GOA MULUT NAGA
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 003 :
Goa Mulut Naga
128 Hal.; 12 x 18 Cm
SATU
MATAHARI sore mulai mendekati batas
perairan samudera di cakrawala. Gemuruh
ombak berpadu dengan deru angin, membuat
suara-suara percakapan di pantai itu
menjadi samar-samar.
"Apakah sudah kau pertimbangkan
masak-masak rencanamu itu?!"
"Sudah!"
"Juga sudah kau perhitungkan bahaya
yang menghadangmu di sana?"
"Sudah!"
"Kalau begitu kau sudah siap untuk
mati!"
"Sangat siap!" Jawab suara tegas itu.
"Jika begitu tekadmu, aku tak bisa
menahanmu lagi."
"Kau tak perlu menahanku!"
"Semula aku hanya tak ingin
kehilangan dirimu."
"Kau telah kehilangan diriku sejak
kehadiran Luhmini di sampingmu"
"Luhmini hanya seorang sahabat biasa
bagiku."
"Bagimu memang sahabat biasa, tapi
baginya kau bukan sekadar sahabat biasa!"
"Persetankan dia, mengapa harus kau
hiraukan?"
"Tak biasa! Aku tak suka padanya!"
suara itu lebih tegas lagi.
"Kepergianmu hanya akan membuka
kesempatan lebih lebar lagi bagi Luhmini
untuk mendekatiku."
"Sesempit apa pun ia akan tetap bisa
mendekatimu, karena kau tak mau jauh
darinya."
"Tak mungkin aku harus melupakan
sahabat lamaku itu."
"Tak mungkin pula aku harus berada di
antara kalian berdua"
Pemilik suara tegas bernada dingin
itu masih tetap pandangi cakrawala dengan
sorot pandangan mata yang hampa. Ia tak
pernah mau berpaling ke arah kirinya,
sebab di sebelah kirinya berdiri seorang
pemuda berpakaian serba biru dan berambut
ikal. Pemuda itu tampak sudah tak punya
harapan lagi. Akhirnya IA berkata sambil
membuang napas lewat hidung.
"Jika begitu kekerasan hatimu, aku
hanya bisa mengucapkan selamat jalan
padamu, Anggiri. Semoga kau menemukan apa
yang kau cari di Gua Mulut Naga itu.
Semoga pula hatimu masih menyimpan sisa
cinta yang pernah kita jalin bersama."
"Tak ada sisa lagi di hatiku" ujar
Anggiri dengan dingin dan datar.
"Jika nanti kau berhasil mendapatkan
Bunga Pucuk Dara di Gua Mulut Naga itu,
jangan harapkan aku akan tunduk padamu.
Dari semua pria yang akan tunduk padamu,
hanya aku yang tak akan sudi menyerah
padamu, Anggiri!"
"Kita buktikan saja nanti! Sekarang
pergilah dan jangan sampai bertemu
denganku lagi. Jika kita bertemu lagi,
pastikan saja bahwa saat itu adalah saat
kematianmu tiba, sebagai kematian seorang
pengkhianat cinta!"
"Kurasa kau telah...."
"Tinggalkan aku sekarang juga, Arya
Semirang!" potong gadis itu dengan suara
menghentak, tapi pandangan tetap tertuju
ke cakrawala. Pemuda yang bernama Arya
Semirang itu hanya bisa menarik napas
dalam-dalam. Setelah memandang Anggiri
selama dua helaan napas, ia pun segera
pergi tinggalkan pantai tersebut.
Wesss...!
Ombak lautan yang bergulung-gulung
itu, akhirnya pecah setelah menghantam
gugusan batu karang sebesar rumah.
Pecahan ombak Itu menjadi riak, dan riak
pun menghampar di pasir pantai dengan
lembutnya.
Sepasang kaki berbetis indah tersapu
percikan air pantai. Sekalipun basah,
namun sepasang kaki itu tetap tak mau
menyingkir dari tepian pantai. Betisnya
yang indah itu dililit pengikat alas kaki
separo bagian, menimbulkan rasa penasaran
untuk melihat bentuk keutuhannya.
Tapi bagi seorang lelaki akan lebih
suka memandang bagian atas betis itu.
Lutut yang telanjang mempunyai batas
pandang sekitar satu jengkal ke atas.
Bagian atas lutut itu umumnya disebut
paha. Dan paha putih berbulu lembut itu
ternyata hanya dibungkus sebagian kecil
saja. Pembungkusnya selembar kain merah
dibentuk celana pendek yang mini sekali.
Bagian tepi celana pendek Itu berserat-
serat mirip celana pengemis, tapi justru
menambah daya tarik tersendiri bagi kedua
paha tersebut.
Celana pendek Itu berpinggang ketat
dan ditutup sabuk hitam dengan hiasan
paku-paku metal. Celana dan sabuk tak
sampai menutup bagian pusarnya. Pusar di
perut putih berbulu samar-samar itu juga
tidak sampai tertutup kain rompi yang
dikenakan. Rompi itu bagai terkatung-
katung di atas pusar, seakan takut
menyentuh permukaan pusar cekung itu.
Rompi itu juga dibuat dari kain merah
tebal. Tepian rompi berserat-serat
seperti rompinya pengemis. Belahan depan
dikancingkan sebagian, terutama dua
kancing di bawah, sedangkan kancing di
atasnya dibiarkan terbuka, membuat tepian
dada tampak tersembul bak mengintai
mangsa atau siap mangsa kemontokannya.
Sosok tubuh yang sekal, padat dan
tampak berisi Itu ternyata milik seorang
gadis berusia sekitar delapan belas
tahun. Tetapi perawakannya yang tinggi
dan sigap Itu membuatnya tampak Jauh
lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Bukan berarti gadis itu tampak tua,
namun justru sebaliknya, ia kelihatan
cantik dan muda, namun punya daya pikat
yang cukup dewasa. Gadis itu berhidung
mancung, bermata sedikit lebar namun
Indah bentuknya dengan bulu mata yang
lentik dan lebat, alisnya agak tebal
namun tersusun rapi, bibirnya sedikit
tebal tapi justru menghadirkan khayalan
menggemaskan bagi setiap lelaki, dan
rambutnya berpotongan pendek, cepak,
membuat lehernya yang putih mulus Itu
terbuka lebar seakan siap menerima
kecupan setiap saat. Gadis itu mempunyai
dagu sedikit terbelah, membuat
kecantikannya tampak berbeda dari gadis-
gadis cantik lainnya.
Gadis itulah yang bersuara tegas dan
datar tadi. Ia bernama Anggiri, tetapi di
rimba persilatan ia lebih dikenal dengan
nama: Perawan Hutan.
Rupanya ia baru saja putus cinta
dengan seorang pemuda tampan berbadan
tegap yang bernama Arya Semirang.
Putusnya hubungan cinta kasih itu
merupakan awal permusuhan bagi Perawan
Hutan. Luka di hatinya tak akan sembuh
jika membiarkan Arya Semirang tetap hidup
jika nanti berhadapan dengannya lagi.
Sekalipun hati terluka, namun Perawan
Hutan tak mau kehilangan semangat
hidupnya. la tak ingin menitikkan air
mata untuk seorang kekasih yang berjiwa
pengkhianat. Ia tetap ingin tegar dan
lebih bersemangat lagi meraih tujuannya,
agar suatu saat nanti dapat unjuk gigi di
depan sang pengkhianat cinta itu.
"Aku tak ingin diperbudak oleh cinta
Aku bukan seorang gadis yang cacat dan
tak berilmu!" tegasnya dalam hati.
"Seribu lelaki yang lebih dari Arya
Semirang bisa kudapatkan dalam waktu
singkat dengan cara mengobral kecantikan
dan kemolekan tubuhku. Tapi apa artinya
Jika aku harus hancurkan diri dengan cara
seperti itu?! Lebih baik aku memburu
Bunga Pucuk Dara itu, agar aku dapat
tundukkan semua lelaki di dunia, dan
menjadikan Arya Semirang menjadi alas
kakiku!"
Dari sikap berdirinya, Anggiri tampak
tak tetap tegar dan tak tergoyahkan oleh
kehancuran cintanya. Matanya yang
memandang penuh pancaran dendam telah
membuat wajah cantiknya kelihatan galak,
angkuh dan tak punya rasa takut kepada
siapa pun. Tak ada lagi senyum yang perlu
dipamerkan olehnya, karena ia tak ingin
dinilai sebagai gadis ganjen dan mudah
ditaklukkan oleh lelaki.
"Akulah yang akan hadir sebagai sang
penakluk jika Bunga Pucuk Dara telah
kudapatkan!" ujarnya di dalam hati dengan
penuh semangat, seakan sudah merupakan
tekad yang tak bisa diguncang oleh siapa
pun.
"Aku harus temui guru lebih dulu
untuk minta petunjuk ke Gua Mulut Naga."
Perawan Hutan segera bergegas
meninggalkan pantai. Tetapi baru saja
badannya berbalik dan ingin melangkah,
tiba-tiba gerakannya terhenti begitu
matanya berbenturan dengan sorot
pandangan mata seorang pemuda yang duduk
di atas batu setinggi perut. Rupanya
pemuda berbaju tanpa lengan warna putih
dan bercelana putih pula itu sudah sejak
tadi duduk di batu itu. Tapi karena tadi
posisinya dipunggungi Perawan Hutan, maka
gadis itu tak mengetahui bahwa dirinya
sudah agak lama diperhatikan oleh pemuda
berambut panjang lurus sepundak itu.
Perawan Hutan merasa asing dengan
pemuda tampan berjarak enam langkah
darinya itu. Ketampanannya tak pernah
dijumpai di rimba persilatan. Ketampanan
itu seperti kekuatan gaib yang mampu
menghadirkan kesejukan di hati. Bahkan
sorot pandangan mata si pemuda bagai
memancarkan keteduhan yang meresap di
hati.
"Ah, persetan dengannya!" geram hati
Perawan Hutan. Kemudian ia paksakan diri
untuk tetap melangkah tinggalkan pantai
berlangit merah.
Perawan Hutan tak tahu bahwa pemuda
yang duduk di batu dan memandang dengan
senyum nakal itu adalah salah satu dari
sepasang anak kembar yang dibesarkan dl
pucuk Gunung Merana. Pemuda itu adalah
Soka Pura, adik kembar dari Raka Pura
yang cenderung tak senakal adiknya. Kala
itu Soka memang tidak bersama kakaknya.
Sang kakak sedang sempatkan diri singgah
di sebuah pondok milik seorang tokoh tua
yang mengenal ayah angkat mereka si
Pawang Badai.
Soka tak begitu tertarik dengan
wajahnya si tokoh tua yang bernama Ki
Marunda. Suara debur ombak yang terdengar
samar-samar dari pondok Ki Marunda
membuat Soka tertarik untuk menikmati
pemandangan senja di tepi pantai
tersebut.
Namun begitu la tiba di pantai itu,
ia melihat seorang gadis berdiri tegak
dengan kedua kaki sedikit merenggang dan
kedua tangan bersidekap di dada. Soka tak
berani menegurnya, karena ia tahu gadis
itu sedang menikmati renungannya. Rasa
penasaran untuk melihat raut wajah si
gadis membuat Soka duduk di batu itu
secara diam-diam. Secara tak langsung ia
menghadang si gadis hanya untuk melihat
adakah kecantikan di wajah gadis
berperawakan bongkok itu.
Ketika wajah itu berbalik dan
terlihat jelas, Soka nyaris tersentak
kaget, karena wajah Itu mempunyai
kecantikan yang amat memukau. la tak
menyangka kalau gadis itu akan mempunyai
kecantikan setinggi itu.
"Kukira kecantikannya biasa-biasa
saja, tak tahunya lebih dari biasanya,"
ujar Soka dalam hati. "Tapi kelihatannya
dia gadis yang galak dan angkuh. Jika
kudekati dan kucoba mengenalnya, bisa-
bisa yang kudapat hanya tamparan belaka!
Ah, ngeri. Biar saja dia pergi!"
Ketika Soka Pura tiba di tempat itu,
Arya Semirang sudah pergi meninggalkan
Perawan Hutan sendirian. Karenanya, Soka
tak tahu bahwa gadis itu sedang
membendung dendam dan duka akibat
pengkhianatan cintanya, sehingga wajah
itu menjadi cantik-cantik galak dan
sangar.
Gadis Itu menyusuri pantai, semakin
lama semakin menjauh dari tempat Soka
duduk. Tapi anak muda berusia tujuh belas
tahun itu masih tetap memandanginya bagai
terpaku oleh kekaguman.
Perawan Hutan benar-benar tak
pedulikan si wajah tampan berpakaian
putih Itu. Pikirannya tertuju kepada sang
guru yang akan dimintai keterangan
tentang Gua Mulut Naga. Kabar tentang
tumbuhnya Bunga Pucuk Dara setiap delapan
tahun sekali itu telah membuat Perawan
Hutan bernafsu untuk memilikinya.
Terlebih setelah ia merasa disakiti oleh
Arya Semirang, ia berharap sekali untuk
memiliki bunga tersebut, karena bunga Itu
mempunyai kekuatan menundukkan semua
lawan jenisnya.
"Aku harus berhasil! Harus bisa
mendapatkan bunga itu! Kalau guru tak
izinkan aku ke Gua Mulut Naga, aku akan
nekat dan tak peduli lagi murka guru
nanti!"
Ucapan batin yang bertujuan
membulatkan tekadnya Itu terpaksa
dihentikan karena tiba-tiba sekeping
logam melesat ke arahnya.
Ziingg...!
Sekeping logam itu melesat dari arah
samping kirinya. Ekor mata si Perawan
Hutan yang menangkap gerakan benda
terbang itu telah membuat kakinya
menyentak secara refleks hingga tubuhnya
melambung ke atas.
Wuuutt...!
Traakk, trrakk...!
Senjata rahasia yang sebenarnya
berbentuk bintang segi enam itu tak
berhasil kenai tubuh Perawan Hutan.
Karena gadis itu menghindar dengan
gerakan lincah dan cepat, maka senjata
rahasia itu menghantam sebongkah karang
yang mencuat di perairan pantai. Pucuk
karang Itu terpotong oleh senjata
tersebut, bahkan sisi pinggir batu karang
di seberangnya juga Ikut terpotong oleh
terjangan senjata tersebut. Dapat
dibayangkan betapa tajamnya logam
berbentuk bintang Itu hingga bisa
memotong batu karang walau hanya sepotong
kecil. Jika senjata itu tak dialiri
tenaga dalam dan tentunya mengandung
racun tertentu, tak mungkin batu karang
Itu bisa terpotong sebagian.
Perawan Hutan hanya memandang sekejap
larinya senjata rahasia itu, kemudian ia
segera memandang ke arah semak-semak
hutan tepi pantai. la yakin senjata Itu
datang dari seseorang yang bersembunyi di
semak-semak tersebut. Maka si Perawan
Hutan segera kirimkan pukulan jarak
jauhnya yang dapat menghancurkan tubuh
manusia.
Dengan berang tangannya disentakkan
ke depan dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Dari telapak tangan itu melesat
sinar hijau lurus sebesar jarl telunjuk.
Slaap...!
Duaarrr...!
Sebatang pohon tak terlalu besar
segera tumbang karena terhantam sinar
hijau tersebut. Dari semak-semak yang
rusak karena hancur Itu tampak sekelebat
bayangan melesat keluar dan melayang di
udara dengan gerakan bersalto dua kali.
Kejap berikut, Perawan Hutan segera
kenali sosok bayangan yang kini hinggap
di atas sebongkah batu setinggi pundak
orang dewasa itu.
Jeegg...!
Ternyata bayangan yang menghindari
sinar hijau tadi adalah seorang lelaki
berperawakan tinggi besar dengan rambut
ikal sepundak yang meriap tak beraturan.
Lelaki berpakaian serba hitam itu
mempunyai wajah yang cukup angker, karena
kumis brewoknya tumbuh dengan lebat,
nyaris menutupi mulut. Alisnya lebat dan
lebar, sehingga kedua matanya yang lebar
Itu kelihatan kecil namun punya ketajaman
yang menyeramkan dalam memandang.
Perawan Hutan bersikap tenang dan
waspada. la tak merasa gentar sedikit pun
berhadapan dengan lelaki berwajah
beringas dan bersenjata golok besar di
pinggangnya itu. Dengan suara lantang si
Perawan Hutan menyapa tanpa keramahan.
"Apa maksudmu menyerangku, Iblis
Bongsor?!"
Kaki kanannya ke belakang dan
mengambil posisi berdiri menyamping.
Mereka beradu pandangan mata sesaat.
Sementara itu .di kejauhan sana, Soka
Pura sempat terkejut mendengar suara
ledakan tadi. la menjadi tegang dan
segera bangkit dari duduknya begitu
melihat si gadis berompi merah dihadang
lelaki berperawakan tinggi besar.
"Oh, ada yang mengganggunya?!
Dapatkah dia menghadapi gangguan Itu?!
Ah, sebaiknya aku tak perlu Ikut campur.
Kulihat saja seberapa kemampuannya
menghadapi orang bertubuh besar itu!"
Soka bicara sendiri dengan pelan, lalu
melangkah seenaknya mengambil tempat
lebih dekat lagi kedua orang tersebut.
Dari tempatnya berdiri bersandar batu
tinggi, Soka Pura mendengar suara Iblis
Bongsor membentak gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh kau, Perawan
Hutan! Kematian istriku di tangan Arya
Semirang patut ditebus dengan nyawamu!"
"Hei, jangan melibatkan diriku dalam
kematian Nyai Baruni, istrimu, tidak ada
sangkut pautnya dengan pribadiku. Kau
jangan cari-cari perkara denganku, Iblis
Bongsor!"
"Arya Semirang adalah kekasihmu! Dia
harus merasakan bagaimana menderitanya
kehilangan orang yang dikasihi!"
"Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa
dengan Arya Semirang! Jika kau Ingin
menuntut balas kematian istrimu,
tuntutlah dia dan bunuhlah sesuai dengan
seleramu! Tapi jangan sekali-kali kau
coba menyentuhku jika tak ingin
kehilangan nyawamu sendiri
Soka Pura membatin, "Gila Gadis Itu
berani sekali bicara begitu?! Mungkin
karena namanya Perawan Hutan, maka
keberaniannya seperti perawan di tengah
hutan."
Perawan Hutan memang tak punya rasa
takut sedikit pun dalam menghadapi Iblis
Bongsor. Lawannya sengaja dibuat lebih
marah lagi dengan sikapnya yang ketus dan
sinis itu. Menurutnya kemarahan seseorang
yang meluap-luap dapat dimanfaatkan untuk
melumpuhkan orang itu sendiri.
Maka ketika Iblis Bongsor berkata,
"Jika begitu, tentukan saja siapa yang
akan kehilangan nyawanya hari ini! Kau
atau aku?!"
Perawan Hutan menjawab dengan
seenaknya, "Sebaiknya kau saja!"
"Bangsat! Makin lama makin memuakkan
caramu bicara di depanku. Mulutmu harus
diremukkan sekarang juga, Perawan Hutan!
Heeah...!"
Iblis Bongor mencabut goloknya sambil
menerjang Perawan Hutan dalam satu
lompatan cepat.
Wuuuss...!
Beett...!
Tebasan golok besar itu nyaris kenal
pundak Perawan Hutan Jika gadis itu hanya
memiringkan badannya. Tapi karena si
gadis lakukan lompatan ke samping, maka
tebasan golok Itu mengenai tempat kosong.
Pada saat Perawan Hutan lakukan lompatan,
tiba-tiba kakinya berkelebat menendang ke
arah samping secara tak diduga-duga.
Wuuttt...!
Plook...!
Tubuh besar si Iblis Bongsor
terlempar keras, seperti segumpal kapas
dihembus angin kencang. Tendangan gadis
itu pasti bertenaga dalam cukup besar,
sehingga mampu membuat iblis Bongsor
terpental sebegitu jauhnya.
"Edan!" gumam Soka dalam hati. "Orang
sebesar itu bisa terpental sejauh sekitar
lima belas langkah? Tenaga dalam seperti
apa yang dipakai gadis itu hingga dapat
melemparkan tubuh lawan sebegitu
jauhnya?!"
Iblis Bongsor memang terlempar sejauh
lima belas langkah. Itu merupakan jarak
yang cukup jauh dari sebuah tendangan.
Tubuh besar itu terbanting begitu saja,
seakan benda tak bernyawa. Golok lebarnya
nyaris merobek pinggang sendiri kalau tak
segera dilepaskan dari genggamannya.
Sementara lawannya jatuh, Perawan Hutan
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit
merenggang dan tampak menunggu balasan
dari lawannya.
Iblis Bongsor berteriak, "Bangsat
busuk kau, Perawan Hutan! Kurebus tubuhmu
dan kusiramkan di kuburan istriku dalam
waktu sekejap lagi! Heaaah...!"
Kedua tangan yang tak pegangi golok
lagi itu kini menyentak ke atas dalam
keadaan diangkat di atas kepala dan
membentuk cakar yang kokoh.
Wuuutt...!
Zraaabs...!
Dari kedua tangan yang membentuk
cakar kokoh itu keluar puluhan keping
logam putih mengkilap yang menyerang
Perawan Hutan secara menyebar. Si Perawan
Hutan segera lepaskan pukulan bersinar
dari telapak tangan kanannya.
Wut....!!
Clap...!!
Seberkas sinar hijau tua menyebar
keluar dari telapak tangan gadis itu.
Claaap...!
Sinar hijau membentang lebar dan
menghadang kepingan-kepingan logam
berbentuk bintang itu.
Blaaarrr...!
Terdengar bunyi ledakan yang
menggelegar akibat puluhan lempengan
logam itu menghantam sinar hijau lebar
tadi. Akibatnya, Perawan Hutan sendiri
terpental ke belakang dan jatuh
telentang, sedangkan Iblis Bongsor juga
terlempar oleh gelombang sentakan daya
ledak tadi. Tubuh besarnya terbanting
kembali untuk yang kedua kalinya.
"Aaahk...!" Iblis Bongsor sempat
mengerang dikejauhan sana, jaraknya yang
semakin jauh dari Perawan Hutan
sebenarnya memberikan peluang bagi si
Perawan Hutan untuk melarikan diri. Tapi
agaknya gadis itu tak sepengecut itu. la
segera bangkit dan menghampiri lawannya
dengan langkah cepat.
"Biadab kau, Perempuan jalang!
Heeah...!"
Iblis Bongsor sentakkan tangan
kanannya dalam keadaan telapak tangan
terbuka. Dari tengah telapak tangan itu
melesat sinar merah sebesar tongkat
gembala.
Slaap...!
Perawan Hutan pun segera hentikan
langkah dan rendahkan kaki. Tangan
kirinya menyentak ke depan dan dari
telapak tangannya keluar sinar hijau lagi
dalam ukuran sama lebar dengan sinarnya
Iblis Bongsor. Sinar hijau dan sinar
merah tak terputus dari telapak tangan
masing-masing. Kedua sinar itu pun segera
beradu dipertengahan jarak.
Blaaabb...!
Cahaya jingga membias sekejap
mengelilingi pertemuannya kedua sinar
yang sama-sama belum padam Itu. Iblis
Bongsor gemetar menahan desakan sinar
hijaunya Perawan Hutan. Sementara si
Perawan Hutan juga tampak bergetar karena
kerahkan tenaga dalamnya untuk kalahkan
kekuatan sinar merah lawan. Mereka saling
mengeraskan urat, mengerahkan tenaga dan
saling memusatkan perhatian pada jurus
yang mereka adu saat itu.
"Hhhggerrh...!"
"laaahhk...!" Perawan Hutan masih
bertahan dan tak mau lepaskan sinar
hijaunya atau menghindar sedikit pun.
Tubuh mereka yang sama-sama bergetar
dan berkeringat itu membuat ketenangan
tersendiri di hati Soka Pura. Rasa ingin
membantu dipihak Perawan Hutan membuatnya
telah mengangkat tangan, namun niat
tersebut segera dibatalkan mengingat
urusan mereka bukan urusan pribadinya.
Maka murid si Dewa Kencan itu hanya
berpindah tempat lebih dekat lagi agar
dapat melihat ekspresi si gadis yang
cantik dan berpeluh segar itu.
Bruusk...!
Tubuh Iblis Bongsor tiba-tiba
terdorong mundur. Kakinya terbenam ke
tanah sampai sebatas betis. Namun ia
masih berusaha menahan desakan sinar
hijaunya Perawan Hutan yang terasa makin
lama semakin berat itu.
Bruuusk...!
Bahkan sekarang si Iblis Bongsor
terdorong mundur lagi dalam keadaan kedua
kaki terbenam sebatas lutut, sementara
tanah yang tadi dipijaknya menjadi
gundukan kecil di belakang Iblis Bongsor.
Tanah itu menggunduk akibat kedua kaki
Iblis Bongsor terdorong ke belakang tanpa
melalui geseran sedikit pun.
Tetapi telapak kaki Perawan Hutan
mulai berasap. Tanah yang dipijak
bagaikan terbakar oleh suatu kekuatan
yang cukup panas. Asap yang mengepul dari
kaki tersebut makin lama semakin banyak,
namun Perawan Hutan tetap tak mau
hentikan desakan sinar hijaunya.
Brruuussk...!
"Aaahk..." Iblis Bongsor terdorong
lagi. Kali ini tubuhnya terkubur ke dalam
tanah sebatas pinggulnya.
"Gila! Mereka sama-sama kuat?!" gumam
Soka dalam hati yang berdebar-debar
tegang.
"Uuhk...!" Perawan Hutan tersentak
dan mulutnya keluarkan darah walau hanya
sedikit. Tapi keadaan tubuhnya tetap
seperti tadi dengan sinar hijau yang
masih bertahan mendesak sinar merahnya
lawan.
Melihat keadaan Perawan Hutan mulai
keluarkan darah, kecemasan hati Soka Pura
tak bisa disembunyikan lagi. Maka dengan
satu gerakan tangan menyentak cepat ke
arah depan, Soka Pura keluarkan 'Cakar
Matahari' berupa sinar putih berbentuk
pisau runcing yang melesat dari tangannya
yang membentuk cakar itu.
Slaaaps...!
Sinar putih itu memotong pertemuan
sinar hijau dan sinar merah itu.
Blegaaarr...!
Dentuman dahsyat terjadi, suaranya
menggelegar seolah-olah sampai
menggetarkan langit senja. Tanah pantai
terguncang bagal dilanda gempa kecil. Air
laut bergolak, ombak mengamuk dalam satu
golakan. Beberapa pohon hutan ada yang
rubuh akibat getaran gelombang ledak
tadi. Batu-batu karang pun ada yang
pecan, ada yang tetap cuek dengan ledakan
tersebut.
Iblis Bongsor terlempar keluar dari
tanah dan melayang-layang tanpa
keseimbangan badan, lalu jatuh dalam
keadaan tengkurap.
Buuuehk...!
"Heeahk...?!" suara pekik tertahan
terdengar dari mulut Iblis Bongsor.
Ketika ia mencoba bangkit, ternyata
mulutnya semburkan darah segar berkali-
kali.
Perawan Hutan sendiri terpelanting ke
belakang dan membentur batu tinggi.
Buuuhk, brruuk...! la jatuh bersimpuh
dalam keadaan memuntahkan darah segar,
namun tak sebanyak Iblis Bongsor.
Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat
pasi. Sekujur tubuhnya bagai tak
bertulang lagi.
"Aduh, celaka! Kenapa malah bikin si
gadis terluka parah begitu?!" Soka Pura
tampak cemas sekali dan salah tingkah. la
mau dekati gadis itu, takut dihantam
Iblis Bongsor, mau diam di tempat, takut
gadis itu mati. Soka Pura hanya bisa
clingak-clinguk dan garuk-garuk kepala.
Sementara itu, Iblis Bongsor merasa
telah kehilangan tenaga cukup banyak.
Seluruh tenaganya nyaris terkuras. la
sadar akan luka dalam tubuhnya. Maka
pertimbangan otaknya memutuskan untuk
tinggalkan tempat itu sebelum mendapat
serangan dari lawannya lagi.
"Bangsat tengik! Ada yang ikut campur
dalam perkara ini. Oooh...! Sebaiknya aku
cepat-cepat pergi sebelum kematianku
tiba!" ujar si Iblis Bongsor.
Wess, wuut...!
Golok besarnya sempat disambar dan
Iblis Bongsor pun menghilang ke dalam
hutan tepi pantai. Saat itulah Soka Pura
baru berani mendekati Perawan Hutan yang
terbatuk-batuk dalam keadaan masih
bersimpuh dan tertunduk.
Setibanya di depan Perawan Hutan,
pemuda tampan bersabuk kain merah itu
menjadi tambah salah tingkah. Wajah
cantik itu mendongak sedikit, matanya
memandang tajam dan menggetarkan jantung.
Wajah cantik itu seakan menggeram dan
ingin melepaskan murkanya.
"Hmm, eeh... aku... aku... maksudku,
aku...," Soka Pura menggeragap karena
merasa bersalah, menganggap jurus 'Cakar
Matahari'-nya tadi adalah penyebab
terlukanya si gadis.
Soka semakin panik lagi melihat mata
gadis itu makin lama semakin sayu,
wajahnya kian seperti mayat, dan akhirnya
gadis itu terkulai lemas dengan mulut
ternganga dan napas menyentak-nyentak.
"Aduh, celaka! Tubuhnya menyentak-
nyentak karena luka dalam atau karena
sakit ayan?!" pikir Soka sambil clingak-
clinguk lagi.
* * *
DUA
JURUS 'Sambung Nyawa' yang dimiliki
oleh si kembar Raka dan Soka, kali ini
berhasil pulihkan kekuatan seorang gadis
lagi. Luka yang diderita gadis itu lenyap
dalam beberapa kejap setelah tangan kiri
Soka Pura ditempelkan ke dada Perawan
Hutan. Tangan itu memancarkan cahaya
ungu, lalu cahaya itu membias menjadi ke
tubuh Perawan Hutan. Setelah cahaya ungu
itu padam dari tubuh Perawan Hutan, gadis
cantik itu pun merasakan tubuhnya segar
dan sehat kembali. Tak ada rasa sakit
atau gangguan apa pun dalam jaringan
tubuhnya.
Gadis itu menatap dengan pandangan
dingin. Tak ada senyum, tak ada suara,
tak ada pula keramahan. Datar sekali.
Tapi kecantikannya semakin memancarkan
daya pikat yang bikin lelaki penasaran.
"Maaf kalau aku tadi ikut campur
dalam pertarunganmu dengan orang yang kau
sebut Iblis Bongsor itu," ujar Soka
mengawali bicara agar terjalin percakapan
lebih panjang dan lebih akrab lagi.
Tetapi nyatanya gadis itu tetap membisu.
la hanya bangkit berdiri, merapikan
rompinya yang tersingkap ke atas,
merapikan pedangnya yang mengganggu
langkah dan merapikan rambut pendeknya
yang sempat acak-acakan tadi.
Soka Pura cengar-cengir menunjukkan
keramahannya. Bahkan tanpa diminta ia
berani memperkenalkan diri kepada gadis
itu dengan harapan si gadis akan
memperkenalkan dirinya pula.
"Namaku Soka Pura, dari Gunung
Merana! Hmm, eeh... tadi aku kebetulan
saja ingin melihat suasana pantai di
senja hari seperti ini. Lalu, kulihat kau
pergi dari pantai, dan tahu-tahu kulihat
lagi kau sudah berhadapan dengan Iblis
Bongsor."
Perawan Hutan memandang dalam
bungkam, datar, tajam, dan dingin.
Pandangan matanya itu membuat Soka
semakin salah tingkah dalam senyumnya.
Tapi tatapan mata Soka sendiri sering
melirik ke tempat-tempat yang rawan oleh
sentuhan lelaki. Khayalannya pun
melayang-layang, membuatnya tampak
semakin gelisah dan penasaran.
"Tadi kulihat jurus-jurusmu sungguh
dahsyat. Sekali tendang, orang sebesar
itu bisa terlempar sebegitu jauhnya. Hmm,
eeh... aku kagum pada kehebatan jurusmu
itu. Boleh kutahu, kau belajar jurus itu
dari siapa?"
Perawan Hutan tak menjawab. Bibirnya
tetap terkatup rapat. Tapi matanya tetap
pandangi Soka tanpa berkedip, mirip mayat
hidup. Soka jadi merinding sendiri. Untuk
menutupi kegugupannya, ia berlagak batuk-
batuk kecil dan mengalihkan pandangan ke
arah ombak-ombak lautan yang bergulung-
gulung di kejauhan sana.
"Semakin senja, semakin cantik
bentangan samudera Ini, ya?" ujarnya
tanpa memandang ke arah si gadis. Sok
cuek.
"Lihatlah gulungan ombak memutih itu,
mirip lukisan alam yang cantik dan
anggun... seperti seraut wajah yang baru
dikenal belum lama ini. Biasan cahaya
merah saga dari langit, memantul di
permukaan air laut sehingga mirip sapuan
warna kemesraan. He, he, he, he...
mungkin juga di sana memang ada kemesraan
tersendiri yang belum pernah ditemukan
oleh siapa pun. Barangkali kau ingin
menemukan kemesraan itu dan...."
Kata-katanya terhenti begitu
berpaling menatap si gadis. Soka Pura
terperangah bengong dengan rasa kaget
yang membuat hatinya menjadi jengkel
sendiri.
"Konyol!" gerutunya dalam geram,
karena gadis itu ternyata sudah tidak ada
di tempatnya semula. la telah pergi tanpa
timbulkan suara apa pun.
"Apa dia sangka aku ini orang gila,
bicara sendiri, tertawa sendiri, cengar-
cengir sendiri, aah... Benar-benar konyol
kau, Perawan Hutan!" sambil mata Soka
memandang ke sana-sini mencari
kemungkinan si gadis sedang bersembunyi
di balik semak-semak.
"Perawan Hutan! Hai, judes...! Dimana
kau?! seru Soka tanpa basa-basi lagi. la
mencari sekeliling tempat Itu. Tapi si
cantik berompi merah dan bercelana pendek
sekali itu benar-benar menghilang dari
tempat itu.
"Hilang secara gaib atau melesat
pergi dengan menggunakan jurus peringan
tubuh yang sangat tinggi?! Hmmm...
jangan-jangan dia disedot setan tanah?!"
Soka Pura pandangi tanah sekelilingnya,
walau ia tahu hal itu tak mungkin
terjadi.
"Persetan dengan dia! Pulang saja ke
rumah Ki Mandura! Untuk apa aku
mencarinya terus di sini?! Siapa tahu dia
bukan manusia, melainkan arwah yang
penasaran! Hiihh...!" Soka Pura bergidik
sendiri, mengingat senja makin menua dan
petang mulai datang.
Perjalanan si kembar Raka dan Soka
menuju Gua Mulut Naga sengaja
dirahasiakan oleh mereka. Karena ternyata
bukan hanya mereka yang ingin menuju ke
sana, melainkan banyak pihak lain yang
juga ingin ke gua tersebut. Tetapi tak
banyak orang mengetahui jalan menuju Gua
Mulut Naga itu.
Mereka mempunyai kepentingan yang
berbeda dengan si kembar Raka dan Soka.
Selama mencari tahu jalan menuju Gua
Mulut Naga, si kembar telah menemukan dua
orang tokoh rimba persilatan tingkat atas
yang berusaha mencari keterangan tentang
jalan ke gua tersebut. Diantaranya adalah
Peri Kenanga dan Hantu Muka Tembok, (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Kencan Dl Ujung Maut"). Kini ada satu
lagi tokoh yang agaknya punya Ilmu tak
bisa diremehkan yang ingin menuju ke Gua
Mulut Naga, yaitu si Perawan Hutan.
Tujuan mereka sama dengan tujuan
Perawan Hutan. Sekuntum bunga yang tumbuh
dan mekar delapan tahun sekali kini
menjadi incaran mereka. Bunga Pucuk Dara
itu tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga.
Namun gua itu sendiri sukar ditemukan.
Sedangkan si kembar Raka dan Soka
datang ke Gua Mulut Naga bukan untuk
mencari Bunga Pucuk Dara, melainkan
diutus oleh mendiang gurunya, si Dewa
Kencan, untuk mengambil sepasang pusaka
di dalam gua tersebut. Pusaka itu adalah
Pedang Tangan Malaikat yang semula adalah
milik ayah dan pamannya si Dewa Kencan.
Bagi orang lain, mungkin menemukan
jalan menuju Gua Mulut Naga adalah
pekerjaan yang sulit sekali, karena
selama ini arah tempat tersebut hanya
bisa diduga-duga saja. Munculnya banyak
dugaan membuat keadaan menjadi semakin
simpang siur, Tetapi si kembar Raka dan
Soka tak merasa bingung lagi. Mereka tahu
persis ke mana arah yang harus dituju
untuk mencapai Gua Mulut Naga, karena
peta wasiat pemberian Nini Sawandupa yang
mencatat jalan menuju gua tersebut sudah
ada di tangan si kembar Raka dan Soka.
Berdasarkan peta itulah mereka dipandu
untuk mencapai sasaran yang dimaksud.
Peta itu sekarang berada di tangan Raka
Pura, sebagai kakak dari Soka Pura.
Perjalanan itu ternyata tidak cukup
ditempuh dalam waktu sehari semalam saja.
Belum lagi ada beberapa keterangan dalam
peta tersebut yang tidak mudah dipahami
oleh si kembar Raka dan Soka.
Karenanya, ketika mereka bertemu
dengan tokoh tua bernama Ki Mandura, dan
ternyata Ki Mandura adalah sahabat lama
ayah angkat mereka si Pawang Badai, maka
mereka pun sempatkan diri untuk bermalam
di rumah Ki Mandura yang kurus dan gemar
mengenakan jubah abu-abu.
Rupanya Ki Mandura sendiri masih
menyimpan perkara lama yang belum
diselesaikan. Ketika Raka Pura sedang
asyik membicarakan tentang beberapa tanda
yang tertera di peta dan menjadi patokan
langkah mereka itu, tiba-tiba mata Raka
Pura menangkap kilatan cahaya merah kecil
yang ingin menerjang Ki Mandura.
"Ki, awaaas...!" pekik Raka kepada
lelaki tua berjenggot putih itu. Melihat
mata anak muda didepannya terbelalak, Ki
Mandura segera tanggap datangnya bahaya
dari arah belakangnya. Serta merta
tubuhnya yang kurus melesat berpindah
tempat tanpa terlihat gerakannya.
Zaap...!
Cahaya merah kecil itu kini mengarah
ke dada Raka Pura, sebab tubuh Ki Mandura
menyingkir dari depannya.
Mau tak mau Raka Pura segera
sentakkan tangan kanannya dalam keadaan
membentuk cakar tengkurap. Lalu dari
tangan itu keluar sinar putih seperti
pisau runcing.
Claap...!
Jurus 'Cakar Matahari' melesat dan
bertabrakan dengan sinar merah kecil Itu.
Blaaarr...!
Raka Pura terlempar ke belakang,
bahkan terbanting keras dalam keadaan
terkapar. Rupanya sinar merah kecil itu
bertenaga dalam cukup besar, sehingga
gelombang ledakannya saat dihantam jurus
'Cakar Matahari' menyentak sangat kuat
dan menerbangkan tubuh Raka Pura.
Buuhk...!
"Auuuh...!" Raka Pura mengerang kecil
sambil menyeringai. Tulang punggungnya
seakan dihantamkan ke tanah hingga patah.
Zaap, zaap...!
Ki Mandura berkelebat menuju ke arah
datangnya sinar merah tadi. Ia ingin
memburu penyerang gelap yang bermaksud
curang itu. Tetapi beberapa saat kemudian
si tua bermata kecil itu telah kembali
menemui Raka Pura pada saat Raka
menggeliat bangkit dengan berpegangan
pada sebatang pohon johar.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?"
"Bisa kuatasi, Ki," jawab Raka Pura
yang memang merasa bisa mengatasi rasa
sakitnya dengan melakukan pengobatan
melalui napas sendiri.
"Pasti si keparat Tandu Sangrai yang
melakukannya!" ujar Ki Mandura sambil
menahan kegeraman dalam hatinya.
"Siapa itu Tandu Sangrai, Ki?!"
"Perempuan gila yang masih menyangka
diriku menyimpan Kitab Guntur Bayangan."
Raka Pura kerutkan dahi, hatinya
tertarik dengan nama kitab pusaka itu.
"Apa isi Kitab Guntur Bayangan itu,
Ki?"
Sambil melangkah menuju ke dalam
pondokannya, Ki Mandura yang didampingi
Raka itu menjawab dengan pelan.
"Kitab itu berisi jurus guntur tanpa
suara dan rupa."
"Apakah benar kau memilikinya?"
"Mendiang kakakku yang memilikinya.
Tapi ketika kakakku tewas, Kitab Guntur
Bayangan pun lenyap entah ke mana. Aku
menduga, kitab itu dicuri oleh salah satu
muridnya Rayap Sewu, kakakku Itu."
"Mengapa tak kau kejar orang itu?
Maksudku, si pencuri kitab pusaka
tersebut?!"
"Tak jelas siapa pelaku sebenarnya,
bagaimana harus mengejarnya?! Pencuri itu
pasti pandai menghilang seperti si Tandu
Sangrai tadi menyerang dan pergi tanpa
bisa dikejar lagi."
"Apakah kau tadi tak menemukan siapa
pun di tempat datangnya sinar merah
itu?!"
"Yang kutemukan hanya bau wangi
cendana. Kukenal wangi cendana itu adalah
aroma pedang si Tandu Sangrai. Perempuan
itu.... Uuhkk!"
"Ki Mandura...?!" pekik Raka ketika
sahabat ayah angkatnya itu tiba-tiba
terbungkuk saat ingin mendekati pintu
masuk. Kata-katanya terhenti seketika dan
mulutnya semburkan darah kental hingga
memercik ke daun pintu.
Tubuh tua yang segera limbung itu
ditangkap oleh Raka Pura memakai dua
tangan dari belakang. Seketika itu pula
Raka Pura terbelalak lebar-lebar karena
melihat leher depan Ki Mandura telah
menghitam. Tiga jarum merah menancap di
leher tersebut, tepat di sela-sela tulang
kerongkongannya.
Tiga jarum merah itu pasti beracun
ganas dan sangat mematikan. Terbukti
dalam tiga helaan napas saja Ki Mandura
sudah tidak bergerak selama-lamanya.
Tubuhnya dingin bagai bongkahan es batu,
kulitnya menjadi kebiru-biruan. Raka Pura
tak sempat lakukan pengobatan karena tak
menyangka nyawa si tua berjubah abu-abu
itu akan melayang secepat itu.
"Jahanam!" geram Raka Pura dengan
berangnya. "Siapa yang melakukannya?!
Tandu Sangrai itukah pelakunya?! Hmm...
dari mana dia bisa menyerang Ki Mandura
sedangkan...."
Brraas...!
Tiba-tiba Raka Pura dikejutkan oleh
suara gaduh di atap rumah. la segera
memandang ke arah sana. Ternyata sesosok
tubuh terbungkus jubah hijau muda telah
melesat dari dalam rumah menerobos atap,
bahkan sempat berdiri sebentar untuk
pandangi Ki Mandura. Begitu hatinya yakin
bahwa Ki Mandura telah tewas, sosok
terbungkus jubah hijau muda itu pun
melesat ke atas pohon seperti seekor
merpati.
"Keparat! Rupanya dia masuk dari
pintu belakang dan menghadang di ruang
tengah itu?!" geram Raka Pura. "Akan
kukejar dia"
Wuuz, wuuz, wuuz...!
Jurus 'Jalur Badai' yang kecepatannya
menyerupai hempasan badai tercepat segera
digunakan oleh Raka Pura untuk mengejar
si jubah hijau dengan rambut panjang yang
tersanggul rapi tadi. Perempuan tersebut
melesat dari pohon kepohon dengan sangat
cepat. Tetapi kecepatannya itu masih bisa
tersusul oleh jurus 'Jalur Badai'-nya
Raka Pura yang juga dimiliki oleh Soka
Pura. Saat itu, adik kembarnya belum
pulang dari pantai dan cahaya senja masih
tersisa. Pada saat Raka mengejar
perempuan berjubah hijau muda itu, kira-
kira bertepatan dengan Soka Pura sedang
berusaha mengajak bicara si Perawan
Hutan.
Gerakan si jubah hijau itu menjauhi
pantai, sehingga Raka Pura pun tak
pedulikan keadaan adiknya yang tadi pamit
ke pantai. Perhatian Raka tertuju pada
gerakan si jubah hijau yang sepertinya
lebih suka bergerak melintas dari pohon
kepohon sehingga sukar dikejar. ia tidak
tahu bahwa pengejarnya sudah berada di
depan langkah berikutnya. Raka Pura
sentakkan kaki dan tubuhnya melayang naik
dengan gerakan tak bersalto.
Wuuut...!
Jleeg...!
Si jubah hijau terperanjat kaget
melihat Raka Pura ada di pohon depan yang
akan dilaluinya. Maka dengan gerakan
melayang indah dan cepat, si jubah hijau
turun ke tanah dan melesat menerabas
semak bagaikan bayangan angin berwarna
hijau.
Weess, weees...!
Wuuz, wuuuz...!
Raka Pura memotong jalan dan dalam
waktu sangat singkat sudah berada di
depan langkah perempuan itu lagi. Agaknya
perempuan itu kesal dengan tingkah si
pemuda tampan berpakaian serba putih itu,
sehingga ia pun akhirnya hentikan langkah
dan mencoba menghadapi kemauan
penghadangnya.
Perempuan cantik bermata sayu itu
sengaja sunggingkan senyum sinis sambil
melangkah ke samping. Raka Pura tak
membalas senyuman itu karena hatinya
marah sekali membayangkan kematian Ki
Mandura setragis itu. Pemuda tanpa
senjata itu hanya ikuti gerakan perempuan
berjubah hijau dengan sorot pandangan
mata setajam pedang.
"Apa maumu mengejarku, hah?!"
perempuan itu mulai bersuara dengan nada
ketus.
"Kau telah membunuh sahabat ayahku
tanpa alasan yang pasti"
"Kau tidak tahu bahwa dia seorang
pencuri kitab pusaka"
"Kitab Guntur Bayangan, maksudmu?!"
Perempuan itu terkesiap sesaat.
Langkahnya terhenti, tangannya mulai
memegang gagang pedang. Mata Raka pun
terarah ke pedang yang sarungnya terbuat
dari kayu berukir. la mulai sadar bahwa
sejak tadi ia telah mencium aroma wangi
cendana. Ingat kata-kata Ki Mandura tadi,
Raka pun yakin bahwa perempuan itu adalah
Tandu Sangrai, si pemburu kitab pusaka.
"Rupanya kaulah orang yang dipercaya
oleh Ki Mandura untuk menyimpan kitab
itu!"
"Keliru!" tegas Raka singkat.
"Rupanya kau perlu dipaksa dulu, Anak
muda!" geram perempuan berusia dua puluh
tujuh tahun itu.
Tangan yang pegangi gagang pedang
berkelebat ke depan.
Wuut...!
Gagang pedang tidak tercabut, tapi
telapak tangan itu semburkan bunga api
cukup deras.
Joorss...!
Raka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya
melayang di udara berjungkir balik ke
depan melewati atas kepala Tandu Sangrai.
Wuk, wuk...!!
Begitu mendarat, kaki kanannya
menendang kebelakang dengan kuat.
Duuhk...!
"Heehk...!" Tandu Sangrai tersentak
kedepan dan terhuyung-huyung menjaga
keseimbangan tubuhnya. Tapi Raka Pura
segera memutar tubuh dalam satu lompatan
dan kaki yang satunya berkelebat bagai
menyabet kepala Tandu Sangrai.
Wuuut, plaakk...!
Tendangan kaki yang menyabet itu
tepat kenai wajah Tandu Sangrai. Pipi
kanan perempuan itu menjadi merah
seketika, tubuhnya terbanting ke samping
dan cepat berguling-guling.
la buru-buru bangkit sambil menahan
rasa sakit. Dalam keadaan satu kaki
berlutut, kedua jari tangan kanannya
mengeras dan dari ujung jari itu
keluarlah dua jarum merah yang melesat
dengan cepat.
Wuuutt...!
Ketajaman mata Raka pada saat itu
dalam kondisi prima, sehingga gerakan dua
batang jarum sepanjang kelingking itu
tampak jelas menuju ke dadanya. Raka Pura
segera putar tubuhnya dengan cepat
kesamping kanan. Begitu berhenti,
langsung berlutut satu kaki dan melompat
ke depan dalam gerakan berguling di
tanah.
Wuk, wuk...!
Gerakan bergulingnya yang cepat Itu
membuat Tandu Sangrai terperanjat, karena
tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada dl
depannya dan melepaskan pukulan ke arah
wajah.
Wuuutt...!
Taab...!
Tangan perempuan Itu berkelebat cepat
menangkap kepalan Raka Pura, sehingga
pukulan itu tak sampai menyentuh wajah
cantiknya. Tapi serta merta Tandu Sangrai
gulingkan badan dan menendang ke wajah
lawan.
Ploook...!
Tendangan telak itu kenai dagu Raka.
Pemuda tersebut terpental ke belakang.
Brruk...!
"Uuuhf...!"
Raka menyeringai kesakitan sambil
bergegas bangkit kembali.
Blaaas...!
Perempuan berjubah hijau itu
melarikan diri dengan lakukan lompatan ke
atas pohon. Sebelum tinggalkan pohon itu,
ia sempat lepaskan kembali dua jarum dari
ujung kedua jarinya yang dikibaskan bagai
melempar pisau.
Wuuutt...!
Jeerb...!
Kedua jarum itu menancap ke tanah,
karena Raka Pura segera gulingkan badan
kekiri hingga lolos dari sentuhan jarum
beracun tinggi itu.
Melihat lawannya lari, Raka Pura yang
masih penasaran segera lakukan pengejaran
kembali.
"la harus dibuat lumpuh sebagai
hukumannya membunuh Ki Mandura!" geram
hati Raka Pura.
"Rupanya anak muda itu tak bisa
dianggap enteng! la mampu hindari jarum
mautku dua kali, berarti ia berilmu
tinggi. Kalau kupaksakan melawannya,
mungkin aku bisa celaka sendiri.
Sebaiknya kuberi kelengahannya saja, dan
kubuat tubuhnya yang gagah itu membusuk
perlahan-lahan supaya ia mau serahkan
kitab itu padaku!"
Kecamuk hati si Tandu Sangrai itu
terhenti mendadak, karena lagi-lagi ia
dikejutkan oleh munculnya Raka Pura dl
pohon berikutnya.
"Tanggung!" geram Tandu Sangrai. Maka
la pun segera mencabut pedangnya.
Weer...!
Bau candana semakin kuat. Tandu
Sangrai menerjang pemuda yang berdiri di
dahan pohon depannya.
Wees...!
Pedang siap ditebaskan ke dada Raka
Pura. Tapi tiba-tiba seberkas sinar hijau
kecil melesat dari bawah dan mengenai
pinggang kiri Tandu Sangrai.
Jubbs...!
"Aaahk...!" Tandu Sangrai memekik,
tubuhnya melayang tanpa keseimbangan
badan lagi. Ia jatuh terhempas bagai
dahan kering patah dari pohonnya.
Brrruk...!
Sedangkan Raka Pura segera
mengejarnya turun dengan hati menyimpan
rasa heran.
"Siapa yang membantuku dengan
melepaskan sinar hijau tadi?"
Jleeg...!
Raka Pura daratkan kakinya dalam
jarak tiga langkah dari Tandu Sangrai!
Raka Pura ingin lepaskan tendangannya
lagi. Tapi tiba-tiba sebuah suara
terdengar menyentak tegas.
"Cukup"
Raka Pura tak jadi lepaskan
tendangannya. Wajahnya segera berpaling
ke arah suara dari balik semak-semak
sebelah kirinya. Dari semak-semak itu
muncullah seraut wajah cantik berambut
cepak, mengenakan rompi merah dan celana
pendek sekali warna merah juga.
Perawan Hutan memandang Raka sebentar
dengan tajam. Raka Pura berkerut dahi,
merasa asing dengan gadis itu. Sementara
si gadis merasa tak asing dengan wajah
dan penampilan Raka Pura, sebab ia
menyangka pemuda itu adalah Soka Pura.
Bahkan ia sempat membatin dalam hatinya.
"Ternyata gerakannya lebih cepat
dariku. Tahu-tahu ia sudah berada di
sini. Padahal tadi baru saja kutinggalkan
dengan jurus Kabut Jantan?!"
Perawan Hutan melangkah dengan tegak,
menampakkan ketegasannya dalam bersikap
Raka nyaris terkesima oleh kemunculan
gadis berompi cekak itu. la buru-buru
ingat lawannya yang sewaktu-waktu dapat
melepaskan serangan ke arahnya.
Tapi ketika la berpaling ke arah
Tandu Sangrai, ternyata perempuan itu
telah menghilang. Dalam sekejap pandangan
mata Raka temukan sosok tubuh berjubah
hijau sedang berlari menyelinap dari
pohon ke pohon sambil mendekap
pinggangnya yang agaknya terluka cukup
berbahaya dan harus segera diobati. Raka
Pura tak mau melepaskan lawannya. la
bergegas mengejar Tandu Sangrai.
"Tunggu...!"
Lagi-lagi suara Perawan Hutan menahan
langkahnya. Raka Pura menjadi jengkel,
dahinya semakin berkerut, napasnya
ditarik panjang-panjang, lalu dihembuskan
dalam satu sentakan keras, menandakan
hatinya sangat jengkel dengan sikap
penahanan gadis rompi merah Itu.
"Apa maksudmu menahanku, hah?! Kau
bersekongkol dengannya?!" suara Raka Pura
agak membentak keras ketika Perawan Hutan
berdiri di depannya dalam jarak dua
langkah. Raka Pura bertolak pinggang dan
tak menampakkan keramahannya, sedangkan
Perawan Hutan menatap terus tanpa
berkedip, sehingga membuat Raka Pura
akhirnya lepaskan tolak pinggangnya.
"Siapa kau?!" tanya Raka Pura dengan
ketus.
"Tak perlu kusebutkan kau sudah tahu
namaku!"
"Aku...."
"Jangan lagi berhadapan dengan Tandu
Sangrai!" potong Perawan Hutan.
"Mengapa kau...."
"Dia kakakku!"
"Apa...?"
"Walau kakak tiri, tapi dia satu ayah
denganku!"
"Jadi kau juga...."
"Dia tak akan berani mengganggumu
lagi jika aku ada bersamamu!"
"Tapi dia...."
"Lupakan masalahmu dengannya," potong
Perawan Hutan lagi membuat hati Raka
semakin jengkel.
"Kau belum tahu bahwa...."
"Aku lebih tahu tentang dia!"
"Diam!" hardik Raka. "Bukan hanya kau
yang bisa bicara. Aku pun bisa bicara dan
punya hak untuk bicara!" ucap Raka dengan
cepat hingga tak bisa terpotong oleh si
gadis.
Perawan Hutan pun hembuskan napas
sebagai tindakan menahan diri untuk tidak
lakukan pemotongan kata lagi. Tapi
pandangan matanya masih tetap tajam dan
mengarah ke wajah Raka Pura yang tampak
gusar sekali itu.
"Dengar, siapa pun dirimu, aku tak
peduli lagi!" kata Raka Pura. "Yang
jelas, dia telah membunuh tuan rumah yang
sedang kukunjungi. Ki Mandura adalah
sahabat ayahku. Baru saja beliau tewas.
Dia yang membunuhnya!"
Perawan Hutan terperanjat, namun
buru-buru bersikap dingin lagi. Raka
menjadi curiga melihat kekagetan yang
buru-buru disembunyikan itu. Maka ia
segera ajukan tanya dengan tegas.
"Mengapa terkejut?! Kau juga
mengincar kitab pusaka Itu?!"
Si gadis hanya kerutkan dahi,
pandangan matanya berubah menjadi seakan
merasa heran mendengar tuduhan itu.
* * *
TIGA
PADA saat Soka Pura tiba di pondok Ki
Mandura, ia sangat terkejut menemukan
mayat Ki Mandura di depan pintu.
Jantungnya nyaris terhenti seketika itu
juga. la buru-buru menarik napas panjang-
panjang dan mengendalikan guncangan
jiwanya.
"Raka...?!" panggil Soka Pura.
"Rakaaa...! Di mana kau!"
Seruan itu adalah seruan menegangkan.
Soka Pura sempat panik ketika kakak
kembarnya tak ditemukan disekitar pondok
Ki Mandura. Repotnya lagi, kala itu
petang telah tiba dan kegelapan mulai
menguasai belahan bumi. Hanya ada cahaya
redup yang memancar dari bulan sabit yang
muncul di langit biru.
"Siapa yang menewaskan KI Mandura?
Apakah kakakku sendiri? Oh, tak mungkin!
Raka tak mungkin lakukan hal sekeji itu.
Pasti orang lain! Lalu, bagaimana dengan
Raka? ikut terbunuh juga?! Oh, setan
belang! Kenapa harus mengalami hal
seperti itu?!" Soka Pura terengah-engah
diburu ketegangan. Dalam keadaan panik
begitu, Soka pun akhirnya mengikuti
langkah nalurinya untuk mencari Raka.
Hati kecilnya yakin, Raka tidak ikut
terbunuh seperti Ki Mandura. Hanya saja,
di mana Raka saat itu, Soka tak dapat
menduganya.
Padahal seandainya Soka mau diam di
tempat, menunggu kemunculan Raka, pasti
ia tak akan salah arah. Seandainya saat
itu ia menggali lubang kubur untuk
memakamkan jenazah Ki Mandura, pasti ia
akan bertemu dengan Raka, kakaknya.
Karena beberapa saat setelah Soka
meninggalkan pondok Ki Mandura, Raka
datang ke tempat itu bersama Perawan
Hutan. Gadis itu ternyata kenal baik
dengan Ki Mandura, dan nyaris tak percaya
mendengar Ki Mandura tewas di tangan
Tandu Sangrai. Tapi setelah ia melihat
luka di leher jenazah Ki Mandura dan
melihat tiga jarum di leher korban yang
belum dicabut Raka itu, barulah ia
percaya bahwa luka tersebut memang milik
Tandu Sangrai.
"Tetapi mestinya Ki Mandura dapat
hindari tiga jarum ini!" kata Perawan
Hutan. "Aku tak habis pikir melihat
kenyataan ini, sebab setahuku Ki Mandura
berilmu lebih tinggi dari Tandu Sangrai.
Tandu Sangrai punya tiga ilmu unggulan,
jarum Penjemput Ajal, jurus 'Pedang Bayu'
dan jurus 'Retak Gegana'. Selebihnya
hanya biasa-biasa saja. Tapi mengapa ia
bisa menewaskan Ki Mandura?!"
"Serangan itu datangnya sangat tak
diduga-duga dan sulit dihindari. Ki
Mandura sempat terkejut sekejap. Mungkin
pada saat itulah Tandu Sangrai lepaskan
ketiga jarum 'Penjemput Ajal' ini! Siapa
orangnya yang menyangka bahwa sang musuh
ada di dalam rumahnya sendiri!"
Perawan Hutan mengusap rambutnya
sendiri dikebelakangkan. Napasnya
terbuang lewat hidung.
Wajahnya tampak memendam duka atas
kematian Ki Mandura.
"Sudah lama mereka bermusuhan," gumam
Perawan Hutan, seakan bicara pada diri
sendiri. "Tandu Sangrai tetap menyangka
Ki Mandura menyimpan Kitab Guntur
Bayangan. Padahal sudah kukatakan
berulang kali padanya agar jangan
mengganggu Ki Mandura, karena Ki Mandura
telah berterus terang padaku bahwa ia
tidak menyimpan kitab pusaka itu,"
Perawan Hutan mendesah lagi, seakan ingin
membuang kesedihannya.
Mereka memakamkan jenazah Ki Mandura
malam itu Juga di belakang rumah
berdinding kayu itu. Sampai mereka
selesai memakamkan jenazah tersebut. Soka
Pura masih belum pulang. Hal itu membuat
Raka diam-diam sembunyikan kegelisahan
yang menyiksa jiwa. Sementara si Perawan
Hutan masih menganggap Raka adalah Soka,
sebab Raka lupa jelaskan bahwa sang adik
yang ditunggunya itu berwajah dan
berperawakan persis dengannya, bahkan
pakaian dan potongan rambutnya pun tak
ada bedanya dengan dirinya.
Di bawah siraman cahaya pelita yang
ada di pekarangan depan rumah tersebut,
Raka Pura duduk menahan keresahan akibat
berbagai pemikiran. la sengaja duduk di
sebatang kayu pohon yang diberi kaki
sebagai bangku panjang.
"Jika aku pergi mencarinya, maka ia
akan pergi mencariku setelah tahu aku tak
ada di rumah Ini. Akhirnya tak akan ada
habisnya, aku dan dia akan saling cari-
carian! Hmmm... sebaiknya kutunggu saja
di sini sampai ia datang. Kalau Soka
belum kembali, perjalanan ke Gua Mulut
Naga belum akan kulanjutkan."
Dari dalam rumah muncul seorang gadis
berperawakan tinggi, sekal dan mempunyai
gerakan lincah seperti lelaki. Perawan
Hutan akhirnya tak bisa menahan
kesendiriannya di dalam rumah Ki Mandura.
Kini ia ikut duduk di samping kiri Raka
dengan gaya duduk seperti seorang lelaki
perkasa.
"Bagaimana jika selama tujuh hari
adikmu belum pulang Juga?"
"Selama tujuh hari juga aku tetap
akan menempati rumah ini!" jawab Raka
menunjukkan kesetiaannya kepada sang adik
kembar.
"Aku tak bisa ikut menunggu sampai
sebegitu lama."
"Aku tak memintamu menungguku."
"Esok pagi aku sudah harus pergi
tinggalkan tempat Ini."
"Esok pagi...?" Raka sedikit
terperanjat, namun cepat-cepat bisa
menetralkan diri.
"Ke mana arah langkahmu esok pagi,
Perawan Hutan?" tanya Raka, ia mengetahui
nama gadis itu ketika dalam perjalanan
menuju rumah KI Mandura.
"Aku akan menemui guruku dulu, baru
berangkat mencari Gua Mulut Naga!"
Kini pemuda itu yang tampak
terperanjat mendengar nama Gua Mulut Naga
disebutkan oleh gadis itu.
"Untuk apa kau ke sana?" desak Raka.
"Seperti beberapa tokoh lainnya, aku
pun ingin kuasai lawan jenisku dan
mendapatkan ilmu 'Tiga Sukma' dengan
memakan bunga keramat yang dikenai dengan
nama Bunga Pucuk Dara itu."
"Hanya bunga itukah yang kau cari ke
dalam Gua Mulut Naga itu nanti?"
"Ya. Kau pikir apa lagi yang bisa
diperoleh lagi? seseorang yang sudah
berhasil temukan gua tersebut? Hanya
bunga dan bunga itu harus dipetik sebelum
malam purnama tiba. Sebab bunga itu akan
layu dan mengering setelah satu bulan
penuh la tumbuh dengan mekar."
"Kalau begitu, sebenarnya kita punya
tujuan yang sama," kata Raka Pura.
Duduknya tetap berjarak dua jengkal dari
si Perawan Hutan. Dalam hati Raka merasa
bersyukur karena ternyata Perawan Hutan
tidak memburu pusaka juga, seperti yang
dilakukan Raka dan Soka.
Tetapi si gadis kaget ketika Raka
katakan bahwa ia pun sedang dalam
perjalanan menuju Gua Mulut Naga.
"Jadi kau juga menghendaki bunga
keramat itu?"
"O, bukan! Aku dan adikku pergi ke
gua itu karena ada urusan pribadi yang
sulit ku jelaskan."
"Ooo...," Perawan Hutan manggut-
manggut. la mulai tak bersikap bermusuhan
terhadap Raka yang dianggap sebagai Soka
Pura itu.
"Apakah kau tahu jalan menuju ke
sana?" tanya Perawan Hutan setelah
termenung beberapa saat.
Karena merasa satu arah lain tujuan,
maka Raka Pura tidak menganggap Perawan
Hutan sebagai pihak yang perlu dimusuhi.
Raka merasa tak rugi jika pergi ke Gua
Mulut Naga bersama dengan gadis bercelana
sangat pendek itu.
"Tentunya kau lebih tahu jalan ke
sana daripada aku," pancing Raka.
"Tidak. Aku belum tahu secara pasti
jalan ke sana. Justru aku Ingin menemui
guruku dan menanyakannya arah yang pasti.
Tapi jika kau tahu, kurasa aku tak perlu
menemui guru dulu. Lebih balk kita
berangkat bersama saja!"
Raka sunggingkan senyum tipis. Cahaya
pucat si bulan sabit membuat senyum itu
terlihat indah bagi Perawan Hutan. Hati
gadis Itu pun berdesir lembut,
menyenangkan bila diresapi.
"Jadi kau mau numpang perjalananku?"
"Kau keberatan?!" Perawan Hutan ganti
bertanya.
Senyum Raka kian melebar, hati gadis
itu semakin berdebar.
"Aku hanya bercanda. Jangan
tersinggung," kata Raka. "Kau boleh saja
ikut bersama kami, tapi tak boleh ikut
campur urusan kami."
"Kurasa aku punya urusan sendiri yang
belum tentu bisa kuselesaikan dengan
mudah, mengapa harus ikut campur urusan
kalian?" tegas Perawan Hutan.
Mata pemuda tampan itu memandang
dalam keceriaan. "Kau meyakinkan sekali.
Tegas dan berani. Aku suka punya sahabat
yang seperti itu!"
Kini senyum Perawan Hutan tersungging
sinis, menutupi debaran hati yang
menaburkan bunga-bunga indah kala
mendengar pujian Raka itu. Pandangan mata
gadis itu sengaja dilempar ke arah lain
agar tak mudah diketahui perasaannya.
Tapi hati Perawan Hutan saat Itu
berkata, "Sikapnya berbeda sekali dengan
saat di pantai tadi. Disini ia tak
menampakkan kenakalannya, cenderung sopan
namun mengesankan sekali. Kuharap dia
dapat kujadikan penutup lukaku agar tak
terbayang wajah Arya Semirang lagi!"
Malam semakin kelam, tapi justru
bulan sabit semakin terang. Raka Pura dan
Perawan Hutan semakin hanyut dalam
percakapan malam yang banyak membicarakan
tentang para tokoh kondang di rimba
persilatan. Perawan Hutan ternyata juga
kenai baik kepada Nini Sawandupa dan
cucunya Ratih Selayang. Bahkan gadis itu
juga bermusuhan dengan Peri Kenanga serta
orang-orang Kuil Darah Perawan itu. Namun
sejauh itu Perawan Hutan tetap menyangka
Raka adalah Soka Pura, dan dia tak pernah
menyebutkan nama Soka atau menyinggung
pertemuan di pantai, sehingga Raka pun
menyangka gadis itu mengenal dirinya
sebagai Raka Pura.
Seandainya Soka malam ini lekas
kembali ke pondoknya Ki Mandura, pasti
Perawan Hutan akan tercengang dan bingung
membedakan mana Soka dan mana Raka.
Sayangnya, malam itu Soka yang berusaha
mencari kakaknya telah bertemu dengan
Tandu Sangrai di sela kerimbunan hutan
pantai. Tandu Sangrai yang terluka itu
sempat terhuyung-huyung dan jatuh
beberapa kali, namun masih tetap berusaha
lanjutkan pelariannya.
Soka Pura melihat perempuan yang
terhuyung-huyung itu pada saat ia
melintasi pantai lagi untuk mencari
kemungkinan sang kakak berada dl sana.
Begitu ia melihat seorang perempuan
berjubah hijau dalam keadaan terhuyung-
huyung, ia segera tahu bahwa perempuan
itu dalam keadaan terluka.
Soka Pura segera hampiri Tandu
Sangrai dari arah depan. Perempuan Itu
terperanjat kaget saat melihat Soka sudah
berdiri di depan langkahnya. la menyangka
dihadang oleh Raka untuk lanjutkan
pertarungan tadi. Maka dengan sisa tenaga
ia bertahan diri sambil mencabut
pedangnya.
Sreet...!
Wangi cendana menyebar dan tercium
lembut oleh Soka. Aroma cendana itu
membuat Soka berkhayal tentang kemesraan
yang menggairahkan. Terlebih setelah Soka
memperhatikan perempuan itu selama dua
helaan napas tanpa bicara, hati kecilnya
mengakui kecantikan perempuan itu
ternyata punya daya tarik tersendiri,
terutama pada matanya yang sayu dan
bibirnya yang lebar tapi menggemaskan
itu.
"Majulah kalau kau ingin kehilangan
nyawa sekarang Juga!" gertak Tandu
Sangrai sambil acungkan pedang ke arah
Soka.
Pemuda itu tersenyum dalam ketenangan
dan keceriaan wajah yang mengherankan
bagi Tandu Sangrai. Perempuan itu merasa
aneh melihat perubahan sikap pemuda yang
disangka sebagai Raka Itu menjadi tak
seganas tadi. Keramahan yang ada di wajah
Soka, membuat Tandu Sangrai semakin
waspada, karena tadi Raka tak punya
keramahan sedikit pun. Tandu Sangrai tak
mau terjebak dalam siasat lawan yang
menggunakan keramahan seperti itu.
"Sarungkan pedangmu, Nyai. Aku tidak
bermaksud jahat padamu!" tutur Soka
dengan suara dan nada yang lembut.
"Tinggalkan aku atau pedangku akan
bertindak sekarang juga!" ancam Tandu
Sangrai sambil menahan sakit secara diam-
diam.
"Kulihat kau terluka di pinggang yang
kau dekap itu. Aku ingin menolongmu,
Nyai. Bukan ingin bermusuhan denganmu."
"Aku tak mudah jatuh dalam jebakan
busukmu! Cepat tinggalkan aku!" bentak
Tandu Sangrai. Lalu ia menyeringai dan
menggigit bibirnya sendiri, karena
semakin dipakai untuk membentak semakin
sakit luka hangus yang terasa menyayat-
nyayat sekujur tubuhnya.
"Aku tidak bermaksud menjebakmu,
Nyai. Aku juga tidak bermain siasat. Kau
pikir aku perampok yang ingin merampas
hartamu? Kalau aku mau bertindak jahat
padamu, tentunya saat ini kau sudah
kuserang, dan kurasa kau juga menyadari
bahwa keadaanmu yang terluka itu akan
memudahkan musuhmu untuk membunuhmu. Tapi
hal itu toh tidak kulakukan!"
Tandu Sangrai membenarkan ucapan itu
dalam hatinya. "Sangat mudah bagi siapa
pun yang ingin membunuh dalam keadaan
seperti sekarang ini. Tapi mengapa ia
seperti telah melupakan pertarungan tadi
dan ingin bersikap baik padaku?! Apakah
karena ia sudah diberi tahu oleh si
Perawan Hutan bahwa aku adalah kakaknya,
sehingga pemuda ini menjadi sungkan
bermusuhan denganku karena tak enak
kepada Perawan Hutan?!"
Soka berdiri dengan santai, tangannya
bersidekap di dada, wajahnya dihiasi
senyum tipis yang memantulkan cahaya
sinar bulan sabit. Sikapnya yang rada-
rada konyol itu membuat hati Tandu
Sangrai diliputi kebimbangan yang
meresahkan.
Dalam satu sisi ia membutuhkan
pertolongan siapa pun yang bisa
meringankan rasa sakit pada lukanya. Di
sisi lain ia merasa tak ingin tampak
lemah di depan lawannya. Kebimbangan itu
ternyata justru membuat rasa sakitnya
bertambah dan lututnya mulai tak sanggup
dipakai untuk berdiri. la terhuyung mau
jatuh, namun lengannya segera bersandar
pada sebatang pohon. HP!
"Kalau kau masih tak percaya dengan
maksudku, baiklah...!" Soka melangkah
mundur dan mengangkat tangan
kanannya.".... Selamat tinggal, selamat
menderita, dan... jangan lupa kirim kabar
jika kau sudah berada di neraka nanti!"
Soka pun melangkah tinggalkan Tandu
Sangrai. Tapi tiba-tiba ia mendengar
seruan yang dilontarkan dengan suara
berat.
"Tunggu...!"
Senyum Soka pun kembali dipamerkan di
depan Tandu Sangrai yang menyeringai
menahan rasa sakit. Pemuda itu tampak
kalemdan menjengkelkan hati Tandu
Sangrai.
"Setan busuk dia! Cengar-cengir
seenaknya di depanku membuat keadaanku
jadi serba salah begin!! Awas nanti jika
lukaku ini telah sembuh, kuhajar wajah
tampannya yang menggemaskan hatiku itu,
biar tak punya daya tarik lagi bagi
perempuan mana pun! Uuh...! Sakitnya
bukan main."
"Hei, mengapa diam saja?!" sapa Soka.
"Apa maksudmu menahan kepergianku, Nyai?
Apakah kau ingin aku menonton
kematianmu?"
Beberapa saat kemudian, Tandu Sangrai
berkata dengan lirih.
"Lakukanlah jika kau ingin
menolongku."
"Ah, untuk apa menolong orang yang
tidak percaya padaku?"
"Aku percaya padamu! Tolonglah, dan
buktikan kemampuanmu mengobati luka
seperti ini."
Soka Pura akhirnya tertawa dengan
suara pelan, membuat Tandu Sangrai
menjadi tersipu malu. Bibirnya digigit
lagi sebagai langkah menahan rasa sakit
yang kian menyayat-nyayat tubuh itu. Soka
pun akhirnya mendekati Tandu Sangrai yang
telah merosot dari berdirinya dan
terduduk ditanah dengan bersandar pohon.
"Singkirkan pedangmu, salah-salah
mataku bisa kecolok pedangmu!" ujar Soka
bernada canda, membuat kecurigaan buruk
Tandu Sangrai semakin berkurang. la pun
segera singkirkan pedangnya yang tadi
melintang di dada.
"Buka tanganmu, aku ingin melihat
lukanya"
Tandu Sangrai menuruti perintah Soka.
Dipandanginya wajah pemuda itu dari jarak
dekat. Tandu Sangrai semakin tidak
menemukan niat buruk diwajah tampan
berhidung bangir itu. Justru hati
perempuan Itu sempat rasakan desiran
lembut yang muncul disela rasa sakitnya.
"Aku harus menempelkan telapak
tanganku ke dadamu. Apakah kau tidak
keberatan?" tanya Soka sambil menunjukkan
telapak tangan kirinya. Perempuan cantik
bermata sayu itu menatap dalam keraguan.
"Baiklah, kalau kau keberatan
tanganku di dadamu, bagaimana jika
menempel dl perutmu saja?"
"Aku... aku tidak mengatakan
keberatanku," ucap Tandu Sangrai sambil
menyingkapkan jubah hijaunya sehingga
dadanya yang dilapisi pinjung merah itu
terbuka, seakan la mempersilakan Soka
untuk segera menempelkan tangannya kedada
tersebut.
Setelah lebarkan senyum sekejap, Soka
Pura pun segera tempelkan telapak tangan
kirinya ke pertengahan dada perempuan
Itu. Mata Soka pun segera terpejam, dan
Tandu Sangrai masih tetap memperhatikan
wajah pemuda itu.
Beberapa saat kemudian telapak tangan
Soka yang menempel di dada Tandu Sangrai
membiaskan cahaya ungu. Cahaya ungu itu
lama-lama meresap ke dada Tandu Sangrai
membuat tubuh Tandu Sangrai mulai
diliputi cahaya ungu.
"Ooh... tubuhku?! Tubuhku menjadi
begini? Tapi... tapi rasa sakitnya mulai
berkurang. Oh, ternyata dia tidak main-
main dan tidak bermaksud Jahat padaku.
Mengapa ia tidak menuntut kematian Ki
Mandura lagi? Apakah... apakah dia benar-
benar hanya seorang tamu dan tidak tahu-
menahu tentang kitab pusaka itu?!"
Tangan Soka ditarik dari dada Tandu
Sangrai. Tangan itu sudah tidak
memancarkan cahaya ungu lagi, tetapi
tubuh Tandu Sangrai masih memancarkan
cahaya ungu bagaikan berubah menjadi
kristal ungu. Wajah perempuan itu menjadi
tegang, tapi justru ditertawakan Soka
dengan tawa mirip orang bergumam.
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu
itu padam. Tubuh Tandu Sangrai normal
kembali. Perempuan itu menjadi terheran-
heran karena ia tak merasakan sakit
sedikit pun, bahkan badannya merasa lebih
segar dari sebelumnya. Sedangkan luka
hangus yang membekas di pinggang itu pun
lenyap tanpa sisa seujung jarum pun.
"Luar biasa...," gumam Tandu Sangrai.
Lalu ia pun membatin, "Luka memar di
wajahku akibat tendangannya pun tak
terasa lagi. Rupanya ia benar-benar
menguasai ilmu pengobatan sedahsyat itu!
Oh, mengagumkan sekali dia. Dalam usia
semuda itu ia sudah kuasai ilmu setinggi
itu. Bagaimana jika ia berusia sebayaku?
Pasti akan lebih tinggi lagi Ilmunya."
Pedang segera disarungkan, karena
tadi hanya disingkirkan saja dari
dadanya. Tandu Sangrai semakin percaya
dengan sikap baik pemuda yang dianggap
sebagai musuhnya tadi. Tapi Tandu Sangrai
tidak segera bangkit. la tetap duduk di
bawah pohon berdaun rindang itu, karena
Soka Pura juga duduk di atas akar pohon
yang berbentuk seperti bangku kecil itu.
Jaraknya dengan Tandu Sangrai sangat
dekat, tepat di samping kanan agak ke
depan, sehingga Soka dapat menangkap
wajah cantik yang sudah cukup matang itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu,"
ujar Tandu Sangrai.
"Bagaimana rasa badanmu, Nyai?"
"Enak sekali?!"
"Maksudnya enak... enak bagaimana?"
"Segar dan rasa-rasanya kekuatanku pulih
kembali."
"Ooo...," Soka manggut-manggut,
"Maksudnya enak begitu?"
"Hei, aku tahu kau mulai berkhayal
nakal, ya?!" sambil Tandu Sangrai
sunggingkan senyum. Soka Pura justru
deraikan tawanya yang terbahak pelan.
"Barangkali karena usiaku masih muda
jadi khayalanku sering nakal yang bukan-
bukan."
"Yang bukan-bukan bagaimana itu?"
"Yaah... ya yang bukan-bukan," jawab
Soka sambil tertawa lagi membuat
perempuan itu tertawa geli juga seraya
mencolekkan telunjuknya ke pipi Soka.
Pemuda itu tidak mengelak, tidak pula
menangkis colekan yang semakin mengakrab
itu.
"Sejak tadi kau belum sebutkan
namamu, sedangkan, kau sudah tahu kalau
namaku Tandu Sangrai."
"Ah, aku belum tahu siapa namamu
kok," kata Soka, tapi dianggap bercanda
bagi Tandu Sangrai.
"Jadi aku harus memanggilmu apa?"
tanya Tandu Sangrai.
"Soka Pura. Tapi aku lebih sering
dipanggil Soka saja."
"Ooo...," perempuan itu menggumam
pelan. "Kau seorang tabib?"
"Tabib apa?" Soka tertawa. "Tabib
asmara?!"
"Mungkin saja. Karena selama ini aku
baru menemui anak semuda kau sudah bisa
sembuhkan luka seajaib tadi. Aku sungguh
kagumi"
"Hanya kagum?"
"Hmmm..., yah, selain kagum juga
terkesan sekali. Kurasa aku tak akan
mudah melupakan saat-saat telapakmu
menempel di dadaku?"
"Mengapa kau tak mudah melupakannya?"
Sambil sunggingkan senyum malu Tandu
Sangrai menjawab, "Hangat sekali! Tak
sehangat tangan mantan suamiku yang telah
meninggal itu."
"Tentu saja, sebab tadi saat tanganku
menempel di dadamu, kusalurkan hawa
murniku dan kekuatan inti gaib untuk
melenyapkan rasa sakit dan memulihkan
kekuatanmu."
"Ooo...," Tandu Sangrai manggut
manggut sambil pandangi wajah Soka dengan
mata sayunya.
"Kenapa? Kau suka menerima sentuhan
hangat seperti tadi?"
Tandu Sangrai lebarkan senyum. "Aku
tadi sempat merinding."
"Mengapa merinding? Kau pikir yang
menyentuhmu tangan malaikat?!"
"Bukan begitu. Sudah lama aku tak
pernah disentuh lelaki, sehingga saat kau
sentuh aku merasa seperti sedang kau
goda."
"Apakah kau merasakan godaan itu?"
"Ya. Hatiku berdesir indah. Sayang
sekali tadi aku sedang menahan sakit,
sehingga keindahan itu tak bisa kunikmati
se...."
"Sekarang kau tidak merasakan sakit
lagi," potong Soka. Kemudian ia
menempelkan tangannya ketengkuk Tandu
Sangrai yang tak tertutup kain jubah.
"Sekarang bagaimana rasanya tanganku
ini?"
"Hmmm...," Tandu Sangrai tersenyum-
senyum. "Hangat sekali dan menimbulkan
desiran indah di hatiku."
"Aneh. Padahal hawa murniku tidak
kusalurkan ke tangan ini, melainkan ke
tangan sebelahnya," gumam Soka sengaja
agak keras agar didengar Tandu Sangrai.
"Bagaimana jika disertai gerakan
mengusap-usap begini?" pancing Soka.
"Oh, semakin indah lagi," jawab Tandu
Sangrai pelan. Kini perempuan itu menatap
Soka. Diam-diam hati Soka pun berdesir-
desir karena sentuhan tangannya dan
menerima tatapan mata sayu itu.
Senyum Tandu Sangrai bukan senyum
keramahan lagi, melainkan senyum
pembangkit gairah. Kepalanya menggeliat
ketika usapan tangan Soka merayap di
pipinya, seakan pipi Itu ingin lebih
rapat lagi bersentuhan dengan tangan
Soka.
Gerakan tangan Soka dan kepala yang
menggeliat membuat sanggul itu terlepas
dan rambut panjangnya pun terurai meriap
sepinggang.
Dalam keadaan rambut terlepas, mata
sayu disinari rembulan pucat, Tandu
Sangrai tampak semakin menantang gairah.
Kepalanya yang menggeliat pelan itu
membuat bibirnya tersentuh oleh tangan
Soka. Perempuan itu menggigit telapak
tangan Soka. Yang digigit hanya
tersenyum-senyum nakal dengan mata mulai
ikut sayu juga.
Bibir perempuan itu menghangat di
telapak tangan Soka, bahkan lidahnya
sengaja dijulurkan dan menari-nari di
telapak tangan itu. Soka menikmati
dengan, jantung berdetak-detak, mata
semakin terbeliak, napas kian memburu dan
pemuda tampan itu akhirnya menggigit
bibirnya sendiri.
"Aahhh...!" suara keluhan Soka
terdengar pelan saat lidah Tandu Sangrai
menjalar ke pergelangan tangan dan terus
merayapi lengan Soka sambil sesekali
lakukan pagutan-pagutan lembut, membuat
jiwa mulai terasa melayang-layang.
Kini perempuan itu semakin tergoda
oleh suara desah seorang pemuda tampan
bertubuh kekar Itu. la bergeser lebih
dekat lagi dengan cara merangkak sambil
menyapu hangat lengan Soka dengan
lidahnya. Sapuan itu merayap terus hingga
keleher Soka. Kepala Soka dimiringkan
dengan sedikit tengadah. Akibatnya sapuan
lidah Tandu Sangrai semakin menemukan
lahan bekas hantaman. Leher itu pun
disapu oleh lidah Tandu Sangrai hingga
memutar menyeluruh. Bahkan sesekali leher
itu dipagut pelan oleh bibir Tandu
Sangrai.
"Oouh, indah sekali, Nyai..."
"Jangan panggil aku Nyai! Namaku
Tandu Sangrai, dengar?!" gertak perempuan
itu berlagak galak, namun akhirnya
tertawa sendiri ketika Soka mencibir.
Bahkan cibiran itu membuat Tandu Sangrai
bernafsu untuk melumat bibir Soka. Maka
bibir pemuda itu pun segera dikecupnya
pelan-pelan, lumatannya begitu lembut
bersama tarian lidahnya yang gemulai
membakar gairah Soka.
Tangan Soka pun tak mau tinggal diam.
Tangan itu menyelusuri tubuh Tandu
Sangrai dari dalam jubah. Dari pinggang
sampai ke belakang. Di belakang tangan
itu melepaskan kancing pengait pinjung.
Tees...!
Pengait itu terlepas dan pinjung itu
pun melonggar, akhirnya tangan Soka
berhasil merayap ke depan dan menemukan
gumpalan dada yang sekal dan montok itu.
"Ouh, Soka...!" Tandu Sangrai
mengerang kecil dengan kepala
didongakkan. la berlutut di depan Soka,
sehingga Wajah Soka tepat berada di depan
dadanya. Tangan Tandu Sangrai menekan
kepala Soka dari belakang, sehingga mulut
Soka pun menempel di atas bukit dadanya.
"Soka, habiskan tempat itu. Habiskan,
Sayang.... Ooh...."
Tandu Sangrai mengerang panjang
dengan tangan meremas punggung Soka
karena saat itu ia merasakan bagian dari
dadanya sedang ditelan Soka. Pucuk-pucuk
bukit itu digelitik oleh ujung lidah
Soka, membuat desiran indah mengalir
deras di sekujur tubuhnya.
"Oouh, Soka... Soka, nikmat sekali
itu. Ooh, Sayang... Sayang, uuhf...!"
Tandu Sangrai sengaja menarik
kepalanya sedikit kebelakang sehingga ia
bisa memandangi bibir Soka yang sedang
memberikan pagutan nikmat. Bahkan gairah
perempuan itu kian berkobar begitu
melihat lidah Soka pun merayapi
sekeliling bukit secara bergantian.
"Sokaaa...," desahnya memanjang.
"Sokaaa... teruskan ke bawah, Sayang. Ke
bawah lagi. oouh... tanganmu nakal, Soka!
Uuuhk...!" Tandu Sangrai merintih ditikam
kenikmatan karena tangan Soka telah
mencapai titik keindahannya. Tandu
Sangrai melebarkan diri supaya tangan
Soka lebih leluasa lagi. Ternyata hal itu
membuat tangan Soka semakin liar dan
ganas. Tandu Sangrai memekik-mekik dengan
tubuh meliuk kegirangan, sesekali
terlonjak dalam satu pekikan kecil.
"Soka, ooh... tunggu dulu, Sayang.
Uuhmm... lepaskan dulu, akan kubuka
semuanya biar kau semakin bebas, Sayang.
Uuh, uuh..."
Jubah hijau itu digelar di
rerumputan. Tandu Sangrai berbaring
bagaikan dahan pohon besar yang menunggu
hinggapnya sang burung. Namun pengalaman
yang diperoleh Soka saat bercumbu dengan
Ranum Sani membuat pemuda itu tak mau
buru-buru hinggap di dahan kemesraan itu.
la menyusuri sekujur tubuh Tandu Sangrai
dengan kecupan-kecupan lembutnya, bahkan
menjadi seekor kucing yang sedang
memandikan anaknya. Kemesraan Itu membuat
Tandu Sangrai mengerang-ngerang dengan
hamburan napas yang menderu.
"Oouh, nikmat sekali, Sayang... baru
sekarang kudapatkan yang terindah dari
yang pernah kurasakan. Oouh,
teruskanlah... aku suka, Sayang. Aku
suka, dan... aaow" Tandu Sangrai memekik
keras dan meremat rambut Soka kuat-kuat
karena lidah Soka semakin liar dan nakal.
Mengobrak-abrik 'mahkota' yang menjadi
sumber kenikmatannya itu.
"Begitu indahnya," pikir Tandu
Sangrai. "Begitu hangatnya dia, tak
pernah kudapatkan yang sehangat ini dari
pria mana pun. Ooh... rupanya inilah
tanda perdamaian darinya. Beginilah
caranya menyuruhku melupakan pertarungan
di sela senja tadi?
Oooh... tak ingin aku bermusuhan lagi
dengannya. Tak ingin aku bertarung
dengannya, kecuali pertarungan senikmat
ini!"
Perempuan itu semakin memekik-mekik
karena Soka Pura pandai mengantarkan ke
puncak kemesraan beberapa kali. Perempuan
itu bagai ingin mengulang dan
mengulangnya terus tanpa peduli malam
kian sepi dan udara dingin makin
menggigilkan tubuh. Toh nyatanya kedua
tubuh mereka sama-sama bermandi peluh
bagai diguyur air hujan.
* * *
EMPAT
KICAU burung masih terdengar sebagai
sisa pagi yang cerah. Perawan Hutan baru
saja keluar dari rumah mendiang Ki
Mandura. la sempat kebingungan saat
mengetahui Raka tidak ada di balai
tempatnya tidur. Perawan Hutan menyangka
ditinggalkan oleh Raka. Namun begitu
mendengar suara pekik tertahan disamping
rumah. Perawan Hutan yakin bahwa Raka
tidak pergi meninggalkannya.
Gadis berompi cekak itu sengaja
berdiri dibawah pohon sambil menopangkan
salah satu tangannya ke pohon itu.
Pandangan matanya tertuju ke tanah datar
berumput pendek. Raka ada di sana,
berlatih Jurus-Jurus silatnya yang
memeras keringat hingga la terpaksa
membuka baju. Badannya yang berkulit sawo
matang Itu tampak kekar dan berotot.
dadanya bidang tanpa bekas luka sedikit
pun.
Raka tahu, ia sedang dipandangi
Perawan Hutan. Tapi ia tidak peduli dan
tetap lanjutkan latihannya. Namun la
tidak tahu kalau saat itu ia sedang
diperdebatkan oleh batin si gadis cantik
berdada sekal itu.
"Tak kusangka ia pemuda yang dingin
dan pemalu. Lagaknya ketika bertemu di
pantai, meluncurkan rayuan gombal biar
aku terpikat. Setelah hatiku bisa
menerima kehadirannya, ternyata ia tidak
segagah dugaanku."
Perawan Hutan terbayang adegan tadi
malam, ketika ia memancing kemesraan
dengan kata-kata. Ternyata Raka hanya
menanggapinya dengan senyum-senyum saja,
bahkan tampak menyembunyikan rasa malunya
di balik senyum itu.
"Kau pernah punya kekasih?"
"Belum," jawab Raka pelan sambil
tersenyum tipis, tak berani menatap lawan
bicaranya.
"Tak ingin punya kekasih?"
"Hmmm... masih belum kepingin
celaka," jawabnya sambil tertawa pelan.
"Kenapa sakit kepala?"
"Punya kekasih hanya akan bikin
kepala Jadi sering sakit karena
memikirkan ulahnya."
"Tidak semua gadis begitu."
"Memang. Tapi kalau kebetulan aku
dapat kekasih yang seperti itu, tekor
kan?!"
Perawan Hutan tersenyum geli. Cantik
sekali jika tersenyum. Tanpa senyum saja
cantik, hanya saja agak berkesan galak,
tapi dengan tersenyum kecantikan Itu
makin bertambah memukau. Sayangnya Raka
tak mau melontarkan pujian itu selain
hanya terucap dalam hatinya. Bahkan Raka
berusaha untuk tidak menatap Perawan
Hutan terlalu lama, karena ada sesuatu
yang ditakutkan mekar di dalam hati
sebelum mendapat izin menyandang gelar
Pendekar Kembar.
Raka memang bertekad untuk tidak
Jatuh hati kepada seorang gadis sebelum
ia dan adiknya mendapat gelar sebagai
Pendekar Kembar. Sedangkan gelar itu,
kata ayah angkatnya, akan diberikan
kepadanya dan Soka setelah mereka
berhasil dapatkan Pedang Mata Malaikat.
Berbeda dengan Soka, si kembar yang
satu itu tak pernah pedulikan gelar
pendekar. Jika ia merasa suka dengan
seorang gadis, jalinan cinta pun akan
dilakukan. Baginya, pendekar atau bukan
sama saja haknya, yaitu sama-sama boleh
jatuh cinta. Sang adik memang lebih
konyol dari sang kakak.
Karenanya Perawan Hutan sempat heran
melihat sikap Raka yang dingin tanpa mau
menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika Perawan
Hutan sengaja mengambil minuman di meja
seberang dan duduk kembali dengan lebih
merapat lagi ke badan Raka, pemuda itu
justru berlagak menengok keadaan di luar
rumah, seakan mengharap kedatangan Soka.
Setelah itu ia duduk kembali di bangku
depan si gadis.
Perawan Hutan tahu, Raka tak mau
berdekatan. Hatinya sempat merasa malu
dan dongkol, tapi ia mencoba untuk tetap
tenang serta bersikap biasa-biasa saja
biar tak diketahui maksud aslinya.
"Tidurlah dulu, biar aku yang
menunggu adikmu pulang," kata Perawan
Hutan.
"Kau saja yang tidur, menunggu adikku
pulang adalah kewajiban seorang kakak."
Perawan Hutan angkat bahu. "Terserah.
Kalau begitu aku tidur lebih dulu. O,
ya... di mana aku harus tidur?"
"Di balai saja. Biar aku yang tidur
di bangku panjang itu."
"Kau saja yang di balai, biar aku
yang di bangku panjang."
"Jangan! Kau wanita, aku harus
mengalah. Ayahku sering ajarkan hal itu
padaku."
"Kalau begitu kita sama-sama tidur di
balai saja, pancing Perawan Hutan.
"Aku tak pernah tidur bersama
perempuan. Tak akan bisa tidur jika
begitu. Sebaiknya aku tidur di bangku
panjang saja...."
Dari situlah Perawan Hutan tahu,
bahwa pemuda yang bersamanya tidak
sepanas dugaannya, tidak pula senakal
tingkahnya ketika di pantai. Perawan
Hutan berusaha melupakan sikap dingin
Raka, tapi ketika ia bangun tidur, sikap
dingin itu terbayang lagi dalam
ingatannya. Bahkan pada saat itu ia
memperhatikan pemuda itu berlatih
kecepatan gerak tangan dan kaki, bayangan
itu muncul kembali dalam ingatannya.
"Lama-lama ia pasti akan menyadari
bahwa batinnya akan membutuhkan sentuhan
dan kehangatan seorang perempuan," ujar
Perawan Hutan dalam hati.
Raka berseru dengan napas. terengah-
engah, "Lemparkan batu di dekat kakimu
itu!"
Perawan Hutan melirik batu sebesar
kepala babi yang ada tak jauh darinya
itu. la tahu maksud Raka, ingin
menghancurkan batu yang melayang entah
dengan cara bagaimana. Maka Perawan Hutan
pun segera melemparkan batu sebesar
kepala babi itu.
Batu tersebut tidak dilemparkan
dengan tangan, melainkan dengan hentakan
kaki. Kaki kanan gadis itu dihentakkan ke
tanah samping batu.
Dunk...!
Seketika itu pula batu sebesar kepala
babi melesat ke arah kepala Raka.
Wess...!
Raka sedikit melompat, lalu batu
besar yang mengarah ke dadanya itu
digepak dengan kedua tangan dari kanan
kiri.
Prakk...!
Blukk...
Batu itu jatuh dalam keadaan masih
utuh. Perawan Hutan mencibir saat Raka
meliriknya. Gadis itu segera dekati Raka
yang masih membayangkan kehebatan si
gadis saat melemparkan batu dengan
hentakan kaki ke tanah tadi.
Tenagamu kurang dicurahkan ke telapak
tangan kiri. Kulihat tadi gerakan telapak
tangan kirimu tak bertenaga penuh, maka
batu ini tak bisa pecah dalam satu
geprakan," kata Perawan Hutan.
Raka hanya sunggingkan senyum kalem.
Tapi akhirnya berkata dengan pelan,
"Mungkin benar penilaianmu, tangan
kiriku memang lemah. Tap! adikku
mempunyai tangan kiri yang lebih kuat
dari tangan kanannya. Dia memang kidal!"
Perawan Hutan segera membungkuk
mengambil batu Itu, "Kurasa kau perlu
perhatikan caraku memecahkan batu ini
dengan...."
Kata-kata itu terhenti seketika,
karena ketika kedua tangan Perawan Hutan
ingin mengangkat batu tersebut, ternyata
batu itu sudah menjadi gumpalan pasir
hitam yang lembut.
Pruuss...!
Dan saat itu wajah Perawan Hutan
mendongak memandang Raka, yang dipandang
hanya tersenyum tipis dan melangkah
meninggalkannya.
"Gila! Ternyata batu ini sudah pecah
sejak tadi?!" ujar Perawan Hutan dalam
hatinya. la tak tahu bahwa jurus 'Tapak
Sunyi' mempunyai daya penghancur dari
dalam benda yang dipukul menuju luar,
bukan bagian luar dulu yang hancur baru
dalamnya, melainkan kebalikan dari hukum
alam tersebut.
"Mau ke mana kau?!" tanya Perawan
Hutan setelah melihat Raka selesai mandi
di sumur belakang rumah dan mengenakan
pakaian rapi baju putih tak berlengan dan
celana putih dengan ikat pinggang kain
merah.
"Aku mau mencari adikku di sekitar
tempat ini saja!"
"Aku ikut!" tegas Perawan Hutan.
"Jaga rumah saja!"
"Rumah tak perlu dijaga. Kau yang
perlu dijaga!"
Raka hanya bisa tertegun sejenak,
setelah itu baru tertawa sendiri. Tawanya
disembunyikan ke arah lain, dan Perawan
Hutan dihinggapi seribu bunga indah
melihat tawa seperti itu. Karena
berikutnya Raka tak banyak komentar lagi,
Perawan Hutan dibiarkan melangkah
mengiringi pemuda tampan itu.
"Kalau nanti bertemu adikku, kita
langsung saja berangkat ke Gua Mulut
Naga!"
"Aku setuju."
"Kalau adikku menanyakan keikutanmu,
akan kujawab yang sebenarnya tentang
bunga keramat itu. Kau juga harus
menjawab apa adanya."
"Ya, aku paham!"
"Apa kau juga paham kalau kita sedang
diikuti oleh seseorang?" Raka berbisik
tapi tetap kalem.
"Maksudmu?" Perawan Hutan berkerut
dahi.
"Sejak tadi kudengar suara langkah
orang dibelakang kita. Langkah itu
sesekali terhenti dan sepertinya
bersembunyi di balik pohon."
Tangan gadis itu dicekal Raka saat si
gadis ingin menengok ke belakang
membuktikan ucapan Raka. Secepatnya Raka
pun berbisik lagi dengan pandangan mata
seakan lurus ke depan.
"Jangan menengok ke belakang. Dia
akan tahu kalau sedang kita bicarakan."
Perawan Hutan sedikit tegang, rasa
penasarannya membuat matanya berusaha
melirik ke belakang dengan kepala
berpaling ke kiri, seakan memandang!
sebuah pohon yang tumbuh dengan cabang
aneh.
"Tetaplah tenang dan memandang ke
depan. Ada dua pohon besar berseberangan
disana," bisik Raka. "Begitu kita sampai
di sana, kau segera menyelinap dipohon
yang kiri dan aku di pohon yang kanan.
Kita tunggu pemunculan penguntit kita
itu!"
"Jangan-jangan adikmu sendiri?"
"Bukan! Langkah adikku kukenali
betul."
Percakapan kasak-kusuk terhenti.
Zlap, zlap...!
Perawan Hutan lebih dulu melompat ke
kiri dan bersembunyi di balik pohon. Raka
Pura melompat ke kanan dengan cepat dan
berlindung di balik pohon besar. Rasa
penasaran membuat mereka sedikit tegang
menunggu si penguntit melintasi tempat
Itu.
Kejap berikut, sekelebat bayangan
biru melesat cepat melintasi jalanan di
antara dua pohon tersebut. Perawan Hutan
berkelebat juga menerjang bayangan biru
itu tanpa memberi isyarat lebih dulu
kepada Raka.
Wuuut, breess...!
"Aahk...!" pekik bayangan biru itu,
ia segera terlempar karena terjangan
Perawan Hutan. Raka tak menyangka
terjangan itu membuat si penguntit
terlempar cukup jauh, sekitar berjarak
lima belas langkah dari tempat terjadinya
terjangan tadi.
Raka Pura segera berkelebat menyusul
tubuh si penguntit yang melayang terlalu
jauh itu.
Wuzzz...!
Begitu Raka tiba di tempat orang
berpakaian biru itu, Perawan Hutan segera
sampai juga di tempat tersebut.
"Arya Semirang!" geram Perawan Hutan
dengan mata mengecil memancarkan dendam.
Ternyata si penguntit itu adalah Arya
Semirang, mantan kekasihnya yang dianggap
berskandal dengan Luhmini. Pemuda
berpakaian biru tua itu segera bangkit
dengan sedikit menyeringai memegangi
pinggangnya.
"Siapa dia, Perawan Hutan?" tanya
Raka dalam suara bernada ketus, matanya
memandang tajam kepada Arya Semirang.
"Dia manusia terkutuk!" jawab Perawan
Hutan. Lalu, gadis itu berseru menyentak
kepada Arya Semirang.
"Apa maksudmu mengikutiku, hah?! Kita
sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi!
Aku muak kau ikuti begitu!"
"Kau telah membunuh Luhmini semalam!"
geram Arya Semirang. "la kutemukan tewas
dengan luka bekas tebasan pedang di dada
dan punggungnya. Siapa lagi pembunuhnya
jika bukan kau, Anggiri!" sambil menuding
kuat ke arah Perawan Hutan.
"Hmm!" Anggiri mencibir sinis. "Kalau
aku yang membunuhnya, tidak akan cukup
kutebas dada dan punggungnya saja. Pasti
sudah kurajang habis dari kepala sampai
kaki!!"
"Jangan mengelak tuduhanku, Anggiri!
Aku yakin pasti kau pelakunya. Kau
membunuh Luhmini karena kau cemburu dan
sakit hati padanya. Kau tak ingin Luhmini
memilikiku dan aku menerima cintanya!"
"Kurobek mulut busukmu jika sekali
lagi menuduhku begitu, Arya!"
"Kau tak akan mampu merobeknya karena
sebelum kau berbuat aku sudah lebih dulu
mencabut nyawamu, Perawan Hutan!"
Raka Pura buru-buru berkata sebelum
Anggiri berseru kembali.
"Maaf, semalam Perawan Hutan ada
bersamaku. Dia tidak lakukan pembunuhan
kepada siapa pun!"
Arya Semirang tampak berang sekali
kepada Raka, ia menuding dengan kasar.
"Babi hutan! Aku tidak bicara
denganmu! Pergilah sana mencari mangsa
buat isi perutmu!"
Ucapan itu menyengat ubun-ubun Raka,
membakar hati dan mendidihkan darah. Tapi
Raka berusaha kendalikan luapan
kemarahannya itu dengan senyum berkesan
kalem. Hanya saja, Perawan Hutan tak bisa
diam saja mendengar Raka dimaki
sedemikian kasarnya. Perawan Hutan segera
maju selangkah, kemudian tubuhnya memutar
cepat sekali dengan kaki melayang ke
wajah Arya Semirang.
Wess, plook...!
Arya Semirang terlempar ke samping,
mulutnya memuncratkan darah segar.
Perawan Hutan segera hampiri pemuda kekar
yang terlempar melintir hingga berjarak
lima langkah dari tempatnya berdiri tadi.
Namun sebelumnya Perawan Hutan berkata
kepada Raka Pura.
"Tetap di sini! Aku akan selesaikan
sendiri urusan pribadi ini!"
Raka angkat bahu dan manggut-manggut,
ia pun menepi dan bersandar pada sebatang
pohon tinggi.
Perawan Hutan benar-benar marah atas
penghinaan Arya Semirang kepada Raka.
Tendangannya berkali-kali kenai wajah dan
dada Arya Semirang. Pemuda Itu ternyata
tidak begitu tangkas. Ilmunya pun tak
seberapa tinggi. la sering gagal hindari
pukulan dan tendangan Perawan Hutan yang
menurut Raka mempunyai kecepatan tinggi
dan bertenaga besar Itu.
Tetapi pada satu kesempatan, Arya
Semirang terlempar akibat sodokan telapak
tangan Anggiri di dadanya. Pemuda itu
jatuh tersungkur tak jauh dari Raka Pura.
la bangkit dengan menggeliat, dan tiba-
tiba sekali tangannya berkelebat
melemparkan sesuatu ke arah Raka.
Wees...!
Craass...!
"Aaahk...!"
Raka Pura sudah berusaha menghindar,
tapi ia terlambat sedikit. Ternyata
sebilah pisau terbang yang dilemparkan
Arya Semirang berhasil menggores ke
lengan kiri Raka Pura. Pisau itu sendiri
menancap di batang pohon belakang Raka.
Sekalipun hanya tergores sedikit,
namun pisau terbang itu mengandung racun
tinggi. Tubuh Raka segera terhuyung-
huyung sambil mendekap lukanya.
"Jahanam kau, Semirang! Heeaah...!"
Perawan Hutan semakin murka.
Pedangnya dicabut dan disabetkan ke tubuh
Arya Semirang.
Wees, craas...!
Gerakan pedang yang sangat cepat dan
tak terlihat itu telah melukai punggung
Arya Semirang, membuat pemuda itu
terjungkal ke depan. Namun ia masih bisa
bertahan dan segera bangkit sambil
mencabut pedangnya sendiri.
"Habislah nyawamu manusia tengik!
Hiaaat...!"
Trang, trak...!
Arya Semirang menahan tebasan pedang
Anggiri dalam keadaan berlutut satu kaki.
Tapi tebasan pedang itu begitu kuat dan
akibatnya pedang Arya Semirang sendiri
patah terpotong menjadi dua bagian
setelah benturan dua benda itu
memercikkan bunga api dan letupan kecil.
"Oooh...! Aku tak sanggup hadapi
ilmunya! Pedangku sudah patah begini,
sama saja aku menjemput ajalku sendiri
jika tetap melawannya. la benar-benar
ingin membunuhku!" pikir pemuda berbaju
biru itu. Maka ia pun segera larikan
diri.
Blaass...!
"Mau lari ke mana kau, Jahanaaam...!"
teriak Perawan Hutan dengan murka sekali,
karena pada saat itu ia sempat melirik
Raka Pura jatuh terduduk sambil
keringatnya bercucuran.
Perawan Hutan segera mengejar Arya
Semirang dengan jurus 'Kabut Jantan'-nya
yang mirip orang menghilang itu.
Zaapp...!
Arya Semirang hanya punya kelincahan
gerak dalam berlari, namun tak secepat si
Perawan Hutan. Kelincahan geraknya itu
membuat Perawan Hutan berkali-kali salah
arah. Bahkan agaknya Arya Semirang
menguasai liku-liku tempat tersebut,
sehingga dalam beberapa saat kemudian
Perawan Hutan sudah sulit menemukan
jejaknya. Arya Semirang bagaikan lenyap
ditelan bumi!, padahal ia masuk ke dalam
gua kecil seperti lorong dan bersembunyi
di sana.
Raka Pura segera pergunakan jurus
'Sambung Nyawa'-nya, karena luka di
lengan itu mengandung racun melumpuhkan
seluruh urat dan membusukkan daging dalam
waktu singkat. Tapi berkat penguasaan
ilmu 'Sambung Nyawa', maka racun itu bisa
ditangkal dan luka itu pun mulai merapat
kembali. Sebelum Perawan Hutan muncul
menemuinya, luka itu telah lenyap tanpa
bekas dan tubuh Raka segera segar
kembali.
Tetapi ternyata Perawan Hutan masih
penasaran terhadap mantan kekasihnya Itu.
Hasrat untuk membunuh Arya Semirang
begitu besar, karena hatinya terasa
semakin terluka begitu melihat Raka Pura
dilukai oleh pisau terbangnya Arya
Semirang. la mencari buronannya ke mana-
mana hingga tak terasa sudah semakin jauh
dari tempat Raka menunggu.
"Kasihan dia! Dia butuh pertolongan
secepatnya! Setahuku pisau si keparat itu
mempunyai racun berbahaya. Oh, aku harus
kembali padanya!" sambil raut wajah Raka
terbayang di pelupuk mata Perawan Hutan.
Maka gadis itu pun segera kembali ke
tempat Raka terluka tadi.
Tetapi setibanya di sana, Raka sudah
tak ada. Agaknya kedua orang itu saling
mencemaskan lawan jenisnya, sehingga Raka
pun bergegas menyusul Perawan Hutan. Raka
khawatir gadis itu menemui halangan yang
lebih berbahaya lagi, sehingga Raka perlu
membantunya. Karena mereka sama-sama
mampu bergerak sangat cepat, maka
kesalahan arah telah membuat mereka
saling berjauhan. Anggiri menuju ke
tempat Raka menunggu, Raka mengikuti arah
kepergian Anggiri. Padahal arah si
Perawan Hutan saat mengejar Arya Semirang
sudah membelok ke kiri dan ke kiri lagi.
"Brengsek! Ke mana dia? Kusuruh
tunggu disini kenapa harus pergi?
Apakah... apakah seseorang telah
membawanya karena ia terluka?" pikir
Perawan Hutan dengan hati cemas. la
terpaksa mencari dengan langkah kaki tak
secepat tadi.
Raka Pura tiba di tanggul sebuah
sungai berair jernih. Air sungai itu
cukup deras dan agaknya mempunyai
kedalaman yang berbahaya bagi orang yang
tak bisa berenang. Langkah Raka Pura
berhenti di situ, karena ia melihat
seorang perempuan mendaki tanggul sungai
yang agak tinggi itu.
"Dia...?!" gumamnya dalam hati
bernada geram.
Raka Pura memandang tajam kepada
perempuan berjubah hijau yang tak lain
adalah si Tandu Sangrai. Raka sengaja tak
pergi dari tempatnya dan bersifat
menghadang perempuan yang telah membunuh
Ki Mandura itu.
"Hmmm... lukanya sudah sembuh!
Rupanya ia punya cara hebat tersendiri
untuk sembuhkan luka dalam waktu singkat.
Tak ada sisa memar di wajahnya akibat
tendanganku kemarin!" gumam hati Raka
Pura.
Perempuan Itu terperanjat begitu
melihat Raka ada di depannya. Senyumnya
segera mekar ceria, la tampak kegirangan
sekali, lalu mempercepat langkahnya
dengan tawa berhamburan.
"Edan ini orang?!" pikir Raka.
"Dihadang akan dihajar, kenapa justru
kegirangan begitu?!"
"Hik, hik, hik... Aku tahu kau tak
akan benar-benar meninggalkan diriku! Aku
tahu kau hanya menggoda hatiku, Sayang!"
Raka Pura terkesima bingung melihat
lawannya langsung melebarkan tangan dan
menghambur tawa. Sebelum Raka sadar
terhadap apa yang akan dilakukan
perempuan itu, ternyata ia telah
terkurung oleh pelukan si perempuan
berjubah hijau.
"Hik, hik, hik...! Kau nakal sekali,
Sayang. Kau membuatku cemas dan sedih
dengan berlagak meninggalkan diriku saat
tidur di bawah pohon itu. Hmmm...!"
Cup, cup, cup, depot...!
Raka Pura gelagapan. Pelukan kuat
membuatnya tak bisa meronta. Akhirnya ia
menerima ciuman berkali-kali di sekitar
wajahnya. Bahkan bibirnya pun tersambar
kecupan Tandu Sangrai dan dilumat dengan
ganas.
Mau tak mau Raka Pura pergunakan
tenaga besar untuk melepaskan pelukan
seorang perempuan.
la berhasil mendorong tubuh Tandu
Sangrai dengan menggunakan jurus silat
bertenaga besar, walau bukan tenaga
dalam.
Wuuutt...!
Brruk...!
"Edan!" sentaknya sambil terengah-
engah dan mengusap wajah serta bibirnya,
merasa risi terkena ciuman yang membasah
itu.
tandu Sangrai jatuh terduduk, hampir
saja menggelinding kembali menuruni
tanggul sungai. Tentu saja sikap kasar
itu mengejutkan sekali bagi Tandu Sangrai
yang menyangka Raka Pura adalah Soka.
Semalam ia menyatakan ingin ikut Soka ke
mana pun pemuda itu pergi. Tetapi Soka
menolak, tak ingin mengajaknya selama
masih belum menyelesaikan tugas utamanya.
Soka hanya berjanji akan datang menemui
Tandu Sangrai sepulangnya dari selesaikan
tugas tersebut. Tetapi Tandu Sangrai
mendesak terus, ia tak ingin ditinggal
Soka.
"Kalau kau pergi, ke mana lagi aku
akan mendapatkan kemesraan senikmat
cumbuanmu, Soka," ujarnya pada malam itu.
Rupanya Soka tak berhasil membujuk
perempuan yang sudah ketagihan kehangatan
dahsyatnya itu. Maka ketika mereka sama-
sama tidur di bawah pohon kemesraan itu,
Soka bangun lebih dulu dan matahari telah
meninggi. la berkemas merapikan
pakaiannya, kemudian pergi meninggalkan
Tandu Sangrai yang masih tertidur. Saat
Soka menuju ke rumah Ki Mandura itulah,
Raka dan Perawan Hutan berangkat
mencarinya kearah yang berbeda. Tak
mungkin akan berpapasan.
Tandu Sangrai kebingungan ketika
bangun tidur sudah tak melihat Soka di
sekelilingnya. la buru-buru mencari ke
rumah Ki Mandura. Tetapi diperjalanan ia
bertemu dengan seorang musuh yang
terpaksa membuatnya mengejar orang
tersebut. Pengejaran itulah yang
membawanya ke seberang sungai. la pun
segera melintasi sungai tersebut, karena
menurut dugaannya sang buronan ada di
seberang sungai. Pada saat ia mendaki
tanggul sungai itulah ia melihat Soka
berdiri memandanginya. Pemuda yang
dianggap sebagai Soka itu adalah Raka
Pura. Tapi karena Tandu Sangrai tahu
bahwa pemuda itu adalah orang yang
menghajarnya kemarin sore, maka ia tetap
menganggap sedang di tunggu oleh Soka.
Sebab itulah ia berani berlari memeluk
dan menciuminya.
"Sekalipun kau mengumbar ciumanmu,
kau tetap saja seorang pembunuh yang
kejam, Tandu Sangrai!" ujar Raka dengan
suara lantang karena terbayang kematian
Ki Mandura yang membuat hatinya terpukul
sekali itu.
"Mengapa kau berubah sekasar itu,
Sayang?" Tandu Sangrai mendekat pelan
pelan. "Bukankah semalam kau bertindak
dengan lembut dan mesra sekali, Sayang?"
"Jangan panggil aku 'sayang'! Namaku
Raka Pura, bukan Sayang Pura!" bentak
Raka jengkel sekali.
"Jangan-jangan dia punya penyakit
gila kambuhan?!" pikir Tandu Sangrai.
Kecemasannya akan hal itu membuatnya
hentikan langkah.
Sementara itu, Raka Pura membatin
dalam hatinya, "Ini pasti kenalannya si
Soka! Kurang ajar betul anak itu, pasti
semalam habis begituan dengan perempuan
ini. Pantas perempuan ini tidak
menganggapku musuhnya dan cengar-cengir
seperti kuda sedang kasmaran! iih...!
Merinding lagi tubuhku kalau ingat
diciuminya tadi! Aku harus mencari Soka
secepatnya. Kutampar anak itu nanti!
Gara-gara dia aku jadi dihujani ciuman
murah seperti tadi!"
Raka segera tinggalkan perempuan itu.
Tandu Sangrai berlari mengejarnya sambil
berseru meratap.
"Sokaa...! Soka, tunggu aku! Aku ikut
denganmu, Sokaa...!"
Wuuzz.... Wuuzzz...!
Tentu saja Tandu Sangrai tak akan
bisa mengejar pemuda Itu, sebab si pemuda
menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang
mampu berlari secepat hembusan badai yang
paling cepat. Raka menuju tempat
pertarungan Perawan Hutan dengan Arya
Semirang. la berharap Perawan Hutan sudah
tiba di sana dan ganti menunggunya.
Tetapi kala itu Perawan Hutan
bergegas kembali ke rumah mendiang Ki
Mandura, karena la berharap Raka mencari
obat di sana untuk lukanya.
Ketika ia tiba di depan rumah Ki
Mandura, seorang pemuda tampan berpakaian
serba putih muncul dari dalam rumah itu.
Pemuda tersebut kaget memandang ke arah
Perawan Hutan, sedangkan si Perawan Hutan
sendiri justru hembuskan napas kelegaan.
"Benar juga dugaanku, dia ada di
sini!" ujar Perawan Hutan dalam hatinya.
"Hei, kau...? Kau datang kemari,
Perawan Hutan?!"
Pemuda itu sebenarnya adalah Soka
Pura yang mencoba menengok rumah Ki
Mandura, barangkali kakaknya sudah ada dl
sana sejak semalaman. Kembar wajah dan
pakaian itu membuat Perawan Hutan tak
bisa membedakan kedua pemuda itu. Soka
sendiri tak tahu bahwa gadis cantik
tersebut sudah kenal akrab dengan kakak
kembarnya. Maka ketika Perawan Hutan
mendekatinya, Soka pun menyambut dengan
senyum ceria dan tatapan mata berbinar-
binar.
"Jangan kemana-mana dulu," kata gadis
itu. "Aku capek mencarimu ke mana-mana!"
"Oh, kau... kau mencariku?!" Soka
dekati Perawan Hutan yang segera duduk di
bangku panjang didalam rumah tersebut.
"Lain kali kalau kau menghilang
begitu, aku tak mau mencarimu! Bikin hati
kesal saja!"
"Hah, hah, hah...! Aku tak tahu kalau
kau mencariku! Kusangka kau pergi
karena...." Soka akan membicarakan saat
kepergian Perawan Hutan ketika mereka
bertemu di pantai. Tapi tiba-tiba
tangannya ditarik Perawan Hutan dan
lengan kirinya diperiksa.
"Hemmm... siapa yang sembuhkan
lukamu?"
"Luka apa? Aku tidak terluka apa-apa"
jawab Soka Pura.
"Sial" sentak gadis itu tampak
dongkol, lalu hatinya membatin, "Kalau
begitu tadi ia hanya berpura-pura terluka
biar aku semakin marah kepada Arya
Semirang. Hmmm... rupanya secara diam-
diam dia menaruh rasa cemburu juga
padaku. Buktinya dia inginkan aku marah
dan menyingkirkan Arya Semirang. O,
oh...! Pemuda seperti ini mengesankan
sekali bagiku. Pura-pura acuh tak acuh
padahal butuh!"
Soka tadi sudah temukan kuburan baru
di belakang rumah. la yakin kakaknya yang
menguburkan jenazah Ki Mandura, tapi ia
belum tahu siapa yang membunuh Ki
Mandura. la ragu ingin ajukan tanya
kepada Perawan Hutan tentang kuburan itu,
karena la menganggap Perawan Hutan tak
pernah datang ke pondok itu. Maka ia pun
ajukan pertanyaan lain sambil duduknya
makin merapat dengan tubuh Perawan Hutan.
"Apakah kau benar-benar capek?"
"Ya. Mau apa kalau benar-benar
capek?" sentak Perawan Hutan menampakkan
sisa kedongkolannya, namun juga memancing
keberanian pemuda itu. Tapi karena yang
dipancing bukan pemuda tadi malam, maka
tentu saja pancingan itu seperti gayung
bersambut.
"Bagaimana kalau kupijat kakimu?"
"Hmmm!" Perawan Hutan mencibir, namun
hatinya mulai berdebar-debar.
"Pijat saja punggungku!" kata gadis
itu. Soka Pura segera melakukannya dengan
wajah ceria dan kegirangan.
"Aneh. Tiba-tiba saja dia bersemangat
dan cukup berani melakukan hal-hal
seperti ini?" pikir Perawan Hutan.
"Apakah keberaniannya menyentuh tubuhku
jika sudah terluka kulitnya? Kalau
begitu, sewaktu-waktu aku membutuhkan
sentuhannya, aku harus melukai kulit
tubuhnya dulu!"
Pijatan demi pijatan menghadirkan
debar-debar keindahan bagi keduanya. Soka
Pura yang konyol Itu pandangi tengkuk
putih berbulu samar-samar seperti sisa
rambut kepala. Tapi ia yakin bulu samar
samar itu adalah bulu roma yang tergolong
lebat.
Pandangan matanya Itu menghadirkan
hasrat untuk mengusap tengkuk itu.
Akhirnya dengan berlagak memijat tengkuk
pelan-pelan, Soka meraba bulu halus di
kulit sekitar leher dan pundak.
"Dia diam saja. Pasti dia tak
keberatan jika kucium tengkuknya," pikir
Soka. Maka tanpa permisi lagi, tengkuk
itu dikecup pelan memakai bibirnya.
Cup...!
"Ahhmm...!" Perawan Hutan menggeram
lirih, tapi kepalanya segera miring ke
kanan, seakan menyodorkan lehernya. Maka
kecupan bibir Soka pun merayap ke leher
tersebut. Menyapukan lidahnya yang menari
lincah sambil sesekali memagut leher Itu.
"Oouh...!" keluhan Perawan Hutan
mulai terdengar keras dan panjang. Tangan
gadis itu pun meraih kepala Soka dan
mengusap-usap rambutnya. Akhirnya si
gadis tak tahan hanya menerima kehangatan
di leher.
Kepalanya meliuk.dan akhirnya wajah
mereka bertemu. Bibir gadis itu merekah
setelah berbisik dengan dada berdebur-
debur dibakar gairah.
"Kecup bibirku, Soka... kecuplah...
uhmmm...!"
Soka memagut bibir itu. Perawan Hutan
meremas rambut Soka, menahan gejolak
batin yang dihujam seribu kenikmatan.
Lidah gadis itu pun meronta dan akhirnya
bibir Soka yang dilumatnya dengan ganas.
"Oouh, aaah...! Sokaaa...," desahnya
ketika Soka Pura menjalarkan kecupannya
ke leher dan membuat gadis itu terpaksa
mendongakkan kepala.
"Sesaat kemudian, Soka hentikan
ciuman dan berkata dengan suara mendesah,
"Kita pindah ke balai bambu itu?"
"Terserah...," jawab Perawan Hutan
dengan mata telah menjadi sayu penuh
gairah bercumbu.
"Tapi bagaimana dengan kepergian ke
Gua Mulut Naga? Harus ditunda dulu?"
"Hmm... ya, menunggu kakakku
pulang...," jawab Soka tak menyadari dari
mana gadis itu tahu bahwa ia akan menuju
ke gua tersebut. Sementara itu, Perawan
Hutan terperanjat begitu mendengar kata-
kata Soka 'menunggu kakakku pulang' itu.
"Maksudmu, menunggu adikmu pulang?"
Perawan Hutan meyakinkan keraguannya.
"Kakakku!" tegas Soka sambil menarik
tangan Anggiri agar ke balai-balai bambu.
"Yang kita tunggu kakakku, aku adiknya!"
"Ooh...?!" Perawan Hutan memekik dan
terbelalak lebar-lebar.
"Apakah... apakah kalian anak
kembar?"
"Ya! Raka adalah kakakku, dan aku
adiknya. Tapi... tak enak bersama Raka.
Kau tak akan mendapatkan kemesraan
seperti ini. Dia dingin terhadap
perempuan mana pun!"'
"Celaka!" Perawan Hutan terperanjat
tegang, bahkan sempat sentakkan tangannya
agar terlepas dari genggaman Soka, lalu
segera mundur beberapa langkah.
"Hei, kenapa kau jadi memandang
tegang begitu?!" |
Sebelum pertanyaan itu terjawab,
mereka melihat kemunculan Raka yang
sedang menuju ke pekarangan depan.
* * *
LIMA
GUA Mulut Naga terletak dilereng
gunung. Dalam peta wasiat yang dibuat
oleh mendiang Resi Garba, tempat tersebut
diberi gambar kilatan cahaya petir.
Menurut mendiang Ki Mandura, kilatan
petir dalam peta tersebut menunjukkan
letak Gunung Tadah Petir.
Gunung yang menjulang tinggi melebihi
Gunung Merana itu terletak tepat di
tengah-tengah tanah Jawa. Perawan Hutan
mengaku pernah ke Gunung Tadah Petir
untuk mengunjungi seorang bibi yang kini
telah meninggal. Oleh sebab itu, Raka dan
Soka merasa tidak ada ruginya membawa
gadis cantik yang selalu membangkitkan
semangat perjalanan mereka itu.
"Kacau kalau begini. Keduanya serupa
persis dan sulit dibedakan!" gerutu gadis
itu sepanjang perjalanan menuju Gua Mulut
Naga. la berjalan di tengah, antara Soka
Pura dan Raka Pura. Kadang jika keadaan
berubah sebentar, ia sempat bingung,
siapa yang mengajaknya bicara, Raka atau
Soka. Karena pemuda kembar itu mempunyai
nada suara yang sama pula. Yang membuat
beda adalah kekonyolan Soka. Tapi jika
Soka dalam keadaan serius, Perawan Hutan
sering dibuat bingung membedakan mereka
berdua.
"Seperti kata Nini Sawandupa padaku,"
ujar Raka. "Perjalanan menuju ke gua Itu
selalu saja menemui gangguan. Gangguan
itu menurutnya adalah pelajaran hidup
yang perlu kita renungi dan kita pahami."
"Apakah termasuk bertemu dengan
Perawan Hutan adalah pelajaran tentang
hidup?!" tanya Soka dengan konyol,
sementara si Perawan Hutan cepat-cepat
buang muka, sembunyikan senyumnya yang
takut membuatnya dinilai seperti gadis
ganjen.
"Semua langkah kita punya makna
sendiri-sendiri, tentunya termasuk
pertemuan kita dengan Perawan Hutan ini!"
kata Raka dengan serius. "Ki Mandura
mengatakan padaku, Gua Mulut Naga hanya
bisa dicapai oleh orang berilmu tinggi
dan benar-benar sudah dewasa. Sedangkan
Nini Sawandupa bicara padaku, bahwa
perjalanan menuju gua itu akan membuat
kita menjadi dewasa jika kita bisa
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa
yang kita jumpai di perjalanan."
Perawan Hutan ingin menimpali, tetapi
niatnya terpaksa ditunda karena ada
sesuatu yang membuat langkah mereka
terhenti secara mendadak. Sesuatu yang
menghambat langkah itu adalah kemunculan
seorang pengemis tua yang membawa tongkat
dengan badan kurus dan bungkuk.
Pengemis tua yang berambut putih dan
berjenggot putih dengan wajah pucat itu
tiba-tiba saja muncul di perjalanan depan
mereka tanpa diketahui dari mana asalnya.
Soka yang pertama kali melihat keberadaan
pengemis tua di bawah pohon tersebut.
Setelah Soka memberi tahu, barulah
Raka dan Anggiri memperhatikan pengemis
tua itu.
"Dari mana pengemis itu munculnya?"
"Tak tahu. Tiba-tiba saja ketika
mataku memandang ke depan orang Itu sudah
ada."
"Apakah benar dia seorang pengemis?"
gumam Perawan Hutan pelan, seperti
diliputi kebimbangan yang meresahkan.
"Dilihat dari pakaiannya yang
compang-camping dan bertambal-tambal,
jelas ia seorang pengemis. Lihat saja
tempurung yang dibawanya, bukankah itu
tempat untuk menampung pemberian setiap
orang?" kata Soka Pura sambil tetap
memperlambat langkah seperti yang lain.
Pengemis berpakaian dasar putih
dengan kain tambalannya aneka warna Itu
segera mengulurkan tangannya yang
memegangi tempurung pada saat tiga anak
muda itu lewat dl depannya. Mereka
berpura-pura tidak memperhatikan dan
tetap berjalan. Namun si pengemis tua
yang diperkirakan sudah berusia delapan
puluh tahun lebih itu berlari tertatih-
tatih sambil memohon pemberian sedekah
dari tiga anak muda tersebut.
"Tuan muda, Tuan muda... tolong beri
aku sekadarnya untuk makan hari ini, Tuan
muda...! Nona cantik, beri aku serelanya
saja Nona...."
"Aku tak tega," bisik Raka kepada
Perawan Hutan.
"Aku juga tak tega," balas si gadis.
"Aku menyimpan beberapa keping uang,"
bisik Soka. "Uang ini kuambil dari bawah
bantal di rumah Ki Mandura."
"Hei, apakah kau tak tahu kalau
mengambil barang orang lain itu namanya
mencuri?" hardik kakaknya sambil hentikan
langkah.
"Siapa pemilik uang itu? Kau pikir Ki
Mandura masih membutuhkannya? Kecuali
jika Ki Mandura masih hidup, maka uang
ini memang ada pemiliknya. Tapi sekarang
Ki Mandura sudah dibunuh oleh Tandu
Sangrai, maka uang ini menjadi uang tak
bertuan!" kilah Soka Pura yang sudah
mendengar cerita kematian Ki Mandura dari
kakaknya sebelum mereka berangkat.
"Kalau begitu berikan uang itu semua
kepada pengemis tua itu!" perintah Raka.
"Aku setuju," sela Perawan Hutan.
"Kita masih bisa mencari uang, karena
masih muda, tapi dia tidak bisa bekerja
apa-apa lagi! Berikan saja uang itu,
Soka!"
Pengemis yang tertatih-tatih itu
berhenti di samping Raka dan menyodorkan
tempurungnya. Sebaris keluh dan kesah
dipakai alasan untuk meminta uang. Tapi
keluh dan kesan itu memang mengharukan
hati mereka bertiga.
"Pak tua, kami punya uang dari
seseorang yang telah tiada. Ambillah dan
pergunakan sebaik mungkin, Pak Tua!" ujar
Soka sambil keluarkan beberapa keping
uang hingga ia tampak tak memiliki uang
lagi.
"Hen, heh, heh... banyak sekali ini,
Nak?! Wow... hoh, hoh, hoh... aku bisa
menjadi kaya kalau setiap hari kau beri
uang sebanyak ini."
"Iya, kau bisa kaya, tapi aku bisa
miskin kalau tiap hari harus memberimu
uang sebanyak ini, Pak tua!" ujar Soka
bersungut-sungut.
"Kami harus teruskan perjalanan, Pak
tua," sahut Raka. "Pergunakan uang itu
sebaik mungkin, seperti saran adikku
tadi."
"Baa... baik, baik... terima kasih
banyak, Anak muda! Terima kasih banyak!
Semoga Yang Maha Kuasa memberi kalian
berkah dan keselamatan sepanjang
masa...."
Mereka segera meninggalkan pengemis
tua itu. Si pengemis tua terkekeh
kegirangan sambil menghitung jumlah uang
pemberian Soka tadi.
Perjalanan mereka diteruskan sambil
membicarakan tentang suasa di Gunung
Tadah Petir yang pernah dikunjungi
Perawan Hutan. Menurut gadis itu, di kaki
gunung itu ada desa yang dihuni oleh
orang-orang yang punya kelainan pada
tubuhnya, jari tangannya berjumlah dua
belas, lubang hidungnya hanya satu dan
sebagainya. Desa itu bernama Desa
Teganya.
"Apakah mendiang bibimu dulu tinggal
di Desa Teganya?"
"Ya," jawab Perawan Hutan.
"Kalau begitu bibimu juga punya
kelainan pada tubuhnya?"
"Benar. Mendiang bibi adalah seorang
perempuan yang mempunyai daun telinga
selebar daun melinjo. Tapi pada umumnya
mereka berhati mulia, gemar menolong dan
ramah terhadap siapa saja."
Perjalanan mereka terhenti kembali,
demikian pula percakapan mereka. Kali ini
Raka yang melihat seorang pengemis
berdiri bagai menghadang langkah mereka
di bawah pohon yang akan mereka lewati.
"Hei, bukankah yang di sana itu
pengemis tua yang tadi itu?!"
"Oh, sepertinya memang begitu?!"
gumam Soka Pura.
Perawan Hutan bergumam, "Bukankah ia
tak mampu berjalan cepat? Mengapa
sekarang ia sudah ada di depan sana
mendahului kita?"
"Firasatku mengatakan, dia bukan
sekadar pengemis biasa," kata Raka Pura
dengan pelan, seakan bicara pada diri
sendiri.
"Hati-hati saja!" ujar Anggiri
mengingatkan.
Pada saat mereka sudah dekat,
pengemis tua itu sengaja menghadang di
tengah jalan sambil berjalan menyongsong
mereka. Tongkatnya digunakan untuk
menjaga keseimbangan tubuh pada saat
melangkah, tempurungnya diacungkan ke
depan, siap untuk menerima pemberian dari
mereka. Mau tak mau langkah mereka
berhenti total dan membiarkan pengemis
tua itu mendekatinya.
"Anak muda, berilah aku makanan apa
pun sebagai pengisi perutku," pintanya
dengan suara gemetar. "Sudah tujuh hari
aku tak makan apa-apa, Anak muda."
Soka berkata, "Pak tua, kami sudah
tidak memiliki apa-apa yang bisa kami
berikan padamu. Uangku sudah kuberikan
padamu saat di sana tadi."
"Aku... aku belum menerima apa-apa
darimu, Anak muda."
"Jangan bohong, Pak tua!" selah
Perawan Hutan. "Kami tadi sudah bertemu
denganmu di sana, dan kau telah
mendapatkan uang cukup banyak dari kami."
"Tid... tidak. Bukan aku! Aku belum
pernah bertemu denganmu, Nak. Sejak tujuh
hari yang lalu, baru sekarang ada orang
melewati jalanan ini, Nak."
Mereka bertiga pandangi si pengemis
tua yang berambut putih digulung dengan
jenggot, kumis dan alis putih itu. Mereka
melihat ada kejujuran di raut wajahnya
yang sudah berkeriput itu. Bola matanya
yang kecil memancarkan kesungguhan dalam
bicaranya. Tapi mereka melihat pakaian
dasar putih model biksu bertambal kain
warna-warni adalah pakaian si pengemis
yang tadi.
"Pak tua, kami benar-benar tak punya
apa-apa lagi. Kami tak bisa memberimu,"
tutur Soka dengan sopan.
Pengemis tua itu garuk-garuk kepala
dengan wajah kecewa.
"Kalau begitu, maukah kau
menggendongku sampai di sungai seberang
sana?"
"Menggendongmu?!"
"Kalian memang tak punya uang dan
makanan, tapi kalian masih punya tenaga.
Aku tak mau jika harus berjalan sampai ke
sungai karena perutku lapar sekali dan
badanku menjadi lemas. Aku akan mencari
ikan disungai sana sebagai pengisi
perutku, Anak muda. Tolonglah bawa aku ke
sana!" Raka dan Soka saling berpandangan,
lalu kedua pemuda itu menatap Perawan
Hutan yang juga bingung-bingung geli
mendengar permintaan si pengemis tua itu.
Akhirnya, Raka segera berkata, baiklah,
kau akan kugendong sampai ke sungai yang
kau maksud. Naiklah ke punggungku, Pak
"Terima kasih...., terima kasih...,"
pengemis tua bertongkat coklat dan
bertempurung tampak kegirangan. Lalu ia
pun naik kepunggung Raka, sementara
tongkat dan tempurungnya dibawa oleh
Soka.
"Sekarang sepertinya ganti aku yang
mirip pengemis, ya?" bisiknya dengan
konyol kepada Perawan Hutan. Gadis itu
hanya menahan senyum sambil buang muka
kearah lain.
"Kalian mau ke mana, Nak?" tanya
pengemis tua dari atas gendongan Raka.
"Tujuan kami mau ke Gunung jadah
Petir, Pak tua!" Jawab Raka Pura dengan
suara berat. Rupanya ia mulai lelah
menggendong pengemis Itu, namun ia masih
dapat menahan beban kurus itu menuju
sungai yang dimaksud si pengemis tua
tadi.
"Mau apa kalian pergi ke Gunung Tadah
Petir?"
"Aku ingin mengambil Bunga Pucuk Dara
yang ada disekitar Gua Mulut Naga," jawab
Perawan Hutan dengan polos sekali.
"Kedua sahabat kembarku ini punya
maksud sendiri."
"Maksud apa?"
"Mengikuti perintah guru kami, Pak
tua," jawab Soka yang berjalan disebelah
kiri Raka, sedangkan Perawan Hutan di
sebelah kanannya.
"Apa perintah guru kalian?"
"Mengambil sepasang pusaka didalam
gua itu" jawab Raka membuat Perawan Hutan
berkerut dahi, karena baru sekarang ia
mendengar tentang pusaka tersebut dari
mulut Raka. Sebelumnya, baik Raka maupun
Soka menyembunyikan niat mereka
sebenarnya ke gua tersebut. Tapi
menghadapi pertanyaan si pengemis tua
itu, sepertinya mereka tak bisa menahan
rahasia apa pun. Mulut bagaikan bicara
dengan sendirinya. Hal itu disadari oleh
mereka dan membuat mereka merasa heran
sendiri.
"Apakah di sana ada pusaka? Setahuku
tidak ada, Nak."
"Ada ataupun tidak, yang penting kami
harus turuti perintah guru, Kek," ujar
Soka.
"Heh, heh, heh... kalian dibohongi
oleh guru kalian. Jangan mau ke sana!
Kudengar disekitar Gua Mulut Naga banyak
bahaya yang menunggu mangsa, lumpur
hidup, tanaman penghisap darah, serangan
beracun dan sebagainya."
"Kalau toh kami harus mati disana,
kami akan mati dengan ikhlas karena telah
memenuhi perintah guru kami, Kek," ujar
Soka dengan semangat.
"Pak tua, di mana sungai yang kau
maksud itu?" tanya Raka dengan napas
terengah-engah.
"Sebentar lagi akan sampai.
Berjalanlah terus sesuai petunjukku,
Nak."
Raka Pura benar-benar tampak
kecapekan. Keringatnya mengalir deras,
wajahnya memerah seperti menggendong
beban yang sangat berat. Soka dan Perawan
Hutan tak tega melihat Raka keberatan
beban. Maka Soka pun berbisik kepada Raka
setelah serahkan tongkat dan tempurung
itu kepada Perawan Hutan.
"Biar aku yang ganti menggendongnya,
Raka. Kau tampak lelah sekali."
Kakek pengemis Itu diturunkan
sebentar, lalu pindah ke punggung Soka.
Pada awalnya Soka merasa tidak membawa
beban apa-apa. Langkahnya ringan-ringan
saja. Tetapi makin lama la merasa seperti
menggendong beban berat. Soka diam saja
dan masih mampu bertahan.
"Masih jauhkah sungai yang kau maksud
itu, Kek?" tanya Perawan Hutan, karena ia
kasihan melihat Soka tampak semakin
terbeban. Bahkan langkah Soka pun menjadi
pelan bagai menggendong seekor kerbau.
"Sudah dekat. Tinggal membelok ke
kiri dan menuruni lereng kita akan sampai
sungai."
"Kalau begitu, biarlah aku yang
menggantikan dia. Dia sudah kecapekan,
Kek," ujar Perawan Hutan. Dalam hatinya
Soka bersyukur. Maka pengemis yang
berbadan kurus bagai tulang terbungkus
kulit itu pindah ke punggung Perawan
Hutan!
"Kau pun ingin mengambil pusaka
juga?"
Tidak, Kek. Aku ingin memiliki Bunga
Pucuk Dara, seperti yang kukatakan tadi."
"O, iya. Hampir saja aku lupa dengan
tujuanmu tadi. Tapi... menurutku Bunga
Pucuk Dara tidak ada."
"Dari mana kau tahu?" tanya Perawan
Hutan.
"Dari mulut kemulut para pengelana,"
jawab si kakek pengemis itu. "Beberapa
tahun yang lalu aku pernah mendengar
bunga itu sudah tak akan bisa tumbuh
lagi. Karena bunga itu telah dikutuk oleh
seorang petapa yang gemar berkeliaran
dari gua ke gua, mencari ilmu dan wangsit
dari dewata".
Raka berbisik kepada adiknya,
"Mungkin yang dimaksud adalah Resi
Garba?"
"Mungkin saja!" jawab Soka sambil
meringis. "Berat sekali kakek itu, ya?"
"Iya. Makin lama aku merasa seperti
menggendong batu yang beratnya bukan
main," ujar Raka dalam bisikan.
"Tapi mengapa tidak sejak tadi dia
minta digendong oleh kita?"
"Dia bukan pengemis yang tadi
Karenanya aku merasa bersedia
menggendongnya"
"Dari mana kau tahu?"
"Pengemis yang tadi bertongkat hitam
dan tempurungnya berwarna coklat.
Pengemis yang ini bertongkat coklat dan
tempurungnya hitam begini, kan?" sambil
Raka tunjukkan tongkat dan tempurung yang
dibawanya."
"Astaga! Benar juga katamu, Raka!"
ujar Soka dengan terperangah.
Suara Anggiri terdengar mulai
memberat, "Mengapa petapa itu mengutuk
bunga tersebut?"
"Karena petapa itu melihat sendiri
bunga tersebut menjadi bahan pertumpahan
darah oleh beberapa orang. Banyak orang
yang mati karena ingin memiliki bunga
itu. Karenanya, si petapa mengutuk bunga
itu hingga tak bisa tumbuh lagi.
Maksudnya supaya tidak timbulkan korban
bagi umat manusia dimuka bumi ini."
"Perawan Hutan tampak kecewa.
Biasanya ia tak mudah percaya dengan
omongan siapa pun tentang bunga tersebut.
la memang pernah mendengar ucapan seorang
tokoh tua yang mengatakan bahwa bunga itu
sudah tak akan tumbuh lagi. Tapi ia tak
pernah percaya. Herannya, sekarang ia
menjadi percaya betul dengan ucapan si
pengemis itu.
"Perawan Hutan tampak mulai kecapekan
Keringatnya semakin deras, langkahnya
mulai lamban. Gantikanlah ia!" Kata Soka.
Maka, sang kakak pun menggantikan Perawan
Hutan. Pengemis itu pindah lagi ke
punggung Raka. |
Entah berapa jauh sudah mereka
menempuh perjalanan dengan menggendong si
pengemis secara bergantian. Yang jelas
tubuh mereka sama-sama bermandi keringat,
karena tubuh pengemis tua itu makin lama
semakin bertambah berat. Begitu beratnya
tubuh si pengemis kurus itu, sampai-
sampai mereka bertiga menggunakan bantuan
tenaga dalam untuk menggendongnya.
"Nah, itu dia sungainya, Nak". ujar
si pengemis sambil menunjuk ke arah
depan. Mereka memandang sungai kecil yang
airnya sangat sedikit dan sangat dangkal.
Sungai kering itu menyerupai sebuah
selokan dengan banyak bebatuan di kanan-
kirinya.
"Ya,ampuun?! Sungai kecil begitukah
yang kau maksud, Kek?"
"Ya. Tapi sebentar lagi sungai itu
banyak airnya," jawab si pengemis
seenaknya saja. Soka menghempaskan napas
dengan hati sedikit kesal karena merasa
sia-sia membawa si pengemis ke sungai
sekecil dan sedangkal Itu.
Pengemis tua itu minta diturunkan
dari gendongan. Ketiga anak muda itu
sama-sama duduk melemas diatas batu
besar. Si pengemis kegirangan, melangkah
pelan-pelan mendekati tempat yang,
dialiri air ditengah sungai kering itu.
"Hei, Nak... airnya jernih dan sejuk.
Cucilah mukamu dengan air ini biar
kelelahanmu hilang" ujar si pengemis
sambil menyendokkan tempurungnya ke dalam
air, lalu ia meminum air dalam tempurung
tersebut.
Raka mendahului mencuci muka dengan
air sungai itu, yang lain pun segera
mengikuti. Bahkan perawan Hutan membasahi
rambutnya dengan air sungai Itu.
"Air ini benar-benar sejuk dan
menyegarkan badan. Aku ingin sekali mandi
di sini seandainya airnya tak dangkal dan
cukup banyak," ujar Perawan Hutan yang
merasakan kelelahannya segera hilang
setelah membasahi kepalanya dengan air
sungai.
"Raka..." sentak Soka dengan suara
mengejutkan sang kakak yang sedang
mencuci muka dengan membungkuk. Perawan
Hutan pun terkejut mendengar suara Soka
tadi, maka ia pun ikut memandang ke arah
Soka.
"Ada apa kau memanggilku sekeras itu,
Soka?"
Wajah sang adik yang basah air sungai
tampak tegang.
"Kemana pengemis tua tadi?"
"Hahh...?!" Raka terkejut, lalu cepat
berpaling ke belakangnya, karena pengemis
itu tadi ada di belakangnya, mencuci
wajahnya Juga.
"Aneh! Tak mungkin dia lari ke semak-
semak sana!" ujar Perawan Hutan yang ikut
memandang ke sana-sini.
"Dia menghilang" gumam Raka dengan
suara lirih. Lalu, mencoba memeriksa
dibalik batu-batu besar yang ada ditepian
sungai tersebut. Ternyata si pengemis tua
itu tak ditemukan jejaknya.
"Hei, kita telah sampai!" seru
Perawan Hutan dengan suara keras
menandakan ketegangannya. Wajah gadis itu
tampak diliputi perasaan heran. Raka dan
Soka memperhatikan sambil dekati si gadis
melihat arah kanan-kiri.
"Apa maksudmu 'sudah sampai' itu?"
tanyanya.
"Aku ingat...!" jawabnya penuh
semangat. Aku ingat tempat ini pernah
kulalui waktu aku ingin menuju ke Desa
Teganya. Lihat gunung itu!" seraya
menuding ke satu arah.
Sebuah gunung menjulang tinggi tegap
dengan bagian atapnya seakan menembus
langit. Itulah ciri-ciri Gunung Tadah
Petir seperti yang diceritakan oleh Ki
Mandura kepada Raka Pura.
"Mana mungkin kita sudah sampai di
kaki Gunung Tadah Petir?!" gumam Soka
penuh keheranan. "Bukankah katamu tadi,
perjalanan kita akan memakan waktu tiga
malam?! Sekarang kita berjalan belum ada
satu malam, baru setengah hari!"
"Memang mestinya begitu!" jawab
Perawan hutan. "Tapi... tapi aku ingat
tempat ini adalah tempat di kaki Gunung
Tadah Petir! Bentuk gunungnyapun seperti
itu!"
Raka segera ikut bicara, "Jika benar
tempat ini kaki Gunung Tadah Petir, lalu
di mana Desa Teganya Itu?"
"Di sana! Sangat dekat dari sini.
Kita coba ke sana saja!"
Maka mereka pun bergegas ke arah yang
dimaksud Perawan Hutan. Mereka sangat
penasaran dan ingin buktikan apakah
mereka sudah berada dl kaki Gunung Tadah
Petir atau di tempat lain yang mirip kaki
Gunung Tadah Petir.
* * *
ENAM
TERNYATA mereka benar-benar memasuki
Desa Teganya yang berpenduduk ramah dan
mempunyai kelainan pada anggota tubuh
mereka. Bahkan beberapa orang dari
penduduk desa itu masih ada yang
mengenali Perawan Hutan sebagai keponakan
mendiang tetangga mereka, yaitu bibinya
Perawan Hutan. Hal itu membuktikan bahwa
mereka benar-benar telah berada dikaki
Gunung Tadah Petir.
"Kurasa pengemis tua itu yang membawa
kita kemari," ujar Perawan Hutan.
"Berarti dia tokoh sakti yang
berpura-pura menjadi pengemis?"
"Kira-kira begitu," jawab Perawan
Hutan sambil memandang salah satu dari si
kembar yang tak diketahui dengan jelas
apakah Soka atau Raka.
"Peristiwa aneh tadi merupakan
pelajaran juga bagi kita, bahwa memberi
dengan ikhlas, menolong dengan rela,
ternyata mempunyai keberuntungan sendiri
bagi kita," ujar Raka sambil mereka mulai
mendaki lereng Gunung Tadah Petir.
Sambungnya lagi, "Keberuntungan itu
jika kita pikirkan tak akan datang, tapi
jika tidak kita pikirkan akan datang
dengan sendirinya."
"Maksudmu, menolong tanpa pamrih itu
lebih baik daripada menolong dengan
pamrih?" tanya Soka. Sang kakak
membenarkan sambil anggukkan kepala.
"Jangan singgung-singgung kata
'pamrih'," ujar Perawan Hutan dengan
serius, sedikit cemberut.
"Mengapa tak boleh?"
"Pamrih itu nama mendiang Ibuku.
Pamrih Suliah."
Raka dan Soka sama-sama sembunyikan
tawa, walau sebenarnya mereka ingin
terbahak karena geli mendengar nama
mendiang ibu Perawan Hutan. Tawa dalam
senyum dikulum itu akhirnya reda dengan
cepat, karena tiba-tiba langkah mereka
terhenti oleh sesuatu yang mengejutkan.
Sesuatu yang mengejutkan itu adalah
sesosok mayat yang tergeletak di bawah
pohon dengan darah kering berceceran di
sekitarnya. Mayat itu adalah mayat
seorang lelaki berkepala gundul yang
agaknya tewas karena suatu pertarungan.
Dada lelaki itu koyak lebar bagai terkena
tebasan pedang lawannya. Mereka segera
jauhi mayat itu sambil menutup hidung,
sebab mayat tersebut telah membusuk.
"Sepertinya mayat itu sudah dua tiga
hari tergeletak disana" ujar Soka setelah
meludah.
"Tinggalkan saja, tak perlu kita
bahas lagi" kata Raka sambil mengawali
melangkah lagi.
Beberapa saat kemudian, langkah
mereka terhenti kembali oleh dua sosok
mayat yang tergeletak di semak-semak,
tampak kakinya saja. Mayat itu pun sudah
membusuk dan berbelatung. Mereka segera
meninggalkan mayat tersebut, mendaki
lereng yang mulai berhutan lebat itu.
"Gila...?!" gumam Soka sambil menutup
hidungnya saat mereka terhenti kembali.
Kali Ini mereka temukan lima sosok mayat
yang membusuk dan berbelatung juga.
"Apakah mereka orang-orang yang
menjadi korban berebut Bunga Pucuk Dara?"
ujar Perawan Hutan seperti bicara pada
diri sendiri.
"Entahlah! Yang jelas tempat ini
dipenuhi oleh mayat yang berserakan. Dan
mereka pada umumnya adalah korban
pertarungan," kata Raka sambil pandangi
senjata-senjata yang tergeletak di
samping mayat-mayat itu.
Semakin tinggi lereng yang didaki,
semakin banyak mayat yang ditemukan oleh
mereka. Bahkan yang telah menjadi
kerangka pun tak sedikit. Udara di
sekitar lereng Itu sudah tak sehat lagi.
Ke mana-mana bau bangkai busuk yang
memualkan perut.
Namun sekalipun mereka menemukan
pemandangan yang mengerikan, toh tekad
mereka tetap bulat dan semangat mereka
tetap tinggi. Gua Mulut Naga tetap mereka
cari sesuai petunjuk dalam peta yang kini
dibawa oleh Raka Pura itu. Dalam peta
tersebut terdapat gambar sepasang pohon
beringin. Menurut penjelasan Nini
Sawandupa, gua keramat itu terletak di
antara kedua pohon beringin tersebut.
Maka, mereka pun memperhatikan tiap pohon
yang ada di sekitar lereng gunung itu.
Mereka mencari dua pohon beringin yang
tumbuh bersebelahan.
Beberapa saat kemudian, Soka
menemukan sebatang pohon beringin putih,
batang dan daunnya berwarna putih.
"Raka, itu dia pohon beringinnya!"
"O, ya...! Tapi mengapa hanya satu,
mestinya ada dua!" ujar Raka sambil
mereka hampiri pohon beringin putih Itu.
"Tunggu!" cetus Perawan Hutan. "Ada
mayat di bawah pohon beringin itu. Dan...
sepertinya aku mengenali mayat tersebut!"
Mereka pun memeriksa mayat yang
tergeletak tak jauh dari pohon beringin
putih itu. Mayat tersebut agaknya masih
baru. la terluka tusukan besar di ulu
hatinya, seperti habis ditusuk dengan
pedang hingga tembus ke punggung.
"Kau mengenal mayat perempuan tua
ini?!"
"Ya, aku mengenalnya!" jawab Perawan
Hutan. "Ini mayat Nyai Pangesti!"
"Siapa Nyai Pangesti itu?" tanya
Soka.
"Gurunya si Tandu Sangrai!"
"O, ya...?!" Raka terperanjat.
Keadaan hutan disekitar tempat
ditemukannya mayat Nyai Pangesti sudah
lain dengan hutan di kaki gunung tadi. Di
situ, hutan dalam keadaan rusak. Banyak
pohon yang tumbang dan pecah pertanda
terkena pukulan tenaga dalam dan menjadi
sasaran jurus-jurus dahsyat. Tapi dari
pohon-pohon yang tumbang, mereka tidak
menemukan pohon beringin putih. Berarti
pohon beringin putih yang masih tumbuh
kokoh itu bukan patokan menuju Gua Mulut
Naga.
Tiba-tiba Soka Pura berseru dari sisi
lain. "Raka, lihatlah mayat ini...!"
Rupanya Soka telah menemukan mayat
seseorang yang mereka kenali. Mayat itu
dalam keadaan jebol dadanya, tergeletak
dalam keadaan masih menggenggam kipas
hitam. Mayat perempuan itu sangat
mengejutkan Raka, karena Raka tahu bahwa
mayat itu adalah mayat si Peri Kenanga,
ketua dan penguasa Kuil Darah Perawan,
(Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Kencan Di Ujung Maut").
"Hampir saja dia menemukan gua itu
lebih dulu dari kita," ujar Raka kepada
adik kembarnya.
Tiba-tiba Perawan Hutan berseru,
"Lihat di sebelah sana! Bukankah itu
pohon beringin putih juga?!"
Mereka bergegas hampiri pohon yang
dimaksud Perawan Hutan. Ternyata pohon
itu memang pohon beringin putih. Hanya
saja, jaraknya terlalu jauh dari pohon
beringin yang pertama.
"Berarti di sekitar jarak kedua pohon
inilah letak Gua Mulut Naga" kata Soka
Pura sambil memandang ke arah lereng yang
lebih atas lagi.
Mereka pun segera lakukan pencarian
dengan lebih teliti lagi. Sesekali
langkah mereka harus berhenti karena
menemukan mayat korban pertarungan dalam
memperebutkan Bunga Pucuk Dara.
"Berarti bunga itu masih bisa
tumbuh?!" kata Anggiri seperti bicara
pada diri sendiri. "Buktinya mereka rela
mati di sini. Pasti mereka memperebutkan
bunga tersebut!"
Sebelum Raka mengomentari kata-kata
Perawan Hutan, tiba-tiba mereka mendengar
suara rintihan kecil dari balik semak
semak. Rintihan itu seperti orang sedang
sekarat yang tersengal-sengal. Mereka
segera mencari si pemilik rintihan itu.
Tak berapa lama mereka temukan seorang
lelaki pendek berusia sekitar empat puluh
tahun. Lelaki itu dalam keadaan terluka
sangat parah dan wajahnya sudah seputih
kertas karena kekurangan darah. Perutnya
robek lebar, kedua kakinya hitam hangus,
dan kepalanya pun bocor berlumur darah.
Tak satu pun dari mereka bertiga yang
mengenali lelaki pendek itu. Namun ketika
mereka memeriksa lebih dekat lagi, lelaki
yang sedang sekarat membuka mata sedikit,
kemudian mulutnya bergerak-gerak pelan
yang membuat mereka bertiga segera
mendekatkan telinga untuk mendengarkan
perkataan orang tersebut.
"Ja... ngan... dekati... gua itu...."
"Kenapa?" tanya Raka.
"Pen... penjaganya... ga... galak,
saaa... sadis, dan ber... berilmu
tinggi."
"Siapa penjaga gua itu?!" tanya Soka
yang sama-sama mengerti gua yang dimaksud
adalah Gua Mulut Naga.
"Sssee... seeeorang... seorang
mmmanu... manusia dari... batu... yang...
yang kkh...!" kepala orang itu terkulai,
artinya nyawa orang itu sudah tak betah
mendiami raga yang rusak. Meski orang itu
hembuskan napas terakhir sebelum selesai
bicara, tapi mereka mengerti maksudnya.
Gua Mulut Naga dijaga oleh seorang yang
berilmu tinggi dan kejam. Mereka pun
dapat menyimpulkan bahwa mayat-mayat yang
bergelimpangan disana sini adalah para
korban yang bertarung dengan penjaga gua
tersebut.
"Jalan terus, Soka! Kita hadapi si
penjaga gua itu!" ujar Raka memberi
semangat pada adik kembarnya. Perawan
Hutan pun menjadi tambah semangat lagi.
"Soka, mengapa orang tadi tidak
segera kau tolong dengan ilmu
pengobatanmu?" tanya Perawan Hutan.
"Sudah terlalu parah. Firasatku
mengatakan, sudah waktunya ia kembali ke
pangkuan Yang Maha Kuasa."
"Firasatku pun begitu, maka..."
Ucapan sang kakak terputus tiba-tiba,
karena matanya memandang sesuatu yang
amat menegangkan. Pandangan mata yang
terbelalak itu diikuti oleh pandangan
mata Soka dan Perawan Hutan.
"Ooh... itu dia! Pasti itulah yang
dinamakan Gua Mulut Naga!" ujar Soka
berseri-seri.
Kini mereka sudah berada didepan
sebuah gua berbatu-batu. Pintu masuk gua
cukup lebar, bagian atasnya terdapat
bebatuan yang bertumpuk-tumpuk hingga
membentuk kepala naga yang sedang membuka
mulutnya, badan naga seperti tertimbun
kebesaran gunung tersebut.
"Perawan Hutan, kau jaga diluar gua.
Aku dan Soka akan masuk ke dalam gua itu
dan...."
"Ggrrrh...!" tiba-tiba terdengar
suara geram yang besar dan menggetarkan
tanah tempat mereka berpijak. Perawan
Hutan segera mencabut pedangnya.
Sreet...!
Wuuuut...!
Ia melambung ke atas dan hinggap di
dahan pohon. Matanya memandang sekeliling
dengan liar dan ganas. Ia mencari si
pemilik suara geram itu.
Ternyata pemilik suara geram tersebut
muncul dari dalam Gua Mulut Naga. la
bergerak cepat dalam satu lompatan
panjang bagaikan bayangan hitam menerjang
Raka dan Soka.
Weesss...!
"Awaass...!" seru Perawan Hutan. Raka
dan Soka segera melompat, masing-masing
kekanan dan kekiri. Dengan begitu,
terjangan bayangan hitam itu tak mengenai
mereka namun menabrak sebatang pohon
lurus yang batangnya sebesar pilar
istana.
Bruuus, kraaak...!
Brruuukk...!
Pohon itu tumbang seketika, hancur di
pertengahan batang yang ditabrak bayang
hitam itu. Bayang hitam jatuh berdebam,
lalu segera berdiri dan berpaling
menghadap Raka dan Soka. Kedua pemuda itu
sempat terbengong melihat orang bertubuh
tinggi, besar, tanpa baju, hanya
mengenakan cawat berlumut. Tubuhnya
berkulit sangat tebal dan sosok
penampilannya menyerupai seonggok batu
gunung. Semua kulit tubuhnya serba keras
dan berlumut samar-samar. Dialah yang
dimaksud Manusia Batu oleh orang yang
meninggal di depan mereka tadi.
"Grrrh...!" si Manusia Batu menggeram
lagi, memperlihatkan mulutnya yang
bergerak kaku dengan gigi hitam berlumut.
Kepalanya tak berambut, namun mempunyai
tanaman sejenis lumut batu. la memang
sosok makhluk yang menyeramkan bagi siapa
saja.
"Soka, biar kuserang dulu dia!" seru
Raka, kemudian segera melompat dan
melepaskan jurus 'Kobra Liar'. Pukulan
tanpa sinar itu biasanya mampu merobek
perut lawan.
Wuutt, crrok...!
Ternyata pukulan 'Kobra Liar' tak
mampu merobek perut si Manusia Batu.
Sebaliknya si makhluk aneh Itu
mengibaskan tangannya dan tubuh Raka
terhantam kibasan itu dengan keras.
Burrk...!
"Aaow...!" Raka memekik, tubuhnya
terpelanting dan jatuh dalam hempasan
keras.
Bluuhk...!
Kerasnya kibasan tangan itu membuat
tulang dada Raka bagaikan patah semua.
Mulutnya pun semburkan darah walau tak
banyak. Raka tak mampu berdiri lagi, ia
seperti dijatuhi batu keras dan besar
dari suatu ketinggian. Napasnya terasa
berat dan sesak sekali.
Melihat kakaknya terluka bagian
dalamnya, Soka Pura segera menyerang
Manusia Batu dengan jurus 'Cakar
Matahari', yaitu sinar putih menyerupai
mata pisau yang melesat dari tangan yang
menyentak ke depan dalam bentuk cakar
beruang.
Claaap...!
Criing, blaaar...!
Sinar putih menyerupai pisau runcing
itu tidak bisa menembus tubuh si Manusia
Batu. Padahal biasanya bisa untuk
menembus dua pohon sekaligus.
"Grrraaoow...!"
Manusia Batu ganti menyerang Soka
dengan lompatan cepatnya.
Wuuutt...!
Soka diam ditempat dan melepaskan
jurus bersinar merah dalam bentuk seperti
lempengan bergerigi yang memutar cepat
memercikkan bunga api.
Zaaarrk...!
Ziiuurrrb...!
Jurus 'Mata Bumi' yang bersinar merah
itu kenai dada si Manusia Batu, namun
padam seketika, bahkan meledak pun tidak.
Sedangkan tubuh Manusia Batu tetap
melayang menerjang Soka Pura.
Brruus...!
"Aaahk...!" Soka terlempar sejauh
tujuh langkah dan terbanting menyedihkan
disana. Pada saat itu pula, Perawan Hutan
meluncur dari atas pohon bagai seekor
kelelawar tanpa sayap.
Wuuss...!
Pedangnya ditebaskan beberapa kali ke
kepala si Manusia Batu.
Tring, tring, trang...!
Setiap tebasan pedang kenai kepala
Manusia Batu, namun hanya memercikkan
bunga api tanpa membuat Manusia Batu
terluka sedikit pun. Bahkan ia segera
sentakkan tangan kanannya yang besar itu
ke arah Perawan Hutan. Pada waktu itu,
Perawan Hutan menjejak pohon dan gerakan
layangnya kembali dekati si Manusia Batu.
Wuuk, claap...!
Sinar merah seperti bola api sebesar
genggaman orang dewasa telah melesat dari
telapak tangan si Manusia Batu. Sinar itu
akan menghantam tubuh Perawan Hutan. Tapi
gadis itu segera tebaskan pedangnya
dengan cepat tiga kali.
Zing, zing, zing...!
Tebasan itu mengeluarkan asap tebal
seperti kabut dingin. Kabut itulah yang
akhirnya menjadi sasaran sinar merah dari
Manusia Batu.
Zuubbs...!
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi, Perawan
Hutan terlempar kuat dan membentur pohon
dengan keras.
Brrruuk...!
"Uuuhk...!" ia mengerang kesakitan
dalam keadaan terkulai di bawah pohon.
"Soka! Serang dia bersama dengan
jurus 'Tapa Sunyi' kita!" seru Raka, Soka
pun anggukkan kepala.
Maka tubuh kedua pemuda kembar itu
melayang cepat menuju Manusia Batu yang
ingin hampiri Perawan Hutan. Raka
melayang dari arah kiri, Soka dari arah
belakang.
Wuuutt...!
Lalu masing-ma-sing tangan mereka
menggebrak kepala Manusia Batu bagai
bertepuk. Hal itu dilakukan mereka secara
bersamaan.
Prrook...!
"Haaggrrh...!"
Manusia Batu memekik keras-keras,
menggetarkan pepohonan dan membuat daun-
daun berguguran. Tubuhnya oleng ke sana-
sini dengan kepala masih utuh.
Perawan Hutan segera bangkit dan
kerahkan tenaga untuk menerjang Manusia
Batu dengan tendangannya. Ia memekik
keras-keras sebagai luapan murkanya.
"Heeaaahh...!"
Tapi baru mendapat dua langkah ia
harus segera hentikan rencananya. Karena
pada saat itu tubuh Manusia Batu telah
terpuruk, hancur menjadi pasir hitam dari
kepala sampai telapak kaki.
Zrraaaks...!
Perawan Hutan hanya bisa terbengong
kecewa memandang! tumpukan pasir yang
bercampur dengan darah kehitam-hitaman.
Itulah jenazah si Manusia Batu yang sukar
ditumbangkan oleh beberapa tokoh tingkat
tinggi, namun akhirnya hancur di tangan
si kembar Raka dan Soka.
"Perawan Hutan, carilah bunga yang
kau maksud, aku dan Soka akan masuk ke
dalam gua!"
"Hati-hatilah kalian!"
Blaas, blaas...!
Si kembar melesat masuk ke dalam Gua
Mulut Naga. Gua itu dalam keadaan gelap.
Bagian depan memang agak terang karena
mendapat biasan sinar matahari, tapi
bagian dalamnya gelap pekat, Raka dan
Soka terpaksa keluar kembali, mencari
kayu dan ilalang kering untuk digunakan
sebagai obat darurat.
Ketika mereka masuk ke dalam gua
lagi, ternyata keadaan gua telah berubah
menjadi terang benderang. Setiap dinding
dan bebatuannya seperti kristal-kristal
yang diberi lampu sorot dari belakangnya.
Cahaya yang memancar adalah cahaya putih
tidak menyilaukan.
Raka dan Soka tertegun bengong,
akhirnya membuang obor tersebut keluar
gua.
"Gua ini mempunyai lorong menuju ke
bawah, Raka! Tampaknya lorong itu
berliku-liku!"
"Karena itulah dinamakan Gua Mulut
Naga," ujar Raka sambil pandangi keadaan
dinding dengan terheran-heran.
"Dari mana datangnya cahaya ini?!"
"Entahlah," jawab Soka. "Barangkali
ini sebuah keajaiban yang sulit dipahami,
sehingga gua ini dikatakan sebagai gua
keramat!"
Mereka menyusuri lorong gua yang
menurun terus dan berliku-liku.
Dindingnya masih tetap memancarkan cahaya
terang seperti kristal penutup lampu
sorot.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti dan
wajah mereka menjadi tegang sekali.
Mereka sudah mencapai jalanan yang datar
dan lebar, menyerupai sebuah ruangan
tanpa pilar. Ruangan itu juga berdinding
terang, sehingga mereka dapat melihat
dengan jelas ke tengah ruangan tersebut.
Di sana telah berdiri dua orang kakek
berambut putih digulung, jenggot, kumis,
dan alisnya juga putih. Mereka mengenakan
baju tambal-tambal dan menggenggam
tongkat serta tempurung. Mereka adalah
pengemis tua yang tadi menghadang di
perjalanan.
"Gila! Bagaimana mereka bisa tiba di
sini lebih dulu dari kita?" gumam Soka
sangat heran.
"Perhatikan wajah dan pakaian
mereka.... Mereka adalah pengemis kembar
yang sulit dibedakan satu dengan lainnya,
kecuali lewat warna tongkat dan tempurung
mereka!" bisik Raka dengan hati berdebar-
debar.
Kedua pengemis itu memandang mereka
dengan senyum wibawa dan pandangan mata
penuh kharisma. Raka dan Soka merasa
takut mendekati mereka, sehingga langkah
kedua pemuda itu pun. terhenti di ujung
lorong. Mereka berlutut satu kaki dengan
kepala sedikit tertunduk penuh hormat.
Tiba-tiba salah satu dari pengemis
tua itu berseru,
"Selamat datang, Pendekar Kembar!
Kalian memang murid-murid yang patuh
kepada guru dan berjiwa besar."
Pengemis yang tadi minta digendong
sampai sungai itu ikut berkata pula.
"Apa yang kalian cari sudah kami
siapkan di sini.
Memang kami menunggu kedatangan
kalian! Ambillah sepasang Pedang Tangan
Malaikat, pergunakan untuk kebajikan!"
Pengemis yang satu berkata lagi, "Dan
kami mempunyai hadiah untuk sahabat
wanita kalian itu...."
"Setangkai bunga yang bernama Bunga
Ratu Jagat, yang akan membuatnya menjadi
seorang ratu sampai akhir hayatnya tiba
nanti. Ia akan disegani oleh setiap
orang, dan dikagumi oleh siapa pun!"
sahut pengemis satunya lagi.
"Hadiah ini kami berikan untuknya
sebagai upah kebajikannya selama dalam
perjalanan kemari, dan sebagai ganti
Bunga Pucuk Dara yang tak akan mekar lagi
itu!"
Bluuub...!
Tiba-tiba kedua pengemis tua itu
lenyap dalam bentuk gumpalan asap tebal.
Ketika asap itu menipis, tampaklah dua
pedang tergeletak di tanah dan setangkai
bunga seperti teratai susun berwarna
ungu. Kedua pedang berbentuk indah dengan
sarung pedangnya putih berkilauan mirip
kaca itulah yang disebut sepasang Pedang
Tangan Malaikat, jelmaan dari tongkat
kedua pengemis. Sedangkan bunga mirip
teratai susun warna ungu itulah yang
dinamakan Bunga Ratu Jagat, jelmaan dari
dua tempurung kedua pengemis tadi.
Raka dan Soka segera mengambil kedua
pusaka tersebut serta Bunga Ratu Jagat,
kemudian mereka segera tinggalkan tempat
itu dengan hati girang dan rasa bangga
yang tiada taranya.
"Kudengar mereka menyebut kita
Pendekar Kembar!" kata Soka. "Bagaimana
Jika kita pakai julukan itu saja?!"
"Kurasa memang itulah julukan kita
nanti! Pendekar Kembar!"
Perawan Hutan sangat gembira menerima
Bunga Ratu Jagat. Wajahnya yang cantik
tampak berseri-seri ketika mendengar
keistimewaan bunga tersebut. Ia terpaksa
ikut pulang si Pendekar Kembar ke Gunung
Merana untuk berkenalan dengan si Pawang
Badai dan Nyi Padmi, orangtua angkat
Pendekar Kembar itu.
Setelah mendengar cerita Raka dan
Soka tentang kedua pengemis tersebut,
Pawang Badai pun jelaskan, bahwa kedua
pengemis kembar itulah jelmaan roh ayah
dan paman Eyang Guru Dewa Kencan yang
bernama Suralaya dan Eyang Surapati.
SELESAI
Segera terbit!!!
"SETAN CABUL"
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar