..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Jumat, 14 Februari 2025

PENDEKAR SLEBOR EPISODE MUSTIKA PUTRI TERKUTUK

Matjenuh khairil

 

SATU

Padang rumput di kaki Gunung Pucung terhampar 
luas, membentuk permadani alam berwarna hijau. 
Matahari bersinar penuh kehangatan, membuat 
warna hijau rerumputan padang menjadi berpendar 
cerah. 
Dari sebatang pohon beringin besar berumur 
ratusan tahun yang berdiri tegak diliputi kesan 
angker, melantun alunan seruling. Suaranya 
mendayu, seperti berlari pada pucuk rerumputan, lalu 
hilang tertelan hembusan angin. Alunannya sendiri 
membawa cerita pada alam, bahwa hidup ini penuh 
warna-warni yang setiap saat patut disyukuri. 
Padang rumput biasa menjadi tempat main para 
bocah pengembara sapi, sambil melepas makan 
binatang peliharaannya. Di sana, mereka sering 
terlihat duduk tenang di punggung seekor kerbau 
besar sambil meniup suling. 
Tapi lantunan seruling yang saat ini terdengar, 
bukan dari bocah pengembala. Melainkan, dari 
seorang bocah kecil berumur sebelas tahun. Dia 
tampak duduk santai sambil mengangkat satu 
kakinya pada kaki lain, di sebatang tangkai besar 
pohon beringin. Tangannya tampak bergerak-gerak 
indah pada lubang-lubang nada seruling bambu. 
Bocah itu tampak lusuh. Rambutnya panjang 
melewati bahu, ikal dan kotor. Bajunya kuning dihiasi 
tambalan di beberapa bagian, dipadu celana pendek 
berwarna hitam yang sekotor rambutnya. Namun
penampilan yang lusuh itu tak membuat wajahnya 
tampak susah. Wajahnya malah terlihat ceria. 
Sepasanag matanya yang bulat tampak berbinar-
binar. Kelihatan kalau dia adalah anak yang memiliki 
rasa percaya diri. Hidungnya bangir. Sementara, 
bibirnya yang masih menghembuskan udara ke 
serulingnya tampak tipis, meski agak kering karena 
panasnya sengatan matahari. Dengan bentuk yang 
bulat telor, wajahnya terlihat menggemaskan. 
"Ah! Aku haus sekali," keluh bocah itu setelah puas 
memainkan seruling. "Perutku pun sudah kalap minta 
diisi." 
Anak kecil itu beranjak turun dari dahan pohon, 
dan berniat pergi ke desa terdekat untuk mencari 
makanan. Apa pun caranya, yang penting perutnya 
bisa terisi. 
Di kotaraja atau di pasar-pasar desa, bocah itu 
dikenal sebagai pengamen. Kepandaiannya memain-
kan seruling, dimanfaatkan untuk mencari makan di 
warung kedai-kedai. Alunan serulingnya yang begitu 
merdu, membuat para pengunjung kedai tak 
sungkan-sungkan memberinya sekeping uang. Tak 
jarang pula, ada pengunjung kedai yang tak sudi 
mendengar alunan serulingnya. 
Kepandaian yang dimiliki bocah itu adalah bermain 
sulap. Itu sebabnya, orang-orang seringkali menyebut-
nya si Bocah Ajaib 
Tak berapa lama bocah itu berjalan dan kini sudah 
tiba di Desa Dukuh. Hari ini, di desa itu memang 
sedang ada hari pasaran. Di hari itu para pedagang 
secara serempak membuka usaha, sehingga ber-
duyun-duyun menuju pusat keramaian di alun-alun 
desa untuk berbelanja atau mencari hiburan. 
Maka kesempatan itu tak disia-siakan si Kecil.

Segera dia menuju arah alun-alun. Sambil ber-
senandung kecil, tubuhnya menyelinap di antara lalu 
lalang penduduk yang memenuhi tempat itu. Cara 
melangkahnya tampak santai. Kedua tangannya 
diletakkan di belakang tubuhnya. Sedang matanya 
yang bulat melirik ke sana kemari. 
"Walet...! Oi, Walet!" panggil seseorang dari balik 
kerumunan orang yang mengelilingi seorang penjual 
keranjinan tangan. 
Bocah itu menoleh ke asal suara. Matanya 
menemukan seorang lelaki berusia empat puluhan 
dengan pakaian amat sederhana. Bajunya ke-
coklatan, dengan celana hitam sebatas betis. 
Kepalanya yang ditumbuhi uban, ditutupi blankon 
batik lusuh. Dari sinar matanya, tampak sekali kalau 
lelaki berbadan agak kurus itu mengenali si Kecil 
yang dipanggil Walet. 
Wajah lelaki itu tak bisa disebut tampan, tapi tidak 
juga jelek. Bibirnya yang kehitaman karena terlalu 
banyak merokok, selalu memperlihatkan keramahan. 
Hidungnya tampak kecil, tak sesuai dengan matanya 
yang agak besar. 
"Ada apa, Kang Sentana?" tanya Walet. 
Walet. Sebuah nama yang terdengar aneh. Bocah 
itu sendiri senang dengan namanya. Dia pula 
memberi diri nama itu, setelah mengganti nama 
aslinya yang terdengar bodoh. Walet, ya, nama 
sejenis burung bertubuh mungil. Bocah itu memang 
kagum dengan burung walet. Terutama, pada 
kecerdikannya dalam mengarungi alam. Mampu 
meliuk-liuk di antara karang tajam, sementara burung 
lain tak mampu melakukannya. 
Sentana tiba di dekat Walet. Sebelum menjawab 
pertanyaan tadi, kepalanya menoleh ke belakang
takut-takut. 
"Jiran datang, Let," bisik Sentana hati-hati sekali, 
seakan tak mau terdengar seorang pun. 
"Jiran tengik itu?" 
"Iya. Yang mana lagi?" 
Walet menggeleng-gelengkan kepala. Wajah bocah 
itu tampak dongkol, menerima berita dari Sentana. 
"Apa kutu busuk itu memang sudah tidak punya 
muka?" desis Walet. 
"Iya! Padahal, seminggu yang lalu kau sudah 
membuatnya malu di kedai Ki Soma," timpal Sentana. 
Kurang lebih seminggu lalu, orang yang sedang 
dibicarakan Walet dan Sentana memang telah 
dipermalukan anak berjuluk Bocah Ajaib itu. Dengan 
kehebatannya mengelabui pandangan seseorang. 
Walet mempermainkan lelaki bernama Jiran. Bocah 
itu amat benci melihat perbuatan Jiran yang selalu 
memeras rakyat lemah. Jiran kemudian ditantang 
untuk bertarung di tengah-tengah pasar. Tentu saja 
tantangan itu amat membuat Jiran kalap. Padahal, 
dia adalah orang yang paling ditakuti di Desa Dukuh. 
Selama ini, tak ada seorang pun penduduk berani 
menentangnya secara terang-terangan. Mendengar 
namanya saja, mereka langsung merengket seperti 
siput. Tapi, ternyata Walet berani mengejeknya habis-
habisan. 
Waktu itu, Jiran mengeluarkan parangnya, lalu 
membabat perut Walet. Walet sendiri tak mencoba 
mengelak. Akibatnya, perutnya sampai tersayat lebar. 
Orang seisi pasar sudah mengira, riwayat Walet akan 
segera tamat. Tapi kenyataannya, malah membuat 
Jiran mendelik sejadi-jadinya. Dari luka sayatan di 
perut Walet, ternyata ular-ular berbisa yang menjulur-
julurkan kepala ke arah Jiran.

Melihat hal itu, Jiran lantas lari kocar-kacir. Selama 
ini, dia memang belum tahu kalau bocah yang 
dihadapinya adalah anak lelaki yang memiliki 
kekuatan batin, sehingga, mampu menipu mata 
seseorang. 
*** 
"Jadi bagaimana, Let?" tegur Sentana ketika 
melihat bocah lelaki itu tercenung. 
"Aku tidak mau dia terus-terusan memeras rakyat, 
Kang," jawab Walet tegas. 
"Jadi?" 
"Kali ini aku harus membuatnya benar-benar 
kapok!" tandas Walet, geram. 
Tangan Sentana bergerak memukul udara. 
Wajahnya tampak bersemangat setelah mendengar 
ucapan Walet barusan. 
"Aku setuju, Let! Biarpun kau jauh lebih muda 
dariku, tapi kau amat cocok menjadi sahabatku," puji 
Sentana, berbinar-binar. 
"Mari, Kang," ajak Walet. 
"Ke mana, Let?" 
"Katanya mau kasih pelajaran sama Jiran tengik 
itu?" tukas Walet. 
"Ah! Aku sih tunggu di sini aja, Let. Kau sendirilah 
yang datangi kutu kupret itu...," sergah Sentana 
seraya cengar-cengir. 
"Takut?" seloroh Walet. 
"O, tidak.... Tidak. Tapi kan, kalau parangnya 
tersangkut di leherku terasa sakit sekali, Let...." 
Walet tertawa kecil. 
"Iyalah, Kang," ujar bocah itu seraya melangkah ke 
arah Jiran.

Tak beberapa jauh dari tempat Walet, Jiran tampak 
sedang membuat onar. Seorang pedagang buah 
semangka berdiri ketakutan di hadapan Jiran. Seperti 
biasa, lelaki itu tengah memungut pajak liar dari para 
pedagang. Dengan terpaksa, beberapa pedagang 
memberi apa yang diminta Jiran, kalau tidak ingin 
mendapat perlakuan kejam. 
Tapi tampaknya lain bagi si pedagang semangka. 
Dia bukannya tidak ingin memberi. Namun karena 
hari ini, dagangannya belum terjual sebuah pun. 
Maka, dia tak bisa memberi uang pada Jiran. 
"Aku benar-benar belum punya uang, Den. 
Daganganku belum terjual. Maklum, musim hujan," 
ucap lelaki pedagang semangka, memelas. 
"Aku tak peduli," hardik Jiran kasar. 
Laki-laki bertampang kasar itu berdiri angkuh 
dengan tangan di pinggang. Perawakannya tidak 
tinggi, tapi terbilang kekar. Bajunya hitam bergaris-
garis putih. Bagian dadanya yang tak tertutup 
memperlihatkan bulu-bulu lebat. Celananya hitam, 
memanjang hingga mata kaki. Pinggangnya terlilit 
sabuk kulit lebar sebagai tempat parang. Matanya 
agak menukik dengan kelopak mata terlipat ke 
dalam. Alis mata lelaki itu setebal brewok yang 
tumbuh di dagunya. Hidungnya besar dan bibirnya 
tebal. 
"Kau mau beri aku uang apa tidak?! Atau ku acak-
acak daganganmu ini!" ancam Jiran. Matanya 
mendelik, seperti hendak keluar. 
"Ampun, Den. Jangan diacak-acak daganganku...," 
pinta pedagang semangka memelas. 
"Aaah, tai kucing!" 
Baru saja Jiran hendak menendang peti 
semangka....

Tiba-tiba terdengar bentakan bocah kecil yang 
nyaring. 
"Hey, Bajingan!" 
Jiran kenal suara itu. Ingatannya langsung kembali 
pada kejadian seminggu lalu, yang membuat dirinya 
kehilangan muka karena telah dipecundangi oleh 
seorang bocah kecil. Ketika menoleh ke asal suara, 
dilihatnya Walet sedang berdiri menantang, tujuh 
tombak dari tempatnya. 
"Kau...," desis Jiran geram. 
"Ya, aku!" sahut Walet gagah. "Apa kau belum 
kapok dengan pelajaran kecil yang kuberi padamu?!" 
Wajah Jiran merah padam mendengar ucapan 
Walet. Sungguh memalukan kalau seorang yang amat 
ditakuti di desa ini mendapat bentakan dari anak 
ingusan. Tentu saja Jiran tak mau kejadian memalu-
kan seminggu lalu terulang lagi. 
"Mau apa kau, Bocah Sialan?" kata Jiran, dingin 
dan datar. 
Tak terlihat tanda-tanda kalau lelaki itu takut 
terhadap Walet. Tampaknya, dia sudah siap 
menghadapi keanehan yang mampu diperlihatkan si 
Bocah Ajaib. 
"Tak banyak yang kumau," ucap Walet. "Aku hanya 
ingin kau tak mengusik-usik para pedagang lagi...." 
"Apa?! Hua ha ha...! Kau mimpi, Bocah!" 
"Tidak. Justru aku akan menjadi mimpi burukmu, 
kalau kau tidak mau pergi dari sini," ancam Walet 
tanpa kenal rasa takut sedikit pun. 
"Ooo, kau mau memperlihatkan kebolehanmu 
bermain sihir padaku?! Silakan.... Kau pikir aku akan 
tertipu lagi?!" ledek Jiran, mencibir. 
Walet melangkah lebih dekat ke arah Jiran. Tak 
ada kesan keragu-raguan pada gerak kakinya.


Bahkan matanya menatap lurus-lurus ke mata Jiran 
yang mampu membuat ciut nyali para penduduk lain. 
"Kau menduga aku tidak bisa menipumu lagi 
seperti waktu itu? Benar. Aku tidak bisa menipumu 
lagi. Tapi aku akan membuatmu lari terkencing-
kencing, lelaki bernyali kodok!" cemooh Walet, 
berusaha memancing kegusaran lawannya. 
Jiran terpancing. Tapi, tampaknya belum cukup 
untuk membuatnya kalap. Hanya saja wajahnya yang 
terlihat makin terbakar merah dan tangannya terus 
meremas-remas gagang parang. 
"Nah! Lebih baik, kau segera pergi dari sini. Kau 
tak mau kujadikan kodok buduk, kan?" cecar Walet, 
lebih keterlaluan. 
Kali ini, cemoohnya berhasil mencukil harga diri 
Jiran. Lelaki bertampang sangar itu merasa ubun-
ubunnya hendak dijebol aliran darah panas yang 
mendadak mendesir keras. 
"Bajingan...," rutuk Jiran. Sisi rahangnya mengeras, 
memperdengarkan gemelutuk gigi-giginya yang 
beradu geram. "Kucincang kau, Bocah Keparat!" 
"Kau mau cincang aku? Ayo! Cincang bagian mana 
yang kau suka!" tantang Walet seraya mengangkat 
dagu tinggi-tinggi. 
Bagi bocah itu bersikap angkuh pada manusia 
bejat seperti Jiran memang mesti dilakukan. Orang 
yang tak pernah memperlakukan manusia seperti 
manusia, pantas diperlakukan layak anjing geladak. 
"Hiaaa!" 
Berbareng satu lengkingan merobek angkasa, 
Jiran meluruk ke arah bocah kecil itu. Tak ada lagi 
rasa malu menghadapi lawan yang jauh lebih kecil 
darinya. Karena pada dasarnya, dia sendiri memang 
sudah tak punya rasa malu lagi.

Parangnya menciptakan bunyi yang menggidikkan 
manakala ditarik dari pinggangnya. 
"Hih!" 
Bet! 
Satu tebasan dilepaskan Jiran dengan kejamnya. 
Senjatanya yang setiap hari diasah itu berkelebat di 
udara, bersama sinar pantulan matahari. Leher kecil 
Bocah Ajaib adalah sasaran pertama. 
Tes! 
"Aaakh...!" 
Dalam sekerdipan mata, leher Walet terpenggal 
diiringi desahan kesakitan. Kepala kecilnya yang 
terlontar dari tubuh, lalu menggelinding di atas tanah 
berlumpur. 
Siapa pun yang menyaksikan kejadian itu akan 
bergidik ngeri. Lain halnya Jiran. Lelaki bengis itu tak 
puas dengan tebasan pertama. Dia tidak ingin tertipu 
lagi, seperti kejadian minggu lalu. Maka parangnya 
kembali diayunkan setengah tenaga. 
Bet! 
Tes! 
Tebasan susulan Jiran, membabat bahu Walet 
hingga tangan kanannya putus. Sebelum tubuh Walet 
yang tak utuh terpuruk di jalanan pasar, Jiran 
mengayun sekali lagi parang haus darahnya. 
Sing! 
Bret! 
Dada bocah kecil itu kontan terbelah dengan luka 
menganga lebar. Tepat ketika Jiran mendengus 
garang, tubuh Walet yang tanpa kepala dan lengan 
lagi ambruk diiringi bunyi berdebam. Darah sudah 
terpercik ke mana-mana. Warna merahnya menodai 
jalanan berlumpur. Sebagian mengalir lambat dalam 
genangan air sisa hujan tadi malam di sisi jalan.

Sementara itu para panghuni pasar tak sanggup 
melihat kejadian ini lebih lama. Perbuatan Jiran 
memang lebih telengas daripada pembantaian yang 
pernah mereka lihat di mana pun. Beberapa wanita 
yang melihat bahkan menjerit sejadi-jadinya. Bahkan 
ada yang langsung tak sadarkan diri, menyaksikan 
kebiadaban ini. 
Tak lama, dari balik kerumunan, seseorang 
menyeruak. Langsung ditubruknya tubuh Walet yang 
mengenaskan. Lelaki kebodoh-bodohan itu adalah 
Sentana yang begitu akrab dengan Walet. 
"Walet! Walet!" seru Sentana, sesegukan. 
Sambil mendekap, Sentana menangis meraung-
raung seperti anak kecil kehilangan boneka 
kesayangan. 
"Ini salahku. Let. Kalau saja aku tak mem-
beritahukanmu tentang kedatangan lelaki iblis itu, 
tentu kau tak akan bernasib senaas ini," desah 
Sentana lirih di antara isak tangis. 
Sementara itu, Jiran berdiri sombong tak jauh dari 
tempat Sentana. Tangannya sibuk membersihkan 
parangnya yang bernoda darah. Sambil mem-
perdengarkan tawa puas tak henti-hentinya, seperti 
tingkahnya jika sedang menang judi. 
"Hua ha ha...! Dikira aku tidak memiliki persiapan 
jika harus menghadapinya lagi," kata Jiran lantang. 
Seakan-akan, dia memberi pemberitahuan pada 
setiap teIinga di pasar itu, bahwa dirinya tidak bisa 
dipermainkan lagi. 
Usai memasukkan senjata ke dalam sarungnya 
kembali, Jiran mengeluarkan sesuatu dari balik ikat 
pinguang lebarnya. 
"Kalian lihat ini!" seru Jiran pada seisi orang pasar, 
seraya mengangkat tinggi-tinggi sesuatu di tangan

kanannya. 
Seketika orang-orang yang berkerumun mengarah-
kan pandangannya pada tangan kanan Jiran. 
"Aku sudah mencari tahu tentang bocah itu 
seminggu belakangan ini. Setelah kutahu kalau dia 
memiliki kekuatan sihir, aku pun mencari dukun yang 
mampu mematahkan kekuatan gaibnya. Dan ini...." 
Jiran menggoyang-goyangkan bungkusan kecil dari 
kain hitam di tangannya. 
"Ini adalah pemberian dukun itu. Jimat hitam yang 
dapat melumpuhkan kekuatan bocah sialan ini. Ha ha 
ha...!" 
Tawa Jiran yang penuh kemenangan bergetar, 
menggema ke segala arah. 
"Jadi kalian sudah tak bisa berharap perlindungan 
dari bocah dungu ini lagi," sambung laki-laki 
bertampang seram itu seraya memasukkan jimat 
hitam tadi ke dalam bajunya. 
Setelah puas tertawa, Jiran melangkah pergi 
meninggalkan tempat itu diiringi seringai kepuasan 
Tinggal penghuni pasar dan Sentana yang terus 
menangisi kemalangan nasib Walet. 
***

DUA

Sementara Jiran telah menghilang di ujung jalan, 
Sentana masih terduduk di jalan becek. Tidak 
dipedulikan lagi pakaiannya yang dikotori lumpur. 
Kematian mengerikan yang menimpa Walet terus 
ditangisinya. Sedangkan, orang seisi pasar 
berkerumun di sekitarnya dengan wajah ngeri 
bercampur kasihan melihat nasib bocah malang itu. 
Sampai hujan rintik-rintik mulai turun, mereka 
tetap terpaku bisu di tempat masing-masing. Tak ada 
sepatah kata pun ingin dikeluarkan. Mereka 
bukannya tidak mau menghibur Sentana, karena 
begitu terguncang dengan pembantaian brutal di 
depan biji mata. Dan mereka hanya terdiam mem-
bisu. 
Tak ada seorang pun yang berani menjatuhkan 
pandangan pada jenazah Walet. Kengerian telah 
mendepak mata mereka ke tempat lain, meski masih 
terpaku di sana. 
Bagi orang-orang pasar, Walet memang teman 
kecil yang menyenangkan. Bocah itu tak hanya 
mampu menghibur hati, tapi juga selalu menolong 
siapa saja yang butuh uluran tangannya. Di antara 
mereka bahkan sudah menganggap adik atau anak 
sendiri. Pada saat Jiran mengamuk tadi inginnya 
mereka turun tangan. Tapi apa daya? Mereka 
memang tak memiliki daya dalam menghadapi lelaki 
kejam itu. 
Sekian lama mereka terdiam dalam siraman 
gerimis, bagai sekumpulan area. Sampai akhirnya....

"Yhiaaa! Walet brengsek! Anak sialan!" 
Seketika kerumunan orang pasar itu tersentak 
oleh teriakan Sentana. Dan mata mereka langsung 
terbelalak serentak mendengar umpatan Sentana 
yang terdengar ganjil di telinga! "Apa-apaan ini? Apa 
Sentana kemasukan setan?" tanya hati masing-
masing. Dan keheranan mereka terjawab seketika, 
saat tangan Sentana mengangkat tubuh kaku Walet 
yang kini telah berubah menjadi batang pohon 
pisang. Begitu juga kepala dan tangan bocah itu. 
Berbarengan, para penghuni pasar berseru 
gembira. Tak pernah terpikirkan kalau Walet masih 
mampu mempermainkan Jawara Desa Dukuh. 
Padahal, Jiran telah sesumbar kalau memiliki jimat 
hitam yang mampu mematahkan kekuatan si Bocah 
Ajaib itu. 
"Walet! Walet! Ke mana kau, Bocah Brengsek?!" 
seru Sentana seraya bangkit. 
Mata laki-laki itu yang masih tampak berair, kini 
berbinar-binar diliputi kegembiraan. 
"Walet! Sembunyi di mana kau?!" teriak Sentana. 
Sentana mencari-carinya Walet di antara 
kerumunan orang pasar. Tapi meski menyeruak ke 
sana kemari, bocah kecil itu tak juga ditemukan. 
*** 
Sementara itu jauh dari pasar, seorang anak 
tengah duduk santai di atas dahan pohon yang 
tumbuh di sisi jalan setapak. Dia tak lain Walet, bocah 
sakti yang baru saja mengecoh Jiran. Jemarinya terus 
memainkan seruling, seperti tak pernah terjadi apa-
apa sebelumnya. 
Sengaja Walet duduk di sana, karena ada

seseorang yang ditunggunya. Tentu saja orang yang 
dimaksud adalah Jiran. Walet amat tahu, lelaki itu 
akan melintasi jalan tempatnya menunggu. Jalan ini 
memang biasa dilewati, jika Jiran hendak pulang ke 
tempat tuan tanah Sumpena, majikannya. 
Tak lama Walet menunggu. Kini, Jiran tampak 
melintas tepat di bawah dahan tempat Walet duduk. 
Lelaki bertampang kasar itu melangkah tenang. 
Bibirnya memperdengarkan siulan berirama kacau, 
seakan prajurit menang perang. 
Dan ketika mendengar tiupan seruling dari atas 
pohon yang menurut cerita penduduk setempat amat 
angker, Jiran menghentikan langkah sekaligus 
siulannya. Desas-desus tentang dedemit yang ber-
sarang di pohon itu, berseliweran di benak Jiran. Dan 
seketika matanya melirik tegang ke kanan dan kiri. 
Sementara di atas dahan, Walet bisa menangkap 
garis ketakutan di wajah Jiran. Memang, biarpun 
sanggup berlaku bengis, Jiran amat percaya pada 
takhayul. Betapa takutnya dia, jika membayangkan 
bentuk genderuwo yang suka mengunyah jantung 
manusia. Dan Walet tahu akan ketakutan laki-laki itu. 
Maka, ada baiknya dimanfaatkannya kepercayaan 
Jiran pada takhayul. 
"Jiran...," desah Walet dengan suara dibuat-buat. 
Mendengar namanya disebut, Jiran makin tegang. 
Sebenarnya, laki-laki itu tak begitu merasa takut 
melewati tempat ini bila siang hari. Terangnya sinar 
matahari, membuatnya yakin kalau para dedemit 
tidak bakal gentayangan. Tapi kalau hari sudah 
termakan senja, apalagi ditambah mendung gelap di 
langit seperti itu? Jelas, jantungnya akan berdetak-
detak keras bagai tabuhan gendang. 
"Jiraaan...!"

Sekali lagi Walet memperdengarkan suara berat. 
Lebih keterlaluan lagi, suaranya sengaja dibuat 
bergetar, seperti rintihan dari alam kubur. 
Sedangkan lelaki bertampang kasar di bawahnya 
mulai blingsatan. Kepalanya menoleh takut-takut ke 
satu sudut paling gelap di dekat batang pohon 
sebesar kerbau itu. Napasnya pun mulai turun naik 
tak teratur. Kemudian menyusul keringat dingin 
membasahi keningnya. 
"Jiii... raaannnthhh...," goda Walet, kian dibuat 
seseram mungkin. 
Sekejap, Jiran menghentikan gerak tubuhnya. 
Dipasangnya telinga jelas-jelas, untuk menentukan 
asal suara mendirikan bulu roma yang tertangkap 
telinganya. Yakin suara itu dari atas pohon, kepalanya 
segera mendongak. 
Untunglah, lebatnya dedaunan pohon mampu 
melindungi Walet. Sehingga, mata Jiran tak sempat 
menangkap kehadirannya. Terlebih, hari sudah 
demikian sunyi. Sehingga membuat kepekatan me-
rayapi sekitarnya. 
"Jirrraaannnthhh, aku hauuusss. Aku ingin me-
minum darahhhmuuu, Jiran. Dan aku juga lapar. 
Jantungmu tentu amat lembut bila kukunyahhh...." 
Napas Jiran langsung terhenti. Begitu pula detak 
jantungnya. Rasanya, dia bisa mati berdiri tanpa 
darah di wajahnya. Wajahnya benar-benar menjadi 
pucat melebihi mayat. 
Saat berikutnya.... 
Srak! 
Walet tiba-tiba membuang tubuhnya ke bawah. 
Gesekan dengan dedaunan yang menimbulkan suara 
cukup keras, membuat Jiran tersentak bukan alang 
kepalang. Dan ketika matanya menangkap sesosok

tubuh melayang dari atas pohon, kontan saja kedua 
kakinya yang sudah sejak tadi bergetar hebat 
bergerak. Lelaki bengis berhati kodok itu kontan lari 
tunggang langgang. 
"Wuaaa, ampun Mbah! Jantungku jangan 
dimakaaan!" jerit laki-laki bertampang seram itu amat 
keras. 
Tanpa menoleh sedikit pun, Jiran terus lari sampai 
tubuhnya menghilang di ujung jalan setapak. 
Sepeninggaran Jiran, Walet kontan tertawa 
terbahak-bahak. Perutnya bahkan sampai terasa 
sakit, melihat kejadian lucu tadi. 
Plok! Plok! Plok! 
Tiba-tiba tawa bocah kecil itu terpenggal oleh 
tepukan seseorang. Masih dengan wajah merah 
menahan geli, Walet cepat menoleh. Dilihatnya 
seorang pemuda gagah dan tampan berdiri tak jauh 
dari tempatnya. Pemuda berpakaian hijau muda itu 
dipundaknya tersampir kain bercorak catur. 
Sementara, rambutnya yang panjang sebahu tak 
teratur, membuat penampilannya makin terlihat 
gagah. 
"Siapa Kakang ini?" sapa Walet sopan. 
"Aku Andika. Kau siapa?" sahut pemuda itu, tak 
kalah ramah. 
Siapa lagi pemuda ini kalau bukan Andika, yang 
kesohor dengan julukan Pendekar Slebor. 
Keduanya kemudian saling berjabatan tangan 
dengan hangat. Sesaat kemudian keduanya terlibat 
percakapan ringan sambil melangkah beriringan. 
***

Di sebuah pondok terbengkalai di pinggir desa 
tampak dua orang berbeda usia sedang bercakap-
cakap. Suara mereka lamat-lamat menembus 
curahan hujan gerimis di luar pondok. Dan mereka 
memang Walet dan Andika. 
Keduanya tampak akrab bertukar cerita setelah 
tadi berkenalan. Andika sudah memperhatikan 
seluruh sepak terjang Walet sejak di pasar. Pemuda 
itu terkesan melihat keberanian bocah kurus ini 
dalam membela orang lemah terhadap tangan kejam 
Jiran. Makanya, Pendekar Slebor tertarik untuk 
mengenal lebih jauh. Seperti juga Sentana, Andika 
pun merasa tidak ada salahnya bersahabat dengan 
seseorang yang usianya jauh lebih muda. Nilai 
sebuah persahabatan, toh tak bisa hanya dinilai 
dengan perbedaan usia. 
Secara jujur, Andika mengakui kalau 
ketertarikannya pada Walet, dikarenakan ada 
kesamaan sewaktu kecil dulu. Mereka sama-sama 
gelandangan, tak memiliki siapa-siapa. Dan mereka 
merasa senasib hingga persahabatan itu sudah 
seperti keluarga sendiri. Dan mereka pun sama-sama 
tak sudi melihat ketidakadilan, kesemena-menaan, 
dan kekejaman yang terjadi di depan mata. Bedanya, 
Andika kecil memilih jalan menjarahi pundi-pundi 
uang milik para penguasa lalim. Sedangkan Walet 
menentang orang-orang lalim dengan kekuatan 
batinnya. 
"Jadi, Kang Andika tak tertipu oleh kekuatan 
batinku?" tanya Walet seraya merapatkan kain 
pusaka pinjaman Andika ke tubuhnya. 
Andika mengangguk. 
"Aku juga tidak mengerti, kenapa orang lain tertipu 
sedang aku tidak," jawab Andika.

"Mmm, mungkin karena Kakang memiliki hati 
bersih," duga Walet. 
"0, ya?" 
"Bersihnya hati Kakang Andika, karena berpegang 
teguh pada kebenaran sebagai amanat Tuhan. 
Keimanan pada Tuhan, tidak membuat orang mudah 
terpengaruh sesuatu...," tutur Walet. 
Mendengar ucapan bijaksana bocah kecil di 
depannya, Andika tertawa renyah. Dikucek-kuceknya 
rambut Walet seperti sikap seorang kakak pada 
adiknya. Andika tidak bermaksud meledek Walet. Dia 
tertawa, karena merasa tak percaya kalau ucapan 
penuh makna tadi terlontar dari bibir seorang anak 
sebelas tahun. 
"Kau anak yang hebat. Let!" puji Andika tulus. 
"Ah, masa? Setiap orang bisa berkata seperti itu, 
Kang. Asal dia bisa memperhatikan hidup yang 
dijalaninya," sergah Walet, menghindari pujian 
Andika. 
Lama keduanya berbincang simpang siur, berbagai 
kisah duka atau suka. Namun.... 
"Tunggu, Let...," tukas Andika tiba-tiba. 
Mata pemuda itu menyipit dan terarah ke tempat 
yang cukup gelap di depannya. Seolah dia hendak 
menembus rintik-rintik gerimis di luar. 
"Ada apa, Kang?" tanya Walet heran. 
"Aku melihat seorang berdiri di sana tadi. Kau 
tunggu saja di sini. Aku ingin menyelidikinya," ujar 
Andika seraya beranjak dari pondok tua ini. 
Tanpa mempedulikan kepungan hujan, Andika 
berlari menuju tempat seseorang yang dilihatnya tadi. 
Wajar saja jika kecurigaannya timbul, karena tidak 
biasanya seseorang berdiri di bawah curahan gerimis 
dan kungkungan udara dingin.

Begitu cepat Andika berkelebat, sehingga sebentar 
saja tubuhnya tiba di tempat tujuan. Namun ternyata 
di situ Andika tidak melihat orang tadi. Bagi pemuda 
itu, hal ini tergolong aneh. Bagaimana tidak? Tempat 
itu berupa padang rumput luas, yang tidak 
memungkinkan seserang bersembunyi. Satu-satunya 
tempat bersembunyi, hanya pohon besar di dekatnya. 
Tapi ketika seluruh penjuru pohon diawasi, tidak juga 
diketemukan orang yang dicari. 
"Apa mungkin dia melarikan diri?" tanya hati 
Andika. "Ah! Sepertinya tidak mungkin!" 
Sewaktu mendekati tempat itu, Andika telah 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Di dunia 
persilatan, kecepatan gerak warisan dari buyutnya 
yang berjuluk Pendekar Lembah Kutukan, memang 
sulit dicari tandingan. Bila orang itu melarikan diri, 
tentu masih sempat terlihat. Lalu kenapa tiba-tiba 
orang itu menghilang bagai menyatu dengan desir 
angin malam? 
"Aneh...," bisik Andika, tidak mengerti. 
Belum lagi keheranannya terjawab, mendadak saja 
ada teguran lembut di belakang Andika. 
"Tuan...." 
Meski sapaan itu tak terdengar keras, Andika tetap 
tersentak. Lagi-lagi benaknya digerayangi keheranan. 
Kenapa tiba-tiba pula orang itu muncul lagr? Tak ada 
suara sekecil apa pun yang tertangkap telinga Andika. 
Bahkan desah napasnya sekalipun. 
Dengan gumpalan keheranan dalam benaknya, 
Andika menoleh ke belakang. Tampak seorang wanita 
cantik nan anggun berdiri tepat dua tombak di 
dekatnya. Saat mata Andika bertumbukan dengan 
wajahnya, pendekar muda itu menjadi terpukau. Tak 
pernah dalam hidupnya wajah secantik itu dilihatnya.


Kulitnya putih agak berpendar terang, meski suasana 
saat ini dirundung gelap. Matanya berhias bulu-bulu 
lentik, seolah menggapai langsung ke hati Andika. 
Hidungnya bangir dan bibirnya merekah merah 
delima. Rambutnya yang hitam legam sebatas 
pinggang, terurai bak hamparan permadani surga. 
Tubuhnya yang tinggi sintal diselimuti gaun kuning 
rembulan. 
Andika menarik napas dalam-dalam, mencoba 
menguasai getaran asing yang mendadak menyeruak 
dalam relung batinnya. 
"Dia benar-benar sempurna...," desah Andika tak 
sabar. 
"Tuan...," sapa wanita itu sekali lagi. 
Andika terkesiap dari keterpesonaannya. Sambil 
mengutuki dirinya yang bersikap seperti orang bodoh, 
bergegas dilontarkannya senyum ramah. Namun yang 
terlihat di bibirnya ternyata lebih mirip ringisan seekor 
kuda pikun. Maklum saja, dia begitu kikuk. 
"Kau..., kau ini siapa?" tanya Andika, agak 
tergagap. 
Tak, terdengar jawaban dari bibir wanita cantik itu, 
kecuali membalas senyum Andika dengan keranuman 
bibirnya. Sehingga, memaksa jantung Andika kian 
berdetak tak karuan. 
"Ng..., anu kau. Kau belum menjawab 
pertanyaanku tadi, kan?" kata Andika. 
"Tolong aku, Tuan Pendekar," pinta wanita itu, tak 
sedikit pun menjawab pertanyaan Andika sebelum-
nya. 
Sepasang alis sayap elang pemuda gagah itu 
bertaut. 
"Tolong? Tolong bagaimana?" bisik batin Andika 
lagi.

"Bencana itu..., bencana itu. Aku terpaksa me-
lakukannya. Tolong aku, Tuan Pendekar," lanjut 
wanita cantik itu, makin membingungkan Andika. 
"Tunggu dulu, Dik. Bisakah kau jelaskan padaku 
satu persatu?" tanggap Andika sambil menggaruk-
garuk kepala. Matanya kali ini menangkap bias 
kemurungan di wajah wanita itu. 
Cukup lama Andika menunggu jawaban, tapi 
wanita di hadapannya tetap tertunduk dalam-dalam. 
Andika menggeleng-geleng kepala. Dan saat meng-
geleng, matanya terlempar ke arah lain. 
"Bagaimana aku bi...." 
Andika tak melanjutkan ucapannya, karena begitu 
matanya kembali pada wanita itu, dia tak me-
nemukan siapa-siapa lagi. 
"Hei.... Ke mana kau?!" panggil Andika. 
Seketika Andika menyadari sesuatu yang ganjil. 
Ternyata wanita itu menghilang begitu saja dalam 
waktu demikian singkat! Padahal, Andika hanya 
sempat mengalihkan pandangan saat menggeleng. 
Maka saat berikutnya bulu roma Andika meremang. 
"Siapa wanita itu?" bisik pemuda itu amat samar. 
***
TIGA

Wilayah Kadipaten Karangwaja yang luas, terbentang 
dari kaki Gunung Srandil di sebelah timur hingga 
Pesisir Pantai Laut Selatan. Di kadipaten itu berdiri 
empat perguruan besar. Masing-masing Perguruan 
Elang Hitam di wilayah timur, Perguruan Tangan Wesi 
di sebelah barat, Perguruan Naga Langit di wilayah 
selatan, dan Perguruan Ular Iblis di wilayah utara. Dari 
keempat perguruan ini, hanya Perguruan Ular Iblis 
yang kerap kali menimbulkan masalah di kadipaten 
itu. 
Kadipaten yang yang dipimpin Adipati Tunggul 
Manik ini sering dibuat susah oleh para murid 
Perguruan Ular Iblis yang melanggar hukum. 
Kerusuhan sering diciptakan di beberapa kampung. 
Tabiat ugal-ugalan dan semena-mena adalah hal 
biasa bagi murid perguruan itu. Untuk melakukan 
penangkapan, para prajurit kadipaten malah dibuat 
kewalahan. Karena, murid-murid perguruan itu rata-
rata memiliki ilmu kesaktian tinggi 
Dengan alasan inilah, Adipati Tunggul Manik 
berulang kali mengirim utusan ke tiga perguruan lain, 
untuk memohon bantuan mengatasi sepak terjang 
Perguruan Ular Iblis. Meski begitu, persoalan demi 
persoalan yang ditimbulkan para murid Perguruan 
Ular Iblis tak kunjung selesai. 
Seperti halnya hari ini, dua lelaki dari Perguruan 
Ular Iblis terlihat memasuki gerbang desa. Keduanya 
berpakaian serupa. Rompi merah tua dengan rajutan 
ular bertaring besar di bagian belakangnya. Pakaian

itu masih dipadu dengan celana panjang warna 
kelabu. Kepala mereka diikat kain merah bergambar 
lambang perguruan, seperti di baju bagian belakang 
yang dikenakannya. Kegagahan tampak pada kedua 
lelaki muda berwajah tampan itu. Sayang, sinar mata 
mereka berbinar culas. 
Mereka terus melangkah angkuh, memasuki jalan 
desa yang lengang siang ini. Tak heran, karena para 
penduduk yang terutama laki-laki sedang pergi ke 
sawah. Sedangkan para wanitanya sedang memper-
siapkan makan siang untuk dibawa ke sawah nanti. 
Ketika kedua lelaki itu melewati jembatan bambu 
yang membelah anak Sungai Lanang, seorang gadis 
desa berwajah cantik dan bertubuh molek kebetulan 
melintasi jembatan pula. Maka ketiganya berpapasan 
di tengah jembatan bambu. 
"Ada anak kelinci, Kang Wisesa," seloroh lelaki 
yang berwajah lebih muda. 
"Anak kelinci yang montok dan manis, Karta," 
timpal laki-laki yang dipanggil Wisesa seraya ter-
bahak-bahak keras. 
Sedangkan gadis desa yang digoda menjadi 
tersurut ketakutan ke sisi jembatan. Matanya mem-
beliak ngeri, mendapati seringai nakal Karta dan 
Wisesa. Dia berniat lari menerobos sisi kiri jembatan, 
tapi Wisesa dengan sigap menghalang-halanginya. 
"Kenapa terburu-buru, Nyai?" tanya Wisesa. "Apa 
tidak sebaiknya kita berkenalan dulu? Siapa 
namamu? 
"Marni," sahut gadis itu, cepat. 
"Marilah, kita ngobrol-ngobrol dulu," ajak Karta. 
Marni menggelengkan kepala. Rambutnya yang 
panjang tergerai bergoyang-goyang mengikuti irama 
gelengan kepalanya.

"Maaf, aku terburu-buru, Kang. Mau ngantar 
makanan buat Ayah di sawah," tukas Marni, berusaha 
menolak ajakan Wisesa. 
"Aaah! Hanya ngobrol saja kan tidak lama," selak 
Karta sambil menjulurkan tangan untuk menjamah 
pangkal lengan Marni. 
"Tapi, Emak sudah menunggu di rumah. Masakan 
buat Ayah pasti sudah matang," tolak Marni lagi 
seraya berusaha mundur, menghindari tangan liar 
Karta dengan wajah mulai memucat. 
Merasa usahanya untuk melintasi jembatan sia-
sia, Marni perlahan-lahan melangkah mundur. 
Pikirnya, lebih baik kembali ketimbang harus ber-
urusan dengan dua lelaki hidung belang ini. Terlebih, 
dia tahu kalau mereka adalah anggota Perguruan Ular 
Iblis, biang kekacauan di Kadipaten Karangwaja. 
Melihat Marni siap-siap melarikan diri, Karta 
mendekatkan wajahnya pada telinga Wisesa. 
"Kang, mumpung tidak ada orang. Bagaimana 
kalau kita bawa lari perempuan ini?" bisik Karta, 
memberi usulan. 
Wisesa melirik kawannya sesaat. Entah apa yang 
dipikirkannya saat itu. Yang pasti, bibirnya 
menyeringai jalang. Setelah itu, kepalanya meng-
angguk, memberi persetujuan atas usul Karta tadi. 
Marni tahu, gelagat itu tidak baik. Ia memang 
sering bertemu orang-orang seperti Karta dan Wisesa 
yang selalu memperlihatkan tingkah mencurigakan 
jika menyimpan niat busuk pada dirinya yang menjadi 
kembang desa. 
Menyadari hal ini, Marni segera berbalik, dan lari 
sekuat tenaga di atas jembatan bambu. Sehingga, 
membuat jembatan itu bergoyang-goyang bersama 
suara berderit.


"Mang, kejar!" seru Karta setengah berteriak, dan 
langsung mengejar Marni. 
Saat berikutnya, Wisesa pun mengejar gadis itu. 
Tiga orang berlari di atas jembatan, mengakibatkan 
kerangka bambu itu nyaris roboh. Deritnya riuh, 
seperti oleng ke kiri dan kanan, sehingga Marni 
terhuyung-huyung. 
Sementara di bawah sana, anak sungai berbatu 
sebesar kerbau siap menanti. Bagi Karta maupun 
Wisesa, jarak setinggi tujuh tombak dari jembatan ke 
permukaan sungai bukan masalah. Dengan tingkat 
meringankan tubuh yang mereka miliki, ketinggian 
yang lebih dari itu pun sanggup ditaklukkan. 
Tapi buat Marni, yang tak memiliki ilmu bela diri 
sekalipun? Ancaman terenggut maut di atas batu 
besar bisa saja menimpa dirinya. 
Rasa bingung Marni membuat keseimbangan 
tubuhnya tidak bisa terkuasai lagi. Tubuhnya oleng ke 
kiri, langsung melanggar sisi jembatan dari bilah 
bambu memanjang. Dorongan tubuhnya yang begitu 
keras, menyebabkan bambu di sisi jembatan tak 
kuasa menahannya. 
Krak! 
Bambu sisi jembatan itu patah, dan.... 
"Aaa...!"' 
Tak ayal lagi, Marni terlempar ke bawah. Jeritan 
melengking yang terdengar menyayat keluar dari 
tenggorokannya, sehingga tercipta gema ke setiap 
penjuru, seperti panggilan maut. 
"Bodoh! Kenapa tidak menggunakan ilmu 
meringankan tubuh untuk menangkapnya?!" bentak 
Wisesa menyesali keterlambatan Karta mengejar 
gadis desa itu. 
"Mak..., maksudku tadi hanya ingin mempermain

kan dia, Kang," jawab Karta tergagap. 
"Tapi akibatnya dia jatuh ke sana!" hardik Wisesa 
kembali seraya menunjuk ke anak sungai. Di sana, 
tubuh Marni tergolek tanpa bergerak sedikitpun 
setelah menghantam permukaan sebongkah batu 
besar. 
"Jadi apa harus diperbuat, Kang? Apa penduduk 
kampung bakal tahu?" tanya Karta, tertunduk-tunduk. 
"Goblok! Aku memarahimu bukan karena takut 
pada penduduk kampung!" 
"Jadi apa, Kang?" 
"Karena kita tak jadi menikmati tubuh gadis cantik 
itu!" 
"Ooo, aku kira apa. Kalau itu sih, aku juga 
menyesal, Kang," tukas Karta seraya meringis-ringis 
takut. 
"Ayo kita pergi! Aku tak ingin buang-buang tenaga 
jika penduduk desa tahu kejadian ini...," ajak Wisesa 
pada Karta. 
Keduanya baru hendak melangkah tapi segera 
diurungkan. Karena, mata mereka menemukan 
seseorang berdiri di ujung jembatan. Tangannya 
terlipat di depan dada, seperti menantang Karta dan 
Wisesa. 
"Siapa kau?!" bentak Wisesa kasar. Sikap orang itu 
membuat dirinya merasa ditantang secara tak 
langsung. 
Bentakan itu sama sekali tidak digubris lelaki yang 
baru datang. Malah matanya menatap terus kedua 
orang murid Perguruan Ular Iblis itu tajam-tajam. 
Jemari tangan kanannya terlihat menepuk-nepuk 
lengan yang lain. 
"Hey, aku bicara padamu!" bentak Wisesa sekali 
lagi. Suaranya terdengar makin meninggi.

Bukannya menyahut, pemuda berpakaian hijau 
dan tersampir kain bercorak catur pada pundaknya 
itu malah menoleh ke belakang. Seolah seruan itu 
ditujukan pada orang di belakangnya. Tentu saja 
perbuatan ini kian membuat Wisesa dongkol. 
"Aku bicara padamu, Goblok!" maki Wisesa dengan 
wajah matang. 
Sekali lagi si Pemuda menoleh ke belakang. Lebih 
menjengkelkan lagi, badannya dibalikkan pula. 
Dengan membelakangi Karta dan Wisesa, bahunya 
diangkat. 
"Apa orang itu sudah sinting? Tidak ada siapa-
siapa di belakangmu, kok teriak-teriak seperti itu...?" 
Meski tidak terlalu keras, ucapannya tetap dapat 
ditangkap telinga Wisesa. Kontan saja wajah lelaki itu 
menjadi tertekuk beringas. Pangkal hidungnya ter-
lipat. Sedang bibir atasnya terangkat, seperti mulut 
kera sedang marah. 
Saat itulah pemuda tadi berbalik menghadap 
mereka. Wajahnya terperangah, melihat mimik muka 
Wisesa. Sepasang alisnya terangkat, seperti orang 
ketakutan. 
"Astaga, jadi orang itu benar-benar sinting...," ujar 
pemuda itu agak keras. 
"Bangsaaat!" maki Wisesa tak alang kepalang 
murka. 
Siapa yang sudi disebut orang sinting? Begitu 
marahnya Wisesa, sampai-sampai seluruh urat 
lehernya tersembul ketika memaki. 
Sementara Karta di belakangnya malah tertawa 
terpingkal-pingkal menyaksikan kejengkelan kawan-
nya. Apalagi jika teringat ucapan si Pemuda yang 
menganggap Wisesa orang gila. 
"Tolong! Tolooong, ada dua orang sinting di

jembatan!" teriak pemuda berpakaian hijau itu 
selanjutnya. 
Tawa meriah Karta terputus seketika mendengar 
teriakan tadi. Jelas, perasaannya ikut tersinggung. Itu 
artinya dia juga dianggap sinting! Dan wajahnya pun 
tertular wajah jelek Wisesa.... 
"Kita hajar saja dia, Kang," usul Karta pada 
Wisesa. 
"Diam kau!" bentak Wisesa, kesal ditertawai Karta. 
Dihampirinya pemuda yang tampak berpura-pura 
ketakutan. Langkahnya terbanting-banting di 
jembatan bambu, membuat getaran bagai ada 
gempa. 
"Hei..., hei, hati-hati! Bambu-bambu itu sudah 
keropos!" teriak pemuda gondrong yang ternyata 
Andika, alias Pendekar Slebor seraya menjentik kulit 
bambu yang dikeratnya dari sisi jembatan. 
Keratan kulit bambu itu kontan meluncur deras 
tanpa tertangkap mata Wisesa. Dan tiba-tiba saja 
menghantam bagian jembatan yang hendak diinjak 
Wisesa. 
Krak! 
Sebelah kaki Wisesa kontan terperosok, begitu 
jentikan kecil Andika tadi disertai tenaga dalam 
tingkat tinggi. Memang, bambu yang terkena kontan 
remuk. Sehingga, tak kuat menahan bobot Wisesa. 
"Kunyuk! Kunyuk!" umpat Wisesa seraya bangkit 
terseok. 
Wisesa memegangi selangkangan yang terantuk 
potongan bambu. Sambil meringis menahan nyeri 
yang merasuk hingga ke ulu hati, tangannya 
menunjuk ke arah Karta. 
"Karta! Tunggu apa lagi. Goblok?! Ayo singkirkan 
manusia pembawa sial itu!" teriak Wisesa.

Mendapat teriakan Wisesa, Karta tersentak. Masih 
setengah terkejut, dia berlari menuju Andika. 
"Manusia siaaal...!" teriak Karta seraya 
mengayunkan tinju ke wajah Andika. 
Di lain pihak, Pendekar Slebor malah asyik 
senyum-senyum saja menantikan serangan. Padahal, 
Karta mengirim pukulan beserta pengerahan tenaga 
dalam. Maka ketika tinju Karta hampir mendarat di 
wajah, Andika segera menggenjot tubuh dengan 
pengerahan seluruh kemampuan meringankan tubuh-
nya. Wesss! 
Tubuh Pendekar Slebor tiba-tiba seperti meng-
hilang dari pandangan Karta. Alhasil, pukulannya pun 
melayang tanpa kendali. Tubuh lelaki gagah namun 
agak bodoh itu meluruk deras, kemudian terjerembab 
di ujung jembatan. Lalu dengan segera Karta bangkit 
dengan mata membesar sejadi-jadinya. 
"Kang! Cepat lari, Kang! Orang tadi barangkali 
prajurit Nyi Roro Kidul!" jerit Karta pada Wisesa yang 
menyaksikan juga peristiwa tadi. 
Tak ada dua helaan napas, keduanya sudah kocar-
kacir kelimpungan. Sebentar saja, mereka sudah 
cukup jauh meninggalkan jembatan bambu ini. 
Menyusul menghilangnya dua lelaki tadi, Andika 
muncul kembali. 
"Walet! Ayo kita teruskan perjalanan!" seru 
Pendekar Slebor ke arah sebatang pohon besar. 
Dari balik pohon besar itu, keluar Walet bersama 
Marni. Ya! Marni memang tidak mati. Tubuhnya yang 
tergolek di atas bongkahan batu sebenarnya, hanya 
batang kayu kering. Sudah pasti itu hasil kerja Walet. 
Memang, semula Pendekar Slebor dan Walet 
hendak berkunjung ke beberapa desa untuk 
menemui sesepuhnya. Ini karena Andika hendak

menanyakan tentang bencana yang terjadi seperti 
disebutkan wanita aneh yang ditemuinya beberapa 
malam lalu. Secara kebetulan, mereka melintasi 
daerah itu dan menyaksikan Marni sedang dipermain-
kan dua lelaki tadi. 
***
EMPAT

Setelah Andika mengalami kejadian aneh beberapa 
hari lalu, kepalanya tak habis-habisan berpikir 
tentang wanita cantik yang ditemuinya di bawah 
sebatang pohon besar. Siapa dia? Bagaimana dia 
bisa tiba-tiba hadir, lalu tiba-tiba pula menghilang? 
Apa maksudnya meminta tolong? Lalu, bencana 
macam apa yang dimaksudnya? Seruntun pertanyaan 
itu terus bergaung di benak Andika. 
Di mulut sebuah jendela kamar, Andika terpekur. 
Dicobanya memahami seluruh ucapan wanita itu. 
Lama dia begitu, namun tak secercah jawaban pun 
yang didapat. 
Setelah menolong Marni siang tadi, Andika dan 
Walet mengantarnya pulang dan sampai di rumah. 
Mereka berdua ditawari bermalam oleh Nyi Saodah, 
ibunya Marni. Semula, Andika menolak karena masih 
punya urusan. Terutama hendak mencari tahu makna 
pesan wanita cantik aneh itu kepada beberapa 
sesepuh desa berbeda. Namun ketika hujan begitu 
saja mengguyur bumi, mau tak mau diterimanya juga 
tawaran Nyi Saodah. 
Mereka diperlakukan seperti tamu kehormatan 
oleh keluarga Marni. Bukan karena telah berjasa 
menyelamatkan Marni dari cengkeraman dua lelaki 
bejat siang tadi, tapi semata-mata karena nilai-nilai 
tata krama dalam keluarga itu sendiri. Kendati 
demikian, kedua orangtua Marni amat berterima 
kasih anaknya telah diselamatkan. 
Andika dan Walet mendapat kamar istirahat di

rumah yang lumayan besar itu. Sejak lepas senja tadi, 
Walet sudah tertidur pulas di balai dalam kamar. 
Tampaknya, bocah itu terlalu lelah setelah seharian 
berjalan bersama Andika. 
Kini keadaan sepi. Suara hujan di luar, menembus 
dinding bilik kamar. Sementara, angin basah singgah 
melalui jendela tempat Andika merenung. 
Sampai saat itu, hujan tidak juga mau berhenti. 
Dan ini agaknya membuat Andika kesal karena 
urusannya jadi mandek. Namun biar bagaimanapun, 
dia harus menerima perlakuan alam yang seperti ini. 
Lagi pula, siapa yang bisa menolak kehendak Tuhan 
untuk menurunkan hujan? 
Lamat-lamat Andika bisa menikmati suasana 
seperti ini. Sampai tiba-tiba berkelebat bayangan 
seseorang di balik dinding bilik. Dari bentuk tubuhnya, 
diyakini kalau bayangan itu tubuh seseorang wanita. 
"Marni.... Kaukah itu?" sapa Andika, menduga-
duga. Tidak ada jawaban. Sementara, desah hujan di 
luar masih terus terdengar. 
"Marni...," ulang Andika. Dugaannya, barangkali 
suaranya terlalu lemah untuk menembus hujan, 
sehingga Marni tidak mendengar. 
Tapi, tak juga ada sahutan. 
Andika mulai curiga. Dipasangnya pendengaran 
tajam-tajam, mencoba menangkap gerakan terkecil 
yang mencurigakan. Tapi, justru matanya kembali 
menangkap kelebatan seseorang. Anehnya, telinga-
nya tidak menangkap suara sedikit pun! 
Entah kenapa, kuduk Andika meremang hebat. 
Padahal, dia belum menduga yang bukan-bukan. 
"Apa-apaan ini?" desis Pendekar Slebor amat 
samar. 
Andika jadi teringat wanita cantik yang ditemuinya

beberapa hari lalu. Saat itu, kuduknya pun 
meremang. Dan kini, napas Andika seperti hendak 
terhenti karena tegang. Saat berikutnya.... 
Brak! 
Dinding bilik di depan Andika jebol seketika, 
menciptakan suara keras mengalahkan keramaian 
hujan. Dan tiba-tiba, seorang berambut panjang 
menerobos masuk. Dari arah terjangannya, Andika 
tahu kalau orang itu hendak menyerang Walet. 
Dengan sigap Andika menghentakkan kakinya. 
Tubuhnya cepat meluruk deras ke arah orang yang 
baru masuk. Tak ada tindakan lain yang ingin 
dilakukannya saat itu, kecuali menahan si penyerang 
agar tidak mendekati Walet. 
Mendapati seseorang berusaha menghalangi, 
sosok berpakaian merah-merah itu menghentikan 
gerakannya. 
Sementara Walet yang mendengar keributan, 
seketika terbangun. Matanya mengerjap-ngerjap 
pedih, karena terbangun tiba-tiba. 
"Ada apa, Kang Andika?" tanya Walet setengah 
berseru. 
Andika tak menyahut, apalagi menoleh. Karena 
pada saat bersamaan, sosok yang baru datang itu 
menuding ke arahnya. 
"Minggir kau! Jangan campuri urusanku!" bentak 
sosok berpakaian serba merah itu. 
"Kalau kau berurusan dengan kawan kecilku ini, itu 
berarti berurusan langsung denganku," sanggah 
Andika, menanggapi bentakan orang yang ternyata 
bukan wanita. 
Sosok itu ternyata lelaki berusia lima puluh 
tahunan. Rambutnya yang panjang dipenuhi uban. 
Wajahnya amat menakutkan dengan bekas luka

sayatan pedang yang memanjang dari kening hingga 
ke pipi. Sebelah matanya terlihat sudah tidak utuh 
lagi karena sayatan itu. Meski rambutnya panjang, 
bagian depan kepalanya tak berambut. Sehingga 
keningnya tampak menjadi lebih lebar. Dengan kumis 
lebat menutupi bibir, lelaki itu makin terlihat sangar. 
"Kau akan menyesal jika mencampuri urusanku, 
Anak Muda," ancam orang itu dingin. 
Andika tersenyum sinis, di bawah terpaan sinar 
lampu minyak dalam kamar. 
"Keliru! Justru kau yang akan menyesal telah 
berurusan denganku," tangkis Andika tenang. 
"Bagaimana, ya? Karena siang tadi, aku baru saja 
mendapat sebutan baru dari dua orang laki-laki. 
Manusia pembawa sial. Kau mau ikut sial seperti dua 
lelaki itu?" 
"Kau terlalu memaksa, Kisanak. Hiaaah!" 
Tak banyak berbasa-basi lagi, lelaki itu melancar-
kan serangan ganas ke mata Andika. Jari telunjuk dan 
jari tengah tangan kanannya mengejang, seakan 
ditarik rentangan kawat baja di dalamnya. 
Wut! 
Untuk mengukur tingkat kekuatan tenaga dalam 
lawannya, sengaja Andika memapak totokan itu 
dengan telapak tangan kanannya. 
Dab! 
Kini Andika tahu, lawannya memiliki ilmu kesaktian 
yang tergolong tinggi. Itu bisa dirasakan dari getaran 
hebat yang mengalir di sekujur persendian tangan 
kanannya. Menyadari lawan tidak bisa dibuat main-
main, Pendekar Slebor lantas mengirim serangan 
balasan. 
Jurus awal 'Memapak Petir Membabi Buta' 
dikerahkan untuk menyerang tinju geledek tingkat

lima milik laki-laki itu. Sasarannya adalah tulang iga. 
Wesss! 
Pukulan sepasang tangan yang bergerak dari dua 
arah berbeda, menimbulkan deru angin keras. Ini 
sebagai bukti kalau kecepatan dan penyaluran 
tenaga Andika dikerahkan tak tanggung-tanggung. 
"Hih!" 
Laki-laki berpakaian serba merah itu menaikkan 
kaki kanannya dalam bentuk melipat ke atas. Dan 
begitu pukulan itu dekat, kaki kanan yang terlipat 
sudah melepaskan tendangan ke perut, dengan 
badan condong ke samping. Dengan demikian selain 
bisa menghindari pukulan Andika, orang itu mampu 
melepaskan serangan balasan. Dan itu memang 
sebuah gerak kembangan dari jurus 'Sapuan Ekor 
Ular'. 
Andika cepat menarik tubuh ke belakang, lalu 
secepatnya berputar. Berbareng dengan itu, kakinya 
membuat gerakan menyapu untuk menjatuhkan 
lawan dengan mendepak kakinya yang masih 
menjejak. 
Wres! 
Namun gerakan laki-laki itu tak kalah cepat dalam 
memindahkan jejakan kakinya, setelah melompat 
terlebih dahulu untuk menghindari sapuan Andika. 
Sementara keduanya bertukar jurus, Walet malah 
berteriak-teriak menyemangati Andika. 
"Terus, Kang! Hajar jidatnya yang lebar itu! Yak, 
yak! Jitak saja!" teriak Walet seraya meninju-ninju. 
Matanya yang semula kuyu karena kantuk, kini 
terbuka lebar-lebar dan berbinar penuh semangat. 
Tiga puluh jurus berlalu begitu cepat. Pertarungan 
antara Pendekar Slebor melawan laki-laki berpakaian 
serba merah itu belum menghasilkan apa-apa bagi

satu sama lain. Dugaan Andika sebelumnya memang 
tidak meleset. Lawan memang memiliki kedigdayaan 
yang cukup tangguh. 
"Hiyaaah!" 
Jep! 
Biarpun hingga saat ini belum tahu alasan pasti, 
mengapa lelaki berwajah sangar itu hendak menye-
rang Walet, namun Andika bersungguh-sungguh 
untuk menjatuhkan lawannya. Dalam pertarungan 
seperti ini hanya ada dua pilihan, membunuh atau 
dibunuh. Meski selaku ksatria sejati Pendekar Slebor 
lebih suka tidak ada yang menjadi korban. 
Sesekali terbetik dugaan dalam benak Andika 
bahwa lawannya mungkin mengalami kesalah-
pahaman. Namun serangan-serangan mematikan 
yang dihadapi tidak memberi kesempatan untuk 
mempertimbangkan dugaan itu. Mau tak mau, 
Pendekar Slebor melayani setiap gempuran yang 
datang. 
Memasuki jurus ketiga puluh empat, kecepatan 
gerak Pendekar Slebor meningkat pesat. Bukan 
hanya itu, jurus yang dimainkannya pun terlihat tak 
beraturan lagi. Dengan begitu, bukan berarti lelaki 
berpakaian serba merah itu mendapat kesempatan 
untuk berada di atas angin. Gerakan menggila 
pendekar muda berjuluk Pendekar Slebor justru 
seperti menutup seluruh ruang geraknya. 
"Gila! Jurus apa ini!" maki lelaki itu, antara 
kekaguman dan kegusaran. 
Jep! Wess, wesss, jeb, jeb, jeb! 
Keterperanjatan lawan dimanfaatkan Andika untuk 
melepaskan totokan beruntun ke leher, dada, ulu 
hati, dan pinggang. 
Melihat hal ini, lelaki berpakaian serba merah itu


kian terperangah. Wajah buruknya menegang 
demikian rupa. Lalu sekejap berikutnya, berganti 
ringisan menahan sakit luar biasa pada bahunya. 
Des! 
"Akh!" 
Tanpa disangka-sangka, rupanya Pendekar Slebor 
menyelipkan satu bacokan lengan di antara pukulan 
berantainya. 
Bersama erangan tertahan, tubuh lelaki setengah 
baya itu terlempar ke belakang, langsung meng-
hantam dinding bilik. Kemudian, dia jatuh berguling di 
tanah tergenang air. Hujan langsung menyerbunya, 
membuat seluruh badan lelaki itu basah kuyup. 
Sebelum benar-benar berhenti berguling, orang itu 
menghentakkan kakinya ke udara, sehingga bisa 
berdiri kembali. Sambil mendekap bahu kanan, dia 
langsung melarikan diri begitu cepat laksana 
kelelawar malam. Sementara Andika hanya berdiri 
saja memperhatikan kepergian orang itu. 
"Kenapa tak dikejar, Kang?" Walet, tak puas 
menyaksikan Andika membiarkan lawan melarikan 
diri. "Itu orang dari Perguruan Ular Iblis. Orang 
brengsek yang tak pantas diberi ampun!" 
"Tak perlu," sergah Andika. "Yang perlu sekarang 
ini, adalah penjelasanmu. Kenapa orang itu hendak 
menyerangmu?" 
"Mana aku tahu," sahut Walet, seraya mengangkat 
bahunya. 
"Jangan bohong. Buktinya kau tahu kalau dia dari 
Perguruan Ular Iblis. Pasti kau punya masalah dengan 
mereka, kan?" desak Andika., 
"Sumpah modar bohongan! Aku tidak punya 
masalah apa-apa dengan mereka, Kang. Kalau aku 
tahu bahwa dia dari perguruan itu, karena sempat

melihat lambang perguruan di punggung bajunya," 
sangkal Walet. 
Andika menyerah. Bisa saja anak ini tidak 
berbohong. 
"Ada apa, Nak Andika?!" tanya Nyi Saodah yang 
tiba-tiba menguak pintu kamar. 
"Tidak ada apa-apa, kok Nyi. Hanya ada tikus tadi," 
sahut Walet cepat. 
Nyi Saodah melongo. Tikus sebesar apa yang bisa 
menjebol dinding bilik rumahnya? 
*** 
Satu teka-teki belum terjawab, telah datang lagi 
teka-teki lain. Andika jadi pusing memikirkannya. Di 
lain sisi, dia yakin adanya satu hubungan antara 
peristiwa wanita cantik yang ditemaninya, dengan 
tokoh sakti dari Perguruan Ular Iblis semalam. Namun 
demikian jawabannya masih buntu. 
Untuk menghubungkan seluruh mata rantai 
peristiwa semua itu, Andika memang harus menye-
lidiki satu persatu. Mula-mula hal ihwal mengenai 
Perguruan Ular Iblis secara lengkap harus diketahui-
nya. Termasuk, kepentingannya terhadap diri Walet. 
Selanjutnya dia akan mencari tahu tentang bencana 
seperti disebutkan wanita cantik yang ditemuinya 
beberapa hari lalu. Dan yang terakhir, akan diselidiki-
nya siapa wanita cantik terselubung teka-teki itu 
sebenarnya. 
"Benar-benar rumit...," keluh Andika bersama satu 
helaan napas panjang. 
"Kopinya, Kang Andika...." 
Andika tersadar dari kecamuk pikirannya. 
Didapatinya Marni telah berdiri di depannya, membawa dua cangkir tanah liat berisi kopi panas. 
"Wah! Pagi-pagi seperti ini, memang tepat kalau 
disuguhkan kopi ngebul-ngebul," seloroh Andika 
seraya menyambut cangkir di tangan kanan Marni. 
"Terima kasih, ya." 
Gadis manis di depan pemuda itu tersipu-sipu 
sambil meletakkan cangkir kopi yang lain di meja 
kayu. Kulit wajahnya yang putih memperlihatkan 
semu merah, kala mata Andika berusaha menangkap 
mata lentiknya. 
"Mmm, kopi ini betul-betul nikmat. Kau yang buat, 
Ni?" tanya Andika setelah menyeruput kopi. 
Marni mengangguk malu, tanpa berani mengadu 
pandang dengan pemuda tampan yang duduk di kursi 
itu. 
"Tapi, kurasa hanya perlu kopi satu cangkir. 
Kenapa disediakan dua?" lanjut Andika. 
"Ah! Cangkir yang ini buat Walet, kok Kang...," kata 
Marni lembut. 
"Ooo," bibir Andika membulat. "Dikira buat aku. He 
he he...!" 
Lagi-lagi Marni tersipu. Wajah ayu berhias rona 
merah itu membuat Andika gemas. Hati pemuda itu 
mau tak mau memuji keayuan Marni yang begitu 
alami. Bulu matanya yang lentik, berkelopak lembut. 
Hidungnya tinggi menipis, dan bibirnya merah 
delima.... 
"Aku ke belakang dulu, ya Kang Andika." 
Andika tersentak. Matanya sempat berkerjap kaget 
mendengar sapaan Marni. 
"Eh! Iya, ya. E..., apa tidak sebaiknya menemani 
aku ngobrol?" sahut Andika gelagapan. 
Mendapat tawaran Andika, Marni tidak bisa 
menyembunyikan rasa senang di wajahnya. Itu bisa

dilihat dari bias mata beningnya. Dia pun duduk di 
depan Andika malu-malu. Kepalanya tertunduk dalam 
memandang ke bawah meja. 
Lama keduanya terdiam seperti orang bodoh. 
Andika sendiri bingung, mau bicara mulai dari mana. 
Rasanya semua jadi serba salah. Sampai akhirnya, 
dia teringat pada wanita aneh berwajah cantik yang 
pernah ditemuinya. 
"Ngomong-ngomong, apa kau pernah mendengar 
desas-desus tentang wanita cantik yang aneh?" tanya 
Andika pada Marni. 
Marni mengangkat kepala. 
"Aneh bagaimana, Kang?" 
"Datang tiba-tiba dan pergi pun tiba-tiba. Ya, 
seperti menghilang begitu saja." 
Wajah Marni mendadak memperlihatkan 
kengerian. 
"Ada apa, Ni?" ungkit Andika, ingin tahu. Marni 
tidak segera menjawab. Sepertinya, dia sedang mem-
pertimbangkan sesuatu. 
"Apa yang Kakang maksud Nyai Roro Kidul?" tanya 
Marni, hati-hati. 
"Nyai Roro Kidul?" 
"Dia Ratu Penguasa Laut Setan. Dan Kadipaten 
Karangwaja masih termasuk wilayah kekuasaannya. 
Beliau..., beliau Ratu Lelembut." 
Andika tercekat. Bulu halus di kuduknya kontan 
meremang. 
"Ratu Lelembut," desis pemuda itu tak sadar. 
***
LIMA

Pagi beranjak pergi. Matahari perlahan menanjak 
menuju puncak singgasananya. Sinarnya yang 
kemilau singgah pada genangan air hujan, lalu 
memantul lagi ke udara. Pantulan cahaya matahari 
pada genangan air yang beriak diterpa angin, mem-
buat genangan itu bagai kilau mutiara berserakan. 
Awal siang ini Andika memutuskan untuk melanjut-
kan perjalanan bersama Walet. Keduanya pamit pada 
keluarga Marni yang dengan berat hati melepas 
kepergian mereka. Terlebi-lebih, bagi Marni. Per-
kenalan singkat dengan pemuda tampan itu mengukir 
kesan teramat dalam hati Marni. 
Marni sendiri tak pernah mengerti perasaan 
macam apa yang mengusiknya, setelah mengenal 
Andika. Gadis itu hanya tahu kalau dirinya amat 
berharap Andika tetap tinggal bersama keluarganya. 
Dan kalaupun tetap harus pergi, dia berharap dapat 
berjumpa lagi. 
"Selamat jalan, Kang Andika...," ucap Marni begitu 
berat, seperti tercekat di tenggorokan. 
Keluarga Marni kini berdiri di pintu rumah untuk 
melepas kepergian Andika dan Walet. 
Andika menghentikan langkahnya seraya menoleh. 
Ucapan perlahan Marni sempat tertangkap telinga-
nya. Dijawabnya kalimat perpisahan Marni dengan 
seulas senyum. Lalu langkahnya dilanjutkan me-
nyusul Walet yang berjalan lebih dahulu. 
"Ke mana kita, Kang?" tanya Walet ketika mereka 
sudah cukup jauh.

"Kau tahu orang yang paling tepat untuk ditanyai 
tentang Kadipaten Karangwaja ini?" Andika balik 
bertanya. 
"Adipati Tunggul Manik, aku rasa." 
"Tepat." 
"Jadi kita akan ke pendapa kadipaten?" 
Andika mengangguk. 
"Wah! Seumur-umur, baru kali ini aku mau masuk 
tempatnya para kanjeng. Apa kita bakal diizinkan 
masuk ke sana, Kang? Kita kan hanya wong cilik?" 
tukas Walet agak ragu. 
"Kau jangan cerewet. Lihat saja nanti," sahut 
Andika. 
Kali ini, Walet yang mengangguk-angguk. Matanya 
bergerak kian kemari, membayangkan suasana 
pendapa kadipaten. 
"Pasti dayangnya cantik-cantik ya, Kang!" usik 
Walet, seraya tersenyum nakal. 
Andika menggeleng-geleng. Bibirnya memperlihat-
kan senyum yang hanya dimengerti oleh dirinya 
sendiri. 
"Kau mirip sekali dengan diriku waktu kecil, Let!" 
ucap Andika dalam hati. 
*** 
Sesampai di kadipatenan, Pendekar Slebor dan 
Walet disambut dua prajurit penjaga gerbang yang 
berseragam punggawa, dan bercelana hitam sebatas 
betis berlapis kain batik. Rambut keduanya digelung 
ke atas. Pada masing-masing pangkal lengan, 
terdapat semacam gelang berukir. 
"Siapa Kisanak. Dan ada keperluan apa?" tanya

seorang di antara dua punggawa seraya meng-
acungkan tombak. 
"Aku ingin bertemu Adipati Tunggul Manik," sahut 
Andika. "Katakan pada beliau, Pendekar Slebor ingin 
bertemu." 
Mendengar nama Pendekar Slebor disebutkan, 
prajurit itu tampak agak terperangah. Baginya, bisa 
bertemu langsung pendekar besar seperti Andika 
adalah suatu kehormatan tak ternilai. Paling tidak 
sama saja mendapat kepercayaan dari seorang 
bangsawan. 
Sementara, prajurit punggawa yang satu lagi pun 
terperanjat. 
"Maafkan kebodohanku, Tuan Pendekar. Aku 
benar-benar tak mengenalimu," hatur punggawa itu 
seraya menjura hormat, disusul kawannya. 
"Ah! Jangan perlakukan aku seperti kalian 
memperlakukan kalangan istana. Aku sama saja 
seperti kalian," sergah Andika, risih mendapat peng-
hormatan berlebihan kedua punggawa itu. 
"Sudikah kiranya Tuan menunggu sesaat. Aku akan 
melapor dahulu pada Kanjeng Adipati," pamit prajurit 
yang menanyai Andika tadi. 
"Silakan." 
Sepeninggalan prajurit tersebut, Walet menyenggol 
lengan Andika. 
"Jadi Kang Andika adalah Pendekar Slebor itu? Oh, 
jadi selama ini aku bersama seorang pendekar 
kesohor!" 
Sambil berbicara mata bocah kecil itu terus 
membesar. Entah karena kesal tidak pernah diberi 
tahu Andika tentang dirinya selaku pendekar yang 
begitu disegani, atau karena bocah kecil itu sama 
kaget dengan prajurit kadipaten tadi.


"Kakang ini benar-benar brengsek...," gerutu Walet. 
"Kalau tahu begitu, aku sudah minta diajarkan jurus 
saktimu...." 
Andika tak mempedulikan gerutuanmu Walet, 
karena prajurit yang melapor telah kembali. 
"Tuan Pendekar dipersilakan menemui Kanjeng 
Adipati di pendapa," kata prajurit itu, mempersilakan. 
Andika dan Walet memasuki gerbang kekadi-
patenan, diantar prajurit tadi. 
Setelah berjalan melewati taman sari kekadi-
patenan, mereka tiba di satu bangunan besar ber-
tiang-tiang kokoh. Bangunan ini tak berdinding, 
sehingga orang di dalamnya bisa melepas pandangan 
ke seluruh penjuru taman sari. Di tengah ruangan 
berlantai agak meninggi itu, tampak Adipati Tunggul 
Manik duduk di atas kursi kebesaran. Mimik wajah-
nya terlihat senang. Matanya berbinar-binar menyam-
but kedatangan Andika. 
"Selamat datang di kadipaten kami, Pendekar 
Slebor," sambut laki-laki setengah baya itu seraya 
berdiri ketika Andika telah melewati tangga batu 
pendapa. 
"Salam hormat dari hamba, Kanjeng Adipati," hatur 
Andika sambil menjura berbareng dengan Walet. 
Setelah mempersilakan duduk, Adipati Tunggul 
Manik menanyakan maksud kedatangan Andika dan 
Walet. Maka secara gamblang, Pendekar Slebor pun 
mengajukan beberapa pertanyaan pada Penguasa 
Kadipaten Karangwaja ini. 
"Apakah di kadipaten belakangan ini sering terjadi 
keresahan, Kanjeng Adipati?" tanya Andika, meng-
ungkapkan keingintahuannya. 
"Keresahan?" gumam Adipati Tunggul Manik 
sambil mengusap-usap dagu. "Aku tidak tahu, apakah

yang terjadi belakangan ini di kadipatenku bisa 
disebut sesuatu yang meresahkan. Karena menurut-
ku, kejadian-kejadian itu lebih tepat disebut 
bencana." 
Mata Adipati Tunggul Manik jatuh pada lantai 
pendapa, seperti sikap seseorang yang sedang 
prihatin. 
"Bencana?" Andika teringat langsung pada wanita 
cantik yang menemuinya. Dan dia juga bertutur 
tentang bencana. "Bencana macam apa, Kanjeng 
Adipati?" 
Adipati Tunggul Manik menarik napas dalam-
dalam. Beban berat tampak tergambar di wajahnya, 
karena begitu memikirkan keadaan kadipatennya 
yang sedang dilanda sesuatu yang amat mengerikan. 
"Kalau ingin mengetahui lebih jelas, lebih baik 
Kisanak bermalam beberapa lama di sini," ujar 
Adipati Tunggul Manik itu lemah. "Aku sangat ber-
harap kau dapat membantu memecahkan persoalan 
kami." 
Andika menyetujui tawaran Adipati Tunggul Manik. 
Lebih-lebih, Walet yang begitu berhasrat menikmati 
sedikit kenyamanan tempat tinggal para pembesar. 
Terutama, kecantikan para dayangnya. 
*** 
Waktu tanpa lelah terus berputar, sebagaimana 
hukum alam. Malam pun menjelang. Angin dingin 
berlarian di seluruh wilayah Kadipaten Karangwaja. 
Untung saja hujan yang biasanya turun, tidak 
menampakkan diri. Meski begitu, suasana di luar 
tetap tidak terasa nyaman. 
Seluruh kampung di kadipaten ini tampak mati.

Tidak ada seorang penduduk kampung pun yang 
menampakkan batang hidung. Mereka semua 
meringkuk was-was di tempat tidur masing-masing. 
Sementara di luar sana, lolongan anjing hutan ber-
sahut-sahutan seakan membawa ancaman di setiap 
saat. 
Hingga malam demikian menua, Andika belum 
juga bisa memejamkan matanya. Maka diputus-
kannya untuk bergabung dengan para pengawal di 
gerbang istana. Dan baru saja kakinya melangkah 
keluar dari kamar, Walet menyusul. Rupanya, bocah 
itu juga tidak bisa tidur. Menurut perasaannya, ada 
sesuatu yang bakal terjadi malam ini. Benar saja! 
karena.... 
"Aaa...! 
Firasat mereka ternyata terbukti. Baru saja 
keduanya hendak menyapa tiga prajurit, tiba-tiba saja 
terdengar teriakan tinggi melengking, merobek ke-
heningan malam. 
"Pasti ada satu korban lagi," desis seorang prajurit 
dengan wajah menegang. 
"Kalian tetap berjaga di sini. Biar aku yang akan 
memeriksa apa yang terjadi!" ujar Andika sigap. "Kau 
juga Walet!" 
Andika memang melihat gelagat, bocah kecil 
tampaknya juga ingin tahu itu. Maka tanpa mem-
pedulikan gerutuan Walet, pendekar gagah itu 
melesat cepat keluar dari rumah adipati itu. Ke-
cepatannya begitu memukau. Sampai-sampai prajurit 
yang menjaga pintu gerbang terperangah tak percaya, 
menyaksikan tubuh Andika tiba-tiba saja menghilang. 
"Itu tadi teman karibku, kalian mesti tahu itu," 
tukas Walet, menyombong. Tapi, siapa yang mau 
peduli ocehan bocah macam Walet?


*** 
Di tempat lain, tepatnya di sebuah bukit yang 
ditumbuhi pepohonan lebat, sebelas lelaki sedang 
mengadu jiwa melawan lima lelaki bertopeng. 
Seorang di antara mereka tampak tergeletak tanpa 
nyawa di tanah basah. Tubuhnya bermandikan darah 
dari luka menganga di dadanya. Bisa dipastikan, 
jeritan yang didengar Andika tadi berasal dari mulut 
lelaki naas itu. 
Sebelas lelaki yang bertarung melawan lima orang 
itu berasal dari Perguruan Naga Langit. Itu bisa dilihat 
dari gambar naga bersayap yang terdapat di dada 
kanan mereka. Sedangkan lelaki yang tergeletak juga 
berasal dari Perguruan Naga Langit. 
Di lain pihak, kelima lawan orang-orang Perguruan 
Naga Langit itu hitam-hitam. Topeng mereka juga 
berwarna hitam. 
Dengan senjata berbentuk cakar dari logam, 
orang-orang Perguruan Naga Langit berusaha 
menggempur habis-habisan kelima lawan mereka. 
Cara mereka bertempur demikian membabi-buta. Ini 
memperlihatkan, bagaimana kalapnya kesebelas 
lelaki itu. Sementara, lima lelaki bertopeng itu meng-
gunakan golok untuk melakukan gempuran balik. 
Trang, tring, tring! 
"Heaaa!" 
"Hih!" 
Gegap gempita pertempuran, memporak-
porandakan kesenyapan kaki bukit. Berbaurnya 
denting senjata beradu dengan teriakan pembangkit 
semangat, merambah suasana malam ini. Bukit ini 
seolah hendak digoncang gempa. Sementara, 
dedaunan seolah hendak dirontokkan.
Ditilik dari jumlah, kawanan lelaki bertopeng 
mestinya kewalahan. Tapi kenyataannya, justru 
sebaliknya. Kelima orang itu malah tampak 
menguasai keadaan. Bahkan lambat-laun mereka 
mulai berada di atas angin. 
Dari cara bertempurnya jelas sekali kalau kelima 
lelaki bertopeng itu, rata-rata memiliki ilmu beberapa 
tingkat di atas orang-orang Perguruan Naga Langit. 
Bahkan.... Bret! 
"Waaa!" 
Bukti kelebihan lima lelaki bertopeng itu terjadi, 
ketika seorang lagi dari kawanan Perguruan Naga 
Langit mendapat sabetan golok telak di perutnya. 
Padahal, lelaki yang menjadi korban memiliki ilmu 
paling tinggi. Bahkan dia sudah dibantu seorang 
kawannya dalam mengeroyok. 
Kenyataan yang terjadi di depan mata itu mem-
buat semangat orang-orang Perguruan Naga Langit 
yang lain menjadi susut. Mereka mulai dirasuki 
kegentaran, melihat ketangguhan yang rata-rata 
dimiliki kelima lelaki itu. Bahkan kegentaran itu makin 
parah, tatkala kesepuluh lelaki dari Perguruan Naga 
Langit melihat kakak seperguruan mereka meng-
gelepar-gelepar sambil mendekap perutnya. 
Seorang di antara mereka rupanya masih memiliki 
sedikit keberanian. Walaupun orang itu paling muda, 
namun memiliki semangat menggebu, sebagaimana 
layaknya orang berdarah muda. 
"Ayo, jangan biarkan nyali kita ciut! Tak perlu ragu 
menghadapi maut, jika berada di pihak yang benar!" 
teriak anak muda itu lantang. 
Namun teriakan penuh gelegak semangat tempur 
itu seperti tidak berarti dalam membakar keberanian 
sembilan orang Perguruan Naga Langit yang lain.

Mereka terlihat mulai tersurut setindak demi 
setindak, setelah sebelumnya menghentikan 
serangan. 
"Kenapa kalian ini?" bentak murid termuda itu 
gusar. "Apa kalian tak ingin menuntut balas atas 
kematian guru kita tercinta yang telah dibunuh secara 
mengerikan oleh orang-orang biadab ini!" 
Sementara itu, kelima lelaki bertopeng sudah 
siaga penuh menanti serangan selanjutnya. Masing-
masing tahu, pihak mereka sudah mampu mengalah-
kan nyali sisa orang-orang Perguruan Naga Langit. 
Dalam suatu pertempuran, hal ini sudah menjadi 
suatu keuntungan yang tak ternilai. 
"Ayooo!" seru si Murid termuda lagi. Mata anak 
muda itu memerah bagai seonggok bara. Begitu pula 
wajahnya yang ditumbuhi kumis tipis. Ketampanan-
nya berubah menjadi mimik kemurkaan tak 
terkendali. Dia benar-benar murka terhadap kelima 
lelaki bertopeng yang telah banyak membunuh 
saudara seperguruan dan gurunya. Di sisi lain dia 
juga murka kepada kesembilan kawannya. 
"Kalian pengecut semua!" hardik anak muda itu 
ketika menyaksikan sembilan lelaki saudara seper-
guruannya tiba-tiba saja lari serabutan tanpa mem-
pedulikan seluruh ucapannya. 
Kemudian, mata anak muda itu beralih jalang 
pada kelima lelaki itu. Sepasang tangannya yang 
menggenggam senjata berbentuk cakar meregang 
kuat, memperlihatkan tarikan otot-otot. Seakan, dia 
hendak meremas hancur gagang senjatanya. 
"Aku memang tak akan mampu menandingi kalian. 
Tapi, jangan harap aku akan melarikan diri seperti 
mereka!" dengus anak muda itu geram, seberat 
auman seekor singa luka.

Kelima lelaki bertopeng itu saling berpandangan 
mendengar kalimat nekat anak muda tadi. Mata 
mereka terlihat begitu meremehkan. Dari balik topeng 
yang hanya memperlihatkan mata, terdengar tawa 
mengejek kelima lelaki itu. 
"Apa kau tak dengar ocehan seekor lalat yang 
hendak kita tepuk mati ini?" leceh seorang lawan 
berperawakan kurus, namun berotot kenyal. 
"Ah! Aku tidak mendengarnya, Kang. Yang ku-
dengar malah suara ng... ng... ng!" 
"Suara lalat! Hus... ha ha...!" Ejekan demi ejekan 
semakin memanaskan telinga pemuda dari 
Perguruan Naga Langit ini. Maka kemarahannya 
makin terukir hingga ke puncak. Telinganya terasa 
terbakar, karena darah sudah menggelegak sampai 
ke ubun-ubun. Dia murka semurka-murkanya. 
"Keparat busuk kalian semuaaa! Hiaaa!" Kini 
pemuda itu meluruk buas. Tak ada lagi keinginan 
untuk bisa memenangkan pertarungan, kecuali meng-
adu jiwa. Kalaupun tangannya tak mampu mencabut 
satu nyawa lawan, dia tidak peduli. Mati sebagai 
seorang ksatria jauh lebih baik ketimbang menjadi 
seorang pengecut. 
Tubuh pemuda itu terus melabrak salah seorang 
lawan terdekatnya. Sepasang senjata di tangannya 
terayun cepat dari samping menuju wajah dan dada. 
"Hih!" 
Wut, wut! 
Orang yang menjadi sasaran sempat terkesiap 
mendapat gempuran membabi buta ini. Sebelumnya 
orang itu tahu kalau kemampuan jurus pemuda itu 
berada jauh di bawahnya. Namun sedikit pun tak 
diduga kalau puncak kenekatan seseorang mampu 
melipatgandakan kekuatannya. Begitu pula yang

terjadi pada diri pemuda dari Perguruan Naga Lagit 
ini. 
"Hiah!" 
Trang! 
Satu tebasan ke wajah dapat ditangkis dengan 
golok orang bertopeng itu. Namun keterkejutannya 
membuat matanya lengah menangkap sambaran 
senjata pemuda dari Perguruan Naga Langit yang 
mengarah ke dadanya. Akibatnya.... 
Bret! 
"Aaakh!" 
Lolongan panjang terdengar setelah dada lelaki 
bertopeng itu terkoyak oleh senjata pemuda ini. 
Begitu kuatnya senjata berbentuk cakar itu merobek 
dadanya, sehingga sebagian kulitnya terbawa di ujung 
senjata cakar itu. Darah pun kontan tersembur dari 
lukanya yang tertembus, hingga nyaris mengenai 
dinding paru-parunya. 
Lelaki bertopeng itu terhuyung-huyung limbung. 
Kedua tangannya mendekap dada yang bersimbah 
warna merah. Tak begitu lama kemudian, tubuhnya 
pun ambruk tak berkutik lagi. 
Tak puas membabat satu orang, pemuda dari 
Perguruan Naga Langit melabrak lawan berikutnya. 
Serangan pertama yang membawa hasil tak terduga 
tadi, membuatnya makin bersemangat dan menggila 
menggempur lawan. 
Dengan satu terkaman pemuda itu berusaha 
menyambar salah seorang lawan di sisi kanan. 
"Hiaaa!" 
Namun tentu saja lelaki bertopeng yang menjadi 
sasaran tak ingin mengalami nasib serupa kawannya. 
Terkaman pemuda itu segera dihindarinya dengan 
membuang tubuh ke belakang. Sambil melempar
tubuh, kaki kanannya terangkat tinggi-tinggi ke perut 
pemuda dari Perguruan Naga Langit yang masih di 
udara. 
Begkh! 
"Akh!" 
Bersama satu erangan pendek, pemuda dari 
Perguruan Naga Langit itu terpental lebih tinggi ke 
udara. Setelah itu, tubuhnya jatuh menghantam bumi. 
Isi perutnya yang terasa bagai diaduk-aduk oleh 
tangan-tangan raksasa, membuatnya berguling-
gulingan di tanah berlumpur. Seluruh tubuhnya 
langsung berlumur tanah kecoklat-coklatan. Demikian 
juga kedua tangannya. Dan keadaan itu membuat 
telapak tangannya menjadi licin. Akibatnya, senjata-
nya langsung terlepas. 
Kesempatan baik itu tak disia-siakan tiga lelaki 
bertopeng yang masih berdiri siaga. Serentak mereka 
menyerbu pemuda nekat itu. Tiga batang tombak 
setajam taring iblis terayun di udara, siap merencah 
tubuhnya yang masih bergelinjang di tanah. 
"Hiaaa!" 
"Mampus kau bangsat busuk!" 
"Kini kau akan menebus nyawa kawan kami!" 
***

ENAM

Ketika sekejap lagi senjata-senjata tiga orang 
bertopeng memangsa tubuh pemuda dari Perguruan 
Naga Langit, tiba-tiba.... 
Wusss! 
Mendadak terdengar suara keras menderu. Lalu.... 
Trang, trang, trang! 
Tahu-tahu ketiga tombak lelaki bertopeng itu 
berterbangan ke udara dalam keadaan terbelah dua. 
Kejadian tak terduga sama sekali ini, membuat tiga 
orang bertopeng tersentak. Sementara itu, tangan 
mereka terasa berdenyar-denyar nyeri. 
"Apakah kalian ini anjing-anjing lapar yang 
memperebutkan sepotong tulang? Sungguh tak tahu 
malu mengeroyok pemuda yang tak berdaya itu? Di 
mana muka kalian ditaruh? Di pantat?" cecar seorang 
pemuda tampan berbaju hijau yang baru datang. 
Wajahnya tampak bersungut-sungut. Siapa lagi 
pemuda itu kalau bukan Andika, pendekar yang 
memiliki seribu satu tingkah slebor? 
"Keparat! Jangan cari mampus kau!" bentak salah 
seorang bertopeng. 
"Kalau aku cari mampus, kenapa senjata kalian 
kubuat terpental seperti itu? Kasihan-kasihan.... Di 
samping tidak punya muka, kalian ini juga tidak 
punya otak," cemooh Andika. 
"Tutup bacotmu!" 
"Dan di samping tidak punya otak, kalian juga tidak 
punya perasaan," tambah Andika, makin memanas-
manasi.

"Diam! Diam! Diam!" 
"Dan..., di samping tidak punya perasaan, kalian 
juga tidak punya... he... he," Andika terkekeh. Saat 
memapak senjata ketiga lelaki bertopeng dengan 
kain pusakanya tadi, dia rupanya sempat pula 
melucuti celana mereka. "Kalian juga tidak punya 
celana lagi... hi... hi... hi." 
Mendadak ketiga lelaki bertopeng itu melirik 
celana mereka berbarengan. Benar saja! Celana 
mereka ternyata sudah hilang entah ke mana! 
"Nah! Aku rasa urusan dengan kalian cukup 
sampai di sini. Izinkanlah aku pergi bersama lawan 
kalian ini," ujar Andika lagi. 
Kemudian Andika berkelebat cepat bagai 
bayangan hantu, setelah menyambar tubuh pemuda 
dari Perguruan Naga Langit. Ditinggalkannya tempat 
itu, sekaligus tiga lelaki bertopeng yang sibuk 
mengumpat-umpat karena merasa begitu bodoh telah 
dipermainkan seseorang tak dikenal. Sementara 
seorang bertopeng lain yang tak kebagian kerjaan usil 
Pendekar Slebor, hanya menatap ketiga kawannya 
tak mengerti. 
*** 
Pendekar Slebor memapah pemuda dari 
Perguruan Naga Lagit yang ditolongnya. Pemuda yang 
mengaku bernama Senaaji kemudian menceritakan 
kejadian yang sebenarnya, kenapa orang-orang 
Perguruan Naga Langit sampai bertarung melawan 
orang-orang bertopeng itu. 
Menurut Senaaji, waktu itu Perguruan Naga Langit 
tengah dirundung suasana berkabung. Seluruh murid 
berkumpul di ruang khusus guru mereka yang

bernama Ki Kusuma. Seminggu, belakangan, 
perguruan ini dilanda kejadian aneh yang mengeri-
kan. Setiap malam, beberapa murid mendadak jatuh 
sakit, memuntahkan darah segar. Lebih mengerikan 
lagi, pada muntahan darah mereka terserak puluhan 
batang jarum. 
Setelah memakan banyak korban dari murid 
perguruan, malam itu pun Ki Kusuma menderita 
penyakit aneh pula. Dan hal ini menyebabkan murid-
murid Perguruan Naga Langit jadi begitu khawatir. 
Dan akhirnya berkumpul di sekitar pembaringan Ki 
Kusuma. 
Saat mereka lengah, lima lelaki bertopeng 
menyelinap masuk untuk menjarah benda-benda 
pusaka di ruang penyimpanan. Namun sebelum 
sempat membawa lari benda-benda pusaka termasuk 
kitab kesaktian Perguruan Naga Langit, seorang 
murid memergoki mereka. Maka terjadilah per-
tempuran maut di halaman perguruan yang mem-
bawa korban lima murid perguruan. 
Ketika kelima lelaki bertopeng melarikan diri, dua 
belas murid segera melakukan pengejaran. Sampai 
akhirnya terjadi pertarungan yang menyebabkan dua 
orang murid Perguruan Naga Langit gugur, sedangkan 
sembilan lainnya melarikan diri. Maka tinggalah 
Senaaji sendiri sampai akhirnya ditolong oleh 
Pendekar Slebor. 
Kini Pendekar Slebor dan Senaaji tiba di halaman 
depan Perguruan Naga Langit. Di halaman yang 
cukup luas ini lima mayat murid Perguruan Naga 
Langit masih tergeletak bermandikan darah. 
"Mari kita langsung masuk ke ruang semadi guru, 
Tuan Pendekar," ajak Senaaji. 
Pemuda itu masuk lebih dahulu, baru kemudian

diikuti Andika. Setelah melewati lorong kamar-kamar 
perguruan, nanti mereka akan tiba di ruang khusus Ki 
Kusuma. Memasuki kelokan lorong, keduanya 
berpapasan dengan seorang murid yang lari tergegas-
gesa. 
"Ada apa, Kang Dirun?" tanya Senaaji was-was 
karena melihat gelagat tak baik di wajah lelaki itu. 
"Guru.... Guru!" jawab murid bernama Dirun itu 
terbata. "Beliau sedang sekarat! Kau mesti cepat 
menemuinya, Senaaji! Aku mau memberi tahu murid-
murid yang sedang berjaga di ruang penyimpanan 
benda pusaka!" 
Bagai diberi aba-aba, Senaaji dan Dirun berlari ke 
arah berlawanan. Sedangkan Andika terus mengikuti 
Senaaji dari belakang. 
Setibanya di ruang khusus gurunya, Senaaji 
menyeruak di antara puluhan murid yang berkerumun 
di sana. 
"Guru!" teriak Senaaji tatkala tiba di sisi 
pembaringan Ki Kusuma. "Bertahanlah, Guru. Kau 
pasti akan sembuh," suara Senaaji terdengar lirih, 
dibebani duka. Sementara yang diajak bicara sama 
sekali tidak memberi tanggapan. 
"Kalian kenapa berkumpul di sini?! Bubar. Beri 
Guru udara segar!" hardik Senaaji kemudian pada 
murid-murid yang lain sambil menoleh ke belakang. 
Senaaji tak peduli lagi, apakah di antara mereka 
kakak-kakak seperguruannya atau tidak. Di hanya 
ingin udara di ruang yang tak terlalu besar itu, tidak 
jadi penat. 
"Beri jalan pada Pendekar Slebor!" sambung 
pemuda itu ketika mendapati Andika masih berdiri di 
pintu ruangan. 
Pendekar Slebor? Para murid yang lain langsung


bertanya-tanya sendiri dalam hati. Tak dinyana sama 
sekali kalau tokoh besar seperti Pendekar Slebor 
akan mengunjungi perguruan mereka. Seraya 
melangkah teratur untuk keluar ruangan, mereka 
menjura pada Andika sebagai salam penghormatan. 
Mata mereka terus menatap Andika lekat-lekat, 
karena telah salah terka. Selama ini pendekar yang 
menggemparkan dunia persilatan itu dianggap 
seorang lelaki setengah baya berwibawa. Tapi yang 
disaksikan kali ini adalah seorang pemuda ber-
penampilan acuh, namun ramah. Sama sekali di luar 
perkiraan mereka! 
Sementara, Andika membalas penghormatan itu 
dengan menjura pula. Sikap yang ramah harus 
dibalas dengan ramah pula. Meskipun sudah masuk 
dalam jajaran tokoh kalangan atas dunia persilatan, 
toh di dalam semesta yang luas tak terbatas ini 
Andika hanya setitik debu tak berarti. 
Seseorang maju ke depan Andika. Dia murid tertua 
di perguruan itu. Namanya, Subali penampilannya 
gagah berwibawa. Berkumis dan beralis lebat dan 
hitam. Rambutnya yang ikal sebatas bahu diikat kain 
coklat, warna perguruan mereka. 
"Salam hormat, Tuan Pendekar. Selamat datang di 
perguruan kami," ucap Subali. "Maafkan, kami tak 
menyambut selayaknya, karena keadaan mempri-
hatinkan yang menimpa kami." 
"Tak apa-apa, Kisanak. Kedatanganku ke sini 
justru ingin mengetahui kejadian yang sebenarnya. 
Sekaligus, untuk menjenguk guru kalian," kata 
Andika. 
"Subali, biarkan tamu kita menemuiku," terdengar 
suara Ki Kusuma seperti keluhan panjang bergetar. 
"Aku ingin berbicara.... Padanya...."

Subali mempersilakan Andika. 
"Ada apa, Ki?" tanya Andika seraya mendekati Ki 
Kusuma. 
Di sisi Senaaji, Andika bersimpuh. Ditunggunya 
kata-kata lemah Ki Kusuma yang akan disampaikan. 
"Bolehkah aku berwasiat padamu, Anak Muda?" Ki 
Kusuma memulai, namun tersendat-sendat. 
Mata lelaki tua itu tampak sayu tak bercahaya, 
dirangsek penyakit aneh. Di sela-sela janggut putih di 
sudut bibirnya terdapat darah mengering. 
Dan Andika hanya mengangguk. Dia tahu isyarat 
itu cukup bagi Ki Kusuma sebagai tanda setuju. 
"Kadipaten Karangwaja sedang dilanda bencana 
mengerikan. Aku sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, 
karena ajalku sudah semakin dekat. Sebelum kau 
datang, aku didatangi seorang wanita secara gaib. 
Dalam sekaratku, dia memberi 'petunjuk' padaku, 
bahwa kaulah yang dapat melepaskan kadipaten ini 
dari bencana. Namun terlebih dahulu kau harus 
meminta bantuan seorang yang pribadinya ibarat 
'kendi berisi telaga'. Kujungilah dua perguruan malam 
ini juga...," ucapan terpatah-patah Ki Kusuma ter-
henti. 
"Perguruan apa saja, Ki?" desak Andika. Pendekar 
Slebor ingin mengetahui lebih jelas, tapi lelaki tua 
Pemimpin Perguruan Naga Langit itu sudah meng-
hembuskan napas terakhir. 
"Guru.... Guru," Senaaji tersentak. Senaaji yang 
begitu mencintai gurunya memanggil-manggil nama 
Ki Kusuma dalam sesenggukan. Sementara Subali 
menundukkan kepala dalam-dalam. Di samping rasa 
kehilangan merayapi batinnya, dia juga merasa beban 
yang amat berat siap menantinya selaku murid tertua. 
Dan tentu saja Subali akan meneruskan

kepemimpinan Perguruan Naga Langit. Seperti juga 
Subali, murid-murid lain di luar ruang semadi juga 
tertunduk penuh rasa duka. 
Sementara itu, Andika justru tengah berpikir keras 
tentang wasiat terakhir Ki Kusuma. Ucapannya 
seperti pesan terselubung, seperti satu teka-teki yang 
menuntut jawaban tepat dan cepat. Mengingat, 
keadaan gawat kini menimpa Kadipaten Karangwaja. 
Setiap saat bisa berarti satu nyawa! 
"Aku turut berdukacita atas kematian guru kalian," 
ucap Andika setelah tersadar dari kecamuk 
pikirannya. "Lebih baik kalian segera mengurus 
jenazah Ki Kusuma dan kawan-kawan yang 
meninggal di halaman depan. Dan sungguh menyesal 
aku tidak bisa mengikuti upacara pemakaman, 
mengingat pesan terakhir Ki Kusuma agar aku segera 
berangkat malam ini juga." 
Bersama satu tarikan napas penyesalan, Andika 
segera mohon pamit. 
"Tuan Pendekar," cegah Subali, saat Andika beru 
saja hendak beranjak. "Ada sesuatu yang hendak 
kusampaikan. Mari...." 
Subali mengajak Andika meninggalkan ruang 
khusus itu. Mereka lantas berjalan beriringan. 
Setibanya di lorong kamar-kamar perguruan, barulah 
Subali memulai. 
"Sewaktu lima orang bertopeng melakukan 
perampokan tadi, aku berusaha meringkus mereka 
bersama murid lain. Tanpa sengaja, kalung salah 
seorang lelaki bertopeng terjatuh, dan kutemukan." 
Subali mengeluarkan kalung yang dikatakannya 
dari balik baju. 
"Ini Tuan Pendekar," kata Subali. 
Kalung telah berpindah tangan. Kini Andika


mengamati dengan teliti benda itu. Mata kalung itu 
berbentuk lempengan bundar dengan gambar seekor 
ular bertaring besar. 
"Hey? Bukankah ini lambang Perguruan Ular Iblis?" 
cetus Andika. 
"Benar, Tuan Pendekar," sahut Subali cepat. 
"Tolong panggil aku Andika saja, Kang Subali. Aku 
terlalu risih bila disebut Tuan," pinta Andika, 
membetulkan panggilan Subali terhadap dirinya. 
"Mmm, bisa Kakang ceritakan tentang perguruan 
itu?" 
"Tidak banyak yang kutahu tentang Perguruan Ular 
Iblis, ng.... Andika. Perguruan itu begitu tertutup, 
seakan diselimuti tabir rahasia. Namun ada sesuatu 
yang sempat kuketahui dari cerita guru kami...." 
"Apa itu?" 
Sesaat Subali mengisi penuh-penuh paru-parunya 
dengan udara. 
"Ki Kusuma serta dua kawan seperjuangannya 
pernah bentrok dengan pemimpin perguruan itu 
kurang lebih tiga puluh lima tahun yang lalu. Waktu 
itu mereka masing-masing belum mendirikan 
perguruan." 
"Sebabnya?" tanya Andika lagi. 
"Aku tak tahu jelas. Namun kudengar, bentrokan 
itu ada kaitannya dengan Mustika Putri Terkutuk...," 
jawab Subali dengan mata menyipit, mengingat 
seluruh cerita yang sempat didengarnya dari Ki 
Kusuma. 
"Mustika Putri Terkutuk? Ah! Makin rumit saja 
persoalan ini," keluh Andika dalam hati. 
Belum lagi sempat Andika tahu tentang wanita 
cantik yang mendatanginya dan mendatangi Ki 
Kusuma saat menjelang ajal, kini sudah ditambah

persoalan lelaki berwajah seram yang menyerang 
Walet tanpa alasan jelas. Lalu muncul persoalan 
tentang seorang yang bisa membantunya dalam 
menghentikan bencana Kadipaten Karangwaja. Dan 
menurut Ki Kusuma, orang itu berkepribadian ibarat 
'kendi berisi telaga'. Bahkan Andika pun harus 
mendatangi dua perguruan malam ini juga. Malah 
muncul persoalan baru tentang Mustika Putri 
Terkutuk, yang menurut Andika juga harus 
disingkapnya. Benar-benar bisa membuat seluruh 
rambut di kepalanya rontok! 
"Tapi, tunggu dulu...," bisik Andika. 
Tiba-tiba saja benaknya teringat pada cerita Subali. 
"Kau tahu, dua orang kawan Ki Kusuma yang kini 
membangun perguruan silat seperti kau katakan 
tadi?" ungkap Andika dengan mata berbinar-binar. 
"Maksudmu?" Subali belum menangkap arah 
pertanyaan Andika. 
"Apa nama perguruan yang mereka dirikan?" 
sambung Andika, langsung pada permasalahan. 
Subali termangu beberapa tarikan napas. Lelaki 
berperawakan tinggi besar itu tampak berusaha keras 
mengorek ingatannya. 
"Ah! Aku ingat! Perguruan Elang Hitam dan 
Perguruan Tangan Wesi!" cetus Subali. 
"Dua perguruan itu pasti dimaksud Ki Kusuma," 
papar Andika tanpa diminta Subali. "Di mana letak 
dua perguruan itu, Kang?" 
Dengan singkat, Subali pun memberitahukan letak 
dua perguruan yang diyakini Andika akan menjadi 
kunci dari seluruh teka-teki. 
***

TUJUH

Warna merah bara di kaki langit sebelah timur mulai 
nampak, beriring kokok lantang ayam jantan yang 
bersahut-sahutan. Pagi telah lahir kembali. 
Dalam perjalanan menuju timur Kadipaten 
Karangwaja, Andika banyak menemukan serakan 
mayat, akibat pembantaian ganjil. Di sebuah dusun 
tak jauh dari Perguruan Elang Hitam, kejadian serupa 
juga ditemukan. 
Mulanya Andika merasa curiga menyaksikan 
dusun itu begitu lengang dan sunyi, bagai tak ada 
denyut kehidupan sedikit pun. Padahal, warga dusun 
ini selalu menyambut datangnya sang Fajar untuk 
mencari nafkah pagi-pagi sekali. Namun didapatinya 
saat ini sama sekali bertolak belakang. 
Kecurigaan itu mendorong keingintahuan Andika. 
Segera didatanginya rumah-rumah panggung para 
penduduk. Dan apa yang didapatinya? Ternyata para 
penghuni rumah telah bergeletakkan tanpa nyawa. 
Bahkan Andika memandanginya sampai bergidik. 
Lantai kayu di sekitar mayat dipenuhi darah 
kehitaman bercampur serakan jarum. 
Dan ketika rumah demi rumah dimasukinya, 
pemandangan demi pemandangan menggidikkan pun 
disaksikannya. Sehingga memaksa kuduknya 
meremang tanpa dikehendaki. 
"Ini sungguh-sungguh bencana mengerikan," desis 
Andika dengan bibir terangkat ngeri. "Ini bukan lagi 
perbuatan manusia! Ini perbuatan iblis!" 
Ketika Andika hendak melanjutkan perjalanan,

masih sempat disaksikannya seorang penduduk yang 
merangkak mencoba keluar rumah. Mulutnya merah 
oleh darah. Wajahnya pucat, layaknya mayat. 
Andika mencoba menolong orang itu, tapi usaha-
nya sia-sia. Nyawa orang itu telah melayang lebih 
dulu, saat Pendekar Slebor tiba di sisinya. 
"Laknat...," dengus Andika untuk kesekian kali. 
Begitu selesai kata-katanya, Andika segera 
melesat cepat, pergi dari situ. Dikerahkannya seluruh 
ilmu meringankan tubuh agar segera tiba di 
Perguruan Elang Hitam. Dia tak ingin semua kejadian 
gila itu menjadi kian berlarut. 
"Aku harus segera menyelesaikannya," tandas 
Andika, sarat kegalauan. 
Dengan kobar api amarah yang seakan hendak 
membakar seluruh jaringan tubuhnya, Andika berlari 
sepenuh tenaga. Bagai orang kerasukan setan, 
diterabasnya onak berduri dan semak belukar. 
Dicobanya mencari jalan pintas yang bisa mem-
bawanya cepat tiba di tujuan. Pohon-pohon raksasa 
yang mencoba menghalangi luncuran tubuhnya, 
dilompati bagai seekor Walet mematahkan hadangan 
batu karang. 
Seribu satu perasaan yang berkecamuk dalam diri 
berbaur menjadi sebentuk kekuatan tak terduga. 
Kecepatan larinya jadi kian menggila. Sampai-sampai, 
pandangannya hanya menangkap kelebatan 
bayangan kabur dari benda-benda yang dilewatinya 
saat berlari. 
Tak ada berapa lama, Andika tiba di satu lembah 
luas yang diapit bukit. Rumput hijau setinggi betis 
menghampar indah dalam selimut sinar surya. 
Jajaran pepohonan pinus memagari sekitar lembah. 
Tepat di tengah lembah itulah Perguruan Elang Hitam

berdiri. 
Tanpa ingin membuang waktu sekejap pun, Andika 
melanjutkan larinya. Dadanya yang saat itu hendak 
terbelah karena dengus napas memburu, tak lagi 
dihiraukan. Hanya satu yang dipikirkan saat itu, dia 
harus memecahkan seluruh teka-teki lalu menuntas-
kan bencana brutal ini! 
"Heaaa...!" 
Wrrr...! 
Setibanya di pagar tinggi Perguruan Elang Hitam, 
Andika melenting tinggi ke udara. Tubuhnya melayang 
di udara, melewati pagar dari batang-batang cemara. 
Jlek! 
Begitu usai melakukan gerakan indah di angkasa, 
kaki Pendekar Slebor menjejak mantap di pelataran 
depan perguruan itu. Apa yang ditemukannya di 
sana? Ternyata sebuah pemandangan yang semula 
begitu dikhawatirkan Andika terjadi. Puluhan mayat 
murid perguruan tampak berserakan tumpang tindih, 
bagai onggokan daging tak berharga. 
"Biadaaab! Siapa dalang semua ini?!" teriak 
Andika, dengan suara menggelegar penuh ke-
murkaan. 
Dengan napas memburu, Andika mencoba men-
cari sisa-sisa kehidupan di dalam bangunan 
Perguruan Elang Hitam. Seluruh ruang dijelajahinya. 
Namun, tak sejengkal pun dilewati. Dan lagi-lagi 
matanya dijejali anyir darah dan mayat-mayat tanpa 
tanda kehidupan. 
"Oh, Tuhan...," keluh Andika lemah. 
Tak mampu lagi pemuda itu menatap apa yang 
tergambar di depan matanya. Matanya dipejamkan 
rapat-rapat. Kepalanya menggeleng lemah, seakan 
tidak ingin mempercayai semua yang dilihatnya.

Saat berikutnya, Andika kembali melesat lebih gila 
dari sebelumnya. Tak ingin lagi. Tak ingin lagi dia 
menyaksikan apa yang terjadi di perguruan 
mengenaskan itu. Bahkan sekadar untuk mengingat 
sekalipun! 
Tak lama kemudian, tubuh Pendekar Slebor sudah 
melesat di luar Perguruan Elang Hitam. Dia berlari 
deras menuju tujuan berikut, Perguruan Tangan Wesi 
di wilayah barat. Sebuah jarak yang jauh, karena 
ditempuh dari satu ujung ke ujung lain. Tapi hal itu 
sama sekali tidak mengusik tekadnya untuk segera 
sampai di penguruan itu. Sementara, hati nuraninya 
terus berharap agar tidak menemukan lagi 
pemandangan seperti di Perguruan Elang Hitam. 
*** 
Jauh dari harapan Andika, di Perguruan Tangan 
Wesi saat ini justru sedang terjadi pertempuran maut. 
Tiga puluh orang bertopeng datang menyerbu. Seperti 
maksud kedatangan mereka di Perguruan Elang 
Hitam dan Perguruan Naga Langit, pasukan 
bertopeng itu juga hendak merampas benda-benda 
pusaka milik Perguruan Tangan Wesi. 
Kejadian yang menimpa dua perguruan besar di 
wilayah timur dan selatan, dialami Perguruan Tangan 
Wesi. Sebelum penyerbuan orang-orang bertopeng, 
beberapa murid perguruan juga tertimpa bencana 
aneh. Mereka mendadak menggelepar-gelepar 
sekarat. Dari mulut masing-masing, keluar muntahan 
darah bercampur puluhan batang jarum. Kemudian, 
kejadian serupa menimpa guru besar perguruan itu. 
Belum sempat sisa murid Perguruan Tangan Wesi 
menguburkan jenazah rekan-rekan dan guru mereka,

pasukan bertopeng datang dari berbagai penjuru, 
laksana serigala-serigala lapar memburu sekerat 
daging. Berikutnya, pertarungan hidup mati pun 
meletus dahsyat. 
Orang-orang bertopeng itu yang bersenjatakan 
golok membabat setiap murid Perguruan Tangan 
Wesi yang lengah, karena kematian guru tercinta 
mereka. Sebagian murid yang masih sempat 
melakukan perlawanan, harus bersusah payah 
mempertahankan nyawa. 
"Hiaaa!" 
"Haih!" 
Trang! Trang! Bret! 
"Wuaaa!" 
Orang kelima belas dari Perguruan Tangan Wesi 
menemui ajal, terbabat golok pada bagian wajahnya. 
Di lain pihak, lawan orang-orang bertopeng itu 
tetap dalam jumlah semula. Belum seorang pun 
mengalami luka. Apalagi sampai tewas. Jelas-jelas 
kalau orang-orang bertopeng itu tidak mau tanggung-
tanggung menjalankan niat busuknya. Tampaknya, 
yang dikirim ke perguruan itu adalah orang-orang 
pilihan yang memang tangguh. 
Pertempuran terus berlangsung di sekitar 
pelataran perguruan. Setiap jengkal tanah pelataran, 
menjadi kancah penentuan antara hidup dan mati. 
Terutama, bagi para murid Perguruan Tangan Wesi. 
Yang mati-matian membela diri dan nama perguruan. 
Lebih dari itu, mereka pun siap mati untuk 
menghadapi kebatilan. 
Di beberapa sudut pelataran, satu lelaki bertopeng 
dikeroyok tiga murid perguruan. Keroyokan itu 
dilakukan tidak ksatria, tapi semata-mata mereka 
menyadari kalau ketangguhan orang-orang bertopeng

itu tidak bisa diremehkan. 
Di sebelah timur kancah pertarungan, dua murid 
Perguruan Tangan Wesi harus melayani habis-
habisan, golok seorang lelaki bertopeng yang 
bergerak begitu cepat mengejar keduanya. Padahal 
mereka sudah berusaha memperlebar jarak satu 
dengan yang lain, agar perhatian orang bertopeng itu 
dapat terpecah. 
Kedua murid perguruan yang tidak menggunakan 
senjata dalam pertempuran itu terpaksa tunggang 
langgang menghadapi sabetan golok orang 
bertopeng. Sebagaimana namanya, murid-murid 
Perguruan Tangan Wesi memang hanya meng-
andalkan sepasang tangan sebagai senjata. Mereka 
dilatih sedemikian rupa, agar tangan mereka mampu 
menjebol karang. Namun begitu, bukan berarti 
tangan mereka kebal terhadap senjata tajam. Itu 
sebabnya, mereka hanya menghindari serangan 
tanpa mampu menangkis sambaran golok. Kalau 
kebetulan beruntung, mereka bisa menangkis tangan 
orang bertopeng yang memegang senjata. 
"Hiah!" 
Bet, bet! 
"Hait!" 
Pada suatu kesempatan, lelaki bertopeng yang 
terus menyabet-nyabetkan golok bertubi-tubi, tiba-tiba 
melepaskan tendangan menyapu dengan memutar 
tubuh terlebih dahulu. 
Gerakan yang tak terduga ini membuat seorang 
murid terkesiap kaget. Dia tak terburu lagi melangkah 
mundur untuk menghindari kepalanya dari ancaman 
tendangan. Terpaksa badan merunduk, sehingga 
luput dari tendangan ganas itu. Namun baru saja bisa 
bernapas lega. Lelaki bertopeng itu segera

melancarkan serangan susulan. Goloknya langsung 
menggempur buas dari atas. Sehingga.... 
"Mampus kau! Hiaaah!" 
Crak! 
"Aaakh!" 
Didahului satu suara benda tajam membelah 
batok kepala, terdengar jerit kematian dari murid 
Perguruan Tangan Wesi. Tengkorak murid naas itu 
nyaris terbelah hingga pelipis. Darah pun langsung 
menyembur deras, begitu golok itu dicabut dari 
kepalanya. 
"Adi Karsa!" teriak murid Perguruan Tangan Wesi 
yang seorang lagi, melebihi kerasnya jerit kematian 
kawannya. Wajahnya memerah matang menyaksikan 
adik seperguruannya mengalami nasib memilukan di 
tangan orang bertopeng itu. 
"Hua ha ha...! Kenapa?! Kaget melihat kawanmu 
mampus dengan mudah di tanganku?! Atau kau takut 
mendapat giliran berikutnya?" ejek lelaki bertopeng 
itu pongah. 
Dengan mata berkobar-kobar amat gusar, murid 
Perguruan Tangan Wesi yang baru saja kehilangan 
seorang saudaranya, mendengus geram. Pangkal 
hidungnya terangkat sebagai tanda kegeramannya 
pada orang bertopeng itu. 
"Iblis! Kau harus membayar nyawa saudara 
seperguruanku!" dengus murid itu, sambil 
mengangkat tangan di depan dada. Otot-otot 
tangannya kontan bersembulan dan menegang. 
"Ah! Jangan anggap dirimu pedagang tempe. Pakai 
bayar-bayaran segala," cemooh orang bertopeng itu 
kembali, kian mendidihkan darah murid Perguruan 
Tangan Wesi. 
"Bangsat! Hiyaaa...!"

Deb, deb, deb! 
Tubuh murid Perguruan Tangan Wesi melenting 
tinggi ke arah orang bertopeng itu. Kedua tangannya 
memukul bergantian di udara, menimbulkan bunyi 
menggetarkan gendang telinga. Rupanya, dia berniat 
meremukkan kepala lawannya sebagai bayaran atas 
kematian adik seperguruannya yang bernama Karsa. 
"Hih!" 
Seketika orang bertopeng itu secepatnya menyer-
gap tanah untuk menyelamatkan kepalanya. Usaha-
nya berhasil. Tubuhnya langsung bergulingan, tepat di 
bawah kaki murid Perguruan Tangan Wesi yang 
tengah melayang. Dan dalam satu rangkaian gerak 
yang begitu cepat, golok di tangannya menebas ke 
atas, tepat diarahkan ke sepasang betis murid itu. 
Crak! 
"Waaa!" 
Bruk! 
Setelah kawannya mengalami nasib mengerikan, 
kali ini murid Perguruan Tangan Wesi itu mendapat 
giliran. Kedua kakinya terputus sebatas betis di 
udara. Potongannya langsung terpetal ke samping, 
diikuti semburan darah segar. Kemudian tubuhnya 
ambruk ke tanah, karena tidak bisa lagi berpijak. 
"Sayang sekali! Sebenarnya aku masih suka main-
main denganmu beberapa jurus lagi. Tapi, tampaknya 
kau tak bisa lagi menjadi lawan tandingku. Lebih 
menyesal lagi, pemimpinku menugaskan agar 
pekerjaanku harus diselesaikan secara tuntas. 
Jadi...." 
"Kau ingin bunuh aku? Bunuhlah! Aku tak pernah 
gentar untuk mati di tanganmu, Bangsat!" 
"O-o-o! Itu sudah pasti kulakukan. Nah, terimalah 
ke.... Akh!"

Tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya, lelaki 
bertopeng keji itu mengejang. Matanya mendelik 
keatas. Sedangkan dadanya membusung ke depan 
tegang. Tak pernah diduga kalau ucapannya tadi 
justru menjadi sambutan bagi ajalnya sendiri. 
"Ya! Terimalah kematianmu, Iblis Keparat," ujar 
seseorang di belakangnya seraya membetot tangan 
kanannya dari tubuh lelaki bertopeng itu. Orang yang 
membokong memang murid tertua Perguruan Tangan 
Wesi. 
Bruk! 
Tubuh lelaki bertopeng ambruk ke depan seperti 
sebatang pohon tumbang. Di bokongnya kini terlihat 
jelas lubang menganga, yang mengeluarkan darah 
segar. 
"Menyingkirlah, Adi! Selamatkan dirimu bagai-
manapun caranya!" perintah lelaki berperawakan 
pendek kekar dengan kumis melintang di bawah 
hidungnya. Sementara kepalanya dicukur gundul. 
"Tapi, Kang Manggala...." 
"Jangan pakai tetapi! Kau harus menjadi saksi 
mata atas kejadian ini, agar para tokoh aliran putih 
bisa menyelesaikannya. Sehingga, kejadian seperti ini 
tidak terulang pada perguruan lain!" hardik orang 
yang dipanggil Manggala, tanpa maksud memarahi 
adik seperguruannya. 
"Baik, Kakang. Tapi bukan berarti aku takut mati. 
Kau harus tahu itu, Kakang," ucap murid yang dua 
kakinya buntung itu. 
"Aku tahu. Kita semua bukan orang-orang 
pengecut. Kita adalah ksatria yang tak gentar mati 
demi menghadapi kebatilan. Ayo, cepatlah Adi...," 
pinta Manggala dengan suara bergetar. 
Meski Manggala dikenal sebagai lelaki berjiwa

tegar, tak urung perasaannya tersentuh melihat 
semangat juang adik seperguruannya. 
Dalam kancah pertarungan yang kian mendebar 
bau anyir darah, seorang murid Perguruan Tangan 
Wesi terseok-seok menyeret tubuh untuk keluar dari 
medan kematian. Mata berairnya tak henti-henti 
menatapi mayat demi mayat saudaranya. 
"Kalau kalian gugur semua hari ini, aku berjanji 
tidak akan menangisi. Karena kalian adalah ksatria. 
Ya, ksatria. Dan walau aku ditinggalkan sendiri di 
dunia busuk ini, yang penting kalian jangan 
memisahkan aku pada saat kita akan bertemu lagi 
nanti...." 
***

DELAPAN

Andika semula berharap, bencana yang menimpa dua 
perguruan yang dikunjungi sebelumnya, tidak 
menimpa Perguruan Tangan Wesi pula. Namun, 
Tuhan berkehendak lain. Apa yang diharapkannya 
ternyata melesat. Begitu pun keinginannya agar tidak 
terlambat tiba di perguruan itu. 
Setibanya di Perguruan Tangan Wesi, matanya 
malah menyaksikan pembantaian. Manggala, murid 
tertua perguruan itu pun menemui ajal, tepat saat 
Andika menjejakkan kaki di pelataran perguruan. 
Darah Pendekar Slebor mendidih sehebat-
hebatnya. Kemurkaannya yang memang sudah 
menggelegak, kini tiba di puncak ubun-ubun. Dalam 
sekejap, rahangnya mengeras. Demikian pula seluruh 
otot di sekujur tubuhnya. Dadanya kini ibarat gunung 
berapi yang siap meletus. 
"Kalian keparat semua! Akan kubantai kalian, 
seperti kalian bantai mereka!" bentak Andika 
menggelegar, seraya menunjuk pada serakan mayat 
para murid Perguruan Tangan Wesi. 
Teriakan itu mengejutkan dua puluh orang 
bertopeng yang masih hidup. Serempak mereka 
menoleh ke arah Andika, dengan tatapan siaga. 
Namun kesiagaan itu percuma, karena Pendekar 
Slebor telah bergerak sebelum mereka lebih lama 
melihatnya. 
"Hiaaat!" 
Wesss! 
Bayangan hijau muda dari pakaian Pendekar

Slebor bergerak dalam kecepatan luar biasa. Mata 
para lelaki bertopeng sampai-sampai begitu sulit 
menangkap bentuk tubuhnya, kecuali seberkas 
bayangan hijau muda. 
Plak! Des! 
Dan tiba-tiba saja, seorang bertopeng terpental 
tinggi ke udara. Dari mulutnya berceceran percikan 
darah. Entah apa yang hancur dari bagian tubuhnya, 
setelah menerima hantaman Pendekar Slebor. Yang 
pasti, begitu tubuhnya ambruk di tanah, sudah tak 
memiliki nyawa lagi. 
Andika terus berkelebat, lalu.... 
"Khaaah!" 
Deb! Krak! 
"Waaa!" 
Menyusul dua lelaki bertopeng yang kontan 
ambruk terkena serangan Pendekar Slebor. Kedua 
orang itu pun terpental bagai batang pohon kering 
terhempas topan. Satu orang memuntahkan darah 
segar, setelah menerima jotosan telak yang langsung 
memecah ulu hatinya. Seorang lagi tak sempat 
berteriak. Kepalanya remuk begitu saja dari ubun-
ubun hingga pangkal hidung. 
Tujuh belas lelaki bertopeng lain terkesiap bukan 
alang kepalang. Seumur hidup, belum pernah mereka 
menyaksikan serangan yang begitu cepat. Bagi 
mereka, kecepatan itu sudah tidak mungkin 
dilakukan manusia. Tapi kenyataan yang terjadi di 
depan mata? Sungguh membuat mereka bertanya 
dalam hati masing-masing, apakah mereka telah 
diserang siluman sinting? 
Untuk menjawab pertanyaan itu, mereka tidak 
punya waktu lagi. Langkah terbaik sisa pasukan 
bertopeng itu adalah bersiap menanti serangan

datang. Seandainya melarikan diri pun tampaknya 
sia-sia belaka, karena dengan mudah sosok 
bayangan hijau itu akan dapat mengejar. 
"Jangan lengah!" seru salah seorang yang 
tampaknya menjadi pemimpin pasukan, mempe-
ingati bawahannya. 
Baru saja seruan itu selesai.... 
Plak! 
"Aaa!" 
Kembali terdengar pekikan, yang diawali suara 
tamparan keras. Tampak seorang laki-laki bertopeng 
terjengkang ke tanah. 
Melihat kenyataan ini, nyali sisa pasukan 
bertopeng makin menciut. Napas mereka tersengal 
tak beraturan, sebagai ungkapan kengerian yang 
terjadi. Orang-orang keji itu kini bisa merasakan, 
bagaimana keadaan bila maut siap menjemput 
seperti dialami murid-murid Tangan Wesi. 
"Kenapa kalian diam saja?! Apa iblis di diri kalian 
telah pergi, setelah puas membantai?!" 
Terdengar teriakan Andika dari sebelah selatan 
pelataran. 
Secara berbarengan, keenam belas lelaki 
bertopeng itu menoleh. Kini mereka baru bisa melihat 
jelas sosok yang dihadapi. Dia adalah seorang 
pemuda yang ketampanannya kini diselimuti kobaran 
api kemurkaan. 
"Sss..., siapa kau sebenarnya?!" tanya pemimpin 
pasukan bertopeng agak gentar. 
"Aku? Aku siapa, ya?" cemooh Andika, mencibir, 
"Barangkali orang sinting yang begitu berselera 
menghisap darah kalian hidup-hidup." 
Bibir Pendekar Slebor kali ini menyeringai penuh 
ancaman. Sementara dari balik topeng, mata keenam

belas lelaki bertopeng itu menyipit. Bisa jadi mereka 
menanggapi secara sungguh-sungguh ucapan Andika 
barusan. 
"Kam... kami tidak ada urusan denganmu. Kenapa 
kau turut campur?" untuk yang kedua kalinya, sang 
Pemimpin pasukan bertopeng bertanya tersendat. 
"Ada! Kenapa tidak?!" bentak Andika sangar. 
"Kalian tahu apa hubunganku dengan orang-orang 
yang telah kalian bantai?!" 
Para lelaki bertopeng itu saling melirik. Bagaimana 
pertanyaan terakhir Pendekar Slebor terjawab, kalau 
mereka sendiri tidak mengenalnya. 
"Tidak tahu, kan? Aku juga tidak tahu!" cerocos 
Pendekar Slebor lagi. 
Kata-kata Andika membuat keenam belas lelaki di 
sekitarnya makin yakin kalau orang yang dihadapi 
memang orang sinting tulen. 
"Kau ingin tahu?!" bentak Andika pada pemimpin 
pasukan lawan. 
Bentakan barusan disertai penyaluran tenaga 
dalam penuh, sehingga terdengar mengguntur. 
Pemimpin orang bertopeng yang memang sudah jatuh 
nyali tersentak bukan main. Sampai-sampai kepala-
nya tersentak ke atas seperti sedang mengangguk. 
"Bagusss! Jadi kau ingin tahu?!" sambung Andika 
setelah melihat gerakan kepala lelaki itu. "Kalau kau 
dan anak buahmu benar-benar ingin tahu, maka 
kuizinkan pergi dari sini...." 
Mereka amat lega mendengar keputusan terakhir 
Andika. 
"Dan kalian harus ke suatu tempat, untuk 
mengetahui jawabannya!" terabas Andika lagi. 
Keenam belas lelaki bertopeng itu menunggu kata 
Pendekar Slebor selanjutnya. Mereka berharap,

pemuda sinting itu menyebutkan nama suatu tempat. 
Sehingga mereka bisa aman meninggalkan pelataran 
Perguruan Tangan Wesi. 
Sementara itu, Andika malah menggeram tak 
karuan. 
"Grrrmmmhhh! Ya! Kalian harus pergi ke... ke 
neraka!" 
Kelegaan sesaat mereka buyar seketika men-
dengar jawaban Pendekar Slebor. Jantung mereka 
saat itu juga terasa hendak berhenti berdenyut, 
dengan napas tersekat di tenggorokan. Bagaimana 
mereka tidak setakut itu kalau pemuda berbaju hijau 
ini memiliki kesaktian yang tak mungkin ditandingi, 
meski dikeroyok sekaligus. 
"Ampun...." 
Baru saja pemimpin pasukan bertopeng hendak 
memohon ampun, mulut Pendekar Slebor sudah 
memperdengarkan gelegar menggetarkan bangunan 
perguruan. 
"Khhhuaaa...!" 
Lalu.... 
Pendekar Slebor langsung berkelebat cepat, 
sambil melepaskan pukulan dan tendangan berturut-
turut. Begitu cepat gerakannya, sehingga.... 
"Akh!" 
"Waaakh...!." 
Dua lelaki bertopeng yang berdiri paling dekat 
terhempas ke belakang bagai tanpa bobot, begitu 
terhantam pukulan dan tendangan Andika. Tubuh 
keduanya baru berhenti terlempar, kala menghantam 
dinding bangunan perguruan. Dinding itu langsung 
remuk, seperti remuknya tubuh kedua lelaki yang 
termakan serangan Pendekar Slebor. 
Saat berikutnya....

Pendekar Slebor kembali berkelebat, disertai 
tamparan khas. Dan.... 
Jbret! Prak! Prak! 
"Aaakh...! Aaa...! Aaakh...!" 
Tiga suara menggidikkan terdengar dalam waktu 
hampir bersamaan. Satu orang langsung melintir di 
udara terhajar tamparan sakti pada wajahnya. Dua 
orang lagi masih tetap tegak di tempat. Namun 
kepalanya sudah tidak utuh lagi, terkena babatan 
tangan pada leher. Lalu keduanya ambruk ber-
samaan, disertai semburan darah segar. 
Pendekar Slebor tak puas sampai di situ. Baginya, 
mereka telah berhutang nyawa puluhan murid 
Perguruan Tangan Wesi. Suka tidak suka, hutang itu 
harus dibayar lunas dengan nyawa. 
"Hiaaa!" 
Kembali terdengar teriakan merobek angkasa dari 
Pendekar Slebor. Ketika teriakan itu terdengar, 
tubuhnya sudah tidak ada di tempat. Saat berikutnya, 
Pendekar Slebor sudah tiba di depan empat lawan 
yang tersurut ketakutan. Dan tanpa dapat ditangkap 
mata, tangannya bergerak membentuk kelebatan 
hijau muda. 
Deb, deb, deb, deb! 
Empat jotosan telak langsung menghajar ulu hati 
keempat lelaki bertopeng. Wajah mereka sulit 
digambarkan dengan mata terbeliak. 
Tak terlontar jeritan sedikit pun dari mulut 
keempat lelaki bertopeng itu, karena nyawa lebih 
dahulu terlepas ketika ambruk di tanah. 
Bruk, bruk, bruk, bruk! 
Menyaksikan kematian mengerikan kawan-
kawannya, sisa pasukan bertopeng itu putus harapan. 
"Ampuni kami, Tuan! Ampuni kami...."

Seperti bocah kecil bodoh, mereka serempak 
berlutut sambil merengek-rengek. 
Pendekar Slebor sendiri sudah berdiri tepat di 
depan mereka dengan napas mendengus-dengus. 
Hanya napas banteng ngamuk yang bisa menandingi 
kekerasan Andika. Tak ada tanda-tanda kalau Andika 
telah puas atas kematian para lawannya tadi. Itu 
terlihat jelas dari warna matanya yang memerah 
matang. Namun entah kenapa, Pendekar Slebor 
menghentikan gerak menggilanya kala sisa pasukan 
bertopeng itu berlutut memelas. Seolah ada satu 
kekuatan dari relung batinnya yang mencegah 
serangannya. 
"Ka..., kami memang manusia busuk, Tuan. Kami 
mengaku bersalah. Kami juga mengaku, kalau kami 
semua pantas mendapat perlakuan seperti yang Tuan 
Pendekar lakukan. Tapi, tolong beri kesempatan 
hidup agar kami dapat menebus semua kesalahan," 
pinta seorang dari mereka mengiba. 
"Kalian bisa menebus kesalahan hanya dengan 
nyawa...," tandas Andika bergetar dan terdengar 
dingin. 
"Tapi, apakah di hadapan Tuhan kami tidak bisa 
bertobat, Tuan Pendekar? Kalau Tuan tidak bisa 
mengampuni kami, sudikah menyerahkan kami pada 
Tuhan Penguasa Alam. Biar Dia yang akan 
menentukan, hukuman apa yang pantas bagi kami...," 
lanjut orang itu makin lirih. Kepalanya tertunduk 
dalam, seperti juga kawan-kawannya. 
Seberkas kekuatan asing tiba-tiba menyeruak 
kembali dari relung batin Andika yang terdalam. 
Seolah, dalam dirinya terdengar ucapan, "Tuhan 
Maha Pengampun...." 
Lalu terjadi keganjilan. Seluruh daya kemurkaan

yang bergolak dalam diri Andika surut bagai tersapu 
gelombang maha sejuk. 
"Baiklah.... Kalian kumaafkan," putus Andika 
perlahan. "Namun, kuminta kalian membuka topeng 
itu. Di mataku, topeng itu adalah perlambang 
manusia tak bertanggung jawab. Bisanya hanya 
melakukan kebusukan dari belakang, namun tetap 
ingin dianggap orang baik...." 
Mereka pun memenuhi permintaan Andika. Satu 
persatu mereka melepas kain hitam penutup kepala. 
Sampai pada orang terakhir yang membuat Andika 
mengerutkan dahi dalam-dalam. 
"Kau.... Jiran?" ujar Andika setengah bertanya. 
***

SEMBILAN

Andika benar-benar tak menduga kalau Jiran, lelaki 
yang pernah disaksikannya saat dipermainkan Walet 
di pasar Desa Dukuh, ada di antara orang-orang 
bertopeng itu. Setahu dia, Jiran bukan murid 
Perguruan Ular Iblis. 
"Tuan Pendekar mengenalku?" tanya Jiran 
terheran-heran. 
"Bukankah kau yang hendak membunuh seorang 
bocah di pasar Desa Dukuh waktu itu?" Andika balik 
bertanya, seakan ingin meyakinkan diri. 
"Maafkan aku, Tuan. Waktu itu aku khilaf," sahut 
Jiran. 
"Jadi benar?" 
Jiran mengangguk. 
"Apa hubunganmu dengan Perguruan Ular Iblis?" 
tanya Andika kembali. 
"Tidak ada Tuan...." 
Alis Andika langsung bertaut rapat. Kelihatannya 
ada sesuatu yang tak beres. 
"Kau bersedia menceritakan padaku tentang 
semua yang kau ketahui?" tanya Andika, setengah 
mendesak. 
Jiran tak segera menjawab. Air wajahnya berubah, 
memperlihatkan ketakutan. Kepalanya pun meng-
geleng-geleng tak beraturan. Di mata Andika, lelaki itu 
tampak amat gelisah. 
"Kau takut pada seseorang?" duga Andika. 
Jiran langsung mengangguk. Matanya menebar 
takut-takut ke setiap penjuru, seakan sedang diintai

maut. 
"Ketakutan itu tak perlu disimpan. Aku akan 
berusaha melindungimu. Lagi pula, bukankah kau 
ingin bertobat? Inilah saatnya untuk membuktikan 
kesungguhanmu pada Tuhan. Paling tidak, kau telah 
berusaha menebus sedikit dosamu...," desak Andika, 
berusaha menekan ketakutan Jiran. 
Lama Jiran meremas-remas tangannya sendiri. 
"Baiklah, Tuan Pendekar. Aku harap ini bisa menebus 
sedikit kesalahanku...," desah Jiran, akhirnya. 
Andika lega. Bibirnya menawarkan senyum senang 
pada keputusan Jiran yang berani menanggung 
akibat demi tobatnya. 
"Silakan," ucap Andika. "Aku senang sekali 
mendengarnya." 
"Sebenarnya, seluruh bencana yang terjadi di 
kadipaten ini tidak ada hubungan sama sekali 
dengan Perguruan Ular Iblis," Jiran memulai ceritanya. 
"Perguruan itu memang tertutup dan penuh 
kerahasiaan, tapi tidak pernah melakukan tindak 
kerusuhan...." 
"Jadi, selama ini ada seseorang yang hendak 
memfitnah perguruan itu?" selak Andika. 
"Lebih tepat, jika dikatakan hendak mengadu 
domba, Tuan," lanjut Jiran. "Orang-orang bertopeng 
yang menyerbu ke Perguruan Elang Hitam dan 
Perguruan Naga Langit, sengaja diperintah untuk 
meninggalkan kalung berlambang Perguruan Ular 
Iblis. Demikian juga, beberapa orang yang melakukan 
pengacauan. Mereka diperintah untuk mengenakan 
pakaian berlambang perguruan itu. Dengan begitu, 
Perguruan Ular Iblis akan makin dibenci perguruan 
lain di kadipaten ini. Dan setiap kejahatan yang 
terjadi perguruan itu akan langsung dituding sebagai
pelakunya...." 
"Sementara orang yang memfitnah bisa bertindak 
seenaknya tanpa kedoknya terbuka? Agar dia tetap 
dipandang bersih dan tetap aman?" selak Andika lagi. 
"Benar, Tuan...," jawab Jiran singkat. Sesaat Andika 
bergumam samar. Ditepuk-tepuknya dagu dengan 
jemari tangan kanannya. 
"Lalu, bagaimana caranya manusia keparat itu 
dapat melakukan pembunuhan keji, dengan me-
masukkan puluhan batang jarum ke dalam tubuh 
manusia?" lanjut Andika. 
Jiran baru hendak menjawab. Tapi otak jernih 
Andika sudah lebih dahulu menemukan jawabannya. 
"Pasti Mustika Putri Terkutuk itu!" duga Pendekar 
Slebor agak heran, setelah ingat pesan terakhir Ki 
Kusuma. 
"Benar, Tuan. Bagaimana Tuan tahu tentang 
mustika itu?" tanya Jiran heran. 
"Bagaimana mustika itu dapat digunakan untuk 
membunuh?" lanjut Andika, seakan tidak mendengar 
pertanyaan Jiran tadi. 
"Kalau itu aku tidak tahu, Tuan," jawab Jiran. 
Padahal, Andika tidak mengajukan pertanyaan itu 
pada dirinya. 
"Sekarang katakan, siapa biang keladi semua ini? 
Siapa dalang pembantaian keji ini?" tanya Andika 
dengan kata-kata tegas. 
Untuk kesekian kalinya, Jiran melirik kian kemari. 
"Gusti Adipati, Tuan...," bisik Jiran amat halus, dan 
takut-takut. 
Andika menatap Jiran dengan sinar mata tak 
percaya. Kelopak matanya tampak menyipit, seakan 
hendak membuktikan kesungguhan di wajah lelaki itu.

"Kau jangan main-main, Jiran," tandas Pendekar 
Slebor setengah memojokkan. "Apa kau pikir aku 
akan mudah dipermainkan?" 
Jiran menggeleng-gelengkan kepala. Alis matanya 
terlihat merapat, untuk memperlihatkan kesungguhan 
ucapannya barusan. 
"Kalau Tuan tidak percaya, aku bisa dilumpuhkan 
selama Tuan membuktikan hal itu. Kalau aku ternyata 
menipu, Tuan boleh membunuhku," tegas Jiran yakin. 
Andika menarik napas. Sudut bibirnya sedikit 
terangkat. Dia tidak bisa lagi menganggap lelaki itu 
hendak menipunya. , 
"Ya, Tuhan...," desis Andika tiba-tiba terperangah. 
Saat itu pula dia ingat sesuatu. "Walet ada di 
kadipaten. Dan dia pernah hendak dibunuh oleh 
seorang berpakaian orang Perguruan Ular Iblis yang 
sudah pasti kaki tangan Adipati itu juga. Bocah itu kini 
dalam sarang harimau, dan berarti dalam bahaya 
besar...." 
"Tuan sedang berbicara padaku?" usik Jiran pada 
Andika. 
"Walet! Kau kenal dia, kan?" 
"Jadi bocah itu masih hidup?" sergah Jiran 
bingung. Setahunya, anak itu telah habis direncahnya. 
"Kau tahu, kenapa Adipati Tunggul Manik ingin 
membunuhnya?" tanya Andika tergesa, dirasuki 
kekhawatiran pada nasib Walet. 
"Aku tidak tahu, Tuan. Hanya waktu aku 
dipecundangi bocah itu seminggu sebelumnya, aku 
melapor pada Adipati. Mendengar laporanku, Adipati 
Tunggul Manik tampak geram. Aku masih ingat, 
telapak tangannya dipukul keras. Setelah itu, dia 
membisikkan sesuatu pada Artabuncah...." 
"Artabuncah? Lelaki yang wajahnya cacat bekas

sayatan?" 
"Betul, Tuan. Dia tangan kanan Adipati." 
Dugaan Andika jadi memang benar. Tapi, apa 
alasannya Walet hendak dibunuh? Lama Andika 
memikirkan pertanyaan itu, sampai akhirnya 
menyerah. 
"Ah, sudahlah. Begini saja. Kalian lebih baik 
sembunyi dulu, selama aku menyelesaikan masalah 
ini. Aku tak ingin kalian jadi korban kejahatan Adipati 
Tunggul Manik," putus Andika secepatnya. "Aku harus 
segera ke kadipaten. Kawan kecilku dalam bahaya." 
"Tapi, di mana tempat yang aman bagi kami, Tuan. 
Seluruh kadipaten ini selalu ditempatkan mata-mata 
Adipati?" tukas Jiran dengan wajah pasi. 
"Ng..., lebih baik kalian pergi ke Perguruan Naga 
Langit. Katakan, kalian adalah utusan Pendekar 
Slebor," ujar Andika cepat. 
"Jadi Tuan ini Pendekar Slebor?!" kata Jiran 
setengah berseru. 
Wajah lelaki itu menampakkan keterkejutan yang 
amat sangat. Begitu juga kawannya. Pantas saja 
mereka merasa tak mampu menghadapi pendekar 
muda itu. 
Kalau Jiran menatap Andika penuh kekaguman, 
Andika sendiri mendadak terdiam. Benaknya ter-
ngiang kembali pesan Ki Kusuma saat teringat 
Perguruan Naga Langit. 
"'Kendi berisi telaga'...," bisik Andika. "Bukankah 
ibarat itu berarti seseorang yang berjasmani kecil, 
namun memiliki isi besar, artinya memiliki jiwa yang 
tangguh. Walet! Dialah orang yang dimaksud wanita 
cantik dalam 'petunjuk' Ki Kusuma, orang yang 
mampu membantu menghadapi kekuatan Mustika 
Putri Terkutuk! Pantas, Adipati Tunggul Manik hendak

membunuh Walet! Ya, bocah itulah yang sanggup 
menghalanginya memanfaatkan kekuatan Mustika 
Putri Terkutuk...." 
Andika mengangguk-angguk penuh kepuasan. 
Kemudian Pendekar Slebor pamit pada sisa pasukan 
bertopeng yang masih menatapnya, seperti kumpulan 
orang' dungu. Sampai tubuh Andika menghilang, 
barulah mereka tersadar. 
*** 
Kekadipatenan siang itu terlihat lengang. Dua 
prajurit jaga tampak berdiri tegak di sisi pintu 
gerbang. Angin siang berhembus sepoi-sepoi, 
membuat keduanya agak terkantuk. Di sekitar pagar 
tembok kadipaten, pepohonan bergemerisik diusik 
angin lalu. 
Di sebuah kamar dalam bangunan kadipaten, 
Walet tertidur pulas. Sejak Andika pergi, bocah lelaki 
itu sama sekali tidak bisa memicingkan mata. Tanpa 
sempat tertidur, Walet terus menunggu Andika 
kembali. Seolah-olah, dia dapat merasakan per-
juangan Andika jauh di sana. Setelah keletihan 
meringkusnya habis-habisan, dia tak bisa lagi terjaga. 
Di kamar yang disediakan Adipati Tunggul Manik 
bocah itu akhirnya tertidur. 
Cukup lama kamar Walet tampak damai. Kuakan 
jendela tempat angin melintas masuk mengirim 
cahaya siang ke dalam kamar yang ditata apik ini. Di 
sebelah jendela tampak lemari besar berukir berdiri. 
Di sudut lain, sepasang meja dan kursi berukir 
terpaku bisu. Tirai putih yang menutup tempat tidur 
yang selama hidup baru dinikmati Walet, merambai 
halus ketika angin menerpa.


Semua itu tak sedikit pun menampakkan ancaman 
bagi Walet. Namun, tanpa disadari sepasang mata 
bengis tampak mengamatinya dari balik dinding. Dari 
sang Pengintai itulah bahaya maut siap men-
cengkeram jiwa Walet. 
Saat berikutnya, lemari besar berukir bergeser 
perlahan. Suara geserannya begitu halus, sehingga 
tak mengusik kenyenyakan tidur Walet. Namun 
begitu, kalaupun suaranya terdengar lebih keras, 
Walet sepertinya tetap melayang dalam mimpi. Dia 
memang sudah begitu lelah, membuat tidurnya amat 
nyenyak. 
Grrr...! 
Setelah lemari bergeser satu tombak, terlihatlah 
satu lubang persegi sebesar pintu. Dari sana, se-
seorang muncul mengendap. Dan ternyata orang itu 
Adipati Tunggul Manik! 
Lelaki setengah baya itu kini tidak lagi mengena-
kan pakaian kebesaran, melainkan berpakaian jubah 
hitam dengan sabuk kain di bagian pinggang. Celana-
nya berwarna hitam pula. Sedangkan kepalanya diikat 
kain berwarna merah darah. 
Sangat hati-hati Adipati Tunggul Manik mendekati 
Walet. Sedikit pun tak terdengar suara kala sepasang 
kaki lelaki itu bersentuhan dengan lantai. Padahal dia 
mengenakan kasut kayu. Dengan begitu, terlihat jelas 
bagaimana tingginya ilmu meringankan tubuhnya. 
Adipati Tunggul Manik makin dekat. Dan ketika 
tiba tepat di sisi tempat tidur Walet, tangan kanannya 
bergerak meraih sesuatu dari belakang tubuhnya. 
Sret! 
Keris dari baja hitam sepanjang dua jengkal kini 
tergenggam kuat-kuat, siap dihujamkan ke tubuh 
bocah kecil yang tetap tertidur pulas.

Sehati-hati langkah Adipati Tunggul Manik, senjata 
itu diangkat tinggi-tinggi di atas tubuh Walet. Sesaat 
keris itu hendak dihujamkannya ke dada Walet, tiba-
tiba.... 
"Adipati! Keluar kau!" 
Terdengar bentakan keras menggelegar yang tidak 
hanya mengagetkan Adipati Tunggul Manik. Walet 
punkontan tersentak kaget, hingga terjaga. 
Menyaksikan calon korbannya terbangun, Adipati 
Tunggul Manik bergerak sigap. Hanya sekali hentak 
saja, tubuhnya berputar ke belakang di udara. Dalam 
waktu yang demikian cepat, dia sudah menghilang 
kembali di balik pintu rahasia sebelum Walet benar-
benar sadar. Dan lemari besar di sisi jendela itu pun 
kembali ke tempat semula. 
"Adipati! Di mana kau?!" Kembali terdengar seruan 
di luar. 
"Hei? Bukankah itu suara Kang Andika?" gumam 
Walet seraya mengusap-usap kelopak matanya yang 
sepat. 
Bergegas bocah itu bangkit, lalu meninggalkan 
kamar. Dia terus berlari, melewati lorong-lorong 
kamar. Dan setibanya di luar, bocah kecil itu berteriak 
girang melihat lelaki yang ditunggu-tunggunya 
seharian penuh telah kembali. 
"Kau sudah pulang, Kang?! Wah, bawa oleh-oleh 
apa?!" kata Walet. 
"Kesini kau!" 
Bukannya menjawab, Andika malah berseru keras-
keras pada Walet. 
Dengan wajah bersungut-sungut, Walet meng-
hampiri Andika. 
"Ada apa sih. Kang?! Kayaknya sewot sekali...," 
gerutu bocah itu.

"Kau baik-baik saja?" tanya Andika segera, ketika 
Walet sampai di dekatnya. 
Walet menaikkan satu sudut bibirnya. Dipandangi-
nya Andika dengan bola mata terangkat ke atas. 
"Ya, baik-baik saja. Apa aku kelihatan seperti orang 
sakit lepra?" sahut Walet asal bunyi. 
"Bagus! Berarti bajingan itu tidak memiliki 
kesempatan untuk menghabisimu...." 
"Banjingan? Siapa, Kang?" tanya Walet. Bocah itu 
bingung melihat sikap Andika yang begitu tegang. 
Matanya bahkan bergerak-gerak siaga, seakan 
hendak mengawasi setiap gerak mencurigakan di 
seluruh penjuru kekadipatenan ini. 
"Pasti selama ini kau selalu waspada. Itu bagus!" 
lanjut Andika, tanpa mempedulikan keheranan bocah 
kecil di depannya. 
"Selama Kang Andika pergi, aku memang tidak 
bisa tidur. Mataku melek terus, seperti kerbau 
kebanyakan kopi!" 
"Kau tahu di mana Adipati Tunggul Manik?" tanya 
Andika lagi. 
"Mana aku tahu. Tadi aku ketiduran," sahut Walet 
acuh. "Memangnya ada apa, Kang?" 
Lagi-lagi Andika seperti tidak mempedulikannya. 
"Adipati! Keluar kau! Apa perlu aku yang 
memaksamu keluar!" 
Pendekar muda itu malah berseru kembali dengan 
tenaga penuh, membuat Walet menutup telinganya 
rapat-rapat. 
"Kang! Oi, Kang! Apa Kakang baru dicolek setan 
sewot?" dengus Walet sambil mendongak ke wajah 
tegang Andika. "Dan.... Kenapa dengan dua prajurit di 
pintu gerbang itu?" 
Walet mengarahkan pembicaraan ketika matanya

menemukan tubuh kedua prajurit tergeletak lemah. 
"Aku menotoknya," jawab Andika singkat. Tanpa 
menoleh sedikit pun. 
Sikap Andika itu membuat Walet mulai dongkol. 
Maka disikutnya lengan Andika. 
"Kenapa Kakang jadi usil?" tanya Walet, setengah 
menggerutu. 
"Kau tidak mengerti. Nanti akan kujelaskan 
semuanya," sergah Andika. 
"Aku maunya sekarang, Kang." 
Andika tidak menanggapi, tapi malah sibuk 
mengawasi bangunan kadipaten yang masih tetap 
sepi. 
"Kaaang, aku maunya sekarang!" jerit Walet sewot. 
"Diam! Ini bukan waktunya bergurau!" hardik 
Andika. 
Terpaksa Walet menutup bibirnya rapat-rapat. 
Rupanya pemuda itu memang bersungguh-sungguh. 
Tak lama kemudian beberapa orang muncul dari 
bangunan kadipaten dengan setengah berlari. 
Mereka menuju halaman depan, dan satu persatu 
berdiri menyusun pagar betis. Sehingga, terbentuklah 
empat baris yang terdiri dari puluhan orang. Mereka 
adalah para prajurit pilihan kadipaten yang ditempat-
kan di padepokan belakang. 
Layaknya para prajurit pilihan, tubuh mereka rata-
rata tegar berotot dengan dada bidang membusung 
penuh percaya diri. Mereka hanya mengenakan 
celana hitam sebatas betis yang dililit kain batik, 
tanpa memakai baju. Sementara rambut mereka 
digelung ke atas. Di tangan masing-masing ter-
genggam sebatang tombak serta tameng besi. 
Puluhan prajurit itu siap menjalani titah 
junjungannya, tanpa pernah disadari kalau ternyata

diumpankan untuk membela seorang berhati busuk 
dan bermuka dua. 
"Kalian kuminta menyingkir! Jangan sampai kalian 
mati di tanganku hanya karena telah dibodohi 
Adipati," pinta Andika. 
"Tidak mungkin. Mereka adalah punggawa istana 
yang berkewajiban menjalani segala titah 
junjungannya...!" seru seseorang dari belakang 
barisan. Kemudian muncul dua orang berpakaian 
senapati dan berpakaian tumenggung. Masing-
masing bernama Senapati Wisesa dan Tumenggung 
Adiguna. 
Senapati Wisesa berperawakan tinggi dan tegap. 
Dadanya yang kekar berisi, ditutup selempengan kain 
merah berjumbai benang warna emas di sisinya. 
Seperti juga para prajurit, dia mengenakan celana 
hitam yang dililit kain batik. Bedanya, pada ujung 
celananya terdapat hiasan dari benang perak. 
Wajah Senapati Wisesa tergolong tampan. Apalagi, 
mengingat usianya yang masih tiga puluh lima tahun. 
Kumis tebal serta cambang hitam di depan telinga, 
membuat penampilannya terlihat kian gagah. 
Rambutnya digelung ke atas dengan hiasan kepala 
dari perak berukir. Di tangannya terhunus keris 
pusaka miliknya. 
Sementara Tumenggung Adiguna bertubuh agak 
gemuk. Badannya ditutup pakaian kebesaran seorang 
tumenggung. Dia berbaju dan bertopi hitam, seperti 
milik Adipati. Bentuk topinya yang seperti tabung 
meninggi itu, dihiasi garis-garis lurus berwarna emas. 
Begitu pula ujung-ujung bajunya, dihiasi ukiran 
berwarna emas. Celananya berwarna putih susu, 
dibalut batik dan diikat kain bergaris merah putih. 
Wajah Tumenggung Adiguna agak bulat, tanpa

ditumbuhi kumis atau cambang bauk. Usianya cukup 
tua, membuat matanya agak abu-abu. Namun, 
wajahnya memancarkan kewibawaan tinggi. Bibirnya 
yang agak tipis berlawanan dengan hidungnya yang 
agak tebal. 
"Tuan Senapati dan Tuan Tumenggung," mulai 
Andika kembali, "Aku sangat menghormati kalian, 
selaku pembesar terhormat. Jadi kuharap kalian tidak 
menghalangiku untuk meringkus Adipati Tunggul 
Manik." 
"Bagaimana mungkin kami membiarkan begitu 
saja junjungan kami diusik orang?" sanggah 
Tumenggung Adiguna tegas. 
"Kalian harus mempercayaiku...." 
"Karena kau seorang pendekar kesohor?" selak 
Senapati Wisesa. 
"Bukan...," Pendekar Slebor segera menggeleng. 
"Karena aku telah mendapatkan bukti kalau 
junjungan kalian telah melakukan makar jahat." 
"Bagaimana orang yang baru dikenal seperti dirimu 
bisa dipercaya, kami sudah kenal lama pada Kanjeng 
Adipati, selaku pemimpin yang baik," sanggah 
Tumenggung Adiguna kembali. 
"Kalian memang tak bisa mempercayaiku begitu 
saja. Aku bisa memaklumi. Tapi, izinkanlah aku 
meringkus Adipati dahulu. Setelah itu, baru kalian 
kupertemukan pada seseorang yang mengetahui 
jelas kejahatan tersembunyi yang dilakukannya," tutur 
Andika berusaha bersabar. 
"Bagaimana kami harus mempercayaimu? 
Bagaimana kalau kau ternyata menipu kami?" tanya 
Tumenggung Adiguna, lagi-lagi berusaha menyudut-
kan Andika. 
Andika kini benar-benar mati kutu. Bagaimanapun

caranya, memang sulit menembus kesetiaan mereka 
pada junjungan. Apalagi, Andika tidak bisa langsung 
membuktikan seluruh makar Adipati Tunggul Manik. 
Namun begitu, Andika harus tetap meringkus 
Adipati Tunggul Manik untuk diserahkan pada pihak 
Perguruan Naga Langit. Di lain sisi, dia tak ingin ada 
korban tak berdosa di pihak kadipatenan. Karena 
mereka sebenarnya hanya menjalankan tugas tanpa 
tahu apa-apa. 
Kini, Andika benar-benar berada dalam keadaan 
sulit. Seakan dia dihadapkan pada buah simalakama. 
Dua pilihan yang meski diambil, tapi sama-sama 
mengandung bahaya. Kalau bersikeras untuk 
meringkus Adipati Tunggul Manik, maka mau tak mau 
harus dihadapinya para prajurit dan Senapati Wisesa 
dan bersama Tumenggung Adiguna. Itu berarti mem-
bahayakan jiwa mereka. Sementara, kalau usaha 
meringkus Adipati ditangguhkan, maka bisa saja 
pengkhianat rakyat itu melakukan tindakan yang bisa 
memakan korban lebih banyak di pihak rakyat. 
"Jadi lebih baik kau segera menyingkir dari tempat 
ini sebelum kami bertindak," ujar Senapati Wisesa 
mengancam. 
Andika tidak berbuat apa-apa. Peringatan Senapati 
Wisesa tadi seperti tidak didengarnya. Bukan apa-
apa. Andika hanya sedang diamuk kebimbangan, 
untuk mengambil satu keputusan. Meski dirinya 
dikenal sebagai pendekar berotak encer, keadaan 
yang dihadapinya kali ini tetap saja menyulitkan. 
Sikap Andika itu tentu saja memancing kegusaran 
Senapati Wisesa. Selaku petinggi, sikapnya harus 
tegas pada siapa pun. Tak peduli, orang itu pendekar 
yang disegani di seantero persilatan sekalipun. 
"Kalau itu maumu, apa boleh buat...," tandas

senapati itu. Kemudian.... "Seraaang!" 
Layaknya air bah, puluhan prajurit segera 
menyerbu Pendekar Slebor. Dalam sekejap mata 
saja, Pendekar Slebor sudah dikepung. Hanya ada 
satu tujuan di benak para prajurit saat itu, menunai-
kan tugas sebaik-baiknya. 
"Hiaaat!" 
Seruan perang terlontar ke udara, seiring tusukan 
tombak. 
Wut, wut, wut! 
***

SEPULUH

Sejak malang melintang dalam dunia persilatan, 
maka pertarungan terberat yang dialami Andika kali 
ini adalah pertarungan yang terberat. Bukan karena 
lawan-lawan yang meski dihadapinya rata-rata 
berkepandaian tinggi. Kalaupun mereka semua 
mengeroyoknya, belum tentu mampu mengalahkan 
pendekar urakan ini. Tentu saja selaku pendekar 
sejati, Andika merasa berat untuk menurunkan 
tangan kejam pada orang-orang yang sebenarnya 
hanya diperalat. 
Namun demikian, Pendekar Slebor tidak begitu 
bodoh untuk membiarkan tubuhnya direncah puluhan 
batang tombak yang mengancam dirinya dari segala 
penjuru. Secepatnya dilepas kain pusaka dari 
pundaknya. Dengan penyaluran tenaga dalam 
secukupnya, serbuan tombak para prajurit itu bisa 
disapu bersih. 
"Hih!" 
Wut! Kra-krak-krak-krak! 
Satu rentetan suara patahan tombak terdengar. 
Dua puluh tiga prajurit saat itu juga terlonjak, 
mengikuti hentakan pada senjata masing-masing. 
Tombak mereka sendiri sudah tidak memiliki ujung 
lagi, patah terkena hantaman senjata ganjil Andika. 
Patahannya bertebaran sesaat di udara, lalu jatuh 
berserakan di tanah. 
Serangan awal yang gagal itu dilanjutkan serangan 
susulan oleh para prajurit. Sebagai pasukan pilihan, 
dengan sigap mereka membentuk satu bentuk

pertempuran mirip bintang berpijar. Secara ber-
gantian, orang yang di belakang maju ke depan dan 
sebaliknya. Sehingga, gerakan mereka tampak 
seperti kerlip bintang. 
Meski tingkat kepandaian para prajurit masih jauh 
di bawahnya, tapi tak urung Andika merasa agak 
bingung menghadapi siasat serangan itu. Serangan 
bergantian berupa tangan dan kaki itu benar-benar 
mendobrak benteng pertahanan Andika. 
Terlebih, ketika kedua puluh tiga orang itu mulai 
mengeluarkan pedang panjang masing-masing. 
Dengan begitu, daya jangkau serangan makin mem-
besar. Dan itu berarti semakin memperkecil ruang 
gerak Pendekar Slebor. 
Agar tidak terus diserbu kelebatan pedang para 
prajurit yang terus mencecarnya, Pendekar .Slebor 
mengubah siasat pertahanannya. Di tengah 
kepungan, tubuhnya tiba-tiba berputaran cepat 
dengan bertumpu pada satu kaki. Sedangkan kakinya 
yang lain sengaja diseret di tanah berdebu. 
Sekejap saja, kepulan debu pekat berterbangan. 
Angin hasil ciptaan Andika, membuat kepulan debu 
itu bertebaran di tengah kepungan. Maka tubuh 
Pendekar Slebor pun terselimuti, dan tak dapat 
ditangkap lagi oleh mata para pengeroyoknya. 
Saat selanjutnya, tubuh Andika meluncur ke atas 
seperti hendak terbang. Dia berusaha untuk 
melepaskan diri dari kepungan rapat para prajurit. 
Dan usahanya ternyata berhasil. 
"Walet! Apa kau hanya bisa bengong seperti tuyul 
bego!" 
Ketika masih di udara, Andika berteriak pada 
Walet yang berdiri di dekat tembok kadipatenan. 
Memang, sebelum Pendekar Slebor dirangsek begitu

rupa, bocah kecil itu telah menyingkir terlebih dahulu. 
Kebetulan dia tidak menjadi incaran para prajurit, 
sehingga tidak mendapat rintangan apa-apa. 
Sebenarnya, Andika dongkol melihat bocah itu 
yang hanya menonton dirinya. Padahal Andika sendiri 
sedang sungsang sumbel menghindari keroyokan. 
"Lawan saja, Kang! Salah sendiri, kenapa hanya 
bertahan!" sahut Walet begitu Andika menjejak tanah, 
lima belas tombak dari musuh-musuhnya. Lagak 
bocah itu seperti tukang sabung ayam yang sedang 
memberi semangat pada jagonya. 
"Tai kucing!" maki Andika sengit. "Aku tak mau 
mereka celaka, karena diperalat Adipati Tunggul 
Manik!" 
"Lumpuhkan saja kalau begitu! Totok saja mereka. 
Tok, tok, tok, bereskan?!" 
"Dengkulmu beres! Jumlah mereka terlalu banyak 
untuk ditotok satu persatu! Apa matamu buta?!" 
"Kalau begitu, gimana ya?" tanya Walet santai 
seraya menaikkan kedua bola matanya. 
"Jangan banyak tanya! Kau bisa bantu apa tidak, 
Bocah Sialan?!" 
"Tentu saja. Kenapa tidak?" sahut Walet, tetap 
acuh. 
"Ayo lakukan! Kenapa masih tunggu-tunggu lagi!" 
bentak Andika, buru-buru manakala melihat seluruh 
prajurit kini malah turut menyerbunya. 
Walet hanya menggeleng-gelengkan kepala santai. 
"Kenapa Kakang tidak bilang dari tadi. Salah 
sendiri...." 
"Cepaaat!" sergah Andika mangkel tak ketolongan. 
Walet nyengir sebentar, kemudian mulai bersila 
seraya memejamkan mata. 
Seketika daya pengaruh batin bocah kecil itu pun

memancar ke sekitarnya bagai gelombang air yang 
kian membesar. Kekuatan tak terlihat itu lalu mulai 
merasuk dalam benak setiap prajurit. Dan tiba-tiba 
saja, para prajurit menyaksikan makhluk tinggi besar 
menyeramkan menghadang di depan. 
Tinggi makhluk itu hampir sama dengan pohon 
kelapa. Badannya ditumbuhi lumut berwarna hijau 
tua berlendir. Kepalanya berbentuk kepala ular kdbra 
dengan taring sebesar mata tombak di mulutnya yang 
terbuka lebar. Sepasang matanya bersinar merah 
tanpa bola mata, semerah liur yang memanjang di 
rongga mulutnya. 
Saat makhluk itu menyerang bagai salakan seribu 
guntur, puluhan prajurit di depannya tersurut mundur 
dengan wajah kaku. Mata mereka menatap tak ber-
kedip pada makhluk yang diciptakan oleh kekuatan 
batin Walet. 
Berbarengan satu erangan kembali, tangan 
makhluk itu bergerak menyapu. 
"Aaarrrgggkhhh!" 
Wessshhh! 
"Wuaaa!" 
Tujuh prajurit langsung terlempar ke udara laksana 
kulit padi terhempas angin. Prajurit yang lain tentu 
saja menjadi ciut, menyaksikan kejadian ini. Seumur 
hidup, tak pernah mereka menyaksikan makhluk yang 
demikian mengerikan. Tanpa banyak kata, puluhan 
orang itu lari serabutan. Mereka tidak ingin jadi 
perkedel, ditumbuk tangan besar makhluk aneh ini. 
Andika sendiri pun sempat terkesima melihat 
kawan kecilnya mampu memunculkan makhluk dari 
dasar bumi seperti ini. Dalam hatinya, dia sempat 
memuji kehebatan Walet. Tak percuma si wanita 
cantik aneh itu menjuluki Walet 'kendi berisi telaga'.

"Bagus, Walet! Usahakan agar mereka tak celaka. 
Cukup membuat mereka 'buang hajat' di celana saja! 
He he he...," seloroh Andika, puas melihat hasil kerja 
sahabatnya. 
Usai terkekeh, pendekar muda ini menggenjot 
tubuhnya menuju bangunan kadipatenan. 
Dilain sisi, Senapati Wisesa dan Tumenggung 
Adiguna masih berusaha mengadakan perlawanan 
pada makhluk ciptaan Walet. Keduanya segera 
mengeluarkan keris pusaka masing-masing. Dengan 
senjata terhunus, digempurnya makhluk itu tanpa 
kenal takut. 
Selaku orang kepercayaan adipati, mereka 
memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi. Ini bisa 
terlihat dari setiap gerakan mereka. Kala makhluk 
jejadian ciptaan Walet itu mencoba menyampok, 
dengan gesit keduanya melenting tinggi ke perut 
buncit makhluk besar itu. Lalu, disusul sabetan keris 
pusaka di tangan masing-masing. 
"Khiah!" 
Sret! 
Kulit perut makhluk itu memang terkena sabetan 
mereka. Tapi, sama sekali tidak mengakibatkan luka 
sedikit pun. Senjata mereka seperti menebas 
gumpalan asap tebal saja. Kenyataan itu benar-benar 
mengejutkan Senapati dan Tumenggung Adiguna. 
Padahal, keduanya belum lagi bisa mengerti, kenapa 
makhluk itu tiba-tiba muncul begitu saja. 
Selama hidup, Senapati Wisesa maupun 
Tumenggung Adiguna memang belum pernah 
memperdalam ilmu batin tingkat tinggi. Mereka hanya 
terbatas mempelajari ilmu olah kanuragan yang 
terpusat pada pengolahan kekuatan luar. Itu 
sebabnya, mereka menjadi terheran-heran dengan


kehadiran makhluk aneh seperti yang dihadapi kini. 
Sementara itu, Andika telah jauh memasuki 
bangunan kekadipatenan. Pemuda itu tiba di ruang 
tengah besar, berlangit-langit tinggi. Di sana 
ditemukannya Adipati Tunggul Manik yang sudah 
berdiri menantang dengan sorot mata tajam. Kedua 
tangannya memegang sesuatu di depan dada. Dari 
bentuknya yang bulat telur sebesar kepalan tangan 
dan berwarna biru laut, dapat diduga kalau benda itu 
adalah Mustika Putri Terkutuk. 
"Sudah kuduga sejak kedatanganmu, Pendekar 
Slebor! Kau memang akan menjadi penghalang 
segala rencanaku," sambut Adipati Tunggul Manik 
dingin. 
"O, ya?" timpal Andika kalem. "Kalau begitu, aku 
memang benar-benar manusia pembawa sial seperti 
kata anak buahmu." 
Adipati Tunggul Manik menggeram. 
"Kau memang pembawa sial. Tapi, percayalah. 
Sebentar lagi kesialan yang kau bawa akan pergi 
bersama nyawamu ke dasar neraka!" 
"Wow-wow-wow! Tunggu dulu. Bagaimana kalau 
kesialan yang kubawa, justru memberimu ongkos ke 
liang lahat. Mungkin cacing-cacing tanah sudah 
begitu kangen padamu...," ledek Andika menimpali. 
Adipati Tunggul Manik mengacungkan mustika di 
tangannya. 
"Dengan benda keramat di tanganku ini, kau 
memiliki kemungkinan kecil untuk menjadi 
pemenang!" 
"Ah! Jangan bicara soal menang atau kalah! Aku 
tak suka pasang undian!" tukas Andika ngaco. 
Merasa ucapannya tak ditanggapi sungguh-
sungguh, Adipati Tunggul Manik mengangkat pangkal
hidung kesal. Bibirnya tampak menyeringai gusar. 
"Kenapa meringis? Belum menunaikan kewajiban, 
buang hajat sebelum bertarung? Hi hi hi...," ejek 
Andika. 
"Kau banyak mulut, Babi!" hardik Adipati Tunggul 
Manik. 
Seketika Adipati Tunggul Manik menyerbu Andika 
dengan amarah membludak. Mustika di tangan 
kanannya langsung dihantamkan ke kepala Pendekar 
Slebor. 
"Khiaaa!" 
Wut! 
Andika menghindari hantaman itu hanya dengan 
menggeser tubuh satu langkah ke belakang. 
Luputnya serangan pertama, disusul serangan kedua. 
Tubuh Adipati Tunggul Manik cepat berputar dengan 
kaki kiri terangkat, berusaha meremukkan kepala 
Pendekar Slebor kembali. 
Kali ini, Andika tak menghindar. Namun 
dipapaknya tendangan berputar Adipati Tunggul 
Manik dengan pergelangan tangannya. Sementara 
tangan kirinya yang bebas, segera mengirim sodokan 
ke selangkangan sebagai balasan. 
Tentu saja Adipati Tunggul Manik tak mau barang 
rahasianya pecah. Maka dengan sigap bagian ter-
penting dalam hidupnya itu dilindunginya dengan 
kedua tangan. Seketika tangan mereka berbenturan 
keras. 
Baru saja terjadi benturan, Andika sudah menyusul 
Adipati Tunggul Manik satu serangan lagi. Dengan 
tubuh merunduk, disapunya kaki adipati yang menjadi 
tumpuan tubuhnya. Serangan yang begitu cepat itu 
membuat Adipati Tunggul Manik mati langkah. Dia 
tidak bisa lagi mengangkat kaki yang menjadi incaran

sapuan kaki Pendekar Slebor. Satu-satunya jalan 
hanya membuang tubuh ke belakang. 
"Hiaaah!" 
Dengan menggenjot satu kakinya, Adipati Tunggul 
Manik melenting ke udara dan berputaran ke 
belakang. Lalu kakinya mendarat, dan berdiri empat 
tombak dengan kuda-kuda mantap kembali. 
Pendekar Slebor tak sudi membiarkan adipati itu 
bernapas lega. Baru saja tubuhnya sampai di atas 
tanah, Andika sudah melabraknya dengan satu 
terkaman menggila. Dari gerakannya terlihat kalau 
Andika tengah mengeluarkan jurus sakti ciptaannya, 
'Memapak Petir Membabi Buta'. 
Adipati Tunggul Manik benar-benar terperangah, 
menyaksikan jurusnya yang aneh. Bagaimana Adipati 
Tunggul Manik tidak menilai seperti itu, kalau gerakan 
yang diperlihatkan lawannya lebih mirip terjangan 
orang sinting yang kalap? 
Belum sempat wajah keterkejutan adipati itu 
hilang, tangan kanan Pendekar Slebor sudah tiba di 
dekat wajahnya. Dan ini membuat Adipati Tunggul 
Manik serba salah. Maka diusahakannya untuk 
menyelamatkan wajah dari sampokan tangan 
Pendekar Slebor. Tapi tangan pemuda itu tiba-tiba 
saja berbelok arah ke dada. Seolah-olah tangan itu 
bisa berubah arah, hanya karena tiupan angin tak 
menentu. 
"Gila! Jurus sial macam apa itu?!" maki Adipati 
Tunggul Manik dongkol. 
"Pengumuman...! Pengumuman. Ini jurus 
'Memapak Petir Membabi Buta'! Hea ha ha ha...!" 
teriak Andika seraya menyambung terjangan 
ngawurnya. 
Tubuh Pendekar Slebor mendadak terhuyung


deras ke arah Adipati Tunggul Manik. Bahu kanannya 
siap dibenturkan ke dada. 
Berbareng pelototan matanya karena terkesiap, 
Adipati Tunggul Manik merunduk sedalam-dalamnya. 
Hanya itu yang bisa dilakukan, karena dia sudah 
berada di sudut ruangan. Saat itu, sifat berandalan 
Andika sebagai gelandangan kecil kotaraja muncul 
kembali. Dia ingin sedikit mempermainkan orang 
terhormat bermuka dua itu. 
Maka sebelum Adipati Tunggul Manik mengubah 
keadaan tubuhnya yang membungkuk, Andika 
mengangkat kaki kanan ke atas kepala, lalu menjejak 
keras-keras di atasnya. Mau tak mau Adipati Tunggul 
Manik makin merundukkan badan. Sampai akhirnya, 
dia merangkak serabutan layaknya babi tolol. 
"Huh! Hus!" ledek Pendekar Slebor sambil ber-
tepuk-tepuk tangan. 
Namun kesempatan luang itu digunakan Adipati 
Tunggul Manik untuk berguling menjauhi lawan. Dan, 
mulutnya pun langsung memaki panjang pendek, 
karena merasa telah dipermainkan. 
"Bangsat-bangsat-bangsat!" maki adipati itu saat 
bergulingan. 
"Biar-biar-biar-biaaarrr!" balas Andika tak kalah 
gencar. 
Setelah itu, Andika tertawa terbahak-bahak keras. 
Puas rasanya mempermainkan seorang penguasa 
pengkhianat yang menganggap orang-orang kecil 
hanya anjing yang bisa diperalat. 
Adipati Tunggul Manik kini bangkit dengan wajah 
terbakar. Sepasang matanya berkobar-kobar merah, 
di puncak kemurkaan. 
"Kau harus membayar perlakuan ini dengan 
nyawa, Keparat!" ancam lelaki setengah baya itu

bergetar. Lalu diletakkannya Mustika Putri Terkutuk di 
dada. 
"Ng.... Ngomong-ngomong, dari mana kau 
dapatkan benda itu?" tanya Pendekar Slebor berlagak 
pilon. 
Padahal, Andika tahu kalau adipati itu sudah siap 
memanfaatkan kekuatan gaib benda keramat yang 
dipegangnya. 
"Pasti kau telah merebutnya dari tangan pemimpin 
Perguruan Ular Iblis. Iya, kan? Lalu, dia kau bunuh 
secara diam-diam. Sehingga, para muridnya tidak 
pernah sadar kalau mereka telah kecolongan. Dan 
kau pun selamat dari tuntutan dendam mereka. 
Setelah itu, kau bisa leluasa mengadu domba 
perguruan itu dengan perguruan lain...," kata Andika, 
berusaha mengganggu Adipati Tunggul Manik. 
"Diaaam!" bentak Adipati Tunggul Manik meng-
gelegar. 
"Wah-waaah! Sebagai seorang penguasa, kau 
ternyata memiliki otak encer. Sayang sekali, 
keenceran otakmu dimanfaatkan untuk kepentingan 
diri sendiri...." 
"Diaaam! Aku memang ingin berkuasa penuh di 
daerah ini. Aku ingin seluruh cita-citaku tercapai. Aku 
ingin mengeruk uang rakyat sebanyak-banyaknya, 
agar dapat membuat sorgaku sendiri. Tapi itu tak 
akan bisa kulaksanakan, kalau perguruan-perguruan 
itu masih tetap berdiri. Mereka pasti akan menentang 
tindak-tandukku. Maka, mereka harus dimusnahkan!" 
Andika menggeleng-gelengkan kepala. 
"Ck, ck, ck.... Tak kusangka kalau kau hanya 
seekor babi rakus!" 
Adipati Tunggul Manik kian kalap. Rahangnya 
mengejang, memperlihatkan gerakan otot kegeraman

di sisi wajahnya. Sedangkan bibirnya tampak bergetar 
hebat. Selama ini, tak ada seorang pun yang berani 
menghinanya seperti itu. 
"Bersiaplah untuk mampus, Pemuda Busuk!" 
dengus Adipati Tunggul Manik mengakhiri ucapan. 
Setelah itu dia memejamkan mata seraya 
mengangkat Mustika Putri Terkutuk ke depan 
wajahnya. Bibirnya tampak bergerak-gerak merapal-
kan mantera. 
Pendekar Slebor memperhatikan perbuatan lawan-
nya dengan kewaspadaan penuh. Hari ini, bisa 
disaksikannya bagaimana benda keramat itu mampu 
melakukan serangan biadab. Mungkin Andika harus 
menghadapi sebentuk kekuatan gaib yang mampu 
menyusup ratusan batang jarum ke dalam perutnya, 
seperti dialami rakyat dan orang-orang perguruan 
tempo hari. 
Dugaan-dugaan Andika menjadi jelas, manakala 
selarik sinar berwarna merah bara terlontar dari 
Mustika Putri Terkutuk. Sesaat benda itu berputar 
mengelilingi tubuh Adipati Tunggul Manik, seakan 
menunggu aba-aba darinya. Lalu.... 
Nging...! 
Terdengar denging halus saat cahaya merah itu 
meluruk menuju Pendekar Slebor. Meski belum 
pernah menghadapi serangan seganjil itu, namun 
Pendekar Slebor tak mau ayal-ayalan. Segera seluruh 
daya sakti ditubuhnya dikerahkan. Maka sekejap 
mata saja tubuhnya telah diselimuti lapisan kekuatan 
yang tak terlihat. Memang, benteng tembusan 
pandang itu sanggup menahan satu terjangan petir 
sekalipun. 
Tapi, Andika rupanya salah perhitungan. Sewaktu 
menjalani penyempurnaan kedigdayaan di Lembah

Kutukan, petir memang tak sanggup menembus 
benteng pertahanan puncaknya. Namun bagi 
kekuatan gaib seperti cahaya merah bara yang kini 
melesat cepat ke arahnya, benteng itu ternyata tidak 
berguna sama sekali! 
Seperti menembus lapisan asap, cahaya merah 
milik Adipati Tunggul Manik menelusup begitu saja 
dalam lapisan benteng pertahanan Andika. Akibatnya, 
cahaya itu langsung menerjang dada bidang 
Pendekar Slebor. 
Tanpa menimbulkan suara, cahaya merah tersebut 
telah menghilang di dalam dada Andika. Seketika 
saat itulah Pendekar Slebor merasakan seluruh bulu 
halus di tubuhnya meremang hebat. Saat berikutnya, 
dadanya mulai terasa sesak. Napasnya menjadi 
tersengal-sengal tak menentu. Dadanya kini terasa 
direncah-rencah dari dalam. Rupanya, ratusan batang 
jarum gaib telah menggerogoti isi tubuhnya dari 
dalam! 
"Aaa!" 
Terdengar satu lengkmgan menyayat yang 
terlempar dari kerongkongan Andika. Rasa sakit luar 
biasa yang kini diderita memaksanya berteriak kuat-
kuat. Tenaga sakti yang masih dikerahkan, tanpa 
sadar ikut terbawa dalam teriakannya. Sehingga, 
membuat lapisan luar dinding beton kadipatenan 
menjadi retak-retak, lalu berguguran. Lampu gantung 
besar di tengah ruangan yang terbuat dari pualam 
gosok berjatuhan ke bawah. Sesaat kemudian, lampu 
hias itu runtuh, menimbulkan suara keras berderak 
ke seluruh ruangan. 
Sementara itu, tubuh Pendekar Slebor berguling-
gulingan di lantai ruangan. Kedua tangannya 
mencengkeram dadanya sendiri dan perutnya. Otot di

lehernya tampak membesar, karena erangan ter-
tahan. 
Pada puncak penderitaan itu, Andika masih 
sempat menyadari kebenaran 'petunjuk' yang di-
terima Ki Kusuma dari wanita cantik aneh itu. Hanya 
seseorang yang bisa menolongnya. Seorang ber-
kepribadian 'kendi berisi telaga'. 
"Walet! Ke mana kau?" desis Andika seiring 
lelehan darah kental dari bibirnya. 
Seingatnya, bocah kecil itu sedang berusaha 
menghalau Senapati Wisesa dan Tumenggung 
Adiguna. Kalau anak itu mendapat kesulitan, apakah 
nyawanya akan berakhir di sini? 
Kala kesadarannya nyaris terhempas akibat 
deraan sakit yang begitu hebat, tiba-tiba selarik sinar 
hijau menyala membersit dari langit-langit ruangan. 
Sinar itu cepat menerabas masuk ke tubuh Pendekar 
Slebor. 
Seketika terdengar pekikan panjang kembali. 
Tubuh Pendekar Slebor mengejang dengan kepala 
mendongak. Satu pertempuran gaib memang sedang 
terjadi dalam dirinya. Bahkan itu menciptakan 
siksaan yang lebih menggila dari sebelumnya. 
Pendekar Slebor tak mampu lagi merasakan 
siksaan itu. Tubuhnya melemah, lalu terkulai. Belum 
lama Andika terdiam, tanpa gerak, dua larik sinar 
merah dan hijau keluar dalam keadaan menyatu. 
Di udara, sinar itu saling menghimpit, hingga 
menimbulkan sayatan-sayatan cahaya beraneka 
warna. Lama kejadian itu berlangsung sampai 
akhirnya cahaya hijau menelan habis cahaya merah 
membara. 
Bersamaan dengan menghilangnya cahaya merah, 
Mustika Putri Terkutuk sirna di tangan Adipati Tunggul
Manik. Lelaki itu sendiri terpental deras ke belakang, 
langsung menghantam tembok beton setebal tiga 
jengkal. Tembok itu hancur menciptakan lubang 
besar menganga, bersama hancurnya seluruh tulang 
punggung Adipati Tunggul Manik. Penguasa lalim itu 
tewas dengan mata terbeliak dan darah merah 
membasahi mulutnya. 
*** 
Ada terpaan hangat pada wajah Andika. Ada 
lantunan seruling mendayu mengusik telinganya. 
Pendekar Slebor membuka mata perlahan. Dia tidak 
berharap kalau dirinya telah tiba di sorga, setelah 
ingat kejadian terakhir yang dialaminya. Harapannya 
terkabul. Di sisinya, Walet tampak asyik meniup 
seruling bambu. 
"Syukurlah kau sudah siuman, Kang. Bagaimana 
dadamu? Apa masih terasa sakit. Kalau masih, 
tahanlah sedikit. Jamak bagi pendekar kesohor 
seperti Kakang Andika," kata Walet seraya melepas 
ujung suling dari bibirnya. 
"Walet..., apa yang terjadi?" tanya Andika 
tersendat. 
"Ng.... Kemarin kita berhasil menumpas manusia 
busuk yang bernama Adipati Tunggul Manik. Sayang 
Kang Andika tidak sampai selesai menikmati pesta 
itu." 
Andika mendelik berang. 
"Jangan gila kau! Aku sudah hampir mati dibilang 
pesta!" 
"Seperti kukatakan tadi, jamak bagi pendekar 
kesohor seperti Kakang," sahut Walet santai. 
Bocah itu lantas berdiri seraya menepuk-nepuk
pantat. Kakinya melangkah perlahan. Dan dari bibir 
mungilnya terdengar siulan riang. 
"Mau ke mana kau?" tanya Andika seraya bangkit 
terseok. Disusulnya Walet. 
"Cuci mata ke Desa Dukuh. Aku sudah lama tidak 
melihat janda penjual batik di pasar itu," kata bocah 
itu seenaknya. 
Andika menggeleng-gelengkan kepala. 
"Hey! Kau tahu tentang Mustika Putri Terkutuk? 
Apa ada riwayatnya?" tanya Andika. 
"Dulu ada seorang putri dan pangeran yang jatuh 
cinta. Mereka ingin menikah, tapi tak diizinkan orang-
tua masing-masing. Karena kerajaan keduanya 
sedang bermusuhan satu sama lain. Namun mereka 
nekat dengan kawin lari. Mengetahui hal itu, ayah 
sang Pangeran yang sakti mengutuk keduanya. Putri 
itu menjadi mustika keramat, dan sang Pangeran 
mati tertelan bumi," tutur Walet santai. 
"Dari mana kau tahu?" 
"Jangan usil, Kang! Kalau aku tahu, ya tahu," 
sergah Walet acuh. 
"Ah, sayang. Aku kira wanita cantik itu penjelmaan 
Nyi Roro Kidul. Padahal, aku ingin sekali bertemu 
dengannya...," bisik Andika amat perlahan. 
Keduanya terus menelusuri jalan berumput hijau 
menuju barat, tempat matahari terpuruk lelah dalam 
selimut lembayung. Dan sampai saat itu, Andika tidak 
pernah mengetahui kalau Walet adalah titisan sang 
Pangeran yang kini berada di sampingnya! 



                         SELESAI










Share:

0 comments:

Posting Komentar