Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan be-
laka.
API
DI PUNCAK
SEMBUANG
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
SATU
Untuk yang kedua kalinya Pendekar Blo'on
sampai lagi di istana Pasundan atau kerajaan Surga
Dunia. Dalam pada itu keningnya berkerut. Istana da-
lam keadaan lengang, perajurit-perajurit kerajaan me-
mang masih tetap berjaga-jaga di posisi masing-
masing. Namun nampaknya mereka lebih santai dari
hari-hari biasanya.
Si baju biru seka keningnya, lalu garuk kepala
berulang-ulang. Keningnya mengerenyit.
"Istana dalam keadaan sepi, mustahil pangeran
Suprana berada di tempat? Lalu ke mana? Menurut Si
Kucar-Kacir, Pangeran gila itu pasti kembali ke istana.
Aku khawatir sekali puteri Saba sudah diapa-apainya.
Aku harus menyelidik ke dalam istana itu." tegas Suro
dalam hati. Untuk menghindari perajurit-perajurit ke-
rajaan, ia mengambil jalan di bagian belakang.
Pemuda tampan bertampang ketolol-tololan ini
kemudian melompati benteng istana yang menjulang
tinggi. Ia sampai di taman kaputren. Baru saja ia me-
nyelinap diantara rumpun-rumpun bunga yang terdiri
dari beraneka rupa itu. Suro mendadak hentikan lang-
kah, memandang ke depan dengan mata terpentang
lebar.
Di tengah-tengah taman bunga itu ternyata ter-
dapat sebuah kolam berair jernih. Di dalam kolam ti-
dak kurang dari lima orang gadis sedang mandi. Dan
di tepian kolam sepuluh gadis sedang berjemur sambil
bersenda-gurau. Si konyol kerjabkan matanya, gadis-
gadis itu semuanya dalam keadaan telanjang bulat.
"Ckk... cck...! Ini rupanya gadis-gadis peliha-
raan pemuda edan itu. Mereka sama sekali tidak bermalu. Pamer aurat, bertelanjang ria. Ada yang putih,
ada yang hitam, ada pula yang kuning. Terlalu banyak
bukit kembar yang mubajir di taman kaputren ini." Su-
ro tiba-tiba senyum sendiri. "Bukit-bukit itu ada yang
lebat, ada yang gersang bahkan ada yang tidak berhu-
tan sama sekali. Apa habis dicukur atau hutannya
memang gundul terkena polusi? Kalau aku punya istri
sebanyak itu, tidak sampai setahun di depan aku sege-
ra mati loyo! Gila...!!" Suro tersenyum. Selanjutnya ia
menyelinap ke bagian lain. Di dalam istana penjagaan
memang cukup ketat. Suro terpaksa menotok dan me-
lucuti pakaian seorang perajurit. Setelah mengenakan
pakaian perajurit yang dibiarkan cuma berkolor saja.
Suro dengan bebas dapat memasuki ruangan-ruangan
istana yang sangat banyak sekali.
"Aneh, mereka sama sekali tidak berada di sini.
Lalu kemana perginya Pangeran gila Suprana?" batin
Pendekar Mandau Jantan bingung. Ia kemudian me-
masuki sebuah ruangan yang tidak lain adalah kamar
para gadis yang menjadi budak-budak nafsu Kumbang
Pemikat. Begitu masuk ia langsung menutup pintu.
Di sini pun Suro melihat pemandangan yang
luar biasa. Bayangkan tidak kurang dari belasan gadis
hanya memakai pakaian teransparan berwarna putih.
Di balik pakaian itu mereka sama sekali tidak mema-
kai apa-apa.
Salah seorang diantaranya begitu melihat ke-
hadiran Suro yang berpakaian prajurit langsung mem-
bentak.
"Perajurit sialan! Berani sekali kau memasuki
ruangan surga. Apakah kau ingin kepalamu dipan-
cung!" Lantang suara gadis berlekuk dagu itu.
Karena Suro tetap tidak beranjak dari situ, ma-
ka ia segera datang menghampiri.
"Kau tidak tuli, bukan?"
Suro menggeleng. Lalu ia menempelkan telun-
juk ke bibirnya. Si konyol membuka penyamarannya.
"Heh...!" Gadis tadi terkejut serentak melang-
kah mundur. Sedangkan kawan-kawannya berhambu-
ran menghampiri Suro. Hamba-hamba nafsu ini keli-
hatannya terpesona melihat ketampanan Suro.
"Siapakah Kisanak?" tanya gadis yang memben-
taknya tadi. Diam-diam ia pun merasa tertarik.
"Aku tidak perlu menjelaskan namaku. Aku in-
gin bertanya apakah Pangeran Suprana ada di istana
ini?!"
Belasan gadis itu saling pandang. Lalu gadis
yang berlekuk di dagu spontan menjawab.
"Aku Sri Asih, kepala gadis-gadis Sorga Dunia.
Kalau pertanyaanmu itu ku jawab. Apakah kau berse-
dia memberikan kehangatan pada kami semua?" tan-
tang si gadis, bibirnya yang kemerahan itu mengem-
bangkan seulas senyum mengundang gairah.
Suro jadi bingung. Gadis itu bukan sedikit, la-
gipula ia bukan tipe pemuda mata keranjang, atau ti-
kus yang mudah masuk perangkap hanya karena sete-
lah melihat terasi mubazir.
"Anu... jawab dulu pertanyaanku...!" sahut Suro
gugup dan sekujur tubuhnya pun langsung keringa-
tan.
Sri Asih menghampiri, mengelus-elus dada Su-
ro sambil berkata. "Aku suka padamu. Kau pasti seo-
rang pemuda perkasa yang dapat memuaskan dahaga
kami!"
"Hust, kalau kalian dahaga minum sebanyak-
banyaknya. Lebih baik kalian bantu aku, kelak aku
akan membantu kalian!" jawab Suro tegas.
"Tidak semudah itu, melihat tampangmu yang
tolol begitu apa mungkin kau becus menghadapi Pan-
geran Suprana, Tuhan kesenangan dunia."
Sri Asih ragu-ragu. Lalu salah seorang kawan-
nya yang berambut panjang berdada montok menim-
pali.
"Lebih baik kasih keterangan padanya, kakak.
Siapa tahu kelak dia dapat menolong kita!"
"Usulmu bagus juga Kumala." Sri Asih menang-
gapi. Sedangkan pada saat itu gadis-gadis lainnya su-
dah mulai ada yang mendekap dan memeluk Suro.
Pemuda itu merasa risih, namun ia tidak berani ber-
tindak, khawatir gadis-gadis itu membuat kegaduhan.
Kemudian Sri Asih menjawab. "Pangeran Suprana dan
panglima Sang Bala tidak berada di tempat, mungkin
mereka sekarang sedang mengejar puteri Saba yang te-
lah dilarikan oleh seseorang. Kumbang Pemikat seka-
rang sedang terluka, mereka juga bersama Tabib Dewa
Sesat." jelas gadis itu.
Lega juga hati Suro mendengar semua itu. Na-
mun ia tidak tahu siapa yang telah melarikan puteri
Saba. Kini ia menyadari sedang berhadapan dengan
orang-orang licik. Sedangkan mengenai Tabib Dewa
Sesat, menurut gurunya dulu tokoh berkepala botak
ini memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli me-
ramu obat juga racun.
"Terima kasih atas keterangan kalian. Lain hari
jika segala urusan telah selesai, aku datang ke sini lagi
untuk membebaskan kalian." tegas Pendekar Blo'on.
Sri Asih dan Kumala kelihatannya dapat men-
gerti. Tapi gadis-gadis lainnya tidak perduli.
"Kau mana boleh pergi begitu saja, arjunaku.
Kemarilah, beri kami kepuasan." desis gadis-gadis itu.
Mereka pun berebut memeluk Suro, dianta-
ranya bahkan ada yang berusaha melucuti pakaian
Suro, ada juga yang tangannya gentayangan ke bagian
selangkangan Suro. Tidak jarang pula yang menjatuh-
kan ciuman bertubi-tubi ke bibir dan wajah Suro. Pe-
muda ini jadi kelabakan, lalu menotok gadis-gadis
yang mengerubuti mereka, sampai kemudian terdengar
suara Kumala.
"Hentikan! Biarkan tuan ini pergi, dan jangan
ada yang coba melapor pada Iblis Peruntuh Mahkota."
ancam Kumala.
Mereka yang belum sempat tertotok langsung
bergerak mundur. Sri Asih membuka jendela sambil
memberi isyarat pada Suro untuk mendekat.
"Saudara, bagaimana pun kami ingin kembali
menjadi orang baik. Saudara harapan kami. Untuk itu
aku membantumu, lekaslah pergi, sebelum perajurit-
perajurit itu curiga. Sebelum itu aku harus tahu, ba-
gaimana nasib kawan-kawan kami yang tertotok? Apa-
kah mereka segera mati?"
Suro terpaksa menahan tawa. "Tidak! Mereka
tetap panjang umur, tidak lama totokan akan punah
sendiri!" kata Suro.
Tanpa menunggu lebih lama, Suro langsung ke-
luar dari jendela. Kemudian ia bergerak meninggalkan
kerajaan Pasundan yang terletak di lembah Kahuripan
itu.
Setelah cukup jauh si konyol meninggalkan ke-
rajaan. Maka berhentilah ia di bawah sebatang pohon.
Ia gelisah, lalu setelah toleh sana toleh sini ia membu-
ka celananya.
"Aku khawatir burungku sudah diambil oleh
gadis-gadis tadi!" katanya seorang diri. Lalu ia meme-
riksa dan akhirnya tersenyum. "Aman! Aku punya te-
tap di tempat, ia masih mengeram untung telurnya tidak pecah!"
Suro menarik celananya ke atas lagi. Saat ia
meraba ke bagian pinggang maka pucatlah wajah pe-
muda itu. "Senjataku!" desisnya dengan suara berge-
tar. Ia meraba-raba lagi, namun senjata andalannya
Mandau Jantan tetap tidak ditemukannya.
Suro mondar-mandir sambil menepuk-nepuk
keningnya. Bingung! Wajahnya sebentar memucat se-
bentar memerah, ia coba mengingat-ingat di mana sen-
jata itu tertinggal atau kalau benar di curi oleh orang
lain siapa orangnya?
"Apa mungkin yang mencuri senjataku perem-
puan-perempuan yang berada dalam istana tadi?" pikir
Suro. "Rasanya tidak mungkin. Hmm, aku bisa mam-
pus menghadapi persoalan besar nanti tanpa senjata
itu! Siapa yang mencurinya, bagaimana mungkin aku
sampai tidak tahu senjataku telah berpindah tangan?"
Suro terdiam lagi, bibirnya bersungut-sungut.
Ada rasa geram di hatinya, ia takut senjata maut itu di
salah gunakan orang. Ia pun tersentak kaget ketika te-
ringat sesuatu.
"Tidak salah, orang yang mengambil senjata
sampai aku tidak merasakannya pastilah hanya orang
yang memiliki kepandaian tinggi dalam hal mencuri!"
desis Pendekar Blo'on. Lalu ia teringat pertemuan yang
kedua kalinya dengan gadis berpakaian hitam. Bukan-
kah pada puteri Saba ia pernah mengaku sebagai Mal-
ing Cerdik. Waktu itu ketika Suro hendak berangkat ke
kerajaan Pasundan dalam usahanya menyelamatkan
puteri Saba ia bertubrukan dengan gadis itu.
"Kurang ajar betul, dia benar-benar maling
yang sangat lihai. Aku harus mencarinya sebelum ber-
temu dengan orang-orang yang harus kutumpas! Hh,
sekarang aku harus pergi, aku rasa dia juga menuju
ke bukit Sembuang." Batin Pendekar Blo'on. (Untuk lebih jelasnya siapa gadis berbaju hitam itu dalam Epi-
sode Pendekar Kucar Kacir). Suro bangkit berdiri, den-
gan mengerahkan ilmu lari cepat Kilat Bayangan. Pe-
muda itu dalam sekejap saja sudah tidak terlihat ba-
tang hidungnya.
* * *
Seperti diceritakan dalam episode terdahulu,
Tabib Dewa Sesat waktu itu bersedia mengobati racun
jahat ular kuning yang mengeram di tubuh Pangeran
Suprana alias Kumbang Pemikat alias Iblis Peruntuh
Mahkota. Sebagai imbalan ia berhak mendapatkan pu-
teri Saba sebagaimana yang diminta oleh Tabib sesat
berkepala botak ini. Kelicikan dibalas dengan kelici-
kan. Ketika Pangeran Suprana mengingkari janjinya.
Tidak tahu tabib ini juga sebelumnya telah memberi
racun dalam salah satu obat yang diberikannya pada
Pangeran Suprana.
Pemuda itu tidak punya pilihan lain. Ia pun
mengabulkan permintaan sang Tabib. Tapi ketika me-
reka hendak mengambil sang puteri, gadis itu lenyap.
Kini Tabib Dewa Sesat tanpa menghiraukan
Pangeran Suprana dan Sang Bala yang menyusul tidak
jauh di belakangnya terus melakukan pengejaran. Se-
kejab tadi ia sempat melihat berkelebatnya bayangan
merah sambil memondong puteri Saba.
Ia mengejar sambil berteriak-teriak. Namun
bayangan merah itu sedikit pun tidak menoleh bahkan
mempercepat larinya. Dalam waktu singkat sang Tabib
telah tertinggal jauh. Adalah suatu kenyataan yang
sangat mengejutkan bila hal ini dapat terjadi mengin-
gat sang Tabib adalah tokoh aliran hitam yang berpen-
galaman di samping memiliki ilmu lari 'Kijang Kencana'. Dalam keadaan berlari itu pula terlintas dalam be-
naknya apa dan siapa orang yang telah melarikan pu-
teri Saba.
Orang yang dikejar pun menghilang. Sambil
memaki-maki sang Tabib hentikan langkahnya. Rasa
geram mewarnai dirinya. Sekilas ia menoleh ke bela-
kang. Dilihatnya Sang Bala turus mengejar dengan
menunggang kuda. Ia tidak melihat Pangeran Suprana,
pemuda yang telah disembuhkan dari racun ular kun-
ing, namun kini harus menderita keracunan lagi akibat
perbuatannya sendiri.
"Manusia berwajah dingin ini aku tidak tahu
sampai dimana kehebatannya. Aku tidak mau bentrok
dengannya. Lebih baik aku mencari Pedang Penyebar
Bencana. Jika senjata itu sudah kudapatkan, aku da-
pat menghancurkan orang-orang itu, kelak aku dapat
menguasai istana sambil uncang-uncang kaki! Ha ha
ha...!" Sang Tabib tertawa terbahak-bahak. Ia men-
gambil jalan ke kiri dan terus melanjutkan perjalanan-
nya.
Tidak lama muncul Sang Bala. Laki-laki itu te-
rus memacu kudanya menempuh jalan ke kanan. Na-
mun sampai setengah jam kemudian ia juga tidak ber-
hasil mendapatkan apa yang dicarinya. Orang yang te-
lah melarikan puteri Saba lenyap bagai ditelan bumi,
demikian pula dengan Tabib Dewa Sesat.
Dalam keadaan bingung itulah, tiba-tiba ter-
dengar suara pekikan keras di udara.
Sang Bala menengadahkan wajahnya ke langit.
Dilihatnya Pangeran Suprana telah berada di atas
punggang Elang Perak. Burung raksasa yang besarnya
dua kali lipat dari rajawali.
"Hiiiihk...!"
Elang perak menguik keras. Kepakan sayapnya
yang semakin rendah membuat pohon-pohon tergun-
cang keras, sedangkan kuda yang ditunggangi Sang
Bala memberontak.
"Saudaraku Pangeran Suprana. Buruan kita le-
nyap! Apa yang harus aku lakukan sekarang?"
Dari atas punggung Elang Perak yang masih
melayang-layang di udara Iblis Peruntuh Mahkota me-
nyahuti.
"Sekarang lebih baik cari Tabib Dewa Sesat du-
lu. Racun yang diberikannya dalam obat itu tampak-
nya tidak bisa dianggap enteng. Itu racun Serat Raga,
dua puluh tujuh hari mendatang jika aku tidak mene-
mukan pemunahnya, tubuhku akan hancur. Cepatlah
cari jahanam berkepala botak itu. Rampas obat pemu-
nahnya, jika obat itu ditelan maka kau korek perut-
nya!" teriak Kumbang Pemikat sambil memegangi da-
danya.
"Baik, saudaraku. Tidak kubiarkan kau mende-
rita. Aku siap mengorbankan jiwa dan ragaku demi te-
gaknya kerajaan Sorga Dunia!" sahut Sang Bala.
Pembunuh berdarah dingin yang tidak kenal
asal usulnya dan murid tertua Dewa Kubu ini segera
menggebah kudanya ke arah selatan. Untuk lebih jelas
siapa Dewa Kubu, (dalam episode Undangan Maut).
Sementara Elang Perak kembali membubung tinggi ke
udara, kemudian meluncur ke arah bukit Sembuang.
***
DUA
Karena Pangeran Demak Pati alias Pendekar
Kucar Kacir tahu persis di mana letak Bukit Sembuang, maka setelah menempuh perjalanan selama tu-
juh hari dengan berjalan kaki. Pemuda itu setelah le-
wat tengah hari sampai di tempat yang ditujunya. Bu-
kit Sembuang terasa sunyi, ia berjalan lagi bermaksud
mendaki ke puncaknya. Di waktu itulah ia dikejutkan
dengan adanya mayat-mayat bergelimpangan.
Dengan perasaan tidak enak Pendekar Kucar
Kacir melakukan pemeriksaan.
"Mayat-mayat ini bukan perajurit kerajaan. Aku
tidak tahu mereka datang dari daerah mana. Kurasa
mereka orang-orang dunia persilatan! Tapi siapa yang
telah membunuhnya? Kening mereka berlubang, eh...
aku seperti melihat angka-angka." Pangeran Demak
Pati alias Si Kucar Kacir meneliti. Ternyata bukan ang-
ka, huruf-huruf yang mungkin dari paku-paku bera-
cun." si pemuda menggumam. Setelah membersihkan
darah kering di bagian kening si mayat. Maka terlihat-
lah dua baris kata. 'El Maut'.
"Siapa El Maut? Setan atau manusia juga se-
perti diriku. Tempat ini rasanya sudah tidak aman se-
perti dulu. Aku merasakan hawa pembunuhan dima-
na-mana. Ini berarti orang-orang telah memusatkan
perhatiannya ke bukit ini. Edan... ada-ada saja. Aku
sendiri tidak tahu dimana Pedang Pemersatu itu dis-
embunyikan ayahanda. Tapi... eh, apa itu...!" Serentak
Pendekar Kucar Kacir bersurut langkah. Ia melihat ada
sepasang mata memancarkan cahaya merah menga-
wasinya dari semak belukar yang gelap.
"Apa mungkin ada harimau disini? Perasaanku
semakin tidak enak saja!" desis Pendekar Kucar Kacir.
Belum lagi ia sempat berbuat apa-apa, tiba-tiba
terdengar suara erangan yang membuat seluruh lereng
bukit bergetar. Lalu terdengar lagi bentakan mengakhi-
ri suara erangan tadi
"Sudah banyak nyawa yang tercabut. Sudah
banyak jiwa yang terbang ke langit. Aku yang mengirim
mereka dengan paksa. Kini kau datang lagi menambah
jumlah yang ada! Bukit Sembuang sudah tidak nya-
man. Kemana Jasa Raga? Apakah dia telah melupakan
aku si tua bangka?" teriak suara di balik semak belu-
kar.
Mendengar disebut-sebutnya almarhum aya-
handanya. Pendekar Kucar Kacir jadi kaget. Ia tidak
tahu orang itu berada dipihak mana, namun apapun
resikonya ia harus berterus-terang.
"Siapapun dirimu, harap tunjukkan diri! Aku
Pangeran Demak Pati putera almarhum raja Jasa Ra-
ga. Aku datang kemari untuk mengambil Pedang Pe-
nyebar Bencana agar tidak jatuh ke tangan Pangeran
Suprana,"
"Hik hik hik...! Apa jawabmu jika kutanya ten-
tang kematiannya?" bentak suara tadi. Kemudian dari
semak-semak keluar sosok tubuh tua renta. Pendekar
Kucar-Kacir memperhatikan dengan tatapan tidak ber-
kedip. Ternyata dia adalah seorang perempuan, berpa-
kaian hitam kotor, rambut awut-awutan. Sepasang
matanya merah memancarkan cahaya. Wajahnya yang
mengerikan itu terdapat lima luka yang sangat dalam
seperti dicakar harimau. Walau pun luka-luka itu telah
sembuh, namun meninggalkan bekas yang sedemikian
rupa.
Dengan terbungkuk-bungkuk ia terus mende-
kati Pangeran Demak Pati. Si pemuda tidak berani ber-
lama-lama memperhatikan nenek renta itu.
"Kau tadi mengatakan puteranya raja Jasa Ra-
ga?" Dingin suara si nenek.
"Ya...!" sahut Pangeran Demak Pati.
"Bagus!" teriak si nenek. "Jika ayahmu tidak
pernah cerita padamu tentang El Maut. Kau akan ku-
kirim ke neraka dengan arwah penasaran!"
Tiba-tiba saja ia mengangkat tangannya. Dari
setiap ujung jemari si nenek tiba-tiba melesat cairan
berwarna putih yang membentuk seperti tali. Serangan
itu berkecepatan di atas suara. Sehingga Pangeran
Demak tidak sempat lagi menghindar. Tahu-tahu tu-
buhnya sudah dibelit cairan berpilin-pilin itu. Hanya
dalam waktu sekejap cairan tadi telah mengering. Kini
bentuknya benar-benar seperti tali yang kuat membe-
lenggu tubuh si pemuda.
Pangeran Demak Pati memberontak, namun
usahanya itu hanya sia-sia. Semakin ia bergerak tali
tersebut semakin erat menjeratnya.
"Apa salahku?" tanya Pendekar Kucar Kacir ti-
dak berdaya.
"Hik hik hik! Aku tidak perlu jelaskan apa sa-
lahmu. Seharusnya kau sudah kubinasakan. Aku
memberimu hidup beberapa lagi lagi, setelah itu kau
akan kubunuh!" dengus El Maut.
"Huh, aku tidak takut mati. Tapi kau harus
menjelaskan mengapa kau membunuh orang yang ti-
dak bersalah?"
"Diam...!" bentak si nenek.
Simpul-simpul tali yang terbuat dari cairan
aneh disentakkan. Dilain waktu tubuh Pendekar Kucar
Kacir telah berada di atas bahu El Maut. Sekali perem-
puan aneh bermata seperti harimau ini menjejakkan
tubuhnya. Maka si pemuda merasa dirinya seperti di-
bawa terbang.
Tidak sampai sepemakan sirih ia telah dibawa
ke dalam sebuah gua yang terdapat di puncak bukit
Sembuang. Pendekar Kucar Kacir terheran-heran sen-
diri. Seingatnya dulu ketika ia berumur belasan tahun
ia pernah ikut ke bukit itu. Dia tidak melihat ada gua
di sana, namun sekarang? Gua itu cukup luas, ini
mengingatkan tempat persembunyiannya dulu di dae-
rah Ciujung. Namun yang membuat pemuda ini kaget
adalah terdapatnya mayat-mayat yang tergantung den-
gan kaki di atas dan kepala menghadap ke bawah.
El Maut mencampakkan Pendekar Kucar-Kacir
di lantai Gua. Ia memaki-maki dalam hati karena ne-
nek renta itu sama sekali tidak punya belas kasihan.
"Mayat-mayat yang telah kering itu seperti kau
lihat." menjelaskan El Maut. "Mereka masuk ke bukit
ini beberapa hari yang lalu. Tujuannya adalah mencari
Pedang Penyebar Bencana. Aku mengawetkannya agar
menjadi pelajaran bagi orang-orang serakah. Huh...
mengapa setiap tersadar dari tidurku aku harus mem-
bunuh! Raja Jasa Raga, mana raja itu? Apakah dia su-
dah lupa pada janji-janjinya? Apakah dia sudah lupa
dengan El-Maut?" Si nenek tiba-tiba menggerung, lalu
menangis. Tangisnya sungguh terasa memilukan hati.
"Untuk apa aku bangkit dari tidurku jika kesengsaraan
saja yang kulihat. Ah... aku harus menggantungmu!
Kelak di keningmu akan kuberi tanda El Maut. Semua
orang yang datang ke bukit ini akan kuperlakukan
sama seperti dirimu!"
"Tunggu...!" Cegah si pemuda ketika melihat si
nenek hendak menggantungnya.
"Kau hendak bicara apa, lekas katakan!" perin-
tah El Maut.
"Anda menyebut-nyebut almarhum ayahanda-
ku. Sebenarnya ada hubungan apa antara ayahku
dengan dirimu?" tanya Pangeran Demak penasaran.
Wajah yang rusak seperti bekas cakaran hari-
mau itu tampak berubah-ubah. Matanya yang meman-
carkan cahaya aneh berkedip-kedip. Lalu terdengar
suara tangisnya yang tidak terbendung.
"Bila kujelaskan, hancur hatiku. Bila kupen-
dam sakit perasaanku. Aku memilih hancur hati biar
dapat menggantungmu!" Si nenek menggerakkan tan-
gannya. Lima tali yang mengikat Pendekar Kucar Kacir
terangkat. Tali-tali itu tersangkut di langit-langit gua.
Tubuh pemuda itu kemudian tergontai-gontai dengan
kaki di atas kepala menghadap bawah. Pangeran De-
mak Pati tidak tinggal diam. Ia meronta, si nenek me-
mandanginya sambil berkata.
"Jika kau terus begitu, bila tali itu lepas. Maka
kepalamu akan hancur. Hik hik hik! Aku tidak banyak
waktu untuk bicara denganmu! Aku harus keluar!"
"He, tunggu...!" Putera mahkota kerajaan Pa-
sundan ini berteriak. Namun percuma saja. Karena El
Maut sudah tidak ada lagi di gua itu. Pangeran Demak
mulai merasa kepalanya mendenyut dan berat sekali.
Melirik ke lantai gua ia melihat batu-batu runcing
menghadap kepalanya. Sekarang dia bingung sendiri,
karena ia tidak tahu siapa perempuan aneh tersebut.
Yang membuatnya terheran-heran. Mengapa ia kenal
dengan almarhum ayahandanya? Atau mereka me-
mang punya hubungan tertentu?
Pendekar Kucar Kacir sendiri bingung memikir-
kan semua ini. Pada saat itulah dari lorong bagian da-
lam gua mancul seorang gadis berpakaian hitam ring-
kas.
Melihat gerak geriknya yang mencurigakan,
Pendekar Kucar Kacir langsung menegurnya.
"Hei, nisanak. Siapakah kau?"
Gadis itu memandang pada sang Pangeran, ke-
ningnya mengerenyit. Kemudian ia segera mengenali.
Dia tidak lain adalah pemuda yang terkapar di atas
bukit. Waktu itu adiknya menangisi pemuda tersebut.
"Oh kau! Rupanya kau tidak mati, pengemis
muda. Tidak kulihat kau bersama gadis itu! Jadi dia
sudah meninggalkanmu! waktu itu aku memang me-
nyarankan agar dia kawin lagi. Untuk apa kawin den-
gan pemuda pengemis!"
Sekarang mengertilah Pangeran Demak Pati
siapa gadis ini. Waktu itu puteri Saba adiknya berceri-
ta tentang gadis yang mengaku dirinya Maling. Tapi
bagaimana gadis ini bisa masuk ke ruangan gua tanpa
diketahui oleh El Maut?
Ketika Suro dan Maling Jenaka alias Maling
Cerdik ini bertemu untuk kedua kalinya tanpa sengaja.
Setelah bertabrakan dengan pemuda konyol itu si ga-
dis yang bernama Gadis ini segera menuju ke bukit
Sembuang. Berhubung ia sendiri kurang paham arah
yang ditujunya, kebetulan di tengah perjalanan ia me-
lihat serombongan laki-laki berkuda berasal dari sela-
tan. Setelah mencuri dengar pembicaraan mereka baru
ia tahu bahwa orang-orang itu pergi ke bukit Sem-
buang.
Maka secara diam-diam Gadis mengikuti rom-
bongan ini. Namun perjalanan mereka tidak mulus.
Sampai di lereng bukit mereka dihadang oleh seorang
nenek sakti bermata menyala seperti bara. Mereka se-
mua terbunuh secara mengerikan. Kening mereka di-
tembusi paku yang mengukir dua buah kata mendiri-
kan roma. El Maut. Selain itu tiga pimpinan orang-
orang dari selatan ini juga tertangkap. Maling Cerdik
mengikuti si nenek dan ingin tahu apa yang akan dila-
kukannya pada pimpinan orang-orang selatan itu.
Ternyata sesampainya di dalam gua. Ketiga la-
ki-laki yang menjadi pimpinan rombongan disiram
dengan sejenis cairan. Mereka melolong-lolong kesaki-
tan. Tubuh mereka mengepulkan asap berwarna putih.
Mereka gembong-gembong persilatan dari Pantai Sela-
tan itu tewas seketika dalam keadaan berdiri kaku.
Orang-orang ini digantung, Gadis memperhati-
kan kejadian ini di tempat persembunyiannya yang
aman. Ketika El Maut keluar kembali meninggalkan
gua. Maka Maling Jenaka menyelinap masuk untuk
mencari Pedang Penebaran Bencana. Karena menurut
perhitungannya pedang tersebut memang disimpan di
dalam gua.
Namun Gadis tidak menemukan Pedang Pemer-
satu tersebut. Bahkan ia sendiri hampir ketahuan ka-
rena El Maut, manusia misterius itu telah kembali
dengan membawa seorang pemuda yang telah terikat
dengan tali yang tercipta dari lendir aneh.
Yang membuat Maling Cerdik heran, nenek ren-
ta tersebut tidak membunuh pemuda itu sebagaimana
yang dilakukannya pada tiga gembong Pantai Selatan.
Kini setelah tidak mendapatkan apa yang dicarinya, ia
bermaksud meninggalkan gua tersebut. Itulah sebab-
nya tanpa menghiraukan Pangeran Demak Pati ia ber-
balik.
"Tunggu! Tolong bebaskan aku dari gantungan
celaka ini!" teriak Pangeran Demak dengan perasaan
dongkol.
"Huh, untuk apa aku bebaskan kau. Aku tidak
punya waktu, lagipula kekasih bukan saudara juga
bukan. Biarlah kau digantung di situ sampai mampus!
Aku Maling cerdik tidak punya waktu!" dengus si ga-
dis. Tanpa basa basi lagi ia langsung berkelebat pergi.
Sekarang hilanglah harapan Pendekar Kucar
Kacir untuk menyelamatkan diri. Ia memandang ke
sekeliling ruangan sambil mencari akal bagaimana ca-
ranya dapat membebaskan diri dari tali terkutuk itu.
* * *
Di tikungan jalan bayangan merah menghenti-
kan langkah. Puteri Saba dalam pondongannya segera
diturunkan. Totokan kini sudah dibebaskan. Begitu
terbebas sang puteri yang arif langsung berlutut.
"Kakek siapapun adanya anda, aku puteri Saba
patut menghaturkan rasa terima kasih yang dalam!"
katanya dengan perasaan terharu.
Kakek baju merah berjenggot dan berambut
merah menggumam. Tatapan matanya penuh wibawa,
wajahnya sejuk penuh ketenangan.
"Manusia tidak pantas menyembah manusia.
Walau pun orang itu mempunyai pangkat dan kedu-
dukan tinggi. Berdirilah puteri Saba, aku hanya mela-
kukan apa yang menjadi kewajibanku sebagai manu-
sia!" kata kakek rambut merah.
"Aku berhutang nyawa dan kehormatan, siapa-
kah engkau kakek?" tanya puteri Saba.
"Bersukurlah pada Gusti Allah. Aku adalah Ma-
laikat Berambut Api!" sahut si kakek.
Puteri Saba terkejut, dia pernah mendengar
nama besar tokoh Pantai Selatan yang konon berdiam
di Pulau Seribu Satu Malam itu. Dan pulau itu sendiri
hingga sekarang tidak seorang pun tahu di mana le-
taknya secara pasti.
"Saya beruntung bertemu dengan tokoh besar
seperti anda, kek. Sayang urusan kerajaan begini ru-
mit, jika tidak aku ingin berguru padamu!" ucap puteri
Saba serius.
Malaikat Berambut Api menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah mengangkat murid selain pada cu-
cuku sendiri. Sekarang aku sedang mencarinya."
"Siapa muridmu, kek?"
"Suro Blondo, pemuda konyol yang tingkahnya
seperti orang kurang waras!" jelas Malaikat Berambut
Api sambil menjelaskan ciri-ciri muridnya secara terpe-
rinci.
Puteri Saba tampak berubah cerah wajahnya.
Pemuda yang berjuluk Pendekar Blo'on itu tentu dia
pernah bertemu. Pemuda itu pula yang telah menye-
lamatkan Pangeran Demak Pati dari pukulan beracun
Sang Bala, dia juga yang mati-matian membela putera
puteri kerajaan ketika Pangeran Suprana menyerang
mereka dengan Elang Peraknya, (agar lebih jelas dalam
Episode Pendekar Kucar Kacir). Tanpa ragu-ragu lagi
puteri Saba menceritakan pertemuannya dengan Pen-
dekar itu.
"Jadi sekarang dimana dia?"
"Waktu Pangeran Jahanam itu menculik aku, ia
bersama dengan kakanda Pangeran Demak Pati. Entah
sekarang?"
Puteri Saba kemudian menceritakan semua
yang sedang terjadi. Kakek yang sangat jarang terse-
nyum apalagi tertawa ini kerutkan keningnya.
"Persoalanmu kelihatannya memang rumit.
Mengenai Tabib Dewa Sesat aku sudah kenal kelici-
kannya. Sedangkan pemuda ingusan yang kau sebut-
sebut sebagai Pangeran Suprana sama sekali aku tidak
mengenalnya. Lalu dimana mahkota itu sekarang?"
"Disimpan Guru Kami Setan Trompet." jawab
puteri Saba. Malaikat Berambut Api angguk-anggukan
kepala.
"Menurutmu siapa guru Pangeran Suprana?"
tanya si kakek selanjutnya.
"Saya kurang pasti, kek. Menurut yang kuden-
gar dari pembicaraan antara Pangeran Suprana den-
gan Sang Bala yaitu panglima perangnya sendiri, guru
mereka adalah tokoh dari Andalas yang berjuluk Dewa
Kubu!"
"Dewa Kubu?!" desis kakek Dewana, kerut me-
rut di keningnya semakin bertambah dalam.
Ia langsung ingat, dulu Dewa Kubu juga pernah
menjambangi tanah Jawa ketika istrinya Nini Palayan-
gan melarikan diri. Dia juga pernah membuat kegem-
paran dimana-mana. Tokoh yang satu ini sakti bukan
main, jurus-jurus silatnya beragam. Selain itu tokoh
setengah roh setengah manusia ini juga punya tung-
gangan perkasa yaitu berupa seekor burung langka
yang diberi Nama Elang Perak.
"Apakah guru bocah gila yang mengaku Tuhan
itu pernah datang ke sini?" tanya kakek Dewana.
"Belum pernah, entah saat ini. Tapi yang saya
tahu selama ini Pangeran Suprana selalu menunggang
Elang Perak!" jelas puteri Saba.
Mata Malaikat Berambut Api menyipit. Lama
juga ia terdiam. Ada kegelisahan di wajah kakek ini.
***
TIGA
"Elang Perak! Burung raksasa itu tidak dapat
dianggap enteng. Aku sendiri sebenarnya sudah tidak
mau mencampuri urusan yang berbau keduniawian.
Namun setelah melihat musuh-musuh yang bakal ka-
lian hadapi rasanya tidak tega aku membiarkan kalian
terbantai begitu saja!" ujar kakek Dewana.
"Merupakan suatu kehormatan yang sangat besar jika kakek bersedia membantu kami!" kata puteri
Saba dengan hati gembira.
Belum sempat Malaikat Berambut Api menang-
gapi ucapan gadis berpakaian putih itu. Tiba-tiba saja
terdengar suara gelak tawa seseorang yang seakan da-
tang dari delapan penjuru angin. Puteri Saba melengak
kaget, sebaliknya kakek aneh Malaikat Berambut Api
hanya diam dengan mata menyipit.
"Sampai pusing aku mencari, tidak tahunya ca-
lon istriku dilarikan kunyuk merah di sini!" kata se-
buah suara begitu suara tawanya melenyap.
Set!
Dari balik sebatang pohon besar tampak me-
luncur sosok bayangan berpakaian hitam.
Kepalanya gundul, alisnya berwarna putih tan-
pa jenggot dan kumis. Sebelum kehadirannya tadi ter-
dengar suara berdengung seperti suara ribuan lebah
yang pindah sarang.
Kini setelah melihat siapa kakek berpakaian
merah di depannya kakek gundul itu sempat merendek
kaget.
"Cuh! Tidak disangka engkau yang konon telah
mengasingkan diri di Pulau Seribu Satu Malam seka-
rang gentayangan di rimba persilatan. Apakah engkau
ingin juga memiliki Pedang Penebar Bencana? Jika itu
yang kau inginkan, aku bersedia membantumu! Tapi
tolong kau berikan puteri Saba kepadaku. Karena se-
suai perjanjian dengan Pangeran Suprana, dia telah
dihadiahkan padaku!" kata Dewa Sesat. Rupanya dian-
tara mereka ini sebagai tokoh angkatan tua sudah sal-
ing mengenal dan kelihatannya Tabib Dewa Sesat me-
rasa jeri berhadapan dengan Malaikat Berambut Api.
"Kesesatanmu sejak dulu tidak berkurang Wi-
sang Geni!" dengus kakek rambut merah menyebut
langsung nama Tabib Dewa Sesat. "Kau inginkan gadis
ini, kalau kau punya nyali ambillah dari tanganku!"
"Cuh! Aku tidak mau cari perkara denganmu,
namun jika terpaksa apa boleh buat!" bentak Sang Ta-
bib.
Tiba-tiba secepat kilat ia hantamkan tinjunya
ke wajah Dewana. Kakek rambut merah maklum beta-
pa serangan itu disertai pengerahan tenaga dalam
tinggi. Angin mendesir menebar hawa panas, Malaikat
Berambut Api sama sekali tidak menggeser tubuhnya.
Saat tinju sudah berada di depan hidungnya sang ka-
kek miringkan kepala ke kanan. Lalu tangannya me-
nepis.
Plaak!
"Ukh...!"
Tepisan yang keras ini membuat Sang Tabib
terhuyung-huyung. Namun ia cepat berbalik dan lang-
sung melepaskan tendangan. Kakek Dewana melompat
ke udara. Lalu kakinya menyapu ke arah dada. Sambil
melompat mundur selamatkan dada Sang Tabib me-
maki. Si botak meludah lagi. Ia sadar betul siapa lawan
yang dihadapinya. Seorang tokoh sakti yang memiliki
kepandaian di atas Penghulu Siluman Kera Putih.
Sekarang ia kerahkan tenaga dalamnya, ma-
tanya setengah terpejam. Sadarlah Malaikat Berambut
Api kalau lawannya bermaksud mengadu kesaktian
dari jarak jauh.
Di masa itu memang sangat jarang tokoh-tokoh
rimba persilatan yang bertarung dengan jarak jauh.
Terkecuali tokoh-tokoh kosen. Si kakek tersenyum me-
lihat kenyataan ini.
"Tabib Dewa Sesat! Kau benar-benar gegabah
dengan langkahmu itu! Huh!" Si kakek mendengus. La-
lu ia rangkapkan kedua tangannya di atas dada. Seke-
jap kemudian menggeletarlah tubuh masing-masing
lawan. Puteri Saba terpaksa menyingkir. Hawa panas
dan dingin seakan saling tindih untuk sama-sama
menghancurkan.
Keringat sebesar-besar jagung bercucuran
membasahi sekujur tubuh sang Tabib. Dari ubun-
ubun Malaikat Berambut Api mengepul asap tipis, se-
mentara rambut di kepalanya tegak berdiri tampak
seakan menyala seperti bara.
"Heps!"
Tabib Dewa Sesat pelan-pelan mendorongkan
kedua tangannya ke depan. Tapi ia merasakan suatu
tenaga yang tidak terlihat seakan membenamkannya
ke perut bumi. Kakek botak terkesiap, ia coba mena-
han serangan yang Maha dahsyat ini. Kakinya tiba-tiba
amblas. Sementara lawan di depannya tampak tenang-
tenang saja.
Satu pemandangan mengerikan terlihat kini.
Wajah si kakek tampak mengelam. Rambutnya yang
semakin bertambah merah berkibar-kibar. Mata sang
tabib melotot. Tampaknya ia mati-matian memperta-
hankan diri.
"Gila! Aku tidak pernah melihat ada tokoh
mempunyai kemajuan sepesat ini dalam waktu sepu-
luh tahun saja." maki Sang tabib.
Sementara itu kakinya semakin membenam
jauh hingga sampai sebatas paha. Dalam kesempatan
itulah terdengar seruan Malaikat Berambut Api.
"Tabib Dewa Sesat! Jika kau tidak mau me-
nyingkir dari hadapanku! Hanya dalam waktu singkat
nyawamu tidak akan tertolong!"
"Jahanam!" maki si kakek botak.
"Untuk makianmu itu! Aku akan hadiahkan se-
buah kenang-kenangan padamu!" dengus kakek De-
wana dingin.
Malaikat Berambut Api tiba-tiba saja meng
goyangkan jari telunjuknya. Ada tenaga besar yang ti-
dak terlihat meluncur deras ke arah Tabib Dewa Sesat.
"Wuaakh...!"
Sang Tabib menjerit keras dengan mulut me-
nyemburkan darah kental bergumpal-gumpal. Ia ter-
kulai setengah pingsan setengah sadar.
Malaikat Berambut Api dengan sikap mengan-
cam menghampirinya. Kakinya menginjak punggung
sang Tabib yang setengah membungkuk.
"Aku sudah tua, kau sudah tua. Terus-terang
sekarang kami akan pergi ke bukit Sembuang. Jika
kau muncul disana, maka aku akan membunuhmu!"
ancam si kakek.
Dapat dibayangkan betapa tingginya ilmu ke-
saktian yang dimiliki oleh Malaikat Berambut Api. Pa-
dahal Tabib Dewa Sesat sendiri adalah seorang tokoh
yang memiliki kepandaian tinggi di samping ia ahli da-
lam masalah obat dan racun.
"Sekarang apa jawabmu?" tanya kakek rambut
merah setelah melihat lawannya hanya diam saja.
"Kalau kau mau membunuhku, bunuhlah! Aku
bersumpah, kapan pun jika ada kesempatan untuk
membunuhmu, aku pasti membunuhmu!" geram sang
Tabib.
"Sayang aku tidak suka membunuh lawan yang
sudah tidak berdaya." sahut kakek Dewana. Selanjut-
nya ia berpaling pada puteri Saba. "Mari kita tinggal-
kan sampah dunia ini, puteri!"
Malaikat Berambut Api tanpa menoleh lagi
langsung menyambar lengan puteri Saba. Gadis itu
merasa tubuhnya melayang seringan kapas. Tabib De-
wa Sesat mengobati luka-luka dalam yang dideritanya.
Bagaimana pun jika luka dalamnya telah sembuh ia te-
tap meneruskan niatnya untuk pergi ke bukit Sembuang.
* * *
Setelah melihat tidak adanya jalan lain kiranya
Pangeran Suprana telah mengerahkan seluruh bala
tentaranya ke bukit Sembuang. Sementara penderi-
taannya karena racun Serat Raga semakin bertambah
hebat. Bila racun itu menyerang, maka sekujur tubuh-
nya menggigil. Kini perhatiannya benar-benar terpecah
belah. Yang pertama ia ingin segera mendapatkan pe-
dang Pemersatu dan mahkota itu, sedangkan yang ke-
dua yang tidak kalah pentingnya ia harus mencari Ta-
bib Dewa Sesat untuk merampas obat pemunah racun
tersebut. Demikianlah iring-iringan bala tentara kera-
jaan yang sangat besar itu bergerak bagaikan air bah.
Sementara itu Iblis Peruntuh Mahkota tetap berada di
atas burung tunggangannya yang terus melayang-
layang di udara.
"Kiiiik...!"
Elang Perak memekik keras. Ia mulai bergerak
liar hingga membuat Pangeran Suprana kerutkan ke-
ningnya.
"Ada apa sahabatku?"
"Hiiii...!"
Elang Perak terbang merendah. Pangeran Su-
prana memandang ke bawah. Tiba-tiba ia berseru kegi-
rangan ketika melihat sosok tubuh berpakaian kulit
harimau tampak duduk di atas batu besar.
"Guru...!"
Serentak dengan seruan Kumbang Pemikat ini,
maka perajurit-perajurit kerajaan hentikan kudanya.
Elang Perak melayang-layang lalu hinggap di depan
kakek berpakaian kulit harimau. Dengan terhuyung
huyung Pangeran Suprana melompat turun dari pung-
gung Elang Perak. Ia langsung menghaturkan sembah.
"Sungguh satu keberuntungan guru telah me-
nyusul ke tanah kelahiran muridmu! Tapi...!"
Dewa Kubu, laki-laki yang wajahnya tertutup
rambut panjang menjela itu menyahut. "Aku tahu kau
dalam keadaan terluka. Coba hadapkan wajahmu pa-
daku!" pinta kakek itu.
Pangeran Suprana mengangkat wajahnya, se-
mentara itu para perajurit kerajaan menunggu dengan
perasaan cemas. Dewa Kubu terkejut sekali melihat
wajah Iblis Peruntuh Mahkota yang telah berubah bi-
ru.
"Kau keracunan muridku, racun Serat Raga.
Siapa yang melakukan ini padamu?" tanyanya penuh
amarah.
"Tabib keparat Dewa Sesat!" sahut Pangeran
Suprana menahan geram.
"Hmm, manusia kurcaci itu pasti telah melici-
kimu. Sungguh keji racun itu. Aku tidak punya obat
pemunahnya, tapi aku dapat menyembuhkannya!" ka-
ta Dewa Kubu.
Tokoh dari Andalas ini kemudian memerintah-
kan muridnya agar mendekat. Pangeran Suprana
mendekati gurunya. Setelah mereka saling berhadap-
hadapan, maka Dewa Kubu menempelkan telapak tan-
gannya di punggung si pemuda. Tenaga sakti dikerah-
kannya, tubuh Pangeran Suprana menggigil. Wajahnya
tampak mengejang, lalu terdengar suara jeritannya
yang melolong-lolong bagaikan kerbau disembelih.
Dari setiap celah pori-pori di tubuh pemuda itu
keluar cairan berwarna biru berbau tidak sedap Dewa
Kubu terus mengerahkan tenaga dalamnya, sampai
kemudian Pangeran itu terkulai tidak sadarkan diri.
Perajurit kerajaan tampak khawatir melihat
keadaan raja mereka yang mengkhawatirkan. Dewa
Kubu tanpa menghiraukan perajurit-perajurit itu sege-
ra mengurut bagian-bagian tubuh muridnya. Tidak
sampai sepemakan sirih pemuda itu sudah sadar
kembali.
"Guru, terima kasih atas pertolonganmu!"
ucapnya dengan penuh rasa syukur. Kini pengaruh ra-
cun Serat Raga telah hilang dalam dirinya.
"Jangan kau pakai segala macam peradatan.
Sekarang coba jelaskan apa sebenarnya yang akan kau
cari di bukit Sembuang?!"
Iblis Peruntuh Mahkota langsung menjelaskan
duduk persoalan yang sebenarnya. Sementara gurunya
nampak mendengarkan dengan seksama.
"Kalau itulah yang kau kehendaki, aku bisa
membantumu! Salah satu dari apa yang kau inginkan
telah aku dapat dari manusia yang berjuluk Setan Te-
rompet!" Dewa Kubu mengeluarkan sesuatu dari bun-
talan yang dibawanya. Setelah terlihat benda itu ter-
nyata mahkota kerajaan yang sah. Bukan main gi-
rangnya hati Pangeran Suprana tidak tertahankan.
"Bagaimana guru, bisa mendapatkannya?" sera
Pangeran Suprana.
"Tentu aku merampasnya dari tangan Setan Te-
rompet dan merampas nyawanya juga! Sudahlah, se-
karang lebih baik kau kerahkan perajurit-perajurit itu
untuk mengadakan pembersihan di bukit Sembuang.
Kalau kau merasa yakin pedang itu ada disana, nanti
kita ambil!" janji Dewa Kubu.
Tanpa menunggu-nunggu lagi, Pangeran Su-
prana segera memerintahkan ratusan perajurit itu ke
bukit Sembuang. Setelah perajurit-perajurit pergi. Ia
kembali menghadap gurunya.
"Apa yang akan kita lakukan, guru?"
"Itu kita atur nanti. Sekarang aku ingin tahu
kemana saudara tuamu Sang Bala?" tanya Dewa Ku-
bu.
"Dia kuperintahkan untuk mencari pedang dan
puteri Saba di bukit itu juga. Apakah guru ingin men-
jumpainya?" tanya Kumbang Pemikat pula.
"Rasanya perjalanan yang kulakukan cukup
melelahkan. Aku ingin istirahat di kerajaanmu. Ku-
dengar kau menyimpan gadis-gadis cantik di istana-
mu. Aku yang sudah tua ini ingin juga mencicipi ba-
gaimana lezatnya daun muda!" kata Dewa Kubu.
"Gampang diatur. Marilah kita pulang ke istana
dulu. Guru nanti hanya tinggal memilih mana yang
guru inginkan!"
Murid dan guru yang sama-sama gilanya ini
kemudian kembali ke istana dengan menunggang
Elang Perak.
* * *
Hujan turun tiada henti. Di bagian jendela ban-
gunan tua yang berada di bukit Cadas Lintang tampak
seorang berpakaian serba biru duduk sambil meme-
gangi lututnya. Sekali ia memandang ke depannya, la-
lu mendongak ke langit.
"Hujan deras sekali. Perjalananku jadi terha-
lang, persoalan yang harus kuhadapi padahal sangat
banyak sekali. Aku khawatir senjata itu dipergunakan
untuk maksud-maksud yang tidak baik oleh Maling
Jenaka. Sayang sekali gadis secantik dia jadi maling.
Rasanya kalau bertemu aku tidak dapat mengampu-
ninya. Akan kuhajar dia sampai mampus, atau aku
akan menciumnya sampai hidung atau wajahnya rusak. Kurasa lebih bagus lagi kalau kucium bibirnya
sampai dower!" gerutu si pemuda. Lalu ia menggaruk
rambutnya yang agak basah.
Pada saat itu ia mendengar suara langkah-
langkah kaki mendekat dengan tergesa-gesa. Suro
Blondo langsung menyelinap ke balik tembok yang su-
dah rapuh. Tidak lama muncul seorang laki-laki ber-
tubuh tambun bermata merah seperti kurang tidur.
"Bocah bengal itu sudah tidak pulang-pulang,
sekarang entah pergi kemana? Jangan-jangan ia tidak
laksanakan perintahku. Aku Dewa Petir, Dewa Maling
dan Dewa Copet. Kalau dia berani melanggar perintah
aku bersumpah akan mengawinkan dia dengan pemu-
da mana pun yang aku suka. Biar dia jangan banyak
ulah. Biar nanti dia tahu rasa kalau sudah punya su-
ami. Aku rasanya kewalahan mengatur dia!" Kakek
berwajah awet muda ini mengomel sendiri.
Seraya duduk di lantai bangunan tua itu. He-
rannya lagi meskipun tadi ia berlari-lari di tengah hu-
jan, namun pakaiannya tidak basah. Suro yang men-
gintip dari bagian luar bangunan saja sampai tercen-
gang-cengang.
"Dia mengatakan dirinya maling dan copet, de-
wanya lagi. Jangan-jangan orang ini gurunya gadis itu.
Bangsat! Sekejap lagi senjata itu harus kuminta!" ge-
ram Suro dalam hati.
Selagi Pendekar Blo'on sibuk bicara dengan di-
rinya sendiri, Dewa Petir bicara lagi.
"Seharusnya ia sudah muncul ke sini, kasih la-
poran bagaimana perkembangan di bukit Sembuang.
Dasar sial, ia masih belum datang, juga!"
Kakek tambun menyandarkan punggungnya ke
dinding tembok. Matanya segera terpejam. Dalam wak-
tu tidak lama kakek ini pun segera tertidur.
EMPAT
Di saat itulah Pendekar Blo'on menggebrak
dinding yang dijadikannya tempat bersembunyi. Dind-
ing hancur, sehingga dari lubang besar itu dapat meli-
hat Dewa Copet yang tersentak kaget.
Ketika melihat seraut wajah di depannya, Dewa
Petir bukannya marah melainkan tertawa terbahak-
bahak.
"Tikus buduk! Ha ha ha...! Kau pemuda gila ke-
sasar dari mana? Mukamu celemongan bekas kecupan
bibir. Apa kau habis pesiar dengan para pelacur? Kau
benar-benar gila!!" kata Dewa Petir sambil memegangi
perutnya.
"Jangan tertawa, kudengar tadi kau mengata-
kan dirimu Dewa Copet! Serahkan muridmu untuk ke-
lancangannya telah mencopet senjataku!" dengus Suro
bersungut-sungut.
"Heh, pemuda edan! Boleh-boleh saja kau bica-
ra, tapi bekas kecupan bibir merah di pipimu itu ha-
pus dulu!"
Suro jadi melengak. Ia khawatir kakek tambun
itu mempermainkan dirinya. Namun begitu ia tetap ke-
luar dari bangunan tua tersebut. Setelah sampai dekat
air tergenang yang jernih maka ia pun berkata.
"Astaga! Sudah berhari-hari bekas kecupan ini
tanpa aku sadari. Pantasan orang-orang di jalan se-
mua mentertawaiku!" Cepat-cepat Suro membasuh
mukanya. Setelah bersih ia masuk lagi. Kakek tambun
memandangnya sebentar, lalu tertawa lagi.
"Sudah berapa hari kau dipeluki pelacur. Bicaramu ngelantur tidak karuan. Eeh... barusan kau
mengatakan muridku mencuri senjatamu. Apa betul
bicaramu?"
"Aku tidak berdusta! Waktu itu dia menabrak-
ku, dan senjataku lenyap!"
Mata Dewa Petir melotot. "Kau sempat berta-
brakan dengan muridku. Kurang ajar sekali. Belum ja-
di suami isteri sudah berani tabrakan! Kalau muridku
sampai hamil aku akan membunuhmu!" ancam Dewa
Petir sinis. Bibir Suro termonyong-monyong. "Bicaramu
jangan ngelantur orang tua. Dia yang sengaja mena-
brakku, dan kami sama-sama berpakaian. Bagaimana
hanya dengan begitu saja orang bisa hamil!"
"Waktu itu barangmu dimana?" tanya Dewa
Copet. Entah mengapa begitu bertemu dengan Suro
Blondo ia langsung menyukai pemuda bertampang ke-
tolol-tololan itu.
Karena si kakek tetap tidak mau serius maka
Suro menunjuk-nunjuk keningnya. "Kupajang di jidad
ini!"
Lagi-lagi Dewa Petir tertawa membahak. Pemu-
da berambut kemerahan itu benar-benar kocak, Dewa
Petir cepat merasa akrab.
"Guru, aku datang!" kata sebuah suara.
Tidak lama setelah suara merdu tadi lenyap.
Maka muncul sosok gadis bertubuh ramping berpa-
kaian hitam ringkas. Gadis itu kelihatan kaget ketika
melihat Suro juga berada di situ.
"Guru. Mengapa monyet jelek ini kau biarkan
disini! Dia mata-mata kerajaan guru!" tegas Maling Je-
naka tidak senang.
"Ha ha ha! Mau mata-mata kerajaan atau mata
setan mana aku perduli. Sekarang cepat kau laporkan
hasil penyelidikanmu!"
"Dengan adanya dia disini?" Gadis membela-
lakkan matanya.
"Biarkan saja, dia tidak bisa apa-apa." sergah
Dewa Petir.
Kemudian dengan bersungut-sungut Maling
Cerdik menceritakan kejadian demi kejadian di bukit
Sembuang. Pendekar Blo'on jadi kaget juga ketika ga-
dis itu menyebut-nyebut Pendekar Kucar Kacir.
"Hei kamu maling! Bagaimana keadaan saha-
batku itu. Apakah dia masih hidup?" tanya Suro ingin
tahu.
"Perlu apa kau bertanya padaku!"
"Kurang ajar, mentang-mentang di depan gu-
rumu kau berani bicara begitu apa kau kira aku takut
dengan Dewa Maling?" dengus Suro tidak kalah ketus-
nya.
Melihat suasana yang tidak menyenangkan ini
Dewa Petir langsung berdiri gerakannya ringan saja. Ia
memandang pada muridnya.
"Gadis! Menurut pemuda itu kau telah mencuri
senjatanya. Kalau benar cepat berikan!" perintah si
kakek.
Kening Gadis mengerenyit. Tidak biasanya gu-
runya membela orang yang tidak dikenalnya.
"Mengapa guru membelanya?!" protes Maling
Jenaka.
"Kau lihatlah baik-baik, tampangnya yang me-
nyedihkan itu. Barangkali dia sudah yatim piatu. Apa
kau tega mencuri senjata pemuda seperti dia? Cepat
kau kembalikan senjatanya!"
Maling Jenaka cemberut, meskipun begitu
membuat wajahnya semakin ayu sedap dipandang.
"Dari semula aku memang menduga. Dia pe-
muda yang tidak becus apa-apa. Terbukti ketika senja
tanya kuambil dia tidak tahu" dengus gadis itu sinis.
Suro garuk-garuk kepala.
"Aku tidak mau melayani perempuan, nanti di-
kira orang banci! Urusanku tidak sedikit, diantara kita
tidak ada silang sengketa. Kembalikanlah senjataku!
Atau...!" Suro ragu-ragu
"Atau apa?" tantang si Gadis. "Kau punya tan-
gan punya kaki, silakan ambil sendiri dari balik ping-
gangku!"
Merah kelam wajah Pendekar Blo'on. Dan gadis
itu tampaknya sengaja mempermainkan Suro. Dan
senjata pemuda itu diambilnya karena iseng saja, bu-
kan untuk apa-apa.
"Kalau dikira aku pengecut, keterlaluan na-
manya. Apa susahnya berhadapan dengan maling se-
pertimu!"
Pendekar Blo'on tiba-tiba saja melompat. Tan-
gannya bergerak menyambar pinggang Maling Jenaka.
Gadis berkelit. Dewa Copet tertawa-tawa melihat per-
kelahian antara muridnya dengan pemuda berambut
kemerahan itu.
Serangan tadi luput. Suro menggaruk rambut-
nya, sedangkan Gadis mentertawai lawannya. Sambil
menggeram si konyol menyerang lagi, kali ini keliha-
tannya ia tidak mau bersikap setengah-setengah lagi.
Segera ia mengerahkan kemampuannya. Gerakan pe-
muda ini mulai grubak-grubuk. Sekali-sekali ia ber-
jingkrak atau berjongkok sambil melompat-lompat
menghindari serangan balasan. Bibirnya mendesis dis-
ertai suara ngak ngik nguk seperti suara monyet. Bila
serangan yang dilakukannya tidak mengenai sasaran,
Suro menggaruk tubuhnya.
Gerakan yang terkesan seperti langkah-langkah
seekor monyet ini tidak bisa dipandang enteng. Terbukti gadis sudah mulai keluarkan keringat dalam
menghindari serangan-serangan yang dilancarkan oleh
si pemuda.
Wuut!
Serentak Suro menghantam wajah dan perut
Gadis bertubi-tubi. Serangan kilat itu menimbulkan
deru angin dingin, Gadis sontak mundur ke belakang.
Hatinya diam-diam kaget tidak menyangka lawan ter-
nyata mempunyai jurus-jurus simpanan yang hebat
dan aneh.
Suro terkesan tidak memberi kesempatan lagi,
Gadis terus mundur dan mundur. Hingga pada suatu
saat ia pun melompat ke udara.
"Hia...! "
"Haiit!"
Tangan yang halus mulus itu menampar kepala
Suro. Pemuda ini miringkan tubuhnya. Serangan tan-
gan lolos, namun tendangan kaki meluncur ke bagian
pundaknya. Serangan ini terkenal cepat sesuai dengan
nama jurus yang dipergunakannya, 'Camar Menepuk
Buih'. Sehingga Dewa Petir sendiri merasa yakin kini si
pemuda tidak dapat menghindarinya.
"Huh...!"
Sambil mendengus, tiba-tiba saja Suro berbalik
dengan gerakan cepat sulit diikuti mata.
Plak!
Benturan keras itu membuat Gadis tergetar.
Walau pun ia masih dapat menjejakkan kakinya, tapi
ia sempat goyah juga. Gadis kolokan ini tentu bertam-
bah marah. Sekarang ia mendahului menyerang den-
gan jotosan-jotosan kilat yang disertai dengan penge-
rahan tenaga dalam penuh. Namun Suro sudah berke-
lebat lenyap. Terdengar suara tawa disana-sini hingga
membuat konsentrasi lawan terganggu. Ke arah
bayangan-bayangan biru itulah Gadis melepaskan pu-
kulan namun tidak satu pun serangan yang dilancar-
kannya mengenai sasaran.
Kesempatan ini dilakukan Suro untuk menyer-
gap. Walaupun Gadis mencoba menghindar ia masih
kalah cepat dengan lawannya. Dalam waktu singkat
Gadis sudah kena dipeluknya. Karena posisi senjata
itu tidak diketahui persis letaknya sehingga tangan Su-
ro bergerak seperti menggerayanginya. Ia bahkan sem-
pat meraba dada si gadis. Lalu mendapati senjatanya
di pinggang kiri Maling Jenaka.
Merasa diperlakukan kurang ajar, Gadis meng-
gerakkan lututnya tepat menghantam selangkangan si
konyol.
Duuk!
Sambil memegangi senjatanya Suro terguling-
guling. Karena terasa mulas bukan main, maka ia pun
pegangi perutnya. Gadis yang merasa dipermainkan
apalagi mengingat dadanya sempat dipegang-pegang
oleh si konyol tadi langsung saja bergebrak.
Terpincang-pincang Suro menghindar. Gerakan
yang dilakukannya bukan grubak-grubuk lagi atau
berjingrak seperti monyet. Melainkan sudah ngawur ti-
dak beraturan. Rupanya pendekar Blo'on telah mem-
pergunakan jurus kacau balau.
Melihat lawan sulit ditaklukkan, maka Gadis
dengan geram mencabut pedang tipis. Di saat itulah
terdengar suara seruan,
"Tahan...!!"
Maling Cerdik cepat menoleh. Ternyata Dewa
Copet yang telah mencegahnya.
"Guru, mengapa kau membelanya? Aku akan
membunuh pemuda sontoloyo ini. Ia telah memperma-
lukan aku!" dengus Maling Jenaka masih tidak dapat
menahan kegusarannya.
"Aku tidak menyuruh kalian saling bunuh! Mu-
ridku tidakkah kau lihat kehebatan di balik ketololan-
nya? Semestinya kau maklum dia bukan lawanmu!
Ayo cepat simpan pedang itu kembali!!" perintah Dewa
Copet.
Kesal si murid manja ini banting-banting ka-
kinya. Dewa Petir tersenyum lalu hampiri Pendekar
Mandau Jantan.
"Kulihat gerakan silatmu yang kacau, kulihat
pula jurus-jurusmu yang hampir sama dengan tingkah
monyet. Hayo mengaku siapa gurumu?"
Suro menyimpan senjatanya.
"Aku Suro Blondo!"
"Aku tidak tanya namamu, goblok!"
"Aku tidak mau jawab siapa guruku, tolol!" Su-
ro balas memaki.
"Kau tidak mau mengatakannya, tapi aku su-
dah bisa menebak siapa gurumu. Gadis, muridku. Ke-
tahuilah pemuda ini pasti muridnya dua tokoh sakti
Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut
Api. Hayo mungkir?"
Suro kelabakan sekaligus tercengang. Bagai-
mana kakek tambun ini dapat mengetahui siapa gu-
runya.
"Bukankah apa yang kukatakan ini betul se-
mua, Suro?"
"Ya, aku tidak dapat memungkirinya. Lalu ka-
kek ini siapa?" tanya Suro suaranya berubah lunak.
"Apakah Penghulu Siluman Kera Putih tidak
pernah bicara padamu?"
Suro menggeleng.
"Aku ini Dewa Petir, sahabatnya juga yang su-
dah karatan. Mujur sekali sahabatku punya murid setampan kau. Sayang aku kurang akrab dengan Malai-
kat Berambut Api. Wah, ini kegembiraanku yang gila.
Aku punya murid cantik, sahabatku punya murid
tampan, meskipun tolol. Bukankah cocok jika kalian
mulai saat ini kujodohkan? Ha ha ha...!"
"Guru??" Maling Jenaka protes dengan muka
cemberut.
Sedangkan Suro melongo. "Macam-macam saja
ulah Dewa Maling ini. Kenalpun aku belum dengan
mereka. Enak saja main jodohkan seperti ayam!" geru-
tu Suro dalam hati.
"Bagaimana Suro, apakah kau setuju?" desak
Dewa petir.
"Entahlah, kek. Urusanku begitu banyak. Aku
perlu membantu Pangeran Demak Pati. Pedang Pemer-
satu kerajaan Pasundan harus ditemukan. Rasanya
untuk saat ini aku belum sempat berpikir masalah
yang bersifat pribadi. Lagi pula, akh... maafkan aku,
kek. Aku bukan bermaksud mengecewakanmu!"
Tanpa malu-malu Dewa Petir pun mengakui
bahwa ia juga memang bermaksud memiliki pedang itu
untuk menambah koleksi senjatanya. Namun sekarang
setelah mendengar keterangan Suro. Ia malah bersim-
pati untuk membantu pemuda itu.
"Baiklah, masalah jodoh nanti bisa kubicarakan
langsung dengan Penghulu Siluman Kera Putih saha-
batku. Sekarang aku ikut ke bukit Sembuang!" kata
Dewa Petir memutuskan.
Muridnya yang bernama Gadis terus cemberut.
Tampaknya ia kurang suka melihat sikap gurunya
yang kelewat baik pada si konyol itu. Ia menjadi malu
dengan pembicaraan gurunya tentang perjodohan.
Seakan ia Gadis perawan cantik yang tidak laku kawin.
"Tunggu apa lagi, Maling Cerdik. Sekarang kita
berangkat, mengapa bengong di situ?"
"Cih, kalau guru membicarakan masalah jodoh
lagi. Aku bersumpah akan meninggalkanmu untuk se-
lama-lamanya!" ancam Maling Cerdik cemberut.
"Ha ha ha...! Ada apa rupanya, kalau kau tidak
suka aku juga tidak mau memaksa! Bukankah begitu,
Sur...!" Dewa Petir tidak melanjutkan ucapannya kare-
na Suro ternyata telah meninggalkan mereka.
"Apa kataku, bukankah dia juga tidak suka di-
jodohkan!" cibir Maling Cerdik.
"Kalau kalian yang muda-muda tidak suka. Be-
rarti cuma aku yang suka. Benar-benar anak muda
sekarang bodoh semua!" Dewa Petir mengomel.
* * *
El Maut nenek renta berambut riap-riapan itu
terus mendekam di tempat persembunyiannya. Semen-
tara itu tidak jauh di bawah lereng bukit sana terlihat
dua orang laki-laki yang satu bertubuh kurus kering
dan satunya berperawakan sedang sambil melakukan
pendakian tampak terlibat percakapan serius.
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu dengan mu-
ridmu Pangeran Demak Pati. Lihatlah, sejak tadi kita
menjumpai mayat-mayat yang sudah membusuk...!"
"Kakang Sapta Dewa, aku Setan Terompet! Ber-
sumpah jika sampai terjadi hal-hal yang tidak diingin-
kan pada kedua muridku itu. Aku akan menuntut ba-
las pada para pelakunya!" jawab si kurus. Kemudian ia
meniup terompetnya sehingga terdengar suara yang
menyakitkan gendang-gendang telinga.
"Hentikan tiupanmu itu, berisik!" maki kakek
bertubuh sedang. Melihat kebiasaannya yang suka
bersin-bersin, tidak salah dialah orangnya yang berju-
luk Ki Bersin alias Sapta Dewa. (Untuk lebih jelasnya
baca Episode Pendekar Kucar Kacir.)
"Lagi pula apa kebisaanmu sejak dulu. Kau su-
dah pernah kojor ketika menghadapi Dewa Kubu. Ka-
lau bukan karena aku cepat hadir disana, kau pasti
benar-benar mampus selamanya! Hasyiih...!"
"Ssst...!" Setan Terompet memberi isyarat agar
saudaranya jangan berisik. "Aku merasa seperti ada
orang yang mengawasi kita!"
Sapta Dewa hentikan langkahnya. Kemudian ia
memandang ke sekelilingnya.
"Mungkin karena kau sudah pernah mengalami
mati, sehingga pendengaranmu jadi rusak!"
Aki Braja alias Setan Terompet sama sekali ti-
dak menyahut. Ia terus mengamati suasana di sekeli-
lingnya dengan cermat.
***
LIMA
Setan Terompet lagi-lagi memandang ke satu
arah. Tidak lama mereka mendengar suara mengge-
ram. Seiring dengan suara erangan marah tersebut
muncul sosok tubuh setengah bungkuk. Mata perem-
puan renta itu mencorong tajam seperti memancarkan
cahaya.
"Siapa kalian?"
"Aku Sapta Dewa sedangkan yang ini adikku,
Setan Terompet. Kami mencari murid bernama Pange-
ran Demak Pati." sahut Ki Bersin, tanpa menjelaskan
tujuan lainnya yaitu ingin mencari Pedang Penebar
Bencana.
"Hmm, sia-sia saja kalian mencari muridmu!
Siapa saja yang datang ke bukit Sembuang ini dengan
tujuan mencari Pedang Penebar Bencana. Dia harus
menerima hukumanku! Aku El Maut sebagai penjaga
pedang itu tidak akan membiarkan tangan yang usil
menjamahnya!"
Sekarang baik Setan Terompet maupun Ki! Ber-
sin jadi mengerti. Untuk tidak mencari perkara. Maka
secara cerdik Ki Bersin bertanya.
"Apakah Nisanak menawan muridku?"
"Hi hi hi! Muridmu sudah ku tawan menjalani
hukuman gantung. Dia terlalu gegabah karena men-
ginginkan pedang Pemersatu."
"Jadi sekarang dia sudah tewas di tanganmu?"
tanya Setan Terompet dengan mata melotot.
"Belum, esok atau lusa mungkin aku akan
membunuhnya!" dengus El Maut tegas.
"Jangan kau bunuh dia! Lebih baik kau ampuni
jiwanya. Pendekar Kucar Kacir adalah putera pertama
almarhum raja Jasa Raga. Ia mencari pedang itu sema-
ta-mata karena tidak ingin jatuh di tangan Pangeran
Suprana yang sesat dan mengaku dirinya sebagai Tu-
han Kenikmatan Dunia. Kerajaan Pasundan saat ini
sedang kacau. Pangeran Suprana dan gurunya Dewa
Kubu harus dihentikan!" jelas Setan Terompet.
El Maut terdiam. Wajah di balik rambut yang
menjuntai itu mengerenyit.
"Aku baru bangun dari tidurku, keadaan sim-
pang siur. Agar kalian tahu. Raja Jasa Raga adalah
muridku yang suka lupa pada gurunya. Ia selalu ingat
diriku bila dirinya dalam keadaan terdesak. Sekarang
pemuda yang bernama Demak Pati itu harus ku tawan.
Sampai nanti segalanya menjadi terang dan jelas. Nah
menyingkirlah kalian! Aku mendengar suara derap ra-
tusan kuda ke sini!"
Serentak Ki Bersin dan Setan Terompet mem-
pertajam pendengarannya. Memang mereka menden-
gar ada suara langkah-langkah kuda yang dipacu den-
gan cepat ke arah bukit itu.
"Bukankah lebih baik kami membantumu!
Apapun yang terjadi kita harus bahu membahu demi
tegaknya kembali kerajaan Pasundan!" ujar Ki Bersin.
"Aku tidak meminta kalian untuk berbuat itu.
Tapi jika kalian menghendaki. Jangan salahkan aku
jika kalian mampus di tangan mereka!" tegas El Maut.
Kedua kakak beradik dari Kutai itu menunggu. Tidak
lama kemudian bermunculan ratusan perajurit pe-
nunggang kuda. Ketika melihat ada tiga orang laki-laki
dan perempuan menghadang mereka, para perajurit
itu menghentikan tunggangannya.
"Siapa kalian? Sebaiknya menyingkir! Kami pe-
rajurit kerajaan bermaksud mengobrak-abrik tempat
ini untuk mencari pedang Pemersatu kerajaan yang
disimpan di bukit ini!" teriak seorang perwira dengan
suara lantang.
"Perajurit ini sudah di bawah pengaruh Pange-
ran Suprana!" Ki Bersin mengisiki El Maut melalui il-
mu menyusupkan suara.
Maka sebagai jawaban. El Maut mengedipkan
matanya lima kali berturut-turut ke arah perajurit-
perajurit itu.
Sepuluh larik sinar merah panas bukan main
meluncur laksana kilat meluncur menghantam para
penunggang kuda yang berada di bagian depan. Mere-
ka tidak sempat lagi mengelak atau menghindar. Maka
di sana sini terdengar suara jeritan yang mengerikan.
Para perajurit termasuk dua perwira yang malang itu
jatuh dari atas kudanya dengan dada berlubang.
Apa yang terjadi selanjutnya setelah kematian
perwira dan perajurit benar-benar sulit dilukiskan
dengan kata-kata. Ratusan perajurit kerajaan yang di-
landa marah bagaikan air bah yang tidak terbendung
lagi langsung mengepung dan mengeroyok ketiga tokoh
ini. Denting senjata segera terdengar bercampur suara
hiruk pikuk dan ringkik kuda.
Setan Terompet mempergunakan senjata anda-
lannya, yaitu meniup terompetnya dengan pengerahan
tenaga dalam tinggi. Demikian pula Ki Bersin. Ia ber-
sin-bersin terus. Tentu saja baik suara terompet mau
pun suara bersin Sapta Dewa membuat perajurit-
perajurit yang tidak memiliki tenaga dalam tinggi lang-
sung berpelantingan dari atas kuda mereka.
Telinga dan hidung mengucurkan darah. Mere-
ka tewas dengan mata melotot dan syaraf otak hancur.
Namun, walau kawan-kawan mereka tewas se-
cara menggenaskan. Serangan dari perajurit-perajurit
lainnya kian menghebat. Di tengah-tengah amukan
kuda yang mulai sulit dikendalikan oleh penunggang-
nya. Ki Bersin, Setan Terompet dan El Maut menghin-
dari bacokan senjata. Hujan senjata tidak kepalang
tanggung.
El Maut tetap mengedip-ngedipkan matanya.
Atau terkadang ia mengangkat tangannya. Dari sepu-
luh jari tangannya itu meluncur cairan berwarna putih
yang membelit perajurit-perajurit di depannya.
Cairan putih cepat sekali mengering dan beru-
bah seperti tali yang tidak dapat diputuskan meskipun
dengan mempergunakan pedangnya.
Pertempuran sengit ini terus berlanjut, darah
mulai membasahi lereng bukit Sembuang. Kelihatan-
nya masih belum kelihatan ada tanda-tanda bahwa perajurit itu akan mundur.
Suara terompet, suara bersin terus menggema.
Di samping itu Sapta Dewa juga mempergunakan tan-
gan kosong untuk menghajar lawan-lawannya. Kea-
daan semakin bertambah seru saja.
Walaupun begitu Ki Bersin dan Setan Terompet
yang menghadapi gelombang serangan besar itu tidak
luput dari luka-luka. Mereka terus mengamuk mem-
babi buta. Menghadapi keroyokan besar dengan berba-
gai senjata yang mengancam dari setiap sudut. Me-
mang harus diakui sangat menguras tenaga dan sege-
nap kemampuan yang ada.
Walau pun demikian, mereka ini adalah tokoh-
tokoh yang mempunyai kepandaian tinggi. Apalagi ne-
nek yang berjuluk El Maut itu. Tidak seorangpun tahu
sampai dimana dan seberapa tinggi kehebatannya.
Semakin lama semakin banyak sajalah peraju-
rit yang bergelimpangan diantara mereka ada yang da-
lam keadaan terikat simpul tali aneh yang tercipta dari
lendir tersebut.
"Desak mereka supaya meninggalkan bukit ini!"
teriak Setan Terompet.
"Jangan cuma bicara saja, mari kita bahu
membahu membantai mereka!" sahut Ki Berlin dengan
suara keras.
"Sialan, perajurit ini kentut dulu sebelum mati!"
kata Setan Terompet lalu meniup terompetnya keras-
keras.
Dua orang laki-laki berkuda yang berada di de-
pannya langsung berpentalan.
"Huakh...!"
"Oh, kakang Bersin. Orang ini ku hibur tapi
nyawanya malah terbang ke neraka!" Setan Terompet
menggerutu.
"Suara terompetmu tidak berkenan di hatinya,
ia memilih cari hiburan di neraka!" Ki Bersin menimpa-
li.
"Manusia jahanam!" Maki seorang perajurit, ia
mengayunkan pedangnya yang besar dan panjang.
"Haiat...!"
Setan Terompet merundukkan kepala. Lalu
menangkis dengan mempergunakan terompetnya.
Treeng!
"Wakh...!"
Perajurit terpental dari kudanya. Mulut terom-
pet yang lebar ditutupkan ke kepala perajurit itu, ke-
mudian punggungnya ditendang hingga mengeluarkan
suara berderak
"Akh...!"
Terdengar jeritan panjang. Perajurit itu mengge-
linjang lalu terdiam untuk selama-lamanya. Melihat
hal ini kawan-kawannya segera menyerbu. Namun dari
arah samping Eli Maut telah mengedipkan matanya,
sinar merah meluncur deras ke arah perajurit-perajurit
itu.
Tes! Tes! Tes!
"Ukh...!"
Lagi-lagi perajurit bergelimpangan. Melihat
jumlah mereka semakin bertambah sedikit saja. Maka
ciutlah nyali sisa-sisa perajurit itu. Mereka tanpa di-
komando lagi langsung berserabutan menyelamatkan
diri.
Ki Bersin tidak mau membiarkan para perajurit
kerajaan itu lolos begitu saja. Ia bermaksud melaku-
kan pengejaran, namun El Maut mencegahnya.
"Biarkan saja! Percuma saja kita membantai
mereka, orang-orang itu hanya menjalankan perintah rajanya."
"Lihat!" Setan Terompet tiba-tiba berseru. Ia
menunjuk ke satu arah di mana saat itu tampak seo-
rang laki-laki bertubuh besar berseragam panglima
muncul dengan menunggang seekor kuda berbulu pu-
tih.
Laki-laki ini tampaknya kaget sekali ketika me-
lihat mayat-mayat perajurit yang bergelimpangan ro-
boh. Seperti kita ketahui Sang Bala waktu itu sedang
mengejar sosok bayangan yang melarikan puteri Saba.
Namun ia kehilangan jejak. Ia sama sekali tidak me-
mimpin para perajurit itu.
"Siapa yang telah melakukan perbuatan keji
ini?" tanya Sang Bala dengan sorot mata dingin meng-
gidikkan.
"Kami!" Ki Bersin menyahuti.
"Kalian telah lancang tangan. Di dunia ini cuma
aku yang punya hak mencabuti nyawa manusia!" den-
gus tangan kanan Pangeran Suprana yang masih terhi-
tung saudaranya sendiri itu.
"Lalu apa tujuanmu kemari setelah melihat
anak buahmu jadi bangkai?" tanya Setan Terompet
disertai senyum mencibir.
"Pertama aku ingin mencari pedang Penebar
Bencana untuk kuberikan pada saudaraku Pangeran
Suprana. Sedangkan yang kedua aku harus menying-
kirkan orang-orang yang menjadi penghalangku!" tegas
Sang Bala.
Ki Bersin, Setan Terompet saling berpandan-
gan. Sedangkan El Maut hanya mendengus. Lalu ma-
tanya kembali mengedip terarah pada Sang Bala.
Laki-laki itu sama sekali tidak mengelak. Ketika
sinar merah menghantam tubuhnya. Sama sekali ia ti-
dak mengalami cedera apa-apa. El Maut tersentak ka-
get. Sang Bala tersenyum sinis.
"Sebelum kalian mampus, keluarkan apa saja
yang kalian miliki!" teriak Sang Bala.
Seraya lalu menggebrak kudanya menerjang El
Maut. Melihat keadaan seperti ini dan setelah menya-
dari lawannya kebal senjata. Maka Ki Bersin dan Setan
Terompet tidak tinggal diam.
Mereka langsung mengeroyok Sang Bala.
Setan terompet meniup terompetnya dengan
segenap tenaga dalam yang dimiliki. Sehingga lereng
bukit Sembuang seakan hendak runtuh. Sebaliknya
demikian juga dengan Ki Bersin. Dalam bersinnya ia
mengerahkan tenaga dalam tinggi. Sehingga di tempat
itu jadi hingar-hingar seperti mau kiamat saja.
Celakanya Sang Bala tidak terpengaruh dengan
bunyi-bunyian yang dapat menghancurkan gendang-
gendang telinga itu. Malah ia mengimbanginya dengan
tawa membahak. Sehingga kekuatan-kekuatan dah-
syat itu saling menghimpit.
"Hiaa...!"
Sang Bala berteriak melengking tinggi. Kudanya
tersungkur dengan telinga serta hidung mengeluarkan
darah. Ki Bersin dan Setan Terompet jatuh terpelant-
ing.
Ujung terompet hancur. Dengan cekatan mere-
ka bangkit berdiri. El Maut tidak tinggal diam melihat
orang-orang yang baru dikenalnya dalam keadaan ter-
desak.
Tangannya bergerak ke depan. Lima ujung je-
marinya mengeluarkan lendir dan terus meluncur
menghantam Sang Bala. Hanya dalam waktu singkat
sang pembunuh ini sudah tidak mampu bergerak lagi.
Namun tenaga yang dimilikinya sungguh sangat luar
biasa. Ia meronta, tali-tali yang terbuat dari lendir itu
putus. Ki Bersin yang telah melepaskan pukulan dahsyat bertubi-tubi namun tidak menghasilkan apa-apa
kini jadi sasaran. Sang Bala mencengkeram tubuhnya,
lalu Ki Bersin dibantingnya dengan keras. Tenaga lun-
curan yang sedemikian dahsyat membuat Ki Bersin ti-
dak dapat menyelamatkan diri. Untung sebelum kepa-
lanya terhempas di atas batu, El Maut sudah me-
nyambarnya.
Maka selamatlah Ki Bersin dari maut. Kini yang
menjadi sasaran Sang Bala adalah Setan Terompet. Ti-
ba-tiba tangannya menyambar dengan cepat. Tapi Se-
tan Terompet telah melepaskan pukulan dan dia me-
lompat mundur sambil memaki.
"Jadah!"
Mendengar makian Sang Bala hanya menden-
gus. Kakinya menendang, angin bersuit. Setan Terom-
pet lepaskan tinjunya.
Buuk!
Kraak!
Kaki Sang Bala tidak mengalami cidera sedang-
kan tangan lawannya remuk. Setan Terompet meraung
keras dalam kesakitan yang amat sangat. Dalam pada
itu El Maut berpikir keras, kalau tubuh lawan kebal,
berarti ia harus mencari titik kelemahan Sang Bala.
Kemudian ia menyambar pedang perajurit yang
tergeletak tidak jauh darinya. Dengan gerakan secepat
walet terbang El Maut mencecar dengan pedangnya.
Tubuh Sang Bala ternyata keras bukan main. Semen-
tara itu ia telah berhasil mencengkeram Ki Bersin. Ti-
dak lama kakek tua itu pun sudah dihantam kepa-
lanya hingga remuk. Ki Bersin dicampakkan begitu sa-
ja, nyawanya melayang. Setan Terompet melihat ini ja-
di terkesiap. Ia bermaksud melompati mayat sauda-
ranya. Dengan ajian Pati Darah tentu saudaranya itu
dapat hidup kembali. Tapi usaha yang dilakukannya
tidak mudah. Karena lawan selalu menghalangi gera-
kannya. Akhirnya Setan Terompet jadi nekad dan be-
rusaha menerobos pertahanan lawannya.
Justru apa yang dilakukannya berakibat fatal
pada dirinya sendiri. Ketika ia mengirimkan pukulan
dengan tangan kirinya yang masih utuh, sang bala
berkelit. Secepat kilat ia menangkap Setan Terompet.
Laki-laki itu dibanting lalu diinjak-injaknya. Sehingga
Setan Terompet pun menemui ajalnya.
El Maut jadi geram sekali. Ia mengambil pedang
lainnya. Selagi lawan sedang memandangi mayat mu-
suh-musuhnya. Maka secara asal-asalan El Maut me-
nusukkan pedang itu ke dubur Sang Bala.
Bless!
Kali ini apa yang dilakukannya benar-benar
berhasil. Sang Bala menjerit. Ia meronta dan tangan-
nya menyampok ke kanan dan ke kiri. Gerakannya ini
tidak beraturan. Ia berusaha mencabut pedang yang
menancap di pantatnya. Usaha ini tidak mendatang-
kan hasil. Rupanya memang disanalah letak titik ke-
lemahan Sang Bala. Tidak lama Sang Bala sudah ter-
huyung-huyung, kemudian ia roboh sambil mengerang
kesakitan. El Maut melihat lawannya sekarat langsung
melompat mendekati. Pedang di tangan diayunkan ke
arah batang leher lawannya.
Cras!
Kepala Sang Bala terpisah dari badannya. Ru-
panya setelah bagian kelemahan laki-laki ini tertambus
pedang. Maka tubuh Sang Bala sudah tidak kebal lagi
terhadap berbagai jenis senjata.
Kening Sang Bala ditancapi paku-paku, sehing-
ga terlihatlah dua buah kata 'El Maut'. Kepala itu ke-
mudian digantungnya di atas pohon sejarak satu ba-
tang tombak dari atas tanah. Sehingga siapapun yang
datang dapat, melihatnya.
El Maut memanggul mayat Setan Terompet dan
Ki bersin untuk dibawanya ke dalam gua.
***
ENAM
"Aha, kalian adalah gadis-gadis yang montok.
Aku menyukainya! Sudah dua malam aku bersenang-
senang dengan kalian. Rasanya aku tidak pernah
puas. Aku seperti berada di tengah lautan, minum air
asin sebanyak banyaknya namun tidak pernah merasa
kenyang!" kata kakek berambut awut-awutan tersebut.
Sementara tangannya terus meremas-remas
dada kedua gadis yang dalam keadaan polos telentang
menemaninya. Gadis-gadis itu tampak tersenyum, me-
reka sama sekali tidak mengenai rasa malu meskipun
saling mempertontonkan auratnya.
Kenyataan guru kurang waras ini selama dua
hari berada di istana sudah delapan wanita yang di-
ajaknya tidur bersama. Ia tidak ubahnya seperti buah
kelapa, semakin tua semakin berminyak. Gadis-gadis
itu tampaknya juga mendapatkan kepuasan lebih be-
sar dari pada harus melayani Pangeran Suprana.
"Hmm, jika aku masih muda. Tentu aku sang-
gup bermesraan dengan kalian empat orang sekaligus.
Aku suka melihat keadaan kalian yang polos seperti
ini!" kata Dewa Kubu.
Tidak lama berselang, si kakek pun kembali
mencumbu perempuan cantik yang berada di sebelah-
nya. Sedangkan gadis yang satunya lagi tampaknya ju-
ga tidak sabar menunggu giliran. Mereka tidak ubah
nya seperti binatang yang tidak punya rasa malu. Wa-
laupun mereka berhubungan intim dengan disaksikan
oleh perempuan lain mereka tidak merasa risih. Lalu
terdengar suara rintihan-rintihan manja. Dewa Kubu
terus menghempas-hempas. Hingga akhirnya terden-
gar suara erangan panjang. Tubuhnya pun terdiam.
Begitulah perbuatan terkutuk itu terjadi silih
berganti. Bila si kakek sudah merasa bosan, maka ia
memanggil perempuan lainnya. Setelah hari menjelang
malam, Dewa Kubu keluar dari kamarnya dengan wa-
jah lesu seperti orang yang baru saja melakukan perja-
lanan yang cukup jauh.
"Muridku! Kau benar-benar telah menciptakan
sorga di istanamu! Kau murid yang berbakti, aku me-
rasa terhibur dan betah disini!" kata si kakek tanpa
malu-malu.
"Cita-citaku memang sudah hampir berhasil,
guru. Guru juga telah menyelamatkan aku. Sekarang
yang merisaukan hatiku, hingga saat ini saudara tua-
ku Sang Bala mengapa belum kembali? Dan perajurit
baru saja melapor mereka hampir saja musnah terban-
tai. Ternyata si bukit Sembuang sudah ada orang yang
menghadang mereka."
Dewa Kubu menyibakkan rambutnya yang
menjuntai menutupi wajahnya.
"Ha ha ha...! Siapa yang sanggup membuat
Sang Bala tewas? Tubuhnya kebal dan titik kelema-
hannya tidak seorang pun yang tahu terkecuali aku!"
sahut Dewa Kubu penuh keyakinan. "Lalu siapa yang
dihadapi oleh perajurit-perajuritmu itu?"
"Dua orang laki-laki tua dan seorang perem-
puan renta. Perempuan itu menyerang dengan mem-
pergunakan matanya. Ia juga meringkus perajurit-
perajuritku dengan mempergunakan cairan yang dapat
berubah menjadi benang-benang putih yang berpilin!"
jelas Iblis Peruntuh Mahkota.
Kening dibalik wajah yang tertutup rambut itu
berkerut dalam. Ia sama sekali tidak mengenal perem-
puan itu. Juga laki-laki yang ciri-cirinya baru saja dis-
ebutkan muridnya.
"Jangan kau merasa khawatir. Aku Dewa Kubu,
setengah manusia setengah roh. Mereka semua akan
mendapat bagian diriku. Siapapun yang bercokol di
bukit Sembuang akan ku sikat habis. Sampai pedang
Pemersatu kutemukan dan menjadi milikmu!" janji
Dewa Kubu.
"Sekarang masalahnya hanya tinggal pedang itu
dan puteri Saba. Gadis cantik yang membuat aku ter-
gila-gila dan tidak enak makan tidak enak tidur. Selain
itu aku juga harus memastikan Pangeran Demak Pati
dan pemuda berambut kemerahan itu mati di tangan-
mu, guru."
"Hal itu tidak perlu kau ragukan. Esok pagi-
pagi aku segera berangkat! Kalau kau mau menunggu
besok kita bisa berangkat bersama. Tapi kalau tidak
sabar, terserah bagaimana maumu!"
"Guru dapat melakukan perjalanan secepat an-
gin. Sedangkan aku memilih berangkat ke sana seka-
rang juga!" Pangeran Suprana memutuskan.
"Sekarang?"
"Ya, kurasa Elang Perak tidak akan tersesat
kemana-mana, bukankah binatang itu lebih tajam
penglihatannya pada malam hari?!"
"Ya, itu salah satu kelebihan yang dimiliki
Elang Perak. Mengingat segala ilmu yang telah kuberi-
kan padamu, rasanya aku tidak perlu mengkhawatir-
kan keselamatanmu!" ujar Dewa Kubu tanpa ragu-ragu.
"Malam ini guru boleh bersenang-senang di is-
tana sorga ini dengan gadis-gadis yang guru sukai. Be-
sok pagi jangan lupa menyusulku. Sekarang aku mo-
hon pamit!" kata Pangeran Suprana.
Ia segera meninggalkan ruangan pribadinya se-
telah mengenakan mahkota asli lambang kekuasaan
raja.
Malam itu juga Pangeran dengan menunggang
Elang Perak segera meninggalkan singgasana.
* * *
Sesosok bayangan berkelebat di antar pohon-
pohon pinus yang menjulang ke langit. Orang ini keli-
hatannya heran melihat nyala obor di sana sini. Ia te-
rus menyelinap di antara pohon yang satu dengan
yang lainnya.
"Nyala obor itu mengapa tidak bergerak! Apa
mungkin orang-orang kerajaan sudah sampai dan
mengepung daerah ini? Atau ada kelompok lain yang
mencoba mempertahankan bukit setelah tahu Pedang
Pemersatu ada di sini?" desis sosok berbaju hitam
sambil meludah. Ia mendekati salah satu obor itu, ia
jadi bersurut langkah. Ternyata di sana tidak ada siapa
pun. Obor ditancapkan ke tanah seperti sengaja dipa-
sang ke sekeliling bukit.
"Obor-obor ini jumlahnya ratusan. Adalah pe-
kerjaan yang gila bila seseorang melakukan perbuatan
ini. Eh... aku seperti melihat salah suatu di dekat obor
itu?" batin si laki-laki
Ternyata ia menemukan sepotong kayu berisi
sebaris kalimat peringatan.
'Melewati obor apalagi mendaki ke puncak bukit
berarti kematian!'
El Maut
Laki-laki botak mendengus, lalu meludahkan
sirihnya. Ia memandang ke atas bukit. Tokh ia tidak
melihat apa-apa terkecuali kegelapan yang mencekam.
"Sebelum aku memutuskan untuk ke atas sa-
na. Lebih baik aku teliti ke sekeliling bukit ini!" ka-
tanya memutuskan. Lebih kurang sepuluh batang
tombak ia melangkah. Tiba-tiba melihat sebuah pe-
mandangan mengerikan yang belum pernah dilihatnya
seumur hidup. Mayat-mayat bergelimpangan dalam
keadaan tumpang tindih, serta darah yang mengge-
nang disana-sini.
"Gila, ternyata telah terjadi pembantaian disini.
Mereka perajurit-perajurit kerajaan. Lalu siapa yang
telah melakukannya?" desis si botak. Ia melangkah
mundur ke samping. Tapi kepalanya malah menyeng-
gol sesuatu. Ketika ia meneliti, maka tengkuknya pun
merinding. Apa yang tersentuh oleh kepalanya tadi
ternyata adalah potongan kepala manusia dengan ma-
ta melotot lidah terjulur.
"Siapa yang menggantung kepala ini? Pastilah
ini kepala milik Sang Bala yang mengejarku beberapa
hari yang lalu. Aku yakin pembunuhnya memiliki ke-
pandaian yang sangat tinggi. Apakah orang yang berge-
lar El Maut itu? Bukankah El Maut artinya si Pencabut
Nyawa?"
Krosak!
Laki-laki botak ini tiba-tiba dikejutkan oleh su-
ara berisik di samping kirinya. Cepat ia membalikkan
tubuhnya ke arah datangnya suara.
"Siapa disitu?" bentaknya dengan suara bergetar,
"Situ sendiri siapa?" Yang ditanya balas ber-
tanya.
"Jangan sembunyi di situ, cepat tunjukkan diri
atau aku akan menghajarmu!" ancamnya.
"Lihatlah bangkai di depanmu. Jumlahnya
mencapai ratusan, jika ditambah dengan darahmu. Itu
pun belum cukup untuk membasahi seluruh bukit ini.
Aku tahu kau datang ke sini pasti menginginkan pe-
dang itu!" dengus sebuah suara.
"Jahanam, tunjukkan dirimu!" teriak si botak.
Lalu melepaskan pukulan jarak jauh ke arah datang-
nya suara. Terjadi ledakan, namun tidak menimbulkan
reaksi apa-apa.
Si botak heran, tiba-tiba seseorang menyentuh
bahunya hingga membuatnya terlonjak kaget. Cepat
sekali ia berbalik. Di depannya tampak seorang pemu-
da berbaju biru sedang cengar-cengir sambil garuk-
garuk kepala.
"Siapa kau?"
"Aku... ha ha ha...! Aku adalah orang yang ingin
menambah jumlah korban disini." sahut si pemuda
seenaknya.
"Kau yang telah memasang obor dan membu-
nuh perajurit-perajurit itu? Cepat katakan!!" bentak si
botak yang tidak lain adalah Tabib Dewa Sesat.
"Yang memasang obor boleh jadi setan penung-
gu bukit ini."
"Jadi bukan kau yang membunuh perajurit-
perajurit itu?" Tabib Dewa Sesat yang semula telah
menciut nyalinya kini bertambah semangat lagi. Apala-
gi setelah melihat tampang si pemuda yang tidak begi-
tu menyakinkan dan terkesan seperti orang bodoh.
"Jika kau punya tujuan ingin mencari pedang
Penebar Bencana. Aku juga bisa membuatmu seperti
mayat-mayat itu!" tegas Pendekar Blo'on.
"Keparat! Kau kira dirimu siapa, eh...?" dengus
Tabib Dewa Sesat penasaran.
"Aku Suro Blondo, Pendekar Blo'on! Ingat baik-
baik, aku Pendekar Blo'on!" Tingkah si pemuda terke-
san sangat meremehkan.
"Huh, hanya kunyuk bodoh rupanya! Apa pun
tujuanmu ke bukit ini, aku harus menyingkirkan
orang yang coba-coba menghalangi langkahku!" geram
Tabib Dewa Sesat.
Kakek botak itu tiba-tiba melolos tali pinggang-
nya yang ternyata adalah sebuah pedang tipis yang
dapat berubah kaku sesuai dengan pengerahan tenaga
dalam dan sangat tajam sekali.
Seketika pedang itu meluncur membelah bahu
Suro. Pemuda itu pencongkan mulutnya. Dengan ge-
rakan ringan ia berkelit menghindar. Serangan lawan-
nya tiba-tiba berbalik, kini mengancam rusuk Suro.
Cepat bukan main serangan itu, Suro berjum-
palitan. Lalu masih dalam keadaan bersalto ia menen-
dangkan kakinya seperti gerakan kaki belakang kuda.
Duuk!
Tabib Dewa Sesat langsung terjajar. Ia mengge-
ram marah, setelah itu si botak menyerbu lagi dengan
babatan pedangnya yang kian menghebat mengurung
gerakan Suro Blondo. Pemuda ini segera mengerahkan
jurus khusus menghindar yang dikenal dengan nama
'Kacau Balau'. Setiap gerakan kaki maupun tangan
Suro sudah tidak beraturan. Aneh, cepat dan terkesan
serampangan.
Gerakan yang grubak-grubuk itu ternyata,
membuat serangan-serangan yang dilancarkan oleh
kakek botak selalu gagal dari apa yang diharapkannya.
"Hiya...!"
Tabib Dewa Sesat disertai dengan bentakan ke-
ras tiba-tiba merubah jurus-jurus pedangnya. Seka-
rang senjata itu terus memburu bagaikan seekor bu-
rung terbang. Lalu berbalik, mengikuti gerakan Suro
Blondo. Pemuda cerdik bertampang Blo'on ini tidak
tinggal diam. Tiba-tiba ia melompati bahu lawannya.
Dalam pada itu kepala lawan yang licin dielus-elusnya
kemudian dihantamnya dengan siku. Dewa Sesat lang-
sung terhuyung-huyung. Kepalanya jadi pusing. Se-
hingga untuk sesaat ia kehilangan konsentrasi. Ini me-
rupakan penghinaan bagi dirinya, lawan pemuda itu
mampu menyentuh kepala bahkan menghantam den-
gan sikunya. Dengan kemarahan berkobar-kobar ia
berbalik, sementara Suro bersiul-siul sambil melonjak
kegirangan. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh la-
wan. Pedangnya meluncur, Suro tersentak kaget. Ia
cepat berkelit, serangan pedang luput. Namun kaki
Tabib Dewa Sesat menghantam pinggangnya.
"Ukh...!"
Suro sempoyongan, ia menggeliat seperti cacing
kepanasan. Belum lagi ia sempat melancarkan seran-
gan balasan. Tinju lawannya sudah menghantam ba-
gian dada.
Diegkh...!
Kali ini Pendekar Blo'on benar-benar terpelant-
ing. Darah menyembur ke udara.
"Melihat gerakanmu, aku tahu kau muridnya
Malaikat Berambut Api. Kepalang tanggung, kalau ti-
dak dapat kukalahkan gurunya. Dapat membunuh
muridnya pun sudah menjadi kepuasan bagiku!" teriak
Tabib Dewa Sesat dengan penuh nafsu membunuh.
Pedang tipis diputar-putarnya di atas kepala.
Suara angin menderu disertai berkelebatnya cahaya
putih menyilaukan mata. Setelah itu si kakek botak
menerjang dengan pedang terhunus. Suro merasa ji-
wanya benar-benar dalam keadaan terancam.
Di saat tubuh lawannya masih mengambang di
udara. Maka pemuda berambut hitam kemerahan ini
lepaskan pukulan 'Matahari Rembulan Tidak Bersinar'.
Terlihat sinar biru kemerah-merahan meluncur ganas
dari telapak tangan Suro. Kakek botak terkesiap, ia ja-
di gugup. Pedang yang semula dipergunakan untuk
menyudahi hidup lawannya kini terpaksa diputar un-
tuk melindungi keselamatannya.
Buuuum!
Tabib Dewa Sesat menjerit tertahan. Ia tergul-
ing-guling sambil mendekap dadanya. Meskipun luka
dalam yang dideritanya akibat pukulan tadi cukup pa-
rah. Namun setelah menelan obat mujarab yang di-
buatnya sendiri ia bangkit lagi. Dalam keadaan gelap
begitu mana Suro dapat memastikan lawannya tewas
atau masih bertahan.
Pemuda itu perlahan bangkit sambil member-
sihkan debu yang menempel di bajunya. Di saat itulah
ia merasa adanya sambaran angin yang begitu cepat.
Ia terperangah melihat lawannya membacokkan pe-
dang ke bagian ke kepala.
Cepat sekali ia meliukkan tubuhnya. Posisi pe-
dang kini berubah menusuk. Suro dengan mulut ter-
pencong memaki, lalu melompat. Dan....
Breet!
"Akh...!"
Pemuda ini menjerit, ketiaknya terserempet pe-
dang dan mengucurkan darah. Tabib Dewa Sesat tidak
puas dengan apa yang dicapainya. Ia berbalik, pedang
terarah memenggal ke bagian kepala.
"Setan! Sudah melukai ketiak kini minta kepala!" maki Suro Blondo.
Sing!
Sambil meredam kemarahannya, Pendekar
Mandau Jantan ini cabut senjata. Sehingga seketika
itu juga terdengar suara ringkik kuda, suara kuda be-
rubah jadi rintihan tangis, kemudian berubah lagi
menjadi tawa berkepanjangan sesuai dengan cara si
pemuda menggerakkan Mandau tersebut. Terjadi ben-
turan keras. Pedang Tabib Dewa Sesat patah dua,
Mandau terus meluncur dan menghantam lengan Ta-
bib Dewa Sesat.
Tes!
Dapat dibayangkan betapa ampuhnya senjata
Suro Blondo. Tangan lawan putus. Betapa tajamnya
senjata itu sampai-sampai Tabib tidak merasakan sa-
kit apa-apa. Ia baru sadar ketika melihat tangannya ja-
tuh dekat kakinya. Cepat potongan tangan diambilnya.
Lalu ia melemparkan sebuah benda berwarna hitam ke
arah Suro.
Terjadi ledakan disertai menebarnya kabut hi-
tam. Suro yang bermaksud mengejar jadi urung dan
terbatuk-batuk.
Sayup-sayup di kejauhan ia mendengar suara
seseorang penuh ancaman.
"Hari ini kau membuat rasa maluku bertam-
bah-tambah. Lain kali aku akan mencarimu untuk
mengadakan perhitungan lagi!"
"Bagus, lain hari aku lebih senang mengambil
kemaluanmu, agar tidak punya malu sama sekali!" ka-
ta Suro tidak kalah kerasnya.
Pemuda itu kemudian mengobati luka di bagian
ketiaknya. Sambil menggerutu mendaki ke puncak
Bukit Sembuang.
"Sialan, jalan tolak pinggang sebelah begini.
Nanti orang menyangka aku sok jagoan! Padahal karena luka celaka di ketiakku ini!"
***
TUJUH
"Nenek gila yang bergelar El Maut! Permainan
dan muslihat apa lagi yang hendak kau tunjukkan ke-
padaku?" bentak Pangeran Demak Pati ketika melihat
si nenek mulai menurunkan tali putih yang menggan-
tung pemuda itu.
"Diam! Bila kau jatuh, kau bisa mampus seke-
tika!" bentak El Maut.
"Bukankah kau yang gila membunuh ingin
mengakhiri riwayatku?"
"Setan! Aku kata diam, kau harus diam. Ada
sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu!" gerutu si
nenek.
Tidak lama Pendekar Kucar Kacir sudah berada
di lantai gua dengan kepala terlebih dulu menyentuh
tanah.
Si nenek berambut awut-awutan yang matanya
senantiasa memancarkan cahaya merah ini meludahi
tangannya. Tangan yang sudah basah oleh ludahnya
sendiri kemudian diusapkannya ke bagian tali-tali
yang mengikat Pangeran Demak Pati. Secara menak-
jubkan tali-tali yang tercipta dari cairan lendir putih
itu meleleh
Begitu terbebas Pangeran Demak Pati langsung
melompat berdiri. Dengan sewot ia menuding El Maut.
"Kau manusia keterlaluan. Sudah kau gantung
aku selama berhari-hari kini tiba saatnya bagimu un-
tuk terima hukuman dariku!" Baru saja ia katubkan
mulutnya ia memukul El Maut. Tapi pukulannya me-
lenceng, karena sesungguhnya keseimbangan memang
belum pulih benar.
Pemuda ini jatuh bangun, padahal El Maut sa-
ma sekali tidak bergeser dari tempatnya berdiri.
"Kau perlu waktu untuk mengembalikan tenaga
dalammu. Tetaplah kau disini aku ada membawa oleh-
oleh yang mengejutkan buatmu!" El Maut meninggal-
kan Pangeran Demak. Si pemuda tentu saja tidak me-
nyia-nyiakan kesempatan ini. Menyangka ia akan men-
jalani hukuman mati, maka cepat ia bersila untuk
memulihkan kondisinya yang belum normal.
Bruk!
Bruuk!
Terdengar suara bergedebukan. Pangeran De-
mak kaget, lalu buka matanya lebar-lebar. Pemuda ini
tiba-tiba meraung begitu mengenali salah satu dari
mayat yang dibawa oleh El Maut.
"Guru...! Huhu hu...!" serunya. Serta merta ia
melompat dan menubruk gurunya yang telah kaku
menjadi mayat. Pangeran Demak Pati menangis dan te-
rus menangis. Tiba-tiba ia menengadahkan wajahnya
dan memandang penuh rasa benci pada si nenek.
"Kk... kau telah membunuhnya! Guruku telah
kau bunuh?! Apa dosanya, apa salahnya dan mana
mahkota itu?" seru Pendekar Kucar Kacir.
"Bocah edan, main tuduh sembarangan. Kau
sangka aku telah membunuhnya! Coba kau tanya pa-
da mayat itu siapa yang telah membunuhnya?"
"Gila! Mana mungkin dia dapat bicara? Lalu
siapa yang telah membunuhnya?" dengus Pendekar
Kucar Kacir marah.
"Yang membunuh gurumu dan saudaranya
adalah Panglima Kerajaan!" jelas El Maut dengan sikap
acuh tak acuh.
"Dan kau hanya berdiam diri menonton? Sang
Bala itu manusia keparat, kalau kau tidak menggan-
tungku di sini. Tentu aku sudah dapat membunuhnya.
Sial betul nasibku! Orang ini pasti saudaranya guru-
ku!"
"Memang, namanya Ki Bersin. Manusia seper-
timu becus apa, Pangeran goblok? Kalau gurumu saja
bisa kojor di tangan Sang Bala, apalagi manusia ber-
tampang sepertimu itu. Kepandaian yang kau miliki itu
tidak ada arti sama sekali jika harus menghadapi Sang
Bala!" ejek El Maut meremehkan.
"Hmm, kau kira aku manusia pengecut macam
apa, nenek jelek. Cepat tunjukkan dimana Sang Bala.
Aku akan membawa tangannya untukmu!" teriak Pan-
geran Demak Pati tidak senang.
"Sekarang dia sudah mampus, kepalanya bah-
kan sudah kugantung. Kalau suka makan dagingnya,
bangkai Panglima itu ada di lereng bukit sana!" kata El
Maut sambil menunjuk keluar gua.
Pangeran Demak Pati kontan terdiam, ia sendiri
heran melihat sikap si nenek yang telah berubah lu-
nak.
"Katanya kau mau membunuhku, mengapa se-
karang tidak kau bunuh?" pancing si pemuda.
"Kau benar-benar keturunannya Jasa Raga. Ke-
tahuilah, aku dulu adalah guru ayahmu. Pedang Pene-
bar Bencana sengaja kuberikan pada ayahmu karena
ia kuanggap sebagai murid yang bijaksana." tegas si
nenek. Kini gantian Pangeran Demak Pati yang terke-
sima.
"Kalau benar ayahmu telah mangkat, aku san-
gat menyesalkannya. Lalu siapa yang telah membunuhnya?"
Mendengar El Maut adalah guru almarhum
ayahnya, maka sikap Pendekar Kucar Kacir pun beru-
bah lunak.
"Ayahanda meninggal secara misterius. Beliau
diracun orang. Sekarang setelah kerajaan jatuh ke
tangan Pangeran Suprana, aku merasa yakin dialah
yang telah membunuh ayah. Aku ingin tahu, benarkah
ayah ada menyimpan pedang itu di sini?"
"Sekitar dua belas tahun yang lalu, ayahmu
memang menitipkan pedang maut itu padaku." sahut
El Maut sambil menghembuskan nafas dalam-dalam.
"Waktu itu ia mengatakan ada yang tidak beres dalam
istana. Ia punya firasat akan terjadi perebutan kekua-
saan secara halus. Kini baru kusadari bahwa apa yang
dikatakannya memang benar. Sampai sekarang senjata
itu ada padaku, karena asalnya memang dari aku pu-
la. Kudengar kau punya seorang adik! Lalu dimana
adikmu sekarang?"
Ditanya tentang puteri Saba, Pangeran Demak
Pati jadi sedih.
"Waktu itu ia diculik oleh Pangeran Suprana.
Aku dan Suro Blondo tidak dapat mencegahnya karena
Pangeran jahanam itu melarikan diri bersama Elang
Perak! Dan...!"
"Sssst...!" El Maut memberi isyarat pada, Pen-
dekar Kucar Kacir agar diam. Sementara perempuan
renta berwajah buruk bekas cakaran harimau itu
mengendap-endap mendekati mulut gua. Ketika meli-
hat ada bayangan lain di mulut gua, maka El Maut
langsung bersembunyi di balik batu besar. Tidak lama
tampak seorang pemuda berbaju biru masuk ke dalam
gua dengan berkacak pinggang tapi hanya tangan ka-
nannya saja.
Begitu melihat Pangeran Demak Pati. Pemuda
ini jadi kegirangan dan langsung menyalami Pendekar
Kucar Kacir dengan tangan kirinya.
"Aha, kita bertemu lagi, Kucar Kacir! Bagaima-
na keadaanmu? Kupikir kau sudah mati seperti orang-
orang di lereng bukit itu, lho! Eh... mengapa kau ma-
lah bengong! Dulu ada tetanggaku yang mati karena
bengong terlalu lama!" kata si pemuda yang tidak lain
adalah pendekar Blo’on.
"Aku gembira bertemu denganmu, tapi kau jan-
gan bicara sembarangan!" Demak Pati mengisiki, se-
dangkan matanya tiada henti memperhatikan batu be-
sar yang terletak dekat gua.
"Apa yang membuatmu takut? Setan pasti
tunggang langgang melihat aku" celetuk Suro. Lalu ia
mengedarkan pandangannya ke sekeliling gua. "Eh,
mayat-mayat itu sejak kapan kau membuat ikan asin
disini?" tanya Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm, lancang sekali kau masuk ke dalam gua
ini. Kau pemuda gila dari mana?" bentak El Maut yang
baru saja keluar dari tempat persembunyiannya.
Suro dengan cepat menoleh ke belakangnya. Ia
kerutkan kening dengan mulut termonyong-monyong.
"Siapa dia?" tanya Suro ditujukan pada Pende-
kar Kucar-Kacir.
"Dia nenek guruku!" jawab si pemuda.
"Nenek gurumu mengapa jelek amat?"
"Jangan sembarangan kau bicara!"
"Apa tadi yang baru saja kau ucapkan pemuda
geblek?" tanya El Maut dengan mata melotot.
Kini giliran Pendekar Blo'on yang telan ludah
setelah melihat betapa mata perempuan tua itu me-
mancarkan cahaya merah menyilaukan.
"Maafkan sahabatku ini, Nek. Dia memang agak
sinting, maklum waktu lahir umurnya belum genap
sembilan bulan." Pendekar Kucar Kacir menengahi.
Rupanya ia merasa tidak enak bila sampai nenek renta
itu menurunkan tangan kejam pada sahabatnya Pen-
dekar Blo'on.
Dikatakan sinting Suro langsung cemberut.
"Betul nek, aku agak sinting. Tapi kawanku ini
sangat miring. Ia bahkan punya penyakit gila yang da-
pat menular. Dan...!"
"Diam!" El Maut membentak garang. "Gua ini
bukan pasar tempat orang jual bacot!"
Suro memegang mulutnya. "Bacotnya siapa
yang dijual, nek!" celetuk Suro hingga membuat El
Maut semakin bertambah gusar saja.
"Rupanya kau ingin agar aku membunuhmu!"
geram El Maut.
Nenek renta itu tiba-tiba saja mengedipkan ma-
tanya. Dua larik sinar merah meluncur ke arah Suro.
Pemuda ini dengan kalang kabut segera bergerak
menghindar. Sehingga kedua sinar tadi menghantam
dinding gua di belakang Suro. Terjadi ledakan. Ketika
Suro menoleh ke arah bekas ledakan, maka wajahnya
pun mendadak berubah pucat. Untung bukan dirinya
yang jadi sasaran kalau tidak ia bisa mampus.
"Apakah kau ingin nasibmu seperti batu itu,
pemuda edan?" bentak El Maut.
"Oh, mudah-mudahan dijauhkan Tuhan, nek.
Maafkan aku!" kata Suro, lalu pemuda itu menjura
hormat.
"Huh, kau katakan padaku apa tujuanmu da-
tang kemari?" tanya El Maut dengan tatapan penuh se-
lidik.
Suro garuk-garuk kepala. "Ketika kulihat ba-
nyak obor dipasang di sekeliling bukit ini. Maka aku
mengira ada pesta besar. Tidak tahunya kulihat ba
nyak perajurit-perajurit yang tewas di bawah sana. La-
lu aku bertemu dengan Tabib Dewa Sesat. Ia mencari
pedang Penebar Bencana. Dia kemudian bentrok den-
gan aku. Tangannya dapat kubuntungi. Tapi dia juga
dapat melukai ketiakku. Lihatlah aku terpaksa berto-
lak pinggang seperti ini!"
Melihat cara Suro bicara sebenarnya El Maut
merasa geli sendiri. Namun sedikit pun ia tidak tertawa
atau tersenyum. Dalam kesempatan itu Pendekar Ku-
car Kacir bertanya tentang adiknya puteri Saba.
"Maaf kawanku. Aku memang telah sampai di
istana. Sayang aku tidak menemukan puteri Saba,
Pangeran gila itu pun tidak kulihat batang hidungnya.
Sedangkan batang yang lain mungkin ada bersama
pemiliknya. Kerajaanmu benar-benar telah berubah
menjadi sorga terkutuk. Banyak bukit-bukit dan hutan
rimba mubazir disana." Jelas Suro sambil menahan
senyum.
"Apa maksudmu bukit dan hutan rimba.
Mungkinkan istana kami sekarang sudah tidak terurus
lagi?"
"Oh, kau ini Pangeran goblok. Lebih baik kau
memelihara kambing dari pada memelihara ketololan-
mu!" kata Suro disertai tawa terkekeh-kekeh.
"Cukup! Kau benar-benar pemuda tolol, pewa-
ris kerajaan yang bodoh. Kawanmu yang sinting itu
kan bermaksud bicara tentang aurat perempuan. Ar-
tinya di istanamu sekarang bercokol perempuan-
perempuan pemuas nafsu pangeran jahanam itu, bu-
kankah begitu pemuda sedeng?!" maki El Maut.
"He he he! Begitulah kurang lebih, nek. Dan
nenek jangan marah, apa yang kukatakan ini adalah
yang sesungguhnya!"
"Sudah, jadi kalian bersahabat. Pemuda
pemuda seperti kalian memang seperti pinang di belah
dua. Sama gobloknya sama tololnya dan sama-sama
miring. Sekarang aku ingin tanya di mana Pangeran
itu dan gurunya?"
"Wah aku juga tidak tahu, nek. Kalau tahu
buat apa aku ke sini?"
"Sontoloyo, kau dengan Pangeran Demak Pati
sama saja seperti manusia tidak punya guna." gerutu
El Maut.
Suro Blondo hanya dapat cengengesan, se-
dangkan Pendekar Kucar Kacir memilih diam.
"Keadaan di sini benar-benar sudah tidak aman
lagi. Sekarang kalian semua ikut!" perintah perempuan
renta itu. Suro dan Pendekar Kucar Kacir segera men-
gikuti dari belakang. Lorong di dalam gua itu ternyata
cukup panjang dan berliku-liku di samping banyak je-
bakan disana-sini. Sampai-sampai El Maut memperin-
gatkan.
"Ikuti setiap langkahku, jangan sampai me-
nyimpang kalau tidak ingin mampus!"
"Kau dengar itu, Kucar-Kacir, jangan salah
langkah. Nanti isi perutmu bisa berantakan!" kata Su-
ro menimpali.
Si nenek renta berpakaian hitam hentikan
langkah dan berpaling. "Kulihat mulutmu sejak tadi
seperti mulut perempuan! Kalau kau tidak mau diam
aku bisa membunuhmu!"
Pendekar Blo'on langsung terdiam, El Maut me-
lanjutkan perjalanan lagi yang segera diikuti oleh ke-
dua pemuda itu. Sampai di ujung gua, ternyata lorong
itu semakin menyempit.
El Maut mendorong batu, lalu menekan-nekan
sebuah tombol, sehingga terdengarlah suara bergemu-
ruh, seolah-olah gua seperti hendak runtuh. Pendekar
Kucar Kacir terpaksa tutupi telinga.
Sesuatu yang menakjubkan kemudian terlihat
begitu pintu batu terbuka. Sebuah ruangan yang luas
terhampar di depan mereka. Ruangan itu seperti sing-
gasana kecil. Bagian dinding gua dan langit-langitnya
dihias sedemikian rupa. Sehingga suasana di dalam-
nya terasa nyaman dan sejuk sekali.
"Masuk!" perintah El Maut. Dengan patuh ke-
dua pemuda itu segera melakukan apa yang diperin-
tahkan oleh El Maut. Setelah mereka berada di dalam
ruangan luas itu, maka pintu batu tadi menutup den-
gan sendirinya.
"Kalian berdiri di situ. Jangan melangkah ke-
mana-mana! Aku tahu lawan yang akan kita hadapi
cukup berat. Aku sendiri belum tahu apakah aku
mampu mengalahkan manusia setengah roh yang ber-
juluk Dewa Kubu itu. Mungkin hanya pedang Pemer-
satu itu saja yang dapat menandingi kesaktiannya. Ta-
pi jika pedang itu ku cabut dari rangkanya, terkecuali
yang memegang senjata itu. Maka manusia yang bera-
da di sekelilingnya akan hancur menjadi debu. Aku ti-
dak main-main bicara, aku menjelaskan kharisma pe-
dang yang penuh keajaiban itu sesungguhnya. Kalau
keadaan terpaksa, kalian pergilah dariku sejauh-
jauhnya." pesan El Maut.
Setelah melihat kedua pemuda itu saling men-
ganggukkan kepala tanda mengerti. Maka El Maut se-
gera mendekati ranjang berselimut berbagai jenis kulit
binatang buas.
Ujung bagian sisi ranjang ditekannya. Lagi-lagi
terdengar suara bergemuruh. Dinding gua di samping
ranjang terbuka sedikit berbentuk empat persegi.
El Maut melangkah menghampiri dinding, di-
mana pada bagian itu terlihat seperti ada cahaya putih
memancar. Sebuah rangka pedang terlihat. Hanya di
dalam ruangan semakin bertambah dingin. Namun ca-
haya putih yang terdapat di dalam lubang empat per-
segi itu terus memancar. Entah benda apa yang me-
mancarkan cahaya itu, hanya El Maut saja yang tahu.
"Inilah pedang Penebar Bencana!" jelas si nenek
renta pada kedua pemuda di depannya.
Suro meneliti dengan sudut matanya. Ternyata
hulu pedang berbentuk tengkorak manusia. Pada ba-
gian warangkanya yang berwarna hitam berukir tulang
belulang berserakan. Senjata itu jelas menyimpan ke-
kuatan gaib yang sangat keji. Sementara itu lubang
berbentuk persegi empat tadi telah menutup. Suro in-
gin bertanya benda apa yang memancarkan cahaya
kemilau tadi, namun urung.
"Sekarang kita tinggalkan tempat ini! Besok,
begitu matahari sudah berada di kaki langit. Kau dan
Pangeran Demak Pati segera pergi ke bagian utara bu-
kit! Sedangkan aku harus menempuh daerah selatan!"
tegas si nenek. Seraya lalu menyelinapkan senjata
yang menghebohkan itu ke balik pakaiannya.
***
DELAPAN
"Kak! Kak!"
Terdengar suara pekik keras suara burung
mengelilingi bukit Sembuang. Waktu itu kabut tebal
masih menyelimuti puncak bukit, embun menetes di
pucuk dedaunan. Di angkasa sana terlihat seekor bu-
rung raksasa tampak melayang-layang di udara. Di
atas punggung burung tersebut duduk seorang pemuda berwajah tampan dengan gagahnya. Rambutnya
berkibar-kibar.
Tiga kali pemuda itu mengelus leher Elang Pe-
rak. Lalu terdengar suaranya ditujukan pada burung
tersebut.
"Terbangkan aku ke bawah sana. Aku melihat
burung-burung gagak, rasanya perajurit-perajuritku
mati di sana." kata Pangeran Suprana, suaranya sung-
guh tidak sedap didengar.
"Hiii...!"
Elang Perak meluncur cepat ke bawah, seakan
mengerti apa yang dikatakan oleh majikannya. Tidak
lama burung raksasa itu pun telah menjejakkan ka-
kinya di atas dataran yang luas.
"Kau tunggulah di sini, sahabat. Jika ada yang
tidak beres, kau siap-siap melindungi aku!" pesan sang
Pangeran.
"Kaak!"
Elang Perak memekik keras. Pangeran Suprana
segera meninggalkan tunggangannya. Ia menyelinap di
balik semak-semak. Matanya terbelalak ketika melihat
mayat-mayat perajuritnya bergeletakan dalam keadaan
menyedihkan. Karena hari sudah mulai terang. Maka
pemuda ini sebentar saja sudah melihat potongan ke-
pala Sang Bala yang tergontai-gontai tertiup angin.
Pemuda ini memekik keras. Ia menangisi po-
tongan kepala saudara tua seperguruannya yang men-
gerikan itu.
"Suadaraku, mengapa begini buruk nasibmu?
Tidak kusangka kau yang kebal pukulan kebal senjata
menemui ajal begini menyedihkan. Siapa yang mela-
kukan perbuatan ini padamu? Siapa?" pekik Iblis Pe-
runtuh Mahkota.
Walaupun Pangeran ini menangis air mata darah. Rasanya kepala yang telah terpisah dari badannya
ini mustahil menyatu kembali.
Pangeran Suprana tiba-tiba saja bangkit berdi-
ri. Matanya berubah merah karena menahan tangis
dan amarah.
"Jahanam, kepada penghuni bukit harap tun-
jukkan diri. Aku bersumpah tidak akan tinggal diam
melihat panglimaku diperlakukan begini rupa! Aku
akan melakukan pembalasan melebihi kejamnya ma-
nusia manapun yang paling kejam di permukaan bumi
ini! Hea...!"
Dalam amarahnya yang tiada terkirakan itu.
Pangeran Suprana seperti orang yang kesurupan me-
lepaskan pukulan saktinya ke arah pohon-pohon pinus
yang terdapat di sekelilingnya.
Terdengar suara ledakan-ledakan yang hiruk
pikuk disana sini. Pohon-pohon bertumbangan, dian-
taranya bahkan ada yang terbakar. Cukup lama juga
pemuda ini mengumbar kemarahannya. Hingga akhir-
nya ia terengah-engah sendiri.
Di kala ia sedang dilanda kegusaran seperti itu-
lah, tiba-tiba terlihat dua bayangan berkelebat. Yang
satu berpakaian hitam bertubuh ramping. Sedangkan
satunya lagi bertubuh tambun. Sekejap saja di depan
Pangeran Suprana tampak berdiri seorang kakek dan
seorang gadis cantik dengan lekuk yang manis di da-
gunya.
"Mengamuk membabi buta seperti orang gila.
Apakah kau benar-benar orang yang tidak waras Pan-
geran Gila?" tanya si kakek yang tidak lain adalah De-
wa Petir.
"Kalian siapa?" tanya Pangeran Suprana, seraya
memandang tajam pada gadis di samping Dewa Maling.
"Aku Dewa Petir, datang ke sini adalah untuk
membantu sahabatnya Pendekar Blo'on untuk menda-
patkan pedang Penebar Bencana!" jawab si kakek.
"Oh begitu rupanya? Siapapun orangnya yang
tidak berada di pihakku, berarti dia musuhku yang
nyata. Setiap musuh wajib bagiku untuk mele-
nyapkannya dari permukaan bumi ini!" Pangeran Su-
prana mendengus tajam.
Burung raksasa melihat majikannya terlihat
perdebatan tampak mulai gelisah.
"Pangeran jahanam! Kudengar kau mengakui
dirimu sebagai Tuhan! Ingin kulihat, jika tidak mati-
mati barulah aku berpikir untuk bersekutu dengan-
mu!"
"Ya, sebagai imbalannya. Tentu aku punya hak
meniduri gadis cantik yang bersamamu itu!" kata Pan-
geran bermahkota raja ini disertai tawa bergelak-gelak.
"Bangsat! Biarkan aku yang membungkam mu-
lutnya yang kurang ajar itu!" teriak Gadis yang lebih
dikenal dengan julukan Maling Jenaka.
Gadis itu langsung kirimkan satu pukulan ke
arah Pangeran Suprana. Serangan itu cukup terarah,
namun dengan mudah lawan dapat menghindarinya
bahkan balas melepaskan tendangan. Angin bersuit ta-
jam, Maling Jenaka terpaksa bersalto. Pangeran Su-
prana mengejar, serangan balasan yang dilakukannya
benar-benar terarah pada bagian-bagian sensitif di tu-
buh lawannya. Sesungguhnya ia memang bermaksud
kurang ajar pada gadis itu.
Maling Jenaka tampaknya menyadari apa yang
diinginkan oleh lawan yang ia dengar memang suka
mencabuli gadis-gadis yang masih perawan. Ia mem-
bentak garang dan kerahkan jurus 'Mengukir Batu
Memecah Karang", salah satu jurus terhebat yang di
milikinya.
Untuk beberapa jurus lamanya Pangeran Su-
prana tampak terdesak. Kesempatan ini tidak disia-
siakan oleh Gadis. Ia cabut pedangnya, begitu senjata
berkiblat di udara. Maka pedang itu seakan berubah
menjadi banyak! Bergerak menusuk terarah ke sepu-
luh jalan darah, hingga membuat lawannya terpaksa
bergerak mundur untuk kemudian balik menyerang
dengan jurus-jurus anehnya.
Maling Jenaka tidak perduli. Ia tetap bertahan
atau menyerang setiap ada kesempatan. Pemuda tam-
pan itu tiba-tiba saja bersalto, Gadis menggerakkan
pedangnya ke atas. Tapi lawan sudah meluncur deras
di belakangnya. Dengan tangan terkembang dihan-
tamnya punggung Maling Jenaka. Tidak ayal lagi Mal-
ing Jenaka tersungkur dengan mulut menyemburkan
darah. Dari sini dapat diketahui bahwa Maling Jenaka
ini bukanlah tandingan murid Dewa Kubu.
Dewa Petir alias Dewa Copet alias Dewa Maling
tidak tinggal diam. Ia segera menyerbu ke depan.
"Bagus! Rasanya kau sedikit berisi, ingin ku ta-
hu apa kehebatan di balik julukanmu!" dengus Pange-
ran Suprana. Tanpa membuang waktu ia sambut se-
rangan gencar yang dilancarkan Dewa Petir. Rupanya
ia ingin mengetahui sampai dimana kehebatan tenaga
dalam yang dimiliki oleh Dewa Petir. Sehingga ia pun
menangkis serangan lawan.
Duuk!
"Hmm...!"
Iblis Peruntuh Mahkota menggumam pelan, tu-
buhnya sempat tergetar namun Dewa Petir juga tidak
kalah kagetnya. Lawan masih muda, tidak disangka
memiliki kepandaian dan tenaga dalam tinggi, disamping itu mengandung hawa racun pula.
Kini masing-masing lawan tampaknya memang
sama-sama ingin menyelesaikan pertarungan itu den-
gan cepat. Pangeran Suprana murid gemblengan Dewa
Kubu tiba-tiba melompat, tinju dan tendangannya
menderu. Kakek tambun melihat betapa tangan lawan
telah berubah menghitam sebatas siku. Ia pun kerah-
kan tenaga dalam lindungi diri dari pengaruh racun.
Maka serangan beruntun itu bukan dihindarinya, tapi
malah ditepisnya secara tepat.
Plak!
Duk! Duk!
"Wuakh...!"
Dewa Petir terdorong mundur, lawan menyerin-
gai sinis. Lalu secepat kilat ia lepaskan pukulan
'Penghancur Bala'. Sinar hitam pekat menebar bangkai
menderu. Dewa Petir terkesiap, namun ia tiba-tiba
mengadu kedua tangannya. Sehingga terdengarlah su-
ara menggeledek. Dari sela-sela jemari tangannya
mencuat sinar pelangi.
Sinar itu meluncur deras ke satu arah. Hawa
panas dan dingin datang silih berganti, hingga akhir-
nya terdengar sebuah ledakan yang sangat dahsyat.
Dentuman itu membuat sebuah lubang besar,
tanah berhamburan di udara. Dewa Petir jatuh terdu-
duk dengan kaki menekuk. Pangeran Suprana ter-
huyung-huyung seperti orang bingung sambil meme-
gangi dadanya.
Melihat kejadian ini Elang Perak tidak tinggal
diam. Begitu sayapnya mengepak maka menderulah
angin laksana topan. Melihat burung raksasa itu hen-
dak menyerang gurunya. Maka Gadis tidak tinggal di-
am. Ia cabut pedang kembali. Dengan penuh kebera-
nian ia menyerang burung tersebut sambil lepaskan
pukulan bertubi-tubi.
Pukulan jarak jauh yang dilakukannya hanya
sia-sia. Karena begitu Elang Perak mengepakkan
sayapnya, maka buyarlah serangan Gadis.
Di rimba persilatan, si kakek sampai diberi ju-
lukan Dewa Petir karena setiap tangannya diadu satu
dengan lain akan mengeluarkan suara menggeledek
seperti petir. Namun kini berhadapan dengan Pangeran
Suprana ia merasa kesulitan untuk menjatuhkannya.
Sungguh pun demikian ia tetap bertekad mem-
bunuh Pangeran itu. Kumbang Pemikat bangkit lagi
membangun serangan-serangan yang lebih gencar.
Tanpa mereka sadari kini pertempuran sudah
berlangsung tiga puluh jurus masih belum ada tanda-
tanda siapa yang kalah dan siapa yang menang. Maka
bertarunglah mereka dengan segenap kemampuan
yang mereka miliki.
Sementara itu menghadapi burung raksasa
yang tampaknya sangat terlatih itu Gadis mulai kere-
potan, bahkan ia sampai jatuh bangun menghindari
hantaman sayap, patukan paruh ataupun cengkera-
man cakar Elang Perak. Setiap Elang Perak mengepak-
kan sayapnya lebih keras sambil memekik nyaring.
Maka angin laksana badai topan menderu, hantaman
angin membuat Maling Jenaka terguling-guling.
Kini Elang perak terbang rendah, sementara itu
pula baik Pangeran Suprana maupun Dewa Petir mulai
sama-sama terluka.
"Kiiiik!"
Sang raksasa berputar-putar di atas kepala
Gadis. Terbangnya miring lalu menukik secepat kilat.
Gadis mengibaskan pedangnya ke arah sayap Elang
Perak. Senjata malah terpental, sayap Elang Perak ti-
dak dapat ditembus karena terlindung bulu yang sedemikian lebat.
Maling Jenaka terkesiap, sementara Elang Pe-
rak sudah menukik lagi, walau Gadis sudah merun-
dukkan tubuhnya. Punggung si ayu masih kena dihan-
tam.
Braak!
"Aaaa...!"
Gadis baju hitam memekik, tubuhnya terlem-
par dan menderita luka dalam cukup parah. Dewa Pe-
tir tentu saja menjadi khawatir begitu mendengar sua-
ra teriakan muridnya. Ia pun berpaling, kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Pangeran Suprana. Ia melu-
ruk cepat ke depan. Lalu ia hantamkan pukulan
menggeledek ke arah dada Dewa Petir.
Dess!
Kakek tambun memekik kaget. Ia terguling-
guling dengan darah mengucur dari mulutnya. Pange-
ran Suprana walau pun merasa lelah luar biasa kini
cabut pedangnya dan bermaksud mengakhiri perlawa-
nan Dewa Petir. Di saat itulah dua bayangan putih dan
biru berkelebat. Yang satu menghantam tangan Pange-
ran Suprana hingga pedang terlepas. Sedangkan
bayangan biru lepaskan pukulan ke arah Elang Perak
yang hampir berhasil mencengkeram dada Maling Je-
naka dengan maksud dibawanya terbang dalam ke-
tinggian untuk kemudian dijatuhkan.
"Kiiik!"
Elang Perak menjerit, pukulan jarak dekat yang
dilepaskan pemuda baju Biru sempat melukai bagian
dada burung raksasa itu. Hingga bulu-bulunya ber-
hamburan. Elang Perak membubung tinggi dilanda
amarah dan kesakitan. Si baju biru yang tidak lain
adalah Pendekar Blo'on cepat menolong Gadis yang
terkapar dengan nafas megap-megap.
"Telanlah obat ini sebelum elang itu datang la
gi!"
Gadis menerimanya, sambil menelan obat itu ia
memandang pada Suro dengan tatapan penuh arti.
"Burung keparat itu tidak dapat kita hadapi be-
gitu saja, ia bahkan lebih berbahaya dari majikannya!"
berkata Gadis dengan suara tersendat-sendat.
"Kau masukkan ini dalam kantongmu, jika
nanti keadaan memaksa lepaskan dia ke dalam telinga
Elang Perak!"
Suro dengan bingung menggenggam tangan
Gadis yang mulai terbuka. Ternyata setelah dilihat ga-
dis baju hitam ini memberinya seekor jangkrik. Dengan
cepat Suro sudah dapat mengerti apa yang diinginkan
oleh Maling Jenaka.
Ia memasukkan jangkerik ke dalam sakunya.
Pada waktu itu, Pendekar Kucar Kacir sudah
melindungi Dewa Petir dengan menghunus pedang
siap menghadapi Pangeran Suprana yang masih belum
hilang dari rasa kagetnya.
"Bangun, paman! Marilah kita hadapi si jaha-
nam ini sampai takdir menentukan, dia atau kita yang
mati.!" desis si pemuda penuh rasa kebencian. Pada
hakekatnya Dewa Petir adalah orang yang sudah ba-
nyak berpengalaman. Sehingga dalam waktu yang
singkat ia sudah dapat memulihkan luka dalam yang
dideritanya.
Melihat kehadiran Pendekar Blo'on dan Pange-
ran Demak Pati yang tiba-tiba ini. Pemuda bermahkota
itu sadar semakin bertambah berat lawan yang diha-
dapi. Padahal tadi ia sudah hampir mencapai keme-
nangan. Namun apalah artinya mereka dibandingkan
dengan kemewahan yang ia miliki. Semua musuh yang
berada di situ harus ditumpasnya, hingga tidak lagi
menjadi duri dalam daging selamanya.
"Pangeran dungu! Janganlah kau pernah ber-
mimpi dapat merebut tahta kerajaan lagi. Kau lihat
mahkota di kepalaku? Kini aku hanya tinggal mencari
pedang itu! Kalian semua akan kubunuh!" teriak Iblis
Peruntuh Mahkota.
"Kita lihat saja nanti!" sahut Pangeran Demak
Pati.
Mengingat betapa liciknya lawan mereka, maka
kini secara bahu membahu Dewa Petir dan Pendekar
Kucar Kacir menyerang lawannya. Pangeran Suprana
bersuit nyaring memanggil Elang Perak untuk mem-
bantu.
Di udara terdengar sahutan. Elang Perak me-
luncur ke bawah lagi. Sekarang yang menjadi incaran
utamanya adalah Pendekar Blo'on, pemuda yang sem-
pat melukai dirinya?!
Wuees!
Elang Perak menyambar, Suro terpaksa kerah-
kan jurus Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau. Gera-
kan pemuda ini benar-benar sangat cepat luar biasa.
Seakan-akan tubuhnya bertambah banyak. Sang
Elang sesaat menjadi bingung. Serangannya melenceng
dan malah menghantam batu-batu di sekeliling mereka
hingga berantakan.
Namun rupanya sang Elang mempunyai pen-
glihatan yang lebih tajam dari manusia biasa. Terbukti,
sekarang ia sudah bergerak mengikuti kemana saja
Suro mencoba menghindar.
Pendekar Mandau Jantan kalang kabut.
"Awas Suro!" teriak Maling Jenaka ketika meli-
hat paruh burung hampir mematuk kepala Suro.
Suro membanting tubuhnya, dengan keadaan
terlentang ia lepaskan pukulan Ratapan Pembangkit
Sukma.
Angin kencang laksana badai salju menderu.
Elang Perak rupanya cerdik pula, ia mengepakkan
sayapnya keras-keras. Pukulan membalik, nyaris
menghantam Pendekar Blo'on.
Pemuda ini berguling-guling menjauh. Tepat
dimana dia telentang tadi terdengar dentuman meng-
gelegar. Akibatnya sebuah lubang besar tercipta, si ko-
nyol urut dada, seka keringat dingin di wajahnya sam-
bil golang-goleng kepala dengan muka pucat.
"Hiii...!"
Elang Perak memekik tidak puas. Kini seran-
gannya semakin menghebat. Gadis yang mulai
mengkhawatirkan keadaan Suro akhirnya turun tan-
gan juga. Kelihatannya ia sudah tidak mengkhawatir-
kan keselamatannya lagi, meskipun ia sendiri masih
terluka.
Sebenarnya dengan terjunnya Maling Jenaka,
membuat Suro semakin bertambah repot. Karena ia
juga harus melindungi keselamatan Gadis. Dugaan si
konyol tidak meleset. Baru sepuluh jurus di depan Ga-
dis sudah kena dicengkeram Elang Perak.
Pendekar Blo'on, murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api itu tentu tidak ting-
gal diam. Sebelum Elang Perak terbang tinggi memba-
wa gadis. Ia menyambar ekor burung raksasa tersebut.
Pada bagian buru ekor elang itulah ia pontang-panting
bergelantungan sambil berusaha mencapai punggung
binatang raksasa tersebut.
"Tetaplah kau bertahan! Usahakan kau berpe-
dang pada kakinya agar ia tidak mudah menjatuh-
kanmu!" kata Suro memperingatkan.
"Kakinya kelewat besar!" sahut Maling Jenaka
panik. Untuk pertama kali dalam hidupnya gadis ini
baru mengenal rasa takut.
"Kalau begitu pegang jarinya!" teriak Suro
Blondo.
Elang Perak terus membubung tinggi mener-
bangkan dua anak manusia dalam isyarat maut.
Apa yang terjadi pada Maling Jenaka dan Pen-
dekar Blo'on bukan tidak dilihat oleh Dewa Petir dan
Pendekar Kucar Kacir. Namun mereka sama sekali ti-
dak dapat menolong, karena pertempuran dengan la-
wan sedang berlangsung seru dan menegangkan.
Walau pun Pangeran Suprana mempunyai ke-
pandaian tinggi. Dikeroyok sedemikian rupa lama-
kelamaan terdesak juga. Di saat itulah sambil memba-
batkan pedangnya Pendekar Kucar Kacir berseru.
"Akuilah kau yang telah meracuni, ayahanda,
Patih, Panglima, Penasehat kerajaan dan juga ibunda-
ku ratu Diah Mustika!"
"Ha ha ha...! Kau bertanya tentang orang-orang
yang sudah menjadi cacing tanah. Memang akulah
yang telah mengirim mereka ke liang kubur!" jawab Ib-
lis Peruntuh Mahkota disertai tawa membahak.
"Manusia jahanam!" maki Pendekar Kucar Ka-
cir.
Dewa Petir mengadu kedua tangannya lagi.
Terdengar ledakan disertai melesatnya sinar pelangi ke
arah Pangeran Suprana. Pemuda ini cepat menghin-
dar, sehingga serangan itu tidak berhasil mengenai di-
rinya. Namun pada saat itu pula ujung pedang Pange-
ran Demak menembus celah-celah rusuknya.
Pemuda ini menjerit, laksana kilat Pendekar
Kucar Kacir mencabut pedang berlumuran darah, se-
kali lagi ia menusuk lambung Pangeran Suprana. Iblis
Peruntuh Mahkota tergelimpang roboh. Begitu geram
dan dendamnya Pangeran Demak Pati sehingga ia
mengayunkan pedang berulang-ulang ke arah mayat
lawannya. Kalau saja tidak dicegah oleh Dewa Petir.
Tentu tubuh Pangeran Suprana yang sudah tidak ber-
nyawa terus dicincangnya hingga tidak berbentuk lagi.
"Tidak baik kau memperlakukan orang yang
sudah mati seperti itu!"
"Dia telah membuat sengsara kami selama ber-
tahun-tahun, bahkan dia pula yang membuat kami
menjadi yatim piatu!" dengus si pemuda kesal.
"Tokh sekarang dia sudah memperoleh ganja-
ran akibat perbuatan sendiri" sergah Dewa Petir. "Aku
khawatir dengan nasib muridku dan pemuda itu. Tadi
kulihat mereka dibawa ke arah sana!"
Barulah Pendekar Kucar Kacir tersadar.
"Akh, betul. Aku baru ingat dengan Suro! Mari
kita cari mereka!" ajak si pemuda sambil menyarung-
kan pedangnya kembali.
Maka berjalanlah kedua orang ini meninggal-
kan mayat Pangeran Suprana yang sudah mulai mem-
beku. Dalam perjalanan Pendekar Kucar-Kacir sibuk
memasukkan mahkota kerajaan ke balik pakaiannya.
* * *
Laki-laki berpakaian kulit harimau yang berja-
lan mengambang di atas tanah itu tampak hentikan
langkahnya. Dari sela-sela rambut yang menutupi wa-
jahnya ia mengedarkan pandangan.
Ia tahu pasti ada sepasang mata yang terus
mengawasi gerak-geriknya sejak tadi. Karena di tunggu
tidak muncul juga, akhirnya ia membentak.
"Aku mencium bau busuk kehadiranmu disini.
Aku juga mencium bau darah muridku yang telah kau
bunuh! Nyawamu, dan pedang itu bagiku tidak ber-
harga dibandingkan nyawa muridku Sang Bala. Kalau
kau benar-benar El Maut cobalah datang ke hadapan-
ku. Aku ingin tahu apakah kau mampu mencabut
nyawaku?!" Kakek berpakaian kulit harimau menden-
gus geram.
Lalu terdengar suara jawaban yang tidak kalah
dinginnya. "Kudengar kebesaran namamu. Kubayang-
kan kesaktianmu, ku hitung pula kemampuanmu. Ku-
akui kau salah satu tokoh dari Andalas. Tapi mengin-
gat jalanmu yang sesat, bagiku lebih baik menumpas
manusia yang bergelar Dewa Kubu. Hingga kenyataan
akan membuktikan siapa yang akan terkapar menjadi
bangkai!"
Begitu hilang suara tadi, maka tampak melesat
sosok bayangan. Kemudian di depan Dewa Kubu yang
kakinya tidak menjejak tanah itu berdiri seorang nenek
setengah bongkok berwajah mengerikan, sedangkan
sebagian rambutnya menutupi wajah angker tersebut
"Mahkota sudah didapat, sekarang serahkan
Pedang Pemersatu berikut nyawamu!" kata Dewa Kubu
serius.
"Hi hi hi...! Pedang bukan milik nenek
moyangmu, kerajaan bukan pula milik muridmu! Se-
dangkan nyawa, rasanya segan meninggalkan raga
rongsokan ini!" sinis suara nenek bungkuk tersebut.
"Kau segera akan tahu siapa Dewa Kubu!" te-
riak si kakek. Ia sentakkan rambutnya. Lalu duduk
bersila dengan keadaan mengambang dua jengkal di
atas tanah. Maka dilain waktu ia sudah bergerak me-
lakukan serangan hebat dengan rambutnya yang telah
berusaha menjadi kaki laksana kawat baja.
El Maut adalah tokoh sakti pula yang memiliki
berbagai keanehan baik dalam ilmu maupun jurus-
jurus silatnya. Melihat serangan itu, maka ia tidak
tinggal diam.
***
SEMBILAN
El Maut pentang matanya. Dari mata yang ber-
warna merah membara itu melesat dua larik sinar me-
nerabas rambut Dewa Kubu. Si kakek menepis dengan
tangannya.
Set! Set!
Dua sinar melenceng dan menghantam pohon
yang terdapat di sampingnya. Pohon hangus terbakar,
El Maut sudah menduga, sebagaimana muridnya Sang
Bala, tentu Dewa Kubu ini juga kebal dengan pukulan
atau pun senjata. Sehingga ia bersiap-siap dengan se-
rangan berikutnya. Sepuluh jari diangkat serentak
tinggi-tinggi ke udara. Lalu dari setiap ujung jari itu
meluncur cairan putih menghantam rambut Dewa Ku-
bu.
Si kakek menganggap enteng serangan ini. Se-
hingga rambutnya terus meluncur menghantam dada
si nenek.
El Maut berguling-guling, sedangkan Dewa Ku-
bu mulai menyadari ada sesuatu yang terasa aneh pa-
da rambutnya. Benar saja rambutnya yang panjang itu
sekarang menyatu padu dengan lainnya sehingga sulit
digerakkan. Ia menjerit marah dan kini menghujani
lawan dengan pukulan-pukulan yang menggeledek.
El Maut ternyata sangat lincah dalam meng-
hindari setiap serangan lawannya. Sambil berkelit dan
mengumbar jurus-jurus andalan, terkadang ia menge-
dipkan matanya sehingga bertaburanlah sinar merah
balas menghujani lawannya.
Sebuah pertempuran yang sangat seru dan
menegangkan terus berlangsung. Mereka kelihatannya
sama-sama mengincar kelemahan lawannya. Namun
El Maut tidak mengulur-ulur waktu. Segera ia menge-
rahkan jurus 'Menipu Pandang Mengukur Jarak'.
Nenek renta itu kembali menjentikkan jema-
rinya, sehingga cairan merah melesat dari setiap ujung
jarinya yang berlubang. Cairan itu tidak ditepis oleh
Dewa Kubu. Ia melesat tinggi ke udara. Sambil ber-
jumplitan ia sambitkan keris-keris kecil berwarna kun-
ing ke arah lawan. El Maut meniup. Senjata-senjata
rahasia rontok. Melihat ini Dewa Kubu lepaskan puku-
lan ke arah El Maut.
Melihat sinar hitam menggebu-gebu hendak
memanggang tubuhnya. Maka El Maut lepaskan puku-
lan pula. Sehingga terjadilah dentuman-dentuman ke-
ras menggeledek.
El Maut sempat terjajar, dadanya mendenyut
sakit. Dewa Kubu tertawa membahak lalu lepaskan
pukulan lagi.
Namun lawan tiba-tiba saja lenyap. Tahu-tahu
sudah berada di belakang si kakek sambil lepaskan
pukulan pula.
Wuuk!
Duk!
El Maut lagi-lagi dibuat kaget. Ia tidak ubahnya
seperti menghantam batu karang saja layaknya. Dalam
pada itu pula, Dewa Kubu berbalik kakinya menghajar
dengan telak.
Des!
El Maut tergontai-gontai. Namun sambil meng-
geram marah ia sudah menyerang kembali. Anehnya si
kakek sama sekali tidak menghindar. Si nenek terus
menghujaninya dengan pukulan. Tiba-tiba terdengar
seruan di sampingnya.
"Apakah kau sudah gila. Tunggul kayu kau ha-
jar!" kata Dewa Kubu yang rupanya telah mempergu-
nakan ajian 'Pelebur Mata'. Dapat dibayangkan betapa
tingginya kesaktian yang dimiliki oleh Dewa Kubu ini.
Padahal El Maut adalah tokoh yang sangat kawakan
dan sudah matang dalam ilmu tenaga dalam. El Maut
terperangah melihat kenyataan bahwa ia menghajar
batang pohon yang sudah kering.
Di waktu ia sedang lengah itulah Dewa Kubu
melepaskan tiga kali tendangan beruntun ke arah dada
lawannya.
Duk! Duk! Duk!
Tendangan pertama membuat El Maut terjajar,
tendangan kedua membuat dadanya mengalami gun-
cangan hebat, sedangkan tendangan ketiga membuat-
nya mengalami luka dalam yang hebat.
El Maut terhempas. Nafasnya megap-megap,
dalam keadaan sekarat seperti itu, ia melihat lawannya
bermaksud mengakhiri hidupnya. Dengan sisa-sisa te-
naga yang ada. Ia mengambil pedang berikut warang-
kanya dari balik pakaian yang berlumuran darah. Ce-
pat sekali ia hendak mencabut Pedang Penebar Benca-
na. Karena ia tahu, tidak seorang pun yang dapat ber-
tahan menghadapi kharisma senjata mustika itu. Sia-
papun orangnya selain pemegang itu sendiri akan han-
cur menjadi debu terkena cahaya pedang itu. Namun
pada waktu itu terdengar suara bentakan keras.
"Jangan kau lakukan itu, Gayatri!" pinta se-
buah suara seolah-olah memperingatkan.
Dewa Kubu bersurut mundur, tadi wajahnya
sempat pucat melihat lawan hampir mencabut Pedang
Penebar Bencana. Sebaliknya El Maut jadi kaget pula
mendengar seseorang menyebut namanya.
Rasanya di dunia ini hanya tinggal beberapa
orang saja yang mengetahui namanya. Jantungnya
berdebar keras. Antara percaya dan tidak, namun juga
penuh kebencian. Dalam keadaan telentang tidak ber-
daya sambil memegangi pedang ia teringat peristiwa
sekitar lima puluh tahun yang lalu. Ada yang indah,
menyenangkan, menjengkelkan, menyakitkan, benci
dan akhirnya berubah menjadi dendam.
Pabila Dewa Kubu menoleh maka di samping-
nya terlihat seorang kakek berpakaian serba merah,
berjanggut dan berambut merah berdiri tegak dengan
mata menyorot tajam.
El Maut coba meneliti siapa yang baru bicara
tadi. Dalam pandangannya yang semakin mengabur,
meskipun samar ia masih kenal dengan Malaikat Be-
rambut Api. Dadanya tiba-tiba saja menyesak dan El
Maut pun tidak sadarkan diri.
Kejadian ini tidak dilihat oleh Dewana alias Ma-
laikat Berambut Api. Pada saat itu pula berkelebat so-
sok bayangan lain, bayangan itu menyambar pedang
dalam dekapan si nenek. Hanya sekejap saja, lalu
bayangan tadi menghilang laksana setan.
"Kakek!" seru Puteri Saba. Seraya menunjuk ke
arah El Maut. Maka terkejutlah Malaikat Berambut Api
melihat Pedang Penebar Bencana lenyap dari pandan-
gan mata.
"Siapa yang mengambilnya?" teriak si kakek
gusar.
"Ada bayangan tadi mengambil pedang itu,
bahkan saya tidak sempat mengenali wajahnya!" sahut
puteri Saba gugup.
"Puteri, kau uruslah nenek El Maut! Aku ber-
sumpah akan mencabik-cabik tua bangka setengah
manusia setengah roh ini dengan sepuluh jariku!" ge-
ram Malaikat Berambut Api dengan wajah kelam
membesi.
Entah ada hubungan apa antara kakek rambut
merah ini dengan El Maut, namun kelihatannya ia be-
gitu gusar.
"Malaikat Rambut Api!" kata Dewa Kubu den-
gan suara lebih rendah. "Diantara kita tidak ada per-
musuhan dan silang sengketa apa-apa. Mengapa kita
harus saling bunuh?"
Kakek Dewana mendengus. "Pangeran Suprana
adalah muridmu. Dia telah membuat kehancuran
moral wanita. Kau bersekutu untuk merebut pedang
itu. Dan kau hampir membunuh El Maut!"
"Perempuan itu apamu?" tanya Dewa Kubu.
"Rahasiaku terpendam di lima petala bumi" sa-
hut si kakek. Mendengar pertanyaan Dewa Kubu tadi
Malaikat Berambut Api merasa jantungnya seperti di-
remas-remas.
Rambut si kakek yang merah itu seakan-akan
berubah menyalakan api. Dewa Kubu tersentak. Ia du-
lu sering juga mendengar kehebatan manusia aneh
yang satu ini. Kini untuk mundur sudah kepalang
tanggung, ia pun ingin menjajaki tokoh misterius itu.
Maka terjadilah pertempuran yang sengit seka-
li. Dewa Kubu kini benar-benar merasa mendapat la-
wan yang seimbang atau boleh jadi memiliki kepan-
daian di atasnya.
Untuk sementara kita tinggalkan dulu dua to-
koh sakti yang sedang terlihat pertempuran sengit itu.
Kita ikuti Suro Blondo dan Maling Jenaka yang sedang
terombang ambing dipermainkan Elang Perak yang
bermaksud mencelakai mereka.
Saat itu Elang Perak terbang menjauh mening-
galkan Bukit Sembuang. Meskipun terbangnya tidak
begitu tinggi, namun jika mereka sempat terjatuh pasti
mati juga.
Suro yang telah berada di punggung Elang Pe-
rak bingung memikirkan bagaimana caranya menghen-
tikan burung itu. Sedangkan ia sendiri melihat kenya-
taan bahwa Gadis tidak mungkin dapat bergelantun-
gan seperti itu dalam waktu yang lebih lama lagi.
"Maling! Jika kutebas pangkal sayapnya ini
dengan senjataku, kalau ia jatuh maka kau bisa mati
tertimpa tubuhnya. Atau lehernya saja kupotong? Ka-
lau begitu aku juga bisa mati." Suro tampak ragu-ragu.
"Masukkan jangkrik ke telinganya, goblok!" te-
riak Gadis.
Justru itu yang ditakutinya. Burung itu kepa-
lanya terus bergoyang-goyang. Tapi apa boleh buat, ti-
dak ada pilihan lain lagi. Dengan hati-hati ia terpaksa
memanjat leher burung dengan bersusah payah. Beru-
lang kali ia nyaris jatuh karena Elang Perak terus ber-
gerak-gerak. Namun lama kelamaan ia pun berhasil
memasukkan jangkerik itu ke dalam lubang telinga
sang elang.
Sang jangkerik tentu saja masuk terus ke da-
lam liang telinga Elang Perak. Hingga kemudian terli-
hatlah reaksinya. Elang Perak memekik keras, terbang
dengan tidak beraturan, sedangkan kepala terus dige-
leng-gelengkan tidak menentu.
Lama kelamaan ia pun memberontak. Bergerak
kian kemari dan terbangnya semakin merendah seperti
bingung bercampur kesakitan.
"Di depan sana ada air! Eh telaga yang cukup
besar. Jika elang ini ke sana sebaiknya kita terjun!" te-
riak Gadis merasa ada harapan.
Terbang sang Elang semakin oleng, ternyata
seperti dugaan Gadis, elang itu meluncur di atas telaga.
"Hayo terjun!" perintah Suro.
Keduanya pun langsung terjun ke dalam telaga
berkedalaman dua batang tombak. Elang Perak terus
bergerak tidak tentu arah seperti kesurupan sambil
memekik-mekik, sampai akhirnya hilang dari pandan-
gan mata. Dua sosok tubuh di permukaan air telaga.
Yang satu mengambang tidak bergerak sedangkan sa-
tunya lagi tampak bingung.
"Dia pingsan! Aku harus menolongnya!" kata
Suro Blondo dengan perasaan cemas.
Gadis dibawanya berenang ke tepi telaga, pa-
kaian Maling Jenaka basah kuyup, kancing bajunya
ada satu yang lepas, sehingga dadanya yang putih mu-
lus dan mencuat kencang terlihat nyata. Pakaian gadis
ini memang tidak utuh lagi, sobek di sana sini terkena
cengkeraman cakar Elang Perak.
Suro dengan hati berdebar segera mengangkat
Gadis, kemudian membawanya ke tempat terlindung
untuk diobati.
Sementara saat itu pertempuran antara kakek
Dewana dan Dewa Kubu sedang seru-serunya. Mereka
sama mengumbar pukulan mereka juga sama-sama
mengerahkan jurus-jurus yang paling dahsyat. Se-
hingga puteri Saba sendiri merasa kepalanya jadi
mendenyut melihat bayangan-bayangan di depannya
yang saling hantam dan pukul ini.
Kakek licik berpakaian kulit harimau sama se-
kali tidak dapat mempergunakan ajian-ajiannya yang
dapat mengelabui mata lawannya. Karena lawannya ti-
dak dapat ditipu.
Sampai akhirnya manusia setengah roh ini me-
rasa tidak ada gunanya ia terus bertahan bertempur,
karena pedang Penebar Bencana telah berpindah tan-
gan. Ia memilih lebih baik mengejar bayangan yang telah melarikan pedang Pemersatu tadi. Walau pun saat
itu dirinya boleh dikata belum kalah dan ia sendiri
memang tidak dapat mencedrai Malaikat Berambut Api
yang tangguh itu.
Dewa Kubu kemudian merapal inti dari segala
kesaktian yang dimilikinya sehingga tidak lama berse-
lang tubuhnya menghilang dari pandangan kakek De-
wana.
Malaikat Berambut Api terkesiap melihat la-
wannya lenyap. Ia hanya mendengar gelak suara tawa
di kejauhan.
"Jangan merasa menang, Malaikat Rambut Api.
Kau belum dapat mengalahkan aku. Di suatu saat se-
telah pedang Pemersatu kudapatkan, bahwa kau bu-
kanlah apa-apa. Kau sangat kecil dimata Dewa Kubu!"
"Bangsat! Manusia pengecut!" geram si kakek.
Lalu ia menghampiri El Maut. Ternyata nenek
itu belum sadarkan diri juga.
"Puteri, sebaiknya kita bawa dia ke tempat ting-
galnya di atas bukit itu. Mari ikuti aku, jika dia sem-
buh. Aku berjanji untuk mengambil pedang itu dari
pencurinya!" kata si kakek sambil memanggul tubuh
El Maut.
Puteri Saba hanya mampu menganggukkan ke-
pala. Begitu banyak persoalan-persoalan lain muncul
di luar dugaan dan rasanya sangat sulit di mengerti.
Siapa sesungguhnya yang melarikan pedang Penebar
Bencana. Ada hubungan apa Malaikat Berambut Api dengan El Maut?
TAMAT
Ikuti Kisah Selanjutnya:
RAHASIA PEDANG BERDARAH
0 comments:
Posting Komentar