..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 15 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TUMBAL PERKAWINAN

Matjenuh khairil

 

TUMBAL PERKAWINAN 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting Tarech R. 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini 
tanpa izin tertulis dari penerbit 
T. Hidayat 
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Tumbal Perkawinan 
128 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Matahari sudah naik tinggi. Penduduk Desa Angkeran berbondong-bondong menuju sebuah rumah 
sederhana yang sudah mulai ramai. Pada bagian depan halaman rumah itu, terhias semarak. Sepertinya di rumah 
sederhana itu tengah diadakan suatu pesta. 
"Terima kasih..., terima kasih...," seorang lelaki kurus berpakaian sederhana dan bersih, menyambut 
para tamu dengan senyum di bibir. Di sebelah kirinya, terlihat seorang wanita berusia empat puluh tahun 
mendampingi lelaki itu. Mudah ditebak kalau wanita itu adalah istri dari lelaki kurus, yang saat itu tengah 
menyelenggarakan pesta perkawinan putri tunggalnya. 
Tampak seorang pemuda berwajah tampan dengan bentuk tubuh kokoh, menyambut undangan. 
Demikian pula halnya dengan wanita muda berwajah manis yang berkulit tubuh kuning langsat. Gadis itu 
menyalami para tamu sambil tak henti-hentinya mengucapkan terima kasih. 
Pasangan pengantin itu tampak berbahagia sekali. Semua itu tercermin dari raut muka maupun dari 
sinar mata mereka yang berbinar-binar, penuh cahaya bahagia. Bahkan tak jarang pasangan pengantin itu saling 
melempar pandang, penuh getaran cinta dan kehangatan. 
Para undangan nampaknya tidak kalah bahagia dengan pasangan pengantin itu. Sambil menikmati 
hidangan sederhana yang disajikan, sesekali mereka melempar pandang kepada pasangan pengantin sederhana 
itu. Meskipun pakaian yang mereka kenakan tidak semewah putra-putri bangsawan, namun pasangan pengantin 
itu kelihatan sangat menarik, dan menimbulkan rasa iri bagi pemuda-pemuda dan gadis-gadis desa itu. Yang 
wanita mengagumi pengantin pria. Sedangkan yang pemuda sering melemparkan pandang secara sembunyi-
sembunyi kepada pengantin wanita yang manis dan bertubuh ramping itu. 
Namun suasana bahagia itu tiba-tiba terusik. Para tamu menoleh dengan wajah tegang, ketika tuan 
rumah berjalan tergopoh-gopoh menyambut kedatangan seorang lelaki berpakaian mewah. Wajah lelaki itu 
tidak menarik sama sekali. Tubuhnya pendek gemuk. Sedangkan kulit tubuhnya agak kehitaman. Rambut 
kepalanya telah botak sebagian, dan wajahnya masam. 
"Ah..., Juragan Surya Denta...?! Sungguh tidak kusangka kalau Tuan akan mengunjungi pesta 
pernikahan yang sederhana ini. Maaf, kalau sambutan saya kurang berkenan di hati Tuan," ujar orangtua 
pengantin wanita itu. 
Meskipun lelaki kurus itu bersikap setenang mungkin, tapi para tamu melihat betapa wajahnya agak 
pucat. Bahkan, suaranya terdengar patah-patah. 
"Hm.... Kau bilang tidak punya uang, tapi mengadakan pesta. Dari mana kau peroleh biaya untuk 
menyelenggarakan pesta ini, Jarawa?" tanya lelaki gemuk pendek itu tidak senang. 
Ternyata lelaki itu adalah seorang juragan kaya. Dan kedatangannya jelas bukan untuk memberi ucapan 
selamat kepada pengantin. Tentu saja beberapa orang tamu yang hadir dalam pesta itu memperlihatkan wajah 
tak senang. Tapi, empat orang tukang pukul berwajah bengis yang berdiri di belakang Juragan Surya Denta 
membuat para undangan tidak berani ikut campur. 
"Tapi..., biaya pesta ini hasil sumbangan dari para penduduk. Tuan Juragan...," Ki Jarawa berusaha 
menjelaskan kesalahpahaman Juragan Surya Derita mengenai biaya pernikahan putrinya dengan wajah semakin 
pucat. 
"Bohong...!" 
Ki Jarawa terlompat mundur karena bentakan keras itu. Wajah lelaki tua itu tampak bertambah pucat. 
Bahkan kedua tangannya gemetar, dan butir-butir keringat mulai menitik membasahi keningnya. 
"Benar, Tuan Juragan...," tiba-tiba terdengar suara jawaban yang ternyata datangnya dari pengantin 
pria. 
Lelaki muda bertubuh kokoh itu sepertinya tidak tega melihat ayah mertuanya yang ketakutan setengah 
mati menghadapi Juragan Surya Denta. 
"Akulah yang mengumpulkan uang bantuan dari saudara-saudara sesama petani untuk membiayai 
perkawinan ini," lanjut pemuda gagah itu lagi menerangkan kepada Juragan Surya Denta yang dikenal serakah 
dan bermata keranjang. 
"Hm..., kaukah yang menjadi menantu dari lelaki kurus tak tahu diuntung ini...?" tanya Juragan Surya 
Denta seraya menatap tak senang kepada pemuda bertubuh kokoh itu. Sekilas matanya melirik ke arah 
pengantin wanita yang tampak ketakutan melihat lirikan penuh ancaman itu. 
"Benar, akulah menantu Ki Jarawa...," sahut pemuda itu dengan sikap gagah. 
"Hm..., kalau begitu, sekarang juga kau lunasi hutang-hutang ayah mertuamu itu! Kalau tidak, terpaksa 
aku akan membawa putri Ki Jarawa sebagai penggantinya, sampai kau bisa melunasi hutang-hutang cecak 
kering itu!" geram Juragan Surya Denta dengan wajah beringas.

Melihat gelagat yang tidak baik itu, para undangan bergegas bangkit dan menonton dari tempat agak 
jauh. Jelas mereka tidak ingin melibatkan diri dengan masalah yang dihadapi tuan rumah. 
"Oh, sekarang aku tahu apa maksud kedatanganmu kemari, Bandot Tua! Rupanya selama ini kau 
mengincar calon istriku untuk kau jadikan gundikmu! Tapi, kami sudah tahu akan niat kotormu itu. Dan,itu pula 
yang menyebabkan aku berniat lekas-lekas mengawini Nurati, agar ia terlepas dari incaran kebuasanmu!" ujar 
lelaki muda bertubuh kokoh itu tanpa mengenal rasa takut sedikit pun. 
Pemuda itu memang sudah mengetahui sifat Juragan Surya Denta, yang selalu mencari gadis-gadis 
muda untuk dijadikan pemuas nafsu. Kesadaran itulah yang membuatnya segera mengawini kekasihnya. 
Kendati untuk itu ia harus meminta bantuan kepada para petani lainnya, yang juga tidak suka kepada Juragan 
Surya Denta. 
"Bangsat! Kalau kau memang tidak mampu untuk melunasi hutang-hutang cecak kering itu sekarang 
juga, aku akan membawa Nurati. Kau sengaja melemparkan fitnah terhadapku, agar orang-orang desa ini 
bersimpati kepadamu. Tapi biar bagaimanapun, aku akan tetap membuktikan ucapanku. Bawa gadis putri cecak 
kering itu...!" perintah Juragan Surya Denta kepada dua orang tukang pukulnya yang sejak tadi memasang wajah 
angker dan menatap tamu dengan tajam. Sehingga nyali para undangan itu menjadi ciut. 
"Baik, Juragan...," jawab seorang lelaki kekar berpakaian hitam, yang berkumis tebal. Dengan diikuti 
seorang kawannya, lelaki galak berkumis tebal itu segera melangkah untuk membawa pengantin wanita. 
"Tahan!" seru pemuda bertubuh kokoh itu seraya berdiri menghadang jalan kedua tukang pukul itu 
dengan sikap gagah. Jelas ia hendak melindungi istrinya dengan taruhan nyawa, dan tidak mau membiarkan 
istrinya digondol orang. 
"Hm..., minggir kau, Kerbau Dungu! Kalau tidak, kau pun akan kulemparkan ke luar...!" ancam lelaki 
kekar berkumis tebal itu seraya meraba gagang pedang yang tersembul di pinggangnya. Tindakannya jelas untuk 
membuat hati pengantin pria itu menjadi ketakutan. 
Sayang dugaan lelaki berkumis tebal itu meleset. Pengantin pria itu tetap berdiri tegak dengan gagah 
dan jantan melindungi istrinya. Sehingga dara cantik yang berdiri di kerumunan para tamu itu menatapnya 
penuh kagum. 
"Bangsat!" maki lelaki kasar berkumis tebal itu sambil menampar kepala pengantin pria yang 
menghadang jalannya. 
Whuttt...! 
Tamparan keras itu ternyata luput. Karena lelaki bertubuh kokoh itu sudah melangkah mundur. 
Sehingga, lelaki berkumis tebal itu semakin marah dan kalap. 
"Setan...! Nah, kau hindarilah yang ini...!" ujarnya dengan kemarahan yang meluap-luap. 
Lelaki kekar berkumis tebal itu melompat dan mengirimkan tamparan dan tendangan bertubi-tubi 
Tentu saja hal ini membuat lawannya tidak bisa menghindar. Meskipun tubuh pengantin pria itu terlihat kokoh, 
tapi ia sama sekali tidak memiliki ilmu silat seperti lelaki berkumis tebal itu. Tidak mengherankan kalau ia 
menjadi bulan-bulanan tukang pukul Juragan Surya Denta yang kejam itu. 
Desss...! 
"Aaakh...!" 
Untuk kesekian kalinya, tubuh lelaki muda itu terpelanting akibat tendangan keras yang menghantam 
perutnya. Karuan saja tubuh pengantin pria itu terbungkuk-bungkuk kesakitan ketika ia berusaha bangkit. 
"Jangan sakiti suamiku...!" teriak pengantin wanita yang tidak tega melihat penderitaan suaminya. 
Cepat ia berlari dan menubruk tubuh suaminya. Sehingga, lelaki kekar berkumis tebal yang semula siap 
menjejak tubuh pengantin pria itu, terpaksa menahan gerakannya. 
"Sungka...! Bawa gadis itu...!" perintah Juragan Surya Denta dengan suara menggelegar. 
"Tuan..., jangan, Tuan. Biarlah kami yang melunasi hutang-hutang itu saat panen nanti...," ratap lelaki 
kurus yang bernama Ki Jarawa itu sambil menubruk kedua kaki Juragan Surya Denta. 
"Hm.... Baik. Aku beri keringanan. Tapi, putrimu tetap akan kubawa sebagai jaminannya. Kelak kalau 
kau sudah mendapatkan hasil panen itu, baru kau boleh mengambilnya kembali...," ujar Juragan Surya Denta 
seraya menendang tubuh Ki Jarawa. 
Bukkk! 
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu terjengkang ke belakang. Juragan Surya Denta sendiri 
mengebut-ngebutkan celananya. Seolah-olah tubuh Ki Jarawa telah mengotori pakaiannya. Hati lelaki gemuk 
pendek itu sama sekali tidak tergerak melihat istri Ki Jarawa menangis sambil memeluk tubuh suaminya yang 
telah pingsan itu. Hal itu membuktikan kalau Juragan Surya Denta bukan orang lemah. Kalau tidak, mana 
mungkin ia dapat membuat orang pingsan hanya dengan sekali tendang saja. 
"Kakang...!" pengantin wanita berwajah manis itu menjerit-jerit, ketika lelaki kekar berkumis tebal 
bernama Sungka itu mengulurkan tangan memondong tubuhnya. 
Mendengar teriakan istrinya, petani muda bertubuh kokoh itu segera bangkit, meskipun sekujur 
tubuhnya dirasakan remuk akibat tendangan dan pukulan Sungka tadi.

"Keparat busuk! Hendak kau bawa ke mana istriku...?!" bentak petani muda itu sambil menerjang 
seperti singa lapar. 
Sungka hanya bergumam jengkel. Kaki kanannya langsung mencelat saat tubuh petani muda itu datang 
menyerbunya. 
Plak...! 
"Aaah...?!" 
Tepat pada saat telapak kaki Sungka akan mendarat di tubuh petani muda itu, tiba-tiba melesat sesosok 
bayangan langsing menepiskan tendangan lelaki kekar berkumis tebal itu. Akibatnya, tubuh Sungka berputar 
seraya menjerit kesakitan. 
Belum lagi Sungka menyadari apa yang terjadi dengan dirinya, tiba-tiba terlihat sosok tubuh ramping, 
yang menyelamatkan pengantin pria itu, mengulurkan kedua tangannya. Dan sekejap saja, tubuh pengantin 
wanita dalam pondongan lelaki kekar itu berpindah tangan. 
"Hm..., kau bawa istrimu ke tepi. Biar aku yang akan memberikan pelajaran kepada manusia-manusia 
jahat berhati busuk itu..,," terdengar suara merdu dari sosok tubuh ramping berpakaian biru muda itu. Kemudian 
ia menyerahkan tubuh pengantin wanita di pondongannya kepada petani muda, dan langsung dibawa menjauh. 
*** 
Juragan Surya Denta menoleh ketika ia mendengar teriakan tukang pukulnya. Dan, sepasang matanya 
yang berminyak itu langsung terbelalak. Lelaki gemuk pendek itu menelan air liurnya begitu melihat sosok yang 
hampir membuat Sungka terjatuh. 
"Hm..., siapakah kau, Nisanak? Apa hubunganmu dengan Ki Jarawa...?" tanya Juragan Surya Denta 
seraya menjelajahi lekuk tubuh sosok ramping yang baru datang itu. 
"Bangsat...!" desis bibir mungil dari sosok ramping berpakaian biru muda itu geram. Wajahnya yang 
cantik manis dengan tahi lalat di sebelah kiri dagu itu tampak merah ketika tubuhnya dijilati oleh mata Juragan 
Surya Denta. Yang jelas-jelas mempunyai niat kotor terhadapnya. Namun, kejengkelan dan kemarahan itu 
ditahannya. 
"Aku sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Ki Jarawa atau siapa pun yang ada di tempat ini. 
Tapi, aku tidak suka melihat tindakanmu yang sewenang-wenang itu, Botak Jelek! Untuk itu, aku akan 
memberikan pelajaran terhadapmu agar dapat bersikap baik lain kali...," lanjut gadis cantik itu mengandung 
ancaman. 
"Ha ha ha...! Hebat..., kau benar-benar hebat, Nisanak. Biarlah aku akan membebaskan mereka, asalkan 
kau bersedia ikut denganku. Bagaimana...?" ujar Juragan Surya Denta yang terpikat dengan dara cantik manis 
itu. "Aku pun akan menceraikan semua istriku yang berjumlah tujuh orang, apabila kau bersedia menggantikan 
tempatnya. Selama ini aku hanya mendapatkan wanita-wanita yang lemah dan tolol. Alangkah baiknya 
seandainya kau bersedia menerima ajakanku ini...." 
"Keparat! Manusia berotak kotor sepertimu memang sepantasnya diberi pelajaran...!" geram dara 
cantik manis itu yang tidak mampu lagi menahan kemarahannya. 
Usai berkata demikian, tubuh ramping itu langsung berkelebat menerjang Juragan Surya Denta. 
Namun, tidak percuma lelaki gemuk pendek itu memelihara tukang pukul untuk menjaga keselamatannya. 
Sebab, sebelum serangan dara cantik manis itu datang mengenai tubuhnya, empat orang tukang pukulnya 
langsung bergerak melindungi majikan mereka. 
Tentu saja hal itu membuat kemarahan dara berpakaian biru muda itu semakin memuncak. Cepat ia 
melontarkan tamparan-tamparannya ke arah empat orang tukang pukul Juragan Surya Denta. 
Whuttt..., plakkk! Plakkk! 
Dua orang tukang pukul Juragan Surya Denta yang memapaki tamparan telapak tangan halus itu, 
langsung terjengkang ke belakang. Jelas tenaga dalam gadis cantik itu berada jauh di atas mereka. 
"Heaaat...!" 
Sungka dan seorang kawannya yang bercambang bauk, langsung melesat menerjang. Kepalan dan 
tendangan mereka bertubi-tubi datang mengepung tubuh gadis berpakaian biru muda itu. Namun, semua 
serangan itu sama sekali tidak membuat lawannya kerepotan. Bahkan, serangan-serangan balasan dari gadis 
cantik manis itu mulai mengincar tubuh lawan-lawannya. 
Desss...! 
"Huaaakh...!" 
Tanpa ampun lagi, lelaki bercambang bauk yang ikut mengeroyoknya, langsung terjungkal muntah 
darah! Bahkan, tubuhnya tidak mampu lagi bergerak. Ia langsung pingsan akibat tendangan keras dari gadis 
cantik manis itu. 
Sungka benar-benar terkejut melihat kehebatan gadis cantik itu. Cepat-cepat pedangnya dihunus, dan 
langsung membabat secara mendatar, begitu melihat dara cantik itu mengincarnya. 
Bettt...!

"Hm...," dara cantik manis yang berusia sekitar delapan belas tahun itu mendengus perlahan. Kemudian 
dadanya membungkuk saat pedang lawan hendak membeset dadanya. Lalu, kaki kanannya bergerak menyapu 
kaki kanan lawan yang berada di depan. 
Duggg! 
"Akh...?!" 
Sungka menjerit kaget. Tubuhnya yang kekar langsung terpelanting ke tanah. Belum lagi ia sempat 
bangkit, telapak kaki mungil dara cantik manis itu kembali bergerak menimpa dadanya. 
Desss...! 
"Hugkh...!" 
Sungka terbatuk hebat, memuntahkan darah segar. Lelaki kasar berkumis lebat itu berkelojotan sesaat, 
sebelum melepaskan nyawanya ke alam baka. Karena injakan telapak kaki mungil itu telah meremukkan tulang-
tulang dadanya, bahkan membuat isi dadanya pecah! 
"Kurang ajar...!" maki Juragan Surya Denta tatkala melihat empat orang tukang pukulnya tidak berdaya 
menghadapi gadis cantik manis itu. Cepat ia melompat dan menerjang ke depan. Sayang, meskipun gerakannya 
cukup cepat dan mantap, tapi semua itu belum menjamin bahwa ia dapat menandingi kehebatan dara berpakaian 
biru muda itu. 
Plak! Plak! 
Dua buah pukulan yang dilancarkan Juragan Surya Denta, langsung dipapaki telapak tangan berkulit 
halus itu. Akibatnya, tubuh pendek gemuk itu hampir terpelanting ke tanah. Untunglah dua orang tukang 
pukulnya sudah bangkit, dan langsung menyambut tubuh majikannya. Sehingga, tubuh pendek gemuk itu jatuh 
menindih tubuh kedua tukang pukulnya. 
Juragan Surya Denta sama sekali tidak mempedulikan nasib kedua tukang pukulnya, yang merasa sesak 
karena tertimpa tubuh majikannya. Lelaki gemuk itu langsung bangkit dengan wajah merah. Sayang, dara cantik 
manis berpakaian biru muda itu tidak mau memberikan kesempatan lagi kepada Juragan Surya Denta. Saat itu 
juga tubuh ramping itu berkelebat. 
Plak! 
"Aaakh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki setengah baya yang pendek gemuk itu langsung terjungkal disertai jerit 
kesakitan. Para tamu yang menyaksikan kejadian itu langsung bersorak tanpa sadar. Jelas mereka sangat 
gembira melihat lelaki gemuk yang selama ini berbuat sewenang-wenang di desa itu, mendapatkan ganjaran 
setimpal. 
Desss...! 
Juragan Surya Denta kembali terlempar dan terjerembab ke tanah. Darah segar mengucur dari hidung 
dan sudut bibirnya. Lelaki pendek gemuk itu berusaha bergerak bangkit dengan merangkak-rangkak. Orang-
orang desa menyorakinya. Sehingga, wajah Juragan Surya Denta menjadi pucat ketakutan. Seolah-olah ia 
melihat orang-orang desa itu bagaikan sekumpulan iblis yang siap merencah tubuhnya. 
"Ampuuun..., ampunkan aku, Nisanak..," ratap Juragan Surya Denta. 
Dan tanpa malu-malu lagi, lelaki gemuk itu langsung menjatuhkan tubuhnya bersimpuh dengan wajah 
bersimbah air mata. Tentu saja hal itu membuat dara cantik itu menjadi muak. 
"Hm..., orang sepertimu tidak pantas untuk diberikan ampunan. Sikapmu jelas tidak akan pernah 
berubah. Kalau kau dibiarkan hidup, gadis-gadis desa ini akan merasa terancam olehmu...!" ujar dara cantik 
manis itu yang siap menurunkan tangan mautnya untuk mencabut nyawa Juragan Surya Denta. 
"Nisanak, tahan...!" tiba-tiba saja, Ki Jarawa, yang sudah tersadar dari pingsannya, langsung bersimpuh 
di depan dara cantik manis itu. Dia memohon agar Juragan Surya Denta diberi ampunan. 
"Hei, apa-apaan kalian...? Mengapa kalian meminta ampunan untuk lelaki jahat ini...?" tanya dara 
cantik berpakaian biru muda itu terheran-heran. 
"Sebenarnya Juragan Surya Denta tidak terlalu jahat, Nisanak. Ia sering membantu para penduduk yang 
tidak mempunyai benih untuk bertani. Kalaupun ia jahat, itu hanya karena sifat mata keranjangnya yang tidak 
pernah sembuh. Tapi, kami yakin setelah kejadian ini ia akan menyadari segala kejahatannya...," ujar Ki Jarawa 
menjelaskan kepada dara cantik manis itu. 
Melihat banyaknya orang-orang desa yang kemudian ikut-ikutan memintakan ampun untuk Juragan 
Surya Denta, dara cantik itu membatalkan niatnya untuk menghabisi nyawa Juragan Surya Denta. 
Juragan Surya Denta sendiri tidak menyangka kalau orang yang semula dianiayanya, justru 
menyelamatkan dirinya dari kemarian. Diam-diam lelaki gemuk pendek itu merasa terharu ketika ia melihat 
orang-orang lain pun ikut memintakan pengampunan bagi dirinya. Bahkan, pasangan pengantin itu pun juga ikut 
memintakan ampun kepada dara cantik manis itu. 
"Hm..., baiklah. Kali ini aku mengampunimu, Orang Tua! Tapi, apabila lain kali kau berbuat kesalahan 
yang sama, aku akan datang untuk mengambil kepalamu yang botak itu...!" ancam dara cantik manis itu dengan 
tatapan tajam. Jelas ia tidak main-main dengan ancamannya itu.

Mendengar ucapan dara cantik manis itu, Juragan Surya Denta menjadi lega hatinya. Kemudian, ia 
menyuruh Ki Jarawa untuk melanjutkan pesta perkawinan putrinya lebih meriah atas biaya lelaki kaya itu. 
Sementara, dara cantik berpakaian biru muda itu sudah melesat pergi, tanpa mengharapkan imbalan 
atas pertolongannya. Bahkan ucapan terima kasih pun sepertinya tidak diinginkan. Maka, para penduduk desa 
mengiringi kepergian dara penolong itu dengan memintakan keselamatan kepada Sang Maha Pencipta.


DUA


Gadis cantik manis berpakaian biru muda itu terus bergerak menggunakan ilmu meringankan tubuh. 
Sebentar saja, bayangannya telah cukup jauh meninggalkan Desa Angkeran. Tiba-tiba gadis itu menoleh ke 
belakang, ketika hendak menyeberangi sebuah aliran sungai kecil. Sekilas terlihat senyuman sinis membayang 
di bibirnya yang merah itu. 
"Hm...," dara cantik itu bergumam seorang diri. Senyum nakalnya membayang. Seolah-olah ia 
menemukan suatu pikiran yang baik. Sebentar kemudian, tubuhnya sudah meloncat menyeberangi sungai. Dan 
lenyap ditelan timbunan pohon. 
Tidak berapa lama kemudian, tampak sesosok tubuh tegap berlari mendekati sungai, ia berdiri beberapa 
saat sebelum menyeberangi sungai kecil itu. Dengan pandang matanya yang tajam, sosok tubuh yang ternyata 
adalah seorang pemuda berusia sekitar dua puluh satu tahun itu merayapi seberang sungai. Setelah memastikan 
bahwa di depannya tidak terdapat sesuatu yang mencurigakan, pemuda itu segera melesat menyeberangi sungai. 
Melihat dari gerakan dan caranya menyeberangi sungai, jelas pemuda itu bukanlah orang sembarangan. 
Ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya cukup sempurna. Sehingga, sebentar saja ia telah berada di 
seberang sungai, dan melanjutkan langkahnya dengan berlari-lari kecil. 
Namun, tidak berapa lama kemudian, pemuda itu tampak menghentikan larinya, dan memandang 
berkeliling dengan kening berkerut. Sesaat kemudian, ia kembali melesat ke depan bagaikan sebatang anak 
panah yang dilepaskan dari busurnya. 
Setelah agak jauh berlari dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya, pemuda itu kembali menahan 
langkahnya. Jelas sekali terlihat rasa heran pada wajahnya. 
"Aneh...? Ke mana perginya gadis itu...? Mustahil ia bisa bergerak demikian cepatnya...?" gumam 
pemuda itu seorang diri seraya tangannya mengelus-elus ujung dagu. Keningnya tampak berkerut semakin 
dalam. Jelas ia tengah berpikir keras untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya itu. 
"Haiiit…!" 
Mendadak terdengar suara teriakan melengking mengandung tenaga dalam yang kuat. Belum lagi gema 
lengkingan itu lenyap, sesosok tubuh ramping melayang dari atas pohon, dan langsung melancarkan serangan 
maut kepada pemuda gagah yang tengah berdiri kebingungan itu. 
Bettt! Bettt! 
"Aihhh...?!" 
Pemuda itu memekik kaget. Cepat tubuhnya dilempar dan berputar ke belakang, guna menghindari 
serangan yang cepat dan kuat itu. Kemudian, meluncur turun sejauh dua tombak dari tempatnya berdiri semula. 
"Nisanak, sabar dulu....!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang 
gadis cantik manis berpakaian serba biru muda. 
"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan! Kau pikir aku tidak 
tahu kalau kau telah membuntutiku sejak dari Desa Angkeran! Sekarang terimalah hukumanmu...!" bentak gadis 
cantik itu sambil menerjang, tanpa memberikan kesempatan kepada pemuda itu untuk berbicara lebih banyak. 
Untuk kesekian kalinya, pemuda itu kembali berloncatan guna menghindari serangan maut lawan. 
Namun, ketika dara cantik yang galak itu semakin mempergencar serangannya, pemuda itu tampak mulai 
kerepotan. Sehingga, ia terpaksa menangkis ketika sebuah bacokan sisi telapak tangan gadis galak itu datang 
mengancam pelipisnya. 
Dukkk! 
Pertemuan kedua lengan yang sama-sama terisi tenaga sakti itu membuat keduanya sama-sama 
terdorong mundur beberapa langkah. Hal itu justru makin menambah kemarahan dara cantik berpakaian biru 
muda itu. 
"Hm..., rupanya kau memiliki kepandaian. Pantas kau berani membuntutiku. Baiklah! Sekarang coba 
kau tahan seranganku selanjutnya. Bersungguh-sungguhlah! Kalau tidak, nyawamu akan melayang...!" ancam 
dara cantik itu. 
Tampak gadis itu sudah menyilangkan kedua tangannya ke atas kepala. Jari-jari dara itu terlihat agak 
bergetar. Jelas kalau ia tengah mengerahkan kekuatan tenaga saktinya secara utuh untuk penyerangan kali ini. 
"Nisanak, sabar dulu! Aku memang telah membuntutmu sejak dari Desa Angkeran, Tapi, kalaupun itu 
merupakan suatu kesalahan, apakah pantas dibalas dengan nyawaku? Percayalah. Aku sama sekali tidak 
bermaksud jahat. Bahkan aku sangat kagum alas tindakanmu yang menyelamatkan keluarga pengantin tadi. 
Karena itu aku ingin mengenalmu, dan terpaksa mengikutimu hingga sampai ke tempat ini...," ujar pemuda 
tegap berwajah tampan dengan sebaris kumis tipis yang menambah kejantanannya itu. 
Suara pemuda ini terdengar mengandung kecemasan. Karena ia sadar bahwa serangan gadis itu pastilah 
akan sangat berbahaya. Sedangkan ia sama sekali tidak ingin bertarung dengan gadis cantik yang telah 
menimbulkan kekaguman di hatinya itu.

"Nisanak, sabar dulu...!" pemuda itu berusaha mencegah ketika mengenali penyerangnya, seorang 
gadis cantik manis berpakaian biru muda. 
"Hm..., membuntuti orang secara diam-diam adalah perbuatan yang tidak sopan!" bentak gadis cantik 
itu sambil bersiap-siap ingin menyerang kembali.

"Hm..., kalaupun ucapanmu benar, kau harus melayani seranganku kali ini. Dan, kalau kau sanggup 
bertahan selama lima jurus, biarlah kesalahanmu kuampuni, dan kau boleh pergi dari tempat ini!" kembali 
terdengar jawaban gadis cantik manis itu, yang rupanya masih ingin melanjutkan serangannya. Meskipun 
nadanya tidak segalak semula. Tapi, ia tetap saja belum mempercayai sepenuhnya ucapan pemuda itu. 
"Tapi...," pemuda tegap berwajah tampan itu berusaha mencegah perkelahian yang sama sekali tidak 
diinginkannya itu. Tapi, ia tidak bisa berbuat lain ketika tubuh gadis itu sudah meluncur dengan serangan yang 
lebih hebat lagi. 
"Cerewet, sambut setanganku...!" bentak gadis cantik yang galak itu seraya melancarkan serangan-
serangannya yang menimbulkan deruan angin tajam. 
Whuuut! Whuuut! 
Mau tak mau pemuda tegap itu terpaksa menghindari serangan gadis cantik itu. Sesekali ia mencoba 
memapaki sambaran tangan lawannya, yang dianggap sangat berbahaya itu. Meskipun demikian, pemuda itu 
belum terlihat melontarkan serangan balasan. Sepertinya ia memusatkan perhatian pada pertahanan, agar bisa 
melayani serangan gadis galak itu selama lima jurus tanpa terluka. 
"Hait...!" 
Plak! Plak! 
Terdengar dua kali benturan keras berturut-turut, ketika pemuda tampan bertubuh tegap itu memapaki 
tamparan dan tendangan lawan. Keduanya kembali terjajar mundur untuk kesekian kalinya. Tapi, gadis cantik 
itu kembali melesat menerjang dengan kecepatan gerak yang mengagumkan. Sehingga, pemuda itu 
mengeluarkan kata-kata pujian di luar kesadarannya. 
"Jurus kelima...!" dara cantik berpakaian biru muda itu berseru mengingatkan jurus serangan yang 
dilontarkannya. 
"Akh...!" 
Jurus terakhir yang dijanjikan dara cantik itu benar-benar hebat dan berbahaya sekali. Pemuda itu 
sampai terpekik kaget ketika cengkeraman jari-jari tangan lawan hampir saja merobek bagian iga kanannya. 
Untunglah ia masih sempat memiringkan tubuh sambil menggeser kaki kanannya ke belakang. Kalau tidak, 
sudah bisa dipastikan iganya akan terluka. Setidaknya, kulit dan dagingnya akan terkelupas oleh cengkeraman 
yang mendatangkan deruan angin tajam itu. 
"Cukup...!" ketika serangan jurus kelima itu berakhir, pemuda tampan itu berseru mengingatkan seraya 
melompat ke belakang dan meluncur turun, setelah berputar beberapa kali di udara. 
"Hm..., kau ternyata sangat tangguh, Kisanak. Baiklah. Sesuai dengan janjiku, sekarang kau boleh pergi 
meninggalkan tempat ini. Jangan ikuti aku lagi...," ujar dara cantik itu. 
Diam-diam dalam hati dara cantik ini timbul rasa kagum kepada pemuda tampan bertubuh tegap itu. 
Sebab, jarang ia menemukan seorang pemuda yang mampu menahan serangannya sampai sepuluh jurus lebih. 
Bahkan serangan lima jurus terakhir dengan mempergunakan ilmu andalannya pun dapat pula dihadapi oleh 
pemuda itu. Tapi, kekaguman itu hanya disimpannya dalam hati, tanpa mengucapkannya kepada pemuda itu. 
"Tapi, adakah undang-undang yang melarang kita untuk mengikuti seseorang? Sedangkan orang itu 
sama sekali tidak berniat jahat terhadap orang yang diikutinya? Nah, apa jawabanmu, Nisanak...?" bantah 
pemuda itu yang kelihatannya mulai berani menjawab ucapan-ucapan gadis cantik yang galak itu. 
"Memang tidak ada undang-undang yang melarangmu untuk membuntuti orang lain. Tapi, tidak 
adakah pekerjaan lain yang lebih baik ketimbang membuntuti orang? Atau kau memang mempunyai kebiasaan 
aneh mengikuti setiap gadis yang kau kagumi, begitu? Hm..., kalau memang itu merupakan pekerjaanmu, jelas 
kau seorang pemuda yang tidak mempunyai tata kesopanan...," balas dara cantik itu tidak mau kalah. Jelas selain 
galak dan berkepandaian tinggi, dara itu pun pandai berdebat. Sehingga, untuk sesaat lamanya, pemuda tampan 
berkumis tipis itu tidak bisa menjawab. 
"Mmm..., tuduhanmu jelas keliru, Nisanak. Percayalah, baru kali ini aku membuntuti seorang gadis. 
Dan, karena pekerjaan ini terasa sangat menyenangkan hatiku, maka aku berniat untuk melanjutkannya. Apakah 
kau keberatan...?" balas pemuda itu setelah terdiam beberapa saat lamanya. Kali ini ditatapnya wajah cantik 
manis itu dengan senyum lebar. 
"Hm..., apakah kau tidak mempertimbangkan perasaan orang lain dalam melakukan pekerjaanmu yang 
aneh itu...?" tanya dara cantik manis itu seraya bertolak pinggang. 
"Maksudmu...?" tanya pemuda itu seolah-olah belum mengerti arah pertanyaan dara cantik yang 
dikaguminya itu. 
"Hm..., aku jelas tidak suka kau buntuti, Kisanak. Oleh karena itu, aku akan menerjangmu mati-matian 
kalau kau masih hendak melanjutkan pekerjaanmu itu. Nah, silakan kau pilih. Pergi dengan selamat, atau 
bertarung sampai salah seorang di antara kita ada yang tewas...!" dingin dan tegas sekali suara dara cantik itu. 
Mendengar ucapan si dara cantik, pemuda tampan berkumis tipis itu menjadi bengong, seolah-olah tak 
percaya dengan pendengarannya.

"Nah, ternyata kau masih bisa berpikir waras…," ucap dara cantik yang galak itu ketika melihat 
pemuda di depannya berdiri bengong memandangi kepergiannya. Setelah melemparkan senyum penuh 
kemenangan, dara cantik itu pun berkelebat lenyap dari tempat itu. 
"Gila...! Gadis itu benar-benar keras kepala, dan sulit sekali untuk diajak berteman. Tapi…, biar 
bagaimanapun aku akan tetap membuntutinya dari kejauhan. Aku tidak akan pernah berhenti sebelum dapat 
mengenalnya...," gumam pemuda tampan itu berkata kepada dirinya sendiri. Jelas ia sangat tertarik dengan dara 
cantik berpakaian biru muda yang galak itu. Ia pun memutuskan untuk tetap mengikutinya tanpa sepengetahuan 
gadis cantik yang telah membuat kagum hatinya. 
*** 
"Hm..., perlahan langkahmu, Nisanak...!" tiba-tiba terdengar sebuah teguran yang membuat dara cantik 
manis berpakaian biru muda itu menunda langkahnya. 
Sepasang mata dara itu berkilat curiga ketika melihat ada lima orang lelaki berwajah bengis, berdiri 
menghadang jalannya. Dengan sikap tenang, dara cantik manis itu melangkah maju beberapa tindak. Keningnya 
tampak berkerut ketika mengenali lelaki bercambang bauk yang menjadi tukang pukul Juragan Surya Denta. 
"Hm..., rupanya kau belum puas dengan kejadian kemarin, Kerbau Dungu! Dan, sekarang mengajak 
teman-temanmu untuk mengeroyokku," tegur dara cantik itu tersenyum mengejek ke arah lelaki bercambang 
bauk, yang bentuk tubuhnya memang gemuk seperti kerbau. 
"Hm..., perempuan liar inikah yang telah membunuh kakangmu, Bunggali...?!" tanya seorang lelaki 
tinggi kurus berusia sekitar lima puluh tahun lebih. Sikap lelaki itu terlihat keren dan memancarkan perbawa. 
Jelas ia bukan orang sembarangan. 
"Benar, Guru. Iblis betina inilah yang telah menewaskan Kakang Sungka kemarin," jawab lelaki 
bercambang bauk yang bernama Bunggali itu. Jelas ia masih mendendam atas peristiwa kemarin di Desa 
Angkeran, dan mengundang guru serta kawan-kawan seperguruannya untuk membalas perbuatan gadis cantik 
itu. 
"Nisanak. Dengan membunuh salah seorang murid kami, berarti kau telah menanamkan bibit 
permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa. Sebaiknya kau menyerahlah untuk diadili oleh para tetua 
perguruan kami...," ujar lelaki tinggi kurus itu yang rupanya merasa enggan untuk melakukan kekerasan, ketika 
melihat usia gadis itu yang pantas menjadi putrinya. Sayang, dara cantik berpakaian biru muda itu menganggap 
ucapan calon lawannya sebagai suatu penghinaan. Hal itu terlihat jelas dari sepasang matanya yang 
memancarkan sinar berkilat. 
"Orang tua! Seharusnya kau berpikir lebih jauh, sebelum mengambil keputusan untuk membela murid-
muridmu. Bagaimana kalau ternyata yang berbuat salah adalah muridmu? Apakah kau akan tetap berkeras untuk 
membelanya...?" tegur dara cantik manis itu tanpa rasa gentar sedikit pun. Bahkan ia kembali melangkah maju 
dua tindak. Sikap itu jelas-jelas merupakan tantangan. 
"Perlu apa berbaik hati kepada iblis betina itu, Guru. Lihat saja sikapnya yang sombong, dan 
menganggap dirinya manusia tersakti di atas permukaan bumi ini. Gadis liar seperti dia, harus segera diberi 
pelajaran biar jera...," Bunggali yang sudah tidak sabar kembali menggosok hati gurunya. Sepasang mata lelaki 
bercambang bauk itu melotot, seperti hendak menelan tubuh dara cantik itu bulat-bulat. 
"Sabarlah, Bunggali...," ujar lelaki tinggi kurus itu mengibaskan lengannya perlahan, mencegah 
Bunggali yang sudah siap maju. Kemudian, berpaling kepada dara cantik itu. "Nisanak. Sekali lagi kutegaskan. 
Biar bagaimanapun, aku harus membawamu ke perguruan untuk diadili. Menyerahlah, atau aku terpaksa 
menggunakan kekerasan!" 
"Hm..., jelas kalian ini adalah orang-orang jahat. Orang-orang seperti kalian memang harus diberi 
pelajaran, agar lain kali lebih berhati-hati, dan tidak meremehkan orang lain!" sahut dara cantik manis itu 
dengan nada menantang, sehingga wajah lelaki kurus itu menjadi gelap. 
"Hm...," gumam lelaki kurus itu sambil mengibaskan kedua lengannya ke kiri kanan. 
Seketika empat orang lainnya, termasuk Bunggali, langsung menyebar mengepung dara cantik 
berpakaian biru muda itu. Keempatnya telah mencabut senjata masing-masing, siap mengeroyok bila gadis itu 
hendak melarikan diri. 
"Hi hi hi...! Kalian ini betul-betul kerbau tolol! Kalian pikir aku mau melarikan diri dari pertempuran? 
Huh! Jangan sombong dulu, Orang-orang Tolol! Kalian lihatlah, aku akan membuat guru kalian lari terbirit-
birit...!" ejek dara cantik manis itu terkekeh seperti merasa geli melihat tingkah-polah musuh-musuhnya. 
"Kurang ajar...!" maki lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat orang muridnya itu. Ia 
marah karena mendengar ejekan calon lawannya. Cepat ia melompat ke depan, dan langsung melancarkan 
sebuah pukulan yang menimbulkan desiran angin tajam. 
"Sambut seranganku...!" seru lelaki tinggi kurus itu membentak.

"Hm...," dara cantik itu bergumam pelan, seraya menggeser kaki kanannya ke samping. Kemudian 
disusul dengan gerakan tubuh meliuk indah. Ketika pukulan telah lewat di sampingnya, tubuh dara cantik itu 
langsung berputar dengan sebuah tendangan belakang yang mengincar pelipis lawan. 
Plak! 
Terdengar suara benturan keras ketika lelaki tinggi kurus itu mengangkat lengan kirinya memapaki 
tendangan lawan. Tubuh keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Terlihat lelaki tinggi kurus 
itu agak terkejut, ketika merasakan kekuatan tenaga dalam yang tersembunyi dalam tendangan gadis itu. 
"Hm..., pantas kau demikian sombong. Rupanya kepandaianmu memang cukup hebat...," ujar lelaki 
tinggi kurus itu yang mau tak mau terpaksa memuji kekuatan tenaga sakti lawannya, "Tapi, jangan besar kepala 
dulu. Sambutlah seranganku selanjutnya...." 
Dan sesaat setelah ucapannya selesai, tubuh lelaki tinggi kurus itu sudah melayang dengan sebuah 
serangan yang jauh lebih berbahaya dari sebelumnya. 
Bettt! Bettt! 
Melihat serangan lawannya semakin berbahaya, dara cantik berpakaian biru muda itu segera 
menyilangkan kedua tangannya dan langsung dijulurkan ke depan. Terdengar sambaran angin berkesiutan ketika 
sepasang lengan yang mengepal itu berputaran membentuk gerakan-gerakan yang indah dan kuat. 
"Haittt..!" 
Dibarengi sebuah seruan melengking, tubuh ramping yang terbungkus pakaian biru muda itu langsung 
menyambut datangnya serangan lawan. Sebentar saja, keduanya telah saling serang dengan jurus-jurus ampuh. 
Pukulan keduanya menimbulkan deru angin yang tajam. 
Namun, setelah lewat dua puluh jurus lebih, terlihat sosok bayangan biru muda mulai melakukan 
tekanan-tekanan berat kepada lawannya. Tampak sosok tinggi kurus yang menjadi lawannya itu mulai terdesak, 
dan hanya bisa bergerak mundur. 
Plak! Plak...! 
"Aaah...!?" 
Meskipun dua buah pukulan lawan masih dapat ditangkis, namun lelaki tinggi kurus itu terdengar 
memekik kesakitan. Dan, tubuhnya terpental keluar dari dalam arena pertempuran. 
"Terimalah pukulanku...!" seru dara cantik berpakaian biru muda itu sambil melesat mengejar tubuh 
lawannya. Dan.... 
Desss...! 
Tanpa ampun lagi, lawannya yang tidak mampu mengelak itu langsung kembali terpental. Kali ini 
darah segar muntah dari mulutnya. Jelas kepalan mungil yang menghantam bagian dadanya itu sangat kuat, 
sehingga menimbulkan luka yang tidak bisa dipandang enteng. 
"Haittt...!" 
Dara cantik itu sepertinya tidak mau tanggung-tanggung dalam menuntaskan pertempuran. Terlihat ia 
kembali melesat dengan telapak kaki yang siap menjejak tubuh lawan yang tengah tergeletak hendak bangkit 
berdiri. 
Derrr...! 
"Aaah...!" 
Untunglah dalam saat yang gawat itu lawannya masih sempat menyadari datangnya bahaya maut. 
Sebisa-bisanya ia langsung bergulingan menghindari telapak kaki mungil yang jelas bisa mendatangkan 
kematian bagi dirinya. 
"Hm..., rupanya kau masih sempat juga menyelamatkan dirimu, Orang Tua. Tapi, kali ini kau coba saja 
menghindarinya...," ancam dara cantik itu yang kali ini memberikan kesempatan kepada lawannya untuk berdiri 
tegak. Kemudian, tubuhnya langsung meluncur ketika lelaki kurus itu sudah memasang kuda-kudanya, 
meskipun dengan tubuh agak goyah. 
"Haittt... !" 
Diiringi teriakan melengking panjang, tubuh dara cantik itu melayang ke arah lawannya. Bunggali dan 
ketiga orang lainnya tidak bisa berbuat apa-apa. Sebab, kepandaian mereka memang masih jauh untuk dapat 
menyelamatkan guru mereka. 
"Heaaah...!" 
Ketika serangan dara cantik itu sudah dekat, tiba-tiba lelaki tinggi kurus yang merupakan seorang 
tokoh dari Perguruan Gunung Lawa itu mengibaskan tangan kanannya ke depan. Kemudian, ia langsung 
bergulingan ke samping guna menghindari serangan lawan. 
"Aaah...?!" 
Dara cantik manis itu memekik kaget ketika ia melihat kibasan tangan lawan menyemburkan gumpalan 
asap tipis berbau harum. Sadarlah dara cantik itu kalau lawannya berbuat curang dengan menebarkan bubuk 
beracun. Cepat ia melompat mundur dan berputaran ke udara sambil mendorongkan sepasang telapak tangannya 
dengan pukulan jarak jauh, guna mengusir asap putih yang berasal dari bubuk racun itu. Namun, bubuk yang

sudah telanjur tercium tadi, membuat tubuh dara cantik itu tampak goyah ketika sepasang kakinya mendarat di 
atas tanah. 
"Ohhh...! Dasar pengecut licik...!" umpat gadis itu sambil memejamkan matanya untuk menghilangkan 
rasa pening yang membuat pandangannya kabur.


TIGA

Ha ha ha...! Sekarang kau baru tahu kelihaian orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa, Perempuan 
Liar...!" lelaki tinggi kurus itu tertawa bergerak ketika melihat lawannya mulai goyah. Cepat ia memerintahkan 
murid-muridnya untuk membekuk dara cantik itu. Sedangkan ia sendiri sudah melompat maju seraya 
mengirimkan tamparan kilat ke bahu gadis itu. 
Plak. 
Meskipun kepalanya terasa pening dan pandangan kabur, namun dara cantik itu masih sempat 
mengangkat tangannya untuk memapak tamparan lawan. Sayang, gerakannya tidak lagi segesit semula. 
Akibatnya, sebuah tendangan salah seorang pengeroyok, menghajar telak punggungnya. 
Desss...! 
"Hugkh...!" 
Kontan tubuh dara cantik itu terjerunuk ke depan. Kembali tubuh ramping itu terjengkang ketika 
sebuah pukulan keras mendarat di perutnya. 
"Roboh...!" lelaki tinggi kurus itu membentak nyaring seraya melontarkan tamparan keras ke arah 
pelipis gadis cantik itu. Agaknya ia ingin membuat lawannya pingsan. 
Whuttt..! Plakkk! 
"Aih...!?" 
Mendadak sesosok bayangan berkelebat memapak serangannya, saat tamparan lelaki kurus itu hampir 
mengenai sasarannya. Akibatnya, terdengarlah benturan keras disusul jeritan kaget dari lelaki kurus itu. 
Tubuhnya terpental balik dan hampir terpelanting. 
"Bedebah...!" umpat lelaki tinggi kurus itu dengan wajah merah padam, ia kemudian bergerak bangkit 
seraya menatap tajam ke arah sosok tegap yang tengah dikeroyok empat orang muridnya. Hatinya kembali 
tercekat ketika dua orang muridnya terpelanting dan langsung pingsan, hanya dalam satu gebrakan saja. Karuan 
saja kemarahan lelaki tinggi kurus itu makin menggelegak. 
"Haaat...!" 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, lelaki tinggi kurus itu langsung melayang ke arah pertarungan. 
Begitu tiba, ia langsung melancarkan serangan-serangan yang menimbulkan angin berkesiutan. 
Namun, sosok tegap yang baru muncul itu benar-benar hebat sekali. Gerakannya demikian gesit dan 
sangat kuat. Sehingga, meskipun dikeroyok tiga orang, ia dengan mudah mengelakkan setiap sambaran senjata 
dan pukulan lawan-lawannya. Bahkan serangan balasannya justru jauh lebih hebat dari lawan-lawannya. 
Plakkk! 
Sosok tegap itu merunduk sambil memiringkan tangan kirinya, dan memapaki sebuah tendangan yang 
dilancarkan lelaki tinggi kurus itu. Kemudian, langsung meliuk dengan mengirimkan sebuah hantaman telapak 
tangannya yang tepat mendarat di dada kiri lawan. 
Bukkk! 
"Hugkh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh tinggi kurus itu langsung terpental menyemburkan darah segar. Gerakan 
sosok tegap itu terus berlanjut mematahkan serangan dua batang senjata pengeroyoknya. Dan, mengirimkan 
tendangan serta pukulan yang membuat kedua orang pengeroyok terakhir berpelantingan tersambar pukulan dan 
tendangannya. 
"Bangsat! Siapa kau, Kisanak...?" desis lelaki tinggi kurus yang menjadi pimpinan keempat kawannya. 
"Kau telah membuat permusuhan dengan Perguruan Gunung Lawa! Hal itu akan membuatmu menyesal seumur 
hidup...!" 
"Hm..., terserah kau, Orang Tua. Kalau kau menganggapnya demikian, aku pun tidak bisa menolak. 
Sekarang, tinggalkanlah tempat ini sebelum kesabaranku habis...!" ancam sosok tegap yang ternyata adalah 
seorang pemuda berparas tampan dan gagah. Sikapnya tampak tenang, meskipun lawannya jelas-jelas 
mengancam. Malah ia balik mengancam dengan berani. Sehingga, ganti lelaki tinggi kurus itulah yang menjadi 
gelisah. 
Tanpa berkata apa-apa lagi, ia langsung mengajak kedua orang muridnya untuk membawa dua orang 
kawannya yang masih tak sadarkan diri itu. Kemudian mereka berlari meninggalkan tempat itu dengan hati 
penasaran dan penuh dendam. 
"Sebutkan namamu, kalau kau benar-benar bukan seorang pengecut, Kisanak...?" ujar lelaki tinggi 
kurus itu, sebelum meninggalkan kedua orang lawannya. Sorot matanya terlihat penuh api dendam ketika 
menatap sosok pemuda bertampang gagah itu. 
"Hm..., namaku Sasmita. Kalau kalian ingin membalas dendam, datanglah ke Bukit Harimau Putih...," 
jawab pemuda tampan itu tanpa gentar sedikit pun. 
"Bukit Harimau Putih...?! Ada hubungan apa kau dengan Pendekar Macan Sakti...?" tanya lelaki tinggi 
kurus itu agak terkejut ketika mendengar jawaban pemuda itu. Kini ia baru mengerti mengapa gerakan pemuda

itu seperti pernah dikenalnya. Diam-diam hatinya agak bergetar ketika mendengar pemuda itu berasal dari Bukit 
Harimau Putih, yang merupakan tempat tinggal seorang tokoh besar golongan putih. Dinantinya jawaban 
pemuda itu dengan hati berdebar tegang. 
"Aku adalah putra tunggalnya...," jawab pemuda gagah itu tanpa terkesan bahwa ia hendak 
mengandalkan ketenaran nama orangtuanya dalam menanggapi ancaman lawan. 
"Hm..., kalau begitu orangtuamu harus diberi peringatan agar bisa mendidik putranya dengan baik. 
Tunggulah pembalasan kami! Persoalan ini masih belum selesai...," ujar lelaki kurus itu dengan nada 
mengancam. 
Setelah berkata demikian, lelaki bertubuh tinggi kurus itu menyusul kawan-kawannya. Langkahnya 
terlihat limbung. Karena ia menderita luka dalam akibat pukulan Sasmita. Untunglah pemuda gagah itu tidak 
berniat menghabisi lawan-lawannya. Kalau tidak, rasanya kelima orang itu tidak mungkin bisa meninggalkan 
tempat itu dalam keadaan masih bernyawa. 
Sepeninggal kelima orang itu, Sasmita segera melangkah menghampiri dara cantik berpakaian biru 
muda yang tergeletak pingsan. Jelas, bubuk beracun itu telah membuatnya tidak berdaya. 
"Hm...," Sasmita bergumam perlahan. Kemudian dipondongnya tubuh ramping itu dan melesat pergi. 
*** 
Dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya. Sasmita terus bergerak menyusuri hutan. Ia berniat hendak 
mencari pondok yang biasa dibuat oleh para pemburu untuk bermalam. Meskipun racun yang melumpuhkan 
tubuh gadis dalam pondongannya itu tidak berbahaya, tapi ia hendak mencari tempat yang aman dan terlindung. 
Sebab, bukan tidak mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa akan kembali dengan membawa kawan-
kawan yang lebih banyak. Hal itulah yang dikhawatirkan pemuda itu. 
Tidak terlalu sulit bagi Sasmita untuk mencari tempat yang dimaksudkannya itu. Tidak berapa lama 
kemudian, di depannya terlihat sebuah pondok sederhana. Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda gagah 
itu langsung memasuki pondok itu setelah yakin tidak ada orang di dalamnya. Tubuh dara cantik berpakaian 
biru muda itu diletakkannya di aras balai-balai, ia sendiri kemudian melesat pergi untuk mencari air. 
Setelah air sungai yang dijerangnya masak, Sasmita duduk di undakan tangga pondok sambil menanti 
dara cantik itu siuman. Tadi ia sudah mengurut beberapa bagian jalan darah di tubuh gadis itu, yang berguna 
untuk mempercepat bangkitnya kesadaran. 
"Ouhhh...!" 
Sasmita bergerak bangkit ketika mendengar keluhan lirih gadis cantik yang ditolongnya itu. Pemuda itu 
berdiri di samping balai-balai sambil memandang gadis cantik manis yang terlihat berkeringat itu. Diam-diam 
kekagumannya semakin bertambah, membuat hatinya bergetar aneh. Meskipun demikian. Sasmita sama sekali 
tidak berani menyentuhnya. Pemuda itu hanya berdiri tersenyum menunggu pulihnya kesadaran dara cantik 
manis itu. 
Tidak berapa lama kemudian, Sasmita melihat kelopak maia dara itu mulai terbuka. Pemuda gagah itu 
menahan debaran dalam dadanya ketika melihat sepasang mata gadis itu tampak mengerjap beberapa kali, 
sebelum terbuka lebar-lebar. 
"Kau...?!" pekik dara cantik manis itu ketika melihat sosok pemuda yang dikenalnya, tengah berdiri 
menatapnya sambil tersenyum. "Apa yang kau lakukan...?" 
Sasmita, hanya tersenyum lebar ketika melihat dara cantik yang telah menarik hatinya itu bangkit 
dengan wajah bersemu merah. Pemuda itu masih tetap berdiri tenang, meskipun dara cantik itu telah berdiri 
tegak di hadapannya. 
"Ke mana manusia-manusia licik itu...?" tanya dara cantik itu seraya menoleh dan mencari-cari orang-
orang Perguruan Gunung Lawa yang telah mengeroyoknya. 
"Mereka telah pergi...," sahut Sasmita sambil mengambil air obat yang telah dimasaknya. 
Diangsurkannya gelas bambu itu kepada dara cantik di depannya. "Tubuhmu masih agak lemah. Sebaiknya kau 
minumlah obat ini guna melancarkan darahmu yang terhambat akibat racun pembius orang-orang Perguruan 
Gunung Lawa itu." 
"Racun pembius...?" desis dara cantik itu mengerutkan kening. 
Dara cantik itu mencoba mengingat kejadian yang dialaminya beberapa saat yang lalu. Perlahan-lahan, 
ia mulai dapat mengingat rangkaian peristiwa yang baru saja dialaminya. 
"Kaukah yang menolongku dari tangan mereka...?" tanya dara cantik itu seraya memperhatikan wajah 
Sasmita. Pemuda itu tersenyum lebar melihat dara itu menelusuri wajahnya, seperti hendak menilai dirinya. 
"Maaf kalau perbuatanku kau anggap lancang, Nisanak. Semua itu kulakukan karena aku tidak rela kau 
jatuh ke tangan mereka. Meskipun Perguruan Gunung Lawa bukan dari golongan sesat, tapi mereka pun tidak 
bisa dikatakan orang baik-baik," sahut Sasmita agak merendah. Tangannya masih tetap terulur mengangsurkan 
gelas bambu berisi air obat.

"Hm...," dara cantik manis itu bergumam pelan. Ada rasa kagum melihat sikap pemuda tampan itu 
yang berlaku sopan dan menghormati dirinya. Perlahan disambutnya gelas bambu di tangan pemuda itu. Sesaat 
dara cantik itu tertegun ketika ia merasakan getaran aneh saat jari-jari tangan mereka saling bersentuhan. Hal itu 
membuat hatinya berdebar-debar. Untuk mengalihkan perhatian, diteguknya air obat yang diberikan pemuda itu. 
"Mmm..., kalau kau tidak keberatan, bolehkah aku mengetahui namamu, Nisanak? Aku sendiri 
bernama Sasmita...," tanya Sasmita seraya memperkenalkan namanya kepada gadis itu. 
"Namaku Sari Asih...," sahut dara cantik manis itu setelah meneguk habis air obat di dalam gelas 
bambu, dan meletakkannya di atas balai-balai. 
"Sari Asih.... Sebuah nama yang indah...," ujar Sasmita perlahan seperti hendak mengukir nama itu 
dalam hatinya. Ditatapnya wajah cantik manis yang menimbulkan kekaguman di hatinya. 
Sari Asih merundukkan wajahnya ketika melihat pancaran kekaguman pada sepasang mata pemuda 
gagah itu. Ia merasa aneh tatkala debaran dalam dadanya semakin kuat. Padahal, bukan baru kali ini ia 
menemukan tatapan itu pada mata laki-laki. Tapi, kali ini ia benar-benar merasakan adanya kelainan dalam 
dirinya. Ada jalaran rasa nikmat dan bangga mendapat tatapan penuh kagum dari pemuda gagah yang 
menolongnya itu. 
Merasa agak jengah mendapat ratapan mata Sasmita, Sari Asih membalikkan tubuhnya dan melangkah 
ke pintu. 
"Ah..., hari sudah mulai gelap...," desahnya perlahan seraya menatap ke luar pondok yang mulai 
diselimuti kegelapan. 
"Kalau begitu, biariah aku mencari makan malam untuk kita. Kuharap kau mau menunggu sebentar...," 
ujar Sasmita yang langsung melesat pergi, sebelum Sari Asih mengangguk menyetujuinya. Dara cantik itu 
hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya perlahan. 
Sepeninggal Sasmita, Sari Asih duduk di tepi balai-balai menatap ke luar lewat jendela yang terbuka. 
Perhatian pemuda itu yang berlebihan terhadap dirinya, membuat Sari Asih termenung. Ia memang kagum 
dengan kegagahan dan kesopanan sikap Sasmita. Ditambah lagi, pemuda itu bukan orang lemah. Bahkan 
mungkin masih berada di aras kepandaiannya sendiri. 
Sari Asih sadar bahwa pemuda seperti Sasmita sangat jarang ditemuinya. Diam-diam, ia mulai mem-
bayangkan andaikata pemuda itu menyukainya. Bagaimana ia harus bersikap? Karena ia sendiri pun tidak dapat 
menipu dirinya sendiri yang mulai merasa kagum dan suka kepada pemuda itu. Bahkan ada rasa damai dan 
aman berada di sisi pemuda itu. 
Sari Asih tidak bisa memastikan apakah ia telah jatuh cinta kepada pemuda itu atau hanya suka sebagai 
seorang kawan baik. Dara cantik itu belum berani memastikan. Menurutnya, hal itu masih terlalu pagi. Selain 
itu, Sari Asih belum tahu banyak tentang Sasmita, ia memutuskan untuk melihat bagaimana kelanjutan sikap 
pemuda itu. Dan ingin mengetahui mengapa pemuda itu selalu membuntutinya sejak dari Desa Angkeran. 
Meskipun ia sudah dapat meraba, tapi Sari Asih belum tahu pasti. 
Sari Asih yang tengah termenung itu langsung bergerak bangkit ketika telinganya menangkap suara 
gerakan orang di luar. Cepat ia melesat ke pintu. Senyumnya mengembang ketika melihat Sasmita datang 
dengan membawa dua ekor ayam hutan di tangan kanannya. 
"Lihat, Asih! Rupanya nasib kita memang sedang beruntung. Dua ekor ayam hutan ini cukup gemuk. 
Rasanya cukup untuk kira berdua," seru Sasmita seraya mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Wajah pemuda itu 
berseri gembira. Nada suaranya pun terdengar sangat akrab, membuat senyum di bibir Sari Asih semakin lebar. 
Tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih langsung menghampiri Sasmita, dan mengambil dua ekor ayam hutan 
di tangan pemuda tampan itu. Sedangkan Sasmita sendiri bagai mendapatkan sebuah karunia yang tiada taranya 
ketika melihat senyum manis di bibir gadis yang telah menawan hatinya itu. 
"Hm..., kau sudah susah mencarinya. Sekarang biarlah aku yang memasakkannya untuk kita berdua. 
Tolong buatkan api untuk memanggang ayam ini..," ujar Sari Asih sambil melangkah menuju pondok. 
Dara cantik manis itu sama sekali tidak memperhatikan betapa Sasmita seperti orang tolol. Pemuda itu 
bagaikan terkena sihir! Ia benar-benar terpesona dengan senyum manis yang diberikan Sari Asih. 
Kesadaran baru kembali mengisi pikiran pemuda itu ketika bayangan tubuh Sari Asih telah lenyap di 
balik pintu. Sasmita menggeleng berkali-kali sambil berdecak tak habis-habisnya. Kali ini hatinya benar-benar 
telah terpikat oleh kecantikan dan senyum manis Sari Asih. 
"Ya, Tuhan.... Makhluk yang kau ciptakan ini benar-benar tiada cacatnya. Rasanya aku mudah sekali 
jatuh cinta terhadap seorang dara seperti dia...," gumam Sasmita sambil menatapi daun pintu pondok yang telah 
tertutup itu. 
Teringat akan pesan Sari Asih, pemuda itu segera melangkah ke samping pondok, ia sepertinya sudah 
cukup hafal dengan kebiasaan para pemburu yang selalu menyiapkan kayu bakar di samping pondok. Harapan 
Sasmita memang tidak sia-sia. Ia melihat ada setumpuk kecil kayu bakar sisa para pemburu yang pernah 
melewatkan malam di pondok itu. 
Tanpa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera mengumpulkan kayu bakar. Lalu, dibuatnya 
sebuah api unggun yang cukup besar, tidak sulit memang bagi seorang ahli silat untuk membuat api. Dengan

kekuatan tenaga dalamnya, Sasmita membuat api guna menyalakan kayu-kayu bakar itu dengan api unggun. 
Sebentar saja terlihat lidah api menjilat-jilat kian kemari, dan sesekali menari tertiup angin. 
Tidak berapa lama kemudian, muncul Sari Asih membawa ayam hutan yang bulunya sudah dibuang, 
dan diberi bumbu penyedap. Rupanya dara cantik manis itu telah merebus kedua ekor ayam itu, yang terlihat 
masih mengepulkan asap tipis, dan berwarna kekuningan. 
"Ah, kau ternyata pandai memasak. Asih. Baru setengah matang, harumnya sudah membuat cacing-
cacing di perutku memberontak...," puji Sasmita sambil menggerak-gerakkan hidungnya persis seperti kucing 
mencium ikan asin. 
Tingkah pemuda itu membuat Sari Asih terkekeh lirih. Sehingga menampakkan rongga mulutnya yang 
kemerahan serta giginya yang putih laksana untaian mutiara. Dan, untuk kesekian kalinya, Sasmita merasakan 
dadanya berdebar menyaksikan pemandangan itu. 
"Eh, kau kenapa, Sasmita...?" tegur Sari Asih yang menghentikan tawanya ketika melihat pemuda 
gagah itu tampak terbengong-bengong dengan mulut terbuka. 
"Eh, oh..., tidak.... Tidak apa-apa...," sahut Sasmita yang menyadari ketololannya. Segera saja ia 
memperbaiki sikapnya. 
Sari Asih yang sempat menangkap getar-getar asmara pada sepasang mara pemuda itu, berpura-pura 
bodoh. Dara cantik manis itu langsung saja duduk di samping Sasmita, dengan tangan kanan masih memegang 
ayam hutan yang siap dibakar. 
"Biar aku saja yang mengerjakannya...," pinta Sasmita untuk menghilangkan kekakuan sikapnya. 
Sari Asih tidak menolak, ia menyerahkan kedua ekor ayam hutan itu kepada Sasmita yang sudah 
mengangsurkan tangannya. 
Setelah itu, keduanya tidak ada yang memulai pembicaraan lagi. Mereka seperti terhanyut dalam alam 
pikirannya masing-masing. Sasmita sendiri sampai tidak sadar kalau ayam yang dibakarnya telah gosong 
sebagian. Maka, meledaklah tawa kedua orang muda itu ketika mencium bau hangus yang menusuk hidung 
mereka. 
"Ah, untunglah belum seluruhnya terbakar hangus...," ujar Sasmita seraya menatap Sari Asih penuh 
penyesalan. 
Gadis cantik itu sendiri hanya tersenyum. Dan tanpa berkata apa-apa. Sari Asih langsung saja 
mengambil dan mencicipinya pada bagian yang tidak hangus. Sasmita meniru perbuatan dara cantik itu. Ia 
mengangguk-anggukkan kepalanya ketika mendapat kenyataan bahwa ayam bakar itu ternyata sangat gurih dan 
nikmat Sari Asih sendiri hanya tersenyum melihat anggukan kepala pemuda itu. 
Sebentar saja, suasasana menjadi hening. Baik Sasmita maupun Sari Asih sama-sama menikmati 
makanan itu tanpa mengeluarkan kata-kata. Hanya dada mereka yang bergemuruh setiap kali bertemu pandang.


EMPAT

"Ke mana tujuanmu sekarang, Asih...?" tanya Sasmita saat keduanya melangkah meninggalkan hutan 
pagi itu. 
Tampaknya mereka sudah semakin akrab, meskipun belum lama saling mengenal. Hal itu dikarenakan 
keduanya merasa cocok, dan memiliki banyak persamaan. 
"Hm..., sudah hampir satu tahun aku bertualang. Rasanya aku sudah rindu kepada ayahku. Jadi..., aku 
berniat hendak menjenguk beliau...," sahut Sari Asih tanpa mengalihkan tatapan matanya yang tertuju lurus ke 
depan. 
"Ah, kebetulan sekali kalau begitu...," ujar Sasmita sambil menatap wajah cantik di sebelahnya. "Aku 
ingin sekali berkenalan dengan orangtuamu. Tentu saja kalau kau tidak keberatan...." 
"Jangan, Sasmita. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa setelah bertemu ayahku. Ibuku sendiri sudah 
lama meninggal...," sahut Sari Asih seolah merasa khawatir kalau Sasmita tidak suka bergaul dengannya lagi 
setelah mengenal siapa ayahnya. Itulah sebabnya Sari Asih berusaha menolak permintaan sahabat barunya itu. 
"Asih,... Aku tidak peduli siapa ayahmu, atau bagaimanapun buruknya sikap beliau. Jadi..., tidak ada 
alasan bagimu untuk merasa takut aku tidak menyukai orangtuamu...," Sasmita tetap bersikeras hendak 
mengenal orangtua Sari Asih. 
Gadis cantik itu hanya bisa menghela napas panjang. Setelah mengenal Sasmita, ia sadar kalau pemuda 
itu memiliki kemauan yang keras. Buktinya pemuda itu terap saja membuntutinya walaupun sudah diberi 
peringatan keras. 
"Terserah kaulah. Satu hal yang perlu kau ketahui. Ayahku selalu berbicara apa adanya. Bahkan tidak 
jarang ia menghina seseorang di depan orang itu sendiri. Kalau suka, ia langsung mengatakannya. Demikian 
juga sebaliknya. Jadi, penolakanku tadi bukan karena aku tidak suka kau berkenalan dengan ayahku, tapi, aku 
takut kalau kau tersinggung karena ucapan-ucapan ayahku yang kurang berkenan di hatimu...," ujar Sari Asih 
mengingatkan sifat orangtuanya kepada Sasmita. 
Sasmita mengangguk-angguk memaklumi penolakan dara cantik itu. 
"Kau tidak usah khawatir, Asih. Aku sudah hampir satu tahun lebih melakukan petualangan. Dan aku 
sering menjumpai orang-orang yang mempunyai sifat aneh. Jadi, rasanya aku tidak akan terkejut bila berjumpa 
dengan orangtuamu. Apalagi kau telah berbaik hati memberitahukannya...," ujar Sasmita yang sepertinya terap 
ingin bertemu orangtua Sari Asih. 
Ucapan itu membuat Sari Asih berpaling dan menatap mata sahabatnya lekat-lekat. Seolah-olah ia 
ingin menilai kebenaran ucapan Sasmita melalui sepasang mata yang merupakan jendela hati itu. 
"Terserah kaulah...," desah Sari Asih ketika ia melihat sinar kejujuran dan kesungguhan di mata 
sahabatnya itu. 
"Terima kasih, Asih...," ujar Sasmita gembira. 
Pemuda itu langsung memegang kedua bahu Sari Asih. Sehingga, dara cantik itu terlihat agak kaget, 
dan melangkah mundur dua tindak. Seolah-olah ia merasakan sesuatu yang aneh dari sentuhan tangan pemuda 
itu di bahunya. 
Sasmita sendiri langsung menarik kedua tangannya dari bahu Sari Asih. Ia pun merasakan adanya 
getaran yang terasa nikmat menjalari kedua lengannya saat menyentuh bahu dara cantik itu. Kejadian itu 
membuat keduanya seperti terkena sihir. Untuk beberapa saat mereka hanya berdiri saling berpandangan tanpa 
tahu harus bersikap bagaimana. 
"Maaf, Asih. Aku..., benar-benar gembira sekali mendengar jawabanmu...," ujar Sasmita yang lebih 
dulu dapat menguasai keadaan. 
Sasmita langsung saja minta maaf, meskipun ia sendiri tidak tahu untuk apa permintaan maafnya itu. 
Tapi, paling tidak ucapannya telah membuat kekakuan di antara mereka kembali lenyap. 
"Kau ini aneh, Sasmita. Aku sama sekali tidak melihat kesalahanmu, mengapa kau minta maaf...?" 
tegur Sari Asih seraya melangkah menyusuri jalan berbatu. 
"Yah..., untuk apa saja yang kau anggap salah...," sahut Sasmita sekenanya. Karena ia sendiri pun tidak 
tahu untuk apa ucapan maafnya tadi. Sari Asih sendiri sama sekali tidak menuduh perbuatan pemuda itu 
merupakan suatu kesalahan. Sesaat kemudian keduanya tertawa karena merasa aneh dan lucu dengan tingkah 
mereka berdua tadi. 
Kali ini mereka tidak lagi banyak berbicara. Dan, untuk mempercepat perjalanan, mereka mulai 
menggunakan ilmu lari masing-masing. Sasmita yang sadar bahwa sahabatnya seperti hendak menguji ilmu 
larinya, sengaja tidak mengerahkan seluruh kekuatannya. Ia hanya menjajari langkah Sari Asih, takut kalau-
kalau dara cantik itu tersinggung bila ia mendahuluinya. 
Sementara Sari Asih sendiri menyadari kelebihan pemuda tampan yang menarik hatinya itu. Ia melihat 
Sasmita selalu saja berada di sebelahnya, tanpa kelihatan lelah. Padahal, ia sudah mengerahkan seluruh 
kemampuan ilmu larinya, sampai-sampai butir-butir keringat menghiasi keningnya. Napasnya pun agak

memburu. Tetapi, napas pemuda itu sama sekali tidak terlihat memburu. Bahkan wajah tampannya tetap tenang 
dihiasi senyum gembira. Tentu saja semua kenyataan itu membuat Sari Asih semakin kagum. 
Setelah setengah harian lebih melakukan perjalanan dengan menggunakan ilmu lari cepat, keduanya 
tiba di kaki Gunung Buntar. Kini mereka berlari menuju sebelah Barat kaki gunung itu. 
"Ayah..., aku pulang...!" seru Sari Asih ketika mereka tiba di dekat sebuah pondok kayu sederhana, 
tempat tinggal orangtua Sari Asih. 
Seorang lelaki berwajah brewok berusia sekitar lima puluh tahun, berdiri di ambang pintu dengan 
senyum lebar, ia mengembangkan sepasang lengannya menyambut tubuh Sari Asih yang sudah langsung 
memeluk tubuh lelaki gemuk itu erat-erat. 
"Asih, Anakku...," desah lelaki brewok itu seraya menciumi rambut putrinya. 
Untuk beberapa saat lamanya, mereka seperti melupakan kehadiran Sasmita yang berdiri penuh haru 
menatap pertemuan ayah dan anak itu. Sekilas terlintas keinginannya untuk menemui kedua orangtuanya di 
Bukit Harimau Putih. 
"Eh?! Siapakah pemuda gagah yang datang bersamamu itu, Asih? Dari mana dia berasal? Siapa 
gurunya, dan siapa pula orangtuanya?" lelaki gemuk berwajah brewok itu memberondongkan pertanyaan kepada 
putrinya, sambil merenggangkan pelukannya ketika sepasang matanya menangkap sosok Sasmita yang 
tersenyum dan mengangguk penuh hormat. 
"Ah, aku sampai terlupa...!" seru Sari Asih sambil melepaskan diri dari pelukan ayahnya. 
Dara cantik manis itu langsung menyeret lengan Sasmita dan dibawanya ke hadapan ayahnya. 
"Ayah, pemuda ini sahabatku. Ia bernama Sasmita. Mengenai pertanyaan-pertanyaan Ayah, biarlah ia 
sendiri yang menjawabnya. Silakan, Sasmita. Inilah orangtuaku...," ujar Sari Asih dengan sepasang mata 
bersinar-sinar penuh kegembiraan. Sepertinya dara cantik itu memang sangat bahagia sekali. 
"Paman, aku bernama Sasmita. Sedangkan guruku adalah ayahku sendiri yang dikenal berjuluk Pen-
dekar Macan Sakti. Maaf kalau kedatanganku telah mengganggu pertemuan antara keluarga...," dengan 
membungkuk hormat Sasmita menjawab pertanyaan-pertanyaan lelaki gemuk brewok itu. Suaranya mantap dan 
tegas, meskipun tidak menghilangkan kesan hormatnya kepada ayah Sari Asih. 
"Ha ha ha...! Putra Pendekar Macan Sakti datang bersama putriku? Benar-benar luar biasa sekali!" ujar 
lelaki brewok itu seraya tertawa terbahak-bahak ketika mengetahui siapa pemuda gagah yang datang bersama 
putrinya. "Hei, Anak Muda. Kau pasti suka terhadap putriku yang cantik manis itu, bukan? Aku senang..., aku. 
senang. Ha ha ha...! Calon menantuku benar-benar tidak mengecewakan! Hai, Pendekar Macan Sakti, aku suka 
berbesan denganmu...!" 
Setelah berkata demikian, lelaki gemuk berwajah brewok itu menari-nari kegirangan. 
"Ayah...!" Sari Asih yang sama sekali tidak menduga kalau ayahnya sampai berkata demikian, menjadi 
merah wajahnya. 
Dara cantik itu merasa malu sekali mendengar ucapan ayahnya yang langsung menjodohkan ia dengan 
Sasmita. Bukan karena ia merasa tidak suka terhadap pemuda gagah itu. Tapi, ia sendiri belum mengetahui isi 
hati Sasmita. Hal itulah yang membuat Sari Asih terisak, dan langsung berlari meninggalkan tempat itu. 
"Ha ha ha...! Kejarlah, Sasmita! Ayo, kejar calon istrimu itu. Bujuk dia, dan bawa kemari! Kau pasti 
suka kepadanya, bukan? Kalau tidak, kau akan kubunuh karena telah berani datang bersama putriku...!" ujar 
lelaki brewok itu kepada Sasmita yang terkejut melihat Sari Asih berlari meninggalkan tempat itu. Ia maklum 
akan perasaan Sari Asih. Karena ia sendiri merasa jengah mendengar ucapan lelaki brewok itu yang seolah-olah 
menelanjangi dirinya. 
Sasmita tertegun sesaat. Setelah itu, ia melesat mengejar Sari Asih yang lenyap di balik timbunan 
pepohonan. Pemuda itu melihat dara cantik yang menarik hatinya itu tengah menangis. Gadis itu duduk di 
sebuah batu besar seraya menundukkan kepalanya. Perlahan Sasmita melangkah mendekati sambil berusaha 
menekan langkah kakinya agar tidak mengganggu dara cantik itu. Kemudian, ia duduk di sebelah dara cantik itu 
tanpa bersuara. 
"Asih..., aku maklum kau tentu merasa malu dengan ucapan ayahmu. Biarlah kesempatan ini 
kupergunakan untuk menyampaikan perasaan hatiku yang mungkin telah dapat kau duga. Ucapan ayahmu sama 
sekali tidak salah, Asih. Aku memang mencintaimu. Aku suka kepadamu, dan ingin sekali berdekatan. Itulah 
sebabnya mengapa aku selalu membuntutimu, meski telah kau beri peringatan keras. Kuharap pengakuanku ini 
bisa mengurangi beban yang saat ini menekan hatimu...," perlahan sekali kata-kata itu meluncur dari bibir 
Sasmita. 
Meskipun demikian, Sari Asih dapat menangkapnya dengan jelas. Kemudian, dara cantik itu memutar 
tubuhnya, dan menatap wajah Sasmita dengan mata basah. 
"Benarkah itu, Sasmita...? Apakah kau hanya sekadar ingin menghiburku? Kau sadar akan perbedaan 
kita yang sangat jauh. Aku adalah seorang putri tokoh sesat. Sedangkan kau adalah putri seorang pendekar 
besar. Perbedaan itu sangat sulit untuk ditembus. Kau sadar itu, Sasmita...?" ujar Sari Asih sambil menatap 
wajah Sasmita.

"Asih.... Setelah kau tahu isi hatiku, apakah kau mau menyambutnya dengan tangan terbuka. 
Ucapkanlah pengakuanmu sebelum aku menjawab semua rasa penasaran di hatimu, Asih...," pinta Sasmita 
dengan suara berdesah perlahan. 
Sepasang mata Sasmita menghunjam tepat di bola mata bening milik gadis cantik itu. Dan, Sari Asih 
tahu betapa sepasang mata pemuda itu memancarkan kasih sayang yang tulus. Sari Asih merasa hatinya segar 
bagaikan pohon yang disirami air bening. Perlahan bibir yang merah basah itu merangkai senyum penuh 
kebahagiaan. 
"Aku suka kepadamu. Sasmita. Aku kagum dan..., rasanya tidak bisa kupungkiri lagi kalau aku juga 
mencintaimu..., Kakang...," ucap Sari Asih tanpa malu-malu, seraya membalas tatapan mata Sasmita dengan 
pancaran kasih yang tulus. 
"Asih..., demi kau, demi kebahagiaan kita, halangan apa pun akan kuhadapi. Aku tidak peduli siapa, 
atau dari mana kau berasal. Yang jelas, aku mencintaimu apa adanya. Bukan keluargamu, dan bukan pula 
hartamu. Aku menginginkan kau, Asih...," tanpa keraguan lagi, Sasmita memegang kedua bahu dara cantik yang 
selama ini dicintainya secara diam-diam itu. Kemudian mendekapnya dengan lembut. Dikecupnya bibir merah 
menantang itu dengan segenap perasaan kasih di hatinya. Sebentar saja kedua insan muda itu terlelap dalam 
buaian dewi asmara. 
*** 
"Ha ha ha...!" lelaki gemuk brewok yang dalam dunia persilatan dikenal dengan julukan Setan Gunung 
Buntar itu tertawa bergelak menyambut kedatangan Sasmita dan putrinya yang bergandengan tangan. 
Jelas sekali tokoh sesat ini sangat gembira melihat pasangan yang menurutnya sangat cocok dan serasi 
itu. Keduanya sama-sama memiliki kesaktian, dan sama-sama cantik dan tampan. 
"Kalian benar-benar pasangan yang serasi! Aku merasa sangat gembira, dan merestui hubungan kalian. 
Untuk itu, kau boleh bawa calon istrimu itu ke Bukit Harimau Putih guna meminta restu dari orang-tuamu, 
Sasmita. Pergilah sekarang juga agar pernikahan kalian bisa dipercepat...," ujar Setan Gunung Buntar sambil 
menghampiri Sasmita dan Sari Asih. 
"Terima kasih, Paman. Aku pun telah mengatakan hal itu kepada Sari Asih. Kami mohon pamit, dan 
kami akan kembali selekasnya untuk mengabarkan kepada Paman...," ujar Sasmita yang rupanya memang 
hendak menghadap ayah dan ibunya di Bukit Harimau Putih. Hal itu telah dibicarkan bersama Sari Asih 
sebelum mereka menemui Setan Gunung Buntar. Meskipun ada sedikit kekhawatiran mengenai tanggapan ayah 
dan ibunya, namun Sasmita telah bertekad untuk mempersunting Sari Asih, dara yang telah membuatnya mabuk 
kepayang itu. 
"Bagus..., bagus.... Pergilah, dan cepat-cepat kembali untuk segera merayakan pernikahan kalian. 
Katakan kepada orangtuamu agar pernikahan dilangsungkan di Bukit Harimau Putih. Ha ha ha...!" ujar Setan 
Gunung Buntar lagi yang kembali tergelak penuh kegembiraan. 
Lelaki brewok itu sama sekali tidak pernah bermimpi kalau ia akan berbesan dengan pendekar besar 
yang berjuluk Pendekar Macan Sakti itu. Jelas, pernikahan putrinya akan membuat geger rimba persilatan. 
Setelah berpamitan kepada ayah kekasihnya, berangkatlah Sasmita bersama Sari Asih ke tempat 
kediaman orangtuanya. Sebagai orang-orang persilatan yang telah terbiasa melakukan perantauan, tentu saja 
mereka tidak merasa terlalu lelah, meskipun belum lama tiba di kaki Gunung Buntar itu. Sepasang insan yang 
berbahagia itu bergerak meninggalkan tempat itu diiringi gelak tawa Setan Gunung Buntar, yang memang 
hatinya sangat gembira sekali. 
Letak Bukit Harimau Putih dengan Gunung Buntar memang tidak terlalu jauh. Keduanya masih berada 
di wilayah Selatan. Untuk mencapai Bukit Harimau Putih dari tempat tinggal Sari Asih hanya memerlukan 
waktu satu hari lebih, bila ditempuh dengan menunggang kuda. Sedangkan bagi orang-orang persilatan yang 
memiliki kepandaian tinggi seperti Sari Asih dan Sasmita, hanya memerlukan waktu setengah hari. Hal itu 
disebabkan, selain mereka menggunakan ilmu lari cepat, juga mampu melakukan perjalanan tanpa mengurangi 
kecepatan berlari, saat mendaki dan menerobos semak belukar. 
Setelah menginap di sebuah desa untuk melewatkan malam, pagi-pagi sekali Sasmita dan Sari Asih 
meninggalkan penginapan untuk menuju Bukit Harimau Putih. Dan, saat matahari sudah mulai menyinari 
permukaan bumi, keduanya telah tiba di depan sebuah bangunan besar yang di sekelilingnya dipagari kayu 
bulat. 
"Inikah tampat tinggal orangtuamu, Kakang...?" tanya Sari Asih dengan suara lirih. 
Sepertinya dara cantik itu merasa tegang untuk berhadapan dengan orangtua Sasmita yang terkenal 
sebagai pendekar-pendekar besar itu. Sasmita menyadari ketegangan hati kekasihnya Pemuda itu menggenggam 
erat jemari Sari Asih seolah-olah ingin memberikan ketabahan di hati dara cantik itu. Padahal, Sasmita sendiri 
merasakan ketegangan yang sama. Hanya saja ia berusaha menyembunyikannya agar Sari Asih tidak 
terpengaruh.

"Tenanglah, Asih. Apa pun akan kita hadapi bersama untuk meraih kebahagiaan kita...," hibur Sasmita 
menekan ketegangan di hatinya agar suaranya terdengar tenang. Kemudian, pemuda itu membawa kekasihnya 
melewati pintu gerbang yang hanya dijaga oleh seorang pembantu rumah besar itu. Pendekar Macan Sakti tidak 
mempunyai banyak murid, karena memang ia tidak menginginkannya. Meskipun demikian, para pembantunya 
telah dibekali ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga rumah besar itu. 
Lelaki berusia tiga puluh lima tahun yang membukakan pintu gerbang untuk majikan mudanya itu 
mengangguk hormat kepada Sasmita dan Sari Asih. 
"Rupanya Tuan Muda sudah kembali...," sapa lelaki gagah itu dengan senyum lebar. 
"Hm..., apakah ayah dan ibuku ada di dalam, Paman...?" tanya Sasmita setelah berbasa-basi sesaat 
Kemudian, Sasmita kembali melangkah sambil tetap menggenggam tangan Sari Aaih ketika penjaga itu 
memberitahukan bahwa ayah dan ibunya ada di taman belakang. 
"Ayah.... Ibu...," panggil Sasmita ketika ia telah tiba di taman belakang, dan melihat sosok ayah dan 
ibunya tengah duduk menikmati belaian angin yang bersilir lembut. 
"Sasmita...!" lelaki gagah dan wanita cantik berusia lima puluh tahun dan tiga puluh delapan tahun itu 
tersentak kaget ketika melihat putranya telah berdiri beberapa langkah di dekat mereka. Karena sudah satu tahun 
lebih Sasmita merantau, kerinduan kedua orang tua itu telah menutupi kesadarannya bahwa putra mereka datang 
bersama seorang gadis berpakaian biru muda yang cantik dan manis. 
Nyi Sekar Galung, ibu Sasmita langsung saja memeluk tubuh putra tunggalnya itu dengan penuh 
kerinduan. Wanita berusia tiga puluh delapan tahun yang kelihatan masih cantik itu sama sekali tidak 
memperhatikan kehadiran Sari Asih. Lain halnya dengan Pendekar Macan Sakti yang berdiri dengan kening 
berkerut menatap sosok Sari Asih. Lelaki tinggi gagah itu hanya mengangguk sedikit ketika dara cantik itu 
tersenyum dan mengangguk hormat kepadanya. 
"Sasmita...," panggil Pendekar Macan Sakti dengan suaranya yang berat dan berpengaruh. Sehingga 
ibu dan anak yang saling berpelukan itu menoleh ke arah asal suara. 
"Ayah...," Sasmita langsung melangkah mendekati ayahnya. 
Namun, langkah pemuda itu tertunda ketika melihat tatapan ayahnya yang tertuju ke arah Sari Asih. 
Segera saja Sasmita membawa dara cantik pilihan hatinya itu kepada orangtuanya. 
"Asih, inilah kedua orangtuaku. Ayah, Ibu, gadis ini bernama Sari Asih. Ia sangat gagah dan berbudi 
luhur. Aku mencintainya, Ayah, Ibu...," ujar Sasmita memperkenalkan Sari Asih kepada kedua orangtuanya. 
Kemudian ia menanti jawaban dari mulut kedua orangtuanya. 
"Hm..., orang-orang muda sekarang terlalu cepat mengambil keputusan. Baru kenal sebentar, sudah 
melakukan perjalanan bersama-sama. Apa maksudmu membawa dia kemari. Sasmita? Apakah kau sudah 
mengenal keluarganya dengan baik...?" tegur Pendekar Macan Sakti yang memang bersikap keras dalam 
mendidik putra tunggalnya itu. 
Hati Sasmita menjadi tegang. Pemuda itu melirik ke ibunya, seolah-olah meminta bantuan. Sasmita 
kembali berpaling menatap ayahnya setelah melihat anggukan kepala ibunya. 
"Kami saling mencinta. Ayah. Dan, kami berniat hendak melanjutkan ke pernikahan. Orangtua Sari 
Asih sudah merestui hubungan kami," jawab Sasmita tanpa menyebutkan nama ataupun julukan orangtua 
kekasihnya. Jelas pemuda itu kelihatan ragu-ragu untuk memberitahukan perihal orangtua Sari Asih. 
"Hm..., bagus kalau kau telah mengenal orangtuanya. Sebutkan julukannya, mungkin aku kenal dengan 
orangtua gadis temanmu itu," ujar Pendekar Macan Sakti dengan suara keras. 
"Mmm.... Ia..., putri tunggal Setan Gunung Buntar, Ayah," jawab Sasmita memberanikan diri seraya 
menggenggam erat jemari tangan kekasihnya. 
"Putri tunggal Setan Gunung Buntar? Apa maksudmu, Sasmita? Kau hendak mencoreng nama ayah 
dengan mengambil gadis putri tokoh sesat itu sebagai istrimu? Gila! Bocah gila!" bentak Pendekar Macan Sakti 
dengan suara menggelegar. Sehingga, baik Sasmita maupun Sari Asih tergetar mundur dengan wajah pucat. 
"Tapi..., Sari Asih sama sekali tidak mempunyai sifat jahat, Ayah. Bahkan ia selalu bertindak seperti 
seorang pendekar wanita yang selalu membela kaum lemah. Itulah sebabnya aku memilih Sari Asih sebagai 
teman hidupku kelak. Harap Ayah dan Ibu dapat lebih bijaksana dalam menilai seseorang. Tidak semua 
keturunan seorang tokoh sesat mengikuti jejak orangtuanya. Demikian pula dengan para pendekar beraliran 
putih, yang bisa saja memiliki putra ataupun putri berhati jahat seperti seorang tokoh sesat...," Sasmita 
membantah ucapan ayahnya, dan membela Sari Asih yang wajahnya memerah akibat ucapan lelaki gagah itu. 
Kalau saja orang tua itu bukan ayah dari kekasihnya, rasanya Sari Asih akan menerjangnya dan bertarung mati-
matian. 
"Jangan menasihatiku, Sasmita. Aku dan ibumu lebih tahu bagaimana memilihkan jodoh yang tepat 
untukmu! Dan kau, Gadis Muda. Sebaiknya pergilah, cari pemuda lain yang sebanding denganmu," ujar 
Pendekar Macan Sakti yang jelas-jelas tidak merestui anaknya berhubungan dengan seorang putri tokoh sesat. 
Kalau hal itu sampai terjadi, ia merasa malu terhadap sahabat-sahabatnya yang sudah pasti akan 
mentertawakannya.

"Baiklah, Tuan pendekar besar yang berhati bersih seperti malaikat. Aku memang keturunan orang 
jahat yang tidak pantas menjadi pendamping putramu. Sekarang aku pergi. Dan, jangan salahkan aku kalau 
sampai jatuh cinta dengan putramu. Sebab, cinta adalah karunia Tuhan, dan bukan kekuasaan manusia...," ujar 
Sari Asih dengan sepasang mata yang mulai basah. "Kakang, aku pergi. Semoga kau mendapatkan seorang 
gadis baik-baik yang melebihiku..." 
Setelah berkata demikian, Sari Asih langsung berbalik meninggalkan tempat itu. Entah ke mana 
tujuannya. Yang pasti, hatinya kini telah hancur akibat ulah orangtua Sasmita yang menganggap dirinya bersih 
dan berhati seperti malaikat.


LIMA


"Asih, tunggu...!" seru Sasmita yang melihat gadis itu berbalik dan melesat pergi. Namun, Sari Asih 
tidak mempedulikan seruannya dan terus berlari ke luar. 
"Sasmita...!" Pendekar Macan Sakti berseru memanggil putranya. Sehingga pemuda gagah itu terpaksa 
menunda gerakannya, dan berbalik menatap kedua orangtuanya. 
"Ayah dan Ibu ternyata sangat kejam. Sari Asih tentu merasa sakit hati dengan ucapan Ayah tadi. 
Kasihan dia, Ayah. Ia seorang gadis yang baik dan gagah...," ujar Sasmita dengan suara parau. Wajah pemuda 
itu tampak pucat dengan sepasang mata yang meredup bagaikan kehilangan semangat hidup. 
"Sasmita. Kau boleh cari gadis mana pun asalkan bukan dari golongan sesat. Dan, kalau kau tetap 
menghendakinya, pergilah! Tapi, kami tidak sudi mengakuimu sebagai putra kami lagi! Jangan bawa-bawa 
nama kami dalam setiap tindakanmu!" tegas Pendekar Macan Sakti seraya membalikkan tubuhnya dan 
melangkah masuk rumah. Nampaknya keputusan lelaki gagah itu sudah tidak bisa dirubah lagi. 
"Sasmita...," panggil Nyi Segar Galung seraya menyentuh bahu putranya. "Kau jangan membikin malu 
keluarga kita. Banyak gadis-gadis pendekar yang cantik dan gagah melebihi putri tokoh sesat itu. Lupakanlah 
gadis itu, ia tidak pantas untuk menjadi istrimu. Kau lihat saja sifatnya yang liar dan berani melawan ayahmu...." 
Nyi Segar Galung membujuk putranya dengan suara yang lemah lembut. Meskipun demikian, tetap 
saja wanita cantik itu merendahkan Sari Asih. Sehingga, Sasmita semakin bertambah kecewa. 
"Ibu, cinta tidak bisa dipaksakan. Dan, aku telah mencintainya. Aku tidak akan bisa melupakan Sari 
Asih...," desis Sasmita. Tapi, ia sama sekali tak menolak ketika wanita cantik itu membimbingnya masuk. 
"Kau harus bisa melupakannya, Anakku. Ibu akan mencarikan pengganti yang lebih baik bagimu. 
Percayalah...," ujar Nyi Segar Galung membujuk putranya agar melupakan putri tokoh sesat itu. 
"Tidak mungkin, Ibu..., tidak mungkin aku bisa melupakannya...," desah Sasmita sambil menggeleng-
gelengkan kepalanya dengan wajah sedih. 
Hati Sasmita terasa nyeri bila teringat betapa hancur hati Sari Asih ketika mendengar kata-kata ayahnya 
yang bernada menghina dan merendahkan tokoh sesat. Tapi, pemuda itu pun tidak ingin membuat kedua 
orangtuanya menjadi murka dan tidak lagi mengakui dirinya sebagai anak. Sasmita benar-benar bingung, dan 
tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. 
*** 
Sari Asih terus berlari dengan wajah bersimbah air mata. Hati dara cantik itu itu benar-benar merasa 
remuk. Kalau saja hinaan-hinaan itu datangnya bukan dari orangtua Sasmita, mungkin ia akan mengadu nyawa 
dengan orang itu. Tapi, teringat betapa orang tua itu adalah ayah kandung kekasihnya, Sari Asih tidak bisa 
berbuat apa-apa. Rasa takut yang semula mencemaskan hatinya, benar-benar menjadi kenyataan. Teringat akan 
nasib buruknya, tangis Sari Asih semakin menjadi-jadi. Akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di bawah sebatang 
pohon besar. 
"Kakang...," desis dara cantik itu seraya menyembunyikan wajah dengan kedua telapak tangannya. 
Butir-butir air bening mengalir dari celah-celah jemari lentik gadis bernasib malang itu, 
"He he he...!" 
Tiba-tiba terdengar suara tawa mengekeh yang membuat Sari Asih mengangkat kepalanya dan menatap 
ke sekelilingnya. Kedukaan yang dalam membuat kewaspadaannya berkurang. Sehingga, tahu-tahu saja ia telah 
dikepung oleh delapan orang lelaki berpakaian serba hitam. 
"Keparat-keparat Gunung Lawa! Untuk apa kalian mengangguku! Pergilah sebelum kesabaranku 
hilang dan membasmi kalian semua!" geram Sari Asih menumpahkan kekesalan serta kekecewaan hatinya 
kepada delapan orang laki-laki berseragam hitam, yang tidak lain adalah tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa. 
"He he he...! Perempuan liar ini benar-benar sombong sekali, ia harus diberi pelajaran agar lain kali 
bisa bersikap lebih sopan terhadap orang tua seperti aku...," ucapan itu keluar dari mulut seorang lelaki berusia 
sekitar lima puluh lima tahun. Kepalanya yang gundul tampak berkilat tertimpa cahaya matahari. Kumis dan 
jenggotnya yang telah memutih terlihat menghias wajahnya. Menilik dari ucapan dan sikapnya, lelaki ini adalah 
pimpinan orang-orang berpakaian serba hitam itu. 
"Keparat! Rupanya kalian masih saja merasa penasaran dan menaruh dendam kepadaku! Baiklah. Hari 
ini juga kita selesaikan persoalan ini...!" Sari Asih yang merasa benar-benar marah itu segera menghunus 
pedangnya. Seketika, seberkas sinar putih berkelebat menyilaukan mata. 
Swing...! 
Dengan menyilangkan senjatanya di depan dada, Sari Asih siap menghadapi pertarungan. Sepasang 
matanya yang masih merah karena terlalu banyak menangis itu menyorot tajam dan bengis. Terlihat pancaran 
nafsu membunuh pada sepasang mata dara cantik itu.

"He he he...! Bagus..., ingin kulihat bagaimana permainanmu, dan siapa sebenarnya orang yang telah 
mendidikmu. Marilah kita bermain-main sebentar, Perempuan Liar...," ujar lelaki botak itu terkekeh penuh 
ejekan. 
Pada saat itu seorang lelaki kurus yang dikenali Sari Asih sebagai orang yang pernah menebarkan 
racun kepadanya, tampak mendekat dan berbisik kepada lelaki botak bersenjata tongkat itu. 
"Hm..., jangan khawatir. Aku hanya ingin bermain-main sebentar, tanpa harus membunuhnya...," ujar 
lelaki berkepala botak itu dengan lagak sombong. Jelas lelaki tinggi kurus itu hendak mengingatkan 
pimpinannya untuk menawan gadis muda itu hidup-hidup. 
"Sambut pedangku...!" Sari Asih berteriak tidak sabar. Langsung dia maju menerjang sambil memutar 
pedangnya. Terdengar angin berkesiutan saat pedang di tangan dara cantik itu berubah menjadi gulungan sinar 
putih yang melindungi sekujur tubuhnya. 
Trang! Trang! 
"Uhhh...?!" 
Sari Asih mengeluh tertahan ketika lawannya memapaki tusukan pedangnya dengan tongkat. Benturan 
keras itu membuat tubuhnya terdorong balik. Tentu saja Sari Asih menjadi terkejut bukan main ketika 
merasakan kekuatan tenaga dalam lawan. 
"He he he...! Mengapa berhenti, Gadis Cantik...? Apakah kau ingin agar aku yang menyerangmu kali 
ini...?" ejek lelaki botak yang ternyata memiliki tenaga dalam yang amat kuat dan berada di atas kekuatan Sari 
Asih. Setelah berkata demikian, lelaki botak itu langsung merangsek maju dengan putaran tongkat kayu hitam di 
tangannya. 
Whuttt! Whuttt..! 
Kali ini Sari Asih tidak mau lagi bertindak ceroboh. Dara cantik manis itu bergerak menghindar seraya 
membalas dengan sabetan pedangnya yang mengaung tajam. Sebentar saja keduanya telah terlibat dalam sebuah 
perkelahian yang seru. 
Merasakan jurus-jurus lawannya benar-benar hebat, Sari Asih mengerahkan segenap kemampuannya 
untuk mengimbangi permainan lawan. Sayang, meskipun dara cantik itu telah menggunakan seluruh kekuatan 
serta kelincahannya, terap saja ia dapat didesak oleh lawannya. 
Serangan-serangan tongkat hitam lawan benar-benar sulit untuk ditebak. Bahkan, beberapa kali nyaris 
tubuh dara cantik itu menjadi sasaran senjata lawan. Untunglah Sari Asih masih sempat melindungi tubuhnya 
dengan putaran pedang, meskipun setiap kali menangkis ia merasakan lengannya nyeri. Namun, dara cantik itu 
tetap gigih dalam melakukan perlawanan. 
"Haiiit..!" 
Untuk kesekian kalinya, lelaki botak itu berseru sambil mengayunkan tongkatnya, dan diputar 
mengincar tubuh lawan. Terdengar suara mengaung tajam saat senjata itu meluncur ke arah tubuh Sari Asih. 
"Hiahhh...!" 
Sari Asih membentak sambil menyabetkan senjatanya dengan menarik mundur kaki kanannya. 
Trang...! 
Untuk kesekian kalinya, tubuh dara cantik itu kembali tergetar mundur ketika menangkis hantaman 
tongkat lawan. Bahkan, kali ini ia hampir terpelanting saking kerasnya daya luncur tongkat hitam lawannya. 
"Hm..., pantas saja ilmu kepandaianmu sangat tinggi. Rupanya kau memiliki hubungan dengan Setan 
Gunung Buntar. Apakah kau murid tunggal tokoh itu...?" ujar lelaki botak itu yang rupanya sudah bisa 
mengenali dasar-dasar serta jurus-jurus yang digunakan Sari Asih. 
Kemampuan lelaki berkepala botak itu melihat jurus lawan, jelas mencerminkan kalau ia bukanlah 
seorang tokoh sembarangan. Lagi pula, ia tidak merasa gentar sedikit pun ketika menyebutkan julukan ayah Sari 
Asih. 
"Aku adalah putrinya! Dan, kalau sampai ayahku tahu tentang perbuatan kalian ini, rasanya beliau pasti 
akan datang untuk mencabut nyawa kalian semua...!" gertak Sari Asih yang kali ini terpaksa menggunakan 
nama ayahnya. Karena selain lawannya yang berkepala botak itu berkepandaian tinggi, di tempat itu masih pula 
terdapat tujuh orang lainnya yang mungkin saja memiliki kepandaian tinggi, kecuali lelaki tinggi kurus yang 
pernah bentrok dengannya. Lelaki kurus itu hanya berbahaya karena memiliki keahlian dalam menggunakan 
racun. Sedangkan kepandaian ilmu silatnya masih berada di bawah Sari Asih. 
Pandang mata Sari Asih kembali ke sosok lelaki botak bersenjata tongkat hitam yang menjadi lawanya. 
Kakinya melangkah perlahan ketika melihat lawannya telah kembali bersiap untuk menerjangnya. 
"He he he...! Jadi kau adalah putri Setan Gunung Buntar? Bagus. Kalau begitu aku akan menahanmu 
agar ayahmu datang sendiri untuk mengambilmu dari tangan kami...," ujar lelaki tua berkepala botak itu yang 
rupanya tidak gentar sama sekali, meskipun Sari Asih telah menyebutkan nama ayahnya. Hal ini membuktikan 
kepandaian lelaki botak itu jelas tidak berada di bawah tingkat kepandaian ayahnya. Menyadari hal itu, Sari 
Asih memutuskan untuk melawan sampai titik darah penghabisan. 
Namun, sebelum pertarungan kembali berlanjut, tiba-tiba terdengar suara teguran yang mengejutkan 
semua orang di tempat itu.

"Hm..., sungguh tidak adil kalau seorang gadis muda harus menghadapi keroyokan banyak lelaki 
gagah...." 
Suara perlahan itu terdengar sangat jelas, bahkan sanggup membuat dada orang-orang yang berada di 
tempat itu berdebar. Jelas si pengirim suara itu adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian yang sukar 
diukur! 
"Keparat! Siapa berani main-main dengan Ganjalu si Tongkat Iblis! Tunjukkan rupamu kalau memang 
kau seorang jantan...!" lelaki berkepala botak yang mengaku bernama Ganjalu itu berseru keras sambil 
mengerahkan tenaga saktinya. Sehingga suaranya bergema ke empat penjuru. Jelas, lelaki botak yang berjuluk 
Tongkat Iblis itu hendak menunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, yang memang sangat tinggi itu. Sambil 
berteriak demikian, Ganjalu mengedarkan pandangan matanya ke sekeliling tempat itu. Karena ia sama sekali 
tidak bisa menebak dari mana suara teguran itu berasal. 
Suasana pun semakin bertambah tegang ketika dari kegelapan bayang-bayang pepohonan di sebelah 
kanan Ganjalu, muncul dua sosok tubuh yang melangkah tenang mendatangi arena pertarungan itu. 
"Hm.... Bagaimana, Tongkat Iblis? Apakah kau sudah puas setelah melihat rupaku...?" tegur sosok 
tubuh pertama, yakni seorang pemuda tampan mengenakan jubah panjang berwarna putih. 
Wajah pemuda itu tampak tenang tanpa ada sorot kegentaran. Sehingga, Ganjalu dan kawan-kawannya 
segera bergabung. Sedangkan di sebelah kiri pemuda tampan itu tampak seorang gadis berparas jelita berjalan 
perlahan. Gadis yang sekujur tubuhnya terbungkus pakaian berwarna hijau itu benar-benar cantik sekali. Tak 
ubahnya seorang bidadari yang turun dari langit. Ganjalu dan ketujuh orang kawannya terpesona dengan 
kecantikan gadis berpakaian serba hijau itu. 
"Kau..., siapakah, Anak Muda? Rasanya, kami orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa tidak 
mempunyai urusan denganmu...?" tanya Ganjalu seraya meneliti wajah dan pakaian pemuda tampan itu. Ia 
tampak merasa tegang. Pertanyaannya pun bernada ingin meminta kepastian tentang siapa sesungguhnya 
pemuda itu. 
"Hm..., apalah arti sebuah nama, Ki Ganjalu? Di antara kita memang tidak ada permasalahan secara 
langsung, tapi secara tidak langsung kau telah memulai masalah itu. Sebab, aku paling tidak suka dengan 
ketidakadilan...," jawab pemuda tampan itu tegas dan menimbulkan perbawa kuat. Bahkan sorot matanya 
tampak mencorong tajam laksana mata seekor naga di kegelapan! 
"Anak muda! Jawablah dengan jujur. Apakah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya Ki 
Ganjalu lagi yang kali ini langsung menebak jaridiri pemuda itu Sebab, tidak banyak pemuda tampan yang ciri-
cirinya seperti Pendekar Naga Putih. Dan, sebagai orang persilatan, ia pun telah lama mendengar nama pendekar 
besar itu. Itulah sebabnya mengapa Ki Ganjalu segera menduga kalau pemuda yang berani menegurnya itu 
sebagai Pendekar Naga Putih. 
Pemuda tampan itu hanya tersenyum. Kakinya tampak masih melangkah mendekati ke arah delapan 
orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu. 
"Baiklah, Ki Ganjalu. Kalau kau memang merasa penasaran, akan kujawab pertaanyaanmu. Apa yang 
kau duga, betul sekali. Aku memang Pendekar Naga Putih. Nah, kuharap kau mau meninggalkan tempat ini, dan 
persoalan habis sampai di sini...," ujar pemuda berjubah putih yang tidak lain adaiah Panji. Langkahnya terhenti 
dalam jarak setengah tombak dari Ki Ganjalu dan kawan-kawannya. Mereka tampak berang mendengar ucapan 
pemuda tampan itu. 
"Hm..., Pendekar Naga Putih! Rupanya kau hendak menggertak kami dengan kebesaran namamu! Tapi, 
jangan harap kami akan gentar! Orang-orang Perguruan Gunung Lawa pantang menyerah!" ujar Ki Ganjalu 
geram sambil memutar tongkat hitamnya, siap untuk bertarung. 
Panji hanya tersenyum melihat Ki Ganjalu yang siap untuk bertempur. Bahkan ketika tujuh orang 
tokoh Perguruan Gunung Lawa yang lainnya mulai bergerak menyebar, pemuda itu pun belum membuat 
gerakan. 
"Biar aku yang memberi pelajaran kepada mereka, Kakang...," pinta dara jeiita berpakaian hijau yang 
tak lain adalah Kenanga, kekasih Panji. Sambil berkata demikian, kaki dara jelita itu melangkah maju, siap 
menghadapi delapan orang tokoh Perguruan Gunung Lawa yang hendak mengeroyok kekasihnya. 
"Tahan, Kenanga. Biar aku saja yang menghadapi mereka...," cegah Panji yang mengetahui kalau 
kedelapan lelaki berseragam hitam itu rata-rata memiliki kepandaian tinggi. 
Pendekar Naga Putih bukan tidak percaya dengan kemampuan kekasihnya. Tapi, ia khawatir kalau-
kalau Kenanga akan menurunkan jurus maut dalam menghadapi keroyokan. Hal itulah yang membuat Panji 
mencegah keinginan kekasihnya. Sebab, untuk menghadapi keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa 
itu, sulit sekali untuk tidak menurunkan jurus maut. Kekhawatiran akan nasib orang-orang Perguruan Gunung 
Lawa itulah yang membuat Panji tidak mengabulkan permintaan Kenanga. Dan, dara itu itu pun tahu jalan 
pikiran kekasihnya. 
Kenanga sama sekali tidak membantah. Pedang Sinar Bulan yang semula hampir terlolos dari 
pinggangnya, kembali dilibatkan. Dara jelita itu pun melangkah mundur membiarkan kekasihnya menghadapi 
keroyokan tokoh-tokoh Perguruan Gunung Lawa.

Sari Asih terlihat berdiri di tepi arena. Gadis berparas cantik manis itu sempat terkejut ketika 
mengetahui pemuda yang menolongnya ternyata seorang pendekar besar yang sangat terkenal dan ditakuti. 
Nama Panji bukan hal yang asing di telinga Sari Asih. Ayahnya sendiri setingkah mengungkapkan kekaguman 
dan kegentarannya terhadap pemuda berjuluk Pendekar Naga Putih itu. Diam-diam dara cantik itu merasa 
beruntung dapat berjumpa dengan pendekar besar yang sangat terkenal itu. Sebab, ayahnya sendiri belum 
pernah berjumpa dengan tokoh muda yang menggemparkan dunia persilatan itu. 
Sepasang mata bening Sari Asih bergerak mengikuti langkah kaki pemuda tampan berjubah putih itu, 
yang telah bersiap untuk menghadapi pertarungan. Pancaran kekaguman semakin terlihat jelas dari sorot 
matanya, ia melihat pemuda itu sangat gagah dan kokoh kuda-kudanya. Sari Asih pun rasanya tak keberatan 
dengan julukan yang diberikan kepada pemuda itu. Sebab, sosok pemuda tampan berjubah putih itu persis 
laksana seekor naga yang gagah perkasa! 
"Mungkinkah ia akan mempergunakan ilmu-ilmu mukjizatnya yang terkenal itu untuk menghadapi 
lawan-lawannya? Hm..., ingin kulihat dengan mata kepala sendiri ilmu pendekar muda itu yang kabarnya sangat 
jarang menemui tandingan...," gumam Sari Asih yang rupanya telah mendengar tentang ilmu-ilmu mukjizat 
yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Hatinya berdebar agak tegang ketika membayangkan ilmu-ilmu langka 
yang kemungkinan akan disaksikannya. 
Sementara saat itu Panji sudah bersiap menghadapi keroyokan delapan orang tokoh Perguruan Gunung 
Lawa. Menyadari lawan-lawannya cukup berbahaya, Panji mempersiapkan kuda-kuda yang kokoh dan terlihat 
sangat kuat Pemuda itu menanti lawan memulai serangan 
*** 
"Heaaat..!" 
Ganjalu berteriak nyaring membuka serangan. Tubuhnya yang gemuk itu melesat seperti terbang 
dengan disertai putaran tongkatnya, yang menimbulkan deruan angin tajam. Panji sendiri sama sekali belum 
bergerak. Pemuda itu menanti hingga serangan lawan tiba. 
Bettt...! 
Dengan sikap tenang, Pendekar Naga Putih menggeser langkahnya ke kanan menghindari sambaran 
tongkat lawan. Kemudian memutar langkahnya setengah lingkaran ketika dari sebelah kanannya datang 
sambaran pedang yang berdesing tajam. 
"Hait...!" 
Plak! Plak! 
Dua buah sambaran pedang itu langsung dipapaki dengan telapak tangan. Akibatnya kedua orang 
pengeroyok itu terpelanting karena kuatnya tangkisan Pendekar Naga Putih. Panji sendiri tidak mau berusaha 
untuk mengejar. Sebab, pada saat itu para pengeroyok yang lainnya sudah menerjang dengan serangan-serangan 
maut. Bahkan, Panji mencium adanya racun-racun ganas yang mengiringi serangan-serangan para 
pengeroyoknya. 
"Hm..., manusia-manusia keji...," desis Panji 
Pendekar Naga Putih geram setelah mengetahui lawan-lawannya menggunakan racun-racun ganas 
dalam menyerang. Hal itu memang tidak terlalu mengejutkan, karena Panji telah lama mendengar bahwa 
Perguruan Gunung Lawa banyak mempunyai ahli-ahli racun. Itulah sebabnya perguruan itu dianggap sebagai 
kaum golongan sesat. Karena kaum golongan putih sendiri sangat menentang penggunaan racun dalam 
pertempuran. 
Setelah mengetahui keganasan racun-racun yang dipergunakan lawannya, Panji mulai mengerahkan 
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang segera saja menyelimuti sekujur tubuhnya. Sehingga, racun-racun yang 
digunakan lawan tidak bisa menembus benteng pertahanan lapisan kabut bersinar putih keperakan yang 
mengelilingi tubuh Pendekar Naga Putih. 
Sadar bahwa para pengeroyoknya adalah orang-orang yang berbahaya dan berhati kejam, Panji segera 
mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Hawa dingin mulai berhembus menghantam balik hawa beracun yang 
memenuhi arena pertempuran. Bahkan, Panji kini mulai melakukan tekanan-tekanan berat kepada lawan-
lawannya. 
"Hait..!" 
Si Tongkat Iblis dan kawan-kawannya benar-benar terkejut ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih 
berkelebat laksana bayangan hantu! Jangankan untuk melukai tubuhnya, menyentuh jubah pemuda itu pun tak 
mampu mereka lakukan. Setiap kali senjata mereka berkelebat, selalu saja menghantam angin kosong. Sebab, 
tubuh pemuda itu telah berkelebat lenyap di antara sambaran-sambaran senjata lawan. 
"Uhhh...?!" 
Dua orang pengeroyok yang rupanya memiliki tenaga dalam paling rendah, mulai mengeluh 
kedinginan. Serbuan hawa dingin yang menerpa tubuh mereka membuat gerakan menjadi kaku, dan tidak lagi

segesit semula. Sehingga, kedua orang itu tak mampu lagi untuk menghindari tamparan telapak tangan Pendekar 
Naga Putih. 
Plak! Bukkk! 
"Aaakh...!" 
"Hugkh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua orang pengeroyok itu terlempar ke belakang, dan jatuh dengan tubuh 
menggigil laksana orang terserang demam. Sebentar saja kedua orang itu telah menggeletak pingsan. Mereka 
tak sanggup mengusir hawa dingin yang menyiksanya. 
"Bangsat..!" 
Tongkat Iblis yang menjadi pimpinan kawan-kawannya itu menjadi geram bukan main. Meskipun 
demikian, ia tidak mampu berbuat banyak. Jangankan untuk menekan lawan, untuk melindungi dirinya sendiri 
saja ia sudah kewalahan. Tokoh berkepala gundul itu hanya bisa menggertakkan gigi, ketika melihat dua orang 
kawannya kembali terlempar keluar dari arena pertarungan. Kini ia hanya tinggal berempat dengan tiga orang 
kawannya yang masih dapat bertahan dari tekanan Pendekar Naga Putih. 
"Yeaaa...!" 
Kemarahan dan rasa penasaran memenuhi dadanya, membuat Ki Ganjalu menjadi nekat. Tongkat 
hitam di tangannya diputar sedemikian rupa dengan pengerahan seluruh tenaga dalamnya. Seketika terdengarlah 
suara mengaung tajam, yang timbul dari bulatan sinar hitam akibat putaran tongkat Ki Ganjalu. 
Panji menggeser ke kanan dengan lompatan pendek ketika tongkat hitam lawan mengancam tubuhnya. 
Kemudian la langsung mengirimkan sebuah tendangan kilat ke arah iga lawannya. Gerakan yang cepat laksana 
sambaran kilat itu, tak sempat lagi dielakkan Ki Ganjalu. Sehingga.... 
Desss...! 
"Huakhhh...!" 
Darah segar langsung menyembur dari mulut Ki Ganjalu. Tubuh gemuk itu sendiri terlempar sejauh 
satu setengah tombak. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh tua berkepala botak itu pun tidak mengetahui lagi 
keadaan sekelilingnya. Ki Ganjalu pingsan dengan luka dalam yang cukup parah. 
Melihat pimpinannya telah menggeletak pingsan, tiga orang tokoh lainnya berloncatan mundur dengan 
wajah pucat. Panji tidak berusaha mengejar. Pemuda tampan itu hanya berdiri tegak menatapi ketiga orang 
lawannya yang sepertinya sudah kehilangan keberanian untuk melanjutkan pertarungan. 
Untuk beberapa saat lamanya suasana menjadi hening. Ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa itu 
mengedarkan pandangannya berkeliling, mencari jalan untuk lolos. Panji yang dapat menebak gelagat itu, 
melangkah maju beberapa tindak. Sehingga membuat ketiga lawannya surut ke belakang. Jelas mereka merasa 
gentar dengan Pendekar Naga Putih.


ENAM


"Kisanak...," ujar Panji seraya menatap wajah ketiga orang lawannya. "Aku sama sekali tidak mem-
punyai permusuhan dengan orang-orang dari Perguruan Gunung Lawa. Untuk itu, kalian bawalah kawan-kawan 
kalian yang tertuka, dan segera tinggalkan tempat ini. Sampaikan kepada Ketua Perguruan Gunung Lawa agar 
tidak memperpanjang urusan ini" 
Ketiga orang tokoh Perguruan Gunung Lawa itu kelihatan sangat terkejut. Mereka sama sekali tidak 
menyangka kalau Panji akan melepaskan mereka begitu saja. Sejenak ketiganya saling bertukar pandang, 
sepertinya belum yakin akan ucapan yang barusan mereka dengar dari mulut pemuda tampan itu. 
"Hm..., apa lagi yang kalian tunggu? Kakang Panji sudah bermurah hati kepada kalian, mengapa tidak 
segera meninggalkan tempat ini...?" ucap Kenanga, yang sudah melangkah maju dan berdiri di samping 
kekasihnya. Sepasang mata dara jelita itu tampak berkilat, menyiratkan ancaman. Sehingga, ketiga orang tokoh 
Perguruan Gunung Lawa itu kembali menatap Pendekar Naga Putih, seolah-olah mereka hendak meminta 
kepastian. 
"Pergilah. Bawa kawan-kawanmu yang terluka...," ucap Panji melenyapkan keraguan di hati ketiga 
orang itu. 
Dan tanpa banyak cakap, ketiga tokoh Perguruan Gunung Lawa bergegas meninggalkan tempat itu de-
ngan membawa kawan-kawan mereka yang tertuka. 
"Husy..., husy...!" 
Sari Asih yang sejak tadi memendam kejengkelannya kepada orang-orang dari Perguruan Gunung 
Lawa, mengejek dengan mengusir ketiga orang itu seperti mengusir ayam. Sehingga, ketiga orang itu semakin 
mempercepat larinya. Gadis cantik itu tertawa geli penuh kepuasan. Pandangannya baru beralih kepada Panji, 
setelah bayangan orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu lenyap dari pandangannya. 
"Pendekar Naga Putih, aku Sari Asih mengucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu. Aku telah 
lama mendengar nama besarmu. Senang sekali aku dapat berjumpa dengan seorang pendekar besar yang telah 
menggegerkan rimba persilatan. Aku benar-benar kagum dan hormat kepadamu...," ucap Sari Asih seraya 
membungkuk hormat. Kemudian, kembali kepalanya diangkat dan matanya meneliti wajah pemuda tampan 
yang telah menolongnya itu. 
"Nisanak jangan terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan barusan, juga dilakukan tokoh-tokoh 
persilatan golongan putih lainnya yang berjiwa pendekar. Jadi, kau tidak perlu merasa telah berhutang budi 
kepadaku...," ujar Panji seraya tersenyum. Pendekar Naga Putih juga merasa kagum dengan gadis muda yang 
gagah dan berani itu. 
"Benar apa yang dikatakan Kakang Panji, Sari Asih," timpal Kenanga yang rupanya tertarik dengan 
dara cantik manis itu. "Kalau aku boleh tahu, mengapa kau sampai bentrok dengan mereka?" 
"Ah, hanya kesalahpahaman saja. Senang sekali dapat berjumpa dan berkenalan dengan kalian. Sayang 
aku harus segera pergi...," pamit Sari Asih yang sepertinya tidak ingin melibatkan orang lain dalam 
persoalannya. Karena, menurutnya memang tidak perlu. Sebab, ia sendiri sama sekali tidak merasakan 
bermusuhan dengan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah berkata demikian, Sari Asih membalikkan 
tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu. 
Panji dan Kenanga hanya bisa menatap kepergian dara cantik itu dengan helaan napas perlahan. 
Keduanya memaklumi mengapa dara cantik itu tidak mengungkapkan masalahnya. Mereka tahu masalah yang 
dihadapi gadis itu merupakan persoalan ptibadi. Hanya saja mereka harus lebih berhati-hati. Sebab, bukan tidak 
mungkin orang-orang Perguruan Gunung Lawa masih merasa penasaran dan mendendam atas kejadian tadi. 
Setelah bayangan Sari Asih lenyap dari pandangan, pasangan pendekar muda itu segera bergerak 
meninggalkan tempat itu. Mereka kembali melanjutkan perjalanan. 
*** 
Dua sosok bayangan itu bergerak cepat melintasi padang rumput yang cukup luas. Menilik dari cara 
mereka berlari, jelas kedua sosok bayangan itu merupakan orang-orang persilatan yang berkepandaian tinggi. 
Bahkan kaki-kaki mereka seperti udak pernah menyentuh permukaan tanah. Tentu sosok itu memiliki ilmu lari 
cepat yang sukar diukur. 
Tidak berapa lama kemudian, mereka pun mulai menyeberangi sungai kecil yang melintang memotong 
jalan menuju kaki Gunung Buntar. Jelas, tujuan mereka adalah Gunung Buntar, yang menjulang tinggi ke 
angkasa itu. 
Setelah menyeberangi sungai, kedua sosok bayangan itu terus bergerak menuju ke sebelah Barat kaki 
Gunung Buntar. Langkah keduanya agak diperlambat, ketika di sebelah depan mereka samar-samar terlihat 
sebuah pondok sederhana dikelilingi pepohonan rindang.

"Setan Gunung Buntar! Tunjukkan rupamu, aku ingin berjumpa denganmu...!" sosok pertama yang 
ternyata adalah seorang lelaki gagah berusia separuh baya itu, berteriak mengguntur. Menilik dari raut wajahnya 
yang gelap, mudah diketahui kalau lelaki gagah itu tengah memendam kemarahan. 
Sedangkan sosok kedua adalah seorang wanita cantik berusia sekitar tiga puluh delapan tahun. Wajah 
cantik itu pun tampak tidak sedap untuk dipandang. Kulit wajahnya yang kemerahan, pertanda bahwa wanita 
cantik itu tengah memendam rasa penasaran dan kemarahan yang siap meledak. 
"Ah, rupanya Pendekar Macan Sakti dan istrinya yang datang berkunjung. Silakan..., silakan...," 
seorang lelaki yang juga berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk dan berwajah brewok muncul dengan wajah 
cerah menyambut kedatangan kedua tamu itu. Namun, wajah cerah itu terlihat berubah ketika menyaksikan 
sikap serta raut wajah kedua tamunya itu tampak berang. 
"Hm..., kau jangan berpura-pura bodoh, Setan Gunung Buntar! Aku datang untuk menjemput putraku, 
yang telah kau guna-gunai agar tertarik dengan putrimu yang liar dan jahat itu! Kembalikan putraku, dan jangan 
coba-coba main gila denganku...!" geram lelaki gagah yang ternyata adalah Pendekar Macan Sakti dengan 
sepasang mata tajam. Jelas kedatangan kedua tokoh sakti itu bukanlah berniat baik. 
"Apa maksudmu, Pendekar Macan Sakti? Kau jangan sembarangan menuduhku! Aku sama sekali tidak 
mengerti apa yang kau katakan itu! Bukankah putriku tengah pergi ke Bukit Harimau Putih bersama putramu 
yang tergila-gila ingin mempersunting putriku? Mengapa, kau langsung menuduhku yang bukan-bukan? Aku 
tidak bisa terima penghinaan ini...!" ujar Setan Gunung Buntar yang menjadi marah ketika mendengar tuduhan 
Pendekar Macan Sakti. Meskipun ia sadar lelaki gagah itu memiliki kepandaian tinggi, tapi ia sama sekali tidak 
gentar. 
"Bedebah! Kau memang perlu diajar adat...!" wanita cantik yang tak lain adalah Nyi Sekar Galung tak 
bisa lagi memendam kemarahannya, ia langsung saja melesat dengan tamparan mautnya. 
"Hei, tunggu...!" Setan Gunung Buntar berusaha untuk mencegah pertarungan. Lelaki brewok itu 
menggeser tubuhnya dengan lompatan ke samping. Sehingga, serangan Nyi Sekar Galung mengenai angin 
kosong. 
Namun, wanita cantik itu sama sekali tidak mau memberikan kesempatan kepada lawannya. 
Serangannya kembali terlontar. Bahkan kali ini jauh lebih hebat dan berbahaya dari serangan semula. 
Whuttt! 
Plak! Plak! 
Dua buah tamparan keras yang dikirimkan Nyi Sekar Galung dipapaki oleh Setan Gunung Buntar. 
Keduanya terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Jelas dalam pertemuan tenaga pertama itu mereka 
masih terlihat berimbang. 
"Pendekar Macan Sakti! Rupanya kaulah yang hendak main gila denganku! Putriku belum lagi 
kembali, kau sudah menuduh yang bukan-bukan! Jelas kau hendak memutarbalikkan kenyataan. Kau sengaja 
melemparkan fitnah, agar perbuatanmu yang mungkin telah mencelakakan putriku tidak diketahui orang. Hm..., 
kau benar-benar seorang pendekar sombong yang berhati keji...!" umpat Setan Gunung Buntar yang jelas-jelas 
marah dengan tuduhan itu. 
Usai berkata demikian, lelaki brewok itu menghunus sebilah golok besar yang tergantung di 
pinggangnya. Kemudian, memutarnya sedemikian rupa, sehingga menimbulkan deruan angin tajam. 
"Hm.., kau mundurlah, Istriku. Biar aku sendiri yang akan memberi pelajaran kepadanya...!" ujar 
Pendekar Macan Sakti yang memang tidak menyukai orang-orang golongan sesat. 
Pendekar Macan Sakti menganggap golongan sesat tak ubahnya gundukan sampah yang mengotori 
bumi. Itulah sebabnya, mengapa lelaki gagah itu tidak merestui hubungan putranya dengan putri Setan Gunung 
Buntar. Selain bisa membuat nama besarnya cacat, ia pun mempunyai cita-cita untuk menjodohkan putranya 
dengan gadis dari kalangan pendekar. 
Memang tak mengherankan kalau Pendekar Macan Sakti sangat berang ketika Sasmita meninggalkan 
rumah, setelah ia mengusir putri tokoh sesat itu. Maka, ia langsung saja mendatangi Setan Gunung Buntar yang 
mungkin saja telah bersepakat dengan putrinya untuk menculik dan,mengajak pergi Sasmita. Dan, keterangan 
seorang tokoh sesat seperti Setan Gunung Buntar, jelas tidak bisa dipercaya lagi. Untuk itu ia harus 
memaksanya dengan kekerasan. 
Nyi Sekar Galung yang sebenarnya merasa penasaran dengan lelaki brewok itu, terpaksa melangkah 
mundur. Wanita cantik itu tidak ingin membantah ucapan suaminya. Karena ia sadar akan kekerasan hati lelaki 
yang dicintainya itu. Sekali mengatakan tidak sulit sekali untuk merubahnya. Maka, Nyi Sekar Galung pun 
melangkah mundur, dan menyerahkan persoalan itu kepada suaminya. 
"Hm..., kau pasti menyembunyikan mereka karena ingin mendapatkan mantu seorang pemuda gagah 
seperti putraku itu. Aku akan memaksamu untuk menyerahkan kembali putraku itu...!" ujar Pendekar Macan 
Sakti yang segera bersiap untuk menggempur Setan Gunung Buntar. 
"Hmhhh...!" Setan Gunung Buntar menggeram marah.

Golok besar di tangan kanan tokoh sesat itu kembali berputar, dan menyilang di depan dada. Sadar 
kalau yang dihadapinya adalah seorang tokoh tingkat atas, Setan Gunung Buntar mengeluarkan ilmu andalannya 
untuk menghadapi lawan. 
"Sambut seranganku...!" Pendekar Macan Sakti mengingatkan lawannya seraya menerjang maju 
dengan menggunakan tangan kosong. Meskipun demikian, sambaran angin pukulannya sangat berbahaya, dan 
tidak kalah berbahayanya dengan senjata tajam. Sehingga, Setan Gunung Buntar yang menyadari hal itu segera 
memutar golok besarnya untuk menyambut serangan lawan. 
"Yeaaah...!" 
Dibarengi sebuah pekikan parau, tubuh lelaki brewok itu bergerak menyambut serangan lawan. Golok 
besar mengaung bagaikan ratusan lebah yang marah. 
Bettt…! 
Tebasan sisi telapak tangan Pendekar Macan Sakti yang menimbulkan angin berciutan, dielakkan 
lawannya dengan membungkukkan tubuh sambil memutar langkah, dan langsung membalas tebasan senjatanya. 
Plakkk! 
Rupanya Pendekar Macan Sakti tidak ingin berlama-lama. Maka, ketika tebasan golok besar lawannya 
datang, lelaki gagah itu langsung memapak dengan telapak tangannya. Akibatnya, tubuh Setan Gunung Buntar 
terdorong mundur dan hampir terpelanting. Kalau saja tokoh itu tidak segera melemparkan tubuhnya ke 
belakang, dan berjumpalitan ke udara. 
"Gila...?!" umpat Setan Gunung Buntar yang merasakan lengan kanannya ngilu. Namun, lelaki gemuk 
berwajah brewok itu tidak sempat berpikir lebih lama. Karena saat itu lawannya telah kembali menyerbu dengan 
serangan-serangan yang lebih berbahaya. 
Pertarungan pun kembali berlanjut dengan sengit Setan Gunung Buntar benar-benar harus menguras 
seluruh kepandaiannya untuk mengimbangi permainan lawan. Namun, meskipun golok besarnya mengaung dan 
berkelebatan kian kemari dengan kecepatan menggetarkan, tetap saja lawannya sanggup menekan dengan jurus-
jurus berbahaya. Sehingga, Setan Gunung Buntar semakin kelabakan dibuatnya. 
Jurus demi jurus berlalu cepat. Tanpa terasa kedua tokoh itu telah bertarung selama empat puluh jurus 
lebih. Dan selama itu, Setan Gunung Buntar harus mati-matian menyelamatkan dirinya dari incaran sepasang 
tangan Pendekar Macan Sakti yang telah menggunakan ilmu andalannya untuk melawan tokoh sesat itu. 
"Yeaaah...!" 
Setan Gunung Buntar yang semakin merasakan beratnya tekanan lawan, mengibaskan golok besarnya 
secara ngawur. Sebab, permainan ilmu silat lawan benar-benar hebat dan sukar untuk diduga ke mana arah 
sasarannya. Jadi, tidaklah aneh kalau tokoh berwajah brewok itu berkali-kali menerima hajaran lawannya. 
Desss...! 
"Hugkh...!" 
Tubuh lelaki brewok itu terpental ke belakang, ketika sebuah tendangan keras telak menghajar perutnya 
yang gendut. Dan darah segar pun mengalir dari mulutnya. Meskipun demikian, tokoh sesat itu cepat bergerak 
bangkit, dan kembali melakukan perlawanan mati-matian. 
Namun, Pendekar Macan Sakti benar-benar ingin segera menghabisi lawannya. Terbukti ia sama sekali 
tidak mau memberikan kesempatan kepada Setan Gunung Buntar untuk dapat menarik napas lega. Serangan-
serangannya kembali datang bertubi-tubi menghujani tokoh sesat itu. 
"Heaaah...!" 
Setan Gunung Buntar melompat pendek ke belakang seraya mengibaskan goloknya untuk melindungi 
tubuh dari cengkeraman maut lawan. Tapi, serangan itu dengan mudah dipatahkan oleh Pendekar Macan Sakti 
melalui sebuah tendangan kilat, dan tepat mengenai siku lawannya. Belum lagi rasa sakit yang menyengat 
sikunya sempat lenyap, tahu-tahu sebuah sambaran cakar kiri lawan telah merobek tubuhnya. 
Brettt! 
"Aaakh...!" 
Sambaran cakar yang cepat dan kuat itu membuat Setan Gunung Buntar meraung keras. Untuk 
kesekian kalinya, tubuh tokoh sesat itu kembali terlempar sejauh satu tombak lebih. Darah segar mengalir dari 
luka memanjang akibat cakaran lawan. Dan, selagi tubuhnya melayang di udara, Pendekar Macan Sakti 
langsung melompat dengan sebuah tendangan geledek! 
Desss!" 
"Aaa...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Setan Gunung Buntar terpental keras. Tubuh gemuk itu terus menghantam 
sebatang pohon besar, sebelum jatuh ke atas tanah. Setelah berkelojotan sesaat, tokoh sesat itu pun tewas! 
Karena isi perutnya hancur akibat tendangan maut lawannya. 
Dengan langkah perlahan dan penuh kewaspadaan, Pendekar Macan Sakti mendekati tubuh lawannya. 
Lelaki setengah baya itu menarik napas lega ketika melihat lawannya telah menghembuskan napas yang 
terakhir.

"Kakang, kita harus segera menemukan Sasmita. Mungkin manusia jahat itu telah 
menyembunyikannya di sekitar tempat ini...," ujar Nyi Sekar Galung mengajak suaminya untuk segera mencari 
putra mereka, setelah memastikan Setan Gunung Buntar tewas. 
Pendekar Macan Sakti hanya menganggukkan kepalanya. Kemudian, pasangan suami istri itu bergegas 
mencari putra mereka di sekitar tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Tapi, bukan main kecewanya hati mereka 
karena tidak menemukan Sasmita. 
Setelah mencari dan menjelajahi sekitar tempat itu, Sasmita masih belum ditemukan, keduanya pun 
menjadi bingung dan geram. Terutama Nyi Sekar Galung yang memang sangat mencintai putra tunggalnya itu. 
"Hm..., mungkin Setan Gunung Buntar telah menyuruh putrinya membawa pergi Sasmita dari tempat 
ini. Tapi, kita harus mencarinya sampai dapat...," gumam Pendekar Macan Sakti sambil mengajak istrinya untuk 
mencari Sasmita dan Sari Asih. Kedua pendekar sakti itu bergegas meninggalkan Gunung Buntar untuk mencari 
jejak putra mereka. 
Tidak berapa lama setelah kepergian Pendekar Macan Sakti dan istrinya, tampak sesosok tubuh 
ramping berlari-lari mendatangi tempat tinggal Setan Gunung Buntar. Sepasang mata sosok tubuh ramping yang 
ternyata adalah Sari Asih itu tampak liar ketika menyaksikan adanya bekas-bekas pertarungan yang hebat. Tentu 
saja hal itu membuat hatinya gelisah. 
"Ayah...!" Sari Asih berseru memanggil ayahnya sambil melangkah menuju pondok. Hari dara cantik 
itu kian tegang, ketika tidak menemukan sosok ayahnya di dalam pondok. Cepat ia melesat keluar dan mencari-
cari ayahnya. 
Tiba di luar pondok. Sari Asih mengamati bekas-bekas pertarungan itu. Sepasang matanya tampak 
terbelalak ketika melihat sesosok tubuh gemuk tergeletak di dekat pohon. Yang berada di samping kanan 
pondok sejarak enam tombak. 
"Ayaaah...!" tanpa ragu-ragu lagi, Sari Asih yang mengenal sosok ayahnya, langsung menghambur 
dengan air mata bercucuran. 
"Ayah..., oh Ayah.... Apa yang sudah terjadi denganmu.,.? Siapa yang telah membunuhmu demikian 
kejam, Ayah...?" Sari Asih menangis pilu di atas tubuh ayahnya. 
Air mata gadis itu meluncur deras membasahi wajahnya yang pucat. Beberapa kali Sari Asih meng-
guncang tubuh Setan Gunung Buntar, seolah-olah tidak yakin bahwa ayahnya telah tewas. Tangisnya kembali 
meledak ketika kesadarannya mengatakan bahwa ayahnya memang benar-benar telah tewas. 
"Keparat keji...! Semua ini pastilah perbuatan orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Setelah tidak 
berhasil membunuhku, mereka mencari ayahku sebagai pelampiasan dendam mereka. Hm..., akan kucari 
pembunuh-pembunuh biadab itu! Akan kuhirup darah mereka satu persatu...!" geram Sari Asih dengan wajah 
penuh dendam. Sepasang matanya yang indah itu tampak berkilat menakutkan. Jelas ia tidak lagi memikirkan 
keselamatan dirinya untuk membalas dendam atas kematian ayahnya. 
Dengan wajah yang dibasahi air mata, dara cantik berwajah pucat itu menguburkan jenazah ayahnya. 
Kemudian, ia bergerak meninggalkan tempat itu, setelah mengucapkan janji di depan makam ayahnya. 
Angin senja bersilir lembut mengiringi langkah kaki Sari Asih, yang meninggalkan kaki gunung Buntar 
dengan hati dipenuhi dendam membara. Luka hati akibat perjodohannya tidak disetujui orangtua kekasihnya, 
kini semakin parah. 
Hanya api dendam yang membuat Sari Asih bertahan untuk hidup. Dan, hanya satu tujuannya dalam 
menempuh kehidupan dunia yang dirasanya sangat kejam ini. Yaitu, membalas kematian ayahnya!


TUJUH


"Nisanak..! Harap berhenti sebentar...!" 
Terdengar seruan perlahan, namun cukup membuat langkah Sari Asih terhenti. Dara cantik manis yang 
tengah dirundung duka itu menoleh ke arah asal suara. Keningnya tampak berkerut ketika melihat seorang 
kakek berusia tujuh puluh tahun, menghampirinya dengan langkah tertatih-tatih. 
"Kakek memanggilku...?" tanya Sari Asih menegasi. Karena ia memang tidak mengenal kakek yang 
memanggilnya itu. 
"Betul, Cucuku…," sahut kakek itu tanpa menghentikan langkahnya yang dibantu sebatang tongkat. 
Sari Asih melangkah menghampiri karena merasa kasihan melihat kakek itu. 
"Betulkah kau yang bernama Sari Asih, putri dari Setan Gunung Buntar ...?" tanya kakek itu lagi 
seperti hendak meyakinkan hatinya bahwa ia tidak salah mengenali orang. 
"Betul, Kek. Dari mana kau mengetahui namaku serta julukan ayahku...?" tanya Sari Asih yang masih 
belum hilang rasa herannya. "Apakah Kakek hendak menjumpai ayahku...?" 
"Tidak, Cucuku. Justru aku ingin berjumpa denganmu, Hhh..., cukup lama aku mencari-carimu. 
Beruntung sekali kita bisa berjumpa secara kebetulan di tempat ini. Aku adalah sahabat Sasmita, putra tunggal 
Pendekar Macan Sakti. Tuan Muda Sasmita menyuruhku untuk menjumpaimu, dan menemuinya di sebuah 
tempat yang cukup tersembunyi. Ah..., kasihan sekali Tuan Muda Sasmita. Entah siapa yang telah 
melukainya...," desah kakek itu setelah menerangkan siapa dia sebenarnya, dan untuk apa ia mencari Sari Asih. 
"Kakang Sasmita...?! Di mana dia, Kek? Siapa yang telah melukainya? Parahkah luka-lukanya...?" 
tanya Sari Asih tanpa sadar memegang kedua bahu kakek itu. 
Dara cantik itu baru menyadari perbuatannya ketika melihat wajah kakek itu meringis kesakitan. Cepat-
cepat Sari Asih meminta maaf dan melepaskan cekalan tangannya. 
"Sabarlah, Cucuku. Aku tidak tahu pasti apakah lukanya parah atau tidak. Kalau kau ingin 
menemuinya, berjalanlah terus. Apabila kau telah menemukan gerombolan pohon bambu kuning, berbeloklah 
ke kanan. Di sana ada sebuah pondok tua. Nah, di dalam pondok itulah aku menyembunyikannya. Karena 
menurutnya, ia tengah dicari-cari oleh musuh yang berkepandaian tinggi...," jelas kakek itu sambil menghela 
napas panjang berulang-ulang. Tampak kakek itu sangat lelah sekali. Sehingga, ia langsung saja duduk di 
hamparan rumput tebal di bawah pohon rindang. 
"Kalau begitu, cepat antarkan aku, Kek...," ajak Sari Asih yang tentu saja merasa cemas mendengar 
kekasihnya berada di tempat jauh dari kediaman orangtuanya, dan pula tengah menderita luka. Gadis itu 
langsung saja menduga kalau Sasmita pasti lari dari rumah untuk mencarinya. Entah apa yang dialami 
kekasihnya itu sampai terluka parah. 
"Maafkan Kakek, Cucuku. Kakek rasanya sudah tidak kuat lagi untuk berjalan. Ikutilah petunjukku. 
Tuan Muda Sasmita memerlukan bantuanmu. Biarlah Kakek akan menyusul, setelah beristirahat nanti. Cepatlah 
kau pergi. Kakek khawatir orang-orang jahat yang melukainya akan datang ke tempat itu...," ujar kakek itu 
menolak ajakan Sari Asih karena lelah. 
Sari Asih yang melihat kakek itu memang tengah kelelahan, segera saja mengucapkan terima kasih, 
dan melesat mengikuti petunjuk yang diberikan kakek itu kepadanya. 
"Hhh..., orang-orang muda sekarang seperti hantu saja. Mereka dapat menghilang demikian cepat..," 
desah kakek itu yang melihat sosok Sari Asih tinggal bayang-bayang samar di kejauhan. Kemudian ia tidak 
peduli lagi dengan keadaan sekitarnya. Sebentar saja, kakek itu telah tertidur dengan tubuh bersandar pada 
sebatang pohon. 
Sari Asih terus berlari mengikuti petunjuk kakek bertongkat itu. Harinya cemas bukan main mengingat 
keadaan kekasihnya yang tengah terluka. Memang tidak terlalu sulit untuk menemukan tempat yang dimaksud 
kakek itu. Keterangannya yang jelas, membuat Sari Asih segera dapat menemukan pondok tua yang dimaksud. 
Tanpa memeriksa keadaan di sekitarnya, Sari Asih langsung melompat ke dalam pondok. Dan, apa 
yang dikatakan kakek bertongkat butut itu memang benar. Di atas pembaringan tampak Sasmita tengah 
menggeletak lemah. 
"Kakang Sasmita...!" panggil Sari Asih yang segera saja memeluk tubuh pemuda itu. 
Dara cantik itu sama sekali tidak peduli meskipun tubuh bagian atas pemuda itu telah basah oleh 
keringat. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi ketika melihat betapa kulit wajah dan tubuh pemuda itu 
tampak kemerahan seperti udang rebus. Dengan bersimbah air mata, Sari Asih memeluk dan menciumi wajah 
Sasmita yang tampak tengah tak sadarkan diri itu. 
"Kakang.... Ini aku, Sari Asih...!", kembali Sari Asih memanggil ketika mendengar keluhan dari mulut 
pemuda itu. 
Beberapa saat kemudian, sepasang mata Sasmita membuka perlahan. Warna merah saga pada sepasang 
mata kekasihnya itu, membuat Sari Asih merasa semakin cemas. 
"Kau..., Asih...!?" ucap Sasmita dengan suara bergetar.

Belum sempat Sari Asih mengangguk, pemuda itu langsung saja merangkul tubuh kekasihnya. Bahkan, 
dengan bernafsu, Sasmita menghujani gadis itu dengan ciuman-ciuman yang panas bagaikan hendak membakar 
tubuh Sari Asih. Berkali-kali bibir pemuda itu menyebut-nyebut nama Sari Asih dengan napas memburu. 
Sebagai seorang putri tokoh sesat, Sari Asih sadar kalau kekasihnya telah menderita keracunan hebat. 
"Kakang.... Kau..., kenapa...?" tanya Sari Asih yang tidak menolak perbuatan pemuda itu, karena ia 
merasa terharu melihat keadaan kekasihnya. Bahkan, Sari Asih tidak juga menolak ketika Sasmita berbuat 
semakin jauh. Hal itu karena ia sadar bahwa hanya itulah jalan satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun 
yang mengeram di tubuh kekasihnya. Sehingga, Sari Asih pun pasrah, bahkan membalas cumbuan Sasmita 
dengan sepenuh cintanya. Sebentar saja, kedua insan itu telah terbuai dalam gelombang asmara yang menggebu-
gebu. 
*** 
"Iiieee...!" 
Suara lengkingan halus yang semakin lama kian meninggi itu membuat langkah dua sosok tubuh 
terhenti. Keduanya saling bertukar pandang sejenak. Kemudian, mengedarkan pandang ke sekeliling tempat itu 
yang ditumbuhi pepohonan besar. 
"Suara apa itu, Kakang...?" tanya wanita cantik berusia tiga puluh delapan tahun itu kepada pria tinggi 
gagah di sebelah kanannya. Jelas tergambar keheranan besar pada wajah wanita cantik itu. 
"Hm..., entahlah. Tapi, sepertinya suara itu sengaja diperdengarkan untuk kita...," sahut lelaki gagah 
berusia setengah baya itu seraya memutar pandang mencari asal suara, yang masih saja terdengar 
berkepanjangan. 
Belum lagi wanita cantik itu sempat bertanya lagi, lelaki gagah yang sepertinya telah menemukan 
sumber suara, langsung saja bergerak ke Selatan. 
"Ikuti aku...," ajaknya tanpa menunggu jawaban. 
Wanita cantik itu pun segera melesat mengikuti langkah lelaki gagah itu. Keduanya bergerak cepat 
dengan menggunakan ilmu larinya untuk mencari sumber suara lengkingan panjang itu. 
"Kakang, lihat..!" wanita cantik itu tiba-tiba berseru sambil menudingkan jari telunjuknya ke satu arah, 
di mana ada sesosok bayangan putih berkelebat menjauhi mereka. 
Tanpa banyak bicara iagi, lelaki gagah itu pun segera melesat mengejar dengan mengerahkan ilmu lari 
cepatnya. Namun, meskipun mereka telah mengerahkan seluruh kemampuan ilmu lari cepatnya, sosok bayangan 
putih itu tetap saja tidak bisa didekati. Bahkan mereka kehilangan jejak, setelah cukup jauh melakukan 
pengejaran. 
"Gila! Kepandaian orang itu tinggi sekali. Entah ke mana lenyapnya dia...?" desis lelaki gagah itu 
dengan wajah membayangkan rasa penasaran. Keningnya tampak berkerut ketika pandang matanya menangkap 
sebuah pondok tua beberapa tombak di sebelah kanannya. 
Cepat keduanya mendekati pondok, karena mengira bahwa sosok bayangan putih itu pasti bersembunyi 
di dalam. Lelaki gagah dan wanita cantik itu meringankan langkahnya ketika telah dekat dengan pondok. 
"Kau tunggulah di sini...," ucap lelaki gagah itu kepada wanita cantik di sebelahnya. Dan sebelum 
wanita itu menjawab, lelaki gagah itu telah berkelebat menerjang pintu pondok. 
"Hah...?! Anak keparat..!" maki lelaki gagah itu. 
Sebentar kemudian, tubuhnya kembali melesat ke luar. Rupanya yang ia temukan adalah dua sosok 
tubuh setengah telanjang yang terbaring di atas pembaringan. 
"Ada apa, Kakang...?" tanya wanita cantik itu dengan wajah heran ketika melihat wajah lelaki gagah itu 
tampak merah padam. Jelas ia tengah dilanda kemurkaan hebat. 
"Sasmita, keluar kau...!" 
Tanpa menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya, lelaki tinggi, gagah itu berteriak dengan suara 
mengguntur! Jangankan orang lain, wanita cantik di sebelahnya pun sampai terlonjak kaget, dan hampir jatuh. 
Karena teriakan itu dikerahkan dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam yang sangat tinggi. 
Wanita cantik yang tidak lain adalah Nyi Sekar Galung itu baru mengerti ketika melihat dua sosok 
tubuh muncul dari dalam pondok. Wajah keduanya tampak pucat bagaikan tak dialiri darah. Jelas kalau 
keduanya merasa gentar melihat kemarahan lelaki gagah yang tak lain adalah Pendekar Macan Sakti. 
"Bedebah! Perbuatan kalian benar-benar tidak bisa diampuni!" geram Pendekar Macan Sakti 
menggereng bagaikan singa luka. Sepasang matanya menyorot tajam, siap menjatuhkan hukuman kepada kedua 
orang muda yang tak lain dari Sasmita dan Sari Asih. 
"Ayah..., aku...." 
"Hm..., apa yang kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri sudah cukup! Kalian tidak perlu lagi 
membela diri! Tidak ada gunanya...!" bentak Pendekar Macan Sakti tidak memberi kesempatan kepada Sasmita 
untuk membela diri.

Dan begitu ucapannya selesai, tubuh lelaki gagah itu langsung melayang ke arah putranya yang 
dianggap telah menyeleweng dari kebenaran itu. 
Plak! 
"Ughhh...!" 
Tanpa ampun lagi, tubuh Sasmita langsung terpelanting akibat tamparan yang keras pada wajahnya. 
Darah segar langsung saja mengucur dari bibir pemuda itu. 
"Kematian adalah hukuman yang paling baik bagimu...!" geram Pendekar Macan Sakti seraya 
menerjang dengan lebih ganas. 
Plakkkk! 
"Aaah...!" 
Sari Asih yang tidak sudi melihat kekasihnya tewas, segera menyambut serangan maut Pendekar 
Macan Sakti. Akibatnya, tubuh dara cantik itu terpelanting dan terbanting jatuh dengan kerasnya. 
Nyi Sekar Galung sendiri terpaku dengan wajah pucat, ia pun sadar apa yang telah dilakukan putranya 
itu. Mereka hanya berdua saja di dalam pondok itu, membuat Nyi Sekar Galung dapat menduga apa yang telah 
diperbuat kedua orang muda itu. Itulah sebabnya, mengapa ia tidak berusaha untuk mencegah suaminya yang 
memang berpendirian keras itu. 
"Hmhhh...," Pendekar Macan Sakti menggereng murka ketika melihat Sari Asih berani memapaki 
serangannya. Pandangan laki-laki setengah baya Itu kini beralih kepada Sari Asih. "Kau rupanya ingin segera 
menyusul ayahmu, Gadis Binal...!" 
Sambil berkata demikian, Pendekar Macan Sakti langsung melesat menampar kepala Sari Asih. Dari 
sambaran angin yang bercuitan tajam, dapat ditebak kalau kepala dara cantik itu pasti akan hancur. 
"Hatt...!" 
Plarrr...! 
Pada saat nyawa Sari Asih hampir putus, tiba-tiba melesat sesosok bayangan bersinar putih keperakan, 
yang langsung memapaki tamparan Pendekar Macan Sakti. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terpental balik. 
Meskipun begitu, Pendekar Macan Sakti segera dapat menguasai keseimbangan tubuhnya. Dengan sebuah 
putaran manis, tubuh lelaki gagah itu meluncur turun. 
"Pendekar Naga Putih...?!" Sari Asih yang langsung mengenali sosok penolongnya, berseru dengan 
wajah penuh harap. Jelas dara cantik manis itu melihat adanya harapan untuk selamat ketika mengetahui siapa 
orang yang menolongnya dari kematian itu. 
"Kurang ajar...!" 
Nyi Sekar Galung rupanya merasa jengkel melihat serangan suaminya yang hendak melenyapkan Sari 
Asih ada yang menggagalkan. Cepat tubuh wanita cantik itu melesat dengan sepasang tangan berputaran 
menerjang Pendekar Naga Putih. 
Tapi, yang menyambut serangan itu justru bukan Pendekar Naga Putih. Sebab, saat itu ada sesosok 
bayangan hijau yang bergerak menyambut serangan Nyi Sekar Galung. Dan.... 
Plak! Plak...! 
Terdengar benturan keras mengiringi tubuh Nyi Sekar Galung yang terpental balik. Jelas tenaga dalam 
wanita cantik itu masih berada di bawah sosok bayangan hijau yang tak lain adalah Kenanga. 
"Perempuan setan..!" maki Nyi Sekar Galung yang telah bersiap untuk menerjang kembali. Namun, 
niat itu diurungkannya ketika mendengar seruan suaminya. 
"Sabarlah, Istriku...," ujar Pendekar Macan Sakti yang tengah menatap wajah pemuda tampan di 
depannya lekat-lekat. 
Hati laki-laki setengah baya itu sempat terkejut ketika mendengar disebutnya nama Pendekar Naga 
Putih. Dan, ia pun sudah pula merasakan adanya hawa dingin yang menyusup ke lengannya saat berbenturan 
dengan pemuda tampan berjubah putih itu. Karena yang dihadapinya kali ini adalah seorang pendekar besar 
yang banyak mengundang kekaguman orang, maka Pendekar Macan Sakti menekan kemarahannya. 
"Maaf, kalau aku telah mencampuri urusan ini, Paman. Tapi, harap Paman bersabar, dan mau 
memecahkannya dengan kepala dingin. Apa pun persoalannya, rasanya tidak ada salahnya kalau kita mendengar 
pembelaan diri mereka...," ujar Panji seraya membungkuk hormat kepada lelaki gagah itu yang tentu saja sudah 
pernah didengar nama besarnya. 
"Hm..., tahukah kau, Pendekar Naga Putih? Mereka berdua telah melakukan dosa besar, dan 
mencoreng mukaku," bantah Pendekar Macan Sakti sambil melemparkan pandang ke arah Sasmita dan Sari 
Asih yang tengah saling rangkul itu. 
"Cobalah beri mereka kesempatan untuk menjelaskannya, Paman. Kalau memang setelah itu Paman 
anggap mereka tidak bisa diampuni, itu terserah Paman...," Panji masih mencoba untuk menyabarkan Pendekar 
Macan Sakti dan memberikan kesempatan kepada kedua insan muda itu untuk membela diri. 
"Baiklah. Aku terima saranmu, Pendekar Naga Putih. Nah! Sekarang, siapa di antara kalian berdua 
yang akan menjelaskan perbuatan kalian...?" Pendekar Macan Sakti akhirnya mengalah, dan memberikan 
peluang kepada Sari Asih dan Sasmita untuk membela diri.


Sari Asih maju ke muka lebih dulu. Setelah memandang penuh rasa terima kasih kepada Pendekar 
Naga Putih, dara cantik itu menjelaskan persoalan dirinya, mulai dari bertemu dengan seorang kakek, sampai 
berjumpa Sasmita di pondok dalam keadaan keracunan. 
"Hanya itulah yang dapat kujelaskan. Selebihnya, mungkin Kakang Sasmita dapat menjelaskan apa 
yang menyebabkan ia menderita keracunan...," Sari Asih mengakhiri keterangannya. Karena menganggap itulah 
yang ia ketahui. 
"Ayah...," ucap Sasmita perlahan. "Setelah kepergian Asih, keesokan harinya aku pergi meninggalkan 
rumah dengan maksud untuk mencarinya. Tapi, di perjalanan aku berjumpa dengan tokoh-tokoh Perguruan 
Gunung Lawa, yang dipimpin langsung oleh ketuanya. Selain mengeroyok, mereka juga menggunakan racun 
untuk menawanku. Setelah itu, aku tidak tahu apa-apa lagi, sampai kemudian mendapatkan Asih yang tengah 
memelukku di dalam pondok. Rupanya mereka telah melolohkan racun terkutuk ke dalam tubuhku, dan 
memancing Asih untuk menemuiku. Dan, apa yang terjadi di antara kami berdua, memang merupakan jalan 
satu-satunya untuk melenyapkan pengaruh racun jahat itu. Kalau tidak, aku akan tetap dipengaruhi racun itu 
sampai kapan pun, kecuali dengan jalan yang telah kami lakukan. Untuk itu, harap Ayah dan Ibu bisa mengerti 
kesulitan kami...." 
"Hm...," Pendekar Macan Sakti menggeram setelah mendengar penjelasan putranya dan Sari Asih. 
Kini timbul penyesalan dalam diri Pendekar Macan Sakti yang telah berbuat gegabah membunuh Setan 
Gunung Buntar. Padahal, tokoh sesat itu sama sekali tidak bersalah. Dan, hampir saja ia berbuat kesalahan yang 
lebih parah dengan membunuh putranya, dan juga putri Setan Gunung Buntar. Diam-diam Pendekar Macan 
Sakti sangat berterima kasih sekali kepada Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, entah bagaimana ia dapat 
memaafkan dirinya dengan kesalahan-kesalahan yang demikian berat itu. 
"Kalau begitu, sebaiknya kita meminta pertanggungjawaban dari orang-orang Perguruan Gunung 
Lawa...," usul Panji setelah mendengar semua penjelasan itu. Yang lainnya langsung mengangguk setuju. Sebab, 
mereka pun memang mempunyai pikiran yang sama dengan Panji.


DELAPAN


"Iieee...!" 
Baru saja Panji dan yang lainnya hendak bergerak meninggalkan tempat itu, tiba-tiba terdengar 
lengkingan tinggi menusuk telinga, yang membuat Pendekar Macan Saka dan istrinya terkejut. 
"Bedebah! Baru aku mengerti sekarang! Lengkingan itu rupanya sengaja membawa kami ke tempat ini, 
agar aku dan istriku menemukan Sasmita dan Sari Asih di tempat ini...!" geram Pendekar Macan Sakti. 
Lelaki setengah baya ini baru menyadari bahwa dirinya dipancing datang ke pondok itu agar bisa 
melihat putranya dan Sari Asih yang juga terjebak. 
"Hm..., suara lengkingan itu pastilah berasal dari Dewa Gunung Lawa...," gumam Panji yang rupanya 
mengenali pemilik lengkingan tinggi yang menyakitkan itu. Tanpa membuang-buang waktu lagi, Panji pun 
mengerahkan tenaga saktinya untuk mengeluarkan suara lengkingan halus guna menindih suara itu. 
Tidak berapa lama kemudian, suara lengkingan itu pun lenyap. Berbarengan dengan lenyapnya 
lengkingan tinggi itu, muncullah belasan sosok tubuh berpakaian serba hitam yang langsung mengurung orang-
orang yang berada di tempat itu. 
"Sepasang Algojo Gunung Lawa...?!" desis Pendekar Macan Sakti melihat dua orang berkepala botak 
yang memimpin belasan orang itu. 
"He he he...! Selamat bertemu, Pendekar Macan Sakti. Sebenarnya kami tidak ingin mengusikmu. Tapi, 
perbuatan putramu dan dara cantik itulah yang membuat kami terpaksa harus melenyapkanmu dari permukaan 
bumi ini...," ujar salah seorang dari kedua lelaki tinggi besar berkepala botak itu. 
Tangan lelaki itu memegang kapak bergagang panjang yang tampak terangkat perlahan. Begitu pula 
yang dilakukan orang kedua yang memiliki ciri-ciri serupa dengan kawannya. Mereka itulah yang terkenal 
dengan julukan Sepasang Algojo Gunung Lawa. 
Pendekar Macan Sakti dan istrinya sadar akan kesaktian lawan. Cepat keduanya melangkah maju guna 
menghadapi Sepasang Algojo Gunung Lawa, yang memang selalu bersama-sama dalam menghadapi setiap 
pertempuran. 
Kesaktian dan kekejaman lawannya yang memang sudah sangat terkenal itu, membuat Nyi Sekar 
Galung telah menghunus pedang. Sedangkan Pendekar Macan Sakti telah mengeluarkan senjata andalannya 
berupa sarung tangan berwarna emas. Sepasang suami istri itu telah siap menghadapi gempuran tawan. 
"Heaaat..!" 
Sepasang Algojo Gunung Lawa langsung membuka serangan dengan teriakan parau. Tubuh keduanya 
yang sama tinggi besar itu melayang disertai ayunan senjatanya yang menimbulkan deruan angin tajam. 
"Hait..!" 
Pendekar Macan Sakti dan istrinya langsung saja bergerak menyambut serangan lawan. Sebentar saja 
keempat tokoh sakti itu telah terlibat dalam sebuah pertarungan sengit. 
Panji dan Kenanga sendiri saat itu telah dikeroyok oleh belasan orang berseragam hitam yang dipimpin 
oleh Ganjalu yang berjuluk si Tongkat Iblis. Pasangan pendekar muda itu tentu saja tidak gentar. Dengan 
gerakan yang sukar ditangkap mata biasa, keduanya melesat kian kemari sambil melemparkan tamparan dan 
tendangan yang cepat dan kuat. 
Sebentar saja, empat orang pengeroyoknya roboh dan tewas, akibat terjangan sepasang pendekar muda 
itu. Jelas kali ini Panji tidak lagi memberi hati kepada orang-orang Perguruan Gunung Lawa. Sebab, mereka 
ternyata sangat licik dan jahat! 
Di bagian lain, Sari Asih tampak sibuk menghadapi serbuan delapan orang lawannya. Dara cantik itu 
telah menghunus senjatanya. Karena, selain harus menghadapi keroyokan, ia pun masih harus melindungi 
kekasihnya dari incaran senjata lawan. Sebab, Sasmita yang masih lemah itu, belum bisa mempertahankan 
dirinya dari keroyokan lawan. 
Panji yang sempat melirik ke arah Sasmita dan Sari Asih, segera meminta Kenanga untuk membantu 
kedua orang muda itu. Tanpa membantah lagi, Kenanga langsung saja menerjunkan diri ke arena pertarungan 
itu, dan langsung menerjang orang-orang yang mengeroyok Sari Asih dan Sasmita. 
"Terima kasih. Kalian berdua telah berkali-kali menolongku...," ucap Sari Asih yang merasa terharu 
dengan kebaikan Kenanga dari Panji. Karena telah berkali-kali nyawanya diselamatkan oleh pasangan pendekar 
besar itu. 
"Sudah menjadi kewajiban kita untuk saling tolong-menolong, Adik Manis...," sahut Kenanga yang 
kembali merobohkan dua orang pengeroyoknya. 
Sebentar saja, keadaan menjadi berbalik. Kini orang-orang Perguruan Gunung Lawa itu harus mati-
matian menyelamatkan diri dari incaran Pedang Sinar Rembulan di tangan dara jelita itu. 
"Iiieee...!"

Saat Kenanga hendak membabat dua orang pengeroyoknya, tiba-tiba terdengar lengkingan tinggi yang 
membuat dada dara itu berdebar keras. Belum lagi ia sempat menyadari apa yang terjadi, tahu-tahu sesosok 
bayangan telah melontarkan sebuah tamparan ke kepalanya. 
Bukkk!" 
"Aaah...!" 
Kenanga memekik kesakitan. Untunglah pada saat yang amat gawat itu ia masih sempat memiringkan 
tubuhnya. Sehingga, yang menjadi sasaran tamparan lawan adalah bahunya. Meskipun demikian, Kenanga 
merasakan lengan kanannya lumpuh. Jelas tamparan itu mengandung kekuatan yang hebat. 
"Kau...?!" 
Sari Asih yang melihat seorang kakek-kakek memegang sebatang tongkat bambu butut, langsung 
menjadi terkejut la mengenali kakek itu sebagai orang yang menghadangnya di perjalanan, dan memberitahukan 
keadaan serta tempat di mana kekasihnya berada. Sadarlah dara cantik itu bahwa ia memang sengaja dijebak, 
dan diadu domba oleh orang-orang Perguruan Gunung Lawa. 
"Keparat! Kakek jahat! Kubunuh kau...!" teriak Sari Asih yang tanpa berpikir panjang lagi, langsung 
saja menusukkan pedangnya ke tubuh kakek itu. 
Dukkk! 
"Aaahk...!" 
Sari Asih memekik kesakitan. Pedangnya memang tepat mengenai sasaran. Tapi, jangankan untuk 
membunuh kakek itu, melukainya pun ternyata tidak sanggup. Tentu saja Sari Asih menjadi tekejut melihat 
kehebatan kekebalan tubuh lawannya, ia tidak menyadari sama sekali ketika lengan kiri kakek itu telah terulur, 
siap mencengkeram hancur batok kepalanya. 
Plak! 
Namun, saat itu juga terdengar benturan keras memekakkan telinga. Sesosok bayangan bersinar putih 
keperakan telah menyambut dan menggagalkan niat kakek itu untuk membunuh Sari Asih. Bahkan, tubuh kakek 
itu sampai terdorong mundur sejauh empat langkah! 
"He he he...! Pendekar Naga Putih...!" ujar kakek itu terkekeh ketika melihat sosok pemuda tampan 
berjubah putih telah berdiri di depannya, dalam jarak satu tombak. 
"Hm..., Dewa Gunung Lawa! Sebagai orang tua, seharusnya kau lebih banyak mendekatkan diri kepada 
Sang Pencipta, dan bukannya malah semakin mengumbar hawa nafsumu!" ucap Panji seraya membalas tatapan 
orang tua yang berjuluk Dewa Gunung Lawa itu dengan sorot mata yang tidak kalah tajam. Untuk beberapa saat 
lamanya, kedua tokoh sakti itu saling bertatapan dengan tajamnya. 
"Hiyaaat..!" 
Tiba-tiba saja Dewa Gunung Lawa berteriak keras. Tongkat bambu di tangannya dilemparkan ke udara, 
yang langsung meliuk dan berputar, tak ubahnya sebuah benda bernyawa. Jelas kalau Dewa Gunung Lawa 
mempergunakan ilmu sihirnya untuk menghadapi Pendekar Naga Putih. 
"Hm...," Panji hanya bergumam perlahan ketika melihat tongkat bambu itu meluncur turun menyerang 
dirinya. 
Bettt! 
Cepat Panji memiringkan tubuhnya, menghindari sambaran tongkat bambu butut yang menimbulkan 
angin bercultan tajam itu. Pendekar Naga Putih terus melompat ke kanan, ketika ujung tongkat itu menusuk 
dengan kecepatan kilat. 
Whuttt... 
Kraaakkk! 
Sebatang pohon yang besarnya sepelukan orang dewasa langsung berderak patah ketika sodokan ujung 
tongkat yang dihindari Panji menghantamnya. Diam-diam Panji terkejut melihat kehebatan yang tersembunyi di 
dalam tongkat bambu butut itu. Dan, ketika tongkat itu berputar membabat tubuhnya, Pendekar Naga Putih 
mencoba untuk menyambut datangnya badan tongkat. 
Duggg! 
Bukan main terkejutnya hari Panji ketika merasakan lengannya kesemutan akibat berbenturan dengan 
tongkat bambu butut itu. Sadarlah Panji kalau tongkat bambu butut itu telah dipengaruhi kekuatan sihir yang 
dahsyat. Bahkan, ujung tongkat itu sempat menyemburkan asap berwarna merah ketika membentur tubuh Panji. 
Pendekar Naga Putih cepat-cepat melompat jauh ke belakang sambil mendorongkan sepasang telapak 
tangannya, guna mengusir asap berwarna merah yang berbau harum itu. 
"Hm...," untuk kesekian kalinya Panji kembali bergumam.

Lengan kakek itu sudah terulur, siap mencengkeram hancur batok kepala Sari Asih. Namun... 
Plak! 
Saat itu juga terdengar benturan keras yang memekakkan telinga. Sesosok bayangan putih keperakan 
telah menyambut dan menggagalkan niat Dewa Gunung Lawa untuk membunuh Sari Asih.

Kali ini Pendekar Naga Putih terlihat menyilangkan sepasang lengannya di depan dada. Kemudian 
membuka ke depan seperti orang membopong sebuah benda. Sesaat kemudian, kedua tangannya diputar, dan 
disatukan di atas kepala, sambil membentak nyaring! 
"Naga Langit...!" bentakan yang keras itu disusul dengan berpendarnya seberkas sinar kuning 
keemasan di atas kepala Pendekar Naga Putih, Sinar kuning keemasan itu tidak lain dari Pedang Pusaka Naga 
Langit yang dikeluarkan dari dalam tubuhnya guna menghadapi tongkat butut Dewa Gunung Lawa. 
"Hebat..!" Dewa Gunung Lawa sendiri berseru memuji Pendekar Naga Putih, yang dikiranya juga 
memiliki ilmu sihir. Maka, kakek itu segera memejamkan kedua matanya guna memperkuat kekuatan sihir pada 
tongkatnya. 
Sebentar kemudian, Pedang Naga Langit itu telah bergerak menyambut datangnya tongkat bambu butut 
Dewa Gunung Lawa. Pertarungan tidak masuk akal itu tidak berlangsung lama. Sebab, Pedang Naga Langit 
yang memang memiliki kekuatan tanpa bantuan dari Panji, langsung membabat tongkat bambu butut itu hingga 
menjadi enam bagian. Tentu saja potongan-potongan tongkat itu langsung runtuh ke tanah. 
"Aaah...!?" Dewa Gunung Lawa terkejut ketika merasakan tubuhnya bagaikan terpukul sebuah 
kekuatan dahsyat. Cepat-cepat tokoh sakti itu menyilangkan kedua tangan di depan dada seraya memejamkan 
mata. 
Kemudian, sepasang lengannya dikibaskan ke kiri dan kanan sambil membentak keras. Jelas 
maksudnya hendak menghilangkan pengaruh aneh yang menyergap tubuhnya, tepat pada saat bambu bututnya 
terpotong oleh pedang lawan. 
"Hm..., sekarang hadapilah jurus-jurusku, Pendekar Naga Putih...," geram Dewa Gunung Lawa yang 
segera menggerakkan kedau tangannya yang siap menggempur Panji. Jelas ia telah merasa tidak ada gunanya 
menggunakan ilmu sihir. 
Panji yang sudah menarik pulang Pedang Naga Langit, segera mengeluarkan 'Ilmu Silat Naga Sakti' 
yang merupakan ilmu pamungkasnya. Berbarengan dengan itu, ia pun menambahkan kekuatan 'Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan'. Sehingga, hembusan angin dingin semakin kuat, membuat orang-orang di sekitarnya bergegas 
menjauhkan diri dari arena pertarungan maut itu. 
"Haaat..!" 
"Yeaaah...!" 
Dibarengi pekikan mengguntur, kedua tokoh sakti itu saling terjang dengan hebatnya! Debu dan 
dedaunan kering beterbangan bagaikan dilanda badai topan yang hebat. Sebentar saja suasana di sekitar arena 
pertarungan itu menjadi gelap oleh debu dan dedaunan yang bertebaran kian kemari. 
Dukkk! Dukkk! Plak! 
Terdengar benturan keras berkali-kali membuat tubuh keduanya tampak berpencar, kemudian menyatu 
kembali dan saling terjang dengan dahsyatnya. 
Hebat luar biasa pertarungan yang terjadi di tempat itu. Sehingga, dalam jarak tiga tombak masih terasa 
getaran jejakan kaki kedua tokoh itu yang berdebum-debum menimpa bumi. 
Beberapa batang pohon yang berada di sekitar satu tombak dari tempat kedua tokoh sakti itu bertarung, 
terangkat dari atas tanah, dan roboh bersama akar-akarnya! Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya 
pertarungan kedua orang tokoh sakti itu. 
Jurus demi jurus berlangsung cepat. Tanpa terasa pertarungan telah berjalan selama seratus dua puluh 
jurus. Meskipun demikian, belum ada tanda-tanda bahwa salah seorang di antara mereka ada yang kalah. 
Keduanya masih sama kuat dan sama cepat. 
"Yeaaat..!" 
Dewa Gunung Lawa yang merasa penasaran terhadap lawan yang pantas menjadi cucunya itu, suatu 
saat mengeluarkan bentakan nyaring. Berbarengan dengan itu, sepasang tangannya berputar menciptakan deruan 
angin topan yang hebat. Kemudian mendorongnya ke depan ke arah Pendekar Naga Putih. 
Whusss...! Blarrr...! 
Mengerikan sekali akibat terpaan angin pukulan Dewa Gunung Lawa. Sebuah batu besar yang berada 
di belakang Panji, langsung hancur berantakan dengan suara ledakan keras. Terdengar jerit-jerit kematian yang 
menyayat, dibarengi terlemparnya enam sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam. Jelas mereka adalah 
orang-orang Perguruan Gunung Lawa yang secara tak sadar telah menjadi sasaran pukulan maut ketuanya 
sendiri. 
Panji yang berputaran di udara guna menghindari pukulan maut lawannya, langsung meluruk dengan 
kecepatan kilat 'Naga Sakti Meluruk ke Dalam Bumi' yang merupakan jurus mautnya itu, langsung dipegunakan 
saat itu juga. Seketika terciptalah gelombang lingkaran sinar putih keperakan yang menyilaukan mata. 
Sedangkan sepasang tangan pemuda itu terkadang menyembul dari sisi lingkaran yang diciptakannya. 
"Hiaaa...!" 
Bret! Bret! Desss...! 
"Aaaiii..!"

Dewa Gunung Lawa memekik keras ketika cakar naga serta hantaman telapak tangan pemuda itu 
mendarat telak di tubuhnya. Tanpa ampun lagi, tubuh Dewa Gunung Lawa terlempar deras disertai semburan 
darah segar membasahi tanah. 
Bukkk! 
Sebatang pohon besar yang menahan luncuran tubuh Dewa Gunung Lawa berderak patah, seiring 
dengan melayangnya nyawa kakek itu meninggalkan raganya yang telah remuk akibat hantaman telapak tangan, 
serta cakar naga Panji. 
"Hhh...," Panji menghela napas panjang melihat tubuh Dewa Gunung Lawa yang telah tewas di 
tangannya. 
Pendekar Macan Sakti dan yang lainnya berlarian mendatangi Pendekar Naga Putih. Jelas mereka pun 
telah menyelesaikan lawan-lawannya pada saat Panji tengah bertempur dengari Dewa Gunung Lawa. 
"Hm..., akhirnya tokoh sakti yang sombong itu harus menyerah di tangan seorang pendekar muda yang 
sama sekali tidak pernah diimpikannya...," gumam Pendekar Macan Sakti. 
Panji yang berada di sebelah kanan Pendekar Macan Sakti menoleh dengan kening berkerut ketika 
melihat lengan kanan laki-laki setengah baya itu nampak terluka. 
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Bidadari jelitamu itulah yang telah mengobatiku. Kalau tidak, 
mungkin aku pun telah melayat ke akhirat. Karena luka ini ternyata mengandung racun," jelas Pendekar Macan 
Sakti tersenyum melihat kekhawatiran di mata pemuda itu. 
"Syukurlah kalau begitu, Paman...," ucap Panji merasa lega mendengar keterangan Pendekar Macan 
Saktt. 
"Hm..., pada kesempatan ini, biarlah aku berterus terang untuk mengakui dosaku...," tiba-tiba saja 
lelaki tinggi gagah itu menundukkan kepalanya dengan wajah penuh sesal. 
Sepasang mata Pendekar Macan Sakti melirik sekejap ke arah Sari Asih. Sehingga, dara cantik manis 
itu menjadi berdebar tegang. Jelas ia menduga bahwa pendekar gagah itu telah menyadari kesalahannya untuk 
memisahkan dia dengan Sasmita. 
"Asih...," Pendekar Macan Sakti mengangkat wajahnya menatap dara cantik manis itu. "Akulah yang 
telah membunuh orangtuamu, karena aku menyangka ayahmu telah melarikan putraku. Sayang penyesalan ini 
datangnya terlambat. Aku benar-benar menyesal telah bertindak ceroboh dan terburu-buru...," aku Pendekar 
Macan Sakti yang membuat wajah Sari Asih dan Sasmita pucat pasi. 
"Ayah, kau...!" Sasmita terpekik kaget mendengar penjelasan ayahnya. Pemuda itu menatap wajah 
orangtuanya dengan mata membelalak lebar. 
Sari Asih sendiri melangkah mundur dengan tubuh gemetar. Cepat ia mengangkat pedang yang masih 
tergenggam di tangan kanannya. Jelas dara cantik itu telah siap untuk membalas kematian orangtuanya. 
"Lakukanlah, Asih. Aku tidak akan melawan. Aku siap menebus kesalahanku itu...," desah Pendekar 
Macan Sakti dengan wajah penuh sesal. 
"Asih, tahan...!" Panji yang melihat Sari Asih sudah bersiap untuk menerjang Pendekar Macan Sakti, 
segera saja berkelebat menangkap pergelangan tangan dara cantik itu. 
"Aku harus menebus kematian orangtuaku, Pendekar Naga Putih! Dan, aku telah bersumpah di depan 
makam ayah...," bantah Sari Asih dengan wajah bersimbah air mata. Jelas kalau dara cantik itu pun tengah 
dilanda keraguan. Sepasang matanya yang bening dan basah oleh air mata, menatap wajah Pendekar Macan 
Sakti dan Sasmita berganti-ganti. Jelas Sari Asih tidak bisa menjatuhkan pilihannya untuk melakukan hal itu. 
"Asih..., semua itu sudah lewat. Jadi, janganlan kau buat masalah baru dengan membunuh Pendekar 
Macan Sakti yang jelas-jelas telah menyesali perbuatannya. Aku mulai dapat menduga apa sebenarnya yang 
telah terjadi di antara kedua keluarga kalian. Bukankah kau mencintai Sasmita...?" tanya Panji menuntut 
jawaban tegas. 
"Ya..., aku sangat mencintainya, dan tidak mungkin dapat hidup tanpa Kakang Sasmita...," jawab Sari 
Asih setelah terdiam sesaat. 
"Hm..., apakah kalian akan hidup berdampingan apabila kau membunuh Pendekar Macan Sakti, yang 
menjadi ayah dari kekasihmu itu? Rasanya, ayahmu pun akan tenang di alam sana apabila kalian dapat menyatu 
dalam tali perkawinan. Anggaplah kematian ayahmu sebagai tumbal perkawinan buat kalian berdua.... Nah, 
bukankah hal itu jauh lebih baik...," nasihat Panji kepada Sari Asih yang mulai terbuka matanya. Dara itu 
menatap wajah Pendekar Macan Sakti dan istrinya, seolah-olah meminta jawaban mereka atas ucapan Panji. 
"Kami setuju, Asih. Pendekar Naga Putih benar-benar telah membuat aku merasa malu. Pemuda itu 
ternyata jauh lebih bijaksana ketimbang aku yang tua ini. Yah..., aku akan merestui hubungan kalian," tegas dan 
mantap kata-kata Pendekar Macan Sakti yang dijawab dengan anggukan kepala oleh Nyi Sekar Galung. Jelas 
kalau wanita cantik itu pun setuju bermantukan Sari Asih. 
Sasmita dan Sari Asih saling berpandangan. Ketika melihat Sasmita menganggukkan kepala, Sari Asih 
langsung berlari ke dalam pelukan pemuda gagah itu. Ia menangis bahagia di dada bidang Sasmita. 
"Nah, karena persoalan ini sudah selesai, aku mohon pamit," pinta Panji kepada Pendekar Macan Sakti 
dan yang lainnya. Kemudian, pemuda itu mengajak Kenanga untuk melanjutkan petualangan.

"Pendekar Naga Putih! Kuharap kau dapat hadir pada pesta pernikahan kami...!" seru Sasmita dengan 
suara lantang. 
"Datanglah pada tanggal dua bulan depan ke Bukit Harimau Putih...!" Pendekar Macan Sakti 
menyambung ucapan, Sasmita. 
"Kami pasti akan hadir untuk memberi selamat kepada mereka berdua, Paman...!" sahut Panji, yang 
kembali membalikkan tubuhnya dan berkelebat lenyap bersama kekasihnya di balik pepohonan lebat. 
"Seorang pemuda yang hebat. Sifatnya pun penuh ketenangan dan kesabaran...," gumam Pendekar 
Macan Sakti sebelum mereka semua meninggalkan tempat itu, diiringi hembusan angin senja yang membuat 
hati mereka menjadi damai. 




Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode-episodenya yang menarik: 
1. TIGA IBUS GUNUNG TANDUR 24. MACAN TUTUL L. DARU 
2. DEDEMIT BUKIT IBLIS 25. MALAIKAT GERBANG NERAKA 
3. ALGOJO GUNUNG SUTRA 26. RAHASIA PEDANG N. LANGIT 
4. PARTAI RIMBA HITAM 27. SENGKETA JAGO J. PEDANG 
5. JARI MAUT P. NYAWA 28. LABA-LABA HITAM 
6. PENGHUNI R. GERANTANG 29. TERSESAT DI L. KEMATIAN 
7. RAJA IBUS DARI UTARA 30. DENDAM PENDEKAR CACAT 
8. PENJAGAL ALAM AKHERAT 31. TERDAMPAR DIPULAU ASING 
9. MENCARI JEJAK PEMBUNUH 32. KUMBANG MERAH 
10 BUNGA ABADI DI GUNUNG K 33. BIDADARI IBLIS 
11. MEMBURU HARTA KARUN 34. MUSTIKA NAGA HIJAU 
12. KELABANG HITAM 35. PENDEKAR GILA 
13. PENGGEMBALA MAYAT 36. MISTERI DESA SILUMAN 
14. PUSAKA BERNODA DARAH 37. KETURUNAN D. PERSILATAN 
15. PENDEKAR MURTAD 38. TEWASNYA R. RACUN MERAH 
16. KECAPI PERAK D. SELATAN 39. PUTRA HARIMAU 
17. SERIGALA SILUMAN 40. SEPASANG M. L MAUT 
18. DEWI BAJU MERAH 41. HANTU LAUT PAJANG 
19. ASMARA DI UJUNG PEDANG 42. TERJEBAK DI PERUT BUMI 
20. BENCANA DARI ALAM KUBUR 43. DARAH PERAWAN SUCI 
21. HILANGNYA P. KERAJAAN 44. PENGEMBAN DOSA TURUNAN 
22. TRAGEDI G. LANGKENG 45. BADAI RIMBA PERSILATAN 
23. DEWA TANGAN API 46. PETUALANGAN DI ALAM ROH 
47. BANGKITNYA MALAIKAT PETIR 
48. MISTERI SELENDANG BIRU 
49. TUMBAL PERKAWINAN

Share:

0 comments:

Posting Komentar