..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Minggu, 23 Februari 2025

NAGA GENI EPISODE PENDEKAR GAGAK CEMANI

matjenuh khairil

 

SATU

UJUNG MALAM baru saja tiba dan 
menerpa daerah Tanjung Bugel, disaat 
mana pula serombongan orang berkuda 
telah bergerak kearah selatan.
Yang berkuda paling depan adalah 
Ki Lurah Mijen bersama pendekar Gagak 
Cemani, kemudian menyusul Mahesa 
Wulung dan Pandan Arum, sedang di 
belakang mereka tampaklah Endang 
Seruni, Lawung-gana, dua ekor kuda 
yang bermuatan harta Tanjung Bugel dan 
dibelakangnya lagi tampaklah Pendekar 
Bayangan, Jagabaya Cangkring, 
Kertipana dan Sorogenen.
Disepanjang perjalanan mereka 
jarang berbicara. Rupanya saja, 
pertempuran yang baru mereka alami 
didaereh Tanjung Bugel beberapa saat 
berselang, telah betul-betul berkesan 
amat dalam dan terpateri dihati 
mereka.
Mahesa Wulung masih saja 
mengenang saat-saat terakhir dari 
kematian bekas gurunya, Ki Camar Seta 
dan ia sangat menyesali hal itu. Orang 
tua itu telah banyak menolong dan 
menempa dirinya dalam mempertinggi 
ilmu pedangnya.
Kini terbayanglah diruang mata 
Mahesa Wulung kejadian-kejadian silam 
ketika ia mengenangkan Ki Camar Seta. 
Sepintas, tergambarlah bayangan

dirinya yang sedang berlatih ilmu 
pedang Sigar Maruta seraya ditunggu 
oleh orang tua itu. Yah, itulah 
kejadian di pulau Karimata beberapa 
tahun yang lalu.
Gambaran tadi lenyap, ketika 
gambaran yang lain mulai muncul 
didepan-nya. Terlihatlah ia bersama Ki 
Camar Seta berlari-lari dengan 
kencangnya. Sedang dibelakang, 
tampaklah Ki Topeng Reges memburunya 
dengan melancarkan serangan-serangan
ganas.
Begitulah, gambaran-gambaran lain 
menyusul dan itu semua membuat Mahesa 
Wulung semakin terbisu sedih. Ki Camar 
Seta itu, sekarang telah tiada lagi 
dan kata-katanya yang terakhir masih 
terngiang-ngiang ditelinganya dengan 
jelas — Biarlah aku berlalu nak. Aku 
sudah tua ... —
Banyak kejadian yang dialami 
bersama Ki Camar Seta, dan selama itu 
telah berkali-kali ia ditolong oleh
orang tua ini, tanpa memperdulikan 
bahaya yang menghadangnya.
Namun sekarang ia telah tewas dan 
aku belum banyak memberikan 
penghargaan atas jasa-jasanya yang
begitu besar — demikian Mahesa Wulung 
berkata dalam hatinya.
Kakang Wulung! Kakang Wulung! —
seru Pandan Arum seraya menggocang 
lengan kekasihnya dan karuan saja

Mahesa Wulung menjadi gelagepan 
karena-nya seraya menoleh kesamping.
— Kau melamun, kakang! — sapa 
Pandan Arum dengan lembutnya.
— Eh, ya ... ya. Maaf, adi 
Pandan. Kata-katamu memang benar. Aku 
tengah melamunkan mendiang Ki Camar 
Seta — ujar Mahesa Wulung.
— Oh! — desis Pandan Arum 
setengah kaget. — Ki Camar Seta! ... 
Aku pun banyak berhutang budi 
kepadannya, kakang Wulung.—
— Hmmm, ya. Kita berdua memang 
banyak berhutang budi kepadanya —
sambung Mahesa Wulung — Dari sebagai 
muridnya aku belum banyak berbakti 
kepadanya. Kini, satu-satunya baktiku 
kepadanya hanyalah dengan merawat 
senjata pedang serta caping miliknya. 
Pandan Arum mengangguk-angguk 
oleh kata-kata Mahesa Wulung dan 
tangan kirinya secara tak sadar telah 
mengusap-usap sebuah kalung yang 
tergantung dilehernya dengan 
berhiaskan batu permata hijau yang 
berbentuk setengah lingkaran.
— Kalung inilah yang telah banyak 
membuat kegemparan dan hampir saja 
hilang, jika kakang Wulung tidak 
menemukan serta mengambilnya kembali 
dari tubuh Ki Bango Wadas, beberapa 
saat yang lalu. — ujar Pandan Arum 
didalam hatinya.

Disebelah yang lain pula Gagak 
Cemani asyik bercakap-cakap dengan Ki 
Lurah Mijen.
— Kemanakah rencana dan tujuan 
andika setelah ini? — tanya Ki Lurah 
Mijen kepada pendekar berkumis 
melintang yang berkuda disampingnya.
— Aku belum pasti bapak — kata 
Gagak Cemani — sebab aku harus mencari 
si Setan Enam Serangkai lebih dahulu 
dan untuk itu pastilah memakan waktu 
lebih banyak. Sarang mereka yang 
tersembunyi didaerah Pegunungan 
Kendeng yang mempunyai penjagaan yang 
kuat dan sukar ditembus. —
— Bapak memang pernah mendengar 
daerah itu tapi jalan yang menuju 
kedaerah tersebut aku belun tahu 
angger. —
— Ki Lurah Mijen berkata ramah -
Tapi jika perlu akupun bersedia 
menolong angger. —
— Aaakh, terimakasih Ki Lurah. 
Aku bergembira dengan kesediaan bapak 
tadi. Namun aku telah bertekad untuk 
mencari si Setan Enam Serangkai itu 
seorang diri. —
— Hanya seorang diri?! —
— Benar, bapak. Aku ingin 
menyelesaikannya seorang diri! —
— Eh, aku kagum dengan keberanian 
angger, dan semoga berhasil. 
Demikianlah, rombongan orang-orang 
berkuda ini terus menuju keselatan.


Dibelakang mereka membayanglah 
ketinggian gunung Muria yang berpuncak 
tiga itu berselimutkan awan putih amat
megahnya. Endang Seruni kelihatan 
berseri-seri wajahnya seperti juga 
hatinya yang kini merasa tenteram dan 
gembira. Bahaya demi bahaya telah 
dilaluinya dengan tabah dan saat 
sekarang adalah saat yang betul-betul 
penuh kebahagiaan. Bukankah semuanya 
telah tercapai apa yang diidam-
idamkannya? Kekasihnya, Lawunggana 
telah kembali kepadanya, juga ia 
merasa senang bahwa Ki Lurah Mijen 
yang ternyata hanyalah ayah angkat itu 
telah berjanji untuk mengundang ayah 
kandung Endang Seruni dan Pandan Arum 
dari Asemarang, yakni Ki Soratani atau 
Ki Udagar.
— Adi Endang Seruni — ujar 
Lawunggana pelan. 
— Heeh, mengapa kakang? — kata 
Endang Seruni agak kaget. —
— Aku lihat wajahmu berseri-seri, 
adi Seruni, Dan hampir saja wajah sang 
rembulan yang baru muncul dikaki 
langit sebelah timur sana, terkalahkan 
olehmu. —
— Hih, kakang Lawunggana
berlebih-lebihan memujiku. Ah, aku 
akan malu kalau orang lain 
mendengarnya. —
— Heh, heh, heh. Maaf adi Seruni. 
Aku berkata sesungguhnya dan aku

sangat bersyukur bahwa kita telah 
berkumpul kembali. —
— Oleh sebab itu, maukah kakang 
Lawunggana memenuhi permintaanku? —
— Eeh, tentu adi Seruni. 
Katakanlah. —
— Sampaikanlah ucapan terima 
kasih kita yang sebesar-besarnya 
kepada kakang Mahesa Wulung, karena 
dialah yang telah banyak memberikan 
pertolongan kepada kita. —
- Ya, akupun telah berpikir 
demikian, adi Seruni — ujar 
Lawunggana. — Dan kini aku merasa 
tolol bahwa dahulu aku pernah 
mencemburukan engkau dengan kakang 
Wulung. —
— Sssst, janganlah kakang 
Lawunggana mengungkit peristiwa yang 
silam. Masa depan kita serta 
kebahagiaan telah membayang didepan 
kita dan patutlah kita menyambutnya 
dengan baik. —
Sementara itu pula. Pendekar 
Bayangan yang berkuda disebelah 
belakang tampak bercakap-cakap dengan 
Jagabaya Cangkring.
— Eh, aku tak mengira bertemu 
dengan Gagak Cemani didaerah ini —
ujar Pendekar Bayangan. — Ternyata 
pula dia adalah seorang yang sakti. —
— Apakah bapak telah mengenalnya? 
— tanya Jagabaya Cangkring.

— Mmmm, belum Cangkring. Aku 
belum mengenalnya. — jawab Pendekar 
Bayangan. — Yang aku kenal adalah Ki 
Banyak Sekti yakni ayah dari Gagak 
Cemani. Waktu itu, Ki Banyak Sekti 
masih sangat muda dan belum 
berkeluarga. Jika sekarang Gagak 
Cemani telah begitu besar, muda dan 
perkasa, pastilah ayahnya telah setua 
aku —
— Aku kagum cara dia bertempur —
ujar Cangkring.
— Dugaanmu tidak keliru 
Cangkring. — sambung Pendekar 
Bayangan. — Dan dia mempunyai tenaga 
dalam yang sempurna. Mungkin tidak 
terpaut banyak dengan tenaga dalamku! 
— Hah, jadi dia hampir setingkat 
bapak? — seru Cangkring setengah 
kaget. — Ooo, aku lalu kepingin 
mendengar kisahnya. —
— Tunggu saja sampai kita tiba di 
desa Mijen. Pastilah Gagak Cemani tak 
berkeberatan untuk menceriterakan 
pengalaman pengalamannya serta 
riwayatnya. —
— Aku yakin bahwa saudara Gagak 
Cemani memang hebat, seperti kata 
bapak tadi. Dia berani langsung 
menantang Setan Enam Serangkai dari 
Pegunungan Kendeng — ujar Cangkring 
pula.

— Kita mulai membelok kebarat 
saya, Cangkring. -
— Benar, bapak. Kita akan segera 
melewati Tayu dan langsung menuju 
kearah desa Mijen. — Pendekar Bayangan 
berkata seraya mengendalikan kuda dan 
menderapkannya sekali karena didepan 
tampaklah Ki Lurah Mijen dan lain-
lainnya telah mulai berpacu.
Mereka seperti berkejaran dengan 
sang malam
yang kini telah semakin lewat. 
Sisa-sisa sinar matahari yang semula 
masih kelihatan pada ujung-ujung 
langit barat kini telah lenyap sama 
sekali, sedang sang rembulanpun kini 
makin bertambah tinggi.
Di langit terang itu, sekali-
sekali lewatlah kelelawar-kelelawar 
raksasa atau yang disebut dengan nama
Kalong yang terbang dengan mengepak-
ngepakkan sayapnya, menimbulkan
perasaan seram. Tapi mereka adalah 
berombongan, sehingga perasaan seram 
atau takut lantaran menyusuri kesepian 
malam akan lenyap dengan sendirinya.
Apa lagi dengan adanya Pendekar 
Bayangan, Mahesa Wulung dan Gagak 
Cemani diantara mereka, maka seluruh 
rombongan tadi merasa aman dan tenang.
***

Sangat cerah sekali pagi ini. 
Sisa-sisa kabut masih menelusup 
pada celah celah rumpun pisang dan 
ilalang. Pada bibir bibir daun
bergelantunganlah butir-butir embun 
yang sekali-sekali jatuh tertanggal 
keatas tanah dan lenyap terhisap 
olehnya.
Beberapa orang anak buah Ki Rikma 
Rembyak tengah bergerombol duduk 
disebuah gubuk penjagaan ditepi pantai 
dan diantara mereka tampaklah Jagal 
Wesi.
— Rombongan kakang Soma Karang
dan Bido Teles telah tiba kembali dari 
tugasnya — berkata salah seorang 
diantara mereka.
— Memang benar — ujar Jagal Wesi 
membenarkan — semalam mereka baru saja 
tiba dari daerah Tanjung Bugel. —
— Dan mereka juga membawa harta 
perhiasan emas intan! — sambung yang 
lain.
— Tapi kalian juga harus tahu! —
potong Jagal Wesi — Banyak kawan-kawan 
kita yang tewas dan sekarang kita tak 
dapat lagi mendapatkan Garangpati, 
Bujel, Kerang dan beberapa orang 
lainnya. Mereka semuanya telah 
meninggal dalam usahanya mendapatkan 
harta Tanjung Bugel itu. —
— Yah, memang sayang. Tambahan 
lagi aku mendengar bahwa kita cuma 
memperoleh sebagian kecil saja dari

harta tersebut. — sambung seorang 
teman Jagal Wesi yang bermata sipit. —
Ahh, sayang sekali jika demikian. —
— Itu berarti bahwa rombongan 
Bido Teles maupun Soma Karang telah 
bertemu dengan lawan-lawan yang 
tangguh! — ujar Jagal Wesi pula. —
Memanglah kalian harus tahu, bahwa di 
Demak banyak tokoh-tokoh yang sakti 
dan tangguh! —
— Ah, sobat jangan menakut-nakuti 
kita. — sela si mata sipit kembali 
dengan wajah kurang senang.
— Menakut-nakuti kalian? Apa 
maksudmu? — seru Jagal Wesi. -
Janganlah sobat menjadi takut lantaran 
mendengar kehebatan seseorang! 
Hadapilah sendiri orang itu dan 
setelah sobat merasakan kesaktian-nya, 
barulah sobat boleh merasa takut!! —
Sementara itu didalam tempat 
kediaman Ki Rikma Rembyak dipusat 
pulau Mondoliko, terdengarlah tawa 
manusia yang bernada kegirangan 
sambung menyambung.
Ki Rikma Rembyak mondar-mandir 
diruangan itu dan sebentar-sebentar ia 
berhenti untuk mengusap perhiasan emas 
intan yang telah tersedia diatas meja, 
di depannya.
— Hua, ha, ha, ha. Bagus, Bido 
Teles! Dan kau juga Soma Karang. 
Kalian berdua telah menjalankan 
tugasmu dengan cukup baik! Agak sayang
bahwa tidak seluruhnya Harta Tanjung 
Bugel itu jatuh ketangan kita! — ujar 
Ki Rikma Rembyak seraja berkali-kali 
menatap kelima buah peti kecil yang 
berisi uang emas serta beberapa 
perhiasan berharga. Ketika teringat 
olehnya akan Garangpati, maka Ki Rikma 
Rembyakpun bertanya. — Bido Teles! 
Apakah kau yakin bahwa Garangpati 
telah binasa?! —
— Begitulah Kiai, menurut laporan 
yang aku terima dari salah seorang 
anak buahku! — kata Bido Teles.
— Hmm, biarlah dia mati! — gumam 
Ki Rikma Rembyak. — Sudah sepatutnya 
dia mampus karena telah berkali-kali 
melanggar perintahku! Kali ini terlalu 
banyak korban yang jatuh dipihak kita. 
Nah, bagaimana ini Bido Teles?! -
— Ampun Kiai. Ternyata kita 
menghadapi musuh-musuh yang sakti, dan 
diluar dugaan kita sehingga hal ini 
mengacaukan pekerjaan kita! — ujar 
Bido Teles.
— Kau bilang menghadapi musuh-
musuh yang sakti, hee! Siapa mereka 
itu! Lekas ceriterakan kepadaku! —
berseru Ki Rikma Rembyak disertai 
wajah yang geram dan kemerahan!
Kemudian Bido Teles mencoba 
menceriterakan kembali secara singkat 
akan segala kejadian yang telah mereka 
alami dan tak lama sesudah Bido Teles 
mengakhiri ceriteranya, Ki Rikma

Rembyak menggebrakkan tangannya keatas 
meja seraya mengumpat.
— Keparat! Lagi-lagi aku 
mendengar nama Mahesa Wulung. Aku 
sudah bosan dan muak mendengar tentang 
dirinya. Hmm, aku seharusnya sudah 
ingin mencincang anak bandel ini! —
— Bersabarlah Kiai - sela Soma 
Karang. — Bukankah Kiai tengah 
menyiapkan kembali Panah Braja Kencar 
yang dahsyat itu? Nah, tentang Mahe-sa 
Wulung serahkan saja kepada kami, 
sebab itu pula janganlah Kiai menunda 
persiapan Panah Braja Kencar ini! —
- Hua, ha, ha, ha. Soma Karang! 
Kau berkata benar. Memang aku tak akan 
menunda persiapan Panah Braja Kencar 
kita yang dahsyat itu. — Ki Rikma 
Rembyak berkata seraya menjambak dan 
menarik-narik rambutnya yang gondrong 
awut-awutan itu, sambil bergerundelan 
— Hmmm, jika panah itu lekas selesai 
maka kita dapat membuat gentar orang-
orang Demak, termasuk si Mahesa Wulung 
dan rekan-rekannya itu! Bukankah 
demikian Bido Teles dan Soma Karang? —
- Itu benar Kiai! — ujar Bido 
Teles.
- Tak salah lagi! Memang 
demikianlah yang kita harapkan —
berkata Soma Karang.
Ki Rikma Rembyak kemudian membuka 
peti berhias logam berukir dan 
kemudian mengeluarkan sekantong uang

yang cukup banyak dan diberikannya 
kepada Bido Teles.
- Terimalah itu Bido Teles, 
sebagai bayaran kepada para anak 
buahmu yang telah menjalankan tugasnya 
dengan baik! — demikian ujar Ki Rikma 
Rembyak.
- Terima kasih Kiai — Bido Teles 
berkata seraya menerima sekantong uang 
itu dari tangan pemimpin-nya.
— Dan kepada kalian berdua —
begitu kata Ki Rikma Rembyak sambil 
memungut dua buah gelang emas dari 
peti kecil yang terletak dimeja itu. —
Terimalah ini untuk kalian masing-
masing sebuah gelang disertai ucapan 
terima kasihku yang sebesar-besarnya 
atas jasa-jasamu! —
Keruan saja Bido Teles dan Soma 
Karang buru-buru menerima kedua gelang 
tadi dengan perasaan gembira dan 
bangga, oleh penghargaan yang 
dilimpahkan oleh pemimpinnya Ki Rikma 
Rembyak.
Setelah itu, kedua pendekar 
jagoan dari Pulau Mondoliko ini segera 
membungkuk hormat untuk meminta diri.
— Mohon permisi Kiai — kata Bido 
Teles — Kami akan membagikan uang ini 
segera kepada anak buah kami! —
— Ya, ya. Bagikanlah uang itu 
segera kepada mereka, agar hati mereka 
senang dan tetap bersemangat untuk 
tugas-tugas yang lain!

Maka sebentar kemudian tampaklah 
kedua pendekar tadi melangkah keluar 
halaman sambil berseri-seri wajahnya, 
membuat beberapa orang anak buahnya 
yang melihat mereka segera saja 
mengetahui bahwa Bido Teles dan Soma 
Karang telah mendapat anugerah dari Ki 
Rikma Rembyak.
— Blending! Sigayam dan 
Sitongkol! Kumpulkan teman temanmu 
dipantai selatan! - ujar Bido Teles -
Kita akan membagi rejeki! Lekas! —
demikian perintah Bido Teles sambil 
menunjukkan sekantong penuh uang yang 
berada ditangan-nya kepada ketiga 
orang anak buahnya itu.
— Rejeki??? - seru Blending 
sambil melototkan matanya menatap 
sekantong uang tersebut. — Yaho! 
Baiklah Ki Bido Teles, kami akan 
segera mengumpulkan teman-teman kita. 
Habis berkata begitu, Blending 
segera menepuk bahu kedua temannya itu 
dan berlarilah ketiganya kearah 
selatan untuk mencari teman-temannya.
Melihat ini Bido Teles tersenyum 
lebar dan menatap wajah Soma Karang 
yang juga tertawa kegirangan. Mereka 
terus melangkah kearah selatan menuju 
kepantai.
Ketika keduanya tiba disitu 
ternyata telah berkumpul sebagian anak 
buahnya dan sebagian lagi terlihat

berdatangan ataupun berlari-lari 
kearah tempat itu.
— Saudara-saudara, dengarlah 
baik-baik — ujar Bido Teles kepada 
anak buahnya yang telah berkumpul 
didepannya. — Aku membawa sekantong 
uang, penuh. Kalian akan kubagi atas 
perintah pemimpin kita. Ki Rikma 
Rembyak!
Seketika itu terdengarlah 
teriakan gembira dan cekakakan mirip 
teriakan sekawanan iblis yang tengah 
berkumpul membagi mangsanya.
Sementara itu Jagal Wesi dan 
beberapa orang temannya yang semula 
bercakap-cakap dan duduk ditempat yang 
sama menjadi terkejut dan melayangkan 
pandangannya kearah Bido Teles dan 
Soma Karang yang tengah sibuk 
dikelilingi anak buahnya serta 
membagikan uang kepadsa mereka.
Jagal Wesi dan teman-temannya 
cuma terdiam saja, melihat mereka 
berjingkrakan lantaran menerima bagian 
uangnya setelah menjalankan tugasnya 
memburu harta Tanjung Bugel.
Banyak tingkahnya para anak buah 
Bido Teles tersebut setelah menerima 
uangnya. Mereka sebagian ada yang 
menari-nari dan sebagian lagi 
berteriak-teriak seperti setan 
kelaparan. Diantara mereka yang 
mengajak perempuan-perempuan 
keluarganya, pada menari nari dengan

jenaka tapi juga menggairahkan. Yah, 
semua itu disebabkan tangan-tangan 
mereka telah menggenggam masing-masing
lima keping uang emas murni yang luar 
biasa tinggi harganya bagi mereka, dan 
semua itu adalah hadiah dari Ki Rikma 
Rembyak.
Jagal wesi merasa nanar dan muak 
matanya menatap pemandang begitu. 
Segenap anak buah Bido Teles tadi 
menari-nari dengan irama liar dan 
karena nya Jagal Wesi bermaksud untuk 
meninggalkan tempat itu.
— Hee, tunggu! — tiba-tiba sebuah 
teriakan terdengar lantang sekali, 
berbareng Jagal Wesi mulai 
melangkahkan kakinya untuk pergi. —
Jangan pergi dari tempat itu! —
Sudah barang tentu Jagal Wesi 
menjadi sangat terkejut, karena 
teriakan tadi pasti ditujukan 
kepadanya. Dan ketika ia menoleh 
kearah suara tadi, ternyata memang 
benarlah dugaannya tadi.
Bahkan Jagal Wesi malah terkejut 
lebih hebat lagi demi diketahuinya 
bahwa yang berteriak tadi adalah Bido 
Teles sendiri. Maka seketika Jagal 
Wesi menghentikan langkahnya. 
Berbareng pula ia bersiaga menghadapi 
segala kemungkinan.
— Mengapa kau pergi, hai Jagal 
Wesi?! Apakah kau tidak senang bila

kawan-kawanmu itu bersuka ria? — ujar 
Bido Teles.
— Maaf pemimpin muda, aku tak 
bermaksud begitu. Hari ini aku merasa 
tidak senat, maka ijinkanlah aku 
pergi!
— Hmm, kau jangan berpura-pura 
Jagal Wesi! Agaknya engkau merasa iri 
lantaran engkau belum menerima uang 
emas yang aku bagi-bagikan tadi?! —
kata Bido Teles sambil tersenyum 
mengejek. — Nah maka terimalah ini 
olehmu! Engkau mendapat bagian pula! —
Bersamaan dengan itu, Bido Teles 
meraba ikat pinggangnya dan secepat 
kilat ia mengibaskan tangan-nya kearah 
Jagal Wesi — Wessss. —
Namun Jagal Wesi tidak tinggal 
diam. Ketika tiga buah sinar kuning 
melesat kearah dirinya, maka tangan 
kanan-nya buru-buru merentang kedepan 
me nyambutnya. - Tak! Tap! Tap! — Tahu 
tahu diantara jari jemari tangan kanan 
Jagal Wesi terseliplah tiga buah 
kepingan uang emas yang tadi 
dilemparkan oleh Bido Teles.
— Terimakasih tuan Bido Teles —
ujar Jagal Wesi seraya menimang nimang 
ketiga mata uang emas tadi pada 
telapak tangannya dan kemudian 
menggenggamnya lama sekali. — Tapi aku 
rasa terlalu banyak yang aku terima 
ini! —
Bido Teles kaget pula mendengar 
kata-kata Jagal Wesi tadi dan tiba-
tiba ia melihat bahwa tangan si-
pendekar kekar yang menggenggam uang 
emas itu, ini berkelebat kearahnya.
— Harap dimaafkan, pemimpin muda. 
Aku pulangkan uang ini kepada tuan! —
ujar Jagal Wesi.
Dengan sebat Bido Teles menyambar 
uang yang dilontarkan oleh Jagal Wesi 
tadi. Akan tetapi sekali lagi ia 
terperanjat bila uang emas yang 
ditangkapnya itu bukannya terdiri dari 
tiga kepingan, melainkan cuma satu 
kepingan tebal yang sesudah diamat-
amatinya, ternyata terdiri dari tiga 
keping uang emas yang dilekatkan 
menjadi satu!
— Permainan tenaga dalam! —
desis Bido Teles
dengan kagum, tapi juga marah 
sehingga iapun berteriak serta 
melangkah lebih dekat lagi kearah 
Jagal Wesi — Kau berani menolak 
pemberianku hee? Sebagai anggota baru 
dilingkungan Pulau Mondoliko ini 
engkau terlalu ugal-ugalan! —
— Taaar! — sebuah tamparan dari 
tangan Biro Teles sekonyong-konyong 
menghajar mulut Jagal Wesi dengan 
kerasnya. Hampir saja Jagal Wesi 
membalas kepada Bido Teles dengan 
tinjunya, tetapi tiba-tiba teringatlah
bahwa ia adalah anggota baru dalam 
gerombolan Rikma Rembyak ini.
Maka Jagal Wesi cuma terdiam oleh 
tamparan Bido Teles itu, malahan ia 
membiarkan hinaan yang di perbuat 
terhadap dirinya, oleh pemimpin muda 
itu.
Bido Teles yang sehabis menampar 
mulut Jagal Wesi itu segera pula 
menyumbatkan kepingan mata uang emas 
tadi kedalam mulut itu, sehingga Jagal 
Wesi menggeram.
— Nah, lain kali kau jangan 
berani menolak pemberian dari Bido 
Teles tahu! Sekarang kau boleh pergi 
sesukamu Jagal Wesi! — seru Bido Teles 
sambil tertawa terbahak-bahak demikian 
pula Soma Karang yang berada disitu 
ikut tertawa terpingkal-pingkal.
— Yah, memang keduanya merasa 
geli dan janggal, bila Jagal Wesi yang 
bertubuh kekar dan telah menunjukkan 
tenaga dalamnya itu, kini dengan tiba-
tiba cuma berdiam diri mendapat 
tamparan dan hinaan semacam itu.
Sambil melangkah pergi, Jagal 
Wesi menahan rasa pedih pada bibirnya 
yang mengeluarkan darah dan dengan 
kepingan uang emas yang menyumbat pada 
mulutnya.
***

DUA


BILA SENJA telah turun, beberapa 
dian minyak kelapa segera dipasang, 
sehingga ruangan pendapa kelurahan 
Mijen menjadi terang benderang, 
sebagai pertanda bahwa pertemuan 
penting tengah berlangsung.
Diruangan itu pula kelihatan 
sebuah balai-balai besar beralaskan 
anyaman tikar pandan halus dan di-situ 
pula duduklah Ki Lurah Mijen, Pendekar 
Bayangan, Mahesa Wulung, Gagak Cemani 
serta Lawunggana dan tak ketinggalan 
pula Pandan Arum maupun Endang Seruni. 
Sedang didekat mereka duduk pula 
Jagabaya Cangkring, Kertipana serta 
Sorogenen.
Agaknya pusat perhatian dalam 
pertemuan malam itu adalah pendekar 
Gagak Cemani yang berkumis melintang 
dan berjubah serta berikat kepala 
potongan daerah Timur.
Semua perhatian diarahkan
kepadanya ketika Ki Lurah Mijen 
bertanya dengan ramah. — Angger Gagak 
Cemani, rupanya angger telah mengenal 
lebih jauh tentang Setan Enam 
Serangkai dari daerah Pegunungan 
Kendeng itu? —
— Memang benar dugaan bapak tadi 
— jawab Gagak Cemani diseling 
senyuman. — Mereka telah merupakan

musuh kawakan dengan ayahanda Ki 
Banyak Sekti sejak belasan tahun yang 
lalu. —
— Eh, dan tentang ayahmu Ki 
Banyak Sekti itu sekarang tinggal 
didaerah Ponorogo juga? — menyela 
pendekar Bayangan bertanya — Dahulu 
ketika kami saling berkenalan, masih 
sama-sama muda dan sekarang ini, akh, 
aku ingin bertemu lagi dengan dia. —
— Keinginan andika itu pastilah 
kami sambut dengan senang hati dan 
kami menantikan kunjungan andika di 
Ponorogo - ujar Gagak Cemani seraya 
menatap wajah ketuaan dari Pendekar 
Bayangan yang kini telah menanggalkan 
topeng putihnya.
— Hmm, terima kasih, terima 
kasih. — Pendekar Bayangan berkata 
dengan wajah gembira. — Tetapi, 
dapatkah kami mendengar tentang kisah 
ayahandamu Ki Banyak Sekti serta diri 
angger sendiri, mengapa sampai kalian 
bermusuhan dengan Setan Enam Serangkai 
dari daerah selatan itu? —
— Eeh, baiklah bapak. Saya akan 
menceriterakan kisah itu, tetapi cukup 
panjang dan semoga andika semuanya 
tidak menjadi bosan karenanya. —
berkata Gagak Cemani.
— Berceriteralah angger, pasti 
kami akan senang mendengarnya walaupun 
akan tidak selesai dalam semalam ini —
Pendekar Bayangan berkata.

— Yaa, berceriteralah angger 
Gagak Cemani -sahut Ki Lurah Mijen 
pula. — Memang kebetulan kami adalah 
orang-orang yang doyan mendengar 
ceritera. Bukankah begitu Cangkring? —
Jagabaya Cangkring tersenyum 
lebar seraya menggaruk-garuk lehernya, 
lalu berkata. — Betul kisanak 
berceriteralah sepanjang mungkin. 
Dengan demikian pastilah Ki Lurah akan 
mengeluarkan hidangan-hidangan 
masakannya yang lezat dan sedap untuk
kita! -
Suara tertawa serentak memenuhi 
ruangan pendapa tersebut karena 
kelakar dari Cangkring dan Ki Lurahpun 
menyambung pula — Ya andika semua 
tenang-tenang saja, sebab orang-orang 
didapur telah masak besar untuk 
merayakan pertemuan kita serta usa ha 
kita yang telah berhasil baik. Dan kau 
Cangkring. Untuk anda telah kami 
sediakan sambal goreng petai sekuali 
penuh yang menjadi kegemaranmu! —
Sekali lagi terdengar suara tawa 
gembira dan Cangkring kelihatan sesaat 
agak blingsatan namun kemudian tertawa 
pula dengan terkekeh-kekeh.
Demikianlah ruangan tadi menjadi 
semarak oleh kegembiraan yang ada pada 
orang-orang itu dan akhirnya 
ketenangan segera mulai mencengkam 
suasana ketika Gagak Cemani telah 
memulai ceriteranya.

Ayahanda Banyak Sekti telah 
meninggalkan daerah Demak belasan 
tahun yang lalu karena waktu itu 
keamanan telah pulih dan merata 
dimana-mana.
Kepergiannya tidak karena 
disebabkan pulihnya keamanan itu saja, 
tapi dikarenakan pula undangan gurunya 
di Ponorogo yang meminta agar Ki 
Banyak Sekti tadi datang kesana. 
Entah, apa maksud gurunya tadi 
mengundang Ki Banyak Sekti untuk 
datang ke perguruannya di Ponorogo 
itu, tidaklah begitu jelas dan 
undangan itupun cuma dititipkan oleh 
gurunya kepada seseorang yang 
kebetulan datang berkunjung ke Demak 
untuk mengunjungi sanak familinya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi 
berangkatlah Ki Banyak Sekti tadi 
kearah timur menuju kedaerah Ponorogo 
dengan hati yang dipenuhi oleh tanda 
tanya.
Maka dengan selalu memacu 
kudanya, Ki Banyak Sekti segera 
menempuh perjalanannya dari desa ke 
desa, dari daerah yang satu kedarah 
yang lain, ia capai dalam waktu yang 
singkat
— Hemm, pastilah undangan guru 
ini sangat penting. Mungkin ia 
mendapat satu bencana atau ..... ah, 
tak mungkin. Ki Gendir Penjalin 
mmpunyai nama besar didaerahnya dan

bapak guru cukup mampu untuk 
menghadapi setiap bahaya! — begitulah 
pikir Ki Banyak Sekti tadi. — Jika 
begitu pasti ada hal-hal lain yang 
menyebabkan ia mengundangku untuk 
datang ke Ponorogo! —
Sesudah melewati Rembang dan 
berbelok keselatan, ia menempuh daerah 
Blora dan Cepu, kemudian menyusuri 
aliran sungai Bengawan SAla terus ke 
selatan.
Mendekati daerah Ngawi, sungai 
bengawan Sala tadi bertemu dengan 
aliran sungai yang lain, yakni kali 
Madiun dan kesitulah Ki Banyak Sekti 
terus menempuh perjalan-nya menuju 
keselatan.
Setelah melewati Madiun, kegalah 
hati Ki Banyak Sekti, sebab tak lama 
kemudian akan tibalah ia di Ponorogo 
dan bertemu dengan gurunya, Ki Gendir 
penjalin.
Dan sore itu, ketika Ki Banyak 
Sekti tiba dihalaman rumah gurunya, 
dilihatnya Ki Gendir Penjalin sedang 
duduk termanggu menatap kearah langit 
barat yang kemerahan oleh cahaya 
senja.
Akan tetapi Ki Gendir Penjalin 
segera geragapan setelah ia mendengar 
derap langkah kaki kuda serta seruan 
yang memanggilnya dari arah utara. —
Guru! Inilah aku telah datang.

— Angger Banyak Sekti! Oh, aku 
selalu menunggu-nunggumu! — ujar Ki 
Gendir Penjalin seraya mendapatkan 
muridnya telah meloncat turun dari 
punggung kudanya dan berlari 
kesisinya.
Banyak Sekti lalu mengangguk 
hormat kepada Ki Gendir Penjalain dan 
iapun menjadi terharu ketika gurunya 
tadi merangkulnya. Baginya, Ki Gendir 
Penjalin tadi tidak cuma sekedar guru 
saja, tapi telah pula dianggapnya 
sebagai orang tuanya sendiri. Itulah 
sebabnya mengapa ia terharu dan memang 
sebenarnya iapun telah rindu kepada 
orang tua ini.
— Angger Banyak Sekti, 
kedatanganmu telah lama kutunggu-
tunggu sebab ketahuilah bahwa 
Gambisari telah menderita sakit hampir 
dua pekan ini. — ujar Ki Gendir 
Penjalin dalam nada cemas. —
— Ookh, Gambisari? Dia menderita 
sakit, guru? — seru Banyak Sekti 
dengan kagetnya. Selintas terbayanglah 
wajah manis Gambirsari, yakni putri Ki 
Gendir Penjalin yang selama ini telah 
dianggap sebagai adik kandungnya.
— Ia mengalami kelesuan dan 
kelemahan. Sebentar kadang-kadang 
tubuhnya agak deman dan tidak jarang 
dalam tidurnya dia selalu memanggil 
namamu! Itulah sebabnya aku memanggil 
kau kemari. —

— Jika demikian aku akan segera 
menemuinya, bapak! — kata Banyak Sekti 
dengan tak sabar lagi. —
— Ya, baiklah angger. Mari aku 
antar masuk kedalam!. —
Keduanya cepat-cepat melangkah
kearah pintu masuk dengan hati 
berdebar-debar. Seperti Banyak Sekti 
yang segera ingin melihat keadaan 
Gambirsari yang lagi sakit itu. Sedang 
Ki Gendir Penjalin sendiri, iapun 
ingin segera tahu apakah yang terjadi 
bila anak gadisnya yang selalu 
terbaring ditempat tidurnya itu 
melihat dan bertemu dengan Banyak 
Sekti?
Akan tetapi alangkah kagetnya 
mereka bila secara tiba-tiba pintu 
masuk rumah itu terbuka dan berlarilah 
sesosok tubuh semampai dari dalam dan 
langsung mendekap Banyak Sekti, 
membuat pendekar muda ini gelagepan 
kaget, seperti halnya pula Ki Gendir 
Penjalin sendiri.
Dan ternyata si pendekap tadi 
adalah Gambirsari sendiri yang 
berwajah agak kepucatan dengan rambut 
yang terurai panjang kehitaman.
Sebagai orang tua, Ki Gendir 
Panjalin yang semula melongo melihat 
anaknya bisa sembuh dengan tiba-tiba, 
segera pula menjadi cerah wajahnya 
serta tersenyum dengan hati yang 
bersyukur.

Eeh, Gambirsari. Gambirsari. —
demikian kata Ki Gendir Penjalin dalam 
hatinya. — Mengapa kau tak bilang dari 
dulu-dulu bahwa engkau merindukan 
Banyak Sekti?! Ah, engkau telah 
menderita kasmaran. Gambirsari. Engkau 
telah mencintai kakak angkatmu ini 
secara diam-diam. Jika demikian, 
kalian harus segera menjadi suami 
istri, terikat dalam tali perkawinan 
yang suci dan kekal! —
— Engkau telah datang, kakang 
Banyak Sekti! Ookh. telah berhari-hari 
serasa bertahun-tahun aku 
menantikanmu, dan kini aku telah 
sembuh ketika mendengar suaramu tadi. 
— ujar Gambirsari dengan masih 
mendekap erat tubuh Banyak Sekti, 
sampai pendekar muda ini seperti dapat 
mendengar detak jantung gadis ini 
ketika dada Gambirsari yang padat itu 
menghimpitnya
— Haai, engkau telah sembuh 
dengan tiba-tiba, Gambirsari! — ujar 
Ki Gendir Penjalin sambil tersenyum 
geli kepada anak gadisnya itu. — Dan 
jangan keras-keras engkau mendekap 
angger Banyak Sekti itu. Nanti ia 
jatuh pingsan kehabisan napas! —
— Aakh, bapak selalu menggodaku! 
Dahulu andika membiarkan kakang Banyak 
Sekti meninggalkan rumah ini sampai 
bertahun-tahun, menyebabkan aku 
kesepian seorang diri. — kata

Gambirsari dengan suara manjanya. —
Dan sekarang bapak tak boleh 
membiarkan kakang Banyak Sekti pergi 
lagi dari rumah ini. —
— Ooh, tentu tentu! - sahut Ki 
Gendir Penjalin. - Memang, aku akan 
menahan Banyak Sekti dirumah ini 
selamanya, sebab kalian akan segera 
aku kawinkan! —
— Kawin?! — seru Gambirsari 
terkejut
— Mengapa Gambirsari? — tanya Ki 
Gendir Penjalin. - Apakah engkau tak 
suka? —
— Ooo, suka sekali bapak! — seru 
Gambirsari sambil berseri-seri 
wajahnya, yang kini mulai nampak 
merah. — Memang inilah yang aku 
inginkan. Kawin dan menjadi isteri 
dari seorang pemuda yang akui cintai! 
Banyak Sekti tersipu-sipu malu, 
tapi tak urung didalam hatinya 
terlontaklah teriakan gembira karena 
pernyataan dari Ki Gendir Penjalin 
serta gadis manis, si Gambirsari yang 
suka berkata blak-blakan, terus terang 
terhadap isi hatinya.
Begitulah, pada akhirnya Banyak 
Sekti kawin dengan Gambirsari dan 
hidup bahagia. Keduanya di karuniai 
seorang anak laki-laki, selang dua 
tahun kemudian. Dan mereka memberi 
nama Gagak Cemani, karena rambutnya

yang hitam kelam dan berkilat bagai 
bulu burung gagak.
Belasan tahun telah lewat dengan 
tak terasa seperti lewatnya angin yang 
bertiup di setiap harinya berganti-
ganti dari satu tempat ke tempat yang 
lain tanpa hentinya.
Dan pagi itu disebuah persawahan 
yang terletak disebelah utara kota 
Ponorogo terlihatlah beberapa orang 
petani yang tengah mencangkul disawah. 
Sekali-sekali mereka melepaskan 
lelahnya sambil meneguk air minum yang 
ditaruh dalam bumbung bambu ataupun 
mengunyah sirih tembakau kesukaannya 
sambil bercakap-cakap.
— Kami merasa senang bahwa Ki 
Banyak Sekti telah menetap disini 
serta mendampingi Ki Gendir Penjalin —
ujar salah seorang petani yang 
rambutnya telah separo putih.
— Yah, kadang kala seorang 
pengembara tidak akan selalu merantau 
serta berpindah pindah tempat tanpa 
tujuan tertentu. Suatu kali ia akan 
menetap disebuah tempat serta 
berkeluarga dan beranak cucu. —
berkata Ki Banyak Sekti.
— Tapi aku kagum kepada andika —
kata seorang petani lainnya. — Bahwa 
sebagai seorang pendekar, andapun 
rajin pula bertani mengolah sawah. —
— Ah, tapi ketahuilah kisanak 
seorang pendekar seperti aku inipun

tak berbeda dengan andika semua. Kita 
adalah manusia dan harus mencukupi 
semua kebutuhan hidupnya Maka untuk 
itulah, akupun berta ni dengan 
kesungguhan. — Ki Banyak Sekti berkata 
menjelaskan isi hatinya.
Para petani tadi mengangguk-
angguk oleh keterangan Ki Banyak Sekti 
dan sesaat kemudian seorang petani 
bertanya pula. — Aku pernah mendengar 
dan benarkah kiranya bahwa tugas 
seorang pendekar adalah untuk 
bertempur semata mata? —
— Itu tidak benar seluruhnya, 
kisanak! — jawab Ki Banyak Sekti 
sambil tersenyum. — Buat saya seorang 
pendekar akan bertempur dan harus 
turun ta ngan dimana kekacauandan 
kejahatan tengah meraja lela. Akan 
tetapi dimana tenang dan aman, dia 
haruslah hidup sebagaimana biasa, 
sebagai anggota masyarakat lainnya. 
Ada yang berdagang, bertani, 
menggembala ternaknya dan sebagainya, 
sehingga si pendekar tadi tidaklah 
berpisah jauh dari masyarakat. —
Alangkah kagum dan hormatnya para 
petani tadi, demi mendengar kata-kata 
Ki Banyak Sekti. Itulah pula sebabnya, 
mengapa Ki Banyak Sekti sangat 
dihormati serta disegani oleh para 
petani didaerah itu dan tidak jarang 
pula mereka meminta nasehat serta

bantuannya bila mereka mendapat 
kesulitan.
Tiba-tiba percakapan mereka 
terhenti ketika terdengar teriakan 
keras dari arah selatan dan serentak 
semua pandangan mata terarah pada 
suara tadi. — Bapaaaak! —
Terlihatlah oleh mereka beberapa 
orang membawa bakul untuk mengirim 
para petani yang bekerja disawah itu. 
Para pengirim tersebut terdiri dari 
perempuan dan juga gadis dari keluarga 
petani petani tadi.
Namun seorang pengirim 
diantaranya adalah seorang anak laki-
laki yang berumur kira-kira dua belas 
tahun. Bakul yang berisi makanan 
tidaklah dibawanya sebagaimana biasa, 
dengan menjingjing ataupun 
menggendongnya. Tetapi dengan cara 
lain yaitu menjunjung-nya di atas 
kepala.
Kalau begitupun, toh sebenarnya 
tidak terlihat aneh namun si bocah 
tadi menjunjung bakul makanan-nya 
sambil berlari lari dengan cepatnya 
dari pematang sawah yang satu 
kepematang sawah yang lain-nya.
- Bapaaaaak! — teriak si bocah 
tadi yang berambut hitam mengkilat dan 
bakul diatas kepalanya itu seolah-olah 
telah melekat dan tidak mau jatuh 
msekipun ia berlari-lari meloncat-
loncat dengan sigapnya.

— Akh, itu si Gagak Cemani! —
desis Ki Banyaki Seksi seraya 
tersenyum. — Siapa yang menyuruhnya 
kemari? — Ki Banyak Sekti melihat 
puteranya tadi dengan bangga Gagak 
Cemani yang telah menjadi besar dan 
merupakan pemuda tanggung itu, benar-
benar memiliki kelincahan dan 
kesigapan yang mengagumkan. Maka tak 
heranlah Ki Banyak Sekti bila bakul 
yang berada diatas kepala Gagak Cemani 
itu tidak mau jatuh meskipun sibocah 
itu berlari-lari dan segera tiba 
ditempat para petani itu lebih dulu 
dari pada perempuan-perempuan tadi.
— Bapak, aku membawakan makanan 
untuk bapak. — ujar Gagak Cemani 
kepada ayahnya. - Nasi, sambal jeruk 
dan ikan bakar serta juadah! —
— Mengapa tidak ibumu sendiri 
yang mengantarnya, nak? — bertanya Ki 
Banyak Sekti seraya mengelus-elus 
rambut anaknya itu dan sicilik Gagak
Cemani cuma tersenyum kepada 
ayahnya.
— Ibu sedang sibuk dirumah, 
bapak. — ujar Gagak Cemani. — lagi 
menambal baju bapak yang sobek
tersangkut duri kemarin. —
ki Banyak Sektipun tersenyum oleh 
kata-kata Gagak Cemani. Ia lalu 
teringat bahwa kemarin sore ia telah 
menelusup-nelusup hutan kecil 
disebelah utara untuk memburu ayam

hutan dan bajunya robek tersangkut
duri.
— Apakah bapak marah lantaran aku 
datang kemari? — tanya Gagak Cemani.
— Ooo, tidak, nak. Tetapi mengapa
engkau tadi berlari-lari ketika menuju 
kemari. Apakah engkau tidak kualir 
bila bakul makanan ini tertumpah 
jatuh?
— Maaf, pak. Tapi bukankah bapak 
serta kakek Ki Gendir Penjalin telah 
mengajarkan beberapa kecekatan kepada 
Gagak Cemani? — ujar Gagak Cemani.
— Dan karenanya Gagak Cemani 
tidak akan menumpahkan bakul makanan 
ini! —
Ki Banyak Sekti cuma tersenyum 
mendengar jawaban si kecil Gagak 
Cemani ini. Memang ia telah 
mengajarkan beberapa ilmu silat dasar 
yang sangat sederhana kepada anaknya 
itu, tapi untuk tingkatan yang lebih 
tinggi ia belum bersedia mengajarnya. 
Sebab ia merasa belum tiba waktunya.
Ia menguatirkan bila Gagak Cemani 
yang lagi berada dalam masa 
pertumbuhan dan perkembangan, ini, 
telah memiliki ilmu silat tinggi, maka 
ia akan menjadi anak yang nakal dan 
semberono.
Meskipun begitu, kekuatiran tadi 
tidaklah begitu mendalam didalam 
hatinya, ia lebih tahu bahwa Gagak 
Cemani tidaklah tergolong anak yang

begitu dan semua teman-temannya 
menyayanginya dengan sungguh-sungguh. 
Tak jarang ia melihat Gagak Cemani 
menolong teman-temannya tadi bila 
mereka mendapat kesulitan-kesulitan.
— Bapak, mengapakah Gagak Cemani 
tak boleh mendapatkan pelajaran ilmu 
silat yang lebih banyak? — tanya Gagak 
Cemani kepada ayahnya.
— Mmm, bersabarlah nak! — ujar Ki 
Banyak Sekti — Bukannya tak boleh, 
tetapi kurasa belum waktunya engkau 
mempelajarinya. —
— Apakah itu terlalu berat, 
bapak? —
— Yah, kukira begitulah. Meskipun 
engkau mampu tapi itu akan memakan 
tenaga yang lebih banyak. Dengan 
sendirinya akan menimbulkan kelelahan 
yang luar biasa.
— Maksud bapak, umurku belum 
cukup uniuk pelajaran itu? —
— Ha, kau telah menemukan 
jawabannya, Gagak Cemani. Tungguhlah 
sampai engkau berumur lima belas 
tahun, dan engkau akan mulai 
mempelajarinya.
— Terima kasih bapak. —
Setelah para petani tadi 
beristirahat melepaskan lelahnya, 
merekapun segera memulai pekerjaannya, 
mengelolah dan mengerjakan sawah 
garapan mereka.

Sementara itu, para pengirim 
makanan telah pulang kembali, demikian 
pula dengan Gagak Cemani. Dengan 
berlari-lari kecil, ia menuju kejalan 
pulang menuju kerumahnya.
***
TIGA


DISUATU SENJA yang baru saja 
mulai turun itu, lima orang anak kecil 
masih saja duduk ditepi sungai Madiun 
yang melalui sebelah timur kota 
Ponorogo.
Kelima anak laki-laki tadi 
semuanya memegang pengail ditangannya. 
Beberapa ekor ikan telah mereka dapat 
dan dirangkainya dalam sebuah tali 
kecil.
Udara senja yang telah mulai 
turun serta bayangan-bayangan awan 
hitam kecoklatan yang membayang 
dicakrawala barat telah menimbulkan 
kecemasan diantara mereka.
Bukan lantaran kegelapan senja 
atau gemericiknya aliran sungai itu 
saja yang mencemaskan mereka, tetapi 
jarak sungai tersebut dengan rumah 
mereka cukup jauh itulah yang membuat 
kecemasan mereka semakin besar.
— Ayoh kita pulang sekarang Gagak 
Cemani! — ujar seorang anak laki-laki 
yang bertubuh gemuk. — Aku kuatir 
kalau ayahku marah-marah nanti. —
— Heh, heh, heh — tertawa si 
Gagak Cemani — Apakah ketakutanmu itu 
bukan disebabkan malam yang segera 
turun ini Beton? — tanya Gagak Cemani 
seraya menggoda si tubuh gemuk itu.
Karenanya anak laki-laki gemuk 
tadi menjadi semakin kecemasan 
tampaknya, lebih-lebih setelah Gagak 
Cemani melanjutkan kata-katanya. — Kau 
masih ingat dengan pohon randu alas 
dipengkolan jalan disebelah barat sana 
itu.
— Ya, ya,! — seru Beton seraya. —
Mengapa dengan pohon tua itu. Bukankah 
siang tadi kita telah melewatinya? —
— Itu siang hari bukan? — sahut 
Gagak Cemani sambil tersenyum. — Tapi 
kalau malam begini, gelap jangan tanya 
lagi! —
— Eh, mengapa Gagak Cemani? —
tanya seorang luki-laki lain yang 
bertubuh segemuk Beton itu. — Nah, kau 
juga Bonggol! Dengarlah baik-baik ujar
Gagak Cemani. — Di pohon randu alas 
tua tersebut diamlah suatu hantu hitam 
yang bertubuh yinggi dan besar. 
Katanya ia suka membawa anak-anak 
kecil seperti kita ini. —
— Hiii! — desah Beton sambil 
mendesah badannya kedekat Bonggol

Kalau begitu kita harus melalui jalan 
lain! —
— Tapi apa gunanya? - sela 
seorang teman Gagak Cemani yang 
bertubuh kurus. — Hantu tadi toh akan 
keluar dan keluyuran pada malam 
segelap ini untuk mencari mangsanya, 
dan mungkin saat ini ia telah berada 
didekat kita. —
— Oooow! Hiii - seru Beton seraya 
merangkul Bonggol didekatnya lebih 
erat, sehingga kedua anak kecil yang 
berbadan gemuk itu hampir-hampir 
terguling jatuh setelah mendengar 
kata-kata Precil yang menakutkan tadi.
- Heh, heh, he, he, — sambung 
Gagak Cemani pula - Memang hantu tadi 
suka mengambil anak-anak yang gemuk 
seperti kalian berdua itu. Tetapi 
janganlah takut. Kalian akan 
kulindungi seandainya hantu itu berani 
mengganggumu!
- Ih, benarkah kata katamu itu? -
ujar Beton setengah tak percaya — Kau 
berani berkelahi melawan hantu itu? —
- Pasti berani! Mengapa tidak? -
sahut Gagak Cemani. Belum lagi habis 
mereka berkata-kata itu, mendadak saja 
terdengarlah suara gemerosak yang
membuat kelima anak itu terkejut bukan 
kepalang.
Suara gemerosak yang dibarengi 
sesosok bayangan hitam berkelebat dari 
pohon yang satu kepohon yang lain.

Mula-mula muncul dari utara kemudian 
bergerak kearah mereka.
— Set! Set! Set — demikianlah 
bayangan tadi semakin dekat dan 
berhenti tepat disebuah pohon didekat 
kelima anak tadi tanpa menimbulkan 
suara.
Kini kelima anak itu melihat 
betapa bayangan hitam tadi berdiri 
dipuncak pohon, tak ubahnya seekor
burung yang bertengger dengan enaknya.
Bayangan tersebut tertawa 
mengeletar menyeramkan siapa saja 
yang mendengarnya sehingga kelima anak 
tadi saling berpegangan saking 
takutnya. — Ha, ha, ha, ha. Mengapa 
kamu, tikus-tikus kecil ini masih 
belum pulang, haa? — seru bayangan 
hitam tadi kepada kelima anak yang 
berada dibawah — Apakah kalian belum 
tahu, bahwa akulah hantu si tukang 
menggondol anak kecil yang masih suka 
berkeluyuran dihari gelap! —
Bagaikan tersumbat oleh secarik 
kain, maka mulut kelima anak itu 
terbisu tanpa dapat bersuara 
sedikitpun. Sedang Gagak Cemani dengan 
bersusah payah mencoba mengatasi rasa 
takutnya tadi.
Maka tak antara lama dapatlah 
Gagak Cemani berteriak lantang. — Haai 
hantu hitam! Lekas pergi dari tempat 
ini! Jika tidak, pasti aku akan 
menghajarmu! —

Sesaat, si bayangan hitam terdiam 
seperti tengahmeyakinkan diri bahwa 
teriakan tadi benar-benar berasal dari 
salah satu diantara kelima anak kecil 
tersebut.
Namun sesaat kemudian bayangan 
tadi kembali tertawa ketika sekali 
lagi ia dapat mendengar teriakan si
kecil Gagak Cemani. — Heei hantu 
hitam! Jangan ganggu kami! —
Tiba-tiba dengan gerakan yang 
sangat lincahnya bayangan tadi lalu 
meluncur turun diatas tanah, tepat
didepan kelima anak tersebut, dalam 
jarak kurang lebih dua tombak.
Karena tampaknya cuma Gagak 
Cemani yang lebih berani dari pada 
keempat temannya yang lain, maka si 
Bonggol, Beton serta kedua orang 
teman-nya lagi berdiri dibelakang 
Gagak Cemani.
— Kau tikus cilik! — seru si
bayangan hitam yang bertubuh kekar 
itu. — Berani menantangku, haa!?
— Aku yang melindungi mereka! —
bentak si kecil Gagak Cemani. — Jika 
ada yang mengganggu mereka akulah yang 
akan membelanya! —
— Hmm, aku kagum kepadamu tikus 
cilik!! Siapa namamu, haaa!? — teriak 
si bayangan hitam.
— Aku bernama Gagak Cemani! —
— Namamu memang bagus, tikus 
cilik. Tetapi apakah engkau mampu 
menghadapiku, haa!! -
— Aku ingin mencoba!! —
— Ha, ha, ha, ha. Bagus! Tak 
kukira bahwa aku mendapatkan lawan 
yang sekecil engkau!
— Meskipun aku masih kecil, 
tetapi aku tak pernah takut menghadapi 
lawan yang lebih besar! — demikian 
kata Gagak Cemani yang telah bertekad 
untu membela keempat kawannya.
— Hee, tapi engkau tadi 
menyebutku sebagai hantu hitam. Apakah 
engkau yakin bahwa tubuhku benar-benar
hitam?! —
— Tapi engkau telah mengaku 
sebagai hantu penggondol anak anak 
kecil. Dan kata nenek, hantu yang 
demikian itu bertubuh dan berkulit 
hitam! — Ha, ha, ha, ha. Engkau pernah 
diceritai nenek-imu begitu? — seru si
bayangan hitam itu. Sekarang engkau 
akan kutangkap dan segera engkau akan 
dapat mengetahui apakah tubuhku benar-
benar hitam! —
Dengan langkah-langkah tegap si
bayangan hitam tadi mendekati Gagak 
Cemani sementara keempat teman-nya 
menjadi ketakutan setengah mati. 
Mereka lalu mundur mundur untuk 
menjauhi tempat itu.
— Hiaaah! — tiba-tiba dengan 
gerakan lincah Gagak Cemani menerjang

kearah si bayangan hitam, tetapi 
sasarannya cuma menggeliat sedikit dan 
melesetlah serangan Gagak Cemani tadi.
— Ha, ha, ha. — tertawa si 
bayangan hitam ketika dilihatnya si 
Gagak Cemani hampir tersungkur jatuh 
akibat tenaga pukulannya sendiri yang 
mendorong kedepan. — Jangan 
melancarkan serangan dengan 
perhitungan yang serampangan, tikus 
kecil! Kau akan jatuh sendiri 
karenanya! —
Gagak Cemani menjadi terkejut 
oleh kata-kata peringatan dari 
lawannya itu dan lebih terkejut ketika 
si hantu hitam tersebut menyerangnya.
Sebuah terkaman telah 
mengancamnya dan gagak Cemani tampak 
kebingungan. Dalam saat-saat yang 
demikian itu terdengarlah lawannya 
yanng berperawakan kekar berseru. –
Tikus kecil yang bodoh! Kau akan 
segera teremas oleh tanganku ini! 
Berbuatlah sesuatu! Mengelak kekiri, 
kekanan atau meloncat kebelakang! -
Cepat-cepat Gagak Cemani meloncat 
kesamping kanan seperti anjuran 
lawannya tadi dan benarlah bahwa 
sejurus kemudian serangan lawannya 
menjadi meleset!
Untunglah Gagak Cemani telah 
diajar dasar-dasar gerak oleh ayahnya 
maupun oleh kakeknya juga, hingga 
dengan mengandalkan kelincahannya yang
ada, ia tak merasa gentar menghadapi 
lawannya.
Sebenarnya Gagak Cemani menjadi 
terkejut sebab lawannya yang semula 
tampak menakutkan itu kini seolah-olah 
menjadi orang yang bodoh dengan
gerakan-gerakan sederhana yang setiap 
kali dapat ditangkis ataupun 
dihindarinya dengan mudah.
Maka Gagak Cemani menjadi tak 
mengerti sama sekali atas perubahan 
sikap lawannya. Apakah ia cuma pura-
pura ataukah memang sebenarnya ia tak 
memiliki ilmu yang tinggi.
Bahkan lama-kelamaan Gagak Cemani 
mendapat kepastian bahwa dirinyapun 
sebenarnya memiliki kemampuan-
kemampuan untuk menghadapi lawannya. 
Namun sampai sejauh itu, Gagak 
Cemani masih saja keheranan, bila 
setiap kali si bayangan hitam 
menyerangnya, setiap kali lawannya itu 
memberi peringatan atau petunjuk-
petunjuk yang berguna bagi dirinya.
Malahan tak jarang si bayangan 
hitam tersebut membuat serangkaian 
gerakan serta serangan yang lakukan-
nya amat lambat, sampai-sampai Gagak 
Cemani secara jelas dapat melihat 
serta memahaminya dengan seksama.
Dengan melihat gerakan gerakan 
yang diulang beberapa kali oleh 
lawannya itu. Gagak Cemani dapatlah
sedikit-sedikit menirukannya dan ini

membuatnya terkejut! Si kecil ini 
hampir tak percaya! Tenyata gagak
Cemanipun dapat pula melakukannya 
dengan cukup baik!
Dan sebenarnya memang itulah 
jurus silat pertama yang dikenalnya! 
Maka dengan berlandaskan jurus yang
tadi pula. Gagak Cemani selalu melawan 
serangan-serangan lawannya.
Perkelahian mereka menjadi 
semakin seru dan dalam saat itu pula 
Gagak Cemani dapat sekilas mengetahui 
akan wajah lawannya meskipun malam 
cuma diterangi oleh bintang-bintang 
serta bulan yang cuma sepotong, 
melengkung seperti lengkung ujung 
kuku.
Si bayangan hitam yang menjadi 
lawannya terlihat mempunyai wajah yang 
lebih tua dari ayahnya dengan kumis 
lebat serta kerut merut pada wajahnya 
yang menunjukkan kekerasan serta 
kegarangan.
Dalam pada itu, Beton serta 
ketiga teman lagi menjadi cemas 
bercampur rasa takjub, bahwa Gagak 
Cemani mampu bertempur melawan 
bayangan hitam tersebut dengan 
hebatnya.
Setelah keduanya bertempur 
beberapa saat lamanya. Gagak Cemani 
mendengar lawannya berkata pula. —
Heh, heh, tikus kecil! Kau ternyata 
memiliki keberanian yang besar! Nah,

sampai disini dahulu pertempuran kita! 
Lain hari boleh dilanjutkan lagi bila
engkau ternyata masih berani! Nah, 
sampai bertemu lagi tikus kecil! —
Habis berkata demikian, bayangan 
hitam tadi melesat keatas pohon dengan 
gerakan lincah dan ringan bagai seekor 
belalang!
— Set! Set! Set! — begitulah, 
sebentar saja tubuh si bayangan hitam 
itu telah melesat berpindah-pindah 
dari pohon kepohon dan lenyap 
disebelah utara.
Gerakan tadi benar-benar mirip 
gerakan hantu yang tiba-tiba pergi dan 
lenyap seperti halnya ketika ia muncul 
dan datang ditempat itu.
Sesaat kemudian tempat tersebut 
telah sepi kembali, kecuali derai 
nafas Gagak Cemani yang masih belum
mereda akibat gerakan-gerakan tubuhnya 
ketika tadi bertempur melayani 
lawannya, sibayangan hitam itu.
Beton, Bonggol serta kedua orang 
temannya lagi mendekati Gagak Cemani 
seraya memeriksa tubuh teman-nya itu. 
Beton meraba-raba tubuh Gagak Cemani 
seraya berkata. — Kau tidak mendapat 
cedera, Gagak Cemani? —
Sebelum berkata, Gagak Cemani 
lebih dulu tertawa geli akibat rabaan 
jari-jari si gemuk Beton yang 
memencet-mencet tubuhnya. — Eah, 
engkau menggelitik aku Beton!

Terimakasih, aku masih baik-baik saja
dan tidak mendapat cedera sedikitpun, 
kecuali napasku yang Senen Kemis 
berkempis-kempis ini. —
— Engkau memang hebat Cemani! —
ujar Precil — Tak kukira engkau dapat 
berkelahi sehebat itu. Ih, bagaimana
kalau Gagak Cemani ini kita angkat 
sebagai guru kita, kawan-kawan? —
— Setuju! - seru keempat kawan 
Gagak Cemani tadi dengan serempak.
— Eh, tunggu dulu, kawan-kawan! 
Aku tak berkeberatan untuk mengajari 
kalian. Tetapi kalian tahu? Gerakanku
tadi belum seberapa dan semua itu 
kutiru dari gerakan si bayangan hitam 
yang telah menjadi lawanku! Dengan 
demikian lebih tepatlah bila dia kita 
angkat sebagai guru! —
— Wah, takutlah kami dengan 
bayangan hitam tadi! — seru keempat 
kawan Gagak Cemani dan si beton tampak 
mengkirik-kirik serta berdiri bulu 
kuduknya bila mengingat peristiwa yang 
baru saja di alaminya.
— Kalian belum tahu, bahwa sambil 
bertempur dengan aku si bayangan hitam 
tadi memberi petunjuk-petunjuk tentang 
gerakan silatnya! — kata Gagak Cemani 
— Wah memang aneh orang itu! -
— Oh, jika begitu kita dapat 
menjumpainya pula, Gagak Cemani! ujar 
Precil menyela. — Aku dengar tadi, ia 
bersedia melanjutkan perkelahiannya! —

— Yah, itu benar! — sahut Gagak 
Cemani pula. — Ia masih menantangku 
lagi untuk bertempur melawan dia. Hmm, 
apakah kalian masih ingin bertemu lagi 
dengan si bayangan hitam itu tadi? —
— Kami akan mengantarmu Cemani! —
sambung Beton — Tetapi yang berkelahi, 
biarlah engkau saja. Kami hanya 
menonton dari tempat yang agak jauh. —
— Wah, jadi aku akan kalian 
jadikan tontonan?! - ujar Gagak Cemani 
seraya tertawa meringis. — Biarlah, 
aku tak berkeberatan. Akan tetapi, aku 
minta agar kalian merahasiakan 
peristiwa yang baru saja kita alami 
ini! —
— Baik! Kita akan tetap 
merahasiakan peristiwa ini — Beton
berkata seraya mengacungkan tangannya 
kedepan, disusul oleh tangan Precil 
yang menumpang diatas si Beton. 
Selanjutnya, tertumpang pula dua 
tangan temannya dan terakhir sekali 
Gagak Ce-mani menumpangkan tangannya 
pula. 
Demikianlah kelima anak itu telah 
berjanji untuk saling memegang rahasia 
tersebut dengan sungguh-sungguh. 
Kemudian kelimanya berkemas-kemas 
mengumpulkan bilah-bilah pancing serta 
ikan-ikan yang telah mereka dapatkan 
dan merekapun berjalan kearah barat
menuju kejalan pulang.

Sepanjang perjalanan, Gagak 
Cemani tak habis-habisnya mengerti, 
betapa ia telah menemukan seorang 
lawan, tapi yang sekaligus menjadi 
pelatihnya pula.
— Ooh, siapakah bayangan hitam 
tadi? Apakah ia orang baik-baik atau 
orang jahat? — demikian pikiran Gagak
Cemani bergelut sendirian. — Ayah 
telah mengatakan, bahwa segera aku 
akan dilatihnya setelah menginjak usia 
lima belas tahun! Akan tetapi beberapa
saat yang lalu, seseorang telah 
menyerang dan juga melatihku dengan 
gerakan-gerakan silat yang cukup 
hebat. Hmm, bagaimana ini baiknya 
kalau aku menceritakan kepada ayah, 
pastilah beliau akan marah sekali. —
Ketika mereka telah sampai 
kedaerah persawahan serta dekat dengan 
rumah-rumah mereka, sekali lagi Gagak 
Cemani berkata kepada keempat 
kawannya. — Nah selamat malam. Besok 
lusa kita akan pergi mengail lagi 
ditempat yang sama. —
- Selamat malam — ujar mereka 
berbareng kemudian berpisahlah untuk 
kemudian kembali rumahnya masing-
masing.
***

Dua hari berselang. Pada suatu 
senja, Gagak Cemani beserta keempat 
kawannya telah pula berada ditempat 
yang sama yakni disebelah timur Kota 
Ponorogo, ditepi sungai Madiun. Mereka 
telah selesai mengail ikan dan kini 
berkemas-kemas untuk pulang sambil 
menunggu munculnya si bayangan hitam 
yang dahulu pernah menyerang Gagak 
Cemani.
Kelima anak itu selalu 
melayangkan pandangan-nya kearah 
utara, dimana bayangan hitam itu 
dahulu muncul dan lenyap dari arah 
sana.
Beberapa saat mereka telah 
menunggu, tapi si bayangan hitam itu 
belum muncul juga, sehingga mereka 
mengira bahwa orang tersebut tak akan 
pernah datang lagi.
Tetapi nyatanya dugaan mereka 
adalah keliru sebab tiba-tiba saja 
terdengarlah suara tertawa mengikik di
belakang mereka disusul kata-kata yang 
menyeramkan — Hi, hi, hi, hi, saudara-
saudara kecil! Kalian menghadang maut
ditempat ini, ha!? —
Begitu mengagetkan dan tiba-tiba 
kejadian ini sehingga kelima anak itu 
terlompat kaget dan Bonggol serta 
Beton yang bertubuh gemuk itu jatuh 
terguling ditanah, membuat si
pendatang tadi lebih keras tertawanya.

Gagak Cemani segera menjadi 
kaget, bila ia dapat mengamati wajah 
orang itu. Ternyata wajah itu 
berwarnah kemerah-merahan seperti 
wajah penari-penari yang melakukan 
tokoh raksasa dengan mengecat wajahnya
dengan warna merah. 
Maka tahulah segera si Gagak 
Cemani, bahwa orang tersebut bukanlah 
si bayangan hitam yang pernah muncul
ditempat itu, dua hari yang lalu. 
Itulah sebabnya Gagak Cemani segera 
bersiaga.
- Hi, hi, hi. hi. Aku datang 
menggantikan temanku yang mempunyai 
janji untuk menjumpai saudara-saudara
kecil yang suka keluyuran ditempat ini 
dan manakah diantara kalian yang telah 
berani berkelahi melawan dia?! —
berseru si wajah merah itu. 
- Maaf bapak, akulah orangnya! —
ujar Gagak Cemani.
- Ooo, kaulah orangnya? — berseru 
si wajah merah tadi serta langsung 
menyerang Gagak Cemani. - Terimalah 
ini, saudara kecil! — Haaait! — I 
Gerakan si wajah merah ini 
ternyata sangat hebat dan belum pernah 
dikenal oleh si Gagak Cemani sebe-
lumnya. Tapi pemuda kecil ini cepat 
menggunakan gerakan yang dahulu pernah 
dipelajarinya dari musuhnya yang 
pertama kali yakni si bayangan hitam 
dan sejurus kemudian si kecil yang
cerdas ini bergumam kagum. — Heh, 
gerakan si wajah merah ini merupakan 
kelanjutan dari gerakan si bayangan 
hitam! —
Ternyata lawan Gagak Cemani 
inipun menyerang dengan gerakan yang 
lambat sehingga si kecil itu dengan 
mudahnya segera mengenal dan menirukan 
gerakan silat lawannya yang gesit 
bagaikan ular.
Beberapa kali ia berhasil 
menghantam lawannya namun si wajah 
merah tadi tidak bergeming ataupun 
mengaduh, malahan tersenyum-senyum 
saja, dan keruan saja membikin Gagak 
Cemani semakin marah. Sejurus kemudian 
bertempurlah mereka dengan serunya. 
Gagak Cemani yang telah berhasil 
menggabungkan jurus-jurus pertama yang 
berasal dari bayangan hitam serta 
kemudian menggabungkan dengan jurus 
jurus si wajah merah ini, membuat 
gerakannya terasa lebih hebat!
Dan inilah pula yang membuat 
Gagak Cemani berhasil mengatasi 
serangan-serangan lawan-nya, bahkan 
akhirnya iapun berhasil mendesak si
wajah merah! Orang tersebut tampak 
menjadi gelisah dan sesaat kemudian ia 
melesat kesamping sambil berseru. —
Kurangajar kau saudara kecil! Biarlah 
sampai disini dulu pertarungan kita 
ini! Sampai jumpa dilain waktu,

ditempat ini pula. Awaslah lain kali, 
saudara kecil! -
Gagak Cemani terlongoh heran bila 
dengan ini gerakan yang lincah dan 
cepat si wajah merah tadi telah 
berjungkir balik diudara dan lenyaplah 
dibalik semak-semak disebelah barat!
Telah dua kali Gagak Cemani 
menjadi heran. Ia telah diserang oleh 
dua orang lawan yang masing masing 
mempunyai gerak dan jurus yang 
berlainan tapi ditempat yang sama!
— Hemmm, agaknya sibayangan hitam 
mempunyai teman yang banyak dan ia 
telah menceriterakan perihal diriku 
kepada mereka! — begitu gerundal Gagak 
Cemani. — Yah, aku tak perduli, siapa 
yang lain kali bakal muncul dan 
menemui diriku serta bertempur 
ditempat ini pula!
Demikianlah akhirnya Gagak Cemani 
bersama keempat teman-nya segera 
berkemas dan pergi meninggalkan tempat 
tersebut sambil membawa beberapa ekor 
ikan hasil tangkapan mereka hari ini. 
Malam-pun terus berlalu tanpa kecuali 
sang bintang diang-kasa berkeredipan 
laksana ribuan kunang-kunang yang ber-
gantung disebelah sana. Tempat 
tersebut menjadi sepi kembali, kecuali 
bekas-bekas telapak kaki serta batu-
batu yang pecah berserakan akibat 
pertempuran beberapa saat yang lalu.

Memanglah, seseorang yang telah 
mengalami kejadian hebat dan setiap 
kali itu pula ia berhasil lolos dan 
bahaya maka akan bertambah membajalah
diri seseorang tadi serta tak akan 
merasa gentar untuk menghadapi 
kejadian-kejadian yang lebih hebat?
Dan Gagak Cemani yang masih kecil 
inipun menjadi ingin untuk setiap kali 
bertemu dengan lawan-lawan yang aneh 
ditepi sungai Madiun serta bertempur 
melawan mereka. Apalagi ia merasa 
mendapat keuntungan dengan perjumpaan 
yang ganjil ini.
Maka untuk ketiga kalinya, Gagak 
Cemani disertai kawan-kawannya datang 
ketepi sungai tersebut pada suatu 
senja untuk menunggu pertemuan yang 
aneh, yang pasti masih akan terjadi 
mengingat ancaman dari si wajah merah 
sebelum ia melesat lari.
Dan apa yang dinanti-nanti itu 
benar-benar datang.
Berbareng tertiupnya angin senja 
yang menyapu dan menggoyang-goyangkan 
rerumputan ditepi sungai, terdengarlah 
suara tertawa nyaring disusul mun-
culnya seorang berwajah angker dengan 
alis mata, kumis dan jenggot yang 
tebal serta lebat menakutkan. Ia 
berjalan mendekati Gagak Cemani dan 
keempat kawannya.
— Mana bocah ingusan yang berani 
mengganggu kawanku si wajah merah,

heei?! — seru siwajah angker seraya 
mendelik kepada Gagak Cemani. — Pasti 
kau orangnya, ya!? —
— Memang tak keliru lagi pak 
brewok!! Akulah Gagak Cemani yang 
menghajar kawanmu si wajah merah. 
Harap dimaafkan! —
— Setan kecil. Kau rasakan ini 
pukulanku! Yaah! — Si wajah angker 
melayangkan pukulan tangannya dengan 
deras dibarengi oleh tendangan kaki. 
Untung saja Gagak Cemani telah 
memiliki dua jurus silat yang segera 
dapat menghindari serangan si wajah 
angker dengan melenting keatas.
Gagak Cemani segera dapat 
merasakan perbedaan-perbedaan jurus 
silat dari ketiga lawan yang pernah 
dijumpainya. Kalau si bayangan hitam 
dengan jurus-jurus pukulan dan cara 
mengelak, maka si wajah merah dengan 
gerakan gesit bagai ular, melingkar-
lingkar terhadap lawan yang 
diserangnya dan kini si wajah angker 
mempunyai gerakan yang garang tak 
ubahnya gerakan seekor harimau yang 
lagi marah!
Meskipun serangan serangan si
wajah angker tadi hebat, namun tak 
satupun pukulannya yang benar-benar 
melanggar tubuh Gagak Cemani. Paling-
paling hanya menyerempet sedikit. 
Entah, apakah ini disengaja atau 
memang pukulan tadi sesungguhnya tidak

sampai sebab kenyataannya Gagak Cemani 
senantiasa berhasil menangkis 
serangan-serangan si wajah angker. 
Malahan sebaliknya, si wajah angker 
beberapa kali telah terkena pukulan 
Gagak Cemani.
Tak antara lama Gagak Cemani 
mendengar desah nafas lawannya yang 
kelihatan terengah-engah seperti mau 
kehabisan nafas. Tiba-tiba saja si
wajah angker tadi menotokkan jarinya 
kepundak Gagak Cemani hingga si kecil 
ini jatuh terjerembab sedangkan si 
wajah angker sendiri lalu berbalik dan 
melesat menerobos semak-semak untuk 
kemudian lenyap tak berbekas sambil 
berseru — Sampai ketemu lagi! —
Itulah perjumpaan ganjil untuk 
ketiga kalinya bagi Gagak Cemani dan 
setelah itu ia tidak lagi selalu 
mengajak teman-temannya untuk datang 
ketempat itu. Kadang kadang dengan 
seorang diri ia pergi ketempat 
tersebut dengan memberanikan diri, 
apalagi ia telah mempunyai tiga jurus 
ilmu silat yang cukup tangguh.
Maka pada sebuah senja yang 
berikutnya. Gagak Cemani dengan 
berdebar-debar melihat sesosok ba-
yangan meloncat-loncat mendatanginya 
dari sebelah utara! Sungguh hebat dan 
lincah gerakan orang ini. Tak ubahnya 
gerakan seekor belalang yang

melenting- lenting dengan enak dan 
ringan.
— Tak keliru lagi! Pastilah 
engkau si Gagak Cemani yang bandel! —
seru si pendatang yang berwajah 
kepucatan seraya menyerang kepada 
Gagak Cemani. — Aku akan membalaskan 
kekalahan sahabatku si brewok berwajah 
angker! —
Si penyerang berwajah pucat ini 
benar-benar memiliki gerakan lincah, 
selincah belakang dan menyerang Gagak 
Cemani dari arah berbeda-beda dan 
selalu berganti lumpat dengan cara 
melenting kesana kemari sangat 
membingungkan.
Semula Gagak Cemani agak 
kerepotan menghadapi jurus-jurus yang 
baru ini, tapi beberapa gebrakan lagi, 
si kecil yang berotak tajam ini 
berhasil mengenal dan menguasai ilmu 
lawannya. Meskipun si wajah pucat tadi 
lincah, tapi Gagak Cemani menggunakan 
jurus gerakan segesit ular yang pernah 
dipelajarinya dari si wajah merah! 
Akibatnya mengagumkan dan hampir-
hampir Gagak Cemani tak percaya. 
Sebentar saja si wajah pucat tadi 
mengeluarkan keluhan-keluhan sebab 
selain Gagak Cemani mampu melayani 
serangan-seangan-nya iapun mampu pula 
menirukan gerakan selincah belalang 
tadi serta dipergunakan kembali untuk 
menyerang dirinya!

Dan rupanya saja si wajah pucat 
itupun merasa bahwa ia tak akan mampu 
memperpanjang pertempuran itu lagi 
maka sambil berteriak nyaring dan 
mengagetkan mendadak ia melenting 
keudara bagai terbang dan melewati 
kepala Gagak Cemani lalu melesat pergi 
dengan meloncat-loncat kearah utara.
Kini Gagak Cemani tinggal seorang 
diri dengan perasaan lega dan senang. 
Empat jurus ilmu silat telah 
dikuasainya dengan baik dan didapatnya 
dalam waktu singkat.
Dalam hati Gagak Cemani merasa 
beryukur bahwa ia telah mengenal ilmu 
silat yang betul-betul diharapkannya, 
namun disamping itu terselip pula 
perasaan heran serta tanda tanya besar 
terhadap orang-orang yang selalu 
datang kepadanya.
Siapakah mereka ini?? Mungkinkah 
dari perguruan yang besar, bila 
menilik keempat lawannya itu saling 
mengenal dan bersahabat. Tapi akhirnya 
ia itu tak sepenuhnya mengganggu 
pikirannya. Hanya saja ia membenarkan 
kata-kata ayahnya dulu, bila sehabis 
bertempur seru pasti ia akan mengalami 
rasa pegal pegal ataupun lelah dan ia 
belum bisa mengatasi rasa ini.
Empat jenis gerakan ilmu silai 
telah dikuasai oleh Gagak Cemani dan 
ini pula sebabnya ia tak merasakan 
cemas ketika pada sebuah senja yang

lain, ia menantikan kedatangan lawan 
yang berikutnya.
— Kraaaaak! — bunyi berderak 
terdengar memecah kesunyian senja dan 
Gagak Cemani cepat bersiaga sebab 
naluri dalam dirinya seolah olah telah 
mengatakan adanya bahaya yang tengah 
mendatang, dan itu ternyata benar!!
Dari atas pohon sukun meluncurlah 
sesosok bayangan manusia yang kemudian 
dengan tepatnya mendarat ditanah 
didepan Gagak Cemani, sampai si kecil 
ini terkejut setengah mati. Begitu 
tiba ditanah, bayangan manusia kali 
ini terus sekaligus memasang kuda-kuda
jurus ilmu silatnya serta tak 
ketinggalan memperdengarkan suara 
tertawa yang menyeramkan.
— Hah, hah, he, he, he, he, he, 
hah. Ternyata kau memang bocah bandel 
Gagak Cemani. Kau selalu menanti 
kedatangan salah seorang di antara 
kami. Nah, kali ini akan kau rasakan 
betapa hebatnya se-ranganku ini! 
Heeeeeit! —
Gagak Cemani tidak cukup jelas 
meneliti wajah lawannya kali ini. 
Namun begitu waktu yang singkat itu 
telah dipergunakan olehnya dan tahulah 
dia, bahwa silawan tadi berwajah kaku 
dan keras laksana wajah dari gunung 
karang.
Baiknya, sikecil Gagak Cemani ini 
telah waspada terlebih dahulu, maka

ketika serangan itu mendatang iapun 
segera melenting keudara dan balas 
menyerang dengan sambaran kakinya 
kearah kepala siwajah gunung karang.
Ternyata orang inipun tidak 
terlalu bodoh membiarkan kepalanya 
ditendang oleh si kecil Gagak Cemani 
dan dengan putaran tubuhnya kekiri 
maka lolos lah ia dari serangan 
tersebut.
Kini si wajah gunung karang ganti 
melancarkan serangannya kearah Gagak 
Cemani. Sambil berseru hebat ia 
menerkam si kecil tadi dengan gerakan 
sigap dan tandas bagaikan gerakan 
banteng yang hendak menanduk dan 
menerjang lawannya.
Karenanya Gagak Cemani menjadi 
terkejut bukan main dan berdesis 
kaget. -Hmm, gerakan silat yang baru! 
— Cepat si kecil ini berkelit 
kesamping dengan gerakan segesit ular, 
tapi ternyata ia masih kurang cepat. 
Kedua terkaman tangan si wajah gunung 
karang tadi cuma sebelah saja yang 
menyinggung pundak Gagak Cemani, dan 
tanpa ampun lagi Gagak Cemani 
terpelanting roboh.
Melihat ini si wajah gunung 
karang berdiri bertolak pinggang 
seraya melotot kearah si kecil tak 
ketinggalan mulut bergerundalan. —
Cis, baru sebegitu ilmu mu sudah 
takabur!! Gerakanmu tadi kurang cepat
bocah bandel! Kuperingatkan sekali 
lagi untuk memperhatikan gerakanku 
nanti. Jika engkau lengah sekejap 
saja, dapat kupatahkan tulang 
belulangmu!! —
— Baik! Akan kuparhatikan kata-
katamu itu pakde! — ujar Gagak Cemani 
seraya bangkit berdiri.
— Hus! Panggil pak gede kepadaku? 
Kurangajar! — seru si wajah gunung 
karang sambil bersungut-sungut 
wajahnya. — Gagak Cemani! Aku kagum 
terhadapmu. Maka kau kutantang untuk 
setiap kali datang ditempat ini untuk 
menemui saudara-seudara seperguruan 
kami yang banyak jumlahnya dan mencoba 
ilmunya! —
— Tapi berapa jumlah teman teman 
itu, pak?! —
— Puluhan, bahkan mungkin 
ratusen! Heh, heh, heh, — Tapi ingat 
Gagak Cemani, kau jangan 
menceriterakan pertemuan ini kepada 
orang lain jika tidak ingin menemui 
kematian! —
— Aku berjanji paki Tapi apakah 
bapak mempunyai guru? Tanya Gagak 
Cemani dengan rasa ingin lebih tahu. -
— Hmm, suatu kali kau akan dapat 
menjumpainya Gagak Cemani! Tetapi 
marilah kita lanjutkan pertarungan 
kita tadi, terlebih dahulu! Jika 
engkau dapat menandingiku maka tentu

teman-temanku lainnya tak berkeberatan 
untuk menemuinya!! —
Si wajah gunung karang segera 
bergerak dan menyerang kembali kearah 
Gagak Cemani dan sejurus kemudian 
keduanya telah bertempur hebat, lebih 
hebat dari yang sudah-sudah.
Seperti halnya yang sudah-sudah, 
Gagak Cemani segera dapat mengetahui 
tata gerak dari ilmu silat lawan-nya 
dan sekaligus menirukan serta 
menguasainya sekali. Bahkan jurus 
gerakan itupun ia pergunakan kembali 
untuk menyerang si wajah gunung 
karang!
Lama-kelamaan si wajah gunung 
karang tampak terengah-engah apabila 
gerakan gerakannya yang sehebat 
banteng itu seperti larut dan 
tenggelam oleh gerakan-gerakan Gagak 
Cemani yang selalu berganti-ganti. Si 
kecil ini sebentar menggunakan gerakan 
selincah belalang, lalu berganti 
gerakan harimau, ataupun segesit ular 
dan kemudian jugs menggunakan gerakan 
banteng itu sendiri!
— Akhirnya orang ini melesat 
dengan sisa-sisa tenaganya, ketika 
Gagak Cemani berusaha menangkapnya, 
dan serunya. —
— Hee, Gagak Cemani! Hebat juga 
engkau! Nah, sampai sekian dulu bocah 
bandel!

Dengan kecepatan yang 
mengagumkan, tubuh si wajah gunung 
karang melesat ke arah utara ditelan 
oleh kelebatan semak belukar dan 
pohon-pohon raksasa disebelah sana.
***
EMPAT


ENTAH, SUDAH berapa kali Gagak 
Cemani datang ketepi sungai Madiun, 
ditimur kota Ponorogo itu. Sikecil 
itupun hampir tak pernah mengingat 
untuk menghitungnya. Mungkin telah 
puluhan kali, mungkin pula hampir 
seratus.
Kadang-kadang ia pergi seorang 
diri atau mengajak teman-temannya 
sedang waktunyapun tidak menentu. Jika 
tidak ada kerja dirumah, ia dapat 
datang ketempat itu dua hari sekali 
dan bila ada kesibukan, maka cuma 
sekali ia datang dalam seminggu.
Adapun tokoh-tokoh yang ia jumpai 
sering berganti orangnya. Hanya 
beberapa kali ia pernah menjumpai 
tokoh-tokoh yang sama. Sampai sejauh 
itu Gagak Cemani masih belum berhasil 
mengetahui asal-usul dari para tokoh 
yang selalu menjumpainya itu. Sedang 
apa yang terjadi pada dirinya. Gagak 
Cemani menjadi kagum pula, sebab kini 
telah dimilikinya sebuah ilmu silat

yang terdiri dari rangkaian jurus dan 
gerakan yang hebat. Satu tata gerak 
yang benar-benar sukar dicari 
bandingannya.
Apalagi ketiga tokoh yang 
terakhir dijumpainya itu berhasil 
menangkap tubuhnya untuk kemudian 
didadah atau dipijat segala sendi-
sendi dan urat-urat tubuhnya. Maka 
sejak itu Gagak Cemani tak pernah lagi 
merasa kehabisan nafas ataupun tenaga, 
meskipun ia harus bertempur dalam 
waktu yang lama!
Demikianlah, tak terasa waktu 
yang dua tahun telah lewat dan 
menjelang Gagak Cemani memasuki usia 
lima belas tahun, ayahnya telah 
memintanya untuk segera mempelajarinya 
ilmu silat.
Akan tetapi alangkah kagetnya Ki 
Banyak Sekti ketika pada jurus-jurus 
pertama dari pelajarannya, Gagak 
Cemani telah dapat melahap jurus-jurus 
pelajaran dari ayahnya itu dengan 
singkat! Demikian juga kakeknya, Ki 
Gendir Penjalin yang menyaksikan hal 
itu menjadi takjub pula.
Namun kedua orang tua itu hanya 
mengambil kesimpulan bahwa Gagak 
Cemani mempunyai dasar yang cukup baik 
serta bakat yang mendalam. Mereka 
tidak tahu bahwa si pemuda kecil Gagak 
Cemani ini telah digembleng oleh 
tokoh-tokoh misterius dan aneh!

Seperti biasanya, pada senja-
senja yang telah dijadikan semacam 
perjanjian waktu bagi pertemuannya 
dengan tokoh-tokoh yang aneh tadi, 
Gagak Cemani telah datang ditepi 
sungai tersebut.
Dan tiba-tiba saja terkejutlah 
ia, bila dilihatnya seorang bertubuh 
kekar tapi berwajah setengah tua 
dengan kerut muka yang juga 
menunjukkan keagungan itu duduk diatas 
puncak semak gelagah ilalang yang 
tumbuh didekat batu-batu besar dengan 
enaknya.
— Tenaga dalam yang sempurna! —
gumam Gagak Cemani — Hmm, orang tua 
inipun agaknya yang akan mencoba 
diriku! —
Gagak Cemani lebih takjub, sebab 
tubuh orang tua tadi seperti tak 
tergerak ataupun terpengaruh oleh 
batang-batang daun gelagah ilalang 
yang didudukinya itu, yang bergoyang-
goyang tertiup angin senja!
Maka cepat-cepat Gagak Cemani 
berloncatan mendapatkan orang tua tadi 
seraya memberi hormat dihadapannya, 
lalu, berkata dengan petahan. — Maaf, 
bapak. Apakah bapak juga datang 
ditempat ini untuk mencoba 
kepandaianku? —
— Heh, heh, heh, engkaulah si 
Gagak Cemani yang pemberani itu! —
ujar orang tua tadi seraya membetulkan

kerudung kain atau jubahnya yang ter 
singkap oleh angin senja. — Ketahuilah 
angger aku sengaja datang kemari untuk 
mengatakan bahwa semua tokoh yang 
datang untuk mencoba ilmu silatmu itu 
telah merasa kewalahan dan aku rasa 
untuk saat sekarang ini, kepandaianmu 
serta ilmu silatmu itu untuk kebaikan 
serta menolong sesama hidup demi 
tegaknya kebenaran dan keadilan yang 
kita cari itu. Camkanlah kata-kataku 
ini angger! -
— Terima kasih bapak. — Ujar 
Gagak Cemani, — Tapi dari manakah 
tokoh-tokoh itu datang? Apakah mereka 
murid-murid dari bapak? —
— Heh, he, muridku tidak sampai 
berjumlah puluhan atau ratusan bahkan 
tidak lebih dari lima orang saja! —
— Tap... tapi mereka yang datang 
itu hampir lebih dari seratus orang?! 
— seru Gagak Cemani bingung.
— Oooooh, itukah yang 
mengherankanmu? Nah, lihatlah ini! —
ujar orang tua itu seraya menutup 
mukanya dengan kain jubahnya dan 
ketika dibukanya kembali. Gagak Cemani 
seketika berseru kaget setengah takut.
— Aaaakh, si wajah merah! — desis 
Gagak Cemani, bila wajah si tua itu 
tiba-tiba berubah dengan wajah si 
tokoh yang berwajah merah yang pernah 
dijumpainya.

— Dan kenalkah kau dengan ini? —
ujar si tua kembali seraya menutup 
mukanya sesaat dan membukanya kembali.
— Ooooh, si wajah pucat! —
— Dan juga kenal dengan tokoh ini 
— kata si tua seraya menutup dan 
membuka kembali wajahnya dengan kain.
— Haaah, itulah wajah si tokoh 
gunung karang yang berkekuatan 
banteng! — desis gagak Cemani semakin 
heran.
— Nah angger Gagak Cemani, tokoh-
tokoh tadi sebagian besar adalah aku 
sendiri. — berkata si tua seraya 
memperlihatkan wajahnya yang semula, 
yakni wajah agung dari seorang yang 
setengah tua! Maka tahulah segera 
bahwa si tua tersebut bukanlah orang 
yang sembarangan dan karenanya Gagak 
Cemani ingin segera mengetahui 
siapakah sebenarnya orang tua itu.
— Maaf, bapak. Bolehkah aku 
mengenal nama bapak? —
— Eh, apakah itu penting bagimu 
ngger? —
— Tentu penting bagiku, bapak! 
Sebab nama itu nanti akan selalu 
kuingat sepanjang hidupku, sebagai 
peringatan atas tergemblengnya tubuhku 
sehingga memiliki ilmu yang cukup 
baik.
— Heh, heh, heh, heh. Kau anak 
baik. Gagak Cemani! Baiklah. Namaku 
panggil saja Ki Bujanggiri dari Gunung

Liman — ujar si orang tua itu seraya 
tersenyum. — Dan untuk selanjutnya, 
aku tak dapat lagi menemuimu, karena 
masih ada tugas lain yang harus bapak 
selesaikan, angger. — Ki Bujanggiri 
tampak kemudian memungut sesuatu dari 
balik jubahnya sam bil berkata. —
Udara akan segera dingin. Gagak 
Cemani. Maka pakailah kain ini untuk 
membalut dan menghangatkan tubuhmu, 
sedang golok ini, biasa kupakai untuk 
memotong dan membelah kayu. Kini 
kuberikan pula kepadamu untuk menjaga 
dirimu.
- Beribu-ribu terimakasih, bapak. 
- ujar Gagak Cemani seraya menerima 
kedua benda tersebut dengan perasaan 
gembira bercampur haru. Lebih-lebih 
ketika tangan orang tua itu mengusap 
usap rambutnya yang hitam mengkilat
bagai bulu burung gagak itu, terasalah 
rasa haru yang lebih dalam pada dada 
Gagak Cemani dan tanpa terasa 
terjatuhlah beberapa butir air mata 
yang menetes dari sudut matanya. Waktu 
dua tahun cukup lama, tapi terasa 
singkat oleh Gagak Cemani dan selama 
itu, orang tua dide-pannya itulah yang 
telah berjasa menggembleng dirinya. 
Sayang sekali bahwa Ki Bujanggiri itu 
kini akan meninggalkannya.
Angger Gagak Cemani, malam akan 
semakin dingin dan bapak akan segera 
pergi. — ujar Ki Bujanggiri

Engkaupun harus segera pulang, agar 
orang tuamu tidak terlalu cemas 
menantikanmu? — Begitu selesai dengan 
kata-katanya Ki Bujanggiri segera
melesat pergi keutara dalam gerakan 
yang mengagumkan. Jubahnya yang 
mengembang itu bagaikan sayap seekor 
burung yang lagi terbang.
Sebentar saja lenyaplah sudah, 
tubuh Ki Bujanggiri tadi seperti 
ditelan oleh kelamnya malam dan 
lebatnya pepohonan. Sedang Gagak 
Cemani segera mengikatkan kain 
pemberian orang tua tadi pada 
punggungnya serta menyelipkan golok 
itu kepinggangnya.
Perlahan-lahan Gagak Cemani 
meninggalkan tempat itu dan sekali-
kali ia menengok kebelakang sana, 
seperti ingin meyakinkan bahwa tempat 
tersebut betul-betul ada dan bukan 
sekadar impian belaka, la menerobos 
semak belukar dan menunju kejalan 
kecil yang menuju kerumahnya.
Dalam beberapa loncatan bagai 
terbang, Gagak Cemani telah melesat 
melewati semak belukar untuk kemudian 
mendarat diatas jalan itu.
Akan tetapi .... Wuuut — sriiing 
sriiing-sriiing! — beberapa tebasan 
pedang berkelebat dan menyambut tubuh 
Gagak Cemani dengan hebatnya. Namun 
pemuda ini dengan gesitnya pula, 
mencelat ke udara serta berputaran

menyelinap diantara tebasan-tebasan 
itu dan sebentar kemudian loloslah ia 
dari serangan maut tadi.
Gagak Cemani berhasil hinggap 
pada cabang pohon sementara dua sosok 
bayangan yang berada dibawah pada 
saling melongo melihat serangan pedang 
tadi berhasil dielakkan Gagak Cemani.
Mata tajam si Gagak Cemani segera 
dapat mengenal mereka, apalagi ketika 
kedua orang tadi bergerundalan kagum. 
Itulah sebabnya Gagak Cemani segera 
berteriak — Ayaaah! Kakek! disusul 
tubuhnya meluncur kebawah, mendarat di 
atas tanah.
Kedua orang itu yang tidak lain 
adalah Ki Banyak Sekti serta gurunya 
yakni Ki Gendir Penjalin berseru 
kaget. — Gagak Cemani?? Engkaulah itu 
nak?? —
— Benar bapak akulah Gagak 
Cemani! — ujar pemuda itu seraya 
berlari mendapatkan ayah dan kakeknya.
— Aah, hampir saja, nak. Tapi 
mengapa engkau berkerudung kain itu 
serta menyoren golok dipinggangmu? 
Dari mana kau dapat semua benda itu, 
nak? — tanya Ki Banyak Sekti kepada 
anaknya.
Maka terpaksalah Gagak Cemani 
menceriterakan pertemuannya dengan Ki 
Bujanggiri yang duduk diatas ujung 
semak gelagah ilalang serta kemudian

memberinya kedua benda tersebut 
kepadanya.
— Haaakh!? — kedua orang tua 
serentak kaget demi mendengar nama Ki 
Bujanggiri disebut oleh Gagak Cemani.
— Luar biasa! — desis Ki Gendir 
Penjalin. — Kau beruntung sekali cucu! 
Ketahuilah bahwa Ki Bujanggiri adalah 
adik seperguruan dari Ki Patih 
Bujangganong dari kerajaan Bantarangin 
yang dahulu diperintah oleh Sang Prabu 
Kelana Sewandana! —
— Oh, bukan main hebatnya 
ceritera itu, kakek! — kata Gagak 
Cemani. — Tapi kerajaan Bantarangin 
itu aku belum pernah mendengarnya? —
— Nah, pada suatu hari Sang Prabu 
Kelana Sewandana disertai Ki Patih 
Bujangganong bermaksud melamar Putri 
Sangga Langit dari kerajaan Kediri. 
Maka keduanya disertai rombongan 
perajurit-perajurit Bantarangin 
pergilah memasuki wilayah kerajaan 
Kediri, setelah lebih dulu menaklukkan 
Singa Barong, seekor harimau penjaga 
tapal batas kerajaan. Mereka berjalan 
dengan membunyikan tetabuhan yang 
mengagetkan para perajurit serta Sang 
Prabu. Mengira kedatangan musuh, 
mereka segera menghujani rombongan 
Sang Prabu Kelana Sewandana dengan 
tembakan panah, lemparan tombak, 
bandil dan sebagainya sehingga tamu 
dari Bantarangin hampir seluruhnya

tewas bina sa termasuk Prabu Kelana 
Sewandana, Ki Patih Bu jangganong 
serta Singa Barong itu sendiri. Sedang 
beberapa orang yang sempat melarikan 
diri, seperti Bujanggiri saudara 
seperguruan dari Ki Patih 
Bujangganong, segera mengasingkan diri 
dan menetap di Gunung Liman, serta tak 
terdengar lagi kabar beritanya. Begitu 
pula Negeri Bantarangin yang terletak 
di-daerah ini, ibarat tanaman yang 
kekeringan air dan akhirnya runtuh 
serta lenyap pula — demikian ceritera 
Ki Gendir Penjalin.
Gagak Cemani berkedip-kedip 
mendengarnya dan tak lama kemudian ia 
mengangguk-angguk, sedang Ki Banyak 
Sekti segera berkata. — Ayo, nak. Kita 
pulang sekarang. Malam akan semakin 
larut! —
— Baik ayah, tapi mengapakah ayah 
dan kakek membawa pula senjata serta 
berjalan ditengah malam begini?! —
bertanya Gagak Cemani sambil 
mengawasi. sebilah pedang yang 
terselip dipinggang ayahnya, juga 
sebilah keris yang tampak disengkelit 
pada dada kakeknya. — Adakah sesuatu 
yang terjadi? —
— Kami berdua tengah meronda, nak 
— ujar Ki Gendir Penjalin kepada 
cucunya. — Keadaan mulai gawat dan 
keamanan mulai terancam, sebab 
pendekar jagoan dari wilayah selatan

saling berselisih serta menunjukkan 
kekuasaannya masing-masing, sehingga 
tak jarang terjadi perselisihan dan 
keributan-keributan. Kami merasa 
kuatir bila kerusuhan seperti itu 
meluas kedaerah utara, ketempat kita 
tinggal ini. —
Ketiganya, tak antara lama telah 
berjalan menuju kearah semula 
menyusuri jalan yang dinaungi oleh 
pohon-pohon asam dikanan kirinya.
— Mengapa pendekar-pendekar
jagoan itu membuat keributan, kakek? —
— Ya, seperti kata-kataku tadi, 
mereka saling menunjukkan kekuasaannya 
dan tidak jarang, mereka menarik pajak 
terhadap penduduk didaerahnya dan 
tentu saja hal itu membuat kecemasan-
kecemasan kepada penduduk disitu. —
— Aaakh, keterlaluan jika begitu. 
Kesaktian mereka membuat celaka 
terhadap orang-orang disekitarnya. —
ujar Gagak Cemani.
— Memang, kesaktian yang tidak 
dilandasi oleh jiwa besar, akan 
membahayakan. Pendekar tadi akan 
beranggapan bahwa dirinyalah yang 
terpenting dan terunggul diantara para 
penduduk itu. Dan karenanya pula, 
sipendekar lalu merasa patut dan 
selayaknya bila orang-orang tersebut 
menjamin hidupnya, memberi makan minum 
dan pakaian, juga memberi perempuan 
kepadanya, demikian kata Ki Banyak

Sekti yang membuat Gagak Cemani 
pelahan-lahan menyadari tentang 
hakekat kebenaran dan kehidupan seba-
gai seorang pemuda yang menginjak masa 
dewasa.
Ketika mereka bertiga membelok 
kearah selatan, tiba-tiba Ki Gendir 
Penjalin memberi isyarat supaya 
berhenti dengan segera. — Aku 
mendengar langkah-langkah kaki menuju 
kemari! —
— Betul, kakek! — sahut Gagak 
Cemani. — Kita harus menyingkir cepat-
cepat! — Gagak Cemani berkata seraya 
meloncat ketepi jalan berbareng dengan 
loncatan Ki Banyak Sekti dan Ki Gendir 
Penjalin kearah yang sama.
Dengan bersembunyi dan berdiam 
diri dibalik semak-semak tepi jalan 
itu, mereka menunggu dengan perasaan 
berdebar-debar akan kejadian-kejadian 
yang bakal dialaminya.
Sesaat kemudian, Ki Gendir 
Penjalin menjentik pundak cucunya 
serta menunjuk nunjukkan telunjuk 
kanannya kearah selatan. — Stt, itulah 
yang kita nanti, nak! —
Mata si Gagak Cemani terbiasa 
mengawasi kegelapan malam dan juga 
dibantu cahaya rembulan yang cuma 
separo bulat itu, membuat sipemuda ini 
dapat melihat dua sosok tubuh berjalan 
dari arah selatan.

Begitu pula Ki Gendir Penjalin 
serta Banyak Sekti serta mengetahui 
dua pendatang dari arah selatan. Namun 
mereka bertiga menjadi terkejut dan 
saling melongo bila kedua pendatang 
itu berjalan dengan terseok-seok.
Yang seorang berjalan dengan 
dipapah oleh temannya dan seketika 
tahulah Ki Gendir Penjalin kalau 
seorang diantaranya pendatang itu 
menderita cedera atau kepayahan.
— Ayo, kita tolong mereka! —
bisik Gagak Cemani.
— Tunggu dulu! Jangan tergesa-
gesa! — potong Ki Gendir Penjalin 
terhadap maksud cucunya itu — Itu ada 
yang datang lagi dari sebelah selatan 
menyusul mereka berdua! Mungkin adalah 
teman-teman dari mereka pula.—
Benar juga kata kata Ki Gendir 
Penjalin itu, sebab tak lama kemudian, 
dari sebelah selatan datanglah 
serombongan orang yang mendatangi 
kedua orang tadi.
— Larilah engkau lebih dulu, 
Rengganis! Larilah! Biar aku yang 
menghadapi orang-orang itu! — ujar 
orang yang dipapah.
— Tidak ayah! Andika telah 
terluka ketika menghadapi mereka dan 
sekarang akan melawan mereka kembali! 
Itu berarti membunuh diri, ayah! ujar 
yang seorang lagi dengan suara nyaring 
yang menunjukkan suara seorang wanita.

— Mari kita terus berlari atau 
menyelinap kesemak belukar itu! —
— Heei, berhenti kalian! Kurang 
ajar! — teriak salah seorang dari 
pengejar yang berwajah kejam sambil 
mengacungkan sebuah celurit, yakni 
senjata sebangsa sabit yang berukuran 
besar. Sementara itu keempat kawan 
lainnya, serta merta berloncatan me-
ngelilingi kedua orang buronan itu.
— Patra! Lekas kau serahkan anak 
gadismu itu sebagai pengganti pajak 
kalian yang tak dapat kau bayar! 
Pemimpinku pasti akan senang 
menerimanya! — seru siwajah kejam, 
disertai lirikan beringas kearah 
Rengganis.
— Jangan terlalu lama kakang 
Kemarung! — seru salah seorang dari 
teman siwajah kejam yang berpe rawakan 
pendek dan kekar dengan kumisnya yang
lebat keriting bagaikan tembakau 
panggang. 
— Bereskan saja si Patra dan 
rebut si manis Rengganis itu! Senjata 
bindiku ini akan memecah kepalanya. —
— Heh, heh, heh. Kau sudah tak 
sabar lagi Omprong! — ujar Kemarung 
seraya melirik kearah temannya itu, 
yang pada tangannya telah tergenggam 
senjata bindi, sebangsa penggada yang 
ujungnya dilapisi oleh logam tebal.
— Keparat. Kalian manusia biadab! 
Alasan, tak berperikemanusiaan! —

teriak Patra seraya melolos kerisnya 
dengan gerakan gemetar akibat luka-
luka yang dideritanya. — Kalian cuma 
berani main keroyok saja! —
— Heh, heh. Apa bedanya hal itu 
monyet! — sahut Kemarung dengan 
mendelik. — Toh, akhirnya kau harus 
mati, Patra! —
— Nah, bukankah si Patra busuk 
itu terlalu bandel kakang Kemarung! —
ujar Omprong. — Tunggu apa lagi, kita? 
— Yaa, sekarang ... serbu! 
Hancurkan dia! — teriak Kemarung 
kepada keempat orang temannya. Tapi 
sebelum kelima orang itu menyerbu, 
terhentilah mereka sebab sebuah 
teriakan telah menggetarkan udara 
malam.
— Tahan! Berhenti! — menyusul 
kemudian tiga sosok bayangan manusia 
yang tidak lain, Ki Gendir Penjalin, 
Ki Banyak Sekti serta Gagak Cemani 
berloncatan keluar dari semak belukar 
ditepi jalan. — Kamilah kawanmu! —
Melihat ini Kemarung terkejut 
tapi juga marah dan tanpa bertanya-
tanya lagi, berbalik menyerang ketiga 
pendatang tadi. Bagaikan serigala 
kelaparan kelima pendekar dari selatan 
tersebut menerjang lawan-lawannya. 
Senjata-senjata mereka berkelebatan 
membelah udara dengan suara mengaung 
mengerikan.

Sedang Rengganis serta ayahnya 
mengikuti pertempuran dimukanya dengan 
hati berdebar-debar saking takut dan 
takjubnya. Keduanya merasa bersyukur 
karena datangnya ketiga penolong itu.
Kemarung langsung menerjang Ki 
Gendir Penjalin dengan celuritnya yang 
menyambar-nyambar laksana petir dengan 
dugaan bahwa situa yang menjadi 
lawannya ini akan segera dapat 
dipenggal kepalanya dalam gebrakan 
pertama.
Tapi dugaan tadi menjadi meleset, 
sebab Ki Gendir Penjalin lebih dulu 
melenting keudara sekaligus mencabut 
kerisnya. Jika mau, sebenarnya Ki 
Gendir Penjalin tidak perlu 
menggunakan senjata untuk menghadapi
Kemarung, namun ia melihat bahaya yang 
lebih besar yang mengancam menantu 
serta cucunya yang masih kelewat muda 
itu. Maka ia berharap untuk dapat 
lekas-lekas melumpuhkan lawannya dan 
kemudian membantu Ki Banyak Sekti 
serta Gagak Cemani.
Dengan sibuknya Banyak Sekti 
menghadapi se rangan golok dari ketiga 
lawan pengikut Kemarun, sedang Gagak 
Cemani dengan gesitnya menghindari 
serangan-serangan Omprong yang 
datangnya bagaikan angin puyuh.
Pertempuran seru telah 
berlangsung.

Kelima jagoan dari selatan tadi 
tidak mengira bila malam itu mereka 
harus bertempur mati-matian menghadapi 
tiga orang lawan yang tangguh.
Omprong yang menghadapi Gagak 
Cemani itu menjadi semakin geram dan 
marah bila serangan-serangan senjata 
bindi ditangannya itu selalu dapat di-
hindari oleh Gagak Cemani dengan 
berloncatan ke-sana-kemari.
Maka tak lama kemudian Omprong 
mulai mengeluarkan jurus-jurus 
mautnya, sehingga dalam sekejap mata 
senjata bindi tadi bergerak ganas dan 
lincah mengurung gerakan-gerakan Gagak 
Cemani, membuai sipemuda berjubah ini 
menyadari bahaya yang tengah mengancam 
keselamatan dirinya.
— Sreeett! — Gagak Cemani melolos 
golok pemberian Ki Bujanggiri beberapa 
saat yang lalu dan menyebabkan Omprong 
maupun dirinya sendiri menjadi 
terkejut! Golok tersebut berwarna 
buram seperti termakan karat, tapi 
pada mata goloknya yang tajam, 
berkilatanlah cahaya berkeredapan dari 
sang rembulan yang menimpanya.
Kemarung sesaat menjadi berdesir 
hatinya menyaksikan golok milik Gagak 
Cemani tadi. Hanya saja sebagai 
seorang jagoan, pendekar, ia tak mau 
memperlihatkan hal itu. Lebih-lebih 
dihadapan lawannya yang jauh lebih 
muda dari pada dirinya.

Tak berbeda dengan Kemarung yang 
berhadapan melawan Ki Gendir Penjalin. 
keris orang tua itu nampak membara 
oleh mata lawannya dan Kemarung ber-
desis karenanya. — Keris pusaka! —
Meskipun begitu, Kemarung bukannya 
menjadi ciut hatinya oleh senjata 
tadi. Malahan dengan sekuat tenaga ia 
mengobat-abitkan celurit ditangannya 
untuk memenggal leher lawannya dan 
selanjutnya merampas keris puasaka 
tersebut.
Serangan-serangan Kemarung begitu 
rapat dan hebatnya, sehingga senjata 
celuritnya tersebut berubah tampaknya 
merupakan gulungan sinar putih yang 
bertubi-tubi melanda kearah Ki Gendir 
Penjalin, membuat lawannya yang tua 
ini-menjadi kerepotan dalam sekejap 
saja.
Melihat hal ini, Kemarung semakin 
kegirangan. Hanya agak untunglah Ki 
Gendir Penjalin menggenggam kerisnya 
yang ampuh. itu. Pelahan-lahan, 
seperti mengalirnya udara malam, keris 
tadi mulai mengeluarkan hawa saktinya 
yang membawa pengaruh tidak sedikit 
pada pembawanya, yakni Ki Gendir 
Penjalin.
Keris tersebut seolah-olah hidup 
ditangan pendekar tua tadi dan mampu 
bergerak sendiri. Hawa panas terasa 
menyambar-nyambar dari keris itu, bei 
bareng Ki Gendir Penjalin dapat

bergerak lebih cepat serta mencelat 
kesana-kemari dicelah-celah tebasan 
senjata celurit lawannya dan 
karenanya. Kemarung menjadi gelagepan!
— Lekaslah kau minggat dari 
tempat ini, sebelum Klabang Nyander 
ditanganku ini menjebol dadamu. — seru 
Ki Gendir Penjalin. Namun Kemarung 
tidak lekas berkecil hati oleh kata-
kata musuhnya dan serangannya masih 
terus menggencar.
Dipihak lain, Ki Banyak Sekti 
dengan gigihnya menghadapi keroyokan 
dari tiga orang pengikut Kemarung yang 
masing2 bersenjata golok. Mereka telah 
sejak tadi mengurung Ki Banyak Sekti 
dengan jurus-jurus mautnya, namun 
selama itu pula lawannya selalu 
berhasil menghindarkan diri. Mengalami 
kejadian ini, keruan saja ketiga orang 
itu bertambah jengkel dan tak salah 
lagi bila serangan serangannya 
diperlipat gandakan.
Dua orang menyabetkan goloknya 
kearah kaki Ki Banyak Sekti, sementara 
yang seorang telah men-cegat dari 
sebelah atas dengan loncatan gesit 
dibarengi tebasan golok kearah leher 
Banyak Sekti. Sungguh mengerikan bila 
Ki Banyak Sekti tidak segera bertin-
dak. Pasti kalau tidak lehernya yang 
copot kedua kakinya akan buntung 
terpapas oleh golok-golok lawan.

— Hiaat! — Ki Banyak Sekti tiba-
tiba meloncat keatas menghindari kedua 
golok yang menyerang kaki, sedang 
untuk serangan dari sebelah atas iapun 
telah bersiaga dengan pedangnya.
Sesaat kemudian tampaklah tubuh 
Ki Banyak Sekti berpapasan dengan 
tubuh lawannya diudara dan kedua 
senjata ditangan mereka cepat beraksi! 
— Breet. Yaarrrgh. —
Itulah korban pertama yang jatuh. 
Anak buah Kemarung tadi runtuh dari 
atas udara, melayang ke-bawah bagaikan 
buah durian jatuh dan berdebuk keras-
disertai darah berhamburan dari 
perutnya. Kedua temannya yang lain 
sangat terkejut melihat hal itu, dan 
secepat kilat menerjang Ki Banyak 
Sekti berbareng.
Namun Ki Banyak Sekti secepat 
kilat berguling ditanah, begitu kedua 
ujung golok itu menyambar dadanya. Dan 
waktu yang singkat tidak pernah dile-
watkan oleh Ki Banyak Sekti begitu 
saja. Ketika kedua golok lawan tadi 
terulur kedepan, disaat itulah 
pedangnya berkelebat lewat dibawah 
ketiak lawan-lawannya. — Aaargh. —
Kedua lawan Ki Banyak Sekti 
tersebut menjerit sambil menebah 
dadanya masing-masing yang me-
nyemburkan darah segar dan selanjutnya 
roboh terguling ditanah tanpa berkutik 
lagi.

Omprong yang telah sekian kali 
tak berhasil mengalahkan Gagak Cemani, 
menjadi lebih kaget lagi ke tika 
ketiga temannya itu telah binasa oleh 
pedang Ki Banyak Sekti.
Kembali Omprong mengulang jurus 
mautnya dan senjata bindinya tadi 
menghajar kearah kepala Gagak Cemani —
Wesss! — Omprong ternganga dan 
mengumpat. — Anak setan! — Gagak 
Cemani tahu-tahu bergerak selincah 
belalang menghindarkan diri sehingga 
senjata Omprong tadi cuma mendapatkan 
udara kosong belaka. Berbareng itu 
pula golok si Gagak Cemani cepat, 
menyambar dan sekali lagi Omprong 
mengumpat, sebab disaat ia meraba ikat 
kepalanya, ternyata telah putus dan 
ujung golok sipemuda itu masih sempat 
menggores dahinya!
Kemarung melihat semua itu! 
Ketiga anak buahnya telah mati, sedang 
Omprong telah terluka meskipun cuma 
tergores kecil. Namun itu semua telah 
menunjukkan harapan tipis untuk 
memperoleh kemenangan. Maka satu-
satunya jalan adalah melarikan diri. 
Dan segeralah ia memberi isyarat 
kepada Omprong dengan teriakan dahsyat 
sambil menyabetkan senjata celuritnya 
kearah Ki Gendir Penjalin, sebagai 
perlindungan dirinya, yang akan 
mengambil langkah seribu itu.

Akan tetapi, disaat ia mulai 
dengan langkah pertamanya tangan kiri 
Ki Gendir Penjalin masih bisa 
menggebrak punggung pendekar jagoan 
dari wilayah selatan tadi. Seketika 
Kemarung menjerit parau dan mulutnya 
melontarkan darah merah serta terhu-
yung-huyung akan roboh. Untunglah. 
Omprong cukup cekatan dan secepat 
kilat menyambar tubuh Kemarung serta 
dibawanya kabur sambil tak lupa 
meneriakkan ancamannya. — Awas kalian! 
Tunggu pembalasan kami! —
— Heeh! Katakan kepada ketuamu, 
agar tidak membuat kekacauan diwilayah 
utara ini! Ki Gendir Penjalin tidak 
akan tinggal diam begitu saja, —
demikian teriak Ki Gendir Penjalin 
dengan lantangnya.
Dalam sekilas saja, lenyaplah 
Omprong dan Kemarung menerobos semak 
belukar di sebelah selatan, 
meningggalkan mayat ketiga temannya 
tergeletak terkapar di tengah jalan.
— Terimakasih, kisanak. — berkata 
Patra seraya mendekati Ki Gendir 
Penjalin. Dalam pada itu pemuda Gagak 
Cemani telah sejak tadi mencuri 
pandang kearah sigadis yang berdiri 
dibelakang Patra seraya berpegangan 
pada baju ayahnya.
Entah mengapa kali ini dada Gagak 
Cemani berdebar-debar menatap wajah 
gadis tersebut, sedangkan Rengganispun

rupanya mengetahui bahwa dirinya 
menjadi sasaran pandangan dari 
pendekar muda Gagak Cemani. Maka tak 
mengherankan bila sebentar sebentar ia 
tertunduk kebawah.
— Andika bertiga telah 
menyelamatkan nyawa kami. — ujar si
tua Patra serta membungkuk hormat 
didepan Ki Gendir Penjalin.
— Ah, sudahlah, kisanak. — sahut 
Ki Gendir Penjalin sambil buru-buru 
memegang kedua pundak si tua Patra 
agar bangun kembali. — Sudah 
sepatutnya kita saling tolong 
menolong. —
— Perkenalkan, saya adalah 
Patratuwa dan ini adalah Rengganis, 
anak saya. — kata Patra memperkenalkan 
dirinya. — Tak mengira bahwa kami 
berdua akan bertemu dengan andika. Ki 
Gendir Penjalin. Nama andika telah 
terkenal sampai diwilayah selatan. Eh, 
siapakah yang bersama andika ini? —
— Mereka adalah keluargaku juga —
jawab Ki Gendir Penjalin sambil 
memperkenalkan menantu dan cucunya. —
Ini adalah Ki Banyak Sekti dan pemuda 
ini adalah Gagak-Cemani.
Patratuwa semakin kagum bila 
mendengar nama Ki Banyak Sekti disebut 
oleh Ki Gendjr Penjalin. Ternyata 
keduanya masih sekeluarga. Baginya, 
nama Banyak Sekti telah dikenalnya 
sebagai seorang pendekar ulung yang

suka turun tangan bila melihat 
kejahatan merajalela ataupun 
kekacauan-kekacauan.
— Aku telah mendengar pembicaraan 
andika tadi - berkata Ki Gendir 
Penjalin. - Oleh sebab itu, tak 
perlulah andika kembali kedaerah 
selatan sana. Tinggallah saja bersama 
kami, sebab tanah diwilayah kami masih 
cukup luas untuk didiami. —
— Mmm, terimakasih, Ki Gendir. —
kata Patratuwa — Kami sangat 
berterimakasih atas tawaran andika 
itu. Tetapi apakah hal itu tidak akan 
membahayakan keselamatan andika 
sendiri? Ah, kami telah melibatkan 
andika dalam persoalan kami dan 
menyusahkan andika saja! —
—Eeeh, janganlah andika berpikir 
demikian, Ki Patratuwa. Ketahuilah 
bahwa kami tak akan membiarkan 
perbuatan-perbuatan mereka yang 
sejahat itu. Kami bermaksud 
membasminya, tapi sayang kami tidak 
mengetahui kekuatan mereka yang 
sebenarnya. — ujar Ki Gendir Penjalin 
— Bukankah begitu, Banyak Sekti? -
— Yah, begitulah bapak — sambung 
Ki Banyak Sekti — Hal itu, kita tak 
perlu menguatirkannya. Jika memang 
perlu kita bisa meminta bantuan dari 
laskar-laskar daerah pantai utara, 
seperti Demak ataupun Gresik. —

Ki Gendir Pejalin mengangguk-
angguk mendengar penuturan dari anak 
menantunya dan sesaat kemudian iapun 
mengajak Patratuwa serta anak gadisnya 
untuk berlalu dari tempat ini. —
Marilah kisanak, datanglah ketempat 
kami dan tinggal disana dengan 
tenteram. Nanti kalian dapat membuka 
tanah persawahan yang baru dan 
menggarapnya bersama kami. —
Sekali lagi Ki Patratuwa 
mengucapkan terima kasihnya atas 
pertolongan Ki Gendir Penjalin tadi.
— Dan kau. Banyak Sekti. 
Pulanglah lebih dulu untuk memanggil 
beberapa orang penduduk guna me rawat 
dan menguburkannya sekali mayat-mayat
ini! — demikian kata Ki Gendir 
Penjalin kepada anak menantunya.
— Baik, bapak. Permisi dahulu! —
Ki Banyak Sekti segera meloncat 
meninggalkan tempat itu dan beberapa 
saat kemudian disusul oleh Ki Gendir 
Penjalin, Patratuwa, Rengganis dan 
Gagak Cemani berjalan menuju kearah 
barat.
Malam terasa semakin sepi dan 
larut. Bunyi belalang malam serta 
gesekan daun-daun yang tertiup angin 
terdengar sangat menyayat hati, 
seperti bunyi rintihan dari setan-
setan yang keluyuran mencari 
korbannya. Mereka memasuki hati 
manusia-manusia yang lemah imannya

untuk diseretnya kedalam perbuatan-
perbuatan jahat. Merampok, memeras, 
membunuh dan kemudian mereka tertawa 
bersama-sama dan akhirnya bersama-sama 
pula mereka terseret kedalam neraka!
***
LIMA


SEBUAH RUMAH besar terletak 
diperut hutan lebat didaerah selatan 
Ponorogo. Biarpun tidak terlalu luas, 
tapi hutan tersebut sangat ditakuti 
oleh setiap orang didaerah itu. 
Seperti kata-kata janma mara janma 
mati, yang berarti siapa yang datang 
disitu akan mati disitu pula, 
menyebabkan orang-orang menjauhinya.
Hampir setiap hidung telah 
mengetahui bahwa hutan itu telah 
didiami oleh warok Keling Maruta 
beserta para pengikutnya.
Kesaktian, keberanian serta 
kekejamannya pula, telah membuat 
namanya terkenal dan ditakuti oleh 
segenap penduduk didaerah Ponorogo.
Disuatu siang, dua orang berjalan 
dengan torhu yung serta terengah-engah 
memasuki hutan itu duri sebelah utara. 
Beberapa orang pengawal yang melihat 
kedatangan mereka segera menyambutnya. 
Jadi te ranglah bahwa kedua orang 
tersebut telah dikenal oleh para
pengawal dan itu semua tidak usah 
mengherankan, sebab keduanya adalah 
Kemarung dan Omprong dua orang 
pendekar yang cukup terkenal dika-
langan para pengikut Ke|ing Maruta.
Beberapa orang lainnya yang 
melihat kedatangan Kemarung serta 
Omprong saling memandangnya dengan 
penuh tanda tanya. Keduanya tampak 
mendekati rumah besar tadi dan 
langsung memasukinya, setelah lebih 
dulu mengetok pintunya.
Seorang berwajah garang dengan 
rambut panjang kekusutan keluar dari 
sebuah bilik menyambut Kemarung serta 
Omprong dengan bentakan keras — Ku-
rangajar! Kalian mengganggu kami yang 
sedang beristirahat! —
Disaat itu pula, keluarlah dari 
bilik tadi seorang wanita berparas 
cantik dengan membetulkan letak kain 
dan bajunya sedang rambutnya yang 
panjang masih terurai lepas dengan 
setengah kusut.
Melihat itu semua, Kemarung serta 
Omprong terkejut beberapa saat dan 
kemudian tunduk kebawah, sementara 
Keling Maruta menatap kedua 
pengikutnya itu dengan mata yang liar 
saking marahnya.
— Bagaimana tugas kalian, haaa!? 
— Ampun kiai, kami berdua telah 
mendatangi rumah Patratuwa dan

melaksanakan perintah dari kiai — ujar 
Kemarung.
— Dan selanjutnya bagaimana? —
bentak Keling Maruta.
— Ses ... segera kami katakan, 
apabila ia tidak sanggup membayar 
pajak, anak gadisnya harus diserahkan 
pada kita! —
— Bagus! Bagus! Kemudian apa yang 
dilakukannya? —
— Katanya ia sanggup membayar 
kiai — sambung Omprong.
— Hah, apa katamu? Patratuwa yang 
miskin itu sanggup membayar hutangnya? 
- seru Keling Maruta dengan heran.
— Begitulah katanya, kiai. 
Sebenarnya kamipun tak dapat 
mempercayai hal itu. Patratuwa lalu 
memberikan hidangan serta minta agar 
kami berlima menunggu diruang depan 
sementara ia mengambilkan uang 
simpanannya. Beberapa saat kami telah 
menunggunya dengan tak sabar, apalagi 
Patratuwa belum muncul muncul kembali. 
Maka cepat-cepatlah kami memeriksanya 
dan wah, kami telah ditipunya mentah-
mentah. -
- Ditipu? Kalian yang terkenal 
berakal kancil itu dapat ditipunya? -
Keling Maruta berseru dengan marah.
— Maaf, kiai. Setelah kami 
periksa, ternyata pintu rumah belakang 
telah terbuka. Jadi jelaslah bahwa 
Patratuwa telah melarikan diri lewat

pintu tersebut. Maka cepat-cepatlah 
kami melakukan pengejaran. Sebentar 
itu pula tampaklah oleh kami, 
Patratuwa dan anak gadisnya tengah 
berlari menuju keutara. Jarak antara 
kami dengan mereka cukup jauh, namun 
hal itu bukan menjadi halangan bag-i 
kami. Karenanya, kami terus 
mengejarnya dan segera menangkapnya. 
Tetapi, ternyata Patratuwa membawa 
keris dan melawan, sehingga terjadilah 
pertarungan sengit. Rupanya ia pun 
cukup pandai bersilat dan akhirnya ia 
dapat kami lukai! —
— Hmm, bagaimana akhirnya si 
Patratuwa itu? —
— Ampun kiai, ia melemparkan 
segenggam pasir hingga kami terpaksa 
mengelak dan kesempatan itu 
dipergunakan oleh Patratuwa serta anak 
gadisnya lari kembali kearah utara! —
kata Omprong dengan wajah kepucatan.
— Jadi terangnya, kamu telah 
gagal, bukan! —
— Bet... bet.... betul kiai —
ujar Omprong ketakutan — Harap 
dimaafkan atas kesalahan kami tersebut 
! —
— Omprong! Goblok! Kalian tak 
becus melaksanakan perintahku, hah! 
Percuma kalian menjadi peng-ikutku, 
jika tidak mampu menangkap Patratuwa 
itu! — seru seorang bertubuh kekar, 
berkulit hitam dengan wajah yang

garang seraya memelintir telinga 
Omprong, sehingga orang ini terpaksa 
menjerit-jerit minta ampun.
— Ampun, kiai! Tobat! Sungguh 
mati, kami telah bertempur mati-
matian. Tetapi sayang ada bebe rapa 
orang yang datang dan menolong 
Patratuwa itu sehingga ketiga 
pembantuku telah tewas— Omprong 
berkata sambil menyembah-nyembah 
sedang didekatnya duduklah Kemarung 
dengan ketakutan pula.
— Siapa mereka itu, hah? Katakan, 
siapa nama mereka! Biar aku hajar 
dengan kolorku ini! Apakah mereka 
bernyawa rangkap, berani menentang 
pendekar Keling Maruta ini! — seru si
kulit hitam seraya melepaskan telinga 
Omprong, yang seketika rebah terduduk 
sambil mengelus-elus telinganya.
— Salah seorang diantara mereka 
menyebutkan dirinya dengan nama 
Geridir Penjalin! — ujar Omprong.
— Gendir Penjalin!? — seru Keling 
Maruta dengan wajah terangkat seperti 
melihat hantu dimuk nya. — Hmm pantas 
sekali kalian dibuat tak berdaya! 
Pantas! Pantas! Nama Gendir Penjalin 
memang cukup menggetarkan hati setiap 
pendekar dan jago silat di-daerah ini! 
— Dia malah menantang kita 
sewaktu saya berlari menyelamatkan

kakang Kemarung! — Omprong berkata 
lagi.
— Keparat! Dia akan merupakan 
lawan yang tangguh bagi kita! Hmm, 
kita musti mencari bantuan untuk 
menghajar Ki Gendir Penjalin! —
— Bantuan dari mana kiai? —
Kemarung bertanya.
— Dari Gunung Kendeng! Kita 
undang Si Setan Enam Serangkai untuk 
membantu kita disini! —
— Oh, betul kiai! Saudara saudara 
Sasta Tunggal itu pasti akan dengan 
mudah membantu pekerjaan kita! —
sambung Kemarung dengan gembira.
— Besok kalian berdua serta 
beberapa orang lain cepat-cepat pergi 
kesana, ke Gunung Kendeng itu. Bawalah 
suratku nanti, dan serahkan kepadanya! 
— Baik kiai — berkata Kemarung 
dan Omprong berbareng — Kami akan 
kesana secepatnya.
— Nah, sekarang kalian boleh 
pergi serta menyiapkan bekal-bekalmu! 
Sesudah meminta diri dan 
membungkuk hormat, keduanya 
meninggalkan halaman rumah besar yang 
terletak didalam hutan lebat didaerah 
selatan Ponorogo.
Ternyata daerah itu memang 
dikuasai oleh pendekar Keling Maruta, 
seorang warok sakti yang mempunyai

banyak pengikut, serta ditakuti oleh 
penduduk disekitar hutan kecil 
tersebut.
Sepak terjangnya memang banyak 
menimbulkan kerugian-kerugian serta 
kesengsaraan pada pihak penduduk yang 
tak tahu apa-apa.
Bermula, para penduduk tidak 
menaruh keberatan untuk membayar 
sekadar uang kelebihan yang ada, 
kepada Keling Maruta ini. Semua itu 
terlahir sebagai ucapan terima kasih 
mereka, karena Keling Maruta telah 
berkali-kali menaklukkan pendekar liar 
dari daerah lain yang telah berusaha 
mengacau ketenteraman penduduk disitu.
Itulah asal mulanya! Tapi 
sekarang ini telah berbeda sama 
sekali! Keling Maruta yang makin 
ditakuti orang-orang menjadi semakin 
manja dan mau menang sendiri.
Kini sumbangan dari pada penduduk 
tadi, tidak lagi merupakan 
kesukarelaan, tetapi dipaksa! Paksaan 
yang betul-betul memberatkan mereka, 
bahkan jumlah uangnyapun telah 
disebutkan dan ditentukan oleh Keling 
Maruta!
Maka terpaksalah para penduduk 
membayarnya, karena sesungguhnya 
mereka takut menahan kemauan Keling 
Maruta. Beberapa orang yang berani 
menolak kemauannya telah menjadi 
korban dari kekejaman-nya.

Dan sejak itulah timbul ketakutan 
serta kepanikan dikalangan penduduk. 
Satu dua orang terpaksa melarikan diri 
serta meninggalkan rumah dan hartanya, 
demi menyelamatkan hidupnya.
Tinggal didaerah itu, ibarat 
duduk diatas bara api! Tidak tenang 
dan menggelisahkan. Lebih-lebih 
setelah Keling Maruta dengan paksa 
meminta beberapa orang gadis dari 
keluarga para penduduk untuk dijadikan 
isterinya serta isteri-isteri 
pengikutnya.
Begitulah, ketidak tenteraman 
mencengkam hati setiap penduduk di 
daerah Selatan Ponorogo, baik 
perempuan, tua ataupun muda. Tapi akan 
begitulah seterusnya, sang waktulah 
nanti yang akan menjawabnya.
*****
Matahari telah tinggi bertengger 
diangkasa, ketika Ki Gendir Penjalin 
dan kedua orang pembantu membersihkan 
halaman dan pekarangan rumah. 
Menyiangi rumput, menyirami tanaman-
tanama yang tumbuh subur disitu. 
Bunga-bunga mawar, melati berkembang 
dengan indahnya.
Hari itu Ki Gendir Penjalin 
sengaja tinggal dirumah untuk 
membersihkan pekarangan, sedang 
menantu serta cucunya pergi kesawah.

Begitu pula te-tangga-tetangga yang 
lainnya, seperti Ki Patratuwa dan anak 
gadisnya si Rengganis itupun pergi 
mengerjakan sawahnya.
Sekonyong-konyong kesibukan Ki Gendir 
Penjalin serta dua orang pembantunya 
tadi dikagetkan oleh meloncatnya 
beberapa orang dari atas pohon, dan 
mendarat ditanah di depan halaman 
rumah Ki Gendir Penjalin.
— Hi, hi, ha, ha, ha! Kamukah 
orangnya yang bernama Gendir 
Penjalin?! — tanya seorang berwajah 
garang dengan berikat kepala hitam 
berbunga-bunga coklat. Kumis dan 
janggutnya yang lebat itu menambah 
keseraman wajahnya.
— Tak keliru kata-katamu! Akulah 
Ki Gendir Penjalin! —
— Huah, bagus kiai! Aku telah 
mencari dan telah Sama ingin bertemu 
dengan kamu! — ujar siwajah garang 
yang tidak lain adalah Ki Keling 
Maruta - Kesempatan hari inilah yang 
paling baik dan telah aku pilih. Semua 
keluargamu telah pergi dan turun meng-
garap sawah dan kau cuma tinggal 
seorang diri! Ha, ha, ha, ha, ha! —
-Setan alas dari mana kau tahu 
itu semua? — bentak Ki Gendir 
Penjalin. — Dan lagi aku belum kenal 
dengan kalian! —
— Hi, ha, ha, ha. Tidak perlu 
heran, kowe kiai? - kata Keling Maruta

seraya memandang salah seorang 
pembantu Ki Gendir Penjalin yang 
bermata juling, kemudian berseru 
kepadanya — Brengkol? Lekas menggabung 
kemari? —
Simata juling tadi dengan sigap 
mendekati rombongan Keling Maruta, 
serta berdiri bersama mereka, sehingga 
Ki Gendir Penjalin terbelalak 
keheranan.
— Brengkol? Jadi... jadi sebagai 
pembantu baruku, kau adalah kaki 
tangan mereka? —
— Gendir Penjalin?? Akulah Keling 
Maruta dari wilayah selatan! Kabarnya 
kau telah membunuh tiga orang anak 
buahku serta melindungi Patratuwa yang 
lari bersama anak gadisnya? —
— Hmm, jadi kaulah ketua dari 
gerombolan perusuh itu? —
— Berkaok-kaoklah semaumu, Gendir 
Penjalin. Sebab hari ini kau harus 
mati dan keris puasakamu akan jatuh 
ketangan kami! —
Melihat kegawatan ini, seorang 
pembantu Ki Gendir Penjalin yang 
seorang lagi berbalik dan melarikan 
diri. Tapi secepat itu pula tangan 
dari salah seorang pengikut Keling 
Maruta mengibas dan sebuah pisau kecil 
tahu-tahu telah menancap dipunggung 
orang tadi.
— Kreneng! — seru Ki Gendir 
Penjalin kaget melihat pembantunya

terluka, namun orang tersebut terus 
saja berlari-lari dengan sempoyongan. 
— Keparat! Kalian telah melukai 
pembantuku!? —
— Heh, heh. Aku Dobieh Kelana, 
pemimpin Setan Enam Serangkai dari 
Gunung Kendeng! — ujar sipelempar 
pisau tadi dengan bertolak pinggang. —
Menyerah sajalah Ki Gendir Penjalin! —
— Hmm, kalau kalian menghendaki 
keris pusaka Kelabangnyander, ambillah 
sendiri dari tanganku! — ujar Ki 
Gendir Penjalin seraya melolos sebilah 
keris yang tersembunyi dibalik 
bajunya. — Marilah ambil keris ini 
jika kalian berani! —
— Keparat! Mati kowe! — seru 
Keling Maruta seraya menerjang kearah 
Ki Gendir Penjalin dengan pedang 
lebarnya bagaikan terjangan harimau 
kalap — Wess! Crang ... Pletaak! —
Ki Keling Maruta terpelanting 
ketanah dan pedang lebarnya telah 
patah menjadi tiga bagian akibat 
tebasan keris Kelabangnyander milik Ki 
Gendir Penjalin. Maka segeralah Keling 
Maruta membuang tangkai pedangnya, 
lalu cepat-cepat melolos kolor pusaka-
nya dan melesat kembali menyerang Ki 
Gendir Penjalin.
— Hyaat! Blaar!! — Sekali lagi 
kedua senjata pusaka bertemu dan 
masing-masing tergetar surut beberapa 
langkah. Sekarang sadarlah Keling

Maruta bahwa Ki Gendir Penjalin serta 
keris pusakanya merupakan lawan yang 
tangguh. Maka berserulah ia kepada 
keenam Setan Enam Serangkai — Saudara-
saudara inilah lawan kita yang hebat. 
Marilah kita hadapi bersama-sama! —
Persis gerakan setan, keenam 
pendekar undangan dari Gunung Kendeng 
tadi, meloncat keudara dengan cepat 
dan gesit, lalu tahu-tahu telah 
mengepung Ki Gendir Penjalin dari 
segala arah.
Pertempuran seru segera terjadi 
ketika Ki Keling Maruta, Setan Enam 
Serangkai serta beberapa orang anak 
buah lainnya telah menyerang Ki Gendir 
Penjalin.
Pendekar tua ini segera 
mengeluarkan segenap ilmu dan 
tenaganya untuk menghadapi keroyokan 
dari tokoh-tokoh sakti. Ditambah 
dengan keris Klabangnyan-der 
ditangannya maka mengamuklah ia 
bagaikan banteng ketaton. Dalam 
beberapa gebrakan, dua orang pengikut 
Keling Maruta yang cuma mengandalkan 
tenaga luar dengan permainan 
pedangnya, telah terjerembab muntah 
darah oleh tendangan kaki Gendir 
Penjalin. Dan seorang lagi rebah 
ketanah seperti kain basah ketika 
tercoblos dadanya oleh keris Klabang-
nyander milik pendekar tua itu.

Namun, suatu rencana licik yang 
terbilang sebagai siasat dalam ilmu 
persilatan dari Setan Enam Serangkai, 
tidak terduga sama sekali oleh Ki 
Gendir Penjalin yang berwatak ksatria 
itu.
Tiba-tiba saja Dobleh Kelana 
melolos selembar sapu tangan.merah 
dari ikat pinggangnya dan dikebut-kan 
kearah K i Gendir Penjalin dengan 
suara menjetar keras. Dalam saat itu 
pula berhamburanlah bau harum yang 
segera tersedot oleh Ki Gendir 
Penjalin kedalam hidungnya, membuat 
pendekar tua ini berdesis — Celaka!! -
Itulah ilmu sapu tangan Lali 
Sukma yang dapat melumpuhkan kesadaran 
serta tenaga seseorang. Maka tak usah 
heran bila Ki Gendir Penjalin segera 
menjadi lemah, dan dengan mudahnya 
keris Klabangnyan-der direbut dari 
tangannya oleh Keling Maruta.
Para pengeroyok tadi hampir saja 
menghunjamkan senjata-senjata mereka 
ketubuh Ki Gendir Penjalin, jika 
Keling Maruta tidak segera berteriak. 
— Tahan! Terlalu enak kalau kakek 
bandel ini kita bunuh! Hajarlah dia 
sepuas kalian biar keluarganya tahu
serta tak berani lagi menentang 
pendekar Keling Maruta! -
— Praaak! — Keling Maruta meninju 
mulut Ki Gendir Penjalin dan seketika 
tubuh pendekar tua ini terhoyong

kebelakang. Tapi dari belakang, sebuah 
tendangan kaki yang hebat, diberikan 
Dobleh Kelana kearah punggung Ki 
Gendir Penjalin, menyebabkan orang tua 
ini mengeluh dan terjerumus kedepan.
Kemarung yang pernah dihajar oleh 
pendekar tua itu, tak mau tinggal 
diam. Dengan dupakan kaki, ia 
menyambut dagu Ki Gendir Penjalin dan 
terpelantinglah pendekar tua itu 
ditanah dengan mulut megap-megap
seperti ikan kehabisan air.
Kemarung belum puas maka tiba-
tiba ia menggenjotkan kakinya keatas 
punggung Ki Gendir Penjalin yang 
tengah gelosoran ditanah dan pendekar 
tua ini menjerit kesakitan disertai 
darah terhambur dari mulutnya 
membasahi tanah.
Setelah itu, keenam Setan Enam 
Serangkai tadi bergiliran menghajar 
tubuh Ki Gendir Penjalin. Dobleh 
Kelana, Dempok, Pangisas, Gempol, 
Juranggrawah dan Dadungilu melancarkan 
tendangan-tendangan, pukulan serta 
injakan kaki kepada korbannya, dan se-
saat kemudian pingsanlah Ki Gendir 
Penjalin, terkulai tak berkutik.
— Heh, heh, heh. Telah pingsan 
kakek tua ini? Kalau tidak segera 
mati, pastilah dia akan lumpuh! — ujar 
Keling Maruta. - Ayo, tinggalkan dia 
disini. Yang penting, keris

Klabangnyander ini telah jatuh 
ketangan kita! —
Sebentar saja, rombongan Keling 
Maruta beserta Setan Enam Serangkai 
telah berlalu meninggalkan rumah Ki 
Gendir Penjalin. Mereka menerobos 
semak belukar disebelah timur, untuk 
menghindari perjumpaan dengan orang 
orang lain.
*****
Beberapa orang yang melepaskan 
lelah, tampak duduk-duduk ditepi sawah 
dan terdengarlah sendau-gurau yang 
segar, menilik gelak ketawa yang 
menggeletar diudara siang ini.
Ki Banyak Sekti, Nyi Gambirsari, 
Gagak Cemani, duduk bersama Ki 
Patratuwa serta Rengganis sambil 
menikmati bekal mereka. Demikian pula 
ditepi-tepi sawah lainnya, tampaklah 
petani2 yang beristirahat, setelah 
melakukan kerja berat, menyiangi 
sawah, membetulkan pematang sawah yang 
sering dirusak oleh tikus dan ketam, 
dan juga mengatur perairan.
Rengganis yang habis kepanasan 
bekerja disawah, menyebabkan pipinya 
yang montok itu kemerah-merahan dan 
lantaran inilah Gagak Cemani berkali-
kali mencuri pandang kepada gadis itu.

Ki Banyak Sekti suami isteri, 
serta Ki Patratuwa telah mengetahui 
gelagat ini dan mereka membiarkan 
kedua muda mudi itu saling berlempar 
pandang dengan asyiknya.
Dalam hatinya, Ki Patratuwa lebih 
senang lagi bila kedua muda-mudi tadi, 
kelak menjadi suami isteri untuk 
membina keluarga baru. Dan ia 
mengharap agar hal itu benar-benar 
dapat terlaksana....
Suasana istirahat yang tenang 
itu, mendadak saka dikejutkan oleh 
munculnya sesosok tubuh manusia dari 
celah-celah semak ilalang disebelah 
utara. Dengan berjalan sempoyongan dan 
terhuyung-huyung, orang tersebut meng-
gapai2kan tangannya sehingga orang-
orang yang berada ditepi sawah itu 
menjadi kaget.
- Kreneng! - desah Ki Banyak 
Sekti demi melihat orang, tersebut 
yang dikenalnyasebagai pembantu ayah 
mertuanya yakni Ki Gendir Penjalin. 
Merasa ada sesuatu yang tak beres, 
maka meloncatlah Ki Banyak Sekti 
mendapatkan Kreneng yang kini telah 
rebah dan merangkak diatas rerumputan.
Bukan main kagetnya Ki Banyak 
Sekti ketika melihat bahwa pada 
punggung orang tersebut tertancap 
sebilah pisau. Cepat-cepat ia mencabut 
pisau itu serta menolongnya duduk.

Gagak Cemani serta Ki Patratuwa 
tidak tinggal diam melihat hal itu. 
Merekapun berlarian mendekati Ki 
Banyak Sekti yang lagi menolong 
Kreneng.
— Siapa yang melukaimu, Kreneng? 
— bertanya Ki Banyak Sekti.
— Si ... si Brengkal itu 
pengkhianat! Dia... kaki tangan 
gerombolan penjahat ... dan kini 
mereka telah mengeroyok Ki Gendir 
Penjalin! — ujar Kreneng seraya 
menyeringai kesakitan.
— Hah? Ayahanda dikeroyok!? —
seru Ki Banyak Sekti kaget — Gagak 
Cemani! Mari kita cepat kembali 
kerumah!
— Baik ayah. Aku ambil dulu 
gokokku! — seru Gagak Cemani serta 
meloncat ke sebuah gubuk kecil ditepi 
sawah. Setelah menggemboknya serta pe-
dang kepunyaan ayahnya ia berlari 
kembali kearah Ki Banyak Sekti berada.
Dengan sigapnya, Ki Banyak Sekti 
menyambut pedangnya dari tangan Gagak 
Cemani dan sebelum mereka berdua 
pergi, Ki Banyak Seksi lebih dulu ber-
kata kepada K i Patratuwa. — Bapak, 
rawatlah saudara Kreneng ini 
seperlunya! —
— Jangan kuatir. Aku akan 
merawatnya baik-baik! -
— Kau akan kemana pakne!? — seru 
Nyi Gambir sari sambil berlari-lari

mendekati suaminya dengan di ikuti 
Rengganis.
— Ada bencana dirumah ini! 
Tinggallah engkau disini dahulu. Aku 
bersama Gagak Cemani akan pergi 
kesana! —
— Hati-hatilah, engkau pakne! —
Ki Banyak Sekti bersama Gagak 
Cemani melesat keutara dengan 
mengerahkan tenaga meringankan tu-
buhnya hingga tampaknya mereka seperti 
melayang melewati semak-semak belukar 
dan lenyaplah dikelo-kan jalan yang 
menuju kerumah mereka.
Sementara itu, Ki Patratuwa
segera membawa Kreneng kegubuk ditepi 
sawah serta merawat lukanya dibantu 
oleh Rengganis dan Nyi Gambirsari.
Meloncati semak belukar, 
melompati batu-batuan berbelok kekiri, 
kekanan, itulah Ki Banyak Sekti dan 
Gagak Cemani dalam perjalanannya 
menuju kerumah yang jaraknya cukup 
jauh. Tetapi karena mereka berlari 
dengan cepatnya, maka keduanya cukup 
menghabiskan waktu yang sedikit saja.
— Ayah! Lihat itu! Kakek Gendir 
Penjalin tergeletak dihalaman! — seru 
Gagak Cemani kepada ayahnya ketika 
mereka tiba dihalaman rumahnya.
Tubuh Ki Gendir Penjalin 
terhantar ditanah dengan keadaan babak 
belur berlepotan darah sangat
menyedihkan. Dari lobang hidung dan

mulutnya terlihat darah kental yang 
telah membeku, namun kedua ayah dan 
anak itu menarik napas lega ketika
dada Ki Gendir Penjalin masih 
memperdengarkan detak-detak 
jantungnya.
Dengan saputangan yang telah 
dibasahi oleh air, dibersihkanlah 
wajah Ki Gendir Penjalin oleh Gagak 
Cemani, sementara Ki Banyak Sekti 
mengambil beberapa butir ramuan obat 
serta air minum dari dalam rumah.
Ki Gendir Penjalin mulai sadar 
dan membuka matanya.
— Jangan bergerak terlalu banyak 
kakek! — ujar Cagak Cemani kepada 
kakeknya, ketika orang itu mencoba 
berdiri.
— Ayah, minumlah obat ini lebih 
dulu — sambung Ki Banyak Sekti seraya 
memberikan obat serta air minum itu 
kepada ayah mertuanya. Setelah me-
minumnya, Ki Gendir Penjalin segera 
menceriterakan kejadian yang telah 
dialaminya beberapa saat yang lalu.
— Ah, ketirasan angger Banyak 
Sekti - desah Ki Gendir Penjalin yang 
telah mengakhiri ceriteranya — Keris 
pusaka kita Kelabangnyander telah 
dirampas dan jatuh ditangan Keling 
Maruta? Hal ini sangat berbahaya, 
sebab orang sesakti dia disertai keris 
Kelabangnyander tadi pastilah akan 
membuatnya malang melintang didunia

persilatan serta bertindak sewe nang-
wenang. —
— Heh, keparat si Keling Maruta 
itu? — geram Ki Banyak Sekti dengan 
marahnya sambil berdiri dari duduknya 
— Biarlah aku yang merebut kembali 
keris pusaka itu dari tangan mereka? 
Gagak Cemani, tung gulah kakek di 
rumah, aku akan pergi sekarang juga??? 
-
Tanpa menunggu lebih lama, Ki 
Banyak Sekti telah melesat keluar 
halaman menuju kearah selatan tanpa 
menggubris ayah metuanya yang berseru 
parau. — Tunggu dulu angger? Sangat 
berbahaya? Setan Enam Serangkai 
tinggal bersama mereka? —
Sesaat setelah Ki Banyak Sekti 
pergi, muncullah dari sebelah barat 
daya. Nyi Gambirsari, Ki Patratuwa, 
Rengganis, si Kreneng dengan punggung 
terbalut kain, serta beberapa orang 
penduduk lainnya yang bersedia 
menolong Ki Gendir Penjalin.
Dengan di bantu oleh Ki 
Patratuwa. Gagak Cemani memapah 
kakeknya kedalam rumah, diikuti oleh 
Nyi Gambirsari, Rengganis dan Kreneng, 
sedang orang2 lainnya berkerumun di 
halaman rumah Ki Gendir Penjalin. 
Mereka segera membetulkan pagar-pagar
pekarangan yang rusak akibat 
pertarungan antara Ki Gendir Penjalin 
melawan gerombolan Keling Maruta dan

merekapun telah menyingkirkan mayat 
seorang anak buah Keling Maruta yang 
tertinggal di situ.
— Heh. sangat tergesa-gesa 
kepergian angger Banyak Sekti. Aku 
mencemaskan keselamatannya? — desah Ki 
Gendir Penjalin setelah ia duduk 
dibalai-balai kayu diruang depan.
— Mengapa kakek? Bukankah 
ayahanda banyak Sekti cukup mampu 
untuk menghadapi musuh-musuh yang 
sakti? — ujar Gagak Cemani dengan 
keheranan.
— Tapi Setan Enam Serangkai dari 
Gunung Kendeng terlalu sakti dan 
sangat licik untuk dihadapi seorang 
diri. — kata Ki Gendir Penjalin. —
Mereka banyak mempunyai tipu muslihat 
di dalam ilmu silatnya, dan akulah 
salah satu korbannya. —
— Jadi kita harus menyusul
ayahanda dengan segera! —
— Benar Cemani. Tetapi ayahmu 
pasti telah jauh? — kata Ki Gendir 
Penjalin dengan nada cemas. — Dan 
perjalanan kedaerah selatan pasti 
memakan waktu lebih dari separo hari. 
— Kami mengenal daerah itu dengan 
baik, Kil Gendir Penjalin menyambung 
Ki Patratuwa pula. — Jika tak 
keberatan, akupun ingin pergi membantu 
Ki Banyak Sekti? -,

— Aku juga akan pergi, ayah! —
sahut Rengganis dengan tegasnya — Aku 
tak dapat membiarkan ayah pergi tanpa 
aku, lebih-lebih dalam menempuh 
bahaya. —
— Sangat berbahaya, Rengganis. 
Sebaiknya engkau tinggal dirumah saja! 
Ki Patratuwa berkata.
— Tidak ayah, aku harus ikut! —
sahut Rengganis yang berkemauan keras 
itu. — Bukankah ada pula kakang Gagak 
Cemani yang akan melindungiku?! Dan 
lagi, akupun telah pandai bersilat 
berkat ajaran kakang Cemani! —
Ki Gendir Penjalin tersenyum 
mendengar kata-kata Rengganis yang 
bersemangat itu, lalu berkata pula ia. 
— Biarlah ikut, Ki Patra. Aku percaya 
kalian akan selamat! —
— Ki Patratuwa mengangguk setuju. 
— Baiklah.—
— Nah, sekarang sore mulai turun. 
— ujar Ki Gendir Penjalin. — Angger 
Banyak Sekti pastilah akan tiba di 
tempat sarang gerombolan itu, besok 
pagi pagi buta. Oleh sebab itu, jika 
andika bertiga berangkat dengan 
berkuda, maka akan tersusullah kiranya 
angger Banyak Sekti. Nah, Cemani 
siapkanlah semuanya.
— Akan kusiapkan kuda-kuda itu, 
kakek — berkata Gagak Cemani seraya 
bangkit dari duduknya dan bergegas

menuju kebelakang rumah dengan 
sigapnya.
Dalam waktu yang singkat saja, 
persiapan mereka telah selesai.
Rengganis tampak mengenakan pakaian 
pria, tapi rambutnya tetap disanggul 
pada bagian pangkal sedang ujungnya 
terurai lepas kepunggung. 
Dipinggangnya terselip sebilah pedang, 
membuat Rengganis semakin tampak 
cakap.
Sekali lagi mereka berpamit 
kepada Ki Gendir Penjalin dan Nyi 
Gambirsari untuk berangkat dan sekali 
lagi pula, Ki Gendir Penjalin 
berpesan. — Berhati-hatilah dan 
waspada. Si Setan Enam Serangkai ba-
nyak mempunyai siasat yang licik, yang 
tidak akan terduga macamnya, tapi 
salah satu diantaranya adalah kebutan 
sapu tangan merah yang menyebarkan bau 
harum dan dapat melumpuhkan tenaga 
lawannya.
- Terimakasih Ki Gendir. - kata 
Ki Patratuwa — semoga Tuhan melindungi 
kita semua. —
— Yah, semoga begitu — sambung Ki 
Gendir Penjalin, seraya memandang 
kepada mereka bertiga yang telah 
berada di atas punggung kudanya 
masing-masing.
Demikianlah, pada cahaya matahari 
yang telah merendah kecakrawala barat, 
kelihatanlah tiga orang berkuda kearah

selatan menempuh jalan yang cukup 
baik.
Mereka segera berpacu dengan 
cepatnya, seperti berlomba dengan sang 
matahari yang hendak masuk kedalam 
peraduannya.
Langit disebelah timur makin 
menggelap, secepat warna saputan merah 
dan lembayung dilangit barat makin 
berkurang. Jengkerik dan orong-orong 
berdering disana-sini dari liang 
rumahnya atau di bawah dedaunan 
rumput, menyambut kehadiran sang 
malam.
Ki Patratuwa berkuda di sebelah 
depan, kemudian Rengganis dan Gagak 
Cemani, di sebelah belakang. Mereka 
terus berpacu menerobos pepohonan 
lelwi dan besar yang tumbuh dikanan 
kiri jalan dan menempuh malam yang 
makin turun dengan hati yang tangguh 
dan tekad yang membaja.
Untunglah, bintang-bintang 
dilangit kelam itu satu persatu mulai 
bermunculan serta memberikan cahaya 
yang samar2, tapi itu sudah cukup bagi 
mereka bertiga untuk mengenal jalan-
jalan yang mereka tempuh.
Mereka telah berteguh hati untuk 
membantu Ki Banyak Sekti dalam 
usahanya menghajar gerombolan Keling 
Maruta yang semakin merajalela itu.
Akan mampukah mereka melawan 
Keling Maruta serta para pengikutnya?

Tak seorangpun yang dapat menjawabnya, 
juga mereka sendiri tak tahu akan 
jawabnya!
Tapi mungkin ada yang tahu 
jawabannya, ialah sesosok bayangan 
manusia yang berloncatan dengan 
gerakan yang ringan! Bayangan tersebut 
menggenggam sebatang tongkat besi yang 
hitam berkilat pada tangannya dan ia 
muncul secara tiba-tiba, tepat pada 
jalan yang telah dilalui dan 
ditinggalkan oleh K i Patratuwa 
bertiga.
— Heh, heh, heh. — demikian 
bayangan manusia itu terkekeh 
mengangguk-angguk sambil mengelus
membelai jenggot putihnya. - Aku ingin 
tahu, apakah yang mampu mereka 
kerjakan terhadap Keling Maruta itu!? 
Sekejap kemudian bayangan itupun 
melanjutkan loncatan-loncatannya 
kearah selatan dan akhirnya lenyap di 
balik kelebatan pepohonan di sebelah 
sana.
Kini sang malam telah sepenuhnya 
merajai permukaan bumi, dan mulai 
pojok cakrawala timur sampai barat 
dicengkam oleh kesenyapan menghantu. 
Hawa dinginpun mulai tersebar seperti 
muncul dari permukaan tanah, menusuk 
tulang belulang dan membekukan sendi-
sendi tubuh.
***
ENAM


— PLAK! — terdengar suara 
tamparan tangan yang menghalau nyamuk 
dibarengi suara menggerun-dal -
Kurangajar! Mengganggu orang berjalan! 
-
- Jangan terlalu keras, kakang 
Kemarung! Engkau bisa terjauh dari 
atas pohon ini! - terdengar suara yang 
lain dari sebelah.
— Adik Omprong, aku sangat 
mengantuk! Telah semalam kita berjaga-
jaga disini atas perintah Ki Keling 
Maruta! —
_ Akupun telah ngantuk, kakang! 
Tapi sebentar lagi pasti selesai, 
karena pagipun akan menjelang.
- Memang berat tugas kita ini. 
Berjaga di atas pohon seperti binatang 
kelelawar sajal Salah-salah bisa 
terjatuh kita kebawah dan tulang leher 
atau punggung bisa patah karenanya. —
— Heh, heh, heh. Kata-katamu 
memang benar. Aku bisa membayangkan 
bahwa teman-teman lain yang berjaga-
jaga pula di atas pohon di sekitar 
ini, pasti merasakan seperti kita 
kakang Kemarung. —
— Ternyata Ki Keling Maruta 
merasa perlu untuk menempatkan 
penjagaan di sekitar perumahan kita. —

ujar Kemarung seraya menancap-
nancapkan pisau belatinya.
Omprong menarik nafas dan katanya 
pula. - Ia yakin bahwa sanak keluarga 
Ki Gendir Penjalin akan menjadi marah 
dan menyerbu kemari. Itulah sebabnya 
kita berjaga-jaga di sini, untuk 
menjebak mereka! Begitu mereka muncul, 
kita binasakan mereka sampai habis! —
Kemarung meringis senang oleh 
kata-kata Omprong, maka iapun 
menyahut. — Untunglah saudara-saudara 
Setan Enam Serangkai dari Gunung 
Kendeng itu sudi membantu kita. Kalau 
tidak, pasti kita tak berhasil 
menghajar situa Gendir Penjalin itu! —
— Tentu saja mereka bersedia 
membantu kita ! - sambung Omprong. -
Sebab Ki Keling Maruta tidak sedikit 
membayar mereka! —
— Hmmm, memang saudara-saudara 
Setan Enam Serangkai sangat 
mementingkan uang! Kepada siapa saja 
ia bersedia membantu asal dibayar 
cukup tinggi!
Tiba-tiba Kemarung serta Omprong 
sangat terperanjat oleh suara burung 
hantu dari arah barat. Keduanya tahu 
dengan segera; apa arti dari suara 
tersebut.
— Ada orang asing masuk kedalam 
daerah kita! — desis Kemarung dengan 
hati berdebar-debar, seperti pula 
dengan Omprong.
— Itulah isyarat dari teman-teman 
kita! — ujar Omprong pula.
Sementara keduanya asyik 
berbisik-bisik, dari arah utara 
terlihatlah sesosok bayangan manusia 
mengendap-endap dengan hati-hati. 
Kabut pagi yang menerawang serta 
bertebaran di atas permukaan tanah itu 
tersibak oleh bayangan manusia tadi, 
menimbulkan pemandangan seperti dalam 
mimpi.
Namun tiba-tiba pula sibayangan 
tadi berhenti secara mendadak dan 
melayangkan pandangannya kearah 
pepohonan yang banyak terdapat di 
sekelilingnya. Rupanya si bayangan 
telah mencium bahaya!
Begitu besar dan tinggi serta 
cabang-cabang dan daunnya yang 
melingkupi pemandangan menyebabkan 
setiap orang akan merasa ngeri bila 
memasuki hutan di daerah selatan ini. 
Dan karena itu pulalah Kemarung dan 
Omprong serta kawan-kawan lainnya, 
telah menduga bahwa sibayangan 
tersebut pastilah orang yang mencari 
maut!
Melihat si bayangan manusia 
termangu-mangu berdiri, Kemarung serta 
kawan-kawannya segera menduga bahwa 
orang tersebut pastilah ketakutan 
untuk meneruskan maksudnya. Maka saat 
itu pula mereka-pun tertawa terkekeh-
kekeh hingga menimbulkan suara yang

menyeramkan. Suara tawa mereka terpan-
tul mengumandang sahut-menyahut, 
laksana kumandangnya belasan iblis 
yang tertawa kegirangan.
Sekilas si bayangan terperanjat, 
tapi hanyalah sesaat itu saja. Sebab 
detik berikutnya, sibayangan itu 
mengibaskan tangannya kearah atas, 
kearah cabang pepohonan disusul bunyi 
berdesing susul-menyusul — Sing — sing 
— sing — sing! —
— Yaaarkh! — empat orang seketika 
roboh dari atas pohon dan melayang 
terpelanting ke bawah dengan badannya 
tertembus pisau-pisau kecil hasil lem-
paran si pendatang itu.
Keruan saja Kemarung serta 
Omprong terperanjat oleh kejadian itu. 
Empat orang temannya telah tewas dalam 
sekejap saja tanpa mengadakan 
pertempuran sedikitpun!
Karena itu, yakinlah mereka bahwa 
sipendatang tersebut mempunyai ilmu 
silat yang hebat dan sesaat kemudian 
mereka lebih terkejut lagi, bila 
sipendatang tadi berseru pula. —
Keling Maruta! Ayo keluarlah kamu 
pengecut! Kalian cuma berani 
mengeroyok seorang tua saja! Sekarang 
aku datang menuntut bela! Ayolah, 
hadapi si Banyak Sekti ini!!! —
Kemarung dan Omprong tak sabar 
lagi mcn dengar tantangan Ki Banyak 
Sekti yang menggeledek itu, maka

bersuitlah Kemarung memberi tanda 
kepada teman-teman penjaga lainnya.
Bagaikan hantu-hantu kelaparan, 
Kemarung serta teman-temannya 
berloncatan kebawah dan mendarat di 
atas tanah dengan serempak! Mereka 
segera mengepung Ki Banyak Sekti dari 
segala arah dan tampaknya tak ada 
kemungkinan sedikitpun bagi Ki Banyak 
Sekti untuk bisa lolos!
— Hah, ha, ha,! Ana ula marani 
gebuk! {Ada ular mendekati pemukul) —
ejek Kemarung seraya mengobat-abitkan 
celuritnya. — Kau datang seorang diri, 
bung? Mana tikus-tikus yang lain?! —
— Keparat! — sumpah Ki Banyak 
Sekti saking marahnya — Aku cukup 
datang seorang diri, dan kalian belum 
tentu sanggup menghadapi!! Mana 
pemimpinmu, haaah! Suruh keluar dan 
bertempur melawanku! -
— Haah! Seekor tikus berani 
berteriak-teriak sesumbar disarang 
harimau! — seru Kemarung sambil 
meludah ke tanah. — Tak perlu 
pemimpinku keluar untuk menghadapi 
seekor tikur penasaran macam tam-
pangmu! Cukup aku saja! —
— Hmm, bicaramu memerahkan 
telinga, tapi tenagamu belum tentu 
segarang harimau! — jawab Ki Banyak 
Sekti — Kau berani berkaok-kaok kalau 
dikelilingi oleh sobat sobatmu! —

— Setan alas! Ayo, kawan-kawan! 
Cincang si tikus kurang ajar ini, 
sampai lumat! — teriak Kemarung seraya 
melesat menerjang Ki Banyak Sekti d 
ngan garangnya.
Berbareng saat itu pula, Omprong 
serta belasan teman lainnya menyerbu 
lawannya yang seorang ini sambil 
berteriak ramai. Senjata-senjata 
mereka bersi-utan menerjang Ki Banyak 
Sekti, merupakan kilatan-kilatan sinar 
yang lalu lalang dari segenap arah 
dengan derasnya.
Akan tetapi sekali lagi mereka 
terpaksa melongo bila Ki Banyak Sekti 
dalam gerakan sebat mencuat keatas 
menyebabkan senjata2 lawannya cuma me-
nyobek udara kosong saja!
Sejurus kemudian, tahu-tahu Ki 
Banyak Sekti telah mendarat di luar 
kepungan para lawannya, sehingga 
mereka saling melongo saking 
takjubnya.
Seorang anak buah Kemarung cukup
waspada, maka secepat kilat ia 
berbalik dan membacok Ki Banyak Sekti 
dengan tiba-tiba. Hanya saja Ki Banyak 
Sekti lebih cepat bertindak! Pedangnya 
berkelebat dan mendahului golok 
lawannya tadi.
Lalu sesaat lagi terdengarlah 
jeritan nyaring bersamaan tubuh lawan 
Ki Banyak Sekti terguling roboh dan

dadanya menganga bekas luka sayatan 
pedang yang menyemburkan darah.
Kemarung dan Omprong, keduanya 
adalah orang-orang berani dan kasar, 
mudah terbakar kemarahannya. Maka 
melihat beberapa orang anak buah nya 
telah terkapar mati di atas tanah, 
mereka menjadi semakin penasaran. 
Bersama anak buahnya yang lain, 
menyerbulah mereka dengan ganasnya 
kearah Ki Banyak Sekti.
Kembali ujung-ujung senjata 
berserabutan meluncur dan menusuk 
kearah tubuh pendekar itu. Untung 
bahwa Ki Banyak Sekti bukanlah lawan 
yang boleh diremehkan begitu saja, 
maka selagi maut mengintai pada ujung-
ujung senjata lawannya itu, bergerak 
lah ia dengan gesit. Tubuhnya berputar 
bersama pedangnya dengan dilambati 
pula tenaga dalam yang dahsyat.
— Syuuuut... traang! — Ujung-
ujung senjata lawan seketika tergetar 
hebat, berbareng pula rasa pedih dan 
panas menjalarketangan para pemegang 
senjata, membikin mereka mundur 
beberapa langkah.
Dasar Ki Banyak Sekti. Orangnya 
cerdik dan dapat memilih waktu. 
Karenanya, selagi lawan-lawannya 
merasakan akibat benturan senjata 
tadi, pedangnya sekali lagi diputar 
dengan hebatnya. — Eaaargh! — tiga 
jeritan berbareng sekaligus terdengar

memecahkan udara pagi buta dan 
tampaklah tiga orang anak buah 
Kemarung menebah perutnya yang terobek 
oleh pedang Ki Banyak Sekti. Mata-mata 
mereka melotot, seperti tak percaya 
akan keadaan dirinya, namun sebentar 
kemudian merekapun roboh!
Sebuah suitan nyaring terdengar 
dari mulut Ke-' marung begitu ia 
melihat korban pada anak buahnya makin 
bertambah banyak. Seperti orang 
dikejar setan, tiba-tiba Kemarung dan 
teman-temannya bertebaran lari 
keselatan masuk kedalam hutan.
Melihat ini Ki Banyak Sekti 
sesaat terkejut, tapi lalu 
tertawasambil mengejek — Ha, ha, ha, 
ha, ada macan-macan ompong lari 
terbirit-birit menghadapi seekor 
tikus! — Cih, tak punya malu, belum 
lagi lecet kulitmu, sudah mau lari! 
Berhenti!
Ki Banyak Sekti secepat kilat 
mengejar kearah selatan dan celakalah 
orang yang lambat larinya sebab sekali 
pedang K i Banyak Sekti'menebas, 
seorang anak buah Kemarung menderit 
keras dan roboh dengan lengan terpapas 
putus. Kemudian seorang lagi jatuh 
tersungkur dan mati, karena 
punggungnya terbelah!
Itulah sepak terjang Ki Banyak 
Sekti kalau sudah mengamuk, dan terus 
saja ia mengejar lebih jauh masuk

keperut hutan. Namun sebenarnya inilah 
satu kesalahan yang besar yang 
diperbuat oleh Ki Banyak Sekti, sebab 
sebagian kewaspadaan pada dirinya 
menjadi kabur. Dikiranya bahwa orang-
orang tersebut melarikan diri dengan 
arti ketakutan semata-mata terhadap 
amukannya, tapi sebenarnya inilah yang 
termasuk dalam siasat mereka. Yakni 
memancing Ki Banyak Sekti untuk masuk 
lebih jauh keda lam sarang mereka!!
Dan ketika itulah kaki Ki Banyak 
Sekti menginjak sebuah perangkap 
mereka — Aaakh! — Sebuah seruan kaget 
terlontar dari mulut Ki Banyak Sekti, 
sebab tahu-tahu kakinya telah 
menginjak jaring yang seketika 
terangkat keatas dan menjerat dirinya! 
Maka tergantunglah tubuh Ki Banyak 
Sekti terayun-ayun diatas cabang pohon 
bagaikan seekor ikan yang terjerat 
dalam jaring.
Meskipun Ki Banyak Sekti telah 
berusaha menjebol jaring itu, tapi 
sia-sia saja. Ternyata jaring itu 
terbuat dari bahan liat yang tidak 
dapat diputus oleh senjata tajam, 
seperti pedang Ki Banyak Sekti misal-
nya!
— Ha, ha, ha, ha, — terdengar 
suara tertawa menggeletar seperti 
iblis bersamaan munculnya belasan 
sosok tubuh manusia dari tempat-tempat 
gelap dan berkabut, dari balik batang

barang pohbn raksasa. Mereka tidak 
lain adalah Ki Keling Maruta, Setan 
Enam Serangkai dari Gunung Kendeng, 
Kemarung, Omprong, Brengkol dan 
segenap anak buahnya.
Mereka menatap keatas pohon, 
ditempat mana tubuh Ki Banyak Sekti 
tergantung dalam sebuah jaring tanpa 
daya!
— Ha, ha, ha Mampus kau sekarang 
monyet! — teriak Ki Keling Maruta dari 
bawah seraya matanya bersinar 
kegirangan.
— Itulah dia, kiai! Banyak Sekti 
telah kita tangkap! — ujar Kemarung 
sambil menunjuk kearah Ki Banyak 
Sekti. — Kita bunuh saja sekarang! 
Hujani dengan panah, atau kita bakar, 
biar menjadi sate! —
— Keparat! — teriak Ki Banyak 
Sekti dari atas. — Bunuhlah aku dengan 
cepat! Kalian cuma pengecut-pengecut 
rendahanl
— Ha, ha, ha, berkaok-kaoklah 
sesukamu, monyet! — berkata Ki Keling 
Maruta — Kamu akan ku biarkan 
tergantung gantung disitu dan akan 
mati dengan secara lambat, setelah 
lebih dulu menderita kelaparan dan 
haus! Tubuhmu akan segeYa menjadi ke-
rangka! —
Mendengar kini Ki Banyak Sekti 
menjadi marah, dan berontaklah dia.

Namun sekali lagi perbuatannya 
hanyalah sia-sia saja.
Malah karenanya, tubuhnya yang 
terjerat dalam jaring tadi terayun-
ayun kesana kemari menyebabkan' Ki 
keling Maruta serta segenap 
pengikutnya tertawa terpingkal-pingkal 
saking gelinya melihat tingkah Ki 
Banyak Sekti tersebut.
— Ayo kawan-kawan. Kita 
tinggalkan monyet itu di sini. 
sebentar lagi pasti akan menangis 
melolong-lolong! — kata Ki Keling 
Maruta dengan kata-kata ejekan yang 
tertuju kepada tawanannya.
Ki Banyak Sekti terdiam saja 
sambil menelan ejekan yang menyakitkan 
hati itu. Ia telah memasrahkan-
nasibnya kepada Tuhan Yang Maha Besar 
dan ia cuma menyaksikan musuh-musuhnya 
pergi meninggalkan tempat itu menuju 
kearah selatan.
Akan tetapi sewaktu Ki Keling 
Maruta dan orang-orangnya telah cukup 
jauh dari tempat itu, lebih kurang 
lima belas tombak, tiba-tiba saja 
muncullah tiga sosok tubuh manusia 
dari balik batang pohon beringin tua 
seraya menunjuk-nunjuk kearah K i Ba-
nyak Sekti.
Seorang diantara mereka, secara 
sigap melesat keatas, kearah Ki Banyak 
Sekti terjerat dan sebuah golok 
kehitaman ditangan kanannya segera
membabat ujung jaring yang tergantung 
pada cabang pohon diatasnya. —
Craaang! —
Bunyi gemerincing terdengar, 
berbareng tali atau ujung jaring tadi 
terpapas putus, sehingga tubuh Ki 
Banyak Sekti yang masih terkurung oleh 
jaring itu meluncur kebawah dengan 
derasnya!
— Ayah! Pakailah ilmu meringankan 
tubuh! — teriak sipenolong 
memperingatkan Ki Banyak Sekti!
— Oh, kaukah itu, Gagak Cemani?! 
— seru Ki Banyak Sekti demi mendengar 
suara sipenolong yang tak asing lagi 
baginya.
— Benar, ayah! Hati-hatilah! —
ujar Gagak Cemani.
Benar saja peringatan Gagak 
Cemani kepada ayahnya tadi, sebab 
dengan mengerahkan ilmu peri-ngan 
tubuh, maka Ki Banyak Sekti tidak 
terlalu keras jatuhnya, la cuma 
terguling tiga langkah saja. Secepat 
itu pula Gagak Cemani berlari 
mendapatkan ayahnya serta membuka 
jaring-jaring tersebut yang telah 
menjerat Ki Banyak Sekti. Sebentar 
kemudian bebaslah Ki Banyak Sekti.
— Hmmm, golokmu tadi cukup hebat, 
nak! Untunglah engkau datang juga 
kesini! - Ki Banyak Sekti berkata 
seraya memandang bangga kepada Gagak

Cemani yang masih menggenggam golok 
ampuh pemberian Ki Bujanggiri.
Dalam pada itu dua sosok tubuh 
manusia berlarian pula mendapatkan 
mereka dan Ki Banyak Sekti segera 
dapat mengenal mereka. — Aah, Ki 
Patratuwa dan Rengganis datang pula 
kemari!? —
— Kami bertiga datang kemari, Ki
Banyak Sekti. Agar pekerjaan andika 
menjadi lebih ringan! — kata Ki 
Patratuwa.
— Eh, terima kasih, tapi 
bagaimanakah dengan ayahanda Gendir 
Penjalin? - Ki Banyak Sekti bertanya 
dengan hati cemas.
— Andika tak usah cemas. — sahut 
Ki Patratuwa. — Sebab bapak Gendir 
Penjalin tidak terlalu berat 
cederanya...!
Rupanya, Ki Keling Maruta dan 
orang-orangnya dapat mendengar suara 
berisik dibelakang mereka, sehingga 
dengan cepatnya mereka kembali 
ketempat semula!
— Heei, simonyet bisa lolos dari 
jaring itu, hah!? — teriak Ki Keling 
Maruta sambil menunjuk kearah Ki 
Banyak Sekti serta ketiga orang 
penolongnya. — Dan kalian bertiga, 
monyet-monyet yang ingin mati pula? -
Rengganis terkejut sekali dan 
berlindunglah ia dibelakang tubuh 
Gagak Cemani sedang Ki Patratuwa dan

Ki Banyak Sekti telah bersiaga dengan 
senjatanya.
— Heh, heh. Suaramu telah 
sumbang. Keling Maruta! — ujar Ki 
Banyak Sekti — Apakah hatimu telah 
menciut hah?! —
— Keparat!! Kawan-kawan Bunuh 
keempat monyet dangkalan ini dengan 
segera! Jangan kasih ampun mereka! —
begitulah berteriak Ki Keling Maruta, 
dan segera bersama anak buahnya 
menyerbulah mereka ke-arah empat orang 
lawannya.
Pertempuran hebat segera terjadi. 
Disaat itu kabut pagi telah mulai 
terhapus, sehingga mereka saling dapat 
melihat wajah teman ataupun lawannya 
dengan jelas.
Pada jurus-jurus gebrakan 
pertama, empat atau lima orang dari 
anak buah Keling Maruta segera roboh 
tak bernyawa. Namun saat berikutnya, 
terjadilah perubahan yang mengagetkan 
ketika Keling Maruta, Setan Enam 
Serangkai dan segenap anak buahnya 
telah mengepung mereka. Tampaklah Ki 
Banyak Sekti, Ki Patratuwa dan 
Rengganis terdesak, kecuali Gagak Ce-
mani yang dengan sigapnya menerjunkan 
diri kearah Setan Enam Serangkai dan 
menyerangnya dengan hebat, membuat 
keenam pendekar dari Gunung Kendeng 
itu kewalahan dan mengumpat-umpat —
Anak setan ini!! —

Omprong dan Keling Maruta yang 
menyerang Ki Banyak Sekti menjadi 
tidak sabar, lantaran lawannya ini 
selalu berhasil menangkis serangan-
serangannya. Baik senjata bindi maupun 
kolor sakti mereka tak berhasil 
merobohkan Ki Banyak Sekti dan itulah 
sebabnya maka Keling Maruta tiba-tiba 
melolos senjata lain dari balik 
bajunya. — Sreettt! — Ki Banyak Sekti 
mendesis kaget — Keris Kelabangnyander 
!— Sebilah keris yang berkeredapan 
telah tergenggam pada tangan Keling 
Maruta yang dikenal sebagai milik Ki 
Gendir Penjalin!
— Hah, kau kaget bukan? sebentar 
lagi kau akan mati dengan keris ini 
monyet!! — seru Keling Maruta seraya 
menyerang lawannya. Sejak itu pulalah, 
Ki Banyak Sekti kian terdesak oleh 
serangan serangan Om prong dan Keling 
Maruta tak bedanya pula dengan Ki 
Patratuwa dan Rengganis yang kerepotan 
menghadapi Kemarung dan Kreneng 
serta kawan-kawannya.
Dalam keadaan begitu, mendadak 
saja melesatlah seorang bayangan 
manusia dari utara dan terjun ke-
tengah arena pertempuran seraya 
memutar tongkat besi ditangannya!
— Aaaargh! — Jeritan-jeritan 
parau terdengar mengiringi tubuh tubuh 
anak buah Keling Maruta berjungkalan

muntah darah dan mati oleh hajaran 
tongkat besi tadi.
— Kakek! — seru Gagak Cemani 
kaget bercampur bangga ketika 
sipendatang bertongkat besi itu segera 
dapat dikenalnya sebagai K i Gendir 
Penjalin! Kakek tua ini bergerak 
sangat hebat dan setiap pukulan 
tongkatnya berarti maut bagi lawan-
lawannya. Oleh sebab itu pula, segera 
Keling Maruta dan Kemarung mengalihkan 
serangannya kepada Ki Gendir Penjalin!
— Kakek bobrok! Lekas menyerah 
sebelum engkau mati ditanganku! — seru 
Keling Maruta sambil mengacungkan 
keris Kelabangnyander ditangannya. —
Apa kau ingin mengambil kembali 
kerismu ini, hoaa? Ambillah jika kamu 
berani! —
— Keparat! — Akan kuhancurkan 
sarangmu ini, setan! — teriak kakek 
tua, Ki Gendir Penjalin seraya 
menyerang Keling Maruta dan 
bertempurlah mereka kembali dengan 
hebatnya!
Disebelah lain. Setan Enam 
Serangkai semakin keheranan menghadapi 
Gagak Cemani yang senantiasa mampu 
menanggulangi serangan-serangannya, 
maka tiba-tiba Dobleh Kelana 
mengibaskan selembar sapu tangan merah 
yang menyebar bau harum ke arah Gagak 
Cemani. Namun pemuda ini telah waspada 
dan segera memasang siasatnya dengan
menjatuhkan diri ketanah berpura-pura 
telah mengisap bau harum tadi. Melihat 
ini keenam lawannya terkekeh-kekeh 
tertawa seraya mendekati tubuhnya dan 
siap menghancurkan tubuh sipemuda ini 
dengan senjata-senjata mereka!
Namun tiba-tiba Gagak Cemani 
menggelindingkan tubuhnya dan goloknya 
membabat kearah kaki keenam lawannya, 
yang tentu saja dengan cekakaran 
meloncat keatas. Tapi terlambat! Dua 
orang diantara mereka terbacok 
betisnya, sehingga menjerit dan 
mendeprok ditanah tanpa sanggup lagi 
untuk bertempur.
Sementara itu, Kemarung tiba-tiba
membacokkan senjata celuritnya dari 
sebelah belakang Ki Gendir Penjalin. 
Untungnya kakek tua ini dapat 
mendengar bunyi berdesing dari arah 
belakang, dan secepat kilat ia 
berbalik sambil menghajarkan tongkat 
besinya mendahului serangan Kemarung, 
— Desss! - Aaaargh — Kemarung memekik, 
ketika tongkat itu memukul hancur 
kepalanya dibarengi darah segar 
muncrat kemana-mana, dan kemudian 
tubuh Kemarung ambruk jatuh, seperti 
selembar kain basah. Tapi di saat itu 
pula Keling Maruta menusukkan keris 
Kelabangnyander kelambung Ki Gendir 
Penjalin!
-'Aduhhhh! - Kakek tua ini 
mengeluh ketika lambungnya mengucurkan
darah. Namun sekali lagi ia memutar 
tongkat besinya dengan sekuat tenaga 
dan menghajarkannya kearah Keling 
Maruta — Praaak! — Eaaaakh! —
Lengan kanan Keling Maruta 
seketika remuk dan lumpuh, sehingga 
keris Kelabangnyander tersebut 
terpelanting ketanah. Dobles Kelana 
yang melihat Keling Maruta roboh, 
secepat kilat menyambar tubuh rekannya 
serta memungut keris pusaka tadi. —
Mun-duiiur. — teriaknya dan seketika 
itu pula sambil membawa Keling Maruta 
serta dua orang rekannya yang terluka, 
mereka kabur kearah barat. Bersamaan 
waktunya, Omprong tersungkur ketanah 
setelah pedang Ki Banyak Sekti 
menghunjam kedalam dadanya. Sedang si 
Kreneng ambruk pula sesudah tubuhnya 
terluka oleh tebasan-tebasan pedang Ki 
Patratuwa serta tusukan tusukan keris 
dari Rengganis.
Pertempuran telah berakhir pula. 
Satu, dua orang pengikut Keling Maruta 
yang masih hidup segera lari pontang-
panting ketakutan. Mereka kebanyakan 
adalah orang-orang yang dipaksa 
menjadi kaki tangannya.
Ki Banyak Sekti berempat segera 
mengerumuni Ki Gendir Penjalin dan 
berusaha menolongnya, tapi sia-sia. 
Sebaliknya orang tua ini cuma 
tersenyum se raya berkata dengan sisa-
sisa tenaganya. — Berjanjilah. Kalian

harus merebut... keris pusaka kita... 
Kelabang-nyander... dari... tat... 
tangan mereka..... — dan terlepaslah 
nafas terakhir dari Ki Gendir Penjalin 
dengan tenangnya. Orang tua itu kini 
telah mati, tinggal jasadnya saja yang 
terbujur ditanah, membisu dingin dan 
pucat.
Rengganis yang tak tahan akan 
kesedihan ini segera menangis terisak-
isak dan mendekap pundak Gagak Cemani. 
Sedang Ki Banyak Sekti dan Ki 
Patratuwa tertunduk dengan air mata 
berlinang-linang dipipinya. Sua sana 
berkabung nencekam hati mereka.
— Marilah Ki Banyak Sekti — ujar 
Ki Patratuwa telah beberapa saat 
merenungkan kesedihan ini. — Kita bawa 
pulang jasad Ki Gendir Penjalin ini 
untuk kita rawat dan kita kebumikan 
dengan baik. —
— Baiklah Ki Patra. Terimakasih —
kata Ki Banyak Sekti dengan suara 
hampir tak terdengar. — kita akan 
cepat-cepat kembali. —
Begitulah, dengan kesedihan tak 
terhingga mereka berjalan kearah utara 
sambil membawa jasad kakek tua itu, 
pulang kekampung halaman mereka. 
Biarpun begitu, mereka bersyukur pula 
bahwa gerombolan Keling Maruta telah 
musnah. Adapun perumahan serta segenap 
harta milik gerombolan tadi telah 
dipasrahkan oleh Ki Banyak Sekti

kepada para penduduk di daerah Selatan 
untuk dimanfaatkan sebaik mungkin, 
sebab sesungguhnya peninggalan-
peninggalan tersebut adalah hasil 
keringat para penduduk yang dirampas 
oleh Keling Maruta.
Dengan perlahan, rombongan kecil 
tadi menempuh jalan yang penuh oleh 
pohon-pohon raksasa dan matahari yang 
makin bertambah tinggi, meneroboskan 
sinarnya kedalam hutan itu, menerangi 
tempat-tempat yang gelap dan 
tersembunyi seolah-olah memberi jalan 
bagi mereka, seakan menghibur dan 
berkata, bahwa suka dan duka adalah 
kejadian yang biasa bagi kehidupan 
dimuka bumi dan berbahagialah orang 
yang sadar selagi suka dan bersabar 
selagi duka, sebab Tuhan mengasihi 
orang yang demikian itu.
Beberapa waktu kemudian, disuatu 
pagi yang cerah tampaklah seorang 
pendekar muda menuntun seekor kuda dan 
berhenti dipintu gerbang desa disebe-
lah utara Ponorogo. Sedang gadis 
cantik yang berjalan bersamanya, 
berhenti pula disisinya.
— Jangan terlalu jauh, adi 
Rengganis — ujar pendekar muda tadi 
yang tidak lain adalah Gagak Cemani. —
Cukup sampai disini saja engkau 
mengantarku.—
Berapa lamakah kakang Cemani akan 
pergi mencari kembali keris

Kelabangnyander itu? — bertanya 
Rengganis.
— Ah, aku tak tahu adi. Mudah-
mudahan tidak terlalu lama dan 
doakanlah semoga aku berhasil dengan 
segera — ujar Gagak Cemani seraya 
menjabat tangan gadis itu. Sesaat 
terbisulah mereka, hanya hati keduanya 
yang dapat berkata-kata.
Sejurus kemudian. Gagak Cemani 
telah berpacu keselatan sementara 
Rengganis melambaikan tangan-nya 
sampai kekasihnya itu lenyap dikelokan 
jalan disebelah selatan.
Demikianlah ceritera saya telah 
berakhir! — ujar Gagak Cemani kepada 
para sahabatnya. Namun seperti 
terpukau, Ki Lurah Mijen, Pendekar 
Bayangan, Mahesa Wulung, Pandan Arum 
dan lain-lain-nya termenung oleh 
ceritera dari pendekar Gagak Cemani 
tersebut.
Sampai disini selesailah cerita 
Seri Naga Geni.

Pendekar Gagak Cemani dan lain 
kali anda akan menjumpai kisah-kisah 
dan pengalaman Gagak Cemani dalam buku 
lain tersendiri. Selanjutnya akan 
segera sampai kepada pembaca. Seri 
Naga Geni yakni — PEMBALASAN KI RIKMA 
REMBYAK - Kedahsyatan, kepahlawanan, 
kemesraan dan kasih sayang akan 
terjalin dalam ceritera ini. Nah, 
nantikanlah kedatangan-nya.-




Share:

0 comments:

Posting Komentar