..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE GOA MULUT NAGA

matjenuh

 

GOA MULUT NAGA
Hak cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 003 :
Goa Mulut Naga
128 Hal.; 12 x 18 Cm

SATU

MATAHARI sore mulai mendekati batas 
perairan samudera di cakrawala. Gemuruh 
ombak berpadu dengan deru angin, membuat 
suara-suara percakapan di pantai itu 
menjadi samar-samar.
"Apakah sudah kau pertimbangkan 
masak-masak rencanamu itu?!" 
"Sudah!"
"Juga sudah kau perhitungkan bahaya 
yang menghadangmu di sana?" 
"Sudah!"
"Kalau begitu kau sudah siap untuk 
mati!" 
"Sangat siap!" Jawab suara tegas itu. 
"Jika begitu tekadmu, aku tak bisa 
menahanmu lagi."
"Kau tak perlu menahanku!"
"Semula aku hanya tak ingin 
kehilangan dirimu."
"Kau telah kehilangan diriku sejak
kehadiran Luhmini di sampingmu"
"Luhmini hanya seorang sahabat biasa 
bagiku."
"Bagimu memang sahabat biasa, tapi 
baginya kau bukan sekadar sahabat biasa!"
"Persetankan dia, mengapa harus kau 
hiraukan?"
"Tak biasa! Aku tak suka padanya!" 
suara itu lebih tegas lagi.

"Kepergianmu hanya akan membuka 
kesempatan lebih lebar lagi bagi Luhmini 
untuk mendekatiku."
"Sesempit apa pun ia akan tetap bisa 
mendekatimu, karena kau tak mau jauh 
darinya."
"Tak mungkin aku harus melupakan 
sahabat lamaku itu."
"Tak mungkin pula aku harus berada di 
antara kalian berdua"
Pemilik suara tegas bernada dingin 
itu masih tetap pandangi cakrawala dengan 
sorot pandangan mata yang hampa. Ia tak 
pernah mau berpaling ke arah kirinya, 
sebab di sebelah kirinya berdiri seorang 
pemuda berpakaian serba biru dan berambut 
ikal. Pemuda itu tampak sudah tak punya 
harapan lagi. Akhirnya IA berkata sambil
membuang napas lewat hidung.
"Jika begitu kekerasan hatimu, aku 
hanya bisa mengucapkan selamat jalan 
padamu, Anggiri. Semoga kau menemukan apa 
yang kau cari di Gua Mulut Naga itu. 
Semoga pula hatimu masih menyimpan sisa 
cinta yang pernah kita jalin bersama."
"Tak ada sisa lagi di hatiku" ujar 
Anggiri dengan dingin dan datar.
"Jika nanti kau berhasil mendapatkan 
Bunga Pucuk Dara di Gua Mulut Naga itu, 
jangan harapkan aku akan tunduk padamu. 
Dari semua pria yang akan tunduk padamu, 
hanya aku yang tak akan sudi menyerah

padamu, Anggiri!"
"Kita buktikan saja nanti! Sekarang 
pergilah dan jangan sampai bertemu 
denganku lagi. Jika kita bertemu lagi, 
pastikan saja bahwa saat itu adalah saat 
kematianmu tiba, sebagai kematian seorang 
pengkhianat cinta!"
"Kurasa kau telah...."
"Tinggalkan aku sekarang juga, Arya 
Semirang!" potong gadis itu dengan suara 
menghentak, tapi pandangan tetap tertuju 
ke cakrawala. Pemuda yang bernama Arya 
Semirang itu hanya bisa menarik napas 
dalam-dalam. Setelah memandang Anggiri 
selama dua helaan napas, ia pun segera 
pergi tinggalkan pantai tersebut. 
Wesss...!
Ombak lautan yang bergulung-gulung 
itu, akhirnya pecah setelah menghantam 
gugusan batu karang sebesar rumah. 
Pecahan ombak Itu menjadi riak, dan riak 
pun menghampar di pasir pantai dengan 
lembutnya.
Sepasang kaki berbetis indah tersapu 
percikan air pantai. Sekalipun basah, 
namun sepasang kaki itu tetap tak mau 
menyingkir dari tepian pantai. Betisnya 
yang indah itu dililit pengikat alas kaki 
separo bagian, menimbulkan rasa penasaran 
untuk melihat bentuk keutuhannya.
Tapi bagi seorang lelaki akan lebih 
suka memandang bagian atas betis itu.

Lutut yang telanjang mempunyai batas 
pandang sekitar satu jengkal ke atas. 
Bagian atas lutut itu umumnya disebut 
paha. Dan paha putih berbulu lembut itu 
ternyata hanya dibungkus sebagian kecil 
saja. Pembungkusnya selembar kain merah 
dibentuk celana pendek yang mini sekali. 
Bagian tepi celana pendek Itu berserat-
serat mirip celana pengemis, tapi justru 
menambah daya tarik tersendiri bagi kedua 
paha tersebut.
Celana pendek Itu berpinggang ketat 
dan ditutup sabuk hitam dengan hiasan 
paku-paku metal. Celana dan sabuk tak 
sampai menutup bagian pusarnya. Pusar di 
perut putih berbulu samar-samar itu juga 
tidak sampai tertutup kain rompi yang 
dikenakan. Rompi itu bagai terkatung-
katung di atas pusar, seakan takut 
menyentuh permukaan pusar cekung itu.
Rompi itu juga dibuat dari kain merah 
tebal. Tepian rompi berserat-serat 
seperti rompinya pengemis. Belahan depan 
dikancingkan sebagian, terutama dua 
kancing di bawah, sedangkan kancing di 
atasnya dibiarkan terbuka, membuat tepian 
dada tampak tersembul bak mengintai 
mangsa atau siap mangsa kemontokannya.
Sosok tubuh yang sekal, padat dan 
tampak berisi Itu ternyata milik seorang 
gadis berusia sekitar delapan belas 
tahun. Tetapi perawakannya yang tinggi

dan sigap Itu membuatnya tampak Jauh 
lebih dewasa dari usia sebenarnya.
Bukan berarti gadis itu tampak tua, 
namun justru sebaliknya, ia kelihatan 
cantik dan muda, namun punya daya pikat 
yang cukup dewasa. Gadis itu berhidung 
mancung, bermata sedikit lebar namun 
Indah bentuknya dengan bulu mata yang 
lentik dan lebat, alisnya agak tebal 
namun tersusun rapi, bibirnya sedikit 
tebal tapi justru menghadirkan khayalan 
menggemaskan bagi setiap lelaki, dan 
rambutnya berpotongan pendek, cepak, 
membuat lehernya yang putih mulus Itu 
terbuka lebar seakan siap menerima 
kecupan setiap saat. Gadis itu mempunyai 
dagu sedikit terbelah, membuat 
kecantikannya tampak berbeda dari gadis-
gadis cantik lainnya.
Gadis itulah yang bersuara tegas dan 
datar tadi. Ia bernama Anggiri, tetapi di 
rimba persilatan ia lebih dikenal dengan 
nama: Perawan Hutan.
Rupanya ia baru saja putus cinta 
dengan seorang pemuda tampan berbadan 
tegap yang bernama Arya Semirang. 
Putusnya hubungan cinta kasih itu 
merupakan awal permusuhan bagi Perawan 
Hutan. Luka di hatinya tak akan sembuh 
jika membiarkan Arya Semirang tetap hidup 
jika nanti berhadapan dengannya lagi.
Sekalipun hati terluka, namun Perawan

Hutan tak mau kehilangan semangat 
hidupnya. la tak ingin menitikkan air 
mata untuk seorang kekasih yang berjiwa 
pengkhianat. Ia tetap ingin tegar dan 
lebih bersemangat lagi meraih tujuannya, 
agar suatu saat nanti dapat unjuk gigi di 
depan sang pengkhianat cinta itu.
"Aku tak ingin diperbudak oleh cinta
Aku bukan seorang gadis yang cacat dan 
tak berilmu!" tegasnya dalam hati. 
"Seribu lelaki yang lebih dari Arya 
Semirang bisa kudapatkan dalam waktu 
singkat dengan cara mengobral kecantikan 
dan kemolekan tubuhku. Tapi apa artinya 
Jika aku harus hancurkan diri dengan cara 
seperti itu?! Lebih baik aku memburu 
Bunga Pucuk Dara itu, agar aku dapat 
tundukkan semua lelaki di dunia, dan 
menjadikan Arya Semirang menjadi alas 
kakiku!"
Dari sikap berdirinya, Anggiri tampak 
tak tetap tegar dan tak tergoyahkan oleh 
kehancuran cintanya. Matanya yang 
memandang penuh pancaran dendam telah 
membuat wajah cantiknya kelihatan galak, 
angkuh dan tak punya rasa takut kepada 
siapa pun. Tak ada lagi senyum yang perlu 
dipamerkan olehnya, karena ia tak ingin 
dinilai sebagai gadis ganjen dan mudah 
ditaklukkan oleh lelaki.
"Akulah yang akan hadir sebagai sang 
penakluk jika Bunga Pucuk Dara telah

kudapatkan!" ujarnya di dalam hati dengan 
penuh semangat, seakan sudah merupakan 
tekad yang tak bisa diguncang oleh siapa 
pun.
"Aku harus temui guru lebih dulu 
untuk minta petunjuk ke Gua Mulut Naga."
Perawan Hutan segera bergegas 
meninggalkan pantai. Tetapi baru saja 
badannya berbalik dan ingin melangkah, 
tiba-tiba gerakannya terhenti begitu 
matanya berbenturan dengan sorot 
pandangan mata seorang pemuda yang duduk 
di atas batu setinggi perut. Rupanya 
pemuda berbaju tanpa lengan warna putih 
dan bercelana putih pula itu sudah sejak 
tadi duduk di batu itu. Tapi karena tadi 
posisinya dipunggungi Perawan Hutan, maka 
gadis itu tak mengetahui bahwa dirinya
sudah agak lama diperhatikan oleh pemuda 
berambut panjang lurus sepundak itu.
Perawan Hutan merasa asing dengan 
pemuda tampan berjarak enam langkah 
darinya itu. Ketampanannya tak pernah 
dijumpai di rimba persilatan. Ketampanan 
itu seperti kekuatan gaib yang mampu 
menghadirkan kesejukan di hati. Bahkan 
sorot pandangan mata si pemuda bagai 
memancarkan keteduhan yang meresap di 
hati.
"Ah, persetan dengannya!" geram hati 
Perawan Hutan. Kemudian ia paksakan diri 
untuk tetap melangkah tinggalkan pantai

berlangit merah.
Perawan Hutan tak tahu bahwa pemuda 
yang duduk di batu dan memandang dengan 
senyum nakal itu adalah salah satu dari 
sepasang anak kembar yang dibesarkan dl 
pucuk Gunung Merana. Pemuda itu adalah 
Soka Pura, adik kembar dari Raka Pura 
yang cenderung tak senakal adiknya. Kala 
itu Soka memang tidak bersama kakaknya. 
Sang kakak sedang sempatkan diri singgah 
di sebuah pondok milik seorang tokoh tua 
yang mengenal ayah angkat mereka si 
Pawang Badai.
Soka tak begitu tertarik dengan 
wajahnya si tokoh tua yang bernama Ki 
Marunda. Suara debur ombak yang terdengar 
samar-samar dari pondok Ki Marunda 
membuat Soka tertarik untuk menikmati 
pemandangan senja di tepi pantai 
tersebut.
Namun begitu la tiba di pantai itu, 
ia melihat seorang gadis berdiri tegak 
dengan kedua kaki sedikit merenggang dan 
kedua tangan bersidekap di dada. Soka tak 
berani menegurnya, karena ia tahu gadis 
itu sedang menikmati renungannya. Rasa 
penasaran untuk melihat raut wajah si 
gadis membuat Soka duduk di batu itu 
secara diam-diam. Secara tak langsung ia 
menghadang si gadis hanya untuk melihat 
adakah kecantikan di wajah gadis 
berperawakan bongkok itu.

Ketika wajah itu berbalik dan 
terlihat jelas, Soka nyaris tersentak 
kaget, karena wajah Itu mempunyai
kecantikan yang amat memukau. la tak 
menyangka kalau gadis itu akan mempunyai 
kecantikan setinggi itu.
"Kukira kecantikannya biasa-biasa 
saja, tak tahunya lebih dari biasanya," 
ujar Soka dalam hati. "Tapi kelihatannya 
dia gadis yang galak dan angkuh. Jika 
kudekati dan kucoba mengenalnya, bisa-
bisa yang kudapat hanya tamparan belaka! 
Ah, ngeri. Biar saja dia pergi!"
Ketika Soka Pura tiba di tempat itu, 
Arya Semirang sudah pergi meninggalkan 
Perawan Hutan sendirian. Karenanya, Soka 
tak tahu bahwa gadis itu sedang 
membendung dendam dan duka akibat 
pengkhianatan cintanya, sehingga wajah 
itu menjadi cantik-cantik galak dan 
sangar.
Gadis Itu menyusuri pantai, semakin 
lama semakin menjauh dari tempat Soka 
duduk. Tapi anak muda berusia tujuh belas 
tahun itu masih tetap memandanginya bagai
terpaku oleh kekaguman.
Perawan Hutan benar-benar tak 
pedulikan si wajah tampan berpakaian
putih Itu. Pikirannya tertuju kepada sang 
guru yang akan dimintai keterangan 
tentang Gua Mulut Naga. Kabar tentang 
tumbuhnya Bunga Pucuk Dara setiap delapan

tahun sekali itu telah membuat Perawan 
Hutan bernafsu untuk memilikinya. 
Terlebih setelah ia merasa disakiti oleh 
Arya Semirang, ia berharap sekali untuk 
memiliki bunga tersebut, karena bunga Itu 
mempunyai kekuatan menundukkan semua 
lawan jenisnya.
"Aku harus berhasil! Harus bisa 
mendapatkan bunga itu! Kalau guru tak 
izinkan aku ke Gua Mulut Naga, aku akan 
nekat dan tak peduli lagi murka guru 
nanti!"
Ucapan batin yang bertujuan 
membulatkan tekadnya Itu terpaksa 
dihentikan karena tiba-tiba sekeping 
logam melesat ke arahnya. 
Ziingg...!
Sekeping logam itu melesat dari arah 
samping kirinya. Ekor mata si Perawan 
Hutan yang menangkap gerakan benda 
terbang itu telah membuat kakinya
menyentak secara refleks hingga tubuhnya 
melambung ke atas. 
Wuuutt...! 
Traakk, trrakk...!
Senjata rahasia yang sebenarnya 
berbentuk bintang segi enam itu tak 
berhasil kenai tubuh Perawan Hutan. 
Karena gadis itu menghindar dengan 
gerakan lincah dan cepat, maka senjata 
rahasia itu menghantam sebongkah karang 
yang mencuat di perairan pantai. Pucuk

karang Itu terpotong oleh senjata 
tersebut, bahkan sisi pinggir batu karang 
di seberangnya juga Ikut terpotong oleh 
terjangan senjata tersebut. Dapat 
dibayangkan betapa tajamnya logam 
berbentuk bintang Itu hingga bisa 
memotong batu karang walau hanya sepotong 
kecil. Jika senjata itu tak dialiri 
tenaga dalam dan tentunya mengandung 
racun tertentu, tak mungkin batu karang 
Itu bisa terpotong sebagian.
Perawan Hutan hanya memandang sekejap 
larinya senjata rahasia itu, kemudian ia 
segera memandang ke arah semak-semak 
hutan tepi pantai. la yakin senjata Itu 
datang dari seseorang yang bersembunyi di 
semak-semak tersebut. Maka si Perawan 
Hutan segera kirimkan pukulan jarak 
jauhnya yang dapat menghancurkan tubuh 
manusia.
Dengan berang tangannya disentakkan 
ke depan dalam keadaan telapak tangan 
terbuka. Dari telapak tangan itu melesat 
sinar hijau lurus sebesar jarl telunjuk. 
Slaap...! 
Duaarrr...!
Sebatang pohon tak terlalu besar 
segera tumbang karena terhantam sinar 
hijau tersebut. Dari semak-semak yang 
rusak karena hancur Itu tampak sekelebat 
bayangan melesat keluar dan melayang di
udara dengan gerakan bersalto dua kali.

Kejap berikut, Perawan Hutan segera 
kenali sosok bayangan yang kini hinggap
di atas sebongkah batu setinggi pundak 
orang dewasa itu. 
Jeegg...!
Ternyata bayangan yang menghindari 
sinar hijau tadi adalah seorang lelaki 
berperawakan tinggi besar dengan rambut 
ikal sepundak yang meriap tak beraturan. 
Lelaki berpakaian serba hitam itu 
mempunyai wajah yang cukup angker, karena 
kumis brewoknya tumbuh dengan lebat, 
nyaris menutupi mulut. Alisnya lebat dan 
lebar, sehingga kedua matanya yang lebar 
Itu kelihatan kecil namun punya ketajaman 
yang menyeramkan dalam memandang.
Perawan Hutan bersikap tenang dan 
waspada. la tak merasa gentar sedikit pun 
berhadapan dengan lelaki berwajah 
beringas dan bersenjata golok besar di 
pinggangnya itu. Dengan suara lantang si 
Perawan Hutan menyapa tanpa keramahan.
"Apa maksudmu menyerangku, Iblis 
Bongsor?!"
Kaki kanannya ke belakang dan 
mengambil posisi berdiri menyamping. 
Mereka beradu pandangan mata sesaat.
Sementara itu .di kejauhan sana, Soka 
Pura sempat terkejut mendengar suara 
ledakan tadi. la menjadi tegang dan 
segera bangkit dari duduknya begitu 
melihat si gadis berompi merah dihadang

lelaki berperawakan tinggi besar.
"Oh, ada yang mengganggunya?! 
Dapatkah dia menghadapi gangguan Itu?! 
Ah, sebaiknya aku tak perlu Ikut campur. 
Kulihat saja seberapa kemampuannya 
menghadapi orang bertubuh besar itu!" 
Soka bicara sendiri dengan pelan, lalu 
melangkah seenaknya mengambil tempat 
lebih dekat lagi kedua orang tersebut.
Dari tempatnya berdiri bersandar batu 
tinggi, Soka Pura mendengar suara Iblis 
Bongsor membentak gadis itu.
"Jangan berlagak bodoh kau, Perawan 
Hutan! Kematian istriku di tangan Arya 
Semirang patut ditebus dengan nyawamu!"
"Hei, jangan melibatkan diriku dalam 
kematian Nyai Baruni, istrimu, tidak ada 
sangkut pautnya dengan pribadiku. Kau 
jangan cari-cari perkara denganku, Iblis 
Bongsor!"
"Arya Semirang adalah kekasihmu! Dia 
harus merasakan bagaimana menderitanya 
kehilangan orang yang dikasihi!"
"Aku sudah tidak ada hubungan apa-apa 
dengan Arya Semirang! Jika kau Ingin 
menuntut balas kematian istrimu, 
tuntutlah dia dan bunuhlah sesuai dengan 
seleramu! Tapi jangan sekali-kali kau 
coba menyentuhku jika tak ingin 
kehilangan nyawamu sendiri
Soka Pura membatin, "Gila Gadis Itu 
berani sekali bicara begitu?! Mungkin

karena namanya Perawan Hutan, maka 
keberaniannya seperti perawan di tengah 
hutan."
Perawan Hutan memang tak punya rasa 
takut sedikit pun dalam menghadapi Iblis 
Bongsor. Lawannya sengaja dibuat lebih 
marah lagi dengan sikapnya yang ketus dan 
sinis itu. Menurutnya kemarahan seseorang
yang meluap-luap dapat dimanfaatkan untuk 
melumpuhkan orang itu sendiri.
Maka ketika Iblis Bongsor berkata, 
"Jika begitu, tentukan saja siapa yang 
akan kehilangan nyawanya hari ini! Kau 
atau aku?!"
Perawan Hutan menjawab dengan 
seenaknya, "Sebaiknya kau saja!"
"Bangsat! Makin lama makin memuakkan 
caramu bicara di depanku. Mulutmu harus 
diremukkan sekarang juga, Perawan Hutan! 
Heeah...!"
Iblis Bongor mencabut goloknya sambil 
menerjang Perawan Hutan dalam satu 
lompatan cepat. 
Wuuuss...! 
Beett...!
Tebasan golok besar itu nyaris kenal 
pundak Perawan Hutan Jika gadis itu hanya 
memiringkan badannya. Tapi karena si 
gadis lakukan lompatan ke samping, maka 
tebasan golok Itu mengenai tempat kosong. 
Pada saat Perawan Hutan lakukan lompatan, 
tiba-tiba kakinya berkelebat menendang ke

arah samping secara tak diduga-duga. 
Wuuttt...! 
Plook...!
Tubuh besar si Iblis Bongsor 
terlempar keras, seperti segumpal kapas 
dihembus angin kencang. Tendangan gadis 
itu pasti bertenaga dalam cukup besar, 
sehingga mampu membuat iblis Bongsor 
terpental sebegitu jauhnya.
"Edan!" gumam Soka dalam hati. "Orang 
sebesar itu bisa terpental sejauh sekitar 
lima belas langkah? Tenaga dalam seperti 
apa yang dipakai gadis itu hingga dapat 
melemparkan tubuh lawan sebegitu 
jauhnya?!"
Iblis Bongsor memang terlempar sejauh 
lima belas langkah. Itu merupakan jarak 
yang cukup jauh dari sebuah tendangan. 
Tubuh besar itu terbanting begitu saja, 
seakan benda tak bernyawa. Golok lebarnya 
nyaris merobek pinggang sendiri kalau tak 
segera dilepaskan dari genggamannya. 
Sementara lawannya jatuh, Perawan Hutan 
berdiri tegak dengan kedua kaki sedikit 
merenggang dan tampak menunggu balasan 
dari lawannya.
Iblis Bongsor berteriak, "Bangsat 
busuk kau, Perawan Hutan! Kurebus tubuhmu
dan kusiramkan di kuburan istriku dalam 
waktu sekejap lagi! Heaaah...!"
Kedua tangan yang tak pegangi golok 
lagi itu kini menyentak ke atas dalam

keadaan diangkat di atas kepala dan 
membentuk cakar yang kokoh. 
Wuuutt...! 
Zraaabs...!
Dari kedua tangan yang membentuk 
cakar kokoh itu keluar puluhan keping 
logam putih mengkilap yang menyerang 
Perawan Hutan secara menyebar. Si Perawan 
Hutan segera lepaskan pukulan bersinar 
dari telapak tangan kanannya. 
Wut....!!
Clap...!!
Seberkas sinar hijau tua menyebar 
keluar dari telapak tangan gadis itu. 
Claaap...!
Sinar hijau membentang lebar dan 
menghadang kepingan-kepingan logam 
berbentuk bintang itu.
Blaaarrr...!
Terdengar bunyi ledakan yang 
menggelegar akibat puluhan lempengan 
logam itu menghantam sinar hijau lebar
tadi. Akibatnya, Perawan Hutan sendiri 
terpental ke belakang dan jatuh 
telentang, sedangkan Iblis Bongsor juga 
terlempar oleh gelombang sentakan daya
ledak tadi. Tubuh besarnya terbanting 
kembali untuk yang kedua kalinya.
"Aaahk...!" Iblis Bongsor sempat 
mengerang dikejauhan sana, jaraknya yang 
semakin jauh dari Perawan Hutan 
sebenarnya memberikan peluang bagi si

Perawan Hutan untuk melarikan diri. Tapi 
agaknya gadis itu tak sepengecut itu. la 
segera bangkit dan menghampiri lawannya 
dengan langkah cepat.
"Biadab kau, Perempuan jalang! 
Heeah...!"
Iblis Bongsor sentakkan tangan 
kanannya dalam keadaan telapak tangan 
terbuka. Dari tengah telapak tangan itu 
melesat sinar merah sebesar tongkat 
gembala. 
Slaap...!
Perawan Hutan pun segera hentikan 
langkah dan rendahkan kaki. Tangan 
kirinya menyentak ke depan dan dari 
telapak tangannya keluar sinar hijau lagi 
dalam ukuran sama lebar dengan sinarnya 
Iblis Bongsor. Sinar hijau dan sinar 
merah tak terputus dari telapak tangan 
masing-masing. Kedua sinar itu pun segera 
beradu dipertengahan jarak.
Blaaabb...!
Cahaya jingga membias sekejap 
mengelilingi pertemuannya kedua sinar 
yang sama-sama belum padam Itu. Iblis 
Bongsor gemetar menahan desakan sinar 
hijaunya Perawan Hutan. Sementara si 
Perawan Hutan juga tampak bergetar karena 
kerahkan tenaga dalamnya untuk kalahkan 
kekuatan sinar merah lawan. Mereka saling
mengeraskan urat, mengerahkan tenaga dan
saling memusatkan perhatian pada jurus

yang mereka adu saat itu. 
"Hhhggerrh...!"
"laaahhk...!" Perawan Hutan masih 
bertahan dan tak mau lepaskan sinar 
hijaunya atau menghindar sedikit pun.
Tubuh mereka yang sama-sama bergetar 
dan berkeringat itu membuat ketenangan 
tersendiri di hati Soka Pura. Rasa ingin 
membantu dipihak Perawan Hutan membuatnya 
telah mengangkat tangan, namun niat 
tersebut segera dibatalkan mengingat 
urusan mereka bukan urusan pribadinya. 
Maka murid si Dewa Kencan itu hanya 
berpindah tempat lebih dekat lagi agar 
dapat melihat ekspresi si gadis yang 
cantik dan berpeluh segar itu.
Bruusk...! 
Tubuh Iblis Bongsor tiba-tiba 
terdorong mundur. Kakinya terbenam ke 
tanah sampai sebatas betis. Namun ia 
masih berusaha menahan desakan sinar 
hijaunya Perawan Hutan yang terasa makin 
lama semakin berat itu.
Bruuusk...! 
Bahkan sekarang si Iblis Bongsor 
terdorong mundur lagi dalam keadaan kedua 
kaki terbenam sebatas lutut, sementara 
tanah yang tadi dipijaknya menjadi 
gundukan kecil di belakang Iblis Bongsor. 
Tanah itu menggunduk akibat kedua kaki 
Iblis Bongsor terdorong ke belakang tanpa 
melalui geseran sedikit pun.

Tetapi telapak kaki Perawan Hutan 
mulai berasap. Tanah yang dipijak 
bagaikan terbakar oleh suatu kekuatan 
yang cukup panas. Asap yang mengepul dari 
kaki tersebut makin lama semakin banyak, 
namun Perawan Hutan tetap tak mau 
hentikan desakan sinar hijaunya.
Brruuussk...!
"Aaahk..." Iblis Bongsor terdorong 
lagi. Kali ini tubuhnya terkubur ke dalam 
tanah sebatas pinggulnya.
"Gila! Mereka sama-sama kuat?!" gumam 
Soka dalam hati yang berdebar-debar 
tegang.
"Uuhk...!" Perawan Hutan tersentak 
dan mulutnya keluarkan darah walau hanya 
sedikit. Tapi keadaan tubuhnya tetap 
seperti tadi dengan sinar hijau yang 
masih bertahan mendesak sinar merahnya 
lawan.
Melihat keadaan Perawan Hutan mulai 
keluarkan darah, kecemasan hati Soka Pura 
tak bisa disembunyikan lagi. Maka dengan 
satu gerakan tangan menyentak cepat ke 
arah depan, Soka Pura keluarkan 'Cakar 
Matahari' berupa sinar putih berbentuk 
pisau runcing yang melesat dari tangannya 
yang membentuk cakar itu. 
Slaaaps...! 
Sinar putih itu memotong pertemuan 
sinar hijau dan sinar merah itu. 
Blegaaarr...!

Dentuman dahsyat terjadi, suaranya 
menggelegar seolah-olah sampai 
menggetarkan langit senja. Tanah pantai 
terguncang bagal dilanda gempa kecil. Air 
laut bergolak, ombak mengamuk dalam satu 
golakan. Beberapa pohon hutan ada yang 
rubuh akibat getaran gelombang ledak
tadi. Batu-batu karang pun ada yang 
pecan, ada yang tetap cuek dengan ledakan 
tersebut.
Iblis Bongsor terlempar keluar dari 
tanah dan melayang-layang tanpa 
keseimbangan badan, lalu jatuh dalam 
keadaan tengkurap. 
Buuuehk...!
"Heeahk...?!" suara pekik tertahan 
terdengar dari mulut Iblis Bongsor. 
Ketika ia mencoba bangkit, ternyata 
mulutnya semburkan darah segar berkali-
kali.
Perawan Hutan sendiri terpelanting ke 
belakang dan membentur batu tinggi. 
Buuuhk, brruuk...! la jatuh bersimpuh 
dalam keadaan memuntahkan darah segar, 
namun tak sebanyak Iblis Bongsor. 
Napasnya terengah-engah, wajahnya pucat 
pasi. Sekujur tubuhnya bagai tak 
bertulang lagi.
"Aduh, celaka! Kenapa malah bikin si
gadis terluka parah begitu?!" Soka Pura 
tampak cemas sekali dan salah tingkah. la
mau dekati gadis itu, takut dihantam

Iblis Bongsor, mau diam di tempat, takut 
gadis itu mati. Soka Pura hanya bisa 
clingak-clinguk dan garuk-garuk kepala.
Sementara itu, Iblis Bongsor merasa 
telah kehilangan tenaga cukup banyak. 
Seluruh tenaganya nyaris terkuras. la 
sadar akan luka dalam tubuhnya. Maka 
pertimbangan otaknya memutuskan untuk 
tinggalkan tempat itu sebelum mendapat 
serangan dari lawannya lagi.
"Bangsat tengik! Ada yang ikut campur 
dalam perkara ini. Oooh...! Sebaiknya aku 
cepat-cepat pergi sebelum kematianku 
tiba!" ujar si Iblis Bongsor.
Wess, wuut...! 
Golok besarnya sempat disambar dan 
Iblis Bongsor pun menghilang ke dalam 
hutan tepi pantai. Saat itulah Soka Pura 
baru berani mendekati Perawan Hutan yang 
terbatuk-batuk dalam keadaan masih 
bersimpuh dan tertunduk.
Setibanya di depan Perawan Hutan, 
pemuda tampan bersabuk kain merah itu 
menjadi tambah salah tingkah. Wajah 
cantik itu mendongak sedikit, matanya 
memandang tajam dan menggetarkan jantung. 
Wajah cantik itu seakan menggeram dan 
ingin melepaskan murkanya.
"Hmm, eeh... aku... aku... maksudku, 
aku...," Soka Pura menggeragap karena 
merasa bersalah, menganggap jurus 'Cakar 
Matahari'-nya tadi adalah penyebab

terlukanya si gadis.
Soka semakin panik lagi melihat mata 
gadis itu makin lama semakin sayu, 
wajahnya kian seperti mayat, dan akhirnya 
gadis itu terkulai lemas dengan mulut 
ternganga dan napas menyentak-nyentak.
"Aduh, celaka! Tubuhnya menyentak-
nyentak karena luka dalam atau karena
sakit ayan?!" pikir Soka sambil clingak-
clinguk lagi.
* * *
DUA


JURUS 'Sambung Nyawa' yang dimiliki 
oleh si kembar Raka dan Soka, kali ini 
berhasil pulihkan kekuatan seorang gadis 
lagi. Luka yang diderita gadis itu lenyap 
dalam beberapa kejap setelah tangan kiri 
Soka Pura ditempelkan ke dada Perawan 
Hutan. Tangan itu memancarkan cahaya 
ungu, lalu cahaya itu membias menjadi ke 
tubuh Perawan Hutan. Setelah cahaya ungu 
itu padam dari tubuh Perawan Hutan, gadis 
cantik itu pun merasakan tubuhnya segar 
dan sehat kembali. Tak ada rasa sakit 
atau gangguan apa pun dalam jaringan 
tubuhnya.
Gadis itu menatap dengan pandangan

dingin. Tak ada senyum, tak ada suara, 
tak ada pula keramahan. Datar sekali. 
Tapi kecantikannya semakin memancarkan 
daya pikat yang bikin lelaki penasaran.
"Maaf kalau aku tadi ikut campur 
dalam pertarunganmu dengan orang yang kau 
sebut Iblis Bongsor itu," ujar Soka 
mengawali bicara agar terjalin percakapan 
lebih panjang dan lebih akrab lagi. 
Tetapi nyatanya gadis itu tetap membisu. 
la hanya bangkit berdiri, merapikan 
rompinya yang tersingkap ke atas, 
merapikan pedangnya yang mengganggu 
langkah dan merapikan rambut pendeknya 
yang sempat acak-acakan tadi.
Soka Pura cengar-cengir menunjukkan 
keramahannya. Bahkan tanpa diminta ia
berani memperkenalkan diri kepada gadis 
itu dengan harapan si gadis akan 
memperkenalkan dirinya pula.
"Namaku Soka Pura, dari Gunung 
Merana! Hmm, eeh... tadi aku kebetulan 
saja ingin melihat suasana pantai di 
senja hari seperti ini. Lalu, kulihat kau 
pergi dari pantai, dan tahu-tahu kulihat 
lagi kau sudah berhadapan dengan Iblis 
Bongsor."
Perawan Hutan memandang dalam 
bungkam, datar, tajam, dan dingin. 
Pandangan matanya itu membuat Soka
semakin salah tingkah dalam senyumnya. 
Tapi tatapan mata Soka sendiri sering

melirik ke tempat-tempat yang rawan oleh 
sentuhan lelaki. Khayalannya pun 
melayang-layang, membuatnya tampak 
semakin gelisah dan penasaran.
"Tadi kulihat jurus-jurusmu sungguh 
dahsyat. Sekali tendang, orang sebesar 
itu bisa terlempar sebegitu jauhnya. Hmm, 
eeh... aku kagum pada kehebatan jurusmu 
itu. Boleh kutahu, kau belajar jurus itu 
dari siapa?"
Perawan Hutan tak menjawab. Bibirnya 
tetap terkatup rapat. Tapi matanya tetap 
pandangi Soka tanpa berkedip, mirip mayat 
hidup. Soka jadi merinding sendiri. Untuk 
menutupi kegugupannya, ia berlagak batuk-
batuk kecil dan mengalihkan pandangan ke 
arah ombak-ombak lautan yang bergulung-
gulung di kejauhan sana.
"Semakin senja, semakin cantik 
bentangan samudera Ini, ya?" ujarnya 
tanpa memandang ke arah si gadis. Sok 
cuek.
"Lihatlah gulungan ombak memutih itu, 
mirip lukisan alam yang cantik dan 
anggun... seperti seraut wajah yang baru 
dikenal belum lama ini. Biasan cahaya 
merah saga dari langit, memantul di 
permukaan air laut sehingga mirip sapuan 
warna kemesraan. He, he, he, he... 
mungkin juga di sana memang ada kemesraan 
tersendiri yang belum pernah ditemukan 
oleh siapa pun. Barangkali kau ingin

menemukan kemesraan itu dan...."
Kata-katanya terhenti begitu 
berpaling menatap si gadis. Soka Pura 
terperangah bengong dengan rasa kaget 
yang membuat hatinya menjadi jengkel 
sendiri.
"Konyol!" gerutunya dalam geram, 
karena gadis itu ternyata sudah tidak ada 
di tempatnya semula. la telah pergi tanpa 
timbulkan suara apa pun.
"Apa dia sangka aku ini orang gila, 
bicara sendiri, tertawa sendiri, cengar-
cengir sendiri, aah... Benar-benar konyol 
kau, Perawan Hutan!" sambil mata Soka 
memandang ke sana-sini mencari 
kemungkinan si gadis sedang bersembunyi 
di balik semak-semak.
"Perawan Hutan! Hai, judes...! Dimana 
kau?! seru Soka tanpa basa-basi lagi. la 
mencari sekeliling tempat Itu. Tapi si
cantik berompi merah dan bercelana pendek 
sekali itu benar-benar menghilang dari
tempat itu.
"Hilang secara gaib atau melesat 
pergi dengan menggunakan jurus peringan 
tubuh yang sangat tinggi?! Hmmm... 
jangan-jangan dia disedot setan tanah?!" 
Soka Pura pandangi tanah sekelilingnya, 
walau ia tahu hal itu tak mungkin 
terjadi.
"Persetan dengan dia! Pulang saja ke 
rumah Ki Mandura! Untuk apa aku

mencarinya terus di sini?! Siapa tahu dia 
bukan manusia, melainkan arwah yang 
penasaran! Hiihh...!" Soka Pura bergidik 
sendiri, mengingat senja makin menua dan 
petang mulai datang.
Perjalanan si kembar Raka dan Soka 
menuju Gua Mulut Naga sengaja 
dirahasiakan oleh mereka. Karena ternyata 
bukan hanya mereka yang ingin menuju ke 
sana, melainkan banyak pihak lain yang 
juga ingin ke gua tersebut. Tetapi tak 
banyak orang mengetahui jalan menuju Gua 
Mulut Naga itu.
Mereka mempunyai kepentingan yang 
berbeda dengan si kembar Raka dan Soka. 
Selama mencari tahu jalan menuju Gua 
Mulut Naga, si kembar telah menemukan dua 
orang tokoh rimba persilatan tingkat atas 
yang berusaha mencari keterangan tentang 
jalan ke gua tersebut. Diantaranya adalah 
Peri Kenanga dan Hantu Muka Tembok, (Baca 
serial Pendekar Kembar dalam episode: 
"Kencan Dl Ujung Maut"). Kini ada satu 
lagi tokoh yang agaknya punya Ilmu tak 
bisa diremehkan yang ingin menuju ke Gua 
Mulut Naga, yaitu si Perawan Hutan.
Tujuan mereka sama dengan tujuan 
Perawan Hutan. Sekuntum bunga yang tumbuh 
dan mekar delapan tahun sekali kini 
menjadi incaran mereka. Bunga Pucuk Dara 
itu tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga. 
Namun gua itu sendiri sukar ditemukan.

Sedangkan si kembar Raka dan Soka 
datang ke Gua Mulut Naga bukan untuk 
mencari Bunga Pucuk Dara, melainkan 
diutus oleh mendiang gurunya, si Dewa 
Kencan, untuk mengambil sepasang pusaka 
di dalam gua tersebut. Pusaka itu adalah 
Pedang Tangan Malaikat yang semula adalah 
milik ayah dan pamannya si Dewa Kencan.
Bagi orang lain, mungkin menemukan 
jalan menuju Gua Mulut Naga adalah 
pekerjaan yang sulit sekali, karena 
selama ini arah tempat tersebut hanya 
bisa diduga-duga saja. Munculnya banyak 
dugaan membuat keadaan menjadi semakin 
simpang siur, Tetapi si kembar Raka dan 
Soka tak merasa bingung lagi. Mereka tahu 
persis ke mana arah yang harus dituju 
untuk mencapai Gua Mulut Naga, karena 
peta wasiat pemberian Nini Sawandupa yang 
mencatat jalan menuju gua tersebut sudah 
ada di tangan si kembar Raka dan Soka. 
Berdasarkan peta itulah mereka dipandu 
untuk mencapai sasaran yang dimaksud. 
Peta itu sekarang berada di tangan Raka 
Pura, sebagai kakak dari Soka Pura.
Perjalanan itu ternyata tidak cukup 
ditempuh dalam waktu sehari semalam saja. 
Belum lagi ada beberapa keterangan dalam 
peta tersebut yang tidak mudah dipahami 
oleh si kembar Raka dan Soka.
Karenanya, ketika mereka bertemu 
dengan tokoh tua bernama Ki Mandura, dan

ternyata Ki Mandura adalah sahabat lama 
ayah angkat mereka si Pawang Badai, maka 
mereka pun sempatkan diri untuk bermalam 
di rumah Ki Mandura yang kurus dan gemar 
mengenakan jubah abu-abu.
Rupanya Ki Mandura sendiri masih 
menyimpan perkara lama yang belum 
diselesaikan. Ketika Raka Pura sedang 
asyik membicarakan tentang beberapa tanda 
yang tertera di peta dan menjadi patokan 
langkah mereka itu, tiba-tiba mata Raka 
Pura menangkap kilatan cahaya merah kecil 
yang ingin menerjang Ki Mandura.
"Ki, awaaas...!" pekik Raka kepada 
lelaki tua berjenggot putih itu. Melihat 
mata anak muda didepannya terbelalak, Ki 
Mandura segera tanggap datangnya bahaya 
dari arah belakangnya. Serta merta 
tubuhnya yang kurus melesat berpindah 
tempat tanpa terlihat gerakannya. 
Zaap...! 
Cahaya merah kecil itu kini mengarah 
ke dada Raka Pura, sebab tubuh Ki Mandura 
menyingkir dari depannya.
Mau tak mau Raka Pura segera 
sentakkan tangan kanannya dalam keadaan 
membentuk cakar tengkurap. Lalu dari 
tangan itu keluar sinar putih seperti 
pisau runcing. 
Claap...! 
Jurus 'Cakar Matahari' melesat dan 
bertabrakan dengan sinar merah kecil Itu.

Blaaarr...!
Raka Pura terlempar ke belakang, 
bahkan terbanting keras dalam keadaan 
terkapar. Rupanya sinar merah kecil itu 
bertenaga dalam cukup besar, sehingga 
gelombang ledakannya saat dihantam jurus 
'Cakar Matahari' menyentak sangat kuat 
dan menerbangkan tubuh Raka Pura.
Buuhk...!
"Auuuh...!" Raka Pura mengerang kecil 
sambil menyeringai. Tulang punggungnya 
seakan dihantamkan ke tanah hingga patah.
Zaap, zaap...! 
Ki Mandura berkelebat menuju ke arah 
datangnya sinar merah tadi. Ia ingin 
memburu penyerang gelap yang bermaksud 
curang itu. Tetapi beberapa saat kemudian 
si tua bermata kecil itu telah kembali 
menemui Raka Pura pada saat Raka 
menggeliat bangkit dengan berpegangan 
pada sebatang pohon johar.
"Bagaimana keadaanmu, Nak?"
"Bisa kuatasi, Ki," jawab Raka Pura 
yang memang merasa bisa mengatasi rasa 
sakitnya dengan melakukan pengobatan 
melalui napas sendiri.
"Pasti si keparat Tandu Sangrai yang 
melakukannya!" ujar Ki Mandura sambil 
menahan kegeraman dalam hatinya.
"Siapa itu Tandu Sangrai, Ki?!"
"Perempuan gila yang masih menyangka 
diriku menyimpan Kitab Guntur Bayangan."

Raka Pura kerutkan dahi, hatinya 
tertarik dengan nama kitab pusaka itu.
"Apa isi Kitab Guntur Bayangan itu, 
Ki?"
Sambil melangkah menuju ke dalam 
pondokannya, Ki Mandura yang didampingi 
Raka itu menjawab dengan pelan. 
"Kitab itu berisi jurus guntur tanpa 
suara dan rupa."
"Apakah benar kau memilikinya?"
"Mendiang kakakku yang memilikinya. 
Tapi ketika kakakku tewas, Kitab Guntur 
Bayangan pun lenyap entah ke mana. Aku 
menduga, kitab itu dicuri oleh salah satu 
muridnya Rayap Sewu, kakakku Itu."
"Mengapa tak kau kejar orang itu? 
Maksudku, si pencuri kitab pusaka 
tersebut?!"
"Tak jelas siapa pelaku sebenarnya, 
bagaimana harus mengejarnya?! Pencuri itu 
pasti pandai menghilang seperti si Tandu 
Sangrai tadi menyerang dan pergi tanpa 
bisa dikejar lagi."
"Apakah kau tadi tak menemukan siapa 
pun di tempat datangnya sinar merah 
itu?!"
"Yang kutemukan hanya bau wangi 
cendana. Kukenal wangi cendana itu adalah 
aroma pedang si Tandu Sangrai. Perempuan 
itu.... Uuhkk!"
"Ki Mandura...?!" pekik Raka ketika 
sahabat ayah angkatnya itu tiba-tiba


terbungkuk saat ingin mendekati pintu 
masuk. Kata-katanya terhenti seketika dan 
mulutnya semburkan darah kental hingga 
memercik ke daun pintu.
Tubuh tua yang segera limbung itu 
ditangkap oleh Raka Pura memakai dua 
tangan dari belakang. Seketika itu pula 
Raka Pura terbelalak lebar-lebar karena 
melihat leher depan Ki Mandura telah 
menghitam. Tiga jarum merah menancap di 
leher tersebut, tepat di sela-sela tulang 
kerongkongannya.
Tiga jarum merah itu pasti beracun 
ganas dan sangat mematikan. Terbukti
dalam tiga helaan napas saja Ki Mandura 
sudah tidak bergerak selama-lamanya. 
Tubuhnya dingin bagai bongkahan es batu, 
kulitnya menjadi kebiru-biruan. Raka Pura 
tak sempat lakukan pengobatan karena tak 
menyangka nyawa si tua berjubah abu-abu 
itu akan melayang secepat itu.
"Jahanam!" geram Raka Pura dengan 
berangnya. "Siapa yang melakukannya?! 
Tandu Sangrai itukah pelakunya?! Hmm... 
dari mana dia bisa menyerang Ki Mandura 
sedangkan...."
Brraas...! 
Tiba-tiba Raka Pura dikejutkan oleh 
suara gaduh di atap rumah. la segera 
memandang ke arah sana. Ternyata sesosok 
tubuh terbungkus jubah hijau muda telah 
melesat dari dalam rumah menerobos atap,

bahkan sempat berdiri sebentar untuk 
pandangi Ki Mandura. Begitu hatinya yakin 
bahwa Ki Mandura telah tewas, sosok 
terbungkus jubah hijau muda itu pun 
melesat ke atas pohon seperti seekor 
merpati.
"Keparat! Rupanya dia masuk dari 
pintu belakang dan menghadang di ruang 
tengah itu?!" geram Raka Pura. "Akan 
kukejar dia"
Wuuz, wuuz, wuuz...!
Jurus 'Jalur Badai' yang kecepatannya 
menyerupai hempasan badai tercepat segera 
digunakan oleh Raka Pura untuk mengejar 
si jubah hijau dengan rambut panjang yang 
tersanggul rapi tadi. Perempuan tersebut 
melesat dari pohon kepohon dengan sangat 
cepat. Tetapi kecepatannya itu masih bisa 
tersusul oleh jurus 'Jalur Badai'-nya 
Raka Pura yang juga dimiliki oleh Soka 
Pura. Saat itu, adik kembarnya belum 
pulang dari pantai dan cahaya senja masih 
tersisa. Pada saat Raka mengejar 
perempuan berjubah hijau muda itu, kira-
kira bertepatan dengan Soka Pura sedang 
berusaha mengajak bicara si Perawan 
Hutan.
Gerakan si jubah hijau itu menjauhi 
pantai, sehingga Raka Pura pun tak 
pedulikan keadaan adiknya yang tadi pamit 
ke pantai. Perhatian Raka tertuju pada 
gerakan si jubah hijau yang sepertinya

lebih suka bergerak melintas dari pohon 
kepohon sehingga sukar dikejar. ia tidak 
tahu bahwa pengejarnya sudah berada di 
depan langkah berikutnya. Raka Pura 
sentakkan kaki dan tubuhnya melayang naik 
dengan gerakan tak bersalto. 
Wuuut...! 
Jleeg...!
Si jubah hijau terperanjat kaget 
melihat Raka Pura ada di pohon depan yang 
akan dilaluinya. Maka dengan gerakan 
melayang indah dan cepat, si jubah hijau 
turun ke tanah dan melesat menerabas 
semak bagaikan bayangan angin berwarna 
hijau. 
Weess, weees...!
Wuuz, wuuuz...! 
Raka Pura memotong jalan dan dalam 
waktu sangat singkat sudah berada di
depan langkah perempuan itu lagi. Agaknya 
perempuan itu kesal dengan tingkah si 
pemuda tampan berpakaian serba putih itu, 
sehingga ia pun akhirnya hentikan langkah 
dan mencoba menghadapi kemauan 
penghadangnya.
Perempuan cantik bermata sayu itu 
sengaja sunggingkan senyum sinis sambil 
melangkah ke samping. Raka Pura tak 
membalas senyuman itu karena hatinya 
marah sekali membayangkan kematian Ki 
Mandura setragis itu. Pemuda tanpa 
senjata itu hanya ikuti gerakan perempuan

berjubah hijau dengan sorot pandangan 
mata setajam pedang.
"Apa maumu mengejarku, hah?!" 
perempuan itu mulai bersuara dengan nada 
ketus.
"Kau telah membunuh sahabat ayahku 
tanpa alasan yang pasti"
"Kau tidak tahu bahwa dia seorang 
pencuri kitab pusaka"
"Kitab Guntur Bayangan, maksudmu?!"
Perempuan itu terkesiap sesaat. 
Langkahnya terhenti, tangannya mulai 
memegang gagang pedang. Mata Raka pun 
terarah ke pedang yang sarungnya terbuat 
dari kayu berukir. la mulai sadar bahwa 
sejak tadi ia telah mencium aroma wangi 
cendana. Ingat kata-kata Ki Mandura tadi, 
Raka pun yakin bahwa perempuan itu adalah 
Tandu Sangrai, si pemburu kitab pusaka.
"Rupanya kaulah orang yang dipercaya 
oleh Ki Mandura untuk menyimpan kitab 
itu!"
"Keliru!" tegas Raka singkat.
"Rupanya kau perlu dipaksa dulu, Anak 
muda!" geram perempuan berusia dua puluh
tujuh tahun itu.
Tangan yang pegangi gagang pedang 
berkelebat ke depan. 
Wuut...! 
Gagang pedang tidak tercabut, tapi 
telapak tangan itu semburkan bunga api 
cukup deras.


Joorss...!
Raka Pura sentakkan kaki dan tubuhnya 
melayang di udara berjungkir balik ke 
depan melewati atas kepala Tandu Sangrai. 
Wuk, wuk...!!
Begitu mendarat, kaki kanannya 
menendang kebelakang dengan kuat. 
Duuhk...!
"Heehk...!" Tandu Sangrai tersentak 
kedepan dan terhuyung-huyung menjaga 
keseimbangan tubuhnya. Tapi Raka Pura 
segera memutar tubuh dalam satu lompatan 
dan kaki yang satunya berkelebat bagai 
menyabet kepala Tandu Sangrai. 
Wuuut, plaakk...!
Tendangan kaki yang menyabet itu 
tepat kenai wajah Tandu Sangrai. Pipi 
kanan perempuan itu menjadi merah 
seketika, tubuhnya terbanting ke samping 
dan cepat berguling-guling.
la buru-buru bangkit sambil menahan 
rasa sakit. Dalam keadaan satu kaki 
berlutut, kedua jari tangan kanannya 
mengeras dan dari ujung jari itu 
keluarlah dua jarum merah yang melesat 
dengan cepat. 
Wuuutt...!
Ketajaman mata Raka pada saat itu 
dalam kondisi prima, sehingga gerakan dua 
batang jarum sepanjang kelingking itu 
tampak jelas menuju ke dadanya. Raka Pura 
segera putar tubuhnya dengan cepat

kesamping kanan. Begitu berhenti, 
langsung berlutut satu kaki dan melompat 
ke depan dalam gerakan berguling di 
tanah. 
Wuk, wuk...!
Gerakan bergulingnya yang cepat Itu 
membuat Tandu Sangrai terperanjat, karena 
tahu-tahu pemuda tampan itu sudah ada dl 
depannya dan melepaskan pukulan ke arah 
wajah. 
Wuuutt...!
Taab...! 
Tangan perempuan Itu berkelebat cepat 
menangkap kepalan Raka Pura, sehingga 
pukulan itu tak sampai menyentuh wajah 
cantiknya. Tapi serta merta Tandu Sangrai 
gulingkan badan dan menendang ke wajah
lawan. 
Ploook...!
Tendangan telak itu kenai dagu Raka. 
Pemuda tersebut terpental ke belakang. 
Brruk...!
"Uuuhf...!" 
Raka menyeringai kesakitan sambil 
bergegas bangkit kembali.
Blaaas...! 
Perempuan berjubah hijau itu 
melarikan diri dengan lakukan lompatan ke 
atas pohon. Sebelum tinggalkan pohon itu, 
ia sempat lepaskan kembali dua jarum dari 
ujung kedua jarinya yang dikibaskan bagai 
melempar pisau.

Wuuutt...!
Jeerb...! 
Kedua jarum itu menancap ke tanah, 
karena Raka Pura segera gulingkan badan 
kekiri hingga lolos dari sentuhan jarum 
beracun tinggi itu.
Melihat lawannya lari, Raka Pura yang 
masih penasaran segera lakukan pengejaran 
kembali.
"la harus dibuat lumpuh sebagai 
hukumannya membunuh Ki Mandura!" geram 
hati Raka Pura.
"Rupanya anak muda itu tak bisa 
dianggap enteng! la mampu hindari jarum 
mautku dua kali, berarti ia berilmu 
tinggi. Kalau kupaksakan melawannya, 
mungkin aku bisa celaka sendiri.
Sebaiknya kuberi kelengahannya saja, dan 
kubuat tubuhnya yang gagah itu membusuk 
perlahan-lahan supaya ia mau serahkan 
kitab itu padaku!"
Kecamuk hati si Tandu Sangrai itu 
terhenti mendadak, karena lagi-lagi ia 
dikejutkan oleh munculnya Raka Pura dl 
pohon berikutnya.
"Tanggung!" geram Tandu Sangrai. Maka 
la pun segera mencabut pedangnya. 
Weer...! 
Bau candana semakin kuat. Tandu 
Sangrai menerjang pemuda yang berdiri di 
dahan pohon depannya. 
Wees...!

Pedang siap ditebaskan ke dada Raka 
Pura. Tapi tiba-tiba seberkas sinar hijau 
kecil melesat dari bawah dan mengenai 
pinggang kiri Tandu Sangrai. 
Jubbs...!
"Aaahk...!" Tandu Sangrai memekik, 
tubuhnya melayang tanpa keseimbangan 
badan lagi. Ia jatuh terhempas bagai 
dahan kering patah dari pohonnya. 
Brrruk...! 
Sedangkan Raka Pura segera 
mengejarnya turun dengan hati menyimpan 
rasa heran.
"Siapa yang membantuku dengan 
melepaskan sinar hijau tadi?"
Jleeg...! 
Raka Pura daratkan kakinya dalam 
jarak tiga langkah dari Tandu Sangrai!
Raka Pura ingin lepaskan tendangannya 
lagi. Tapi tiba-tiba sebuah suara 
terdengar menyentak tegas.
"Cukup"
Raka Pura tak jadi lepaskan 
tendangannya. Wajahnya segera berpaling 
ke arah suara dari balik semak-semak 
sebelah kirinya. Dari semak-semak itu 
muncullah seraut wajah cantik berambut 
cepak, mengenakan rompi merah dan celana 
pendek sekali warna merah juga. 
Perawan Hutan memandang Raka sebentar 
dengan tajam. Raka Pura berkerut dahi, 
merasa asing dengan gadis itu. Sementara

si gadis merasa tak asing dengan wajah 
dan penampilan Raka Pura, sebab ia 
menyangka pemuda itu adalah Soka Pura. 
Bahkan ia sempat membatin dalam hatinya.
"Ternyata gerakannya lebih cepat 
dariku. Tahu-tahu ia sudah berada di 
sini. Padahal tadi baru saja kutinggalkan 
dengan jurus Kabut Jantan?!"
Perawan Hutan melangkah dengan tegak, 
menampakkan ketegasannya dalam bersikap 
Raka nyaris terkesima oleh kemunculan 
gadis berompi cekak itu. la buru-buru 
ingat lawannya yang sewaktu-waktu dapat 
melepaskan serangan ke arahnya.
Tapi ketika la berpaling ke arah 
Tandu Sangrai, ternyata perempuan itu 
telah menghilang. Dalam sekejap pandangan 
mata Raka temukan sosok tubuh berjubah 
hijau sedang berlari menyelinap dari 
pohon ke pohon sambil mendekap 
pinggangnya yang agaknya terluka cukup 
berbahaya dan harus segera diobati. Raka 
Pura tak mau melepaskan lawannya. la 
bergegas mengejar Tandu Sangrai.
"Tunggu...!"
Lagi-lagi suara Perawan Hutan menahan 
langkahnya. Raka Pura menjadi jengkel, 
dahinya semakin berkerut, napasnya 
ditarik panjang-panjang, lalu dihembuskan 
dalam satu sentakan keras, menandakan 
hatinya sangat jengkel dengan sikap 
penahanan gadis rompi merah Itu.

"Apa maksudmu menahanku, hah?! Kau 
bersekongkol dengannya?!" suara Raka Pura 
agak membentak keras ketika Perawan Hutan 
berdiri di depannya dalam jarak dua 
langkah. Raka Pura bertolak pinggang dan 
tak menampakkan keramahannya, sedangkan 
Perawan Hutan menatap terus tanpa 
berkedip, sehingga membuat Raka Pura 
akhirnya lepaskan tolak pinggangnya.
"Siapa kau?!" tanya Raka Pura dengan 
ketus.
"Tak perlu kusebutkan kau sudah tahu 
namaku!"
"Aku...."
"Jangan lagi berhadapan dengan Tandu 
Sangrai!" potong Perawan Hutan.
"Mengapa kau...." 
"Dia kakakku!"
"Apa...?"
"Walau kakak tiri, tapi dia satu ayah 
denganku!" 
"Jadi kau juga...."
"Dia tak akan berani mengganggumu 
lagi jika aku ada bersamamu!" 
"Tapi dia...."
"Lupakan masalahmu dengannya," potong 
Perawan Hutan lagi membuat hati Raka 
semakin jengkel.
"Kau belum tahu bahwa...."
"Aku lebih tahu tentang dia!"
"Diam!" hardik Raka. "Bukan hanya kau 
yang bisa bicara. Aku pun bisa bicara dan
punya hak untuk bicara!" ucap Raka dengan 
cepat hingga tak bisa terpotong oleh si 
gadis.
Perawan Hutan pun hembuskan napas 
sebagai tindakan menahan diri untuk tidak 
lakukan pemotongan kata lagi. Tapi 
pandangan matanya masih tetap tajam dan 
mengarah ke wajah Raka Pura yang tampak 
gusar sekali itu.
"Dengar, siapa pun dirimu, aku tak 
peduli lagi!" kata Raka Pura. "Yang 
jelas, dia telah membunuh tuan rumah yang 
sedang kukunjungi. Ki Mandura adalah 
sahabat ayahku. Baru saja beliau tewas. 
Dia yang membunuhnya!"
Perawan Hutan terperanjat, namun 
buru-buru bersikap dingin lagi. Raka 
menjadi curiga melihat kekagetan yang 
buru-buru disembunyikan itu. Maka ia 
segera ajukan tanya dengan tegas.
"Mengapa terkejut?! Kau juga 
mengincar kitab pusaka Itu?!"
Si gadis hanya kerutkan dahi, 
pandangan matanya berubah menjadi seakan 
merasa heran mendengar tuduhan itu.
* * *
TIGA

PADA saat Soka Pura tiba di pondok Ki 
Mandura, ia sangat terkejut menemukan 
mayat Ki Mandura di depan pintu. 
Jantungnya nyaris terhenti seketika itu 
juga. la buru-buru menarik napas panjang-
panjang dan mengendalikan guncangan 
jiwanya.
"Raka...?!" panggil Soka Pura. 
"Rakaaa...! Di mana kau!"
Seruan itu adalah seruan menegangkan. 
Soka Pura sempat panik ketika kakak 
kembarnya tak ditemukan disekitar pondok 
Ki Mandura. Repotnya lagi, kala itu 
petang telah tiba dan kegelapan mulai 
menguasai belahan bumi. Hanya ada cahaya 
redup yang memancar dari bulan sabit yang 
muncul di langit biru.
"Siapa yang menewaskan KI Mandura? 
Apakah kakakku sendiri? Oh, tak mungkin! 
Raka tak mungkin lakukan hal sekeji itu. 
Pasti orang lain! Lalu, bagaimana dengan 
Raka? ikut terbunuh juga?! Oh, setan 
belang! Kenapa harus mengalami hal 
seperti itu?!" Soka Pura terengah-engah 
diburu ketegangan. Dalam keadaan panik 
begitu, Soka pun akhirnya mengikuti 
langkah nalurinya untuk mencari Raka. 
Hati kecilnya yakin, Raka tidak ikut 
terbunuh seperti Ki Mandura. Hanya saja,

di mana Raka saat itu, Soka tak dapat 
menduganya.
Padahal seandainya Soka mau diam di 
tempat, menunggu kemunculan Raka, pasti 
ia tak akan salah arah. Seandainya saat 
itu ia menggali lubang kubur untuk 
memakamkan jenazah Ki Mandura, pasti ia 
akan bertemu dengan Raka, kakaknya.
Karena beberapa saat setelah Soka 
meninggalkan pondok Ki Mandura, Raka 
datang ke tempat itu bersama Perawan
Hutan. Gadis itu ternyata kenal baik 
dengan Ki Mandura, dan nyaris tak percaya 
mendengar Ki Mandura tewas di tangan 
Tandu Sangrai. Tapi setelah ia melihat 
luka di leher jenazah Ki Mandura dan 
melihat tiga jarum di leher korban yang 
belum dicabut Raka itu, barulah ia 
percaya bahwa luka tersebut memang milik 
Tandu Sangrai.
"Tetapi mestinya Ki Mandura dapat 
hindari tiga jarum ini!" kata Perawan 
Hutan. "Aku tak habis pikir melihat 
kenyataan ini, sebab setahuku Ki Mandura 
berilmu lebih tinggi dari Tandu Sangrai. 
Tandu Sangrai punya tiga ilmu unggulan, 
jarum Penjemput Ajal, jurus 'Pedang Bayu' 
dan jurus 'Retak Gegana'. Selebihnya
hanya biasa-biasa saja. Tapi mengapa ia 
bisa menewaskan Ki Mandura?!"
"Serangan itu datangnya sangat tak 
diduga-duga dan sulit dihindari. Ki

Mandura sempat terkejut sekejap. Mungkin 
pada saat itulah Tandu Sangrai lepaskan 
ketiga jarum 'Penjemput Ajal' ini! Siapa 
orangnya yang menyangka bahwa sang musuh 
ada di dalam rumahnya sendiri!"
Perawan Hutan mengusap rambutnya 
sendiri dikebelakangkan. Napasnya 
terbuang lewat hidung.
Wajahnya tampak memendam duka atas 
kematian Ki Mandura.
"Sudah lama mereka bermusuhan," gumam 
Perawan Hutan, seakan bicara pada diri 
sendiri. "Tandu Sangrai tetap menyangka 
Ki Mandura menyimpan Kitab Guntur
Bayangan. Padahal sudah kukatakan 
berulang kali padanya agar jangan 
mengganggu Ki Mandura, karena Ki Mandura 
telah berterus terang padaku bahwa ia 
tidak menyimpan kitab pusaka itu," 
Perawan Hutan mendesah lagi, seakan ingin 
membuang kesedihannya.
Mereka memakamkan jenazah Ki Mandura 
malam itu Juga di belakang rumah 
berdinding kayu itu. Sampai mereka 
selesai memakamkan jenazah tersebut. Soka 
Pura masih belum pulang. Hal itu membuat 
Raka diam-diam sembunyikan kegelisahan 
yang menyiksa jiwa. Sementara si Perawan 
Hutan masih menganggap Raka adalah Soka, 
sebab Raka lupa jelaskan bahwa sang adik 
yang ditunggunya itu berwajah dan 
berperawakan persis dengannya, bahkan

pakaian dan potongan rambutnya pun tak 
ada bedanya dengan dirinya.
Di bawah siraman cahaya pelita yang 
ada di pekarangan depan rumah tersebut, 
Raka Pura duduk menahan keresahan akibat 
berbagai pemikiran. la sengaja duduk di
sebatang kayu pohon yang diberi kaki 
sebagai bangku panjang.
"Jika aku pergi mencarinya, maka ia 
akan pergi mencariku setelah tahu aku tak 
ada di rumah Ini. Akhirnya tak akan ada 
habisnya, aku dan dia akan saling cari-
carian! Hmmm... sebaiknya kutunggu saja 
di sini sampai ia datang. Kalau Soka 
belum kembali, perjalanan ke Gua Mulut 
Naga belum akan kulanjutkan."
Dari dalam rumah muncul seorang gadis 
berperawakan tinggi, sekal dan mempunyai 
gerakan lincah seperti lelaki. Perawan 
Hutan akhirnya tak bisa menahan 
kesendiriannya di dalam rumah Ki Mandura. 
Kini ia ikut duduk di samping kiri Raka 
dengan gaya duduk seperti seorang lelaki 
perkasa.
"Bagaimana jika selama tujuh hari 
adikmu belum pulang Juga?"
"Selama tujuh hari juga aku tetap 
akan menempati rumah ini!" jawab Raka 
menunjukkan kesetiaannya kepada sang adik 
kembar.
"Aku tak bisa ikut menunggu sampai 
sebegitu lama."

"Aku tak memintamu menungguku." 
"Esok pagi aku sudah harus pergi 
tinggalkan tempat Ini."
"Esok pagi...?" Raka sedikit 
terperanjat, namun cepat-cepat bisa 
menetralkan diri.
"Ke mana arah langkahmu esok pagi, 
Perawan Hutan?" tanya Raka, ia mengetahui 
nama gadis itu ketika dalam perjalanan 
menuju rumah KI Mandura.
"Aku akan menemui guruku dulu, baru 
berangkat mencari Gua Mulut Naga!"
Kini pemuda itu yang tampak 
terperanjat mendengar nama Gua Mulut Naga 
disebutkan oleh gadis itu.
"Untuk apa kau ke sana?" desak Raka. 
"Seperti beberapa tokoh lainnya, aku 
pun ingin kuasai lawan jenisku dan 
mendapatkan ilmu 'Tiga Sukma' dengan 
memakan bunga keramat yang dikenai dengan 
nama Bunga Pucuk Dara itu."
"Hanya bunga itukah yang kau cari ke 
dalam Gua Mulut Naga itu nanti?"
"Ya. Kau pikir apa lagi yang bisa 
diperoleh lagi? seseorang yang sudah 
berhasil temukan gua tersebut? Hanya 
bunga dan bunga itu harus dipetik sebelum 
malam purnama tiba. Sebab bunga itu akan 
layu dan mengering setelah satu bulan 
penuh la tumbuh dengan mekar."
"Kalau begitu, sebenarnya kita punya 
tujuan yang sama," kata Raka Pura.

Duduknya tetap berjarak dua jengkal dari 
si Perawan Hutan. Dalam hati Raka merasa 
bersyukur karena ternyata Perawan Hutan 
tidak memburu pusaka juga, seperti yang 
dilakukan Raka dan Soka.
Tetapi si gadis kaget ketika Raka 
katakan bahwa ia pun sedang dalam 
perjalanan menuju Gua Mulut Naga.
"Jadi kau juga menghendaki bunga 
keramat itu?"
"O, bukan! Aku dan adikku pergi ke 
gua itu karena ada urusan pribadi yang 
sulit ku jelaskan."
"Ooo...," Perawan Hutan manggut-
manggut. la mulai tak bersikap bermusuhan 
terhadap Raka yang dianggap sebagai Soka 
Pura itu.
"Apakah kau tahu jalan menuju ke 
sana?" tanya Perawan Hutan setelah 
termenung beberapa saat.
Karena merasa satu arah lain tujuan, 
maka Raka Pura tidak menganggap Perawan 
Hutan sebagai pihak yang perlu dimusuhi. 
Raka merasa tak rugi jika pergi ke Gua 
Mulut Naga bersama dengan gadis bercelana 
sangat pendek itu.
"Tentunya kau lebih tahu jalan ke 
sana daripada aku," pancing Raka.
"Tidak. Aku belum tahu secara pasti 
jalan ke sana. Justru aku Ingin menemui 
guruku dan menanyakannya arah yang pasti. 
Tapi jika kau tahu, kurasa aku tak perlu

menemui guru dulu. Lebih balk kita 
berangkat bersama saja!"
Raka sunggingkan senyum tipis. Cahaya 
pucat si bulan sabit membuat senyum itu 
terlihat indah bagi Perawan Hutan. Hati 
gadis Itu pun berdesir lembut, 
menyenangkan bila diresapi.
"Jadi kau mau numpang perjalananku?"
"Kau keberatan?!" Perawan Hutan ganti 
bertanya.
Senyum Raka kian melebar, hati gadis 
itu semakin berdebar.
"Aku hanya bercanda. Jangan 
tersinggung," kata Raka. "Kau boleh saja 
ikut bersama kami, tapi tak boleh ikut 
campur urusan kami."
"Kurasa aku punya urusan sendiri yang 
belum tentu bisa kuselesaikan dengan 
mudah, mengapa harus ikut campur urusan 
kalian?" tegas Perawan Hutan.
Mata pemuda tampan itu memandang 
dalam keceriaan. "Kau meyakinkan sekali. 
Tegas dan berani. Aku suka punya sahabat 
yang seperti itu!"
Kini senyum Perawan Hutan tersungging 
sinis, menutupi debaran hati yang 
menaburkan bunga-bunga indah kala
mendengar pujian Raka itu. Pandangan mata 
gadis itu sengaja dilempar ke arah lain 
agar tak mudah diketahui perasaannya.
Tapi hati Perawan Hutan saat Itu 
berkata, "Sikapnya berbeda sekali dengan

saat di pantai tadi. Disini ia tak 
menampakkan kenakalannya, cenderung sopan 
namun mengesankan sekali. Kuharap dia 
dapat kujadikan penutup lukaku agar tak 
terbayang wajah Arya Semirang lagi!"
Malam semakin kelam, tapi justru 
bulan sabit semakin terang. Raka Pura dan 
Perawan Hutan semakin hanyut dalam 
percakapan malam yang banyak membicarakan 
tentang para tokoh kondang di rimba 
persilatan. Perawan Hutan ternyata juga 
kenai baik kepada Nini Sawandupa dan 
cucunya Ratih Selayang. Bahkan gadis itu 
juga bermusuhan dengan Peri Kenanga serta 
orang-orang Kuil Darah Perawan itu. Namun 
sejauh itu Perawan Hutan tetap menyangka 
Raka adalah Soka Pura, dan dia tak pernah 
menyebutkan nama Soka atau menyinggung 
pertemuan di pantai, sehingga Raka pun 
menyangka gadis itu mengenal dirinya 
sebagai Raka Pura.
Seandainya Soka malam ini lekas 
kembali ke pondoknya Ki Mandura, pasti 
Perawan Hutan akan tercengang dan bingung 
membedakan mana Soka dan mana Raka. 
Sayangnya, malam itu Soka yang berusaha 
mencari kakaknya telah bertemu dengan 
Tandu Sangrai di sela kerimbunan hutan 
pantai. Tandu Sangrai yang terluka itu 
sempat terhuyung-huyung dan jatuh 
beberapa kali, namun masih tetap berusaha 
lanjutkan pelariannya.

Soka Pura melihat perempuan yang 
terhuyung-huyung itu pada saat ia 
melintasi pantai lagi untuk mencari 
kemungkinan sang kakak berada dl sana.
Begitu ia melihat seorang perempuan 
berjubah hijau dalam keadaan terhuyung-
huyung, ia segera tahu bahwa perempuan 
itu dalam keadaan terluka.
Soka Pura segera hampiri Tandu 
Sangrai dari arah depan. Perempuan Itu 
terperanjat kaget saat melihat Soka sudah 
berdiri di depan langkahnya. la menyangka 
dihadang oleh Raka untuk lanjutkan 
pertarungan tadi. Maka dengan sisa tenaga 
ia bertahan diri sambil mencabut 
pedangnya.
Sreet...! 
Wangi cendana menyebar dan tercium
lembut oleh Soka. Aroma cendana itu 
membuat Soka berkhayal tentang kemesraan 
yang menggairahkan. Terlebih setelah Soka 
memperhatikan perempuan itu selama dua 
helaan napas tanpa bicara, hati kecilnya 
mengakui kecantikan perempuan itu 
ternyata punya daya tarik tersendiri, 
terutama pada matanya yang sayu dan 
bibirnya yang lebar tapi menggemaskan 
itu.
"Majulah kalau kau ingin kehilangan 
nyawa sekarang Juga!" gertak Tandu 
Sangrai sambil acungkan pedang ke arah 
Soka.

Pemuda itu tersenyum dalam ketenangan 
dan keceriaan wajah yang mengherankan 
bagi Tandu Sangrai. Perempuan itu merasa 
aneh melihat perubahan sikap pemuda yang 
disangka sebagai Raka Itu menjadi tak 
seganas tadi. Keramahan yang ada di wajah 
Soka, membuat Tandu Sangrai semakin 
waspada, karena tadi Raka tak punya 
keramahan sedikit pun. Tandu Sangrai tak 
mau terjebak dalam siasat lawan yang 
menggunakan keramahan seperti itu.
"Sarungkan pedangmu, Nyai. Aku tidak 
bermaksud jahat padamu!" tutur Soka 
dengan suara dan nada yang lembut.
"Tinggalkan aku atau pedangku akan 
bertindak sekarang juga!" ancam Tandu 
Sangrai sambil menahan sakit secara diam-
diam.
"Kulihat kau terluka di pinggang yang 
kau dekap itu. Aku ingin menolongmu, 
Nyai. Bukan ingin bermusuhan denganmu."
"Aku tak mudah jatuh dalam jebakan 
busukmu! Cepat tinggalkan aku!" bentak 
Tandu Sangrai. Lalu ia menyeringai dan 
menggigit bibirnya sendiri, karena 
semakin dipakai untuk membentak semakin 
sakit luka hangus yang terasa menyayat-
nyayat sekujur tubuhnya.
"Aku tidak bermaksud menjebakmu, 
Nyai. Aku juga tidak bermain siasat. Kau 
pikir aku perampok yang ingin merampas 
hartamu? Kalau aku mau bertindak jahat

padamu, tentunya saat ini kau sudah 
kuserang, dan kurasa kau juga menyadari 
bahwa keadaanmu yang terluka itu akan 
memudahkan musuhmu untuk membunuhmu. Tapi 
hal itu toh tidak kulakukan!"
Tandu Sangrai membenarkan ucapan itu 
dalam hatinya. "Sangat mudah bagi siapa 
pun yang ingin membunuh dalam keadaan 
seperti sekarang ini. Tapi mengapa ia
seperti telah melupakan pertarungan tadi 
dan ingin bersikap baik padaku?! Apakah 
karena ia sudah diberi tahu oleh si 
Perawan Hutan bahwa aku adalah kakaknya, 
sehingga pemuda ini menjadi sungkan 
bermusuhan denganku karena tak enak 
kepada Perawan Hutan?!"
Soka berdiri dengan santai, tangannya 
bersidekap di dada, wajahnya dihiasi 
senyum tipis yang memantulkan cahaya 
sinar bulan sabit. Sikapnya yang rada-
rada konyol itu membuat hati Tandu 
Sangrai diliputi kebimbangan yang 
meresahkan.
Dalam satu sisi ia membutuhkan 
pertolongan siapa pun yang bisa
meringankan rasa sakit pada lukanya. Di 
sisi lain ia merasa tak ingin tampak 
lemah di depan lawannya. Kebimbangan itu 
ternyata justru membuat rasa sakitnya 
bertambah dan lututnya mulai tak sanggup 
dipakai untuk berdiri. la terhuyung mau 
jatuh, namun lengannya segera bersandar

pada sebatang pohon. HP!
"Kalau kau masih tak percaya dengan
maksudku, baiklah...!" Soka melangkah 
mundur dan mengangkat tangan 
kanannya.".... Selamat tinggal, selamat 
menderita, dan... jangan lupa kirim kabar 
jika kau sudah berada di neraka nanti!"
Soka pun melangkah tinggalkan Tandu 
Sangrai. Tapi tiba-tiba ia mendengar 
seruan yang dilontarkan dengan suara 
berat.
"Tunggu...!"
Senyum Soka pun kembali dipamerkan di 
depan Tandu Sangrai yang menyeringai
menahan rasa sakit. Pemuda itu tampak 
kalemdan menjengkelkan hati Tandu 
Sangrai.
"Setan busuk dia! Cengar-cengir 
seenaknya di depanku membuat keadaanku 
jadi serba salah begin!! Awas nanti jika 
lukaku ini telah sembuh, kuhajar wajah 
tampannya yang menggemaskan hatiku itu, 
biar tak punya daya tarik lagi bagi 
perempuan mana pun! Uuh...! Sakitnya 
bukan main."
"Hei, mengapa diam saja?!" sapa Soka. 
"Apa maksudmu menahan kepergianku, Nyai? 
Apakah kau ingin aku menonton 
kematianmu?"
Beberapa saat kemudian, Tandu Sangrai 
berkata dengan lirih.
"Lakukanlah jika kau ingin

menolongku."
"Ah, untuk apa menolong orang yang 
tidak percaya padaku?"
"Aku percaya padamu! Tolonglah, dan 
buktikan kemampuanmu mengobati luka 
seperti ini."
Soka Pura akhirnya tertawa dengan 
suara pelan, membuat Tandu Sangrai 
menjadi tersipu malu. Bibirnya digigit 
lagi sebagai langkah menahan rasa sakit 
yang kian menyayat-nyayat tubuh itu. Soka 
pun akhirnya mendekati Tandu Sangrai yang 
telah merosot dari berdirinya dan 
terduduk ditanah dengan bersandar pohon.
"Singkirkan pedangmu, salah-salah 
mataku bisa kecolok pedangmu!" ujar Soka 
bernada canda, membuat kecurigaan buruk 
Tandu Sangrai semakin berkurang. la pun 
segera singkirkan pedangnya yang tadi 
melintang di dada.
"Buka tanganmu, aku ingin melihat 
lukanya"
Tandu Sangrai menuruti perintah Soka. 
Dipandanginya wajah pemuda itu dari jarak 
dekat. Tandu Sangrai semakin tidak 
menemukan niat buruk diwajah tampan 
berhidung bangir itu. Justru hati 
perempuan Itu sempat rasakan desiran 
lembut yang muncul disela rasa sakitnya.
"Aku harus menempelkan telapak 
tanganku ke dadamu. Apakah kau tidak 
keberatan?" tanya Soka sambil menunjukkan

telapak tangan kirinya. Perempuan cantik 
bermata sayu itu menatap dalam keraguan.
"Baiklah, kalau kau keberatan 
tanganku di dadamu, bagaimana jika 
menempel dl perutmu saja?"
"Aku... aku tidak mengatakan 
keberatanku," ucap Tandu Sangrai sambil 
menyingkapkan jubah hijaunya sehingga 
dadanya yang dilapisi pinjung merah itu 
terbuka, seakan la mempersilakan Soka 
untuk segera menempelkan tangannya kedada 
tersebut.
Setelah lebarkan senyum sekejap, Soka 
Pura pun segera tempelkan telapak tangan 
kirinya ke pertengahan dada perempuan 
Itu. Mata Soka pun segera terpejam, dan 
Tandu Sangrai masih tetap memperhatikan 
wajah pemuda itu.
Beberapa saat kemudian telapak tangan 
Soka yang menempel di dada Tandu Sangrai 
membiaskan cahaya ungu. Cahaya ungu itu 
lama-lama meresap ke dada Tandu Sangrai 
membuat tubuh Tandu Sangrai mulai 
diliputi cahaya ungu.
"Ooh... tubuhku?! Tubuhku menjadi 
begini? Tapi... tapi rasa sakitnya mulai 
berkurang. Oh, ternyata dia tidak main-
main dan tidak bermaksud Jahat padaku. 
Mengapa ia tidak menuntut kematian Ki 
Mandura lagi? Apakah... apakah dia benar-
benar hanya seorang tamu dan tidak tahu-
menahu tentang kitab pusaka itu?!"

Tangan Soka ditarik dari dada Tandu 
Sangrai. Tangan itu sudah tidak 
memancarkan cahaya ungu lagi, tetapi 
tubuh Tandu Sangrai masih memancarkan 
cahaya ungu bagaikan berubah menjadi 
kristal ungu. Wajah perempuan itu menjadi 
tegang, tapi justru ditertawakan Soka 
dengan tawa mirip orang bergumam.
Beberapa saat kemudian, cahaya ungu 
itu padam. Tubuh Tandu Sangrai normal 
kembali. Perempuan itu menjadi terheran-
heran karena ia tak merasakan sakit 
sedikit pun, bahkan badannya merasa lebih 
segar dari sebelumnya. Sedangkan luka 
hangus yang membekas di pinggang itu pun 
lenyap tanpa sisa seujung jarum pun.
"Luar biasa...," gumam Tandu Sangrai. 
Lalu ia pun membatin, "Luka memar di 
wajahku akibat tendangannya pun tak 
terasa lagi. Rupanya ia benar-benar 
menguasai ilmu pengobatan sedahsyat itu! 
Oh, mengagumkan sekali dia. Dalam usia 
semuda itu ia sudah kuasai ilmu setinggi 
itu. Bagaimana jika ia berusia sebayaku? 
Pasti akan lebih tinggi lagi Ilmunya."
Pedang segera disarungkan, karena 
tadi hanya disingkirkan saja dari 
dadanya. Tandu Sangrai semakin percaya 
dengan sikap baik pemuda yang dianggap 
sebagai musuhnya tadi. Tapi Tandu Sangrai 
tidak segera bangkit. la tetap duduk di 
bawah pohon berdaun rindang itu, karena

Soka Pura juga duduk di atas akar pohon 
yang berbentuk seperti bangku kecil itu. 
Jaraknya dengan Tandu Sangrai sangat 
dekat, tepat di samping kanan agak ke 
depan, sehingga Soka dapat menangkap 
wajah cantik yang sudah cukup matang itu.
"Terima kasih atas pertolonganmu," 
ujar Tandu Sangrai.
"Bagaimana rasa badanmu, Nyai?"
"Enak sekali?!"
"Maksudnya enak... enak bagaimana?" 
"Segar dan rasa-rasanya kekuatanku pulih 
kembali."
"Ooo...," Soka manggut-manggut, 
"Maksudnya enak begitu?"
"Hei, aku tahu kau mulai berkhayal 
nakal, ya?!" sambil Tandu Sangrai 
sunggingkan senyum. Soka Pura justru 
deraikan tawanya yang terbahak pelan.
"Barangkali karena usiaku masih muda 
jadi khayalanku sering nakal yang bukan-
bukan."
"Yang bukan-bukan bagaimana itu?"
"Yaah... ya yang bukan-bukan," jawab 
Soka sambil tertawa lagi membuat 
perempuan itu tertawa geli juga seraya 
mencolekkan telunjuknya ke pipi Soka. 
Pemuda itu tidak mengelak, tidak pula 
menangkis colekan yang semakin mengakrab 
itu.
"Sejak tadi kau belum sebutkan 
namamu, sedangkan, kau sudah tahu kalau

namaku Tandu Sangrai."
"Ah, aku belum tahu siapa namamu 
kok," kata Soka, tapi dianggap bercanda 
bagi Tandu Sangrai.
"Jadi aku harus memanggilmu apa?" 
tanya Tandu Sangrai.
"Soka Pura. Tapi aku lebih sering 
dipanggil Soka saja."
"Ooo...," perempuan itu menggumam 
pelan. "Kau seorang tabib?"
"Tabib apa?" Soka tertawa. "Tabib 
asmara?!"
"Mungkin saja. Karena selama ini aku 
baru menemui anak semuda kau sudah bisa 
sembuhkan luka seajaib tadi. Aku sungguh 
kagumi" 
"Hanya kagum?"
"Hmmm..., yah, selain kagum juga 
terkesan sekali. Kurasa aku tak akan 
mudah melupakan saat-saat telapakmu 
menempel di dadaku?"
"Mengapa kau tak mudah melupakannya?"
Sambil sunggingkan senyum malu Tandu 
Sangrai menjawab, "Hangat sekali! Tak 
sehangat tangan mantan suamiku yang telah 
meninggal itu."
"Tentu saja, sebab tadi saat tanganku 
menempel di dadamu, kusalurkan hawa 
murniku dan kekuatan inti gaib untuk 
melenyapkan rasa sakit dan memulihkan 
kekuatanmu."
"Ooo...," Tandu Sangrai manggut

manggut sambil pandangi wajah Soka dengan 
mata sayunya.
"Kenapa? Kau suka menerima sentuhan 
hangat seperti tadi?"
Tandu Sangrai lebarkan senyum. "Aku 
tadi sempat merinding."
"Mengapa merinding? Kau pikir yang 
menyentuhmu tangan malaikat?!"
"Bukan begitu. Sudah lama aku tak 
pernah disentuh lelaki, sehingga saat kau 
sentuh aku merasa seperti sedang kau 
goda."
"Apakah kau merasakan godaan itu?"
"Ya. Hatiku berdesir indah. Sayang 
sekali tadi aku sedang menahan sakit, 
sehingga keindahan itu tak bisa kunikmati
se...."
"Sekarang kau tidak merasakan sakit 
lagi," potong Soka. Kemudian ia 
menempelkan tangannya ketengkuk Tandu 
Sangrai yang tak tertutup kain jubah.
"Sekarang bagaimana rasanya tanganku 
ini?"
"Hmmm...," Tandu Sangrai tersenyum-
senyum. "Hangat sekali dan menimbulkan 
desiran indah di hatiku."
"Aneh. Padahal hawa murniku tidak 
kusalurkan ke tangan ini, melainkan ke 
tangan sebelahnya," gumam Soka sengaja 
agak keras agar didengar Tandu Sangrai.
"Bagaimana jika disertai gerakan 
mengusap-usap begini?" pancing Soka.

"Oh, semakin indah lagi," jawab Tandu 
Sangrai pelan. Kini perempuan itu menatap 
Soka. Diam-diam hati Soka pun berdesir-
desir karena sentuhan tangannya dan 
menerima tatapan mata sayu itu.
Senyum Tandu Sangrai bukan senyum 
keramahan lagi, melainkan senyum 
pembangkit gairah. Kepalanya menggeliat 
ketika usapan tangan Soka merayap di 
pipinya, seakan pipi Itu ingin lebih 
rapat lagi bersentuhan dengan tangan 
Soka.
Gerakan tangan Soka dan kepala yang 
menggeliat membuat sanggul itu terlepas 
dan rambut panjangnya pun terurai meriap 
sepinggang.
Dalam keadaan rambut terlepas, mata 
sayu disinari rembulan pucat, Tandu 
Sangrai tampak semakin menantang gairah. 
Kepalanya yang menggeliat pelan itu 
membuat bibirnya tersentuh oleh tangan 
Soka. Perempuan itu menggigit telapak 
tangan Soka. Yang digigit hanya 
tersenyum-senyum nakal dengan mata mulai 
ikut sayu juga.
Bibir perempuan itu menghangat di 
telapak tangan Soka, bahkan lidahnya 
sengaja dijulurkan dan menari-nari di 
telapak tangan itu. Soka menikmati 
dengan, jantung berdetak-detak, mata 
semakin terbeliak, napas kian memburu dan 
pemuda tampan itu akhirnya menggigit

bibirnya sendiri.
"Aahhh...!" suara keluhan Soka 
terdengar pelan saat lidah Tandu Sangrai 
menjalar ke pergelangan tangan dan terus 
merayapi lengan Soka sambil sesekali 
lakukan pagutan-pagutan lembut, membuat 
jiwa mulai terasa melayang-layang.
Kini perempuan itu semakin tergoda 
oleh suara desah seorang pemuda tampan 
bertubuh kekar Itu. la bergeser lebih 
dekat lagi dengan cara merangkak sambil 
menyapu hangat lengan Soka dengan 
lidahnya. Sapuan itu merayap terus hingga 
keleher Soka. Kepala Soka dimiringkan 
dengan sedikit tengadah. Akibatnya sapuan
lidah Tandu Sangrai semakin menemukan 
lahan bekas hantaman. Leher itu pun 
disapu oleh lidah Tandu Sangrai hingga 
memutar menyeluruh. Bahkan sesekali leher 
itu dipagut pelan oleh bibir Tandu 
Sangrai.
"Oouh, indah sekali, Nyai..."
"Jangan panggil aku Nyai! Namaku 
Tandu Sangrai, dengar?!" gertak perempuan 
itu berlagak galak, namun akhirnya 
tertawa sendiri ketika Soka mencibir. 
Bahkan cibiran itu membuat Tandu Sangrai 
bernafsu untuk melumat bibir Soka. Maka 
bibir pemuda itu pun segera dikecupnya 
pelan-pelan, lumatannya begitu lembut 
bersama tarian lidahnya yang gemulai 
membakar gairah Soka.

Tangan Soka pun tak mau tinggal diam. 
Tangan itu menyelusuri tubuh Tandu 
Sangrai dari dalam jubah. Dari pinggang 
sampai ke belakang. Di belakang tangan 
itu melepaskan kancing pengait pinjung. 
Tees...! 
Pengait itu terlepas dan pinjung itu 
pun melonggar, akhirnya tangan Soka 
berhasil merayap ke depan dan menemukan 
gumpalan dada yang sekal dan montok itu.
"Ouh, Soka...!" Tandu Sangrai 
mengerang kecil dengan kepala 
didongakkan. la berlutut di depan Soka, 
sehingga Wajah Soka tepat berada di depan 
dadanya. Tangan Tandu Sangrai menekan 
kepala Soka dari belakang, sehingga mulut 
Soka pun menempel di atas bukit dadanya.
"Soka, habiskan tempat itu. Habiskan,
Sayang.... Ooh...."
Tandu Sangrai mengerang panjang 
dengan tangan meremas punggung Soka 
karena saat itu ia merasakan bagian dari 
dadanya sedang ditelan Soka. Pucuk-pucuk 
bukit itu digelitik oleh ujung lidah 
Soka, membuat desiran indah mengalir 
deras di sekujur tubuhnya.
"Oouh, Soka... Soka, nikmat sekali 
itu. Ooh, Sayang... Sayang, uuhf...!"
Tandu Sangrai sengaja menarik 
kepalanya sedikit kebelakang sehingga ia 
bisa memandangi bibir Soka yang sedang 
memberikan pagutan nikmat. Bahkan gairah

perempuan itu kian berkobar begitu 
melihat lidah Soka pun merayapi 
sekeliling bukit secara bergantian.
"Sokaaa...," desahnya memanjang. 
"Sokaaa... teruskan ke bawah, Sayang. Ke 
bawah lagi. oouh... tanganmu nakal, Soka! 
Uuuhk...!" Tandu Sangrai merintih ditikam 
kenikmatan karena tangan Soka telah 
mencapai titik keindahannya. Tandu 
Sangrai melebarkan diri supaya tangan 
Soka lebih leluasa lagi. Ternyata hal itu 
membuat tangan Soka semakin liar dan 
ganas. Tandu Sangrai memekik-mekik dengan 
tubuh meliuk kegirangan, sesekali
terlonjak dalam satu pekikan kecil.
"Soka, ooh... tunggu dulu, Sayang. 
Uuhmm... lepaskan dulu, akan kubuka 
semuanya biar kau semakin bebas, Sayang. 
Uuh, uuh..."
Jubah hijau itu digelar di 
rerumputan. Tandu Sangrai berbaring 
bagaikan dahan pohon besar yang menunggu 
hinggapnya sang burung. Namun pengalaman 
yang diperoleh Soka saat bercumbu dengan 
Ranum Sani membuat pemuda itu tak mau 
buru-buru hinggap di dahan kemesraan itu. 
la menyusuri sekujur tubuh Tandu Sangrai 
dengan kecupan-kecupan lembutnya, bahkan 
menjadi seekor kucing yang sedang 
memandikan anaknya. Kemesraan Itu membuat 
Tandu Sangrai mengerang-ngerang dengan 
hamburan napas yang menderu.

"Oouh, nikmat sekali, Sayang... baru 
sekarang kudapatkan yang terindah dari 
yang pernah kurasakan. Oouh, 
teruskanlah... aku suka, Sayang. Aku 
suka, dan... aaow" Tandu Sangrai memekik 
keras dan meremat rambut Soka kuat-kuat 
karena lidah Soka semakin liar dan nakal. 
Mengobrak-abrik 'mahkota' yang menjadi 
sumber kenikmatannya itu.
"Begitu indahnya," pikir Tandu 
Sangrai. "Begitu hangatnya dia, tak 
pernah kudapatkan yang sehangat ini dari 
pria mana pun. Ooh... rupanya inilah 
tanda perdamaian darinya. Beginilah 
caranya menyuruhku melupakan pertarungan 
di sela senja tadi?
Oooh... tak ingin aku bermusuhan lagi 
dengannya. Tak ingin aku bertarung 
dengannya, kecuali pertarungan senikmat 
ini!"
Perempuan itu semakin memekik-mekik 
karena Soka Pura pandai mengantarkan ke 
puncak kemesraan beberapa kali. Perempuan 
itu bagai ingin mengulang dan 
mengulangnya terus tanpa peduli malam 
kian sepi dan udara dingin makin 
menggigilkan tubuh. Toh nyatanya kedua 
tubuh mereka sama-sama bermandi peluh 
bagai diguyur air hujan.
* * *

EMPAT

KICAU burung masih terdengar sebagai 
sisa pagi yang cerah. Perawan Hutan baru 
saja keluar dari rumah mendiang Ki 
Mandura. la sempat kebingungan saat 
mengetahui Raka tidak ada di balai 
tempatnya tidur. Perawan Hutan menyangka 
ditinggalkan oleh Raka. Namun begitu 
mendengar suara pekik tertahan disamping 
rumah. Perawan Hutan yakin bahwa Raka 
tidak pergi meninggalkannya.
Gadis berompi cekak itu sengaja 
berdiri dibawah pohon sambil menopangkan 
salah satu tangannya ke pohon itu. 
Pandangan matanya tertuju ke tanah datar 
berumput pendek. Raka ada di sana, 
berlatih Jurus-Jurus silatnya yang 
memeras keringat hingga la terpaksa 
membuka baju. Badannya yang berkulit sawo 
matang Itu tampak kekar dan berotot. 
dadanya bidang tanpa bekas luka sedikit 
pun.
Raka tahu, ia sedang dipandangi 
Perawan Hutan. Tapi ia tidak peduli dan 
tetap lanjutkan latihannya. Namun la 
tidak tahu kalau saat itu ia sedang 
diperdebatkan oleh batin si gadis cantik 
berdada sekal itu.
"Tak kusangka ia pemuda yang dingin 
dan pemalu. Lagaknya ketika bertemu di

pantai, meluncurkan rayuan gombal biar 
aku terpikat. Setelah hatiku bisa 
menerima kehadirannya, ternyata ia tidak 
segagah dugaanku."
Perawan Hutan terbayang adegan tadi 
malam, ketika ia memancing kemesraan 
dengan kata-kata. Ternyata Raka hanya 
menanggapinya dengan senyum-senyum saja, 
bahkan tampak menyembunyikan rasa malunya 
di balik senyum itu.
"Kau pernah punya kekasih?"
"Belum," jawab Raka pelan sambil 
tersenyum tipis, tak berani menatap lawan 
bicaranya.
"Tak ingin punya kekasih?"
"Hmmm... masih belum kepingin
celaka," jawabnya sambil tertawa pelan.
"Kenapa sakit kepala?"
"Punya kekasih hanya akan bikin 
kepala Jadi sering sakit karena 
memikirkan ulahnya."
"Tidak semua gadis begitu."
"Memang. Tapi kalau kebetulan aku 
dapat kekasih yang seperti itu, tekor 
kan?!"
Perawan Hutan tersenyum geli. Cantik 
sekali jika tersenyum. Tanpa senyum saja 
cantik, hanya saja agak berkesan galak, 
tapi dengan tersenyum kecantikan Itu 
makin bertambah memukau. Sayangnya Raka 
tak mau melontarkan pujian itu selain 
hanya terucap dalam hatinya. Bahkan Raka

berusaha untuk tidak menatap Perawan 
Hutan terlalu lama, karena ada sesuatu 
yang ditakutkan mekar di dalam hati 
sebelum mendapat izin menyandang gelar 
Pendekar Kembar.
Raka memang bertekad untuk tidak 
Jatuh hati kepada seorang gadis sebelum 
ia dan adiknya mendapat gelar sebagai 
Pendekar Kembar. Sedangkan gelar itu, 
kata ayah angkatnya, akan diberikan 
kepadanya dan Soka setelah mereka 
berhasil dapatkan Pedang Mata Malaikat.
Berbeda dengan Soka, si kembar yang 
satu itu tak pernah pedulikan gelar 
pendekar. Jika ia merasa suka dengan 
seorang gadis, jalinan cinta pun akan 
dilakukan. Baginya, pendekar atau bukan 
sama saja haknya, yaitu sama-sama boleh 
jatuh cinta. Sang adik memang lebih 
konyol dari sang kakak.
Karenanya Perawan Hutan sempat heran 
melihat sikap Raka yang dingin tanpa mau 
menyentuh tubuhnya. Bahkan ketika Perawan 
Hutan sengaja mengambil minuman di meja 
seberang dan duduk kembali dengan lebih 
merapat lagi ke badan Raka, pemuda itu 
justru berlagak menengok keadaan di luar 
rumah, seakan mengharap kedatangan Soka. 
Setelah itu ia duduk kembali di bangku 
depan si gadis.
Perawan Hutan tahu, Raka tak mau 
berdekatan. Hatinya sempat merasa malu

dan dongkol, tapi ia mencoba untuk tetap 
tenang serta bersikap biasa-biasa saja 
biar tak diketahui maksud aslinya.
"Tidurlah dulu, biar aku yang 
menunggu adikmu pulang," kata Perawan 
Hutan.
"Kau saja yang tidur, menunggu adikku 
pulang adalah kewajiban seorang kakak."
Perawan Hutan angkat bahu. "Terserah. 
Kalau begitu aku tidur lebih dulu. O, 
ya... di mana aku harus tidur?"
"Di balai saja. Biar aku yang tidur 
di bangku panjang itu."
"Kau saja yang di balai, biar aku 
yang di bangku panjang."
"Jangan! Kau wanita, aku harus 
mengalah. Ayahku sering ajarkan hal itu 
padaku."
"Kalau begitu kita sama-sama tidur di 
balai saja, pancing Perawan Hutan.
"Aku tak pernah tidur bersama 
perempuan. Tak akan bisa tidur jika 
begitu. Sebaiknya aku tidur di bangku 
panjang saja...."
Dari situlah Perawan Hutan tahu, 
bahwa pemuda yang bersamanya tidak 
sepanas dugaannya, tidak pula senakal 
tingkahnya ketika di pantai. Perawan 
Hutan berusaha melupakan sikap dingin 
Raka, tapi ketika ia bangun tidur, sikap 
dingin itu terbayang lagi dalam 
ingatannya. Bahkan pada saat itu ia

memperhatikan pemuda itu berlatih 
kecepatan gerak tangan dan kaki, bayangan 
itu muncul kembali dalam ingatannya.
"Lama-lama ia pasti akan menyadari 
bahwa batinnya akan membutuhkan sentuhan 
dan kehangatan seorang perempuan," ujar 
Perawan Hutan dalam hati.
Raka berseru dengan napas. terengah-
engah, "Lemparkan batu di dekat kakimu 
itu!"
Perawan Hutan melirik batu sebesar 
kepala babi yang ada tak jauh darinya 
itu. la tahu maksud Raka, ingin 
menghancurkan batu yang melayang entah 
dengan cara bagaimana. Maka Perawan Hutan 
pun segera melemparkan batu sebesar 
kepala babi itu.
Batu tersebut tidak dilemparkan 
dengan tangan, melainkan dengan hentakan 
kaki. Kaki kanan gadis itu dihentakkan ke 
tanah samping batu. 
Dunk...! 
Seketika itu pula batu sebesar kepala 
babi melesat ke arah kepala Raka. 
Wess...!
Raka sedikit melompat, lalu batu 
besar yang mengarah ke dadanya itu 
digepak dengan kedua tangan dari kanan 
kiri. 
Prakk...! 
Blukk...
Batu itu jatuh dalam keadaan masih

utuh. Perawan Hutan mencibir saat Raka 
meliriknya. Gadis itu segera dekati Raka 
yang masih membayangkan kehebatan si 
gadis saat melemparkan batu dengan 
hentakan kaki ke tanah tadi.
Tenagamu kurang dicurahkan ke telapak 
tangan kiri. Kulihat tadi gerakan telapak 
tangan kirimu tak bertenaga penuh, maka 
batu ini tak bisa pecah dalam satu 
geprakan," kata Perawan Hutan.
Raka hanya sunggingkan senyum kalem. 
Tapi akhirnya berkata dengan pelan,
"Mungkin benar penilaianmu, tangan 
kiriku memang lemah. Tap! adikku 
mempunyai tangan kiri yang lebih kuat 
dari tangan kanannya. Dia memang kidal!"
Perawan Hutan segera membungkuk 
mengambil batu Itu, "Kurasa kau perlu 
perhatikan caraku memecahkan batu ini 
dengan...."
Kata-kata itu terhenti seketika, 
karena ketika kedua tangan Perawan Hutan 
ingin mengangkat batu tersebut, ternyata 
batu itu sudah menjadi gumpalan pasir 
hitam yang lembut. 
Pruuss...! 
Dan saat itu wajah Perawan Hutan 
mendongak memandang Raka, yang dipandang 
hanya tersenyum tipis dan melangkah 
meninggalkannya.
"Gila! Ternyata batu ini sudah pecah 
sejak tadi?!" ujar Perawan Hutan dalam

hatinya. la tak tahu bahwa jurus 'Tapak 
Sunyi' mempunyai daya penghancur dari 
dalam benda yang dipukul menuju luar, 
bukan bagian luar dulu yang hancur baru 
dalamnya, melainkan kebalikan dari hukum 
alam tersebut.
"Mau ke mana kau?!" tanya Perawan 
Hutan setelah melihat Raka selesai mandi 
di sumur belakang rumah dan mengenakan 
pakaian rapi baju putih tak berlengan dan 
celana putih dengan ikat pinggang kain 
merah.
"Aku mau mencari adikku di sekitar 
tempat ini saja!"
"Aku ikut!" tegas Perawan Hutan. 
"Jaga rumah saja!"
"Rumah tak perlu dijaga. Kau yang 
perlu dijaga!"
Raka hanya bisa tertegun sejenak, 
setelah itu baru tertawa sendiri. Tawanya 
disembunyikan ke arah lain, dan Perawan 
Hutan dihinggapi seribu bunga indah 
melihat tawa seperti itu. Karena 
berikutnya Raka tak banyak komentar lagi, 
Perawan Hutan dibiarkan melangkah 
mengiringi pemuda tampan itu.
"Kalau nanti bertemu adikku, kita 
langsung saja berangkat ke Gua Mulut 
Naga!" 
"Aku setuju."
"Kalau adikku menanyakan keikutanmu, 
akan kujawab yang sebenarnya tentang

bunga keramat itu. Kau juga harus 
menjawab apa adanya."
"Ya, aku paham!"
"Apa kau juga paham kalau kita sedang 
diikuti oleh seseorang?" Raka berbisik 
tapi tetap kalem.
"Maksudmu?" Perawan Hutan berkerut 
dahi.
"Sejak tadi kudengar suara langkah 
orang dibelakang kita. Langkah itu 
sesekali terhenti dan sepertinya 
bersembunyi di balik pohon."
Tangan gadis itu dicekal Raka saat si 
gadis ingin menengok ke belakang 
membuktikan ucapan Raka. Secepatnya Raka 
pun berbisik lagi dengan pandangan mata 
seakan lurus ke depan.
"Jangan menengok ke belakang. Dia 
akan tahu kalau sedang kita bicarakan."
Perawan Hutan sedikit tegang, rasa 
penasarannya membuat matanya berusaha 
melirik ke belakang dengan kepala 
berpaling ke kiri, seakan memandang! 
sebuah pohon yang tumbuh dengan cabang 
aneh.
"Tetaplah tenang dan memandang ke 
depan. Ada dua pohon besar berseberangan 
disana," bisik Raka. "Begitu kita sampai 
di sana, kau segera menyelinap dipohon 
yang kiri dan aku di pohon yang kanan. 
Kita tunggu pemunculan penguntit kita 
itu!"

"Jangan-jangan adikmu sendiri?"
"Bukan! Langkah adikku kukenali 
betul."
Percakapan kasak-kusuk terhenti. 
Zlap, zlap...! 
Perawan Hutan lebih dulu melompat ke
kiri dan bersembunyi di balik pohon. Raka 
Pura melompat ke kanan dengan cepat dan 
berlindung di balik pohon besar. Rasa 
penasaran membuat mereka sedikit tegang 
menunggu si penguntit melintasi tempat 
Itu.
Kejap berikut, sekelebat bayangan 
biru melesat cepat melintasi jalanan di 
antara dua pohon tersebut. Perawan Hutan 
berkelebat juga menerjang bayangan biru 
itu tanpa memberi isyarat lebih dulu 
kepada Raka. 
Wuuut, breess...!
"Aahk...!" pekik bayangan biru itu, 
ia segera terlempar karena terjangan 
Perawan Hutan. Raka tak menyangka 
terjangan itu membuat si penguntit 
terlempar cukup jauh, sekitar berjarak 
lima belas langkah dari tempat terjadinya 
terjangan tadi.
Raka Pura segera berkelebat menyusul 
tubuh si penguntit yang melayang terlalu 
jauh itu. 
Wuzzz...! 
Begitu Raka tiba di tempat orang 
berpakaian biru itu, Perawan Hutan segera

sampai juga di tempat tersebut.
"Arya Semirang!" geram Perawan Hutan 
dengan mata mengecil memancarkan dendam.
Ternyata si penguntit itu adalah Arya 
Semirang, mantan kekasihnya yang dianggap 
berskandal dengan Luhmini. Pemuda 
berpakaian biru tua itu segera bangkit 
dengan sedikit menyeringai memegangi 
pinggangnya.
"Siapa dia, Perawan Hutan?" tanya 
Raka dalam suara bernada ketus, matanya 
memandang tajam kepada Arya Semirang.
"Dia manusia terkutuk!" jawab Perawan 
Hutan. Lalu, gadis itu berseru menyentak 
kepada Arya Semirang.
"Apa maksudmu mengikutiku, hah?! Kita 
sudah tidak punya hubungan apa-apa lagi! 
Aku muak kau ikuti begitu!"
"Kau telah membunuh Luhmini semalam!" 
geram Arya Semirang. "la kutemukan tewas 
dengan luka bekas tebasan pedang di dada 
dan punggungnya. Siapa lagi pembunuhnya 
jika bukan kau, Anggiri!" sambil menuding 
kuat ke arah Perawan Hutan.
"Hmm!" Anggiri mencibir sinis. "Kalau 
aku yang membunuhnya, tidak akan cukup 
kutebas dada dan punggungnya saja. Pasti 
sudah kurajang habis dari kepala sampai 
kaki!!"
"Jangan mengelak tuduhanku, Anggiri! 
Aku yakin pasti kau pelakunya. Kau 
membunuh Luhmini karena kau cemburu dan

sakit hati padanya. Kau tak ingin Luhmini 
memilikiku dan aku menerima cintanya!"
"Kurobek mulut busukmu jika sekali 
lagi menuduhku begitu, Arya!"
"Kau tak akan mampu merobeknya karena 
sebelum kau berbuat aku sudah lebih dulu 
mencabut nyawamu, Perawan Hutan!"
Raka Pura buru-buru berkata sebelum 
Anggiri berseru kembali.
"Maaf, semalam Perawan Hutan ada 
bersamaku. Dia tidak lakukan pembunuhan 
kepada siapa pun!"
Arya Semirang tampak berang sekali 
kepada Raka, ia menuding dengan kasar.
"Babi hutan! Aku tidak bicara 
denganmu! Pergilah sana mencari mangsa 
buat isi perutmu!"
Ucapan itu menyengat ubun-ubun Raka, 
membakar hati dan mendidihkan darah. Tapi 
Raka berusaha kendalikan luapan 
kemarahannya itu dengan senyum berkesan 
kalem. Hanya saja, Perawan Hutan tak bisa 
diam saja mendengar Raka dimaki 
sedemikian kasarnya. Perawan Hutan segera 
maju selangkah, kemudian tubuhnya memutar 
cepat sekali dengan kaki melayang ke 
wajah Arya Semirang. 
Wess, plook...!
Arya Semirang terlempar ke samping, 
mulutnya memuncratkan darah segar. 
Perawan Hutan segera hampiri pemuda kekar 
yang terlempar melintir hingga berjarak
lima langkah dari tempatnya berdiri tadi. 
Namun sebelumnya Perawan Hutan berkata 
kepada Raka Pura.
"Tetap di sini! Aku akan selesaikan 
sendiri urusan pribadi ini!"
Raka angkat bahu dan manggut-manggut, 
ia pun menepi dan bersandar pada sebatang 
pohon tinggi.
Perawan Hutan benar-benar marah atas 
penghinaan Arya Semirang kepada Raka. 
Tendangannya berkali-kali kenai wajah dan 
dada Arya Semirang. Pemuda Itu ternyata 
tidak begitu tangkas. Ilmunya pun tak 
seberapa tinggi. la sering gagal hindari
pukulan dan tendangan Perawan Hutan yang 
menurut Raka mempunyai kecepatan tinggi 
dan bertenaga besar Itu.
Tetapi pada satu kesempatan, Arya 
Semirang terlempar akibat sodokan telapak 
tangan Anggiri di dadanya. Pemuda itu 
jatuh tersungkur tak jauh dari Raka Pura. 
la bangkit dengan menggeliat, dan tiba-
tiba sekali tangannya berkelebat 
melemparkan sesuatu ke arah Raka. 
Wees...! 
Craass...!
"Aaahk...!" 
Raka Pura sudah berusaha menghindar, 
tapi ia terlambat sedikit. Ternyata 
sebilah pisau terbang yang dilemparkan 
Arya Semirang berhasil menggores ke 
lengan kiri Raka Pura. Pisau itu sendiri

menancap di batang pohon belakang Raka.
Sekalipun hanya tergores sedikit, 
namun pisau terbang itu mengandung racun 
tinggi. Tubuh Raka segera terhuyung-
huyung sambil mendekap lukanya.
"Jahanam kau, Semirang! Heeaah...!"
Perawan Hutan semakin murka. 
Pedangnya dicabut dan disabetkan ke tubuh 
Arya Semirang. 
Wees, craas...! 
Gerakan pedang yang sangat cepat dan 
tak terlihat itu telah melukai punggung 
Arya Semirang, membuat pemuda itu 
terjungkal ke depan. Namun ia masih bisa 
bertahan dan segera bangkit sambil 
mencabut pedangnya sendiri.
"Habislah nyawamu manusia tengik! 
Hiaaat...!"
Trang, trak...!
Arya Semirang menahan tebasan pedang 
Anggiri dalam keadaan berlutut satu kaki. 
Tapi tebasan pedang itu begitu kuat dan 
akibatnya pedang Arya Semirang sendiri
patah terpotong menjadi dua bagian 
setelah benturan dua benda itu 
memercikkan bunga api dan letupan kecil.
"Oooh...! Aku tak sanggup hadapi 
ilmunya! Pedangku sudah patah begini, 
sama saja aku menjemput ajalku sendiri 
jika tetap melawannya. la benar-benar 
ingin membunuhku!" pikir pemuda berbaju 
biru itu. Maka ia pun segera larikan

diri. 
Blaass...!
"Mau lari ke mana kau, Jahanaaam...!" 
teriak Perawan Hutan dengan murka sekali, 
karena pada saat itu ia sempat melirik 
Raka Pura jatuh terduduk sambil 
keringatnya bercucuran.
Perawan Hutan segera mengejar Arya 
Semirang dengan jurus 'Kabut Jantan'-nya 
yang mirip orang menghilang itu. 
Zaapp...! 
Arya Semirang hanya punya kelincahan 
gerak dalam berlari, namun tak secepat si 
Perawan Hutan. Kelincahan geraknya itu 
membuat Perawan Hutan berkali-kali salah 
arah. Bahkan agaknya Arya Semirang 
menguasai liku-liku tempat tersebut, 
sehingga dalam beberapa saat kemudian 
Perawan Hutan sudah sulit menemukan 
jejaknya. Arya Semirang bagaikan lenyap 
ditelan bumi!, padahal ia masuk ke dalam 
gua kecil seperti lorong dan bersembunyi 
di sana.
Raka Pura segera pergunakan jurus 
'Sambung Nyawa'-nya, karena luka di 
lengan itu mengandung racun melumpuhkan 
seluruh urat dan membusukkan daging dalam 
waktu singkat. Tapi berkat penguasaan 
ilmu 'Sambung Nyawa', maka racun itu bisa 
ditangkal dan luka itu pun mulai merapat 
kembali. Sebelum Perawan Hutan muncul 
menemuinya, luka itu telah lenyap tanpa

bekas dan tubuh Raka segera segar 
kembali.
Tetapi ternyata Perawan Hutan masih 
penasaran terhadap mantan kekasihnya Itu. 
Hasrat untuk membunuh Arya Semirang 
begitu besar, karena hatinya terasa 
semakin terluka begitu melihat Raka Pura 
dilukai oleh pisau terbangnya Arya 
Semirang. la mencari buronannya ke mana-
mana hingga tak terasa sudah semakin jauh 
dari tempat Raka menunggu.
"Kasihan dia! Dia butuh pertolongan 
secepatnya! Setahuku pisau si keparat itu 
mempunyai racun berbahaya. Oh, aku harus 
kembali padanya!" sambil raut wajah Raka 
terbayang di pelupuk mata Perawan Hutan. 
Maka gadis itu pun segera kembali ke 
tempat Raka terluka tadi.
Tetapi setibanya di sana, Raka sudah 
tak ada. Agaknya kedua orang itu saling 
mencemaskan lawan jenisnya, sehingga Raka 
pun bergegas menyusul Perawan Hutan. Raka 
khawatir gadis itu menemui halangan yang 
lebih berbahaya lagi, sehingga Raka perlu 
membantunya. Karena mereka sama-sama 
mampu bergerak sangat cepat, maka 
kesalahan arah telah membuat mereka 
saling berjauhan. Anggiri menuju ke 
tempat Raka menunggu, Raka mengikuti arah 
kepergian Anggiri. Padahal arah si 
Perawan Hutan saat mengejar Arya Semirang 
sudah membelok ke kiri dan ke kiri lagi.

"Brengsek! Ke mana dia? Kusuruh 
tunggu disini kenapa harus pergi?
Apakah... apakah seseorang telah 
membawanya karena ia terluka?" pikir 
Perawan Hutan dengan hati cemas. la 
terpaksa mencari dengan langkah kaki tak 
secepat tadi.
Raka Pura tiba di tanggul sebuah 
sungai berair jernih. Air sungai itu 
cukup deras dan agaknya mempunyai 
kedalaman yang berbahaya bagi orang yang 
tak bisa berenang. Langkah Raka Pura 
berhenti di situ, karena ia melihat 
seorang perempuan mendaki tanggul sungai 
yang agak tinggi itu.
"Dia...?!" gumamnya dalam hati 
bernada geram.
Raka Pura memandang tajam kepada 
perempuan berjubah hijau yang tak lain 
adalah si Tandu Sangrai. Raka sengaja tak 
pergi dari tempatnya dan bersifat 
menghadang perempuan yang telah membunuh 
Ki Mandura itu.
"Hmmm... lukanya sudah sembuh! 
Rupanya ia punya cara hebat tersendiri 
untuk sembuhkan luka dalam waktu singkat. 
Tak ada sisa memar di wajahnya akibat 
tendanganku kemarin!" gumam hati Raka 
Pura.
Perempuan Itu terperanjat begitu 
melihat Raka ada di depannya. Senyumnya 
segera mekar ceria, la tampak kegirangan

sekali, lalu mempercepat langkahnya 
dengan tawa berhamburan.
"Edan ini orang?!" pikir Raka. 
"Dihadang akan dihajar, kenapa justru 
kegirangan begitu?!"
"Hik, hik, hik... Aku tahu kau tak 
akan benar-benar meninggalkan diriku! Aku 
tahu kau hanya menggoda hatiku, Sayang!"
Raka Pura terkesima bingung melihat 
lawannya langsung melebarkan tangan dan 
menghambur tawa. Sebelum Raka sadar 
terhadap apa yang akan dilakukan 
perempuan itu, ternyata ia telah 
terkurung oleh pelukan si perempuan 
berjubah hijau.
"Hik, hik, hik...! Kau nakal sekali, 
Sayang. Kau membuatku cemas dan sedih 
dengan berlagak meninggalkan diriku saat 
tidur di bawah pohon itu. Hmmm...!"
Cup, cup, cup, depot...!
Raka Pura gelagapan. Pelukan kuat 
membuatnya tak bisa meronta. Akhirnya ia 
menerima ciuman berkali-kali di sekitar 
wajahnya. Bahkan bibirnya pun tersambar 
kecupan Tandu Sangrai dan dilumat dengan 
ganas.
Mau tak mau Raka Pura pergunakan 
tenaga besar untuk melepaskan pelukan 
seorang perempuan.
la berhasil mendorong tubuh Tandu 
Sangrai dengan menggunakan jurus silat 
bertenaga besar, walau bukan tenaga

dalam. 
Wuuutt...! 
Brruk...!
"Edan!" sentaknya sambil terengah-
engah dan mengusap wajah serta bibirnya, 
merasa risi terkena ciuman yang membasah 
itu.
tandu Sangrai jatuh terduduk, hampir 
saja menggelinding kembali menuruni 
tanggul sungai. Tentu saja sikap kasar 
itu mengejutkan sekali bagi Tandu Sangrai 
yang menyangka Raka Pura adalah Soka. 
Semalam ia menyatakan ingin ikut Soka ke 
mana pun pemuda itu pergi. Tetapi Soka 
menolak, tak ingin mengajaknya selama 
masih belum menyelesaikan tugas utamanya. 
Soka hanya berjanji akan datang menemui 
Tandu Sangrai sepulangnya dari selesaikan 
tugas tersebut. Tetapi Tandu Sangrai 
mendesak terus, ia tak ingin ditinggal 
Soka.
"Kalau kau pergi, ke mana lagi aku 
akan mendapatkan kemesraan senikmat 
cumbuanmu, Soka," ujarnya pada malam itu.
Rupanya Soka tak berhasil membujuk 
perempuan yang sudah ketagihan kehangatan 
dahsyatnya itu. Maka ketika mereka sama-
sama tidur di bawah pohon kemesraan itu, 
Soka bangun lebih dulu dan matahari telah 
meninggi. la berkemas merapikan 
pakaiannya, kemudian pergi meninggalkan 
Tandu Sangrai yang masih tertidur. Saat

Soka menuju ke rumah Ki Mandura itulah, 
Raka dan Perawan Hutan berangkat 
mencarinya kearah yang berbeda. Tak 
mungkin akan berpapasan.
Tandu Sangrai kebingungan ketika 
bangun tidur sudah tak melihat Soka di 
sekelilingnya. la buru-buru mencari ke
rumah Ki Mandura. Tetapi diperjalanan ia 
bertemu dengan seorang musuh yang 
terpaksa membuatnya mengejar orang 
tersebut. Pengejaran itulah yang 
membawanya ke seberang sungai. la pun 
segera melintasi sungai tersebut, karena
menurut dugaannya sang buronan ada di 
seberang sungai. Pada saat ia mendaki 
tanggul sungai itulah ia melihat Soka 
berdiri memandanginya. Pemuda yang 
dianggap sebagai Soka itu adalah Raka 
Pura. Tapi karena Tandu Sangrai tahu 
bahwa pemuda itu adalah orang yang 
menghajarnya kemarin sore, maka ia tetap 
menganggap sedang di tunggu oleh Soka. 
Sebab itulah ia berani berlari memeluk 
dan menciuminya.
"Sekalipun kau mengumbar ciumanmu, 
kau tetap saja seorang pembunuh yang 
kejam, Tandu Sangrai!" ujar Raka dengan 
suara lantang karena terbayang kematian 
Ki Mandura yang membuat hatinya terpukul 
sekali itu.
"Mengapa kau berubah sekasar itu, 
Sayang?" Tandu Sangrai mendekat pelan

pelan. "Bukankah semalam kau bertindak 
dengan lembut dan mesra sekali, Sayang?"
"Jangan panggil aku 'sayang'! Namaku 
Raka Pura, bukan Sayang Pura!" bentak 
Raka jengkel sekali.
"Jangan-jangan dia punya penyakit 
gila kambuhan?!" pikir Tandu Sangrai. 
Kecemasannya akan hal itu membuatnya 
hentikan langkah.
Sementara itu, Raka Pura membatin 
dalam hatinya, "Ini pasti kenalannya si 
Soka! Kurang ajar betul anak itu, pasti 
semalam habis begituan dengan perempuan 
ini. Pantas perempuan ini tidak 
menganggapku musuhnya dan cengar-cengir
seperti kuda sedang kasmaran! iih...! 
Merinding lagi tubuhku kalau ingat 
diciuminya tadi! Aku harus mencari Soka 
secepatnya. Kutampar anak itu nanti!
Gara-gara dia aku jadi dihujani ciuman 
murah seperti tadi!"
Raka segera tinggalkan perempuan itu. 
Tandu Sangrai berlari mengejarnya sambil 
berseru meratap.
"Sokaa...! Soka, tunggu aku! Aku ikut 
denganmu, Sokaa...!"
Wuuzz.... Wuuzzz...!
Tentu saja Tandu Sangrai tak akan 
bisa mengejar pemuda Itu, sebab si pemuda 
menggunakan jurus 'Jalur Badai' yang 
mampu berlari secepat hembusan badai yang 
paling cepat. Raka menuju tempat

pertarungan Perawan Hutan dengan Arya 
Semirang. la berharap Perawan Hutan sudah 
tiba di sana dan ganti menunggunya.
Tetapi kala itu Perawan Hutan 
bergegas kembali ke rumah mendiang Ki 
Mandura, karena la berharap Raka mencari 
obat di sana untuk lukanya.
Ketika ia tiba di depan rumah Ki 
Mandura, seorang pemuda tampan berpakaian 
serba putih muncul dari dalam rumah itu. 
Pemuda tersebut kaget memandang ke arah
Perawan Hutan, sedangkan si Perawan Hutan 
sendiri justru hembuskan napas kelegaan.
"Benar juga dugaanku, dia ada di 
sini!" ujar Perawan Hutan dalam hatinya.
"Hei, kau...? Kau datang kemari, 
Perawan Hutan?!"
Pemuda itu sebenarnya adalah Soka 
Pura yang mencoba menengok rumah Ki 
Mandura, barangkali kakaknya sudah ada dl 
sana sejak semalaman. Kembar wajah dan 
pakaian itu membuat Perawan Hutan tak 
bisa membedakan kedua pemuda itu. Soka 
sendiri tak tahu bahwa gadis cantik 
tersebut sudah kenal akrab dengan kakak 
kembarnya. Maka ketika Perawan Hutan 
mendekatinya, Soka pun menyambut dengan 
senyum ceria dan tatapan mata berbinar-
binar.
"Jangan kemana-mana dulu," kata gadis 
itu. "Aku capek mencarimu ke mana-mana!"
"Oh, kau... kau mencariku?!" Soka

dekati Perawan Hutan yang segera duduk di 
bangku panjang didalam rumah tersebut.
"Lain kali kalau kau menghilang 
begitu, aku tak mau mencarimu! Bikin hati 
kesal saja!"
"Hah, hah, hah...! Aku tak tahu kalau 
kau mencariku! Kusangka kau pergi 
karena...." Soka akan membicarakan saat 
kepergian Perawan Hutan ketika mereka 
bertemu di pantai. Tapi tiba-tiba 
tangannya ditarik Perawan Hutan dan 
lengan kirinya diperiksa.
"Hemmm... siapa yang sembuhkan 
lukamu?"
"Luka apa? Aku tidak terluka apa-apa" 
jawab Soka Pura.
"Sial" sentak gadis itu tampak 
dongkol, lalu hatinya membatin, "Kalau 
begitu tadi ia hanya berpura-pura terluka 
biar aku semakin marah kepada Arya 
Semirang. Hmmm... rupanya secara diam-
diam dia menaruh rasa cemburu juga 
padaku. Buktinya dia inginkan aku marah 
dan menyingkirkan Arya Semirang. O, 
oh...! Pemuda seperti ini mengesankan 
sekali bagiku. Pura-pura acuh tak acuh 
padahal butuh!"
Soka tadi sudah temukan kuburan baru 
di belakang rumah. la yakin kakaknya yang 
menguburkan jenazah Ki Mandura, tapi ia 
belum tahu siapa yang membunuh Ki 
Mandura. la ragu ingin ajukan tanya

kepada Perawan Hutan tentang kuburan itu, 
karena la menganggap Perawan Hutan tak 
pernah datang ke pondok itu. Maka ia pun 
ajukan pertanyaan lain sambil duduknya 
makin merapat dengan tubuh Perawan Hutan.
"Apakah kau benar-benar capek?"
"Ya. Mau apa kalau benar-benar 
capek?" sentak Perawan Hutan menampakkan 
sisa kedongkolannya, namun juga memancing 
keberanian pemuda itu. Tapi karena yang 
dipancing bukan pemuda tadi malam, maka 
tentu saja pancingan itu seperti gayung 
bersambut.
"Bagaimana kalau kupijat kakimu?"
"Hmmm!" Perawan Hutan mencibir, namun 
hatinya mulai berdebar-debar.
"Pijat saja punggungku!" kata gadis 
itu. Soka Pura segera melakukannya dengan 
wajah ceria dan kegirangan.
"Aneh. Tiba-tiba saja dia bersemangat 
dan cukup berani melakukan hal-hal 
seperti ini?" pikir Perawan Hutan. 
"Apakah keberaniannya menyentuh tubuhku 
jika sudah terluka kulitnya? Kalau 
begitu, sewaktu-waktu aku membutuhkan 
sentuhannya, aku harus melukai kulit 
tubuhnya dulu!"
Pijatan demi pijatan menghadirkan 
debar-debar keindahan bagi keduanya. Soka 
Pura yang konyol Itu pandangi tengkuk 
putih berbulu samar-samar seperti sisa 
rambut kepala. Tapi ia yakin bulu samar

samar itu adalah bulu roma yang tergolong 
lebat.
Pandangan matanya Itu menghadirkan 
hasrat untuk mengusap tengkuk itu. 
Akhirnya dengan berlagak memijat tengkuk 
pelan-pelan, Soka meraba bulu halus di 
kulit sekitar leher dan pundak.
"Dia diam saja. Pasti dia tak 
keberatan jika kucium tengkuknya," pikir 
Soka. Maka tanpa permisi lagi, tengkuk 
itu dikecup pelan memakai bibirnya. 
Cup...!
"Ahhmm...!" Perawan Hutan menggeram 
lirih, tapi kepalanya segera miring ke 
kanan, seakan menyodorkan lehernya. Maka 
kecupan bibir Soka pun merayap ke leher 
tersebut. Menyapukan lidahnya yang menari 
lincah sambil sesekali memagut leher Itu.
"Oouh...!" keluhan Perawan Hutan 
mulai terdengar keras dan panjang. Tangan 
gadis itu pun meraih kepala Soka dan 
mengusap-usap rambutnya. Akhirnya si 
gadis tak tahan hanya menerima kehangatan 
di leher.
Kepalanya meliuk.dan akhirnya wajah 
mereka bertemu. Bibir gadis itu merekah 
setelah berbisik dengan dada berdebur-
debur dibakar gairah.
"Kecup bibirku, Soka... kecuplah... 
uhmmm...!"
Soka memagut bibir itu. Perawan Hutan 
meremas rambut Soka, menahan gejolak

batin yang dihujam seribu kenikmatan. 
Lidah gadis itu pun meronta dan akhirnya 
bibir Soka yang dilumatnya dengan ganas.
"Oouh, aaah...! Sokaaa...," desahnya 
ketika Soka Pura menjalarkan kecupannya 
ke leher dan membuat gadis itu terpaksa 
mendongakkan kepala.
"Sesaat kemudian, Soka hentikan 
ciuman dan berkata dengan suara mendesah, 
"Kita pindah ke balai bambu itu?"
"Terserah...," jawab Perawan Hutan 
dengan mata telah menjadi sayu penuh 
gairah bercumbu.
"Tapi bagaimana dengan kepergian ke 
Gua Mulut Naga? Harus ditunda dulu?"
"Hmm... ya, menunggu kakakku 
pulang...," jawab Soka tak menyadari dari 
mana gadis itu tahu bahwa ia akan menuju 
ke gua tersebut. Sementara itu, Perawan 
Hutan terperanjat begitu mendengar kata-
kata Soka 'menunggu kakakku pulang' itu.
"Maksudmu, menunggu adikmu pulang?" 
Perawan Hutan meyakinkan keraguannya.
"Kakakku!" tegas Soka sambil menarik 
tangan Anggiri agar ke balai-balai bambu. 
"Yang kita tunggu kakakku, aku adiknya!"
"Ooh...?!" Perawan Hutan memekik dan 
terbelalak lebar-lebar.
"Apakah... apakah kalian anak 
kembar?"
"Ya! Raka adalah kakakku, dan aku 
adiknya. Tapi... tak enak bersama Raka.

Kau tak akan mendapatkan kemesraan 
seperti ini. Dia dingin terhadap 
perempuan mana pun!"'
"Celaka!" Perawan Hutan terperanjat 
tegang, bahkan sempat sentakkan tangannya 
agar terlepas dari genggaman Soka, lalu 
segera mundur beberapa langkah. 
"Hei, kenapa kau jadi memandang 
tegang begitu?!" | 
Sebelum pertanyaan itu terjawab, 
mereka melihat kemunculan Raka yang 
sedang menuju ke pekarangan depan.
* * *
LIMA


GUA Mulut Naga terletak dilereng 
gunung. Dalam peta wasiat yang dibuat 
oleh mendiang Resi Garba, tempat tersebut 
diberi gambar kilatan cahaya petir. 
Menurut mendiang Ki Mandura, kilatan 
petir dalam peta tersebut menunjukkan 
letak Gunung Tadah Petir.
Gunung yang menjulang tinggi melebihi 
Gunung Merana itu terletak tepat di 
tengah-tengah tanah Jawa. Perawan Hutan 
mengaku pernah ke Gunung Tadah Petir 
untuk mengunjungi seorang bibi yang kini 
telah meninggal. Oleh sebab itu, Raka dan

Soka merasa tidak ada ruginya membawa 
gadis cantik yang selalu membangkitkan 
semangat perjalanan mereka itu.
"Kacau kalau begini. Keduanya serupa 
persis dan sulit dibedakan!" gerutu gadis 
itu sepanjang perjalanan menuju Gua Mulut 
Naga. la berjalan di tengah, antara Soka 
Pura dan Raka Pura. Kadang jika keadaan 
berubah sebentar, ia sempat bingung, 
siapa yang mengajaknya bicara, Raka atau 
Soka. Karena pemuda kembar itu mempunyai 
nada suara yang sama pula. Yang membuat 
beda adalah kekonyolan Soka. Tapi jika 
Soka dalam keadaan serius, Perawan Hutan 
sering dibuat bingung membedakan mereka 
berdua.
"Seperti kata Nini Sawandupa padaku," 
ujar Raka. "Perjalanan menuju ke gua Itu 
selalu saja menemui gangguan. Gangguan 
itu menurutnya adalah pelajaran hidup 
yang perlu kita renungi dan kita pahami."
"Apakah termasuk bertemu dengan 
Perawan Hutan adalah pelajaran tentang 
hidup?!" tanya Soka dengan konyol, 
sementara si Perawan Hutan cepat-cepat 
buang muka, sembunyikan senyumnya yang 
takut membuatnya dinilai seperti gadis 
ganjen.
"Semua langkah kita punya makna 
sendiri-sendiri, tentunya termasuk 
pertemuan kita dengan Perawan Hutan ini!" 
kata Raka dengan serius. "Ki Mandura

mengatakan padaku, Gua Mulut Naga hanya 
bisa dicapai oleh orang berilmu tinggi 
dan benar-benar sudah dewasa. Sedangkan 
Nini Sawandupa bicara padaku, bahwa 
perjalanan menuju gua itu akan membuat 
kita menjadi dewasa jika kita bisa 
mengambil hikmah dari peristiwa-peristiwa 
yang kita jumpai di perjalanan."
Perawan Hutan ingin menimpali, tetapi 
niatnya terpaksa ditunda karena ada 
sesuatu yang membuat langkah mereka 
terhenti secara mendadak. Sesuatu yang 
menghambat langkah itu adalah kemunculan 
seorang pengemis tua yang membawa tongkat 
dengan badan kurus dan bungkuk.
Pengemis tua yang berambut putih dan 
berjenggot putih dengan wajah pucat itu 
tiba-tiba saja muncul di perjalanan depan 
mereka tanpa diketahui dari mana asalnya. 
Soka yang pertama kali melihat keberadaan 
pengemis tua di bawah pohon tersebut.
Setelah Soka memberi tahu, barulah 
Raka dan Anggiri memperhatikan pengemis 
tua itu.
"Dari mana pengemis itu munculnya?"
"Tak tahu. Tiba-tiba saja ketika 
mataku memandang ke depan orang Itu sudah 
ada."
"Apakah benar dia seorang pengemis?" 
gumam Perawan Hutan pelan, seperti 
diliputi kebimbangan yang meresahkan.
"Dilihat dari pakaiannya yang

compang-camping dan bertambal-tambal, 
jelas ia seorang pengemis. Lihat saja 
tempurung yang dibawanya, bukankah itu 
tempat untuk menampung pemberian setiap 
orang?" kata Soka Pura sambil tetap 
memperlambat langkah seperti yang lain.
Pengemis berpakaian dasar putih 
dengan kain tambalannya aneka warna Itu 
segera mengulurkan tangannya yang 
memegangi tempurung pada saat tiga anak 
muda itu lewat dl depannya. Mereka 
berpura-pura tidak memperhatikan dan 
tetap berjalan. Namun si pengemis tua 
yang diperkirakan sudah berusia delapan 
puluh tahun lebih itu berlari tertatih-
tatih sambil memohon pemberian sedekah 
dari tiga anak muda tersebut.
"Tuan muda, Tuan muda... tolong beri 
aku sekadarnya untuk makan hari ini, Tuan 
muda...! Nona cantik, beri aku serelanya 
saja Nona...."
"Aku tak tega," bisik Raka kepada 
Perawan Hutan.
"Aku juga tak tega," balas si gadis. 
"Aku menyimpan beberapa keping uang," 
bisik Soka. "Uang ini kuambil dari bawah 
bantal di rumah Ki Mandura."
"Hei, apakah kau tak tahu kalau 
mengambil barang orang lain itu namanya 
mencuri?" hardik kakaknya sambil hentikan 
langkah.
"Siapa pemilik uang itu? Kau pikir Ki

Mandura masih membutuhkannya? Kecuali 
jika Ki Mandura masih hidup, maka uang 
ini memang ada pemiliknya. Tapi sekarang 
Ki Mandura sudah dibunuh oleh Tandu 
Sangrai, maka uang ini menjadi uang tak 
bertuan!" kilah Soka Pura yang sudah 
mendengar cerita kematian Ki Mandura dari 
kakaknya sebelum mereka berangkat. 
"Kalau begitu berikan uang itu semua 
kepada pengemis tua itu!" perintah Raka.
"Aku setuju," sela Perawan Hutan. 
"Kita masih bisa mencari uang, karena 
masih muda, tapi dia tidak bisa bekerja 
apa-apa lagi! Berikan saja uang itu, 
Soka!"
Pengemis yang tertatih-tatih itu 
berhenti di samping Raka dan menyodorkan 
tempurungnya. Sebaris keluh dan kesah 
dipakai alasan untuk meminta uang. Tapi 
keluh dan kesan itu memang mengharukan 
hati mereka bertiga.
"Pak tua, kami punya uang dari 
seseorang yang telah tiada. Ambillah dan 
pergunakan sebaik mungkin, Pak Tua!" ujar 
Soka sambil keluarkan beberapa keping 
uang hingga ia tampak tak memiliki uang 
lagi.
"Hen, heh, heh... banyak sekali ini, 
Nak?! Wow... hoh, hoh, hoh... aku bisa 
menjadi kaya kalau setiap hari kau beri 
uang sebanyak ini."
"Iya, kau bisa kaya, tapi aku bisa

miskin kalau tiap hari harus memberimu 
uang sebanyak ini, Pak tua!" ujar Soka 
bersungut-sungut.
"Kami harus teruskan perjalanan, Pak 
tua," sahut Raka. "Pergunakan uang itu 
sebaik mungkin, seperti saran adikku 
tadi." 
"Baa... baik, baik... terima kasih 
banyak, Anak muda! Terima kasih banyak! 
Semoga Yang Maha Kuasa memberi kalian 
berkah dan keselamatan sepanjang 
masa...."
Mereka segera meninggalkan pengemis 
tua itu. Si pengemis tua terkekeh 
kegirangan sambil menghitung jumlah uang 
pemberian Soka tadi.
Perjalanan mereka diteruskan sambil 
membicarakan tentang suasa di Gunung 
Tadah Petir yang pernah dikunjungi
Perawan Hutan. Menurut gadis itu, di kaki 
gunung itu ada desa yang dihuni oleh 
orang-orang yang punya kelainan pada 
tubuhnya, jari tangannya berjumlah dua 
belas, lubang hidungnya hanya satu dan 
sebagainya. Desa itu bernama Desa 
Teganya.
"Apakah mendiang bibimu dulu tinggal 
di Desa Teganya?"
"Ya," jawab Perawan Hutan.
"Kalau begitu bibimu juga punya 
kelainan pada tubuhnya?"
"Benar. Mendiang bibi adalah seorang
perempuan yang mempunyai daun telinga 
selebar daun melinjo. Tapi pada umumnya 
mereka berhati mulia, gemar menolong dan 
ramah terhadap siapa saja."
Perjalanan mereka terhenti kembali, 
demikian pula percakapan mereka. Kali ini 
Raka yang melihat seorang pengemis 
berdiri bagai menghadang langkah mereka 
di bawah pohon yang akan mereka lewati.
"Hei, bukankah yang di sana itu 
pengemis tua yang tadi itu?!"
"Oh, sepertinya memang begitu?!" 
gumam Soka Pura.
Perawan Hutan bergumam, "Bukankah ia 
tak mampu berjalan cepat? Mengapa 
sekarang ia sudah ada di depan sana 
mendahului kita?"
"Firasatku mengatakan, dia bukan 
sekadar pengemis biasa," kata Raka Pura 
dengan pelan, seakan bicara pada diri 
sendiri.
"Hati-hati saja!" ujar Anggiri 
mengingatkan.
Pada saat mereka sudah dekat, 
pengemis tua itu sengaja menghadang di 
tengah jalan sambil berjalan menyongsong 
mereka. Tongkatnya digunakan untuk 
menjaga keseimbangan tubuh pada saat 
melangkah, tempurungnya diacungkan ke 
depan, siap untuk menerima pemberian dari 
mereka. Mau tak mau langkah mereka 
berhenti total dan membiarkan pengemis

tua itu mendekatinya.
"Anak muda, berilah aku makanan apa 
pun sebagai pengisi perutku," pintanya 
dengan suara gemetar. "Sudah tujuh hari 
aku tak makan apa-apa, Anak muda."
Soka berkata, "Pak tua, kami sudah 
tidak memiliki apa-apa yang bisa kami 
berikan padamu. Uangku sudah kuberikan 
padamu saat di sana tadi."
"Aku... aku belum menerima apa-apa 
darimu, Anak muda."
"Jangan bohong, Pak tua!" selah 
Perawan Hutan. "Kami tadi sudah bertemu 
denganmu di sana, dan kau telah 
mendapatkan uang cukup banyak dari kami."
"Tid... tidak. Bukan aku! Aku belum 
pernah bertemu denganmu, Nak. Sejak tujuh 
hari yang lalu, baru sekarang ada orang 
melewati jalanan ini, Nak."
Mereka bertiga pandangi si pengemis 
tua yang berambut putih digulung dengan 
jenggot, kumis dan alis putih itu. Mereka 
melihat ada kejujuran di raut wajahnya 
yang sudah berkeriput itu. Bola matanya 
yang kecil memancarkan kesungguhan dalam 
bicaranya. Tapi mereka melihat pakaian 
dasar putih model biksu bertambal kain 
warna-warni adalah pakaian si pengemis 
yang tadi.
"Pak tua, kami benar-benar tak punya 
apa-apa lagi. Kami tak bisa memberimu," 
tutur Soka dengan sopan.

Pengemis tua itu garuk-garuk kepala 
dengan wajah kecewa.
"Kalau begitu, maukah kau 
menggendongku sampai di sungai seberang 
sana?"
"Menggendongmu?!"
"Kalian memang tak punya uang dan 
makanan, tapi kalian masih punya tenaga. 
Aku tak mau jika harus berjalan sampai ke 
sungai karena perutku lapar sekali dan 
badanku menjadi lemas. Aku akan mencari 
ikan disungai sana sebagai pengisi
perutku, Anak muda. Tolonglah bawa aku ke 
sana!" Raka dan Soka saling berpandangan, 
lalu kedua pemuda itu menatap Perawan 
Hutan yang juga bingung-bingung geli 
mendengar permintaan si pengemis tua itu. 
Akhirnya, Raka segera berkata, baiklah, 
kau akan kugendong sampai ke sungai yang 
kau maksud. Naiklah ke punggungku, Pak
"Terima kasih...., terima kasih...," 
pengemis tua bertongkat coklat dan 
bertempurung tampak kegirangan. Lalu ia 
pun naik kepunggung Raka, sementara 
tongkat dan tempurungnya dibawa oleh 
Soka.
"Sekarang sepertinya ganti aku yang 
mirip pengemis, ya?" bisiknya dengan 
konyol kepada Perawan Hutan. Gadis itu 
hanya menahan senyum sambil buang muka
kearah lain.
"Kalian mau ke mana, Nak?" tanya

pengemis tua dari atas gendongan Raka.
"Tujuan kami mau ke Gunung jadah 
Petir, Pak tua!" Jawab Raka Pura dengan 
suara berat. Rupanya ia mulai lelah 
menggendong pengemis Itu, namun ia masih 
dapat menahan beban kurus itu menuju 
sungai yang dimaksud si pengemis tua 
tadi. 
"Mau apa kalian pergi ke Gunung Tadah 
Petir?" 
"Aku ingin mengambil Bunga Pucuk Dara 
yang ada disekitar Gua Mulut Naga," jawab 
Perawan Hutan dengan polos sekali. 
"Kedua sahabat kembarku ini punya 
maksud sendiri." 
"Maksud apa?"
"Mengikuti perintah guru kami, Pak 
tua," jawab Soka yang berjalan disebelah 
kiri Raka, sedangkan Perawan Hutan di 
sebelah kanannya.
"Apa perintah guru kalian?"
"Mengambil sepasang pusaka didalam 
gua itu" jawab Raka membuat Perawan Hutan 
berkerut dahi, karena baru sekarang ia 
mendengar tentang pusaka tersebut dari 
mulut Raka. Sebelumnya, baik Raka maupun 
Soka menyembunyikan niat mereka 
sebenarnya ke gua tersebut. Tapi 
menghadapi pertanyaan si pengemis tua 
itu, sepertinya mereka tak bisa menahan 
rahasia apa pun. Mulut bagaikan bicara 
dengan sendirinya. Hal itu disadari oleh

mereka dan membuat mereka merasa heran 
sendiri.
"Apakah di sana ada pusaka? Setahuku 
tidak ada, Nak."
"Ada ataupun tidak, yang penting kami 
harus turuti perintah guru, Kek," ujar 
Soka.
"Heh, heh, heh... kalian dibohongi 
oleh guru kalian. Jangan mau ke sana!
Kudengar disekitar Gua Mulut Naga banyak 
bahaya yang menunggu mangsa, lumpur 
hidup, tanaman penghisap darah, serangan 
beracun dan sebagainya."
"Kalau toh kami harus mati disana, 
kami akan mati dengan ikhlas karena telah 
memenuhi perintah guru kami, Kek," ujar 
Soka dengan semangat.
"Pak tua, di mana sungai yang kau 
maksud itu?" tanya Raka dengan napas 
terengah-engah.
"Sebentar lagi akan sampai. 
Berjalanlah terus sesuai petunjukku, 
Nak."
Raka Pura benar-benar tampak 
kecapekan. Keringatnya mengalir deras, 
wajahnya memerah seperti menggendong 
beban yang sangat berat. Soka dan Perawan 
Hutan tak tega melihat Raka keberatan 
beban. Maka Soka pun berbisik kepada Raka 
setelah serahkan tongkat dan tempurung 
itu kepada Perawan Hutan.
"Biar aku yang ganti menggendongnya,

Raka. Kau tampak lelah sekali."
Kakek pengemis Itu diturunkan 
sebentar, lalu pindah ke punggung Soka. 
Pada awalnya Soka merasa tidak membawa 
beban apa-apa. Langkahnya ringan-ringan 
saja. Tetapi makin lama la merasa seperti 
menggendong beban berat. Soka diam saja 
dan masih mampu bertahan.
"Masih jauhkah sungai yang kau maksud 
itu, Kek?" tanya Perawan Hutan, karena ia 
kasihan melihat Soka tampak semakin 
terbeban. Bahkan langkah Soka pun menjadi 
pelan bagai menggendong seekor kerbau.
"Sudah dekat. Tinggal membelok ke 
kiri dan menuruni lereng kita akan sampai 
sungai."
"Kalau begitu, biarlah aku yang 
menggantikan dia. Dia sudah kecapekan, 
Kek," ujar Perawan Hutan. Dalam hatinya 
Soka bersyukur. Maka pengemis yang 
berbadan kurus bagai tulang terbungkus
kulit itu pindah ke punggung Perawan 
Hutan!
"Kau pun ingin mengambil pusaka 
juga?"
Tidak, Kek. Aku ingin memiliki Bunga 
Pucuk Dara, seperti yang kukatakan tadi."
"O, iya. Hampir saja aku lupa dengan 
tujuanmu tadi. Tapi... menurutku Bunga 
Pucuk Dara tidak ada." 
"Dari mana kau tahu?" tanya Perawan 
Hutan.

"Dari mulut kemulut para pengelana," 
jawab si kakek pengemis itu. "Beberapa 
tahun yang lalu aku pernah mendengar 
bunga itu sudah tak akan bisa tumbuh 
lagi. Karena bunga itu telah dikutuk oleh 
seorang petapa yang gemar berkeliaran 
dari gua ke gua, mencari ilmu dan wangsit 
dari dewata".
Raka berbisik kepada adiknya, 
"Mungkin yang dimaksud adalah Resi 
Garba?"
"Mungkin saja!" jawab Soka sambil 
meringis. "Berat sekali kakek itu, ya?"
"Iya. Makin lama aku merasa seperti 
menggendong batu yang beratnya bukan 
main," ujar Raka dalam bisikan. 
"Tapi mengapa tidak sejak tadi dia 
minta digendong oleh kita?" 
"Dia bukan pengemis yang tadi
Karenanya aku merasa bersedia 
menggendongnya"
"Dari mana kau tahu?"
"Pengemis yang tadi bertongkat hitam 
dan tempurungnya berwarna coklat. 
Pengemis yang ini bertongkat coklat dan 
tempurungnya hitam begini, kan?" sambil 
Raka tunjukkan tongkat dan tempurung yang 
dibawanya."
"Astaga! Benar juga katamu, Raka!" 
ujar Soka dengan terperangah.
Suara Anggiri terdengar mulai 
memberat, "Mengapa petapa itu mengutuk


bunga tersebut?"
"Karena petapa itu melihat sendiri 
bunga tersebut menjadi bahan pertumpahan 
darah oleh beberapa orang. Banyak orang 
yang mati karena ingin memiliki bunga 
itu. Karenanya, si petapa mengutuk bunga 
itu hingga tak bisa tumbuh lagi. 
Maksudnya supaya tidak timbulkan korban 
bagi umat manusia dimuka bumi ini."
"Perawan Hutan tampak kecewa. 
Biasanya ia tak mudah percaya dengan 
omongan siapa pun tentang bunga tersebut.
la memang pernah mendengar ucapan seorang 
tokoh tua yang mengatakan bahwa bunga itu 
sudah tak akan tumbuh lagi. Tapi ia tak 
pernah percaya. Herannya, sekarang ia 
menjadi percaya betul dengan ucapan si 
pengemis itu.
"Perawan Hutan tampak mulai kecapekan 
Keringatnya semakin deras, langkahnya 
mulai lamban. Gantikanlah ia!" Kata Soka. 
Maka, sang kakak pun menggantikan Perawan
Hutan. Pengemis itu pindah lagi ke 
punggung Raka. |
Entah berapa jauh sudah mereka 
menempuh perjalanan dengan menggendong si 
pengemis secara bergantian. Yang jelas 
tubuh mereka sama-sama bermandi keringat, 
karena tubuh pengemis tua itu makin lama 
semakin bertambah berat. Begitu beratnya 
tubuh si pengemis kurus itu, sampai-
sampai mereka bertiga menggunakan bantuan

tenaga dalam untuk menggendongnya.
"Nah, itu dia sungainya, Nak". ujar 
si pengemis sambil menunjuk ke arah 
depan. Mereka memandang sungai kecil yang 
airnya sangat sedikit dan sangat dangkal. 
Sungai kering itu menyerupai sebuah 
selokan dengan banyak bebatuan di kanan-
kirinya. 
"Ya,ampuun?! Sungai kecil begitukah 
yang kau maksud, Kek?" 
"Ya. Tapi sebentar lagi sungai itu 
banyak airnya," jawab si pengemis 
seenaknya saja. Soka menghempaskan napas 
dengan hati sedikit kesal karena merasa 
sia-sia membawa si pengemis ke sungai 
sekecil dan sedangkal Itu.
Pengemis tua itu minta diturunkan 
dari gendongan. Ketiga anak muda itu 
sama-sama duduk melemas diatas batu 
besar. Si pengemis kegirangan, melangkah 
pelan-pelan mendekati tempat yang, 
dialiri air ditengah sungai kering itu.
"Hei, Nak... airnya jernih dan sejuk. 
Cucilah mukamu dengan air ini biar 
kelelahanmu hilang" ujar si pengemis 
sambil menyendokkan tempurungnya ke dalam 
air, lalu ia meminum air dalam tempurung 
tersebut.
Raka mendahului mencuci muka dengan 
air sungai itu, yang lain pun segera 
mengikuti. Bahkan perawan Hutan membasahi 
rambutnya dengan air sungai Itu.

"Air ini benar-benar sejuk dan 
menyegarkan badan. Aku ingin sekali mandi 
di sini seandainya airnya tak dangkal dan 
cukup banyak," ujar Perawan Hutan yang 
merasakan kelelahannya segera hilang 
setelah membasahi kepalanya dengan air 
sungai.
"Raka..." sentak Soka dengan suara 
mengejutkan sang kakak yang sedang 
mencuci muka dengan membungkuk. Perawan 
Hutan pun terkejut mendengar suara Soka 
tadi, maka ia pun ikut memandang ke arah 
Soka.
"Ada apa kau memanggilku sekeras itu, 
Soka?"
Wajah sang adik yang basah air sungai 
tampak tegang.
"Kemana pengemis tua tadi?"
"Hahh...?!" Raka terkejut, lalu cepat 
berpaling ke belakangnya, karena pengemis 
itu tadi ada di belakangnya, mencuci
wajahnya Juga.
"Aneh! Tak mungkin dia lari ke semak-
semak sana!" ujar Perawan Hutan yang ikut 
memandang ke sana-sini.
"Dia menghilang" gumam Raka dengan 
suara lirih. Lalu, mencoba memeriksa 
dibalik batu-batu besar yang ada ditepian 
sungai tersebut. Ternyata si pengemis tua 
itu tak ditemukan jejaknya.
"Hei, kita telah sampai!" seru 
Perawan Hutan dengan suara keras

menandakan ketegangannya. Wajah gadis itu 
tampak diliputi perasaan heran. Raka dan 
Soka memperhatikan sambil dekati si gadis
melihat arah kanan-kiri. 
"Apa maksudmu 'sudah sampai' itu?"
tanyanya.
"Aku ingat...!" jawabnya penuh 
semangat. Aku ingat tempat ini pernah 
kulalui waktu aku ingin menuju ke Desa 
Teganya. Lihat gunung itu!" seraya 
menuding ke satu arah. 
Sebuah gunung menjulang tinggi tegap
dengan bagian atapnya seakan menembus
langit. Itulah ciri-ciri Gunung Tadah 
Petir seperti yang diceritakan oleh Ki 
Mandura kepada Raka Pura. 
"Mana mungkin kita sudah sampai di 
kaki Gunung Tadah Petir?!" gumam Soka 
penuh keheranan. "Bukankah katamu tadi, 
perjalanan kita akan memakan waktu tiga 
malam?! Sekarang kita berjalan belum ada 
satu malam, baru setengah hari!" 
"Memang mestinya begitu!" jawab 
Perawan hutan. "Tapi... tapi aku ingat 
tempat ini adalah tempat di kaki Gunung 
Tadah Petir! Bentuk gunungnyapun seperti 
itu!" 
Raka segera ikut bicara, "Jika benar 
tempat ini kaki Gunung Tadah Petir, lalu 
di mana Desa Teganya Itu?" 
"Di sana! Sangat dekat dari sini. 
Kita coba ke sana saja!"
Maka mereka pun bergegas ke arah yang 
dimaksud Perawan Hutan. Mereka sangat 
penasaran dan ingin buktikan apakah 
mereka sudah berada dl kaki Gunung Tadah 
Petir atau di tempat lain yang mirip kaki 
Gunung Tadah Petir.
* * *
ENAM


TERNYATA mereka benar-benar memasuki 
Desa Teganya yang berpenduduk ramah dan 
mempunyai kelainan pada anggota tubuh 
mereka. Bahkan beberapa orang dari 
penduduk desa itu masih ada yang 
mengenali Perawan Hutan sebagai keponakan 
mendiang tetangga mereka, yaitu bibinya 
Perawan Hutan. Hal itu membuktikan bahwa
mereka benar-benar telah berada dikaki 
Gunung Tadah Petir.
"Kurasa pengemis tua itu yang membawa 
kita kemari," ujar Perawan Hutan.
"Berarti dia tokoh sakti yang 
berpura-pura menjadi pengemis?"
"Kira-kira begitu," jawab Perawan 
Hutan sambil memandang salah satu dari si 
kembar yang tak diketahui dengan jelas 
apakah Soka atau Raka.
"Peristiwa aneh tadi merupakan

pelajaran juga bagi kita, bahwa memberi
dengan ikhlas, menolong dengan rela, 
ternyata mempunyai keberuntungan sendiri 
bagi kita," ujar Raka sambil mereka mulai 
mendaki lereng Gunung Tadah Petir.
Sambungnya lagi, "Keberuntungan itu 
jika kita pikirkan tak akan datang, tapi 
jika tidak kita pikirkan akan datang 
dengan sendirinya."
"Maksudmu, menolong tanpa pamrih itu 
lebih baik daripada menolong dengan 
pamrih?" tanya Soka. Sang kakak 
membenarkan sambil anggukkan kepala.
"Jangan singgung-singgung kata 
'pamrih'," ujar Perawan Hutan dengan 
serius, sedikit cemberut. 
"Mengapa tak boleh?"
"Pamrih itu nama mendiang Ibuku. 
Pamrih Suliah."
Raka dan Soka sama-sama sembunyikan 
tawa, walau sebenarnya mereka ingin 
terbahak karena geli mendengar nama 
mendiang ibu Perawan Hutan. Tawa dalam 
senyum dikulum itu akhirnya reda dengan 
cepat, karena tiba-tiba langkah mereka 
terhenti oleh sesuatu yang mengejutkan.
Sesuatu yang mengejutkan itu adalah 
sesosok mayat yang tergeletak di bawah 
pohon dengan darah kering berceceran di 
sekitarnya. Mayat itu adalah mayat 
seorang lelaki berkepala gundul yang 
agaknya tewas karena suatu pertarungan.

Dada lelaki itu koyak lebar bagai terkena 
tebasan pedang lawannya. Mereka segera 
jauhi mayat itu sambil menutup hidung,
sebab mayat tersebut telah membusuk.
"Sepertinya mayat itu sudah dua tiga 
hari tergeletak disana" ujar Soka setelah 
meludah.
"Tinggalkan saja, tak perlu kita 
bahas lagi" kata Raka sambil mengawali 
melangkah lagi.
Beberapa saat kemudian, langkah 
mereka terhenti kembali oleh dua sosok 
mayat yang tergeletak di semak-semak, 
tampak kakinya saja. Mayat itu pun sudah 
membusuk dan berbelatung. Mereka segera 
meninggalkan mayat tersebut, mendaki 
lereng yang mulai berhutan lebat itu.
"Gila...?!" gumam Soka sambil menutup 
hidungnya saat mereka terhenti kembali. 
Kali Ini mereka temukan lima sosok mayat 
yang membusuk dan berbelatung juga.
"Apakah mereka orang-orang yang 
menjadi korban berebut Bunga Pucuk Dara?" 
ujar Perawan Hutan seperti bicara pada 
diri sendiri.
"Entahlah! Yang jelas tempat ini 
dipenuhi oleh mayat yang berserakan. Dan 
mereka pada umumnya adalah korban 
pertarungan," kata Raka sambil pandangi 
senjata-senjata yang tergeletak di 
samping mayat-mayat itu.
Semakin tinggi lereng yang didaki,

semakin banyak mayat yang ditemukan oleh 
mereka. Bahkan yang telah menjadi 
kerangka pun tak sedikit. Udara di
sekitar lereng Itu sudah tak sehat lagi. 
Ke mana-mana bau bangkai busuk yang 
memualkan perut.
Namun sekalipun mereka menemukan 
pemandangan yang mengerikan, toh tekad 
mereka tetap bulat dan semangat mereka 
tetap tinggi. Gua Mulut Naga tetap mereka 
cari sesuai petunjuk dalam peta yang kini 
dibawa oleh Raka Pura itu. Dalam peta 
tersebut terdapat gambar sepasang pohon 
beringin. Menurut penjelasan Nini 
Sawandupa, gua keramat itu terletak di 
antara kedua pohon beringin tersebut. 
Maka, mereka pun memperhatikan tiap pohon 
yang ada di sekitar lereng gunung itu. 
Mereka mencari dua pohon beringin yang 
tumbuh bersebelahan.
Beberapa saat kemudian, Soka 
menemukan sebatang pohon beringin putih, 
batang dan daunnya berwarna putih.
"Raka, itu dia pohon beringinnya!"
"O, ya...! Tapi mengapa hanya satu, 
mestinya ada dua!" ujar Raka sambil 
mereka hampiri pohon beringin putih Itu.
"Tunggu!" cetus Perawan Hutan. "Ada 
mayat di bawah pohon beringin itu. Dan... 
sepertinya aku mengenali mayat tersebut!"
Mereka pun memeriksa mayat yang 
tergeletak tak jauh dari pohon beringin

putih itu. Mayat tersebut agaknya masih 
baru. la terluka tusukan besar di ulu 
hatinya, seperti habis ditusuk dengan 
pedang hingga tembus ke punggung.
"Kau mengenal mayat perempuan tua 
ini?!"
"Ya, aku mengenalnya!" jawab Perawan 
Hutan. "Ini mayat Nyai Pangesti!"
"Siapa Nyai Pangesti itu?" tanya 
Soka.
"Gurunya si Tandu Sangrai!"
"O, ya...?!" Raka terperanjat.
Keadaan hutan disekitar tempat 
ditemukannya mayat Nyai Pangesti sudah 
lain dengan hutan di kaki gunung tadi. Di 
situ, hutan dalam keadaan rusak. Banyak 
pohon yang tumbang dan pecah pertanda 
terkena pukulan tenaga dalam dan menjadi 
sasaran jurus-jurus dahsyat. Tapi dari 
pohon-pohon yang tumbang, mereka tidak 
menemukan pohon beringin putih. Berarti 
pohon beringin putih yang masih tumbuh 
kokoh itu bukan patokan menuju Gua Mulut 
Naga.
Tiba-tiba Soka Pura berseru dari sisi 
lain. "Raka, lihatlah mayat ini...!"
Rupanya Soka telah menemukan mayat 
seseorang yang mereka kenali. Mayat itu 
dalam keadaan jebol dadanya, tergeletak 
dalam keadaan masih menggenggam kipas 
hitam. Mayat perempuan itu sangat 
mengejutkan Raka, karena Raka tahu bahwa

mayat itu adalah mayat si Peri Kenanga, 
ketua dan penguasa Kuil Darah Perawan, 
(Baca serial Pendekar Kembar dalam
episode: "Kencan Di Ujung Maut").
"Hampir saja dia menemukan gua itu 
lebih dulu dari kita," ujar Raka kepada 
adik kembarnya.
Tiba-tiba Perawan Hutan berseru, 
"Lihat di sebelah sana! Bukankah itu 
pohon beringin putih juga?!"
Mereka bergegas hampiri pohon yang 
dimaksud Perawan Hutan. Ternyata pohon 
itu memang pohon beringin putih. Hanya 
saja, jaraknya terlalu jauh dari pohon
beringin yang pertama.
"Berarti di sekitar jarak kedua pohon 
inilah letak Gua Mulut Naga" kata Soka 
Pura sambil memandang ke arah lereng yang 
lebih atas lagi.
Mereka pun segera lakukan pencarian 
dengan lebih teliti lagi. Sesekali 
langkah mereka harus berhenti karena 
menemukan mayat korban pertarungan dalam 
memperebutkan Bunga Pucuk Dara.
"Berarti bunga itu masih bisa 
tumbuh?!" kata Anggiri seperti bicara 
pada diri sendiri. "Buktinya mereka rela 
mati di sini. Pasti mereka memperebutkan 
bunga tersebut!"
Sebelum Raka mengomentari kata-kata 
Perawan Hutan, tiba-tiba mereka mendengar 
suara rintihan kecil dari balik semak

semak. Rintihan itu seperti orang sedang 
sekarat yang tersengal-sengal. Mereka 
segera mencari si pemilik rintihan itu. 
Tak berapa lama mereka temukan seorang 
lelaki pendek berusia sekitar empat puluh 
tahun. Lelaki itu dalam keadaan terluka 
sangat parah dan wajahnya sudah seputih 
kertas karena kekurangan darah. Perutnya 
robek lebar, kedua kakinya hitam hangus, 
dan kepalanya pun bocor berlumur darah.
Tak satu pun dari mereka bertiga yang 
mengenali lelaki pendek itu. Namun ketika 
mereka memeriksa lebih dekat lagi, lelaki 
yang sedang sekarat membuka mata sedikit, 
kemudian mulutnya bergerak-gerak pelan
yang membuat mereka bertiga segera 
mendekatkan telinga untuk mendengarkan 
perkataan orang tersebut.
"Ja... ngan... dekati... gua itu...." 
"Kenapa?" tanya Raka.
"Pen... penjaganya... ga... galak, 
saaa... sadis, dan ber... berilmu 
tinggi."
"Siapa penjaga gua itu?!" tanya Soka 
yang sama-sama mengerti gua yang dimaksud 
adalah Gua Mulut Naga.
"Sssee... seeeorang... seorang 
mmmanu... manusia dari... batu... yang... 
yang kkh...!" kepala orang itu terkulai, 
artinya nyawa orang itu sudah tak betah 
mendiami raga yang rusak. Meski orang itu 
hembuskan napas terakhir sebelum selesai

bicara, tapi mereka mengerti maksudnya. 
Gua Mulut Naga dijaga oleh seorang yang 
berilmu tinggi dan kejam. Mereka pun 
dapat menyimpulkan bahwa mayat-mayat yang 
bergelimpangan disana sini adalah para 
korban yang bertarung dengan penjaga gua 
tersebut.
"Jalan terus, Soka! Kita hadapi si 
penjaga gua itu!" ujar Raka memberi 
semangat pada adik kembarnya. Perawan 
Hutan pun menjadi tambah semangat lagi.
"Soka, mengapa orang tadi tidak 
segera kau tolong dengan ilmu 
pengobatanmu?" tanya Perawan Hutan.
"Sudah terlalu parah. Firasatku 
mengatakan, sudah waktunya ia kembali ke 
pangkuan Yang Maha Kuasa."
"Firasatku pun begitu, maka..."
Ucapan sang kakak terputus tiba-tiba, 
karena matanya memandang sesuatu yang 
amat menegangkan. Pandangan mata yang 
terbelalak itu diikuti oleh pandangan 
mata Soka dan Perawan Hutan.
"Ooh... itu dia! Pasti itulah yang 
dinamakan Gua Mulut Naga!" ujar Soka 
berseri-seri.
Kini mereka sudah berada didepan 
sebuah gua berbatu-batu. Pintu masuk gua 
cukup lebar, bagian atasnya terdapat 
bebatuan yang bertumpuk-tumpuk hingga 
membentuk kepala naga yang sedang membuka 
mulutnya, badan naga seperti tertimbun

kebesaran gunung tersebut.
"Perawan Hutan, kau jaga diluar gua. 
Aku dan Soka akan masuk ke dalam gua itu 
dan...."
"Ggrrrh...!" tiba-tiba terdengar 
suara geram yang besar dan menggetarkan 
tanah tempat mereka berpijak. Perawan 
Hutan segera mencabut pedangnya. 
Sreet...! 
Wuuuut...! 
Ia melambung ke atas dan hinggap di 
dahan pohon. Matanya memandang sekeliling 
dengan liar dan ganas. Ia mencari si
pemilik suara geram itu.
Ternyata pemilik suara geram tersebut 
muncul dari dalam Gua Mulut Naga. la 
bergerak cepat dalam satu lompatan 
panjang bagaikan bayangan hitam menerjang 
Raka dan Soka. 
Weesss...!
"Awaass...!" seru Perawan Hutan. Raka 
dan Soka segera melompat, masing-masing 
kekanan dan kekiri. Dengan begitu, 
terjangan bayangan hitam itu tak mengenai 
mereka namun menabrak sebatang pohon 
lurus yang batangnya sebesar pilar 
istana.
Bruuus, kraaak...! 
Brruuukk...!
Pohon itu tumbang seketika, hancur di 
pertengahan batang yang ditabrak bayang 
hitam itu. Bayang hitam jatuh berdebam,

lalu segera berdiri dan berpaling 
menghadap Raka dan Soka. Kedua pemuda itu 
sempat terbengong melihat orang bertubuh 
tinggi, besar, tanpa baju, hanya 
mengenakan cawat berlumut. Tubuhnya 
berkulit sangat tebal dan sosok 
penampilannya menyerupai seonggok batu 
gunung. Semua kulit tubuhnya serba keras 
dan berlumut samar-samar. Dialah yang 
dimaksud Manusia Batu oleh orang yang 
meninggal di depan mereka tadi.
"Grrrh...!" si Manusia Batu menggeram 
lagi, memperlihatkan mulutnya yang 
bergerak kaku dengan gigi hitam berlumut. 
Kepalanya tak berambut, namun mempunyai 
tanaman sejenis lumut batu. la memang 
sosok makhluk yang menyeramkan bagi siapa 
saja.
"Soka, biar kuserang dulu dia!" seru 
Raka, kemudian segera melompat dan 
melepaskan jurus 'Kobra Liar'. Pukulan 
tanpa sinar itu biasanya mampu merobek 
perut lawan. 
Wuutt, crrok...!
Ternyata pukulan 'Kobra Liar' tak 
mampu merobek perut si Manusia Batu. 
Sebaliknya si makhluk aneh Itu 
mengibaskan tangannya dan tubuh Raka 
terhantam kibasan itu dengan keras. 
Burrk...!
"Aaow...!" Raka memekik, tubuhnya 
terpelanting dan jatuh dalam hempasan

keras. 
Bluuhk...!
Kerasnya kibasan tangan itu membuat 
tulang dada Raka bagaikan patah semua. 
Mulutnya pun semburkan darah walau tak 
banyak. Raka tak mampu berdiri lagi, ia 
seperti dijatuhi batu keras dan besar 
dari suatu ketinggian. Napasnya terasa 
berat dan sesak sekali.
Melihat kakaknya terluka bagian 
dalamnya, Soka Pura segera menyerang 
Manusia Batu dengan jurus 'Cakar 
Matahari', yaitu sinar putih menyerupai 
mata pisau yang melesat dari tangan yang 
menyentak ke depan dalam bentuk cakar 
beruang. 
Claaap...! 
Criing, blaaar...! 
Sinar putih menyerupai pisau runcing 
itu tidak bisa menembus tubuh si Manusia 
Batu. Padahal biasanya bisa untuk 
menembus dua pohon sekaligus. 
"Grrraaoow...!"
Manusia Batu ganti menyerang Soka 
dengan lompatan cepatnya. 
Wuuutt...! 
Soka diam ditempat dan melepaskan 
jurus bersinar merah dalam bentuk seperti 
lempengan bergerigi yang memutar cepat 
memercikkan bunga api. 
Zaaarrk...!
Ziiuurrrb...!

Jurus 'Mata Bumi' yang bersinar merah 
itu kenai dada si Manusia Batu, namun 
padam seketika, bahkan meledak pun tidak. 
Sedangkan tubuh Manusia Batu tetap 
melayang menerjang Soka Pura. 
Brruus...!
"Aaahk...!" Soka terlempar sejauh 
tujuh langkah dan terbanting menyedihkan 
disana. Pada saat itu pula, Perawan Hutan 
meluncur dari atas pohon bagai seekor 
kelelawar tanpa sayap. 
Wuuss...! 
Pedangnya ditebaskan beberapa kali ke 
kepala si Manusia Batu.
Tring, tring, trang...!
Setiap tebasan pedang kenai kepala 
Manusia Batu, namun hanya memercikkan 
bunga api tanpa membuat Manusia Batu 
terluka sedikit pun. Bahkan ia segera 
sentakkan tangan kanannya yang besar itu 
ke arah Perawan Hutan. Pada waktu itu, 
Perawan Hutan menjejak pohon dan gerakan 
layangnya kembali dekati si Manusia Batu.
Wuuk, claap...! 
Sinar merah seperti bola api sebesar 
genggaman orang dewasa telah melesat dari 
telapak tangan si Manusia Batu. Sinar itu 
akan menghantam tubuh Perawan Hutan. Tapi 
gadis itu segera tebaskan pedangnya 
dengan cepat tiga kali. 
Zing, zing, zing...!
Tebasan itu mengeluarkan asap tebal

seperti kabut dingin. Kabut itulah yang 
akhirnya menjadi sasaran sinar merah dari 
Manusia Batu.
Zuubbs...! 
Blegaaarr...!
Ledakan dahsyat terjadi, Perawan 
Hutan terlempar kuat dan membentur pohon 
dengan keras. 
Brrruuk...!
"Uuuhk...!" ia mengerang kesakitan 
dalam keadaan terkulai di bawah pohon.
"Soka! Serang dia bersama dengan 
jurus 'Tapa Sunyi' kita!" seru Raka, Soka 
pun anggukkan kepala.
Maka tubuh kedua pemuda kembar itu 
melayang cepat menuju Manusia Batu yang 
ingin hampiri Perawan Hutan. Raka 
melayang dari arah kiri, Soka dari arah 
belakang. 
Wuuutt...! 
Lalu masing-ma-sing tangan mereka 
menggebrak kepala Manusia Batu bagai 
bertepuk. Hal itu dilakukan mereka secara 
bersamaan.
Prrook...!
"Haaggrrh...!"
Manusia Batu memekik keras-keras, 
menggetarkan pepohonan dan membuat daun-
daun berguguran. Tubuhnya oleng ke sana-
sini dengan kepala masih utuh.
Perawan Hutan segera bangkit dan 
kerahkan tenaga untuk menerjang Manusia

Batu dengan tendangannya. Ia memekik 
keras-keras sebagai luapan murkanya.
"Heeaaahh...!"
Tapi baru mendapat dua langkah ia 
harus segera hentikan rencananya. Karena 
pada saat itu tubuh Manusia Batu telah 
terpuruk, hancur menjadi pasir hitam dari 
kepala sampai telapak kaki. 
Zrraaaks...! 
Perawan Hutan hanya bisa terbengong 
kecewa memandang! tumpukan pasir yang 
bercampur dengan darah kehitam-hitaman. 
Itulah jenazah si Manusia Batu yang sukar 
ditumbangkan oleh beberapa tokoh tingkat 
tinggi, namun akhirnya hancur di tangan 
si kembar Raka dan Soka.
"Perawan Hutan, carilah bunga yang 
kau maksud, aku dan Soka akan masuk ke 
dalam gua!" 
"Hati-hatilah kalian!"
Blaas, blaas...! 
Si kembar melesat masuk ke dalam Gua 
Mulut Naga. Gua itu dalam keadaan gelap. 
Bagian depan memang agak terang karena 
mendapat biasan sinar matahari, tapi 
bagian dalamnya gelap pekat, Raka dan 
Soka terpaksa keluar kembali, mencari 
kayu dan ilalang kering untuk digunakan 
sebagai obat darurat.
Ketika mereka masuk ke dalam gua 
lagi, ternyata keadaan gua telah berubah 
menjadi terang benderang. Setiap dinding

dan bebatuannya seperti kristal-kristal 
yang diberi lampu sorot dari belakangnya. 
Cahaya yang memancar adalah cahaya putih 
tidak menyilaukan.
Raka dan Soka tertegun bengong, 
akhirnya membuang obor tersebut keluar 
gua.
"Gua ini mempunyai lorong menuju ke 
bawah, Raka! Tampaknya lorong itu 
berliku-liku!"
"Karena itulah dinamakan Gua Mulut 
Naga," ujar Raka sambil pandangi keadaan 
dinding dengan terheran-heran.
"Dari mana datangnya cahaya ini?!"
"Entahlah," jawab Soka. "Barangkali 
ini sebuah keajaiban yang sulit dipahami, 
sehingga gua ini dikatakan sebagai gua 
keramat!"
Mereka menyusuri lorong gua yang 
menurun terus dan berliku-liku. 
Dindingnya masih tetap memancarkan cahaya 
terang seperti kristal penutup lampu 
sorot.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti dan 
wajah mereka menjadi tegang sekali. 
Mereka sudah mencapai jalanan yang datar 
dan lebar, menyerupai sebuah ruangan 
tanpa pilar. Ruangan itu juga berdinding 
terang, sehingga mereka dapat melihat 
dengan jelas ke tengah ruangan tersebut.
Di sana telah berdiri dua orang kakek 
berambut putih digulung, jenggot, kumis,

dan alisnya juga putih. Mereka mengenakan 
baju tambal-tambal dan menggenggam 
tongkat serta tempurung. Mereka adalah 
pengemis tua yang tadi menghadang di 
perjalanan.
"Gila! Bagaimana mereka bisa tiba di 
sini lebih dulu dari kita?" gumam Soka 
sangat heran.
"Perhatikan wajah dan pakaian 
mereka.... Mereka adalah pengemis kembar 
yang sulit dibedakan satu dengan lainnya, 
kecuali lewat warna tongkat dan tempurung 
mereka!" bisik Raka dengan hati berdebar-
debar.
Kedua pengemis itu memandang mereka 
dengan senyum wibawa dan pandangan mata 
penuh kharisma. Raka dan Soka merasa 
takut mendekati mereka, sehingga langkah 
kedua pemuda itu pun. terhenti di ujung 
lorong. Mereka berlutut satu kaki dengan 
kepala sedikit tertunduk penuh hormat.
Tiba-tiba salah satu dari pengemis 
tua itu berseru,
"Selamat datang, Pendekar Kembar! 
Kalian memang murid-murid yang patuh 
kepada guru dan berjiwa besar."
Pengemis yang tadi minta digendong 
sampai sungai itu ikut berkata pula.
"Apa yang kalian cari sudah kami 
siapkan di sini.
Memang kami menunggu kedatangan 
kalian! Ambillah sepasang Pedang Tangan

Malaikat, pergunakan untuk kebajikan!"
Pengemis yang satu berkata lagi, "Dan 
kami mempunyai hadiah untuk sahabat 
wanita kalian itu...."
"Setangkai bunga yang bernama Bunga 
Ratu Jagat, yang akan membuatnya menjadi 
seorang ratu sampai akhir hayatnya tiba 
nanti. Ia akan disegani oleh setiap 
orang, dan dikagumi oleh siapa pun!" 
sahut pengemis satunya lagi.
"Hadiah ini kami berikan untuknya 
sebagai upah kebajikannya selama dalam 
perjalanan kemari, dan sebagai ganti 
Bunga Pucuk Dara yang tak akan mekar lagi 
itu!"
Bluuub...! 
Tiba-tiba kedua pengemis tua itu 
lenyap dalam bentuk gumpalan asap tebal. 
Ketika asap itu menipis, tampaklah dua 
pedang tergeletak di tanah dan setangkai 
bunga seperti teratai susun berwarna 
ungu. Kedua pedang berbentuk indah dengan 
sarung pedangnya putih berkilauan mirip 
kaca itulah yang disebut sepasang Pedang 
Tangan Malaikat, jelmaan dari tongkat 
kedua pengemis. Sedangkan bunga mirip 
teratai susun warna ungu itulah yang 
dinamakan Bunga Ratu Jagat, jelmaan dari 
dua tempurung kedua pengemis tadi.
Raka dan Soka segera mengambil kedua 
pusaka tersebut serta Bunga Ratu Jagat, 
kemudian mereka segera tinggalkan tempat

itu dengan hati girang dan rasa bangga 
yang tiada taranya.
"Kudengar mereka menyebut kita 
Pendekar Kembar!" kata Soka. "Bagaimana 
Jika kita pakai julukan itu saja?!"
"Kurasa memang itulah julukan kita 
nanti! Pendekar Kembar!"
Perawan Hutan sangat gembira menerima 
Bunga Ratu Jagat. Wajahnya yang cantik 
tampak berseri-seri ketika mendengar 
keistimewaan bunga tersebut. Ia terpaksa 
ikut pulang si Pendekar Kembar ke Gunung 
Merana untuk berkenalan dengan si Pawang 
Badai dan Nyi Padmi, orangtua angkat 
Pendekar Kembar itu.
Setelah mendengar cerita Raka dan 
Soka tentang kedua pengemis tersebut, 
Pawang Badai pun jelaskan, bahwa kedua 
pengemis kembar itulah jelmaan roh ayah 
dan paman Eyang Guru Dewa Kencan yang 
bernama Suralaya dan Eyang Surapati.


                            SELESAI

Segera terbit!!!
"SETAN CABUL"

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar