..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PETUALANGAN DI ALAM ROH

Matjenuh khairil

 

PETUALANGAN DI ALAM ROH 
oleh T. Hidayat 
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Puji S. 
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau 
memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku M tenpa izin tertulis dari 
penerbit 
T. Hidayat 
Dalam episode: 
Petualangan di Alam Roh 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Malam baru saja berganti pagi. Cahaya kemerahan matahari 
pagi sudah tampak menyemburat di kaki langit sebelah Timur. 
Kicau burung saling bersahutan, seiring makin terbukanya mata 
sang raja siang. Perlahan sinar kuning keemasan menyirami 
tubuh bumi. Tanda kehidupan kembali dimulai. 
Di bawah siraman sinar matahari pagi yang hangat 
menyentuh kulit, tampak sesosok lelaki gagah tengah 
melangkah ringan. Kaki-kakinya tampak kokoh, menyibak 
ilalang agak tergesa-gesa. Kelihatannya, tengah terburu-buru. 
Lelaki gagah berperawakan gemuk itu tampaknya bukan 
orang sembarangan. Dalam kalangan persilatan, ia termasuk 
salah seorang tokoh tingkat menengah. Namanya, Gala Campa. 
Dia adalah murid tertua Ki Raksa Mala. Malah lelaki gagah itu 
kini telah mewarisi Perguruan Cakar Besi, karena Ki Raksa Mala 
sendiri telah tewas di tangan pembunuh yang masih terselimut 
kabut kegelapan (Baca serial Pendekar Naga Putih dalam 
episode: Badai Rimba Persilatan). Gala Campa memang habis 
dari Hutan Grambang bersama para tokoh lain. Dia kini tengah 
bergegas menuju perguruan yang didirikan Ki Raksa Mala. 
Setelah berpisah dengan para tokoh lain, termasuk Pendekar 
Naga Putih, timbul rasa khawatir di hati lelaki gemuk itu 
terhadap perguruan yang telah cukup lama ditinggalkannya. Itu 
sebabnya, mengapa sepagi itu ia terlihat demikian tergesa-gesa 
melakukan perjalanan. 
Tidak berapa lama, tibalah Gala Campa di tepi sebuah sungai 
lebar yang memisahkan dua desa. Cepat tangannya diulapkan 
ke arah tukang perahu yang saat itu di tengah sungai. Tanpa 
mengucapkan sepatah kata pun, Gala Campa langsung

melompat ke atasnya, begitu perahu telah dekat dengan 
jangkauan lompatannya. 
"Tuan tampaknya sangat tergesa-gesa. Apakah hendak 
mengunjungi kerabat yang sakit di Desa Kemang?" tanya 
tukang perahu berusia setengah baya itu. 
Rupanya, dia melihat kegelisahan di wajah Gala Campa. 
Meski hanya bermaksud untuk melenyapkan kesunyian di 
antara mereka, tapi sepertinya Gala Campa tidak begitu suka 
dengan pertanyaan itu. 
"Ya! Percepatlah sedikit laju perahumu...," sahut Gala Campa 
singkat dan cepat. 
Seolah-olah dengan jawaban itu ia ingin menunjukkan 
keengganan untuk melanjutkan pembicaraan. Namun 
sayangnya, tukang perahu itu seperti tidak peduli dengan 
jawaban ketus Gala Campa. Setelah mengangguk-angukkan 
kepala sejenak, lelaki tua itu mempercepat laju perahunya. 
"Siapa yang hendak Tuan jenguk? Saudara kandung, 
ataukah hanya seorang kerabat jauh...?" 
"Hhh...." 
Gala Campa menghela napas sambil menggeleng-gelengkan 
kepala. Sepasang matanya yang berkilat dengan wajah siap 
mendamprat, langsung sirna begitu terbentur seraut wajah tua 
yang tampak penuh penderitaan. Hingga, Gala Campa terpaksa 
hanya bisa menyabarkan diri. 
"Tidak. Aku tidak hendak menjenguk siapa-siapa. Aku hanya 
ingin mengunjungi Perguruan Cakar Besi, karena telah cukup 
lama kutinggalkan...," kata Gala Campa, mengatakan hal yang 
sebenarnya.

Selain tidak biasa berbohong, wajah tukang perahu itu 
mendatangkan perasaan iba di hatinya. Hal itulah yang 
membuatnya seperti harus berkata jujur. 
"Perguruan Cakar Besi...!?" tukang perahu itu seperti agak 
terkejut mendengar Gala Campa menyebut nama 
perguruannya, "Kemarin sore, ada delapan orang lelaki 
berpakaian kembang-kembang penuh tambalan yang juga 
memiliki tujuan sama dengan Tuan. Hm..., Ada keramaian apa 
sebenarnya di tempat itu...?" 
"Apa...?! Delapan orang berpakaian kembang-kembang 
penuh tambalan hendak menuju ke Perguruan Cakar Besi...?!" 
sentak Gala Campa, sehingga tanpa sadar mencengkeram erat 
pangkal lengan tukang perahu. 
Karuan saja, lelaki setengah baya yang tidak mengerti ilmu 
silat itu menjerit kesakitan. 
"Aku mengatakan yang sebenarnya, mengapa Tuan 
kelihatan begitu ketakutan,..? Apakah ucapanku salah...?" ujar 
tukang perahu itu sambil memijat-mijat pangkal lengan yang 
terasa remuk tulang-tulangnya. Untunglah Gala Campa keburu 
sadar. Kalau tidak, bukan tidak mungkin lengan orang tua itu 
benar-benar remuk dibuatnya. 
"Maaf, Paman. Maaf.... aku jadi benar-benar terkejut 
mendengar cerita Paman. Sekarang, katakanlah kepadaku. 
Apakah tambal-tambalan yang kau maksud seperti pengemis...? 
Benar begitu, Paman...?" tanya Gala Campa, sambil berusaha 
menenangkan diri. 
"Ya, ya. Kira-kira begitulah, meskipun pakaian mereka 
tampak masih bagus. Sepertinya hal itu disengaja, agar orang-
orang mengira mereka sebagai pengemis sungguhan. 
Aaahhh..., dasar orang-orang itu saja yang kurang waras. Aku 
saja ingin memiliki pakaian yang bagus tidak tambal-tambalan

seperti yang kupakai ini. Eh, orang-orang itu malah sengaja 
menambal-nambal pakaiannya. Dasar dunia memang sudah 
terbalik...," kata tukang perahu itu, sambil sedikit mengomel. 
Tapi, Gala Campa sudah tidak mendengar ucapan tukang 
perahu selanjutnya. Begitu mendengar kepastian kalau delapan 
orang berpakaian kembang-kembang benar pengemis, 
langsung saja dayung di tangan lelaki setengah baya itu 
disambarnya. Dan tanpa memperdulikan tukang perahu yang 
membelalak dengan wajah pucat karena mengira perahunya 
hendak dicuri, lelaki gagah yang merebut dayung perahu itu 
segera mendayung dengan menggunakan tenaga dalam. 
Hasilnya tentu saja sangat mengejutkan tukang perahu. 
Hampir napas lelaki tua itu putus seketika merasakan perahu 
yang dinaikinya meluncur demikian cepat. 
Bahkan hembusan angin terasa demikian keras menerpa 
tubuhnya. Akhirnya, orang tua itu terpaksa memejamkan mata 
dengan mulut komat-kamit memanjatkan doa. Sepasang kaki 
yang sudah tidak sanggup menahan berat tubuhnya, terpaksa 
harus di tekuk. Sehingga, dia berdiri hanya menggunakan 
kedua lututnya. 
Sedangkan Gala Campa sendiri yang tengah dalam 
kecemasan luar biasa, mendayung perahu bagaikan orang 
kesetanan. Seluruh tenaganya dikerahkan agar segera tiba di 
seberang sungai. Memang dia seperti mendapat firasat buruk 
kalau akan terjadi sesuatu di perguruannya. 
"Heaaah...!" 
Ketika jarak antara perahu dengan tepian sungai tinggal kira-
kira tiga tombak lagi, Gala Campa kembali mengerahkan 
tenaganya. Kemudian, dia membentak keras disusul lesatan 
tubuhnya yang melayang di atas permukaan air sungai.

Namun Gala Campa telah meninggalkan kepingan uang di 
atas perahu. 
Jelg! 
Begitu kedua kakinya menginjak permukaan tanah, tubuh 
Gala Campa kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali 
di udara. Kemudian, tubuhnya langsung melesat mengerahkan 
ilmu lari cepatnya begitu kakinya mendarat di atas tanah. 
Bagaikan dikejar setan, lelaki gagah itu berlari menuju 
perguruannya yang terletak di luar perbatasan Desa Kemang. 
Rasa khawatir akan nasib murid-murid perguruannya, 
membuatnya seperti memiliki tenaga cadangan yang berlipat-
lipat. 
*** 
Gala Campa terus melesat dengan mengambil jalan pintas. 
Bagaikan bayangan setan, tubuhnya berkelebat di antara 
pepohonan. Hingga, terkadang tubuhnya lenyap di balik 
sebatang pohon, kemudian tahu-tahu muncul di balik pohon 
lain yang terpisah beberapa tombak. Dari sini saja dapat diukur 
tingkat ilmu kepandaiannya, betapa hebatnya ilmu lari cepat 
yang dimilikinya. 
"Eh...!?" 
Meskipun dalam keadaan berlari, namun sepasang mata Gala 
Campa ternyata cukup awas. Ternyata kelebatan empat sosok 
tubuh di depannya, membuat langkahnya terhenti seketika. 
Dengan wajah tegang, tubuhnya cepat menyelinap di balik 
sebatang pohon besar.

Tapi, begitu keempat sosok tubuh yang berlari dari arah 
berlawanan itu dekat, Gala Campa segera melesat dari tempat 
persembunyiannya. Melihat pakaian keempat orang yang serba 
coklat tua, segera saja lelaki gagah itu mengenali. Keempat 
orang itu ternyata murid perguruannya juga. 
"Berhenti...!" 
Bentakan keras yang disusul berkelebatnya sesosok 
bayangan dari balik pohon besar, membuat keempat lelaki yang 
tengah berlari tersentak kaget. Wajah mereka nampak pucat 
bagaikan tak dialiri darah. Senjata-senjata yang masih 
tergenggam erat di tangan, langsung saja disilangkan di depan 
dada, siap menghadapi perkelahian mati-matian. 
Tapi, wajah-wajah pucat itu segera saja berseri 
menampakkan kelegaan hatinya. Memang setelah melihat jelas, 
mereka segera dapat mengenali sosok lelaki gagah berpakaian 
coklat yang berdiri menghadang jalan. 
"Kakang Gala Campa...?!" Seruan itu serentak terucap dari 
mulut keempat orang lelaki yang dihadang Gala Campa. Mereka 
menghembuskan napas kuat-kuat penuh kelegaan. 
"Surangga, apa yang telah terjadi terhadap saudara-saudara 
kita yang lain? Dan, kalian hendak pergi ke mana...?" tegur 
Gala Campa. Suaranya tegas dan menuntut jawaban sejujurnya 
dari lelaki bertubuh kurus yang bernama Surangga. 
"Hhh.... Maaf, Kakang. Kalau tindakan kami salah, kami siap 
menerima hukuman...," kata Surangga, sambil menjatuhkan 
tubuhnya di depan Gala Campa. Demikian pula halnya tiga 
orang temannya. 
"Aku hanya tanya, dan bukan ingin menghukum kalian! 
Jelaskan sikap kalian ini...?!" bentak Gala Campa, jengkel


melihat sikap murid-muridnya. Memang, dia masih merasa 
cemas terhadap nasib murid-murid yang lain. 
"Semua habis, Kakang. Delapan orang pengemis berpakaian 
kembang-kembang, begitu datang langsung mengamuk dan 
membunuhi murid-murid perguruan kita. Apalagi, kepandaian 
mereka ternyata rata-rata sangat tinggi. Sehingga, banyak 
saudara kita yang tewas di tangan mereka. Maka, kami 
terpaksa memutuskan melarikan diri dengan jalan berpencar. 
Sampai akhirnya, aku dan kawan-kawan berjumpa Kakang di 
sini...," tutur Surangga. 
Memang, tingkat kepandaian Surangga paling tinggi di 
antara ketiga orang rekannya. Makanya, dia merasa paling 
bertanggung jawab dalam masalah itu. 
"Apakah mereka menggunakan senjata rahasia beracun...?" 
tanya Gala Campa ingin memastikan lebih dalam lagi 
Gala Campa menduga, pengemis berpakaian kembang-
kembang yang mengacau perguruannya ada hubungannya 
dengan orang-orang yang hampir menewaskannya di tempat 
pertemuan, di luar Desa Lintang beberapa waktu lalu. 
"Benar, Kakang.... Bagaimana Kakang bisa menduga 
demikian? Dan, mengapa Kakang tidak bersama guru, serta 
Kakang Sentaji...?" tanya Surangga sambil mengedarkan 
pandangannya. Seolah-olah, ia mengharapkan dapat berjumpa 
orang-orang yang disebutkannya. 
"Aku hanya tinggal seorang diri, Adi Surangga. Guru dan 
Sentaji tidak akan pernah kembali lagi. Mereka sudah tewas di 
tangan orang-orang jahat. Dan ada kemungkinan, pembunuh-
pembunuh itu juga orang-orang yang mengacau di rumah 
perguruan kita...," jawab Gala Campa dengan wajah mene-
ngadah dan tatapan mata kosong jauh ke depan. Tampaknya

jelas lelaki gagah itu tidak ingin melanjutkan percakapan 
tentang guru dan adik seperguruannya. 
"Aaahhh...!?" 
Surangga dan ketiga rekannya sama-sama menundukkan 
wajah duka disertai desahan napas panjang dan berat. Mereka 
juga mengerti kalau Gala Campa tidak ingin percakapan itu 
diteruskan lagi. Dan kini Surangga dan tiga orang lainnya tidak 
lagi membuka suara. 
Cukup lama keheningan itu melingkupi lima orang murid 
Perguruan Cakar Besi. Mereka tertunduk lesu dengan jalan 
pikiran masing-masing. 
"Kakang...," 
Setelah agak lama dicekam keheningan, Surangga 
memberanikan diri membuka suara. Meskipun hanya perlahan, 
namun cukup merubah suasana. 
"Hm...," sahut Gala Campa menggumam malas. Sebenarnya, 
laki gagah itu tengah mencari cara terbaik untuk kembali ke 
perguruan. Dengan terpaksa, ia menoleh juga ke arah 
Surangga. 
"Apa yang harus kita perbuat sekarang, Kakang. Aku 
khawatir, pengemis-pengemis berhati iblis itu masih terus 
mencari-cari kami. Sebab salah seorang dari mereka sempat 
mengucapkan kata-kata kalau tidak seorang pun murid Cakar 
Besi yang dibiarkan hidup," ujar Surangga. 
Wajah Gala Campa terlihat agak tegang ketika mendengar 
penjelasan Surangga. Memang disadari betul kalau ia dan 
keempat orang saudara seperguruannya tidak akan mampu 
menghadapi pengemis-pengemis baju kembang itu.

"Lebih baik kita cari tempat persembunyian yang aman untuk 
sementara waktu. Saat hari gelap nanti, kita baru mendatangi 
perguruan secara diam-diam. Mudah-mudahan saja masih ada 
saudara kita yang selamat...," ujar Gala Campa. 
Surangga dan yang lain menjawab dengan anggukan kepala 
saja. 
Tampaknya keempat orang murid itu memiliki pikiran yang 
sama dengan kakak seperguruannya. 
"Ayolah...!" ajak Gala Campa, segera saja memutar 
rubuhnya. Mereka kini telah siap bergerak ke arah Selatan. 
Tapi..., 
"Hua ha ha...!" 
Tiba-tiba saja, terdengar suara tawa nyaring saling 
bersambungan. Seketika suasana yang semula sunyi, berubah 
bising oleh suara tawa yang jelas berasal dari banyak orang. 
"Keparat! Rupanya mereka telah tiba di tempat ini. Tidak ada 
waktu lagi untuk menghindari, Kakang. Sebaiknya kita hadapi 
saja iblis-iblis itu sampai titik darah penghabisan!" geram 
Surangga yang segera saja menghunus senjatanya. 
Demikian pula halnya keempat orang lainnya. Mereka 
tampaknya siap menghadapi pertarungan mati-matian dengan 
lawan-lawannya. 
"Keluar kalian, iblis-iblis pengecut! Kami orang-orang Cakar 
Besi tidak akan gentar menghadapi kalian...!" 
Sambil berkata demikian, Gala Campa mengedarkan 
pandangannya ke sekitar tempat itu. Satu persatu, ditelitinya 
pohon besar yang banyak tumbuh di tempat itu. Namun, tidak 
ditemukannya tanda-tanda kalau lawan berada di sekitar 
tempat itu.


Tiba-tiba... 
Seeerrr! Seeerrr! 
Berbarengan desiran lembut, terlihatlah kilatan-kilatan benda 
halus yang berpijaran mengancam kelima orang murid 
Perguruan Cakar Besi. 
"Jarum-jarum beracun...!" Surangga mendesis ngeri melihat 
senjata-senjata rahasia mengincar mereka. 
"Awaaasss...!" 
Gala Campa yang sadar akan keganasan jarum-jarum 
beracun itu, segera saja mengingatkan kawan-kawannya. 
Sedangkan dia sendiri telah melompat ke samping sambil 
memutar senjata untuk melindungi tubuhnya. 
"Yeaaattt..!" 
Surangga dan ketiga orang murid lain segera saja berseru 
nyaring, seraya memutar pedang. Dengan berlindung di balik 
gundukan sinar pedang, mereka bergerak ke samping untuk 
menghindari jarum-jarum beracun lawan. 
"Bedebah curang...!" maki Gala Campa. 
Gala Campa merasa geram bukan main, karena tanpa 
menampakkan diri lawan-lawan telah dapat membuat kalang 
kabut dengan senjata-senjata rahasia. 
"Hua ha ha...!" 
Baru saja ucapan Gala Campa selesai, suara tawa yang 
susul-menyusul kembali berkumandang. Belum lagi 
keterkejutan lenyap, dari sekeliling tempat itu bermunculan 
pengemis-pengemis berpakaian kembang-kembang yang 
langsung mengurung kelima orang murid Ki Raksa Mala itu.

"Hua ha ha...! Senang rasanya melihat kalian melompat-
lompat seperti monyet kelaparan. Bukankah begitu, kawan-
kawan...?" ejek seorang pengemis bertubuh jangkung yang 
pada pipi kirinya terdapat bekas koreng berkata penuh ejekan. 
"Betul... Betul.... Aku pun suka menyaksikan pertunjukan itu. 
Bagaimana kalau kita buat pertunjukan yang lebih menarik lagi, 
Kakang Benggala...?" sahut pengemis lain yang juga bertubuh 
kurus. Tawanya kembali terdengar menyakitkan telinga Gala 
Campa dan kawan-kawannya. 
"Hm...." 
Gala Campa sendiri bagai mendidih darahnya mendengar 
ejekan pengemis-pengemis berbaju kembang itu. Dengan 
wajah merah padam, lelaki gagah itu menudingkan pedangnya 
ke wajah para pengemis itu. 
"Dasar kalian manusia-manusia pengecut yang bisanya 
hanya main sembunyi dalam bertindak! Beberapa waktu yang 
lalu, kalian telah mengeroyok aku dan kawan-kawanku dari 
Perguruan Ular Emas! Kali ini, kalian muncul dengan pakaian 
lain agar tidak bisa dikenali orang. Begitu maksud kalian, 
bukan? Dan itu suatu tanda kalau kalian sebenarnya hanya 
anjing-anjing penakut!" dengus Gala Campa dengan kemarahan 
hampir-hampir membakar tubuhnya. 
"He he he...! Ternyata kau bisa marah juga, Kisanak. Lalu, 
kalau kami sengaja menyembunyikan diri, kau mau apa? 
Apakah hanya ingin memaki-maki seperti barusan itu? Kalau 
begitu, lanjutkanlah. Kami suka sekali mendengarnya...," sahut 
pengemis tinggi kurus yang dipanggil Benggala. 
Kelihatannya, dia tidak merasa marah mendengar makian 
tadi, sehingga membuat Gala Campa semakin bertambah 
dongkol.

"Setan...! Kubeset bacotmu...!" 
Karena tidak bisa menahan kemarahannya lagi, Gala Campa 
langsung saja melesat disertai sambaran pedang ke tubuh 
lawan! 
Bweeettt! 
"Haitt...!" 
Pengemis tinggi kurus bernama Benggala itu sepertinya 
semakin sengaja memancing kemarahan lawan. Ketika mata 
pedang Gala Campa hampir mengenai tubuhnya, ia cepat 
berputar dengan langkah terhuyung. Padahal, jelas-jelas 
serangan Gala Campa bisa dihindari dengan baik. Tentu saja 
hal itu semakin mengobarkan api kemarahan di hati Gala 
Campa. 
"Yeaaattt...!" 
Beeettt! Beeettt! Beeettt! 
Dalam kemarahannya yang tidak bisa ditakar lagi, Gala 
Campa langsung melancarkan serangkaian serangan maut ke 
arah Benggala. Sayangnya, serangannya selalu kandas di 
tangan lawan. Tampaknya kepandaian pengemis tinggi kurus 
itu memang tidak di bawah Gala Campa. Bahkan mungkin 
masih lebih tinggi. 
"Awaaasss...!" 
Ketika pertempuran memasuki jurus yang kesepuluh, tiba-
tiba Benggala membentak keras mengejutkan. Seiring 
bentakannya, tongkat hitam di tangannya menyambar 
mengancam lambung Gala Campa! 
Whuuukkk! 
Terkejut bukan main hati Gala Campa merasakan sambaran 
angin keras dari hantaman tongkat hitam itu. Hal itu
membuatnya tidak berani memandang enteng lagi. Cepat 
langkahnya bergeser dan terus bergerak ke belakang secara 
bersilangan. Guna menjaga kemungkinan serangan susulan 
lawan, pedangnya dikibaskan membentuk lingkaran yang 
melindungi sekujur tubuh. 
"Hua ha ha...!" 
Benggala rupanya sama sekali tidak mengejar. Dan 
sebenarnya, serangan tadi sengaja dilakukan hanya untuk 
melihat tanggapan Gala Campa. Pengemis tinggi kurus itu 
tertawa puas melihat lawan kelabakan setengah mati. 
"Bangsat...!" maki Gala Campa dengan hati jengkel, karena 
telah kena dipermainkan lawan. 
"Hm...," 
Benggala melemparkan senyum tipis mendengar makian 
lawan. Kelihatan sekali kalau ia seperti menganggap enteng 
murid utama Ki Raksa Mala. Sedangkan Gala Campa sudah 
kembali bersiap melanjutkan pertarungan.


DUA

"Kang Benggala...," sebut salah seorang dari pengemis-
pengemis seraya datang menghampiri Benggala, yang memang 
menjadi ketua rombongan. "Sebaiknya segera habisi saja 
mereka. Dengan begitu, bukankah tugas kita yang satu ini 
selesai. Kalau terlalu lama mengulur waktu, aku khawatir guru 
akan marah nanti....'' 
Benggala yang semula masih ingin mempermainkan Gala 
Campa dam lawan-lawannya, menoleh sejenak. Ditatapnya 
wajah pengemis muda bertubuh kurus yang mengingatkannya 
tadi. Sebentar kemudian, sepasang mata tajamnya berubah 
lunak. 
"Hm.... Sebenarnya aku masih ingin mempermainkan orang-
orang bodoh dan tolol ini, tapi mengingat tugas-tugas kita 
masih banyak, tidak ada salahnya kalau nasihatmu kuturuti, Adi 
Wungga...." 
Usai berkata demikian, Benggala kali ini mendahului 
melangkah ke arah Gala Campa dan kawan-kawannya. Tongkat 
hitamnya ditimang-timang, seolah sengaja hendak menakut-
nakuti lawan-lawan. 
Sedangkan tujuh orang pengemis lain termasuk yang 
bernama Wungga, ikut pula bergerak merapat. Hingga, 
keadaan para murid Perguruan Cakar Besi semakin terjepit. 
Ruang gerak mereka juga semakin terbatas. 
"Hm...," 
Gala Campa menoleh ke arah kawan-kawannya dengan sorot 
mata tajam. Sepertinya, lelaki gagah itu ingin menunjukkan 
kalau ia sama sekali tidak takut menghadapi keroyokan lawan.

Hal itu sengaja dilakukan untuk membangkitkan semangat 
Sunggara dan yang lain. 
Pancingan Gala Campa memang tidak sia-sia. Tatapan penuh 
semangat Gala Campa memang membangkitakan keberanian 
Surangga kembali. Mereka kemudian bergerak mendekati kakak 
seperguruannya, dan siap bertarung sampai mati. 
"Hua ha ha...! Bagus..., bagus.... Rupanya murid Cakar Baja 
memang gagah-gagah dan tidak mengenal takut. Mari..., mari 
anak manis. Majulah...," ejek Benggala sehingga benar-benar 
membuat telinga menjadi merah. 
Untungnya baik Gala Campa maupun kawan-kawannya telah 
menyadari kalau tidak boleh terpancing oleh ejekan lawan. 
Memang, kemarahan hanya akan mendatangkan kerugian serta 
membuat mereka lengah. 
"Hm.... Tertawa dan mengejeklah sepuasmu, gembel-gembel 
bau! Sampai berbusa mulut kalian, kami tidak akan 
memperdulikannya lagi...," sambut Gala Campa disertai senyum 
sinis mengandung kecerdikan. Sehingga, Benggalalah yang kini 
menjadi jengkel karenanya. 
"Kalau begitu, terimalah kematianmu...!" 
Usai berkata demikian, tubuh Benggala melayang sambil 
membabatkan tongkat hitamnya dengan kecepatan tinggi. 
Sasarannya, kepala Gala Campa. 
Whuuukkk...! 
Untungnya Gala Campa cepat sadar akan datangnya 
serangan maut itu. Dengan menarik kaki kanannya ke 
belakang, selamatlah kepalanya dari kehancuran. Kemudian 
cepat bagai kilat, senjata di tangannya langsung berkeredep 
membeset tubuh lawan!

Beuuuttt! 
Menilik kuatnya desingan dari angin pedang, dapat ditebak 
kalau Gala Campa telah mengerahkan seluruh kekuatan dalam 
serangannya. Tapi, Benggala ternyata tidak berusaha 
menghindari. Pengemis tinggi kurus itu cepat menyilangkan 
tongkat hitamnya untuk memapak sambaran pedang lawan. 
Traaang! 
Benturan keras terjadi, sehingga menimbulkan suara yang 
memekakkan telinga. Bunga api juga berpijar ketika kedua 
senjata yang dialiri tenaga dalam itu saling bertemu di satu titik 
tadi. 
"Uuuhhh...!" 
Gala Campa mengeluh pendek. Benturan keras tadi ternyata 
telah membuat kuda-kudanya tergempur. Bahkan selain 
langkahnya terjajar mundur, lengan kanannya juga terasa 
bergetar kuat, hingga tulang-tulangnya terasa linu. Jelas, itu 
menandakan kekuatan Gala Campa masih di bawah lawannya. 
"Mampusss...!" 
Benggala rupanya benar-benar tidak ingin mengulur waktu 
lagi. Terbukti, ujung tongkatnya langsung ditusukkan pada saat 
Gala Campa masih belum dapat menguasai keseimbangan. 
Melihat serangan susulan lawan, Gala Campa tentu saja 
terkejut bukan main. Karena untuk menyelamatkan diri jelas 
tidak keburu, lelaki gemuk itu pun nekat menggerakkan bahu 
untuk menyambut datangnya ujung tongkat, demi menye-
lamatkan tenggorokannya. Karena yang jelas, dia tidak akan 
sanggup menerima totokan ujung tongkat itu. Dan.... 
Tuuuggg...! 
"Aaakhhh...!"

Totokan ujung tongkat itu telak menghantam bahu Gala 
Campa yang ternyata telah dilindungi tenaga dalam. Meskipun 
demikian, masih juga ia tidak mampu menahan akibatnya. 
Tubuhnya kontan terhuyung disertai semburan darah segar dari 
mulut. Meskipun darah yang keluar tidak terlalu banyak, tapi 
pukulan ujung tongkat tadi telah menimbulkan luka dalam di 
tubuhnya. 
Belum lagi Gala Campa sempat memperbaiki keadaannya, 
sambaran tongkat hitam lawan kembali datang berdesing-
desing! 
Deeerrr...! 
Debu mengepul disertai pecahan batu yang beterbangan. 
Rupanya, hantaman tongkat lawan yang berikut masih sempat 
dielakkan Gala Campa. Sehingga, bumi tempatnya berpijak tadi 
menjadi sasaran. 
"Aaa...!" 
Saat tubuh Gala Campa tengah bergulingan, terdengarlah 
jerit kematian yang membuat jantung bagaikan terhenti 
berdetak untuk beberapa saat. Memang, jeritan itu disusul 
terbangnya dua sosok berpakaian coklat. 
Pucat selebar wajah murid tertua Perguruan Cakar Besi 
begitu melihat kematian saudara-saudara seperguruannya. 
Harinya benar-benar sedih dan terpukul. Dia memang tidak 
mampu berbuat apa-apa untuk menyelamatkan mereka dari 
kematian, karena juga dalam keadaan diserang. 
"Bedebah..!" geram Gala Campa sambil terus bergulingan 
dengan wajah berduka. Sepasang matanya merah menyala 
penuh api dendam dan penasaran. 
Maka bagaikan orang yang kehilangan ingatan. Gala Campa 
bangkit dan langsung menerjang Benggala dengan serangkaian

serangan maut. Sayangnya, serangannya tidak lagi dengan 
jurus-jurus miliknya. Memang, gerakan Gala Campa sudah 
ngawur dan tidak beraturan. 
"Eit.., eit... Monyet gendut ini ternyata bisa juga bersikap 
galak. Benar-benar menakjubkan...." 
Sambil berlompatan menghindari sambaran pedang lawan, 
mulut Benggala tak henti-hentinya mengejek. Tentu saja semua 
itu semakin membuat Gala Campa kalap. 
"Makan ini..!" 
Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba Benggala 
membentak keras! Seiring bentakan itu, ujung tongkatnya 
meluncur ke arah dada kiri lawan. Dan... 
Duuuggg...! 
"Huuukkkh...!" 
Tanpa ampun lagi. Gala Campa yang tidak sempat mengelak, 
langsung terjungkal ke belakang. Darah segar kembali 
mengucur dari sudut bibirnya. Meski demikian dia segera 
melompat bangkit. Seperti tidak merasakan akibat hantaman 
tongkat lawan, kembali diterjangnya lawan dengan putaran 
pedangnya. 
Belum lagi lima jurus Gala Campa melancarkan serangan, 
kembali jerit kematian terdengar susul menyusul. 
"Surangga...!" 
Teriakan Gala Campa yang seharusnya melengking nyaring, 
itu terdengar parau dan tercekat di tenggorokan. Wajah lelaki 
gemuk itu berkerut-kerut menahan pukulan pada batinnya. 
Hingga ia hanya berdiri bengong tanpa kata, saat melihat tubuh 
kedua orang saudaranya kembali ambruk dan tidak bergerak-
gerak lagi untuk selamanya.

"Ooohhh...." 
"Makan ini...!" 
Seiring bentakan itu, ujung tongkat Benggala meluncur ke 
arah dada kiri Gala Campa. Dan.... 
Duuuggg...! 
"Huuukkkh...!" Tanpa 
sempat mengelak lagi, Ga-
la Campa terkena sodokan 
tongkat itu. 
Gala Campa merasakan 
seluruh tubuhnya lemas 
bagaikan tidak bertulang. 
Kematian demi kematian 
yang disaksikannya 
membuatnya terguncang. 
Belum lagi kematian 
gurunya terbalaskan, kini 
harus menyaksikan 
kematian saudara-
saudaranya dengan mata kepala sendiri. Dan yang lebih 
mengguncangkan jiwanya, ia sama sekali tidak mampu 
mencegah. 
Sedangkan Benggala sama sekali tak peduli terhadap 
keadaan lawan. Tanpa rasa iba sedikit pun, tongkat hitamnya 
meluncur ke punggung Gala Campa! 
Buuukkk! 
"Huaaakhhh..!" 
Darah segar langsung menyembur ketika batang tongkat itu 
menghajar telak punggungnya! Tubuh lelaki gemuk itu

terguling-guling menggilas rerumputan kering. Wajah dan 
pakaiannya juga telah dipenuhi noda darahnya sendiri. 
"Bangun...!" bentak Benggala sambil mengayunkan kaki ke 
tubuh Gala Campa yang tengah berusaha merangkak bangkit. 
Sementara senjata lelaki gagah itu sendiri sudah terlepas dari 
genggaman. 
Deeesss...! 
Untuk kesekian kalinya, tubuh Gala Campa kembali harus 
menerima tendangan keras! Tubuhnya kontan tersentak, untuk 
kemudian kembali terbanting ke atas tanah dengan lelehan 
darah yang semakin banyak membasahi pakaian. Namun 
demikian, Gala Campa tetap berusaha berdiri, walaupun agak 
sempoyongan. 
"Rasakan...!" 
Plaaaggg! 
"Ouuughhh...! 
Kali ini telapak tangan Benggala yang berbicara. Tamparan 
yang dikerahkan lewat tenaga dalam kuat itu telak menghajar 
wajah Gala Campa. Akibatnya, tubuh lelaki itu kembali 
terlempar disertai lelehan darah segar. Wajahnya tampak 
membengkak, bahkan bagian sudut bibir sobek! Tubuhnya 
sudah menggeloso, terduduk di tanah berumput. 
"Eeekhhh...!" 
Gala Campa yang rupanya sudah sulit dikenali, meludahkan 
darah kental yang bercumpur beberapa buah giginya yang 
tanggal. Jelas tamparan barusan memang begitu keras, 
sehingga membuat beberapa buah giginya rontok. 
"Jangan dibunuh orang itu, Benggala...."

Tiba-tiba terdengar sebuah suara berat, mengandung 
perbawa kuat Benggala yang sedianya hendak melanjutkan 
penyiksaan, terpaksa menunda langkahnya. 
"Ketua...." 
Baik Benggala maupun pengemis berbaju kembang-kembang 
lain segera saja berlutut di depan sosok tinggi besar itu. 
"Hm...." 
Sosok tinggi besar brewokan yang hanya mengenakan rompi 
coklat itu mendengus perlahan. Pada sepasang lengannya 
tampak beberapa buah gelang menghias pergelangan. Telinga 
kirinya terdapat anting-anting bulat yang besarnya separuh 
gelang di tangannya. Tampak juga sebuah ikat kepala dari 
tengkorak kepala yang berukuran kecil. Satu agak besar di 
tengah keningnya, sedangkan yang empat tersusun di kiri 
kanannya. 
Sosok tinggi besar berpenampilan angker itu memang bukan 
tokoh baru dalam kalangan persilatan. Pada dua puluh tahun 
yang lalu, sepak terjangnya pernah membuat gempar rimba 
persilatan. Namun pada sepuluh tahun belakangan, namanya 
lenyap dan tidak pernah terdengar lagi. Sehingga, orang-orang 
pun mulai melupakannya, ia adalah Setan Tenaga Gajah. 
"Tinggalkan saja dia. Kelihatannya kita tidak perlu lagi 
membunuhnya. Tekanan batin dalam dirinya demikian parah. 
Tanpa membunuh pun, perlahan-lahan akan mati sengsara...," 
ujar Setan Tenaga Gajah berkata dengan suara penuh 
kepuasan. 
"Baik, Ketua...," sahut Benggala. 
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah segera saja 
angkat kaki dan lenyap, sebelum pengikutnya sempat menoleh.

Hal itu menandakan betapa tingginya ilmu meringankan tubuh 
yang dimilikinya. 
"Ayo kita pergi...," 
Setelah ketuanya lenyap, Benggala segera mengajak kawan-
kawannya meninggalkan tempat itu. Sedangkan tubuh Gala 
Campa dibiarkannya terbaring pingsan di atas rerumputan 
kering. 
Hembusan angin silir-silir lembut mengiringi langkah dua 
sosok tubuh. Menilik buntalan pakaian di bahu kanan sosok 
berjubah putih, jelas mereka adalah pengembara yang tidak 
memiliki tempat tinggal tetap. 
Sosok bertubuh sedang namun padat itu ternyata masih 
muda usianya. Melihat dari raut wajahnya yang bersih, tampan, 
dan menampilkan keramahan, paling jauh usianya baru dua 
puluh satu tahun. Namun apabila orang melihat sinar matanya, 
pasti tidak akan sanggup beradu pandang berlama-lama 
dengannya. Sorot matanya demikian tajam, dan memancarkan 
perbawa amat kuat. Jelas, pemuda tampan berjubah putih itu 
bukan orang sembarangan. 
Sedangkan sosok ramping berpakaian serba hijau yang 
melangkah di samping kirinya, juga tidak kalah menarik. Raut 
wajahnya yang berbentuk bulat telur itu nampak demikian 
halus kulitnya. Hidungnya kecil mancung, dengan sepasang 
bibir indah yang merah basah. Sepasang alis matanya yang 
tebal, tampak melindungi dua bola mata hitam nan cemerlang. 
Benar-benar luar biasa pasangan muda itu. Satu tampan dan 
gagah, satunya lagi cantik jelita bagaikan bidadari dari 
kayangan. 
Sepasang anak muda itu terus mengayun langkahnya di 
bawah siraman cahaya matahari yang mulai beranjak naik. 
Setelah melewati sebuah padang rumput yang cukup luas,

tibalah mereka di tepian sungai. Pandangan mereka 
dilayangkan ke sekitar sungai seperti tengah mencari sesuatu. 
"Hm..., aneh. Mengapa perahu itu dibiarkan terapung-apung 
di tengah sungai...? Apa yang dilakukan tukang perahu itu di 
sana...?" gumam gadis berpakaian serba hijau. 
Sambil melindungi matanya dari sinar matahari, gadis itu 
memandang ke tengah sungai. Memang, di sana ada perahu 
yang biasa digunakan untuk menyeberang, dan di dalamnya 
ada orang yang tengah terapung-apung. 
Pemuda tampan berjubah putih itu pun segera saja 
melayangkan pandangannya ke tengah sungai. Tampak, 
sesosok tubuh tengah rebah di lantai perahu. 
"Mungkinkah ia tertidur demikian lelap di pagi seperti ini?" 
desah pemuda tampan itu ketika melihat si tukang perahu tidak 
bergerak-gerak. 
Mendengar ucapan tadi, gadis berpakaian hijau itu menoleh 
ke arah kawannya. Kemudian, kembali dia memandang ke 
tengah sungai. 
"Hoooiii.... Tukang perahu..., bangunlah! Tolong antarkan 
kami ke seberang...!" teriak dara jelita itu disertai pangerahan 
sedikit tenaga dalam. 
Untuk beberapa saat lamanya, mereka berdiri tegak menanti 
perahu itu datang mendekat. Tapi jangankan bangkit. Malah, 
sepertinya si tukang perahu tidak mendengar. Tentu saja hal 
itu membuat si gadis jengkel. 
"Hm.... Orang malas seperti dia harus diberi pelajaran...," 
desis dara jelita itu mengancam. 
Setelah berkata demikian, ditariknya napas dalam-dalam. 
Kemudian...,

"Hoooiii.... Tukang perahu pemalas, bangunlah! Atau 
perahumu ingin kutenggelamkan!" 
Hebat sekali teriakan dara jelita itu kali ini. Hembusan angin 
bertiup keras seiring terdengarnya teriakannya. Bahkan 
beberapa ekor burung yang sedang terbang dalam jarak yang 
cukup jauh, langsung berjatuhan. Memang getaran suara yang 
mengandung tenaga dalam tadi telah melemahkan sayap-sayap 
binatang kecil itu. 
Tapi teriakan yang begitu hebatnya, ternyata masih belum 
mampu juga untuk membangunkan tukang perahu. Orang itu 
tetap saja rebah miring di atas lantai perahunya tanpa merasa 
terganggu sedikitpun. 
"Tunggu, Kenanga...," kata pemuda tampan itu, mencegah 
ketika kawannya hendak mengulang perbuatannya barusan. 
"Tukang perahu itu benar-benar kurang ajar dan 
membinggungkan, Kakang. Padahal, suaraku tadi kukira 
sanggup membuatnya terlompat bangkit dari tidur yang 
bagaimana pulas sekalipun...," kata dara jelita itu tak puas. 
"Sabar, Kenanga. Sepertinya ada sesuatu yang tidak wajar 
pada tukang perahu itu. Tidak mungkin ia masih bisa terlelap 
setelah mendapat tekanan suara yang mengandung tenaga 
dalam. Pasti ada sesuatu yang tidak beres pada dirinya...," ujar 
pemuda tampan itu. 
Pemuda itu segera mengedarkan pandangannya ke 
sekelilingnya. Kemudian, dia melangkah dan mengambil 
beberapa batang ranting pohon yang cukup besar. 
"Untuk apa kayu-kayu itu, Kakang...?! tanya gadis itu, yang 
memang Kenanga. Sementara, pemuda tampan berjubah putih 
itu tak lain dari Panji, yang berjuluk Pendekar Naga Putih.

Rupanya, Kenanga masih belum mengerti melihat apa yang 
diperbuat Pendekar Naga Putih. Sehingga, ia hanya dapat 
memandang bingung. 
"Tunggulah di sini sebentar. Aku hendak melihat, apakah 
dugaanku benar...," sahut Panji sambil melemparkan sebuah 
ranting di tangannya ke tengah sungai. Dan sebelum ranting itu 
jatuh ke air, tiba-tiba.... 
"Haaaiiittt...!" 
Pendekar Naga Putih berseru nyaring. Seketika tubuhnya 
melambung. Lalu, digunakannya ranting yang jatuh ke air itu 
sebagai landasannya. Demikian pula ranting lain di tangannya. 
Begitu kakinya menyentuh ranting, tubuhnya kembali 
melambung. Kali ini kedua kakinya langsung mendarat di lantai 
perahu. Hebatnya, sedikit pun perahu itu sama sekali tidak 
bergoyang, pada saat tubuh Pendekar Naga Putih meluncur 
turun di atasnya. Jelas, hal itu menunjukkan kalau ilmu 
meringankan tubuhnya telah sangat tinggi. 
"Bagaimana, Kakang...? Apa yang terjadi dengan tukang 
perahu itu?" tanya Kenanga dari seberang. Dia sepertinya tidak 
dapat menahan sabar untuk segera mengetahui apa yang 
ditemukan Panji. 
Sedangkan Pendekar Naga Putih yang kini berada di atas 
perahu itu sama sekali tidak segera menyahut. Dikayuhnya 
perahu itu ke tepian, mendekati Kenanga. 
"Aaah?! Siapa yang telah melakukan kekejaman ini terhadap 
seorang tukang perahu seperti dia...? Apa kesalahannya...?" 
desis Kenanga ketika melihat apa sebenarnya yang telah terjadi 
terhadap tukang perahu. 
"Hm.... Kalau melihat dari pakaian yang dikenakan, ia 
memang tukang perahu. Tapi..., apa yang menyebabkannya?

Hm.... Pasti ada sebab lain yang membuatnya tewas...," 
gumam Panji sambil menatap sosok mayat lelaki setengah baya 
berpakaian lusuh, dan ada beberapa tambalan pada pakaiannya 
itu. 
Lelaki malang itu mati dengan sebuah tusukan senjata tajam 
tepat di jantungnya. Hal itu bisa dilihat dari adanya sebuah 
lubang yang cukup besar di tubuhnya. 
"Bagaimana kalau orang yang membunuhnya sama sekali 
tidak mempunyai alasan, Kakang. Bukankah sifat kaum sesat 
banyak yang tidak lumrah. Mereka bisa saja membunuh tanpa 
alasan jeias! Bahkan ada beberapa di antaranya yang 
melakukannya hanya untuk kesenangan. Sekarang, apa yang 
akan kita lakukan terhadap tukang perahu itu?" kata dara jelita 
berpakaian hijau itu. 
"Yah..., sebaiknya kita kuburkan saja mayat orang tua 
malang ini. Baru setelah itu kita gunakan perahunya untuk 
menyeberang...," usul Pendekar Naga Putih. 
Sementara itu Kenanga hanya menganggukkan kepala tanda 
menyetujui. Sepertinya, ia pun enggan berpikir lama-lama 
tentang pembunuhan yang jelas-jelas masih sangat gelap. 
Usai menguburkan mayat tukang perahu itu sebagaimana 
layaknya seorang manusia, Panji dan Kenanga berdiri tegak 
menatap gundukan tanah merah itu. 
"Orang tua! Siapa pun kau adanya, semoga dapat tenang 
kembali ke alam yang kekal sana. Selain itu, kami pun 
mengucapkan terima kasih, karena perahumu akan kami 
gunakan untuk menyeberang. Selamat tinggal, Orang tua...," 
Setelah berkata demikian, Panji dan Kenanga mengangguk 
hormat, lalu bergegas menyeberangi sungai.

Kematian penuh teka-teki dari tukang perahu itu sepertinya 
masih juga membayangi sepasang anak muda ini. Terbukti, 
mereka masih tetap bungkam selama menyeberangi sungai. 
Jelas, pikiran mereka masih melayang kepada kejadian 
barusan. 
Tidak berapa lama kemudian, perahu itu pun merapat di 
sebuah jembatan kayu yang sepertinya sengaja dipasang untuk 
merapatnya perahu. Setelah menambatkan perahu. Panji dan 
Kenanga bergerak menaiki tangga-tangga tanah. Memang 
tanah tepian sungai itu agak tinggi. 
"Hm.... Nampaknya di depan sana ada sebuah desa, 
Kakang...," kata Kenanga ketika sepasang matanya sempat 
menangkap adanya atap-atap rumah penduduk. 
"Sepertinya begitu. Dan mungkin juga, sungai ini merupakan 
pemisah dengan desa seberang sana yang kemarin kita 
lewati...," sahut Panji sambil mengayun langkahnya tanpa 
terburu-buru. 
Dugaan dara jelita itu memang tidak salah. Tidak jauh dari 
sungai memang ada perkampungan penduduk yang bernama 
Desa Kemang. Mulut desa itu baru dijumpai, tidak lama setelah 
beberapa waktu menyusuri jalan lebar. 
"Uhhh..., tidak tahu diri. Siapa pula yang memanggang ayam 
di siang hari begini. Membuat orang lapar saja...," omel 
Kenanga, tiba-tiba. 
Bau harum dan gurih yang menyerang hidung saat ini 
memang membuat perut gadis itu berkeruyuk. Karuan saja hal 
itu membuatnya merutuk. Sementara, Panji hanya menoleh dan 
tersenyum.

"Hm.... Karena kita sama-sama orang-orang kelaparan, tidak 
ada salahnya kalau memesan dua ekor ayam panggang, 
bukan...?" 
Setelah berkata demikian, Panji segera saja memasuki desa 
dan langsung mencari kedai makan. 
"Kakang, tunggu...!" seru Kenanga, segera berlari menyusul 
Pendekar Naga Putih. 
*** 
Tapi, baru saja Pendekar Naga Putih dan Kenanga memasuki 
mulut kedai, tampak para penduduk yang kebanyakan wanita 
tengah berduyun-duyun menuju balai desa. Tentu saja hal itu 
membuat mereka saling bertukar pandang sesaat. Seperti telah 
mendapat kata sepakat, bergegas arus penduduk Desa Kemang 
itu diikuti. 
"Maaf, Paman...," tegur pemuda tampan berjubah putih itu 
menyentuh lengan seorang lelaki berusia enam puluh tahun. 
"Kalau boleh tahu, ada apakah sebenarnya?" 
Orang tua itu bukannya menjawab, tapi malah sebaliknya 
menatap sosok pemuda itu dengan kening berkerut. Namun, 
Pendekar Naga Putih tetap bersikap tenang meski jelas-jelas 
tatapan orang tua itu menyiratkan kecurigaan. 
"Kau siapa, Kisanak? Aku baru kali ini melihatmu. Apa 
kerjamu di desa ini..?" 
Pertanyaan yang tidak menyenangkan meluncur begitu saja 
dari mulut orang tua itu. Ternyata bukan hanya tatapannya 
saja yang menyiratkan kecurigaan. Bahkan suaranya pun jelas-
jelas mencerminkan ketidaksenangan.

Tampak pemuda tampan itu menghela napas sejenak. 
Ditundanya niat untuk meninggalkan orang tua itu begitu saja, 
karena mungkin akan lebih menimbulkan rasa curiga. Hanya 
saja, dia tidak mengerti apa yang membuat orang tua itu 
menaruh kecurigaan kepadanya? Lalu, apa sebenarnya yang 
tengah terjadi di desa itu? 
"Paman, aku bernama Panji. Ini temanku Kenanga. Kami 
berdua memang bukan orang desa ini. Kami hanyalah 
pengembara. Apakah ada larangan untuk singgah atau 
menginap di desa ini bagi para pengembara...?" tanya Panji 
setelah menjawab semua pertanyaan yang barusan diajukan 
kepadanya. 
Sepertinya, pertanyaan Pendekar Naga Putih membuat lelaki 
tua itu merasa sedikit tidak enak hati. Semua itu kelihatan dari 
sikapnya yang agak berubah, dan tatapan matanya yang juga 
menyiratkan sedikit keramahan. 
"Tentu saja tidak, Nak... Panji. Maaf kalau pertanyaanku 
barusan kurang menyenangkanmu. Masalahnya, kudengar ada 
beberapa orang desa kami telah menemukan empat sosok 
mayat dan satu orang lelaki yang menderita luka parah. Lelaki 
bertubuh gemuk itu kedapatan masih hidup, dan dalam 
keadaan pingsan, itulah sebabnya, mengapa aku langsung 
merasa curiga ketika melihatmu...," jelas orang tua itu yang 
kembali mengayun langkahnya menuju balai desa. 
"Tidak mengapa, Paman. Kecurigaan Paman itu tentu saja 
cukup beralasan. Apalagi, kedatanganku sangat bertepatan 
dengan adanya kejadiaan itu...," kata Panji. 
Pendekar Naga Putih sengaja juga tidak menceritakan 
tentang mayat tukang perahu di sungai. Dia khawatir, kalau-
kalau sikap lelaki tua itu akan berubah lagi kalau hal itu

diceritakannya. Hanya saja, diam-diam Panji mencoba 
menghubungkannya dengan apa yang ditemukan di sungai. 
Setelah mendengar keterangan orang tua itu, Panji dan 
Kenanga semakin lebih tertarik untuk mengikuti rombongan 
orang-orang desa. Sayangnya, pada saat keduanya tiba di balai 
desa, sekeliling tempat itu telah dipenuhi penduduk desa. 
Bahkan beberapa di antara mereka ada yang masih dilumuri 
lumpur atau pun tanah merah. Kelihatan, mereka memang 
habis dari sawah dan ladang, dan merasa tertarik dengan keja-
dian itu. 
Menyadari kesukaran untuk ikut melihat apa yang telah 
diceritakan orang tua tadi kepadanya, Panji melangkah 
mendekati keamanan-keamanan desa yang berbaris 
membentuk pagar. 
"Kisanak. Tolong sampaikan kepada kepala desamu kalau 
aku mungkin mengenali mayat-mayat itu. Tolong beri kami 
kesempatan untuk melihatnya...," pinta Panji kepada salah 
seorang keamanan Desa Kentang yang secara kebetulan juga 
salah seorang pimpinannya. 
"Hm.... Kau siapa, Kisanak? Benarkah apa yang kau katakan 
barusan? Tahukan kau, siapa orang-orang yang tewas dan 
yang terluka parah itu...?" tanya kepala keamanan berperut 
gendut dengan sebaris kumis tebal melintang menghias 
wajahnya. 
Orang itu berbicara sambil mempermainkan kumisnya. Jelas, 
hal itu dimaksudkan agar orang yang berbicara kepadanya 
merasa takut. 
"Aku Panji. Benar tidaknya perkataanku, tergantung 
jawabanku setelah melihat mereka. Sekarang, tentu saja aku 
belum tahu siapa mereka, karena belum melihatnya sedikit

pun...," sahut Panji tetap tenang tanpa memperlihatkan rasa 
tersinggung atau jengkel oleh sikap kepala keamanan desa itu. 
"Hm…, Perlu kau tahu, Anak Muda...," 
Bicara lelaki berperut gendut dan berkumis tebal ini terhenti 
seketika, ketika sepasang matanya sempat menatap sesuatu 
yang mengejutkan di belakang tubuh pemuda berjubah putih 
itu. Segera saja kepalanya berusaha untuk melihat secara jelas 
lewat bahu Panji. 
"Hm...." 
Panji yang langsung tahu penyebab kelakuan aneh itu, 
sengaja berpura-pura bodoh. Kepalanya ikut bergerak-gerak 
mengikuti gerakan kepala lelaki gendut itu. Sehingga, 
pandangan keamanan desa itu tetap saja terhalang kepala 
Panji. 
"Hei, minggir kau...!" 
Masih tetap tidak menyadari kesengajaan pemuda tampan 
itu, lelaki berperut gendut ini menggeram sambil mengulurkan 
tangannya. Maksudnya, untuk menyingkirkan tubuh Panji agar 
pandangannya tidak terhalang. Tapi..., 
"Ehhh?!" 
Keamanan desa itu tersentak kaget ketika tubuhnya hampir 
terjerunuk ke depan. Tatapan matanya segera beralih ke wajah 
Panji. Memang, tarikan tangannya tadi sama sekali tidak 
membuat tubuh pemuda itu bergeser sedikit pun. Bahkan 
tubuhnya sendiri nyaris terjatuh ke depan. 
"Kurang ajar! Apa maksudmu sebenarnya, Kisanak...?" 
hardik kepala keamanan desa itu dengan wajah gelap. 
Jelas ia merasa marah kepada pemuda itu. Tapi meskipun 
dalam keadaan marah, sepasang matanya sempat melirik ke

belakang Pendekar Naga Putih. Sekilas, kembali terlihat apa 
yang membuatnya penasaran untuk menegasi. 
"Paman ini bagaimana?" tukas Panji dengan wajah berpura-
pura tak tahu. "Bukankah sejak pertama tadi sudah kukatakan. 
Apa Paman sudah lupa keinginanku tadi?" 
"Apa..., apa yang kau minta kepadaku tadi...?" tanya lelaki 
gendut itu yang sepertinya benar-benar lupa kata-kata Panji. 
Memang otaknya jelas dipenuhi sesosok bayangan penuh 
pesona yang belum juga sempat jelas dilihatnya. 
"Aku ingin bertemu kepala desa, dan melihat mayat-mayat 
itu. Bagaimana? Apakah Paman mengizinkannya...? tanya Panji 
dengan tubuh tetap bergerak-gerak menghalangi pandangan 
lelaki gendut yang masih juga mencari-cari sosok di 
belakangnya. 
"Ya..., ya. Pergilah. Aku memperbolehkanmu melihat mayat-
mayat itu dan menemui kepala desa. Cepatlah pergi...." 
Tanpa berpikir panjang lagi, lelaki gendut itu langsung saja 
mengizinkan Panji. Hal itu dilakukan semata-mata hanya untuk 
dapat melihat sosok yang sejak tadi membuatnya penasaran. 
Dan satu-satunya jalan untuk dapat melihat jelas, hanyalah 
dengan menyuruh pemuda berjubah putih itu cepat-cepat 
pergi. 
"Eh...!?" 
Untuk kesekian kalinya, lelaki gendut itu kembali 
terperangah dengan wajah ketololan. Ternyata sosok yang 
dicarinya tidak bisa ditemukannya. Tentu saja ia menjadi 
keheranan setengah mati. Padahal, jelas-jelas tadi ia 
melihatnya di belakang pemuda berjubah putih itu. 
"Mungkinkah yang kulihat tadi sebangsa peri? Kalau memang 
manusia..., mengapa bisa menghilang begitu cepat...?" gumam

lelaki gendut itu dalam hati sambil menggaruk-garuk kepalanya 
meski tidak gatal. Kemudian, tubuhnya berbalik ke arah 
pemuda berjubah putih yang barusan diberi jalan untuk lewat. 
"Hah...?!" 
Hampir copot jantung lelaki gendut itu ketika melihat sosok 
ramping terbungkus pakaian serba hijau, tampak tengah 
melangkah tenang di samping pemuda berjubah putih yang 
diizinkan masuk barusan. Tentu saja ia terkejut bukan main, 
karena sosok berpakaian hijau itulah yang sejak tadi 
membuatnya penasaran. 
"Aneh.... Bagaimana tahu-tahu ia bisa berjalan bersama 
pemuda itu? Ataukah semua ini hanya pandanganku saja...?" 
desis lelaki berperut gendut itu ragu-ragu. 
Rasa penasaran membuatnya menggosok kedua mata 
dengan punggung tangan. Namun meski telah beberapa kali 
menggosok, sosok ramping berpakaian serba hijau itu tetap 
saja terlihat. Baru disadari kalau semua itu bukan permainan 
lamunannya belaka. Tapi, memang benar-benar nyata. 
"Hei, tunggu...!" 
Begitu tersadar, lelaki berperut gendut itu segera saja 
berseru mencegah langkah Panji dan Kenanga yang hendak 
memasuki pintu balai desa. 
"Kita sudah terlanjur. Lebih baik terus saja masuk...," bisik 
Panji, seraya segera menarik lengan kekasihnya memasuki 
bangunan itu. 
"Hei, siapa kalian?! Siapa yang menyuruh kalian masuk ke 
ruangan ini?!" 
Terdengar teguran ketika Panji dan Kenanga telah melewati 
pintu depan. Bahkan teguran itu langsung disusul

berlompatannya beberapa sosok tubuh, dan langsung 
mengurung dengan senjata terhunus! 
"Tahan...! Kami sama sekali tidak bermaksud jahat. Lagi 
pula, kami sudah mendapatkan izin untuk memasuki tempat ini 
dari kepala keamanan yang berjaga di luar...," jelas Panji. 
Baru saja ucapan Panji selesai, dari belakang melesat sosok 
tubuh berperut gendut yang tak lain kepala keamanan desa 
yang bermaksud mengejar Kenanga. Karena memang, gadis 
jelita itulah yang membuatnya penasaran dan tergila-gila. 
Padahal, wajah dara jelita itu, belum terlihat jelas. 
"Bohong! Pemuda sialan itu bohong! Dia menerobos masuk 
ketika aku lengah berjaga tadi...," sanggah lelaki berperut 
gendut itu, begitu tiba. 
Rupanya, ia takut disalahkan. Sehingga tanpa ragu-ragu lagi, 
dilemparkannya kesalahan itu kepada Panji dan Kenanga. 
"Hm.... Betulkah itu, Kisanak...?" tegur Panji dengan 
sepasang mata berkilat tajam menggetarkan jantung. 
Hati Pendekar Naga Putih benar-benar muak melihat lelaki 
berperut gendut yang sepertinya hanya merupakan seorang 
penjilat dan penggoda wanita. Bukan tidak mungkin kalau 
sudah banyak gadis Desa Kemang yang dijadikan istrinya. 
"Eh..., aaa... anuuu...," 
Lelaki berperut gendut itu mendadak gagap melihat sinar 
mata Panji serasa membetot-betot sukmanya. Sehingga, ia 
tidak tahu lagi apa yang harus diucapkannya. Tentu saja 
sikapnya membuat yang lain menjadi keheranan. Termasuk 
juga, Kepala Desa Kemang dan pembantu utamanya. 
"Kenapa kau, Sungga...? Mengapa tidak menjawab 
pertanyaan pemuda itu?" tanya Kepala Desa Kemang yang

bernama Ki Senta Raga disertai kerutan di kening. Dia memang 
tak senang melihat sikap bawahannya, sehingga terpaksa 
menegurnya. 
"Anu, Ki. Aku...," 
"Sudahlah! Lebih baik kembali berjaga di luar sana. Biar 
pemuda dan gadis ini aku yang urus...," potong Ki Senta Raga, 
tak sabar menunggu jawaban lelaki gendut bernama Sungga. 
"Baik..., baik..," 
Tanpa banyak membantah lagi, kepala keamanan bernama 
Sungga itu bergegas meninggalkan ruangan untuk kembali 
berjaga-jaga di luar. 
Sepeninggal Sungga, Ki Senta Raga mengalihkan perhatian 
kepada kedua orang muda di depannya. Sekali melihat saja, 
lelaki tua bertubuh tegap itu dapat menilai kalau Panji dan 
Kenanga bukanlah orang-orang yang pantas dicurigai. 
"Hm..., siapakah kalian sebenarnya...? Dan, apa tujuan 
kalian memasuki tempat ini...?" tanya Ki Senta Raga. 
Meskipun tidak menaruh kecurigaan terhadap sepasang anak 
muda itu, tapi jelas sekali kalau kewaspadaannya tetap tidak 
ditinggalkan. 
"Maaf kalau kedatangan kami teiah membuat terkejut. 
Namaku Panji. Dan kawanku Kenanga. Kedatangan kami ke 
tempat ini untuk melihat mayat-mayat dan korban lain yang 
tengah menderita luka. Karena, mungkin saja kami bisa 
mengenali orang-orang itu...," jelas Panji, sehingga membuat Ki 
Senta Raga mengangguk-anggukkan kepala. 
"Kalau kalian benar mengenalnya, lalu bagaimana? Apakah 
kau bisa memastikan pembunuh mereka, Anak Muda?" tanya Ki 
Senta Raga tanpa maksud menyindir.

Sepertinya, orang tua itu mulai menduga kalau pemuda 
tampan berjubah putih itu bukan orang sembarangan. Penilaian 
Ki Senta Raga, memang berdasarkan sikap tenang dan tutur 
kata halus pemuda itu. 
"Kami memang tidak bisa memastikannya, Ki. Yang jelas, 
kami pun menemukan korban lain yang mungkin ada 
hubungannya dengan kejadian di desa ini...," sahut Panji. 
Pendekar Naga Putih segera saja menyinggung sedikit 
tentang apa yang diketahui. Sehingga, Ki Senta Raga dan dua 
belas orang keamanan desa sama-sama mengerutkan kening 
mendengar ucapan pemuda itu. 
"Apa maksudmu, Panji...? Mengapa kau menduga 
demikian...?" tanya Ki Senta Raga lagi dengan nada menuntut 
jawaban segera. Kaki lelaki gagah itu bahkan sudah melangkah 
mendekat. 
"Ketika menyeberangi sungai yang merupakan pemisah Desa 
Kemang dengan desa sebelah, kami menemukan mayat tukang 
perahu yang biasa menyeberangkan orang. Karena tidak bisa 
mengetahui penyebab serta pembunuhnya, mayatnya kami 
kuburkan di seberang sungai. Kemudian, kami menyeberang ke 
desa ini dan mendengar adanya kejadian di balai desa...," jelas 
Panji secara singkat, namun cukup dimengerti Ki Senta Raga 
dan para bawahannya. 
Untuk beberapa saat lamanya, keadaan di dalam ruangan itu 
mendadak senyap. Masing-masing dari mereka sama terbawa 
pikiran sendiri-sendiri. 
"Hm..., Panji. Kalau memang ingin mengetahuinya, mari ke 
dalam. Aku sudah tahu, siapa mayat-mayat itu. Juga, dengan 
lelaki gemuk yang menderita luka parah dan tengah dalam 
perawatan kami. Kalau memang kalian benar orang-orang 
persilatan, tentu akan mengenal mereka...," ujar Ki Senta Raga

membuyarkan keheningan, seraya mengajak Panji dan Kenanga 
ke sebuah ruangan lain. 
"Terima kasih, atas kepercayaan kalian...," ucap Panji segera 
mengikuti langkah kaki orang tua bertubuh tegap itu. 
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di sebuah 
ruangan lain yang cukup luas. Di tengah-tengah ruangan 
tampak terdapat empat sosok mayat yang ditutupi tikar 
pandan. 
"Periksalah...," Ki Senta Raga mempersilakan pemuda 
tampan itu untuk memeriksanya. 
"Hm...." 
Panji melangkah mundur setelah melihat sosok mayat yang 
terdekat dengannya. 
"Meskipun tidak mengenal namanya, tapi aku tahu kalau 
mereka adalah murid-murid Perguruan Cakar Besi yang 
dipimpin Ki Raksa Mala. Salah seorang murid utamanya yang 
bernama Gala Campa adalah sahabat kami. Aaahhh..., betapa 
akan terpukul hatinya jika mengetahui hal ini...," desah Panji 
setelah menjelaskan siapa adanya mayat-mayat itu. 
Sementara, Ki Senta Raga terangguk-angguk semakin 
menaruh kepercayaan kepada pemuda yang senantiasa tenang 
dan halus tutur katanya. 
"Aku pun telah tahu siapa dan berasal dari mana mereka. 
Apalagi, hampir semua penduduk desa ini dan juga desa-desa 
lain di sekitar wilayah ini, mengenal perguruan itu dengan baik. 
Secara tidak langsung, merekalah pelindung desa-desa di 
sekitar wilayah ini dari gangguan orang-orang jahat. Satu hal 
yang mungkin akan mengejutkan bagi kalian berdua, orang 
yang menderita luka parah dan tengah kami rawat, tak lain dari

Gala Campa, murid tertua Ki Raksa Mala...," jelas Ki Senta Raga 
yang membuat Panji dan Kenanga terkesiap mendengarnya. 
"Bagaimana keadaannya, Ki? Apakah masih bisa 
diselamatkan? Boleh kami melihatnya...?" Kenanga yang sejak 
tadi hanya ikut mendengarkan, langsung memberondong Ki 
Senta Raga dengan serangkaian pertanyaan. Sehingga, orang 
tua itu tersenyum dibuatnya. 
"Tentu saja boleh. Sekarang, aku sudah percaya penuh 
kepada kalian. Mari...," ajak Ki Senta Raga membawa kedua 
pasangan pendekar muda itu ke tempat lainnya. 
Tanpa banyak bicara lagi, Panji dan Kenanga segera saja 
bergerak mengikuti Kepala Desa Kemang. Bermacam 
pertanyaan memenuhi benak Pendekar Naga Putih. Karena, 
setelah berpisah dengan Gala Campa dan para tokoh lainnya di 
dalam Hutan Grambang, sampai saat itu Panji sama sekali 
belum bisa menemukan orang yang telah mengadu domba Per-
guruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan 
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Usaha adu domba itu 
berhasil baik, karena perkumpulan kaum gembel itu telah 
kehilangan beberapa orang tokohnya. Sedangkan kedua 
perguruan golongan putih itu telah kehilangan guru-guru 
mereka, (baca episode: Badai Rimba Persilatan). 
"Nah. Saudara Gala Campa tengah terbaring di dalam. Maaf, 
hanya sampai sebatas itu saja yang dapat kami lakukan 
terhadapnya. Karena, di desa kami tidak ada tabib." ujar Ki 
Senta Raga, sehingga membuyarkan lamunan Panji. Segera 
saja Pendekar Naga Putih dan Kepala Desa mendorong daun 
pintu kamar tempat Gala Campa dirawat. 
Dengan langkah perlahan, pasangan pendekar itu bergerak 
mendekati pembaringan Gala Campa. Hati Pendekar Naga Putih 
langsung merasa iba terhadap murid tertua Ki Raksa Mala yang

wajahnya sukar dikenali, karena bengkak dan luka di sana-sini. 
Sebagai seorang yang juga ahli pengobatan, pemuda itu segera 
saja mengetahui sampai di mana parahnya keadaan Gala 
Campa. 
Tanpa berkata sepatah pun, Panji menurunkan buntalan 
pakaiannya. Dikeluarkannya jenis obat yang sekiranya 
diperlukan untuk mengobati luka-luka Gala Campa. Juga, 
dikeluarkannya sejenis minyak gosok, karena pada tubuh 
telanjang itu terlihat ada luka memar yang juga agak 
membengkak. Panji menduga, kemungkinan tulang-tulang iga 
lelaki itu ada yang retak atau patah. 
Kenanga cukup teliti memperhatikan ketika kekasihnya 
tengah mengobati luka-luka Gala Campa. Karena pemuda itu 
melakukannya dengan cekatan dan sangat ahli, maka sebentar 
saja pengobatan telah dapat diselesaikan. 
"Untuk satu dua hari, kita terpaksa harus tinggal di sini, 
Kenanga. Setelah Gala Campa sehat seperti sediakala, barulah 
kita bisa mendapat keterangan darinya. Memang agak sulit, 
karena selain luka-luka luar, dia juga mengalami guncangan 
batin yang cukup parah...," jelas Panji. Rupanya Pendekar Naga 
Putih juga dapat mengetahui keadaan Gala Campa secara 
keseluruhan. 
"Maksudmu.., Gala Campa menjadi gila...!?" seru Kenanga, 
perlahan. 
"Tidak sampai seperti itu. tapi, tingkahnya mungkin agak 
aneh dan ngawur. Yahhh..., kita lihat saja nanti. Mudah-
mudahan saja ia bisa sembuh seperti yang diharapkan." desah 
Panji. 
Pendekar Naga Putih kemudian segera melangkah ke luar 
kamar, setelah memasukkan kembali semua obat-obatan ke 
dalam buntalan pakaiannya.

Ki Senta Raga menyambut kemunculan pasangan pendekar 
muda itu dengan senyum. Dan Pendekar Naga Putih kemudian 
langsung saja menyampaikan keinginannya kepada orang tua 
itu. Memang, Ki Senta Raga-lah yang paling berkuasa di Desa 
Kemang. 
"Aaah.... Syukurlah, Panji. Sekarang, lega rasanya hatiku. 
Kalau begitu, selama kalian tinggal di desa ini, aku akan 
menyediakan tempat beristirahat di sebelah rumahku untuk 
kalian...," desah Ki Senta Raga. 
Kepala Desa Kemang itu tentu saja menjadi gembira ketika 
mendengar Panji ternyata juga pandai mengobati dan telah 
mengurus luka-luka Gala Campa. Bahkan orang tua itu 
menyambut gembira usul pasangan muda itu untuk menginap. 
Maka Ki Senta Raga langsung menyediakan tempat beristirahat. 
"Waaah...! Kami terlalu merepotkan...," desah Panji. 
Tentu saja Pendekar Naga Putih agak risih mendapat 
tanggapan serta sambutan Ki Senta Raga yang terlihat benar-
benar tulus. Tapi, pemuda itu tidak dapat menolaknya. Maka, 
terpaksa menerima segala kebaikan Kepala Desa Kemang serta 
para pengikutnya yang juga menaruh hormat kepadanya. 
*** 
"Kami harus pergi sekarang, Ki.... Karena masih banyak 
persoalan yang harus diurus. Selain itu. Gala Campa juga 
kelihatan sudah mulai pulih. Kami mengucapkan banyak terima 
kasih atas kebaikan Ki Senta Raga serta semua warga Desa 
Kemang ini...," Panji dan Kenanga berpamitan setelah beberapa 
hari menginap di Desa Kemang.

Sedangkan lelaki gemuk yang berada di dekat pemuda itu 
tampak hanya terpaku dengan tatapan mata kosong. Ia tak lain 
dari Gala Campa, yang telah sembuh dari luka-lukanya. 
Sayangnya, guncangan batin yang diterima, membuatnya agak 
goyah pikirannya, ia jarang sekali bicara kalau tidak ditanya 
lebih dahulu. 
"Baiklah, kalau memang keputusanmu sudah tidak bisa 
diundur lagi. Dan kami hanya bisa mendoakan semoga kau 
berhasil membekuk orang-orang kejam itu, Panji. Menyesal 
sekali baru kemarin aku mengetahui siapa kau sebenarnya. 
Tapi meskipun demikian, aku tetap merasa bangga. Kuharap 
lain kali kau bersedia singgah jika kebetulan lewat di dekat 
Desa Kemang...," ucap Ki Senta Raga. 
Memang, baru kemarin ini Ki Senta Raga mengetahui kalau 
Panji sebenarnya adalah Pendekar Naga Putih. Kakagumannya 
yang selama ini hanya mendengar namanya saja, semakin 
bertambah-tambah setelah mengenal pendekar muda itu lebih 
dekat. Sehingga, tidak heran kalau orang tua itu kelihatan 
sekali merasa berat atas kepergian Pendekar Naga Putih. 
Selesai berpamitan, Panji, Kenanga, dan Gala Campa 
melangkah menyusuri jalan lebar yang membelah Desa 
Kemang menjadi dua bagian. Kemudian, mereka terus ke 
sebelah Barat menuju matahari terbenam. 
Saat itu, hari masih pagi. Udara yang masuk melalui 
pernapasan terasa sejuk dan melegakan dada sehingga 
menyegarkan tubuh. Langit nampak cerah dengan warna biru 
yang terang. Cahaya matahari pagi terasa demikian hangat, 
menyirami ketiga sosok tubuh manusia yang tengah melintasi 
daerah bebatuan. 
"Gala Campa, dapatkah perjalanan ini dipersingkat? Aku 
khawatir, kita keduluan pengemis-pengemis laknat itu. Menurut

dugaanku, mereka pasti juga akan menyerang dan 
membinasakan murid-murid Perguruan Ular Emas, seperti 
halnya yang terjadi dengan perguruanmu. Untuk itu, kita tidak 
boleh terlambat tiba di sana. Sedikit saja terlambat, rasanya 
nasib Perguruan Ular Emas pun tidak akan berlanjut lagi...," 
kata Panji. Menilik dari pembicaraannya, dapat diduga, ke mana 
tujuan ketiga orang pendekar itu kali ini. 
"Pengemis-pengemis laknat... Ya, benar. Kita harus 
mempercepat perjalanan. Pembunuh-pembunuh itu tidak bisa 
dibiarkan berkeliaran bebas semaunya...," sahut Gala Campa 
dengan suara mendesah, seolah-olah bicara kepada diri sendiri 
dan bukan menjawab ucapan Panji. 
Kemudian tanpa berbicara sepatah pun, laki-laki gemuk itu 
langsung mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Sebentar 
saja, bayangan Gala Campa telah berada beberapa tombak di 
depan Panji dan Kenanga. 
Bagaikan diberi aba-aba, sepasang pendekar muda itu 
segera saja menggenjot tubuhnya mengejar Gala Campa. 
Karena kepandaian mereka memang sangat tinggi, dalam 
waktu yang tidak terlalu lama saja Gala Campa telah dapat 
dibarengi. Secara bersamaan, ketiganya bergerak bagaikan 
bayang-bayang hantu yang tengah berkeliaran. 
Selama perjalanan itu, Gala Campa hampir tidak pernah 
berbicara. Dia lebih banyak termenung dengan sepasang mata 
kosong. Untungnya, kedua orang pendekar itu telah 
mengetahui penyebabnya. 
***

"Gala Campa, masih berapa jauh lagikah letak Perguruan 
Ular Emas?" tanya Panji suatu malam ketika melihat Gala 
Campa duduk termenung menatapi bintang yang bertaburan di 
angkasa raya. Langit memang nampak cerah, meski bulan 
muncul hanya sepotong. 
"Tidak lama. Besok siang kita sudah bisa tiba di sana. Hm..., 
akan kuhajar habis-habisan pengemis-pengemis laknat itu 
dengan tanganku sendiri...!" 
Terdengar desisan geram keluar dari mulut Gala Campa 
setelah menjawab pertanyaan Panji. Begitulah yang selalu 
diucapkan Gala Campa, yang selalu diakhiri dengan kata-kata 
yang menyiratkan dendam. Selalu begitu, meski ucapan 
pertamanya tidak bisa dibilang sebagai jawaban orang gila. 
Jelas, dendam itu tetap membayangi ke mana saja Gala Campa 
pergi. 
"Hm.... Kalau begitu, tidurlah. Biar aku yang jaga malam ini," 
ujar Panji sambil menepuk perlahan bahu lelaki gemuk itu. 
Dan tanpa berkata sepatah pun, Gala Campa bangkit terus 
merebahkan dirinya di rerumputan yang beralaskan selembar 
kain. Sebentar saja, terdengar dengkurnya yang cukup keras. 
Panji hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala melihat 
tingkah Gala Campa. Pemuda itu bertekad memulihkan 
kesehatan dan pikiran lelaki gagah itu kelak, karena memang 
tidak bisa dilaksanakan sekaligus. Dan untuk 
mengembalikannya secara utuh seperti sediakala, Panji harus 
melakukannya secara perlahan-lahan.


EMPAT


"Heeeaaattt..!" 
"Yiaaattt..!" 
Keheningan pagi yang indah tiba-tiba saja dirusak teriakan-
teriakan yang diselingi jerit kematian. Suara denting senjata 
yang meningkahi teriakan serta jerit kematian, jelas 
menandakan telah terjadi pertempuran berdarah pagi ini. 
Dugaan itu memang tidak berlebihan. Di balik sebuah 
bangunan perguruan, tampak pertarungan tengah berlangsung 
sengit. Sebenarnya, keadaan itu tidak bisa disebut 
pertempuran, dan lebih tepat kalau dikatakan sebagai 
pembantaian. Memang orang-orang berpakaian kembang-
kembang dan penuh tambalan itu sepertinya sama sekali tidak 
mendapat perlawanan berarti. Lawannya yang mengenakan 
pakaian kuning cerah, satu persatu bertumbangan dan 
bermandikan darah! 
"Hua ha ha...! Sebentar lagi, nama Perguruan Ular Emas 
akan hilang dari dunia persilatan, seperti halnya Perguruan 
Cakar Besi yang telah musnah...," 
Terdengar tawa membahana di sela-sela jeritan dan dentang 
senjata. Kemudian, kembali diperintahkannya pengemis-
pengemis berbaju kembang-kembang itu untuk segera 
mempercepat pekerjaannya. 
Untuk kesekian kalinya, jerit kematian pun kembali bergema 
susul-menyusul. Darah segar kembali menyirami bumi yang 
sudah lembab, dan basah oleh darah. Tapi, para pengemis 
berpakaian kembang itu sepertinya tidak pernah mengenal 
puas. Mereka terus saja membantai murid-murid Perguruan 
Ular Emas tanpa ampun!
"Heaaattt..!" 
Pada saat nyawa murid-murid Perguruan Ular Emas sudah 
tidak mungkin dapat terselamatkan lagi, tiba-tiba saja 
terdengar teriakan keras susul-menyusul. Berbarengan teriakan 
itu, lima sosok bayangan tiba-tiba berkelebat cepat memasuki 
arena pertempuran. Begitu tiba, mereka langsung menyabetkan 
pedang ke arah para pengemis berpakaian kembang yang ber-
jumlah sekitar belasan orang. 
Kehadiran kelima sosok bayangan itu rupanya mampu 
merubah suasana. Buktinya sebentar saja, tampak belasan 
orang pengemis sama-sama bergerak mundur, melihat 
permainan pedang kelima sosok bayangan yang benar-benar 
mengagumkan. 
Terutama sekali, permainan pedang seorang lelaki setengah 
baya yang berkumis tebal. Gerakannya menunjukkan kalau ia 
merupakan seorang ahli pedang pilih tanding. Bahkan angin 
sambaran pedangnya saja mampu merobek pakaian lawan. 
Tentu saja tenaga dalam yang terkandung dalam permainan 
pedangnya tidak bisa dipandang remeh. Dan sebagai bukti 
kehebatannya, lelaki gagah bertubuh agak kurus itu telah 
membenamkan senjata di tubuh salah seorang lawan! 
Cappp! 
"Aaakhhh...!" 
Jeritan kematian langsung saja bergema seiring ujung 
pedang yang menancap tepat di jantung lawan. Darah segar 
langsung memercik membasahi tanah! Tubuh seorang 
pengemis kurus tampak terjerembab tewas dengan tubuh 
mandi darah! 
"Mundur...!"
Tiba-tiba saja, terdengar perintah menggelegar yang 
membuat para pengemis berbaju kembang-kembang serentak 
bergerak mundur. Tak seorang pun yang berani membantah 
perintah itu. Jelas, lelaki tinggi besar brewokan yang 
mengenakan rompi coklat dan dengan sepasang lengan terhias 
gelang itu merupakan pemimpin para pengemis. Dia tak lain 
dari Setan Tenaga Gajah. Rupanya, kali ini dia sendiri yang 
langsung memimpin pengikutnya untuk membantai Perguruan 
Ular Emas. 
Mundurnya para pengemis berbaju kembang-kembang itu 
tentu saja juga membuat kelima sosok bayangan tadi segera 
bergerak mundur. Termasuk juga, lelaki setengah baya yang 
masih tampak gagah itu. 
"Hm..., kau pasti orang yang bernama Ki Damang, bukan? 
Ilmu pedangmu ternyata tidak mengecewakan. Sayangnya, 
masih banyak sekali kelemahan di dalamnya...," kata Setan 
Tenaga Gajah memberi tanggapan tentang permainan pedang 
lelaki berkumis tebal yang ternyata Ki Damang itu. 
Tapi, orang tua itu sama sekali tidak kelihatan tersinggung 
atau marah. Sikapnya malah nampak agak tegang sambil 
meneliti sosok tinggi besar berbulu-bulu di depannya. 
"Siapa kau, Kisanak?! Dan mengapa demikian kejam 
membantai orang-orang tak berdosa...?" tanya Ki Damang 
tanpa mempedulikan pendapat Setan Tenaga Gajah. 
Setan Tenaga Gajah hanya tertawa gelak mendengar 
pertanyaan Ki Damang. Tanpa mempedulikan orang tua itu, 
pandangannya diedarkan kepada empat orang lelaki gagah 
lainnya. Kelihatan sekali kalau sinar mata lelaki tinggi besar 
menakutkan itu sangat memandang remeh. 
"Hua ha ha.... Bagus...., bagus. Ternyata kedua orang murid 
Ki Jasminta juga telah ada di sini. Demikian juga dengan murid

muridmu, Ki Damang. Nah! Karena kalian sekarang sudah 
lengkap, maka sudah waktunya nyawa kalian kucabut satu-
persatu...," ancam Setan Tenaga Gajah. 
Tentu saja ancaman ini membuat kelima orang lelaki gagah 
menjadi geram bukan main. Karena, lelaki tinggi besar 
menakutkan itu jelas-jelas tidak memandang sebelah mata pun 
kepada mereka. 
"Tunggu dulu...!" seru Ki Damang seraya mengangkat 
tangan kirinya. Jelas, lelaki tua yang masih nampak gagah itu 
tengah memedam rasa penasaran. 
"Hm.... Kau ingin mengatakan sesuatu sebelum kematianmu, 
Orang Tua...?" ejek Setan Tenaga Gajah dengan sunggingan 
senyum sinis. 
Ki Damang menarik napas berulang-ulang untuk 
menenteramkan hatinya yang bergemuruh. Sikap Setan Tenaga 
Gajah memang benar-benar keterlaluan sekali. Akibatnya, 
orang seperti Ki Damang hampir-hampir terpancing amarahnya. 
"Kisanak. Tanpa sebab yang berarti, kau tega membunuh 
murid-murid Perguruan Ular Emas. Seolah-olah, nyawa mereka 
sama sekali tidak ada artinya bagimu. Nah! Kalau memang 
bukan seorang pengecut, katakanlah terus terang. Mengapa 
kau memusuhi dan ingin melenyapkan kami?" tanya Ki 
Damang, seperti mewakili pertanyaan kawan-kawannya yang 
lain. 
Setan Tenaga Gajah kembali memperdengarkan tawanya 
yang berkepanjangan. Setelah berhenti sejenak, lelaki tinggi 
besar menakutkan itu segera mengeluarkan suitan panjang 
disertai kekuatan tenaga dalam tinggi. 
"Kau...?!"

Dua orang lelaki gagah yang datang bersama Ki Damang, 
sama-sama melangkah maju dengan wajah pucat! Mereka tak 
lain Wira Yudha dan Waluja, dua orang murid utama Ki 
Jasminta. 
"Hua ha ha..! Ya! Akulah yang memiliki suitan itu. Mengapa 
kalian terkejut..?" bernada mengejek sahutan Setan Tenaga 
Gajah. Kelihatan sekali kalau lelaki tinggi besar itu berpura-pura 
bodoh, padahal memang sengaja hendak mempermainkan 
lawan-lawannya. 
Sedangkan tubuh Wira Yudha dan Waluja sama-sama 
menggigil mendengar suitan itu. Memang, hal itu mengingatkan 
mereka pada kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala yang 
penuh teka-taki. Dan munculnya suitan, memang sangat 
bertepatan dengan kematian kedua tokoh sakti itu. (Untuk lebih 
jelas mengenai kematian Ki Jasminta dan Ki Raksa Mala, silakan 
baca: Badai Rimba Persilatan). 
"Setan Tenaga Gajah...?! Ya. Kau pastilah manusia laknat 
yang telah membunuh guru kami dan memfitnah Ki Parewang 
sebagai pelakunya! Bangsat keji! Rupanya kau memang 
manusia biadab yang tidak mengenal puas! Setelah tidak 
berhasil mengadu domba kami, lalu kau datang hendak 
membantai murid-murid perguruan kami! Biadab...!" 
Karena tidak bisa lagi menahan dendam dan kemarahan di 
dalam dadanya. Wira Yudha, murid tertua Perguruan Ular 
Emas, langsung saja menerjang maju disertai putaran pedang. 
Swiiittt...! Cwiiittt...! 
Sambaran angin pedang yang bergulung-gulung itu benar-
benar mengagumkan. Kilatan-kilatan cahaya putih berkeredep 
mengincar tubuh Setan Tenaga Gajah yang masih tetap tegak 
seperti memandang remeh serangan lawan.

Waluja murid kedua Ki Jasminta yang berjuluk si Pendekar 
Ular Emas, rupanya tidak mau ketinggalan. Sesaat setelah 
tubuh kakak seperguruannya melesat menerjang pembunuh 
gurunya, dia juga berseru keras menyusuli. Bahkan putaran 
senjatanya terlihat lebih indah dan menyembunyikan kekuatan 
mengagumkan! 
"Yeaaattt...!" 
Wueeettt! Cwiiittt...! 
Dibarengi pekikan nyaring, Wira Yudha membabatkan 
senjatanya dua kali berturut-turut. Namun kaki dan tubuh 
lawan yang menjadi sasaran, ternyata mampu menghindar. 
Padahal, saat itu ujung pedangnya hampir menyentuh sasaran. 
Tentu saja ia terkejut, karena cara menghindar lawan sama 
sekali tidak tertangkap mata! 
Rupanya, Setan Tenaga Gajah tidak hanya menghindar. 
Tahu-tahu saja, kepalan tangannya yang sebesar kepala bayi 
telah meluncur ke arah kepala Wira Yudha yang memang 
belum terbebas dari keheranannya. Sehingga, nyaris kepalan 
itu meremukkan kepalanya. 
Untunglah pada saat yang sangat gawat, Waluja telah 
datang dengan serangannya yang menderu-deru. Akibatnya 
Setan Tenaga Gajah terpaksa harus menarik pulang 
kepalannya. Bahkan malah berbalik mengincar pergelangan 
tangan Waluja dengan cengkraman mautnya! 
Wira Yudha yang tersadar dari keterpakuannya, segera saja 
mengibaskan senjata di tangannya. Pedang itu langsung 
meluncur dengan kecepatan kilat menuju bagian tengah dada 
Setan Tenaga Gajah! 
Traaang...! 
"Aaahhh...!"

Meskipun berhasil membebaskan Waluja dari ancaman 
cengkeraman lawannya, namun tak urung Wira Yudha harus 
menerima kenyataan akan kehebatan lawannya. Tubuh lelaki 
gagah itu terjajar mundur, dan hampir jatuh terlentang akibat 
sentilan jari-jari tangan lawan pada badan pedangnya. Tentu 
saja tindakan Setan Tenaga Gajah membuatnya terkejut, 
sekaligus juga menyadari kesaktian lawan. 
Memang, kalau Setan Tenaga Gajah mau, mudah saja kedua 
orang itu dilumpuhkannya. Hanya saja, dia ingin memanas-
manasi lebih dahulu. Begitulah sifatnya. Dia ingin agar lawan 
semakin terumbar hawa amarahnya. Dengan demikian, lawan 
secara tak langsung telah mendapat serangan batin, sehingga 
jiwanya goyah. 
"Gila...!" desis Wira Yudha. 
Segera laki-laki gagah itu mengulurkan tangan kirinya, 
sehingga menggenggam pedang dengan kedua tangan. Sebab, 
meskipun telah agak lama, tapi getaran akibat sentilan jari 
tangan tokoh menyeramkan itu masih tetap terasa hingga ke 
pangkal lengan. Akibatnya untuk beberapa saat, lelaki gagah itu 
hanya berdiri terpaku sambil berusaha menenangkan getaran 
pada lengannya. 
"Baiklah. Batin kalian berdua yang akan kuhancurkan lebih 
dahulu..." 
Setelah berkata demikian. Setan Tenaga Gajah melangkah 
mendekati Wira Yudha dan Waluja yang saling berdampingan. 
Cepat keduanya mengelebatkan pedang di depan dada, siap 
menghadapi perkelahian maut! 
Sedangkan Ki Damang dan kedua orang muridnya, segera 
saja bergerak maju untuk melindungi kedua orang murid 
sahabatnya. Mereka kini berhadapan dengan Setan Tenaga

Gajah yang terus melanjutkan langkah, tanpa perduli kalau 
akan dikeroyok. 
Majunya kelima orang lelaki gagah itu, membuat Benggala 
dan Wungga, melangkah maju bersama dua belas orang 
pengemis lain. Maka suasana pun semakin memanas. 
"Yeaaattt...!" 
Setan Tenaga Gajah membuka serangan dengan teriakan 
parau yang mengejutkan. Saat itu juga, kedua tangannya 
bergerak susul-menyusul membawa serangan-serangan maut! 
Kuku-kuku jari tangannya yang panjang dan hitam, meluncur 
ke arah Wira Yudha dan Waluja. 
Tapi baik Wira Yudha maupun Waluja bukanlah orang-orang 
pengecut yang takut mati. Sebagai orang-orang gagah yang 
telah terdidik sejak kecil, mereka sama sekali tidak gentar 
dalam menghadapi serangan lawan. Maka begitu cengkeraman 
lawan datang mendekat, keduanya bergerak memecah. Dengan 
kibasan senjatanya, dipapaknya cengkeraman cakar-cakar maut 
itu! 
Whuuuttt! Whuuuttt..! 
Pedang di tangan Wira Yudha dan Waluja menyambar-
nyambar hendak menebas putus lengan yang berbulu itu. 
Namun dengan kecepatan dan keluwesan mengagumkan, 
lengan Setan Tenaga Gajah meliuk menghindari sambaran 
kedua batang pedang lawan. Kemudian, dia kembali meluncur 
mengancam tubuh Wira Yudha dan Waluja. Tentu saja kedua 
orang lelaki itu menjadi terkejut setengah mati! Cepat-cepat 
tubuh mereka dilempar ke belakang untuk menghindari 
cengkeraman cakar-cakar maut lawan. 
Tapi Setan Tenaga Gajah sepertinya memang tidak ingin 
melepaskan kedua orang lawannya. Buktinya, ia terus saja

mengejar Wira Yudha dan Waluja dengan cakar-cakar mautnya. 
Sehingga, keduanya mati-matian menyelamatkan diri. 
Untunglah, baik Wira Yudha maupun Waluja dapat bekerja 
sama dengan baik. Sehingga meskipun pertarungan telah lewat 
dari jurus kedua puluh, kedua orang murid Ki Jasminta itu 
masih tetap dapat bertahan. 
Sebenarnya, hal itu memang disengaja Setan Tenaga Gajah. 
Dia memang ingin membuat lawan terpecah jiwanya. Dan 
ketika dirasakan telah cukup, maka keputusannya adalah 
mencabut nyawa kedua orang lawannya. 
Di tempat lain, Ki Damang bersama kedua orang muridnya 
telah pula bertempur melawan Benggala dan Wungga. Kedua 
orang pengemis berbaju kembang-kembang itu memimpin 
enam orang rekannya untuk menggempur lawan. Maka, 
pertarungan sengit pun tak terhindari lagi. 
Sedangkan murid-murid Perguruan Ular Emas yang hanya 
tersisa beberapa belas orang, telah pula bertarung mati-matian 
menghadapi gempuran enam orang pengemis yang mengamuk 
dengan tongkat hitamnya. Meskipun mereka jelas-jelas bukan 
lawan para pengemis, tapi tetap gigih dalam melakukan per-
lawanan. Sepertinya, mereka lebih baik mati di tangan musuh 
ketimbang menyerah, atau mati sebagai pengecut. Pikiran 
itulah yang membuat para murid Perguruan Ular Emas tetap 
gigih mengadakan perlawanan. 
Sementara, pertarungan antara Setan Tenaga Gajah yang 
melawan Wira Yudha dan Waluja telah lewat dari dua puluh 
jurus. Dan rupanya, tokoh sesat itu kini jadi tidak sabar. Maka, 
serangan-serangannya pun semakin dipercepat. Akibatnya, 
tentu saja membuat Wira Yudha maupun Waluja semakin 
kelabakan.

Mati-matian kedua orang lelaki gagah itu menyelamatkan diri 
sebisa-bisanya. Meskipun mereka telah mengeluarkan seluruh 
kemampuan, tapi terap saja serangan Setan Tenaga Gajah, 
bagaikan bayangan yang selalu menyertai ke mana tubuh 
mereka berkelebat. 
"Yeaaattt...!" 
Dua puluh dua jurus telah lewat. Dan, tiba-tiba saja, Setan 
Tenaga Gajah mengeluarkan bentakan menggelegar! Seiring 
teriakan itu, sepasang tangannya bergerak ke depan dengan 
pukulan jarak jauh! 
Whuuusss...! 
Serangkum angin yang amat kuat berhembus ke arah tubuh 
Wira Yudha dan Waluja. Kontan, kedua orang lelaki gagah itu 
terkejut setengah mati. Padahal, saat itu mereka tengah 
berjumpalitan di udara. Jadi, untuk menghindari diri dari 
pukulan jarak jauh itu jelas suatu perbuatan mustahil! 
Sadar kalau nyawa sudah tidak mungkin dapat selamat dari 
pukulan maut lawan, mereka pun berbuat nekat! Dibarengi 
bentakan keras, mereka langsung melemparkan senjata 
masing-masing ke arah Setan Tenaga Gajah. Jelas, maksudnya 
untuk mengadu nyawa. 
Tapi, pada saat yang sangat menentukan bagi keselamatan 
nyawa kedua orang murid Ki Jasminta, tiba-tiba terdengar 
teriakan nyaring yang semakin lama semakin meninggi. Dan 
sebelum orang-orang itu sempat mengetahui apa dan dari 
mana suara aneh itu berasal, tahu-tahu sesosok bayangan 
putih berkelebat bagai kilat langsung memapak pukulan jarak 
jauh Setan Tenaga Gajah! Akibatnya..., 
Blaaarrr...!

Hebat luar biasa akibat pertemuan dua gelombang tenaga 
dahsyat itu! Sinar putih keperakan berpendar seiring suara 
benturan yang memekakkan telinga dan mengguncangkan isi 
dada. 
"Gila...?!" 
Setan Tenaga Gajah sendiri sampai terkejut dan 
mengeluarkan suara geram, begitu merasakan tubuhnya 
bergetar akibat tangkisan yang dilakukan sosok bayangan putih 
tadi. 
Sedangkan bayangan putih yang telah menyelamatkan Wira 
Yudha dan Waluja, berjumpalitan beberapa kali di udara 
sebelum mendaratkan kaki di tanah.

LIMA

"Pendekar Naga Putih...?!" 
Wira Yudha dan Waluja serentak berseru terkejut, sekaligus 
lega. Munculnya pemuda sakti itu tentu saja membuat harapan 
mereka untuk selamat bangkit seketika. 
Panji tersenyum, lalu mendatangi kedua lelaki gagah itu. 
Langsung disalami Wira Yudha dan Waluja. Pendekar Naga 
Putih kelihatan sangat gembira atas pertemuan itu. Bahkan, Ki 
Damang beserta kedua orang muridnya telah pula 
meninggalkan lawan-lawannya begitu mendengar kedatangan 
Pendekar Naga Putih. Orang tua itu segera saja menyalami 
Panji dengan wajah berseri. 
Tapi, suasana gembira itu tiba-tiba saja dikejutkan teriakan 
keras yang mengejutkan! 
"Heaaattt..!" 
Bersamaan pekikan keras, sesosok tubuh melesat disertai 
ancaman pedangnya. Langsung digempurnya para pengemis 
berbaju kembang-kembang. Serangan mendadak itu tentu saja 
membuat Benggala dan Wungga memerintahkan kawan-
kawannya untuk mundur. Sedangkan kedua orang pimpinan 
pengemis itu sudah melesat menyambut serangan sosok 
bayangan gemuk yang ternyata Gala Campa. 
"Haaaiiittt..!" 
Dibarengi teriakan yang tidak kalah kerasnya, Benggala dan 
Wungga melesat seraya menyodokkan ujung tongkat ke tubuh 
Gala Campa. Dan.... 
Traaakkk! Duuukkk! 
"Aaakhhh...!"

Gala Campa kontan memekik kesakitan! Tongkat di tangan 
Wungga memang berhasil ditangkis pedangnya. Tapi, tongkat 
di tangan Benggala luput dari pengawasannya. Akibatnya, 
langsung menyodok ke lambung kirinya. 
Akibatnya, sosok bayangan gemuk itu terlempar balik dan 
terbanting jatuh berdebuk keras di atas tanah! 
Benggala maupun Wungga rupanya tidak sudi menyia-
nyiakan kesempatan baik itu. Maka selagi tubuh lawan belum 
sempat bangkit mereka segera menyabetkan tongkat dengan 
pengerahan tenaga dalam. Sepertinya, tubuh sosok gemuk itu 
hendak dihancur lumatkan dengan sekali hajar! 
Beuuuttt! 
Whuuukkk! 
Dua batang tongkat hitam itu terus meluncur deras ke arah 
kepala dan dada lawan yang tengah terbaring di tanah! 
Sedangkan Gala Campa hanya bisa terpaku tanpa berusaha 
menghindari hantaman kedua batang tongkat lawan. 
Tapi pada saat yang gawat bagi keselamatan nyawanya tiba-
tiba terdengar pekikan nyaring yang menggetarkan jantung! 
Berbarengan dengan itu, tampaklah sesosok bayangan hijau 
meluruk ke arah Benggala dan Wungga. Gulungan sinar putih 
keperakan yang menyilaukan mata tampak menyertai 
lesatannya. Sehingga..., 
Traaakkk! Craaasss! Breeetttt..! 
"Arrrkhhh...?!" 
"Aaa...!" 
Hebat sekali gerakan pedang sosok bayangan hijau yang 
ternyata Kenanga. Sinar putih keperakan yang berasal dari 
pedang di tangannya, langsung berputaran mengibas dengan

kecepatan sangat mengagumkan! Sehingga, bukan saja kedua 
batang tongkat itu dapat dihalaunya. Bahkan si pemegang 
tongkat pun ikut pula termakan senjata Kenanga. 
Tanpa ampun lagi, kedua orang pengemis pengikut Setan 
Tenaga Gajah itu tertolak balik ke belakang! Darah segar 
kontan menyembur keluar dari luka di tubuh mereka. Meskipun 
tidak terlalu dalam dan tidak bisa mengakibatkan kematian, 
namun merupakan suatu bukti kalau kepandaian mereka masih 
di bawah Kenanga. 
"Hmh...!" 
Kenanga mendengus ke arah Benggala dan Wungga. 
Kemudian, tubuhnya berbalik menatap ke arah Gala Campa. 
Gala Campa yang jelas-jelas sangat mendendam terhadap 
komplotan pengemis berbaju kembang-kembang, kembali 
menyilangkan senjata di depan dada. Lelaki bertubuh gemuk 
yang murid Ki Raksa Mala nampaknya telah siap bertarung 
kembali. 
"Gala Campa, sabarlah.... Jangan terlalu bernafsu. 
Percayalah. Hari ini persoalan akan segera selesai. Kau lihat 
gembong biang kerok itu sudah menampakkan diri di tempat 
ini..," cegah Kenanga memegang lengan lelaki gemuk itu, 
berusaha untuk menahan amarah dan dendamnya. Meskipun 
pikirannya agak terganggu, rupanya Gala Campa masih bisa 
menangkap pembicaraan orang. Maka, begitu mendengar 
disebutnya biang kerok, langsung diikutinya pandangan mata 
gadis jelita itu. 
"Bangsat..! Orang hutan itukah yang telah menghancurkan 
dan juga mengadu domba kita...? Kalau begitu, ia harus 
menerima akibat perbuatannya...!" desis Gala Campa sambil 
menggeram bagaikan singa luka.

Tanpa memperdulikan teriakan Kenanga, lelaki gemuk itu 
bergerak maju mendekati sosok Setan Tenaga Gajah yang 
hanya tertawa gelak melihat kemarahan Gala Campa. 
"Gala Campa, tahan...!" cegah Panji. Jelas Pendekar Naga 
Putih tidak ingin Gala Campa mendapatkan celaka lagi. Maka, 
langsung dicengkeramnya pergelangan tangan lelaki gemuk itu. 
Mau tidak mau, Gala Campa menghentikan langkahnya dan 
menoleh ke arah Panji dengan sepasang mata menuntut 
jawaban. "Sabarlah. Kita semua berkumpul untuk 
menyelesaikan masalah ini. Kau akan rugi apabila bertindak 
tanpa perhitungan, Gala Campa...," bujuk Panji dengan suara 
tegas dan mengandung perbawa kuat. Hal itu memang 
diperlukan untuk melumerkan amarah dan dendam Gala Campa 
yang telah bergolak dalam hati dan kepalanya. 
"Benar, Gala Campa," timpal Wira Yudha. "Sebaiknya kita 
serahkan saja persoalan ini pada Pendekar Naga Putih. Kita 
sendiri pun tentu tidak tinggal diam, dan siap mempertaruhkan 
nyawa demi membalaskan dendam guru-guru kita...." 
Gala Campa menoleh ke arah Wira Yudha. Bagaikan orang 
yang baru sadar kalau tengah berada di antara teman-
temannya, lelaki gemuk itu menggoyang-goyangkan kepala 
seperti hendak menghilangkan pikiran-pikiran yang menyumbat 
batok kepala. 
"Kalian pun sudah berada di sini rupanya...?" sapa Gala 
Campa yang membuat Wira Yudha serta yang lain tersenyum. 
Memang, pertanyaan itu tentu saja merupakan pertanyaan 
bodoh. 
"Tentu saja. Bukankah tempat ini merupakan pusat 
Perguruan Ular Emas. Jadi, tempat ini juga merupakan rumah 
kami..," jawab Waluja sambil menepuk-nepuk bahu lelaki
gemuk itu. Sehingga, Gala Campa hanya bisa mengangguk-
anggukkan kepala seperti burung pelatuk. 
Perbincangan sesama sahabat itu rupanya membuat Setan 
Tenaga Gajah menjadi tersinggung. Tampak lelaki tinggi besar 
bercambang bauk dengan lengan-lengan besar dan berbulu itu, 
menggeram keras. Tentu saja erangan yang mengandung 
kekuatan tenaga dalam tinggi, membuat para tokoh golongan 
putih berlompatan mundur. Cepat mereka mengerahkan hawa 
murni untuk menenangkan isi dada yang terguncang. 
Kecuali Panji, hanya Kenanga seorang yang kelihatan hanya 
perlu memejamkan mata sekejap untuk melawan pengaruh 
geraman dahsyat barusan. Kemudian, kembali matanya dibuka. 
Bahkan kini nampak menyiratkan sinar berkilat tajam. Jelas, 
dara jelita itu telah mempersiapkan tenaga saktinya untuk 
menghadapi serangan mendadak, seperti geraman barusan. 
"Pendekar Naga Putih...!" Apakah kedatanganmu ke tempat 
ini hanya untuk berbincang dengan teman-temanmu? Atau 
sengaja memancing kemarahanku, agar aku mencopot 
kepalamu...?" 
Bentakan menggelegar seketika membuat daerah di sekitar 
tempat itu bagaikan digoncang gempa kecil. 
"Gila...!" umpat Kl Damang takjub. 
Hati laki-laki tua itu benar-benar dilanda ketegangan kali ini, 
melihat kesaktian tokoh sesat berjuluk Setan Tenaga Gajah 
yang luar biasa sekali. Seketika timbul keraguan dalam hatinya 
akan kehebatan Pendekar Naga Putih. Apalagi, sosok pemuda 
itu terlihat demikian lemah bila dibanding sosok Setan Tenaga 
Gajah yang tampak gagah dan menakutkan. 
Rupanya bukan hanya Ki Damang saja yang meragukan 
kepandaian Panji. Bahkan, Kenanga yang sudah lebih sering

menyaksikan keperkasaan kekasihnya, terlihat agak khawatir. 
Diakui, dia sendiri merasakan betapa dahsyatnya kekuatan 
tenaga sakti tokoh yang berjuluk Setan Tenaga Gajah itu. 
Meskipun perasaannya berusaha ditenangkan. Tetap saja 
merasa khawatir dan cemas. 
Lain halnya Panji. Pendekar Naga Putih bukannya tidak tahu 
akan kesaktian Setan Tenaga Gajah. Dari beberapa kali tokoh 
sesat itu menunjukkan kekuatan dahsyatnya, sudah bisa diukur 
kalau kepandaiannya sangat tinggi. Tapi, memang sulit 
dipastikan apakah tenaga saktinya masih lebih kuat daripada 
tenaga lawan. Kenyataan itu membuatnya senantiasa siaga. 
Dikhawatirkan, kalau-kalau Setan Tenaga Gajah akan 
melakukan kelicikan, dan menyerang secara tiba-tiba. 
"Setan Tenaga Gajah...," tegur Panji dengan wajah dan nada 
suara tetap tenang. Sama sekali tidak diduga kalau sebenarnya 
Panji sendiri merasa tegang berhadapan dengan tokoh yang 
menggiriskan itu. "Kau telah melakukan beberapa kejahatan 
yang benar-benar sangat keterlaluan. Pertama, kau mengadu 
domba Perguruan Ular Emas dan Perguruan Cakar Besi dengan 
Perkumpulan Pengemis Baju Hitam. Dan kedua, kau membantai 
habis seluruh murid Perguruan Cakar Besi. Apa sebenarnya 
tujuanmu hingga sampai tega berlaku sekeji itu..?" 
Panji menatap tajam wajah Setan Tenaga Gajah yang 
brewokan itu. 
"Hua ha ha...!" 
Bukannya berpikir untuk menjawab pertanyaan Panji, 
sebaliknya Setan Tenaga Gajah malah tertawa berkakakan. 
Hanya saja, Panji tetap menahan sabar menanti jawaban yang 
bakal keluar dari mulut yang tersembunyi di balik brewok itu. 
"Pendekar Naga Putih, dan sekalian tokoh perguruan-
perguruan yang pernah kurugikan! Dengarlah! Seharusnya
kalian tidak mendendam kepadaku. Tapi, kepada Ki Parewang-
lah kalian harus meminta pertanggungjawaban. Karena, orang 
tua itulah yang yang telah membuatku melakukan kejahatan. 
Tapi, rupanya kalian ternyata merasa takut kepadanya, lalu 
mencariku untuk meminta pertanggungjawaban itu. Ha ha 
ha...! Lucu...!" kata Setan Tenaga Gajah, yang diakhiri dengan 
tawa bergema panjang. 
"Hm..., Setan Tenaga Gajah! Apapun urusanmu dengan Ki 
Parewang, kami tidak ingin ikut campur. Kalian berdualah yang 
harus menyelesaikannya. Sekarang, aku minta 
pertanggungjawabanmu atas segala kejahatan yang telah 
dilakukan selama ini," tegas Panji. 
"Heeemmm.... Kalau begitu, apa yang kau inginkan 
sekarang? Nyawaku, atau nyawa pengikut-pengikutku? Silakan 
kau memilih, dan cabutlah sendiri jika sanggup...," sahut Setan 
Tenaga Gajah bersikap menantang. Kali ini jelas-jelas tokoh 
sesat itu hendak bertarung melawan Panji yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih. 
"Hm.... Tidak perlu sampai begitu jika kau benar-benar sadar 
akan perbuatanmu. Cukup aku membawamu dan mengadili di 
depan orang-orang yang telah kau rugikan. Apapun yang 
menjadi keputusan mereka, kau tidak berhak 
membantahnya...," ujar Panji lagi, tetap mengawasi sosok 
tokoh brewok itu dengan tatapan tajam. 
Memang Pendekar Naga Putih tidak percaya kalau seorang 
tokoh sesat seperti Setan Tenaga Gajah akan sudi 
menyerahkan diri untuk diadili. Kalau pun tokoh sesat itu tadi 
menawarkan, itu hanya sekedar memancing tanggapan lawaa 
Panji sadar sepenuhnya akan hal itu. 
"Nah! Kalau begitu, tunggu apa lagi? Ayo, tangkaplah aku. 
Mengapa masih ragu-ragu...?" sahut Setan Tenaga Gajah tetap

mengejek. Tentu saja Panji tidak ingin begitu saja mengabulkan 
permintaan lawan. 
"Setan Tenaga Gajah!" 
Wira Yudha yang merasa dongkol melihat lagak tokoh sesat 
itu, melangkah maju sambil menudingkan telunjuknya. 
"Kau tidak perlu lagi diadili! Sebaiknya, manusia jahat 
sepertimu langsung saja dikirim ke neraka jahanam!" bentak 
lelaki gagah itu dengan lengan bergetar karena marah. 
Meskipun begitu, Wira Yudha tidak berani bertindak. Disadari 
kalau kepandaian lawan sangat tinggi, dan jauh berada di 
atasnya. Menyerang tokoh itu sama saja mengantarkan nyawa. 
"Apa yang dikatakan Wira Yudha memang benar, Panji...," 
timpal Ki Damang. "Manusia sesat seperti Setan Tenaga Gajah 
sudah tidak mungkin lagi disadarkan. Sebaiknya, kita 
lenyapkannya saja untuk selamanya...." 
Panji sendiri mengangguk-angguk ketika yang lainnya sama-
sama menyetujui usul Ki Damang. 
"Nah! Kau dengar sendiri, Setan Tenaga Gajah. Mereka telah 
memutuskan untuk melenyapkanmu. Untuk itu, bersiap-siaplah. 
Karena melawan atau tidak, aku akan menjalankan permintaan 
sahabat-sahabatku ini...," tegas Panji seraya melangkah maju 
beberapa tindak, siap melepaskan pukulan maut yang mema-
tikan. 
Melihat sikap Panji yang jelas tidak main-main lagi, Setan 
Tenaga Gajah menggeram gusar. Lelaki tinggi besar 
berpenampilan menyeramkan itu bergerak ke kanan, seolah 
oleh ingin mengintip celah kelemahan lawan. 
Kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Setan Tenaga Gajah 
telah saling berhadapan dalam jarak dua tombak. Mereka saling
menatap tajam bagaikan hendak menjenguk isi kepala masing-
masing. Sedangkan Kenanga, Ki Damang, beserta yang lain 
segera saja bergerak menjauh. Sepertinya, mereka sadar kalau 
pertarungan yang bakal terjadi pastilah sangat mengerikan dan 
berbahaya. 
Demikian pula halnya Benggala, Wungga, dan pengemis 
berbaju kembang-kembang lainnya. Mereka sepertinya juga 
menyadari adanya bahaya. Maka bagai diperintah, para 
pengemis berbaju kembang-kembang bergerak menjauh, dan 
bersembunyi di balik pepohonan. 
Angin bertiup keras menerbangkan daun-daun kering. 
Sepertinya, alam pun ikut menjadi saksi dari pertarungan 
terdahsyat yang bakal terjadi.... 
*** 
"Heaaattt..!" 
"Yeaaattt..!" 
Dibarengi pekikan dahsyat yang bagaikan hendak 
mengguncang jagat, tubuh kedua tokoh maha dahsyat itu 
sama-sama melenting ke udara. Kemudian, secara bersamaan 
mereka mendarat setelah berjumpalitan beberapa kali di udara. 
Bweeettt...! 
Begitu mereka saling mendarat dalam jarak yang cukup 
dekat, Setan Tenaga Gajah langsung melontarkan pukulan 
tangan kanan. Terdengarlah suara angin berdesing dan 
bercuitan. Dari sini bisa terlihat kalau tenaga yang terkandung 
di dalam kepalan sebesar kepala bayi itu sangat hebat.

Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu akan kedahsyatan 
pukulan lawan. Maka dengan gerak cepat, tubuhnya berkelit 
sambil melepaskan tusukan jari-jari tangan kiri yang 
membentuk paruh ular. Rupanya, pada jurus-jurus awal ini 
Pendekar Naga Putih masih belum ingin mempergunakan ilmu 
andalan. 
Syuuuttt..! 
Lontaran tusukan jari-jari tangan Pendekar Naga Putih 
mencicit tajam merobek udara! Untunglah sasarannya yang 
diarahkan ke pelipis, lawan cepat memutar kepala dengan 
gerakan jurus 'Harimau Keluar Goa'. Sehingga, serangan itu 
luput dari sasaran. 
Gerakan Setan Tenaga Gajah rupanya tidak berhenti sampai 
di situ saja. Terbukti, tubuh gemuk itu masih terus meliuk 
seperti tubuh seekor ular yang tengah menari-nari. Itu pun 
masih dibarengi sebuah tebasan yang menusuk dari bawah ke 
atas. Rupanya, tokoh sesat itu hendak menjepit dan 
menggunting batang leher lawan dengan sepasang tangannya 
yang kekar berbulu. 
"Haiiittt..!" 
Panji yang sadar akan bahaya maut itu, cepat bertindak 
tepat. Dengan teriakan nyaring, cepat-cepat kaki kanannya 
bergeser ke belakang dengan tubuh doyong. Pada saat yang 
sama, sepasang telapak tangannya mendorong ke depan 
memapak serangan lawan. Dan.... 
Plaaaggghhh...! 
Akibatnya, kedua pasang telapak tangan itu kontan saling 
berbenturan! Ledakan dahsyat yang memekakkan telinga pun 
menggelegar keras! Bumi di sekitar tempat itu bergetar, 
membuat pepohonan berderak ribut!

"Haiiittt..!" 
"Yeaaahhh...!" 
Dengan gerak cepat, tubuh Pendekar Naga Putih berkelit 
sambil melepaskan tusukan jari-jari uang membentuk paruh 
ular. 
Syuuuttt...! 
Lontaran tusukan jari-
jari tangan Pendekar Naga 
Putih mencicit tajam 
merobek udara 
mengancam pelipis Setan 
Tenaga Gajah. 
Kedua tokoh sakti itu 
membentak keras. Seketika 
itu juga, tubuh mereka 
melambung dan 
berjumpalitan ke belakang 
hingga lima kali putaran. 
Kemudian, sama-sama 
menjejakkan kaki di tanah dalam waktu yang hampir 
bersamaan. 
"Hm.... Nama Pendekar Naga Putih ternyata bukan hanya 
bualan kosong belaka. Aku harus lebih berhati-hati untuk 
menghadapi serangan-serangan berikut...," gumam Setan 
Tenaga Gajah. Rupanya, matanya baru terbuka setelah 
merasakan kekuatan serta kehebatan pemuda tampan yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih. 
Demikian pula halnya Panji. Pendekar perkasa yang telah 
banyak menghadapi lawan berat itu kini kembali harus

mengerahkan seluruh kesaktian untuk menundukkan Setan 
Tenaga Gajah. Disadari, kesaktian tokoh sesat itu benar-benar 
luar biasa. Jarang ditemui lawan sehebat dan sedahsyat Setan 
Tenaga Gajah! 
Kini mereka kembali saling berhadapan dalam jarak tiga 
tombak lebih. Masing-masing melangkah perlahan sambil 
mengintip celah-celah kelemahan lawan. Keduanya terus 
bergerak mendekat sambil memainkan jurusnya yang 
menimbulkan angin menderu-deru.

ENAM

"Yeaaattt..!" 
"Haaattt...!" 
Untuk kesekian kalinya, kedua tokoh maha dahsyat itu 
kembali saling gempur. Kali ini ilmu-ilmu silat tingkat tinggi 
mulai digunakan. Sehingga dapat dibayangkan betapa dahsyat 
dan mengerikannya pertarungan yang terjadi kali ini. 
Pendekar Naga Putih yang sudah menggunakan 'Ilmu Silat 
Naga Sakti' berkelebatan bagaikan seekor naga raksasa. 
Tubuhnya meliuk-liuk lincah. Lapisan kabut putih keperakan 
yang menyelimuti seluruh tubuhnya, dan berpendar hingga 
sejauh tiga jengkal dari tubuhnya, benar-benar menampilkan 
sosok yang mengagumkan sekaligus menggetarkan! Belum lagi 
sambaran cakarnya yang menebarkan hawa dingin luar biasa. 
Dalam jarak lima tombak pun, hawa dingin itu masih sanggup 
menewaskan seorang tokoh tingkat rendah. Dari sini saja sudah 
dapat dibayangkan, betapa mengerikannya pertarungan itu. 
Setan Tenaga Gajah pun tidak kalah mengerikan. Tubuh 
lelaki tinggi besar berusia sekitar lima puluh lima tahun itu 
bergerak gesit dengan kuda-kuda kokoh. Jejakan kakinya yang 
sanggup menggetarkan bumi, melangkah berganti-ganti 
diselingi suara mencicit tajam dari kepalan-kepalan tangannya 
yang sebesar kepala bayi. 
Bueeettt! Whuuukkk...! 
Sambaran kepalan yang mengerikan itu membuat dedaunan 
terpaksa harus rela meninggalkan ranting pohonnya, akibat 
sambaran angin pukulan Setan Tenaga Gajah. Bahkan 
beberapa batang pohon yang tumbuh dekat dengan tokoh 
tinggi besar itu tampak sudah rebah ke tanah. Kibasan

lengannya yang berbulu bagaikan golok besar yang mampu 
menumbangkan batang pohon sebesar dua pelukan orang 
dewasa. Benar-benar dahsyat kekuatan yang dimiliki lelaki 
tinggi besar itu. Dia memang patut dijuluki Setan Tenaga 
Gajah! 
"Haaaiiittt..!" 
Ketika pertarungan yang mengerikan telah berlangsung 
selama seratus jurus, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih 
memekik nyaring. Saat itu juga, tubuhnya langsung melenting 
ke udara menghindari kepalan lawan yang menuju dada kirinya. 
Kemudian dengan kecepatan mengagumkan, tubuh pemuda 
tampan itu menukik sambil menjulurkan cakar-cakar mautnya 
ke ubun-ubun lawan! 
Whuuusss...! 
Angin dingin menusuk tulang berhembus keras, meniup 
rambut kepala Setan Tenaga Gajah. Sepertinya, Panji hendak 
meremas hancur batok kapala lawan. 
Tapi, Setan Tenaga Gajah tentu saja tidak sudi batok 
kepalanya diremas begitu saja oleh Pendekar Naga Putih. Maka 
ketika jari-jari tangan berbentuk cakar naga itu siap 
meremukkan kepalanya, Setan Tenaga Gajah cepat 
merendahkan tubuhnya. Kemudian, kaki kanannya digeser ke 
kanan. Berbarengan dengan itu, tangan kanannya mengibas 
sepenuh tenaga! 
Bweeettt...! 
Sergapan Panji ternyata masih bisa ditarik pulang. Terbukti, 
ketika pemuda itu melihat lawan sengaja hendak mengadu 
tenaga, cepat kedua lengannya dikembangkan ke kiri dan 
kanan. Kemudian, kedua tangan itu kembali disatukan dengan 
kecepatan dan kekuatan sangat hebat!


Baaaannnggg...! 
"Aaahhh...!" 
Bukan main terkejutnya hati Setan Tenaga Gajah merasakan 
getaran yang memekakkan telinganya. Kedua telapak tangan 
Panji yang ditepukkan menggunakan tenaga dalam, sempat 
membuat tubuh tokoh sesat itu terhuyung hingga beberapa 
langkah dari tempat semula. 
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak sudi menyia-nyiakan 
kesempatan baik itu. Cepat bagai kilat, tubuhnya kembali 
menukik dengan kedua tangan didorongkan ke depan. 
"Whuuusss...!" 
"Aaahhh...!" 
Setan Tenaga Gajah memekik kaget! Sama sekali tidak 
disangka, kalau lawan akan nekat melanjutkan serangannya. 
Karena tidak mempunyai waktu menghindar, maka tokoh sesat 
itu bergegas memantek kuda-kudanya. Sepasang tangannya 
didorong ke depan, menyambut dorongan sepasang telapak 
tangan Pendekar Naga Putih. 
Blaaarrr...! 
Benar-benar mengerikan akibat benturan dua gelombang 
tenaga sakti yang maha dahsyat itu! Debu mengepul tinggi 
seiring ledakan seperti letusan gunung berapi! Beberapa batang 
pohon berjarak dua tombak dari tempat terjadinya benturan, 
berderak-derak ribut bagaikan hendak roboh. Arena 
pertarungan pun gelap seketika, karena kepulan debu masih 
menghalangi pandangan mata. 
Sementara itu Pendekar Naga Putih terpental balik dengan 
derasnya. Bahkan masih terus meluncur deras, meskipun telah 
menumbangkan dua batang pohon besar! Kemudian, tubuhnya

terus amblas ke dalam sebongkah batu sebesar rumah hingga 
beberapa jengkal dalamnya. Melihat adanya cairan merah yang 
meleleh di sudut bibirnya, bisa ditebak kalau Pendekar Naga 
Putih mengalami luka dalam yang sangat parah! 
Sedangkan Setan Tenaga Gajah lebih hebat lagi. Tubuh 
tokoh sesat yang tinggi besar itu tertolak ke belakang. Tubuh 
yang beratnya sama dengan seekor sapi muda itu meluncur 
deras tanpa dapat dicegah lagi. 
Deeerrr...! 
Sebongkah batu sebesar perut kerbau bunting, langsung 
pecah-pecah akibat terlanggar tubuh tokoh raksasa itu. 
Akibat benturan dahsyat itu ternyata juga dirasakan oleh 
para pengemis berbaju kembang-kembang dan juga murid-
murid Ular Emas tingkat rendahan. Mereka yang belum begitu 
kuat tenaga dalamnya, langsung terpental hingga satu tombak 
lebih jauhnya. Wajah mereka tampak pucat dan tidak mampu 
buru-buru bangkit. Bahkan beberapa di antara mereka ada 
yang langsung tewas setelah memuntahkan darah segar! 
Benar-benar mengerikan akibat benturan dahsyat tadi. 
"Gila...!" desis Ki Damang yang tingkat kepandaiannya di 
bawah Kenanga. 
Orang tua itu tampak agak pucat wajahnya. Deru napasnya 
pun terlihat masih memburu. Jelas, Ki Damang telah 
mengerahkan tenaga dalamnya untuk melindungi bagian dalam 
tubuhnya dari pengaruh getaran benturan dahsyat tadi. 
Sedangkan yang lain tampak terengah-engah bagaikan 
orang yang habis berlari jauh. Keringat dingin pun tampak 
membasahi wajah dan sebagian tubuh mereka. 
Hanya Kenanga saja yang tampak tidak terlalu menderita 
oleh akibat benturan maha dahsyat tadi. Dara jelita berpakaian

serba hijau itu tampak menghela napasnya panjang-panjang 
secara perlahan. Meskipun demikian, wajahnya tampak agak 
pucat. Rupanya, isi dadanya sempat terguncang oleh suara 
menggelegar tadi. 
Semua apa yang dirasakan dan dialamai para tokoh 
persilatan dari dua golongan itu, rasanya masih belum apa-apa 
bila dibandingkan Pendekar Naga Putih dan Setan Tenaga 
Gajah. Kedua orang sakti yang berhubungan langsung dengan 
benturan mengerikan tadi, lebih parah lagi keadaannya. 
"Ketua...!" 
Benggala, Wungga dan empat orang pengemis berbaju 
kembang-kembang langsung berlarian ke arah tubuh Setan 
Tenaga Gajah yang sudah tak bergerak-gerak lagi. Tanpa 
banyak cakap lagi, pria pengemis itu langsung membersihkan 
serpihan batu dari tubuh ketuanya. 
"Ooohhh...," Benggala menghela napas sedih ketika melihat 
batok kepala Setan Tenaga Gajah telah retak akibat 
menghantam batu sebesar kerbau bunting itu. 
"Bagaimana, Kakang...?" tanya Wungga yang berada di 
belakang pengemis jangkung kurus itu. Jelas, sudah bisa 
diduga, apa yang telah menimpa ketuanya. 
"Ketua telah tewas, Wungga...," desah Benggala. 
Nada suara laki-laki itu lebih mirip keluhan ketimbang sebuah 
jawaban. Kemudian, diusapnya darah yang membasahi kening 
serta belakang kepala Setan Tenaga Gajah. 
"Mari kita tinggalkan tempat ini...," ajak Benggala. 
Diakui semangat laki-laki itu, seperti patah atas kematian 
ketuanya. Kemudian, sambil membawa mayat Setan Tenaga

Gajah, para pengemis berbaju kembang-kembang itu bergerak 
meninggalkan Perguruan Ular Emas. 
*** 
 Akhir dari pertempuran itu rupanya membuat mereka 
sibuk dengan urusan masing-masing. Kenanga yang dibantu Ki 
Damang serta kawan-kawan lain, saat ini tengah berusaha 
mengeluarkan tubuh Pendekar Naga Putih dari dalam batu 
besar itu. Tak seorang pun yang memperdulikan kepergian para 
pengemis berbaju kembang-kembang yang membawa mayat 
Setan Tenaga Gajah. Padahal, sebelumnya mereka saling 
bernafsu untuk membunuh. 
Gadis berpakaian serba hijau itu tampak menitikkan air mata 
melihat keadaan kekasihnya yang sudah tak ubahnya orang 
mati. Satu keuntungan yang dimiliki Pendekar Naga Putih, 
hanya karena 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang melindungi 
sekujur tubuhnya. Sehingga meskipun berbenturan dengan 
beberapa batang pohon hingga akhirnya melesak ke dalam 
batu besar, tapi sama sekali tidak menderita luka. Hanya saja, 
wajah Panji terlihat pucat. Bahkan detak jantung serta aliran 
napasnya seperti terhenti. 
"Kakang...." 
Kenanga menjatuhkan kepalanya di atas dada pemuda 
kekasihnya. Dara jelita itu sudah tidak bisa lagi membedung 
kesedihannya. Sama sekali gadis itu tidak peduli meskipun saat 
ini ada orang lain yang menyaksikan tingkah lakunya. 
"Kami yang salah, Nisanak...," terdengar suara kering dan 
mengandung penyesalan yang sangat dalam. Kata-kata itu 
terucap dari bibir Wira Yudha, Waluja, dan Gala Campa.

Rupanya ketiga orang lelaki gagah itu merasa bertanggung 
jawab atas kematian Panji. 
"Yaaahhh.... Tidak seharusnya kami menyerahkan persoalan 
perguruan ke tangan orang lain, meskipun orang itu memang 
membantu dengan tulus...," sambung Wira Yudha. Nadanya, 
terdengar penuh penyesalan. 
Sepertinya, mereka merasa tersentuh mendengar isak tangis 
Kenanga yang demikian memilukan. Sehingga, mereka merasa 
kalau akibat ulah merekalah Kenanga jadi sengsara. 
Mendengar kata-kata tadi. Kenanga menoleh ke arah ketiga 
orang lelaki gagah itu. Dara jelita yang wajahnya tampak 
dibasahi air mata menggelengkan kepala perlahan. 
'Tidak. Aku sama sekali tidak menyalahkan siapa-siapa dalam 
masalah ini. Jadi..., kuharap kalian jangan merasa bersalah. 
Kakang Panji belum mati. Aku yakin, ia akan bangkit lagi 
setelah sembuh dari luka-lukanya...," sahut Kenanga. 
Gadis itu memang merasa yakin kalau kekasihnya belum 
tewas. Telah diperiksanya kalau tubuh pemuda itu masih terasa 
hangat. Menurutnya, itu suatu bukti kalau Panji belum mati. 
Dan kalau pemuda itu benar sudah tewas, tubuhnya tentu 
dingin dan kaku sebagaimana mayat layaknya. 
Tapi, ucapan Kenanga tadi tentu saja dianggap sebagai 
ucapan dari orang yang terguncang hatinya. Mereka tentu saja 
memastikan kalau Panji telah tewas. Selain detak jantung 
pemuda itu sudah tidak terdengar lagi, aliran napasnya pun 
sudah berhenti. Itu sebabnya, mengapa Ki Damang dan yang 
lain menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas, 
sebagaimana halnya Setan Tenaga Gajah.

Karena Kenanga tetap bersikeras kalau kekasihnya belum 
tewas, akhirnya Ki Damang membujuk agar tubuh pemuda itu 
dibawa ke dalam bangunan perguruan. 
"Di sana lebih aman dan lebih enak tempatnya...," bujuk Ki 
Damang, meminta izin untuk mengangkat tubuh Panji. 
Kenanga akhirnya mengangguk, kemudian ikut bersama 
yang lain menuju bangunan utama Perguruan Ular Emas. 
*** 
"Kakang...," 
Dara Jelita itu tidak henti-hentinya merintih, memanggil-
manggil pemuda yang tengah rebah di atas pembaringan 
bambu. Dara jelita yang tak lain Kenanga itu berkeras melarang 
tubuh Panji yang dianggap mati oleh Ki Damang serta yang lain 
di makamkan. Dia tetap yakin, kekasihnya masih hidup. 
"Kenanga...," panggil Ki Damang dengan suara lebih mirip 
desahan, "Saudara Panji mungkin memang tidak mati di 
hatimu. Tapi menurut hukum alam, ia telah mati. Detak jantung 
maupun aliran napasnya sudah tidak ada lagi. Dalam keyakinan 
kita, hal seperti itu disebut mati. Retakanlah kepergiannya, agar 
arwahnya dapat tenang dan tidak terhalang isak tangismu...," 
bujuk Ki Damang, agar Kenanga sudi menyerahkan tubuh Panji 
untuk segera dimakamkan. 
"Tidak, Ki. Kalian salah. Pegang dan rasakanlah. Tubuh 
Kakang Panji masih tetap hangat seperti pertama kali kita 
temukan. Jika dia telah mati, bukankah tubuhnya sedingin es? 
Tapi ini tidak...," bantah Kenanga, tetap bertahan pada 
pendiriannya.

Dara jelita itu tetap berkeyakinan kalau kekasihnya masih 
hidup. Sehingga, baik Ki Damang maupun yang lain hanya bisa 
menghela napas tanpa berani memaksakan keinginannya. 
Dengan penuh kesabaran. Kenanga menunggui tubuh 
Pendekar Naga Putih. Entah sudah berapa banyak air matanya 
yang tertumpah. Sehingga, baju yang dikenakan Panji sampai 
basah oleh air mata dara yang sangat dicintainya. Bahkan 
meskipun kedua matanya telah bengkak, tangisnya tetap tak 
berhenti. 
Diam-diam, baik Ki Damang, Wira Yudha, Waluja, Gala 
Campa, serta yang lain merasa iri dengan keberuntungan 
Pendekar Naga Putih. Memang, selain jelita parasnya, hati dan 
kesetiaan Kenanga juga jarang dimiliki gadis kebanyakan. 
"Hhh.... Sayang, ia harus tewas dalam usia yang masih 
sedemikian muda. Entah apa jadinya dunia persilatan apabila 
golongan hitam sampai mendengar berita ini. Yang pasti, 
mereka akan berpesta pora menyambut kematian Pendekar 
Naga Putih...," desah Ki Damang, yang mau-tidak mau merasa 
menyesal juga atas kepergian pemuda sakti itu. 
"Yahhh.... Meskipun ia mati dalam usia sangat muda, tapi 
baktinya sudah jauh lebih banyak daripada aku yang dua kali 
lebih tua," timpal Wira Yudha dengan kepala menengadah. Saat 
itu, mereka tengah duduk di ruangan tengah, mengitari sebuah 
meja bulat. 
"Hm.... Sebaiknya kita jaga agar kematian Pendekar Naga 
Putih tidak sampai tersiar. Bukankah para pengemis berbaju 
kembang-kembang itu tidak mengetahui kematiannya...?" 
sambung Waluja. Lelaki bertubuh tegap itu memandangi wajah 
yang lain seperti tengah meminta tanggapan. 
"Bisa jadi mereka juga menduga kalau Pendekar Naga Putih 
ikut tewas dalam benturan dahsyat itu. Buktinya, kulihat Setan

Tenaga Gajah telah tewas dengan tengkorak kepala retak. 
Hm..., sebaiknya kita lihat saja nanti. Mudah-mudahan naluri 
Kenanga tidak meleset, dan juga bukan sekedar orang yang 
kehilangan pikiran..," cetus Laung, murid tertua Ki Damang, 
disertai desahan penuh harap. 
"Kelihatannya, gadis itu memang tidak kehilangan akal 
sehatnya. Hm.... Ada baiknya kita ikut berdoa agar Pendekar 
Naga Putih tidak mati sungguh-sungguh," ujar Ki Damang juga, 
penuh harap. 
"Maksud Ki Damang, pemuda itu tengah antara hidup dan 
mati...?" tanya Wira Yudha meminta ketegasan. Dan dia baru 
terdiam ketika melihat orang tua itu mengangguk pelan. 
Sebentar kemudian, suasana hening. Masing-masing terbawa 
alam pikiran menerawang jauh entah ke mana.


TUJUH

Pendekar Naga Putih merasakan tubuhnya terlempar, dan 
melayang di angkasa. Satu hal yang membuatnya heran, 
tubuhnya terasa seperti segumpal kapas yang tengah 
diombang-ambingkan angin. Anehnya, Panji sendiri sama sekali 
tidak merasakan adanya hembusan angin. Bahkan pada saat 
terlempar, jubahnya sama sekali tidak berkibar. 
"Ouuughhh...!" keluh Panji lirih ketika merasakan tubuhnya 
bagai terjeblos ke dalam sebuah lubang yang asing dan gelap. 
Pemuda itu mengerjap-ngerjapkan matanya, untuk dapat 
membiasakan melihat di tempat itu. 
"Hai.... Di manakah aku...?" desis Panji. 
Saat itu Pendekar Naga Putih melihat keadaan di 
sekelilingnya. Suasananya demikian lengang dan hening. 
Lapisan-lapisan kabut menghalangi pandang matanya. 
Sepertinya, hal itu memang sudah menjadi bagian dari tempat 
Panji sekarang berada. 
Panji melangkah perlahan sambil tetap mengawasi sekeliling. 
Ia tidak tahu, perasaan apa yang saat itu tengah berkecamuk 
dalam hatinya. Yang jelas, ia merasa sangat asing dan juga 
ngeri. Bahkan lebih ngeri ketimbang menghadapi lawan-lawan 
berat yang pernah dirasakan. Hanya saja, semua perasaan itu 
kini seperti menjadi satu, hingga sukar sekali dikatakan. 
"Aneh...? Mengapa di tempat ini aku tidak melihat matahari? 
Lalu, dari mana asalnya cahaya yang remang-remang ini...? 
Apakah lapisan-lapisan kabut itu yang memantulkan cahaya...?" 
benak Panji terus mencari jawaban dari semua keanehan yang 
saat itu disaksikan dan dirasakan.

Dengan kepala dipenuhi berbagai macam tanda tanya, 
Pendekar Naga Putih terus melangkah perlahan. Sama sekali 
tidak dimengerti, kenapa dirinya sampai bisa berada di tempat 
asing yang menyeramkan itu 
Hati Pendekar Naga Putih semakin bergetar ketika sepanjang 
matanya memandang, yang terlihat hanyalah tanah lapang 
luas, tanpa pohon atau pebukitan. Seolah-olah, dirinya seperti 
berada di tengah-tengah padang pasir yang bagaikan tidak 
bertepian. 
"Gila…! Apakah aku sudah gila...? Di mana sebenarnya aku? 
Mengapa tidak nampak tanda-tanda kehidupan di tempat 
ini...?" desis Panji dengan wajah gelisah. 
Bagaikan orang yang kehilangan akal sehat, tiba-tiba saja 
Panji menghentakkan kakinya. Lalu, dia berlari cepat 
menembus lapisan-lapisan kabut yang bagaikan tidak pernah 
lenyap. 
Namun, meskipun telah merasakan cukup jauh berlari, tetap 
saja keadaan tempat itu tidak berubah. Bahkan yang membuat 
Pendekar Naga Putih semakin ketakutan adalah, tidak dirasakan 
adanya hembusan angin sejak tadi. Padahal, ia baru saja berlari 
sekuat tenaga. 
"Ouuuhhh...!" 
Pemuda tampan berjuluk Pendekar Naga Putih yang 
biasanya selalu tenang dalam menghadapi segala sesuatu, kini 
menjatuhkan lututnya di atas tanah berpasir lembut itu. 
Rambutnya diremas-remas kuat-kuat. Suara erangan lirih 
sesekali terdengar dari kerongkongannya. Jelas, pemuda itu 
merasa ngeri dengan segala apa yang dilihatnya di tempat itu. 
Sedikit pun tidak ada tanda-tanda kehidupan, tidak ada cahaya 
matahari, hembusan angin, apalagi sosok manusia yang 
memang sangat diharapkannya. Semua itu tentu saja bisa

membuat gila seseorang yang bagaimanapun tabah dan kuat 
hatinya. 
"Hhh.... Ke mana perginya Kenanga dan para tokoh lain? 
Mengapa mereka begitu tega meninggalkan aku sendirian di 
tempat asing dan aneh seperti ini...?" desah Panji sambil 
menghela napas berulang-ulang dan memijat-mijat keningnya. 
Seolah-olah dia berharap kalau semua apa yang dialaminya 
hanyalah sebuah mimpi buruk. Dan Panji tentu saja ingin agar 
mimpi itu segera berakhir. 
"Hua ha ha...!" 
Tiba-tiba, saat Panji tengah kebingungan, terdengar tawa 
panjang menggema, bagaikan datang dari segala penjuru. 
Suara yang semestinya menakutkan itu, justru disambut Panji 
dengan senyum senang. Dengan adanya tawa itu, merupakan 
tanda adanya kehidupan di tempat ini. 
"Aaahhh...." 
Cepat bagai kilat, pemuda itu bergerak bangkit dan 
mengawasi sekitarnya. Pada wajahnya tergambar kegembiraan 
yang amat sangat. Tingkahnya saat itu tak ubahnya seorang 
pengelana yang tersesat dan kehabisan bekal air di tengah 
lautan padang pasir. 
Tapi sirat gembira di wajah pemuda itu lenyap seketika, dan 
berganti keheranan besar. Di depannya, dalam jarak beberapa 
langkah, tahu-tahu saja muncul sesosok tubuh yang raut 
wajahnya sudah dikenalnya. Yang membuat Panji terbeliak 
mundur, ternyata kemunculan sosok itu begitu mengejutkan! 
Seolah-olah dia langsung muncul dari dalam lapisan kabut tipis 
yang mewarnai daerah sekiiar tempat itu. 
"Raja Iblis Utara...?!" desis Pendekar Naga Putih, seperti 
sebuah bisikan kering.

Panji kenal betul sosok tinggi besar bercambang bauk itu. 
Memang, Raja Iblis Utara adalah salah seorang tokoh sesat 
yang pernah dibunuhnya beberapa waktu yang lalu. Tentu saja 
kemunculan datuk sesat itu membuat kepala Panji semakin 
pening memikirkannya. 
"Hua ha ha...! Tidak salah! Akulah Raja Iblis Utara, Pendekar 
Naga Putih! Kuucapkan selamat datang kepadamu di Alam 
Roh...!" ucap sosok tinggi besar bercambung bauk itu 
memperdengarkan suara tawanya yang menggema dan 
panjang. 
"Alam Roh...?! Apa maksudmu, Raja Iblis Utara...? Dan, 
bagaimana kau bisa bangkit dari kematianmu...?" tanya Panji 
bagai orang linglung. Karena, ia memang masih belum 
mengerti dengan keadaan yang kini dialaminya. 
"Ha ha ha...! Aku bukan bangkit dari kematian, Pendekar 
Naga Putih. Tapi, justru kaulah yang datang ke alam kematian. 
Tapi, menurutku kau belum mati sempurna. Dan aku masih 
mencium adanya hawa kehidupan dalam tubuhmu," jawab Raja 
Iblis Utara kembali menertawakan sikap ketololan lawannya. 
Tapi, sepasang mata iblis itu tampak menyiratkan dendam 
kesumat yang sangat dalam. 
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ketika 
mendengar jawaban yang sama sekali tidak pernah terlintas 
dalam benaknya. Kini baru dimengerti, mengapa tempat itu 
terasa asing dan menyeramkan. Tidak ada tanda-tanda 
kehidupan sepera yang biasa ditemuinya. 
"Kalau aku memang benar sudah mati, lalu ke mana 
jasadku? Mengapa aku tidak melihatnya? Apa pula maksud Raja 
Iblis Utara yang mengatakan kalau kematianku belum 
sempurna? Juga, apa maksudnya dengan bau kehidupan di 
tubuhku? Hhh..., benar-benar sebuah pengalaman yang aneh

sekaligus mengerikan...," desis Pendekar Naga Putih. Dan mau 
tidak mau, Panji jadi bergidik ngeri, mengingat keberadaannya 
sekarang. 
"Sekarang..," kata Raja Iblis Utara lagi sambil melangkah 
maju mendekati Panji. "Aku akan menyempurnakan 
kematianmu. Sehingga, kau tidak bisa lagi kembali ke alam 
nyata. Nah, bersiaplah...," 
Pendekar Naga Putih melangkah surut ke belakang, 
mendengar ucapan Raja Iblis Utara yang jelas-jelas 
menyiratkan dendam. 
"Hm...," gumam Panji lirih. 
Kini Pendekar Naga Putih menghadapi serangan datuk sesat 
itu. Mengingat kepandaiannya yang sudah meningkat jauh Panji 
pun tidak menjadi gentar. Diyakini, dirinya akan bisa 
mengalahkan lawannya seperti semasa Raja Iblis Utara masih 
hidup di alam nyata. 
Raja Iblis Utara tergelak ketika melihat Panji siap melakukan 
perlawanan. Menyakitkan sekali tawa yang bernada penuh 
ejekan itu. 
"Pendekar Naga Putih! Percuma saja mengadakan 
perlawanan. Di alamku yang sekarang, tak ada lagi kematian, 
dan tidak ada lagi darah. Alam roh itu kekal selama-lamanya. 
Tapi, sebaliknya aku bisa menyakitimu. Ingatlah! Kau belum 
mati sempurna. Rohmu masih memiliki hubungan erat dengan 
jasadmu di dunia. Dan setiap rasa sakit ataupun luka, jelas 
akan terasa seperti halnya kau berada di dunia nyata. Hua ha 
ha...!" Raja Iblis Utara tergelak di akhir ucapannya. 
Jelas sekali kalau datuk sesat itu sangat senang, karena 
sebentar lagi akan dapat melenyapkan musuh besar yang tidak 
pernah dibayangkan akan berjumpa lagi dengannya di sini.

"Aaahhh...?!" Panji tersentak kaget mendengar ucapan 
lawannya itu. 
Sadarlah Pendekar Naga Putih kalau saat ini benar-benar 
dalam cengkeraman bahaya. Apa yang dialami dalam 
pertarungan itu, akan berakibat pada jasadnya di alam nyata 
sana. Tentu saja, pikiran itu membuatnya tegang. Apalagi, 
lawannya tidak mungkin bisa dilukai atau dibunuh, karena 
hanya roh belaka. 
"Hua ha ha...!" 
Raja Iblis Utara semakin tergelak saat melihat Pendekar 
Naga Putih nampak kebingungan. Dengan langkah ringan, 
datuk sesat itu bergerak maju menghampiri. Karena tidak ada 
melihat jalan lain, Pendekar Naga Putih segera bersiap 
menghadapinya. 
"Yeaaahhh...!" 
Dengan sebuah seman nyaring, Raja Iblis Utara melompat 
dengan kedua lengan terkembang, siap mencekik lehar lawan. 
Tentu saja Panji yang tidak ingin jasadnya tersiksa segera 
melompat menghindar ke belakang. Sebuah tendangan kilat 
dilontarkan, mengiringi lompatan mundurnya. 
Bukkk! 
Tendangan Pendekar Naga Putih memang sangat tepat. 
Entah karena Raja Iblis Utara sengaja tidak mengelak, atau 
memang tendangan pemuda itu terlalu cepat datangnya. Tapi 
yang jelas, tubuh tinggi besar itu terlempar deras ke belakang. 
Meskipun demikian, separah pun tak ada pekik kesakitan yang 
terlontar dari mulut Raja Iblis Utara. Bahkan sosok itu kembali 
meluncur ke arah Panji. Seolah-olah tendangan yang dilakukan 
pemuda itu hanya mengenai segumpal kapas. 
"Gila...!" desis Pendekar Naga Putih.

Panji merasakan betapa telapak kakinya barusan bagaikan 
menghantam segumpal benda lunak yang membuat kakinya 
seperti amblas. Jelas, hal itu merupakan bukti dari apa yang 
diucapkan Raja Iblis Utara sebelum bertarung. 
"Sudah kukatakan, di alam ini kepandaian yang kau miliki 
sama sekali tidak berguna. Lain halnya jika kau telah mati 
sempurna. Maka, aku dan musuh-musuhmu yang lain, tidak 
akan mengganggu. Tapi karena hawa kehidupan di dalam 
rohmu ini, maka aku pun berniat menyempurnakan 
kematianmu. Dan setelah itu, kau juga akan menjadi penghuni 
tetap alam kematian yang kekal ini. Hua ha ha...!" sebuah tawa 
panjang dan bergema kembali menutup ucapan Raja Iblis 
Utara. 
Semua ucapan tokoh itu tidak lagi sempat dikaji Pendekar 
Naga Putih. Memang saat itu juga Raja Iblis Utara 
menggempurnya dengan serangan-serangan hebat dan 
berbahaya. Rupanya, dalam alam kematian pun tokoh itu masih 
tetap memiliki kepandaian dahsyat. Semua itu dapat dirasakan 
Pendekar Naga Putih melalui sambaran angin pukulan yang 
bersliweran di sekitar tubuhnya. 
Deeesss...! 
"Aaakhhh...!" 
Tubuh Pendekar Naga Putih terjengkang ke belakang akibat 
hantaman telapak tangan lawan yang singgah di dada kirinya. 
Pemuda itu kontan meringis menahan rasa sakit pada bagian 
dalam tubuhnya. Bahkan napasnya terasa seperti tersumbat 
akibat pukulan telak lawan. Meskipun begitu, karena tidak ada 
jalan lain, terpaksa Panji kembali menghadapi lawan. Meskipun, 
ia tahu hal itu tidak ada gunanya. Dan kini, pertarungan 
kembali berlangsung.

*** 
"Huaaakhhh...!" 
Darah mengental berwarna kebiruan, menyembur keluar dari 
mulut pemuda tampan yang tengah terbaring di atas dipan 
bambu itu. Tubuh yang tersentak bangkit untuk memuntahkan 
gumpalan darah itu, kembali rebah dengan wajah semakin 
pucat! 
"Kakang...!" 
Kenanga, yang masih setia menjaga tubuh kekasihnya yang 
dianggap belum mati itu menjerit tertahan. Air matanya 
kembali mengalir menuruni pipinya yang putih dan halus. 
Sepasang mata sembab yang semula sudah tidak bisa 
mengeluarkan air mata lagi, kembali menerawang dan 
meneteskan butir-butir air bening. 
"Ada apa...?" 
Sesosok tubuh sedang dari seorang lelaki berusia lima puluh 
tahun, tahu-tahu saja melompat ke dalam ruangan diiringi 
suara yang menandakan keterkejutan dan juga kecemasan. 
Lelaki tua yang tak lain dari Ki Damang itu melangkah ketika 
tidak mendengar jawaban Kenanga. Mata tua itu terbeliak, 
bagai tidak memepercayai penglihatannya sendiri. 
"Dari mana darah kental kebiruan itu, Kenanga...?" tanya Ki 
Damang begitu melihat Kenanga tengah membersihkan darah 
di atas perut Panji yang terbaring di balai bambu. 
Pertanyaan itu terlontar, karena Ki Damang melihat darah itu 
masih sangat baru. Selain itu, ia juga mendengar ada suara 
orang muntah barusan. Itu sebabnya, ia kontan melompat 
masuk.

"Kalau Ki Damang percaya, darah ini baru saja termuntah 
dari mulut Kakang Panji. Entah apa yang tengah dirasakannya 
saat ini. Dan, apa pula yang menyebabkan darah itu termuntah 
dari mulutnya...," sahut Kenanga dengan suara bergetar. 
Hati dara jelita itu tentu saja merasa pedih bukan main, 
karena tidak tahu apa yang dirasakan kekasihnya saat ini. Yang 
jelas, Kenanga hanya ikut merasakan penderitaan yang tengah 
dialami Pendekar Naga Putih, apapun bentuknya. 
Jawaban Kenanga bukan saja membuat Ki Damang 
terbelalak. Bahkan Wira Yudha, Waluja, Gala Campa, serta dua 
orang murid Ki Damang, sama-sama tertegun mendengar 
jawaban yang sepertinya tidak masuk akal. Betapa tidak? Mana 
ada sesosok mayat yang sudah cukup lama terbaring, bisa 
memuntahkan darah. Tentu saja hal itu sangat mustahil! 
Tapi, baik Ki Damang maupun tokoh lain sama-sama terdiam 
sambil menundukkan kepala. Suara dara jelita itu jelas-jelas 
sangat yakin. Dan sepasang matanya yang masih bening, sama 
sekali tidak menunjukkan gejala hilang ingatan. 
"Aneh...? bagaimana hal ini bisa terjadi? Apa sebenarnya 
yang terjadi terhadap Pendekar Naga Putih...? Mengapa 
tubuhnya yang dianggap tewas dan telah terbaring cukup lama 
masih bisa memuntahkan darah dari mulutnya?" gumam Ki 
Damang seorang diri sambil melangkah hilir-mudik di dalam 
ruangan yang cukup lebar itu. 
"Mungkin Pendekar Naga Putih memang belum tewas, Ki. 
Akupun mulai meragukan hal itu. Coba saja Ki Damang 
bayangkan. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati hampir 
seharian, jasadnya tetap hangat. Padahal, seharusnya sebentar 
lagi tubuhnya sudah berbau. Tapi kalau melihat raut wajahnya, 
Pendekar Naga Putih tak ubahnya seperti orang yang tertidur

lelap...," sambar Wira Yudha yang mendengar ucapan Ki 
Damang. 
Rupanya lelaki gagah itu tidak tahan juga sewaktu 
mendengar Ki Damang berkata-kata seorang diri. 
"Hhh ... Kejadian ini memang sangat aneh. Atau mungkin 
hangatnya tubuh pemuda itu karena memiliki tenaga dalam 
yang sangat tinggi. Apalagi aku pernah mendengar cerita 
tentang seorang tokoh sakti yang telah tewas bertahun-tahun, 
tapi jasadnya tetap utuh dan tidak berbau busuk. Siapa tahu 
saja hal itu terjadi pula dengan Pendekar Naga Putih. Bukankah 
ia juga memiliki kesaktian yang sukar dijajagi...?" sanggah Ki 
Damang. 
Rupanya laki-laki tua itu masih ingin berpikiran wajar dalam 
menanggapi. Semuanya tentu saja dimaksudkan untuk tujuan 
baik. Ki Damang tidak ingin kalau Kenanga kelak hanya akan 
mendapatkan kekecewaan dalam penantiannya. Kalau Panji 
tidak bangkit lagi seperti yang diharapkan, bukan tidak mungkin 
gadis itu akan terguncang dan terganggu pikirannya. Itu 
sebabnya, orang tua itu masih juga membantah keyakinan 
Kenanga. 
"Tidak..., tidak... Aku yakin Kakang Panji masih hidup. Hanya 
saja, aku tidak tahu apa yang saat ini tengah terjadi 
dengannya. Ah, andai saja aku bisa berjumpa dengan...," kata-
kata gadis itu terputus ketika tiba-tiba saja ada seorang murid 
Perguruan Ular Emas datang tergopoh-gopoh melapor kepada 
Wira Yudha. 
"Ada apa...?" tanya Wira Yudha, singkat kepada lelaki 
bertubuh tegap yang duduk beralaskan kedua lututnya. 
"Maaf, Kakang. Di luar ada seorang kakek tua yang katanya 
ingin menemui Pendekar Naga Putih. Aku terpaksa tidak berani 
menjawabnya, karena sesuai pesan Kakang, keadaan Pendekar

Naga Putih harus disembunyikan dan jangan sampai tersiar 
keluar...," jawab lelaki muda bertubuh tegap itu. 
"Bagaimana...,bagaimana ciri-cirinya...?" 
Sebelum Wira Yudha sempat memberikan keputusan, 
Kenanga yang sejak tadi menatap dengan wajah tegang dan 
penuh harap langsung saja melesat dan mencengkeram bahu 
murid Perguruan Ular Emas itu. 
"Kenanga, sabarlah! Lihatlah, cengkeramanmu membuatnya 
kesakitan," 
Wira Yudha bertindak cepat menyadarkan dara jelita itu. 
Kalau tidak mungkin lelaki tegap itu tulang pangkal lengannya 
bisa patah akibat cengkeraman Kenanga. 
"Aaahhh..., maafkan aku...," desah Kenanga, segera sadar 
atas kesalahannya. Cepat cekalan tangannya dikendurkan, 
kemudian dilepaskannya dari bahu lelaki tegap itu. 
Setelah meringis beberapa saat sambil memijat-mijat kedua 
bahunya, lelaki tegap itu segera menceritakan tentang ciri-ciri 
kakek yang menanyakan tentang kekasihnya. 
"Aaahhh.... Ia membawa-bawa sebatang tongkat Dan..., 
usianya sudah hampir delapan puluh tahun. Tidak salah lagi...!" 
Bagaikan kemasukan setan, Kenanga berbicara terburu-buru 
penuh ketegangan. Kemudian tanpa ragu-ragu lagi dia 
langsung saja melesat ke luar. 
Tentu saja tindakan aneh Kenanga membuat yang lain 
terkejut. Untuk beberapa saat lamanya, mereka saling bertukar 
pandang, baru kemudian bergerak mengejar. Ada pancaran 
rasa kasihan dalam raut wajah tokoh-tokoh itu. Mereka 
menduga, Kenanga mulai terguncang pikirannya karena terlalu 
memikirkan Panji.

Kenanga sendiri sama sekali tidak peduli. Ia terus saja berlari 
ke luar bangunan ulama, hingga ke pintu gerbang depan. 
"Eyang...!" teriak Kenanga dengan ledakan kegembiraan saat 
melihat sesosok tubuh kurus dan sangat tua tengah duduk di 
atas sebuah batu sambil menggenggam tongkat kayu di 
tangan. Sepertinya, kakek itu tengah sabar menunggu 
keputusan dari dalam. 
Mendengar jeritan yang jelas-jelas mengandung berbagai 
macam, perasaan, segera saja kakek tinggi kurus itu bangkit 
berdiri. Lalu tangannya dikembangkan saat melihat Kenanga 
meluncur cepat dengan tangan terkembang. Butir-butir air 
mata kembali berjatuhan seiring langkah kaki dara jelita yang 
tampak agak goyah. 
"Eyang...!" 
Begitu terjatuh ke dalam pelukan kakek tinggi kurus yang tak 
lain dari Raja Obat, tubuh Kenanga langsung lemas. Gadis itu 
jatuh pingsan dalam pelukan Raja Obat yang juga jadi terharu. 
Dengan penuh kelembutan, diangkatnya tubuh Kenanga, dan 
dibawanya masuk. 
"Ahhh…! Kasihan sekali kau, Cucuku. Apa gerangan yang 
membuatmu demikian lemah dan menderita...?" desah Raja 
Obat sambil melangkah memasuki bangunan Perguruan Ular 
Emas. 
"Berhenti...! Lepaskan gadis itu, atau kami terpaksa akan 
mengambil dengan jalan kekerasan...!" 
Langkah laki-laki tua segera terhenti ketika mendengar 
bentakan keras yang disusul bermunculannya enam orang lelaki 
gagah dengan raut wajah mengancam. 
Bentakan itu keluar dari mulut Wira Yudha yang tentu saja 
merasa cemas sewaktu tiba di luar. Mereka saat itu memang

melihat Kenanga telah berada di atas bahu seorang kakek 
tinggi kurus. Dan tampaknya, Kenanga dalam keadaan tak 
sadarkan diri. Tentu saja hal itu mendatangkan kecurigaan di 
hati mereka. 
"Hhh.... Jangan salah sangka dulu, sahabat-sahabat yang 
gagah. Aku adalah guru dari Pendekar Naga Putih, dan 
Kenanga. Jadi, kita masih segolongan...." 
Raja Obat terpaksa mengakui sebagai guru Panji dan 
Kenanga, meskipun hal itu ada benarnya. Semua itu dilakukan 
untuk menghindari kesalahpahaman yang mungkin saja 
menimbulkan perkelahian. Sedangkan orang yang menjadi 
saksi tengah pingsan di atas bahu kanannya. 
"Hm.... Bisa saja kau mengaku demikian. Tapi kalau kau 
memang bermaksud baik, coba serahkan gadis itu kepada 
kami. Setelah itu, mungkin kami dapat 
mempertimbangkannya...," timpal Ki Damang, seraya maju 
beberapa tindak. Jelas, mereka masih belum mempercayai 
kakek itu. 
"Sikap kalian memang sangat baik. Sayang, cucuku ini 
sedang tidak sadarkan diri. Selain itu, sepertinya ia tengah 
mengalami guncangan dalam jiwanya. Untungnya, ia seorang 
wanita kuat. Kalau orang lain, mungkin telah menjadi gila. 
Mmm.... Kalau boleh kutahu, ke manakah Pendekar Naga 
Putih? Mengapa aku tidak melihatnya? Apakah dia yang 
membuat cucuku ini menderita...?" tanya Raja Obat dengan 
kening berkerut, ketika tidak melihat Panji di tempat itu. 
"Dari mana kau tahu kalau Pendekar Naga Putih ada di 
tempat ini...?" tanya Ki Damang lagi. 
Sikap laki-laki tua itu tetap waspada. Hal itu karena melihat 
Kenanga telah jatuh pingsan di tangan kakek di depannya.

Sedangkan, kepandaiannya sendiri masih berada di bawah 
Kenanga. Maka, wajar saja kalau Ki Damang bersikap waspada. 
"Hm.... Itu karena kebetulan saja. Ketika aku tengah 
menyusuri sebuah jalan di dekat hutan karet, lewat enam orang 
pengemis berbaju kembang-kembang yang tengah membawa 
sesosok mayat lelaki brewok. Pembicaraan mereka kudengar. 
Mereka telah seperti menyebut-nyebut Pendekar Naga Putih 
dan Perguruan Ular Emas. Karena sudah cukup lama tidak 
berjumpa kedua orang cucuku ini, maka kusampaikan diri untuk 
singgah di tempat ini...," 
Setelah berkata demikian, Raja Obat menurunkan tubuh 
Kenanga dari atas bahunya. Kemudian, langsung dioleskannya 
cairan berbau harum ke hidung dara jelita itu. 
Ki Damang serta yang lain hanya bisa memandang dengan 
sikap cemas. Mereka tidak sempat mencegah perbuatan kakek 
tinggi kurus itu. Tapi sebentar kemudian, wajah mereka tampak 
lega, karena Kenanga telah siuman dari pingsannya. 
"Eyang...." 
Kenanga kembali meledak tangisnya. Dara jelita itu berlutut 
di dekat Raja Obat yang tengah duduk bersila. Sementara, Raja 
Obat mengelus rambut kepala dara jelita itu penuh kasih 
sayang. 
"Tumpahkanlah semua kesedihanmu, Cucuku. Biar dadamu 
lapang," ujar Raja Obat dengan suara lembut. 
Sementara itu Ki Damang serta yang lainnya hanya bisa 
bertukar pandang melihat pemandangan di depannya.

DELAPAN


Cukup lama Kenanga menumpahkan kesedihannya dalam 
belaian lembut Raja Obat. Gadis itu tidak merasa malu untuk 
menangis di hadapan orang tua itu, karena telah dianggap 
sebagai kakeknya sendiri. 
"Eyang..., Kakang Panji...," desah dara jelita itu di antara 
isaknya yang masih terdengar sesekali. Wajah yang basah oleh 
air mata itu tengadah, membuat hati Raja Obat tersentuh. 
"Mengapa dengan Kakang Panji mu, Cucuku...? Kalau ia 
terluka, rasanya kau pun pasti sanggup mengobatinya. Apalagi, 
Pedang Naga Langit tidak pernah terpisah dari tangannya. Jadi, 
apa sebenarnya yang membuatmu demikian sedih...?" tanya 
Raja Obat sambil mengelus rambut dara jelita itu penuh kasih 
sayang. 
"Kakang Panji jauh lebih parah dari luka biasa, Eyang...," 
lapor Kenanga yang kembali terisak mengingat keadaan Panji. 
"Jauh lebih parah dari luka biasa? Apa maksudmu, Cucuku? 
Sampai demikian parahkah luka-lukanya, sehingga kau hampir 
putus asa...?" desak Raja Obat yang masih menduga-duga, 
karena Kenanga belum juga menjelaskan. 
Kenanga yang merasa sulit berkata-kata, segera saja bangkit 
berdiri. Langsung dibawanya Raja Obat ke tempat Panji 
dibaringkan. Sepertinya, dara jelita itu tidak tega mengatakan 
kalau kekasihnya telah tewas. Sebaliknya untuk mengatakan 
masih hidup pun, tidak berani. Karena, ia sendiri tidak tahu 
keadaan kekasihnya yang sebenarnya. 
Raja Obat sama sekali tidak membantah. Diturutinya saja 
ketika Kenanga menarik lengannya. Kening kakek itu berkerut, 
begitu masuk ke ruangan tempat Pendekar Naga Putih

dibaringkan, tampak Panji tengah terbaring dengan wajah 
pucat. 
Tanpa banyak cakap lagi, Raja Obat langsung saja 
memeriksa tubuh Pendekar Naga Putih. Cukup lama dia 
memijat serta menotok di beberapa bagian tubuh Panji. Sejauh 
itu, sedikit pun belum nampak terlihat adanya perubahan. 
Tentu saja Kenanga yang ikut menyaksikannya menjadi 
bertambah cemas. 
"Hhh...." 
Tidak berapa lama kemudian. Raja Obat bangkit dari tepi 
pembaringan. Dengan helaan napas beratnya, kakinya 
melangkah menuju luar ruangan. 
Ki Damang serta para tokoh lain sama-sama melemparkan 
pandangan ke pintu, saat tubuh Raja Obat muncul. Mata para 
tokoh itu tampak menyiratkan pertanyaan yang sama. Hanya 
saja, tak seorang pun yang berani mengutarakannya. 
Setelah sesaat lamanya berdiri di ambang pintu, Raja Obat 
kembali melangkah masuk, dan duduk di tepi pembaringan 
tempat Panji tengah tak berdaya. Sepasang mata tuanya 
menatap Kenanga dengan sorot sukar dilukiskan. 
"Bagaimana, Eyang? Parahkan luka Kakang Panji...? Apakah 
masih ada harapan sembuh...?" Kenanga langsung saja 
memberondong Raja Obat dengan pertanyaan yang semenjak 
tadi siap meluncur. 
"Hm.... Panji tengah dalam keadaan gawat, Kenanga. 
Sebagai seorang pendekar, kau harus memiliki ketabahan 
melebihi ukuran orang-orang biasa. Dia memang tidak bisa 
dibilang mati, juga tidak bisa dikatakan hidup. Semua itu 
tergantung dari apa yang dialaminya dalam alam roh...," jawab 
Raja Obat, sehingga membuat kening dara jelita itu berkerut.


"Alam Roh...? Apa maksud Eyang...?" tanya Kenanga 
meminta penjelasan lebih lanjut. 
"Hm.... Ketahuilah, Cucuku. Saat ini, Kakangmu tengah 
bertualang di alam yang penuh rahasia. Dia bisa saja mati atau 
menemui kembali kehidupannya, setelah berpetualang di alam 
itu. Apa yang dialaminya di sana, kita sama sekali tidak tahu. 
Berdoalah, semoga Kakang Panji-mu bisa kembali ke alam 
nyata dengan selamat. Aku sendiri tidak bisa menjabarkan 
tentang alam roh, karena belum pernah pergi ke sana...," jelas 
Raja Obat mencoba berkelakar untuk menghilangkan 
ketegangan yang jelas-jelas terpancar di wajah, Kenanga. 
"Jadi..., Berdoalah, Cucuku...," potong Raja Obat. 
Kakek itu kemudian segera menurunkan tubuh Panji dari 
atas balai-balai, kemudian membaringkannya di lantai 
beralaskan tikar pandan. Lalu, dia duduk bersila di samping 
tubuh Panji. Demikian pula halnya Kenanga yang ikut duduk 
bersila di samping Raja Obat. Mereka duduk menunggu akhir 
dari petualangan Pendekar Naga Pulih di alam roh. 
*** 
Sementara itu, Panji yang saat ini tengah bertarung melawan 
Raja Iblis Utara tengah terdesak hebat. Meskipun pukulan serta 
tendangan pemuda itu lebih banyak singgah di tubuh lawan, 
tapi semua itu sama sekali tidak berarti apa-apa bagi Raja Iblis 
Utara. Sedangkan apabila pukulan lawan yang mengenai tubuh-
nya, pasti Panji yang akan terjungkal dan merasakan sakit. 
"Ha ha ha...! Kali ini kau benar-benar tidak berdaya, 
Pendekar Naga Putih. Sekarang, terimalah kematianmu yang

sebenarnya!" Raja Iblis Utara langsung melesat cepat sambil 
melontarkan serangkaian pukulan berbau maut! 
Bweeettt! Wueeettt! 
"Haiiittt...!" 
Dalam keadaan yang hampir-hampir mematahkan semangat 
itu, Panji segera mengambil keputusan untuk menyelamatkan 
diri. Memang ia merasa percuma bertarung dengan lawan yang 
sama sekali tidak bisa dibunuh. 
Dibarengi teriakan nyaring, Pendekar Naga Putih melenting 
ke udara menghindari pukulan maut lawan. Begitu kakinya 
mendarat setelah berjumpalitan sebanyak empat kali, langsung 
saja tubuhnya melesat meninggalkan Raja Iblis Utara. 
Panji mengerahkan seluruh kekuatan ilmu lari cepatnya agar 
bisa menghindar sejauh mungkin dari lawan. Kali ini, hatinya 
semakin ditumbuhi rasa waswas. Sebab setelah kemunculan 
Raja Iblis Utara, bukan tidak mungkin ada tokoh-tokoh sesat 
lain yang pernah tewas di tangannya yang akan bermunculan 
mengeroyoknya. Ngeri juga hati Panji ketika membayangkan 
hal itu. 
Tapi, apa yang diduga memang sama sekali tidak meleset. 
Memang benar Raja Iblis Utara tidak berusaha mengejarnya. 
Sepertinya, roh datuk sesat itu merasa pasti akan menemukan 
ke manapun pemuda itu pergi. Itu sebabnya, mengapa Raja 
Iblis Utara hanya tertawa gelak waktu melihat Panji melarikan 
diri. 
"Aaahhh...!?" 
Pendekar Naga Putih kaget bukan kepalang. Belum lagi 
merasa bebas dari ancaman Raja Iblis Utara, tiba-tiba saja 
tokoh-tokoh sesat lain bermunculan satu persatu. Roh mereka 
bagaikan keluar dari balik gumpalan kabut tipis di sekitarnya.

Dan memang seolah-olah gumpalan kabut tipis itu merupakan 
pintu keluar bagi mereka. 
Dengan wajah tegang, Pendekar Naga Putih bergerak 
mundur menjauhi roh tokoh-tokoh sesat itu. Pemuda itu 
merasa harapannya sangat tipis untuk dapat lolos, begitu 
melihat adanya roh Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, 
Penggembala Mayat, dan masih banyak lagi roh tokoh sesat 
yang kini mengepungnya dari delapan penjuru. 
"Hua ha ha...! Hari ini adalah hari baik untuk kematianmu, 
Pendekar Naga Putih! Siapa sangka kau datang menemui kami 
di alam roh. Sepertinya, iblis-iblis penghuni alam ini sengaja 
mendatangkanmu untuk kami..,'' 
Terdengar gaung suara yang diketahui Panji datang dari roh 
Malaikat Gerbang Neraka. 
Melihat mereka semakin mendekat, Panji memejamkan mata 
menghimpun seluruh kekuatan yang dimilikinya. Kemudian, 
kembali matanya dibuka dan siap bertarung mati matian! 
"Haaattt..!" 
"Yeaaattt..!" 
Dibarengi seruan nyaring, roh para tokoh sesat itu bergerak 
menyerbu Pendekar Naga Putih. Keadaan Panji saat itu benar-
benar gawat, dan tak ubahnya makanan yang siap disantap 
orang-orang lapar! 
Beeettt..! 
Wuuueeettt...! 
Tamparan yang menimbulkan angin berkesiutan datang 
mengancam kepala Pendekar Naga Putih. Seiring dengan itu, 
sebuah tendangan yang siap menghantam dadanya datang 
tiba-tiba. Tentu saja menghadapi serbuan itu, Panji menjadi

kalang kabut! Dengan merendahkan kuda-kuda sambil 
menggeser langkahnya, Panji mencoba lolos dari serangan 
yang datangnya bagaikan air bah itu. Kemudian, tubuhnya te-
rus melenting ke udara dan berjumpalitan beberapa kali. 
Maksudnya, jelas untuk keluar dari kepungan. 
"Heaaattt..!" 
Sambil meluncur turun, Panji yang sempat melihat salah 
seorang pengeroyok yang tengah melontarkan serangan, 
segera saja memutar kakinya. Langsung dilepaskannya 
tendangan dengan kedua kakinya. Kemudian, digunakannya 
tubuh lawan sebagai batu loncatan untuk menjauh. 
Deeesss...! 
Meskipun serangannya sama sekali tidak mengakibatkan luka 
di tubuh lawan, namun Pendekar Naga Putih dapat meloloskan 
diri dari dalam kepungan. Lawan yang terkena tendangan itu 
terpental, bagaikan selembar daun kering yang tertiup angin. 
Namun walau bagaimana pun kerasnya usaha Panji untuk 
dapat melepaskan diri dari kepungan, tetap saja sia-sia. 
Terbukti setelah dapat menendang salah seorang lawan. 
Pendekar Naga Putih kembali masuk dalam lingkaran para 
pengepung. Sebagai roh tokoh-tokoh sakti, tentu saja mereka 
dapat bergerak secepat angin. Sehingga, ke mana pun Panji 
bergerak, tetap saja tidak bisa lolos dari kepungan. 
Pertempuran yang jelas-jelas tidak seimbang itu terus 
berlangsung. Pendekar Naga Putih sebisa mungkin 
menggunakan 'Ilmu Silat Naga Sakti'-nya. Namun tetap saja dia 
terdesak hebat. Beberapa kali pukulan lawan singgah di tubuh 
maupun wajahnya. Meskipun begitu, dia berusaha mati-matian 
untuk mempertahankan diri. 
"Yaaattt..!"
Buuuggg! 
"Aaakhhh...!" 
Pendekar Naga Putih kembali memekik kesakitan ketika 
untuk yang kesekian kalinya terkena hantaman telapak tangan 
lawan pada bagian dada. Tanpa dapat dicegah lagi, tubuhnya 
langsung terpental diiringi jerit kesakitannya. 
"Tibalah saat kematianmu yang sebenarnya. Pendekar Naga 
Putih!" 
Terdengar sebuah bentakan yang disusul berkelebatnya tiga 
sosok tubuh yang masing-masing siap melepaskan pukulan 
maut. 
Meskipun dalam keadaan bergulingan, Pendekar Naga Putih 
seperti masih belum sudi menyerah begitu saja. Nyatanya, ia 
masih saja berusaha menyelamatkan diri dari sergapan roh 
tokoh-tokoh sesat itu. 
Tapi, daya tahan pemuda itu tentu saja sangat terbatas. 
Pada suatu ketika, Pendekar Naga Putih tidak sempat lagi 
menghindar. Tubuhnya yang rebah telentang, kini siap 
menerima hantaman beberapa roh yang mengeroyoknya! 
Blaaarrr...! 
Serangan Malaikat Gerbang Neraka, Hantu Kematian, 
Penggembala Mayat, tiba secara bersamaan. Terdengarlah 
ledakan keras yang bagaikan mengguncangkan alam roh! 
Anehnya, Panji sendiri berhasil selamat dari bencana, begitu 
tahu-tahu saja ada yang menarik tubuhnya ke belakang. 
Padahal, serangan roh-roh itu hampir pasti akan merajam 
dirinya. Merasakan pegangan pada kedua bahunya, Panji 
segera menoleh ingin memastikan pertolongan itu. 
"Eyang...?!"

Tiba-tiba saja Panji merasakan hatinya lapang sekali. Sebab, 
orang yang menarik tubuhnya itu tak lain gurunya sendiri, yaitu 
Eyang Tirta Yasa si Malaikat Petir. Tentu saja hati Panji menjadi 
gembira. 
"Cucuku. Kau memang belum saatnya menjadi penghuni 
alam roh. Maka, kau harus kembali ke dunia nyata. Di sana, 
masih banyak tugas yang harus dijalankan. Eyang tidak tahu, 
apa yang membuatmu tersesat hingga ke alam roh. Yang jelas, 
selama kau masih bisa kembali, kembalilah. Mereka akan 
lenyap dengan sendirinya setelah kau memasuki jasadmu...," 
ujar Eyang Tirta Yasa sambil mengelus kepala muridnya. 
Panji bergerak bangkit perlahan. Hatinya sempat merasa 
heran sewaktu melihat roh-roh tokoh sesat itu sama sekali tidak 
berani mengganggunya. Kelihatannya, mereka merasa gentar 
terhadap Malaikat Petir yang memang siap melindungi 
muridnya. 
"Mengapa mereka tidak berani menyerang kita, Eyang...?" 
rasa penasaran membuat Pendekar Naga Putih tak kuasa 
menahan keingintahuannya. 
"Jelas, mereka tidak berani, Cucuku. Tapi, bukan aku yang 
ditakuti. Justru kita berdualah yang membuat mereka tidak 
berani menyerang," jelas Eyang Tirta Yasa, tersenyum lembut. 
"Mengapa kita berdua yang mereka takuti? Apa sebabnya, 
Eyang?" desak Panji lagi, penasaran. 
"Mereka adalah roh halus. Demikian pula aku," jawab Eyang 
Tirta Yasa, "Tapi, apabila roh halus bergabung dengan jasad, 
meskipun hanya berupa bayang-bayang semu seperti halnya 
denganmu, maka mereka tidak akan bisa mendekat. Apalagi 
menyakiti. Sebab setiap kali mereka menyentuh salah satu dari 
kita, itu sama dengan manusia yang memasukkan tangannya 
ke kobaran api."

"Lalu, bagaimana caranya aku kembali ke jasadku, Eyang? 
Sedangkan aku sama sekali tidak tahu, di mana saat ini jasadku 
berada? Apakah sudah dikuburkan atau belum, aku juga sama 
sekali tidak tahu...?" tanya Panji lagi, ketika teringat kalau 
gurunya menyuruhnya untuk kembali ke alam nyata. 
"Hal itu tidak sulit bagi roh-roh tanpa jasad seperti aku 
misalnya. Bagi kami, tidak ada pembatas baik ruangan maupun 
waktu. Semuanya dapat dicapai dalam waktu yang sangat 
singkat. Dan biar di dalan tanah pun, aku dapat melihat apa 
yang disembunyikan manusia di alam nyata sana. Kau tentu 
saja tidak bisa menemukan jasadmu, karena rohmu masih 
berbau kehidupan. Bukan roh yang memang datang dari jasad 
mati. Nah, sekarang marilah kira menjumpai jasadmu," ajak 
Eyang Tirta Yasa seraya memegang tangan muridnya. 
Apa yang kini dirasakan Pendekar Naga Putih sama sekali 
tidak berbeda dengan saat pertama terlempar ke alam roh itu. 
Tubuhnya mengapung tanpa beban. Hal itu berlangsung hanya 
sekejap mata, meskipun bagi Panji merasa agak lama. 
"Sekarang bukalah matamu...," perintah Eyang Tirta Yasa. 
Tanpa banyak cakap lagi, segera saja Pendekar Naga Putih 
membuka kelopak matanya. 
"Aaahhh...." 
Pendekar Naga Putih terbelalak ketika di hadapannya terlihat 
jasadnya yang terbaring di lantai. Dia juga melihat Raja Obat 
beserta Kenanga kekasihnya yang matanya telah sembab 
karena terlalu banyak menangis. 
"Percuma, mereka tidak akan mendengarmu," kata Eyang 
Tirta Yasa seperti tahu akan isi hati muridnya. "Sebaiknya, 
masuklah kembali ke dalam jasadmu. Setelah kau tersadar 
sedikit saja, maka tenaga ciptaan Pedang Naga Langit akan 
segera bekerja untuk menyembuhkan luka-lukamu "
Tentu saja Panji terkejut mendengar gurunya mengetahui 
tentang Pedang Naga Langit. Padahal, pedang mukjizat itu 
didapatkan saat gurunya sudah meninggal. 
"Jangan heran. Sudah kukatakan, bagi penghuni alam roh 
tidak ada batas ruang dan waktu...," jelas Eyang Tirta Yasa, 
sebelum Panji sempat bertanya. 
"Laki, bagaimana dengan Eyang? Roh-roh tokoh sesat itu 
apakah tidak akan mengeroyok Eyang...?" tanya Panji agak 
cemas, mengingat roh para tokoh sesat itu masih 
mengikutinya. Dan sepertinya, mereka tengah mencari 
kesempatan untuk melenyapkan Pendekar Naga Putih. 
"Tidak perlu khawatir, muridku. Di alam roh, tidak pernah 
ada perkelahian. Jadi, tenangkanlah hatimu...," sahut Eyang 
Tirta Yasa tersenyum lembut. 
Kini tanpa ragu-ragu lagi, Pendekar Naga Putih segera 
merasuk kembali ke dalam jasadnya. Begitu rohnya kembali 
menyatu, tidak ditemukannya lagi guru serta roh para tokoh 
sesat yang diketahuinya masih berada di dekatnya. Sesaat 
setelah rohnya bersatu dengan jasad, "Tenaga Sakti Inti Panas 
Bumi' pun bangkit. Bahkan langsung membakar seluruh luka 
dalam yang ada di tubuh Pendekar Naga Putih. 
"Aaahhh...?!" 
Kenanga tersentak bangkit ketika tahu-tahu saja tubuh 
kekasihnya terkurung kobaran api yang panasnya terasa 
menyengat kulit. 
'Tenanglah, Cucuku. Itu suatu pertanda, kekasihmu mulai 
tersadar. Dan kini ia telah kembali dari alam roh. Kobaran api 
itu adalah kekuatan yang berasal dari Pedang Naga Langit. 
Gunanya, tentu saja untuk membakar semua luka dalam yang 
dideritanya," jelas Raja Obat sambil menepuk bahu Kenanga.

Seketika, gadis itu menjadi tenang, dan kembali duduk 
memandangi sosok Pendekar Naga Putih. 
Tidak berapa lama kemudian, kobaran api itu pun padam. 
Wajah Pendekar Naga Putih yang semula pucat, terlihat mulai 
dijalari warna merah. Jelas, kesehatannya telah pulih seperti 
sedia kala. 
"Kakang...!" 
Begitu mendengar Pendekar Naga Putih mengeluh, Kenanga 
langsung memeluk dan menghujani wajah kekasihnya dengan 
ciuman kebahagiaan. Sedang Raja Obat hanya tersenyum-
senyum melihat kejadian itu. 
"Kenanga...," panggil Panji membalas pelukan dara jelita itu 
dengan eratnya. "Aaah...! Maafkan aku. Kenanga. Kau telah 
susah karena ulahku." 
Panji tampak terharu melihat wajah kekasihnya nampak 
demikian letih dan terlihat agak kurus. Jelas, dara jelita itu 
selalu memikirkannya. 
"Saudara Panji, selamat..." 
Satu persatu mulai dari Ki Damang, menyalami Pendekar 
Naga Putih dengan wajah penuh rasa syukur. Para tokoh itu 
benar-benar gembira melihat Panji telah bangkit dari kematian 
semunya. 
Suasana suka cita itu mendadak hening seketika. Seorang 
murid Perguruan Ular Emas datang membawa gulungan surat 
yang menurutnya datang dari Perkumpulan Pengemis Baju 
Hitam. 
"Hmmm...," gumam Panji ketika teringat tantangan Ki 
Parewang yang hendak bertarung mati-matian dengannya.

Cepat Pendekar Naga Putih membuka gulungan surat itu 
Namun, wajahnya segera terhias senyum seusai membaca 
habis isi surat Ki Parewang, Ketua Perkumpulan Pengemis Baju 
Hitam. 
"Ki Parewang telah menangkap dan menghukum pancung 
para pengemis berbaju kembang-kembang. Orang tua itu 
sempat berpapasan dengan mereka yang tengah membawa 
mayat Setan Tenaga Gajah, adik seperguruannya. Berarti, 
tugas kita semua telah diselesaikan oleh Ki Parewang. Satu hal 
yang menggembirakanku, ia menarik kembali tantangannya. 
Bahkan menyatakan takluk, sebab Setan Tenaga Gajah meru-
pakan satu-satunya pewaris yang paling berbakat. Sedangkan 
kepandaian Ki Parewang sendiri masih di bawah Setan Tenaga 
Gajah...," jelas Panji sewaktu melihat semua mata tertuju ke 
arahnya, seperti memohon agar menerangkan isi surat. 
Terdengar helaan napas lega di sana-sini. Wira Yudha 
sebagai tuan rumah, segera mengajak untuk merayakan 
kesembuhan dan kemenangan Pendekar Naga Putih. 
Bukan hanya Panji dan Kenanga saja yang menyambut 
gembira ajakan itu. Bahkan Raja Obat sendiri pun langsung 
bangkit dengan wajah gembira. 
"Ah, dasar nasibku sedang mujur. Sudah sejak kemarin 
perutku belum diisi. Kini, siapa sangka sekarang ada orang 
berbaik hati hendak mengundangku makan…," kata Raja Obat, 
sehingga para tokoh itu tergelak mendengarnya.



                               SELESAI 


Share:

0 comments:

Posting Komentar