Camar-camar laut itu beterbangan di atas air,
dengan suaranya yang bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut
itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas,
tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruh-
nya.
Sementara itu beberapa ekor bangau menukik
turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang
bergerombol burung-burung lain pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh.
Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat
itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu
cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air
dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya. Dua
sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan,
dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda
membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.
"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk
pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda.
Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang
kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan
wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.
Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada
kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir
akan terjadi hal yang bakal berbuntut panjang kelak,
bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata
si pemuda. Gadis manis itupun duduk di sampingnya.
Sejurus ia termenung, lalu berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beri-
stri banyak itu..? Apakah kau akan biarkan aku jatuh
dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya
si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan..? Akan tetapi aku tak
dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti
kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang
tua kelak akan hidup bahagia? Menolak keinginan
orang tua itu durhaka, Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya
kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara su-
dah mengalir air mata di kedua belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi.
Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita
telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Ber-
kata si pemuda.
"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis
yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku untuk pulang men
gambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk
menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana? Apakah ada
rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu
datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta Menggala itu..?" Tanya lagi
Gumarang. Gadis ini cuma gelengkan kepala dan ber-
kata;
"Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan
dengan datar. Sementara ia sudah cekal lengan keka-
sihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku
khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si ga-
dis. Gumarang menatap gadis di hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wa-
jahnya.
"Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Se-
pasang matanya menatap sejenak ke belakang, lalu ke
sekelilingnya.
"Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat itu.
Di muara sungai itu seorang tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang
muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar
lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya.
Sebentar saja keduanya telah berada di hada-
pannya, Gumarang langsung berkata
"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah
si tukang perahu. Dan laki-laki itupun menatap tajam
pada mereka berganti-ganti.
"Kami akan berikan sewanya. Asalkan bapak
dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno
Wulan menambahi. Setelah terdiam sejenak, laki-laki
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana
tujuan orang? Pikirnya. Namun dengan sabar ia mem-
beri jawaban.
"Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah
disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum. Akan tetapi si
tukang perahu itu sudah mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah!
Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana.
Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar
pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..!
Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu
amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!" Terkejut
Gumarang dan Retno Wulan, mendengar penuturan
itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa
adanya si tukang perahu ini.
"He ? Begitukah..? Kalau demikian berikan saja
perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau
jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak
uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya
Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh
ringgit perak! Murah bukan? Tapi kau hanya boleh
pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si
tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya
kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Me-
maki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh
Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Men-
dengar kata-kata orang tua itu, wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku..?! Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil
dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima,
kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak
pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada
gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..!
Hingga kau tak beranggapan aku membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit bercerita, anak..? Aku in-
gin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden
Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak
banyak berayal, segera sedikit menceritakan tentang
keluarganya.
"Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena
melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu? Aku belum memberi jawaban.
Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala.
Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku
tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan.
Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan
uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku
tak berhak mencintai seseorang dengan bebas? Keba-
nyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu
sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa
saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak
kekerasan... Nah! Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak
pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami
menghadapi hal semacam ini..!" Kata-kata gadis itu
terdengar lantang dan tegas. Pertanda ia tetap akan
pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus
menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si
tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti.
Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan
hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah
menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli itu.
"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati,
dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?"
Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di
hadapannya. Hampir berbareng keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling
mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dile-
paskan lagi.
"Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja
perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal
cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tu-
kang perahu. Wajah Gumarang berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya
pada si tukang perahu.
Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya.
Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengu-
capkan terima kasih, segera berlari ke perahu. Debiran
ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah
lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan
segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu
meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya
pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah gelombang....
Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu
telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh.
Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai,
orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus membelah ge-
lombang. Angin darat meniup keras membuat mereka
tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang
memainkan kemudi di buritan perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan,
menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega.
Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui
halangan nanti, Gumarang.. ?" Tanya Retno Wulan.
Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu cuma tersenyum, dan
berkata;
"Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus
ke pelabuhan besar? Kita akan pergi kemana saja,
yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa
mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu
membuat Retno Wulan jadi naikkan alis. Tapi ia sudah
tertawa kecil dan berteriak memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku
yang pintar. Dan juga tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati
padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata;
"Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati padamu.."
"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah
alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih
hatinya? Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna.
Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap
ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak masuk dari sela-sela
papan di bawah perahu.
"Oh..!? Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Ret-
no Wulan. Seketika wajah Gumarang pun berubah pu-
cat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak kaget.
"Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah
sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi
jauh..!"
"Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno
Wulan. Keadaan segera berubah. Kini keduanya tam-
pak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar
dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di
tempat itu terlihat daratan, selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan Gumarang! Biarlah
kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan dengan terisak. Sementa
ra air makin naik hingga setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat
itulah tiba-tiba muncul di kejauhan sebuah perahu
layar besar. Berseri wajah Retno Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang, seraya berte-
riak... "Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi seko-
nyong-konyong wajahnya kembali pias. Dan terdengar
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si
Tirta Menggala..?" Gumarang tak dapat menjawab. Ta-
pi cuma tertegun menatap pada perahu besar itu yang
makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya
telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pa-
da saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau
bawa kabur kemana calon istriku itu? Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali
besar untuk menggagalkan rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan
nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala. Perahu besar
itu tidak terlalu mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan
menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah
mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat
menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah
kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada
saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tir-
ta Menggala. Dan dibarengi dengan olengnya perahu
besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!? Perahu kita bocor besar..!" Dan pa-
niklah seketika kelima orang anak buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu
untuk melihat .Betapa terkejutnya melihat air mengalir
deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata
dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala
manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya beru-
bah pucat.
"Celaka..!? Cepat putar kemudi..! Pasang
layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!" Segera ber-
lompatanlah anak-anak buahnya untuk menjalankan
perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu
kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan
kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan
seperti kami.. ? Keringat dingin seketika saja telah ber-
cucuran di sekujur tubuhnya. Kini terlihatlah perahu
besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan
oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah
menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan
lagi...
Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat me-
mejamkan mata karena sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan
menyambar pinggangnya dan di saat perahu mereka
tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan selang beberapa saat me
reka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika terasa lengannya aneh
itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan
dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di
hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju
sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang
Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di darat.
"Sss... ssiapakah anda..? Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami.. ?" Bertanya Gumarang
hampir berbareng dengan Retno Wulan. Gadis di ha-
dapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian
telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!"
Berkata gadis aneh itu. Akan tetapi kedua remaja itu
telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang manusia... Anda
pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolongan mu
sang Dewi..!"
Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut,
si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat
angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik.
Dan memaksanya berdiri lagi. Demikian juga
Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa
lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar
biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan
perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali
gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.
"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia
biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai? Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata segera menatap tubuh
gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi
menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu. Tapi Guma-
rang segera menjawab;
"Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi
Gumarang meneruskan kata-katanya, sosok tubuh di
hadapannya telah berkelebat lenyap.
Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan
Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka
hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu.
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan,
injakkan kaki di padang rumput yang menghijau.
Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di
bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung Dempo?..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro
tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk cepat. Sementara itu
tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh
berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan.
Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang
seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian
sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa.
Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua
orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya
tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang
telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan,
telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu
segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh.
Dan salah seorang sudah berkata; "Anda pasti salah
seorang undangan dari Ketua kami, Selamat datang di
daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas
besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah
mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari
kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan
buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..!
Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik.
Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan
Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu..? Pikir Roro.
Entah ada pertemuan apakah? Pikirnya lagi. Namun
justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu.
Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk
melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan
jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk
ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro
sudah kelebatkan tubuh kesana.
***
Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika
sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang
karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari
para anak buahnya pun terdengar... Tirta Menggala
mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah
bayangan bagai kilat, menyambar tengkuk Tirta Meng-
gala. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas
air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa
wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba
di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun
ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta
merta segera ia bersujud dengan khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga
terkejut sekali. Sosok tubuh yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh
kurus jangkung. namun agak bungkuk. Akan tetapi
anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak
terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung
serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terda-
pat bulu.
Wajahnya menampilkan usia yang sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak
melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan
cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai
selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke
punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip
dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan
menampakkan taring di kiri kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau
tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat
mendekati perahu mu? Bayangan merah jambu itulah
yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga
mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah
jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang
muda itu dari bahaya kematian.. Mendengar kata-kata
itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?"
Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bag
menggeram.
"Gut... Menurut berita dari Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan
terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung
Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan
yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil
membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya
yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan
mempunyai ilmu berjalan di atas air..!"
Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan
gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain
yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di
anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu
yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang
lautan itu datang kemari…?" Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri
Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya.
Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena
Pendekar Wanita itu termasuk manusia yang suka
mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek.
Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu di kediaman ku. Ku
kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila
kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si
kakek dengan sorot matanya yang tajam menatap Tirta
Menggala. "Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu
dulu untuk... untuk..." Tirta Menggala tak dapat mene-
ruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi.
Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan saja..!"
***
Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan
pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan
setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah
desa terpencil di tengah hutan bambu.
"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali.
Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bu-
kan main.
"Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si
Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah
sempoyongan.
"Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena
wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas.
Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi
jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat me-
nyusul kita lagi, Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu
dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita. Eh!? Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti
oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar
laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak
ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang
tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring.
Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias
tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba
pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela
yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan
untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia
hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.
"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!"
Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia
tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah.
Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini
saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas
yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan
ia sudah segera masuk ke dalam salah satu pondok
kosong itu.
"Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!" Kate Gumarang. Sambil
menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi. Gumarang cepat memasuki
kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur.
Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya.
Ah, beruntung aku..! Desis Gumarang. Tapi aneh..!?
Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan..? Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..! Yang penting kami dapat
bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing memikirkannya..? Desis pe-
muda ini dalam hati.
Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan
tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat menghampiri.
"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang se
raya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke da-
lam.
"Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini.
Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemu-
da itu. Dan tak lama ia sudah baringkan tubuh Retno
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku
takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik
kembali lengan laki-laki itu. Dan sudah didekapnya
erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis
bergemuruh.
"Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku
takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya mem-
belai rambut dan mencubit hidung Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk. Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk
meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang
mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan
itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan
untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti
mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera
ia merogoh sakunya. Dan nyalakan lampu dengan ba-
tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi
terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi
Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis
itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak keringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka
peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu
dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka
kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap
redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku
untuk selamanya..!" Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan
kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu
dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam
buaian asmara yang bergejolak. Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan
angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun
bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan
tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan
lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda
ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan tadi siang.
Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena
hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela
dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana
memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa
desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun
telinganya.
"Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan
miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit ping-
gang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti tenggelam
dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan
sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....
***
Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di
ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari
mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu.
Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang
istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia
menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan
berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan
sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Han-
tu.
Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di
sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping
kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga
orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita
Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang
biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undan
gan.
Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu
undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika
di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja
Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu
sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu merayap, Roro
tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia
diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar.
Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap
rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki
setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana
adanya pertemuan empat pasang mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena
mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda
mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera
Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara
orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat
terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke
dinding rumah.
"Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk,
kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara
sang Ketua Perguruan Burung Hantu. Yang memang
berjulukan si Burung Hantu. Roro bergerak perlahan
tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat
ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah dite-
muinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah
itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk
berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan
rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung Hantu itu. Kedua laki-laki
itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa.
Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar.
Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas.
Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring ti-
pis, yang berbentuk mirip tutup panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata
seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong.
Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung
dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis
dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak
terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan
baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular
berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar
tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu.
Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si
tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Ko
bra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro
telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang
bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal
hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat
orang itu.
"Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita
kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si ju-
bah kuning.
"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk
minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama
perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan
pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu."
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si wanita alias si Ular
Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul
pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau menculik anak
gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya!
Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu
juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta
Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara
agak ditekan.
"Tirta Menggala.. ? Hm, kurasa diapun tak mau
disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa
Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam
sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan
yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-
tiba si Ular Kobra Mata Merah ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau
tak buru-buru bertindak..!" Menimbrung lagi Kala
Dungga. Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak
perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama
dengannya. Karena kita-bisa-bisa berurusan dengan si
pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu
saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya
aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai
menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari
tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya;
"Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya sim-
panan khusus... Cantik juga. Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?" Tentu
saja Roro Centil jadi merah wajahnya. Diam-diam ia
memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"
Adapun si Burung Hantu baru sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang ta-
munya.
"Aku sendiri belum mengetahui siapa dia
adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga
orang undangan itu jadi melengak.
"Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa
merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..!
Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan
dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Bu-
rung Hantu ini tampak menghela napas, lalu berkata
perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui
lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak,
karena ia telah juga menjadi tamuku? Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu
wanita disana untuk melayaninya. Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak
merasa diundang mengapa mau saja datang untuk
menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda
mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti.
"Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau
Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, ma
ka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini
dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya
untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu beri-
kan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma
ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia
menginap? Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia
bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertong-
kat ular. Akan tetapi si Burung Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si
Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus
diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar
gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya
habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri
dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan
suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki
kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian
menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa
yang telah didengarnya: Nama-nama yang diingatnya
adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman
Kera Putih. Entah bagaimana rupanya si kakek yang
kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala
adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita
cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.
Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan
urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan
orang baik-baik. Sayang percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk mengambil putusan.
Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan penyergapan malam ini? Ka-
lau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut
campur urusan orang. Dan akan membela siapakah
ia? Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si
Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain
ia menjadi penonton saja? Tapi... Berfikir lagi Roro
Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah
si Burung
Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan
yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah
menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan
mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si
Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai mereka kembali.
Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku sudah keluar jendela,
tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk
mengawasi aku..?
Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul
keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu
wanita? Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan
beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak
terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro dibuatnya tertegun.
Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan
membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri.
Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar
yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika
dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar
suara menggeram.
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di
pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di
pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba
bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan
detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk
menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh
seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja
ia sudah tak sanggup lagi. Sementara sepasang mata
si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang se-
perti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya
makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan
menghadapkan kepala pada Roro Centil. Sedang sepasang matanya terus menatap sang Pendekar wanita
Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat
bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat
berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona..? Ada-
kah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh
yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar
itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah!
hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..!
Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balik-
kan tubuh untuk kembali keluar. Dan menutupkan
kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara
langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia
baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa le-
lah bekerja.
Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya,
pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui
adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar aneh..!? Pikir Roro Centil.
Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk
menjaganya..? Demikian berkata hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini,
Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya
benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas
sekali. Bahkan otaknya pun tak dapat berfikir jernih.
Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya. Tapi
diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya
yang menjadi lemah tak bertenaga.
Malam itu adalah malam yang paling tidak
enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk
ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok
tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan
desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain
dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai
rencana.
Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke
pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia
memang baru saja menambah beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan menangani urusan per-
dagangan besar dengan orang asing. Tentu saja usaha
itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga
bekas seorang pembesar yang banyak membantu di
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa
juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok tubuh menyelinap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas
itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping
kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan.
Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan
rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah
tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan
gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung
Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah.
Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas
membongkar genting..?" Si wanita baju merah itu tam-
pak kerutkan alis sejenak, lalu menyahuti.
"Baiklah… Dan ia segera akan bergerak untuk
melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat
pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah
sisi rumah petak itu telah bermunculan tiga sosok tu-
buh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si Burung Hantu cuma
memandang dengan senyum menghina pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang
tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala.
Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian
si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya
perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senja-
tanya.
Trang! Trang! Dua serangan pedang telah di
sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan
adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang
ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian
ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar
burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar
Hantu. Kedua orang penjaga yang menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari
pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera
mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati.
Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan
senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang bersenjata golok be-
sar itu dengan senyum-senyum.
Beberapa serangan sang penjaga itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat
mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si
Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok
Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar
bagai baling-baling... Si penjaga bergolok besar itu ter-
kejut karena rasakan sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok
besarnya, disertai bentakan.
Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga.
Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat
ular si wanita. Darah segar menyembur mengerikan.
Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali
senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan
tewas mengerikan. Dalam pada itu si Burung Hantu
tengah melancarkan serangan maut pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan sang lawan. Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga.
Salah seorang tak dapat mengelakkan diri lagi. Maka
terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu
berhasil mencengkeram jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan robohlah si
penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan
membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk melarikan diri. Tampaknya
ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita.
Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya
telah tertembus tongkat ular bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar,
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang
hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera
saja ia berteriak-teriak...
“Rampooook! Rampooook..!" Dan ia sudah ber-
lari lagi ke ruangan depan. Tapi tak lama kemudian
kembali lagi ke kamar. Sementara sang istri cuma bisa
ketakutan menggulung tubuhnya dengan selimut,
dengan tubuh menggigil gemetaran. Tiba-tiba di kamar
sebelah terdengar suara bergedubrakkan. Disertai sua-
ra jeritan wanita. Terkejut si Hartawan. Ketika itu juga
ia teringat akan anak gadisnya.
"Ratna Dewi anakku..!" Teriak si Hartawan. Ia-
pun berlari ke kamar anaknya. Sementara istrinya pun
tiba-tiba melompat dari tempat tidur, dan berlari ke
kamar putrinya. Akan tetapi pada saat itu juga jendela
samping telah dicongkel terbuka. Dan Kala Dungga
melompat ke dalam. Sekejap saja telah terdengar jeri-
tan ngeri wanita istri hartawan itu. Lehernya hancur di
cengkraman manusia telengas itu, di sertai robohnya
sang tubuh ke lantai. Si Hartawan terkejut bukan
main. Saat itu juga ia memekik keras. Dan ia sudah
melompat menyambar sebuah tombak di sudut dind-
ing ruangan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar
biasa, melihat tubuh sang istri telah tergeletak di lan-
tai bersimbah darah. Akan tetapi pada saat itu juga
berkelebat Gajah Dungkul dari dalam ruangan kamar
anak gadis hartawan. Sebelah lengannya telah berge-
rak, dan tahu-tahu tubuh laki-laki berusia enam pu-
luh itu sudah roboh dengan perdengarkan keluhannya.
Ternyata si Gajah Dungkul telah menotoknya. Di lain
saat, terdengar suara pintu yang pecah bergedubrak-
kan. Disertai melompatnya si Burung Hantu dan si
Ular Kobra Mata Merah. Melihat rekan-rekannya ber-
hasil masuk, Gajah Dungkul tersenyum.
Bagus..! Hayo kalian geledah seluruh isi kamar!
Anak gadisnya si tua bangka ini telah ku totok! Ru-
panya hanya tiga orang penjaga saja yang diandalkan
untuk menjaga gedungnya. He he he..." berkata Gajah
Dungkul sambil tertawa. Dan ia pun sudah berkelebat
masuk ke kamar. Ketika keluar lagi sudah memondong
seorang gadis yang berteriak-teriak. Tapi sudah tak bi-
sa menggerakkan tubuhnya lagi. Si Burung Hantu
hanya nyengir, sambil segera berkelebat memasuki
kamar. Disana ia mengobrak-abrik lemari pakaian.
Bahkan kasur dan bantal di aduk-aduk. Sedangkan si
Ular Kobra Merah memasuki kamar anak gadis harta-
wan itu. Disana iapun menggerayangi setiap tempat.
Sementara Kala Dungga mendekati si gadis dalam
pondongan Gajah Dungkul. Wajahnya tampak cengar-
cengir melihat gadis cantik.
"Eh, kakak, berikan aku yang memondong-
nya..!" Berkata Kala Dungga seraya melompat mende-
kati. Gajah Dungkul tertawa menyeringai, serta berka-
ta;
"Boleh! Tapi ingat, jangan kau beri sisa mu..!"
Dan segera lemparkan gadis dalam pondongannya itu.
Yang segera disambuti Kala Dungga.
"Ha ha ha... Cantik juga anak gadis si tua
bangka ini.." Dan ia sudah mendaratkan ciuman di pi-
pi gadis bernama Ratna Dewi itu.
Adapun sang gadis itu sudah menjerit-jerit ke-
takutan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ketika
tiba-tiba ia melihat ibunya yang tergeletak bersimbah
darah, tanpa bergerak-gerak lagi... seketika ia menjerit
panjang. Lalu jatuh pingsan. Sementara si Hartawan
itu cuma bisa meringis pedih melihat apa yang terjadi
di depan matanya. Tiba-tiba ia telah keluarkan benta-
kan;
"Iblis-iblis keparat..! Lepaskan anak gadisku!
Jangan kau ganggu dia..! Katakan apa mau kalian?!
Mengapa kalian lakukan semua ini? Aku merasa tak
bersalah apa-apa terhadap kalian..!" Teriak Datuk Su-
tan Benggala Dewa. Sementara diam-diam hatinya
mengutuk panjang pendek orang-orang bayarannya
yang tak bisa diandalkan. Gajah Dungkul tertawa ter-
kekeh sambil acungkan senjata piring tipisnya di leher
si hartawan.
"He he he... kami mau kepalamu tuan besar!
juga harta, dan... dan... anak gadismu yang cantik
itu..!" Berkata Gajah Dungkul dengan wajah jumawa,
sambil lirikan mata pada anak gadis laki-laki itu yang
berada dalam pondongan adiknya. Sementara itu si
Burung Hantu sudah melompat keluar. Wajahnya me-
nampakkan kekecewaan. Seraya berkata;
"Kurang ajar! Aku tak dapat menemukan tem-
pat menyimpan uang dan harta benda si kunyuk ini!
Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa dia agar menunjuk-
kan tempat menyimpan harta bendanya..!" Gajah
Dungkul melengak. Dan saat itu si Ular Kobra Mata
Merah juga telah melompat keluar.
"Aku cuma menemukan ini..!" Desisnya. Seraya
menunjukkan seuntai kalung emas bermata berlian.
Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke arah jenasah
istri si hartawan. Tampaknya ia membungkuk. Dan
menyambar kalung emas, serta membuka beberapa ge-
lang di tangan jenazah wanita malang itu. Kemudian
membungkusnya dengan sapu tangan. Dan selipkan
pada celah bajunya. Lalu melompat lagi ke dekat tiga
rekannya.
Datuk Sutan Benggala Dewa cuma bisa pejam-
kan mata. Tampak ada setitik air bening mengalir ke-
luar dari sudut pelupuk matanya. Tiba-tiba sudah ter-
dengar bentakan lagi. Ia rasakan kepalanya terangkat
naik. Rambutnya terasa pedas sekali. Ternyata si Ga-
jah Dungkul telah menjambak rambutnya.
"Kunyuk..! Kau mau pura-pura pingsan! Hayo
katakan dimana kau menyimpan harta benda mu...!
Atau kau mau kutebas batang lehermu? Teriaknya. Seraya tekan piring tipisnya ke leher si Hartawan, yang
segera meringis kesakitan. Terlihat ada sedikit darah
mengalir dari kulit lehernya Tapi Datuk Sutan Bengga-
la Dewa tetap membungkam. Membuat Gajah Dungkul
jadi berang.
"Ku hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak
membuka mulut. Kepalamu akan segera menggelind-
ing dalam sekejap..!" Bentak Gajah Dungkul, seraya
menjambak rambut si hartawan lebih keras. Hingga
laki-laki itu meringis lagi kesakitan. Akan tetapi Kala
Dungga sudah menyambar bicara;
"Kalau dengan cara demikian, bisa-bisa ia me-
milih mati. Atau bisa juga berdusta. Sebaiknya kita
gunakan cara yang aku pakai ini..!" Seraya berkata
demikian, ia telah letakkan gadis yang pingsan itu di
lantai. Dan tanpa ragu-ragu sudah membukai pa-
kaiannya...
"He he he... Bagus! Bagus! Adikku..! Biarkan
aku yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau kalau
sobat Burung Hantu kepingin, berikan gilirannya buat
dia..!" Tak berayal lagi Gajah Dungkul segera akan
membuka juga pakaiannya. Sementara si Ular Kobra
Mata Merah plengoskan wajahnya dengan wajahnya
dengan wajah bersemu merah. Akan tetapi pada saat
itu juga si hartawan sudah berteriak;
"Jangan kalian ganggu anakku...! Akan kuberi-
tahukan tempat menyimpan uangku..!" Pakaian si ga-
dis yang baru dibuka separuhnya itu sudah lantas di
tutup lagi.
"Bagus..! Berkata Kala Dungga. Nah dimana
kau simpan uang dan harta benda mu, tuan besar..!"
Berdesis si Gajah Dungkul. Sementara si Burung Han-
tu cuma jadi penonton saja. Pada saat itu juga tiba-
tiba terdengar suara mengeram. Yang membuat semua
yang berada di tempat itu jadi melengak. Dan tahu-
tahu di ruangan itu telah menjelma seekor Harimau
Tutul yang hampir sebesar kerbau, dengan didahului
keluarnya asap hitam yang tebal. Tentu saja keempat
manusia jahat itu jadi terkesiap. Terlebih-lebih si Bu-
rung Hantu. Karena Harimau belang jejadian itu ada-
lah mahluk suruhannya, yang telah disuruhnya men-
jaga Roro Centil.
Segera kesemuanya melompat mundur. Se-
dangkan Burung Hantu segera berkata dengan suara
gemetar;
"Datuk Siluman Raja Hutan..!Kau..kau bukan-
kah telah disuruh menjaga wanita itu di rumah besar,
melalui perantara nenek dukun yang telah ku-
panggil di rumahku.. ?" Akan tetapi sebagai jawaban-
nya sang harimau jejadian itu bahkan menggeram le-
bih dahsyat. Hingga seluruh ruangan itu terasa bergo-
lak. Akan halnya si Dua Iblis Sembilan Nyawa alias Ka-
la Dungga dan Gajah Dungkul, jadi kesal dan men-
dongkol dengan adanya harimau jejadian itu. Walau-
pun ia memang agak ngeri dan membuat bulu kuduk-
nya berdiri. Tampak kedua kakak beradik itu segera
memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah mener-
jang dengan senjatanya. Gajah Dungga menebas leher
sang harimau itu dengan sebuah piring tipis yang ter-
buat dari baja berkilat itu. Dan Kala Dungga telah ke-
luarkan senjatanya dari balik punggung, yaitu sebuah
garpu sebesar lengan dengan lima buah ujungnya yang
tajam. Dengan kecepatan kilat, Kala Dungga menusuk
kepala makhluk itu.
Akan tetapi seketika makhluk itu lenyap. Dan
yang membuat terkejut adalah si Kala Dungga, karena
tiba-tiba saja ia berteriak-teriak kesakitan sambil me-
megangi lehernya. Tampak, seperti ia tengah berusaha
melepaskan cengkeraman pada lehernya. Namun tak
kuasa... Hingga akhirnya ia berkelojotan meregang
nyawa. Melihat demikian si Ular Kobra Mata Merah ja-
di gemetar. Dan keluarkan keringat dingin pada seku-
jur tubuhnya. Dan tanpa menunggu lagi, segera me-
lompat pergi dari ruangan itu, menerobos jendela, dan
melesat kabur menyelamatkan diri. Si Burung Hantu
jadi serba salah. Iapun tak dapat menahan diri lagi un-
tuk segera melarikan diri, sipat kuping. Meninggalkan
gedung si Hartawan itu. Sementara Gajah Dungkul
mencoba menarik tubuh adiknya dengan mencekal ke-
dua kakinya, untuk dibawa keluar ruangan. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara menggeram... dan ia ter-
lempar jatuh bangun menabrak pintu. Yang seketika
jadi jebol, dengan papan-papan berantakan. Terkesiap
seketika laki-laki berperawakan tinggi besar ini. Dan
dengan mengurutkan punggungnya, terpincang-
pincang ia melarikan diri... Tanpa mau tahu lagi akan
nasib adiknya.
Hingga dalam sekejapan saja, ruangan kembali
menjadi sunyi. Kala Dungga tergeletak di lantai tak
berkutik lagi. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan.
karena dari mata, telinga serta hidungnya tampak
mengalirkan darah yang menganak sungai... Sedang-
kan makhluk Siluman yang menyeramkan itu telah
menjelma lagi menjadi seekor harimau tutul yang amat
besar.
Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ramp-
ing berbaju merah jambu. Sekejap ia telah berdiri di
dalam ruangan itu. Ternyata tak lain dari Roro Centil
adanya. Melihat kedatangan Roro, tiba-tiba harimau
tutul itu menghampirinya. Dan tampak menggeram-
geram seperti melihat tuannya, serta mengelilingi Roro.
Segera saja Roro memeluknya, dan mengelus-elus belakang kepalanya.
Si Tutul cuma kedip-kedipkan sepasang ma-
tanya, dan menciumi lengan Roro serta menggeser-
geserkan kepalanya dengan manja. Tapi sebentar ke-
mudian Roro Centil segera bangkit berdiri seraya ber-
kata;
"Tutul..! Tunggulah di luar. Aku akan mengu-
rusi orang-orang di dalam ini. Terima kasih atas ban-
tuanmu, Tutul..!" Tampaknya sang harimau itu men-
gerti, dan dengan patuh sekali ia melesat cepat keluar
pintu, dan lenyap.
Roro Centil segera membebaskan totokan pada
tubuh si hartawan. Yang seketika sudah menekuk lu-
tut di hadapan Roro, seraya berucap...
"Oh..! Te... terima kasih atas pertolongan anda,
nona..!" Roro Centil cuma tersenyum dan mengangkat
bahu laki-laki tua itu.
"Tak usah banyak peradatan, paman..! Lebih
baik kau urusi anak gadismu..!" Mendengar demikian
si hartawan itu sudah lantas memburu ke arah anak
gadisnya, seraya berteriak...
"Ratna Dewi... Ratna Dewi...!" Dan ia sudah
mengguncang-guncang tubuh gadis yang tergolek
pingsan itu. Beberapa saat kemudian si gadis tampak
siuman kembali. Ia melompat bangkit. Dan yang per-
tama-tama disebutnya adalah nama ibunya! "Ibuuu..!
Ibuuuu..!" Dan wajahnya dipalingkan ke beberapa
arah. Ketika terpandang akan tubuh ibunya yang ter-
golek bersimbah darah itu. Tiba-tiba ia perdengarkan
jeritannya. Seraya berlari menubruk tubuh wanita
yang telah tewas itu.
"Ibuuuuuuu...!" Dan selanjutnya ia sudah me-
nangis tersedu-sedu memeluki, dan mengguncang-
guncang tubuh ibunya. Laki-laki itu perlahan-lahan
menghampirinya. Seraya bersimpuh di hadapan jena-
zah sang istri, disamping anak gadisnya.
"Sudahlah anakku..! Ibumu sudah tenang di
alam Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita
harus relakan kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Su-
tan Benggala Dewa, sambil mengangkat bahu anak ga-
disnya. Sebelah tangannya membelai-belai rambut si
gadis yang amat disayanginya itu.
Sementara itu telah berdatangan para pegawai
sang hartawan dan beberapa penduduk desa. Yang se-
gera memburu masuk ke dalam gedung. Suasana pun
menjadi gaduh. Adapun si hartawan, ketika menoleh
pada penolongnya, ternyata telah lenyap, tak kelihatan
lagi. Kiranya hari telah menjelang pagi. Keremangan
malam itu perlahan-lahan berubah menjadi terang.
Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa pagi itu jadi ra-
mai oleh kerumunan penduduk Yang segera memban-
tu menggotong mayat-mayat di halaman. Beberapa
orang sudah memayang Ratna Dewi, untuk dibawa ke
rumah gedung di sebelah. Sementara beberapa orang
lagi sibuk mengangkat jenazah istri si hartawan itu.
Jauh dari rumah Gedung Datuk Sutan Bengga-
la Dewa, tampak berkelebat sebuah bayangan merah
jambu cepat sekali. Mata manusia biasa akan sulit
mengetahui bayangan apa itu. Tapi bagi mata orang
berkepandaian tinggi, segera dapat mengetahuinya.
Karena bayangan merah. jambu yang berkelebatan
menjauh itu, adalah bayangan tubuh Roro Centil. Si
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sungguh suatu hal
yang amat menakjubkan. Karena Roro Centil ternyata
tengah menunggang di atas tubuh seekor harimau tu-
tul yang amat besar. Makhluk itu bergerak cepat seka-
li. Larinya bagaikan angin. Entah kemana yang ditujunya...
Apakah gerangan yang telah terjadi dengan Ro-
ro Centil, sehingga dapat bersahabat dengan sang ha-
rimau jejadian itu? Dan bahkan tampaknya sang ha-
rimau siluman itu telah tunduk sama sekali padanya!
Baiklah kita kembali sejenak ke belakang.
Ketika Roro Centil dalam keadaan serba sulit
karena ditunggui oleh seekor macam siluman yang
menakutkan itu, Roro tengah berusaha menyatukan
segenap ilmu batinnya. Pada saat-saat yang mena-
kutkan itulah, Roro Centil teringat, dan tiba-tiba ter-
bayang akan wajah Gurunya. Si Manusia Aneh Pantai
Selatan. Dan entah suara Gurunya juga entah suara
batinnya. Karena pada saat itu ada suara membersit
hatinya.
"Roro... Muridku! Kau memang bocah tolol| Ta-
pi cerdik! Kalau kau menemui keanehan, mengapa tak
kau lawan dengan keanehan pula. Demikian suara itu
seperti terdengar berkali-kali. Dan terus terngiang-
ngiang di telinganya.
Roro berfikir bolak-balik. Apakah gerangan
makna yang telah membersit di hatinya itu, berulang
kali terngiang-ngiang di telinganya...
Segera ia pusatkan pikirannya untuk mendapa-
ti keanehan apakah gerangan yang harus diperguna-
kan untuk melawan makhluk siluman di hadapannya
itu. Lama dan lama ia mengingat-ingat. Sampai peluh
peluh di sekujur tubuhnya bercucuran. Roro benar-
benar sulit untuk membuka tabir
keanehan dari suara yang membersit di lubuk
hatinya. Gurunya tak memberi bekal keanehan apa-
apa! Demikian pikirnya. Roro tampak hampir putus
asa, karena tak juga berhasil memikirkan makna kata-
kata itu. Hingga terdengar sudah suara ayam berkuku-
ruyuk... Dimana si Burung Hantu dan ketiga rekannya
sudah berangkat pergi. Roro mulai agak gelisah. Beru-
lang kali ia tatap mata si harimau siluman itu. Yang
selalu tak berkedip menentang wajah kepadanya. Ka-
rena hawa aneh yang menyeramkan itu seperti telah
melolosi tulang belulangnya... Akan tetapi pada saat
itu juga Roro Centil teringat akan kotak perhiasan mi-
lik Gurunya yang selalu dibawanya. Yang masih tersisa
adalah sepuluh buah gelang emas, bertatahkan ber-
lian. Dan sebuah cincin bermata batu Merah Delima.
Mengingat akan cincin itu, Roro Centil berfikir
sejenak. Dan diam-diam berkata dalam hatinya...
Eh...!? Batu Merah Delima yang berada pada cincin ku,
amat mirip sekali dengan sepasang mata si makhluk
siluman ini. Merah bersinar! apakah keanehannya ada
pada benda itu..? Demikian Roro berfikir bolak-balik.
Dan perlahan-lahan ia sudah keluarkan kotak
perhiasan itu dari balik pakaiannya. Dibukanya kotak
kecil itu. Segera saja membersit keluar cahaya merah
dari batu cincin itu. Juga gemerlapan permata-
permata berlian dari kesepuluh gelang warisan gu-
runya. Sebaiknya kupakai saja semuanya! Pikir Roro.
Dan tanpa ayal lagi Roro masukkan lima buah gelang
pada lengan kirinya. Dan lima buah lagi di lengan ka-
nannya. Lalu pasangkan cincin emas bermata batu
Merah Delima itu di jari manisnya. Aneh..! Kesemua
benda di lengannya itu jadi lenyap sinar gemerlapnya.
Juga sinar merah dari batu Merah Delima itu. Roro ja-
di penasaran. Tapi inilah keanehannya. Memang...! Ro-
ro Centil sudah menemukan keanehannya. Akan tetapi
harus berfikir seribu kali untuk memecahkan keane-
han itu. Tampak Roro sudah tak sabar lagi. Diam-diam
ia kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengan-
nya. Ia berpendapat kalau ia berhasil menghimpun te-
naga dalam, maka sekali bergerak untuk menghantam,
tamatlah riwayat si macan siluman itu. Tampaknya
Roro berhasil... Akan tetapi terkesiap ia ketika tahu-
tahu batu Merah Delima pada cincinnya telah kembali
menyala, dan menyorot langsung ke mata siluman ha-
rimau itu. Bahkan sepuluh gelang bermata berlian itu-
pun bergemerlapan lagi memancarkan cahaya yang
amat mempesona.
Aneh...! Sang harimau jejadian itu tiba-tiba
mundur, dan menggeram lemah seperti ketakutan. Me-
lihat demikian timbullah nyali Roro. Segera saja ia te-
lah melompat bangkit. Sang harimau siluman itu se-
makin mengkerutkan tubuhnya ketakutan. Sinar ma-
tanya tampak semakin memudar. Dan akhirnya le-
nyaplah cahaya merah dari sepasang matanya. Tiba-
tiba tubuh makhluk itu bergoyang-goyang...
Dan satu keajaiban segera terjadi lagi. Tubuh
makhluk itu tiba-tiba berubah mengecil. Semakin ke-
cil... dan terus mengecil, hingga sebesar seekor kucing.
Suaranya pun telah berubah bagai suara kucing. Na-
mun tetap tak berubah warnanya. Roro jadi melengak.
Ia sudah mengucak-ucak sepasang matanya, karena
hampir-hampir ia tidak percaya pada penglihatannya.
Hingga tanpa ia sadari kakinya telah melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan terhenyak duduk di
tepi pembaringan. Sementara sepasang matanya Map
mengawasi perubahan aneh dari makhluk di hadapan-
nya. Pada saat itulah "kucing aneh" itu tiba-tiba me-
lompat ke pangkuannya, seraya perdengarkan suara
mengeong.
Terasa copot jantung Roro. Namun aneh..! ter-
nyata harimau kecil itu sudah bagaikan seekor kucing
saja. Tampaknya jinak sekali. Bahkan tampak men-
gendus-endus lengan Roro serta menjilat-jilat lengan-
nya. Lenyaplah kekhawatiran Roro seketika. Dan dengan beranikan diri ia mengelus-elus tubuh sang hari-
mau kecil itu. Tampaknya si" Kucing Aneh" itu mera-
sakan belaian halus lengan Roro. Dan memejamkan
sepasang matanya, seraya mengeong perlahan.
"Aneh..!?" Desis Roro perlahan. Namun sepa-
sang bibirnya sudah tampak senyum. Dan tiba-tiba sa-
ja ia telah peluk harimau kecil itu, seraya menci-
uminya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa
telah membersit di hati Roro semacam ada daya tarik
untuk menganggapnya sebagai sahabatnya. Selang be-
berapa saat, tiba-tiba pintu kamar Roro kembali terbu-
ka. Dan sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu
wanita di rumah itu sudah berdiri diambang pintu. Be-
gitu sepasang matanya melihat ke arah Roro, tiba-tiba
ia jadi beliakkan matanya. Dan serta merta sudah ja-
tuhkan diri berlutut di hadapan sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan. Seraya berucap dengan suara geme-
tar...
"Oh..!? Ampunilah hamba Paduka Ratu Peri,
Hamba telah berbuat lancang terhadap Paduka! Hu-
kumlah hamba Paduka Ratu Peri. Hukumlah hamba..!
Hamba telah pergunakan makhluk piaraan Paduka Ra-
tu untuk berbuat kejahatan selama ini..!" Tampak tu-
buh si pembantu wanita yang telah berusia lanjut itu
gemetar. Seluruh tubuhnya telah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Berkali-kali ia bersujud. Dan terdengar
isaknya tersendat-sendat. Ada pun Roro Centil jadi ter-
tegun tak mengerti. Lagi-lagi keanehan..! Pikirnya. Ti-
dak angin tidak hujan, tahu-tahu ia sudah dianggap
Ratu Peri. Sungguh aneh! Demikian berfikir Roro. Na-
mun sekejap Roro Centil sudah berfikir untuk meman-
faatkan kesempatan ini. Ia harus berpura-pura benar-
benar seorang Ratu Peri, seperti yang telah dianggap
oleh si pembantu wanita itu. Yang sebenarnya wanita
itu tak lain dari seorang dukun Yang telah dipanggil
datang oleh si Burung Hantu untuk membantunya Ro-
ro segera berujar, dengan suara dibuat keren, berwi-
bawa.
"Hm...! Sebenarnya kau harus dihukum berat,
tetapi biarlah aku ampuni..! Kini segera katakan pada
makhluk piaraan ku ini, agar kembali menurut pada-
ku! Aku khawatir, karena sudah sering kau suruh dia
berbuat kejahatan, lalu tidak menurut lagi padaku..!"
Tampak wajah sang pembantu alias dukun panggilan
ini, jadi berseri gembira. Dan ia sudah merangkul kaki
Roro seraya menciuminya berulang-ulang.
"Oh..! Te... terima kasih paduka Ratu Peri..!"
Sesaat ia sudah segera berdiri lagi. Sepasang matanya
yang bersimbah air mata itu menatap si harimau kecil,
dan berkata;
"Tutul..! Kini aku tak dapat mengasuh mu la-
gi..! Majikanmu sesungguhnya adalah paduka Ratu
yang memangku mu ini..! Taatlah pada perintahnya.
Dan jangan sekali-kali kau membangkangnya..!" Sele-
sai berkata, tampak si wanita tua ini membelai-belai
kepala harimau kecil itu. Lalu kemudian palingkan wa-
jah pada Roro.
"Paduka Ratu... hamba mohon diri untuk me-
ninggalkan tempat ini..!" Ujarnya seraya membung-
kukkan tubuh dalam-dalam. Roro Centil tersenyum.
"Pergilah..! Tinggalkan tempat ini sejauh-
jauhnya. Dan jangan kembali lagi!" Berkata Roro Centil
dengan suara tegas. Sepasang matanya menatap tajam
pada si pembantu wanita tua ini. Walau diam-diam da-
lam hati, Roro merasa ngeri, dan bergidik seram meli-
hatnya. Karena sekonyong-konyong tampak perubahan
pada bentuk tubuh sang pembantu wanita itu. Wajah-
nya jadi berubah semakin tua, berkeriput. Dan tubuh
nya pun jadi berubah bungkuk. Dengan suara bergetar
sang dukun itu berucap;
"Terima kasih, Paduka Ratu. Hamba akan turu-
ti semua perintah Paduka..!" Dan tak berlama-lama la-
gi, nenek tua itu sudah ngeloyor pergi. Tak diketahui
kemana jalannya. Karena tahu-tahu sudah lenyap...
Demikianlah peristiwa aneh yang telah dialami
Roro Centil. Hingga tanpa disengaja, ia telah menjadi
majikan sang harimau siluman itu. Ternyata pulau
Andalas adalah pulau aneh yang penuh misteri..! Ber-
kata Roro dalam hati. Sementara si Tutul semakin
jauh meluncur pesat. Dengan tujuan barunya yaitu
Gunung Dempo.
***
Tirta Menggala tak tahu lagi lamanya dalam
perjalanan, karena ia cuma pejamkan mata saja tanpa
berani membuka... Ketika dirasakan angin yang me-
nerpa wajahnya telah berhenti, segera buka matanya.
Ternyata mereka telah sampai pada sebuah
Goa batu yang penuh ditumbuhi akar-akar. Sepasang
telinganya sudah menangkap suara-suara kera, di se-
keliling tempat itu. Ketika ia palingkan kepalanya ke
beberapa arah. Ternyata berpuluh-puluh ekor kera
bergelayutan di dahan-dahan pohon. Suaranya tampak
riuh. Dan beberapa ekor sudah berloncatan ke hada-
pan Tirta Menggala. Tiba-tiba terdengar suara suitan
nyaring yang diperdengarkan oleh si kakek. Dan seke-
japan saja ratusan ekor kera bermunculan. Suara-
suara binatang itu jadi semakin riuh rendah. Hingga
Tirta Menggala jadi terpaku tempatnya. Segera ia terin-
gat pada dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika ia
tinggal di tempat ini. Kera-kera itu tak sampai demikian banyaknya. Tapi kini sudah mencapai ratusan
jumlahnya. Ketika ia melihat adanya orang baru yang
dibawa majikannya, segera kera-kera itu berjingkrakan
mengurungnya. Kesemuanya menampakkan wajah
bermusuhan. Tiba-tiba si kakek itu berteriak-teriak
dan menggeram mirip kera-kera itu, sambil melompat-
lompat dan menunjuk pada Tirta Menggala. Aneh..!
Sekejapan saja ratusan kera itu jadi menggelepoh di
tanah. Dan tundukkan kepala. Tampaknya mereka se-
gera mengerti kalau orang baru itu adalah sahabat ma-
jikannya. Wajah Tirta Menggala yang semula berubah
pucat itu, kini kembali cerah. Dan ia benar-benar amat
kagum dengan wibawa gurunya. Tiba-tiba terdengar
lagi suitan nyaring... Kera-kera itu segera tengadahkan
kepalanya. Dan terlihat sang majikan gerakkan tong-
katnya tiga kali ke atas.
Sekejap saja binatang-binatang itu berlompatan
lagi, masuk ke dalam hutan, dengan suara riuh. Hing-
ga tinggal beberapa ekor saja yang tampak masih ber-
keliaran di depan goa.
Sang kakek aneh itu sudah segera beranjak
masuk ke dalam goa. Melihat gurunya masuk, terpak-
sa Tirta Menggala pun menurutinya. Di pintu goa ma-
sih sempat ia menengok keluar. Tapi kemudian iapun
cepat-cepat masuk, dan tak kelihatan lagi.
Goa itu terletak pada sebuah lembah ngarai
yang amat curam adalah tebing-tebing batu yang tinggi
menjulang ke langit. Ternyata di dasar jurang itu ada
terdapat hutan rimbanya yang amat luas. Di sanalah
kera-kera itu berdiam. Hari pertama Tirta Menggala
sudah harus menjalani bersemadi dengan tubuh tanpa
mengenakan pakaian secuilpun. Tampaknya Tirta
Menggala tak dapat tenang dalam bersemadi. Karena
hatinya selalu berkata-kata... Celaka!? Beberapa bulan
saja aku disini, bisa-bisa aku berubah menjadi kera
Oh!? Matilah aku..! Seluruh tubuhku akan tumbuh
bulu..! Dan... dan akan tumbuh pula ekor di belakang-
ku..! Hiiiiii..!" Laki-laki ini bergidik seram. Hingga pe-
luh dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Hari kedua, semedinya tampak semakin goyah.
Karena ia tidak betah kalau harus bertelanjang bulat
sedemikian itu. Ditambah lagi, bermacam-macam fiki-
ran selalu membayang di matanya, hingga ia tak bisa
tenang. Hari ketiga... hampir-hampir ia berlari mening-
galkan tempat semedinya karena ia ditemani oleh dua
ekor kera yang hampir sebesar manusia. Namun ia be-
rusaha bersemedi dengan baik. Karena khawatir Gu-
runya menjadi marah terhadapnya. Hari ke empat dan
ke lima ia mulai bisa bersemadi dengan baik. Walau-
pun terkadang kedua ekor kera itu mengganggunya
dengan meraba-raba sekujur tubuhnya. Hari keenam,
pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena
selama itu ia tidak makan. Kecuali hanya minum sege-
las air putih dalam setiap harinya. Hari ke tujuh... Ke-
dua ekor kera itu dalam pandangannya sudah bukan
kera lagi, karena seperti sudah berubah jadi dua orang
gadis cantik dengan tubuh yang polos, dan mulus
menggiurkan. Entah pengaruh air yang diminumnya,
ataukah pengaruh hawa lapar...
Karena Tirta Menggala memang sebenarnya
seorang pemalas. Apa lagi selama puluhan tahun ker-
janya cuma berfoya-foya saja. Arak dan wanita cantik
seperti sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Be-
runtunglah pada hari ketujuh itu, Tirta Menggala tidak
sampai menjadi batal dengan semedinya. Otaknya ma-
sih cukup waras, karena ia masih dapat membedakan
mana suara orang, dan mana suara kera.
Tapi hari ke sepuluh. Tirta Menggala sudah tak
mengetahui lagi antara suara kera dan suara manusia.
Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya pada hari
itu, karena tubuh Tirta Menggala sudah tidak duduk
bersemadi lagi. Melainkan saling bergumul dengan ke-
dua kera itu, silih berganti.
Hari ke lima belas, tampak sepasang mata Tirta
Menggala berubah menjadi merah. Tubuhnya semakin
kurus, karena kurang makan. Hari ketiga puluh, Tirta
Menggala sudah tidak ingat siapa lagi dirinya. Bahkan
suaranya pun sudah meniru-nirukan suara kera. Dan
kedua kera itu sama sekali tak pernah menolak untuk
diajak meladeninya....
Dalam waktu selama tiga puluh hari itu, sang
kakek sering menempelkan telapak tangannya pada
punggung Tirta Menggala. Dan sudah dilakukannya
sebanyak lima belas kali. Dan pada waktu kira-kira
sepenanakan nasi.
Itulah suatu penyaluran tenaga dalam dari tu-
buh sang kakek pada muridnya. Yang di lakukan seca-
ra bertahap, sedikit demi sedikit. Setelah genap waktu
tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi makan buah-
buahan yang banyak terdapat di hutan belantara di
lembah ngarai itu. Tampaknya Tirta Menggala amat
rakus sekali memakannya. Maklum, sudah sebulan
penuh tak mengenal yang namanya makanan pengisi
perut. Dan anehnya kelakuannya kini lebih mirip den-
gan binatang kera. Demikianlah. Hari demi hari berla-
lu. Selama itu ia telah diberi ilmu-ilmu aneh. Tirta
Menggala memang telah tak mengenal dirinya lagi. Se-
lama di dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempu-
nyai tenaga dalam yang amat tinggi. Hingga batu gu-
nung pun bila di cengkeramnya, pasti hancur jadi bu-
buk. Dalam waktu tiga bulan saja Tirta Menggala telah
mempunyai gerakan selincah kera. Walaupun pada tubuhnya tak ditumbuhi bulu. Juga tak berekor. Namun
kelakuannya memang amat mirip kera. Karena sehari-
hari bergaul dengan ratusan ekor kera. Melompat dari
cabang-cabang pohon, bukan rintangan lagi baginya.
Bila terdengar suitan nyaring dari mulut si kakek aneh
yang bergelar Dewa Siluman Kera itu, maka bergerom-
bol-gerombol binatang-binatang itu berdatangan.
Diantaranya terdapat Tirta Menggala. Yang
memang sudah bagaikan hewan saja, tanpa mengena-
kan secuil pakaianpun. Kumis dan jenggotnya kian
bertambah lebat. Mulutnya selalu tampak menyeringai.
Sepasang matanya bersinar-sinar. Dengan biji ma-
tanya yang seperti tak mau diam. Mengerling kesana-
kemari. Sebentar-sebentar mendengus, dan mengga-
ruk-garuk kepalanya. Atau terkadang melompat-
lompat sambil berteriak-teriak mirip suara kera. Bila
dilihat keadaannya memang sangat mengenaskan. Su-
atu malam di bulan purnama,
Dewa Siluman Kera telah menciptakan 100
ekor kera dengan ilmu sihirnya. Tirta Menggala me-
mang tengah diuji kesaktiannya. Seratus ekor kera itu
telah menyerangnya dari segala jurusan. Hebat sekali
gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya sendiri ternyata te-
lah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Dan den-
gan lincahnya berkelebatan diantara bayangan-
bayangan ratusan ekor kera itu. Sementara Tirta
Menggala dengan kekuatan anehnya, telah menggem-
pur setiap penyerang yang datang. Hingga dalam bebe-
rapa kali gebrakan saja ia telah membuat seratus kera
ciptaan itu jadi kacau balau.
Setiap terkena pukulan Tirta Menggala, tubuh
kera-kera ciptaan itu punah, dan lenyap jadi gumpalan
asap. Diam-diam si Dewa Siluman Kera tersenyum
puas. Demikianlah... tanpa terasa telah enam bulan
lamanya Tirta Menggala berdiam di dasar jurang yang
dalam itu. Dan selama itu tentu saja ilmu-ilmunya te-
lah semakin hebat. Karena Dewa Siluman Kera me-
mang telah menurunkan hampir semua ilmunya den-
gan waktu yang amat singkat. Cuma saja dalam waktu
tiga bulan belakangan ini, banyak peristiwa terjadi
akibat cara-cara keji si Dewa Siluman Kera dalam
memberikan ilmu-ilmu hitamnya. Hingga banyak kor-
ban terjadi di beberapa desa. Memang Tirta Menggala
selalu diberi umpan untuk setiap latihan dengan ilmu
sesat. Tentu saja hal itu membuat Tirta Menggala jadi
ketagihan. Bahkan wataknya pun telah berubah men-
jadi telengas dan kejam. Umpan-umpan itu memang
sesuai dengan keinginan hatinya. Dan si Dewa Silu-
man Kera yang mengetahui tentang watak muridnya
itu, segera menyalurkan dan memanfaatkannya seba-
gai bahan latihan amat digemari sang murid. Juga me-
rupakan tontonan yang amat mengasyikkan buatnya.
***
Lenyapnya Tirta Menggala membuat gelisah be-
berapa orang istrinya Apa lagi setelah ditunggu sampai
beberapa bulan, sang suami tak pernah muncul. Se-
hingga mereka berpendapat bahwa ia telah tewas. Ka-
rena ada berita juga, tentang karamnya perahu yang
ditumpangi Tirta Menggala beserta beberapa anak
buahnya, di tengah laut. Berita itu membuat sebagian
anak-anak buah Tirta Menggala menjadi gelisah. Kare-
na mereka hanya mengandalkan gaji dari majikannya
itu. Akan tetapi sebagian lagi diam-diam mengambil
kesempatan baik itu. Yaitu mengambil alih kekuasaan
atasannya. Beberapa orang telah membentuk kelom-
pok-kelompok sendiri-sendiri. Tentu saja dalam hal ini
mereka melibatkan orang luar yang berkepandaian
tinggi.
Puluhan perahu-perahu nelayan milik Tirta
Menggala telah dikuasai oleh tiga kelompok bekas
anak-anak buahnya. Bahkan perkebunan cengkeh dan
palawija pun sudah mereka ambil alih. Tidak jarang
terjadinya pemerasan yang kian menjadi bisa diperas,
kini semakin mengeluh lagi para nelayan dan pegawai-
pegawai perkebunan. Adapun beberapa penduduk di
sekitar tempat itu yang tanah perkebunannya tadinya
telah dirampas, atau dipaksa untuk dijual dengan har-
ga murah oleh Tirta Menggala, mulai memberontak.
Begundal-begundal bekas anak buah Menggala tentu
saja tak dapat tinggal diam. Tak jarang pembunuhan
dan pemerkosaan terjadi. Kejahatan tampak semakin
merajalela.
Dan para penduduklah yang jadi korbannya.
Belum lagi dari komplotan Perguruan Burung Hantu,
yang mulai merajalela, mengadakan aksi perampokan
di setiap tempat. Walaupun si Ketua Perguruan Bu-
rung Hantu ini agak takut untuk mengganggu daerah-
daerah milik si hartawan Datuk Sutan Benggala De-
wa, namun sasaran lain masih banyak yang ia jadikan
korban. Para penduduk di setiap desa semakin resah.
Apalagi banyak berita aneh, tapi lama-kelamaan men-
jadi semakin nyata. Yaitu lenyapnya beberapa orang
gadis, yang menurut kabar adalah gadis-gadis yang hi-
lang itu adalah akibat murkanya Dewa Siluman kera.
Karena kurangnya dalam memberi sesajen dalam se-
tiap panen. Memang masih sangat disayangkan, pada
waktu itu keadaan manusia belum mengenal adanya
Tuhan. Sehingga banyak di antara mereka menyembah
dan memuliakan para Dewa atau Siluman sebagai sesembahan mereka.
Namun dalam beberapa pekan ini wajah-wajah
para penduduk agak cerah, karena dapat mendengar
berita adanya seorang Pendekar Wanita (dari tanah se-
berang pulau, yang mulai memberantas kejahatan di
setiap tempat itu. Pendekar Wanita itu selalu memba-
wa serta seekor anak harimau belang sebesar kucing.
Tentu saja tersiarnya berita itu segera menyebar ke se-
tiap tempat, karena dibawa orang dari mulut ke mulut.
Sementara di kalangan persilatan lain lagi. Ka-
rena disamping adanya berita munculnya seorang
Pendekar Wanita yang kabarnya bernama Roro Centil.
Berasal dari daerah pulau Jawa. Dan bergelar Siluman
Kera Putih.
Usaha Roro Centil mencari Peri Gunung Dempo
ternyata tak membawa basil Bukan s tak bertemu
orangnya, akan tetapi kabar tentang dimana adanya
Peri Gunung Dempo tak pernah didengarnya. Selama
beberapa bulan ia telah mengitari, dan menetap di de-
sa-desa lereng Gunung Dempo, untuk mendengar beri-
ta tentang wanita pembunuh Gurunya itu. Selama itu
pula si Belang kecil selalu menemaninya dengan setia.
Terkadang makhluk itu tak menampakkan diri. Tapi
bila Roro memanggilnya, maka akan segera muncul
sahabatnya itu di dekatnya.
Dalam masa pengembaraannya itu Roro telah
dapat berkenalan dengan beberapa tokoh golongan pu-
tih. Diantaranya yang bergelar Pendekar Selat Karima-
ta. Atau banyak orang menamakannya dengan julukan
si Bujang Nan Elok. Memang pendekar ini seorang pe-
muda yang tampan, dan gagah. Disamping berperangai
halus dan ramah, juga se orang berkepandaian tinggi.
Julukan Bujang Nan Elok itu memang itu memang be-
rarti Pemuda Yang Tampan.
Si Pendekar Selat Karimata itu mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Sedayu. Gadis
manis ini memang seperti pinang dibelah dua dengan
kakaknya. Dan tampaknya si Bujang Nan Elok amat
menyayangi dan memanjakannya. Saat perkenalan
mereka adalah ketika Roro Centil memasuki pasar.
Rupanya hari itu adalah hari pasaran. Hingga pembeli
dan pedagang berlimpah ruah. Sehabis mengisi perut-
nya, Roro bermaksud kembali ke penginapan. Akan te-
tapi jadi terkejut ketika mendengar suara orang berte-
riak-teriak. Dan suasana menjadi gaduh. Beberapa
orang berlarian mengejar tiga sosok tubuh yang mela-
rikan seorang wanita dalam pondongan salah seorang
dari kawanan penculik itu. Dua orang yang berilmu
cukup tinggi mengejar. Dan berhasil mencegat keti-
ganya. Segera saja ketiga penculik wanita itu meng-
hentikan larinya.
"Bangsat rendah..! Berikan gadis itu, atau ka-
lian akan rasakan pedangku..!" Teriak salah seorang.
Sementara keduanya telah mencabut senjatanya. Dua
dari penculik itu tampak mendengus. Wajahnya ber-
tampang seram. Kumisnya melintang sebesar cerutu.
Tiba-tiba keduanya telah membentak keras seraya me-
nerjang dengan dua kapaknya yang berkilatan.
Trang! Trang! Terdengar suara beradunya
empat senjata. Kiranya kedua laki-laki berpe-
dang itu telah menangkisnya.
"Heh....! Sebutkan siapa ketuamu penculik pici-
san... Kami Dua Pendekar Bukit Rusa akan memberi-
mu pelajaran..!" Teriak salah seorang dari laki-laki
berpedang itu dengan nada jumawa. Kedua penculik
itu tampaknya gusar main dikatakan penculik picisan.
Salah seorang sudah lantas membentak;
"Keparat..! Tak perlu kau tahu guruku, atau ke-
tua kami segala. Pendekar tengik yang masih bau kencur macam kalian cuma besar mulut saja; Terimalah
kematianmu...!"
Disertai bentakan keras. Keduanya telah berge-
rak kembali menabas dengan kedua kapaknya. Namun
dengan gesit kedua laki-laki itu berhasil menghindar.
Segera terjadilah pertarungan seru yaitu satu lawan
satu. Sedang salah seorang dari si penculik itu, masih
tetap berdiri memanggul tubuh seorang gadis. Namun
sebelah tangannya telah menyiapkan senjatanya.
Agaknya sang gadis dalam keadaan tertotok, dan ping-
san tak sadarkan diri. Tampak mulutnya telah dijejali
sapu tangan. Sementara itu beberapa orang sudah
berkerumun. Melihat demikian kawannya yang me-
manggul gadis korbannya itu segera berteriak:
"Cepatlah bereskan kawan-kawan. Jangan
sampai banyak rintangan..!" Mendengar teriak itu, ke-
dua penculik segera merobah gerakan kapaknya Tam-
pak berkelebatan kedua senjatanya mengurung lawan.
Tiba-tiba salah seorang jatuhkan diri dengan disusul
kawannya.
Serrr..! Serrr..! Serangkum jarum-jarum berbisa
telah meluruk ke arah tubuh ke dua Pendekar Bukit
Rusa... Terkejut bukan main kedua Pendekar itu. Na-
mun tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Saat
kematian beberapa detik lagi akan tiba. Tapi di detik
yang menegangkan itu, telah bersyiur angin keras
menghantam buyar jarum-jarum beracun itu. Bahkan
meluruk kembali pada penyerangnya.
Tak ampun lagi segera terdengar teriakan dari
kedua penculik itu. Kedua kapaknya telah terlepas.
Tubuh itu berkelojotan meregang nyawa. Na-
mun beberapa saat kemudian telah tewas, dengan wa-
jah, dada dan lehernya mengeluarkan cairan berwarna
hitam. Kedua Pendekat Bukit Rusa sudah melompat
mundur. Keringat dingin sudah mengalir deras di se-
kujur tubuh. Mereka jadi ternganga ketika itu juga
Ternyata di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh
wanita. Berbaju merah muda. Rambutnya terurai pan-
jang. Dan sepasang lengannya bertolak pinggang. Ter-
nyata Roro Centil telah bertindak cepat sebelum ter-
lambat. Nyaris maut menjemput kedua Pendekar muda
itu.
Adapun kawan si penculik itu jadi terperanjat.
Hingga sampai-sampai ia terkesima melihat kejadian
yang begitu cepat itu. Dilihatnya di hadapannya telah
berdiri seorang wanita cantik, ayu. Dengan mata me-
natap tajam padanya Sepasang alisnya terjungkit me-
lengkung ke atas, bagai bulan sabit. Sementara bibir-
nya telah bergerak, dan keluarkan bentakan keras.
"Apakah kau mau buru-buru pulang ke Akhi-
rat!? Mengapa tidak cepat kau tinggalkan gadis itu..?"
Bentak Roro. Seperti dipagut ular saja, kawan si pen-
culik itu jadi tersentak. Dan cepat-cepat letakkan gadis
yang dipanggulnya ke tanah. Selanjutnya sudah berlari
sipat kuping, tanpa menoleh lagi. Akan tetapi tiba-tiba
berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu laki-laki
itu telah roboh terjungkal dengan jeritan menyayat ha-
ti.
Ternyata dadanya telah tertembus pedang. Dan
seorang pemuda tampan telah berada disana. Tampak
pemuda gagah itu menatap si penculik yang sudah tak
berkutik lagi di tanah. Lalu dengan cepat ia telah se-
lipkan pedangnya kembali ke dalam kerangka di pung-
gungnya, setelah terlebih dulu membersihkan di baju
si penculik. Saat selanjutnya orang itu sudah paling-
kan wajah pada kerumunan orang banyak itu. Dengan
dua kali mengenjot tubuh, pemuda tampan itu telah
berada di hadapan Roro. Selanjutnya sudah menjura
hormat pada Roro Centil. Melihat demikian si Dua
Pendekar Bukit Rusa pun cepat-cepat menghaturkan
hormat seraya berucap.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona
Pendekar. Bolehkah kami yang rendah ini mengetahui
dengan siapakah kami berhadapan..?" Seraya kedua
pemuda itu kembali mengangkat mukanya dan mena-
tap Roro dengan tersenyum.
"Aiii..! Aku hanya kebetulan saja bisa mengusir
jarum-jarum beracun itu. Aku tidak bermaksud mem-
bunuhnya..! Aku seorang pengembara rusa dari Pantai
Selatan. Dan bukan penduduk asli Pulau Andalas ini.
Karena aku adalah dari seberang lautan. Atau Pulau
Jawa. Kaum Rimba hijau menyebutku Roro Centil.
Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Demikian ujar Ro-
ro. Memang sengaja Roro perkenalkan diri. Karena sia-
pa tahu kabar adanya ia di daerah ini, akan membuat
musuh besarnya muncul menampakkan diri suatu
saat. Selesai berkata itu Roro melirik pada si pemuda
yang telah membunuh penculik barusan.
Akan tetapi orangnya telah menubruk gadis
yang tergolek pingsan itu, seraya berteriak... "Sedayu..!
Oh! Kasihan kau..!" Dan ia sudah segera berupaya me-
nyadarkan wanita itu, yang ternyata ialah adiknya. Ro-
ro kerutkan alisnya. Segera ia melompat mendekati.
Dan dengan beberapa kali mengurut punggung dan
leher si gadis, terbebaslah sudah ia dari pengaruh to-
tokan. Dan juga sekaligus sadarkan diri. Gadis itu me-
rintih, sepasang matanya terbuka, dan sudah mau
berteriak. Akan tetapi si pemuda itu telah berkata;
"Sedayu..! Tenanglah! Kau sudah selamat. Nona
Pendekar inilah yang telah menolongmu. Hayo, lekas
kau ucapkan terima kasih padanya..!" Gadis itu segera
tatap Roro Centil, dan serta merta mengucapkan teri
ma kasih dengan gugup. Dan disambung oleh ucapan
pemuda kakaknya itu, yang langsung perkenalkan diri.
"Aku yang rendah perantau dari Selat Karima-
ta, mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda,
nona... Pendekar Pantai Selatan!" Berkata pemuda ga-
gah itu.
"Terpaksa aku membunuh kawan si penculik
itu. Manusia-manusia berbudi rendah semacam itu tak
layak hidup di depan mataku..!" Lanjutnya lagi.
Roro cuma tersenyum mengangguk-angguk.
Mendengar pemuda itu adalah Pendekar dari Selat Ka-
rimata, segera saja si Dua Pendekar Bukit Rusa men-
jura hormat. Dan saling perkenalkan diri. Adapun Roro
sudah berkelebat pergi.
"Haiii..! Tunggu..!" Teriak si Pendekar "Selat Ka-
rimata. Dan ia sudah menyambar lengan adiknya, un-
tuk selanjutnya mengejar ke arah Roro Centil. Terpak-
sa Roro menahan lompatannya. Saat berikutnya orang-
orang yang berkerumun itu cuma bisa melihat berke-
lebatnya lima tubuh para pendekar itu. Yang selanjut-
nya lenyap.
Demikianlah asal mula perkenalan dengan
Pendekar Selat Karimata. Namun selama sebulan ia
menetap di gedung tempat tinggal si pendekar muda
itu. Telah terjadi kericuhan. Kiranya diam-diam si Bu-
jang Nan Elok telah jatuh cinta pada Roro. Sedang Ro-
ro yang selalu bersikap manis terhadap siapa saja
membuat salah seorang sahabat si Pendekar Selat Ka-
rimata tak canggung-canggung bercakap-cakap atau
terkadang bercanda dengan Roro.
Pemuda sahabat baik si Bujang Nan Elok tak
lain adalah Rahwanda. Rahwanda seorang yang pe-
riang. Berperawakan kekar Dan gagah. Memelihara
cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan si Pendekar
Selat Karimata, yang berkulit putih. Berwajah halus
bagaikan wanita. Tanpa kumis dan jenggot. Entah
mengapa kedua sahabat itu jadi agak tegang. Dan ja-
rang berkumpul] bersama. Terlebih-lebih sejak adanya
Roro. Sedayu adik si Bujang nan Elok itu jadi seperti
memisahkan diri. Roro jadi serba salah. Akhirnya ia-
pun mengetahui sebabnya. Kiranya Rahwanda adalah
tunangan Sedayu. Dan suatu saat yang amat membuat
Roro terkejut adalah si Pendekar Selat Karimata telah
mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwan-
da. Pertemuan empat mata itu diadakan di pesisir Tan-
jung Lumut.
Tentu saja Roro dapat mengetahui, karena ke-
tika malam itu ia melihat adanya si Bujang Nan Elok
bersikap agak aneh. Sebentar-sebentar ia menatap bu-
lan. Roro pura-pura sudah mengantuk. Dan segera be-
ranjak menuju kamarnya. Senja itu biasanya Rahwan-
da datang. Tapi entah apa sebabnya laki-laki periang
itu tak melihat batang hidungnya. Roro yang memang
tidur satu kamar dengan Sedayu, dapat melihat gadis
itu sudah rebahkan dirinya sejak sore tadi.
Akan tetapi baru saja ia merebahkan diri, tiba-
tiba Sedayu balikkan tubuh, dan berbisik di telin-
ganya.
"Kakak Roro Centil! Apakah kau mencintai ka-
kakku..?" Tentu saja pertanyaan itu membuat Roro ja-
di melengak.
"Apakah maksudmu adik Sedayu? Mengapa
kau jadi bicarakan soal cinta? Aku hanyalah bersaha-
bat saja, tak lebih dari itu. Hi hi hi... Belum terpikirkan
oleh ku untuk bercinta-cintaan. Ada apakah adik Se-
dayu? Tampaknya ada yang tidak beres..!" Berkata Ro-
ro dengan suara perlahan. Akan tetapi Sedayu sudah
tempelkan telunjuknya di bibir, seraya katanya;
"Ssssst..! Jangan terlalu keras bicara. Nanti
akan di dengar kakakku. Dia masih berada di ruang
depankah..?" Bertanya Sedayu. Roro mengangguk.
"Dengarlah kakak Roro Centil. Apakah kau juga
tidak mencintai Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan
wajah serius. Roro kerutkan alisnya. Lalu dengan tegas
kembali gelengkan kepala. Tampak Sedayu balikkan
kepala menengadah. Menatap langit-langit kamar. Dan
terdengar ia menghela napas. Lalu kembali balikkan
wajah menatap pada Roro. Kali ini wajahnya tampak
cerah. Namun juga seperti bersedih. Ia sudah berbisik
lagi. "Kakak Roro Centil! Kini aku sudah jelas. Namun
aku butuh pertolongan mu, kakak.."
"Apakah itu..?" Bisik Roro. Tiba-tiba Sedayu
memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tolonglah aku, juga mereka..! Telah terjadi ke-
salahan faham diantara mereka. Rahwanda adalah tu-
nanganku. Kami memang telah mengikat janji. Akan
tetapi sikap Rahwanda terhadap Kakak Roro Centil te-
lah membuat kakakku menjadi kesal. Aku pun tak
mengetahui, apakah Rahwanda tiba-tiba berbalik men-
cintai kakak Roro..? Hal itu telah
membuat kakakku jadi panas hati. Dia seolah-
olah merasa dipermainkan oleh Rahwanda. Dan malam
Purnama nanti, kakakku akan mengadakan perte-
muan empat mata dengan Rahwanda. Tempatnya ada-
lah di Tanjung Lumut. Berada di pesisir pantai sebelah
barat dari tempat ini."
"Pertemuan empat mata.. ? Aneh! Apakah yang
akan dibicarakan..? Dan aku harus dengan cara ba-
gaimana aku menolongmu, atau menolong mereka. . ?"
Roro sudah potong kalimat Sedayu. Karena ia merasa
heran akan persoalan mereka yang telah melibatkan
dirinya. "Begini, kakak Roro Centil! Pertemuan itu bukan sekedar pertemuan. Karena akan diakhiri dengan
pertarungan di ujung senjata! Yang akan kumintakan
tolong pada kakak adalah: Agar kakak Roro Centil da-
pat menengahi mereka, dan menggagalkan pertarun-
gan adu jiwa itu. Yang sudah pasti akan membawa
korban. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang
kucintai. Itulah yang ku mohon padamu, kakak Pen-
dekar..!" Tercenung Roro mendengar penuturan Se-
dayu. Akan tetapi tampaknya Roro belum mengerti.
Entah pura-pura tidak mengerti. Karena ia sudah me-
lakukan pertanyaan lagi;
"Mengapa bisa terjadi pertarungan..? Bukankah
masalah itu bisa didamaikan di rumah ini. Dengan
menjelaskan persoalan..! Ujar Roro dengan berbisik.
Akan tetapi Sedayu cepat-cepat gelengkan kepala.
"Tidak! Persoalan itu sukar didamaikan tanpa
diselesaikan di ujung senjata..!"
"Mengapa..?" Tanya Roro.
"Karena kakakku telah jatuh cinta padamu,
kakak Roro Centil. Itulah sebabnya, kau harus je-
laskan pada mereka. Dan mau tidak mau, memang
penjelasan dari kakak Pendekar adalah amat meme-
gang peranan penting, sebelum terjadi pertumpahan
darah!" Terkejut Roro Centil. Barulah ia mengerti akan
sebabnya. Diam-diam dalam hati, Roro membatin...
“Aiiih! Mengapa aku jadi terseret dalam kancah
percintaan macam begini?” Akan tetapi Roro sudah
manggut-manggut tanda mengerti. Dan katakan akan
kesanggupannya menyelesaikan persoalan ini. Sedayu
tersenyum gembira. Tapi sudah berkata lagi perlahan...
"Kakak Roro Centil! Seandainya kau menjadi
kakak iparku... Oh! Alangkah bahagianya hatiku.. Roro
balas tersenyum, dan peluk tubuh Sedayu yang segera
menyumpal dalam dekapan.
***
Deburan-deburan ombak di pantai Tanjung
Lumut, malam purnama itu seperti musik yang beri-
rama syahdu. Angin malam berdesir tidak terlalu ke-
ras... Udara memang amat dingin. Terasa menusuk ke
tulang sumsum.
Akan tetapi sesosok tubuh sejak tadi telah ber-
diri dengan dada telanjang di atas pasir. Ternyata ada
lah Rahwanda. Si pemuda yang memelihara cambang
bauk, sahabatnya si Bujang Nan Elok. Purnama telah
berada di tengah antara kedua tepi langit. Seperti ada
yang tengah dinantinya Memang! Dan yang ditunggu,
tunggu itu dalang juga akhirnya. Sesosok tubuh telah
berkelebat dengan gerakan ringan dan hinggapkan ka-
ki di atas pasir. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan
gerakan ringan. Dan hinggapkan kaki di atas pasir.
Tepat di hadapan pemuda itu. Dialah si Bujang Nan
Elok. Alias si Pendekar Selat Karimata. Laki-laki tam-
pan ini berdiri menatap Rahwanda. Tali sutera di
ujung gagang pedangnya berkibaran tertiup angin.
Pemuda tampan ini memang menyoren pedang di
punggungnya. Sementara Rahwanda juga menatapnya
dengan wajah kaku. Pendekar Selat Karimata telah
langsung menyapa;
"Sudah lamakah kau menanti, sobat Rahwan-
da..?"
"Cukup lama, Pendekar Selat Karimata. Apakah
pertemuan empat mata ini sudah dapat dimulai...?"
Jawab Rahwanda, seraya lakukan pertanyaan. Si Bu-
jang Nan Elok tersenyum, seraya menghampiri tiga
tindak. Tampaknya ia tak sedikitpun menampilkan
permusuhan. atau dendam pada sahabatnya itu. Tapi
sepasang matanya tak dapat didustai. Karena pancaran sinar mata itu membersit tajam. Seolah-olah mau
menembus jantung orang di hadapannya.
"Baiklah..! Aku akan memulainya. Pertama-
tama yang akan kutanyakan adalah... ke terus teran-
gan mu, Rahwanda..! Yaitu mengenai hubungan mu
dengan adikku Sedayu. Apakah sudah ada rencana ka-
lian untuk segera menikah ?" Bertanya si Pendekar Se-
lat Karimata ini. Sedayu memang telah berhubungan
cukup lama dengan Rahwanda. Akan tetapi pemuda
ini selalu mengelak apabila didesak untuk kapan akan
melangsungkan pernikahannya dengan adiknya. Tam-
paknya Rahwanda tersenyum dan akhirnya tertawa
terbahak-bahak. Lalu berkata;
"Sobatku, kita telah bersahabat cukup lama.
Dan telah mengerti akan keadaanku. Mengapa tam-
paknya kau kurang percaya padaku? Apakah kau ta-
kut aku mempermainkan adikmu? Seraya berkata
Rahwanda palingkan wajahnya menatap laut.
"Hm... di depan mataku sendiri kau sengaja
menyakiti hati adikku, apakah hal itu tidak membuat
kurangnya kepercayaan ku padamu..?" Rahwanda ter-
kejut juga kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa,
seraya manggut-manggut.
"Kalau aku dianggap menyakiti hati adikmu
apakah alasannya? Aku jadi tidak mengerti..! Apakah
karena gadis Pendekar Pantai Selatan itu..? Tanya
Rahwanda.
"Kalau sudah tahu mengapa tak sedari kemarin
kau minta maaf padanya?" Membentak si Bujang Nan
Elok. Sementara dadanya tampak berombak-ombak
menahan kemendongkolan hatinya.
"Dia selalu memisahkan diri. Bagaimana aku
harus bicara? Dan kau juga menyingkirkan diri. Hing-
ga aku jadi serba salah. Apakah aku bersalah kalau
bercakap-cakap dengan gadis Pendekar itu? Apakah
aku sudah jadi suami resmi Sedayu? Aku punya hak
untuk bicara dan bergaul pada siapa saja?" Berkata
Rahwanda dengan nada keras.
"Tapi kau keterlaluan..." Bentak si Pendek; Se-
lat Karimata.
"Jadi apa maumu sekarang..!" Tanya Rahwan-
da.
Yang seketika jadi naik darah. Tiba-tiba si Bu-
jang Nan Elok ini telah mencabut pedangnya. Seraya
membentak keras.
"Heh! Dalamnya laut dapat diduga. Tapi dalam-
nya hati siapa yang tahu..?
Kini kita tentukan siapa diantara kita yang ma-
sih bisa berdiri tegak di atas pasir malam ini!" Men-
dengar kata-kata itu tampak wajah Rahwanda jadi be-
rubah sinis. Dan dengan wajah kaku, iapun mencabut
senjatanya yang terselip pada ikat pinggang di pung-
gungnya. Ternyata adalah tiga ruas ruyung besi. Yang
masing-masing ruas panjangnya sejengkal. Ketiga ruas
ruyung besi itu dihubungkan satu dengan lainnya
dengan seutas rantai, yang panjangnya juga sejengkal
pada masing-masing rantai. Senjata ruyung berantai
ini direntangkan di depan dadanya yang bidang. Se-
raya berucap;
"Kalau kau menghendaki demikian mana aku
berani menolak..? Silahkan kau memulai! Aku sudah
siap. Memang akupun ingin sekali melihat kehebatan,
dan ketajaman mata pedang dari seorang Pendekar Se-
lat Karimata..!"
WUTTT! WUTTT! Si pemuda tampan ini sudah
menerjang dengan dua serangan maut. Menabas ping-
gang dan dada. Rahwanda gerakkan tubuh menghin-
dar dengan dua kali lompatan salto. Akan tetapi serangan ketiga terpaksa ia papaki dengan ruyung rantai
besinya. Trang..! Trang..! Trang..!
Ternyata si Bujang Nan Elok telah mengguna-
kan jurus serangan ketiga kalinya itu dengan jurus
Aksara Maut. Yaitu gerakan pedangnya bagai tengah
menulis aksara, akan tetapi adalah serangan hebat.
Karena satu serangan mendadak bisa berubah menjadi
tiga serangan. Yang kesemuanya adalah menjurus ke
arah tempat-tempat berbahaya. Wajah Rahwanda tam-
pak berubah merah dan panas terasa. Tiga serangan
berbahaya itu nyaris mencabut nyawanya. Beruntung
ia dapat memainkan senjata ruyung rantai besinya
dengan lihai. Ternyata pedang si Pendekar Selat Kari-
mata adalah senja pusaka. Sehingga gompal pun tidak
mata pedangnya. Bahkan rantai dan ruyung Rahwan-
da tampak lecet-lecet dan tergores pedang laki-laki ca-
lon iparnya itu.
Keparat..! Memaki Rahwanda dalam hati. Tiba-
tiba ia melompat mundur tiga tindak. Dan senjatanya
telah diputar kesana kemari. Hingga terdengar sua-
ranya bagai angin ribut Dan tubuh Rahwanda tertutup
sudah oleh baling-baling putaran senjatanya. Membuat
si Bujang Nan Elok sukar mencari tempat untuk me-
nyarangkan pedangnya ke tubuh lawan. Tiba-tiba ter-
dengar suara suitan dari mulut Rahwanda. Disusul
dengan meluncurnya ruyung-ruyung berantai itu ba-
gaikan tak ada habisnya. Menyerang dan menghantam
ke arah tubuh dan kepala si Pendekar Selat Karimata.
Hal mana membuat si pemuda tampan ini jadi
terkesiap. Terpaksa ia putarkan pedangnya melindungi
kepala dan tubuhnya. Dan terdengarlah suara bera-
dunya senjata bagai tak ada hentinya.
Trang..! Trang..! Trang...! Trang..! Hebat se kali
serangan Rahwanda. Karena sebentar saja si Pendekar
Selat Karimata telah dibuat sibuk, menangkis dan me-
lompat kesana kemari. Hingga di malam yang dingin
itu ia telah bercucuran keringat, yang mengalir deras
di sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar
itu. Rahwanda tak henti-hentinya keluarkan suara se-
perti orang bersuit. Selang beberapa saat tiba-tiba
tampak tubuhnya melejit ke atas tiga tombak. Dan
hantamkan telapak tangannya. Pendekar Selat Karima-
ta terkejut. Terpaksa dengan lutut ditekuk, ia pun me-
nahan hantaman keras itu dengan sebelah lengannya.
Segera saja dua pukulan tenaga dalam beradu.
Plak..! Dan.. Blug..! Blug..! Keduanya telah ter-
lempar masing-masing lima-enam tombak. Tubuh
masing-masing jatuh ke atas pasir. Ternyata tenaga
dalam mereka berimbang. Tampak Rahwanda bangkit
lagi dengan gagah. Akan tetapi terlihat ada darah me-
netes dari sudut bibirnya. Sedang si Pendekar Selat
Karimata juga sudah bangkit berdiri. Wajahnya tam-
pak pucat, nafasnya memburu. Dari mulutnya juga
mengalirkan darah... Tampaknya mereka sudah akan
saling gebrak lagi. Tapi pada saat itu juga berkelebat
sesosok tubuh ke tengah-tengah mereka. Terkesiaplah
seketika kedua pemuda itu. Karena orang di hadapan-
nya itu tak lain dari Roro Centil, Sang Pendekar Wanita
Pantai Selatan.
Ternyata Roro sudah sejak tadi berada di tem-
pat itu. Tapi sengaja tak munculkan diri. Karena me-
mang ingin sekali melihat kepandaian masing-masing
dari kedua pemuda itu. Namun tetap berjaga-jaga den-
gan segala kemungkinan yang akan terjadi... Roro su-
dah berkata sambil tepuk-tepukkan kedua belah tan-
gannya.
"Hebat...! Hebat..! Ternyata Sobat Pendekar Se-
lat Karimata dan Sobat Pendekat Ruyung Naga sama
sama hebatnya. Mengapa kalian berlatih malam-
malam begini tidak mengajak aku.. ? Aiiih.. Sebaiknya
kita berlatih bersama-sama. Bukankah lebih baik..!"
Berkata Roro Centil sambil menjura pada kedua pe-
muda itu. Keruan saja Si Bujang Nan Elok dan Rah-
wanda jadi melengak. Tapi cepat-cepat si Pendekar Ka-
rimata berkata;
"Ah, Nona Roro Centil. Kami merasa tingkat ke-
pandaian kami merasa jauh sekali jika dibandingkan
dengan kehebatan dan ketinggian ilmu kedigdayaan
anda. Makanya kami berlatih secara sembunyi-
sembunyi..! Bukankah begitu adik Rahwanda?" Keruan
saja Rahwanda yang dijuluki Pendekar Ruyung Naga
itu jadi merubah wajahnya menjadi senyum. Dan su-
dah menjawab;
"Benar sekali kata kakak Sambu Ruci. Ma-
kanya kami sengaja mencari tempat rahasia untuk
berlatih..!" Seraya berkata ia sudah melompat ke sisi
untuk menyambar bajunya di atas batang pohon ro-
boh. Lalu cepat mengenakannya kembali. Adapun si
Bujang Nan Elok pun sudah masukkan lagi pedangnya
dalam serangka di punggung. Lalu melangkah mende-
kati Roro. Sementara masih sempat ia menyeka darah
yang mengalir dari bibirnya itu dengan lengannya.
Sedang tak lama Rahwanda sudah kembali me-
rapat diantara keduanya.
"Eh...!? Apakah nona Roro datang bersama adik
Sedayu?" Tanya Rahwanda, seraya tatap wajah Roro.
Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Adik manis itu sudah tidur, mana berani aku
mengganggunya. Oh, ya... apakah kalian telah selesai
berlatih?" Tanya Roro lagi selesai menjawab perta-
nyaan si pemuda bercambang bauk itu, seraya mena-
tap pada kedua pemuda itu. Tampak keduanya saling
pandang. Lalu berkata berbareng.
"Sudahlah! Kami kira cukup. Kami hanya seke-
dar menguji sampai dimana tingkat kemajuan ilmu ke-
pandaian kami..!" Sambung si Pendekar Selat Karima-
ta.
"Bagus..!" Berkata Roro. Dan lanjutkan lagi ka-
ta-katanya. "Kita kaum golongan pendekar yang men-
junjung tinggi kebenaran, memang harus selalu was-
pada. Kelemahan kita membuat kaum golongan jahat
akan semakin tenang berbuat keonaran. Akhir-akhir
ini aku mendengar adanya tokoh keji yang menamakan
dirinya Siluman Kera Putih. Siluman Kera Putih ini se-
lalu mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan kor-
bannya. Disamping itu pula kebuasan tokoh Hitam
yang berjulukan si Burung Hantu telah mulai tersiar.
Dengan mengadakan aksi perampokan di setiap tem-
pat Juga banyak penjahat-penjahat lainnya. Seperti ti-
ga orang penculik wanita yang telah menculik adik Se-
dayu. Guru ketiga penculik itu takkan tinggal diam.
Tentu ia akan melakukan balas dendam mencari ke-
lengahan kita. Bukan tidak mungkin mereka kaum hi-
tam akan bergabung untuk menguasai kaum putih,
dan menumpasnya habis. Tugas kita amat berat. Ka-
rena setiap saat nyawa kita bisa melayang..! Nah! Oleh
sebab itulah aku kemari. Karena sudah saatnya aku
berpamitan. Masih banyak urusan yang belum ku se-
lesaikan. Aku berterima kasih sekali pada saudara
Sambu Ruci, alias Pendekar Selat Karimata. pada so-
bat Rahwanda. Karena selama ini amat baik terha-
dapku. Semoga kelak kita bisa jumpa lagi. Dan persa-
habatan kita dapat tetap terjalin demi tegaknya panji-
panji kebenaran dimuka bumi ini..!
Kedua pemuda itu jadi melengak, dan terkejut
mendengar kedatangan Roro ternyata adalah untuk
berpamitan. Akan tetapi Roro sudah kembali berkata;
"Nah! Untuk perpisahan kita. Mari kita ikrarkan
tali persahabatan kita..!" Seraya berkata, Roro telah
ajak berjabat tangan pada si Bujang Nan Elok. Yang
bagaikan berat mengangkat tangannya, Pendekar Selat
Karimata ini segera menyambutinya. Roro menoleh pa-
da Rahwanda. Tampaknya pemuda ini pun mengerti.
Segera turut berjabat tangan. tiga tangan mereka ber-
satu. Lama sekali lengan-lengan mereka saling cekal.
Namun diam-diam Roro Centil telah salurkan hawa
hangat dari tenaga dalamnya, untuk membantu me-
nyembuhkan luka dalam akibat benturan tenaga da-
lam tadi. Tiba-tiba Roro sudah menyambar berkata la-
gi, lengan-lengan mereka berlepasan.
"Aku yakin kalian akan menjadi saudara yang
baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda! Jangan kau sia-siakan
cinta suci adik Sedayu..! Sebaiknya kalian cepat meni-
kah. Dan sampaikan salamku padanya..!" Rahwanda
tersenyum dan tertawa lebar.
"Tentu saja, nona Roro..! Aku memang telah
merencanakan pernikahan itu satu bulan mendatang.
Oh ya... selamat jalan. Semoga anda selalu dalam ke-
selamatan..!" Si Pendekar Selat Karimata pun mengu-
capkan salam perpisahan pada Roro. Sementara diam-
diam hati pemuda ini jadi malu. Ternyata Rahwanda
tidaklah seburuk sangkaannya. Setelah mengucapkan
selamat tinggal. Berkelebatlah Roro Centil dari tempat
itu. Dan sebentar saja telah lenyap tak kelihatan lagi.
Keduanya cuma bisa terpaku. Tapi selang sesaat, si
Pendekar Selat Karimata telah memeluk pundak Rah-
wanda. Tampak terdengar ia menghela napas. Dan
berkata lirih...
"Adik Rahwanda..! Marilah kita pulang..!" Pe-
muda bercambang bauk itu mengangguk. Dan sesaat
antaranya kedua tubuh itu telah tinggalkan pantai
Tanjung Lumut Yang kembali sunyi. Hanya tinggal de-
buran ombak saja yang terdengar. Sementara rembu-
lan semakin menukik ke arah cakrawala.
***
"Gumaraaaang..!" Terdengar suara teriakan dari
sebuah lembah. Suara itu mirip suara wanita. Suara
teriakan itu kembali menggema, memantul dari dind-
ing-dinding terjal itu. Seorang wanita tampak berlari-
lari dengan tubuh terhuyung. Sementara kepalanya se-
lalu bergerak ke kiri dan kanan. Seperti mencari-cari
orang yang dipanggilnya. Wajahnya tampak kusut. Pe-
luh telah bercucuran dari sekujur tubuhnya.
"Gumaraaaang..!" Kembali ia berteriak. yang
terdengar adalah suara pantulan dari teriakannya sen-
diri. Tampaknya wanita ini semakin cemas. Dan den-
gan tertatih-tatih ia berusaha mendaki tebing itu. Akan
tetapi kembali merosot turun. Siapakah wanita itu..?
Ternyata tak lain dari Retno Wulan adalah Ga-
dis yang enam bulan yang lalu telah melarikan diri dari
rumahnya bersama kekasihnya. Keadaannya kini telah
berubah. Karena Retno Wulan tampak seperti tengah
mengandung. Entah apa yang terjadi dengan wanita
yang dalam keadaan hamil muda ini, hingga berada di
dasar lembah ngarai yang curam itu..?
Usahanya untuk mendaki tebing itu sia-sia be-
laka. Dan tampak ia jatuhkan diri menggelepoh di ta-
nah. Sambil mengelus-elus perutnya yang terasa sakit.
Kelopak matanya tampak mulai basah. Dan
sudah terdengar ia terisak-isak menangis. Sepasang
bibirnya tampak tergetar. Dan desiskan kata-kata...
"Gumarang..! Dimanakah kau..? Mengapa tiba
tiba aku berada di tempat ini..? Apakah yang telah ter-
jadi sebenarnya..?" Demikian desisnya, tak lebih dari
pertanyaan-pertanyaan yang tiada berjawab. Memang
sudah nasib kedua sejoli ini yang selalu menemui rin-
tangan dalam pelariannya. Sejak menemukan tempat
bermalam di desa tak berpenghuni itu, mereka berdua
lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Semata-mata
hanya menghindari dari kejaran Tirta Menggala, dan
anak-anak buahnya. Hingga tibalah mereka pada tepi
sebuah danau. Disana mereka beristirahat untuk ke-
sekian kalinya. Agaknya Gumarang berpendapat untuk
tinggal saja di tempat itu.
Beruntung darah itu adalah dekat air. Guma-
rang dapat bercocok tanam disekitar danau itu. Pikir
Retno Wulan. Dan keputusan itupun disepakati. Gu-
marang memang berhati keras bagai karang. Baginya
kehidupan yang bagaimanapun akan ia lakukan demi
kebahagiaan mereka berdua. Mulailah Gumarang me-
nebang kayu, untuk membuat tempat berteduh. Retno
Wulan menganyam bambu untuk dinding pondok me-
reka. Sedang daun-daun kelapa dapat dipergunakan
untuk atapnya. Dalam waktu sebulan lebih, selesailah
pondok sederhana itu Dan mereka segera mendiami
tempat yang baru itu dengan gembira.
Bila pagi menjelang, Gumarang mengail ikan di
danau. Dan membakarnya untuk bersantap. Guma-
rang juga telah mulai menanam umbi-umbian atau se-
jenis ketela lainnya. Bahkan juga menanam padi hu-
ma, yang entah bibitnya ia dapatkan dari mana. Tam-
paknya mereka bahagia sekali. Sayang mereka belum
menikah. Namun kandungan Retno Wulan tampak
semakin membesar. Hal tersebut membuat Gumarang
agak malu. Dan terkadang sering melamun sambil
mengail ikan.
Suatu hari datanglah seorang kakek singgah di
pondoknya. Entah dengan cara bagaimana, sang kakek
ternyata amat kasihan pada kedua sejoli itu. Akhirnya
disaksikan sang kakek, mereka meresmikan pernika-
hannya. Barulah hati Gumarang merasa lega. Ternyata
sang kakek itu bukanlah orang biasa. Karena diketa-
huinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Terbukti,
hanya dengan menggerakkan telapak tangannya saja,
ikan-ikan di danau itu telah berlompatan ke darat Se-
perti ada tenaga aneh yang menyedotnya keluar dari
permukaan air.
Hal mana membuat Gumarang merasa terkejut
dan girang sekali. Hingga tanpa ragu-ragu ia mohon di-
jadikan muridnya. Tampaknya sang kakek ini setuju
dengan Gumarang. Dan segera menerima keinginan
laki-laki muda itu. Jadilah Gumarang murid si kakek
itu. Yang ternyata sang kakek bernama Ki Candra Lu-
gita. Yang di rimba persilatan terkenal dengan julukan
si Mayat Hidup. Memang wajah sang kakek itu amat
menyeramkan, mirip manusia yang tinggal tulang. Tu-
buhnya kurus jangkung. Berkepala gundul plontos.
Cuma kumis dan jenggotnya saja yang panjang terjun-
tai.
Dalam waktu empat bulan saja Gumarang su-
dah bukan Gumarang yang dulu lagi Karena ia telah
memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan. Apa
lagi ia telah diwarisi tenaga dalam yang hebat, oleh Ki
Candra Lugita. Alias si Mayat Hidup. Sayang sang ka-
kek itu cuma tinggal selama empat bulan di tempat itu.
Karena sebagai orang rimba persilatan, jarang dapat
berdiam di satu tempat.
Namun Gumarang sudah cukup puas. Ia ting-
gal memperbanyak latihan saja. Dan memecah jurus-
jurus ilmu silat yang telah dikuasainya. Sedikit banyak
dengan ilmu di punyainya, akan berguna untuk meno-
long diri dari bahaya. Demikianlah. Selama hampir sa-
tu bulan, Gumarang selalu rajin melatih diri memper-
dalam ilmu kepandaiannya.
Suatu ketika Gumarang tengah berperahu ke
tengah danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di
pondok sendirian. Seperti biasanya, setelah selesai
dengan pekerjaannya, Retno Wulan selalu duduk-
duduk di balai-balai ruangan depan. Memang pondok-
nya menghadap ke danau. Dan pada tempat keting-
gian. Hingga dengan mudah ia dapat layangkan pan-
dangan ke tengah danau. Bahkan Gumarang, sua-
minya dapat terlihat berada di atas perahu di tengah
danau.
Ketika itu entah dari mana datangnya. Tahu-
tahu seorang wanita telah berada di depan pintu pon-
dok. Wanita ini memang tampak cantik. Akan tetapi je-
las terlihat kecantikannya adalah karena tebalnya pu-
lasan pada wajahnya. Bibirnya merah. Dengan alis ma-
ta buatan melengkung ke atas. Terjungkit lancip ham-
pir menyentuh rambut di sisi dahi. Retno Wulan jadi
terkesiap. Ia sudah menganggap wanita itu bukan se-
bangsa manusia. Melainkan seorang peri. Karena da-
tangnya saja tanpa bersuara. Akan tetapi barulah ia
yakin kalau wanita itu manusia biasa. Karena sepa-
sang kakinya menginjak tanah. Tentu seorang wanita
persilatan yang berilmu tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia
sudah menyapa wanita itu. Akan tetapi aneh... Sedi-
kitpun wanita itu tak menyahutinya Bahkan menatap
wajahnya tajam-tajam Lalu layangkan pandangan pa-
da suaminya di tengah danau. Tiba-tiba terdengar
mengikik tertawa. Dan palingkan wajahnya lagi mena-
tap padanya. Lalu tiba-tiba telah berkelebat lenyap.
Retno Wulan jadi terpaku di tempatnya. benar
benar tak mengerti, siapakah wanita itu..?. Demikian-
lah Ketika Gumarang pulang. la segera menceritakan
tentang wanita itu. Gumarang terkejut. Karena ia me-
rasa tidak mengenalnya. Namun Retno tidak percaya.
Akhirnya mereka bertengkar. Namun dengan berkata
sungguh-sungguh dan menyakinkan pada istrinya,
akhirnya Retno Wulan pun yakin bahwa Gumarang
memang tak mengenal akan wanita itu. Apa lagi wanita
itu bila dibandingkan dengan dirinya adalah jauh lebih
tua. Mungkin sudah dua kali lebih tua dari umurnya.
Tak mungkin Gumarang berniat main gila. Pikirnya.
Malam itu sepasang suami istri itu menikmati kebaha-
giaannya. Sementara keadaan di luar gelap pekat. An-
gin bersyiur agak keras. Namun kedua insan itu telah
tidur lelap, tanpa mengetahui apa-apa lagi Pada malam
itulah terjadi keanehan...
Karena di saat Retno Wulan terbangun dari ti-
durnya, ia jadi terkejut Karena dapatkan dirinya terge-
letak di rerumputan. Gumarang sudah tak berada lagi
di sisinya. Dengan serta merta ia bangun berdiri. Dan
pandang sekitarnya. Ternyata ia berada di sebuah nga-
rai yang dalam. Di sekelilingnya adalah tebing-tebing
batu yang menjulang tinggi.
Sedang di bagian sisi lain tampak hutan rimba
yang lebat. Hingga akhirnya Retno Wulan pagi itu telah
berteriak-teriak memanggil suaminya. Keadaannya
sangatlah menyedihkan. Karena sudah sekian kali be-
rusaha memanjat tebing, untuk keluar dari ngarai
yang dalam itu. Namun tetap tak berhasil. Karena sela-
lu merosot turun kembali. Hingga banyak luka-luka
kecil di kulit tubuhnya.
Retno Wulan duduk menggelepoh sambil teri-
sak-isak. Dan terbayanglah semua apa yang telah di
alaminya sejak lari bersama orang yang dicintainya.
"Mengapa nasibku malang benar..? Oh Ayah..,
Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..! Gumarang..! Guma-
raaang..! Di manakah kau gerangan.. ?" Demikianlah,
Retno Wulan meratapi nasibnya. Akan tetapi tiba-tiba
ia jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba sesosok
makhluk berada di hadapannya, disertai suara terke-
keh-kekeh bagai suara kera. Ketika ia mendongak. Ia
jadi menjerit kaget Begitu takutnya Retno Wulan, dan
terkejut yang amat sangat melihat sosok tubuh menge-
rikan di hadapannya. Hingga ia seketika jatuh pingsan.
Ketika sadarkan diri lagi ia tengah digumuli
oleh seekor kera besar. Tentu saja Retno Wulan jadi
menjerit-jerit ketakutan. Dengan sekuat tenaga ia be-
rusaha melepaskan diri. Namun alangkah terkejutnya
ia, ketika mengetahui kera besar itu tak lain dari Tirta
Menggala. Wanita ini melompat mundur begitu berha-
sil lepaskan diri dari dekapan "kera" besar itu. Tapi
dengan sekali melompat ia telah berada didepannya la-
gi seraya menyeringai.
Tampaknya Tirta Menggala masih mengenali
Retno Wulan, yang pernah akan dipinangnya beberapa
bulan yang lalu. Tiba-tiba ia menggeram bagai kera.
"Grrr... kau ... nguk! nguk! grrr... kau Retno Wulan..?
He he he.... bagus! Bagus..! Kau harus layani aku baik-
baik..! He he he... Grrr..!" Tiba-tiba....
Bret! Bret! Brreeettt...!
"Auuuuww...! Tolooong! Tidak! Tidak! Tidaaak!"
Retno Wulan berteriak-teriak. Namun apa daya. Mak-
hluk itu telah menerkamnya. Dan mencabik-cabik pa-
kaiannya. Dan sebuah tamparan keras membuat wani-
ta itu kembali tak sadarkan diri lagi. Hingga dengan le-
luasa Tirta Menggala menggagahinya. Sementara pu-
luhan ekor kera tampak berjingkrak-jingkrak mengeli-
linginya. Dengan keluarkan teriakan gaduh. Kelakuan
Tirta Menggala memang sudah bagaikan binatang liar
saja. Karena bibirnya tampak sering mencibir. Dan hi-
dupnya mengendus-endus di sekujur tubuh korban-
nya. Semua perbuatan itu selalu diperhatikan oleh di
Dewa Siluman Kera Seperti menyenangi tontonan se-
macam itu. Tiba-tiba terdengar bentakan keras meng-
geledak. Dan... WHUUUUT...!
Tirta Menggala telah perdengarkan teriakannya
Dan terlempar delapan tombak, terguling-guling. Dan
kera-kera yang mengelilinginya seketika buyar dan ja-
tuh bergelimpangan. Sesosok tubuh mirip mayat, telah
berada di tempat itu.
"Mayat hidup..!" Teriak si Dewa Siluman Kera.
Dan ia sudah berkelebat ke tempat itu. "Keparat..! Mau
apa kau turut campur urusan muridku, Tua bangka..!
Grrrr..! Kukira kau sudah mampus..! Kau berani me-
nyatroni kemari apakah mau mengantarkan nyawa..?"
Bentak si Dewa Siluman Kera. Kiranya si kakek Can-
dra Lugita, guru Gumarang itu yang telah muncul di
situ. Tampaknya si Mayat Hidup tak merasa ciut nya-
linya. Bahkan ia sudah berkata dengan nada dingin
bagaikan es.
"Heh! Nyawaku masih ada harganya, ketimbang
nyawa manusia-manusia binatang macam kau dan
muridmu itu..! Hari ini aku tak mau melayani kau ber-
tarung. Tunggulah satu bulan lagi. Aku pasti datang
untuk bertarung denganmu sampai seribu jurus..!"
Berkata si Mayat Hidup. Seraya menyambar tubuh
Retno Wulan... Dan secepat kilat telah membawanya
pergi.
Dewa Siluman Kera tampaknya tidak berniat
mengejar. Akan tetapi hanya keluarkan dengusan di
hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke arah muridnya Tirta
Menggala, alias Siluman kerah putih. Sementara Tirta
Menggala tampak meringis-ringis menahan sakit. Ia
sudah bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah
akibat pukulan tenaga dalam si Mayat Hidup. Darah
segar mengalir dari mulutnya. Segera si kakek mene-
kan telapak tangannya pada punggung muridnya.
Tampak uap tipis mengepul keluar dari telapak tan-
gannya. Hanya sekejapan saja sang murid telah kem-
bali melompat bangun. Dan berjingkrakan seraya ber-
teriak-teriak menggeram-geram. Tampaknya ia amat
kesal sekali pada orang yang telah
mengganggunya.
Akan tetapi Dewa Siluman Kera telah menjewer
telinganya. Dan menyeret masuk muridnya ke dalam
goa.
***
Roro Centil telah memasuki lagi sarang pergu-
ruan Burung Hantu. Langkahnya tidak terlalu cepat.
Bahkan jalannya tampak melenggang seenaknya. Se-
mentara dua orang penjaga di belakangnya, tampak
masih tetap berdiri seperti biasa. Seolah tak terjadi
apa-apa. Akan tetapi sebenarnya kedua tubuhnya te-
lah tertotok kaku. Cuma kedua pasang matanya saja
yang berkedip-kedip. Dan mulut-mulut mereka yang
tak bisa mengeluarkan suara.
Tiga orang penjaga yang sedang berdiri berca-
kap-cakap, tiba-tiba menoleh. Dan salah seorang su-
dah berteriak.
"Celaka..! ? Wanita yang kusangka tetamu dulu
itu datang lagi kemari...!" Dan ia sudah lari kuping
tinggalkan kedua kawannya...Sedangkan kedua ka-
wannya itu malah cengar-cengir melihat seorang gadis
cantik mendatangi. Dengan langkah gemulai.
"Ahii... Si tolol itu mengapa jadi bodoh? Ada" te-
tamu tak diundang datang, eh... malah lari..! "Berkata
salah seorang yang bertubuh agak pendek.
"Mana cantik dan seksi lagi..! Ck ck ck... "Bodi"
nya mek..! Selangit..!" Mendesis suara kawannya. Se-
mentara sepasang matanya sudah merayapi sekujur
tubuh Roro Centil, yang semakin mendekat ke arah-
nya.
Salah seorang yang bertubuh kekar, segera
mendekati. Tampak ia sedikit bergaya, dengan merapi-
kan rambut dan ikat kepalanya terlebih dulu.
"Selamat datang nona..! He he he"... Apakah
nona mencari aku?" Bertanya ia. Yang ditanya ternyata
cuma tersenyum... Dan melangkah terus. Tentu saja
senyuman itu telah membuat ia semakin berani. Se-
perti mendapat angin. Bahkan tanpa ragu-ragu me-
rendenginya berjalan.
"Mau bertemu aku atau ketua, nona..? Kalau
Ketua rasanya sedang sakit encok. Percuma mene-
muinya..! Lebih baik dengan aku saja. He he he... po-
koknya siiip..!" Berkata lagi si orang bertubuh kekar
ini. Seraya mengurut-ngurut kumisnya, yang besar
melintang. Adapun makanya ia berani menyapa demi-
kian, karena dalam sepekan selalu ada langganan yang
datang ke rumah perguruan itu untuk menemui sang
ketua. Tentu saja si laki-laki berkumis tebal itu me-
nyangka Roro salah seorang langganan Ketuanya. Se-
mentara Roro sudah perlambat langkahnya.
Ternyata semakin berani si kumis tebal ini. Dan
sebelah lengannya telah merangkul pinggang Roro dari
belakang. Tampaknya Roro tak reaksi untuk mene-
piskan lengannya. Merasa bujukan dan rayuannya
berhasil, si Kumis Tebal telah mengajaknya membelok
ke sisi jalan. Dimana di bagian sisi jalan itu adalah
semak lebat yang amat rimbun dan gelap. Roro hanya
menuruti saja apa maunya sang penjaga itu. Tiba-tiba
si kumis tebal telah palingkan kepalanya pada sang
kawan yang masih ternganga di tempatnya.
"Ssssssttt.!" Ia sudah berikan kode pada si pen-
dek untuk tidak melapor pada sang Ketua. Tampak
sang kawan manggut-manggut. Seraya iapun diam-
diam langkahkan kakinya untuk menguntit. Tentu saja
untuk mengintip perbuatan kawannya.
Sementara diam-diam hatinya memaki.. Sia-
lan..! Si kunyuk telah untung besar! Aku tak me-
nyangka kalau ia se jinak itu..!
Lama juga si pendek ini mencari tempat men-
gintip yang aman. Karena rimbunnya semak-semak.
Namun akhirnya ia sudah dapat lihat dari celah-celah
daun. Segera ia pentang mata untuk melihat lebih le-
bar. Dan yang tampak adalah kedua kepalanya saja.
Tubuhnya belum terlihat. Segera ia kuak lebih lebar
semak yang menghalangi...
"Hah..!?" Ia sudah keluarkan desisan perlahan
dari mulutnya Yang seketika jadi ternganga. Dan sepa-
sang matanya terbeliak makin lebar. Ternyata si kumis
tebal tengah di bukai pakaiannya satu persatu. Len-
gan-lengan yang halus itu seperti dua ekor ular yang
bergerak lincah kesana-kemari. Dan sebentar saja ber-
sihlah "bulu-bulu" yang melekat di tubuh si kumis
tebal. Sayang... belum lagi ia mengetahui kelanjutan-
nya, telah terasa ada yang menarik-narik celananya,
dari belakang. Ketika ia menoleh. Terkesiaplah ia ba-
gaikan melihat malaikat maut saja Karena pada semak
belukar di belakangnya tersembul kepala seekor hari-
mau yang amat besar. Dan tengah menggigit-gigit kain
celakanya, dengan gigi-gigi taringnya yang runcing dan
tajam, Seketika saja pucat piaslah wajahnya. Ia sudah
berteriak keras sekali. Namun suaranya bagaikan le-
nyap di tenggorokan. Sekejapan saja keringat dingin
sudah mengucur deras. Dan entah mengapa, seko-
nyong-konyong nya bulu kuduknya sudah merasa me-
remang. Pandangan matanya jadi gelap. Tubuhnya
gemetaran bagaikan kena stroom. Dan selanjutnya ia
sudah jatuh pingsan menggelosoh. Kepala harimau
itupun lenyap.
Sementara itu penjaga yang tadi berlari ketaku-
tan itu telah kembali lagi Ternyata telah turut bersa-
manya sang Ketua. Yaitu si Burung Hantu. Tampak
sang Ketua putarkan kepala dan tubuh ke beberapa
arah untuk mencari sang tetamunya yang tak di un-
dang. Sedang laki-laki, anak buahnya itupun sudah
layangkan pandangan kesana-kemari mencari-cari.
Tapi baik sang tetamu yang tak di undang, maupun
kedua kawannya; kesemuanya tak ada sepotongpun
yang terlihat.
"Tad... tad... tadi disini, Pak Ketua! Kemanakah
mereka..?" Berkata si penjaga dengan suara gemetar.
Tiba-tiba terdengar suara berkrosakan dari arah sisi
jalan. Dan tersembullah sosok tubuh di kumis tebal.
Keadaannya amat memalukan. Karena ia dalam kea-
daan membugil. Ia sudah menghampiri kedua orang di
hadapannya. Aneh..! Tampaknya si kumis tebal seperti
tiada takut akan perbuatannya pada sang Ketua. Bah-
kan sambil tertawa cengar-cengir ia sudah bicara nga-
wur.
"Kurang ajar..! He, Bendot..! Apa kau sudah tak
menghargai aku lagi? Kemana tamu wanita itu? Apa
yang telah kau lakukan.. ?" Akan tetapi yang di bentak
dan dicekal keras lengannya itu cuma meringis-ringis.
Ketika dilepaskan. Kembali tertawa geli, dan bahkan
segera berlalu sambil bernyanyi-nyanyi
tak keruan. Tentu saja hal itu membuat si Bu-
rung Hantu jadi melengak. Tiba-tiba ia sudah kelua-
rkan bentakan keras...
"Keparat..! Memalukan..!" Dan ia sudah han-
tamkan telapak tangannya ke batok kepala anak
buahnya. Yang seketika jadi hancur berantakan. Dan
tanpa dapat berteriak lagi tubuh si kumis tebal yang
sudah hilang ingatan itu ambruk ke bumi. Detik selan-
jutnya ia telah kelebatkan tubuhnya ke balik semak.
Dan kembali hantamkan telapak tangannya pada so-
sok tubuh yang terlihat kakinya dibalik semak.
Tubuh itu terlempar berikut semak belukar
yang tersemburat bagai diterjang badai. Akan tetapi
terkejutlah si Burung Hantu. Karena tubuh yang ter-
kena dihantamnya adalah tubuh anak buahnya sendi-
ri. Pucat piaslah wajah sang Ketua ini. Seketika bulu
tengkuk Burung Hantu jadi meremang.
"Hi hi hi... hi hi hi... Burung Hantu. Mengapa
kau bunuh anak buahmu sendiri..?" Aneh..! Suara ter-
tawa terdengar, tapi orangnya belum menampakkan
diri. Membuat si Burung Hantu jadi gusar, walaupun
agak ciut juga nyalinya. Apakah yang dilakukan Roro,
di saat di dalam semak belukar itu? Kiranya si Pende-
kar Wanita Pantai Selatan itu telah menotok tubuh si
kumis tebal yang kurang ajar itu. Dan setelah melucuti
pakaiannya. Segera keluarkan senjata Rantai Genit-
nya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya yang su-
dah mencapai kesempurnaan itu, Roro dapat membuat
benda aneh, yaitu bandulan senjatanya yang berben-
tuk payudara itu menjadi lunak
bagaikan karet. Namun jadi kepulkan asap ti-
pis. Tiba-tiba Roro telah menghantamkan bandulan si
Rantai Genitnya pada kepala si penjaga yang kurang
ajar itu. Roro memang hanya bermaksud untuk mem
buatnya kelengar saja. Akan tetapi di luar dugaan. Ke-
pala si kumis tebal itu amat kuat Bukannya jatuh
menggelosoh. Bahkan tetap berdiri tegak. Ketika Roro
melepaskan totokannya, laki-laki itu segera saja jadi
hilang ingatan. Dan ngeloyor keluar semak dengan
mulut mengaco tak keruan. Kiranya pukulan pada ke-
pala itu telah membuat ia jadi gegar otak.
Mengapakah Roro Centil menyatroni sarang da-
ri komplotan si Burung Hantu ini ? Kiranya berita-
berita perampokan dan pembunuhan serta pemerasan
yang dilakukan oleh si Burung Hantu dan anak-anak
buahnya serta konco-konconya semakin santar ter-
dengar. Keresahan para penduduk semakin banyak di-
dengar, dan dilihat oleh Roro. Tentu saja hal itu mem-
buat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini merasa
berdosa kalau berdiam diri saja melihat kebatilan di
depan matanya. Itulah sebabnya maka Roro berniat
menumpas habis kejahatan dengan menyatroni mar-
kas si Burung Hantu.
Kemanakah Roro gerangan Hingga tak menam-
pakkan diri? Kiranya ia berada di atas wuwungan ru-
mah perguruan. Sementara belasan orang telah men-
gurungnya di bawah. Kabar bahwa adanya seorang
pendekar wanita yang berilmu tinggi dari daerah Pulau
Jawa, ternyata telah menyebar ke setiap pelosok. Dan
nama Roro Centil sudah bukan rahasia lagi. Melihat
anak-anak buahnya berkerumun mengurung di sekitar
salah sebuah rumah perguruannya, si Burung Hantu
segera mengetahui orang yang dicarinya berada dis-
ana. Segera dengan berkelebat cepat ia telah tiba di
bawah atap wuwungan
"Turunlah sobat, Pendekar Wanita..! Lebih baik
kita bicara baik-baik! Apa maksudmu mendatangi ke
markas tempat tinggalku..? Persoalan dapat dibicara
kan baik-baik..!"
"Hi hi hi... persoalan telah terlihat jelas! Menga-
pa harus dibicarakan lagi.. ? Kejahatanmu harus di-
hentikan. Kalau tidak maka akan kacaulah dunia ini..!
Dan akan ku taruh dimana mukaku, kalau aku tetap
biarkan saja kekejianmu yang kian merajalela itu, Bu-
rung Hantu.. ?" Berkata Roro Centil dengan suara lan-
tang.
Sementara itu diam-diam dua belas anak buah
si Burung Hantu telah bergerak dari salah sebuah ru-
mah perguruan di belakang Roro. Dua belas busur pa-
nah telah terentang. Dan dua belas anak panah den-
gan sasaran yang telah diincar baik-baik segera saja
meluruk bagaikan hujan ke arah Roro. Namun pada
saat itu membersit angin deras. Dan kedua belas anak
panah itu sudah buyar berantakan. Ternyata Roro
Centil telah putarkan senjata Rantai Genitnya untuk
melindungi tubuh.
Akan tetapi di luar dugaan kedua belas anak
panah itu telah kembali lagi meluncur ke arah para
penyerangnya. Tak ampun lagi segera terdengar pekik-
kan dan teriakan-teriakan ngeri. Dan sembilan orang
dari para pembokong itu telah terjungkal tewas. Den-
gan dada dan leher terpanggang anak panahnya sendi-
ri... Ternyata Roro telah barengi dengan kebutan ram-
butnya untuk mengembalikan anak-anak panah itu.
Serangkum angin segera bersyiur. Dan anak-anak pa-
nah itu bagaikan dikendalikan, telah meluncur kemba-
li ke bawah. Si Burung Hantu jadi terkesiap kaget, juga
gusar bukan kepalang. Segera saja ia telah cabut sen-
jatanya yaitu senjata yang bernama Cakar Hantu. Roro
sudah melompat ke bawah. Beberapa anak buahnya
yang coba-coba cari penyakit, membokong Roro den-
gan serangan golok dan tombak. Akan tetapi telah roboh terjungkal. Hanya dengan Roro kibaskan lengan-
nya. Namun angin bertenaga dalam yang panas itu te-
lah membuat mereka berkelojotan. Dan tewas seketi-
ka. Semakin piaslah wajah si Burung Hantu. Dan ia
sudah membentak keras...
"Minggir..! Biar aku yang menghadapi gadis se-
berang pulau yang tengik ini..!" Merasa Roro Centil tak
dapat diajak kompromi, si Burung Hantu jadi nekat,
dan segera sudah dikirimkan serangan pukulannya.
Dibarengi dengan serangan senjata Cakar Hantunya
Tring! Tring! Tring..!
Tiga rantai berujung cakar besi telah terpental
balik ke arah penyerangnya. Sementara pukulan tan-
gan si Burung Hantu menemui tempat kosong. Roro te-
lah lengkungkan tubuhnya sedemikian rupa. Dan gu-
nakan si Rantai Genit menghantam balik serangan itu.
Keruan saja si Burung Hantu terkesiap. Namun den-
gan menjatuhkan tubuh, serangan balik senjatanya
dapat ia hindari.
Burung Hantu telah cepat melompat bangkit.
Dan kali ini ia sudah melompat ke belakang tiga tom-
bak. Tiba-tiba tertawa keras sekali hingga suaranya
terdengar berpantulan. Roro kerenyitkan keningnya.
Entah apa yang akan dilakukan si Burung Hantu ini.
Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah hentikan lagi tertawanya,
seraya berkata;
"Nona Pendekar..! Sebaiknya kita berdamai..|
Aku sudah mengetahui dimana adanya orang kau ca-
ri..? He he he... si Peri Gunung Dempo itu aku tahu sa-
rang tempat tinggalnya! Percayalah! Aku akan tunjuk-
kan padamu asalkan kau mau kuajak berdamai..! Aku
memang sudah berniat merobah jalan hidupku, nona
Pendekar. Apakah kau tak ingin memberi kesempatan
padaku untuk kembali insyaf.. ?" Mendengar kata-kata
si Burung Hantu Roro Centil telah berkelebat lenyap.
Tentu saja membuat laki-laki pendek berwajah empat
persegi, yang berhidung bagai paruh burung itu jadi
melengak. Dan belum lagi ia sempat putar tubuh, telah
terdengar bentakan di belakangnya.
"Bagus, Burung Hantu..! Hayo. cepat kau tun-
jukkan dimana sarang wanita keparat itu! Tapi jangan
coba-coba kau berani mendustai ku..!" Serasa hampir
terbang nyawanya. Karena senjata Rantai Genit Roro
Centil telah menggubat lehernya dalam sekejap.
"Bbbb... ba... baik...! Baik..! Akan ku beritahu!
Sudahlah, simpan senjatamu. Mari kita pergi bersama
ke sarangnya..!" Menjawab si Burung Hantu.
Sementara keringat dingin sudah merembes di
sekujur tubuh. Tak berayal, Roro sudah lepaskan gu-
batan senjatanya di leher si Kokok Beluk itu. Tampak
si Burung Hantu paksakan diri untuk tersenyum. Ke-
mudian cepat-cepat simpan senjatanya ke balik pung-
gung. Yang sebentar saja sudah lenyap tertutup man-
tel bulu burungnya. Kemudian si Burung Hantu men-
jura pada Roro Centil, seperti sudah tak menganggap-
nya musuh lagi. Lalu berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil..! Marilah kita be-
rangkat kesana!"
"Hm... Baik..!" Jawab Roro. Dan si burung Han-
tu segera beranjak lebih dulu berkelebat Lalu Roro
menyusul dari belakang. Sebentar saja dua tubuh
tampak berkelebatan melintas hutan. Menembus rim-
ba. Bahkan meniti jalan-jalan setapak. Juga melewati
beberapa anak sungai... Sementara itu tanpa setahu
Roro dua sosok tubuh terus mengikuti di belakang,
pada jarak dua puluh tombak. Kira-kira perjalanan te-
lah ditempuh hampir sepertiga hari. Akhirnya si Bu-
rung Hantu hentikan larinya. Di hadapan mereka tampak sebuah tebing batu yang tinggi menjulang. Tam-
paknya si Burung Hantu ingin beristirahat dulu ba-
rang sejenak. Roro sudah bertanya seraya gerakkan
tangan ke atas dahan pohon.
"Masih jauhkan sarang si Peri Gunung Dempo
itu? Aku sudah tak sabar untuk melihat tampang wa-
jahnya..!" Berbareng dengan pertanyaan sudah terden-
gar suara...
Whuutt..! Dan tampak dahan pohon di atas Ro-
ro Bergoyang. Maka meluruklah jatuh berdebukkan
buah pohon itu Lengan Roro sudah bergerak menang-
kapnya. Dan tak lama telah asyik mencicipi mangga
mengkal itu. Si Burung Hantu naikkan alisnya, lalu
tersenyum melihat pada Roro.
"Tidak berapa lama lagi kita akan segera sam-
pai..!" Menyahut si Burung Hantu. Seraya memungut
mangga dekat kakinya. Dan iapun segera mengga-
nyangnya. Tak berapa lama Roro sudah bangkit berdi-
ri, dari duduknya.
"Ayolah, cepat kita teruskan perjalanan..!" Ber-
kata Roro seraya melemparkan biji mangga yang da-
gingnya telah habis digerogoti. Ternyata lemparan se-
perti seenaknya itu, berakibat mengejutkan bagi kedua
sosok tubuh yang menguntitnya. Nyaris saja leher si
penguntit dibalik semak kena terhantam, ketika biji
mangga itu menerobos belukar. Untung dapat terhin-
dar. Kiranya kedua sosok tubuh di tempat persembu-
nyiannya itu tak lain dari si Gajah Dungkul, dan si
wanita bertongkat ular alias si Ular Kobra Mata Merah.
Tak banyak cerita segera si Burung Hantu mendekati
tebing batu... Sebuah batu besar telah ia geser meng-
gelinding. Dan terbukalah sebuah lubang...
"Silakan Nona Pendekar memasukinya. Inilah
pintu masuk ke sarang si Peri Gunung Dempo!" Berkata si Burung Hantu. Roro kerutkan alisnya. Tampak-
nya ia tengah menimbang-nimbang akan kebenaran
kata-kata si Kokok Beluk itu.
"Mengapa tak kau antarkan aku sampai kesa-
na..?" Bertanya Roro. Tapi si Burung Hantu telah ber-
kata dengan senyum jumawa.
"Bagi seorang Pendekar yang termasyhur seper-
ti anda, kukira memang pantas untuk mencurigaiku..!
Akan tetapi apakah tidak melunturkan nama besar
anda?.... Kalau sampai didengar kaum persilatan bah-
wa si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil ter-
nyata takut memasuki lubang tikus..! He he he... Apa-
kah tidak malu?" Tentu saja kata-kata itu membuat
Roro Centil merah wajahnya. Dan ia sudah menyahuti.
"Baik..! Kau kira aku takut untuk kau jebak di
dalam lubang? Hi hi hi... Justru aku kepingin lihat ada
jebakan apakah di dalam..?" Berkata Roro Centil, se-
raya sudah melompat masuk. Akan tetapi pada saat
itu juga kaki si Burung Hantu telah menendang se-
buah batu empat persegi di dekatnya. Seraya mende-
sis;
"Heh..! Mampuslah kau di bawah sana..!" Pada
saat itupun terdengar teriakan kaget Roro Centil. Ka-
rena tahu-tahu batu dasar lubang yang diinjaknya te-
lah menjeblos ke bawah. Maka tak ampun lagi seketika
tubuhnya sudah meluncur deras ke bawah. Roro tak
dapat melihat apa-apa lagi, karena keadaan sekeliling-
nya gelap. Sementara itu di luar goa, sudah berkelebat
menghampiri si Gajah Dungkul dan si Ular Kobra Mata
Merah.
"Bagus..! Dengan jatuhnya si Pendekar Wanita
itu ke tangan si Dewa Siluman Kera. Maka akan aman-
lah kita beroperasi kemana saja. Karena si Dewa Silu-
man Kera pasti akan membantu setiap usaha kita,
dengan berjasanya kita mengantarnya wanita Pendekar
itu padanya. He he he..." Berkata si Gajah Dungkul
sambil tertawa menyeringai. Si Wanita bertongkat ular
itupun tersenyum. Akan tetapi telah desiskan sua-
ranya bernada mengolok-olok.
"Apakah kalian tak merasa kecewa, membiar-
kan gadis secantik itu jatuh ke tangan si Dewa Silu-
man Kera dan muridnya yang dijuluki si Siluman Kera
Putih itu..?" Si Burung Hantu dan Gajah Dungkul jadi
tertawa gelak-gelak. Dan si Burung Hantu sudah men-
gerlingkan mata pada kawannya yang bertubuh tinggi
besar itu.
"He he he... Agaknya Ular Kobra yang cantik
kawan kita ini jadi cemburu...?" "Apakah sobat Gajah
Dungkul alias si Iblis Sembilan Nyawa tak berbaik hati
untuk memberikan sedikit nafkah batin padamu, nona
Ular Kobra Mata Merah..?" Ujar si Burung Hantu lagi,
seraya palingkan wajah pada si wanita bertongkat.
Tentu saja kata-kata si Burung Hantu membuat wajah
si wanita semakin merah. Sementara Gajah Dungkul
tiba-tiba sudah berkata dengan wajah serius.
"Sebaiknya aku menyusul ke bawah... Siapa
tahu si Dewa Siluman Kera memerlukan bantuan..!".
Dan tanpa menunggu jawaban, ia sudah kelebatkan
diri pergi dari situ. Ternyata Gajah Dungkul mengam-
bil jalan memutari tebing. Dan disana ada jalan yang
menurun ke arah lembah ngarai itu. Si Burung Hantu
cuma tertawa menyeringai. Tiba-tiba lengannya sudah
menggamit pinggang si Ular Kobra Mata Merah. Yang
tampaknya tidak menolak ketika si Burung Hantu me-
narik tubuhnya ke balik batu cadas. Selanjutnya...
cuma dengus-dengus nafas si Burung Hantu saja yang
terdengar.
***
PRAKK..! Disertai dengan keluhan panjang.
Benda bulat panjang itu menggelinding, tinggalkan
bercak-bercak darah.
Tubuh si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata
Merah tampak menggelinjang beberapa saat, lalu di-
am... Dan sesosok tubuh telah meloncat dari atas teb-
ing itu. Ternyata dia Roro Centil. Tampak si Pendekar
Wanita Pantai Selatan ini menatap ke dua tubuh yang
saling tindih dengan keadaan mengerikan. Karena ke-
dua kepalanya telah hancur. Dan otaknya berhambu-
ran muncrat bercampur darah, yang tampak berlepo-
tan di dinding batu tebing itu.
"Manusia licik dan berakhlak bejat macam ka-
lian memang sudah selayaknya mampus siang-siang,
sebelum bertambah lagi dosa kalian..!" Berkata Roro,
dengan suara mendesis. Lalu kelebatkan tubuh memu-
tari tebing batu itu..
Apakah yang terjadi dengan Roro Centil? Ki-
ranya ketika ia rasakan tempat pijakan kaki menjeblak
ke bawah. Tubuh Roro memang telah terbawa menjeb-
los. Akan tetapi kira-kira sedalam dua kali tubuh ma-
nusia, Roro gunakan kaki dan lengannya untuk mene-
kan sisi-sisi dinding lubang rahasia itu. Yaitu dengan
merentangkan keempat anggota tubuhnya. Sementara
batu tempatnya berpijak tadi, terus meluncur deras ke
bawah Yang dalamnya entah berapa kaki. Demikianlah
ia menunggu sesaat. Dan sementara itu telinganya te-
lah mendengar pembicaraan ketiga manusia di luar lu-
bang goa. Ketika si Burung Hantu menggamit pinggang
si wanita tongkat ular itu, kemudian tak terdengar lagi
suaranya. Barulah Roro naik ke atas. Ternyata ia tak
keluar lagi dari tempat semula. Tapi meneruskannya
menyusuri lorong gelap di dalam goa itu. Yang ternyata
menembus sampai ke tebing. Dari atas tebing itulah ia
dapat melihat si Burung Hantu tengah saling berasyik
masyuk dengan si wanita bertongkat, hingga dengan
rasa kesal bercampur sebal, ia telah hantam keduanya
dengan batu bulat panjang yang cukup besar dari atas
tebing. Maka tak ampun lagi keduanya tewas.
Roro telah tiba di lembah ngarai yang curam
itu, setelah menuruni lereng terjal dari tebing batu
yang menjulang tinggi itu. Kini di hadapannya adalah
rimba luas yang terbentang... Ketika memandang ke
belakang, hanyalah tebing batu yang untuk melihat
ujungnya harus dongakkan kepala lebih dulu.
"Betapa curamnya lembah ini..! Apakah benar
di lembah ini tempatnya si Dewa Siluman Kera yang
mempunyai murid bergelar si Siluman Kera Putih itu..
?" Berkata lirih Roro seorang diri. Sementara diam-
diam ia jadi mendongkol pada si Burung Hantu yang
telah menipunya.
Sementara diam-diam Roro telah mencari arah
tembusan tempat lubang rahasia di bawah tebing itu.
Akhirnya ia menemukan juga lubang goa di celah batu
tebing. Akan tetapi ia jadi terkejut, karena belasan
ekor kera telah mengelilinginya. Berlompatan ke arah-
nya. Roro mulai bertindak waspada. Tiba-tiba entah
dari mana telah terdengar suara suitan panjang ber-
kumandang bagai membela bukit. Suara suitan itu
berpantulan berkali-kali. Ketika tiba-tiba ratusan ekor
kera tampak berbondong-bondong keluar dari dalam
rimba di hadapannya. Seekor kera yang lebih mirip
manusia, berkulit putih, tanpa bulu dan ekor, telah
melompat ke hadapannya, seraya tertawa menyeringai.
Keadaannya membuat Roro melengak. Karena kera itu
memang bukan kera sebenarnya, melainkan manusia
yang mirip kera.
Apakah ini si Siluman Kera Putih itu..? Sentak
Roro dalam hati. Si Kera Putih ini sudah menggeram-
geram melihat Roro. Tiba-tiba ia telah mencengkeram
untuk menerkamnya. Gerakannya gesit, Roro cepat
berkelit Akan tetapi di luar dugaan sang "kera" telah
berjumpalitan cepat sekali. Dan kembali menyambar
tubuhnya Tersentak juga Roro melihat kegesitan mak-
hluk itu.
"Grrrr... nguk! Nguk...!" Sang kera putih sudah
kembali perdengarkan suara anehnya, seraya men-
gangkat-angkat tangannya tinggi-tinggi. Dan melom-
pat-lompat. Entah itu suatu isyarat. Entah memang
kelakuannya demikian... Akan tetapi tiba-tiba ratusan
kera lainnya telah menyerbu dengan suara riuh ren-
dah. Terpaksa Roro hantamkan lengannya ke kiri dan
kanan. Terdengar jeritan-jeritan binatang itu. Dan be-
lasan ekor kera terlempar tewas. Namun bagai tak ada
habisnya, kera-kera itu kembali mengerubuti Roro,
Terpaksa Roro tarik keluar senjata Rantai Genitnya.
Dan tubuhnya berkelebat kian kemari. Maka yang
tampak adalah kera-kera itu jatuh bertumbangan ba-
gai diterjang oleh amukan bayangan yang tak keliha-
tan. Segera saja bertumpuk-tumpuk puluhan bangkai
kera berserakan.
Melihat demikian si kera putih tampak gusar
sekali. Iapun maju merangsak. Dan turut menerkam
Roro dari segala jurusan. Tiba-tiba berkelebat pula ke-
sana sesosok tubuh yang tak lain dari si Gajah Dung-
kul. Tokoh hitam yang bertubuh tinggi besar itu tam-
pak terkejut sekali melihat Roro berhasil lolos dari da-
lam jebakan. Tentu saja ia sudah turut membantu
mengerubuti si Pendekar Wanita itu. Tiba-tiba terden-
gar suara...
Brengngngng..! Brengngngng..! Brengngng..!
Ternyata ia telah bunyikan senjata anehnya. Yaitu dua
buah piling baja tipis. Yang mengeluarkan suara me-
mekakkan telinga, akibat diadukannya kedua piring
baja tipis itu. Kera-kera lainnya segera berlompatan
menjauh. Tubuh Roro tampak bergoyang-goyang mau
jatuh. Suara keras itu seperti telah membuatnya jadi
terpengaruh. Saat itu dua terjangan senjata piring baja
itu sudah menghunjam ke arah dada dan leher. Mem-
bersit suaranya bagai ular mendesis... Namun si Gajah
Dungkul jadi terkesima, karena ia tadinya sudah me-
rasa girang yang serangannya tak bakal lolos. Tapi
dengan gerakan seperti orang mabuk, Roro berhasil
menghindar. Sementara cengkeraman si Siluman Kera
Putih kembali mencengkeram angin. Karena Roro telah
gerakkan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Sa-
lah satu jurus aneh warisan dari gurunya.
Gajah Dungkul kembali menerjang dengan ke-
cepatan kilat Sepasang senjatanya bergerak menyilang
ke arah leher. Sedang satu lagi mendesing untuk
membeset selangkangan. Serangan pertama lolos, tapi
sudah disusul oleh serangan berikutnya. Hingga Roro
tampaknya kewalahan. Dan bergerak sempoyongan
kesana-kemari. Tapi bagi orang yang mengerti, akan
memuji kagum. Karena itulah jurus yang langka di
Dunia Persilatan. Dalam mempergunakan jurus itu ti-
dak sembarangan orang dapat melakukan. Karena ha-
ruslah orang nekat yang mempergunakannya. Karena
cuma mengandalkan perasaan saja. Sedang sepasang
mata tidak dipergunakan untuk melihat Namun semua
terjangan maut dapat ia hindarkan dengan baik. Tiba-
tiba terdengar suara melengking tinggi dari mulut Roro
Centil. Tahu-tahu tubuhnya lenyap... Dan pada detik
berikutnya, terdengar jeritan si Gajah Dungkul. Tu-
buhnya terlempar dengan sepasang lengannya hancur
remuk. Sedang senjatanya terlempar entah kemana...
Kiranya Roro telah hantamkan senjata Rantai Genitnya
menabas lengan lawan.
Tampak si Gajah Dungkul terperangah menye-
ringai. Wajahnya pucat bagai mayat Keringat dingin
sebesar-besar jagung mengalir di dahinya. Rasa sakit
yang amat sangat itu membuatnya jadi kalap. Tiba-tiba
ia telah kembali bangkit dan menerjang hebat, disertai
teriakan paraunya. Ternyata Gajah Dungkul keras se-
perti besi. Hal itu tidak membuatnya bergeming. Gajah
Dungkul telah pergunakan kekuatan Gajah Sakti
Menggempur Bukit Sekejap ia telah putar tubuh, dan
bagaikan bayangan telah menerjang Roro seperti su-
dah kesetanan. Roro coba menahan dengan telapak
tangannya. Akan tetapi lengannya terpental terkena
serudukan si Gajah Dungkul.
"Gila..!? Tenaganya tampak semakin kuat."
Berdesis suara Roro Centil. Berkali-kali Roro menghan-
tam kepala si Gajah Dungkul dengan si Rantai Genit.
Namun hasilnya tetap membuat ia semakin kehera-
nan. Karena sedikit pun tidak luka, atau benjol... Apa
lagi hancur..! Bahkan tampaknya kepala si Gajah
Dungkul semakin atos alias keras. Sementara si Silu-
man Kera Putih terus mencoba mencari kesempatan
untuk mencengkeram Roro. Ketika itu dua terjangan
telah meluruk ke arah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Sepuluh jari lengan si manusia kera itu tampak
kepulkan uap putih. Dan lancarkan sergapan kilat Se-
dang si Gajah Dungkul menerjang dahsyat Roro jatuh-
kan tubuhnya miring ke samping. Tiba-tiba sebelah
kakinya menendang pantat si Gajah Dungkul. Tak am-
pun lagi tenaga serudukannya semakin bertambah.
Hingga batu tebing itulah yang terseruduk hancur.
Akan tetapi di bawah tubuhnya terjepit si Siluman Ke
ra Putin, yang sudah benamkan kesepuluh jari tan-
gannya mencengkeram jantung tubuh yang menindih-
nya. Terdengarlah teriakannya laksana membelah lan-
git Tubuh manusia tinggi besar itu roboh ambruk. Dan
berkelojotan meregang nyawa. Namun sesaat kemu-
dian telah terkulai... untuk lepaskan "sembilan" nya-
wanya... Manusia berjulukan Iblis Sembilan Nyawa itu
ternyata tak dapat mempertahankan nyawanya, yang
ternyata hanya cuma satu-satunya...!
"Grrrrhh..!? Nguk..! Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta
Menggala alias si Siluman Kera Putih itu menyeringai.
Sepasang matanya berbinar-binar menatap Roro. Se-
mentara sepasang lengannya terentang bersimbah da-
rah. Tampaknya ia terkejut sekali, karena kematian si
Gajah Dungkul adalah di tangannya sendiri. Pada saat
itulah terdengar suara di kejauhan...
"Hebat..! Hebat..!" Dan tahu-tahu sudah mele-
sat ke hadapan Roro sesosok tubuh berambut putih
beriapan. Jenggot dan kumisnya terjuntai bagai sapu.
"Siapakah anda..?" Roro sudah lantas memben-
tak. Tampaknya si kakek pendatang itu bukannya ma-
rah. Bahkan tertawa menyeringai. Hingga yang terlihat
adalah dua buah giginya saja yang tinggal bersemayam
dalam mulutnya.
"Heh heh heh... he he... Akulah si Dewa Silu-
man Kera..! Ternyata Pendekar Wanita Pantai Selatan
Roro Centil seorang wanita yang cantik bagai bidada-
ri..!" Ujarnya. "Sayang kalau buru-buru nyawanya ku
pulangkan ke akhirat..! Ilmu kepandaian mu ternyata
boleh juga, bocah manis..! He he he... sebaiknya kau
tinggal dulu bersama kami di "istana" kediamanku..!
Heh heh heh heh he he.." Sambungnya lagi. Dan men-
gekeh tertawa menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba saja
wajah menyeringainya seketika lenyap. Dan sebaliknya
kini, wajahnya jadi berubah kaku. Sepasang matanya
menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang
membersit tajam. Sepasang matanya menatap Roro se-
perti
mengeluarkan cahaya biru yang membersit ta-
jam. Roro agak terpengaruh. Namun segera sadar ka-
lau dirinya ada dalam bahaya. Ia sudah mau satukan
segenap kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan
hebat dari sepasang mata si Dewa Siluman Kera.. Akan
tetapi terlambat sudah. Si Dewa Siluman Kera telah
membentak...
"ROBOH..!" Dan aneh... Tiba-tiba Roro menge-
luh pendek. Dan jatuh lemas menggeledak. Untuk se-
lanjutnya telah tak sadarkan diri. Tampak wajah si
Dewa Siluman Kera kembali menyeringai. Dan tertawa
kembali terkekeh-kekeh. Kemudian terdengarlah suara
memerintah pada muridnya.
"Hehe... he he...he he... Ayo muridku..! Kau ba-
walah ia ke dalam..! Masih banyak waktu luang untuk
membunuhnya nanti..!" Dan si Dewa Siluman Kera su-
dah kelebatkan tubuhnya terlebih masuk ke dalam
goa. Lalu disusul oleh sang murid, dengan memondong
tubuh Roro yang telah tak berdaya itu. Akan tetapi pa-
da saat itu Roro telah buka kembali matanya. Tiba-tiba
gerakkan kepalanya. Sekonyong-konyong rambutnya
telah meluncur, menggubat leher si Siluman Kera Pu-
tih. Selanjutnya lengan Roro telah bergerak cepat me-
notok di beberapa tempat. Sekejap saja tubuh Tirta
Menggala telah berubah kaku. Sementara rambut Roro
telah membuat leher si manusia kera itu tercekik. Ak-
hirnya meneteskan darah. Terdengarlah bunyi...
Krraaakkk..! Dan ketika rambut si Pendekar
wanita Pantai Selatan bergerak menyentak. Kepala si
Siluman Kera Putih telah terlempar menggelinding ketanah. Roro sudah melompat dari pondongan si manu-
sia kera itu. Tubuhnya telah kembali berkelebat me-
nyambar sepasang senjatanya yang tergeletak di ta-
nah. Lalu balikkan tubuh menghadap ke lubang Goa...
Segera saja sudah terlihat senyumnya diantara kedua
belah bibirnya yang mungil. Tampak ia tersenyum
puas melihat Siluman Kera Putih yang tewas dalam
keadaan berdiri. Tanpa kepala... Tiba-tiba terdengarlah
suara tertawanya yang mengikik geli terpingkal-
pingkal. Dan sekejap tubuhnya telah berkelebat lenyap
dari dasar tebing itu. Namun suara tertawa itu masih
tersisa. Menggema berpantulan di dasar lembah ngarai
yang penuh peristiwa itu. Sementara burung-burung
bangkai telah bertebaran mengitari lembah penuh mis-
teri itu, dengan suaranya berkiak-kiak... Roro Centil
sudah tak menengok ke belakang lagi. Masih banyak
waktu untuk menumpas si Dewa Siluman Kera. Apa
lagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini rasakan ke-
lelahan sekali pada sekujur tubuhnya. Ia memang be-
lum berhasrat pulang kembali ke Tanah Jawa. Karena
masih belum ditemuinya juga manusia pembunuh Gu-
runya. Yaitu Peri Gunung Dempo, dan si kupu-kupu
Emas. Yang tak diketahuinya berada di daerah mana.
Sambil berkelebatan itu, Roro masih sempat memang-
gil sahabatnya yang penuh misterius.
"TUTUL..! Adakah kau mengikutiku..?" Dan se-
bagai jawabannya terdengar suara menggeram di sebe-
lahnya. Roro Centil berseru lagi...
"Bagus..! Hi hi hi... kau memang sahabatku
yang setia..!" Tiba-tiba Roro hentikan tindakan ka-
kinya, seraya berucap;
"Tutul...! Tampakkanlah wujud mu. Aku penat
sekali..! Bawalah aku kemana kau suka.." Selesai Roro
berkata. Segera saja seekor harimau tutul yang tubuh
nya hampir sebesar kerbau, tampakkan diri.
Dan., bila mentari senja mulai menggelincir ke
balik bukit, terlihatlah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan sudah berada di atas punggung seekor harimau
Tutul yang amat besar... Yang bergerak melompat ba-
gaikan angin. Entah kemana si Pendekar Wanita itu
dibawanya... Tapi yang jelas ia akan muncul lagi dalam
kisah petualangannya yang lain.
Sementara para pendekar lainnya di atas bumi
ini, tetap berjuang, tegakkan panji-panji kebenaran.
Tegakkan keadilan bagi kaum lemah yang tertindas..
Namun entah kapan kejahatan itu dapat lenyap dari
muka bumi ini? Walaupun demikian semangat per-
juangan dari kaum Pendekar, tetap menyala sepanjang
zaman.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar