DUA PULUH TAHUN yang lalu.... Sebuah Kera-
jaan kecil di Pulau Andalas bernama Bungo Mambang
tegak berdiri. Tentu saja kerajaan ini berdaulat pada
Kerajaan Sriwijaya. Yang memang adalah sebuah Kera-
jaan yang paling besar pada masa itu. Raja yang ber-
kuasa disana bernama Sri Baginda Bantar Alam.
Kekuasaannya meliputi tiga wilayah. Yaitu an-
tara sekitar Gunung Kerinci, gunung Sumbing dan gu-
nung Talang. Raja Bantar Alam memang seorang yang
bertindak adil terhadap rakyatnya. Sehingga rakyat
amat menyukainya. Bantar Alam mempunyai seorang
permaisuri dan beberapa selir. Sayang, permaisuri Ra-
ja bijaksana itu tak mempunyai keturunan. Bahkan
dari selir-selirnya sekalipun. Sang permaisuri agaknya
merasa takut tersisihkan oleh Raja, karena lagi-lagi
Raja telah menambah lagi selirnya, seorang gadis can-
tik asal lereng Gunung Kerinci. Terbersit di hati per-
maisuri untuk mencari akal agar dapat cepat beroleh
keturunan. Tentu saja hal yang ditempuhnya adalah
jalan kotor. Diam-diam ia berhubungan dengan seo-
rang panglima Kerajaan. Hal itu berlangsung terus
tanpa setahu Raja. Hingga akhirnya benih yang terta-
nam di tubuh permaisuri, tumbuh dengan subur. Per-
maisuri bernama Dewi Melur itupun hamil...
Hal mana tentu saja membuat Raja jadi bergi-
rang hati. Tapi bersamaan dengan itu selir terakhir da-
ri Raja Bantar Alam pun tengah mengandung.
Baginda Raja berpendapat, anak dari permaisu-
ri yang pertamalah yang berhak menggantikannya se-
bagai Raja kelak. Namun sayang... rahasia hubungan
permaisuri dengan Panglima Sobrang tercium oleh Ra-
ja. Marahlah Raja Bantar Alam.. dan serta merta
menghukum Panglima Sobrang dengan hukuman mati.
Dan Dewi Melur diusir keluar dari istana, serta diperintahkan untuk dibunuh di tengah hutan belantara.
Dua orang perwira Kerajaan segera membawanya den-
gan mengendarai kuda. Dewi Melur tak berdaya. Dan
pada malam yang sunyi itu telah tiba di tengah hutan
belantara. Namun salah seorang dari perwira Kerajaan
tak tega untuk menjalankan tugas. Apalagi Dewi Melur
dalam keadaan hamil. Tentu saja hal itu salah seorang
dari perwira Kerajaan itu menjadi serba salah... Na-
mun kawannya tetap mengambi1 keputusan untuk
membunuh wanita itu. Terjadilah pertengkaran, yang
kemudian beralih menjadi pertarungan seru Karena
masing-masing berlainan pendapat. Salah seorang ter-
luka putus lengannya oleh pedang kawannya. Segera
laki-laki bernama Warakas itu berniat membunuhnya.
Sayang kawan perwira yang terluka itu sempat melari-
kan diri. Dan kembali ke istana... Warakas terpaksa
bertindak mengambil keputusan nekat.
Kembali berarti mati. Dan membunuh Dewi Me-
lur pun sudah terlambat, juga tak mungkin ia tega un-
tuk melakukannya. Maka segera Warakas membawa
Dewi Melur untuk menyembunyikan diri. Raja Bantar
Alam gusar bukan main, mendengar berita itu. Dan
perintahkan lasykarnya untuk mencari kedua orang
itu hidup atau mati. Namun Warakas dan Dewi Melur
telah lenyap bagai ditelan bumi.
Delapan belas tahun kemudian.. Raja Bantar
Alam sakit keras: Agaknya tak ada pilihan lain bagi Ra-
ja untuk mengangkat Kandaga, putera dari selir terak-
hirnya menjadi Raja bagai penggantinya. Kandaga ada-
lah pemuda gagah, yang berparas tampan. Berkulit
coklat dan bertubuh kekar. Dan keputusan pun tak
dapat lagi dibantah! Kandaga memegang tampuk pe-
merintahan di Kerajaan Bungo Mambang! mengganti-
kan ayahandanya. Hal mana sudah berlangsung bebe
rapa bulan. Bantar Alam ternyata masih berumur pan-
jang. Namun ia memang sudah mengundurkan diri da-
ri kepemimpinannya...
* * *
Senja itu berkelebat sesosok tubuh langsing.
Gerakannya amat cepat sekali bagaikan burung walet.
Dan sebentar saja ia telah berada di halaman istana.
Karena ... tubuh itu memasuki halaman dari sisi tem-
bok pagar istana yang tidak terjaga. Maka pengawal-
pengawal Kerajaan tak seorang pun melihatnya.
Sayang... baru saja ia mau berkelebat masuk ke pintu
samping. Dua orang penjaga telah melihatnya.
"Haiii...!" Siapa kau...?" teriak salah seorang se-
raya melompat menghadang dengan tombak dan pe-
dang terhunus. Ternyata sosok tubuh itu adalah seo-
rang wanita alias gadis cantik. Hidungnya mancung.
bermata agak sipit. Beralis mata indah melengkung ke
atas. Wajahnya memang boleh dikatakan cantik, den-
gan tahi lalat di bawah hidungnya. Cuma sepasang
matanya tampak bersinar aneh..! Karena tatapannya
mengandung hawa seram. Seperti seakan mau me-
nembus jantung kedua penjaga istana itu.
"Heh..! Aku mau mencari si Kandaga..! Akan
kucincang tubuhnya sampai lumat..!" Mendesis suara
wanita itu. Tentu saja hal itu membuat kedua penjaga
itu jadi terkesiap. Dan sudah lantas membentak.
"Kurang ajar...! Kau mau membunuh baginda
Raja..?! Keparat..! Mampuslah kau..!" Dan segera saja
keduanya telah melakukan serangan. Tombak dan pe-
dang sudah meluncur deras untuk memanggang tu-
buhnya. Akan tetapi...
Plak..! Plak..! Kedua terjangan itu telah disambuti dengan hantaman sepasang lengannya. Dan aki-
batnya tombak dan pedang sang penjaga itu sudah
terpental, karena sekonyong-konyong si wanita berbaju
hitam itu telah menggerakkan tangannya cepat sekali.
Belum lagi hilang terkejutnya, si kedua penjaga itu te-
lah perdengarkan teriakan ngeri. Dan sekejap kedua
tubuh itu roboh terjungkal. Dengan leher di cengkeram
kesepuluh jari-jarinya... Darah segar menyembur
muncrat. Dan dengan tubuh berkelojotan, kedua pen-
jaga itu telah tewas seketika.
Mendengar kegaduhan di halaman istana, be-
berapa penjaga lainnya sudah berdatangan. Dan
alangkah terkejutnya menyaksikan dua orang kawan-
nya tewas secara mengerikan. Segera saja mereka
mengurung si wanita cantik berbaju hitam itu. Tam-
paknya si gadis ini tak merasa gentar. Bahkan dengan
tersenyum sinis memandang orang-orang di sekeliling-
nya. Adapun para penjaga istana sudah segera berte-
riak membentak, dan menerjang manusia di hadapan-
nya. Berkelebatlah tubuh si wanita menghindari. Ge-
rakannya gesit sekali. Hingga yang terlihat hanyalah
bayangan tubuhnya saja. Lagi-lagi terdengar teriakan-
teriakan santar, diiringi ambruknya beberapa penjaga
istana itu. Masing-masing dengan leher kena dicengke-
ram hancur. Hingga beberapa orang sudah tampak
melompat mundur dengan keluarkan keringat dingin,
dan pandangan menatap ngeri. Hati mereka jadi men-
celos terkejut. Melihat betapa tingginya ilmu wanita di
hadapannya itu. Tiga orang panglima Kerajaan sudah
melompat ke hadapan wanita itu.
"Ada permusuhan apakah anda mengamuk di
Kerajaan kami..? Kalau memang ada yang perlu dibica-
rakan, mengapa tidak bicara dengan baik-baik saja...?"
Bertanya salah seorang. Yang tampaknya seorang laki
laki yang berusia sekitar 45 tahun. Wanita ini menatap
pembicara itu dengan wajah sinis. Senyum dari sepa-
sang bibirnya yang tipis itu bagaikan sepasang mata
pedang yang mau mengiris jantung.
"Heh..! Aku mau bertemu dengan Rajamu! Ma-
na si Kandaga itu..!" Berkata si wanita dengan suara
tajam membersit.
"Ada perlu apakah anda menemui beliau..?
Sayang baginda sedang tidak ada. Boleh kami tahu
siapa anda..?" Bertanya lagi panglima tua itu dengan
sabar. Sementara diam-diam hatinya berdebar keras.
Ia tak dapat memastikan siapa adanya wanita itu.
Akan tetapi sinar-matanya mengandung dendam yang
amat hebat. Wanita ini tiba-tiba tertawa mengikik. Su-
aranya membuat getaran yang mempengaruhi jantung.
Dan ia sudah berkata dengan suara dingin bagaikan
es.
"Hi hi hi... Kandaga anak dari selir baginda Raja
Bantar Alam. Mengapa dia bisa diangkat menjadi pute-
ra mahkota? dan menjadi pengganti Baginda Raja Ban-
tar Alam..? Hi hi hi... Aku adalah puteri Baginda Raja
Bantar Alam dari Permaisuri Dewi Melur. Akulah yang
berhak menjadi Raja, atau Ratu pengganti ayahku,
bukan dia..!" Terkejut ketiga perwira itu. Lebih-lebih si
panglima tua Karena panglima itulah yang bernama
Renggana Pati. Dua puluh tahun yang silam ialah yang
diperintahkan oleh Raja Bantar Alam untuk membu-
nuh permaisuri di tengah hutan. Ketika itu permaisuri
Dewi Melur tengah hamil. Akhirnya ia berselisih den-
gan Warakas, kawannya. Yang waktu itu mereka ma-
sih prajurit. Renggana Pati tak terasa memegang sebe-
lah lengannya yang putus sebatas siku. Warakas ber-
hasil menabas putus sebelah lengannya. Namun tak
berhasil membunuhnya. Renggana Pati melarikan diri
kembali ke istana, dan melaporkan kejadian itu pada
Raja Bantar Alam. Namun Dewi Melur dan Warakas,
lenyap tak berbekas, walaupun telah dicari ke setiap
penjuru tempat. Kini seorang gadis mengakui adalah
puteri dari permaisuri baginda Raja Bantar Alam. Ten-
tu saja hal itu membuat Renggana Pati jadi terkesiap.
Pada saat itulah muncul seorang wanita berparas can-
tik, walaupun usianya telah sekitar empat puluhan ta-
hun. Si wanita itu sudah lantas membentak,
"Kurang ajar..! Iblis perempuan dari mana kau.
datang-datang mengamuk membunuhi orang istana..?
Hai! Para panglima..! Mengapa kalian tidak segera me-
ringkus perempuan ini..!?" Teriak wanita itu seraya
menatap tajam pada ketiga perwira dan si gadis ber-
ganti-ganti. Mendengar kata-kata itu si gadis cuma ter-
tawa sinis. Sepasang matanya membersit tajam mena-
tap wanita di hadapannya.
"Hi hi hi... kau pasti selirnya ayahku, Baginda
Raja Bantar Alam. Dan ibunya si Kandaga..!" Berkata
wanita berbaju hitam itu dengan suara dingin.
"Benar..! Anakku Pangeran Kandaga berhak
penuh atas kerajaan Bungo Mambang ini! Bukan kau.
! Ketahuilah..! Ibumu si Dewi Melur telah main gila
dengan Panglima Sobrang, beberapa tahun yang silam.
Mengapa kau mengakui dirimu anak keturunan Ra-
ja..? Sudah jelas ayahmu si Sobrang itu secuilpun kau
tak ada hak untuk menjadi pewaris Kerajaan..!" Berka-
ta sang selir, yang tampaknya jadi naik darah melihat
kemunculan wanita muda itu. Tentu saja perkataan itu
membuat si wanita berbaju hitam menjadi pucat wa-
jahnya. Tampak wajahnya sebentar pucat sebentar
merah. Tubuhnya seperti menggigil bahwa gusarnya
mendengar penghinaan ini. Namun ia tak dapat ber-
tindak apa-apa selain tiba-tiba menutup mukanya.
Dan sekonyong-konyong berlari dengan tubuh ter-
huyung-huyung. Dari kejauhan masih terdengar suara
isak tertahan. Dan sesaat kemudian sang gadis itu te-
lah berkelebat lenyap... Ketiga panglima yang menatap
tampak sama-sama menghela nafas. Sementara wanita
istri Bantar Alam itu sudah kembali memasuki istana.
Wanita bernama Gendari itu sudah menjadi ibu suri di
istana Kerajaan Bungo Mambang.
"Untung baginda Pangeran Kandaga sedang ti-
dak ada..!" Berkata salah seorang panglima. Renggana
Pati mengangguk-angguk, lalu beranjak masuk, sete-
lah diperintahkan beberapa pengawal mengurus jena-
zah para penjaga istana yang tewas. Selesai para pen-
gawal membersihkan halaman istana dari ceceran da-
rah, Renggana Pati memerintahkan segenap prajurit
untuk menambah kewaspadaan, dan memperketat
penjagaan.
* * *
Wanita berbaju hitam itu berlari dan berlari...
dengan hati serasa remuk redam. Sementara hatinya
seperti ditusuk-tusuk oleh jarum. Betapa sakit dan
malunya ia, dikatakan bahwa ia adalah anak hasil dari
perbuatan serong ibunya terhadap seorang panglima
Kerajaan bernama Sobrang.
"Benarkah demikian..? Benarkah aku bukan
anak dari Baginda Raja Bantar Alam?" Mendesis suara
tersendat dari kerongkongannya. Bibirnya bergerak-
gerak menahan tangis. Sebaris giginya sudah segera
menggigitnya hingga berdarah. Aku harus tanyakan
pada paman Warakas peristiwa sebenarnya. Atau aku
harus menunggu sampai ibu datang dari seberang..!
Berkata si gadis dalam hatinya. Segera tubuhnya berkelebatan cepat meninggalkan tempat itu. Sementara
malam mulai merayap. Di langit cuma ada sepotong
bulan.
Rumah yang ditujunya telah kelihatan. Akan
tetapi gadis ini tidak segera pulang. Disana ia terpaku
menata bulan. Ternyata di hatinya telah timbul pepe-
rangan hebat.
Aku tidak mengerti... manakah yang benar?
Penjelasan paman Warakas, ataukah kata-kata selir
baginda Raja Bantar Alam...? Kalau benar aku anak
seorang panglima Kerajaan bernama Sobrang, lalu di
manakah ayahku.. ? Apakah aku harus menjumpai
baginda Raja Bantar Alam untuk memohon penjelasan
ini..? Tapi aku telah menanam permusuhan, dengan
membunuh beberapa prajurit Kerajaan. Mana sudi ia
bicara padaku..? Beberapa pertanyaan memenuhi be-
nak si gadis cantik. Akhirnya pelahan-lahan ia bangkit
berdiri, dan beranjak dari situ.
"Ah... seandainya ibu sudah datang." Gumam-
nya. Sampai disini ia sudah berkelebat cepat untuk
mendatangi rumah panggung di kelokan jalan itu.
Akan tetapi lagi-lagi ia hentikan langkahnya. Karena
didengarnya ada suara-suara perlahan terdengar dari
balik dinding. Segera ia pasang telinga. Bahkan, sudah
dapat melihat keadaan di dalam kamar tempat tidur
pamannya.
Suara seorang wanita..! Ibukah..? Sepasang
matanya sudah terbentur dengan dua sosok tubuh
yang tengah bicara perlahan. Benarlah..! Kedua ibu
dan pamannya. Namun keadaannya bukanlah seperti
dua orang saudara kandung. Atau dua orang kakak
beradik. Karena kedua tubuh mereka saling berhimpi-
tan. Kalau saja dalam keadaan siang hari, tentu akan
terlihat wajah si gadis ini berubah menjadi merah.
Tidak salahkah penglihatannya...? Tapi kenya-
taannya itu memang sudah terpampang di depan ma-
tanya. Segera sudah ia tutup kelopak matanya. Dan
ada terdengar lagi suara lirih ibunya... "Warakas...?
Kau dapat apa yang kau inginkan... sebagai balas jasa
atas pertolonganmu padaku. Sebenarnya aku amat
bersedih, karena walau bagaimana Laras Jingga tetap-
lah anakku..!" Terkejutlah gadis yang sedang menden-
garkan memasang telinga itu. Jantungnya berdetak ke-
ras. Dan ia sudah mendengarkan lagi dengan menahan
nafas.
"Ha ha ha... kau memang bekas seorang per-
maisuri yang tahu membalas budi Bukan dirimu saja
yang kau berikan padaku. Tapi bahkan anak gadismu
sendiri juga kau korbankan demi balas jasa...! Aku be-
nar-benar mengagumimu, Dewi Melur." Berkata Wara-
kas. laki-laki bekas prajurit itu Yang kini telah mengin-
jak usia sekitar 40 tahun. Tubuhnya tegap dengan da-
da berbulu. Ia memang seorang laki-laki yang gagah,
berkumis tebal, rambutnya sudah terdapat dua warna,
putih dan hitam. Dewi Melur yang berusia sekitar 35
tahun itu memang masih sangat cantik. Sepasang len-
gan Warakas membelai rambut dan wajah Dewi Melur.
Wanita ini tampak pejamkan matanya. Tiba-tiba ia su-
dah berkata lagi seraya menghela napas.
"Semua itu adalah karena perjanjian yang telah
aku ikrarkan delapan belas tahun yang lalu. Demi
nyawaku. Dan demi anak dalam kandungan ku. Walau
kau adalah bekas hamba sahayaku, seorang prajurit
yang seharusnya menghormatiku sebagai seorang
permaisuri Raja. Akan tetapi aku memang harus men-
gakui kelicikanmu, Warakas..! Dan kau memang telah
membuatku jatuh, walau syarat yang kau berikan itu
amat berat. Kini semuanya telah kau dapatkan. Bukankah kau telah puas..?" Tiba-tiba Warakas memeluk
kencang seraya bisikkan di telinga Dewi Melur "Yah
aku telah puas...! Akan tetapi aku sulit menjatuhkan
Laras Jingga. Ia seorang gadis berhati keras..! Kejatu-
hannya yang pertama itu tanpa disadari olehnya. Tapi
ia mulai menjauhi diriku..! Walau tak berani menu-
duhku..! Aku memang telah berjanji membuka rahasia
siapa dirinya sebenarnya. Aku telah katakan padanya
bahwa ia seorang puteri raja yang berhak atas Kera-
jaan Bungo Mambang. Bukankah kau pun mengingin-
kan ia menjadi pengganti baginda Raja Bantar Alam,
dan melenyapkan musuh-musuhmu..?" Berkata Wara-
kas seraya hentikan gerakannya. Dewi Melur sempai
kerutkan keningnya Akan tetapi sepasang lengannya
sudah mencengkram punggung laki-laki itu, seraya
desiskan suara dari bibirnya..
"Ah... sudahlah. jangan bicara lagi kepadaku,
aku pusing. Aku baru saja kembali.." Bisik Dewi Melur
lirih. Dan ucapnya lagi. "Aku rindukan kau Warakas..."
Selanjutnya suara wanita itu sudah lenyap. Karena ia
sudah memagut leher Warakas untuk membenamkan-
nya ke dadanya. Sementara ia sudah perdengarkan ke-
luhan mendesis. Matanya setengah terpejam...
Laras Jingga sudah berlari meninggalkan ru-
mah panggung itu. Hatinya terasa remuk redam meli-
hat apa yang didengar dan dilihatnya... Dunia ini sera-
sa gelap. Ia berlari dan berlari... tanpa arah tujuan,
menyibak kelamnya malam. Tubuhnya berkelebat ce-
pat sekali, hingga yang tampak hanya bayang-bayang
hitam menembus di kegelapan.
Entah beberapa saat ia berlari-lari... hingga ke-
tika rasakan kakinya lelah, barulah ia berhenti. Se-
mentara air matanya tak hentinya bersimbah mengalir
di pipinya. Tempat itu adalah sebuah tebing batu. namun di sebelah baratnya terdapat sebuah bangunan
gedung tidak seberapa besar. Namun tampak gelap gu-
lita. Segera ia berkelebat kesana.
Setelah diperhatikan ternyata adalah sebuah
kuil yang kosong tak berpenghuni. Mendapat tempat
untuk beristirahat, Laras Jingga merasa kebetulan.
Dan ia sudah duduk menggabruk di sudut lantai. Lan-
git-langit bagian depan kuil itu terbuat dari tembok
tebal. Dengan empat buah tiang beton menyangganya.
Dengan menyandarkan tubuhnya di tiang beton, Laras
Jingga termenung memikirkan nasibnya. Seolah ter-
dengar lagi kata-kata pamannya. Kata-kata yang
membuat darahnya jadi bergolak, dan luapkan kema-
rahan yang tak terhingga.
Kini terbuka sudah bahwa Warakas bukanlah
pamannya, melainkan bekas seorang prajurit. Entah
pertolongan apa pada ibunya hingga sampai Warakas
menuntut janji. Dan sang ibu rela memberikan kehor-
matannya pada Warakas. Bukan itu saja, bahkan rela
berikan kehormatan anak gadisnya pada si prajurit
bernama Warakas itu.
Pelupuk mata gadis kembali menjadi basah...
Diantara kelopak matanya masih terbayang jelas keti-
ka sang paman menggaulinya. Saat yang menge-
naskan, dan di malam yang buruk itu, Laras Jingga
seperti biasa meneguk minuman dalam air kendi di
atas meja di dalam kamarnya. Air itu memang tidak
bening seperti biasanya. Akan tetapi ia tidak bercuriga.
Dan karena rasa dahaganya, ia sudah meminumnya
sampai segelas habis. Dan selanjutnya ia sudah re-
bahkan diri di pembaringan. Begitu cepatnya, ia terle-
lap... hingga sudah tak tahu apa-apa lagi. Cuma dian-
tara sadar dan tiada, Laras Jingga rasakan benda be-
rat menindih tubuhnya. Selanjutnya ia cuma rasakan
seperti dalam mimpi. Beberapa saat berlalu, ketika ia
sadarkan diri ia rasakan kelainan pada tubuhnya. Sa-
darlah Laras Jingga akan apa yang terjadi. Dari balik
pintu kamar ia mengintip ke dalam ruangan depan.
Terlihat sang paman masih enak-enak duduk seperti
tak pernah terjadi apa-apa. Laras Jingga bantingkan
tubuhnya ke tempat tidur, dan terisak-isak menekap
wajahnya di bantal. Dan malam itu juga ia telah pergi
dari rumah itu. Ia memang tak dapat berbuat apa-
apa.... Namun hatinya jadi membenci sang paman.
Dan diam-diam ia mengancam akan mengadukan hal
itu pada ibunya bila kembali. Kejadian itu berlangsung
setengah tahun yang lalu. Dan sejak saat itu ia jarang
pulang ke rumah. Ternyata diam-diam Laras Jingga te-
lah mempelajari ilmu kedigjayaan dengan seseorang,
yang belakangan telah pula menjerumuskannya pula
ke dalam dekapan sang Guru.
Laras Jingga sudah tak tahu lagi akan dirinya.
Apa lagi sejak ia berusia sepuluh tahun, sang ibu me-
mang jarang berada di rumah. Selama itu memang ia
tak mengenal siapa ayahnya. Untuk kedua kalinya ter-
paksa Laras Jingga menerima kehadiran Warakas.
Dengan janji akan memberitahukan siapa dirinya se-
benarnya. Hingga ia melabrak ke Kerajaan Bungo
Mambang. Di sana ia menumpahkan kejengkelan ha-
tinya. Kini diketahuinya bahwa sang ibu bahkan me-
mang bersedia mengorbankan anak gadisnya, juga se-
mata-mata karena janji memberikan imbalan.
Benar-benar terkutuk...! Jerit hatinya. Betapa
ia telah dilahirkan secara hina... Dari seorang ayah
yang tidak syah menurut hukum. Selama ini yang ter-
pampang di depan mata tak lain dari lingkungan
orang-orang terkutuk. Warakas, ternyata manusia be-
jat Ibunya Dewi juga bukan wanita baik-baik, walau
pun bekas seorang permaisuri Raja. Gurunya tak lebih
dari manusia durjana, yang memberi ilmu, namun
mengharapkan imbalan..! Gila..! Benar-benar gila..!
Memekik hati Laras Jingga. Dan tiba-tiba di malam
yang sunyi kelam itu ia telah menjerit sekeras-
kerasnya. Hingga bergetaran suaranya seperti mau
meruntuhkan tembok tebal kuil itu. Selanjutnya ia su-
dah kembali menangis terisak-isak menekap wajahnya.
Sepotong bulan yang masih mengambang di langit,
cuma terdiam, seperti juga turut merasakan kekalutan
hati dan hancurnya perasaan si wanita muda itu. Se-
mentara desir angin malam membuat tubuh agak
menggigil. Malampun terus melarut. Laras Jingga ma-
sih tetap duduk terpaku di teras depan kuil seperti ar-
ca.
* * *
Pertarungan di dasar lembah yang penuh den-
gan kera itu berlangsung seru... Dua sosok tubuh sa-
ma-sama berjenggot dan berkumis panjang, yang ter-
juntai memutih itu saling gebrak dengan hebatnya. Pu-
luhan ekor kera telah bergeletakan di sekelilingnya tak
bernyawa. Sementara sisa-sisanya melarikan diri ma-
suk hutan. Pasir dan debu beterbangan. Batu-batu di
sekitarnya hancur luluh terkena terjangan dari mas-
ing-masing serangan. Tampaknya kekuatan mereka
hampir berimbang. Bentuk tubuh kedua manusia itu
memang agak mirip. Cuma bedanya yang seorang ke-
palanya gundul plontos. Dan seorang lagi berambut
panjang bagai wanita.
Saat itu sesosok tubuh berkelebat di atas teb-
ing, dan berhenti untuk memandang ke bawah. Ter-
nyata dia seorang wanita muda. Dengan rambut panjang terurai. Wajahnya amat cantik dan ayu rupawan.
Dengan pakaian dari sutera merah jambu. Bermata jeli
dengan alis mata yang melengkung bagai busur panah.
Siapa lagi gadis muda itu kalau bukan Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Dari atas tebing itu
Roro perhatikan jalannya pertarungan. Segera ia men-
getahui siapa yang bertempur di bawah sana itu. "Ba-
gus..! Jarang aku menyaksikan pertarungan dua orang
tokoh Rimba Hijau kaum tua seperti ini..! Aku bisa
menontonnya dengan asyik!" Desis Roro seraya berke-
lebat turun. Gerakannya lincah, bagai seekor burung
seriti. Yang berkelebat dari ujung-ujung batu tebing
yang menonjol, melompat-lompat seperti tidak merasa
gamang atau ngeri tergelincir. Tentu saja bagi Roro hal
semacam itu bukanlah hal yang aneh lagi. Karena se-
bagai seorang yang berkepandaian tinggi, jurang da-
lam, bukit dan gunung bukanlah merupakan rintan-
gan lagi baginya.
Sebentar saja ia telah mendapat tempat yang
cocok untuk menikmati pertarungan hebat yang jarang
ada itu. Si kakek berambut panjang berjubah putih
itu, Roro Centil telah mengenalnya. Yaitu si Dewa Si-
luman Kera. Sedang yang seorang lagi, yaitu si kakek
yang bertubuh kurus dan berkepala gundul plontos itu
memang Roro baru mengenalnya sebulan yang lalu.
Yaitu di saat ia singgah di sebuah danau. Dimana Roro
melihat seorang kakek kurus tengah mengail ikan. Ca-
ra mengail yang aneh itu tentu saja telah menarik per-
hatian Roro. Karena hanya mempergunakan sebuah
bambu kecil, tanpa tali. Tapi bila disentakkan akan
terbawa beberapa ekor ikan meluncur kepermukaan
air. Dengan sebat, ia sudah menangkapnya. Dari meli-
hat keanehan itu Roro sudah dapat pastikan bahwa
kakek aneh itu seorang yang berilmu tinggi. Diam
diam ia menguntit si kakek aneh itu. Yang membawa
serenceng ikan segar, sambil berkelebat dengan cepat.
Ternyata sang kakek sudah waspada kalau di-
rinya dikuntit orang. Segera ia balikkan tubuh. Dan
tahu-tahu dua ekor ikan telah melesat menyambar Ro-
ro. Terkejut melihat kecepatan dua ekor ikan itu yang
menyambar ke arahnya. Namun dengan kecepatan ki-
lat, ia telah menangkap kedua ekor ikan itu. Seraya
berucap.
"Hi hi hi... Terima kasih atas pemberian dua
ekor ikan segar ini, kakek..! Aku memang sedang la-
par. Dan memang berniat meminta beberapa ekor ikan
ini, untuk dipanggang. Tentu akan terasa sedap, dan
dapat mengurangi rasa lapar ku..!" Akan tetapi jawa-
bannya adalah sebuah serangan hebat menghantam
Roro. Kali ini adalah satu angin pukulan yang berhawa
panas menyambar ke arah sang pendekar Wanita. Ter-
kejut juga Roro, karena angin pukulan itu belum tiba,
hawa panasnya telah menyerang terlebih dulu. Akan
tetapi lagi-lagi Roro berhasil menghindar dengan letik-
kan tubuhnya. Dan angin pukulan itu lewat di bawah
kakinya. Terdengarlah suara seperti ledakan...
DHERRRR...! Hantaman dahsyat itu tepat
menghantam pohon di belakangnya. Yang seketika
tumbang hangus. Baru saja ia jejakkan kakinya, telah
datang lagi serangan. Akan tetapi anehnya tidak di tu-
jukan padanya. Melainkan pada batang pohon yang
tumbang hangus itu. Terdengar suara mengguruh dan
batang pohon itu telah terbakar hangus. Timbulkan
api besar. Roro Centil jadi keheranan.
tapi ketika ia berpaling, si kakek aneh itu telah
lenyap berkelebat. Dalam keheranan itu lapat-lapat
terdengar suara di kejauhan...
"Bocah ayu... Silahkan kau panggang ikan mu.
Kalau kau sudah kenyang menikmati, silahkan datang
ke tempat ku di gubuk reyot, di kaki bukit sebelah ba-
rat..!" Tentu saja Roro jadi melengak. Tapi tiba-tiba ia
telah kirim kembali suaranya dengan jarak jauh den-
gan mempergunakan tenaga dalamnya.
"Hi hi hi... Terima kasih sekali lagi kakek
aneh..! Aku pasti akan datang menyambangimu..!"
Disamping bergirang hati, namun diam-diam Roro ter-
kejut juga. Karena seandainya ia kena terhantam, da-
pat dibayangkan bagaimana rupa dan bentuk tubuh-
nya. Namun tak berayal lagi ia sudah bersihkan dua
ekor ikan mas yang cukup besar itu. Dan dengan se-
buah ranting, ia sudah mulai memanggang ikannya.
Tak berapa Roro sudah duduk menikmati santapan le-
zatnya. Hingga sampai meram-melek karena nikmat-
nya. Sayang ia belum punya mertua.. Berfikir Roro.
Seandainya sudah pun pasti tak akan ditawari. Karena
memang lezatnya amat luar biasa.
Selesai bersantap, Roro segera beranjak untuk
bangun. Terasa kenyang perutnya. Namun ketika te-
ringat akan janjinya untuk singgah ke tempat si kakek
aneh itu, tanpa tunggu lama-lama lagi Roro sudah ce-
pat tinggalkan tempat itu. Demikianlah... Roro Centil
dapat berkenalan dengan si kakek aneh itu yang ter-
nyata berjulukan si Mayat Hidup. Ternyata di pondok
kecil itu menetap pula seorang wanita muda yang baru
saja melahirkan seorang jabang bayi. Dan baru berusia
beberapa hari. Terkejut Roro karena mengenali wanita
muda itu lak lain dari gadis yang pernah ditolongnya,
yaitu Retno Wulan. Tentu saja mereka menjadi sangat
akrab. Walaupun Retno Wulan memang sudah agak
lupa siapa penolongnya itu.
Kedatangan Roro seperti memang tengah diha-
rapkan. Karena ia dapat membantu merawat atau
menjaga sang bayi. Yang bagi gadis muda itu belumlah
pandai untuk mengurusnya. Maklum bayi yang perta-
ma kalinya. Dari Retno Wulan itulah Roro mendengar
kisah aneh yang dialami si wanita itu. Hingga mem-
buat Roro Centil tercenung. Kiranya kisahnya demi-
kian... Retno Wulan telah kehilangan seorang suami
bernama Gumarang, di saat kandungannya baru berja-
lan beberapa bulan. Dimana ketika siang hari ia seper-
ti biasa duduk dimuka pondoknya yang menghadap ke
arah danau Sang suami tengah mencari ikan dengan
berperahu di tengah danau itu. Tiba-tiba telah datang
seorang wanita berbaju putih tahu-tahu muncul di-
muka pintu pondok. Retno Wulan terkejut sekali. Dan
menanyakan siapa adanya ia, serta apa keperluannya.
Akan tetapi si wanita itu tak menyahutinya. Bahkan
menatap tajam padanya. Lalu alihkan tatapannya ke
arah danau.
Setelah perdengarkan tertawanya si wanita itu-
pun kembali lenyap. Retno Wulan benar-benar tak
mengerti siapa adanya wanita itu. Walaupun hatinya
merasa was-was, ia bersyukur karena si wanita aneh
itu tak mengganggunya. Ketika Gumarang ( suaminya )
pulang, Retno menceritakan serta menanyakan ten-
tang wanita itu. Ternyata Gumarang pun tak menge-
nalnya. Sampai jauh malam Retno Wulan tak dapat ti-
dur. Tapi akhirnya ia pulas juga tertidur sampai agak
kesiangan. Akan tetapi alangkah terkejutnya Retno
Wulan ketika mengetahui dirinya telah berada di se-
buah lembah yang curam. Sedang suaminya sama se-
kali tak kelihatan. Retno Wulan cuma bisa menangis,
karena setelah berusaha keluar dari lembah itu, tak
membawa hasil. Hingga tahu-tahu ia telah ditawan
oleh seorang yang mirip kera. Bahkan nyaris saja ia
jadi korban manusia kera itu kalau tak datang si kakek yang bergelar si Mayat Hidup itu menolongnya.
Demikianlah hingga sampai melahirkan bayinya. Na-
mun sampai saat ini suaminya belum juga dapat dite-
mukan. Walaupun si kakek Mayat Hidup sudah beru-
saha mencarinya. Gumarang lenyap tak berbekas. Dan
anggapan Retno Wulan, suaminya sudah tak ada lagi
di dunia ini...
Terenyuh juga hati Roro mendengarnya. Tapi
diam-diam Roro berfikir lain tentang wanita si penculik
aneh itu. Karena bisa saja yang melakukan adalah sa-
lah seorang dari musuh besarnya yang tengah dica-
rinya. Karena wanita penculik itu berkepandaian ting-
gi... Demikianlah, sampai satu bulan Roro menetap di
pondok kecil itu, sambil membantu Retno Wulan men-
gurus bayinya. Dan ia berjanji pada Retno Wulan kelak
akan membantu mencari suaminya bernama Guma-
rang, yang telah lenyap secara misterius itu. Ternyata
si kakek berjuluk si Mayat Hidup itu telah pula berbaik
hati mewariskan tiga jurus ilmu pada Roro. Ternyata
mendengar Roro Centil adalah pernah menjadi murid
Ki Bayu Sela alias si Pendekar Bayangan, orang tua itu
amat simpati padanya. Karena almarhum si Pendekar
Bayangan pernah menjadi sahabatnya ketika semasa
hidupnya puluhan tahun yang silam ketika si Mayat
Hidup masih mengembara di tanah Jawa alias Pulau
Kelapa.
Entah mengapa hari itu si Mayat Hidup berpe-
san agar turut menjaga Retno Wulan. Atau setidak-
tidaknya mencarikan tempat yang aman baginya. Si-
kapnya agak aneh. Membuat Roro jadi kepingin tahu.
Ternyata benarlah... ada suatu rahasia yang disembu-
nyikan si kakek itu. Yaitu perjanjian dengan si Dewa
Siluman Kera, untuk bertarung sampai seribu jurus di
lembah yang penuh dengan kera itu. Diam-diam Roro
menguntit. Agaknya si Mayat Hidup tak ingin urusan-
nya dicampuri Roro. Namun Roro Centil mana bisa
berdiam diri. Sifat ingin tahunya membuat ia berhasil
mengetahui tempat pertarungan itu. Walaupun keda-
tangannya agak terlambat. Karena pertarungan kedua
kakek sakti itu telah berlangsung ratusan jurus. Di
tempat persembunyiannya Roro menyaksikan kedua
tokoh tua Rimba Persilatan itu saling baku hantam.
Satu pukulan telak rupanya tak dapat dihin-
darkan oleh si Dewa Siluman Kera. Ketika di saat si
Dewa Siluman Kera menghantam tempat kosong, hing-
ga batu-batu berhamburan, Pada saat si Mayat Hidup
menerjang dengan dua hantaman sekaligus. Tampak si
Dewa Siluman Kera bergulingan menghindar. Akan te-
tapi ia kecele, karena dua hantaman pukulan itu ada-
lah gerak tipu saja. Dan si Mayat Hidup sudah mendu-
ga Dewa Siluman Kera akan bergerak ke samping. Se-
gera saja jurus Halilintar menyambar Bukit ia pergu-
nakan menghantam tubuh si Dewa Siluman Kera. Aki-
batnya pukulan telak itu tak dapat dihindarkan lagi.
Namun Tubuh si Dewa Siluman Kera memang kuat
bagai dilindungi selapis perisai baja. Hantaman itu
hanya membuat tubuhnya terlempar bergulingan dua
puluh tombak. Akan tetapi telah kembali berdiri den-
gan sebat. Gerakannya bagai seekor kera yang berge-
rak lincah. Tampak si Mayat Hidup melengak. Ia sudah
mengharapkan akan cepat menyudahi pertarungan itu
tak berapa lama lagi.
Karena sekujur tubuhnya telah lelah, dan men-
gucurkan keringat Akan tetapi anehnya si Dewa Silu-
man Kera bahkan semakin lama semakin kuat. Kini
dengan sepasang mata beringas menatap tajam pada
sang lawan, Dewa Siluman Kera perdengarkan suara
menggeram bagai gorila. Sepasang lengannya tiba-tiba
bergerak memutar. Bibirnya berkemak-kemik bagai
membaca mantera. Roro sendiri tertegun melihatnya.
Diam-diam ia sudah membatin... Ilmu apakah geran-
gan yang akan dilakukannya..? Berfikir Roro Centil.
Dilihatnya si Mayat Hidup cuma mengawasi dengan
sepasang matanya yang cekung. Tiba-tiba terdengar
bentakan dahsyat, seperti mau membelah bukit layak-
nya. Segelombang asap hitam bergulung-gulung me-
nyebar disekeliling tubuh si Dewa Siluman Kera yang
tahu-tahu gelombang asap hitam itu meluncur ke arah
si Mayat Hidup yang jadi seperti terpaku di tempatnya.
Sebentar saja lenyap sudah tubuh si Mayat Hidup se-
perti dibungkus gelombang asap hitam itu. Terdengar
si Dewa Siluman Kera berteriak santar...
"HUJAN...! TAUFAN...! PETIR...!" Disertai teria-
kan-teriakan itu, tubuh si Dewa Siluman Kera tiba-tiba
sudah amblaskan kakinya sampai sebatas betis. Inilah
tenaga dalam yang paling hebat yang tengah ia kum-
pulkan.
Sepasang lengannya bergerak bergetaran. Ki-
ranya tenaga dalam itu bercampur dengan saluran il-
mu batin yang sudah mencapai tingkat tinggi. Yang te-
lah disalurkan melalui asap hitam dan lengan serta
suara bentakannya, untuk mempengaruhi si Mayat
Hidup. Hebat akibatnya. Tampak si Mayat Hidup se-
perti terperangah, tubuhnya seperti sudah tak berte-
naga lagi. Roro Centil tiba-tiba telah melompat bangun
dan keluar dari tempat persembunyiannya. Tampak ia
katupkan sepasang matanya agak merapat, setengah
terbuka. Roro tengah menyalurkan segenap ilmu ba-
tinnya untuk menolak kekuatan batin si Dewa Siluman
Kera. Sekejap saja tubuhnya telah berubah kepulkan
uap putih. Hingga sampai ke ubun-ubun rambutnya.
Sepasang kakinya pun telah amblas ke dalam bumi.
Sementara sepasang lengannya disilangkan ke depan
dada. Dan tampak bergetaran dengan hebat. Tiba-tiba
terdengar suara teriakan Roro Centil melengking tinggi.
Dan disusul dengan hentakan hebat yang berkuman-
dang ke sekeliling lembah.
"HUJAN LENYAP...! PETIR LENYAP...!
TAUFAN...!" Hebat sekali kekuatan batin Roro Centil
yang disalurkan melalui getaran suara itu. Seketika
angin taufan yang menghembus. Hujan yang deras dan
petir yang menyambar-nyambar tubuh si Mayat Hidup
itu lenyap. Tampaknya si Mayat Hidup telah tertolong.
Dan ia sudah menyadari akan keadaan dirinya yang
dalam keadaan berbahaya. Tiba-tiba ia sudah mem-
bentak keras, seraya menghantam buyar asap hitam
yang mengelilingi tubuhnya. Terkejut bukan main si
Dewa Siluman Kera. Akan tetapi segenap tenaga dalam
telah ia salurkan pada kedua lengannya. Sebelum si
Mayat Hidup menyadari, ia sudah lakukan hantaman
hebat, disertai lompatan tubuhnya ke arah sang lawan.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat sebuah bayangan
merah jambu. Yang telah memapaki hantaman tenaga
pukulan si Dewa Siluman Kera. Terdengarlah suara...
BHLARRRRR.....! Asap tebal berwarna putih
dan hitam tampak membumbung ke udara. Terdengar
dua teriakan yang hampir bersamaan. Dan dua sosok
tubuh terlempar belasan tombak. Dewa Siluman Kera
terpental ke belakang dengan deras. Akibatnya fatal...
Karena tepat di belakangnya adalah dinding tebing ba-
tu. Hingga tak ampun lagi terdengar suara...
PRAKKK...!
Dan terlihat darah merah dan putih kental,
memuncrat seketika. Dibarengi dengan ambruknya tu-
buh si Dewa Siluman Kera ke bawah. Yang tanpa ber-
kelojotan lagi tubuh si manusia kera itu sudah menggeloso bagai sehelai kain, tak berkutik. Ternyata batok
kepalanya telah pecah berantakan... Sedangkan Roro
Centil terlempar beberapa tombak lalu jatuh bergulin-
gan. Tubuh si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu ma-
sih bisa bergerak untuk bangkit, tapi detik berikutnya
kembali roboh terkapar.
Adapun si Mayat Hidup terkejut bukan main. Ia
sudah segera memburu ke arah tubuh Roro. Sekilas
saja ia telah dapat mengetahui bahwa yang telah me-
nolong jiwanya adalah si gadis pendekar itu. Karena ia
telah melihat bayangan merah jambu berkelebat me-
nahan serangan dahsyat yang tak terduga, dan terlalu
sulit untuk ia dapat menghindar.
"Bocah ayu...!?" Ia sudah bergerak melompat
untuk memburunya. Akan tetapi ia sendiri sudah ter-
jungkal, karena sekonyong-konyong baru terasa tu-
buhnya menjadi terhuyung limbung. Cepat-cepat si
Mayat Hidup bangkit kembali dan duduk
bersila. Sebentar kemudian ia telah kembali
normal. Agaknya pengaruh ilmu batin yang dilontar-
kan si Dewa Siluman Kera telah termakan pada seku-
jur tubuhnya. Beruntung ia mendengar bentakan-
bentakan menggeledek, yang membuat serangan hebat
itu seketika punah. Terbersit seketika di hatinya bah-
wa yang menolong dirinya dari pengaruh serangan il-
mu batin si Dewa Siluman Kera itu juga si bocah wani-
ta di hadapannya. Kali ini si Mayat Hidup sudah putih
kembali tubuhnya Dan sekejap ia telah berada di ha-
dapan Roro Centil. Tak ayal sang kakek tua ini segera
memeriksa pernafasannya. Tampak ia menghela na-
pas. Wajah pucat si kakek ini kembali agak cerah.
"Dia cuma pingsan..! Akan tetapi bisa memba-
hayakan jiwanya. Aku harus cepat menolongnya sebe-
lum terlambat..!" Desis si Mayat Hidup. Dan sudah
pondong tubuh Roro Centil pada pundaknya. Sepasang
matanya masih sempat melihat ke tubuh si Dewa Si-
luman Kera. Bergidik tubuh si Mayat Hidup, melihat
batok kepala Tokoh Hitam itu yang sudah hancur tak
berbentuk lagi. Sedang di sekelilingnya tampak berge-
limpangan bangkai-bangkai kera yang sudah tak terhi-
tung banyaknya. Binatang-binatang itu adalah korban
terjangan si Mayat Hidup. Karena si Dewa Siluman Ke-
ra mempergunakan binatang-binatang itu sebagai la-
sykarnya.
Sesaat antaranya si kakek Mayat Hidup itu su-
dah berkelebat tinggalkan lembah yang telah memba-
wa kisah tragedi kematian si Dewa Siluman Kera, guru
si Siluman Kera Putih. Beberapa kedip berikutnya so-
sok tubuh sang kakek yang memanggul tubuh Roro,
sudah lenyap tak kelihatan lagi Lembah itu kembali
mencekam... Sementara burung-burung pemakan
bangkai berputar-putar di udara membaui bau amis-
nya darah yang memang sangat menusuk hidung....
* * *
Roro tergolek di balai-balai bambu di pondok si
Mayat Hidup. Kakek tua itu menggeleng-gelengkan ke-
palanya seraya menggumam.....
"Hebat..! Bocah aneh...!? Dalam usia begini
muda, tetapi telah mempunyai kekuatan tenaga dalam
berlipat ganda. Benar-benar luar biasa...!" Laki-laki tua
ini menatap wajah gadis dihadapannya, yang tampak
mulai mempunyai kekuatan tenaga
yang tampak mulai mengeluarkan butiran-
butiran keringat. Tersenyum si Mayat Hidup. Tadi ia
sudah salurkan tenaga dalam berhawa hangat untuk
membantu memulihkan pernafasan. Tampak nafas Ro
ro mulai turun naik dengan teratur. Ia sudah suruh
Retno Wulan memasak akar Ginseng. Dan ramuan ob-
at itu sudah disiapkan dalam mangkuk. Sesaat anta-
ranya Roro Centil sudah mengeluh, dan perlahan-
lahan buka kelopak matanya
"Kakek.. kau selamat...!?" Berkata Roro dengan
suara lirih. Dan bibirnya tersungging senyuman, meli-
hat laki-laki tua itu berada dihadapannya. Mayat Hi-
dup mengangguk dengan tak terasa setitik air mata
menggenang di pelupuk matanya. Siapa yang tidak
trenyuh hatinya. Karena gadis dihadapannya itu bu-
kan memikirkan keadaan dirinya, akan tetapi bahkan
masih juga mengkhawatirkan nasib orang lain lagi.
Suara tangis bayi Retno Wulan membuat ia tertawa
kecil, Ia berusaha untuk bangun... Akan tetapi ia men-
geluh, dan rebahkan lagi tubuhnya.
"Jangan banyak bergerak dulu, bocah ayu....!
Tubuhmu masih lemah. Kau perlu beristirahat lebih
banyak. Sebentar lagi perutmu harus segera diisi den-
gan bubur hangat. Kini minumlah ini dulu..." Ujar si
Mayat Hidup, seraya meraih mangkuk berisi ramuan
akar gingseng. Dan memberikan pada Roro. Sebelah
tangan si kakek itu bergerak membantu mengangkat
punggung Roro. Dan tanpa ayal atau sungkan-
sungkan segera Roro meneguk ramuan akar itu. bau
harum obat itu terasa menyegarkan. Hingga sampai
habis Roro menghirupnya. Selesai minum, perlahan-
lahan Roro kembali rebahkan tubuhnya dibantu oleh
si Mayat Hidup.
Selang tak lama antaranya Retno Wulan masuk
membawa semangkuk bubur hangat. Tampaknya Roro
sudah mulai kuat untuk berbangkit. Dan dibantu Ret-
no Wulan, Roro hanya mandah saja ketika wanita itu
menyuapinya. Bahkan meniupi bubur hangat itu lebih
dulu sebelum disuapkan ke dalam mulutnya. Diam-
diam Roro Centil jadi merasa geli sendiri. Persis seperti
anak bayi saja aku ini..! Berkata Roro dalam hati. Se-
mangkuk bubur hangat telah masuk perut Roro. Retno
Wulan menemaninya duduk sambil membawa bayi
mungilnya. Sementara si kakek Mayat Hidup telah
ngeloyor ke belakang dengan senyum girang terlukis di
wajahnya. Agaknya Roro Centil sudah mulai merasa
pulih lagi kesehatannya. Tubuhnya telah terasa kege-
rahan. Ia pun sudah segera bangkit duduk. Bahkan
berdiri. Lalu gerak-gerakkan tubuhnya, hingga terden-
gar tulang-tulangnya berbunyi klatak-klutuk. Selang
sesaat Roro sudah berjingkrak kegirangan. Ia benar-
benar telah merasa sehat sama sekali. "Eh, adik Ret-
no..! Mari aku yang gendong bayimu, hi hi hi... lu-
cunya..!" Berkata Roro seraya mau meraih si bayi dari
lengan ibunya. Akan tetapi si bayi sedang menyusu Ke-
tika bibir mungilnya terasa copot dari pentil susu sang
ibu, sudah lantas menangis. Akan tetapi cepat-cepat
Roro menghiburnya.
"Aiiiih, adik manis... diamlah sayang..
Aduuuh, kasihan sekali..! Nang ning nang ning ning
guuuung...! Lekas besar lekas jangkung! Sudah besar
jangan murung. Biar jadi orang beruntung..! Hi hi hi..."
Dinyanyikan sedemikian rupa, agaknya si bayi seperti
mengerti lalu terdiam. Dan selanjutnya sudah tertawa
lucu digoda Roro. Sementara Retno Wulan turut ter-
senyum. Tapi tak terasa sudah linangkan air mata. Ka-
rena sekonyong-konyong ia teringat pada sang suami.
Ah..! seandainya ada Gumarang! betapa akan terasa
bahagianya..! Bisik wanita muda ini dalam hati. Na-
mun cepat-cepat ia sembunyikan kesedihannya. Den-
gan buru-buru seka air matanya. Namun tak urung
Roro sempat melihat
"Kau menangis... adik Retno.. ?" Bertanya Roro
dengan kerutkan alisnya.
"Ah..! Tidak kakak Roro..! Aku hanya girang
dan terharu sekali, kau telah kembali sembuh. Tadinya
aku amat khawatir akan keadaanmu. Tahukah kau be-
rapa saat kau tak sadarkan diri...?" Tukas Retno Wu-
lan seraya perlihatkan wajah gembira.
"Berapa lama aku tak sadar diri..?" Tanya Roro
kepingin tahu. Retno Wulan tersenyum, lalu menja-
wab;
"Hampir satu hari satu malam..!" Roro Centil
terkejut. Sampai-sampai ia jadi ternganga keheranan.
Selama itukah..?Pikirnya. Dan ia dapat membayang-
kan tentu selama itu akan membuat orang menjadi re-
pot mengurusnya. Roro jadi geleng-geleng kepala tapi
diam-diam amat bersyukur sekali dirinya telah sehat
kembali....
Demikianlah... tinggal selama beberapa hari di
tempat terpencil itu, Roro benar-benar merasa keseha-
tannya telah pulih benar-benar. Dari si kakek Mayat
Hidup, Roro dapat mengetahui bahwa si Dewa Siluman
Kera telah tewas, akibat benturan tenaga dalam den-
gannya. Tapi seandainya di belakang si Dewa Siluman
Kera bukan dinding batu tebal, belum dapat dipasti-
kan kematian tokoh hitam yang hebat itu. Agaknya
memang sudah ajal dan hari naas si manusia kera itu
untuk tewas dengan kepala pecah, karena terhantam
batu. Roro cuma menghela nafas panjang... Entah
mengapa ia terlalu berani bertindak demi menyela-
matkan si Mayat Hidup. Padahal belum tentu ia mam-
pu menahan serangan dahsyat itu, mengukur akan
tingkat ilmu tenaga dalamnya yang ia tak tahu mengu-
kur kekuatan lawan. Waktu itu Roro memang bertin-
dak tanpa mau tahu resikonya. Akan tetapi ia sendiri
keheranan, karena toh akhirnya sang lawan si Mayat
Hidup bisa tewas. Barulah ia sadar, bahwa kematian
dan kehidupan manusia adalah di tangan Tuhan. Se-
tinggi-tingginya ilmu manusia, tidaklah ia dapat mela-
wan takdir. Dan tiada seorangpun yang mampu mela-
wan ajal, bila Tuhan telah menghendaki kematian-
nya...
* * *
PAGI ITU CUACA CERAH.... Mentari pagi men-
gorak senyum. Butir-butir embun menghias dedaunan,
penaka butiran intan yang berkilauan terkena cahaya
sinar sang Surya. Burung-burung terdengar berkicau
menyambut hadirnya si Raja Siang.
Kala itu Roro Centil sudah lakukan lagi perja-
lanannya. Rasa penasarannya untuk mencari tahu di-
mana adanya si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-
Kupu Emas, tetap menggebu di dadanya. Disamping
itu ia perlu mencari dimana adanya Gumarang. Si laki-
laki yang pernah ditolongnya itu. Laki-laki gagah dan
tampan yang diharapkan kehadirannya oleh Retno Wu-
lan.
Setengah hari sudah Roro lakukan perjalanan.
Dua desa telah ia singgahi, namun tak ada tanda-
tanda kedua orang musuh besarnya di tempat itu. Ak-
hirnya Roro memutuskan untuk mengunjungi Kota Ra-
ja, ia punya dugaan, bahwa bagi orang persilatan yang
senang hidup bermewah-mewahan, tentu akan memi-
lih tempat yang banyak keramaian. Karena bermacam
hiburan terdapat disana.
Segera ia sudah berkelebat meninggalkan desa
terakhir yang disinggahinya. Akan tetapi baru bebera-
pa kali ia berkelebat, telinganya mendengar suara teriakan-teriakan santar dari ujung perkampungan.
Roro kerutkan alisnya, dan secepat itu juga su-
dah memburu ke arah suara itu.
Terkejut Roro Centil melihat seorang gadis ber-
baju hitam tengah dikurung oleh belasan orang ber-
senjata pedang dan golok. Rata-rata para pengurung-
nya adalah laki-laki berambut gondrong. Tampaknya
wanita itu tak bersenjata sama sekali. Akan tetapi su-
dah terlihat dua orang tergeletak tak bernyawa ber-
simbah darah, tak jauh dari kaki si gadis muda itu.
Roro menyelinap ke balik pohon dengan cepat. Kini ter-
lihat wajah gadis itu. Ia seorang gadis yang masih mu-
da. Berumur antara 18 tahun. Wajahnya cukup cantik,
tanpa pemoles muka. Dengan sebuah tahi lalat di ba-
wah hidungnya. Ternyata gadis itu adalah Laras Jing-
ga. Entah mengapa sampai terjadi hal demikian ini.
Baiklah kita tengok kisah di belakangnya...
Kiranya sewaktu Laras Jingga semalam-
malaman duduk terpaku di depan kuil tak berpenghu-
ni itu, sepasang mata telah memperhatikannya. Seso-
sok tubuh yang memperhatikan itu sudah lantas ber-
kelebat lenyap. Namun kembali lagi dengan membawa
serta dua orang pemuda. Tampaknya kedua pemuda
itu laki-laki ceriwis dan berhidung belang. Melihat wa-
nita cantik duduk sendirian, tentu saja jadi berniat
mengganggu. Adapun infonya ia dapatkan dari seorang
anak buahnya. Setelah memberitahu, si pembawa info
sudah cepat-cepat angkat kaki. Tentu saja ia telah me-
nerima persen yang lumayan.
Kala itu hari malam memang semakin melarut.
Tapi cuaca tidak begitu gelap. Kedua pemuda itu su-
dah segera melompat ke hadapan si gadis. Salah seo-
rang sudah menyapa dengan wajah berseri dan se-
nyum menghias bibir.
"Selamat malam, nona..! Aih... kasihan sekali.
Mengapa nona bermalam di tempat seram begini.. ?
Kami adalah dua bersaudara Linggah dan Linggih. Se-
nang sekali kalau kami dapat mengajak nona berma-
lam di tempat penginapan kami. Jangan khawatir, ka-
mi adalah orang-orang terhormat. Tentu nona akan
mendapat perlindungan dari kami. Tampak Laras
Jingga palingkan wajahnya. Segera ia sudah dapat me-
lihat wajah kedua pemuda dihadapannya. Walaupun
dalam kesamaran cahaya bulan. Tak dinyana si pemu-
da itu mendapat sambutan. Gadis cantik itu bangkit
berdiri seraya berkata;
"Terima kasih... Kalau anda berdua menawar-
kan jasa baik, mengapa harus kutolak?" Terhenyak se-
ketika kedua pemuda Lingga dan Linggih. Benar-benar
mereka bernasib mujur malam itu. Karena dapat me-
mancing seorang gadis muda yang cantik, untuk pe-
muas nafsunya. Tentu saja Lingga yang tadi menyapa
jadi girang sekali.
"Bagus..! Siapa yang mau menolak ajakan dua
orang pangeran muda, yang punya kedudukan ter-
hormat..? Ha ha ha... Mari..! Mari nona. Kita segera be-
rangkat..!" Berkata Lingga seraya saja sudah merang-
kul pinggang Laras Jingga, yang tak menolaknya keti-
ka pemuda itu membimbingnya untuk meninggalkan
tempat itu. Dalam beberapa saat saja se
telah memasuki desa Segera terlihat sebuah
penginapan yang masih buka. Tempat itu memang ti-
dak jauh dan pusat kota. Dan merupakan jalan hidup
yang paling ramai. Apa lagi malam itu adalah malam
panjang. Banyak para laki-laki iseng yang berkantong
tebal, mencari hiburan. Kedua orang pemuda itu ada-
lah dua orang anak pembesar Kerajaan. Yang sudah
terkenal sebagai orang-orang yang disegani. Karena berurusan dengan mereka, berarti sama dengan mencari
penyakit.
Ketika kedua tuan muda ini kembali memasuki
penginapan, dengan membawa serta seorang gadis
cantik, segera sebuah meja telah cepat dikosongkan.
Kiranya di malam yang sudah larut itu masih banyak
para pengunjung penginapan, yang juga membuka res-
toran sederhana di bagian depannya.
Bau arak dan minuman keras sudah segera
menyambar hidung. Meja kosong itu segera mereka isi.
Seorang pelayan sudah segera menghampiri.
"Berikan dua botol arak Dan... Nona pesan
apa...?" Tanya Lingga seraya memagut lengan Laras
Jingga. Yang seperti orang melamun.
"Apapun bolehlah..." Sahutnya. Lingga dan
Linggih tertawa.
"Bagus! Tapi aku khawatir nona... eh, siapa?
Sedari tadi aku sampai lupa menanyakannya...!" Ujar
Lingga. Sementara sepasang mata pemuda ini, tak
hentinya menatap sang gadis dihadapannya.
"Panggil saja Laras..!" Sahut si gadis dengan
suara datar. Seperti tiada berperasaan apa-apa atas
segala sikap kedua pemuda itu.
"Baiklah... ngng... nona Laras, aku khawatir
nona tak menyukai arak. Biarlah ku pesan saja susu
hangat untukmu. Dan juga sediakan makanan kecil
buat kami..!" Ujar si pemuda seraya menatap pada
sang pelayan. Tapi ia sudah kedipkan mata pada laki-
laki pelayan itu.
"Baik..! Baik tuan muda..! Tunggulah. Sebentar
kami antarkan..!" Menyahuti si pelayan. Seraya ang-
guk-anggukkan kepalanya. Tentu saja ia mengerti
akan isyarat Lingga Karena bukan hal aneh lagi ba-
ginya Kedua anak pembesar Kerajaan Sriwijaya itu sudah menuang araknya pada gelas masing-masing. Se-
lanjutnya sudah meneguknya. Tak berapa lama sang
pelayan sudah membawa segelas susu hangat dan
makanan kecil. Tanpa ragu-ragu Laras sudah meng-
hangatkan perutnya, menghirup air suguhan dan me-
makan hidangan kecil yang ada di atas meja.
Selang beberapa saat, tetamu satu persatu mu-
lai berkurang. Tapi ada yang menginap di tempat pen-
ginapan itu. Tampaknya Laras Jingga sudah mulai
mengantuk. Karena sudah beberapa kali menguap.
Tentu saja Lingga segera bimbing gadis itu ke kamar-
nya. Sementara Linggih tetap berada di kursinya. Ling-
gih yang mengerti akan isyarat kakaknya hanya perli-
hatkan senyum serta angggukan perlahan. Dan ia te-
ruskan menghirup araknya hingga sepasang matanya
tampak mulai merah.
Kira-kira sepenanak nasi.... tiba-tiba Laras
Jingga muncul dengan wajah pucat, dan rambut kusut
masai. Sepasang matanya setengah terpejam. Dengan
terhuyung ia menghampiri meja Linggih, pemuda itu
tersenyum, dan sudah bertanya;
"Aii... nona Laras..! Kau belum tidur? Mana ka-
kakku Lingga...!" Bertanya Linggih seraya menuang la-
gi araknya pada dua gelas kecil.
"Ah..! Kakakmu itu sudah tidur pulas di ka-
marnya. Biarlah jangan diganggu. Aku belum lagi
mengantuk. Oh, dinginnya malam ini...'" Berkata Laras
Jingga seraya membetulkan baju di dadanya yang ter-
singkap. Sepasang mata Linggih telah melirik sekilas.
Dan perlihatkan sorot mata binal.
"Kau minumlah arak ini... untuk penghangat
tubuh..!" Berkata Linggih, seraya menyodorkan segelas
arak yang baru dituangkannya. Gadis cantik ini tanpa
segan-segan menyambutnya. Dan langsung meminumnya. Ternyata isi gelas kecil itu cuma sekali teguk
sudah kosong. Terkejut juga Linggih. Serta merta ia
sudah mengisinya lagi. Dan hal yang sama pun teru-
langi. Tampaknya Laras Jingga cukup kuat untuk mi-
num beberapa gelas. Hal itu membuat Linggih semakin
girang. Hingga beberapa gelas sudah si gadis meneguk
minuman yang ia suguhkan.
"Ha ha ha... Jangan khawatir, nona Laras..!
Uangku masih cukup banyak utuh membeli beberapa
botol arak! Agaknya nona Laras juga menyukai minu-
man keras ini..!" Segera si pemuda tepukkan tangan,
memanggil pelayan. Dan pesan lagi dua botol arak. Se-
dang kedua botol arak dihadapannya telah kosong tak
berisi sama sekali. Si pelayan mengangguk. Dan cepat
beranjak pergi. Tak berapa lama telah kembali mem-
bawa dua botol arak baru. Tak ayal lagi Linggih segera
membuka tutupnya. Dan langsung tuangkan isinya.
"Ha ha ha... silahkan nona Laras..!" Ujar Ling-
gih. Laras Jingga dengan sepasang mata semakin me-
redup, menyambar gelas arak yang sudah penuh berisi
itu. Dan langsung menghirupnya, serta menegaknya
sampai habis. Kini tampaknya gadis dihadapannya ini
mulai merasakan kepalanya berdenyutan. Gerakan
lengannya sudah agak gemetar. Dan celotehnya mulai
ngawur. Tapi ia sudah sodorkan lagi gelas kosongnya,
seraya berkata;
"Tambah lagi... hi hi hi... nikmat sekali..! Oh..!
Kau memang hebat Lingga..!" Pemuda bernama Linggih
ini kerutkan alisnya, tapi sudah segera menuangkan
lagi isi botol, yang segera memenuhi gelas kosong itu.
Tapi belum lagi Laras Jingga mengangkat gelasnya,
arak dalam gelas itu telah tumpah membasahi meja.
Tampaknya Laras sudah tak kuat untuk menahan tu-
buhnya yang telah terhuyung ke kiri dan kanan.
"Sudahlah, nona Laras.... Sebaiknya kau beris-
tirahat..!" Berkata Linggih, seraya bangkit dari kur-
sinya. Dan meraih pinggang Laras Jingga. Untuk se-
lanjutnya sudah dipapah menuju kamar di ruangan
dalam. Satu isyarat kepala membuat si pelayan yang
telah mengerti, segera beranjak ke dalam terlebih dulu
untuk menyediakan kamar. Tentu saja Linggih bergi-
rang hati, karena ternyata masih ada kamar kosong
untuknya. Dan sesaat antaranya mereka sudah me-
masuki ruangan kamar, yang berhadapan agak jauh
dengan kamar tempat Lingga menginap. Memang ta-
dinya mereka menginap berdua dalam satu kamar
dengan kakaknya.
Laras Jingga biarkan Linggih menggerayangi
tubuhnya. Bahkan ketika ia rasakan bibirnya dipagut,
tidaklah Laras Jingga menolaknya.
Detik demi detik terus berlalu... Laras Jingga
cuma dapat mendengar degup jantung Linggih yang
semakin memburu. Terasa hembusan-hembusan angin
bagai mengguruh di telinganya. Sementara samar-
samar dari arah ruangan tamu, terdengar suara orang
mendengkur. Dengan nafasnya yang panjang pendek
mendesah-desah.
Satu persatu benda-benda yang menjadi peng-
halang telah mereka singkirkan. Laras Jingga bagaikan
seekor kuda putih yang jinak namun binal. Pandangan
matanya yang meredup seperti membakar birahi si
pemuda anak pembesar Kerajaan itu.
CRASS..! Kesepuluh jarinya telah membenam
ke dalam leher si pemuda bernama Linggih itu. Tam-
pak pemuda itu beliakkan sepasang matanya. Tubuh-
nya meronta menahan rasa sakit yang luar biasa. Se-
pasang kakinya menggelinjang seperti berusaha mena-
han sesuatu yang mau meronta keluar dari raganya.
Lidahnya sudah segera terjulur. Tidak berapa lama ge-
rakan kaki dan gelinjang tubuhnya mulai mengendur...
dan selanjutnya sudah semakin lemah. Sesaat kemu-
dian tubuh itupun terdiam tak bergeming untuk sela-
ma-lamanya. Laras Jingga lepaskan terkaman jari-jari
tangannya di leher Linggih. Segera memancur deras
darah merah bagaikan menggelegak tiada henti. Seke-
jap saja bantal dan tilam itu telah menjadi merah ber-
simbah darah. Bibir wanita muda ini tampilkan se-
nyum dingin. Wajahnya tak berubah sedikit pun. Ke-
mudian dengan cepat ia sudah beringsut turun dari
pembaringan. Dan sambar kain selimut untuk mem-
bersihkan jari-jari lengannya. Sebat sekali ia telah ra-
pihkan kembali pakaiannya. Lalu berdiri dan bereskan
rambutnya. Kelambu sutera segera ia tutupkan menu-
tupi tubuh Linggih yang sudah menjadi mayat itu. Ke-
mudian setelah tatap sebentar tubuh laki-laki itu, ia
segera beranjak menghampiri jendela kamar. Dengan
gerakkan tangannya, jendela sudah segera terbuka.
Sekejap kemudian tubuh wanita muda itu telah berge-
rak melompat keluar, dan berkelebat lenyap dikere-
mangan malam yang semakin melarut...
* * *
Menjelang pagi di penginapan itu telah terjadi
kegaduhan. Karena pelayan penginapan telah da-
patkan Lingga dan Linggih kedua anak pembesar Kera-
jaan itu, telah tewas menjadi mayat, dengan keadaan
mengerikan. Dengan leher berlubang serta tulang yang
remuk. Seperti dicengkeram jari-jari tangan. Berita se-
gera menyebar ke setiap pelosok. Betapa gusarnya
sang pembesar kerajaan mengetahui kematian kedua
anak laki-lakinya. Segera menitahkan kepada pengawal Kerajaan untuk menangkap gadis yang ciri-cirinya
telah diketahui. Beberapa maklumat tertulis dengan
huruf-huruf besar untuk menangkap hidup atau mati
wanita bernama Laras Jingga. Yang ciri-cirinya dida-
patnya dari si pelayan penginapan itu. Bahkan bebera-
pa orang yang menginap di penginapan itupun telah
mengenal siapa adanya wanita berbaju hitam itu. Ten-
tu saja ada imbalan besar bagi siapa yang dapat mem-
bawa hidup-hidup atau bangkainya sekalipun.
Demikianlah... Hingga tatkala Roro Centil meli-
hat seorang wanita tengah di kurung oleh belasan
orang bersenjata telanjang itu, Laras Jingga memang
sedang di incar nyawanya demi merebut hadiah bagi
siapa yang dapat menangkap hidup-hidup atau mem-
bawa bangkainya... untuk dipersembahkan pada sang
Pembesar Kerajaan Sriwijaya. Empat orang tampak
mulai menerjang maju. Golok dan pedang meluncur
deras dari beberapa jurusan. Akan tetapi gerakan si
wanita itu memang lincah. Dengan wajah kaku dan
sepasang mata seperti tak berkedip. ia mengegos kesa-
na-kemari. Dibarengi gerakan lengannya berkelebat.
Sekejap saja terdengar teriakan-teriakan ngeri... Dan
keempat penyerangnya telah roboh terjungkal dengan
leher-leher kena dicengkeram hancur. Dalam sesaat
saja keempat penyerangnya itu telah berkelojotan me-
regang nyawa.
"Hebat..!" Mendesis Roro Centil dengan suara
perlahan. Gerakan wanita berbaju hitam itu membuat
ia terkejut, karena seperti ia telah mengenal gerakan
dari jurus keji itu. Karena itu adalah salah satu dari
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu pecahan dari "Sepuluh
Jurus Pukulan Kematian".
Ada hubungan apakah wanita muda ini dengan
si Dewa Tengkorak.? Berkata Roro dalam hatinya.
Ia sudah menduga bahwa si wanita itu adalah
salah seorang dari musuh besarnya. Karena siapa lagi
yang diwarisi jurus-jurus keji itu kalau bukan gundik-
gundiknya si Dewa Tengkorak..?
Tapi Roro memang berfikir agak panjang. Kare-
na melihat gadis itu masih berusia sangat muda, Roro
jadi ragu. Sekiranya ia adalah salah satu dari gundik si
Dewa Tengkorak, sudah pasti usianya dua kali lipat
usia gadis dihadapannya ini. Mungkin pula gadis ini
murid salah satu gundiknya si Dewa Tengkorak. Tapi
belum dapat dipastikan kalau guru gadis itu adalah
pembunuh dan pengeroyok gurunya. Demikianlah...
Roro Centil belumlah bertindak untuk keluar dari tem-
pat persembunyiannya. Ia cuma perhatikan dari balik
pohon.
Sementara itu, melihat lagi-lagi empat orang
kawan dan para pengeroyok itu roboh dan tewas seca-
ra mengerikan, yang lain-lainnya mulai merasa gentar.
Akan tetapi sebaliknya si gadis berbaju hitam itulah
yang menerjang mereka seraya keluarkan bentakan-
bentakan keras yang menggetarkan jantung... Hebat
akibatnya Karena ketujuh orang pengeroyokannya itu
jadi seperti terkesima. Dan belum lagi mereka sadar
akan apa yang terjadi, tahu-tahu tubuh si wanita itu
telah berkelebatan menerjang kesana-kemari. Dan tak
ampun lagi, terdengarlah teriakan-teriakan ngeri yang
berkumandang di siang hari itu. Batang-batang tubuh
mereka bertumbangan bagai batang-batang pohon
yang ditebang. Dan jatuh berkelojotan meregang nya-
wa. Darah memuncrat disana-sini. Di mana bayangan
hitam itu berkelebat, pasti akan terdengar pekik men-
gerikan. Hingga dalam beberapa saat saja, ketujuh
orang pengeroyoknya sudah bergelimpangan tak ber-
nyawa.
Roro terpaku di tempatnya. Diam-diam hatinya
membatin... Ada permusuhan apakah si wanita muda
ini dengan para pengeroyoknya..? Aku dapat berpihak
pada siapa-siapa, karena belum mengetahui persoa-
lannya..! Demikian berfikir Roro Centil. Akan tetapi
pada saat itu menoleh ke belakang. Tampak debu
mengepul dari kejauhan. Semakin lama semakin de-
kat. Tiba-tiba sekali memutar tubuh, si gadis berbaju
hitam itu sudah berkelebat pergi ke arah sebelah ti-
mur. Roro Centil melompat untuk mengejar. Tapi su-
dah terdengar bentakan, dan disusul oleh berhambu-
rannya anak-anak panah meluruk ke arahnya. Ter-
paksa Roro menggunakan kibasan rambutnya meng-
hantam jatuh puluhan anak-anak panah itu. Yang se-
gera berhamburan terpental, patah-patah.
"Kurang ajar..! Jangan harap kau dapat melari-
kan diri, perempuan siluman..!" Terdengar bentakan
keras. Dan disusul oleh berkelebatnya dua sosok tu-
buh menghadang di depan Roro.
Kedua orang itu berpakaian perwira Kerajaan.
Yang seorang bertubuh tinggi kekar, dengan kumis
tebal menutupi mulutnya. Seorang lagi berwajah ber-
sih, tanpa kumis dan jenggot. Usianya sekitar 40 ta-
hun. Salah seorang sudah mencabut senjatanya, yaitu
sebuah tombak pendek, dengan ujungnya seperti se-
buah golok tipis, yang pada bagian sisinya terdapat ti-
ga lekukan berujung runcing, mirip mata gergaji, se-
dang pada bagian sebelahnya lagi berbentuk meleng-
kung pipih. Itulah bagian yang tajamnya. Pada pang-
kalnya terdapat seuntai benang-benang merah. Itulah
senjata yang dinamakan Tombak Naga Dewa. Si pemi-
liknya bernama Lembu Sura, seorang panglima kera-
jaan Sriwijaya yang termasyhur. Laki-laki tanpa kumis
dan jenggot, bertubuh jangkung kurus itu sudah
membentak dengan suara dingin.
"He..! Bocah perempuan..! Pantas kau sudah
punya nyali macan. Rupanya ada berilmu juga kau!
Hmm... sebutkan siapa dirimu, sebelum kau kutang-
kap untuk mempertanggungjawabkan perbuatan do-
samu..!" Sementara si kumis tebal itupun sudah men-
geluarkan senjatanya sebuah kebutan, yang bergagang
runcing. Sedang kebutan itu sendiri panjang dan te-
balnya sangat mirip dengan ekor kuda. Orang inipun
bukan orang sembarangan. Karena ialah yang dijuluki
si Kebutan Dewa Maut. Namanya sendiri adalah Datuk
Raja Guru. Roro Centil agaknya ingin tahu juga akan
kedua orang perwira Kerajaan ini. Tentu saja ia tidak
takut, karena tak merasa bersalah. Ia sudah lantas
berkata; "Aku yang rendah bernama Roro Centil..!
Kaum rimba Hijau menyebutku Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan..! Ada urusan apakah gerangan kalian
orang-orang Kerajaan memusuhi ku...? Herannya aku
sendiri tak mengetahui apa kesalahanku..!" Tentu saja
kedua orang dihadapannya itu jadi melengak.
Sementara itu sepuluh orang prajurit berpanah,
telah mengurung Roro, dengan panah-panah siap dile-
paskan dari busurnya. Mereka membentuk lingkaran,
dengan masing-masing berada di atas punggung kuda.
Roro Centil cuma palingkan sedikit kepalanya ke kiri
dan kanan. Dan tampak ia perlihatkan senyum juma-
wa. Lembu Sura yang bersenjatakan tombak Naga De-
wa itu tampak kerutkan alisnya, seraya berujar...
"Roro Centil Pendekar Wanita Pantai Selatan.. ?
Hm..." Tampak Lembu Sura manggut-manggut. Dan
teruskan kata-katanya. Juga perkenalkan siapa di-
rinya. "Aku Lembu Sura dan kawanku ini Datuk Raja
Gur...!"
"Kau dari tanah Jawa, bukan..? Aku banyak
mengetahui nama-nama di pulau Kelapa itu. Tapi aku
jadi tetap curiga padamu, nona..! Jangan-jangan kau
bersekongkol dengan iblis perempuan yang kucari itu.
Memang dari tanda-tandanya, kau bukanlah wanita
buronan yang sedang dicari hidup atau mati itu. Akan
tetapi kecurigaan ku beralasan..!"
"Apakah alasannya.. ?!" Tanya Roro memotong
kalimat.
"Di tempat ini hanya ada kau seorang. Dan
bangkai-bangkai manusia ini sudah suatu bukti besar
untuk menuduh mu. Karena mereka ini adalah orang-
orang yang diutus oleh Panglima Kerajaan Sriwijaya,
itu Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Kalau bukan
kau pembunuhnya, bisa juga wanita buronan itu, yang
sengaja kau sembunyikan di belakangmu..!" Berkata
Lembu Sura.
Roro Centil jadi melengak juga mendengar tu-
duhan itu. Tapi ia tetap bersabar untuk lakukan per-
tanyaan. Karena akal cerdik Roro segera berkembang.
Keadaan yang membahayakan dirinya itu, justru akan
diambilnya keuntungan hingga ia dapat mengetahui
persoalan sebenarnya.
"Hi hi hi... Alasan itu memang dapat diterima.
Mencurigai orang itu memang boleh. Akan tetapi jan-
gan menuduh dulu sebelum terbukti. Bolehkah aku
tahu, apakah kesalahan wanita buronan itu..?" Tanya
Roro.
"Hm... kabar sudah santar terdengar. Masakan
kau tak mengetahuinya ? Wanita itu telah membunuh
dua orang pemuda bernama Lingga dan Linggih. Kedu-
anya adalah putera Panglima Agung Tunggal Sewu Se-
ta...!" Menyahuti Datuk Raja Gur alias si Kebutan De-
wa Maut. Lembu Sura manggut-manggut, seraya tatap
wajah Roro dengan tajam. Adapun Roro Centil agaknya
belum merasa puas dengan jawaban itu.
"Membunuh orang, tentu ada alasannya. Seper-
ti kalian juga yang mau menangkapku, tentu memakai
alasan atau dalih atas kesalahan dari orang yang akan
kalian tangkap. Tentunya tuan-tuan yang terhormat
dapat membeberkan dengan dalih apakah maka sam-
pai terjadi pembunuhan itu..!" Berkata Roro dengan
tandas dan tegar. Tentu saja wajah kedua orang perwi-
ra Kerajaan itu jadi merah. karena mana mungkin me-
reka menceritakan peristiwa di penginapan itu.
Yang tentunya akan menjatuhkan nama pan-
glima Agung Datuk Sewu Seta. Pada saat itulah ter-
dengar suara serak bagai tempayan rengat, diiringi
dengan suara tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he... he he... Siapa yang tidak kepincut
melihat seekor kuda putih bertahi lalat di bawah hi-
dung, untuk menungganginya.. ? Dua orang pemburu
yang gagah berani itu telah mengajaknya berlayar ke
pulau Nirwana. Kalaupun harus membayarnya dengan
nyawanya, rasanya juga tidak penasaran...'"
Tentu saja kedua perwira Kerajaan itu jadi ter-
kejut bukan main. Ketika mereka palingkan kepala,
ternyata seorang kakek bertubuh bulat mirip bola se-
dang enak-enak duduk ongkang-ongkang kaki di atas
dahan pohon yang tinggi.
Roro memang sudah mengetahui adanya ma-
nusia di atas pohon itu, sejak ia sembunyi dibalik po-
hon tadi. Akan tetapi ia pura-pura tak mengetahui.
Tapi diam-diam sudah waspada. Ada di pihak mana-
kah si manusia yang nangkring di atas dahan itu. Pi-
kirnya. Lembu Sura sudah keluarkan bentakannya.
Walaupun diam-diam hatinya jadi mencelos... karena
ia tak mengetahui akan adanya manusia di atas pohon
didekatnya. Seandainya seorang musuh, dan membokongnya, tentu ia tak dapat berbuat apa-apa. Tapi di-
am-diam ia memaki juga dalam hati, akan ketidak je-
lian mata ke sepuluh prajurit yang di bawahnya, yang
sejak siang-siang juga tak mengetahuinya.
"Kurang ajar...! Turunlah kalau mau bicara...
sobat...!" Tampak Lembu Sura mengangkat tangannya.
Dan serentak sepuluh anak panah berlepasan melun-
cur bersiutan ke atas dahan. Manusia bulat itu meng-
gelinding jatuh bagai nangka busuk dari atas pohon.
Akan tetapi bagaikan bola karet, sepasang kakinya te-
lah menotol tanah... dan di lain kejap ia sudah berdiri
tegak dihadapannya. Dengan melompati dua orang
prajurit berkuda. Sementara kesepuluh anak-anak pa-
nah itu menancap di batang pohon. Roro perhatikan
wajah manusia bulat itu yang memakai jubah warna
hijau, dengan dada terbuka. Menampakkan daging di
dadanya yang menggembung bagai payudara. Ternyata
orang ini berusia sekitar lima puluhan tahun. Kepa-
lanya hampir disebut gundul, karena cuma ada bebe-
rapa helai rambut yang melekat di kulit kepalanya. Ro-
ro tak menyangka kalau si bulat ini menampilkan wa-
tak laki-laki hidung belang. Terbukti sebelah matanya
dikerenyitkan genit pada Roro. Namun Roro Centil me-
nanggapinya dengan tersenyum. Sementara itu diam-
diam Roro Centil mengucapkan terimakasih dalam ha-
ti, yang si manusia bulat ini telah membeberkan masa-
lah pembunuhan itu.
"Siapa kau..!? Mengapa kau berani bicara sem-
barangan..!" Bentak Lembu Sura. Si manusia bulat ini
cuma cengar-cengir seraya keluarkan kipas butut clan
anyaman bambu, dan sambil mengipas, ia menjawab
seenaknya.
"Ah, aku orang tak penting..! Mengapa harus di-
tanya nama segala. Akan tetapi memandang kipas butut dan anyaman bambu itu Lembu Sura dapat menge-
tahui siapa orang bertubuh bulat bagai bola itu.
"Hm... kiranya anda yang berjulukan si Dewa
Angin Puyuh itu? Bagus..! Aku ingin bertanya. Apakah
yang membuat anda mencampuri urusan ini..?" Tanya
Lembu Sura. Yang ditanya cuma tersenyum jumawa,
seraya sahutnya;
"Ah, sebenarnya bukan aku mau mencampuri
urusan tuan-tuan sekalian. Akan tetapi mulutku telah
jadi gatal untuk bicara, dan menjelaskan hal yang se-
benarnya. Apakah fakta yang aku katakan tadi menya-
lahi undang-undang? Hal seperti itu sudah tidak aneh
lagi. Jangan kata baru anak seorang Pembesar Kera-
jaan. Walaupun anak Raja sekalipun bisa saja terjadi
berbuat hal yang memalukan. Mengapa harus ditutup-
tutupi..? Mengenai tuduhanmu pada gadis ayu ini,
adalah tidak beralasan tepat menurut pendapatku!
Aku tidak berpihak pada siapa-siapa. Tapi berdasar-
kan fakta dari apa yang kulihat. Karena sedikitpun ga-
dis ini tak ada hubungannya dengan wanita buronan
bernama Laras Jingga itu. Kalau aku mau sejak tadi
sudah kutangkap gadis berdarah dingin yang jadi bu-
ronan pihak Kerajaan itu. Akan tetapi aku memang tak
mau mencampuri urusan siapa-siapa saja. Aku orang
bebas, tak berhak seorang pun mengatur aku. Seperti
juga sesuai dengan nama julukanku si Dewa Angin
Puyuh. Angin puyuh bebas bergerak. Tidak terikat oleh
apapun juga... He he he..!" Melengak Lembu Sura
mendengar kata-kata si Dewa Angin Puyuh. Tampak-
nya Lembu Sura tak mau berurusan dengan manusia
bulat ini. Ia sudah berkata tegas.
"Baik..! Ku cabut tuduhanku..! Akan tetapi ha-
rus ada syarat yang harus dipenuhi!"
"Apakah itu ..?" Bertanya Roro, yang sedari tadi
cuma jadi pendengar saja. Perwira Kerajaan ini berpal-
ing menatap Roro Centil.
"Syarat itu ialah, kau harus buktikan bahwa
kau tidak bersekongkol dengan wanita buronan itu.
Yaitu dengan bertarung melawan kami sampai sepuluh
jurus. Kalau dalam sepuluh jurus itu kau dapat jatuh-
kan senjata kami, barulah kau kuanggap bebas dari
segala macam tuduhan. Dan hal ini tak boleh ada
orang lain yang ikut campur..!" Berkata Lembu Sura.
Ternyata dalam hal main politik, perwira Kerajaan ini
sudah terkenal licin dan lihai. Sehingga pantas saja
kalau ia menjadi orang terkenal. Yang dengan senja-
tanya yang bernama Tombak Naga Dewa itu, pernah
ditakuti lawan, dan dikagumi kawan. Entah berapa
nyawa sudah melayang di dalam setiap peperangan...
"Wah..!? Syarat itu terlalu berat, apakah tidak
bisa diganti..?" Berkata si manusia bulat alias si Angin
Puyuh. Akan tetapi Roro Centil sudah menyahuti.
"Baiklah! Aku terima syarat itu..!". Si Dewa An-
gin Puyuh jadi garuk-garuk kepala tanpa bisa berbuat
apa-apa. Lembu Sura perlihatkan senyum dingin, se-
raya berkata;
"Bagus..! Tapi ingat, nona..! Kalau kau tak da-
pat lulus dari persyaratan ini, kau harus jadi tawanan
kami. Dan bersedia dibawa ke Kota Raja untuk diha-
dapkan pada Panglima Agung Tunggal Sewu Seta..!"
"Baik...!" Menyahut Roro Centil. Dan segera ia
sudah melompat mundur dua tindak. Lingkaran diper-
besar. Bahkan si manusia bulat Dewa Angin Puyuh
pun melompat ke sisi.
"Bersiaplah, Nona..!" Berkata Lembu Sura. Dan
ia sudah memberi isyarat pada Datuk Raja Gur alias si
Kebutan Dewa Maut. Yang segera bersiap dengan sen-
jatanya.
"Awas serangan..!" Teriak Lembu Sura. Dan
senjata Tombak Naga Dewa telah meluncur deras men-
garah leher. Sedang si Datuk Raja Gur menerjang den-
gan kebutan mautnya. Roro Centil pergunakan keta-
jaman indranya. Serangan mengarah leher itu dapat ia
egoskan dengan lekukkan tubuhnya ke belakang. Tapi
di belakang telah menyambar kebutan si Datuk Raja
Gur. Terpaksa Roro doyongkan tubuh ke samping.
Dengan gerak tarian "Bidadari Mabuk Kepayang". Dan
serangan jurus pertama itu gagal. Tapi di luar dugaan
sambaran kebutan si Datuk Raja Gur meluncur lagi
membersit ke arah pinggang. Ujung-ujung dari kebu-
tan ekor kuda itu sekonyong-konyong jadi mengeras
bagai kawat-kawat baja. Merasai adanya angin bersiut
disamping tubuhnya, Roro Centil telah gerakkan kepa-
lanya. Seketika saja rambutnya yang panjang itu telah
menyambar bahkan langsung menggubatnya. Datuk
Raja Gur perlihatkan senyumnya. Ia memang telah li-
hat kehebatan rambut Roro sewaktu menghantam
buyar anak-anak panah. Ia sengaja biarkan gubatan
pada kebutannya. Akan tetapi tiba-tiba ia telah sen-
takkan senjata kebutannya. Ia merasa yakin akan da-
pat menarik jatuh tubuh Roro. Akan tetapi alangkah
terkejutnya. karena justru ia sendiri yang kena ditarik.
Tentu saja ia tak mau lepaskan kebutannya. Hingga
detik itu juga tubuhnya telah terbawa melayang me-
mutar. Lembu Sura ternganga Tombak Naga Dewanya
segera membabat ke arah kaki Roro.
WESSS..! Terpaksa Roro lepaskan gubatan
rambutnya, untuk segera melompat menghindar. Pin-
tar juga si Lembu Sura ini..! Berfikir Roro Centil. Kare-
na kalau ia tak lepaskan gubatan rambutnya pada ke-
butan si Datuk Raja Gur, bisa-bisa ia jatuh terbanting.
Karena terbawa putaran... Mengetahui gubatannya lepas, si Datuk Raja segera imbangi tubuhnya yang me-
layang itu untuk dapat segera jatuh dengan kaki men-
jejak tanah terlebih dulu. Si manusia bulat Dewa An-
gin Puyuh menahan napas. Bahkan kesepuluh prajurit
itu seperti terkesima akan pertarungan tegang baru-
san.
"Hebat..!" Desis Lembu Sura. Ia sudah mengi-
rim lagi beberapa serangan beruntun. Ujung mata
tombaknya bagaikan kilatan-kilatan petir yang me-
nyambar, mengurung Roro. Sementara kawannya su-
dah melompat lagi ke tengah kancah pertarungan. Ro-
ro tampaknya agak terdesak, diserang sedemikian ru-
pa. Tubuhnya doyong ke kiri dan ke kanan menghin-
dari rangsakan hebat itu. Tapi anehnya setiap seran-
gan tak ada yang mengena pada tubuhnya. Sementara
si manusia bulat itu diam-diam jadi memuji kagum.
Karena ia sudah mengetahui kalau yang di lakukan
Roro adalah satu jurus tarian yang amat langka. Dan
baru kali ini ia melihatnya. Melihat si gadis itu berge-
rak sempoyongan tentu saja membuat girang si Datuk
Raja Gur. Ia sudah sambarkan kebutannya untuk me-
notok dua kali. Tampaknya Roro tak mampu menge-
lak. Dan ia sudah terkena totokan kebutan itu yang
sekonyong-konyong ujung kebutan itu menyatu. Ter-
dengar suara Roro Centil berteriak...
"Tahan..! Aku mengaku kalah..!" Tentu saja
Lembu Sura menghentikan serangan Juga kawannya
si Kebutan Dewa Maut.
"Bagus..! Kini kau tak dapat menolak untuk
menjadi tawanan kami..!" Teriak Lembu Sura. Sedang
si Datuk Raja Gur tertawa terbahak-bahak, seraya ka-
tanya...
"Ha ha ha... ha ha ... kiranya hanya demikian
saja kehebatan bocah perempuan bernama Roro Centil. Julukannya sih bukan main... Pendekar Wanita
Pantai Selatan..! Tak tahunya dengan totokan Kebutan
Maut ku sudah mengaku menyerah. Ha ha ha... Sean-
dainya aku tak kasihan, dan mematuhi undang-
undang hukum, Pasti sudah kutotok jalan darah ke-
matianmu..!" Sambil sesumbar demikian si Kebutan
Dewa Maut ini bertolak pinggang di hadapan Roro.
Dan ia sudah lantas berpaling pada para prajurit ber-
kuda itu. "Hayo! Tunggu apa lagi..! Ringkus dia..!" Se-
rentak saja dua orang melompat dari atas punggung
kuda. Salah seorang membawa tali laso. Dan selanjut-
nya Roro sudah diborgol tangannya ke belakang.
Si manusia bulat cuma bisa bengong, menyak-
sikan semua itu. Tadinya ia sudah memuji kehebatan
jurus aneh yang dipertunjukkan gadis ayu itu, akan
tetapi mengapa jadi berbalik ia kena totok dengan mu-
dah..? Ia jadi tak mengerti. Sementara Lembu Sura
cuma mendengus melihat si manusia bulat itu. Dan
tanpa berkata apa-apa segera giring Roro Centil untuk
dinaikkan ke atas kuda. Dan selanjutnya sudah ter-
dengar aba-aba. Derap kaki-kaki kuda segera terden-
gar. Kesepuluh prajurit Kerajaan itu bergerak memutar
kuda-kudanya, mengikuti salah seorang prajurit, yang
naik berdua dengan Roro, yang berada di bagian depan
dengan lengan terikat erat. Lembu Sura dan Datuk Ra-
ja Gur mencemplak kudanya masing-masing. Kemu-
dian memacunya untuk menyusul dari arah samping.
Dan mengapit Roro dari kiri-kanan. Si manusia bulat
itu cuma bisa menatap rombongan pasukan Kerajaan
itu dengan terpaku. Terdengar suaranya mendesis...
"Sayang... sungguh sayang..!" Namun tak bera-
pa lama kemudian si Dewa Angin Puyuh itupun sudah
berkelebat lenyap entah kemana...
Matahari semakin condong ke arah perbukitan,
ketika iring-iringan itu tiba di pintu gapura gedung be-
sar. Ternyata itulah gedung tempat tinggal Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Roro sudah dibawa masuk
menghadap sang pembesar Kerajaan Sriwijaya itu. Se-
mentara sepuluh orang prajurit itu telah turun dari
kuda-kudanya, untuk beristirahat. Dengan diapit oleh
kedua perwira Kerajaan itu, Roro digiring masuk ruan-
gan. Dua orang penjaga memberinya jalan. Seraya me-
lakukan penghormatan, pada keduanya. Tak berapa
lama Roro sudah berhadapan dengan pembesar Kera-
jaan itu.
"Hmm! Bagus..! Inikah gerangan Iblis perem-
puan itu...?? Tanya si Pembesar Kerajaan. Sikapnya
tampak garang. Wajahnya merah padam seperti terba-
kar panas matahari.
"Duli tuan ku Panglima..! Hamba belum dapat
memastikan apakah wanita ini pembunuh berdarah
dingin itu. Akan tetapi hamba curiga padanya. Maka
terpaksa hamba tangkap dan kami bawa menghadap
tuan ku Panglima..!" Sepasang alis pembesar Kerajaan
berkerut menyatu. Ia sudah melangkah dua tindak un-
tuk memperhatikan wajah Roro.
Tiba-tiba ia bertepuk tangan tiga kali. Segera
saja seorang pengawal datang menghadap. "Pengawal..!
Coba bawa kemari tahanan sementara itu!" Berkata
sang Pembesar.
"Duli tuan ku..." Dan pengawal itupun cepat
beranjak ke ruang dalam. Tak berapa lama sudah
kembali dengan membawa seorang laki-laki berusia
sekitar 35 tahun Ternyata laki-laki ini adalah si pe-
layan penginapan itu
"He..! Pelayan penginapan..! Coba kau lihat dan
perhatikan baik-baik. Apakah wanita ini yang mengi-
nap di tempat penginapan mu..?" Tanya si Pembesar
Kerajaan. Tampak laki-laki itu menghampiri Roro. Lalu
dengan seksama memperhatikan wajahnya. Selang tak
berapa lama ia bungkukkan tubuh pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta, seraya berkata;
"Ampun tuan ku...! Wanita ini bukanlah orang-
nya..! Hamba berani bersumpah dan bersedia menda-
pat hukuman bila hamba berdusta..!" Sang Pembesar
Kerajaan ini menatap Lembu Sura dan Datuk Raja
Gur, kedua bawahannya itu. Akan tetapi Lembu Sura
sudah melangkah tiga tindak menghampiri si Pembe-
sar Kerajaan, seraya berbisik perlahan. Tampak Pan-
glima Agung Tunggal Sewu Seta manggut-manggut. La-
lu perintahkan membawa kembali saksi tahanan se-
mentara itu. Lalu ia perintahkan dua orang pengawal
untuk memasukkan Roro ke dalam kamar tahanan.
Segera Roro Centil diapit untuk digusur ke kamar ta-
hanan. Diam-diam Roro Centil perhatikan setiap ruan-
gan yang dilewatinya. Sementara kedua perwira Kera-
jaan itu segera menuturkan jalannya penangkapan
atas tawanan itu. Ternyata Lembu Sura punya rencana
yang sudah diaturnya. Tampak si atasannya itu mang-
gut-manggut sambil tersenyum, dan menepuk-nepuk
bahu Lembu Sura seraya berujar;
"Bagus..! Bagus...! Kau memang berotak cerdas,
Lembu Sura. Baik..! Sebentar senja segera atur renca-
na itu. Dan aku serahkan semua pekerjaan ini pada-
mu..!"
"Hamba yakin pasti akan menampak hasil-
nya..!" Berkata Lembu Sura. Sang Panglima manggut-
manggut sambil tersenyum. Dan kedua perwira itupun
mohon diri.
Dalam keadaan lengan masih terikat. Roro di-
jebloskan dalam penjara. Gadis pendekar ini tampak-
nya tetap tenang-tenang saja. Ruang penjara itu berada di bagian samping gedung. Dan punya wuwungan
terpisah. Namun sekelilingnya adalah tembok tebal
yang tinggi. Menjelang malam, tampak obor-obor mulai
dipasang.
Sementara diam-diam Roro membatin. Hm...
Aku yakin si wanita buronan bernama Laras Jingga itu
akan datang kemari..! Agaknya apa yang aku fikirkan
matang-matang itu, ternyata sama dengan rencana
yang diatur si Lembu Sura, perwira Kerajaan itu. Dan
ia sudah mempersiapkan kedatangannya untuk me-
nangkap wanita buronan itu. Tapi aku terpaksa harus
melindunginya. Karena kalau sampai ia tewas, akan
sulitlah aku mencari jejak musuh besar ku..! Titik-titik
terang sudah kudapatkan. Dan wanita buronan itu
adalah harapanku..! Demikian kata hati Roro.
"TUTUL..! Adakah kau disini..?" Desis suara Ro-
ro. Dan terdengar suara menggeram di belakangnya.
Roro tersenyum, dan berkata perlahan;
" Bagus...! Kelak aku memerlukanmu..! Kini bi-
arlah kau tak perlu menampakkan diri..!" Seraya ber-
kata, Roro sudah salurkan tenaga dalamnya pada ke-
dua lengan. Dan sekejap rantai belenggu yang mengi-
kat tubuhnya sudah putus. Kiranya tali laso yang
mengikat Roro telah diganti dengan rantai besi agar ti-
dak khawatir ia terlepas. Tapi nyatanya, sudah diganti
pun masih percuma saja.
Keadaan di luar tampak sunyi. Seperti seolah
tak ada seorangpun penjaga di tempat itu. Saat itulah
melesat sebuah bayangan hitam. Yang dengan berin-
dap-indap mendekati rumah tahanan tempat Roro
Centil disekap. Gerakannya ringan bagai burung
walet. Kiranya benarlah, yang datang itu tak
lain dari Laras Jingga, si wanita buronan itu. Tampak-
nya gadis muda ini merasa aman melihat situasi sekitar tempat itu. Akan tetapi begitu ia injakkan kaki di
pekarangan yang berhadapan dengan pintu kamar ta-
hanan. Tiba-tiba berhamburanlah anak-anak panah
meluruk ke arahnya.
Keruan saja Laras Jingga jadi terkesiap. Ia su-
dah segera bergerak melompat menyelamatkan diri.
Akan tetapi anak-anak panah itu bagaikan tiada ha-
bisnya meluruk, walaupun ia sudah berkelebatan
menghindar. Hingga tak urung betisnya kena juga ter-
panggang anak panah. Tak ampun lagi wanita berbaju
hitam itu perdengarkan teriakan tertahan. Dan roboh
terguling, dari atas wuwungan. Tak sempat lagi ia me-
lompat ke dinding tembok untuk melarikan diri. Segera
saja terdengar sorak-sorai gemuruh. Dan belasan so-
sok, tubuh berkelebatan keluar memburunya Sesosok
tubuh sudah melompat kehadapannya seraya melem-
parkan jala untuk meringkusnya.
Akan tetapi tiba-tiba asap hitam telah mem-
bumbung dihadapannya. Namun jala sudah dilempar.
Tak urung juga si wanita berbaju hitam itu sudah ter-
jerat dalam kurungan jala. Sorak-sorai semakin men-
jadi. Lebih dari tiga puluh prajurit bersenjata tombak
dan panah mengurung sang korban yang telah masuk
perangkap jala. Akan tetapi mereka semua jadi terbela-
lak matanya, karena menyaksikan yang masuk pe-
rangkap jala itu bukannya seorang manusia, akan te-
tapi seekor harimau tutul yang tubuhnya hampir sebe-
sar kerbau. Binatang siluman itu perdengarkan suara
menggeram dahsyat. Tentu saja jala sudah dilepas se-
ketika. Dan berhamburanlah para prajurit itu dengan
ketakutan. Sekonyong-konyong angin berdesir keras.
Dan hampir semua obor-obor yang terpasang telah pa-
dam dengan mendadak. Keadaan menjadi gempar. Tak
seorangpun berani mendekati tempat tahanan itu.
Saat itu terdengar suara bentakan, yang memerintah-
kan untuk memasang obor baru. Berkelebatanlah para
prajurit untuk melaksanakan tugas. Sebentar kemu-
dian keadaan kembali terang. Bahkan puluhan obor
telah terpasang. Namun alangkah kecewanya, mereka
melihat jala telah kosong. Dan serentak mereka me-
nyebar untuk mencari si wanita buronan. Akan tetapi
sia-sia. Ketika memeriksa tempat tahanan, ternyata
tawanan mereka pun telah lenyap tak berbekas. Hanya
tergeletak rantainya saja. Dengan keadaan putus...
"Bodoh...!* Wanita itu telah pergunakan ilmu
sihir..! Mengapa tak kalian bunuh mampus saja hari-
mau itu..!" Memaki Lembu Sura Sedangkan Datuk Ra-
ja Gur cuma bisa garuk-garuk kepala dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah, terkena cahaya api
obor.
"Semua tolol..!" Teriaknya menimpali Lembu
Sura. Semua para prajurit cuma menunduk Dan satu
persatu ngeloyor pergi....
* * *
Roro Centil berkelebat cepat meninggalkan ge-
dung itu melalui jalan belakang. Gerakan lengannya
yang mengeluarkan angin keras, telah menghembus
padam api-api obor yang menerangi sekitar halaman
rumah tahanan itu. Hingga dalam keadaan gelap gulita
itu telah membawa lari si wanita buronan itu yang te-
lah ditotoknya. Bantuan si Tutul Siluman Harimau
yang telah tunduk padanya itu berhasil baik. Hingga
yang kena diringkus jala, bukanlah wanita buronan
itu. Melainkan asap hitam yang kemudian membentuk
menjadi harimau Tutul. Sedangkan si wanita buronan
itu telah disambar Roro Centil, bersamaan dengan kibasan lengan Roro memadamkan api-api obor. Dan se-
lanjutnya sudah menggondolnya pergi.
Malam pun terus merayap... tampaknya waktu
memang berlalu dengan cepat Karena tak berapa lama
kemudian cuaca pun berangsur-angsur menjadi te-
rang. Keadaan di atas perbukitan itu tampak sunyi.
Tapi sepagi itu sudah ada asap mengepul di atas per-
bukitan itu tampak sunyi. Tapi sepagi itu sudah ada
asap mengepul dibalik batu tebing. Terlihatlah seorang
gadis ayu tengah asyik memanggang daging Menjangan
kecil dengan seruas bambu. Gadis ayu itu tak lain dari
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan. Semen-
tara dibalik batu tebing yang agak menjorok keluar,
tampak tergolek sesosok tubuh wanita di bawahnya.
Tampaknya wanita itu masih pulas mendengkur lirih.
Roro Centil cuma sekali-sekali meliriknya. Baru harum
dari panggang Menjangan itu agaknya membuat pela-
han-lahan si wanita muda berbaju hitam itu membuka
kedua kelopak matanya. Kiranya wanita muda itu tak
lain dari si wanita buronan yang bernama Laras Jing-
ga. Roro telah membawanya ke tempat tersembunyi
itu;
"Oh... kau... kau... telah menolongku..?!" Gu-
mam si wanita buronan itu. Sementara ia sudah ge-
rakkan tubuhnya untuk bangkit. Akan tetapi sedikit-
pun ia tak dapat gerakkan tubuhnya. Roro palingkan
wajahnya, dan menatapnya sekilas. Lalu teruskan
memanggang daging Menjangan.
"Harap kau bersabar dulu untuk tidak berge-
rak. Kau telah mengalami keracunan akibat panah
yang mengena di kakimu. Aku telah membuang racun
itu, dan kau masih dalam pengaruh totokanku..!"
"Hm..! Apa maksudmu menolongku..! Dan siapa
kau sebenarnya..," Tanya Laras Jingga. Suaranya terdengar ketus. Akan tetapi Roro menyahuti seenaknya.
"Aku Roro Centil..! Seorang pengembara dari
seberang pulau. Tepatnya dari tanah Jawa atau pulau
Kelapa..! Kau tanya aku begitu, akupun bisa juga ber-
tanya; Apa maksudmu menolongku.. ? Bukankah kau
terus menguntit, ketika aku dijadikan tawanan?" Ber-
kata Roro seraya lirikkan matanya. Wanita muda ini
terdiam. Lalu menghela napas. Seperti merasa mele-
paskan beban yang menghimpit dadanya.
"Entahlah..! Aku sendiri tak tahu, mengapa aku
mau menolong orang yang bukan kawan atau sanak
keluarga yang kukenal. Cuma aku merasa berdosa, ka-
lau membiarkan orang yang tidak bersalah dijebloskan
dalam penjara...!" Berkata lirih si wanita buronan. Se-
mentara tiba-tiba matanya telah menjadi basah. Diam-
diam Roro Centil terkejut juga, melihat si gadis buro-
nan itu tiba-tiba menangis dengan sepasang mata me-
natap ke depan dengan pandangan kosong.
"Sudahlah... Mengenai hal itu kita lupakan sa-
ja. Orang yang masih punya rasa berdosa, tentu masih
punya hati bersih..! Kehidupan ini memang pahit. Adik
tentu punya rahasia terpendam yang sukar di utara-
kan! Kita bisa bersahabat, kalau kau sudi menerimaku
sebagai sahabatmu..! Mungkin kau memerlukan seo-
rang teman untuk mengadukan nasib atau masalah
yang kau hadapi..!" Berkata Roro seraya letakkan
panggangan ke atas batu. Sementara api unggun itu
masih dibiarkannya menyala. Segera Roro mendekati
wanita muda itu yang telah terisak-isak menahan tan-
gis yang kian menjadi. Roro tercenung sesaat. Lalu ge-
rakkan lengannya membuka totokan di tubuh wanita
itu. Laras Jingga bangkit berduduk. Ia sudah menyeka
kedua belah pipinya sudah bersimbah air mata. Na-
mun agaknya ia mulai dapat menahan perasaannya.
Roro Centil segera meraih panggangahnya. Daging
Menjangan kecil itu cukup untuk menangsal perut
berdua. Segera ia belah menjadi dua bagian.
"Makanlah..! Aku lapar sekali! Tentu kaupun
lapar..!" Berkata Roro, seraya julurkan lengannya ke
depan si Wanita. Laras Jingga menatap sejenak pada
potongan daging panggang Menjangan itu, lalu mena-
tap Roro. Sepasang matanya tampak berkaca-kaca.
"Ayolah..! Bukankah kita telah bersahabat..!" Ujar Ro-
ro, seraya tampilkan senyum manis. Tentu saja Laras
Jingga yang berwajah dingin itu seketika tersenyum
cerah, dan menyambuti pemberian itu.
Tak ayal lagi sudah segera menyantap daging
panggang yang baunya harum itu. Tampaknya benar
dugaan Roro. Wanita itu lapar sekali, sampai terdengar
perutnya berkruyukan.
Roro agaknya tak mau membuat wanita itu ter-
ganggu, segera ia beringsut untuk duduk di atas batu
tak berapa jauh dari situ. Sejenak ia menatap langit,
lalu sudah pentang mulut untuk mengganyang daging
panggang Menjangannya.
Matahari sudah keluar dari balik perbukitan.
Cahaya emasnya membersit menerangi alam sekitar-
nya. Kedua wanita ini membasuh wajah, dan rambut
serta kaki dan tangannya di air yang memancur keluar
dari sela-sela batu. Laras Jingga bersingsut untuk se-
gera duduk di atas batu dekat air pancuran. Ia tak da-
pat bergerak bebas. Karena sebelah kakinya masih te-
rasa ngilu. Roro memang telah membalut lukanya den-
gan kain sobekan ikat kepalanya.
"Mari kita kembali..!" Ajak Roro. Seraya mem-
bimbing Laras Jingga untuk naik dari tempat batu-
batu yang terletak agak ke bawah bukit itu. Wanita
muda berbaju hitam ini tersenyum, ketika telah sampai di atas.
"Terima kasih...!" Ucapnya. "Disini tempatnya
indah. Bagaimana kalau kita duduk disini saja sambil
bercakap-cakap.. ?" Sambung Laras Jingga, seraya ta-
tap wajah Roro, dengan sepasang mata redup.
"Baiklah, adik Laras..! Akupun ingin sekali
mendengar kisah hidupmu..!" Sahut Roro. Seraya
menggeser sebuah batu, untuk duduk berhadapan.
Demikianlah... Laras Jingga ceritakan riwayat hidup
nya yang kelabu. Hingga ia menjadi seorang pembenci
laki-laki.
"Apakah belakangan ini kau sudah berjumpa
lagi dengan ibumu..?" Tanya Roro. Laras Jingga ge-
lengkan kepalanya. Tapi ia sudah berkata lagi...
"Mungkin ibuku akan marah besar, karena aku
telah mencuri catatan Ilmu Silat yang kutemukan di
kamarnya..! Aku memang perlu untuk menjumpainya,
untuk menanyakan tentang ayahku. Apakah Panglima
Kerajaan yang dikatakan selir Raja Bantar Alam seba-
gai ayahku yang sebenarnya itu masih hidup..?"
Terkejut Roro Centil. Tapi ia tidak tertarik men-
genai perihal ayah gadis itu. Melainkan mengenai cata-
tan ilmu silat yang telah dicuri dari kamar ibunya
"Catatan Ilmu Silat...?" Tanya Roro dengan sua-
ra mendesis. Sepasang alisnya tampak bergerak naik.
"Bolehkan aku melihatnya..? Jangan khawatir.
Aku tak berniat mempelajarinya". Ujar Roro Centil
sambil tersenyum. Laras Jingga tampaknya tak merasa
keberatan. Segera sudah buka lipatan bajunya. Dan
menarik keluar selembar kertas yang sudah agak lu-
suh. Segera diberikannya pada Roro.
"Aku baru mempelajarinya sampai jurus keli-
ma...!" Tutur Laras Jingga. Sengaja benda ini ku sem-
bunyikan dari mata guruku. Karena aku khawatir manusia hidung belang itu merampasnya..!" Roro tak
menjawab, tapi cuma angguk-anggukkan kepala se-
raya membuka lipatan kertas kulit itu. Terkejut Roro,
karena pada catatan itu yang tertera adalah jurus-
jurus si Dewa Tengkorak. Yaitu apa yang pernah ia pe-
lajari dari dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima,
milik mendiang si Dewa Tengkorak, di dasar tebing
pantai Selatan. Itulah kesepuluh Jurus Pukulan Kema-
tian. Hal itu sudah berlalu sekitar empat tahun yang
silam. Semasa Gurunya masih hidup. Walau Roro
tampak terkejut, tapi ia tak menampakkan pada raut
wajahnya. Ia sudah melipat lagi benda itu dan berikan
pada Laras Jingga.
"Sudah berapa lama kau pelajari...?" Tanya Ro-
ro.
"Baru sekitar dua bulan ini. Itupun aku pelajari
dengan sembunyi-sembunyi, tanpa setahu guruku..!"
" Siapakah gurumu.. ?" Tanya Roro lagi. Senga-
ja ia tak tergesa-gesa untuk menyelidiki lebih lanjut
tentang ibunya.
"Beliau bernama Boma Kasura!" Roro manggut-
manggut, seraya mengingat nama itu. Kemudian ber-
tanya lagi;
"Ibumu tadi kau katakan bernama Dewi Melur.
Tentunya juga seorang kaum persilatan. Karena memi-
liki catatan ilmu silat yang hebat, yang telah kau curi
itu. Siapakah gelar ibumu di kalangan Rimba Hijau..?"
Kali ini pertanyaan Roro Centil sudah mengarah pada
sasarannya. Diam-diam hati si Pendekar Wanita Pantai
Selatan agak berdebar. Namun buru-buru Roro mene-
nangkan lagi perasaannya. Tapi jawabannya membuat
hati Roro jadi mencelos..
"Aku tak begitu akrab dengan ibuku..! Sayang
sekali, aku tak mengetahui banyak tentang itu. Mungkin orang yang mengaku paman ku itu mengetahui
siapa julukan ibuku!" Wajah Roro tampak kembali ce-
rah. Ia sudah cepat bertanya;
"Siapakah orang yang mengaku pamanmu
itu..?"
"Dia bernama Warakas..!" Selesai menjawab
pertanyaan, tiba-tiba tampak sepasang mata Laras
kembali memancar tajam bagai membersit sinarnya
seperti sepasang mata serigala. Tampaknya Roro me-
nyadari hal itu. Segera ia alihkan pembicaraan pada
hal-hal lain bahkan jauh menyimpang dari sasaran.
Karena Roro ceritakan masa kanak-kanaknya yang pe-
nuh kelucuan.
Hingga terkadang Laras Jingga tertawa geli,
bahkan sampai terpingkal-pingkal. Entah cerita sebe-
narnya, entah Roro cuma mengarang saja. Tapi si Pen-
dekar Wanita ini memang pandai menghibur hati
orang. Tanpa disadari Laras Jingga sudah melupakan
kesedihannya. Kira-kira setanakan nasi, percakapan
mereka tampaknya sudah terasa cukup. Tiba-tiba Roro
teringat akan luka bekas terkena anak panah pada be-
tis si wanita itu. Roro memang pandai dalam hal pen-
gobatan, karena ia pernah belajar dari seorang pendeta
asal Nepal di lereng Gunung Wilis, yaitu Paderi Jayeng
Rana. Ia segera beranjak bangkit dari duduknya, se-
raya berkata;
"Eh, adik Laras..! Maukah kau tunggu aku se-
bentar. Aku akan mencari daun-daun obat untuk ra-
muan. Luka di kakimu dapat cepat sembuh, nantinya.
Kau percayakanlah padaku untuk ku mengobatinya..!"
Laras Jingga cuma mengangguk, sambil terse-
nyum. Dan setelah menatap sejenak pada wanita mu-
da itu, Roro segera berkelebat pergi. Sebentar saja te-
lah lenyap dibalik tebing batu yang menonjol dihadapannya.
Roro berlari-lari menuju sisi hutan di lereng
perbukitan itu. Sementara sepasang matanya berkelia-
ran memandang tempat-tempat rimbun, untuk menca-
ri dedaunan, yang dapat dipergunakan untuk ramuan
obat luka.
Akan tetapi pada saat itu telah terdengar suara
bentakan-bentakan suara seorang wanita dikejauhan.
Terkejut Roro Centil, karena suara itu datangnya dari
arah dimana ia meninggalkan Laras Jingga. Tampak
Roro kerenyitkan alisnya.
"Suara siapakah..?" Gumam Roro. Dan sekejap
kemudian ia telah melompat dan berkelebat kembali ke
tempat Laras Jingga menunggu.
Sesaat antaranya dari balik batu besar, ia telah
melihat adanya seorang wanita di dekat gadis itu.
Tampak dilihatnya wanita muda itu duduk menekuk
tubuhnya di hadapan seorang wanita berbaju sutera
warna biru. Wanita itu usianya sekitar 40 tahun.
Rambutnya tersanggul rapi. Cuma sedikit saja yang
terlepas beriapan di belakang lehernya. Didengarnya
wanita itu membentak dengan kata-kata kasar;
"Anak tak tahu diri..! Sejak kapan kau belajar
mencuri.? Aku tak merasa mengajarimu untuk jadi
maling! Hm, kudengar dari paman mu Warakas, kau
telah berguru dengan si Boma Kasura. Kau ke mana-
kan catatan ilmu silat itu! Apakah kau berikan pada si
tua Bangka Gila itu..?!" Terdengar Laras Jingga berka-
ta lirih dengan suara gemetar...
"Ibu..! Memang ibu tak pernah mengajari ku
mencuri..! Tapi selama ini apakah ibu mengurus diri-
ku? Aku anakmu! Aku butuhkan kasih sayang mu..!
Tapi yang kudapatkan adalah cuma kehinaan belaka..!"
"Apa maksud ucapanmu, Laras..? Kau berani
berkata begitu pada ibu yang telah melahirkan mu.. ?"
Membentak wanita itu. Tapi jawaban Laras memang di
luar dugaan. Wanita muda itu tiba-tiba tertawa. Suara
tertawanya mirip rintihan pedih. Walau bibirnya terta-
wa, tapi sepasang matanya telah bersimbah air mata.
"Hi hi hi... Apakah bila seorang ibu telah mela-
hirkan anaknya, sudah cukup tanpa harus mengurus
dan merawatnya..? Kelihatannya lucu sekali! Adakah
seorang ibu yang rela memberikan kehormatan anak
gadisnya, pada seorang laki-laki hidung belang yang
mengaku ia adalah pamannya..?
Ternyata semua itu adalah atas dasar imbalan
jasa..! Betapa terkutuknya seorang manusia bila
mengharap jasa, tapi cuma untuk memenuhi hawa
nafsunya belaka..! Dan ternyata orang yang seharus-
nya kuhormati, ternyata juga bukan manusia..! Jasad-
nya manusia, tapi hatinya adalah iblis! Dia telah beri-
kan kehormatan dirinya, juga kehormatan anak gadis-
nya pada manusia terkutuk bernama Warakas itu..!
Sedang aku sendiri adalah anak hasil dan hubungan
gelap! Anak yang sampai dewasa begini tak mengenal
siapa ayahnya. Aku lahir dalam keluarga nista...! Se-
muanya nista..!" Sampai disini si wanita ibu dari Laras
Jingga ini sudah tak kuat menahan kemarahannya.
Plak...! Satu tamparan keras telah hinggap di
pipi gadis itu, yang segera roboh terjungkal. Masih un-
tung sang ibu tak menggunakan pukulan dengan te-
naga dalam. Hingga pipi gadis itu cuma merah bengap
saja Laras Jingga bangkit untuk duduk, seraya men-
gusap pipinya. Dan Dewi Melur sudah membentak lagi
dengan kata-kata makian... "Bocah keparat..! Mulutmu
terlalu lancang..!"
Apa yang terjadi kemudian di hadapan mata
Roro Centil? Laras Jingga telah bangkit berdiri. Rasa
sakit pada luka dibetisnya itu seperti sudah tak dira-
sakan lagi. Sepasang matanya tampak berapi-api me-
natap pada wanita dihadapannya. Tiba-tiba ia telah ge-
rakkan tangannya ke dalam lipatan bajunya. Dan ke-
luarkan secarik kertas kulit. Benda itu sudah disodor-
kan pada ibunya seraya berkata;
"Inilah catatan ilmu silat yang ku curi itu, ibu..!
Aku tak memerlukannya lagi!" Dewi Melur menatap se-
jenak pada perubahan wajah anak perempuannya. La-
lu gerakkan tangan untuk meraih benda di tangan La-
ras Jingga. Akan tetapi pada saat itu juga berkelebat
sebuah bayangan, dan sekejap saja lipatan kertas itu
telah lenyap bagai di sambar alap-alap. Bukan saja
Dewi Melur yang jadi terkesiap. Akan tetapi Roro Centil
juga terkejut Segera terlihat siapa yang telah menyam-
barnya. Ternyata seorang laki-laki berbaju dan berce-
lana warna gelap. Bertubuh jangkung. Wajahnya me-
nampilkan senyum, yang seperti tak pernah berubah
walaupun dalam keadaan marah. Tulang pelipisnya
agak menonjol keluar. Laki-laki ini tanpa kumis.
Hanya ada sedikit jenggot didagunya. Mirip jenggot
seekor kambing.
" Ha ha ha... ha ha... Catatan ilmu silat ini ka-
lau sudah tak diperlukan anak perempuanmu, biarlah
kupinjam dulu, Dewi Melur..!" Terbeliak sepasang mata
wanita setengah umur itu. Ia sudah lantas memben-
tak.
"Setan keparat..! Boma Kasura..! Kembalikan
benda itu!" Seraya berkata, Dewi Melur sudah melom-
pat untuk merampas kembali catatan ilmu silat itu.
Akan tetapi laki-laki bernama Boma Kasura itu sudah
melesat ke dekat Laras Jingga.
"Ha ha ha.. Sudahlah Dewi Melur. Aku toh cu
ma meminjam saja. Toh aku tak akan pergi kemana-
mana..!" Selesai berkata, ia berpaling pada Laras Jing-
ga.
"Eh, muridku..! mengapa kau tak bilang-bilang
padaku kalau kau menyimpan catatan ilmu silat ini?
Bukankah aku bisa membantumu kalau kau mau
mempelajari...?" Laras Jingga cuma bisa terdiam, tan-
pa berkata apa-apa. Melihat sebelah pipi gadis ini tam-
pak merah bekas kena tamparan, Boma Kasura sudah
berkata lagi.
"Aiii... Kau memang keterlaluan Dewi Melur.
Aku amat menyayangi muridku ini. Masakan kau
ibunya demikian tega menamparnya? Kukira tiada sa-
lahnya kalau anakmu ingin mempelajari ilmu silat wa-
risan si Dewa Tengkorak ini. Akupun dapat mem
bantu Laras Jingga mempelajari...!" sambil ber-
kata, Boma Kasura perlihatkan sikap tersenyum. Se-
mentara Dewi Melur cuma plototkan matanya saja. Ta-
pi ia sudah membentak.
"Tidak..! Benda itu tak boleh jatuh ke tangan
siapa-siapa. Walaupun anakku sendiri.. !"Teriaknya se-
raya kembali melompat tiga tombak ke depan laki-laki
bernama Boma Kasura ini. Akan tetapi Boma Kasura
bahkan tertawa terbahak-bahak.
"Haha haha... ha ha ha... Sudah terlambat Peri
Gunung Dempo..! Laras Jingga telah menguasainya
walaupun mungkin belum sempurna! Ilmu warisan
kekasihmu itu memang ilmu yang hebat. Jurus-
jurusnya amat mengerikan. Cuma sayangnya ia masih
terlalu muda, dan belum banyak pengalaman. Kini
anakmu ada dalam bahaya..! Disamping ia menjadi
buronan orang Kerajaan. Ia juga jadi incaran manusia-
manusia yang mengejar hadiah, bagi yang dapat ma-
nangkapnya hidup atau mati..! Kalau aku mau hadiah
besar, dengan mudah saja aku membawanya pada
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta di Kota Raja. Akan
tetapi aku justru mau melindunginya..!" Tentu saja ka-
ta-kata itu membuat Dewi Melur jadi terkesiap, menge-
tahui keadaan anak perempuannya.
"Ada permusuhan apakah anakku dengan
orang-orang Kerajaan?" Tanya Dewi Melur.
"Ha ha ha... Ia telah membunuh dua orang je-
jaka muda, anak Panglima Agung Tunggal Sewu Seta.
Persoalannya tanyakan saja pada Pembesar Kerajaan
Sriwijaya itu. Atau kalau perlu kau dapat
mohonkan pengampunan buat anak perem-
puan mu..!" Selesai berkata, Boma Kasura tiba-tiba ge-
rakkan lengannya untuk menotok Laras Jingga. Dan
sekejap kemudian telah memondongnya, untuk dibawa
melesat pergi. Terpaku Dewi Melur, hingga tak tahu
akan apa yang harus dilakukannya Sementara lapat-
lapat masih terdengar suara...
"Peri Gunung Dempo..! Kau tak perlu khawatir
pada Laras Jingga. Aku akan melindunginya. Sebaik-
nya kau fikirkan keselamatan dirimu. Karena kuden-
gar ada seorang Pendekar Wanita dari Pulau Jawa
yang telah lama mencari jejak mu..!" Lagi-lagi Dewi Me-
lur terkesiap. Jantungnya jadi berdetak keras. Hatinya
sudah lantas bertanya... Siapakah pendekar wanita
dari pulau Jawa itu..? Akan tetapi wanita ini jadi terke-
jut bagai disambar geledek ketika tiba-tiba terdengar
sebuah suara yang dingin bagaikan es.
"Akulah yang tengah mencarimu itu, Peri Gu-
nung Dempo...!" Dewi Melur balikkan tubuhnya. Dan
tak terasa kakinya telah mundur dua tindak. Sepasang
matanya telah menatap sesosok tubuh dihadapannya.
Sosok tubuh seorang wanita muda yang berwajah ayu.
Berbaju sutera, warna merah muda. Rambut dan ikat
kepalanya yang cuma sesobek kain kecil itu berkibaran
ditiup angin pegunungan
"Siapakah kau..!? Bentak Dewi Melur. Sementa-
ra jantungnya berdetak semakin keras. Yang ditanya
cuma tampilkan senyuman di bibir. Tapi sepasang ma-
tanya menatap tajam, seperti mau menembus jantung
manusia dihadapannya.
"Aku Roro Centil. Yang dijuluki kaum Rimba
Hijau si Pendekar Wanita Pantai Selatan! Hi hi hi...
Akhirnya dapat juga kutemukan manusia pengecut,
yang telah mengeroyok Guruku hingga menemui ajal-
nya..!"
Terkejut Dewi Melur mendengar kata-kata itu.
Tapi ia sudah segera tersenyum sinis.
"Hm, jadi kaulah murid si Manusia Aneh Pantai
Selatan itu... ? Heh! Bagus..! Tapi dari mana kau bisa
mengetahui aku telah mengeroyok gurumu. Tanya De-
wi Melur alias si Peri Gunung Dempo. Roro Centil per-
dengarkan dengusan di hidung.
"Perbuatan busuk macam apapun pasti akan
tercium. Yang ingin kutanyakan, apakah kesalahan
Guruku, yang sudah menutup diri dari dunia Rimba
Hijau...?" Tanya Roro tanpa harapkan pertanyaan
orang. Walaupun sebenarnya ia tak mengetahui sendiri
pengeroyokan itu di pantai Selatan, karena dapat den-
gar dari Joko Sangit, sahabatnya.
"Kalau hal itu yang kau tanyakan, jawabannya
mudah saja. Gurumu adalah manusia tidak normal!
Lelaki bukan perempuan bukan. Sejak aku ma-
sih berdiam di Pulau Jawa aku memang telah mengen-
al gurumu. Si Dewa Tengkorak adalah boleh dibilang
suamiku. Walaupun dia memang mempunyai banyak
istri. Yang kukenal adalah si Kupu-kupu Emas dan
Dewi Tengkorak. Tapi suamiku itu banyak menyimpan
rahasia. Diantaranya ialah ada berita dari si Kupu-
kupu Emas, bahwa si Dewa Tengkorak menyimpan
harta karun, terdiri dari perhiasan emas dan permata.
Disamping itu juga ada berita ia telah
menyimpan catatan rahasia mengenai ilmu silat
di dalam gagang Tombak Pusaka Ratu Sima. Berita
lain yang kudengar dari kalangan Rimba Hijau adalah
si Dewa Tengkorak telah tewas..! Kami tiga orang is-
trinya segera bergabung. Akhirnya mendengar berita
dari salah seorang anggota Partai Pengemis di sisi Kota
Raja Kerajaan Medang, yang mengatakan kematian si
Dewa Tengkorak adalah akibat diperdayai oleh seorang
wanita di Pantai Selatan. Wanita itu sakit hati, karena
cintanya ditolak oleh si Dewa Tengkorak, hingga ia
mendendam sampai bertahun-tahun. Tentu saja kami
jadi gusar. Wanita yang berdiam di Pantai Selatan wak-
tu itu tak ada lain, selain si manusia banci itu. Nah,
kami telah berhasil membalas dendam mu..! Apakah
hal itu dapat disalahkan...?" Demikian tutur si Peri
Gunung Dempo, yang diakhiri dengan pertanyaan yang
seolah membela akan kebenaran tindakan mereka.
Akan tetapi Roro telah membentak keras."
"Dusta..! Dewa Tengkorak tewas di depan mata
ku sendiri, ketika ia bertarung dengan si Pendekar
Bayangan. Kematiannya memang dikehendakinya sen-
diri. Ia mempergunakan kesepuluh jurus ciptaannya
yang keji itu. Namun jurus kesepuluh dari 10 Jurus
Pukulan Kematian telah menewaskannya sendiri. Aku
yang menguburkannya di Bukit Kera. Tombak Pusaka
itu memang berada di tangan Guruku. Tapi beliau cu-
ma menyimpannya. Aku memang telah mempelajari
sedikit dari ilmu pukulan 10 Jurus "Pukulan Kema-
tian" itu... Tapi mengenai adanya ia menyimpan harta
karun aku tak mengetahuinya..!"
Tampaknya penjelasan Roro seperti tak digu-
bris oleh Dewi Melur.
"Heh! Kau kira akupun dapat percaya dengan
penjelasan mu itu...? Sudahlah! Hal itu sudah berlalu.
Kini kau mencariku apakah mau membalas den-
dam..?"
"Kalau dikatakan memang demikian, mungkin
terlalu kasar. Tapi jelasnya, kau harus mempertang-
gung jawabkan perbuatanmu..!"
"Baik...' Aku akan layani kau. Hm. Kau kira
aku khawatir untuk bertarung dengan bocah kemarin
sore semacam kau..? Walaupun kau telah pelajari ilmu
10 Jurus Pukulan Kematian, aku tak akan mundur
untuk melarikan diri..!" Ujar Dewi Melur dengan suara
dingin.
"Bagus..! Aku tak akan menggunakan sejurus-
pun dari ilmu si Dewa Tengkorak! Pergunakanlah 10
Jurus Pukulan warisan suamimu itu..! Atau akan per-
gunakan jurus-jurus lainnya yang lebih ampuh..? Hi hi
hi... Terserahlah-.!" Berkata Roro Centil. Dewi Melur
alias si Peri Gunung Dempo tertawa hambar.
"Baik..! Kau telah berjanji tak akan mengguna-
kannya! Jangan menyesal kalau kau siang-siang akan
mampus..!" Seraya berkata Peri Gunung Dempo telah
lakukan serangan kuat menghantam Roro dengan te-
lapak tangannya.
Roro Centil sudah waspada, Ia sudah segera
menghindar dengan melompat ke atas batu besar. An-
gin pukulan si Peri Gunung Dempo menghantam tem-
pat kosong. Wanita itu mendengus dan tampakkan se-
nyum sinis. Tiba-tiba ia telah tarik keluar dari dalam
lipatan bajunya dua buah benda bulat. Ternyata dua
buah cermin kecil.
Diam-diam Roro membatin.. Apakah yang akan
dilakukan wanita pembunuh gurunya itu.. ? Namun
Peri Gunung Dempo telah kembali melompat ke arah-
nya. Dan lakukan serangan-serangan tangan kosong.
Gerakannya amat cepat. Kedua lengannya meluncur
ke beberapa tempat mengarah ke tubuh Roro, dengan
jari-jari lengan terkatup.
Inilah jurus Bangau Sakti, yang telah dipergu-
nakan si wanita itu. Gerakan-gerakan patukan itu
memang berbahaya Karena membersitkan cahaya me-
nyilaukan mata. Barulah Roro mengerti. Kiranya cer-
min kecil yang tergenggam di bawah lengannya itulah
yang membuat ia silau. Roro Centil memang agak ke-
walahan. Dan ia bertarung sambil mundur dengan
pergunakan kegesitannya mengelakkan setiap seran-
gan. Lagi-lagi cahaya silau itu menyambar ke arah ma-
tanya. Roro kembali melompat mundur. Tapi tiba-tiba
ia telah keluarkan bentakan keras. Tubuhnya mencelat
setinggi lima tombak. Dan telapak tangannya telah
menyambar ke bawah. Membersit angin keras melun-
cur ke arah si Peri Gunung Dempo. Wanita ini berge-
rak lincah menghindari. Hingga batu dan pasir beter-
bangan didekatnya.
Roro sudah jejakkan kakinya lagi ke tanah. Ta-
pi lagi-lagi cahaya menyilaukan itu menyambar ma-
tanya. Terpaksa ia gunakan lengannya untuk menutu-
pi matanya, sambil bergerak melompat ke kiri dan ka-
nan. Melihat orang sibuk berlompatan itu, si peri Gu-
nung Dempo tertawa mengikik. Dan mengejek.
"Hi hi hi... Mana kehebatanmu Pendekar Wani-
ta Pantai Selatan..?" Dan kata-katanya sudah barengi
dengan berkelebatan tubuhnya mengimbangi gerakan
Roro. Sementara kedua cermin itu selalu mengincar
sepasang mata Roro Centil. Keruan Roro jadi men-
dongkol. Tapi justru ia menjadi lengah. Karena tiba
tiba...
BHUK..! Ia telah terkena hantaman tendangan
kaki si Peri Gunung Dempo pada punggungnya. Tak
ampun lagi, Roro sudah jatuh terbanting. namun Pen-
dekar yang sudah cukup banyak pengalaman, Roro
Centil jatuhkan diri dengan cepat berjumpalitan. Hing-
ga sekejap ia sudah dapat berdiri. Beruntung ia sudah
waspada sejak semula. Hingga tendangan kilat itu cu-
ma menghantam kulit punggungnya saja. Sedang ge-
rakan berjumpalitan itulah cara yang dipergunakan
Roro untuk menghindari kilatan cahaya yang me-
nyambar matanya. Selama bertarung itu, diam-diam
Roro memikirkan bagaimana caranya menghindari ca-
haya cermin yang selalu menyambar ke arah matanya
itu. Dan segera ia sudah dapatkan caranya. Pertarun-
gan pun kembali berlangsung dengan seru. Roro Centil
telah putarkan sebuah Rantai Genitnya. Suaranya
mendesing bagai ratusan tawon. Gerakan Roro masih
seperti tadi. Yaitu dengan tubuh selalu terhuyung, se-
perti mau jatuh. Sementara sepasang mata telah me-
nyaksikan pertarungan seru itu sejak tadi. Kiranya si
manusia bulat Alias si Dewa Angin Puyuh. Entah men-
gapa sejak pernah bertemu dengan Roro, dan melihat
gadis Pendekar itu tertawan, si manusia bulat ini jadi
simpati pada Roro. Diam-diam ia telah siapkan kipas
bututnya. Saat itu si Pergi Gunung Dempo tengah lan-
carkan lagi jurus-jurus si Dewa Tengkorak. Tubuhnya
berkelebat menerjang Roro Centil. Tiga serangan dah-
syat kembali mengarah pada tempat-tempat berba-
haya. Roro Centil berseru keras. Tiba-tiba ia telah pa-
paki ketiga serangan itu. Gerakan itu membuat kek-
hawatiran si Peri Gunung Dempo. Karena ia sudah
mengetahui akan tenaga dalam lawan yang member-
sitkan angin panas. Keragu-raguan itu tentu saja menguntungkan Roro. Padahal Roro sendiri sudah menge-
tahui kalau tiga serangan itu adalah jurus ke enam
yang ia sudah tahu arahnya serta juga mengetahui ke-
lemahannya. Ia hanya gunakan gertak sambal belaka.
Tiba-tiba Roro telah rubah gerakan memapaki itu den-
gan gerakan "Ikan Hiu Menyambar Bayangan". Tubuh
Roro tiba-tiba meletik indah ke arah samping kanan
dan kiri. Lalu semakin maju mendekati sang lawan Se-
konyong-konyong bergerak memutar. Dan saat itulah
ia lancarkan serangan Rantai Genitnya Benda itu me-
luncur menggubat kaki si Peri Gunung Dempo. Sedang
sebuah lagi membersit keras bagai dengungan kum-
bang, meluncur deras ke arah kepala lawan. Terkesiap
Dewi Melur. Ia sudah segera menarik serangan Tiba-
tiba tubuhnya mencelat ke belakang, dengan berjum-
palitan di udara. Itulah jurus Naga Siluman Mengge-
liat. Satu Jurus menyelamatkan diri yang hebat. Akan
tetapi terkesiap sang Peri Gunung Dempo.
Karena ia yang sedianya sudah dapat melompat
jauh tiga tombak, tapi entah dari mana datangnya...
tahu-tahu segelombang angin puyuh telah membuat
tubuhnya oleng, dan terbawa lagi melayang ke depan.
Tak ampun lagi Roro Centil sudah menghantam de-
ras...
BLUG! KRAK...! KRAK...!
Tiga serangan beruntun dari si Rantai Genit tak
dapat terelakkan lagi olehnya. Tak ampun lagi terden-
gar jerit si Peri Gunung Dempo. Tubuhnya terlempar
lima enam tombak, dengan dada kena dihantam ban-
dulan si Rantai Genit dengan telak Dan kedua betisnya
terhantam sekaligus hingga remuk, hancur. Kedua po-
tongan kakinya entah melayang kemana.
Roro Centil sendiri sudah melengak. Ia merasa
ada hal yang tidak beres. Akan tetapi ia sudah tak dapat lagi. Karena. gerakan reflek itu telah terjadi dengan
cepat. Tubuh si Peri Gunung Dempo telah terbanting
keras ke atas tanah hingga sampai hampir melesak di
tanah yang agak becek itu. Ia menyeringai menahan
sakit yang amat sangat. Saat itu tiba-tiba terdengar
suara tertawa berkakakan. Dan si manusia bulat alias
si Dewa Angin Puyuh telah melejit keluar dari balik ba-
tu. Melengak Roro Centil. Ia sudah segera membentak;
"Dewa Angin Puyuh..! Siapa suruh kau ikut
campur urusan orang..?" Namun si manusia bulat ini
sambil cengar-cengir mengipasi dadanya yang telan-
jang dengan kipas bututnya, seraya berkata;
"Ha ha ha... Aku memang sebal dengan si wani-
ta tengik itu. Biasanya ia selalu menyambangiku. Tapi
sejak ia menyimpan seorang pemuda gagah yang ma-
sih punya tenaga kuda, ia mulai melupakan diriku. Ka-
lau aku ikut campur rasanya juga tak dapat disalah-
kan..!" Sambil bicara, sebelah mata si manusia bulat
itu selalu memain pada Roro, dengan dikedipkan. Si-
kapnya memang genit, tapi boleh juga di katakan lucu.
Karena dengan potongan tubuh yang bulat bagai bola
itu, masih juga bermata keranjang pada wanita yang
bukan timpalannya.
Sementara itu si Peri Gunung Dempo menam-
pakkan wajah yang menyeramkan. Sepasang matanya
membeliak, karena gusarnya. Giginya telah ditekan
kuat pada bibirnya hingga mengalirkan darah Sepa-
sang lengannya tampak terentang ke arah Roro dan si
Dewa Angin Puyuh. Tampak asap tipis bagai menguap
dari sepasang lengannya.
Terkejut Roro Centil, karena itulah jurus kese-
puluh dari ilmu pukulan si Dewa Tengkorak. Belum
lagi ia sempat berkedip, Dewi Melur alias si Peri Gu-
nung Dempo telah lancarkan serangan dahsyat itu kearahnya. Dalam pada itu si Dewa Angin Puyuh dalam
keadaan membelakangi.
BHLARRRR...! Terdengar suara menggeledek
Tanah tempat Roro berpijak telah menyemburat ke
atas. Debu mengepul tebal. Batu-batu beterbangan ke
udara. Terdengar seketika suara-suara teriakan terta-
han. Tubuh Roro Centil dan si manusia bulat melam-
bung tinggi ke udara. Ketika asap tebal itu perlahan-
lahan lenyap, segera terlihat keadaan yang mengeri-
kan. Tubuh si Peri Gunung Dempo masih dalam posisi
menekuk lutut. Dengan sepasang betis yang putus
hancur. Wajahnya menyeringai menyeramkan. Dengan
sepasang lengannya terpentang kaku. Namun wanita
itu sudah tak menampakkan gerak kehidupan. Roro
Centil telah berdiri di atas tempat ketinggian. Di hada-
pan wanita itu tampak sebuah lubang besar dan da-
lam. Dengan tanah sekelilingnya menghitam- hangus.
Suasana tampak sepi mencekam. Perlahan-lahan Roro
Centil mendekati si Peri Gunung Dempo. Akan tetapi
wanita memang sudah tak bergerak-gerak lagi. Kea-
daannya dalam keadaan posisi menyerang. Tahulah
Roro, kalau si Peri Gunung Dempo telah tewas. Dalam
keadaan tercenung itu, sebuah benda bulat mengge-
lundung kehadapannya Ternyata si Dewa Angin
Puyuh. Kiranya manusia bulat ini sudah berhasil me-
nyelamatkan diri dengan melompat tinggi ke atas. Dan
hinggap di dahan pohon pada jarak lima tombak dari
tempat itu.
Laki-laki bulat inipun cuma memandang pada
si wanita yang telah menjadi mayat itu dengan sepa-
sang mata seperti tak berkedip. Akan tetapi sudah ter-
dengar suaranya dibarengi dengan helaan napas.
"Hebat..! Tapi amat mengerikan..! Jurus dari
ilmu pukulan itu telah menyedot seluruh tenaga dalam
dan nyawanya. Agaknya kematian baginya memang le-
bih baik. Seandainya ia dapat hidup pun, akan menja-
di manusia yang tanpa daksa. Yang cuma membuat ia
menderita..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh.
Agaknya Roro Centil malas memberi komentar.
Ia cuma lirik laki-laki bulat itu. Setelah simpan
sepasang senjatanya, Roro telah segera berlalu... Dewa
Angin Puyuh sudah cepat palingkan kepalanya, seraya
berteriak;
"Heiiii..!? Nona Pendekar! Tungguuuu...!" Na-
mun Roro terus berkelebat tanpa menoleh. Dewa Angin
Puyuh terus mengintil di belakang Roro. Agaknya ia
seperti benar-benar kepincut hatinya pada si Pendekar
Wanita Pantai Selatan itu.
* * *
Laras Jingga dengan sepasang mata menatap
hampa cuma manda saja, ketika tubuhnya dibawa
berkelebat oleh Boma Kasura Selang tak berapa lama,
segera saja sudah terlihat tempat tinggal sang Gurunya
itu. Yaitu sebuah pondok ditengah-tengah hutan jati.
"Muridku yang cantik..! Tampaknya kau telah
terluka pada kakimu. Sebaiknya kau menetap saja dis-
ini..!" Berkata Boma Kasura setelah lepaskan totokan-
nya Mereka sudah duduk di lantai papan, dalam ruan-
gan tengah. Laras Jingga hanya anggukkan kepala
tanpa membuka suara. Selang sesaat, ia sudah rebah-
kan tubuhnya di lantai papan dengan berbantalkan
lengannya. Sepasang matanya dipejamkan.
"Yah..! Sebaiknya kau beristirahat dulu. Aku
akan cari makanan. Tak ada kau di tempat ini, sega-
lanya menjadi sepi. Tak ada yang menemaniku untuk
bercakap-cakap..!" Boma Kasura lanjutkan kata
katanya, seraya beranjak bangkit. Dan langkahkan
kaki ke ruang belakang. Tak berapa lama telah kembali
lagi sambil membawa setandan pisang.
"Makanlah, untuk menangsal perutmu. Seben-
tar lagi malam tiba. Sebentar aku buatkan kau ramuan
obat untuk mengobati luka di kakimu..!" Ujar Boma
Kasura, ketika melihat Laras Jingga membuka kelopak
matanya. Gadis muda ini bangkit berduduk. Dan ge-
rakkan tangannya untuk memotes buah pisang yang
baru masak itu. Mengupasnya, lalu masukkan ke da-
lam mulutnya untuk segera mengunyahnya perlahan-
lahan. Boma Kasura tersenyum memandang. Tampak-
nya ia begitu amat memperhatikan akan keadaan sang
murid wanitanya.
Laki-laki berusia sekitar 50 tahun ini tampak
sudah bangkit lagi beranjak untuk membawa sekendi
air minum, serta dua buah cangkir kosong. Ia letakkan
di hadapan Laras Jingga. Seraya mengisi kedua cang-
kir kosong. Ia letakkan di hadapan Laras Jingga Se-
raya mengisi kedua cangkir kosong itu, ia kembali ber-
kata;
"Sudahlah muridku. Jangan kau fikirkan sikap
ibumu. Aku telah lama mengenal ibumu, dan menge-
tahui wataknya. Dia memang beradat keras sepertimu.
Besok kita pelajari catatan ilmu silat ini. Bukankah
kau belum menamatkannya?"
"Aku tak berniat mempelajarinya lagi. Cukup-
lah sudah apa yang telah kumiliki!" Tiba-tiba Laras
Jingga buka suara, seraya lengannya bergerak me-
nyambar cangkir dihadapannya. Dan segera meneguk-
nya habis. Boma Kasura kerutkan alisnya. Tapi ia su-
dah tak berikan komentarnya. Iapun meneguk habis
isi cangkirnya.
Malam itu suasana agak mencekam perasaan.
Karena dikejauhan terdengar suara lolong srigala, yang
sayup-sayup terbawa angin. Jengkerik dan binatang-
binatang malam sebangsanya seperti membisu atau
agak enggan membunyikan suaranya. Walau sesekali
terkadang kedengaran di tempat kejauhan. Sementara
suara burung hantu di atas dahan jati menyibak len-
gannya sang malam. Terkadang membaur dengan sua-
ra kepak sayap-sayap kelelawar dikerimbunan pohon
jambu, di belakang pondok terpencil itu. Boma Kasura
duduk ditikar bersih di lantai papan ruangan tengah.
Sepasang lengannya membolak-balik lipatan kertas
kulit itu, dengan sepasang matanya memperhatikan
setiap tulisan yang tertera disana. Sementara sesekali
biji matanya bergerak melirik ke sisi tirai kain yang
tersingkap di ruangan kamar disebelahnya.
Duduknya tampak gelisah. Tulisan yang tertera
di secarik kertas kulit itu seperti tak terlihat jelas. Bo-
ma Kasura memang tengah mempelajari gerakan-
gerakan dari jurus-jurus ilmu pukulan si Dewa Teng-
korak. Tapi yang terbayang dipelupuk matanya adalah
jurus-jurus ciptaannya sendiri. Jurus demi jurus yang
diciptakan melalui otaknya, semakin menggebu untuk
segera disatukan dengan indra tubuhnya. Selang tak
lama ia keluarkan desahan nafasnya. Lalu melipat lagi
kertas kulit itu dan selipkan disaku bajunya. Lalu
bangkit berdiri. Kakinya melangkah tiga tindak men-
dekati meja. Sementara sepasang matanya menatap
cangkir berisi obat ramuan yang tadi telah ia sediakan
buat muridnya. Senja tadi ia telah balurkan tumbukan
daun-daun obat dibetis si cantik, muridnya Dan sedia-
kan pula secangkir ramuan untuk di minum menjelang
tidur. Sudah diminumkah..? Bertanya hatinya Ia su-
dah gerakkan kepalanya melongok ke atas cangkir itu.
Ternyata isinya sudah kosong.
Bagus..! Berkata hatinya. Seakan-akan terden-
gar lagi suara kata-katanya senja tadi... "Kau harus
cepat sembuh, muridku..! Ramuan ini akan menghan-
gatkan tubuhmu. Juga mampu menolak setiap racun
yang masih tersisa di setiap saluran darah..!" Laras
Jingga telah pasrah dalam penantian. Sepasang kelo-
pak matanya setengah terkatup. Ia seperti sudah men-
dambakan kehadirannya sang matahari. Bibirnya se-
tengah terbuka keluarkan desahan-desahan kecil. Ra-
sa sakit pada luka dibetisnya sudah tak terasa. Akan
tetapi pengaruh minuman yang telah diminumnya,
membuat tidurnya seperti gelisah. Hawa dingin di ma-
lam sepi itu seperti sudah berubah menjadi panas. Se-
kujur tubuhnya sudah terbasuh oleh peluh. Di luar
masih terdengar suara lolong srigala, yang suaranya
seperti tangisan yang merintih. Tapi Laras Jingga se-
perti sudah terhanyut dalam mimpi.
Ramuan pemberian Boma Kasura telah mem-
biusnya, hingga ia terbawa dalam mimpi aneh yang
menakutkan. Jelas kini dilihatnya di pembaringan
yang alas kainnya sudah kusut masai itu, tergolek
sang Guru seperti seorang bayi lemah yang menunggu
sang ibu untuk menyelimutinya Sekujur ku88 lit tu-
buhnya bermandikan peluh. Sepasang matanya terpe-
jam. Hidungnya terlihat kembang kempis dengan sua-
ra napas yang menggeros. Sadarlah Laras Jingga,
bahwa ia telah berikan kehangatan tubuhnya pada
manusia di hadapannya itu, untuk yang kesekian ka-
linya. Betapa ia amat membencinya. Betapa nistanya.
Betapa terkutuknya..! Tiba-tiba Laras sudah rasakan
dirinya bagai seekor raja rimba yang buas. Dan dengan
menggerung keras, ia telah menerkam manusia diha-
dapannya. Sepasang lengannya meluncur deras ke
arah leher Boma Kasura Terdengarlah suara...
KRRAAKKK.! Darah segera saja memuncrat
memercik ke bantal dan tilam.
Boma Kasura perdengarkan suara bagai kerbau
digorok. Sepasang matanya membeliak, seperti mau
melejit keluar dan kelopaknya. Lidahnya terjulur men-
gerikan. Sementara sepasang kakinya menggelinjang
berkelojotan. Sekejap antaranya tubuh Boma Kasura
telah diam tak bergeming. Nyawanya telah berpindah
ke alam akhirat. Dengan sepasang mata tak berkedip.
Laras saksikan kematian gurunya tanpa berubah sedi-
kit mimik wajahnya. Tampak wanita muda ini lepaskan
cengkeramannya, pada leher Boma Kasura yang telah
hancur.
Setelah memandang sejenak pada sepasang
lengan yang kesepuluh jarinya bersimbah darah, Laras
Jingga segera menyekanya dengan kain selimut.
Selanjutnya ia telah kenakan kembali pakaian-
nya... Suara lolong srigala dikejauhan telah berhenti.
Namun suara burung hantu masih sesekali ter-
dengar, namun semakin menjauh. Lalu lenyap. Cuma
desah angin malam yang menyibak dedaunan dan
membuat beberapa helai daun Jati itu rontok jatuh ke
tanah. Tetapi dalam senyapnya malam, sesosok tubuh
sudah keluar dari pondok terpencil ditengah hutan jati
itu dengan berjingkat-jingkat. Lalu lenyap di kegelapan
malam...
* * *
Beberapa pekan kemudian sejak kejadian di-
tengah hutan jati itu... tiga sosok tubuh tampak men-
datangi sebuah rumah dikelokkan jalan desa Sekar
Wangi. Ketiganya tampak berjalan dengan bergegas.
Salah seorang yang diapit oleh kedua orang yang masih muda-muda itu adalah Kepala Desa Sekar Wangi.
Laki-laki berusia sekitar 45 tahun itu bernama Klobot.
Sedang kedua orang yang mengapitnya adalah dua
orang yang berpakaian seperti perwira Kerajaan.
Sebentar saja mereka telah tiba di depan pintu,
di bawah anak tangga rumah panggung itu. Salah seo-
rang sudah segera melangkah menaiki tangga unda-
kan. Dan pergunakan tangannya mengetuk pintu.
Akan tetapi tiba-tiba pintu itu telah menjeblak keluar
bagai diterjang dari dalam sampai engselnya terlepas.
Tak ampun lagi si perwira Kerajaan itu telah terlempar
menggelinding ke bawah tangga batu, disertai teriakan
mengaduh kesakitan. Dan sebuah bayangan hitam te-
lah melompat keluar dari dalam... Kepala Desa berna-
ma Klobot itu jadi terkejut dan ternganga. Sementara
perwira Kerajaan yang seorang lagi di bawah tangga
sudah mengejar bayangan itu.
"Haiiii..! Berhenti..!" Teriaknya seraya melompat
mengejar. Akan tetapi bayangan hitam itu sudah le-
nyap dibalik semak. Perwira ini sudah segera tiba di
tempat itu. Pedangnya segera dicabut keluar dari se-
rangkanya di pinggang. Berindap-indap ia mendekati
semak lebat itu. Sementara Klobot pak Kepala Desa
cuma memperhatikan dari depan rumah panggung.
Perwira Kerajaan yang sial itu sudah bangkit berdiri
sambil memegangi kepalanya yang serasa pecah ter-
hantam daun pintu. Tampak keningnya benjol sebesar
telur angsa Laki-laki inipun sudah pentang sepasang
matanya melihat ke arah kawannya. Sang Perwira Ke-
rajaan yang sudah mencabut pedangnya itu terus me-
langkah hati-hati dengan sepasang matanya jelalatan
mencari jejak bayangan hitam itu. Jelas sekali bayan-
gan itu adalah sesosok tubuh wanita.
"Keluarlah kau wanita ss... si... siluman..!?"
Bentakan si Perwira Kerajaan ini jadi kendur separoh
suaranya. Karena dihadapannya telah berdiri orang
yang dicarinya. Tapi dalam keadaan membugil bagian
atas tubuhnya. Sehingga sepasang benda yang menon-
jol mulus itu membuat sepasang matanya jadi terbe-
liak. Satu suara dingin bagaikan es telah terdengar...
"Kau mau membunuhku Perwira Kerajaan..?
Atau kau mau menangkapku hidup-hidup? Hi hi hi...
Hayo! Kau tangkaplah aku..!" Seraya berkata wanita
cantik yang menggiurkan itu telah melangkah meng-
hampiri. Anehnya si Perwira Kerajaan itu Cuma terpa-
ku di tempatnya menatap si wanita, yang sepasang
matanya membersit tajam seperti sepasang mata sriga-
la yang mau menerkam mangsanya.
Detik selanjutnya secepat kilat, tahu-tahu se-
pasang lengan si wanita cantik itu telah terjulur men-
cengkeram lehernya. Terdengar seperti suara tulang
yang remuk. Darah segar sudah memuncrat memba-
sahi semak. Perwira ini tak sempat bersuara lagi. Keti-
ka tiba-tiba tubuhnya telah terlempar keluar dari se-
mak belukar, dan jatuh berdebuk di tanah. Selanjut-
nya tampak sang tubuh berkelojotan sejenak, lalu di-
am terkulai. Terkejut si Kepala Desa dan perwira ka-
wannya itu. Mereka sudah berlompatan menghampiri.
Namun dapatkan si Perwira Kerajaan itu telah tewas.
Pucatlah seketika wajah keduanya. Si Perwira Kerajaan
ini sudah melangkah ke belakang dua tindak. Dan su-
dah cabut pedangnya di pinggang. Namun sekonyong-
konyong angin keras telah menyambar tengkuknya.
Dan kembali terdengar suara tulang leher yang remuk.
Ketika itu juga ia sudah keluarkan teriakan parau.
Namun sebentar kemudian tubuhnya telah jatuh ber-
debuk, disertai lenyapnya si bayangan itu. Tinggal si
Kepala Desa yang terpaku dengan sepasang mata terbelalak menyaksikan tubuh si Perwira Kerajaan, yang
berkelojotan bagai ayam yang baru disembelih. Namun
sekejap kemudian Perwira itu pun tewas. Sang Kepala
Desa ini sebentar saja telah putar tubuhnya, untuk
angkat langkah seribu. Keringat dingin sudah mengu-
cur deras di sekujur tubuhnya. Sementara si wanita
berbaju hitam itu telah berkelebat pergi dengan cepat.
Sekejap antaranya bayangan tubuhnya telah
lenyap. Rumah panggung dikelokkan jalan desa itu
kembali sunyi mencekam. Namun tak berapa lama
kemudian telah datang dua orang Perwira Kerajaan la-
gi dengan mengendarai kuda. Segera mereka sudah
hentikan kedua kudanya di depan rumah panggung
itu. Sigap sekali gerakannya. Salah seorang sudah me-
lompat menghampiri kedua mayat Perwira bawahan-
nya yang tergeletak bersimbah darah Kematiannya
amat mengerikan, bagai habis diterkam binatang buas.
Sementara seorang lagi telah melompat masuk dengan
menjebolkan daun pintu. Terdengar suara bergedubra-
kan. Dan seraya mencabut senjata nya Perwira atasan
itu telah melompat ke tengah ruangan.
"Wanita siluman..! Keluarlah kau..! Aku Lembu
Sura yang akan mencincang tubuhmu..!" Akan tetapi
setelah menanti sekian lama tak ada tanda-tanda
mencurigakan kalau wanita yang dicarinya berada di
dalam ruangan kamar. Sementara si Datuk Raja Gur
telah pula melompat masuk. Tampaknya ia bernyali
besar. Karena dengan berani ia telah langsung menen-
dang pintu kamar, yang segera menjeblak terbuka.
Dan ia sudah melompat ke dalam, diikuti Lembu Sura.
Akan tetapi kedua perwira ini jadi keluarkan teriakan
tertahan. Kedua pasang mata mereka jadi terbeliak
dan mulut ternganga Karena melihat sesosok tubuh
membugil tergeletak di pembaringan dalam keadaan
terlentang tak bernyawa, dengan keadaan tulang leher
remuk. Dan darah kental menggenang bermuncratan
membasahi bantal dan tilam. Keadaannya sangat men-
gerikan. ternyata sosok tubuh yang sudah menjadi
mayat itu tak lain dari Warakas.
"Kita terlambat datang, kanda Lembu Sura..!
Laki-laki bernama Warakas ini, sudah tewas dibunuh
si wanita cantik berdarah dingin itu..!"
"Heh..! Sial! Kita tak bisa tahu asal usul wanita
siluman itu. Karena hanya Warakas yang mengeta-
hui..!" Berkata Lembu Sura.
"Ha ha ha... Jangan keburu putus asa, kanda
Lembu Sura! Masih ada wanita yang tahu siapa
adanya si wanita berdarah dingin itu. Yaitu Roro Cen-
til, si Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Tutur si Da-
tuk Raja Gur. Lembu Sura kerutkan alisnya.
"Heh! Pendekar itu bersekongkol dengan wanita
siluman itu. Mana mungkin ia bisa memberitahu..?
Lagi pula mencari wanita pengembara itu amatlah su-
lit!" Ujar Lembu Sura seraya beranjak keluar dari ka-
mar yang timbulkan bau anyir darah. Tiba-tiba terden-
gar satu suara wanita di luar...
"Hi hi... Tak perlu mencari Roro Centil. Wanita
itu adalah bagianku untuk membunuhnya..! Kalau
mau mengetahui siapa adanya si wanita berdarah din-
gin itu, akupun dapat menceritakannya..!" Keruan saja
kedua Perwira Kerajaan Sriwijaya itu jadi terkejut, dan
segera sudah melompat keluar. Segera di lihatnya seo-
rang wanita berusia antara 40 tahun. Memakai ikat
kepala berwarna kuning. Bahkan pakaiannya pun
berwarna kuning keemasan. Lembu Sura segera ber-
tanya;
"Siapakah anda..? Kami akan berterima kasih
bila anda mau membantu kami..!"
"Aku dijuluki si Kupu-kupu Emas..! Marilah ki-
ta cari tempat yang enak dan teduh. Agar aku dapat le-
luasa bercerita.." Menyahuti si wanita.
Tentu saja kedua perwira Kerajaan Sriwijaya itu
mengangguk gembira. Dan segera tuntun kudanya,
untuk mengikuti di belakang si Kupu-kupu Emas. Tak
berapa lama mereka sudah dapatkan tempat teduh,
dan duduk di bawah pohon rindang, beralaskan rum-
put tebal. Di hadapan mereka adalah sebuah danau
kecil berair jernih.
"Nan, kalian dengarkanlah ceritaku..." Berkata
si Kupu-kupu Emas memulai pembicaraan. Selanjut-
nya si Kupu-kupu Emas telah ceritakan bahwa wanita
berdarah dingin itu bernama Laras Jingga. Ibunya
bernama Dewi Melur, permaisuri dari Kerajaan Bungo
Mambang yang masih berdaulat pada Kerajaan Sriwi-
jaya.
Sang Raja yang bernama Bantar Alam, mem-
punyai beberapa orang selir. Namun baik permaisuri
dan para selirnya tak mempunyai keturunan. Hingga
ada berita kehamilan sang Permaisuri yang ternyata te-
lah hamil bukan oleh baginda Raja Bantar Alam, me-
lainkan oleh seorang Panglima Kerajaan bernama Pan-
glima Sobrang..! Lahirlah Laras Jingga. Akan tetapi ia
lahir di tempat pengungsian. Karena sewaktu hamil,
sang permaisuri telah disuruh bunuh oleh dua orang
prajurit Kerajaan. Akan tetapi salah seorang prajurit
bernama Warakas itu telah melindunginya. Hingga ter-
jadi pertengkaran dengan kawannya yang bernama
Renggana Pati, yang diakhiri dengan pertarungan
Renggana Pati terluka putus sebelah lengannya, na-
mun ia berhasil melarikan diri ke istana. Baginda Raja
Bantar Alam gusar, dan perintahkan mencari sang
permaisuri dan perwira Kerajaan itu. Akan tetapi mereka tak dapat ditemukan. Laras Jingga terperangkap
dalam janji ibunya, untuk membalas jasa pada Wara-
kas. Hingga ia diserahkan kehormatan anak gadisnya
pada Warakas yang telah menolongnya. Bahkan ia
sendiri sudah berhubungan sejak lama dengan sang
Prajurit itu.
Ternyata sang Permaisuri bernama Dewi Melur
itu bukan wanita baik-baik. Ia tak pernah mengurus
anak gadisnya. Hingga Laras Jingga tubuh dan dibe-
sarkan dalam lingkungan yang tidak baik. Bahkan ia
telah berguru dengan seorang yang juga bejat moral-
nya, yang juga menodainya sebagai imbalan yang di
tuntutnya. Hal tersebut telah membuatnya membenci
pada laki-laki. Hingga setiap lelaki hidung belang pasti
di bunuhnya. Dengan memberikan lebih dulu kehan-
gatan tubuhnya Demikianlah, hingga ia menjadi buro-
nan orang Kerajaan Sriwijaya. Ia memang telah mem-
pelajari ilmu keji yang hebat, dari catatan ilmu silat
milik ibunya. Hingga ia menjadi seorang gadis buronan
yang sukar ditangkap. Bahkan gurunya sendiri telah
dibunuhnya. Kini menyusul Warakas, orang yang pal-
ing dibencinya. Demikianlah si Kupu-kupu Emas tu-
turkan perihal si wanita buronan itu. Kedua perwira
Kerajaan itu jadi manggut-manggut mendengarnya
"Mengenai Roro Centil si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu, tak ada hubungannya sama sekali den-
gan tindakan si wanita buronan bernama Laras Jing-
ga...! Harap kalian dari pihak kerajaan membebaskan-
nya dari segala tuduhan..! Dia adalah bagian ku! Aku
yang akan membunuhnya dengan tanganku sendiri..!"
"Persoalan apakah gerangan yang terjadi den-
gan anda..?" Tanya Lembu Sura. Akan tetapi si wanita
bergelar Kupu-kupu Emas itu cuma perdengarkan tertawanya.
"Hal itu adalah rahasia pribadiku..!" Sahutnya
datar. Lembu Sura kembali manggut-manggut Tapi ia
sudah cepat berkata;
"Baiklah..! Mengenai urusanmu aku tak akan
ikut campur. Akan tetapi aku perlu bantuanmu me-
nangkap wanita buronan itu. Kalau bisa menangkap-
nya hidup-hidup. Karena ada perintah mendadak dari
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta, untuk tidak
membunuhnya..! Mengenai hal itu tentu saja ada im-
balannya. Harap anda tidak perlu khawatir..!"
"Hm! Tentang itu dapat ku pikirkan nanti.
Sampaikan saja salamku pada atasanmu itu..!" Ujar si
Kupu-kupu Emas. Kemudian segera sudah bangkit
berdiri.
"Nah! Aku tak dapat berlama-lama disini! Kau
tunggu saja kelak kedatanganku..!" Selesai berkata,
wanita bergelar Kupu-kupu Emas itu sudah segera
berkelebat pergi. Dan sekejap saja sudah lenyap dian-
tara pepohonan. Kedua perwira Kerajaan ini cuma bisa
menatapnya kagum. Tapi mereka pun segera beranjak
menuju kuda-kudanya. Kemudian tak berapa lama an-
taranya kedua perwira itu pun sudah tinggalkan tem-
pat itu. Sementara si Kupu-kupu Emas telah perguna-
kan lari yang luar biasa. Hingga yang terlihat adalah
sinar kuning keemasan. Berkelebat melewati beberapa
dusun. Selang tak berapa lama wanita ini sudah hen-
tikan larinya, dan berjalan tak begitu cepat. Agaknya ia
sudah hampir tiba di tempat yang dituju. Sebuah tugu
perbatasan pun dijumpai. Disana ada tiga jalanan ber-
cagak. Wanita ini hentikan langkahnya untuk menen-
tukan pilihan arah jalan yang bakal ditujunya. Setelah
termenung sesaat, ia mengambil arah jalan yang sebe-
lah kanan. Dan teruskan melangkah. Ternyata si Ku-
pu-kupu Emas ini seorang wanita yang bertubuh padat dan sempurna. Disamping pakaiannya yang me-
nonjolkan bentuk tubuhnya, juga memperlihatkan se-
bagian pahanya, bila melangkah. Karena baju berwar-
na kuning keemasan itu mempunyai sobekan atau be-
lahan memanjang di bagian sisi pinggangnya. Ram-
butnya hitam berkilat, panjang terjuntai sampai ke
punggung. Walaupun wajahnya menampakkan kelan-
jutan usianya, akan tetapi wanita ini memang masih
mempunyai kulit yang lembut dan mempesona.
Tiba-tiba dari kejauhan telah terlihat tiga orang
mendatangi. Ternyata ketiganya adalah laki-laki yang
tampak masih muda-muda. Salah seorang sudah ber-
kata;
"Selamat datang sang Ratu Kuning..!" Seraya
ketiganya menjura hormat. Wanita ini mengangguk
jumawa, dan tatap ketiga pemuda dihadapannya. Se-
mentara langkah si wanita ini tiba-tiba menjadi gontai
seperti mau jatuh. Tentu saja hal itu membuat ketiga
pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapakah kau Ratu..?" Bertanya salah seo-
rang seraya maju setindak seperti mau jatuh. Tentu
saja hal itu membuat ketiga pemuda itu jadi terkejut.
"Kenapa kau Ratu..?" Bertanya salah seorang
seraya maju setindak seperti mau membantu meno-
long.
"Ah..! Tidak apa-apa. Aku hanya terluka da-
lam... Tapi baru terasa sekarang..! Tapi... aku perlu
bantuan kalian untuk memondong ku sampai ke ru-
mah..!" Berkata si Kupu-kupu Emas alias Sang Ratu
Kuning. Tentu saja dengan sigap si pemuda yang maju
setindak itu sudah bicara, dengan wajah menampilkan
kekhawatiran.
"Oh..!? Biarlah aku yang memondong mu Ra-
tu..!" Seraya berkata, pemuda yang bertubuh tegap ini
sudah melompat ke hadapan si Kupu-kupu Emas. Dan
dengan sedikit bungkukkan tubuh, sepasang lengan-
nya sudah terjulur untuk meraih pinggang wanita itu.
Sesaat kemudian sang Ratu Kuning sudah dalam pon-
dongannya.
"Ayo, kita kembali..!" Berkata si pemuda tegap
itu pada kedua kawannya. Dan ia sudah mendahului
berjalan cepat setengah berlari, kembali ke arah bela-
kang. Kedua pemuda kawannya segera saja mengikuti
dengan menampakkan wajah cemas.
Sebentar saja di hadapannya mereka telah ter-
lihat sebuah bangunan gedung yang cukup besar.
Wuwungan terbuat dari genting yang sudah berlumut.
Tampaknya gedung itu sudah dibangun sejak lama. Di
kiri kanan bangunan itu terdapat empat buah area.
Memang mirip sebuah tempat pemujaan. Akan tetapi
gedung itu ternyata ditempati sebagai tempat berdiam.
Memasuki ruangan gedung itu, dua orang penjaga
memberinya jalan untuk lewat seraya menatap dengan
terkejut pada. wanita dalam pondongan. Langsung saja
pemuda tegap itu membawanya meniti tangga batu, ke
bawah, ditengah ruangan. Sedang kawannya berhenti
di pintu depan Di bawah bertemu lagi dengan dua pen-
jaga. Yang setelah menjura, dengan terkejut salah seo-
rang sudah mengikuti. Untuk selanjutnya mendahului
berlari ke arah sebuah ruangan. Di ruangan ini terda-
pat sebuah kamar yang pintunya tertutup. Segera ia
membukanya. Sementara sepasang matanya menatap
dengan terkejut pada si wanita.
"Kenapa sang Ratu..!" Bertanya penjaga ini.
"Beliau terluka dalam.." Menyahuti si pemuda
kekar. Seraya langsung memasuki kamar. Dan rebah-
kan tubuh sang Ratu di pembaringan.
"Apakah titah Ratu selanjutnya?" Bertanya si
pemuda. Sang Ratu membuka kelopak matanya, dan
tatap wajah si pemuda itu. Tubuhnya tiba-tiba bagai
diserang demam hebat. Dan tampak menggigil seperti.
kedinginan. Pemuda ini terkejut. Lengannya sudah
bergerak meraba sekujur tubuh sang Ratu, yang terasa
panas. Wanita ini tiba-tiba mengeluh seraya pegangi
kepalanya
"Oh..! Pergilah tinggalkan aku. Eh..! Siapa na-
mamu..?" Tanya sang Ratu tiba-tiba "Hamba... Kata
Bendana..!" Sahut si pemuda seraya kerutkan
alisnya. Agak aneh ia melihat sikap sang Ratu,
yang tak mengenali siapa dirinya. Akan tetapi ia sadar
kalau sang Ketuanya sedang dalam keadaan terluka
yang kelihatannya parah, hingga mempengaruhi jalan
fikirannya. Apa lagi sejak tadi ia lihat wajah ratunya
yang tampak pucat sekali.
"Aih..! Aku sampai lupa. Kau tak perlu khawa-
tir, malam nanti aku sudah bisa sembuh. Cuma inga-
tanku mendadak jadi sukar mengingat. Agaknya hawa
pukulan musuhku mengandung uap beracun, yang
mempengaruhi syaraf ku...!
"Hm! Kala Bendana. Coba kau sebutkan siapa-
siapa saja orang yang menghamba padaku..! Terkejut
Kala Bendana. Baru ia sadar kalau keadaan otak sang
Ratu sedang kacau. Segera saja ia sebutkan satu-satu
dari semua penghuni gedung itu
"Kesemuanya ada delapan belas orang. Yang te-
rakhir menghamba adalah seorang pemuda bernama
Gumarang. Mungkin Ratu memang belum mengeta-
huinya, karena pemuda itu baru sebulan yang lalu di-
antarkan oleh sahabat baik Ratu. Yaitu yang berjulu-
kan Peri Gunung Dempo. Memang beliau ada mena-
nyakan Ratu. Tapi telah hamba katakan bahwa Ratu
berada di Kota Raja..!" Tutur Kala Bendana. Si Kupu
kupu Emas ini manggut-manggut, seraya bertanya la-
gi.
"Bagaimana dengan pemuda Gumarang itu?
Apa ia baik-baik saja?"
"Ia kami penjarakan sementara di ruang bawah
tanah. Dia dalam keadaan baik. Karena Peri Gunung
Dempo perintahkan kami untuk menjaganya sampai
kedatangan Ratu..!" Ujar Kala Bendana.
"Bagus..! Sebentar senja, kau bawa ia mengha-
dap padaku..!" Perintah si Kupu-kupu Emas. Lalu pe-
rintahkan Kala Bendana keluar, karena ia akan segera
memulai bersemadi untuk memulihkan luka dalam-
nya. Pemuda itu menjura hormat, lalu beranjak keluar
kamar, serta tutupkan pintunya. Kemudian terdengar
langkahnya berlalu menjauh. Sementara si Kupu-kupu
Emas telah bangkit untuk duduk. Terdengar suara he-
laan napas lega dari mulutnya. Sang Ratu gerakkan
sepasang tangannya untuk meraba wajahnya. Lalu
singkapkan rambut. Dan entah apa yang dilakukan-
nya, ketika tiba-tiba ia telah sentakan jari-jari tangan-
nya... Aneh! Kulit wajahnya telah terbawa mengelupas.
Dan tersembulah sebuah wajah ayu... Siapa lagi kalau
bukan Roro Centil. Ternyata ia telah menyaru sebagai
si Kupu-kupu Emas. Dan berhasil memasuki sarang-
nya. Apa yang terjadi dengan si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan ini? Baiklah kita putar kisah belakangan
ini... Kiranya waktu Roro berlalu tinggalkan mayat si
Peri Gunung Dempo yang dalam keadaan tewas den-
gan posisi menyerang, ia terus dibuntuti si Dewa Angin
Puyuh. Ternyata diam-diam Roro Centil mengetahui,
namun membiarkan saja si manusia bulat itu mengi-
kutinya. Ternyata kemudian Roro menjumpai sebuah
kuil tua yang tak berpenghuni. Disana Roro sengaja
berhenti untuk duduk beristirahat. Dewa Angin Puyuh
tentu saja sudah segera melompat menyusul... dan se-
kejap ia sudah tiba di depan kuil.
"Nona Pendekar..! Harap sudilah kau bersaha-
bat denganku, si Dewa Angin Puyuh..! Aku bukan dari
golongan hitam. Tapi aku juga bukan golongan kaum
putih, karena tak pernah orang menyebutku sebagai
Pendekar. Walaupun sesekali aku juga suka menolong
orang..! He he he..." Tak angin tak hujan, si Dewa An-
gin Puyuh sudah pentang suara dengan lebih perke-
nalkan dirinya.
"Hm! Siapa yang melarang orang untuk bersa-
habat? Di dunia ini mencari sahabat amat sulit. Seper-
ti mencari jarum di dalam laut..!" Ujar Roro tanpa me-
noleh.
"Bagus! Bagus! Betul begitu..! Ah, senang sekali
kalau nona menerimaku..!" Berteriak si Dewa Angin
Puyuh dengan wajah girang. Cuma saja ia tak ber-
jingkrakan saking senangnya dapat mendekati sang
Pendekar Wanita yang ayu rupawan.
"Tapi sahabat sejati amat sukar dicari. Banyak
orang mengaku sahabat, bila dirinya memang amat
membutuhkan orang itu. Atau tepatnya ada maunya..!
Hal itulah yang aku tak ingin. Biasanya sahabat sema-
cam itu bagaikan seekor musang berbulu ayam. Bila
ayam lengah, si musang bisa menerkamnya..!" Berkata
lagi Roro Centil dengan kata-kata yang tanpa tedeng
aling-aling. Tentu saja kata-kata itu membuat si ma-
nusia bulat jadi melengak. Tapi ia sudah berubah wa-
jah jadi tersenyum.
"He he he... Jangan Khawatir, nona Pendekar.
Orang semacam ku bukan semacam... semacam ayam
yang berbulu mu... mu..? Eh, maksudku Musang yang
berbulu Ayam..!" Ujar si Dewa Angin Puyuh agak ki-
kuk. Dan lanjutnya lagi.
"Aku memang termasuk manusia segala doyan.
Akan tetapi aku bisa lihat-lihat mana yang brengsek
dan mana yang tidak brengsek..!"
"Kalau yang brengsek itu yang bagaimana..?"
Tanya Roro.
"Yang brengsek adalah yang mempermainkan
cinta laki-laki..!" Jawab si manusia bulat. "Kalau yang
tidak brengsek... ?" Tanya Roro lagi.
"Yang tidak brengsek adalah yang cintanya su-
ci. Dan ditujukan pada satu orang saja..!" Ujar si Dewa
Angin Puyuh, seraya keluarkan kipasnya. Dan sambil
meram-melek ia duduk menyandar di tiang penyangga
wuwungan Kuil. Roro Centil kerutkan alisnya.
"Jadi aku, kau masukkan dalam golongan yang
mana.. ?" Bertanya Roro.
"Entahlah..! Rasanya diantara kedua golongan
itu, nona tidak termasuk dalam kamus catatan di
otakku..!" Roro tersenyum, manggut-manggut. Agak-
nya ia mengerti.
"Hm! Jadi kau baru bisa menilai, kalau aku su-
dah meladeni kau seperti seorang istri terhadap sua-
minya... Begitukah maksudmu..?" Tanya Roro seraya
palingkan wajahnya pada si manusia bulat, yang ma-
sih enak-enak duduk bersandar sambil mengipasi da-
danya dengan kipas bututnya.
"He he he... Betul! Betul..!" Jawab si Dewa An-
gin Puyuh.
"Tapi kalau aku tidak bertepuk sebelah tan-
gan..!" Sambungnya lagi, dengan senyum simpul. "Ba-
gaimana kalau kau bertepuk sebelah tangan? Apakah
akan kau batalkan persahabatan mu dengan ku..?"
Tanya Roro menegasi. Si manusia bulat itu terdengar
menghela napas, namun wajahnya menampilkan ke-
gembiraan... "Yah..! Apa boleh buat, karena sudah terlanjur..!" Ia telah menjawab seenaknya. Tapi entah
mengapa dalam bertukar jawab itu, si Dewa Angin
Puyuh tampak senang. Karena baru kali ini ia temui
seorang dara cantik dan ayu yang kenes dan pintar bi-
cara. Membuat ia betah untuk mengobrol. Bahkan se-
lanjutnya si Dewa Angin Puyuh jadi merasa sungkan,
ia menghormati si Pendekar Wanita itu. Dan semakin
bersimpati manusia yang berwatak agak ugal-ugalan
itu terhadap Roro.
Demikianlah... Beberapa hari kemudian, tam-
pak keduanya sudah akrab. Bahkan selama itu dima-
na ada Roro, pasti ada si Dewa Angin Puyuh. Sepintas
orang menebaknya sebagai seorang paman dengan ke-
ponakannya. Ternyata Roro pun telah memanggilnya
dengan sebutan paman terhadap si Dewa Angin Puyuh
itu. Yang tampaknya mempunyai rasa kebahagiaan
tersendiri bagi si manusia bulat itu. Siapa yang tak
bangga punya keponakan secantik dan seayu Roro
Centil, yang selalu menjadi incaran mata kaum muda-
muda bahkan tua bangka yang mata keranjang...
Hal itu memang terjadi, ketika suatu ketika si
Dewa Angin Puyuh mengajak Roro memasuki desa
yang ramai. Dan mengajaknya singgah di sebuah ru-
mah makan yang paling laris dikunjungi orang. Den-
gan bangga si manusia bulat telah sebutkan Roro se-
bagai keponakannya, bila bertemu dengan setiap orang
yang dikenalnya.
Dari si Dewa Angin Puyuh itulah, Roro Centil
mengetahui tentang siapa adanya wanita kaum Rimba
Hijau yang bernama julukan si Kupu-kupu Emas. Se-
perti diketahui si Kupu-kupu Emas adalah orang yang
tengah dicarinya. Dan terlibat dalam pengeroyokan
atas gurunya, si Manusia Aneh Pantai Selatan Yang
berakhir dengan kematian sang Guru yang dicintainya
itu. Berita itu ia dapatkan dari Joko Sangit, sahabat
baiknya.
Ternyata si Dewa Angin Puyuh juga suka ber-
hubungan dengan Sang Ratu Kuning, alias si Kupu-
kupu Emas itu. Bahkan ia memiliki topeng kulit ma-
nusia, yang sering dipakai wanita Rimba Hijau itu. En-
tah bagaimana si Dewa Angin Puyuh berhasil mencu-
rinya. Demikianlah. Hingga Roro Centil dapat menge-
tahui sarang si Kupu-kupu Emas, dan bahkan dapat
mengelabuhi ketujuh belas orang-orang bawahannya,
yang mengabdi padanya. Bahkan tanpa sengaja usaha
mencari Gumarang, laki-laki muda suami Retno Wulan
yang hilang tak tentu rimbanya itu dapat diketahui ka-
lau ternyata berada di sarang si Kupu-kupu Emas. Se-
telah entah beberapa bulan disekap oleh si Peri Gu-
nung Dempo untuk melayani wanita cabul itu memua-
skan hawa nafsunya.
* * *
Senja telah tiba, ketika pintu kamar Roro Centil
diketuk orang. Roro cepat-cepat pergunakan cadar dari
saputangannya untuk menutupi wajahnya. Hingga
yang tampak adalah sepasang matanya saja.
"Masuklah..!" Berkata Roro Centil, seraya bu-
kakan pintu. Dan seorang pemuda diantar dua pen-
gawal, segera melangkah masuk. Ternyata Kala Ben-
dana tak ada bersamanya. Pemuda bernama Guma-
rang ini berhenti untuk menatap pada Roro yang wa-
jahnya terlihat sepasang matanya saja berkilatan me-
mandangnya. Roro sudah segera tutupkan kembali
pintu kamarnya. Gumarang melangkah lesu... Kea-
daannya amat mengenaskan. Karena tubuhnya tam-
pak agak kurus. Dengan sepasang mata yang agak cekung ke dalam. Wajahnya tak menampilkan gairah hi-
dup. Tapi Roro harus mengakui akan ketampanan wa-
jahnya. Pantas si Peri Gunung Dempo menggilainya,
karena Gumarang memang punya daya tarik luar bi-
asa untuk digandrungi kaum wanita. Demikian pikir
Roro dalam hati. Tiba-tiba laki-laki muda ini balikkan
tubuhnya, seraya berkata dengan suara parau.
"Kaukah sang Ratu Kuning itu..? Hm! Lebih
baik kau bunuh saja aku..! Aku telah tak punya gairah
untuk wanita-wanita cabul macam kalian. Sudah cu-
kup aku tersiksa oleh si Peri Gunung Dempo, wanita
siluman itu, mengapa kau masih memelihara aku
sampai saat ini..? Dan baru sekarang kau panggil aku
untuk menghadap?" Seraya berkata itu, sepasang mata
Gumarang tampak menyorot tajam berapi-api. Betapa
ia sudah merasa bosan hidup dalam tawanan. Dan ki-
ni lagi-lagi harus berhadapan dengan manusia-
manusia bermoral bejat Yang tak pernah merasa
puas..! Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah membu-
ka cadar penutup wajahnya. Dan tempelkan jari telun-
juknya di atas bibir. Tentu saja Gumarang jadi terke-
jut. Dan isyarat itu membuat Gumarang kerutkan
alisnya hingga menyatu. Roro sudah tarik pemuda itu
ke sisi pembaringan.
"Masih ingatkah kau padaku..? Aku wanita
yang telah kalian anggap Dewi Laut itu..?" Tanya Roro
bersisik. Gumarang bagai tak berkedip menatap Roro.
Dan segera teringat ia akan peristiwa setahun lebih
yang lalu, ketika ia dan Retno Wulan dalam keadaan
dicengkeram maut. Karena ketika sepasang sejoli ini
melarikan diri dengan menggunakan perahu berlayar
di laut lepas, tahu-tahu perahunya telah bocor berlu-
bang. Ternyata adalah perbuatan begundalnya Tirta
Menggala.
Saat Tirta Menggala muncul dengan perahu be-
sar menyusulnya, mereka berdua cuma bisa menanti-
kan datangnya maut Karena perahunya semakin
membenam, tanpa seorangpun berniat menolong. Apa
lagi Tirta Menggala memang menginginkan kematian
mereka. Karena ia memang menginginkan Retno Wu-
lan, sang kekasihnya itu untuk jadi istrinya. Tapi dito-
lak oleh sang gadis. Dan gadis itu melarikan diri ber-
samanya.
Pada saat kegaduhan di perahu besar yang di
tumpangi Tirta Menggala. karena sekonyong-konyong
perahu Tirta Menggala berderak bagai dihantam benda
keras. Dan sekejap sudah miring mau tenggelam. Ka-
rena dinding perahunya telah jebol. Saat itulah, se-
buah bayangan merah jambu berkelebat menyambar
Gumarang dan Retno Wulan. Ternyata Roro Centil
yang telah menyelamatkan jiwanya. Dan dibawa mele-
sat ke arah pantai. Yang akhirnya mereka terhindar
dari kematian ditelan ombak. Gumarang tak dapat
berkata apa-apa selain bersujud di hadapan Roro Cen-
til, namun mendesis juga ucapannya perlahan...
"Pendekar Wanita Pantai Selatan... Nona Roro
Centil..! Aku masih mengenalimu. Oh, maafkan aku
yang salah menyangka..!" Namun Roro sudah segera
angkat bahunya dan bisikkan beberapa kalimat ten-
tang kedatangannya. Gumarang mengangguk-angguk
mengerti. Lalu sekejap kemudian Roro telah salurkan
hawa hangat ke sekujur tubuh Gumarang, dengan
menempelkan telapak tangannya pada punggung pe-
muda itu. Selang sesaat Kekuatan Gumarang telah pu-
lih kembali. Bahkan tenaga dalamnya telah ditambah
oleh Roro Centil, dengan menyalurkannya. tanpa
sungkan-sungkan.
Segera saja Roro pakai lagi kedok mukanya.
Dan beranjak keluar diikuti Gumarang. Tentu saja ke-
dua penjaga cuma tundukkan kepala dengan menjura
hormat pada Roro. Akan tetapi, sekali lengan wanita
ini bergerak kedua penjaga itu telah berdiri kaku den-
gan keadaan tubuh tertotok juga tanpa dapat kelua-
rkan suara lagi. Cuma sepasang matanya saja yang
menatap lantai dengan berkedip-kedip keheranan.
Selanjutnya beberapa penjaga semuanya telah
juga ditotok oleh Roro. Bahkan tiga orang yang datang
kehadapannya, termasuk Kala Bendana, telah juga
mengalami nasib yang sama. Tentu saja, dengan mu-
dah mereka segera keluar dari gedung tempat sarang si
Kupu-kupu Emas itu. Akan tetapi ketika mereka tiba
di pelataran, telah terdengar bentakan disertai terjan-
gan hebat dari dua sosok tubuh. Roro Centil perguna-
kan sepasang lengannya untuk menyambuti. Terden-
garlah suara teriakan tertahan. Dan dua sosok tubuh
itu telah terpental tiga tombak ke belakang. Segera da-
pat dilihat siapa adanya kedua orang itu. Ternyata me-
reka adalah dua orang wanita. Yang satu seorang wa-
nita muda berbaju hitam, yang tak lain dari si wanita
buronan Laras Jingga. Sedang yang seorang lagi ada-
lah seorang wanita berusia sekitar 40 tahun. Wajahnya
mempunyai bekas tanda luka menggores. Akan tetapi
dapat diakui wanita ini dulunya berwajah cantik. Wa-
nita ini bangkit berdiri, seraya gulung lengan bajunya,
yang berwarna kuning keemasan, hampir mirip dengan
pakaian Roro.
"Manusia kurang ajar..! Buka topengmu..!" Ben-
taknya. Seraya cabut senjatanya dari balik pakaian.
Yaitu sebuah kipas tipis dari baja berkilat, berwarna
kuning emas, berbentuk sayap kupu-kupu. Tahulah
Roro Centil, kalau wanita dihadapannya ini adalah si
Kupu-kupu Emas. Segera ia telah tarik robek kedok
mukanya.
Sepasang mata si Ratu Kupu-kupu Emas itu
mendelik gusar. Ia memang sudah mengetahui kalau
orang yang menyaru dirinya itu adalah Roro Centil.
Akan tetapi baru kali ini ia melihat wajahnya. Adapun
si wanita buronan, Laras Jingga jadi terkesiap. Tapi
juga merasa kebetulan. Wajahnya tampak menampil-
kan kemarahan luar biasa terhadap Roro. "Manusia
keparat Roro Centil! Bagus! kiranya kau berada disini.
Kau harus tebus kematian ibuku dengan nyawamu..!"
Bentakannya telah diiringi terjangan hebat ke arah Ro-
ro. Ternyata ia telah pergunakan jurus-jurus si Dewa
Tengkorak. Akan tetapi dengan pergunakan jurus Ta-
rian Bidadari Mabuk Kepayang, Roro Centil sudah
berhasil menghindari. Bahkan tampaknya Roro tak
mau berlama-lama untuk menjatuhkan lawan. Ia su-
dah maklumi kemarahan Laras Jingga akan kematian
ibunya alias si Peri Gunung Dempo. Tiba-tiba tubuh
Roro telah berkelebat lenyap dari pandangan wanita
muda itu. Akan tetapi tahu-tahu Laras Jingga kelua-
rkan keluhan pendek. Tubuhnya roboh terkulai kena
ditotok Roro. Dan dengan sigap, Roro telah menyambu-
tinya. Kemudian dengan memondongnya, Roro cepat
melompat ke arah Gumarang. Kejap berikutnya, ia te-
lah berikan gadis yang telah tertotok pingsan itu untuk
dipondong si pemuda.
Betapa gusarnya si Kupu-kupu Emas. Memang
ia telah mengetahui adanya Roro Centil dari kedua
orang Perwira Kerajaan Sriwijaya, yaitu Lembu Sura
dan Datuk Raja Gur. Yaitu adanya orang yang menya-
ru dirinya. Ia baru saja keluar dari gedung Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Yang memang ada hubun-
gan baik padanya. Saat ia lakukan pembicaraan seje-
nak dengan Panglima itu, muncullah Lembu Sura dan
Datuk Raja Gur. Mereka segera laporkan pertemuan-
nya dengan si Kupu-kupu Emas. Tentu saja Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta jadi terkejut. Terlebih-lebih
si wanita itu, karena Kupu-kupu Emas adalah dirinya
sendiri.
Pada saat itulah muncul si Dewa Angin Puyuh,
yang mengatakan bahwa si Kupu-kupu Emas itu ada-
lah samaran dari Roro Centil, yang tengah menyatroni
sarangnya. Kiranya si manusia bulat itu memang sen-
gaja memancing wanita musuh besar Roro itu untuk
kembali ke sarangnya. Bahkan si Dewa Angin Puyuh
yang telah berpihak pada Roro, berpura-pura mau
membantu wanita itu. Segera saja mereka minta diri.
Dan berdua dengan si Dewa Angin Puyuh, mereka se-
gera angkat kaki untuk segera berangkat menuju tem-
pat Kediaman si Kupu-kupu Emas.
Diperjalanan mereka bertemu dengan Laras
Jingga. Lantas saja si Kupu-kupu Emas mengajaknya
turut serta, serta merasa kebetulan sekali mendapat
teman untuk menempur Roro Centil. Karena Laras
Jingga memang tengah mencari pendekar wanita itu,
untuk membalas dendam atas kematian ibunya. Ter-
nyata semua itu adalah hasil rencana si Dewa Angin
Puyuh. Yang sudah mengatur adanya pertemuan itu.
Demikianlah... Ketika terjadi pertarungan, dan
berakhir sekejapan saja Laras Jingga kena tertotok
oleh Roro Centil. Saat itu si Dewa Angin Puyuh, cuma
asyik duduk menyandar di dahan pohon sambil men-
gipas dengan kipas bututnya. Kupu-kupu Emas sudah
berteriak membentaknya...
"Hei! Manusia bola..! Mengapa kau tak turun
tangan membantuku..?!" Teriaknya. Akan tetapi si ma-
nusia bulat itu bahkan pentang mulutnya lebar-lebar,
alias menguap. "Hoaeeemmm... Aku mengantuk sekali,
Kupu-kupu Emas. Sebaiknya aku tidur dulu. Nanti bi-
la kau terdesak, dan sudah dekat mau mampus, kau
bangunkanlah aku..!" Berkata si Dewa Angin Puyuh,
seraya kipas bututnya sudah diselipkan disela jubah-
nya. Kemudian setelah menguap sekali lagi, sudah se-
gera pejamkan matanya untuk tidur mendengkur.
"Setan..! Kunyuk..!" Memaki si Kupu-kupu
Emas, seraya sudah arahkan senjata kipas bersayap
Kupu-kupu itu ke atas tempat si manusia bulat men-
dengkur. Tiba-tiba dari batang kipasnya telah mem-
bersit belasan batang jarum halus. Itulah senjata ra-
hasia yang mengandung racun. Akan tetapi, dengan
cepat si manusia bulat itu tarik keluar lagi kipas bu-
tutnya, seraya berkata keras-keras...
"Hoaeeemmm..! Panasnya bukan main..!" Hebat
akibatnya. Karena bam dengan gerakan mengeluarkan
kipasnya saja, belasan batang jarum itu telah buyar
kena hempasan angin kipas bututnya. Dan ketika mu-
lutnya menguap. Belasan batang jarum itu sudah ter-
hembus lenyap. Selanjutnya ia sudah mengipas lagi.
Anehnya selama ia menghantam buyar senjata-senjata
rahasia itu, ia tak pernah membuka kelopak matanya.
Kupu-kupu Emas sudah tak memperdulikan
lagi manusia bulat itu. Akan tetapi ia telah palingkan
kepala pada Roro Centil seraya membentak dengan
suara dingin.
"Bagus..! Kiranya murid si Manusia Aneh alias
si banci gila asmara itu, memang mencariku untuk
membalas dendam..! He he he... kau hanya mengantar
nyawa saja, bocah bau kencur..!"
Dan kata-katanya telah dibarengi bentakan
dahsyat. Tubuhnya berkelebat ke arah Roro, dengan
kelebatkan senjata kipas Kupu-kupunya. Membersit
senjata yang bersisi tajam itu. Bahkan ujungnya mematuk ke arah leher. Roro Centil sudah berkelebat
menghindar. Tentu saja ia telah waspada akan adanya
jarum di ujung gagang kipasnya. Tampaknya Roro
Centil ingin mencoba menggunakan jurus pemberian si
Mayat Hidup. Yang cuma terdiri dari tiga jurus. Ketiga
jurus ilmu pemberian si Mayat hidup itu adalah ber-
nama jurus Kucing Kurus Sambar Ikan Asin. Segera
saja Roro lakukan lompatan-lompatan bagai seekor
kucing. Ternyata membawa hasil memuaskan Jurus-
jurus si Kupu-kupu Emas selanjutnya semakin hebat.
Dan Roro Centil selalu dapat menghindar dengan lom-
patan-lompatannya.
Membuat wanita ini jadi jengkel. Tiba-tiba ki-
pasnya bergerak menyambar, menimbulkan hempasan
dahsyat. Berbareng dengan kelebatan tubuhnya me-
mutari Roro. Dan di saat yang sudah ditentukan, ja-
rum-jarum mautnya sudah membersit berkali-kali me-
luruk ke arah Roro. Namun dengan kibaskan rambut-
nya, Roro berhasil menghalaunya.
Tiba-tiba Roro gerakkan tubuh untuk menyam-
bar kaki. Lagi-lagi ia pergunakan jurus Kucing Kurus
Sambar Ikan Asin warisan si Mayat Hidup. membuat si
Kupu-kupu Emas melompat dua tombak. Namun ge-
rakan Roro sudah mendahului. Karena ia telah men-
duga kalau si wanita itu akan berbuat demikian. Dan
begitu tubuh si Kupu-kupu Emas tiba didekatnya, se-
kali lengan Roro bergerak... lepaslah senjata Kipas Ku-
pu-kupu si wanita itu. Untuk selanjutnya sebuah ge-
rakkan dari jurus Ikan Hiu Menampar Ombak. Tak
ampun lagi wanita itu sudah perdengarkan teriakan-
nya. Karena sebuah tendangan telak telah menghan-
tam punggungnya di udara. Tubuh Roro sudah kemba-
li menjejak tanah. Sementara tubuh lawannya baru
saja menyentuh ke bumi, Roro Centil telah lemparkan
deras senjata kipas Kupu-kupu itu ke arah si pemilik-
nya. Terkesiap si Ratu Kuning itu. Namun sudah ter-
lambat... Karena benda itu telah menabas langsung ke
arah dadanya, hingga lenyap tak kelihatan lagi. Dan
tanpa dapat berteriak lagi, si Kupu-kupu Emas cuma
menggeliatkan tubuhnya. Dan nyawanya pun me-
layang seketika. Senjata Kipas Kupu-kupu itu telah
membelah dadanya dan terus melesak amblas ke da-
lam tanah. Pertarungan maut itupun berakhir sudah.
Si Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Dan
melompat turun dari atas dahan. Sementara cuaca
semakin gelap. Karena malam akan segera tiba.
* * *
Menjelang beberapa hari kemudian, tampak ti-
ga sosok tubuh berlari dengan tak tergesa-gesa, di atas
perbukitan yang menghijau itu. Mereka adalah Roro
Centil, Gumarang dan si Dewa Angin Puyuh. Ketiganya
dalam perjalanan menuju ke tempat tinggal si Mayat
Hidup. Kiranya mereka baru saja membereskan uru-
sannya menyerahkan si wanita buronan alias Laras
Jingga, si cantik berdarah dingin itu pada Panglima
Agung Tunggal Sewu Seta. Ternyata di dalam ruangan
gedung itu tengah ada tetamu dari Kerajaan Bungo
Mambang. Diantaranya terdapat Raja Bantar Alam ser-
ta putra mahkota Pangeran Kandaga. Serta juga seo-
rang panglima yang putus sebelah tangannya, berna-
ma Renggana Pati. Terbukalah tirai terselubung di hati
Panglima Agung Tunggal Sewu Seta. Karena sebenar-
nya ia adalah seorang panglima di Kerajaan Bungo
Mambang, bernama Sobrang. Yang sebenarnya bukan
dihukum mati oleh Raja Bantar Alam. Melainkan di-
pindahkan ke Kerajaan Sriwijaya. Dan menjadi Panglima di Kerajaan besar itu.
Laras Jingga adalah puteri angkatnya yang te-
lah dicuri oleh Warakas. Sedang kehamilan Dewi Melur
adalah perbuatan Warakas. Anak hasil perbuatan me-
reka, ternyata tak berumur panjang. Dan meninggal
ketika dilahirkan. Warakas akhirnya dapat diketahui
tempat persembunyiannya. Namun ketika Panglima
Sobrang alias Panglima Agung Tunggal Sewu Seta itu
menyuruh menangkapnya. Ternyata telah tewas oleh
Laras Jingga. Adapun kedua orang anak pembesar Ke-
rajaan itu, yang bernama Lingga dan Linggih, adalah
tipuan belaka. Karena Linggah dan Linggih sebenarnya
tak ada hubungan apa-apa dengan si Panglima. Perin-
tah membunuh mati itu ternyata dihembuskan oleh
Warakas. Karena ia khawatir wanita berdarah dingin
itu menyusahkannya kelak.
Tentu saja penuturan dari semua orang-orang
Kerajaan Bungo Mambang itu telah menguak kisah ri-
wayat hidup Laras Jingga. Si cantik berdarah dingin
ini memeluk ayah angkatnya dengan terharu dan mo-
hon maaf pada Roro Centil, yang telah dianggapnya te-
lah membunuh ibunya. Padahal Dewi Melur alias si
Peri Gunung Dempo itu tidaklah ada hubungannya
sama sekali dengannya. Akhirnya setelah mereka sa-
ma-sama saling maafkan, Roro, Gumarang dan si De-
wa Angin Puyuh berangkat untuk mengunjungi tempat
si mayat hidup. Akhir kisah, Roro Centil dan si Dewa
Angin Puyuh cuma bisa memandang terharu atas per-
temuan Gumarang kembali dengan istrinya, Retno Wu-
lan.
"Dewa Angin Puyuh..! Kapan kau akan kawin..?
Apa kau belum bosan membujang sampai tua..!" Ber-
kata si Mayat Hidup.
Manusia bulat ini hanya menyengir, sambil
mengipas dengan kipas bututnya. Ia sudah lantas me-
nyahuti; Seraya tertawa gelak-gelak...
"He he he... ha ha ha... Kawin sih aku sudah
sering...! Cuma menikah yang aku belum merasakan-
nya..!" Tentu saja semua jadi tertawa geli. Roro Centil
sudah menggamit pundak si manusia bulat itu seraya
berkata,
"Bagaimana kalau kau kawin saja denganku..!"
"Ha...?" Si Dewa Angin Puyuh jadi plototkan
matanya pada Roro. Tapi sudah menyahuti; "Boleh..!
Boleh..! Tapi aku ingin tahu dulu apa mas kawin-
nya..?" Sambil tersenyum Roro menjawab;
"Tak perlu pakai mas kawin..! Kalau kau mau
menungguku sampai 100 tahun, biarlah kuterima la-
maranmu..!" Tentu saja si manusia bulat ini sudah ter-
tawa terbahak-bahak. "Ha ha ha... Saat itu kau sudah
jadi nenek-nenek bungkuk, dan aku sudah jadi maka-
nan cacing di dalam kubur! Ha ha ha..." Kembali si
Dewa Angin Puyuh tertawa gelak-gelak. Diikuti semua
orang. Adapun tiba-tiba wajah Roro jadi cemberut.
"Aku jadi nenek-nenek bungkuk..? Huh! Siapa
bilang kalau aku sudah tua akan jadi nenek-nenek
bungkuk..?" Sambil berkata dengan wajah cemberut,
Roro Centil sudah balikkan tubuh untuk berlalu. Ter-
kejut si Dewa Angin Puyuh. Segera ia sudah mengejar,
dan berkata;
"Aiih... Keponakanku yang manis, sudahlah,
jangan marah..!"
"Tidak sudi! Aku memang marah..!" Ujar Roro.
Keruan saja si Dewa Angin Puyuh jadi garuk-
garuk kepala, yang tidak gatal. Akan tetapi ia sudah
berkata dengan suara agak keras.
"Marah, ni yeeee.....!".
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar