TUMBAL PERKAWINAN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting Tarech R.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Tumbal Perkawinan
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Matahari sudah naik tinggi. Penduduk Desa Angkeran berbondong-bondong menuju sebuah rumah
sederhana yang sudah mulai ramai. Pada bagian depan halaman rumah itu, terhias semarak. Sepertinya di rumah
sederhana itu tengah diadakan suatu pesta.
"Terima kasih..., terima kasih...," seorang lelaki kurus berpakaian sederhana dan bersih, menyambut
para tamu dengan senyum di bibir. Di sebelah kirinya, terlihat seorang wanita berusia empat puluh tahun
mendampingi lelaki itu. Mudah ditebak kalau wanita itu adalah istri dari lelaki kurus, yang saat itu tengah
menyelenggarakan pesta perkawinan putri tunggalnya.
Tampak seorang pemuda berwajah tampan dengan bentuk tubuh kokoh, menyambut undangan.
Demikian pula halnya dengan wanita muda berwajah manis yang berkulit tubuh kuning langsat. Gadis itu
menyalami para tamu sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih.
Pasangan pengantin itu tampak berbahagia sekali. Semua itu tercermin dari raut muka maupun dari
sinar mata mereka yang berbinar-binar, penuh cahaya bahagia. Bahkan tak jarang pasangan pengantin itu saling
melempar pandang, penuh getaran cinta dan kehangatan.
Para undangan nampaknya tidak kalah bahagia dengan pasangan pengantin itu. Sambil menikmati
hidangan sederhana yang disajikan, sesekali mereka melempar pandang kepada pasangan pengantin sederhana
itu. Meskipun pakaian yang mereka kenakan tidak semewah putra-putri bangsawan, namun pasangan pengantin
itu kelihatan sangat menarik, dan menimbulkan rasa iri bagi pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa itu. Yang
wanita mengagumi pengantin pria. Sedangkan yang pemuda sering melemparkan pandang secara sembunyi-
sembunyi kepada pengantin wanita yang manis dan bertubuh ramping itu.
Namun suasana bahagia itu tiba-tiba terusik. Para tamu menoleh dengan wajah tegang, ketika tuan
rumah berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan seorang lelaki berpakaian mewah. Wajah lelaki itu
tidak menarik sama sekali. Tubuhnya pendek gemuk. Sedangkan kulit tubuhnya agak kehitaman. Rambut
kepalanya telah botak sebagian, dan wajahnya masam.
"Ah..., Juragan Surya Denta...?! Sungguh tidak kusangka kalau Tuan akan mengunjungi pesta
pernikahan yang sederhana ini. Maaf, kalau sambutan saya kurang berkenan di hati Tuan," ujar orangtua
pengantin wanita itu.
Meskipun lelaki kurus itu bersikap setenang mungkin, tapi para tamu melihat betapa wajahnya agak
pucat. Bahkan, suaranya terdengar patah-patah.
"Hm.... Kau bilang tidak punya uang, tapi mengadakan pesta. Dari mana kau peroleh biaya untuk
menyelenggarakan pesta ini, Jarawa?" tanya lelaki gemuk pendek itu tidak senang.
Ternyata lelaki itu adalah seorang juragan kaya. Dan kedatangannya jelas bukan untuk memberi ucapan
selamat kepada pengantin. Tentu saja beberapa orang tamu yang hadir dalam pesta itu memperlihatkan wajah
tak senang. Tapi, empat orang tukang pukul berwajah bengis yang berdiri di belakang Juragan Surya Denta
membuat para undangan tidak berani ikut campur.
"Tapi..., biaya pesta ini hasil sumbangan dari para penduduk. Tuan Juragan...," Ki Jarawa berusaha
menjelaskan kesalahpahaman Juragan Surya Derita mengenai biaya pernikahan putrinya dengan wajah semakin
pucat.
"Bohong...!"
Ki Jarawa terlompat mundur karena bentakan keras itu. Wajah lelaki tua itu tampak bertambah pucat.
Bahkan kedua tangannya gemetar, dan butir-butir keringat mulai menitik membasahi keningnya.
"Benar, Tuan Juragan...," tiba-tiba terdengar suara jawaban yang ternyata datangnya dari pengantin
pria.
Lelaki muda bertubuh kokoh itu sepertinya tidak tega melihat ayah mertuanya yang ketakutan setengah
mati menghadapi Juragan Surya Denta.
"Akulah yang mengumpulkan uang bantuan dari saudara-saudara sesama petani untuk membiayai
perkawinan ini," lanjut pemuda gagah itu lagi menerangkan kepada Juragan Surya Denta yang dikenal serakah
dan bermata keranjang.
"Hm..., kaukah yang menjadi menantu dari lelaki kurus tak tahu diuntung ini...?" tanya Juragan Surya
Denta seraya menatap tak senang kepada pemuda bertubuh kokoh itu. Sekilas matanya melirik ke arah
pengantin wanita yang tampak ketakutan melihat lirikan penuh ancaman itu.
"Benar, akulah menantu Ki Jarawa...," sahut pemuda itu dengan sikap gagah.
"Hm..., kalau begitu, sekarang juga kau lunasi hutang-hutang ayah mertuamu itu! Kalau tidak, terpaksa
aku akan membawa putri Ki Jarawa sebagai penggantinya, sampai kau bisa melunasi hutang-hutang cecak
kering itu!" geram Juragan Surya Denta dengan wajah beringas.
Melihat gelagat yang tidak baik itu, para undangan bergegas bangkit dan menonton dari tempat agak
jauh. Jelas mereka tidak ingin melibatkan diri dengan masalah yang dihadapi tuan rumah.
"Oh, sekarang aku tahu apa maksud kedatanganmu kemari, Bandot Tua! Rupanya selama ini kau
mengincar calon istriku untuk kau jadikan gundikmu! Tapi, kami sudah tahu akan niat kotormu itu. Dan,itu pula
yang menyebabkan aku berniat lekas-lekas mengawini Nurati, agar ia terlepas dari incaran kebuasanmu!" ujar
lelaki muda bertubuh kokoh itu tanpa mengenal rasa takut sedikit pun.
Pemuda itu memang sudah mengetahui sifat Juragan Surya Denta, yang selalu mencari gadis-gadis
muda untuk dijadikan pemuas nafsu. Kesadaran itulah yang membuatnya segera mengawini kekasihnya.
Kendati untuk itu ia harus meminta bantuan kepada para petani lainnya, yang juga tidak suka kepada Juragan
Surya Denta.
"Bangsat! Kalau kau memang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutang cecak kering itu sekarang
juga, aku akan membawa Nurati. Kau sengaja melemparkan fitnah terhadapku, agar orang-orang desa ini
bersimpati kepadamu. Tapi biar bagaimanapun, aku akan tetap membuktikan ucapanku. Bawa gadis putri cecak
kering itu...!" perintah Juragan Surya Denta kepada dua orang tukang pukulnya yang sejak tadi memasang wajah
angker dan menatap tamu dengan tajam. Sehingga nyali para undangan itu menjadi ciut.
"Baik, Juragan...," jawab seorang lelaki kekar berpakaian hitam, yang berkumis tebal. Dengan diikuti
seorang kawannya, lelaki galak berkumis tebal itu segera melangkah untuk membawa pengantin wanita.
"Tahan!" seru pemuda bertubuh kokoh itu seraya berdiri menghadang jalan kedua tukang pukul itu
dengan sikap gagah. Jelas ia hendak melindungi istrinya dengan taruhan nyawa, dan tidak mau membiarkan
istrinya digondol orang.
"Hm..., minggir kau, Kerbau Dungu! Kalau tidak, kau pun akan kulemparkan ke luar...!" ancam lelaki
kekar berkumis tebal itu seraya meraba gagang pedang yang tersembul di pinggangnya. Tindakannya jelas untuk
membuat hati pengantin pria itu menjadi ketakutan.
Sayang dugaan lelaki berkumis tebal itu meleset. Pengantin pria itu tetap berdiri tegak dengan gagah
dan jantan melindungi istrinya. Sehingga dara cantik yang berdiri di kerumunan para tamu itu menatapnya
penuh kagum.
"Bangsat!" maki lelaki kasar berkumis tebal itu sambil menampar kepala pengantin pria yang
menghadang jalannya.
Whuttt...!
Tamparan keras itu ternyata luput. Karena lelaki bertubuh kokoh itu sudah melangkah mundur.
Sehingga, lelaki berkumis tebal itu semakin marah dan kalap.
"Setan...! Nah, kau hindarilah yang ini...!" ujarnya dengan kemarahan yang meluap-luap.
Lelaki kekar berkumis tebal itu melompat dan mengirimkan tamparan dan tendangan bertubi-tubi
Tentu saja hal ini membuat lawannya tidak bisa menghindar. Meskipun tubuh pengantin pria itu terlihat kokoh,
tapi ia sama sekali tidak memiliki ilmu silat seperti lelaki berkumis tebal itu. Tidak mengherankan kalau ia
menjadi bulan-bulanan tukang pukul Juragan Surya Denta yang kejam itu.
Desss...!
"Aaakh...!"
Untuk kesekian kalinya, tubuh lelaki muda itu terpelanting akibat tendangan keras yang menghantam
perutnya. Karuan saja tubuh pengantin pria itu terbungkuk-bungkuk kesakitan ketika ia berusaha bangkit.
"Jangan sakiti suamiku...!" teriak pengantin wanita yang tidak tega melihat penderitaan suaminya.
Cepat ia berlari dan menubruk tubuh suaminya. Sehingga, lelaki kekar berkumis tebal yang semula siap
menjejak tubuh pengantin pria itu, terpaksa menahan gerakannya.
"Sungka...! Bawa gadis itu...!" perintah Juragan Surya Denta dengan suara menggelegar.
"Tuan..., jangan, Tuan. Biarlah kami yang melunasi hutang-hutang itu saat panen nanti...," ratap lelaki
kurus yang bernama Ki Jarawa itu sambil menubruk kedua kaki Juragan Surya Denta.
"Hm.... Baik. Aku beri keringanan. Tapi, putrimu tetap akan kubawa sebagai jaminannya. Kelak kalau
kau sudah mendapatkan hasil panen itu, baru kau boleh mengambilnya kembali...," ujar Juragan Surya Denta
seraya menendang tubuh Ki Jarawa.
Bukkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu terjengkang ke belakang. Juragan Surya Denta sendiri
mengebut-ngebutkan celananya. Seolah-olah tubuh Ki Jarawa telah mengotori pakaiannya. Hati lelaki gemuk
pendek itu sama sekali tidak tergerak melihat istri Ki Jarawa menangis sambil memeluk tubuh suaminya yang
telah pingsan itu. Hal itu membuktikan kalau Juragan Surya Denta bukan orang lemah. Kalau tidak, mana
mungkin ia dapat membuat orang pingsan hanya dengan sekali tendang saja.
"Kakang...!" pengantin wanita berwajah manis itu menjerit-jerit, ketika lelaki kekar berkumis tebal
bernama Sungka itu mengulurkan tangan memondong tubuhnya.
Mendengar teriakan istrinya, petani muda bertubuh kokoh itu segera bangkit, meskipun sekujur
tubuhnya dirasakan remuk akibat tendangan dan pukulan Sungka tadi.
"Keparat busuk! Hendak kau bawa ke mana istriku...?!" bentak petani muda itu sambil menerjang
seperti singa lapar.
Sungka hanya bergumam jengkel. Kaki kanannya langsung mencelat saat tubuh petani muda itu datang
menyerbunya.
Plak...!
"Aaah...?!"
Tepat pada saat telapak kaki Sungka akan mendarat di tubuh petani muda itu, tiba-tiba melesat sesosok
bayangan langsing menepiskan tendangan lelaki kekar berkumis tebal itu. Akibatnya, tubuh Sungka berputar
seraya menjerit kesakitan.
Belum lagi Sungka menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh ramping,
yang menyelamatkan pengantin pria itu, mengulurkan kedua tangannya. Dan sekejap saja, tubuh pengantin
wanita dalam pondongan lelaki kekar itu berpindah tangan.
"Hm..., kau bawa istrimu ke tepi. Biar aku yang akan memberikan pelajaran kepada manusia-manusia
jahat berhati busuk itu..,," terdengar suara merdu dari sosok tubuh ramping berpakaian biru muda itu. Kemudian
ia menyerahkan tubuh pengantin wanita di pondongannya kepada petani muda, dan langsung dibawa menjauh.
***
Juragan Surya Denta menoleh ketika ia mendengar teriakan tukang pukulnya. Dan, sepasang matanya
yang berminyak itu langsung terbelalak. Lelaki gemuk pendek itu menelan air liurnya begitu melihat sosok yang
hampir membuat Sungka terjatuh.
"Hm..., siapakah kau, Nisanak? Apa hubunganmu dengan Ki Jarawa...?" tanya Juragan Surya Denta
seraya menjelajahi lekuk tubuh sosok ramping yang baru datang itu.
"Bangsat...!" desis bibir mungil dari sosok ramping berpakaian biru muda itu geram. Wajahnya yang
cantik manis dengan tahi lalat di sebelah kiri dagu itu tampak merah ketika tubuhnya dijilati oleh mata Juragan
Surya Denta. Yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadapnya. Namun, kejengkelan dan kemarahan itu
ditahannya.
"Aku sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Ki Jarawa atau siapa pun yang ada di tempat ini.
Tapi, aku tidak suka melihat tindakanmu yang sewenang-wenang itu, Botak Jelek! Untuk itu, aku akan
memberikan pelajaran terhadapmu agar dapat bersikap baik lain kali...," lanjut gadis cantik itu mengandung
ancaman.
"Ha ha ha...! Hebat..., kau benar-benar hebat, Nisanak. Biarlah aku akan membebaskan mereka, asalkan
kau bersedia ikut denganku. Bagaimana...?" ujar Juragan Surya Denta yang terpikat dengan dara cantik manis
itu. "Aku pun akan menceraikan semua istriku yang berjumlah tujuh orang, apabila kau bersedia menggantikan
tempatnya. Selama ini aku hanya mendapatkan wanita-wanita yang lemah dan tolol. Alangkah baiknya
seandainya kau bersedia menerima ajakanku ini...."
"Keparat! Manusia berotak kotor sepertimu memang sepantasnya diberi pelajaran...!" geram dara
cantik manis itu yang tidak mampu lagi menahan kemarahannya.
Usai berkata demikian, tubuh ramping itu langsung berkelebat menerjang Juragan Surya Denta.
Namun, tidak percuma lelaki gemuk pendek itu memelihara tukang pukul untuk menjaga keselamatannya.
Sebab, sebelum serangan dara cantik manis itu datang mengenai tubuhnya, empat orang tukang pukulnya
langsung bergerak melindungi majikan mereka.
Tentu saja hal itu membuat kemarahan dara berpakaian biru muda itu semakin memuncak. Cepat ia
melontarkan tamparan-tamparannya ke arah empat orang tukang pukul Juragan Surya Denta.
Whuttt..., plakkk! Plakkk!
Dua orang tukang pukul Juragan Surya Denta yang memapaki tamparan telapak tangan halus itu,
langsung terjengkang ke belakang. Jelas tenaga dalam gadis cantik itu berada jauh di atas mereka.
"Heaaat...!"
Sungka dan seorang kawannya yang bercambang bauk, langsung melesat menerjang. Kepalan dan
tendangan mereka bertubi-tubi datang mengepung tubuh gadis berpakaian biru muda itu. Namun, semua
serangan itu sama sekali tidak membuat lawannya kerepotan. Bahkan, serangan-serangan balasan dari gadis
cantik manis itu mulai mengincar tubuh lawan-lawannya.
Desss...!
"Huaaakh...!"
Tanpa ampun lagi, lelaki bercambang bauk yang ikut mengeroyoknya, langsung terjungkal muntah
darah! Bahkan, tubuhnya tidak mampu lagi bergerak. Ia langsung pingsan akibat tendangan keras dari gadis
cantik manis itu.
Sungka benar-benar terkejut melihat kehebatan gadis cantik itu. Cepat-cepat pedangnya dihunus, dan
langsung membabat secara mendatar, begitu melihat dara cantik itu mengincarnya.
Bettt...!
"Hm...," dara cantik manis yang berusia sekitar delapan belas tahun itu mendengus perlahan. Kemudian
dadanya membungkuk saat pedang lawan hendak membeset dadanya. Lalu, kaki kanannya bergerak menyapu
kaki kanan lawan yang berada di depan.
Duggg!
"Akh...?!"
Sungka menjerit kaget. Tubuhnya yang kekar langsung terpelanting ke tanah. Belum lagi ia sempat
bangkit, telapak kaki mungil dara cantik manis itu kembali bergerak menimpa dadanya.
Desss...!
"Hugkh...!"
Sungka terbatuk hebat, memuntahkan darah segar. Lelaki kasar berkumis lebat itu berkelojotan sesaat,
sebelum melepaskan nyawanya ke alam baka. Karena injakan telapak kaki mungil itu telah meremukkan tulang-
tulang dadanya, bahkan membuat isi dadanya pecah!
"Kurang ajar...!" maki Juragan Surya Denta tatkala melihat empat orang tukang pukulnya tidak berdaya
menghadapi gadis cantik manis itu. Cepat ia melompat dan menerjang ke depan. Sayang, meskipun gerakannya
cukup cepat dan mantap, tapi semua itu belum menjamin bahwa ia dapat menandingi kehebatan dara berpakaian
biru muda itu.
Plak! Plak!
Dua buah pukulan yang dilancarkan Juragan Surya Denta, langsung dipapaki telapak tangan berkulit
halus itu. Akibatnya, tubuh pendek gemuk itu hampir terpelanting ke tanah. Untunglah dua orang tukang
pukulnya sudah bangkit, dan langsung menyambut tubuh majikannya. Sehingga, tubuh pendek gemuk itu jatuh
menindih tubuh kedua tukang pukulnya.
Juragan Surya Denta sama sekali tidak mempedulikan nasib kedua tukang pukulnya, yang merasa sesak
karena tertimpa tubuh majikannya. Lelaki gemuk itu langsung bangkit dengan wajah merah. Sayang, dara cantik
manis berpakaian biru muda itu tidak mau memberikan kesempatan lagi kepada Juragan Surya Denta. Saat itu
juga tubuh ramping itu berkelebat.
Plak!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki setengah baya yang pendek gemuk itu langsung terjungkal disertai jerit
kesakitan. Para tamu yang menyaksikan kejadian itu langsung bersorak tanpa sadar. Jelas mereka sangat
gembira melihat lelaki gemuk yang selama ini berbuat sewenang-wenang di desa itu, mendapatkan ganjaran
setimpal.
Desss...!
Juragan Surya Denta kembali terlempar dan terjerembab ke tanah. Darah segar mengucur dari hidung
dan sudut bibirnya. Lelaki pendek gemuk itu berusaha bergerak bangkit dengan merangkak-rangkak. Orang-
orang desa menyorakinya. Sehingga, wajah Juragan Surya Denta menjadi pucat ketakutan. Seolah-olah ia
melihat orang-orang desa itu bagaikan sekumpulan iblis yang siap merencah tubuhnya.
"Ampuuun..., ampunkan aku, Nisanak..," ratap Juragan Surya Denta.
Dan tanpa malu-malu lagi, lelaki gemuk itu langsung menjatuhkan tubuhnya bersimpuh dengan wajah
bersimbah air mata. Tentu saja hal itu membuat dara cantik itu menjadi muak.
"Hm..., orang sepertimu tidak pantas untuk diberikan ampunan. Sikapmu jelas tidak akan pernah
berubah. Kalau kau dibiarkan hidup, gadis-gadis desa ini akan merasa terancam olehmu...!" ujar dara cantik
manis itu yang siap menurunkan tangan mautnya untuk mencabut nyawa Juragan Surya Denta.
"Nisanak, tahan...!" tiba-tiba saja, Ki Jarawa, yang sudah tersadar dari pingsannya, langsung bersimpuh
di depan dara cantik manis itu. Dia memohon agar Juragan Surya Denta diberi ampunan.
"Hei, apa-apaan kalian...? Mengapa kalian meminta ampunan untuk lelaki jahat ini...?" tanya dara
cantik berpakaian biru muda itu terheran-heran.
"Sebenarnya Juragan Surya Denta tidak terlalu jahat, Nisanak. Ia sering membantu para penduduk yang
tidak mempunyai benih untuk bertani. Kalaupun ia jahat, itu hanya karena sifat mata keranjangnya yang tidak
pernah sembuh. Tapi, kami yakin setelah kejadian ini ia akan menyadari segala kejahatannya...," ujar Ki Jarawa
menjelaskan kepada dara cantik manis itu.
Melihat banyaknya orang-orang desa yang kemudian ikut-ikutan memintakan ampun untuk Juragan
Surya Denta, dara cantik itu membatalkan niatnya untuk menghabisi nyawa Juragan Surya Denta.
Juragan Surya Denta sendiri tidak menyangka kalau orang yang semula dianiayanya, justru
menyelamatkan dirinya dari kemarian. Diam-diam lelaki gemuk pendek itu merasa terharu ketika ia melihat
orang-orang lain pun ikut memintakan pengampunan bagi dirinya. Bahkan, pasangan pengantin itu pun juga ikut
memintakan ampun kepada dara cantik manis itu.
"Hm..., baiklah. Kali ini aku mengampunimu, Orang Tua! Tapi, apabila lain kali kau berbuat kesalahan
yang sama, aku akan datang untuk mengambil kepalamu yang botak itu...!" ancam dara cantik manis itu dengan
tatapan tajam. Jelas ia tidak main-main dengan ancamannya itu.
Mendengar ucapan dara cantik manis itu, Juragan Surya Denta menjadi lega hatinya. Kemudian, ia
menyuruh Ki Jarawa untuk melanjutkan pesta perkawinan putrinya lebih meriah atas biaya lelaki kaya itu.
Sementara, dara cantik berpakaian biru muda itu sudah melesat pergi, tanpa mengharapkan imbalan
atas pertolongannya. Bahkan ucapan terima kasih pun sepertinya tidak diinginkan. Maka, para penduduk desa
mengiringi kepergian dara penolong itu dengan memintakan keselamatan kepada Sang Maha Pencipta.
DUA
Gadis cantik manis berpakaian biru muda itu terus bergerak menggunakan ilmu meringankan tubuh.
Sebentar saja, bayangannya telah cukup jauh meninggalkan Desa Angkeran. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke
belakang, ketika hendak menyeberangi sebuah aliran sungai kecil. Sekilas terlihat senyuman sinis membayang
di bibirnya yang merah itu.
"Hm...," dara cantik itu bergumam seorang diri. Senyum nakalnya membayang. Seolah-olah ia
menemukan suatu pikiran yang baik. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah meloncat menyeberangi sungai. Dan
lenyap ditelan timbunan pohon.
Tidak berapa lama kemudian, tampak sesosok tubuh tegap berlari mendekati sungai, ia berdiri beberapa
saat sebelum menyeberangi sungai kecil itu. Dengan pandang matanya yang tajam, sosok tubuh yang ternyata
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu merayapi seberang sungai. Setelah memastikan
bahwa di depannya tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu segera melesat menyeberangi sungai.
Melihat dari gerakan dan caranya menyeberangi sungai, jelas pemuda itu bukanlah orang sembarangan.
Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya cukup sempurna. Sehingga, sebentar saja ia telah berada di
seberang sungai, dan melanjutkan langkahnya dengan berlari-lari kecil.
Namun, tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tampak menghentikan larinya, dan memandang
berkeliling dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, ia kembali melesat ke depan bagaikan sebatang anak
panah yang dilepaskan dari busurnya.
Setelah agak jauh berlari dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, pemuda itu kembali menahan
langkahnya. Jelas sekali terlihat rasa heran pada wajahnya.
"Aneh...? Ke mana perginya gadis itu...? Mustahil ia bisa bergerak demikian cepatnya...?" gumam
pemuda itu seorang diri seraya tangannya mengelus-elus ujung dagu. Keningnya tampak berkerut semakin
dalam. Jelas ia tengah berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu.
"Haiiit…!"
Mendadak terdengar suara teriakan melengking mengandung tenaga dalam yang kuat. Belum lagi gema
lengkingan itu lenyap, sesosok tubuh ramping melayang dari atas pohon, dan langsung melancarkan serangan
maut kepada pemuda gagah yang tengah berdiri kebingungan itu.
Bettt! Bettt!
"Aihhh...?!"
Pemuda itu memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan berputar ke belakang, guna menghindari
serangan yang cepat dan kuat itu. Kemudian, meluncur turun sejauh dua tombak dari tempatnya berdiri semula.
"Nisanak, sabar dulu....!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang
gadis cantik manis berpakaian serba biru muda.
"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan! Kau pikir aku tidak
tahu kalau kau telah membuntutiku sejak dari Desa Angkeran! Sekarang terimalah hukumanmu...!" bentak gadis
cantik itu sambil menerjang, tanpa memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk berbicara lebih banyak.
Untuk kesekian kalinya, pemuda itu kembali berloncatan guna menghindari serangan maut lawan.
Namun, ketika dara cantik yang galak itu semakin mempergencar serangannya, pemuda itu tampak mulai
kerepotan. Sehingga, ia terpaksa menangkis ketika sebuah bacokan sisi telapak tangan gadis galak itu datang
mengancam pelipisnya.
Dukkk!
Pertemuan kedua lengan yang sama-sama terisi tenaga sakti itu membuat keduanya sama-sama
terdorong mundur beberapa langkah. Hal itu justru makin menambah kemarahan dara cantik berpakaian biru
muda itu.
"Hm..., rupanya kau memiliki kepandaian. Pantas kau berani membuntutiku. Baiklah! Sekarang coba
kau tahan seranganku selanjutnya. Bersungguh-sungguhlah! Kalau tidak, nyawamu akan melayang...!" ancam
dara cantik itu.
Tampak gadis itu sudah menyilangkan kedua tangannya ke atas kepala. Jari-jari dara itu terlihat agak
bergetar. Jelas kalau ia tengah mengerahkan kekuatan tenaga saktinya secara utuh untuk penyerangan kali ini.
"Nisanak, sabar dulu! Aku memang telah membuntutmu sejak dari Desa Angkeran, Tapi, kalaupun itu
merupakan suatu kesalahan, apakah pantas dibalas dengan nyawaku? Percayalah. Aku sama sekali tidak
bermaksud jahat. Bahkan aku sangat kagum alas tindakanmu yang menyelamatkan keluarga pengantin tadi.
Karena itu aku ingin mengenalmu, dan terpaksa mengikutimu hingga sampai ke tempat ini...," ujar pemuda
tegap berwajah tampan dengan sebaris kumis tipis yang menambah kejantanannya itu.
Suara pemuda ini terdengar mengandung kecemasan. Karena ia sadar bahwa serangan gadis itu pastilah
akan sangat berbahaya. Sedangkan ia sama sekali tidak ingin bertarung dengan gadis cantik yang telah
menimbulkan kekaguman di hatinya itu.
"Nisanak, sabar dulu...!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang
gadis cantik manis berpakaian biru muda.
"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan!" bentak gadis cantik
itu sambil bersiap-siap ingin menyerang kembali.
"Hm..., kalaupun ucapanmu benar, kau harus melayani seranganku kali ini. Dan, kalau kau sanggup
bertahan selama lima jurus, biarlah kesalahanmu kuampuni, dan kau boleh pergi dari tempat ini!" kembali
terdengar jawaban gadis cantik manis itu, yang rupanya masih ingin melanjutkan serangannya. Meskipun
nadanya tidak segalak semula. Tapi, ia tetap saja belum mempercayai sepenuhnya ucapan pemuda itu.
"Tapi...," pemuda tegap berwajah tampan itu berusaha mencegah perkelahian yang sama sekali tidak
diinginkannya itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat lain ketika tubuh gadis itu sudah meluncur dengan serangan yang
lebih hebat lagi.
"Cerewet, sambut setanganku...!" bentak gadis cantik yang galak itu seraya melancarkan serangan-
serangannya yang menimbulkan deruan angin tajam.
Whuuut! Whuuut!
Mau tak mau pemuda tegap itu terpaksa menghindari serangan gadis cantik itu. Sesekali ia mencoba
memapaki sambaran tangan lawannya, yang dianggap sangat berbahaya itu. Meskipun demikian, pemuda itu
belum terlihat melontarkan serangan balasan. Sepertinya ia memusatkan perhatian pada pertahanan, agar bisa
melayani serangan gadis galak itu selama lima jurus tanpa terluka.
"Hait...!"
Plak! Plak!
Terdengar dua kali benturan keras berturut-turut, ketika pemuda tampan bertubuh tegap itu memapaki
tamparan dan tendangan lawan. Keduanya kembali terjajar mundur untuk kesekian kalinya. Tapi, gadis cantik
itu kembali melesat menerjang dengan kecepatan gerak yang mengagumkan. Sehingga, pemuda itu
mengeluarkan kata-kata pujian di luar kesadarannya.
"Jurus kelima...!" dara cantik berpakaian biru muda itu berseru mengingatkan jurus serangan yang
dilontarkannya.
"Akh...!"
Jurus terakhir yang dijanjikan dara cantik itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Pemuda itu
sampai terpekik kaget ketika cengkeraman jari-jari tangan lawan hampir saja merobek bagian iga kanannya.
Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh sambil menggeser kaki kanannya ke belakang. Kalau tidak,
sudah bisa dipastikan iganya akan terluka. Setidaknya, kulit dan dagingnya akan terkelupas oleh cengkeraman
yang mendatangkan deruan angin tajam itu.
"Cukup...!" ketika serangan jurus kelima itu berakhir, pemuda tampan itu berseru mengingatkan seraya
melompat ke belakang dan meluncur turun, setelah berputar beberapa kali di udara.
"Hm..., kau ternyata sangat tangguh, Kisanak. Baiklah. Sesuai dengan janjiku, sekarang kau boleh pergi
meninggalkan tempat ini. Jangan ikuti aku lagi...," ujar dara cantik itu.
Diam-diam dalam hati dara cantik ini timbul rasa kagum kepada pemuda tampan bertubuh tegap itu.
Sebab, jarang ia menemukan seorang pemuda yang mampu menahan serangannya sampai sepuluh jurus lebih.
Bahkan serangan lima jurus terakhir dengan mempergunakan ilmu andalannya pun dapat pula dihadapi oleh
pemuda itu. Tapi, kekaguman itu hanya disimpannya dalam hati, tanpa mengucapkannya kepada pemuda itu.
"Tapi, adakah undang-undang yang melarang kita untuk mengikuti seseorang? Sedangkan orang itu
sama sekali tidak berniat jahat terhadap orang yang diikutinya? Nah, apa jawabanmu, Nisanak...?" bantah
pemuda itu yang kelihatannya mulai berani menjawab ucapan-ucapan gadis cantik yang galak itu.
"Memang tidak ada undang-undang yang melarangmu untuk membuntuti orang lain. Tapi, tidak
adakah pekerjaan lain yang lebih baik ketimbang membuntuti orang? Atau kau memang mempunyai kebiasaan
aneh mengikuti setiap gadis yang kau kagumi, begitu? Hm..., kalau memang itu merupakan pekerjaanmu, jelas
kau seorang pemuda yang tidak mempunyai tata kesopanan...," balas dara cantik itu tidak mau kalah. Jelas selain
galak dan berkepandaian tinggi, dara itu pun pandai berdebat. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda tampan
berkumis tipis itu tidak bisa menjawab.
"Mmm..., tuduhanmu jelas keliru, Nisanak. Percayalah, baru kali ini aku membuntuti seorang gadis.
Dan, karena pekerjaan ini terasa sangat menyenangkan hatiku, maka aku berniat untuk melanjutkannya. Apakah
kau keberatan...?" balas pemuda itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Kali ini ditatapnya wajah cantik
manis itu dengan senyum lebar.
"Hm..., apakah kau tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dalam melakukan pekerjaanmu yang
aneh itu...?" tanya dara cantik manis itu seraya bertolak pinggang.
"Maksudmu...?" tanya pemuda itu seolah-olah belum mengerti arah pertanyaan dara cantik yang
dikaguminya itu.
"Hm..., aku jelas tidak suka kau buntuti, Kisanak. Oleh karena itu, aku akan menerjangmu mati-matian
kalau kau masih hendak melanjutkan pekerjaanmu itu. Nah, silakan kau pilih. Pergi dengan selamat, atau
bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas...!" dingin dan tegas sekali suara dara cantik itu.
Mendengar ucapan si dara cantik, pemuda tampan berkumis tipis itu menjadi bengong, seolah-olah tak
percaya dengan pendengarannya.
"Nah, ternyata kau masih bisa berpikir waras…," ucap dara cantik yang galak itu ketika melihat
pemuda di depannya berdiri bengong memandangi kepergiannya. Setelah melemparkan senyum penuh
kemenangan, dara cantik itu pun berkelebat lenyap dari tempat itu.
"Gila...! Gadis itu benar-benar keras kepala, dan sulit sekali untuk diajak berteman. Tapi…, biar
bagaimanapun aku akan tetap membuntutinya dari kejauhan. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum dapat
mengenalnya...," gumam pemuda tampan itu berkata kepada dirinya sendiri. Jelas ia sangat tertarik dengan dara
cantik berpakaian biru muda yang galak itu. Ia pun memutuskan untuk tetap mengikutinya tanpa sepengetahuan
gadis cantik yang telah membuat kagum hatinya.
***
"Hm..., perlahan langkahmu, Nisanak...!" tiba-tiba terdengar sebuah teguran yang membuat dara cantik
manis berpakaian biru muda itu menunda langkahnya.
Sepasang mata dara itu berkilat curiga ketika melihat ada lima orang lelaki berwajah bengis, berdiri
menghadang jalannya. Dengan sikap tenang, dara cantik manis itu melangkah maju beberapa tindak. Keningnya
tampak berkerut ketika mengenali lelaki bercambang bauk yang menjadi tukang pukul Juragan Surya Denta.
"Hm..., rupanya kau belum puas dengan kejadian kemarin, Kerbau Dungu! Dan, sekarang mengajak
teman-temanmu untuk mengeroyokku," tegur dara cantik itu tersenyum mengejek ke arah lelaki bercambang
bauk, yang bentuk tubuhnya memang gemuk seperti kerbau.
"Hm..., perempuan liar inikah yang telah membunuh kakangmu, Bunggali...?!" tanya seorang lelaki
tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Sikap lelaki itu terlihat keren dan memancarkan perbawa.
Jelas ia bukan orang sembarangan.
"Benar, Guru. Iblis betina inilah yang telah menewaskan Kakang Sungka kemarin," jawab lelaki
bercambang bauk yang bernama Bunggali itu. Jelas ia masih mendendam atas peristiwa kemarin di Desa
Angkeran, dan mengundang guru serta kawan-kawan seperguruannya untuk membalas perbuatan gadis cantik
itu.
"Nisanak. Dengan membunuh salah seorang murid kami, berarti kau telah menanamkan bibit
permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa. Sebaiknya kau menyerahlah untuk diadili oleh para tetua
perguruan kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang rupanya merasa enggan untuk melakukan kekerasan, ketika
melihat usia gadis itu yang pantas menjadi putrinya. Sayang, dara cantik berpakaian biru muda itu menganggap
ucapan calon lawannya sebagai suatu penghinaan. Hal itu terlihat jelas dari sepasang matanya yang
memancarkan sinar berkilat.
"Orang tua! Seharusnya kau berpikir lebih jauh, sebelum mengambil keputusan untuk membela murid-
muridmu. Bagaimana kalau ternyata yang berbuat salah adalah muridmu? Apakah kau akan tetap berkeras untuk
membelanya...?" tegur dara cantik manis itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan ia kembali melangkah maju
dua tindak. Sikap itu jelas-jelas merupakan tantangan.
"Perlu apa berbaik hati kepada iblis betina itu, Guru. Lihat saja sikapnya yang sombong, dan
menganggap dirinya manusia tersakti di atas permukaan bumi ini. Gadis liar seperti dia, harus segera diberi
pelajaran biar jera...," Bunggali yang sudah tidak sabar kembali menggosok hati gurunya. Sepasang mata lelaki
bercambang bauk itu melotot, seperti hendak menelan tubuh dara cantik itu bulat-bulat.
"Sabarlah, Bunggali...," ujar lelaki tinggi kurus itu mengibaskan lengannya perlahan, mencegah
Bunggali yang sudah siap maju. Kemudian, berpaling kepada dara cantik itu. "Nisanak. Sekali lagi kutegaskan.
Biar bagaimanapun, aku harus membawamu ke perguruan untuk diadili. Menyerahlah, atau aku terpaksa
menggunakan kekerasan!"
"Hm..., jelas kalian ini adalah orang-orang jahat. Orang-orang seperti kalian memang harus diberi
pelajaran, agar lain kali lebih berhati-hati, dan tidak meremehkan orang lain!" sahut dara cantik manis itu
dengan nada menantang, sehingga wajah lelaki kurus itu menjadi gelap.
"Hm...," gumam lelaki kurus itu sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan.
Seketika empat orang lainnya, termasuk Bunggali, langsung menyebar mengepung dara cantik
berpakaian biru muda itu. Keempatnya telah mencabut senjata masing-masing, siap mengeroyok bila gadis itu
hendak melarikan diri.
"Hi hi hi...! Kalian ini betul-betul kerbau tolol! Kalian pikir aku mau melarikan diri dari pertempuran?
Huh! Jangan sombong dulu, Orang-orang Tolol! Kalian lihatlah, aku akan membuat guru kalian lari terbirit-
birit...!" ejek dara cantik manis itu terkekeh seperti merasa geli melihat tingkah-polah musuh-musuhnya.
"Kurang ajar...!" maki lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat orang muridnya itu. Ia
marah karena mendengar ejekan calon lawannya. Cepat ia melompat ke depan, dan langsung melancarkan
sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam.
"Sambut seranganku...!" seru lelaki tinggi kurus itu membentak.
"Hm...," dara cantik itu bergumam pelan, seraya menggeser kaki kanannya ke samping. Kemudian
disusul dengan gerakan tubuh meliuk indah. Ketika pukulan telah lewat di sampingnya, tubuh dara cantik itu
langsung berputar dengan sebuah tendangan belakang yang mengincar pelipis lawan.
Plak!
Terdengar suara benturan keras ketika lelaki tinggi kurus itu mengangkat lengan kirinya memapaki
tendangan lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Terlihat lelaki tinggi kurus
itu agak terkejut, ketika merasakan kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi dalam tendangan gadis itu.
"Hm..., pantas kau demikian sombong. Rupanya kepandaianmu memang cukup hebat...," ujar lelaki
tinggi kurus itu yang mau tak mau terpaksa memuji kekuatan tenaga sakti lawannya, "Tapi, jangan besar kepala
dulu. Sambutlah seranganku selanjutnya...."
Dan sesaat setelah ucapannya selesai, tubuh lelaki tinggi kurus itu sudah melayang dengan sebuah
serangan yang jauh lebih berbahaya dari sebelumnya.
Bettt! Bettt!
Melihat serangan lawannya semakin berbahaya, dara cantik berpakaian biru muda itu segera
menyilangkan kedua tangannya dan langsung dijulurkan ke depan. Terdengar sambaran angin berkesiutan ketika
sepasang lengan yang mengepal itu berputaran membentuk gerakan-gerakan yang indah dan kuat.
"Haittt..!"
Dibarengi sebuah seruan melengking, tubuh ramping yang terbungkus pakaian biru muda itu langsung
menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah saling serang dengan jurus-jurus ampuh.
Pukulan keduanya menimbulkan deru angin yang tajam.
Namun, setelah lewat dua puluh jurus lebih, terlihat sosok bayangan biru muda mulai melakukan
tekanan-tekanan berat kepada lawannya. Tampak sosok tinggi kurus yang menjadi lawannya itu mulai terdesak,
dan hanya bisa bergerak mundur.
Plak! Plak...!
"Aaah...!?"
Meskipun dua buah pukulan lawan masih dapat ditangkis, namun lelaki tinggi kurus itu terdengar
memekik kesakitan. Dan, tubuhnya terpental keluar dari dalam arena pertempuran.
"Terimalah pukulanku...!" seru dara cantik berpakaian biru muda itu sambil melesat mengejar tubuh
lawannya. Dan....
Desss...!
Tanpa ampun lagi, lawannya yang tidak mampu mengelak itu langsung kembali terpental. Kali ini
darah segar muntah dari mulutnya. Jelas kepalan mungil yang menghantam bagian dadanya itu sangat kuat,
sehingga menimbulkan luka yang tidak bisa dipandang enteng.
"Haittt...!"
Dara cantik itu sepertinya tidak mau tanggung-tanggung dalam menuntaskan pertempuran. Terlihat ia
kembali melesat dengan telapak kaki yang siap menjejak tubuh lawan yang tengah tergeletak hendak bangkit
berdiri.
Derrr...!
"Aaah...!"
Untunglah dalam saat yang gawat itu lawannya masih sempat menyadari datangnya bahaya maut.
Sebisa-bisanya ia langsung bergulingan menghindari telapak kaki mungil yang jelas bisa mendatangkan
kematian bagi dirinya.
"Hm..., rupanya kau masih sempat juga menyelamatkan dirimu, Orang Tua. Tapi, kali ini kau coba saja
menghindarinya...," ancam dara cantik itu yang kali ini memberikan kesempatan kepada lawannya untuk berdiri
tegak. Kemudian, tubuhnya langsung meluncur ketika lelaki kurus itu sudah memasang kuda-kudanya,
meskipun dengan tubuh agak goyah.
"Haittt... !"
Diiringi teriakan melengking panjang, tubuh dara cantik itu melayang ke arah lawannya. Bunggali dan
ketiga orang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepandaian mereka memang masih jauh untuk dapat
menyelamatkan guru mereka.
"Heaaah...!"
Ketika serangan dara cantik itu sudah dekat, tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang merupakan seorang
tokoh dari Perguruan Gunung Lawa itu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Kemudian, ia langsung
bergulingan ke samping guna menghindari serangan lawan.
"Aaah...?!"
Dara cantik manis itu memekik kaget ketika ia melihat kibasan tangan lawan menyemburkan gumpalan
asap tipis berbau harum. Sadarlah dara cantik itu kalau lawannya berbuat curang dengan menebarkan bubuk
beracun. Cepat ia melompat mundur dan berputaran ke udara sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya
dengan pukulan jarak jauh, guna mengusir asap putih yang berasal dari bubuk racun itu. Namun, bubuk yang
sudah telanjur tercium tadi, membuat tubuh dara cantik itu tampak goyah ketika sepasang kakinya mendarat di
atas tanah.
"Ohhh...! Dasar pengecut licik...!" umpat gadis itu sambil memejamkan matanya untuk menghilangkan
rasa pening yang membuat pandangannya kabur.
TIGA
Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kelihaian orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, Perempuan
Liar...!" lelaki tinggi kurus itu tertawa bergerak ketika melihat lawannya mulai goyah. Cepat ia memerintahkan
murid-muridnya untuk membekuk dara cantik itu. Sedangkan ia sendiri sudah melompat maju seraya
mengirimkan tamparan kilat ke bahu gadis itu.
Plak.
Meskipun kepalanya terasa pening dan pandangan kabur, namun dara cantik itu masih sempat
mengangkat tangannya untuk memapak tamparan lawan. Sayang, gerakannya tidak lagi segesit semula.
Akibatnya, sebuah tendangan salah seorang pengeroyok, menghajar telak punggungnya.
Desss...!
"Hugkh...!"
Kontan tubuh dara cantik itu terjerunuk ke depan. Kembali tubuh ramping itu terjengkang ketika
sebuah pukulan keras mendarat di perutnya.
"Roboh...!" lelaki tinggi kurus itu membentak nyaring seraya melontarkan tamparan keras ke arah
pelipis gadis cantik itu. Agaknya ia ingin membuat lawannya pingsan.
Whuttt..! Plakkk!
"Aih...!?"
Mendadak sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya, saat tamparan lelaki kurus itu hampir
mengenai sasarannya. Akibatnya, terdengarlah benturan keras disusul jeritan kaget dari lelaki kurus itu.
Tubuhnya terpental balik dan hampir terpelanting.
"Bedebah...!" umpat lelaki tinggi kurus itu dengan wajah merah padam, ia kemudian bergerak bangkit
seraya menatap tajam ke arah sosok tegap yang tengah dikeroyok empat orang muridnya. Hatinya kembali
tercekat ketika dua orang muridnya terpelanting dan langsung pingsan, hanya dalam satu gebrakan saja. Karuan
saja kemarahan lelaki tinggi kurus itu makin menggelegak.
"Haaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah pertarungan.
Begitu tiba, ia langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan angin berkesiutan.
Namun, sosok tegap yang baru muncul itu benar-benar hebat sekali. Gerakannya demikian gesit dan
sangat kuat. Sehingga, meskipun dikeroyok tiga orang, ia dengan mudah mengelakkan setiap sambaran senjata
dan pukulan lawan-lawannya. Bahkan serangan balasannya justru jauh lebih hebat dari lawan-lawannya.
Plakkk!
Sosok tegap itu merunduk sambil memiringkan tangan kirinya, dan memapaki sebuah tendangan yang
dilancarkan lelaki tinggi kurus itu. Kemudian, langsung meliuk dengan mengirimkan sebuah hantaman telapak
tangannya yang tepat mendarat di dada kiri lawan.
Bukkk!
"Hugkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu langsung terpental menyemburkan darah segar. Gerakan
sosok tegap itu terus berlanjut mematahkan serangan dua batang senjata pengeroyoknya. Dan, mengirimkan
tendangan serta pukulan yang membuat kedua orang pengeroyok terakhir berpelantingan tersambar pukulan dan
tendangannya.
"Bangsat! Siapa kau, Kisanak...?" desis lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat kawannya.
"Kau telah membuat permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa! Hal itu akan membuatmu menyesal seumur
hidup...!"
"Hm..., terserah kau, Orang Tua. Kalau kau menganggapnya demikian, aku pun tidak bisa menolak.
Sekarang, tinggalkanlah tempat ini sebelum kesabaranku habis...!" ancam sosok tegap yang ternyata adalah
seorang pemuda berparas tampan dan gagah. Sikapnya tampak tenang, meskipun lawannya jelas-jelas
mengancam. Malah ia balik mengancam dengan berani. Sehingga, ganti lelaki tinggi kurus itulah yang menjadi
gelisah.
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung mengajak kedua orang muridnya untuk membawa dua orang
kawannya yang masih tak sadarkan diri itu. Kemudian mereka berlari meninggalkan tempat itu dengan hati
penasaran dan penuh dendam.
"Sebutkan namamu, kalau kau benar-benar bukan seorang pengecut, Kisanak...?" ujar lelaki tinggi
kurus itu, sebelum meninggalkan kedua orang lawannya. Sorot matanya terlihat penuh api dendam ketika
menatap sosok pemuda bertampang gagah itu.
"Hm..., namaku Sasmita. Kalau kalian ingin membalas dendam, datanglah ke Bukit Harimau Putih...,"
jawab pemuda tampan itu tanpa gentar sedikit pun.
"Bukit Harimau Putih...?! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Macan Sakti...?" tanya lelaki tinggi
kurus itu agak terkejut ketika mendengar jawaban pemuda itu. Kini ia baru mengerti mengapa gerakan pemuda
itu seperti pernah dikenalnya. Diam-diam hatinya agak bergetar ketika mendengar pemuda itu berasal dari Bukit
Harimau Putih, yang merupakan tempat tinggal seorang tokoh besar golongan putih. Dinantinya jawaban
pemuda itu dengan hati berdebar tegang.
"Aku adalah putra tunggalnya...," jawab pemuda gagah itu tanpa terkesan bahwa ia hendak
mengandalkan ketenaran nama orangtuanya dalam menanggapi ancaman lawan.
"Hm..., kalau begitu orangtuamu harus diberi peringatan agar bisa mendidik putranya dengan baik.
Tunggulah pembalasan kami! Persoalan ini masih belum selesai...," ujar lelaki kurus itu dengan nada
mengancam.
Setelah berkata demikian, lelaki bertubuh tinggi kurus itu menyusul kawan-kawannya. Langkahnya
terlihat limbung. Karena ia menderita luka dalam akibat pukulan Sasmita. Untunglah pemuda gagah itu tidak
berniat menghabisi lawan-lawannya. Kalau tidak, rasanya kelima orang itu tidak mungkin bisa meninggalkan
tempat itu dalam keadaan masih bernyawa.
Sepeninggal kelima orang itu, Sasmita segera melangkah menghampiri dara cantik berpakaian biru
muda yang tergeletak pingsan. Jelas, bubuk beracun itu telah membuatnya tidak berdaya.
"Hm...," Sasmita bergumam perlahan. Kemudian dipondongnya tubuh ramping itu dan melesat pergi.
***
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sasmita terus bergerak menyusuri hutan. Ia berniat hendak
mencari pondok yang biasa dibuat oleh para pemburu untuk bermalam. Meskipun racun yang melumpuhkan
tubuh gadis dalam pondongannya itu tidak berbahaya, tapi ia hendak mencari tempat yang aman dan terlindung.
Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa akan kembali dengan membawa kawan-
kawan yang lebih banyak. Hal itulah yang dikhawatirkan pemuda itu.
Tidak terlalu sulit bagi Sasmita untuk mencari tempat yang dimaksudkannya itu. Tidak berapa lama
kemudian, di depannya terlihat sebuah pondok sederhana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda gagah
itu langsung memasuki pondok itu setelah yakin tidak ada orang di dalamnya. Tubuh dara cantik berpakaian
biru muda itu diletakkannya di aras balai-balai, ia sendiri kemudian melesat pergi untuk mencari air.
Setelah air sungai yang dijerangnya masak, Sasmita duduk di undakan tangga pondok sambil menanti
dara cantik itu siuman. Tadi ia sudah mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh gadis itu, yang berguna
untuk mempercepat bangkitnya kesadaran.
"Ouhhh...!"
Sasmita bergerak bangkit ketika mendengar keluhan lirih gadis cantik yang ditolongnya itu. Pemuda itu
berdiri di samping balai-balai sambil memandang gadis cantik manis yang terlihat berkeringat itu. Diam-diam
kekagumannya semakin bertambah, membuat hatinya bergetar aneh. Meskipun demikian. Sasmita sama sekali
tidak berani menyentuhnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum menunggu pulihnya kesadaran dara cantik
manis itu.
Tidak berapa lama kemudian, Sasmita melihat kelopak maia dara itu mulai terbuka. Pemuda gagah itu
menahan debaran dalam dadanya ketika melihat sepasang mata gadis itu tampak mengerjap beberapa kali,
sebelum terbuka lebar-lebar.
"Kau...?!" pekik dara cantik manis itu ketika melihat sosok pemuda yang dikenalnya, tengah berdiri
menatapnya sambil tersenyum. "Apa yang kau lakukan...?"
Sasmita, hanya tersenyum lebar ketika melihat dara cantik yang telah menarik hatinya itu bangkit
dengan wajah bersemu merah. Pemuda itu masih tetap berdiri tenang, meskipun dara cantik itu telah berdiri
tegak di hadapannya.
"Ke mana manusia-manusia licik itu...?" tanya dara cantik itu seraya menoleh dan mencari-cari orang-
orang Perguruan Gunung Lawa yang telah mengeroyoknya.
"Mereka telah pergi...," sahut Sasmita sambil mengambil air obat yang telah dimasaknya.
Diangsurkannya gelas bambu itu kepada dara cantik di depannya. "Tubuhmu masih agak lemah. Sebaiknya kau
minumlah obat ini guna melancarkan darahmu yang terhambat akibat racun pembius orang-orang Perguruan
Gunung Lawa itu."
"Racun pembius...?" desis dara cantik itu mengerutkan kening.
Dara cantik itu mencoba mengingat kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Perlahan-lahan,
ia mulai dapat mengingat rangkaian peristiwa yang baru saja dialaminya.
"Kaukah yang menolongku dari tangan mereka...?" tanya dara cantik itu seraya memperhatikan wajah
Sasmita. Pemuda itu tersenyum lebar melihat dara itu menelusuri wajahnya, seperti hendak menilai dirinya.
"Maaf kalau perbuatanku kau anggap lancang, Nisanak. Semua itu kulakukan karena aku tidak rela kau
jatuh ke tangan mereka. Meskipun Perguruan Gunung Lawa bukan dari golongan sesat, tapi mereka pun tidak
bisa dikatakan orang baik-baik," sahut Sasmita agak merendah. Tangannya masih tetap terulur mengangsurkan
gelas bambu berisi air obat.
"Hm...," dara cantik manis itu bergumam pelan. Ada rasa kagum melihat sikap pemuda tampan itu
yang berlaku sopan dan menghormati dirinya. Perlahan disambutnya gelas bambu di tangan pemuda itu. Sesaat
dara cantik itu tertegun ketika ia merasakan getaran aneh saat jari-jari tangan mereka saling bersentuhan. Hal itu
membuat hatinya berdebar-debar. Untuk mengalihkan perhatian, diteguknya air obat yang diberikan pemuda itu.
"Mmm..., kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu, Nisanak? Aku sendiri
bernama Sasmita...," tanya Sasmita seraya memperkenalkan namanya kepada gadis itu.
"Namaku Sari Asih...," sahut dara cantik manis itu setelah meneguk habis air obat di dalam gelas
bambu, dan meletakkannya di atas balai-balai.
"Sari Asih.... Sebuah nama yang indah...," ujar Sasmita perlahan seperti hendak mengukir nama itu
dalam hatinya. Ditatapnya wajah cantik manis yang menimbulkan kekaguman di hatinya.
Sari Asih merundukkan wajahnya ketika melihat pancaran kekaguman pada sepasang mata pemuda
gagah itu. Ia merasa aneh tatkala debaran dalam dadanya semakin kuat. Padahal, bukan baru kali ini ia
menemukan tatapan itu pada mata laki-laki. Tapi, kali ini ia benar-benar merasakan adanya kelainan dalam
dirinya. Ada jalaran rasa nikmat dan bangga mendapat tatapan penuh kagum dari pemuda gagah yang
menolongnya itu.
Merasa agak jengah mendapat ratapan mata Sasmita, Sari Asih membalikkan tubuhnya dan melangkah
ke pintu.
"Ah..., hari sudah mulai gelap...," desahnya perlahan seraya menatap ke luar pondok yang mulai
diselimuti kegelapan.
"Kalau begitu, biariah aku mencari makan malam untuk kita. Kuharap kau mau menunggu sebentar...,"
ujar Sasmita yang langsung melesat pergi, sebelum Sari Asih mengangguk menyetujuinya. Dara cantik itu
hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya perlahan.
Sepeninggal Sasmita, Sari Asih duduk di tepi balai-balai menatap ke luar lewat jendela yang terbuka.
Perhatian pemuda itu yang berlebihan terhadap dirinya, membuat Sari Asih termenung. Ia memang kagum
dengan kegagahan dan kesopanan sikap Sasmita. Ditambah lagi, pemuda itu bukan orang lemah. Bahkan
mungkin masih berada di aras kepandaiannya sendiri.
Sari Asih sadar bahwa pemuda seperti Sasmita sangat jarang ditemuinya. Diam-diam, ia mulai mem-
bayangkan andaikata pemuda itu menyukainya. Bagaimana ia harus bersikap? Karena ia sendiri pun tidak dapat
menipu dirinya sendiri yang mulai merasa kagum dan suka kepada pemuda itu. Bahkan ada rasa damai dan
aman berada di sisi pemuda itu.
Sari Asih tidak bisa memastikan apakah ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu atau hanya suka sebagai
seorang kawan baik. Dara cantik itu belum berani memastikan. Menurutnya, hal itu masih terlalu pagi. Selain
itu, Sari Asih belum tahu banyak tentang Sasmita, ia memutuskan untuk melihat bagaimana kelanjutan sikap
pemuda itu. Dan ingin mengetahui mengapa pemuda itu selalu membuntutinya sejak dari Desa Angkeran.
Meskipun ia sudah dapat meraba, tapi Sari Asih belum tahu pasti.
Sari Asih yang tengah termenung itu langsung bergerak bangkit ketika telinganya menangkap suara
gerakan orang di luar. Cepat ia melesat ke pintu. Senyumnya mengembang ketika melihat Sasmita datang
dengan membawa dua ekor ayam hutan di tangan kanannya.
"Lihat, Asih! Rupanya nasib kita memang sedang beruntung. Dua ekor ayam hutan ini cukup gemuk.
Rasanya cukup untuk kira berdua," seru Sasmita seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Wajah pemuda itu
berseri gembira. Nada suaranya pun terdengar sangat akrab, membuat senyum di bibir Sari Asih semakin lebar.
Tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih langsung menghampiri Sasmita, dan mengambil dua ekor ayam hutan
di tangan pemuda tampan itu. Sedangkan Sasmita sendiri bagai mendapatkan sebuah karunia yang tiada taranya
ketika melihat senyum manis di bibir gadis yang telah menawan hatinya itu.
"Hm..., kau sudah susah mencarinya. Sekarang biarlah aku yang memasakkannya untuk kita berdua.
Tolong buatkan api untuk memanggang ayam ini..," ujar Sari Asih sambil melangkah menuju pondok.
Dara cantik manis itu sama sekali tidak memperhatikan betapa Sasmita seperti orang tolol. Pemuda itu
bagaikan terkena sihir! Ia benar-benar terpesona dengan senyum manis yang diberikan Sari Asih.
Kesadaran baru kembali mengisi pikiran pemuda itu ketika bayangan tubuh Sari Asih telah lenyap di
balik pintu. Sasmita menggeleng berkali-kali sambil berdecak tak habis-habisnya. Kali ini hatinya benar-benar
telah terpikat oleh kecantikan dan senyum manis Sari Asih.
"Ya, Tuhan.... Makhluk yang kau ciptakan ini benar-benar tiada cacatnya. Rasanya aku mudah sekali
jatuh cinta terhadap seorang dara seperti dia...," gumam Sasmita sambil menatapi daun pintu pondok yang telah
tertutup itu.
Teringat akan pesan Sari Asih, pemuda itu segera melangkah ke samping pondok, ia sepertinya sudah
cukup hafal dengan kebiasaan para pemburu yang selalu menyiapkan kayu bakar di samping pondok. Harapan
Sasmita memang tidak sia-sia. Ia melihat ada setumpuk kecil kayu bakar sisa para pemburu yang pernah
melewatkan malam di pondok itu.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera mengumpulkan kayu bakar. Lalu, dibuatnya
sebuah api unggun yang cukup besar, tidak sulit memang bagi seorang ahli silat untuk membuat api. Dengan
kekuatan tenaga dalamnya, Sasmita membuat api guna menyalakan kayu-kayu bakar itu dengan api unggun.
Sebentar saja terlihat lidah api menjilat-jilat kian kemari, dan sesekali menari tertiup angin.
Tidak berapa lama kemudian, muncul Sari Asih membawa ayam hutan yang bulunya sudah dibuang,
dan diberi bumbu penyedap. Rupanya dara cantik manis itu telah merebus kedua ekor ayam itu, yang terlihat
masih mengepulkan asap tipis, dan berwarna kekuningan.
"Ah, kau ternyata pandai memasak. Asih. Baru setengah matang, harumnya sudah membuat cacing-
cacing di perutku memberontak...," puji Sasmita sambil menggerak-gerakkan hidungnya persis seperti kucing
mencium ikan asin.
Tingkah pemuda itu membuat Sari Asih terkekeh lirih. Sehingga menampakkan rongga mulutnya yang
kemerahan serta giginya yang putih laksana untaian mutiara. Dan, untuk kesekian kalinya, Sasmita merasakan
dadanya berdebar menyaksikan pemandangan itu.
"Eh, kau kenapa, Sasmita...?" tegur Sari Asih yang menghentikan tawanya ketika melihat pemuda
gagah itu tampak terbengong-bengong dengan mulut terbuka.
"Eh, oh..., tidak.... Tidak apa-apa...," sahut Sasmita yang menyadari ketololannya. Segera saja ia
memperbaiki sikapnya.
Sari Asih yang sempat menangkap getar-getar asmara pada sepasang mara pemuda itu, berpura-pura
bodoh. Dara cantik manis itu langsung saja duduk di samping Sasmita, dengan tangan kanan masih memegang
ayam hutan yang siap dibakar.
"Biar aku saja yang mengerjakannya...," pinta Sasmita untuk menghilangkan kekakuan sikapnya.
Sari Asih tidak menolak, ia menyerahkan kedua ekor ayam hutan itu kepada Sasmita yang sudah
mengangsurkan tangannya.
Setelah itu, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mereka seperti terhanyut dalam alam
pikirannya masing-masing. Sasmita sendiri sampai tidak sadar kalau ayam yang dibakarnya telah gosong
sebagian. Maka, meledaklah tawa kedua orang muda itu ketika mencium bau hangus yang menusuk hidung
mereka.
"Ah, untunglah belum seluruhnya terbakar hangus...," ujar Sasmita seraya menatap Sari Asih penuh
penyesalan.
Gadis cantik itu sendiri hanya tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa. Sari Asih langsung saja
mengambil dan mencicipinya pada bagian yang tidak hangus. Sasmita meniru perbuatan dara cantik itu. Ia
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendapat kenyataan bahwa ayam bakar itu ternyata sangat gurih dan
nikmat Sari Asih sendiri hanya tersenyum melihat anggukan kepala pemuda itu.
Sebentar saja, suasasana menjadi hening. Baik Sasmita maupun Sari Asih sama-sama menikmati
makanan itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya dada mereka yang bergemuruh setiap kali bertemu pandang.
EMPAT
"Ke mana tujuanmu sekarang, Asih...?" tanya Sasmita saat keduanya melangkah meninggalkan hutan
pagi itu.
Tampaknya mereka sudah semakin akrab, meskipun belum lama saling mengenal. Hal itu dikarenakan
keduanya merasa cocok, dan memiliki banyak persamaan.
"Hm..., sudah hampir satu tahun aku bertualang. Rasanya aku sudah rindu kepada ayahku. Jadi..., aku
berniat hendak menjenguk beliau...," sahut Sari Asih tanpa mengalihkan tatapan matanya yang tertuju lurus ke
depan.
"Ah, kebetulan sekali kalau begitu...," ujar Sasmita sambil menatap wajah cantik di sebelahnya. "Aku
ingin sekali berkenalan dengan orangtuamu. Tentu saja kalau kau tidak keberatan...."
"Jangan, Sasmita. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa setelah bertemu ayahku. Ibuku sendiri sudah
lama meninggal...," sahut Sari Asih seolah merasa khawatir kalau Sasmita tidak suka bergaul dengannya lagi
setelah mengenal siapa ayahnya. Itulah sebabnya Sari Asih berusaha menolak permintaan sahabat barunya itu.
"Asih,... Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau bagaimanapun buruknya sikap beliau. Jadi..., tidak ada
alasan bagimu untuk merasa takut aku tidak menyukai orangtuamu...," Sasmita tetap bersikeras hendak
mengenal orangtua Sari Asih.
Gadis cantik itu hanya bisa menghela napas panjang. Setelah mengenal Sasmita, ia sadar kalau pemuda
itu memiliki kemauan yang keras. Buktinya pemuda itu terap saja membuntutinya walaupun sudah diberi
peringatan keras.
"Terserah kaulah. Satu hal yang perlu kau ketahui. Ayahku selalu berbicara apa adanya. Bahkan tidak
jarang ia menghina seseorang di depan orang itu sendiri. Kalau suka, ia langsung mengatakannya. Demikian
juga sebaliknya. Jadi, penolakanku tadi bukan karena aku tidak suka kau berkenalan dengan ayahku, tapi, aku
takut kalau kau tersinggung karena ucapan-ucapan ayahku yang kurang berkenan di hatimu...," ujar Sari Asih
mengingatkan sifat orangtuanya kepada Sasmita.
Sasmita mengangguk-angguk memaklumi penolakan dara cantik itu.
"Kau tidak usah khawatir, Asih. Aku sudah hampir satu tahun lebih melakukan petualangan. Dan aku
sering menjumpai orang-orang yang mempunyai sifat aneh. Jadi, rasanya aku tidak akan terkejut bila berjumpa
dengan orangtuamu. Apalagi kau telah berbaik hati memberitahukannya...," ujar Sasmita yang sepertinya terap
ingin bertemu orangtua Sari Asih.
Ucapan itu membuat Sari Asih berpaling dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat. Seolah-olah ia
ingin menilai kebenaran ucapan Sasmita melalui sepasang mata yang merupakan jendela hati itu.
"Terserah kaulah...," desah Sari Asih ketika ia melihat sinar kejujuran dan kesungguhan di mata
sahabatnya itu.
"Terima kasih, Asih...," ujar Sasmita gembira.
Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Sari Asih. Sehingga, dara cantik itu terlihat agak kaget,
dan melangkah mundur dua tindak. Seolah-olah ia merasakan sesuatu yang aneh dari sentuhan tangan pemuda
itu di bahunya.
Sasmita sendiri langsung menarik kedua tangannya dari bahu Sari Asih. Ia pun merasakan adanya
getaran yang terasa nikmat menjalari kedua lengannya saat menyentuh bahu dara cantik itu. Kejadian itu
membuat keduanya seperti terkena sihir. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri saling berpandangan tanpa
tahu harus bersikap bagaimana.
"Maaf, Asih. Aku..., benar-benar gembira sekali mendengar jawabanmu...," ujar Sasmita yang lebih
dulu dapat menguasai keadaan.
Sasmita langsung saja minta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa permintaan maafnya itu.
Tapi, paling tidak ucapannya telah membuat kekakuan di antara mereka kembali lenyap.
"Kau ini aneh, Sasmita. Aku sama sekali tidak melihat kesalahanmu, mengapa kau minta maaf...?"
tegur Sari Asih seraya melangkah menyusuri jalan berbatu.
"Yah..., untuk apa saja yang kau anggap salah...," sahut Sasmita sekenanya. Karena ia sendiri pun tidak
tahu untuk apa ucapan maafnya tadi. Sari Asih sendiri sama sekali tidak menuduh perbuatan pemuda itu
merupakan suatu kesalahan. Sesaat kemudian keduanya tertawa karena merasa aneh dan lucu dengan tingkah
mereka berdua tadi.
Kali ini mereka tidak lagi banyak berbicara. Dan, untuk mempercepat perjalanan, mereka mulai
menggunakan ilmu lari masing-masing. Sasmita yang sadar bahwa sahabatnya seperti hendak menguji ilmu
larinya, sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia hanya menjajari langkah Sari Asih, takut kalau-
kalau dara cantik itu tersinggung bila ia mendahuluinya.
Sementara Sari Asih sendiri menyadari kelebihan pemuda tampan yang menarik hatinya itu. Ia melihat
Sasmita selalu saja berada di sebelahnya, tanpa kelihatan lelah. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh
kemampuan ilmu larinya, sampai-sampai butir-butir keringat menghiasi keningnya. Napasnya pun agak
memburu. Tetapi, napas pemuda itu sama sekali tidak terlihat memburu. Bahkan wajah tampannya tetap tenang
dihiasi senyum gembira. Tentu saja semua kenyataan itu membuat Sari Asih semakin kagum.
Setelah setengah harian lebih melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, keduanya
tiba di kaki Gunung Buntar. Kini mereka berlari menuju sebelah Barat kaki gunung itu.
"Ayah..., aku pulang...!" seru Sari Asih ketika mereka tiba di dekat sebuah pondok kayu sederhana,
tempat tinggal orangtua Sari Asih.
Seorang lelaki berwajah brewok berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan
senyum lebar, ia mengembangkan sepasang lengannya menyambut tubuh Sari Asih yang sudah langsung
memeluk tubuh lelaki gemuk itu erat-erat.
"Asih, Anakku...," desah lelaki brewok itu seraya menciumi rambut putrinya.
Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti melupakan kehadiran Sasmita yang berdiri penuh haru
menatap pertemuan ayah dan anak itu. Sekilas terlintas keinginannya untuk menemui kedua orangtuanya di
Bukit Harimau Putih.
"Eh?! Siapakah pemuda gagah yang datang bersamamu itu, Asih? Dari mana dia berasal? Siapa
gurunya, dan siapa pula orangtuanya?" lelaki gemuk berwajah brewok itu memberondongkan pertanyaan kepada
putrinya, sambil merenggangkan pelukannya ketika sepasang matanya menangkap sosok Sasmita yang
tersenyum dan mengangguk penuh hormat.
"Ah, aku sampai terlupa...!" seru Sari Asih sambil melepaskan diri dari pelukan ayahnya.
Dara cantik manis itu langsung menyeret lengan Sasmita dan dibawanya ke hadapan ayahnya.
"Ayah, pemuda ini sahabatku. Ia bernama Sasmita. Mengenai pertanyaan-pertanyaan Ayah, biarlah ia
sendiri yang menjawabnya. Silakan, Sasmita. Inilah orangtuaku...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata
bersinar-sinar penuh kegembiraan. Sepertinya dara cantik itu memang sangat bahagia sekali.
"Paman, aku bernama Sasmita. Sedangkan guruku adalah ayahku sendiri yang dikenal berjuluk Pen-
dekar Macan Sakti. Maaf kalau kedatanganku telah mengganggu pertemuan antara keluarga...," dengan
membungkuk hormat Sasmita menjawab pertanyaan-pertanyaan lelaki gemuk brewok itu. Suaranya mantap dan
tegas, meskipun tidak menghilangkan kesan hormatnya kepada ayah Sari Asih.
"Ha ha ha...! Putra Pendekar Macan Sakti datang bersama putriku? Benar-benar luar biasa sekali!" ujar
lelaki brewok itu seraya tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui siapa pemuda gagah yang datang bersama
putrinya. "Hei, Anak Muda. Kau pasti suka terhadap putriku yang cantik manis itu, bukan? Aku senang..., aku.
senang. Ha ha ha...! Calon menantuku benar-benar tidak mengecewakan! Hai, Pendekar Macan Sakti, aku suka
berbesan denganmu...!"
Setelah berkata demikian, lelaki gemuk berwajah brewok itu menari-nari kegirangan.
"Ayah...!" Sari Asih yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya sampai berkata demikian, menjadi
merah wajahnya.
Dara cantik itu merasa malu sekali mendengar ucapan ayahnya yang langsung menjodohkan ia dengan
Sasmita. Bukan karena ia merasa tidak suka terhadap pemuda gagah itu. Tapi, ia sendiri belum mengetahui isi
hati Sasmita. Hal itulah yang membuat Sari Asih terisak, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu.
"Ha ha ha...! Kejarlah, Sasmita! Ayo, kejar calon istrimu itu. Bujuk dia, dan bawa kemari! Kau pasti
suka kepadanya, bukan? Kalau tidak, kau akan kubunuh karena telah berani datang bersama putriku...!" ujar
lelaki brewok itu kepada Sasmita yang terkejut melihat Sari Asih berlari meninggalkan tempat itu. Ia maklum
akan perasaan Sari Asih. Karena ia sendiri merasa jengah mendengar ucapan lelaki brewok itu yang seolah-olah
menelanjangi dirinya.
Sasmita tertegun sesaat. Setelah itu, ia melesat mengejar Sari Asih yang lenyap di balik timbunan
pepohonan. Pemuda itu melihat dara cantik yang menarik hatinya itu tengah menangis. Gadis itu duduk di
sebuah batu besar seraya menundukkan kepalanya. Perlahan Sasmita melangkah mendekati sambil berusaha
menekan langkah kakinya agar tidak mengganggu dara cantik itu. Kemudian, ia duduk di sebelah dara cantik itu
tanpa bersuara.
"Asih..., aku maklum kau tentu merasa malu dengan ucapan ayahmu. Biarlah kesempatan ini
kupergunakan untuk menyampaikan perasaan hatiku yang mungkin telah dapat kau duga. Ucapan ayahmu sama
sekali tidak salah, Asih. Aku memang mencintaimu. Aku suka kepadamu, dan ingin sekali berdekatan. Itulah
sebabnya mengapa aku selalu membuntutimu, meski telah kau beri peringatan keras. Kuharap pengakuanku ini
bisa mengurangi beban yang saat ini menekan hatimu...," perlahan sekali kata-kata itu meluncur dari bibir
Sasmita.
Meskipun demikian, Sari Asih dapat menangkapnya dengan jelas. Kemudian, dara cantik itu memutar
tubuhnya, dan menatap wajah Sasmita dengan mata basah.
"Benarkah itu, Sasmita...? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku? Kau sadar akan perbedaan
kita yang sangat jauh. Aku adalah seorang putri tokoh sesat. Sedangkan kau adalah putri seorang pendekar
besar. Perbedaan itu sangat sulit untuk ditembus. Kau sadar itu, Sasmita...?" ujar Sari Asih sambil menatap
wajah Sasmita.
"Asih.... Setelah kau tahu isi hatiku, apakah kau mau menyambutnya dengan tangan terbuka.
Ucapkanlah pengakuanmu sebelum aku menjawab semua rasa penasaran di hatimu, Asih...," pinta Sasmita
dengan suara berdesah perlahan.
Sepasang mata Sasmita menghunjam tepat di bola mata bening milik gadis cantik itu. Dan, Sari Asih
tahu betapa sepasang mata pemuda itu memancarkan kasih sayang yang tulus. Sari Asih merasa hatinya segar
bagaikan pohon yang disirami air bening. Perlahan bibir yang merah basah itu merangkai senyum penuh
kebahagiaan.
"Aku suka kepadamu. Sasmita. Aku kagum dan..., rasanya tidak bisa kupungkiri lagi kalau aku juga
mencintaimu..., Kakang...," ucap Sari Asih tanpa malu-malu, seraya membalas tatapan mata Sasmita dengan
pancaran kasih yang tulus.
"Asih..., demi kau, demi kebahagiaan kita, halangan apa pun akan kuhadapi. Aku tidak peduli siapa,
atau dari mana kau berasal. Yang jelas, aku mencintaimu apa adanya. Bukan keluargamu, dan bukan pula
hartamu. Aku menginginkan kau, Asih...," tanpa keraguan lagi, Sasmita memegang kedua bahu dara cantik yang
selama ini dicintainya secara diam-diam itu. Kemudian mendekapnya dengan lembut. Dikecupnya bibir merah
menantang itu dengan segenap perasaan kasih di hatinya. Sebentar saja kedua insan muda itu terlelap dalam
buaian dewi asmara.
***
"Ha ha ha...!" lelaki gemuk brewok yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Setan Gunung
Buntar itu tertawa bergelak menyambut kedatangan Sasmita dan putrinya yang bergandengan tangan.
Jelas sekali tokoh sesat ini sangat gembira melihat pasangan yang menurutnya sangat cocok dan serasi
itu. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian, dan sama-sama cantik dan tampan.
"Kalian benar-benar pasangan yang serasi! Aku merasa sangat gembira, dan merestui hubungan kalian.
Untuk itu, kau boleh bawa calon istrimu itu ke Bukit Harimau Putih guna meminta restu dari orang-tuamu,
Sasmita. Pergilah sekarang juga agar pernikahan kalian bisa dipercepat...," ujar Setan Gunung Buntar sambil
menghampiri Sasmita dan Sari Asih.
"Terima kasih, Paman. Aku pun telah mengatakan hal itu kepada Sari Asih. Kami mohon pamit, dan
kami akan kembali selekasnya untuk mengabarkan kepada Paman...," ujar Sasmita yang rupanya memang
hendak menghadap ayah dan ibunya di Bukit Harimau Putih. Hal itu telah dibicarkan bersama Sari Asih
sebelum mereka menemui Setan Gunung Buntar. Meskipun ada sedikit kekhawatiran mengenai tanggapan ayah
dan ibunya, namun Sasmita telah bertekad untuk mempersunting Sari Asih, dara yang telah membuatnya mabuk
kepayang itu.
"Bagus..., bagus.... Pergilah, dan cepat-cepat kembali untuk segera merayakan pernikahan kalian.
Katakan kepada orangtuamu agar pernikahan dilangsungkan di Bukit Harimau Putih. Ha ha ha...!" ujar Setan
Gunung Buntar lagi yang kembali tergelak penuh kegembiraan.
Lelaki brewok itu sama sekali tidak pernah bermimpi kalau ia akan berbesan dengan pendekar besar
yang berjuluk Pendekar Macan Sakti itu. Jelas, pernikahan putrinya akan membuat geger rimba persilatan.
Setelah berpamitan kepada ayah kekasihnya, berangkatlah Sasmita bersama Sari Asih ke tempat
kediaman orangtuanya. Sebagai orang-orang persilatan yang telah terbiasa melakukan perantauan, tentu saja
mereka tidak merasa terlalu lelah, meskipun belum lama tiba di kaki Gunung Buntar itu. Sepasang insan yang
berbahagia itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa Setan Gunung Buntar, yang memang
hatinya sangat gembira sekali.
Letak Bukit Harimau Putih dengan Gunung Buntar memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih berada
di wilayah Selatan. Untuk mencapai Bukit Harimau Putih dari tempat tinggal Sari Asih hanya memerlukan
waktu satu hari lebih, bila ditempuh dengan menunggang kuda. Sedangkan bagi orang-orang persilatan yang
memiliki kepandaian tinggi seperti Sari Asih dan Sasmita, hanya memerlukan waktu setengah hari. Hal itu
disebabkan, selain mereka menggunakan ilmu lari cepat, juga mampu melakukan perjalanan tanpa mengurangi
kecepatan berlari, saat mendaki dan menerobos semak belukar.
Setelah menginap di sebuah desa untuk melewatkan malam, pagi-pagi sekali Sasmita dan Sari Asih
meninggalkan penginapan untuk menuju Bukit Harimau Putih. Dan, saat matahari sudah mulai menyinari
permukaan bumi, keduanya telah tiba di depan sebuah bangunan besar yang di sekelilingnya dipagari kayu
bulat.
"Inikah tampat tinggal orangtuamu, Kakang...?" tanya Sari Asih dengan suara lirih.
Sepertinya dara cantik itu merasa tegang untuk berhadapan dengan orangtua Sasmita yang terkenal
sebagai pendekar-pendekar besar itu. Sasmita menyadari ketegangan hati kekasihnya Pemuda itu menggenggam
erat jemari Sari Asih seolah-olah ingin memberikan ketabahan di hati dara cantik itu. Padahal, Sasmita sendiri
merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya agar Sari Asih tidak
terpengaruh.
"Tenanglah, Asih. Apa pun akan kita hadapi bersama untuk meraih kebahagiaan kita...," hibur Sasmita
menekan ketegangan di hatinya agar suaranya terdengar tenang. Kemudian, pemuda itu membawa kekasihnya
melewati pintu gerbang yang hanya dijaga oleh seorang pembantu rumah besar itu. Pendekar Macan Sakti tidak
mempunyai banyak murid, karena memang ia tidak menginginkannya. Meskipun demikian, para pembantunya
telah dibekali ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga rumah besar itu.
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu gerbang untuk majikan mudanya itu
mengangguk hormat kepada Sasmita dan Sari Asih.
"Rupanya Tuan Muda sudah kembali...," sapa lelaki gagah itu dengan senyum lebar.
"Hm..., apakah ayah dan ibuku ada di dalam, Paman...?" tanya Sasmita setelah berbasa-basi sesaat
Kemudian, Sasmita kembali melangkah sambil tetap menggenggam tangan Sari Aaih ketika penjaga itu
memberitahukan bahwa ayah dan ibunya ada di taman belakang.
"Ayah.... Ibu...," panggil Sasmita ketika ia telah tiba di taman belakang, dan melihat sosok ayah dan
ibunya tengah duduk menikmati belaian angin yang bersilir lembut.
"Sasmita...!" lelaki gagah dan wanita cantik berusia lima puluh tahun dan tiga puluh delapan tahun itu
tersentak kaget ketika melihat putranya telah berdiri beberapa langkah di dekat mereka. Karena sudah satu tahun
lebih Sasmita merantau, kerinduan kedua orang tua itu telah menutupi kesadarannya bahwa putra mereka datang
bersama seorang gadis berpakaian biru muda yang cantik dan manis.
Nyi Sekar Galung, ibu Sasmita langsung saja memeluk tubuh putra tunggalnya itu dengan penuh
kerinduan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang kelihatan masih cantik itu sama sekali tidak
memperhatikan kehadiran Sari Asih. Lain halnya dengan Pendekar Macan Sakti yang berdiri dengan kening
berkerut menatap sosok Sari Asih. Lelaki tinggi gagah itu hanya mengangguk sedikit ketika dara cantik itu
tersenyum dan mengangguk hormat kepadanya.
"Sasmita...," panggil Pendekar Macan Sakti dengan suaranya yang berat dan berpengaruh. Sehingga
ibu dan anak yang saling berpelukan itu menoleh ke arah asal suara.
"Ayah...," Sasmita langsung melangkah mendekati ayahnya.
Namun, langkah pemuda itu tertunda ketika melihat tatapan ayahnya yang tertuju ke arah Sari Asih.
Segera saja Sasmita membawa dara cantik pilihan hatinya itu kepada orangtuanya.
"Asih, inilah kedua orangtuaku. Ayah, Ibu, gadis ini bernama Sari Asih. Ia sangat gagah dan berbudi
luhur. Aku mencintainya, Ayah, Ibu...," ujar Sasmita memperkenalkan Sari Asih kepada kedua orangtuanya.
Kemudian ia menanti jawaban dari mulut kedua orangtuanya.
"Hm..., orang-orang muda sekarang terlalu cepat mengambil keputusan. Baru kenal sebentar, sudah
melakukan perjalanan bersama-sama. Apa maksudmu membawa dia kemari. Sasmita? Apakah kau sudah
mengenal keluarganya dengan baik...?" tegur Pendekar Macan Sakti yang memang bersikap keras dalam
mendidik putra tunggalnya itu.
Hati Sasmita menjadi tegang. Pemuda itu melirik ke ibunya, seolah-olah meminta bantuan. Sasmita
kembali berpaling menatap ayahnya setelah melihat anggukan kepala ibunya.
"Kami saling mencinta. Ayah. Dan, kami berniat hendak melanjutkan ke pernikahan. Orangtua Sari
Asih sudah merestui hubungan kami," jawab Sasmita tanpa menyebutkan nama ataupun julukan orangtua
kekasihnya. Jelas pemuda itu kelihatan ragu-ragu untuk memberitahukan perihal orangtua Sari Asih.
"Hm..., bagus kalau kau telah mengenal orangtuanya. Sebutkan julukannya, mungkin aku kenal dengan
orangtua gadis temanmu itu," ujar Pendekar Macan Sakti dengan suara keras.
"Mmm.... Ia..., putri tunggal Setan Gunung Buntar, Ayah," jawab Sasmita memberanikan diri seraya
menggenggam erat jemari tangan kekasihnya.
"Putri tunggal Setan Gunung Buntar? Apa maksudmu, Sasmita? Kau hendak mencoreng nama ayah
dengan mengambil gadis putri tokoh sesat itu sebagai istrimu? Gila! Bocah gila!" bentak Pendekar Macan Sakti
dengan suara menggelegar. Sehingga, baik Sasmita maupun Sari Asih tergetar mundur dengan wajah pucat.
"Tapi..., Sari Asih sama sekali tidak mempunyai sifat jahat, Ayah. Bahkan ia selalu bertindak seperti
seorang pendekar wanita yang selalu membela kaum lemah. Itulah sebabnya aku memilih Sari Asih sebagai
teman hidupku kelak. Harap Ayah dan Ibu dapat lebih bijaksana dalam menilai seseorang. Tidak semua
keturunan seorang tokoh sesat mengikuti jejak orangtuanya. Demikian pula dengan para pendekar beraliran
putih, yang bisa saja memiliki putra ataupun putri berhati jahat seperti seorang tokoh sesat...," Sasmita
membantah ucapan ayahnya, dan membela Sari Asih yang wajahnya memerah akibat ucapan lelaki gagah itu.
Kalau saja orang tua itu bukan ayah dari kekasihnya, rasanya Sari Asih akan menerjangnya dan bertarung mati-
matian.
"Jangan menasihatiku, Sasmita. Aku dan ibumu lebih tahu bagaimana memilihkan jodoh yang tepat
untukmu! Dan kau, Gadis Muda. Sebaiknya pergilah, cari pemuda lain yang sebanding denganmu," ujar
Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas tidak merestui anaknya berhubungan dengan seorang putri tokoh sesat.
Kalau hal itu sampai terjadi, ia merasa malu terhadap sahabat-sahabatnya yang sudah pasti akan
mentertawakannya.
"Baiklah, Tuan pendekar besar yang berhati bersih seperti malaikat. Aku memang keturunan orang
jahat yang tidak pantas menjadi pendamping putramu. Sekarang aku pergi. Dan, jangan salahkan aku kalau
sampai jatuh cinta dengan putramu. Sebab, cinta adalah karunia Tuhan, dan bukan kekuasaan manusia...," ujar
Sari Asih dengan sepasang mata yang mulai basah. "Kakang, aku pergi. Semoga kau mendapatkan seorang
gadis baik-baik yang melebihiku..."
Setelah berkata demikian, Sari Asih langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Entah ke mana
tujuannya. Yang pasti, hatinya kini telah hancur akibat ulah orangtua Sasmita yang menganggap dirinya bersih
dan berhati seperti malaikat.
LIMA
"Asih, tunggu...!" seru Sasmita yang melihat gadis itu berbalik dan melesat pergi. Namun, Sari Asih
tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari ke luar.
"Sasmita...!" Pendekar Macan Sakti berseru memanggil putranya. Sehingga pemuda gagah itu terpaksa
menunda gerakannya, dan berbalik menatap kedua orangtuanya.
"Ayah dan Ibu ternyata sangat kejam. Sari Asih tentu merasa sakit hati dengan ucapan Ayah tadi.
Kasihan dia, Ayah. Ia seorang gadis yang baik dan gagah...," ujar Sasmita dengan suara parau. Wajah pemuda
itu tampak pucat dengan sepasang mata yang meredup bagaikan kehilangan semangat hidup.
"Sasmita. Kau boleh cari gadis mana pun asalkan bukan dari golongan sesat. Dan, kalau kau tetap
menghendakinya, pergilah! Tapi, kami tidak sudi mengakuimu sebagai putra kami lagi! Jangan bawa-bawa
nama kami dalam setiap tindakanmu!" tegas Pendekar Macan Sakti seraya membalikkan tubuhnya dan
melangkah masuk rumah. Nampaknya keputusan lelaki gagah itu sudah tidak bisa dirubah lagi.
"Sasmita...," panggil Nyi Segar Galung seraya menyentuh bahu putranya. "Kau jangan membikin malu
keluarga kita. Banyak gadis-gadis pendekar yang cantik dan gagah melebihi putri tokoh sesat itu. Lupakanlah
gadis itu, ia tidak pantas untuk menjadi istrimu. Kau lihat saja sifatnya yang liar dan berani melawan ayahmu...."
Nyi Segar Galung membujuk putranya dengan suara yang lemah lembut. Meskipun demikian, tetap
saja wanita cantik itu merendahkan Sari Asih. Sehingga, Sasmita semakin bertambah kecewa.
"Ibu, cinta tidak bisa dipaksakan. Dan, aku telah mencintainya. Aku tidak akan bisa melupakan Sari
Asih...," desis Sasmita. Tapi, ia sama sekali tak menolak ketika wanita cantik itu membimbingnya masuk.
"Kau harus bisa melupakannya, Anakku. Ibu akan mencarikan pengganti yang lebih baik bagimu.
Percayalah...," ujar Nyi Segar Galung membujuk putranya agar melupakan putri tokoh sesat itu.
"Tidak mungkin, Ibu..., tidak mungkin aku bisa melupakannya...," desah Sasmita sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya dengan wajah sedih.
Hati Sasmita terasa nyeri bila teringat betapa hancur hati Sari Asih ketika mendengar kata-kata ayahnya
yang bernada menghina dan merendahkan tokoh sesat. Tapi, pemuda itu pun tidak ingin membuat kedua
orangtuanya menjadi murka dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai anak. Sasmita benar-benar bingung, dan
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.
***
Sari Asih terus berlari dengan wajah bersimbah air mata. Hati dara cantik itu itu benar-benar merasa
remuk. Kalau saja hinaan-hinaan itu datangnya bukan dari orangtua Sasmita, mungkin ia akan mengadu nyawa
dengan orang itu. Tapi, teringat betapa orang tua itu adalah ayah kandung kekasihnya, Sari Asih tidak bisa
berbuat apa-apa. Rasa takut yang semula mencemaskan hatinya, benar-benar menjadi kenyataan. Teringat akan
nasib buruknya, tangis Sari Asih semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang
pohon besar.
"Kakang...," desis dara cantik itu seraya menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya.
Butir-butir air bening mengalir dari celah-celah jemari lentik gadis bernasib malang itu,
"He he he...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang membuat Sari Asih mengangkat kepalanya dan menatap
ke sekelilingnya. Kedukaan yang dalam membuat kewaspadaannya berkurang. Sehingga, tahu-tahu saja ia telah
dikepung oleh delapan orang lelaki berpakaian serba hitam.
"Keparat-keparat Gunung Lawa! Untuk apa kalian mengangguku! Pergilah sebelum kesabaranku
hilang dan membasmi kalian semua!" geram Sari Asih menumpahkan kekesalan serta kekecewaan hatinya
kepada delapan orang laki-laki berseragam hitam, yang tidak lain adalah tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.
"He he he...! Perempuan liar ini benar-benar sombong sekali, ia harus diberi pelajaran agar lain kali
bisa bersikap lebih sopan terhadap orang tua seperti aku...," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berusia
sekitar lima puluh lima tahun. Kepalanya yang gundul tampak berkilat tertimpa cahaya matahari. Kumis dan
jenggotnya yang telah memutih terlihat menghias wajahnya. Menilik dari ucapan dan sikapnya, lelaki ini adalah
pimpinan orang-orang berpakaian serba hitam itu.
"Keparat! Rupanya kalian masih saja merasa penasaran dan menaruh dendam kepadaku! Baiklah. Hari
ini juga kita selesaikan persoalan ini...!" Sari Asih yang merasa benar-benar marah itu segera menghunus
pedangnya. Seketika, seberkas sinar putih berkelebat menyilaukan mata.
Swing...!
Dengan menyilangkan senjatanya di depan dada, Sari Asih siap menghadapi pertarungan. Sepasang
matanya yang masih merah karena terlalu banyak menangis itu menyorot tajam dan bengis. Terlihat pancaran
nafsu membunuh pada sepasang mata dara cantik itu.
"He he he...! Bagus..., ingin kulihat bagaimana permainanmu, dan siapa sebenarnya orang yang telah
mendidikmu. Marilah kita bermain-main sebentar, Perempuan Liar...," ujar lelaki botak itu terkekeh penuh
ejekan.
Pada saat itu seorang lelaki kurus yang dikenali Sari Asih sebagai orang yang pernah menebarkan
racun kepadanya, tampak mendekat dan berbisik kepada lelaki botak bersenjata tongkat itu.
"Hm..., jangan khawatir. Aku hanya ingin bermain-main sebentar, tanpa harus membunuhnya...," ujar
lelaki berkepala botak itu dengan lagak sombong. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak mengingatkan
pimpinannya untuk menawan gadis muda itu hidup-hidup.
"Sambut pedangku...!" Sari Asih berteriak tidak sabar. Langsung dia maju menerjang sambil memutar
pedangnya. Terdengar angin berkesiutan saat pedang di tangan dara cantik itu berubah menjadi gulungan sinar
putih yang melindungi sekujur tubuhnya.
Trang! Trang!
"Uhhh...?!"
Sari Asih mengeluh tertahan ketika lawannya memapaki tusukan pedangnya dengan tongkat. Benturan
keras itu membuat tubuhnya terdorong balik. Tentu saja Sari Asih menjadi terkejut bukan main ketika
merasakan kekuatan tenaga dalam lawan.
"He he he...! Mengapa berhenti, Gadis Cantik...? Apakah kau ingin agar aku yang menyerangmu kali
ini...?" ejek lelaki botak yang ternyata memiliki tenaga dalam yang amat kuat dan berada di atas kekuatan Sari
Asih. Setelah berkata demikian, lelaki botak itu langsung merangsek maju dengan putaran tongkat kayu hitam di
tangannya.
Whuttt! Whuttt..!
Kali ini Sari Asih tidak mau lagi bertindak ceroboh. Dara cantik manis itu bergerak menghindar seraya
membalas dengan sabetan pedangnya yang mengaung tajam. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah
perkelahian yang seru.
Merasakan jurus-jurus lawannya benar-benar hebat, Sari Asih mengerahkan segenap kemampuannya
untuk mengimbangi permainan lawan. Sayang, meskipun dara cantik itu telah menggunakan seluruh kekuatan
serta kelincahannya, terap saja ia dapat didesak oleh lawannya.
Serangan-serangan tongkat hitam lawan benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan, beberapa kali nyaris
tubuh dara cantik itu menjadi sasaran senjata lawan. Untunglah Sari Asih masih sempat melindungi tubuhnya
dengan putaran pedang, meskipun setiap kali menangkis ia merasakan lengannya nyeri. Namun, dara cantik itu
tetap gigih dalam melakukan perlawanan.
"Haiiit..!"
Untuk kesekian kalinya, lelaki botak itu berseru sambil mengayunkan tongkatnya, dan diputar
mengincar tubuh lawan. Terdengar suara mengaung tajam saat senjata itu meluncur ke arah tubuh Sari Asih.
"Hiahhh...!"
Sari Asih membentak sambil menyabetkan senjatanya dengan menarik mundur kaki kanannya.
Trang...!
Untuk kesekian kalinya, tubuh dara cantik itu kembali tergetar mundur ketika menangkis hantaman
tongkat lawan. Bahkan, kali ini ia hampir terpelanting saking kerasnya daya luncur tongkat hitam lawannya.
"Hm..., pantas saja ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Rupanya kau memiliki hubungan dengan Setan
Gunung Buntar. Apakah kau murid tunggal tokoh itu...?" ujar lelaki botak itu yang rupanya sudah bisa
mengenali dasar-dasar serta jurus-jurus yang digunakan Sari Asih.
Kemampuan lelaki berkepala botak itu melihat jurus lawan, jelas mencerminkan kalau ia bukanlah
seorang tokoh sembarangan. Lagi pula, ia tidak merasa gentar sedikit pun ketika menyebutkan julukan ayah Sari
Asih.
"Aku adalah putrinya! Dan, kalau sampai ayahku tahu tentang perbuatan kalian ini, rasanya beliau pasti
akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua...!" gertak Sari Asih yang kali ini terpaksa menggunakan
nama ayahnya. Karena selain lawannya yang berkepala botak itu berkepandaian tinggi, di tempat itu masih pula
terdapat tujuh orang lainnya yang mungkin saja memiliki kepandaian tinggi, kecuali lelaki tinggi kurus yang
pernah bentrok dengannya. Lelaki kurus itu hanya berbahaya karena memiliki keahlian dalam menggunakan
racun. Sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih berada di bawah Sari Asih.
Pandang mata Sari Asih kembali ke sosok lelaki botak bersenjata tongkat hitam yang menjadi lawanya.
Kakinya melangkah perlahan ketika melihat lawannya telah kembali bersiap untuk menerjangnya.
"He he he...! Jadi kau adalah putri Setan Gunung Buntar? Bagus. Kalau begitu aku akan menahanmu
agar ayahmu datang sendiri untuk mengambilmu dari tangan kami...," ujar lelaki tua berkepala botak itu yang
rupanya tidak gentar sama sekali, meskipun Sari Asih telah menyebutkan nama ayahnya. Hal ini membuktikan
kepandaian lelaki botak itu jelas tidak berada di bawah tingkat kepandaian ayahnya. Menyadari hal itu, Sari
Asih memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan.
Namun, sebelum pertarungan kembali berlanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang mengejutkan
semua orang di tempat itu.
"Hm..., sungguh tidak adil kalau seorang gadis muda harus menghadapi keroyokan banyak lelaki
gagah...."
Suara perlahan itu terdengar sangat jelas, bahkan sanggup membuat dada orang-orang yang berada di
tempat itu berdebar. Jelas si pengirim suara itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar
diukur!
"Keparat! Siapa berani main-main dengan Ganjalu si Tongkat Iblis! Tunjukkan rupamu kalau memang
kau seorang jantan...!" lelaki berkepala botak yang mengaku bernama Ganjalu itu berseru keras sambil
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga suaranya bergema ke empat penjuru. Jelas, lelaki botak yang berjuluk
Tongkat Iblis itu hendak menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, yang memang sangat tinggi itu. Sambil
berteriak demikian, Ganjalu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Karena ia sama sekali
tidak bisa menebak dari mana suara teguran itu berasal.
Suasana pun semakin bertambah tegang ketika dari kegelapan bayang-bayang pepohonan di sebelah
kanan Ganjalu, muncul dua sosok tubuh yang melangkah tenang mendatangi arena pertarungan itu.
"Hm.... Bagaimana, Tongkat Iblis? Apakah kau sudah puas setelah melihat rupaku...?" tegur sosok
tubuh pertama, yakni seorang pemuda tampan mengenakan jubah panjang berwarna putih.
Wajah pemuda itu tampak tenang tanpa ada sorot kegentaran. Sehingga, Ganjalu dan kawan-kawannya
segera bergabung. Sedangkan di sebelah kiri pemuda tampan itu tampak seorang gadis berparas jelita berjalan
perlahan. Gadis yang sekujur tubuhnya terbungkus pakaian berwarna hijau itu benar-benar cantik sekali. Tak
ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit. Ganjalu dan ketujuh orang kawannya terpesona dengan
kecantikan gadis berpakaian serba hijau itu.
"Kau..., siapakah, Anak Muda? Rasanya, kami orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa tidak
mempunyai urusan denganmu...?" tanya Ganjalu seraya meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu. Ia
tampak merasa tegang. Pertanyaannya pun bernada ingin meminta kepastian tentang siapa sesungguhnya
pemuda itu.
"Hm..., apalah arti sebuah nama, Ki Ganjalu? Di antara kita memang tidak ada permasalahan secara
langsung, tapi secara tidak langsung kau telah memulai masalah itu. Sebab, aku paling tidak suka dengan
ketidakadilan...," jawab pemuda tampan itu tegas dan menimbulkan perbawa kuat. Bahkan sorot matanya
tampak mencorong tajam laksana mata seekor naga di kegelapan!
"Anak muda! Jawablah dengan jujur. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki
Ganjalu lagi yang kali ini langsung menebak jaridiri pemuda itu Sebab, tidak banyak pemuda tampan yang ciri-
cirinya seperti Pendekar Naga Putih. Dan, sebagai orang persilatan, ia pun telah lama mendengar nama pendekar
besar itu. Itulah sebabnya mengapa Ki Ganjalu segera menduga kalau pemuda yang berani menegurnya itu
sebagai Pendekar Naga Putih.
Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Kakinya tampak masih melangkah mendekati ke arah delapan
orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu.
"Baiklah, Ki Ganjalu. Kalau kau memang merasa penasaran, akan kujawab pertaanyaanmu. Apa yang
kau duga, betul sekali. Aku memang Pendekar Naga Putih. Nah, kuharap kau mau meninggalkan tempat ini, dan
persoalan habis sampai di sini...," ujar pemuda berjubah putih yang tidak lain adaiah Panji. Langkahnya terhenti
dalam jarak setengah tombak dari Ki Ganjalu dan kawan-kawannya. Mereka tampak berang mendengar ucapan
pemuda tampan itu.
"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau hendak menggertak kami dengan kebesaran namamu! Tapi,
jangan harap kami akan gentar! Orang-orang Perguruan Gunung Lawa pantang menyerah!" ujar Ki Ganjalu
geram sambil memutar tongkat hitamnya, siap untuk bertarung.
Panji hanya tersenyum melihat Ki Ganjalu yang siap untuk bertempur. Bahkan ketika tujuh orang
tokoh Perguruan Gunung Lawa yang lainnya mulai bergerak menyebar, pemuda itu pun belum membuat
gerakan.
"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang...," pinta dara jeiita berpakaian hijau yang
tak lain adalah Kenanga, kekasih Panji. Sambil berkata demikian, kaki dara jelita itu melangkah maju, siap
menghadapi delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang hendak mengeroyok kekasihnya.
"Tahan, Kenanga. Biar aku saja yang menghadapi mereka...," cegah Panji yang mengetahui kalau
kedelapan lelaki berseragam hitam itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi.
Pendekar Naga Putih bukan tidak percaya dengan kemampuan kekasihnya. Tapi, ia khawatir kalau-
kalau Kenanga akan menurunkan jurus maut dalam menghadapi keroyokan. Hal itulah yang membuat Panji
mencegah keinginan kekasihnya. Sebab, untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa
itu, sulit sekali untuk tidak menurunkan jurus maut. Kekhawatiran akan nasib orang-orang Perguruan Gunung
Lawa itulah yang membuat Panji tidak mengabulkan permintaan Kenanga. Dan, dara itu itu pun tahu jalan
pikiran kekasihnya.
Kenanga sama sekali tidak membantah. Pedang Sinar Bulan yang semula hampir terlolos dari
pinggangnya, kembali dilibatkan. Dara jelita itu pun melangkah mundur membiarkan kekasihnya menghadapi
keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.
Sari Asih terlihat berdiri di tepi arena. Gadis berparas cantik manis itu sempat terkejut ketika
mengetahui pemuda yang menolongnya ternyata seorang pendekar besar yang sangat terkenal dan ditakuti.
Nama Panji bukan hal yang asing di telinga Sari Asih. Ayahnya sendiri setingkah mengungkapkan kekaguman
dan kegentarannya terhadap pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Diam-diam dara cantik itu merasa
beruntung dapat berjumpa dengan pendekar besar yang sangat terkenal itu. Sebab, ayahnya sendiri belum
pernah berjumpa dengan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu.
Sepasang mata bening Sari Asih bergerak mengikuti langkah kaki pemuda tampan berjubah putih itu,
yang telah bersiap untuk menghadapi pertarungan. Pancaran kekaguman semakin terlihat jelas dari sorot
matanya, ia melihat pemuda itu sangat gagah dan kokoh kuda-kudanya. Sari Asih pun rasanya tak keberatan
dengan julukan yang diberikan kepada pemuda itu. Sebab, sosok pemuda tampan berjubah putih itu persis
laksana seekor naga yang gagah perkasa!
"Mungkinkah ia akan mempergunakan ilmu-ilmu mukjizatnya yang terkenal itu untuk menghadapi
lawan-lawannya? Hm..., ingin kulihat dengan mata kepala sendiri ilmu pendekar muda itu yang kabarnya sangat
jarang menemui tandingan...," gumam Sari Asih yang rupanya telah mendengar tentang ilmu-ilmu mukjizat
yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Hatinya berdebar agak tegang ketika membayangkan ilmu-ilmu langka
yang kemungkinan akan disaksikannya.
Sementara saat itu Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan delapan orang tokoh Perguruan Gunung
Lawa. Menyadari lawan-lawannya cukup berbahaya, Panji mempersiapkan kuda-kuda yang kokoh dan terlihat
sangat kuat Pemuda itu menanti lawan memulai serangan
***
"Heaaat..!"
Ganjalu berteriak nyaring membuka serangan. Tubuhnya yang gemuk itu melesat seperti terbang
dengan disertai putaran tongkatnya, yang menimbulkan deruan angin tajam. Panji sendiri sama sekali belum
bergerak. Pemuda itu menanti hingga serangan lawan tiba.
Bettt...!
Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ke kanan menghindari sambaran
tongkat lawan. Kemudian memutar langkahnya setengah lingkaran ketika dari sebelah kanannya datang
sambaran pedang yang berdesing tajam.
"Hait...!"
Plak! Plak!
Dua buah sambaran pedang itu langsung dipapaki dengan telapak tangan. Akibatnya kedua orang
pengeroyok itu terpelanting karena kuatnya tangkisan Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tidak mau berusaha
untuk mengejar. Sebab, pada saat itu para pengeroyok yang lainnya sudah menerjang dengan serangan-serangan
maut. Bahkan, Panji mencium adanya racun-racun ganas yang mengiringi serangan-serangan para
pengeroyoknya.
"Hm..., manusia-manusia keji...," desis Panji
Pendekar Naga Putih geram setelah mengetahui lawan-lawannya menggunakan racun-racun ganas
dalam menyerang. Hal itu memang tidak terlalu mengejutkan, karena Panji telah lama mendengar bahwa
Perguruan Gunung Lawa banyak mempunyai ahli-ahli racun. Itulah sebabnya perguruan itu dianggap sebagai
kaum golongan sesat. Karena kaum golongan putih sendiri sangat menentang penggunaan racun dalam
pertempuran.
Setelah mengetahui keganasan racun-racun yang dipergunakan lawannya, Panji mulai mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang segera saja menyelimuti sekujur tubuhnya. Sehingga, racun-racun yang
digunakan lawan tidak bisa menembus benteng pertahanan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang
mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih.
Sadar bahwa para pengeroyoknya adalah orang-orang yang berbahaya dan berhati kejam, Panji segera
mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Hawa dingin mulai berhembus menghantam balik hawa beracun yang
memenuhi arena pertempuran. Bahkan, Panji kini mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawan-
lawannya.
"Hait..!"
Si Tongkat Iblis dan kawan-kawannya benar-benar terkejut ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih
berkelebat laksana bayangan hantu! Jangankan untuk melukai tubuhnya, menyentuh jubah pemuda itu pun tak
mampu mereka lakukan. Setiap kali senjata mereka berkelebat, selalu saja menghantam angin kosong. Sebab,
tubuh pemuda itu telah berkelebat lenyap di antara sambaran-sambaran senjata lawan.
"Uhhh...?!"
Dua orang pengeroyok yang rupanya memiliki tenaga dalam paling rendah, mulai mengeluh
kedinginan. Serbuan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka membuat gerakan menjadi kaku, dan tidak lagi
segesit semula. Sehingga, kedua orang itu tak mampu lagi untuk menghindari tamparan telapak tangan Pendekar
Naga Putih.
Plak! Bukkk!
"Aaakh...!"
"Hugkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terlempar ke belakang, dan jatuh dengan tubuh
menggigil laksana orang terserang demam. Sebentar saja kedua orang itu telah menggeletak pingsan. Mereka
tak sanggup mengusir hawa dingin yang menyiksanya.
"Bangsat..!"
Tongkat Iblis yang menjadi pimpinan kawan-kawannya itu menjadi geram bukan main. Meskipun
demikian, ia tidak mampu berbuat banyak. Jangankan untuk menekan lawan, untuk melindungi dirinya sendiri
saja ia sudah kewalahan. Tokoh berkepala gundul itu hanya bisa menggertakkan gigi, ketika melihat dua orang
kawannya kembali terlempar keluar dari arena pertarungan. Kini ia hanya tinggal berempat dengan tiga orang
kawannya yang masih dapat bertahan dari tekanan Pendekar Naga Putih.
"Yeaaa...!"
Kemarahan dan rasa penasaran memenuhi dadanya, membuat Ki Ganjalu menjadi nekat. Tongkat
hitam di tangannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Seketika terdengarlah
suara mengaung tajam, yang timbul dari bulatan sinar hitam akibat putaran tongkat Ki Ganjalu.
Panji menggeser ke kanan dengan lompatan pendek ketika tongkat hitam lawan mengancam tubuhnya.
Kemudian la langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah iga lawannya. Gerakan yang cepat laksana
sambaran kilat itu, tak sempat lagi dielakkan Ki Ganjalu. Sehingga....
Desss...!
"Huakhhh...!"
Darah segar langsung menyembur dari mulut Ki Ganjalu. Tubuh gemuk itu sendiri terlempar sejauh
satu setengah tombak. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh tua berkepala botak itu pun tidak mengetahui lagi
keadaan sekelilingnya. Ki Ganjalu pingsan dengan luka dalam yang cukup parah.
Melihat pimpinannya telah menggeletak pingsan, tiga orang tokoh lainnya berloncatan mundur dengan
wajah pucat. Panji tidak berusaha mengejar. Pemuda tampan itu hanya berdiri tegak menatapi ketiga orang
lawannya yang sepertinya sudah kehilangan keberanian untuk melanjutkan pertarungan.
Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi hening. Ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa itu
mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari jalan untuk lolos. Panji yang dapat menebak gelagat itu,
melangkah maju beberapa tindak. Sehingga membuat ketiga lawannya surut ke belakang. Jelas mereka merasa
gentar dengan Pendekar Naga Putih.
ENAM
"Kisanak...," ujar Panji seraya menatap wajah ketiga orang lawannya. "Aku sama sekali tidak mem-
punyai permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa. Untuk itu, kalian bawalah kawan-kawan
kalian yang tertuka, dan segera tinggalkan tempat ini. Sampaikan kepada Ketua Perguruan Gunung Lawa agar
tidak memperpanjang urusan ini"
Ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kelihatan sangat terkejut. Mereka sama sekali tidak
menyangka kalau Panji akan melepaskan mereka begitu saja. Sejenak ketiganya saling bertukar pandang,
sepertinya belum yakin akan ucapan yang barusan mereka dengar dari mulut pemuda tampan itu.
"Hm..., apa lagi yang kalian tunggu? Kakang Panji sudah bermurah hati kepada kalian, mengapa tidak
segera meninggalkan tempat ini...?" ucap Kenanga, yang sudah melangkah maju dan berdiri di samping
kekasihnya. Sepasang mata dara jelita itu tampak berkilat, menyiratkan ancaman. Sehingga, ketiga orang tokoh
Perguruan Gunung Lawa itu kembali menatap Pendekar Naga Putih, seolah-olah mereka hendak meminta
kepastian.
"Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka...," ucap Panji melenyapkan keraguan di hati ketiga
orang itu.
Dan tanpa banyak cakap, ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa bergegas meninggalkan tempat itu de-
ngan membawa kawan-kawan mereka yang tertuka.
"Husy..., husy...!"
Sari Asih yang sejak tadi memendam kejengkelannya kepada orang-orang dari Perguruan Gunung
Lawa, mengejek dengan mengusir ketiga orang itu seperti mengusir ayam. Sehingga, ketiga orang itu semakin
mempercepat larinya. Gadis cantik itu tertawa geli penuh kepuasan. Pandangannya baru beralih kepada Panji,
setelah bayangan orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu lenyap dari pandangannya.
"Pendekar Naga Putih, aku Sari Asih mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Aku telah
lama mendengar nama besarmu. Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang pendekar besar yang telah
menggegerkan rimba persilatan. Aku benar-benar kagum dan hormat kepadamu...," ucap Sari Asih seraya
membungkuk hormat. Kemudian, kembali kepalanya diangkat dan matanya meneliti wajah pemuda tampan
yang telah menolongnya itu.
"Nisanak jangan terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan barusan, juga dilakukan tokoh-tokoh
persilatan golongan putih lainnya yang berjiwa pendekar. Jadi, kau tidak perlu merasa telah berhutang budi
kepadaku...," ujar Panji seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih juga merasa kagum dengan gadis muda yang
gagah dan berani itu.
"Benar apa yang dikatakan Kakang Panji, Sari Asih," timpal Kenanga yang rupanya tertarik dengan
dara cantik manis itu. "Kalau aku boleh tahu, mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?"
"Ah, hanya kesalahpahaman saja. Senang sekali dapat berjumpa dan berkenalan dengan kalian. Sayang
aku harus segera pergi...," pamit Sari Asih yang sepertinya tidak ingin melibatkan orang lain dalam
persoalannya. Karena, menurutnya memang tidak perlu. Sebab, ia sendiri sama sekali tidak merasakan
bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah berkata demikian, Sari Asih membalikkan
tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu.
Panji dan Kenanga hanya bisa menatap kepergian dara cantik itu dengan helaan napas perlahan.
Keduanya memaklumi mengapa dara cantik itu tidak mengungkapkan masalahnya. Mereka tahu masalah yang
dihadapi gadis itu merupakan persoalan ptibadi. Hanya saja mereka harus lebih berhati-hati. Sebab, bukan tidak
mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa masih merasa penasaran dan mendendam atas kejadian tadi.
Setelah bayangan Sari Asih lenyap dari pandangan, pasangan pendekar muda itu segera bergerak
meninggalkan tempat itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan.
***
Dua sosok bayangan itu bergerak cepat melintasi padang rumput yang cukup luas. Menilik dari cara
mereka berlari, jelas kedua sosok bayangan itu merupakan orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi.
Bahkan kaki-kaki mereka seperti udak pernah menyentuh permukaan tanah. Tentu sosok itu memiliki ilmu lari
cepat yang sukar diukur.
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun mulai menyeberangi sungai kecil yang melintang memotong
jalan menuju kaki Gunung Buntar. Jelas, tujuan mereka adalah Gunung Buntar, yang menjulang tinggi ke
angkasa itu.
Setelah menyeberangi sungai, kedua sosok bayangan itu terus bergerak menuju ke sebelah Barat kaki
Gunung Buntar. Langkah keduanya agak diperlambat, ketika di sebelah depan mereka samar-samar terlihat
sebuah pondok sederhana dikelilingi pepohonan rindang.
"Setan Gunung Buntar! Tunjukkan rupamu, aku ingin berjumpa denganmu...!" sosok pertama yang
ternyata adalah seorang lelaki gagah berusia separuh baya itu, berteriak mengguntur. Menilik dari raut wajahnya
yang gelap, mudah diketahui kalau lelaki gagah itu tengah memendam kemarahan.
Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh delapan tahun. Wajah
cantik itu pun tampak tidak sedap untuk dipandang. Kulit wajahnya yang kemerahan, pertanda bahwa wanita
cantik itu tengah memendam rasa penasaran dan kemarahan yang siap meledak.
"Ah, rupanya Pendekar Macan Sakti dan istrinya yang datang berkunjung. Silakan..., silakan...,"
seorang lelaki yang juga berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk dan berwajah brewok muncul dengan wajah
cerah menyambut kedatangan kedua tamu itu. Namun, wajah cerah itu terlihat berubah ketika menyaksikan
sikap serta raut wajah kedua tamunya itu tampak berang.
"Hm..., kau jangan berpura-pura bodoh, Setan Gunung Buntar! Aku datang untuk menjemput putraku,
yang telah kau guna-gunai agar tertarik dengan putrimu yang liar dan jahat itu! Kembalikan putraku, dan jangan
coba-coba main gila denganku...!" geram lelaki gagah yang ternyata adalah Pendekar Macan Sakti dengan
sepasang mata tajam. Jelas kedatangan kedua tokoh sakti itu bukanlah berniat baik.
"Apa maksudmu, Pendekar Macan Sakti? Kau jangan sembarangan menuduhku! Aku sama sekali tidak
mengerti apa yang kau katakan itu! Bukankah putriku tengah pergi ke Bukit Harimau Putih bersama putramu
yang tergila-gila ingin mempersunting putriku? Mengapa, kau langsung menuduhku yang bukan-bukan? Aku
tidak bisa terima penghinaan ini...!" ujar Setan Gunung Buntar yang menjadi marah ketika mendengar tuduhan
Pendekar Macan Sakti. Meskipun ia sadar lelaki gagah itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sama sekali tidak
gentar.
"Bedebah! Kau memang perlu diajar adat...!" wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Sekar Galung tak
bisa lagi memendam kemarahannya, ia langsung saja melesat dengan tamparan mautnya.
"Hei, tunggu...!" Setan Gunung Buntar berusaha untuk mencegah pertarungan. Lelaki brewok itu
menggeser tubuhnya dengan lompatan ke samping. Sehingga, serangan Nyi Sekar Galung mengenai angin
kosong.
Namun, wanita cantik itu sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya.
Serangannya kembali terlontar. Bahkan kali ini jauh lebih hebat dan berbahaya dari serangan semula.
Whuttt!
Plak! Plak!
Dua buah tamparan keras yang dikirimkan Nyi Sekar Galung dipapaki oleh Setan Gunung Buntar.
Keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Jelas dalam pertemuan tenaga pertama itu mereka
masih terlihat berimbang.
"Pendekar Macan Sakti! Rupanya kaulah yang hendak main gila denganku! Putriku belum lagi
kembali, kau sudah menuduh yang bukan-bukan! Jelas kau hendak memutarbalikkan kenyataan. Kau sengaja
melemparkan fitnah, agar perbuatanmu yang mungkin telah mencelakakan putriku tidak diketahui orang. Hm...,
kau benar-benar seorang pendekar sombong yang berhati keji...!" umpat Setan Gunung Buntar yang jelas-jelas
marah dengan tuduhan itu.
Usai berkata demikian, lelaki brewok itu menghunus sebilah golok besar yang tergantung di
pinggangnya. Kemudian, memutarnya sedemikian rupa, sehingga menimbulkan deruan angin tajam.
"Hm.., kau mundurlah, Istriku. Biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran kepadanya...!" ujar
Pendekar Macan Sakti yang memang tidak menyukai orang-orang golongan sesat.
Pendekar Macan Sakti menganggap golongan sesat tak ubahnya gundukan sampah yang mengotori
bumi. Itulah sebabnya, mengapa lelaki gagah itu tidak merestui hubungan putranya dengan putri Setan Gunung
Buntar. Selain bisa membuat nama besarnya cacat, ia pun mempunyai cita-cita untuk menjodohkan putranya
dengan gadis dari kalangan pendekar.
Memang tak mengherankan kalau Pendekar Macan Sakti sangat berang ketika Sasmita meninggalkan
rumah, setelah ia mengusir putri tokoh sesat itu. Maka, ia langsung saja mendatangi Setan Gunung Buntar yang
mungkin saja telah bersepakat dengan putrinya untuk menculik dan,mengajak pergi Sasmita. Dan, keterangan
seorang tokoh sesat seperti Setan Gunung Buntar, jelas tidak bisa dipercaya lagi. Untuk itu ia harus
memaksanya dengan kekerasan.
Nyi Sekar Galung yang sebenarnya merasa penasaran dengan lelaki brewok itu, terpaksa melangkah
mundur. Wanita cantik itu tidak ingin membantah ucapan suaminya. Karena ia sadar akan kekerasan hati lelaki
yang dicintainya itu. Sekali mengatakan tidak sulit sekali untuk merubahnya. Maka, Nyi Sekar Galung pun
melangkah mundur, dan menyerahkan persoalan itu kepada suaminya.
"Hm..., kau pasti menyembunyikan mereka karena ingin mendapatkan mantu seorang pemuda gagah
seperti putraku itu. Aku akan memaksamu untuk menyerahkan kembali putraku itu...!" ujar Pendekar Macan
Sakti yang segera bersiap untuk menggempur Setan Gunung Buntar.
"Hmhhh...!" Setan Gunung Buntar menggeram marah.
Golok besar di tangan kanan tokoh sesat itu kembali berputar, dan menyilang di depan dada. Sadar
kalau yang dihadapinya adalah seorang tokoh tingkat atas, Setan Gunung Buntar mengeluarkan ilmu andalannya
untuk menghadapi lawan.
"Sambut seranganku...!" Pendekar Macan Sakti mengingatkan lawannya seraya menerjang maju
dengan menggunakan tangan kosong. Meskipun demikian, sambaran angin pukulannya sangat berbahaya, dan
tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam. Sehingga, Setan Gunung Buntar yang menyadari hal itu segera
memutar golok besarnya untuk menyambut serangan lawan.
"Yeaaah...!"
Dibarengi sebuah pekikan parau, tubuh lelaki brewok itu bergerak menyambut serangan lawan. Golok
besar mengaung bagaikan ratusan lebah yang marah.
Bettt…!
Tebasan sisi telapak tangan Pendekar Macan Sakti yang menimbulkan angin berciutan, dielakkan
lawannya dengan membungkukkan tubuh sambil memutar langkah, dan langsung membalas tebasan senjatanya.
Plakkk!
Rupanya Pendekar Macan Sakti tidak ingin berlama-lama. Maka, ketika tebasan golok besar lawannya
datang, lelaki gagah itu langsung memapak dengan telapak tangannya. Akibatnya, tubuh Setan Gunung Buntar
terdorong mundur dan hampir terpelanting. Kalau saja tokoh itu tidak segera melemparkan tubuhnya ke
belakang, dan berjumpalitan ke udara.
"Gila...?!" umpat Setan Gunung Buntar yang merasakan lengan kanannya ngilu. Namun, lelaki gemuk
berwajah brewok itu tidak sempat berpikir lebih lama. Karena saat itu lawannya telah kembali menyerbu dengan
serangan-serangan yang lebih berbahaya.
Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengit Setan Gunung Buntar benar-benar harus menguras
seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, meskipun golok besarnya mengaung dan
berkelebatan kian kemari dengan kecepatan menggetarkan, tetap saja lawannya sanggup menekan dengan jurus-
jurus berbahaya. Sehingga, Setan Gunung Buntar semakin kelabakan dibuatnya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa kedua tokoh itu telah bertarung selama empat puluh jurus
lebih. Dan selama itu, Setan Gunung Buntar harus mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran sepasang
tangan Pendekar Macan Sakti yang telah menggunakan ilmu andalannya untuk melawan tokoh sesat itu.
"Yeaaah...!"
Setan Gunung Buntar yang semakin merasakan beratnya tekanan lawan, mengibaskan golok besarnya
secara ngawur. Sebab, permainan ilmu silat lawan benar-benar hebat dan sukar untuk diduga ke mana arah
sasarannya. Jadi, tidaklah aneh kalau tokoh berwajah brewok itu berkali-kali menerima hajaran lawannya.
Desss...!
"Hugkh...!"
Tubuh lelaki brewok itu terpental ke belakang, ketika sebuah tendangan keras telak menghajar perutnya
yang gendut. Dan darah segar pun mengalir dari mulutnya. Meskipun demikian, tokoh sesat itu cepat bergerak
bangkit, dan kembali melakukan perlawanan mati-matian.
Namun, Pendekar Macan Sakti benar-benar ingin segera menghabisi lawannya. Terbukti ia sama sekali
tidak mau memberikan kesempatan kepada Setan Gunung Buntar untuk dapat menarik napas lega. Serangan-
serangannya kembali datang bertubi-tubi menghujani tokoh sesat itu.
"Heaaah...!"
Setan Gunung Buntar melompat pendek ke belakang seraya mengibaskan goloknya untuk melindungi
tubuh dari cengkeraman maut lawan. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan oleh Pendekar Macan Sakti
melalui sebuah tendangan kilat, dan tepat mengenai siku lawannya. Belum lagi rasa sakit yang menyengat
sikunya sempat lenyap, tahu-tahu sebuah sambaran cakar kiri lawan telah merobek tubuhnya.
Brettt!
"Aaakh...!"
Sambaran cakar yang cepat dan kuat itu membuat Setan Gunung Buntar meraung keras. Untuk
kesekian kalinya, tubuh tokoh sesat itu kembali terlempar sejauh satu tombak lebih. Darah segar mengalir dari
luka memanjang akibat cakaran lawan. Dan, selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Macan Sakti
langsung melompat dengan sebuah tendangan geledek!
Desss!"
"Aaa...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Setan Gunung Buntar terpental keras. Tubuh gemuk itu terus menghantam
sebatang pohon besar, sebelum jatuh ke atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh sesat itu pun tewas!
Karena isi perutnya hancur akibat tendangan maut lawannya.
Dengan langkah perlahan dan penuh kewaspadaan, Pendekar Macan Sakti mendekati tubuh lawannya.
Lelaki setengah baya itu menarik napas lega ketika melihat lawannya telah menghembuskan napas yang
terakhir.
"Kakang, kita harus segera menemukan Sasmita. Mungkin manusia jahat itu telah
menyembunyikannya di sekitar tempat ini...," ujar Nyi Sekar Galung mengajak suaminya untuk segera mencari
putra mereka, setelah memastikan Setan Gunung Buntar tewas.
Pendekar Macan Sakti hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, pasangan suami istri itu bergegas
mencari putra mereka di sekitar tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Tapi, bukan main kecewanya hati mereka
karena tidak menemukan Sasmita.
Setelah mencari dan menjelajahi sekitar tempat itu, Sasmita masih belum ditemukan, keduanya pun
menjadi bingung dan geram. Terutama Nyi Sekar Galung yang memang sangat mencintai putra tunggalnya itu.
"Hm..., mungkin Setan Gunung Buntar telah menyuruh putrinya membawa pergi Sasmita dari tempat
ini. Tapi, kita harus mencarinya sampai dapat...," gumam Pendekar Macan Sakti sambil mengajak istrinya untuk
mencari Sasmita dan Sari Asih. Kedua pendekar sakti itu bergegas meninggalkan Gunung Buntar untuk mencari
jejak putra mereka.
Tidak berapa lama setelah kepergian Pendekar Macan Sakti dan istrinya, tampak sesosok tubuh
ramping berlari-lari mendatangi tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Sepasang mata sosok tubuh ramping yang
ternyata adalah Sari Asih itu tampak liar ketika menyaksikan adanya bekas-bekas pertarungan yang hebat. Tentu
saja hal itu membuat hatinya gelisah.
"Ayah...!" Sari Asih berseru memanggil ayahnya sambil melangkah menuju pondok. Hari dara cantik
itu kian tegang, ketika tidak menemukan sosok ayahnya di dalam pondok. Cepat ia melesat keluar dan mencari-
cari ayahnya.
Tiba di luar pondok. Sari Asih mengamati bekas-bekas pertarungan itu. Sepasang matanya tampak
terbelalak ketika melihat sesosok tubuh gemuk tergeletak di dekat pohon. Yang berada di samping kanan
pondok sejarak enam tombak.
"Ayaaah...!" tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih yang mengenal sosok ayahnya, langsung menghambur
dengan air mata bercucuran.
"Ayah..., oh Ayah.... Apa yang sudah terjadi denganmu.,.? Siapa yang telah membunuhmu demikian
kejam, Ayah...?" Sari Asih menangis pilu di atas tubuh ayahnya.
Air mata gadis itu meluncur deras membasahi wajahnya yang pucat. Beberapa kali Sari Asih meng-
guncang tubuh Setan Gunung Buntar, seolah-olah tidak yakin bahwa ayahnya telah tewas. Tangisnya kembali
meledak ketika kesadarannya mengatakan bahwa ayahnya memang benar-benar telah tewas.
"Keparat keji...! Semua ini pastilah perbuatan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah tidak
berhasil membunuhku, mereka mencari ayahku sebagai pelampiasan dendam mereka. Hm..., akan kucari
pembunuh-pembunuh biadab itu! Akan kuhirup darah mereka satu persatu...!" geram Sari Asih dengan wajah
penuh dendam. Sepasang matanya yang indah itu tampak berkilat menakutkan. Jelas ia tidak lagi memikirkan
keselamatan dirinya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya.
Dengan wajah yang dibasahi air mata, dara cantik berwajah pucat itu menguburkan jenazah ayahnya.
Kemudian, ia bergerak meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan janji di depan makam ayahnya.
Angin senja bersilir lembut mengiringi langkah kaki Sari Asih, yang meninggalkan kaki gunung Buntar
dengan hati dipenuhi dendam membara. Luka hati akibat perjodohannya tidak disetujui orangtua kekasihnya,
kini semakin parah.
Hanya api dendam yang membuat Sari Asih bertahan untuk hidup. Dan, hanya satu tujuannya dalam
menempuh kehidupan dunia yang dirasanya sangat kejam ini. Yaitu, membalas kematian ayahnya!
TUJUH
"Nisanak..! Harap berhenti sebentar...!"
Terdengar seruan perlahan, namun cukup membuat langkah Sari Asih terhenti. Dara cantik manis yang
tengah dirundung duka itu menoleh ke arah asal suara. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang
kakek berusia tujuh puluh tahun, menghampirinya dengan langkah tertatih-tatih.
"Kakek memanggilku...?" tanya Sari Asih menegasi. Karena ia memang tidak mengenal kakek yang
memanggilnya itu.
"Betul, Cucuku…," sahut kakek itu tanpa menghentikan langkahnya yang dibantu sebatang tongkat.
Sari Asih melangkah menghampiri karena merasa kasihan melihat kakek itu.
"Betulkah kau yang bernama Sari Asih, putri dari Setan Gunung Buntar ...?" tanya kakek itu lagi
seperti hendak meyakinkan hatinya bahwa ia tidak salah mengenali orang.
"Betul, Kek. Dari mana kau mengetahui namaku serta julukan ayahku...?" tanya Sari Asih yang masih
belum hilang rasa herannya. "Apakah Kakek hendak menjumpai ayahku...?"
"Tidak, Cucuku. Justru aku ingin berjumpa denganmu, Hhh..., cukup lama aku mencari-carimu.
Beruntung sekali kita bisa berjumpa secara kebetulan di tempat ini. Aku adalah sahabat Sasmita, putra tunggal
Pendekar Macan Sakti. Tuan Muda Sasmita menyuruhku untuk menjumpaimu, dan menemuinya di sebuah
tempat yang cukup tersembunyi. Ah..., kasihan sekali Tuan Muda Sasmita. Entah siapa yang telah
melukainya...," desah kakek itu setelah menerangkan siapa dia sebenarnya, dan untuk apa ia mencari Sari Asih.
"Kakang Sasmita...?! Di mana dia, Kek? Siapa yang telah melukainya? Parahkah luka-lukanya...?"
tanya Sari Asih tanpa sadar memegang kedua bahu kakek itu.
Dara cantik itu baru menyadari perbuatannya ketika melihat wajah kakek itu meringis kesakitan. Cepat-
cepat Sari Asih meminta maaf dan melepaskan cekalan tangannya.
"Sabarlah, Cucuku. Aku tidak tahu pasti apakah lukanya parah atau tidak. Kalau kau ingin
menemuinya, berjalanlah terus. Apabila kau telah menemukan gerombolan pohon bambu kuning, berbeloklah
ke kanan. Di sana ada sebuah pondok tua. Nah, di dalam pondok itulah aku menyembunyikannya. Karena
menurutnya, ia tengah dicari-cari oleh musuh yang berkepandaian tinggi...," jelas kakek itu sambil menghela
napas panjang berulang-ulang. Tampak kakek itu sangat lelah sekali. Sehingga, ia langsung saja duduk di
hamparan rumput tebal di bawah pohon rindang.
"Kalau begitu, cepat antarkan aku, Kek...," ajak Sari Asih yang tentu saja merasa cemas mendengar
kekasihnya berada di tempat jauh dari kediaman orangtuanya, dan pula tengah menderita luka. Gadis itu
langsung saja menduga kalau Sasmita pasti lari dari rumah untuk mencarinya. Entah apa yang dialami
kekasihnya itu sampai terluka parah.
"Maafkan Kakek, Cucuku. Kakek rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Ikutilah petunjukku.
Tuan Muda Sasmita memerlukan bantuanmu. Biarlah Kakek akan menyusul, setelah beristirahat nanti. Cepatlah
kau pergi. Kakek khawatir orang-orang jahat yang melukainya akan datang ke tempat itu...," ujar kakek itu
menolak ajakan Sari Asih karena lelah.
Sari Asih yang melihat kakek itu memang tengah kelelahan, segera saja mengucapkan terima kasih,
dan melesat mengikuti petunjuk yang diberikan kakek itu kepadanya.
"Hhh..., orang-orang muda sekarang seperti hantu saja. Mereka dapat menghilang demikian cepat..,"
desah kakek itu yang melihat sosok Sari Asih tinggal bayang-bayang samar di kejauhan. Kemudian ia tidak
peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sebentar saja, kakek itu telah tertidur dengan tubuh bersandar pada
sebatang pohon.
Sari Asih terus berlari mengikuti petunjuk kakek bertongkat itu. Harinya cemas bukan main mengingat
keadaan kekasihnya yang tengah terluka. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud
kakek itu. Keterangannya yang jelas, membuat Sari Asih segera dapat menemukan pondok tua yang dimaksud.
Tanpa memeriksa keadaan di sekitarnya, Sari Asih langsung melompat ke dalam pondok. Dan, apa
yang dikatakan kakek bertongkat butut itu memang benar. Di atas pembaringan tampak Sasmita tengah
menggeletak lemah.
"Kakang Sasmita...!" panggil Sari Asih yang segera saja memeluk tubuh pemuda itu.
Dara cantik itu sama sekali tidak peduli meskipun tubuh bagian atas pemuda itu telah basah oleh
keringat. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika melihat betapa kulit wajah dan tubuh pemuda itu
tampak kemerahan seperti udang rebus. Dengan bersimbah air mata, Sari Asih memeluk dan menciumi wajah
Sasmita yang tampak tengah tak sadarkan diri itu.
"Kakang.... Ini aku, Sari Asih...!", kembali Sari Asih memanggil ketika mendengar keluhan dari mulut
pemuda itu.
Beberapa saat kemudian, sepasang mata Sasmita membuka perlahan. Warna merah saga pada sepasang
mata kekasihnya itu, membuat Sari Asih merasa semakin cemas.
"Kau..., Asih...!?" ucap Sasmita dengan suara bergetar.
Belum sempat Sari Asih mengangguk, pemuda itu langsung saja merangkul tubuh kekasihnya. Bahkan,
dengan bernafsu, Sasmita menghujani gadis itu dengan ciuman-ciuman yang panas bagaikan hendak membakar
tubuh Sari Asih. Berkali-kali bibir pemuda itu menyebut-nyebut nama Sari Asih dengan napas memburu.
Sebagai seorang putri tokoh sesat, Sari Asih sadar kalau kekasihnya telah menderita keracunan hebat.
"Kakang.... Kau..., kenapa...?" tanya Sari Asih yang tidak menolak perbuatan pemuda itu, karena ia
merasa terharu melihat keadaan kekasihnya. Bahkan, Sari Asih tidak juga menolak ketika Sasmita berbuat
semakin jauh. Hal itu karena ia sadar bahwa hanya itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun
yang mengeram di tubuh kekasihnya. Sehingga, Sari Asih pun pasrah, bahkan membalas cumbuan Sasmita
dengan sepenuh cintanya. Sebentar saja, kedua insan itu telah terbuai dalam gelombang asmara yang menggebu-
gebu.
***
"Iiieee...!"
Suara lengkingan halus yang semakin lama kian meninggi itu membuat langkah dua sosok tubuh
terhenti. Keduanya saling bertukar pandang sejenak. Kemudian, mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu
yang ditumbuhi pepohonan besar.
"Suara apa itu, Kakang...?" tanya wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun itu kepada pria tinggi
gagah di sebelah kanannya. Jelas tergambar keheranan besar pada wajah wanita cantik itu.
"Hm..., entahlah. Tapi, sepertinya suara itu sengaja diperdengarkan untuk kita...," sahut lelaki gagah
berusia setengah baya itu seraya memutar pandang mencari asal suara, yang masih saja terdengar
berkepanjangan.
Belum lagi wanita cantik itu sempat bertanya lagi, lelaki gagah yang sepertinya telah menemukan
sumber suara, langsung saja bergerak ke Selatan.
"Ikuti aku...," ajaknya tanpa menunggu jawaban.
Wanita cantik itu pun segera melesat mengikuti langkah lelaki gagah itu. Keduanya bergerak cepat
dengan menggunakan ilmu larinya untuk mencari sumber suara lengkingan panjang itu.
"Kakang, lihat..!" wanita cantik itu tiba-tiba berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke satu arah,
di mana ada sesosok bayangan putih berkelebat menjauhi mereka.
Tanpa banyak bicara iagi, lelaki gagah itu pun segera melesat mengejar dengan mengerahkan ilmu lari
cepatnya. Namun, meskipun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya, sosok bayangan
putih itu tetap saja tidak bisa didekati. Bahkan mereka kehilangan jejak, setelah cukup jauh melakukan
pengejaran.
"Gila! Kepandaian orang itu tinggi sekali. Entah ke mana lenyapnya dia...?" desis lelaki gagah itu
dengan wajah membayangkan rasa penasaran. Keningnya tampak berkerut ketika pandang matanya menangkap
sebuah pondok tua beberapa tombak di sebelah kanannya.
Cepat keduanya mendekati pondok, karena mengira bahwa sosok bayangan putih itu pasti bersembunyi
di dalam. Lelaki gagah dan wanita cantik itu meringankan langkahnya ketika telah dekat dengan pondok.
"Kau tunggulah di sini...," ucap lelaki gagah itu kepada wanita cantik di sebelahnya. Dan sebelum
wanita itu menjawab, lelaki gagah itu telah berkelebat menerjang pintu pondok.
"Hah...?! Anak keparat..!" maki lelaki gagah itu.
Sebentar kemudian, tubuhnya kembali melesat ke luar. Rupanya yang ia temukan adalah dua sosok
tubuh setengah telanjang yang terbaring di atas pembaringan.
"Ada apa, Kakang...?" tanya wanita cantik itu dengan wajah heran ketika melihat wajah lelaki gagah itu
tampak merah padam. Jelas ia tengah dilanda kemurkaan hebat.
"Sasmita, keluar kau...!"
Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, lelaki tinggi, gagah itu berteriak dengan suara
mengguntur! Jangankan orang lain, wanita cantik di sebelahnya pun sampai terlonjak kaget, dan hampir jatuh.
Karena teriakan itu dikerahkan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi.
Wanita cantik yang tidak lain adalah Nyi Sekar Galung itu baru mengerti ketika melihat dua sosok
tubuh muncul dari dalam pondok. Wajah keduanya tampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Jelas kalau
keduanya merasa gentar melihat kemarahan lelaki gagah yang tak lain adalah Pendekar Macan Sakti.
"Bedebah! Perbuatan kalian benar-benar tidak bisa diampuni!" geram Pendekar Macan Sakti
menggereng bagaikan singa luka. Sepasang matanya menyorot tajam, siap menjatuhkan hukuman kepada kedua
orang muda yang tak lain dari Sasmita dan Sari Asih.
"Ayah..., aku...."
"Hm..., apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup! Kalian tidak perlu lagi
membela diri! Tidak ada gunanya...!" bentak Pendekar Macan Sakti tidak memberi kesempatan kepada Sasmita
untuk membela diri.
Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki gagah itu langsung melayang ke arah putranya yang
dianggap telah menyeleweng dari kebenaran itu.
Plak!
"Ughhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Sasmita langsung terpelanting akibat tamparan yang keras pada wajahnya.
Darah segar langsung saja mengucur dari bibir pemuda itu.
"Kematian adalah hukuman yang paling baik bagimu...!" geram Pendekar Macan Sakti seraya
menerjang dengan lebih ganas.
Plakkkk!
"Aaah...!"
Sari Asih yang tidak sudi melihat kekasihnya tewas, segera menyambut serangan maut Pendekar
Macan Sakti. Akibatnya, tubuh dara cantik itu terpelanting dan terbanting jatuh dengan kerasnya.
Nyi Sekar Galung sendiri terpaku dengan wajah pucat, ia pun sadar apa yang telah dilakukan putranya
itu. Mereka hanya berdua saja di dalam pondok itu, membuat Nyi Sekar Galung dapat menduga apa yang telah
diperbuat kedua orang muda itu. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha untuk mencegah suaminya yang
memang berpendirian keras itu.
"Hmhhh...," Pendekar Macan Sakti menggereng murka ketika melihat Sari Asih berani memapaki
serangannya. Pandangan laki-laki setengah baya Itu kini beralih kepada Sari Asih. "Kau rupanya ingin segera
menyusul ayahmu, Gadis Binal...!"
Sambil berkata demikian, Pendekar Macan Sakti langsung melesat menampar kepala Sari Asih. Dari
sambaran angin yang bercuitan tajam, dapat ditebak kalau kepala dara cantik itu pasti akan hancur.
"Hatt...!"
Plarrr...!
Pada saat nyawa Sari Asih hampir putus, tiba-tiba melesat sesosok bayangan bersinar putih keperakan,
yang langsung memapaki tamparan Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terpental balik.
Meskipun begitu, Pendekar Macan Sakti segera dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan sebuah
putaran manis, tubuh lelaki gagah itu meluncur turun.
"Pendekar Naga Putih...?!" Sari Asih yang langsung mengenali sosok penolongnya, berseru dengan
wajah penuh harap. Jelas dara cantik manis itu melihat adanya harapan untuk selamat ketika mengetahui siapa
orang yang menolongnya dari kematian itu.
"Kurang ajar...!"
Nyi Sekar Galung rupanya merasa jengkel melihat serangan suaminya yang hendak melenyapkan Sari
Asih ada yang menggagalkan. Cepat tubuh wanita cantik itu melesat dengan sepasang tangan berputaran
menerjang Pendekar Naga Putih.
Tapi, yang menyambut serangan itu justru bukan Pendekar Naga Putih. Sebab, saat itu ada sesosok
bayangan hijau yang bergerak menyambut serangan Nyi Sekar Galung. Dan....
Plak! Plak...!
Terdengar benturan keras mengiringi tubuh Nyi Sekar Galung yang terpental balik. Jelas tenaga dalam
wanita cantik itu masih berada di bawah sosok bayangan hijau yang tak lain adalah Kenanga.
"Perempuan setan..!" maki Nyi Sekar Galung yang telah bersiap untuk menerjang kembali. Namun,
niat itu diurungkannya ketika mendengar seruan suaminya.
"Sabarlah, Istriku...," ujar Pendekar Macan Sakti yang tengah menatap wajah pemuda tampan di
depannya lekat-lekat.
Hati laki-laki setengah baya itu sempat terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Naga
Putih. Dan, ia pun sudah pula merasakan adanya hawa dingin yang menyusup ke lengannya saat berbenturan
dengan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena yang dihadapinya kali ini adalah seorang pendekar besar
yang banyak mengundang kekaguman orang, maka Pendekar Macan Sakti menekan kemarahannya.
"Maaf, kalau aku telah mencampuri urusan ini, Paman. Tapi, harap Paman bersabar, dan mau
memecahkannya dengan kepala dingin. Apa pun persoalannya, rasanya tidak ada salahnya kalau kita mendengar
pembelaan diri mereka...," ujar Panji seraya membungkuk hormat kepada lelaki gagah itu yang tentu saja sudah
pernah didengar nama besarnya.
"Hm..., tahukah kau, Pendekar Naga Putih? Mereka berdua telah melakukan dosa besar, dan
mencoreng mukaku," bantah Pendekar Macan Sakti sambil melemparkan pandang ke arah Sasmita dan Sari
Asih yang tengah saling rangkul itu.
"Cobalah beri mereka kesempatan untuk menjelaskannya, Paman. Kalau memang setelah itu Paman
anggap mereka tidak bisa diampuni, itu terserah Paman...," Panji masih mencoba untuk menyabarkan Pendekar
Macan Sakti dan memberikan kesempatan kepada kedua insan muda itu untuk membela diri.
"Baiklah. Aku terima saranmu, Pendekar Naga Putih. Nah! Sekarang, siapa di antara kalian berdua
yang akan menjelaskan perbuatan kalian...?" Pendekar Macan Sakti akhirnya mengalah, dan memberikan
peluang kepada Sari Asih dan Sasmita untuk membela diri.
Sari Asih maju ke muka lebih dulu. Setelah memandang penuh rasa terima kasih kepada Pendekar
Naga Putih, dara cantik itu menjelaskan persoalan dirinya, mulai dari bertemu dengan seorang kakek, sampai
berjumpa Sasmita di pondok dalam keadaan keracunan.
"Hanya itulah yang dapat kujelaskan. Selebihnya, mungkin Kakang Sasmita dapat menjelaskan apa
yang menyebabkan ia menderita keracunan...," Sari Asih mengakhiri keterangannya. Karena menganggap itulah
yang ia ketahui.
"Ayah...," ucap Sasmita perlahan. "Setelah kepergian Asih, keesokan harinya aku pergi meninggalkan
rumah dengan maksud untuk mencarinya. Tapi, di perjalanan aku berjumpa dengan tokoh-tokoh Perguruan
Gunung Lawa, yang dipimpin langsung oleh ketuanya. Selain mengeroyok, mereka juga menggunakan racun
untuk menawanku. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai kemudian mendapatkan Asih yang tengah
memelukku di dalam pondok. Rupanya mereka telah melolohkan racun terkutuk ke dalam tubuhku, dan
memancing Asih untuk menemuiku. Dan, apa yang terjadi di antara kami berdua, memang merupakan jalan
satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun jahat itu. Kalau tidak, aku akan tetap dipengaruhi racun itu
sampai kapan pun, kecuali dengan jalan yang telah kami lakukan. Untuk itu, harap Ayah dan Ibu bisa mengerti
kesulitan kami...."
"Hm...," Pendekar Macan Sakti menggeram setelah mendengar penjelasan putranya dan Sari Asih.
Kini timbul penyesalan dalam diri Pendekar Macan Sakti yang telah berbuat gegabah membunuh Setan
Gunung Buntar. Padahal, tokoh sesat itu sama sekali tidak bersalah. Dan, hampir saja ia berbuat kesalahan yang
lebih parah dengan membunuh putranya, dan juga putri Setan Gunung Buntar. Diam-diam Pendekar Macan
Sakti sangat berterima kasih sekali kepada Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, entah bagaimana ia dapat
memaafkan dirinya dengan kesalahan-kesalahan yang demikian berat itu.
"Kalau begitu, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dari orang-orang Perguruan Gunung
Lawa...," usul Panji setelah mendengar semua penjelasan itu. Yang lainnya langsung mengangguk setuju. Sebab,
mereka pun memang mempunyai pikiran yang sama dengan Panji.
DELAPAN
"Iieee...!"
Baru saja Panji dan yang lainnya hendak bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar
lengkingan tinggi menusuk telinga, yang membuat Pendekar Macan Saka dan istrinya terkejut.
"Bedebah! Baru aku mengerti sekarang! Lengkingan itu rupanya sengaja membawa kami ke tempat ini,
agar aku dan istriku menemukan Sasmita dan Sari Asih di tempat ini...!" geram Pendekar Macan Sakti.
Lelaki setengah baya ini baru menyadari bahwa dirinya dipancing datang ke pondok itu agar bisa
melihat putranya dan Sari Asih yang juga terjebak.
"Hm..., suara lengkingan itu pastilah berasal dari Dewa Gunung Lawa...," gumam Panji yang rupanya
mengenali pemilik lengkingan tinggi yang menyakitkan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji pun
mengerahkan tenaga saktinya untuk mengeluarkan suara lengkingan halus guna menindih suara itu.
Tidak berapa lama kemudian, suara lengkingan itu pun lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya
lengkingan tinggi itu, muncullah belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung mengurung orang-
orang yang berada di tempat itu.
"Sepasang Algojo Gunung Lawa...?!" desis Pendekar Macan Sakti melihat dua orang berkepala botak
yang memimpin belasan orang itu.
"He he he...! Selamat bertemu, Pendekar Macan Sakti. Sebenarnya kami tidak ingin mengusikmu. Tapi,
perbuatan putramu dan dara cantik itulah yang membuat kami terpaksa harus melenyapkanmu dari permukaan
bumi ini...," ujar salah seorang dari kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu.
Tangan lelaki itu memegang kapak bergagang panjang yang tampak terangkat perlahan. Begitu pula
yang dilakukan orang kedua yang memiliki ciri-ciri serupa dengan kawannya. Mereka itulah yang terkenal
dengan julukan Sepasang Algojo Gunung Lawa.
Pendekar Macan Sakti dan istrinya sadar akan kesaktian lawan. Cepat keduanya melangkah maju guna
menghadapi Sepasang Algojo Gunung Lawa, yang memang selalu bersama-sama dalam menghadapi setiap
pertempuran.
Kesaktian dan kekejaman lawannya yang memang sudah sangat terkenal itu, membuat Nyi Sekar
Galung telah menghunus pedang. Sedangkan Pendekar Macan Sakti telah mengeluarkan senjata andalannya
berupa sarung tangan berwarna emas. Sepasang suami istri itu telah siap menghadapi gempuran tawan.
"Heaaat..!"
Sepasang Algojo Gunung Lawa langsung membuka serangan dengan teriakan parau. Tubuh keduanya
yang sama tinggi besar itu melayang disertai ayunan senjatanya yang menimbulkan deruan angin tajam.
"Hait..!"
Pendekar Macan Sakti dan istrinya langsung saja bergerak menyambut serangan lawan. Sebentar saja
keempat tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit.
Panji dan Kenanga sendiri saat itu telah dikeroyok oleh belasan orang berseragam hitam yang dipimpin
oleh Ganjalu yang berjuluk si Tongkat Iblis. Pasangan pendekar muda itu tentu saja tidak gentar. Dengan
gerakan yang sukar ditangkap mata biasa, keduanya melesat kian kemari sambil melemparkan tamparan dan
tendangan yang cepat dan kuat.
Sebentar saja, empat orang pengeroyoknya roboh dan tewas, akibat terjangan sepasang pendekar muda
itu. Jelas kali ini Panji tidak lagi memberi hati kepada orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Sebab, mereka
ternyata sangat licik dan jahat!
Di bagian lain, Sari Asih tampak sibuk menghadapi serbuan delapan orang lawannya. Dara cantik itu
telah menghunus senjatanya. Karena, selain harus menghadapi keroyokan, ia pun masih harus melindungi
kekasihnya dari incaran senjata lawan. Sebab, Sasmita yang masih lemah itu, belum bisa mempertahankan
dirinya dari keroyokan lawan.
Panji yang sempat melirik ke arah Sasmita dan Sari Asih, segera meminta Kenanga untuk membantu
kedua orang muda itu. Tanpa membantah lagi, Kenanga langsung saja menerjunkan diri ke arena pertarungan
itu, dan langsung menerjang orang-orang yang mengeroyok Sari Asih dan Sasmita.
"Terima kasih. Kalian berdua telah berkali-kali menolongku...," ucap Sari Asih yang merasa terharu
dengan kebaikan Kenanga dari Panji. Karena telah berkali-kali nyawanya diselamatkan oleh pasangan pendekar
besar itu.
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Adik Manis...," sahut Kenanga yang
kembali merobohkan dua orang pengeroyoknya.
Sebentar saja, keadaan menjadi berbalik. Kini orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu harus mati-
matian menyelamatkan diri dari incaran Pedang Sinar Rembulan di tangan dara jelita itu.
"Iiieee...!"
Saat Kenanga hendak membabat dua orang pengeroyoknya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi yang
membuat dada dara itu berdebar keras. Belum lagi ia sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sesosok
bayangan telah melontarkan sebuah tamparan ke kepalanya.
Bukkk!"
"Aaah...!"
Kenanga memekik kesakitan. Untunglah pada saat yang amat gawat itu ia masih sempat memiringkan
tubuhnya. Sehingga, yang menjadi sasaran tamparan lawan adalah bahunya. Meskipun demikian, Kenanga
merasakan lengan kanannya lumpuh. Jelas tamparan itu mengandung kekuatan yang hebat.
"Kau...?!"
Sari Asih yang melihat seorang kakek-kakek memegang sebatang tongkat bambu butut, langsung
menjadi terkejut la mengenali kakek itu sebagai orang yang menghadangnya di perjalanan, dan memberitahukan
keadaan serta tempat di mana kekasihnya berada. Sadarlah dara cantik itu bahwa ia memang sengaja dijebak,
dan diadu domba oleh orang-orang Perguruan Gunung Lawa.
"Keparat! Kakek jahat! Kubunuh kau...!" teriak Sari Asih yang tanpa berpikir panjang lagi, langsung
saja menusukkan pedangnya ke tubuh kakek itu.
Dukkk!
"Aaahk...!"
Sari Asih memekik kesakitan. Pedangnya memang tepat mengenai sasaran. Tapi, jangankan untuk
membunuh kakek itu, melukainya pun ternyata tidak sanggup. Tentu saja Sari Asih menjadi tekejut melihat
kehebatan kekebalan tubuh lawannya, ia tidak menyadari sama sekali ketika lengan kiri kakek itu telah terulur,
siap mencengkeram hancur batok kepalanya.
Plak!
Namun, saat itu juga terdengar benturan keras memekakkan telinga. Sesosok bayangan bersinar putih
keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat kakek itu untuk membunuh Sari Asih. Bahkan, tubuh kakek
itu sampai terdorong mundur sejauh empat langkah!
"He he he...! Pendekar Naga Putih...!" ujar kakek itu terkekeh ketika melihat sosok pemuda tampan
berjubah putih telah berdiri di depannya, dalam jarak satu tombak.
"Hm..., Dewa Gunung Lawa! Sebagai orang tua, seharusnya kau lebih banyak mendekatkan diri kepada
Sang Pencipta, dan bukannya malah semakin mengumbar hawa nafsumu!" ucap Panji seraya membalas tatapan
orang tua yang berjuluk Dewa Gunung Lawa itu dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat
lamanya, kedua tokoh sakti itu saling bertatapan dengan tajamnya.
"Hiyaaat..!"
Tiba-tiba saja Dewa Gunung Lawa berteriak keras. Tongkat bambu di tangannya dilemparkan ke udara,
yang langsung meliuk dan berputar, tak ubahnya sebuah benda bernyawa. Jelas kalau Dewa Gunung Lawa
mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih.
"Hm...," Panji hanya bergumam perlahan ketika melihat tongkat bambu itu meluncur turun menyerang
dirinya.
Bettt!
Cepat Panji memiringkan tubuhnya, menghindari sambaran tongkat bambu butut yang menimbulkan
angin bercultan tajam itu. Pendekar Naga Putih terus melompat ke kanan, ketika ujung tongkat itu menusuk
dengan kecepatan kilat.
Whuttt...
Kraaakkk!
Sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa langsung berderak patah ketika sodokan ujung
tongkat yang dihindari Panji menghantamnya. Diam-diam Panji terkejut melihat kehebatan yang tersembunyi di
dalam tongkat bambu butut itu. Dan, ketika tongkat itu berputar membabat tubuhnya, Pendekar Naga Putih
mencoba untuk menyambut datangnya badan tongkat.
Duggg!
Bukan main terkejutnya hari Panji ketika merasakan lengannya kesemutan akibat berbenturan dengan
tongkat bambu butut itu. Sadarlah Panji kalau tongkat bambu butut itu telah dipengaruhi kekuatan sihir yang
dahsyat. Bahkan, ujung tongkat itu sempat menyemburkan asap berwarna merah ketika membentur tubuh Panji.
Pendekar Naga Putih cepat-cepat melompat jauh ke belakang sambil mendorongkan sepasang telapak
tangannya, guna mengusir asap berwarna merah yang berbau harum itu.
"Hm...," untuk kesekian kalinya Panji kembali bergumam.
Lengan kakek itu sudah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepala Sari Asih. Namun...
Plak!
Saat itu juga terdengar benturan keras yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan putih keperakan
telah menyambut dan menggagalkan niat Dewa Gunung Lawa untuk membunuh Sari Asih.
Kali ini Pendekar Naga Putih terlihat menyilangkan sepasang lengannya di depan dada. Kemudian
membuka ke depan seperti orang membopong sebuah benda. Sesaat kemudian, kedua tangannya diputar, dan
disatukan di atas kepala, sambil membentak nyaring!
"Naga Langit...!" bentakan yang keras itu disusul dengan berpendarnya seberkas sinar kuning
keemasan di atas kepala Pendekar Naga Putih, Sinar kuning keemasan itu tidak lain dari Pedang Pusaka Naga
Langit yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya guna menghadapi tongkat butut Dewa Gunung Lawa.
"Hebat..!" Dewa Gunung Lawa sendiri berseru memuji Pendekar Naga Putih, yang dikiranya juga
memiliki ilmu sihir. Maka, kakek itu segera memejamkan kedua matanya guna memperkuat kekuatan sihir pada
tongkatnya.
Sebentar kemudian, Pedang Naga Langit itu telah bergerak menyambut datangnya tongkat bambu butut
Dewa Gunung Lawa. Pertarungan tidak masuk akal itu tidak berlangsung lama. Sebab, Pedang Naga Langit
yang memang memiliki kekuatan tanpa bantuan dari Panji, langsung membabat tongkat bambu butut itu hingga
menjadi enam bagian. Tentu saja potongan-potongan tongkat itu langsung runtuh ke tanah.
"Aaah...!?" Dewa Gunung Lawa terkejut ketika merasakan tubuhnya bagaikan terpukul sebuah
kekuatan dahsyat. Cepat-cepat tokoh sakti itu menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya memejamkan
mata.
Kemudian, sepasang lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan sambil membentak keras. Jelas
maksudnya hendak menghilangkan pengaruh aneh yang menyergap tubuhnya, tepat pada saat bambu bututnya
terpotong oleh pedang lawan.
"Hm..., sekarang hadapilah jurus-jurusku, Pendekar Naga Putih...," geram Dewa Gunung Lawa yang
segera menggerakkan kedau tangannya yang siap menggempur Panji. Jelas ia telah merasa tidak ada gunanya
menggunakan ilmu sihir.
Panji yang sudah menarik pulang Pedang Naga Langit, segera mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti'
yang merupakan ilmu pamungkasnya. Berbarengan dengan itu, ia pun menambahkan kekuatan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan'. Sehingga, hembusan angin dingin semakin kuat, membuat orang-orang di sekitarnya bergegas
menjauhkan diri dari arena pertarungan maut itu.
"Haaat..!"
"Yeaaah...!"
Dibarengi pekikan mengguntur, kedua tokoh sakti itu saling terjang dengan hebatnya! Debu dan
dedaunan kering beterbangan bagaikan dilanda badai topan yang hebat. Sebentar saja suasana di sekitar arena
pertarungan itu menjadi gelap oleh debu dan dedaunan yang bertebaran kian kemari.
Dukkk! Dukkk! Plak!
Terdengar benturan keras berkali-kali membuat tubuh keduanya tampak berpencar, kemudian menyatu
kembali dan saling terjang dengan dahsyatnya.
Hebat luar biasa pertarungan yang terjadi di tempat itu. Sehingga, dalam jarak tiga tombak masih terasa
getaran jejakan kaki kedua tokoh itu yang berdebum-debum menimpa bumi.
Beberapa batang pohon yang berada di sekitar satu tombak dari tempat kedua tokoh sakti itu bertarung,
terangkat dari atas tanah, dan roboh bersama akar-akarnya! Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya
pertarungan kedua orang tokoh sakti itu.
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa pertarungan telah berjalan selama seratus dua puluh
jurus. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang di antara mereka ada yang kalah.
Keduanya masih sama kuat dan sama cepat.
"Yeaaat..!"
Dewa Gunung Lawa yang merasa penasaran terhadap lawan yang pantas menjadi cucunya itu, suatu
saat mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya berputar menciptakan deruan
angin topan yang hebat. Kemudian mendorongnya ke depan ke arah Pendekar Naga Putih.
Whusss...! Blarrr...!
Mengerikan sekali akibat terpaan angin pukulan Dewa Gunung Lawa. Sebuah batu besar yang berada
di belakang Panji, langsung hancur berantakan dengan suara ledakan keras. Terdengar jerit-jerit kematian yang
menyayat, dibarengi terlemparnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Jelas mereka adalah
orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang secara tak sadar telah menjadi sasaran pukulan maut ketuanya
sendiri.
Panji yang berputaran di udara guna menghindari pukulan maut lawannya, langsung meluruk dengan
kecepatan kilat 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus mautnya itu, langsung dipegunakan
saat itu juga. Seketika terciptalah gelombang lingkaran sinar putih keperakan yang menyilaukan mata.
Sedangkan sepasang tangan pemuda itu terkadang menyembul dari sisi lingkaran yang diciptakannya.
"Hiaaa...!"
Bret! Bret! Desss...!
"Aaaiii..!"
Dewa Gunung Lawa memekik keras ketika cakar naga serta hantaman telapak tangan pemuda itu
mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Dewa Gunung Lawa terlempar deras disertai semburan
darah segar membasahi tanah.
Bukkk!
Sebatang pohon besar yang menahan luncuran tubuh Dewa Gunung Lawa berderak patah, seiring
dengan melayangnya nyawa kakek itu meninggalkan raganya yang telah remuk akibat hantaman telapak tangan,
serta cakar naga Panji.
"Hhh...," Panji menghela napas panjang melihat tubuh Dewa Gunung Lawa yang telah tewas di
tangannya.
Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya berlarian mendatangi Pendekar Naga Putih. Jelas mereka pun
telah menyelesaikan lawan-lawannya pada saat Panji tengah bertempur dengari Dewa Gunung Lawa.
"Hm..., akhirnya tokoh sakti yang sombong itu harus menyerah di tangan seorang pendekar muda yang
sama sekali tidak pernah diimpikannya...," gumam Pendekar Macan Sakti.
Panji yang berada di sebelah kanan Pendekar Macan Sakti menoleh dengan kening berkerut ketika
melihat lengan kanan laki-laki setengah baya itu nampak terluka.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Bidadari jelitamu itulah yang telah mengobatiku. Kalau tidak,
mungkin aku pun telah melayat ke akhirat. Karena luka ini ternyata mengandung racun," jelas Pendekar Macan
Sakti tersenyum melihat kekhawatiran di mata pemuda itu.
"Syukurlah kalau begitu, Paman...," ucap Panji merasa lega mendengar keterangan Pendekar Macan
Saktt.
"Hm..., pada kesempatan ini, biarlah aku berterus terang untuk mengakui dosaku...," tiba-tiba saja
lelaki tinggi gagah itu menundukkan kepalanya dengan wajah penuh sesal.
Sepasang mata Pendekar Macan Sakti melirik sekejap ke arah Sari Asih. Sehingga, dara cantik manis
itu menjadi berdebar tegang. Jelas ia menduga bahwa pendekar gagah itu telah menyadari kesalahannya untuk
memisahkan dia dengan Sasmita.
"Asih...," Pendekar Macan Sakti mengangkat wajahnya menatap dara cantik manis itu. "Akulah yang
telah membunuh orangtuamu, karena aku menyangka ayahmu telah melarikan putraku. Sayang penyesalan ini
datangnya terlambat. Aku benar-benar menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru...," aku Pendekar
Macan Sakti yang membuat wajah Sari Asih dan Sasmita pucat pasi.
"Ayah, kau...!" Sasmita terpekik kaget mendengar penjelasan ayahnya. Pemuda itu menatap wajah
orangtuanya dengan mata membelalak lebar.
Sari Asih sendiri melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Cepat ia mengangkat pedang yang masih
tergenggam di tangan kanannya. Jelas dara cantik itu telah siap untuk membalas kematian orangtuanya.
"Lakukanlah, Asih. Aku tidak akan melawan. Aku siap menebus kesalahanku itu...," desah Pendekar
Macan Sakti dengan wajah penuh sesal.
"Asih, tahan...!" Panji yang melihat Sari Asih sudah bersiap untuk menerjang Pendekar Macan Sakti,
segera saja berkelebat menangkap pergelangan tangan dara cantik itu.
"Aku harus menebus kematian orangtuaku, Pendekar Naga Putih! Dan, aku telah bersumpah di depan
makam ayah...," bantah Sari Asih dengan wajah bersimbah air mata. Jelas kalau dara cantik itu pun tengah
dilanda keraguan. Sepasang matanya yang bening dan basah oleh air mata, menatap wajah Pendekar Macan
Sakti dan Sasmita berganti-ganti. Jelas Sari Asih tidak bisa menjatuhkan pilihannya untuk melakukan hal itu.
"Asih..., semua itu sudah lewat. Jadi, janganlan kau buat masalah baru dengan membunuh Pendekar
Macan Sakti yang jelas-jelas telah menyesali perbuatannya. Aku mulai dapat menduga apa sebenarnya yang
telah terjadi di antara kedua keluarga kalian. Bukankah kau mencintai Sasmita...?" tanya Panji menuntut
jawaban tegas.
"Ya..., aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin dapat hidup tanpa Kakang Sasmita...," jawab Sari
Asih setelah terdiam sesaat.
"Hm..., apakah kalian akan hidup berdampingan apabila kau membunuh Pendekar Macan Sakti, yang
menjadi ayah dari kekasihmu itu? Rasanya, ayahmu pun akan tenang di alam sana apabila kalian dapat menyatu
dalam tali perkawinan. Anggaplah kematian ayahmu sebagai tumbal perkawinan buat kalian berdua.... Nah,
bukankah hal itu jauh lebih baik...," nasihat Panji kepada Sari Asih yang mulai terbuka matanya. Dara itu
menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan istrinya, seolah-olah meminta jawaban mereka atas ucapan Panji.
"Kami setuju, Asih. Pendekar Naga Putih benar-benar telah membuat aku merasa malu. Pemuda itu
ternyata jauh lebih bijaksana ketimbang aku yang tua ini. Yah..., aku akan merestui hubungan kalian," tegas dan
mantap kata-kata Pendekar Macan Sakti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nyi Sekar Galung. Jelas
kalau wanita cantik itu pun setuju bermantukan Sari Asih.
Sasmita dan Sari Asih saling berpandangan. Ketika melihat Sasmita menganggukkan kepala, Sari Asih
langsung berlari ke dalam pelukan pemuda gagah itu. Ia menangis bahagia di dada bidang Sasmita.
"Nah, karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon pamit," pinta Panji kepada Pendekar Macan Sakti
dan yang lainnya. Kemudian, pemuda itu mengajak Kenanga untuk melanjutkan petualangan.
"Pendekar Naga Putih! Kuharap kau dapat hadir pada pesta pernikahan kami...!" seru Sasmita dengan
suara lantang.
"Datanglah pada tanggal dua bulan depan ke Bukit Harimau Putih...!" Pendekar Macan Sakti
menyambung ucapan, Sasmita.
"Kami pasti akan hadir untuk memberi selamat kepada mereka berdua, Paman...!" sahut Panji, yang
kembali membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap bersama kekasihnya di balik pepohonan lebat.
"Seorang pemuda yang hebat. Sifatnya pun penuh ketenangan dan kesabaran...," gumam Pendekar
Macan Sakti sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu, diiringi hembusan angin senja yang membuat
hati mereka menjadi damai.
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode-episodenya yang menarik:
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR 24. MACAN TUTUL L. DARU
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS 25. MALAIKAT GERBANG NERAKA
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA 26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT
4. PARTAI RIMBA HITAM 27. SENGKETA JAGO J. PEDANG
5. JARI MAUT P. NYAWA 28. LABA-LABA HITAM
6. PENGHUNI R. GERANTANG 29. TERSESAT DI L. KEMATIAN
7. RAJA IBUS DARI UTARA 30. DENDAM PENDEKAR CACAT
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT 31. TERDAMPAR DIPULAU ASING
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH 32. KUMBANG MERAH
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K 33. BIDADARI IBLIS
11. MEMBURU HARTA KARUN 34. MUSTIKA NAGA HIJAU
12. KELABANG HITAM 35. PENDEKAR GILA
13. PENGGEMBALA MAYAT 36. MISTERI DESA SILUMAN
14. PUSAKA BERNODA DARAH 37. KETURUNAN D. PERSILATAN
15. PENDEKAR MURTAD 38. TEWASNYA R. RACUN MERAH
16. KECAPI PERAK D. SELATAN 39. PUTRA HARIMAU
17. SERIGALA SILUMAN 40. SEPASANG M. L MAUT
18. DEWI BAJU MERAH 41. HANTU LAUT PAJANG
19. ASMARA DI UJUNG PEDANG 42. TERJEBAK DI PERUT BUMI
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR 43. DARAH PERAWAN SUCI
21. HILANGNYA P. KERAJAAN 44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN
22. TRAGEDI G. LANGKENG 45. BADAI RIMBA PERSILATAN
23. DEWA TANGAN API 46. PETUALANGAN DI ALAM ROH
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR
48. MISTERI SELENDANG BIRU
49. TUMBAL PERKAWINAN
0 comments:
Posting Komentar