..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Februari 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE DENDAM ASMARA LIAR

matjenuh

 

DENDAM ASMARA 
LIAR
Hak Cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 001 :
Dendam Asmara Liar

SATU


HEMBUSAN angin dari pegunungan terasa 
semakin menderu. Suaranya mirip erangan

raksasa kelaparan. Gumpalan awan di langit 
bergerak cepat, seolah-olah digusur tanpa 
pesangon. Hutan menjadi gusar, pohon-
pohonnya gelisah, karena hembusan angin 
terasa ingin mendongkel akar pohon secara 
paksa. Anak-anak pohon terpental tunggang 
langgang tanpa bisa berteriak karena 
memang tak punya mulut.
Semakin lama angin pun mengubah 
dirinya menjadi badai. Kata orang, badai 
lebih Jahat dari angin, karena badai dapat 
menggulingkan batu besar dari atas gunung 
atau menerbangkan rumah-rumah penduduk 
tanpa pandang mau kenal siapa pemilik 
rumah itu. Bahkan bendungan dan waduk pun 
dapat dijungkir balikkan jika sang badai 
sedang mengamuk.
Begitulah perangai si badai. Jahat dan 
sadis. Karenanya, para sesepuh desa di 
kaki Gunung Merana berpendapat, lebih baik 
masuk angin daripada masuk badai.
"Ah, kalau menurutku daripada masuk 
angin lebih baik masuk kedai, bisa makan 
minum dan ngobrol!" ujar seorang penduduk 
desa yang sedang berteduh di dalam kedai.
Hari itu badai datang bukan sendirian, 
tap! ditumpangi oleh hujan yang kadangkala 
sering ngelunjak, menurut pendapat teman 
orang yang bicara tadi.
"Bagaimana tidak ngelunjak? Ketika ia 
datang rintik-rintik kita menyukainya, 
karena sawah ladang kita tidak dilanda 
kekeringan. Tapi setelah kita 
menyenanginya, eeh... dia datang bersama 
rombongan hujan lainnya. Akibatnya desa

kita kebanjiran. Itu kan namanya 
ngelunjak?!"
Deru hujan bercampur badai sempat 
menyiram bagian dalam kedai tersebut. 
Maklum, kedai itu mempunyai dinding hanya 
separuh bagian. SI pemilik kedai yang
berkumis abu-abu dan berbadan kurus itu 
menggerutu keras-keras.
"Sial! Kalau begini caranya kerak 
nasiku tak bisa kering-kering!"
"Nasinya dibikin lem sandal saja, Ki!" 
celetuk pengunjung kedai yang lain. Si 
pemilik kedai jadi dongkol.
"Mulutmu itu yang dilem pakai kerak 
nasi."
Orang yang dicela itu tertawa. Si 
pemilik kedai berkata lagi, entah 
ditujukan kepada siapa.
"Kurasa ini ulah si Pawang Badai dari 
puncak gunung! Pasti dia sedang bercanda 
dengan badai dan hujan seperti ini!"
"Lho, apakah si Pawang Badai masih 
bersemayam di puncak gunung, Ki? Bukannya 
tempo hari ada kabar si Pawang Badai telah 
ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras?!"
"Mana kutahu?! Aku tidak ikut 
menangkapnya!" jawab si pemilik kedai agak 
ketus karena masih dongkol memikirkan 
kerak nasinya yang sudah tiga hari tak 
kering-kering itu.
"Sejak kapan Ratu Cumbu Laras 
menangkap si Pawang Badai?! Apa benar si 
Pawang Badai telah berhasil ditangkap oleh 
Ratu Cumbu Laras?!"

Pertanyaan seperti itu sering terucap 
dari mulut ke mulut. Kadang ada yang hanya 
membatin pertanyaan seperti itu. Agaknya 
nama Pawang Badai sudah dikenal di daerah 
sekitar Gunung Merana. Juga, nama Ratu 
Cumbu Laras banyak dikenal oleh para 
penduduk desa, padahal wilayah kekuasaan 
Ratu Cumbu Laras ada di pesisir kulon.
Hampir semua orang tahu, bahwa di 
pesisir kulon atau di pantai sebelah 
barat, terdapat sebuah bangunan megah yang 
sering disebut-sebut sebagai istana. 
Bangunan megah itu mempunyai benteng batu 
kokoh yang luasnya sama dengan tiga kali 
luas pedesaan. Di sanalah seorang 
perempuan cantik bermata sayu memegang 
tampuk pimpinan dan menobatkan diri 
sebagai Ratu yang kemudian dikenal dengan 
nama Ratu Cumbu Laras.
Perempuan cantik itu mempunyai bentuk 
tubuh yang elok sekali. Pinggangnya 
ramping, pinggulnya bikin pusing. 
Pakaiannya seronok, dadanya montok. 
Bibirnya ranum, hobinya mesum.
Ia bukan saja seorang ratu cantik yang 
gemar digelitik, tapi juga seorang 
perempuan yang berilmu tinggi. 
Persekutuannya dengan Iblis membuat sang 
Ratu sukar dltumbangkan oleh lawan-
lawannya. Selama menjadi pengabdi iblis, 
ia akan tetap awet muda dan kecantikannya 
tak pernah luntur. Pancaran daya pikatnya 
begitu tinggi, sehingga setiap lelaki
mampu ditundukkan olehnya, baik

ditundukkan dengan ilmu kanuragannya 
maupun dengan aji kemesraannya.
Seorang pemuda desa yang pernah 
berhadapan dengan Ratu Cumbu Laras 
menuturkan kisahnya kepada para pengunjung 
kedai yang sedang diterpa badai dan hujan 
itu.
"Jika la sedang membisikkan rayuan, 
suaranya ssssst... nyaris tak terdengar,
Tarlkannya, wuus, wuus. wuus.... Heh, heh, 
heh!"
"Apa maksudnya?!"
"Tahu-tahu kita dibuat tak berpakaian 
lagi," bisik pemuda itu.
"Gila!" mereka yang mendengarkan 
berdecak kagum.
"Dan kalau sedang melawan tokoh mana 
pun, la tak pernah menggunakan waktu lama-
lama, la sangat irit waktu. Sekali pukul, 
lawan ngejoprak, Kadang-kadang sekali 
sentak, nyawa orang bisa melayang. Itu 
namanya sudah irit semakin irit. Cring, 
cring, cring...!"
"Bunyi apa itu?"
"Perhiasannya kalau berjalan 
gemerincing!" bisik si pemuda dengan nada 
suara ditekan untuk meyakinkan ceritanya.
"Ssst, dengar-dengar Raden Panji juga 
sedang tergila-gila sama Ratu Cumbu Laras. 
Apa benar?" bisik seorang lelakl 
berpakaian serba hitam.
"Maksudmu, Raden Panji Pura, putranya 
Ki Demang kita itu?!"
"Raden Panji mana lagi kalau bukan 
putra Ki Demang."


"Apa iya?! Aku kok baru dengar 
sekarang kalau Raden Panji ada main sama 
Ratu Cumbu Laras?"
"Bukankah dia sudah punya istri?" 
timpal pemuda berikat kepala hijau. 
"Bahkan kudengar istri Raden Panji sedang 
hamil tua?"
"Memang iya! Kemarin saja kulihat 
Muninggar sudah bolak-balik ke rumah Mak 
Jawil, si dukun bayi Itu. Mungkin sudah 
mau melahirkan."
"Muninggar siapa?"
"Ya istrinya Raden Panji Itu, Tolol!"
"Oo… jadi istrinya Raden Panji itu 
sekarang tolol, ya?!"
"Kau yang tolol!" bentak pemuda 
berbaju merah yang mengenal Muninggar, 
istri Panji Pura.
Gosip itu sebenarnya sudah lama 
menyebar dan menjadi buah bibir para 
penduduk Pademangan. Tetapi tidak setiap 
orang berani bicara di sembarang tempat 
dengan sembarang suara. Umumnya mereka 
hanya berani berkasak-kusuk dl pojokan 
rumah atau di sudut kedai. Sebab, 
bagaimanapun mereka masih merasa takut dan
sungkan terhadap Ki Demang Yasaguna yang 
menjadi penguasa di wiiayah Pademangan 
tersebut yang membawahi beberapa 
kelurahan.
Sebenarnya Ki Demang sendiri sudah 
mengetahui skandal putranya dengan Ratu 
Cumbu Laras. Namun ia menutup mata dan 
telinga demi menjaga gengsi di depan para 
kerabatnya. Tentunya Ki Demang Yasaguna


sangat malu mendengar putranya yang sudah
beristri terlihat hubungan gelap dengan 
seorang perempuan dari tokoh silat aliran 
hitam itu. Sebagai ketuarga darah 
bangsawan, Ki Demang sangat tidak setuju 
terhadap hubungan gelap itu. ia sendiri
sudah menegur putranya berkali-kali, tapi
teguran tersebut tak digubris oleh sang 
putra.
"Kasihan Muninggar kalau setiap malam
kau tinggal pergi ke Pesisir Kulon hanya 
untuk menyambangi perempuan itu!" ujar Ki 
Demang pada suatu siang.
Panji Pura hanya menjawab, "Justru
karena aku kasihan kepada Muninggar, 
istriku itu, maka setiap malam ia 
kutinggalkan, Ayah. Sebab jika aku selalu 
ada di sisinya, kasihan bayi dalam
kandungannya. Tertekan setiap malam bisa 
bikin cacat sang jabang bayi, bukan?"
Panji Pura memang seorang suami yang 
bandel dan masih suka ugal-ugalan. Usianya 
yang sudah mencapai dua puluh delapan 
tahun itu, masih belum mampu mengendalikan
dirinya untuk bersikap bagai seorang 
lelaki yang dewasa, apalagi seorang ayah.
Muninggar, yang hanya anak seorang 
petani biasa itu, tak menyadari bahwa la 
telah dinikahi oleh seorang lelaki yang 
belum mampu berpikiran dewasa. Muninggar 
hanya menuruti perasaan cintanya terhadap 
pemuda tampan berdarah biru itu, sehingga 
ia mau menjadi seorang istri yang tulus 
dan setia terhadap suaminya. ia tak berani

mengeluh di depan Panji Pura, karena rasa 
takutnya terhadap sang suami.
Tetapi beberapa tetangga mereka 
mempunyai penilaian sendiri tentang 
perkawinan putra Ki Demang itu. Penilaian 
tersebut sering dilontarkan secara kasak-
kusuk dari mulut ke kuping, dari kuping ke 
dinding.
"Kasihan ya si Muninggar itu? Baru 
berumah tangga setahun kurang sudah sering 
ditinggal pergi suaminya."
“Mungkin karena Raden Panji adalah 
orang yang dipercaya di perguruannya, 
sehingga ia terlalu sibuk mengurus 
perguruannya."
"Perguruan apa?!" ujar seorang Istri 
tetangga sambil bersungut-sungut. "Dia 
memang termasuk orang penting di Perguruan 
Eiang Bumi, tapi setiap ia pergi 
meninggaikan Muninggar bukan mengurus 
perguruannya, tapi mengurus 'elang'-nya 
sendiri."
"Ah, apa iya... Hi, hi, hi, hi...! 
Mbakyu ini kok ada-ada saja kalau ngomong 
lho!"
Maklum, kali ini yang berkasak kusuk 
adalah para istri, tak heran kalau nada 
kasak-kusuk mereka agak ngeres. Namun 
kasak-kusuk mereka segera buyar ketika 
seorang perempuan berusia empat puluh 
tahun datang dengan wajah tegang seperti 
habis ditampar setan.
"Eh, eh.... Mak Jawil ke mana, ya?! 
Kemana si dukun bayi itu?!"

"Ada apa mencari Mak Jawil? Situ mau 
melahirkan lagi? Baru dua bulan yang lalu 
melahirkan kok sekarang mau melahirkan 
lagi?!"
"Bukan aku yang mau melahirkan! Itu 
lho... si Muninggar! Muninggar sudah 
meraung-raung, perutnya sakit. Pasti sudah 
mau melahirkan!"
"Aduh, kasihan! Cepat panggil Mak 
Jawil!"
"Lha, iya... makanya aku tadi
menanyakan Mak Jawii! Kau pikir mau apa 
kalau tidak mau memanggilkan Mak Jawil 
untuk si Muninggar?!" bentak orang itu.
Kebetulan, di ambang sore yang 
berkabut mendung itu, Mak Jawil tidak 
berada di rumahnya. Beberapa orang sibuk 
mencari Mak Jawil, tapi tidak satu pun 
yang menemukan si dukun bayi Itu. Mereka 
tak tahu bahwa Mak Jawil sedang mendapat 
undangan resmi menghadiri pertemuan para 
dukun bayi di kadipaten untuk ditatar.
Padahal waktu itu Muninggar sudah 
mengerang-erang, air ketuban sudah keluar 
dari rahimnya pertanda sang jabang bayi
sebentar lagi akan keluar juga. Repotnya, 
di seluruh Pademangan itu, ternyata hanya 
ada satu dukun bayi yang paten, yaitu Mak 
Jawil. Sebagai menantu keluarga bangsawan, 
Muninggar tidak diizinkan melahirkan tanpa 
bantuan seorang dukun bayi yang memang 
sudah diakui keahliannya oleh para warga. 
Karena itu, tak ada orang lain yang berani 
menangani persalinan tersebut, kecuali

hanya membantu mempersiapkan beberapa 
keperluannya.
Angin sore berhembus agak kencang. 
Hembusan angin itu seolah-olah 
menerbangkan sesosok tubuh kurus berkebaya 
coklat tua dengan kain batiknya yang 
lusuh. Seorang perempuan berambut abu-abu 
karena bercambur uban, kebetulan melewati
tempat kerumunan para istri yang 
kebingungan mencari Mak Jawil. Salah 
seorang dari mereka yang kebingungan 
sempat berseru dan menjadi pusat perhatian 
bagi yang lain.
"Eh, itu ada Nyi Padmi...! Minta 
tolong kepada Nyi Padmi saja!"
"Ah, Nyi Padmi kan juru kunci 
kuburan!"
"lya, tapi sebelum ia menjadi juru 
kunci kuburan, ia pernah menjadi juru 
kelahiran!"
"O, ya... benar! Aku ingat, dulu Nyi 
Padmi memang pernah menjadi dukun bayi!" 
timpal yang lain.
Nyi Padmi, si perempuan kurus berusia 
sekitar lima puluh tahun lebih itu 
mendengar namanya disebut-sebut, sehingga 
ia hampiri para istri yang sedang 
kebingungan itu.
"Aku mencium bau darah bayi. Rupanya 
di sini ada yang mau melahirkan bayinya?"
"Betul, Nyi! Itu lho... si Muninggar!"
"Muninggar...?! Apakah yang kalian 
maksud Muninggar menantunya Ki Demang 
Yasaguna?!"

"Betul, Nyi! Betul sekali!" sambil 
orang Itu menepuk-nepuk punggung Nyi Padmi 
dengan keras karena girangnya. Nyi Padmi 
tersentak-sentak dan sempat menjadi 
terbatuk-batuk karena isi dadanya terasa 
mau rontok. Maka bergegaslah mereka 
membawa Nyi Padmi ke rumah Ki Demang 
Yasaguna, karena Muninggar ada di rumah 
sang mertua.
"Kebetulan aku sebenarnya mau menemui 
Ki Demang, karena ada mimpi aneh yang 
harus kusa-paikan."
"Mimpi aneh apa itu, Nyi?" desak salah 
seorang yang ikut mengantar Nyi Padmi ke 
rumah Ki Demang Yasaguna.
"Mimpi melihat rumahnya yang berkabut 
tebal."
"Aneh juga mimpimu itu, Nyi," ujar 
perempuan berkebaya biru.
"Kabut itu berwarna hitam dan 
bergulung-gulung. Seperti ada kebakaran, 
tapi tak ada apinya."
"Lho, kok bisa tak ada apinya?"
"Yah, namanya saja mimpi! Ah, kau ini 
begitu saja ditanyakan!"
Nyi Padmi hanya tersenyum ramah, lalu 
teruskan ucapannya sambil melangkah.
"Lalu, aku melihat sepasang burung 
merpati keluar dari gumpalan kabut hitam 
itu. Sepasang burung merpati itu segera 
terbang mengelilingi desa ini dulu, 
kemudian lenyap entah ke mana."
"Jangan-jangan burungnya anakku yang 
terlepas dari kandangnya kemarin sore?"

gumam seorang perempuan yang berjalan dl 
belakang Nyi Padmi.
"Ini mimpi!" tegas temannya.
"O. iya... mimpi! Kusangka benar-benar 
terjadi," perempuan itu cengar-cengir 
malu. Tapi beberapa orang yang mengantar 
Nyi Padmi sempat saling merenungi mimpi 
tersebut. Hati kecil mereka tiba-tiba 
merasa cemas, sepertinya ada sesuatu yang 
misterius di dalam mimpi tersebut.
Hembusan angin bertambah kencang. 
Mendung di langit kian bergulung-gulung. 
Semua orang tahu, bahwa sebentar lagi akan 
turun hujan lebat, karena tampaknya 
mendung tidak hanya di atas wiiayah 
Pademangan saja, melainkan menyeluruh dan 
rata sampai ke ujung barat dan timur. Sang 
matahari sudah tak teriihat lagi, karena 
tertutup mendung, padahal semestinya 
matahari masih punya jatah nongol sebagian 
karena belum waktunya tenggelam.
Tepat ketika Nyi Padmi masuk ke 
pendopo dan diterima oleh keluarga Ki 
Demang, hujan pun segera turun. Mula-mula 
tak deras, tapi lama-lama ngelunjak, 
menjadi deras. Nyi Padmi sendiri bergegas 
masuk ke kamar Muninggar.
Kilatan cahaya petir menyambar-
nyambar, seakan apa saja yang ada akan 
disambarnya, termasuk jemuran juga. 
Gelegar suaranya sering membuat para istri 
yang ikut membantu kelahiran bayi pertama 
Muninggar itu menjerit kaget, bahkan ada 
yang latah menyebutkan kata-kata jorok

yang tak patut ditulis di dinding mana 
pun. 
Blegaaaar...!
Kali ini suara iedakan sangat keras 
bersama kerlapan cahayanya yang mirip 
jurus pembelah langit. Suara Iedakan petir 
yang amat keras itu seolah-olah 
dikeluarkan dari rombongan para petir yang 
menyambut kelahiran bayi pertamanya 
Muninggar. Karena begitu ledakan itu 
terdengar, suara tangis bayi pun terdengar 
nyaring dan keras sekali.
"Oooaaa...! Ooooaaa...!"
Orang-orang terharu, bahkan Nyi Padmi 
sendiri merasa iba melihat Muninggar 
melahirkan bayi tanpa ditunggui suamlnya. 
Ketika Nyi Padmi menanyakan di mana Raden 
Panji Pura, beberapa orang yang 
membantunya berlagak tidak tahu. Namun 
salah seorang ada yang berbisik lirih 
sekali.
"Sedang pergi ke tempat gundiknya...."
"Ya, ampuuuun...?!" Nyi Padmi kaget 
dan segera berlagak tenang, karena agaknya 
ada sesuatu yang harus ditanganinya lagi.
Jlegaaar...! 
Suara rombongan petir lakukan aksi 
unjuk rasa lagi. Bersamaan dengan itu, 
terdengar kembali suara tangis bayi yang 
nyaring dan keras.
"Oooaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Hahh...?! Kembar...?! Bayinya 
kembar?!" seru seorang yang membantu 
persalinan itu.
"Apa...?! Dukun bayinya kembar?!"

"Bayinya yang kembar, budek!" seru 
orang itu.
Maka hampir semua mulut menyerukan 
kata 'kembar' dengan perasaan bangga dan 
gembira. Ki Demang sekeluarga pun 
menitikkan air mata menyambut kelahiran 
bayi kembar itu dengan rasa haru antara 
duka dan bahagia.
Hanya Nyi Padmi yang tetap diam tanpa 
senyum dan kata. Wajah Nyi Padmi tampak 
tegang dan berkeringat. Ada kegelisahan 
yang mencekam hatinya pada saat selesai 
membantu kelahiran si bayi kembar itu.
"Tolong, bantu aku menyadarkan 
Muninggar," pintanya kepada beberapa orang 
yang ada dl sekitarnya.
"Maksudmu... maksudmu si Muninggar 
pingsan?!"
"Ya. Ia kehabisan tenaga dan 
kekurangan darah banyak sekali setelah 
melahirkan bayinya yang kedua tadi!"
"Ya, Tuhan...!" sentak mereka. 
"Muninggar...! Muninggar, jangan pingsan 
dulu, Nak! Ayo, sadar...! Sadar, 
Muninggar...!"
"Mari kita sadar bersama Muninggar...! 
Mun... Muninggar...?!"
Nyi Demang, ibu mertua Muninggar, 
segera berseru memanggil suaminya.
"Kangmas...?! Datanglah kemari, 
Muninggar pingsan dan... dan badannya 
dingin sekaii, Kangmas...!"
"Muninggar...?!" Ki Demang pun tampak 
kaget dan sangat tegang, sementara Nyi 
Padmi berusaha memberi kehangatan dengan

membalurkan rempah-rempah, termasuk 
minyak-minyakan yang mendatangkan hawa 
hangat. Kaki Muninggar digosoknya dengan 
minyak sereh dan minyak lainnya, kecuali 
minyak ikan. Tapi agaknya Muninggar masih 
belum sadarkan diri juga.
Ketika senja menghilang, petang pun 
tiba, keluarga Ki Demang Yasaguna diliputi
kedukaan begitu dalam. Suara tangis 
memenuhi rumah Ki Demang Yasaguna.
Muninggar akhirnya tak tertolong lagi. 
Denyut nadinya hilang, detak jantungnya 
tak ada, maka praktis dlkatakan bahwa 
Muninggar telah meninggal dunia. Bukan 
hanya dunia saja yang ditinggalkan 
Muninggar, tetapi bayi kembarnya pun 
ditinggalkan dengan tangis dan lambaian 
tangan yang tak terlihat oleh mata manusia 
biasa. Kedua bayi kembar itu pun menangis 
tiada hentinya, seakan mereka tak ingin 
ditinggalkan oleh sang Ibu.
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
Suara tangis bayi kembar pun terdengar 
nyaring melengking, mengalahkan gemuruh 
hujan dan gelegar kilatan cahaya petir.
* * *

DUA


SEBELUM hujan turun dan matahari masih 
mencoba menerobos kabut mendung, ternyata 
Ratu Cumbu Laras kedatangan seorang tamu 
tak ramah yang mempunyai wajah angker.

Tamu itu datang dari Tebing Naga yang 
dikenal dengan nama si Wajah Keranda.
Sesuai dengan namanya, tamu 
berperawakan tinggi besar itu tidak pernah 
tersenyum sedikit pun. Entah karena ia 
sedang sakit gigi atau memang tak tahu 
bagaimana caranya tersenyum, yang jeias 
sikapnya nyata-nyata bermusuhan terhadap 
sang Ratu yang berparas cantik itu. 
Sikapnya semakin tak ramah lagi jika 
dllihat dari sebilah kapak dua mata yang 
bergagang panjang dan kala itu sudah dalam 
genggamannya. Wajah Keranda yang berkumis 
lebat dan beralis tebal itu pandangi Ratu 
Cumbu Laras dengan tajam.
Sang Ratu tampak tenang-tenang saja 
menghadapi tamu berwajah kuburan itu. 
Angin sore dibiarkan melambai-lambaikan 
jubah suteranya yang berwarna merah jambu 
itu. Jubah yang menyingkap melambai-lambai 
itu membuat sosok tubuh berkulit halus 
mulus dapat dilihat dengan jelas. Apalagi 
ia hanya mengenakan penutup dada dari kain 
tipis warna hijau muda dan kain penutup 
bagian bawahnya yang sangat mini berwarna 
hijau muda juga, sungguh merupakan 
pemandangan yang tak patut dipakai untuk 
berkedip bagi seorang lelaki. Kemontokan 
dada sang Ratu nyaris seperti tak tertutup 
lagi karena tipisnya kain hijau itu. Dan 
'mahkota' kebanggaannya juga nyaris ikut 
tersapu angin karena kecilnya kain yang 
menutup bagian tersebut.
Mata si Wajah Keranda memang tidak 
berkedip, tapi bukan lantaran pemandangan

mahal yang jarang ditemuinya pada 
perempuan lain itu, melainkan karena ia 
ingin tunjukkan bahwa kedatangannya bukan 
untuk menikmati keelokan tubuh sang Ratu, 
namun untuk mencabut nyawa perempuan itu.
"Sudah tiba waktuku untuk menuntut 
balas padamu, Cumbu Laras!" ujar si Wajah 
Keranda dengan suara menggeram angker. Ia
tak peduli dengan para pengikut sang Ratu 
yang mengepungnya dari berbagai arah.
"Apa yang ingin kau tuntut dariku, 
Wajah Keranda?!"
"Nyawamu!" bentak si Wajah Keranda, 
membuat para pengepung kaget dan 
menggeragap sambil acungkan senjata.
"Nyawamu harus kucabut sebagai balasan 
kekejianmu yang telah membunuh adik 
perempuanku si Wajah Sutera!"
"O, ya...?!" Ratu Cumbu Laras 
sunggingkan senyum lebar tapi berkesan 
sinis, sangat menjengkelkan. "Kau tahu 
mengapa adikmu si Wajah Sutera kubunuh? 
Itu lantaran adikmu sudah tiga kali 
berusaha membunuhku!"
"Jeias la akan selalu berusaha 
membunuhmu, karena suaminya, si Palgunara, 
kau bunuh di depan matanya setelah kau 
peras keringatnya untuk melayanimu selama 
tujuh malam! Kau memang layak untuk 
dimusnahkan, Perempuan Liar!" si Wajah Ke-
randa semakin pertinggi suaranya dan 
genggaman pada gagang kapaknya bertambah 
kuat.
Sang Ratu masih tanggapi dengan kalem. 
"Lalu, sekarang kau datang untuk meminta


tolong diantarkan ke neraka menyusul 
adikmu? Begitu maksudmu, Wajah Keranda?!"
Lelaki berwajah kuburan itu menggeram 
makin keras.
"Bangsat tengik kau, Cumbu Laras! 
Heeeah...!"
"Tahaaan...!" tiba-tiba ada suara 
berseru dari belakang Ratu Cumbu Laras. 
Suara itu membuat paras Wajah Keranda tak 
jadi lakukan lompatan ke arah perempuan 
cantik itu.
"Panji...?! sang Ratu terkejut melihat 
lelaki berperawakan tegap, kekar dan 
gagah. Panji Pura sengaja tampil dengan 
kalem dan arah pandangan matanya tertuju 
kepada Wajah Keranda, tapi langkah kakinya 
tampak jeias mendekati Ratu Cumbu Laras.
"Panji, sudah kubilang kau di kamar 
saja, tak perlu ikut campur urusan ini! 
Aku bisa menyelesaikannya sendiri, Sayang,
ini urusan kecil!" kata sang Ratu sambil 
tangannya mengusap rambut Panji Pura 
dengan lembut, seakan memamerkan kemesraan
nya di depan si Wajah Keranda.
"Ratu, tanganmu tak boleh menyentuh 
kotoran sebesar itu. Biarkan aku saja yang 
menyingkirkannya."
"Kau memang bandel, Panji! Terserahlah 
sana, singkirkan kotoran itu jauh-jauh. 
Kalau perlu kirim ke neraka secepatnya!" 
lalu sang Ratu tarik diri, mundur ke arah 
serambi bertangga lima baris itu.
Wajah Keranda merasa semakin dibakar 
hatinya mendengar ucapan Panji Pura.

Dengan kapaknya ia menuding putra Demang 
Yasaguna itu.
"Kau orang Perguruan Elang Bumi!"
"Ya, memang aku orang Perguruan Elang 
Bumi!" tegas Panji Pura. "Tapi aku berada 
di depanmu bukan mewakili perguruanku, 
melainkan mewakili Ratu Cumbu Laras! Kau 
tak perlu membawa-bawa perguruanku, Orang 
Tebing Naga!"
"Kuingatkan, segeralah menyingkir 
sebelum kapakku membelah kepalamu menjadi 
tujuh potong!"
"Kepalaku bukan semangka, Kawan!" ujar 
Panji Pura. "Sebaiknya kapakmu untuk 
membelah semangka saja. Karena senjata 
seperti itu tak akan mampu melukai kulit 
Panji Pura!"
"Jahanam busuk! Ingin kubuktikan kata-
katamu! Heeaaah...!"
Wuuut...! 
Wajah Keranda menerjang Panji Pura 
dengan kapak berkelebat menghantam dari 
kanan ke kiri. 
Wees...! 
Panji Pura miringkan kepaia, dan kapak 
itu lewat satu jengkal di atas kepalanya.
Tapi tangannya harus segera menyentak 
ke samping, karena kaki Wajah Keranda 
segera menjejak ke arah pundak kirinya. 
Plaaak...! 
Panji Pura pun memutar tubuh dengan 
cepat dan kakinya melayang ke pipi si 
Wajah Keranda. 
Wuuut, ploook...!

Tendangan itu bagaikan hantaman 
sebatang kayu mahoni utuh. Pipi si Wajah 
Keranda menjadi memar seketika. Warnanya 
biru kehitam-hitaman. Jika bukan karena 
tenaga dalam tersalur penuh ke dalam kaki, 
tak mungkin Panji Pura dapat membuat memar 
pipi si Wajah Keranda.
"Bangsat kau!" geram Wajah Keranda 
segera tegak kembaii setelah tadi 
terpeianting nyaris jatuh.
Panji Pura melirik Ratu Cumbu Laras. 
Sang Ratu tersenyum bangga dan 
mengacungkan jempolnya, sehingga Panji 
Pura semakin bersemangat melepaskan jurus-
jurusnya untuk segera tumbangkan si Wajah 
Keranda.
Tetapi Wajah Keranda tak bisa menerima 
kenyataan itu. Murkanya semakin bertambah 
besar. Maka ia pun segera berkelebat 
bagaikan kilat menerjang Panji Pura 
bersama kapaknya. 
Wuuut...! 
Crass...!
"Oukh...!" Panji Pura terpekik, 
rupanya saat itu ia menghindari terjangan 
Wajah Keranda agak terlambat sedikit. 
Lengannya menjadi sasaran kapak dua mata 
itu. Lengan itu pun koyak lebar dan 
mengerikan. Darah mengalir membasahi
sekujur lengan kiri Panji Pura.
"Heeeah...!" Wajah Keranda begitu 
daratkan kakinya ke tanah langsung 
menyentak dan tubuhnya melambung ke atas. 
Tanah itu bagaikan terbuat dari karet yang 
bisa memantul balikkan tubuhnya. Tubuh itu

bersalto cepat dan dalam gerakan cepat 
kaki si Wajah Keranda berhasil menjejak 
tengkuk kepaia Panji Pura. 
Praaak...!
"Aaakh...!" Panji Pura tersentak ke 
depan dan berjungkir balik di tanah. 
Kepalanya bagai dihantam balok kayu yang
diayunkan sekeras-kerasnya. Darah pun 
mengalir dari telinga dan hidung Panji 
Pura.
Tapi lelaki muda itu merasa malu 
dipandangi oleh Ratu Cumbu Laras yang 
menampakkan kecemasannya. Ia segera 
bangkit berlutut, lalu tangan kirinya 
menyentak ke depan kuat-kuat dalam keadaan 
telapak tangan terbuka. 
Claaap...! 
Selarik sinar hijau dilepaskan Panji 
Pura. Wajah Keranda buru-buru menangkisnya 
dengan kapaknya. Kapak itu menyala merah 
bagai terpanggang api. Ketika sinar hijau 
itu menghantam mata kapak yang kiri, 
terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan 
mengguncangkan tanah sekitar mereka.
Blegaaar...!
Wajah Keranda terlempar ke belakang 
bagai tong sampah disapu badai. 
Wuuus...! 
Brruk...! 
Sementara itu, Panji Pura hanya 
tersentak mundur nyaris jatuh. Untung 
tangan Ratu Cumbu Laras segera 
menangkapnya dan memeluknya dengan wajah 
cemas.

"Lukamu makin melebar, Panji! Ooh...! 
Kapak itu pasti beracun ganas!"
"Aku masih bisa menahannya, Nyai 
Ratu!"tegas Panji Pura bagai orang tak 
kenal menyerah.
Ia segera lepaskan diri dari pelukan 
Ratu Cumbu Laras. Luka lebamya sama sekali 
tak dihiraukan karena pada saat itu ia 
melihat Wajah Keranda telah bangkit dengan 
menggeram, seluruh tubuhnya mengeras, 
otot-ototnya mulai bertonjolan. Kedua mata 
angker itu menyala merah, pertanda ia 
sedang kerahkan tenaga dalam untuk 
lepaskan jurus berbahaya.
Panji Pura buru-buru menerjangnya 
sebelum jurus berbahaya itu dilepaskan 
lawannya. Dengan satu lompatan bersalto 
cepat seperti kipas angin, Panji Pura 
menerjang Wajah Keranda yang sedang 
menyeringai menyeramkan. 
Weers...! 
Blaaar...!
Kedua telapak kaki Panji Pura tepat 
kenai muka si Wajah Keranda. Cahaya merah 
membias lebar dalam sekejap. Lalu cahaya 
itu padam. Dan kulit wajah yang terkena 
tendangan 'Pasak Jagat' itu hangus 
seketika. Rambut si Wajah Keranda pun 
terbakar kepulkan asap yang baunya tak 
sedap. Beberapa kejap kemudian, si Wajah 
Keranda pun tumbang tanpa bernyawa lagi. 
Brruuk...!
"Horeeee...!"
Para pengepung bersorak menyambut 
kemenangan Panji Pura. Ratu Cumbu Laras

tampakkan senyum kegembiraannya. ia segera 
menyuruh beberapa anak buahnya untuk 
membuang mayat si Wajah Keranda. Sementara 
itu, Panji Pura segera dibantu melangkah 
masuk ke kamar.
"Lukamu harus segera kusembuhkan 
sebelum racun itu makin merobek sekujur 
lenganmu, Panji!" ujar sang Ratu masih 
menyimpan kecemasan. Pada saat itulah, 
badai pun datang bersama kiiatan cahaya 
petir, kemudian hujan turun dengan deras 
dan matahari sirna dari peredarannya.
Ratu Cumbu Laras punya kekuatan 
penyembuh pada air liurnya. Air liur itu 
bukan saja cepat mengeringkan luka, namun 
juga membuat luka menjadi rapat dan 
beberapa saat kemudian luka itu lenyap 
tanpa meninggalkan bekas.
Biasanya jika para pengikutnya 
terluka, cukup diludahi oleh sang Ratu, 
maka luka itu akan sembuh dan hilang 
sendiri dalam waktu tak sampai seratus 
helaan napas. Karenanya, para pengikut 
Ratu Cumbu Laras bertubuh mulus semua, 
baik yang lelaki maupun yang perempuan. 
Karena setiap mereka terluka, lukanya tak 
pernah meninggalkan bekas.
Tetapi yang dilakukan sang Ratu 
terhadap Panji Pura saat itu bukan dengan 
cara meludahi luka tersebut. Setelah darah 
yang berlumuran di lengan Panji Pura 
dibersihkan dengan air hangat, tubuh Panji 
Pura dibaringkan di atas ranjang. Hanya 
sang Ratu dan pasangan kencannya yang

berani masuk di kamar itu dan berbaring di 
ranjang tersebut.
Panji Pura dibaringkan daiam keadaan 
tanpa baju dan hanya mengenakan selimut 
pada bagian perut ke bawah. Baju dan 
celananya yang terkena ceceran darah 
dicuci oleh sang pelayan agar esok bisa 
dikenakan kembali.
"Kalau begini caranya, malam ini 
berarti aku tak bisa pulang karena 
pakaianku dicuci," ujar Panji Pura sambil 
berbaring.
"Mengapa harus pulang? Apakah kau 
merasa rugi jika bermalam di sini lagi?"
"Tentu saja tidak, Nyai Ratu," jawab 
Panji Pura sambil tersenyum kepada 
perempuan cantik yang duduk di sampingnya.
"Yang paling utama sekarang adalah 
melenyapkan lukamu dulu," ujar Sang Ratu.
Ia meludahi tangannya sendiri, lalu 
air ludah itu dibalurkan ke luka Panji 
Pura. Dengan cara begitu, luka itu cepat 
menjadi kering dan mulai mengecil.
"Aku tak tega melihatmu terluka 
begini. Miringkan tubuhmu, biar kusapu 
lukamu dengan lidahku."
Panji Pura menurut, ia memiringkan 
badannya sehingga luka di lengannya dapat 
dijangkau dengan mudah oleh Ratu Cumbu 
Laras. Luka itu sudah mengering dan nyaris 
merapat. Rupanya sang Ratu ingin 
mempercepat proses lenyapnya luka. Maka ia 
pun menjilati luka tersebut tanpa ada rasa 
jijik, sebab memang keadaan luka sudah 
tidak menjijikkan.

Dengan gerakan pelan, lidah itu 
menyapu lengan Panji Pura yang terluka. 
Sapuan lidah itu dilakukan berulang-ulang, 
sehingga luka cepat menghilang.
"Oooh... nikmat sekali sapuan lidahmu, 
Nyai...," bisik Panji Pura sambil mendesah 
dan matanya set-ngah terpejam.
"Kau suka, Panji?"
"Suka sekali, Nyai...."
Nyai Ratu Cumbu Laras mengulangi 
sapuan lidahnya. Pada saat itu tangan 
Panji Pura berada di pangkuan sang Ratu. 
Jubah yang tersingkap membuat tangan itu 
dapat mengusap paha sang Ratu dengan 
leluasa.
Rupanya usapan tangan Panji Pura 
menghadirkan debar-debar keindahan bagi 
sang Ratu, karenanya ia tak melarang 
tangan itu merayap kemana-mana. Bahkan 
sang Ratu semakin memperlebar arena usapan 
tangan Panji Pura itu. Dengan begitu, 
tangan tersebut semakin nakal dan 
menelusup di balik kain kecil penutup 
'mahkota' kehangatan.
"Uuuhh...! Teruskan, Panji... oooh... 
indah sekali," desah sang Ratu sambil 
matanya terpejam sesaat, meresapi sentuhan 
nikmat yang makin membuat hatinya berdesir 
indah itu.
Sang Ratu akhirnya turun dari ranjang. 
Ia berdiri di lantai, sementara Panji Pura 
masih tetap dalam posisi miring menghadap 
ke arah sang Ratu.
Jubah sang Ratu dilepaskan. Bahkan 
penutup lainnya pun dilepaskan oleh

perempuan itu sendiri. Rambutnya yang 
meriap digulung asal jadi, lalu ia pun 
mendekatkan pahanya ke tepian ranjang. De-
ngan begitu bukan saja tangan Panji Pura 
yang dapat menjangkau paha itu, melainkan 
mulut Panji Pura pun sangat mudah 
menjangkaunya.
"Lakukanlah seperti tadi, Panji...," 
bisik Ratu Cumbu Laras sambil mendekatkan 
mulutnya ke telinga Panji Pura. Mulut itu 
segera menjulurkan lidah dan lidah itu 
mulai menyapu daun telinga Panji Pura. 
Sapuan lidah itu hadirkan rasa geli-geli 
nikmat yang tak bisa ditolak oleh Panji 
Pura.
Sang Ratu masih tetap berdiri dan 
membungkuk menyapu belakang telinga Panji 
Pura dengan lidahnya. Bahkan sapuan itu 
menjalar ke leher dan beberapa kali 
memagut leher tersebut. Panji Pura 
bagaikan dilambungkan ke angkasa menerima 
kehangatan seperti itu.
Sedangkan sang Ratu sendiri juga 
merasakan keindahan yang cukup dalam, 
karena pahanya dipagut-pagut oleh Panji 
Pura. Sesekaii lidah Panji Pura merayapi 
paha itu, namun sesekaii pula menggigit 
kecil menimbulkan keindahan yang membuat 
sang Ratu terpekik lirih.
"Oouh... terus, Panji. Terus naik...," 
bisiknya dalam desah.
"Dekatkan, Nyai... dekatkan biar 
mulutku sampai...."
Ratu Cumbu Laras akhirnya mendekatkan 
diri, sehingga sesuatu yang diharapkan

dapat sentuhan dari lidah Panji Pura itu 
kini menjadi kenyataan.
"Aaoow...!" Ratu Cumbu Laras memekik
bukan karena sakit namun karena tak mampu 
menahan tikaman kenikmatan. Tanpa sadar 
pinggulnya menggelinjang, meliuk-liuk 
menyelaraskan sentuhan nikmat lidah Panji 
Pura.
"Aaaoow...! Oooh...! Aduuuh, aku tak 
tahan, Panji. Tak tahan.... Aku... aku.... 
Aaaaaa...!"
Ratu Cumbu Laras menegakkan badannya. 
Badan itu mengeras kencang. Kedua 
tangannya meremas dada sendiri sambil 
memejamkan mata kuat-kuat karena kecupan 
Panji Pura mengantarkan jiwanya mencapai 
puncak keindahan yang luar biasa indahnya. 
Bahkan akhirnya ia menduduki mulut Panji 
Pura sambil menghabiskan sisa keindahan 
yang masih menjalar di sekujur tubuhnya. 
Sebab pada saat itu, lidah Panji Pura 
masih tetap nakal dan membandel, tak mau 
disuruh berhenti.
"Cukup, Panji... cukup.... Ooh, Panji 
kau nakal sekali, Panji.... Aaaaa...! 
Panjiiii...!" sang Ratu merengek seperti 
anak kecil dengan remasan kedua tangannya 
semakin kuat.
Tubuh itu tak mampu tegak lagi. la 
jatuh merangkak, wajahnya tepat di atas 
paha Panji Pura. Sedangkan pada saat itu 
'Panji kecil' menampakkan keberaniannya. 
Ia kelihatan tegar dan gagah, seakan 
menantang kemampuan sang Ratu. Maka tak 
ada luapah rasa bahagia lainnya bagi sang

Ratu kecuali segera menerkam dan melahap 
si 'Panji kecii' dengan liar dan buas.
"Hhhhmrnrnr...! Hrnrnrrr...!" sang 
Ratu masih saja menggeram gemas sambil
mulutnya penuh dengan kehangatan yang 
menyentak-nyentak.
Pada saat itulah sebenarnya Muninggar 
melepaskan sukmanya karena kehabisan 
tenaga dan darah dalam melahirkan. Panji 
Pura hanya sempat mendengar suara lirih 
yang memanggiinya.
"Kangmas... aku pamit...."
Panji Pura sempat tersentak kaget 
dalam hatinya. "Aku seperti mendengar 
suara Muninggar, istriku...? Ah, bukan! 
Itu bukan suara Muninggar!"
Tapi Panji Pura berusaha menghilangkan 
bisikan batinnya itu. Perhatiannya 
dipusatkan kembali ke mulut Ratu Cumbu 
Laras yang semakin buas dan liar melahap 
mangsanya. Sementara itu, lidah Panji Pura 
pun mengganas dan menjadi liar kembali di 
gerbang kehangatan perempuan itu, membuat 
pinggul si perempuan mulai menggeliat 
kembali.
Malam pun dibiarkan lewat bersama 
sejuta rasa nikmat, sedangkan di rumah Ki 
Demang Yasaguna, malam dibiarkan lewat 
dengan sejuta duka atas kematian 
Muninggar. Sang bayi kembar masih saja 
menangis dengan suara nyaring, seakan 
memanggil-manggil ayahnya agar lekas 
pulang menemui jenazah sang ibu.
* * *

TIGA

ESOKNYA, seorang mata-mata membawa ka-
bar baik bagi Ratu Cumbu Laras. Kabar baik 
itu tak bisa disampaikan langsung oleh 
sang mata-mata, melainkan harus melalui 
pengawal setia sang Ratu yang dikenal 
dengan nama Betina Rimba.
Nama itu cukup dikenal bukan saja di 
wilayah Pesisir Kulon, namun juga di 
antara para tokoh dunia persilatan, nama 
Betina Rimba bagaikan hantu cantik yang 
menakutkan namun juga sering jadi buah 
khayalan para lelaki. Karena, si Betina 
Rimba walau masih berusia sekitar dua 
puluh tiga tahun, tapi mempunyai 
ketangguhan dan kematangan berpikir 
seperti perempuan yang sudah berusia tiga 
puluh tahun.
Gadis itu bersosok tinggi, sekali, 
bahkan berbadan kekar. Rambutnya yang 
cepak seperti potongan lelaki itu membuat 
wajah cantiknya selalu tampak jelas dan 
nyata, baik dipandang secara terang-
terangan ataupun secara sembunyi dari 
lubang bilik. Ia seorang gadis yang tegas 
dan penuh keberanian. Pancaran matanya 
seialu tajam dan menantang, bahkan 
cenderung berkesan ganas.
Kecantikan yang berkesan ganas itu 
mempunyai hidung mancung dan bibir sensual 
menggairahkan. Dan yang lebih 
menggairahkan lagi bagi pandangan kaum

lelaki adalah bulu-bulu lebat yang tumbuh 
di lengannya. Gadis yang tak suka 
mengenakan baju dan celana panjang kecuali 
hanya kutang kuning kecil berantai dan 
cawat kuning kecil berantai juga itu, 
memang tergolong seorang gadis yang 
kebanyakan hormon, istilah sekarang. 
Tubuhnya yang berkulit coklat halus tanpa 
bekas luka itu banyak dltumbuhi bulu 
lembut yang samar-samar dari bagian 
pahanya sampai betis, dari pahanya sampai 
ke pusar, juga dari pergelangan tangan 
sampai ke batas pundak. Selain itu tengkuk 
dan punggungnya yang kekar itu juga penuh 
bulu halus yang sering membuat seorang 
lelaki berkhayal ingin merabanya secara 
pelan-pelan.
"Apa maksudmu menemuiku di depan kamar 
se-pagi ini, Betina Rimba?!" tanya Ratu 
Cumbu Laras begitu melihat Betina Rimba 
sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ada kabar baik bagi kita, Nyai Ratu!" 
jawab Betina Rimba yang suaranya agak 
besar dan sedikit serak karena sering 
berteriak itu.
"Aku tak peduli apa apa kecuali 
tentang acara malam persembahan! Ingat, 
Betina Rimba...!" sang Ratu berkata dengan 
tegas. "Tiga malam lagi tepat malam bulan 
pumama. Kita tak boleh gagal!"
"Saya tahu. Nyai Ratu!" sambil kedua 
tangan Betina Rimba menggenggam pedang di 
dada sebagai tanda memberi hormat kepada 
ratunya.

"Apakah mereka yang ditugaskan mencari 
korban dari pulau seberang dan pulau-pulau 
lainnya sudah mendapat hasil?"
"Belum, Nyai Ratu. Namun, mata-mata 
kita, Andari, baru saja tiba dan membawa 
kabar baik tentang adanya korban tersebut, 
Nyai Ratu."
"Bagus! Apa kata Andari?"
Betina Rimba sedikit mendekat karena 
ia berkata pelan.
"Tadi malam seorang perempuan telah 
melahirkan bayi kembar, Nyai!"
"Hrnmrn...! Bagus sekali. Di mana bayi 
kembar itu berada?"
"Di kaki Gunung Merana, di wilayah 
Pademangan."
"Bayi kembar itu anak siapa?" 
"Muninggar...," Betina Rlmba makin pelan, 
membuat sang Ratu berkerut dahi.
"Muninggar istrinya Panji Pura?!" 
"Betul, Nyai!"
Sang Ratu pun terkesiap sesaat, lalu 
merenung beberapa helaan napas. Dalam 
hatinya terjadi pergolakan yang membuatnya 
bimbang dan penuh perhitungan. Tapi Betina 
Rimba segera berkata dalam nada pelan.
"Kesempatan emas ini sangat 
disayangkan jika kita lewatkan, Nyai!"
"Memang benar, tapi... tapi bagaimana 
mengatasi Panji? la akan tahu siapa 
pelakunya jika anak itu kita culik dan 
kita jadikan korban persembahan pada maiam 
purnama nanti."
"Dapatkah Nyai Ratu membawanya pergi 
selama dua hari? Barangkaii Nyai perlu

berlibur ke Pulau Semayam bersama Panji 
Pura. Bukankah Nyai sendiri pernah bilang 
bahwa Pulau Semayam sangat cocok untuk 
berbulan madu? Mengapa Nyai tidak ke sana, 
berbulan madu bersama Panji Pura? 
Sementara itu, saya akan berusaha menculik 
bayi kembar itu tanpa setahu Panji Pura."
"Hmmm...," Ratu Cumbu Laras manggut-
manggut dan menggumam kecil. Setelah 
berpikir sekali lagi, akhirnya sang Ratu 
memberi keputusan yang sangat tegas dan 
sangat kejam.
"Habisi mereka, jangan ada yang hidup! 
Gunakan topeng agar tak ada yang mengenali 
wajah kalian!"
"Baik, Nyai! Akan saya kerjakan tugas 
itu!"
"Kerahkan anak buahmu untuk 
mempercepat pekerjaan! Lakukan setelah aku 
dan Panji Pura pergi ke Pulau Semayam!"
Betina Rimba segera acungkan kedua 
tangannya yang saling genggam pedang di 
depan dada sebagai tanda kepatuhannya. Ia 
segera kerahkan anak buahnya dan 
membagikan kedok penutup wajah kepada 
mereka. Topeng hitam itu menutupi seluruh 
wajah pemakainya, hingga yang terlihat 
hanya bagian mata dan mulut saja.
"Bayi kembar...? Oh, alangkah 
beruntungnya nasibku di bulan ini!" ujar 
sang Ratu dengan girangnya. "Korban bayi 
kembar adalah korban emas yang membuatku 
punya kesempatan untuk ajukan dua 
permintaan baru kepada junjunganku: Dewa 
Seribu Laknat!"

Wajah perempuan itu memang tampak 
berseri-seri dihinggapi kegembiraan yang 
amat besar. Jika biasanya dalam malam 
bulan purnama ia hanya dapat mengorbankan 
seorang bayi untuk menjaga keutuhan 
kesaktiannya, tapi kali ini ia akan dapat 
mengorbankan sepasang bayi kembar. Dengan 
mengorbankan bayi kembar, maka ia akan 
mempunyai kesempatan untuk mengajukan dua 
permintaan baru sekaligus menjaga keutuhan 
kesaktiannya.
"Permintaan apa saja yang akan 
kuajukan nanti, ya?" pikirnya sambil 
memandangi bayangannya di dalam cermin 
rias.
"Hmmm... agaknya aku masih harus 
mempunyai satu lagi ilmu kesaktian yang 
dapat untuk mengalahkan jurus andalannya 
si Pawang Badai itu. Tanpa satu kesaktian 
pelebur jurusnya si Pawang Badai, sampai 
kapan pun aku tak akan bisa kalahkan 
Pawang Badai. Hmmm... kurasa itulah salah 
satu permintaanku nanti. Lalu, permintaan 
kedua...?" Ratu Cumbu Laras berpikir lagi. 
Namun belum sempat temukan jawabannya, 
Panji Pura sudah muncul di kamar itu. la 
baru saja selesai mandi, tubuhnya menjadi 
segar dan tampak bersih. Ketampanannya se-
makin terlihat jeias.
Panji Pura hanya kenakan kain tebal 
pembungkus perut ke bawah, sementara 
bagian atasnya masih bertelanjang dada, 
sehingga melalui pantulan cermin rias, 
dada itu tampak kekar menantang, seakan

siap untuk digigit atau diremas dalam 
kemesraan yang hangat.
"Ceria sekali wajahmu hari ini, Nyai 
Ratu."
"O, ya... tentu saja aku ceria, karena 
semalam kau memberiku keindahan yang 
istimewa," ujar sang Ratu menutupi 
kebahagiaan aslinya. la memutar tubuh 
dalam keadaan tetap duduk di bangku rias. 
Jubah merah mudanya sudah dikenakan, tapi 
yang lainnya belum dikenakan. Padahal 
jubah itu dalam keadaan tak dikancingkan, 
sehingga menyingkap lebar-lebar dan 
menampakkan gumpalan besar yang kencang 
tapi lembut di bagian dadanya itu.
"Aku terkesan sekali dengan 
keistimewaanmu semalam. Tak biasanya kau 
sebuas itu, Panji. Aku sangat 
menyukainya."
"O, ya...?!" Panji Pura tersenyum 
bangga. "Akan kuberikan lagi. Tapi 
sekarang aku harus pulang dulu, Nyai!"
"Mengapa tergesa-gesa pulang, Sayang?" 
ragu sang Ratu sambil meraih tangan Panji 
Pura.
"Sudah dua malam aku tak di rumah. Aku 
tak enak kalau sampai ditegur oleh ayahku 
sendiri, Nyai."
"Ayahmu tak akan menegur, karena ia 
tahu siapa perempuan yang bersamamu selama 
dua malam ini?" sambii berkata begitu, 
sang Ratu menarik tangan Panji Pura dan 
ditempelkan di dadanya. Panji Pura tahu 
maksud Ratu Cumbu Laras. Maka dada 
perempuan itu pun menjadi ajang kerajinan

tangan Panji Pura. Sang Ratu tampak 
senang, ia memandang dengan senyum yang 
menawan. Usianya yang sudah mencapai 
delapan puluh tahunan itu masih tetap 
memancarkan kecantikan berusia dua puluh 
lima tahun. Itulah sebabnya Panji Pura 
sulit menolak tantangan bercumbu dari sang 
Ratu.
Mereka pun akhirnya berlayar menuju ke 
Pulau Semayam. Di sana Panji Pura 
diperlakukan sebagai budak nafsu bagi sang 
Ratu. Tetapi laki-laki itu tak sadar akan 
perlakuan tersebut. la menuruti saja apa 
perintah sang Ratu dalam cumbuan mereka. 
Bahkan Panji Pura selalu merasa bangga
jika dapat menerbangkan Ratu Cumbu Laras 
ke puncak-puncak keindahannya.
Ia tak tahu bahwa pada malam 
berikutnya, Pademangan diserang oleh 
orang-orang bertopeng. Rumah Ki Demang 
Yasaguna menjadi ajang pertumpahan darah. 
Ki Demang sendiri terkapar bersimbah darah 
karena pedang manusia bertopeng itu 
menyabet lehernya dari samping.
Betina Rimba yang menjadi ketua 
rombongan manusia bertopeng itu menjadi 
kebingungan karena bayi kembar itu tak ada 
di rumah Ki Demang Yasaguna. Semua 
penghuni rumah besar itu telah dibantai 
habis, tapi bayi kembar itu tak ditemukan 
oleh Betina Rimba.
"Geledah semua rumah penduduk!" 
perintah

Betina Rimba kepada anak buahnya. 
Tetapi bayi itu tetap tak berhasil
ditemukan.
"Gila! Ke mana bayi kembar itu?!" 
geram Betina Rimba. Ia segera mencari 
Andari dan mengacungkan pedangnya ke leher 
Andari yang terdesak di salah satu sudut 
bangunan rumah papan.
"Kau telah menyebarkan berita bohong 
tentang bayi kembar itu, Andari!"
"Tid... tidak! Aku berani bersumpah, 
Muninggar memang melahirkan bayi kembar. 
Bayi itu lelaki semua! Muninggar memang 
tewas setelah persalinan, tapi bayi 
kembarnya tidak ikut tewas!"
"Nyatanya bayi itu tidak ada!" bentak 
Betina Rimba.
"It... Itu... itu di luar tanggung 
jawabku!" ujar Andari membela diri. 
"Mungkin ada pihak lain yang telah 
menculik bayi itu. Mungkin pihak lain itu 
juga membutuhkan tumbal bayi kembar 
atau... ah, yang jelas tak mungkin bayi 
kembar itu lari sendiri atau bersembunyi 
disuatu tempat tanpa ada yang membawanya!"
"Jahanam orang yang mengacaukan 
rencana kita ini!" geram Betina Rimba di 
balik topengnya. Pedang pun diturunkan, 
karena menurut penilaiannya, Andari memang 
tidak berdusta. Betina Rimba hanya merasa 
panik dan takut misinya gagal.
Tanpa setahu siapa pun, Nyi Padmi 
telah mempunyai kecurigaan akan datangnya 
bencana mengerikan itu. Mimpinya tentang 
kabut di rumah Ki Demang dan dua ekor


merpati terbang telah membuat Nyi Padmi 
mencemaskan bayi tersebut.
Ketika ia pulang dari membantu 
melahirkan Muninggar, ia sempatkan diri 
bicara dengan suaminya tentang kelahiran 
bayi kembar tersebut.
"Dua ekor merpati dalam mimpimu itu 
ternyata adaiah kelahiran si bayi kembar 
tersebut," ujar sang suami. "Lalu, kabut 
tebal yang kau lihat dalam mimpimu itu 
adalah kematian bagi si Muninggar sendiri. 
Tetapi firasatku mengatakan, bukan hanya 
kematian Muninggar yang menjadi simboi 
dari kabut tebal itu."
"Lalu, menurutmu apa arti kabut tebai 
itu, Suamiku?"
"Bencana!" hanya itu jawaban sang 
suami yang membuat Nyi Padmi terperanjat 
dan menjadi cemas sekali.
"Malam ini juga aku akan temui Demang 
Yasaguna dan membicarakannya?"
"Apa rencanamu?"
"Selamatkan bayi kembar itu!"
"Apakah menurutmu bayi itu akan 
menjadi sumber bencana?"
"Semata-mata bukan karena kelahiran 
sang bayi, melainkan karena kekejaman 
seseorang dapat membuat Pademangan dilanda 
bencana mengerikan!" jawab sang suami yang 
berbadan kurus, walau tak sekurus Nyi 
Padmi sendiri.
Lelaki beruban tak rata yang gemar 
mengenakan jubah putih berikat pinggang 
kain hitam itu segera temui Ki Demang 
Yasaguna. Tanpa membawa tongkatnya, suami

Nyi Padmi melesat dengan cepat hingga tiba 
di depan Ki Demang Yasaguna ketika malam 
mulai merayap ke pertengahannya.
KI Demang terkejut ketika suami Nyi 
Padmi itu utarakan maksudnya.
"Cucumu harus disingkirkan dari sini 
secepatnya!"
"Mengapa kau setengah memaksaku 
begitu?"
"Firasatku sangat buruk. Jika benar 
putramu si Panji Pura punya hubungan gelap 
dengan Ratu Cumbu Laras, maka cepat atau 
lambat kelahiran bayi kembar Itu akan
tercium oleh perempuan itu. Barangkali kau 
belum tahu, Demang Yasaguna...."
"Apa yang belum kuketahui itu?"
"Ratu Cumbu Laras selalu 
mempersembahkan seorang bayi pada malam 
bulan purnama sebagai tumbal persembahan 
bagi Dewa Seribu Laknat."
"Ak... aku baru mendengar nama Dewa 
Seribu Laknat."
"Itu nama iblis yang mendampingi Ratu 
Cumbu Laras selama ini. Perempuan tersebut 
telah lama bersekutu dengan iblis yang 
berjuluk Dewa Seribu Laknat. Kekuatan 
iblis Dewa Seribu Laknat mengalir dalam 
diri Ratu Cumbu Laras. Upahnya adalah 
darah bayi pada malam bulan purnama. 
Tetapi jika Ratu Cumbu Laras dapat 
persembahkan bayi kembar untuk makanan si 
iblis itu, maka ia akan mempunyai hak 
untuk ajukan dua permintaan. Jika hanya 
satu bayi, tak ada permintaan baru, namun

kesaktian dan kecantikannya tetap 
terjaga."
"Mak.... Maksudmu... Ratu Cumbu Laras 
ingin merampas cucu kembarku itu? Oh, 
sepertinya itu tak mungkin. Panji Pura tak 
akan tinggal diam jika sang Ratu punya 
gagasan keji seperti itu."
"Putramu telah terbius oleh kecantikan 
Ratu Cumbu Laras, mungkin juga telah 
bertekuk lutut di bawah telapak kaki 
perempuan tersebut. Jika sudah begitu, tak 
ada lagi niat bagi Panji Pura untuk 
memikirkan nasib bayinya! Kehangatan si 
Cumbu Laras adaiah kehangatan yang 
beracun! Membuat setiap lelaki yang 
bercumbu dengannya akan selalu ketagihan 
dan sulit meninggalkannya!"
Ki Demang tertegun beberapa saat 
lamanya. Selain malu, juga merasa serba 
salah dalam bersikap. Di satu sisi ia 
masih senang-senangnya menimang cucu, di 
satu sisi lagi ia perlu selamatkan sang 
cucu jika benar Ratu Cumbu Laras 
membutuhkan tumbal atau korban persembahan 
kepada si Iblis Dewa Seribu Laknat itu.
Akhirnya Ki Demang memutuskan,
"Baiklah, kutitipkan cucu kembarku 
padamu. Tapi jika dalam tujuh hari tak 
terjadi apa-apa, kuminta kau kembalikan 
cucu kembarku itu!"
"Akan kukembalikan dalam keadaan sehat 
tak kurang satu apa pun, Demang Yasaguna!" 
tegas suami Nyi Padmi. Maka, Ki Demang 
Yasaguna pun menyerahkan kedua cucu 
kembarnya kepada lelaki berjubah putih itu


tanpa setahu istrinya atau siapa pun. Si 
kembar yang dalam keadaan sedang tertidur 
itu akhirnya dibawa oleh si jubah putih 
meninggalkan rumah kakeknya.
Malam berikutnya, bencana berdarah itu 
benar-benar terjadi. Oleh sebab itulah, 
Betina Rimba tak bisa temukan si bayi 
kembar tersebut, karena tak ada seorang 
pun yang mengetahui bahwa bayi kembar 
sudah berada di puncak Gunung Merana. 
Mereka tinggal bersama Nyi Padmi dan 
suaminya yang setiap harinya bertugas 
menjaga dan merawat sebuah makam keramat.
Makam keramat itu adalah makam seorang 
tokoh sakti pada masanya yang dikenal 
dengan nama Eyang Mangkuranda, alias si 
Dewa Kencan.
Sejak kematian si Dewa Kencan, Nyi 
Padmi hidup bersama suaminya sebagai 
penjaga dan perawat makam tersebut. 
Kehidupan suami-istri itu tidak dikaruniai 
seorang anak pun. Namun mereka tetap 
saling mencintai hingga usia setua itu. 
Oleh karenanya, ketika peristiwa berdarah 
itu terjadi dan si kembar sudah berada di 
tangan mereka, hati mereka pun menjadi 
terharu antara suka dan duka.
Mereka sangat sedih melihat 
pembantaian besar-besaran itu, namun 
mereka juga gembira karena kini mereka 
mendapat sepasang anak kembar yang selama 
ini kehadirannya sangat dirindukan oleh 
mereka berdua. Akhirnya si kembar dirawat 
dan dibesarkan oleh Nyi Padmi dan

suaminya, yang tak lain adalah si Pawang 
Badai.
Ada pun Panji Pura yang hanya bisa 
menangis meraung-raung ketika pulang ke 
rumahnya dan mendapatkan seiuruh 
keluarganya tewas dibantai oleh 
serombongan manusia bertopeng. Seorang 
saksi mata yang saat itu sempat melihat 
pembantaian memberikan kesaksian di depan 
Ketua Perguruan Elang Bumi yang segera 
bertindak mewakili pihak Panji Pura.
"Malam itu aku terbangun karena 
perutku mulas sekaii. Lalu aku lari ke 
sungai dan membuang hajat di sana. Ketika 
kudengar jerit dan tangis mereka, aku tak 
berani naik ke tanggul sungai. Aku 
bersembunyi di celah dua batu besar di 
tengah sungai itu. Dan kulihat orang-orang 
bertopeng mengejar para pelayan Ki Demang 
membantainya dengan tak mengenal ampun 
lagi. Tak satu pun dari orang bertopeng 
itu yang kukenal dan kuingat wajahnya...."
Hanya Panji Pura yang lolos dari 
pembantaian massal tersebut. Saksi mata 
pun itu akhirnya mengalami gangguan 
kejiwaan, dan Panji Pura lebih parah dari 
orang itu. 
Panji Pura tak bisa diajak bicara oleh 
siapa pun. Ia bagaikan patung bernyawa 
yang tak mengenali lingkungannya lagi, 
bahkan tak mengenaii siapa dirinya."
Makin hari semakin meningkat kekacauan 
jiwa Panji Pura, ia menjadi gila, liar dan 
sering mengamuk membahayakan siapa saja.

Pihak perguruannya segera memasungnya demi 
keamanan sesama. 
Tapi pada suatu malam Panji Pura 
berhasil lolos dari pasungan lalu pergi 
entah ke mana, tak seorang pun yang tahu 
ke mana arah pelariannya.
* * *
EMPAT


AKHIRNYA ketika malam purnama tiba, 
Ratu Cumbu Laras hanya bisa 
mempersembahkan seorang bayi tunggal yang 
dibawa oleh utusannya dari Pulau Rampala. 
Bayi itu dirampas dari tangan seorang 
pelacur yang melahirkan anak haramnya.
Sedangkan Betina Rimba yang telah 
melakukan kesalahan besar di mata sang 
Ratu, dijatuhi hukuman mati sebagai 
penebus kesalahannya. Namun sebelum 
hukuman mati itu dilaksanakan, Betina 
Rimba telah lebih dulu melarikan diri dan 
tak terkejar oleh pihak Ratu Cumbu Laras.
Pawang Badai tak berani bertindak 
tanpa bukti yang kuat, walau ia mempunyai 
keyakinan bahwa pihak Ratu Cumbu Laras 
itulah yang melakukan pembantaian massal 
yang mengerikan itu. Nyi Padmi hanya 
mengingatkan suaminya dengan kata-kata 
bijak.
"Pada suatu saat, jika waktunya telah 
tiba, Ratu Cumbu Laras akan tumbang dan 
binasa walau bukan dari tanganmu sendiri,

Suamiku. Kau tak bisa lemparkan tuduhan 
kepada Ratu Cumbu Laras karena kau tidak 
mempunyai bukti dan saksi mata yang dapat 
membuat si Cumbu Laras bisa dibuktikan 
kesalahannya."
Pawang Badai diam, merenungi kata-kata 
istrinya yang sedang menimang-nimang salah 
satu dari bayi kembar itu. Hanya Nyi Padmi 
yang mengetahui mana bayi yang pertama 
lahir dan yang kedua, karena dialah yang 
membantu kelahiran itu secara langsung. 
Bayi yang lahir kedua itulah yang dianggap 
anak pertama menurut adat mereka. Karena 
bayi yang lahir kedua adalah seorang kakak 
yang menjaga keselamatan adiknya dari 
belakang.
Karenanya, bayi yang lahir kedua 
itulah yang dianggap si sulung oleh Nyi 
Padmi. Atas kesepakatan dengan suaminya, 
bayi itu diberi nama: Raka Pura. Sedangkan 
bayi yang lahir pertama dan dianggap 
sebagai sang adik itu diberi nama Soka 
Pura.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Raka 
Pura adalah sang kakak?" tanya Pawang 
Badai.
"Bobotnya sedikit lebih berat dari 
bayi yang pertama lahir," jawab Nyi Padmi. 
Jika bukan bertindak sebagai dukun bayi, 
Nyi Padmi tak mungkin bisa mengenali mana 
bayi yang lahir pertama dan kedua, sebab 
kedua bayi itu mempunyai wajah yang serupa 
dan sulit dibedakan.
Selagi Pawang Badai ingin ucapkan kata 
kepada istrinya sambil kedua tangannya

menimang Raka Pura, tiba-tiba angin 
kencang datang bersama kabut putih yang 
merayap sebatas mata kaki. Nyi Padmi 
bergegas ingin menutup pintu rumah 
gubuknya itu, tetapi suaminya melarang.
"Biarkan beliau masuk."
Mendengar kata-kata suaminya, maka Nyi 
Padmi pun segera mengerti apa maksud 
ucapan tersebut. ia tak jadi menutup 
pintu. Lalu, beberapa saat kemudian mereka 
sama-sama mendengar suara tanpa rupa.
"Pawang Badai dan Rara Padmi...," sapa 
sebuah suara yang sudah dikenali oleh 
mereka. Suara itu adalah suara roh si Dewa 
Kencan atau Eyang Mangkuranda yang 
makamnya ada di samping pondok mereka itu.
"Bersyukurlah kalian sekarang, karena 
kini kalian telah dikaruniai sepasang anak 
kembar yang akan mengisi hari-hari tua 
kalian nanti. Aku setuju dengan nama yang 
kalian berikan kepada mereka itu. Sepasang 
nama yang bagus, sesuai ketampanan bayi 
itu kelak jika sudah menjadi dewasa."
"Terima kasih, Guru," jawab si Pawang 
Badai penuh hormat.
Suara bergema lirih itu hiiang sesaat, 
lalu terdengar kembali di sela-sela 
hembusan angin yang menderu. Pawang Badai 
dan Nyi Padmi masih sama-sama tundukkan 
kepala, pandangi bayi yang ada dalam 
pondongan mereka masing-masing. Sayang ba-
yi pun sama-sama menggeliat walau pejamkan 
mata, namun itulah pertanda bahwa sang 
bayi dalam keadaan tidak tertidur.

"Pawang Badai, pergilah ke Pesisir 
Kulon dan temuilah si Cumbu Laras! 
Hentikan kekejamannya dengan siasat 
membalik pandangan matanya."
"Aku kurang paham maksudmu, Guru!"
"Ambil sebatang pohon pisang, jelmakan 
menjadi dirimu. Cumbu Laras masih punya 
dendam kesumat padamu, karena kau pernah 
menolak cinta dan gairahnya semasa mudamu 
dulu. Dia tidak akan hentikan kekejamannya 
sebelum dapat kalahkan dirimu. Suruh si 
pohon pisang melayani tantangan Cumbu 
Laras, dan biarkan Cumbu Laras membunuhnya 
agar hatinya menjadi puas dan lega, maka 
dendamnya pun akan sirna. Setelah itu, ia 
akan hentikan kekejamannya. Jika dendamnya 
dibiarkan berlarut-larut, maka akan lebih 
banyak lagi kaum lelaki yang menjadi 
korbannya, seperti yang dialami oleh ayah 
dari bayi kembar itu!"
"Baik, Guru. Aku mengerti maksudmu!"
"Kuharap tanganmu tetap bersih tanpa 
darah seperti yang sudah kau lakukan 
selama ini."
"Baik, Guru!"
Hembusan angin lebih cepat iagi, 
nyaris menerbangkan pintu pondok tersebut. 
Namun secara tiba-tiba hembusan angin itu 
berhenti seketika. 
Wuuut...! 
Lalu sepi dan hening. Kabut yang 
merayap di permukaan tanah setinggi mata 
kaki itu pun lenyap. Hanya udara dingin 
yang terasa menyapu tubuh mereka, membuat 
pintu pun segera ditutup oleh Pawang

Badai. Karena ia tahu, saat itu roh Eyang 
Mangkuranda telah pergi.
Pawang Badai adalah murid Eyang 
Mangkuranda yang terakhir. Dan hanya 
tinggai si Pawang Badai yang masih hidup 
dari beberapa murid Mangkuranda.
Sebelum tokoh sakti itu hembuskan 
napas terakhir, ia telah berpesan kepada 
Pawang Badai agar jauhi keramaian dunia 
persilatan. Pawang Badai tidak diizinkan 
terjun ke rimba persilatan kembaii sebelum 
ada penerus yang akan menggantikannya 
kelak. Bahkan sang guru melarang Pawang 
Badai lakukan pertarungan atau pembunuhan 
kepada siapa pun, kecuali ia diserang di 
tempat pengasingannya.
Bersama sang istri, Pawang Badai 
mengasingkan diri ke puncak Gunung Merana, 
sambil menjaga dan merawat makam sang 
guru, itulah sebabnya, Pawang Badai tak 
berani ikut campur dalam peristiwa 
pembantaian tersebut, selain hanya 
menyelamatkan si kembar.
Tetapi agaknya sekarang roh sang guru 
sudah mengizinkan ia terjun kembali ke 
dunia persilatan dengan tugas mengakhiri 
kekejian si Ratu Curnbu Laras itu. Namun 
sekaiipun demikian, Pawang Badai tetap 
tidak diizinkan lakukan pembunuhan 
langsung, melainkan harus menggunakan 
siasat lain seperti yang diwejangkan oleh 
sang guru tadi.
"Selama aku menjadi istrimu, kau belum 
pernah menceritakan hubunganmu dengan si 
Cumbu Laras," ujar Nyi Padmi setengah

memprotes sikap bungkamnya sang suami. 
"Kusangka kau hanya mengenali Cumbu Laras 
sebagaimana kau mengenal tokoh silat 
wanita lainnya. Ternyata kau pernah ada 
hubungan pribadi dengan Cumbu Laras!"
"Masa lalu itu tak pernah kukenang 
lagi, dan aku pun tak ingin kau 
mengenangnya."
"Setidaknya kau dapat ceritakan padaku 
sebagai bekal pengetahuanku," ujar sang 
istri mendesak secara halus.
Pawang Badai tarik napas pelan-pelan 
terdengarkan suaranya kembali dengan 
kalem. Sang istri memandanginya sambil
menggoyang pelan gendongannya agar si 
kecii Raka Pura itu tertidur nyenyak.
"Cumbu Laras adalah gadis desa yang 
buruk rupanya dan berpenyakit kulit. Tak 
ada lelaki yang sudi menyentuhnya, apalagi 
memeluknya. Masa puber gadis bernama asli 
Untari itu sangat pahit dan menyedihkan. 
ia selalu mendapatkan hinaan dari kaum 
lelaki."
Pawang Badai hentikan ceritanya 
sebentar. Soka Pura merengek dalam 
gendongannya. la terpaksa mengayun ayunkan 
gendongan agar bayi itu hentikan 
rengekannya. Setelah rengekan sang bayi 
berhenti, Pawang Badai pun lanjutkan 
ceritanya kembali tanpa diminta sang 
istri.
"Untari akhirnya pergi dari desanya, 
karena tak ingin menjadi bahan hinaan para 
tetangga. Rupanya di tempat lain pun 
Untari mengalami nasib yang sama, selalu

menjadi bahan hinaan kaum lelaki. Ia putus 
harapan, akhirnya bunuh diri dengan terjun 
ke Jurang Sambar Nyawa. Siapa pun yang 
jatuh atau sengaja terjun ke jurang itu 
pasti mati. Tetapi Untari tidak, karena 
saat tubuhnya melayang sepasang tangan 
menyambarnya. Ia diselamatkan oleh sepa-
sang tangan tanpa rupa."
"Siapa pemilik sepasang tangan itu?" 
potong Nyi Padmi yang semakin ingin tahu.
"Sepasang tangan itu milik iblis yang 
menamakan dirinya Dewa Seribu Laknat! Maka 
Untari pun segera bersekutu dengan Dewa 
Seribu Laknat. Ia menjadi abdi iblis itu, 
tapi imbalannya adalah kesaktian dan 
kecantikan diberikan kepada Untari. Setiap 
bulan purnama, Untari harus mengorbankan 
seorang bayi sebagai santapan sang iblis 
Dewa Seribu Laknat itu."
"Lalu bagaimana bisa terlibat hubungan 
pribadi denganmu?"
"Kala itu aku masih berusia dua puluh 
empat tahun. Kakak perguruanku, si Tangan 
Dingin, teriibat bentrokan dengan Untari 
yang telah menamakan dirinya Ratu Cumbu 
Laras. Guru mengutusku memanggil si Tangan 
Dingin dan menyuruh Tangan Dingin 
tinggalkan Cumbu Laras. Tetapi ia sudah 
telanjur terbunuh oleh Cumbu Laras. Aku 
bermaksud menuntut balas, tetapi sempat 
terpikat oleu Kecantikan dan kelembutan 
tutur rayunya. Rupanya perempuan itu 
merasa jatuh cinta padaku setelah hubungan 
kami makin lama semakin akrab.

Sementara itu, Guru melarangku
menuntut balas atas kematian si Tangan 
Dingin. Hubunganku dengan Cumbu Laras pun 
selalu mendapat teguran dari Guru. Pada 
dasarnya, Guru mengharapkan agar aku 
tinggalkan Untari. Kuturuti perintah Guru 
itu, kutinggalkan Untari, sampai perempuan 
itu mengejar-ngejarku dan tak pernah 
kulayani lagi cintanya. Akhirnya ia sangat 
sakit hati padaku. la mencoba membunuhku 
beberapa kali, namun tak berhasil, dan hal
itu membuat sakit hatinya semakin 
bertambah.
Sampai sekarang, ternyata ia masih 
termakan dendam kesumat padaku dan menurut 
kata-kata Guru tadi, sebelum aku mati ia 
tak akan hentikan kekejamannya terhadap 
setiap lelaki. ia selalu ingin 
menghancurkan setiap lelaki sebagai balas 
dendam atas perlakuan kaum lelaki saat ia 
dalam keadaan buruk rupa dan berpenyakit 
kulit."
"Dendam itu membuat asmaranya menjadi 
liar!" gumam Nyi Padmi dalam keadaan tetap 
tenang, tak menyimpan rasa cemburu 
sedikit pun, bahkan tak tampak ia 
mempunyai kebencian terhadap Ratu Cumbu 
Laras. Sebab, bagaimanapun juga si Ratu 
tak akan berhasil membunuh suaminya, 
karena Nyi Padmi tahu ilmu yang dimiliki 
suaminya cukup tinggi.
"Jadi kapan kau akan berangkat 
menunaikan tugas Guru?" tanya Nyi Padmi.
"Esok aku akan berangkat ke Pesisir 
Kulon, melakukati perintah Guru tadi.

Kuharap kau mer-wat si kembar dengan baik-
baik, jaga jangan sampai ia sakit. Carilah 
madu lebah hutan dalam keadaan mereka 
tertidur sebagai ganti minumnya, sebab me-
reka tak bisa mendapatkan minum darimu, 
bukan?"
Nyi Padmi tersenyum manis, menurut 
pandangan Pawang Badai.
"Si kembar memang tak akan mau 
menyusuku, karena ia takut kena marah 
darimu."
"Kau pikir aku masih sering seperti 
dulu?" Pawang Badai sunggingkan senyum 
tipis.
"Kurasa semakin tua kau semakin rajin 
menjadi pencuri."
"Pencuri apa?"
"Pencuri susu manakala aku sedang 
tidur!" Pawang Badai lebarkan senyum, 
merasa geli dan malu.
"Mengapa kau diam saja jika kau tahu 
aku menjadi pencuri?"
"Yah, mau bilang apa kalau hal itu 
adalah keindahan kita sejak dulu, 
Pamitran?" ujar Nyi Padmi sambil tersenyum 
dan menyebut nama asli si Pawang Badai, 
seperti kala mereka jumpa pertama dalam 
usia masing-masing sekitar tiga puluh 
tahun.
Nyi Padmi seorang istri yang tak
pernah mengeluh. Bahkan kini ia mengasuh 
dua bayi sendirian pun tak mempunyai 
keluhan apa-apa. Ia melepas kepergian 
suaminya dengan senyum manis sebagai

ungkapan cintanya kepada sang suami yang 
tak pernah padam.
Nyi Padmi adalah anak seorang 
tumenggung yang sudah kehilangan seluruh 
anggota keluarganya karena peperangan 
antara negeri. Kini sisa hidupnya hanya 
bisa digunakan untuk mengabdi kepada sang 
suami tercinta, dan mengabdi terhadap 
sesama. Ia mempunyai ilmu warisan 
orangtuanya dan beberapa jurus ajaran dari 
suaminya. Tapi ilmu yang dimiiikinya tak 
seberapa tinggi dan sebagai pelindung 
keamanan pribadi.
Seandainya Nyi Padmi terpaksa harus 
melawan Betina Rimba, ia akan tumbang 
dalam sekejap, karena ilmu yang dimiliki 
Betina Rimba cukup tinggi, di samping 
memang keberanian perempuan berbulu halus 
itu juga tinggi. Bahkan seandainya kala 
itu ia harus melawan si Wajah Keranda, ia 
masih sanggup mencabut nyawa si Wajah 
Keranda dalam beberapa jurus saja.
Oleh sebab itu, sekalipun ia minggat 
dari Ratu Cumbu Laras, ia tak merasa takut 
sedikit pun. Orang-orang dari Pesisir 
Kulon dapat dihancurkan dalam waktu 
singkat, karena Betina Rimba adalah 
pengawal sang Ratu yang tertinggi ilmunya 
dari yang lain.
Namun lolosnya Betina Rimba dari 
ancaman hukuman mati itu membuat sang Ratu 
menjadi berang. Meski ia tahu ketinggian 
iimu Betina Rimba, ia tetap mengutus 
beberapa orang pilihannya untuk mengejar 
Betina Rimba.


"Jika perlu, bunuh di tempat!" 
perintah sang Ratu dengan tegas.
Tak heran jika Betina Rimba akhirnya 
harus berhadapan dengan teman sendiri yang 
mempunyai perawakah sama tinggi, kekar, 
sekal dan montok. Tetapi ilmunya masih di 
bawah ilmu Betina Rimba. Seorang sahabat 
yang ditugaskan mengejarnya itu adalah si 
Walet Perak.
la dijuluki si Walet Perak, karena 
gerakannya jika melayang seperti seekor 
burung walet. Pakaiannya yang gemar 
mengenakan rompi dan celana putih perak 
itu membuatnya pantas memakai nama Walet 
Perak.
Gadis berpakaian seperti perak itu 
juga mempunyai kecantikan yang seimbang 
dengan si Betina Rimba. Tetapi masing-
masing punya kelebihan dari sisi 
kecantikannya itu. Walet Perak berhidung 
bangir dan jika tersenyum giginya 
'gingsul' satu. Gigi yang sedikit 
bertumpuk itulah yang membuat Walet Perak 
tampak semakin cantik jika sunggingkan se-
nyum atau tertawa. Namun jika ia sedang 
marah, wajah cantiknya itu dapat membuat
lawan ketakutan. Karena ia mempunyai 'Aji 
"Burisrawa', yaitu berubah wajahnya 
menjadi seperti raksasa bertaring tajam 
jika sedang marah.
Walet Perak sengaja menghadang langkah 
Betina Rimba ketika gadis yang hanya 
mengenakan kutang dan cawat itu berhasil
menyeberangi sungai berair deras. Rupanya 
Walet Perak sudah melihat gerakan Betina

Rimba sejak tadi, dan ia menghadang di 
seberang sungai. Begitu si Betina Rimba 
sampai di atas tanggul sungai, ia terpaksa 
hentikan langkahnya karena si Walet Perak 
sunggingkan senyum di depannya.
"Kau...!" geram Betina Rimba yang 
langsung mengerti maksud penghadangan si 
Walet Perak yang ingin menangkap atau 
membunuhnya itu. Betina Rimba pun segera 
siap siaga untuk lakukan pertarungan 
dengan si Walet Perak.
Walet Perak masih tetap kalem, 
wajahnya belum berubah menjadi seperti 
raksasa mengerikan. ia justru sunggingkan 
senyum tipis kepada si Betina Rimba.
* * *
LIMA


PANDANGAN mata si Betina Rimba cukup 
tajam, seakan nilai persahabatannya selama 
ini telah hilang dan berganti sikap 
permusuhan. Dengan menenteng pedangnya 
yang masih bersarung di tangan kiri, 
Betina Rimba melangkah menyamping sambil 
menjaga kewaspadaan. Sebab ia tahu, Walet 
Perak sering lepaskan pukulan jarak jauh 
secara mendadak.
"Cukup jauh juga pelarianmu, Betina 
Rimba," ujar Walet Perak dengan santai.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Walet 
Perak. Aku tahu tugasmu adalah menangkap 
atau membunuhku! Lakukan saja sekarang 
juga!"

"Kita bersahabat, Betina Rimba. 
Mengapa kau memaksaku bertindak seperti 
itu?"
"Sahabat adalah dulu, tapi sekarang 
sejak aku menjadi musuh Ratu Cumbu Laras, 
maka kau pun pasti ikut memusuhiku."
Senyum si Walet Perak semakin lebar. 
ia merapikan rompi cekaknya yang tak 
pernah dikancingkan itu, sementara di 
batik rompi perak itu ia tidak mengenakan 
penutup dada selembar tripiek pun. Polos 
dan sering mengintip nakal menggoda mata 
lelaki.
"Aku memang ditugaskan untuk 
menangkapmu atau membunuhmu. Tapi apakah 
tindakan itu patut dilakukan oleh seorang 
sahabat, Betina Rimba?"
"Tentu kau akan melakukan dengan 
bujukan halus, Walet Perak!" tegas Betina 
Rimba yang masih tak tergoda oleh 
kelembutan seperti itu.
"Rupanya kau sudah tak mau lagi kuajak 
bersahabat, Betina Rimba."
"Kau bukan mengajakku bersahabat, tapi 
mencari kelengahanku dan ingin 
memperdayaku! Sekarang tentukan saja siapa 
yang harus mati di antara kita!"
"Baik kalau itu kemauanmu! Bersiaplah 
untuk menuruti keinginanmu sendiri, Betina 
Rimba!"
Sreeet...! 
Walet Perak mencabut pedangnya. Betina 
Rimba pun segera mencabut pedang dari 
sarungnya. Sarung di tangan kiri dan 
pedang di tangan kanan.

Ketika Walet Perak melesat dengan 
cepat bagai seekor burung walet menyambar 
mangsanya, sarung pedang Betina Rimba 
berkelebat ke atas menangkis tebasan 
pedang si Walet Perak. 
Traaang...! 
Buuugk...!
Betina Rimba lupa bahwa dadanya dalam 
keadaan terbuka, sehingga kaki si Walet 
Perak dengan mudahnya menendang dada itu 
dengan gerakan cepat Betina Rimba 
terhempas ke belakang dan nyaris jatuh 
jika punggungnya tak membentur pohon. 
Ouuur...! 
Benturan itu cukup kuat, sehingga 
menggetarkan pohon tersebut dan beberapa 
daun pohon pun berguguran. 
Weeers...!
Walet Perak segera memutar tubuh dan 
pedangnya menyambar kepala si Betina 
Rimba. Dengan cepat Betina Rimba menangkis 
sabetan pedang memakai sarung pedang dan 
pedang itu sendiri. 
Traang...!
Posisinya yang menjadi miring membuat 
kaki Betina Rimba segera menendang ke 
samping. 
Beeet...! 
Ploook...!
Wajah si Walet Perak terkena tendangan 
dengan telak, bahkan perempuan itu sempat 
terpental dan jatuh dalam hempasan kuat. 
Brruk...!
Betina Rimba segera menyerang tanpa 
menunggu Walet Perak bangun. Pedangnya

menebas ke arah kepala dan tubuh si Walet 
Perak beberapa kali. Tebasan pedang itu 
dilakukan dengan cepat dan penuh nafsu 
untuk membunuh.
Wut, wut, wut, wot.. 
Trang, trang, trang, trang...!
Walet Perak berhasil menangkis tebasan 
pedang cepatnya si Betina Rimba. Kaki pun 
segera menyambar betis si Betina Rimba. 
Wuuut, plaaak...
Brrruk...! 
Betina Rimba jatuh terbanting akibat 
sambaran kaki Walet Perak. Tapi pada saat 
itu pedangnya sempat berkelebat menyabet 
dada si Walet Perak. 
Craaas...!
"Aauh...!" Walet Perak memekik pendek. 
Ternyata yang terkena sabetan pedang 
adalah lengan kirinya.
Sebelum Walet Perak semakin berang, 
Betina Rimba sentakkan pinggulnya dan 
dalam waktu kurang dari sekejap ia sudah 
bangkit berdiri dengan pedang siap melesat 
kembali. Tapi pada saat itu, Walet Perak 
sudah berguling-guling cepat dan berdiri 
dengan satu kaki berlutut. Jaraknya dari 
lawan sekitar delapan langkah. Ada cukup 
waktu bagi si Walet Perak untuk segera 
bangkit sambil menahan rasa sakit pada 
luka di lengan kirinya.
Saat itu, kemarahan si Walet Perak 
mulai bangkit akibat merasa dilukai lebih 
dulu. Wajahnya pun segera menyeringai dan 
kecantikannya pudar. Kulit wajahnya 
berubah menjadi merah kehitaman dan

giginya keluarkan sepasang taring runcing. 
Mata si Walet Perak berubah merah dengan 
alis meninggi.
"Gggrrrh...!" 
Suaranya pun menyeramkan, membuat 
Betina Rimba menunda penyerangannya. 
Betina Rimba tahu, dalam keadaan wajah 
sudah berubah, seseorang tak boleh 
menyerang Walet Perak dengan gegabah. 
Karena serangan itu bisa diputar balik 
oleh kesaktian 'Aji Burisrawa'-nya dan 
membahayakan nyawa si penyerang sendiri. 
Karena itulah, Betina Rimba segera 
bergerak ke samping pelan-pelan menunggu 
kesempatan baik untuk menghujamkan 
pedangnya ke perut si Walet Perak.
Mereka tak tahu bahwa saat itu di 
seberang sungai telah hadir sepasang mata 
yang menyelinap di antara semak ilalang 
dan memperhatikan pertarungan tersebut. 
Sepasang mata milik seorang pemuda berusia 
sebaya dengan mereka, bertubuh tinggi, 
tegap dan berotot kekar dengan warna kulit 
sawo matang. Pemuda itu berambut panjang 
sepundak agak bergelombang, mengenakan
ikat kepala kuning dan baju tangan lengan 
warna hijau tua, sama dengan warna 
celananya. Pemuda itu juga menyandang 
pedang di pinggangnya yang berikat kain 
hitam. Ia mempunyai ketampanan yang cukup 
mencengangkan kaum wanita, terutama dengan 
kumis tipis, cambang tipisnya yang membuat 
wajah itu semakin tampak jantan.
Pemuda itu terlihat jelas pada saat 
Walet Perak yang berwajah menyeramkan itu

menerjang Betina Rimba dengan gerakan liar 
dan sukar dihindari. Kukunya yang berubah 
menjadi tajam dan hitam itu menyambar 
wajah Betina Rimba ketika pedang Betina 
Rimba menangkis tebasan pedang si Walet 
Perak.
Weees...! 
Nyaris saja wajah Betina Rimba yang 
cantik itu rusak total akibat terkena 
sambaran kuku runcing mirip mata pisau 
tajam itu. Untung saja Betina Rimba segera 
tarik kepala ke belakang dengan sedikit 
menengadah, sehingga cakaran kuku itu tak 
mengenai kuiit wajahnya sedikit pun.
Ia segera putar tubuhnya dan menendang 
ke belakang dengan cepat dan penuh curahan 
tenaga dalam. Tendangan itu tepat kenai 
perut Walet Perak. 
Buuughk...! 
Tubuh Walet Perak terpental tujuh 
langkah jauhnya dan jatuh terbanting dalam 
keadaan miring. 
Brrruk...!
"Gggrrrhh...!”
Bangsat kau Betina Rimbaaa...!" 
teriaknya menyeramkan dengan wajah 
menyeringai ganas.
Lalu tiba-tiba dari ujung pedang Walet 
Perak yang disentakkan ke depan keluar 
sinar merah yang menyerupai meteor kecil. 
Sinar merah itu melesat cepat ke arah 
Betina Rimba.
Claaap, wuuus...!

Betina Rimba tak mau kalah main sinar. 
Ia pun sabetkan pedangnya dari belakang 
menjadi lurus ke depan. 
Suuuut...! 
Dan ujung pedang itu segera keluarkan 
selarik sinar hijau yang segera 
bertabrakan dengan sinar merah dalam jarak 
lima langkah di depan Walet Perak.
Claaap, blaaarr...!
Ledakan kuat timbul dari benturan dua 
sinar tersebut. Cahaya biru kemerahan 
membias dalam sekejap. Cahaya itu 
keluarkan gelombang sentakan cukup kuat, 
sehingga tubuh Betina Rimba pun terhempas 
dan terbanting setelah membentur batu 
besar dan tinggi itu.
"Uuh...! Keparat betui si Walet Perak 
itu. Agaknya aku tak boleh sekadar 
menghajarnya. Aku harus membunuhnya tanpa 
ragu-ragu lagi!!" geram Betina Rimba dalam 
hatinya. Ia pun segera bangkit dengan niat 
melepaskan jurus maut yang dapat 
menghabisi nyawa si Walet Perak dalam satu 
gebrakan.
Tapi tiba-tiba sinar merah itu datang 
lagi menyambarnya dari ujung pedang si 
Walet Perak. 
Weees...! 
Mau tak mau Betina Rimba segera 
melepaskan sarung pedangnya dan tangan 
kirinya menyentak ke depan dengan telapak 
tangan terbuka. 
Wuuut...! 
Dari telapak tangan itu melesatlah 
sinar hijau bundar sebesar genggaman bayi.

Claaap...! 
Weees...! 
Blegaaarrr...!
Dentuman Itu semakin kuat, lebih besar 
dari yang pertama. Tubuh Betina Rimba 
terlempar dan masuk ke perairan sungai. 
Byuuur...! 
Sementara itu, si Walet Perak hanya 
terpelanting membentur pohon, lalu segera 
tegak kembali dan menggeram dengan 
menampakkan taringnya yang runcing.
"Gggrrhh...!"
Walet Perak berlari menuruni tanggul, 
Ia Ingin mengejar Betina Rimba yang sedang 
melawan arus sungai. Tetapi pada saat itu, 
sekelebat bayangan hijau melesat cepat dan 
menyambar tubuh Betina Rimba. 
Wuuut, wuuus...!
Bayangan hijau itu melesat bagaikan 
sinar berkelebat. Tapi ia juga melepaskan 
cahaya kuning terang yang tahu-tahu sudah 
ada didepan Walet Perak. Dengan 
menggeragap kaget, si Walet Perak 
sentakkan tangannya ke depan dan dari 
telapak tangan itu keluar sinar merah 
berbentuk mata tombak. Namun baru saja 
sinar merah itu melesat dua jengkal dari 
telapak tangan, ternyata sinar kuning itu 
telah menghantamnya lebih dulu.
Jegaaar...!
"Grrraaoow...!"
Walet Perak terlempar dalam keadaan 
tubuhnya berasap dan menjadi biru memar. 
Ia berguling-guling di rerumputan bawah

tanggul bagaikan makhluk yang mengamuk 
dengan ganas.
Rupanya Walet Perak terbakar bagian 
dalamnya oleh daya ledak yang dahsyat 
tadi. la segera melesat naik ke tanggul 
dan menggeram penuh murka. Namun agaknya 
la sadar bahwa dirinya telah semakin lemah 
dalam keadaan bagian dalamnya terbakar. la 
harus menyingkir sesaat untuk padamkan 
kobaran api yang membakar bagian dalam 
tubuhnya itu. Maka, Walet Perak pun segera 
melesat tinggalkan tempat tersebut. 
Weess...!
Ternyata bayangan hijau yang menyambar 
Betina Rimba adalah seorang pemuda yang 
tadi mengintai dari celah-celah daun 
ilalang. Ia membawa Betina Rimba yang
terkulai lemas ke daratan. Membujurkan 
tubuh tanpa pakaian selain penutup tempat-
tempat pentingnya saja itu di rerumputan, 
dekat sarung pedang yang dibuang tadi.
Betina Rimba masih sadar, masih bisa 
memandang siapa orang yang menolongnya. 
Namun ia belum bisa bicara karena dadanya 
terasa bagaikan dipaku dengan pasak 
sebesar tombak.
"Jangan banyak bergerak dulu. Kurasa 
ada sesuatu bagian yang hangus di dalam 
tubuhmu!" ujar pemuda berpakaian hijau 
itu. "Akan kucoba untuk salurkan hawa 
murniku agar lukamu tak menjadi parah."
Sebenarnya pemuda itu tidak sendirian. 
Ia bersama seorang sahabatnya yang 
berbadan pendek dan agak gemuk, mengenakan 
pakaian abu-abu. Temannya itu berusia


sedikit lebih tua darinya. Wajahnya yang 
bundar dengan pipi yang bengkak mirip 
sepasang bakpao itu, ternyata sudah berada 
di seberang sungai dan sedang mengintai 
dari balik bebatuan besar. Mata si wajah 
bundar mirip kue serabi itu terbelalak 
ketika tahu bahwa temannya sedang meraba 
dada seorang perempuan cantik yang tidak 
berjubah dan berbaju.
"Wah, lagi-lagi nasib si Wiraga sangat 
beruntung. Tadi aku menemukan seekor 
kambing hutan mau beranak, sekarang dia 
menemukan seorang perempuan cantik mau... 
mau... apakah juga mau beranak? Oh, tidak! 
Kulihat perut perempuan itu tidak 
membuncit. Dan yang dipegang si Wiraga 
adaiah bagian dada. Hmmm... pasti tangan 
si Wiraga sedang melakukan kenakalan 
kecil-kecilan! Kurang ajar!" geram orang 
tersebut. 
Tab, tab, tab, tab...! 
Si bundar berpakaian abu-abu itu 
melompat di antara batu-batu sungai dengan 
lincahnya. Dalam sekejap ia sudah berada 
di seberang sungai dan berdiri di depan 
pemuda berpakaian hijau yang ternyata 
bernama Wiraga Itu.
"Hei, apa yang kau Iakukan itu, 
Wiraga!" hardik si muka bundar.
"Aku sedang memeriksa denyut nadinya!" 
ujar Wiraga sambil nyengir.
"Bukan di situ yang berdenyut, tapi di 
tempatmu sendiri!"

"Jangan menggangguku, Pongge! Gadis 
ini terluka dalam dan... ah, sudahlah! 
Menjauhlah dulu!"
"Kuberitahukan pada Guru kalau kau tak 
mau hentikan kenakalanmu, Wiraga!"
"Ini bukan kenakalan! Aku sedang 
salurkan hawa murniku, Tolol!"
"Tapi jempolmu itu kenapa menelusup di 
balik kain penutup bukit?!"
"OoOh... ini tak sengaja!" Wiraga 
bersungut-sungut dan menarik keluar ibu 
jarinya yang memang menelusup di balik 
kain kuning yang berbentuk dan berukuran 
seperti tutup mangkuk kecil itu.
Pongge, si muka bundar itu, akhirnya 
melompat ke atas batu setinggi dada 
Wiraga. ia duduk di sana sambil bersungut-
sungut dan sebentar-sebentar melirik 
tangan Wiraga.
"Kalau urusan perempuan cantik 
ditanganinya sendiri. Giliran urusan 
kambing beranak, aku yang disuruh 
menangani! Uuh...! Kalau begini caranya, 
kapan aku dapat bagian seempuk dia?!" 
gerutu Pongge sengaja dikeraskan agar 
didengar Wiraga. Tapi pemuda tampan 
bercambang tipis itu tak mempeduiikan 
suara yang didengarnya. Ia tetap 
berkonsentrasi menyalurkan hawa murninya 
ke dalam tubuh Betina Rimba.
"Aku mau mandi, ah!" ujar Pongge 
seperti bicara pada diri sendiri. ia 
segera melompat ke balik batu dan 
melepaskan pakaiannya.

"Mumpung bertemu sungai, kapan lagi 
mandinya?! Sudah beberapa hari aku tak 
mandi, baunya sampai membuat tanaman pada 
layu!"
Byuuur...!
Pongge pun terjun ke sungai dan 
menikmati kesejukan airnya. ia menyelam 
beberapa kali dengan berkecipak seperti 
anak kecil kegirangan.
Betina Rimba mulai bernapas dengan 
lancar. Matanya berkedip-kedip saat 
pandangi Wiraga. Tangan Wiraga segera 
dilepaskan, karena wajah pucat Betina 
Rimba telah sirna. Wajah itu menjadi segar 
kembali, dan suara si perempuan terdengar 
sedikit parau.
"Apa maksudmu menolongku begini?!"
"Apakah tindakanku ini salah?"
"Salah!" jawab Betina Rimba dengan 
tegas, lalu ia bangkit dan duduk 
berhadapan dengan Wiraga. Matanya tak 
berkedip pandangi Wiraga yang punya senyum 
menawan itu.
"Lain kali biarkan kuselesaikan 
sendiri pertarunganku! Jangan mencampuri 
urusanku!"
"Kau nyaris celaka! Aku tak tega 
melihatmu terlempar begitu. Aku takut kau 
tewas!"
"Walet Perak tak akan mampu membuatku 
tewas. Justru aku yang akan membunuhnya!"
"Lawanmu cukup tangguh, dan...."
"Dia bukan orang yang tangguh! limunya 
masih di bawah ilmuku!"

"Tapi kenapa kau terlempar beberapa 
kali?!" bantah Wiraga.
"Aku hanya ingin menghajarnya. Tapi 
ternyata dia memang ingin membunuhku, maka 
niatku pun berubah untuk membunuhnya. 
Sebelum niatku terlaksana, kau telah ikut 
campuri. Aku benci dengan orang yang suka 
ikut campur urusan orang lain!"
"Maafkan aku jika kau tersinggung. 
Boleh kutahu namamu?" Wiraga segera 
alihkan pembicaraan agar tak terjadi 
perdebatan yang dapat membawa suasana tak 
sehat.
"Mengapa kau tanyakan?"
"Aku ingin bersahabat denganmu," jawab 
Wiraga terang-terangan.
Betina Rimba sempat berpikir, "Tampan 
juga anak ini! Badannya kekar dan 
cambangnya bikin hatiku berdesir-desir 
sejak tadi. Hmmm... kurasa tak ada 
jeleknya jika ia kujadikan sahabatku. 
Setidaknya bisa membantuku untuk 
menghadapi orang-orangnya Ratu Cumbu 
Laras."
Sementara itu, di hati Wiraga sendiri 
membatin kata yang hampir sama.
"Cantik sekali dia. Badannya penuh 
bulu, bikin aku deg-degan sejak tadi. 
Kurasa jika sudah bersahabat, ia mau 
membantuku mencari Panji Pura. Setidaknya 
jika ada bahaya, ia bisa membantu 
memerangi bahaya itu."
Pandangan mata yang saling beradu Itu 
membuat mereka menjadi merasa lebih akrab

dari sebelumnya. Betina Rimba pun akhirnya 
berkata kepada Wiraga.
"Kau sudah pernah mendengar nama 
Betina Rimba?"
"Belum," jawab Wiraga. "Apakah itu 
namamu?" Gadis berhidung mancung itu 
anggukkan kepala. Senyumnya mengembang 
tipis, seperti sedang tersenyum sinis. 
Wiraga memperlebar senyumnya dalam keadaan 
masih jongkok di depan gadis yang duduk di 
rerumputan itu.
"Kau bisa memanggilku Wiraga."
"Apakah itu namamu?"
"Bukan. Nama anjing piaraanku," jawab 
Wiraga dalam kelakar membuat Betina Rimba 
sedikit perlebar senyum. Sangat sedikit 
sekali, nyaris tetap kelihatan tersenyum 
sinis.
"Siapa perempuan berwajah menyeramkan 
tadi?" tanya Wiraga teringat wajah si 
Walet Perak.
"Aku tak bisa ceritakan sekarang. 
Badanku masih lemah. Aku butuh tempat 
untuk istirahat beberapa saat."
"Oh, aku tadi lewat sebelah sana dan 
kulihat tak jauh dari sini ada gua tempat 
persinggahan para pengembara. Kurasa kau 
bisa beristirahat di sana dengan nyaman."
"Tunjukkan padaku tempat itu!" kata 
Betina Rimba dengan tegas, lalu ia segera 
bangkit. Wiraga pun berdiri dan pandangi 
si Pongge yang sedang kegirangan di dalam 
air. Ketika Pongge menyelam lagi, Wiraga 
segera menyambar pakaian Pongge, tapi 
goloknya tidak ikut disambarnya. Pakaian

itu segera dibawa pergi ke gua bersama 
Betina Rimba.
"Mengapa kau bawa pakaian temanmu 
itu?"
"Biar dia tak bisa menyusulku! Dia 
teman yang gemar mengganggu teman. Dengan 
membawa pergi pakaiannya, ia tak akan 
mencariku ke mana-mana!"
Betina Rimba geleng-geleng kepala 
sambil sunggingkan senyum tipis berkesan
sinis lagi. Namun gerakannya menjadi lebih 
cepat lagi, karena Wiraga melesat dalam 
beberapa lompatan cepat. Mereka menghilang 
sebelum Pongge muncul dari kedalaman air.
Ketika si muka bundar itu muncul, la 
terkejut melihat Wiraga dan Betina Rimba 
sudah tak ada di tempatnya. Lebih terkejut 
lagi setelah menyadarl pakaiannya tak ada 
di tempat semula.
"Jabang bayi! Pasti ini kerjaan si 
Wiraga! Kampret bodong dia itu!" gerutu 
Pongge dengan hati dongkol, lalu ia pun 
berteriak keras-keras.
"Wiragaaaa...!"
* * *
ENAM


BETINA RIMBA belum pernah masuk ke 
dalam gua itu, sehingga ia harus memeriksa 
keadaan keamanannya. Bagaimanapun juga ia 
tak mau terjebak oleh kebodohannya

sendiri, dan tetap menaruh curiga kepada 
pemuda yang mengaku bernama Wiraga.
"Siapa tahu dia menjebakku dan berada 
di pihak Nyai Ratu?" pikir Betina Rimba 
sambil melirik ke sana-sin! dan melangkah 
mengitari gua tak berlorong itu.
"Dari mana asalmu, Betina Rimba?" 
tanya Wiraga sambil duduk di atas batu 
setinggi pinggul. Saat itu Betina Rimba 
tiba di depannya dan menatap dengan kepala 
sedikit menunduk karena ketinggian 
tubuhnya.
"Kau sendiri dari mana?" Betina Rimba 
ganti bertanya.
"Kau ini ditanya kok jadi ganti 
bertanya?" Wiraga tersenyum sambil geleng-
geleng kepala. "Kau tak perlu curiga 
padaku. Aku bukan orang jahat seperti 
lawanmu yang berwajah menyeramkan tadi. 
Aku dari Perguruan Elang Bumi."
Betina Rimba terkesiap dan membatin, 
"Kalau tak salah, Perguruan Elang Bumi itu 
adalah perguruannya Panji Pura?!"
Dengan kalem si pemuda bercambang 
tipis itu berkata lagi.
"Aku dan Pongge mendapat tugas dari 
guru kami untuk mencari seorang sahabat 
yang hilang. la dalam keadaan tak waras. 
Maklum keluarganya habis dibantai oleh 
sekelompok manusia bertopeng dan bayi 
kembarnya yang baru Iahir itu juga hliang 
entah ke mana...."
Betina Rimba semakin tak enak hati
mendengar penjelasan itu. Ia tahu yang 
dimaksud adaiah Panji Pura, tapi ia

berlagak tak tahu menahu tentang kasus 
pembantaian itu.
"Siapa nama temanmu itu, Wiraga?" 
"Panji Pura. Ciri-cirinya, berperawakan 
hampir mirip denganku...."
Betina Rimba berlagak menyimak 
penjelasan Wiraga tentang ciri-clri Panji 
Pura, tapi dalam hatinya ia tertawa karena 
ia sudah tahu ciri-ciri tersebut. Tiba-
tiba ia menemukan gagasan yang terlintas 
dalam benaknya saat Wiraga menceritakan 
ciri-ciri manusia bertopeng yang membantai 
seluruh keluarga Panji Pura. Wiraga 
menceritakan ciri topengnya, sesuai dengan 
penjelasan yang diterima saksi mata dalam 
peristiwa tersebut.
"O, topeng itu...?! Ya, aku pernah 
melihat orang memakai topeng seperti yang 
kau sebutkan tadi."
"Kau tahu siapa pemilik topeng itu?" 
sergah Wiraga.
"Barnyak sekali yang memiliki topeng 
seperti itu. Aku pernah bertarung dengan 
tiga orang bertopeng, dan ketiganya 
berhasil kulumpuhkan. Ketika topeng mereka 
kubuka, ternyata mereka adalah orang Pesi-
sir Kulon. Mereka adalah orangnya Ratu 
Cumbu Laras!"
"Oh, betulkah?!" Wiraga terkejut 
karena merasa baru sekarang mendapat 
keterangan seperti itu.
"Ini keterangan berharga sekali dan 
perlu segera kusampaikan kepada Guru" 
ujarnya dalam hati, kemudian ia ajukan 
tanyai lagi kepada Betina Rimba.

"Kau yakin kalau pemillik topeng 
seperti itu adalah orangnya Ratu Cumbu 
Laras?!"
"Aku yakin sekali, karena pada waktu 
itu aku segera menyerang Pesisir Kulon, 
dan ternyata mereka mengakui telah 
mengirimkan tiga orangnya bertopeng untuk 
melukaiku. Akibat penyerangan dan 
pembunuhan dl wilayahku itu, sampai 
sekarang aku menjadi buronan Ratu Cumbu 
Laras. Perempuan yang tadi bertarung 
denganku adalah utusan Nyai Ratu Cumbu
Laras untuk menangkap atau membunuhku!"
"Ooo...." Wiraga manggut-manggut 
sambil pandangi Betina Rimba yang berada 
empat langkah dari tempatnya duduk. 
"Pantas kelihatannya lawanmu tadi liar 
sekali. Kurasa kita perlu menyatukan 
kekuatan kita untuk lumpuhkan orang-
orangnya Ratu Cumbu Laras. Bagaimana 
menurutmu, Betina Rimba?!”
Perempuan itu menghampiri Wiraga lagi. 
Kini ia berdiri daiam jarak kurang dari 
satu jangkauan tangan Wiraga. Wajah mereka 
saiing berhadapan dan mata mereka beradu 
pandang.
"Apakah kau sudah siap menyatu 
denganku, Wiraga?"
"Siap sekali!" jawab Wiraga dalam 
senyum. "Menyatu yang bagaimana maksudmu?" 
Wiraga tampak mulai nakal.
Betina Rimba menyentuh bibir Wiraga 
dengan ujung telunjuknya.

"Menyatu dalam arti sebenarnya. Kau 
dan aku merapatkan badan menjadi satu. 
Apakah kau setuju?" 
Pandangan mata Betina Rimba mulai 
menjadi sayu dan nakal. Wiraga tak mau 
kalah nakal dengan senyumannya.
"Kau menantang gairahku, Betina 
Rimba.,.."
"Sambutlah tantanganku kalau kau 
mampu," ujar Betina Rimba sambil masih 
meraba bibir Wiraga dengan ujung 
telunjuknya.
Wiraga membiarkan telunjuk itu bermain 
di bibirnya. Kini ia membalas meraba bibir 
sensual Betina Rimba yang menggemaskan 
jika hanya dipandang saja itu. 
Ketika jari telunjuk Wiraga menempel 
di bibir Betina Rimba, bibir itu langsung 
merekah sedikit, menyambar jari tersebut. 
Betina Rimba menggigit telunjuk Wiraga 
dengan gigitan mesra. Wiraga justru 
mendorong telunjuknya dan masuk ke mulut 
Betina Rimba. Telunjuk itu segera 
dimainkan oleh lidah Betina Rimba, 
sesekali dihisapnya, sesekaii dikeluarkan 
dari mulut. Sebelum jari itu keluar semua, 
Betina Rimba menelannya lagi dan menghisap 
jemari itu.
Hisapan lembut membuat hati Wiraga 
semakin berdesir indah. Ia pun segera 
menyambar jari telunjuk perempuan itu dan 
menghisapnya kuat-kuat, lalu menarik 
mundur kepalanya pelan-pelan hingga jemari 
itu keluar dari mulut secara pelan pula.

Hal itu dilakukan Wiraga berulang-
ulang, tapi jarinya sendiri sengaja 
diturunkan dari mulut Betina Rimba. Jari 
itu merayap pelan ke dagu, lalu ke leher 
dan terus menyusuri belahan dada yang 
sekal dan tampak kencang itu. Betina Rimba 
akhirnya mendesis dengan mata mulai 
terbeliak.
"Sssshh... aaaah...."
Tangan kirinya menarik penutup dada 
hingga penutup itu tak berfungsi lagi. 
Maka tangan Wiraga pun bebas menjamah ke 
mana saja dan sasaran utama adalah 
gumpalan dada yang kanan. Wiraga 
mengusapnya pelan-pelan dengan telapak 
tangan melebar. Ujung gumpalan dada itu 
mulai mengeras dan suara desah keindahan 
semakin terdengar jelas dari mulut Betina 
Rimba.
"Sssshhh, aaahh.... Mainkan terus, 
mainkan, oooh, yaaah... yaah... terus, 
Wiraga, terus...!"
Sementara itu tangan Betina Rimba pun 
ikut merayapi pinggang Wiraga dengan 
menelusupkan tangannya ke celah baju. 
Tangan itu bergerak turun pelan-pelan 
sambil sesekali meremas kulit tubuh 
Wiraga. Gerakannya yang lamban itu 
akhirnya mencapai pinggul Wiraga.. Tangan 
Wiraga menarik tali simpul ikat 
pinggangnya. 
Serrrt, teees. 
Maka tangan Betina Rimba memperoleh 
kelonggaran dan dapat menelusup lebih 
dalam lagi, sampai akhirnya ia menemukan

sesuatu yang menantang dengan tegar dan 
perkasanya. la meremas sesuatu itu sambil 
tangan yang satu telah lepas dari mulut 
Wiraga itu menarik kepala pemuda itu 
hingga merapat di dadanya.
"Oouh, pagutlah... pagut yang 
kuat...."
Mulut Wiraga terbuka, Betina Rimba
mendesakkan ujung dadanya hingga masuk ke 
mulut itu. 
Suuut...! Wiraga memagutnya.
"Aaooow...! Oohh. Oohh... terus, 
terus... kencang lagi, Wiraga! Keras lagi, 
oohh, yaaah... yah, nikmat sekali, Wiraga! 
Uuuuh...!"
Betina Rimba tak segan-segan berseru, 
menge-rang, memekik dan mendesak-desak. la 
akhirnya menjadi liar. Wiraga dijambak, 
kepalanya didongakkan, lalu bibir Wiraga 
dilumatnya habis dengan tangan meremas-
remas kehangatan Wiraga yang telah tegar 
dan sangat menantang itu.
Kecupan bibir sedikit tebal itu bukan 
hanya di mulut Wiraga saja, tadi juga 
turun ke bawah dan menyapu leher Wiraga 
dengan lidahnya yang lincah. Sesekali 
leher itu dipagut-pagutnya, kadang juga 
digigit kecii sebagai tanda kegemasan si 
gadis bertubuh sekal itu. Wiraga sengaja 
pasrah dengan menyandarkan pinggang 
belakang ke batu setinggi pinggang itu.
Betina Rimba semakin mengganas. Ia 
menyapukan lidahnya di seluruh dada 
Wiraga, bahkan memagut-magut noda hitam 
yang ada di kanan kiri dada Wiraga. Pemuda

Itu dlbuai oleh keindahan yang cukup 
tinggi ketika mulut Betina Rimba mencaplok 
noda hitam di dada Itu.
"Oouh, Betina... Betina, nikmat sekali 
itu. „ Ooouh...!" Wiraga pun mengerang 
panjang dengan kepala terdongak karena 
ditikam rasa nikmat begitu tinggi.
Gadis itu pun bangkit sambil 
menyusurkan lidahnya ke tubuh Wiraga 
sampai akhirnya mereka bertemu dalam 
kecupan bibir kembali. Kini Wiraga beraksi 
seperti yang dilakukan Betina Rimba tadi. 
Kecupannya menyusuri tubuh berbulu halus 
itu, sampai akhirnya menemukan pusar si 
wanita.
"Oouh...! Terus, terus, jangan 
berhenti di situ, terusss...!" Betina 
Rimba menekan kepala Wiraga hingga kepala 
itu turun.
"Aku tak tahan lagi, Wira... aku ingin 
kau melakukannya sekarang Sekarang, 
Wira... oouh, oouh...!"
Wiraga pun bangkit sambil merayapkan 
kecupan bibirnya ke dada Betina Rimba. 
Kecupan itu memutar hingga mencapai 
punggung si gadis yang berbulu agak lebat 
namun lembut itu. Si gadis akhirnya 
menggelinjang ketika tengkuknya dipagut-
pagut oleh Wiraga, punggungnya digigiti 
kecil, dan lidah Wiraga menyapu seluruh 
permukaan punggung tersebut.
"Oouh, Wiraga... lakukan sekarang, 
jangan permainkan aku lagi. Oouh... 
sekarang, Wiraga!" seru Betina Rimba tak 
sabar lagi.
Kedua tangannya berpegangan batu 
besar, kakinya jauh dari batu itu hingga 
ia membungkuk, dan kedua kaki itu seperti 
saling bermusuhan hingga saling berjauhan. 
Maka, Wiraga pun menikamnya dari belakang 
dengan sentakan lembut tapi mantap.
"Aooooww...!" pekik Betina Rimba 
ketika Wiraga membenamkan diri ke dalam 
jutaan rasa nikmat itu.
"Oouh, indah sekali, Wiraga! Terus...! 
Terus, jangan berhenti. Lebih cepat lagi, 
cepat lagi, ooh, yaah, yah... oouh, 
sssshhh... aaaah! Oouuuh, cepat lagi, 
cepat lagi, yang keras! Hajar aku yang 
keras, oooh, yaaah, begitu, begitu.... 
Oouuh...!"
Ramai sekali perempuan itu jika sedang 
menga-rungi lautan cintanya. la memang 
perempuan yang tangguh dan tegar. Sampai 
beberapa saat lamanya Wiraga mengarungi 
samudera kemesraannya, perempuan itu belum 
mau mencapai puncak keindahannya. Agaknya
ia masih suka mempermainkan debar-debar 
hatinya sendiri sehingga Wiraga pun kini 
bermandi peluh dan bernapas terputus-
putus.
"Berbaringlah!" perintah Betina Rimba 
dengan nada galak setelah ia membentangkan 
baju Wiraga di tanah. Pemuda itu pun 
segera berbaring. Betina Rimba 
mengganaskan ciumannya ke sekujur tubuh 
Wiraga yang agaknya tak mau dikalahkan 
itu. Setelah sesaat ia mengganas dengan 
ciumannya, ia pun menikamkan diri sendiri 
dengan menggunakan pusaka miiik Wiraga.

Slaaap...!
"Aaaakh...!" ia memekik dengan kepala 
terdongak dan tubuh mengeras. Kejap 
berikutnya ia melonjak-lonjak dengan 
seribu kata berhamburan bersama napas yang 
terengah-engah.
"Oouh, oouh...! Nikmat sekali, Wiraga! 
Ooouh, ooouh... bangsat kau!"
Plaaak...! 
Wiraga ditamparnya, tapi gadis itu 
masih melonjak-lonjak bagai kegirangan 
mendapat sejuta kebahagiaan.
Plak, plak, plak...!
"Oouh, kau benar-benar jantan, Wiraga! 
Uuuhm...! Aaah.... bangsat kau! Bangsat 
kau, aaah... nikmat sekali kau, hah?! 
Ouuuh...!"
Plak, plak, plak...!
"Wiraga! Wiraga!" sentaknya dengan 
mata mendelik dan tangan mencengkeram 
rambut Wiraga kuat-kuat, bahkan kepala 
Wiraga sampai terangkat.
"Wiragaaa...! Oouh, oouh...! Aku ingin 
bersamamu! Lepaskan, lepaskan kemesraanmu! 
Kita berada di puncak, Wiraga!"
"Oh, yaaaah. yaah... kulepaskan 
Betina! Ouh...!"
"Wiragaaaaa...! Aaaaa...!"
"Haaaaahhhk...!"
Keduanya sama-sama menjerit keras-
keras. Keduanya saiing meremas kuat-kuat. 
Wiraga mengamuk, Betina Rimba mengganas 
dan menjadi buas.

Gua Itu penuh dengan suara teriakan 
mereka yang telah mencapai puncak 
keindahan bersama-sama itu.
Suara tersebut menggema keluar, sampai 
di telinga Pongge yang masih merendam diri
di perairan sungai. Tapi yang didengar 
Pongge hanya suara gaduh dalam satu 
jeritan menggema. la tak bisa mengenali 
apakah suara itu suara Wiraga atau seekor 
singa mengamuk ganas.
" Jangan-jangan singa lapar sedang 
menuju kemari?" pikirnya mulai cemas. 
"Wah, bisa-bisa tubuhku yang bulat Ini 
dltelannya tanpa dlkunyah lagi. Mana tak 
pakai baju lagi, pasti disangka udang 
kupasan?!"
Pongge menjadi panik. la bukan 
berdebar-debar saja namun juga gemetar. 
Mulanya ia ingin nekat naik ke permukaan 
sungai dan mencari dedaunan sebagai 
penutup tubuhnya, tapi tiba-tiba ia harus 
merendam diri lagi karena dilihatnya ada 
tiga perempuan sedang berjalan melintas di 
atas tanggul. Ketiga perempuan Itu masih 
muda-muda dan mengenakan pakaian silat 
berbeda warna.
"Waduh, gawat...!" sambil Pongge 
merendam diri. "Mudah-mudahan mereka tidak 
kemari"
Tapi apa yang diharapkan Pongge 
ternyata berbeda. Tiga gadis itu memandang 
ke arah Pongge, salah seorang menuding dan 
berbisik-bisik. Pongge mulai semakin 
cemas. ia berlagak tidak melihat gadis


gadis itu dan melakukan gerakan-gerakan 
yang seolah-olah sedang mandi.
Wut, wut, wut...! 
Tiga gadis itu justru melompat dari 
atas tanggul dan mendekati tepian sungai.
"Aduh, celaka bantat kalau begini!" 
keluh hati Pongge. "Mereka justru 
mendekat! Sial! Ini gara-gara ulah si 
Wiraga, bikin aku gemetaran di dalam air 
sungai!"
"Kang, kami mau numpang tanya padamu!" 
seru si gadis berpakaian serba hitam itu.
"Naiklah kemari, ada yang ingin kami 
bicarakan denganmu, Kang!" timpaltemannya 
yang berpakaian serba jingga itu.
"Aak... aku sedang sibuk!"
Pongge berlagak sibuk mencari udang. 
Kedua tangannya terendam dalam air. 
Padahal tadi ia sudah berlagak sibuk 
mandi, sekarang berubah pura-pura sibuk 
mencari udang. ini akibat Pongge salah 
tingkah karena didekati tiga gadis cantik 
itu.
"Apa yang kau cari di situ, Kang?"
"Udang!" jawabnya pendek, seakan acuh 
tak acuh pada mereka.
"Tahukah kau wilayah Pesisir Kulon 
itu, Kang?!" tanya si baju kuning. Pongge 
berlagak tak mendengar atau sedang sibuk 
menangkap udang di bebatuan.
"Kang...!" bentak si baju kuning.
"Ssst...! Jangan brisik, nanti udang-
udang ini kaget dan lari ke mana-mana!"
Si baju jingga semakin keraskan suara.

"Kami mau bicara denganmu! Dekatlah 
kemari! Atau kami akan menyeretmu naik 
dari tempatmu itu?!"
"Aku sedang sibuk, Nona-nona cantik! 
Kalau kalian mau bicara denganku, tunggu 
kalau aku sudah tak sibuk!" seru Pongge 
jengkel, tapi ia tetap merendam badan 
sebatas dada.
"Kami hanya ingin menanyakan letak 
benteng Pesisir Kulon itu! Tahukah kau?!"
"Aku tak tahu!" jawab Pongge ketus dan 
tak memandang yang diajak bicara.
"Kenalkah kau dengan Ratu Cumbu 
Laras?!" seru gadis berpakaian hitam.
Pongge tak menjawab, maksudnya biar 
ketiga gadis itu sebal padanya dan segera 
pergi. Tapi rupanya ketiga gadis dari 
Tebing Naga itu sama-sama bandel, tak mau 
tahu kesibukan seseorang. Bahkan yang 
berpakaian jingga segera membentak dengan 
lantang.
"Penyu pitak! Kau mau kemari atau 
kutenggelamkan dari sini, hah?! Cepat 
kemari, kami mau bicara denganmu!"
Pongge semakin jengkel dan bingung. 
Mana mungkin ia datang mendekati mereka 
sementara tubuhnya tanpa selembar benang 
pun. Ketiga gadis itu menyangka Pongge 
mengenakan celana pendek, karena sedang 
lakukan kesibukan mencari udang. Tak 
mungkin telanjang, pikir mereka.
"Kuhitung tiga kali kalau kau tak 
menghormati kami dengan mendekat kemari, 
kutenggelamkan kau dari sini!" seru si 
baju jingga. "Satu... dua...."

Pongge jengkel sekali, ia langsung 
berdiri di atas batu hingga permukaan air 
menjadi sebatas betisnya.
"Apa mau kalian sebenarnya, hah...?!" 
"Hiiiii...!"
Ketiga gadis itu saiing menjerit dan 
cepat-cepat lari tinggalkan Pongge yang 
mirip anak penyu baru Iahir.
* * *
TUJUH


RUPANYA pihak Tebing Naga ingin 
menuntut balas kepada Ratu Cumbu Laras 
atas kematian si Wajah Keranda. Karena 
orang bertampang kuburan itu ternyata 
adalah putra sulung Penguasa Tebing Naga 
yang berjuluk, Nyai Sekap Madu.
Wilayah Tebing Naga dibagi menjadi 
dua: utara dan selatan. Yang utara 
diserahkan kepada si Wajah Keranda, yang 
selatan diserahkan kepada si Wajah Sutera. 
Pada mulanya, Nyai Sekap Madu 
mempercayakan kepada si Wajah Keranda 
untuk menuntut balas atas kematian Wajah 
Sutera. Tetapi ternyata Wajah Keranda 
sendiri terbunuh. Yang mereka tahu, Wajah 
Keranda terbunuh dalam pertarungan melawan 
Ratu Cumbu Laras. Mereka tidak tahu 
kematian itu di tangan Panji Pura.
Oleh sebab itulah, Nyai Sekap Madu 
sudah tak punya toleransi lagi. la harus 
muncul sendiri sebagai sang pencabut nyawa

Ratu Cumbu Laras. la mengutus tiga murid. 
perempuannya untuk menyelidiki kelemahan 
Ratu Cumbu Laras.
Tiga murid itulah yang bertemu dengan 
Pongge, dan akhirnya menemukan sendiri 
wilayah Pesisir Kulon. Mereka berhasil 
dapatkan kabar bahwa Ratu Cumbu Laras 
adalah perempuan yang haus kemesraan 
lelaki, namun juga mendendam kepada setiap 
lelaki. Maka kali ini Nyai Sekap Madu 
mengutus muridnya yang tampan dan masih 
berusia dua puluh dua tahun. Pemuda itu 
bernama Karta Lawa.
"Rayu dia, usahakan dia jatuh dalam 
pelukanmu, kemudian tancapkan jarum 'Sigar 
Rolas' ini ke dalam tubuhnya!" ujar 
perempuan tua berusia enam puluh tahun 
lebih, namun kulitnya masih kencang, dan 
wajahnya masih menyimpan sisa kecantikan 
masa muda. Itulah wajah Nyai Sekap Madu, 
tokoh aliran hitam yang tak kentara 
kehltamannya.
"Apa kekuatan jarum 'Sigar Rolas' ini, 
Guru?!" tanya Karta Lawa.
"Melumpuhkan kedua belas ilmu andalan 
lawan. Dengan begitu, Ratu Cumbu Laras 
dapat kuhancurkan dengan mudah. Ingat, 
jangan kau hancurkan sendiri perempuan 
itu. Dia adalah bagianku, karena dia telah 
membunuh kedua anakku dan seorang 
menantuku!"
"Baik, Guru! Saya akan segera larikan 
diri setelah menancapkan jarum 'Sigar 
Rolas' itu!"

"Bagus! Sekarang, akan kumasukkan 
jarum beracun ganas ini ke kulit pahamu. 
Buka celana!"
"Hmmm, eeeh, anu... celana dibuka 
semua, Guru?"
"Jangan membantah! Buka celanamu!" 
Karta Lawa yang tampan tapi rada konyol 
itu sempat membatin, "Wah, jangan-jangan 
mau diperkosa?"
Plaaak...! 
Tiba-tiba ia mendapat tamparan dari 
gurunya yang cukup keras.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan, 
Tolol!" bentak sang guru. Rupanya Nyai 
Sekap Madu dapat mendengar ucapan batin 
seseorang, sehingga ia mengetahui apa yang 
diucapkan dalam batin muridnya yang tampan 
itu.
Karta Lawa segera melepaskan celananya 
sampai sebatas lutut. Nyai Sekap Madu 
meraba samping paha kanan sang murid untuk 
mencari kuiit yang lunak dan bisa untuk 
menyimpan jarum beracun itu. Jika jarum 
itu tidak mengenai darah, maka racunnya 
tak dapat bekerja dan tidak membahayakan 
orang tersebut. Maka jarum harus dalam 
keadaan tertutup antara kuiit ari dengan 
kuiit sebenarnya.
Namun karena wajah sang guru masih 
punya sisa kecantikan, ditambah lagi badan 
sang guru yang juga masih tampak agak 
kencang, putih mulus, berpinggul ketat, 
gumpalan dadanya tampak rada montok, masih 
seperti perempuan separuh baya yang sedang 
hangat-hangatnya karena memang ia pandai

merawat diri, mau tak mau rabaan pada paha 
Karta Lawa itu menimbulkan 'greeeng...' 
sendiri bagi si murid konyol itu.
Sang guru tahu, ada sesuatu yang 
menggeliat dalam diri sang murid, tapi ia 
cuek saja. Ia tetap mencari kuiit ari di 
paha kanan sang murid, sampai akhirnya 
ditemukannya tempat itu. Lalu jarum 'Sigar 
Rolas' yang mirip merek tembakau itu 
disusupkan pelan-pelan ke kulit ari paha 
sang murid. 
Bleeesss.... 
"Sakit?"
"Tid... tid... tidak, Guru," jawab 
Karta Lawa dengan menggeragap karena 
gemetar. Bukan gemetar karena masukhya 
jarum, tapi gemetar karena diraba pahanya. 
Maklum, usianya masih muda, masih mudah 
'greng' jika disentuh tangan perempuan.
Jarum itu tersisa bagian pangkalnya 
yang mempunyai bulatan warna coklat, mirip 
kulit paha itu sendiri. Bulatah coklat 
kecii itu berguna untuk memudahkan si 
Karta Lawa mencabutnya pada saat jarum itu 
dibutuhkan.
Selesai menyusupkan jarum itu, Nyai 
Sekap Madu mengusap paha dengan mantra 
khusus, agar tidak mudah diketahui lawan 
si Karta Lawa nantinya. Pada saat tangan 
mengusap paha tersebut, Karta Lawa semakin 
'greeeeng' dan bahkan seperti menantang 
dengan gagahnya.
Sang guru melirik bagian yang 
menantang itu, lalu tersenyum tipis, 
membuat Karta Lawa menjadi tersipu-sipu.

"Kau belum pernah tidur dengan
perempuan, bukan?!"
"Bel... belum, Guru! Hmmm... maaf, 
saya tutup dulu, Guru!"
"Tunggu," sergah sang guru sambil 
menahan tangan Karta Lawa yang ingin 
menaikkan celananya itu. Mata sang guru 
memandang ke arah sesuatu yang menantang 
itu.
"Bagi seorang perempuan yang doyan 
kemesraan lelaki, seperti si Cumbu Laras, 
kau dianggap mempunyai kekuatan yang kecil 
dan tidak membakar gairahnya."
"Maaaks... maksudnya, apa yang kecil
tadi, Guru?"
"Ini...!" sang guru menuding sesuatu 
yang menantang dengan tegak itu. "Buat si 
Cumbu Laras, ini termasuk kecil. Perlu 
diperbesar supaya menarik perhatian."
"Tap... tapi bagaimana cara 
membesarkannya, Guru! Dari dulu dia sudah 
kuasuh dan kurawat bik-baik tapi tidak mau 
lekas besar."
"Taruh kedua tanganmu ke belakang, 
akan kuperbesar dia!"
Karta Lawa akhirnya menurut apa 
perintah sang guru. Kedua tangan 
dikebelakangkan. Sang guru segera 
menudingkan ujung telunjuknya ke ujung 
'pusaka' si anak muda itu. Kejap kemudian, 
Karta Lawa merasakan ada hawa panas yang 
masuk ke dalam 'pusaka'nya itu. 
Caas...!
"Aaow...!" ia menarik mundur secara 
refleks. Sang guru hempaskan napas.

Rupanya ia sudah selesai memperbesar 
'pusaka' milik Karta Lawa itu. Ternyata 
rasa panas pun cepat hilang, Karta Lawa 
pandangi 'pusaka'-nya sendiri.
"Hahhh...?!" ia mendelik kaget melihat 
ukuran 'pusaka'-nya yang menurutnya telah 
menjadi dua kali lipat dari ukuran semula.
"Berangkatlah dan temui si Cumbu Laras 
itu! Aku akan membayang-bayangimu dalam 
jarak tertentu. Lepaskan sinar merah pijar 
ke atas langit, maka aku akan tahu bahwa 
jarum itu telah kau tusukkan dalam tubuh 
si Cumbu Laras. Aku akan segera datang 
menyerangnya!"
"Baa... baik... baik, Guru!" sambil 
Karta Lawa mengenakan celananya lagi. 
"Wah, kok jadi sesak begini? Gawat?!" 
ujarnya dalam hati, sang guru hanya 
tersenyum, lalu membiarkan muridnya pergi 
tunaikan tugas. .
Pada saat itu, ternyata ada pihak lain 
yang merencanakan menyerang Pesisir Kulon 
dengan sasaran kematian sang Ratu Cumbu 
Laras. Pihak lain itu adalah Perguruan 
Elang Bumi yang mendapat keterangan dari 
Wiraga tentang pembantaian massal itu. 
Tentu saja Perguruan Elang Bumi berada di 
pihak Panji Pura, sekalipun si Panji Pura 
masih belum ditemukan.
Resi Pangkayon, yang menjadi guru 
besar sekaligus Ketua Perguruan Elang Bumi 
itu, berkata kepada para muridnya yang 
berkumpul di pelataran.
"Kita menyerang bukan semata-mata 
karena balas dendam. Kita melumpuhkan


perempuan itu karena kekejiannya sudah 
melampaui batas dan sangat membahayakah 
kehidupan di muka bumi ini! Jika ia tidak 
kita hentikan, maka pembantaian seperti 
itu masih tetap akan berlanjut sewaktu-
waktu!"
Para murid menyimak baik-baik kata-
kata sang guru besar itu. Dalam benak 
mereka terbayang wajah-wajah pucat tak 
berdosa yang bergelimpangan, seakan nyawa 
manusia tak berarti lagi pada saat itu.
"Berangkat dan musnahkan perempuan 
itu! Tak ada lagi waktu untuk 
mengadilinya!" perintah sang guru besar
Resi Pangkayon.
Pada saat itu, Betina Rimba berada 
bersama Wiraga di salah satu sudut paling 
belakang. Betina Rimba tersenyum dalam 
hati, karena ia sebentar lagi akan melihat 
Ratu Cumbu Laras menjadi kalang kabut 
diserang oleh orang-orang Perguruan Elang 
Bumi.
"Kau akan ikut menyerangnya pula, 
Betina Rimba?!" tegur Wiraga.
"Ya, tapi aku hanya akan menyerang 
Ratu Cumbu Laras. Kucari kelengahannya dan 
kuserang ia dengan jurus yang mematikan!"
"Bagus! Aku akan mendampingimu terus!" 
ujar Pongge yang merasa ingin ikut ambil 
bagian seb-gai pendamping Betina Rimba 
dalam penyerangan nanti. Padahal ia 
memanfaatkan perempuan itu untuk 
berlindung dari bahaya yang dapat 
menyerangnya sewaktu-waktu.

Ketika orang Perguruan Elang Bumi 
bergegas menuju ke Pesisir Kulon yang 
memakan waktu sehari semalam, ternyata 
Karta Lawa sudah lebih dulu sampai di 
istana Pesisir Kulon. Dengan berlagak 
menyamar sebagai seorang pemuda desa yang 
sedang mencari tabib untuk mengobati 
kakeknya yang sakit, Karta Lawa sempat 
dicurigai oleh penjaga perbatasan wilayah
Pesisir Kulon. Ia ditangkap dipantai, lalu 
diserahkan kepada Ratu Cumbu Laras.
Sang Ratu mulai tergoda oleh senyum si 
Karta Lawa yang memang mempunyai daya 
tarik tersendiri itu. Kepolosannya dalam 
bersikap dan berbicara membuat sang Ratu 
merasa mendapat keberuntungan sendiri 
dalam hatinya.
"Ia tampak masih polos dan lugu. Aku 
sangat bergairah dengan anak kemarin sore. 
Gairahku akan meluap-luap jika berhadapan 
dengan bocah polos yang belum mengenal 
cumbuan. Pasti dia akan menurut jika 
kusuruh begini-begitu. Ooh... i-dah 
sekali. Semangatnya pun pasti masih 
menggebu-gebu sehingga dalam waktu singkat 
ia dapat kuajak mengulangi keindahan itu. 
Hik, hik, hik...!"
Di depan Karta Lawa yang polos tanpa 
senjata itu, Ratu Cumbu Laras berkata 
dengan tegas.
"Aku adalah seorang tabib juga untuk 
segala macam penyakit. Mengapa kau harus 
mencarinya ke mana-mana?"
"Oh, kalau begitu, sangat kebetulan 
sekali aku tertangkap di pantai tadi.

Ternyata justru aku bertemu dengan seorang 
tabib sakti. Oh, Nyai Ratu... maukah kau 
menyembuhkan kakekku sekarang juga?"
"Kakekmu akan sembuh, tapi terlebih 
dulu kau harus menjelaskan jenis penyakit 
yang dideritanya."
"Baik, akan kujelaskan...."
"Tunggu! Jangan di sini, tapi di 
kamar. Aku ingin mendengarnya sambil 
beristirahat!"
Kemudian sang Ratu membawa Karta Lawa 
ke kamarnya. Pemuda itu sudah tahu maksud 
sang Ratu, namun harus masih tetap 
berlagak bodoh.
Setelah sampai di kamar, sang Ratu pun 
berkata, "Jangan-jangan kau kemari membawa 
penyakit dari kakekmu? Agaknya penyakit 
kakekmu itu sangat menular."
"Oh, tap... tapi aku tidak merasa 
sakit apa-apa, Nyai Ratu."
"Kau harus kuperiksa dulu untuk 
meyakinkan bahwa kau tidak tercemar oleh 
penyakit tersebut."
"Baik. Aku bersedia."
"Lepaskan semua pakaianmu."
"Hahh...?!" Karta Lawa berlagak kaget.
"Lepaskan dan berbaringlah di ranjang 
itu, aku akan memeriksamu lebih teliti 
lagi!"
Karta Lawa gemetar saat melepaskan 
semua yang dipakainya. Kali ini ia benar-
benar gemetar, bukan berpura-pura, sebab 
mata sang Ratu memandangnya penuh goda. 
Wajah cantik dan dada montok itu seakan 
melambai-lamhai di depan mata Karta Lawa.

"Berbaringlah," ujar sang Ratu dengan 
lembut sambil mengusap punggung anak muda 
itu. Karta Lawa puq menurut. la berbaring 
dengan kedua kaki merapatkan kedua tangan 
menggenggam sesuatu yang telah diperbesar 
oleh gurunya itu.
"Rentangkan ke samping kedua tanganmu, 
Karta!" perintah sang Ratu dengan lembut 
pula. Karta Lawa pun terpaksa merentangkan 
tangannya kesamping.
"Oooh...?!" sang Ratu terperangah 
kagum dan matanya mendelik memandangi 
sesuatu yang ternyata telah berdiri tegak 
penuh tantangan itu.
"Kau memiliki 'pusaka' yang sungguh 
dahsyat, Karta...," ucap sang Ratu dengan 
nada mendesah.
Jantung Karta Lawa berdebar-debar, 
menyentak-nyentak dadanya, karena pada 
saat itu sang Ratu mendekatinya dan 
menyambarnya dengan kedua tangan. Sambaran 
itu diiakukan dengan hati-hati sekali, 
sementara wajahnya masih memancarkan 
cahaya kekaguman dan kegembiraan.
"Diam-diam kau punya kehebatan yang 
tersembunyi, Karta. Kenapa kau tak katakan 
sejak tadi, Sayang?"
"Ak... aku... aku... any...." Karta 
Lawa tak bisa bicara karena gemuruh di 
dalam dadanya semakin keras. Keringat 
dinginnya pun keluar semua, dan tubuhnya 
merasa semakin gemetaran.
Sang Ratu tak pedulikan keadaan pemuda 
itu. la sibuk mengusap-usap sesuatu yang 
terasa hangat dan mendebarkan itu.

Gairahnya terbakar dan cepat menjadi 
berkobar-kobar. la tak sabar, laiu 
menciumi paha Karta Lawa dengan lidah 
menari ke sana-sini.
"Oouh, ooh, Nyai... ja... jangan, 
Nyai...." Karta Lawa benar-benar takut, 
tapi tak mampu melarang atau menghindar, 
karena ia merasakan kenikmatan yang 
mengalir deras dari kaki sampai ubun-ubun 
kepalanya.
Ratu Cumbu Laras semakin bergairah 
jika mendengar suara lelaki ketakutan 
begitu. Ia bahkan menyapu seluruh tempat 
di sekitar paha Karta Lawa dengan 
lidahnya. 
Seeet...! 
Akhirnya lidah itu menuju puncak, 
kemudian menelan ‘hidangan’ tersebut 
dengan pelan-pelan sekali.
"Ooh, Nyai... Nyai Ratu... aduuuh... 
Nyai...."
"Sakitkah?" sang Ratu hentikan 
gerakannya sejenak.
"Hmmm... hmmmh... tidak, Nyai...." 
"Kau suka?"
"Suk... suk... suka sekali. Oooh... 
lagi, Nyai. Lagi...."
Sang Ratu mengikik kegirangan, 
kemudian ia menelan ‘hidangan' itu pelan-
pelan lagi. Tapi kali ini tangannya meraih 
tangan Karta Lawa. Karena ia berdiri 
membungkuk di samping ranjang, maka tangan 
Karta Lawa dengan mudah dapat dituntun 
hingga menyentuh "mahkota'-nya, setelah 
sang 'mahkota' dibuka penutupnya. Tangan

Karta Lawa pun segera menari-nari dengan 
malu, namun justru tarian malu-malu itu 
yang menimbulkan keindahan tersendiri bagi 
sang Ratu. Sementara itu, mulut sang Ratu 
masih melahap 'hidangan' yang tersedia.
Karta Lawa bermandi keringat dingin. 
Sang Ratu tak sabar lagi, kemudian ia naik 
ke atas ranjang dan Karta Lawa 
didudukinya.
"Oooooh...!"
Sang Ratu memekik panjang ketika ia 
sengaja menikamkan diri hingga 'pusaka' 
itu terbenam habis. Kemudian pinggulnya 
pun mulai menggeliat dalam putaran semu, 
pelan, tapi mantap baginya.
Karta Lawa sibuk dibuai oleh 
keindahan, hingga lupa akan tugasnya, lupa 
dengan jarum 'Sigar Rolas' itu. Akibatnya, 
semalam suntuk ia meluncur di samudera 
kenikmatan bersama sang Ratu. Apa yang 
diinginkan sang Ratu selalu dilayaninya, 
karena ternyata melayani kemesraan seperti 
itu sangat indah dan menyenangkan. Bahkan 
ia sempat berpikir, "Alangkah sayangnya 
jika perempuan seperti ini harus dibunuh?"
Mungkin karena lelahnya, Karta Lawa 
akhirnya tertidur di ujung pagi. Saat ia 
tertidur itulah, Ratu Cumbu Laras yang 
mendapat getaran ganjil dalam hatinya, 
segera menemukan jarum 'Sigar Rolas' di 
paha kanan Karta Lawa. Jarum itu dicabut 
pelan-pelan, sehmgga Karta Lawa tak 
terbangun.
Sekalipun Nyai Sekap Madu telah 
menutupnya dengan kekuatan gaib, namun

jarum itu masih dapat terlihat oleh mata 
Ratu Cumbu Laras, karena kekuatan iblis 
Dewa Seribu Laknat memberitahukan adanya 
bahaya yang akan menyerangnya. Sang Ratu 
ganti menyirap Karta Lawa, hingga pemuda 
itu tertidur dengan nyenyak sekali. la tak 
merasa kalau sudah dipindahkan di suatu 
tempat.
Ketika ia bangun, ternyata sudah 
berada di sebuah ruangan kumuh dan pengab 
berdinding lembab. Keadaannya masih tanpa 
pakaian, namun kedua kaki dan kedua
tangannya terikat merentang dikedua tiang.
"Oooh...? Mengapa aku mimpi begini? 
Ah, tak enak sekali mimpi begini. Aku 
harus segera bangun...!" pikirnya. Namun 
tiba-tiba sebuah cambuk melecut tubuhnya
dari belakang dan sangat mengagetkan 
sekaligus menyakitkan. 
Ctaaaarr...!
"Aaaow...!" teriak Karta Lawa. la 
segera sadar bahwa di depannya telah 
berdiri seorang perempuan cantik bermata 
sayu yang mengenakan jubah merah jambu. 
Perempuan itu tak lain adalah Ratu Cumbu 
Laras, dengan didampingi dua pengawal 
wanita di kanan kirinya, dan dua lagi 
pengawal lelaki bertubuh kekar berotot 
sedang memegangi cambuk di belakangnya. 
Lelaki itulah yang selalu ditugaskan 
menyiksa pria yang habis bercumbu dengan 
sang Ratu, untuk kemudian menghabisi pria 
itu jika sang Ratu tidak membutuhkannya 
lagi.

"Oh, ternyata aku tidak sedang 
bermimpi?!" pikir Karta Lawa dengan tegang 
dan ketakutan.
"Kau sudah bangun, Sayang?!" ujar sang 
Ratu dengan senyum sinis sambil mendekati 
Karta Lawa, lalu tangannya bermain nakal 
di ujung 'pusaka' pemuda itu.
"Rupanya tidurmu nyenyak sekali, dan 
percintaan kita semalam melenakan sekali, 
sehingga kau tak sempat mencabut jarum 
beracun ini!" sambil sang Ratu menunjukkan 
jarum 'Sigar Rolas' yang membuat Karta 
Lawa tercengang.
"Itu... itu... anu... itu...."
"Kau pasti orang suruhan yang 
ditugaskan membunuhku dengan jarum beracun 
ini! Siapa yang menyuruhmu?!"
"Hmmm... tidak, eh... bukan, eh... 
anu...."
"Cambuk dia!" sentak sang Ratu.
Ctaar, ctaar, ctaaaar...!
Karta Lawa memekik keras-keras 
menerima cambukan dari belakang dalam 
keadaan tanpa pakaian. Lecutan cambuk itu 
diterimanya lebih dari dua puluh kali, 
sehingga tubuhnya pun babak belur dengan 
luka mengerikan.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku, 
Karta?! Kalau kau tak mau menjawab, akan 
kupotong 'pusaka' kebanggaanmu ini!"
Sang Ratu berseru kepada pengawalnya, 
"Pinjam pedangmu!"
"Ja... jangan, jangan...! Ampun, Nyai! 
Kau boleh potong rambut dan kukuku, tapi 
jangan potong yang satu itu, Nyai!

Kasihan, dia anak yatim piatu! Ooh, 
ampun...ampun, Nyai Ratu...." Karta Lawa 
pun menangis ketakutan melihat sang Ratu 
sudah memegang pedang.
Akhirnya Karta Lawa mengaku bahwa ia 
memang disuruh oleh Nyai Sekap Madu, 
gurunya sendiri. Karta Lawa jelaskan, 
siapa Nyai Sekap Madu itu, selanjutnya 
semua rahasia itu terbongkar di depan Ratu 
Cumbu Laras.
"Karta Lawa, kau masih ingin bercumbu 
denganku seperti semalam?"
"Maa...masih. Masih sekali, Nyai! 
Mmm... maksudku, masih bersemangat 
sekali...."
"Kau mau selamanya bercumbu denganku?"
"Mau, mau... mau sekali, Nyai!" jawab 
Karta Lawa penuh semangat. "Aku memang 
Ingin selalu bercumbu denganmu, karena 
kau... kau luar blasa indahnya, Nyai...."
"Kalau begitu, kau harus penuhi 
syaratnya."
"Apa syaratnya, Nyai?"
"Kembalilah dan temui gurumu itu. 
Tancapkan jarum ini ke tubuhnya sendiri, 
lalu panggil pengawalku itu, suruh ia 
menghabisi gurumu. Kau bersedia atau 
tidak?!"
"Sangat bersedia, Nyai Ratu! Sangat 
bersedia!" jawab Karta Lawa berapi-api.
Pikirnya, "Lebih baik kehilangan Nyai 
Guru daripada tidak mendapat kemesraan 
seperti semalam. Toh kalau aku menolak, 
aku akan mati. Sedangkan aku baru kali ini 
menikmati kehangatan seorang perempuan.

Apakah baru semalam menikmati kehangatan 
perempuan sudah harus cepat-cepat mati? 
Nanti dulu, ah!"
Tiba-tiba Walet Perak yang telah 
sembuh dari lukanya itu segera datang 
menghadap Ratu Cumbu Laras.
"Kita diserang, Nyai Ratu!"
"Oh, ya...?! Siapa yang menyerang? 
Orang-orang Tebing Naga?!"
"Bukan! Mereka dari Perguruan Elang 
Bumi!"
Ratu Cumbu Laras terkejut, langsung 
teringat kepada Panji Pura, karena ia tahu 
Panji Pura dari Perguruan Elang Bumi.
"Mereka telah mendesak masuk, Nyai 
Ratu! Pintu gerbang benteng telah hancur!"
"Jahanam! Apa alasan penyerangan 
mereka?!"
"Mereka tahu, pihak kita yang 
membantai orang-orang Pademangan, Nyai!"
"Keparat! Pasti si busuk Betina Rimba 
yang membuka rahasia ini! Habisi mereka! 
Cari Betina Rimba sampai dapat, pancung 
dia!" seru sang Ratu dengan murka sekali.
"Lepaskan pemuda itu dan suruh mencari 
gurunya. ikuti dari kejauhan, jika ia 
berkhianat, bunuh!"
Sadis sekali perintah itu, tapi memang 
begitulah sang Ratu. Ia seperti bukan 
seorang perempuan lagi. Hati dan 
perasaannya telah menyatu dengan hati si 
iblis Dewa Seribu Laknat, sehingga ia tak 
pernah mengenai belas kasihan kepada 
sesamanya.
* * *
DELAPAN


GERBANG benteng telah jebol. Beberapa 
pengawal Ratu Cumbu Laras tergeletak tanpa 
nyawa dalam keadaan menyedihkan. Jumlah 
orang Perguruan Elang Bumi cukup banyak. 
Sang Ratu sendiri sempat terkejut melihat 
jumlah sebanyak itu.
Rupanya pihak Perguruan Elang Bumi 
bukan sendirian, meiainkan dibantu oleh 
Perguruan Cakar Garuda yang selama ini 
sering bekerja sama dalam menyelesaikan 
beberapa masalah. Perguruan Cakar Garuda 
diketuai oleh Pendeta Kandaga, sahabat 
sang Resi Pangkayon sejak masa muda 
mereka. Kekuatan kedua perguruan itu telah 
membuat pihak Ratu Cumbu Laras menjadi 
morat-marit, bangunan-bangunan banyak yang 
rusak, bahkan sebagian ada yang runtuh 
total.
Suara pertarungan bergemuruh, antara 
denting pedang dan jerit kematian menyatu 
saling silih berganti. Tak ketinggalan, si 
Betina Rimba pun ikut menyerang pihak Ratu 
Cumbu Laras, terutama kepada para pengikut 
sang Ratu yang dulu merasa sirik padanya 
dan bermusuhan batin dengannya.

"Hancurkan mereka! Hancurkan 
semuanyaaaa...!" teriak Wiraga memberi 
semangat kepada teman-temannya. Demikian 
pula Pongge yang punya ilmu pas-pasan, 
Ikut berseru, berkoar-koar sampai suaranya 
serak, tanpa menyadari bahwa seruannya 
yang pecah itu tak dimengerti oleh rekan-
rekannya. la tetap berlindung di balik 
Wiraga atau si Betina Rimba.
Tetapi ketika Ratu Cumbu Laras muncul 
di pertarungan itu, dalam beberapa kejap 
saja pihak lawannya telah dibuat tunggang 
langgang dan banyak korban yang 
berjatuhan. Sang Ratu menjadi murka, 
setiap jari tangannya memercikkan cahaya 
biru yang tiada hentinya bagai lompatan 
petir dari jari yang satu ke jari yang 
lain.
Jika tangan kanannya berada di ketiak 
kiri, lalu tangan itu mengibas ke depan, 
maka percikan cahaya biru petir itu 
menyebar seketika dan menghantam tubuh 
lawan-lawannya.
Craaalaap...! 
Blegaaarrr...!
Entah berapa banyak tubuh manusia yang 
hancur oleh serangan maut Ratu Cumbu Laras 
itu, sehingga tempat tersebut dalam waktu 
singkat telah berubah menjadi genangan 
darah dan kubangan mayat.
"Majulah kalian! Majulah lagi kalau 
ingin hancur semuanya!" teriak sang Ratu 
dengan murkanya. Sambil berteriak, ia pun 
melepaskan jurus-jurus mautnya, 
menghamburkan cahaya kilat ke mana-mana.

Bahkan kedua matanya pun dapat keluarkan 
sinar merah yang melesat ke beberapa arah 
dan menghantam mereka yang berusaha 
menyerangnya.
Biaar, blaar, jegaar, blaaar, 
buuumm...!
Dalam keadaan seperti itu, Betina 
Rimba berusaha melepaskan pukulan jarak 
jauhnya, tapi selalu dapat dipatahkan oleh 
sinar merah atau kilatan cahaya petir dari 
kesepuluh jari tangan sang Ratu.
"Kita menjauh! Dia sudah semakin 
ganas, berbahaya kalau tetap 
menyerangnya!" ujar Betina Rimba kepada 
Wiraga. Maka, mereka pun segera menjauhi 
medan pertarungan besar itu. Pongge sempat 
kebingungan ketika Wiraga dan Betina Rimba 
pergi. Ia ketakutan sendiri sewaktu dua 
berkas sinar merah lewat di depan 
hidungnya dan menghancurkan dua orang dari 
pihak Perguruan Cakar Garuda.
Jegaaarr...
"Wiraaa... Wiraaa...!" Pongge 
berteriak dengan kedua kaki gemetar seakan 
lemas tanpa tulang. Celananya pun menjadi 
basah tanpa disadari. Bau tak sedap 
menyebar dari celana basah itu, sehingga 
tak ada seorang pun yang mau 
menyingkirkannya dari tengah pertarungan 
itu.
Wuuuut...! 
Des...!
Sebuah tendangan kaki telah mengenai 
punggung Pongge tanpa disengaja. Tendangan 
itu datang dari Walet Perak yang mencoba

menyerang orang Perguruan Elang Bumi. 
Akibatnya, tubuh Pongge terlempar dalam 
keadaan melayang dan berteriak ketakutan.
"Aaaa...! Tolooooong...!"
Brrusk...! 
Ia jatuh di rerumputan lebat, di mana 
Wiraga dan Betina Rimba bersembunyi di 
baliknya.
"Kalian bangsat! Bangsat tulen! Kalian 
meninggalkan diriku di sana! Dasar mata 
kalian buta semua!" Pongge memaki-maki
Wiraga dan Betina Rimba.
Plaaak...! 
Tangan Betina Rimba menampar mulut 
Pongge, akibatnya makian Pongge pun 
hilang, berganti suara merintih kesakitan. 
Betina Rimba dan Wiraga tak pedulikan 
rintihan Pongge, karena perhatian mereka 
berdua segera tertarik pada kemunculan 
bayangan hitam yang berhasil menerjang tu-
buh Ratu Cumbu Laras.
Breeess...! 
Terjangan tersebut membuat penguasa 
Pesisir Kulon terlempar dan jatuh 
berguling-guling.
Seorang perempuan berjubah hitam 
berdiri dengan ketuaannya yang tanggung. 
Perempuan itu tak lain adalah Nyai Sekap 
Madu yang telah melihat sinar merah 
melesat ke langit. Ia menyangka sinar itu 
adalah isyarat dari Karta Lawa, padahal 
sinar itu adalah tenaga dalam orang 
Perguruan Cakar Garuda yang tertangkis 
pedang si Walet Perak.


"Hentikan! Hentikan tindakan sia-sia 
Ini! Biar aku yang mencabut nyawa 
perempuan mesum itu!" tcriak Nyai Sekap 
Madu, membuat mereka segera hentikan 
pertarungan.
"Guru! Oh, syukurlah kau segera 
datang, Guru!" ujar Karta Lawa segera 
hampiri Nyai Sekap Madu. Tindakan itu 
membuat Ratu Cumbu Laras menjadi tahu, 
bahwa perempuan itu adalah Penguasa Tebing 
Naga.
"Karta, bagaimana tugasmu? Sudah 
beres?!"
"Beres, Guru!" kata Karta Lawa sambil 
menyeringai menahan luka bekas cambukan. 
la dalam keadaan mengenakan pakaian, tapi 
mata sang Guru sempat melihat bilur-biiur 
di dada Karta Lawa.
"Kau terluka, Muridku?!" sang Guru 
segera menarik lengan Karta Lawa. Dan pada 
saat itulah, Karta Lawa punya kesempatan 
menancapkan jarum 'Sigar Rolas' ke 
punggung sang Guru. 
Jruuus.,.!!
"Aaakh...!" Nyai Sekap Madu mengejang 
seketika, matanya pun menjadi liar, 
wajahnya pucat seketika. Karta Lawa segera 
berlari hindari jangkauan tangan sang 
Guru.
"Jahanam...!" geram Nyai Sekap Madu. 
"Kaau... kau mengkhianatiku, Karta...!"
Dua belas kekuatan Nyai Sekap Madu 
lenyap seketika setelah jarum itu terbenam 
daiam tubuhnya. Ratu Cumbu Laras tak mau

membuang waktu. Ia segera lepaskan sinar 
merah dari matanya. 
Claaap...! 
Sinar itu menghantam ulu hati Nyai 
Sekap Madu.
Jruuubs...! 
Buuii...!
Api menyala pada ulu hati Nyai Sekap 
Madu. Seolah-olah ulu hati itu adalah 
tempat pembakaran kemenyan yang bisa 
keluarkan api setelah disiram minyak 
tanah. Tetapi perempuan berjubah hitam Itu 
masih mencoba untuk bertahan. la berjalan 
limbung dekati sang Ratu sambil 
menudingkan tongkatnya.
Namun tongkat itu tak bisa keluarkan 
sinar penggempur lawan.
"Ter... terkutuk kaau... Cumbu 
Laras...! Ingat... kaaau... kau akan mati 
di tangan pemuda kembar yyyyang... 
yaaang... menja... menjadi musuh utamamu. 
Kkkau... kau akan mati sepertiku iniiii"
Glegaaarrr...!
Petir menyambar salah satu pohon di 
luar benteng, begitu Nyai Sekap Madu 
selesai lepaskan kutukannya. Setelah itu, 
brruk...! Nyai Sekap Madu pun tumbang dan 
tak bernyawa lagi. Lalu sekujur tubuhnya 
terbungkus api yang sukar dipadamkan.
"Persetan dengan kutukanmu!" bentak 
Ratu Cumbu Laras. "Siapa lagi yang akan 
menyusulnya?!" Ia memandang kepada sisa 
lawannya yang tinggai beberapa gelintir 
itu.


Mereka diam semua. Termasuk anak buah 
sang Ratu pun ikut diam. Tiba-tiba mereka 
dikejutkan oleh suara dari bayangan yang 
berkelebat melintas di atas mayat Nyai 
Sekap Madu.
"Aku yang akan melawanmu, Untari...!"
Ratu Cumbu Laras terkejut sekali 
mendengar nama aslinya disebutkan. la 
segera menatap tajam pada sosok lelaki tua 
berjubah putih.
"O, rupanya kau yang muncul, Pawang 
Badai!" ujar Ratu Cumbu Laras dengan 
sinis.
"Sudah waktunya kau hentikan 
kekejamanmu, Untari!"
"Persetan dengan ucapanmu! Belum rela 
diriku mati sebelum kulihat kau menjadi 
bangkai, Pawang Badai! Hiaaat...!"
Weeers...! 
Sinar-sinar biru yang berlompatan dari 
jari ke jari itu menyebar dan segera 
menghantam si Pawang Badai. Dalam satu 
lompatan mundur, Pawang Badai segera 
sentakkan kedua tangannya ke depan dan 
melesatlah dua sinar merah menerjang 
sinar-sinar biru itu.
Blegaaarrr...!
"Hiaaaah...!" Ratu Cumbu Laras melesat 
setelah ledakan besar itu tak berhasil 
membuatnya tumbang. Pada saat itu Pawang 
Badai sedang terkapar oleh gelombang 
ledakan yang menyentak kuat itu. Baru saja 
ia akan bangkit. tiba-tiba empat sinar 
biru sudah keluar dari empat jari tangan. 
Ratu Cumbu Laras.


Craaapp...!
Jegaaar...! 
Keempat sinar itu mengenai dada Pawang 
Badai dengan telak. Kontan dada itu pecah 
menjadi dua bagian dan hangus mengepulkan 
asap. Pawang Badai tak sempat bangkit, 
lalu tergeletak tanpa nyawa.
"Modar kau sekarang, Pawang Badai! 
Sakit hatiku mulai terpuaskan oleh 
kematianmu! Hiaaah...!"
Jegaar, jegaar, jegaaar...!
Ratu Cumbu Laras melepaskan pukulan 
bersinar biru secara bertubi-tubi, 
sehingga raga Pawang Badai pun hancur tak 
berbentuk lagi. Serpihan dagingnya 
menyebar kemana-mana, tinggal bagian 
kepala dan kaki kanannya yang masih tampak 
utuh.
Ratu Cumbu Laras menggeram sambil
hembuskan napas lega. Namun sebelum ia 
mengucapkan kepuasan batinnya Itu, tiba-
tiba dua berkas sinar merah yang 
menyerupai bola api itu melesat dari arah 
timur dan selatan. 
Wuuus...! 
Glegaarr, glegaaar...!
Dua sinar besar itu hancurkan istana 
megah tersebut. Dalam waktu sekejap saja, 
istana itu runtuh dan sisa pengikut sang 
Ratu yang bersembunyi di sana terpaksa 
tewas tertindih reruntuhan istana.
Ratu Cumbu Laras sangat terkejut dan 
menjadi semakin murka. Namun sebelum ia 
melepaskan serangan balik, tiba-tiba

meluncurlah sinar-sinar hijau dan kuning 
dari arah selatan dan timur. 
Clap, clap, clap, clap...!
Blaar, blaar, blaar...!
Sinar-sinar itu menghujani Ratu Cumbu 
Laras. Ia kebingungan menangkis dan 
menghindarinya. Namun ia sempat melihat 
sinar-sinar yang menghujaninya terus 
menerus itu datang dari dua sosok lelaki 
tua berjenggot putth, yang satu mengenakan 
jubah kuning, yang satunya lagi berjubah 
hijau muda. Mereka herdua ada di atas 
pohon, berdiri di atas ranting dan 
dedaunan tanpa membuat ranting itu patah 
dan daun itu gugur.
Mereka adalah Resi Pangkayon dan 
Pendeta Kandaga, ketua dan guru besar dua 
perguruan yang lakukan penyerangan 
gabungan itu.
"Bangsat kalian semuaaa...!" teriak 
Ratu Cumbu Laras, lalu melepaskan serangan 
balasan yang tak pernah mengenai sasaran.
Jegaaar, blaar, blarrr, jegaaar...!
"Aaaow...!" pekik Ratu Cumbu Laras. 
Tangan kirinya menjadi hangus seketika 
begitu sinar hijau Resi Pangkayon mengenai 
pundaknya.
Jgeaaar...! 
Kini sinar kuning dari Pendeta Kandaga 
menyerempet pinggang kanannya. Pinggang 
itu langsung terkelupas dan menghangus 
dengan asap putih mengepul samar-samar.
"Aaaakh...!" Ratu Cumbu Laras memekik 
lagi. Kini ia mulai sadar, kekuatannya 
telah menurun pesat. Tak akan mampu jika

tetap terus melawan dua tokoh tua itu. 
Maka ia pun segera memutar tubuhnya dengan 
cepat dan, 
Blaaap...! 
Tubuh itu menghilang lenyap bersama 
kepulan asap putih yang segera tersapu 
angin pantai. Tapi suaranya masih 
terdengar dalam gema yang lama-lama kecil
dan menghilang.
"Aku akan hadir kembali menghancurkan 
kalian semua! Ingat, aku akan hadir 
kembali sebagai maut bagi kalian 
semuaaa...!"
Sisa orang-orang sang Ratu pun 
akhirnya membuang senjata mereka dan 
menyerah kalah. Resi Pangkayon dan Pendeta 
Kandaga segera perintahkan sisa murid 
mereka untuk membawa para tawanan ke 
Perguruan Elang Bumi.
Tapi sementara itu, mereka dikejutkan 
oleh serpihan mayat si Pawang Badai yang 
ternyata berubah menjadi batang pisang 
daiam keadaan hancur. Resi Pangkayon dan 
Pendeta Kandaga saling berpandangan, lalu 
sang Resi pun berkata kepada sahabatnya 
itu.
"Berarti si Pawang Badai masih hidup!"
"Kurasa ia memang masih berada di 
puncak Gunung Merana!" balas sang Pendeta 
berkepala gundul itu.
Pawang Badai memang masih hidup di 
puncak Gunung Merana. Ia hanya menunaikan 
tugas dari mendiang gurunya untuk membuat 
lega hati si Ratu Cumbu Laras, karena 
merasa telah membunuhnya. Padahal yang

hadir di situ adalah batang pisang yang 
dicipta dengan kesaktiannya hingga serupa 
dengan dirinya.
Pada saat itu, Pawang Badai telah 
kembali ke puncak Gunung Merana, sebagai 
penunggu makam keramat mendiang gurunya, 
juga membesarkan si bayi kembar bersama 
istrinya Nyi Padmi. Bayi kembar itu pun 
akhirnya tumbuh menjadi bocah yang sulit 
dibedakan mana yang bernama Raka Pura dan 
mana yang bernama Soka Pura.
Tetapi ketika bocah itu dalam usia 
delapan tahun, Pawang Badai mulai 
memberinya pelajaran silat dan pengetahuan 
tentang ilmu-ilmu aliran putih.
Ternyata masing-masing bocah kembar 
itu mempunyai karakter yang sedikit 
berbeda. Soka Pura lebih nakal dibanding 
kakaknya Raka Pura. Dalam menerima 
pelajaran dari Pawang Badai, sang adik 
sering bertingkah konyol.
"Kelak, jika kalian besar, kaiian akan 
menjadi seorang pendekar yang tangguh 
apablla kalian berlatih ilmu kanuragan ini 
dengan tekun dan rajin," ujar Pawang 
Badai.
"Apakah aku bisa menjadi sakti seperti 
Ayah?" tanya Soka Pura.
"Tentu saja bisa, Soka."
"Oh, enak sekali kalau aku bisa 
menjadi orang sakti. Setiap orang akan 
kuajak bertarung dan...."
"Husy! Kesaktian tidak untuk menantang 
setiap orang, Soka. Kau harus bisa

membedakan mana yang benar dan mana yang 
sa....?"
"Sayang!" lanjut Soka.
"Bukan yang sayang, tapi yang salah!" 
ujar Raka membetulkan.
"Raka benar. Kalian harus bisa 
membedakan mana yang benar dan mana yang 
salah. Dan yang salah itu tidak boleh 
kalian bela. Kalian harus membela 
kebe...?"
"Kebetulan!" sahut Soka.
"Kebenaran" ralat Raka. Sang adik jadi 
sewot.
"Maksudku kebetulan yang kita bela 
orang yang benar," Soka ngotot, sang ayah 
angkat segera meluruskan sambil tersenyum 
geli.
"Ayah, bolehkah ilmuku untuk 
melindungi anak perempuan saja? Bukankah 
anak perempuan itu orang yang lemah dan 
patut dilindungi?"
"Boleh. Tapi perempuan yang bagaimana 
dulu? Kalau perempuan Itu adalah tokoh 
sesat beraliran hitam, kau tidak perlu 
melindunginya. Luruskan Jalannya, kalau 
tidak mau, lawanlah dia demi kebenaran!"
"Yaaah... nanti kalau dia menangis 
bagaimana? Kasihankan?!"
"Eh, Soka... kita tidak boleh 
melindungi dan merasa kasihan kepada orang 
sesat. Nanti kita malah menjadi sesat 
juga. Bukankah begitu, Ayah?"
"Ya, benar. Mengasihi orang yang lemah 
bukan berarti orang yang sesat dan tak mau

diajak ke jalan yang benar harus 
dikasihani juga...."
"Ah, aku pusing menerima wejangan ini. 
Aku mau tidur saja. Biar Raka saja yang 
mendengarkan wejangan Ayah...," lalu bocah 
itu menggelosor di samping kakaknya. Sang 
ayah angkat hanya geleng-geleng kepala, 
tapi masih tetap bersabar. Pawang Badai 
tak jemu-jemu mendidik si kembar untuk 
menjadi sepasang Pendekar Kembar yang 
dapat berguna bagi kehidupan dan kedamaian 
di antara sesama. Sekalipun sering dibuat 
jengkel oleh kenakalan Soka, namun Pawang 
Badai tetap menjadi seorang pembimbing 
yang setia dan sabar.
Bagaimanapun juga Pawang Badai masih 
ingat kutukan Nyai Sekap Madu, yang 
didengarnya sebelum ia muncul di depan 
ratu cantik itu.
"Benarkah si Cumbu Laras itu nantinya 
akan tewas di tangan bocah kembar? Apakah 
yang dimaksud dalam kutukan Sekap Madu 
adalah Raka dan Soka?" ujar Pawang Badai 
dalam hatinya.
Puncak Gunung Merana diselimuti kabut 
tebal. Rupanya di sana telah tumbuh dua 
pemuda berwajah kembar yang sedang 
digembleng oleh si Pawang Badai, terutama 
setelah roh Eyang Mangkuranda mengizinkan 
Pawang Badai turunkan ilmunya kepada kedua 
anak kembar itu Raka dan Soka.

                           SELESAI


Ikuti Kelanjutannya Dalam :
“KENCAN Dl UJUNG MAUT”

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar