DENDAM ASMARA
LIAR
Hak Cipta dan Copy Right
Pada Penerbit
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku Ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 001 :
Dendam Asmara Liar
SATU
HEMBUSAN angin dari pegunungan terasa
semakin menderu. Suaranya mirip erangan
raksasa kelaparan. Gumpalan awan di langit
bergerak cepat, seolah-olah digusur tanpa
pesangon. Hutan menjadi gusar, pohon-
pohonnya gelisah, karena hembusan angin
terasa ingin mendongkel akar pohon secara
paksa. Anak-anak pohon terpental tunggang
langgang tanpa bisa berteriak karena
memang tak punya mulut.
Semakin lama angin pun mengubah
dirinya menjadi badai. Kata orang, badai
lebih Jahat dari angin, karena badai dapat
menggulingkan batu besar dari atas gunung
atau menerbangkan rumah-rumah penduduk
tanpa pandang mau kenal siapa pemilik
rumah itu. Bahkan bendungan dan waduk pun
dapat dijungkir balikkan jika sang badai
sedang mengamuk.
Begitulah perangai si badai. Jahat dan
sadis. Karenanya, para sesepuh desa di
kaki Gunung Merana berpendapat, lebih baik
masuk angin daripada masuk badai.
"Ah, kalau menurutku daripada masuk
angin lebih baik masuk kedai, bisa makan
minum dan ngobrol!" ujar seorang penduduk
desa yang sedang berteduh di dalam kedai.
Hari itu badai datang bukan sendirian,
tap! ditumpangi oleh hujan yang kadangkala
sering ngelunjak, menurut pendapat teman
orang yang bicara tadi.
"Bagaimana tidak ngelunjak? Ketika ia
datang rintik-rintik kita menyukainya,
karena sawah ladang kita tidak dilanda
kekeringan. Tapi setelah kita
menyenanginya, eeh... dia datang bersama
rombongan hujan lainnya. Akibatnya desa
kita kebanjiran. Itu kan namanya
ngelunjak?!"
Deru hujan bercampur badai sempat
menyiram bagian dalam kedai tersebut.
Maklum, kedai itu mempunyai dinding hanya
separuh bagian. SI pemilik kedai yang
berkumis abu-abu dan berbadan kurus itu
menggerutu keras-keras.
"Sial! Kalau begini caranya kerak
nasiku tak bisa kering-kering!"
"Nasinya dibikin lem sandal saja, Ki!"
celetuk pengunjung kedai yang lain. Si
pemilik kedai jadi dongkol.
"Mulutmu itu yang dilem pakai kerak
nasi."
Orang yang dicela itu tertawa. Si
pemilik kedai berkata lagi, entah
ditujukan kepada siapa.
"Kurasa ini ulah si Pawang Badai dari
puncak gunung! Pasti dia sedang bercanda
dengan badai dan hujan seperti ini!"
"Lho, apakah si Pawang Badai masih
bersemayam di puncak gunung, Ki? Bukannya
tempo hari ada kabar si Pawang Badai telah
ditangkap oleh Ratu Cumbu Laras?!"
"Mana kutahu?! Aku tidak ikut
menangkapnya!" jawab si pemilik kedai agak
ketus karena masih dongkol memikirkan
kerak nasinya yang sudah tiga hari tak
kering-kering itu.
"Sejak kapan Ratu Cumbu Laras
menangkap si Pawang Badai?! Apa benar si
Pawang Badai telah berhasil ditangkap oleh
Ratu Cumbu Laras?!"
Pertanyaan seperti itu sering terucap
dari mulut ke mulut. Kadang ada yang hanya
membatin pertanyaan seperti itu. Agaknya
nama Pawang Badai sudah dikenal di daerah
sekitar Gunung Merana. Juga, nama Ratu
Cumbu Laras banyak dikenal oleh para
penduduk desa, padahal wilayah kekuasaan
Ratu Cumbu Laras ada di pesisir kulon.
Hampir semua orang tahu, bahwa di
pesisir kulon atau di pantai sebelah
barat, terdapat sebuah bangunan megah yang
sering disebut-sebut sebagai istana.
Bangunan megah itu mempunyai benteng batu
kokoh yang luasnya sama dengan tiga kali
luas pedesaan. Di sanalah seorang
perempuan cantik bermata sayu memegang
tampuk pimpinan dan menobatkan diri
sebagai Ratu yang kemudian dikenal dengan
nama Ratu Cumbu Laras.
Perempuan cantik itu mempunyai bentuk
tubuh yang elok sekali. Pinggangnya
ramping, pinggulnya bikin pusing.
Pakaiannya seronok, dadanya montok.
Bibirnya ranum, hobinya mesum.
Ia bukan saja seorang ratu cantik yang
gemar digelitik, tapi juga seorang
perempuan yang berilmu tinggi.
Persekutuannya dengan Iblis membuat sang
Ratu sukar dltumbangkan oleh lawan-
lawannya. Selama menjadi pengabdi iblis,
ia akan tetap awet muda dan kecantikannya
tak pernah luntur. Pancaran daya pikatnya
begitu tinggi, sehingga setiap lelaki
mampu ditundukkan olehnya, baik
ditundukkan dengan ilmu kanuragannya
maupun dengan aji kemesraannya.
Seorang pemuda desa yang pernah
berhadapan dengan Ratu Cumbu Laras
menuturkan kisahnya kepada para pengunjung
kedai yang sedang diterpa badai dan hujan
itu.
"Jika la sedang membisikkan rayuan,
suaranya ssssst... nyaris tak terdengar,
Tarlkannya, wuus, wuus. wuus.... Heh, heh,
heh!"
"Apa maksudnya?!"
"Tahu-tahu kita dibuat tak berpakaian
lagi," bisik pemuda itu.
"Gila!" mereka yang mendengarkan
berdecak kagum.
"Dan kalau sedang melawan tokoh mana
pun, la tak pernah menggunakan waktu lama-
lama, la sangat irit waktu. Sekali pukul,
lawan ngejoprak, Kadang-kadang sekali
sentak, nyawa orang bisa melayang. Itu
namanya sudah irit semakin irit. Cring,
cring, cring...!"
"Bunyi apa itu?"
"Perhiasannya kalau berjalan
gemerincing!" bisik si pemuda dengan nada
suara ditekan untuk meyakinkan ceritanya.
"Ssst, dengar-dengar Raden Panji juga
sedang tergila-gila sama Ratu Cumbu Laras.
Apa benar?" bisik seorang lelakl
berpakaian serba hitam.
"Maksudmu, Raden Panji Pura, putranya
Ki Demang kita itu?!"
"Raden Panji mana lagi kalau bukan
putra Ki Demang."
"Apa iya?! Aku kok baru dengar
sekarang kalau Raden Panji ada main sama
Ratu Cumbu Laras?"
"Bukankah dia sudah punya istri?"
timpal pemuda berikat kepala hijau.
"Bahkan kudengar istri Raden Panji sedang
hamil tua?"
"Memang iya! Kemarin saja kulihat
Muninggar sudah bolak-balik ke rumah Mak
Jawil, si dukun bayi Itu. Mungkin sudah
mau melahirkan."
"Muninggar siapa?"
"Ya istrinya Raden Panji Itu, Tolol!"
"Oo… jadi istrinya Raden Panji itu
sekarang tolol, ya?!"
"Kau yang tolol!" bentak pemuda
berbaju merah yang mengenal Muninggar,
istri Panji Pura.
Gosip itu sebenarnya sudah lama
menyebar dan menjadi buah bibir para
penduduk Pademangan. Tetapi tidak setiap
orang berani bicara di sembarang tempat
dengan sembarang suara. Umumnya mereka
hanya berani berkasak-kusuk dl pojokan
rumah atau di sudut kedai. Sebab,
bagaimanapun mereka masih merasa takut dan
sungkan terhadap Ki Demang Yasaguna yang
menjadi penguasa di wiiayah Pademangan
tersebut yang membawahi beberapa
kelurahan.
Sebenarnya Ki Demang sendiri sudah
mengetahui skandal putranya dengan Ratu
Cumbu Laras. Namun ia menutup mata dan
telinga demi menjaga gengsi di depan para
kerabatnya. Tentunya Ki Demang Yasaguna
sangat malu mendengar putranya yang sudah
beristri terlihat hubungan gelap dengan
seorang perempuan dari tokoh silat aliran
hitam itu. Sebagai ketuarga darah
bangsawan, Ki Demang sangat tidak setuju
terhadap hubungan gelap itu. ia sendiri
sudah menegur putranya berkali-kali, tapi
teguran tersebut tak digubris oleh sang
putra.
"Kasihan Muninggar kalau setiap malam
kau tinggal pergi ke Pesisir Kulon hanya
untuk menyambangi perempuan itu!" ujar Ki
Demang pada suatu siang.
Panji Pura hanya menjawab, "Justru
karena aku kasihan kepada Muninggar,
istriku itu, maka setiap malam ia
kutinggalkan, Ayah. Sebab jika aku selalu
ada di sisinya, kasihan bayi dalam
kandungannya. Tertekan setiap malam bisa
bikin cacat sang jabang bayi, bukan?"
Panji Pura memang seorang suami yang
bandel dan masih suka ugal-ugalan. Usianya
yang sudah mencapai dua puluh delapan
tahun itu, masih belum mampu mengendalikan
dirinya untuk bersikap bagai seorang
lelaki yang dewasa, apalagi seorang ayah.
Muninggar, yang hanya anak seorang
petani biasa itu, tak menyadari bahwa la
telah dinikahi oleh seorang lelaki yang
belum mampu berpikiran dewasa. Muninggar
hanya menuruti perasaan cintanya terhadap
pemuda tampan berdarah biru itu, sehingga
ia mau menjadi seorang istri yang tulus
dan setia terhadap suaminya. ia tak berani
mengeluh di depan Panji Pura, karena rasa
takutnya terhadap sang suami.
Tetapi beberapa tetangga mereka
mempunyai penilaian sendiri tentang
perkawinan putra Ki Demang itu. Penilaian
tersebut sering dilontarkan secara kasak-
kusuk dari mulut ke kuping, dari kuping ke
dinding.
"Kasihan ya si Muninggar itu? Baru
berumah tangga setahun kurang sudah sering
ditinggal pergi suaminya."
“Mungkin karena Raden Panji adalah
orang yang dipercaya di perguruannya,
sehingga ia terlalu sibuk mengurus
perguruannya."
"Perguruan apa?!" ujar seorang Istri
tetangga sambil bersungut-sungut. "Dia
memang termasuk orang penting di Perguruan
Eiang Bumi, tapi setiap ia pergi
meninggaikan Muninggar bukan mengurus
perguruannya, tapi mengurus 'elang'-nya
sendiri."
"Ah, apa iya... Hi, hi, hi, hi...!
Mbakyu ini kok ada-ada saja kalau ngomong
lho!"
Maklum, kali ini yang berkasak kusuk
adalah para istri, tak heran kalau nada
kasak-kusuk mereka agak ngeres. Namun
kasak-kusuk mereka segera buyar ketika
seorang perempuan berusia empat puluh
tahun datang dengan wajah tegang seperti
habis ditampar setan.
"Eh, eh.... Mak Jawil ke mana, ya?!
Kemana si dukun bayi itu?!"
"Ada apa mencari Mak Jawil? Situ mau
melahirkan lagi? Baru dua bulan yang lalu
melahirkan kok sekarang mau melahirkan
lagi?!"
"Bukan aku yang mau melahirkan! Itu
lho... si Muninggar! Muninggar sudah
meraung-raung, perutnya sakit. Pasti sudah
mau melahirkan!"
"Aduh, kasihan! Cepat panggil Mak
Jawil!"
"Lha, iya... makanya aku tadi
menanyakan Mak Jawii! Kau pikir mau apa
kalau tidak mau memanggilkan Mak Jawil
untuk si Muninggar?!" bentak orang itu.
Kebetulan, di ambang sore yang
berkabut mendung itu, Mak Jawil tidak
berada di rumahnya. Beberapa orang sibuk
mencari Mak Jawil, tapi tidak satu pun
yang menemukan si dukun bayi Itu. Mereka
tak tahu bahwa Mak Jawil sedang mendapat
undangan resmi menghadiri pertemuan para
dukun bayi di kadipaten untuk ditatar.
Padahal waktu itu Muninggar sudah
mengerang-erang, air ketuban sudah keluar
dari rahimnya pertanda sang jabang bayi
sebentar lagi akan keluar juga. Repotnya,
di seluruh Pademangan itu, ternyata hanya
ada satu dukun bayi yang paten, yaitu Mak
Jawil. Sebagai menantu keluarga bangsawan,
Muninggar tidak diizinkan melahirkan tanpa
bantuan seorang dukun bayi yang memang
sudah diakui keahliannya oleh para warga.
Karena itu, tak ada orang lain yang berani
menangani persalinan tersebut, kecuali
hanya membantu mempersiapkan beberapa
keperluannya.
Angin sore berhembus agak kencang.
Hembusan angin itu seolah-olah
menerbangkan sesosok tubuh kurus berkebaya
coklat tua dengan kain batiknya yang
lusuh. Seorang perempuan berambut abu-abu
karena bercambur uban, kebetulan melewati
tempat kerumunan para istri yang
kebingungan mencari Mak Jawil. Salah
seorang dari mereka yang kebingungan
sempat berseru dan menjadi pusat perhatian
bagi yang lain.
"Eh, itu ada Nyi Padmi...! Minta
tolong kepada Nyi Padmi saja!"
"Ah, Nyi Padmi kan juru kunci
kuburan!"
"lya, tapi sebelum ia menjadi juru
kunci kuburan, ia pernah menjadi juru
kelahiran!"
"O, ya... benar! Aku ingat, dulu Nyi
Padmi memang pernah menjadi dukun bayi!"
timpal yang lain.
Nyi Padmi, si perempuan kurus berusia
sekitar lima puluh tahun lebih itu
mendengar namanya disebut-sebut, sehingga
ia hampiri para istri yang sedang
kebingungan itu.
"Aku mencium bau darah bayi. Rupanya
di sini ada yang mau melahirkan bayinya?"
"Betul, Nyi! Itu lho... si Muninggar!"
"Muninggar...?! Apakah yang kalian
maksud Muninggar menantunya Ki Demang
Yasaguna?!"
"Betul, Nyi! Betul sekali!" sambil
orang Itu menepuk-nepuk punggung Nyi Padmi
dengan keras karena girangnya. Nyi Padmi
tersentak-sentak dan sempat menjadi
terbatuk-batuk karena isi dadanya terasa
mau rontok. Maka bergegaslah mereka
membawa Nyi Padmi ke rumah Ki Demang
Yasaguna, karena Muninggar ada di rumah
sang mertua.
"Kebetulan aku sebenarnya mau menemui
Ki Demang, karena ada mimpi aneh yang
harus kusa-paikan."
"Mimpi aneh apa itu, Nyi?" desak salah
seorang yang ikut mengantar Nyi Padmi ke
rumah Ki Demang Yasaguna.
"Mimpi melihat rumahnya yang berkabut
tebal."
"Aneh juga mimpimu itu, Nyi," ujar
perempuan berkebaya biru.
"Kabut itu berwarna hitam dan
bergulung-gulung. Seperti ada kebakaran,
tapi tak ada apinya."
"Lho, kok bisa tak ada apinya?"
"Yah, namanya saja mimpi! Ah, kau ini
begitu saja ditanyakan!"
Nyi Padmi hanya tersenyum ramah, lalu
teruskan ucapannya sambil melangkah.
"Lalu, aku melihat sepasang burung
merpati keluar dari gumpalan kabut hitam
itu. Sepasang burung merpati itu segera
terbang mengelilingi desa ini dulu,
kemudian lenyap entah ke mana."
"Jangan-jangan burungnya anakku yang
terlepas dari kandangnya kemarin sore?"
gumam seorang perempuan yang berjalan dl
belakang Nyi Padmi.
"Ini mimpi!" tegas temannya.
"O. iya... mimpi! Kusangka benar-benar
terjadi," perempuan itu cengar-cengir
malu. Tapi beberapa orang yang mengantar
Nyi Padmi sempat saling merenungi mimpi
tersebut. Hati kecil mereka tiba-tiba
merasa cemas, sepertinya ada sesuatu yang
misterius di dalam mimpi tersebut.
Hembusan angin bertambah kencang.
Mendung di langit kian bergulung-gulung.
Semua orang tahu, bahwa sebentar lagi akan
turun hujan lebat, karena tampaknya
mendung tidak hanya di atas wiiayah
Pademangan saja, melainkan menyeluruh dan
rata sampai ke ujung barat dan timur. Sang
matahari sudah tak teriihat lagi, karena
tertutup mendung, padahal semestinya
matahari masih punya jatah nongol sebagian
karena belum waktunya tenggelam.
Tepat ketika Nyi Padmi masuk ke
pendopo dan diterima oleh keluarga Ki
Demang, hujan pun segera turun. Mula-mula
tak deras, tapi lama-lama ngelunjak,
menjadi deras. Nyi Padmi sendiri bergegas
masuk ke kamar Muninggar.
Kilatan cahaya petir menyambar-
nyambar, seakan apa saja yang ada akan
disambarnya, termasuk jemuran juga.
Gelegar suaranya sering membuat para istri
yang ikut membantu kelahiran bayi pertama
Muninggar itu menjerit kaget, bahkan ada
yang latah menyebutkan kata-kata jorok
yang tak patut ditulis di dinding mana
pun.
Blegaaaar...!
Kali ini suara iedakan sangat keras
bersama kerlapan cahayanya yang mirip
jurus pembelah langit. Suara Iedakan petir
yang amat keras itu seolah-olah
dikeluarkan dari rombongan para petir yang
menyambut kelahiran bayi pertamanya
Muninggar. Karena begitu ledakan itu
terdengar, suara tangis bayi pun terdengar
nyaring dan keras sekali.
"Oooaaa...! Ooooaaa...!"
Orang-orang terharu, bahkan Nyi Padmi
sendiri merasa iba melihat Muninggar
melahirkan bayi tanpa ditunggui suamlnya.
Ketika Nyi Padmi menanyakan di mana Raden
Panji Pura, beberapa orang yang
membantunya berlagak tidak tahu. Namun
salah seorang ada yang berbisik lirih
sekali.
"Sedang pergi ke tempat gundiknya...."
"Ya, ampuuuun...?!" Nyi Padmi kaget
dan segera berlagak tenang, karena agaknya
ada sesuatu yang harus ditanganinya lagi.
Jlegaaar...!
Suara rombongan petir lakukan aksi
unjuk rasa lagi. Bersamaan dengan itu,
terdengar kembali suara tangis bayi yang
nyaring dan keras.
"Oooaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Hahh...?! Kembar...?! Bayinya
kembar?!" seru seorang yang membantu
persalinan itu.
"Apa...?! Dukun bayinya kembar?!"
"Bayinya yang kembar, budek!" seru
orang itu.
Maka hampir semua mulut menyerukan
kata 'kembar' dengan perasaan bangga dan
gembira. Ki Demang sekeluarga pun
menitikkan air mata menyambut kelahiran
bayi kembar itu dengan rasa haru antara
duka dan bahagia.
Hanya Nyi Padmi yang tetap diam tanpa
senyum dan kata. Wajah Nyi Padmi tampak
tegang dan berkeringat. Ada kegelisahan
yang mencekam hatinya pada saat selesai
membantu kelahiran si bayi kembar itu.
"Tolong, bantu aku menyadarkan
Muninggar," pintanya kepada beberapa orang
yang ada dl sekitarnya.
"Maksudmu... maksudmu si Muninggar
pingsan?!"
"Ya. Ia kehabisan tenaga dan
kekurangan darah banyak sekali setelah
melahirkan bayinya yang kedua tadi!"
"Ya, Tuhan...!" sentak mereka.
"Muninggar...! Muninggar, jangan pingsan
dulu, Nak! Ayo, sadar...! Sadar,
Muninggar...!"
"Mari kita sadar bersama Muninggar...!
Mun... Muninggar...?!"
Nyi Demang, ibu mertua Muninggar,
segera berseru memanggil suaminya.
"Kangmas...?! Datanglah kemari,
Muninggar pingsan dan... dan badannya
dingin sekaii, Kangmas...!"
"Muninggar...?!" Ki Demang pun tampak
kaget dan sangat tegang, sementara Nyi
Padmi berusaha memberi kehangatan dengan
membalurkan rempah-rempah, termasuk
minyak-minyakan yang mendatangkan hawa
hangat. Kaki Muninggar digosoknya dengan
minyak sereh dan minyak lainnya, kecuali
minyak ikan. Tapi agaknya Muninggar masih
belum sadarkan diri juga.
Ketika senja menghilang, petang pun
tiba, keluarga Ki Demang Yasaguna diliputi
kedukaan begitu dalam. Suara tangis
memenuhi rumah Ki Demang Yasaguna.
Muninggar akhirnya tak tertolong lagi.
Denyut nadinya hilang, detak jantungnya
tak ada, maka praktis dlkatakan bahwa
Muninggar telah meninggal dunia. Bukan
hanya dunia saja yang ditinggalkan
Muninggar, tetapi bayi kembarnya pun
ditinggalkan dengan tangis dan lambaian
tangan yang tak terlihat oleh mata manusia
biasa. Kedua bayi kembar itu pun menangis
tiada hentinya, seakan mereka tak ingin
ditinggalkan oleh sang Ibu.
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
"Oooaaa...! Oooaaa...! Oooaaa...!"
Suara tangis bayi kembar pun terdengar
nyaring melengking, mengalahkan gemuruh
hujan dan gelegar kilatan cahaya petir.
* * *
DUA
SEBELUM hujan turun dan matahari masih
mencoba menerobos kabut mendung, ternyata
Ratu Cumbu Laras kedatangan seorang tamu
tak ramah yang mempunyai wajah angker.
Tamu itu datang dari Tebing Naga yang
dikenal dengan nama si Wajah Keranda.
Sesuai dengan namanya, tamu
berperawakan tinggi besar itu tidak pernah
tersenyum sedikit pun. Entah karena ia
sedang sakit gigi atau memang tak tahu
bagaimana caranya tersenyum, yang jeias
sikapnya nyata-nyata bermusuhan terhadap
sang Ratu yang berparas cantik itu.
Sikapnya semakin tak ramah lagi jika
dllihat dari sebilah kapak dua mata yang
bergagang panjang dan kala itu sudah dalam
genggamannya. Wajah Keranda yang berkumis
lebat dan beralis tebal itu pandangi Ratu
Cumbu Laras dengan tajam.
Sang Ratu tampak tenang-tenang saja
menghadapi tamu berwajah kuburan itu.
Angin sore dibiarkan melambai-lambaikan
jubah suteranya yang berwarna merah jambu
itu. Jubah yang menyingkap melambai-lambai
itu membuat sosok tubuh berkulit halus
mulus dapat dilihat dengan jelas. Apalagi
ia hanya mengenakan penutup dada dari kain
tipis warna hijau muda dan kain penutup
bagian bawahnya yang sangat mini berwarna
hijau muda juga, sungguh merupakan
pemandangan yang tak patut dipakai untuk
berkedip bagi seorang lelaki. Kemontokan
dada sang Ratu nyaris seperti tak tertutup
lagi karena tipisnya kain hijau itu. Dan
'mahkota' kebanggaannya juga nyaris ikut
tersapu angin karena kecilnya kain yang
menutup bagian tersebut.
Mata si Wajah Keranda memang tidak
berkedip, tapi bukan lantaran pemandangan
mahal yang jarang ditemuinya pada
perempuan lain itu, melainkan karena ia
ingin tunjukkan bahwa kedatangannya bukan
untuk menikmati keelokan tubuh sang Ratu,
namun untuk mencabut nyawa perempuan itu.
"Sudah tiba waktuku untuk menuntut
balas padamu, Cumbu Laras!" ujar si Wajah
Keranda dengan suara menggeram angker. Ia
tak peduli dengan para pengikut sang Ratu
yang mengepungnya dari berbagai arah.
"Apa yang ingin kau tuntut dariku,
Wajah Keranda?!"
"Nyawamu!" bentak si Wajah Keranda,
membuat para pengepung kaget dan
menggeragap sambil acungkan senjata.
"Nyawamu harus kucabut sebagai balasan
kekejianmu yang telah membunuh adik
perempuanku si Wajah Sutera!"
"O, ya...?!" Ratu Cumbu Laras
sunggingkan senyum lebar tapi berkesan
sinis, sangat menjengkelkan. "Kau tahu
mengapa adikmu si Wajah Sutera kubunuh?
Itu lantaran adikmu sudah tiga kali
berusaha membunuhku!"
"Jeias la akan selalu berusaha
membunuhmu, karena suaminya, si Palgunara,
kau bunuh di depan matanya setelah kau
peras keringatnya untuk melayanimu selama
tujuh malam! Kau memang layak untuk
dimusnahkan, Perempuan Liar!" si Wajah Ke-
randa semakin pertinggi suaranya dan
genggaman pada gagang kapaknya bertambah
kuat.
Sang Ratu masih tanggapi dengan kalem.
"Lalu, sekarang kau datang untuk meminta
tolong diantarkan ke neraka menyusul
adikmu? Begitu maksudmu, Wajah Keranda?!"
Lelaki berwajah kuburan itu menggeram
makin keras.
"Bangsat tengik kau, Cumbu Laras!
Heeeah...!"
"Tahaaan...!" tiba-tiba ada suara
berseru dari belakang Ratu Cumbu Laras.
Suara itu membuat paras Wajah Keranda tak
jadi lakukan lompatan ke arah perempuan
cantik itu.
"Panji...?! sang Ratu terkejut melihat
lelaki berperawakan tegap, kekar dan
gagah. Panji Pura sengaja tampil dengan
kalem dan arah pandangan matanya tertuju
kepada Wajah Keranda, tapi langkah kakinya
tampak jeias mendekati Ratu Cumbu Laras.
"Panji, sudah kubilang kau di kamar
saja, tak perlu ikut campur urusan ini!
Aku bisa menyelesaikannya sendiri, Sayang,
ini urusan kecil!" kata sang Ratu sambil
tangannya mengusap rambut Panji Pura
dengan lembut, seakan memamerkan kemesraan
nya di depan si Wajah Keranda.
"Ratu, tanganmu tak boleh menyentuh
kotoran sebesar itu. Biarkan aku saja yang
menyingkirkannya."
"Kau memang bandel, Panji! Terserahlah
sana, singkirkan kotoran itu jauh-jauh.
Kalau perlu kirim ke neraka secepatnya!"
lalu sang Ratu tarik diri, mundur ke arah
serambi bertangga lima baris itu.
Wajah Keranda merasa semakin dibakar
hatinya mendengar ucapan Panji Pura.
Dengan kapaknya ia menuding putra Demang
Yasaguna itu.
"Kau orang Perguruan Elang Bumi!"
"Ya, memang aku orang Perguruan Elang
Bumi!" tegas Panji Pura. "Tapi aku berada
di depanmu bukan mewakili perguruanku,
melainkan mewakili Ratu Cumbu Laras! Kau
tak perlu membawa-bawa perguruanku, Orang
Tebing Naga!"
"Kuingatkan, segeralah menyingkir
sebelum kapakku membelah kepalamu menjadi
tujuh potong!"
"Kepalaku bukan semangka, Kawan!" ujar
Panji Pura. "Sebaiknya kapakmu untuk
membelah semangka saja. Karena senjata
seperti itu tak akan mampu melukai kulit
Panji Pura!"
"Jahanam busuk! Ingin kubuktikan kata-
katamu! Heeaaah...!"
Wuuut...!
Wajah Keranda menerjang Panji Pura
dengan kapak berkelebat menghantam dari
kanan ke kiri.
Wees...!
Panji Pura miringkan kepaia, dan kapak
itu lewat satu jengkal di atas kepalanya.
Tapi tangannya harus segera menyentak
ke samping, karena kaki Wajah Keranda
segera menjejak ke arah pundak kirinya.
Plaaak...!
Panji Pura pun memutar tubuh dengan
cepat dan kakinya melayang ke pipi si
Wajah Keranda.
Wuuut, ploook...!
Tendangan itu bagaikan hantaman
sebatang kayu mahoni utuh. Pipi si Wajah
Keranda menjadi memar seketika. Warnanya
biru kehitam-hitaman. Jika bukan karena
tenaga dalam tersalur penuh ke dalam kaki,
tak mungkin Panji Pura dapat membuat memar
pipi si Wajah Keranda.
"Bangsat kau!" geram Wajah Keranda
segera tegak kembaii setelah tadi
terpeianting nyaris jatuh.
Panji Pura melirik Ratu Cumbu Laras.
Sang Ratu tersenyum bangga dan
mengacungkan jempolnya, sehingga Panji
Pura semakin bersemangat melepaskan jurus-
jurusnya untuk segera tumbangkan si Wajah
Keranda.
Tetapi Wajah Keranda tak bisa menerima
kenyataan itu. Murkanya semakin bertambah
besar. Maka ia pun segera berkelebat
bagaikan kilat menerjang Panji Pura
bersama kapaknya.
Wuuut...!
Crass...!
"Oukh...!" Panji Pura terpekik,
rupanya saat itu ia menghindari terjangan
Wajah Keranda agak terlambat sedikit.
Lengannya menjadi sasaran kapak dua mata
itu. Lengan itu pun koyak lebar dan
mengerikan. Darah mengalir membasahi
sekujur lengan kiri Panji Pura.
"Heeeah...!" Wajah Keranda begitu
daratkan kakinya ke tanah langsung
menyentak dan tubuhnya melambung ke atas.
Tanah itu bagaikan terbuat dari karet yang
bisa memantul balikkan tubuhnya. Tubuh itu
bersalto cepat dan dalam gerakan cepat
kaki si Wajah Keranda berhasil menjejak
tengkuk kepaia Panji Pura.
Praaak...!
"Aaakh...!" Panji Pura tersentak ke
depan dan berjungkir balik di tanah.
Kepalanya bagai dihantam balok kayu yang
diayunkan sekeras-kerasnya. Darah pun
mengalir dari telinga dan hidung Panji
Pura.
Tapi lelaki muda itu merasa malu
dipandangi oleh Ratu Cumbu Laras yang
menampakkan kecemasannya. Ia segera
bangkit berlutut, lalu tangan kirinya
menyentak ke depan kuat-kuat dalam keadaan
telapak tangan terbuka.
Claaap...!
Selarik sinar hijau dilepaskan Panji
Pura. Wajah Keranda buru-buru menangkisnya
dengan kapaknya. Kapak itu menyala merah
bagai terpanggang api. Ketika sinar hijau
itu menghantam mata kapak yang kiri,
terjadilah ledakan yang cukup dahsyat dan
mengguncangkan tanah sekitar mereka.
Blegaaar...!
Wajah Keranda terlempar ke belakang
bagai tong sampah disapu badai.
Wuuus...!
Brruk...!
Sementara itu, Panji Pura hanya
tersentak mundur nyaris jatuh. Untung
tangan Ratu Cumbu Laras segera
menangkapnya dan memeluknya dengan wajah
cemas.
"Lukamu makin melebar, Panji! Ooh...!
Kapak itu pasti beracun ganas!"
"Aku masih bisa menahannya, Nyai
Ratu!"tegas Panji Pura bagai orang tak
kenal menyerah.
Ia segera lepaskan diri dari pelukan
Ratu Cumbu Laras. Luka lebamya sama sekali
tak dihiraukan karena pada saat itu ia
melihat Wajah Keranda telah bangkit dengan
menggeram, seluruh tubuhnya mengeras,
otot-ototnya mulai bertonjolan. Kedua mata
angker itu menyala merah, pertanda ia
sedang kerahkan tenaga dalam untuk
lepaskan jurus berbahaya.
Panji Pura buru-buru menerjangnya
sebelum jurus berbahaya itu dilepaskan
lawannya. Dengan satu lompatan bersalto
cepat seperti kipas angin, Panji Pura
menerjang Wajah Keranda yang sedang
menyeringai menyeramkan.
Weers...!
Blaaar...!
Kedua telapak kaki Panji Pura tepat
kenai muka si Wajah Keranda. Cahaya merah
membias lebar dalam sekejap. Lalu cahaya
itu padam. Dan kulit wajah yang terkena
tendangan 'Pasak Jagat' itu hangus
seketika. Rambut si Wajah Keranda pun
terbakar kepulkan asap yang baunya tak
sedap. Beberapa kejap kemudian, si Wajah
Keranda pun tumbang tanpa bernyawa lagi.
Brruuk...!
"Horeeee...!"
Para pengepung bersorak menyambut
kemenangan Panji Pura. Ratu Cumbu Laras
tampakkan senyum kegembiraannya. ia segera
menyuruh beberapa anak buahnya untuk
membuang mayat si Wajah Keranda. Sementara
itu, Panji Pura segera dibantu melangkah
masuk ke kamar.
"Lukamu harus segera kusembuhkan
sebelum racun itu makin merobek sekujur
lenganmu, Panji!" ujar sang Ratu masih
menyimpan kecemasan. Pada saat itulah,
badai pun datang bersama kiiatan cahaya
petir, kemudian hujan turun dengan deras
dan matahari sirna dari peredarannya.
Ratu Cumbu Laras punya kekuatan
penyembuh pada air liurnya. Air liur itu
bukan saja cepat mengeringkan luka, namun
juga membuat luka menjadi rapat dan
beberapa saat kemudian luka itu lenyap
tanpa meninggalkan bekas.
Biasanya jika para pengikutnya
terluka, cukup diludahi oleh sang Ratu,
maka luka itu akan sembuh dan hilang
sendiri dalam waktu tak sampai seratus
helaan napas. Karenanya, para pengikut
Ratu Cumbu Laras bertubuh mulus semua,
baik yang lelaki maupun yang perempuan.
Karena setiap mereka terluka, lukanya tak
pernah meninggalkan bekas.
Tetapi yang dilakukan sang Ratu
terhadap Panji Pura saat itu bukan dengan
cara meludahi luka tersebut. Setelah darah
yang berlumuran di lengan Panji Pura
dibersihkan dengan air hangat, tubuh Panji
Pura dibaringkan di atas ranjang. Hanya
sang Ratu dan pasangan kencannya yang
berani masuk di kamar itu dan berbaring di
ranjang tersebut.
Panji Pura dibaringkan daiam keadaan
tanpa baju dan hanya mengenakan selimut
pada bagian perut ke bawah. Baju dan
celananya yang terkena ceceran darah
dicuci oleh sang pelayan agar esok bisa
dikenakan kembali.
"Kalau begini caranya, malam ini
berarti aku tak bisa pulang karena
pakaianku dicuci," ujar Panji Pura sambil
berbaring.
"Mengapa harus pulang? Apakah kau
merasa rugi jika bermalam di sini lagi?"
"Tentu saja tidak, Nyai Ratu," jawab
Panji Pura sambil tersenyum kepada
perempuan cantik yang duduk di sampingnya.
"Yang paling utama sekarang adalah
melenyapkan lukamu dulu," ujar Sang Ratu.
Ia meludahi tangannya sendiri, lalu
air ludah itu dibalurkan ke luka Panji
Pura. Dengan cara begitu, luka itu cepat
menjadi kering dan mulai mengecil.
"Aku tak tega melihatmu terluka
begini. Miringkan tubuhmu, biar kusapu
lukamu dengan lidahku."
Panji Pura menurut, ia memiringkan
badannya sehingga luka di lengannya dapat
dijangkau dengan mudah oleh Ratu Cumbu
Laras. Luka itu sudah mengering dan nyaris
merapat. Rupanya sang Ratu ingin
mempercepat proses lenyapnya luka. Maka ia
pun menjilati luka tersebut tanpa ada rasa
jijik, sebab memang keadaan luka sudah
tidak menjijikkan.
Dengan gerakan pelan, lidah itu
menyapu lengan Panji Pura yang terluka.
Sapuan lidah itu dilakukan berulang-ulang,
sehingga luka cepat menghilang.
"Oooh... nikmat sekali sapuan lidahmu,
Nyai...," bisik Panji Pura sambil mendesah
dan matanya set-ngah terpejam.
"Kau suka, Panji?"
"Suka sekali, Nyai...."
Nyai Ratu Cumbu Laras mengulangi
sapuan lidahnya. Pada saat itu tangan
Panji Pura berada di pangkuan sang Ratu.
Jubah yang tersingkap membuat tangan itu
dapat mengusap paha sang Ratu dengan
leluasa.
Rupanya usapan tangan Panji Pura
menghadirkan debar-debar keindahan bagi
sang Ratu, karenanya ia tak melarang
tangan itu merayap kemana-mana. Bahkan
sang Ratu semakin memperlebar arena usapan
tangan Panji Pura itu. Dengan begitu,
tangan tersebut semakin nakal dan
menelusup di balik kain kecil penutup
'mahkota' kehangatan.
"Uuuhh...! Teruskan, Panji... oooh...
indah sekali," desah sang Ratu sambil
matanya terpejam sesaat, meresapi sentuhan
nikmat yang makin membuat hatinya berdesir
indah itu.
Sang Ratu akhirnya turun dari ranjang.
Ia berdiri di lantai, sementara Panji Pura
masih tetap dalam posisi miring menghadap
ke arah sang Ratu.
Jubah sang Ratu dilepaskan. Bahkan
penutup lainnya pun dilepaskan oleh
perempuan itu sendiri. Rambutnya yang
meriap digulung asal jadi, lalu ia pun
mendekatkan pahanya ke tepian ranjang. De-
ngan begitu bukan saja tangan Panji Pura
yang dapat menjangkau paha itu, melainkan
mulut Panji Pura pun sangat mudah
menjangkaunya.
"Lakukanlah seperti tadi, Panji...,"
bisik Ratu Cumbu Laras sambil mendekatkan
mulutnya ke telinga Panji Pura. Mulut itu
segera menjulurkan lidah dan lidah itu
mulai menyapu daun telinga Panji Pura.
Sapuan lidah itu hadirkan rasa geli-geli
nikmat yang tak bisa ditolak oleh Panji
Pura.
Sang Ratu masih tetap berdiri dan
membungkuk menyapu belakang telinga Panji
Pura dengan lidahnya. Bahkan sapuan itu
menjalar ke leher dan beberapa kali
memagut leher tersebut. Panji Pura
bagaikan dilambungkan ke angkasa menerima
kehangatan seperti itu.
Sedangkan sang Ratu sendiri juga
merasakan keindahan yang cukup dalam,
karena pahanya dipagut-pagut oleh Panji
Pura. Sesekaii lidah Panji Pura merayapi
paha itu, namun sesekaii pula menggigit
kecil menimbulkan keindahan yang membuat
sang Ratu terpekik lirih.
"Oouh... terus, Panji. Terus naik...,"
bisiknya dalam desah.
"Dekatkan, Nyai... dekatkan biar
mulutku sampai...."
Ratu Cumbu Laras akhirnya mendekatkan
diri, sehingga sesuatu yang diharapkan
dapat sentuhan dari lidah Panji Pura itu
kini menjadi kenyataan.
"Aaoow...!" Ratu Cumbu Laras memekik
bukan karena sakit namun karena tak mampu
menahan tikaman kenikmatan. Tanpa sadar
pinggulnya menggelinjang, meliuk-liuk
menyelaraskan sentuhan nikmat lidah Panji
Pura.
"Aaaoow...! Oooh...! Aduuuh, aku tak
tahan, Panji. Tak tahan.... Aku... aku....
Aaaaaa...!"
Ratu Cumbu Laras menegakkan badannya.
Badan itu mengeras kencang. Kedua
tangannya meremas dada sendiri sambil
memejamkan mata kuat-kuat karena kecupan
Panji Pura mengantarkan jiwanya mencapai
puncak keindahan yang luar biasa indahnya.
Bahkan akhirnya ia menduduki mulut Panji
Pura sambil menghabiskan sisa keindahan
yang masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Sebab pada saat itu, lidah Panji Pura
masih tetap nakal dan membandel, tak mau
disuruh berhenti.
"Cukup, Panji... cukup.... Ooh, Panji
kau nakal sekali, Panji.... Aaaaa...!
Panjiiii...!" sang Ratu merengek seperti
anak kecil dengan remasan kedua tangannya
semakin kuat.
Tubuh itu tak mampu tegak lagi. la
jatuh merangkak, wajahnya tepat di atas
paha Panji Pura. Sedangkan pada saat itu
'Panji kecil' menampakkan keberaniannya.
Ia kelihatan tegar dan gagah, seakan
menantang kemampuan sang Ratu. Maka tak
ada luapah rasa bahagia lainnya bagi sang
Ratu kecuali segera menerkam dan melahap
si 'Panji kecii' dengan liar dan buas.
"Hhhhmrnrnr...! Hrnrnrrr...!" sang
Ratu masih saja menggeram gemas sambil
mulutnya penuh dengan kehangatan yang
menyentak-nyentak.
Pada saat itulah sebenarnya Muninggar
melepaskan sukmanya karena kehabisan
tenaga dan darah dalam melahirkan. Panji
Pura hanya sempat mendengar suara lirih
yang memanggiinya.
"Kangmas... aku pamit...."
Panji Pura sempat tersentak kaget
dalam hatinya. "Aku seperti mendengar
suara Muninggar, istriku...? Ah, bukan!
Itu bukan suara Muninggar!"
Tapi Panji Pura berusaha menghilangkan
bisikan batinnya itu. Perhatiannya
dipusatkan kembali ke mulut Ratu Cumbu
Laras yang semakin buas dan liar melahap
mangsanya. Sementara itu, lidah Panji Pura
pun mengganas dan menjadi liar kembali di
gerbang kehangatan perempuan itu, membuat
pinggul si perempuan mulai menggeliat
kembali.
Malam pun dibiarkan lewat bersama
sejuta rasa nikmat, sedangkan di rumah Ki
Demang Yasaguna, malam dibiarkan lewat
dengan sejuta duka atas kematian
Muninggar. Sang bayi kembar masih saja
menangis dengan suara nyaring, seakan
memanggil-manggil ayahnya agar lekas
pulang menemui jenazah sang ibu.
* * *
TIGA
ESOKNYA, seorang mata-mata membawa ka-
bar baik bagi Ratu Cumbu Laras. Kabar baik
itu tak bisa disampaikan langsung oleh
sang mata-mata, melainkan harus melalui
pengawal setia sang Ratu yang dikenal
dengan nama Betina Rimba.
Nama itu cukup dikenal bukan saja di
wilayah Pesisir Kulon, namun juga di
antara para tokoh dunia persilatan, nama
Betina Rimba bagaikan hantu cantik yang
menakutkan namun juga sering jadi buah
khayalan para lelaki. Karena, si Betina
Rimba walau masih berusia sekitar dua
puluh tiga tahun, tapi mempunyai
ketangguhan dan kematangan berpikir
seperti perempuan yang sudah berusia tiga
puluh tahun.
Gadis itu bersosok tinggi, sekali,
bahkan berbadan kekar. Rambutnya yang
cepak seperti potongan lelaki itu membuat
wajah cantiknya selalu tampak jelas dan
nyata, baik dipandang secara terang-
terangan ataupun secara sembunyi dari
lubang bilik. Ia seorang gadis yang tegas
dan penuh keberanian. Pancaran matanya
seialu tajam dan menantang, bahkan
cenderung berkesan ganas.
Kecantikan yang berkesan ganas itu
mempunyai hidung mancung dan bibir sensual
menggairahkan. Dan yang lebih
menggairahkan lagi bagi pandangan kaum
lelaki adalah bulu-bulu lebat yang tumbuh
di lengannya. Gadis yang tak suka
mengenakan baju dan celana panjang kecuali
hanya kutang kuning kecil berantai dan
cawat kuning kecil berantai juga itu,
memang tergolong seorang gadis yang
kebanyakan hormon, istilah sekarang.
Tubuhnya yang berkulit coklat halus tanpa
bekas luka itu banyak dltumbuhi bulu
lembut yang samar-samar dari bagian
pahanya sampai betis, dari pahanya sampai
ke pusar, juga dari pergelangan tangan
sampai ke batas pundak. Selain itu tengkuk
dan punggungnya yang kekar itu juga penuh
bulu halus yang sering membuat seorang
lelaki berkhayal ingin merabanya secara
pelan-pelan.
"Apa maksudmu menemuiku di depan kamar
se-pagi ini, Betina Rimba?!" tanya Ratu
Cumbu Laras begitu melihat Betina Rimba
sudah berdiri di depan pintu kamarnya.
"Ada kabar baik bagi kita, Nyai Ratu!"
jawab Betina Rimba yang suaranya agak
besar dan sedikit serak karena sering
berteriak itu.
"Aku tak peduli apa apa kecuali
tentang acara malam persembahan! Ingat,
Betina Rimba...!" sang Ratu berkata dengan
tegas. "Tiga malam lagi tepat malam bulan
pumama. Kita tak boleh gagal!"
"Saya tahu. Nyai Ratu!" sambil kedua
tangan Betina Rimba menggenggam pedang di
dada sebagai tanda memberi hormat kepada
ratunya.
"Apakah mereka yang ditugaskan mencari
korban dari pulau seberang dan pulau-pulau
lainnya sudah mendapat hasil?"
"Belum, Nyai Ratu. Namun, mata-mata
kita, Andari, baru saja tiba dan membawa
kabar baik tentang adanya korban tersebut,
Nyai Ratu."
"Bagus! Apa kata Andari?"
Betina Rimba sedikit mendekat karena
ia berkata pelan.
"Tadi malam seorang perempuan telah
melahirkan bayi kembar, Nyai!"
"Hrnmrn...! Bagus sekali. Di mana bayi
kembar itu berada?"
"Di kaki Gunung Merana, di wilayah
Pademangan."
"Bayi kembar itu anak siapa?"
"Muninggar...," Betina Rlmba makin pelan,
membuat sang Ratu berkerut dahi.
"Muninggar istrinya Panji Pura?!"
"Betul, Nyai!"
Sang Ratu pun terkesiap sesaat, lalu
merenung beberapa helaan napas. Dalam
hatinya terjadi pergolakan yang membuatnya
bimbang dan penuh perhitungan. Tapi Betina
Rimba segera berkata dalam nada pelan.
"Kesempatan emas ini sangat
disayangkan jika kita lewatkan, Nyai!"
"Memang benar, tapi... tapi bagaimana
mengatasi Panji? la akan tahu siapa
pelakunya jika anak itu kita culik dan
kita jadikan korban persembahan pada maiam
purnama nanti."
"Dapatkah Nyai Ratu membawanya pergi
selama dua hari? Barangkaii Nyai perlu
berlibur ke Pulau Semayam bersama Panji
Pura. Bukankah Nyai sendiri pernah bilang
bahwa Pulau Semayam sangat cocok untuk
berbulan madu? Mengapa Nyai tidak ke sana,
berbulan madu bersama Panji Pura?
Sementara itu, saya akan berusaha menculik
bayi kembar itu tanpa setahu Panji Pura."
"Hmmm...," Ratu Cumbu Laras manggut-
manggut dan menggumam kecil. Setelah
berpikir sekali lagi, akhirnya sang Ratu
memberi keputusan yang sangat tegas dan
sangat kejam.
"Habisi mereka, jangan ada yang hidup!
Gunakan topeng agar tak ada yang mengenali
wajah kalian!"
"Baik, Nyai! Akan saya kerjakan tugas
itu!"
"Kerahkan anak buahmu untuk
mempercepat pekerjaan! Lakukan setelah aku
dan Panji Pura pergi ke Pulau Semayam!"
Betina Rimba segera acungkan kedua
tangannya yang saling genggam pedang di
depan dada sebagai tanda kepatuhannya. Ia
segera kerahkan anak buahnya dan
membagikan kedok penutup wajah kepada
mereka. Topeng hitam itu menutupi seluruh
wajah pemakainya, hingga yang terlihat
hanya bagian mata dan mulut saja.
"Bayi kembar...? Oh, alangkah
beruntungnya nasibku di bulan ini!" ujar
sang Ratu dengan girangnya. "Korban bayi
kembar adalah korban emas yang membuatku
punya kesempatan untuk ajukan dua
permintaan baru kepada junjunganku: Dewa
Seribu Laknat!"
Wajah perempuan itu memang tampak
berseri-seri dihinggapi kegembiraan yang
amat besar. Jika biasanya dalam malam
bulan purnama ia hanya dapat mengorbankan
seorang bayi untuk menjaga keutuhan
kesaktiannya, tapi kali ini ia akan dapat
mengorbankan sepasang bayi kembar. Dengan
mengorbankan bayi kembar, maka ia akan
mempunyai kesempatan untuk mengajukan dua
permintaan baru sekaligus menjaga keutuhan
kesaktiannya.
"Permintaan apa saja yang akan
kuajukan nanti, ya?" pikirnya sambil
memandangi bayangannya di dalam cermin
rias.
"Hmmm... agaknya aku masih harus
mempunyai satu lagi ilmu kesaktian yang
dapat untuk mengalahkan jurus andalannya
si Pawang Badai itu. Tanpa satu kesaktian
pelebur jurusnya si Pawang Badai, sampai
kapan pun aku tak akan bisa kalahkan
Pawang Badai. Hmmm... kurasa itulah salah
satu permintaanku nanti. Lalu, permintaan
kedua...?" Ratu Cumbu Laras berpikir lagi.
Namun belum sempat temukan jawabannya,
Panji Pura sudah muncul di kamar itu. la
baru saja selesai mandi, tubuhnya menjadi
segar dan tampak bersih. Ketampanannya se-
makin terlihat jeias.
Panji Pura hanya kenakan kain tebal
pembungkus perut ke bawah, sementara
bagian atasnya masih bertelanjang dada,
sehingga melalui pantulan cermin rias,
dada itu tampak kekar menantang, seakan
siap untuk digigit atau diremas dalam
kemesraan yang hangat.
"Ceria sekali wajahmu hari ini, Nyai
Ratu."
"O, ya... tentu saja aku ceria, karena
semalam kau memberiku keindahan yang
istimewa," ujar sang Ratu menutupi
kebahagiaan aslinya. la memutar tubuh
dalam keadaan tetap duduk di bangku rias.
Jubah merah mudanya sudah dikenakan, tapi
yang lainnya belum dikenakan. Padahal
jubah itu dalam keadaan tak dikancingkan,
sehingga menyingkap lebar-lebar dan
menampakkan gumpalan besar yang kencang
tapi lembut di bagian dadanya itu.
"Aku terkesan sekali dengan
keistimewaanmu semalam. Tak biasanya kau
sebuas itu, Panji. Aku sangat
menyukainya."
"O, ya...?!" Panji Pura tersenyum
bangga. "Akan kuberikan lagi. Tapi
sekarang aku harus pulang dulu, Nyai!"
"Mengapa tergesa-gesa pulang, Sayang?"
ragu sang Ratu sambil meraih tangan Panji
Pura.
"Sudah dua malam aku tak di rumah. Aku
tak enak kalau sampai ditegur oleh ayahku
sendiri, Nyai."
"Ayahmu tak akan menegur, karena ia
tahu siapa perempuan yang bersamamu selama
dua malam ini?" sambii berkata begitu,
sang Ratu menarik tangan Panji Pura dan
ditempelkan di dadanya. Panji Pura tahu
maksud Ratu Cumbu Laras. Maka dada
perempuan itu pun menjadi ajang kerajinan
tangan Panji Pura. Sang Ratu tampak
senang, ia memandang dengan senyum yang
menawan. Usianya yang sudah mencapai
delapan puluh tahunan itu masih tetap
memancarkan kecantikan berusia dua puluh
lima tahun. Itulah sebabnya Panji Pura
sulit menolak tantangan bercumbu dari sang
Ratu.
Mereka pun akhirnya berlayar menuju ke
Pulau Semayam. Di sana Panji Pura
diperlakukan sebagai budak nafsu bagi sang
Ratu. Tetapi laki-laki itu tak sadar akan
perlakuan tersebut. la menuruti saja apa
perintah sang Ratu dalam cumbuan mereka.
Bahkan Panji Pura selalu merasa bangga
jika dapat menerbangkan Ratu Cumbu Laras
ke puncak-puncak keindahannya.
Ia tak tahu bahwa pada malam
berikutnya, Pademangan diserang oleh
orang-orang bertopeng. Rumah Ki Demang
Yasaguna menjadi ajang pertumpahan darah.
Ki Demang sendiri terkapar bersimbah darah
karena pedang manusia bertopeng itu
menyabet lehernya dari samping.
Betina Rimba yang menjadi ketua
rombongan manusia bertopeng itu menjadi
kebingungan karena bayi kembar itu tak ada
di rumah Ki Demang Yasaguna. Semua
penghuni rumah besar itu telah dibantai
habis, tapi bayi kembar itu tak ditemukan
oleh Betina Rimba.
"Geledah semua rumah penduduk!"
perintah
Betina Rimba kepada anak buahnya.
Tetapi bayi itu tetap tak berhasil
ditemukan.
"Gila! Ke mana bayi kembar itu?!"
geram Betina Rimba. Ia segera mencari
Andari dan mengacungkan pedangnya ke leher
Andari yang terdesak di salah satu sudut
bangunan rumah papan.
"Kau telah menyebarkan berita bohong
tentang bayi kembar itu, Andari!"
"Tid... tidak! Aku berani bersumpah,
Muninggar memang melahirkan bayi kembar.
Bayi itu lelaki semua! Muninggar memang
tewas setelah persalinan, tapi bayi
kembarnya tidak ikut tewas!"
"Nyatanya bayi itu tidak ada!" bentak
Betina Rimba.
"It... Itu... itu di luar tanggung
jawabku!" ujar Andari membela diri.
"Mungkin ada pihak lain yang telah
menculik bayi itu. Mungkin pihak lain itu
juga membutuhkan tumbal bayi kembar
atau... ah, yang jelas tak mungkin bayi
kembar itu lari sendiri atau bersembunyi
disuatu tempat tanpa ada yang membawanya!"
"Jahanam orang yang mengacaukan
rencana kita ini!" geram Betina Rimba di
balik topengnya. Pedang pun diturunkan,
karena menurut penilaiannya, Andari memang
tidak berdusta. Betina Rimba hanya merasa
panik dan takut misinya gagal.
Tanpa setahu siapa pun, Nyi Padmi
telah mempunyai kecurigaan akan datangnya
bencana mengerikan itu. Mimpinya tentang
kabut di rumah Ki Demang dan dua ekor
merpati terbang telah membuat Nyi Padmi
mencemaskan bayi tersebut.
Ketika ia pulang dari membantu
melahirkan Muninggar, ia sempatkan diri
bicara dengan suaminya tentang kelahiran
bayi kembar tersebut.
"Dua ekor merpati dalam mimpimu itu
ternyata adaiah kelahiran si bayi kembar
tersebut," ujar sang suami. "Lalu, kabut
tebal yang kau lihat dalam mimpimu itu
adalah kematian bagi si Muninggar sendiri.
Tetapi firasatku mengatakan, bukan hanya
kematian Muninggar yang menjadi simboi
dari kabut tebal itu."
"Lalu, menurutmu apa arti kabut tebai
itu, Suamiku?"
"Bencana!" hanya itu jawaban sang
suami yang membuat Nyi Padmi terperanjat
dan menjadi cemas sekali.
"Malam ini juga aku akan temui Demang
Yasaguna dan membicarakannya?"
"Apa rencanamu?"
"Selamatkan bayi kembar itu!"
"Apakah menurutmu bayi itu akan
menjadi sumber bencana?"
"Semata-mata bukan karena kelahiran
sang bayi, melainkan karena kekejaman
seseorang dapat membuat Pademangan dilanda
bencana mengerikan!" jawab sang suami yang
berbadan kurus, walau tak sekurus Nyi
Padmi sendiri.
Lelaki beruban tak rata yang gemar
mengenakan jubah putih berikat pinggang
kain hitam itu segera temui Ki Demang
Yasaguna. Tanpa membawa tongkatnya, suami
Nyi Padmi melesat dengan cepat hingga tiba
di depan Ki Demang Yasaguna ketika malam
mulai merayap ke pertengahannya.
KI Demang terkejut ketika suami Nyi
Padmi itu utarakan maksudnya.
"Cucumu harus disingkirkan dari sini
secepatnya!"
"Mengapa kau setengah memaksaku
begitu?"
"Firasatku sangat buruk. Jika benar
putramu si Panji Pura punya hubungan gelap
dengan Ratu Cumbu Laras, maka cepat atau
lambat kelahiran bayi kembar Itu akan
tercium oleh perempuan itu. Barangkali kau
belum tahu, Demang Yasaguna...."
"Apa yang belum kuketahui itu?"
"Ratu Cumbu Laras selalu
mempersembahkan seorang bayi pada malam
bulan purnama sebagai tumbal persembahan
bagi Dewa Seribu Laknat."
"Ak... aku baru mendengar nama Dewa
Seribu Laknat."
"Itu nama iblis yang mendampingi Ratu
Cumbu Laras selama ini. Perempuan tersebut
telah lama bersekutu dengan iblis yang
berjuluk Dewa Seribu Laknat. Kekuatan
iblis Dewa Seribu Laknat mengalir dalam
diri Ratu Cumbu Laras. Upahnya adalah
darah bayi pada malam bulan purnama.
Tetapi jika Ratu Cumbu Laras dapat
persembahkan bayi kembar untuk makanan si
iblis itu, maka ia akan mempunyai hak
untuk ajukan dua permintaan. Jika hanya
satu bayi, tak ada permintaan baru, namun
kesaktian dan kecantikannya tetap
terjaga."
"Mak.... Maksudmu... Ratu Cumbu Laras
ingin merampas cucu kembarku itu? Oh,
sepertinya itu tak mungkin. Panji Pura tak
akan tinggal diam jika sang Ratu punya
gagasan keji seperti itu."
"Putramu telah terbius oleh kecantikan
Ratu Cumbu Laras, mungkin juga telah
bertekuk lutut di bawah telapak kaki
perempuan tersebut. Jika sudah begitu, tak
ada lagi niat bagi Panji Pura untuk
memikirkan nasib bayinya! Kehangatan si
Cumbu Laras adaiah kehangatan yang
beracun! Membuat setiap lelaki yang
bercumbu dengannya akan selalu ketagihan
dan sulit meninggalkannya!"
Ki Demang tertegun beberapa saat
lamanya. Selain malu, juga merasa serba
salah dalam bersikap. Di satu sisi ia
masih senang-senangnya menimang cucu, di
satu sisi lagi ia perlu selamatkan sang
cucu jika benar Ratu Cumbu Laras
membutuhkan tumbal atau korban persembahan
kepada si Iblis Dewa Seribu Laknat itu.
Akhirnya Ki Demang memutuskan,
"Baiklah, kutitipkan cucu kembarku
padamu. Tapi jika dalam tujuh hari tak
terjadi apa-apa, kuminta kau kembalikan
cucu kembarku itu!"
"Akan kukembalikan dalam keadaan sehat
tak kurang satu apa pun, Demang Yasaguna!"
tegas suami Nyi Padmi. Maka, Ki Demang
Yasaguna pun menyerahkan kedua cucu
kembarnya kepada lelaki berjubah putih itu
tanpa setahu istrinya atau siapa pun. Si
kembar yang dalam keadaan sedang tertidur
itu akhirnya dibawa oleh si jubah putih
meninggalkan rumah kakeknya.
Malam berikutnya, bencana berdarah itu
benar-benar terjadi. Oleh sebab itulah,
Betina Rimba tak bisa temukan si bayi
kembar tersebut, karena tak ada seorang
pun yang mengetahui bahwa bayi kembar
sudah berada di puncak Gunung Merana.
Mereka tinggal bersama Nyi Padmi dan
suaminya yang setiap harinya bertugas
menjaga dan merawat sebuah makam keramat.
Makam keramat itu adalah makam seorang
tokoh sakti pada masanya yang dikenal
dengan nama Eyang Mangkuranda, alias si
Dewa Kencan.
Sejak kematian si Dewa Kencan, Nyi
Padmi hidup bersama suaminya sebagai
penjaga dan perawat makam tersebut.
Kehidupan suami-istri itu tidak dikaruniai
seorang anak pun. Namun mereka tetap
saling mencintai hingga usia setua itu.
Oleh karenanya, ketika peristiwa berdarah
itu terjadi dan si kembar sudah berada di
tangan mereka, hati mereka pun menjadi
terharu antara suka dan duka.
Mereka sangat sedih melihat
pembantaian besar-besaran itu, namun
mereka juga gembira karena kini mereka
mendapat sepasang anak kembar yang selama
ini kehadirannya sangat dirindukan oleh
mereka berdua. Akhirnya si kembar dirawat
dan dibesarkan oleh Nyi Padmi dan
suaminya, yang tak lain adalah si Pawang
Badai.
Ada pun Panji Pura yang hanya bisa
menangis meraung-raung ketika pulang ke
rumahnya dan mendapatkan seiuruh
keluarganya tewas dibantai oleh
serombongan manusia bertopeng. Seorang
saksi mata yang saat itu sempat melihat
pembantaian memberikan kesaksian di depan
Ketua Perguruan Elang Bumi yang segera
bertindak mewakili pihak Panji Pura.
"Malam itu aku terbangun karena
perutku mulas sekaii. Lalu aku lari ke
sungai dan membuang hajat di sana. Ketika
kudengar jerit dan tangis mereka, aku tak
berani naik ke tanggul sungai. Aku
bersembunyi di celah dua batu besar di
tengah sungai itu. Dan kulihat orang-orang
bertopeng mengejar para pelayan Ki Demang
membantainya dengan tak mengenal ampun
lagi. Tak satu pun dari orang bertopeng
itu yang kukenal dan kuingat wajahnya...."
Hanya Panji Pura yang lolos dari
pembantaian massal tersebut. Saksi mata
pun itu akhirnya mengalami gangguan
kejiwaan, dan Panji Pura lebih parah dari
orang itu.
Panji Pura tak bisa diajak bicara oleh
siapa pun. Ia bagaikan patung bernyawa
yang tak mengenali lingkungannya lagi,
bahkan tak mengenaii siapa dirinya."
Makin hari semakin meningkat kekacauan
jiwa Panji Pura, ia menjadi gila, liar dan
sering mengamuk membahayakan siapa saja.
Pihak perguruannya segera memasungnya demi
keamanan sesama.
Tapi pada suatu malam Panji Pura
berhasil lolos dari pasungan lalu pergi
entah ke mana, tak seorang pun yang tahu
ke mana arah pelariannya.
* * *
EMPAT
AKHIRNYA ketika malam purnama tiba,
Ratu Cumbu Laras hanya bisa
mempersembahkan seorang bayi tunggal yang
dibawa oleh utusannya dari Pulau Rampala.
Bayi itu dirampas dari tangan seorang
pelacur yang melahirkan anak haramnya.
Sedangkan Betina Rimba yang telah
melakukan kesalahan besar di mata sang
Ratu, dijatuhi hukuman mati sebagai
penebus kesalahannya. Namun sebelum
hukuman mati itu dilaksanakan, Betina
Rimba telah lebih dulu melarikan diri dan
tak terkejar oleh pihak Ratu Cumbu Laras.
Pawang Badai tak berani bertindak
tanpa bukti yang kuat, walau ia mempunyai
keyakinan bahwa pihak Ratu Cumbu Laras
itulah yang melakukan pembantaian massal
yang mengerikan itu. Nyi Padmi hanya
mengingatkan suaminya dengan kata-kata
bijak.
"Pada suatu saat, jika waktunya telah
tiba, Ratu Cumbu Laras akan tumbang dan
binasa walau bukan dari tanganmu sendiri,
Suamiku. Kau tak bisa lemparkan tuduhan
kepada Ratu Cumbu Laras karena kau tidak
mempunyai bukti dan saksi mata yang dapat
membuat si Cumbu Laras bisa dibuktikan
kesalahannya."
Pawang Badai diam, merenungi kata-kata
istrinya yang sedang menimang-nimang salah
satu dari bayi kembar itu. Hanya Nyi Padmi
yang mengetahui mana bayi yang pertama
lahir dan yang kedua, karena dialah yang
membantu kelahiran itu secara langsung.
Bayi yang lahir kedua itulah yang dianggap
anak pertama menurut adat mereka. Karena
bayi yang lahir kedua adalah seorang kakak
yang menjaga keselamatan adiknya dari
belakang.
Karenanya, bayi yang lahir kedua
itulah yang dianggap si sulung oleh Nyi
Padmi. Atas kesepakatan dengan suaminya,
bayi itu diberi nama: Raka Pura. Sedangkan
bayi yang lahir pertama dan dianggap
sebagai sang adik itu diberi nama Soka
Pura.
"Bagaimana kau bisa yakin kalau Raka
Pura adalah sang kakak?" tanya Pawang
Badai.
"Bobotnya sedikit lebih berat dari
bayi yang pertama lahir," jawab Nyi Padmi.
Jika bukan bertindak sebagai dukun bayi,
Nyi Padmi tak mungkin bisa mengenali mana
bayi yang lahir pertama dan kedua, sebab
kedua bayi itu mempunyai wajah yang serupa
dan sulit dibedakan.
Selagi Pawang Badai ingin ucapkan kata
kepada istrinya sambil kedua tangannya
menimang Raka Pura, tiba-tiba angin
kencang datang bersama kabut putih yang
merayap sebatas mata kaki. Nyi Padmi
bergegas ingin menutup pintu rumah
gubuknya itu, tetapi suaminya melarang.
"Biarkan beliau masuk."
Mendengar kata-kata suaminya, maka Nyi
Padmi pun segera mengerti apa maksud
ucapan tersebut. ia tak jadi menutup
pintu. Lalu, beberapa saat kemudian mereka
sama-sama mendengar suara tanpa rupa.
"Pawang Badai dan Rara Padmi...," sapa
sebuah suara yang sudah dikenali oleh
mereka. Suara itu adalah suara roh si Dewa
Kencan atau Eyang Mangkuranda yang
makamnya ada di samping pondok mereka itu.
"Bersyukurlah kalian sekarang, karena
kini kalian telah dikaruniai sepasang anak
kembar yang akan mengisi hari-hari tua
kalian nanti. Aku setuju dengan nama yang
kalian berikan kepada mereka itu. Sepasang
nama yang bagus, sesuai ketampanan bayi
itu kelak jika sudah menjadi dewasa."
"Terima kasih, Guru," jawab si Pawang
Badai penuh hormat.
Suara bergema lirih itu hiiang sesaat,
lalu terdengar kembali di sela-sela
hembusan angin yang menderu. Pawang Badai
dan Nyi Padmi masih sama-sama tundukkan
kepala, pandangi bayi yang ada dalam
pondongan mereka masing-masing. Sayang ba-
yi pun sama-sama menggeliat walau pejamkan
mata, namun itulah pertanda bahwa sang
bayi dalam keadaan tidak tertidur.
"Pawang Badai, pergilah ke Pesisir
Kulon dan temuilah si Cumbu Laras!
Hentikan kekejamannya dengan siasat
membalik pandangan matanya."
"Aku kurang paham maksudmu, Guru!"
"Ambil sebatang pohon pisang, jelmakan
menjadi dirimu. Cumbu Laras masih punya
dendam kesumat padamu, karena kau pernah
menolak cinta dan gairahnya semasa mudamu
dulu. Dia tidak akan hentikan kekejamannya
sebelum dapat kalahkan dirimu. Suruh si
pohon pisang melayani tantangan Cumbu
Laras, dan biarkan Cumbu Laras membunuhnya
agar hatinya menjadi puas dan lega, maka
dendamnya pun akan sirna. Setelah itu, ia
akan hentikan kekejamannya. Jika dendamnya
dibiarkan berlarut-larut, maka akan lebih
banyak lagi kaum lelaki yang menjadi
korbannya, seperti yang dialami oleh ayah
dari bayi kembar itu!"
"Baik, Guru. Aku mengerti maksudmu!"
"Kuharap tanganmu tetap bersih tanpa
darah seperti yang sudah kau lakukan
selama ini."
"Baik, Guru!"
Hembusan angin lebih cepat iagi,
nyaris menerbangkan pintu pondok tersebut.
Namun secara tiba-tiba hembusan angin itu
berhenti seketika.
Wuuut...!
Lalu sepi dan hening. Kabut yang
merayap di permukaan tanah setinggi mata
kaki itu pun lenyap. Hanya udara dingin
yang terasa menyapu tubuh mereka, membuat
pintu pun segera ditutup oleh Pawang
Badai. Karena ia tahu, saat itu roh Eyang
Mangkuranda telah pergi.
Pawang Badai adalah murid Eyang
Mangkuranda yang terakhir. Dan hanya
tinggai si Pawang Badai yang masih hidup
dari beberapa murid Mangkuranda.
Sebelum tokoh sakti itu hembuskan
napas terakhir, ia telah berpesan kepada
Pawang Badai agar jauhi keramaian dunia
persilatan. Pawang Badai tidak diizinkan
terjun ke rimba persilatan kembaii sebelum
ada penerus yang akan menggantikannya
kelak. Bahkan sang guru melarang Pawang
Badai lakukan pertarungan atau pembunuhan
kepada siapa pun, kecuali ia diserang di
tempat pengasingannya.
Bersama sang istri, Pawang Badai
mengasingkan diri ke puncak Gunung Merana,
sambil menjaga dan merawat makam sang
guru, itulah sebabnya, Pawang Badai tak
berani ikut campur dalam peristiwa
pembantaian tersebut, selain hanya
menyelamatkan si kembar.
Tetapi agaknya sekarang roh sang guru
sudah mengizinkan ia terjun kembali ke
dunia persilatan dengan tugas mengakhiri
kekejian si Ratu Curnbu Laras itu. Namun
sekaiipun demikian, Pawang Badai tetap
tidak diizinkan lakukan pembunuhan
langsung, melainkan harus menggunakan
siasat lain seperti yang diwejangkan oleh
sang guru tadi.
"Selama aku menjadi istrimu, kau belum
pernah menceritakan hubunganmu dengan si
Cumbu Laras," ujar Nyi Padmi setengah
memprotes sikap bungkamnya sang suami.
"Kusangka kau hanya mengenali Cumbu Laras
sebagaimana kau mengenal tokoh silat
wanita lainnya. Ternyata kau pernah ada
hubungan pribadi dengan Cumbu Laras!"
"Masa lalu itu tak pernah kukenang
lagi, dan aku pun tak ingin kau
mengenangnya."
"Setidaknya kau dapat ceritakan padaku
sebagai bekal pengetahuanku," ujar sang
istri mendesak secara halus.
Pawang Badai tarik napas pelan-pelan
terdengarkan suaranya kembali dengan
kalem. Sang istri memandanginya sambil
menggoyang pelan gendongannya agar si
kecii Raka Pura itu tertidur nyenyak.
"Cumbu Laras adalah gadis desa yang
buruk rupanya dan berpenyakit kulit. Tak
ada lelaki yang sudi menyentuhnya, apalagi
memeluknya. Masa puber gadis bernama asli
Untari itu sangat pahit dan menyedihkan.
ia selalu mendapatkan hinaan dari kaum
lelaki."
Pawang Badai hentikan ceritanya
sebentar. Soka Pura merengek dalam
gendongannya. la terpaksa mengayun ayunkan
gendongan agar bayi itu hentikan
rengekannya. Setelah rengekan sang bayi
berhenti, Pawang Badai pun lanjutkan
ceritanya kembali tanpa diminta sang
istri.
"Untari akhirnya pergi dari desanya,
karena tak ingin menjadi bahan hinaan para
tetangga. Rupanya di tempat lain pun
Untari mengalami nasib yang sama, selalu
menjadi bahan hinaan kaum lelaki. Ia putus
harapan, akhirnya bunuh diri dengan terjun
ke Jurang Sambar Nyawa. Siapa pun yang
jatuh atau sengaja terjun ke jurang itu
pasti mati. Tetapi Untari tidak, karena
saat tubuhnya melayang sepasang tangan
menyambarnya. Ia diselamatkan oleh sepa-
sang tangan tanpa rupa."
"Siapa pemilik sepasang tangan itu?"
potong Nyi Padmi yang semakin ingin tahu.
"Sepasang tangan itu milik iblis yang
menamakan dirinya Dewa Seribu Laknat! Maka
Untari pun segera bersekutu dengan Dewa
Seribu Laknat. Ia menjadi abdi iblis itu,
tapi imbalannya adalah kesaktian dan
kecantikan diberikan kepada Untari. Setiap
bulan purnama, Untari harus mengorbankan
seorang bayi sebagai santapan sang iblis
Dewa Seribu Laknat itu."
"Lalu bagaimana bisa terlibat hubungan
pribadi denganmu?"
"Kala itu aku masih berusia dua puluh
empat tahun. Kakak perguruanku, si Tangan
Dingin, teriibat bentrokan dengan Untari
yang telah menamakan dirinya Ratu Cumbu
Laras. Guru mengutusku memanggil si Tangan
Dingin dan menyuruh Tangan Dingin
tinggalkan Cumbu Laras. Tetapi ia sudah
telanjur terbunuh oleh Cumbu Laras. Aku
bermaksud menuntut balas, tetapi sempat
terpikat oleu Kecantikan dan kelembutan
tutur rayunya. Rupanya perempuan itu
merasa jatuh cinta padaku setelah hubungan
kami makin lama semakin akrab.
Sementara itu, Guru melarangku
menuntut balas atas kematian si Tangan
Dingin. Hubunganku dengan Cumbu Laras pun
selalu mendapat teguran dari Guru. Pada
dasarnya, Guru mengharapkan agar aku
tinggalkan Untari. Kuturuti perintah Guru
itu, kutinggalkan Untari, sampai perempuan
itu mengejar-ngejarku dan tak pernah
kulayani lagi cintanya. Akhirnya ia sangat
sakit hati padaku. la mencoba membunuhku
beberapa kali, namun tak berhasil, dan hal
itu membuat sakit hatinya semakin
bertambah.
Sampai sekarang, ternyata ia masih
termakan dendam kesumat padaku dan menurut
kata-kata Guru tadi, sebelum aku mati ia
tak akan hentikan kekejamannya terhadap
setiap lelaki. ia selalu ingin
menghancurkan setiap lelaki sebagai balas
dendam atas perlakuan kaum lelaki saat ia
dalam keadaan buruk rupa dan berpenyakit
kulit."
"Dendam itu membuat asmaranya menjadi
liar!" gumam Nyi Padmi dalam keadaan tetap
tenang, tak menyimpan rasa cemburu
sedikit pun, bahkan tak tampak ia
mempunyai kebencian terhadap Ratu Cumbu
Laras. Sebab, bagaimanapun juga si Ratu
tak akan berhasil membunuh suaminya,
karena Nyi Padmi tahu ilmu yang dimiliki
suaminya cukup tinggi.
"Jadi kapan kau akan berangkat
menunaikan tugas Guru?" tanya Nyi Padmi.
"Esok aku akan berangkat ke Pesisir
Kulon, melakukati perintah Guru tadi.
Kuharap kau mer-wat si kembar dengan baik-
baik, jaga jangan sampai ia sakit. Carilah
madu lebah hutan dalam keadaan mereka
tertidur sebagai ganti minumnya, sebab me-
reka tak bisa mendapatkan minum darimu,
bukan?"
Nyi Padmi tersenyum manis, menurut
pandangan Pawang Badai.
"Si kembar memang tak akan mau
menyusuku, karena ia takut kena marah
darimu."
"Kau pikir aku masih sering seperti
dulu?" Pawang Badai sunggingkan senyum
tipis.
"Kurasa semakin tua kau semakin rajin
menjadi pencuri."
"Pencuri apa?"
"Pencuri susu manakala aku sedang
tidur!" Pawang Badai lebarkan senyum,
merasa geli dan malu.
"Mengapa kau diam saja jika kau tahu
aku menjadi pencuri?"
"Yah, mau bilang apa kalau hal itu
adalah keindahan kita sejak dulu,
Pamitran?" ujar Nyi Padmi sambil tersenyum
dan menyebut nama asli si Pawang Badai,
seperti kala mereka jumpa pertama dalam
usia masing-masing sekitar tiga puluh
tahun.
Nyi Padmi seorang istri yang tak
pernah mengeluh. Bahkan kini ia mengasuh
dua bayi sendirian pun tak mempunyai
keluhan apa-apa. Ia melepas kepergian
suaminya dengan senyum manis sebagai
ungkapan cintanya kepada sang suami yang
tak pernah padam.
Nyi Padmi adalah anak seorang
tumenggung yang sudah kehilangan seluruh
anggota keluarganya karena peperangan
antara negeri. Kini sisa hidupnya hanya
bisa digunakan untuk mengabdi kepada sang
suami tercinta, dan mengabdi terhadap
sesama. Ia mempunyai ilmu warisan
orangtuanya dan beberapa jurus ajaran dari
suaminya. Tapi ilmu yang dimiiikinya tak
seberapa tinggi dan sebagai pelindung
keamanan pribadi.
Seandainya Nyi Padmi terpaksa harus
melawan Betina Rimba, ia akan tumbang
dalam sekejap, karena ilmu yang dimiliki
Betina Rimba cukup tinggi, di samping
memang keberanian perempuan berbulu halus
itu juga tinggi. Bahkan seandainya kala
itu ia harus melawan si Wajah Keranda, ia
masih sanggup mencabut nyawa si Wajah
Keranda dalam beberapa jurus saja.
Oleh sebab itu, sekalipun ia minggat
dari Ratu Cumbu Laras, ia tak merasa takut
sedikit pun. Orang-orang dari Pesisir
Kulon dapat dihancurkan dalam waktu
singkat, karena Betina Rimba adalah
pengawal sang Ratu yang tertinggi ilmunya
dari yang lain.
Namun lolosnya Betina Rimba dari
ancaman hukuman mati itu membuat sang Ratu
menjadi berang. Meski ia tahu ketinggian
iimu Betina Rimba, ia tetap mengutus
beberapa orang pilihannya untuk mengejar
Betina Rimba.
"Jika perlu, bunuh di tempat!"
perintah sang Ratu dengan tegas.
Tak heran jika Betina Rimba akhirnya
harus berhadapan dengan teman sendiri yang
mempunyai perawakah sama tinggi, kekar,
sekal dan montok. Tetapi ilmunya masih di
bawah ilmu Betina Rimba. Seorang sahabat
yang ditugaskan mengejarnya itu adalah si
Walet Perak.
la dijuluki si Walet Perak, karena
gerakannya jika melayang seperti seekor
burung walet. Pakaiannya yang gemar
mengenakan rompi dan celana putih perak
itu membuatnya pantas memakai nama Walet
Perak.
Gadis berpakaian seperti perak itu
juga mempunyai kecantikan yang seimbang
dengan si Betina Rimba. Tetapi masing-
masing punya kelebihan dari sisi
kecantikannya itu. Walet Perak berhidung
bangir dan jika tersenyum giginya
'gingsul' satu. Gigi yang sedikit
bertumpuk itulah yang membuat Walet Perak
tampak semakin cantik jika sunggingkan se-
nyum atau tertawa. Namun jika ia sedang
marah, wajah cantiknya itu dapat membuat
lawan ketakutan. Karena ia mempunyai 'Aji
"Burisrawa', yaitu berubah wajahnya
menjadi seperti raksasa bertaring tajam
jika sedang marah.
Walet Perak sengaja menghadang langkah
Betina Rimba ketika gadis yang hanya
mengenakan kutang dan cawat itu berhasil
menyeberangi sungai berair deras. Rupanya
Walet Perak sudah melihat gerakan Betina
Rimba sejak tadi, dan ia menghadang di
seberang sungai. Begitu si Betina Rimba
sampai di atas tanggul sungai, ia terpaksa
hentikan langkahnya karena si Walet Perak
sunggingkan senyum di depannya.
"Kau...!" geram Betina Rimba yang
langsung mengerti maksud penghadangan si
Walet Perak yang ingin menangkap atau
membunuhnya itu. Betina Rimba pun segera
siap siaga untuk lakukan pertarungan
dengan si Walet Perak.
Walet Perak masih tetap kalem,
wajahnya belum berubah menjadi seperti
raksasa mengerikan. ia justru sunggingkan
senyum tipis kepada si Betina Rimba.
* * *
LIMA
PANDANGAN mata si Betina Rimba cukup
tajam, seakan nilai persahabatannya selama
ini telah hilang dan berganti sikap
permusuhan. Dengan menenteng pedangnya
yang masih bersarung di tangan kiri,
Betina Rimba melangkah menyamping sambil
menjaga kewaspadaan. Sebab ia tahu, Walet
Perak sering lepaskan pukulan jarak jauh
secara mendadak.
"Cukup jauh juga pelarianmu, Betina
Rimba," ujar Walet Perak dengan santai.
"Tak perlu berbasa-basi lagi, Walet
Perak. Aku tahu tugasmu adalah menangkap
atau membunuhku! Lakukan saja sekarang
juga!"
"Kita bersahabat, Betina Rimba.
Mengapa kau memaksaku bertindak seperti
itu?"
"Sahabat adalah dulu, tapi sekarang
sejak aku menjadi musuh Ratu Cumbu Laras,
maka kau pun pasti ikut memusuhiku."
Senyum si Walet Perak semakin lebar.
ia merapikan rompi cekaknya yang tak
pernah dikancingkan itu, sementara di
batik rompi perak itu ia tidak mengenakan
penutup dada selembar tripiek pun. Polos
dan sering mengintip nakal menggoda mata
lelaki.
"Aku memang ditugaskan untuk
menangkapmu atau membunuhmu. Tapi apakah
tindakan itu patut dilakukan oleh seorang
sahabat, Betina Rimba?"
"Tentu kau akan melakukan dengan
bujukan halus, Walet Perak!" tegas Betina
Rimba yang masih tak tergoda oleh
kelembutan seperti itu.
"Rupanya kau sudah tak mau lagi kuajak
bersahabat, Betina Rimba."
"Kau bukan mengajakku bersahabat, tapi
mencari kelengahanku dan ingin
memperdayaku! Sekarang tentukan saja siapa
yang harus mati di antara kita!"
"Baik kalau itu kemauanmu! Bersiaplah
untuk menuruti keinginanmu sendiri, Betina
Rimba!"
Sreeet...!
Walet Perak mencabut pedangnya. Betina
Rimba pun segera mencabut pedang dari
sarungnya. Sarung di tangan kiri dan
pedang di tangan kanan.
Ketika Walet Perak melesat dengan
cepat bagai seekor burung walet menyambar
mangsanya, sarung pedang Betina Rimba
berkelebat ke atas menangkis tebasan
pedang si Walet Perak.
Traaang...!
Buuugk...!
Betina Rimba lupa bahwa dadanya dalam
keadaan terbuka, sehingga kaki si Walet
Perak dengan mudahnya menendang dada itu
dengan gerakan cepat Betina Rimba
terhempas ke belakang dan nyaris jatuh
jika punggungnya tak membentur pohon.
Ouuur...!
Benturan itu cukup kuat, sehingga
menggetarkan pohon tersebut dan beberapa
daun pohon pun berguguran.
Weeers...!
Walet Perak segera memutar tubuh dan
pedangnya menyambar kepala si Betina
Rimba. Dengan cepat Betina Rimba menangkis
sabetan pedang memakai sarung pedang dan
pedang itu sendiri.
Traang...!
Posisinya yang menjadi miring membuat
kaki Betina Rimba segera menendang ke
samping.
Beeet...!
Ploook...!
Wajah si Walet Perak terkena tendangan
dengan telak, bahkan perempuan itu sempat
terpental dan jatuh dalam hempasan kuat.
Brruk...!
Betina Rimba segera menyerang tanpa
menunggu Walet Perak bangun. Pedangnya
menebas ke arah kepala dan tubuh si Walet
Perak beberapa kali. Tebasan pedang itu
dilakukan dengan cepat dan penuh nafsu
untuk membunuh.
Wut, wut, wut, wot..
Trang, trang, trang, trang...!
Walet Perak berhasil menangkis tebasan
pedang cepatnya si Betina Rimba. Kaki pun
segera menyambar betis si Betina Rimba.
Wuuut, plaaak...
Brrruk...!
Betina Rimba jatuh terbanting akibat
sambaran kaki Walet Perak. Tapi pada saat
itu pedangnya sempat berkelebat menyabet
dada si Walet Perak.
Craaas...!
"Aauh...!" Walet Perak memekik pendek.
Ternyata yang terkena sabetan pedang
adalah lengan kirinya.
Sebelum Walet Perak semakin berang,
Betina Rimba sentakkan pinggulnya dan
dalam waktu kurang dari sekejap ia sudah
bangkit berdiri dengan pedang siap melesat
kembali. Tapi pada saat itu, Walet Perak
sudah berguling-guling cepat dan berdiri
dengan satu kaki berlutut. Jaraknya dari
lawan sekitar delapan langkah. Ada cukup
waktu bagi si Walet Perak untuk segera
bangkit sambil menahan rasa sakit pada
luka di lengan kirinya.
Saat itu, kemarahan si Walet Perak
mulai bangkit akibat merasa dilukai lebih
dulu. Wajahnya pun segera menyeringai dan
kecantikannya pudar. Kulit wajahnya
berubah menjadi merah kehitaman dan
giginya keluarkan sepasang taring runcing.
Mata si Walet Perak berubah merah dengan
alis meninggi.
"Gggrrrh...!"
Suaranya pun menyeramkan, membuat
Betina Rimba menunda penyerangannya.
Betina Rimba tahu, dalam keadaan wajah
sudah berubah, seseorang tak boleh
menyerang Walet Perak dengan gegabah.
Karena serangan itu bisa diputar balik
oleh kesaktian 'Aji Burisrawa'-nya dan
membahayakan nyawa si penyerang sendiri.
Karena itulah, Betina Rimba segera
bergerak ke samping pelan-pelan menunggu
kesempatan baik untuk menghujamkan
pedangnya ke perut si Walet Perak.
Mereka tak tahu bahwa saat itu di
seberang sungai telah hadir sepasang mata
yang menyelinap di antara semak ilalang
dan memperhatikan pertarungan tersebut.
Sepasang mata milik seorang pemuda berusia
sebaya dengan mereka, bertubuh tinggi,
tegap dan berotot kekar dengan warna kulit
sawo matang. Pemuda itu berambut panjang
sepundak agak bergelombang, mengenakan
ikat kepala kuning dan baju tangan lengan
warna hijau tua, sama dengan warna
celananya. Pemuda itu juga menyandang
pedang di pinggangnya yang berikat kain
hitam. Ia mempunyai ketampanan yang cukup
mencengangkan kaum wanita, terutama dengan
kumis tipis, cambang tipisnya yang membuat
wajah itu semakin tampak jantan.
Pemuda itu terlihat jelas pada saat
Walet Perak yang berwajah menyeramkan itu
menerjang Betina Rimba dengan gerakan liar
dan sukar dihindari. Kukunya yang berubah
menjadi tajam dan hitam itu menyambar
wajah Betina Rimba ketika pedang Betina
Rimba menangkis tebasan pedang si Walet
Perak.
Weees...!
Nyaris saja wajah Betina Rimba yang
cantik itu rusak total akibat terkena
sambaran kuku runcing mirip mata pisau
tajam itu. Untung saja Betina Rimba segera
tarik kepala ke belakang dengan sedikit
menengadah, sehingga cakaran kuku itu tak
mengenai kuiit wajahnya sedikit pun.
Ia segera putar tubuhnya dan menendang
ke belakang dengan cepat dan penuh curahan
tenaga dalam. Tendangan itu tepat kenai
perut Walet Perak.
Buuughk...!
Tubuh Walet Perak terpental tujuh
langkah jauhnya dan jatuh terbanting dalam
keadaan miring.
Brrruk...!
"Gggrrrhh...!”
Bangsat kau Betina Rimbaaa...!"
teriaknya menyeramkan dengan wajah
menyeringai ganas.
Lalu tiba-tiba dari ujung pedang Walet
Perak yang disentakkan ke depan keluar
sinar merah yang menyerupai meteor kecil.
Sinar merah itu melesat cepat ke arah
Betina Rimba.
Claaap, wuuus...!
Betina Rimba tak mau kalah main sinar.
Ia pun sabetkan pedangnya dari belakang
menjadi lurus ke depan.
Suuuut...!
Dan ujung pedang itu segera keluarkan
selarik sinar hijau yang segera
bertabrakan dengan sinar merah dalam jarak
lima langkah di depan Walet Perak.
Claaap, blaaarr...!
Ledakan kuat timbul dari benturan dua
sinar tersebut. Cahaya biru kemerahan
membias dalam sekejap. Cahaya itu
keluarkan gelombang sentakan cukup kuat,
sehingga tubuh Betina Rimba pun terhempas
dan terbanting setelah membentur batu
besar dan tinggi itu.
"Uuh...! Keparat betui si Walet Perak
itu. Agaknya aku tak boleh sekadar
menghajarnya. Aku harus membunuhnya tanpa
ragu-ragu lagi!!" geram Betina Rimba dalam
hatinya. Ia pun segera bangkit dengan niat
melepaskan jurus maut yang dapat
menghabisi nyawa si Walet Perak dalam satu
gebrakan.
Tapi tiba-tiba sinar merah itu datang
lagi menyambarnya dari ujung pedang si
Walet Perak.
Weees...!
Mau tak mau Betina Rimba segera
melepaskan sarung pedangnya dan tangan
kirinya menyentak ke depan dengan telapak
tangan terbuka.
Wuuut...!
Dari telapak tangan itu melesatlah
sinar hijau bundar sebesar genggaman bayi.
Claaap...!
Weees...!
Blegaaarrr...!
Dentuman Itu semakin kuat, lebih besar
dari yang pertama. Tubuh Betina Rimba
terlempar dan masuk ke perairan sungai.
Byuuur...!
Sementara itu, si Walet Perak hanya
terpelanting membentur pohon, lalu segera
tegak kembali dan menggeram dengan
menampakkan taringnya yang runcing.
"Gggrrhh...!"
Walet Perak berlari menuruni tanggul,
Ia Ingin mengejar Betina Rimba yang sedang
melawan arus sungai. Tetapi pada saat itu,
sekelebat bayangan hijau melesat cepat dan
menyambar tubuh Betina Rimba.
Wuuut, wuuus...!
Bayangan hijau itu melesat bagaikan
sinar berkelebat. Tapi ia juga melepaskan
cahaya kuning terang yang tahu-tahu sudah
ada didepan Walet Perak. Dengan
menggeragap kaget, si Walet Perak
sentakkan tangannya ke depan dan dari
telapak tangan itu keluar sinar merah
berbentuk mata tombak. Namun baru saja
sinar merah itu melesat dua jengkal dari
telapak tangan, ternyata sinar kuning itu
telah menghantamnya lebih dulu.
Jegaaar...!
"Grrraaoow...!"
Walet Perak terlempar dalam keadaan
tubuhnya berasap dan menjadi biru memar.
Ia berguling-guling di rerumputan bawah
tanggul bagaikan makhluk yang mengamuk
dengan ganas.
Rupanya Walet Perak terbakar bagian
dalamnya oleh daya ledak yang dahsyat
tadi. la segera melesat naik ke tanggul
dan menggeram penuh murka. Namun agaknya
la sadar bahwa dirinya telah semakin lemah
dalam keadaan bagian dalamnya terbakar. la
harus menyingkir sesaat untuk padamkan
kobaran api yang membakar bagian dalam
tubuhnya itu. Maka, Walet Perak pun segera
melesat tinggalkan tempat tersebut.
Weess...!
Ternyata bayangan hijau yang menyambar
Betina Rimba adalah seorang pemuda yang
tadi mengintai dari celah-celah daun
ilalang. Ia membawa Betina Rimba yang
terkulai lemas ke daratan. Membujurkan
tubuh tanpa pakaian selain penutup tempat-
tempat pentingnya saja itu di rerumputan,
dekat sarung pedang yang dibuang tadi.
Betina Rimba masih sadar, masih bisa
memandang siapa orang yang menolongnya.
Namun ia belum bisa bicara karena dadanya
terasa bagaikan dipaku dengan pasak
sebesar tombak.
"Jangan banyak bergerak dulu. Kurasa
ada sesuatu bagian yang hangus di dalam
tubuhmu!" ujar pemuda berpakaian hijau
itu. "Akan kucoba untuk salurkan hawa
murniku agar lukamu tak menjadi parah."
Sebenarnya pemuda itu tidak sendirian.
Ia bersama seorang sahabatnya yang
berbadan pendek dan agak gemuk, mengenakan
pakaian abu-abu. Temannya itu berusia
sedikit lebih tua darinya. Wajahnya yang
bundar dengan pipi yang bengkak mirip
sepasang bakpao itu, ternyata sudah berada
di seberang sungai dan sedang mengintai
dari balik bebatuan besar. Mata si wajah
bundar mirip kue serabi itu terbelalak
ketika tahu bahwa temannya sedang meraba
dada seorang perempuan cantik yang tidak
berjubah dan berbaju.
"Wah, lagi-lagi nasib si Wiraga sangat
beruntung. Tadi aku menemukan seekor
kambing hutan mau beranak, sekarang dia
menemukan seorang perempuan cantik mau...
mau... apakah juga mau beranak? Oh, tidak!
Kulihat perut perempuan itu tidak
membuncit. Dan yang dipegang si Wiraga
adaiah bagian dada. Hmmm... pasti tangan
si Wiraga sedang melakukan kenakalan
kecil-kecilan! Kurang ajar!" geram orang
tersebut.
Tab, tab, tab, tab...!
Si bundar berpakaian abu-abu itu
melompat di antara batu-batu sungai dengan
lincahnya. Dalam sekejap ia sudah berada
di seberang sungai dan berdiri di depan
pemuda berpakaian hijau yang ternyata
bernama Wiraga Itu.
"Hei, apa yang kau Iakukan itu,
Wiraga!" hardik si muka bundar.
"Aku sedang memeriksa denyut nadinya!"
ujar Wiraga sambil nyengir.
"Bukan di situ yang berdenyut, tapi di
tempatmu sendiri!"
"Jangan menggangguku, Pongge! Gadis
ini terluka dalam dan... ah, sudahlah!
Menjauhlah dulu!"
"Kuberitahukan pada Guru kalau kau tak
mau hentikan kenakalanmu, Wiraga!"
"Ini bukan kenakalan! Aku sedang
salurkan hawa murniku, Tolol!"
"Tapi jempolmu itu kenapa menelusup di
balik kain penutup bukit?!"
"OoOh... ini tak sengaja!" Wiraga
bersungut-sungut dan menarik keluar ibu
jarinya yang memang menelusup di balik
kain kuning yang berbentuk dan berukuran
seperti tutup mangkuk kecil itu.
Pongge, si muka bundar itu, akhirnya
melompat ke atas batu setinggi dada
Wiraga. ia duduk di sana sambil bersungut-
sungut dan sebentar-sebentar melirik
tangan Wiraga.
"Kalau urusan perempuan cantik
ditanganinya sendiri. Giliran urusan
kambing beranak, aku yang disuruh
menangani! Uuh...! Kalau begini caranya,
kapan aku dapat bagian seempuk dia?!"
gerutu Pongge sengaja dikeraskan agar
didengar Wiraga. Tapi pemuda tampan
bercambang tipis itu tak mempeduiikan
suara yang didengarnya. Ia tetap
berkonsentrasi menyalurkan hawa murninya
ke dalam tubuh Betina Rimba.
"Aku mau mandi, ah!" ujar Pongge
seperti bicara pada diri sendiri. ia
segera melompat ke balik batu dan
melepaskan pakaiannya.
"Mumpung bertemu sungai, kapan lagi
mandinya?! Sudah beberapa hari aku tak
mandi, baunya sampai membuat tanaman pada
layu!"
Byuuur...!
Pongge pun terjun ke sungai dan
menikmati kesejukan airnya. ia menyelam
beberapa kali dengan berkecipak seperti
anak kecil kegirangan.
Betina Rimba mulai bernapas dengan
lancar. Matanya berkedip-kedip saat
pandangi Wiraga. Tangan Wiraga segera
dilepaskan, karena wajah pucat Betina
Rimba telah sirna. Wajah itu menjadi segar
kembali, dan suara si perempuan terdengar
sedikit parau.
"Apa maksudmu menolongku begini?!"
"Apakah tindakanku ini salah?"
"Salah!" jawab Betina Rimba dengan
tegas, lalu ia bangkit dan duduk
berhadapan dengan Wiraga. Matanya tak
berkedip pandangi Wiraga yang punya senyum
menawan itu.
"Lain kali biarkan kuselesaikan
sendiri pertarunganku! Jangan mencampuri
urusanku!"
"Kau nyaris celaka! Aku tak tega
melihatmu terlempar begitu. Aku takut kau
tewas!"
"Walet Perak tak akan mampu membuatku
tewas. Justru aku yang akan membunuhnya!"
"Lawanmu cukup tangguh, dan...."
"Dia bukan orang yang tangguh! limunya
masih di bawah ilmuku!"
"Tapi kenapa kau terlempar beberapa
kali?!" bantah Wiraga.
"Aku hanya ingin menghajarnya. Tapi
ternyata dia memang ingin membunuhku, maka
niatku pun berubah untuk membunuhnya.
Sebelum niatku terlaksana, kau telah ikut
campuri. Aku benci dengan orang yang suka
ikut campur urusan orang lain!"
"Maafkan aku jika kau tersinggung.
Boleh kutahu namamu?" Wiraga segera
alihkan pembicaraan agar tak terjadi
perdebatan yang dapat membawa suasana tak
sehat.
"Mengapa kau tanyakan?"
"Aku ingin bersahabat denganmu," jawab
Wiraga terang-terangan.
Betina Rimba sempat berpikir, "Tampan
juga anak ini! Badannya kekar dan
cambangnya bikin hatiku berdesir-desir
sejak tadi. Hmmm... kurasa tak ada
jeleknya jika ia kujadikan sahabatku.
Setidaknya bisa membantuku untuk
menghadapi orang-orangnya Ratu Cumbu
Laras."
Sementara itu, di hati Wiraga sendiri
membatin kata yang hampir sama.
"Cantik sekali dia. Badannya penuh
bulu, bikin aku deg-degan sejak tadi.
Kurasa jika sudah bersahabat, ia mau
membantuku mencari Panji Pura. Setidaknya
jika ada bahaya, ia bisa membantu
memerangi bahaya itu."
Pandangan mata yang saling beradu Itu
membuat mereka menjadi merasa lebih akrab
dari sebelumnya. Betina Rimba pun akhirnya
berkata kepada Wiraga.
"Kau sudah pernah mendengar nama
Betina Rimba?"
"Belum," jawab Wiraga. "Apakah itu
namamu?" Gadis berhidung mancung itu
anggukkan kepala. Senyumnya mengembang
tipis, seperti sedang tersenyum sinis.
Wiraga memperlebar senyumnya dalam keadaan
masih jongkok di depan gadis yang duduk di
rerumputan itu.
"Kau bisa memanggilku Wiraga."
"Apakah itu namamu?"
"Bukan. Nama anjing piaraanku," jawab
Wiraga dalam kelakar membuat Betina Rimba
sedikit perlebar senyum. Sangat sedikit
sekali, nyaris tetap kelihatan tersenyum
sinis.
"Siapa perempuan berwajah menyeramkan
tadi?" tanya Wiraga teringat wajah si
Walet Perak.
"Aku tak bisa ceritakan sekarang.
Badanku masih lemah. Aku butuh tempat
untuk istirahat beberapa saat."
"Oh, aku tadi lewat sebelah sana dan
kulihat tak jauh dari sini ada gua tempat
persinggahan para pengembara. Kurasa kau
bisa beristirahat di sana dengan nyaman."
"Tunjukkan padaku tempat itu!" kata
Betina Rimba dengan tegas, lalu ia segera
bangkit. Wiraga pun berdiri dan pandangi
si Pongge yang sedang kegirangan di dalam
air. Ketika Pongge menyelam lagi, Wiraga
segera menyambar pakaian Pongge, tapi
goloknya tidak ikut disambarnya. Pakaian
itu segera dibawa pergi ke gua bersama
Betina Rimba.
"Mengapa kau bawa pakaian temanmu
itu?"
"Biar dia tak bisa menyusulku! Dia
teman yang gemar mengganggu teman. Dengan
membawa pergi pakaiannya, ia tak akan
mencariku ke mana-mana!"
Betina Rimba geleng-geleng kepala
sambil sunggingkan senyum tipis berkesan
sinis lagi. Namun gerakannya menjadi lebih
cepat lagi, karena Wiraga melesat dalam
beberapa lompatan cepat. Mereka menghilang
sebelum Pongge muncul dari kedalaman air.
Ketika si muka bundar itu muncul, la
terkejut melihat Wiraga dan Betina Rimba
sudah tak ada di tempatnya. Lebih terkejut
lagi setelah menyadarl pakaiannya tak ada
di tempat semula.
"Jabang bayi! Pasti ini kerjaan si
Wiraga! Kampret bodong dia itu!" gerutu
Pongge dengan hati dongkol, lalu ia pun
berteriak keras-keras.
"Wiragaaaa...!"
* * *
ENAM
BETINA RIMBA belum pernah masuk ke
dalam gua itu, sehingga ia harus memeriksa
keadaan keamanannya. Bagaimanapun juga ia
tak mau terjebak oleh kebodohannya
sendiri, dan tetap menaruh curiga kepada
pemuda yang mengaku bernama Wiraga.
"Siapa tahu dia menjebakku dan berada
di pihak Nyai Ratu?" pikir Betina Rimba
sambil melirik ke sana-sin! dan melangkah
mengitari gua tak berlorong itu.
"Dari mana asalmu, Betina Rimba?"
tanya Wiraga sambil duduk di atas batu
setinggi pinggul. Saat itu Betina Rimba
tiba di depannya dan menatap dengan kepala
sedikit menunduk karena ketinggian
tubuhnya.
"Kau sendiri dari mana?" Betina Rimba
ganti bertanya.
"Kau ini ditanya kok jadi ganti
bertanya?" Wiraga tersenyum sambil geleng-
geleng kepala. "Kau tak perlu curiga
padaku. Aku bukan orang jahat seperti
lawanmu yang berwajah menyeramkan tadi.
Aku dari Perguruan Elang Bumi."
Betina Rimba terkesiap dan membatin,
"Kalau tak salah, Perguruan Elang Bumi itu
adalah perguruannya Panji Pura?!"
Dengan kalem si pemuda bercambang
tipis itu berkata lagi.
"Aku dan Pongge mendapat tugas dari
guru kami untuk mencari seorang sahabat
yang hilang. la dalam keadaan tak waras.
Maklum keluarganya habis dibantai oleh
sekelompok manusia bertopeng dan bayi
kembarnya yang baru Iahir itu juga hliang
entah ke mana...."
Betina Rimba semakin tak enak hati
mendengar penjelasan itu. Ia tahu yang
dimaksud adaiah Panji Pura, tapi ia
berlagak tak tahu menahu tentang kasus
pembantaian itu.
"Siapa nama temanmu itu, Wiraga?"
"Panji Pura. Ciri-cirinya, berperawakan
hampir mirip denganku...."
Betina Rimba berlagak menyimak
penjelasan Wiraga tentang ciri-clri Panji
Pura, tapi dalam hatinya ia tertawa karena
ia sudah tahu ciri-ciri tersebut. Tiba-
tiba ia menemukan gagasan yang terlintas
dalam benaknya saat Wiraga menceritakan
ciri-ciri manusia bertopeng yang membantai
seluruh keluarga Panji Pura. Wiraga
menceritakan ciri topengnya, sesuai dengan
penjelasan yang diterima saksi mata dalam
peristiwa tersebut.
"O, topeng itu...?! Ya, aku pernah
melihat orang memakai topeng seperti yang
kau sebutkan tadi."
"Kau tahu siapa pemilik topeng itu?"
sergah Wiraga.
"Barnyak sekali yang memiliki topeng
seperti itu. Aku pernah bertarung dengan
tiga orang bertopeng, dan ketiganya
berhasil kulumpuhkan. Ketika topeng mereka
kubuka, ternyata mereka adalah orang Pesi-
sir Kulon. Mereka adalah orangnya Ratu
Cumbu Laras!"
"Oh, betulkah?!" Wiraga terkejut
karena merasa baru sekarang mendapat
keterangan seperti itu.
"Ini keterangan berharga sekali dan
perlu segera kusampaikan kepada Guru"
ujarnya dalam hati, kemudian ia ajukan
tanyai lagi kepada Betina Rimba.
"Kau yakin kalau pemillik topeng
seperti itu adalah orangnya Ratu Cumbu
Laras?!"
"Aku yakin sekali, karena pada waktu
itu aku segera menyerang Pesisir Kulon,
dan ternyata mereka mengakui telah
mengirimkan tiga orangnya bertopeng untuk
melukaiku. Akibat penyerangan dan
pembunuhan dl wilayahku itu, sampai
sekarang aku menjadi buronan Ratu Cumbu
Laras. Perempuan yang tadi bertarung
denganku adalah utusan Nyai Ratu Cumbu
Laras untuk menangkap atau membunuhku!"
"Ooo...." Wiraga manggut-manggut
sambil pandangi Betina Rimba yang berada
empat langkah dari tempatnya duduk.
"Pantas kelihatannya lawanmu tadi liar
sekali. Kurasa kita perlu menyatukan
kekuatan kita untuk lumpuhkan orang-
orangnya Ratu Cumbu Laras. Bagaimana
menurutmu, Betina Rimba?!”
Perempuan itu menghampiri Wiraga lagi.
Kini ia berdiri daiam jarak kurang dari
satu jangkauan tangan Wiraga. Wajah mereka
saiing berhadapan dan mata mereka beradu
pandang.
"Apakah kau sudah siap menyatu
denganku, Wiraga?"
"Siap sekali!" jawab Wiraga dalam
senyum. "Menyatu yang bagaimana maksudmu?"
Wiraga tampak mulai nakal.
Betina Rimba menyentuh bibir Wiraga
dengan ujung telunjuknya.
"Menyatu dalam arti sebenarnya. Kau
dan aku merapatkan badan menjadi satu.
Apakah kau setuju?"
Pandangan mata Betina Rimba mulai
menjadi sayu dan nakal. Wiraga tak mau
kalah nakal dengan senyumannya.
"Kau menantang gairahku, Betina
Rimba.,.."
"Sambutlah tantanganku kalau kau
mampu," ujar Betina Rimba sambil masih
meraba bibir Wiraga dengan ujung
telunjuknya.
Wiraga membiarkan telunjuk itu bermain
di bibirnya. Kini ia membalas meraba bibir
sensual Betina Rimba yang menggemaskan
jika hanya dipandang saja itu.
Ketika jari telunjuk Wiraga menempel
di bibir Betina Rimba, bibir itu langsung
merekah sedikit, menyambar jari tersebut.
Betina Rimba menggigit telunjuk Wiraga
dengan gigitan mesra. Wiraga justru
mendorong telunjuknya dan masuk ke mulut
Betina Rimba. Telunjuk itu segera
dimainkan oleh lidah Betina Rimba,
sesekali dihisapnya, sesekaii dikeluarkan
dari mulut. Sebelum jari itu keluar semua,
Betina Rimba menelannya lagi dan menghisap
jemari itu.
Hisapan lembut membuat hati Wiraga
semakin berdesir indah. Ia pun segera
menyambar jari telunjuk perempuan itu dan
menghisapnya kuat-kuat, lalu menarik
mundur kepalanya pelan-pelan hingga jemari
itu keluar dari mulut secara pelan pula.
Hal itu dilakukan Wiraga berulang-
ulang, tapi jarinya sendiri sengaja
diturunkan dari mulut Betina Rimba. Jari
itu merayap pelan ke dagu, lalu ke leher
dan terus menyusuri belahan dada yang
sekal dan tampak kencang itu. Betina Rimba
akhirnya mendesis dengan mata mulai
terbeliak.
"Sssshh... aaaah...."
Tangan kirinya menarik penutup dada
hingga penutup itu tak berfungsi lagi.
Maka tangan Wiraga pun bebas menjamah ke
mana saja dan sasaran utama adalah
gumpalan dada yang kanan. Wiraga
mengusapnya pelan-pelan dengan telapak
tangan melebar. Ujung gumpalan dada itu
mulai mengeras dan suara desah keindahan
semakin terdengar jelas dari mulut Betina
Rimba.
"Sssshhh, aaahh.... Mainkan terus,
mainkan, oooh, yaaah... yaah... terus,
Wiraga, terus...!"
Sementara itu tangan Betina Rimba pun
ikut merayapi pinggang Wiraga dengan
menelusupkan tangannya ke celah baju.
Tangan itu bergerak turun pelan-pelan
sambil sesekali meremas kulit tubuh
Wiraga. Gerakannya yang lamban itu
akhirnya mencapai pinggul Wiraga.. Tangan
Wiraga menarik tali simpul ikat
pinggangnya.
Serrrt, teees.
Maka tangan Betina Rimba memperoleh
kelonggaran dan dapat menelusup lebih
dalam lagi, sampai akhirnya ia menemukan
sesuatu yang menantang dengan tegar dan
perkasanya. la meremas sesuatu itu sambil
tangan yang satu telah lepas dari mulut
Wiraga itu menarik kepala pemuda itu
hingga merapat di dadanya.
"Oouh, pagutlah... pagut yang
kuat...."
Mulut Wiraga terbuka, Betina Rimba
mendesakkan ujung dadanya hingga masuk ke
mulut itu.
Suuut...! Wiraga memagutnya.
"Aaooow...! Oohh. Oohh... terus,
terus... kencang lagi, Wiraga! Keras lagi,
oohh, yaaah... yah, nikmat sekali, Wiraga!
Uuuuh...!"
Betina Rimba tak segan-segan berseru,
menge-rang, memekik dan mendesak-desak. la
akhirnya menjadi liar. Wiraga dijambak,
kepalanya didongakkan, lalu bibir Wiraga
dilumatnya habis dengan tangan meremas-
remas kehangatan Wiraga yang telah tegar
dan sangat menantang itu.
Kecupan bibir sedikit tebal itu bukan
hanya di mulut Wiraga saja, tadi juga
turun ke bawah dan menyapu leher Wiraga
dengan lidahnya yang lincah. Sesekali
leher itu dipagut-pagutnya, kadang juga
digigit kecii sebagai tanda kegemasan si
gadis bertubuh sekal itu. Wiraga sengaja
pasrah dengan menyandarkan pinggang
belakang ke batu setinggi pinggang itu.
Betina Rimba semakin mengganas. Ia
menyapukan lidahnya di seluruh dada
Wiraga, bahkan memagut-magut noda hitam
yang ada di kanan kiri dada Wiraga. Pemuda
Itu dlbuai oleh keindahan yang cukup
tinggi ketika mulut Betina Rimba mencaplok
noda hitam di dada Itu.
"Oouh, Betina... Betina, nikmat sekali
itu. „ Ooouh...!" Wiraga pun mengerang
panjang dengan kepala terdongak karena
ditikam rasa nikmat begitu tinggi.
Gadis itu pun bangkit sambil
menyusurkan lidahnya ke tubuh Wiraga
sampai akhirnya mereka bertemu dalam
kecupan bibir kembali. Kini Wiraga beraksi
seperti yang dilakukan Betina Rimba tadi.
Kecupannya menyusuri tubuh berbulu halus
itu, sampai akhirnya menemukan pusar si
wanita.
"Oouh...! Terus, terus, jangan
berhenti di situ, terusss...!" Betina
Rimba menekan kepala Wiraga hingga kepala
itu turun.
"Aku tak tahan lagi, Wira... aku ingin
kau melakukannya sekarang Sekarang,
Wira... oouh, oouh...!"
Wiraga pun bangkit sambil merayapkan
kecupan bibirnya ke dada Betina Rimba.
Kecupan itu memutar hingga mencapai
punggung si gadis yang berbulu agak lebat
namun lembut itu. Si gadis akhirnya
menggelinjang ketika tengkuknya dipagut-
pagut oleh Wiraga, punggungnya digigiti
kecil, dan lidah Wiraga menyapu seluruh
permukaan punggung tersebut.
"Oouh, Wiraga... lakukan sekarang,
jangan permainkan aku lagi. Oouh...
sekarang, Wiraga!" seru Betina Rimba tak
sabar lagi.
Kedua tangannya berpegangan batu
besar, kakinya jauh dari batu itu hingga
ia membungkuk, dan kedua kaki itu seperti
saling bermusuhan hingga saling berjauhan.
Maka, Wiraga pun menikamnya dari belakang
dengan sentakan lembut tapi mantap.
"Aooooww...!" pekik Betina Rimba
ketika Wiraga membenamkan diri ke dalam
jutaan rasa nikmat itu.
"Oouh, indah sekali, Wiraga! Terus...!
Terus, jangan berhenti. Lebih cepat lagi,
cepat lagi, ooh, yaah, yah... oouh,
sssshhh... aaaah! Oouuuh, cepat lagi,
cepat lagi, yang keras! Hajar aku yang
keras, oooh, yaaah, begitu, begitu....
Oouuh...!"
Ramai sekali perempuan itu jika sedang
menga-rungi lautan cintanya. la memang
perempuan yang tangguh dan tegar. Sampai
beberapa saat lamanya Wiraga mengarungi
samudera kemesraannya, perempuan itu belum
mau mencapai puncak keindahannya. Agaknya
ia masih suka mempermainkan debar-debar
hatinya sendiri sehingga Wiraga pun kini
bermandi peluh dan bernapas terputus-
putus.
"Berbaringlah!" perintah Betina Rimba
dengan nada galak setelah ia membentangkan
baju Wiraga di tanah. Pemuda itu pun
segera berbaring. Betina Rimba
mengganaskan ciumannya ke sekujur tubuh
Wiraga yang agaknya tak mau dikalahkan
itu. Setelah sesaat ia mengganas dengan
ciumannya, ia pun menikamkan diri sendiri
dengan menggunakan pusaka miiik Wiraga.
Slaaap...!
"Aaaakh...!" ia memekik dengan kepala
terdongak dan tubuh mengeras. Kejap
berikutnya ia melonjak-lonjak dengan
seribu kata berhamburan bersama napas yang
terengah-engah.
"Oouh, oouh...! Nikmat sekali, Wiraga!
Ooouh, ooouh... bangsat kau!"
Plaaak...!
Wiraga ditamparnya, tapi gadis itu
masih melonjak-lonjak bagai kegirangan
mendapat sejuta kebahagiaan.
Plak, plak, plak...!
"Oouh, kau benar-benar jantan, Wiraga!
Uuuhm...! Aaah.... bangsat kau! Bangsat
kau, aaah... nikmat sekali kau, hah?!
Ouuuh...!"
Plak, plak, plak...!
"Wiraga! Wiraga!" sentaknya dengan
mata mendelik dan tangan mencengkeram
rambut Wiraga kuat-kuat, bahkan kepala
Wiraga sampai terangkat.
"Wiragaaa...! Oouh, oouh...! Aku ingin
bersamamu! Lepaskan, lepaskan kemesraanmu!
Kita berada di puncak, Wiraga!"
"Oh, yaaaah. yaah... kulepaskan
Betina! Ouh...!"
"Wiragaaaaa...! Aaaaa...!"
"Haaaaahhhk...!"
Keduanya sama-sama menjerit keras-
keras. Keduanya saiing meremas kuat-kuat.
Wiraga mengamuk, Betina Rimba mengganas
dan menjadi buas.
Gua Itu penuh dengan suara teriakan
mereka yang telah mencapai puncak
keindahan bersama-sama itu.
Suara tersebut menggema keluar, sampai
di telinga Pongge yang masih merendam diri
di perairan sungai. Tapi yang didengar
Pongge hanya suara gaduh dalam satu
jeritan menggema. la tak bisa mengenali
apakah suara itu suara Wiraga atau seekor
singa mengamuk ganas.
" Jangan-jangan singa lapar sedang
menuju kemari?" pikirnya mulai cemas.
"Wah, bisa-bisa tubuhku yang bulat Ini
dltelannya tanpa dlkunyah lagi. Mana tak
pakai baju lagi, pasti disangka udang
kupasan?!"
Pongge menjadi panik. la bukan
berdebar-debar saja namun juga gemetar.
Mulanya ia ingin nekat naik ke permukaan
sungai dan mencari dedaunan sebagai
penutup tubuhnya, tapi tiba-tiba ia harus
merendam diri lagi karena dilihatnya ada
tiga perempuan sedang berjalan melintas di
atas tanggul. Ketiga perempuan Itu masih
muda-muda dan mengenakan pakaian silat
berbeda warna.
"Waduh, gawat...!" sambil Pongge
merendam diri. "Mudah-mudahan mereka tidak
kemari"
Tapi apa yang diharapkan Pongge
ternyata berbeda. Tiga gadis itu memandang
ke arah Pongge, salah seorang menuding dan
berbisik-bisik. Pongge mulai semakin
cemas. ia berlagak tidak melihat gadis
gadis itu dan melakukan gerakan-gerakan
yang seolah-olah sedang mandi.
Wut, wut, wut...!
Tiga gadis itu justru melompat dari
atas tanggul dan mendekati tepian sungai.
"Aduh, celaka bantat kalau begini!"
keluh hati Pongge. "Mereka justru
mendekat! Sial! Ini gara-gara ulah si
Wiraga, bikin aku gemetaran di dalam air
sungai!"
"Kang, kami mau numpang tanya padamu!"
seru si gadis berpakaian serba hitam itu.
"Naiklah kemari, ada yang ingin kami
bicarakan denganmu, Kang!" timpaltemannya
yang berpakaian serba jingga itu.
"Aak... aku sedang sibuk!"
Pongge berlagak sibuk mencari udang.
Kedua tangannya terendam dalam air.
Padahal tadi ia sudah berlagak sibuk
mandi, sekarang berubah pura-pura sibuk
mencari udang. ini akibat Pongge salah
tingkah karena didekati tiga gadis cantik
itu.
"Apa yang kau cari di situ, Kang?"
"Udang!" jawabnya pendek, seakan acuh
tak acuh pada mereka.
"Tahukah kau wilayah Pesisir Kulon
itu, Kang?!" tanya si baju kuning. Pongge
berlagak tak mendengar atau sedang sibuk
menangkap udang di bebatuan.
"Kang...!" bentak si baju kuning.
"Ssst...! Jangan brisik, nanti udang-
udang ini kaget dan lari ke mana-mana!"
Si baju jingga semakin keraskan suara.
"Kami mau bicara denganmu! Dekatlah
kemari! Atau kami akan menyeretmu naik
dari tempatmu itu?!"
"Aku sedang sibuk, Nona-nona cantik!
Kalau kalian mau bicara denganku, tunggu
kalau aku sudah tak sibuk!" seru Pongge
jengkel, tapi ia tetap merendam badan
sebatas dada.
"Kami hanya ingin menanyakan letak
benteng Pesisir Kulon itu! Tahukah kau?!"
"Aku tak tahu!" jawab Pongge ketus dan
tak memandang yang diajak bicara.
"Kenalkah kau dengan Ratu Cumbu
Laras?!" seru gadis berpakaian hitam.
Pongge tak menjawab, maksudnya biar
ketiga gadis itu sebal padanya dan segera
pergi. Tapi rupanya ketiga gadis dari
Tebing Naga itu sama-sama bandel, tak mau
tahu kesibukan seseorang. Bahkan yang
berpakaian jingga segera membentak dengan
lantang.
"Penyu pitak! Kau mau kemari atau
kutenggelamkan dari sini, hah?! Cepat
kemari, kami mau bicara denganmu!"
Pongge semakin jengkel dan bingung.
Mana mungkin ia datang mendekati mereka
sementara tubuhnya tanpa selembar benang
pun. Ketiga gadis itu menyangka Pongge
mengenakan celana pendek, karena sedang
lakukan kesibukan mencari udang. Tak
mungkin telanjang, pikir mereka.
"Kuhitung tiga kali kalau kau tak
menghormati kami dengan mendekat kemari,
kutenggelamkan kau dari sini!" seru si
baju jingga. "Satu... dua...."
Pongge jengkel sekali, ia langsung
berdiri di atas batu hingga permukaan air
menjadi sebatas betisnya.
"Apa mau kalian sebenarnya, hah...?!"
"Hiiiii...!"
Ketiga gadis itu saiing menjerit dan
cepat-cepat lari tinggalkan Pongge yang
mirip anak penyu baru Iahir.
* * *
TUJUH
RUPANYA pihak Tebing Naga ingin
menuntut balas kepada Ratu Cumbu Laras
atas kematian si Wajah Keranda. Karena
orang bertampang kuburan itu ternyata
adalah putra sulung Penguasa Tebing Naga
yang berjuluk, Nyai Sekap Madu.
Wilayah Tebing Naga dibagi menjadi
dua: utara dan selatan. Yang utara
diserahkan kepada si Wajah Keranda, yang
selatan diserahkan kepada si Wajah Sutera.
Pada mulanya, Nyai Sekap Madu
mempercayakan kepada si Wajah Keranda
untuk menuntut balas atas kematian Wajah
Sutera. Tetapi ternyata Wajah Keranda
sendiri terbunuh. Yang mereka tahu, Wajah
Keranda terbunuh dalam pertarungan melawan
Ratu Cumbu Laras. Mereka tidak tahu
kematian itu di tangan Panji Pura.
Oleh sebab itulah, Nyai Sekap Madu
sudah tak punya toleransi lagi. la harus
muncul sendiri sebagai sang pencabut nyawa
Ratu Cumbu Laras. la mengutus tiga murid.
perempuannya untuk menyelidiki kelemahan
Ratu Cumbu Laras.
Tiga murid itulah yang bertemu dengan
Pongge, dan akhirnya menemukan sendiri
wilayah Pesisir Kulon. Mereka berhasil
dapatkan kabar bahwa Ratu Cumbu Laras
adalah perempuan yang haus kemesraan
lelaki, namun juga mendendam kepada setiap
lelaki. Maka kali ini Nyai Sekap Madu
mengutus muridnya yang tampan dan masih
berusia dua puluh dua tahun. Pemuda itu
bernama Karta Lawa.
"Rayu dia, usahakan dia jatuh dalam
pelukanmu, kemudian tancapkan jarum 'Sigar
Rolas' ini ke dalam tubuhnya!" ujar
perempuan tua berusia enam puluh tahun
lebih, namun kulitnya masih kencang, dan
wajahnya masih menyimpan sisa kecantikan
masa muda. Itulah wajah Nyai Sekap Madu,
tokoh aliran hitam yang tak kentara
kehltamannya.
"Apa kekuatan jarum 'Sigar Rolas' ini,
Guru?!" tanya Karta Lawa.
"Melumpuhkan kedua belas ilmu andalan
lawan. Dengan begitu, Ratu Cumbu Laras
dapat kuhancurkan dengan mudah. Ingat,
jangan kau hancurkan sendiri perempuan
itu. Dia adalah bagianku, karena dia telah
membunuh kedua anakku dan seorang
menantuku!"
"Baik, Guru! Saya akan segera larikan
diri setelah menancapkan jarum 'Sigar
Rolas' itu!"
"Bagus! Sekarang, akan kumasukkan
jarum beracun ganas ini ke kulit pahamu.
Buka celana!"
"Hmmm, eeeh, anu... celana dibuka
semua, Guru?"
"Jangan membantah! Buka celanamu!"
Karta Lawa yang tampan tapi rada konyol
itu sempat membatin, "Wah, jangan-jangan
mau diperkosa?"
Plaaak...!
Tiba-tiba ia mendapat tamparan dari
gurunya yang cukup keras.
"Jangan berpikiran yang bukan-bukan,
Tolol!" bentak sang guru. Rupanya Nyai
Sekap Madu dapat mendengar ucapan batin
seseorang, sehingga ia mengetahui apa yang
diucapkan dalam batin muridnya yang tampan
itu.
Karta Lawa segera melepaskan celananya
sampai sebatas lutut. Nyai Sekap Madu
meraba samping paha kanan sang murid untuk
mencari kuiit yang lunak dan bisa untuk
menyimpan jarum beracun itu. Jika jarum
itu tidak mengenai darah, maka racunnya
tak dapat bekerja dan tidak membahayakan
orang tersebut. Maka jarum harus dalam
keadaan tertutup antara kuiit ari dengan
kuiit sebenarnya.
Namun karena wajah sang guru masih
punya sisa kecantikan, ditambah lagi badan
sang guru yang juga masih tampak agak
kencang, putih mulus, berpinggul ketat,
gumpalan dadanya tampak rada montok, masih
seperti perempuan separuh baya yang sedang
hangat-hangatnya karena memang ia pandai
merawat diri, mau tak mau rabaan pada paha
Karta Lawa itu menimbulkan 'greeeng...'
sendiri bagi si murid konyol itu.
Sang guru tahu, ada sesuatu yang
menggeliat dalam diri sang murid, tapi ia
cuek saja. Ia tetap mencari kuiit ari di
paha kanan sang murid, sampai akhirnya
ditemukannya tempat itu. Lalu jarum 'Sigar
Rolas' yang mirip merek tembakau itu
disusupkan pelan-pelan ke kulit ari paha
sang murid.
Bleeesss....
"Sakit?"
"Tid... tid... tidak, Guru," jawab
Karta Lawa dengan menggeragap karena
gemetar. Bukan gemetar karena masukhya
jarum, tapi gemetar karena diraba pahanya.
Maklum, usianya masih muda, masih mudah
'greng' jika disentuh tangan perempuan.
Jarum itu tersisa bagian pangkalnya
yang mempunyai bulatan warna coklat, mirip
kulit paha itu sendiri. Bulatah coklat
kecii itu berguna untuk memudahkan si
Karta Lawa mencabutnya pada saat jarum itu
dibutuhkan.
Selesai menyusupkan jarum itu, Nyai
Sekap Madu mengusap paha dengan mantra
khusus, agar tidak mudah diketahui lawan
si Karta Lawa nantinya. Pada saat tangan
mengusap paha tersebut, Karta Lawa semakin
'greeeeng' dan bahkan seperti menantang
dengan gagahnya.
Sang guru melirik bagian yang
menantang itu, lalu tersenyum tipis,
membuat Karta Lawa menjadi tersipu-sipu.
"Kau belum pernah tidur dengan
perempuan, bukan?!"
"Bel... belum, Guru! Hmmm... maaf,
saya tutup dulu, Guru!"
"Tunggu," sergah sang guru sambil
menahan tangan Karta Lawa yang ingin
menaikkan celananya itu. Mata sang guru
memandang ke arah sesuatu yang menantang
itu.
"Bagi seorang perempuan yang doyan
kemesraan lelaki, seperti si Cumbu Laras,
kau dianggap mempunyai kekuatan yang kecil
dan tidak membakar gairahnya."
"Maaaks... maksudnya, apa yang kecil
tadi, Guru?"
"Ini...!" sang guru menuding sesuatu
yang menantang dengan tegak itu. "Buat si
Cumbu Laras, ini termasuk kecil. Perlu
diperbesar supaya menarik perhatian."
"Tap... tapi bagaimana cara
membesarkannya, Guru! Dari dulu dia sudah
kuasuh dan kurawat bik-baik tapi tidak mau
lekas besar."
"Taruh kedua tanganmu ke belakang,
akan kuperbesar dia!"
Karta Lawa akhirnya menurut apa
perintah sang guru. Kedua tangan
dikebelakangkan. Sang guru segera
menudingkan ujung telunjuknya ke ujung
'pusaka' si anak muda itu. Kejap kemudian,
Karta Lawa merasakan ada hawa panas yang
masuk ke dalam 'pusaka'nya itu.
Caas...!
"Aaow...!" ia menarik mundur secara
refleks. Sang guru hempaskan napas.
Rupanya ia sudah selesai memperbesar
'pusaka' milik Karta Lawa itu. Ternyata
rasa panas pun cepat hilang, Karta Lawa
pandangi 'pusaka'-nya sendiri.
"Hahhh...?!" ia mendelik kaget melihat
ukuran 'pusaka'-nya yang menurutnya telah
menjadi dua kali lipat dari ukuran semula.
"Berangkatlah dan temui si Cumbu Laras
itu! Aku akan membayang-bayangimu dalam
jarak tertentu. Lepaskan sinar merah pijar
ke atas langit, maka aku akan tahu bahwa
jarum itu telah kau tusukkan dalam tubuh
si Cumbu Laras. Aku akan segera datang
menyerangnya!"
"Baa... baik... baik, Guru!" sambil
Karta Lawa mengenakan celananya lagi.
"Wah, kok jadi sesak begini? Gawat?!"
ujarnya dalam hati, sang guru hanya
tersenyum, lalu membiarkan muridnya pergi
tunaikan tugas. .
Pada saat itu, ternyata ada pihak lain
yang merencanakan menyerang Pesisir Kulon
dengan sasaran kematian sang Ratu Cumbu
Laras. Pihak lain itu adalah Perguruan
Elang Bumi yang mendapat keterangan dari
Wiraga tentang pembantaian massal itu.
Tentu saja Perguruan Elang Bumi berada di
pihak Panji Pura, sekalipun si Panji Pura
masih belum ditemukan.
Resi Pangkayon, yang menjadi guru
besar sekaligus Ketua Perguruan Elang Bumi
itu, berkata kepada para muridnya yang
berkumpul di pelataran.
"Kita menyerang bukan semata-mata
karena balas dendam. Kita melumpuhkan
perempuan itu karena kekejiannya sudah
melampaui batas dan sangat membahayakah
kehidupan di muka bumi ini! Jika ia tidak
kita hentikan, maka pembantaian seperti
itu masih tetap akan berlanjut sewaktu-
waktu!"
Para murid menyimak baik-baik kata-
kata sang guru besar itu. Dalam benak
mereka terbayang wajah-wajah pucat tak
berdosa yang bergelimpangan, seakan nyawa
manusia tak berarti lagi pada saat itu.
"Berangkat dan musnahkan perempuan
itu! Tak ada lagi waktu untuk
mengadilinya!" perintah sang guru besar
Resi Pangkayon.
Pada saat itu, Betina Rimba berada
bersama Wiraga di salah satu sudut paling
belakang. Betina Rimba tersenyum dalam
hati, karena ia sebentar lagi akan melihat
Ratu Cumbu Laras menjadi kalang kabut
diserang oleh orang-orang Perguruan Elang
Bumi.
"Kau akan ikut menyerangnya pula,
Betina Rimba?!" tegur Wiraga.
"Ya, tapi aku hanya akan menyerang
Ratu Cumbu Laras. Kucari kelengahannya dan
kuserang ia dengan jurus yang mematikan!"
"Bagus! Aku akan mendampingimu terus!"
ujar Pongge yang merasa ingin ikut ambil
bagian seb-gai pendamping Betina Rimba
dalam penyerangan nanti. Padahal ia
memanfaatkan perempuan itu untuk
berlindung dari bahaya yang dapat
menyerangnya sewaktu-waktu.
Ketika orang Perguruan Elang Bumi
bergegas menuju ke Pesisir Kulon yang
memakan waktu sehari semalam, ternyata
Karta Lawa sudah lebih dulu sampai di
istana Pesisir Kulon. Dengan berlagak
menyamar sebagai seorang pemuda desa yang
sedang mencari tabib untuk mengobati
kakeknya yang sakit, Karta Lawa sempat
dicurigai oleh penjaga perbatasan wilayah
Pesisir Kulon. Ia ditangkap dipantai, lalu
diserahkan kepada Ratu Cumbu Laras.
Sang Ratu mulai tergoda oleh senyum si
Karta Lawa yang memang mempunyai daya
tarik tersendiri itu. Kepolosannya dalam
bersikap dan berbicara membuat sang Ratu
merasa mendapat keberuntungan sendiri
dalam hatinya.
"Ia tampak masih polos dan lugu. Aku
sangat bergairah dengan anak kemarin sore.
Gairahku akan meluap-luap jika berhadapan
dengan bocah polos yang belum mengenal
cumbuan. Pasti dia akan menurut jika
kusuruh begini-begitu. Ooh... i-dah
sekali. Semangatnya pun pasti masih
menggebu-gebu sehingga dalam waktu singkat
ia dapat kuajak mengulangi keindahan itu.
Hik, hik, hik...!"
Di depan Karta Lawa yang polos tanpa
senjata itu, Ratu Cumbu Laras berkata
dengan tegas.
"Aku adalah seorang tabib juga untuk
segala macam penyakit. Mengapa kau harus
mencarinya ke mana-mana?"
"Oh, kalau begitu, sangat kebetulan
sekali aku tertangkap di pantai tadi.
Ternyata justru aku bertemu dengan seorang
tabib sakti. Oh, Nyai Ratu... maukah kau
menyembuhkan kakekku sekarang juga?"
"Kakekmu akan sembuh, tapi terlebih
dulu kau harus menjelaskan jenis penyakit
yang dideritanya."
"Baik, akan kujelaskan...."
"Tunggu! Jangan di sini, tapi di
kamar. Aku ingin mendengarnya sambil
beristirahat!"
Kemudian sang Ratu membawa Karta Lawa
ke kamarnya. Pemuda itu sudah tahu maksud
sang Ratu, namun harus masih tetap
berlagak bodoh.
Setelah sampai di kamar, sang Ratu pun
berkata, "Jangan-jangan kau kemari membawa
penyakit dari kakekmu? Agaknya penyakit
kakekmu itu sangat menular."
"Oh, tap... tapi aku tidak merasa
sakit apa-apa, Nyai Ratu."
"Kau harus kuperiksa dulu untuk
meyakinkan bahwa kau tidak tercemar oleh
penyakit tersebut."
"Baik. Aku bersedia."
"Lepaskan semua pakaianmu."
"Hahh...?!" Karta Lawa berlagak kaget.
"Lepaskan dan berbaringlah di ranjang
itu, aku akan memeriksamu lebih teliti
lagi!"
Karta Lawa gemetar saat melepaskan
semua yang dipakainya. Kali ini ia benar-
benar gemetar, bukan berpura-pura, sebab
mata sang Ratu memandangnya penuh goda.
Wajah cantik dan dada montok itu seakan
melambai-lamhai di depan mata Karta Lawa.
"Berbaringlah," ujar sang Ratu dengan
lembut sambil mengusap punggung anak muda
itu. Karta Lawa puq menurut. la berbaring
dengan kedua kaki merapatkan kedua tangan
menggenggam sesuatu yang telah diperbesar
oleh gurunya itu.
"Rentangkan ke samping kedua tanganmu,
Karta!" perintah sang Ratu dengan lembut
pula. Karta Lawa pun terpaksa merentangkan
tangannya kesamping.
"Oooh...?!" sang Ratu terperangah
kagum dan matanya mendelik memandangi
sesuatu yang ternyata telah berdiri tegak
penuh tantangan itu.
"Kau memiliki 'pusaka' yang sungguh
dahsyat, Karta...," ucap sang Ratu dengan
nada mendesah.
Jantung Karta Lawa berdebar-debar,
menyentak-nyentak dadanya, karena pada
saat itu sang Ratu mendekatinya dan
menyambarnya dengan kedua tangan. Sambaran
itu diiakukan dengan hati-hati sekali,
sementara wajahnya masih memancarkan
cahaya kekaguman dan kegembiraan.
"Diam-diam kau punya kehebatan yang
tersembunyi, Karta. Kenapa kau tak katakan
sejak tadi, Sayang?"
"Ak... aku... aku... any...." Karta
Lawa tak bisa bicara karena gemuruh di
dalam dadanya semakin keras. Keringat
dinginnya pun keluar semua, dan tubuhnya
merasa semakin gemetaran.
Sang Ratu tak pedulikan keadaan pemuda
itu. la sibuk mengusap-usap sesuatu yang
terasa hangat dan mendebarkan itu.
Gairahnya terbakar dan cepat menjadi
berkobar-kobar. la tak sabar, laiu
menciumi paha Karta Lawa dengan lidah
menari ke sana-sini.
"Oouh, ooh, Nyai... ja... jangan,
Nyai...." Karta Lawa benar-benar takut,
tapi tak mampu melarang atau menghindar,
karena ia merasakan kenikmatan yang
mengalir deras dari kaki sampai ubun-ubun
kepalanya.
Ratu Cumbu Laras semakin bergairah
jika mendengar suara lelaki ketakutan
begitu. Ia bahkan menyapu seluruh tempat
di sekitar paha Karta Lawa dengan
lidahnya.
Seeet...!
Akhirnya lidah itu menuju puncak,
kemudian menelan ‘hidangan’ tersebut
dengan pelan-pelan sekali.
"Ooh, Nyai... Nyai Ratu... aduuuh...
Nyai...."
"Sakitkah?" sang Ratu hentikan
gerakannya sejenak.
"Hmmm... hmmmh... tidak, Nyai...."
"Kau suka?"
"Suk... suk... suka sekali. Oooh...
lagi, Nyai. Lagi...."
Sang Ratu mengikik kegirangan,
kemudian ia menelan ‘hidangan' itu pelan-
pelan lagi. Tapi kali ini tangannya meraih
tangan Karta Lawa. Karena ia berdiri
membungkuk di samping ranjang, maka tangan
Karta Lawa dengan mudah dapat dituntun
hingga menyentuh "mahkota'-nya, setelah
sang 'mahkota' dibuka penutupnya. Tangan
Karta Lawa pun segera menari-nari dengan
malu, namun justru tarian malu-malu itu
yang menimbulkan keindahan tersendiri bagi
sang Ratu. Sementara itu, mulut sang Ratu
masih melahap 'hidangan' yang tersedia.
Karta Lawa bermandi keringat dingin.
Sang Ratu tak sabar lagi, kemudian ia naik
ke atas ranjang dan Karta Lawa
didudukinya.
"Oooooh...!"
Sang Ratu memekik panjang ketika ia
sengaja menikamkan diri hingga 'pusaka'
itu terbenam habis. Kemudian pinggulnya
pun mulai menggeliat dalam putaran semu,
pelan, tapi mantap baginya.
Karta Lawa sibuk dibuai oleh
keindahan, hingga lupa akan tugasnya, lupa
dengan jarum 'Sigar Rolas' itu. Akibatnya,
semalam suntuk ia meluncur di samudera
kenikmatan bersama sang Ratu. Apa yang
diinginkan sang Ratu selalu dilayaninya,
karena ternyata melayani kemesraan seperti
itu sangat indah dan menyenangkan. Bahkan
ia sempat berpikir, "Alangkah sayangnya
jika perempuan seperti ini harus dibunuh?"
Mungkin karena lelahnya, Karta Lawa
akhirnya tertidur di ujung pagi. Saat ia
tertidur itulah, Ratu Cumbu Laras yang
mendapat getaran ganjil dalam hatinya,
segera menemukan jarum 'Sigar Rolas' di
paha kanan Karta Lawa. Jarum itu dicabut
pelan-pelan, sehmgga Karta Lawa tak
terbangun.
Sekalipun Nyai Sekap Madu telah
menutupnya dengan kekuatan gaib, namun
jarum itu masih dapat terlihat oleh mata
Ratu Cumbu Laras, karena kekuatan iblis
Dewa Seribu Laknat memberitahukan adanya
bahaya yang akan menyerangnya. Sang Ratu
ganti menyirap Karta Lawa, hingga pemuda
itu tertidur dengan nyenyak sekali. la tak
merasa kalau sudah dipindahkan di suatu
tempat.
Ketika ia bangun, ternyata sudah
berada di sebuah ruangan kumuh dan pengab
berdinding lembab. Keadaannya masih tanpa
pakaian, namun kedua kaki dan kedua
tangannya terikat merentang dikedua tiang.
"Oooh...? Mengapa aku mimpi begini?
Ah, tak enak sekali mimpi begini. Aku
harus segera bangun...!" pikirnya. Namun
tiba-tiba sebuah cambuk melecut tubuhnya
dari belakang dan sangat mengagetkan
sekaligus menyakitkan.
Ctaaaarr...!
"Aaaow...!" teriak Karta Lawa. la
segera sadar bahwa di depannya telah
berdiri seorang perempuan cantik bermata
sayu yang mengenakan jubah merah jambu.
Perempuan itu tak lain adalah Ratu Cumbu
Laras, dengan didampingi dua pengawal
wanita di kanan kirinya, dan dua lagi
pengawal lelaki bertubuh kekar berotot
sedang memegangi cambuk di belakangnya.
Lelaki itulah yang selalu ditugaskan
menyiksa pria yang habis bercumbu dengan
sang Ratu, untuk kemudian menghabisi pria
itu jika sang Ratu tidak membutuhkannya
lagi.
"Oh, ternyata aku tidak sedang
bermimpi?!" pikir Karta Lawa dengan tegang
dan ketakutan.
"Kau sudah bangun, Sayang?!" ujar sang
Ratu dengan senyum sinis sambil mendekati
Karta Lawa, lalu tangannya bermain nakal
di ujung 'pusaka' pemuda itu.
"Rupanya tidurmu nyenyak sekali, dan
percintaan kita semalam melenakan sekali,
sehingga kau tak sempat mencabut jarum
beracun ini!" sambil sang Ratu menunjukkan
jarum 'Sigar Rolas' yang membuat Karta
Lawa tercengang.
"Itu... itu... anu... itu...."
"Kau pasti orang suruhan yang
ditugaskan membunuhku dengan jarum beracun
ini! Siapa yang menyuruhmu?!"
"Hmmm... tidak, eh... bukan, eh...
anu...."
"Cambuk dia!" sentak sang Ratu.
Ctaar, ctaar, ctaaaar...!
Karta Lawa memekik keras-keras
menerima cambukan dari belakang dalam
keadaan tanpa pakaian. Lecutan cambuk itu
diterimanya lebih dari dua puluh kali,
sehingga tubuhnya pun babak belur dengan
luka mengerikan.
"Siapa yang menyuruhmu membunuhku,
Karta?! Kalau kau tak mau menjawab, akan
kupotong 'pusaka' kebanggaanmu ini!"
Sang Ratu berseru kepada pengawalnya,
"Pinjam pedangmu!"
"Ja... jangan, jangan...! Ampun, Nyai!
Kau boleh potong rambut dan kukuku, tapi
jangan potong yang satu itu, Nyai!
Kasihan, dia anak yatim piatu! Ooh,
ampun...ampun, Nyai Ratu...." Karta Lawa
pun menangis ketakutan melihat sang Ratu
sudah memegang pedang.
Akhirnya Karta Lawa mengaku bahwa ia
memang disuruh oleh Nyai Sekap Madu,
gurunya sendiri. Karta Lawa jelaskan,
siapa Nyai Sekap Madu itu, selanjutnya
semua rahasia itu terbongkar di depan Ratu
Cumbu Laras.
"Karta Lawa, kau masih ingin bercumbu
denganku seperti semalam?"
"Maa...masih. Masih sekali, Nyai!
Mmm... maksudku, masih bersemangat
sekali...."
"Kau mau selamanya bercumbu denganku?"
"Mau, mau... mau sekali, Nyai!" jawab
Karta Lawa penuh semangat. "Aku memang
Ingin selalu bercumbu denganmu, karena
kau... kau luar blasa indahnya, Nyai...."
"Kalau begitu, kau harus penuhi
syaratnya."
"Apa syaratnya, Nyai?"
"Kembalilah dan temui gurumu itu.
Tancapkan jarum ini ke tubuhnya sendiri,
lalu panggil pengawalku itu, suruh ia
menghabisi gurumu. Kau bersedia atau
tidak?!"
"Sangat bersedia, Nyai Ratu! Sangat
bersedia!" jawab Karta Lawa berapi-api.
Pikirnya, "Lebih baik kehilangan Nyai
Guru daripada tidak mendapat kemesraan
seperti semalam. Toh kalau aku menolak,
aku akan mati. Sedangkan aku baru kali ini
menikmati kehangatan seorang perempuan.
Apakah baru semalam menikmati kehangatan
perempuan sudah harus cepat-cepat mati?
Nanti dulu, ah!"
Tiba-tiba Walet Perak yang telah
sembuh dari lukanya itu segera datang
menghadap Ratu Cumbu Laras.
"Kita diserang, Nyai Ratu!"
"Oh, ya...?! Siapa yang menyerang?
Orang-orang Tebing Naga?!"
"Bukan! Mereka dari Perguruan Elang
Bumi!"
Ratu Cumbu Laras terkejut, langsung
teringat kepada Panji Pura, karena ia tahu
Panji Pura dari Perguruan Elang Bumi.
"Mereka telah mendesak masuk, Nyai
Ratu! Pintu gerbang benteng telah hancur!"
"Jahanam! Apa alasan penyerangan
mereka?!"
"Mereka tahu, pihak kita yang
membantai orang-orang Pademangan, Nyai!"
"Keparat! Pasti si busuk Betina Rimba
yang membuka rahasia ini! Habisi mereka!
Cari Betina Rimba sampai dapat, pancung
dia!" seru sang Ratu dengan murka sekali.
"Lepaskan pemuda itu dan suruh mencari
gurunya. ikuti dari kejauhan, jika ia
berkhianat, bunuh!"
Sadis sekali perintah itu, tapi memang
begitulah sang Ratu. Ia seperti bukan
seorang perempuan lagi. Hati dan
perasaannya telah menyatu dengan hati si
iblis Dewa Seribu Laknat, sehingga ia tak
pernah mengenai belas kasihan kepada
sesamanya.
* * *
DELAPAN
GERBANG benteng telah jebol. Beberapa
pengawal Ratu Cumbu Laras tergeletak tanpa
nyawa dalam keadaan menyedihkan. Jumlah
orang Perguruan Elang Bumi cukup banyak.
Sang Ratu sendiri sempat terkejut melihat
jumlah sebanyak itu.
Rupanya pihak Perguruan Elang Bumi
bukan sendirian, meiainkan dibantu oleh
Perguruan Cakar Garuda yang selama ini
sering bekerja sama dalam menyelesaikan
beberapa masalah. Perguruan Cakar Garuda
diketuai oleh Pendeta Kandaga, sahabat
sang Resi Pangkayon sejak masa muda
mereka. Kekuatan kedua perguruan itu telah
membuat pihak Ratu Cumbu Laras menjadi
morat-marit, bangunan-bangunan banyak yang
rusak, bahkan sebagian ada yang runtuh
total.
Suara pertarungan bergemuruh, antara
denting pedang dan jerit kematian menyatu
saling silih berganti. Tak ketinggalan, si
Betina Rimba pun ikut menyerang pihak Ratu
Cumbu Laras, terutama kepada para pengikut
sang Ratu yang dulu merasa sirik padanya
dan bermusuhan batin dengannya.
"Hancurkan mereka! Hancurkan
semuanyaaaa...!" teriak Wiraga memberi
semangat kepada teman-temannya. Demikian
pula Pongge yang punya ilmu pas-pasan,
Ikut berseru, berkoar-koar sampai suaranya
serak, tanpa menyadari bahwa seruannya
yang pecah itu tak dimengerti oleh rekan-
rekannya. la tetap berlindung di balik
Wiraga atau si Betina Rimba.
Tetapi ketika Ratu Cumbu Laras muncul
di pertarungan itu, dalam beberapa kejap
saja pihak lawannya telah dibuat tunggang
langgang dan banyak korban yang
berjatuhan. Sang Ratu menjadi murka,
setiap jari tangannya memercikkan cahaya
biru yang tiada hentinya bagai lompatan
petir dari jari yang satu ke jari yang
lain.
Jika tangan kanannya berada di ketiak
kiri, lalu tangan itu mengibas ke depan,
maka percikan cahaya biru petir itu
menyebar seketika dan menghantam tubuh
lawan-lawannya.
Craaalaap...!
Blegaaarrr...!
Entah berapa banyak tubuh manusia yang
hancur oleh serangan maut Ratu Cumbu Laras
itu, sehingga tempat tersebut dalam waktu
singkat telah berubah menjadi genangan
darah dan kubangan mayat.
"Majulah kalian! Majulah lagi kalau
ingin hancur semuanya!" teriak sang Ratu
dengan murkanya. Sambil berteriak, ia pun
melepaskan jurus-jurus mautnya,
menghamburkan cahaya kilat ke mana-mana.
Bahkan kedua matanya pun dapat keluarkan
sinar merah yang melesat ke beberapa arah
dan menghantam mereka yang berusaha
menyerangnya.
Biaar, blaar, jegaar, blaaar,
buuumm...!
Dalam keadaan seperti itu, Betina
Rimba berusaha melepaskan pukulan jarak
jauhnya, tapi selalu dapat dipatahkan oleh
sinar merah atau kilatan cahaya petir dari
kesepuluh jari tangan sang Ratu.
"Kita menjauh! Dia sudah semakin
ganas, berbahaya kalau tetap
menyerangnya!" ujar Betina Rimba kepada
Wiraga. Maka, mereka pun segera menjauhi
medan pertarungan besar itu. Pongge sempat
kebingungan ketika Wiraga dan Betina Rimba
pergi. Ia ketakutan sendiri sewaktu dua
berkas sinar merah lewat di depan
hidungnya dan menghancurkan dua orang dari
pihak Perguruan Cakar Garuda.
Jegaaarr...
"Wiraaa... Wiraaa...!" Pongge
berteriak dengan kedua kaki gemetar seakan
lemas tanpa tulang. Celananya pun menjadi
basah tanpa disadari. Bau tak sedap
menyebar dari celana basah itu, sehingga
tak ada seorang pun yang mau
menyingkirkannya dari tengah pertarungan
itu.
Wuuuut...!
Des...!
Sebuah tendangan kaki telah mengenai
punggung Pongge tanpa disengaja. Tendangan
itu datang dari Walet Perak yang mencoba
menyerang orang Perguruan Elang Bumi.
Akibatnya, tubuh Pongge terlempar dalam
keadaan melayang dan berteriak ketakutan.
"Aaaa...! Tolooooong...!"
Brrusk...!
Ia jatuh di rerumputan lebat, di mana
Wiraga dan Betina Rimba bersembunyi di
baliknya.
"Kalian bangsat! Bangsat tulen! Kalian
meninggalkan diriku di sana! Dasar mata
kalian buta semua!" Pongge memaki-maki
Wiraga dan Betina Rimba.
Plaaak...!
Tangan Betina Rimba menampar mulut
Pongge, akibatnya makian Pongge pun
hilang, berganti suara merintih kesakitan.
Betina Rimba dan Wiraga tak pedulikan
rintihan Pongge, karena perhatian mereka
berdua segera tertarik pada kemunculan
bayangan hitam yang berhasil menerjang tu-
buh Ratu Cumbu Laras.
Breeess...!
Terjangan tersebut membuat penguasa
Pesisir Kulon terlempar dan jatuh
berguling-guling.
Seorang perempuan berjubah hitam
berdiri dengan ketuaannya yang tanggung.
Perempuan itu tak lain adalah Nyai Sekap
Madu yang telah melihat sinar merah
melesat ke langit. Ia menyangka sinar itu
adalah isyarat dari Karta Lawa, padahal
sinar itu adalah tenaga dalam orang
Perguruan Cakar Garuda yang tertangkis
pedang si Walet Perak.
"Hentikan! Hentikan tindakan sia-sia
Ini! Biar aku yang mencabut nyawa
perempuan mesum itu!" tcriak Nyai Sekap
Madu, membuat mereka segera hentikan
pertarungan.
"Guru! Oh, syukurlah kau segera
datang, Guru!" ujar Karta Lawa segera
hampiri Nyai Sekap Madu. Tindakan itu
membuat Ratu Cumbu Laras menjadi tahu,
bahwa perempuan itu adalah Penguasa Tebing
Naga.
"Karta, bagaimana tugasmu? Sudah
beres?!"
"Beres, Guru!" kata Karta Lawa sambil
menyeringai menahan luka bekas cambukan.
la dalam keadaan mengenakan pakaian, tapi
mata sang Guru sempat melihat bilur-biiur
di dada Karta Lawa.
"Kau terluka, Muridku?!" sang Guru
segera menarik lengan Karta Lawa. Dan pada
saat itulah, Karta Lawa punya kesempatan
menancapkan jarum 'Sigar Rolas' ke
punggung sang Guru.
Jruuus.,.!!
"Aaakh...!" Nyai Sekap Madu mengejang
seketika, matanya pun menjadi liar,
wajahnya pucat seketika. Karta Lawa segera
berlari hindari jangkauan tangan sang
Guru.
"Jahanam...!" geram Nyai Sekap Madu.
"Kaau... kau mengkhianatiku, Karta...!"
Dua belas kekuatan Nyai Sekap Madu
lenyap seketika setelah jarum itu terbenam
daiam tubuhnya. Ratu Cumbu Laras tak mau
membuang waktu. Ia segera lepaskan sinar
merah dari matanya.
Claaap...!
Sinar itu menghantam ulu hati Nyai
Sekap Madu.
Jruuubs...!
Buuii...!
Api menyala pada ulu hati Nyai Sekap
Madu. Seolah-olah ulu hati itu adalah
tempat pembakaran kemenyan yang bisa
keluarkan api setelah disiram minyak
tanah. Tetapi perempuan berjubah hitam Itu
masih mencoba untuk bertahan. la berjalan
limbung dekati sang Ratu sambil
menudingkan tongkatnya.
Namun tongkat itu tak bisa keluarkan
sinar penggempur lawan.
"Ter... terkutuk kaau... Cumbu
Laras...! Ingat... kaaau... kau akan mati
di tangan pemuda kembar yyyyang...
yaaang... menja... menjadi musuh utamamu.
Kkkau... kau akan mati sepertiku iniiii"
Glegaaarrr...!
Petir menyambar salah satu pohon di
luar benteng, begitu Nyai Sekap Madu
selesai lepaskan kutukannya. Setelah itu,
brruk...! Nyai Sekap Madu pun tumbang dan
tak bernyawa lagi. Lalu sekujur tubuhnya
terbungkus api yang sukar dipadamkan.
"Persetan dengan kutukanmu!" bentak
Ratu Cumbu Laras. "Siapa lagi yang akan
menyusulnya?!" Ia memandang kepada sisa
lawannya yang tinggai beberapa gelintir
itu.
Mereka diam semua. Termasuk anak buah
sang Ratu pun ikut diam. Tiba-tiba mereka
dikejutkan oleh suara dari bayangan yang
berkelebat melintas di atas mayat Nyai
Sekap Madu.
"Aku yang akan melawanmu, Untari...!"
Ratu Cumbu Laras terkejut sekali
mendengar nama aslinya disebutkan. la
segera menatap tajam pada sosok lelaki tua
berjubah putih.
"O, rupanya kau yang muncul, Pawang
Badai!" ujar Ratu Cumbu Laras dengan
sinis.
"Sudah waktunya kau hentikan
kekejamanmu, Untari!"
"Persetan dengan ucapanmu! Belum rela
diriku mati sebelum kulihat kau menjadi
bangkai, Pawang Badai! Hiaaat...!"
Weeers...!
Sinar-sinar biru yang berlompatan dari
jari ke jari itu menyebar dan segera
menghantam si Pawang Badai. Dalam satu
lompatan mundur, Pawang Badai segera
sentakkan kedua tangannya ke depan dan
melesatlah dua sinar merah menerjang
sinar-sinar biru itu.
Blegaaarrr...!
"Hiaaaah...!" Ratu Cumbu Laras melesat
setelah ledakan besar itu tak berhasil
membuatnya tumbang. Pada saat itu Pawang
Badai sedang terkapar oleh gelombang
ledakan yang menyentak kuat itu. Baru saja
ia akan bangkit. tiba-tiba empat sinar
biru sudah keluar dari empat jari tangan.
Ratu Cumbu Laras.
Craaapp...!
Jegaaar...!
Keempat sinar itu mengenai dada Pawang
Badai dengan telak. Kontan dada itu pecah
menjadi dua bagian dan hangus mengepulkan
asap. Pawang Badai tak sempat bangkit,
lalu tergeletak tanpa nyawa.
"Modar kau sekarang, Pawang Badai!
Sakit hatiku mulai terpuaskan oleh
kematianmu! Hiaaah...!"
Jegaar, jegaar, jegaaar...!
Ratu Cumbu Laras melepaskan pukulan
bersinar biru secara bertubi-tubi,
sehingga raga Pawang Badai pun hancur tak
berbentuk lagi. Serpihan dagingnya
menyebar kemana-mana, tinggal bagian
kepala dan kaki kanannya yang masih tampak
utuh.
Ratu Cumbu Laras menggeram sambil
hembuskan napas lega. Namun sebelum ia
mengucapkan kepuasan batinnya Itu, tiba-
tiba dua berkas sinar merah yang
menyerupai bola api itu melesat dari arah
timur dan selatan.
Wuuus...!
Glegaarr, glegaaar...!
Dua sinar besar itu hancurkan istana
megah tersebut. Dalam waktu sekejap saja,
istana itu runtuh dan sisa pengikut sang
Ratu yang bersembunyi di sana terpaksa
tewas tertindih reruntuhan istana.
Ratu Cumbu Laras sangat terkejut dan
menjadi semakin murka. Namun sebelum ia
melepaskan serangan balik, tiba-tiba
meluncurlah sinar-sinar hijau dan kuning
dari arah selatan dan timur.
Clap, clap, clap, clap...!
Blaar, blaar, blaar...!
Sinar-sinar itu menghujani Ratu Cumbu
Laras. Ia kebingungan menangkis dan
menghindarinya. Namun ia sempat melihat
sinar-sinar yang menghujaninya terus
menerus itu datang dari dua sosok lelaki
tua berjenggot putth, yang satu mengenakan
jubah kuning, yang satunya lagi berjubah
hijau muda. Mereka herdua ada di atas
pohon, berdiri di atas ranting dan
dedaunan tanpa membuat ranting itu patah
dan daun itu gugur.
Mereka adalah Resi Pangkayon dan
Pendeta Kandaga, ketua dan guru besar dua
perguruan yang lakukan penyerangan
gabungan itu.
"Bangsat kalian semuaaa...!" teriak
Ratu Cumbu Laras, lalu melepaskan serangan
balasan yang tak pernah mengenai sasaran.
Jegaaar, blaar, blarrr, jegaaar...!
"Aaaow...!" pekik Ratu Cumbu Laras.
Tangan kirinya menjadi hangus seketika
begitu sinar hijau Resi Pangkayon mengenai
pundaknya.
Jgeaaar...!
Kini sinar kuning dari Pendeta Kandaga
menyerempet pinggang kanannya. Pinggang
itu langsung terkelupas dan menghangus
dengan asap putih mengepul samar-samar.
"Aaaakh...!" Ratu Cumbu Laras memekik
lagi. Kini ia mulai sadar, kekuatannya
telah menurun pesat. Tak akan mampu jika
tetap terus melawan dua tokoh tua itu.
Maka ia pun segera memutar tubuhnya dengan
cepat dan,
Blaaap...!
Tubuh itu menghilang lenyap bersama
kepulan asap putih yang segera tersapu
angin pantai. Tapi suaranya masih
terdengar dalam gema yang lama-lama kecil
dan menghilang.
"Aku akan hadir kembali menghancurkan
kalian semua! Ingat, aku akan hadir
kembali sebagai maut bagi kalian
semuaaa...!"
Sisa orang-orang sang Ratu pun
akhirnya membuang senjata mereka dan
menyerah kalah. Resi Pangkayon dan Pendeta
Kandaga segera perintahkan sisa murid
mereka untuk membawa para tawanan ke
Perguruan Elang Bumi.
Tapi sementara itu, mereka dikejutkan
oleh serpihan mayat si Pawang Badai yang
ternyata berubah menjadi batang pisang
daiam keadaan hancur. Resi Pangkayon dan
Pendeta Kandaga saling berpandangan, lalu
sang Resi pun berkata kepada sahabatnya
itu.
"Berarti si Pawang Badai masih hidup!"
"Kurasa ia memang masih berada di
puncak Gunung Merana!" balas sang Pendeta
berkepala gundul itu.
Pawang Badai memang masih hidup di
puncak Gunung Merana. Ia hanya menunaikan
tugas dari mendiang gurunya untuk membuat
lega hati si Ratu Cumbu Laras, karena
merasa telah membunuhnya. Padahal yang
hadir di situ adalah batang pisang yang
dicipta dengan kesaktiannya hingga serupa
dengan dirinya.
Pada saat itu, Pawang Badai telah
kembali ke puncak Gunung Merana, sebagai
penunggu makam keramat mendiang gurunya,
juga membesarkan si bayi kembar bersama
istrinya Nyi Padmi. Bayi kembar itu pun
akhirnya tumbuh menjadi bocah yang sulit
dibedakan mana yang bernama Raka Pura dan
mana yang bernama Soka Pura.
Tetapi ketika bocah itu dalam usia
delapan tahun, Pawang Badai mulai
memberinya pelajaran silat dan pengetahuan
tentang ilmu-ilmu aliran putih.
Ternyata masing-masing bocah kembar
itu mempunyai karakter yang sedikit
berbeda. Soka Pura lebih nakal dibanding
kakaknya Raka Pura. Dalam menerima
pelajaran dari Pawang Badai, sang adik
sering bertingkah konyol.
"Kelak, jika kalian besar, kaiian akan
menjadi seorang pendekar yang tangguh
apablla kalian berlatih ilmu kanuragan ini
dengan tekun dan rajin," ujar Pawang
Badai.
"Apakah aku bisa menjadi sakti seperti
Ayah?" tanya Soka Pura.
"Tentu saja bisa, Soka."
"Oh, enak sekali kalau aku bisa
menjadi orang sakti. Setiap orang akan
kuajak bertarung dan...."
"Husy! Kesaktian tidak untuk menantang
setiap orang, Soka. Kau harus bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang
sa....?"
"Sayang!" lanjut Soka.
"Bukan yang sayang, tapi yang salah!"
ujar Raka membetulkan.
"Raka benar. Kalian harus bisa
membedakan mana yang benar dan mana yang
salah. Dan yang salah itu tidak boleh
kalian bela. Kalian harus membela
kebe...?"
"Kebetulan!" sahut Soka.
"Kebenaran" ralat Raka. Sang adik jadi
sewot.
"Maksudku kebetulan yang kita bela
orang yang benar," Soka ngotot, sang ayah
angkat segera meluruskan sambil tersenyum
geli.
"Ayah, bolehkah ilmuku untuk
melindungi anak perempuan saja? Bukankah
anak perempuan itu orang yang lemah dan
patut dilindungi?"
"Boleh. Tapi perempuan yang bagaimana
dulu? Kalau perempuan Itu adalah tokoh
sesat beraliran hitam, kau tidak perlu
melindunginya. Luruskan Jalannya, kalau
tidak mau, lawanlah dia demi kebenaran!"
"Yaaah... nanti kalau dia menangis
bagaimana? Kasihankan?!"
"Eh, Soka... kita tidak boleh
melindungi dan merasa kasihan kepada orang
sesat. Nanti kita malah menjadi sesat
juga. Bukankah begitu, Ayah?"
"Ya, benar. Mengasihi orang yang lemah
bukan berarti orang yang sesat dan tak mau
diajak ke jalan yang benar harus
dikasihani juga...."
"Ah, aku pusing menerima wejangan ini.
Aku mau tidur saja. Biar Raka saja yang
mendengarkan wejangan Ayah...," lalu bocah
itu menggelosor di samping kakaknya. Sang
ayah angkat hanya geleng-geleng kepala,
tapi masih tetap bersabar. Pawang Badai
tak jemu-jemu mendidik si kembar untuk
menjadi sepasang Pendekar Kembar yang
dapat berguna bagi kehidupan dan kedamaian
di antara sesama. Sekalipun sering dibuat
jengkel oleh kenakalan Soka, namun Pawang
Badai tetap menjadi seorang pembimbing
yang setia dan sabar.
Bagaimanapun juga Pawang Badai masih
ingat kutukan Nyai Sekap Madu, yang
didengarnya sebelum ia muncul di depan
ratu cantik itu.
"Benarkah si Cumbu Laras itu nantinya
akan tewas di tangan bocah kembar? Apakah
yang dimaksud dalam kutukan Sekap Madu
adalah Raka dan Soka?" ujar Pawang Badai
dalam hatinya.
Puncak Gunung Merana diselimuti kabut
tebal. Rupanya di sana telah tumbuh dua
pemuda berwajah kembar yang sedang
digembleng oleh si Pawang Badai, terutama
setelah roh Eyang Mangkuranda mengizinkan
Pawang Badai turunkan ilmunya kepada kedua
anak kembar itu Raka dan Soka.
SELESAI
Ikuti Kelanjutannya Dalam :
“KENCAN Dl UJUNG MAUT”
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar