BAB1
Kabut tipis merayap di antara pepohonan yang berdiri kaku bagaikan barisan
kaki-kaki sepasukan raksasa yang mengintai dari kegelapan, makin ke atas kabut
semakin tebal, seakan langit tiba-tiba turun untuk menelan bumi yang tertidur di
kegelapan malam. Jalan tembus ke tengah hutan tampak suram, meliuk-liuk kelelahan.
Sebuah mobil sedan putih melaju terseok-seok dengan susah payah, agar tidak
terperosok kelubang-lubang menganga di sepanjang jalan dan tanah keras
berbatu-batu itu.Cahaya lampu mobil yang diperkuat dengan lampu kabut, membias
samar ke sebelah dalam. Lewat kaca depan terlihat wajah seorang laki-laki yang
setengah condong kearah kemudi. Seorang wanita muda duduk dengan wajah tegang
disebelahnya. Sebentar-sebentar terhantar keluhan tertahan dari mulutnya tiap kali
mobil terbanting waktu melewati jalan berlubang.Sesekali ia memaling ke kaca
samping. Matanya membeliak nyalang menatap kegelapan di luar mobil.Jelas ia sangat
ketakutan. Takut kalau tiba-tiba dari balik pepohonan muncul sesuatu, tidak tahu
sesuatu itu apa. Baik rupa maupun bentuknya.Namun secara naluriah ia dihinggapi
perasaan, bahwa sesuatu itu pasti ada, serta terus-menerus mengintai dan mengikuti
gerak maju mobil mereka.Lalu ketika mesin mendadak mati dan mobil itu terhentak
diam, ketakutan si perempuan pun meledak dalam seruan tertahan:
"Jangan! Jangan berhenti disini!"
Lelaki muda yang duduk di belakang kemudi bergumam resah:
"Siapa pula yang mau berkubang ditempat mengerikan ini?"
"Lantas..... mengapa berhenti?"
Ketakutan si perempuan kian menjadi-jadi.
"Mesinnya mati........"
"Hidupkan lagi!"
"Sedang kucoba," jawab si lelaki yang dengan gugup menekan tombol starter. Ia
melakukannya berulang-ulang. Tanpa hasil.
"Jangan-jangan bensinnya habis!"
"Mustahil..."
Dan ia melirik ke jarum penunjuk bahan bakar. Paling kurang, tangki masih terisi
setengahnya.
"Mungkin kipas putus, atau..."
Lalu ia menarik tombol pembuka kap depan, kemudian membuka pintu sampingnya.
Si perempuan akan berkata sesuatu, tetapi segera membatalkannya. Gadis itu
memutuskan lebih baik diam. Dan ia pun duduk merungkut di joknya,seraya menatap
kuatir ke teman seperjalanannya yang bergegas keluar dari mobil. Pemuda itu
menaikkan kap depan. Dengan bantuan lampu baterai ia memeriksa mesin dengan teliti
dan tak lama kemudian masuk lagi ke dalam mobil, setelah lebih dulu membanting kap
depan sampai menutup rapat.
"Aneh," bisiknya.
"Apa?"
si Gadis balas berbisik, seraya merapatkan tubuh ke si lelaki.
"Aku yakin tak ada sesuatu yang salah. Lagipula, baru dua hari yang lalu mobil ini
diserpis."
"Lantas?"
Yang lelaki berusaha lagi menghidupkan mesin mobil.Juga tanpa hasil. Setengah
putus asa ia mengeluh:
"Ada yang aneh pada mobil ini....."
"Maksudmu?" yang perempuan tergagap, ngeri.
"Mesinnya mati begitu saja. Tanpa sebab-sebab yang jelas."
"Kau yakin?"
"Ini punyaku. Dan hanya aku yang memegangnya sejak keluar dari Showroom, enam
bulan yang lalu. Aku sudah sepuluh tahun memegang mobil sendiri. Sudah gonta-ganti
mobil tujuh atau delapan kali. Tetapi baru yang satu ini yang pernah mengulah begini
rupa..."
"Jangan-jangan....."
"Jangan-jangan apa?" rungut si pemuda seraya mena-tap si gadis yang tiba-tiba
terbungkam.
"Ini perbuatannya."
"Perbuatan siapa?"
Wajah gadis itu memucat seperti kertas waktu ia menyahut dengan suara tertelan:
"Sang Iblis!"
***
Seekor babi hutan yang berdiri diam-diam dibalik semak belukar, terkejut manakala
terdengar suara hentakan marah di dalam mobil. Babi itu mendengus-dengus liar.
Dengan putaran vertikal, sang penghuni hutan dengan moncong bertaring tadi
melompati semak belukar lalu berlari sepanjang sebuah jalan setapak mendaki diantara
pepohonan.Tiba di sebidang permukaan tanah yang agak rata, sibabi hutan
menghentikan larinya. Nafasnya mendengus-dengus semakin liar ketika sorot matanya
yang tajam menangkap bayangan sesuatu didepannya.Sesuatu itu bergerak, diiringi
suara desahan-desahan berat. Sang penghuni hutan menghentakkan salah satu kaki
depannya ke tanah, lalu kemudian kembali berlari.Makhluk itu menerobos semak
belukar yang rapat, dan lenyap ditelan kegelapan malam yang berkabut.Zulham
berpaling kaget melihat babi hutan itu muncul dan tahu-tahu telah menghilang lagi
dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Ia merentak bangkit.Gerakannya membuat
dipan kayu yang sebelumnya ia tiduri, berderit nyaring. Suara berderit itu meningkahi
bunyi dengkur teman tidurnya yang tetap pulas. Tak terusik. Zulham mengintip dari
batas penghalang pos jaga yang mereka tempati. Meyakinkan diri bahwa sipenghuni
hutan benar-benar sudah pergi.Kemudian ia membungkuk. Meraba-raba bagian depan
dipan. Ia menemukan ransel yang ia cari. Lalu tangannya menyelusup ke bagian dalam
ransel.Kembali meraba-raba. Teraba olehnya sebuah kamera bertele diantara
gumpalan pakaian dan handuk, lalu berkotak-kotak film, sejumlah benda-benda
keperluan lainnya, dan akhirnya jari-jemarinya menyentuh ujung sarung pembungkus
pisau komando.Semenit setelahnya ia sudah berdiri di luar pondok,dengan pisau
terhunus di tangan kanan dan sarung pisau di tangan kiri. Matanya jelalatan
memandang sekitar, tanpa menemui sesuatu yang mencurigakan.Kurang puas, ia
memutari pondok dengan sikap waspada menghadapi kemungkinan yang dapat saja
terjadi. Namun selain udara dingin berkabut dan kegelapan malam yang hitam bagai
jelaga, ia tidak menemukan apa-apa lagi.Zulham kemudian memutuskan duduk
bersantai dibibir jurang menganga. Bersandar ke sebatang pohon besar, ia menyulut
sebatang rokok. Pisaunya telah dimasukkan ke sarung lalu diselipkan dibalik jaket kulit
yang membungkus tubuhnya dengan ketat. Resluiting jaket ia tarik sampai sebatas
leher. Ia rangkul lututnya yang tertekuk, agar tubuhnya tetap hangat. Mestinya ia pakai
topi kupluk agar wajahnya juga tetap hangat.Tetapi satu-satunya topi kupluk yang ada,
masih melekat di kepala pemiliknya: si penjaga hutan yang suara dengkurnya bagaikan
bunyi mesin derek yang sudah lama tak disentuh pelumas.Dibalik kepulan asap rokok,
terbayang lagi wajah orangtua renta yang beberapa saat tadi telah muncul dalam
mimpinya dan membuat ia seketika terjaga dari tidur. Orangtua berjubah hijau dan
bersorban putih,dengan wajah keriputnya yang misterius. Sepasang mata orangtua itu
menyorotkan pandangan suram.Mulutnya terkatup. Sedikit tergetar, ingin
mengutarakan sesuatu tetapi tak pernah sanggup untuk melakukannya.
"Apa yang begitu kuat menutup mulutmu, Ompung?"
Ia berbisik resah, dengan rokok tetap terselip di celah bibir.Ia tahu siapa nama
orangtua itu. Namun dikalangan keluarga, terpantang menyebut nama orangtua kita
sendiri. Apalagi orangtua itu adalah kakek buyut, dan si kakek buyut sudah
menggariskan panggilan keluarga untuk dirinya sendiri:
Ompung... suatu sebutan didaerah asal Zulham di Tapanuli, yang arti pasnya adalah
kakek.Ompung Zulham adalah Haji pertama di kampung mereka. Beberapa hari setelah
memasuki usia yang ke-124, ompungnya pamit pada semua sanak keluarga untuk pergi
terakhir kalinya ke Mekkah.
"Aku merasa waktuku sudah dekat" katanya.
"...dan kalau aku meninggal, aku ingin dikuburkan didekat pusara Rasulullah."
Orangtua itu meninggal dunia setiba di Mekkah. Tetapi nama bahkan wujudnya tetap
hidup di kalangan keluarga, terutama pada turunan-turunan kesayangan-nya.Zulham
sendiri acapkali bermimpi didatangi ompung.Tutur katanya yang lembut serta tatapan
matanya yang bening merupakan pertanda ia merestui Zulham.Kerutan dahinya
pertanda ia tidak menyenangi rencana atau tingkah laku Zulham. Dan kalau dalam
mimpinya sang ompung muncul dengan mulut mengatup dan wajah suram misterius,
buat Zulham merupakan pertanda bahwa sang kakek buyut ingin mengatakan bahwa
sesuatu yang buruk atau marabahaya tengah mengintai di sekeliling Zulham.Kalau
ompungnya kemudian raib seraya mengusap wajah Zulham, ia pertanda bahwa ompung
akan berjaga-jaga disekeliling Zulham. Dan kalau ia raib begitu saja, maka itu berarti
Zulham terpaksa harus berjuang sendirian.Zulham mengisap rokoknya dengan sedotan
keras.Akibatnya ia terbatuk. Rokoknya terjatuh ke pangkuan,menimbulkan
percikan-percikan api pada celana jeannya. Cepat-cepat ia tepiskan puntung rokok
menyala itu, lalu bangkit berdiri. Pundaknya tergetar.Gelisah. Apa yang ingin
disampaikan ompungnya?
Suatu kejadian buruk?
Ancaman marabahaya?
Atau,kedua-duanya?
Dari arah pondok terdengar suara keriut dipan. Sipenjaga hutan tentunya merubah
posisi tidur. Agaknya ia tidak menyadari bahwa Zulham sudah keluar dari pondok,
karena dengkur penjaga hutan itu kembali menyentak-nyentak di kesunyian
malam.Zulham sudah benar-benar terjaga. Dan tidak punya selera tidur kembali di
samping orang itu. Karena suara dengkur orang itu terkadang menyerupai bunyi bukit
batu longsor yang membuat kelopak mata Zulham sukar terpicing. Kuatir, kalau bukit
batu itu benar-benar ada dan tahu-tahu longsor, lantas mengubur mereka hidup-hidup,
Zulham mengayun langkah kearah selatan sampai ia menemukan jalan setapak menuju
jalan besar di bawah bukit. Kalau tak bisa tidur,biasanya ia pergi bermobil ke mana
saja. Berharap sesuatu yang besar atau luar biasa akan ia temui ditengah
perjalanannya, dan dapat ia buatkan artikelnya untuk majalah tempat ia mengabdikan
karier selama lebih sepertiga usia Zulham sendiri. Atau berkumpul bersama
abang-abang becak dan supir-supir taksi diwarung kopi pinggir jalan. Atau juga,
menyelinap kekelab malam, mencari kehangatan tubuh seorang perempuan di lantai
dansa.Tetapi itu semua di kota. Tidak ditengah hutan semacam ini. Dan satu-satunya
hal yang dapat ia perbuat, hanyalah mengayun kaki sekedar mengendurkan otot-otot
yang kejang kaku setelah sepanjang siang dan malam melakukan tugasnya
hampir-hampir tanpa sempat beristirahat. Barangkali dibawah sana ia bertemu
seorang pengelana malam seperti dirinya. Atau binatang hutan yang dapat ia ajak
bermain-main dengan pisau komandonya.Zulham bukanlah seorang pembunuh. Tetapi
malam ini, betapa ia ingin membunuh. Dan apa yang sangat ingin dibunuhnya, adalah
kegelisahan yang teramat sangat menghantui pikirannya.
"Mestinya ompung mengucapkan sepatah dua. Sekedarpetunjuk, " desahnya sambil
menuruni jalan setapak dengan hati-hati. Jalan didepannya gelap, berkabut pula. Ia
bisa saja terperosok ke jurang dibalik semak belukar, atau terjerumus masuk lubang
dalam bekas perangkap binatang, yang oleh si penjaga hutan banyak terdapat
disekeliling mereka.Zulham tidak begitu mengenal jalan setapak ini. Ia baru melaluinya
satu kali. Tadi sore, dengan si penjaga hutan sebagai petunjuk jalan. Namun ia tetap
saja menerobos jalan setapak itu, didorong oleh suatu keinginan yang sangat untuk
berbuat sesuatu. Tak perduli, apa pun sesuatu itu. Yang pasti, naluri wartawannya
memaksa ia bergerak dan terus bergerak.Sepanjang siang hari tadi, ia juga bergerak.
Menemui beberapa orang, bertanya macam- macam. Malamnya memasuki hutan
bersama si penjaga yang mendam-pinginya dengan hasrat menggebu.Terngiang di
telinga Zulham ucapan si penjaga hutan yang merupakan sebuah tekad yang tidak
dapat dibendung apapun juga:
"Aku harus membalaskan sakit hati ayahku!"
Seseorang di kota telah memberikan nama dan alamat si penjaga hutan pada
Zulham. Petunjuk itu ternyata sangat besar gunanya. Ia menemui orang yang tepat
untuk menelusuri skandal yang sudah lama ingin dilacak Zulham:
Ayah si penjaga hutan pernah bekerja di perusahaan yang memegang hak mengelola
hutan ini, serta memperoleh keuntungan dari pengelolaan itu untuk perusahaannya.
Ayah si penjaga hutan itu mengetahui sesuatu. Lalu ia dijebak untuk memperbuat
kesalahan demi kesalahan. Ketika karyawan tata usahaitu menyadari bahwa ia telah
semakin banyak melakukan kesalahan, polisi sudah keburu muncul dirumahnya dan
kemudian menyeretnya ke penjara.
"Saking malunya, ayahku membentur-benturkan kepala ke tembok selnya. Dalam
perjalanan ke rumah sakit,ayahku mati sengsara, " kisah si penjaga hutan waktu
Zulham menemuinya beberapa hari yang lewat.
"Untungnya, hanya sedikit orang yang tahu bahwa salah seorang anak almarhum
juga terdaftar sebagai karyawan. Jadi aku tidak begitu kuatir akan tertimpa kesulitan
karena diam-diam membantu Om Zulham...."
"Bung. Yang sedikit itu dapat saja menimbulkan kesulitan"
Zulham sempat pula mengingatkan.
"Aku tahu siapa mereka, Oom. Mereka akan tutup mulut!"
Zulham tidak mau mengorbankan orang lain begitu saja. Karenanya, ia
menambahkan:
"Uang, Bung. Dapat membuka mulut seseorang!"
"Tidak. Kalau orang itu termasuk anggota barisan sakit hati, " jawab si penjaga
hutan tegas.Dan si penjaga hutan yang termasuk juga sebagai anggota barisan sakit
hati itu, siang tadi telah membuktikan tekadnya untuk melampiaskan dendam.Ia
mengantarkan Zulham pada sejumlah orang yang dapat membuktikan telah terjadi
manipulasi dalam pelaksananan reboisasi. Lalu malam ini, si penjaga hutan telah pula
membantu Zulham menjelajahi hutan rimba, memasuki sebuah areal yang termasuk
hutan lindung. Dengan kamera miliknya, sebuah kamera mutakhir buatan Jerman yang
diberi tele berlensa inframerah dan dibantu pula dengan filter yang kuat,Zulham telah
berhasil merekam pemerkosaan hutan lindung oleh sejumlah oknum. Kontraktor yang
kegiatannya memang sudah lama dicium Zulham itu,ternyata turun sendiri ke lapangan.
Ia adalah anak Bupati setempat, dan punya pertalian ipar dengan menantu sang
pengusaha pengelola hutan. Posisi itu saja sudah menjamin pekerjaannya. Namun
toh,hukum alam tetap berlaku. Seorang maling, tidak pernah menaruh kepercayaan
pada orang lain. Seorang maling, tetaplah beranggapan bahwa orang lain juga maling
seperti dirinya.Lamunan Zulham buyar ketika langkahnya terhenti beberapa meter di
atas jalan besar yang membelah hutan. Ia melihat sebuah mobil putih di parkir sedikit
ketengah jalan.
Ah! Ternyata ada juga pengelana malam ditengah hutan ini. Zulham tersenyum,
tetapi sekaligus juga heran. Oleh karena itu, ketika kembali ia ayunkan langkah,
tangannya meraba ke balik jaket. Gagang pisau komando yang keras dan dingin itu,
menimbul-kan kepercayaan pada dirinya.
***
BAB 2
Pada saat Zulham meninggalkan pos di lereng bukit, didalam mobil sedan putih itu
tengah berlangsung perdebatan sengit antara si lelaki dengan wanita teman
seperjalanannya. Ketika gadis itu menyebut
"Sang Iblis"sebagai sumber malapetaka yang mereka alami, maka sipemuda
membentak marah:
"Jangan menyebut-nyebut nama yang terkutuk itu! Aku tak suka!"
"Bilang saja kau takut!"
"Yeah, Aku memang takut," si pemuda mengakui.
"Tetapi bagaimana sampai ia mengetahui kita ada ditempat ini? Kau sendiri yang
mengatakan, tempat yang kita tuju hanya kau seorang yang tahu, dan..."pemuda itu
terdiam sejenak, lalu:
"Mungkin pelayan dirumahmu itu mengkhianati kita!"
"Jangan menghina dia, Bang. Meski cuma seorang pelayan, ia menyayangi aku
seperti menyayangi anak sendiri...!"
"Oke. Oke. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Terserah Abang."
"Baik kalau begitu," si pemuda membuka pintu.
"Abang mau ke mana?"
Gadisnya bertanya ketakutan.
"Kita tinggalkan mobil ini."
"Maksudmu kita jalan kaki?"
Si gadis menggigil.
"Aku memang cuma sekali dua ke tempat ini. Tetapi aku tahu betul, kampung yang
kita tuju masih beberapa kilo-meter lagi. Dan....!" ia menatap lewat kaca depan
mobil,berusaha meneroboskan pandang kearah kegelapan malam yang diliputi kabut
itu.
"Kukira lebih aman kalau kita tetap di dalam sini."
Lanjutnya, gemetar.
"Katanya terserah aku!"
Kawan prianya berkata kesal.
"Sekarang, sekitar pukul tiga. Dua jam lagi, cuaca sudah lebih terang. Baru setelah
itu, aku bersedia kauajak jalan kaki. Ke mana pun jadi. Walau ke dasar jurang..."
Suara gadis itu kian rendah, dan setengah mengisak. Sipemuda sadar kalau gadisnya
dilanda ketakutan,seperti dirinya sendiri. Tetapi jalan pikiran si gadis masih lebih
masuk akal. Karenanya, si pemuda lantas masuk kembali ke dalam mobil. Namun tak
urung, ia bersungut-sungut juga:
"Sementara menunggu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tidur."
"Tidur?"
Si pemuda tertawa. Sumbang.
"Kau masih bisa tidur dengan Sang iblis tengah mengawasi ki..."
"Kau juga menyebutnya."
Desah si gadis, dengan wajah memucat.
"Maaf, sayang."
"Mari kita lupakan saja. Oke?"
"Hem."
".... jangan duduk diam seperti itu, kekasih."
"Hem!"
"Yuk. Kita pindah saja ke jok belakang."
"Ah....."
"Masih banyak waktu, bukan?"
Si gadis mencoba ter-senyum. Teman prianya memahami arah pembicaraan si gadis.
Lantas bertanya setengah mengingatkan:
"Kau tidak akan memberontak?"
Wajah si gadis bersemu merah, waktu menjawab risih:
"Yang dulu itu, aku mempertahankan kesucianku."
"Kukira kau mulai menyukainya."
Si pemuda tersen-yum.
"Tepatnya, mendambakannya."
Sahut si gadis, terus terang.
"Begitu ya? Lalu mengapa..."
"Aku mulai kedinginan," bisik si gadis, dengan nada mendesak. Dan ketika pemuda
itu membantunya pindah ke jok belakang, sang gadis telah mulai menang-galkan
kancing-kancing blusnya. Beberapa detik setelah berbaring di jok belakang, gadis itu
malah sudah siap untuk menerima kejantanan si lelaki. Dan lelaki itu dibuatnya
menjadi heran. Karena si gadis demikian membabi buta, hampir-hampir tanpa kontrol
diri.Namun gairah si lelaki sudah keburu terangsang. Ia segera bereaksi atas serangan
bernafsu dari gadisnya.Sedikit pun tidak menyadari, bahwa tubuh gadis itu tak
sehangat bagaimana semestinya. Dan, bahwa gadis itu sesunguhnyalah nekad
memelopori percumbuan mereka, hanya karena terdorong oleh keinginan melepaskan
diri dari suatu perasaan takut yang menyelimuti dirinya. Sedemikian rupa, sehingga si
gadis di hati nuraninya berharap, kalaupun kematian datang menyongsong, hendaklah
saat yang menakutkan itu tiba dalam keadaan ia dan kekasihnya tengah menikmati
kesyahduan cinta yang tiada duanya.Katakanlah, memang sang iblis telah turun tangan
untuk menjebak mereka di tengah hutan yang sunyi terpencil ini. Maka ia akan
memaklumatkan pada Sang Iblis, bahwa ia telah berhasil melakukan kodratnya yang
nyata sebagai manusia. Bukan sebagai Pengabdi yang hak-haknya telah dirampas
semena-mena tanpa diperbolehkan mempertahankannya.Tiba pada pemikiran yang
jauh semakin dalam itu,membuat si gadis perlahan-lahan dapat melupakan
ketakutannya. Perlahan-lahan pula, gairahnya bangkit secara wajar. Manakala pemuda
itu memasuki dirinya dengan penuh kasih sayang, si gadis memejamkan kelopak
matanya dengan penyerahan yang mutlak.Ia baru membuka lagi kelopak matanya,
tatkala iamerasakan sesuatu telah berlangsung tidak menurut keharusan yang lumrah
berlaku. Gerakan naik turun sipemuda, sekonyong-konyong berhenti mendadak,disertai
keluhan pertanda ia tengah menderita suatu kesakitan yang luar biasa. Pemuda itu
berusaha menarik tubuhnya dari si gadis, berusaha dan terus berusaha, sampai ia
menyadari bahwa bagian bawah tubuhnya... dari sebatas pinggang, entah bagaimana
telah melekat jadi satu dengan bagian bawah tubuh sigadis. Benar-benar melekat,
bagaikan dilem dengan perekat yang bukan main dahsyat daya lekatnya.Usaha
memaksa si pemuda untuk melepaskan diri juga menimbulkan akibat yang sama pada si
gadis. Kulit perutnya seakan dibetot begitu kuatnya, bagaikan mau dicabik-cabik lepas
dari daging-dagingnya. Ia menjerit dengan kesakitan yang teramat sangat, dan
berusaha mendorong dada si pemuda menjauhi dirinya. Lalu hal yang lebih aneh lagi
kemudian terjadilah. Dua pasang mata kedua sejoli yang habis bersenggama itu, terasa
mengecil dan mengecil. Namun sorot pandang mereka semakin tajam pula, membuat
mata mereka lebih terbiasa dengan kegelapan.Si gadis memelotot ngeri, disusul jeritnya
yang tertahan:
"Lidahmu... bercabang....."
Pemuda itu berusaha menjawab. Tetapi dari belakang lidahnya cuma desis saja yang
keluar. Desis tajam dan mengerikan. Kepalanya oleng kekiri kekanan. Meliuk-liuk liar,
tak kuasa mencegah uap panas yang perlahan tetapi pasti membakar tubuhnya. Pemuda
itu ingin berteriak juga ingin memaki-maki. Sayang. Desis dan desis lagi yang dapat ia
lontarkan.Desis yang sama mulai pula terdengar dari si gadis,ketika mulut gadis itu
mencoba berkata dengan susah payah:
"Wajahmu.... bersisik. Kau... sssssssssss."
Desis dan desis mereka berdua saling bersahut. Mula-mula masih sengau dan berat,
lalu perlahan-lahan,semakin tajam dan semakin kecil. Bersamaan dengan itu, tubuh
keduanya pun ikut mengecil. Menyusut secara mengerikan.....
***
Zulham mendekati mobil itu dengan sikap waspada.Sebelah tangannya memegang
erat-erat gagang pisau komando di balik jaket. Hati-hati ia memutari mobil.Sesekali
membungkukkan badan dan mengintip lewat kaca-kaca jendela kendaraan itu. Namun
keadaan didalam mobil sama dengan keadaan disekelilingnya.Gelap. Dan sunyi,
menyentak.Mestinya ia membawa senter, tetapi percuma ia berharap, karena senternya
ada dalam ransel, jauh diatas sana.Setelah ragu-ragu sejenak Zulham membuka mulut:
"Hai. Ada orang di dalam?"
Tak ada sahutan.Zulham menelan ludah. Dan memperkeras suaranya:
"Kalian memerlukan bantuan, hei?!"
Tetap diam.Tetap sunyi. Membeku.Hal itu membuat Zulham punya pikiran, bahwa
mobil itu bukannya sengaja berhenti, melainkan mogok. Tidak mungkin ada orang
didalamnya. Karena hantu belau penghuni hutan pun pasti terbangun mendengar
sapaannya tadi, yang diucapkan setengah berteriak.
"Hemm. Jadi pengemudinya, atau pemiliknya, atau siapapun mereka, telah pergi
entah ke mana..." gumam Zulham, kebingungan.Rasa ingin tahunya kemudian mendesak
ingin dituntaskan. Maka tanpa berpikir panjang lagi ia berusaha membuka pintu mobil
sedan putih itu. Dari empat pintunya hanya pintu di samping kemudi yang tidak
terkunci. Begitu pintu terbuka, lampu dalam mobil pun menyala seketika. Tidak terlalu
terang,namun cukup untuk memberi gambaran suasana ganjil di dalam mobil.Benda
pertama yang terpandang Zulham, sempat membuatnya terjengah. Yakni sehelai kutang
wanita yang tergantung begitu saja di lingkaran setir. Benda kedua, tidak lagi terlalu
mengejutkan. Yakni sehelai celana dalam wanita yang terkapar di jok depan. Lebih
banyak lagi pakaian wanita berserakan di dalam mobil,serta di lantai belakang tampak
tertumpuk stelan pakaian pria dengan sepasang sepatu. Luar biasa,pikirnya. Siapapun
kedua sejoli itu, mereka tentunya bukanlah manusia-manusia biasa yang pergi berjalan
kaki menerobos hutan di kegelapan malam, dengan keadaan sama-sama tanpa
busana.Atau, barangkali juga kedua sejoli itu tengah menikmati bulan madu mereka
diatas rerumputan, dengan berselimut kabut?
Tak masuk diakal. Adalah lebih pas,kalau mereka bercumbu di dalam mobil yang
tidak saja tertutup, tetapi juga udaranya cukup hangat. Lalu,kemana perginya kedua
anak manusia yang bertingkah laku ganjil itu?
Jawabannya ada di jaringan sel-sel otak Zulham.Ia teringat pada ompungnya, si tua
misterius yang barusan tadi muncul dalam mimpinya. Zulham seketika mencium bau tak
sedap disekitarnya.Untuk lebih meyakinkan diri, ia membungkuk ke arah dalam mobil.
Tadi matanya sempat menangkap sebuah tas wanita tergeletak di pinggir jok belakang.
Kunci penahan ditekannya keatas, lalu ia tegak di luar untuk lebih leluasa membuka
pintu belakang. Waktu pintu terbuka, tas wanita yang ia harapkan dapat memberi
petunjuk kalau isinya di keluarkan... terjatuh ke tanah dekat kakinya.Zulham baru saja
akan membungkuk untuk memungut tas yang terjatuh itu, waktu firasat buruk menahan
gerakannya. Ia menegun, dan matanya dengan was-pada menyimak ke lantai mobil.
Dari balik tumpukan pakaian laki-laki, sesuatu perlahan-lahan menyembul ke luar.
Sesuatu yang hitam sebesar kepalan tangan,berbentuk lancip, dengan lidah bercabang
menjulur keluar masuk dari celah moncong yang tipis, serta sepasang mata kecil
berwarna merah kehijau-hijauan.Benda hitam itu menjulur dari balik kaki celana entah
milik siapa, lalu kemudian terangkat naik dengan mata merahnya yang kehijauan itu
memandang ke mata Zulham dengan sorot mata penuh kebencian. Jantung Zulham
sempat berhenti berdenyut, sebelum kemudian ia menyadari bahwa mata itu tampak
dilinangi butir-butir air bening. itu bukan sorot mata benci.Melainkan mata layu,
mohon dibelaskasihanii!
Zulham menelan ludah. Berpikir keras, bagaimana sampai seekor ular hitam yang
lingkaran tubuhnya sebesar lingkaran lengan manusia dewasa, terperang-kap didalam
mobil. Ia juga belum begitu pasti, apakah itu ular jinak atau ular langka dengan bisa
mengan-dung racun mematikan. Selagi Zulham berpikir-pikir apa kiranya yang dapat ia
lakukan tanpa ular itu bercuriga lalu mematuknya dari tempat yang sama menjulur
pula keluar seekor ular lain. Sisiknya juga berwarna hitam, matanya pun merah
kehijauan. Ular yang kedua itu lebih kecil dibanding yang pertama.
"Astaga!" pikir Zulham terkejut.
"Masih berapa banyak lagi ular yang bersembunyi di mobil ini?"
Kejutan itu belum seberapa.Karena kejutan berikut, sungguh tak
tertanggungkan.Ketika ular kedua yang lebih kecil menaikkan tubuhnya dengan
gerakan meliuk yang kaku, Zulham pun ternganga. Dalam sekejap ia sudah mengetahui,
bahwa yang ia lihat bukan sepasang ular. Melainkan seekor.Tetapi, dengan kepala dan
leher ganda. Seekor ular berkepala dua!
Tiba-tiba, suatu kilatan cahaya yang samar menerangi udara di sekeliling. Sekejap
cuma. Tapi sempat membu-at Zulham tersentak kaget. Dengan ta'jub ia lantas
mengetahui bahwa kilatan cahaya samar yang sekejap tadi juga menimbulkan pengaruh
pada sosok mahluk berkepala dua di lantai belakang mobil. Bagaikan dikomando,
sepasang kepala ular hitam legam itu menyeruak masuk dengan cepat lalu meliuk-liuk
liar dibawah tumpukan pakaian. Ular berkepala dua itu tengah berusaha untuk
menyembunyikan diri. Itu cuma punya satu arti:
Mahluk itu mendadak ketakutan!
Cahaya tadi muncul lagi di pucuk pepohonan, lebih lama dari yang pertama,
kemudian lenyap.Zulham secara naluriah menutupkan pintu mobil. Ia kemudian
bergerak mundur, setelah lamat-lamat ia mendengar bunyi mesin yang halus tengah
mendatangi ke tempat itu. Sebuah mobil ditengah hutan terpencil dan di malam yang
begini menakutkan, sudah cukup mengherankan. Ditambah sebuah mobil lain, itu sudah
terlalu banyak dan patut dicurigai.Dari arah jalanan membelok di bawah sana, muncul
sebuah mobil yang melaju tergesa-gesa membelah kegelapan malam diantara
pepohonan.Kabut telah semakin menipis jua. Zulham mempercepat langkahnya, dan
sebelum mobil pendatang itu menerangi mobil pertama dengan sorot lampunya yang
tajam menyilaukan, Zulham sudah berada di balik pepohonan besar. Rebah merapat ke
tanah keras berbatu, di balik rimbunan semak-semak belukar.Zulham dan si penjaga
hutan sengaja menunggu pagi datang dengan tidur di pos di atas sana, dengan maksud
menunggu tumpangan. Sekarang ada dua buah mobil di dekatnya. Sungguh suatu
keberuntungan yang langka didapatkan. Tetapi Zulham tidak boleh mengambil resiko.
Yang mereka tunggu adalah truk pengangkut perbekalan makanan. Bukan mobil-mobil
mewah yang entah mengapa tersasar begitu jauh ketempat ini. Dan, dengan salah satu
mobil itu dijadikan tempat bersarang seekor ular berkepala dua!
***
BAB 3
Mobil yang baru muncul menurunkan kecepatannya lalu berhenti beberapa meter
dibelakang mobil tak bertuan itu. Pintu belakangnya kemudian terbuka.Zulham
mendengar percakapan singkat dan tak jelas.Disusul, ia lihat sesosok tubuh lelaki
meluncur turun.Setelah pintu ditutupkan kembali, mobil bergerak melewati kendaraan
di depannya. Setelah meluncur beberapa belas meter mobil itu menemukan bagian jalan
yang lebih lapang lalu dengan hati-hati melakukan gerakan memutar untuk kembali
kearah semula.Sementara itu, si pendatang yang baru turun dari mobil rupanya tidak
ingin membuang waktu berlama-lama. Ia langsung berjalan mendekati kendaraan di
depannya.Memutarinya satu kali, lantas mengintai ke dalam mobil. Pegangan pintu
pertama dan kedua diutak-atiknya dengan sia-sia. Ia berputar lagi, dan berhasil
membuka pintu di samping kemudi. Seperti yang sebelumnya diperbuat Zulham, orang
itu pun lalu menyurukkan setengah badannya ke sebelah dalam.Dari tempat
persembunyiannya. hampir saja Zulham berteriak memperingatkan orang itu bahwa
ada ular didalam mobil. Tetapi niatnya diurungkan, manakala ia sadari bahwa sikap si
pendatang begitu tenang dan percaya diri. Agaknya, orang itu tahu benar apa
yangingin dicarinya dan yakin bahwa ia tidak akan menemukan kesulitan. Terbukti dari
ucapannya, yang lamat-lamat sampai ke telinga Zulham:
"Ah. Rupanya kalian di sini, anak-anakku. Tenanglah. Tak ada yang perlu ditakuti
sekarang..."
Setelah berkata demikian, si lelaki berpindah tempat dan membuka pintu belakang.
Pada saat bersamaan,mobil yang tadi mencari tempat putaran telah kembali.Cahaya
lampunya yang menyilaukan menerangi tempat di sekitarnya, bahkan juga merembes
sampai kepersembunyian Zulham.Zulham rebah semakin rapat di rerumputan. Semak
terkuak didepannya terpaksa ia lepaskan sebagian.Kuatir wajahnya terlihat oleh si
pengemudi.Samar-samar ia lihat, bahwa selain si pengemudi tidak ada orang lainnya
lagi di dalam mobil itu. Apalagi perempuan, sebagaimana diharapkan Zulham. Mobil
itu berhenti lagi. Dan lampunya menerangi gerakan tubuh si lelaki yang menyeruak
masuk lewat pintu belakang mobil seraya menggumamkan sesuatu. Waktu ia tegak
kembali, Zulham sempat terkesima. Orang itu ternyata telah berhasil menangkap ular
berkepala dua tadi. Tenang-tenang saja ia mencengkeram percabang-an tubuh ular...
yang entah mengapa, terkulai lemah tanpa ada gerakan perlawanan.Barulah sekarang
Zulham melihat jelas wujud mahluk ganjil itu. Dari percabangan tubuh sampai pada
kedua kepala, panjangnya hampir setengah meter. Ke bawah sampai ekor yang
terjuntai di tanah, sepanjang lebih dari satu meter. Besar tubuh ular itu, beserta
bentuknya yang aneh, ditambah pula warna kulitnya yang hitam legam... mau tak mau
membuat Zulham bergidik ditempat persembunyiannya.Sementara dari mobil yang
satunya lagi si pengemudi telah keluar seraya membawa sebuah kotak kardus besar.
Dengan seksama Zulham mengamat-amati sipenangkap ular. Dan kembali ia dibuat
tercengang.Kalau si penangkap ular adalah seorang pawang, maka tentulah ia bukan
seorang pawang biasa. Atau tepatnya, tentulah ia seorang pawang masa kini:bersepatu
mengkilap, pakaian perlente. Lengkap dengan jas yang setengah terbuka, dan dasi yang
sengaja dilonggarkan. Penampilannya lebih pas untuk seorang direktur Kebun
Binatang. Paling kurang,seorang kolektor binatang-binatang liar.Si pengemudi
mendekat. Tanpa keragu-raguan sedikitpun, ia buka kotak kardus ke dalam mana ular
berkepala dua tadi dijejalkan oleh si lelaki parlente.Tanpa berkomentar sepatah pun,
pengemudi itu kembali ke mobilnya lalu menyimpan kardus di jok belakang. Setelah itu,
tegak di luar. Diam menunggu dengan sikap seorang hamba yang setia. Adapun silelaki
perlente menyuruk masuk lagi ke mobil pertama.Ia melakukan sesuatu di dalam. Setelah
keluar, tampak ia sudah memegang gumpalan pakaian maupun dua pasang sepatu
laki-laki dan perempuan. Dengan semua itu, ia berjalan kearah mobilnya menanti.Pada
saat itulah Zulham dapat menangkap gambaran postur tubuh serta wajah si lelaki
perlente. Posturnya sedang-sedang saja. Hanya karena sedikit gemuk,tubuhnya tampak
agak pendek. Postur yang umum terlihat di mana saja. Yang tidak umum, adalah
wajahnya. Raut wajahnya bundar, beralis tebal berbentuk mata parang, pipi berlemak
sehingga hidungnya tampak pesek, serta mulut yang tebal dengan tarikan yang sepintas
lalu tampak lemah. Tetapi dagunya kuat, pertanda keteguhan pendirian dan ambisi
yang kuat. Serba kontradiksi di wajah orang itu,seketika mengingatkan Zulham pada
seseorang.
"Siapa ya?"
Zulham berpikir keras.Pikirannya kemudian diganggu ucapan si lelaki parlente:
"Kau bawalah mobil itu. Aku akan mengikutimu dari belakang."
"Baik. Tuan," sahut si pengemudi, sopan seraya membuka pintu untuk lelaki perlente
yang jelas sudah,adalah majikannya.Setelah majikannya duduk dengan nyaman di
belakang kemudi, si supir menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya,
mengangguk hormat kemudian berlalu ke mobil tak bertuan di dekatnya.
"Parlin?"
Orang itu membalikkan tubuh seketika:
"Saya, Tuan?"sahutnya.Si wajah bundar menjulurkan kepalanya dari jendela mobil.
Tampak senyum samar-samar di bibir tebalnya,sebelum ia bertanya:
"Kau tahu apa yang harus dilakukan dengan mobil itu, bukan?"
Supirnya bimbang sejenak. Kemudian, dengan sikap kaku ia menjawab:
"Tuan percayakan saja pada saya."ia mengangguk lagi, memutar tubuh dan masuk
kedalam mobil tak bertuan yang kini punya tuan baru.Setelah pintu-pintunya ditutup,
mesin mobil dihidupkan. Bunyi mesin begitu halusnya, pertanda itu termasuk mobil
yang masih gress. Ia menjalankannya melewati mobil majikannya, memutar agak jauh
didepan sana lalu kembali lagi. Meluncur kearah semula ia dan majikannya
datang.Setelah kedua mobil misterius itu berlalu, barulah Zulham bangkit. Ia keluar
dari persembunyiannya dengan sekujur tubuh serasa kejang, kaku. Lengan kirinya
kesemutan. Seraya menyeringai menahan kesemutan itu, ia perhatikan mobil si
penangkap ular yang parlente itu tengah membelok di sebuah tikungan tajam. Lampu
belakangnya menyala lebih terang karena sentakan rem, dan plat nomornya... Astaga!
Zulham terpaksa memaki dirinya sendiri. Saking terpesona oleh peristiwa-peristiwa
aneh yang tadi berlangsung di depan matanya, ia sampai lupa memperhatikan nomor
plat masing-masing mobil itu.Yang ia ingat hanya jenis serta warnanya.Akan tetapi,
apa pula perdulinya pada mereka?
Yang pasti, bukan dirinya yang dituju orang-orang itu.Artinya, ia masih aman
sampai sekarang. Penyelidikan-nya belum tercium oleh oknum-oknum pemerkosa hutan
lindung yang ia yakin juga terlibat dalam manipulasi reboisasi oleh pemegang hak
pengelolaan hutan. Lebih baik ia kembali sekarang ke pondok,meneruskan tidurnya
yang terganggu dan...
Bayangan Ompungnya muncul kembali dibenak Zulham ketika ia mendaki jalan
setapak diantara pepohonan. Gangguan Ompungnya itu, entah mengapa, Zulham
percaya bukan tidak punya makna.Wajah murung orangtua itu meresahkan hati
Zulham.Mulutnya yang terkatup rapat, lalu kepergiannya yang tanpa pamit, raib begitu
saja bersamaan waktu Zulham terbangun... tidak punya arti lain kecuali: sesuatu yang
buruk tengah berlangsung, atau ada bahaya mengancam Zulham.Tetapi apa?
Dan masih ada satu pertanyaan lagi, yang tidak kurang penting: siapa laki-laki
parlente yang dilihatnya tadi?
Kok, rasaya ia pernah bertemu orang itu di suatu tempat, entah di mana. Serasa ia
mengenalnya.Ataukah si penangkap ular itu mengingatkannya pada seseorang, yang
kebetulan wajahnya sangat mirip satu sama lain?
Pertanyaan ini pun kembali berbuntut sama:siapa?
Tanpa terasa Zulham tiba di pondok. Keriut pintu yang dibukanya tidak mengusik
dengkur si penjaga hutan yang masih tertidur pulas. Zulham merayap naik kedipan
dengan perasaan letih. Tidur merupakan jalan terbaik untuk melupakan kerisauan hati.
Sebelum berbaring, ia masukkan pisau komando kembali kedalam ransel. Saat
tangannya menyentuh kamera,Zulham lagi-lagi terpaksa harus memaki. Pisau komando
itu ternyata tidak berguna ia bawa-bawa.Mestinya tadi yang ia bawa adalah tustelnya.
Potret ular berkepala dua, apalagi sebesar itu, bagaimana pun tetaplah menarik minat
pembaca. Apalagi kalau ia ceritakan, di mana dan bagaimana ia mendapatkan bahan
berita itu. Akan ia susun cerita, yang sekiranya paling masuk diakal. Yakni tentang
sepasang muda mudi yang memilih tempat bercumbu di tengah hutan gelap terpencil.
Saking asyik bercinta, muda-mudi itu membiarkan pintu mobil terbuka. Seekor ular
merayap naik, mungkin tertarik oleh kehangatan udara didalam mobil. Munculnya ular
berkepala dua itu mengejutkan dan menakutkan kedua orang di dalam mobil. Mereka
lantas lari terbirit-birit, lupa kalau mereka bertelanjang bulat. Di tengah jalan, mereka
berpapasan dengan mobil lain, yang penumpangnya justru memang tengah mencari
ularnya yang hilang.Sungguh suatu berita menarik yang akan melariskan majalah
mereka. Konon pula disertai foto-foto, lengkap pula dengan data yang akurat.
Sayangnya, tadi ia tidak membawa kamera. Dan ia terlalu takut menyapa siparlente.
Kuatir, kalau si parlente itu adalah komplotan para oknum pemerkosa hutan lindung
yang tengah dilacaknya. Ular itu, lebih-lebih lagi menakutkannya.Masih terbayang saat
ia membuka pintu belakang mobil. Ia bermaksud mengambil dan memeriksa tas
siperempuan, tatkala dari bawah tumpukan pakaian muncul kepala-kepala ular itu.
Saking kaget, tas tangan yang sudah dipegangnya itu terjatuh, lalu...
Berdentang seketika lonceng di benak Zulham!
Dalam satu loncatan saja ia telah tiba di pintu,membukanya, lalu berlari-lari
menuruni jalan setapak.Ia tidak tahu kalau gerakannya yang rusuh itu telah
membangunkan si penjaga hutan. Dengan bernafsu,Zulham menerobos semak belukar
diantara pepohonan yang rapat. Kabut semakin tipis sekarang. Rupanya pagi telah
mulai datang. Dan cuaca mulai pula terang-terang tanah. Namun belum cukup terang
untuk mem-bantu pencarian Zulham setiba di jalan besar yang membelah hutan itu.
Terlalu banyak lubang-lubang menganga, serta bebatuan yang mencuat tidak teratur di
sana-sini. Ataukah barangkali si parlente tadi telah memungutnya, lantas
menyatukannya dengan tumpu-kan pakaian yang ditemukannya di dalam mobil?
"Mencari sesuatu, eh?"
Zulham berpaling kaget oleh teguran tiba-tiba itu. Ca-haya silau menerpa wajahnya.
Sekejap ia terpejam, dan ketika kelopak matanya dibuka kembali ia lantas meng-enali si
penjaga hutan. Orang itu akan bertanya lagi.Tetapi Zulham keburu merampas senter di
tangannya dengan kasar. Penjaga hutan itu menggerutu panjang pendek. Zulham tak
perduli. Lampu baterai itu ia sorotkan ke permukaan jalan dengan cara terburu-buru.
Setelah berjalan kian kemari ia tak juga menemu-kan yang dicari.Sampai suatu saat, si
penjaga hutan bergumam:
"Apa itu?"
"Mana?" sahut Zulham cepat.
"ltu, di sebelah kiri Oom. Coba diterangi lagi..."
Zulham kemudian menemukannya. Tas tangan wanita itu masih terkancing rapat,
rupanya jatuh tersuruk kelubang yang cukup dalam serta terlindung oleh batu besar.
Pantaslah si parlente dan supirnya tidak melihat tas tangan itu meski lampu mobil
mereka menyala terang benderang. Mana warnanya abu-abu pula.Sewarna dengan
batu yang melindunginya.
"Ayo kita kembali ke pondok, " kata Zulham sembari menyelipkan tas itu ke balik
jaketnya.Si penjaga hutan menurut patuh dengan mulut terkatup rapat. Baru setelah
tiba di pondok dan Zulham menumpahkan semua isi tas di permukaan dipan, serta
diterangi cahaya lampu baterai tampak berserakan seperangkat perlengkapan wanita...
Penjaga hutan itu memberanikan diri bertanya:
"Punya siapa sih, Oom?"
"Seorang pelarian, "jawab Zulham sekenanya, sambil jarinya memperhatikan sebuah
buku checque yang isinya tinggal beberapa lembar.
"Pelarian?"
"He-eh. Lari dari pagutan ular."
"Ular? Dan siapa yang lari? Mengapa pula..."
"Nah. Ini dia, " rungut Zulham suka-cita.Ditangannya terpegang sehelai kartu SIM
dan bergumam membacanya:
"Tenny Puspasari. Umur 27 tahun. Alamat..."
"Wah, perempuan itu tentunya orang kaya. Uangnya banyak, " potong si penjaga
hutan, yang diam-diam rupanya telah ikut-ikutan memeriksa. Di tangannya tergenggam
seikat uang kertas lembaran sepuluh ribuan, yang agaknya belum lama diambil dari
bank.Matanya bersinar-sinar ketika ia melanjutkan:
"Kalau aku punya uang segini, akan kuboyong anak isteriku kekota. Dan....."
"Ah, kalian orang-orang dusun, " rungut Zulham sambil mencocokkan nama pada
SIM dengan nama pemilik buku cheque. Ternyata sama.
"Kota sudah sumpek.Sudah semakin sempit tempat untuk bernafas. Kalian tak pernah
menyadari hal itu. Buat kalian, hidup dikota itu sesuatu yang indah, gampang cari
kerja... uang mengalir bagai sungai di musim penghujan, dan... ah.Apa pula ini?"
Si penjaga hutan mendekat. lkut menyimak benda ditangan Zulham yang didekatkan
ke lampu senter.Benda itu seuntai kalung emas dengan medalion yang juga terbuat dari
emas. Medalion itu berbentuk hati,pinggirannya bertatahkan berlian yang berkilau
gemerlapan. Mengapit sebuah lambang di tengah-tengah medalion. Selintas pandang
saja, wujud lambang itu dengan mudah dapat diterka.
"Ular, " bisik Zulham, tercekat.
"Ular berkepala dua!"
***
BAB 4
Ramalan cuaca di televisi lagi-lagi meleset.Benar, hujan sudah mulai turun di
beberapa kota.Tetapi curahnya begitu malas dan cepat-cepat pula berlalu... bagai tak
betah. Jakarta-lah yang paling menderita. Agaknya, alam sedemikian membenci bumi
ibukota. Berbulan-bulan sudah, hujan tidak mau singgah. Sekali dua, hujan memang
menampakkan diri.Tetapi cuma untuk numpang lewat belaka. Sambil mengejek pula:
menjatuhkan rintik-rintik kecil, yang segera menguap hilang sebelum bumi Jakarta
sempat membasah.Akibatnya, di siang hari bumi Jakarta menggelegak marah. Udara
teramat sangat gerah, mana matahari panas membakar pula. Tingkat polusi yang terus
meninggi, malah sudah hilang dari pembicaraan.Cuaca, menjadi bahan obrolan
dimana-mana, disertai umpat cerca yang tak habis-habisnya. Terutama cuaca dimalam
hari. Begitu malam mulai merayap, cuaca tiba-tiba berubah drastis. Terutama setelah
dinihari.Dingin menggigil, nyaris mendekati titik beku.Cuaca dingin seperti itulah yang
kini merayapi rumah demi rumah disebuah pemukiman elit dalam kawasan Bintaro.
Tusukan tajam hawa dingin itu menembus tembok-tembok tebal dan kokoh, untuk
kemudian menggelitik sosok-sosok tubuh yang menyembunyikan diri di balik selimut
yang berlapis-lapis sekalipun.
Maria juga merasakannya.lkut tersiksa karenanya.Selimut biasa sudah ia tambahkan
dengan seumur bulu binatang yang ia ambil dengan setengah mengantuk dari almari.
Tetapi toh terpaan hawa dingin itu terus saja mengganggu. Kantuknya pun
perlahan-lahan hilang. Beberapa kali ia menggeliat resah dibawah seli-mut, kemudian
menggigil dan mengeluh. Dan disaat kantuknya melenyap, tiba-tiba Maria menyadari
sesuatu. itu bukanlah hawa dingin yang biasa.Hawa dingin yang dia rasakan, bukan
menyergap,apalagi menggigit. Hawa dingin itu membelai, dan terus membelai. Belaian,
yang menyentuh bagian-bagian peka pada tubuhnya. Belaian yang biasa di lakukan
pada seorang perempuan jika ingin membangkitkan gairah syahwatnya!
Seketika, Maria tersadar.Kesadaran itu mendorong jari-jemarinya untuk
menu-runkan selimut yang menutupi kepalanya. Pada saat bersamaan, leher Maria
berputar enggan. Lalu sepasang matanya menatap kearah pintu kamar tidurnya. Pintu
itu tertutup rapat. Tetapi dari sanalah hawa dingin yang aneh itu datang. Maria merasa
pasti akan hal itu.Sekujur tubuhnya pelan-pelan menegang. Sebelah tangannya
bergerak kaku, merayap di permukaan kasur, dan meraba ke bawah bantal.Setelah jari
jemarinya menyentuh semacam benda tipis dan dingin seperti es, ia menarik tangannya
kembali keposisi semula. Maria sudah tahu sesuatu akan datang pada waktunya, dan
dia sudah siap menghadapinya.Namun toh ketika matanya mengawasi lebih tajamk
earah pintu kamar tidur, Maria sempat menelan ludah dan kemudian menarik nafas
dalam-dalam. Tetap saja,ketegangan di sekujur tubuhnya tidak mau hilang. Ia mencoba
menarik nafas sekali lagi. Sedalam-dalamnya.Agar ia lebih tenang, dan yakin bahwa
segala sesuatu-nya akan berjalan sesuai rencananya, secepatnya pula,ia berharap.
Baru setengah tarikan nafas, Maria sudah berhenti.Diterangi lampu sudut yang
bersinar redup, tampaklah bayang-bayang samar-samar memasuki kamar tidur Maria.
Bukan dengan membuka... tetapi langsung menembus daun pint
Bayang-bayang samar itu tidak lebih dulu berhenti,melainkan terus saja bergerak
mendekati tempat tidur.Semakin dekat, wujudnya pun semakin jelas dan nyata.Sosok itu
toh akhirnya berhenti juga setelah mencapai sisi tempat tidur, sejajar dengan wajah
Maria yang rebah diam di bantal.Sosok tubuh seorang lelaki muda. Tinggi kekar,
dengan otot-otot yang menyembul kokoh. Tampak begitu nyata,karena sosok lelaki itu
bugil tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Bahkan kelelakiannya tampak
begitu tegak, seperkasa tubuh keseluruhannya.Tanpa ia kehendaki, Maria
mengerjapkan matanya yang sempat terbelalak. Ketika ia palingkan wajah untuk
menghindari panorama menakjubkan itu, ia tahu bahwa wajahnya dironai warna semu
merah. Bukan hanya takut, tetapi kini ia setengah malu menatap kewajah tampan lelaki
itu. Wajah itu licin, bersih, lembut,bahkan tampak seperti kekanak-kanakkan. Namun
sinar matanya jelas sinar mata menatap dari seorang lelaki dewasa. Senyuman bibirnya
matang, dan sangat yakin pada dirinya sendiri. Begitu pula desis tajam yang menyentuh
kendang telinga Maria. Dalam nada perintah yang tidak boleh dibantah:
"Buka!"
Alam bawah sadar Maria melakukan penolakan.Namun anggota tubuhnya melakukan
gerak berlawan-an, melemparkan selimutnya perlahan-lahan. Kimono tidurnya
kemudian menyusul pergi, dilemparkan Maria antara sadar dan tidak, entah kearah
mana. Ia tahu ia tidak mungkin melawan kekuatan gaib dari sorot mata lelaki itu. Jadi
ia hanya bisa menurut, dengan alam bawah sadar yang terus meronta, meronta,
kemudian memberontak lewat kata-kata yang keluar lemah melalui bibir Maria yang
setengah terbuka, gemetar:
"Jangan. Jangan lakukan lagi itu... padaku....."
Tetapi lelaki itu telah membungkuk diatas tubuhnya.
"Munafik!" ia mendesis, disertai senyuman mengejek.Maria masih tetap berusaha:
"Jangan. Kita tak boleh..."
"Kau lebih menginginkannya dari aku, bukan?"
Senyuman lelaki itu sudah menjurus pada penghinaan.Diam-diam sebelah tangan
Maria merayap perlahan kebawah bantal. Gerakan yang dibuat sedemikian
rupa,sehingga sepintas lalu tampak seperti gerakan tangan seorang wanita yang ingin
memegang lantas menceng-keram sesuatu untuk mengurangi debaran jantung karena
dorongan syahwat yang mulai menanjak.Jari-jemari Maria menyentuh benda berupa
logam tipis di bawah bantalnya. Ia meraba sampai menemukan gagang, lalu
menggenggamnya dengan hati-hati.Masih ada kesempatan untuk melakukan
perlawanan terakhir.Maria harus menunggu sampai lelaki itu lengah, lantas...
Maria melakukan kekeliruan yang teramat fatal.Ia mestinya tidak menunggu.
Seharusnya ia mulai sejak awal, ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya. Tidak setelah
lelaki itu memasuki dirinya!
Masuk perlahan dan hati-hati, seperti tidak ingin menyakiti. Lalu kontradiksi itu pun
terjadi. Di luar tubuhnya, Maria masih merasakan hawa dingin yang sama. Namun
didalam, uap panas mulai merayap dengan pasti, lalu kemudian membara.Maria
kemudian menyerah.Bahkan menikmatinya.Kelopak matanya terpejam-pejam dan
barulah kelopak mata Maria membuka nyalang saat ia dengar erangan menyentak di
atasnya. Bunyi erangan yang tidak lazim.Seperti leher yang tergorok, atau tersentak,
atau bunyi dengkur orang yang kebanyakan merokok. Maria tidak tahu pasti bunyi
mana yang benar, padahal ia sudah mendengar bunyi erangan yang sama beberapa
kali sebelumnya. Hanya satu hal yang dapat ia pastikan.Pada saat lelaki itu mencapai
puncak birahinya, bukan cuma erangan itu saja yang keluar. Melainkan juga,bulu-bulu
halus yang dalam tempo singkat nyaris memenuhi kulit wajah si lelaki yang tadinya
lembut licin. Bulu-bulu coklat kehitaman. Daun telinganya melebar, menyerupai daun
sirih. Jidatnya menyempit,berkerut-kerut. Dan yang terutama selalu mengejutkan
Maria, adalah taring-taring berkeluk tajam yang men-yembul dari sudut-sudut mulut
makhluk yang masih mengangkanginya.Maria sudah beberapa kali melihat wajah itu
sebelumnya.Mula pertama ia menjerit lengking, lalu pingsan. Kali yang kedua, ia masih
menjerit, namun tidak sampai pingsan. Setelah itu, ia tidak menjerit, tidak pingsan
hanya terengah-engah ketakutan, lantas entah mengapa.... malam ini Maria seakan
sudah terbiasa.Tidak ada perasaan apa-apa dalam diri Maria. Kecuali sisa-sisa
kenikmatan birahi yang baru saja terselesaikan dan kemudian berlalu perlahan-lahan.
Dan sisa-sisa perasaan nikmat itu telah mengkhianati Maria. Mestinya ia berusaha
keras menahannya, sehingga ia dapat berpikir normal, dapat mengumpulkan
keberanian,lantas bertindak secepat dan sekuat ia mampu melakukannya.Ketika pikiran
itu datang, bunyi erangan tadi sudah menjauh.Sosok tubuh mahluk itu pun sudah tidak
lagi diatas tubuh Maria. Tetapi sudah bergerak kearah pintu kamar. Mundur,
tertatih-tatih lelah, namun dengan wajah yang memancarkan kepuasan dan
kegembiraan.Dan wajah yang mundur kearah pintu kamar itu adalah wajah licin
bersih, lembut, serta kekanak-kanakan.Sejenak ia berhenti, melempar seulas senyum
dan percikan sinar mata yang seakan berkata:
"Kita akan menikmatinya lagi, lain kali..."
Kemudian sosok lelaki itu berlalu. Seperti datangnya,tidak dengan membuka pintu
kamar, melainkan langsung menembusnya.Maria merintih, kemudian mengumpat diri
sendiri.Cepat sekali ia sudah melompat turun dari tempat tidur. Bantalnya sudah
terlempar jauh- jauh. Dan ditelapak tangan kanannya kini tergenggam sebilah pisau
dapur yang biasa dipergunakan untuk mengiris dan memotong daging. Dengan
ujungnya yang runcing tajam, dan mata pisaunya yang licin berkilau.
"Terkutuklah kau!"
Maria menjerit marah dalam jiwanya.
"Tidak ada lain kali itu lagi. Tidak akan pernah!"
Maria bergerak cepat ke pintu, bertelanjang tubuh,bertelanjang kaki. Sebelum
membukanya, lebih dulu ia menarik nafas berulang-ulang. Sedalam-dalamnya,berusaha
mengontrol kemarahannya, dan mencoba mengembalikan ketenangan dirinya.Setelah ia
mendapatkannya, Maria perlahan-lahan membuka pintu kamar.Hanya sedikit.Cukup
untuk mengintip keluar. Dam melihat sosok tubuh lelaki tinggi kekar dan perkasa itu,
melangkah santai sepanjang ruang tengah rumah menuju pintu kamar yang lain.
Langkah-langkah sosok tanpa busana itu seperti mengambang di permukaan lantai.
Kakinya menyentuh meja, dan lewat terus tanpa menjatuhkan bahkan tanpa
menggemingkan meja itu sama sekali.Tubuh itu kemudian menembus lalu lenyap di
balik pintu kamar disebelah sana.Saat itulah Maria meninggalkan
kamarnya.Bersijingkat sepanjang ruang tengah, menuju pintu kamar yang sama. Tiba
disana ia berhenti sebentar.Telinganya ditempelkan ke daun pintu. Mendengarkan.Ada
bunyi nafas samar-samar. Lalu dengkuran halus.Maria tahu pintu kamar tidak terkunci.
Ia pun membukanya dengan hati-hati.Tampaknya terlalu cepat ia bertindak. Karena
sosok tubuh lelaki itu tampak baru saja rebah disebuah tempat tidur. Maria sudah akan
mundur, ketika ia sadari kelopak mata lelaki itu sudah tertutup rapat bahkan sebelum
sekujur tubuhnya rebah dengan baik.Sosok itu kemudian mengabur dan semakin
mengabur.Dalam beberapa helaan nafas kemudiannya, sosok itu sudah berubah dalam
wujud yang lebih kecil, dan wajahnya tidak lagi kekanak-kanakan. Wajah yang tampak
rebah di tempat tidur, setengah tertutup oleh selimut, memanglah wajah seorang bocah
tujuh tahun.Bocah itu tertidur pulas. Disebelahnya rebah sebentuk kepala lain. Kepala
boneka beruang besar. Maria memperhatikan sejenak, kemudian melangkah
masuk.Kakinya tanpa sengaja menyentuh rel mainan kereta api yang memenuhi
setengah ruangan kamar bocah itu.Terdengar bunyi berisik. Namun si bocah tetap
pulas dalam tidurnya.Sempat tertegun sesaat, Maria kemudian menguatkan genggaman
pada gagang pisau dapur ditangannya. Ia bersijingkat mendekati tempat tidur. Lalu
perlahan-lahan berlutut, mengawasi wajah bocah di tempat tidur. Wajah lembut tanpa
dosa. Tetapi Maria tahu dan sudah beberapa kali merasakannya. Merasakan dosa-dosa
tersembunyi dibalik wajah bocah yang tampak polos itu. Dosa-dosa itu akan terus
terulang, akan terus menumpuk, sampai tidak tertanggungkan.Terngiang kembali
ucapan lembut kebapakan seseorang di telinga Maria:
"Sebaiknya kau mengakhirinya.Sebelum terlambat....!"
Maria sadar siapa bocah itu.Tetapi, sekaranglah waktunya yang tepat!
Pelan-pelan tangannya yang memegang pisau terang-kat keatas. Ujung runcing
pisau itu mengarah lurus kelambung dekat iga si bocah. Hanya satu tusukan cepat,dan
semuanya akan selesai.Maria menguatkan dirinya.Matanya setengah terpejam dan
tiba-tiba timbul keragukeraguannya. Hanya inikah satu-satunya jalan?
Benar-kah bocah ini yang bersalah?
Bukankah ia pernah kukandung dalam rahimku dan....
Dan mulut bocah itu mendadak mengulas senyuman samar. Disusul suara mengigau:
"Mama milik Bobby."
Maria terkejut.Lebih terkejut lagi sewaktu mulut boneka beruang disebelah anak itu
terbuka dan berucap lebih jelas:
"Mama milikku. Mama milikku. Mama...!"
Suara-suara yang sama terdengar dari arah lain. Maria berpaling. Kian-kemari
mengikuti datangnya setiap suara. Dari mulut boneka anjing buldog, dari mainan
serdadu dari laci-laci meja belajar yang terbuka kemudian terbanting menutup, terbuka
lagi, menutup terbanting lagi, terbuka, dengan suara yang menyerupai jeritan marah:
"Mama milik Bobby... Mamaa......!"
Mainan kereta api pun bergerak diatas relnya. Lokomo-tifnya memperdengarkan
bukan bunyi peluit meleng-king, melainkan jeritan marah yang sama:
"Mamaaaa milik Bobby.... Mamaaaa milik Bobby. Mama....."
Bahkan juga daun jendela yang terkunci menghempas terbuka. Pun daun pintu.
Bahkan langit-langit kamar.Semuanya dengan teriakan yang sama. Semuanya dengan
kemarahan yang sama. Bahkan lantai pun mulai terguncang. Mula-mula perlahan, lalu
kemudian makin keras, berderak-derak seakan mau belah dan runtuh.Maria bangun
tersentak.Takut dan panik.Semua benda di ruangan itu mengawasinya. Semuanya
meneriakinya, mengancamnya. Lokomotif mainan itu bahkan telah keluar dari rel, dan
kini menyerbu kearah kaki Maria. Begitu pula serdadu mainan. Yang satu membunyikan
tambur dengan bunyi gegap gempita,sementara serdadu-serdadu lainnya pada
menghunus bayonet dan mengarahkan moncong senjatanya kedada dan wajah Maria.
Anjing Bulldog itu ikut menggeram, tak kurang murkanya.Ada bunyi lain yang samar
menyentuh telinga Maria.Bunyi pisau dapur yang terlepas dari tangannya, jatuh di
lantai, dan pisau itu seperti melompat-lompat dengan ujung runcingnya mengarah ke
kaki Maria.Tak tahan lagi Maria menjerit.Sambil menjerit, ia berlari menyelamatkan
diri. Meng-hambur histeris meninggalkan kamar yang sedang dilanda kemarahan itu.
Karena tidak melihat jalan lari,kakinya menyenggol pinggiran meja duduk dari bahan
jati yang tebal dan berat. Tak ayal lagi, tubuh Maria limbung.Ia menjerit sekali
lagi.Kemudian terhempas di lantai. Tanpa sadarkan diri.
***
BAB 5
Malam itu nasib sial melemparkan Zulham ke kantor polisi.Sungguh menyedihkan!
Mengingat sedemikian banyak keberuntungan yang telah ia peroleh sebelumnya.
Beberapa kali lulus dari intaian maut selama penjelajahannya ditengah hutan
belantara. Ia pun selalu keluar sebagai pemenang setiap kali bermain kucing-kucingan,
yang sesekali diselang dengan main gertak di kantor-kantor pemerintahan kelas bawah.
Lalu di tingkat yang lebih tinggi,menembus birokrasi dengan mengandalkan beberapa
surat rekomendasi yang sengaja ia bawa dari Jakarta,dimana koneksinya di kantor
Gubernur ikut pula unjuk gigi.Hasilnya sungguh memuaskan. Zulham bukan saja
memperoleh kepuasan bathin tiada terperi. Baru sebagian kecil dari seluruh hasil
liputannya ia ketik dikala senggang, Zulham bahkan sudah gempar sendiri.Bagaimana
tidak!
Bahan-bahan yang ia peroleh begitu lengkap. Setumpuk foto-foto yang berbicara
mengenai fakta, beberapa rol Film yang siap cetak, rekaman-rekaman pembicaraan
yang cukup akurat serta dapat dipertanggung-jawabkan, dan sejumlah dokumen
authentik yang kelak dapat ia pergunakan sebagai tameng yang ampuh jika ada
pihak-pihak yang nekad mengajak perang.Semua hasil perolehannya itu ternyata tidak
saja menyangkut skandal reboisasi dan penghancuran hutan lindung yang melibatkan
selain beberapa pengu-saha juga akan menyeret sejumlah nama tokoh terkemuka.
Skandal yang tidak hanya merugikan rakyat dan negara, tetapi juga telah meminta
korban empat nyawa manusia. Tiga diantaranya, manusia-manusia jujur dan teramat
lugu: percaya kebenaran akan melindungi mereka.Manusia satunya lagi, memang patut
mati sebagai penebus dosa. Ia termasuk anggota komplotan yang terpaksa harus
dilenyapkan dari peredaran, karena ia tahu terlalu banyak, dan pengetahuannya itu
mendo-rong dirinya untuk mulai bertingkah.Apa yang membuat Zulham selain puas
juga gempar sendiri, adalah apa yang ia peroleh di luar target semula dibalik
semuanya itu. Yakni adanya perkawinan antar keluarga yang lebih bersifat bisnis,
bahkan bertendensi politik. Zulham mengantongi beberapa pernyataan dibawah
sumpah yang dikuatkan sejumlah bukti otentik, bahwa salah seorang pengusaha itu
adalah bekas tokoh sebuah partai terlarang. Tokoh itu telah lama menghilang, dan
pernah dinyatakan sudah mati. Nyatanya, ia masih hidup, dan putera sulungnya bahkan
kini menikah dengan puteri tersayang seorang tokoh berpengaruh luas di kalangan
pemerintahan daerah setempat.
Ada petunjuk kuat: pernikahan itu dari pihak si perempuan bermotipkan bisnis.
Sedang dari pihak si lelaki bermotipkan peningkatan karier dibidang politik: puteri si
pengusaha, diam-diam sudah menanam pengaruh sebagai pengurus teras dalam sebuah
organisasi pemuda setempat. Zulham sempat melantunkan piala Adinegoro yang bakal
direnggutnya tahun ini, ketika pagi tadi ia pamit dan meninggalkan rumah koneksinya
di kantor Gubernur itu. Ia masih punya waktu sisa sekitar dua jam lebih untuk chek-in
dibandara. Maka ia manfaatkan sisa waktu itu berkeliling dengan taksi carteran
melihat-lihat kota, dan disana sini membeli beberapa souvenir kecil untuk
kerabat-kerabat dekatnya di Jakarta.Lalu, bencana kecil itu pun terjadi.Ia baru saja
keluar dari sebuah toko, manakala seorang wanita tengah baya yang berjalan di
trotoir, tiba-tiba menjerit lengking:
"Aduh. Tasku. Tolooooong...!"
Seorang pemuda tampak berlari meninggalkan wanita itu. Arah larinya ke sebuah
sepeda motor yang ditung-gangi seorang pemuda lain, yang berhenti dengan mesin
tetap hidup. Pemuda pertama, dengan tas ram-pasan ditangannya harus melewati
Zulham untuk sampai ke sepeda motor dimaksud. Refleks menggerak-kan kaki kanan
Zulham, dan membuat pemuda itu terhuyung, limbung. Tas perempuan ditangannya
terlepas. Jatuh di trotoir. Sayangnya, si pemuda tidak ikut terjatuh. Cepat sekali ia
sudah tegak. Dan Zulham yang coba mendekati untuk meringkusnya, tahu-tahu sudah
berhadapan dengan sebilah pisau komando.Zulham masih sempat mengelak, namun tak
urung lengan bajunya robek. Terdengar teriakan-teriakan disekeliling. Lalu dalam
tempo sekejap, pemuda itu bersama pemuda temannya, sudah kabur dengan sepeda
motor mereka.Zulham tidak menunggu datangnya ucapan terimakasih atau pernyataan
simpati. Waktu chek-in sudah mendekat. Maka ia langsung saja menyelinap masuk
kedalam taksi dan setengah membentak supir:
"Jangan hanya melongo saja. Ke Bandara, cepat!"
Bencana berikutnya tidak terlalu mendebarkan.Tetapi betapa sangat
menjengkelkan.Jadwal penerbangannya ditunda. Pesawat satu-satunya yang berangkat
hari itu ke Jakarta dijejali tamu-tamu penting dari luar negeri. Hanya seorang dua
penum-pang murni yang beruntung terangkut. Karena Zulham chek-in ia pada
detik-detik terakhir, ia sudah didahului penumpang-penumpang lain yang sama marah
dan sama kecewa seperti dirinya. Dua penerbangan hari berikutnya penuh sudah, dan
jadwal untuk Zulham hanya mungkin pada hari ketiga.Dua hari menunggu di kampung
orang.Dengan tas penuh berisi dinamit yang dapat dipastikan akan membuat beberapa
orang setempat akan meledak.
Hancur berkeping-keping!
Benar, sumbu dinamit belum dinyalakan Zulham. Belum semuanya ia alihkan
kemesin tik. Dan belum tentu dapat segera naik cetak,karena masih harus melalui
diskusi dan perdebatan panjang untuk menutup semua lobang-lobang resiko yang
dipastikan bakal muncul.Untuk selama beberapa hari mendatang orang-orang itu
masih tetap aman tenteram. Yang tidak aman dan sedikit pun tidak merasa tenteram,
adalah orang yang menyimpan dinamit. Mungkin saja ada yang sudah buka mulut. lalu
desas-desus mulai menebar. Bahkan siapa tahu, jejak Zulham sudah mulai dibaui
anjing pemburu.Zulham berpikir cepat.Ia tidak membooking penerbangan untuknya di
hari ketiga. Bahkan tak lupa ia tinggalkan pesan pada petugas yang mencatat
bookingnya, agar jika terjadi lagi perubahan jadwal supaya Zulham ditelepon kehotel
tempatnya menginap. Lalu ia menyebut nama hotel sampai ke nomor kamar yang ia
tempati malam tadi.Dari bandara, ia naik taksi yang lain dan minta diantarkan ke
sebuah pasar swalayan terdekat. Turun didepan sebuah pasar swalayan, Zulham tidak
segera masuk. Ia tunggu sampai taksi itu berlalu cukup jauh,dan kemudian menggapai
kearah sebuah becak bermesin, yang kemudian membawanya ke pangkalan sebuah
perusahaan bis antar pulau.Zulham beruntung.Ia tiba hanya beberapa menit sebelum
bis berangkat.Ada seorang penumpang yang batal berangkat, dan Zulham mengambil
alih kursi yang mestinya ditempati orang itu. Kursi yang bersebelahan dengan
supir.Zulham mengagumi keterampilan supir-supir bis antarkota disepanjang pulau
Jawa. Ia dengar, supir-supir bis antar-pulau lebih hebat lagi. Siapa nyana ia beruntung
dapat membuktikannya hari ini. Meski harus mengorbankan sekian ratus ribu rupiah
dengan sia-sia,karena tidak memanfaatkan tiket pesawat yang masih
dikantonginya.Tetapi, astaga!
Apakah pengorbanan itu perlu?
Apakah tindakan berjaga-jaga dan kewaspadaannya tidak terlampau berlebihan?
Oh... oh! ia sudah terpengaruh oleh film-film spionase yang selama ini merupakan
pavorit Zulham!
Teringat semua itu, Zulham tertawa sendiri dan baru terjengah sewaktu supir
disebelahnya menoleh, lantas bertanya sopan:
"Ada yang lucu, Oom?"
"Ah. Nggak... Hanya..."
Zulham menggagap.
"Teringat seseorang, barangkali?"
"Ah. Ya. Ya..."
Zulham manggut-manggut. Terpojok.Supir bis itu tersenyum.
"Pasti orang yang menggelikan,ya?"
"Menggelikan, benar. Dan tololnya minta ampun!"
Zulham menyetujui. Berpikir sebentar. Zulham kemudian mulai membual. Tentang
seseorang dari negeri antah barantah.....
Dan, bencana ketiga benar-benar mengerikan!
Terjadinya di sekitar daerah Baturaja, menjelang tengah malam. Zulham yang
sempat terlelap, mendadak bangun karena ingin kencing. Tersuruk-suruk ia sampai
juga kebagian belakang bis. Masuk ke toilet. Ia baru saja menutup pintu toilet ketika bis
itu terasa membelok tajam. Mungkin teramat tajam, sehingga tubuh Zulham meliuk
keras. Wajahnya pasti membentur kaca belakang bis, andai saja ia tidak keburu
merangkul dan berpegangan kuat-kuat pada tiang penyangga yang tegak kokoh
disamping jamban. Namun toh punggung Zulham sempat terhempas dengan deras,
menghantam pintu toilet yang terkuak membuka dalam seketika. Ada bunyi berderak
yang terdengar begitu hingar-bingar.Seperti bunyi logam beradu logam. Juga
kayu-kayu,lantas kaca yang pecah berderai disana sini.Bis berhenti secara
tiba-tiba.Persisnya dipaksa berhenti dengan suatu hentakan keras yang mengejutkan.
Masih tetap berpegangan ketiang penyangga dengan punggung setengah meliuk
menahan nyeri, mana mata sempat berkunang-kunang pula... telinga Zulham kemudian
mendengar suara-suara lainnya. Suara-suara orang menjerit
merintih,berteriak-teriak...
Dua jam berikutnya, barulah Zulham menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi.
Itupun, setelah ambulans silih berganti datang lalu pergi dengan membawa tiga orang
yang meninggal seketika dan sekitar tujuh orang lainnya yang menderita luka
berat.Zulham bersama beberapa orang lainnya yang mengalami luka-luka ringan telah
selesai pula dirawat di sebuah posyandu setempat.Ketika ia meninggalkan posyandu, ia
melihat jalanan yang tadinya sepi dan gelap gulita diramaikan kerumu-nan penduduk.
Sejumlah polisi dibantu beberapa sukarelawan sibuk mengatur lalu lintas yang
macet.Lampu-lampu sorot mobil polisi, dibantu lampu-lampu petromak menerangi bis
yang semula ditumpangi Zulham. Bagian depan bis itu ringsek berat, bagian sisi
sebelah kiri nyaris terpapas habis. Bak belakang sebuah truk yang berciuman rapat
dengan kepala bis, boleh dibilang hancur berantakan.Menurut pembicaraan yang
ditangkap Zulham disana sini, konon truk itu mendadak mogok. Kernetnya baru saja
melompat turun untuk memasang rambu-rambu pemberitahuan, tahu-tahu saja sudah
muncul mema-suki belokan yang tajam, dibalik belokan mana truk berhenti. Si kernet
yang malang. Kata orang, tubuhnya hancur tak tentu rupa.
"Jadi perkedel...!" bisik seseorang lirih, entah siapa.Zulham bergidik. Ngeri.Ia
bergidik lebih hebat lagi sewaktu dengan bantuan cahaya lampu sorot.... matanya
menangkap bagian depan sebelah dalam kepala bis. Salah satu pecahan besar kayu bak
belakang truk masih terhunjam di kap depan bis yang berlipat-lipat mengerikan. Ujung
run-cing kayu itu menerobos kedalam dan terus menembus sandaran sebuah
kursi.Yakni, kursi di sebelah supir.Kursi yang beberapa detik sebelum peristiwa naas itu
terjadi, ditinggalkan oleh Zulham karena desakan mendadak. Ingin kencing.
Seketika, wajah Zulham yang masih pucat, kini bertambah pucat. Desakan itu pun
datang kembali.Desakan untuk kencing....
Kesempatan untuk itu diperoleh Zulham setengah jam kemudian. Di kantor Polisi
setempat, disela-sela pemeriksaan darurat oleh para petugas pada para penumpang
yang selamat untuk dimintai keterangan atau kesaksiannya Sebelum diperiksa, Zulham
minta diberi kesempatan pergi ke kamar kecil. Selesai pemeriksaan, Zulham masih
memerlukan sekali lagi kembali menyelinap masuk jamban kantor polisi.Baru setelah
menemukan tas dan ranselnya diantara tumpukan barang-barang penumpang yang
dipindah-kan dan disimpan disalah satu ruangan, keterkejutan dan ketegangan Zulham
agak mereda. Ranselnya robek.Tetapi tasnya masih tetap utuh, terkunci. Tak ada
tanda-tanda kerusakan akibat benturan bis dengan truk. Hasil perjuangan kerasnya
selama satu bulan lebih, jelas tidak terganggu.Zulham kemudian rebah di lantai
ruangan itu. Berban-talkan ransel pakaian dan memeluk erat tas yang seakan menyatu
dengan dadanya. Ia terpaksa harus menunggu sampai pagi berikutnya tiba dan ada bis
lain yang masih mungkin menampung penumpang tambahan. Sementara itu, lebih baik
mata dipejamkan.Barangkali dengan tidur barang sejenak....
Kelopak mata Zulham terbuka lagi. Malas. Terasa ada sesuatu yang mengganggu.
Rupanya, salah satu bagian tas sedikit menyembul keras, menekan dadanya.
Ah. Itu pastilah kamera miliknya. Jika tidak salah ingat, rol film negatif di dalam
kamera itu belum terpakai seluruhnya.Diluar sana, ada peristiwa menarik untuk
diabadikan,dan Zulham membalikkan tas dalam pelukannya.Setiap orang, siapa dan
kapan pun juga, suatu ketika perlu beristirahat. Dan Zulham begitu lelah. Ia pun ma-sih
terkejut. Kelelahan dan kejutan itu perlahan-lahan mengaburkan kesadaran Zulham. Ia
tertidur juga.Tidur, yang jelas tidak pulas. Karena sesekali Zulham tampak menggeliat.
Resah. Sesekali matanya setengah terbuka, menerawang terjaga, lantas terpejam
lagi.Mendengkur sebentar, lantas dengkuran Zulham berubah jadi erangan
gelisah.Barangkali, dalam tidur Zulham ada yang usil membisikkan, bahwa
bencana-bencana yang dialami sepanjang hari dan malam itu, belum apa-apa. Itu
semua tak lebih dari pemulaan. Hanya sebuah overtur belaka, pembukaan sebuah
opera, sebelum memasuki opera sesungguhnya. Sebuah opera maut. Dimana kejadian
sebenarnya, justru berlangsung diatas pang-gung. Menimpa diri para pelakunya.
Dengan Zulham sebagai pemeran utama.Entah benar entah tidak. Yang pasti, dalam
tidur Zulham, bayangan sang Ompung melintas tanpa kata.Zulham
menggapai.Kemudian merintih. Rintihan resah.
Dan, takut...
***
BAB 6
Sekitar pukul dua dinihari, Dokter Anwar menutupkan pelan pintu kamar tidur
dibelakangnya. Seketika ia didatangi serempak oleh tiga sosok tubuh. Sumirah,pelayan
bertubuh montok, sehat.
"....dengan majikan-nya yang begitu lemah dan bertambah kurus akhir-akhir ini!"
Dokter Anwar membathin, selagi ia meng-awasi wajah Sumirah yang sedang
menyembunyikan kegugupan. Sementara wajah Asep suami Sumirah,tampak jelas
memperlihatkan kebingungan. Tetapi sikap supir pribadi yang merangkap pengurus
rumah itu, masih tetap waspada.Perhatian Anwar lebih tertarik pada wajah orang
ketiga. Bukan hanya karena wajah itu memperlihatkan intelektualitas tinggi pemiliknya,
melainkan terutama karena wajah dengan lekuk mata yang khas itu memancarkan
kekuatiran.Kearah wajah itulah Dokter Anwar menggumamkan kata:
"Tak ada yang perlu dicemaskan. Ia hanya shock.....!"
Sumirah mendesahkan sesuatu yang tak jelas. Asepun menarik nafas lega. Sementara
si pemilik mata yang khas tadi, tetap saja dengan reaksi yang sama: kuatir.Anwar
tersenyum lembut padanya.
"Punya waktu untuk ngobrol barang semenit dua, Tarida?"
"Dengan senang hati, " gadis itu menjawab dengan suara mengambang. Tanpa
menunggu, ia langsung melangkahkan kakinya kearah sebuah kursi di ruang tengah
yang luas dan megah dengan perabotannya yang serba wah. Dokter Anwar bermaksud
mengikuti,tetapi keburu teringat sesuatu. Ia mengawasi kedua orang lainnya yang
sudah akan beranjak ke koridor yang menuju bagian belakang rumah.
"Sebentar!"
Anwar menahan mereka. Suami isteri itu berdiri menunggu.
"Kuharap aku hanya salah dengar saja."
Dokter itu mendesah lembut.
"Tadi, salah seorang dari kalian meributkan sebilah pisau..."
"Pencacah daging!"
Sumirah berujar cepat. Wajahnya memerah karena semangat tinggi.
"Bayangkan, Tuan Dokter. Pisau pencacah daging! Sungguh mengerikan jika sampai
terjadi."
Asep, suaminya tampak tak senang.Anwar segera menembak:
"Apa yang kau perkirakan akan terjadi. Mirah? Nyonyamu bermaksud bunuh diri?"
"Bunuh diri? Astaga, Tuan Dokter. Jika saja Tuan tahu."
Deheman Asep menghentikan ucapan Sumirah yang semakin bersemangat itu.
"Tuan Dokter pasti haus.Pergilah ambil minuman, Mirah!"
"Tetapi...."
Sumirah mencoba bertahan.
"Kopi atau teh, Tuan Dokter?" suaminya menyambar,seraya melempar seulas
senyum sopan pada tamu mereka.
"Teh saja."
"Nah, Mirah. Tunggu apa lagi?"
Asep mendeliki isteri-nya.Kecewa dan sakit hari, Sumirah berlalu dari ruangan itu.
Baru setelah menghilang di ujung koridor Asep ber-paling lagi ke Anwar, memandang
dengan tatap mata segan dan setengah menyesal.
"Maafkan isteri saya,Tuan Dokter..." ujarnya dengan suara direndahkan.
"Ia begitu keranjingan film horor. Sehingga ketika menemu-kan pisau pemotong
daging di kamar Tuan Muda, Ia lantas berpikir yang bukan-bukan..."
Anwar mengangguk penuh pengertian.
"Kau bermak-sud mengatakan, bukan Nyonyamu yang membawa pisau itu ke kamar
Bobby?"
Asep memerlukan tempo dua tiga detik untuk berpikir,sebelum kemudian ia
menjawab hati-hati:
"Tuan pasti tahu banyak mengenai Tuan Muda...."
"Aku dokter keluarga, bukan?"
Anwar mengingatkan dengan senyuman manis.
"Nah. Jadi Tuan tentunya sependapat bahwa Tuan Muda suka berlaku nakal.
Terkadang, Tuan Muda malah...."
Asep berhenti. Bimbang.Anwar lantas membantu:
"Agak liar. Begitu?"
Asep tampak lega. Namun masih tetap bimbang.Sekali lagi Anwar menolongnya:
"Pernah selagi aku berkonsultasi dengan ibunya di tempat atau praktek,Bobby
diam-diam mengambil gunting bedah. Ia mem-pergunakannya untuk memotong
kuku....."
Mendengar itu, barulah Asep bisa tersenyum. Bicaranyapun lantas lebih lancar.
"Begitulah Tuan Muda, Tuan.Jika sifat badungnya bangkit, apa saja diambil. Apa
saja dibongkar. Beberapa kali, ketika saya tengah memper-baiki mesin mobil, saya
dibuat kalang kabut. Dan...."
Anwar memotong tak sabar, namun tetap dengan nada lembut:
"Anak seusia Bobby terkadang memang suka menjengkelkan. Tetapi, bagaimana
dengan pisau yang tadi diributkan istrimu?"
"Itulah, Tuan. Menurut saya, tentulah Tuan Muda yang mengambilnya dari dapur.
Pernah, isteri saya meributkan setumpuk sendok dan garpu, yang baru dua hari
kemudian kami temukan berserakan di kolong ranjang Tuan Muda. Di situ juga ada
beberapa buah kaleng bekas. Tuan Muda hilang, ia mau minta band.Di lain ketika..."
Anwar mengerling kearah lain.
"Ah. Minumanku sudah datang!"
Sumirah memang sudah muncul lagi. Menating baki dengan cangkir teh diatasnya,
lengkap dengan poci-poci kecil yang tentunya berisi gula dan susu.Anwar menyambar
cangkir itu dengan cepat.
"Cukup teh saja Mirah. Terima kasih."
Lalu Anwar meninggalkan suami isteri yang mendadak tampak saling tidak menyukai
itu. Anwar terus saja berjalan ke kursi yang berhadapan dengan kursi lain,dimana
Tarida sudah duduk menunggu.
"Rasanya kurang pantas jika aku minum sendirian..."
"Rilek sajalah, Pak Dokter..."
Tarida menyahuti.
"Eh, yang harus rilek itu aku atau siapa, Tarida?"
"Kau menguatirkan cuaca yang dingin menghunjam ini, ya?"
***
Dan di perjalanan menuju ke kamar tidur mereka,suami isteri pelayan itu saling tak
mau melihat satu sama lain. Konon pula untuk bertegur sapa. Sumirah menyimpang
sebentar ke dapur, menyimpan baki dan poci-poci yang tidak disentuh oleh tamu
mereka tadi. Asep menunggu di luar pintu. Tetapi isterinya justru malah pura-pura
sibuk di dapur.Tak sabar, Asep masuk ke dapur.Tangan isterinya direnggut. Sumirah
dipaksa menenga-dah.
"Lihat padaku, Mirah!"
Sumirah ingin memprotes, namun tak jadi, karena ia melihat sinar mengancam
dibalik sepasang mata suaminya. Bobot tubuh Asep yang jangkung kurus itu,barangkali
tidak sampai setengah dari bobot tubuh Sumirah, namun sang isteri tahu betul siapa
suaminya.Belum sampai dua bulan lewat, tiga orang pemuda berandalan coba-coba
mengutak-atik pintu mobil majikan mereka yang diparkir di halaman depan. Salah
seorang diantaranya bersenjatakan pisau. Asep memergoki mereka. Dan ketika polisi
yang dipanggil penelepon datang ke rumah itu, ketiga pemuda berandalan tadi sudah
bergeletakan. Yang satu masih belum siuman dari pingsannya. Dua yang lain terikat
tali tambang dengan punggung keduanya saling beradu. Yang seorang kakinya patah,
satunya lagi wajahnya babak-belur.Suami yang bertampang 'tak ada apa-apanya' itu
kini mendesis marah dengan wajah merah padam.
"Kau tahu apa akibatnya jika kau salah omong, Mirah!!"
Sebelum isterinya sempat membuka mulut, Asep sudah menjawab sendiri:
"Kau pasti kehilangan pekerjaan.Bukan itu saja. Kita juga akan kehilangan seorang
majikan yang selama ini begitu baik pada kita. Tanpa kemurahan hatinya, kita belum
tentu punya tempat menetap senyaman yang ada di rumah ini. Kita pun belum tentu
dapat menabung....."
"Tetapi, Kang. Lenganku....."
Sumirah meringis. Sakit.Asep tersadar, dan buru-buru melepaskan cengkraman
jari-jemarinya yang menjepit lengan sang isteri tak ubahnya jepitan batang-batang
besi.Sumirah mengeluh setengah menangis:
"Mudah-mudahan tidak patah...." dan untuk meyakinkan, ia raba-raba lengannya
yang masih sakit. Lengan itu kemudian digerak-gerakkan. Tampaknya tidak ada yang
cidera.
"Ah. Syukurlah!"
Sumirah menarik napas lega.
"Tetapi,Kang..."
"Apa lagi?!"
Asep masih marah, namun kini lebih terkendali.
"Pisau itu. Pasti Nyonya yang..."
"Aku tahu!"
"Dan beberapa malam yang lalu. Aku pergoki Nyonya menjatuhkan bantal ke wajah
Tuan Muda yang sedang tidur nyenyak......"
Asep menghela nafas panjang.
"Sudah. Sudah.Lupakan saja!"
"Lalu. Nyonya.....?"
"Percayakan saja pada dokter."
"Bukan itu yang kumaksud, Kang..."
"Ya. Ya. Aku pun tahu apa maksudmu. Tetapi perlukah kau kuingatkan lagi, Mirah?
Kita sebaiknya membantu Nyonya. Bukan menambah kesulitannya. Kita ini tahu apa
sih? Kita hanya orang kecil. Orang bodoh. Dokter lebih pintar. Lebih tahu
mengatasinya. Begitu pula Non Tarida....."
"Hem. Andai saja Oom Zulham ada disini....."
Sumirah berkata mengharap. Setengah melamun.
"Kau merindukan dia, eh?"
"Idiiiiih, Akang ini. Yang enggak-enggak saja!"
Sumirah cemberut.
"Aku cuma berpikir hanya Oom Zulham yang begitu dekat dengan majikan kita.
Sayangnya,Oom Zulham sudah lama tidak menampakkan batang hidung. Yang aneh,
Nyonya sudah lebih satu bulan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Oom
Zulham..."
"Itu bukan urusan kita." dengus Asep, sambil meme-gang tangan istrinya. Kini
dengan lembut. Selembut kata-kata yang keluar dari mulutnya:
"Ayo kita ke kamar, ah!"
"Setelah apa yang terjadi, mana aku bisa tidur, Kang?"
Sumirah mendesah lirih. Namun sambil menuruti langkah suaminya berjalan menuju
kamar tidur mereka yang terletak disamping kiri halaman belakang rumah induk.
"Siapa bilang kita akan tidur?"
Sumirah sempat heran mendengar ucapan suaminya.Baru setelah mereka masuk ke
kamar dan pintu ditutupkan, keheranannya hilang. Asep langsung me-nyeret Sumirah ke
tempat tidur. Terus buka celana.
"Apa-apaan si Akang ini...?"
Sumirah ternganga.Lantas kemudian tertawa.
"Hem. Hem. Pasti karena tadi Akang sempat menyentuh dada majikan kita. Pasti
Akang sempat meremas, dan....."
"Diamlah!"
Asep menggerutu sambil menaiki tubuh isterinya.
"Dan buka bajumu segera. Atau perlu aku robek-robek?"
"Sabar, Kang. Sabar, dong..."
Kemudian Sumirah cekikikan.
***
"......... itulah semuanya yang kuketahui dan kudengar,Pak!"
Tarida mengakhiri ceritanya dengan suara lelah.
"Dan, aku benar-benar mencemaskan Maria. Lebih-lebih setelah apa yang terjadi
dan kusaksikan sendiri barusan tadi!"
Anwar merenung. Lama.Kemudian:
"Apakah ketika Asep muncul, Maria masih tetap dalam keadaan telanjang bulat?"
Tarida menjawab antara sadar dan tidak:
"....ketika aku mendengar jeritan Maria, aku sedang belajar di kamar-ku, Pak Anwar.
Aku masih mengenakan pakaian rumah. Berlapiskan selimut, karena tak tahan pada
cuaca dingin membeku. Bagusnya aku tak melempar-kan selimut itu sewaktu aku
berlari-lari ke ruangan ini.Maria kutemukan disini..." telunjuk jari Tarida mengarah ke
lantai dekat kakinya.
"Dengan selimutku itulah tubuh telanjangnya sempat kututupi, sebelum Asep dan
isterinya muncul. Asep yang membopong Maria ke kamar. Sementara aku pergi ke
telepon,dan....."
Tarida berhenti tiba-tiba.Lekuk matanya yang khas, menarik tajam. Lantas
mendesah, heran:
"Aku percaya, Anda tidak semata-mata ingin mempercakapkan tetek-bengek belaka,
Pak Anwar!"
Dokter itu memaksakan senyum di bibir. Namun toh tidak menghilangkan
kemurungan yang terpateri diwajahnya. Ucapan yang keluar dari bibirnya pun bernada
murung:
".... ah. Aku hanya sekedar ingin mengendurkan urat syaraf saja!" ia lantas
tertawa.Parau.
"Tak baik jika terlalu tegang, bukan?"
"Dan?"
Tarida menuntut. Tidak terlalu memaksa.Anwar menghela nafas. Berat.
"Kamar yang katanya berantakan, bukan bidangku..." ia bergumam, prihatin.
"Apalagi dalam kenyataan, kamar itu masih tetap seperti keadaan semula. Tidak ada
yang berubah. Tidak ada beruang melompat-lompat berang, anjing yang menggeram,
kereta api yang menderu-deru....
"Plus, sepasukan tentara bersenjatakan bayonet!"
Tarida menambahkan. Terngat pada igauan Maria sewaktu Maria sempat siuman
sebentar, meronta-ronta seperti orang kesurupan, lalu pingsan lagi, sampai akhirnya
Dokter Anwar datang memenuhi panggilan telepon Tarida.
"Boneka-boneka mati. Tak berjiwa....!"
Wajah Anwar terangkat. Menegun.Diamatinya wajah Tarida seraya diam-diam
mencerna apa yang barusan diucapkan gadis itu. Bukan gaya hiperbolisnya, melainkan
kata-karta itu sendiri,
"Kau mengingatkan aku. Untuk mengutarakan apa yang seharusnya kautarakan....."
Tarida diam. Menunggu.Namun meski ia diam, Dokter Anwar menyadari bahwa
Tarida sebenarnya sudah tahu.
"Ahli jiwa!"
Anwar mendesah.
"Itulah yang hari-hari ini akan sangat dibutuhkan oleh sahabatmu, Tarida....."
Kelopak mata Tarida memejam.Ia sudah menduga. Namun toh, ia sempat terpukul
juga.Anwar tidak tega melihatnya. Pelan-pelan Anwar ber-diri. Bunyi kursi bergeser,
seketika membuka mata Tarida. Anwar memaksakan seulas senyuman menghi-bur.
"Lebih baik memanfaatkan waktu yang masih tersisa, bukan?" ia berkata.
"Sudah waktunya aku pulang ke rumah. Sambil mengingat-ingat, psikiater mana
yang paling pas untuk Maria. Kuharap, kau bersedia membantu."
Tarida membelalak:
"Aku?"
"Dunia kedokteran adalah bidangku, " Anwar menyeri-ngai lebar. Semangatnya kini
kembali.
"Bantuan yang kuperlukan darimu adalah mendekati sahabatmu. Ingat jangan terlalu
tergesa. Kau tahu, bagian terbesar bangsa kita masih saja mencak-mencak jika
padanya kita beritahu, ia harus pergi menemani seorang dokter jiwa."
"Akan kupikirkan, Pak Anwar."
Tarida balas menyeringai.
"Tetapi tularilah aku barang sedikit semangat Anda ini!"
Tarida mengantar tamunya ke pintu depan.
"Oh ya..." dengus Anwar sewaktu mereka berjabat tangan untuk berpisah.
"Aku baru sekali dua saja bertemu denganmu. Dan nyaris kita tidak punya
kesempatan berbintang-bincang seperti sekarang ini....."
"Dunia sudah semakin sibuk, barangkali, " ujar Tarida.Diakhiri dengan tertawa
lunak dan enak didengar.
"Agaknya Anda ingin mengutarakan sesuatu. Tentang cinta, mungkin?"
Diledek begitu, mau tak mau Anwar pun tertawa.
"Mungkin itu, jika saat pertama kali aku bertemu denganmu, usiaku lebih muda 20
tahun...!" ia mengamati sejenak, lurus ke mata Tarida.
"Tetapi terus-terang, aku memang tertarik pada lekuk matamu yang khas...."
"Oh oh. Jantungku mendadak berdebar..."
"Berhentilah menggoda orangtua ini, Tarida!"
Anwar berusaha keras menahan tertawanya yang siap meledak. Suaranya kemudian
berubah jadi gumaman bingung.
"Tarida. Tidak dengan tulang pipi menonjol.Kulit putih kekuningan pula...."
"Aduh...!"
Tarida mengerling nakal.
"Ayo, terus. Terus!"
"Biar kuakhiri saja. Namamu memang Tarida. Namun,sedikit pun aku tidak mau
percaya ditubuhmu mengalir darah orang Batak..."
Tarida tercengang.Andaikata ia ada ditempat lain, dalam situasi yang berbeda,
mungkin tawanya sudah pecah berderai-derai.Susah payah ia berusaha bersikap
setakzim mungkin,sewaktu ia menjelaskan
"Ibu saya orang Solo. Tulen.Tentu saja bukan dia yang memberiku nama
Tarida.Namaku pemberian Ayah. Sayangnya aku tak pernah ingin bertanya, mengapa?
Jadi aku cuma mengira-ngira saja. Ayah ingin mengambil nama yang mirip nama-nama
orang di daerah asalnya. Sebuah dusun kecil di wilayah Kobe, Jepang..."
Mulut Anwar terbuka untuk mengucapkan sesuatu.Tetapi Tarida sudah mendahului:
"Pantas!"
"Sialan!"
Anwar memaki. Dalam sekejap ia sudah menghilang didalam mobil miliknya yang
diparkir didepan teras. Disana, barulah tawanya lepas.Meledak-ledak. Gembira.
Tarida menyeringai. Sama gembiranya. Kemudian mereka saling melambai, setelah
mana mobil dokter keluarga itu berlalu di jalanan yang sudah mulai terang-terang
ayam.Tarida kemudian menutup pintu.Sewaktu akan kembali ke kamarnya, secara tidak
sengaja ekor mata Tarida menangkap bayangan daun pintu kamar Maria yang tertutup.
Sesaat Tarida tertegun. Bayangan sahabatnya yang terbaring sakit dibalik pintu itu,
membuat kegembiraan Tarida terenggut hilang.Kesunyian yang merayapi ruangan di
mana ia berdiri, mendadak dipecahkan oleh bunyi berdentang. Hanya satu kali. Dan
dentangnya tidak terlalu keras. Tarida menoleh ke jam dinding di tembok. Jarum jam
menunjukkan pukul setengah lima pagi.Tarida tidak jadi masuk ke kamar.Ia
mengalihkan langkah ke kamar mandi. Untuk mengambil air wudhu. Seraya di hati
diam-diam memanjatkan do'a:
"Ampunilah dosa-dosa hamba-Mu yang malang ini, ya Allah. Terutama dosa-dosa
sahabatku....."
Do'a Tarida disambut muadzin mengumandangkan adzan shubuh dari masjid
terdekat. Menggapai-gapai.Sayup-sayup sampai.
BAB 7
Konon, seseorang yang pulas karena pengaruh obat penenang, tidak akan
tergangggu sedikit pun, walau misalnya, atap rumahnya berdetak ribut lalu runtuh
menimpa tempat di mana ia tidur. Jika memang benardemikian, maka Maria harus
dikecualikan.Getaran lembut, telah membangunkan Maria.Getaran itu terasa di
permukaan dadanya. Mula-mula Maria hanya membuka kelopak mata. Ia belum terjaga
sepenuhnya. Tetapi kesadarannya muncul setahap demi setahap. Matanya membuka
lebih lebar. Meng-awasi lelangit diatasnya.Kemudian ia bangkit. Duduk di tempat tidur.
Ganti mengawasi sekelilingnya, saperti ingin mengenali setiap benda yang terlihat oleh
matanya, sampai ia yakin betul bahwa ia berada di kamar tidurnya sendiri.Sejenak, ia
mengingat-ingat. Membayangkan sesosok tubuh besar dengan wajah berbulu, dan
taring-taringyang mencuat dari sudut-sudut bibir tebal kehitam-hitaman. Lalu gema
raung beruang, geramam buas seekor anjing, kereta api yang menderu-deru....
semua-nya dengan penuh kemarahan. Kemudian terasa ia bagai terbang menjauh, lalu
terhempas, entah dimana.Apakah semua itu hanyalah mimpi buruk belaka,atau....
Getaran itu terasa lagi.Lebih keras dari tadi.Tangan kanan Maria terangkat
perlahan-lahan, meng-gapai kearah dada. Tersentuhlah oleh jari jemarinya liontin
bertatahkan berlian, pada kalung yang meling-kari lehernya. Dengan kelopak mata tak
sekalipun berkedip, induk jati tangan kanan Maria menekan lambang di bagian tengah
liontin dengan gerakan mengusap. Usapan yang teratur, sekali ke kiri, sekali kekanan,
sekali keatas, terakhir kali ke bawah, lalu berhenti.Perlahan-lahan getaran tadi pun
berhenti pula.Maria masih tetap dalam posisi duduk.Diam
membelai.Menunggu.Perlahan tetapi pasti, dalam kamar tidur yang semula sunyi
senyap, terdengarlah bunyi semilir angin. Lembut saja. Maria lantas terpesona. Hawa
yang tadinya dingin menusuk, dalam seketika berubah hangat, membelai,seperti ingin
melindungi. Disusul terdengarnya suara seseorang yang seakan datang dari kejauhan.
Suara orang itu menimbulkan pengaruh yang sama: hangat,membelai, ingin
melindungi.
".... ada apa, Anakku?"
Mulut Maria membuka. Bergetar.
"Aku.... gagal lagi..."
"Hemm...."
Sepi menyentak sebentar, lalu:
"Dia memang terlalu kuat untukmu!"
Bibir Maria semakin bergetar. Kecemasan membayang di pelupuk matanya.
"Apakah aku... masih diterima sebagai... anggota keluarga?"
"Anakku terkasih. Kau masih tetap punya kesempatan."
"'Tetapi....."
"Tidak usah cemas. Bukankah aku ada untuk memban-tu? Waktunya akan tiba...
segera, namun begitu... perlu kuingatkan sekali lagi. Jangan biarkan ia mendatangi-mu,
lalu menguasaimu. Sekarang tidurlah kembali. Aku akan membelaimu... memberimu
mimpi-mimpi indah...sampai kau terpuaskan kau akan menikmati sepenuh-nya dan..."
Dan, sementara suara itu masih terus berbicara dengan penuh kasih serta cinta,
Maria merebahkan diri.Terkulai pasrah, setengah menanti.Angin semilir di kamar tidur
Maria, berputar-putar sebentar, mengitari ranjang, lalu belaiannya mengarah
perlahan-lahan ke bagian-bagian yang sensitip disekujur tubuh Maria.Maria mulai
bernafas terengah-engah. Ia menggelin-jang, terus menggelinjang, sampai suatu ketika
tubuh-nya terangkat melengkung dalam getaran yang hebat.Saat berikutnya, tubuh
Maria menggelepar.Ia menjerit pelan. Diakhiri oleh suara merintih tersengal-sengal,
tubuh Maria kemudian terhempas ditempat tidur. Diam tak bergerak-gerak. Kelopak
mata Maria perlahan-lahan mengatup.Ia kemudian tertidur.Dengan bibir mengurai
senyuman puas dan bahagia tiada terperi. Tak lama setelah itu, lidah matahari
menggapai dari ventilasi jendela, masuk ke kamar. Dan perlahan-lahan menjilati wajah
Maria. Membuat tidur Maria semakin pulas saja.
***
Lidah matahari yang sama menerobos masuk ke kamar mandi sebuah rumah makan
di sekitar daerah Baturaja.Zulham berfoya-foya dengan air yang melimpah didalam bak
mandi. Nyeri di punggung lenyap sudah.Ketika ia mengeringkan tubuh dengan sehelai
handuk,perasaannya begitu segar, tubuh pun teramat bugar.Zulham kemudian menyisir
rambut di depan cermin yang digantungkan pada dinding bambu kamar mandi.Kaca
cermin itu tinggal sepotong,bekas pecah. Tetapi dengan mundur dua langkah,muncul
jugalah seraut wajah pada cermin yang tidak karuan itu. Wajah siapa lag jika bukan
wajah anak ibunda yang tampan. Dengan sinar mata tajam walau masih menampakkan
sisa-sisa kelelahan, hidung yang kokoh, mulut yang sedikit kaku, dagu yang keras
dengan lekukan samar ditengah-tengah, kemudian leher dan...Zulham pun mengerjap.
Terperanjat.
"Ya, ampun! Apa yang telah kulakukan?!"
Tiba-tiba ia merasa dirinya tak ubahnya seorang perem-puan. Dan perempuan itulah
yang shubuh tadi bersu-jud menghadap Tuhan, dengan seuntai kalung meling-kari
leher. Lebih celaka lagi, liontin di ujung kalung, itu menggambarkan sebuah lambang
dengan wujud menjijikkan:
ular berkepala ganda!
"Memalukan!"
Zulham menyesali dirinya.
"Punya orang lagi!"
Dengan hati-hati, kalung ditanggalkan Zulham dari lehernya. Ia bertukar salin.
Pakaian kotor ia masukkan ke sebuah kantong plastik. Handuk dan perlengkapan mandi
di kantung plastik yang lain. Lalu dengan kalung tadi tergenggam di telapak tangan, ia
berjalan masuk kedalam rumah makan, menuju sebuah meja di atas mana tas beserta
ranselnya ia tinggalkan: sepenuhnya yakin pada apa yang tertulis pada plakat di atas
pintu masuk sebelah dalam dari rumah makan itu:
"KENYAMANAN DAN KEPERCAYAAN ADALAH MOTTO KAMI".
Apalagi di atas plakat itu ada pula plakat lain yang berbunyi:
"JANGAN LUPA.MULAILAH DENGAN BlSMlLLAAH........"
Zulham menyimpan kalung itu kedalam tas kopernya.Kemudian memesan sarapan
pagi. Satu jam kemudian,sebuah bis antar pulau memasuki halaman parkir rumah
makan. Bis Patas, dan tampaknya belum begitu lama keluar dari pabrik. Beberapa
penumpang yang sebelumnya seperjalanan dengan Zulham, pada menghambur
mendatangi bis bahkan sebelum pintu-pintunya dibuka. Dua diantaranya tampak
berbenturan sikut. Keduanya pun bertengkar. Seorang petugas jaga rumah makan
berjalan tenang-tenang kepintu depan sebelah kanan bis. Berbicara dengan supir yang
tengah bersiap-siap untuk turun. Sebelum Zulham tadi pergi ke kamar mandi, ia telah
menghadiahi petugas jaga rumah makan itu sebungkus penuh rokok kretek, plus
selembar uang kertas ribuan. Selesai berbicara dengan supir bis, si petugas berjalan
santai memasuki rumah makan. Langsung mendekati meja dimana Zulham duduk
menanti sambil mencicipi secangkir kopi panas.Petugas itu tersenyum gembira.
"Beres. Oom bisa ikut dengan bis itu."
"Terima kasih!"
Tetapi si petugas tidak segera berlalu. Zulham sempat berpikir bahwa tip yang tadi ia
berikan barangkali masih kurang.Zulham sudah siap merogo saku, tatkala matanya
menangkap sinar mata di hadapannya. Apa yang dilihatnya jelas-jelas bukan sinar
mata seorang pengemis pinggir jalan. Tetapi lebih mirip sinar mata seorang ahli
purbakala. Yang tiba-tiba menemukan sebuah benda kuno paling langka di dunia.
"Saya telah berulangkali melihat-lihat bis yang sebelumnya Oom tumpangi..."
Orang itu berujar pelan dan penuh perasaan.
"Terutama kursi di sebelah supir.Dan... eh setiap kali saya tetap merinding!"
Terbayang dimata Zulham ujung runcing potongan kayu bak belakang truk yang
menembus kap depan bis dan kemudian menghunjam ke sandaran kursi dimaksud.
Tanpa tertahan, bulu-bulu romanya pada tegak berdiri.
"Begitu pula aku...." ia mengakui dengan jujur.
"Oom ini pastilah memiliki ilmu gaib. Ilmu penolak bala!"
Zulham tercengang. Lalu tertawa, sopan.
"Ah. Aku tak punya ilmu apa-apa kok. Barangkali saja malaikat lagi berbaik hati.
Memaksaku pergi kamar kecil sebelum peristiwa naas itu terjadi."
Penjaga rumah makan itu ikut tertawa. Disusul doa yang tulus:
"Semoga Oom tetap dilindungi malaikat.Jangan lupa. Kursi nomor sembilan..."
Zulham kembali mengucapkan terima kasih.Setelah penjaga rumah makan itu berlalu
dari depannya, Zulham menyandar di kursinya dengan pikiran menerawang. Seingat
Zulham, bukan sekali dua ia menghadapi ancaman bahaya. Terutama semenjak ia
menempuh karir di bidang jurnalistik. Akan tetapi,bahaya-bahaya cuma terasakan,
namun belum pernah menampakkan muka. Berbeda halnya dengan apa yang dia alami
sepanjang hari dan malam kemarin. Bahaya itu bukan lagi mengancam. Bahaya itu
sudah langsung memperlihatkan kehadirannya. Tidak tanggung-tanggung pula dalam
wujud bencana yang mengerikan!
Apakah ia hanya kebetulan saja sedang bernasib sial?
Dan ia selamat, hanya karena kebetulan ia sedang beruntung?
Zulham diam-diam berharap, semoga benar bahwa malaikat masih berbaik hati mau
melindungi-nya. Dengan kata lain, Tuhan masih tetap bersama Zulham. Zulham patut
mensyukurinya. Akan tetapi Tuhan juga tidak menghendaki umatNya duduk diam dan
pasrah begitu saja. Karena Tuhan telah mengaruniai umatNya otak untuk berpikir ,jiwa
untuk merasakan, dan naluri untuk berjaga-jaga.Naluri itulah yang kini menyeruak
pikiran dan perasaan Zulham. Naluri yang membisikkan, bahwa bencana yang dia
alami bukanlah sekedar nasib sial belaka. Bencana itu, terutama dalam kecelakaan tadi
malam, bukan mustahil ada yang menggerakkan.Dengan maksud tertentu, dan sasaran
tertentu pula.Apa yang dimaksud memang tercapai. Hanya saja sasarannya yang
salah.Dan yang disasar adalah Zulham. Melalui ujung pisau.Dan kayu
menghunjam.Teringat sampai di sini. Zulham bergidik seram. Untuk meredakan
getaran nalurinya, Zulham mengangkat cangkir kopi didepannya. Didekatkan ke
mulut.Dengan tangan gemetar.
***
BAB 8
Karena sang majikan belum juga bangun, tentu saja Sumirah gelisah bukan main.
Padahal sekarang sudah tengah hari. Dan apa kata Dokter Anwar di telepon satu jam
yang lalu?
"Tenang sajalah. Pada waktunya nanti, dia akan bangun sendiri!"
Mana bisa Sumirah tenang, jika ia hanya diperbolehkan melongok dari pintu. Di
larang masuk ke dalam, supaya majikannya tidak terganggu.
"Biarkan majikanmu beristirahat!"
Dokter Anwar mewanti-wanti.Betul, majikannya perlu beristirahat. Tetapi apa
salah-nya Sumirah masuk kedalam. Ia akan mendekati tempat tidur, tanpa menimbulkan
suara. Hanya untuk memastikan majikannya masih bernafas. Coba, andaikata majikan
Sumirah mendadak dapat serangan jantung, berusaha bangun, berusaha
memanggil-manggil seseorang untuk dimintai pertolongannya.Tetapi tidak mampu.
Wah...!
Biarlah ia tunggu sebentar lagi. Mudah-mudahan saja nantinya yang pergi
menjemput ke sekolahan Tuan Muda, pulang segera. Mereka akan bertukar
pikiran.Apakah perlu menghubungi dokter sekali lagi, atau tetap bersabar menunggu,
atau nekad memasuki kamar tidur majikan mereka.Keputusan yang diambilnya, sedikit
mengurangi kegelisahan Sumirah.Namun toh ia sempat terkejut juga manakala
terdengar bunyi sesuatu di sebelah kirinya. Bunyi pintu berderit terbuka. Itupun lembut
saja. Untunglah Sumirah tidak sampai menjatuhkan kaleng ditangannya. Serempak
Sumirah berpaling. Serempak pula wajahnya tampak lega.
"Oh, Nyonya kiranya. Selamat siang..." ia menggagap.Memang benar, Maria-lah
yang muncul dihadapan Sumirah. Dalam kimono tidur yang tadi malam dipasangkan
sendiri oleh Sumirah ke tubuh lembut namun semampai itu. Apa yang membedakan
adalah cara majikannya memandangi. Sepasang mata Maria memang terbuka, namun
tidak tampak bercahaya. Cara berdiri Maria tidak sesantai yang biasanya dilihat
Sumirah. Begitu kaku. Seperti tidak ingin didekati oleh siapa pun juga.Karena tidak
juga ada sahutan dari bibir majikannya yang tetap mengatup rapat, Sumirah berujar
lagi:
"Saya akan siapkan makan siang Nyonya, dan..."
Masih tanpa kata, Maria memutar tubuh. Lantas berja-lan ke koridor yang menuju
kebelakang rumah. Meni-nggalkan pelayannya begitu saja. Sumirah jadi linglung
sendiri.
"Astaga... Ia seperti tidak mendengarkanku.Malah sepertinya... tidak mengenal siapa
aku..."
Sumirah mengeluh. Dalam hati.Berdiri kebingungan, Sumirah kemudian
menyimpul-kan sendiri kelakuan sang majikan tentu dikarenakan majikannya itu belum
sembuh benar. Barangkali juga majikannya masih terlalu lemah. Tidak ingin
ngomong.Tidak ingin diganggu, seperti kata dokter. Tetapi mau apa dia pergi ke
belakang sana?
Sumirah meletakkan kaleng penyemprot diatas meja ruang tengah. Lantas
segan-segan ia mengikuti arah perginya sang majikan. Siapa tahu majikannya ingin
memasak sendiri hidangan makan siangnya. Sumirah akan membantu diam-diam, dan...
Kebingungan Sumirah pun kian menjadi-jadi.Tampak Maria terus saja melewati
dapur. Melewati kamar-kamar di halaman belakang. Turun ke jalan setapak di taman
bunga. Menuju ke kolam renang, disiang hari yang panasnya seterik hari ini, siapapun
juga orangnya pasti ingin mencebur ke kolam renang.Tempat ada. kesempatan pun
luang pula.Apa yang membuat kebingungan Sumirah menjadi-jadi selagi ia berdiri
mengawasi diambang pintu belakang adalah tingkah laku sang majikan.Maria telah
tiba diinggir kolam renang. Tampak berdiri sejenak, seperti tidak tahu akan berbuat
apa.Lalu, begitu saja menanggalkan kimono. Padahal,Maria tidak mengenakan
apa-apa lagi dibalik kimonoitu!
Majikan Sumirah berdiri di sana. Berbugil ria. Seolah ingin mempertontonkan
keindahan tubuhnya. Baru beberapa saat berikutnya, nyebur ke kolam. Diambang pintu
belakang rumah, Sumirah masih tetap bengong sendiri. Tembok halaman belakang
memang tingginya lebih dari dua meter. Diatasnya masih ada lagi pagar besi yang
kokoh dan rapat. Pemandangan dari luar memang hanya sampai sebatas bibir tembok
saja. Tetapi bagaimana dengan dua rumah lain di luar tembok.Rumah bertingkat yang
masing-masing mempunyai jendela yang mengarah ke halaman belakang ini?
Dengan wajah cemas, Sumirah mangawasi jendela lantai atas rumah. Tuan Atmo
agak jauh di seberang sana. Syukurlah matahari siang mengarah langsung kejendela
itu. Krei-nya diturunkan. Tampak rapat, tetapi bukankah bisa disingkapkan untuk
mengintip keluar?
Sambil mengawasi jendela yang tertutup krei itu,Sumirah berbisik mengancam:
"Awas Tuan Atmo.Ingatlah. Tuan sudah tiga kali naik haji!"
Sumirah berpaling ke jendela satunya lagi disebelah kanan, jendela itu terbuka lebar.
Tak tampak orang didalam. Semoga saja Nyonya Vonny, janda yang saking cerew
bahkan membuat anak-anaknya sendiri tak betah diam di rumah itu, sedang tertidur
pulas. Atau sedang ribut mengomeli Mbok Ijah di lantai bawah.Tetapi mungkin saja
Nyonya Vonny yang sok alim dan suka menyalahkan itu akan....
Kekuatiran Sumirah dihentakkan oleh deringan telepon.Ia melirik sekilas ke kolam
renang. Majikannya tampak baru saja menyelam. Sumirah berlari-lari ke ruang depan,
mengangkat telepon dengan nafas tersengal-sengal.
"Ya? Hal..... looo...."
"Kau itu, Mirah?"
Terdengar sapaan lunak seorang perempuan.
"Oh, Non Tarida. Ada apa?"
"Maria sudah bangun?"
"Sudah. Malah sedang asyik berenang. Aduh. Non,saya..."
Ingin sekali Sumirah memberitahu semuanya.Memberitahu bahwa majikannya baru
saja bangun.Lalu bertingkah aneh-aneh. Tidak terlihat lapar. Tidak bertanya kemana
semua orang, atau apakah ada pesan telepon untuknya. Pun apakah Bobby tidak
terlambat berangkat ke sekolah, atau...
Tarida sudah mendahului,
"Ya, sudahlah. Biarkan saja dia bersenang-senang. Yang penting ia sudah
bangun.Dan karena ia lagi asyik di kolam renang, itu pertanda ia baik-baik saja. Oh ya,
Sumirah. Aku cuma sebentar,ini. Aku masih harus mengikuti dua mata kuliah
lagi.Setelah itu masih ada responsi. Mungkin malam baru pulang. Tolong beritahu
Maria, nanti aku akan pulang langsung ke tempatku kost saja. Jadi...."
"Aduh. Non. Pulangnya ke rumah ini saja, "
Sumirah menyela, dengan penuh harap.
"Enakan Non di sini.Semua tinggal minta dan ambil. Tak perlu membayar,dan...."
Helaan nafas diseberang sana telepon, menyadarkan Sumirah. Wajahnya memucat.
Lebih-lebih setelah mendengar desahan tajam di corong telepon:
"Jangan kuatir. Lain kali aku akan membayar!"
"Ya ampun Non, Maaf. Saya tidak bermaksud....."
"Sampaikan salamku pada majikanmu!"
Tarida berujar dingin dan jelas sekali telepon dihentakkan di seberangsana. Tinggal
bunyi dengingan panjang saja yang tersisa. Menyakitkan telinga.Sumirah menjauhkan
gagang telepon dari telinganya.Lantas memandangi benda itu dengan wajah teramat
sangat menyesal. Kemudian ngomong sendiri:
"Ya Tuhan. Kesalahan apa yang telah kuperbuat? Padahal...aku hanya bermaksud
mengatakan.... alangkah baiknya Non Tarida pulang ke rumah ini... supaya ia saksikan
sendiri bagaimana tingkah laku Nyonya..."
Sumirah menyimpan telepon dengan perasaan galau.Tanpa sengaja ia melihat keluar
jendela. Tampak mobil majikannya baru saja membelok masuk ke halaman depan
rumah. Rupanya Tuan Mudanya sudah pulang.Pasti Tuan Muda akan menanyakan
ibunya, dan...
Seketika Sumirah melupakan kekecewaannya.Ia bergegas ke teras. Bukan Tuan
mudanya yang ia cemaskan, melainkan Asep, suaminya. Tidak akan pernah ia lupakan,
bagaimana malam tadi ketika suaminya membopong majikan mereka yang pingsan
kekamar tidur, wajah suaminya sesekali tampak memerah. Tentu saja. Karena dibalik
selimut yang ditutupkan sembarangan majikan mereka tidak memakai sehelai benang
pun juga. Secara tidak langsung, di kamar tidur mereka sendiri kemudian Asep
mengatakan bahwa ia sempat melihat dada telanjang majikan mereka. Apakah tangan
Asep kemudian meremas atau bagaimana, tidak akan membedakan apa-apa.Sumirah
tiba di dekat mobil, bersamaan dengan turunnya Bobby sambil menanggalkan ransel
sekolah dari punggungnya. Anak itu langsung menanyakan apa yang jelas
pertama-tama diingatnya:
"Mama sudah bangun, Mbak?"
"Sudah, Tuan Muda, "
Sumirah mengambil alih ransel dari tangan Bobby.
"Nanti Mbok antarkan Tuan Muda menemui beliau."
Dan pada suaminya yang sudah pula turun dari mobil, Sumirah berujar kaku:
"Akang tetap di situ!"
Asep menoleh heran.
"Lho....?"
"Akang tetap di sini!"
Sumirah mengulangi lebih tegas.
"Nyonya sedang tidak boleh didekati siapa pun juga!"
Asep sudah akan bertanya. Bobby ternyata lebih cepat:
"Memangnya Mama kenapa sih?"
Sumitah mengulas senyum manis pada anak majikannya.
"Tuan Muda sih buleh-boleh saja. Tetapi nanti, setelah ibu Tuan Muda selesai
berenang..."
"Kirain apa, Mbok. Iya deh!"
Bobby tertawa. Senang.Anak itu makin senang saja ketika melihat supir keluarganya
tampak menggaruk-garuk kepala.Bingung. Jelas Asep sudah mendengar. Tetapi
majikannya berenang di kolam 'kan sudah biasa.Mengapa harus.....
"Hem!"
Akhirnya Asep mengeluh.
"Lantas, aku harus kerjakan apa di sini?"
Sumirah nyerocos:
"Bersihin mobil, kek. Bersihin sampah, kek. Atau nyebor tanaman. Apa saja,
deh.Pokoknya tidak sampai Akang berkeliaran ke dalam rumah. Tunggu sampai aku
memberi lampu hijau!"
Tanpa menunggu protes dari suaminya, Sumirah menarik tangan Bobby.
"Mari, Tuan Muda. Haus pasti,ya?"
Bobby mengiringkan pelayan rumahnya masuk kedalam.
"Bobby rindu Mama."
"Tentu, " sahut Sumirah.
"Tuan Muda ganti pakaian dulu di kamar. Saya akan ambilkan Coca atau Tuan
Muda maunya Sprite?"
Bobby menatap. Bertanya pelan:
"Mama lagi bugil ya?"
"Ya, Tuan Muda. Maka itu..."
Sepasang mata bocah itu bersinar-sinar.
"Bobby jadi pingin lihat!"
"Hei....."
"Apa salahnya, Mbok? Ibu Bobby sendiri ini!"
Anak itu bersikeras.
"Salah sih tidak. Tetapi..."
Bobby sudah pergi. Berlari-lari kecil di koridor kehalaman belakang. Cepat sekali
bayangan anak itu sudah lenyap. Tinggal suaranya yang terdengar dihalaman
belakang, memanggil-manggil:
"Mama, Mama!Bobby datang, Mama, Bobby mau cium Mama.....!"
Sumirah angkat tangan. Menyerah.
"Mau apalagi? Anak itu pun laki-laki juga!"
Teringat pada kaum lelaki, Sumirah pergi ke ruang depan. Pintu mobil
ditutupkannya. Sewaktu hal itu dilakukan Sumirah, suaminya yang sudah membuka kap
depan mobil, langsung saja membantingkan kap itu menutup kembali. Tinjunya
diacungkan ke arah Sumirah
"Kunci sekalian!"
"Akang yang suruh!"
Sumirah menjawab teriakan jengkel suaminya.Diputarnya anak
kunci.Berdetak-detak.Terus menghilang ke dapur. Untuk menyiapkan hidangan makan
siang. Tanpa mengetahui maksud baiknya menahan sang suami di luar sana, justru
merupakan suatu kesalahan besar yang lama setelahnya, akan terus ia sesali.
***
Saat suara Bobby menyentuh kendang telinganya,Maria sedang menelentang di
permukaan kolam, dibagian yang paling dalam. Terapung, diam. Dan disaat Bobby
berkata memohon:
"Naik dong, Mama..."
Yang disusul pengulangan kalimat sebelumnya:
"Bobby mau cium Mama!"
Ketika itulah, liontin pada kalung yang melingkari leher jenjang Maria, bergetar
tiba-tiba. Tidak perlahan seperti biasa. Getaran itu kuat, langsung menyentak.Entah
tahu entah tidak Maria, warna kuning emas pada lambang liontin itu telah berubah
menjadi hitam,semakin hitam, sampai kemudian tampak legam. Ada bias
kemerah-merahan memancar dari dua titik kecil,mungkin tak lebih besar dari dua titik
debu. Yakni dimasing-masing kepala ganda lambang ular pada liontin tersebut. Tak
ubahnya dua titik mata yang menyorot tajam, bahkan sinar merahnya mampu
mengatasi kilaunya mata-mata berlian di pinggiran liontin.Masih dalam pakaian
seragam sekolahnya, si bocah berusia tujuh tahun di tepi kolam, memandang kuatir
pada sosok telanjang yang tetap mengambang diam dipermukaan air. Lekuk-lekuk
indah dari tubuh ibunya tidak lagi terpikirkan. Yang ia pikirkan, adalah apa yang
dengan ngeri ia keluarkan melalui suara tanya yang tersenda
"... Mama... masih hidup... bukan?"
Tubuh mengambang itu tetap diam.Hanya arahnya yang terus berubah, mengikuti
gerak sapuan angin di permukaan air kolam. Bobby menggagap:
"Jangan mempermainkan Bobby, Mama...!"
Ucapan si bocah serempak membuka kelopak mata Maria yang sebelumnya terpejam
rapat. Tubuhnya bergerak dalam liukan indah dan dalam sekejap yang terlihat di
permukaan air tinggal kepala sebatas leher,serta dua lengan yang terentang lurus ke
kiri ke kanan.Lengan-lengan itu tidak digerakkan sebagaimana mestinya. Begitu pula
kedua kaki yang masih jauh daridasar kolam, menggantung diam begitu saja meski
wujudnya tampak aneh karena gerakan arus dalam kolam.Bobby membelalak.
"Hebat! Gaya apa sih, Mama?"
Diantara oleh jarak sekitar tujuh meter, Bobby melihat bibir ibunya menggerimit
terbuka. Disusul oleh suara bisikan sayup-sayup sampai:
"Mau mencoba, Bobby?"
"Jelas dong!"
"Nah. Terjunlah!"
Bobby tidak saja lega. Ia juga bersemangat tinggi.Pakaian seragamnya tahu-tahu
sudah ditanggalkan,dilempar kemana saja. Ia hanya menemui sedikit kesulitan melepas
sepasang sepatunya. Lalu, dengan hanya bercelana dalam, iapun terjun ke kolam
dengan teriakan gembira. Berenang lurus dan terampil ke arah ibunya.Suara halus
menyentuh kendang telinga Maria:
"Jangan biarkan ia mendekatimu!"maria tahu-tahu sudah menyelam. Berputar-putar
disepanjang tepi, nyaris menyentuh dasar kolam. Merasa ditantang, si bocah pun ikut
menyelam. Tetapi belum satu putaran, ia sudah naik ke permukaan. Mengambil nafas.
Ibunya menyusul. Naik ke permukaan, namun tampaknya bukan untuk mengambil nafas.
Melainkan cuma memandangi anaknya, tanpa mengatakan apa-apa.Bobby-lah yang
berkata:
"Bobby belum lama belajar menyelam, Mama. Bobby belum kuat..."
Kemudian ia melihat sesuatu. Liontin ibunya.Warnanya aneh sekali. Sinarnya, lebih
aneh lagi.
"Hei. Apakah Mama...."telinga Bobby menangkap bisikan tajam:
"Kejarlah Mama. Kalau berhasil tangkap Mama, Bobby boleh....cium Mama!"
Kemudian Maria berenang. Tak tentu arah. Dengan gaya berganti-ganti tidak tetap
pula. Bobby mengikuti sebentar, berenang ke tepi untuk berpegangan pada palang besi,
begitu ia tahu tenaganya mulai terkuras.lbunya-lah kini yang mendekatinya. Tidak
terlalu dekat.Tetapi cukup untuk memperlihatkan sinar di matanya.Sinar mengejek.
Ucapannya lebih menyakitkan lagi:
"Baru sebegitu, sudah menyerah. Itukah anak Papa? Seorang pengecutkah anak
papa?!"
Anak Papa.Bayangan almarhum ayahnya seketika muncul dipelupuk mata Bobby.
Duduk gagah diatas punggung seekor kuda, dielu-elukan begitu banyak
orang.Bayangan kuda lenyap, digantikan sebuah mobil dengan variasi warna
menyolok, membelok di tikungan tajam sebuah arena balap. Lagi-lagi, dielu-elukan
banyak orang. Bobby senantiasa mengagumi ayahnya.Dan ayahnya senantiasa berkata
padanya:
"Kelak, kau pasti mampu seperti Papa. Tetapi kau harus lebih berani....!"
Ibunya lenyap dari permukaan air.Bobby mencari-cari dengan matanya. Sosok tubuh
ibunya meliuk-liuk gemulai, teramat indah malah,dengan latar belakang dasar kolam
putih keperak-perakan. Tanpa sekalipun muncul ke permukaan,ibunya sesekali menoleh
dari bawah air. Dan tersenyum kepadanya.Senyuman mengejek.Bobby sakit
hati.Lehernya kemudian terdongak, sewaktu Bobby meng-ambil nafas. Lalu terdengar
bunyi sesuatu. Seperti kaca pecah. Bobby yang sakit hati, tidak perduli. Ia kemudian
menyelam.Sumirah-lah penyebab gangguan kecil tadi. Tanpa sengaja, ia telah
menjatuhkan sebuah mangkok kristal ke lantai. Pelayan itu melompat terkejut. Secara
naluriah ia mengintip cemas keluar jendela dapur.Sambil berharap, majikannya tidak
mendengar bunyi jatuhnya mangkok gulai itu.Maria tidak kelihatan. Tetapi ia sempat
melihat Bobby,pas sewaktu Bobby menyelam kedalam air.Ia kemudian mundur dari
jendela. Dan kembali terkejut, waktu mendengar suara lengkingan bel,disusul gedoran
di pintu depan. Dengan marah Sumirah pergi ke sana. Ia melihat suaminya ribut diluar
jendela. Minta dibukai pintu.Sumirah berbalik, menunggingkan pantat kearah
suaminya. Terus bergegas ke dapur. Lantai yang centang perentang harus segera ia
bersihkan selagi Nyonya dan Tuan Muda-nya masih asyik berkecimpung di
kolam.Tidaklah mengherankan, mengapa Sumirah tidak mengetahui bahwa dua menit
kemudian Maria menyembul dipermukaan kolam lantas berenang ketepi. Di sana ia
menggapaikan tangan keatas, untuk menarik sebuah kasur renang, setelah itu kembali
ketengah kolam. Kejap berikutnya, ia sudah berpindah keatas kasur.Dengan liukan
indah.Ia kemudian menelungkup. Santai. Kedua tangannya dibagian depan menekuk
bantalan kasur renang. Dengan begitu ia dapat melihat kebawah. Ke bagian dalam
kolam. Terlihat seorang bocah mungil masih menyelam.Tetapi gerakannya sama sekali
tidak teratur. Beberapakali tangan bocah itu menggapai kearah tepi, namun gagal, atau
salah arah. Jelas sudah, tenaga pisik dan kemampuan paru-paru bocah kecil sepeti dia,
tidak baik dipaksakan terus menyelam, menyelam, dan menyelam.Dalam kemarahan
pula!
Mendekati dasar kolam, bocah itu tampak menggelepar.Gerakan tangan maupun
kakinya lambat laun melemah. Kemudian berhenti sama sekali. Tubuh kecil itu lantas
semakin terbenam, kemudian terkulai diam didasar kolam yang paling dalam. Dengan
mulut terbuka.Dan sepasang mata juga terbuka.Menatap kearah ibunya.Dengan
tatapan hampa.Maria meluruskan bantalan kasur tenang. Sekilas terlihat liontinnya,
seperti mengabur. Maria memper-hatikan lagi. Lalu wujud liontinnya kembali
menjelas.Dengan warnanya yang kuning emas, pandangan sekilas tadi, mungkin
pengaruh cahaya matahari yang berbenturan dengan riak air kolam.
"Hem. Pastilah mataku salah lihat!" desah Maria, pelan.Seraya membetulkan letak
kalung yang melingkari lehernya. Kepalanya kemudian direbahkan di bantalan kasur
renang.Mata dipejamkan.Tak lama kemudian, Maria sudah tertidur.
***
BAB 9
Bis antar pulau yang ditumpangi Zulham hari itu,ngebut lebih gila lagi dari bis
sebelumnya, yang kemudian bernasib naas itu. Seorang dua penumpang memang berani
juga menegur. Namun supir bis,agaknya bukan hanya bersifat pendiam. Mungkin malah
tuli.Zulham tak berminat meramaikan suasana.Yang penting, usahakan tetap terjaga
dan waspada.Tiap kali kantuk menyerang, sebisanya Zulham melawan. Dan toh,
perjalanan mereka dengan bis Patas yang lari atau mengambil tikungan seperti
kesetanan itu, lancar-lancar saja.Satu-satunya gangguan yang dirasakan Zulham hanya
ketika bis singgah disekitar Rajabasa. Memberi kesempatan para penumpang makan
siang atau sholat buat yang mau sholat. Waktunya, sekitar tengah hari.Zulham baru
saja meninggalkan musholla, ketika seorang bocah laki-laki menggamit perempuan
yang berjalan disebelahnya, tidak jauh dari kamar mandi umum.Bocah itu berkata lucu:
"Tahu nggak, Tante? Penumpang berblue-jean itu naksir sama Tante!"
Si Tante menegur:
"Husy! Jangan sembarangan ngomong ah!"
"Sumpah, Tante. Coba dengar apa kata orang itu..."
Zulham masuk ke rumah makan.Sebelumnya, ia begitu lapar. Kini, begitu enggan
rasanya Zulham menyuapkan makanan ke mulut. Ada sesuatu yang mengganggu
pikirannya dengan tiba-tiba.Bocah tadi. Entah mengapa, langsung mengingatkan
Zulham pada seorang bocah lain yang kira-kira seusia,mungkin sama manja maupun
nakalnya.Terngiang apa yang pernah diucapkan bocah itu pada Zulham:
"... jelas-jelas Mama naksir Oom. Jadi, tunggu apa lagi?"
Pertanyaan itu setengah menuntut.Zulham sampai menggeleng-gelengkan kepala.
"Tidak semudah itu, Bobby. Masih ada beberapa hal yang kau mungkin agak sukar
untuk memahami..."
"Bobby tahu!"
Anak itu menukas.
"Oom tak mau menikahi Mama, karena Mama Bobby itu janda!"
"Eh, jangan.sewot dulu ah....!"
Dilain ketika, entah kapan dan dalam kesempatan apa.Bobby yang belum menyerah
juga, berkata setengah marah pada Zulham:
"Gila, Oom. Apa dia pikir dia cukup pantas untuk Mama?"
"Dia siapa, Bobby?"
"Laki-laki yang suka petantang-petenteng kalau mengapeli Mama itu..."
"Hei. Dia bukan petantang-petenteng, Bobby!" tegur Zulham dengan tertawa.
"Gayanya sudah pembawaan.Maklum, petinju..."
"Dan Oom ini karateka!"
"Lantas?"
"Bobby yakin, Oom dapat mengalahkan dia!"
"Untuk apa, Bobby?"
"Biar dia kapok. Dan batal kawin sama Mama!"
"Hei. Mamamu juga naksir sama dia. Mamamu malah tampak bahagia. Jadi..."
Bocah itu dengan tangkas menyela:
"Bobby yang tak bahagia!"
Dan sebelum Zulham sempat membuka mulut, si bocah sudah nyerocos lagi,
"Lagi pula, Bobby tahu betul siapa Mama. Jika Oom lamar Mama sore ini juga
percaya deh, Mama akan bilang good-bye pada jagoan kampung itu!"
"Nah. Kau mulai lagi ya..."
"Habis, Oom sih jual mahal. Oom tahu nggak apa yang Bobby doakan setiap kali
mau tidur?"
"Apa?"
"Semoga pacar Mama Bobby mati sebelum kawin dengan Mama!"
"Astagfirullah, Bobby! Doa macam apa pula itu!!"
Bobby kemudian memang menerima salah. Entah perasaan bersalahnya diterima
Tuhan entah tidak, yang pasti, sebulan sebelum Maria menikah dengan sipetinju, calon
suami Maria mendapat pukulan hook yang telak di rahangnya. Lawannya bertinju
memang tersohor dengan pukulan mematikan. Calon suami Maria terhempas di matras.
Tak bangkit-bangkit sampai ia dibawa ke rumah sakit. Dan meninggal dunia beberapa
hari setelahnya.Maria mengunci diri selama satu minggu.Ketika ia mau membuka
pintunya kembali, Bobby-lah yang pertama-tama berlari ke arahnya.Di luar dugaan
semua orang yang menyaksikan, Maria menghindari anaknya. Lantas mendesis,
mengejutkan:
"Kau! Kau anak pembawa bencana!"
Tidak ada yang menyalahkan Bobby. Malah semua:mengasihani.Yang disalahkan,
adalah Maria. Terutama, karena pada waktu-waktu tertentu, Maria secara tetap
mengunjungi dukun, yang selalu silih berganti.Zulham yang banyak tahu masa lalu
keluarga Maria,tidak bisa menyalahkan Maria. Tetapi usahanya untuk menjauhkan
Maria dari kepercayaan yang keliru itupun juga sia-sia saja. Maria sudah teramat jauh
menjerumuskan dirinya kepada hal-hal yang bersifat tahayul. Yang perlahan tetapi
pasti, menjauhkan Zulham pula dari sisi Maria.Bobby yang malang.Bocah itu tidak
pernah tahu, mengapa Zulham tidak mungkin menikahi Maria. Urusan dukun, itu bisa
dinomor-duakan. Namun ada hal lain yang mustahil dikesampingkan begitu saja. Dan
betapa sulitnya untuk menjelaskan pada seorang bocah...
Pengeras suara berbunyi menggeretak.Ada panggilan untuk para penumpang. Bis
Patas yang ditumpangi Zulham, sudah siap untuk meneruskan perjalanan. Zulham
bangkit dari kursinya. Dan tak lama kemudian bis sudah berpacu. Entah ke jurusan
mana. Entah mengejar apa. Zulham acuh-acuh saja.Ia tidak takut bis gila itu bakal
tabrakan pula.Atau terjerumus ke jurang dalam.Yang mengganggu sangat pikirannya,
adalah mengapa ia tiba-tiba merasa seperti kehilangan sesuatu. Yang hilang itu, ia
tidak tahu apa. Pun, bagaimana. Sekeras upayanya Zulham mengingat-ingat. Sia-sia
saja. Dan tetap saja perasaan kehilangan itu mengganggu.Di kampus, Tarida ikut
merasakan hal yang sama.Bedanya, Tarida tidak membuang-buang tempo dengan
hanya duduk-duduk dalam kegelisahan saja. Selesai mata kuliah terakhir siang itu, ia
beritahu ketua kelompoknya bahwa ia berhalangan menghadiri responsi. Setelah itu ia
bergegas meninggalkan kampus,memanggil sebuah taksi yang kebetulan lewat.Tetapi
Tarida tidak terus ke rumah tempatnya kost,sebagaimana ia niatkan semula. Pada supir
taksi, ia memberikan alamat rumah Maria, sahabatnya. Ia punya firasat. Perasaan tak
enak itu bersumber di sana.Benar saja. Belum juga taksi berhenti di rumah yang dituju,
Tarida sudah dilanda teror. Di sekitar rumah itu tampak banyak orang berkerumun. Di
halaman tampak sebuah mobil ambulan. Itu saja sudah cukup mengejut-kan. Namun
demikian, Tarida masih dihadiahi kejutan lain.Yakni, kehadiran mobil-mobil polisi!
***
BAB 10
Waktu untuk bermuram durja sudah berlalu. Tiba saatnya untuk bergembira. Bis
memasuki pelabuhan Bakauheni, dan tidak lama kemudian sudah diparkir dengan
nyamannya di atas sebuah kapal ferry. Zulham bergumam senang:
"Rasanya seperti sudah tiba dirumah!"
Hampir semua penumpang bis naik ke dek. Mungkin untuk menyaksikan matahari
yang sebentar lagi akan turun menari-nari di permukaan air selat Sunda.Zulham
memilih tetap tinggal didalam bis. Pikiran bahwa rumah sudah dekat, membuat semua
kegelisa-han dan ketegangan Zulham harus menyingkir untuk sementara.Sekarang yang
ada hanyalah keinginan untuk rilek,beristirahat barang sejenak.Zulham menurunkan
sandaran kursi ke belakang. Kaki dilunjurkan selepas-lepasnya. Kemudian
tidur.Matahari sudah bertukar tempat dengan rembulan,sewaktu Zulham terjaga.
Sekelilingnya gelap, sedikit remang-remang. Sedetik dua Zulham sempat
terheran-heran. Entah sejak kapan dan bagaimana, para penum-pang sudah menempati
kursinya masing-masing.Kebanyakan malah sudah tidur. Tetapi mengapa begitu banyak
cahaya diluar jendela bis?
Ada pula bayangan gedung-gedung bertingkat, lampu-lampu mobil....
Oh,oh Zulham rupanya bukan terbangun di tengah laut.Melainkan di jalan toll
Tangerang!
Zulham kian gembira, setelah dari kondektur bis ia memperoleh keterangan bahwa
bis Patas itu akan meneruskan perjalanan ke Surabaya dan berhenti sebentar di
pangkalan mereka, Pulo Gadung. Berarti lewat Slipi. Percetakan yang mencetak
majalah kebanggaan Zulham jelas dilewati. Di salah satu blok percetakan, terletak
kantor redaksi malam majalah itu,dan selalu banyak rekan berkumpul disitu.Hemm, tak
ada salahnya singgah di percetakan sebelum pulang ke rumah. Apalagi setelah Zulham
mengingat-ingat tanggal dan hari. Besok, adalah deadline untuk majalah mereka.
Zulham masih punya kesempatan untuk meminta beberapa halaman penerbitan minggu
depan. Tetapi, untuk itu Zulham perlu mesin tik.
"Mesin tik!" terbayangkan oleh Zulham. Pemimpin Redaksi mereka dengan gayanya
yang khas itu: Bila sedang bingung, suka mengulang-ulang kalimat yang diucapkan
lawan bicaranya.
"Betul. Punyaku tertinggal di bis."
Itulah jawab Zulham nanti. Santai, tentu saja.
"Tertinggal di bis!"
"Betul. Dan untuk mengambilnya kembali aku perlu sebuah linggis...
"
"Linggis!"
"Sayangnya, satu-satunya linggis yang ada... dipakai mengeluarkan orang yang
terjepit. itu pun, terpaksa harus mengorbankan sepotong kakinya..."
"Terjepit... sepotong kaki..."
Nanti, disitulah Zulham baru berhenti. Salah besar menunggu sampai Pemimpin
Redaksi naik darah.Zulham pasti ditendang jauh-jauh. Maka ia harus cepat-cepat
bersikap lebih serius dan memberitahu bahwa kotak mesin tik beserta isinya, terjepit di
antara kap depan bis dan batang besi kaki kursi di sebelah supir. Selain gepeng berat,
mesin tik Zulham itu pastilah remuk sudah. Dan ia tidak berminat dibebani benda
rongsokan itu sampai ke Jakarta, hanya untuk dijual kiloan.
"Untuk jelasnya, bis yang kutumpangi mencium pantat truk di Baturaja!"
Zulham tentunya pula harus menceritakan seluruh kejadian seutuhnya jika
bisa.Untuk itu, barangkali akan diperlukan tempo untuk berjam-jam. Tetapi Zulham
akan dengan sukarela mengorbankan waktu untuk sahabat-sahabatnya.Anggap saja,
sebagai pengganti sekantong souvenir yang minggat tanpa kabar berita setelah
peristiwaykecelakaan itu terjadi. Setelah mana nanti Zulham akan mengakhiri ceritanya
dengan khidmat:
"Malaikat masih berbaik hati..."
Dalam kenyataan, setelah turun dari bis dan tersuruk-suruk menggotong barang
bawaannya masuk ke kantor redaksi malam majalah mereka, Zulham hanya mampu
bertahan sekitar sepuluh menit. Tidak tampak batang hidung Pemimpin Redaksi yang
ingin dia kerjain.Namun toh pemunculan Zulham disambut hangat. Ia juga dikerumuni,
sesuai impiannya. Banyak pertanyaan yang dikeluarkan. Tetapi yang paling banyak
keluar justru dari mulut Zulham sendiri.Rupanya, suasana kantor sudah berubah tidak
sampai seminggu sebelum ia kembali ke Jakarta. Sedemikian besar perubahan itu,
sehingga Zulham mencak-mencak sewaktu ia menyimpan begitu saja di atas meja
pribadinya, barang bawaannya. Termasuk tas yangsemula diharapkan Zulham berisi
dinamit, namun kini tampaknya bakal tak lebih dari mercon afkiran yang hanya pantas
dibuang ke comberan.Ia meninggalkan pesan pada penjaga malam:
"Tembak siapa saja yang coba-coba mendekati mejaku!"
Salah seorang rekan yang dapat memahami gejolak perasaan Zulham, mengikuti ke
pintu keluar.
"Lang-sung ke rumah. Itulah yang terbaik kau lakukan, Zul....."
"Nanti! Setelah aku berbicara dengan boss kita!"
"Mantan, Zul. Dia 'kan...."
Zulham membalik, hampir memukul rekannya jika tidak keburu sadar situasi apa
yang mereka hadapi.Lantas mengeluh:
"Aku tak bisa melangkahi beliau begitu saja..."
"Aku pun tak ingin, Zul. Tetapi kau tahu sendiri. Aku harus menyuapi mulut seorang
isteri dan tiga orang anak!"
Zulham memaksakan senyum. Setelah menepuk pundak sahabatnya dengan penuh
pengertian, ia kemu-dian pergi ke jalan besar, dan tiga menit kemudian ia sudah duduk
di sebuah taksi yang meluncur ke rumah boss mereka. Mantan, kata temannya
tadi.Zulham mengusap wajahnya tanpa sadar.
"Tuhanku.Disebelah mana kaki ini harus berpijak?"
***
Sumirah menangis sesenggukan.
"Sayalah yang berdosa.Padahal setelah saya menjatuhkan mangkok di dapur,suami
saya menggedor-gedor, minta dibukain pintu.Jika saja aku tidak berkeras kepala dan
menuruti kemauan suami.... Tuan Muda Bobby masih mungkin disela-matkan! Dan
Nyonya, aduh! Saya telah menjerumus-kannya! Saya terlalu banyak bicara pada
polisi!"
Asep yang duduk di sebelahnya. hanya diam merunduk. Sedih.Tarida memandangi
suami isteri itu dengan iba. Tarida juga merasa bersalah. Jika saja ia lebih bersabar
ketika menerima telepon Sumirah, mungkin...
Ah, tetapi apa gunanya?
Maka, lebih ditujukan pada dirinya sendiri,ia berkata pada Sumirah:
"Sudahlah, Mirah. Apa yang sudah terjadi tidak mungkin lagi dirubah..."
Sumirah terus saja mengisak,
"Saya sungguh tak patut diampuni!"
Tarida menggamit lengan Asep, yang segera mengerti.Asep lalu berdiri. Lunglai.
Lalu membantu isterinya bangkit, kemudian membimbingnya meninggalkan ruang
tamu. Setelah isak tangis Sumirah semakin menjauh.Tarida menghela nafas berat dan
dalam. Lantas mengeluh:
"Sungguhkah tidak ada jalan lagi yang bisa ditempuh?"
Tamu mereka malam itu seorang pria tengah baya berpakaian rapih dan perlente
menyelesaikan catatannya di sebuah buku yang kemudian ditutupkan. Baru setelahnya
ia menyahuti Tarida:
"Nona punya saran?"
"Sebagai pengacaranya, Anda tentu lebih mengetahui keuangan Maria, Pak Sumadi.
Dan Anda pasti tahu,Maria lebih dari mampu!"
"Bicara tentang uang, Nona Tarida, " sang tamu berkata tenang, menghanyutkan.
"Begitu banyak hal yang dapat kita raih dengan uang. Tetapi selalu ada saat dimana
uang tidak mampu berbuat apa-apa."
"Jika demikian, saya bersedia jadi penjamin Maria!"dengus Tarida, bernafsu.Sang
tamu mengurai senyuman tipis.
"Nona salah mengerti. Prosedur tahanan luar tidak berlaku untuk sebuah kasus
pembunuhan."
Tarida gemetar.
"Maria bukan..."
"Polisi berpendapat lain, Nona Tarida."
"Bagaimana dengan Anda sendiri?"
"Tentu saja saya harus berpihak pada klien saya."
"Dan?"
"Untuk itulah saya datang malam ini. Mencari tahu,keterangan apa saja yang telah
kalian bertiga berikan pada pihak berwajib. Nona cukup berhati-hati. Tetapi Asep,
terutama Sumirah, terlepas dari mereka sadari atau tidak;justru telah memberatkan
majikan mereka.Namun masih ada beberapa celah dimana saya bisa masuk untuk
menarik keuntungan buat klien saya.Dengan catatan, klien saya mau bekerjasama..."
Berhenti sebentar, pengacara itu tampak menyandar dikursinya. Dengan wajah
berubah muram. Lanjutan kata-katanya terdengar kurang bergairah,
"... justru disitulah hambatan muncul!"
Tarida setengah berbisik tak percaya:
"Dia... menolak bekerjasama?"
"Menolak tidak. Menyetujui pun bukan."
"Aneh!"
"Persis. Aneh! Baik dalam tingkah laku maupun ucapan-ucapannya. Polisi pemeriksa
telah mengakui terus terang pada saya, bahwa mereka sendiri dibuat geleng-geleng
kepala..."
Tanpa dikehendaki, bulu kuduk Tarida merinding tegak.
"Maria...."
"Tidak patut saya menceritakan apa yang saya temui dan apa yang saya dengar di
kantor polisi, Nona Tarida. Kelak nona bakal melihat sendiri setelah sahabat Nona
nanti boleh dikunjungi. Tetapi saya akan blak-blakan saja. Justru karena kondisinya
yang sedemi-kian rupa, saya melihat jalan untuk menjauhkan sahabat Nyonya dari
penjara.Menjauhkan. Bukan melepaskan!"
Tarida hampir menangis. Dokter Anwar sudah mengisyaratkannya.Si pengacara
menutup kesimpulannya dengan sebuah maklumat:
"Maria kita nyatakan menderita penyakit jiwa."
Air mata Tarida akhirnya tersibak juga.
***
BAB 11
"Tengah malam begini! Waras tidak otakmu, Zul?!"
Gerutuan kasar itu mengiringi terbukanya pintu sebuah rumah. Rumah berukuran
sedang, tidak megah. Perabotan yang tampak di dalam pun tidak mewah. Orangtua
yang membukakan pintu untuk Zulham, postur tubuhnya pun sedang-sedang saja.
Tampil seadanya pula.
"Mengapa Bapak lakukan itu?!"
Zulham balas menggerutu. Sengit, malah.
"Pertanyaanku belum kau jawab!"
Sekilas, lewat bahu lelaki umuran itu mata Zulham menangkap sebuah buku tebal,
terbuka diatas meja. Ia awasi lagi wajah tuan rumah. Lalu:
"Aku tahu Bapak belum tidur. Buktinya, Bapak masih mengenakan kacamata
baca....."
"Alasan itu tidaklah memberi hak untukmu menggang-gu ketenangan orang lain!"
dengus si orangtua.Cemberut. Namun toh, sambil daun pintu ia bukakan juga lebih
lebar.
"Ayo. Masuklah. Aku paling benci jika bau busuk selokan di depan itu menyesaki
seisi rumahku!"
Zulham menyelinap ke dalam. Juga sambil mendengus.Tak puas.
"Tega nian Bapak melakukannya. Tanpa memberitahu aku lebih dulu!"
Tuan rumah menutup pintu.
"Apakah aku harus?"
Tanpa menunggu komentar, Zaenudin, tuan rumah,berjalan terus melewati kursi
yang dipilih Zulham untuk menghenyakkan pantat. Orangtua itu pergi kepintu sebuah
kamar yang setengah terbuka. Melongok-kan kepala ke dalam.
"Biarkan sajalah sajadah itu, Bu.Tolong buatkan minuman. Kita kedatangan tamu
tak diundang, nih!"
"Si anak badung, pasti!" terdengar sahutan riang seorang perempuan.
"Keluar juga akhirnya dia dari hutan belantara mengerikan itu, ya. Syukurlah..."
"Menurut aku sih, Bu. Baiknya dia tetap tinggal disana. Lebih cocok untuk orang
pemarah seperti dia!"
Dari kamar itu, terdengar tawa renyai dan enak didengar telinga. Tetapi Zaenudin
sedikit pun tidak tersenyum. Ia balik lagi keruang tamu. Pura-pura tidak melihat
Zulham yang bermerah telinga karena diledek.Zaenudin menjemput buku terbuka di
atas mejanya,ditutupkan, sebuah ensiklopedi. Yang kemudian ia tutupkan dengan ekstra
hati-hati di rak buku berbentuk siku. Tinggi dan lebarnya nyaris memenuhi dua sisi
tembok ruang tamu. Jika banyak orang mengatakan isirak yang tersusun rapi dan
terawat baik itu termasuk barang mewah, maka rak buku itulah satu-satunya
kemewahan yang dimiliki tuan rumah.Acuh tak acuh si tua mengambil kursi yang
berhadapan dengan Zulham. Mengusap kepalanya yang sudah setengah botak. Lalu
melipat serta menyimpan kacamatanya di meja itu juga. Sedemikian hati-hati,seakan
kuatir lelangit rumah akan menjatuhinya. Baru kemudian menoleh pada Zulham. itu
pun dengan wajah datar-datar saja.
"Nah. Tadi kau bertanya mengapa aku melakukannya. Ada yang lain?"
Masih terpengaruh apa yang ia dengar di percetakan,Zulham pun mengeluh:
"Bapak mestinya tidak menyerah secepat itu..."
Zaenudin menggeleng-geleng.
"Justru nyaris terlambat,Zul."
Zulham menatap, terkejut.
"Separah itu?"
"Masa iya kau tidak tahu!"
"Hanya meraba-raba. Begitu pula anak-anak lain. Kami semua toh tidak terlalu buta
melihat bahwa oplah majalah kita dari tahun ke tahun semakin turun. Tetapi seperti
halnya aku sendiri, mereka tidak tahu banyak..."
Zaenudin tersenyum. Samar.
"Jika ini sebuah kekeliruan, biarlah kuterima. Tetapi sampai kapan pun,pendirianku
tidak akan pernah berubah. Bila seorang bapak berbahagia, anak-anak harus ikut
menikmati kebahagiaan itu. Namun sebaliknya. Jika seorang bapak terperangkap dalam
kesukaran, ia harus mengatasinya sendiri. Anak-anak, jalan terus. Karena jalan yang
akan mereka tempuh masih teramat panjang. Penuh kerikil dan berdebu, seperti yang
tadi kau lewati sebelum membelok ketempat pertapaanku ini..."
Kalimat terakhir ini dibumbui Zaenudin dengan seringai lebar.
"... dan air untuk membuat minuman ini, " suara lain menimpali.
"Percayalah. Suci hama!"
Diatas meja,sudah terhidang minuman dan penganan ringan.Perempuan yang
menghidangkannya tampak lebih muda sekitar 10 tahun ketimbang suaminya. Tubuhnya
singset, dan bekas bekas kecantikan masih terpateri disudut wajahnya. Hanya sedikit
orang yang tahu,termasuk Zulham, perempuan itu lahir dua tahun lebih dulu dari
suaminya. Mata yang senantiasa bening,walaupun si suami pernah bermaksud menikahi
perempuan lain, yang kemudian dibatalkan sendiri oleh Zaenudin dengan penuh
penyesalan. Masih ada daya tarik lain. Gurat bibirnya. Gurat yang tampak bagai
tersenyum, jika pun ia sedang naik darah. Konon lagi jika perempuan itu tersenyum
sungguhan, seperti yang kini ia sunggingkan untuk Zulham.Ia menyapa dengan sindiran
lembut:
"Oh, Nak. Wajahpun tampak seperti habis dirampok orang!"
Si suami menimpali:
"Periuk nasinya memang lagi dibuntang banting orang..."
"Masih ada perluk lain, Nak. Masih ada perluk lain..."senyuman perempuan itu,
seperti juga matanya,memancarkan belas kasih.Zulham tersenyum.
"Terimakasih, Bu. Tetapi, ya. Periuk lama tetap lebih enak dipakai..."
Mata bening itu pun membelalak. Tetapi terlambat.Zaenudin pun sewot pada
Zulham.:
"Kau! Berani benar kau mengutip kata-kata yang pernah kuucapkan pada isteriku!"
Lalu, pada isterinya:
"Dan kau! Pura-pura ngomong ke anak bawang ini... padahal kau bermaksud
menyindirku! Masih ada periuk lain, hem! Kau pikir aku tak akan berani mencobanya
sekali lagi, he?!"
"Rongsokan seperti Bapak, mana laku dijual?"
Sang isteri menjawab kalem.
"Lagipula, siapa yang lebih dulu ngomong soal perluk. Hayo!"
Zaenudin terjengah.Mengusap-usap botaknya sebentar. Lantas bergumam kecut:
"Iya... Iya...
Mau tak mau Zulham tertawa bergelak.Selagi tertawa, sekilas tampak olehnya isteri
itu saling menukar senyum samar. Tahulah Zulham bahwa ia telah memakan umpan
mereka begitu saja. Kedua orangtua yang baik hati itu sebenarnya tengah berusaha
menentramkan Zulham yang muncul dirumah itu dengan pikiran kalut dan wajah yang
kusut.Tawa Zulham pun terhenti sendiri.Namun tidak disertai sakit hati. Meski, toh ia
memaki:
"Sialan!"
Si perempuan tersenyum. Dengan pikirannya yang bermadu itu.
"Nah. Sekarang, Ibu dapat pergi tidur dengan nyaman. Kalian berdua, berkoteklah
terus.Sampai tahun depan pun boleh-boleh saja!"
Sebelum perempuan itu memutar langkah, Zulham cepat mencegat:
"Tahukah lbu?"
"Apa, Naik?"
Mata bening itu menatap. Alangkah sejuknya.
"Tiap kali bertemu lbu, tiap kali pula aku jatuh cinta."
Zulham mengakui terus terang.
"Aduh... Sebentar lagi aku akan bermimpi indah,agaknya!"
Setelah berkata demikian, perempuan itupun berlalu kekamarnya. Meninggalkan
suami dan tamu mereka,sama termangu. Masing-masing dengan
pikirannya.Masing-masing sampai lupa, bicara apa mereka tadi dan tidak tahu harus
bicara apa mereka sekarang.Orangtua itulah yang lebih dulu menemukan diri.
"Itulah dia ibumu, Zul. Tanpa dia, entah jadi apa aku sekarang ini. Dialah yang
membuatku untuk tetap bertahan hidup. Tak menjadi soal, bahwa dia mandul.Tak
mampu memberiku keturunan..."
Zulham diam saja.Ia tahu, orangtua di depannya, kalau berbicara tidak sekedar buka
mulut saja. Selalu ada tujuan akhirnya.Terbukti kemudian, setelah orangtua itu
meneruskan
"Tetapi Tuhan Maha Pemurah. Dia tetap mengaruniai anak-anak untukku. Banyak
sekali malah. Kadang-kadang ada yang pergi. Tetapi selalu saja ada yang datang
mengganti. Beberapa tetap bertahan. Tak menjadi soal, apakah aku akan tetap mampu
menghi-dupi mereka atau tidak. Anak-anak yang tidak banyak tingkah. Yang kutahu
benar apa yang kukehendaki dari mereka. Siapa nyana... kini mendadak mereka semua
harus pergi."
Pernyataan panjang Zaenudin diakhiri dengan keluhan lemah sembari
menyandarkan tubuhnya di kursi.Gairah hidupnya jelas tengah digerogoti orang dari
luar.Zulham ikut terpengaruh. Namun segera menemukan bantahan yang pas:
"Bukan mereka yang pergi, Pak Zein. Bapaklah yang meninggalkan mereka!"
Mata tua itu tak berani menatap.
"Terutama kau, Zul."
"Aku toh datang. Malam ini. Dan aku berjanji, akan datang lebih sering."
Zulham berujar tulus.
"Tidak sambil mencak-mencak, eh?"
Orangtua itu menyeringai, tanpa menyembunyikan kebahagiaan dibalik sinar
matanya.Kemarahan Zulham sudah reda. Kini ia lebih mampu mengendalikan diri.
"Bapak sudah lihat contoh penerbitan majalah kita untuk penerbitan mendatangi?"
Seringai Zaenudin meredup.
"Majalah mereka. Bukan kita."
"Sudahlah, Pak Zein. Siapa pun tahu, jiwa dan kasih sayang Bapak masih tertinggal
di sana!"
Orangtua itu terdiam.
"Aku sudah melihatnya dengan mata kepalaku sendiri,Pak. Pertama, motto
TEGAKKAN YANG BENAR,LURUSKAN YANG SALAH. Motto itu sudah dihapus!"
"Aku sudah diberitahu, sebelum mereka mengambil alih."
Zaenudin memaksakan seringai di bibir tuanya
"Lagipula, apa yang kemudian kita peroleh selama sekian belas tahun? Puji-pujian,
lebih banyak palsu.Kenyataannya, kita semakin dikucilkan. Seperti Sabda Rasulullaah,
semakin sering kita berbicara tentang:kebenaran semakin kita dijauhi orang. Sudah
dijauhi,kita masih juga ditegur, diteror oleh telepon yang ampuh dan keramat pula
.Dan, berapa kali penerbitan kita terancam dibunuh mati, Zul? Padahal ancaman
itu:sebenarnya tidak perlu. Dari hari ke hari, kita tuh sudah semakin sekarat..."
Zaenudin mengumpatkan kata-kata tak jelas.Kemudian mengeluh panjang.
"Kau tadi menanyakan, mengapa aku menyerah. Bukan terpaksa, Zul. Tetapi aku
harus. Aku tidak takut pada mereka. Yang aku takutkan, anak-anak. Ratusan jumlahnya.
Rata-rata sudah berkeluarga pula.Jumlahnya menjadi ribuan. Ribuan orang yang harus
bertahan hidup. Jadi apalah artinya seorang Zaenudin yang sudah kenyang hidup,
bahkan tua renta pula?"
Zulham terhenyak.Dan menyesali caranya datang tadi ke rumah ini.Mestinya ia
sudah tahu. Dan menuruti nasihat rekannya di percetakan tadi. Lebih bijaksana pulang
kerumah. Beristirahat sejenak, setelah itu berpikir, baru kemudian bertindak.
"Oh ya, Zul..."
Samar-samar telinga Zulham menangkap suara tuan rumahnya.
"Tadi pun kau bertanya. Mengapa kau tidak kuberitahu lehih dulu.Seperti tadi
kujawabkan, aku tidak harus bukan? Penawaran mereka sudah sejak lama. Aku yakin
kau ada mendengar. Aku bertahan, Zul. Mencoba bertahan.Mungkin aku pun berharap,
Tuhan tiba-tiba membulak-balik permukaan bumi,lantas oplah majalah kita melejit lagi
keatas. Seperti dulu, oplah terbesar dinegeri tercinta ini. Nyatanya, kita semakin
terpuruk.Baru setelah itu, aku beradu tawar dengan mereka. Dan setelah ada keputusan
pasti yang ditandatangi secara syah dan resmi, baru anak-anak kuberitahu. Dan
mempersilahkan mereka menentukan pilihan sendiri.Kau sedang di hutan-hutan
Sumatera waktu itu, Zul.Tetapi... Seperti halnya kepada anak lain, untukmu juga
kusisihkan sebagian dari apa yang telah kuperoleh sebagai imbalan kepergianku.
Kubilangi mereka,anggap saja pemberian ala kadarnya itu sebagai pengganti kata-kata
perpisahan..."
Tiba disitu, barulah Zulham mampu buka mulut.
"Kuingatkan, Pak Zein. Jangan coba-coba sodorkan kemukaku!"
Orangtua itu tersenyum arif.
"Sesuai dugaanku."
Zulham meneruskan tak peduli.
"Bapak sendiri yang mendidikku selama ini, agar tidak menjual sebuah prinsip. Atau
menikmati hasil penjualan dari sebuah prinsip!""Hei..."
"Maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan Bapak telah melakukannya. Aku kini sadar.
Bapak lebih mememikirkan anak-anak. Maaf pula jika tadi aku datang bagai orang
kesurupan. Aku yakin, Bapak pun akan bertingkah serupa, jika melihat apa yang
mereka kerjakan..."
"Tolong katakan, Zul."
"Bentuk majalah kita yang selama ini indah dan sudah baku, mereka rubah dalam
bentuk tabloid. Itu sih,masih oke. Yang membuatku lupa diri, ruangan untuk artikel dan
berita, nyaris habis dimakan foto-foto ukuran ekstra besar. Aku naik pitam bukan
karena jatah untuk tulisanku dengan sendirinya tidak punya tempat. Tetapi, itu tuh. Di
tiap halaman, selalu ada dada, kalau tidak paha. Dengan judul-judul memerahkan
telinga pula. Sudah berita atau artikel cuma secomot-secomot, isinya pun kebanyakan
mengenai urusan rumah tangga orang. Bahkan sampai urusan dapur seorang wanita
pelacur. Dan karikaturnya, ampun! Sudah tidak memperdulikan seni keindahan dan ciri
khas sindiran, ini sengaja garis-gairisnya dibuat bengkok-bengkok supaya menyerupai
angka-angka. Ditambah sekian rumus-rumus, ramalan-ramalan untuk apa yang mereka
sebutkan nomor-nomor jitu yang bakal keluar pada penarikan undian mendatang.
Masih ada lagi.Misalnya..."
"Sampah!
Zaenudin berujar. Datar, dan tenang. Tidak terusik seujung rambut pun.
"Semuanya sampah belaka. Tetapi, Zul. Jaman memang telah berubah.Agaknya,
sampah sekarang ini sudah menjadi dagangan yang laku keras. Dan, para pengaisnya,
lagi naik daun..."
Zulham sudah akan membuka mulut, ketika telpon berdering. Menyentakkan mereka
berdua.Karena ia yang paling dekat dengan meja telepon,Zaenudin-lah yang lebih dulu
mengangkatnya.
"Hallo?Ah, kau kiranya... Apa... Wah, yang benar saja... Hernya, dia masih disini.
Sebentar..."
Gagang telepon disodorkan kearah Zulham.
"Untukmu.Dari Joko, penjaga kantor kita... Eh, bekas kantor kita,di percetakan!"
Zulham bangkit dari duduknya.Mengambil alih telepon, dan begitu ia sahuti,
diseberang suara terdengar suara gempar:
"Bisa datang kemari secepatnya, Oom Zul?"
"Apa yang terjadi?"
"Mengerikan. Sungguh tak masuk diakal... semuanya berantakan sekarang. Polisi
baru saja pergi, tetapi..."
Zulham terperanjat. Berkata kaget:
"Hei, aku tidak serius ketika menyuruhmu untuk menembak..."
"Tidak seorang pun menyentuh bahkan mendekati meja Oom Zul. Senjataku pun tidak
pernah disentuh... Ada angin ribut... gempa dan... Lebih baik datang dan lihat
sendiri...."
Entah mengapa, pundaknya merinding. Bencana.Itulah yang seketika menyeruak
pikirannya. Sekali lagi,ditujukan pada dirinya. Paling tidak, memaksanya untuk terlibat
dalam bencana itu!
Setengah jam berikutnya, ia tiba di percetakan.Dugaannya, tidak keliru.
***
BAB 12
Bangunan megah dan luas itu, masih tegak ditempatnya.Kokoh dan tampak sedikit
sombong dalam jilatan rem-bulan dan lampu-lampu merkuri yang mengitarinya.Dilihat
dari luar, tenang dan damai. Didalam, riuh dan penuh kegiatan. Terutama dinihari ini,
di blok ketiga yang kata mereka telah dilanda angin ribut dan gempa.Yang
mengherankan, angin ribut dan gempa itu tidak sedikit pun menyentuh dua blok
lainnya. Gudang perbekalan dan penyimpanan aman-aman saja. Tidak terasa getaran
samasekali. Di blok satunya lagi,memang getaran itu terasa nyata, mana gaduh
pula.Tentu saja. Disitu terdapat mesin-mesin raksasa yang bergerak, terus bergerak,
nyaris tanpa mengenal istirahat. Ada angin ribut dan gempa?
Mereka yangsibuk di dua blok itu, ketika diberitahu, hanya mencibir tak percaya.Lain
halnya dengan blok terakhir. Yang pintu gerbangnya mengarah ke jalan raya. Di situ
berlokasi kantor-kantor berbagai media cetak, yang baik siang maupun malam, tidak
pernah sepi. Tidak sampai dua jam sebelumnya, salah satu kantor disitu, telah diharam
jadahkan Zulham. Saat ia memasukinya lagi sekarang,jika ia mau, bolehlah Zulham
menari-nari gembira seraya berteriak-teriak histeris.Nyatanya, di sana sini ia hanya
tertegun dan tertegun memandang tercengang, menggeleng tak percaya,bahkan
mengusap dada segala.Di mana-mana yang tampak hanyalah keberantakan semata.
Yang paling porak poranda, adalah kantor paling belakang di blok itu. Kantor dimana
selama beberapa tahun, Zulham sering makan dan tidur. Yang dua jam sebelumnya, ia
sudah berjanji tak akan sudi lagi menginjakkan kaki.Sepanjang blok perkantoran itu
sampai ke tepi jalanraya, yang terlihat hanyalah sampah dan sampah.Sungguh,
sampah-sampah menakjubkan. Dengan wujud berbagai bentuk dan rupa. Misalnya,
kertas.Mulai dari serpihan sampai lembaran utuh surat kabar,sampai majalah yang
masih terjilid. Hampir sama banyaknya dengan pecahan atau serpihan kaca. Yang
tadinya bekas gelas, piring, mangkuk, lapis meja, bufet,pintu atau jendela. Begitu pula
pecahan papan atau potongan kayu, sebagian diantaranya masih memperli-hatkan
sisa-sisa bentuk asalnya semula... entah itu kursi, meja, atau rak. Belum lagi keranjang,
tong,kardus-kardus dan banyak lagi benda-benda lainnya yang biasa ditemukan di
sebuah perkantoran, yang menyeramkan, di sana sini terlihat pula ceceran darah...
Zulham tidak bisa membayangkan, berapa banyak diperlukan orang, berapa lama
diperlukan tempo,lantas kesabaran. Yakni, untuk memisahkan sampah-sampah yang
masih mungkin terpakai, dengan sampah yang semurni-murninya sampah. Belum
lagi;memikirkan berapa banyak dokumen penting yang hancur bahkan hilang...Zulham
tersentak.
"..... Tasku!"
Kesibukan manusia disekitarnya, suara-suara teriakan marah, atau keluh kesah
berkepanjangan, bahkan ada yang masih bisa tertawa.... tentu saja menelan desahan
Zulham yang lirih. Namun, begitu melihat Zulham yang celingak-celinguk dengan
wajah pucat,Joko yang berdiri disampingnya seketika menggamit:Zulham dan
mengajaknya pergi ke salah satu sudut.Zulham nyaris tidak mengenali meja
kerjanya.Atau, bekas meja kerja.Pelapis kacanya sudah jadi serpihan yang berserakan
dilantai. Dua kaki patah. Sebagian papan meja itu berbelah-belah. Tempat dimana
mestinya terdapat laci,kosong melompong. Mantan meja kerjanya itu setengah
menungging ke tembok.Joko mengangkat sebelah kaki, dengan mana ia mendorong
meja itu pelan-pelan. Seketika meja itu terbalik, dengan suara berderak. Dan dibawah
mana meja itu tadi menungging, tampaklah ransel dan tas koper Zulham. Dan
tampaklah menyembul ujung:sepotong celana dalam. Bekas pakai yang belum sempat
dicuci. Membuat Zulham yang melihatnya terpaksa harus nyengir. Kemudian
cengirannya hilang perlahan-lahan setelah melihat hal lainnya.Tas koper yang tadinya
bersih mulus, tampak begitu kotornya. Kulit luarnya robek disana-sini. Penyok-penyok
dibeberapa bagian tas itulah yang menggiriskan perasaan Zulham. Ia sudah dapat
membayangkan bagaimana nasib benda-benda yang tersimpan di dalam tas. Terutama,
kamera. Plus perlengkapannya: tele lens,zoom, lampu-lampu blitz...
Agaknya, mesin tik yang ditinggalkannya di Baturaja,merindukan teman-teman untuk
mendampingi.Zulham mengangkat tas itu dengan tangannya yang gemetar. Tampaknya,
tidak ada yang mengganggu tas itu. Nomer-nomer seri kuncinya tidak ada yang
berubah. Toh, Zulham tetap saja merasakan dukacita yang dalam.
"Heran!"
Joko nyeletuk.
"Dia... bisa bertingkah. Galak pula!"
Zulham menatap, tak mengerti.
"Lihat benjolan ini?"
Joko menunjuk ketulang pipinya sendiri. Mata Zulham mengikuti. Tulang pipi Joko
yang kiri, tampak membengkak kebiru-biruan.
"Masih ada lagi. Ini..."
Joko membuka kancing-kancing baju seragamnya. Memperlihatkan memar-memar di
dada,iga, lambung. Bajunya dikancingkan kembali. Lalu bertanya dengan suara
bergetar:
"Ingin tahu bagaimana aku mendapatkan semua ini, Oom Zul?"
Zulham melupakan kesedihannya.
"Ayolah. Kau ceritakan apa yang sebenarnya terjadi...."
Joko kemudian bercerita. Dari awal sampai akhir.Di sebuah warung kopi pinggir
jalan.
***
Sekitar dinihari, angin dingin yang tidak biasa, bertiup memasuki blok perkantoran.
Tarjo yang sedang mengoreksi hasil zetting IBM bergumam menggigil.
"Hiih. Ini bukan lagi dingin namanya...!"
"Nenekku pernah bilang..."
Rausin, penata letak yang guyonnya sering keterlaluan itu, menimpali.
"Yang begini ini angin kiriman iblis. Tahu kirimannya darimana?"
"Pasti bukan dari neraka."
"Memang bukan. Neraka 'kan penuh kobaran api!"
"Dari Kutub Utara, ya?"
"Salah!"
"Lantas, Iblis ngirimnya dari mana dong?!"
Rausin menyeringai.
"Dari pantatnya!"
"Kok tidak berbau......"
"Namanya juga kentut iblis!"
Rausin tertawa ngakak.Saat itulah, seseorang, berteriak marah.Joko yang kebetulan
berdiri di luar pintu, menggerak-gerakkan otot tangan dan kaki supaya tidak merasa
terlalu dingin menoleh terkejut. Teriakan itu ternyata berasal dari kantor paling depan,
di dekat pintu gerbang. Seseorang tampak berlari keluar, mengejar kertas-kertas yang
berhamburan. Terbang kian kemari.Sebelum Joko sempat menyadari, apa yang terjadi,
dikantor-kantor lainnya muncul keributan yang susul menyusul. Di mana-mana
terdengar teriakan marah,seruan terkejut, umpatan kasar. Terlihat pula orang-orang
melompat untuk menangkap atau berlari untuk mengejar sesuatu. Namun semakin
banyak saja yang berhamburan, lalu diterbangkan angin, yang bertiup semakin
kencang. Dan bukan lagi hanya kertas...
Tarjo sampai menjatuhkan kursi sewaktu melompat untuk menangkap settingan
naskah yang baru dikorek-sinya. Ketika Joko berlari masuk untuk membantu,kepala
Joko disambar kotak kardus yang melesat kearah pintu. Ia keburu berkelit dan selamat.
Rausin hanya tegak terpaku, dengan wajah pucat.Kemudian Tarjo ikut terpaku diam.
Begitu pula Joko.Suara-suara berteriak, berseru, mengumpat di kantor-kantor lainnya,
pun melenyap. Serempak. Padahal angin ribut itu masih menghantam kian
kemari,menghumbalangkan dan menerbangkan apa saja.Penyebabnya tidak lain,
getaran-getaran pada lantai dimana kaki mereka semua berpijak. Mula-mula samar
saja, lantas tahu-tahu bergetar kuat. Menggoncangkan dinding-dinding kantor. Bahkan
meja-meja berat bergeser, lalu seperti terangkat-angkat. Apa saja yang dari kaca,
mulai pecah, bahkan papan, kemudian...Entah siapa dan dari sebelah mana, seseorang
berseru ketakutan:
"Gempa!"
Disusul:
"Keluar! Keluar semua! Keluar!"
Keadaan semakin bertambah kacau dan hingar bingar.Tarjo sudah berlari
meninggalkan kantor.Rausin bermaksud mengikuti. Tetapi ia kalah cepat oleh sebuah
kursi yang terangkat dari lantai lantas, terbang melesat kearah Rausin dan kemudian
menghantam kepalanya. Rausin terhuyung. Muka dan kepalanya berdarah. Joko meski
panik, masih sempat menghambur kearah Rausin. Pemuda itu untungnya masih mampu
berdiri bahkan berlari mengikuti Joko yang memegangi tangannya, tetapi kaki Joko
terantuk sesuatu.Pegangannya lepas. Namun Rausin terus saja berlari,entah kemana.
Joko yang sempat terjatuh cepat-cepat bangkit untuk lari menyelamatkan diri.Pada
waktu ia bangkit, sesuatu melesat melewati tubuhnya, lalu jatuh ke lantai membentur
ambang pintu. Dalam paniknya, Joko masih sempat mengenali apa itu kiranya. Tas
koper, yang dipercayakan Zulham kepadanya. Secara naluriah Joko menyambar tas
itu.Pas ketika tas itu bergeser menjauh oleh sedotan angin bertenaga besar yang
sekaligus menarik tubuh Joko keluar pintu.Joko sempat terhumbalang, tetapi mampu
tegak kembali. Tas dipeluknya erat-erat, sembari berjuang melawan kekuatan angin,
yang terkadang menyedot,lain kali bagai menghempaskannya.Lambat laun, disadari
oleh Joko, tubuhnya semakin mendekati pintu gerbang di depan sana. Jika ia terseret
arus angin atau siapa tahu, diterbangkan lalu terhempas di jalan raya...Joko bertambah
panik. Bahkan ngeri.Tanpa sadar, ia mulai menjerit-jerit minta tolong. Lalu ketika
keputusasaan mulai mencekam dirinya, Joko tertolong. Bukan oleh seseorang.
Melainkan oleh tiang penyanggah bingkai pintu gerbang. Tiang besi yang tegak kokoh,
tak tergoyahkan. Refleks Joko bereaksi.Sementara tangan yang satu masih
menggenggam pegangan tas, tangan lainnya cepat menyambar tiang.Tubuh Joko sedikit
terputar, lalu punggungnya menghempas sesuatu. Tembok gedung. Di situlah, Joko
bertahan. Dengan punggung merapat ke tembok gedung dan sebelah tangan merangkul
tiang pintu gerbang. Ia terbebas dari sedotan angin dahsyat itu.Angin yang bersiut, dan
marah. Joko tidak perduli. Ia juga tidak takut tertimpa oleh runtuhan gedung.Karena
semakin mendekati pintu gerbang, permukaan bumi tempat kaki Joko bertahan, semakin
terasa melemah getarannya.Bahkan ketika ia selamat dalam perlindungannya sekarang,
getaran itu telah berhenti, sama sekali.Tinggal hempasan angin yang masih terasa.
Dalam kemarahan yang semakin menggila. Salah-satu hempa-sannya, menarik tas di
tangan Joko. Karena semangat-nya sudah kembali, Joko lantas melawan tarikan
itu.Tarik menarik pun terjadi.Lalu Joko terheran-heran. Sepertinya, ada tangan-tangan
gaib menggerakkan tas itu. Belum habis kehera-nan Joko, tas di tangannya mulai
bertingkah.Mula-mula seperti melompat-lompat dalam genggamanJoko. Kemudian, tas
itu menghantam lambungnya,mundur, lalu menghantam iga, terus dada, terakhir, tas itu
menampar wajahnya.Hantaman keras, tamparan menyakitkan untuk menggerakkan
tas.Tak ada siapa-siapa di dekat Joko, untuk menggerakkan tas. Yang ada, hanya
tangannya sendiri, yang masih menggenggam....
Astaga!
Tangannya sendirikah?
Bingung dan ngeri, Joko merenggangkan cengkeraman tangannya pada pegangan
tas. Kemudian melepaskan-nya sama sekali.Tas itu tidak jauh ke tanah. Mungkin tak
sempat. Angin telah menyedotnya dengan kuat. Melayang, terbang diudara malam,
sepasang mata Joko membelalak takjub,mengawasi bagaimana tas itu melesat lurus
kearah sebuah mobil yang sedang diparkir di tepi Jalan sejajar pintu gerbang. Bias
lampu-lampu merkuri menerangi samar-samar bagian dalam mobil yang gelap. Ada
sesosok tubuh disana. Duduk tenang-tenang dibelakang kemudi. Mungkin menunggu
seseorang, atau barangkali sengaja berhenti disana menunggu sampai badai angin
mereda.Dan, tas justru melesat ke jendela sebelah kiri pengemudi.Joko ingin berteriak
memperingatkan orang itu. Namun yang mampu dikeluarkan Joko hanyalah keluhan
lemah belaka. Ia sudah siap menunggu bunyi kaca jendela mobil terhantam, pecah.
Oh, tidak. Jendela mobil itu justru memang terbuka.
"Celaka! Kepala orang itu bakal..."
Syukurlah, orang itu membungkuk. Atau barangkali tas sudah menghantam
kepalanya?
Oh, tidak lagi! Karena orang yang ada dibelakang kemudi sudah duduk lurus
kembali. Dan tas melayang keluar jendela mobil.Dilemparkan dengan marahnya. Jatuh
terhempas didekat pintu gerbang. Menggeletak, diam.Mobil itu kemudian bergerak
perlahan. Kemudian berlalu.Perlahan tetapi pasti, badai angin pun ikut berlalu.
Dijalan raya mobil-mobil dan sepeda motor saling berpacu dengan raungan mesin yang
memekakkan telinga.Kontras dengan suasana blok perkantoran. Mendadak sunyi sepi.
Samar-samar, terdengar suara berisik mesin-mesin dari arah blok percetakan.
Kemudian,banyak orang mulai keluar entah dari mana memasuki blok perkantoran.
Suara-suara manusia pun mulai terdengar. Makin lama makin ramai. Ada seseorang
menjerit. Dan orang lainnya menangis seperti kesakitan...
Sejenak, Joko linglung.Kemudian ia membungkuk. Menjemput tas di dekatnya.
"...anehnya, dia tak bertingkah lagi!" desah Joko, seraya memandang kearah tas
dekat ransel di meja warung kopi itu. Zulham ikut menatap. Namun keprihatinan akan
nasib barang-barang miliknya yang mungkin penyok itu, tidak lagi terasa. Perasaan
lain, mengusik lebih keras.Ada sesuatu menghampiri dirinya. Entah apa dan mengapa,
ia belum tahu. Tetapi ia harus mencari tahu.Karena sesuatu itu pastilah betapa
jahatnya dan keji.Yang disetiap langkahnya untuk mendekati Zulham,meninggalkan
bencana-bencana mengerikan. Itulah yang dia rasakan. Meski, hampir tidak masuk
diakal Zulham sendiri!
".... setelah menelpon Oom, saya lantas berpikir-pikir!"
Joko meneruskan. Sisa kopi di gelasnya ia habiskan dengan wajah memperlihatkan
bahwa ia tidak menikmati citarasa yang mengaliri lidahnya.
"Apa anehnya tingkah tas itu dibanding keanehan-keanehan lain. Mencengangkan
lagi. Penyebab bencana di blok perkantoran seujung rambut pun tidak menyentuh dua
blok lain. Lalu mereka bilang, angin ribut dan gempa itu hanya perbuatan orang jahat
tukang tenung!"
Zulham memikirkannya.Tetapi akal sehat serta otaknya tidak menerima.Lagi-lagi
Joko yang membuka mulut:
"Terus, Oom. Adalagi yang bilang, blok dimana perkantoran itu berdiri,dahulunya
konon bekas pekuburan..."
Zulham menghela nafas.
"Tambah kopinya, Pak Joko?"
Dijawab dengan pertanyaan pula:
"Oom mengantuk?"
"Hanya lelah."
"Astaga... Saya baru ingat. Oom baru pulang dari perjalanan jauh. Belum sempat
istirahat..."
***
Tiba di rumah Zulham kembali harus kehilangan waktu istirahatnya. Seisi rumah
gempar menyambut kepulangannya. Tetapi Zulham sedikit terhibur oleh kegembiraan
dan kehangatan yang ia didapatkan dari mereka. Dan untuk kesekian kalinya, ia
relakan diri untuk menghadapi sekian banyak pertanyaan. Mana simpang siur
lagi.Bunyi bedug dari masjid menyelamatkan Zulham.Pamannya mengajak ke Masjid.
Zulham menolak.Katanya:
"Aku sholat di kamar saja."
Pamannya mengangguk paham, kemudian meninggal-kan rumah. Bibi Zulham
mengingatkan kedua anak perempuan mereka agar segera berhenti mengganduli
Zulham.
"Biarkan abang kalian pergi ke kamarnya.Jangan lagi ada yang mengganggu!"
Sepupu-sepupu Zulham yang sedang meningkat remaja itu pada protes, tetapi
akhirnya menyerah. Bahkan mereka bantu mengangkatkan barang bawaan
Zulham.Lantas meninggalkan kamar, seraya mengancam Zulham agar nanti kalau
sudah istirahat, Zulham harus melanjutkan obrolan mereka yang terputus tadi.
"Atau, aku tidak akan sudi lagi menyetrika baju Abang!"
Nurmala berkata sengit.Rosida tidak mau mengalah:
"Dan, harus menyapu sendiri kamar Abang!"
Ancaman-ancaman yang menyenangkan!
Zulham ingin tertawa, namun betapa sukarnya. Berada sendirian di kamarnya,
sel-sel otak Zulham kembali pada berlari-lari, tanpa arah yang jelas. Sampai kusut
sendiri. Air hangat untuk mandi yang disediakan oleh bibinya, sedikit menggendurkan.
Lantas bersujud menghadap Ilaahi, memohon petunjuk dan kekuatan.Pelan-pelan
mengembalikan ketenangan pikirannya.Lupakan semua itu untuk sementara, dan
melompatlah ke tempat tidur.Rosida menyimpan ransel dekat pintu. Tetapi Nurmala
telah menyimpan tas koper Zulham justru diatas tempat tidur. Sebelum menyingkirkan
tas itu ke tempat lain, Zulham mengawasinya sebentar. Lalu iseng saja,ia merapikan
kulit pembungkus tas yang robek disana-sini. Salah satu bidang yang robek, sukar
dirapatkan. Pada saat itulah ia melihatnya. Diterangi lampu kamar yang benderang,
robekan pembungkus kulit itu ternyata mustahil dirapatkan. Karena pinggiran kulit
yang robek, tampak mengeriting,warnanya pun kehitam-hitaman. Seperti halnya kulit
yang beradu dengan api, atau hawa panas berkekuatan tinggi. Busa pelapis
disebaliknya lebih nyata lagi kehangusannya.Antara sadar dan tidak, jari jemari
Zulham mengoreki robekan busa yang sepertinya bekas hangus itu.Tersentuhlah
kemudian, baja tipis, pembungkus utama tas kopernya.Robek juga!
Zulham berdebar. Nomor-nomor seri kunci tas kopernya segera diputar ke netral.
Lalu tutup tas ia sentakkan terbuka. Firasat mengejutkan menggerakkan pikiran Zulham
untuk mengabaikan saja semua dokumen dalam map, kamera serta
perlengkapannya,rol-rol film, pesawat rekam ukuran mini dan
sebagainya.Perhatiannya langsung dipusatkan ke satu arah.Sebuah tas tangan
perempuan. Dan apa yang ia harapkan untuk ia lihat, memang terlihat.Tas tangan itu
pun robek. Malah kulit tas itu sampai melepuh. Tangan Zulham semakin gemetar saja
ketika tas tangan itu diambilnya perlahan-lahan. Isinya ia tumpahkan ke tempat tidur.
Ia tidak merasa perlu mengingat semua isinya. Zulham hanya ingin memastikan
keberadaan satu benda saja. Yang secara tidak patut, sempat dipakainya tanpa hak.
Lalu begitu ia menyadari keteledorannya, mengembalikan benda itu ke tempat yang
semestinya.Firasat Zulham terbukti benar.Benda itu sudah raib.Tidak perduli
bagaimana caranya dan siapa yang meng- ambilnya. Yang pasti, kalung dengan liontin
bertatahkan berlian itu telah hilang. Liontin dengan lambang ular berkepala
ganda.Tanpa dia kehendaki, membayang seketika di pelupuk mata Zulham kesunyian
malam ditengah hutan belantara. Sebuah mobil tak bertuan, terdampar disana.Zulham
membuka pintu mobil itu. Lampu dalam segera menyala. Temaram. Lalu dari balik
tumpukan pakaian yang centang-perenang menggeliat keluar seekor ular besar,
panjang, bersisik hitam legam.Seekor ular berkepala ganda.Menatap kearah Zulham
dengan dua pasang bintik-bintik mata yang berlinang-linang
***
BAB 13
(maaf jilid 13 isinya sama dengan jilid 12)
***
BAB 14
Zulham terhenyak di pinggir tempat tidur. Lemas.Perasaan bersalah melecut
pikirannya. Zulham bukan saja telah memakai barang milik orang lain, tanpa
hak.Barang itu kini bahkan sudah hilang lenyap. Diluar kekuasaannya Zulham
memang. Namun tetap harus dipertanggung-jawabkan!
Zulham adalah Zulham.Menyesal atau marah-marah memang sifat alami manusia.
Tetapi, menyesali diri berlama-lama, bukanlah sifat Zulham. Dan, biarkanlah
kemarahan ini menguasai dirimu. Nanti akan kau lihat bahwa pada akhirnya kau tidak
akan memperoleh apa-apa.Peredaran darah disekujur tubuh Zulham yang sempat
membeku, kembali mengalir. Otaknya mulai bekerja.Otot dan syaraf pun lantas
bereaksi. Perlahan-lahan Zulham bangkit dari duduknya. Ia kemasi barang-barang
yang berserakan di tempat tidur. Dengan menyisihkan selembar Kartu Tanda Penduduk
atas nama Tenny Puspasari sejenak lamanya, ia amati pasfoto wanita di kartu tersebut.
Sebelumnya, Zulham sudah beberapa kali melakukan hal yang sama.Semakin Zulham
mengenali wajah itu, semakin kekaguman pada kehalusan dan kelembutan yang
terpancar dari wajah Tenny.Jika kemudian timbul ketertarikan dalam diri Zulham
sebagai seorang laki laki, itu wajar-wajar saja adanya.Yang tidak wajar adalah
perasaan lain yang ikut membonceng. Perasaan menyayangi. Terutama,keinginan untuk
melakukan sesuatu yang dapat membuat bibir mungil itu tersenyum bahagia. Entah
mengapa, perasaan dan keinginan itu terus mendera.Sehingga lambat laun berkembang
menjadi semacam kewajiban yang harus Zulham selesaikan sampai tuntas.
"Aneh juga!"
Zulham bergumam lirih.Ia membuang jauh-jauh pikiran yang agak mengganggu itu.
Lalu kini ganti membenahi isi tas kopernya sendiri. Sedikit pun Zulham tidak berminat
lagi pada tumpukan map-map, foto-foto, gulungan rol film maupun benda-benda lain
yang merupakan hasil liputan sewaktu Zulham menjalankan tugas kewarta-wanannya
nun jauh salah satu pelosok Sumatera.Semuanya dikeluarkan lalu disimpan semau
hatinya dimeja kerja dekat jendela kamar tidur. Kamera serta perlengkapannya saja
yang tetap ia biarkan di dalam tas. Disusun hati hati, untuk memberi tempat yang luang
dan nyaman pada tas tangan Tenny Puspasari.Kamera dan perlengkapannya akan
diantarkan Zulham ke studio langganannya. Untuk diservis dan, jika ada komponen
yang rusak supaya segera diganti. Begitu pula tas koper, Zulham tahu pada siapa ia
harus menyerahkannya. Bukan untuk diperbaiki. Melainkan untuk diperiksa, diteliti
penyebab kerusakannya yang begitu rumit bahkan misterius. Jika perlu, dengan
menggunakan mikroskop. Betapa kuat hasrat Zulham untuk mengetahui bagaimana...
Ada kilau gemerlapan di pojok dalam tas.Zulham memungut hati-hati. Lalu
didekatkan kecahaya lampu. Tiga butir mata berlian yang besar,masing-masing
mendekati biji kacang hijau. Dengan bentuk dan potongan yang sama.Zulham tidak
berpikir mengenai harga. Yang ia pikirkan hanyalah, bahwa benda dimana semestinya
batu permata itu tersimpan, memang ada dan nyata.Bukan sekedar halusinasi. Dan
benda itu telah diambil paksa oleh seseorang. Tak perduli siapa, bagaimana dan
mengapa. Yang pasti dan senyatanya, benda itu hilang.Meskipun sekarang Zulham
beruntung masih menemukan sebagian dari apa yang hilang itu. Zulham tidaklah lantas
bersorak gembira. Justru perasaan bersalahnya semakin terlecut.Zulham menarik
keluar selembar foto diatas meja dari pembungkus plastiknya. Ke pembungkus mana
batu-batu mulia itu ia masukkan, kemudian disimpan pada tempat yang ia perkirakan
cukup aman: dalam loketnya. Setelah itu ia bersalin pakaian, mengenakan sepatu, lalu
keluar dari kamar dengan menjinjing tas disatu tangan dan KTP Tenny Puspasari
ditangan lainnya.Di luar kamar ia berpapasan dengan bibinya yang memandang heran.
Di ruang duduk, pamannya yang sudah kembali dari masjid dan tengah menikmati kopi
susu sambil membaca harian pagi, juga menatap heran.Terlebih-lebih setelah mata
sang paman menatap tas koper yang wujudnya tidak karuan itu. Namun orangtua itu
tidak mengutarakan sepatah kata pun juga. Ia kembali memusatkan perhatiannya ke
suratkabarnya.Zulham langsung berjalan ke pesawat telepon, dengan pesawat mana ia
kemudian berkomunikasi ke luar.Diperlukan waktu menunggu beberapa saat. Baru
setelahnya ada hubungan, mengucapkan salam, lalu memastikan nomor telepon yang ia
hubungi tidaklah salah sambung, lantas pada orang yang menyambut teleponnya ia
minta berbicara dengan Tenny Puspasari.Saat itulah sang paman mengangkat
muka.Tergerak ingin tahu.Zulham berbicara di telepon:
"... siapa saya tidaklah penting. Tetapi saya menyimpan barang milik Zus Tenny yang
harus saya kembalikan padanya... oh,begitu. Memang itulah maksud saya menelepon.
Maaf,jika saya telah mengganggu sepagi ini, dan... Baiklah.Saya akan datang
secepatnya kesana. Terima kasih!"
Zulham menyimpan gagang telepon.Memutar tubuh untuk pamit. Dan menyadari
sesuatu dibalik sinar mata pamannya yang tidak keburu menghindar. Zulham
tersenyum. Riang, ia menggoda orangtua itu:
"Tenang saja Paman. Jika kita ada umur panjang, percaya saja deh. Akan
kupersembahkan calon isteriku kepada paman..."
Lawan bicaranya membelalak. Zulham menyeringai, lantas meralat kalimatnya tadi:
"Maksudku, kuperkenalkan. Tetapi bukan dia orangnya..."Ya. Bukan Tenny
Puspasari orangnya.Zulham merasa pasti. Tetapi mengapa ia merasa pasti?
"Jangan berlama-lama, Zul!"
Sang paman akhirnya buka mulut.
"Oh. Calon sih banyak, hanya..."
"Yang kumaksud, Nak. Kau jangan pergi berlama-lama!"
Orangtua itu menjelaskan dengan sabar.
"Kau baru saja pulang dari perjalanan jauh. Kau mau memaksakan diri sih...
Boleh-boleh saja. Yang jadi masalah, aku masih saja tidak kuat menahan sebal jika
didekatku ada orang sakit yang merintih-rintih sengsara."
Suara lain, tahu-tahu sudah nimbrung:
"... yang paling baik, Pak. Seret lalu ikat dia di tempat tidur. Beres!"
Bibi Zulham mendekat lalu dari baki memindahkan meja duduk, segelas kopi susu
dan mangkok berisi dua butir telur rebus. Juga ples-ples berisi bubuk garam dan
merica. Si suami memandang penuh minat, lantas menggapaikan tangan ke mangkok
berisi telur rebus.Belum juga tersentuh, mangkok itu sudah menjauh.
"Tadinya memang jatah Bapak,
" isterinya mengomel.
"Yang dua butir lagi, sedang direbus oleh Rosida..."
Lalu pada Zulham:
"Ada yang gatal?"
Zulham berhenti menggaruk kepala.Kemudian duduk untuk menikmati sarapan
paginya.Telur rebus diletakkan ke pinggiran sebuah gelas kecil.Ke gelas mana telur
setengah matang itu dimasukkan,diaduk dengan bumbu, lantas dengan gerakan sengaja
dilambat-lambatkan, disendok ke mulut. Sedikit-sedikit,mata dipejam-pejamkan
pula.Sang Paman hanya mampu memandang saja.Dengan iri.Syukurlah, Rosida segera
muncul untuk mengantarkan bagiannya. Melihat tas koper yang wujudnya berantakan
itu, Rosida berkata:
"Tadi malam pun aku sudah berpikir. Pasti tas Abang itu tersenggol kereta api.
Heran ya, Abang masih hidup...!"
Hidup, memang terkadang menyenangkan.Puas saling menggoda, Zulham kemudian
pergi kegarasi, masuk ke mobil mini bus miliknya, disebelah mobil sedan milik
pamannya. Mesin dipanaskan, turun lagi, membuka pintu garasi lalu pintu gerbang
depan. Ia merentang-rentangkan lengan dan kaki sebentar,meliuk-liukkan pinggangnya
sampai terdengar bunyi berkeretak lemah, menghirup hawa sejuk pagi hari dengan
perasaan lebih nyaman dan gembira.Waktu mengeluarkan mobilnya ke halaman dan
berputar menuju gerbang, di teras ia melihat sosok bibinya memperhatikan dengan
gundah. Zulham melambai dengan mulut tersenyum. Bibinya balas melambai, namun
tidak ikut tersenyum.Perempuan itu kemudian masuk ke dalam rumah.Rosida sudah
menghilang lagi di dapur, hanya si suami saja yang masih tetap duduk di kursi semula,
telah pula asyik dengan surat kabarnya. Menyadari sang isteri tetap memperhatikan, si
suami mengangkat muka.Tanpa menunggu pertanyaan, ia sudah paham apa yang
menjadi masalah. Lalu, setelah menghela nafas iapun berujar:
"Mengapa pula aku mencegah dia? Semua juga tahu. Sekali Zulham ingin bergerak,
maka ia akan terus bergerak. Siapa pun tidak bisa menahan!"
Kembali menyimak ke surat kabarnya, ia mengakhiri:
"Dinamis.Itulah Zulham. Dan aku beruntung menjadi pamannya!"
"Tetapi, Pak..."
"Hem?"
Sambil si suami tetap menekuni bacaannya.
"Aku didatangi firasat yang..."
Kalimat sang isteri dihentikan oleh komentar pendek sisuami:
"Perempuan....!"
Menjengkelkan. Tentu saja.Si isteri pun minggat ke dapur. Larut dibawa perasaan
dan firasat kewanitaannya. Disebelahnya, Rosida sibuk mengiris rempah-rempah,
sambil menyanyikan lagu cinta yang waktu itu lagi trendi.
"...senyum manismu... pertama kali kita bertemu... Aduhai lembutnya tutur kata.."
"...diamlah!"
Mulut Rosida mengatup seketika. Lalu ia berpaling.Bukan menghadap ke ibunya.
Ibunya pun ikut berpaling. Di pintu dapur, ayah Rosida berdiri tegang dan pucat.
Tangannya masih memegang surat kabar yang tadi dibacanya.Dari mulut laki-laki
setengah baya itu, terdengar suara menggagap:
"... kalian dengar? Nama anak itu...Bobby... apakah...."
"Anak yang mana, Ayah?"
Mulut itu terus menggagap,
"... dan, inisial ibu si anak,kata mereka em-em... Bisa saja dia itu Maria...."
"...Magdalena, "
Rosida melanjutkan kata-kata ayahnya,tanpa sadar.
"Memangnya ada apa sih. Ayah bikin kaget orang saja!"
Rosida tanpa sengaja melihat ke surat kabar ditangan ayahnya. Dan terbaca olehnya
sebuah judul dalam hurup-hurup cetak besar:
"IBU MUDA JELITA DIDUGA MEMBUNUH ANAK KANDUNG"
Rosida melompat ke pintu. Suratkabar dirampas dari tangan ayahnya, tanpa minta
ijin lebih dulu. Ibunya hanya berdiri, bengong. Sementara sang ayah tahu-tahu sudah
lenyap dari ambang pintu. Hanya bunyi langkahnya saja yang terdengar. Berlari-lari
menuju pintu depan rumah. Seraya memanggil-manggil:
"Zul? Tunggu sebentar, Zulham. Ada yang...Zul?!"
Agaknya lupa, ponakannya sudah lama berlalu.
***
BAB 15
Lima menit setelah meninggalkan ujung toll Jagorawi,Zulham menemukan jalan yang
ia cari. Terselip diantara tembok tinggi dua buah rumah atau mungkin bungalow. Jalan
menurun yang tidak seberapa lebar.Hanya pas untuk dua buah mobil berpapasan, itu
pun harus sambil mengurangi kecepatan. Tetapi mulus,dihotmix. Nyaman pula dalam
kendaraan karena belokan-belokan ditata tidak terlalu tajam, dengan panorama indah
terhampar penuh pesona dibagian yang tanahnya terbuka. Dengan syarat, pikir
Zulham,anggap kita belum pernah melihat alam Sumatera.Setelah berhenti sejenak
untuk bertanya-tanya pada seorang pejalan kaki yang kebetulan berpapasan,tibalah
Zulham dibagian jalan lurus dan panjang.Sesuai penjelasan si pejalan kaki, mendekati
akhir jalan lurus itu, Zulham melihat sebuah pintu gerbang besar dari lembaran besi
yang dicat warna orange. Nomor yang tertera pada pada penyangga gerbang, cocok
dengan nomor rumah yang tercantum pada KTP yang dikeluarkan lalu disimpan
kembali oleh Zulham di saku kemejanya.Zulham berhenti lalu turun.Mencari sebentar
dengan matanya, lalu ia tentukan lobang persegi pada lembaran besi warna
oranye,sejajar bahunya Zulham menjulurkan tangan ke depan menembus lubang
terbuka itu, dan menekan bel yang ada di situ. Membayangkan ada sabetan golok dari
balik lembaran besi, lantas pergelangan tangannya lenyap seketika. Zulham pun
bergegas menarik mundur tangan yang dicintainya itu.Bel itu disambut sebuah
suara.Bukan musik lembut atau ning nong yang monoton,melainkan gonggongan keras
seekor anjing, jauh dari sebelah dalam pintu gerbang.Gonggongan itu pun dengan
segera sudah berhenti diam. Namun toh Zulham sempat merasa miris juga.Sadar,
belum pernah ia teringat untuk belajar ilmu tentang menangkal serangan seekor anjing,
yang selain besar dan galak, sedang marah pula.
"Baiknya sih... urusanku cepat selesai. Dan disini, bukan didalam sana, " dalam hati
Zulham berharap. Ngeper.Ada bunyi gemerincing dibalik pintu gerbang. Lalu bunyi
sesuatu berderak. Zulham melompat terkejut.Lalu mundur dua langkah, mendekati pintu
mobil.Diam-diam meyakinkan, pintu mobil itu tidak ia kunci sebelum turun sehingga
jika perlu, ia dapat melompat masuk kedalam untuk mengamankan diri.Gemerincing
rantailah yang terdengar tadi.Dan bunyi berderak, ternyata suara pintu kecil di sudut
kiri lembaran pintu gerbang. Zulham pun pasang kuda-kuda untuk merenggut terbuka
pintu mobil.
Lalu...
Bukan sosok anjing setinggi pinggang yang muncul.Melainkan sosok manusia,
tingginya pun tidak melebihi pundak Zulham. Tetapi, jangan buru-buru menarik nafas
lega. Lelaki itu boleh pendek, namun kekar.Dengan otot-otot mencuat kencang dari
balik baju kaus serta celana jean ketat yang membungkus tubuh yang penuh vitalitas
itu. Dibawah rambut yang dicukur model tentara, terpampang seraut wajah
persegi.Dahinya kuat, sorot matanya keras, tulang pipi kukuh,dagu pun liat, dan
melihat tarikan bibir orang itu,bukan mustahil Charlie Chaplin akan buru-buru cari
makan dengan cara lain saja.
Belum cukup?
Dengarlah suaranya. Sudah dalam, serak;dan kering pula:
"Mau bertemu siapa?!"
Wah!
Tetapi karena yang dia hadapi jelas manusia biasa juga seperti dirinya, Zulham
sedikit lebih tenang. Tanpa mengabaikan kewaspadaan, ia perlihatkan harga dirinya.
Lewat jawaban pendek:
"Zus Tenny. Sudah ada janji!"
Dahi yang keras itu berkerut. Tidak segera berkomentar.Sama seperti sebelumnya
Zulham menelepon ke alamat ini, orang yg menyahutinya terdiam sejenak.
Bedanya,Zulham tidak tahu, apakah diamnya orang yang menerima teleponnya juga
disertai kerutan di dahi.Pertanyaan lagi:
"Anda siapa?!"
Lumayan: Anda. Bukan, kau.Zulham tambah berani.
"Ada atau tidak?"
Barulah setelah itu ada sahutan,yang nadanya bukan kalimat tanya.
"Bukalah pintu gerbang, Johan..."
Suara yang itu bersiul dari balik pintu gerbang. Tidak terlalu dekat. Malah agak
sayup-sayup sampai.Lelaki yang dipanggil dengan nama Johan itu mengang-kat
pundak.
"Ya. Jika Bi Esih sudah angkat bicara, siapa yang berani membantah?"
Masih kalimat tanya, memang. Tetapi selagi Johan membuka pintu gerbang, Zulham
menangkap dua hal.Pertama, suara bernada tinggi itulah yang menerima telepon
Zulham pagi tadi. Kedua, Johan menaruh segan, paling kurang menurut perintah
pemilik suara,dengan seketika. Ini membawa perubahan pada gaya pembicaraan
Johan.
"Kadang-kadang ada truk besar lewat disitu..."
Dagu itu gerakkan kearah jalan.
"Lebih baik dibawa ke dalam."
Zulham memundurkan mobil, untuk kemudian mema-suki jalan kerikil diantara
rerumputan dan tanaman hias. Dengan pepohonan pinus di kiri kanan jalan,diatur
berselang-seling sehingga sinar matahari tidak akan mengganggu kenyamanan pada
orang yang melaluinya. Pepohonan mangga dan rambutan juga tampak dibagian lain,
kemudian patung-patung, air mancur yang mengalir deras dan bening seperti
kaca.Semua itu melengkapi sebuah rumah gedung besar dan tampak megah,
arsitekturnya merupakan kombinasi dari dua jaman berbeda. Zulham memarkir
mobilnya dipekarangan yang cukup untuk menampung paling sedikit sepuluh mobil.
Saat itu hanya ada satu mobil didekatnya, sebuah sedan rakitan terbaru, dari merk yang
Zulham tidak berani mengimpikannya. Dua lainnya tampak sekilas lewat pintu garasi
yang menganga terbuka. Salah satunya minibus yang lebih besar dari punya Zulham,
namun tetap saja membuat mobil Zulham seakan baru saja memasuki halaman
parkir;yang salah.Selagi turun dari mobil, diam-diam Zulham menyesali mengapa ia
selalu mengabaikan teguran Rosida.
"Dicuci setahun sekali! Andai mobi Abang punya hak suara...!"
Seorang wanita menunggu Zulham diambang masuk beranda. Tubuhnya
sedang-sedang saja tetapi tampak semampai dibalik pakaian rumah yang rapi serta
serasi:dengan suasana disekitar. Umurnya sukar ditebak.Tetapi pasti sudah melewati
40 an atau mungkin sudah mendekati 50. Namun satu hal membedakan ia dengan orang
pertama yang menyambut kedatangan Zulham di tempat itu. Perempuan itu menunggu
dengan senyuman manis.Namun pikiran Zulham tengah dipenuhi oleh sosok lain. Sosok
yang belum jelas dan tidak utuh. Betapa tidak sabar Zulham untuk segera bertemu
dengannya.Melihat dirinya seutuhnya. Bukan hanya sekedar raut wajah lembut dengan
tatap mata yang seperti minta:dilindungi itu. Zulham lebih tidak sabar lagi untuk
mengetahui, mengapa Zulham mendadak terikat pada wanita yang malah belum pernah
dikenalnya itu.Sedemikian meluap-luap hasrat Zulham untuk bertemu muka dengan
Tenny Puspitasari. Sehingga sambil turun dari mobil ia langsung saja main sambar tas
di tempat duduk sebelahnya. Lumrah. Kebiasaan seseorang memang sering mengikuti
orang itu kemana pun ia pergi. Yang tidak lumrah adalah perubahan di wajah
siperempuan tengah baya yang menunggu di beranda.Perempuan itu tidak lagi
tersenyum. Melainkan tercengang, meski masih dalam batas-batas yang sopan.Arah
tatap mata kebingungan itulah yang menyadarkan Zulham. Zulham pun menggerutu
samar-samar. Lantas buru-buru mengembalikan tasnya ke dalam mobil. Wujud benda
itu betapa menyebalkan,sehingga tong sampah pun pasti enggan menampung-nya.
Seperti habis disenggol kereta api, kata Rosida.
Sialan!
Zulham mengeluarkan tas tangan warna abu-abu,dengan mana ia kemudian
bergegas naik ke beranda.Ada rona terkejut di mata si perempuan tengah baya ketika
melihat apa yang dipegang Zulham, sepintas,tubuhnya yang kecil semampai itu seperti
bergetar.Sebuah pemandangan sepersekian detik saja, dan Zulham menganggap yang
tampak sepintas itu hanyalah tipuan mata belaka. Senyum sopan itu kini disertai ajakan
ramah:
"Silahkan masuk."
Zulham melangkah ke ambang pintu yang terbuka.Satu langkah, dua langkah, tenang
dan penuh kepercayaan diri. Langkah ketiga, barulah mengendor.Jatuhnya di lantai
pun tak ubahnya daun yang gugur.Teramat perlahan, seperti takut mengganggu orang
yang tertidur pulas. Sayangnya sang makhluk yang dilihatnya bukanlah sedang tertidur.
Gerakannya pun nyaris tidak terlihat. Dari posisi rebah ke posisi tegak,diatas empat
kakinya yang kokoh. Zulham benar.Tetapi sungguh betapa celakanya kebenaran itu:
tinggi mahluk memang sebatas pinggang Zulham. Mata galak,moncong terbuka
mempertontonkan taring-taring runcing mengkilat. Siap merobek, tak peduli yang harus
dirobek itu lembaran baja.Mahluk itu tidak menggonggong, kini.Ia hanya menggeram.
Geraman yang seakan tertelan,untuk kelak muncul lagi dalam sebuah impian yang
paling buruk.Suara lunak menyebut sebuah nama, disusul perintah:
"Rudi? Masuk!"
Zulham tidak berani berpaling. Konon pula, bukan namanya yang disebut. Ia tetap
mengawasi makhluk itu, tanpa berani berkedip. Ia coba tersenyum kearahnya. Karena
terlalu dipaksa geraham Zulham malah kaku. Ketika mahluk itu menggeram lagi
Zulham pun mengatupkan geraham, ekstra hati-hati.
"Kau dengar tidak Rudi?"
Zulham masih belum berani berpaling kearah pemilik suara, entah diarah mana
Zulham tak perduli. Zulham tidak boleh lengah. Benar saja, mahluk itu mulai
bergerak-gerak. Otot-otot pahanya yang kokoh tampak bergetar. Tas kecil di tangan
Zulham digenggam kuat.Siap dipukulkan. Atau, dipakai melindungi pergelang-an
tangan. Konon, bagian itulah yang paling pertama diserang. Atau justru leher.Tetapi
mahluk itu sudah memutar tubuh besarnya. Lalu berjalan melintasi ruang tengah
kearah sebuah pintu lainnya. Disana ia membalik lagi 180 derajat,memandang galak
sejenak kearah Zulham. Baru kemudian rebah diatas keempat kakinya di lantai.Si
perempuan tengah baya berkata disampingnya:
"Silahkan duduk, Tuan."
Zulham mengangkat sebelah kaki. Pelan saja. Namun cukup membuat terangkat
sangat cepat. Matanya mengancam. Zulham menurunkan kakinya ke tempat
semula."Kopi atau teh, Tuan?"
"...teh."
Perempuan itu melintasi ruang tengah pula, berhenti sebentar di pintu lainnya.
Mengawasi mahluk yang tidak mengalihkan perhatiannya dari Zulham. Siperempuan
mengangkat pundak, kemudian menghi-lang dibalik pintu. Ada helaan nafas di ruang
tengah itu. Lalu suara lunak tadi terdengar lagi:
"... Oh. Aku masih disini, Jalius. Maaf, barusan Rudi bertingkah agak tidak biasa.
Sampai dimana kita tadi... Begini saja,Jalius. Urusan negosiasi itu kulimpahkan
sepenuhnya padamu.... Tidak. Jangan hari ini. Besok saja kaumelapor ke kantorku. Satu
jam setelah waktu makan siang... Ya, ya... Boleh juga. Dan Jalius, tolong beritahu
Nadia untuk membereskan urusan dengan kantor pajak. Apa... toh. Aku merasa lebih
sehat sekarang.Terimakasih, Jalius. Sampai besok siang!"
Terdengar bunyi gagang telepon berdetak lembut ditempat penyimpanannya. Helaan
nafas lagi. Lantas suara langkah-langkah kaki mendatangi. Dan,muncullah dia di pintu.
Seraut wajah yang selama beberapa hari belakangan ini seakan menyertai Zulham
kemana pun Zulham pergi. Kalimat pertamanya untuk Zulham adalah:
"Astaga. Saya kira Anda sudah duduk dari tadi..."
Zulham mempelajari sekilas sosok tubuh yang berdiri didepannya. Lantas
menyeringai. Tersipu-sipu.
"Dobberman Anda... saya lagi asyik mengaguminya!"
"Rudi! Itulah yang mengherankan. Entah mengapa...Eh, mari duduk!"
"Terima kasih."
Zulham menggerakkan kaki. Tidak ada reaksi apa-apa,kecuali dengusan pelan dari
hidung sang mahluk.Zulham mengambil tempat disebuah kursi yang besar dan empuk.
Langsung menyandar. Mengendurkan syaraf serta otot-ototnya yang tegang dari tadi.
Si gadis melirik sebentar ke anjing ras yang masih mendekam dipintu lainnya.
Dobberman itu melengking lemah,menurunkan kepalanya diatas kaki-kaki
depannya.Seakan menyesal. Si gadis menggelengkan kepala.kemudian mengambil
tempat duduk disebelah kiri Zulham.Dia tidak semungil yang kubayangkan, Zulham
membathin. Mungkin benar dia baru sembuh dari sakit,tetapi dia tampak tidak lemah.
Bukan type orang yang suka mencari perlindungan dibalik punggung orang lain.
Barangkali Zulham telah keliru menilai gambaran Tenny Puspitasari yang hanya ia
kenal melalui foto diselembar KTP saja.Gadis itu rupanya tahu dirinya sedang dinilai.
Ia tersenyum samar-samar, lantas buru-buru mengingat-kan:
"Esih memberitahu saya bahwa Anda menyimpan sesuatu. Dan....".
Gadis itu berhenti sampai di situ. Ia telah melihat apa yang dari tadi dipegang
tamunya. Zulham tersadar. Tas tangan wanita abu-abu itu ia letakkan diatas meja
duduk. Dan ketika ia sodarkan kearah tuan rumah,gadis itu seketika mengejang
ditempat duduknya.
"Agaknya, Anda langsung mengenali..."
Zulham menggumam.Suara ramah tadi berubah datar dan dingin:
"Dimana Anda menemukannya?"
"Sebaiknya diperiksa dulu, Nona. Apakah ini memang tas Anda. Apakah isinya..."
"Dimana?!"
Zulham pun tersinggung. Ia paling tidak suka ditekan.
"Sebentar, Nona. Saya kira Anda tentu lebih tahu dimana Anda meninggalkan tas ini.
Mengapa Anda meninggalkannya begitu saja disebuah tempat terasing.... saya sendiri
pun ingin tahu. Banyak hal telah saya alami karenanya..."
Di pelupuk mata Zulham membayang kegelapan dan kesunyian di tengah hutan. Ada
mobil tak bertuan...
tumpukan pakaian....
ular yang menakjubkan...
mobil lainnya datang...
kemudian membawa pergi ular itu...
bis tabrakan...
gedung percetakan...
tas koper Zulham rusak berat, dan...
Zulham mengeluarkan loket dari saku celananya.Kantong plastik bekas pembungkus
foto, ia keluarkan dan diletakkan dekat tas. Sinar matahari pagi yang mengintip dari
jendela, langsung memantulkan warna bening itu. Zulham mendengus tak sabar.
"Saya juga penasaran mengenai sesuatu yang ada kaitannya dengan butir-butir
berlian ini!"
Ada langkah-langkah kaki mendekat.Esih muncul membawa minuman. Ia sudah akan
meletakkan di meja, sewaktu ia melihat tas tangan warna abu-abu itu. Esih menegun.
Wajahnya berubah pucat pasi. Bahkan suaranya bernada ketakutan:
"Oh.Bukankah..."
Esih kemudian menatap Zulham.Menatap dengan pandangan ngeri. Seakan yang
dilihatnya adalah hantu seseorang yang sudah mati dilindas truk. Perempuan itu
berjuang keras menguasai diri.Dan akhirnya mampu juga ia meletakkan
cangkir-cangkir berisi minuman meski dengan tangan-tangan gemetar. Kemudian
setelah melirik-lirik lagi ke tas tangan itu, ia memutar tubuh. Lantas berlalu tanpa
menoleh-noleh lagi ke belakang. Langkahnya, jelas agak limbung.Seolah terpengaruh
oleh kelakuan pelayannya, si gadis ikut-ikutan pula membayangkan kengerian di sinar
matanya. Mata yang menatap tidak berkedip ke batumulia yang terus saja bersinar
semakin gemerlap itu. Ia menggagap,
"... itu, tampaknya adalah..."
"Bagian dari sebuah kalung..." Zulham memberitahu.Mulai bingung sendiri dengan
situasi ganjil yang dihadapinya.
"Kalung! Dan tentunya milik... Tenny..."
Gadis itu mengerang.Tekanan suara tuan rumah ketika menyebut nama Tenny,
seketika menyentak-nyentakkan pikiran Zulham. Ia pun terbawa latah.
"Anda..."
"Rani... saudara kembar Tenny. Rani Pusparini..."
Gadis itu memberi tahu. Namun tampak seperti tidak menya-dari, bahwa ia tengah
memperkenalkan diri. Pandang-an matanya nanar menatap ke tas tangan di
depannya.Lurus ke kulit tas yang robek... dan robekan itu seperti tidak wajar. Tanpa
berpaling dari robekan itu, ia berujar getir.
"Oh. Katakanlah segera... Jangan biarkan aku tersiksa berlama-lama. Katakan...
bahwa firasatku benar. Kalung itu sudah..."
Setengah terpana Zulham menyahut tak sadar:
"Hilang!"
Tubuh si gadis meliuk keras. Lalu mendadak tersandar lemas di kursinya. Menyangka
gadis itu pingsan,Zulham bangkit. Ada suara geraman marah. Zulham tahu apa yang
menggeram itu. Ekor matanya bahkan sempat menangkap bayangan sosok mahluk
disana itu,serempak berdiri. Zulham mendekati si gadis.Menepuk-nepuk pundaknya
dengan lembut.
"Nona? Nona Rani...."
Rani Pusparini membuka kelopak matanya.
"Aku baik-baik saja...."
Tetapi sudut-sudut matanya membasah.
"Ada yang dapat saya bantu?"
Zulham bertanya kuatir.Gadis itu menangkupkan wajah di kedua telapak tangannya
yang tampak bergemetaran.
"Pergilah!"
"Tetapi, Anda..."
Gadis itu mulai terisak.
"Tolonglah. Tinggalkan aku sendirian!"
Zulham bimbang.Geraman tadi terdengar lagi, lebih keras. Zulham berpaling.
Tampak mahluk disana itu melengkungkan tubuhnya yang besar. Sepasang matanya
berkilat-kilat buas. Yang aneh, dia tidak terus menyerbu. Ia seperti memberi
kesempatan pada Zulham, untuk memilih.Zulham pun tidak bimbang lagi.
"Oke, Oke. Aku akan pergi!"
Zulham sendiri tidak tahu kepada siapa ucapan itu ia tujukan. Pun ia tidak merasa
perlu untuk bersikap hati-hati pada mahluk disana itu. Ia langsung berjalan kearah
pintu depan. Tanpa sekali pun menoleh kebelakang, ia tiba dengan segera di
mobilnya.Waktu mobilnya mendekati pintu gerbang, sosok lain muncul dari rimbunan
mawar. Johan, dengan sebuah gunting besar di tangannya. Tubuhnya yang pendek
tetapi luar biasa kekar, hanya berdiri mematung.Mengawasi kepergian Zulham.
"Bahkan sorot mata tukang kebun itu pun mengandung misteri!"
Zulham mengeluh.Ada suara klakson menyentak garang. Moncong sebuah truk besar
tahu-tahu muncul di depan Zulham. Relleks,Zulham membanting setir. Begitu pula truk
tadi. Truk itu menghantam sebuah pilar rendah. Tetapi Zulham lolos.Seseorang
berteriak-teriak marah di belakangnya.Zulham malah tancap gas. Sudah terlalu banyak
kesulitan dan keanehan yang ia hadapi. Zulham memang ingin memukul seseorang,
tetapi bukan supir truk itu.
***
BAB 16
Tiga hari sebelumnya, insiden kecil menimpa Rani Pusparini sewaktu menghadiri
jamuan makan malam disebuah hotel berbintang lima. Selesai berdansa dengan
seorang relasi, ia temukan tempat duduknya semula sudah diisi sosok tubuh seseorang.
Tenny Puspasari. Sosok saudara kembarnya itu hadir dalam wujud transparan, tembus
pandang.Tenny tidak berbicara apa-apa pada Rani, hanya airmatanya saja yang
tampak menggenang. Tetapi dibalik genangan itu, tampak mata Tenny menuntut.
Menuntut sebuah pembalasan dendam... setelah mana sosok transparan itu retak
berkeping-keping. Kemudian lenyap menghilang... sepotong demi sepotong.Sebelum
potongan terakhir menghilang, Rani sudah tidak ingat apa-apa lagi. Ketika matanya
kemudian terbuka, Rani sudah terbaring diatas ranjang salah satu kamar di hotel
tersebut. Ia ditunggui beberapa kenalan yang berwajah kuatir. Lalu seorang dokter
berkata menghibur, namun dengan pernyataan menyakinkan:
"Tidak ada yang salah pada organ-organ tubuhmu. Kau hanya terlalu lelah..."
Istirahat total, itulah yang dilakukan Rani Pusparini.Dan ia baru saja pulih dari
shock mengejutkan itu,ketika si pemuda datang menemuinya. Jelas kehadiran pemuda
itu semata-semata karena itikad baik. Anak muda itu memperlihatkan sesuatu, lalu
menjelaskan sesuatu yang lain. Tanpa menyadari bahwa apa yang ia perlihatkan dan ia
jelaskan bukan saja mengingatkan Rani pada pukulan mengejutkan tiga hari
sebelumnya.Anak muda itu bahkan menghadiahi Rani sebuah pukulan tambahan. Yang
menyakitkan.Lantas semuanya berantakan. Terutama sekali apa yang sempat dilihat
Rani Puparani dibalik sinar mata pemuda itu, pertamakali mereka beradu pandang.
Apa yang dilihat Rani telah menambah semangat dan melecut gairahnya yang sempat
padam. Ia yakini sepenuhnya pada apa yang telah ia buat. Karena Rani merasakan
jantungnya langsung berdenyut-denyut pula
Dan...Terdengar geraman lembut disamping tempat duduknya. Dengusan-dengusan
nafas berat, lantas sesuatu yang lunak, basah, tetapi hangat menjilati pipi Rani.
Ternyata Rudi, yang lidahnya disapukan dengan hati-hati. Mengeringkan air mata di
wajah tuannya.Tangan Rani menggapai tengkuk mahluk besar itu.Mengusap-usap
teratur, sebagai pengganti ucapan terimakasih. Sekaligus memberitahu Rudi, bahwa ia
tidak perlu dicemaskan benar. Kepala doberman besar itu lantas mundur menjauhi
wajah Rani. Kemudian duduk diatas dua kaki belakangnya yang kokoh, seraya
melengking lemah. Sekali panjang lalu pendek-pendek.Rani akhirnya mampu tersenyum
juga.
"Aku sudah tahu, Rudi. Setelah aku melihat ke mata anak muda itu.Kau pun tentu
telah melihat dan membauinya, bukan? Lantas kau tak senang. Kau tahu anak muda
itu... tidak beritikad jahat terhadapku. Namun kau... toh tidak menyukainya."
Rani Pusparani menatap lurus ke mata anjing ras itu. Senyuman bibirnya tampak
menggoda.
"Mengaku sajalah, Rudi. Diam-diam kau takut terhadapnya, bukan?"
Dengkingan hewan itu terdengar lagi.Pendek dan hanya satu kali. Setelah mana Rudi
melonjorkan dua kaki depannya di lantai, lalu menaruh kepalanya di situ. Kelopak
matanya dipejamkan pula,seakan bosan.Melihat kelakuan Rudi, senyum di bibir Rani
Pusparini melebar lepas.
"Bagus. Aku merasa lebih gembira sekarang, Rudi. Lucu, bukan? Kau takut
padanya,tanpa anak muda itu mengetahui. Begitu pula sebaliknya. Ah, ah... masih
kuingat apa jawabannya sewaktu kutanyakan mengapa ia belum duduk. Asyik
mengagumimu... inilah yang dia bilang!"
Rudi mendengus. Tak senang.Rani tidak mendengarkan. Perhatiannya telah beralih
pada tas tangan warna abu-abu diatas meja duduk.Rani mengenal tas itu,
memperhatikan sekilas robekan tak wajar pada kulit luar tas. Baru setelah itu isi tas
dikeluarkan, kemudian jari-jemari Rani memilah-milahnya di permukaan meja. Selesai
memeriksa, ia bergu-mam sendiri.
"Nah, semuanya ada disini. Kecuali satu.Yang harus selalu dibawa seseorang,
kemana pun ia pergi..."
Ia merenungkannya sejenak lantas tersenyum gembira.Baru setelah melihat robekan
tadi sekali lagi, kegembira-annya meredup hilang. Dengan sangat hati-hati Rani
Pusparini mendekatkan telapak tangannya pada robekan tersebut. Disentuhkan
pelan-pelan dengan kelopak mata dipejamkan, bibir pun kumat kamit tidak
jelas.Seketika, tas tangan itu dijatuhkan Rani.Rudi mengangkat kepalanya. Lalu
mendengus kuatir,sewaktu mata Rudi menangkap bayangan cemas diwajah tuannya.
Memang hanya sedetik dua. Tetapi pandangan sekejap itu cukup untuk membuat Rani
menghentikan sikapnya yang berpura-pura bosan.Rani menyandar di tempat
duduknya.Berusaha keras menenangkan diri.
***
Di dapur rumah besar itu, lagi-lagi Esih keliru mengambil atau mengerjakan apa
yang ia maksudkan,yang ini lebih parah dari sebelumnya.Benar ia telah meletakkan
butir telur supaya terbuka.Benar pula telur mentah itu ia masuklah ke katel penggoreng
yang menteganya sudah mulai panas.Tetapi Esih menjatuhkan ke katel itu selain telur,
juga kulitnya sekalian. Dan ia baru menyadari setelah gorengannya siap dipindahkan
ke piring.Andaikata Esih awas, tentulah Johan akan melempar-kan sarapan paginya
langsung ke muka Esih.Esih mengeluh. Kompor gas ia padamkan, lalu duduk terhenyak
di sebuah bangku, dengan wajah kusut dan pikiran kacau.
"... tidak mungkin!"
Ia berkeluh kesah sendirian.
"Tidak seorang pun yang tahu Tenny pergi kesana. Tenny pasti selamat...!Lagipula.
bukankah ia didampingi calon suaminya yang begitu pemberani... Oh mungkin mereka
tersasat.Lantas ada rampok..."
Esih terperanjat sendiri.
"Jangan.Jangan rampok. Barangkali hanya..."
"Esih!" ada panggilan sayup.
"Yang penting, mereka bukan terperangkap oleh..."
"Esih!" panggilan itu makin nyata.Esih terlompat dari bangku. Malah bangku itu
sampai terguling jatuh. Esih mengabaikannya, lantas meninggalkan dapur sambil
berusaha mengatur napas, supaya dirinya lebih tenang.la tidak melihat Rudi di tempat
semula.Esih baru melihatnya setelah ia tiba di ruang depan.Rudi duduk di dekat kursi
tuannya, dan tampak waspada. Dan jika mahluk itu tengah menguatirkan sesuatu, Esih
senantiasa berusaha agar tidak terlalu dekat padanya. Esih lantas mendekat, setelah
lebih dulu memutari kursi yang tadi diduduki tamu mereka.
Oh.oh.
Jadi tamu itu sudah pergi, pikir Esih setelah ekormatanya pun tidak lagi melihat
bayangan mobil minibus itu di halaman depan.Esih menunggu dengan
tertib.Tampaknya sang majikan tidak melihat kehadirannya.Karena gadis itu tengah
memandang kearah lain.Pandangan mata si gadis begitu jauh, menembus tembok,
menembus alam lepas diluar sana. Alam lepas yang sulit ditentukan batas-batasnya
yang pasti.Namun Rani mengetahui kehadiran Esih. Tanpa menoleh, ia berkata:
"Tolong dibenahi, Esih. Kemudian simpan di kamar Tenny..."
Mencuri sekilas pandang, Esih segera mengetahui maksud majikannya. Ia lantas
berjongkok untuk membenahi meja. Esih melihat, tas tangan itu kini terbuka. Isinya
berserakan, entah siapa yang menyerakkan. Bukan urusan Esih. Namun sewaktu
tangannya menyentuh segepok uang kertas yang masih terikat pada label bank yang
mengeluarkannya, sempat juga Esih membelalak. Oh, oh. Andai ini punyanya sendiri...
"Oh ya, Esih. Uang itu masukkan ke amplop. Letakkan di mejaku!"
"Baik Non."
"...budi baik orang patut kita hargai..."
Rani Pusparini terus berbicara. Entah pada Esih, entah pada dirinya sendiri. Tidak
jelas.
".....tetapi apa yang telah kita berikan? Perlakuan yang tidak pantas... Bahkan ia
belum sempat meminum tehnya!"
Teh di cangkir tamu memang masih utuh. Esih meng-geleng tak mengerti.
"Anak muda tadi, Esih. Sudah sepatutnya aku menya-takan penyesalan yang
dalam..."
Sepasang mata Esih berkilat.
"Non Rani akan menemuinya lagi. Segera?"
Barulah setelah menangkap kegairahan tersembunyi didalam suara pelayannya, Rani
menoleh. Memandang sejenak, ia kemudian tersenyum. Manis, walau kata-kata yang ia
keluarkan agak pahit.
"Aku memahami perasaanmu pada Tenny, Esih. Terlepas dari kenyataan bahwa kau
agak membedakan aku dengan saudara kembarku... aku tetap menghargai
perasaanmu.Bersabarlah, Esih. Mungkin belum saatnya kau bisa mendengar lebih
banyak tentang perihal Tenny..."
Esih terenyuh.
"Non Rani..."
"Bukankah kau yang menerima telepon anak muda itu pagi tadi, Esih?"
"Benar, Non."
"Apakah ia memberitahu nomor teleponnya. Atau..."
Kilatan dibalik mata Esih meredup perlahan.
"Tadi Non tidak menanyakan...?"
Rani meneruskan lirih.
"Jangankan alamat. Bahkan nama anak muda itu pun lupa kutanyakan!"
Kelopak mata Maharani memejam sejenak. Lalu kemudian membuka lagi, dan mata
itu tampak bersinar ceria.
"Tak apa. Dia yang akan datang menemuiku..."
"Non... yakin?"
"Dia pasti datang, Esih. Karena... dia harus!"
Esih semakin tidak mengerti, namun perasaan itu ia simpan untuk dirinya sendiri.
"Non jadi berangkat?"
Seperti diingatkan pada sesuatu yang terlupakan, Rani Pusparani meluruskan
duduknya. Semangat hidupnya seolah muncul dengan tiba-tiba saja.
"Aku tetap masuk kantor hari ini, Esih. Tetapi sebelum itu aku harus bersemadhi
lebih dulu. Sekitar satu jam. Selama aku dikamar, aku tidak mau diganggu oleh
panggilan telepon atau pun tamu. Beritahu itu pada Johan..."
"Saya, Non..."
Rani Pusparani menunggu sampai pelayannya berlalu dari ruangan itu. Kemudian ia
memandang lurus kemata Rudi yang juga tengah melihat kearahnya.Binatang itu
rupanya memahami situasi. Instingnya yang peka telah bereaksi seketika.
"Kau tetap disana, Rudi. Tetapi bantulah aku!"
Rudi tidak mendengking. Pun tidak mendengus.Mereka sudah saling mengerti.Rudi
hanya memandang kepergian majikannya dari ruangan itu. Sepasang matanya bersinar
aneh. Rudi duduk tegak menunggu.Sementara itu Rani melintasi ruang tengah,
kemudian masuk ke dalam kamar tidurnya, tanpa lupa mengunci pintu dari dalam. Ia
menanggalkan pakaian resminya,untuk kemudian diganti dengan sehelai gaun terusan
longgar. Tanpa lengan... dan tepi bawahannya hanya sebatas pertengahan paha. Ia
lewati ranjang besar disebelah kirinya, sebuah ranjang besi model antik,berkelambu
sekelilingnya. Kelambu warna merah jambu, sprei maupun sarung-sarung bantal juga
merah jambu.Rani Pusparani berjalan ke meja rias.Rambutnya digerai lepas, bahkan
kemudian diacak-acak. Lalu dari rak dibawah meja rias berlapis kacabening, ia rahup
setumpuk cat bibir, kemudian bedak,krem pelapis dasar dan entah apa lagi. Yang
pertama ia poles adalah bibir. Dengan polesan ungu. Setebal-tebalnya...
Sementara Esih meninggalkan pintu dapur untuk pergi menemui Johan di
pekarangan depan, Rani Pusparinipun meninggalkan tempat duduknya di depan
cermin.Wajahnya yang semula mulus cemerlang sungguh sukar dikenali sekarang.
Karena wajah itu sudah dipenuhi polesan cat warna warni yang serba kontras.Begitu
pula sebagian lengan dan batang pahanya.Dari sebuah meja sudut ia menyambar
tempat lilin yang terbuat dari perunggu. Lilin dinyalakan, kemudian Rani Pusparini
yang berdandan luar biasa mengherankan itu, berjalan ke sebuah pintu di sisi lain
tembok kamar tidurnya. Ketika pintu dibuka, bukan kamar mandilah yang terlihat.
Kamar mandi terletak disebelah berlawanan.Kamar di sebelah dalam pintu itu tidak
seberapa lebar.Tidak pula berjendela, maupun ventilasi untuk keluar masuk angin. Dan
begitu pintu ditutupkan kembali seketika kamar itu berubah gelap gulita dan hanya
diterangi sinar lilin yang meliuk-liuk lemah... temaram,remang-remang.Cahaya yang
sudah lemah itu toh masih juga tertelan oleh warna dinding-dinding maupun lantai
yang merah pekat, semerah darah yang mulai membeku.Namun masih cukup untuk
menerangi beberapa pasang mata yang melotot memperhatikan. Dari dinding-dinding
tembok ruangan. Topeng-topeng besar berbagai rupa dan bentuk dengan mulut sama
lebar,menyeringai. Kejam dan buas.Rani berjalan ke bagian tembok yang agak
menjorok kedalam. Cahaya lilin seketika menerangi seperangkat instrumen musik yang
serba lengkap. Rani lantas mengoperasikan instrumen itu yang seketika memancarkan
sinar-sinar lampu listrik bervoltase lemah dari beberapa bagian instrumen.Setelah
menekan tombol "on", jari jemari lentik berkuku lancip warna merah dadu, menyentuh
lalu memutar tombol pengeras suara. Awalnya pelan dan lembut saja.Kemudian,
alunan musik yang menakjubkan dalam tempo singkat telah memenuhi isi ruangan.
Oleh sentakan panas dan liar dari nada-nada yang biasa terdengar di pedalaman
benua hitam Afrika. Sosok tubuh Rani bergetar-getar. Topeng-topeng disepanjang
dinding pun bergetar. Bahkan dinding tembok pun ikut pula bergetar. Rani Pusparini
dengan hati-hati menyimpan tempat lilin di salah satu sudut. Nyala lilin lantas
menerangi sebuah patung yang berdiri tegak,tidak tergoyahkan suara hingar bingar
disekelilingnya.Patung itu berwarna hitam pekat namun berkilat-kilat karena tidak
pernah lalai diminyaki. Patung itu sedikit lebih tinggi dari tubuh Rani, tetapi jauh lebih
besar dan kekar. Tetapi sinar lilin yang lemah tak berdaya itu tidak mampu
memperlihatkan apakah patung itu berbentuk manusia atau binatang, begitu pula
dengan jenis kelaminnya.Sebentar kemudian Rani sudah berlutut di depan patung.
Kedua lengan terangkat lurus ke atas, seakan ingin menggapai setinggi mungkin. Lalu
dari mulut Rani Pusparini terdengar suara samar-samar diantara sentakan musik liar
dan hingar.
"Maruta maruti... yang berjalan bersama angin dan hujan... Ooo, Durga Dewi yang
menabur butir-butir darah di taman penuh cinta dan birahi. Dengar dan kabulkanlah
permohonan hambamu yang hina dina ini..."
Tubuh atas Pusparini kemudian meliuk, lalu menyentak-nyentak ke kiri ke kanan,
atau berputar,seirama dengan hentakan musik yang telah berganti keirama mistis,
namun tidak kalah liar, khas musik puja puji di kuil-kuil tua di sebelah selatan
India.Tarikan kecapinya melilit-lilit, hentakan gendangnya mendentum-dentum
menggetarkan jantung.Di luar pintu kamar tertutup itu suasana tenang dan tenteram
saja. Bahkan desir angin menyapu rimbunan pepohonan pun terdengar nyata. Rupanya
kamar istimewa itu kedap suara. Tidak heran jika dipekarangan Esih ngobrol dengan
Johan tanpa merasa terganggu.
"... aku tidak tahu kemana perginya Non Tenny, BiEsih, "
Johan sedang mengomel.
"Tetapi jangan lantas kau berpikir aku tidak menguatirkan keselamatan diri Non..."
"Sayangnya, kau tidak berusaha menahan anak muda itu..."
"Aku tidak mengetahui maksud kehadirannya. Lagipula, apa hakku menahan dia?"
"Setidak-tidaknya..."
Pembicaraan mereka terhenti. Keduanya seketika sama berpaling ke arah rumah.
Dari mana terdengar lolongan lirih namun bernada tinggi, menyayup sebentar
kemudian muncul lagi dengan nada lebih tinggi.Yang melolong itu adalah Rudi.Masih
tetap duduk di dua kaki belakangnya, sekujur tubuh mahluk itu tampak bergetar. Begitu
pula kepala yang moncongnya lurus diarahkan ke langit-langit,tanpa sekalipun
diturunkan. Otot-otot leher maupun tenggorokannya bergerak menyesuaikan diri
dengan irama lolongannya. Lolongan yang juga disesuaikan dengan getar-getar irama
yang tertangkap oleh indera pendengaran Rudi yang teramat peka. Yang mampu
meraba, merasa, lantas menyatu dengan getaran-getaran yang hanya Rudi tahu,
berasal dari balik kamar sempit dan kedap suara itu.Bertambah tinggi lolongan Rudi,
bertambah liar pula liuk tubuh Rani Pusparini di kamar pemujaannya.Setiap liukan
selalu menyentuh bagian-bagian tertentu di tubuh patung yang kini telah dirangkul
gadis itu dengan kuat. Dari mulut Rani yang terengah-engah,sesekali terdengar ratap
permohonan, kesedihan. Dan juga kemarahan.Sekali lagi, hanya Rudi yang tahu dan
mendengar.Lolongannya semakin mendayu-dayu.Di pekarangan depan Esih bergidik
tak senang.
"Bersemedhi katanya....!"
Johan angkat bahu.
"Akan kututup pintu gerbang."
Lalu, Johan melangkah pergi.Esih puh kembali pula ke dapur. Di sana, ia sempat
merinding. Berpikir, hawa sekitar begitu dinginnya,suasana pun betapa sunyi sepi. Esih
duduk diam-diam di bangku. Tak berani bergerak. Seperti takut, gerakan sekecil apa
pun pasti menimbulkan suara yang akan membuat dirinya melompat terkejut.Jika saja
Esih tahu bunyi berkecak-kecak di salah satu ruangan rumah besar itu...
Dan, tubuh Maharani yang bergoyang mengikuti hentakan musik Bali yang membuat
suasana di kamar sempit itu tambah dirasuki bau magis. Yang semakin menggiris oleh
rintihan Rani Pusparini yang terputus-putus, disusul jeritan-jeritan lengking dan
menyentak-nyentak, sampai akhirnya sekujur tubuh gadis itu menggelepar. Lalu
pelan-pelan meluncur turun, dalam liukan mempesona.Kemudian rebah di lantai yang
basah oleh butir-butir keringat.Mengejang sebentar. Tersengal-sengal mengutarakan
ratapan jiwanya:
".....aku mendengar, Durga Dewi!Aku mendengar.....!"
Di dekat kaki patung, lilin pun meliuk pelan. Lalu padam. Dan di ruang depan, suara
lolongan Rudi melemah, kemudian hilang. Kepalanya turun,direbahkan perlahan-lahan
diatas kaki-kaki depannya.Nafas mahluk itu memburu. Dan sepasang matanya tampak
kemerah-merahan. Mata yang kemudian meredup dan terus meredup.Di kamar tidur
Rani Pusparini terdengar bunyi pintu dibuka lalu ditutupkan. Rudi menutupkan kelopak
matanya. Malas. Tetapi pendengarannya yang peka membuat telinga Rudi terangkat
tegak. Agaknya menunggu, siapa tahu ada perintah untuknya.Ternyata bukan untuk
Rudi. Karena yang terdengar berikutnya dari kamar tidur tuannya adalah bunyi dial
telepon diputar, lalu suara Rani yang lelah namun tegas
"kita.... harus berkumpul. Di tempatku. Beritahu yang lain..." sepi sejenak. Lalu.
"Benar. Bahkan dia sudah melangkah terlalu jauh. Dan sudah waktunya dia kita
hentikan..."
Sepi lagi. Baru setelahnya terdengar suara membujuk.
"Jangan dulu patah semangat. Situasinya kali ini berbeda. Ada petunjuk. Kali ini kita
tidak akan dan tidak boleh kuulangi, tidak boleh gagal lagi. Atau kita yang akan
dihancurkannya!"
Di tempatnya rebah tubuh besar Rudi menyentak.Sepasang matanya bersinar-sinar
merah. Dan, marah Rudi menggeram pelan, tetapi kejam. Kepalanya kemudian rebah,
dengan kelopak mata mengatup.Satu menit berikutnya Rudi sudah tertidur pulas.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar