..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 21 Februari 2025

RORO CENTIL EPISODE SILUMAN KERA PUTIH

 

matjenuh khairil




Camar-camar laut itu beterbangan di atas air, 
dengan suaranya yang bercuit-cuit.....Sepasang sayap-
nya terbentang lebar. Melayang bersimpang siur seper-
ti bosan-bosannya mengintai ikan kecil-kecil yang ter-
sembul di permukaan air. Sesekali burung-burung laut 
itu tampak menukik, untuk menyambar mangsa. Ge-
rakannya amat gesit. Bila telah melayang lagi ke atas, 
tentu akan terlihat ikan kecil terselip diantara paruh-
nya.
Sementara itu beberapa ekor bangau menukik 
turun, dan hinggap di pasir berair. Ombak sesekali da-
tang menyambar kaki-kaki kecil yang panjang itu. Be-
berapa ekor berlarian di pasir. Dan di atas batu karang 
bergerombol burung-burung lain pemakan ikan.
Ketika batu kecil meluncur ke arahnya, terden-
gar suara riuh. Dan beterbanganlah mereka menjauh. 
Sang bangaupun pentang sayap untuk meluncur ter-
bang disertai pekik ketakutan. Sebentar saja tempat 
itu menjadi sunyi kembali. Karang-karang telanjang itu 
cuma membisu. Sementara itu deburan-deburan om-
bak tiada henti menghantamnya. Memuncratkan air 
dan buih, yang seperti menari-nari di bawahnya. Dua 
sosok tubuh tampak berjalan mendekati pantai. Sema-
kin dekat. semakin jelas siapa mereka. Ternyata ada-
lah dua orang muda. Seorang laki-laki cukup tampan, 
dan seorang gadis berwajah manis. Tampak si pemuda 
membungkuk, untuk kembali mengambil sepotong ba-
tu kecil. Dan lemparkan ke sisi laut.
"Apakah kau sudah bulatkan tekadmu untuk 
pergi dari rumah orang tuamu..?" Bertanya si pemuda. 
Seraya palingkan kepala pada gadis di sebelahnya. Ga-
dis berbaju putih itu mengangguk. Akan tetapi si pe-
muda sebaliknya tampak jadi serba salah. Sebatang 
kayu rebah di tepi pasir itu dihampirinya. Dan dengan


wajah menghadap laut, ia sudah duduk disana.
Terdengar suaranya menghela napas. Dan ada 
kata-kata lagi mendesis dari mulutnya. "Aku khawatir
akan terjadi hal yang bakal berbuntut panjang kelak, 
bila suatu saat kita diketahui telah berdua..!" Berkata 
si pemuda. Gadis manis itupun duduk di sampingnya. 
Sejurus ia termenung, lalu berkata;
"Siapakah sudi bersuamikan tua bangka beri-
stri banyak itu..? Apakah kau akan biarkan aku jatuh 
dalam pelukan kambing tua itu, Gumarang...?" Tanya 
si gadis.
"Tentu saja tidak Wulan..? Akan tetapi aku tak 
dapat memaksa kalau kau memang harus menuruti 
kehendak orang tuamu. Kupikir kawin lari adalah ti-
dak baik. Bukankah anak yang berbakti pada orang 
tua kelak akan hidup bahagia? Menolak keinginan 
orang tua itu durhaka, Wulan..?"
"Huh..! Perduli! Aku tak dapat dipaksa. Aku bi-
sa memilih orang yang kucintai! Mengapa tampaknya 
kau ragu, Gumarang..?" Tanya si gadis. Sementara su-
dah mengalir air mata di kedua belah pipinya.
Buru-buru pemuda itu memeluknya. Dan den-
gan jari-jarinya ia menyeka air mata si gadis.
"Aku tidak ragu-ragu, Wulan..! Kalau kau su-
dah tetapkan niatmu. Aku akan membawamu pergi. 
Akupun tak dapat berpisah denganmu, sayang..! Na-
mun banyak resiko harus kita hadapi. Hubungan kita 
telah diketahui oleh begundalnya si Tirta Menggala. Ki-
ta harus secepatnya meninggalkan tempat ini..!" Ber-
kata si pemuda.
"Kita berangkat sekarang..?" Bertanya gadis 
yang bernama Retno Wulan itu. Gumarang terdiam se-
jenak, lalu anggukkan kepala.
"Tak banyak lagi waktuku untuk pulang men

gambil pakaian. Tapi aku ada bawa bekal cukup untuk 
menyewa perahu. Kau sendiri bagaimana? Apakah ada 
rencana lain?" Tanya Gumarang dengan menatap ta-
jam pada si gadis.
"Tidak! Justru aku kemari selagi ada tetamu 
datang..! Aku lewat jalan belakang". Berkata Wulan.
"Apakah si Tirta Menggala itu..?" Tanya lagi 
Gumarang. Gadis ini cuma gelengkan kepala dan ber-
kata;
"Entahlah! Aku tak tahu pasti..!" Ujar Wulan 
dengan datar. Sementara ia sudah cekal lengan keka-
sihnya erat-erat.
"Sudahlah..! Ayo kita berangkat pergi..! Aku 
khawatir ada orang menyusul kemari!" Sambung si ga-
dis. Gumarang menatap gadis di hadapannya tajam-
tajam. Namun kali ini sudah terlihat ketegasan di wa-
jahnya.
"Mart Wulan! Dan ia sudah segera berdiri. Se-
pasang matanya menatap sejenak ke belakang, lalu ke 
sekelilingnya.
"Kita kesana..!" Berkata Gumarang sambil men-
gangkat telunjuknya. Dan bergegaslah keduanya be-
ranjak tinggalkan tempat itu. 
Di muara sungai itu seorang tukang perahu ba-
ru saja mengikat perahunya, ketika tiba-tiba ia paling-
kan kepalanya untuk menoleh. Dilihatnya dua orang 
muda berlarian ke arahnya. Laki-laki berusia sekitar 
lima puluh tahun ini kernyitkan keningnya.
Sebentar saja keduanya telah berada di hada-
pannya, Gumarang langsung berkata
"Bapak! Sudilah kau mengantarkan kami ke pe-
labuhan besar..?" Ujar Gumarang sambil tatap wajah 
si tukang perahu. Dan laki-laki itupun menatap tajam 
pada mereka berganti-ganti.

"Kami akan berikan sewanya. Asalkan bapak 
dapat cepat mengantar kami kesana..!" Berkata Retno 
Wulan menambahi. Setelah terdiam sejenak, laki-laki 
tua ini menyahuti.
"Sebenarnya akan kemanakah anak..?" Ber-
tanya si tukang perahu. Tampak Gumarang jadi men-
dongkol sekali. Mengapa harus mengetahui kemana 
tujuan orang? Pikirnya. Namun dengan sabar ia mem-
beri jawaban.
"Ah..! Kami hanya akan pesiar saja. Bukankah 
disana banyak tempat-tempat yang indah untuk dili-
hat!" Ujar Gumarang sambil tersenyum. Akan tetapi si 
tukang perahu itu sudah mendengus, sambil berkata;
"Hm..! Bagiku uang sewa adalah soal mudah! 
Akan tetapi aku tak dapat mengantar kalian kesana. 
Karena Raden Tirta Menggala yang berkuasa di sekitar 
pantai sini, telah melarang siapapun untuk mengan-
tarkan sepasang sejoli keluar dari daerah pantai ini..! 
Aku tak tahu apa maksudnya. Namun larangan itu 
amat keras. Dan berlaku sejak dua hari ini..!" Terkejut 
Gumarang dan Retno Wulan, mendengar penuturan 
itu. Diam-diam Gumarang sudah dapat menduga siapa 
adanya si tukang perahu ini.
"He ? Begitukah..? Kalau demikian berikan saja 
perahu mu. Aku akan membelinya. Berapa kau mau 
jual ?" Berkata Gumarang dengan bertolak pinggang.
"Ha ha ha... ha ha... Apa kau punya banyak 
uang untuk membayar perahu ku?" Kata si Tukang pe-
rahu dengan tertawa lebar.
"Apakah perlu kutunjukkan uangku..?" Tanya 
Gumarang kesal. Tapi ia tetap tak menurunkan tan-
gannya dari kedua pinggang.
"Baiklah..! Kau boleh bayar perahu ku sepuluh 
ringgit perak! Murah bukan? Tapi kau hanya boleh

pergi seorang diri. Tinggalkan gadis itu..! Berkata si 
tukang perahu. Gumarang jadi pelototkan sepasang 
matanya, dan menatap gusar.
"Kurang ajar..! Kau orang tua memang tak pa-
tut dihormati orang-orang muda! Apa hubungannya 
kami berdua dengan si Tirta Menggala itu, bah..!" Me-
maki Gumarang.
"Ha ha ha... Kura-kura dalam perahu, pura-
pura tidak tahu..! Apakah kau belum dengar kalau ga-
dis yang kau mau bawa kabur ini telah dipinang oleh 
Raden Tirta Menggala..?" Ujar si tukang perahu. Men-
dengar kata-kata orang tua itu, wajah Retno Wulan ja-
di pucat pias. Ia sudah ajukan pertanyaan.
"Dia sudah meminang ku..?! Apakah telah di te-
rima pinangannya oleh ayahku..?" Tanya Retno Wulan.
"Kalau tidak diterima mana beliau mau usil 
dengan kalian..?" Sahutnya. Tapi Gumarang sudah 
membentak keras.
"Mana boleh jadi melamar orang bisa di terima, 
kalau orang yang akan di tanyainya tidak ada, dan tak 
pernah mendengarnya. Dan boleh kau tanyakan pada 
gadis ini... Apakah jawabannya tentang lamaran itu..! 
Hingga kau tak beranggapan aku membawanya ka-
bur..!" Si tukang perahu balik menatap Retno Wulan.
"Bisakah kau sedikit bercerita, anak..? Aku in-
gin mendengar lebih jelas mengenai lamaran Raden 
Tirta itu..!" Berkata si tukang perahu. Retno Wulan tak 
banyak berayal, segera sedikit menceritakan tentang 
keluarganya.
"Aku memang bisa dianggap durhaka. Karena 
melawan kehendak orang tua, tapi... bisakah aku me-
nerima pinangan itu? Aku belum memberi jawaban. 
Ayahku diberi waktu satu bulan. Selama itu aku mera-
sa selalu diawasi oleh orang-orangnya Tirta Menggala.

Seandainya ayahku telah menyetujui sekalipun, aku 
tetap menolak. Karena cinta tak dapat dipaksakan. 
Cinta bukan barang dagangan, yang bisa dibeli dengan 
uang dan harta benda..! Apakah sebagai manusia, aku 
tak berhak mencintai seseorang dengan bebas? Keba-
nyakan manusia memandang harta dan kekuasaan itu 
sebagai perisai, yang dengan mudah mendapatkan apa 
saja yang ia ingini. Tetapi hal itu adalah sebagai tindak 
kekerasan... Nah! Biarkan kami pergi! Kami rasa bapak 
pernah muda. Dan mengerti bagaimana perasaan kami 
menghadapi hal semacam ini..!" Kata-kata gadis itu 
terdengar lantang dan tegas. Pertanda ia tetap akan 
pergi dengan orang yang ia cintai. Walaupun harus 
menghadapi banyak rintangan sekalipun. Tampak si 
tukang perahu menatap kedua sejoli itu silih berganti. 
Ternyata pada wajahnya terlihat rasa belas kasih. Dan 
hal itu adalah di luar dugaan Gumarang. Setelah 
menghela napas sejenak, si tukang perahu ajukan per-
tanyaan pada kedua sejoli itu. 
"Apakah kalian benar-benar saling jatuh hati, 
dan sudah bertekad bulat menempuh resikonya..?" 
Tanya orang itu dengan menatap pada kedua wajah di 
hadapannya. Hampir berbareng keduanya mengang-
guk. Bahkan sudah terlihat tangan keduanya saling 
mencekal erat. Seperti sudah tak mau untuk dile-
paskan lagi.
"Baiklah..! Kalau begitu. Biarlah kau bawa saja 
perahu ku. Terserah mau dibayar berapa olehmu. Asal 
cukup untuk ku membeli perahu lagi." Berkata si tu-
kang perahu. Wajah Gumarang berseri gembira. Demi-
kian juga Retno Wulan. Sesungging senyum tersungg-
ing pada bibirnya. Segera saja Gumarang mengelua-
rkan sepuluh ringgit uang perak, dan memberikannya 
pada si tukang perahu.

Orang tua itu menerimanya tanpa berkata apa-
apa. Dan selanjutnya sudah tinggalkan keduanya. 
Adapun Gumarang dan Retno Wulan setelah mengu-
capkan terima kasih, segera berlari ke perahu. Debiran 
ombak menerjang kaki-kaki mereka. Gumarang telah 
lepaskan tali yang menambatkan perahu. Retno Wulan 
segera lompat ke dalamnya. Gumarang kerahkan tena-
ga sedikit untuk mendorong... Dan bergeraklah perahu 
meluncur ke tengah menerjang ombak. Selanjutnya 
pemuda itu sudah bekerja cepat. Dan tak lama kemu-
dian sudah melaju ke tengah gelombang....
Layar segera dipasang. Maka perahu kecil itu 
telah tinggalkan pantai, melaju pesat makin maju jauh. 
Ketika mereka layangkan pandangan ke tepi pantai, 
orang tua tukang perahu itu sudah tak kelihatan lagi.
Perahu kecil itu meluncur terus membelah ge-
lombang. Angin darat meniup keras membuat mereka 
tak perlu lagi menggunakan dayung lagi. Gumarang 
memainkan kemudi di buritan perahu.
Sedang Retno Wulan duduk di bagian depan, 
menghadap pada pemuda itu. Hatinya merasa lega. 
Akhirnya mereka dapat meninggalkan pantai itu. Wa-
laupun ada rasa haru dan pedih meninggalkan kam-
pung halamannya.
"Apakah di pelabuhan besar kita tak menemui 
halangan nanti, Gumarang.. ?" Tanya Retno Wulan. 
Sementara jari-jari tangannya memainkan air, yang be-
riak di sisi perahu. Pemuda itu cuma tersenyum, dan 
berkata;
"Kita telah membeli perahu ini, mengapa harus 
ke pelabuhan besar? Kita akan pergi kemana saja, 
yang penting tidak seorangpun dari penduduk desa 
mengetahui tempat kita..!" Tentu saja kata-kata itu 
membuat Retno Wulan jadi naikkan alis. Tapi ia sudah

tertawa kecil dan berteriak memuji...
"Hi hi hi.... Bagus! Kau memang kekasihku 
yang pintar. Dan juga tampan..!"
"Kalau tidak tampan, mana kau bisa jatuh hati 
padaku..?" Sahut Gumarang. Dan keduanya sama-
sama tertawa. Tapi Gumarang juga berkata;
"Dan kau... Retno Wulan! Kau pun seorang ga-
dis yang berhati keras. Tapi juga cantik bagai bidada-
ri..! Makanya aku jatuh hati padamu.."
"Ah., kau...!" Selanjutnya Retno Wulan sudah 
alihkan pandangan ke laut lepas. Hatinya terasa baha-
gia sekali. Siapa yang tak bahagia dipuji oleh kekasih 
hatinya? Akan tetapi kebahagiaan itu seketika sirna. 
Wajah Retno jadi pucat pias, ketika matanya menatap 
ke bawah. Air yang dingin telah merendam jari-jari ka-
kinya. Tampak air. laut bergolak masuk dari sela-sela 
papan di bawah perahu.
"Oh..!? Celaka..! Perahu kita bocor!" Teriak Ret-
no Wulan. Seketika wajah Gumarang pun berubah pu-
cat. Ia sudah melompat ke tengah perahu dan meme-
riksanya. Ia pun berteriak kaget.
"Benar..! Kurang ajar! Tukang perahu itu telah 
sengaja melubanginya, agar kita tak dapat pergi 
jauh..!"
"Atau agar kita mati tenggelam..!" Teriak Retno 
Wulan. Keadaan segera berubah. Kini keduanya tam-
pak panik. Gadis itu telah mendekap si pemuda keka-
sihnya itu erat-erat. Air matanya telah menitik jatuh.
"Tenanglah Wulan..! Kita harus cari akal agar 
dapat segera menepi..." Akan tetapi tak sedikitpun di 
tempat itu terlihat daratan, selain air. Dan melulu air.
"Kita tak punya harapan Gumarang! Biarlah 
kalau kita harus mati. Aku rela asal kan mati ber-
dua...!"Berkata Retno Wulan dengan terisak. Sementa

ra air makin naik hingga setengah badan perahu. Pe-
rahu kecil itu kini mulai tersendat jalannya. Pada saat 
itulah tiba-tiba muncul di kejauhan sebuah perahu 
layar besar. Berseri wajah Retno Wulan. Ia sudah le-
paskan pelukannya pada Gumarang, seraya berte-
riak... "Kita selamat..! Kita akan selamat. Tapi seko-
nyong-konyong wajahnya kembali pias. Dan terdengar 
suara mendesis dari bibirnya.
"Tapi... tapi perahu itu apakah bukan perahu si 
Tirta Menggala..?" Gumarang tak dapat menjawab. Ta-
pi cuma tertegun menatap pada perahu besar itu yang 
makin melaju mendekat. Benarlah dugaan Retno Wu-
lan. Perahu itu milik Tirta Menggala. Dan manusianya 
telah terlihat berdiri di atas geladak bagian depan. Pa-
da saat itu juga terdengar suara tertawa berkakakah.
"Hua ha ha ha., haha... Anak muda..! Mau kau 
bawa kabur kemana calon istriku itu? Ha ha ha.. Ter-
nyata kaulah rupanya biang kerok yang punya nyali 
besar untuk menggagalkan rencanaku..?" Bagus! Ba-
gus! Ingin kulihat apakah kau mampu menyelamatkan 
nyawa gadismu..?" Teriak Tirta Menggala. Perahu besar 
itu tidak terlalu mendekat. Akan tetapi berhenti. Dan 
menurunkan layar kira-kira dua puluh kaki di hada-
pannya. Gumarang menggertak gigi. Betapa geram ha-
tinya pada laki-laki di perahu itu. Akan tetapi Retno 
Wulan telah berteriak;
"Manusia jahanam..! Licik. Kau rupanya telah 
mengatur rencana busuk untuk menjebak kami. Dapat 
menolongku atau tidak, bukan urusanmu..! Apakah 
kaupun dapat menolong dirimu sendiri bila kau dalam 
keadaan seperti kami..!?"
Keadaan perahu kecil itu semakin kritis. Kare-
na buritan perahu sudah mulai tenggelam. Kedua mu-
da-mudi ini memang tak berdaya. Akan tetapi pada

saat itu terdengarlah teriakan keras dibalik perahu Tir-
ta Menggala. Dan dibarengi dengan olengnya perahu 
besar itu. Beberapa anak buah Tirta Menggala telah 
keluarkan teriakan kaget.
"Celaka..!? Perahu kita bocor besar..!" Dan pa-
niklah seketika kelima orang anak buah Tirta Mengga-
la. Sedang laki-laki itu sudah melompat di sisi perahu 
untuk melihat .Betapa terkejutnya melihat air mengalir 
deras dari sebuah lubang dinding perahu. Ternyata 
dinding perahunya telah berlubang sebesar kepala 
manusia. Seketika iapun jadi panik. Wajahnya beru-
bah pucat.
"Celaka..!? Cepat putar kemudi..! Pasang 
layar..! Kita kembali sebelum tenggelam..!" Segera ber-
lompatanlah anak-anak buahnya untuk menjalankan 
perintah. Ketika ia alihkan pandangannya pada perahu 
kecil itu, ternyata telah tenggelam tak ada bekas-
bekasnya. Piaslah wajahnya seketika. Ia teringat akan 
kata-kata si gadis tadi. Mampukah kau menyela-
matkan dirimu sendiri, seandainya kau dalam keadaan 
seperti kami.. ? Keringat dingin seketika saja telah ber-
cucuran di sekujur tubuhnya. Kini terlihatlah perahu 
besar Tirta Menggala berlayar pulang dalam keadaan 
oleng. Akibat kebocoran besar itu. Entah selamat en-
tah tidak, karena pada saat itu gelombang besar telah 
menghantamnya. Dan perahu itu telah tak kelihatan 
lagi...
Gumarang dan Retno Wulan cuma dapat me-
mejamkan mata karena sekonyong-konyong angin ke-
ras menerpa wajahnya. Terasa ada sepasang tangan 
menyambar pinggangnya dan di saat perahu mereka 
tenggelam, mereka terpaksa menutup kedua mata. An-
gin kencang membersit menerpa tubuh dan wajah me-
reka dari bagian depan. Dan selang beberapa saat me

reka telah rasakan kakinya menginjak pasir. Baru me-
reka membuka matanya ketika terasa lengannya aneh 
itu melepaskan pinggangnya. Terkejutlah Retno Wulan 
dan Gumarang, menatap sesosok tubuh telah berdiri di 
hadapan mereka. Yaitu seorang gadis cantik berbaju 
sutera merah jambu. Sepasang matanya bak bintang 
Kejora. Bibirnya menampakkan senyum menawan. Se-
dang rambutnya beriapan tertiup angin. Ternyata ke-
dua sejoli itu telah tiba di darat.
"Sss... ssiapakah anda..? Apakah anda yang te-
lah menyelamatkan jiwa kami.. ?" Bertanya Gumarang 
hampir berbareng dengan Retno Wulan. Gadis di ha-
dapannya itu tertawa kecil, hingga tampak sebaris gigi 
yang putih rata.
"Hihi... hi., hi... Aku manusia biasa. Nah kalian 
telah selamat..! Silahkan teruskan perjalanan kalian..!" 
Berkata gadis aneh itu. Akan tetapi kedua remaja itu 
telah segera berlutut di atas pasir. Gumarang berucap 
dengan suara gemetar.
"Anda pasti bukan seorang manusia... Anda 
pasti Dewi Laut..! Oh terimakasih atas pertolongan mu 
sang Dewi..!" 
Melihat kedua sejoli itu jatuhkan dan berlutut, 
si gadis berbaju sutera merah jambu itu cepat-cepat 
angkat pundak kedua orang muda itu. Aneh... Guma-
rang hanya rasakan pundaknya disentuh telapak tan-
gan halus... Tahu-tahu tubuhnya telah terangkat naik.
Dan memaksanya berdiri lagi. Demikian juga 
Retno Wulan. Yang hampir tak bisa mempercayai. Apa 
lagi sosok tubuh di hadapannya itu amat cantik luar 
biasa. Dengan dapat menyelamatkan jiwanya dari ten-
gah samudra tanpa sebuah perahu pun, adalah bukan 
perbuatan manusia... Pikirnya. Akan tetapi kembali 
gadis itu berkata. Kali ini suaranya terdengar santar.

"Hm..! Sudah kukatakan, aku adalah manusia 
biasa..! Mengapa kalian tak mempercayai? Kalian lihat-
lah! Apakah sepasang kakiku tidak menginjak ta-
nah..?" Kedua pasang mata segera menatap tubuh 
gadis itu. Dan benarlah..! Sepasang kaki sang peno-
longnya benar-benar menginjak tanah. Berarti si peno-
long adalah manusia biasa. Seketika mata mereka jadi 
menatap tak percaya. Dan gadis baju sutera merah 
jambu itu sudah berkata lagi;
"Namaku Roro Centil..! Aku datang dari sebe-
rang pulau. Apakah ini yang namanya pulau Anda-
las..!" Tertegun sepasang muda-mudi itu. Tapi Guma-
rang segera menjawab;
"Be... benar... Nono... nona... jadi... jadi...?"
"Hi hi hi... hi hi hi... Terima kasih..!" Belum lagi 
Gumarang meneruskan kata-katanya, sosok tubuh di 
hadapannya telah berkelebat lenyap.
Tentu saja hal itu membuat Gumarang dan 
Retno Wulan jadi melongo alias ternganga. Mereka 
hanya dapat melihat bayangan warna merah jambu. 
Dan sekejap sudah lenyap.
Roro Centil si Pendekar Wanita Pantai Selatan, 
injakkan kaki di padang rumput yang menghijau. 
Padang rumput itu amat luas. Sedang jauh di 
bagian depan terlihat perbukitan yang memanjang, se-
perti tak ada putusnya. Dikelilingi rimba lebat
"Kurasa diantara perbukitan itu pasti terdapat 
gunung..!" Berbisik Roro.
"Entah yang manakah gunung Dempo?..." De-
sisnya lagi. Sementara ia sudah mempercepat jalan-
nya, melewati padang rumput itu. Nampaknya Roro 
tak begitu tergesa-gesa. Namun bagi orang biasa, lang-
kah kaki Roro memang termasuk cepat. Sementara itu 
tanpa diketahui oleh sang Pendekar, dua sosok tubuh

berbaju hijau tampak mengintai dari balik pepohonan. 
Keduanya adalah dua orang laki-laki yang bertampang 
seram. Ikat kepalanya berbentuk lancip pada bagian 
sisinya. Keduanya tampaknya bukan orang desa biasa. 
Karena terlihat pada masing-masing pinggangnya ter-
sembul gagang golok.
Begitu kira-kira jarak sepuluh tombak, kedua 
orang itu berkelebatan keluar. Roro Centil tampaknya 
tidak terkejut. Karena sebagai orang Rimba hijau yang 
telah cukup berkecimpung lama di dunia persilatan, 
telah dapat mengetahui sebelumnya. Kedua orang itu 
segera menjura hormat, dengan bungkukkan tubuh. 
Dan salah seorang sudah berkata; "Anda pasti salah 
seorang undangan dari Ketua kami, Selamat datang di 
daerah kekuasaan Perguruan 'Burung Hantu". Markas 
besar kami berada di bagian dalam. Silahkan anda ja-
lan terus..!"
Roro Centil jadi melengak. Akan tetapi ia sudah 
mengangguk setelah membalas hormat. Tampak dari 
kedua wajah orang itu tak menampilkan kecurigaan 
buat Roro. Sehingga diam-diam ia membatin... Aneh..! 
Datang-datang ke negeri orang, sudah disambut baik. 
Dan dianggap tetamu undangan. Siapakah gerangan 
Ketua dari Perguruan Burung Hantu itu..? Pikir Roro. 
Entah ada pertemuan apakah? Pikirnya lagi. Namun 
justru keanehan itu membuat Roro jadi kepingin tahu. 
Dan tanpa banyak bicara ia sudah melangkah masuk 
melewati kedua orang penjaga itu. Ternyata pada kira-
kira tiga tombak, terlihat ada dua tugu di kiri kanan 
jalan. Roro segera menduga kalau itulah pintu masuk 
ke dalam markas Burung Hantu. Tak berayal lagi Roro 
sudah kelebatkan tubuh kesana.
***

Tirta Menggala dalam keadaan panik... ketika 
sebuah ombak besar tiba-tiba menghantam pera-
hunya. Tak ampun lagi tiang layar itu roboh tumbang 
karena perahu sudah miring. Teriakan-teriakan dari 
para anak buahnya pun terdengar... Tirta Menggala 
mengeluh putus asa. Tubuhnya segera terjungkal ma-
suk laut. Akan tapi di detik itu juga berkelebat sebuah 
bayangan bagai kilat, menyambar tengkuk Tirta Meng-
gala. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melayang di atas 
air. Cepat sekali rasanya ketika angin deras menerpa 
wajahnya. Dan beberapa saat kemudian, ia telah tiba 
di darat. Tersentak laki-laki berusia lima puluh tahun 
ini, ketika melihat siapa yang telah menolongnya. Serta 
merta segera ia bersujud dengan khidmat.
"Guru..! Terima kasih, atas pertolonganmu..!"
ucapnya dengan suara tergetar girang, namun juga 
terkejut sekali. Sosok tubuh yang berdiri di hadapan-
nya itu ternyata seorang kakek tua renta, bertubuh 
kurus jangkung. namun agak bungkuk. Akan tetapi 
anehnya seluruh tubuhnya berbulu. Walaupun tidak 
terlalu lebat. Namun bulu-bulu itu panjang-panjang
pada beberapa bagian tubuhnya, berwarna pu-
tih. Pada bagian wajahnya, hanya kening dan hidung
serta sedikit kedua belah pipinya saja yang tak terda-
pat bulu.
Wajahnya menampilkan usia yang sudah lan-
jut. Alisnya tebal menyatu. Kumis dan jenggotnya ter-
juntai panjang sampai melebihi pusar. Hidungnya agak 
melebar. Sinar matanya menatap bagai mengeluarkan 
cahaya berwarna biru. Kakek tua renta ini memakai 
selapis jubah putih yang cukup tebal. Ternyata ram-
butnya juga panjang memutih. Terurai sampai ke 
punggung. Terdengar si kakek berkata. Suaranya mirip

dengan suara kera. Ternyata giginya masih utuh, dan 
menampakkan taring di kiri kanannya.
"Muridku..! Kau terlalu gegabah..! Apakah kau 
tidak melihat bayangan merah jambu yang berkelebat 
mendekati perahu mu? Bayangan merah jambu itulah 
yang telah menghantam dinding perahu mu, sehingga 
mengalami kebocoran besar. Dan Bayangan merah 
jambu itu pula yang telah menyelamatkan kedua orang 
muda itu dari bahaya kematian.. Mendengar kata-kata 
itu tentu saja Tirta Menggala jadi terkesiap. Ia sudah 
segera bertanya;
"Siapakah bayangan merah jambu itu Guru...?" 
Si kakek tua renta berbulu itu keluarkan suara bag 
menggeram.
"Gut... Menurut berita dari Peri Gunung Dem-
po, di seberang pulau ada seorang tokoh persilatan 
terkenal yang berilmu tinggi. Sayang Peri Gunung 
Dempo tak berhasil menjumpainya ketika empat bulan 
yang lalu kesana. Namun Peri Gunung Dempo berhasil 
membunuh gurunya. Yaitu Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Bayangan merah jambu itu sudah pasti muridnya 
yang bernama Roro Centil, alias si Pendekar Wanita 
Pantai Selatan. Pasti..! Karena ia seorang wanita. Dan 
mempunyai ilmu berjalan di atas air..!" 
Terkejut Tirta Menggala mendengar penuturan 
gurunya Ternyata sejauh itu sudah ada manusia lain 
yang berilmu hebat. Pada hal gurunya sendiri sudah di 
anggap sebagai Dewa Siluman Kera, yang pergi dan da-
tangnya bagaikan angin. Kini Tirta Menggala menden-
gar lagi adanya seorang wanita yang memiliki ilmu 
yang hebat. Hampir-hampir ia tidak percaya.
"Guru..! Ada apakah manusia dari seberang 
lautan itu datang kemari…?" Tanya Tirta Menggala.
"Entahlah..! Tapi dugaanku adalah mencari Peri

Gunung Dempo. Karena telah membunuh Gurunya. 
Tapi itu juga sebuah tantangan berat bagiku. Karena 
Pendekar Wanita itu termasuk manusia yang suka 
mencampuri urusan orang..!" Berkata si kakek. 
Melengak Tirta Menggala. Tapi saat itu sang 
guru sudah berkata lagi.
"Menggala..! Sebaiknya kau tinggalkan dulu ke-
sibukan mu. Kau menetap dulu di kediaman ku. Ku 
kira kekuasaanmu tak dapat kau pertahankan, bila 
kau tak mempunyai secuil pun kepandaian..!" Ujar si 
kakek dengan sorot matanya yang tajam menatap Tirta 
Menggala. "Tapi... tapi.. Guru..! Aku perlu bantuanmu 
dulu untuk... untuk..." Tirta Menggala tak dapat mene-
ruskan kata-katanya karena tubuhnya sudah disam-
bar oleh si kakek aneh itu untuk dibawa melesat pergi. 
Masih terdengar hardikannya lapat-lapat;
"Bocah goblok..! Sejak dulu-dulu sudah ku pe-
ringatkan. Pelajarilah ilmu-ilmuku..! Kau cuma pikir-
kan kekuasaan dan perempuan saja..!"
***
Gumarang dan Retno Wulan meninggalkan 
pantai itu untuk segera mendaki bukit. Melalui jalan 
setapak yang berputar-putar, mereka tiba di sebuah 
desa terpencil di tengah hutan bambu.
"Kemana tujuan kita kini Gumarang..!" Ber-
tanya Retno Wulan. Tampaknya ia sudah lelah sekali. 
Tubuhnya terasa penat. Dan kakinya terasa pegal bu-
kan main.
"Kita singgah dulu di desa ini beristirahat. Mu-
dah-mudahan disini tak ada terdapat orang-orang si 
Tirta Menggala..!" Jawab Gumarang. Sementara len-
gannya membimbing kekasihnya yang tampak sudah

sempoyongan.
"Sayang kita gagal untuk pergi yang jauh seka-
li... Tapi kita harus bersyukur pada Tuhan, karena 
wanita aneh bernama Roro Centil itu telah menyela-
matkan nyawa kita..!" Kata Gumarang lagi.
"Tapi kita cukup jauh dari desa tempat ting-
galmu, Wulan. Aku berharap kau tak terlalu cemas. 
Selesai istirahat kita susuri bukit barisan, dan pergi 
jauh terus ke utara..." Hiburnya lagi.
"Apakah si kambing tua itu tak akan dapat me-
nyusul kita lagi, Gumarang?"
"Percayalah sayang..! Aku akan menjaga mu 
dengan taruhan jiwa raga ku! Seandainya manusia ke-
parat itu dapat menyusul kita. Eh!? Rasanya aku meli-
hat di kejauhan perahu si Tirta Menggala itu seperti 
oleng, dan bergerak tak menentu..." Berkata Guma-
rang. "Bagus! Biarlah dia mati tenggelam di dasar 
laut..!" Maki Retno Wulan dengan kesal.
Sebuah pondok yang paling dekat mereka ham-
piri. Gumarang sudah mengucapkan salam. Aneh Tak 
ada orang menyahuti dari dalam. Pintu depan memang 
tak terbuka sedikit. Daun jendela yang berada di si-
sinya bahkan terbuka separuh, namun tampak miring. 
Tak ada tanda-tanda ada penghuninya di dalam. Hing-
ga sampai Gumarang mengucapkan salam tiga kali, te-
tap saja tak ada yang menyahut.
Yakinlah mereka kalau rumah itu kosong, alias 
tak berpenghuni. Terbukti adanya sarang laba-laba 
pada pintu yang setengah terbuka. Juga pada jendela 
yang terbuka itu. Agak takut keduanya untuk mema-
suki. Terpaksa Gumarang membimbing Retno Wulan 
untuk mencari pondok lainnya. Beberapa rumah ia 
hampiri. Namun kesemuanya kosong melompong.
"Ternyata desa terpencil ini sebuah desa mati..!"

Desis Gumarang. Retno Wulan kerutkan alisnya. Ia 
tampak mengeluh. Dan jatuhkan tubuhnya ke tanah. 
Penatnya bukan main. Dan ia sudah tak sanggup ber-
diri lagi. Sementara saat itu keadaan semakin mere-
mang. Pertanda hari sudah menjelang senja. Terpaksa 
Gumarang mengambil keputusan.
"Baiknya kita menginap di pondok kosong ini 
saja untuk bermalam. Aku khawatir ada binatang buas 
yang dapat menyusahkan kita..!" Ujar Gumarang. Dan 
ia sudah segera masuk ke dalam salah satu pondok 
kosong itu.
"Tunggulah sebentar Wulan. Aku akan meme-
riksa keadaan di dalam..!" Kate Gumarang. Sambil 
menoleh sejenak pada Retno Wulan, yang seperti su-
dah tak dapat bicara lagi. Gumarang cepat memasuki 
kamar demi kamar. Tampak pemuda ini bersitkan wa-
jah girang. Ternyata masih ada balai-balai kayu leng-
kap dengan tilamnya. Serta bantal dan guling... Wa-
laupun banyak debu di atasnya, tak menjadi soal. Se-
gera ia beranjak ke ruang belakang. Sebuah dapur. 
Yang ternyata masih komplit dengan perabotannya. 
Ah, beruntung aku..! Desis Gumarang. Tapi aneh..!? 
Mengapa pondok-pondok ini mereka tinggalkan..? Ber-
fikir Gumarang. Ah, perduli..! Yang penting kami dapat 
bermalam disini, walaupun cuma satu malam. Menga-
pa harus pusing-pusing memikirkannya..? Desis pe-
muda ini dalam hati. 
Segera ia kembali ke kamar dan bersihkan 
tempat tidur. Sementara itu dengan berjalan tertatih-
tatih Retno Wulan beranjak memasuki pondok. Guma-
rang muncul dari ruang tengah. Ketika dilihatnya Ret-
no Wulan, cepat ia melompat menghampiri.
"Wulan..! Aku baru bersihkan kamar dan tem-
pat tidur. Mari ku pondong..!" Berkata Gumarang se

raya peluk tubuh sang kekasih, dan pondong ke da-
lam.
"Kita tak perlu khawatir dengan keadaan disini. 
Binatang buas masih dapat dihindari, dari pada ma-
nusia jahat yang akan mengganggu kita..!" Ujar pemu-
da itu. Dan tak lama ia sudah baringkan tubuh Retno 
Wulan di pembaringan.
"Kau jangan kemana-mana Gumarang..! Aku 
takut sendirian..!" Teriak Retno Wulan seraya tarik 
kembali lengan laki-laki itu. Dan sudah didekapnya 
erat-erat. Terasa oleh pemuda itu detak jantung gadis 
bergemuruh.
"Tenanglah, sayang ku..! Jangan khawatir. Aku 
takkan meninggalkanmu. Aku mau menutup pintu du-
lu..!" Berkata lirih Gumarang, seraya lengannya mem-
belai rambut dan mencubit hidung Retno Wulan. Ke-
mudian segera beranjak cepat keluar ruangan. Terden-
gar daun pintu bergerit, dan tak lama kemudian Gu-
marang telah kembali masuk. Pemuda itu segera du-
duk di sisi pembaringan. Kepalanya bergerak untuk 
meneliti ruangan, dengan sepasang matanya yang 
mencari-cari sesuatu. Di atas meja disudut ruangan 
itu tergeletak sebuah lampu usang. Gumarang beran-
jak menghampiri.
"Bagus, masih ada minyaknya sedikit. Lumayan 
untuk penerangan. Sebentar lagi malam akan tiba. Se-
baiknya aku pasang sekarang. Cuaca gelap, seperti 
mau turun hujan lebat..!" Berkata Gumarang. Segera 
ia merogoh sakunya. Dan nyalakan lampu dengan ba-
tu geretan.
Sebentar kemudian ruangan kamar itu menjadi 
terang benderang. Kemudian ia kembali duduk di sisi 
Retno Wulan. Kini yang ia tatap adalah wajah gadis 
itu. Retno Wulan telah pejamkan matanya. tampak keringat mengalir dari dahinya. Segera Gumarang seka 
peluh itu dengan ujung bajunya. Dan dekap wajah itu 
dengan sepasang lengannya. Satu ciuman telah men-
darat di dahi gadis itu.
"Kau lapar tidak, Wulan..?" Bertanya Guma-
rang. Gadis itu gelengkan kepala. Dan perlahan buka 
kelopak matanya. Sepasang mata sang gadis menatap 
redup wajah pemuda yang dicintainya itu. Terdengar-
lah suara si gadis lirih. Sementara lengannya sudah 
bergerak memeluk tubuh Gumarang.
"Gumarang..! Oh... jangan kau tinggalkan aku 
untuk selamanya..!" Desisnya lirih. Gumarang de-
katkan lagi wajahnya, dan bisiki si gadis di telinganya.
"Tidak sayang ku..! Aku tak akan tinggalkan 
kau selama hayat dikandung badan. Aku akan selalu 
dekat padamu..!" Dan keduanya pun tenggelam dalam 
buaian asmara yang bergejolak. Sementara d luar, po-
hon-pohon bambu terangguk-angguk terkena tiupan 
angin, yang mendesah. Gemerisik bunyi daun-daun 
bambu yang saling bergesekan. Gumarang rebahkan 
tubuhnya di sisi sang gadis. Yang segera lingkarkan 
lengannya dada Gumarang. Terdengar laki-laki muda 
ini menghela napas. Seperti merasa lega setelah bergu-
lat dengan berbagai rintangan tadi siang.
Api pelita itu tampak bergoyang-goyang terkena 
hembusan angin malam yang masuk dari sela-sela 
dinding. Hujan rintik-rintik mulai turun. Suasana 
memang agak dingin, hingga Retno Wulan semakin le-
lap mendekap tubuh Gumarang.
Napas pemuda ini terlihat agak memburu. Te-
rasa sulit baginya untuk menahan gejolak kelaki-
lakian nya. Apa lagi dalam keadaan berdua-dua demi-
kian itu, tanpa ada seorang pun yang tahu.. Benda-
benda lembut terasa menekan kuat tubuhnya. Terasa

desah napas Retno Wulan seperti meniup-niup daun 
telinganya.
"Wulan..!" Gumarang berbisik perlahan. Dan 
miringkan tubuh. Untuk kemudian menggamit ping-
gang sang gadis. Dan tenggelamlah mereka dalam ke-
rinduan. Tiba-tiba terdengar petir menggelegar.
Namun tampaknya mereka seperti tenggelam 
dalam keasyikan memadu rintihan. Tanpa perdulikan 
sekitarnya. Tanpa perdulikan apa-apa. Seperti juga in-
gin menghabiskan malam itu sepuas-puasnya....
***
Roro Centil mengendus bau-bauan aneh di 
ruangan kamarnya. Bau asap kemenyan, entah dari 
mana datangnya bau orang membakar kemenyan itu. 
Malam itu Roro Centil memang menjadi tetamu yang 
istimewa bagi si Ketua Perguruan Burung Hantu. Ia 
menempati sebuah kamar yang bersih. Berdinding dan 
berlantai papan. Ternyata si Ketua seorang yang ra-
mah tamah. Walau sepasang matanya memancarkan 
sinar yang membersit tajam. Mirip mata Burung Han-
tu.
Rumah Perguruan Burung Hantu ternyata ter-
diri dari beberapa wuwungan. Dan Roro menempati di 
sebuah rumah yang paling besar. Ternyata di samping 
kedatangan Roro masih ada berdatangan lagi tiga 
orang tetamu. Yaitu seorang wanita, dan dua orang la-
ki-laki. Dapat dilihat sepintas oleh Pendekar Wanita 
Pantai Selatan, ketiganya bukanlah orang-orang yang 
biasa-biasa saja. Karena dari setiap gerakannya me-
nunjukkan ketiganya berilmu tinggi. Ternyata si Bu-
rung Hantu itu telah mengundang rekan-rekannya un-
tuk mengadakan pertemuan dengan menyebar undan

gan.
Adapun Roro yang bukan termasuk salah satu 
undangannya, ternyata tidak masuk hitungan. Ketika 
di adakannya pertemuan empat pasang. mata. Sengaja 
Roro diberi ruang terpisah. Anehnya si Burung Hantu 
sedikitpun tidak menanyakan hal ihwal Roro. Mem-
buat Roro agak merasa aneh.
Sementara malam terus berlalu merayap, Roro 
tak bisa pejamkan mata. Bau asap kemenyan itu
benar-benar membuat ia merasa terganggu. Dia 
diam ia telah membuka jendela, dan melompat ke luar. 
Keadaan di luar tampak sunyi. Jarak antar tiap-tiap 
rumah kira-kira tiga puluh tombak. Pada bagian de-
pannya dipasangi dua obor. Roro bergerak menyelidiki 
setiap dinding kamar. Telinganya dipasang tajam-
tajam. Demikianlah Roro mencoba curi dengar dimana 
adanya pertemuan empat pasang mata antara si Bu-
rung Hantu dengan ketiga tetamunya. Sementara se-
pasang biji matanya selalu bergerak lincah. Karena 
mengkhawatirkan ada penjaga yang melihatnya.
Sayang di rumah besar itu tak ada tanda-tanda 
mencurigakan. Malam memang sudah larut. Segera 
Roro berkelebat ke rumah-rumah berikutnya. Dan pa-
da sebuah rumah yang bentuknya agak berbeda den-
gan yang lain itu, lapat-lapat dapat didengarnya suara 
orang bercakap-cakap. Walaupun suaranya tidak terla-
lu keras, namun pada malam yang sunyi itu, dapat 
terdengar oleh Roro dengan merapatkan telinganya ke 
dinding rumah.
"Sebentar lagi di saat ayam mulai kukuruyuk, 
kita sudah segera bergerak kesana!" Terdengar suara 
sang Ketua Perguruan Burung Hantu. Yang memang 
berjulukan si Burung Hantu. Roro bergerak perlahan 
tanpa menimbulkan suara, mencari celah yang dapat
ia pergunakan untuk mengintip. Dan sudah dite-
muinya celah kecil di dinding papan bangunan rumah 
itu. Segera saja terlihat keempat orang duduk berkelil-
ing. Sang Ketua membelakangi
Roro. Sedang dua laki-laki tetamunya duduk 
berhadapan dengan si Ketua. Dan wanita satunya du-
duk di sebelah kiri si Burung Hantu. Dari pembicaraan 
rahasia yang didengarnya, Roro segera dapat mengeta-
hui ketiga tetamu si Burung Hantu itu. Kedua laki-laki 
itu adalah yang berjulukan Dua Iblis Sembilan Nyawa. 
Yang masing-masing bernama Gajah Dungkul dan Ka-
la Dungga. Gajah Dungkul berperawakan tinggi besar. 
Telinganya panjang dan bermuka lebar. Sepasang ma-
tanya sipit dengan alis yang tebal terjungkit ke atas. 
Hidungnya agak melengkung, dan berbibir tebal. Laki-
laki ini mengenakan pakaian berwarna abu-abu. Tam-
pak di sisinya tergeletak senjatanya sepasang piring ti-
pis, yang berbentuk mirip tutup panci, mempunyai pe-
gangan pada bagian tengahnya.
Sedang yang bernama Kala Dungga ternyata 
seorang laki-laki berkulit hitam. Berkepala lonjong. 
Rambutnya hanya tebal bagian atasnya saja. Hidung 
dan mulutnya berdekatan sekali. Giginya agak men-
cuat keluar. Dengan sepasang mata yang besar. Kumis 
dan jenggotnya tidak rata. Usianya hampir sebaya 
dengan si Gajah Dungkul. Yaitu sekitar lima puluh ta-
hun. Orang ini memakai jubah kuning. Senjatanya tak 
terlihat di dekatnya. Sedangkan si wanita mengenakan 
baju warna merah. Dengan wajah cukup cantik. Ber-
kulit sawo matang. Sebuah tongkat hitam mirip ular 
berada di pangkuannya. Wanita ini sebentar-sebentar 
tersenyum, kalau diajak bicara si Burung Hantu. 
Dan duduknya pun agak berdekatan dengan si 
tuan rumah. Ternyata si wanita ini bergelar si Ular Ko

bra Mata Merah. Sedang si Burung Hantu sendiri, Roro 
telah mengenal wajahnya. Yaitu seorang laki-laki yang 
bertubuh agak pendek. Berwajah empat persegi. Ber-
hidung bagai paruh burung. Alisnya kereng dan tebal 
hampir menyatu. Telinganya kecil, hampir tak keliha-
tan tertutup rambutnya. Malam itu mengenakan man-
tel bulu burung yang tampak berwarna hitam... Ada-
pun Roro terus mendengarkan pembicaraan keempat 
orang itu.
"Hmm, sobat Burung Hantu..! Apakah kau ya-
kin penyergapan kita malam ini tak akan gagal. Apa-
kah kita perlu membunuhnya mampus saja. Dan kita 
kuras harta bendanya..!" Berkata Kala Dungga, si ju-
bah kuning.
"Benar..! Sebaiknya demikian. Aku khawatir ka-
lau kita hanya menculik anak gadisnya saja untuk 
minta tebusan, akan membahayakan kita. Terutama 
perguruanmu. Bisa saja si hartawan itu melaporkan 
pada pihak Kerajaan untuk menggulung markas mu." 
Berkata Gajah Dungkul. Sedang si wanita alias si Ular 
Kobra Mata Merah cuma tinggal diam. Karena usul 
pertama itu dialah yang memberikan. Adapun si Bu-
rung Hantu jadi tersenyum mendengar saran-saran 
kedua kawannya.
"He he he... Kalau cuma mau menculik anak 
gadisnya sih, aku sendiri juga dapat melakukannya! 
Makanya kupanggil kalian, karena aku akan menum-
pasnya sekaligus. Kekuasaannya akhir-akhir itu
semakin meluas. Dan kudengar si hartawan itu 
juga menyewa orang-orang persilatan untuk melindun-
gi kekuasaannya. Agaknya ia mau menyaingi si Tirta 
Menggala..!" Berkata si Burung Hantu dengan suara 
agak ditekan.
"Tirta Menggala.. ? Hm, kurasa diapun tak mau

disaingi begitu saja..! Apalagi manusia itu pernah men-
jadi murid seorang pertapa tua, yang berjulukan Dewa 
Siluman Kera! Bila orang sakti itu turun tangan, dalam 
sekejap saja akan hancurlah kekuasaan si hartawan 
yang bekas pembesar kerajaan Sriwijaya itu..!" Tiba-
tiba si Ular Kobra Mata Merah ikut buka suara.
"Dan bila itu terjadi, kita bisa kalah cepat kalau 
tak buru-buru bertindak..!" Menimbrung lagi Kala 
Dungga. Si Burung Hantu jadi tertawa bergelak-gelak.
"He he he... he he... Tak usah terlalu mengkha-
watirkan si Tirta Menggala. Manusia itu cuma tergila-
gila dengan wanita. Untuk menjatuhkan
manusia semacam itu tidaklah sulit. Kita tak 
perlu saling jatuhkan. Bahkan kita bisa bekerja sama 
dengannya. Karena kita-bisa-bisa berurusan dengan si 
pertapa sakti Siluman Kera Putih. Bisa-bisa akan te-
rancamlah jiwa kita..!"
"Benar..! Benar! Saran mu itu bagus sekali Bu-
rung Hantu..! Kita, sesama golongan hitam tak perlu 
saling gontok-gontokan!" Ujar Gajah Dungkul.
"Akan tetapi mengenai rencana kita, baiknya 
aku ambil kepastian. Nah dengarkan baik-baik..!"
Sambung si Burung Hantu lagi. Kemudian me-
reka pun mulai mengatur rencana dan siasat... Semen-
tara Roro mendengarkan dari balik dinding. Selesai 
menetapkan keputusan, tiba-tiba salah seorang dari 
tamunya itu, yaitu si wanita baju merah. Tiba-tiba ber-
tanya;
"Eh... kulihat sobat kita ini sudah punya sim-
panan khusus... Cantik juga. Bolehkan aku mengeta-
hui lebih dekat siapa wanita piaraan mu itu?" Tentu 
saja Roro Centil jadi merah wajahnya. Diam-diam ia 
memaki dalam hati... Setan alas..! Aku di anggap wani-
ta piaraan si Ketua Kokok Beluk ini! Sialan..!"

Adapun si Burung Hantu baru sadar dan mera-
sa diingatkan oleh si wanita, mengenai seorang ta-
munya.
"Aku sendiri belum mengetahui siapa dia 
adanya..!" Berkata si Burung Hantu. Tentu saja ketiga 
orang undangan itu jadi melengak.
"Kau ini aneh, Burung Hantu..! Bagaimana ka-
lau wanita itu ternyata seorang mata-mata yang bisa 
merusak rencana kita?" Berkata Gajah Dungkul.
"Tampaknya ia bukan wanita sembarangan..! 
Apakah tak ada rencanamu untuk mengikut sertakan 
dalam penyergapan kita?" Tanya kala Dungga. Si Bu-
rung Hantu ini tampak menghela napas, lalu berkata 
perlahan... Dan tuturkan asal mulanya hingga ia keda-
tangan tetamu yang tak diundang.
"Sebenarnya ada rencanaku untuk mengetahui 
lebih jauh tentang siapa dirinya, akan tetapi, datang-
nya sudah di luar dugaan. Mana aku mampu menolak, 
karena ia telah juga menjadi tamuku? Aku telah tem-
patkan ia di rumah besar. Ada dua orang pembantu 
wanita disana untuk melayaninya. Sengaja aku mena-
hannya agar menginap selama beberapa hari. Tam-
paknya ia juga seperti orang yang aneh..! Kalau ia tak 
merasa diundang mengapa mau saja datang untuk 
menjadi tamuku?" Tutur si Burung Hantu.
"Apakah kau tak lihat adanya tanda-tanda 
mencurigakan pada sikapnya?" Tanya Kala Dungga la-
gi. Si Burung Hantu tampak terdiam sejenak. Lalu me-
nyahuti.
"Rasanya tidak! Tampaknya ia bukan pendu-
duk asal daerah kita. Seperti berlogat bahasa dari se-
berang pulau. Mungkin juga ia perantau dari Pulau 
Jawa. Itulah sayangnya... karena kedatangannya ju-
stru bertepatan dengan pengaturan rencana kita, ma

ka terpaksa ia ku tahan dulu agar tinggal beberapa ha-
ri disini. Karena aku tak mau melibatkan urusan ini 
dengannya..! Baiknya kita tunggu saja sampai sele-
sainya urusan kita malam ini. Besok kita menemuinya 
untuk lebih dekat mengenalnya..!" Burung Hantu beri-
kan penjelasannya.
"Bagaimana kau bisa menahannya, kalau cuma 
ada dua pembantu wanita di rumah besar tempat ia 
menginap? Dia toh punya kaki. Kapan waktu bisa dia 
bisa berangkat pergi..!" Menimbrung si wanita bertong-
kat ular. Akan tetapi si Burung Hantu cuma menyerin-
gai, dan berkata perlahan.
"He he he., mengenai itu adalah urusanku! Si 
Burung Hantu bukan anak kemarin sore yang harus 
diberi petunjuk!" Jawabnya, dan segera menyambar 
gelas arak untuk selanjutnya sudah menenggaknya 
habis. Sementara yang lainnya pun menuruti, mene-
guk sisa minumannya.
Tampaknya Roro sudah cukup untuk mencuri 
dengar. Segera ia berkelebat pergi tanpa menimbulkan 
suara. Sebentar kemudian ia telah kembali memasuki 
kembali kamarnya dengan lewat jendela. Kemudian 
menutupnya rapat-rapat. Roro Centil jatuhkan tubuh-
nya di pembaringan. Dan tercenung memikirkan apa 
yang telah didengarnya: Nama-nama yang diingatnya 
adalah Tirta Menggala, murid kakek pertapa Siluman 
Kera Putih. Entah bagaimana rupanya si kakek yang 
kabarnya sakti itu. Dapat diketahui Tirta Menggala 
adalah seorang laki-laki yang doyan dengan wanita 
cantik. Adapun Hartawan yang disebut-sebut itu ter-
nyata bekas orang Kerajaan. Tentu saja kerajaan Sriwi-
jaya di tanah seberang ini. Bahkan yang pernah menja-
jah kerajaan Medang dan menguasai Pulau Jawa ham-
pir selama satu abad.

Sebenarnya ia tak mau turut campur dengan 
urusan si Burung Hantu, yang ternyata juga bukan 
orang baik-baik. Sayang percakapan mereka tak me-
nyebut-nyebut tentang Peri Gunung Dempo. Tampak-
nya Roro agak bingung untuk mengambil putusan. 
Apakah berdiam di rumah ini, atau membuntuti mere-
ka yang akan melakukan penyergapan malam ini? Ka-
lau membuntuti mereka, berarti Roro jadi telah ikut 
campur urusan orang. Dan akan membela siapakah 
ia? Berfikir Roro. Seandainya terjadi ia menguntit si 
Burung Hantu, apakah tidak ada yang lebih baik selain 
ia menjadi penonton saja? Tapi... Berfikir lagi Roro 
Centil. Mana ia tega membiarkan orang dibunuh se-
mena-mena. Sudah jelas yang jahat dan salah adalah 
si Burung
Hantu dan ketiga konconya. Walaupun si har-
tawan itu adalah bekas seorang pembesar Kerajaan 
yang pernah menjadi musuh Kerajaan Medang di ta-
nah airnya. akan tetapi menolong orang bukanlah 
menjadi halangan. Apa lagi hal ini bukanlah menyang-
kut urusan Kerajaan. Tapi adalah urusan kemanu-
siaan. Berfikir demikian Roro sengaja tak picingkan 
mata untuk mendengar dimana suara kokok ayam ter-
dengar, ia akan segera keluar untuk menguntit mere-
ka. Akan tetapi ia juga ingin tahu akan kata-kata si 
Burung Hantu. Yang mengatakan akan mampu mena-
hannya di rumah besar ini sampai mereka kembali. 
Diam-diam Roro Centil tersenyum sendiri. Dan mem-
batin dalam hati.. Buktinya aku sudah keluar jendela, 
tanpa ada yang mengetahui. Kalau benar ia dapat me-
nahanku mengapa tak ia sediakan penjaga untuk 
mengawasi aku..?
Tiba-tiba ia baru sadar lagi kalau bau keme-
nyan itu semakin santar menusuk hidung. Timbul

keinginannya untuk memeriksa setiap ruangan. Bu-
kankah rumah ini cuma ditempatkan dua pembantu 
wanita? Berfikir Roro. Akan tetapi baru saja ia akan 
beranjak bangun, tiba-tiba pintu kamarnya menguak 
terbuka. Angin dingin terasa menyelusuri sekitar tu-
buhnya. Benar-benar aneh. Roro dibuatnya tertegun. 
Dan sekonyong-konyong hawa terasa mencekam. Dan 
membuat bulu-bulu kuduk Roro jadi bangun berdiri. 
Sepasang matanya tak lepas menatap ke pintu kamar 
yang terbuka. Hampir tak masuk di akal Roro, ketika 
dilihatnya dari dalam ruangan tengah itu terdengar 
suara menggeram. 
Sesosok bayangan hitam tiba-tiba muncul di 
pintu kamar. Entah bayangan apa. Karena tidak ber-
bentuk. Sementara Roro cuma bisa terpaku duduk di 
pembaringan. Sepasang matanya menatap tak berke-
dip pada bayangan hitam di hadapannya. Tiba-tiba 
bayangan aneh yang membersitkan rasa seram itu be-
rubah jadi asap hitam yang bergumpal-gumpal. Dan 
detik selanjutnya, gumpalan asap itu telah berbentuk 
menyerupai seekor harimau yang besar, hampir sebe-
sar kerbau. Terkesiap Roro bukan buatan. Sampai-
sampai ia beringsut karena terkejutnya.... Selama hi-
dupnya baru pertama kali ini ia melihat kejadian aneh 
seperti ini. Ia sudah gerakan tangan untuk menghan-
tam makhluk Harimau Tutul itu. Akan tetapi tena-
ganya terasa hilang musnah. Mengangkat lengan saja 
ia sudah tak sanggup lagi. Sementara sepasang mata 
si Harimau Tutul, pancarkan sinar matanya yang se-
perti menyala menatap Roro. Akan tetapi anehnya 
makhluk jejadian itu tidak mengganggu. Ia cuma me-
langkah tiga-empat tindak
dan duduk di bawah di dekat jendela. Dengan 
menghadapkan kepala pada Roro Centil. Sedang sepasang matanya terus menatap sang Pendekar wanita 
Pantai Selatan tak berkedip. Roro tampaknya dapat 
bernapas lega. Akan tetapi ia benar-benar tak dapat 
berkutik. Pada saat itulah terdengar suara orang me-
langkah mendekati pintu kamar Roro dari ruangan da-
lam. Seraya terdengar suaranya;
"Mengapa pintu kamarmu dibuka, nona..? Ada-
kah kau di dalam..?" Dan tersembul sesosok tubuh 
yang tak lain dari pembantu wanita di rumah besar 
itu. Begitu melihat Roro Centil masih duduk di pemba-
ringan dengan sepasang matanya, masih terbuka, ia 
segera bicara lagi;
"Agaknya nona belum mengantuk..! Tidurlah! 
hari sudah jauh malam. Tak baik bagi kesehatan..! 
Daun pintu kamarmu jangan sekali-kali dibiarkan ter-
buka tengah malam..!" Sambungnya lagi seraya balik-
kan tubuh untuk kembali keluar. Dan menutupkan 
kembali daun pintu kamar Roro. Lalu terdengar suara 
langkahnya menuju ruangan dalam. Agaknya seperti ia 
baru terbangun dari tidur, setelah siangnya merasa le-
lah bekerja.
Roro cuma bisa mengangguk, ketika si pemban-
tu wanita bertanya. Selebihnya ia cuma bisa tetap du-
duk terpaku tanpa bisa berbuat apa-apa. Anehnya, 
pembantu wanita itu tidak melihat dan mengetahui 
adanya seekor Harimau Tutul yang amat besar di ka-
mar itu. Tentu saja hal itu membuat Roro keluar ke-
ringat dingin. Benar-benar aneh..!? Pikir Roro Centil. 
Apakah mahkluk ini yang diutus Burung Hantu untuk 
menjaganya..? Demikian berkata hatinya. Menyesal ju-
ga Roro kembali lagi ke kamar ini. Kalau sudah begini, 
Roro jadi benar-benar mati kutu. Sementara tubuhnya 
benar-benar seperti di lolosi tulang belulangnya. Lemas 
sekali. Bahkan otaknya pun tak dapat berfikir jernih.

Akhirnya dengan beringsut-ingsut ia rebahkan tubuh-
nya lagi di pembaringan. Dengan menyandarkan pung-
gungnya pada bantal, ia tetap selalu memperhatikan si 
makhluk itu. Khawatir tiba-tiba menyerangnya. Tapi 
diam-diam ia berusaha menyatukan segenap ilmu ba-
tinnya. Untuk memulihkan kembali keadaan tubuhnya 
yang menjadi lemah tak bertenaga.
Malam itu adalah malam yang paling tidak 
enak buat Roro. Karena harus diawasi sesosok mak-
hluk yang besar dan menyeramkan....
Selang beberapa saat berlalu, suara kukuruyuk 
ayam jago pun terdengar. Keadaan di Perguruan Bu-
rung Hantu sunyi mencekam. Akan tetapi empat sosok 
tubuh telah berkelebat keluar dari salah sebuah ru-
mah. Dan selanjutnya kembali lenyap di ujung jalan 
desa. Gerakannya seperti hati-hati agar tak menimbul-
kan suara. Ternyata keempat sosok tubuh itu tak lain 
dari si Burung Hantu dan ketiga konconya. Yang me-
mang telah tiba saatnya untuk berangkat pergi, sesuai 
rencana.
Gedung tempat tinggal si hartawan bekas pem-
besar Kerajaan itu berada di daerah Gunung Putri. Ge-
dung baru yang baru beberapa bulan diisinya, sejak ke 
pindahannya dari tempat tinggalnya yang lama. Si Har-
tawan itu bernama Datuk Sutan Benggala Dewa. Ia 
memang baru saja menambah beberapa areal perke-
bunan merica dan kopi. Dan menangani urusan per-
dagangan besar dengan orang asing. Tentu saja usaha 
itu mendapat izin dari pihak Kerajaan, karena ia juga 
bekas seorang pembesar yang banyak membantu di 
masa jabatannya. Dan Datuk Sutan Benggala Dewa 
juga orang yang tahu diri, hingga tak lupa mengirim 
upeti pada Raja setiap tahunnya.
Malam itu tampak empat sosok tubuh menyelinap masuk ke dalam pekarangan Gedung yang luas 
itu. Salah seorang bergerak memutar, ke arah samping 
kiri gedung. Sedang seorang lagi dari samping kanan. 
Di tempat yang luas itu ada terdiri dari tiga wuwungan 
rumah. Dan rumah gedung yang paling besar itulah 
tempat tinggal sang Datuk Sutan Benggala Dewa. Se-
dang yang dua orang masuk dari bagian depan dengan 
gerakan hati-hati. Ternyata ketuanya adalah si Burung 
Hantu dan si Wanita bergelar Ular Kobra Mata Merah. 
Si Burung Hantu sudah membisiki dengan melompat 
menghampiri rekannya;
"Ssst..! Apa tidak sebaiknya kau naik ke atas 
membongkar genting..?" Si wanita baju merah itu tam-
pak kerutkan alis sejenak, lalu menyahuti.
"Baiklah… Dan ia segera akan bergerak untuk 
melompat ke atas genting, ketika tiba-tiba terdengar 
bentakan keras;
"Pencuri laknat..! Jangan harap kalian dapat 
pulang dengan selamat..!" Dan tiba-tiba dari sebelah 
sisi rumah petak itu telah bermunculan tiga sosok tu-
buh. Rata-rata mereka berbaju hitam. Sekejap saja te-
lah mengurung keduanya. Si Burung Hantu cuma 
memandang dengan senyum menghina pada para pen-
gurungnya. Sekilas ia lirik si wanita rekannya yang 
tampak tersenyum padanya. Lalu anggukkan kepala. 
Sementara ketiga orang itu telah menerjang maju. Sen-
jata-senjata yang dipergunakannya adalah sebuah go-
lok besar, dan dua bilah pedang. Melihat hal demikian 
si Burung Hantu segera berkelebat menghindar, seraya 
perdengarkan dengusan di hidung, dan cabut senja-
tanya.
Trang! Trang! Dua serangan pedang telah di 
sampok mental balik. Ternyata yang ia pergunakan 
adalah sebuah senjata aneh, yaitu berbentuk sepasang
ruyung. Akan tetapi pada bagian ujungnya terdapat ti-
ga buah rantai. Dengan masing-masing pada bagian 
ujungnya terdapat tiga buah cakar besi mirip cakar 
burung. Senjata hebat inilah yang dinamakan si Cakar 
Hantu. Kedua orang penjaga yang menyerang si Bu-
rung Hantu itu terkejut sekali, karena rasa tangan-
tangan mereka tergetar akibat sampokan senjata Ca-
kar Hantu itu, dan kedua pedang hampir terlepas dari 
pegangan tangan masing-masing. Akan tetapi segera 
mereka maju menerjang lagi. Kali ini tampak hati-hati. 
Karena ketika si Burung Hantu menyambut dengan 
senjatanya, segera keduanya menarik lagi serangan-
nya. Ternyata adalah Cuma serangan dengan gerak ti-
puan. Adapun si wanita dengan senjata tongkat ular-
nya cuma melayani si penyerang bersenjata golok be-
sar itu dengan senyum-senyum. 
Beberapa serangan sang penjaga itu cuma di-
anggap tak berarti. Dan dengan mudah ia selalu dapat 
mengelakkannya. Selang sepuluh jurus, tiba-tiba si 
Burung Hantu keluarkan suara mirip burung Kokok 
Beluk, tiga kali. Agaknya si wanita rekannya itu men-
gerti. Dan tampak tongkat ularnya bergerak memutar 
bagai baling-baling... Si penjaga bergolok besar itu ter-
kejut karena rasakan sampokan angin keras mener-
jang tubuhnya. Ia sudah melompat tiga tombak men-
jauh. Akan tetapi bagaikan bayangan, tongkat si wani-
ta mengejar. Terpaksa ia menghantam dengan golok 
besarnya, disertai bentakan. 
Terdengar si wanita tertawa sinis. Tahu-tahu 
tubuhnya berkelebat lenyap dari hadapan si penjaga. 
Dan di lain saat terdengarlah teriakan ngeri sang pen-
jaga itu. Ternyata lehernya telah ditembus oleh tongkat 
ular si wanita. Darah segar menyembur mengerikan. 
Dan ketika si Ular Kobra Mata Merah menarik kembali

senjatanya, maka robohlah si penjaga dalam keadaan 
tewas mengerikan. Dalam pada itu si Burung Hantu 
tengah melancarkan serangan maut pada kedua la-
wannya. Kedua pedang ternyata telah di sampok men-
tal, hingga terlepas dari tangan sang lawan. Kini ba-
gaikan alap-alap menyambar mangsa, ketiga buah Ca-
kar Hantu itu bagaikan tangan-tangan setan saja me-
luncur deras mengarah leher dan dada kedua penjaga. 
Salah seorang tak dapat mengelakkan diri lagi. Maka 
terdengarlah jeritan ngerinya, ketika cakar Hantu itu 
berhasil mencengkeram jantungnya, hingga daging-
dagingnya tercongkel keluar. D
an darah muncrat seketika, dan robohlah si 
penjaga itu. Adapun yang seorang lagi ternyata berha-
sil mengelakkan serangan pada lehernya, dengan 
membuang tubuh ke samping. Dan dengan berjumpa-
litan berhasil menjauh. Wajahnya jadi pucat pias. Se-
gera ia enjot tubuh untuk melarikan diri. Tampaknya 
ia akan segera berhasil menyelamatkan diri. Akan te-
tapi pada saat itu juga, berkelebat tongkat si wanita. 
Meluncur bagai seekor ular terbang. Dan terdengar te-
riakan sang penjaga bernasib naas itu. Punggungnya 
telah tertembus tongkat ular bermata merah... Am-
bruklah seketika ia, dan tampak berkelojotan sebentar, 
tewas seketika itu juga.
Mendengar ribut-ribut di luar itu tentu sang 
hartawan alias Datuk Sutan Benggala Dewa jadi ter-
bangun. Tampak ia gelagapan. Dan berlari kesana-
kemari dengan kebingungan. Ia dapat segera menyada-
ri bahwa gedungnya telah disatroni penjahat Segera 
saja ia berteriak-teriak...
“Rampooook! Rampooook..!" Dan ia sudah ber-
lari lagi ke ruangan depan. Tapi tak lama kemudian 
kembali lagi ke kamar. Sementara sang istri cuma bisa

ketakutan menggulung tubuhnya dengan selimut, 
dengan tubuh menggigil gemetaran. Tiba-tiba di kamar 
sebelah terdengar suara bergedubrakkan. Disertai sua-
ra jeritan wanita. Terkejut si Hartawan. Ketika itu juga 
ia teringat akan anak gadisnya.
"Ratna Dewi anakku..!" Teriak si Hartawan. Ia-
pun berlari ke kamar anaknya. Sementara istrinya pun 
tiba-tiba melompat dari tempat tidur, dan berlari ke 
kamar putrinya. Akan tetapi pada saat itu juga jendela 
samping telah dicongkel terbuka. Dan Kala Dungga 
melompat ke dalam. Sekejap saja telah terdengar jeri-
tan ngeri wanita istri hartawan itu. Lehernya hancur di 
cengkraman manusia telengas itu, di sertai robohnya 
sang tubuh ke lantai. Si Hartawan terkejut bukan 
main. Saat itu juga ia memekik keras. Dan ia sudah 
melompat menyambar sebuah tombak di sudut dind-
ing ruangan. Wajahnya menampilkan kemarahan luar 
biasa, melihat tubuh sang istri telah tergeletak di lan-
tai bersimbah darah. Akan tetapi pada saat itu juga 
berkelebat Gajah Dungkul dari dalam ruangan kamar 
anak gadis hartawan. Sebelah lengannya telah berge-
rak, dan tahu-tahu tubuh laki-laki berusia enam pu-
luh itu sudah roboh dengan perdengarkan keluhannya. 
Ternyata si Gajah Dungkul telah menotoknya. Di lain 
saat, terdengar suara pintu yang pecah bergedubrak-
kan. Disertai melompatnya si Burung Hantu dan si 
Ular Kobra Mata Merah. Melihat rekan-rekannya ber-
hasil masuk, Gajah Dungkul tersenyum.
Bagus..! Hayo kalian geledah seluruh isi kamar! 
Anak gadisnya si tua bangka ini telah ku totok! Ru-
panya hanya tiga orang penjaga saja yang diandalkan 
untuk menjaga gedungnya. He he he..." berkata Gajah 
Dungkul sambil tertawa. Dan ia pun sudah berkelebat 
masuk ke kamar. Ketika keluar lagi sudah memondong

seorang gadis yang berteriak-teriak. Tapi sudah tak bi-
sa menggerakkan tubuhnya lagi. Si Burung Hantu 
hanya nyengir, sambil segera berkelebat memasuki 
kamar. Disana ia mengobrak-abrik lemari pakaian. 
Bahkan kasur dan bantal di aduk-aduk. Sedangkan si 
Ular Kobra Merah memasuki kamar anak gadis harta-
wan itu. Disana iapun menggerayangi setiap tempat. 
Sementara Kala Dungga mendekati si gadis dalam 
pondongan Gajah Dungkul. Wajahnya tampak cengar-
cengir melihat gadis cantik.
"Eh, kakak, berikan aku yang memondong-
nya..!" Berkata Kala Dungga seraya melompat mende-
kati. Gajah Dungkul tertawa menyeringai, serta berka-
ta;
"Boleh! Tapi ingat, jangan kau beri sisa mu..!" 
Dan segera lemparkan gadis dalam pondongannya itu. 
Yang segera disambuti Kala Dungga.
"Ha ha ha... Cantik juga anak gadis si tua 
bangka ini.." Dan ia sudah mendaratkan ciuman di pi-
pi gadis bernama Ratna Dewi itu.
Adapun sang gadis itu sudah menjerit-jerit ke-
takutan. Wajahnya sudah bersimbah air mata. Ketika 
tiba-tiba ia melihat ibunya yang tergeletak bersimbah 
darah, tanpa bergerak-gerak lagi... seketika ia menjerit 
panjang. Lalu jatuh pingsan. Sementara si Hartawan 
itu cuma bisa meringis pedih melihat apa yang terjadi 
di depan matanya. Tiba-tiba ia telah keluarkan benta-
kan;
"Iblis-iblis keparat..! Lepaskan anak gadisku! 
Jangan kau ganggu dia..! Katakan apa mau kalian?! 
Mengapa kalian lakukan semua ini? Aku merasa tak 
bersalah apa-apa terhadap kalian..!" Teriak Datuk Su-
tan Benggala Dewa. Sementara diam-diam hatinya 
mengutuk panjang pendek orang-orang bayarannya
yang tak bisa diandalkan. Gajah Dungkul tertawa ter-
kekeh sambil acungkan senjata piring tipisnya di leher 
si hartawan.
"He he he... kami mau kepalamu tuan besar! 
juga harta, dan... dan... anak gadismu yang cantik 
itu..!" Berkata Gajah Dungkul dengan wajah jumawa, 
sambil lirikan mata pada anak gadis laki-laki itu yang 
berada dalam pondongan adiknya. Sementara itu si 
Burung Hantu sudah melompat keluar. Wajahnya me-
nampakkan kekecewaan. Seraya berkata;
"Kurang ajar! Aku tak dapat menemukan tem-
pat menyimpan uang dan harta benda si kunyuk ini! 
Hayo, Gajah Dungkul! Kau paksa dia agar menunjuk-
kan tempat menyimpan harta bendanya..!" Gajah 
Dungkul melengak. Dan saat itu si Ular Kobra Mata 
Merah juga telah melompat keluar.
"Aku cuma menemukan ini..!" Desisnya. Seraya 
menunjukkan seuntai kalung emas bermata berlian.
Tiba-tiba ia sudah berkelebat ke arah jenasah 
istri si hartawan. Tampaknya ia membungkuk. Dan 
menyambar kalung emas, serta membuka beberapa ge-
lang di tangan jenazah wanita malang itu. Kemudian 
membungkusnya dengan sapu tangan. Dan selipkan 
pada celah bajunya. Lalu melompat lagi ke dekat tiga 
rekannya.
Datuk Sutan Benggala Dewa cuma bisa pejam-
kan mata. Tampak ada setitik air bening mengalir ke-
luar dari sudut pelupuk matanya. Tiba-tiba sudah ter-
dengar bentakan lagi. Ia rasakan kepalanya terangkat 
naik. Rambutnya terasa pedas sekali. Ternyata si Ga-
jah Dungkul telah menjambak rambutnya.
"Kunyuk..! Kau mau pura-pura pingsan! Hayo 
katakan dimana kau menyimpan harta benda mu...! 
Atau kau mau kutebas batang lehermu? Teriaknya. Seraya tekan piring tipisnya ke leher si Hartawan, yang 
segera meringis kesakitan. Terlihat ada sedikit darah 
mengalir dari kulit lehernya Tapi Datuk Sutan Bengga-
la Dewa tetap membungkam. Membuat Gajah Dungkul 
jadi berang.
"Ku hitung sampai tiga. Kalau kau tetap tak 
membuka mulut. Kepalamu akan segera menggelind-
ing dalam sekejap..!" Bentak Gajah Dungkul, seraya 
menjambak rambut si hartawan lebih keras. Hingga 
laki-laki itu meringis lagi kesakitan. Akan tetapi Kala 
Dungga sudah menyambar bicara;
"Kalau dengan cara demikian, bisa-bisa ia me-
milih mati. Atau bisa juga berdusta. Sebaiknya kita 
gunakan cara yang aku pakai ini..!" Seraya berkata 
demikian, ia telah letakkan gadis yang pingsan itu di 
lantai. Dan tanpa ragu-ragu sudah membukai pa-
kaiannya...
"He he he... Bagus! Bagus! Adikku..! Biarkan 
aku yang mencicipinya dulu. Baru kau..! Atau kalau 
sobat Burung Hantu kepingin, berikan gilirannya buat 
dia..!" Tak berayal lagi Gajah Dungkul segera akan 
membuka juga pakaiannya. Sementara si Ular Kobra 
Mata Merah plengoskan wajahnya dengan wajahnya 
dengan wajah bersemu merah. Akan tetapi pada saat 
itu juga si hartawan sudah berteriak;
"Jangan kalian ganggu anakku...! Akan kuberi-
tahukan tempat menyimpan uangku..!" Pakaian si ga-
dis yang baru dibuka separuhnya itu sudah lantas di 
tutup lagi.
"Bagus..! Berkata Kala Dungga. Nah dimana 
kau simpan uang dan harta benda mu, tuan besar..!" 
Berdesis si Gajah Dungkul. Sementara si Burung Han-
tu cuma jadi penonton saja. Pada saat itu juga tiba-
tiba terdengar suara mengeram. Yang membuat semua

yang berada di tempat itu jadi melengak. Dan tahu-
tahu di ruangan itu telah menjelma seekor Harimau 
Tutul yang hampir sebesar kerbau, dengan didahului 
keluarnya asap hitam yang tebal. Tentu saja keempat 
manusia jahat itu jadi terkesiap. Terlebih-lebih si Bu-
rung Hantu. Karena Harimau belang jejadian itu ada-
lah mahluk suruhannya, yang telah disuruhnya men-
jaga Roro Centil.
Segera kesemuanya melompat mundur. Se-
dangkan Burung Hantu segera berkata dengan suara 
gemetar;
"Datuk Siluman Raja Hutan..!Kau..kau bukan-
kah telah disuruh menjaga wanita itu di rumah besar,
melalui perantara nenek dukun yang telah ku-
panggil di rumahku.. ?" Akan tetapi sebagai jawaban-
nya sang harimau jejadian itu bahkan menggeram le-
bih dahsyat. Hingga seluruh ruangan itu terasa bergo-
lak. Akan halnya si Dua Iblis Sembilan Nyawa alias Ka-
la Dungga dan Gajah Dungkul, jadi kesal dan men-
dongkol dengan adanya harimau jejadian itu. Walau-
pun ia memang agak ngeri dan membuat bulu kuduk-
nya berdiri. Tampak kedua kakak beradik itu segera 
memberi isyarat. Dan dengan berbareng telah mener-
jang dengan senjatanya. Gajah Dungga menebas leher 
sang harimau itu dengan sebuah piring tipis yang ter-
buat dari baja berkilat itu. Dan Kala Dungga telah ke-
luarkan senjatanya dari balik punggung, yaitu sebuah 
garpu sebesar lengan dengan lima buah ujungnya yang 
tajam. Dengan kecepatan kilat, Kala Dungga menusuk 
kepala makhluk itu.
Akan tetapi seketika makhluk itu lenyap. Dan 
yang membuat terkejut adalah si Kala Dungga, karena 
tiba-tiba saja ia berteriak-teriak kesakitan sambil me-
megangi lehernya. Tampak, seperti ia tengah berusaha

melepaskan cengkeraman pada lehernya. Namun tak 
kuasa... Hingga akhirnya ia berkelojotan meregang 
nyawa. Melihat demikian si Ular Kobra Mata Merah ja-
di gemetar. Dan keluarkan keringat dingin pada seku-
jur tubuhnya. Dan tanpa menunggu lagi, segera me-
lompat pergi dari ruangan itu, menerobos jendela, dan 
melesat kabur menyelamatkan diri. Si Burung Hantu 
jadi serba salah. Iapun tak dapat menahan diri lagi un-
tuk segera melarikan diri, sipat kuping. Meninggalkan 
gedung si Hartawan itu. Sementara Gajah Dungkul 
mencoba menarik tubuh adiknya dengan mencekal ke-
dua kakinya, untuk dibawa keluar ruangan. Akan te-
tapi tiba-tiba terdengar suara menggeram... dan ia ter-
lempar jatuh bangun menabrak pintu. Yang seketika 
jadi jebol, dengan papan-papan berantakan. Terkesiap 
seketika laki-laki berperawakan tinggi besar ini. Dan 
dengan mengurutkan punggungnya, terpincang-
pincang ia melarikan diri... Tanpa mau tahu lagi akan 
nasib adiknya. 
Hingga dalam sekejapan saja, ruangan kembali 
menjadi sunyi. Kala Dungga tergeletak di lantai tak 
berkutik lagi. Keadaan tubuhnya tampak mengerikan. 
karena dari mata, telinga serta hidungnya tampak 
mengalirkan darah yang menganak sungai... Sedang-
kan makhluk Siluman yang menyeramkan itu telah 
menjelma lagi menjadi seekor harimau tutul yang amat 
besar.
Pada saat itu berkelebat sesosok tubuh ramp-
ing berbaju merah jambu. Sekejap ia telah berdiri di 
dalam ruangan itu. Ternyata tak lain dari Roro Centil 
adanya. Melihat kedatangan Roro, tiba-tiba harimau 
tutul itu menghampirinya. Dan tampak menggeram-
geram seperti melihat tuannya, serta mengelilingi Roro. 
Segera saja Roro memeluknya, dan mengelus-elus belakang kepalanya.
Si Tutul cuma kedip-kedipkan sepasang ma-
tanya, dan menciumi lengan Roro serta menggeser-
geserkan kepalanya dengan manja. Tapi sebentar ke-
mudian Roro Centil segera bangkit berdiri seraya ber-
kata;
"Tutul..! Tunggulah di luar. Aku akan mengu-
rusi orang-orang di dalam ini. Terima kasih atas ban-
tuanmu, Tutul..!" Tampaknya sang harimau itu men-
gerti, dan dengan patuh sekali ia melesat cepat keluar 
pintu, dan lenyap.
Roro Centil segera membebaskan totokan pada 
tubuh si hartawan. Yang seketika sudah menekuk lu-
tut di hadapan Roro, seraya berucap...
"Oh..! Te... terima kasih atas pertolongan anda, 
nona..!" Roro Centil cuma tersenyum dan mengangkat 
bahu laki-laki tua itu.
"Tak usah banyak peradatan, paman..! Lebih 
baik kau urusi anak gadismu..!" Mendengar demikian 
si hartawan itu sudah lantas memburu ke arah anak 
gadisnya, seraya berteriak...
"Ratna Dewi... Ratna Dewi...!" Dan ia sudah 
mengguncang-guncang tubuh gadis yang tergolek 
pingsan itu. Beberapa saat kemudian si gadis tampak 
siuman kembali. Ia melompat bangkit. Dan yang per-
tama-tama disebutnya adalah nama ibunya! "Ibuuu..! 
Ibuuuu..!" Dan wajahnya dipalingkan ke beberapa 
arah. Ketika terpandang akan tubuh ibunya yang ter-
golek bersimbah darah itu. Tiba-tiba ia perdengarkan 
jeritannya. Seraya berlari menubruk tubuh wanita 
yang telah tewas itu.
"Ibuuuuuuu...!" Dan selanjutnya ia sudah me-
nangis tersedu-sedu memeluki, dan mengguncang-
guncang tubuh ibunya. Laki-laki itu perlahan-lahan

menghampirinya. Seraya bersimpuh di hadapan jena-
zah sang istri, disamping anak gadisnya.
"Sudahlah anakku..! Ibumu sudah tenang di 
alam Baka. Jangan kau iringi dengan air mata. Kita 
harus relakan kepergiannya..!" Berkata lirih Datuk Su-
tan Benggala Dewa, sambil mengangkat bahu anak ga-
disnya. Sebelah tangannya membelai-belai rambut si 
gadis yang amat disayanginya itu.
Sementara itu telah berdatangan para pegawai 
sang hartawan dan beberapa penduduk desa. Yang se-
gera memburu masuk ke dalam gedung. Suasana pun 
menjadi gaduh. Adapun si hartawan, ketika menoleh 
pada penolongnya, ternyata telah lenyap, tak kelihatan 
lagi. Kiranya hari telah menjelang pagi. Keremangan 
malam itu perlahan-lahan berubah menjadi terang. 
Gedung Datuk Sutan Benggala Dewa pagi itu jadi ra-
mai oleh kerumunan penduduk Yang segera memban-
tu menggotong mayat-mayat di halaman. Beberapa 
orang sudah memayang Ratna Dewi, untuk dibawa ke 
rumah gedung di sebelah. Sementara beberapa orang 
lagi sibuk mengangkat jenazah istri si hartawan itu.
Jauh dari rumah Gedung Datuk Sutan Bengga-
la Dewa, tampak berkelebat sebuah bayangan merah 
jambu cepat sekali. Mata manusia biasa akan sulit 
mengetahui bayangan apa itu. Tapi bagi mata orang 
berkepandaian tinggi, segera dapat mengetahuinya. 
Karena bayangan merah. jambu yang berkelebatan 
menjauh itu, adalah bayangan tubuh Roro Centil. Si 
Pendekar Wanita Pantai Selatan. Sungguh suatu hal 
yang amat menakjubkan. Karena Roro Centil ternyata 
tengah menunggang di atas tubuh seekor harimau tu-
tul yang amat besar. Makhluk itu bergerak cepat seka-
li. Larinya bagaikan angin. Entah kemana yang ditujunya...


Apakah gerangan yang telah terjadi dengan Ro-
ro Centil, sehingga dapat bersahabat dengan sang ha-
rimau jejadian itu? Dan bahkan tampaknya sang ha-
rimau siluman itu telah tunduk sama sekali padanya! 
Baiklah kita kembali sejenak ke belakang.
Ketika Roro Centil dalam keadaan serba sulit 
karena ditunggui oleh seekor macam siluman yang 
menakutkan itu, Roro tengah berusaha menyatukan 
segenap ilmu batinnya. Pada saat-saat yang mena-
kutkan itulah, Roro Centil teringat, dan tiba-tiba ter-
bayang akan wajah Gurunya. Si Manusia Aneh Pantai 
Selatan. Dan entah suara Gurunya juga entah suara 
batinnya. Karena pada saat itu ada suara membersit 
hatinya.
"Roro... Muridku! Kau memang bocah tolol| Ta-
pi cerdik! Kalau kau menemui keanehan, mengapa tak 
kau lawan dengan keanehan pula. Demikian suara itu 
seperti terdengar berkali-kali. Dan terus terngiang-
ngiang di telinganya.
Roro berfikir bolak-balik. Apakah gerangan 
makna yang telah membersit di hatinya itu, berulang 
kali terngiang-ngiang di telinganya...
Segera ia pusatkan pikirannya untuk mendapa-
ti keanehan apakah gerangan yang harus diperguna-
kan untuk melawan makhluk siluman di hadapannya 
itu. Lama dan lama ia mengingat-ingat. Sampai peluh 
peluh di sekujur tubuhnya bercucuran. Roro benar-
benar sulit untuk membuka tabir
keanehan dari suara yang membersit di lubuk 
hatinya. Gurunya tak memberi bekal keanehan apa-
apa! Demikian pikirnya. Roro tampak hampir putus 
asa, karena tak juga berhasil memikirkan makna kata-
kata itu. Hingga terdengar sudah suara ayam berkuku-
ruyuk... Dimana si Burung Hantu dan ketiga rekannya

sudah berangkat pergi. Roro mulai agak gelisah. Beru-
lang kali ia tatap mata si harimau siluman itu. Yang 
selalu tak berkedip menentang wajah kepadanya. Ka-
rena hawa aneh yang menyeramkan itu seperti telah 
melolosi tulang belulangnya... Akan tetapi pada saat 
itu juga Roro Centil teringat akan kotak perhiasan mi-
lik Gurunya yang selalu dibawanya. Yang masih tersisa 
adalah sepuluh buah gelang emas, bertatahkan ber-
lian. Dan sebuah cincin bermata batu Merah Delima.
Mengingat akan cincin itu, Roro Centil berfikir 
sejenak. Dan diam-diam berkata dalam hatinya... 
Eh...!? Batu Merah Delima yang berada pada cincin ku, 
amat mirip sekali dengan sepasang mata si makhluk 
siluman ini. Merah bersinar! apakah keanehannya ada 
pada benda itu..? Demikian Roro berfikir bolak-balik.
Dan perlahan-lahan ia sudah keluarkan kotak 
perhiasan itu dari balik pakaiannya. Dibukanya kotak 
kecil itu. Segera saja membersit keluar cahaya merah 
dari batu cincin itu. Juga gemerlapan permata-
permata berlian dari kesepuluh gelang warisan gu-
runya. Sebaiknya kupakai saja semuanya! Pikir Roro. 
Dan tanpa ayal lagi Roro masukkan lima buah gelang 
pada lengan kirinya. Dan lima buah lagi di lengan ka-
nannya. Lalu pasangkan cincin emas bermata batu 
Merah Delima itu di jari manisnya. Aneh..! Kesemua 
benda di lengannya itu jadi lenyap sinar gemerlapnya. 
Juga sinar merah dari batu Merah Delima itu. Roro ja-
di penasaran. Tapi inilah keanehannya. Memang...! Ro-
ro Centil sudah menemukan keanehannya. Akan tetapi 
harus berfikir seribu kali untuk memecahkan keane-
han itu. Tampak Roro sudah tak sabar lagi. Diam-diam 
ia kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang lengan-
nya. Ia berpendapat kalau ia berhasil menghimpun te-
naga dalam, maka sekali bergerak untuk menghantam,

tamatlah riwayat si macan siluman itu. Tampaknya 
Roro berhasil... Akan tetapi terkesiap ia ketika tahu-
tahu batu Merah Delima pada cincinnya telah kembali 
menyala, dan menyorot langsung ke mata siluman ha-
rimau itu. Bahkan sepuluh gelang bermata berlian itu-
pun bergemerlapan lagi memancarkan cahaya yang 
amat mempesona.
Aneh...! Sang harimau jejadian itu tiba-tiba 
mundur, dan menggeram lemah seperti ketakutan. Me-
lihat demikian timbullah nyali Roro. Segera saja ia te-
lah melompat bangkit. Sang harimau siluman itu se-
makin mengkerutkan tubuhnya ketakutan. Sinar ma-
tanya tampak semakin memudar. Dan akhirnya le-
nyaplah cahaya merah dari sepasang matanya. Tiba-
tiba tubuh makhluk itu bergoyang-goyang...
Dan satu keajaiban segera terjadi lagi. Tubuh 
makhluk itu tiba-tiba berubah mengecil. Semakin ke-
cil... dan terus mengecil, hingga sebesar seekor kucing. 
Suaranya pun telah berubah bagai suara kucing. Na-
mun tetap tak berubah warnanya. Roro jadi melengak. 
Ia sudah mengucak-ucak sepasang matanya, karena 
hampir-hampir ia tidak percaya pada penglihatannya.
Hingga tanpa ia sadari kakinya telah melang-
kah mundur beberapa tindak. Dan terhenyak duduk di 
tepi pembaringan. Sementara sepasang matanya Map 
mengawasi perubahan aneh dari makhluk di hadapan-
nya. Pada saat itulah "kucing aneh" itu tiba-tiba me-
lompat ke pangkuannya, seraya perdengarkan suara 
mengeong.
Terasa copot jantung Roro. Namun aneh..! ter-
nyata harimau kecil itu sudah bagaikan seekor kucing 
saja. Tampaknya jinak sekali. Bahkan tampak men-
gendus-endus lengan Roro serta menjilat-jilat lengan-
nya. Lenyaplah kekhawatiran Roro seketika. Dan dengan beranikan diri ia mengelus-elus tubuh sang hari-
mau kecil itu. Tampaknya si" Kucing Aneh" itu mera-
sakan belaian halus lengan Roro. Dan memejamkan 
sepasang matanya, seraya mengeong perlahan.
"Aneh..!?" Desis Roro perlahan. Namun sepa-
sang bibirnya sudah tampak senyum. Dan tiba-tiba sa-
ja ia telah peluk harimau kecil itu, seraya menci-
uminya dengan penuh kasih sayang. Entah mengapa 
telah membersit di hati Roro semacam ada daya tarik 
untuk menganggapnya sebagai sahabatnya. Selang be-
berapa saat, tiba-tiba pintu kamar Roro kembali terbu-
ka. Dan sosok tubuh yang tak lain dari si pembantu 
wanita di rumah itu sudah berdiri diambang pintu. Be-
gitu sepasang matanya melihat ke arah Roro, tiba-tiba 
ia jadi beliakkan matanya. Dan serta merta sudah ja-
tuhkan diri berlutut di hadapan sang Pendekar Wanita 
Pantai Selatan. Seraya berucap dengan suara geme-
tar...
"Oh..!? Ampunilah hamba Paduka Ratu Peri, 
Hamba telah berbuat lancang terhadap Paduka! Hu-
kumlah hamba Paduka Ratu Peri. Hukumlah hamba..! 
Hamba telah pergunakan makhluk piaraan Paduka Ra-
tu untuk berbuat kejahatan selama ini..!" Tampak tu-
buh si pembantu wanita yang telah berusia lanjut itu 
gemetar. Seluruh tubuhnya telah mengeluarkan kerin-
gat dingin. Berkali-kali ia bersujud. Dan terdengar 
isaknya tersendat-sendat. Ada pun Roro Centil jadi ter-
tegun tak mengerti. Lagi-lagi keanehan..! Pikirnya. Ti-
dak angin tidak hujan, tahu-tahu ia sudah dianggap 
Ratu Peri. Sungguh aneh! Demikian berfikir Roro. Na-
mun sekejap Roro Centil sudah berfikir untuk meman-
faatkan kesempatan ini. Ia harus berpura-pura benar-
benar seorang Ratu Peri, seperti yang telah dianggap 
oleh si pembantu wanita itu. Yang sebenarnya wanita

itu tak lain dari seorang dukun Yang telah dipanggil 
datang oleh si Burung Hantu untuk membantunya Ro-
ro segera berujar, dengan suara dibuat keren, berwi-
bawa.
"Hm...! Sebenarnya kau harus dihukum berat, 
tetapi biarlah aku ampuni..! Kini segera katakan pada 
makhluk piaraan ku ini, agar kembali menurut pada-
ku! Aku khawatir, karena sudah sering kau suruh dia 
berbuat kejahatan, lalu tidak menurut lagi padaku..!" 
Tampak wajah sang pembantu alias dukun panggilan 
ini, jadi berseri gembira. Dan ia sudah merangkul kaki 
Roro seraya menciuminya berulang-ulang.
"Oh..! Te... terima kasih paduka Ratu Peri..!" 
Sesaat ia sudah segera berdiri lagi. Sepasang matanya 
yang bersimbah air mata itu menatap si harimau kecil, 
dan berkata;
"Tutul..! Kini aku tak dapat mengasuh mu la-
gi..! Majikanmu sesungguhnya adalah paduka Ratu 
yang memangku mu ini..! Taatlah pada perintahnya. 
Dan jangan sekali-kali kau membangkangnya..!" Sele-
sai berkata, tampak si wanita tua ini membelai-belai 
kepala harimau kecil itu. Lalu kemudian palingkan wa-
jah pada Roro.
"Paduka Ratu... hamba mohon diri untuk me-
ninggalkan tempat ini..!" Ujarnya seraya membung-
kukkan tubuh dalam-dalam. Roro Centil tersenyum.
"Pergilah..! Tinggalkan tempat ini sejauh-
jauhnya. Dan jangan kembali lagi!" Berkata Roro Centil 
dengan suara tegas. Sepasang matanya menatap tajam 
pada si pembantu wanita tua ini. Walau diam-diam da-
lam hati, Roro merasa ngeri, dan bergidik seram meli-
hatnya. Karena sekonyong-konyong tampak perubahan 
pada bentuk tubuh sang pembantu wanita itu. Wajah-
nya jadi berubah semakin tua, berkeriput. Dan tubuh

nya pun jadi berubah bungkuk. Dengan suara bergetar 
sang dukun itu berucap;
"Terima kasih, Paduka Ratu. Hamba akan turu-
ti semua perintah Paduka..!" Dan tak berlama-lama la-
gi, nenek tua itu sudah ngeloyor pergi. Tak diketahui 
kemana jalannya. Karena tahu-tahu sudah lenyap...
Demikianlah peristiwa aneh yang telah dialami 
Roro Centil. Hingga tanpa disengaja, ia telah menjadi 
majikan sang harimau siluman itu. Ternyata pulau 
Andalas adalah pulau aneh yang penuh misteri..! Ber-
kata Roro dalam hati. Sementara si Tutul semakin 
jauh meluncur pesat. Dengan tujuan barunya yaitu 
Gunung Dempo.
***
Tirta Menggala tak tahu lagi lamanya dalam 
perjalanan, karena ia cuma pejamkan mata saja tanpa 
berani membuka... Ketika dirasakan angin yang me-
nerpa wajahnya telah berhenti, segera buka matanya.
Ternyata mereka telah sampai pada sebuah 
Goa batu yang penuh ditumbuhi akar-akar. Sepasang 
telinganya sudah menangkap suara-suara kera, di se-
keliling tempat itu. Ketika ia palingkan kepalanya ke 
beberapa arah. Ternyata berpuluh-puluh ekor kera 
bergelayutan di dahan-dahan pohon. Suaranya tampak 
riuh. Dan beberapa ekor sudah berloncatan ke hada-
pan Tirta Menggala. Tiba-tiba terdengar suara suitan 
nyaring yang diperdengarkan oleh si kakek. Dan seke-
japan saja ratusan ekor kera bermunculan. Suara-
suara binatang itu jadi semakin riuh rendah. Hingga 
Tirta Menggala jadi terpaku tempatnya. Segera ia terin-
gat pada dua puluh tahun lebih yang lalu, ketika ia 
tinggal di tempat ini. Kera-kera itu tak sampai demikian banyaknya. Tapi kini sudah mencapai ratusan 
jumlahnya. Ketika ia melihat adanya orang baru yang 
dibawa majikannya, segera kera-kera itu berjingkrakan 
mengurungnya. Kesemuanya menampakkan wajah 
bermusuhan. Tiba-tiba si kakek itu berteriak-teriak 
dan menggeram mirip kera-kera itu, sambil melompat-
lompat dan menunjuk pada Tirta Menggala. Aneh..! 
Sekejapan saja ratusan kera itu jadi menggelepoh di 
tanah. Dan tundukkan kepala. Tampaknya mereka se-
gera mengerti kalau orang baru itu adalah sahabat ma-
jikannya. Wajah Tirta Menggala yang semula berubah 
pucat itu, kini kembali cerah. Dan ia benar-benar amat 
kagum dengan wibawa gurunya. Tiba-tiba terdengar 
lagi suitan nyaring... Kera-kera itu segera tengadahkan 
kepalanya. Dan terlihat sang majikan gerakkan tong-
katnya tiga kali ke atas.
Sekejap saja binatang-binatang itu berlompatan 
lagi, masuk ke dalam hutan, dengan suara riuh. Hing-
ga tinggal beberapa ekor saja yang tampak masih ber-
keliaran di depan goa.
Sang kakek aneh itu sudah segera beranjak 
masuk ke dalam goa. Melihat gurunya masuk, terpak-
sa Tirta Menggala pun menurutinya. Di pintu goa ma-
sih sempat ia menengok keluar. Tapi kemudian iapun 
cepat-cepat masuk, dan tak kelihatan lagi.
Goa itu terletak pada sebuah lembah ngarai 
yang amat curam adalah tebing-tebing batu yang tinggi 
menjulang ke langit. Ternyata di dasar jurang itu ada 
terdapat hutan rimbanya yang amat luas. Di sanalah 
kera-kera itu berdiam. Hari pertama Tirta Menggala
sudah harus menjalani bersemadi dengan tubuh tanpa 
mengenakan pakaian secuilpun. Tampaknya Tirta 
Menggala tak dapat tenang dalam bersemadi. Karena 
hatinya selalu berkata-kata... Celaka!? Beberapa bulan

saja aku disini, bisa-bisa aku berubah menjadi kera 
Oh!? Matilah aku..! Seluruh tubuhku akan tumbuh 
bulu..! Dan... dan akan tumbuh pula ekor di belakang-
ku..! Hiiiiii..!" Laki-laki ini bergidik seram. Hingga pe-
luh dingin membasahi sekujur tubuhnya.
Hari kedua, semedinya tampak semakin goyah. 
Karena ia tidak betah kalau harus bertelanjang bulat 
sedemikian itu. Ditambah lagi, bermacam-macam fiki-
ran selalu membayang di matanya, hingga ia tak bisa 
tenang. Hari ketiga... hampir-hampir ia berlari mening-
galkan tempat semedinya karena ia ditemani oleh dua 
ekor kera yang hampir sebesar manusia. Namun ia be-
rusaha bersemedi dengan baik. Karena khawatir Gu-
runya menjadi marah terhadapnya. Hari ke empat dan 
ke lima ia mulai bisa bersemadi dengan baik. Walau-
pun terkadang kedua ekor kera itu mengganggunya 
dengan meraba-raba sekujur tubuhnya. Hari keenam, 
pandangan matanya mulai berkunang-kunang, karena 
selama itu ia tidak makan. Kecuali hanya minum sege-
las air putih dalam setiap harinya. Hari ke tujuh... Ke-
dua ekor kera itu dalam pandangannya sudah bukan 
kera lagi, karena seperti sudah berubah jadi dua orang 
gadis cantik dengan tubuh yang polos, dan mulus 
menggiurkan. Entah pengaruh air yang diminumnya, 
ataukah pengaruh hawa lapar... 
Karena Tirta Menggala memang sebenarnya 
seorang pemalas. Apa lagi selama puluhan tahun ker-
janya cuma berfoya-foya saja. Arak dan wanita cantik 
seperti sudah menjadi bagian dari kehidupannya. Be-
runtunglah pada hari ketujuh itu, Tirta Menggala tidak 
sampai menjadi batal dengan semedinya. Otaknya ma-
sih cukup waras, karena ia masih dapat membedakan 
mana suara orang, dan mana suara kera.
Tapi hari ke sepuluh. Tirta Menggala sudah tak

mengetahui lagi antara suara kera dan suara manusia. 
Dan entahlah apa yang terjadi selanjutnya pada hari 
itu, karena tubuh Tirta Menggala sudah tidak duduk 
bersemadi lagi. Melainkan saling bergumul dengan ke-
dua kera itu, silih berganti.
Hari ke lima belas, tampak sepasang mata Tirta 
Menggala berubah menjadi merah. Tubuhnya semakin 
kurus, karena kurang makan. Hari ketiga puluh, Tirta 
Menggala sudah tidak ingat siapa lagi dirinya. Bahkan 
suaranya pun sudah meniru-nirukan suara kera. Dan 
kedua kera itu sama sekali tak pernah menolak untuk 
diajak meladeninya....
Dalam waktu selama tiga puluh hari itu, sang 
kakek sering menempelkan telapak tangannya pada 
punggung Tirta Menggala. Dan sudah dilakukannya 
sebanyak lima belas kali. Dan pada waktu kira-kira 
sepenanakan nasi.
Itulah suatu penyaluran tenaga dalam dari tu-
buh sang kakek pada muridnya. Yang di lakukan seca-
ra bertahap, sedikit demi sedikit. Setelah genap waktu 
tiga puluh hari, Tirta Menggala diberi makan buah-
buahan yang banyak terdapat di hutan belantara di 
lembah ngarai itu. Tampaknya Tirta Menggala amat 
rakus sekali memakannya. Maklum, sudah sebulan 
penuh tak mengenal yang namanya makanan pengisi 
perut. Dan anehnya kelakuannya kini lebih mirip den-
gan binatang kera. Demikianlah. Hari demi hari berla-
lu. Selama itu ia telah diberi ilmu-ilmu aneh. Tirta 
Menggala memang telah tak mengenal dirinya lagi. Se-
lama di dalam goa itu tiba-tiba saja ia telah mempu-
nyai tenaga dalam yang amat tinggi. Hingga batu gu-
nung pun bila di cengkeramnya, pasti hancur jadi bu-
buk. Dalam waktu tiga bulan saja Tirta Menggala telah 
mempunyai gerakan selincah kera. Walaupun pada tubuhnya tak ditumbuhi bulu. Juga tak berekor. Namun 
kelakuannya memang amat mirip kera. Karena sehari-
hari bergaul dengan ratusan ekor kera. Melompat dari 
cabang-cabang pohon, bukan rintangan lagi baginya. 
Bila terdengar suitan nyaring dari mulut si kakek aneh 
yang bergelar Dewa Siluman Kera itu, maka bergerom-
bol-gerombol binatang-binatang itu berdatangan.
Diantaranya terdapat Tirta Menggala. Yang 
memang sudah bagaikan hewan saja, tanpa mengena-
kan secuil pakaianpun. Kumis dan jenggotnya kian 
bertambah lebat. Mulutnya selalu tampak menyeringai. 
Sepasang matanya bersinar-sinar. Dengan biji ma-
tanya yang seperti tak mau diam. Mengerling kesana-
kemari. Sebentar-sebentar mendengus, dan mengga-
ruk-garuk kepalanya. Atau terkadang melompat-
lompat sambil berteriak-teriak mirip suara kera. Bila 
dilihat keadaannya memang sangat mengenaskan. Su-
atu malam di bulan purnama, 
Dewa Siluman Kera telah menciptakan 100 
ekor kera dengan ilmu sihirnya. Tirta Menggala me-
mang tengah diuji kesaktiannya. Seratus ekor kera itu 
telah menyerangnya dari segala jurusan. Hebat sekali 
gerakan Tirta Menggala. Tubuhnya sendiri ternyata te-
lah berubah jadi berpuluh-puluh banyaknya. Dan den-
gan lincahnya berkelebatan diantara bayangan-
bayangan ratusan ekor kera itu. Sementara Tirta 
Menggala dengan kekuatan anehnya, telah menggem-
pur setiap penyerang yang datang. Hingga dalam bebe-
rapa kali gebrakan saja ia telah membuat seratus kera 
ciptaan itu jadi kacau balau. 
Setiap terkena pukulan Tirta Menggala, tubuh 
kera-kera ciptaan itu punah, dan lenyap jadi gumpalan 
asap. Diam-diam si Dewa Siluman Kera tersenyum 
puas. Demikianlah... tanpa terasa telah enam bulan

lamanya Tirta Menggala berdiam di dasar jurang yang 
dalam itu. Dan selama itu tentu saja ilmu-ilmunya te-
lah semakin hebat. Karena Dewa Siluman Kera me-
mang telah menurunkan hampir semua ilmunya den-
gan waktu yang amat singkat. Cuma saja dalam waktu 
tiga bulan belakangan ini, banyak peristiwa terjadi 
akibat cara-cara keji si Dewa Siluman Kera dalam 
memberikan ilmu-ilmu hitamnya. Hingga banyak kor-
ban terjadi di beberapa desa. Memang Tirta Menggala 
selalu diberi umpan untuk setiap latihan dengan ilmu 
sesat. Tentu saja hal itu membuat Tirta Menggala jadi 
ketagihan. Bahkan wataknya pun telah berubah men-
jadi telengas dan kejam. Umpan-umpan itu memang 
sesuai dengan keinginan hatinya. Dan si Dewa Silu-
man Kera yang mengetahui tentang watak muridnya 
itu, segera menyalurkan dan memanfaatkannya seba-
gai bahan latihan amat digemari sang murid. Juga me-
rupakan tontonan yang amat mengasyikkan buatnya.
***
Lenyapnya Tirta Menggala membuat gelisah be-
berapa orang istrinya Apa lagi setelah ditunggu sampai 
beberapa bulan, sang suami tak pernah muncul. Se-
hingga mereka berpendapat bahwa ia telah tewas. Ka-
rena ada berita juga, tentang karamnya perahu yang 
ditumpangi Tirta Menggala beserta beberapa anak 
buahnya, di tengah laut. Berita itu membuat sebagian 
anak-anak buah Tirta Menggala menjadi gelisah. Kare-
na mereka hanya mengandalkan gaji dari majikannya 
itu. Akan tetapi sebagian lagi diam-diam mengambil 
kesempatan baik itu. Yaitu mengambil alih kekuasaan 
atasannya. Beberapa orang telah membentuk kelom-
pok-kelompok sendiri-sendiri. Tentu saja dalam hal ini

mereka melibatkan orang luar yang berkepandaian 
tinggi.
Puluhan perahu-perahu nelayan milik Tirta 
Menggala telah dikuasai oleh tiga kelompok bekas 
anak-anak buahnya. Bahkan perkebunan cengkeh dan 
palawija pun sudah mereka ambil alih. Tidak jarang 
terjadinya pemerasan yang kian menjadi bisa diperas, 
kini semakin mengeluh lagi para nelayan dan pegawai-
pegawai perkebunan. Adapun beberapa penduduk di 
sekitar tempat itu yang tanah perkebunannya tadinya 
telah dirampas, atau dipaksa untuk dijual dengan har-
ga murah oleh Tirta Menggala, mulai memberontak. 
Begundal-begundal bekas anak buah Menggala tentu 
saja tak dapat tinggal diam. Tak jarang pembunuhan 
dan pemerkosaan terjadi. Kejahatan tampak semakin 
merajalela.
Dan para penduduklah yang jadi korbannya. 
Belum lagi dari komplotan Perguruan Burung Hantu, 
yang mulai merajalela, mengadakan aksi perampokan 
di setiap tempat. Walaupun si Ketua Perguruan Bu-
rung Hantu ini agak takut untuk mengganggu daerah-
daerah milik si hartawan Datuk Sutan Benggala De-
wa, namun sasaran lain masih banyak yang ia jadikan 
korban. Para penduduk di setiap desa semakin resah. 
Apalagi banyak berita aneh, tapi lama-kelamaan men-
jadi semakin nyata. Yaitu lenyapnya beberapa orang 
gadis, yang menurut kabar adalah gadis-gadis yang hi-
lang itu adalah akibat murkanya Dewa Siluman kera. 
Karena kurangnya dalam memberi sesajen dalam se-
tiap panen. Memang masih sangat disayangkan, pada 
waktu itu keadaan manusia belum mengenal adanya 
Tuhan. Sehingga banyak di antara mereka menyembah 
dan memuliakan para Dewa atau Siluman sebagai sesembahan mereka.

Namun dalam beberapa pekan ini wajah-wajah 
para penduduk agak cerah, karena dapat mendengar 
berita adanya seorang Pendekar Wanita (dari tanah se-
berang pulau, yang mulai memberantas kejahatan di 
setiap tempat itu. Pendekar Wanita itu selalu memba-
wa serta seekor anak harimau belang sebesar kucing. 
Tentu saja tersiarnya berita itu segera menyebar ke se-
tiap tempat, karena dibawa orang dari mulut ke mulut.
Sementara di kalangan persilatan lain lagi. Ka-
rena disamping adanya berita munculnya seorang 
Pendekar Wanita yang kabarnya bernama Roro Centil. 
Berasal dari daerah pulau Jawa. Dan bergelar Siluman 
Kera Putih.
Usaha Roro Centil mencari Peri Gunung Dempo 
ternyata tak membawa basil Bukan s tak bertemu 
orangnya, akan tetapi kabar tentang dimana adanya 
Peri Gunung Dempo tak pernah didengarnya. Selama 
beberapa bulan ia telah mengitari, dan menetap di de-
sa-desa lereng Gunung Dempo, untuk mendengar beri-
ta tentang wanita pembunuh Gurunya itu. Selama itu 
pula si Belang kecil selalu menemaninya dengan setia. 
Terkadang makhluk itu tak menampakkan diri. Tapi 
bila Roro memanggilnya, maka akan segera muncul 
sahabatnya itu di dekatnya.
Dalam masa pengembaraannya itu Roro telah 
dapat berkenalan dengan beberapa tokoh golongan pu-
tih. Diantaranya yang bergelar Pendekar Selat Karima-
ta. Atau banyak orang menamakannya dengan julukan 
si Bujang Nan Elok. Memang pendekar ini seorang pe-
muda yang tampan, dan gagah. Disamping berperangai 
halus dan ramah, juga se orang berkepandaian tinggi. 
Julukan Bujang Nan Elok itu memang itu memang be-
rarti Pemuda Yang Tampan.
Si Pendekar Selat Karimata itu mempunyai seorang adik perempuan yang bernama Sedayu. Gadis 
manis ini memang seperti pinang dibelah dua dengan 
kakaknya. Dan tampaknya si Bujang Nan Elok amat 
menyayangi dan memanjakannya. Saat perkenalan 
mereka adalah ketika Roro Centil memasuki pasar. 
Rupanya hari itu adalah hari pasaran. Hingga pembeli 
dan pedagang berlimpah ruah. Sehabis mengisi perut-
nya, Roro bermaksud kembali ke penginapan. Akan te-
tapi jadi terkejut ketika mendengar suara orang berte-
riak-teriak. Dan suasana menjadi gaduh. Beberapa 
orang berlarian mengejar tiga sosok tubuh yang mela-
rikan seorang wanita dalam pondongan salah seorang 
dari kawanan penculik itu. Dua orang yang berilmu 
cukup tinggi mengejar. Dan berhasil mencegat keti-
ganya. Segera saja ketiga penculik wanita itu meng-
hentikan larinya.
"Bangsat rendah..! Berikan gadis itu, atau ka-
lian akan rasakan pedangku..!" Teriak salah seorang. 
Sementara keduanya telah mencabut senjatanya. Dua 
dari penculik itu tampak mendengus. Wajahnya ber-
tampang seram. Kumisnya melintang sebesar cerutu. 
Tiba-tiba keduanya telah membentak keras seraya me-
nerjang dengan dua kapaknya yang berkilatan.
Trang! Trang! Terdengar suara beradunya
empat senjata. Kiranya kedua laki-laki berpe-
dang itu telah menangkisnya.
"Heh....! Sebutkan siapa ketuamu penculik pici-
san... Kami Dua Pendekar Bukit Rusa akan memberi-
mu pelajaran..!" Teriak salah seorang dari laki-laki 
berpedang itu dengan nada jumawa. Kedua penculik 
itu tampaknya gusar main dikatakan penculik picisan. 
Salah seorang sudah lantas membentak;
"Keparat..! Tak perlu kau tahu guruku, atau ke-
tua kami segala. Pendekar tengik yang masih bau kencur macam kalian cuma besar mulut saja; Terimalah 
kematianmu...!"
Disertai bentakan keras. Keduanya telah berge-
rak kembali menabas dengan kedua kapaknya. Namun 
dengan gesit kedua laki-laki itu berhasil menghindar. 
Segera terjadilah pertarungan seru yaitu satu lawan 
satu. Sedang salah seorang dari si penculik itu, masih 
tetap berdiri memanggul tubuh seorang gadis. Namun 
sebelah tangannya telah menyiapkan senjatanya. 
Agaknya sang gadis dalam keadaan tertotok, dan ping-
san tak sadarkan diri. Tampak mulutnya telah dijejali 
sapu tangan. Sementara itu beberapa orang sudah 
berkerumun. Melihat demikian kawannya yang me-
manggul gadis korbannya itu segera berteriak:
"Cepatlah bereskan kawan-kawan. Jangan 
sampai banyak rintangan..!" Mendengar teriak itu, ke-
dua penculik segera merobah gerakan kapaknya Tam-
pak berkelebatan kedua senjatanya mengurung lawan. 
Tiba-tiba salah seorang jatuhkan diri dengan disusul 
kawannya.
Serrr..! Serrr..! Serangkum jarum-jarum berbisa 
telah meluruk ke arah tubuh ke dua Pendekar Bukit 
Rusa... Terkejut bukan main kedua Pendekar itu. Na-
mun tak ada kesempatan untuk meloloskan diri. Saat 
kematian beberapa detik lagi akan tiba. Tapi di detik 
yang menegangkan itu, telah bersyiur angin keras 
menghantam buyar jarum-jarum beracun itu. Bahkan 
meluruk kembali pada penyerangnya.
Tak ampun lagi segera terdengar teriakan dari 
kedua penculik itu. Kedua kapaknya telah terlepas.
Tubuh itu berkelojotan meregang nyawa. Na-
mun beberapa saat kemudian telah tewas, dengan wa-
jah, dada dan lehernya mengeluarkan cairan berwarna 
hitam. Kedua Pendekat Bukit Rusa sudah melompat
mundur. Keringat dingin sudah mengalir deras di se-
kujur tubuh. Mereka jadi ternganga ketika itu juga 
Ternyata di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh 
wanita. Berbaju merah muda. Rambutnya terurai pan-
jang. Dan sepasang lengannya bertolak pinggang. Ter-
nyata Roro Centil telah bertindak cepat sebelum ter-
lambat. Nyaris maut menjemput kedua Pendekar muda 
itu.
Adapun kawan si penculik itu jadi terperanjat. 
Hingga sampai-sampai ia terkesima melihat kejadian 
yang begitu cepat itu. Dilihatnya di hadapannya telah 
berdiri seorang wanita cantik, ayu. Dengan mata me-
natap tajam padanya Sepasang alisnya terjungkit me-
lengkung ke atas, bagai bulan sabit. Sementara bibir-
nya telah bergerak, dan keluarkan bentakan keras.
"Apakah kau mau buru-buru pulang ke Akhi-
rat!? Mengapa tidak cepat kau tinggalkan gadis itu..?" 
Bentak Roro. Seperti dipagut ular saja, kawan si pen-
culik itu jadi tersentak. Dan cepat-cepat letakkan gadis 
yang dipanggulnya ke tanah. Selanjutnya sudah berlari 
sipat kuping, tanpa menoleh lagi. Akan tetapi tiba-tiba 
berkelebat sesosok bayangan. Dan tahu-tahu laki-laki 
itu telah roboh terjungkal dengan jeritan menyayat ha-
ti.
Ternyata dadanya telah tertembus pedang. Dan 
seorang pemuda tampan telah berada disana. Tampak 
pemuda gagah itu menatap si penculik yang sudah tak 
berkutik lagi di tanah. Lalu dengan cepat ia telah se-
lipkan pedangnya kembali ke dalam kerangka di pung-
gungnya, setelah terlebih dulu membersihkan di baju 
si penculik. Saat selanjutnya orang itu sudah paling-
kan wajah pada kerumunan orang banyak itu. Dengan 
dua kali mengenjot tubuh, pemuda tampan itu telah 
berada di hadapan Roro. Selanjutnya sudah menjura

hormat pada Roro Centil. Melihat demikian si Dua 
Pendekar Bukit Rusa pun cepat-cepat menghaturkan 
hormat seraya berucap.
"Terima kasih atas pertolongan anda, nona 
Pendekar. Bolehkah kami yang rendah ini mengetahui 
dengan siapakah kami berhadapan..?" Seraya kedua 
pemuda itu kembali mengangkat mukanya dan mena-
tap Roro dengan tersenyum.
"Aiii..! Aku hanya kebetulan saja bisa mengusir 
jarum-jarum beracun itu. Aku tidak bermaksud mem-
bunuhnya..! Aku seorang pengembara rusa dari Pantai 
Selatan. Dan bukan penduduk asli Pulau Andalas ini. 
Karena aku adalah dari seberang lautan. Atau Pulau 
Jawa. Kaum Rimba hijau menyebutku Roro Centil. 
Pendekar Wanita Pantai Selatan..!" Demikian ujar Ro-
ro. Memang sengaja Roro perkenalkan diri. Karena sia-
pa tahu kabar adanya ia di daerah ini, akan membuat 
musuh besarnya muncul menampakkan diri suatu 
saat. Selesai berkata itu Roro melirik pada si pemuda 
yang telah membunuh penculik barusan.
Akan tetapi orangnya telah menubruk gadis 
yang tergolek pingsan itu, seraya berteriak... "Sedayu..! 
Oh! Kasihan kau..!" Dan ia sudah segera berupaya me-
nyadarkan wanita itu, yang ternyata ialah adiknya. Ro-
ro kerutkan alisnya. Segera ia melompat mendekati. 
Dan dengan beberapa kali mengurut punggung dan 
leher si gadis, terbebaslah sudah ia dari pengaruh to-
tokan. Dan juga sekaligus sadarkan diri. Gadis itu me-
rintih, sepasang matanya terbuka, dan sudah mau 
berteriak. Akan tetapi si pemuda itu telah berkata;
"Sedayu..! Tenanglah! Kau sudah selamat. Nona 
Pendekar inilah yang telah menolongmu. Hayo, lekas 
kau ucapkan terima kasih padanya..!" Gadis itu segera 
tatap Roro Centil, dan serta merta mengucapkan teri

ma kasih dengan gugup. Dan disambung oleh ucapan 
pemuda kakaknya itu, yang langsung perkenalkan diri.
"Aku yang rendah perantau dari Selat Karima-
ta, mengucapkan terima kasih atas pertolongan anda, 
nona... Pendekar Pantai Selatan!" Berkata pemuda ga-
gah itu.
"Terpaksa aku membunuh kawan si penculik 
itu. Manusia-manusia berbudi rendah semacam itu tak 
layak hidup di depan mataku..!" Lanjutnya lagi.
Roro cuma tersenyum mengangguk-angguk. 
Mendengar pemuda itu adalah Pendekar dari Selat Ka-
rimata, segera saja si Dua Pendekar Bukit Rusa men-
jura hormat. Dan saling perkenalkan diri. Adapun Roro 
sudah berkelebat pergi.
"Haiii..! Tunggu..!" Teriak si Pendekar "Selat Ka-
rimata. Dan ia sudah menyambar lengan adiknya, un-
tuk selanjutnya mengejar ke arah Roro Centil. Terpak-
sa Roro menahan lompatannya. Saat berikutnya orang-
orang yang berkerumun itu cuma bisa melihat berke-
lebatnya lima tubuh para pendekar itu. Yang selanjut-
nya lenyap.
Demikianlah asal mula perkenalan dengan 
Pendekar Selat Karimata. Namun selama sebulan ia 
menetap di gedung tempat tinggal si pendekar muda 
itu. Telah terjadi kericuhan. Kiranya diam-diam si Bu-
jang Nan Elok telah jatuh cinta pada Roro. Sedang Ro-
ro yang selalu bersikap manis terhadap siapa saja 
membuat salah seorang sahabat si Pendekar Selat Ka-
rimata tak canggung-canggung bercakap-cakap atau 
terkadang bercanda dengan Roro.
Pemuda sahabat baik si Bujang Nan Elok tak 
lain adalah Rahwanda. Rahwanda seorang yang pe-
riang. Berperawakan kekar Dan gagah. Memelihara 
cambang bauk yang lebat. Berbeda dengan si Pendekar


Selat Karimata, yang berkulit putih. Berwajah halus 
bagaikan wanita. Tanpa kumis dan jenggot. Entah 
mengapa kedua sahabat itu jadi agak tegang. Dan ja-
rang berkumpul] bersama. Terlebih-lebih sejak adanya 
Roro. Sedayu adik si Bujang nan Elok itu jadi seperti 
memisahkan diri. Roro jadi serba salah. Akhirnya ia-
pun mengetahui sebabnya. Kiranya Rahwanda adalah 
tunangan Sedayu. Dan suatu saat yang amat membuat 
Roro terkejut adalah si Pendekar Selat Karimata telah 
mengadakan pertemuan empat mata dengan Rahwan-
da. Pertemuan empat mata itu diadakan di pesisir Tan-
jung Lumut. 
Tentu saja Roro dapat mengetahui, karena ke-
tika malam itu ia melihat adanya si Bujang Nan Elok 
bersikap agak aneh. Sebentar-sebentar ia menatap bu-
lan. Roro pura-pura sudah mengantuk. Dan segera be-
ranjak menuju kamarnya. Senja itu biasanya Rahwan-
da datang. Tapi entah apa sebabnya laki-laki periang 
itu tak melihat batang hidungnya. Roro yang memang 
tidur satu kamar dengan Sedayu, dapat melihat gadis 
itu sudah rebahkan dirinya sejak sore tadi.
Akan tetapi baru saja ia merebahkan diri, tiba-
tiba Sedayu balikkan tubuh, dan berbisik di telin-
ganya.
"Kakak Roro Centil! Apakah kau mencintai ka-
kakku..?" Tentu saja pertanyaan itu membuat Roro ja-
di melengak.
"Apakah maksudmu adik Sedayu? Mengapa 
kau jadi bicarakan soal cinta? Aku hanyalah bersaha-
bat saja, tak lebih dari itu. Hi hi hi... Belum terpikirkan 
oleh ku untuk bercinta-cintaan. Ada apakah adik Se-
dayu? Tampaknya ada yang tidak beres..!" Berkata Ro-
ro dengan suara perlahan. Akan tetapi Sedayu sudah 
tempelkan telunjuknya di bibir, seraya katanya;

"Ssssst..! Jangan terlalu keras bicara. Nanti 
akan di dengar kakakku. Dia masih berada di ruang 
depankah..?" Bertanya Sedayu. Roro mengangguk.
"Dengarlah kakak Roro Centil. Apakah kau juga 
tidak mencintai Rahwanda..?" Tanyanya lagi dengan 
wajah serius. Roro kerutkan alisnya. Lalu dengan tegas 
kembali gelengkan kepala. Tampak Sedayu balikkan 
kepala menengadah. Menatap langit-langit kamar. Dan 
terdengar ia menghela napas. Lalu kembali balikkan 
wajah menatap pada Roro. Kali ini wajahnya tampak 
cerah. Namun juga seperti bersedih. Ia sudah berbisik 
lagi. "Kakak Roro Centil! Kini aku sudah jelas. Namun 
aku butuh pertolongan mu, kakak.."
"Apakah itu..?" Bisik Roro. Tiba-tiba Sedayu 
memeluk tubuh sahabatnya itu.
"Tolonglah aku, juga mereka..! Telah terjadi ke-
salahan faham diantara mereka. Rahwanda adalah tu-
nanganku. Kami memang telah mengikat janji. Akan 
tetapi sikap Rahwanda terhadap Kakak Roro Centil te-
lah membuat kakakku menjadi kesal. Aku pun tak 
mengetahui, apakah Rahwanda tiba-tiba berbalik men-
cintai kakak Roro..? Hal itu telah
membuat kakakku jadi panas hati. Dia seolah-
olah merasa dipermainkan oleh Rahwanda. Dan malam 
Purnama nanti, kakakku akan mengadakan perte-
muan empat mata dengan Rahwanda. Tempatnya ada-
lah di Tanjung Lumut. Berada di pesisir pantai sebelah 
barat dari tempat ini."
"Pertemuan empat mata.. ? Aneh! Apakah yang 
akan dibicarakan..? Dan aku harus dengan cara ba-
gaimana aku menolongmu, atau menolong mereka. . ?" 
Roro sudah potong kalimat Sedayu. Karena ia merasa 
heran akan persoalan mereka yang telah melibatkan 
dirinya. "Begini, kakak Roro Centil! Pertemuan itu bukan sekedar pertemuan. Karena akan diakhiri dengan 
pertarungan di ujung senjata! Yang akan kumintakan 
tolong pada kakak adalah: Agar kakak Roro Centil da-
pat menengahi mereka, dan menggagalkan pertarun-
gan adu jiwa itu. Yang sudah pasti akan membawa 
korban. Dan kedua-duanya adalah orang-orang yang 
kucintai. Itulah yang ku mohon padamu, kakak Pen-
dekar..!" Tercenung Roro mendengar penuturan Se-
dayu. Akan tetapi tampaknya Roro belum mengerti. 
Entah pura-pura tidak mengerti. Karena ia sudah me-
lakukan pertanyaan lagi;
"Mengapa bisa terjadi pertarungan..? Bukankah 
masalah itu bisa didamaikan di rumah ini. Dengan 
menjelaskan persoalan..! Ujar Roro dengan berbisik. 
Akan tetapi Sedayu cepat-cepat gelengkan kepala.
"Tidak! Persoalan itu sukar didamaikan tanpa 
diselesaikan di ujung senjata..!"
"Mengapa..?" Tanya Roro.
"Karena kakakku telah jatuh cinta padamu, 
kakak Roro Centil. Itulah sebabnya, kau harus je-
laskan pada mereka. Dan mau tidak mau, memang 
penjelasan dari kakak Pendekar adalah amat meme-
gang peranan penting, sebelum terjadi pertumpahan 
darah!" Terkejut Roro Centil. Barulah ia mengerti akan 
sebabnya. Diam-diam dalam hati, Roro membatin...
“Aiiih! Mengapa aku jadi terseret dalam kancah 
percintaan macam begini?” Akan tetapi Roro sudah 
manggut-manggut tanda mengerti. Dan katakan akan 
kesanggupannya menyelesaikan persoalan ini. Sedayu 
tersenyum gembira. Tapi sudah berkata lagi perlahan...
"Kakak Roro Centil! Seandainya kau menjadi 
kakak iparku... Oh! Alangkah bahagianya hatiku.. Roro 
balas tersenyum, dan peluk tubuh Sedayu yang segera 
menyumpal dalam dekapan.


***
Deburan-deburan ombak di pantai Tanjung 
Lumut, malam purnama itu seperti musik yang beri-
rama syahdu. Angin malam berdesir tidak terlalu ke-
ras... Udara memang amat dingin. Terasa menusuk ke 
tulang sumsum.
Akan tetapi sesosok tubuh sejak tadi telah ber-
diri dengan dada telanjang di atas pasir. Ternyata ada 
lah Rahwanda. Si pemuda yang memelihara cambang 
bauk, sahabatnya si Bujang Nan Elok. Purnama telah 
berada di tengah antara kedua tepi langit. Seperti ada 
yang tengah dinantinya Memang! Dan yang ditunggu, 
tunggu itu dalang juga akhirnya. Sesosok tubuh telah 
berkelebat dengan gerakan ringan dan hinggapkan ka-
ki di atas pasir. Sesosok tubuh telah berkelebat dengan 
gerakan ringan. Dan hinggapkan kaki di atas pasir. 
Tepat di hadapan pemuda itu. Dialah si Bujang Nan 
Elok. Alias si Pendekar Selat Karimata. Laki-laki tam-
pan ini berdiri menatap Rahwanda. Tali sutera di 
ujung gagang pedangnya berkibaran tertiup angin. 
Pemuda tampan ini memang menyoren pedang di 
punggungnya. Sementara Rahwanda juga menatapnya 
dengan wajah kaku. Pendekar Selat Karimata telah 
langsung menyapa;
"Sudah lamakah kau menanti, sobat Rahwan-
da..?"
"Cukup lama, Pendekar Selat Karimata. Apakah 
pertemuan empat mata ini sudah dapat dimulai...?" 
Jawab Rahwanda, seraya lakukan pertanyaan. Si Bu-
jang Nan Elok tersenyum, seraya menghampiri tiga 
tindak. Tampaknya ia tak sedikitpun menampilkan 
permusuhan. atau dendam pada sahabatnya itu. Tapi 
sepasang matanya tak dapat didustai. Karena pancaran sinar mata itu membersit tajam. Seolah-olah mau 
menembus jantung orang di hadapannya.
"Baiklah..! Aku akan memulainya. Pertama-
tama yang akan kutanyakan adalah... ke terus teran-
gan mu, Rahwanda..! Yaitu mengenai hubungan mu 
dengan adikku Sedayu. Apakah sudah ada rencana ka-
lian untuk segera menikah ?" Bertanya si Pendekar Se-
lat Karimata ini. Sedayu memang telah berhubungan 
cukup lama dengan Rahwanda. Akan tetapi pemuda 
ini selalu mengelak apabila didesak untuk kapan akan 
melangsungkan pernikahannya dengan adiknya. Tam-
paknya Rahwanda tersenyum dan akhirnya tertawa 
terbahak-bahak. Lalu berkata;
"Sobatku, kita telah bersahabat cukup lama. 
Dan telah mengerti akan keadaanku. Mengapa tam-
paknya kau kurang percaya padaku? Apakah kau ta-
kut aku mempermainkan adikmu? Seraya berkata 
Rahwanda palingkan wajahnya menatap laut.
"Hm... di depan mataku sendiri kau sengaja 
menyakiti hati adikku, apakah hal itu tidak membuat 
kurangnya kepercayaan ku padamu..?" Rahwanda ter-
kejut juga kelihatannya. Tapi sudah kembali tertawa, 
seraya manggut-manggut.
"Kalau aku dianggap menyakiti hati adikmu 
apakah alasannya? Aku jadi tidak mengerti..! Apakah 
karena gadis Pendekar Pantai Selatan itu..? Tanya 
Rahwanda.
"Kalau sudah tahu mengapa tak sedari kemarin 
kau minta maaf padanya?" Membentak si Bujang Nan 
Elok. Sementara dadanya tampak berombak-ombak 
menahan kemendongkolan hatinya.
"Dia selalu memisahkan diri. Bagaimana aku 
harus bicara? Dan kau juga menyingkirkan diri. Hing-
ga aku jadi serba salah. Apakah aku bersalah kalau

bercakap-cakap dengan gadis Pendekar itu? Apakah 
aku sudah jadi suami resmi Sedayu? Aku punya hak 
untuk bicara dan bergaul pada siapa saja?" Berkata 
Rahwanda dengan nada keras.
"Tapi kau keterlaluan..." Bentak si Pendek; Se-
lat Karimata.
"Jadi apa maumu sekarang..!" Tanya Rahwan-
da.
Yang seketika jadi naik darah. Tiba-tiba si Bu-
jang Nan Elok ini telah mencabut pedangnya. Seraya 
membentak keras.
"Heh! Dalamnya laut dapat diduga. Tapi dalam-
nya hati siapa yang tahu..?
Kini kita tentukan siapa diantara kita yang ma-
sih bisa berdiri tegak di atas pasir malam ini!" Men-
dengar kata-kata itu tampak wajah Rahwanda jadi be-
rubah sinis. Dan dengan wajah kaku, iapun mencabut 
senjatanya yang terselip pada ikat pinggang di pung-
gungnya. Ternyata adalah tiga ruas ruyung besi. Yang 
masing-masing ruas panjangnya sejengkal. Ketiga ruas 
ruyung besi itu dihubungkan satu dengan lainnya 
dengan seutas rantai, yang panjangnya juga sejengkal 
pada masing-masing rantai. Senjata ruyung berantai 
ini direntangkan di depan dadanya yang bidang. Se-
raya berucap;
"Kalau kau menghendaki demikian mana aku 
berani menolak..? Silahkan kau memulai! Aku sudah 
siap. Memang akupun ingin sekali melihat kehebatan, 
dan ketajaman mata pedang dari seorang Pendekar Se-
lat Karimata..!"
WUTTT! WUTTT! Si pemuda tampan ini sudah 
menerjang dengan dua serangan maut. Menabas ping-
gang dan dada. Rahwanda gerakkan tubuh menghin-
dar dengan dua kali lompatan salto. Akan tetapi serangan ketiga terpaksa ia papaki dengan ruyung rantai 
besinya. Trang..! Trang..! Trang..!
Ternyata si Bujang Nan Elok telah mengguna-
kan jurus serangan ketiga kalinya itu dengan jurus 
Aksara Maut. Yaitu gerakan pedangnya bagai tengah 
menulis aksara, akan tetapi adalah serangan hebat. 
Karena satu serangan mendadak bisa berubah menjadi
tiga serangan. Yang kesemuanya adalah menjurus ke
arah tempat-tempat berbahaya. Wajah Rahwanda tam-
pak berubah merah dan panas terasa. Tiga serangan 
berbahaya itu nyaris mencabut nyawanya. Beruntung 
ia dapat memainkan senjata ruyung rantai besinya 
dengan lihai. Ternyata pedang si Pendekar Selat Kari-
mata adalah senja pusaka. Sehingga gompal pun tidak 
mata pedangnya. Bahkan rantai dan ruyung Rahwan-
da tampak lecet-lecet dan tergores pedang laki-laki ca-
lon iparnya itu.
Keparat..! Memaki Rahwanda dalam hati. Tiba-
tiba ia melompat mundur tiga tindak. Dan senjatanya 
telah diputar kesana kemari. Hingga terdengar sua-
ranya bagai angin ribut Dan tubuh Rahwanda tertutup 
sudah oleh baling-baling putaran senjatanya. Membuat 
si Bujang Nan Elok sukar mencari tempat untuk me-
nyarangkan pedangnya ke tubuh lawan. Tiba-tiba ter-
dengar suara suitan dari mulut Rahwanda. Disusul 
dengan meluncurnya ruyung-ruyung berantai itu ba-
gaikan tak ada habisnya. Menyerang dan menghantam 
ke arah tubuh dan kepala si Pendekar Selat Karimata.
Hal mana membuat si pemuda tampan ini jadi 
terkesiap. Terpaksa ia putarkan pedangnya melindungi 
kepala dan tubuhnya. Dan terdengarlah suara bera-
dunya senjata bagai tak ada hentinya.
Trang..! Trang..! Trang...! Trang..! Hebat se kali 
serangan Rahwanda. Karena sebentar saja si Pendekar

Selat Karimata telah dibuat sibuk, menangkis dan me-
lompat kesana kemari. Hingga di malam yang dingin 
itu ia telah bercucuran keringat, yang mengalir deras 
di sekujur tubuh. Dalam menyerang dengan gencar 
itu. Rahwanda tak henti-hentinya keluarkan suara se-
perti orang bersuit. Selang beberapa saat tiba-tiba 
tampak tubuhnya melejit ke atas tiga tombak. Dan 
hantamkan telapak tangannya. Pendekar Selat Karima-
ta terkejut. Terpaksa dengan lutut ditekuk, ia pun me-
nahan hantaman keras itu dengan sebelah lengannya. 
Segera saja dua pukulan tenaga dalam beradu.
Plak..! Dan.. Blug..! Blug..! Keduanya telah ter-
lempar masing-masing lima-enam tombak. Tubuh 
masing-masing jatuh ke atas pasir. Ternyata tenaga 
dalam mereka berimbang. Tampak Rahwanda bangkit 
lagi dengan gagah. Akan tetapi terlihat ada darah me-
netes dari sudut bibirnya. Sedang si Pendekar Selat 
Karimata juga sudah bangkit berdiri. Wajahnya tam-
pak pucat, nafasnya memburu. Dari mulutnya juga 
mengalirkan darah... Tampaknya mereka sudah akan 
saling gebrak lagi. Tapi pada saat itu juga berkelebat 
sesosok tubuh ke tengah-tengah mereka. Terkesiaplah 
seketika kedua pemuda itu. Karena orang di hadapan-
nya itu tak lain dari Roro Centil, Sang Pendekar Wanita 
Pantai Selatan. 
Ternyata Roro sudah sejak tadi berada di tem-
pat itu. Tapi sengaja tak munculkan diri. Karena me-
mang ingin sekali melihat kepandaian masing-masing 
dari kedua pemuda itu. Namun tetap berjaga-jaga den-
gan segala kemungkinan yang akan terjadi... Roro su-
dah berkata sambil tepuk-tepukkan kedua belah tan-
gannya.
"Hebat...! Hebat..! Ternyata Sobat Pendekar Se-
lat Karimata dan Sobat Pendekat Ruyung Naga sama

sama hebatnya. Mengapa kalian berlatih malam-
malam begini tidak mengajak aku.. ? Aiiih.. Sebaiknya 
kita berlatih bersama-sama. Bukankah lebih baik..!" 
Berkata Roro Centil sambil menjura pada kedua pe-
muda itu. Keruan saja Si Bujang Nan Elok dan Rah-
wanda jadi melengak. Tapi cepat-cepat si Pendekar Ka-
rimata berkata;
"Ah, Nona Roro Centil. Kami merasa tingkat ke-
pandaian kami merasa jauh sekali jika dibandingkan 
dengan kehebatan dan ketinggian ilmu kedigdayaan
anda. Makanya kami berlatih secara sembunyi-
sembunyi..! Bukankah begitu adik Rahwanda?" Keruan 
saja Rahwanda yang dijuluki Pendekar Ruyung Naga 
itu jadi merubah wajahnya menjadi senyum. Dan su-
dah menjawab;
"Benar sekali kata kakak Sambu Ruci. Ma-
kanya kami sengaja mencari tempat rahasia untuk 
berlatih..!" Seraya berkata ia sudah melompat ke sisi
untuk menyambar bajunya di atas batang pohon ro-
boh. Lalu cepat mengenakannya kembali. Adapun si 
Bujang Nan Elok pun sudah masukkan lagi pedangnya 
dalam serangka di punggung. Lalu melangkah mende-
kati Roro. Sementara masih sempat ia menyeka darah 
yang mengalir dari bibirnya itu dengan lengannya.
Sedang tak lama Rahwanda sudah kembali me-
rapat diantara keduanya.
"Eh...!? Apakah nona Roro datang bersama adik 
Sedayu?" Tanya Rahwanda, seraya tatap wajah Roro. 
Roro Centil gelengkan kepalanya.
"Adik manis itu sudah tidur, mana berani aku 
mengganggunya. Oh, ya... apakah kalian telah selesai 
berlatih?" Tanya Roro lagi selesai menjawab perta-
nyaan si pemuda bercambang bauk itu, seraya mena-
tap pada kedua pemuda itu. Tampak keduanya saling

pandang. Lalu berkata berbareng.
"Sudahlah! Kami kira cukup. Kami hanya seke-
dar menguji sampai dimana tingkat kemajuan ilmu ke-
pandaian kami..!" Sambung si Pendekar Selat Karima-
ta.
"Bagus..!" Berkata Roro. Dan lanjutkan lagi ka-
ta-katanya. "Kita kaum golongan pendekar yang men-
junjung tinggi kebenaran, memang harus selalu was-
pada. Kelemahan kita membuat kaum golongan jahat 
akan semakin tenang berbuat keonaran. Akhir-akhir 
ini aku mendengar adanya tokoh keji yang menamakan 
dirinya Siluman Kera Putih. Siluman Kera Putih ini se-
lalu mengincar gadis-gadis cantik untuk dijadikan kor-
bannya. Disamping itu pula kebuasan tokoh Hitam 
yang berjulukan si Burung Hantu telah mulai tersiar. 
Dengan mengadakan aksi perampokan di setiap tem-
pat Juga banyak penjahat-penjahat lainnya. Seperti ti-
ga orang penculik wanita yang telah menculik adik Se-
dayu. Guru ketiga penculik itu takkan tinggal diam. 
Tentu ia akan melakukan balas dendam mencari ke-
lengahan kita. Bukan tidak mungkin mereka kaum hi-
tam akan bergabung untuk menguasai kaum putih, 
dan menumpasnya habis. Tugas kita amat berat. Ka-
rena setiap saat nyawa kita bisa melayang..! Nah! Oleh 
sebab itulah aku kemari. Karena sudah saatnya aku 
berpamitan. Masih banyak urusan yang belum ku se-
lesaikan. Aku berterima kasih sekali pada saudara 
Sambu Ruci, alias Pendekar Selat Karimata. pada so-
bat Rahwanda. Karena selama ini amat baik terha-
dapku. Semoga kelak kita bisa jumpa lagi. Dan persa-
habatan kita dapat tetap terjalin demi tegaknya panji-
panji kebenaran dimuka bumi ini..! 
Kedua pemuda itu jadi melengak, dan terkejut 
mendengar kedatangan Roro ternyata adalah untuk

berpamitan. Akan tetapi Roro sudah kembali berkata;
"Nah! Untuk perpisahan kita. Mari kita ikrarkan 
tali persahabatan kita..!" Seraya berkata, Roro telah 
ajak berjabat tangan pada si Bujang Nan Elok. Yang 
bagaikan berat mengangkat tangannya, Pendekar Selat 
Karimata ini segera menyambutinya. Roro menoleh pa-
da Rahwanda. Tampaknya pemuda ini pun mengerti. 
Segera turut berjabat tangan. tiga tangan mereka ber-
satu. Lama sekali lengan-lengan mereka saling cekal. 
Namun diam-diam Roro Centil telah salurkan hawa 
hangat dari tenaga dalamnya, untuk membantu me-
nyembuhkan luka dalam akibat benturan tenaga da-
lam tadi. Tiba-tiba Roro sudah menyambar berkata la-
gi, lengan-lengan mereka berlepasan.
"Aku yakin kalian akan menjadi saudara yang 
baik. Oh ya...! Sobat Rahwanda! Jangan kau sia-siakan 
cinta suci adik Sedayu..! Sebaiknya kalian cepat meni-
kah. Dan sampaikan salamku padanya..!" Rahwanda
tersenyum dan tertawa lebar.
"Tentu saja, nona Roro..! Aku memang telah 
merencanakan pernikahan itu satu bulan mendatang. 
Oh ya... selamat jalan. Semoga anda selalu dalam ke-
selamatan..!" Si Pendekar Selat Karimata pun mengu-
capkan salam perpisahan pada Roro. Sementara diam-
diam hati pemuda ini jadi malu. Ternyata Rahwanda 
tidaklah seburuk sangkaannya. Setelah mengucapkan 
selamat tinggal. Berkelebatlah Roro Centil dari tempat 
itu. Dan sebentar saja telah lenyap tak kelihatan lagi. 
Keduanya cuma bisa terpaku. Tapi selang sesaat, si 
Pendekar Selat Karimata telah memeluk pundak Rah-
wanda. Tampak terdengar ia menghela napas. Dan 
berkata lirih...
"Adik Rahwanda..! Marilah kita pulang..!" Pe-
muda bercambang bauk itu mengangguk. Dan sesaat

antaranya kedua tubuh itu telah tinggalkan pantai 
Tanjung Lumut Yang kembali sunyi. Hanya tinggal de-
buran ombak saja yang terdengar. Sementara rembu-
lan semakin menukik ke arah cakrawala.
***
"Gumaraaaang..!" Terdengar suara teriakan dari 
sebuah lembah. Suara itu mirip suara wanita. Suara 
teriakan itu kembali menggema, memantul dari dind-
ing-dinding terjal itu. Seorang wanita tampak berlari-
lari dengan tubuh terhuyung. Sementara kepalanya se-
lalu bergerak ke kiri dan kanan. Seperti mencari-cari 
orang yang dipanggilnya. Wajahnya tampak kusut. Pe-
luh telah bercucuran dari sekujur tubuhnya.
"Gumaraaaang..!" Kembali ia berteriak. yang 
terdengar adalah suara pantulan dari teriakannya sen-
diri. Tampaknya wanita ini semakin cemas. Dan den-
gan tertatih-tatih ia berusaha mendaki tebing itu. Akan 
tetapi kembali merosot turun. Siapakah wanita itu..?
Ternyata tak lain dari Retno Wulan adalah Ga-
dis yang enam bulan yang lalu telah melarikan diri dari 
rumahnya bersama kekasihnya. Keadaannya kini telah 
berubah. Karena Retno Wulan tampak seperti tengah 
mengandung. Entah apa yang terjadi dengan wanita 
yang dalam keadaan hamil muda ini, hingga berada di
dasar lembah ngarai yang curam itu..?
Usahanya untuk mendaki tebing itu sia-sia be-
laka. Dan tampak ia jatuhkan diri menggelepoh di ta-
nah. Sambil mengelus-elus perutnya yang terasa sakit.
Kelopak matanya tampak mulai basah. Dan 
sudah terdengar ia terisak-isak menangis. Sepasang 
bibirnya tampak tergetar. Dan desiskan kata-kata...
"Gumarang..! Dimanakah kau..? Mengapa tiba

tiba aku berada di tempat ini..? Apakah yang telah ter-
jadi sebenarnya..?" Demikian desisnya, tak lebih dari 
pertanyaan-pertanyaan yang tiada berjawab. Memang 
sudah nasib kedua sejoli ini yang selalu menemui rin-
tangan dalam pelariannya. Sejak menemukan tempat 
bermalam di desa tak berpenghuni itu, mereka berdua 
lanjutkan perjalanan tanpa arah tujuan. Semata-mata 
hanya menghindari dari kejaran Tirta Menggala, dan 
anak-anak buahnya. Hingga tibalah mereka pada tepi 
sebuah danau. Disana mereka beristirahat untuk ke-
sekian kalinya. Agaknya Gumarang berpendapat untuk 
tinggal saja di tempat itu.
Beruntung darah itu adalah dekat air. Guma-
rang dapat bercocok tanam disekitar danau itu. Pikir 
Retno Wulan. Dan keputusan itupun disepakati. Gu-
marang memang berhati keras bagai karang. Baginya 
kehidupan yang bagaimanapun akan ia lakukan demi 
kebahagiaan mereka berdua. Mulailah Gumarang me-
nebang kayu, untuk membuat tempat berteduh. Retno 
Wulan menganyam bambu untuk dinding pondok me-
reka. Sedang daun-daun kelapa dapat dipergunakan 
untuk atapnya. Dalam waktu sebulan lebih, selesailah 
pondok sederhana itu Dan mereka segera mendiami 
tempat yang baru itu dengan gembira.
Bila pagi menjelang, Gumarang mengail ikan di 
danau. Dan membakarnya untuk bersantap. Guma-
rang juga telah mulai menanam umbi-umbian atau se-
jenis ketela lainnya. Bahkan juga menanam padi hu-
ma, yang entah bibitnya ia dapatkan dari mana. Tam-
paknya mereka bahagia sekali. Sayang mereka belum 
menikah. Namun kandungan Retno Wulan tampak 
semakin membesar. Hal tersebut membuat Gumarang 
agak malu. Dan terkadang sering melamun sambil 
mengail ikan.
Suatu hari datanglah seorang kakek singgah di 
pondoknya. Entah dengan cara bagaimana, sang kakek 
ternyata amat kasihan pada kedua sejoli itu. Akhirnya 
disaksikan sang kakek, mereka meresmikan pernika-
hannya. Barulah hati Gumarang merasa lega. Ternyata 
sang kakek itu bukanlah orang biasa. Karena diketa-
huinya adalah seorang yang berilmu tinggi. Terbukti, 
hanya dengan menggerakkan telapak tangannya saja, 
ikan-ikan di danau itu telah berlompatan ke darat Se-
perti ada tenaga aneh yang menyedotnya keluar dari 
permukaan air.
Hal mana membuat Gumarang merasa terkejut 
dan girang sekali. Hingga tanpa ragu-ragu ia mohon di-
jadikan muridnya. Tampaknya sang kakek ini setuju 
dengan Gumarang. Dan segera menerima keinginan
laki-laki muda itu. Jadilah Gumarang murid si kakek 
itu. Yang ternyata sang kakek bernama Ki Candra Lu-
gita. Yang di rimba persilatan terkenal dengan julukan 
si Mayat Hidup. Memang wajah sang kakek itu amat 
menyeramkan, mirip manusia yang tinggal tulang. Tu-
buhnya kurus jangkung. Berkepala gundul plontos. 
Cuma kumis dan jenggotnya saja yang panjang terjun-
tai.
Dalam waktu empat bulan saja Gumarang su-
dah bukan Gumarang yang dulu lagi Karena ia telah 
memiliki ilmu kepandaian yang boleh diandalkan. Apa 
lagi ia telah diwarisi tenaga dalam yang hebat, oleh Ki 
Candra Lugita. Alias si Mayat Hidup. Sayang sang ka-
kek itu cuma tinggal selama empat bulan di tempat itu. 
Karena sebagai orang rimba persilatan, jarang dapat 
berdiam di satu tempat. 
Namun Gumarang sudah cukup puas. Ia ting-
gal memperbanyak latihan saja. Dan memecah jurus-
jurus ilmu silat yang telah dikuasainya. Sedikit banyak

dengan ilmu di punyainya, akan berguna untuk meno-
long diri dari bahaya. Demikianlah. Selama hampir sa-
tu bulan, Gumarang selalu rajin melatih diri memper-
dalam ilmu kepandaiannya.
Suatu ketika Gumarang tengah berperahu ke
tengah danau mencari ikan. Retno Wulan tinggal di 
pondok sendirian. Seperti biasanya, setelah selesai 
dengan pekerjaannya, Retno Wulan selalu duduk-
duduk di balai-balai ruangan depan. Memang pondok-
nya menghadap ke danau. Dan pada tempat keting-
gian. Hingga dengan mudah ia dapat layangkan pan-
dangan ke tengah danau. Bahkan Gumarang, sua-
minya dapat terlihat berada di atas perahu di tengah 
danau.
Ketika itu entah dari mana datangnya. Tahu-
tahu seorang wanita telah berada di depan pintu pon-
dok. Wanita ini memang tampak cantik. Akan tetapi je-
las terlihat kecantikannya adalah karena tebalnya pu-
lasan pada wajahnya. Bibirnya merah. Dengan alis ma-
ta buatan melengkung ke atas. Terjungkit lancip ham-
pir menyentuh rambut di sisi dahi. Retno Wulan jadi 
terkesiap. Ia sudah menganggap wanita itu bukan se-
bangsa manusia. Melainkan seorang peri. Karena da-
tangnya saja tanpa bersuara. Akan tetapi barulah ia 
yakin kalau wanita itu manusia biasa. Karena sepa-
sang kakinya menginjak tanah. Tentu seorang wanita 
persilatan yang berilmu tinggi..! Pikir Retno Wulan. Ia 
sudah menyapa wanita itu. Akan tetapi aneh... Sedi-
kitpun wanita itu tak menyahutinya Bahkan menatap 
wajahnya tajam-tajam Lalu layangkan pandangan pa-
da suaminya di tengah danau. Tiba-tiba terdengar 
mengikik tertawa. Dan palingkan wajahnya lagi mena-
tap padanya. Lalu tiba-tiba telah berkelebat lenyap.
Retno Wulan jadi terpaku di tempatnya. benar

benar tak mengerti, siapakah wanita itu..?. Demikian-
lah Ketika Gumarang pulang. la segera menceritakan 
tentang wanita itu. Gumarang terkejut. Karena ia me-
rasa tidak mengenalnya. Namun Retno tidak percaya. 
Akhirnya mereka bertengkar. Namun dengan berkata 
sungguh-sungguh dan menyakinkan pada istrinya, 
akhirnya Retno Wulan pun yakin bahwa Gumarang 
memang tak mengenal akan wanita itu. Apa lagi wanita 
itu bila dibandingkan dengan dirinya adalah jauh lebih 
tua. Mungkin sudah dua kali lebih tua dari umurnya. 
Tak mungkin Gumarang berniat main gila. Pikirnya. 
Malam itu sepasang suami istri itu menikmati kebaha-
giaannya. Sementara keadaan di luar gelap pekat. An-
gin bersyiur agak keras. Namun kedua insan itu telah 
tidur lelap, tanpa mengetahui apa-apa lagi Pada malam 
itulah terjadi keanehan...
Karena di saat Retno Wulan terbangun dari ti-
durnya, ia jadi terkejut Karena dapatkan dirinya terge-
letak di rerumputan. Gumarang sudah tak berada lagi 
di sisinya. Dengan serta merta ia bangun berdiri. Dan 
pandang sekitarnya. Ternyata ia berada di sebuah nga-
rai yang dalam. Di sekelilingnya adalah tebing-tebing 
batu yang menjulang tinggi.
Sedang di bagian sisi lain tampak hutan rimba 
yang lebat. Hingga akhirnya Retno Wulan pagi itu telah
berteriak-teriak memanggil suaminya. Keadaannya 
sangatlah menyedihkan. Karena sudah sekian kali be-
rusaha memanjat tebing, untuk keluar dari ngarai 
yang dalam itu. Namun tetap tak berhasil. Karena sela-
lu merosot turun kembali. Hingga banyak luka-luka 
kecil di kulit tubuhnya.
Retno Wulan duduk menggelepoh sambil teri-
sak-isak. Dan terbayanglah semua apa yang telah di 
alaminya sejak lari bersama orang yang dicintainya.

"Mengapa nasibku malang benar..? Oh Ayah.., 
Ibu..! Maafkanlah anakmu ini..! Gumarang..! Guma-
raaang..! Di manakah kau gerangan.. ?" Demikianlah, 
Retno Wulan meratapi nasibnya. Akan tetapi tiba-tiba 
ia jadi terkejut bukan main ketika tiba-tiba sesosok 
makhluk berada di hadapannya, disertai suara terke-
keh-kekeh bagai suara kera. Ketika ia mendongak. Ia 
jadi menjerit kaget Begitu takutnya Retno Wulan, dan 
terkejut yang amat sangat melihat sosok tubuh menge-
rikan di hadapannya. Hingga ia seketika jatuh pingsan.
Ketika sadarkan diri lagi ia tengah digumuli 
oleh seekor kera besar. Tentu saja Retno Wulan jadi 
menjerit-jerit ketakutan. Dengan sekuat tenaga ia be-
rusaha melepaskan diri. Namun alangkah terkejutnya 
ia, ketika mengetahui kera besar itu tak lain dari Tirta 
Menggala. Wanita ini melompat mundur begitu berha-
sil lepaskan diri dari dekapan "kera" besar itu. Tapi 
dengan sekali melompat ia telah berada didepannya la-
gi seraya menyeringai. 
Tampaknya Tirta Menggala masih mengenali 
Retno Wulan, yang pernah akan dipinangnya beberapa
bulan yang lalu. Tiba-tiba ia menggeram bagai kera. 
"Grrr... kau ... nguk! nguk! grrr... kau Retno Wulan..? 
He he he.... bagus! Bagus..! Kau harus layani aku baik-
baik..! He he he... Grrr..!" Tiba-tiba....
Bret! Bret! Brreeettt...!
"Auuuuww...! Tolooong! Tidak! Tidak! Tidaaak!" 
Retno Wulan berteriak-teriak. Namun apa daya. Mak-
hluk itu telah menerkamnya. Dan mencabik-cabik pa-
kaiannya. Dan sebuah tamparan keras membuat wani-
ta itu kembali tak sadarkan diri lagi. Hingga dengan le-
luasa Tirta Menggala menggagahinya. Sementara pu-
luhan ekor kera tampak berjingkrak-jingkrak mengeli-
linginya. Dengan keluarkan teriakan gaduh. Kelakuan

Tirta Menggala memang sudah bagaikan binatang liar 
saja. Karena bibirnya tampak sering mencibir. Dan hi-
dupnya mengendus-endus di sekujur tubuh korban-
nya. Semua perbuatan itu selalu diperhatikan oleh di 
Dewa Siluman Kera Seperti menyenangi tontonan se-
macam itu. Tiba-tiba terdengar bentakan keras meng-
geledak. Dan... WHUUUUT...!
Tirta Menggala telah perdengarkan teriakannya 
Dan terlempar delapan tombak, terguling-guling. Dan 
kera-kera yang mengelilinginya seketika buyar dan ja-
tuh bergelimpangan. Sesosok tubuh mirip mayat, telah 
berada di tempat itu.
"Mayat hidup..!" Teriak si Dewa Siluman Kera. 
Dan ia sudah berkelebat ke tempat itu. "Keparat..! Mau 
apa kau turut campur urusan muridku, Tua bangka..! 
Grrrr..! Kukira kau sudah mampus..! Kau berani me-
nyatroni kemari apakah mau mengantarkan nyawa..?" 
Bentak si Dewa Siluman Kera. Kiranya si kakek Can-
dra Lugita, guru Gumarang itu yang telah muncul di
situ. Tampaknya si Mayat Hidup tak merasa ciut nya-
linya. Bahkan ia sudah berkata dengan nada dingin 
bagaikan es.
"Heh! Nyawaku masih ada harganya, ketimbang 
nyawa manusia-manusia binatang macam kau dan 
muridmu itu..! Hari ini aku tak mau melayani kau ber-
tarung. Tunggulah satu bulan lagi. Aku pasti datang 
untuk bertarung denganmu sampai seribu jurus..!" 
Berkata si Mayat Hidup. Seraya menyambar tubuh 
Retno Wulan... Dan secepat kilat telah membawanya 
pergi.
Dewa Siluman Kera tampaknya tidak berniat 
mengejar. Akan tetapi hanya keluarkan dengusan di 
hidung. Lalu kelebatkan tubuh ke arah muridnya Tirta 
Menggala, alias Siluman kerah putih. Sementara Tirta

Menggala tampak meringis-ringis menahan sakit. Ia 
sudah bangkit duduk. Tapi tampaknya terluka parah 
akibat pukulan tenaga dalam si Mayat Hidup. Darah 
segar mengalir dari mulutnya. Segera si kakek mene-
kan telapak tangannya pada punggung muridnya. 
Tampak uap tipis mengepul keluar dari telapak tan-
gannya. Hanya sekejapan saja sang murid telah kem-
bali melompat bangun. Dan berjingkrakan seraya ber-
teriak-teriak menggeram-geram. Tampaknya ia amat 
kesal sekali pada orang yang telah
mengganggunya.
Akan tetapi Dewa Siluman Kera telah menjewer 
telinganya. Dan menyeret masuk muridnya ke dalam 
goa.
***
Roro Centil telah memasuki lagi sarang pergu-
ruan Burung Hantu. Langkahnya tidak terlalu cepat. 
Bahkan jalannya tampak melenggang seenaknya. Se-
mentara dua orang penjaga di belakangnya, tampak 
masih tetap berdiri seperti biasa. Seolah tak terjadi 
apa-apa. Akan tetapi sebenarnya kedua tubuhnya te-
lah tertotok kaku. Cuma kedua pasang matanya saja 
yang berkedip-kedip. Dan mulut-mulut mereka yang 
tak bisa mengeluarkan suara.
Tiga orang penjaga yang sedang berdiri berca-
kap-cakap, tiba-tiba menoleh. Dan salah seorang su-
dah berteriak.
"Celaka..! ? Wanita yang kusangka tetamu dulu 
itu datang lagi kemari...!" Dan ia sudah lari kuping 
tinggalkan kedua kawannya...Sedangkan kedua ka-
wannya itu malah cengar-cengir melihat seorang gadis 
cantik mendatangi. Dengan langkah gemulai.

"Ahii... Si tolol itu mengapa jadi bodoh? Ada" te-
tamu tak diundang datang, eh... malah lari..! "Berkata 
salah seorang yang bertubuh agak pendek.
"Mana cantik dan seksi lagi..! Ck ck ck... "Bodi" 
nya mek..! Selangit..!" Mendesis suara kawannya. Se-
mentara sepasang matanya sudah merayapi sekujur 
tubuh Roro Centil, yang semakin mendekat ke arah-
nya.
Salah seorang yang bertubuh kekar, segera 
mendekati. Tampak ia sedikit bergaya, dengan merapi-
kan rambut dan ikat kepalanya terlebih dulu.
"Selamat datang nona..! He he he"... Apakah
nona mencari aku?" Bertanya ia. Yang ditanya ternyata 
cuma tersenyum... Dan melangkah terus. Tentu saja 
senyuman itu telah membuat ia semakin berani. Se-
perti mendapat angin. Bahkan tanpa ragu-ragu me-
rendenginya berjalan.
"Mau bertemu aku atau ketua, nona..? Kalau 
Ketua rasanya sedang sakit encok. Percuma mene-
muinya..! Lebih baik dengan aku saja. He he he... po-
koknya siiip..!" Berkata lagi si orang bertubuh kekar 
ini. Seraya mengurut-ngurut kumisnya, yang besar 
melintang. Adapun makanya ia berani menyapa demi-
kian, karena dalam sepekan selalu ada langganan yang 
datang ke rumah perguruan itu untuk menemui sang 
ketua. Tentu saja si laki-laki berkumis tebal itu me-
nyangka Roro salah seorang langganan Ketuanya. Se-
mentara Roro sudah perlambat langkahnya.
Ternyata semakin berani si kumis tebal ini. Dan 
sebelah lengannya telah merangkul pinggang Roro dari 
belakang. Tampaknya Roro tak reaksi untuk mene-
piskan lengannya. Merasa bujukan dan rayuannya 
berhasil, si Kumis Tebal telah mengajaknya membelok 
ke sisi jalan. Dimana di bagian sisi jalan itu adalah

semak lebat yang amat rimbun dan gelap. Roro hanya 
menuruti saja apa maunya sang penjaga itu. Tiba-tiba 
si kumis tebal telah palingkan kepalanya pada sang 
kawan yang masih ternganga di tempatnya.
"Ssssssttt.!" Ia sudah berikan kode pada si pen-
dek untuk tidak melapor pada sang Ketua. Tampak 
sang kawan manggut-manggut. Seraya iapun diam-
diam langkahkan kakinya untuk menguntit. Tentu saja 
untuk mengintip perbuatan kawannya.
Sementara diam-diam hatinya memaki.. Sia-
lan..! Si kunyuk telah untung besar! Aku tak me-
nyangka kalau ia se jinak itu..!
Lama juga si pendek ini mencari tempat men-
gintip yang aman. Karena rimbunnya semak-semak. 
Namun akhirnya ia sudah dapat lihat dari celah-celah 
daun. Segera ia pentang mata untuk melihat lebih le-
bar. Dan yang tampak adalah kedua kepalanya saja. 
Tubuhnya belum terlihat. Segera ia kuak lebih lebar 
semak yang menghalangi...
"Hah..!?" Ia sudah keluarkan desisan perlahan 
dari mulutnya Yang seketika jadi ternganga. Dan sepa-
sang matanya terbeliak makin lebar. Ternyata si kumis 
tebal tengah di bukai pakaiannya satu persatu. Len-
gan-lengan yang halus itu seperti dua ekor ular yang 
bergerak lincah kesana-kemari. Dan sebentar saja ber-
sihlah "bulu-bulu" yang melekat di tubuh si kumis 
tebal. Sayang... belum lagi ia mengetahui kelanjutan-
nya, telah terasa ada yang menarik-narik celananya, 
dari belakang. Ketika ia menoleh. Terkesiaplah ia ba-
gaikan melihat malaikat maut saja Karena pada semak 
belukar di belakangnya tersembul kepala seekor hari-
mau yang amat besar. Dan tengah menggigit-gigit kain 
celakanya, dengan gigi-gigi taringnya yang runcing dan 
tajam, Seketika saja pucat piaslah wajahnya. Ia sudah

berteriak keras sekali. Namun suaranya bagaikan le-
nyap di tenggorokan. Sekejapan saja keringat dingin 
sudah mengucur deras. Dan entah mengapa, seko-
nyong-konyong nya bulu kuduknya sudah merasa me-
remang. Pandangan matanya jadi gelap. Tubuhnya 
gemetaran bagaikan kena stroom. Dan selanjutnya ia 
sudah jatuh pingsan menggelosoh. Kepala harimau 
itupun lenyap.
Sementara itu penjaga yang tadi berlari ketaku-
tan itu telah kembali lagi Ternyata telah turut bersa-
manya sang Ketua. Yaitu si Burung Hantu. Tampak 
sang Ketua putarkan kepala dan tubuh ke beberapa 
arah untuk mencari sang tetamunya yang tak di un-
dang. Sedang laki-laki, anak buahnya itupun sudah 
layangkan pandangan kesana-kemari mencari-cari. 
Tapi baik sang tetamu yang tak di undang, maupun 
kedua kawannya; kesemuanya tak ada sepotongpun 
yang terlihat.
"Tad... tad... tadi disini, Pak Ketua! Kemanakah 
mereka..?" Berkata si penjaga dengan suara gemetar. 
Tiba-tiba terdengar suara berkrosakan dari arah sisi 
jalan. Dan tersembullah sosok tubuh di kumis tebal. 
Keadaannya amat memalukan. Karena ia dalam kea-
daan membugil. Ia sudah menghampiri kedua orang di 
hadapannya. Aneh..! Tampaknya si kumis tebal seperti 
tiada takut akan perbuatannya pada sang Ketua. Bah-
kan sambil tertawa cengar-cengir ia sudah bicara nga-
wur.
"Kurang ajar..! He, Bendot..! Apa kau sudah tak 
menghargai aku lagi? Kemana tamu wanita itu? Apa 
yang telah kau lakukan.. ?" Akan tetapi yang di bentak 
dan dicekal keras lengannya itu cuma meringis-ringis. 
Ketika dilepaskan. Kembali tertawa geli, dan bahkan 
segera berlalu sambil bernyanyi-nyanyi

tak keruan. Tentu saja hal itu membuat si Bu-
rung Hantu jadi melengak. Tiba-tiba ia sudah kelua-
rkan bentakan keras... 
"Keparat..! Memalukan..!" Dan ia sudah han-
tamkan telapak tangannya ke batok kepala anak 
buahnya. Yang seketika jadi hancur berantakan. Dan 
tanpa dapat berteriak lagi tubuh si kumis tebal yang 
sudah hilang ingatan itu ambruk ke bumi. Detik selan-
jutnya ia telah kelebatkan tubuhnya ke balik semak. 
Dan kembali hantamkan telapak tangannya pada so-
sok tubuh yang terlihat kakinya dibalik semak.
Tubuh itu terlempar berikut semak belukar 
yang tersemburat bagai diterjang badai. Akan tetapi 
terkejutlah si Burung Hantu. Karena tubuh yang ter-
kena dihantamnya adalah tubuh anak buahnya sendi-
ri. Pucat piaslah wajah sang Ketua ini. Seketika bulu 
tengkuk Burung Hantu jadi meremang.
"Hi hi hi... hi hi hi... Burung Hantu. Mengapa 
kau bunuh anak buahmu sendiri..?" Aneh..! Suara ter-
tawa terdengar, tapi orangnya belum menampakkan 
diri. Membuat si Burung Hantu jadi gusar, walaupun 
agak ciut juga nyalinya. Apakah yang dilakukan Roro, 
di saat di dalam semak belukar itu? Kiranya si Pende-
kar Wanita Pantai Selatan itu telah menotok tubuh si 
kumis tebal yang kurang ajar itu. Dan setelah melucuti 
pakaiannya. Segera keluarkan senjata Rantai Genit-
nya. Dengan menyalurkan tenaga dalamnya yang su-
dah mencapai kesempurnaan itu, Roro dapat membuat 
benda aneh, yaitu bandulan senjatanya yang berben-
tuk payudara itu menjadi lunak
bagaikan karet. Namun jadi kepulkan asap ti-
pis. Tiba-tiba Roro telah menghantamkan bandulan si 
Rantai Genitnya pada kepala si penjaga yang kurang 
ajar itu. Roro memang hanya bermaksud untuk mem

buatnya kelengar saja. Akan tetapi di luar dugaan. Ke-
pala si kumis tebal itu amat kuat Bukannya jatuh 
menggelosoh. Bahkan tetap berdiri tegak. Ketika Roro 
melepaskan totokannya, laki-laki itu segera saja jadi 
hilang ingatan. Dan ngeloyor keluar semak dengan 
mulut mengaco tak keruan. Kiranya pukulan pada ke-
pala itu telah membuat ia jadi gegar otak.
Mengapakah Roro Centil menyatroni sarang da-
ri komplotan si Burung Hantu ini ? Kiranya berita-
berita perampokan dan pembunuhan serta pemerasan 
yang dilakukan oleh si Burung Hantu dan anak-anak 
buahnya serta konco-konconya semakin santar ter-
dengar. Keresahan para penduduk semakin banyak di-
dengar, dan dilihat oleh Roro. Tentu saja hal itu mem-
buat si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini merasa 
berdosa kalau berdiam diri saja melihat kebatilan di 
depan matanya. Itulah sebabnya maka Roro berniat 
menumpas habis kejahatan dengan menyatroni mar-
kas si Burung Hantu.
Kemanakah Roro gerangan Hingga tak menam-
pakkan diri? Kiranya ia berada di atas wuwungan ru-
mah perguruan. Sementara belasan orang telah men-
gurungnya di bawah. Kabar bahwa adanya seorang 
pendekar wanita yang berilmu tinggi dari daerah Pulau 
Jawa, ternyata telah menyebar ke setiap pelosok. Dan 
nama Roro Centil sudah bukan rahasia lagi. Melihat 
anak-anak buahnya berkerumun mengurung di sekitar 
salah sebuah rumah perguruannya, si Burung Hantu 
segera mengetahui orang yang dicarinya berada dis-
ana. Segera dengan berkelebat cepat ia telah tiba di 
bawah atap wuwungan
"Turunlah sobat, Pendekar Wanita..! Lebih baik 
kita bicara baik-baik! Apa maksudmu mendatangi ke 
markas tempat tinggalku..? Persoalan dapat dibicara

kan baik-baik..!"
"Hi hi hi... persoalan telah terlihat jelas! Menga-
pa harus dibicarakan lagi.. ? Kejahatanmu harus di-
hentikan. Kalau tidak maka akan kacaulah dunia ini..! 
Dan akan ku taruh dimana mukaku, kalau aku tetap 
biarkan saja kekejianmu yang kian merajalela itu, Bu-
rung Hantu.. ?" Berkata Roro Centil dengan suara lan-
tang.
Sementara itu diam-diam dua belas anak buah 
si Burung Hantu telah bergerak dari salah sebuah ru-
mah perguruan di belakang Roro. Dua belas busur pa-
nah telah terentang. Dan dua belas anak panah den-
gan sasaran yang telah diincar baik-baik segera saja 
meluruk bagaikan hujan ke arah Roro. Namun pada 
saat itu membersit angin deras. Dan kedua belas anak 
panah itu sudah buyar berantakan. Ternyata Roro 
Centil telah putarkan senjata Rantai Genitnya untuk 
melindungi tubuh.
Akan tetapi di luar dugaan kedua belas anak 
panah itu telah kembali lagi meluncur ke arah para 
penyerangnya. Tak ampun lagi segera terdengar pekik-
kan dan teriakan-teriakan ngeri. Dan sembilan orang 
dari para pembokong itu telah terjungkal tewas. Den-
gan dada dan leher terpanggang anak panahnya sendi-
ri... Ternyata Roro telah barengi dengan kebutan ram-
butnya untuk mengembalikan anak-anak panah itu. 
Serangkum angin segera bersyiur. Dan anak-anak pa-
nah itu bagaikan dikendalikan, telah meluncur kemba-
li ke bawah. Si Burung Hantu jadi terkesiap kaget, juga 
gusar bukan kepalang. Segera saja ia telah cabut sen-
jatanya yaitu senjata yang bernama Cakar Hantu. Roro 
sudah melompat ke bawah. Beberapa anak buahnya 
yang coba-coba cari penyakit, membokong Roro den-
gan serangan golok dan tombak. Akan tetapi telah roboh terjungkal. Hanya dengan Roro kibaskan lengan-
nya. Namun angin bertenaga dalam yang panas itu te-
lah membuat mereka berkelojotan. Dan tewas seketi-
ka. Semakin piaslah wajah si Burung Hantu. Dan ia 
sudah membentak keras...
"Minggir..! Biar aku yang menghadapi gadis se-
berang pulau yang tengik ini..!" Merasa Roro Centil tak 
dapat diajak kompromi, si Burung Hantu jadi nekat, 
dan segera sudah dikirimkan serangan pukulannya. 
Dibarengi dengan serangan senjata Cakar Hantunya
Tring! Tring! Tring..!
Tiga rantai berujung cakar besi telah terpental 
balik ke arah penyerangnya. Sementara pukulan tan-
gan si Burung Hantu menemui tempat kosong. Roro te-
lah lengkungkan tubuhnya sedemikian rupa. Dan gu-
nakan si Rantai Genit menghantam balik serangan itu. 
Keruan saja si Burung Hantu terkesiap. Namun den-
gan menjatuhkan tubuh, serangan balik senjatanya 
dapat ia hindari.
Burung Hantu telah cepat melompat bangkit. 
Dan kali ini ia sudah melompat ke belakang tiga tom-
bak. Tiba-tiba tertawa keras sekali hingga suaranya 
terdengar berpantulan. Roro kerenyitkan keningnya. 
Entah apa yang akan dilakukan si Burung Hantu ini. 
Pikirnya. Tiba-tiba ia sudah hentikan lagi tertawanya, 
seraya berkata;
"Nona Pendekar..! Sebaiknya kita berdamai..| 
Aku sudah mengetahui dimana adanya orang kau ca-
ri..? He he he... si Peri Gunung Dempo itu aku tahu sa-
rang tempat tinggalnya! Percayalah! Aku akan tunjuk-
kan padamu asalkan kau mau kuajak berdamai..! Aku 
memang sudah berniat merobah jalan hidupku, nona 
Pendekar. Apakah kau tak ingin memberi kesempatan 
padaku untuk kembali insyaf.. ?" Mendengar kata-kata
si Burung Hantu Roro Centil telah berkelebat lenyap. 
Tentu saja membuat laki-laki pendek berwajah empat 
persegi, yang berhidung bagai paruh burung itu jadi 
melengak. Dan belum lagi ia sempat putar tubuh, telah 
terdengar bentakan di belakangnya.
"Bagus, Burung Hantu..! Hayo. cepat kau tun-
jukkan dimana sarang wanita keparat itu! Tapi jangan 
coba-coba kau berani mendustai ku..!" Serasa hampir 
terbang nyawanya. Karena senjata Rantai Genit Roro 
Centil telah menggubat lehernya dalam sekejap.
"Bbbb... ba... baik...! Baik..! Akan ku beritahu! 
Sudahlah, simpan senjatamu. Mari kita pergi bersama 
ke sarangnya..!" Menjawab si Burung Hantu.
Sementara keringat dingin sudah merembes di 
sekujur tubuh. Tak berayal, Roro sudah lepaskan gu-
batan senjatanya di leher si Kokok Beluk itu. Tampak 
si Burung Hantu paksakan diri untuk tersenyum. Ke-
mudian cepat-cepat simpan senjatanya ke balik pung-
gung. Yang sebentar saja sudah lenyap tertutup man-
tel bulu burungnya. Kemudian si Burung Hantu men-
jura pada Roro Centil, seperti sudah tak menganggap-
nya musuh lagi. Lalu berkata;
"Nona Pendekar Roro Centil..! Marilah kita be-
rangkat kesana!"
"Hm... Baik..!" Jawab Roro. Dan si burung Han-
tu segera beranjak lebih dulu berkelebat Lalu Roro 
menyusul dari belakang. Sebentar saja dua tubuh 
tampak berkelebatan melintas hutan. Menembus rim-
ba. Bahkan meniti jalan-jalan setapak. Juga melewati 
beberapa anak sungai... Sementara itu tanpa setahu 
Roro dua sosok tubuh terus mengikuti di belakang, 
pada jarak dua puluh tombak. Kira-kira perjalanan te-
lah ditempuh hampir sepertiga hari. Akhirnya si Bu-
rung Hantu hentikan larinya. Di hadapan mereka tampak sebuah tebing batu yang tinggi menjulang. Tam-
paknya si Burung Hantu ingin beristirahat dulu ba-
rang sejenak. Roro sudah bertanya seraya gerakkan 
tangan ke atas dahan pohon.
"Masih jauhkan sarang si Peri Gunung Dempo 
itu? Aku sudah tak sabar untuk melihat tampang wa-
jahnya..!" Berbareng dengan pertanyaan sudah terden-
gar suara...
Whuutt..! Dan tampak dahan pohon di atas Ro-
ro Bergoyang. Maka meluruklah jatuh berdebukkan 
buah pohon itu Lengan Roro sudah bergerak menang-
kapnya. Dan tak lama telah asyik mencicipi mangga 
mengkal itu. Si Burung Hantu naikkan alisnya, lalu 
tersenyum melihat pada Roro.
"Tidak berapa lama lagi kita akan segera sam-
pai..!" Menyahut si Burung Hantu. Seraya memungut 
mangga dekat kakinya. Dan iapun segera mengga-
nyangnya. Tak berapa lama Roro sudah bangkit berdi-
ri, dari duduknya.
"Ayolah, cepat kita teruskan perjalanan..!" Ber-
kata Roro seraya melemparkan biji mangga yang da-
gingnya telah habis digerogoti. Ternyata lemparan se-
perti seenaknya itu, berakibat mengejutkan bagi kedua 
sosok tubuh yang menguntitnya. Nyaris saja leher si 
penguntit dibalik semak kena terhantam, ketika biji 
mangga itu menerobos belukar. Untung dapat terhin-
dar. Kiranya kedua sosok tubuh di tempat persembu-
nyiannya itu tak lain dari si Gajah Dungkul, dan si 
wanita bertongkat ular alias si Ular Kobra Mata Merah. 
Tak banyak cerita segera si Burung Hantu mendekati 
tebing batu... Sebuah batu besar telah ia geser meng-
gelinding. Dan terbukalah sebuah lubang...
"Silakan Nona Pendekar memasukinya. Inilah 
pintu masuk ke sarang si Peri Gunung Dempo!" Berkata si Burung Hantu. Roro kerutkan alisnya. Tampak-
nya ia tengah menimbang-nimbang akan kebenaran 
kata-kata si Kokok Beluk itu.
"Mengapa tak kau antarkan aku sampai kesa-
na..?" Bertanya Roro. Tapi si Burung Hantu telah ber-
kata dengan senyum jumawa.
"Bagi seorang Pendekar yang termasyhur seper-
ti anda, kukira memang pantas untuk mencurigaiku..! 
Akan tetapi apakah tidak melunturkan nama besar 
anda?.... Kalau sampai didengar kaum persilatan bah-
wa si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil ter-
nyata takut memasuki lubang tikus..! He he he... Apa-
kah tidak malu?" Tentu saja kata-kata itu membuat 
Roro Centil merah wajahnya. Dan ia sudah menyahuti.
"Baik..! Kau kira aku takut untuk kau jebak di 
dalam lubang? Hi hi hi... Justru aku kepingin lihat ada 
jebakan apakah di dalam..?" Berkata Roro Centil, se-
raya sudah melompat masuk. Akan tetapi pada saat 
itu juga kaki si Burung Hantu telah menendang se-
buah batu empat persegi di dekatnya. Seraya mende-
sis;
"Heh..! Mampuslah kau di bawah sana..!" Pada 
saat itupun terdengar teriakan kaget Roro Centil. Ka-
rena tahu-tahu batu dasar lubang yang diinjaknya te-
lah menjeblos ke bawah. Maka tak ampun lagi seketika 
tubuhnya sudah meluncur deras ke bawah. Roro tak 
dapat melihat apa-apa lagi, karena keadaan sekeliling-
nya gelap. Sementara itu di luar goa, sudah berkelebat 
menghampiri si Gajah Dungkul dan si Ular Kobra Mata 
Merah.
"Bagus..! Dengan jatuhnya si Pendekar Wanita 
itu ke tangan si Dewa Siluman Kera. Maka akan aman-
lah kita beroperasi kemana saja. Karena si Dewa Silu-
man Kera pasti akan membantu setiap usaha kita,

dengan berjasanya kita mengantarnya wanita Pendekar 
itu padanya. He he he..." Berkata si Gajah Dungkul 
sambil tertawa menyeringai. Si Wanita bertongkat ular 
itupun tersenyum. Akan tetapi telah desiskan sua-
ranya bernada mengolok-olok.
"Apakah kalian tak merasa kecewa, membiar-
kan gadis secantik itu jatuh ke tangan si Dewa Silu-
man Kera dan muridnya yang dijuluki si Siluman Kera 
Putih itu..?" Si Burung Hantu dan Gajah Dungkul jadi 
tertawa gelak-gelak. Dan si Burung Hantu sudah men-
gerlingkan mata pada kawannya yang bertubuh tinggi 
besar itu.
"He he he... Agaknya Ular Kobra yang cantik 
kawan kita ini jadi cemburu...?" "Apakah sobat Gajah 
Dungkul alias si Iblis Sembilan Nyawa tak berbaik hati 
untuk memberikan sedikit nafkah batin padamu, nona 
Ular Kobra Mata Merah..?" Ujar si Burung Hantu lagi, 
seraya palingkan wajah pada si wanita bertongkat. 
Tentu saja kata-kata si Burung Hantu membuat wajah 
si wanita semakin merah. Sementara Gajah Dungkul 
tiba-tiba sudah berkata dengan wajah serius.
"Sebaiknya aku menyusul ke bawah... Siapa 
tahu si Dewa Siluman Kera memerlukan bantuan..!". 
Dan tanpa menunggu jawaban, ia sudah kelebatkan 
diri pergi dari situ. Ternyata Gajah Dungkul mengam-
bil jalan memutari tebing. Dan disana ada jalan yang 
menurun ke arah lembah ngarai itu. Si Burung Hantu 
cuma tertawa menyeringai. Tiba-tiba lengannya sudah 
menggamit pinggang si Ular Kobra Mata Merah. Yang 
tampaknya tidak menolak ketika si Burung Hantu me-
narik tubuhnya ke balik batu cadas. Selanjutnya... 
cuma dengus-dengus nafas si Burung Hantu saja yang 
terdengar.
***
PRAKK..! Disertai dengan keluhan panjang. 
Benda bulat panjang itu menggelinding, tinggalkan 
bercak-bercak darah.
Tubuh si Burung Hantu dan si Ular Kobra Mata 
Merah tampak menggelinjang beberapa saat, lalu di-
am... Dan sesosok tubuh telah meloncat dari atas teb-
ing itu. Ternyata dia Roro Centil. Tampak si Pendekar 
Wanita Pantai Selatan ini menatap ke dua tubuh yang 
saling tindih dengan keadaan mengerikan. Karena ke-
dua kepalanya telah hancur. Dan otaknya berhambu-
ran muncrat bercampur darah, yang tampak berlepo-
tan di dinding batu tebing itu.
"Manusia licik dan berakhlak bejat macam ka-
lian memang sudah selayaknya mampus siang-siang, 
sebelum bertambah lagi dosa kalian..!" Berkata Roro, 
dengan suara mendesis. Lalu kelebatkan tubuh memu-
tari tebing batu itu..
Apakah yang terjadi dengan Roro Centil? Ki-
ranya ketika ia rasakan tempat pijakan kaki menjeblak 
ke bawah. Tubuh Roro memang telah terbawa menjeb-
los. Akan tetapi kira-kira sedalam dua kali tubuh ma-
nusia, Roro gunakan kaki dan lengannya untuk mene-
kan sisi-sisi dinding lubang rahasia itu. Yaitu dengan 
merentangkan keempat anggota tubuhnya. Sementara 
batu tempatnya berpijak tadi, terus meluncur deras ke
bawah Yang dalamnya entah berapa kaki. Demikianlah 
ia menunggu sesaat. Dan sementara itu telinganya te-
lah mendengar pembicaraan ketiga manusia di luar lu-
bang goa. Ketika si Burung Hantu menggamit pinggang 
si wanita tongkat ular itu, kemudian tak terdengar lagi 
suaranya. Barulah Roro naik ke atas. Ternyata ia tak 
keluar lagi dari tempat semula. Tapi meneruskannya 
menyusuri lorong gelap di dalam goa itu. Yang ternyata

menembus sampai ke tebing. Dari atas tebing itulah ia 
dapat melihat si Burung Hantu tengah saling berasyik 
masyuk dengan si wanita bertongkat, hingga dengan 
rasa kesal bercampur sebal, ia telah hantam keduanya 
dengan batu bulat panjang yang cukup besar dari atas 
tebing. Maka tak ampun lagi keduanya tewas.
Roro telah tiba di lembah ngarai yang curam 
itu, setelah menuruni lereng terjal dari tebing batu 
yang menjulang tinggi itu. Kini di hadapannya adalah 
rimba luas yang terbentang... Ketika memandang ke 
belakang, hanyalah tebing batu yang untuk melihat 
ujungnya harus dongakkan kepala lebih dulu.
"Betapa curamnya lembah ini..! Apakah benar 
di lembah ini tempatnya si Dewa Siluman Kera yang 
mempunyai murid bergelar si Siluman Kera Putih itu.. 
?" Berkata lirih Roro seorang diri. Sementara diam-
diam ia jadi mendongkol pada si Burung Hantu yang 
telah menipunya.
Sementara diam-diam Roro telah mencari arah 
tembusan tempat lubang rahasia di bawah tebing itu. 
Akhirnya ia menemukan juga lubang goa di celah batu 
tebing. Akan tetapi ia jadi terkejut, karena belasan 
ekor kera telah mengelilinginya. Berlompatan ke arah-
nya. Roro mulai bertindak waspada. Tiba-tiba entah 
dari mana telah terdengar suara suitan panjang ber-
kumandang bagai membela bukit. Suara suitan itu 
berpantulan berkali-kali. Ketika tiba-tiba ratusan ekor 
kera tampak berbondong-bondong keluar dari dalam 
rimba di hadapannya. Seekor kera yang lebih mirip 
manusia, berkulit putih, tanpa bulu dan ekor, telah 
melompat ke hadapannya, seraya tertawa menyeringai. 
Keadaannya membuat Roro melengak. Karena kera itu 
memang bukan kera sebenarnya, melainkan manusia 
yang mirip kera.

Apakah ini si Siluman Kera Putih itu..? Sentak 
Roro dalam hati. Si Kera Putih ini sudah menggeram-
geram melihat Roro. Tiba-tiba ia telah mencengkeram 
untuk menerkamnya. Gerakannya gesit, Roro cepat 
berkelit Akan tetapi di luar dugaan sang "kera" telah 
berjumpalitan cepat sekali. Dan kembali menyambar 
tubuhnya Tersentak juga Roro melihat kegesitan mak-
hluk itu.
"Grrrr... nguk! Nguk...!" Sang kera putih sudah 
kembali perdengarkan suara anehnya, seraya men-
gangkat-angkat tangannya tinggi-tinggi. Dan melom-
pat-lompat. Entah itu suatu isyarat. Entah memang 
kelakuannya demikian... Akan tetapi tiba-tiba ratusan 
kera lainnya telah menyerbu dengan suara riuh ren-
dah. Terpaksa Roro hantamkan lengannya ke kiri dan 
kanan. Terdengar jeritan-jeritan binatang itu. Dan be-
lasan ekor kera terlempar tewas. Namun bagai tak ada 
habisnya, kera-kera itu kembali mengerubuti Roro, 
Terpaksa Roro tarik keluar senjata Rantai Genitnya. 
Dan tubuhnya berkelebat kian kemari. Maka yang 
tampak adalah kera-kera itu jatuh bertumbangan ba-
gai diterjang oleh amukan bayangan yang tak keliha-
tan. Segera saja bertumpuk-tumpuk puluhan bangkai 
kera berserakan.
Melihat demikian si kera putih tampak gusar
sekali. Iapun maju merangsak. Dan turut menerkam 
Roro dari segala jurusan. Tiba-tiba berkelebat pula ke-
sana sesosok tubuh yang tak lain dari si Gajah Dung-
kul. Tokoh hitam yang bertubuh tinggi besar itu tam-
pak terkejut sekali melihat Roro berhasil lolos dari da-
lam jebakan. Tentu saja ia sudah turut membantu 
mengerubuti si Pendekar Wanita itu. Tiba-tiba terden-
gar suara...
Brengngngng..! Brengngngng..! Brengngng..!

Ternyata ia telah bunyikan senjata anehnya. Yaitu dua 
buah piling baja tipis. Yang mengeluarkan suara me-
mekakkan telinga, akibat diadukannya kedua piring 
baja tipis itu. Kera-kera lainnya segera berlompatan 
menjauh. Tubuh Roro tampak bergoyang-goyang mau 
jatuh. Suara keras itu seperti telah membuatnya jadi 
terpengaruh. Saat itu dua terjangan senjata piring baja 
itu sudah menghunjam ke arah dada dan leher. Mem-
bersit suaranya bagai ular mendesis... Namun si Gajah 
Dungkul jadi terkesima, karena ia tadinya sudah me-
rasa girang yang serangannya tak bakal lolos. Tapi 
dengan gerakan seperti orang mabuk, Roro berhasil 
menghindar. Sementara cengkeraman si Siluman Kera 
Putih kembali mencengkeram angin. Karena Roro telah 
gerakkan jurus Tarian Bidadari Mabuk Kepayang. Sa-
lah satu jurus aneh warisan dari gurunya.
Gajah Dungkul kembali menerjang dengan ke-
cepatan kilat Sepasang senjatanya bergerak menyilang 
ke arah leher. Sedang satu lagi mendesing untuk 
membeset selangkangan. Serangan pertama lolos, tapi 
sudah disusul oleh serangan berikutnya. Hingga Roro 
tampaknya kewalahan. Dan bergerak sempoyongan 
kesana-kemari. Tapi bagi orang yang mengerti, akan 
memuji kagum. Karena itulah jurus yang langka di 
Dunia Persilatan. Dalam mempergunakan jurus itu ti-
dak sembarangan orang dapat melakukan. Karena ha-
ruslah orang nekat yang mempergunakannya. Karena 
cuma mengandalkan perasaan saja. Sedang sepasang 
mata tidak dipergunakan untuk melihat Namun semua 
terjangan maut dapat ia hindarkan dengan baik. Tiba-
tiba terdengar suara melengking tinggi dari mulut Roro 
Centil. Tahu-tahu tubuhnya lenyap... Dan pada detik 
berikutnya, terdengar jeritan si Gajah Dungkul. Tu-
buhnya terlempar dengan sepasang lengannya hancur

remuk. Sedang senjatanya terlempar entah kemana... 
Kiranya Roro telah hantamkan senjata Rantai Genitnya 
menabas lengan lawan.
Tampak si Gajah Dungkul terperangah menye-
ringai. Wajahnya pucat bagai mayat Keringat dingin 
sebesar-besar jagung mengalir di dahinya. Rasa sakit 
yang amat sangat itu membuatnya jadi kalap. Tiba-tiba 
ia telah kembali bangkit dan menerjang hebat, disertai 
teriakan paraunya. Ternyata Gajah Dungkul keras se-
perti besi. Hal itu tidak membuatnya bergeming. Gajah 
Dungkul telah pergunakan kekuatan Gajah Sakti 
Menggempur Bukit Sekejap ia telah putar tubuh, dan 
bagaikan bayangan telah menerjang Roro seperti su-
dah kesetanan. Roro coba menahan dengan telapak 
tangannya. Akan tetapi lengannya terpental terkena 
serudukan si Gajah Dungkul.
"Gila..!? Tenaganya tampak semakin kuat." 
Berdesis suara Roro Centil. Berkali-kali Roro menghan-
tam kepala si Gajah Dungkul dengan si Rantai Genit. 
Namun hasilnya tetap membuat ia semakin kehera-
nan. Karena sedikit pun tidak luka, atau benjol... Apa 
lagi hancur..! Bahkan tampaknya kepala si Gajah 
Dungkul semakin atos alias keras. Sementara si Silu-
man Kera Putih terus mencoba mencari kesempatan 
untuk mencengkeram Roro. Ketika itu dua terjangan 
telah meluruk ke arah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Sepuluh jari lengan si manusia kera itu tampak 
kepulkan uap putih. Dan lancarkan sergapan kilat Se-
dang si Gajah Dungkul menerjang dahsyat Roro jatuh-
kan tubuhnya miring ke samping. Tiba-tiba sebelah 
kakinya menendang pantat si Gajah Dungkul. Tak am-
pun lagi tenaga serudukannya semakin bertambah. 
Hingga batu tebing itulah yang terseruduk hancur. 
Akan tetapi di bawah tubuhnya terjepit si Siluman Ke

ra Putin, yang sudah benamkan kesepuluh jari tan-
gannya mencengkeram jantung tubuh yang menindih-
nya. Terdengarlah teriakannya laksana membelah lan-
git Tubuh manusia tinggi besar itu roboh ambruk. Dan 
berkelojotan meregang nyawa. Namun sesaat kemu-
dian telah terkulai... untuk lepaskan "sembilan" nya-
wanya... Manusia berjulukan Iblis Sembilan Nyawa itu 
ternyata tak dapat mempertahankan nyawanya, yang 
ternyata hanya cuma satu-satunya...!
"Grrrrhh..!? Nguk..! Nguk...! Grrrrhhh..!" Tirta 
Menggala alias si Siluman Kera Putih itu menyeringai. 
Sepasang matanya berbinar-binar menatap Roro. Se-
mentara sepasang lengannya terentang bersimbah da-
rah. Tampaknya ia terkejut sekali, karena kematian si 
Gajah Dungkul adalah di tangannya sendiri. Pada saat 
itulah terdengar suara di kejauhan...
"Hebat..! Hebat..!" Dan tahu-tahu sudah mele-
sat ke hadapan Roro sesosok tubuh berambut putih 
beriapan. Jenggot dan kumisnya terjuntai bagai sapu.
"Siapakah anda..?" Roro sudah lantas memben-
tak. Tampaknya si kakek pendatang itu bukannya ma-
rah. Bahkan tertawa menyeringai. Hingga yang terlihat 
adalah dua buah giginya saja yang tinggal bersemayam 
dalam mulutnya.
"Heh heh heh... he he... Akulah si Dewa Silu-
man Kera..! Ternyata Pendekar Wanita Pantai Selatan 
Roro Centil seorang wanita yang cantik bagai bidada-
ri..!" Ujarnya. "Sayang kalau buru-buru nyawanya ku 
pulangkan ke akhirat..! Ilmu kepandaian mu ternyata 
boleh juga, bocah manis..! He he he... sebaiknya kau 
tinggal dulu bersama kami di "istana" kediamanku..! 
Heh heh heh heh he he.." Sambungnya lagi. Dan men-
gekeh tertawa menyeramkan. Akan tetapi tiba-tiba saja 
wajah menyeringainya seketika lenyap. Dan sebaliknya

kini, wajahnya jadi berubah kaku. Sepasang matanya 
menatap Roro seperti mengeluarkan cahaya biru yang 
membersit tajam. Sepasang matanya menatap Roro se-
perti
mengeluarkan cahaya biru yang membersit ta-
jam. Roro agak terpengaruh. Namun segera sadar ka-
lau dirinya ada dalam bahaya. Ia sudah mau satukan 
segenap kekuatan batinnya untuk menolak kekuatan 
hebat dari sepasang mata si Dewa Siluman Kera.. Akan 
tetapi terlambat sudah. Si Dewa Siluman Kera telah 
membentak...
"ROBOH..!" Dan aneh... Tiba-tiba Roro menge-
luh pendek. Dan jatuh lemas menggeledak. Untuk se-
lanjutnya telah tak sadarkan diri. Tampak wajah si 
Dewa Siluman Kera kembali menyeringai. Dan tertawa 
kembali terkekeh-kekeh. Kemudian terdengarlah suara 
memerintah pada muridnya.
"Hehe... he he...he he... Ayo muridku..! Kau ba-
walah ia ke dalam..! Masih banyak waktu luang untuk 
membunuhnya nanti..!" Dan si Dewa Siluman Kera su-
dah kelebatkan tubuhnya terlebih masuk ke dalam 
goa. Lalu disusul oleh sang murid, dengan memondong 
tubuh Roro yang telah tak berdaya itu. Akan tetapi pa-
da saat itu Roro telah buka kembali matanya. Tiba-tiba 
gerakkan kepalanya. Sekonyong-konyong rambutnya 
telah meluncur, menggubat leher si Siluman Kera Pu-
tih. Selanjutnya lengan Roro telah bergerak cepat me-
notok di beberapa tempat. Sekejap saja tubuh Tirta 
Menggala telah berubah kaku. Sementara rambut Roro 
telah membuat leher si manusia kera itu tercekik. Ak-
hirnya meneteskan darah. Terdengarlah bunyi...
Krraaakkk..! Dan ketika rambut si Pendekar 
wanita Pantai Selatan bergerak menyentak. Kepala si 
Siluman Kera Putih telah terlempar menggelinding ketanah. Roro sudah melompat dari pondongan si manu-
sia kera itu. Tubuhnya telah kembali berkelebat me-
nyambar sepasang senjatanya yang tergeletak di ta-
nah. Lalu balikkan tubuh menghadap ke lubang Goa... 
Segera saja sudah terlihat senyumnya diantara kedua 
belah bibirnya yang mungil. Tampak ia tersenyum 
puas melihat Siluman Kera Putih yang tewas dalam 
keadaan berdiri. Tanpa kepala... Tiba-tiba terdengarlah 
suara tertawanya yang mengikik geli terpingkal-
pingkal. Dan sekejap tubuhnya telah berkelebat lenyap 
dari dasar tebing itu. Namun suara tertawa itu masih 
tersisa. Menggema berpantulan di dasar lembah ngarai 
yang penuh peristiwa itu. Sementara burung-burung 
bangkai telah bertebaran mengitari lembah penuh mis-
teri itu, dengan suaranya berkiak-kiak... Roro Centil 
sudah tak menengok ke belakang lagi. Masih banyak 
waktu untuk menumpas si Dewa Siluman Kera. Apa 
lagi si Pendekar Wanita Pantai Selatan ini rasakan ke-
lelahan sekali pada sekujur tubuhnya. Ia memang be-
lum berhasrat pulang kembali ke Tanah Jawa. Karena 
masih belum ditemuinya juga manusia pembunuh Gu-
runya. Yaitu Peri Gunung Dempo, dan si kupu-kupu 
Emas. Yang tak diketahuinya berada di daerah mana. 
Sambil berkelebatan itu, Roro masih sempat memang-
gil sahabatnya yang penuh misterius.
"TUTUL..! Adakah kau mengikutiku..?" Dan se-
bagai jawabannya terdengar suara menggeram di sebe-
lahnya. Roro Centil berseru lagi...
"Bagus..! Hi hi hi... kau memang sahabatku 
yang setia..!" Tiba-tiba Roro hentikan tindakan ka-
kinya, seraya berucap;
"Tutul...! Tampakkanlah wujud mu. Aku penat 
sekali..! Bawalah aku kemana kau suka.." Selesai Roro 
berkata. Segera saja seekor harimau tutul yang tubuh

nya hampir sebesar kerbau, tampakkan diri.
Dan., bila mentari senja mulai menggelincir ke 
balik bukit, terlihatlah si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan sudah berada di atas punggung seekor harimau 
Tutul yang amat besar... Yang bergerak melompat ba-
gaikan angin. Entah kemana si Pendekar Wanita itu 
dibawanya... Tapi yang jelas ia akan muncul lagi dalam 
kisah petualangannya yang lain.
Sementara para pendekar lainnya di atas bumi 
ini, tetap berjuang, tegakkan panji-panji kebenaran. 
Tegakkan keadilan bagi kaum lemah yang tertindas.. 
Namun entah kapan kejahatan itu dapat lenyap dari
muka bumi ini? Walaupun demikian semangat per-
juangan dari kaum Pendekar, tetap menyala sepanjang 
zaman.






                                 TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar