Begitu selesai, Panji
segera beranjak untuk membayar semua makanan
yang dipesan. Baru setelah itu mengajak Kenanga dan
Laka Sora untuk segera melanjutkan perjalanan.
Ketika tiba di luar kedai, mereka berpapasan
dengan empat orang lelaki yang semuanya berpakaian
coklat tua. Keempat orang yang hendak memasuki ke-
dai ini, seketika menghentikan langkah. Langsung me-
reka menatap sepasang pendekar muda itu, serta Laka
Sora dengan kening berkerut.
"Kisanak, tunggu sebentar...!"
Tiba-tiba salah seorang yang berkumis lebat ber-
seru, mencegah langkah ketiga orang yang sejak tadi
diperhatikannya.
Panji yang saat berpapasan melihat gerak-gerik
keempat orang itu mencoba bersikap tenang. Dia tahu,
keempat lelaki berpakaian coklat itu dari dunia persila-
tan.
Kendati demikian, tetap saja hatinya berdebar te-
gang! Pendekar Naga Putih menduga, mungkin saja be-
rita tentang Laka Sora sudah tersebar luas. Tapi untuk
memastikan, Panji memberi isyarat agar Kenanga ber-
balik. Tampak lelaki berkumis lebat itu sudah meng-
hampiri.
"Ada keperluan, Kisanak?" tanya Panji.
Nada suara Panji terdengar disertai senyum ramah. Kepalanya pun segera mengangguk ke arah tiga
lelaki berpakaian coklat lain, yang saat itu juga tengah
memperhatikan. Terutama, ke arah Laka Sora. Maka
Panji pun mengambil sikap waspada.
"Kisanak nampaknya bocah itu terlalu tua untuk
menjadi putra kalian berdua. Benarkah ia anak ka-
lian...?" tanya lelaki berkumis lebat itu langsung mena-
tap Panji dan Laka Sora berganti-ganti.
Panji tetap berusaha bersikap tenang. Jelas, per-
tanyaan lelaki berkumis lebat itu. menandakan kalau
berita tentang Laka Sora sudah sampai ke telinga
kaum rimba persilatan.
"Kisanak benar. Ia memang terlalu tua untuk
menjadi putra kami. Tapi bocah itu keponakan kami,
yang kebetulan tinggal bersama kami...," jawab Panji
tetap ramah dan sopan.
"Apakah kalian penduduk desa ini...?" desak le-
laki berkumis lebat itu, terus menatap semakin curiga.
"Maaf..."
Kenanga yang merasa bahwa pertanyaan lelaki:
berkumis lebat itu sungguh keterlaluan, langsung saja
melangkah maju. Ditatapnya lelaki itu dengan sorot
mata mencerminkan kegusaran hatinya.
"Sebenarnya, siapakah Kisanak ini? Dan, apa
hak Kisanak bertanya-tanya tentang kami? Tinggal di
sini atau bukan, itu urusan kami sendiri! Dan aku ti-
dak suka terhadap pertanyaan dan sikap Kisanak yang
mencurigai kami!" lanjut Kenanga.
Demikian lantang dan tajam kata-kata Kenanga,
hingga menarik perhatian orang yang berlalu-lalang.
Seketika, banyak orang-orang yang ingin mengetahui
apa yang tengah terjadi. Kerumunan orang desa yang
semakin bertambah, membuat lelaki berkumis lebat ini
gusar. Wajahnya tampak merah-padam. Apalagi, ketika mendengar suara bisik-bisik di antara penduduk.
Sementara Panji segera berbalik untuk melan-
jutkan langkah, meninggalkan tempat itu bersama Ke-
nanga dan Laka Sora. Melihat hal ini, laki-laki bertam-
pang kasar itu makin gusar. Sehingga....
"Berhenti...!"
Terdengar bentakan keras menggelegar. Rasa
marah dan malu, membuat lelaki berkumis lebat ini
bukan lagi sekadar membentak. Tubuhnya langsung
mencelat berjumpalitan di atas kepala Panji, Kenanga,
dan Laka Sora. Kemudian, tubuhnya meluncur turun
dengan gerakan ringan dan mantap.
"Awas pukulan...!"
Tanpa bertanya lagi, lelaki berkumis lebat itu
langsung saja melancarkan sebuah pukulan ke dada
Panji. Meskipun perbuatannya sudah keterlaluan, tapi
sempat memberikan peringatan sebelumnya. Tanda
bahwa ia bukanlah orang telengas.
Melihat datangnya pukulan, Panji segera tahu
kalau lelaki berkumis lebat itu hanya sekadar menguji
dan tidak bermaksud mencelakai. Panji hanya terse-
nyum tipis, tidak berusaha mengelakkan pukulan itu.
Karena dugaannya pukulan itu belum tentu dilan-
jutkan. Sementara Kenanga yang memang sudah jeng-
kel, apalagi melihat Panji sama sekali tidak bergerak
sedikit pun, langsung saja melepaskan tendangan un-
tuk menghantam balik pukulan itu.
Plagg!
"Aaahhh...?!"
Lelaki berkumis lebat itu kontan memekik kesa-
kitan! Kecepatan tendangan Kenanga, membuatnya ti-
dak sempat menarik pulang pukulannya. Sehingga,
lengannya jadi terpental balik dan terasa nyeri sampai
ke tulang. Hal itu terjadi, karena pukulan yang dilepaskannya sama sekali tidak dialiri kekuatan tenaga
dalam. Karena, lelaki berkumis lebat ini memang tidak
bermaksud mencelakai Panji. Ia hanya ingin menguji,
apakah pemuda yang dicurigainya pandai silat atau ti-
dak. Tapi tindakan Kenanga telah membuatnya yakin.
Ternyata orang-orang yang dihadapi memang berisi.
"Hm.... Kau pasti pemuda yang dijuluki Pendekar
Naga Putih! Dan bocah ini adalah pewaris 'Ilmu Tinju
Topan dan Badai' yang dicari-cari tokoh-tokoh persila-
tan! Sejak pertama, memang aku yakin tidak salah li-
hat!" ujar lelaki berkumis lebat ini, yang langsung
memberi isyarat kepada ketiga orang kawannya untuk
mengepung.
Walaupun sejak tadi sudah curiga, tapi tetap saja
Panji terkejut Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau
mulai dari desa ini, perjalanannya tidak akan aman la-
gi. Tapi itu bukan berarti kalau akan mundur. Yang je-
las Laka Sora akan tetap diantarkannya kepada orang-
tuanya. Apa pun yang akan terjadi.
"Serahkan bocah itu kepada kami...!" bentak le-
laki berkumis lebat itu sambil melompat. Tangannya
sudah terulur hendak menangkap tubuh Laka Sora.
"Jangan ganggu bocah itu...!" seru Panji, lang-
sung mengibaskan tangan kirinya memotong gerak le-
laki berkumis lebat itu dari samping.
Dukkk!
"Aaakhh...?!"
Lagi-lagi terdengar pekik kesakitan dari laki-laki
berkumis itu. Kali ini bahkan lebih parah. Meskipun
saat hendak merebut Laka Sora sudah mengerahkan
tenaga dalam, tapi tetap saja kibasan tangan Panji ti-
dak sanggup ditahannya. Sehingga, lelaki berkumis le-
bat ini sibuk memijat-mijat lengan kanannya yang te-
rasa remuk.
"Keparat! Terima pembalasanku...!"
Seketika salah satu dari ketiga lelaki berpakaian
coklat yang menerjang dengan golok besar di tangan,
membentak marah. Dan senjatanya langsung me-
nyambar, mengancam iga Panji.
"Kenanga! Bawa Laka Sora menyingkir! Biar aku
yang menghadapi mereka...!" seru Panji, langsung me-
mutar tubuhnya dengan sebuah lompatan pendek.
Tangan kanannya langsung berputar dan melibat len-
gan yang memegang golok besar itu. Kemudian, lang-
sung dilepaskannya satu sikutan keras.
Desss!
Orang itu kontan kaget dan menjadi marah den-
gan mata membeliak. Perutnya telak sekali terkena so-
dokan siku Panji. Karuan saja tubuhnya terbungkuk,
sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas bu-
kan main.
Sementara dua orang penyerang lain yang me-
luncur datang, langsung disambut Panji dengan tam-
paran dan tangkisan. Yang seorang terpental dengan
bibir pecah terkena tamparan, sedang yang satunya
lagi melintir akibat terhantam tangkisan Panji yang
amat kuat.
"Hm.... Kalau hanya memiliki kepandaian seren-
dah ini, sebaiknya kalian pulang saja. Jangan ikut-
ikutan hendak memperebutkan bocah ini! Percuma!
Kalian tidak akan berhasil. Malah, mungkin kalian
akan tewas sia-sia," ujar Panji.
Tentu saja perkataan Panji bukan bermaksud
menghina keempat orang lelaki itu. Tap! lebih tepat
merupakan nasihat yang agak keras.
Setelah merasakan kepandaian Pendekar Naga
Putih yang melindungi bocah itu, tampaknya keempat
lelaki berpakaian coklat itu tahu did. Apalagi, setelah
mendengar kata-kata pemuda itu, sehingga mereka
saling bertukar pandang sesaat.
'Terima kasih atas pelajaran yang berharga ini,
Pendekar Naga Putih. Setelah merasa kan kepan-
daianmu, kami sadar kalau ilmu yang kami miliki ter-
nyata masih sangat rendah. Dan memang, kami belum
pantas memperebutkan bocah itu..."
Setelah berkata demikian, lelaki berkumis lebat
yang menjadi pemimpin, segera berbalik dan melang-
kah ke arah kuda yang ditambatkannya. Begitu dia
melompat naik ke atas punggung kudanya, segera
membedalnya tanpa menoleh lagi. Sedang tiga orang
kawannya segera mengikuti.
"Syukurlah mereka tahu diri...," gumam Panji
menarik napas lega, ketika keempat orang itu sudah
jauh tak terlihat lagi. Memang sungguh tidak disangka
kalau persoalan itu dapat demikian mudah dan cepat
selesai, tanpa pertumpahan darah.
"Hm.... Apakah aku harus tahu diri, Pendekar
Naga Putih...?"
Tiba-tiba terdengar sebuah pertanyaan yang
membuat Panji terkejut. Karena dalam suara itu terda-
pat getaran tenaga dalam yang membuat dadanya ber-
debar. Cepat Panji menoleh ke arah asal suara.
Sedangkan Kenanga dan Laka Sora sudah lebih
dulu melihat, siapa orang yang mengeluarkan perta-
nyaan itu. Dia adalah seorang lelaki bertubuh sedang,
namun terlihat padat berisi. Dan kelihatan-nya, dia
menyembunyikan kekuatan hebat Usianya tidak terla-
lu tua, paling jauh empat puluh tahun. Wajahnya tam-
pak angkuh dan memancarkan perbawa. Di kiri dan
kanannya berdiri dua orang lelaki bertelanjang dada,
yang tingginya melebihi ukuran manusia. Sekali lihat
saja, orang tentu dapat menduga kalau kedua orang
bertubuh raksasa itu adalah pembantu dari lelaki ber-
tubuh sedang yang pada punggungnya tergantung dua
batang pedang.
Panji sama sekali tidak menjawab pertanyaan
itu. Diperkirakannya ketiga orang itu yang mulai me-
langkah mendekat Dan rasanya, Pendekar Naga Putih
tidak berani memandang remeh, karena disadari kalau
tokoh-tokoh tingkat tinggi akan bermunculan untuk
memperebutkan Laka Sora. Dan menurut pengliha-
tannya, lelaki bersenjatakan sepasang pedang ini bu-
kanlah lawan ringan. Tapi, tentu saja Panji sama sekali
tidak gentar untuk menghadapinya.
"Namaku memang tidak sekondang nama besar-
mu, Pendekar Naga Putih. Aku Malayang, penguasa
pantai timur. Dan terpaksa tempat kediamanku sela-
ma ini kutinggalkan, ketika mendengar munculnya
seorang bocah yang mewarisi ilmu-ilmu mukjizat Den-
gan melupakan kebodohan sendiri, aku ingin coba-
coba mengadu nasib. Siapa tahu, aku berjodoh dengan
'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang mukjizat itu...," ujar
lelaki yang mengaku bernama Malayang. Kata-kata
Malayang terdengar merendah, namun sikapnya ang-
kuh. Dan kelihatannya, Malayang sangat yakin akan
mendapatkan apa yang menjadi keinginannya. Dia me-
rasa yakin, karena dua orang raksasa di kiri dan ka-
nannya merupakan pembantu yang menakutkan.
"Kau terlalu merendah, Malayang. Padahal, keli-
hatannya kau mempunyai peluang yang cukup baik
untuk dapat merebut bocah ini dari tanganku. Apalagi,
jika melihat dua ekor kerbau peliharaan mu yang su-
dah siap menerjang dengan tanduk-tanduknya. Nah,
mengapa tidak lekas bertindak, agar bisa cepat selesai
dan kau dapat kembali ke pantai timur. Meskipun, un-
tuk itu kau mungkin akan sedikit luka...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih tahu lelaki bernama Ma-
layang itu, sehingga sengaja menutupi kesombongan-
nya dengan ucapannya yang merendah. Padahal
keangkuhannya tampak menonjol lewat sikapnya. Je-
las, ucapannya yang merendah itu bukan berasal dari
dalam hati.
Mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, dua
orang raksasa di kiri dan kanan tokoh pantai Amur ini
menggereng marah. Sorot mata mereka memancarkan
api, seperti hendak membakar tubuh pemuda tampan
berjubah putih itu. Panji sendiri hanya tersenyum,
tanpa gentar sedikit pun.
Tapi, ucapan itu sama sekali tidak membuat Ma-
layang marah. Diberinya isyarat kepada kedua orang
bertubuh raksasa itu untuk tetap berdiri di tempatnya.
Kelihatannya, Malayang memang belum ingin bertin-
dak. Entah, apa yang ditunggunya.
Semula, Panji agak heran juga ketika melihat
Malayang masih tenang-tenang saja. Tapi ketika mem-
perhatikan mata tokoh pantai timur itu yang kerap me-
lirik ke kanan secara sembunyi-sembunyi, Panji pun
ikut melirik dengan sudut matanya. Dan Pendekar Na-
ga Putih menjadi terkejut ketika melihat adanya tokoh-
tokoh lain yang tengah memperhatikan dirinya. Bah-
kan ketika Panji secara sambil lalu menyapu sekitar
tempat itu matanya melihat banyak orang menyandang
senjata. Berdebar dada Panji ketika menyadari kalau
sekitar tempat itu telah dipenuhi tokoh persilatan. Un-
tungnya, mereka tidak ada yang berani memulai, dan
saling menunggu satu sama lain.
Kenanga agak heran juga, ketika melihat ada ke-
tegangan membayang di wajah kekasihnya. la tahu be-
tul, kekasihnya selalu bersikap tenang kendati meng-
hadapi ancaman maut. Dan kalau kini ada gambaran
ketegangan pada wajah Panji, Kenanga menduga ada
sesuatu di sekitar tempat itu.
Merasa penasaran, Kenanga mengedarkan pan-
dangan matanya ke sekitar tempat itu. Dan ketika me-
lihat adanya orang-orang menyandang senjata tengah
memperhatikan secara sembunyi dan terang-terangan
seperti Malayang, tahulah Kenanga kalau keadaan be-
nar-benar gawat!
"Nampaknya mereka saling menunggu, dan tidak
ada yang berani bertindak lebih dulu. Ini merupakan
keuntungan buat lata. Meskipun kita pergi dari tempat
ini, mereka pasti tidak berani turun tangan mendahu-
lui. Mereka akan mengikuti kita. Tapi, bila melihat di
tempat ini banyak berkumpul tokoh hebat, rasanya ki-
ta akan aman untuk sementara waktu...," bisik Panji
kepada Kenanga. Kemudian, diajaknya dara jelita itu
untuk melangkah tanpa melenyapkan kewaspadaan.
Laka Sora pun tidak banyak bicara. Meskipun ti-
dak tahu apa yang tengah terjadi, tapi firasatnya mera-
sakan ada bahaya yang mengintai. Maka, tanpa ba-
nyak cakap, diturutinya saja ketika Kenanga menarik
tangannya.
***
ENAM
Ketika Panji mengajak Kenanga dan Laka Sora
bergerak menyusuri jalan utama desa dengan langkah
perlahan, tak satu pun dari sekian banyak tokoh yang
bergerak. Mereka hanya saling berpandangan satu sa-
ma lain, menunggu siapa yang akan mengi-kuti Pen-
dekar Naga Putih lebih dulu. Masing-masing ingin
mengetahui, siapa saja tokoh yang sudah berada di de-
sa itu. Memang, tidak semua tokoh menunjukkan diri
secara terang-terangan.
Panji sendiri diam-diam merasa agak lega. Ter-
nyata telah lebih dua tombak berjalan, tak mendengar
suara langkah yang mengikuti Pendekar Naga Putih
tahu, apabila ada tokoh yang memulai pertarungan,
maka yang lain akan mendapat keuntungan untuk
merebut bocah itu tanpa susah payah. Maka ketika
sudah hampir tiga tombak belum juga terdengar ada
yang mengejar, Panji langsung memberi isyarat kepada
Kenanga untuk segera berlari dengan mengerahkan
kepandaiannya.
Ketika melihat Pendekar Naga Putih dan gadis
berpakaian serba hijau yang tak pernah melepaskan
cekalan pada pergelangan bocah bernama Laka Sora
sudah agak jauh, barulah tokoh-tokoh persilatan itu
menjadi kaget Tanpa diperintah, mereka yang berada
dalam kedai dan bersembunyi di samping rumah-
rumah penduduk, berlompatan keluar melakukan
pengejaran.
Tokoh pantai timur yang semula juga hanya di-
am menunggu, ikut pula melesat, diikuti kedua orang
pengawalnya yang bertubuh raksasa. Kini baru dapat
dilihat, tokoh-tokoh mana yang memiliki peluang un-
tuk dapat mengejar Pendekar Naga Putih, setelah me-
reka mengerahkan seluruh kepandaian ilmu lari ce-
patnya. Dan salah satu tokoh yang berlari paling de-
pan adalah Malayang. Kemudian dua orang kakek
kembar berkepala botak, bersenjatakan tongkat yang
pada bagian kepalanya terdapat bola berduri sebesar
kepalan tangan.
Malayang sendiri tidak mempedulikan dua orang
pengawalnya yang tertinggal hampir dua tombak di belakangnya. Yang ada dalam pikirannya saat itu, sece-
patnya mengejar Pendekar Naga Putih. Padahal saat
itu Panji sudah kira-kira sepuluh tombak lebih depan.
Panji dan Kenanga yang mencekal erat tangan
Laka Sora, terns berlari mengerahkan segenap ke-
mampuan untuk dapat lolos dari kejaran tokoh-tokoh
persilatan. Bukannya mereka takut menghadapi ke-
royokan, tapi ini demi keselamatan Laka Sora. Kalau
nekat meladeni tokoh-tokoh itu, sudah pasti Panji ti-
dak bisa melindungi Laka Sora. Dan kemungkinan be-
sar, bocah itu akan berhasil dilarikan oleh salah satu
dari sekian banyak tokoh yang memperebutkannya.
Bahkan tidak kecil kemungkinan akan tewas dalam
rebutan. Beberapa alasan inilah yang membuat Panji
mengambil keputusan untuk menghindari setiap ben-
trokan, jika memang masih bisa dihindari.
Tapi, ancaman itu rupanya bukan hanya berada
agak jauh di belakangnya.
Singngng, singngng...!
Ternyata ketika Panji hendak menyeberangi se-
batang sungai yang cukup lebar, tiba-tiba terdengar
suara angin berdesingan menuju ke arahnya. Tahulah
Panji kalau dirinya diserang secara gelap.
"Haaiiittt..!"
Pendekar Naga Putih berseru nyaring, sambil ce-
pat melempar tubuhnya ke udara. Dari suara samba-
ran angin serangan, dapat diketahui betapa hebatnya
tenaga penyerang gelap itu. Sehingga kecepatan benda
berwarna hitam mengkilat yang ternyata paku-paku
beracun itu, bagaikan sambaran kilat saja ketika lewat
di bawahnya. Sadarlah Panji kalau penyerangnya ada-
lah tokoh berkepandaian tinggi. Hanya saja memang
belum bisa diduga, dari golongan mana si penyerang
itu.
Tapi dalam keadaan seperti sekarang, Panji su-
dah tidak lagi melihat perbedaan antara golongan hi-
tam dan golongan putih. Yang jelas, mereka semua
tengah saling berlomba memperebutkan Laka Sora,
yang telah mewarisi 'Ilmu Tinju Topan dan Badai'.
Hingga sayangnya, tak seorang pun yang tahu kalau
kedua kitab yang berisikan ilmu silat mukjizat itu telah
jatuh ke tangan Kuntilanak Bunga Hitam dan Penge-
mis Tongkat Setan. Bahkan Panji dan Kenanga pun
tak tahu. Maka bila berita itu juga tersiar, mungkin
kedua orang datuk sesat itu pun akan menemui kesu-
litan. Jadi, bukan tidak mungkin kalau sebagian tokoh
akan beralih mencari kedua datuk sesat itu.
Panji yang berhasil menyelamatkan diri dari se-
rangan gelap itu, meluncur turun dengan ringannya.
Tapi sebelum kakinya menginjak tanah, kembali telin-
ganya menangkap sambaran angin berdesingan. Ge-
ram juga hatinya, karena tokoh yang bersembunyi di
antara semak-semak yang banyak terdapat di tepi
sungai itu kembali melepaskan serangan licik!
Menyadari hal ini, Panji mengambil keputusan
untuk menunggu datangnya senjata-senjata gelap itu.
dan begitu mendarat, matanya langsung menatap ta-
jam kilatan benda-benda putih yang meluncur deras
mengancam delapan jalan darah besar di tubuhnya.
"Hmhhh...!"
Sambil menggeram jengkel, Pendekar Naga Putih
menyilangkan kedua tangan di depan dada untuk
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya. Kemudian
tubuhnya dimiringkan, ketika delapan batang senjata
itu tiba dekat. Lalu....
Tap, tap, tappp!
Dengan kecepatan yang sukar diikuti mata, Panji
menangkap kedelapan batang pisau terbang yang me
luncur ke arahnya. Dan begitu senjata berhasil ditang-
kap, langsung dikembalikan ke arah senjata itu beras-
al.
"Hahhh!"
Terdengar bentakan keras yang mengiringi kiba-
san tangan Panji, ketika mengembalikan senjata-
senjata gelap itu. Seketika terdengar suara berkesiutan
yang menyakitkan telinga. Bahkan akan membuat ke-
pala pening, bagi yang belum memiliki tenaga dalam
tinggi. Dan kedelapan batang pisau terbang itu terus
meluncur cepat, melebihi datangnya tadi. Dan....
Prass, prasss...!
Kedelapan pisau terbang itu langsung lenyap di
dalam rimbunan semak-belukar, namun tak lama ke-
mudian terdengar lengkingan tinggi yang berkepanjan-
gan. Dan sebentar saja melesat dua sosok tubuh dari
semak-semak, lalu terus melambung berputaran di
udara.
"Haiiittt..!"
Seperti sengaja ingin memamerkan ilmu merin-
gankan tubuh yang mengagumkan, kedua sosok tubuh
itu kembali membentak diikuti putaran tubuhnya be-
berapa kali. Lalu, mereka meluncur turun dengan san-
gat mengagumkan
"Hua ha ha...! Ternyata nama besar yang kau
sandang memang bukan nama kosong, Pendekar Naga
Putih...! Aku benar-benar kagum dan hormat kepada-
mu...!"
Pujian yang diiringi tawa terbahak-bahak itu di-
keluarkan oleh seorang lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahun, berpakaian kembang-kembang seperti pa-
kaian perempuan Rambutnya tergelung rapi ke atas,
dihias tusuk konde yang bagian pangkalnya berupa
ukiran kepala seekor burung gagak. Kakek itu terbahak-bahak dengan kerasnya.
Panji menghela napas berat, tidak mempedulikan
ucapan kakek itu. Dan kepalanya pun sudah berpaling
ke sosok kedua, yang ternyata seorang nenek berkulit
keriput Anehnya, wajahnya didandani sedemikian ru-
pa. Sehingga, ia seperti seorang gadis genit saja. Ram-
butnya yang putih pun digelung ke atas kepala, juga
dihiasi tusuk konde berukiran kepala burung gagak.
Nenek ini terkekeh dan berkedip-kedip genit ke arah
Panji.
Setelah meneliti wajah dan penampilan kedua
orang tua itu, Panji segera teringat akan suami-istri
sinting yang dikabarkan memiliki kepandaian mengi-
riskan. Tapi, jarang sekali orang yang melihat mereka
berdua, karena memang jarang muncul ke dunia ra-
mai. Kendati demikian, kabar tentang kesaktian dan
kegilaan mereka sudah cukup terkenal dalam kalan-
gan persilatan. Tapi, kini, ternyata mereka menampak-
kan diri terang-terangan. Jelas, mereka pun tertarik
akan kabar yang tersiar luas di luaran.
"Hm.... Kalau aku tidak salah tebak, kalian ber-
dua pasti yang dijuluki Sepasang Gagak Sinting...?"
ujar Panji berusaha menebak. Memang baik sikap
maupun cara berpakaian, menunjukkan kalau suami-
istri itu kurang waras.
"Hyeeeh, hieh, hiiihhh...!" tawa aneh nenek genit
itu melengking seperti suara ringkik kuda yang ganjil.
"Kau bukan saja tampan dan gagah, Pendekar Naga
Putih. Tapi juga pandai...."
Kembali nenek itu mengerjap-ngerjapkan mata-
nya sambil tersenyum memamerkan gigi-giginya yang
kehitaman akibat kesukaannya mengunyah daun sirih.
"Genit!"
Kakek berpakaian kembang-kembang yang menjadi suami dari nenek itu mengumpat dengan mulut
dimonyongkan Kelihatannya, ia merasa cemburu meli-
hat istrinya melirik-lirik kepada Pendekar Naga Putih.
"Hendak kulihat, apakah kau masih suka apa-
bila dia sudah menjadi bangkai...!" sambung kakek itu.
Dan baru saja kalimat itu selesai diucapkan, ta-
hu-tahu saja tubuh kakek itu sudah lenyap dari tem-
patnya. Yang terlihat hanya sesosok bayangan hitam,
meluncur ke arah Panji disertai suara mencicit susul-
menyusul.
"Gila...!" seru Panji kaget
Tahu-tahu saja, sepasang tangan kakek gila yang
membentuk paruh burung, sudah tiba mengancam ke-
selamatannya!
Wrett! Bweett!
"Aaaiiih...!"
Sepasang tangan yang berbentuk paruh burung
itu nyaris menyambar Pendekar Naga Putih. Untunglah
pada saat yang gawat, Panji sudah melempar tubuh-
nya bergulingan di atas rumput. Tapi itu bukan berarti
bahaya sudah lewat. Ternyata, sepasang tangan kakek
gila itu masih terus mengejar dengan sambaran-
sambaran yang tak ubahnya sebatang pedang ampuh.
Mau tak mau, Panji terpaksa terus bergulingan untuk
menyelamatkan diri.
"Haaiiittt..!"
Ketika serangan itu terus saja mengejarnya bagai
tak berkesudahan, Pendekar Naga Putih menjadi jeng-
kel. Dan begitu melihat kesempatan yang hanya seke-
jap mata, Panji membentak nyaring menggetarkan jan-
tung, disusul lentingan tubuhnya. Sedangkan tangan
kanannya terus mengibas sambil berputaran.
Bwweeett.. plakk!
"Aiihh...?!"
Kali ini, ganti kakek gila itu yang memekik terta-
han. Kibasan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga
dalam tinggi sebagai pelampiasan kejengkelannya,
membentur tangan kakek itu hingga terjajar mundur.
Wajahnya sedikit pucat, kaget merasakan hawa sedin-
gin es yang menerpa dada dan meresap ke tangan ka-
nannya.
"Hebat luar biasa...! Itukah 'Tenaga Sakti Gerha-
na Bulan' yang mukjizat..?" seru kakek itu, ketika ber-
hasil mengatasi kekagetannya, dan mengusir hawa
dingin dalam tubuhnya.
'Tapi, ternyata tidak cukup ampuh untuk mem-
buatmu terluka. Bukankah itu yang hendak kau kata-
kan selanjutnya, Kakek Sinting?" tukas Panji.
Dan sebenarnya, Pendekar Naga Putih kaget, me-
lihat kakek gila itu sanggup menahan gempuran
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya. Dan itu membukti-
kan, betapa hebatnya kesaktian kakek gila itu. Padah-
al, jarang ada tokoh yang sanggup menahan tenaga
mukjizatnya. Kini Panji sadar kalau kabar tentang ke-
saktian Sepasang Gagak Sinting memang bukan isa-
pan jempol belaka.
Kenanga yang berdiri agak dekat tepi sungai di
bawah sebatang pohon bersama Laka Sora hanya me-
mandang cemas. Setelah melihat perkelahian barusan,
gadis itu pun sadar kalau kepandaian kakek gila Itu
sangat berbahaya. Memang, belum tentu kakek itu da-
pat mengalahkan kekasihnya. Tapi, di situ masih ada
si nenek gila yang genit Dan kalau mereka maju ber-
sama-sama, sulit bagi Kenanga untuk memastikan,
apakah Panji akan dapat mengalahkan mereka berdua.
Pikiran ini membuat wajah jelitanya menjadi muram,
mencerminkan kecemasan yang mendalam.
Rasa cemas dan perhatian yang seluruhnya terpusat ke arah Panji, membuat Kenanga lengah. Dan
gadis itu bam tersentak kaget, ketika telinganya me-
nangkap suara angin pukulan dari belakangnya. La-
lu...
Deesss...!"
Meskipun pada saat terakhir Kenanga sempat
berbalik dan memiringkan tubuhnya, tapi tetap saja
bahu kanannya terkena serangan curang itu! Akibat-
nya Kenanga kontan memekik tertahan. Tubuhnya
terhuyung limbung, sambil meringis menahan rasa sa-
kit pada bahunya. Bahkan tangan kanannya sulit dige-
rakkan.
"Keparat licik...!" bentak Kenanga penuh kema-
rahan.
Wajah gadis itu yang semula merah dengan sinar
mata berapi, mendadak pucat ketika melihat Laka Sora
telah berada dalam cengkeraman Malayang. Tokoh
pantai timur yang licik itu tampak terkekeh, kemudian
melesat pergi membawa tubuh Laka Sora yang telah
tertotok lumpuh.
"Bangsat tak tahu malu, kembalikan bocah itu
kepadaku...!" maid Kenanga kalang-kabut
Cepat gadis itu melesat, setelah mencabut Pe-
dang Sinar Bulan dan menggenggamnya di tangan kiri.
Meskipun tidak selincah tangan kanan, namun Kenan-
ga cukup ahli menggunakan tangan kiri.
Sementara Panji yang tengah bertarung dengan
kakek gila berpakaian kembang-kembang tentu saja
kaget bukan main, ketika mendengar bentakan keka-
sihnya. Lebih kaget lagi, ketika kepalanya menoleh dan
melihat Kenanga tengah berusaha mencegah kepergian
orang yang memondong tubuh Laka Sora.
"Celaka...!" desis Panji. Dan ini membuatnya
menjadi lengah. Maka....
Desss...!
Sebuah hantaman telapak tangan kakek gila itu
bersarang di tubuhnya, membuat Panji terlempar ke
belakang dengan napas agak sesak. Kendati demikian,
Pendekar Naga Putih masih dapat menahan daya lon-
tar tubuhnya agar tidak sampai jatuh terbanting ke
tanah. Dengan dua kali putaran, tubuhnya meluncur
turun sejauh dua tombak dari lawannya.
Dan begitu kakinya menginjak tanah, Panji ber-
balik. Seketika Pendekar Naga Putih melesat mening-
galkan lawannya, karena lebih mengkhawatirkan kese-
lamatan Laka Sora. Dan ia dapat mengenal, siapa
orang yang berhasil merebut bocah itu dari tangan ke-
kasihnya. Sebenarnya, agak heran juga hatinya meli-
hat Laka Sora dapat direbut Malayang. Karena meski-
pun Malayang memiliki kepandaian tinggi, tapi belum
tentu akan begitu mudah dan cepat dapat mengalah-
kan kekasihnya. Dan Panji menduga, tokoh pantai ti-
mur itu pasti berbuat curang dalam merebut, Laka So-
ra dari tangan Kenanga.
"Malayang! Serahkan bocah itu kepadaku...!"
bentak Panji.
Pendekar Naga Putih terus melesat cepat tanpa
mempedulikan keadaannya yang nafasnya masih agak
sesak, akibat pukulan kakek gila tadi.
Malayang yang saat itu tengah berloncatan
menghindari sambaran pedang Kenanga, sempat terke-
jut melihat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur den-
gan kecepatan tinggi. Tapi, tokoh pantai timur ini me-
narik napas lega, ketika melihat dua orang raksasa
yang menjadi pengawalnya sudah bergerak menyam-
but kedatangan Pendekar Naga Putih.
Melihat hal ini geram bukan main hati Panji.
Mau tidak mau, gerakannya harus dirubah, dan menujukan serangannya ke arah salah seorang dari kedua
pembantu Malayang.
Tampaknya, salah satu dari raksasa kembar ini
begitu yakin akan kekuatan tenaganya. Apalagi tubuh
mereka kuat dan kebal terhadap pukulan maupun
senjata tajam. Tak heran, mereka begitu berani mene-
rima pukulan Panji dengan tubuhnya. Bahkan telah
siap mengirimkan pukulan maut sebagai balasannya.
Tapi, sama sekali mereka tidak sadar kalau yang
kali ini dihadapi adalah seorang pendekar yang sudah
banyak membuat datuk kaum sesat tunggang-
langgang. Sehingga....
Desss!
"Haaagghh...!"
Kepalan Panji telak menghajar dada lawannya
yang sombong. Akibatnya, tubuh raksasa botak itu ter-
jengkang keras ke tanah. Dari sela mulutnya tampak
mengalir darah segar, setelah mendapat pukulan Panji
yang berisikan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Tampak
raksasa botak itu menggigil kedinginan.
Kini, Panji tidak lagi mempedulikan raksasa bo-
tak yang sombong itu. Tubuhnya sudah langsung me-
lesat, mengejar Malayang yang saat itu sudah lolos dari
serangan pedang Kenanga. Tokoh pantai timur itu ten-
gah berlari, sementara Kenanga berusaha mengejar
dengan seluruh kemampuan.
"Haaiitt..!"
Panji memekik nyaring. Tubuhnya sudah meleset
cepat ke udara, lalu berjumpalitan beberapa kali.
Begitu meluncur turun ujung kakinya langsung
menotol, sehingga kembali melesat dan berjumpalitan
dengan cepat Jelas, Pendekar Naga Putih telah menge-
rahkan seluruh kepandaian dalam upaya mengejar
Malayang. Bahkan kini Pendekar Naga Putih berhasil
menyusul Kenanga, sehingga tertinggal satu setengah
tombak di belakangnya.
Sementara itu, di belakang Kenanga tampak para
tokoh persilatan ikut berlarian mengejar Malayang. Se-
dangkan Sepasang Gagak Sinting juga tak] ketingga-
lan, di antara tokoh-tokoh itu.
***
TUJUH
Kepandaian ilmu lari cepat Malayang, ternyata
sangat tinggi. Dan begitu Panji telah memperpendek
jarak, tokoh pantai timur itu menambah lagi kecepa-
tannya. Bahkan dengan liciknya, Malayang mengambil
jalan melalui pepohonan lebat Dan ini membuat so-
soknya kadang lenyap ditelan kelebatan pepohonan.
Maka, akhirnya Panji kehilangan jejak buruannya.
"Kurang ajar! Ke mana larinya manusia licik
itu...!" geram Panji.
Terpaksa Pendekar Naga Putih menghentikan la-
rinya, ketika tiba di sebuah tempat terbuka dan cukup
luas. Di situ, ia tidak melihat bayangan Malayang. Ter-
paksa pandangan matanya beredar mencari-cari, ka-
lau-kalau tokoh licik dari pantai timur itu bersem-
bunyi.
Selagi Panji melangkah perlahan sambil menge-
rahkan ketajaman pendengaran, muncul Kenanga
yang langsung menghampirinya. Napas gadis jelita ini
tampak agak terengah. Butir-butir peluh menghias ke-
ningnya.
"Ke mana perginya bangsat curang itu, Ka-
kang...?" tanya Kenanga.
Gadis itu berusaha mengatur jalan nafasnya, ka-
rena telah melakukan pengejaran dengan pengerahan
seluruh kemampuan. Ia merasa lelah sekali. Terlebih,
tangan kanannya masih terasa linu bila digerakkan.
"Aku kehilangan jejaknya...," sahut Panji.
Pendekar Naga Putih lantas berpaling, menatap
wajah kekasihnya. Keningnya langsung berkerut ketika
melihat dara jelita itu memegang pedang dengan tan-
gan kiri.
"Kau terluka, Kenanga...?" tanya Panji mengulur-
kan tangan memeriksa luka kekasihnya.
Kenanga mengangguk lemah, lalu menceritakan
apa yang dilakukan Malayang dalam upaya menda-
patkan Laka Sora. Dan Panji hanya mengangguk tipis.
Tanpa bicara lagi, segera dirabanya lengan kekasihnya.
Tangannya terus bergerak ke bahu, yang terkena se-
rangan licik Malayang. Kenanga meringis ketika Panji
memijat bagian bahunya.
Melihat bagian bahu Kenanga menderita luka
memar yang berwarna kehitaman, Panji segera me-
mijat perlahan. Kemudian, dioleskannya minyak gosok
untuk obat luka luar, yang diambil dari dalam bunta-
lan pakaiannya.'
Ketika Panji menyudahi gerakannya dan kembali
merapikan baju bagian bahu Kenanga, dara jelita itu
menggerak-gerakkan tangan kanannya. Kemudian di-
cobanya menyalurkan tenaga dalam. Dan kini se-
nyumnya langsung mengembang, ketika rasa linu itu
tidak lagi dirasakannya. Meski masih terasa agak ka-
ku, tapi sudah bisa digunakan untuk memainkan pe-
dang.
Kenanga yang hendak mengatakan sesuatu, ter-
paksa bungkam ketika Panji mengisyaratkan untuk di-
am. Sadar kalau kekasihnya mendengar sesuatu, gadis
itu pun menelan ucapannya. Kemudian dia bergerak,
mengikuti langkah Panji tanpa banyak tanya.
Dengan setengah berlari, Panji bergerak ke arah
kanan tempatnya berdiri. Baru, kemudian, tubuhnya
berkelebat mengerahkan ilmu lari cepat, begitu suara
yang semula samar semakin jelas terdengar. Dan Panji
yakin, itu suara orang bertempur.
Tidak berapa lama, Panji berhenti melesat, dan
langsung menemukan sumber suara pertempuran.
Dan hatinya sempat bersorak, karena yang tengah ber-
tarung ternyata itu Malayang.
Tokoh pantai Timur itu nampak kelabakan,
menghadapi serangan dua orang yang dikenali Panji
sebagai Sepasang Gagak Sinting. Tentu saja Pendekar
Naga Putih heran, karena suami-istri sinting itu ter-
nyata sudah berada di sana dan tengah mengeroyok
Malayang. Dan Panji langsung geram ketika melihat
tokoh licik itu menggunakan tubuh bocah dalam pon-
dongannya sebagai tameng. Sehingga, Sepasang Gagak
Sinting seringkali menarik pulang pukulan ataupun
tamparannya. Dan tentu saja, mereka tidak ingin me-
lukai bocah yang tengah jadi rebutan itu.
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Kenanga, memin-
ta pendapat Panji.
"Biar bagaimanapun, kita harus dapat merebut
Laka Sora dari tangan manusia-manusia serakah
itu...," jawab Panji tegas.
Seketika Pendekar Naga Putih melesat keluar da-
ri balik pohon tempatnya bersembunyi, dan langsung
menuju ajang pertempuran.
"Hyeeh hieeeh hiiihhh...!" Nenek genit berotak
anting itu langsung memperdengarkan tawa seperti
ringkik kuda. Sepasang matanya tampak bersinar-
sinar bagaikan seorang bocah yang menemukan kembali mainan kesayangannya ketika melihat Pendekar
Naga Putih. Dan tanpa mempedulikan Malayang, lang-
sung disambutnya kedatangan Panji.
Pendekar Naga Putih mengeluh kesal, melihat
nenek sinting yang genit itu bergerak menyambut ke-
datangannya. Dan tanpa mempedulikannya, Panji te-
rus melesat ke arah Malayang. Kemudian, tangannya
terulur mengirimkan sebuah dorongan telapak kanan.
Sementara, tangan kiri terulur dengan maksud mere-
but tubuh Laka Sora.
Di tempat lain, Kenanga yang langsung bisa me-
nebak kalau nenek genit itu menyukai kekasihnya, di-
am-diam tertawa geli dalam hari. Tapi begitu sadar ka-
lau nenek itu bisa menghambat usaha Panji dalam me-
rebut Laka Sora, tubuhnya langsung menghadang ja-
lan nenek itu dengan pedang di tangan.
"Heh! Siapa kau, perempuan tak tahu malu?
Mengapa kau menghalangiku untuk mendekati Pende-
kar Naga Putih? Apakah kau sudah bosan hidup?!"
bentak nenek genit itu, nyerocos.
Rupanya, nenek itu cemburu melihat Kenanga
yang berwajah cantik jelita dan masih muda, hendak
membela Pendekar Naga Putih. Bahkan ia langsung
menerjang Kenanga dengan hebatnya.
Bweet, bweet...!
Kenanga cepat memutar Pedang Sinar Bulan se-
kuat tenaga. Sehingga, nenek genit yang semula me-
mandang rendah kepadanya, terpaksa menarik pulang
serangan. Kemudian gerakannya dirobah, dan kembali
menerjang ganas. Maka dalam sekejap pertarungan
sengit tak dapat dihindari lagi.
Sementara itu, Panji yang berusaha merebut
kembali tubuh Laka Sora, harus menemui kegagalan.
Hatinya sempat jengkel, karena yang menggagalkan serangan bukan Malayang, tapi justru kakek gila yang
semula menggempur tokoh pantai timur itu mati-
matian. Dalam hati, Panji memaki kakek sinting itu,
apalagi sekarang malah ikut mengeroyoknya.
Plakkk!
"Uuuhh...!"
Panji mengeluh tertahan, ketika sebuah tampa-
ran Malayang telak mengenal bahu. Tubuhnya lang-
sung terjajar mundur beberapa langkah. Sedangkan
saat ini, kakek sinting itu sudah melompat disertai pu-
kulan lurus ke dada.
Whuuttt..!
Terdengar deru angin tajam yang mengiringi da-
tangnya serangan pukulan maut kakek sinting itu. Sa-
dar kalau menangkis sangat merugikannya, Panji me-
lemparkan tubuhnya dan terus berjumpalitan bebera-
pa kali. Baru kemudian dia meluncur turun dengan
ringan.
"Hmhhh...," geram Panji gusar. Saat itu juga,
Pendekar Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’ yang membuat arena pertempuran men-
jadi panas seketika.
"Hehhh?! Rupanya kau masih mempunyai ilmu
simpanan lain, Pendekar Naga Putih?! Bagus! Aku se-
nang sekali...!" seru kakek sinting itu sambil membela-
lakkan matanya. Kepalanya pun menggeleng lucu, seo-
lah-olah terpesona dan takjub pada lapisan sinar kee-
masan yang menyelimuti tubuh Pendekar Naga Putih.
Tapi, Panji tidak mempedulikan tingkah polah
kakek sinting itu. Terlebih, ketika melihat Malayang
yang mundur-mundur hendak meninggalkan tempat
itu. Maka langsung saja Panji meluncur ke arah Ma-
layang yang dengan licik hendak melarikan diri.
"Aaahh...?!"
Malayang terpekik kaget. Ia berlompatan mundur
menghindari sambaran cakar naga Panji yang memba-
wa hawa panas membakar. Diam-diam, tokoh pantai
timur ini bergidik ngeri membayangkan bila pukulan
berhawa panas itu sampai mengenai tubuhnya. Dan
itu semakin membuka mata Malayang kalau Pendekar
Naga Putih ternyata memiliki kepandaian tinggi.
"Serahkan bocah itu kepadaku, Malayang...!"
bentak Panji, kembali meluncur dengan serangan ca-
kar naganya.
"Haahhh...!"
Sebelum serangan Panji tiba, tiba-tiba terdengar
bentakan dari sebelah kanannya. Begitu Panji meno-
leh, kakek sinting berpakaian kembang-kembang itu
tengah melesat memapak serangannya. Cepat Panji
merobah gerakannya, dan kini ditujukan ke arah ka-
kek sinting yang menjengkelkan itu.
Plakk, plakkk!
Benturan keras tak terelakkan lagi. Tubuh mere-
ka satu sama lain terjajar mundur. Tapi, Panji sudah
kembali mencelat dan mengulurkan cakarnya ke arah
pelipis kakek sinting itu.
Whuuttt..!
"Hyaaa...!"
Si kakek sinting itu kontan terpekik kaget Un-
tung, kepalanya masih sempat ditundukkan dengan
kuda-kuda rendah. Sehingga, cakar naga Panji hanya
lewat di atas kepalanya. Tapi meskipun demikian, ha-
wa panas yang mengiringi serangan Pendekar Naga Pu-
tih membuat kakek sinting itu kelabakan untuk sesaat
Terlebih, ketika Panji menyusuli dengan cakar kiri
yang kali ini disertai sambaran angin dingin menusuk
tulang.
Perubahan mendadak ini semakin membuat sikakek sinting kalang-kabut. Kendati demikian, tubuh-
nya masih sempat mengelak dari sambaran cakar kiri
Panji. Tapi, sebuah tendangan susulan Pendekar Naga
Putih tak sempat lagi dielakkannya. Akibatnya…
Bukkk!
"Kakhhb...!"
Tendangan keras dan telak itu membuat si kakek
sinting terlempar tanpa ampun. Dan selagi tubuh ku-
rusnya melayang di udara, Panji melesat sambil mengi-
rimkan hantaman telapak tangan kanan dan kiri ber-
gantian.
Plakk, desss....'
"Huakkhhh...!"
Serangkaian pukulan yang mengandung hawa
panas dan dingin, membuat tokoh gila ini tak sanggup
bertahan. Darah segar kontan termuntah membasahi
tanah. Sedangkan tubuhnya terus meluncur, dan baru
terhenti setelah membentur sebatang pohon besar.
Melihat tubuh kakek gila itu melorot dan tak sa-
darkan diri, Panji memalingkan wajahnya ke arah Ma-
layang. Tokoh pantai timur itu terlihat agak pucat Ru-
panya, hatinya mulai gentar melihat kesaktian Pende-
kar Naga Putih yang mengiriskan. Maka, dia pun me-
milih pergi sambil tetap membawa tubuh Laka Sora.
"Bangsat! Hendak lari ke mana kau, Manusia
Pengecut..!" geram Panji.
Pendekar Naga Putih langsung berkelebat menge-
jar. Jarak yang hanya kurang dari dua tombak, mem-
buat Panji tidak mengalami banyak kesulitan untuk
menyusui Malayang. Maka dengan beberapa kali lon-
catan saja, tokoh pantai timur yang licik itu berhasil
disusulnya. Bahkan sudah berdiri menghadang di de-
pannya.
Malayang yang sempat merasa bingung, menjadi
cerah wajahnya begitu melihat dua orang pengawalnya
yang bertubuh raksasa muncul dari belakang Panji.
Tapi, Malayang cepat menyembunyikan perasaannya
dan mulai lagi menunjukkan kelicikannya.
"Pendekar Naga Putih," kata Malayang, bermak-
sud mengalihkan perhatian Panji. "Mengapa kau hen-
dak menyerakahi bocah ini sendirian? Sedangkan yang
kau miliki sekarang ini, sudah jarang sekali yang
sanggup menandingi mu. Kuharap, jangan terlalu pelit
untuk meminjamkan bocah ini kepadaku selama se-
tengah tahun. Dan aku berjanji, akan mengembali-
kannya dalam keadaan utuh. Bagaimana? Apakah kau
keberatan...?"
Panji yang memang sudah tahu kalau tokoh pan-
tai timur itu sangat licik, bersikap waspada. Ia yakin,
ucapan Malayang pasti ada rencana tertentu. Maka
seketika Panji mengerahkan tenaga mukjizat-nya. Se-
hingga saat itu juga, muncul lapisan sinar keemasan
yang siap melindungi tubuhnya dari serangan gelap.
Sementara Malayang masih terus berbicara un-
tuk mengalihkan perhatian Panji. Diam-diam, hatinya
tertawa karena yakin kalau sebentar lagi tubuh pende-
kar muda itu akan remuk oleh hantaman dua orang
bertubuh raksasa yang sudah semakin dekat.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang indera penden-
garannya sudah sedemikian tajam, mulai dapat me-
nangkap adanya gerakan sangat halus di belakangnya.
Kini Panji sadar, Malayang memang sengaja mengalih-
kan perhatiannya dengan terus berbicara. Bibir Pende-
kar Naga Putih mengembangkan senyum tipis, namun
sengaja tetap berpura-pura tidak tahu akan bahaya
mengancam di belakangnya.
Malayang sudah tertawa bergelak dalam hati ke-
tika dua orang pengawalnya sudah mengangkat tangan
perlahan tanpa menimbulkan suara, dan siap dihan-
tamkan ke tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi...
"Hiaaa...!"
Secara tiba-tiba dan sangat cepat, Panji memutar
tubuhnya. Kedua lututnya cepat ditekuk. Seketika ke-
dua tangannya langsung dihantamkan ke atas saat
berbalik. Gerakannya begitu cepat, dan sangat tiba-
tiba. Sehingga....
Bresshhh...!
"Aaaa...!"
Dua orang raksasa berkepala botak itu kontan
meraung setinggi langit, saat kedua kepalan Panji telak
menghajar perut mereka hingga jebol. Darah segar
langsung memercik, membasahi kedua kepalan Panji
yang melesak sampai pergelangan, ke dalam tubuh
dua orang bertubuh raksasa itu.
Kedua orang bertubuh raksasa itu terjungkal ke
tanah, dengan napas putus seketika. Panji sendiri ti-
dak menyangka kalau pukulannya yang disertai tenaga
mukjizat jelmaan naga langit, sampai demikian menge-
rikan. Pendekar Naga Putih sampai mencelat ke bela-
kang dengan wajah agak sedikit pucat. Dan nafasnya
pun agak terengah, karena kejadian itu baru sekali ini
dialaminya.
Malayang yang menyaksikan kejadian itu sampai
terjajar mundur dengan wajah pucat dipenuhi keringat
Hatinya benar-benar tergiris melihat kengerian di de-
pan matanya. Sehingga, tokoh pantai timur yang sebe-
narnya sudah terbiasa dengan segala kekerasan dan
kekejaman, menjadi semakin gentar terhadap Pende-
kar Naga Putih.
Panji yang sudah dapat menguasai perasaan se-
gera berbalik, menatap sosok Malayang. Sorot matanya
demikian tajam, membuat Malayang semakin gentar.
Dan Panji sendiri sudah siap memberi hajaran kepada
tokoh pantai timur itu. Namun....
"Aaaahhh...!"
Panji yang sudah bergerak maju dengan tangan
terkepal, menjadi terkejut setengah mati. Karena tiba-
tiba saja terdengar jeritan Kenanga. Seketika, kepa-
lanya menoleh. Tampak tubuh Kenanga terbanting ke
tanah. Pada saat itu pula, kekasihnya tengah mengha-
dapi ancaman serangan susulan nenek genit, yang
berhasil memukul roboh Kenanga.
Pendekar Naga Putih menjadi bimbang. Sejenak
ia tertegun, tidak tahu harus menolong Kenanga lebih
dulu atau merebut Laka Sora. Dan keputusan itu ha-
rus segera diambil secepatnya.
Untungnya, Panji tidak terlalu tegang dalam
menghadapi keadaan yang mencekam itu. Maka, lang-
sung saja kepalanya menoleh ke arah Kenanga. Lalu....
"Hyaaattt..!"
Panji langsung membentak sambil mendorong-
kan kedua telapak tangannya ke arah Kenanga yang
tengah berusaha bangkit tegak itu.
Whuusss...!
Untuk menghadapi keadaan yang sangat sulit
ini, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk memin-
dahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bum’ ke tubuh keka-
sihnya. Seketika pendaran sinar keemasan yang panas
membakar, membersit ke arah tubuh Kenanga. Kemu-
dian, sinar itu merasuk dan melapisi tubuh dara jelita
yang tengah dalam ancaman maut!
Panji yang merasa lega karena tubuh kekasihnya
tidak mungkin akan dapat dilukai, segera melesat ke
arah Malayang. Tokoh pantai timur itu semakin pucat
dan bertambah gentar saja, setelah menyaksikan apa
yang baru saja dilakukan Pendekar Naga Putih. Dikira,
pendekar muda itu juga memiliki ilmu sihir yang men-
gerikan. Maka tentu saja keberaniannya semakin ter-
bang, entah ke mana.
“Heaaa...!"
Dengan sebuah bentakan keras, Panji melesat ke
depan. Tangan kanannya mendorong ke tubuh Ma-
layang, sedangkan tangan kirinya terulur merampas
tubuh Laka Sora.
Malayang yang masih berusaha menghindari se-
rangan itu, terpaksa harus menelan kenyataan pahit
Dia sudah gugup, dan tak sempat lagi mengelak. Se-
hingga....
Desss...!
Seketika hantaman tangan kanan Panji telak
menghajar dadanya. Akibatnya, tokoh sesat dari pantai
timur ini terjengkang, dan tubuh Laka Sora terlepas
dari pegangannya.
Tapp!
Dengan tangan kiri Panji cepat menyambar tu-
buh Laka Sora agar tidak sampai terbanting ke tanah.
Dan betapa leganya hati Panji, ketika berhasil menda-
patkan bocah itu kembali.
Tapi kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap
mata, karena saat tengah menangkap tubuh Laka So-
ra, tahu-tahu menyambar angin keras dari belakang.
Dan....
Bukkk!
"Aaakhh...!"
Panji kontan terjerembab mencium tanah. Se-
dangkan Laka Sora kembali terlepas dari pegangan.
Dan ketika mendengar angin menderu kembali me-
nyambar, Panji berusaha mengelak dengan bergulin-
gan di atas tanah.
Darrrr!
Akibatnya, tanah tempat tubuh Panji semula re-
bah, menjadi sasaran hantaman sebuah tongkat ber-
warna hitam. Akibat hantaman tongkat hitam itu tam-
pak mengerikan sekali. Sebuah lubang sebesar kuban-
gan kerbau tercipta seketika itu juga.
"Gila...!" desis Panji.
Dalam hati, Pendekar Naga Putih bersyukur ma-
sih dapat menyelamatkan diri dari serangan maut itu.
Kalau tidak, pasti tulang-tulangnya akan remuk dan
pasti akan tewas seketika.
Panji yang sudah berdiri tegak dengan lelehan
darah pada mulut, mengangkat wajah hendak melihat,
siapa orang yang membokongnya secara licik. Dan ha-
tinya terkejut, ketika mengenali manusia curang itu.
***
DELAPAN
"Pengemis Tongkat Setan...," desis Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih cukup terkejut
melihat kemunculan datuk golongan pengemis itu. Ter-
lebih, ketika merasakan betapa pukulan kakek gembel
itu jauh lebih kuat daripada pertama kali berjumpa.
"He he he.... Selamat bertemu lagi, Pendekar Na-
ga Putih. Kelihatannya kau sangat menyukai kera-
maian ini...," ujar Pengemis Tongkat Setan.
Tokoh hitam berpakaian pengemis itu berdiri te-
gak sambil menggenggam erat senjata andalannya.
Meskipun mulutnya berbicara pada Panji, tapi sepa-
sang matanya sendiri menatap sosok Laka Sora yang
masih tergolek pingsan. Yang disayangkan kakek ini,
tubuh bocah itu jaraknya lebih dekat dengan Pendekar
Naga Putih berdiri. Hingga, ia hanya bisa melirik pe-
nuh hasrat
Panji yang sempat melihat sambaran mata kakek
gembel itu segera menggeser langkahnya, mendekati
tubuh Laka Sora. Kemudian diangkatnya tubuh bocah
itu dan dibopongnya.
"Sebaiknya, tinggalkan bocah itu, Pendekar Naga
Putih. Untuk apa mempertaruhkan nyawa hanya kare-
na hendak membela bocah itu?"
Pengemis Tongkat Setan mencoba mempengaruhi
Panji. Karena biar bagaimanapun, ia tetap tidak berani
bertindak ceroboh dalam menghadapi pemuda digdaya
ini.
Panji hanya tersenyum kecut Ditatapnya wajah
kakek gembel itu dengan tajam. Tapi adanya suara
langkah orang berlari ke arahnya, membuat wajahnya
berpaling.
"Kakang...."
Sosok yang tengah berlari menghampiri Panji,
memang Kenanga. Rupanya, gadis jelita itu telah ter-
bebas dari ancaman nenek genit salah satu dari Sepa-
sang Gagak Sinting. Bahkan tampak nenek itu sendiri
yang terluka. Karena setiap kali melancarkan pukulan,
sinar keemasan yang melapisi tubuh Kenanga mem-
buat pukulannya membalik. Semakin besar tenaga
yang dipergunakan untuk menyerang, semakin kuat
tenaga tolakannya. Akibatnya, nenek itu menderita lu-
ka dalam yang cukup parah. Dan akhirnya, ia pergi
meninggalkan Kenanga dengan membawa suaminya
yang sudah tersadar akibat luka dalam yang parah.
Luka-luka yang diderita, membuat Sepasang Ga-
gak Sinting harus membuang keinginan untuk mem-
perebutkan 'Ilmu Tinju Topan dan Badai' yang telah
diwarisi Laka Sora dari kedua orang gurunya.
Panji kini bisa menarik napas lega. Penjelasan
Singkat dari dara jelita itu, membuatnya semakin ya-
kin akan kemukjizatan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'.
Perasaan Panji agak lega juga, mengetahui tokoh-
tokoh yang mengincar Laka Sora telah berkurang. Apa-
lagi, ketika tidak melihat adanya Malayang, tokoh dari
pantai timur. Tahulah Panji, Malayang pun telah me-
ninggalkan tempat ini karena merasa tidak mungkin
akan mendapatkan bocah yang diperebutkan.
Tapi, kelegaan Panji mendadak berubah rasa ka-
get. Ternyata dari sekeliling tempat itu, kembali ber-
munculan puluhan tokoh persilatan. Menilik sikap me-
reka, Panji sadar kalau harus bertarung mati-matian
dalam membela Laka Sora. Untungnya saat itu Laka
Sora sudah mengeluh tersadar dari pingsan, setelah
totokan Malayang mulai punah.
Panji segera melepaskan bocah Itu dari pondon-
gannya. Kemudian kakinya melangkah ke tengah.
Sementara itu Pengemis Tongkat Setan sendiri
telah berada di barisan orang-orang yang mengepung
Panji, Kenanga, dan Laka Sora. Tampak Kuntilanak
Bunga Hitam, dan tokoh-tokoh lainnya terlihat di sana,
baik dari golongan putih dan hitam. Mereka tak ubah-
nya segerombolan serigala lapar yang memperebutkan
sepotong tulang.
"Para sahabat yang mengaku sebagai orang-
orang gagah penegak keadilan, dengarlah...!" ujar, Pan-
ji disertai pengerahan tenaga dalam.
Kata-kata Pendekar Naga Putih langsung berge-
ma dan mengaung sampai beberapa tombak jauhnya.
Sambil berkata demikian, tubuhnya diputar perlahan.
Kata-katanya memang ditujukan pada tokoh-tokoh go-
longan putih yang telah berbaur dengan golongan hi-
tam. Mereka memang melupakan perbedaan golongan,
demi memperebutkan ilmu mukjizat yang dimiliki Laka
Sora.
"Yang kalian perebutkan hanyalah seorang bocah
kecil yang malang. Hanya secara kebetulan, kedua il-
mu mukjizat itu dimiliki Laka Sora. Nah! Mengapa ke-
jadian yang merupakan kehendak Tuhan ini ingin di-
rubah? Jelas Laka Sora berjodoh untuk menjadi pewa-
ris dari kedua ilmu mukjizat itu. Dan seharusnya, bo-
cah ini dilindungi dari tangan-tangan jahat Kalau de-
mikian, apa bedanya golongan putih dengan golongan
hitam? Tidak ada gunanya orang-orang golongan putih
mengangkat dada agar disanjung sebagai orang gagah
penegak keadilan, tapi kemudian ternyata ikut me-
nyiksa bocah tak berdosa...," Panji menghentikan kata-
katanya yang meledak-ledak penuh semangat.
Perkataan Panji tentu saja laksana ujung tombak
yang menikam jantung para orang gagah yang ikut
mengepung. Beberapa di antaranya, menundukkan
wajah karena merasa terpukul dan malu kepada Pen-
dekar Naga Putih. Terutama sekali tokoh-tokoh tua-
nya. Seperti ada yang memberi perintah, satu persatu
para tokoh golongan putih keluar dari barisan. Kemu-
dian, mereka bergabung dengan Panji, siap menggem-
pur siapa saja yang hendak memperebutkan Laka So-
ra. Tentu saja tindakan orang-orang gagah itu mem-
buat Panji menjadi lega.
Sekelompok tokoh persilatan yang mengepung di
belakang Panji, sejak tadi tampak terkejut Mereka sal-
ing berpandangan satu sama lain, kemudian bergerak
maju menghampiri Pendekar Naga Putih, di bawah
pimpinan dua orang kakek kembar yang berkepala bo-
tak. Masing-masing memegang sebatang tongkat, yang
pada bagian kepalanya terdapat bola berduri sebesar
kepalan tangan laki-laki dewasa.
'Pendekar Naga Putih, terima kasih atas peri-
ngatkan mu pada kami. Ah...! Betapa kami berdua
akan menyesal seumur hidup, apabila bocah malang
ini sampai celaka karena keserakahan kami...," ucap
salah seorang kakek kembar itu, sambil membungkuk
hormat Kemudian, ditatapnya tajam-tajam wajah bo-
cah menggemparkan yang bernama Laka Sora.
"Laka Sora...."
Seorang lelaki gemuk berusia sekitar empat pu-
luh tahun, yang tadi ikut rombongan kakek kembar
itu, memanggil Laka Sora dengan suara bergetar. En-
tah, perasaan apa yang tengah berkecamuk dalam hati
lelaki gemuk ini.
***
"Paman..?!"
Laka Sora yang menoleh mendengar panggilan
dengan suara bergetar itu, terpekik dan wajahnya ber-
seri-seri. Bocah itu langsung saja melompat ke dalam
pelukan lelaki gemuk yang menyambutnya dengan da-
da terasa sesak oleh rasa haru.
Panji dan Kenanga saling bertukar pandangan,
demi menyaksikan kejadian itu. Namun, kewaspa-
daannya tetap tidak berkurang, karena khawatir ka-
lau-kalau ada di antara tokoh yang termakan ucapan-
nya, hanya sekadar berpura-pura. Malah jangan-
jangan akan menyambar Laka Sora, apabila Panji len-
gah. Dan karena kewaspadaan itu pula, maka Panji
memberi isyarat kepada Laka Sora yang kebetulan
memandangnya untuk memberi penjelasan tentang le-
laki gemuk itu.
"Orang ini adalah Paman Rajasa. Beliau adik
kandung ayahku, yang juga orang kedua di Perguruan
Harimau Putih Mungkin beliau diutus ayah, untuk
mencariku. Harap Paman Panji tidak menjadi ce-
mas...," jelas Laka Sora.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Aku adalah adik
kandung ayah Laka Sora. Dan aku mewakili beliau ser-
ta seluruh murid Perguruan Harimau Putih, mengu-
capkan beribu terima kasih atas kesediaanmu yang ti-
dak mempedulikan keselamatan sendiri demi membela
keponakanku...," ucap Ki Rajasa. Dan lelaki gemuk ini
sampai membungkuk tiga kali, untuk menyatakan be-
tapa besar rasa terima kasihnya.
"Ha ha ha...! Setelah sekarang mengetahui kalau
bocah yang diperebutkan ternyata cucuku sendiri, ma-
ka aku akan mempertaruhkan nyawa untuk menyela-
matkannya, Pendekar Naga Putih," kata salah seorang
dari kedua kakek kembar berkepala botak dengan sua-
ra lantang.
'Pendekar Naga Putih! Mereka berdua adalah
Pendekar Tongkat Kembar, yang merupakan kakak se-
perguruan orangtua Laka Sora. Mereka ikut membantu
kami, dalam pencarian keponakanku ini. Mereka juga
ingin mendapat kesempatan untuk memberi didikan
pada Laka Sora selama tiga tahun. Dan hal itu sudah
disepakati bersama-sama, tapi Laka Sora telah lenyap
diculik orang," Ki Rajasa, buru-buru memberi penjela-
san kepada Panji mengenai kedua orang kakek kembar
itu.
"Syukurlah jika memang demikian. Aku ikut me-
rasa gembira mendengarnya. Dan dengan bantuan
orang ternama seperti Pendekar Tongkat Kembar, serta
tokoh-tokoh lain, aku tidak perlu lagi cemas akan ke-
selamatan Laka Sora," tukas Panji.
Kejadian yang di luar dugaan itu, membuat Pen-
gemis Tongkat Setan, Kuntilanak Bunga Hitam, dan
tokoh-tokoh sesat ternama lain saling bertukar pandangan. Kemudian, kakek gembel ini melangkah maju
beberapa tindak.
"Para sahabat sekalian!" seru kakek itu menge-
rahkan tenaga dalam melalui suaranya. Sehingga, sua-
ranya bergaung memenuhi sekitar tempat itu. "Kita
jangan mau dibodohi Pendekar Naga Putih dan orang-
orang yang mengaku keluarga dengan bocah itu. Jelas
ini hanya siasat licik, agar mereka semua dapat men-
gangkangi bocah yang telah mewarisi ilmu-ilmu maha
dahsyat itu! Dan pada akhirnya, mereka akan memak-
sa bocah itu untuk menunjukkan ilmu 'Tinju Topan
dan Badai'!"
"Benar! Jangan mau dibodohi!" timpal Kuntila-
nak Bunga Hitam, ikut membakar tokoh-tokoh yang
dilanda keraguan. Suaranya melengking tinggi, me-
nyakitkan telinga. "Ayo, kita rebut bocah itu...!"
Kata-kata Pengemis Tongkat Setan dan Kuntila-
nak Bunga Hitam yang merupakan gembong-gembong
kaum sesat, mendapat sambutan dari tokoh-tokoh
yang mengepung Pendekar Naga Putih dan pihaknya.
Akibatnya, kini suasana kembali menegang. Dan pihak
yang ingin memperebutkan Laka Sora, kembali berge-
rak maju dengan senjata terhunus.
Tentu saja Panji, Kenanga, Ki Rajasa, dan dua
kakek botak berjuluk Pendekar Tongkat Kembar, me-
rasa geram terhadap kelicikan dua gembong kaum se-
sat itu. Mereka menjadi tegang, ketika melihat tokoh-
tokoh yang semula sadar dan menyeberang ke pihak
mereka, tampak mulai dilanda keraguan. Bahkan
enam orang di antaranya sudah kembali menyeberang
ke pihak kaum sesat
Melihat hal ini segera saja Panji dan tokoh-tokoh
yang mengaku sebagai keluarga Laka Sora bersiap
menghadapi pertempuran berdarah. Disadari, perta
rungan mungkin akan segera pecah.
"Tunggu...!"
Tiba-tiba, sebelum kedua belah pihak saling
gempur, terdengar sebuah seruan yang disusul oleh
majunya Laka Sora. Dan dengan beraninya, bocah ini
menatap Pengemis Tongkat Setan dan Kuntilanak
Bunga Hitam berganti-ganti. Kemudian pandangannya
beredar ke sekitarnya.
"Hei, orang-orang serakah! Dengarlah baik-baik!"
Laka Sora terpaksa berteriak sekuat-kuatnya,
agar suaranya terdengar oleh semua yang berada di
tempat itu. Akibatnya, suaranya jadi parau.
Merasa ada sesuatu yang ingin disampaikan bo-
cah itu, Panji bertindak cepat, menempelkan telapak
tangannya ke punggung Laka Sora untuk menyalurkan
hawa saktinya. Hawa hangat yang mengalir dari tela-
pak tangan Pendekar Naga Putih, membuat Laka Sora
merasa kerongkongannya lega dan tidak sakit lagi.
"Kalian harus tahu, kedua orang jahat ini tidak
ubahnya maling teriak maling!" lanjut Laka Sora. Sua-
ranya kini bergaung memenuhi empat penjuru, "Sebab
apa yang kalian kehendaki dari diriku, juga ada pada
mereka berdua!"
Sampai di sini Laka Sora berhenti, memandang
ke sekeliling seperti hendak melihat seberapa besar
pengaruh ucapannya. Wajah Laka Sora berubah cerah,
ketika melihat Pengemis Tongkat Setan dan Kuntilanak
Bunga Hitam, kini menjadi perhatian semua tokoh
yang berada di tempat ini. Seketika terdengar suara
orang-orang yang berbicara satu sama lain, membuat
suasana menjadi bising dan gaduh, bagai dengung ra-
tusan lebah.
"Jangan dengarkan ocehan bocah gila itu...!"
Pengemis Tongkat Setan terus terang menjadi bergidik
ketika perhatian para tokoh persilatan kini tertuju ke-
padanya dan Kuntilanak Bunga Hitam. Makanya, dia
harus berteriak keras, untuk mengatasi kebisingan.
"Itu hanya akal liciknya untuk mengadu domba
kita! Sudah, jangan buang waktu lagi. Ayo kita rebut
bocah itu...!"
Kuntilanak Bunga Hitam yang juga merasa ngeri,
ikut menyangkal ucapan Laka Sora. Kembali dibakar-
nya keinginan tokoh-tokoh persilatan untuk segera
bertindak. Bahkan Kuntilanak Bunga Hitam langsung
memulainya dengan sebuah lompatan panjang, siap
menerkam Laka Sora.
Namun, Pendekar Naga Putih tidak tinggal diam.
Cepat dilontarkannya pukulan jarak jauh dengan tela-
pak tangan kanan. Maka serangkum angin menderu
datang, menyambut serangan Kuntilanak Bunga Hi-
tam. Sadar akan kehebatan pukulan itu, Kuntilanak
Bunga Hitam merobah gerakannya. Kemudian tangan-
nya dikibaskan memapak pukulan Pendekar Naga Pu-
tih.
Breesshhh...!
Benturan dua gelombang angin pukulan yang
menderu laksana topan, menimbulkan ledakan keras
menggetarkan tanah di sekitarnya. Tubuh Kuntilanak
Bunga Hitam terdorong balik, disertai pekik kekage-
tannya. Memang, dalam melancarkan pukulan jarak
jauh itu, Panji telah mengerahkan seluruh kekuatan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-nya. Apalagi dia sadar,
kesaktian Kuntilanak Bunga Hitam memang sangat
tinggi.
"Dengar, orang-orang serakah...!"
Laka Sora cepat berteriak ketika melihat tokoh-
tokoh persilatan dua golongan yang ingin merebutnya,
telah bergerak maju untuk menggempur.
"Kitab 'Ilmu Topan dan Badai' ada pada mereka
berdua!" lanjut bocah itu sambil menunjuk Kuntilanak
Bunga Hitam dan Pengemis Tongkat Setan. "Kalau ti-
dak percaya, silakan kalian menggeledah pakaian me-
reka...!"
Kata-kata Laka Sora membuat langkah para to-
koh itu terhenti seketika. Pandangan mereka kini ter-
tuju kepada Pengemis Tongkat Setan dan Kuntilanak
Bunga Hitam. Melihat kedua gembong tokoh sesat itu
tampak pucat dan gelisah, tahulah mereka kalau bo-
cah itu memang tidak berdusta. Seketika beberapa
orang tokoh golongan putih tampak bergerak menge-
pung kedua gembong kaum sesat itu.
"Kuntilanak Bunga Hitam, Pengemis Tongkat Se-
tan! Ayo kalian perlihatkan kedua kitab itu, dan serah-
kan kepada kami!" ujar salah seorang tokoh bertubuh
tinggi besar dan berkulit hitam legam. Suaranya meng-
gelegar menggetarkan jantung, tanda tenaga dalam
yang dimilikinya tidak bisa dipandang rendah.
"Keparat! Hanya ucapan seorang bocah, kau per-
caya?!" geram Pengemis Tongkat Setan dengan sikap
menghina.
"Aku tidak akan percaya, sebelum menggeledah
pakaianmu!" desak lelaki berkulit hitam ini.
Sambil berkata demikian, tangan laki-laki itu te-
rulur hendak merobek pakaian Pengemis Tongkat Se-
tan.
Plakkk!
Kakek gembel ini langsung mengibas tangan ki-
rinya, membuat kedua lengan yang sama berisi tenaga
dalam tinggi itu berbenturan keras. Terdengar dengu-
san menghina, dari kakek gembel itu ketika melihat
tubuh penyerangnya terjajar mundur. Saat itu juga,
tongkat di tangannya menyambar datang membabat
batang leher lelaki berkulit hitam legam itu.
Tokoh-tokoh lain yang mulai percaya melihat
Pengemis Tongkat Setan tidak bersedia digeledah, se-
gera menerjang dari kari dan kanan. Maka terpaksa
kakek gembel itu merobah gerakan tongkatnya, yang
langsung berputar dan menyambut datangnya samba-
ran dua batang pedang yang mengancam tubuhnya.
Benturan ketiga senjata itu tak terhindarkan lagi,
membuat dua orang penyerang terjajar mundur den-
gan wajah pucat. Karena, tenaga dalam Pengemis
Tongkat Setan memang jauh lebih kuat.
"Kalian mencari mati...!" pekik Pengemis Tongkat
Setan gusar.
Tongkat laki-laki tua itu kembali menyambar da-
tang, disertai suara bergemuruh. Sehingga delapan
orang yang mengeroyoknya sama-sama melompat
mundur menyelamatkan diri.
"Hyaaattt..!"
"Yeaaaa...!"
Keinginan untuk mendapatkan kitab yang kini
diyakini memang berada di tangan Pengemis Tongkat
Setan, membuat para tokoh persilatan melupakan na-
ma besar dan kekejaman kakek gembel itu. Mereka
berlompatan maju dengan senjata di tangan. Maka se-
bentar saja, Pengemis Tongkat Setan telah dikeroyok
belasan orang tokoh persilatan, yang rata-rata dari
kaum golongan putih.
Kuntilanak Bunga Hitam pun tak luput dari in-
caran tokoh-tokoh persilatan yang menghendaki kitab
di tangannya. Sedangkan nenek yang masih cantik ini,
mengamuk mengumbar pukulan-pukulan mautnya
yang mengiriskan. Sehingga lawan-lawannya yang ber-
jumlah belasan orang itu tidak berani bertindak cero-
boh. Karena, pukulan nenek berpakaian serba hitam
ini dapat merenggut nyawa seketika.
Panji dan Kenanga pun tidak terlepas dari orang-
orang golongan hitam, yang tetap menginginkan Laka
Sora. Mereka lebih memilih menghadapi Pendekar Na-
ga Putih, ketimbang Pengemis 'Tongkat Setan atau
Kuntilanak Bunga Hitam. Hanya ada beberapa tokoh
golongan hitam saja yang ikut mengeroyok kedua gem-
bong mereka itu. Itu pun hanya berani berada di ba-
gian luar kepungan tokoh-tokoh golongan putih, dan
mencari-cari kesempatan untuk merebut kitab itu.
Tapi Panji, Kenanga, dan dua kakek botak berju-
luk Pendekar Tongkat Kembar dapat menghadapi ser-
buan tokoh-tokoh sesat itu tanpa kesulitan. Dalam be-
lasan jurus saja, mereka berempat telah merobohkan
dua puluh satu orang lawan. Dan ini tentu saja mem-
buat para pengeroyok menjadi gentar.
"Haiittt..!"
Untuk kesekian kalinya, pukulan dan tendangan
Panji membuat empat orang lawan terjengkang mun-
tah darah. Akibatnya, sisa pengeroyok menjadi pucat,
dan langsung mengambil langkah seribu.
"Hua ha ha...! Pegang..., pegang...!"
Pendekar Tongkat Kembar pun ditinggalkan la-
wan-lawannya. Kedua kakek botak ini berteriak-teriak
menakut-nakuti, membuat lawan-lawannya semakin
mempercepat larinya.
Hal serupa juga dialami Kenanga. Dua dari enam
orang lawannya yang tersisa, tidak lagi bisa menahan
keinginannya untuk menyelamatkan diri. Mereka ber-
lari tersaruk-saruk, meninggalkan gadis jelita berpa-
kaian serba hijau ini.
Sementara itu, para pengeroyok Pengemis Tong-
kat Setan tampak sudah banyak yang bergeletakan te-
was. Kakek gembel itu sendiri tampak menderita luka
di beberapa bagian tubuhnya. Gempuran-
gempurannya mulai melemah, kendati masih tetap
berbahaya dan mematikan.
"Yeaaahh...!"
Desss, prakk!
Kembali dua di antara sepuluh pengeroyok ter-
lempar tewas. Satu kepalanya pecah tersambar tongkat
Sedang satunya lagi menggelepar dengan dada remuk.
Tapi, semua itu harus dibayar mahal oleh Pengemis
Tongkat Setan. Karena pada saat tongkatnya meminta
korban, dua pengeroyok lain menyarangkan pedang di
punggung dan lambung kakek gembel ini.
"Bangsat..!" maki Pengemis Tongkat Setan, mera-
sakan adanya benda dingin menembus tubuhnya.
Namun sebelum kedua orang lawan itu sempat
mencabut senjatanya, tongkat di tangan kakek ini ber-
putar melingkar. Langsung dihantamnya tubuh kedua
orang itu hingga remuk.
Pengemis Tongkat Setan sendiri terjajar mundur
dengan napas terengah. Wajahnya tampak mulai pu-
cat. Darah di kedua lukanya masih membanjir keluar,
membuat sepasang matanya menjadi liar.
"Jangan harap kalian dapat lolos dari kema-
tian..!"
Pengemis Tongkat Setan menggereng ke arah
enam orang sisa pengeroyok. Dan dengan sebuah
lengkingan panjang, tubuhnya melesat disertai puta-
ran tongkatnya yang menderu-deru.
Kembali terdengar jerit kematian susul-
menyusul, ketika tongkat di tangan kakek gembel ini
meminta korban. Namun untuk itu, Pengemis Tongkat
Setan juga menerima tiga bacokan pedang. Seketika,
luka di tubuhnya bertambah.
Bersamaan dengan robohnya tubuh pengeroyok
terakhir, Pengemis Tongkat Setan tampak terjajar lim-
bung. Sosok kakek gembel ini terlihat sangat mengeri-
kan, karena hampir seluruh tubuhnya bersimbah da-
rah. Dan tubuhnya yang berdiri goyah disangga den-
gan tongkatnya.
Di lain tempat, keadaan Kuntilanak Bunga Hitam
juga tidak lebih baik Bahkan seiring robohnya lawan
terakhir, tubuh nenek ini pun tersungkur ke tanah
dengan napas satu-satu. Pada beberapa bagian tu-
buhnya, terdapat luka yang mengalirkan darah tak
henti-henti. Beberapa saat kemudian, nafasnya pun
putus meninggalkan raganya yang penuh luka menge-
rikan.
Beberapa saat setelah Kuntilanak Bunga Hitam
menghembuskan napas terakhir, Pengemis Tongkat
Setan tampak tak sanggup lagi berdiri lebih lama. Tu-
buhnya melorot jatuh, dengan tangan masih tetap
menggenggam tongkat Sesaat kemudian, kakek gembel
ini pun menghembuskan napas penghabisan, dengan
mata membelalak. Rupanya dalam saat-saat terakhir
rohnya masih tetap penasaran! Dan dalam saat terak-
hirnya, baik Pengemis Tongkat Setan maupun Kunti-
lanak Bunga Hitam, tampak menggenggam erat kitab
masing-masing.
Melihat hal ini Panji, dan yang lain hanya bisa
menghela napas melihat mayat-mayat korban nafsu
serakah itu. Kemudian mereka melangkah mengham-
piri mayat kedua orang gembong kaum sesat itu, lalu
mengambil kitab dalam genggaman masing-masing.
"Hendak kau apakan kedua kitab ilmu mukjizat
itu, Pendekar Naga Putih...?" tanya salah seorang dari
Pendekar Tongkat Kembar, ketika melihat pemuda itu
mengambil kitab dari tangan Pengemis Tongkat Setan
dan Kuntilanak Bunga Hitam.
"Karena sudah ada pewarisnya, kurasa sebaik-
nya kedua kitab ini dimusnahkan agar tidak mengun-
dang malapetaka baru," jawab Panji.
Tampak sekali kalau Pendekar Naga Putih me-
nyesal atas semua peristiwa berdarah yang diaki-
batkan kedua kitab di tangannya.
Sementara beberapa orang tokoh persilatan yang
berada di pihak Panji, sama sekali tidak memberikan
tanggapan. Mereka sama-sama terdiam. Bahkan tetap
tak terdengar suara, sewaktu Panji mengerahkan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi'-nya yang langsung
membakar kedua kitab ilmu mukjizat itu hingga han-
cur menjadi debu.
"Rasanya, tugasku sudah selesai sekarang. Dan
kalian tidak keberatan kalau aku mohon diri..," ujar
Panji.
Pendekar Naga Putih memang merasa tidak perlu
lagi mengantarkan Laka Sora. Adanya Pendekar Tong-
kat Kembar, menurutnya sudah lebih dari cukup.
"Tidak, Pendekar Naga Putih. Tugasmu belum
tuntas!"
Tiba-tiba salah seorang dari kakek botak yang
berjuluk Pendekar Tongkat Kembar berkata lantang,
membuat kening Panji berkerut
"Benar, timpal kakek botak yang satunya. "Kau
tetap harus mengantarkan Laka Sora sampai ke hada-
pan ayahnya. Anak ini tetap menjadi tanggung jawab-
mu, sampai berada di tangan ayahnya."
"Aku pun ingin agar Paman Panji dan Bibi Ke-
nanga singgah ke rumahku dan berjumpa kedua
orangtua ku. Kuharap, Paman dan Bibi tidak membua-
tku kecewa. Kalau kalian tidak bersedia, aku akan te-
tap berlutut di tempat ini...," ujar Laka Sora.
Langsung saja bocah itu menjatuhkan diri berlutut di depan Panji dan Kenanga. Perbuatan itu, mem-
buat pasangan pendekar muda ini tersenyum. Betapa
cerdiknya Laka Sora!
Panji dan Kenanga mengangkat bangkit tubuh
bocah cerdik itu. Mereka memang merasa tidak mem-
punyai pilihan lain Maka diputuskannya untuk men-
gantarkan Laka Sora sampai ke tangan orangtuanya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar