PERSEKUTUAN
ORANG-ORANG
SAKTI
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Persekutuan Orang-orang Sakti
1
Sudah sejak ratusan tahun yang silam
bangunan itu berdiri. Dibangun di atas sebuah
bukit. Di sekeliling bukit itu gersang, tidak satu
pun pepohonan tumbuh di sana. Entah siapa
yang mendirikan bangunan tersebut tidak seo-
rang pun yang tahu. Ada yang mengatakan konon
bangunan megah dengan empat sisi yang menju-
lang ke langit itu dibangun oleh seorang tokoh
sakti bergelar Ratu Keindahan hanya dalam tem-
po setengah malam. Jika ini merupakan kenya-
taan. Tidak terbayangkan betapa tingginya kesak-
tian yang dimiliki oleh wanita sakti tersebut. Be-
tapa tidak? Salah satu tiang penyangga bagi ber-
dirinya bangunan itu saja besarnya sepelukan la-
ki-laki dewasa. Sedangkan jumlah tiang yang ada
seluruhnya dua puluh buah. Sepuluh berwarna
putih dan sepuluh berwarna hitam. Setiap tiang
berseling antara putih dan hitam. Apa tujuan di-
dirikannya bangunan itu oleh wanita sakti terse-
but tidak ada yang tahu. Bangunan megah terle-
tak di bukit gersang tersebut memang penuh te-
ka-teki bagi orang yang punya pikiran luas. Selain
itu, tidak jauh dari bukit gersang ini. Terdapat
bangunan lain yang lebih besar, walaupun letak-
nya di bukit yang lebih tinggi, namun bentuknya
unik. Bagian depan bangunan condong ke kiri,
seakan ingin menjangkau bangunan megah yang
berada di bukit gersang di sebelahnya. Jumlah
tiang-tiangnya juga dua puluh. Hanya sisinya ber-
jumlah lima. Bangunan tersebut mengalami kere-
takan di sana sini. Konon yang menciptakan ban-
gunan ini adalah seorang tokoh sakti pula. Bukan
wanita, melainkan seorang laki-laki yang gagah
perkasa.
Apa maksud yang tersembunyi dibalik ber-
dirinya kedua bangunan tersebut tidak seorang
pun yang tahu. Demikianlah bangunan itu berdiri
selama ratusan tahun tanpa ada yang mengusik-
nya. Sampai pada suatu masa muncul seorang
gadis gagu di daerah Imogiri. Gadis itu cantik se-
kali kulitnya kuning langsat berpakaian hijau se-
perti zambrut. Kemunculan gadis ini tidak akan
mengundang perhatian orang, jika ia tidak menu-
lis syair di sembarang tempat yang dilewatinya.
Terkadang ia menulis syair-syairnya di atas daun
yang menghijau, atau di kulit-kulit kayu dan ti-
dak jarang di pintu-pintu warung.
Sayang gadis gagu dan penyair ini seperti
manusia misterius. Ia muncul di sembarang tem-
pat. Di pasar-pasar, warung, keramaian atau
tempat yang sunyi. Ia pergi tanpa meninggalkan
bekas. Namun apa yang ditulisnya satu purnama
kemudian menimbulkan kegemparan dan men-
gundang rasa ingin tahu berbagai kalangan. Bah-
kan lama-kelamaan bermunculanlah tokoh-tokoh
sakti dari berbagai daerah di tanah Jawa.
Mereka berusaha memecahkan teka-teki
yang terdapat dalam syair si gadis gagu. Namun
tidak satu pun di antara mereka yang dapat memahami arti dari setiap baris kalimat yang mere-
ka jumpai dalam syair-syair itu. Kenyataan ini
menjadi pembicaraan dari mulut ke mulut. Men-
jadi bahan diskusi baik pagi maupun petang.
Siang itu seorang laki-laki tua tampak me-
masuki kota Imogiri. Tubuhnya besar luar biasa.
Berpakaian putih dan bercelana putih kedodoran.
Sehingga sesekali ia terpaksa menarik celananya
agar tidak sampai melorot ke bawah. Telanjang.
Orang ini memikul buntalan besar, seperti orang
yang mengungsi karena diusir mertuanya. Bunta-
lan putih, kumal, dekil sebagaimana penampilan
kakek berjenggot putih itu sendiri. Melewati se-
buah warung, ia melihat ada sekelompok orang
sedang berkerumun. Rasa penasaran membuat-
nya datang menghampiri. Matanya berkedip-kedip
ketika dilihatnya orang-orang ternyata hanya
memperhatikan dan membaca syair-syair yang
tertulis di kulit pohon Trembesi (Ambon).
"Jidad orang-orang ini berkerat-kerut se-
perti sedang memecahkan kode buntut saja.
Hanya sepuluh baris kalimat yang dibuat orang
gila," gumamnya dalam hati. "Eeeh... cara meng-
gurat kulit kayu itu boleh juga. Dia pasti punya
tenaga dalam yang cukup lumayan!" Si kakek be-
rambut putih ini memperhatikan tulisan itu den-
gan seksama. Lalu membacanya.
Aku sering bertanya, siapa aku, buat apa
aku dilahirkan
mengapa aku hidup di dunia?
Aku sudah lupa janjiku ketika berada di
alam Rahim
Aku bertanya pada matahari, bintang dan
bulan
Pada pohon, pada angin, pada air, dan pa-
da seluruh makhluk yang punya nyawa dan jiwa
Mereka diam membisu, tanya ku berlalu....
Seperti diriku yang gagu
Lalu kudengar bisikan kalbu, datanglah ke
bukit Keangkuhan!
Kening si kakek mengerenyit. Celananya
yang kedodoran melorot dan ia terpaksa tarik ce-
lananya hingga lewat di atas pusernya.
"Yang membuat syair ini rupanya orang ga-
gu. Mengapa harus datang ke bukit Keangkuhan?
Ada apa rupanya di sana!" pikir si kakek. Si ka-
kek lalu menggamit salah seorang laki-laki yang
berada di sebelahnya.
"Saudara, bukit Keangkuhan itu di mana?"
tanya kakek berpenampilan seperti orang sinting
ini. Orang itu memperhatikan si rambut putih,
ada perasaan ngeri membayang di matanya.
"Sebaiknya Kisanak jangan ke sana. Bukit
Keangkuhan adalah Bukit Keramat. Sudah bera-
tus-ratus tahun tidak seorang pun berani datang
ke sana. Tempat itu mengandung kutuk. Siapa
datang tidak akan pernah kembali ke dunia fana
ini!" jelasnya penuh ketakutan. Si kakek tarik ce-
lananya yang melorot. Sesungguhnya setiap tari-
kan napasnya selalu membuat celananya turun
melulu. Tampaknya ia sangat penasaran sekali.
"Memangnya di sana ada jin tukang makan
manusia. Wah lucu juga ini, coba saudara perha-
tikan. Bukankah syair-syair itu menarik. Orang
bertanya asal-usul, untuk apa ia terlahir ke du-
nia. Wah, saudara. Hal ini bukan main-main. Aku
harus kasih keterangan pada orang gagu itu agar
dia tahu dan tidak membawa pertanyaannya di
liang kubur!" kata si kakek.
"Kisanak, sebaiknya ja...!" Orang ini ter-
paksa telan ucapannya karena orang yang diajak-
nya bicara sudah minggat dari hadapannya. Laki-
laki itu gelengkan kepala sekaligus takjub.
"Gila! Sekarang sudah mulai bermunculan
orang-orang sakti!" gumamnya dalam hati.
* * *
Bukit Keangkuhan jaraknya sekitar seten-
gah hari lagi dari tempat kedua orang ini berada.
Tampaknya kedua laki-laki berpakaian hitam
dengan kancing terbuka ini datang dari sebuah
tempat yang cukup jauh. Yang terasa aneh dari
keduanya adalah di sekeliling pinggang mereka
terdapat buli-buli arak yang jumlahnya tidak ku-
rang dari tiga puluh buah. Arak yang mereka ba-
wa adalah arak yang paling keras. Seandainya sa-
ja arak itu dituangkan ke atas rumput-rumput
menghijau, dapat dipastikan rumput jadi kering
dan terbakar. Laki-laki jangkung dan laki-laki
pendek itu di rimba persilatan dikenal dengan julukan Iblis Pemabukan dan Setan Arak. Tidak
seorang pun yang tahu siapa nama asli mereka.
Sekarang mereka duduk di bawah pohon
yang sangat rindang. Sambil duduk mereka me-
neguk arak yang diambil dari pinggang masing-
masing. Mata orang-orang ini senantiasa merah
seperti mata orang yang tidak pernah tidur.
"Apa jadinya dengan rimba persilatan jika
iblis dan setan seperti kita muncul? Kita telah ter-
tipu hanya karena syair butut si gagu! Gluk!
Gluk! Gluk! Hmm... sedap betul rasanya arak ini!"
kata Iblis Pemabukan meracau tidak karuan.
"Siapa tahu di bukit Keangkuhan kita da-
pat peruntungan disana, Kakang. Kalau di dalam
bangunan itu terdapat kitab, kitab kita ambil, jika
harta, harta pula kita ambil. Jika perempuan can-
tik...!" Setan Arak si gendut pendek terdiam seje-
nak seakan berpikir. Lalu ia bicara seperti dituju-
kan pada diri sendiri.
"Aku lebih suka dalam dua bangunan itu
terdapat arak. Arak lezat yang tersimpan ratusan
tahun. Perempuan bagiku bukan kenikmatan.
Araklah yang nikmat!"
"Aku juga begitu, tapi jangan kita meren-
dahkan perempuan. Walaupun ia kelihatannya
lemah, tapi mulutnya mampu menelan laki-laki
sebesar apapun...!" sahut Iblis Pemabukan. Ke-
mudian mereka berdua tertawa terkekeh-kekeh.
Mereka meneguk araknya lagi, sehingga terdengar
suara sendawa saling bersahut-sahutan.
"Lihat, Kakang, gunung sudah mulai mir
ing, nah pohon-pohon mulai berlarian saling ke-
jar. Eh, kita juga berputar-putar, Kakang!" kata
Setan Arak sambil tersenyum-senyum.
"Edan kau! Itu tandanya kau sudah mulai
mabuk lagi, sinikan buli-bulimu...!" kata Iblis Pe-
mabukan. Tanpa kata-kata ia langsung meneguk
arak yang direbutnya, lalu....
Gluk! Gluk! Gluk!
"Hmmm, sedap betul!" desah Iblis Pemabu-
kan, seraya tepuk-tepuk perutnya yang gembung.
Lama mereka dalam keadaan seperti itu,
sampai kemudian muncul sesosok tubuh berpa-
kaian hitam di hadapan kedua orang ini.
"Weh, ada orang, Setan Arak! Siapa dia,
coba kau tanya? Jika ia menginginkan arak kita
sebaiknya kau usir cepat sebelum kesabaranku
habis!" dengus Iblis Pemabukan.
"Hmm, aku mencium bau busuk. Aku sen-
diri tidak suka bau-bauan seperti ini. Biar aku
berdiri dulu!" kata Setan Arak, seraya meneguk
araknya. Kemudian ia menghampiri laki-laki ber-
pakaian hitam itu.
Langkahnya terhuyung-huyung seperti
orang mau jatuh.
"Kau siapa?" tanya Setan Arak.
Laki-laki bermuka bopeng-bopeng dan ber-
tampang angker ini memandang penuh sinis.
"Aku si Perusak Raga. Ingin bertanya apa-
kah kalian yang menulis syair-syair di atas daun,
di kulit kayu, di atas batu dan di sembarang tem-
pat!" tanya laki-laki muka bopeng tersebut dingin.
"Ha ha ha...! Kau Perusak Raga, pantasan
mukamu bopeng seperti jeruk purut. Ketahuilah,
kami bukan orang yang menulis syair-syair itu.
Sekarang kami malah ingin datang ke bukit
Keangkuhan." sahut Setan Arak.
"Kau dan kawanmu hendak pergi ke sana?
Huh sedangkan jalanmu saja tidak lempang.
Hanya aku yang boleh ke sana!" kata Si Perusak
Raga.
"Jadi...?" gumam Iblis Pemabukan tidak je-
las.
"Jadi kalian berdua harus kubunuh!" den-
gus Si Perusak Raga.
Mendengar ucapan laki-laki berpakaian hi-
tam tersebut, kedua laki-laki pemabukan ini ter-
gelak-gelak.
"Kau ini sedang bicara atau melawak. Ke-
pandaian apa yang kau miliki sehingga berani
menantang kami?" ejek Setan Arak.
"Inilah kepandaian yang ingin kalian lihat!"
teriak Si Perusak Raga.
Tiba-tiba saja ia jentikan tangannya ke
arah Setan Arak dan Iblis Pemabukan. Dari tem-
pat duduknya ia melompat dengan langkah ter-
huyung-huyung. Terlihat sinar hitam berkelebat,
hawa panas menebar seperti memanggang kulit
mereka. Iblis Pemabukan tertawa bekakakan, bi-
birnya mengatup rapat, mulut mengembung. Ke-
mudian ia menyemburkan cairan arak dari mulutnya ke arah sinar yang hampir menghantam
tubuhnya.
Cuh! Cuh!
Zzzzzst...!
Buumm!
"Heh...!"
Dua-duanya terdorong mundur. Tampak
asap putih mengepul di udara. Si Perusak Raga
agak terkesiap juga melihat kenyataan ini. Lalu
secara tidak terduga tubuhnya melesat ke depan.
Kaki kanannya yang setengah ditekuk itu meng-
hantam perut Iblis Pemabukan. Sebelum tendan-
gan itu mengena pada sasaran dari samping Se-
tan Arak menyerang dengan tendangan kaki pula.
Bletok!
Si Perusak Raga menjerit kesakitan, Setan
Arak berteriak keras. Ia berjingkrak-jingkrak ka-
rena menahan sakit yang luar biasa sekali. Beta-
pa pun ia tadi mengerahkan tenaga dalam yang
dimilikinya. Hingga beradunya tulang kering mas-
ing-masing lawan sakitnya sampai ke ubun-ubun.
Si Perusak Raga menggeram penuh ama-
rah, jemari tangannya bersilangan. Lalu laksana
terbang ia menerjang kembali dengan serangkaian
serangan beruntun yang tidak ada putus-
putusnya. Angin menderu, debu beterbangan.
Baik Iblis Pemabukan maupun Setan Arak den-
gan terhuyung-huyung menghindari sergapan la-
wannya. Sekarang mereka benar-benar menge-
rahkan jurus-jurus mabuknya. Gerakan meng-
hindar maupun serangan balasan yang dilakukan
dua bersaudara pemabukan ini sudah tidak tera-
tur, namun Si Perusak Raga berulang kali hampir
terkecoh.
Laki-laki bermuka bopeng ini tiba-tiba me-
lompat mundur ia kerahkan tenaga dalamnya ke
bagian tangan, sehingga tangan itu dalam waktu
yang sangat singkat telah berubah hitam legam.
"Pukulan Inti Raga!" desis Iblis Pemabukan
dengan mata menyipit. "Setan Arak, hati-hati.
Orang gila mulai mengeluarkan pukulan sak-
tinya!" kata laki-laki jangkung ini memperin-
gatkan.
"Ha ha ha...! Kau lihat, Kakang. Pohon-
pohon masih berputar, mereka seperti orang bin-
gung. Kenapa kita tidak layani dia dengan ini sa-
ja!" teriak Setan Arak membalas peringatan sau-
daranya. Tiba-tiba saja Setan Arak acungkan tin-
junya di udara. Tinju itu digerak-gerakkan ke
udara. Apa yang dilakukan Setan Arak diikuti
oleh saudaranya. Begitu tinju itu diayunkan ke
depan. Maka selarik sinar putih menghampar,
menimbulkan suara deru dan bergulung-gulung.
Suasana di sekelilingnya sontak menjadi panas.
Sedangkan pada waktu itu pula Si Perusak Raga
telah lebih dahulu melepaskan pukulan Inti Raga.
Terdengar pula gaung suara seperti badai. Tidak
heran, karena masing-masing lawan adalah to-
koh-tokoh sakti dan termasuk sudah memiliki
kepandaian rata-rata di atas sempurna. Maka di
tengah-tengah suara ribut yang saling tindih me-
nindih dan menyakitkan telinga itu terjadi leda-
kan keras menggeledek. Terlihat ada bunga api
berpijar seperti lintasan kilat. Tiga sosok tubuh
terlempar dan tampak terguling-guling. Perusak
Raga memuntahkan darah segar. Setan Arak dan
Iblis Pemabukan pegangi mulutnya yang mengu-
curkan darah. Walaupun mereka sama-sama
menderita luka dalam yang cukup parah. Dua
saudara pemabukan ini berdiri dan langsung ter-
tawa-tawa seperti orang gila.
Gluk! Gluk! Gluk!
Lagi-lagi Setan Arak dan Iblis Pemabukan
meneguk araknya. Arak membasahi tenggorokan
dan membuat tubuh mereka terasa hangat. Peru-
sak Raga bangkit berdiri dengan wajah berubah
kelam membesi.
"Aku tidak akan pernah puas sebelum
memukul remuk batok kepala mereka!" kata Pe-
rusak Raga dalam hati. Kemudian ia mengelua-
rkan senjata andalannya berupa bola rantai baja
berduri. Keunikan senjata ini antara lain pada se-
tiap bagian sisi bola tersebut bila ditekan dapat
mengeluarkan kabut beracun. Racun ganas yang
sangat mematikan sekali.
2
Melihat apa yang hendak dilakukan oleh
lawannya Setan Arak langsung berseru ditujukan
pada saudaranya Iblis Pemabukan.
"Apa jawabmu apabila dia bermaksud
mengadu jiwa dengan kita?"
"Adalah bodoh jika sesama golongan sendi
ri saling membunuh. Bukankah lebih baik jika ki-
ta bekerja sama Perusak Raga? Kami adalah
orang yang penasaran dan ingin tahu ada rahasia
apa yang terkandung dalam bangunan-bangunan
di bukit Keangkuhan! Apakah kau masih ingin
saling ngotot dan unjuk gigi pada kami?" tanya
Iblis Pemabukan ketus.
Laki-laki berbaju hitam itu terdiam. Me-
mang kalau dipikir kedua lawannya itu mempu-
nyai kepandaian seimbang dengannya. Konon
semburan araknya saja dapat melubangi lempen-
gan baja setebal apapun. Dan sejak mereka terli-
bat pertempuran sengit tadi, tampaknya lawan
belum mempergunakan senjata maut dari minu-
man keras tersebut. Walaupun ia sendiri merasa
yakin dengan kehebatan senjata yang dimilikinya.
Kalau dipikir bukankah lebih baik mereka bekerja
sama? Nanti jika keadaan di sana menguntung-
kan bukankah mereka dapat dibunuh secara li-
cik. Berpikir sampai ke sini, Perusak Raga lang-
sung menyimpan senjatanya kembali.
"Bagus, kiranya kau dapat menerima apa
yang kami tawarkan!" ujar Setan Arak, seraya
menarik napas lega.
"Apakah kau mau minum arak kami, so-
bat? Hitung-hitung sebagai tanda persahabatan
kita." Iblis Pemabukan menawarkan sambil me-
nyodorkan buli-buli tuaknya pada Si Perusak Ra-
ga. Tapi tokoh aneh yang satu ini menolaknya.
"Jelaskan padaku apa yang kalian ketahui
tentang Penyair Gagu?" tanya Si Perusak Raga.
Iblis Pemabukan dan Setan Arak berpandangan.
Setan Arak melangkah maju.
"Oh mengenai Penyair itu kami pun sama
butanya dengan engkau. Tapi menurutku ia pasti
tahu banyak tentang bukit Keangkuhan. Terbukti
ia menulis syair-syair itu dan apa yang dikata-
kannya berada tidak jauh lagi dari sini. Cuma
kami tidak tahu arti sepuluh mengalahkan sepu-
luh. Satu mengalahkan sembilan!" ujar Iblis Pe-
mabuk. Bibir Perusak Raga menggerimit, kening-
nya yang menghitam tampak berkerenyit dalam.
"Itu sebuah misteri. Kurasa ada sesuatu
yang berguna di dalam bangunan itu. Ada hal
yang kurasakan agak janggal dalam syair-syair
itu?" gumam Perusak Raga.
"Apa?" tanya Setan Arak dan Iblis Pemabu-
kan hampir bersamaan.
"Apa hubungannya wanita penyair gagu itu
dengan dua bangunan yang berada di atas bukit
Keangkuhan?"
"Hal ini baru dapat kita cari jawabannya bi-
la kita sudah sampai ke sana!" sahut Setan Arak.
"Nah sekarang setelah kita berserikat tung-
gu apa lagi!" ujar Perusak Raga seakan tidak sa-
bar.
"Betul, kita adalah orang-orang bersekutu.
Mari segera berangkat!" timpal Iblis Pemabukan.
Maka berangkatlah ketiga tokoh-tokoh sakti itu
menuju bukit Keangkuhan yang jaraknya tidak
jauh lagi dari tempat mereka berada.
* * *
Pemuda bertampang tolol kekanak-
kanakan itu baru saja mengenakan bajunya. Ia
mengangkat beberapa ekor ikan jurung besar
yang baru didapatnya ketika mandi tadi. Ikan itu
megap-megap karena tidak bisa bernapas. Si pe-
muda baju biru ini garuk-garuk kepala sambil
memperhatikannya.
"Sebenarnya aku sudah kelaparan nih. Ta-
pi setelah melihat mata ikan ini kok jadi tidak te-
ga! Baiknya aku lepaskan saja." pikir si konyol.
Ternyata ia ragu-ragu. "Lepas jangan ya? Jangan
apa dilepas?"
Krukuk!
"Heh, cacing dalam perutku mengatakan
supaya jangan dilepas." kata Suro. "Tapi bagai-
mana jika bapak emak ikan ini mencari anaknya?
Bapak ikan pasti sedih! Weleh masa bodo! Mau
makan saja pakai ragu-ragu segala!"
Plok! Plok!
Dan tiga ekor ikan jurung itu dihem-
paskannya di atas batu. Ikan menggelepar dan
mati. Suro segera membuat api dari ranting-
ranting kering yang dikumpulkannya. Tidak lama
kemudian terciumlah bau harum daging pang-
gang yang lezat.
Suro Blondo murid Penghulu Siluman Kera
Putih dan Malaikat Berambut Api ini mulailah si-
buk menggerogoti ikan panggang tersebut. Sedang
asyik-asyiknya ia menikmati santapannya. Tiba
tiba telinganya yang sudah sangat terlatih itu me-
nangkap ada suara langkah-langkah kaki mende-
kati ke arahnya. Tanpa membuang waktu lagi Su-
ro melompat ke atas dahan pohon. Sayang ia
hanya dapat menyambar salah satu ikan pang-
gang, sedangkan sisanya tertinggal di pinggir pe-
rapian.
"Wiih, ikan ini padahal gurih. Sayang aku
cuma sempat membawanya satu. Kalau sedang
makan enak begini rasanya mertua lewat pun ti-
dak kelihatan. Goblok, siapa mertuaku? Satu-
satunya gadis yang aku suka hanya Putri Kilat
Bayangan. Entah di mana dia!" ujar si konyol se-
perti orang berbisik-bisik seperti orang kurang
waras.
"Rasanya lebih baik aku turun mengambil
ikan itu!" katanya memutuskan. Namun belum
sempat ia melakukan sesuatu, tiba-tiba ia melihat
seorang gadis berkulit kuning langsat berwajah
ayu berpakaian hijau. Suro berdecak kagum me-
lihat kecantikan gadis itu. "Untung dia datang
bukan pada waktu aku lagi mandi. Kalau sampai
ketahuan, weleh-weleh, aku bisa sial empat puluh
hari!" desah Suro.
Lalu Suro memperhatikan gadis itu agak
lama. Ternyata gadis baju hijau tertarik melihat
ikan bakar yang terletak di pinggir perapian ter-
sebut. Setelah celingak-celinguk memperhatikan
sekelilingnya. Ikan bakar milik Pendekar Blo'on
dimakannya tanpa rasa curiga, sikapnya santai.
Tidak sepatah kata pun keluar dari bibirnya yang
tipis kemerahan.
"Enak saja ikanku diambil. Mana boleh be-
gitu?" gumam Suro dalam hati. Ia garuk kepala
lagi. Tiba-tiba saja melompat turun.
"Hei... ikanku...!" tegas Suro cemberut.
Sepontan gadis baju hijau melengak dan
langsung melompat mundur ketika melihat keha-
diran pemuda berambut hitam kemerahan ini. Se-
jenak lamanya ia memperhatikan Pendekar
Blo'on. Lalu sisa ikan di tangannya ia buang.
"Eii, jangan dibuang mubazir!" kata Suro.
Pemuda itu memungut sisa ikan yang dibuang
gadis baju hijau. Ketika Suro bangkit berdiri ia
melongo. Gadis berbaju hijau sudah menghilang
dari hadapannya.
Namun ada sesuatu yang membuatnya me-
rasa aneh. Ia melihat bendera terbuat dari kain
putih. Bendera tersebut diikatkan pada ranting
kayu, pangkal ranting menancap di tanah.
"Bendera putih? He he he...! Seperti orang
kalah perang aja!" ujar Suro sambil menghampiri.
Merasa penasaran ia langsung mencabut ranting
kayu tersebut.
"Ugkh...!"
Dan pemuda ini terbelalak kaget. Ranting
kayu itu tidak dapat dicabut dengan tenaga ka-
sar. Keningnya mengerenyit. Jika gadis baju hijau
itu dapat melakukan hal seperti ini pasti ia memi-
liki tenaga dalam yang sudah sempurna sekali.
"Trondolo! Ini sih bukan main-main!" gu-
mam si pemuda. Seraya garuk-garuk kepala. Sekarang ia mengerahkan tenaga dalamnya.
"Huup!"
Broll!
"Wadoow...!"
Begitu kerasnya ia mencabut sampai mem-
buatnya jatuh terduduk, sialnya lagi pantatnya
terhempas di atas batu runcing. Pemuda berbaju
biru ini meringis kesakitan. Ia usap-usap pantat-
nya.
"Untung bukan pedangku yang kena. Kalau
sampai itu yang tertusuk batu, jika anu yang ter-
tusuk. Bisa-bisa masa depanku jadi suram!" geru-
tunya sambil nyengir. Bendera putih yang tergu-
lung dibukanya. Mata pemuda konyol ini membu-
lat lebar. Di bolak-baliknya bendera tersebut, mu-
lutnya termonyong-monyong. Tulisan itu cukup
indah, tapi Suro yang sudah diajar tulis baca dan
berhitung oleh kedua gurunya dulu masih sulit
membaca tulisan tersebut. Kening Suro berkerat-
kerut lagi, eeh, kemudian monyong lagi.
"Sialan, ini tulisannya kok susah amat di-
bacanya!" desahnya. Ia garuk-garuk kepala. Se-
sungguhnya bahasa pada tulisan itu sebagaimana
bahasa umum, namun rupanya gadis tadi adalah
seorang ahli hias tulisan, sehingga arti huruf yang
samar-samar membuat kepala Suro puyeng. Sete-
lah memperhatikannya agak lama dan lebih teliti
barulah Suro menyeringai kegirangan.
"Ini syair yang bagus! Isinya kok aneh,
ya...?" batin Suro dalam hati. Sebentar saja pemuda ini sudah menelitinya baris demi baris kalimat yang tertulis pada bendera putih itu.
Manusia dilahirkan berjodoh
Laki-laki dengan perempuan
Bumi berdampingan dengan langit,
Namun tidak pernah menyatu
Siapa yang menjunjung langit?
Siapa yang memegang bumi?
Manusia banyak belajar agar jangan bodoh
Ternyata semakin belajar semakin bodoh
Tambah ilmu tambah bodoh
Tambah pintar tambah goblok
Sesungguhnya manusia itu teramat bodoh-
nya sangat tololnya, semakin gobloknya!
Sedikit kepandaian manusia mengatakan
dirinya sakti
Kemudian terlahir keangkuhan, satu ingin
memiliki, satunya lagi ketakutan, akan ditem-
patkan dimana bila ia mati
Luh Jingga ingin jodoh
Ia menciptakan kemegahan dalam waktu
semalam
Tapi kemegahan itu miring, karena hatinya
condong pada wanita
Rata Keindahan, Dara Nirmala
Ia tidak ingin jodoh
Hatinya eondong pada maut
Orang-orang sakti
Orang-orang sakti
Kemegahanmu berdiam di bukit Keangku-
han!
Suro seka keringatnya, ia leletkan lidah.
Hanya sedikit saja makna dari baris-baris kata
yang tertulis di atas kain putih itu. Kemudian ia
ingat ketika lewat di daerah Imogiri beberapa hari
yang lalu. Ia juga banyak melihat syair-syair yang
selalu dikerumuni orang. Syair yang konon ditulis
oleh seorang penyair wanita. Penyair Gagu! Suro
sekarang tepuk-tepuk keningnya.
"Kurasa gadis itu tadi penyair gagu yang
dimaksud oleh orang-orang di Imogiri. Tololnya
aku mengapa tidak kukejar? Padahal aku bisa
bertanya padanya apa yang terjadi di bukit
Keangkuhan? Aneh, dia sendiri punya hubungan
apa dengan Ratu Keindahan?" Pendekar Blo'on
golang-golengkan kepala pertanda bingung.
"Apapun yang terjadi di sana bukankah le-
bih baik jika aku mengetahuinya!" pikir Pendekar
Mandau Jantan. Pemuda berambut kemerahan
ini selanjutnya berlari meninggalkan tepian sun-
gai. Dikejauhan terdengar suara sayup-sayup, se-
perti memaki dirinya sendiri.
Tololnya aku, begonya Suro! Punya ilmu la-
ri Kilat Bayangan, kok malah berlari seperti mo-
nyet-monyet terbirit-birit!"
Wueees!
Brebet!
Setelah mengarahkan ilmu lari Kilat
Bayangan, tubuh si pemuda berkelebat-kelebat di
antara pohon-pohon yang dilaluinya. Jika saja
ada orang yang mengetahui perjalanan pendekar
konyol itu, pastilah mereka terkagum-kagum.
* * *
Aripati Ujudana termasuk salah seorang
tokoh kondang, sakti, serakah di daerah gunung
Ceremai. Ia bergelar Si Muka Setan. Bukan kare-
na wajahnya yang buruk. Wajah laki-laki itu cu-
kup tampan, sisa-sisa ketampanannya itu masih
ada walaupun kini umurnya sudah mencapai
hampir 60 tahun. Ia menjadi manusia yang paling
ditakuti di daerah gunung Ceremai, karena selain
kesaktiannya yang tidak terukur, ia memiliki sen-
jata ampuh yang terkenal dengan nama Petala
Langit. Senjata itu berupa roda-roda terbang yang
apabila melayang di udara dapat berubah jadi ba-
nyak bagaikan bintang bertaburan.
Munculnya Penyair Gagu telah menimbul-
kan heboh dan kegemparan di mana-mana. Sam-
pai-sampai kabar itu tersebar di daerah Ceremai.
Aripati Ujudana sebagai pentolan gunung Ceremai
dan telah pula mengasingkan diri, terdorong oleh
rasa keingintahuan akhirnya meninggalkan pen-
gasingan. Pagi itu ketika kabut menyelimuti bukit
Keangkuhan ia sudah sampai di sana. Ia tercen-
gang melihat kedua bangunan megah yang letak-
nya berdampingan tersebut. Antara kedua ban-
gunan itu ia melihat batu besar di atas tanah. Ba-
tu tersebut berbentuk aurat laki-laki lengkap
dengan buah jambunya. Ujung batu yang berben-
tuk aurat itu menghadap ke arah bangunan indah
yang memiliki empat sisi pada bagian atapnya.
Aripati Ujudana atau Si Muka Setan adalah orang
yang paling jarang tertawa dalam hidupnya. Na-
mun kali ini tawanya meledak, ia tertawa seperti
orang kurang waras. Perutnya terguncang air ma-
tanya bercucuran akibat tawanya yang tiada hen-
ti.
Ternyata batu berbentuk aurat itu mem-
punyai suatu kekuatan gaib yang dapat mempen-
garuhi jiwa orang yang melihatnya. Seperti Aripati
Ujudana ini. Si Muka Setan sama sekali tidak
menyadari bahwa dirinya telah terpengaruh ke-
kuatan gaib dari apa yang dilihatnya. Sementara
dari bangunan di sebelah barat, yaitu bangunan
yang condong dimana setiap tiang penyangganya
retak di sana sini seperti mau ambruk. Ada satu
kekuatan yang kemudian menggerakkan Si Muka
Setan. Laki-laki berambut panjang ini sambil ter-
tawa-tawa memasuki bangunan yang condong
tersebut. Pintunya yang tertutup langsung mem-
buka secara aneh, Si Muka Setan masuk melalui
pintu itu. Setelah ia berada di ruangan dalam,
pintu menutup kembali. Aripati Ujudana tercen-
gang-cengang melihat keindahan yang terdapat di
bagian dalam bangunan tersebut. Pada setiap
dindingnya terdapat gambar seorang perempuan
cantik luar biasa. Lukisannya memang sungguh
indah. Rasanya tidak seorang pelukis pun di du-
nia ini yang mampu melukis wanita sesempurna
itu.
3
Aripati Ujudana tidak berhenti sampai di
situ saja. Tubuh serta langkah kakinya seperti
tertarik untuk memeriksa ruangan demi ruangan
bangunan yang luas dan memanjang ke belakang
tersebut. Sementara itu suara tawa terus terden-
gar, tidak pernah berhenti hingga membuat sua-
ranya serak sekali. Sampai di sebuah ruangan
lain ia tertegun. Di sana ia melihat sebuah luki-
san lain yang langsung menempel pada dinding.
Lukisan seorang gadis yang sama dalam bentuk
samar sementara ada seorang laki-laki yang se-
dang melambaikan tangannya seakan ingin
menggapai gadis itu. Di belakang si laki-laki yang
tidak jelas wajahnya itu terlihat seorang gadis pu-
la memakai baju putih. Wajahnya hampir sama
dengan wajah gadis yang satunya lagi. Cuma yang
di belakang laki-laki itu tampak cemberut. Berbe-
da dengan perempuan yang satunya lagi yang
seakan berlari menjauhi si laki-laki. Sedangkan
yang di belakang laki-laki seakan mengejarnya.
Aripati Ujudana semakin keras tawanya
melihat lukisan tersebut. Padahal tidak ada sesu-
atu yang lucu. Demikianlah sambil tertawa-tawa
seperti orang gila itu terus bergerak ke arah ruan-
gan lainnya. Hingga ia melihat tumpukan batu-
batu jambrut serta mutiara yang bertebaran di
atas lantai. Si Muka Setan bermaksud mengambil
barang-barang berharga itu. Ia berpikir jika ia dapat membawa barang-barang itu keluar, ia pasti
akan menjadi orang paling kaya. Namun baru sa-
ja jemari tangannya hendak menyentuh salah sa-
tu dari mutiara dan batu jambrut tersebut ada si-
nar putih menyambar tangannya.
Sinar itu membuat tangannya melepuh,
Aripati Ujudana menjerit keras. Ia memandang ke
arah datangnya sinar tadi. Ternyata tidak ada
siapapun di belakangnya. Aripati memaki, ta-
wanya terhenti. Lalu terdengar suara seseorang
yang seakan datang dari ruangan lainnya.
"Jangan kau sentuh barang yang bukan
milikmu! Kau telah memasuki bangunan tandin-
gan yang kuciptakan dalam waktu semalam. Be-
rarti kau tidak dapat keluar dari tempat ini sela-
manya. Kau harus bersekutu denganku!" kata se-
buah suara.
"Mana bisa, aku Si Muka Setan tidak dapat
bekerja sama dan bersekutu dengan siapapun!"
bantah Aripati.
"Setiap pintu terkunci, tidak pernah terbu-
ka tanpa seizinku. Kau tidak mungkin dapat me-
nembusnya tanpa bantuanku. Walau kau mem-
punyai kesaktian setinggi gunung!"
"Siapa kau? Tunjukkanlah wajahmu dan
datang kepadaku!"
"Datanglah kau kemari! Kau segera melihat
siapa aku yang sebenarnya!" sahut suara itu.
Seumur hidupnya Aripati tidak pernah diperintah
orang lain. Biasanya dialah yang memberi perin-
tah. Itu sebabnya ia tetap bertahan pada tempat
nya.
Namun tanpa disangka-sangka seakan ada
kekuatan gaib yang menyeretnya. Aripati bergerak
diluar kehendak hatinya. Ia tetap berusaha berta-
han, tapi malah ia tersungkur bahkan seperti ada
suatu kekuatan yang menyeretnya. Jika saja to-
koh berkepandaian tinggi seperti Aripati ini tidak
berdaya melawan kekuatan gaib tersebut, dapat
dibayangkan betapa kesaktian orang yang bicara
tadi.
Gluduk!
Aripati terguling-guling di sebuah ruangan
yang sangat luas. Pada setiap bagian dinding ter-
dapat gambar-gambar laki-laki yang sedang me-
nangis. Gambar laki-laki itu sama persis dengan
lukisan yang di depan tadi. Aripati bangkit berdiri
dengan perasaan terheran-heran. Ketika ia
layangkan pandangan matanya. Di tengah-tengah
ruangan, tepatnya di atas batu pualam putih ber-
bentuk empat persegi duduk seorang laki-laki.
Pakaiannya hancur lapuk dimakan waktu, Aripati
tidak dapat melihat wajah orang ini karena posi-
sinya memunggungi. Laki-laki itu mengelilingi ba-
tu tersebut, bergerak ke depan untuk melihat wa-
jah orang yang rambutnya menjuntai ke lantai.
Dan Si Muka Setan pun terkesiap, dari ke-
dua mata orang ini ternyata mengucur air mata
yang tidak kunjung henti. Sungguh pun kedua
kelopak matanya dalam keadaan terpejam, na-
mun air mata yang keluar tidak pernah berku-
rang. Apa yang membuat laki-laki ini menangis
sepanjang masa, itulah yang membuat Aripati
terheran-heran.
"Ternyata aku hanya melihat seorang laki-
laki cengeng. Huh... aku harus keluar dari tempat
ini untuk memeriksa bangunan yang di sebelah
timur!" dengus Si Muka Setan. Mendengar kata-
kata Aripati. Sosok yang duduk di atas batu tam-
pak bergetar. Matanya membuka seketika. Me-
mandang pada Aripati dengan sorot tajam menge-
rikan.
"Kau anak manusia, kutahu namamu, ge-
larmu, bapak moyangmu, umurmu dan sampai
dimana kesaktianmu! Kau telah memasuki ban-
gunan megah yang kuciptakan semalam. Berada
di sini berarti kau tidak akan keluar, kau harus
bersekutu denganku. Manusia sakti yang tidak
ada duanya. Kau tidak boleh pergi ke bangunan
yang terletak di sebelah timur itu. Karena di sana
tinggal manusia suci, wanita yang dulu sangat
aku cintai. Namun ternyata ia lebih cinta pada
kematiannya! Laki-laki sepertiku punya banyak
kekurangan dan kelebihan. Manusia diberi sepu-
luh akal, sembilan untuk laki-laki, satu untuk pe-
rempuan. Manusia diberi sepuluh nafsu, satu un-
tuk laki-laki, sembilan untuk perempuan. Tapi
sembilan nafsu yang dimiliki wanita tertutup oleh
rasa malu. Tahukah kau bahwa aku terjebak da-
lam cinta! Ini yang mengalahkan sembilan akal
yang kumiliki. Aku runtuh oleh satu nafsu yang
ada padaku. Aku teramat sangat mencintainya,
tapi ia tidak mencintaiku. Ia teramat sibuk memikirkan kematiannya, karena sesungguhnya ia cin-
ta pada mati. Sementara itu ada perempuan lain
yang mencintaiku, tapi aku tidak suka padanya.
Nah perempuan itulah yang menjadi musuhku
dan musuhnya!" kata si kakek tua. Kemudian ia
mengulang-ulangi ucapannya.
"Ia perempuan suci, jangan kau pergi ke
sana! Aku tidak suka melanggar janji! Aku tidak
suka!" kata orang ini.
"Siapa kau? Mengapa begitu lemahnya kau
menjadi manusia?" sentak Si Muka Setan. Kakek
tua itu mengangkat wajahnya dan memandang ke
langit. Air mata semakin deras menetes memba-
sahi pipi. Walaupun memang tangisnya tidak
pernah terdengar.
"Aku Lu Jingga, bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin. Kau mungkin pernah mendengar na-
maku, atau mungkin tidak bukanlah soalan...!"
Aripati langsung memotong. "Aku pernah
mendengar kakekku dulu bercerita ada seorang
tokoh sakti yang memiliki umur ratusan tahun.
Orang itu bisa menciptakan gedung-gedung me-
gah hanya dalam waktu semalaman. Konon ia di-
bantu oleh masyarakat Jin untuk mewujudkan
sesuatu. Jika benar kau Datuk Tinggi Raja Di An-
gin. Aku ingin tahu berapa umurku sekarang dan
dapatkah kau menciptakan apa yang kau bangun
ini dalam bentuk yang sangat kecil sebagai tiruannya?"
Datuk Tinggi Raja Di Angin memperhatikan
Si Muka Setan. Kemudian terdengar suaranya
seakan berseru dan ditujukan pada makhluk-
makhluk yang tidak terlihat.
"Ada anak manusia yang memintaku agar
membuat duplikat bangunan ini. Wahai anak bu-
ahku yang berada di alam gaib. Adakan segera
dalam waktu sekedipan mata!" kata Lu Jingga.
Aripati melotot memperhatikan kemungkinan
yang terjadi. Namun ia tidak kuat menentang ma-
ta hingga membuat matanya berkedip. Tahu-tahu
di depan kakek rambut putih bersenjata roda ber-
gerigi ini telah tercipta sebuah bangunan yang
sama persis dengan bangunan besar tersebut.
"Ternyata kau benar! Kau Datuk Tinggi Ra-
ja Di Angin. Tapi mengapa kau mengurung diri
seperti ini dan dalam keadaan selalu menangis
pula?" bertanya Si Muka Setan. Lu Jingga seka
air matanya, seraya menarik nafas dalam-dalam.
Ekspresi wajahnya sulit dibaca. Setelah itu ia bi-
cara dengan perasaan segan.
"Panjang ceritanya! Ini sebenarnya adalah
suatu rahasia yang memalukan. Tapi jika kau in-
gin tahu, sebagai orang yang pertama datang ke
sini. Aku ingin kau mendengarnya baik-baik." ka-
ta Datuk Tinggi Raja Di Angin. Kemudian ia sege-
ra menuturkan segala sesuatunya secara jelas.
Sekitar dua ratus tahun yang lalu, ada seo-
rang pemuda memiliki kepandaian sangat tinggi.
Ia mempelajari ilmu silat dan berbagai kesaktian
dari satu negeri ke negeri lainnya. Sampai kemu-
dian kesaktiannya setara dengan para dewa. Na-
mun ia tetap berpetualang, hingga sampailah ia di
Lembah Silau Dunia. Di lembah itu tinggal dua
orang kakak beradik, dua-duanya berwajah can-
tik bagai bidadari. Yang paling tua bernama Dara
Nirmala sedangkan adiknya bernama Dara Alindi.
Pemuda itu jatuh cinta pada Dara Nirmala dalam
pandangan pertama. Cinta sejati, sebaliknya adik
gadis itu yang bernama Dara Alindi jatuh cinta
pada pemuda itu. Tentu saja dia tidak menangga-
pi, karena cintanya hanya untuk Dara Nirmala.
Gadis suci yang selama hidupnya memikirkan ha-
ri kematiannya. Dara Nirmala selalu bertanya-
tanya bila ia mati nanti masuk surga atau nera-
ka? Sehingga ia tidak pernah menghiraukan cinta
pemuda itu. Walaupun pemuda itu telah duduk
bersimpuh di dekat pemujaan sang gadis selama
bertahun-tahun.
Sebaliknya gadis yang bernama Dara Alindi
selalu datang menggoda dan merayunya. Gadis
ini juga punya kesaktian yang tidak terukur. Pe-
muda itu ternyata tetap teguh pada pendiriannya.
Ia menunggu Dara Nirmala, hingga pakaiannya
lapuk dimakan panas dan hujan. Dara Nirmala
tersentuh juga hatinya, ia menjumpai pemuda itu
sehingga terjadilah pembicaraan yang cukup pan-
jang.
"Wahai pemuda gagah, apa perlumu me-
nungguku? Padahal kau telah mengetahui pendi-
rianku. Keputusanku tidak berubah! Kau manu-
sia sakti, aku juga wanita sakti. Apa yang kau
bayangkan tentang diriku, sama artinya kau me-
lakukan sesuatu sebagaimana yang ada dalam
hatimu. Perkataan hatimu ataupun perkataan
mulutmu selalu didengar oleh Gusti Allah. Manu-
sia sakti seperti kita kata-katanya manjur, uca-
pan hatinya terkabul. Tidakkah kau berpikir
bahwa itu akan membahayakan dirimu dan diri-
ku. Kalau kau suka mengapa kau tidak mau ber-
dampingan dengan adikku, ia mencintaimu!" kata
Dara Nirmala dengan kata-kata yang sangat halus
dan merdu.
"Cinta tidak dapat dibantah, kata hati jeri-
tan jiwa tidak dapat kudustai. Cintaku hanya un-
tukmu!"
"Kau tetap ngotot. Bicaramu dan apa yang
kuucapkan terkabul. Tidakkah kau takut?"
"Cinta sejati tidak mengenal rasa takut!"
sahut si pemuda.
"Baiklah! Aku akan mempertimbangkan
pertanyaanmu! Sebagai orang yang tidak berdus-
ta. Aku akan mengajukan dua pertanyaan pada-
mu, jika kau dapat menjawabnya. Aku bersedia
menjadi isterimu! Jika kau tidak mampu menja-
wabnya, maka sebaiknya kau pergi dari sini!"
"Syaratmu aku penuhi, sekarang tanyalah
apa yang ingin kau tanyakan!"
"Karena aku kurang suka tinggal di dunia
ini. Pertanyaanku pertama bila aku mati dan di-
kubur. Apakah di alam kubur aku mendapat sik-
sa atau tidak?"
"Itu persoalan gaib, hanya Gusti Allah yang
dapat menjawabnya!" jawab si pemuda dengan ju-
jur. "Apa pertanyaan yang kedua?"
"Pertanyaanku yang terakhir. Setelah aku
mati apakah aku masuk surga atau neraka?"
"Itu juga urusan Tuhan, aku tidak bisa
menjawabnya!" kata si pemuda.
"Kalau begitu pergilah cepat! Jangan kau
duduk di depan pintu tempat aku memuja kebe-
saran-Nya!"
"Berilah aku tangguh hingga besok. Pagi-
pagi sekali aku pasti meninggalkan tempat ini!"
Dara Nirmala sama sekali tidak menyahut,
ia menutup pintu rapat-rapat, sedangkan pemuda
sakti itu tetap duduk di situ menunggu datangnya
pagi.
Malamnya baik Dara Nirmala maupun si
pemuda sama-sama bermimpi melakukan hu-
bungan suami isteri. Dara Nirmala merasa sea-
kan-akan dirinya menjadi hamil akibat mimpi itu.
Sebagai orang suci yang sakti, mimpi bukan
hanya sekedar mimpi karena bisa berubah men-
jadi sebuah kenyataan.
Terdorong oleh perasaan bingung dan rasa
bersalah yang sangat mendalam. Malam itu juga
Dara Nirmala yang merasa dirinya telah ternoda
meninggalkan tempat pemujaannya. Kejadian ini
diketahui oleh si pemuda. Ia pun menyusul, ke-
jar-kejaran pun terjadi di sepanjang pulau Jawa.
Hingga dua-duanya merasa letih dan Dara Nirma-
la tersusul setelah berada di puncak bukit yang
terletak di sebelah barat daya Imogiri.
Di sini perdebatan sengit terjadi.
"Kau terlalu keras kepala! Kau pasti mem
bayangkan sedang melakukan hubungan cinta
denganku!" tuduh Dara Nirmala sambil menangis.
"Bayangan itu hanya terlintas sepintas sa-
ja!" Si pemuda mengakui.
"Tidakkah kau ingat bahwa apa yang kau
bayangkan sering menjadi kenyataan? Aku benci
pada manusia lemah sepertimu! Kau punya sem-
bilan akal, namun kesembilan akalmu tidak
mampu mengendalikan nafsumu yang cuma satu.
Aku punya sembilan nafsu, tapi sembilan nafsu-
ku dapat dikendalikan oleh akalku yang cuma sa-
tu! Akibat mimpi itu telah membuatku ternoda.
Kini aku hamil, memalukan sungguh memalu-
kan!" teriak Dara Nirmala.
"Tapi bukankah kau dan aku hanya ber-
mimpi saja?!"
"Kau manusia bodoh, orang sakti tolol.
Mimpi adalah lebih berbahaya dari kenyataan.
Bertaubatlah kau, jangan ganggu aku! Kelak anak
ini akan terlahir. Malam nanti akan kuciptakan
sebuah gedung tempat tinggalku dan mengurung
diri!" tegas Dara Nirmala.
"Aku bersedia bertanggungjawab atas se-
mua yang terjadi!" kata si pemuda yang tidak lain
adalah Lu Jingga.
"Tidak! Sebaiknya bertaubatlah kau mulai
hari ini. Dan ciptakan sebuah gedung untuk pen-
gasinganmu jika kau punya kemampuan!" tan-
tang si gadis.
"Aku dapat melakukannya. Bukit ini ku-
namakan bukit Keangkuhan. Sebagai rasa penyesalanku aku akan menangisi segala apa yang ter-
jadi pada dirimu!"
"Itu lebih baik, dan jangan kau ganggu aku
lagi. Seandainya hal itu kau lakukan, jalan terak-
hir aku terpaksa membunuhmu!" ancam Dara
Nirmala.
Benar saja malamnya dengan kesaktian
yang dimiliki masing-masing mereka membangun
sebuah gedung. Hanya para Jin yang membantu
Dara Nirmala lebih banyak dan lebih cepat. Se-
dangkan Jin yang berada di bawah pimpinan Lu
Jingga jumlahnya terbatas. Hingga kokok ayam
terdengar dua bangunan telah berdiri. Bangunan
milik si pemuda tidak sempurna betul, bahkan
miring ke arah bangunan Dara Nirmala. Beberapa
tiangnya retak-retak. Konon ada salah satu Jin
yang iseng dan meletakkan batu berbentuk aurat
laki-laki. Dan mengandung kekuatan gaib yang
dapat mempengaruhi orang lain. Siangnya ban-
gunan itu jadi sunyi, Dara Nirmala maupun Lu
Jingga sudah tidak terlihat lagi.
Di luar kesadaran mereka, rupanya Dara
Alindi yang tertinggal di Lembah Silau Dunia
menjadi marah dan menyimpan dendam terlebih-
lebih pada Lu Jingga alias Datuk Raja Di Angin, ia
telah bertekad untuk melakukan pembalasan ter-
hadap saudara dan pemuda yang telah mem-
buatnya sakit hati tersebut.
"Tidak disangka, Kak Nirmala minggat ber-
sama Lu Jingga! Katanya tidak suka, tapi kulihat
dalam mimpiku Dara Nirmala bunting malah!
Orang munafik! Kalian berdua nanti akan mera-
sakan pembalasan yang setimpal!" geramnya pe-
nuh rasa dendam yang menyala-nyala. Untuk di-
ketahui, mereka ini punya ajian yang membuat
diri mereka tetap awet muda walaupun usia su-
dah melewati ratusan tahun. Terlebih-lebih Dara
Nirmala dan Dara Alindi ini. Sejak saat itu Dara
Alindi yang merasa dikhianati kakaknya mulai
melakukan persiapan-persiapan yang cukup ma-
tang. Ia bahkan terus memperdalam kesaktian
yang dimilikinya. Beberapa tahun kemudian ia
mulai bergentayangan mencari kakaknya juga
pemuda yang telah membuatnya kecewa.
"Aku sudah bercerita banyak, apakah kau
sudah memahaminya?" tanya Datuk Raja Di An-
gin kemudian. Si Muka Setan anggukkan kepala
dengan perasaan takjub.
"Kesaktian yang dimiliki oleh orang dulu
sangat luar biasa sekali. Bagaimana dengan
anakmu dari hasil hubungan dalam mimpi itu?"
tanya Aripati ingin tahu.
"Kurasa sekarang ia sudah dewasa. Aku ti-
dak pernah keluar meninggalkan gedung ini. Itu
sudah menjadi kesepakatan. Anakku mungkin di-
asuh oleh para Jin. Untuk itu kuminta padamu!
Jangan kau pergi ke bangunan di sebelah timur
itu setelah datang ke gedung ini, apa yang kau la-
kukan dapat menimbulkan fitnah. Sebab aku me-
rasa yakin cepat atau lambat Dara Alindi pasti
datang ke sini untuk menghancurkan aku atau
kakaknya sebagai pelampiasan rasa sakit hati
yang dialaminya!"
"Baiklah, aku turuti permintaanmu, mulai
saat ini aku bersedia bersekutu denganmu!" tegas
Aripati Ujudana.
4
Si tua berpakaian putih dan membawa-
bawa buntalan seperti orang yang mau pindah te-
rus mendekam di semak-semak kering yang terle-
tak tidak jauh dari bukit Keangkuhan. Ia sudah
melihat paling tidak tiga orang laki-laki dan ke-
marinnya lagi seorang laki-laki bersenjata roda
bergerigi.
"Sudah dua hari aku mendekam di tempat
ini. Tapi tidak satu pun di antara mereka yang be-
rangkat ke sana kembali. Seingatku kalau tidak
salah orang bersenjata roda masuk ke dalam gedung condong yang terletak di sebelah barat itu.
Kemudian orang itu tertawa seperti orang gila!
Sebenarnya apa yang membuatnya tertawa? Dan
tiga laki-laki lainnya menuju gedung yang megah
tersebut. Dua di antara mereka jalannya seperti
mau jatuh! Itu pasti Iblis Pemabukan dan Setan
Arak, yang satunya aku tidak kenal. Setelah ma-
suk, mereka pun kulihat tidak pernah keluar.
Eeh... apa mereka menemukan harta karun, ya?
Atau mungkin di dalam gedung mewah itu ber-
diam gadis-gadis cantik! Aku sih tidak ngiler, aku
cuma ingin tahu rahasia di balik syair-syair si gagu. Gadis misterius itu sebenarnya siapa?" kata si
kakek. Ia bangkit berdiri, kemudian tarik cela-
nanya yang selalu melorot ke bawah bila ia mena-
rik nafas.
Kakek rambut putih ini kemudian me-
nyandarkan punggungnya di bawah sebatang po-
hon kering. Melihat ke atas pohon yang gersang ia
jadi bosan sendiri.
"Aneh, pohon di sini tidak ada yang tum-
buh. Benar kata orang-orang di Imogiri bahwa
daerah ini merupakan daerah keramat dan ang-
ker!" Si kakek mengomel lagi. Orang ini julurkan
kepala lagi, memandang ke arah kedua bangunan
tersebut terasa sepi-sepi saja. Selagi ia sibuk
memperhatikan gedung-gedung itu. Tanpa dis-
adarinya seseorang telah berdiri di situ. Jika seo-
rang tokoh seperti Dewa Sinting yang punya se-
gudang ilmu saja tidak dapat mengetahui kehadi-
ran orang itu, dapat dibayangkan betapa ting-
ginya tingkat kepandaian pendatang yang tidak
diundang ini.
"Apa kerjamu di sini! Apakah kau tamu sa-
lah satu dari pemilik gedung mewah itu? Mengapa
tidak cepat masuk?" tegur orang itu, suaranya
dingin menusuk.
"Edan, ada orang datang aku sampai tidak
tahu! Jika ia membawa maksud tidak baik tentu
sejak tadi aku sudah mampus!" maki Dewa Sint-
ing ditujukan pada dirinya sendiri. Cepat ia me-
noleh, terlihat olehnya seorang laki-laki setinggi
satu setengah batang tombak. Orang ini memiliki
empat wajah. Masing-masing wajah mempunyai
empat mulut. Matanya berjumlah delapan, hi-
dungnya sumplung.
Kepala cuma satu, tapi besarnya bukan
main. Hampir tujuh kali kepala orang biasa.
Hanya badannya yang tinggi itu kurus kering, bila
mulutnya yang satu membuka, maka mulut
yang lainnya ikut membuka pula.
"Aku bukan tamu dari pemilik gedung itu.
Di sini aku cuma melihat-lihat saja. Aku tertarik
dengan kata-kata yang terdapat dalam syair si
wanita gagu! Engkau sendiri siapa orang aneh,
apa maksud tujuanmu datang ke tempat ini?"
tanya Dewa Sinting.
"Apa perlumu bertanya apa tujuanku. Yang
boleh kau ketahui, aku si Empat Wajah, namaku
Trigada." jelas laki-laki berkepala besar berwajah
empat tersebut disusul dengan tawa tergelak-
gelak.
"Heh...!" Dewa Sinting melengak kaget.
"Bukankah kau makhluk tanpa pendirian?" sahut
Dewa Sinting sambil melangkah mundur. Terus
terang ia sendiri memang baru sekali ini bertemu
dengan Trigada, namun dari apa yang didengar-
nya selama puluhan tahun lalu. Laki-laki di de-
pannya adalah makhluk yang tidak punya pendi-
rian dan terkadang dapat melakukan pembunu-
han tanpa diduga-duga.
"Kau kelihatannya kaget! Adakah sesuatu
yang kau ketahui tentang diriku ini?" tanya Si
Empat Wajah delapan biji matanya tampak melotot. Dewa Sinting gelengkan kepala.
"Hmm, ketahuilah di dalam gedung itu ada
kekasihku. Mungkin saat ini ia sudah berada di
sana. Aku ini makhluk paling cepat cemburu! Aku
tidak ingin melihat ia berdua-duaan dengan orang
lain!" tegas Trigada.
"Apakah kekasihmu itu seperti dirimu?"
Si Empat Wajah menggeleng.
"Tidak! Dia manusia seperti golonganmu,
wajahnya cantik. Aku bersedia membantunya
mengatasi persoalan yang membuatnya susah.
Untuk itulah ia bersedia menjadi kekasihku! Apa-
kah kau melihatnya lewat di sekitar sini?"
"Sama sekali aku tidak melihat siapa-siapa.
Kurasa di dalam bangunan itu ada setannya, se-
hingga ketika aku berdiri di sini, tengkukku me-
rinding!" kata Dewa Sinting setengah bergurau.
"Akulah setan! Kau jangan bicara semba-
rangan. Bagaimanapun aku harus segera ke sana.
Untuk keterangan yang kau berikan, inilah oleh-
oleh untukmu...!" kata Trigada. Kemudian sambil
melangkah lebar-lebar ia kibaskan tangannya.
Dari jemari tangan tersebut menderu gelombang
hawa panas luar biasa. Dewa Sinting jungkir balik
selamatkan diri. Tidak urung serangan mendadak
itu membuat hangus buntalan di punggungnya.
Dewa Sinting memaki-maki sambil padam-
kan api. Ia memandang ke arah perginya Si Em-
pat Wajah. Namun orang itu sudah tidak kelihatan lagi.
"Duh sialan! Keparat tidak tahu rasa terima
kasih. Seharusnya aku kejar dia dan buat perhi-
tungan! Tapi...!" Dewa Sinting meragu dan tarik
celananya yang melorot.
"Aku belum pernah bentrok dengan mak-
hluk bermulut empat itu. Kudengar dulu ia memi-
liki kesaktian luar biasa. Sebaiknya aku tunggu
lagi di sini. Suasana pasti bakal ramai. Tapi aku
haus, tidak ada air terkecuali kali yang di bela-
kang sana." pikir Dewa Sinting. Baru saja ia hen-
dak melakukan sesuatu, terdengar suara di bela-
kangnya.
Gluk! Gluk! Gluk!
Cepat sekali Dewa Sinting menoleh. Ter-
nyata tidak jauh di belakangnya tampak seorang
pemuda berpakaian biru berambut hitam keme-
rahan sedang meneguk air dari dalam kendi. Ter-
bit selera dahaga Dewa Sinting, jakunnya turun
naik. Si pemuda bersikap acuh tak acuh. Ia ma-
lah memamerkan kendinya dan menuangkan isi
kendi sambil garuk-garuk kepala.
"Hmm, enak betul. Tidak ada yang lebih
berharga di tempat segersang ini terkecuali air.
Apalagi yang kubawa mengandung rasa madu,
gula, berbau sedikit arak dan bermacam-macam
lagi rasa yang tidak ada duanya!" kata si pemuda
yang tidak lain adalah Suro Blondo.
"Betulkah apa yang kau katakan?" sahut
Dewa Sinting, seraya menelan ludah sambil tarik
celananya yang melorot.
"Hmm, luar biasa enaknya!" Suro meneguk
air dalam kendinya.
"Heh, apakah kau tidak mendengar kata-
kataku?" bentak Dewa Sinting. Kakek tua ini me-
lompat ke depan sambil berusaha merampas ken-
di di tangan Suro. Si konyol bersikap acuh tak
acuh, ketika tangan Dewa Sinting hampir berhasil
menjangkau kendi di tangan Suro. Pemuda ini
meliukkan tubuhnya dengan gerakan seperti see-
kor monyet menari.
Wuees!
"Heh...!"
Terperanjatlah Dewa Sinting. Sama sekali
ia tidak menyangka pemuda ini dapat menghinda-
ri serangannya. Penasaran ia melompat lagi, kali
ini tangannya menampar wajah Suro sedangkan
kaki menendang ke bagian pantat pemuda itu.
Serangan itu memang cukup berbahaya, selain
sangat cepat sekali. Suro berjingkrak mundur.
Ketika tangan dan kaki Dewa Sinting hampir
menjangkau sasaran. Suro melompat sambil
jungkir balik seperti monyet yang sedang main
sirkus.
"Sialan! Berikan kendi itu padaku!! Apa
kau memilih mampus!" bentak Dewa, Sinting se-
wot.
Suro termonyong-monyong. "Kau hendak
merampok atau minta, kakek gendut! Kalau min-
ta silakan ambil sendiri, jika mau merampok
sampai botak ubanan kau tidak bakalan menda-
patkan kendi ini! Ha ha ha...!"
"Kurang ajar! Kau hendak mempermainkan
aku!" teriak Dewa Sinting marah.
Dewa Sinting mulai mengerahkan jurus-
jurus mautnya. Sesuai dengan julukannya yang
sinting. Ketika ia hendak melancarkan serangan-
nya, si kakek menari-nari sambil berputar-putar.
Setelah itu sambil tarik celananya ia berteriak ke-
ras. Tubuhnya yang besar itu tiba-tiba saja mele-
sat ke arah Suro. Si konyol kerahkan jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu'. Bertarunglah kedua orang
ini seperti orang gila tidak karuan juntrungnya.
Yang satu berusaha selamatkan kendi sambil ber-
jingkrak, berjongkok atau berguling-guling. Se-
dangkan yang satunya lagi melakukan serangan
sambil menari-nari. Tarian Dewa Sinting berubah
menjadi serangan-serangan yang sangat dahsyat.
Suro kalang kabut. Namun tidak berlang-
sung lama, segera pemuda ini lipat gandakan te-
naga dalamnya. Sekarang ia sudah mengerahkan
jurus 'Seribu Kera Putih Mengecoh Harimau'.
Bet!
Deb! Bet!
Tanpa berubah dari gerakan dan langkah
monyet. Tiba-tiba saja Suro Blondo tampak berke-
lebat lenyap dari pandangan Dewa Sinting. Tubuh
pemuda ini seakan menjadi banyak dan bergerak
cepat mengelilingi Dewa Sinting. Berulang kali
Sure menerobos pertahanan lawan sambil laku-
kan serangan bertubi-tubi.
Dewa Sinting bersurut mundur. Dalam hati
diam-diam memaki di samping ia sendiri merasa
takjub. Jurus-jurus monyet Suro adalah jurus
langka yang seingatnya hanya dimiliki oleh Penghulu Siluman Kera Putih. Ada hubungan apa pe-
muda bertampang ketololan ini dengan Penghulu
Siluman itu? Dan Dewa Sinting sudah tidak ber-
pikir lebih jauh. Posisinya kini bukan menyerang,
malah dia didesak mati-matian. Si kakek tidak
tinggal diam, ia tarik celananya lagi yang melorot
sambil mempergunakan jurus lebih ampuh. Ju-
rus itu dikenal dengan nama 'Menggapai Langit
Dilamun Rindu'.
"Hea...!"
Tiba-tiba saja si kakek melesat ke udara.
Di udara ia melakukan tarian kilat. Lalu tubuh-
nya meliuk-liuk dan meluncur cepat ke bawah.
Tangan menghantam bahu lawan. Sedangkan ka-
ki menendang pinggang Suro. Pendekar Mandau
Jantan berkelit. Sayang gerakannya kalah cepat.
Bahu kirinya kena dihantam Dewa Sinting,
meskipun merasa sakit bukan main. Ia berbalik
hindari tendangan kaki. Tangan kanannya me-
nyambar asal-asalan.
Srosot!
Plak!
"Keekh...!"
Tidak pelak lagi pemuda ini jatuh terduduk
pegangi kendi. Bibirnya mengucur darah. Walau-
pun ia merasa seperti hendak mampus dan ba-
hunya seakan remuk. Namun akhirnya tertawa-
tawa melihat Dewa Sinting seperti orang kebaka-
ran jenggot dan memaki-maki.
"Bangsat! Berani-beraninya kau memper-
malukan aku! Anak setan! Pasti gurumu lebih setan lagi!" teriak Dewa Sinting. Ia tarik celananya
yang sempat melorot sebatas lutut. Suro tertawa-
tawa seperti orang kurang waras. Ia memukul-
mukulkan tangannya ke tanah. Kakinya bergerak-
gerak seperti anak kecil. Ia lupa dengan rasa sakit
yang dideritanya.
"Ki, rupanya Tuhan adil! Kalau rambut
yang di atas putih yang di bawah ikut memutih
juga. Kau sudah tua bangka, Ki. Sudah mendeka-
ti mampus mungkin, tapi kau memakai celana sa-
ja tidak becus!"
"Bangsat! Hii...!"
Disertai kemarahan yang meluap-luap,
Dewa Sinting menerkam leher si konyol sambil
berusaha merampas kendi di tangannya. Suro
menggeser pantatnya. Sayang gerakan pemuda ini
kalah cepat. Hingga lehernya kena dicekik lawan
dan kendi sekarang jadi rebutan. Suro mendelik,
lehernya seperti dijerat kawat baja. Namun ia ma-
sih dapat memaki.
"Kau benar-benar sudah gila, Ki! Kau hen-
dak memperkosaku, padahal kau tahu kita punya
sama. Apakah kau menantangku bermain tong-
kat?!"
"Anak setan! Aku akan mengirimmu ke ne-
raka!" teriak Dewa Sinting tidak ubahnya seperti
orang yang sedang bertarung dengan musuh be-
buyutannya saja.
Buk!
"Hukh...!"
Dewa Sinting meninju perut Suro, pemuda
itu menjerit. Andai saja si konyol tidak lindungi
perutnya dengan tenaga dalam. Isi perutnya pasti
cerai berai. Sementara kendi hampir saja dapat
dirampas. Akal cerdik Suro dalam keadaan terde-
sak seperti itu timbul. Ia menggeser kakinya, den-
gan mempergunakan lutut ditendangnya selang-
kangan Dewa Sinting.
Brot!
"Huagkh...!"
Dewa Sinting terhempas ke belakang, jeri-
tannya seakan merobek langit. Perutnya mulas
bukan main. Ia pegangi anunya sambil berguling-
guling akibat menahan sakit yang sangat luar bi-
asa.
Suro usap-usap lehernya yang masih me-
merah, kemudian terdengar suara tawanya terke-
keh-kekeh.
"Ha ha ha...! Apes betul nasibmu hari ini,
Ki. Mimpi apa kau semalam? Pernahkah kau
bermimpi kejatuhan bintang, kejatuhan bulan,
kemudian kejatuhan durian? Katanya pertanda
baik, Ki."
Dewa Sinting sama sekali tidak menyahut.
Ia duduk mendekam seperti ayam mau nelor. Dia
urut-urut bagian itu. Tiba-tiba tangannya menye-
linap di balik celana. Setelah ia raba-raba ternya-
ta yang bulat-bulatnya masih ada dan potongan
tebu yang cuma sejengkal pun masih ada, walau-
pun agak bengkak. Sebenarnya jika ia mau mem-
balas ulah pemuda berambut kemerahan itu, Dewa Sinting mampu. Rasanya ia tidak bakalan
kalah, namun bila mengingat jurus-jurus yang
dipergunakan Suro. Ia khawatir pemuda itu ma-
sih punya hubungan tertentu dengan Penghulu
Siluman Kera Putih. Di samping pemuda ini juga
tampaknya dari kalangan baik-baik. Hanya wa-
taknya saja yang konyol terkesan seperti orang
kurang waras.
Si kakek tarik celananya setelah berdiri.
Memperhatikan Suro sejenak lamanya, kemudian
terdengar suaranya agak sinis.
"Punya hubungan apa kau dengan Penghu-
lu Siluman Kera Putih?"
Pendekar Mandau Jantan melengak kaget.
Matanya berkedap-kedip, seraya seka keringat
yang menetes di keningnya.
"Engkau hendak minum, Ki. Mintalah baik-
baik! Air dalam kendi ini masih setengah dan
akan kuberikan padamu!" kata Suro seakan tidak
menghiraukan pertanyaan Dewa Sinting.
"Jawab pertanyaanku atau kau meminta
aku mengirimmu ke liang lahat?" bentak si kakek.
Pendekar Blo'on menggumam. Namun kemudian
bicara secara tegas.
"Penghulu Siluman Kera Putih yang seten-
gah edan itu guruku, Ki. Aku heran bagaimana
kau bisa mengetahui aku muridnya?" tanya Suro.
"Ha ha ha....! Melihat jurus-jurusmu, dan
setelah melihat keedananmu. Tentu saja du-
gaanku tidak melesat, ketahuilah aku Dewa Sint-
ing! Datang ke sini berhubungan dengan syair-
syair yang menarik itu! Lalu kau bocah goblok
untuk urusan apa kau datang ke bukit Keangku-
han ini?" bertanya Dewa Sinting sambil senyum.
"Salaman dulu, Ki. Kita punya tujuan yang
sama!" jawab Suro, ia datang menghampiri den-
gan tangan terulur bermaksud salaman. Tapi De-
wa Sinting menepis tangannya. Tangan lain me-
nyambar dan kendi berisi air telah berpindah ke
tangan Dewa Sinting.
Gluk! Gluk! Gluk!
Dengan nikmat Dewa Sinting meneguknya
hingga tuntas.
"Jangan kau habiskan!" teriak Suro mence-
gah. Percuma saja ia berteriak. Kendi telah ko-
song. Kesudahannya si kakek memukulkan kendi
tersebut ke kepalanya hingga hancur berantakan.
Tidak lama terdengar suara tawa puas si kakek.
5
"Kalau sudah begini kau bisa apa. Untung
tidak kupecahkan kepalamu sebagai balasan atas
sikapmu yang kurang ajar karena telah membuat
bengkak adikku!" hardik Dewa Sinting.
Suro terkekeh, "Apakah sudah kau periksa,
Ki. Barangkali adikmu terbang meninggalkanmu?
Bukankah tempat persembunyiannya yang me-
nyeramkan itu telah kuketahui!" Seenaknya saja
Pendekar Blo'on menyahuti
"Pemuda gila? Aku pernah mendengar si
kapmu yang konyol, keedananmu dan juga keti-
dak warasan otakmu. Kuharap hari ini kau tidak
bicara seenak perutmu. Kau lihatlah kedua ban-
gunan itu!" Dewa Sinting menunjuk ke arah ban-
gunan. Suro memperhatikan dengan mulut ter-
monyong-monyong saking seriusnya.
"Memang ada apa dalam bangunan itu
orang tua sinting?" bertanya Suro tanpa menga-
lihkan perhatiannya dari kedua bangunan terse-
but.
"Sudah dua hari aku mendekam di sini!
Aku sudah melihat ada empat orang yang masuk
ke dalam bangunan yang terletak di sebelah timur
itu dan satunya lagi masuk ke dalam bangunan
yang berada di sebelah barat! Sampai sekarang
tidak seorang pun di antara mereka ada yang ke-
luar!"
"Siapa sebenarnya penghuni gedung itu?"
tanya Suro ingin tahu.
"Aku kurang tahu. Kurasa satu-satunya
orang yang bisa memberi jawaban adalah Penyair
Gagu itu!"
"Hmm, aku pernah melihatnya, sekarang
pun aku sampai ke sini karena mengejarnya.
Sayang aku kehilangan jejak."
"Apakah kau sempat bicara dengannya?"
tanya Dewa Sinting.
"Aku belum sempat. Lagipula bagaimana
aku bisa bicara dengan orang gagu. Kau sendiri
apakah pernah bertemu dengan gadis baju hijau
itu?" Dewa Sinting menggeleng.
"Ada yang kurasakan menarik di sini. Kau
lihatlah tidak satu pun pohon dapat tumbuh di
sini."
"Lalu apa yang akan kau lakukan? Me-
nunggu sampai ubanan atau sampai mampus?
Kalau menurutku sebaiknya kita melakukan pe-
nyelidikan di sana. Apakah kau setuju, kakek
sinting?" tanya Suro merasa lebih cepat akrab
dengan kakek tua yang celananya yang selalu me-
lorot terus itu.
"Banyak kejadian aneh di sana, jangan-
jangan kita terjebak. Aku melihat seorang laki-
laki yang berada di gedung sebelah barat tertawa-
tawa seperti orang gila. Kurasa ia melihat sesuatu
yang lucu, tapi yang kuherankan tawanya seperti
tidak wajar."
"Apakah tidak sebaiknya kita cari dulu ga-
dis baju hijau yang pernah ku lihat beberapa hari
yang lalu?!" Suro mengajukan usul.
"Kau yakin dia berlari ke arah sini?"
"Yakin sekali!" jawab Suro mantap.
"Tapi aku tidak melihatnya selain orang
yang kusebutkan tadi!"
"Mungkin ada jalan rahasia lain yang aman
untuk mencapai gedung itu, Kek. Bagaimana jika
kita mulai mencarinya?"
Dewa Sinting terdiam dan tampak sedang
mempertimbangkan usul Pendekar Blo'on.
"Dua hari di sini selain cuma mendekam
aku memang tidak pernah pergi ke mana-mana.
Kalau aku menuruti keinginanmu berarti aku setuju. Tapi aku kurang yakin apakah ada jalan lain
di sekitar sini."
"Jangan pakai dipikir dan dikira-kira. Ka-
lau kau tidak mau biarkan aku jalan sendiri!" ka-
ta Suro sewot.
"Ayolah, aku setuju-setuju saja!" sahut
Dewa Sinting. Ia mengambil buntalan besar beri-
kut kayu yang menyanggahnya. Tidak lama ia su-
dah mengikuti Pendekar Blo'on yang berjalan ti-
dak jauh di depannya.
Gedung megah yang mempunyai tiang pe-
nyanggah sebanyak dua puluh buah itu bagian
dalamnya memang indah. Pada bagian dinding-
nya berhiaskan intan permata gemerlapan. Si Pe-
rusak Raga yang lebih dikenal dengan julukan
Sang Maut bersama Setan Arak dan Iblis Pema-
bukan begitu sampai di dalam langsung tercen-
gang.
Iblis Pemabukan dan Setan Arak memun-
guti mutiara-mutiara yang melekat di dinding itu.
Namun barang-barang berharga tersebut tidak
lama dicampakkan oleh mereka kembali ketika
hidung mereka mengendus bau yang sangat khas,
bau arak wangi.
"Itu kesukaan kita, apakah kau mencium
baunya, Kakang?" bertanya Setan Arak dengan
mata belingsatan.
"Betul. Baunya dari ruangan ini! Mari kita
cari!" sahut Iblis Pemabukan.
Tanpa menghiraukan Si Perusak Raga yang
sibuk melakukan pemeriksaan. Setan Arak dan
Iblis Pemabukan menuju ke kamar sebelah. Den-
gan sekali dorong pintunya langsung terbuka. Me-
lihat kendi-kendi arak yang jumlahnya mencapai
puluhan, terbelalaklah mata kedua orang ini.
"Kita panen, kita panen! Sungguh berun-
tung sekali kita. Pemilik gedung ini ternyata suka
menyimpan minuman!" kata Setan Arak. Ia men-
gambil salah satu kendi, dengan serakah ia me-
neguknya.
Gluk! Gluk!
"Ha ha ha...! Enak! Ini arak paten yang be-
lum pernah kita jumpai seumur hidup!" Karena
penasaran Iblis Pemabukan. juga ikut-ikutan me-
neguk arak tersebut. Rasanya memang lain dari
pada yang lain, harumnya beda dari yang ada.
Jago-jago mabuk ini lama kelamaan mulai mera-
sakan kepalanya sakit mendenyut. Padahal yang
mereka minum baru satu kendi besar dan itu pun
berdua. Tidak terbayangkan betapa sangat keras-
nya arak itu. Dengan langkah terhuyung-huyung
kedua laki-laki bersaudara keluar dari kamar
dengan membawa masing-masing satu kendi
arak.
Maksudnya mereka hendak menawarkan-
nya pada Si Perusak Raga. Namun sekutu mereka
tidak ada di tempat itu. Akhirnya sambil duduk
ngjelepok di lantai marmar mereka menikmati
arak keras itu berdua saja. Sementara itu Si Pe-
rusak Raga telah sampai di sebuah ruangan lain.
Ruangan indah penuh kejutan. Di tengah ruan-
gan tersebut terdapat sebuah ranjang tertutup ke
lambu. Di atas ranjang terbaring seorang perem-
puan cantik berpakaian warna putih tipis me-
rangsang.
Perempuan ini kelihatannya seperti sedang
tidur, bibirnya menyunggingkan seulas senyum
yang menawan menggairahkan. Si Perusak Raga
menelan ludah. Tubuh padat wanita itu mem-
bayang di balik pakaiannya yang tipis tembus
pandang. Sepasang pahanya yang menjuntai,
buah dadanya yang menonjol bergerak-gerak
mendebarkan sesuai dengan tarikan nafasnya.
"Siapa dia? Sudah berapa lama berada di
sini! Andai saja aku memilikinya? Aku akan pa-
tuh dengan setiap perintahnya!" kata Si Perusak
Raga dalam hati. Cukup mengejutkan memang,
karena begitu laki-laki berpakaian hitam ini sele-
sai bicara dalam hati. Tiba-tiba wanita itu meng-
geliat dan matanya langsung terbuka. Sepasang
matanya yang indah itu memandang tajam pada
Si Perusak Raga. Orang gemetaran, bukan karena
dilanda ketakutan. Melainkan karena dilanda gai-
rah yang berkobar-kobar dan nyaris tidak terben-
dung.
"Betul apa yang kau katakan tadi?" ber-
tanya si wanita seakan menuntut.
Si Perusak Raga kaget. Ia merasa tidak dan
belum bicara apa-apa terkecuali apa yang baru
saja diucapkannya dalam hati.
"Aku tidak tahu apa maksudmu!" katanya
dengan suara bergetar.
Orang ini tersenyum, ia menyilangkan ka
kinya yang mulus seenaknya. Sehingga dua
pangkal pahanya terlihat dengan jelas.
"Bukankah kau mengatakan dalam hatimu
bahwa kau ingin memiliki aku dan setelah itu kau
bersedia menuruti perintahku! Hi hi hi...!" Laki-
laki itu telan ludah. Ia tidak mampu bicara, tapi
kepalanya mengangguk.
"Hmm, masih ada waktu!" gumamnya en-
tah ditujukan pada siapa. "Kau boleh memiliki
tubuhku sesuka hatimu. Setelah itu, kau harus
patuh pada perintahku sebagaimana Si Empat
Wajah!" ujarnya.
"Siapa Si Empat Wajah?" tanya Si Perusak
Raga.
"Dia pembantuku, kekasihku!" sahut si ga-
dis tanpa merasa bersalah.
"Lalu siapa kau ini?"
"Hi hi hi...! Aku pencipta gedung ini. Nah
sekarang kemarilah, kau harus mendekat padaku
jika ingin tahu betapa hangatnya pelukanku!" ka-
tanya. Kelambu disingkapkan oleh tangan-tangan
mungil si gadis. Senyumnya merekah mendebar-
kan. Si Perusak Raga tanpa ragu-ragu segera
mendatangi. Sampai di depan si gadis. Seperti
seekor singa jantan yang kelaparan ia langsung
memeluk dan menjatuhkan ciuman bertubi-tubi.
Gadis itu menyambutnya dengan hangat.
"Cuma sebatas inikah? Bukankah kau
menginginkan diriku seutuhnya! Nah tidak ingin-
kah kau melepaskan pakaianku ini?" desah si gadis sambil merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
Si Perusak Raga ragu-ragu, lalu ia berbisik. "Di
luar kamar ini ada sekutuku. Bagaimana jika me-
reka mengetahui perbuatan kita?" katanya berbi-
sik. Gadis itu tersenyum, senyum yang membuat
Si Perusak Raga menggelegak darahnya terbakar
birahi.
"Mengapa takut! Menurutku sekarang me-
reka sudah mabuk di ruangan depan. Mengang-
kat kepala pun mereka sudah tidak mampu. Bila
nanti mereka sadar, kawan-kawanmu itu sudah
patuh pada perintahku! Ayo...!" kata wanita mis-
terius itu sambil mengedipkan matanya. Jemari
tangan yang gemetaran itu pun melepaskan pa-
kaian tipis si gadis. Di balik pakaian itu ternyata
ia tidak mengenakan apa-apa lagi. Betapa ini me-
rupakan sebuah pemandangan yang indah. Gadis
itu benar-benar menggairahkan dan penuh se-
mangat berkobar-kobar.
Maka terjadilah hubungan terkutuk. Si ga-
dis melayaninya dengan penuh semangat. Si Pe-
rusak Raga mengerang-ngerang dalam kenikma-
tan yang belum pernah didapatkannya dari gadis
mana pun yang pernah diajaknya tidur bersama.
Sehingga di ujung pendakian itu Si Perusak Raga
merasakan ada sesuatu yang berubah dalam di-
rinya. Ia terkapar, tubuhnya lemah lunglai seakan
tidak bertenaga. Gadis itu tersenyum, ia bangkit
berdiri dan sekarang mengenakan pakaian ring-
kas warna hitam.
"Kenakanlah pakaianmu! Sekarang sudah
waktunya bagiku untuk membicarakan urusan
yang sebenarnya!" ujar gadis misterius berseman-
gat. Laki-laki itu tanpa membantah segera menu-
ruti apa yang diperintahkan padanya. Ia mengiku-
ti wanita yang telah memberinya kepuasan menu-
ju ke ruangan di mana Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan terkapar dalam keadaan mabuk.
"Inikah kawan-kawanmu?"
"Ya...!"
Gadis itu menuangkan cairan berwarna
putih dari dalam kendi ke wajah Setan Arak dan
Iblis Pemabukan. Keduanya tampak gelagapan
ketika mencium sesuatu yang keras menyengat.
"Eeh... eeh, apa ini! Lho kita berada di ma-
na adik Setan Arak?" tanya Iblis Pemabukan
terkesan bingung. Ketika itu ia sudah duduk dan
memandang pada si gadis dengan penuh rasa
takjub sekaligus terheran-heran.
"Kurasa kita berada di sorga. Lihat ada bi-
dadari cantik! He he he...! Kita sudah sampai di
sorga!" Setan Arak menjawab dengan ngawur.
"Kalian bukan di sorga, tapi dalam gedung
tempat kediamanku! Aku yang berkuasa di sini!"
"Kkk... kau siapa gadis cantik?" tanya Se-
tan Arak sambil menelan ludah.
"Siapa aku tidak perlu kalian tahu. Satu
hal yang harus kalian lakukan sesuai dengan pe-
rintahku. Kalian harus mencari perempuan yang
bernama Dara Nirmala! Perempuan itu harus ka-
lian bunuh! Selain itu kalian juga harus meng-
hancurkan gedung yang di sebelah barat itu. Te-
mukan laki-laki yang bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin. Orang itu harus kalian bunuh. Jika ka-
lian berhasil melakukannya. Maka kalian semua
di samping Si Empat Wajah berhak menjadi sua-
miku. Ketahuilah aku tidak pernah mengalami
ketuaan. Aku tetap awet muda selama ratusan
tahun. Nah kalian akan beruntung bila menda-
patkan aku. Siapa yang ingin minum arak, arak
telah kusediakan. Jadi kurang apa lagi?" Setan
Arak dan Iblis Pemabukan saling berpandangan.
Sebenarnya hati kecil mereka tidak setuju tapi en-
tah mengapa jalan pikiran mereka seperti sudah
tidak dapat mengendalikan mulut.
"Bagaimana?"
"Kami mau menerima asal engkau paling
tidak bersedia menyebutkan siapa kau!" tanya Se-
tan Arak.
"Hi hi hi...! Aku adalah Ratu Keindahan!"
kata si gadis seenaknya.
"Hmm, kalau begitu kau adalah orang yang
disebut-sebut oleh Si Penyair Gagu. Kalau begitu
aku bersedia membantu!" kata Iblis Pemabukan.
"Bagus! Hi hi hi...!" Gadis yang mengaku
sebagai Ratu Keindahan ini tertawa renyah. Gigi-
giginya yang putih tampak berkilauan. Namun
tawanya terhenti ketika terdengar suara ketukan
pada pintu depan. Si Perusak Raga bermaksud
membukakan pintu tersebut. Namun gadis itu
memberi isyarat agar tetap duduk di tempatnya.
Ia sendiri kemudian yang membuka pintu. Saat
pintu terbuka tampaklah sosok tubuh kurus tinggi. Tingginya kurang lebih satu setengah tombak.
Kepalanya besar dan memiliki empat wajah. Setan
Arak, Iblis Pemabukan dan Si Perusak Raga ter-
sentak kaget dan sempat timbul perasaan ngeri di
hati mereka.
Si Empat Wajah langsung masuk dan me-
mandang penuh rasa cemburu pada ketiga laki-
laki itu.
"Siapa mereka?" tanyanya dengan perasaan
tidak senang.
"Mereka adalah para sekutu kita yang siap
menghancurkan musuh-musuhku! Kau tidak per-
lu cemburu kekasihku. Jika kalian semua berha-
sil menghancurkan musuh-musuhku, kalian
akan menjadi suamiku!" kata si gadis.
"Apakah kau tidak yakin dengan kesak-
tianku?" tanya Si Empat Wajah tidak senang.
"Aku tentu saja merasa yakin. Tapi alang-
kah baiknya jika kita bersatu padu untuk mem-
peroleh suatu kemenangan?!"
"Aku tidak suka diduakan!" protes Trigada.
"Jangan takabur dan serakah. Orang yang
kita hadapi bukan manusia-manusia berkepan-
daian rendah. Mereka telah hidup selama ratusan
tahun. Dan kesaktiannya tidak dapat kulukiskan
dengan kata-kata!" tegas si gadis. Si Empat Wajah
terdiam. Walaupun begitu ia masih memandang
dengan rasa tidak senang pada Setan Arak, Iblis
Pemabukan dan Si Perusak Raga.
"Duduklah! Sekarang aku ingin menje-
laskan rencana yang harus kita lakukan!" ujar
Ratu Keindahan. Empat Wajah langsung duduk.
"Katakanlah, tanganku sudah gatal ingin
menghancurkan manusia-manusia yang telah
membuatmu sakit hati!" geram Trigada.
"Kurasa Dara Nirmala tinggal di gedung ini.
Cuma aku tidak tahu di ruangan yang mana. Aku
sudah lakukan pemeriksaan tapi tidak menemu-
kannya. Jadi mula-mula yang harus kita lakukan
adalah menghancurkan gedung miring yang bera-
da di sebelah barat itu. Aku yakin di antara mere-
ka sudah terikat suatu perjanjian untuk tidak sal-
ing mengganggu. Jika gedung hancur pasti ma-
nusia yang bernama Lu Jingga bergelar Datuk
Tinggi Raja Di Angin keluar dari tempat persem-
bunyiannya!"
"Setelah itu bagaimana?" tanya Si Empat
Wajah.
"Setelah itu, tentu Datuk Tinggi akan me-
labrak ke sini karena mengira Dara Nirmala telah
melanggar perjanjian!"
"Bagaimana kau tahu mereka telah saling
berjanji membuat peraturan ini?" tanya Si Peru-
sak Raga.
"Aku mendengar dan mengetahui isi hati
orang! Hi hi hi...!" ketus suara si gadis. Ia kemu-
dian tertawa tergelak-gelak.
6
"Ratu Keindahan, dapatkah kau ceritakan
sedikit mengenai sebab musabab mengapa kau
menanam benih permusuhan pada kedua orang
itu?" tanya Si Perusak Raga. Wajah cantik meng-
giurkan itu tampak berubah memerah. Ada ama-
rah yang berusaha dipendamnya.
"Hei kau, mengapa kau tanyakan hal-hal
yang membuatnya menjadi berduka? Kekasihku,
apakah orang seperti dia pantas menjadi salah
seorang dari suamimu?" protes Si Empat Wajah.
Ia tampak kurang senang sekali melihat Si Peru-
sak Raga, jika di situ tidak hadir orang yang san-
gat dicintainya. Tentu Si Perusak Raga sudah di-
bunuh oleh Trigada.
"Bersabarlah, sebagai orang yang berseku-
tu kita tidak boleh saling serang sesamanya sen-
diri. Dia tidak mengetahui persoalan yang sebe-
narnya. Kurasa tidak salah jika ia bertanya, tapi
untuk kau ketahui wahai Perusak Raga. Saat ini
aku tidak dapat menjawab pertanyaanmu. Nanti
saja jika urusan dengan musuh-musuh telah se-
lesai. Aku akan menceritakan mengapa aku me-
nyimpan dendam setinggi langit pada kedua
orang itu!" tegas si gadis.
Ia terdiam, pikirannya kini menerawang
pada kejadian beberapa pekan yang lalu. Dalam
pengembaraannya setelah meninggalkan Lembah
Silau Dunia. Bertahun-tahun ia mencari orang-
orang yang sangat dibencinya. Hingga sampailah
ia di daerah yang bernama Seribu Teka Teki. Di
sini ia bertemu dengan manusia setengah mak-
hluk mengerikan bertubuh kurus tinggi berkepala
besar. Orang itu memiliki empat wajah, empat
mulut dan delapan mata. Waktu itu Si Empat Wa-
jah seperti binatang buas yang sedang mencabik-
cabik mangsanya. Orang yang menjadi santapan
sosok mengerikan ini tidak lain adalah anak-anak
berumur belasan tahun. Mereka anak-anak gadis
remaja yang malang.
Melihat kehadiran gadis cantik berambut
panjang ini. Si Empat Wajah langsung terpesona
dan jatuh hati. Ia tergila-gila pada pandangan
pertama. Namun si gadis mengajukan tiga syarat.
Syarat pertama Si Empat Wajah harus menghen-
tikan kebiasaannya dari memakan daging sesa-
manya. Sedangkan syarat kedua, ia harus dapat
mengalahkan gadis cantik itu atau paling tidak
seimbang. Sedangkan syarat ketiga ia harus
membantunya mencari dan membunuh musuh
besarnya.
Si Empat Wajah langsung menyanggupi. Ia
bersedia meninggalkan kebiasaan lamanya. Sete-
lah itu ia pun bertarung dengan gadis yang san-
gat dicintainya. Ternyata setelah terlibat pertem-
puran tidak kurang dari tiga hari, tidak ada yang
kalah dan tidak ada yang menang. Sementara itu
kabar mengenai munculnya Penyair Gagu terden-
gar pula oleh si gadis. Sehingga setelah mening-
galkan pesan untuk Si Empat Wajah agar menyu-
sulnya. Gadis itu berangkat ke Imogiri. Ia men-
jumpai banyak syair di sembarang tempat. Salah
satu syair itu dipecahkan rahasianya. Ia pun tahu
bahwa apa yang dimaksud dalam syair tersebut
tidak lain adalah tentang seseorang yang mem-
persoalkan hawa nafsu dan akal. Orang yang se-
lalu dilanda kegelisahan akan datangnya kema-
tian. Sehingga ia tidak menghiraukan tentang se-
gala sesuatu yang bersifat keduniawian. Tidak sa-
lah lagi inilah orang yang dicarinya selama berta-
hun-tahun.
"Mereka manusia-manusia munafik! Ka-
tanya tidak peduli dengan segala macam cinta, ti-
dak tahunya bunting malah!" geram si gadis. Ia
pun pergi ke Bukit Keangkuhan. Bibirnya me-
nyunggingkan senyum di kala melihat dua ban-
gunan megah yang ia tahu bagaimana cara mem-
buatnya. Ia pun masuk ke dalam gedung itu ber-
kat kesaktian yang dimiliki. Lalu beberapa hari
kemudian setelah ia mengatur siasat, muncullah
Si Perusak Raga, Setan Arak dan Iblis Pemabu-
kan. Apa yang dilakukannya tidak berlangsung
mulus. Karena gedung itu dijaga oleh para Jin.
Namun berkat kesaktiannya yang sungguh luar
biasa, ia mampu melumpuhkan penjaga-penjaga
dan membelenggunya dengan rantai Kebinasaan.
"Kalau Ratu Keindahan sudah bicara begi-
tu, aku tidak ingin mendesak!" kata Si Perusak
Raga. "Beritahukan apa yang harus kami kerja-
kan?"
"Nanti selepas senja kalian harus meng-
hancurkan gedung yang di sebelah barat. Temu-
kan manusia yang bernama Lu Jingga dan seret
ke sini!" tegas si gadis. "Aku sendiri akan mencari
orang yang selama ini telah membuatku menderi-
ta lahir batin! Ia pasti masih berada di dalam ge-
dung ini! Ia tidak bisa menghindariku meskipun
bersembunyi di lubang semut!"
Empat sekutu gadis berpakaian ringkas itu
telah sama setuju. Mereka kini hanya tinggal me-
nunggu datangnya waktu yang telah ditetapkan.
* * *
"Ha ha ha...! Pemuda tolol, aku telah men-
dapatkannya! Rupanya di sini. Lihatlah...!" teriak
Dewa Sinting sambil berjingkrak-jingkrak dan ta-
rik celananya yang selalu melorot kedodoran. Su-
ro terdiam, memandang pada Dewa Sinting den-
gan kening berkerut-kerut.
"Apa yang telah kau dapatkan, kakek sint-
ing. Kegiranganmu seperti anak kecil. Kau terta-
wa-tawa seperti orang gila?! Tidak sadarkah kau
kita berada di mana?" tegur Suro. Rupanya Pen-
dekar Mandau Jantan ini merasa khawatir kalau-
kalau suara tawa Dewa Sinting didengar oleh
orang lain.
"Lihatlah ke sini!" sahut Dewa Sinting ma-
sih dengan suara keras.
"Diamlah, nanti mulutmu ku jahit dengan
jarumku yang tumpul!" dengus Suro dengan mu-
lut terpencong.
"Kau hendak menjahit mulutku dengan ja-
rum yang ada lubangnya! Kau benar-benar pemuda edan yang tidak tahu peradatan!" maki De-
wa Sinting, suaranya lirih seperti burung emprit
kedinginan. Sama sekali murid si ugal-ugalan
Penghulu Siluman Kera Putih ini tidak menyahu-
ti. Ia mendekati Dewa Sinting. Setelah melihat ke
depan ternyata ada sebuah lubang besar tertutup
batu. Di atas batu tersebut bertuliskan beberapa
bait kata seperti ini....
Jalan ke liang kubur
Di Alam sunyi tiada berteman
Derita sesal tiada berkesudahan
Hidup di dunia dalam waktu lama
Hanya sia-sia, hanya sia-sia
Penantian yang panjang tiada berkesuda-
han
Di atas bumi manusia menghamburkan ta-
wa
Di perut bumi manusia menghamburkan
tangis
Penyesalan, penyesalan....
Tangisku adalah penyesalan
Lalu lidahku kelu dalam tangis
Di sini, di liang kubur ini
Air mata kering
Lidahku kaku dalam tangis
Mulutku gagu, hanya hati yang bisa ber-
kata....
Di atas sana ada dua keangkuhan menya-
lahi kodrat
Hidup beratus-ratus tahun
Dan mereka masih manusia juga
Suro golang-golengkan kepala. Dewa Sint-
ing memandang padanya dengan mata berkedap-
kedip.
"Bagaimana menurutmu syair ini? Apakah
ada orang mati di dalam sana?" tanya si kakek.
"Kau ini orang tua, rambutmu sudah uba-
nan, kulitmu keriput dan tulang belulangmu su-
dah rapuh. Mana ada orang mati bisa menulis?
Aku yakin penyair gagu bersembunyi di dalam,
atau mungkin ini memang tempat tinggalnya.
Syair ini sedih, mengingatkan aku akan mati. Ku-
rasa dulunya ia bisa bicara, karena banyak me-
nangis ia jadi gagu. Tapi apa yang membuatnya
sedih?" kata Pendekar Blo'on.
"Gadis itu cantik sekali, gadis secantik itu
rasanya tidak tega aku melihatnya bersedih. Ka-
lau saja ia menjadi seorang isteri siapa pun, jan-
gan dikuburin kalau masih ada nafasnya!"
Plok!
Suro terhuyung-huyung. "Ehh, apa kau
sudah gila? Mengapa kau menamparku?!" protes
Suro.
"Kau ini semakin gila. Pengemis sekalipun
mana tega menguburkan bininya selama masih
bernafas. Sudahlah, ayo kita geser batu ini!" pe-
rintah Dewa Sinting.
Buuk!
"Kurang ajar!" maki Dewa Sinting sambil
berusaha bangun. Rupanya Suro telah menendang pantatnya sebagai balasan tamparan tadi.
Ini sudah menjadi kebiasaan pemuda ini. Ia selalu
membalas perlakuan orang bila ia merasa tidak
bersalah. Tidak peduli siapa orangnya. Si kakek
sewot hendak membalas lagi. Tapi Pendekar
Blo'on angkat tangannya.
"Eiit... sekarang kedudukan satu-satu. Ka-
lau kau menyerangku, aku bersumpah akan me-
nempurmu sampai salah seorang di antara kita
ada yang mampus!" ancam si konyol. Dewa Sint-
ing terdiam, ia tarik celananya. Tanpa bicara ia
segera menggeser batu tersebut. Tapi sampai
ngeden (setengah mati) ia berusaha menggeser
batu tersebut sedikit pun batu tidak bergeming.
Setiap Dewa Sinting berusaha menggeser batu
disertai pengerahan tenaga dalam, Suro termo-
nyong-monyong meledek.
"Kau ini manusia angkuh. Sampai keluar
taik ijo dari punggungmu, batu itu tidak mungkin
dapat bergerak. Sini biar kubantu!" kata Suro
Blondo merasa tidak tega.
"Pemuda gila, mengapa tidak dari tadi!"
maki Dewa Sinting.
Pendekar Mandau Jantan hanya menyerin-
gai. Lalu ia segera membantu si kakek mendorong
batu tersebut. Begitu beratnya batu tersebut
sampai mata mereka melotot seperti orang yang
saling menantang. Barulah setelah Pendekar
Blo'on mengerahkan setengah dari tenaga dalam
yang dimilikinya batu tersebut dapat tergeser.
"Ayo masuk, tunggu apa lagi!"
"Jangan sembarangan! Biar aku yang di
depan!" hardik Dewa Sinting yang menyangka da-
lam lorong itu terdapat jebakan yang mungkin sa-
ja dibuat oleh penghuninya.
Suro mengikuti Dewa Sinting tidak jauh di
belakangnya. Lorong ini termasuk panjang juga.
Sampai-sampai Dewa Sinting beranggapan pasti-
lah jalan rahasia itu berhubungan dengan gedung
megah yang terdapat di atas bukit. Jika benar,
berarti hanya orang yang memiliki kesaktian ting-
gi saja yang dapat membuatnya. Lalu siapa?
"Awas!" Suro berteriak memberi peringatan.
Ia menyambar bahu Dewa Sinting hingga dua-
duanya rebah. Enam buah senjata rahasia ber-
bentuk anak panah mendesing di atas kepala me-
reka. "Kau di depan, tapi melamun! Untung aku
tadi sempat melihat, kalau tidak tubuhmu sudah
ditembus anak-anak panah itu!" gerutu Suro lalu
bangkit berdiri.
"Tapi ternyata aku tidak mati, bukan?" De-
wa Sinting menyeringai, wajahnya sempat pucat
juga.
"Biar aku yang di depan! Kau kurang was-
pada!"
"Bagus! Kalau ada apa-apa kau mampus
duluan!" ejek si kakek. Dan Dewa Sinting tidak
berusaha menghalanginya di saat Suro lewat di
sampingnya.
Tanpa bicara sepatah kata pun mereka me-
lanjutkan langkahnya. Mereka ternyata masih
terhalang jebakan-jebakan lain, hingga membuat
baik Suro maupun Dewa Sinting harus berhati-
hati. Ternyata lorong rahasia tersebut berliku-
liku. Hingga akhirnya mereka menemukan se-
buah pintu. Pada pintu terdapat tulisan berupa
syair.
Selamat datang di gerbang nestapa
Di sini kubur abadi dari orang, yang telah
membuatku terlahir di dunia pana.
Ia berdiri dalam prinsip abadi.
Dalam satu harap, Surga....
Nestapaku, nestapa bumi
Hidupku, air, udara, api dan tanah
Sekarang aku berada dalam perutnya
Merintih dari hari ke hari
Dari orang yang kurindu namun tidak dapat
kusentuh
Kupandangi dia selalu dalam tidur
panjang abadi
Aku tinggal sendiri....
Menghirup udara dunia di antara
makhluk-makhluk yang angkuh menyombongkan
diri.
Aku tidak tahan, hingga kutuliskan kata ha-
ti
Akhirnya orang-orang sakti datang kemari
Bersekutu lupa diri....
Suro garuk-garuk rambutnya. Dewa Sint-
ing memperhatikan tulisan-tulisan itu lebih de-
kat. Kemudian ia mendorong pintu yang terbuat
dari lempengan batu. Pintu tidak bergeming.
"Kita telah mendatangi kuburan, kakek
sinting. Sebaiknya kita kembali saja!" celetuk
Pendekar Blo'on dengan perasaan resah.
"Tolol kowe. Coba kau renungi kalimat de-
mi kalimat itu. Di balik pintu ini pasti ada orang
hidup yang menunggui orang mati! Ayo bantu
aku!" perintah Dewa Sinting. Suro akhirnya ter-
paksa menurut. Didorongnya pintu lempengan
batu itu bersama-sama. Sayang sedikit pun tidak
bergerak, padahal baik Suro maupun Dewa Sint-
ing sudah mengerahkan seluruh tenaga dalam
yang dimilikinya.
"Kalau begini caranya, sampai mencret pun
kita tidak bakal dapat masuk ke dalam." dengus
Pendekar Blo'on sinis.
"Sebaiknya aku lepaskan pukulan dulu!"
usul Dewa Sinting.
"Hei jangan, apa kau mau kita terkubur hi-
dup-hidup di sini? Sebaiknya aku hantam pintu
ini dengan senjataku!" ujar Suro.
Lalu pemuda berambut hitam kemerahan
cabut senjatanya. Dewa Sinting terkesiap ketika
melihat senjata Suro yang sangat aneh bentuknya
dan memancarkan sinar hitam tersebut.
"Mandau?!" desisnya. "Aku jarang sekali
melihat senjata aneh seperti yang dimiliki oleh
pemuda konyol ini!" Perlahan Suro mengerahkan
tenaga dalam ke bagian hulu Mandau yang ber-
bentuk seorang pertapa berkepala gundul ini. Si-
nar hitam berkelebat, terdengar suara ringkik su-
ara tangis dan suara tawa yang tidak ada putus
putusnya dan silih berganti.
Byaar!
Pintu batu hancur berkeping-keping.
Dewa Sinting berdecak kagum. Lalu terdengar se-
ruan penuh pujian.
"Senjata aneh, bisa meringkik, bisa menan-
gis bisa tertawa! Sungguh kau pemuda sinting
dengan senjata yang penuh kegilaan pula! Coba
lihat dulu!" pinta si kakek. Suro menggelengkan
kepala.
"Dalam suasana seperti ini masihkah
kau bertingkah seperti anak kecil? Bukankah le-
bih baik jika kita masuk ke dalam?!" hardik cucu
Malaikat Berambut Api.
"Tapi...?"
Si pemuda ajaib yang terlahir pada malam
satu Asyuro ini sama sekali tidak menanggapi,
untuk lebih jelasnya (Dalam episode Neraka Gu-
nung Bromo), ia segera masuk ke dalam melalui
pintu yang berantakan. Sesampainya di dalam
Suro tercengang, matanya melotot.
"Dewa Sinting! Lihat kemari?!" panggil si
pemuda dengan suara pelan hampir tidak terden-
gar. Tergesa-gesa Dewa Sinting datang menghampiri.
7
Dewa Sinting memperhatikan dengan sek-
sama. Di tengah-tengah ruangan terdapat sosok
tubuh berpakaian putih terbujur di atas batu
marmar hitam. Wanita itu berwajah cantik, ada
senyum menghias di bibirnya yang mungil. Di
atas batu marmar lain berwarna putih, kelihatan
seorang gadis cantik berbaju hijau duduk berlutut
menghadap ke arah wanita yang terbaring. Yang
mengejutkan wajah keduanya, antara wanita yang
terbaring dengan gadis baju hijau sangat mirip
satu sama lain. Mereka tidak bedanya seperti pi-
nang dibelah dua.
"Siapa orang yang ditunggui oleh gadis
itu?" bertanya Suro Blondo dengan suara berbi-
sik.
"Kurasa itu kakaknya atau adiknya?" sahut
Dewa Sinting.
"Kita sudah masuk tanpa diundang, kita
telah hancurkan pintu. Apakah pantas kita men-
gusiknya?"
"Kalau dia memang penyair itu. Sekaran-
glah waktunya bagi kita untuk menanyakan sega-
la sesuatu yang tidak kita ketahui!" tegas Dewa
Sinting. Suro angguk-anggukan kepala. Ia berge-
rak mendekati gadis baju hijau. Belum sempat ia
mengucapkan sepatah kata dan ketika tangannya
hendak menyentuh bahu si gadis. Sinar merah
menyambar ke arah lengan Pendekar Blo'on. Begi-
tu cepatnya sinar yang berasal dari wanita terbu-
jur itu menyambar, sehingga Suro tidak sempat
selamatkan tangannya.
Zzzzts!
"Akh...!"
Suro menjerit sambil pegangi lengannya
yang melepuh. Jeritannya telah mengejutkan ga-
dis baju hijau, hingga serentak ia menoleh dan
memandang dengan penuh rasa kaget pada kedua
laki-laki ini. Ia menggerak-gerakkan tangannya.
Tapi Suro tidak mengerti apa arti isyarat tangan
tersebut. Hanya Dewa Sinting yang memperhati-
kan gerakan tangan si gadis, ia bicara pada Pen-
dekar Blo'on.
"Katanya, kita tidak boleh mendekat, kita
tidak boleh mengganggu!" jelas si kakek. Ia mem-
perhatikan bahasa isyarat si gadis. Lalu Dewa
Sinting menterjemahkan isyarat itu. "Yang terbar-
ing itu adalah ibunya. Meninggal dua tahun yang
lalu. Ia Ratu Keindahan, orang yang mendirikan
gedung megah di atas!" Dewa Sinting memperha-
tikan gerak tangan si gadis. "Dia mengakui di-
rinya penyair. Ia tidak bisa bicara! Katanya, kalau
kita orang baik-baik, ia minta tolong pada kita
untuk mengusir musuh-musuh ibunya dari da-
lam gedung. Tempat ini suci, ia minta bantuan ki-
ta sedapat apa yang kita lakukan!"
"Kakek Sinting, coba tanyakan siapa mu-
suh ibunya?" seru Suro.
Si kakek menggerak-gerakkan tangannya
yang dijawab oleh si gadis dengan gerakan tangan
pula.
"Musuh ibunya adalah adiknya sendiri,
namanya Dara Alindi! Sekarang orang itu sedang
mencari-cari ibunya. Katanya bukan hanya Dara
Nirmala saja yang ia musuhi, tapi juga termasuk
laki-laki yang bernama Lu Jingga. Dia tokoh sakti
pendiri gedung miring yang terletak di sebelah ba-
rat!" jelas si kakek sesuai isyarat dan gerakan
tangan gadis baju hijau.
"Coba tanya apa yang membuat mereka
bermusuhan?"
Sesuai dengan keinginan Suro, maka Dewa
Sinting menanyakan perihal yang sebenarnya.
"Oh, sudahlah. Masalahnya menyangkut
persoalan cinta, cinta yang tidak terbalas. Lu
Jingga mencintai ibunya, ibu gadis ini tidak cinta
karena selalu bingung memikirkan kematiannya.
Lalu adik ibu gadis ini mencintai pemuda itu. Ta-
pi pemuda itu sama sekali tidak menanggapinya.
Ia pun mengatakan bahwa usia ibunya sudah ra-
tusan tahun!" jelas si kakek mengartikan gera-
kan-gerakan tangan gadis baju hijau. Suro go-
lang-golengkan kepala dan nyaris tidak dapat
menahan tawa.
"Dewa Sinting aku hampir tidak percaya,
jika tidak menyaksikannya sendiri. Wanita yang
terbaring di atas marmar hitam itu sangat muda.
Bahkan semula aku menyangka ia kembarannya
gadis ini. Jika gadis ini mengaku ibunya orang
suci, mengapa ia sampai punya anak?" tanya Su-
ro dengan perasaan aneh.
"Suro, dia orang yang sangat sakti. Hidup-
nya tidak wajar karena kesaktiannya itu. Bahkan
gedung di atas sana menurut gadis ini diciptakan
dalam waktu satu malam. Yang membangunnya
adalah para Jin! Jika orang sudah dapat meme-
rintah Jin, kesaktiannya sudah setara dengan pa-
ra Dewa. Gadis ini terlahir karena mimpi orang
tuanya yang telah melakukan hubungan suami
isteri dengan pemuda yang bernama Lu Jingga.
Banyak kejadian aneh di dunia ini yang sulit di-
jangkau akal dan susah diterima pikiran. Tapi ini
adalah kenyataan." jelas Dewa Sinting.
Pendekar Blo'on jadi merasa bodoh sambil
garuk-garuk kepala dalam kebimbangan. Semen-
tara gadis baju hijau yang bernama Andini mulai
bicara lagi dengan isyarat-isyaratnya.
"Katanya ia malu untuk menceritakan se-
mua kejadian di sini. Ia sendiri sejak terlahir ti-
dak pernah disentuh oleh ibunya. Yang mengu-
rusnya adalah para Jin. Ia tidak pernah tersentuh
kasih sayang. Ia bertanya apakah dirinya anak
jadah?"
"Katakan saja ia gadis baik-baik dan tidak
perlu menyesali diri. Semua orang yang terlahir di
dunia punya guna, paling tidak untuk dirinya
sendiri!" kata Suro Blondo. Dewa Sinting me-
nyampaikan apa yang dikatakan oleh Suro pada
Andini.
"Coba tanyakan mengapa dia menulis
syair-syair di setiap tempat yang dilaluinya?" De-
wa Sinting menggerak-gerakkan jarinya.
"Katanya itu dilakukannya sebagai pelam-
piasan hatinya yang sepi. Karena ia tidak tahu
apa yang harus diperbuat, di samping ia ingin tahu siapa bibinya yang sangat membenci ibunya
itu!"
"Kakek sinting sebaiknya kita ajak dia ke-
luar dari sini!" saran si konyol. Rupanya Andini
melihat gerak bibir Suro, dan dengan cepat ia
menggelengkan kepala.
"Ternyata ia tidak mau. Mungkin karena
melihat tampangmu yang bodoh, sehingga ia ta-
kut ketularan!" kali ini Dewa Sinting bicara diser-
tai suara tawa bergelak.
"Kurang ajar! Katakan padanya apakah ia
akan menunggui mayat ibunya sampai gedung di
atas sana dihancurkan oleh musuh-musuh
ibunya?" Dewa Sinting yang ternyata sangat me-
mahami bahasa isyarat itu menggerak-gerakkan
tangannya. Andini melirik pada Suro, lirikan seki-
las tapi cukup membuat jantung pemuda seten-
gah mata keranjang ini berdebar keras.
"Tidak! Ia menjawab tidak, nanti juga ia
akan keluar bila ibunya telah memberi izin!" Suro
garuk-garuk kepala. Ia mendelik pada Dewa Sint-
ing menyangka kakek itu sengaja mempermain-
kan dirinya.
"Dewa Sinting, jangan kau kelabui aku ka-
rena tidak tahu bahasa isyaratnya. Mana mung-
kin orang yang sudah mati dapat bicara dan
memberi izin. Kalau otakmu sudah tidak betul
pasti jalan pikiranmu sesuai dengan julukanmu!
Hay bicaralah yang betul. Waktu kita sudah san-
gat sempit sekali!"
"Aku bicara sesuai apa yang dikatakannya.
Kalau kau tidak percaya tanyalah sendiri, hayo
tanya?" kata Dewa Sinting sambil bersungut-
sungut.
"Kau jangan ngeledek. Kau tahu aku tidak
bisa memahami bahasanya. Sekarang aku per-
caya. Kurasa orang sakti mati banyak punya ke-
lebihan. Terbukti tadi aku hampir hangus dihajar
sinar yang keluar dari ujung kaki jenazah ibu An-
dini. Sudahlah, sekarang kita keluar dari sini!"
Pendekar Blo'on berbalik langkah hendak
menuju tempat semula. Tapi di belakangnya ter-
dengar suara....
"Bbb... buu... babu... auuu...!" Ternyata
yang barusan bicara adalah Andini. Suro terpaksa
menahan tawa agar tidak membuat gadis itu jadi
tersinggung. Dua-duanya berbalik.
"Kakek sinting dia menyebut-nyebut babu?
Apa maksudnya?"
"Babu mbahmu! Ia mengatakan agar aku
tinggal di sini menghadapi segala kemungkinan
yang tidak disangka-sangka!" jelas si kakek.
"Ha ha ha...! Ternyata tua bangka seperti-
mu masih laku juga. Dia tidak sudi pada pemuda
sepertiku yang masih perjaka ting-ting dan tong-
tong! Seleranya selera kelapa, Dewa Sinting. Be-
tapa kau manusia beruntung. Aku khawatir me-
nemani gadis secantik dia celanamu melorot te-
rus. Nah... lihat, celanamu bergerak-gerak,
mungkin ularnya sudah bangun kakek sinting!"
ejek Suro. Suaranya lirih hingga si gagu tidak dapat mendengarnya.
"Bocah edan! Otakmu selalu dipenuhi den-
gan pikiran-pikiran kotor. Aku tidak segila apa
yang kau bayangkan!" maki Dewa Sinting kesal.
"Kalau pun kau menjadi orang gila siapa
yang mau peduli! Ha ha ha...!" Suro menimpali
disertai tawa tergelak-gelak. Pemuda itu mening-
galkan Dewa Sinting. Si kakek tidak henti-
hentinya menggerutu sambil menaikkan cela-
nanya yang selalu melorot turun.
Seperginya Pendekar Blo'on, Andini menga-
jak Dewa Sinting untuk memasuki lorong lain.
Tapi di belakangnya tiba-tiba saja terdengar suara
memanggil.
"Tunggu dulu, dengar apa yang ingin kuka-
takan padamu Dewa Sinting!" Si kakek kaget se-
tengah mati dan keluarkan keringat dingin di se-
kujur tubuhnya. Apabila ia melihat ke arah semu-
la ternyata tidak ada siapa-siapa di situ terkecuali
mayat ibu si Penyair Gagu. Jadi siapa yang baru-
san tadi? Ia memandangi Andini, gadis itu mem-
beri isyarat dengan gerakan-gerakan tangannya.
"Hmm, jadi yang bicara barusan adalah roh
ibu Andini? Apa yang ingin dikatakannya?" batin
Dewa Sinting. Andini mendekati di mana jenazah
terbaring. Lalu suara gaib kembali terdengar den-
gan jelas seakan datang dari setiap penjuru ruan-
gan.
"Dewa Sinting! Andini adalah putriku yang
terlahir karena hubungan dengan seorang laki-
laki dalam mimpi. Di atas orang-orang sakti di
atas bumi ini, kamilah orangnya. Ucapan dan kata hati kami lebih tajam dari seribu mata pedang.
Manusia dikarunia akal dan nafsu, sepuluh akal
sepuluh nafsu. Itu hampir dapat kukalahkan jika
saja Lu Jingga alias Datuk Tinggi Raja Di Angin
tidak menggodaku. Aku tidak pernah berbuat nis-
ta, karena mimpi itulah Andini terlahir ke dunia
ini. Kejadian ini memang sulitnya diterima akal
waras manusia. Namun perlu kiranya kau keta-
hui, alam nyata dan alam gaib bagi kami hampir
tidak mempunyai dinding. Apa yang aku miliki di
atas manusia umum. Semuanya berlangsung an-
tara nyata dan gaib. Sekarang orang yang sangat
membenciku telah berada di gedung ini, dialah
Dara Alindi. Ia masih terhitung adik kandungku
sendiri. Ia mendendam karena menyangka aku
orang yang ingkar dan merebut orang yang dicin-
tainya, yaitu Lu Jingga. Ia sangat sakti, kesak-
tiannya hampir sama dengan kesaktian yang ku-
miliki. Artinya anakku yang selama ini berada da-
lam didikan para Jin yang berada di bawah perin-
tahku tidak mungkin mampu mengatasinya. Kau
tidak perlu heran, karena aku akan merasuk da-
lam jiwa anakku untuk melindunginya sekaligus
menghadapi segala kemungkinan yang terjadi!"
kata suara gaib tersebut.
"Lalu bagaimana dengan jasadmu?" tanya
Dewa Sinting.
"Jasadku tidak membutuhkan perlindun-
gan. Ia tidak akan hancur! Aku telah berada di
alam gaib. Iringi anakku, karena aku akan mengiringi kalian. Kau tidak perlu berhadapan dengan
Dara Alindi, karena dia bukan tandinganmu. Dia
lawanku dan lawan Lu Jingga. Aku tidak ingin ia
merusak gedung di sebelah barat itu. Karena aku
khawatir Datuk Tinggi Raja Di Angin menyangka
aku yang melakukannya. Padahal kami sudah te-
rikat perjanjian untuk tidak saling mengganggu.
Dia telah bertobat untuk menjauhi segala sesuatu
yang bersifat keduniawian!"
"Baiklah, aku sanggupi permintaanmu. Se-
karang apa yang harus kulakukan?" tanya si ka-
kek.
"Berjalanlah kau, naiki anak tangga itu.
Karena dengan demikian kalian akan sampai ke
ruangan utama gedung ini. Mungkin di sana kau
akan bertemu dengan Dara Alindi, umurnya su-
dah ratusan tahun, namun ia tetap awet muda
seperti jenazah yang kau lihat!"
"Baiklah, aku merasa senang karena eng-
kau mengawal kami, Ratu Keindahan!" ujar Dewa
Sinting. Si kakek memberi isyarat pada Andini
alias Si Penyair Gagu untuk mengikutinya. Si ga-
dis menurut disertai dengan anggukan kepala.
* * *
Apabila hari menjelang senja terbukalah
pintu gedung megah yang terdapat di atas bukit
sebelah timur itu. Keluar dari dalamnya Si Empat
Wajah, Setan Arak, Iblis Pemabukan dan Si Peru-
sak Raga. Mereka dengan dipimpin oleh Si Empat
Wajah langsung bergerak ke gedung yang terdapat di sebelah barat. Sesampainya di depan ge-
dung Si Empat Wajah langsung berteriak-teriak.
"Datuk Tinggi Raja Di Angin, keluarlah!
Apakah kau sekarang ingin menjadi manusia
munafik yang sangat pengecut?!"
Tidak terdengar suara sahutan apa-apa,
gema suara Si Empat Wajah lenyap ditelan lem-
bah. Menunggu bagi orang ini lama kelamaan
hanya menimbulkan kegeraman saja. Sehingga
untuk kedua kalinya Si Empat Wajah berteriak
lagi.
"Hmm, kiranya kau lebih memilih aku
menghancurkan gedung ciptaanmu ini Lu Jing-
ga!" desis sosok berbadan kurus berkepala besar
tersebut. "Hancurkan gedung dengan pukulan-
pukulan sakti!" perintahnya pada Setan Arak, Ib-
lis Pemabukan dan Si Perusak Raga.
Maka tanpa membuang-buang waktu lagi,
orang-orang ini segera melepaskan pukulan-
pukulan dahsyat ke arah gedung. Terdengar sua-
ra gelegar bagai petir di, sana sini. Namun pada
waktu itu dari dalam gedung terdengar suara ber-
gemuruh seperti air bah. Dari pintu dan jendela
yang tertutup bermunculan para Jin penjaga yang
melindungi bangunan. Terkecuali Si Empat Wa-
jah, orang lainnya langsung bersurut mundur dua
langkah. Makhluk-makhluk alam gaib tersebut
bertubuh tinggi bukan main. Wajah mereka ang-
ker, beberapa di antaranya ada yang memakai
anting di hidung atau di sebelah telinga. Jemari
tangan mereka lebih besar dari pisang ambon.
"Siapa kalian? Mengapa bikin keonaran di
sini?" bertanya salah satu dari Empat Jin penja-
ga. Si Empat Wajah melangkah maju tidak diikuti
oleh tiga sekutunya.
"Kau bertanya siapa kami! Akulah orang-
nya yang akan menghancurkan gedung milik
tuanmu, dan memenggal kepalanya apabila dia
muncul di sini!" sahut Si Empat Wajah.
"Kau setengah manusia setengah iblis!
Dengan apa kau akan menghancurkan kami?"
"Ha ha ha...! Mungkin di antara sekian ba-
nyak manusia, hanya aku yang mengetahui kele-
mahan makhluk seperti kalian! Aku hancurkan
para Jin dengan pukulan 'Banas Pati'!" kata Si
Empat Wajah. Mendengar ucapan lawannya, Em-
pat Jin itu langsung bersurut mundur dengan wa-
jah pucat seperti kehilangan cahaya.
"Bagaimana kau dapat mengetahui kele-
mahan kami?!" bertanya Jin yang sosoknya agak
lebih pendek.
"Ha ha ha...! Bertanya jawab bukanlah ke-
mauan Si Empat Wajah, sekarang terimalah kebi-
nasaan kalian!" teriak Si Empat Wajah. Lalu se-
raya putar-putar tangannya di atas kepala. Se-
hingga angin kencang panas luar biasa menderu-
deru. Hanya dalam waktu sekejap kedua tangan
Si Empat Wajah telah berubah merah laksana ba-
ra. Ketiga kawannya tercengang melihat kesaktian
yang dimiliki oleh sekutunya. Empat Jin tidak
tinggal diam, sebelum lawan benar-benar mele-
paskan pukulan Banas Pati yang sangat dahsyat
itu. Serentak mereka melakukan serangan dari
empat penjuru arah sekaligus.
8
Begitu mereka menghembuskan nafas dari
mulutnya, maka menghamburlah lidah api dari
masing-masing mulut itu. Api yang panas mem-
bakar itu menghantam ke arah Si Empat Wajah,
namun Trigada juga bertindak cepat, empat mu-
lutnya menyemburkan udara yang kemudian berubah menjadi air yang sangat dingin. Api yang
keluar dari mulut empat Jin itu segera padam.
Empat Jin penjaga gedung serentak bersurut
mundur sambil keluarkan seruan kaget. Lalu Si
Empat Wajah hentakkan kedua tangannya ke
empat penjuru arah. Empat larik sinar, biru kuning merah dan hitam menggebu-gebu meluruk de-
ras ke arah empat Jin penjaga. Tetapi para Jin ti-
dak bodoh, mereka menciptakan gelombang angin
puyuh yang berkekuatan dua kali kekuatan topan
yang paling dahsyat.
Si Perusak Raga berseru kaget dan hampir
terpelanting. Sedangkan Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan terseret-seret oleh badai angin puyuh
tersebut, walaupun mereka telah keluarkan tena-
ga dalam ke bagian kaki. Kedua orang ini tersan-
dar di batu besar yang terdapat di belakang me-
reka. Lalu terdengar suara ledakan beruntun
yang sangat dahsyat luar biasa. Si Empat Wajah
sempat tergetar tubuhnya, dadanya seakan re-
muk. Empat Jin penjaga gedung terguling-guling,
wajah mereka berubah menghitam. Mereka segera
bangkit berdiri. Namun sebelum mereka siap pa-
da posisi serangan berikutnya. Si Empat Wajah
sudah lepaskan pukulan dahsyat 'Banas Pati' ke
arah mereka. Gelombang panas melanda dengan
telak dan secepat kilat serangan ini menghantam
Jin-Jin itu. Dentuman keras terjadi disertai teria-
kan melengking direjam sakit yang luar biasa.
Keempat Jin hancur lebur menjadi asap. Di ke-
jauhan di angkasa sana terdengar suara jerit ber-
kepanjangan saling bersahut-sahutan.
Melihat ke empat lawannya sudah binasa,
Si Empat Wajah memberi isyarat pada sekutu-
sekutunya untuk menghancurkan gedung miring
tersebut. Maka orang-orang ini saling bahu mem-
bahu melepaskan pukulan-pukulan dahsyat ke
arah bangunan tersebut. Kiranya usaha itu tidak
mudah, ada beberapa tiang dan dindingnya yang
tidak dapat dihancurkan, terlebih-lebih bagian
tiang dan dinding yang berwarna putih. Bangu-
nan itu guncang seperti dilanda gempa. Hal ini
tentu dapat dirasakan oleh penghuninya. Di salah
satu ruangan di mana Aripati Ujudana alias Si
Muka Setan dan Datuk Tinggi Raja Di Angin tam-
pak saling berpandangan. Waktu itu seperti hari-
hari yang lalu Datuk Tinggi Raja Di Langit dalam
keadaan menangis.
"Aku merasakan terjadi gempa di sini, Da-
tuk?!" berkata Si Muka Setan dengan perasaan
cemas. Lu Jingga seka air matanya, mata kakek
ini memandang ke langit-langit. Hidungnya yang
memerah kembang kempis. Seakan mengendus
sesuatu.
"Empat Jin pengawalku telah binasa. Siapa
yang melanggar sumpah untuk tidak saling
mengganggu? Ini bukan gempa, tapi perbuatan
orang-orang yang berusaha merusak gedung me-
gah ini. Gedung pengasingan tempat pelebur do-
sa." sahut Datuk Tinggi Raja Di Angin. "Muka Se-
tan, sekutuku. Cobalah kau lihat keluar. Hancur-
kan siapa saja yang telah merusak gedung. Aku
akan menyusulmu tidak lama begitu kau berada
di luar sana!" kata Datuk Tinggi Raja Di Angin.
"Aku akan menghancurkan siapa saja yang
bikin kerusakan di luar sana, sekutuku!" sahut Si
Muka Setan. Aripati Ujudana segera memanggul
senjata roda bergerigi yang dikenal dengan nama
Petala Langit. Dengan langkah tegap ia mening-
galkan ruangan itu. Pintu di bagian depan terbu-
ka dan kemudian menutup kembali dengan cepat.
Aripati Ujudana terkesiap melihat separoh ban-
gunan hancur dan pada bagian yang lain terbakar
dimakan api.
Si Muka Setan yang memiliki ajian Sabdan-
ing Geni itu berjalan melalui api yang menyala.
Aneh memang karena seujung rambutnya pun ti-
dak ada terbakar, pakaiannya pun tetap utuh.
Melihat ada orang keluar dari kobaran api terse-
but Si Empat Wajah terkesiap. Setan Arak, Iblis
Pemabukan dan Si Perusak Raga sempat melompat mundur.
"Inikah orangnya?!" berseru Si Perusak Ra-
ga. Seruannya ditujukan pada Si Empat Wajah.
"Huh, aku sendiri tidak tahu yang bagai-
mana rupanya kunyuk bergelar Datuk Tinggi Raja
Di Angin itu. Siapa pun yang keluar dari bangu-
nan itu harus kita binasakan!"
"Baik, kalau begitu biar kami bertiga yang
menyelesaikan orang ini!" kata Setan Arak.
"Tidak! Sebaiknya kita maju satu-satu
menjajal kehebatannya!" bantah Si Perusak Raga.
Orang ini melompat ke depan.
Memperhatikan Si Muka Setan yang dia
sangka sebagai Datuk Tinggi Raja Di Angin. "Kau
orangnya yang mendirikan bangunan ini. Huh,
kau manusia munafik yang membuat calon isteri-
ku menderita lahir batin!" dengus orang ini sinis.
"Bicaramu ngelantur! Apa yang dapat kau
andalkan?" hardik Si Muka Setan.
"Kesaktianku untuk mengantar kematian-
mu!" teriak Si Perusak Raga. Selesai dengan uca-
pannya. Si Perusak Raga melesat ke depan kirim-
kan jotosan berkekuatan lima tenaga kuda. Angin
bersiut dan menderu, sambarannya saja mem-
buat kulit terasa seperti dibeset-beset. Si Muka
Setan orang yang selalu nekad dan tidak takut
mati ini sama sekali tidak menghindar. Pukulan
langsung dipapaknya. Sehingga terjadilah benturan keras.
Buungg...!
"Akh...!"
"Ukh!"
Dua-duanya terdorong mundur. Tangan Si
Perusak Raga menggembung merah. Si Muka Se-
tan usap-usap sikunya yang kesemutan, namun
sama sekali ia tidak berusaha mundur. Sekarang
ia membalas serangan Si Perusak Raga.
Wut! Wut!
Si Perusak Raga berkelit. Secepat kilat ber-
balik dan terangkat ke atas.
Plak!
"Heh...!"
Perusak Raga lagi-lagi terjajar. Dadanya
kini mendenyut sakit dan kaki yang berbenturan
dengan kaki lawan seakan remuk. Untuk pertama
kalinya ia melompat mundur. Tenaga dalam dike-
rahkannya ke arah dua belah tangan. Orang ini
kiranya nekad melepaskan pukulan 'Inti Raga'
Tangan yang memerah itu kemudian dikibaskan.
Segulung angin panas disertai pijaran bunga api
melabrak Si Muka Setan. Laki-laki ini sama sekali
tidak menghindar namun lindungi tubuhnya den-
gan tenaga dalam tinggi. Praktis pukulan tersebut
menghantam tubuhnya dengan telak. Terdengar
suara ledakan yang sangat dahsyat hingga mem-
buat sisa bangunan berguncang. Si Muka Setan
ternyata hanya terdorong mundur, ia tertawa ter-
gelak-gelak. Setan Arak dan Iblis Pemabukan sal-
ing berbisik. Sedangkan Si Empat Wajah keliha-
tan acuh dan terus menghancurkan sisa bangu-
nan yang ada.
"Rasanya ia kebal terhadap pukulan! Kura
sa matanya nanti dapat kita hancurkan dengan
arak kita!"
Sementara itu tidak jauh dari pertempu-
ran, di balik batu tampak bersembunyi seseorang.
Sekarang ia sudah melihat siapa sebenarnya yang
mula-mula membuat keonaran di bangunan ter-
sebut. Ia telah memutuskan untuk membantu
Muka Setan bila laki-laki itu terdesak.
"Hanya begitu sajakah hebatnya pukulan
yang kau miliki? Kalian telah berkomplot dengan
Ratu Keindahan dalam menghancurkan gedung
ini. Perjanjian telah dilanggar. Sekutuku menga-
takan agar aku menghancurkan kalian!" dengus
Si Muka Setan.
"Bah, jadi kau hanya cecunguknya saja.
Mana Datuk Tinggi Raja Di Angin? Apakah dia
sudah berubah menjadi pengecut tidak berani
tunjukkan diri?" ejek Si Perusak Raga yang diam-
diam merasa kaget juga melihat kesaktian yang
dimiliki oleh lawannya.
"Hiyaa...!"
Perusak Raga sambil berteriak keras cabut
kapak besarnya. Kapak bermata satu itu bergerak
cepat terarah ke bagian kepala Si Muka Setan.
Namun laki-laki berbaju hitam ini tidak tinggal
diam. Ia segera lepaskan senjata roda bergerigi Si
Petala Langit. Begitu senjata mendesing di udara,
ia membelah menjadi tiga bagian. Tiga-tiganya
melabrak Si Perusak Raga. Lawan terkesiap
menghadapi senjata aneh. Ia terpaksa bersalto ke
belakang, sambil kibaskan kampaknya untuk
menangkis senjata maut tersebut.
Tring!
Sebuah roda maut berbalik dan hampir
melibas pemiliknya. Namun duanya lagi terus
mengejar Si Perusak Raga. Mati-matian orang ini
jungkir balik sedangkan kampaknya menghantam
ke segala penjuru disertai suara mendengung-
dengung.
Tring!
Satu roda maut mental berbalik menghan-
tam mata kampak Perusak Raga. Tapi yang sa-
tunya lagi sudah menerabas pinggangnya.
Treces!
"Augkh!"
Perusak Raga menjerit keras. Petala Langit
sudah kembali pada Si Muka Setan. Ujudnya
menjadi tunggal lagi. Terhuyung-huyung Perusak
Raga bangkit berdiri sambil mendekap luka di ba-
gian sisi kiri perutnya. Melihat kawannya dalam
keadaan terluka, maka Setan Arak dan Iblis Pe-
mabukan menjadi cemas dan mulai bertindak.
Dalam pada itu terdengar seruan keras dari Tri-
gada.
"Manusia tolol, hanya menghadapi kunyuk
bersenjata roda saja tidak becus. Keroyok dan
bunuh dia!!" perintahnya.
"Bagus! Majulah kalian semua!" tantang Si
Muka Setan begitu mendengar ucapan Empat Wajah.
"Mari kita gebuk setan keparat itu sampai
menjadi serbuk, kakang!" teriak Setan Arak ditujukan pada Iblis Pemabukan
Tanpa bicara lagi Iblis Pemabukan lang-
sung melancarkan serangan-serangan dahsyat
dengan mengerahkan jurus-jurus mabuk yang
dimilikinya. Ternyata menghadapi kedua lawan
yang baru menerjunkan diri ke medan pertempu-
ran ini jauh lebih sulit dibandingkan ketika
menghadapi Si Perusak Raga tadi. Apalagi Si Mu-
ka Setan sekarang mendapat tekanan dari tiga
arah sekaligus. Muka Setan melompat keluar dari
kalangan pertempuran. Dalam pada itu ia sudah
melepaskan Petala Langit. Kini roda bergerigi ini
membagi pada tiga sasaran. Satu mengarah pada
Perusak Raga, satu ke arah Setan Arak dan yang
satunya lagi menghantam Iblis Pemabukan.
Serangan roda terbang menjadi tidak ba-
nyak berarti bagi kedua pemabuk ini. Karena
dengan gerakan-gerakan terhuyung maupun li-
ukan-liukan tubuh mereka roda bergerigi tidak
dapat menyentuh lawannya. Terkecuali yang sa-
tunya lagi langsung menghantam dada Si Perusak
Raga hingga tembus ke jantung. Tewaslah orang
ini dihantam Petala Langit. Namun pada kesem-
patan itu pula bahaya lain mengancam Si Muka
Setan. Semburan arak lawan-lawannya yang sela-
lu mengarah ke bagian matanya membuat ia tidak
leluasa melakukan serangan balasan. Serangan
roda bergerigi menjadi tidak terarah dan berulang
kali nyaris menghantam dirinya sendiri.
"Heaaa...!"
Setan Arak menerobos ke depan, lawan be
rusaha mundur akan tetapi dari arah samping
menghantam cairan arak yang disemburkan Iblis
Pemabukan ke bagian matanya. Si Muka Setan
berjumpalitan. Sebagian arah menghantam tu-
buhnya, hingga membuat pakaian laki-laki ini
hancur.
Kini sudah tampak jelas Si Muka Setan
terdesak hebat. Setan Arak tidak menyia-nyiakan
kesempatan. Arak kembali berhamburan dari mu-
lutnya dan....
Cuh!
"Akkh...!"
Tidak terelakkan lagi mata kiri lawan han-
cur. Muka Setan menjerit-jerit sambil mendekap
matanya yang menyemburkan darah.
"Bunuh!" teriak Iblis Pemabukan.
Maka Setan Arak menghantamkan buli-
bulinya ke kepala lawannya. Kalang kabut Muka
Setan lindungi kepala disamping harus lindungi
matanya yang hanya tinggal sebelah agar tidak
mengalami kebutaan total. Namun pada detik-
detik yang sekritis itu, terlihat bayangan biru ber-
kelebat. Kaki orang ini menghantam lengan Setan
Arak. Setan Arak menjerit dan jatuh terpelanting,
buli-buli di tangan hancur. Sedangkan lengannya
sendiri seraya remuk seperti dihantam pentungan
besi. Baik Iblis Pemabukan yang sempat mundur,
maupun Setan Arak dengan mata melotot dapat
melihat seorang pemuda berpakaian biru beram-
but hitam kemerahan tampak bertolak pinggang
tidak jauh di depan mereka dengan mulut termonyong-monyong.
Sedangkan Si Muka Setan begitu melihat
ada orang yang telah menolongnya langsung am-
bil senjata dan melarikan diri dari pertempuran.
"Begitu beraninya kau mencampuri urusan
kami! Siapakah kau ini kunyuk tolol?" bentak Ib-
lis Pemabukan. Ia jelas merasa kesal, karena la-
wan yang sudah berada di ambang maut telah
melarikan diri karena campur tangan si pemuda.
Suro garuk-garuk kepala. "Sudah kalian tahu aku
ini hanya kunyuk tolol. Mengapa kalian masih
bertanya-tanya? Apakah kalian bapak para mo-
nyet yang merasa kehilangan anaknya? Yang jelas
aku bukan anak para monyet mabuk yang bikin
keonaran di sini!" ejek Suro seenaknya.
"Sebutkan apa gelarmu, agar malaikat ti-
dak lupa mencacat namamu di akherat nanti!"
maki Setan Arak. Seraya langsung berdiri.
"Ha ha ha...! Gelarku monyet brewok tu-
kang mabuk. Malaikat pasti tidak salah catat, ka-
rena neraka sudah mengabarkan aku bahwa
kalian berdua adalah calon penghuni abadi di
sana!" kata Pendekar Blo'on. Melihat lagak si pe-
muda yang seperti orang sinting, rasanya ia tidak
punya kepandaian apa-apa. Tapi mengingat Setan
Arak dapat dijatuhkannya. Bukan mustahil ia
punya kelebihan dibalik wajahnya yang tolol itu.
"Adik Setan Arak! Mari kita rencah tubuh
pemuda edan ini dengan arak kita!" seru Iblis Pemabukan.
"Hu hu hu...! Aku paling suka berhadapan
dengan manusia gila seperti dia!" sahut Setan
Arak.
Dua lawan sama-sama menerjang ke arah
Suro. Satu lancarkan jotosan ke arah leher dan
mulut, sedangkan yang satunya lagi lepaskan
tendangan menggeledek ke arah perut dan sa-
puan pada bagian kaki.
"Ala emak, para setan mabuk sudah mulai
mengamuk!" pekik Suro dan ia langsung jatuhkan
diri. Tendangan maupun jotosan tidak mengena
pada sasaran yang diinginkan. Tapi kedua lawan
pemabuk ini cukup cerdik. Mereka pun berguling-
guling, tangan mencakar atau siku menghantam
tubuh Suro. Dalam keadaan berguling-guling ini
Suro memang mendapat serangan dari dua arah
sekaligus. Hal ini membuatnya cukup repot juga.
Dengan cepat ia melompat bangkit, sambil ber-
jingkrak-jingkrak ia menginjak-injak tubuh la-
wannya yang masih belum punya kesempatan
berdiri. Tapi injakan selalu meleset, bahkan ka-
kinya secepat kilat dapat dihantam oleh Iblis Pe-
mabukan hingga membuatnya terpelanting roboh.
"Wadoooh, orang mabuk ini memang sudah
pada edan semuanya!" maki Pendekar Blo'on. Ia
cepat jungkir balik, ketika kedua kakinya mem-
bentuk kuda-kuda di atas tanah. Mulailah ia me-
lakukan gerakan-gerakan yang sangat aneh hing-
ga membuat lawan-lawannya terheran-heran. Mu-
lutnya termonyong-monyong, terdengar suara
ngak ngik nguk tidak ubahnya seperti suara seekor monyet. Kakinya bergerak dengan gesit seper-
ti kaki monyet yang sedang menari-nari, tangan-
nya menggaruk ke sana sini. Itulah jurus 'Kera
Putih Memilah Kutu' yang dipadukan dengan ju-
rus 'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
"Jurus Siluman Kera Putih?!" sentak Setan
Arak yang rupanya cepat dapat memahami apa
yang dilakukan oleh pemuda rambut kemerahan
tersebut.
"Hiaa...!"
Setan Arak yang sedikit banyaknya pernah
mendengar kehebatan jurus-jurus ini segera te-
guk araknya. Tiba-tiba saja ia sudah melompat ke
depan, serangan rangkaian bertubi-tubi dilaku-
kannya.
Plak! Plak! Plak!
Hantaman buli-buli arak maupun sodokan
lututnya membentur tangan si pemuda. Suro
mundur, terdengar suara lolongannya. Suara lo-
longan yang kemudian disertai gerakan si konyol
yang terkesan serampangan dan tidak mengenal
aturan silat sama sekali.
Nguk! Nguk! Nguk!
"Hia...!"
Tiba-tiba saja Suro jungkir balik, kepala di
bawah kaki menendang perut lawan. Gerakan ini
terkesan asal-asalan, sebelah tangannya didorong
ke arah paha lawan. Melihat angin bergulung-
gulung, Setan Arak menangkis, tapi tendangan
kaki ternyata lebih dulu menghantam perutnya.
"Hegkkkh...!"
Setan Arak terjengkang, dari samping me-
nyambar serangan. Dan tahu-tahu Iblis Pemabu-
kan telah mengemplang kepalanya. Suro menge-
luh, ia terhuyung-huyung dan miring-miring se-
perti ayam sakit ayan. Selagi langkahnya goyah
dan pandangan matanya berkunang-kunang. Tin-
ju Iblis Pemabukan sudah menghantam dadanya.
Dieegkh...!
"Uhuk! Hoek-hoekh...! Setan betul! Bang-
sat...!" maki si pemuda sambil pegangi dadanya.
Setelah diurut-urut keluar darah dari sudut-
sudut bibirnya.
Setan Arak yang sudah berdiri bersama Ib-
lis Pemabukan langsung menyerang Pendekar
Blo'on dengan semburan araknya. Untunglah Su-
ro bertindak gesit sambil menggelindingkan tu-
buhnya. Setiap batu yang terkena semburan arak
berlubang mengepulkan asap, rumput kena sem-
bur, rumput langsung terbakar. Bukan main-
main memang! Suro sendiri tidak sanggup mem-
bayangkan bagaimana batok kepalanya yang ter-
kena semburan arak tersebut. Pasti langsung bo-
long menembus otaknya.
Pontang-panting pemuda ini selamatkan
diri. Tapi lawan-lawannya ini benar-benar para
pemabuk yang sudah penuh keedanan. Hingga
Pendekar Blo'on bolak-balik hampir mati konyol.
"Setan sompret! Huuh... huuh... huu,
heaa...!" Pemuda baju hijau melontarkan kata-
kata yang tidak jelas. Lalu terdengar suara tawanya yang bekakakan. Tubuhnya berkelebat lenyap. Rupanya ia saking gusarnya sudah menge-
rahkan jurus 'Tawa Kera Siluman'. Kemudian se-
cara cepat ia menyusup ke arah pertahanan la-
wan. Pukulan beruntun dilakukannya.
Buk! Buk!
Pruh!
Meskipun sempat terbanting terkena haja-
ran Suro yang telak itu, tapi Iblis Pemabukan ma-
sih dapat semburkan araknya. Semburan arak di-
tangkis oleh Suro, sehingga membuat bajunya
terbakar sebagian. Kulitnya melepuh dadanya me-
lepuh dan pusernya juga ikut melepuh. Suro
hampir-hampir mati konyol. Hilang kesabaran-
nya, maka ia lepaskan pukulan 'Ratapan Pem-
bangkit Sukma'. Suro angkat tangannya tinggi-
tinggi kedua lengannya hanya dalam waktu seke-
jap telah berubah memutih laksana salju. Setan
Arak dan Iblis Pemabukan sadar betul dengan
bahaya yang mengancam jiwa mereka. Sehingga
ia pun lepaskan pukulan 'Nyanyian Setan Mabuk
Di Tengah Malam'.
Dua-duanya dalam waktu bersamaan hen-
takkan kedua tangannya ke arah lawan. Tapi Su-
ro sudah mendahuluinya. Detik itu juga meluncur
segulung sinar putih disertai angin menderu-
deru. Sinar kuning meluncur pula memapak se-
rangan Pendekar Blo'on. Terjadi pertemuan dua
serangan sakti di udara. Lalu....
Buum! Buum!
"Aukh...!"
Tiga suara jeritan terdengar berturut-turut.
Masing-masing lawan sudah terlempar sejauh tiga
tombak. Tampaknya Setan Arak dan Iblis Pema-
bukan hanya menderita luka ringan. Sedangkan
Pendekar Blo'on megap-megap. Kepalanya benjut
terhantam akar pohon.
"Sekarang tibalah saatnya bagimu untuk
berjalan-jalan ke neraka!" teriak Iblis Pemabukan.
Tanpa berpikir lebih lama lagi tubuhnya melesat.
Kakinya menginjak kepala Suro. Pemuda ini me-
nyeringai, tapi tangannya mencabut Mandau Jan-
tan dengan cepat.
"Hiiiiik! Huuuuu! Haaaaaa...!"
"Awas, kakang!" teriak Setan Arak ketika
melihat lawan mencabut senjata. Peringatan ini
sudah terlambat. Senjata yang dapat meringkik,
merintih dan tertawa itu berkelebat dan....
Craas!
Tenggorokan Iblis Pemabukan terputus. Ia
jatuh tersungkur di samping Suro. Melihat sauda-
ranya roboh, seperti setan gila Setan Arak mener-
kam Pendekar Blo'on. Namun Mandau di tangan
Suro menembus perutnya. Laki-laki ini menjerit,
roboh menimpa Pendekar Blo'on. Pendekar Blo'on
sentakkan senjatanya.
Sesaat ia mengitarkan pandangan matanya
berkeliling. Ketika itu ia melihat bangunan sudah
rata menjadi tanah. Dari reruntuhan bangunan
muncul seorang laki-laki tua dalam keadaan me-
nangis. Sedangkan tidak jauh darinya Si Empat
Wajah sudah menunggunya dengan perasaan
gembira. Suro yang dalam keadaan terluka ini kurang menghiraukan perdebatan sengit yang terja-
di di antara mereka. Ia pejamkan matanya setelah
menelan tiga pil berwarna-warni. Dikerahkannya
tenaga dalam untuk menghilangkan luka-luka
yang ia derita. Lama sekali murid Penghulu Silu-
man Kera Putih dan Malaikat Berambut Api ini
memejamkan matanya. Tubuhnya pun mandi ke-
ringat. Saat mana ia membuka matanya kembali.
Maka kakek yang keluar dari reruntuhan bangu-
nan tadi dengan sosok tinggi kurus berkepala be-
sar dan punya wajah empat sudah saling berha-
dap-hadapan.
"Dara Nirmala tidak kusangka berani me-
langgar perjanjian. Kau datang ke sini tentu atas
suruhannya, bukan?" tanya si kakek yang tidak
lain adalah Lu Jingga atau yang lebih kesohor
dengan julukan Datuk Tinggi Raja Di Angin. Si
Empat Wajah tertawa membahak. Karena empat
mulutnya tertawa semuanya maka terdengarlah
suara rentetan yang menggelegar bagai halilintar.
9
Suro sendiri terpaksa lindungi telinga agar
tidak terpengaruh tawa Si Empat Wajah. Tawa ti-
ba-tiba terhenti Suro masih duduk bersila di tem-
patnya sambil bengong.
"Kau salah tua bangka, Lu Jingga! Kurasa
kau masih ingat dengan Dara Alindi bukan? Nah
gadis itu yang menyuruhku untuk memenggal
kepalamu...!" sahut laki-laki bertubuh kurus cek-
ing berkepala besar tersebut sambil gelengkan
kepala.
Air mata yang mengalir dari kelopak mata
Datuk Tinggi Raja Di Angin mendadak berhenti
dengan sendirinya. Ia memang sempat terkejut,
hanya rasa kagetnya tidak sempat terlihat oleh
lawannya. Ia kemudian bicara dengan suara din-
gin.
"Jadi di mana perempuan itu sekarang?"
"Dia tentu saja mencari saudaranya yang
sangat dibencinya dalam gedung megah itu. Kau
mampus di tanganku, sedangkan Dara Alindi
akan membunuh orang yang sangat kau gila-gilai
itu!" ejek Si Empat Wajah. Suro mendengarkan
perdebatan itu sambil garuk-garuk kepala.
"Aku semakin jelas sekarang. Kiranya per-
soalan yang mereka ributkan cuma persoalan
asmara." gerutu Suro merasa tidak betah. Dalam
kesempatan itu terdengar suara Datuk Tinggi Ra-
ja Di Angin menggerung keras.
"Sembilan akalku dulu memang pernah ka-
lah dan dijadikan pecundang oleh satu nafsuku.
Tapi sekarang semuanya sudah tidak bersebab.
Aku sudah tidak menghiraukan apa yang terjadi
dan yang akan terjadi pada dunia dan isinya. Ke-
tahuilah Dara Alindi itu jika tidak punya ilmu
awet muda dia sudah menjadi nenek-nenek renta
seperti diriku. Aku sekarang tahu dia tentu me-
nawarkan tubuhnya padamu, bukan?" dengus Lu
Jingga. "Lalu kepandaian apa yang kau miliki untuk menghadapi aku? Sedangkan jika Dara Alindi
saja yang menghadapi langsung, ia belum tentu
dapat mengalahkan aku!" kata si kakek bersung-
guh-sungguh.
"Hmm, bangsat sombong! Aku Empat Wa-
jah, akan kupatahkan lehermu dengan kedua
tanganku ini!" teriak Trigada.
Hanya dalam tempo yang teramat singkat,
kedua orang ini sudah saling lancarkan serangan.
Gerakan mereka sangat cepat luar biasa, sehingga
jika hanya ahli-ahli silat berkepandaian biasa-
biasa saja tentu akan menjadi pusing melihat per-
tempuran yang berlangsung sangat cepat ini.
Bentakan disertai hantaman keras silih berganti.
Inilah pertemuan dua tokoh sakti yang memiliki
kepandaian luar biasa. Si Empat Wajah sang
Makhluk Tanpa Pendirian mulai melancarkan ju-
rus-jurusnya yang paling hebat. Sehingga setiap
gerakan tubuhnya mengeluarkan deru angin dah-
syat yang disertai beterbangannya batu dan pasir.
Dalam sebuah kesempatan ia menghantam tulang
rusuk lawan dengan pukulan 'Perempuk Raga Bi-
nasa Jiwa'. Dan tangan yang telah berubah
menghitam tersebut meluncur. Datuk Tinggi me-
nepis dengan lima jari tangannya.
Dess!
"Hukh...!"
Si Empat Wajah malah terdorong mundur,
padahal Datuk Tinggi Raja Di Angin belum men-
gerahkan tenaga seutuhnya. Dari sini saja sudah
jelas kakek ini tampaknya memang bukan lawan
Si Empat Wajah. Setelah mengetahui kedudukan
yang sebenarnya, maka Suro segera meninggal-
kan tempat itu untuk mencari Dewa Sinting dan
Andini yang telah berada di dalam gedung di se-
belah timur. Sementara kedua orang yang diting-
galkan Pendekar Blo'on terus bertarung, bahkan
Si Empat Wajah sendiri sudah mulai melepaskan
pukulan 'Empat Bintang Saling Bertubrukan'.
Spontan kedua tangan Trigada menjadi biru me-
mancarkan sinar kemilau.
Dibarengi dengan lesatan tubuhnya ke de-
pan. Ia dorong kedua tangannya. Sinar biru mele-
sat dari telapak tangan Si Empat Wajah saling
susul dan berantai. Manusia sakti setara dengan
Dewa ini tekuk kaki kirinya ke depan, lalu ia do-
rongkan pula kedua tangannya ke depan. Do-
rongan itu tidak menimbulkan akibat apa-apa. Ini
menandakan tenaga sakti si Kakek sudah jatuh
berada di atas sempurna. Tahu-tahu terjadi den-
tuman, tiga sinar lain berbalik dan menghantam
Si Empat Wajah. Jika laki-laki berkepala besar ti-
dak cepat membanting tubuhnya ke samping, ia
dapat dipastikan hangus dilanda pukulunnya
sendiri. Sambil memaki, Empat Wajah masih
sempat berpikir bahwa serangannya tadi seakan
menghantam dinding gaib yang begitu halus tapi
punya daya pantul tiga kali dari kekuatan seran-
gannya.
"Keluarkan seluruh kepandaianmu, manu-
sia Empat Wajah. Tegas kukatakan kalau pun
kau belajar seratus tahun lagi, kesaktianmu belum bisa dikatakan seimbang dengan yang kumi-
liki!" kata Datuk Tinggi.
Merasa diremehkan, Si Empat Wajah men-
jadi gusar. Empat mulutnya membuka. Empat
buah lidah terjulur panjang dikobari api. Lidah
itu mengejar Lu Jingga. Justru ini yang ditunggu-
tunggu si kakek. Saat dua lidah membelit tubuh-
nya. Ia lenyapkan hawa panas itu dengan penge-
rahan tenaga dalam. Dan jemari tangannya yang
berkuku runcing, menerabas.
Tes! Tes!
Dua lidah terpotong. Si Empat Wajah me-
raung, darah mengucur. Ia berjingkrak-jingkrak
kesakitan. Dua lidah lainnya masuk ke dalam
mulutnya. Empat Wajah dalam kepanikannya
menjadi nekad. Ia menerjang lawan pada jarak
yang sangat dekat. Datuk Tinggi Raja Di Angin
berkelit, serangan itu lewat di sampingnya. Kaki
si kakek terangkat...
Set!
Gubrak!
Empat Wajah tersungkur, dengan segera
Lu Jingga menghampiri, tidak disangka-sangka
lawan berbalik dan menerkamnya. Sehingga ter-
jadilah saling cekik. Datuk Tinggi Raja Di Angin
kerahkan seluruh tenaga sakti yang dimilikinya
ke dua belah tangannya. Tubuhnya bergetar ke-
ras. Empat Wajah mulai merasa kepitan yang
membuat tenggorokannya serasa putus. Ia beron-
tak, setelah mengerahkan seluruh kemampuan-
nya ternyata ia tidak mampu melepaskan cekikan
si kakek, malah cekikannya pada leher lawan
semakin mengendor.
Kreek!
Terdengar suara tulang leher berderak pa-
tah. Si Empat Wajah sudah tidak mampu lagi
menjerit. Lima kuku Lu Jingga berkelebat, kemu-
dian menancap di tenggorokan lawan. Ketika ka-
kek itu menyentakkan tangannya maka batang
tenggorokan lawan itu terbetot keluar. Si Empat
Wajah langsung dihempaskannya. Orang ini tidak
dapat berkutik lagi. Datuk Tinggi Raja Di Angin
menyeka air mata, pandangannya beralih pada
gedung di sebelah timur. Ada sesuatu yang me-
nyentak-nyentak hatinya, hingga membuat laki-
laki tua ini menjadi sedih.
"Mungkin ini sudah takdir. Apa pun yang
terjadi aku harus masuk ke gedung itu. Aku ingin
melihat anakku dari hubungan mimpi terkutuk
itu. Aku ingin menyampaikan permintaan maaf
pada Dara Nirmala!" batin si kakek.
* * *
"Sial, kemana perginya Dara Nirmala! Aku
tidak yakin ia meninggalkan gedung ini. Ia adalah
orang yang paling tidak suka berkeliaran dan ber-
jumpa dengan orang-orang yang bertebaran di
permukaan bumi. Hampir semua kamar telah ku-
periksa. Aneh, sama sekali aku tidak mene-
muinya?" desis gadis berpakaian ringkas yang
umur sesungguhnya hampir tiga ratus tahun ini
dengan perasaan kesal. Ia berjalan mondar
mandir dan melakukan pemeriksaan di sana sini.
Tiba-tiba gadis ini hentikan langkah.
"Kurasa ada ruangan rahasia di sini!" pikir
si gadis yang tidak lain adalah Dara Alindi. Belum
sempat ia menentukan langkah selanjutnya, tiba-
tiba saja pintu di ruangan sebelah berderit terbu-
ka, muncul seorang kakek gendut membawa bun-
talan di punggungnya disertai seorang gadis can-
tik yang disangka oleh Dara Alindi adalah Dara
Nirmala karena wajahnya yang mirip betul
"Kucari kemana-mana ternyata kau baru
keluar dari tempat persembunyianmu, perem-
puan ingkar!" dengusnya langsung melompat ke
depan. Dewa Sinting yang sudah mengetahui du-
duk persoalan yang sebenarnya dari roh Ratu
Keindahan langsung menjawab.
"Dia bukan perempuan yang kau sangka-
kan! Saudaramu sudah meninggal, sedangkan ini
putrinya!" jelas si kakek.
Meledaklah suara tawa Dara Alindi. "Hi hi
hi...! Jadi dia sudah mampus! Anak jadah ini pu-
trinya. Huh, tidak kulihat di mana bapaknya! Ba-
giku tetap saja. Dia harus kubunuh!"
Andini menggerakkan tangannya memberi
isyarat pada Dewa Sinting. Maka tahulah si gadis
bahwa Andini tidak bisa bicara alias gagu. Kenya-
taan ini menjadi bahan tertawaannya.
"Benar-benar anak yang malang! Sudah
terlahir dari hubungan mimpi terkutuk, gagu pu-
la! Hmm, kepalang basah, tidak dapat kubunuh
ibunya. Jika aku dapat membunuh anaknya merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagiku...!"
"A... au... aaah...!" Si Penyair Gagu coba bi-
cara, namun hanya Dewa Sinting saja yang dapat
mengetahui arti isyaratnya itu. Sehingga ia pun
bicara ditujukan pada Dara Alindi.
"Menurutnya dendammu membabi buta.
Pikiranmu picik, kau pantas menjadi santapan
cacing tanah!"
"Begitu kata gadis gagu itu! Kita buktikan
siapa yang tersungkur mampus di sini lebih du-
lu!" dengus Dara Alindi dengan rahang bergemele-
tukan. Gadis berumur ratusan tahun ini tiba-tiba
hantamkan kedua tangannya ke arah si gadis dan
kakek gendut. Serangan ini cepat luar biasa, dan
dikenal dengan nama 'Merampas Sukma Cam-
pakkan Raga Darah'. Si kakek hendak sela-
matkan si gadis. Namun serangan lawannya lebih
awal menghantam.
Buuk! Buuk!
Andini sempat tersungkur dengan kepala
menghantam tembok. Dewa Sinting terjengkang.
Ternyata tenaga dalam lawan jauh lebih tinggi da-
ri tenaga dalam yang dimiliki oleh si kakek mau-
pun Andini.
Dewa Sinting lepaskan toya yang selalu di-
pergunakan untuk membawa buntalan. Sambil
menggerung marah ia lancarkan serangan bala-
san. Toya menderu-deru menimbulkan gelombang
angin kencang yang saling tindih menindih. Dari
samping kiri Andini sudah bergebrak pula. Meng-
hadapi serangan yang tidak dapat dipandang en
teng ini Dara Alindi kelihatan masih tenang-
tenang saja. Tubuh gadis dari Lembah Silau Du-
nia ini mencelat ke langit-langit. Serangan toya si
kakek nyaris menggebuk kepala Andini. Dewa
Sinting membelokkan toyanya, kemudian dis-
odorkannya ke langit-langit. Ternyata lawannya
cukup cerdik. Toya disambarnya, melalui toya itu
ia meluncur turun, kemudian kakinya menen-
dang.
Dhaak!
Dewa Sinting menjerit dan terguling-guling.
Ia dalam keadaan terluka masih sempat lepaskan
pukulan. Namun Dara Alindi berkelit dan puku-
lan Dewa Sinting menghantam tembok. Hancur-
lah tembok tersebut. Melihat Dewa Sinting dalam
keadaan terdesak, Andini tidak tinggal diam.
Tubuhnya tiba-tiba saja melesat. Jemari
tangannya mencakar wajah yang cantik itu dan
kakinya menendang.
Sambil memaki lawan selamatkan wajah-
nya, namun kaki Andini menghantamkan tepat di
dada kiri lawan. Dara Alindi terhuyung-huyung,
hanya sampai sebatas itu tidak sempat terluka.
Dengan penuh kegeraman ia lepaskan pukulan
'Seribu Bala Lembah Silau Dunia'. Ini adalah se-
rangan yang paling mematikan yang pengaruh si-
narnya saja sudah membuat Dewa Sinting menje-
rit kesakitan. Si gadis jelas dalam keadaan teran-
cam, pada detik-detik yang sangat kritis itu ada
kabut tipis berujud sosok perempuan menyapu ke
arah ubun-ubun Andini. Tubuh si gadis sempat
tergetar, roh Dara Nirmala kiranya sudah mera-
suk dalam diri putrinya. Tanpa membuang-buang
waktu lagi Andini yang telah dirasuki roh ibunya
langsung hantamkan tangannya ke depan. Se-
hingga terjadilah ledakan yang membuat sebagian
bangunan runtuh. Dua tiang hancur, sebagian re-
runtuhannya menimpa Dewa Sinting. Hingga si
kakek teriak tertolong-tolong.
"Kau turunkan pukulan paling keji pada
putriku! Aku bisa mengantarmu ke alam barzah!"
Arwah Dara Nirmala yang merasuk dalam diri pu-
trinya bicara.
"Hmm, rupanya kau mendampingi anak-
mu! Kau akan mengalami dua kali kematian beri-
kut anakmu! Kau manusia munafik, munafik...!"
teriak Dara Alindi semakin bertambah kalap.
"Tuduhanmu tidak beralasan! Cemburumu
membabi buta hingga membuat langkahmu se-
makin bertambah sesat saja! Hia...!" Sang Roh
yang berada dalam diri Andini tiba-tiba melesat
ke depan. Kemudian tangan si gadis yang dirasu-
ki arwah ibunya berubah-rubah warnanya dari
merah, hitam, kuning dan biru. Dara Alindi tidak
berusaha mengelak, malah ia memapak. Hingga
kedua tangannya melekat pada telapak tangan
Andini.
Dua tenaga sakti saling berusaha menin-
dih, mendorong dan himpit menghimpit. Tampak-
lah sudah waktunya mereka sama-sama mengadu
jiwa. Dewa Sinting tidak berani mengambil kepu-
tusan apa-apa. Tubuh Andini yang dirasuki arwah ibunya mulai bergetar dan keluarkan kerin-
gat dingin. Demikian pula dengan lawan, sudut-
sudut bibir Dara Alindi meneteskan darah. Dari
hidung Andini mengucur darah pula. Suasana
semakin bertambah tegang. Kini telinga Dara
Alindi dan juga hidungnya tampak meneteskan
darah. Nafasnya mulai tersendat-sendat. Dalam
keadaan yang sangat gawat antara hidup dan ma-
ti. Sosok bayangan berkelebat, lalu terdengar sua-
ra....
Plak! Plak!
"Wuaaakh...!"
Baik Dara Alindi maupun Andini yang di-
kendalikan arwah sang ibu sama-sama terjeng-
kang dengan darah berbusaian dari mulut mas-
ing-masing. Sebaliknya bayangan biru setelah
terpental menabrak tembok, tampak meringkuk
sambil pegangi dadanya.
"Bocah gendeng! Kau benar-benar mencari
mampus!" seru Dewa Sinting yang melihat Suro
Blondo juga dalam keadaan terluka akibat beru-
saha memisah orang yang sedang mengaduh ke-
saktian tadi.
"To-lo-ng dia...!" perintah Suro setengah
merintih. Ia terbungkuk-bungkuk, tapi tidak bisa
berdiri tegak, ia merasa isi dalamnya mengisut
termasuk usus-ususnya.
Dewa Sinting tidak tinggal diam, melihat
Dara Alindi dalam keadaan tidak berdaya ia han-
tamkan toyanya ke bagian kepala. Sejengkal lagi
toya sampai pada sasaran. Dara Alindi menghantam ke depan. Tentu saja Dewa Sinting tidak
sempat menghindar. Akibatnya....
"Akhckh...!"
Kakek itu mengeluh dan roboh tidak sa-
darkan diri dengan luka berat yang ia derita. An-
dini bangkit berdiri, detik itu juga ia lepaskan pu-
kulan 'Seribu Bala Lembah Silau Dunia', Dara
Alindi coba bangkit, sebelum ia sempat menghin-
dar pukulan lawan telah menghantam tubuhnya.
Terjadi suara ledakan tiga kali berturut-turut,
terdengar suara jeritan menyayat, Dara Alindi
membentur tembok. Kepalanya retak, sebagian
tubuhnya hangus. Dalam keadaan begitu pun ia
masih hidup. Suro yang berada di sampingnya le-
paskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir'. Sinar hi-
tam merah bergulung-gulung menyapu tubuh la-
wannya. Lolongan panjang menggidikkan menyer-
tai tercabutnya nyawa Dara Alindi. Suro bangkit
berdiri, memandang ke samping kiri Andini tam-
pak tersenyum, senyum manis walaupun wajah-
nya pucat.
"Kau Andini atau arwah ibunya?" tanya Su-
ro bingung.
"Aku ibunya! Tapi aku segera meninggal-
kan anakku, terima kasih atas bantuanmu dan
bantuan kawanmu! Ada orang datang, aku harus
pergi!" kata arwah ibu Andini. Tubuh gadis itu
bergetar, dari ubun-ubunnya tampak kabut
membentuk sosok tubuh wanita melesat ke uda-
ra. Andini tergagap-gagap seakan bingung, ia bi-
cara dengan isyarat tangannya. Namun Suro golang-golengkan kepala.
"Aku nggak ngarti! Akh.... Dewa Sinting
pun pakai klenger segala!" gerutu Suro. Ia meng-
hampiri si kakek. Kemudian ditekan-tekannya
nadi besar di tubuh si kakek. Karena tidak sadar
juga, Suro terpaksa masukkan tangannya di ba-
lik baju. Setelah itu tangannya ditempelkan ke
hidung Dewa Sinting. Orang tua ini langsung ber-
sin-bersin.
"Tua gila! Kau diketeki dulu baru mau sa-
dar!" kata Suro sambil tertawa. Dewa Sinting me-
rintih-rintih. Lalu memaki....
"Kau dan gurumu sama saja gilanya, tidak
mengenal adat dan kurang ajar!" maki si kakek. Ia
seka hidupnya yang bau ketiak Suro.
"Dara Alindi?!"
Tiba-tiba terdengar suara seruan. Ketiga
orang ini sama menoleh. Yang datang ternyata
kakek tua. Orang ini melangkah dengan air mata
bercucuran. Suro yang sudah mengenali Datuk
Tinggi Raja Di Angin segera berkata.
"Dia bukan Dara Alindi, gadis ini anaknya,
Andini namanya. Dia putrimu, orang tua...!"
"Anakku!!" seru si kakek, ia memeluk An-
dini.
Ayah dan anak saling bertangisan.
"Datuk Tinggi Raja Di Angin, putrimu tidak
bisa bicara! Sedangkan isterimu sudah meninggal
dan ada di ruang bawah!" jelas Dewa Sinting.
"Semua ini salahku, semua ini karena ke-
saktian, cintaku cinta bisu, asmara gagu. Satu
nafsuku telah mengalahkan sembilan akalku. Apa
yang kuperbuat telah membuatnya menderita.
Dia anak yang terlahir dari hubungan mimpi. Ka-
lian telah membantu kami, jangan usik perte-
muan ini. Kami telah menetapkan untuk meng-
habiskan masa hidup di Lembah Silau Dunia!"
kata Datuk Tinggi Raja Di Angin terisak-isak.
"Mari kita pergi kakek sinting! Aku tidak
mau ikut terharu dan ikut-ikutan menangis! Me-
reka orang yang sudah banyak menderita, mende-
rita karena ilmunya!" ujar Pendekar Blo'on.
"Aku juga tidak ingin sedih. Melihat tam-
pangmu saja sudah menyedihkan. Ayolah...!" ka-
tanya Dewa Sinting menyahuti. Keduanya lalu ke-
luar meninggalkan bangunan yang hampir runtuh
seluruhnya. Suro sempat nyengir melihat Andini
Si Penyair Gagu mengedipkan matanya yang in-
dah. Tangannya melambai seakan tidak rela di-
tinggalkan. Sampai di luar gedung mereka saling
berpandangan.
"Orang tua gila, kau hendak kemana?"
tanya Suro.
"Pergi kemana? Baru sekarang aku teringat
hendak pergi kemana? Kurasa aku pergi kemana
saja. Oh ya, kalau ketemu gurumu sampaikan sa-
lamku padanya dua ikat." Ternyata Dewa Sinting
bicara seorang diri, karena yang diajaknya bicara
sudah lenyap dari sampingnya. Di kejauhan
sayup-sayup terdengar suara.
"Orang sinting itu sama dengan gila, miring
otaknya. Aku tidak suka berkawan dengan orang
gila, apalagi sudah tua dan bau tanah. Mendingan
aku sendiri agar tidak ikut menjadi gila! Ha ha
ha...!" kata Suro.
"Bocah goblok! Pendekar Bodoh, kapan-
kapan aku akan mencarimu!" gerutu Dewa Sinting sambil melangkah pergi.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar