SATU
BULAN MASIH tergantung di angkasa ketika per-
tempuran di daerah Tanjung Jati itu mencapai pun-
caknya. Cahaya yang terang dan tanpa sepotong awan-
pun membuat arena pertempuran terang-benderang,
sehingga memungkinkan masing-masing orang menge-
tahui lawannya.
Namun Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen maupun
Pandan Arum serta Endang Seruni dan Jagabaya
Cangkring sama sekali tidak mengetahui bahwa dari
balik batu-batu karang tersembul tubuh-tubuh manu-
sia yang telah siap menembakkan panah-panahnya ke
arah tubuh-tubuh mereka.
Tanpa mengetahui akan datangnya bahaya yang
bakal merenggut nyawa-nyawa mereka, kelima orang
ini masih saja gigih bertempur menghadapi keroyokan
anak buah Bido Teles.
Ki Bango Wadas tertawa menyeringai. Dibiarkannya
para anak buah Bido Teles terus menyerang ke arah
Mahesa Wulung. Setiap kali seorang di antara mereka
terpukul roboh oleh sambaran cambuk Naga Geni di
tangan Mahesa Wulung. Sedang Ki Bango Wadas sen-
diri selalu menjauhkan diri dari setiap jangkauan
ujung cambuk tersebut, dan hanya sekali-kali saja dia
menyerang langsung ke arah Mahesa Wulung.
Ketika Ki Bango Wadas merasa bahwa waktunya te-
lah tiba dan tidak ada gunanya lagi membiarkan ke-
empat lawannya menambah korban pada anak buah-
nya, tiba-tiba iapun bersuit nyaring melengking me-
nyelusup ke segenap penjuru dan dedaunan, sambil
berteriak, “Hancurkan mereka!”
Bunyi berdesing bersahutan, kejar-mengejar ter-
dengar mengaung di udara malam mengiringi belasan
anak panah yang melesat ke arah rombongan Ki Lurah
Mijen tersebut. Mula-mula Mahesa Wulunglah yang le-
bih dulu sadar akan munculnya bahaya tersebut, dan
ia melihat betapa belasan anak panah telah menyam-
bar ke arah mereka dari beberapa arah dengan ken-
cangnya.
Maka sesaat Mahesa Wulung merasa tertegun, se-
bab bahaya tersebut tidak mungkin dihadapi seorang
diri. Apalagi mereka berada di tempat yang berjauhan.
Nah, dalam saat yang begitu mengerikan itulah ti-
ba-tiba saja terjadi suatu kejadian lain yang menak-
jubkan pandangan.
“Hyaaat!”
Satu teriakan melengking dahsyat terlontar ke uda-
ra bersamaan satu bayangan manusia bercaping mele-
sat dan berloncatan mengitari arena pertempuran de-
ngan gerakan kilat sehingga tidak mengherankan bila
yang tampak adalah bayangan hitam melulu.
Sambil bergerak tadi, si tokoh bercaping senantiasa
mengobat-abitkan pedang di tangan kanannya diseling
pula oleh kibasan sarung pedang di tangan kirinya.
Di saat itu pula terdengar benturan nyaring berkali-
kali, susul-menyusul.
Triing! Tring! Craak! Craak! Craak!
Ternyata itulah akibat benturan mata pedang si to-
koh bercaping yang setiap kali berhasil dengan tepat
menyapu anak panah-anak panah yang tengah melun-
cur menuju ke arah sasarannya, yakni tubuh-tubuh Ki
Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Endang
Seruni dan Jagabaya Cangkring!
Maka sekejap mata saja tersapu rontoklah semua
anak panah dari udara, lalu berjatuhan ke atas tanah.
Keruan saja orang-orang yang berada di medan per-
tempuran menjadi melongo oleh kemunculan si tokoh
bercaping yang telah berhasil menyapu segenap anak
panah tersebut.
Terlebih-lebih bagi para pemanah yang telah merasa
melepaskan tembakan-tembakan panahnya tadi se-
akan-akan tercenung bagaikan patung-patung bernya-
wa yang terbisu di balik batu-batu karang.
Demikian pula dengan Ki Bango Wadas, Bido Teles
serta segenap anak buahnya tak kalah herannya me-
nyaksikan pemandangan yang begitu mengagumkan.
Mereka serentak saling menduga dan bertanya-tanya
di dalam hati siapakah sebenarnya si tokoh bercaping
yang baru saja muncul tadi?
Ternyata Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen, Pandan
Arum, Endang Seruni serta Jagabaya Cangkring terpe-
sona pula oleh si tokoh bercaping yang baru saja me-
nyelamatkan nyawa-nyawa mereka. Maka diam-diam
kelima orang ini mengucapkan syukur di dalam hati
karena bencana yang dapat terhindar itu.
Paling tersadar lebih dahulu adalah para pemanah
tadi. Merasa serangannya gagal sama sekali, maka se-
cepat kilat mereka memasang kembali anak panahnya
pada busur-busur mereka untuk kemudian dibidikkan
ke arah sasarannya kembali, yakni rombongan Ki Lu-
rah Mijen tersebut.
Namun sebelum mereka, yakni para pemanah tadi,
sempat bertindak lebih lanjut, sekonyong-konyong si
tokoh bercaping itu sekali lagi berkelebat melesat ke
arah mereka dibarengi teriakan garang terlontar dari
mulutnya.
“Haaaaiit!”
Sungguh hebat gerakan si tokoh bercaping tadi,
yang begitu cepat laksana prahara melanda sasa-
rannya dan sekejap kemudian beberapa pemanah ro-
boh terguling ke tanah dengan masing-masing terluka
tebasan pedang pada badannya. Sedang dua tiga orang
lainnya yang masih selamat terpaksa mengumpat
umpat, sebab busur-busur panah mereka telah terpo-
tong putus menjadi dua bagian dan tidak ada ke-
mungkinan gunanya lagi.
Seraya mencampakkan potongan-potongan busur
panahnya, mereka serentak berloncatan turun ke are-
na pertempuran setelah mencabut golok-goloknya.
Melihat ini, Mahesa Wulung dapat menarik nafas le-
ga, setelah penyerangan gelap dari anak buah Bido
Teles gagal berantakan. Dan itulah sebabnya mengapa
sesaat kemudian gerakan Mahesa Wulung semakin he-
bat dan sigap. Cambuknya berkali-kali melecutkan le-
dakan-ledakan keras mengerikan hati para lawannya.
Kehadiran si tokoh bercaping tadi benar-benar men-
gacaukan pengepungan rombongan Bido Teles dan Ki
Bango Wadas terhadap Ki Lurah Mijen serta rekan-
rekannya. Setiap pedang di tangan pendekar bercaping
tadi berkelebat, pasti menimbulkan korban yang mati
ataupun paling sedikit terluka parah. Dan sudah barang
tentu, para anak buah Bido Teles tergetar hatinya, se-
hingga ke mana si pendekar bercaping menuju, di situ
pula mereka menjauh menghindarinya. Kalau toh pen-
dekar bercaping tersebut memburunya dengan serangan-
serangannya, maka mereka paling-paling hanya me-
nangkis dan menghadapinya dari jarak jauh saja.
Dengan kedatangan pendekar bercaping tadi, maka
bertambahlah lawan yang harus dihadapi oleh anak
buah Bido Teles, sehingga tekanan serangan terhadap
Ki Lurah Mijen serta rekan-rekannya menjadi berku-
rang.
Dalam pada itu, Mahesa Wulung senantiasa mem-
perhatikan pendekar bercaping yang telah menolong-
nya. Sejak tadi ia sibuk menduga-duga siapakah sebe-
narnya orang ini? Dilihat dari gerakan-gerakan serta
jurus-jurus pedangnya, ia seakan-akan pernah menge-
nalnya. Mahesa Wulung melihat adanya unsur-unsur
gerakan Sigar Maruta yang juga bercampur dengan
unsur gerakan lainnya lagi. Dengan begitu, maka un-
sur gerakan Sigar Maruta yang semula dilihatnya men-
jadi semakin kabur dan lenyap oleh jalinan jurus-jurus
yang lain. Tetapi beberapa saat kemudian unsur gera-
kan Sigar Maruta menjadi muncul kembali.
Hal ini membuat Mahesa Wulung semakin tertarik
oleh kegesitan ilmu pedang si pendekar bercaping. Tapi
sayang wajahnya yang tertutup oleh bayangan gelap
dari capingnya, membuat Mahesa Wulung tak dapat
meneliti siapakah orang ini sesungguhnya?
Di lain pihak, Ki Bango Wadas dan Bido Teles meng-
umpat-umpat dalam hati oleh turut campurnya si
pendekar bercaping tadi. Mereka melihat bahwa bebe-
rapa orang anak buahnya telah berkaparan di tanah
tak bernyawa.
“Wah, celaka jika terus-terusan begini!” desis Ki
Bango Wadas. “Bisa habis orang-orang Bido Teles oleh
mereka dan akhirnya kedua kalung hijau ini akan ja-
tuh ke tangan mereka kembali!”
Sementara itu Bido Telespun rupanya berpikir yang
sama. Setelah dilihatnya bahwa beberapa orang anak
buahnya telah mati, cepat-cepat ia mengambil satu ke-
putusan.
“Hmmm, aku harus mengundurkan diri selekas
mungkin. Yang penting, kedua kalung hijau itu telah
berada di tangan kami dan harus kami larikan segera!”
Maka tak antara lama, tampaklah Bido Teles mema-
sukkan jari-jari tangan kirinya ke dalam mulut lalu
menyusul sebuah suitan nyaring melengking membe-
lah kesepian malam, menyusur ke segenap lekuk-
lekuk batu karang dan pepohonan tua.
Mahesa Wulung, Ki Lurah Mijen serta rekan-rekan
lainnya sangat terkejut mendengar suara tersebut. Bah-
kan si pendekar bercaping itu terkejut pula karenanya.
Bagaikan hantu-hantu malam, segenap anak buah
Bido Teles segera berloncatan melesat meninggalkan
arena pertempuran dan lenyaplah di balik batu-batu
karang, termasuk pula kedua pemimpinnya, Ki Bango
Wadas dan si Bido Teles sendiri.
Baik Ki Lurah Mijen maupun Mahesa Wulung serta
rekan-rekan lainnya tak berusaha mengejar mereka.
Selain berbahaya, juga tak ada gunanya lagi. Sebab,
bukankah tujuan utama mereka menyelamatkan En-
dang Seruni? Dan itu semua telah berhasil karena per-
tolongan si pendekar bercaping yang telah muncul se-
cara tiba-tiba, tepat di saat mereka diancam bencana.
Maka cepat-cepat mereka bermaksud mendekat dan
menyatakan terima kasihnya kepada si pendekar ber-
caping. Tetapi alangkah mereka dibuat terkejut untuk
kedua kalinya, karena secara tiba-tiba pula si pen-
dekar bercaping menggenjotkan kakinya ke tanah dan
tubuhnya melesat ke arah selatan laksana belalang
melontarkan diri.
“Heei, Kisanak! Tunggu...!” seru Ki Lurah Mijen
mencegah si pendekar bercaping itu. Tetapi orang ter-
sebut bagaikan bayang-bayang melesat dan sebentar
saja telah lenyap di balik semak-semak ilalang.
“Aaakh, sayang sekali ia telah pergi!” desah Ki Lu-
rah dengan nada kecewa sambil menyarungkan kem-
bali kerisnya. “Kita tak sempat mengucapkan terima
kasih kepadanya.”
Mahesa Wulung yang telah berada di dekat Ki Lurah
dapat pula memahami kekecewaan orang tua ini. Se-
bab sudah seharusnya mereka menyatakan terima ka-
sih, apabila sebuah pertolongan telah diberikan oleh
seseorang. Terlebih lagi pertolongan tersebut sungguh
kelewat besar artinya bagi keselamatan mereka.
“Yah, memang sayang sekali, ia telah pergi!” sam-
bung Mahesa Wulung. “Mudah-mudahan kita akan
bertemu lagi dengan dia dan kita dapat mengucapkan
terima kasih kita kepadanya!”
“Mudah-mudahan begitu!” ujar Ki Lurah pula. “Nah,
Angger Mahesa Wulung, sekarang kita teruskan perja-
lanan kita ke arah Tanjung Bugel.”
“Baik, Bapak,” ujar Mahesa Wulung seraya berlon-
catan menuju ke kudanya yang masih saja berdiri di
dekat sebuah pohon mati dengan meringkik-ringkik
kecil.
Dengan sigap iapun cepat-cepat meloncat ke atas
punggung kudanya, lalu dipacunya ke arah timur ber-
sama-sama Ki Lurah Mijen, Pandan Arum, Endang Se-
runi dan Jagabaya Cangkring.
Sebentar saja mereka berlima telah kabur ke sebe-
lah timur bersama kudanya, meninggalkan debu ber-
kepul serta derap kaki kuda yang gemuruh suaranya.
***
Sedang di saat itu pula, jauh di sebelah selatan dari
bekas medan pertempuran, berdirilah si pendekar ber-
caping di atas gundukan batu karang. Ia melayangkan
pandangannya ke bekas tempat pertempuran tersebut
dengan mengelus-elus dagunya.
“Mmmm, ternyata mereka telah mempersengketa-
kan kalung pusaka itu, dan sekarang telah jatuh ke
tangan gerombolan Bido Teles! Mereka kini pergi ke
arah timur. Heh, ke mana arah tujuan mereka? Sedang
orang-orang gerombolan Bido Teles itupun aku lihat
berjalan menuju ke arah timur. Hmmm, jadi tujuan
mereka adalah sama, yaitu ke arah timur. Dan ru-
panya di sana telah menunggu sesuatu yang penting
atau berharga!” demikian pikir si pendekar bercaping
dan sejurus kemudian ia telah meloncat turun mende
kati bekas arena pertempuran.
Tempat tersebut kini telah menjadi sepi kembali,
dan tampaklah beberapa tubuh berkaparan tak ber-
kutik terjelapak di atas tanah dan batu-batu karang,
memberikan pemandangan yang mengerikan dan se-
ram.
“Aku akan menyelidiki mayat-mayat itu. Siapa tahu
akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang pen-
ting bagi diriku!”
Si pendekar bercaping segera mulai meneliti tubuh-
tubuh yang tak berkutik tadi. Satu, dua, tiga tubuh te-
lah diperiksanya, tetapi tak satupun keterangan yang
diperoleh. Juga pada tubuh yang keempat tak terdapat
petunjuk apa-apa. Kesemuanya telah tak bernyawa la-
gi.
Namun tiba-tiba pada tubuh yang kelima, si pen-
dekar bercaping berjongkok agak lama, sementara ke-
dua matanya berkilat gembira sebab kedua tangannya
yang tengah memeriksa tubuh orang tersebut, telah
menangkap adanya detak-detak jantung yang sangat
lemah.
“Orang ini belum mati sama sekali!” desis si pen-
dekar bercaping. “Semoga ia masih dapat berkata-kata!”
Si pendekar bercaping lalu mengusap-usap wajah
orang tersebut dan sesaat kemudian orang itupun
membuka matanya, sedang nafasnya telah tersengal-
sengal.
“Kisanak,” ujar si pendekar bercaping dengan nada
lemah-lembut, “teman-temanmu telah kabur semua-
nya dan engkau tertinggal di sini seorang diri. Aku ber-
maksud menolongmu, namun lebih dulu jawablah per-
tanyaanku ini.”
“Earrrgh... apa... yang ingin... kau ketahui?” ujar
orang tersebut dalam suara yang sangat lemah, hampir
tak terdengar.
“Ke manakah tujuan kalian? Aku lihat teman-te-
manmu menuju ke arah timur!” kata pendekar berca-
ping.
“Mereka... men... menuju ke Tanjung Bugel...!”
“Oooh, ke Tanjung Bugel?!” desis pendekar berca-
ping.
Sementara itu tak jauh dari belakang si pendekar
bercaping, sesosok tubuh lain yang tadi terkapar mem-
bisu, tiba-tiba saja mulai bergerak dan tersadar dari
pingsannya. Ternyata ia hanya terluka parah pada ba-
hunya yang kelihatan seperti terbelah oleh bekas sen-
jata tajam. Ketika mulai sadar dan matanya menatap
ke sebelah muka, orang ini menyeringai garang. Ia me-
lihat si pendekar bercaping yang tadi telah menebas
bahunya dalam pertempuran, kini tengah duduk mem-
belakang di depannya.
“Hmmm, inilah saat pembalasanku yang tepat!” pi-
kir orang ini seraya memungut goloknya yang tergele-
tak di dekatnya. Dengan sisa tenaganya yang terakhir,
ia menubruk ke arah pendekar bercaping seraya mem-
bacokkan goloknya ke arah kepala lawannya.
Si pendekar bercaping yang lagi menolong orang
pertama tadi, tiba-tiba merasakan suara berdesing di
belakangnya dan secepat kilat ia bertindak! Sambil
mengegoskan tubuhnya ke kiri, ia melolos pedangnya
dan sekaligus berkelebat menebas setengah lingkaran.
Apa yang terjadi kemudian sungguh mengejutkan.
Si penyerang tersebut berteriak hebat dan menebah
perutnya dengan tangan kiri.
“Haaaargh!” Tubuh orang ini menjadi limbung dan
terjungkal ke depan merobohi orang pertama yang te-
lah ditolong oleh si pendekar bercaping.
“Aaaargh!” terdengar teriakan kedua yang mengeri-
kan, sehingga si pendekar bercaping terkejut pula ka-
renanya. Dan begitu ia melihat ke samping, tampaklah
bahwa golok si penyerang yang roboh tadi telah meng-
hunjam ke dada orang pertama.
“Keduanya telah mati!” desis pendekar bercaping
sesudah sesaat ia memeriksa kedua tubuh orang itu.
“Heh, itulah rupanya tebusan atas dosa-dosa mereka!”
Ia menyarungkan kembali pedangnya dan berjalan
ke arah timur dengan bergumam, “Aku harus segera
tiba di Tanjung Bugel dan melihat apakah yang bakal
terjadi di tempat itu!”
Dengan loncatan-loncatan kecil dari batu ke batu
dan dari satu semak ke semak belukar yang lain, si
pendekar bercaping bergegas ke arah timur dan seju-
rus kemudian telah lenyap ditelan malam.
Sang rembulan telah condong ke cakrawala barat
dan beberapa kelelawar terbang mencicit melintasi be-
kas arena pertempuran seperti terkejut melihat mayat-
mayat yang berkaparan di atas tanah dan batu-batu
karang di Tanjung Jati.
***
DUA
GULUNGAN OMBAK putih berkejaran memecah di
sepanjang pantai selatan Pulau Mondoliko. Pulau yang
ditumbuhi oleh semak liar pohon pisang dan ilalang
serta pohon kelapa itu tampak sepi-sepi saja.
Namun sebenarnya tidaklah demikian. Di antara se-
la-sela rumpun pohon pisang, kelihatan orang-orang
berjaga-jaga dengan bersenjata tombak dan pedang.
Mereka senantiasa mengawasi pantai tersebut yang
langsung berhadapan dengan pantai utara Jawa. Se-
tiap ada gerakan yang mencurigakan dari kapal-kapal,
mereka segera melaporkan kepada pemimpin mereka
yakni Ki Rikma Rembyak.
Di pusat pulau, terdapatlah beberapa rumah-rumah
kayu dikelilingi oleh dinding-dinding tinggi terbuat dari
batang-batang pohon kelapa, merupakan benteng yang
cukup tangguh menahan serangan-serangan dari luar.
Di halaman sebuah rumah terbesar, tampak bebe-
rapa orang berkerumun, berkeliling menghadap ke
arah pintu, di mana Ki Rikma Rembyak tengah duduk
di atas sebuah kursi berukir indah bersepuh warna
emas sangat megahnya.
Pendekar berambut gondrong awut-awutan ini me-
nampakkan wajah kaku dengan sorot mata menatap
tajam ke arah sebuah tepi lingkaran manusia di sebe-
lah barat, di mana seorang berwajah garang tapi kepu-
catan telah terikat kedua belah tangannya.
“Garangpati!” teriak Rikma Rembyak dengan suara
menggeledek. “Kau telah melaporkan bahwa Kapal
Hantu kebanggaanku telah hancur! Hal itu telah pula
aku terima dari laporan si Andini Sari. Dan kemudian
kau ternyata melarikan diri dari Kapal Hantu tadi serta
membiarkannya hancur. Kau telah ingkar dari tugas-
mu, Garangpati! Untuk kesalahanmu yang pertama itu
mungkin aku bisa memaafkan, akan tetapi ketika un-
tuk kedua kalinya engkau lari dari medan pertaru-
ngan, serta membiarkan si Mata Siji dan Bengara te-
was di tangan Mahesa Wulung serta orang-orangnya,
aku tak bisa lagi mengampuni! Engkau harus meneri-
ma hukuman, sebagai contoh bagi segenap pengikutku
yang berani meninggalkan temannya dalam keadaan
terancam bahaya!”
Mendengar kata-kata itu semua, Garangpati cuma
tertunduk diam. Tak sepatah katapun yang keluar dari
mulutnya, apalagi sampai berani menatap wajah pe-
mimpinnya yang berambut gondrong itu. Sama sekali
ia tak berkutik dan tinggal menanti, apakah hukuman
yang bakal dijatuhkan kepadanya.
“Garangpati! Kau tahu akan segala kesalahanmu itu
semua?” seru Ki Rikma Rembyak dengan kerasnya.
Garangpati mengangguk kecil seraya menjawab pe-
lan, “Tentu, Kiai. Memang aku bersalah dalam hal ter-
sebut dan aku bersedia menerima hukumannya.”
“Bagus! Kau masih punya sifat jantan, Garangpati.
Tetapi aku tak akan semena-mena menjatuhkan hu-
kuman terhadap anak buahku. Aku masih ingin mem-
beri kesempatan kepadamu untuk memperlihatkan
sampai dimana kepandaianmu selama ini!” Ki Rikma
Rembyak berkata seraya meringis puas, lalu berseru-
lah kembali menyebut sebuah nama. “Jagal Wesi! Ma-
suklah ke dalam gelanggang ini!”
Garangpati terkejut mendengar nama itu dan seju-
rus kemudian iapun melihat seorang bertubuh kekar
memasuki gelanggang dengan langkah-langkah tegap
setengah kaku. Orang ini cuma mengenakan baju tak
berlengan dan pada kedua pergelangan tangannya me-
ngenakan gelang perisai dari logam.
Garangpati terpaksa mengernyitkan keningnya, se-
bab baginya nama Jagal Wesi baru kali ini didengar-
nya, dan terang saja ia belum mengenal orang terse-
but. Kini yakinlah Garangpati bahwa Jagal Wesi ada-
lah orang baru di dalam gerombolan Rikma Rembyak.
Dua orang anak buah Rikma Rembyak lainnya se-
gera melepaskan ikatan tali pada tangan Garangpati,
sesudah itu keduanya kembali ke dalam tempatnya
pada pagar manusia yang setengah berjejal untuk me-
nyaksikan adu kekuatan antara Jagal Wesi dengan Ga-
rangpati.
Merasa tangannya telah bebas, Garangpati segera
bersiaga dengan jurus pembukaannya, sementara ke-
dua matanya menatap tajam ke arah Jagal Wesi yang
juga telah bersiaga.
“Hmm, tak keliru lagi perkiraanku. Orang ini adalah
orang baru!” pikir Garangpati. “Aku harus dapat me-
ngalahkannya kalau tidak ingin mendapat malu lebih
besar. Dengan mengalahkannya aku berarti dapat
menghapus arang yang telah mencoreng mukaku!”
Keduanya melangkah saling mendekat dan ketika
jarak antara kedua orang tersebut tinggal kira-kira sa-
tu tombak, mereka berseru seraya membuka sera-
ngannya.
“Heeeittt!”
Keduanya ternyata bergerak dalam waktu yang ber-
samaan sehingga serang-menyerang tadi gagal. Kini
keduanya bersiaga lagi, lalu saling mengitari lingkaran
dan mengawasi segala gerak-gerik lawannya.
“Jagal Wesi, lekas robohkan si Garangpati itu!” seru
Rikma Rembyak seraya meringis tidak sabar.
“Maaf, Ketua. Saya ingin memberi kesempatan me-
nyerang pertama kepada rekan Garangpati. Sebab aku
ingin tahu apakah ia benar-benar mempunyai kemam-
puan bertempur setelah dua kali ia melarikan diri dari
gelanggang pertempuran!” ujar Jagal Wesi.
Alangkah marahnya Garangpati sesudah mende-
ngar kata-kata Jagal Wesi yang bernada mengejek itu.
Maka iapun berseru kepada lawannya, “Jagal Wesi!
Ocehanmu memanaskan hatiku. Kau orang baru di si-
ni dan apakah kau telah mengalami sendiri terlibat da-
lam pertempuran-pertempuran dahsyat seperti aku?!”
Jagal Wesi tertawa terbahak-bahak mendengar per-
kataan Garangpati tadi dan iapun berkata pula, “Heh,
heh, heh. Rekan Garangpati, janganlah Anda menyom-
bongkan diri karena telah ikut di dalam pertempuran-
pertempuran dahsyat tadi. Meskipun aku orang baru
di dalam pengikut Ki Rikma Rembyak, aku tak akan
takut menghadapi orang lama seperti Anda!”
“Keparat! Awas jagalah seranganku ini!” seru Garangpati seraya membuka jurus serangannya.
“Nah, ayo, rekan Garangpati! Seranglah aku dengan
sepuasmu!” ujar Jagal Wesi sambil tersenyum.
“Haaaittt!” Garangpati berteriak sekaligus melayang-
kan tebasan sisi telapak tangan kanannya ke arah leh-
er Jagal Wesi.
Namun lawannya yang bertubuh kekar itu cukup
waspada. Begitu pukulan Garangpati melayang ke arah
lehernya, ia secepat kilat menangkis dengan kedua
tangannya bersilang.
Praaak
Benturan hebat terjadi..
Masing-masing tergetar tubuhnya dan rupanya Ga-
rangpati telah mempersiapkan serangan susulan, se-
bab dengan mendadak kaki kirinya menendang ke
arah lambung Jagal Wesi.
Terkejut bukan main si Jagal Wesi mendapat sera-
ngan yang tiba-tiba, dan boleh dipastikan bahwa ten-
dangan tersebut tidak sempat ditangkisnya. Maka tiba-
tiba pula ia menggenjotkan kakinya ke tanah sehingga
tubuhnya mencutat ke atas dan akibatnya tendangan
kaki Garangpati cuma mendapatkan tempat kosong
saja.
Terpaksalah Garangpati melompong melihat kedua
serangan beruntunnya telah gagal mengenai lawannya
dan kini ia mengakui diam-diam bahwa Jagal Wesi cu-
kup gesit sebagai lawan yang harus dihadapi.
Akan tetapi, dasar Garangpati tidak mau begitu saja
dikecewakan oleh kegagalan serangannya, oleh karena-
nya pula secepat kilat ia menyerang kembali si Jagal
Wesi dengan gencarnya.
Bertubi-tubi dan bergulung-gulung serangan tangan
Garangpati menerjang lawannya laksana seleret ombak
badai yang menghempas ke pantai menimbulkan bunyi
berdesau dan rasa nyeri terhadap siapa saja yang mendengarnya.
Hanya saja, Jagal Wesi cukup ulet dan tangkas. Se-
hingga ia tidak perlu menjadi cemas oleh serangan-
serangan tadi. Setiap pukulan Garangpati melanda tu-
buhnya, setiap kali pula Jagal Wesi berhasil me-
nangkis ataupun mengelak dengan tepat.
Pertempuran tersebut meningkat semakin seru, ber-
tepatan sang matahari bergeser makin ke atas. Di se-
keliling terdengarlah berkali-kali suara tertahan atau-
pun teriakan kecil pada setiap kali terjang-menerjang
itu berlangsung.
Bunyi kemerosak dari dedaunan pohon kelapa yang
banyak tumbuh di sekitar perumahan itu, seperti ingin
ikut berteriak dan bersorak atas pertempuran seru ter-
sebut. Memang angin cukup kencang, membuat daun-
daun kelapa melambai-lambai dan menghempas ke ki-
ri-kanan dengan kerasnya.
Rikma Rembyak mengangguk-angguk melihat per-
tempuran tersebut. Wajahnya sebentar tegang dan se-
bentar berseri serta tertawa lebar kegirangan, persis
seorang tukang adu ayam melihat dua ekor jago te-
ngah berlaga.
Jurus demi jurus susul-menyusul dan Garangpati
terpaksa mengakui akan kekuatan Jagal Wesi yang se-
nantiasa berhasil mengatasi serangan-serangannya.
Sebenarnya Garangpati memang belum mengerah-
kan segenap tenaganya, sebab ia ingin lebih dulu me-
nyelidiki kemampuan lawannya yang bertubuh kekar
itu.
Sekarang tahulah sudah si Garangpati bahwa Jagal
Wesi bukan lawan yang boleh dipandang dengan sebe-
lah mata saja. Perkiraannya yang semula meremehkan
Jagal Wesi, karena dianggapnya cuma anggota baru
dari anak buah Ki Rikma Rembyak, kini ternyata mele-
set sama sekali.
Sejak saat itulah ia berusaha menyerang Jagal Wesi
dengan sungguh-sungguh. Maka sebentar itu pula ia
mengerahkan segenap ilmu dan jurus silatnya yang
sedikit banyak pernah dipelajarinya dari mendiang si
Mata Siji dan pendekar liar Bengara ketika ia berada di
hutan Borneo beberapa waktu yang lalu.
Sebentar kemudian terlihatlah kalau gerakan silat
Garangpati semakin cepat dan ganas. Loncatan-lon-
catan yang dibuatnya sungguh mengagumkan, mirip
dengan gerakan kera yang lagi bertarung.
Melihat ini, Jagal Wesi dan orang-orang lainnya ter-
sentak kagum, sedang Ki Rikma Rembyak sendiri cu-
ma manggut-manggut dan menyeringai sambil berpikir
sendirian. “Hmmm, Garangpati cukup tangguh. Tapi
sayangnya ia setiap kali terlibat dalam pertempuran
yang dahsyat selalu ngacir dan pulang kandang sendi-
rian. Nah, sekarang ini biarlah ia mendapat lawan yang
seimbang. Aku yakin Jagal Wesi tidak akan mengece-
wakanku!”
Pertempuran benar-benar menjadi seru, apabila Ga-
rangpati telah mengerahkan segenap ilmunya. Kini se-
rangan-serangan dari pihak Garangpati tidak cuma
sekadar serangan tetapi telah dilambari dengan tenaga
dalam, sehingga setiap benturan tenaga dengan Jagal
Wesi membuat lawannya yang berperawakan kekar itu
tergetar beberapa langkah surut sambil peringisan me-
nahan sakit.
“Tak kuduga sama sekali bahwa Garangpati mem-
punyai kepandaian sedemikian tinggi! Keparat!” demi-
kian desis Jagal Wesi. “Pantas dia selalu diikutserta-
kan dalam tugas-tugas besar. Akan tetapi sekarang ini
aku diperintahkan Ki Rikma Rembyak untuk mengha-
jarnya, maka mulai saat ini aku akan berusaha me-
ngalahkannya! Harus!”
Jagal Wesi tiba-tiba meloncat ke samping dan memutar pinggangnya ke kanan dan ke kiri. Setelah itu ia
merentangkan pula kedua tangannya ke samping dan
hal ini menyebabkan Garangpati tersenyum mengejek
dan berkata, “Heh, heh. Rupanya si tubuh kekar ini
hendak terbang melarikan diri dari ilmuku yang ter-
akhir!”
Belum habis Garangpati menggerundal, mendadak
ia dikagetkan oleh teriakan dahsyat melengking.
“Huuraaah!”
Dan sambil berteriakan tadi tahu-tahu tubuh Jagal
Wesi telah melesat ke arahnya.
“Jurus Cucut Terbang!” desah Garangpati demi ke-
dua matanya melihat bahwa tubuh Jagal Wesi melun-
cur menerjang ke arah dirinya, tak ubahnya seekor
ikan cucut menerjang calon korbannya.
Garangpati tak dapat menghindar terlalu jauh dan
ia cepat-cepat menangkis tebasan kedua tangan Jagal
Wesi yang meluncur ke atas kepalanya dengan mem-
pergunakan kedua kepalan tangannya.
Bruuuk!
Benturan dahsyat tak dapat dihindari lagi dan tu-
buh Garangpati terguling di tanah seraya mengaduh.
Namun ternyata ia tidak kehilangan kewaspadaannya
dan secepat kilat ia menggelindingkan tubuhnya ke
samping, sebab Jagal Wesi telah menggenjotkan kaki
kanannya ke arah dadanya.
Untung saja Garangpati tidak terlambat menggu-
lingkan tubuhnya, sebab jika terlambat sedikit saja, ti-
dak mustahil bahwa dadanya akan jebol atau ambleg
tertimpa oleh genjotan kaki Jagal Wesi.
Kraaak... byaaaar!
Genjotan kaki Jagal Wesi cuma mendapat tanah ha-
laman yang berbatu-batu dan akibatnya tanah tadi
berlobang sedalam kurang lebih dua jengkal disertai
pecahan batu dan kerikil mencurat ke mana-mana.
Beberapa orang penonton terpekik ngeri bercampur
kagum, demikian pula Ki Rikma Rembyak melotot ma-
tanya keheranan oleh ilmu silat Jagal Wesi tadi.
Sedang Garangpati sendiri lekas-lekas bangkit serta
bersiaga kembali, sementara dadanya kembang-kempis
dengan jantungnya berdentang-dentang amat santer-
nya.
“Toblas, toblas! Setan mana yang telah menggurui
Jagal Wesi sampai ia mempunyai ilmu yang sedemi-
kian hebatnya?!” gerundal Garangpati. “Baiklah, biar-
pun bagaimana, aku akan melawan mati-matian terha-
dap Jagal Wesi.”
Memang benar, si Garangpati memperlipatgandakan
serangannya kepada Jagal Wesi, sebab iapun telah
bertekad bahwa pertempuran ini harus dihadapinya
dengan sungguh-sungguh.
Namun itu bukan berarti bahwa Jagal Wesi akan
segera dapat didesaknya. Lawannya yang bertubuh
kekar tadi terus saja gencar melancarkan serangan-
serangannya dan makin lama, terasalah oleh Garang-
pati kalau jurus-jurus silatnya telah terlibat dan ter-
tindih oleh jurus-jurus Jagal Wesi.
Garangpati terpaksa mengeluh di dalam hati. Dan
betapapun ia telah mengerahkan segenap tenaga dan
ilmunya, tetapi Jagal Wesi baginya terasa seperti mem-
punyai tenaga berlipat-lipat, sedang tangannya yang
kekar itu bergerak bagaikan tangan-tangan hantu.
Bahkan Jagal Wesi tersenyum-senyum sambil me-
nangkis sebuah pukulan yang dilancarkan Garangpati
serta berkata, “Ayo, Garangpati, tumpahkan segenap
kekuatanmu!”
“Keparat! Terimalah ini!” Teriak Garangpati seraya
menebaskan telapak tangannya ke pundak Jagal Wesi,
berbareng sebelah tangannya yang lain menjotos ke arah ulu hati.
Keruan saja Jagal Wesi terkejut setengah mati. Na-
mun ia secepat itu pula menangkis jotosan Garangpati
yang meluncur ke arah ulu hatinya. Sedang tebasan
telapak tangan Garangpati sama sekali tak sempat di-
hindarinya dan meluncur ke pundaknya.
Akibatnya, Jagal Wesi tergetar ke samping peringi-
san menahan rasa nyeri yang menyengat pundaknya.
Biarpun begitu Jagal Wesi sempat pula melayangkan
tendangan kakinya ke lutut Garangpati dan tepat me-
ngenai sasarannya, disusul bunyi suara....
Krepyeeeek!
Dan menjeritlah Garangpati seperti orang disembe-
lih, sebab akibat tendangan Jagal Wesi tadi mengaki-
batkan mata lutut Garangpati meleset bergeser ke
samping.
Jagal Wesi tak memberi ampun lagi kepada lawan-
nya, sebab tiba-tiba tangan kirinya telah menyodokkan
pukulan yang langsung bersarang ke perut Garangpati.
“Heeecck!”
Tubuh Garangpati meliuk ke depan dengan mulut
ternganga, dan sekali lagi Jagal Wesi mengirim tebasan
sisi telapak tangannya ke punggung Garangpati mem-
buat orang ini tersentak tubuhnya menggeliat ke bela-
kang bagai cacing kepanasan sambil menjerit keras.
“Hoooaduuuh!”
Tubuh Garangpati terhuyung-huyung sesaat lalu o-
leng dan roboh tersungkur ke tanah serta menyembur-
kan darah segar dari mulutnya.
Sementara Jagal Wesi yang terkena pukulan tenaga
dalam Garangpati pada pundaknya menjadi berkeri-
ngat dan agak lemas, lalu bersandarlah ia pada sebuah
tiang kayu di tepi halaman rumah.
“Cukup!” seru Ki Rikma Rembyak serta memberi
isyarat kepada beberapa orang anak buahnya untuk
menggotong tubuh Garangpati, sambil bertanya pula,
“Bagaimana anak-anak, periksalah tubuh Garangpati!
Apakah ia....?”
“Masih hidup, Kiai! Garangpati cuma pingsan saja!”
ujar seorang anak buahnya.
“Hemm, kuat juga dia. Nah, anak-anak, rawatlah
Garangpati ke pondok kalian!”
“Baik, Kiai,” ujar mereka berbareng, dan kemudian
bersama-sama menggotong tubuh Garangpati ke arah
pondok mereka untuk dirawat seperlunya. Sedang
Jagal Wesi sendiri setelah lebih dulu mengangguk
hormat kepada Ki Rikma Rembyak, iapun mengeloyor
pergi bersama anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya.
Sesaat Ki Rikma Rembyak masih duduk di tempat-
nya seraya mengikuti langkah-langkah Jagal Wesi de-
ngan hati penuh bertanya-tanya tentang anggotanya
yang baru itu serta kesaktian yang dipunyainya.
Bagi dirinya, nama Jagal Wesi memang asing dan
baru, tapi menilik kesaktian Jagal Wesi yang baru saja
disaksikan ketika bertempur melawan Garangpati,
menjadi yakinlah Ki Rikma Rembyak bahwa Jagal Wesi
pastilah seorang pendekar ulung. Terutama jurus-
jurus Cucut Terbang yang tadi telah dipamerkan oleh
Jagal Wesi bukanlah sekadar jurus gertakan untuk
menakut-nakuti saja, tetapi adalah jurus sakti yang
ampuh.
Sekilas tergoreslah perasaan cemas, kuatir, kalau-
kalau Jagal Wesi adalah seorang pendekar yang dis-
elundupkan oleh pihak lawan. Tapi menilik kesetiaan
Jagal Wesi terhadap dirinya, terhapuslah rasa kekuati-
ran tadi dari bilik hatinya.
Memang tak perlu diherankan bila Ki Rikma Rem-
byak selalu menaruh kecurigaan terhadap siapa saja,
sebab selama ini ia telah berhasil memiliki catatan ra-
hasia Panah Braja Kencar yang semula milik mendiang
Empu Baskara.
Baginya, catatan tadi sangat berharga dan akan di-
pertahankan dengan nyawanya dan nyawa anak buah-
nya. Itu pula sebabnya mengapa selama ini ia bersem-
bunyi di Pulau Mondoliko, pulau yang penuh rahasia
bagi orang luar. Yah, memang ia sebenarnya menya-
yangkan akan kematian gurunya, yakni Ki Topeng
Reges yang telah tewas di tangan Mahesa Wulung be-
berapa waktu berselang. Dan sebagai pewaris tunggal-
nya, Ki Rikma Rembyak telah bertekad untuk mene-
ruskan cita-cita gurunya yakni mengumpulkan sege-
nap tokoh-tokoh hitam serta mendirikan pemerintahan
tersendiri untuk menandingi Demak.
Bila ia teringat akan kematian Ki Topeng Reges, ke-
hancuran Kapal Hantu, dan sahabat-sahabatnya yang
telah tewas di daratan Pulau Borneo, maka hatinya se-
perti terbakar. Dendamnya terhadap Mahesa Wulung
dan sahabat-sahabatnya makin menyala dan ingin se-
kali ia berhadapan langsung dengan Mahesa Wulung
untuk membinasakan pendekar Demak ini!
***
Segenap Pulau Mondoliko telah tenggelam dalam
cahaya senja, dan pepohonan nyiur yang memagari
pantai pulau ini tersaput oleh warna merah kekuni-
ngan yang terpancar dari sang matahari yang kini te-
lah separo lebih tenggelam di cakrawala barat.
Suasana tenang yang terjelma oleh datangnya senja
ini tiba-tiba saja dikejutkan oleh teriakan-teriakan di
sebelah tenggara pulau.
Di pantai tersebut, tampaklah beberapa orang ber-
bondong-bondong mengiringkan dua orang yang ter-
ikat tangannya. Para pengiring tadi ternyata membawa
senjata-senjata beraneka ragam, di antaranya ada
yang membawa senapan-senapan lasak yang masih
sangat sederhana bentuknya. Sebagian lagi membawa
barang-barang yang dipanggul dalam karung-karung
dan peti-peti.
Sesungguhnyalah orang-orang tersebut adalah para
pengikut ataupun anak buah Ki Rikma Rembyak yang
baru saja pulang dari tugasnya, yakni mencegat pera-
hu-perahu dagang yang berani mendekat ke daerah
Pulau Mondoliko.
Iring-iringan kecil ini langsung berjalan menuju ke
pusat pulau di mana perumahan gerombolan Ki Rikma
Rembyak ini berada.
Di halaman rumahnya, Ki Rikma Rembyak telah
berdiri dengan bertolak pinggang, untuk menanti iring-
iringan tadi dan kemudian menerima laporan dari
anak buahnya serta hasil barang-barang rampasan.
“Kiai, tunggulah sebentar lagi. Pasti Kiai akan puas
dengan hasil yang kami peroleh hari ini,” ujar seorang
anak buah Ki Rikma Rembyak yang berdiri di dekat-
nya.
“Hmmm, kau peroleh di mana barang-barang terse-
but, Soma?!” tanya Ki Rikma Rembyak sambil melirik
ke arah Soma. “Apakah rombonganmu tidak terlalu
jauh mengadakan aksinya?”
“Ooo, tidak Kiai. Perahu dagang tersebut kami tang-
kap karena berlayar terlalu dekat dan rupanya menco-
ba mendarat di Pulau Mondoliko ini.”
“Heh, heh! Itu bagus, Soma. Bagus!” ujar Ki Rikma
Rembyak saking gembiranya seraya menepuk-nepuk-
kan tangannya ke punggung Soma Karang.
Mendapat tepukan tangan pada punggungnya su-
dah tentu Soma Karang merasa bangga karena dapat
memuaskan pemimpinnya, tapi begitu kena tepuk ta-
ngan Ki Rikma Rembyak tadi, tiba-tiba Soma Karang
tergetar tubuhnya dan terbatuk-batuk sampai beberapa saat. “Uhuk-uh, uh, uhuk, huk!”
Keruan saja Ki Rikma Rembyak sendiri menjadi ka-
get dan sadarlah ia, maka segera pula menghentikan
tepukan tangannya pada punggung Soma Karang. Dili-
hatnya wajah anak buahnya ini setengah pucat akibat
tepukan tangan Ki Rikma Rembyak yang cukup berat.
Dalam hati, Soma Karang mengakui kehebatan te-
naga dalam Ki Rikma Rembyak tadi. Baru ditepuk be-
gitu saja orang sudah terbatuk-batuk akibat nafas
yang tak lancar, menyebabkan Soma Karang sesaat
menjadi lemas seperti dilolosi tulang sungsumnya.
Apalagi kalau Ki Rikma Rembyak sampai melancarkan
pukulan tangannya dengan kekuatan penuh, boleh di-
bayangkan lawannya akan rontok isi dadanya atau pe-
cah paru-parunya. “Aah, sungguh mengerikan!” demi-
kian pikir Soma Karang seraya memperbaiki dirinya.
Dalam pada itu, Andini Sari yang berdiri di dekat Ki
Rikma Rembyak terkejut pula karenanya. Memang ia
telah memaklumi akan kehebatan ayahnya yang be-
rambut gondrong awut-awutan ini.
“Heh, kasihan juga Soma Karang itu. Untunglah ia
seorang jagoan pula,” berkata Andini Sari dalam ha-
tinya.
Sedang agak jauh dari tempat Ki Rikma Rembyak
berdiri, kelihatan pula bahwa Jagal Wesi tercengang
oleh kejadian tadi dan iapun manggut-manggut seraya
menggerundal. “Huh, luar biasa tangan Ki Rikma
Rembyak! Adakah seseorang yang mampu menandingi-
nya?”
Belum lagi terjawab pertanyaan Jagal Wesi di dalam
gerundalnya tadi, tiba-tiba dari arah tenggara terlihat-
lah iring-iringan manusia dengan satu dua orang yang
membawa obor di tangan. Suasana senja dengan sisa-
sisa warna semburat merah di langit barat, membuat
suasana perkampungan di pusat pulau tersebut menjadi seram dan mencekam perasaan.
Iring-iringan manusia tadi berhenti di depan hala-
man rumah Ki Rikma Rembyak dan dua orang tawa-
nan yang digiring di sebelah depan, tahu-tahu dido-
rong oleh para pengawal, sehingga keduanya jatuh ter-
sungkur di tanah tepat di depan Ki Rikma Rembyak
berdiri.
Kedua tawanan tadi duduk berlutut di tanah se-
mentara keduanya menatap ke atas dan betapa kaget-
nya, bila orang yang berdiri di hadapan mereka adalah
Ki Rikma Rembyak yang namanya telah sekian lama
ditakuti dan menjadi momok bagi ketenteraman.
Ketika kedua tawanannya masih saja menatap ke
arahnya, segera Ki Rikma Rembyak berseru, “Keparat!
Kau berdua, tikus-tikus kecil tidak lekas memberi hor-
mat di hadapanku?!”
Mendengar ini, tawanan yang termuda lekas mem-
bungkuk hingga wajahnya hampir menyentuh tanah,
sedang yang tertua malah sebaliknya. Dengan sorot
pandangan mata penuh geram dan kebencian si tawa-
nan tua menentang wajah Ki Rikma Rembyak seraya
berkata tajam. “Mana sudi aku menghormat seorang
benggolan pengacau negara seperti tampangmu?!”
“Kurang ajar! Kau berani pentang mulut semaumu
menghina pemimpinku?! Ayo lekas tunduk dan beri
hormat kepada Ki Rikma Rembyak!” teriak salah seo-
rang pengawal sambil menginjakkan kakinya ke pung-
gung si tawanan tua sehingga orang tersebut terjeru-
mus ke tanah dengan mukanya mencium debu.
“Nah, begitu saja tunduk di hadapannya, kan tidak
ada jeleknya! Memang, dasar orang suka mencari pe-
nyakit!” ujar si pengawal sambil terus menggusur-gu-
surkan kakinya ke arah pundak dan leher si tawanan
tua, sampai wajah orang ini terbeset-beset pada per-
mukaan tanah dengan luka-luka mengelupas mengeluarkan darah, sementara debu dan tanah melekat pa-
da segenap kulit wajahnya.
“Aaaaaakh... aduh... aduuuu!” rintih si tawanan
yang tua seraya berguling di tanah, sedang si pengawal
tadi tertawa terkekeh-kekeh disambung oleh ketawa
segenap anak buah Ki Rikma Rembyak yang berada di
situ. Demikian pula Ki Rikma Rembyak sendiri tertawa
cekakakan terbahak-bahak demi melihat wajah si ta-
wanan bandel tadi seperti mengenakan topeng dari ta-
nah berdebu tercampur darah. Maka penuhlah tempat
tersebut dengan derai ketawa yang gemuruh laksana
ketawa sekumpulan hantu yang mendapat mangsanya.
Semua tertawa dengan kerasnya, kecuali Andini Sari
dan Jagal Wesi yang justru mengerutkan keningnya
melihat siksaan terhadap si tawanan tua tadi.
“Hua, ha, ha, ha. Itulah hadiah bagi orang bandel
dan keras kepala,” ujar Ki Rikma Rembyak. “Dan seka-
rang aku akan sekali lagi memberi kesempatan kepa-
damu, agar engkau memperbaiki sikapmu. Ayo lekas
tunduk di hadapanku,” Ki Rikma Rembyak berseru de-
ngan bengisnya.
Tetapi sekali lagi pendekar jagoan berambut gon-
drong ini terbelalak melihat kenyataan yang dihadapi-
nya. Bukannya si tawanan tua lantas bersimpuh atau-
pun tunduk meminta ampun, malahan sebaliknya, si
tawanan tua mendelik menentang wajah Ki Rikma
Rembyak dan kemudian ia meludah ke tanah sambil
berkata, “Tidak pantas Angkara bersimpuh di hada-
panmu, Rikma Rembyak! Hanya monyet-monyet saja-
lah yang pantas berbuat demikian!”
Bagai sambaran petir kata-kata Angkara terdengar
oleh Ki Rikma Rembyak dan secepat itu pula, pendekar
rambut gondrong ini melancarkan tendangan kakinya
ke arah tawanan tua.
Praaak!
Angkara terguling ke tanah sambil menjerit kesaki-
tan begitu tendangan kaki Ki Rikma Rembyak bersa-
rang di dagunya.
Di saat itu pula si tawanan muda lalu menjatuhkan
dirinya seraya mendekati Angkara yang telah tergeletak
tak berdaya.
“Oh, janganlah Tuan menyiksa pamanku ini,” ujar
si tawanan muda kepada Ki Rikma Rembyak dengan
kata-kata yang memohon belas kasihan. “Lebih baik
biarkan dia hidup, dan bunuhlah saya sebagai gan-
tinya jika Tuan menghendaki.”
Ki Rikma Rembyak terperanjat sesaat namun dia
kemudian tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata pula,
“Bagus. Kalau itu yang kalian kehendaki, segera akan
kamu peroleh. Kamu akan segera mati dengan cara-
caraku yang istimewa dan menyedapkan!”
Jagal Wesi kaget mendengar keputusan tersebut
dan begitu pula dengan Andini Sari. Meskipun ia ada-
lah anak Ki Rikma Rembyak, namun terhadap kekeja-
man-kekejaman yang sering dilakukan ayahnya, ia ti-
dak menyetujuinya.
“Ayo anak-anak, malam ini nanti kita akan meng-
hukum mereka di Tambak Mati. Siapkan segala sesua-
tunya untuk keperluan ini, dan sekarang, seret mereka
ke tempat hukuman. Ikat mereka di sana dan jaga
baik-baik!” ujar Ki Rikma Rembyak.
“Boleh dihukum sekarang juga, Kiai?” tanya Soma
Karang setengah tak sabar.
“Hah, jangan sekarang! Tunggu saja nanti keputu-
sanku!” sahut Ki Rikma Rembyak tajam. “Oleh sebab
itu, jaga kedua tawanan itu baik-baik. Kalau sampai
lari, kau nanti sebagai gantinya untuk menerima hu-
kumanku! Tahu?!”
“Beb... beb... baik, Kiai!” ujar Soma Karang terga-
gap-gagap saking kagetnya. “Kami akan menjaga mereka baik-baik!”
Maka sesaat kemudian Soma Karang serta beberapa
orang anak buah Ki Rikma Rembyak lainnya segera
menggiring kedua orang tawanan tadi ke arah barat.
“Ah, Bapak akan menghukum mereka sekarang ju-
ga dan tidak pada hari-hari yang lain?” bertanya An-
dini Sari seraya mendekati ayahnya.
“Tentu saja! Bukankah kau tadi mendengar sendiri
bahwa mereka telah menentang dan menghina ayah-
mu ini?!” jawab Ki Rikma Rembyak. “Apakah kau
membiarkan dan senang jika aku dihina oleh seorang
tawanan?”
“Tapi Bapak, mungkin mereka dapat kita ampuni
dan dapat kita pergunakan tenaganya.”
“Bah, aku pantang berbuat demikian, Sari!” sahut
Ki Rikma Rembyak. “Orang yang telah menghinaku,
apalagi berani meludah di depanku, harus aku hukum
mati!”
“Oooh,” desah Andini Sari. Ia tahu, bila ayahnya
mengambil satu keputusan, sukarlah untuk dirubah-
nya lagi, dan karenanya, Andini Sari tak berkata lagi.
“Sari, hukuman tetap akan kulaksanakan terhadap
mereka malam nanti!” berkata lagi Ki Rikma Rembyak.
“Jika kau ingin melihat, datanglah ke Tambak Mati.
Dan kalau tidak, lebih baik engkau pergi tidur!”
Andini Sari mengangguk dan permisi kepada ayah-
nya lalu melangkah pelan-pelan meninggalkan tempat
tersebut, sementara Jagal Wesi mengikuti dengan pan-
dangan matanya dari kejauhan.
Tempat tersebut kembali menjadi sunyi, dan tak
seorang pun yang tampak, kecuali bunyi desau angin
malam menggoyangkan daun-daun nyiur. Ki Rikma
Rembyak telah masuk ke dalam rumahnya, begitu pula
Andini Sari telah kembali ke pondoknya yang terletak
tidak jauh dari rumah ayahnya.
Ketika membuka pintu pondok, Andini Sari segera
disambut oleh seorang wanita setengah tua dengan
tergopoh dengan pertanyaan, “Angger Sari, apa yang
terjadi di luar? Bibi melihat wajahmu sangat murung
dan tadi aku mendengar suara ribut serta jeritan-
jeritan di halaman.”
“Oh, mereka telah menangkap dua orang asing dan
ayah akan menghukum mati keduanya malam nanti.”
“Mmm, tapi itu kan sudah biasa terjadi di sini, Sa-
ri?” ujar wanita setengah tua tadi seraya manggut-
manggut.
“Tapi Bibi Rukmi,” jawab Andini Sari, “sebenarnya
aku merasa muak melihat siksaan-siksaan dan pem-
bunuhan terhadap orang-orang asing yang menjadi
tawanan di Pulau Mondoliko ini.”
“Stt, jangan keras-keras berkata demikian, Sari. Ji-
ka ayahmu mendengarnya, pasti akan marah kepada
kamu, dan mungkin akan menghukummu pula!” kata
Bibi Rukmi dengan wajah kecemasan. “Nah, lekaslah
kau lupakan saja hal itu, Sari. Kini cucilah tanganmu
dan makanlah, sebelum sayurnya menjadi dingin.”
“Terima kasih, Bibi Rukmi,” ujar Andini Sari serta
menyiapkan makanan malamnya.
***
TIGA
KINI sang rembulan telah mengembang di angkasa
malam, dan di saat itulah Ki Rikma Rembyak bersama
empat orang pengawalnya telah menuju ke arah barat,
ke arah Tambak Mati, di tempat mana kedua tawanan
akan segera menjalani hukumannya.
Langkah-langkah mereka begitu tenang dan mantap
melewati jalan-jalan yang sebentar-sebentar menyeli-
nap di sela semak belukar di bawah naungan pohon-
pohon kelapa. Ki Rikma Rembyak berjalan di sebelah
muka dan keempat pengawalnya berjalan di belakang.
Dalam pada itu, agak jauh dari mereka berlarianlah
sesosok bayangan ramping meloncat dengan gerakan
yang lincah, selincah tupai. Kadang-kadang bayangan
tadi berhenti sejenak di balik batang pohon kelapa dan
sejurus lagi berlari kembali mengikuti langkah-langkah
Ki Rikma Rembyak beserta keempat orang pengawal-
nya.
“Hemmm, betapapun aku ingin melihat hukuman
apa yang bakal dijatuhkan oleh Bapak kepada kedua
orang tawanan tersebut!” gumam si bayangan yang tak
lain adalah Andini Sari.
Andini Sari terus mengendap-endap dan mengikuti
ayahnya, Ki Rikma Rembyak, yang dengan tenangnya
menuju ke Tambak Mati. Sebentar kemudian, tibalah
mereka di dekat pantai dan suara berdebur dari ombak
yang memecah terdengar sangat jelasnya.
Segera Andini Sari berhenti di balik sebuah batu
karang dan mengawasi apa yang terjadi di Tambak Ma-
ti tersebut. Terlihatlah Ki Rikma Rembyak menemui
kedua tawanan yang terikat pada batu karang. Dan di
sekitarnya, bersiaplah para pengawal yang semenjak
tadi menjaga di situ.
“Bagaimana Jagal Wesi, apakah segala sesuatunya
telah beres?” tanya Ki Rikma Rembyak kepada Jagal
Wesi yang mengepalai penjagaan di situ.
“Semuanya beres, Kiai,” jawab Jagal Wesi. “Dan ke-
dua tawanan itu siap menerima hukumannya!”
“Bagus! Nah, sekarang bawalah ke mari tawanan
yang tertua lebih dulu!” kata Ki Rikma Rembyak de-
ngan beringas. Rambutnya yang gondrong acak-aca-
kan itu tertiup angin malam sehingga sebentar-sebentar menutup matanya yang berkilatan bagai mata seri-
gala kelaparan.
Dua orang pengawal segera membawa Angkara ke
depan dengan tangan terikat dan diajukan ke depan Ki
Rikma Rembyak yang telah siap menjatuhkan huku-
mannya. Semua mata mengikuti tindakan Ki Rikma
Rembyak, sebab mereka belum tahu sampai saat ini,
tentang hukuman apakah yang akan diberikan oleh
pemimpinnya kepada Angkara. Mereka tidak melihat Ki
Rikma Rembyak membawa senjata, maka merekapun
mengira bahwa pemimpinnya akan memukul tubuh
Angkara berkali-kali sampai rontok isi dadanya atau-
pun tulang-belulangnya.
Wajah Angkara menjadi kepucatan namun panda-
ngan matanya kelihatan tenang dan menatap tajam ke
arah Ki Rikma Rembyak. Baginya, ia sudah tidak
mempunyai harapan untuk hidup lagi.
Tiba-tiba semua mata terkejut begitu Ki Rikma
Rembyak mengeluarkan sebuah bumbung bambu kecil
dari balik bajunya seraya tersenyum meringis. Dan
mereka lebih terkejut lagi karena iapun lalu memungut
sebuah batu bulat yang tergeletak di atas tanah, tak
jauh dari kakinya.
“Nah, anak-anak. Kalian telah tahu keampuhan
serbuk maut Panah Braja Kencar. Sekarang lihatlah ia
akan kutuangkan ke atas batu kecil ini!” Ki Rikma
Rembyak berkata seraya menuang dan melumuri batu
kecil bulat tadi dengan serbuk putih dari dalam bum-
bung kecilnya. “Kini segera lepaskanlah ikatan tangan
Angkara itu!”
Dua orang pengawal cepat-cepat melepaskan tali-
temali yang mengikat tangan Angkara, sehingga tawa-
nan tua ini dapat bebas menggerakkan kedua tangan-
nya.
“Angkara! Kamu jelas harus menerima hukuman
dari tanganku. Tetapi aku tidak begitu saja menja-
tuhkan hukuman ini. Aku masih mau memberi kesem-
patan kepadamu untuk lari dari tanganku. Ini, lihatlah
batu yang ada di tanganku. Kau boleh lari ke arah
pantai sekuat-kuatnya dan berusaha menghindari lem-
paran batu ini supaya tidak sampai mengenai tubuh-
mu. Jika engkau berhasil, maka kau boleh pergi dari
pulau ini dengan menggunakan perahu yang telah ter-
sedia di pantai. Dan itu berarti pula bahwa pemuda
kemenakanmu itu akan bebas!” demikian ujar Ki Rik-
ma Rembyak seraya menimang-nimang batu bulat tadi
di atas tangannya. “Nah, sekarang mulailah!”
Betapapun cemasnya, Angkara segera memusatkan
tenaganya dan sebentar kemudian ia telah berlari de-
ngan kencangnya, sambil sekali-sekali ia menoleh ke
belakang untuk mengetahui apakah Ki Rikma Rem-
byak telah melemparkan batunya.
Ki Rikma Rembyak masih saja tersenyum-senyum
melihat Angkara berlari ke arah pantai. Dan ketika
hampir dirasanya bahwa si tawanan telah mencapai ja-
rak lebih dari delapan tombak, tiba-tiba dengan kece-
patan kilat, Ki Rikma Rembyak melemparkan batu ter-
sebut ke arah Angkara dan melesat dengan cepatnya.
Akibat pergeseran udara, maka lumuran serbuk
yang telah melekat pada lapisan batu bulat tadi men-
jadi menyala. Dan memang inilah kehebatan serbuk
maut Panah Braja Kencar. Dengan demikian maka ba-
tu bulat tadi menyala terang kebiruan, tak ubahnya
sebuah bintang berekor atau meteor yang melesat ke
arah Angkara dengan kecepatan kilat.
Angkara terkejut ketika ia merasakan suara berde-
sis di belakangnya, maka secepatnya ia menoleh serta
bersiap untuk mengelakkan dirinya. Akan tetapi alang-
kah terkejutnya, sebab sebuah bulatan benda bersinar
terang dan menyala itu langsung meluncur ke arah di
rinya. Karenanya, sesaat Angkara terkejut dan terpu-
kau dan ia tak sempat menghindari lagi ketika benda
tersebut menyambar pundaknya!
“Eeearrrgghh!”
Suara jerit melengking keluar dari mulut Angkara
disusul tubuhnya berguling di tanah dalam keadaan
mengerikan. Tubuh Angkara tampak mengering ha-
ngus berwarna biru dan tak bernapas lagi. Sungguh
kematian yang mengerikan! Semua yang menyaksikan
terlongoh kagum dan ngeri, tak ketinggalan pula An-
dini Sari yang mengintip dari batu karang. Hanya Ki
Rikma Rembyaklah yang tertawa terkekeh-kekeh.
“Sekarang bawa kemari juga tawanan muda itu! Ia
akan mati pula dengan cara yang serupa!” ujar Ki Rik-
ma Rembyak.
Ketika si tawanan muda tadi telah dihadapkan ke
depan Ki Rikma Rembyak, mendadak Jagal Wesi
mengajukan usulnya.
“Kiai, jika Andika berlapang hati, biarlah aku saja
yang membereskan si tawanan muda itu. Aku ingin ia
bertarung melawanku sebelum ia mati oleh kedua ta-
nganku ini!”
“Hemmm, itu baik juga, Jagal Wesi. Dengan cara
apapun, aku tidak perduli. Asal ia segera mati dan lu-
mayan juga buat tontonan anak buahku yang lain,
heh, heh, heh!” berkata Ki Rikma Rembyak kesena-
ngan.
Si tawanan muda yang telah dilepas ikatannya itu
segera bersiaga menghadapi Jagal Wesi, namun iapun
menjadi terperanjat sesaat bila sekilas ia melihat bah-
wa mata Jagal Wesi mengerdip-ngerdip kepadanya.
“Hee, sebut namamu sebelum engkau mati!” seru
Jagal Wesi seraya membuka serangannya.
“Aku adalah Pakerti dari Tegal Arang dan siap me-
nanti seranganmu!” teriak tawanan muda tersebut.
“Bagus! Terimalah ini! Haaait!” Jagal Wesi mener-
jang Pakerti, si tawanan muda itu, dan sebentar ke-
mudian terjadilah pertarungan sengit.
Namun itu tidak berlangsung lama, sebab setelah
mencapai sepuluh jurus, Pakerti mulai terdesak dan
pada jurus kelima belas Pakerti kena tertotok jalan da-
rahnya oleh jari-jari Jagal Wesi sehingga pemuda itu
tak berdaya lagi ketika tebasan telapak tangan Jagal
Wesi menerjang punggungnya.
“Heeerrrgh!”
Pakerti menyemburkan darah segar dari mulutnya
dan terjelapak rebah ke tanah tanpa berkutik lagi.
Seruan kagum terdengar dari mulut-mulut anak
buah Ki Rikma Rembyak yang lain. “Hebat si Jagal We-
si!”
Ki Rikma Rembyak merasa puas juga melihat Jagal
Wesi dapat membinasakan lawannya.
“Kiai, sekarang ijinkanlah tubuh orang ini aku bawa
ke pantai dan akan kulempar ke laut biar menjadi san-
tapan ikan-ikan di sana!” ujar Jagal Wesi.
“Heh, itu terserah kepadamu, Jagal Wesi. Mayat itu
sekarang menjadi urusanmu!” kata Ki Rikma Rem-
byak, lalu iapun memerintah anak buahnya. “Ayo
anak-anak, kita kembali ke benteng!”
Jagal Wesi cepat-cepat mengangkat tubuh Pakerti
dan dipanggulnya ke atas pundak, lalu dibawanya ke
arah pantai. Sedang Ki Rikma Rembyak bersama anak
buahnya telah berjalan ke arah timur, kembali ke pu-
sat perumahan gerombolannya.
Sambil berjalan itu, Jagal Wesi dapat mendengar-
kan detak jantung pemuda yang dipanggulnya ini,
sambil bergumam. “Oh, sayang sekali jika pemuda ini
betul-betul mati. Untunglah ia tadi telah aku totok ja-
lan darahnya lebih dulu, dan semoga saja ia tidak cedera terlalu berat!”
Jagal Wesi terus saja melangkah ke arah pantai dan
tibalah ia pada daerah semak pohon bakau yang ba-
nyak tumbuh di atas tanah pantai.
Tak lama kemudian Jagal Wesi membelok ke kiri la-
lu menyelinap di balik pohon-pohon bakau tersebut.
Sebentar ia menengok ke kiri dan ke kanan seperti
hendak meyakinkan bahwa tidak ada seorang pun
yang melihat ataupun mengikutinya.
Kemudian Jagal Wesi menurunkan tubuh Pakerti
dengan pelan dan hati-hati sekali diletakkan di atas
tanah, sedang kepalanya ditahannya dengan lengan ki-
ri Jagal Wesi supaya tetap tertegak.
Sekali lagi Jagal Wesi melihat di sekitarnya dan se-
telah merasa aman, segera ia menotokkan jari-jarinya
ke dada Pakerti.
Seperti terkena jilatan api, tubuh Pakerti lalu meng-
geliat dan bergerak-gerak tersadar dari pingsannya.
Pakerti perlahan-lahan membuka matanya dan be-
gitu pandangan matanya yang pertama tadi menatap
wajah Jagal Wesi, ia segera membuka mulut untuk
berteriak. Tapi untunglah Jagal Wesi terlebih dulu me-
nutup mulutnya.
“Settt, jangan berteriak!” bisik Jagal Wesi. “Pakerti,
tenanglah, aku bermaksud baik! Aku akan menolong-
mu lari dari pulau ini!”
Keruan saja Pakerti menjadi kaget setengah mati
mendengar kata-kata Jagal Wesi. Ia tidak lekas me-
ngerti dan menjadi heran, sebab bukankah tadi Jagal
Wesi telah menghajarnya setengah mati. Sedangkan
sekarang, Jagal Wesi malah berusaha menyelamatkan
dirinya.
“Oh, tidak masuk akal!” demikian pikir Pakerti.
“Mungkin orang ini bermaksud menjebakku, atau
membuat lelucon barangkali. Tidak berbeda dengan
Paman Angkara yang disuruhnya berlari, kemudian
dibunuh oleh mereka!”
“Mengapa Anda termangu-mangu? Aku berkata
sungguh-sungguh. Nih, minumlah butiran obat, agar
badanmu tidak lemah dan pulih kembali kekuatan-
mu!” begitu ujar Jagal Wesi seraya mengambil sebuah
butiran benda sebesar buah ceremai berwarna hijau
kecoklatan yang terbalut oleh selembar sapu tangan
dan dikeluarkan dari dalam ikat pinggangnya.
Benda tadi diterima oleh Pakerti dengan pandangan
penuh tanda tanya dan setengah curiga kepada Jagal
Wesi, sehingga membuat Jagal Wesi menjadi tidak sa-
bar dan segera berkata pula. “Lekas makanlah obat itu
dan segera pergi meninggalkan pulau ini. Aku telah
menyediakan sebuah perahu kecil lengkap dengan
layarnya yang masih tergulung. Sebaiknya Anda ber-
dayung dahulu sampai ke tengah dan bila telah cukup
jauh, barulah kau gunakan layar tersebut!”
“Tap.... tapi mengapa Andika berbuat ini semua dan
bermaksud menolongku lolos dari pulau ini?” bertanya
Pakerti kepada Jagal Wesi.
“Maaf, aku tak berkesempatan panjang lebar me-
ngatakan alasan-alasan tersebut,” jawab Jagal Wesi.
“Jelasnya aku tak sampai hati membiarkan dirimu te-
was di tangan mereka! Nah, sudah jelas bukan?”
“Oh, terimakasih jika demikian,” ujar Pakerti serta
secepatnya menelan butiran obat pemberian Jagal We-
si tadi. “Lalu dengan apakah aku harus membalas budi
Andika yang sebaik ini?”
“Eeh itu tak perlu, Kisanak,” jawab Jagal Wesi.
“Anggaplah ini bukan apa-apa. Sebab dalam mengerja-
kan sesuatu, lebih-lebih menolong seseorang yang
menderita kesusahan, aku tak mengharapkan balas
jasa apapun! Oleh sebab itu tak perlu Anda memikir-
kannya lebih jauh,” demikian kata-kata Jagal Wesi
yang membuat Pakerti semakin kagum dan akhirnya
iapun yakin bahwa Jagal Wesi bukan termasuk golo-
ngan orang-orang Ki Rikma Rembyak. “Hanya saja aku
ada sebuah pesan dan aku harap engkau sampaikan
selekas mungkin ke Demak.”
“Sebuah pesan?!” ulang Pakerti kaget.
“Ya, sebuah pesan. Terimalah ini!” ujar Jagal Wesi
sambil menyerahkan sebuah tabung bambu kecil ter-
sumbat, yang dikeluarkan dari lipatan ikat pinggang-
nya. “Tabung bambu ini engkau serahkan saja kepada
salah seorang tamtama Demak dan katakanlah berasal
dari Jagal Wesi di Pulau Mondoliko.”
“Tetapi bagaimanakah aku bisa mengenal bahwa
dia seorang tamtama Demak?” Pakerti bertanya.
“Hmm, Andika dapat mengenal mereka dari kalung
yang dipakainya. Permata kalung itu berbentuk lingka-
ran dengan empat jari-jari mata angin, mirip sebuah
cakra.”
“Cukup jelas sudah apa yang Andika terangkan dan
ijinkanlah aku berangkat sekarang juga!” ujar Pakerti
seraya memasukkan tabung bambu tadi ke dalam ikat
pinggangnya.
“Yah, berangkatlah segera, Pakerti. Berhati-hatilah
dan semoga engkau selamat!” Jagal Wesi berkata se-
raya menjabat tangan Pakerti yang disambutnya de-
ngan erat oleh pemuda itu.
Tak antara lama, Pakerti telah turun ke dalam pe-
rahu yang tertambat di celah pohon-pohon bakau dan
mulailah ia mendayungnya ke tengah dengan hati-hati
dan perlahan-lahan. Sekali lagi Pakerti melambaikan
tangan ke arah Jagal Wesi sebagai ucapan selamat
tinggal, dan dibalas pula oleh Jagal Wesi.
Perahu kecil tadi bergerak ke arah tengah dan se-
makin jauh, menuju ke arah selatan bagaikan selem-
bar daun terapung di atas air, bermandikan sinar rem-
bulan yang kini telah jauh bergeser ke langit barat.
Jagal Wesi menarik nafas lega ketika Pakerti bersa-
ma perahunya semakin menjauh, hampir lenyap dari
pandangan matanya. Yang terakhir sekali ia melihat
sebuah layar mulai dikembangkan pada tiang perahu
Pakerti tadi dan tampaknya perahu kecil itu bertam-
bah laju meluncur di atas permukaan laut.
Sekali lagi Jagal Wesi menarik nafas panjang. Tetapi
mendadak saja ia dibuat kaget oleh suara ketawa kecil
yang terdengar dari sebelah belakang.
“Bahaya!” demikian pikir si Jagal Wesi. “Ada seo-
rang yang telah melihat perbuatanku! Dan satu-satu-
nya jalan ialah melenyapkannya, sebelum ia sempat
membocorkan kejadian tadi kepada ketua Ki Rikma
Rembyak!”
Habis berpikir demikian, Jagal Wesi secepat kilat
membalikkan dirinya, sekaligus melemparkan sebuah
pisau kecil yang dicabutnya dari ikat pinggang kiri dan
seketika melesat ke arah bayangan manusia yang ber-
diri di atas ketinggian bongkah batu karang sejauh ku-
rang lebih tujuh tombak lebih dari tempat Jagal Wesi
berdiri!
Weeesss....! Traaang!
Jagal Wesi terpaksa kaget, sebab tanpa dinyana
orang tersebut juga menyambut lemparan pisau Jagal
Wesi dengan sebuah pisau pula, sehingga kedua pisau
tadi berbentur dan kemudian terpelanting tercampak
ke atas tanah
Keruan saja Jagal Wesi kaget setengah mati dan ta-
hulah ia bahwa orang tersebut pastilah berkepandaian
tinggi.
“Huh, siapakah orang itu? Ki Rikma Rembyak? Wah
celaka bila orang tersebut adalah Ki Rikma Rembyak
sendiri!” begitu pikir Jagal Wesi. Maka secepat kilat
Jagal Wesi telah bersiaga dan ia siap mencabut pe-
dangnya bila saja orang tersebut tidak keburu berte
riak nyaring.
“Tahan dulu, Saudara Jagal Wesi!”
Orang tersebut dengan beberapa loncatan ringan
seringan daun kering terhembus angin, melesat turun
dari atas batu karang langsung menuju ke arah Jagal
Wesi.
“Suara perempuan!” desis Jagal Wesi terperanjat
dan bercampur takut. “Hih, setankah dia?!”
Akan tetapi Jagal Wesi kemudian menjadi kaget, se-
bab orang tersebut adalah Andini Sari, putri dari Ki
Rikma Rembyak sendiri!
“Nona Andini Sari?!” seru Jagal Wesi. “Sudah lama-
kah Andika berada di tempat tadi?”
“Sudah sementara waktu, Saudara Jagal Wesi,” ka-
ta Andini Sari seraya tersenyum manis membuat Jagal
Wesi semakin kaget, tetapi juga semakin gelagepan,
begitu melihat bibir gadis yang merah itu mengulum
senyum.
Dalam cahaya terang bulan ia terpesona oleh Andini
Sari yang kelihatan semakin cantik, bertubuh semam-
pai dan berdada padat, benar-benar seperti putri kera-
ton yang pernah dilihatnya di pulau Jawa.
“Tapi, ah persetan!” pikir Jagal Wesi. “Toh dia ada-
lah putri Ki Rikma Rembyak! Tambahan lagi ia telah
melihat bahwa aku telah membebaskan Pakerti! Maka
aku harus waspada terhadapnya!”
“Saudara Jagal Wesi! Aku melihat bahwa Andika
menjadi geragapan oleh kedatanganku ini?!” begitu An-
dini Sari bertanya.
“Tidak keliru lagi, Nona Andini Sari,” sahut Jagal
Wesi tajam-tajam. “Aku kuatir bahwa kita harus segera
bertempur!”
“Bertempur? Hmmm, apakah itu disebabkan aku te-
lah memergoki perbuatanmu?” Andini Sari berkata.
“Tepatnya demikian!” ujar Jagal Wesi. “Karena Nona
telah melihat bahwa aku menolong Pakerti untuk lolos
dari pulau ini, maka itu berarti bahwa keselamatanku
akan terancam dan tidak mustahil kalau Andika akan
segera melaporkan kepada ayahmu, Ki Rikma Rem-
byak itu!”
“Anda keliru, Jagal Wesi!” sahut Andini Sari sambil
wajahnya merengut. “Anda pun rupanya beranggapan
bahwa antara aku dan ayahku ada persamaan watak
dan sikap?”
“Mengapa tidak?!” kata Jagal Wesi. “Bukankah No-
na masih putri Ki Rikma Rembyak sendiri?”
“Benar!” sambung Andini Sari. “Namun itu bukan
alasan bahwa aku harus mempunyai watak yang sama
dengan dia! Apakah Anda masih teringat cerita Ra-
mayana? Nah, meskipun satu saudara, tetapi tidak ada
kecocokan antara Rahwana dengan adik-adiknya se-
perti Kumbakarna dan Wibisana! Mereka bahkan se-
ring bertentangan pendapat!”
“Hmmm, apakah Nona Andini Sari mencoba menje-
laskan bahwa Nona tidak sepaham dengan Ki Rikma
Rembyak?” bertanya Jagal Wesi.
“Begitulah jelasnya, jika Anda mau percaya!” ujar
Andini Sari. “Jika tidak, Anda boleh meneruskan mak-
sudmu, bertarung melawan aku. Jangan kira bahwa
aku akan takut untuk menghadapi Anda!”
“Lho, eeh tidak! Tidak, Nona Andini Sari! Jika kata-
kata Nona benar, maka biarlah aku mengurungkan
maksudku tadi, dan sebaliknya aku meminta maaf ke-
pada Andika!”
Andini Sari tampak menghela nafas lega mendengar
kata-kata Jagal Wesi tadi, kemudian iapun berkata,
“Ngngng, jadi Anda sekarang bisa memaklumiku?”
“Baiklah Nona Andini Sari,” ujar Jagal Wesi. “Kini
aku merasa tenang bahwa di pulau ini masih ada
orang yang sepaham dengan diriku, yakni untuk....”
“Menentang kekejaman yang semena-mena!” sahut
Andini Sari menyambung kata-kata Jagal Wesi tadi.
“Oleh sebab itu, tak perlu Anda merasa kuatir lagi ke-
padaku.”
“Terima kasih Nona Andini Sari,” berkata Jagal Wesi
seraya menatap ke barat, ke arah langit malam yang
bening itu dan iapun bergumam perlahan. “Sang rem-
bulan semakin mendekati cakrawala.”
“Yah, malam telah kelewat larut dan aku harus se-
cepatnya pulang ke rumah,” kata Andini Sari.
“Andika akan pulang? Marilah aku antar sampai ke
rumah,” Jagal Wesi berkata.
“Jangan! Sebaiknya kita pulang sendiri-sendiri saja,
sahabat,” kata Andini Sari. “Aku tak mengharap orang-
orang lain menjadi curiga karena pertemuan kita ini.”
Jagal Wesi tak mencoba mendesak dan membiarkan
gadis itu berjalan, melangkah ke arah timur menuju ke
pusat pulau, dan iapun terpaksa mendesis kagum bila
dengan beberapa loncatan panjang Andini Sari telah
lenyap dari depan pandangan matanya, kecuali tinggal
satu titik hitam yang bergerak-gerak, jauh di sebelah
sana.
***
Masih saja termangu dan rasanya tidak percaya si
Jagal Wesi terhadap kejadian yang baru saja berlalu.
Seorang anak seperti Andini Sari sampai berani me-
nentang sikap ayahnya sendiri. Namun hal itupun te-
lah dijelaskan oleh Andini Sari beberapa saat yang la-
lu, sehingga ia tidak lagi kuatir bila gadis itu akan
mengkhianatinya.
Demikianlah, sampai pagi hari Jagal Wesi baru da-
pat tidur sebentar dan tiba-tiba saja ia terbangun oleh
langkah-langkah kaki yang lewat di depan pondoknya.
Maka cepat-cepat Jagal Wesi mencuci muka dan me-
nyisipkan pedangnya, lalu pergi ke luar.
“Hee, orang-orang itu menuju ke pesisir selatan.
Apakah yang terjadi di sana?” pikir Jagal Wesi setelah
ia meninggalkan ambang pintu pondoknya.
Tiba-tiba saja terdengarlah bunyi tiupan terompet
kulit siput yang arahnya dari sebelah selatan, mem-
buat Jagal Wesi mengernyitkan keningnya.
“Hmm, itu tanda berkumpul dan ada orang yang
akan berlayar! Siapa pula mereka ini?” demikian kata
Jagal Wesi di dalam hatinya. “Sebaiknya aku harus ce-
pat-cepat pergi ke sana juga!”
Dengan langkah-langkah lebar, Jagal Wesi berjalan
ke arah pantai selatan dan di jalanan, beberapa orang-
pun tampak bergegas pergi ke sana pula.
Sementara itu, sebuah perahu layar telah disiapkan
di pantai ketika Jagal Wesi tiba di tempat tersebut. Ku-
rang lebih sepuluh orang berjajar lengkap dengan sen-
jata-senjatanya, dan di muka mereka Ki Rikma Rem-
byak berdiri dengan tegapnya.
Di antara orang-orang yang berjajar itu, terlihatlah
di antaranya Garangpati, Soma Karang, si Tongkol dan
lain-lainnya lagi.
Tak lama kemudian, Ki Rikma Rembyak berkata
kepada rombongan kecil tersebut.
“Anak-anak, kalian harus pergi ke pesisir utara Ja-
wa untuk menghubungi saudara-saudara kita di sana.
Bantulah Ki Bido Teles di sana. Tugas-tugas lainnya,
nanti akan dijelaskan oleh Soma Karang! Dan kau Ga-
rangpati, kau kuberi kesempatan lagi untuk melaksa-
nakan tugas dariku ini. Laksanakan sebaik-baiknya.
Jika kau gagal, kau jangan harap kembali ke mari! le-
bih baik kau membunuh diri saja!”
Garangpati mengangguk dan kemudian tunduk ke
bawah tanpa berani menatap sedikitpun kepada pemimpinnya, namun dalam hati ia telah berjanji bahwa
sekali ini ia akan sepenuhnya melaksanakan tugasnya.
Iapun telah bertekad untuk lebih baik mati dari-
pada gagal untuk ketiga kalinya. Bagi gerombolan Ki
Rikma Rembyak, kegagalan yang ketiga adalah tabu,
dan pula berarti kematian bagi si pelaku. Kalau tidak
mati karena membunuh diri, maka teman-teman sen-
dirilah yang akan membunuhnya!
Tak antara lama, orang-orang tersebut telah berlon-
catan turun ke perahu, sesudah Ki Rikma Rembyak
memberi aba-aba untuk berangkat. Secepat dayung-
dayung bergerak, secepat itu pula perahu yang ditum-
pangi mereka meluncur ke tengah laut dan sebentar
kemudian mereka telah memasang layar perahunya.
Soma Karang masih menatap ke utara ke arah pan-
tai Pulau Mondoliko yang semakin menjauh dan me-
ngecil itu. Kini yang tampak hanyalah pucuk-pucuk
pohon kelapa yang melambai-lambai daunnya, sedang
orang-orang yang berada di pantai cuma tinggal terli-
hat sebagai titik-titik kecil saja.
Ketika mereka telah jauh berada di tengah laut,
Soma Karang lalu membuka selembar kulit yang tadi
telah diterima dari Ki Rikma Rembyak.
“Hehhh, aku harus mendarat di tempat ini!” gumam
Soma Karang sambil memperlihatkan tulisan dan peta
kasar dari pantai utara Jawa yang melingkari Gunung
Muria. “Memang sesuai dengan petunjuk-petunjuk
yang diberikan oleh Bido Teles beberapa waktu yang
lalu!”
Selesai membaca surat itu, Soma Karang segera me-
lipatnya serta disimpannya kembali ke ikat pinggang-
nya.
“Si Tongkol, jagalah kemudinya baik-baik!” ujar So-
ma Karang kepada si pemegang kemudi.
“Baik, Kakang Soma!” sahut si Tongkol dengan tersenyum lebar. “Jangan kuatir, kemudi ini akan aku ja-
ga dan aku kemudikan seperti aku menjaga gadis ke-
kasihku sendiri!”
“Ha, ha, ha, ha,” terdengar suara ketawa riuh dari
segenap awak perahu termasuk Soma Karang pula.
“Ohh, kau selalu membicarakan wanita, si Tong-
kol?” kata Soma Karang sambil menahan sisa-sisa ke-
tawanya. “Apakah hanya itu yang kau pikirkan?”
“Maaf, Kakang Soma. Habis, hanya wanitalah yang
dapat menambah semangatku!” sahut si Tongkol sam-
bil mengelus dan menciumi ujung kemudi perahu,
membuat kawan-kawan lainnya semakin riuh tertawa.
Demikianlah, anak buah Ki Rikma Rembyak itu ber-
kelakar dan saling mengganggu tanpa merasa bahwa
mereka telah jauh berlayar meninggalkan Pulau Mon-
doliko.
Dalam pada itu, sekali-sekali Soma Karang melirik
ke arah Garangpati yang tengah menggosok-gosok se-
bilah pedang di tangannya. Sejak tadi Soma Karang
melihat bahwa Garangpati cuma berdiam diri dan se-
dikit ketawa saja.
“Hmmm, Kakang Garangpati kelihatannya sibuk
berpikir. Agaknya ia benar-benar memikirkan peringa-
tan terakhir dari ketua Ki Rikma Rembyak!” berkata
Soma Karang di dalam hatinya. “Memang tugas ini
adalah kesempatannya yang terakhir untuk memper-
baiki dirinya! Jika gagal berarti ia harus mati!”
Perahu yang ditumpangi mereka terus membelah air
laut meluncur ke arah tenggara. Dari sebelah selatan
terlihatlah bentuk Gunung Muria yang berpuncak tiga
membayang dengan indahnya, bagaikan raksasa yang
tengah tidur dengan lelapnya berselimut awan putih
beberapa potong. Para awak perahupun menjadi lebih
gembira karena tak lama lagi mereka akan tiba di daratan.
EMPAT
ENAM ORANG berkuda tampak menyusuri kaki ti-
mur Gunung Muria menuju ke utara. Mereka baru saja
meninggalkan Desa Tegalreja yang telah disinggahi be-
berapa saat untuk sekadar melepaskan lelah dan mi-
num serta makan secukupnya.
Mereka berpacu kembali, melewati jalan rintisan
yang berlika-liku di sepanjang kaki gunung. Beberapa
orang desa yang kebetulan lewat segera menepi dan
terpaksalah mereka dibuat keheranan bila mereka me-
lihat bahwa seorang di antara orang-orang yang ber-
kuda tadi, mengenakan topeng kain putih yang menu-
tupi mukanya.
Namun merekapun cuma berdiam diri sebab me-
reka pernah mendengar bahwa kadang-kadang orang
sakti sering berlaku aneh. Ada yang bertopeng, ada
yang berkerudung kulit macan, berkuku panjang-pan-
jang yang dipolesi dengan racun dan sebagainya.
Begitulah, maka mereka berenam terus berpacu
tanpa menjumpai rintangan apapun. Sesudah melewa-
ti beberapa hutan-hutan kecil dan beberapa gerumbul
pohon-pohon bambu mereka mulai memasuki daerah
pedesaan lagi.
“Bapak Pendekar Bayangan, kita telah memasuki
Desa Tayu,” ujar Lawunggana. “Tujuan kita hampir
tercapai dan di pojok utara sanalah terletak Tanjung
Bugel.”
“Yah, kita sekali lagi singgah sebentar sambil men-
cari keterangan-keterangan tentang Ki Bango Wadas
dan kawan-kawannya. Tetapi berhati-hatilah. Sebisa-
bisanya jangan sampai membuat keributan!” Pendekar
Bayangan berkata kepada Lawunggana dan juga kepa-
da Kertipana, Sorogenen dan dua orang jagabaya yang
berkuda di belakang.
Beberapa sawah yang mulai menghijau terlihat me-
nyenangkan hati, lebih-lebih bagi bapak-bapak tani
yang telah mengolah dan mengerjakannya sehingga
batang-batang padi tersebut tumbuh dengan subur-
nya.
Ketika memasuki Desa Tayu, mereka berenam sege-
ra menghentikan kuda-kudanya di muka sebuah wa-
rung dan menambatkannya pada batang-batang pohon
di dekat pagar halaman.
Pendekar Bayangan, Lawunggana dan lain-lainnya
lalu melangkah masuk ke dalam warung. Namun me-
reka segera mengernyitkan dahinya bila di sebuah me-
ja yang lain, terdapatlah enam orang duduk-duduk se-
raya minum tuak dengan sebentar-sebentar tertawa
terkekeh-kekeh.
Akan tetapi rupanya para peminum tuak itupun ter-
kejut pula melihat enam orang tamu baru masuk ke
dalam warung dan terutama mereka sangat tertarik
kepada Pendekar Bayangan yang mengenakan topeng
kain putih itu.
Tak lama kemudian Pendekar Bayangan beserta
rombongannya telah pula duduk dengan minum-
minum tuak, sambil bercakap-cakap seperlunya.
“Stttt, Lawunggana, berhati-hatilah! Keenam orang
peminum tuak di sebelah sana itu selalu memperhati-
kan kita!” demikian bisik Pendekar Bayangan kepada
Lawunggana.
“Benar, Bapak! Baiklah, aku akan senantiasa ber-
hati-hati,” jawab Lawunggana seraya memberi isyarat
pula kepada keempat sahabat yang duduk di dekatnya.
“Hemm, jadi kuda-kuda yang tertambat di samping
warung itu rupanya adalah milik mereka!” bisik Kerti-
pana.
“Berarti mereka adalah orang-orang asing dan datang dari tempat jauh! Bukankah begitu, Bapak?!” ujar
Sorogenen pula.
“Memang, bisa jadi demikianlah sesungguhnya,” ka-
ta Pendekar Bayangan membenarkan.
Keenam peminum tuak di meja sebelah sana itu
memang sesungguhnya memperhatikan Pendekar
Bayangan dan kelima orang pengikutnya. Dan mereka
lebih tertarik kepada Pendekar Bayangan yang berto-
peng itu. Mereka tertawa terbahak-bahak bila Pende-
kar Bayangan menyingsingkan ujung bawah dari to-
peng kainnya bila ia hendak minum tuak dari mang-
kuk tembikarnya.
Yang paling keras tertawa adalah seorang yang ber-
bibir tebal dan bermata tajam. Agaknya orang inilah
pemimpin dari para peminum tuak tadi.
“Heh, heh, heh, heh. Lihatlah teman-teman, di sana
ada seorang bertopeng. Rupanya dia adalah seorang
penari topeng keliling yang lagi tidak laku!”
“Hi, hi, hi. Dan kita patut menaruh belas kasihan
kepadanya, Kakang Dobleh!” ujar seorang peminum
tuak lainnya dengan suara sember karena hidungnya
yang besar dan pesek itu.
“Betul, Adi Dempok. Kita harus kasihan kepadanya.
Nah, teman-teman, keluarkan uang tembagamu dan
berikan kepada tukang penari topeng itu. Heh, heh,
heh.”
Mendengar perintah Dobleh tadi, maka masing-ma-
sing segera mengeluarkan sekeping uang tembaga dari
ikat pinggang. Tetapi mereka tidak begitu saja membe-
rikan uang tembaga tadi, dan inilah yang membuat
Pendekar Bayangan dan rombongannya terkejut.
Keenam peminum tuak tadi tiba-tiba meletakkan
masing-masing uang tembaganya ke dalam telapak
tangannya lalu digenggam erat-erat. Sesaat kemudian
mereka membuka kepalan tangannya dan sekaligus
melemparkan uang tembaganya tadi ke arah meja
Pendekar Bayangan diiringi teriakan Dobleh. “Nah, to-
peng barangan, terimalah sekadar belas kasihan dari
kami! Heh, heh, heh!”
Tak-tak-clap-clap-clap-tak!
Terdengar bunyi menancap membuat Pendekar
Bayangan, Lawunggana dan yang lain-lain terkejut bu-
kan main, apalagi setelah di atas permukaan meja di
depan mereka bertancapan enam gulungan uang tem-
baga!
“Luar biasa! Tenaga dalam yang sempurna!” desis
Pendekar Bayangan penuh kagum. Mereka, lebih-lebih
para pengikut Pendekar Bayangan, tidak bisa mengerti
mengapa keenam keping uang tembaga yang tadinya
bulat terbuka dan cukup tebal itu dengan mudah ter-
gulung seperti gulungan pucuk daun pisang muda
yang lagi tumbuh.
Demikianlah, kelima pengikut Pendekar Bayangan
terdiam bisu dengan perasaan tegang dan dada ber-
dentang-dentang, kecuali keenam peminum tuak yang
melempar uang tadi malah tertawa ramai.
“Kakang Dobleh, lihatlah! Mereka melongo ketaku-
tan setengah mati!” seru Dempok kegirangan. “Kasi-
han....”
“Heh, heh, heh. Memang kasihan kalau mulut me-
reka yang melongo itu kemasukan lalat!” ujar Dobleh.
“Benar, Kakang Dobleh!” sahut Dempok seraya me-
mungut seiris juadah ketan seraya berteriak. “Hee, so-
bat, awas mulutmu!” Dan berbareng itu pula Dempok
mengibaskan tangannya tadi ke arah tempat Pendekar
Bayangan.
Wesss!
Juadah ketan tadi melayang dan tahu-tahu telah
menyumbat ke dalam mulut Sorogenen yang lagi me-
longo. Keruan saja Sorogenen segera menyemburkan
juadah ketan tadi ke tanah seraya menyumpah-nyum-
pah, menyebabkan Dobleh dan kawan-kawannya se-
makin keras tertawa.
“Kurang ajar!” desis Lawunggana seraya meraba hu-
lu pedangnya. “Kita harus melabrak mereka!”
“Sabar Lawunggana!” cegah Pendekar Bayangan.
“Kita harus hati-hati. Mereka bukan orang-orang sem-
barangan. Keenamnya pasti pendekar-pendekar jago-
an!”
“Tapi, Bapak. Jika kita berdiam diri, pasti mereka
akan lebih kurang ajar lagi!” sela Lawunggana.
“Biarlah aku yang meladeni mereka, Lawunggana.
Kalian lihat saja nanti. Jika aku benar-benar kewala-
han, barulah kalian boleh turun tangan!” Pendekar Ba-
yangan berkata seraya tersenyum di balik topengnya.
Lalu ia menatap ke arah Dobleh dan kawan-kawannya
dan berkata, “Heee, para sobat! Kalian telah bermurah
hati memberikan uang-uang tembaga ini. Tapi sayang
kami masih mempunyai persediaan lebih dari cukup!”
Sambil berkata begitu Pendekar Bayangan seraya
mencabuti keenam gulungan uang tembaga yang me-
nancap di atas permukaan meja di depannya, lalu
dengan mudahnya membuka gulungan uang tembaga
tadi satu demi satu sehingga menjadi lurus dan bulat
seperti sediakala.
“Ooooh!” desis Dobleh beserta kawan-kawannya.
Demikian pula Lawunggana, Sorogenen, Kertipana dan
dua orang jagabaya yang duduk semeja dengan Pende-
kar Bayangan sendiri ikut terkejut, lebih terkejut dari-
pada ketika mereka melihat uang tembaga tadi masih
tergulung.
Dobleh, Dempok dan keempat teman lainnya ter-
paksa ganti melongo keheranan, sebab merekapun tak
habis mengerti betapa orang bertopeng tersebut dapat
membuka gulungan uang tembaga tadi, semudah
orang membuka gulungan selembar kertas belaka.
Bagaimanapun kenyataannya, sesungguhnya lebih
mudah menggulung selembar uang logam daripada
membuka dan meluruskan uang logam yang telah ter-
gulung supaya pulih seperti sediakala.
Belum lagi Dobleh dan kawan-kawannya habis ke-
heranan, tiba-tiba Pendekar Bayangan telah melempar
kembali ke arah meja para peminum tuak tadi!
Crak-crak-crak-cep-cep-cep!
Keenam buah uang tembaga tersebut bertancapan
pada permukaan meja si Dobleh dalam satu garis lu-
rus seperti berbaris.
“Terimalah kembali uangmu itu!” seru Pendekar
Bayangan kepada Dobleh dan kawan-kawannya.
“Keparat!” desis Dobleh seraya mencabut mata uang
tembaga yang tertancap di permukaan meja di depan-
nya. Tapi alangkah kagetnya bila mata uang tadi tidak
tercabut bahkan bergerak saja tidak! Begitu pula keli-
ma orang pengikutnya pada mengutuk-ngutuk setelah
mereka tak berhasil mencabut uang tembaga itu, yang
keadaannya telah menancap separo lebih ke dalam
kayu permukaan meja.
“Permainanmu tidak begitu jelek, topeng barangan!”
bentak Dobleh seraya mengangkat meja tersebut de-
ngan sebelah tangan lalu dilemparkan ke arah Pende-
kar Bayangan. “Terimalah hadiahku ini!” teriak Dobleh
mengiringi meja yang dilemparnya tadi melayang ke
arah sasarannya, yakni Pendekar Bayangan.
Namun sebelumnya Pendekar Bayangan telah ber-
jaga lebih dulu, maka begitu meja tadi melayang ke
arah tempatnya, secepat kilat ia melancarkan pukulan
tenaga dalamnya yang telah terkenal dengan nama Pu-
kulan Angin Bisu ke arah meja itu.
Plestak... byaaaarr!
Meja tadi tahu-tahu ambrol di tengah lemparannya
dan berantakan runtuh ke permukaan lantai warung.
Melihat ini Dobleh beserta kelima orangnya segera
berloncatan ke luar warung.
“Topeng barangan! Ayo keluar! Kita bermain-main
sedikit!” teriak Dobleh dengan kerasnya.
Beberapa pengunjung ataupun tamu lainnya segera
bersembunyi di pojok warung dan sebagian lagi me-
nyingkir ke luar.
Dengan tenangnya Pendekar Bayangan melangkah
ke luar dan mendapatkan Dobleh yang telah meneriak-
kan tantangannya tadi.
“Heh, kau masih ingin bermain-main?” ujar Pende-
kar Bayangan dengan tenangnya.
“Yaaaah! Aku masih ingin mendapat sedikit pelaja-
ran dari kamu, topeng barangan. Bersiaplah!” teriak
Dobleh sambil mengkomat-kamitkan bibir tebalnya.
“Hyaaat!” seru Dobleh dan melesat ke arah Pendekar
Bayangan dengan pukulan tangannya, yang segera di-
sambut oleh Pendekar Bayangan menyilangkan kedua
tangannya di depan dada.
Blaaaakkkk!
Terdengar benturan seru dan tubuh Dobleh tampak
terpental ke belakang, tapi dengan sigap ia menda-
ratkan kakinya ke tanah. Sedang Pendekar Bayangan
tetap berdiri tegak, bergeming saja tubuhnya tidak!
Hanya saja kedua tumitnya agak melesak masuk ke
tanah, akibat menahan pukulan tangan Dobleh. De-
ngan ini jelaslah bahwa peminum tuak berbibir tebal
ini memiliki tenaga dalam yang cukup hebat!
Setelah terpental itu, Dobleh seketika berseru, “To-
peng barangan! Kamu sungguh hebat! Tapi sampai di
sini dulu permainan kita! Lain kali kita lanjutkan lagi!”
Dobleh bersama kelima kawannya segera bergegas
melangkah ke samping warung dan mendapatkan ku-
da-kudanya. Mereka segera berloncatan ke punggung
kudanya dan memacunya sekali ke arah utara mening-
galkan warung tersebut.
Orang-orang yang menyaksikan pertandingan sing-
kat tadi terpaksa terlongoh keheranan, sementara Pen-
dekar Bayangan dan para pengikutnya telah duduk
kembali di tempatnya.
Mereka masih beberapa saat tinggal di situ sambil
menghabiskan minuman dan panganan yang telah ter-
hidang. Sesudah itu merekapun menyerahkan sekadar
uang kepada pemilik warung sebagai pengganti meja
dan mangkuk-mangkuk tembikar yang pecah akibat
perbuatan Dobleh dan kawan-kawannya tadi.
“Eh, terima kasih, Tuan!” berkata si pemilik warung
kepada Pendekar Bayangan. “Untunglah Tuan telah
memberi sedikit pelajaran kepada keenam pendekar
liar tadi sehingga mereka tidak akan berani ugal-uga-
lan lagi! Tetapi untunglah Tuan tidak mendapat cedera
sedikitpun. Sebab sesungguhnya keenam tadi adalah
pendekar-pendekar jagoan. Nah, tahukah Tuan, siapa
keenam orang tadi?!”
“Eeehm, tidak, Kisanak. Jika Andika tahu, lalu sia-
pakah mereka itu?” tanya Pendekar Bayangan.
“Mereka adalah Sasta Tunggal, atau si Setan Enam
Serangkai dari Pegunungan Kendeng!” ujar si pemilik
warung dengan suara bergetar.
“Si Setan Enam Serangkai?!” desis Pendekar Baya-
ngan dengan kaget. “Hmm, memang aku pernah men-
dengar nama Sasta Tunggal dari Gunung Kendeng. Ru-
panya tidak hanya isapan jempol belaka, tapi sungguh-
sungguh ada!”
“Tapi mengapakah mereka keluyuran sampai ke
tempat ini, Bapak?” bertanya Lawunggana. “Bukankah
Pegunungan Kendeng terletak jauh di sebelah selatan
sana?”
“Ya, itulah anehnya! Pasti mereka punya tujuan tertentu!” Pendekar Bayangan membenarkan. “Akh, biar-
lah. Kita tak perlu lagi menggubris mereka. Marilah ki-
ta meneruskan perjalanan kita!”
Setelah meminta diri kepada pemilik warung, Pen-
dekar Bayangan beserta kelima pengikutnya segera
melanjutkan perjalanannya ke Tanjung Bugel. Mereka
berpacu ke arah utara dengan cepatnya.
***
LIMA
SEBUAH PERAHU telah mendarat di pantai Tanjung
Bugel, lalu para penumpangnya segera menyeret pe-
rahu tadi ke balik sebuah batu karang yang menjorok
ke air, sehingga terlindung dari pandangan mata.
Sesudah perahu tadi tersembunyi, para awak pera-
hu segera berlarian ke darat dan bersembunyi di balik
batu-batu karang pantai.
“Kakang Soma Karang, apakah engkau yakin bahwa
tempat inilah yang harus kita tuju?” bertanya si Tong-
kol kepada pemimpin rombongan.
“Tidak keliru lagi, si Tongkol,” sahut Soma Karang
seraya melihat peta yang ada di tangannya. “Tempat
inilah yang ditandai oleh Ki Rikma Rembyak sesuai de-
ngan petunjuk dari Bido Teles! Dan tempat inilah yang
dinamakan Tanjung Bugel!”
“Tanjung Bugel!” ulang si Tongkol. “Nama yang agak
aneh! Tetapi lalu apakah tugas kita di sini?!”
“Kita menunggu kedatangan Kakang Bido Teles dan
teman-temannya!” ujar Soma Karang.
“Hemm, jadi kita akan menanti di sini?” menyela
Garangpati ikut berbicara. “Apakah kita tidak perlu
mencari si Bido Teles saja? Mungkin kita bisa berpencar.”
“Maaf, Kakang Garangpati. Perintah Ki Rikma Rem-
byak cuma mengharuskan kita menunggu Kakang Bi-
do Teles di tempat ini! Maka langkah-langkah selain
daripada yang dituliskan di dalam surat ini, tidak bisa
dibenarkan!” ujar Soma Karang. “Sebab selain melang-
gar perintah, juga berbahaya bila kita terpecah-pecah!”
“Hmm, terserah jika demikian,” gumam Garangpati.
“Engkau memimpin rombongan ini dan bertanggung
jawab atas tugas tersebut. Aku cuma sekadar menga-
jukan usul saja!”
Suasana menjadi sepi sejenak dan tiba-tiba mereka
terkejut oleh bunyi derapan kaki kuda dari sebelah ba-
rat, sehingga Soma Karang dan rombongannya terpe-
ranjat.
“Kawan-kawan, lekas bersembunyi!” seru Soma Ka-
rang. “Kita lihat saja, siapa yang mendatang itu!”
Mendengar perintah itu, maka orang-orang rombo-
ngan Soma Karang berloncatan dengan gesitnya ke ba-
lik batu-batu karang ataupun semak-semak yang cu-
kup lebat.
Sebentar-sebentar terdengar ringkikan kuda dan
debu yang berkepulan ke udara berbareng gemuruh
derap kaki kuda yang semakin dekat, membuat tanah
Tanjung Bugel bagaikan bergetar dan bergoyang.
Rombongan berkuda tadi segera berhenti dan para
penunggangnya berloncatan turun dari punggung ku-
da. Mereka ini ternyata adalah Ki Bango Wadas, Bido
Teles dan anak buahnya.
“Marilah kita bekerja dengan cepat, Bido Teles!” ujar
Ki Bango Wadas. “Persiapkan anak buahmu untuk me-
nyediakan alat-alat penggalinya! Nah, bagaimana?”
“Baik! Tapi sayangnya kita cuma membawa tiga
buah cangkul saja. Biarlah yang lain nanti menggali
dengan pedang dan goloknya!” jawab Bido Teles.
Ki Bango Wadas segera mengeluarkan dua buah ka-
lung permata hijau yang disimpannya di dalam kan-
tong ikat pinggangnya. Setelah itu ia menggatukkan
kedua permata hijau tadi pada sisi-sisi lurusnya se-
hingga keduanya merupakan lingkaran bulat.
“Nah, inilah tanda timbunan harta Tanjung Bugel
yang kita cari!” ujar Ki Bango Wadas. “Lihatlah ini, Bi-
do Teles. Ada tanda bulatan bercabang-cabang! Yah,
aku yakin bahwa yang dimaksud adalah sebuah pohon
tua! Dan ini di dekat tanda pohon tua terlihat tanda ti-
ga bulatan bersusun. Hemm, lihatlah di sebelah sela-
tan itu, kita lihat tiga buah batu karang besar bertum-
puk! Dan tidak jauh pula kita lihat ada sebuah pohon
beringin tua yang telah gundul!”
“Tapi apa arti tanda telapak kaki di samping angka
dua puluh lima ini?” sela Bido Teles seraya memperha-
tikan pada kedua permata kalung hijau tersebut.
“Itu berarti bahwa kita memperoleh ukuran tersem-
bunyi, yakni dua puluh lima langkah kaki dari arah
batu karang tiga bersusun!” ujar Ki Bango Wadas.
“Akan tetapi, tentang pohon beringin itu apakah ti-
dak mungkin terjadi satu kekeliruan?!” tanya Bido Te-
les seraya menatap ke arah pohon beringin tua yang
telah gundul itu dengan ragu-ragu.
“Heee, satu kekeliruan?” sambung Ki Bango Wadas
kaget. “Maksud Andika?”
“Begini, Ki Bango Wadas,” ujar Bido Teles. “Rahasia
tentang harta Tanjung Bugel ini telah bertahun-tahun
lewat. Dengan demikian mungkin pohon yang dimak-
sud dalam peta permata hijau itu telah lama mati dan
pohon beringin gundul yang sekarang kita jumpai ini
mungkin tumbuhan yang baru. Jadi bukan pohon
yang dimaksud!”
“Hmmm, bisa juga begitu,” ujar Ki Bango Wadas de-
ngan manggut-manggut. “Ternyata Andika berpikir dengan baik. Namun Andika pun harus pula ingat bahwa
pohon beringin itu mampu mempertahankan hidupnya
sampai puluhan tahun dan juga batu karang bersusun
itu bukanlah sekadar batu yang mudah rapuh dima-
kan jaman,” demikianlah kata-kata Ki Bango Wadas
seraya melihat kembali pada kedua permata kalung hi-
jau itu. “Nah, sekarang marilah dilanjutkan pemeriksa-
an kita. Lihatlah titik-titik ini berasal dari sumbernya,
yakni batu karang bersusun yang lurus menuju ke
arah pohon tua itu!”
“Heh, heh, heh, jelaslah sekarang ini!” sela Bido
Teles. “Jadi petunjuknya lurus dari batu karang bersu-
sun tiga segaris atau searah dengan pohon beringin
tua, dan sejauh dua puluh lima langkah. Kemudian
berhenti dan galilah tempat tersebut, sebab di bawah-
nya tertimbun seguci dan beberapa peti kecil yang be-
risi emas intan perhiasan yang tak ternilai harganya.”
“Nah, sekarang mulailah kita bekerja!” kata Ki Ba-
ngo Wadas dengan tak sabar lagi.
Ki Bango Wadas, Bido Teles dan anak buahnya se-
gera berlarian ke arah batu karang bersusun tiga dan
mulailah mereka membuat ukuran-ukuran sesuai de-
ngan petunjuk-petunjuk pada batu permata hijau yang
telah berada pada tangan Ki Bango Wadas.
Mereka mengambil jarak dua puluh lima langkah
dan kemudian mulailah mereka menggali permukaan
tanah. Tanpa mengenal rasa lelah mereka terus meng-
gali dan menggali semakin dalam sampai akhirnya,
seorang di antara anak buah Bido Teles berteriak kegi-
rangan dan sangat serunya.
“Hei, lihatlah! Paculku menerjang sebuah leher guci
yang besar.”
“Husss, jangan berteriak keras-keras, Blending!”
ujar Bido Teles kepada anak buahnya. “Terus saja gali
dan lebih cepat kalau bisa!”
Mereka bekerja semakin cepat hingga sebentar saja
tergalilah sudah guci perunggu berukir indah. Bersa-
maan itu pula tergali pula beberapa peti kecil di sekitar
guci tadi.
Para penemu peti kecil tadi rupanya sudah tidak
sabar lagi untuk mengetahui apakah isi yang terkan-
dung di dalamnya. Maka cepat-cepat mereka membuka
peti tersebut dengan tergesa-gesa.
Namun berbareng tutup peti tadi terbuka maka ter-
dengarlah bunyi tiga desingan lemah dan tiga orang
yang tepat berada di depan mulut peti tadi menjerit ke-
ras lalu roboh ke tanah sambil berkelojotan.
Ki Bango Wadas dan Bido Teles yang melihat hal itu
cepat-cepat berusaha menolong ketiga orang tadi, te-
tapi sudah terlambat!
“Jarum-jarum beracun telah memasuki tubuh me-
reka! Bagaimana, Ki Bango Wadas?” desis Bido Teles.
“Tak dapat ditolong lagi, sobat,” ujar Ki Bango Wa-
das setelah ia memeriksa tubuh korban-korban terse-
but. “Racun telah beredar ke dalam darahnya!”
“Hmm, tiga orang anak buahku telah menjadi kor-
ban lagi!” gumam Bido Teles. “Tentunya kita harus le-
bih hati-hati dalam membuka tutup guci itu! Siapa ta-
hu bahwa mautpun telah mengintai di situ!”
“Lihatlah, Kakang Bido Teles!” berkata Sigayam
sambil membawa salah satu dari peti kecil yang telah
terbuka tadi. “Uang-uang emas! Kita semua akan
kaya!”
Mata Bido Teles seketika bersinar melihat uang
emas tersebut yang berkilapan tertimpa sinar matahari
siang dan kemudian iapun berkata kepada Sigayam.
“Nah, kalau begitu, lekaslah kau buka tutup guci itu,
Sigayam!”
“Baik, Kakang!” Sigayam berkata seraya meletakkan
peti kecil tadi, lalu mendekati guci perunggu dengan
hati-hati, seperti mendekati seorang musuh. Dengan
segera pula dicabutnya pedang di pinggang kirinya un-
tuk kemudian digunakan sebagai pencungkil tutup pe-
runggu dari guci itu.
Klang!
Tutup guci tersebut terlepas dan menggelinding ke
bawah bersamaan Sigayam dan orang-orang lainnya
mengendapkan diri, sebab takut kalau-kalau menjadi
korban seperti ketiga orang yang membuka peti kecil
tadi.
Akan tetapi sampai beberapa lama tidak terjadi se-
suatu hal, seperti berloncatannya jarum-jarum bera-
cun ataupun lain-lainnya, sehingga Ki Bango Wadas,
Bido Teles, Sigayam dan orang-orang lainnya dapat
menarik nafas lega.
Maka Bido Teles buru-buru memeriksa isi guci pe-
runggu tersebut. Dan begitu tangannya menjumput se-
untai kalung emas yang berhiaskan permata-permata
intan yang gemerlapan, iapun berseru dengan girang-
nya. “Ha, ha, ha, ha! Lihat, kawan-kawan! Lihatlah ini!
Kita semua akan kaya. Ha, ha.”
“Sobat Bido Teles,” berkata Ki Bango Wadas, “seba-
iknya kita kumpulkan seluruh harta penemuan Tan-
jung Bugel ini, kemudian kita bagi rata!”
“Ha, ha, ha, ha. Mengapa tergesa-gesa, Kiai? Apa-
kah Andika kuatir kalau tidak menerima bagianmu?”
bertanya Bido Teles seraya memain-mainkan kalung
intan yang ada di tangannya.
“He, hanya bagianku?! Jangan lupa, sobat! Aku ha-
rus menerima pula bagian untuk muridku si Lawung-
gana!” Ki Bango Wadas berkata dengar tajam, sehingga
Bido Teles menjadi terkejut.
“Sayang, Ki Bango Wadas! Maaf sebesar-besarnya,
bahwa aku cuma dapat menyerahkan bagian untukmu
saja, Kiai! Sebab ketahuilah, bahwa si Lawunggana
muridmu itu, tidak ikut bekerja bersama kita. Maka ti-
dak sepantasnya bila iapun harus mendapat bagian-
nya!” demikian kata-kata Bido Teles.
“Eh, bukankah aku yang menerimanya adalah sama
saja?” seru Ki Bango Wadas dengan nada keras.
“Ho, ho, ho. Tidak bisa, Kiai! Andika tahu, berapa
orang anak buahku yang telah tewas dalam usaha
mencari Harta Tanjung Bugel ini?”
“Itu bukan urusanku!” sahut Ki Bango Wadas.
“Memang bukan urusanmu!” kata Bido Teles. “Tapi
itu semua telah terjadi dan mereka itu benar-benar te-
lah bekerja di dalam rombongan ini! Sedang muridmu
itu, tidak ikut bekerja di sini, maka bagaimana kami
dapat menilai kemampuannya? Apalagi ia akan me-
minta bagiannya! Nah, itu tak bisa kami berikan!”
“Keparat,” teriak Ki Bango Wadas yang merasa bah-
wa tipuannya untuk mendapatkan dua bagian dari
harta tersebut tidak berhasil. “Kalian mau mencoba
mengkhianatiku, Bido Teles?!”
“Ooo, tidak sekali-sekali demikian, Ki Bango Wa-
das!” sela Bido Teles. “Sabarlah, Andika akan segera
menerima bagianmu saja. Dan itu akan sudah lebih
dari cukup buat hidupmu bertahun-tahun.”
“Tidak! Aku mau dua bagian!” teriak Ki Bango Wa-
das. “Dan kalian jangan coba-coba mempersulit atau
menipuku!”
“Hooo, Andika menghendaki kekerasan, Ki Bango
Wadas?!” bertanya Bido Teles seraya meringis. “Andika
tahu bahwa aku mempunyai anak buah yang cukup
banyak?!”
“Heeehh! Kau kira aku takut dengan tikus-tikus ke-
cil itu, haah?!” Ki Bango Wadas mulai bersiaga dan ia
telah menggenggam hulu penggadanya.
“Jangan Kiai menyesal nanti!” seru Bido Teles sam-
bil tersenyum, sebab ia melihat bahwa di belakang Ki
Bango Wadas telah bersiap seorang anak buahnya
yang siap membacokkan pedang lebarnya ke arah ke-
pala si botak Bango Wadas!
Tetapi memang dasar Ki Bango Wadas tidak bisa di-
remehkan begitu saja, begitu ia merasa desiran di be-
lakang tubuhnya, maka secepat kilat ia menyabetkan
penggada berdurinya ke belakang.
Prooaak!
“Eeaaarrgh!”
Si penyerang gelap anak buah Bido Teles itu seke-
tika roboh dengan kepala remuk disertai darah ber-
hamburan. Sedang Ki Bango Wadas kemudian tertawa
terkekeh melihat korbannya tadi roboh menemui ajal-
nya. Iapun segera berseru. “Bido Teles, lihatlah itu
anak buahmu! Mampus sudah! Nah, apakah itu tidak
cukup sebagai peringatan pendahuluan?!”
Bido Teles menggeram marah, dan tiba-tiba ia ber-
suit nyaring, bertepatan dari balik batu-batu karang
dan semak-semak berloncatanlah Soma Karang beser-
ta pengikutnya. Memang itulah isyarat yang mereka
tunggu-tunggu dan sebenarnya mereka telah sejak tadi
mengawasi rombongan Bido Teles.
“Kakang Bido Teles! Inilah kami datang!” seru Soma
Karang sambil meloncat ke samping Bido Teles, semen-
tara pengikut-pengikut Soma Karang lainnya segera
bersiaga dan menyiapkan senjatanya.
“Setan alas!” seru Ki Bango Wadas. “Kalian licik, Bi-
do Teles. Kau telah menyiapkan orang-orangmu untuk
mengeroyok diriku!”
“Heh, heh, heh. Kau mau apa, mau apa sekarang,
Bango Wadas?!” ujar Bido Teles. “Meskipun sakti luar
biasa, kau toh tak akan mampu menghadapi keroyo-
kan pendekar-pendekar dari gerombolan Ki Rikma
Rembyak ini!”
“Hooh? Jadi kalian begundal-begundal dari Rikma
Rembyak,” seru Ki Bango Wadas. “Hmm, bagus-
bagus!”
“Ho, ho, ho. Kau takut bukan?” seru Ki Bido Teles
kepada Ki Bango Wadas. “Oleh sebab itu, minggat saja-
lah sebelum tubuhmu lumat kami gilas!”
“Keparat! Jangan buru-buru sombong kau, Bido
Teles! Dengarlah suara derap kuda dari sebelah sela-
tan itu!” Ki Bango Wadas berteriak dan memanglah da-
ri sebelah selatan muncul enam orang berkuda yang
langsung menuju ke arah Ki Bango Wadas yang lagi
dikepung itu.
Tanpa diduga-duga, keenam orang berkuda itu se-
konyong-konyong mengibaskan tangannya, disusul bu-
nyi berdesing nyaring dan tahu-tahu enam orang anak
buah Bido Teles yang lagi mengepung Ki Bango Wadas
terjungkal ke tanah, dengan masing-masing dahinya
tertembus oleh sekeping mata uang tembaga!
Bukan main kagetnya Bido Teles, Soma Karang dan
segenap rombongannya, ketika enam orang dari anak
buahnya telah tergeletak tak bernyawa lagi. Kini ganti
Ki Bango Wadaslah yang terkekeh-kekeh kegirangan,
sementara keenam orang pendatang tadi segera ber-
loncatan turun dari punggung kudanya dan segera
mendapatkan Ki Bango Wadas.
“Ha, ha, ha, ha. Nah, lihatlah Bido Teles! Kalian ta-
hu siapa yang berdiri di sampingku ini?! Mereka ada-
lah Sasta Tunggal atau Setan Enam Serangkai dari Pe-
gunungan Kendeng!”
Keruan saja Bido Teles serta segenap gerombolan-
nya menjadi kaget sekali. Mereka mengenal bahwa Se-
tan Enam Serangkai dari daerah selatan itu sangat di-
takuti dan hampir boleh dikatakan bahwa mereka te-
lah merajai Pegunungan Kendeng dan daerah sekitar-
nya.
Dalam pada itu, Ki Bango Wadas telah merasa tenang, sebab kini dirinya telah dibela oleh Sasta Tung-
gal yang telah diundangnya beberapa waktu berselang.
Sedang tangan kirinya berkali-kali meraba dua kalung
permata hijau yang disimpannya dalam lipatan ikat
pinggangnya. Sesungguhnya ia kuatir kalau-kalau ter-
jatuh, sebab kedua kalung inilah yang sangat berharga
dan juga pangkal dari sengketa kalung pusaka dan
harta Tanjung Bugel!
“Kurang ajar!” sumpah Bido Teles. “Kaupun juga li-
cik, Bango Wadas! Kau telah melibatkan Setan Enam
Serangkai dalam persoalan ini!”
“Heh, heh, heh, heh. Tak perlu mengumpat! Kenya-
taannya kita sama-sama liciknya. Dan sekarang, siapa
yang berhasil menang dalam pertempuran nanti, di-
alah yang boleh menggotong seluruh harta Tanjung
Bugel itu!” demikian teriak Ki Bango Wadas.
“Bagus!” seru Bido Teles. “Ayo, kawan-kawan, han-
curkan si botak itu dengan kawan-kawannya! Ser-
buuu!”
Pertempuran hebat tak tercegah lagi. Begitu teria-
kan Bido Teles mengumandang di atas udara Tanjung
Bugel ini, seketika itu pula menerjanglah Bido Teles
beserta seluruh rombongannya ke arah Ki Bango Wa-
das dan enam pendekar dari selatan itu.
Dengan sabetan penggadanya, Ki Bango Wadas me-
nyambut serangan Bido Teles yang menyerang dengan
pedang lebarnya, sementara Soma Karang, Garangpati,
si Tongkol, Blending, Sigayam dan lain-lainnya telah
menerjang ke arah Setan Enam Serangkai.
Namun alangkah kagetnya Soma Karang beserta
rombongannya bila ternyata Setan Enam Serangkai itu
berkekuatan dahsyat. Mereka masing-masing bersenja-
takan pedang yang tajam pada kedua belah sisinya
dan gerakan mereka selalu berpasangan.
Dengan begitu maka Soma Karang dan kawan-kawannya terpaksa harus mengerahkan segenap tena-
ganya untuk menghadapi Sasta Tunggal dari Pegunu-
ngan Kendeng ini!
Memang sangat hebat si Setan Enam Serangkai.
Maka sudah pantaslah bila mereka disebut dengan
nama demikian. Gerakannya benar-benar mirip seka-
wanan setan yang kelaparan. Mereka kadang-kadang
bertempur dalam garis memanjang sehingga merupa-
kan seleret ombak ganas yang siap menyapu lawan-
lawannya. Terkadang mereka menjadi setengah lingka-
ran gerakannya, mirip cepit udang atau bentuk tapal
kuda sampai pertahanan Soma Karang dan rekan-
rekannya terpaksa berantakan bila mereka tidak ingin
dikurung serta dicepit oleh si Setan Enam Serangkai
dari daerah selatan itu.
Berkali-kali Soma Karang langsung menerjang ke
arah pemimpin dari Setan Enam Serangkai tersebut,
tapi setiap kali pendekar dari Pulau Mondoliko ini di-
buat kagum oleh tangkisan-tangkisan yang dilancar-
kan oleh si pemimpin Setan Enam Serangkai yang ber-
bibir tebal, lebar dan bermata tajam.
“Haa, ha, ha, ha. Tikus-tikus yang mau main cu-
rang! Mau apa kau sekarang, haa?!” teriak si pemimpin
berbibir tebal kepada Soma Karang. “Mumpung masih
ada waktu, lekaslah angkat kaki dan tinggalkan harta
Tanjung Bugel untuk kami! Jika tidak, maka kau akan
segera binasa di bawah pedangku ini!”
“Keparat. Manusia berbibir setebal sumur itu masih
berani jual tampang di muka anak buah Ki Rikma
Rembyak?!” seru Soma Karang. “Sebut dulu namamu,
hah!”
“Ha, ha, ha, ha. Akulah yang bernama Dobleh Kela-
na, pemimpin dari Sasta Tunggal atau Setan Enam Se-
rangkai ini!” jawab si pemimpin berbibir tebal tadi se-
raya memutar-mutar pedangnya sampai merupakan
lingkaran sinar putih dan berdesis-desis mengiris hati.
Sesaat Soma Karang agak terkejut, namun akhirnya
iapun tertawa menggeletar. “Hi, hi, ha, ha. Permainan
pedangmu tidak begitu jelek, sobat berbibir sumur!
Tapi cobalah untuk menyerangku jika kau mampu!”
Belum lagi Soma Karang meneruskan kata-katanya,
mendadak Dobleh telah melesat menerjang ke arah di-
rinya. Untunglah iapun telah bersiaga sejak semula.
Maka begitu pedang lawannya menyambar, secepat ki-
lat Soma Karang menangkiskan pedangnya.
Craaaang!
Kedua-duanya, baik Soma Karang sendiri maupun
Dobleh Kelana, menjadi saling terperanjat akibat ben-
turan kedua senjata mereka. Keduanya tergetar surut
beberapa langkah dibarengi pedang-pedang mereka
tergetar di dalam genggaman.
Maka tak urung Soma Karang menjadi terheran-he-
ran bahwa gempuran pedang lebarnya yang dilambari
kekuatan penuh, dan biasanya sanggup sekali pukul
rontok terhadap lawan-lawannya, kini ternyata kandas
dalam tangkisan pertama Dobleh Kelana.
Dengan demikian makin sadarlah Soma Karang,
bahwa julukan Setan Enam Serangkai terhadap Dob-
leh Kelana berenam itu betul-betul cocok dengan ke-
nyataannya. Gerak dan tindak-tanduk mereka mirip
setan-setan liar tak terurus.
Begitu juga sebaliknya. Dobleh Kelana juga merasa
heran mengapa lawannya ini sanggup menerima ter-
jangan pedangnya. Padahal ia mengira bahwa pedang
lawannya akan segera terpental lepas dari tangan So-
ma Karang.
Karenanya masing-masing menjadi maklum bahwa
kekuatan mereka tidak selisih banyak bedanya dan
merupakan lawan yang seimbang.
Terbentanglah sudah pertempuran yang semakin
meningkat seru dan menyeramkan. Bila pedang ber-
mata kembar si Dobleh Kelana sanggup mengaung-
ngaung berputar dahsyat, maka pedang lebar Soma
Karang mampu menebas-nebas dengan sambaran
mautnya.
Pada waktu yang sama pula, Garangpati bertempur
dengan tangguhnya melawan Dempok atau orang ke-
dua dari Setan Enam Serangkai. Tokoh selatan yang
berhidung pesek dan besar, bagaikan buah jambu air
menggandul itu, ternyata bukan lawan yang boleh di-
anggap ringan dan semaunya.
Pada gebrakan dan jurus pertama saja, terasalah
oleh Garangpati kalau Dempok memiliki kekuatan ter-
sembunyi. Orang seperti Garangpati yang telah ber-
tempur di mana-mana dan kenyang akan asam garam-
nya, segera menjadi tahu bagaimanakah yang harus
diperbuatnya dalam menghadapi Dempok itu. Tidak
lain ialah menumpahkan segenap tenaga dan ilmunya
secara total!
Di sebelah lain, si Tongkol, Blending, Sigayam dan
lain-lainnya juga terlibat dalam pertarungan seru me-
lawan keempat Setan Enam Serangkai yang lain. Ang-
gapan mereka yang semula mengira bahwa golongan-
nya akan selalu menang dan ditakuti lawan-lawannya,
ternyata sekarang menjadi keliru, sebab kali ini me-
reka menemukan lawan yang imbang.
Ki Bango Wadas memutar penggada berdurinya dan
bunyi berdesau terdengar bersamaan cahaya berkila-
tan dari duri-duri logam yang runcing dan setiap saat
dapat merobek tubuh Bido Teles. Karenanya Bido Teles
terpaksa mengomel dalam hati menghadapi lawannya
yang berkepala botak ini. Kalau saja ia tak mempunyai
kepandaian tinggi, jangan harap mampu menandingi si
botak dari muara Kali Serang itu. Sebagai pendekar ja-
goan dari seluruh pengikut-pengikut Ki Rikma Rembyak, Bido Teles tak mau mendapat malu oleh teman-
temannya jika sampai dikalahkan oleh Ki Bango Wa-
das, maka Bido Teles senantiasa mencurahkan sege-
nap kemampuannya.
Pertempuran di pantai Tanjung Bugel untuk mem-
perebutkan harta emas intan yang tak ternilai harga-
nya itu menjadi kian menghebat, sementara sang sur-
ya makin bergeser ke arah barat dengan malasnya.
Sampai puluhan jurus mereka saling serang-me-
nyerang dan berusaha menjatuhkan lawan-lawannya
agar mereka segera dapat menguasai harta Tanjung
Bugel itu.
Yah, harta yang begitu banyak, teramat mahal un-
tuk dihargai, telah menyeret kedua gerombolan itu ber-
tempur bertegang leher dan urat serta memperjudikan
nyawanya. Ketamakan dan nafsu memperkaya diri me-
mang sering melanda setiap hati nurani manusia, se-
hingga mereka tidak jarang saling bercakaran sendiri.
Saling gilas-menggilas dengan segala tipu daya dan
akal licinnya, menerobos batas-batas lingkaran per-
saudaraan dan persahabatan. Maka tak heran bila
norma kemanusiaan sering terpunah karenanya.
Bila sudah begitu, mereka lebih mirip sekawanan
serigala atau hewan-hewan liar yang saling mencercah
untuk kemudian saling melahap, dan hukum rimbalah
yang telah bersarang serta bermukim di setiap relung-
relung hati dan pori-pori kulit mereka.
Dan terakhir sekali bila mereka telah saling hancur
ataupun menang dan mengangkangi harta itu, akhir-
nya mereka pasti akan menyesal. Sebab untuk hal itu
mereka telah banyak mengorbankan segala-galanya.
Tiada sesuatu yang langgeng atau abadi seperti keka-
yaan berlimpah-limpah yang tengah mereka pere-
butkan itu. Berbahagialah manusia yang masih sadar
dan eling akan dirinya.
Dan daerah Tanjung Bugel itu seperti tergoncang
dan bergetar oleh pertempuran itu. Tiba-tiba terde-
ngarlah satu jeritan bila pundak si Garangpati tergores
oleh pedang Dempok.
Garangpati merasakan pedih dan terasalah sesuatu
mengalir dari pundak kirinya. Darah! Ya, ujung pedang
telah merobek bajunya dan menggores kulitnya. Na-
mun justru karenanya, Garangpati menjadi lebih ga-
rang dan beringas. Pedangnya makin gencar menye-
rang Dempok.
Jeritan Garangpati tadi sempat membuat pertaha-
nan Ki Bango Wadas melonggar, sehingga Bido Teles
mempergunakan kesempatan itu untuk membabatkan
pedangnya ke arah lawannya.
Breettt!
Untunglah Ki Bango Wadas keburu mengegoskan
tubuhnya ke samping dan hanya kainnyalah yang te-
robek oleh pedang Bido Teles.
“Keparat! Benar-benar dia menggunakan pertaha-
nanku yang lowong dengan baik,” gerutu Ki Bango
Wadas. “Untunglah perutku tidak ikut terburai! Tapi
terimalah ini, Bido Teles!”
Bido Teles yang sedikit takabur karena dapat me-
nyobek kain Ki Bango Wadas menjadi sedikit lengah
dan menjadi geragapan begitu penggada si botak itu
menghajar ke arah kepalanya! Ia masih sempat me-
nangkiskan pedangnya, tapi akibatnya terpentallah tu-
buh Bido Teles bergulingan ke belakang beberapa kali.
Namun dengan sigapnya pula Bido Teles melenting
berdiri dan siap bertempur kembali.
Sementara itu, jauh di pojok barat, Ki Lurah Mijen
telah mengendap-endap di balik semak belukar. Me-
reka telah turun dari kudanya.
“Nah, lihatlah Angger Wulung. Mereka bercakar-ca-
karan sendiri. Inilah kesempatan kita untuk memukul
mereka!” ujar Ki Lurah Mijen. “Marilah Angger dan bi-
arlah Endang Seruni nanti menjaga kuda-kuda yang
telah kita tambatkan itu!”
“Baik, Bapak. Ayolah!” seru Mahesa Wulung seraya
melolos pedangnya. Sedang Pandan Arum telah meng-
urai selendang jingganya, sebab ia yakin bahwa jumlah
musuh yang mesti dihadapi jauh lebih banyak dan
hanya dengan senjata selendangnya ia merasa lebih
aman.
Sebentar kemudian empat bayangan telah melesat
ke arah medan pertempuran dan siap terjun ke dalam-
nya, bagaikan empat ekor rajawali yang siap mener-
kam mangsanya!
Kedatangan mereka berempat ternyata menga-
getkan kedua gerombolan yang lagi bertempur. Baik Ki
Bango Wadas ataupun Bido Teles segera tahu siapakah
mereka berempat itu!
Tambah mengejutkan lagi, begitu selendang jingga
Pandan Arum melecut pada salah seorang pengikut
Bido Teles, maka seketika orang tersebut terjungkal
dengan muntah darah. Bersamaan waktunya pula, pe-
dang Mahesa Wulung telah menemukan korbannya ju-
ga.
Ki Bango Wadas, demi melihat bahaya yang meng-
ancam dirinya beserta kawan-kawannya segera berpi-
kir dengan sibuknya dan tiba-tiba ia menemukan satu
pikiran. Pertempuran antara pihaknya dengan pihak
Bido Teles harus ditunda untuk sementara, sebab jika
tidak maka besar kemungkinan bahwa rombongan me-
reka berdua akan berantakan, dan Ki Lurah Mijen be-
serta pengikutnya akan dengan mudah menumpas me-
reka!
“Bido Teles!” teriak Ki Bango Wadas. “Mari perseng-
ketaan kita sementara ditunda dan bersama-sama kita
hancurkan Ki Lurah Mijen serta pengikutnya itu!”
“Hmm, pikiran yang bagus!” seru Bido Teles. “Tapi
setelah itu, pertempuran antara kita harus dilanjutkan
lagi!”
“Setuju!” seru Ki Bango Wadas dan kemudian se-
perti digerakkan oleh kekuatan yang sama, mereka se-
gera bersuit memberi tanda kepada para pengikutnya.
Maka seketika kedua gerombolan itupun seperti tersa-
dar dari mimpinya. Mereka segera dapat mengetahui
manakah musuh mereka yang sebenarnya! Yaitu, tidak
lain adalah Ki Lurah Mijen beserta pengikutnya!
Mereka segera beramai-ramai menyerangnya, se-
hingga Ki Lurah Mijen, Mahesa Wulung, Pandan Arum
serta Jagabaya Cangkring menjadi terkurung dan ter-
desak!
“Kurang ajar!” desis Mahesa Wulung. “Kita terjebak!
Mereka telah bersatu kembali!”
Dan memang sesungguhnyalah, bahwa mereka ke-
repotan. Betapapun saktinya seseorang, tapi bila
menghadapi keroyokan dari musuh-musuh yang kele-
wat banyak dan juga terhitung pendekar-pendekar ja-
goan, maka pastilah akan terdesak karenanya!
Sebentar kemudian tampaklah bahwa Ki Lurah Mi-
jen dan pengikutnya berada dalam bahaya dan baya-
ngan maut telah membayangi mereka!
Mahesa Wulung diam-diam mengeluh di dalam hati.
“Hmm, Bapak Pendekar Bayangan belum muncul. Apa-
kah mereka menemui kesulitan? Terlalu banyak mu-
suh-musuh yang harus aku hadapi. Aku harus segera
menggunakan cambuk Naga Geni!”
Demikianlah, Mahesa Wulung bermaksud menggu-
nakan cambuk pusakanya. Akan tetapi sebelum mak-
sud itu terlaksana, mendadak saja dari arah barat me-
lesatlah seorang bercaping dan bersenjata pedang, lalu
terjun ke dalam kancah pertempuran!
Mahesa Wulung tak sempat terlalu lama memperhatikan tokoh bercaping ini, sebab begitu terjun orang
tersebut segera berkelebatan ke sana-ke mari sedang
pedang di tangannya menyambar-nyambar bagai ujung
jari elmaut, menyerang orang-orang dari pengikut Ki
Bango Wadas dan Bido Teles!
Sebentar kemudian beberapa orang telah roboh oleh
pedang si tokoh bercaping, membuat Ki Bango Wadas
dan Bido Teles menggeram marah.
“Hooh! Siapakah orang bercaping itu? Ia membela
rombongan Ki Lurah Mijen!” gerundal Ki Bango Wadas.
“Keparat! Tapi biarlah. Aku punya bingkisan buat dia!”
Ki Bango Wadas menatap tajam ke arah si tokoh
bercaping kemudian ia mengambil sebuah ruas tabung
bambu dari balik ikat pinggangnya. “Hmm, memang
dia luar biasa! Tapi aku ingin tahu, apakah ia mampu
menangkis jarum-jarum mautku ini!”
Dengan cepatnya Ki Bango Wadas mengibaskan ta-
bung bambu tadi ke arah si tokoh bercaping dan seke-
tika itu pula beterbanganlah jarum-jarum maut yang
pangkalnya berumbai benang-benang merah menuju
ke sasarannya!
Pendekar bercaping sangat terkejut mendengar bu-
nyi berdengung seperti suara puluhan lebah, dan keti-
ka ia menoleh ke arah sumber suara tersebut, tam-
paklah benda-benda berkeredapan merah menuju ke
arah dirinya dengan kecepatan luar biasa.
“Senjata-senjata rahasia!” desis pendekar bercaping
sambil memutar pedang di tangannya untuk menang-
kis jarum-jarum maut tadi. Memang usaha pendekar
bercaping tadi berhasil. Bunyi gemerincing senjata pe-
dangnya yang berhasil menangkis rontok jarum-jarum
maut tadi terdengar amat nyaring. Namun beberapa ja-
rum maut yang menyambar ke bawah tubuhnya tak
berhasil ditangkis dan langsung menancap, bersarang
kepada si pendekar bercaping!
“Aaaargh!” rintih si pendekar bercaping seraya ro-
boh ke tanah dan berkelojotan. Buru-buru ia meraba
pahanya dan mencabut jarum-jarum maut yang bersa-
rang pada dagingnya.
Akan tetapi bisa dari jarum-jarum maut tadi me-
mang luar biasa. Sebentar saja si pendekar bercaping
merasakan bahwa kakinya sudah tidak mempunyai
rasa lagi, sedang dadanyapun menjadi sesak.
“Kakiku mulai lumpuh!” desah pendekar bercaping.
Sementara itu Mahesa Wulung menjadi terperanjat
begitu dilihatnya si pendekar bercaping yang telah
membelanya terjatuh ke tanah. Cepat-cepat ia melesat
ke arah sana, dan alangkah kagetnya bila ia segera
mengenal si pendekar tadi.
“Bapak Camar Seta!” seru Mahesa Wulung seraya
merangkul bekas gurunya itu, serta berusaha me-
nolongnya!
“Tak ada faedahnya lagi, Angger Mahesa Wulung,”
desah Ki Camar Seta. “Racun si botak ia memang sa-
ngat keras dan tak ada harapan lagi untuk mencegah-
nya.”
Mahesa Wulung tak segera dapat berkata kecuali
tersedu sedih melihat nasib Ki Camar Seta. Ia sudah
beberapa lama tak bertemu, dan kini mereka diperte-
mukan dalam saat-saat yang mengharukan. Meskipun
mulai kepucatan wajahnya, tapi Ki Camar Seta masih
tersenyum seraya menepuk-nepuk pundak Mahesa
Wulung.
“Angger Wulung, tabahkan hatimu, Nak! Jika aku
telah tiada lagi, maka rawatlah caping dan pedangku
ini dan sampaikan salamku kepada Angger Pandan
Arum serta sahabat-sahabat lainnya!”
“Ba... pak!” ujar Mahesa Wulung. “Tapi tak mungkin
Andika akan tewas. Aku akan menolongmu, Bapak!”
“Terima kasih... terima kasih,” sahut Ki Camar Seta.
“Engkau memang murid yang berbakti, Wulung. Na-
mun ketahuilah, bahwa racun yang telah mengeram di
dalam tubuhku ini sangat hebat!” Ki Camar Seta tam-
pak semakin lemah dan pucat, sehingga Mahesa Wu-
lung menjadi berputus asa. “Angger... Wulung. Ber...
hati-hatilah... engkau menghadapi si botak itu... Nak,”
ujar Ki Camar Seta dengan terputus-putus dan lemah.
Wajahnya yang tua dengan kumis putih kelihatan pu-
cat sekali.
“Bapak Camar Seta!” desah Mahesa Wulung seraya
merangkul pendekar bercaping itu lebih erat, seolah-
olah ingin menahan kematian bekas gurunya itu.
“Biarlah... aku berlalu..., Nak. Aku su... dah tua.
Ibarat... selembar daun... yang telah menguning layu...
dan setiap saat akan runtuh ke bumi... itu pasti ter...
jadi... aaakkh....”
Ki Camar Seta makin lemah dan terakhir sekali ia
terdengar bergumam menyebut nama Tuhan Yang Ma-
ha Besar dengan suara hampir tak terdengar, tapi ia
telah menyebutnya dengan ketulusan hati dan kekua-
tan terakhir. Setelah itu kepala Ki Camar Seta terkulai
dalam pelukan Mahesa Wulung.
Dengan hati-hati sekali Mahesa Wulung memba-
ringkan tubuh Ki Camar Seta ke atas tanah. Matanya
yang berkaca-kaca itu kemudian menatap tajam ke
arah Ki Bango Wadas yang masih berdiri congkak di
kejauhan.
“Hua, ha, ha, ha. Biarlah ia mampus si caping bo-
brok itu,” teriak Ki Bango Wadas. “Jika kau ingin
membelanya, majulah lekas kemari, supaya engkau
pun segera binasa menyusulnya!”
“Setan botak!” berseru Mahesa Wulung. “Marilah ki-
ta buktikan kata-katamu itu!” Kemudian dengan teria-
kan dahsyat, seperti teriakan seekor harimau yang ma-
rah, Mahesa Wulung meloncat menerjang ke arah Ki
Bango Wadas.
Melihat lawannya menerjang, Ki Bango Wadas telah
bersiaga pula dan putaran penggada berduri di tangan-
nya segera menyambut tebasan pedang Mahesa Wu-
lung. Maka pertempuran hebatpun segera terjadi.
Di saat pertempuran itu tengah berkecamuk, bebe-
rapa orang anak buah Bido Teles secara diam-diam
mengangkat peti-peti kecil. Yah, begitu kecilnya peti-
peti itu yang masing-masing sisinya berukuran lebih
kurang satu jengkal. Dengan begitu maka sangat mu-
dahlah membawanya. Berbeda dengan guci yang beru-
kuran kelewat besar itu, dan memerlukan tenaga lebih
dari satu orang untuk mengangkutnya.
Di saat itu, Garangpati yang telah terluka dan kini
berhadapan dengan Jagabaya Cangkring tiba-tiba
menjerit, sebab ketika ia menghindari tusukan tombak
Jagabaya Cangkring, ternyata kurang cepat gerakan-
nya. Maka tak ampun lagi mata tombak lawannya itu
berhasil menggores pundaknya. Biarpun begitu Ga-
rangpati masih gigih bertempur.
Meskipun Mahesa Wulung dapat menandingi Ki Ba-
ngo Wadas, tapi di pihak lain Ki Lurah Mijen, Pandan
Arum dan Jagabaya Cangkring semakin terdesak oleh
lawan-lawannya. Lebih-lebih dengan Bido Teles dan
Setan Enam Serangkai yang menyerang dengan gencar
membuat mereka bertiga harus mengerahkan segenap
ilmu dan tenaganya dengan sepenuh daya.
Dan melihat itu Mahesa Wulung menjadi cemas.
Tapi bagaimanakah ia harus membantu mereka berti-
ga, sebab iapun terlibat dalam pertempuran melawan
Ki Bango Wadas yang ternyata berkekuatan hebat.
Sekonyong-konyong dari arah selatan muncullah
enam sosok bayangan manusia yang berloncatan me-
nuju ke medan pertempuran itu.
“Bapak Pendekar Bayangan!” desis Mahesa Wulung
dengan gembira, sedang Ki Bango Wadas bahkan seba-
liknya, ia menjadi cemas oleh kedatangan pendekar
bertopeng putih itu dengan kawan-kawannya. Bahkan
ia menjadi gemetar marah bila di antara orang-orang
yang baru muncul itu tampaklah si Lawunggana!
Ki Lurah Mijen, Pandan Arum dan Jagabaya
Cangkring menjadi bergembira oleh kedatangan Pen-
dekar Bayangan dan rombongannya. Semangat mereka
menjadi lebih menyala seperti juga gerak serangannya.
Kini si Bido Teles langsung berhadapan dengan Pen-
dekar Bayangan, sedang Soma Karang masih gigih me-
nyerang Ki Lurah Mijen. Di sebelah lain, Pandan Arum,
Lawunggana, Kertipana, Sorogenen dan dua orang ja-
gabaya dengan gencarnya menyerang Setan Enam Se-
rangkai dan pengikut-pengikut Bido Teles lainnya se-
perti si Tongkol, Kerang dan kawan-kawannya.
Meskipun lawan-lawan yang harus dihadapi Setan
Enam Serangkai dan rekan-rekannya bertambah, na-
mun suasana tidak begitu banyak perubahannya. Se-
tan Enam Serangkai dari daerah selatan tadi ternyata
mampu bertempur dengan tenaga berlipat-lipat. Teru-
tama mereka mempunyai jurus-jurus yang saling ber-
pasangan dan saling mengisi sehingga serangan-se-
rangan mereka ibarat segulungan ombak ganas yang
berganti-ganti menghempas ke arah lawan-lawannya.
Bila hempasan yang pertama kandas maka hempasan-
hempasan berikutnya menyusul. Begitulah pertempu-
ran di Tanjung Bugel tadi, menjadi semakin hebat, se-
perti tak akan ada akhirnya.
Di tengah keriuhan tersebut, tak antara lama ter-
dengarlah satu jeritan nyaring berbareng lecutan se-
lendang jingga Pandan Arum yang berhasil menerjang
dada Kerang. Pengikut Bido Teles ini segera terhenyak.
Pedangnya terlepas dan tampaklah ia berusaha mene-
kan dadanya, tapi sesaat kemudian terlontaklah darah
segar dari mulutnya dan robohlah Kerang ke tanah
tanpa dapat berkutik lagi.
Satu korban telah jatuh lagi, akan tetapi pertempu-
ran tidak akan berhenti karenanya, bahkan menjadi
hebat. Sebab dengan jatuhnya korban-korban itu, ma-
ka mereka menjadi lebih hati-hati dan gigih dalam
menghadapi lawan-lawannya.
Dan mereka yang kurang gigih dan cekatan akan
segera tergilas oleh serangan-serangan lawannya, se-
perti halnya kedua orang jagabaya dari Desa Mijen
yang tiba-tiba menjerit parau, begitu pedang-pedang
dari Dobleh Kelana dan Dempok masing-masing meng-
hunjam ke dada dan lambung kedua orang jagabaya
tadi. Keduanya seketika roboh tanpa sesambat lagi.
Bido Teles menjadi bernafsu apabila serangan-sera-
ngannya berkali-kali kandas terhadap Pendekar
Bayangan. Tokoh bertopeng putih ini cuma bersenjata
tongkat kayu bercabang, namun itupun sudah cukup
hebat bila dimainkan dan digerakkan oleh tangan Pen-
dekar Bayangan.
Pedang lebar Bido Teles yang digerakkan dengan
kekuatan penuh dan ilmu yang sempurna selalu meng-
ancam Pendekar Bayangan. Demikian tajamnya mata
pedang Bido Teles yang berhulu gading itu, selalu ber-
kilatan tertimpa sinar matahari siang, merupakan se-
leret sinar putih yang bergulung-gulung mengerikan.
Memang, berkali-kali terjadi benturan antara pe-
dang Bido Teles dengan tongkat bercabang si Pendekar
Bayangan, dan setiap kali itu pula, pedang Bido Teles
bergetar seraya tubuhnya bergeser surut ke belakang,
sedang Pendekar Bayangan bergeming saja tidak. Tu-
buh dan senjatanya seolah-olah merupakan tonggak
baja yang tak mudah goyah oleh apapun,
Bido Teles merasa kalah tenaga, tapi beruntunglah
bahwa ia memiliki kelincahan bergerak sehingga ia
mampu menghindari serangan-serangan tongkat ber-
cabang dari Pendekar Bayangan.
Di pojok lain, Ki Bango Wadas yang menghadapi
Mahesa Wulung selalu gencar melancarkan serangan-
serangannya. Penggadanya yang berduri logam dan
runcing yang menunjukkan jumlah lawan yang telah
dibunuhnya, berputaran menerjang Mahesa Wulung
dengan hebat.
Sekali ini ia tak mau tanggung-tanggung mengha-
dapi pendekar muda dari Demak itu, sebab ia telah
sadar, bahwa lawannya yang masih lebih muda dari-
pada dirinya telah memiliki ilmu bertingkat tinggi. Be-
tapa tidak, karena jika ilmunya cuma rendah saja, ma-
na bisa ia mampu bertahan terhadap serangan-sera-
ngannya lebih dari tiga puluh jurus.
“Hmm, memang hebat si Mahesa Wulung ini. Ke-
pandaiannya tidak bertaut banyak dengan kepan-
daianku!” gerundal Ki Bango Wadas. “Tapi tunggulah.
Jurus-jurus penggada mautku belum sampai pada
puncaknya!”
Demikianlah, keduanya bertempur semakin dah-
syat, lebih-lebih ketika keringat mereka mulai mengalir
dari lobang-lobang kulitnya, maka yang tampak kemu-
dian seolah-olah adalah gulungan asap saling melibat
dan melingkar-lingkar.
“Mahesa Wulung!” seru Ki Bango Wadas. “Lekaslah
berlalu dari tempat ini selagi masih sempat, sebab aku
masih memberi waktu dan kelonggaran untuk itu!”
Mendengar itu Mahesa Wulung tertawa lirih, namun
nadanya cukup menyakitkan telinga Ki Bango Wadas,
sehingga pendekar botak itupun seketika berteriak ma-
rah.
“Edan! Apa yang membuatmu ketawa, hoa?!”
“Kata-kata ancamanmu tadi! Engkau seolah-olah
berhadapan dengan bocah cengeng dan menganggapku
sebagai anak kecil yang mudah terbirit-birit lari oleh
gonggongan kata-katamu itu!”
“Keparat!” teriak Ki Bango Wadas marah seperti ju-
ga sorot matanya yang telah merah, seperti hendak
membakar lawannya. “Terimalah jurus-jurus mautku
ini.”
Mahesa Wulung terkejut namun hanya sesaat, se-
bab di saat itu pula ia telah menyiapkan sikap Tugu
Wasesa untuk menahan hempasan gada berduri Ki
Bango Wadas.
Jraaang!
Bunyi gemeroncang terdengar akibat benturan pe-
dang Mahesa Wulung dengan penggada berdurinya Ki
Bango Wadas, mengagetkan orang-orang di sekeliling-
nya.
Kedua senjata tadi seketika terpelanting lepas dari
tangan-tangan pemegangnya. Baik Mahesa Wulung
maupun Ki Bango Wadas masing-masing terpental su-
rut ke belakang beberapa langkah.
Tampaklah Mahesa Wulung menggosok-gosok tela-
pak tangan kanannya yang terasa panas, begitu pula
dengan Ki Bango Wadas yang segera menghembus-
hembus tangan kanannya, sebab rasanya bagai terba-
kar oleh kobaran api.
“Nah, kita masing-masing tak bersenjata lagi. Seka-
rang aku ingin tahu apakah kau mampu bertempur
dengan tangan kosong melawanku!” seru Ki Bango Wa-
das yang sekaligus menerjang kembali ke arah Mahesa
Wulung. Keduanya bertempur kembali dengan se-
runya.
Di saat itu pula, dengan tewasnya kedua orang ja-
gabaya dari Mijen, maka Pandan Arum, Lawunggana,
Kertipana dan Sorogenen menjadi kerepotan dalam
menghadapi Setan Enam Serangkai dan pengikut-
pengikut Bido Teles lainnya.
Tiba-tiba ketika perhatian mereka dicekam oleh ke-
dahsyatan pertempuran, terdengarlah derai ketawa
bernada tinggi yang susul-menyusul dan kemudian
memenuhi udara, berderak-derak menyeramkan. Sua-
ra ketawa tadi seolah-olah menelusuri segenap sudut-
sudut batu karang, pepohonan dan juga telinga-telinga
yang mendengarnya, mirip teriakan burung gagak yang
lagi gusar.
Begitu tiba-tiba dan besarnya pengaruh suara keta-
wa tadi, sehingga untuk sejenak para peserta pertem-
puran terhenti dan melirik ke arah sekelilingnya. Dan
alangkah kagetnya bila di atas puncak dahan beringin
gundul bertenggerlah sesosok tubuh manusia berpa-
kaian kebiruan dan pada punggungnya ia mengenakan
selembar kain selimut atau mantel, berbunga-bunga
coklat biru dengan dasar putih menggelantung bagai-
kan sayap seekor burung.
“Ha, ha, ha, ha, khak, khak, khak.... Setan Enam
Serangkai!” teriak si tokoh berselimut tadi. “Di mana-
mana engkau selalu terlibat dalam perbuatan jahat!
Pulanglah engkau ke kandangmu! Apakah engkau me-
nunggu sampai Gagak Cemani menyeretmu?”
“Kurang ajar!” seru Dobleh Kelana dengan marah-
nya berbareng tangan kirinya menyambitkan beberapa
mata uang logam yang seketika beterbangan ke arah
tokoh berselimut yang menyebut namanya Gagak Ce-
mani.
Namun sebelum uang logam tadi mengenai tubuh-
nya, Gagak Cemani telah lebih dulu melenting mening-
galkan pohon beringin gundul itu dan tahu-tahu telah
mendarat kembali, hinggap di atas batu karang ber-
tumpuk tiga dengan kecepatan yang mengagumkan.
Setelah itu Gagak Cemani kemudian melesat turun ke
atas tanah tanpa menimbulkan suara sedikitpun, tak
ubahnya gerakan hantu.
Terdengar kembali teriakannya yang lantang. “Setan
Enam Serangkai! Sambutlah kedatanganku ini dengan
hangat. Sediakanlah tenagamu buat melayani sera-
nganku!”
Habis berkata demikian iapun melolos golok pan-
jangnya dan segeralah Gagak Cemani terjun ke dalam
lingkaran pertempuran, di mana Setan Enam Serang-
kai terdapat di dalamnya.
Kedatangan pendekar asing ini ternyata besar pe-
ngaruhnya bagi Mahesa Wulung. Semangatnya seolah-
olah makin berkobar dan bergairah dalam menghadapi
si botak, Ki Bango Wadas.
Ketika telapak tangan kanan Ki Bango Wadas meng-
hempas ke arah dada Mahesa Wulung, segera disam-
but pula oleh lawan mudanya itu dengan tangkisan te-
lapak tangan kanannya.
Taaap!
Begitulah kedua telapak tangan kanan mereka tadi
bertemu dan seakan-akan melekat menjadi satu. Do-
rong-mendorong dengan tenaga dalam, segera berlang-
sung hebat. Masing-masing berkutat untuk meme-
nangkan pertempuran.
Bagi orang lain yang tidak mengerti, pasti akan ter-
cengang. Mengapakah selagi yang lain-lain sibuk ber-
tempur, maka kedua orang itu cuma saling dorong-
mendorong dengan telapak tangan kosong saja. Keliha-
tannya seperti tengah bermain-main tanpa arti sedi-
kitpun, bahkan membosankan, sebab gerak mereka
menjadi lamban. Tapi, bagi yang faham akan pertaru-
ngan dan faham tentang dahsyatnya tenaga dalam,
maka mereka akan terkagum oleh pertempuran bisu
antara Ki Bango Wadas melawan Mahesa Wulung.
Keduanya telah berkeringat, sementara masing-ma-
sing tangan kanannya yang beradu menjadi tergetar
hebat, seperti gemetarnya seorang penderita sakit demam panas.
Sejurus kemudian, dengan perlahan-lahan Ki Bango
Wadas mulai tergeser ke belakang dan kemudian ia-
pun merasakan betapa dada dan nafasnya menjadi
semakin sesak. Tiba-tiba Ki Bango Wadas menyeringai
dan mengerang untuk akhirnya memuntahkan darah
segar dari mulutnya sebagai pertanda bahwa dadanya
telah tergempur oleh tenaga dalam Mahesa Wulung.
Merasa bahwa dadanya telah mendapat luka dalam,
Ki Bango Wadas dengan sebatnya menerkam ke arah
kepala Mahesa Wulung untuk kemudian diremasnya
dengan sisa-sisa tenaga yang masih ada.
Hanya saja Mahesa Wulung tak mau memberi ke-
longgaran lagi kepada musuh besarnya ini. Bukankah
Ki Bango Wadas ini yang telah menewaskan Ki Camar
Seta bekas gurunya beberapa saat berselang. Tamba-
han lagi Mahesa Wulung masih sangat menyintai kepa-
lanya, sehingga dengan cepat ia mengelakkan terka-
man Ki Bango Wadas, sementara ia telah bersiaga
menghadapi segala kemungkinan.
Ternyata kekuatiran dan kesiagaan Mahesa Wulung
besar pula artinya, sebab begitu terkamannya meleset,
Ki Bango Wadas telah melancarkan tendangan kaki
kanannya ke arah lambung lawan.
Wuuuuuutt!
Tendangan kaki Ki Bango Wadas meluncur amat
derasnya, tapi sekali lagi Mahesa Wulung berhasil me-
nangkisnya dengan tebasan sisi telapak tangannya.
Namun Ki Bango Wadas tidak berhenti sampai di si-
tu saja. Sekali lagi ia menunjukkan, siapa sesungguh-
nya Ki Bango Wadas dan betapa tangguhnya dia ini.
Biarpun tendangannya gagal, kaki kiri Ki Bango Wadas
dengan secepat kilat mengait kaki Mahesa Wulung.
Maka keduanyapun segera roboh ke atas tanah bergu-
lingan saling tindih-menindih silih berganti, sementara
dari mulut Ki Bango Wadas senantiasa terlihat darah
merah yang menetes-netes mengerikan.
Suatu kali Ki Bango Wadas berhasil menindihi Ma-
hesa Wulung dan kedua belah tangannya menyengke-
ram serta mencekik leher lawan mudanya ini.
“Heeekh!” Mahesa Wulung mengeluh pendek karena
leher dan nafasnya jadi sesak akibat cekikan tangan Ki
Bango Wadas yang dilambari pemusatan tenaga. Me-
rasakan tekanan dari lawannya, Mahesa Wulung me-
mutar otaknya untuk mencari jalan bagaimana ia ha-
rus menyelesaikan pertempuran ini.
Memang Ki Bango Wadas masih gigih bertempur.
Luka dalam pada dadanya tadi bukannya membuat dia
lalu berkecil hati ataupun lari terbirit-birit. Tapi malah
seperti menimbulkan gairah dan semangat untuk ber-
tempur habis-habisan sampai mati dan hancur bersa-
ma-sama lawannya.
Untunglah Mahesa Wulung telah memiliki bekal-
bekal yang cukup sempurna sesudah ia mengalami be-
berapa gemblengan dari tokoh-tokoh pendekar utama
seperti Panembahan Tanah Putih dari Asemarang,
mendiang Ki Camar Seta dan Pendekar Bayangan yang
sekarang ini juga terlibat dalam kancah pertempuran
yang sama. Dan beruntunglah pendekar muda dari
Demak ini, seandainya kejadian seperti sekarang ini
terjadi pada beberapa tahun yang lalu, maka boleh di-
pastikan bahwa Mahesa Wulung sudah akan terpukul
atau tercekik mati, karena Ki Bango Wadas bukanlah
tokoh sembarangan.
Saat ini yang selalu terukir di dalam otak Mahesa
Wulung adalah kematian Ki Camar Seta yang baru saja
terjadi beberapa saat yang lalu, dan lebih-lebih dengan
pesannya yang mengatakan agar dia berhati-hati
menghadapi Ki Bango Wadas, si hantu dari muara Serang.
Begitulah, sebelum kedua belah tangan Ki Bango
Wadas benar-benar meremukkan lehernya, Mahesa
Wulung segera menekuk lututnya ke atas dan berhasil
menempatkan kedua telapak kakinya pada lambung Ki
Bango Wadas.
Setelah itu dengan mengerahkan kekuatannya, Ma-
hesa Wulung menjejakkan kakinya ke atas dan seketi-
ka terdengarlah keluhan orang yang kesakitan perut-
nya bersamaan terlambungnya tubuh Ki Bango Wadas
ke atas.
“Aaaargh!”
Memang hebat Ki Bango Wadas! Biarpun tubuhnya
mencelat ke udara toh dengan sigapnya sempat memu-
tar tubuhnya beberapa kali untuk kemudian turun ke
bawah dengan mendaratkan kedua kakinya terlebih
dulu. Ia segera bersiaga kembali untuk menyerang Ma-
hesa Wulung. Dan dengan langkahnya yang pelan-pe-
lan sedikit sempoyongan, Ki Bango Wadas mengham-
piri lawannya.
Tiba-tiba saja Mahesa Wulung agak terkejut, sebab
dilihatnya si botak itu mengembangkan kedua belah
tangannya ke depan dengan seluruh jari-jarinya kaku
bagai cakar-cakar burung bangau.
“Huh, dia akan melancarkan terkaman mautnya!”
desis Mahesa Wulung. “Kiranya inilah saatnya aku ha-
rus mempergunakan pukulan “Lebur Waja”-ku!”
Mahesa Wulung secepatnya memusatkan segenap
kekuatan lahir dan batinnya serta mengatur aliran na-
fasnya, tepat di saat yang sama ia melihat Ki Bango
Wadas menerkam ke arahnya dengan kecepatan yang
luar biasa serta berteriak dengan suara menakutkan.
“Haah, mati lumat kau, Mahesa Wulung!”
Namun sekali ini Mahesa Wulung sama sekali tak
berusaha untuk menghindar, bahkan dengan tekad
yang besar serta penuh kepercayaan diri sendiri ia menantikan benturan terkaman Ki Bango Wadas itu den-
gan aji Lebur Waja yang telah disiapkannya.
Begitulah, sikap Mahesa Wulung yang berdiri tegap
dengan kedua belah kaki kekar bagai tonggak-tonggak
baja yang terpancang dalam-dalam di tanah, tak ubah-
nya seekor banteng yang selalu waspada menantikan
sang harimau yang dengan hebatnya menerkam ke
arah dirinya.
Bayangan tubuh Ki Bango Wadas cuma sekilas saja
ketika menerkam Mahesa Wulung. Setelah itu terde-
ngarlah bunyi benturan dahsyat menggemuruh dan
tubuh Ki Bango Wadas terpelanting ke tanah berguli-
ngan, sedang Mahesa Wulung cuma tergetar sedikit sa-
ja di tempatnya.
Tubuh Ki Bango Wadas seperti hangus terbakar,
bagaikan daging panggang yang terlalu lama diperam
dalam tungku api. Kendatipun begitu, si botak dari
muara Serang ini mencoba bangkit, tapi sekali mulut-
nya melontakkan darah hitam kental ke tanah, Ki Ba-
ngo Wadas lalu roboh terjungkal tak berkutik lagi.
“Hoooorrgh!”
Benturan serta disusul dengan jatuhnya tubuh Ki
Bango Wadas menyebabkan semua orang terperanjat.
Lebih-lebih dengan rekan-rekan Ki Bango Wadas sen-
diri, seperti Setan Enam Serangkai dari daerah Ken-
deng yang terlongoh keheranan. Mereka tak habis
mengerti betapa seorang pendekar gemblengan seperti
sahabatnya, Ki Bango Wadas itu, dapat dipukul roboh
dan mati oleh lawannya yang jauh lebih muda.
Begitu pula Bido Teles dan para anak buahnya.
Meskipun dengan matinya Ki Bango Wadas itu berarti
tambahnya bagian emas mereka dari Harta Tanjung
Bugel, tapi tak urung merekapun keheranan pula jika
Mahesa Wulung dapat mengalahkan si pendekar botak
tersebut.
Setelah lawannya roboh dan mati, Mahesa Wulung
cepat-cepat memungut pedangnya yang tergeletak di
tanah, ketika beberapa saat yang lalu terpental lepas
dari tangannya akibat benturan melawan penggada Ki
Bango Wadas.
Bagaikan seekor belalang, Mahesa Wulung meletik
dan terjun ke dalam lingkaran pertempuran kembali
untuk membantu rekan-rekannya yang masih gigih
bertempur di tempatnya.
Ki Lurah Mijen yang bertarung melawan Soma Ka-
rang sebentar tampak terdesak oleh libatan-libatan pe-
dang lawannya, tetapi sebentar itu pula ia ganti men-
desak Soma Karang. Ujung kerisnya yang sangat runc-
ing itu seakan-akan selalu bergetar menjadi puluhan
jumlahnya serta mengancam kedudukan lawannya.
Soma Karang yang telah seringkali turun dalam ge-
langgang pertempuran terpaksa kagum pula mengha-
dapi orang tua ini. Maunya ia cuma menggunakan ju-
rus-jurus ringan saja, sebab toh akhirnya Ki Lurah Mi-
jen akan dapat dirobohkannya dalam waktu yang
singkat. Akan tetapi Soma Karang menjadi terkecoh
sebab orang tua itu sangat tangguh, maka dikerahkan-
nyalah segenap kekuatannya, sehingga serangannya
menjadi berlipat-lipat, dan mengalir sambung-me-
nyambung tiada hentinya.
Dengan demikian maka sedikit demi sedikit keada-
an menjadi berubah. Tampaklah kini bahwa Ki Lurah
Mijen berkali-kali menangkis dengan repotnya akan se-
rangan-serangan yang dilancarkan oleh Soma Karang.
Bahkan dalam beberapa jurus kemudian ujung pedang
Soma Karang telah berhasil menggores lengan kirinya,
menyebabkan Ki Lurah Mijen menggeram menahan
sakit.
“Ha, ha, ha. Nah, Ki Lurah. Apa jeleknya jika engkau lekas-lekas menyingkir serta membawa pulang teman-temanmu yang lain. Jika engkau bersedia, aku
akan membagikan sebagian emas dari Harta Tanjung
Bugel itu kepadamu,” ujar Soma Karang.
“Bedebah!” Ki Lurah Mijen berseru. “Engkau men-
coba untuk menyuapku, heh?! Aku bukan tampangnya
pejabat yang kau maksudkan itu!”
“Heh, heh. Bukankah aku seorang manusia, seperti
juga kamu? Seperti juga kita semua? Dan untuk setiap
manusia uang adalah berguna dan penting sekali! Ma-
ka Andika tak usah malu-malu, Ki Lurah. Untuk uru-
san semacam itu aku tak akan menyinggung-nying-
gung kedudukan Anda!”
“Setan brekakasan!” Ki Lurah Mijen berseru. “Hanya
orang bermoral bobroklah yang dapat menyetujui per-
mintaanmu itu. Ketahuilah, bahwa harta ini adalah
milik kami dan kalian berusaha menyerobotnya!”
“Hmm, persoalannya cukup berbelit-belit, Ki Lurah!
Setiap orang yang mau, boleh saja mengakui sebagai si
empunya harta Tanjung Bugel, ini seperti halnya kamu
sendiri. Tetapi, itu bukan berarti jatuhnya harta ini
semua ke pangkuanmu dengan mudahnya. Yang ber-
hak memiliki adalah yang berhasil keluar sebagai pe-
menang dari gelanggang pertempuran ini!”
“Yah, apalagi yang kau tunggu sekarang?!” sahut Ki
Lurah Mijen. “Cobalah keluar sebagai pemenangnya!”
“Awas! Kau sudah mulai terluka oleh senjataku ini,
Ki Lurah! Kerismu yang pendek itu tak akan mampu
menandingi pedangku ini! Caaaattt!” Soma Karang
menerjang ke arah Ki Lurah Mijen dan terjadilah lagi
pertempuran yang lebih seru antara mereka. Namun
itu cuma beberapa saat saja dan kembali Ki Lurah ter-
desak oleh serangan-serangan Soma Karang. Maka ter-
paksalah Ki Lurah mundur dan terus mundur ke bela-
kang sampai suatu ketika ia tersandung sebongkah
batu karang dan jatuh terjengkang.
Soma Karang terkekeh-kekeh kegirangan. Cepat di-
angkat pedang di tangannya tinggi-tinggi untuk selan-
jutnya dihunjamkan ke bawah untuk menembus dada
Ki Lurah Mijen yang telah tertelentang tak berdaya.
“Modar kowe!” seru Soma Karang.
Troaang!
Soma Karang terkejut begitu pedangnya tak jadi
menembus dada Ki Lurah, tetapi malah tertangkis oleh
sebuah pedang yang begitu menyelonong bersamaan
berkelebatnya bayangan manusia ke arahnya.
“Maaf, sobat. Akulah tandinganmu sekarang!” seru
Mahesa Wulung yang telah menyelamatkan Ki Lurah
Mijen itu.
“Kurang ajar, kau mengganggu seleraku! Matilah
sekalian kalau kau menghendakinya!” seru Soma Ka-
rang sambil menebaskan pedangnya ke leher Mahesa
Wulung dengan tiba-tiba.
“Heeit!” desis Mahesa Wulung seraya mengendap
dan menggerakkan pedangnya dengan tiba-tiba dan
cepat, hingga tahu-tahu ujungnya telah membersit le-
ngan kiri Soma Karang.
Bukan main kagetnya tokoh dari Pulau Mondoliko
ini, begitu dengan mudahnya ia kena dilukai oleh la-
wannya dalam jurus gebrakan yang pertama. Maka se-
geralah ia menerjang kembali ke arah Mahesa Wulung.
Pedang-pedang mereka saling melibat, menusuk dan
sambar-menyambar, mirip dua ekor ular yang lagi bertanding.
ENAM
Matahari telah semakin merendah ke cakrawala ba-
rat, seolah-olah ingin lekas-lekas tenggelam di sebelah
sana, karena tak sampai hati menyaksikan pertempuran yang masih berlangsung dengan sengitnya itu.
Dalam pada itu, Garangpati telah banyak menderita
luka-luka sehingga gerakannya menjadi kian berku-
rang lincahnya. Ia merasa bahwa mata tombak si Ja-
gabaya Cangkring terus-menerus menerjangnya dan ia
tak banyak kesempatan untuk melawannya. Tiba-tiba,
Garangpati melihat bahwa beberapa orang temannya
telah mengangkat peti-peti kecil Harta Tanjung Bugel
ke arah perahu di sebelah utara, sedang di sekitarnya
sudah banyak pula para pengikut Bido Teles dan Soma
Karang yang tergeletak mati.
“Aku harus cepat-cepat ke perahu! Aku tak ingin
tertinggal di sini sendiri!” pikir Garangpati sambil se-
konyong-konyong melemparkan pedangnya ke arah
Cangkring, sehingga lawannya ini terpaksa mengen-
dapkan dirinya ke bawah meskipun agak sedikit ter-
lambat. Karenanya, ikat kepala Cangkring tersambar
lepas oleh pedang Garangpati.
Dengan gesitnya Garangpati menyelinap-nyelinap di
antara batu-batu karang untuk segera mendekati arah
perahu yang disembunyikan di balik bongkah karang
di tepi pantai.
Langit makin menggelap di sebelah timur, maka Ga-
rangpati agak hati-hati mencari jalan ke perahu. Pada
saat itu telinga tajamnya tiba-tiba menangkap ringkik
kuda di sebelah barat tak jauh dari tempatnya.
“Hah, kuda siapa yang berada di sana?” pikir Ga-
rangpati seraya berhenti sejenak dan mengendap ke
arah barat. “Jika aku berhasil mendapatkan kuda, bi-
arlah aku lari ke mana saja. Daripada aku kembali ke-
pada Rikma Rembyak aku mesti mati di tangannya!”
Garangpati berloncatan dengan gesitnya ke arah
suara ringkikan kuda dan alangkah kagetnya bila ia
mendapatkan seorang gadis cantik yang berdiri seo-
rang diri tengah menunggu empat ekor kuda.
“Lhah, bocah ayu! Hi, ha, ha, ha. Berilah aku seekor
kuda yang tertambat dan ikutlah bersama Garangpati!”
ujar Garangpati menyeringai.
“Tit... ti... tidak! Pergi... kau!” seru Endang Seruni
ketakutan, sementara Garangpati dengan tubuhnya
yang telah luka-luka dan pakaiannya yang terkena
bercak-bercak darah, perlahan-lahan mendekati En-
dang Seruni dengan gelagat mengancam.
“Kau harus ikut aku, sebagai penunjuk jalan dan
juga sebagai milikku!” teriak Garangpati seraya me-
nyerbu ke arah Endang Seruni. Tapi gadis ini dengan
gesitnya mengelak kemudian lari ke arah selatan.
Sambil menggeram marah Garangpati berbalik dan
mengejar sasarannya ke arah selatan, sehingga kejar-
mengejar terjadi beberapa saat sebab tiba-tiba saja Ga-
rangpati melesat dan menubruk kaki Endang Seruni
sehingga keduanya jatuh berguling di tanah.
“Ha, ha, ha. Sudah kukatakan agar engkau tak
usah melarikan diri jika berhadapan dengan Garang-
pati! Sekarang engkau harus menurut kata-kataku!”
ujar Garangpati seraya bangkit dan menghampiri En-
dang Seruni yang masih terduduk di tanah dengan ke-
takutan.
“Jangan! Jangan dekati aku! Aaakh... tooo... long!”
teriak Endang Seruni dengan suara keras menguman-
dang.
Suasana di medan pertempuran makin menjadi su-
ram. Bido Teles serta Soma Karang sempat menyaksi-
kan beberapa orang anak buahnya mengangkut peti-
peti kecil Harta Tanjung Bugel ke arah pantai, menuju
ke perahu mereka. Apabila kedua tokoh dari Mondoliko
itu mengetahui bahwa jumlah anak buahnya makin
menipis dan mereka telah dapat merampas sebagian
emas itu, maka Bido Teles tiba-tiba bersuit keras ke
udara.
Maka seperti digerakkan oleh tenaga yang sama,
Bido Teles, Soma Karang serta segenap anak buahnya
mengundurkan diri dan berlarian ke arah pantai.
“Mundur!”
Melihat ini, terkejutlah Pendekar Bayangan, Mahesa
Wulung, Jagabaya Cangkring dan Ki Lurah Mijen.
Hampir saja mereka berempat mengejar lawan-
lawannya jika tidak lekas-lekas Ki Lurah Mijen berse-
ru. “Tahan! Lihatlah guci yang berisi emas intan ini!
Mereka tak sempat mengangkutnya!”
Bersamaan waktunya pula, Setan Enam Serangkai
merasa terkejut oleh mundurnya Bido Teles beserta se-
genap anak buahnya. Apalagi dengan matinya Ki Ba-
ngo Wadas sendiri yang semula telah mengundangnya
untuk datang ke Tanjung Bugel ini, berarti ia tak ada
perlunya lagi untuk tinggal lebih lama.
Dobleh Kelana bermaksud untuk mengajak rekan-
rekannya untuk meninggalkan tempat tersebut, tapi
celakanya si Gagak Cemani selalu mendesaknya terus-
menerus tanpa memberi kesempatan sedikitpun.
“He, he, he, engkau bermaksud lari, bukan?!” sapa
si Gagak Cemani kepada Dobleh Kelana sambil terse-
nyum mengejek.
“Keparat! Kawan-kawan! Ayo, lekas tinggalkan la-
wan-lawanmu si tikus-tikus kecil itu dan bantulah aku
untuk mencincang si Gagak edan ini!” teriak Dobleh
Kelana kepada kelima rekannya yang lain. Mereka se-
gera meninggalkan lawan-lawannya seperti, Pandan
Arum, Lawunggana, Kertipana serta Sorogenen dan ke-
limanya segera menerjang ke arah Gagak Cemani ber-
bareng dalam serangan berpasangan.
Sebentar kemudian Gagak Cemani telah terlibat da-
lam pertempuran dahsyat melawan Setan Enam Se-
rangkai itu, yang gerakannya sukar ditangkap oleh
mata kecuali gulungan bayangan yang melibat dan mengurung Gagak Cemani itu. Ternyata pendekar berse-
limut dan berkumis melintang inipun mampu bergerak
bagaikan seekor burung gagak yang gesit dan dahsyat.
Tubuhnya berkali-kali meletik menyelinap dan me-
nyambar di antara gulungan bayangan keenam tubuh
lawannya.
“Munduuur!” tiba-tiba Dobleh Kelana berteriak ke-
pada rekan-rekannya dan mereka berenam segera me-
lesat ke arah selatan dengan gerakan gesit bagai han-
tu-hantu malam.
Namun dalam waktu yang sama pula, golok panjang
Gagak Cemani berkelebat dengan gesitnya.
Weeest.
“Ha, ha, ha. Selamat minggat, sobat-sobat. Tapi
perhatikanlah dahimu itu, Dobleh Kelana!” seru Gagak
Cemani kepada keenam lawannya yang kabur ke arah
selatan.
Setan Enam Serangkai tersebut melesat bagaikan
angin dan sebentar saja mereka telah mendapatkan
keenam ekor kudanya yang tertambat dan kaburlah
dari tempat ini. Tetapi manakala Dobleh Kelana me-
raba dahinya yang terasa pedih-pedih itu, mendadak ia
mendesis kaget, “Terluka! Ujung golok Gagak Cemani
telah melukaiku!”
Suasana sesaat terhening dan sepi. Namun dari
arah barat terdengarlah sekali lagi jeritan meminta to-
long yang mengumandang di udara sore.
“Tolooooong!”
“Itu suara Endang Seruni!” seru Lawunggana seraya
berloncatan melesat ke arah barat. “Apa yang terjadi
dengan dia?”
Sebagai seorang pemuda yang mendengar jeritan
kekasihnya, maka Lawunggana segera mengetrapkan
segenap kemampuannya untuk berlari secepat angin
ke arah barat.
Akan tetapi sebuah bayangan biru kehitaman juga
melesat ke arah barat melampaui jarak yang lagi di-
tempuh oleh Lawunggana, sehingga pendekar muda
inipun kaget karenanya.
“Gagak Cemani!” desis Lawunggana. “Oh, dia juga
lari ke sana! Apakah maksudnya?!”
Lawunggana tanpa menoleh lagi mencurahkan se-
genap kemampuan larinya menuju ke barat, sementa-
ra di sebelah belakang beberapa orang bergegas pula
lari ke sana, di mana Endang Seruni dengan ketakutan
selalu menghindar dari jangkauan tangan Garangpati
yang dengan nakalnya selalu menakut-nakuti Endang
Seruni untuk mendekapnya.
“Tolooong!”
Sekali lagi Endang Seruni berteriak keras-keras sa-
king ngerinya, apalagi jika ia melihat kedua mata Ga-
rangpati yang liar berkilat seperti hendak melahap tu-
buhnya yang padat semampai ini.
“Heh, he, he. Mau lari ke mana kau, ha?! Tak akan
ada orang lain yang bakal menolongmu, bocah ayu!”
seru Garangpati dengan meringis. “Percayalah. Mereka
tak mendengarmu, sebab sibuk bertempur menghada-
pi lawan-lawannya!”
“Apakah kau yakin dengan kata-katamu, bedebah!”
seruan dahsyat mengejutkan Garangpati yang terde-
ngar dari belakang, sehingga Garangpati secepat kilat
membalikkan diri dengan terbelalak.
“Kau... kau...?” seru Garangpati.
“Akulah Gagak Cemani!” ujar si pendatang itu de-
ngan tajamnya. “Kawan-kawanmu telah kabur semua!”
Ketika itu pula Lawunggana tiba-tiba muncul dan
tiba di tempat tersebut. Endang Seruni yang melihat
kedatangannya, segera berlari-lari dan mendekap ke-
kasihnya.
“Ooh, Kakang Lawunggana. Garangpati itu! Ia mencoba membawaku kabur. Untunglah kalian lekas-lekas
datang!” ujar Endang Seruni seraya terisak-isak.
Mendengar ini, Lawunggana cepat-cepat bersiap un-
tuk turut menyerang Garangpati, tetapi Gagak Cemani
lebih dahulu berkata, “Sobat Lawunggana! Biarlah si
tikus ini aku yang menyelesaikan. Kalian lihat saja,
apakah tikus busuk ini mampu mempertahankan diri-
nya!”
Merasa telah terjepit, Garangpati melesat menerjang
Gagak Cemani. Tapi alangkah kagetnya bila lawannya
ini cuma bergeser sedikit dan tahu-tahu serangannya
telah meleset.
Gagak Cemani tak tinggal diam. Iapun menyerang
lawannya, dan terjadilah pertempuran sengit antara
Garangpati dengan Gagak Cemani. Pukulan-pukulan
tangan dan tendangan kaki Garangpati bertubi-tubi
mencecar dan menghajar ke arah Gagak Cemani, te-
tapi pendekar berkumis melintang ini gerakannya cu-
kup gesit, dan sambil bertempur itu, Gagak Cemani
sekali-sekali tertawa dengan suara burung gagak,
membuat lawannya menjadi ngeri.
“Haak, krak, krak, kraaak.”
Tak antara lama, sesudah memperdengarkan tawa-
nya itu, serangan Gagak Cemani bertambah hebat.
Ujung jari-jarinya berkali-kali menyentuh kulit tubuh
Garangpati dan ini terasa oleh lawannya bagai cocokan
paruh burung yang menyebabkan rasa nyeri dan pe-
dih-pedih.
“Ayo Garangpati! Mana keberanianmu?” seru Gagak
Cemani.
Akhirnya Garangpati menjadi makin penasaran dan
serangannya sudah tak teratur lagi. Pokoknya asal ga-
nas dan ribut saja dan semua itu terdorong oleh nafsu
amarahnya.
Gagak Cemani menebaskan kepalan tangannya keleher Garangpati, ketika pertahanan lawannya pada
tempat itu terlowong sesaat.
Kraack!
“Huaaarrgh!”
Garangpati menggeliat dengan mulut yang megap-
megap, dan tak lama kemudian terlontaklah darah se-
gar keluar dari mulutnya disertai rintihan untuk ke-
mudian terguling roboh tanpa bernyawa lagi!
Endang Seruni dan Lawunggana buru-buru menda-
patkan Gagak Cemani serta menghaturkan terima ka-
sih atas pertolongan yang diberikan oleh si pendekar
berkumis melintang ini. Demikian pula Pendekar
Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum, Ki Lurah
Mijen, dan lain-lainnya yang baru saja tiba di tempat
tersebut segera mengucapkan terima kasih.
“Hmm, Andika telah membantu mengusir si Setan
Enam Serangkai itu!” ujar Ki Lurah Mijen. “Jika tidak
karena Andika, mungkin kami masih lebih lama meng-
hadapi mereka.”
“Eh, janganlah Bapak terlalu merendahkan diri. Se-
bab di antara Tuan-tuan ini terdapat pendekar-pen-
dekar ulung dan besar kemungkinan bahwa tingkatan
ilmuku ada beberapa tingkat di bawah mereka,” demi-
kian kata-kata Gagak Cemani yang selalu berusaha
merendahkan dirinya, sehingga orang-orang yang ha-
dir di situ menjadi kagum karenanya.
Mereka lalu saling memperkenalkan diri dan ter-
nyata Gagak Cemani adalah orang yang peramah serta
pandai bergaul. Bahkan ia tak keberatan untuk me-
menuhi undangan Ki Lurah Mijen.
“Baiklah, Bapak. Aku bersedia mengunjungi Desa
Mijen serta menyaksikan pesta perkawinan putrimu
dengan Kisanak Lawunggana ini.”
“Terima kasih,” ujar Ki Lurah. “Tapi apakah persoa-
lannya hingga Angger sampai tiba di tempat ini dari
daerah Ponorogo yang sejauh itu?”
“Eh, itu hanya memenuhi permintaan ayahku, Ki
Banyak Sekti,” kata Gagak Cemani. “Dan tentang hal
itu kelak akan kuceritakan.”
“Oooh, jadi Angger adalah putra Ki Banyak Sekti?!”
seru Ki Lurah Mijen dengan kaget. Begitu pula Pen-
dekar Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum dan
lain-lainnya.
Senjapun telah tiba dan mereka telah selesai me-
rawat mayat-mayat yang tertinggal di situ serta me-
nguburnya sekali, sedang harta Tanjung Bugel itupun
telah mereka bongkar untuk diangkutnya pula ke Desa
Mijen.
Maka sesaat kemudian tampaklah iring-iringan
orang berkuda menuju ke arah selatan dalam kere-
mangan cahaya ujung malam yang berhiaskan ribuan
bintang di langit kelam.
Hingga di sini selesailah cerita seri Naga Geni
“Sengketa Kalung Pusaka” dan segera menyusul seri
Naga Geni, yakni “Pendekar Gagak Cemani”. Pembaca
akan mengerti kelanjutan kisah Bido Teles dan kawan-
kawannya, begitu pula Sasta Tunggal atau si Setan
Enam Serangkai dari Pegunungan Kendeng. Dan yang
tak kalah asyiknya adalah perjuangan pendekar Gagak
Cemani. Benarkah ia lebih dahsyat dan lebih sakti daripada Mahesa Wulung?
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar