..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 25 Februari 2025

PENDEKAR BLOON EPISODE HIANAT EMPAT DATUK

matjenuh khairil

 



Cerita ini adalah fiktif

Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.

HIANAT EMPAT DATUK

Oleh : D. AFFANDY

Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta

Cetakan Pertama : 1994

Sampul : Ken Bangun

Setting Oleh : Sinar Repro

Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara

Dilarang mengutip, mereproduksi 

dalam bentuk apapun tanpa ijin 

tertulis dari penerbit.

D. Affandy

Serial Pendekar Blo'on

Dalam episode Hianat Empat Datuk


SATU


Penggoro Bumi adalah manusia licik yang 

masih merupakan adik kandung Mapala Brama. 

Mereka dulunya berasal dari lereng gunung Ke-

lud. Kemudian mereka pergi ke gunung Lawu dan 

berguru dengan kakek sakti Sentala Dewa.

Kakek arif yang tidak pernah meninggalkan 

pertapaannya sejak tiga puluh tahun yang silam 

ini banyak menurunkan ilmu-ilmu hebat dan juga 

sifat luhur watak manusia.

Mapala Brama yang masih cucu buyut 

Lembu Suro ini memang dapat berubah peran-

gainya menjadi pemuda alim, lemah lembut dan 

jujur. Lain halnya dengan Penggoro Bumi, watak 

pemuda itu semakin keras, dendamnya pada Tu-

menggung Kediri tetap membara. Ia bahkan seca-

ra diam-diam berguru pada salah seorang tokoh 

sesat yang tinggal tidak jauh duri gunung Lawu. 

Tentu saja secara tidak disadari, Penggoro Bumi 

yang mempunyai dua guru ini mempunyai ke-

pandaian jauh lebih tinggi dibandingkan saudara 

tuanya yang cuma mempunyai satu guru yaitu 

almarhum Sentala Dewa

Semakin tinggi ilmu kesaktian yang dimiliki 

oleh Penggoro Bumi maka semakin bertambah 

besarlah semangat serta keinginannya untuk 

membalas dendam pada Tumenggung Kediri.

Pagi itu lereng Lawu dalam keadaan sunyi. 

Di angkasa awal tebal menggumpal. Kemudian


petir datang menyambut diawali dengan samba-

ran kilat yang membuat lereng Lawu berubah 

menjadi terang benderang seketika. Kemudian ge-

lap lagi.

Pada suasana yang kurang menyenangkan 

tersebut. Tiba-tiba saja terlihat sesosok tubuh 

bergerak menuruni batu-batu terjal. Sosok tubuh 

berpakaian hitam yang wajahnya penuh keben-

cian ini bergerak secepat angin.

Melihat caranya berlari, orang dapat men-

duga bahwa laki-laki ini pasti memiliki ilmu men-

gentengi tubuh yang sangat sempurna.

Di belakang laki-laki itu terlihat pula sosok 

bayangan berbaju merah yang tampak terus men-

gejar. Setiap gerakan yang dilakukannya juga ti-

dak kalah mengagumkan.

Jelaslah sudah bahwa kedua laki-laki ini 

saling kejar-kejaran. Hanya beberapa saat kemu-

dian terdengar suara bentakan-bentakan.

"Percuma kau melarikan diri, Penggoro 

Bumi! Sekali kau meninggalkan lereng Lawu ini 

maka kau harus meninggalkan kepalamu!" desis 

laki-laki di belakangnya.

"Ha ha ha...! Kematian bukan di tanganmu, 

kakang Mapala Brama. Lebih baik kau tidak usah 

menghalangi keinginanku untuk menghancurkan 

Tumenggung Kediri. Aku tidak akan berhenti un-

tuk menjalankan amanat kakek Buyut kita Lem-

bu Suro. Sebab hanya dia saja manusia sakti 

yang patut menjadi panutan setiap orang. Dengar 

kakang Mapala, sebelum hilang kesabaranku sebaiknya kau kembali saja ke gunung Kelud!" seru 

Penggoro Bumi.

"Kakek buyut meninggal karena urusan 

asmara. Mengapa kau begitu keranjingan mengu-

rusi masalah itu? Sia-sia saja usahamu meme-

rangi Tumenggung Kediri. Apa yang kau dengar 

sebagai bisikan buyut Lembu Suro tidak lain 

hanya bisikan iblis!" seru si baju merah.

"Ha ha ha...! Tolol di pelihara. Mending 

memelihara kambing, bisa dijual. Kakek buyut ti-

dak pernah mati, buyut kita sedang bertapa, kau 

dengar? Dia sedang bertapa?! Beliau menjelma 

menjadi gunung merupakan sebuah bukti bahwa 

beliau mempunyai keagungan dan keperkasaan. 

Terbukti beliau juga menyumpah Puteri Prada 

yang telah menguruknya dengan batu. Apakah 

menurutmu itu bukan sebuah kedigdayaan yang 

sangat tinggi Kakang?" desis Penggoro Bumi ju-

mawa. Bahkan ia pun mengerahkan ilmu lari dan 

meringankan tubuh yang dimilikinya. Sehingga 

membuat gusar Mapala Brama.

"Kau benar-benar keras kepala! Aku harus 

menghentikan mu!" Mapala Brama segera melom-

pat mendahului gerakan laki-laki di depannya. 

Hanya dengan sekali lompat saja, maka sampai-

lah Mapala Brama di depan Penggoro Bumi. Tan-

pa basa-basi lagi ia langsung menyerang Penggoro 

Bumi yang masih terhitung adik kandungnya 

sendiri.

"Hiyaa...!"

Tangan yang terkepal itu menderu dan


menghantam lambung Penggoro Bumi. Laki-laki 

itu tidak sempat menghindar serangan kilat ter-

sebut. Apa lagi ketika ia sedang dalam keadaan 

berlari

Gusrak!

Penggoro Bumi jatuh tersungkur, isi da-

danya terguncang. Namun bukan main hebat 

daya tahan laki-laki angker ini. Hanya dalam be-

berapa detik ia sudah dapat berdiri lagi.

Wajah Penggoro Bumi berubah kelam 

membesi. Rahangnya bergemeletakan. Dari bibir-

nya terdengar suara desisan panjang. Kemudian. 

Laksana kilat Penggoro melesat ke depan. 

Kedua tangannya menderu ke bagian mata dan 

dada lawannya.

Betapa hebatnya serangan ini, sehingga 

Mapala Brama terpaksa melompat mundur sejauh 

satu tombak. Tidak lama ia mempergunakan ju-

rus 'Tabir Awan Biru'

Wuuk! Wuuk!

Sheb!

"Hemm.!" Penggoro Bumi mendengus diser-

tai seringai mengejek. "Aku telah melihat ilmu se-

rupa yang pernah diajarkan oleh guru kita. Tapi 

setelah aku belajar dengan Setan Pembisik Jiwa, 

ternyata ilmu itu tidak ada apa-apanya. Sekarang 

coba kau lihat jurus 'Malimba Petaka Neraka'!" te-

riak Penggoro Bumi, suaranya keras menggelegar.

Mapala Brama tentu menjadi sangat kaget. 

Setan Pembisik Jiwa adalah salah satu tokoh sesat yang dulunya berasal dari daerah kulon. Tidak banyak yang diketahui oleh Mapala Brama 

tentang tokoh yang satu itu, terkecuali ia memang 

pernah mendengar kehebatan tokoh sesat itu dari 

almarhum gurunya Sentala Dewa

Benar saja yang diucapkan oleh Penggoro 

Bumi. Ternyata hanya dalam sepuluh jurus di de-

pan ia mulai terdesak. Serangan Penggoro Bumi 

selain menebar racun yang sangat keji, juga men-

gandung tipu muslihat yang sangat kejam. Ketika 

ia menghantam kakangnya dengan kedua tangan 

yang mengandung pengerahan tenaga dalam itu. 

Maka Mapala Brama ini-merasakan adanya teka-

nan yang sangat hebat. Tentu saja Mapala men-

gimbanginya dengan segenap kemampuan yang ia 

miliki. Namun ternyata setiap gerakan yang dila-

kukan oleh Penggoro Bumi hanya tipuan, yang di-

lanjutkan dengan tendangan yang mengarah ke 

bagian perut. Mapala sadar betul betapa berba-

hayanya serangan ini. Ia tidak mau mengambil 

resiko.

Dengan cepat ia dorongkan tangannya un-

tuk menahan serangan lawannya.

Wuuk!

Duuk!

"Aakh...! Bangsat eduaan...!" Maki Mapala 

Brama. Tubuhnya terhuyung-huyung dan terpak-

sa melompat mundur untuk hindari serangan be-

rikutnya. Tangan Mapala Brama bengkak membi-

ru. Sebaliknya Penggoro Bumi bukan tidak mera-

sakan akibat apa-apa, ia merasa seakan-akan ka-

kinya patah-patah. Sambil menyeringai ia menyumpah dalam hati.

"Bajingan ini jika tidak kuhentikan sece-

patnya aku khawatir suasana malah merugikan 

aku."

Setelah memikirkan baik buruknya. Peng-

goro Bumi kembali menerjang. Gerakan tubuhnya 

lebih cepat lagi. Apa yang dilakukannya tampak 

begitu jelas. Setengahnya menyerang sedangkan 

setengahnya lagi bermaksud melumpuhkan tanpa 

melukai.

Untuk melaksanakan niatnya itu, Penggoro 

Bumi jelas tidak berani gegabah. Karena Mapala 

Brama juga bukan tokoh angkatan kedua yang 

mempunyai kepandaian rendah.

Ia terpaksa mengerahkan jurus-jurus yang 

pernah dipelajarinya dari tokoh sesat Setan Pem-

bisik Jiwa.

Jelas sekali Mapala Brama yang menguasai 

jurus-jurus dari seorang guru ini kalah jauh da-

lam hal kelicikan-kelicikan.

Penggoro keluarkan bentakan lantang, je-

mari tangannya berkelebat menyambar laksana 

mata pisau yang dapat berubah menjadi banyak.

Mapala miringkan tubuhnya kesamping 

sambil menggeser langkah setindak. Serangan 

ganas luput.

"Hii...!"

Rupanya laki-laki berbaju merah kurang 

puas atas kegagalannya. Lima jari tangan kembali 

menyambar. Namun Mapala sudah melesat ke 

udara sambil kirimkan satu tendangan lurus kebagian kepala lawannya.

Penggoro berkelit disertai erangan dahsyat. 

Tangannya tetap meluncur sedangkan tu-

buhnya melesat pula ke udara.

Mapala Drama sama sekali tidak menyang-

ka serangan balik yang dilakukan oleh lawannya 

datang terlalu cepat. Sehingga ia tidak punya ke-

sempatan lagi menyelamatkan kakinya dari toto-

kan lawan.

Duk!

Tes! Tes!

Bruk!

Tidak ampun lagi Mapala Brama yang 

punya kepandaian tidak rendah ini jatuh terdu-

duk. Diam-diam ia berusaha menggerakkan ka-

kinya. Celaka, kakinya serasa tidak bertenaga. Ia 

segera menyadari bahwa dirinya kena diperdaya 

oleh adik kandungnya yang keras kepala itu.

Secara diam-diam ia mengerahkan tenaga 

dalam untuk memusnahkan pengaruh totokan. 

Sayang usahanya sia-sia. Ia merasa kaget melihat 

kenyataan pahit yang terjadi pada dirinya. Jelas 

di luar sepengetahuannya sendiri sekarang Peng-

goro Bumi punya kemajuan yang sangat pesat.

Belum sempat laki-laki baju merah ini ber-

pikir lebih jauh. Penggoro sudah menotok bagian 

tubuh lainnya disertai tawa meledak-ledak.

"Kalau sudah begini apa yang dapat kau 

lakukan kakang?! Aku sudah memperingati jan-

gan campuri urusanku. Jika kau tidak mau melakukan apa yang sering kudengar dalam mimpi,


sebaiknya kakang tinggal disini saja sampai 

mampus!"

Mapala Brama yang punya sikap penyabar 

ini menggelengkan kepala. Karena memang hanya 

kepala saja yang dapat ia gerakkan.

"Penggoro Bumi, guru kita Sentala Dewa 

sebelum meninggal pernah berpesan agar kita 

jangan selalu memperturutkan hawa nafsu dan 

dendam. Kau malah sebaliknya. Dendammu tetap 

kau pelihara, padahal baik orang yang memberi 

amanat maupun orang yang hendak dibunuh su-

dah tiada. Kau malah mau membunuh Tumeng-

gung yang tidak punya kesalahan apa-apa. Aku 

lebih senang jika kau membunuhku. Apalagi jika 

aku harus menyaksikan banjir darah di Kediri. 

Urusan almarhum buyut Lembu Suro adalah 

dengan Puteri Prada. Mereka dua-duanya sudah 

tiada hampir satu abad lalu. Apakah kau tertarik 

mencabut nyawa sekian banyak manusia yang ti-

dak berdosa? Padahal urusan nyawa bukan we-

wenangmu!?" kata Mapala Brama masih berusaha 

membujuk.

"Bangsat betul! Kau malah mengguruiku. 

Aku benci sikap lemahmu. Namun mengingat kita 

bersaudara kandung, aku tidak jadi membunuh-

mu kakang! Kuperingatkan jika pengaruh totokan 

lenyap jangan kau cari aku. Jika kau tetap ngo-

tot, maka aku tidak segan-segan membunuh-

mu...!"

"Hh, jika kau tidak mengindahkan peringa-

tanku, maka apapun resikonya tetap aku tanggungkan."

"Orang gila keras kepala. Apa kau rela 

mengorbankan nyawamu hanya karena kebaikan 

Tumenggung Dadung Ampel, atau mata tuamu 

tertarik dengan kecantikan puteri Tumenggung 

Dewi Anggini?!" Penggoro Bumi tersenyum menge-

jek.

"Tutup mulutmu, Penggoro. Matamu be-

nar-benar buta! Kau terlalu gegabah dalam men-

gartikan kebaikan orang lain." bentak Mapala 

Brama.

Penggoro Bumi tertawa. Tawanya kemu-

dian melenyap. Wajah laki-laki berbaju hitam ini 

hanya dalam waktu singkat telah berubah kelam 

membesi. Kemudian ia menghentakkan tangan 

kanannya ke arah sebatang pohon.

Wuuusss!

Segulung sinar menderu dahsyat dan lang-

sung menghantam pohon tersebut. Tidak terden-

gar suara ledakan apa-apa, namun akibat yang 

ditimbulkannya sungguh sangat luar biasa sekali.

Pohon berikut daun-daunnya yang menghi-

jau menjadi hangus dan berwarna hitam. Mapala 

Brama tercengang menyaksikannya. Jelas puku-

lan yang dilepaskan oleh adiknya itu bukan pu-

kulan manapun yang pernah diajarkan oleh gu-

runya.

"Seperti itulah keadaanmu nanti, Kakang. 

Jika kau masih tetap menghalang-halangi aku!"

Mapala Brama menoleh, namun ia tidak la-

gi melihat adiknya ada disitu. Mapala diam-diam


mengeluh melihat tindak tanduk adiknya yang 

semakin tidak terkendali itu.


DUA



Plak! 

Plok! Plok!

"Ha ha ha...! Sekali tepuk dua tiga nyawa 

melayang. Eh... hebat... hebat juga aku ini. Kalau

sudah begini siapa yang berani melawan? Hayo... 

maju! Majulah kalian kalau berani!" Pemuda tam-

pan bertumpang tolol itu menggumam. "Ah, ter-

nyata kalian beraninya hanya main keroyok! Sete-

lah kawan-kawanmu pada mati. Sekarang kalian 

kabur, melarikan diri tidak berani menyerang ka-

rena takut mati!"

Pemuda berambut hitam kemerah-

merahan berbaju biru dan memakai ikat kepala 

berwarna biru belang-belang kuning ini terdiam 

pungutnya dari tanah.

"Heran, tidak biasanya di hutan pada 

siang-siang begini nyamuk masih berkeliaran. La-

gi pula kulihat dari tadi binatang-binatang berla-

rian seperti ada sesuatu yang ditakutinya. Apa 

mungkin binatang-binatang itu...!" Suro Blondo 

alias pendekar Blo'on, pemuda konyol bertam-

pang kocak ini hentikan ucapannya. Ia menden-

gar suara ranting terinjak kaki.

Sungguhpun suara itu hanya samar-samar 

saja bahkan nyaris tidak terdengar. Sebagai pendekar yang indera pendengarannya sudah sangat 

terlatih, hal itu sudah cukup baginya bahwa se-

lain dirinya di sekitar tempat ia melepaskan lelah 

ada orang lain pula.

"Apa yang dicari orang itu? Ah sekarang 

aku sudah tahu! Tapi masa bodoh. Bukan uru-

sanku, tapi urusanmu! Urusanku jelas bukan 

urusanmu. Kalau yang datang setan jelek harap 

menjauh, tapi kalau bidadari cantik, sebaiknya 

kita jangan berpisah! Ha ha ha... dasar gila...! Be-

nar-benar gila!" Suro Blondo garuk-garuk ram-

butnya, kemudian tertawa-tawa seperti orang ke-

surupan.

Mendengar suara tawanya binatang-

binatang hutan berlarian tunggang langgang.

"Manusia kampret kurang waras! Meng-

hancurkan usaha orang adalah perbuatan yang 

tercela! Rusa itu hampir saja menjadi santapan 

panahku. Tapi gara-gara suara tawamu yang se-

perti kerbau bunting! Sekarang kau harus mem-

pertanggung jawabkan perbuatanmu!" kata se-

buah suara yang disertai dengan munculnya seo-

rang gadis berpakaian mewah dan empat orang 

laki-laki berseragam pengawal.

"Eeh... orang itu memaki. Siapa yang di-

makinya? Apakah binatang-binatang itu? Benar-

benar edan, makhluk bernyawa mereka buru. 

Mengapa dia celingak-celinguk seperti orang kehi-

langan jejak. Padahal jika mereka mencariku kan 

aku tetap disini sejak tadi. Aku cuma memindah-

kan suara saja. Ha ha ha... pasti para pemburu


itu bingung." kata pendekar Blo'on seorang diri.

"Manusia sinting yang tertawa-tawa seperti 

orang gila! Lekas tunjukkan diri tunjukkan tam-

pang jika tidak mampus di ujung panah kami!" 

Yang bicara adalah gadis berwajah cantik berbaju

kembang kembang. Suro Blondo menyeka kerin-

gat yang mengalir di keningnya. Ia tersenyum-

senyum sendiri.

"Kalau tampang kutunjukkan, berarti aku 

tidak dapat menikmati wajahnya yang cantik itu. 

Lebih baik aku berdiam disini agar dia penasaran 

dan pergi dari depanku!"

"Hei, itu dia...!" kata salah seorang dari 

pengawal tersebut sambil menunjuk ke arah Pen-

dekar Blo'on berada.

"Mati aku! Monyet botak itu benar-benar 

jeli juga matanya." Si Pemuda menggerutu.

"Sebaiknya kau turun untuk mempertang-

gung jawabkan perbuatanmu, kisanak!" kulit ga-

dis berpakaian ringkas warna ungu ini sambil 

merentangkan busur ditangannya.

"Nisanak, apakah kau mau meminta du-

rianku. Untung aku masih punya satu lagi. Du-

rian ini benar-benar enak. Karena cuma satu se-

baiknya para tuyul yang menyertai nisanak itu ti-

dak usah dibagi."

"Keparat kau!" maki para pengawal dengan 

perasaan tersinggung.

Diluar dugaan empat batang anak panah 

langsung dilepaskannya. Sementara gadis berpa-

kaian ungu ini bermaksud mencegah tindakan

anak buahnya, tapi sudah terlambat.

Kini dialah yang menjadi kecut. Ia sadar 

betul bahwa bidikan anak buahnya tidak pernah 

meleset. Apalagi kini ke empat-empatnya mele-

paskan anak panah secara bersamaan.

Tapi apa yang dilihatnya kemudian adalah 

sesuatu yang menakjubkan. Gadis berbaju ungu 

ini tanpa sadar sempat berdecak kagum. Pemuda 

tampan bertampang tolol ini sedikitpun tidak 

mengelak. Tangannya dikembangkannya sehingga 

tidak jauh bedanya dengan burung yang sedang 

mengepak. Hanya dengan sekali lompatan ringan. 

Maka dengan gerakan yang sangat sulit diikuti 

kasat mata. Dua batang anak panah terjepit di 

kedua ketiaknya, satunya lagi digigitnya dan yang 

lainnya berada dalam jepitan kakinya.

"Sayang kalau panah begini baik dibuang-

buang percuma. Lagipula apa untungnya mema-

nah aku. Dagingku rasanya pahit, darahku juga 

seperti kencing kuda. Kalau kalian mau aku bisa 

mencarikan kalian seratus ekor nyamuk!" kata 

Suro Blondo sambil menimang-nimang panah 

yang berhasil ditangkapnya secara menakjubkan 

tadi.

Orang-orang yang melepaskan panahnya 

itu rupanya sempat tercengang, termasuk gadis 

berbaju ungu juga. Sehingga mereka sama sekali 

tidak mampu mengucapkan sepatah katapun.

"Ah... rupanya aku berhadapan dengan 

orang-orang gagu. Sebaiknya aku pergi secepat-

nya. Karena akupun tidak mau ketularan penyakit kalian...!"

Wuus!

Sheeb!

"Aih... hampir saja badanku jadi sate...!"

Suro Blondo terpaksa berjumpalitan. Dilain 

saat ia telah menjejakkan kedua kakinya tidak 

jauh dari tempat gadis itu berdiri. Kenyataan ini 

tentu saja sangat mengejutkan gadis berbaju un-

gu yang bernama Dewi Anggini ini. Sebab pertama 

dilihatnya tadi, pemuda berambut kemerah-

merahan ini sejak melesat dari atas dahan lang-

sung menuju ke arah selatan dan menjauhinya. 

Tapi mengapa kini setelah para pengawalnya me-

lepaskan anak panah. Pemuda itu malah berada 

tidak jauh darinya?

"Kita tangkap saja pemuda setan ini, Dewi!" 

salah seorang pengawalnya mengajukan usul.

"Ya... dia telah membuat keinginan Dewi 

untuk mendapatkan menjangan itu tidak terlak-

sana." Salah seorang pengawal yang berdiri dis-

amping kanan Dewi Anggini ikut mendukung ka-

wannya.

"Weii... kesalahanku itu apa? Apa hubun-

gannya orang makan durian dengan menjangan?" 

bantah Suro Blondo. Sungguhpun ia sudah beru-

saha bersikap serius. Tetap saja tampungnya ko-

nyol.

"Bukan masalah monyet makan durian 

yang kami persoalkan. Tapi tindakanmu karena 

berteriak-teriak seperti orang gila, sehingga membuat menjangan yang telah berada dalam bidikan


Dewi melarikan diri!" kata pengawal berbadan 

tinggi tegap dengan suara tegas menusuk.

"Persoalan ini bukan salahku. Manjangan 

itu tentu saja melarikan diri karena ingin sela-

matkan nyawanya. Jadi jelas bukan salahku."

"Kisanak." Dewi Anggini yang sudah terta-

rik melihat ketampanan dan kepolosan pemuda di 

depannya angkat bicara. "Siapakah kau yang se-

benarnya, hendak pergi kemana dan mengapa 

sampai kesasar di hutan Nomo Keling ini?"

"Aduh...? Banyak amat pertanyaanmu, 

mana yang harus kujawab terlebih dulu?"

"Coba kisanak jawab secara berurut!" 

"Namaku Suro Blondo." Pendekar Blo'on 

menyeringai sambil garuk-garuk rambutnya. "Aku 

ingin pergi ke Kediri untuk mencari pekerjaan. 

Karena tidak tahu jalan, terpaksa aku bermalam 

di sini."

Dewi Anggini anak Tumenggung Dadung 

Ampel kerutkan keningnya. Apa yang dilihatnya 

tadi ketika anak buahnya memanah Suro Blondo. 

Jelas pemuda ini bukan pemuda sembarangan. 

Bukan mustahil ia seorang mata-mata musuh 

yang bersikap seperti orang tolol. Bukankah terla-

lu banyak kejadian-kejadian aneh di Katemeng-

gungan akhir-akhir ini? Bahkan ada kelompok-

kelompok tertentu yang menginginkan ayahan-

danya tertangkap atau dibunuh. Dewi Anggini 

sendiri tidak tahu apa yang menyebabkan ayahnya dimusuhi oleh sekelompok tokoh. Padahal ia 

tahu ayahnya merupakan seorang Tumenggung


yang sangat bijaksana.

"Suro Blondo. Pekerjaan apakah yang kau 

inginkan di Katemenggungan Kediri? Apakah kau 

mau menjadi pengurus kuda?"

"Ah, aku baru mau mengatakan pekerjaan 

yang kuinginkan jika sudah sampai di depan Tu-

menggung nanti."

"Bocah tolol. Jangan terlalu angkuh untuk 

mengatakan tujuanmu yang sebenarnya. Kepada 

kami pun kau layak mengatakannya. Karena De-

wi punya hak menentukan kau diterima bekerja 

disana atau tidak!"

"Biarkan aku bicara, paman." kata Dewi 

Anggini. Suaranya pelan namun berwibawa.

"Apakah nisanak merupakan Tumenggung 

Kediri?" tanya Suro Blondo, lugu. Dewi Anggini 

tersenyum juga mendengar pertanyaan si pemu-

da.

"Bukan. Aku anak Tumenggung Kediri. 

Nah, sekarang coba jelaskan apakah kedatan-

ganmu sengaja mencari pekerjaan atau kau mata-

mata yang mendapat tugas untuk mengobrak-

abrik ketenteraman Katemenggungan?" Suro 

Blondo sempat terkejut juga mendengar ucapan 

Dewi Anggini. Tapi karena tampangnya yang tolol 

dan konyol. Perubahan wajahnya tidak sempat 

terlihat oleh Dewi maupun pengawalnya.

"Maafkan aku Dewi puteri...!" kata Suro 

Blondo sambil menghaturkan sembah.

"Panggil saja namaku." kata gadis itu me-

rasa tidak enak.

"Aku bukan mata-mata. Demi Langit, bumi, 

binatang laut dan harimau di dalam hutan ini. 

Aku hanya ingin mencari pekerjaan." jelasnya.

"Kulihat kau bukan orang yang bodoh. 

Orang yang dapat menangkap empat batang anak 

panah hanya dalam sekali bergerak saja, jelas 

merupakan orang yang memiliki kepandaian ting-

gi. Jika kau suka sebaiknya berterus-terang saja 

kepadaku. Karena bila suatu saat kau kuketahui 

sebagai mata-mata yang ingin menghancurkan 

ketemenggungan. Maka kepalamu akan kami ca-

but secara paksa." kata Dewi Anggini penuh an-

caman.

"Sudah kukatakan kepandaian yang kumi-

liki hanya kepandaian pasaran. Yang jelas aku ti-

dak ada hubungannya dengan apa yang kau ka-

takan"

"Apakah kau tidak mau berterus terang?" 

"Aku bukan penjahat. Sudah kukatakan 

pada kalian bahwa aku ingin mencari pekerjaan. 

Tapi jika tidak ada mana berani aku memaksa!" 

"Pekerjaan selalu ada dan terbuka bagi sia-

pa saja yang suka berterus terang. Namun jika 

kau tidak suka terus terang, lamaranmu dengan 

terpaksa harus kutolak!"

Suro Blondo tersenyum.

"Apakah aku boleh bertemu dengan aya-

handamu?"

"Tidak. Bicara denganku sudah cukup."

"Kalau begitu aku harus pergi!" Suro Blon-

do langsung melangkah meninggalkan Dewi Anggini tanpa menoleh-noleh lagi.

"Eiit. Tunggu...!" Dewi memanggilnya. Tapi 

Suro Blondo sedikitpun tidak mengacuhkannya. 

Malah ia bersiul-siul seperti orang yang haru 

mendapatkan hadiah besar dari raja.

"Kurang ajar! Benar-benar manusia yang 

tidak tahu peradatan!" dengus pengawal merasa 

geram bukan main.

Wut! Wuut!

Beberapa batang anak panah mendesing 

meluruk ke arah Pendekar Blo'on. Suro Blondo 

sempat mendengar datangnya bahaya yang men-

gancam jiwanya. Hanya dengan sekali menjejak-

kan tubuhnya. Pemuda inipun sudah melayang 

ke udara. Tidak lama bahkan ia telah bergelan-

tungan diatas pohon dengan gerakan yang sangat 

indah sekali.

"Jika kalian mau menyadari, apakah kalian 

kira sejak tadi kalian tidak menjadi sate mentah. 

Maaf... aku tidak punya persoalan dengan orang 

gila seperti pengawal-pengawalmu itu Dewi. Seka-

rang aku harus mendapatkan pekerjaan itu di 

tempat ayahmu!" kata Sura Blondo lalu tertawa 

membahak.

"Tunggu...!" teriakan Dewi sia-sia saja. Ka-

rena Suro Blondo telah lenyap dari hadapan me-

reka.

"Kita harus memberitahukan hal ini pada 

Tumenggung!" kata Pengawal berbadan tinggi te-

gap pada majikannya.

Dewi Anggini menganggukkan kepala setu

ju.


TIGA



Katemenggungan Kediri terletak di atas da-

taran tinggi yang dikelilingi oleh rumah pendu-

duk. Rumah itu tidak ubahnya seperti sebuah is-

tana yang selalu dijaga ketat oleh puluhan pen-

gawal bersenjata lengkap. Bila malam hari penja-

gaan lebih ditingkatkan lagi.

Menjelang sore hari seorang pemuda berba-

ju biru berambut hitam kemerah-merahan mema-

suki pintu gerbang utama Katemenggungan Kedi-

ri.

Baru saja ia menginjakkan kaki di depan 

pintu utama yang dikawal oleh belasan pengawal 

berseragam ini. Langsung saja mereka mengu-

rung pemuda berbaju biru yang tidak lain adalah 

Suro Blondo ini.

Traak...!

"Berhenti kau disitu!" kata pengawal kepala 

memberi perintah.

Suro Blondo langsung berhenti, lalu meng-

garuk rambutnya.

Pada saat itu pengawal-pengawal lainnya 

telah mengepungnya dengan senjata terhunus.

"Siapa kau? Dan apa keperluanmu masuk 

ke Katemenggungan ini?"

"Aku ingin bertemu dengan Tumenggung 

Dadung Ampel. Aku butuh pekerjaan apa saja." 

kala pendekar Blo'on berterus-terang. Padahal tujuan yang sebenarnya sejak ia mendengar berita 

rahasia untuk menggulingkan Tumenggung Kediri 

dari orang-orang yang ditemuinya. Suro Blondo 

punya keinginan untuk melihat dari dekat apa 

yang terjadi selanjutnya.

Tapi manalah pengawal mau tahu. Sebab 

sejak mendapat perintah untuk menangkap siapa 

saja yang mencoba masuk ke Katemenggungan. 

Mereka bertindak lebih tegas lagi.

"Temenggung tidak ingin bertemu dengan 

siapa saja. Apalagi orang bertampang tidak meya-

kinkan seperti kau!"

"Aku tidak punya kepentingan dengan kau, 

pengawal. Lebih baik kau beri jalan untuk tuan-

mu ini. Sukur aku mendapat kerjaan. Nantinya 

aku pasti tidak lupa dengan jasa baikmu!"

Tanpa banyak bicara, kepala pengawal 

langsung memberi isyarat pada kawan-kawannya 

untuk meringkus pendekar Blo'on.

Karena pada dasarnya Suro Blondo punya 

tujuan tertentu. Maka ia tidak mengadakan per-

lawanan ketika para pengawal itu meringkusnya. 

Ia hanya berpura-pura melompat kian kemari ba-

gaikan seekor monyet kebakaran jenggot.

Buuk!

Buuk!

"Ukh...!"

Suro Blondo mengeluh, tubuhnya limbung 

dan langsung terduduk. Tidak lama kemudian 

pengawal-pengawal lainnya langsung mengikat-

nya. Pada saat itulah terdengar suara bentakan


keras menggelegar.

"Seret kemari!"

Suro Blondo mencuri pandang kearah 

orang yang baru saja bicara. Laki-laki itu berbaju 

kuning menyolok. Bersenjata golok besar berke-

pala botak dan berkumis serta berjenggot tebal. 

Di samping laki-laki tinggi besar ini berdiri tiga 

laki-laki berpakaian sama. Cuma mereka ada 

yang bersenjata pedang, rantai bola berduri dan 

juga keris berwarna kuning keemasan.

Kepada merekalah Suro Blondo diserah-

kan.

Dalam keadaan terikat seperti itu, tentu sa-

ja Suro Blondo tidak dapat berbuat banyak, satu-

satunya yang dapat dilakukannya adalah pasrah 

tanpa mampu melakukan sesuatu.

"Kau siapa? Dan mengapa begitu berani 

masuk ke Katemenggungan ini?" bentak laki-laki 

berbadan paling tinggi dibandingkan tiga lainnya.

"Empat laki-laki botak ini sesungguhnya 

mirip tuyul. Tapi mengapa tampang mereka se-

perti tampang setan penghuni neraka?" Suro 

Blondo menggumam dalam hati.

"Manusia dungu bertampang tolol. Kurasa 

kau tidak budek, lekas jawab pertanyaanku atau 

kau ingin agar aku membuatmu babak belur?"

"Aku adalah aku" sahut Suro Blondo kesal. 

"Sedangkan kau bukan aku." 

Buuk!

Tendangan keras menghantam punggung 

Pendekar Blo'on, sehingga membuatnya mengaduh kesakitan dan terguling-guling menjauhi si 

botak.

"Lekas jawab!"

Yang membentak adalah si botak kedua. 

Manusia yang satu ini selalu memegang rantai 

bola berduri di tangan kanannya. Ketika bicara 

suaranya serak macam suara tikus kejepit pintu.

"Aku Suro Blondo ingin mencari pekerjaan 

di Katemenggungan ini!"

"Pekerjaan? Ha ha ha...! Kawan-kawan, ki-

ra-kira pekerjaan apa yang pantas untuk pemuda 

bego seperti dia?"

"Paling membersihkan pantat kuda!" sahut 

si botak ketiga. Lalu mereka tertawa tergelak-

gelak.

Sesungguhnya Pendekar Blo'on sendiri me-

rasa kesal mendengar ucapan mereka. Tapi aneh-

nya ia malah ikut tertawa-tawa.

"Membersihkan pantat kuda aku mau. 

Jangankan pantat kuda, pantat kalian pun kalau 

memang kalian berkenan akan ku bersihkan. 

Tentu saja setelah memetik buah jambu kramat 

yang kalian punya. Ha ha ha...!"

Buk! Buuk!

Dua tendangan keras menghantam dada 

dan punggung Suro Blondo hingga membuat pe-

muda tampan berambut kemerah-merahan ini 

menjadi babak belur.

"Aha... siapa kalian. Aku datang dengan 

membawa niat baik. Mengapa kalian bertindak 

sewenang-wenang padaku?"

"Apa niatmu, anak cakep? Bukankah kau 

ingin menjadi jongos di ketemenggungan ini? Se-

bagai calon pembantu, tidak ada salahnya kalau 

kami menguji sampai dimana daya tahanmu." 

dengus Datuk satu.

"Kurasa kalian empat Datuk yang telah 

mengabdi di Katemenggungun ini. Empat Datuk! 

Maafkan kesalahanku kesalahanku jika aku ku-

rang sopan dalam bertata krama, "ujar Pendekar

Blo'on. Ia berusaha menghaturkan hormat pada 

Keempat laki-laki tersebut. Tapi karena dalam 

keadaan terikat, tentu saja sikapnya seperti orang 

yang mengejek.

"Kurang ajar, benar-benar kurang ajar!" 

maki Datuk Empat. Ia mencabut kerisnya. Den-

gan cepat dihampirinya Suro Blondo. Pemuda ini 

melihat nyawanya dalam keadaan terancam tentu 

saja tidak tinggal diam. Dalam keadaan berjong-

kok seperti itu ia memasang kuda-kuda. Namun 

pada saat seperti itu tiba-tiba terdengar suara se-

seorang tidak jauh di belakang mereka.

"Ada apa, paman-paman sekalian?" tanya 

laki-laki itu. Melihat penampilannya, Suro Blondo 

sudah merasa yakin bahwa inilah orangnya yang 

bernama Tumenggung Dadung Ampel!

"Maafkan kami gusti Tumenggung. Orang 

ini mengaku sebagai pemuda yang ingin mencari 

pekerjaan disini. Tapi ia tidak mau menyebutkan 

namanya!" Datuk satu memberi laporan

Tumenggung Dadung Ampel memandang 

Suro Blondo untuk beberapa saat lamanya Kemudian ia memberi isyarat pada beberapa orang 

pengawal yang mengurung Suro Blondo.

Dengan cepat, mereka membuka tali ikatan 

yang membelenggu pemuda berambut hitam ke-

merahan.

Begitu terbebas ia langsung menjura hor-

mat pada Tumenggung Dagung Ampel. Tumeng-

gung menganggukkan kepala. Sementara Suro 

Blondo sendiri segera menyeka darah yang mele-

leh di bibirnya.

"Benar namamu Suro Blondo?"

"Benar Tumenggung." sahut pemuda ini.

"Apakah kau ingin bekerja disini?"

"Ya...!"

"Pekerjaan apa yang kau inginkan?"

"Apa saja yang penting bekerja!"

"Bagaimana kalau kau kutugaskan mengu-

rusi kuda-kuda milik Katemenggungan?" tanya 

Dadung Ampel.

"Gusti Tumenggung. Sebaiknya anak ini 

diperiksa kebenarannya. Apakah dia mata-mata 

atau bukan." Datuk satu memprotes tidak se-

nang.

Tumenggung Dadung Ampel tersenyum.

"Apa yang paman katakan selalu kami 

utamakan. Kita lihat saja bagaimana hasilnya 

nanti!" kata Tumenggung dengan bijaksana. Ke-

mudian ia berpaling pada Suro Blondo.

"Nah sekarang pergilah kau menunaikan 

tugasmu, Suro!" kata sang Tumenggung dengan 

penuh wibawa.


Dengan diantar oleh dua orang pengawal 

yang sempat meringkusnya. Suro Blondo segera 

menuju kandang kuda yang berderet-deret di luar 

kediaman Tumenggung.

"Kuda-kuda sialan! Hanya karena keingi-

nanku untuk membela tumenggung dari orang-

orang yang hendak menggulingkannya! Aku ter-

paksa berteman dengan kuda. Kampret, mana 

taiknya besar-besar lagi!" gerutu Pendekar Blo'on 

saat pengawal memberinya petunjuk untuk mem-

bersihkan kotoran kuda yang berada di dalam 

kandang.

Sementara itu Dewi Anggini yang baru saja 

pulang dari berburu nampak membedal kudanya 

dengan kecepatan penuh. Beberapa pengawal Ka-

temenggungan yang mengikutinya tampaknya 

tidak mau kalah. Apalagi pengawal utama yang 

bernama Kartawirya yang memang sudah lama 

menaruh hati pada putri majikannya ini. Ia terus 

menempel ketat Dewi bagaikan lem perekat.

Melewati jalan yang berbukit-bukit, entah 

darimana datangnya. Tahu-tahu seorang laki-

laki berpakaian compang-camping telah mengha-

dang di tengah-tengah jalan yang akan mereka la-

lui.

Melihat kehadiran laki-laki yang tidak di-

kenal ini, Dewi segera mengurangi kecepatan ku-

danya. 

"Huup!"

Kuda langsung berhenti persis di depan la-

ki-laki bersenjata tongkat hitam ini. Dewi Anggini


terkejut bukan main, karena ternyata laki-laki 

bertopi caping ini bermata buta. Dua rongga besar 

yang begitu menjijikkan terpampang dengan jelas.

Selain itu tercium pula bau busuk yang 

angat menyengat. Dewi Anggini terpaksa tutup 

hidungnya. Sementara itu pengawal ketua yang 

bernama Kartawirya langsung mendekati laki-laki 

tua bermata buta ini sambil meludah ke tanah.

"Menyingkirlah kau hai orang buta! Kami 

dalam keadaan tergesa-gesa."

Kelopak mata yang berongga ini mengerjab. 

Bibirnya yang tertutup kumis berwarna putih 

menyunggingkan seulas senyum sinis. Seakan 

melihat siapa yang membentaknya, ia kemudian 

berkata pelan namun penuh ancaman.

"Kau sembunyi dibalik seragam pengawal-

mu. Padahal aku tahu isi hatimu, Kartawirya! 

Apakah kau kira aku akan menyingkir hanya ka-

rena melihat tingginya kedudukan yang kau mili-

ki? Atau aku harus merasa segan menghadapi 

seorang gadis putri Tumenggung?"

Bukan hanya Kartawirya saja yang terke-

jut, namun Dewi Anggini pun tampak tersentak. 

Ia seakan tidak percaya dengan apa yang diden-

garnya.

"Siapakah kau yang sesungguhnya, kisa-

nak?" tanya Dewi Anggini.

Bukan menjawab, sebaliknya kakek berma-

ta buta dan memiliki hidung bagaikan parau burung kakak tua ini malah tergelak-gelak.

Suara tawanya mengandung tenaga dalam


sangat tinggi. Sehingga membuat kuda-kuda 

tunggangan mereka menjadi liar hampir tidak 

terkendali. Dewi Anggini berikut para pengawal-

nya terpaksa mengerahkan tenaga dalam untuk 

menghilangkan pengaruh suara tawa si kakek.

"Aku... ha ha ha...! Aku si Mata Iblis dari 

Nusa Kambangan. Datang jauh-jauh ke timur Ja-

wa ini tentu dengan membawa satu maksud. 

Mengenai maksudku kalian anak ingusan tentu 

tidak layak mengetahuinya. Yang jelas untuk ke-

sepuluh kalinya setelah menempuh perjalanan, 

hari ini aku akan meminta nyawa para penga-

walmu sebagai obat hausku akan darah orang-

orang berpangkat!" 

Kartawirya adalah laki-laki pemberani. 

Apalagi didepan gadis yang diam-diam dicin-

tainya. Tapi ia sempat terkejut juga mendengar 

keinginan Mata Iblis.

"Ternyata kau memang benar-benar iblis 

yang baru terlepas dari belenggu neraka. Kalau 

memang itulah keinginanmu. Apakah kau me-

nyangka aku takut padamu?" geram Kartawirya

Tidak lama kemudian ia memberi isyarat 

pada anak buahnya untuk melakukan penyeran-

gan. Tidak menunggu lebih lama lagi Kartawirya 

dan belasan orang anak buahnya langsung me-

nerjang laki-laki bertopi caping tersebut dari de-

lapan penjuru arah. 

"Hea...!"

"Haiit...!" Mata Iblis tertawa membahak. 

Seakan dapat membaca dan mengetahui dimana


posisi lawannya. Maka laki-laki bermata buta ini 

langsung melompat ke udara.

Tongkat di tangannya kemudian berkelebat 

menyambar ke arah para pengawal yang menye-

rangnya dengan mempergunakan senjata pedang 

ini.

Sekali bergebrak. Tiga pengawal tersungkur 

roboh dengan perut robek bermandikan darah.

Tidak pelak lagi jeritan-jeritan kematian 

pun terdengar. Ternyata bukan main cepat seran-

gan yang dilakukan oleh Mata Iblis. Selain itu ge-

rakan silat serta jurus-jurus yang dimainkannya 

sulit terbaca. Sehingga membuat pengawal-

pengawal yang memiliki kepandaian jauh dibawah 

Mata Iblis ini menjadi sasaran empuk senjata 

tongkatnya.

"Ha ha ha! Kalian memang layak mampus 

di tangan iblis sepertiku!" dengus Mata Iblis. Uca-

pannya belum juga selesai, namun tongkat ditan-

ganya sudah berkelebat lebih dulu sehingga 

membuat korban semakin bertambah banyak sa-

ja.

"Haiii...!"

"Crat! Craat!"

"Wuaaakh...!"

Tiga orang pengawal terbabat bagian ping-

gang dan perutnya, sehingga membuat usus me-

reka memburai keluar. Kenyataan ini tentu saja 

membuat Kartawirya menjadi murka.

Laki-laki berbadan gempal ini langsung 

mencabut pedangnya. Ia mengerahkan jurus


'Menggapai Matahari Membakar Bintang".

Bet! Wuuuk!

Sinar putih dalam waktu singkat telah 

mengurung Mata Iblis. Tapi laki-laki bermata bu-

ta yang hanya mengandalkan ketajaman naluri 

dan dapat membaca gerakan lawannya ini mem-

pergunakan tongkatnya untuk menghindari teba-

san dan sabetan pedang ditangani lawannya. 

Benturan keras sesekali terjadi, Kartawirya ter-

huyung-huyung. Tangannya yang memegang pe-

dang terasa sakit dan seperti menggenggam bara 

panas. Dalam keadaan sedemikian rupa, Mata Ib-

lis melepaskan tendangan beruntun ke bagian ulu 

hati dan dagu Kartawirya.

Duk! Des! Dess!

"Huukh...!"

Sraak!

Ditengah-tengah jeritan suaranya Karta-

wirya jatuh terguling-guling. Dua tulang rusuknya 

patah. Dagunya remuk tidak berbentuk. Laki-laki 

muda yang dalam keadaan sekarat ini ternyata 

menerima akibat tidak hanya sampai disitu saja.

Mata Iblis memburunya sambil menghun-

jamkan tongkatnya ke dada Kartawirya. Laki-laki 

malang ini tidak punya kesempatan lagi untuk 

menghindarinya. Tongkat hitam berujung runcing 

ditangan Mata Iblis telah menghantam perutnya. 

Karta Wirya menjerit kesakitan. Matanya melotot, 

lidahnya terjulur pula. Dewi Anggini yang telah 

menyaksikan keganasan laki-laki buta ini sesungguhnya tidak tinggal diam. Tapi ketika ia melompat dari punggung kudanya, untuk menolong 

pengawalnya. Gerakan yang dilakukannya kalah 

cepat dengan gerakan Mata Iblis. Akibatnya ia 

hanya berhasil menghantam punggung laki-laki 

dari Nusa Kambangan ini. Namun ia menyeringai 

kesakitan. Tangannya yang dipergunakan untuk 

meremukkan tulang punggung lawannya lang-

sung membengkak. Rasanya ia tidak jauh beda 

dengan menghantam sebongkah karang. Padahal 

ia telah mengerahkan setengah dari tenaga dalam 

yang dimilikinya

Dalam keadaan kesakitan itu, selain mera-

sa marah karena para pengawalnya tewas semu-

anya di tangan Mata Iblis, tentu juga ia merasa 

penasaran. Ia tahu lawan tampaknya kebal terha-

dap pukulan, namun dalam benaknya terlintas 

pikiran mustahil lawan kebal pula terhadap sen-

jata pedang. 

Sring!

Senjata berwarna putih mengkilat karena 

ketajamannya ini digenggamnya dengan erat. Se-

telah mengerahkan tenaga dalam yang dimili-

kinya. Maka tidak sampai lima detik kemudian ia 

telah memutar senjata ditangannya sehingga me-

nimbulkan deru angin dingin! 

"Jurus Matahari Bersembunyi di Balik Pe-

langi. Jurus yang cukup lumayan. Tapi jurus 

yang kau punya tidak sampai seperempat dari se-

luruh kehebatan yang kumiliki. Kuperingatkan 

kepadamu, lebih baik kau melaporkan kehadi-

ranku pada ayahandamu. Sebelum aku benar


benar berubah pikiran untuk memperkosa dan 

membunuhmu!" dengus Mata Iblis. Ancamannya 

itu bukan hanya pepesan kosong belaka.

Karena begitu melihat kenyataan Dewi 

Anggini tidak mundur mendengar ancamannya. 

Sambil menggeram murka ia langsung memapaki 

serangan senjata Anggini.

Traang! Traang!

Ketika pedang ditangan Dewi dan tongkat 

hitam di tangan Mata Iblis beradu. Dengan jelas 

terlihat bunga api memijar. Dewi Anggini terpaksa 

melompat ke belakang untuk menghindari tusu-

kan ujung tongkat yang menderu ke bagian da-

danya.

Dewi kibaskan tangannya yang terasa pa-

nas dan melepuh dibeberapa bagian. Ternyata da-

lam hal tenaga dalam. Dewi Anggini kalah jauh 

dibandingkan lawannya. Menyadari lawannya un-

ggul dalam segala-galanya. Apalagi bila mengingat 

ancaman Mata Iblis yang ingin memperkosanya. 

Maka Dewi Anggini yang telah kehilangan penga-

walnya ini semakin bersikap waspada.

"Mumpung masih ada kesempatan bagimu, 

pergilah dari hadapanku. Lain kali jika aku pergi 

ke Katemenggungan Kediri. Tidak seorangpun ke-

luarganya yang ku sisakan!" ancam Mata Iblis.

Dewi Anggini menyadari dalam keadaan te-

rancam terpaksa menghampiri kudanya. Tidak 

lama setelah itu membedal kudanya tanpa meno-

leh-noleh lagi. Sekarang tinggallah mayat-mayat 

yang bergelimpangan serta Mata Iblis di tempat


itu.

Kedua matanya yang mengorek lebar me-

mandang ke atas langit. Kemudian terlihat pula 

bagaimana bibirnya yang menyunggingkan seulas 

senyum.

"Ha ha ha...! Para murid-muridku! Kuharap 

kalian berhasil menjalankan tugas yang kuberi-

kan kepadamu. Inilah sebuah kesempatan yang 

kutunggu-tunggu selama bertahun-tahun untuk 

melakukan pembalasan pada orang-orang yang 

telah mencelakai diriku!" gumam Mata Iblis. 

"Tunggu... tunggulah, Dadung Ampel. Kematian-

mu dan kehancuran Katemenggungan Kediri su-

dah berada diambang mata!" Sambil meneruskan 

langkahnya Mata Iblis dari Nusa Kambangan ini 

terus tertawa-tawa. 



EMPAT



Langit suram, bulan purnama tertutup 

mendung hitam. Hanya sesekali saja terlihat si-

narnya untuk kemudian bersembunyi lagi di balik 

awan.

Katemenggungan Kediri dalam keadaan 

malam hari memang terasa sepi. Sungguhpun be-

gitu bukan berarti luput dari penjaga. Kegiatan 

ronda tetap dilakukan, bahkan akhir-akhir ini 

terkesan ditingkatkan. Mereka, para peronda itu 

pada umumnya menempati posisi-posisi yang 

strategis. Sehingga jikapun ada orang jahat bermaksud menyatroni, maka posisi mereka tidak 

dikelabui oleh lawannya.

Di malam yang dingin sebaliknya Suro 

Blondo merasa gerah, pemuda berambut kemera-

han ini tidak dapat tidur. Pikirannya menerawang 

pada kejadian-kejadian di Katemenggungan yang 

dirasakannya sangat aneh. Sungguhpun ia me-

nyamar sebagai pengurus kudu. Namun pada ma-

lam hari secara diam-diam Suro Blondo melaku-

kan penyelidikan.

Dan kini ia mulai menyadari bahwa di da-

lam Katemenggungan itulah sesungguhnya pe-

nyakit yang dapat membahayakan Tumenggung 

Dadung Ampel berasal.

"Empat Datuk! Siapapun mereka dan dari 

mana usulnya aku tidak perduli. Tapi mengapa 

Tumenggung malah memelihara anak macan ini? 

Padahal mereka jelas-jelas orang dari golongan 

sesat. Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi 

dibalik kehadiran empat Datuk persilatan. Cuma 

siapa yang berdiri di belakang mereka dan apa tu-

juan mereka setelah menggulingkan Tumenggung 

Dadung Ampel yang bijaksana, hingga sampai 

saat ini aku pun tidak tahu."

Suro Blondo membaringkan tubuhnya di 

atas balai-balai terbuat dari anyaman bambu. 

Kemudian ia mematikan lampu di dalam kamar 

yang ditempatinya. Tidak lama setelah itu ia be-

rusaha memejamkan matanya.

"Ki Marunda... menurut pengurus anak 

kuda merupakan orang baru di Katemenggungan

ini. Gerak-geriknya begitu mencurigakan. Apa 

hubungannya orang ini dengan Empat Datuk?! 

Apakah dia juga punya keinginan yang sama un-

tuk melenyapkan Tumenggung?" batin Pende-

kar Blo’on seraya kemudian menyeka keningnya 

yang berkeringat 

Dalam keadaan gelisah begitu rupa. Tiba-

tiba ia mendengar suara ketukan halus pada 

daun pintu. Aneh, Suro sama sekali tidak men-

dengar suara langkah kaki. Padahal ia tidak tidur 

sejak tadi. Apakah mungkin orang yang datang ini 

merupakan orang yang mempunyai kepandaian 

tinggi atau karena ia memang banyak melamun.

Ketukan pada daun pintu kembali terden-

gar, dengan sangat hati-hati sekali Suro Blondo 

bangkit dari tempat tidurnya.

"Malam-malam begini. Kalau gadis cantik 

yang datang. Tentu peruntungan berada di pi-

hakku. Tapi kalau nenek-nenek jelek, sebaliknya

tidur dikandang kuda saja!" gerutu sang pende-

kar.

"Siapa?" tanya Suro Blondo kemudian.

"Aku Dogma...!"

"Perempuan atau laki-laki?"

"Tentu saja laki-laki, sobat! Aku kawanmu 

penjaga anak kuda." sahut orang di luar.

"Huh... yang datang ternyata cap lonceng 

singa, tapi tidak apa. Yang penting loncengnya 

dan loncengku tidak bunyi." kata Suro Blondo da-

lam hati.

Kemudian pintu dibukanya, suasana di


luar ternyata sama gelapnya dengan di dalam 

ruangan. Suro mengendus-endus. Sebentar saja 

ia sudah dapat mencium bau keringat Dogma, 

sungguhpun ia tidak dapat melihat wajah Dog-

ma dalam kegelapan tapi ia yakin sang penyusup 

tidak lain merupakan pengurus anak-anak kuda 

Katemenggungan.

"Ada apa kau datang pada malam-malam 

begini?"

"Banyak yang ingin kusampaikan padamu, 

sobat." kata Dogma dengan suara pelan dan nya-

ris tidak terdengar.

Suro Blondo langsung mengajak Dogma 

untuk duduk dialas balai-balai.

"Aku tahu dinding dan atap dapat menden-

gar pembicaraan. Tapi kurasa jika tidak kusam-

paikan kepadamu. Keselamatan Tumenggung Da-

dung Ampel dan keluarganya dalam keadaan te-

rancam." kata Dogma dengan suara lirih.

"Mengapa kau tidak langsung menyampai-

kannya pada Tumenggung, mengapa malah da-

tang kepadaku. Padahal kau tahu aku tidak 

punya kepandaian apa-apa." ujar Suro Blondo.

"Aku tidak tahu, tapi entah mengapa aku 

merasa begitu yakin bahwa kau dapat melakukan 

sesuatu untuk menyelamatkan Katemenggungan 

ini."

Suro Blondo terdiam. Ia sendiri harus ber-

hati-hati dalam bicara, sebab ia tidak tahu secara 

persis mana yang kawan dan mana yang lawan.

"Apa yang kau ketahui tentang ancaman di


Katemenggungan ini? Apakah kau melihat adanya 

gerakan tersembunyi disini?"

"Demi Tuhan, Suro. Beberapa waktu yang 

lalu penasehat Katemenggungan, para jago se-

tingkat panglima perang dan juga orang-orang 

terdekat tewas secara misterius. Sampai sekarang 

tidak seorangpun yang mengetahui siapa yang te-

lah membunuh mereka. Lalu muncul empat da-

tuk yang menawarkan diri untuk menjadi pelin-

dung Katemenggungan ini dari ancaman musuh 

berselimut. Tapi Empat datuk ini kulihat sering 

melakukan pertemuan-pertemuan rahasia dibela-

kang kandang kuda. Lalu datang pula Ki Marun-

da yang mengaku sebagai orang yang berpenga-

laman dalam mengurus makanan kuda. Lalu da-

tang...!"

"Aku...!" potong Pendekar Blo'on.

"Ya, kehadiranmu disini membuat rasa 

waswas dihatiku berkurang. Terus terang aku ju-

ga mencurigai Ki Marunda. Aku sering mengawa-

sinya, tapi aku terkadang merasa kehilangan je-

jak." jelas Dogma yang bentuk potongan tubuh-

nya lebih langsing dari laki-laki manapun. Dilihat 

sepintas lalu ia tidak jauh bedanya dengan banci

"Lalu apa yang kau inginkan dariku, Dog-

ma?" tanya si pemuda.

"Cobalah cari tahu, mengapa Tumenggung 

Dadung Ampel begitu penurut pada Empat Datuk 

yang telah mendukungnya itu!"

"Apakah kau tidak tahu dari mana asal 

usul mereka"


"Aku kurang mengetahuinya." 

"Lalu bagaimana urusan Ki Marunda?" 

tanya Suro Blondo.

"Ki Marunda berada dalam pengawasanku" 

Dogma menyanggupi.

Pendekar Bloon mengeluh. "Untuk urusan-

urusan berbahaya seperti ini tentu membuat aku 

khawatir. Apalagi mengingat aku tidak punya ke-

mampuan apa-apa. Tapi kalau urusan perem-

puan aku mau sekali."

"Apa maksudmu?" tanya Dogma. Diluar se-

pengetahuan Pendekar Bloon wajah Dogma beru-

bah merah padam.

"Maksudku jika aku disuruh berhadapan 

dengan Dewi Anggini untuk mengabarkan berita 

yang sangat penting ini tentu saja aku tidak me-

rasa was-was."

"Huh... tumpangmu seperti orang bego be-

gitu, mana ada perempuan yang mau kau de-

katkan!" dengus Dogma. Suaranya bergetar dan 

tidak teratur, seakan ada sesuatu yang disembu-

nyikannya.

"Di balik ketololanku sesungguhnya wajah-

ku tidak kalah tampan dengan pemuda manapun. 

Kuda saja sampai jatuh hati paduku, apalagi ma-

nusia?"

"Sudahlah, sobat. Sudah waktunya aku 

kembali ke kamarku. Aku takut ada orang lain 

yang mengetahui pertemuan ini!"

"Hati-hati kau. Musuh berkeliaran diantara 

kita. Tapi sejauh ini kau dan aku belum tahu siapa orangnya. Sebaiknya selalulah bersikap was-

pada. Aku membutuhkan keterangan-keterangan 

penting yang kau ketahui."

"Aku tahu, sebaiknya kita saling menjaga 

diri masing-masing!" Dogma mengakhiri ucapan-

nya.

Sepergi laki-laki berbadan ramping ini, Su-

ro Blondo sempat tertegun. Ia merasa Dogma se-

perti memakai parfum perempuan. Memang benar 

suaranya seperti laki-laki, demikian pula tingkah 

dan cara jalannya. Dan lebih aneh lagi ia seperti 

pernah mencium bau parfum yang sama. Entah 

wangi lawannya atau kawan sendiri.

"Dimana ya... apakah mungkin bau wangi 

kuntilanak, sundel bolong, setan Wewe atau peri? 

Rasanya semua serba kebetulan. Tapi tidak ada 

salahnya jika aku mencurigai setiap orang" Si 

Pemuda membatin di hati.

"Kurasa lebih baik malam ini aku mulai 

meneliti siapa adanya Empat Datuk yang pernah 

mempecundangi aku ketika dalam keadaan teri-

kat beberapa waktu yang lalu."

Suro Blondo keluar tidak melewati pintu 

depan, melainkan melompat ke atas wuwungan 

pondok, setelah menyingkap atapnya yang hanya 

terbuat dari genteng merah.

Ia memperhatikan suasana disekelilingnya. 

Dari tempat Suro berdiri tembok Katemenggun-

gan tidak begitu jauh lagi jaraknya. Selanjutnya 

setelah memastikan bahwa suasana dalam kea-

daan aman-aman saja, Suro Blondo mengerahkan


ilmu meringankan tubuh dan lari cepat Kilat 

Bayangan untuk mencapai tembok tersebut tanpa 

diketahui oleh orang lain

"Huuup!"

Wueees...! Pendekar Blo'on langsung me-

lompati tembok benteng tersebut. Sampai akhir-

nya ia berada di atas atap bangunan besar Kate-

menggungan. Pemuda ini mengendap-endap 

mendekati tempat istirahat Empat Datuk yang 

terletak tidak jauh dari bangunan utama.

Selanjutnya ia mulai mendengarkan suara 

apapun disekitarnya. Mula-mula yang didengar-

nya adalah suara mendengkur orang yang sedang 

tertidur, kemudian dengung suara nyamuk, se-

lanjutnya suara nyamuk dan yang paling akhir 

adalah suara orang yang berbisik-bisik

Bila Suro Blondo bergerak ke arah itu, ma-

ka dibagian lain ia melihat para pengawal Kate-

menggungan tampak sedang meronda ke arah-

nya. Suro Blondo segera mencari tempat persem-

bunyian.

"Tidak ada orang didalam setiap ruangan 

ini, tapi mengapa aku mendengar seperti ada 

orang yang sedang merundingkan sesuatu? Eeh... 

siapa itu...?"

Pendekar Blo'on melengak kaget ketika me-

lihat tiga sosok bayangan tubuh bergerak melom-

pati pagar.

"Sungguhpun tempat ini gelap. Aku yakin 

orang-orang berkepala gundul yang melompati 

pugar tadi bukanlah hantu gundul, tapi anggota


Empat Datuk. Mau kemana mereka malam-

malam begini? Mustahil hanya sekedar jalan-

jalan. Sebaiknya aku ikuti mereka!"

Kemudian Pendekar Blo'on bergerak men-

gejar. Sampai di luar pagar ia terus melakukan 

pengejaran ke arah lenyapnya tiga bayangan yang 

sempat dilihatnya tadi.

Sementara itu di sebuah tempat yang san-

gat rahasia di luar kota Kediri seorang laki-laki 

memegang tongkat dan berpakaian compang 

camping duduk diatas sebongkah batu.

Wajah laki-laki memakai topi caping ini ter-

tunduk, sehingga wajahnya serta matanya yang 

sangat mengerikan karena membentak rongga ti-

dak kelihatan. Tapi siapapun dapat merasakan 

bau busuk yang menebar di sekitarnya. Bau bu-

suk bangkai itu berasal dari orang ini.

Entah sudah berapa lama ia dalam kea-

daan bersila seperti itu, Yang jelas kepalanya 

yang senantiasa tertunduk itu langsung terangkat 

begitu mendengar suara gemerisik tidak jauh di

sebelah kirinya.

"Kau datang murid-muridku!" Dalam kesu-

nyiannya suaranya tidak lebih baik dari suara 

auman harimau lapar. Sehingga terasa begitu 

menyeramkan.

"Benar guru! Kami agak terlambat me-

nyambut kedatanganmu. Tapi percayalah seka-

rang ini suasana di pihak kita." kata salah seo-

rang dari ketiga laki-laki berkepala gundul ini 

sambil menjura hormat diikuti oleh dua orang


lainnya. Tiga Datuk duduk persis didepan laki-

laki bercaping yang tidak lain mata Iblis. Sama 

sekali mereka tidak menghiraukan bau busuk 

yang menyengat.

"Hmm, mana saudaramu yang tertua, Da-

tuk Satu?"

Seandainya mereka bukanlah murid-murid 

Mata Iblis, tentu menjadi terkejut karena laki-laki 

di depan mereka ini sungguhpun buta tapi dapat 

mengetahui jumlah mereka yang tidak lengkap

"Kakang Datuk Satu tidak dapat datang 

kemari. Karena beliau terpaksa mempengaruhi 

rakyat disekitarnya untuk melakukan pemberon-

takan di hari yang akan kita tentukan malam ini!"

"Sebegitu berbahayakah Tumenggung Da-

dung Ampel dimata kalian? Bukankah ia hanya 

seorang Tumenggung yang mempunyai kekuatan 

jauh di bawah kalian?" desah si Mata Iblis.

"Memang benar, tapi kakang Datuk Satu 

lebih senang perampasan kekuasaan terlihat dan 

berkesan seperti kehendak rakyat daripada ke-

hendak sendiri." jelas Datuk dua.

Mata Iblis mengangguk senang. Selanjut-

nya ia berkata pelan namun penuh dendam. "Tiga 

belas tahun aku sengsara dan kehilangan mata 

pula. Pembuangan ke Nusa Kambangan oleh ke-

luarga Tumenggung Dadung Ampel dan dia sendi-

ri kuanggap sebagai suatu berkah dan malapeta-

ka. Aku kehilangan mata yang paling kupuja di 

dunia ini. Aku ingin Tumenggung keparat itu dan 

keluarganya menerima pembalasan yang setimpal

dariku. Itu sebabnya kupesankan pada kalian un-

tuk Tumenggung Dadung Ampel, kematiannya 

adalah aku yang menentukannya!"

"Pesan guru segera kami laksanakan dan 

secepatnya akan kami sampaikan pada kakang 

Datuk Satu. Cuma guru ada beberapa hal yang 

mengganjal dihati kami. Pertama adalah menge-

nai kehadiran seorang laki-laki yang mengaku se-

bagai Ki Marunda. Kami rasa ia mempunyai tu-

juan-tujuan tertentu. Cuma sampai sekarang ini 

kami tidak berhasil mengetahui siapa dia yang 

sesungguhnya." kata datuk empat.

"Apakah dia tinggal di lingkungan Kate-

menggungan? Apa tugasnya?"

"Ki Marunda tidak tinggal di wilayah Kate-

menggungan. Ia tinggal disekitar peternakan ku-

da. Disamping itu selain orang yang baru dikata-

kan oleh adik Datuk Empat. Ada lagi seorang pe-

muda bertampang tolol yang baru diterima men-

jadi pengurus kuda."

"Pemuda bertampang tolol?" desis Mata Ib-

lis, Ia berusaha mengingat-ngingat ciri-ciri seperti 

yang disebutkan oleh muridnya. Tapi ia merasa 

tidak mengenal pemuda itu. "Apakah telah me-

nyelidikinya?" 

"Sudah." Datuk Tiga yang menjawab. "Bagi 

kami ia merupakan pemuda asing yang tidak ka-

mi ketahui asal usulnya."

"Kalau begitu kalian harus berhati-hati. 

Bukan mustahil disuatu saat kelak ia akan menyusahkan kita!"



Pembicaraan selanjutnya terdengar tidak 

lebih hanya berupa suara bisikan-bisikan saja. 

Sungguhpun begitu, sepasang mata jenaka yang 

sejak tadi ikut mendengar rencana penggulingan 

Katemenggungan ini dapat mendengarkannya. 

Karena sudah merasa begitu jelas atas rencana 

terkutuk Empat Datuk itu. Maka secara diam-

diam pemilik sepasang mata itu meninggalkan 

tempat persembunyian dan kembali ke Kate-

menggungan dengan dibekali pikiran kacau.

"Kau yakin pembicaraan kita tidak diketa-

hui oleh orang lain, muridku?" tanya Mata Iblis 

tiba-tiba.

"Saya kira tidak, guru." Datuk Tiga menja-

wab.

"Mudah-mudahan begitu, tapi aku merasa-

kan ada orang lain baru saja meninggalkan tem-

pat ini." 

Datuk Dua, Tiga dan Empat terkejut bukan 

main. Sejak tadi mereka merasa yakin tidak ada 

orang lain disitu terkecuali mereka sendiri. Jika 

guru mereka mengatakan ada orang lain yang 

ikut mendengar pembicaraan mereka. Tentulah 

orang itu mempunyai ilmu kepandaian yang cu-

kup tinggi.

"Lalu bagaimana, guru?" tanya Datuk Dua 

was-was. Datuk Tiga dan Empat hanya dapat me-

nelan ludah.

"Jangan kalian hiraukan segala macam ce-

curut. Sekarang kembalilah kalian ke Katemeng-

gungan!" perintah Mata Iblis tegas.

Ketiga Datuk dari utara ini tanpa banyak 

cingcong lagi langsung mengundurkan diri dan 

bergegas pergi

.

LIMA


Pengurus kuda yang bernama Dogma itu 

pada kesempatan yang sama terus mengikut Ki 

Marunda yang baru saja meninggalkan tempat 

kediamannya. Laki-laki tua berbadan setengah 

bongkok itu ternyata pergi ke bagian kamar pri-

badi Dewi Anggini yang bersebelah letaknya den-

gan kamar pribadi yang ditempati oleh Tumeng-

gung Dadung Ampel.

Namun baru saja ia melompat diatas gen-

teng. Tiba-tiba beberapa orang pengawal yang se-

dang meronda memergokinya.

"Kurung ada pengacau di atas genteng!" te-

riak pengawal-pengawal itu hingga membangun-

kan Tumenggung Dadung Ampel dan putrinya 

Dewi Anggini. Laki-laki berbadan jangkung ini 

langsung menyambar senjata ya terletak di depan 

pintu. Sedangkan Dewi bertindak lebih cepat lagi. 

Hanya dalam waktu sebentar saja ia sudah sam-

pai di halaman samping.

Sampai disana ia melihat belasan orang 

pengawal sedang mengurung seorang laki-laki 

memakai penutup wajah. Beberapa diantara pen-

gawal itu terkapar bermandikan darah.

"Menyingkir!" teriak Tumenggung Dadung


Ampel. Ia segera maju ke tengah-tengah kalangan 

pertempuran. Para pengawal yang mengeroyok la-

ki-laki berbadan bongkok ini langsung menjaga 

jarak tanpa menghilangkan kewaspadaan. Se-

dangkan di dekat Tumenggung sendiri kini telah 

berdiri Empat Datuk dan Dewi Anggini.

"Tumenggung yang mulia. Tidak usah 

mengotori tangan dengan darah kambing kurap 

ini. Biarkan kami empat datuk meringkusnya. Ka-

rena kami tahu siapa yang bersembunyi di balik 

kedok tersebut!" kata Datuk Satu suaranya keras 

menggeledek.

"Laksanakanlah paman apa saja yang se-

harusnya paman kerjakan. Jangan lupa jika ter-

tangkap nanti hadapkan dia padaku. Aku ingin 

tahu apa kesalahanku padanya sehingga ia begitu 

berani ingin menyatroni kamarku!" ujar Tumeng-

gung Ampel.

Belum sempat ia bergerak. Tidak terduga-

duga laki-laki bertopeng ini membuka penutup 

wajahnya.

"Tumenggung keparat!" 

Para pengawal maupun Datuk Empat tidak 

terkecuali Dewi Anggini melengak kaget. Selama 

menjadi pengawal mereka sama sekali belum per-

nah mendengar ada orang lain yang begitu berani 

memaki Tumenggung Kediri. Tapi sekarang se-

buah kenyataan yang tidak pernah mereka duga 

terjadi didepan mata mereka. Sebaliknya Tu-

menggung Dadung Ampel sendiri memandang ta-

jam pada lawannya. Ketika laki-laki berbadan


bongkok itu membuka kedoknya. Maka semua 

mata jadi terbelalak.

"Ki Marunda!" desis Tumenggung Dadung 

Ampel.

"Marunda bukan namaku yang sesung-

guhnya, Tumenggung. Aku Penggoro Bumi! Untuk 

lebih jelasnya aku masih punya hubungan darah 

dengan Lembu Suro! Tahukah kau mengapa aku 

datang ingin meminta nyawa seluruh keturunan-

mu?" dengus Penggoro Bumi

Tumenggung Dadung Ampel tidak segera 

menjawab. Keningnya berkerut dalam pertanda 

bahwa ia sedang memikirkan hubungan antara 

Penggoro Bumi dengan Lembu Suro.

"Sudahkah pikiranmu terbuka, Tumeng-

gung?" Penggoro Bumi membentak.

"Hmm, seingatku Lembu Suro telah beru-

bah menjadi gunung. Dulu ia begitu tergila-gila 

dengan eyang putri Prada. Sehingga Lembu Suro 

mengejarnya kemanapun eyang putri pergi. Pa-

dahal Lembu Suro kakek buyutmu itu tahu bah-

wa eyang putri tidak mencintainya."

"Ya... tapi putri Prada telah bertindak pen-

gecut dengan memerintahkan kakek buyutku 

membuatkan sumur untuknya. Setelah sumur itu 

hampir selesai, eyang putrimu menimbun kakek 

buyutku dengan batu."

"Semua itu telah berlalu, Penggoro Bumi. 

Itu adalah kelakuan terburuk dari para sesepuh 

yang tidak patut ditiru. Dan kurasa tidak ada gu-

nanya kau memusuhi aku!"

"Puih... dendam lama harus terbalas. Aku 

sering mendengar eyang buyut Lembu Suro me-

nemuiku dalam mimpi bahwa aku sebagai ketu-

runannya harus menuntut balas atas perlakuan 

nenek moyangmu yang tidak adil itu!" dengus 

Penggoro Bumi.

"Ayah, mulut laki-laki busuk ini sungguh 

sangat keterlaluan sekali!" teriak Dewi Anggini 

merasa tidak senang melihat ayahnya dihina se-

demikian rupa. Ia kemudian melompat kedepan, 

namun Datuk Empat telah menghalangi sambil 

memberi isyarat agar Dewi mundur.

"Kisanak, sesungguhnya kau datang kema-

ri hanya membesar-besarkan persoalan. Lembu 

Suro setahu kami kini hanya tinggal berupa gu-

nung. Mengapa kau ributkan. Apakah kau ingin 

pamer kekuatan didepan kami hai tukang gemba-

la anak kuda?" kata Datuk Tiga sambil tertawa 

mengakak. 

Wus! Wuus!

Ucapan Datuk Tiga dijawab oleh Penggoro 

Bumi dengan dua pukulan jarak jauh ke arah me-

reka.

Seleret sinar merah ungu melesat cepat 

dan membuat suasana malam yang dingin itu 

menjadi terasa panas membakar.

Datuk Satu, Dua, Tiga dan Empat tentu 

sempat terkejut juga karena mereka tidak me-

nyangka bahwa Penggoro Bumi yang selama ini 

menyaru sebagai tukang gembala anak kuda ternyata memiliki kesaktian pula.


Dengan cepat demi menjaga pamor mereka 

di depan Tumenggung Dadung Ampel. Keempat 

Datuk ini hentakkan tangannya memapaki puku-

lan dahsyat yang dilepaskan oleh lawan.

Sementara itu, Dewi Anggini dan Tumeng-

gung Dadung Ampel telah bergerak menjauhi ka-

langan pertempuran. Prajurit dan pengawal terus 

mengurung kalangan pertempuran sungguh pun 

dari jarak yang cukup jauh

Empat leret sinar biru datang menggebu 

hingga membuat suasana malam yang hanya ber-

penerangan obor itu menjadi terang benderang. 

Empat lawan satu tenaga sakti yang mele-

sat dari telapak tangan masing-masing kemudian 

bertemu di udara.

Blaar!

Dum! Duum!

Terjadi ledakan keras menggelegar. Empat 

Datuk sempat terguncang tubuhnya. Sedangkan 

Penggoro Bumi jatuh terduduk, jika saja mereka 

berhadapan satu persatu. Tentu salah seorang 

dari Datuk Empat telah terkapar tanpa nyawa. 

Sebab walau bagaimanapun Penggoro Bumi ter-

nyata memiliki tenaga dalam beberapa tingkat di-

atas lawannya.

Namun karena ia harus menahan empat 

serangan sekaligus. Tidak pelak lagi ia sempat 

terdorong.

Dengan cepat ia bangkit berdiri. Tiba-tiba 

tubuhnya melesat ke depan, lalu lancarkan serangan kilat ke arah empat lawannya.


Serangan dengan mempergunakan jurus 

'Membelah Badai' ini memang bukan serangan 

sembarangan-sembarangan. Karena jurus ini me-

rupakan jurus tingkat kedua yang dipelajarinya 

dari tokoh misterius yang berdiam di bukit setan.

Satu tendangan kilat dilakukannya. Sete-

lah itu tangannya yang bergerak sangat cepat ini 

menghantam ke bagian dada lawannya empat kali 

berturut-turut.

Duk!

Des! Des! Des! 

"Wuaakh...!"

Datuk Satu sempat kehilangan keseimban-

gannya, sedangkan Datuk Dua, Tiga dan Datuk 

Empat sempat jatuh terguling-guling. Inilah un-

tuk yang pertama kalinya kepandaian sang Datuk 

teruji.

Dan tentu saja sebagai tokoh yang menga-

ku ingin mengabdi pada Temenggung Dadung 

Ampel mereka tidak ingin kehilangan muka.

Sambil menyeka darah yang mengalir dari 

hidung dan bibir mereka, secepatnya ke Empat 

Datuk ini bangkit berdiri. 

Sing! Sreek!

Senjatanyapun tercabut dari warangkanya 

masing-masing. Melihat semua ini Penggoro Bumi 

hanya menyeringai.

Ia sendiri kemudian mencabut senjata an-

dalannya yang berbentuk aneh berupa mata tom-

bak bergagang panjang dengan bagian lainnya 

berbentuk bulan berongga. Senjata ini kemudian

diputarnya sedemikian rupa. Sehingga dalam 

waktu tidak begitu lama terjadilah pertempuran 

seru yang cukup menegangkan.

"Hiyaa...!"

"Huup!" 

"Traang!" 

"Traak!"

Benturan-benturan keras dari senjata mas-

ing-masing lawan terjadi. Bunga api berpijar dan 

menerangi kegelapan malam.

Namun hingga sejauh itu masih belum ada 

tanda-tanda pihak mana yang akan keluar seba-

gai pemenang.

Sebaliknya di pihak Penggoro Bumi sendiri 

agak kesulitan juga untuk melakukan tekanan di 

pihak lawannya. Karena ia menghadapi empat la-

wan sekaligus, sementara kepandaian serta ke-

saktian yang mereka miliki tidak jauh berbeda 

dengan kemampuannya.

Satu dua tendangan berhasil menghantam 

bagian tubuh lawannya. Di tengah-tengah hujan 

senjata yang kian menghebat itu Penggoro Bumi 

sudah mulai dapat memperhitungkan kekuatan-

nya. Paling tidak ia harus merobohkan lawannya 

satu demi satu jika memang ingin menguasai 

keadaan.

Tapi untuk melakukan apa yang ada dalam 

benaknya juga tidak mudah. Sebab begitu Peng-

goro Bumi mendesak salah seorang dari Empat 

Datuk. Maka yang lainnya segera melakukan se-

rangan balik dan menusukkan senjatanya ke ba


gian dada maupun perut lawan. Laki-laki berbaju 

hitam ini menyumpah dalam hati. Ia merasa kehi-

langan waktu dan kesempatan untuk menjatuh-

kan lawannya. Sementara itu Tumenggung Da-

dung Ampel yang menjadi incarannya malah te-

nang-tenang saja menyaksikan pertempuran yang 

sedang terjadi, 

"Huup...!"

Tubuh Penggoro Bumi tiba-tiba saja mele-

sat ke udara. Dilain saat ia telah menyodokkan 

senjatanya yang berbentuk aneh itu kebagian leh-

er Datuk Satu. Tentu saja kecepatannya dalam 

mempergunakan senjata tidak diragukan lagi. Da-

tuk Satu terpaksa menarik balik serangannya, ia 

menangkis dengan golok besar ditangannya. Tapi 

serangan mendadak itu ternyata hanya tipuan sa-

ja. Penggoro Bumi merubah gerakannya sehingga 

jadi menebas.

Datuk Satu terkejut bukan main. Tapi da-

lam keadaan yang sangat keritis itu senjata Datuk 

Dua dan Datuk Tiga menebas ke bagian pangkal 

lengan lawannya.

Wuut!

Traak!

Cres!

"Aaaa...!"

Penggoro Bumi terpaksa bersalto ke bela-

kang. Tangan kanannya sempat tergores senjata 

ditangan Datuk Tiga. 

Sambil menggeram hebat ia lepaskan em-

pat pukulan secara berturut-turut. Lalu....

Bumm! Buum!

Ledakan-ledakan keras terdengar ketika 

pukulan yang dilepaskan oleh Penggoro Bumi 

membentur pertahanan lawannya.

"Mampuslah kau sekali ini!" Datuk Satu 

mendengus. Tiba-tiba ia simpan golok besar di-

tangannya.

Tangan kiri menyilang di depan dada, di-

ikuti oleh kawan-kawannya yang lain dan masih 

terhitung saudara seperguruan. Secara bersama-

sama mereka menghimpun tenaga dalam.

Sebentar saja tangan-tangan mereka telah 

berubah menjadi biru. Melihat kenyataan ini 

Penggoro Bumi sudah maklum bahwa lawan be-

nar-benar mengerahkan seluruh tenaga dalam 

yang mereka miliki. Ini sama artinya bahwa ia ti-

dak mungkin mampu membendungnya.

Sehingga tanpa menunggu lagi ia merogoh 

sesuatu dibalik bajunya. Benda berwarna kecok-

lat-coklatan ini dilepaskannya ke tengah-tengah 

kalangan pertempuran.

Bldaar...!

Keadaan kemudian berubah menjadi gelap 

gulita. Datuk Satu memaki dengan kata-kata 

yang sangat kotor.

"Bangsat itu melarikan diri!" dengusnya ke-

tika melihat keadaan di sekelilingnya menjadi ge-

lap gulita.

Ternyata dugaan Datuk Satu meleset. 

Penggoro Bumi bukannya melarikan diri melain-

kan dalam kegelapan yang diciptakannya dengan

asap penghilang jejak ia mencari kesempatan un-

tuk melakukan serangan balik.

Seketika itu juga dari balik kegelapan asap 

terlihat empat larik sinar merah hitam dan biru. 

Keempat larik sinar itu langsung melesat meng-

hantam Datuk Satu, Dua, Tiga dan Empat. Se-

rangan yang sangat mendadak dan cepat luar bi-

asa ini sulit sekali dihindari. Hanya Datuk Satu 

saja yang sempat membanting tubuhnya ke 

samping. 

Bumm! Buum! 

"Hugkh...!"

Ketiga Datuk itu memekik tertahan. Tubuh 

mereka terlempar. Darah menyembur dari sudut-

sudut bibir mereka. Jika Empat Datuk yang 

mempunyai kepandaian sulit dijajaki ini saja da-

pat dibuat tunggang langgang, tentu dapat kita 

bayangkan betapa tinggi kesaktian yang dimiliki 

oleh Penggoro Bumi.

Melihat tiga lawannya roboh dalam kea-

daan payah. Maka Penggoro Bumi langsung men-

gambil kesempatan. Tiba-tiba ia menerjang Tu-

menggung Dadung Ampel sambil sabetkan senja-

ta di tangannya. Sang Tumenggung tentu saja ti-

dak menyangka datangnya serangan ini. Ia coba 

menghindar, namun gerakan yang dilakukannya 

sudah terlambat.

Pedang merobek perutnya. Tumenggung 

terhuyung-huyung sambil menjerit dan mendekap 

perutnya yang mengucurkan darah.

"Kau segera mampus, Tumenggung!" teriak


Penggoro Bumi kalap.

Ia kembali kibaskan senjatanya. Namun di 

waktu itu Datuk Satu sudah menghadangnya dari 

arah samping. Senjata miliknya pun berkiblat.

Traang!

Terjadi benturan sangat keras sekali. Dua-

duanya tampak terhuyung-huyung. Penggoro 

Bumi mengeram marah, senjata di tangan dipu-

tarnya dengan sebat. Tetapi dari arah samping 

Datuk Dua yang sudah dapat menguasai diri 

menghantam punggungnya dengan senjata yang 

aneh itu.

Bokongan ini tentu sulit dihindari oleh 

Penggoro Bumi. Tidak ayah lagi....

Des!

"Akkk...!"

Laki-laki itu berteriak kesakitan. Lukanya 

cukup parah juga, menyadari dirinya terancam 

bahaya. Maka Penggoro Bumi kembali meledak-

kan asap penghilang jejak.

Buuum! 

Untuk yang kedua kalinya suasana kemba-

li berubah gelap. Laki-laki baju hitam ini lang-

sung berkelebat pergi. Di kejauhan terdengar 

sayup-sayup suara Penggoro Bumi.

"Tumenggung, hati-hatilah. Aku akan da-

tang lagi dalam waktu yang tidak begitu lama!"

"Keparat! Manusia licik pengecut, mengapa 

tidak sekarang saja kau berhadapan dengan ka-

mi!?" teriak Datuk Empat.

"Jangan kejar, adikku. Tumenggung dalam


keadaan terluka. Kita harus menolongnya!" cegah 

Patuk Satu.

Ketika keempat Datuk itu menghampiri 

Tumenggung, Dewi Anggini sedang berusaha 

membalut luka di bagian perut ayahnya.

"Biarkan kami yang merawatnya, Anggi!" 

ujar Datuk Satu.

"Boleh saja. Tapi aku harus mendampingi 

ayah. Aku khawatir atas keselamatannya!" sahut 

Dewi Anggini cemas.

Maka Tumenggung Dadung Ampel mereka 

boyong menuju kamar peristirahatannya. Se-

dangkan beberapa pengawal yang ikut menyaksi-

kan pertarungan tadi kembali ke tempat tugasnya 

masing-masing.



ENAM



Keesokan paginya Dewi Anggini langsung 

menemui Suro Blondo. Pemuda ini terkejut sekali 

melihat kehadiran Dewi yang pernah mengan-

camnya ketika beberapa waktu yang lalu mereka 

bertemu di pinggir hutan.

"Akhirnya kau nekad juga datang kemari, 

Suro. Tapi entah mengapa aku yakin kau mera-

hasiakan sesuatu. Kenyataan ini lebih kuyakini 

lagi ketika kau berpura-pura seperti orang tolol 

ketika berhadapan dengan Datuk Empat." kata 

gadis itu sambil memandang tajam pada Suro 

Blondo.


"Apakah ini kau anggap suatu kesalahan 

yang sangat fatal?" tanya Pendekar Blo'on.

"Tentu saja tidak. Cuma kau harus berte-

rus terang padaku apakah kau tahu siapa sebe-

narnya Ki Marunda?"

Suro Blondo garuk-garuk kepalanya, ke-

mudian menyeringai. "Seharusnya kau tidak ber-

tanya kepadaku. Karena tadi malam pun kau te-

lah mendengar secara langsung dari orangnya. Ki 

Marunda alias Penggoro Bumi aku pernah men-

dengar laki-laki itu berdebat dengan kakang kan-

dungnya di gunung Lawu. Persoalannya dengan 

orang tuamu adalah sebuah persoalan yang san-

gat klise. Kau tahu mereka meributkan persoalan 

asmara nenek-nenek yang telah terkubur di da-

lam tanah. Karena orang tuamu masih berhu-

bungan darah dengan putri Prada yang sampai 

sekarang tentu sudah menjadi tulang belulang. 

Maka Penggoro Bumi menuntut ayahmu. Tentu 

bagi kita hal ini sangat ironis bukan? Padahal me-

reka bukanlah pasangan suami istri. Ha ha ha... 

Sungguh bodoh sekali mereka, Penggoro Bumi le-

bih tolol lagi!"

"Mengapa kau tertawa?" bentak Dewi Ang-

gini gusar.

Rupanya walau bagaimanapun Dewi Ang-

gini merasa bahwa persoalan yang dihadapi oleh 

orang tuanya termasuk persoalan yang sangat se-

rius.

"Aku tertawa karena aku merasa ada yang 

lucu. Mana mungkin aku menangis bila sedang


gembira atau tertawa bila sedang bersedih. Jan-

gan-jangan orang akan mengatakan bahwa aku 

ini...!"

"Orang gila...!" potong Dewi Anggini masih 

tetap cemberut.

"Ya... orang gila." Pendekar Blo'on ka-

tupkan bibirnya. Tidak lama setelah itu sikapnya 

berubah serius. "Dewi yang cantik dan yang baik. 

Jika kau mau percaya padaku. Aku mempunyai 

berita yang besar untuk keluargamu. Berita itu 

tidak ubahnya dengan penyakit koreng yang san-

gat kronis lagi menular, bila aku biarkan, bukan 

mustahil dalam waktu dekat seluruh keluargamu 

dan juga semua penghuni Katemenggungan ini 

terkena wabahnya."

"Apa maksudmu Suro?"

"Ah...!" Pendekar Blo'on celingukan seakan 

takut apa yang ingin disampaikannya didengar 

oleh orang-orang yang tidak dikehendakinya.

"Katakanlah apa saja yang ingin kau sam-

paikan, jangan terlalu bertele-tele...!" Dewi keliha-

tan sudah tidak sabar lagi.

"Untuk mengatakan sesuatu yang sangat 

rahasia. Sebaiknya kita bicarakan di dalam saja." 

kata Suro Blondo sambil menunjuk ke arah be-

deng yang ditempatinya.

Karena memang merasa penasaran ingin 

mendengar apa yang ingin disampaikan oleh pe-

muda berambut hitam kemerahan ini. Maka Dewi 

Anggini mengikuti ucapan si pemuda.

Tidak lama kemudian mereka telah berada

di dalam ruangan yang tidak begitu luas. Kemu-

dian Suro dengan gamblang menceritakan segala 

sesuatu yang diketahuinya termasuk rencana 

yang akan dilakukan oleh empat datuk bersama 

laki-laki tua bercaping dan bermata buta.

Jika saja Suro Blondo tidak menyinggung 

tentang kehadiran laki-laki bercaping tentu Dewi 

Anggini tidak percaya. Tidak karena Suro menye-

but-nyebut tentang si Mata Iblis. Mau tidak mau 

Dewi terperanjat juga. Sungguhpun begitu ia juga 

harus berhati-hati. Karena sesungguhnya ia sen-

diri tidak tahu siapa Suro Blondo yang sesung-

guhnya.

"Waktu penyerangan sudah semakin ber-

tambah dekat. Jika kau mau, sebaiknya cepat 

kau kabarkan berita ini pada orang tuamu. Saat 

sekarang ini posisi Katemenggungan Kediri benar-

benar dalam keadaan yang sangat mengkhawatir-

kan...!" kata pemuda berbaju biru ini khawatir.

"Rasanya sulit untuk mengatakan sesuatu 

yang sangat rahasia sifatnya. Karena diantara 

empat Datuk. Terkadang selalu mendampingi 

ayahanda kemanapun beliau pergi."

"Tapi... sebagai anak, tentu kau punya ba-

nyak kesempatan untuk mengatakan apa yang 

kau ketahui. Hari tinggal empat hari lagi. Aku 

akan melakukan sesuatu yang tentu saja dengan 

dalih yang tidak dapat disangkal oleh Empat Da-

tuk. Sebagaimana pembicaraan mereka yang aku 

dengar. Mereka akan menyerang Katemenggun-

gan ini dengan melibatkan rakyat yang tidak berdosa."

"Bagaimana mungkin dapat terjadi?" Dewi 

Anggini semakin bertambah was-was.

"Mata Iblis, kalaupun matanya memang 

bukan mata ikan asin. Kudengar-dengar mempu-

nyai kemampuan untuk menundukkan orang 

lain. Aku tidak tahu cara mereka melakukannya. 

Tapi menurut kawanku Dogma, orang-orang di

luar Katemenggungan sekarang mempunyai tin-

dak tanduk yang cenderung memberontak."

"Kau harus katakan padaku, Suro. Siapa 

Dogma yang sebenarnya?" desak Dewi.

Pendekar Mandau jantan ini geleng-

gelengkan kepala sambil menggaruk rambutnya 

berulang-ulang.

"Dogma menurut penglihatan adalah laki-

laki banci. Aku tidak tahu siapa dia sesungguh-

nya. Ibunya, neneknya atau saudara-saudaranya. 

Karena ketika aku mulai bekerja disini dia me-

mang sudah ada."

Dewi hampir tertawa mendengar ucapan 

Suro. Pemuda ini sungguhpun tampan tampang-

nya tolol. Namun dibalik ketololannya ia memiliki 

kecerdikan dan rasa humor yang tinggi. Ia merasa 

tidak yakin kalau Suro Blondo merupakan pemu-

da biasa. Paling tidak ia mempunyai kepandaian 

tersembunyi. Tokh kalau memang benar. Menga-

pa ia menyembunyikan kepandaiannya dan mau 

menjadi tukang pengurus kuda?

"Baiklah, Suro. Apa yang kudengar dari 

akan kusampaikan pada ayah. Tapi ingat, jika

kau berbohong padaku. Maka kau akan kami 

gantung di alun-alun Katemenggungan!" ancam 

Dewi Anggini.

Suro Blondo mengedipkan matanya. "Aku 

tentu suka digantung oleh gadis secantikmu. Tapi 

harus kau ingat, apa yang baru saja kusampai-

kan ini jangan sampai tercium oleh empat Datuk!"

Dewi Anggini menganggukkan kepala. Ia 

bangkit berdiri, namun entah mengapa ia merasa 

berat untuk meninggalkan Suro Blondo. Pemuda 

tampan berambut kemerahan ini.

"Baiklah sekarang aku harus pergi dulu. 

Aku takut Empat Datuk mengetahui aku berada 

disini."

Suro Blondo mengantarkan tamunya sam-

pai di depan pintu. Dipandanginya kepergian De-

wi Anggini sampai gadis itu menghilang dari pan-

dangan mata Pendekar Blo'on.

***

Pendekar Blo'on baru saja hendak mening-

galkan pintu ketika ia mendengar suara langkah-

langkah kaki mendekatinya. Dengan cepat ia me-

noleh. Pemuda ini tersenyum ketika melihat siapa 

yang datang. Kali ini untuk pertama kalinya ia 

memandangi Dogma dengan tatapan mata tidak 

berkedip sedikitpun.

"Mata itu... mengapa baru sekarang aku 

seperti mengenalnya? Aku merasa seperti pernah 

bertemu dengannya." batin Pendekar Blo'on dalam hati.

"Kau baru saja bertemu dengan seorang 

gadis dan merupakan putri keluarga terhormat, 

sobat!" desah Dogma. Ia tanpa menunggu lagi 

langsung masuk kedalam ruangan.

Ketika melihat ada kendi menggeletak di 

atas meja jati. Dogma langsung meneguknya.

"Ah nyaman sekali air ini. Tapi... mengapa 

rasanya seperti ini?" Lidah Dogma mendecap-

decap. Ada yang terasa lain pada air yang baru 

diminumnya. Dogma meneguknya lagi. Pada saat 

itu Suro buru-buru berkata.

"Hei... jangan kau minum...! Itu... itu...!"

Gluk! Gluuk!

"Aduh celaka. Mengapa kau habiskan air 

itu?" Suro Blondo geleng-gelengkan kepala. Ke-

mudian ia pun tertawa membahak hingga mem-

buat Dogma terheran-heran.

"Ada apa sobat?"

"Kalau mau minum bilang-bilang dulu pa-

daku."

"Kenapa rupanya?"

"Air... air didalam kendi itu kencing kuda 

yang akan kupergunakan untuk menyiram tana-

man di taman... ha ha ha ha...! Rupanya kau pal-

ing suka kencing kuda. Pantesan kau tidak per-

nah mau minum arak wangi, Dogma!"

Wajah Dogma berubah merah padam. Pe-

rutnya mendadak terasa mual. Namun ia tidak 

dapat memuntahkan air yang diminumnya sung-

guhpun ia telah berusaha memuntahkannya.


"Kau mengapa tidak mau mengatakannya 

sejak tadi?" dengus Dogma marah.

"Aku salah? Bukan aku yang salah. Kaulah 

yang salah! Seharusnya kau bertanya dulu pada-

ku jangan asal main sambar saja." Suro Blondo 

masih tetap tersenyum.

Dogma memalingkan wajahnya ke arah 

lain. Tidak seorangpun yang dapat membaca piki-

rannya saat itu.

"Aku heran, Katemenggungan benar-benar 

diambang bahaya. Tapi kau masih dapat tertawa 

dan tersenyum seperti orang gila!" tegas Dogma 

serius.

"Aku lebih heran lagi, entah siapa kau ini. 

Tubuhmu harum seperti perempuan. Tatapan 

matamu seperti pernah kulihat. Lalu apa renca-

namu untuk mengatasi persoalan majikan kita 

ini?"

"Aku tidak becus apa-apa."

"Ha ha ha...! Janganlah berbohong padaku. 

Aku dapat melihat pakaianmu. Tapi aku tidak 

dapat melihat apa yang tersembunyi dibalik pa-

kaianmu... Sungguhpun begitu aku tahu sebe-

narnya kau mempunyai kepandaian yang cukup 

lumayan. Sekarang sudah waktunya bagi kita un-

tuk mengatur rencana selanjutnya." Suro Blondo 

kemudian duduk di pinggir dipan bambu. Semen-

tara Dogma berjalan mondar-mandir di depannya 

seperti orang yang sedang memikirkan sesuatu 

yang rumit.

"Apa kau punya pendapat jika kita ba


riskan kuda dan anak-anaknya dihalaman Kate-

menggungan?"

"Aku setuju karena akupun baru saja be-

rencana begitu. Ah... mengapa jalan pikiran kita 

hampir sama?" Pendekar Blo'on tepuk-tepuk ke-

ningnya.

"Apa coba kelanjutannya?" pancing Dogma.

"Kuda-kuda itu kita ikat antara satu den-

gan yang lainnya. Pintu dan tembok kita bongkar. 

Bila ada penyerangan kita hanya tinggal mengha-

lau kuda-kuda itu. Sehingga mereka akan berlari 

tunggang langgang. Dibelakang barisan kuda ba-

ru kita siapkan pasukan pemanah itu. Setelah itu 

baru kita persiapkan pula prajurit-prajurit pe-

rang. Bagaimana?"

"Aku setuju. Memang itulah rencana yang 

sedang ku pikirkan!"

"Nah sekarang kita tinggal minta izin pada 

Tumenggung."

"Jadi kau belum membicarakannya pada 

Dewi?" Dogma kaget.

"Belum." jawab Suro polos.

"Yaa... ampun. Jadi apa saja yang kau bi-

carakan dengannya, sobat?"

"Tentang rencana empat kampret yang 

akan menggulingkan kekuasaan Tumenggung."

"Seharusnya kau sudah mengatakan pada 

Dewi, tadi."

"Aku lupa." Pendekar Blo'on garuk-garuk 

rambutnya.

"Baiklah, rencana ini harus kita jalankan


secepatnya! Sekarang kita bagi tugas. Kau harus 

dapat menyakinkan Tumenggung!"

"Bagaimana dengan Empat Datuk?"

"Pagi tadi aku melihat mereka keluar dari 

tembok belakang. Kurasa mereka akan mengada-

kan serangan malam hari. Sasaran kita sudah je-

las, orang-orang itu pasti menjadi umpan."

"Dan aku tidak tega membunuh orang-

orang yang tidak mempunyai salah apa-apa. Ba-

gaimana ini?"

"Jangan bodoh sahabat Suro. Mereka ada-

lah orang-orang yang telah dikendalikan oleh se-

buah kekuatan. Jika kita tidak membunuhnya, 

pasti kita atau Tumenggung yang akan terbu-

nuh!"

"Itulah yang membuat hatiku risau. Tapi 

jangan pula kau pikirkan!"

Suro Blondo menganggukkan kepala.



TUJUH



Ketika tengah hari Suro Blondo menjumpai 

Tumenggung Dadung Ampel di ruangan priba-

dinya dengan ditemani oleh Dewi Anggini. Laki-

laki berbadan semampai dan berambut kelimis ini 

jadi tercengang mendengar usul si pemuda. Na-

mun untuk melarang semuanya sudah terlambat. 

Benteng yang mengelilingi kediaman Katemeng-

gungan pada bagian depannya telah terbuka lebar.


"Ini merupakan tindakan yang sangat ke-

terlaluan! Kepada siapa kau minta ijin, Dewi? 

Dengan terbongkarnya benteng depan. Sama ar-

tinya bahwa gerakan lawan tidak akan terben-

dung. Lagipula Datuk Empat mana mungkin 

berkhianat pada kita. Aku tahu pengabdian me-

reka, sungguhpun mereka belum lama mengabdi 

di Katemenggungan ini. Sedangkan kau orang 

muda, siapakah kau yang sesungguhnya...?" sua-

ra Tumenggung Dadung Ampel tajam menusuk.

Suro Blondo terdiam.

"Cepat katakan atau aku akan memerin-

tahkan pada para pengawal untuk menjeb-

loskanmu kedalam penjara!"

"Maaf gusti. Aku tidak dapat mengatakan 

siapa diriku. Yang jelas aku punya tujuan yang 

baik untuk membantu gusti Tumenggung di sini." 

desah Suro Blondo menghaturkan sembah.

"Jika kau mempunyai tujuan yang baik. 

Mengapa kau merahasiakan siapa dirimu yang 

sesungguhnya?" tanya Tumenggung Dadung Am-

pel curiga.

"Coba berterus teranglah, Suro agar ayah 

dapat memahaminya!" ujar Dewi.

"Saya adalah orang yang tidak suka dian-

cam, gusti. Kalau gusti tetap mencurigai saya. 

Maka lebih baik saya pergi dari sini. Dan Tu-

menggung akan menghadapi serangan massa seo-

rang diri, sementara Empat Datuk akan membo-

kong Tumenggung dari belakang."

"Hmm, begitu. Kalau Empat Datuk mau


berterus-terang siapa mereka. Apakah sekarang 

aku harus membiarkan orang yang tidak mau 

berterus-terang tentang siapa dirinya?!"

"Kalau Tumenggung memaksa juga. Saya 

akan mengatakan siapa sesungguhnya saya 

ini...!" sahut Pendekar Blo'on. Saking kesalnya ia 

menggaruk kepala berulang-ulang.

"Nah, katakanlah...!"

"Namaku Suro Blondo. Aku berasal dari 

gunung Bromo dan guruku membesarkan aku di 

gunung Mahameru. Julukanku Pendekar Blo'on. 

Apakah keteranganku ini sudah cukup bagi an-

da?"

Tumenggung Dadung Ampel jadi terkesima. 

Begitu juga halnya dengan Dewi Anggini. Sama 

sekali mereka tidak menyangka bahwa pendekar 

yang akhir-akhir ini namanya sering dibicarakan 

orang-orang persilatan kini telah berhadapan 

langsung dengan mereka. Tumenggung Dadung 

Ampel tiba-tiba merasa dirinya kerdil didepan Su-

ro Blondo.

"Pendekar Blo'on. Tidak kusangka aku da-

pat bertemu dengan orang yang tersohor seperti-

mu. Betapa beruntungnya aku ini." guman sang 

Tumenggung penuh rasa takjub.

Sebaliknya pemuda baju hijau ini hanya 

menggaruk rambutnya. Dalam hati ia merasa ka-

sihan juga melihat keadaan Tumenggung yang be-

lum sembuh sepenuhnya

"Rupanya kau sengaja menyusup ke kan-

dang kuda untuk menyelamatkan kami, Pendekar?" kata Dewi Anggini penuh rasa kagum.

"Kurasa tidak ada cara lain, Anggi. Aku ta-

kut Empat Datuk mengetahui semua rencanaku. 

Itulah sebabnya aku rela jadi pecundang ketika 

Empat Datuk menanyaiku. Setelah mengurus ku-

da aku jadi pecundang kudu pula"

"Baiklah, anak muda. Sekarang setelah 

mendengar dan mengetahui asal usulmu. Tentu 

aku tidak meragukan rencanamu. Terus terang 

Katemenggungan ini punya pengawal terbatas. 

Jika Datuk Empat menyerang kemari, aku tentu 

kurang dapat membantu mengingat lukaku be-

lum sembuh. Bagaimana pun tidak bisa berpang-

ku tangan. Jadi kekuatan untuk menghadapi 

Empat Datuk dan gurunya tergantung sepenuh-

nya di pundakmu. Apa mungkin kita minta ban-

tuan jago-jago bayaran?"

"Jago bayaran kurasa sulit dicari. Tapi jika 

Tumenggung berkenan, aku punya kawan seo-

rang pengurus kuda juga. Namanya Dogma Pali-

wara."

"Dogma Paliwara memang telah bekerja 

dengan kami sebelum kau kemari. Sungguh pun 

makannya banyak, kurasa dia tidak punya ke-

pandaian apa-apa. Aku ragu!"

Pendekar Blo'on tersentak kaget menden-

gar penjelasan Tumenggung Kediri. Sebab sein-

gatnya Dogma tidak lain adalah seorang laki-laki 

berbadan ramping. Makannya sedikit sekali seperti makan ayam. Dadanya membusung. Selain 

itu suaranya pun mirip perempuan yang sedang


batuk.

"Gusti ada menyinggung Dogma merupa-

kan laki-laki berbadan besar?" bertanya Suro 

seakan tidak percaya.

"Betul. Ada apa rupanya?"

Suro jadi kelabakan. Haruskah ia mene-

rangkan ciri-ciri yang dimiliki Dogma? Bagaimana 

pula bila Dogma yang bekerja dengannya adalah 

orang yang sedang melakukan penyamaran? Pen-

dekar Blo'on jadi pusing sendiri.

"Jadi bagaimana selanjutnya, Suro?" tanya 

Dewi.

"Kita hanya menunggu malam. Jika Empat 

Datuk tidak merubah rencananya. Tentu malam 

ini kita akan menghadapi pertempuran sengit."

"Aku telah mempersiapkan segala-galanya. 

Pasukan pemanah dan juga prajurit-prajurit yang 

siap tempur." tegas Dewi Anggini.

"Bagus anakku. Sungguh pun aku tidak 

menyukai pertempuran ini. Tapi nampaknya kita 

tidak punya pilihan lain." desah Tumenggung 

dengan wajah muram.

Suro geleng-gelengkan kepala.

"Kalau punya pilihan lain tentu aku tidak 

mau membicarakan persoalan ini denganmu, 

Tumenggung!" batin pendekar Blo'on.

***

Suara lolongan anjing sejak menjelang ma-

lam tadi terus terdengar mendayu-dayu. Membuat


tengkuk setiap orang yang mendengarnya mere-

mang berdiri. Malam ini kota Kediri terasa begitu 

sunyi, tidak sebagaimana biasanya pada saat-saat 

seperti ini selalu terdengar suara kentongan atau 

suara tawa dan canda orang-orang yang sedang 

bertugas jaga.

Di depan halaman Katemenggungan yang 

sunyi sepi itu. Belasan ekor kuda tampak mulai 

mengantuk. Berbeda halnya dengan sepasukan 

pemanah dan para pengawal yang siap tempur.

Mereka semuanya tampak tegang. Dogma 

berdampingan dengan Tumenggung Dadung Am-

pel juga Dewi Anggini. Sedangkan Pendekar 

Blo'on berkeliaran bebas memantau setiap per-

kembangan di luar sana.

Hingga jauh malam Empat Datuk yang ter-

diri dari Datuk Satu, Dua Tiga dan Empat masih 

belum juga kembali. Ini semakin memperkuat 

keyakinan sang Tumenggung bahwa apa yang di-

katakan oleh Pendekar Blo'on memang benar 

adanya.

"Kuda-kuda itu memang tidak tahu ba-

haya. Dari pagi kuberi mereka makan hingga ke-

nyang. Kotorannya saja yang banyak, sekarang 

malam mau membesarkan taik mata. Dasar bina-

tang!" Suro Blondo menggerutu.

Dalam kegelapan malam itu mata sang 

pendekar mencari-cari. Tiba-tiba matanya terbela-

lak lebar. Dari tiga penjuru arah ia melihat ca-

haya obor bergerak ke Katemenggungan. Sayup-

sayup terdengar sorak sorai mereka. Orang-orang

yang membawa berbagai jenis senjata ini rata-rata 

bertampang dingin. Tatapan mata mereka kosong 

tanpa cahaya kehidupan. Dan yang sungguh 

membuat Pendekar Blo'on gelang-gelengkan kepa-

la karena yang berasal dari bagian utara semua-

nya memakai pakaian serba merah.

"Inikah yang mereka katakan sebagai pem-

berontak merah?" Si Pemuda membatin. Lalu ia 

menoleh ke arah selatan, dari bagian selatan 

tampak serombongan dalam jumlah besar mema-

kai pakaian serba hitam. Lalu dari timur berbaju 

serba kuning.

"Merah hitam dan kuning! Empat Datuk 

benar-benar seorang pengendali dan pengatur pa-

sukan yang sudah sangat terlatih."

Pemuda tampan berambut hitam kemera-

han ini kemudian mengirimkan isyarat berupa si-

ulan panjang.

Pasukan pemanah langsung merentang 

busur. Rasa tegang jelas menghinggapi jiwa setiap 

orang. Apalagi mengingat semakin lama mereka 

semakin bertambah dekat saja.

Ketika jarak mereka semakin bertambah 

dekat, maka terdengarlah suara teriakan di sana-

sini. 

"Serbu...!!!"

"Bunuh Tumenggung Dadung Ampel!"

"Ganyang...!" 

"Sikat...!"

Suara hiruk pikuk dari orang-orang yang 

dilanda kemarahan ini kemudian diwarnai dengan


suara ringkik kuda yang bergerak liar tak kendali 

memporak porandakan barisan penyerang yang 

terdiri dari rakyat biasa ini.

Para penyerang sebagian tunggang lang-

gang. Mereka ada yang tewas seketika karena te-

rinjak kuda-kuda yang dipasang tali-tali. Suasana 

tentu saja semakin hingar bingar ketika lampu-

lampu dinyalakan.

"Panah...!" Tumenggung Dadung Ampel 

memberi aba-aba.

Tanpa ampun panah-panah yang dile-

paskan oleh barisan pemanah langsung meng-

hunjam kebagian tubuh sasarannya.

Jerit kematianpun terdengar, mayat-mayat 

bergelimpangan. Lalu diantara massa yang beru-

bah beringas melihat kematian saudara-

saudaranya ada yang menjadi nekad. Mereka 

langsung menerjang barisan pemanah dengan 

senjata terhunus. Pertempuran besar dalam jarak 

yang cukup dekat pun tidak dapat dihindari lagi. 

Denting suara beradunya senjata tajam pun tera-

sa merobek keheningan malam. Tentu saja kor-

ban terlalu banyak jatuh di pihak penduduk biasa 

yang telah berada dalam pengaruh kekuatan Mata 

Iblis. Karena pada dasarnya mereka memang ti-

dak tahu menahu tentang seluk beluk peperan-

gan. Sungguhpun tidak dapat dipungkiri bahwa 

di pihak Katemenggungan korban juga mulai ber-

jatuhan satu demi satu.

Dogma, Dewi Anggini serta Tumenggung 

Dadung Ampel akhirnya tidak dapat tinggal diam


juga. Mereka terpaksa turun tangan ketika meli-

hat jumlah penyerang semakin lama semakin ber-

tambah banyak dan datangnya bagaikan gelom-

bang air bah.

Dengan turunnya ketiga orang ini, maka 

dalam waktu yang singkat, para penyerang yang 

jumlahnya mencapai tiga kali lipat dibandingkan 

pasukan Katemenggungan ini mulai menyusut.

Namun anehnya sampai sejauh itu Empat 

Datuk tidak juga muncul. Padahal inilah saat-

saat yang paling dinanti-nantikan oleh Suro 

Blondo.

Lebih kurang tiga setengah jam pertarun-

gan berkecamuk. Tumenggung Dadung Ampel 

mengamuk bagaikan banteng yang terluka. Seba-

liknya Dogma yang menggebrak lawannya dengan 

mempergunakan senjatanya yang berupa trisula 

inipun mulai tampak kelelahan, begitu juga hal-

nya dengan Dewi yang mempergunakan pedang-

nya untuk membantai lawan-lawannya.

Pada saat-saat seperti itu pula muncul tiga 

orang berpakaian serba hitam memakai kedok 

penutup wajah. Kehadiran mereka tentu saja 

membangkitkan semangat penyerang yang sudah 

lumer.

"Tumenggung! Hari ini hancurlah sudah 

kekuasaanmu! Kalian harus menyerahkan diri 

kepada kami!" dengus salah satu dari ketiga pen-

datang ini dengan kasar.

"Hh, aku tahu siapa kalian. Empat Datuk 

pengkhianat. Mana kawan kalian yang satu lagi.


Aku pun tidak melihat si buta mata. Mengapa ka-

lian memperalat orang-orang yang tidak berdosa?" 

desis Tumenggung Dadung Ampel berang. 

Ketiga laki-laki berkedok itu terkejut sekali. 

Mereka rupanya tidak menyangka Tumenggung 

Kediri mengetahui siapa mereka. Tentu saja me-

reka merasa percuma memakai kedoknya lagi. 

Sehingga dengan serentak mereka membuka ke-

doknya masing-masing.

Sementara itu dari atas atap Suro Blondo 

terus mengawasi. Tapi akhirnya ia tidak tahan ju-

ga setelah melihat tampang-tampang Empat Da-

tuk berkepala botak ini. Sehingga iapun melom-

pat turun dengan gerakan yang sangat ringan sekali.



DELAPAN



"Ha ha ha! Terus-terang sesungguhnya 

kami memang menginginkan kematianmu dan ju-

ga kematian keluargamu, Tumenggung. Jika guru 

kami Mata Iblis nanti menemuimu, maka kau 

akan tahu mengapa kami sangat membencimu. 

Rupanya rencana kami agak menemui hambatan 

karena ada seseorang yang telah membocorkan 

rahasia kami!" kata Datuk Tiga.

"Setiap perbuatan busuk cepat atau lambat 

akhirnya akan ketahuan juga datuk-datuk berke-

pala gundul. Seperti gundul kalian itu. Tentu saja 

rambut segan tumbuh diatasnya karena otak dan

kepala kalian selalu dipenuhi oleh rencana yang 

ngeres-ngeres!" celetuk Pendekar Blo'on hingga 

membuat tiga datuk menoleh ke arahnya. Mereka 

terkesima begitu mengetahui siapa yang bicara. 

Sementara itu pertempuran antara pengawal-

pengawal Katemenggungan dengan penduduk 

yang kena dihasut terus berlangsung. Sungguh-

pun jumlah mereka sudah tidak begitu banyak 

lagi

"Kau... bukankah tukang kuda yang tolol 

itu?" tanya Datuk Tiga.

"Aku sesungguhnya bukan tukang rawat 

kuda. Hanya karena aku mendengar bakal ada 

perebutan kekuasaan disini dan juga siasat keji. 

Makanya aku terpaksa harus rela menjadi tukang 

kuda." kata Suro Blondo. Kemudian ia mengga-

ruk-garuk kepalanya. "Sayang aku turut menden-

gar pembicaraan kalian beberapa malam yang la-

lu dengan seorang laki-laki buta bertampang je-

lek. Apakah orang itu bapak moyang kalian atau 

guru, eh...!"

"Bangsat! Semuanya sudah kepalang ba-

sah. Semula kami hanya bermaksud menghukum 

Tumenggung Dadung Ampel. Tapi karena manu-

sia setololmu ikut campur tangan. Untuk mem-

buat agar dunia tidak rusak karena kehadiran 

orang dengan semacammu. Maka kami juga ter-

paksa membunuhmu!" Datuk Dua tiba-tiba han-

tamkan tinjunya ke dada Suro. Sedangkan Datuk 

Tiga dan Datuk Empat menyerang Tumenggung 

Dadung Ampel secara keroyokan. Melihat kenyataan ini, Dewi Anggini dan Dogma tentu saja tidak 

tinggal diam. Bahu membahu mereka menghada-

pi Datuk Tiga dan Empat.

"Bagus! Majulah kalian semua biar kami 

tidak usah bersusah payah dan mengulur-ngulur 

waktu!"

"Banyak bacot! Hiyaa...!" Dogma memben-

tak garang. Tubuhnya dengan ringan melesat ke 

depan sambil kirimkan satu tendangan kilat ke 

dada Datuk Empat. Sementara dari arah lain De-

wi Anggini telah memasukkan pedangnya ke ba-

gian punggungnya.

Sambil memaki Datuk Empat membuang 

badannya ke samping lalu lepaskan pukulan ja-

rak jauh ke arah dua lawan sekaligus.

Dewi maupun Dogma tidak mau kalah. 

Dengan gerakan yang sangat indah sekali mereka 

bersalto ke belakang, lalu jatuhkan diri dan ber-

guling-guling.

Tumenggung Dadung Ampel ketika itu juga 

sedang menghadapi tekanan dari Datuk Tiga.

Tapi ia tetap tenang dalam menghadapi la-

wan yang satu ini. Apalagi mengingat keempat 

Datuk hanya menjadi lebih berbahaya bila me-

nyerang secara bersamaan. Dengan tidak hebat-

nya ia membalas setiap serangan yang dilancar-

kan oleh Datuk Tiga.

Kini ia terpaksa mengerahkan jurus "Peng-

hancur Karang' ketika Datuk Tiga menyerangnya 

dengan jurus andalan 'Prahara Melanda Samu-

dra'. Kedua-duanya saling serang dan pukul. Tidak jarang mereka bentrok dan tampak ter-

huyung-huyung bila terjadi bentrokan fisik dian-

tara mereka.

Sementara itu pertempuran yang terjadi 

antara Suro Blondo dengan Datuk Dua berlang-

sung lebih seru lagi.

Sungguhpun tidak meremehkan lawannya, 

tapi pemuda ini nampaknya sedang berusaha 

memancing kemarahan lawannya.

Ia mempergunakan jurus 'Kera Putih Me-

milah Kutu' ketika Datuk Dua mempergunakan 

jurus "Badai Gurun Pasir'. Jurus yang diperguna-

kan Datuk Dua ini sebenarnya tidak dapat diang-

gap main-main. Karena pada saat kaki dan tan-

gannya menyapu ke depan. Pada saat itu juga an-

gin menderu disertai menebalnya pasir yang sea-

kan terangkat dari permukaan tanah.

Tapi dengan gerakan yang sangat lucu dan 

seakan tanpa kontrol, Suro selalu dapat meng-

hindari serangan yang datang. Sekali-sekali ia 

berjongkok dan melompat-lompat dengan kaki di-

tekuk, lalu tangannya menggaruk-garuk ke ba-

gian punggungnya. Namun begitu lawan mele-

paskan tendangan dengan cepat ia sudah melom-

pat ke samping lalu menangkap kaki Datuk Dua.

Begitu tertangkap kaki lawan langsung di-

pelintirnya sehingga membuat lawan jatuh ter-

hempas dengan posisi menelungkup. Laksana ki-

lat Suro Blondo melompat lagi lalu menginjak-

injak punggung lawannya.

Hentakan kaki yang dilakukannya cukup


keras, hingga membuat Datuk Dua berteriak ke-

sakitan. Seraya kemudian berbalik dan hantam-

kan tangannya ke kaki Pendekar Blo'on. Tokh 

pemuda ini sudah melompat menjauh. Dengan 

geram sekali Datuk Dua himpun tenaga dalam-

nya. Rupanya ia telah bersiap-siap melepaskan 

pukulan 'Bintang Kemukus'.

Sekejap kedua tangan Datuk telah berubah 

menjadi terang. Sinar biru bercampur kuning 

memedar dari kedua tangannya yang saling ber-

tautan.

Pendekar Blo'on pencongkan mulutnya. La-

lu ia melompat ke belakang pada saat Datuk Dua 

hentakkan kedua tangan ke arahnya.

Sinar biru, merah kuning datang mengge-

bu. Pendekar Blo'on terkesiap lalu sambut puku-

lan lawannya dengan satu pukulan warisan gu-

runya Penghulu Siluman Kera Putih.

"Kera Sakti Menolak Petir!" teriak Suro 

Blondo.

Wus! Wus!

Secara berturut-turut Suro Blondo melam-

baikan tangannya memapaki serangan lawan 

yang menderu kencang ke arahnya.

Sinar putih laksana perak ini kemudian 

melesat dari telapak tangan Suro Blondo. Tidak 

pelak lagi, udara malam yang terasa dingin beru-

bah menjadi panas laksana berada ditengah-

tengah bara api. Kemudian.... 

Buum! Buum!

Terjadi ledakan yang sangat keras sekali.


Bumi terasa bagai diguncang gempa. Mereka yang 

sedang terlibat pertempuran tampak bergetar. Su-

ro sendiri sempat menjerit dan bersalto menghin-

dar ketika hawa panas terasa seperti membalik 

dan membuat leleh tulang dan dagingnya.

"Uhuk...! Huuk! Hoeek!" 

Ketika ia terbatuk maka darah meleleh dari 

bibirnya. Datuk Dua segera memperbaiki kuda-

kudanya yang sempat goyah. Kini ia merasa bera-

da diatas angin setelah melihat keadaan lawan-

nya. Dengan penuh nafsu ia menghimpun kemba-

li tenaga dalamnya. Lalu segera mengerahkannya 

kebagian kedua tangannya. Melihat lawan ber-

siap-siap melepaskan pukulan dahsyat untuk 

yang kedua kalinya. Pendekar Blo'on menyeringai.

"Tuyul iblis ini ternyata tidak dapat diang-

gap main-main. Kurasa hanya pukulan 'Ratapan 

Pembangkit Sukma' saja yang dapat mengimbangi 

pukulannya." Pendekar Blo'on menggumam diha-

ti.

Seraya kemudian memperbaiki posisinya. 

Selanjutnya dengan mata setengah terpejam ia te-

lah mengeluhkan tenaga dalam yang dimilikinya. 

Masih dengan mengandalkan jurus 'Serigala Me-

lolong Kera Sakti Kipaskan Ekor' tubuhnya berge-

rak cepat. Mulutnya terus memperdengarkan su-

ara aneh seperti orang yang menjerit-jerit histeris. 

Suara yang ditimbulkannya jelas mengganggu 

konsentrasi lawannya. Bahkan Datuk Tiga dan 

Datuk Empat yang sedang menghadapi Tumeng-

gung, Dogma dan Dewi pun merasa terganggu.


"Keparaaaat...! Hiyaaa...!"

Ditengah-tengah teriakan kemarahannya 

itu Datuk Dua mendorongkan kedua tangannya 

ke depan.

Wuuukh...!

Splash!

Sinar merah biru dan hitam kembali meng-

gebu. Kali ini tentu saja dengan kekuatan berlipat 

ganda. Si pemuda seka keningnya, lalu melam-

baikan tangannya pula untuk memapaki pukulan 

yang menderu ke arahnya.

Sinar putih perak melesat bagaikan kilat. 

Hanya dalam waktu sepersekian detik kedua tan-

gan sakti ini saling bertemu.

Bumm...!

"Aaaa...!"

"Iiikh...!"

Baik Datuk Dua maupun Suro sama-sama 

menjerit. Tubuh mereka terlempar sejauh tujuh 

tombak. Lebih celaka lagi Datuk Dua jatuhnya 

menghantam tembok benteng.

Sekujur tubuh laki-laki berkepala botak ini 

berubah menghitam. Sedangkan Suro Blondo 

sambil memegangi pinggangnya yang seperti pa-

tah bangkit berdiri secepatnya.

"Mati kau...!" desisnya sambil berusaha 

mengembalikan nafasnya yang tersendat-sendat.

Diluar dugaan ternyata Datuk Dua masih 

mampu bangkit lagi. Sungguhpun sebagian badannya nyaris hangus.

"Kampret! Alot juga nyawa keledai gundul

ini!" batinnya dalam hati.

Sriing!

Pendekar Blo'on kemudian mencabut sen-

jatanya berupa Mandau Jantan berwarna hitam 

dengan empat lubang miring pada bagian tengah-

tengahnya. Ketika pemuda ini mengerahkan tena-

ga dalam dan memutar senjata maut dengan ga-

gang berbentuk pertapa berkepala gundul ini. 

Maka terdengarlah suara rintihan kuda jantan 

dan juga suara tangis yang begitu menyentuh 

kalbu. Semua orang yang berada disekitar per-

tempuran sempat terkesima. Datuk Dua tidak ka-

lah kagetnya, ia mencabut rantai berbandul bola 

berduri. Namun sebelum ia sempat memutar sen-

jata aneh dan berbahaya di tangannya. Lawan te-

lah melesat ke arahnya.

Demikian cepat gerakan Pendekar Blo'on 

ini, lebih celaka lagi sulit untuk diduga. Dalam 

keadaan terluka parah itu Datuk Dua masih be-

rusaha mengelak. Namun senjata pemuda be-

rambut hitam kemerahan ini bergerak lebih cepat 

dari dugaannya.

Datuk Dua masih berusaha menangkis 

dengan mempergunakan rantai ditangannya. Tapi 

hanya dengan sekali babat saja rantai itu putus 

menjadi dua. Mandau jantan terus meluncur dan 

menghantam dada Datuk Dua.

Crook!

"Ayaaaak...!" Datuk Dua terpelanting sam-

bil mengeluarkan suara jeritan menyayat. Dadanya terbelah sampai ke perut dan mencapai


bagian kemaluannya. Darah menyembur tidak 

ada henti dari luka yang sungguh menggiriskan 

itu. Tanpa menghiraukan lawannya yang mere-

gang nyawa. Kini pendekar bertampang konyol ini 

melompat ke arah lain.

Sasaran berikutnya adalah Datuk Tiga 

yang kini mulai berada diatas angin dalam meng-

hadapi Tumenggung Dadung Ampel. Sedangkan 

Tumenggung Kediri itu sendiri kala itu sudah 

menderita luka dalam yang tidak ringan. Lebih 

dari itu dibeberapa bagian tubuhnya sekarang 

terlihat bekas luka-luka akibat terkena pedang 

milik Datuk Tiga.

"Menyingkirlah gusti Tumenggung! Aku ha-

rus mengirimkan datuk keparat ini menyusul ka-

wannya ke neraka!" kata Suro Blondo.

Melihat kehadiran Pendekar Blo'on Tu-

menggung Dadung Ampel segera menarik diri dari 

kalangan pertempuran. Tapi begitu melepas la-

wannya, ia langsung bergabung dengan Dogma 

dan anaknya Dewi Anggini.

Jika tadi menghadapi dua lawan Datuk 

Empat sudah kerepotan, apalagi mengingat Dog-

ma dengan senjatanya yang berupa trisula me-

mang tidak dapat dianggap enteng. Apalagi kini ia 

menghadapi tiga orang lawan sekaligus.

Sementara itu Datuk Tiga sendiri mulai 

tampak terdesak manakala Pendekar Blo'on men-

gerahkan jurus 'Tawa Kera Siluman'. Keistime-

waan pada jurus ini dan tidak pernah ada pada 

jurus-jurus Suro lainnya adalah pada saat menyerang. Tidak henti-hentinya ia tertawa. Se-

dangkan dalam suara tawa itu terkandung tenaga 

dalam yang dapat menghancurkan konsentrasi 

lawannya. Di tambah lagi dengan gerakan-

gerakan yang dilakukannya tidak teratur dan 

terkesan sembarangan namun sangat berbahaya. 

Maka lengkaplah sudah penderitaan yang dirasa-

kan oleh Datuk Tiga. Laki-laki berbadan agak le-

bih pendek dibandingkan tiga lainnya ini telah 

mengerahkan semua kemampuan yang dimili-

kinya. Tapi permainan jurus-jurusnya tidak ber-

kembang. Ketika Datuk Tiga melepaskan pukulan 

'Lintang Kemukus' dan juga pukulan 'Bayang-

Bayang Langit'. Tetap saja pukulannya itu tidak 

mampu menembus pertahanan Suro akibat pe-

muda itu mempergunakan senjatanya untuk me-

lindungi diri.

Dalam keadaan begitu rupa, tiba-tiba Pen-

dekar Blo'on melepaskan pukulan 'Ratapan Pem-

bangkit Sukma'.

Angin kencang menderu disertai udara 

dingin yang semakin lama berubah menjadi buti-

ran-butiran es. Beberapa batang pohon yang ter-

dapat di halaman Katemenggungan itu bertum-

bangan dan segera terbungkus uap putih seperti 

salju.

Datuk Tiga terkesiap, sungguhpun ia telah 

melepaskan pukulan untuk memunahkan penga-

ruh udara dingin yang membekukan itu. Tetap 

saja pukulan 'Ratapan Pembangkit Sukma' melabraknya.


Tidak pelak lagi Datuk Tiga menggerung 

dahsyat saat pukulan itu menghantam tubuhnya. 

Laki-laki berkepala botak itu jatuh terguling-

guling dengan jiwa melayang dan tubuh membe-

ku.

Pada saat yang sama pula terdengar suara 

lolongan Datuk Empat. Rupanya Tumenggung 

Kediri, Dewi Anggini dan Dogma, laki-laki ber-

tampang seperti perempuan dan bersenjata Trisu-

la itu telah berhasil menjatuhkannya.

Tapi akibat pukulan yang dilepaskan oleh 

Suro Blondo tadi, mereka terpaksa mati-matian 

mengerahkan tenaga untuk menghilangkan pen-

garuh hawa dingin yang ikut menyerang mereka.

Pendekar Blo'on masukkan senjata ke da-

lam rangkanya. Ia bersiul tapi siulannya terasa 

begitu menyedihkan. Dengan gontai ia mengham-

piri Tumenggung Dadung Ampel.

"Inilah pemandangan yang sangat menye-

dihkan gusti Tumenggung. Halaman ini penuh 

tumpukan mayat dan genangan darah. Esok ma-

sih membutuhkan waktu satu hari untuk mengu-

burkan mereka. Padahal kita tidak tahu kapan 

Datuk Satu dan Mata Iblis akan datang kemari."

"Sudah menjadi resiko. Untuk pertama ka-

linya Tumenggung Kediri dilanda musibah begini 

menyedihkan."

"Lalu apa rencanamu, Pendekar?" Dogma 

tiba-tiba bertanya.

Pemuda itu memandang ke arah Dogma 

dengan perasaan heran tapi juga tercengang.


"Kau. Kau pasti bukan...!" Suro golang-

gelengkan kepalanya. "Kau pasti bukan laki-laki. 

Senjatamu sangat kukenal. Pasti kau Dewi Bu-

lan!" lanjut pemuda berambut kemerah-merahan 

ini dalam hati.

Dogma menyeringai, dalam hati ia merasa 

geli. Sebab ia tahu kira-kira apa yang ingin dika-

takan oleh pemuda yang selalu hadir dalam ha-

tinya ini.

"Dugaanmu tepat, Suro. Aku memang Dewi 

Bulan." kata Dogma dalam hati.

"Kawanmu ini juga telah banyak memban-

tu kami, Pendekar. Aku tidak tahu bagaimana ja-

dinya kalau tidak ada kalian."

"Ah, Tumenggung terlalu berlebihan. Seka-

rang sudah menjelang pagi. Sebaiknya Tumeng-

gung dan Dewi beristirahat. Biarkan kami yang 

melakukan penjagaan dan mengatur penguburan 

mayat-mayat ini."

"Tidak bisa! Mereka dapat muncul sewak-

tu-waktu. Bagaimana pun aku tidak dapat mem-

bebankan persoalan ini sepenuhnya pada orang 

lain."

"Kalau Tumenggung sudah bicara begitu, 

siapa berani melawan siapa biasa membantah. 

Marilah kita berjaga sampai pagi!" ujar Suro 

Blondo jenuh.


SEMBILAN


Penguburan massal mayat-mayat pendu-

duk yang ikut dalam penyerbuan maupun mayat-

mayat pengawal Katemenggungan tidak terlalu 

jauh dari pusat pemerintahan Tumenggung Kedi-

ri.

Namun karena jumlahnya begitu banyak, 

baru menjelang jam dua siang penguburan itu be-

rakhir.

Atas perintah Tumenggung, kubur para 

pengawal Katemenggungan tentu dipisahkan den-

gan kubur masyarakat umum.

Baru saja acara penguburan masal itu 

usai. Dari arah lain terlihat Datuk Satu dan seo-

rang laki-laki bercaping bambu bergerak cepat 

menghampiri Tumenggung dan Pendekar Blo'on 

yang sedang beristirahat di bawah sebatang po-

hon yang cukup rindang

"Dua iblis telah datang. Gerangan apa yang 

mereka inginkan? Iblis yang satu tidak punya ma-

ta, baunya busuk melebihi bangkai. Ah... sayang, 

kubur disini sudah semakin sempit. Jika mereka 

ingin mati, tentu tidak tersedia lagi tempat bagi 

kalian. Terkecuali jika mayat kalian dilempar ke 

jurang!" Seakan ditujukan pada diri sendiri Pen-

dekar Blo'on menggumam.

Mata Iblis dan Datuk Satu yang baru saja 

sampai di depan Tumenggung Dadung Ampel 

sungguhpun geram namun tidak begitu menghiraukan ucapan si pemuda. Sebaliknya Mata Iblis 

segera bicara yang ditujukan pada Tumenggung 

Dadung Ampel.

"Setelah melihat rupa dan keadaanku, ten-

tu kau tidak lupa siapa aku bukan? Lima belas 

tahun aku terbuang di Nusa Kambangan. Lima 

belas tahun pula badan ini terlunta dan tersiksa. 

Jika sekarang aku datang, apakah kau telah siap 

membayar hutang-hutangmu, Tumenggung?"

"Hmm, aku selalu ingat siapa kau yang se-

benarnya, Mata Iblis. Bagiku Solodra atau siapa-

pun kau berganti nama. Tetap saja kejahatan 

yang kau lakukan kepada keluargaku tidak per-

nah kulupakan." sahut Tumenggung Dadung Am-

pel tegas.

"Keparat! Kau telah memutar balikkan fak-

ta. Aku tidak perlu banyak bicara padamu. Per-

tama aku akan meminta matamu, setelah itu aku 

akan meminta nyawamu dan juga nyawa keluar-

gamu. Selain itu aku juga harus membawa putri-

mu ke Nusa Kambangan sebagai pendamping hi-

dupku!"

"Puih, siapa sudi!" Dewi Anggini menden-

gus marah.

"Sudahlah Iblis Mata Buta. Kau telah men-

gorbankan tiga muridmu secara sia-sia. Lebih 

baik kau pulang ke negerimu. Bukannya aku 

sangat kasihan melihatmu karena tidak bisa me-

lihat!" kata Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk 

kepalanya.

Melihat gurunya dihina oleh pemuda ber


tampang tolol yang pernah dipecundanginya. Ten-

tu saja Datuk Satu tidak senang. Maka laki-laki 

berusia lima puluh tahun dan berkepala gundul 

ini langsung melabrak Suro Blondo. Tapi sebelum 

pemuda ini bertindak. Dogma dan Anggini telah 

menghadangnya dan langsung menyerang Datuk 

Satu dari dua arah sekaligus. Pendekar Blo'on se-

gera maklum apa yang diinginkan oleh Dewi dan 

Dogma. Paling tidak mereka menghendaki agar ia 

berhadapan dengan Mata Iblis yang mereka ang-

gap memiliki kepandaian jauh di atas Tumeng-

gung Dadung Ampel.

Pemuda ini tentu tidak membuang kesem-

patan begitu saja. Ia mengedipkan matanya pada 

sang Tumenggung. Tumenggung langsung men-

gerti dan ia segera membantu putri dan juga tu-

kang rawat kudanya.

Sementara itu untuk mengecoh lawannya, 

Suro Blondo tanpa bicara lagi segera mendahului 

melakukan serangan. Pendekar Blo'on menyadari 

lawannya merupakan guru dari tiga lawan yang 

telah tewas ditangannya. Untuk itu begitu menye-

rang ia mengerahkan jurus Tawa Kera Siluman 

dan juga jurus 'Kacau Balau'. Jurus yang disebut

terakhir ini merupakan warisan dari kakek seka-

ligus gurunya Malaikat Berambut Api yang tinggal 

di Pulau Seribu Satu Malam.

Ini merupakan jurus pada tingkatan kedua 

dari dua jurus yang diwariskan oleh kakek berta-

biat aneh tersebut.

"Hrrt...! Kau bukan Tumenggung Dadung


Ampel. Jurus-jurusmu aneh dan gerakan-

gerakanmu sangat berbeda dengannya. Siapakah 

kau bangsat!" Mata Iblis menggerung marah.

"Ha ha ha! Bangsat itulah aku!"

"Goblok tolol. Kau benar-benar kapiran te-

lah berani berurusan denganku!"

Mata Iblis menggebrak ke depan. Tongkat 

ditangannya menderu. Pada awalnya bukan se-

rangan tongkat itu yang dianggap berbahaya oleh 

Suro, melainkan serangan-serangan gencar den-

gan mempergunakan tangan kiri.

Terbukti sepuluh jurus kemudian jemari 

tangan Mata Iblis sudah dapat menarik robek ba-

ju Pendekar Blo'on sehingga membuat pemuda itu 

leletkan lidah dan melompat mundur selamatkan 

mukanya dari cakaran tangan kiri Mata Iblis. Be-

gitu serangan luput, Mata Iblis tusukkan tongkat 

ke arah dada Suro. Inilah jurus tongkat "Mengge-

brak Bala memukul Gunung". Salah satu jurus 

aneh yang sangat ditakuti oleh lawannya karena 

cepat dan berbahaya sekali. 

"Uuts!"

Pemuda berambut hitam kemerahan ini 

sempat terkesiap. Lalu membuang diri ke samp-

ing dan pergunakan jurus Kacau Balau untuk 

mengatasi serangan tongkat dan tendangan kaki 

kiri kanan lawannya yang datangnya bertubi-tubi 

ini.

Wus! Wuus!

Lima kali serangan serupa luput. Mata Iblis 

menggeram marah dan jadi panas hatinya.


Kali ini ia merubah jurus silatnya. Tongkat 

ditangannya tidak lagi bergerak dan menusuk pa-

da tempat-tempat tertentu. Pasti sudah mengarah 

pada kedelapan jalan darah.

Suro Blondo seka keringat yang mengucur 

diwajahnya. Ia sadar betul betapa berbahayanya 

serangan tongkat lawannya itu sekarang.

Namun ia masih tetap mempergunakan Il-

mu Kacau Balau yang memiliki keunikan tersen-

diri itu. 

Walaupun begitu, kiranya lawan yang telah 

matang dalam pengalaman ini tidak menyerah 

begitu saja. Berulang kali serangannya dapat di-

hindari oleh lawannya. Pada kesempatan berikut-

nya sambil berteriak lantang ia menyerbu ke de-

pan. Tongkatnya menyodok ke bagian lambung 

dan leher Suro Blondo. Pemuda ini cepat sekali 

mengegoskan badannya, tangan kanan menghan-

tam ke dada. Tidak disangka-sangka ditangkis 

oleh Mata Iblis. 

Duuk!

Pemuda ini mengeluh ketika tangannya 

membentur tongkat hitam yang kerasnya melebihi 

batu.

Mempergunakan kesempatan yang singkat 

ini tinju Mata Iblis menghantam telak perut si 

pemuda.

Buk!

Keras bukan main hantaman tersebut 

hingga membuat Suro Blondo jatuh terpelanting 

dan semburkan darah segar.


Mata Iblis yang bertarung hanya mengan-

dalkan ketajaman pendengaran dan mata hati ini 

terus memburu. Tongkatnya menghunjam ke da-

da si pemuda. Tapi Suro Blondo cepat bergulin-

gan lalu menendang kakinya ke bagian selang-

kangan Mata Iblis.

"Wuaaakh...!"

Mata Iblis terpincang-pincang. Perutnya te-

rasa sakit bukan main. Ia merasa saat itu bola 

kramatnya telah pecah. Sehingga membuat kema-

rahannya meluap-luap.

"Rintihan Neraka!" teriak laki-laki bercap-

ing ini sambil memutar tongkat ditangannya. Su-

ara menderu-deru terdengar. Kini tubuh Mata Ib-

lis tertutup sinar hitam yang keluar dari tongkat 

di tangannya. Suro Blondo selamatkan diri sambil 

mengerahkan jurus Neraka Pembasmi Iblis. In-

ilah sebuah jurus pamungkas. Jurus terhebat 

yang diwariskan oleh kakek gurunya Malaikat Be-

rambut Api. Jelas sekali semakin lama pertempu-

ran antara kedua tokoh sakti ini semakin bertam-

bah seru. Debu berterbangan menyertai berge-

raknya masing-masing lawan. Dalam keadaan 

yang semakin bertambah menegangkan itu. Mata 

Iblis lepaskan topi capingnya dan segera ia lem-

parkan ke arah Pendekar Blo'on.

Pemuda yang telah menderita luka dalam 

ini sempat tercekat juga ketika caping itu meng-

hantam ke arah kepala.

Ia segera lepaskan pukulan Neraka Hari 

Terakhir. Pukulan Maha dahsyat yang juga merupakan warisan dari Malaikat Berambut Api.

Ketika angin kencang panas membakar 

menderu, terdengar suara jeritan disana-sini. 

Udara berubah merah dan bumi bagai terbelah. 

Mata Iblis sungguhpun tidak dapat melihat tapi 

dapat merasakan betapa dahsyatnya pukulan itu. 

Tubuhnya sendiri sempat limbung dan seperti 

hendak hangus. Tapi ia cepat kerahkan tenaga 

dalam lindungi diri.

Praaakk...!

Byaaar!

Caping itu hancur berkeping-keping. Suro 

Blondo yang seperti orang kesurupan ini sekarang 

mengarahkan pukulannya pada Mata Iblis.

Laki-laki bertampang mengerikan ini juga 

terpaksa mengerahkan tenaga dalamnya dan ber-

siap-siap melepaskan pukulan 'Badai Halilintar'. 

Panas melawan panas. Pohon-pohon menghijau 

disekitarnya menjadi hangus. Dan tidak dapat 

disangkal memang jika suasana disekitarnya ti-

dak jauh bedanya dengan di neraka.

Ledakan-ledakan keras terjadi. Baik Suro 

Blondo maupun Mata Iblis berulangkali jatuh 

tunggang langgang. Pakaian mereka sudah terca-

bik-cabik, wajah dan tubuh mereka kotor berse-

limut debu.

Tidak dapat dihindari lagi, masing-masing 

lawan menderita luka dalam yang sangat parah.

Sementara itu Datuk Satu yang sudah mu-

lai kucar-kacir menghadapi tiga lawan sekaligus 

kini mulai menjauhi pertempuran.

Rupanya baik Datuk Satu maupun Tu-

menggung Dadung Ampel dan dua orang lainnya 

sama-sama tidak tahan menghadapi pengaruh 

hawa panas yang bersumber dari kedua tokoh 

sakti ini.

Ia telah mengerahkan seluruh jurus pe-

dangnya, ia bahkan telah mempergunakan puku-

lan-pukulan handal yang dimilikinya. Tapi kerja 

sama lawan-lawannya yang sangat baik mem-

buatnya jadi pecundang.

Menjelang empat puluh jurus tubuhnya 

bahkan sempat tertusuk Trisula milik Dogma. Pe-

dang di tangan Dewi menghantam punggungnya 

sehingga meninggalkan luka yang sangat lebar 

dan parah.

Saat Tumenggung Dadung Ampel mengge-

brak dari arah kanan. Ia sudah kehilangan keku-

atan untuk menangkis serangan lawannya. 

Creep! 

"Haaaak...!"

Ambruklah Datuk Satu dengan luka-luka 

mengerikan di sekujur tubuhnya.

Kini tinggal Pendekar Blo'on dan Mata Iblis 

yang terlibat pertempuran. Tampaknya mereka 

memang berniat mengadu seluruh kepandaian 

yang mereka miliki. Atau kalau perlu mereka le-

lah siap mengadu jiwa.

Mata Iblis sendiri sesungguhnya telah 

menderita luka dalam dan luka bakar yang cukup 

parah. Tapi tampaknya ia memang memiliki daya 

tahan yang sangat hebat.

"Bocah gila! Kau rupanya benar-benar he-

bat. Tapi kurasa kau juga tidak dapat memungki-

rinya bahwa aku juga orang yang pantas menang 

dalam pertarungan ini!"

"Sebaiknya jangan banyak bicara. Kita 

buktikan siapa yang bakal mampus lebih awal!" 

dengus Suro Blondo, lalu gelang gelengkan kepa-

lanya. 

Jeet! Deb! Bet! 

"Hiiii...!"

Tiba-tiba pemuda berambut hitam kemera-

han ini hantamkan kembali tangannya ke depan. 

Mata Iblis yang telah terluka parah ini memutar 

tongkatnya begitu merasakan datangnya hawa 

pukulan menyengat tubuhnya. Gerakannya me-

mang cukup cepat. Namun Pendekar Blo'on yang 

telah mengerahkan tiga perempat dari tenaga da-

lam yang dimilikinya tidak dapat dianggap main-

main. Kali ini hawa panas menyengat menerjang.

Mata iblis tidak dapat bertahan dan ter-

buntal pukulan Neraka Hari Terakhir yang dile-

paskan oleh Pendekar Blo'on.

"Akkh...!"

Mata Iblis memang tidak mampu menghin-

dar lagi. Di tengah-tengah luapan hawa panas itu 

terdengar suara lolongannya yang begitu memilu-

kan. Laki-laki bermata buta ini langsung terka-

par. Tubuhnya hangus, tongkat hitamnya menjadi 

debu. Suro leletkan lidah, ia langsung duduk ber-

sila untuk menyembuhkan luka dalam yang dideritanya.


Dogma yang diam-diam mengkhawatirkan

keselamatan Pendekar konyol ini segera meng-

hampiri. Namun ia tidak berani mengusik pemu-

da itu. Tidak lama kemudian Tumenggung Da-

dung Ampel dan Dewi Anggini juga menghampiri 

Suro.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Tumeng-

gung pada Dogma.

"Kurasa si konyol dapat mengatasi apa 

yang telah terjadi padanya, Tumenggung." sahut 

Dokma.

Sekejap kemudian murid Penghulu Silu-

man Kera Pulih dan Malaikat Berambut Api ini 

sudah bangkit berdiri.

"Sukurlah kau tidak apa-apa, Suro." seru 

Dewi Anggini dengan perasaan lega.

"Sebaiknya mari kita masuk ke rumahku. 

Masih banyak yang ingin kuketahui di antara se-

kian banyak yang kalian rahasiakan. Di samping 

aku juga ingin mengucapkan rasa terima kasihku 

pada kalian berdua." kata Tumenggung Dadung 

Ampel.

Dogma tersenyum malu-malu. Suro nyen-

gir, dalam hati ia berkata....

"Aku tahu siapa kau, tukang rawat anak 

kuda. Matamu, he he he...! Mana bisa matamu 

menipuku!"

Di ruangan yang cukup besar itu Tumeng-

gung Dadung Ampel, putrinya dan juga Dogma 

duduk saling berhadap-hadapan. Tidak jauh dari 

mereka Pendekar Blo'on tidak henti-hentinya

memandang Dogma yang salah tingkah. Beberapa 

jenis makanan istimewa dihidangkan. Di tengah-

tengah mereka sedang menikmati hidangan itulah 

Tumenggung Dadung Ampel buka suara.

"Atas nama Katemenggungan aku mengu-

capkan rasa terima kasih yang tidak terhingga 

pada kalian. Jika bukan karena bantuan kalian, 

aku tidak dapat membayangkan bagaimana nasib 

Katemenggungan Kediri di masa yang akan da-

tang. Untuk itu kalian pantas mendapatkan ha-

diah yang cukup besar dari kami. Kalian hanya 

tinggal menyebutkan hadiah apa yang kalian min-

ta!"

"Gusti Tumenggung." Suro menanggapi. 

"Sama sekali aku tidak mengharapkan hadiah 

apa-apa. Apa pun yang kulakukan semata-mata 

berdasarkan niat baik untuk menegakkan kebe-

naran. Lain tidak...!"

"Hmm, kau benar-benar Pendekar Sejati. 

Lalu bagaimana dengan kawanmu? Aku yakin dia 

bukan Dogma tukang rawat anak kuda yang se-

benarnya. Siapa kau ini, penolong kami?!" tanya 

Tumenggung.

"Sekarang memang sudah saatnya bagiku 

untuk mengatakan siapa aku yang sebenarnya." 

Dogma palsu menarik lepas penutup kepalanya. 

Rambutnya yang panjang tergerai. Kumis tipis di-

tarik, begitu juga dengan alisnya. Dan....

Terlihatlah wajah seorang gadis cantik 

dengan tahi lalat di dagu. Tumenggung dan pu-

trinya belalakkan mata. Sedangkan Pendekar


Mandau Jantan ini malah tergelak-gelak.

"Ha ha ha...! Aku memang sudah menduga 

siapa kau, Dogma. Bau harum tubuhmu, mata-

mu?! Semuanya mana bisa menipuku. Mana 

mungkin ada laki-laki dadanya berbukit, pinggul-

nya besar, lalu suaranya seperti perempuan. Ter-

kecuali banci. Dogma alias Dewi Bulan, ha ha 

ha...!"

"Tutup mulutmu pemuda konyol." dengus 

Dewi Bulan bersungut-sungut. "Tumenggung, 

maafkan aku. Karena untuk beberapa waktu la-

wannya aku terpaksa menyuruh pengasuh ku-

damu pulang kampung. Aku terpaksa melakukan 

semua ini demi mempertahankan Katemenggun-

gan!"

"Malah aku sangat berterima kasih. Ru-

panya kalian saling kenal. Kalau boleh tahu sete-

lah melihat kehebatanmu, siapakah gurumu?"

"Guruku...?" Dewi Bulan menjadi ragu-

ragu.

Suro nyeletuk. "Katakan terus terang saja, 

tukang rawat anak kuda. Bukankah gurumu, 

paman Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng. Yang 

satu kurus macam cacing kurang makan dan...!"

"Suro...!!" Dewi Bulan mendelik. Hingga 

membuat Pendekar Blo'on katupkan mulutnya 

rapat-rapat.

"Betul, Gusti. Guruku adalah dua orang 

yang disebut oleh pemuda gendeng barusan tadi." 

sahut si gadis cemberut.

"Nah hadiah apa yang kau inginkan?"

"Aku tidak menginginkan hadiah apa-apa." 

jawab gadis itu pasti.

"Kalian semua tidak mengharapkan hadiah 

apa-apa. Sungguh aku merasa malu pada kalian. 

Kalau pun memang tidak menghendaki hadiah. 

Sebaiknya kalian tidak boleh menolak tawaran-

ku."

"Apa maksud Tumenggung?" tanya Suro 

heran.

"Tinggallah kalian disini untuk beberapa 

waktu lamanya. Aku merasa berhutang nyawa 

peda kalian. Rasanya dengan cara apapun aku ti-

dak mungkin dapat membalas semua kebaikan 

kalian." kata Tumenggung. Sebenarnya ia ingin 

mengutarakan keinginannya agar Pendekar Blo'on 

tetap tinggal di Katemenggungan untuk sela-

manya. Bahkan ada pula keinginan Tumenggung 

untuk menjodohkan putrinya yang cantik itu Su-

ro. Mengingat pemuda bertampang ketolol-tololan 

ini mempunyai kepandaian tinggi. Tentu kelak 

dapat melindungi Katemenggungan dari ancaman 

musuh. Namun ia merasa tidak enak karena dis-

itu juga ada Dewi Bulan yang tidak ia ketahui se-

jauh mana hubungan pemuda itu dengan si ga-

dis. Walaupun Suro tidak memperlihatkan tanda-

tanda khusus, tapi Tumenggung sempat melihat 

tadi bagaimana wajah Dewi Bulan yang bersemu 

merah ketika melihat Anggini bicara dengan Suro.

"Aku tidak dapat menolak penghargaan ini. 

Untuk tinggal satu dua hari tentu saja aku mau."

"Pemuda geblek ini tentu saja tidak kebera


tan" Menggerutu sang Dewi dalam hati. "Dewi 

Anggini cantik, si konyol ini tentu saja sama den-

gan laki-laki mana pun di bumi ini. Ia kepincut 

dengan kecantikan wanita, apalagi Anggini gadis 

bahenol!"

"Bagaimana dengan kau, Dewi Bulan?" 

tanya Tumenggung.

"Aku, eh... baiklah. Untuk sehari dua tidak 

mengapa." tegas si gadis. Legalah hati sang Tu-

menggung mendengar jawaban Dewi. Untuk me-

reka berdua Tumenggung menyediakan kamar-

kamar yang sangat istimewa.

Yang lebih senang mendengar keputusan 

Suro tentu saja Dewi Anggini. Gadis itu semakin 

merasa takjub setelah melihat kehebatan Pende-

kar Blo'on dalam menghadapi lawan-lawannya.

Diam-diam ia telah jatuh cinta pada si ko-

nyol. Tetapi mungkinkan pemuda berambut ke-

merahan-merahan ini belum punya kekasih? Hal 

itulah yang merisaukan hatinya.



SEPULUH



Malam hari suasana di Katemenggungan 

Kediri terasa sangat sunyi sekali. Di dalam ka-

marnya Dewi Bulan tidak dapat memejamkan ma-

tanya. Ia gelisah memikirkan kekasih pujaannya. 

Kegelisahan itu berubah jadi rasa kecemburuan 

yang tidak karuan juntrungannya. Sebagai wanita 

tentu saja ia sadar bahwa Dewi Anggini juga diam-diam menaruh hati pada si konyol.

"Mengapa jantungku jadi nyut-nyutan se-

perti ini? Makan tidak enak, mau tidur mata tera-

sa kering. Pokoknya semuanya terasa menyebal-

kan. Aneh, padahal dia tidak pernah mengatakan 

cinta padaku. Apakah berarti aku hanya bertepuk 

sebelah tangan? Sungguh malu-maluin diriku 

ini!" gerutu si gadis. Dewi Bulan lalu berjalan 

mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia tidak tahu 

apa yang harus diperbuatnya. Mendatangi kamar 

pemuda itu untuk sekedar berbincang-bincang 

dan menumpahkan segenap perasaan yang ada? 

Wah. Mau ditaruh dimana mukanya? Dilipat-lipat 

lalu di simpang di bawah kasur?

Sementara itu Suro asyik gorak-garuk 

rambutnya di bangku yang terletak di bagian ta-

man belakang. Sesekali ia memandang ke langit, 

bulan waktu itu sedang terang benderang. Suro 

lalu tersenyum, matanya berkedap-kedip seperti 

akan yang kelilipan.

"Bulan itu indah, padahal permukaannya 

tidak rata. Kalau begini paling enak orang yang 

punya pacar. Lalu... hmm, gila betul." gerutu si 

konyol. Dan senyumnya pun semakin lebar.

"Eheh...!"

Pendekar Blo'on terkejut ketika mendengar 

suara batuk-batuk kecil di belakangnya. Seketika 

ia menoleh, ternyata yang datang adalah Dewi 

Anggini, bukan Dewi Bulan.

"Belum tidur, Suro?" tegur gadis itu.

Seraya duduk di samping Suro. Hidung si


pemuda kembang-kempis seperti ikan yang keha-

bisan air. Bau wangi tubuh Anggini memang tera-

sa lain malam ini. Bahkan boleh dikata beda dari 

yang ada.

"Belum." sahut Suro.

"Kau segera akan pergi tidak lama lagi?" 

desis Anggini seakan merasa tidak rela.

"Ya, begitulah. Aku seorang pengembara, 

aku tidak pernah menetap di suatu tempat. Dunia 

ini penuh dengan orang-orang. Orang susah, 

orang sengsara, orang terlunta-lunta, orang ter-

tindas angkara murka."

"Setelah itu Katemenggungan akan menjadi 

sepi." Wajah Anggini tertunduk. Rambutnya yang 

tergerai menutupi sebagian wajahnya.

Si konyol menyibakkan sebagian rambut 

itu, diperhatikannya wajah si gadis. Mereka saling 

bersitatap. Anggini merasa dadanya bergemuruh, 

sedangkan Suro wajahnya anget-anget saja.

"Aku ingin memberimu sebuah kenang-

kenangan!" kata Anggini. Tiba-tiba saja ia menye-

rahkan sebuah liontin berikut gantungannya. 

Liontin terbuat dari batu jambrut, berwarna biru 

berbentuk hati.

Si konyol memperhatikan. Liontin tersebut. 

Lalu ia tersenyum lugu. Dewi Anggini terheran-

heran.

"Kok malah tertawa? Jelek ya?"

"Tidak. Bentuk liontin ini seperti kue yang 

ku makan di warung bik Rabiah dua pekan yang 

lalu." jawab Suro tanpa maksud melucu.


"Hust! Ini bentuk hati manusia. Kau tentu 

tahu maksudku. Ini kenang-kenangan dariku." je-

las Anggini tanpa malu-malu.

"Aku...! Aku juga akan memberimu ke-

nang-kenangan." kala Suro sambil nyengir. Kare-

na merasa tidak ada yang hendak diberikannya.

Maka ia pun berkata....

"Pejamkanlah matamu!"

Anggini tanpa perasangka apa-apa dan 

dengan hati berdebar memejamkan matanya. 

Dengan lembut Suro mengecup bibir Anggini yang 

kemerah-merahan. Bibir merah tanpa polesan 

tentu.

Di luar sepengetahuan si konyol kiranya 

ada sepasang mata yang memperhatikan kejadian 

di taman tersebut. Spontan wajahnya berubah 

memerah, air mata bergulir jatuh menuruni bi-

birnya. Dewi belum merasa dadanya semakin se-

sak.

"Tidak kusangka, dia pemuda mata keran-

jang!" rintih si gadis. Cepat sekali ia memalingkan 

wajahnya dan bermaksud meninggalkan tempat 

itu. Namun niatnya urung ketika melihat sesosok 

bayangan berkelebat.

Grosak!

Dewi Anggini yang sudah mulai terhanyut 

dalam ciuman yang penuh kenikmatan jadi ter-

sentak kaget. Suro apa lagi.

"Ada orang mengintip!" desis Suro.

Belum juga hilang rasa kaget di hati Suro. 

Di bagian halaman depan terdengar suara bentakan-bentakan keras.

"Ada yang tidak beres disini! Ayo...!!" Tanpa 

menunggu Dewi Anggini lagi Suro langsung me-

lompati pagar taman. Sampai di halaman Kate-

menggungan ia melihat Dewi Bulan sedang ber-

hadapan dengan seorang laki-laki berpakaian hi-

tam.

"Kalian berdua sebaiknya menyingkir. Uru-

san ini hanya dapat diselesaikan antara aku dan 

Tumenggung keparat itu!" teriak si baju hitam 

yang tidak lain adalah Penggoro Bumi.

"Kau orang jelek. Bukankah telah hampir 

membunuh Tumenggung beberapa hari yang la-

lu?" tanya Suro

"Ya, betul. Sekarang aku datang untuk 

meminta nyawanya. Kalian orang-orang bodoh 

sebaiknya menyingkir!"

"Suro Blondo manusia mata keranjang. 

Kau hadapilah dia. Aku tidak mau ambil perduli. 

Aku harus pergi dari sini secepatnya!" celetuk 

Dewi Bulan yang telah dibakar rasa cemburu ini 

ketus.

"Dewi tunggu...!"

Percuma saja Suro berteriak. Dewi Bulan 

sudah berkelebat pergi dengan-membawa rasa 

sakit di hatinya. Si konyol jadi salah tingkah.

"Dia pasti telah melihatku tadi. Gobloknya 

aku, mengapa jadi runyam begini?" batin Suro. 

Tokh pemuda ini tidak sempat berpikir lebih jauh 

lagi. Karena ia sedang berhadapan dengan Penggoro Bumi


"Pendekar Gendeng! Mengapa kau tidak 

ikut merat bersama kekasihmu? Apakah kau in-

gin cepat-cepat mampus?" bentak Penggoro kalap.

Sementara itu Tumenggung Dadung Ampel 

telah berada di situ pula disertai Dewi Anggini.

"Ha ha ha...! Bicaramu sembarangan, apa 

kau kira dirimu Malaikat pencabut nyawamu? 

Mana ada Malaikat jelek kayak tampangmu?"

"Bangsat! Rupanya aku harus menyingkir-

kan kunyuk sepertimu baru kemudian berurusan 

dengan Tumenggung itu! Heaa...!" Disertai teria-

kan keras Penggoro Bumi yang sempat terluka 

beberapa hari yang lalu ketika berhadapan den-

gan Empat Datuk langsung menerjang Pendekar 

Blo'on.

Suro pernah mendengar kehebatan laki-

laki itu. Ia tidak mau bersikap ayal lagi. Melihat 

serangan datang sedemikian cepatnya, Suro lang-

sung melompat ke udara. Tiga kali ia bersalto, 

saat tubuhnya meluncur ke bawah kakinya me-

nyapu kepala lawannya.

Namun Penggoro Bumi cepat tundukkan 

tubuhnya, serangan luput. Penggoro menyeringai 

sinis. Lalu lepaskan pukulan dahsyat ke arah la-

wannya.

Wuut!

Angin disertai hawa panas bergulung-

gulung menerjang Suro. Pemuda ini berjingkrak-

jingkrak menjauh. Rambut Suro berkibar-kibar. 

Ia tidak mau dirinya menjadi konyol. Untuk itu 

Suro langsung lepaskan pukulan "Ratapan Pembangkit Sukma'.

Begitu ia kibaskan kedua tangannya. Detik 

itu juga menderu angin laksana topan dan mene-

bar hawa dingin membekukan.

Buummm!

Ledakan keras itu mengguncang bangunan 

Katemenggungan. Suro terjajar ke belakang. Se-

dangkan Penggoro malah jatuh terduduk. Ketika 

ia bangkit ada darah yang meleleh dari sudut-

sudut bibirnya.

"Uhuk...!"

Suro batuk dan muntahkan darah segar. 

Pendekar Blo'on memutar tangannya di udara se-

perti seekor monyet yang sedang menggapai-gapai 

angin.

"Heaa...!"

Wuuk!

Kejab kemudian Pendekar konyol itu han-

tamkan kedua tangannya ke depan dengan mulut 

termonyong-monyong. Kali ini terdengar suara je-

ritan di sana sini. Suara-suara aneh, jerit kema-

tian, lolong kesakitan yang seakan datang dari ju-

rang neraka. Sinar hitam dan merah melesat, 

menghampar hawa panas yang luar biasa tiada 

tertahankan. Rupanya Pendekar Blo'on saat itu 

sudah melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terak-

hir'.

Penggoro Bumi yang selalu merasa yakin 

dengan kemampuannya sendiri ini sempat terke-

siap.

Tubuh laki-laki itu tiba-tiba saja melesat ke


udara. Tangannya juga dihentakkan ke arah la-

wannya. Sinar biru langsung bergulung-gulung 

menghadang serangan lawannya. Lalu....

Buummm!

Terjadi ledakan menggelegar di udara. Si-

nar merah hitam yang bersumber dari pukulan 

Suro Blondo terus meluncur tanpa mampu dihin-

dari lagi oleh lawannya.

Braak!

"Haagkh...!"

Menjeritlah Penggoro Bumi setinggi langit. 

Spontan ia ambruk dan tidak dapat bangkit lagi 

untuk selama-lamanya.

Suro menyeringai kesakitan. Namun ia ti-

dak mungkin berlama-lama disitu lagi. Dewi Bu-

lan telah pergi, ia harus mengejar untuk menje-

laskan duduk persoalan yang sebenarnya.

"Walah, gadis itu ngambek. Bagaimana 

nanti aku mengatakan alasanku. Siapa yang salah? Kurasa bibir ini yang salah!" gerutu si pemuda di sertai seringai kesakitan.

Plok!

Suro menepuk bibirnya sendiri. Kemudian 

tubuhnya berkelebat lenyap meninggalkan Katemenggungan. Di kejauhan terdengar suara nyanyian si konyol yang semakin tidak menentu karena di landa bingung.

Dewi Anggini hanya dapat tundukkan ke-

pala. Hatinya mendadak terasa hampa. Ada sesuatu yang hilang dari hati si gadis. Perlahan ia 

mengusap bibirnya. Dia berjanji bibirnya yang


cuma dua itu tidak akan diberikan pada laki-laki lain.





                               TAMAT














































Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive