SATU
CAHAYA SENJA semakin melenyap ketika pertem-
puran di sekeliling halaman rumah saudagar Wayan
Arsana berlangsung dengan serunya. Beberapa ekor
kelelawar terbang mencericit, seolah-olah ketakutan
dan menjauhi medan pertempuran. Sesekali terdengar
pula himbauan suara burung hantu dari sela pepoho-
nan, menambah seramnya suasana di situ yang sebe-
lumnya telah dipenuhi bunyi rintihan, erangan dan te-
riakan perang ataupun gemerincingnya senjata ber-
adu.
Betapa kaget si pendekar Ngurah Jelantik ketika
mata pedangnya kena dijepit oleh sisi kedua telapak
tangan lawannya, si Tangan Iblis yang sakti. Biarpun
ia telah setengah mati dan sekuat tenaga berusaha
mencabut pedangnya, ternyata itu tidak banyak gu-
nanya. Dengan demikian, sia-sialah ia berkutat menge-
rahkan tenaga, sedang kenyataannya pedang tadi tidak
sedikitpun bergeming dari tempatnya, seakan-akan te-
lah terjepit di antara dua dinding baja yang kokoh.
“Heh, heh, heh,” terdengar kembali si Tangan Iblis
ketawa sinis. “Mengapa tidak kau biarkan saja pedang
ini terlepas, haa?! Apakah senjata ini terlalu berharga,
sampai engkau begitu menyayanginya?!”
Memenuhi anjuran ini, terang si Ngurah Jelantik ti-
dak berani. Sebab dengan begitu toh sama artinya de-
ngan menyerahkan nyawanya kepada si Tangan Iblis.
“Keparat! Kau bisa tertawa! Apakah yang kau ang-
gap lucu saat ini?!” seru Ngurah Jelantik sambil terus
mengerahkan tenaga dalamnya.
“Engkau sendirilah yang lucu saat ini!” ujar Tangan
Iblis. “Masakan sudah terang tidak mampu mencabut
kembali pedang ini dari telapak tanganku, kok engkau
masih tetap ngotot?”
“Tutup mulutmu yang bau busuk itu! Baru mem-
perlihatkan kepandaian rendah saja, engkau telah
sombong keliwat batas!” bentak si Ngurah Jelantik, se-
hingga Tangan Iblis makin marah mendengarnya. Ba-
ginya, kata-kata tadi merupakan ejekan yang pedas.
“Baiklah. Akan kuakhiri permainan kosong ini,” ujar
Tangan Iblis sambil menggeram marah. “Semoga eng-
kau tidak kaget karenanya.”
Selesai berkata, tiba-tiba tanpa terduga si Tangan
Iblis melepaskan genggaman telapak tangannya pada
pedang Ngurah Jelantik, sehingga pendekar dari Si-
ngaraja ini terpental ke belakang oleh daya tariknya
sendiri dan nyaris ia jatuh terjengkang di atas tanah.
Tap!
Mendadak si Ngurah Jelantik seperti tersentak ta-
ngannya dan sesaat kemudian ia menceloskan pan-
dangan matanya ke depan. Alangkah kagetnya bila ta-
hu-tahu Tangan Iblis telah berada kembali di depan-
nya, dengan kedua sisi telapak tangannya menjepit
mata pedang Ngurah Jelantik.
“Heh, heh. Aku terpaksa memegang pedangmu ini
kembali, sebab aku tak sampai hati membiarkan eng-
kau terjatuh tunggang-langgang menanggung malu!”
terdengar Tangan Iblis mengejek lawannya.
Wajah Ngurah Jelantik menjadi semerah bara men-
dengar kata-kata lawannya. Maka sekali ini Ngurah Je-
lantik merubah tenaganya, ia tidak berusaha menca-
but pedang tadi, tapi justru sebaliknya, ia me-
ngerahkan tenaganya untuk mendorong dan menco-
bloskan batang pedangnya ke arah Tangan Iblis.
Keruan saja lawannya terkejut setengah mati se-
waktu ia merasakan perubahan tadi. Namun toh itu
cuma berlangsung dalam sekejap, sebab, sekali lagi
Ngurah Jelantik menjadi mati kutu apabila pedangnya
tetap membisu tanpa mau bergerak sedikitpun.
Pada detik berikutnya mendadak saja si Tangan Ib-
lis melepaskan pegangannya disusul tubuhnya berkelit
ke samping. Akibatnya, Ngurah Jelantik lalu terdorong
ke depan dengan terhuyung-huyung dan dapat dipas-
tikan bahwa ia akan jatuh tersungkur ke atas tanah.
Namun sementara itu, si Ngurah Jelantik menjadi
kian marah setelah merasa dipermainkan oleh lawan-
nya. Maka secepat kilat ia berbalik dan membacokkan
pedang tadi ke arah Tangan Iblis.
Siiingngng! Tap!
Si Tangan Iblis dengan tepatnya menyambut baco-
kan pedang lawannya dengan menjepit pedang terse-
but pada kedua sisi telapak tangannya. Maka hal ini
sudah diulangnya untuk yang ketiga kalinya.
“Heh, heh. Sekarang lihatlah pedangmu ini baik-
baik!” gereneng si Tangan Iblis seraya tangannya tiba-
tiba bergerak membengkok disusul oleh bunyi berden-
tang logam patah.
Pletaak. Tangngng!
Tahu-tahu batang pedang tersebut terpatah dan ku-
tung menjadi dua bagian, mengejutkan hati siapa saja
yang melihatnya. Satu pameran tenaga dalam yang
hebat dan patut dipuji.
Belum habis kekagetan orang-orang melihat hal itu,
mendadak saja tangan kanan si pendekar Tangan Iblis
telah berkelebat ke depan dengan gerakan cepat, sukar
ditangkap oleh mata dan kedua jari tangannya menjen-
tik pundak Ngurah Jelantik dengan tiba-tiba.
Plak! Pluuk!
“Aah!” desis Ngurah Jelantik kesakitan dan kaget,
begitu pundaknya merasa nyeri seperti disengat oleh
lebah berbisa.
Sesaat kemudian satu perasaan lemas dan hilang
semangat telah menjalar ke seluruh tubuh, sehingga
Ngurah Jelantik lalu merasakan tubuhnya seolah-olah
seperti tak bertulang lagi.
Sedetik kemudian rebahlah Ngurah Jelantik meng-
gelosor di tanah, menggelumpruk seperti segumpal ka-
pas yang kesiram air.
“Ooh, aku tertotok oleh jari Tangan Iblis! Celaka,
habis riwayatku sekarang!” pikir Ngurah Jelantik ke-
tika dirinya telah rebah tertelentang di atas tanah tan-
pa daya dan setengah lumpuh.
Segera pula, Ngurah Jelantik memejamkan kedua
matanya, siap menyambut kematian yang akan dija-
tuhkan oleh lawannya, si Tangan Iblis. Hatinya telah
pasrah kepada Dewa akan segala nasib dan lelakon
yang bakal terjadi kemudian.
Terdengar langkah si Tangan Iblis makin mendekat
ke arah tubuhnya yang tertelentang di tanah, dan ke-
mudian berkumandang tawa kemenangan si Tangan
Iblis. “Heh, heh, heh. Kau harus mati sekarang, sobat!
Terimalah pukulan telapak mautku ini dan hiruplah
udara segar ini banyak-banyak buat terakhir kalinya!
Haeet!”
Dengan tanpa ampun, Tangan Iblis telah menghan-
tamkan pukulan telapak mautnya ke bawah, tepat te-
rarah ke dada Ngurah Jelantik.
Blaaaaarr!
Sebuah benturan keras seperti ledakan petir ter-
dengar dengan dahsyatnya, mengejutkan orang-orang
di situ.
Saking kagetnya, begitu telapak tangannya mem-
bentur benda yang keras, si Tangan Iblis melemparkan
diri ke samping dengan sebat, sementara hatinya pe-
nuh bertanya-tanya, apakah yang terjadi sesungguh-
nya dengan tubuh lawannya itu? Mungkinkah puku-
lannya tadi meleset dan mengenai batu? Tapi itupun
mustahil, sebab sewaktu terjadi benturan tadi, ia merasakan adanya tenaga dorongan yang membentur
tangannya.
Memang ia tadi telah melihat sesuatu yang berkele-
bat, justru tepat di saat ia memukulkan telapak maut-
nya ke dada Ngurah Jelantik! Maka hal inilah yang
membuatnya terheran-heran.
Selesai mendaratkan kedua kakinya ke tanah, si
Tangan Iblis lantas terperanjat seketika, sebab ma-
tanya yang tajam telah melihat sesosok tubuh manusia
berdiri dengan kokohnya di dekat tubuh Ngurah Jelan-
tik yang tergeletak di tanah.
Sementara itu, Ngurah Jelantikpun terkejut dan be-
gitu membuka matanya, lantas saja ia menampak ada-
nya sesosok tubuh yang berdiri di dekatnya, sambil
memandang tajam ke arah Tangan Iblis.
Orang ini sudah cukup tua, terbukti dari rambut,
kumis dan jenggotnya yang telah memutih kapas. Pada
tangan kanannya tampak tergenggam selembar selen-
dang cukin yang berwarna kuning, menjuntai ke bawah
laksana seekor ular.
“Uh...! Uh...! Uh...!” Terdengar bunyi batuk dari mu-
lut si kakek berambut kapas itu, seraya mengacung-
kan tangan kirinya ke arah Tangan Iblis dan berkata
dengan suara yang tenang dan berwibawa, “Kau telah
membuat keributan di sini dan menyebar kematian!
Sungguh tercela perbuatanmu ini! Karenanya, lekaslah
minggat dari tempat ini! Atau jika engkau bandel, aku
harus terpaksa menindakmu, heh?! Uh...! Uh...! Uh!”
“Tua bebangkotan! Sudah bertubuh reyot dan ting-
gal mampus saja masih gatal ingin turun tangan?!” se-
ru si pendekar Tangan Iblis sangat mendongkol dan
penasaran.
Melihat selendang berwarna kuning yang tergeng-
gam di tangan si kakek tua itu, ia dapat sedikit mene-
bak, bahwa itulah agaknya senjata yang tadi telah
membentur pukulan telapak mautnya.
“Sebut dulu namamu, tua bangkotan. Setelah itu
barulah kita mengukur tenaga!” seru Tangan Iblis de-
ngan mata menyipit, memandang rendah kepada ka-
kek tua di hadapannya ini.
“Uh...! Uh...! Bagus! Namaku adalah Wiku Salaka!
Apakah cukup berarti nama itu bagi dirimu, penga-
cau?!” ujar si kakek tenang-tenang.
Wajah si Tangan Iblis berkerut seperti tengah men-
gingat suatu, kemudian setengah pucat manakala ia
dapat mengenal bahwa itulah nama salah seorang dari
cucu murid Empu Barada yang terkenal sakti dan be-
rilmu tinggi.
Kini tahulah Tangan Iblis, bahwa ia tengah berha-
dapan dengan lawan yang tidak boleh dipandang de-
ngan sebelah mata. Si kakek berambut kapas itu ter-
nyata bukan orang sembarangan seperti yang ia sang-
ka sebelumnya.
Diam-diam Tangan Iblis jelalatan melirik ke tanah,
dan ia melihat sebatang tombak tergeletak di situ. Ma-
ka secepat kilat tangannya menyambar tombak terse-
but dan siap menyerang si kakek Wiku Salaka.
Tapi dengan gerakan yang tak terduga, Wiku Salaka
menyerang lebih dulu dengan kibasan selendang ku-
ningnya yang berubah menjadi keras seolah palu go-
dam, menghajar patah tombak di tangan pendekar
Tangan Iblis menjadi dua potong!
Keruan saja si Tangan Iblis kaget setengah mati me-
lihat kehebatan senjata kakek tua itu, dan ini sudah
cukup memberinya peringatan untuk lebih berlaku ha-
ti-hati dalam menghadapinya.
***
Dalam satu gebrakan pertama dan telah runtuh,
ternyata menyebabkan hati si Tangan Iblis seperti tercekat oleh duri dalam menghadapi si kakek Wiku Sa-
laka. Ini pula seperti menjadi pertanda buruk bagi di-
rinya, bahwa kemenangan akan sukar dicapai.
Selama malang-melintang di dunia persilatan, be-
lum pernah ia terpukul runtuh oleh lawannya dalam
gebrakan awal seperti kejadian yang lewat tadi. Tom-
bak yang dipegangnya kena terhajar patah oleh selen-
dang si kakek bangkotan. Memandang senjata lawan-
nya yang cuma berwujud selembar selendang tapi
mampu berubah menjadi sekeras logam, iapun sadar
bahwa lawannya ini memiliki tenaga dalam yang dah-
syat dan jarang tandingannya.
Jauh di sebelah timur, sang purnama telah muncul
di balik pepohonan seperti tengah mengintip mereka
yang lagi berhadapan untuk bertarung. Sinarnya ke-
mudian dengan lambat merambah ke segenap arena
pertempuran di sekitar halaman rumah Wayan Arsana,
yang terletak di sebelah timur Gilimanuk.
Di sana-sini tampak para korban yang berkaparan
di tanah, sebagian mati dan sebagian lagi luka-luka.
Made Maya masih menjaga ayahnya, si saudagar
Wayan Arsana yang terluka dalam. Di sebelah lainnya,
Ki Selakriya masih duduk juga mengatur tenaganya
yang telah banyak hilang, akibat bertempur melawan
Wasi Bera. Ia merasa beruntung bahwa Made Maya te-
lah turun tangan menolongnya. Jika tidak, mungkin ia
sudah binasa di tangan Wasi Bera itu. Namun di sam-
ping rasa syukurnya tadi, iapun menjadi takjub ketika
ia menyaksikan Made Maya mampu bertempur dan
mengalahkan lawannya sampai roboh.
Dari sekian orang yang paling heran, Sunutamalah
yang hampir tak percaya menyaksikan Made Maya bisa
merobohkan lawannya. Selama mengenal gadis ini, be-
lum pernah ia melihat Made Maya berlatih silat, apa-
lagi memperlihatkan minatnya terhadap masalah persilatan. Sedang kenyataannya, Made Maya mempunyai
ilmu dan tataran persilatan yang cukup tinggi, bahkan
mungkin lebih tinggi dari ilmu yang telah dimilikinya.
Inilah yang luar biasa. Terbukti bahwa selama ini
Made Maya mampu merahasiakan dirinya, merahasia-
kan ilmu silat yang begitu hebat.
Dengan munculnya si kakek Wiku Salaka yang kini
berhadapan dengan Tangan Iblis, sementara pertem-
puran terhenti. Semua seolah-olah seperti terpukau
untuk menyaksikan bagaimana kedua tokoh tersebut
berhadapan dan kemudian bertempur.
Memang begitulah, kini pusat perhatian tertuju ke-
pada si kakek Wiku Salaka dan si Tangan Iblis. Mereka
berhadapan, saling memandang dengan sorot mata
yang tajam, menembusi udara senja.
Mendadak saja, si Tangan Iblis bergerak dengan ke-
cepatan yang luar biasa membabatkan potongan tom-
bak yang masih tergenggam di tangannya.
Wuuuss!
Tapi si kakek Wiku Salaka lebih cepat! Selendang di
tangannya menyambar dan sisa tombak di tangan si
Tangan Iblis sempal menjadi serpihan, terhajar oleh se-
lendang tersebut.
Kembali orang berteriak kagum melihat kehebatan
tandang si kakek yang berambut kapas. Lebih-lebih si
Tangan Iblis sendiri. Menghadapi pendekar Ngurah Je-
lantik saja ia mampu, malahan berhasil melumpuh-
kannya. Padahal Ngurah Jelantik adalah pendekar ter-
kenal dari Singaraja. Akan tetapi sekarang, ia seperti
mati kutu, sebab bukankah lawan yang kini dihadapi
jauh lebih tua, yang seharusnya lebih mudah untuk
dirobohkan.
Rupanya si kakek itu tidak mau membuang-buang
waktu lagi, sebab sebelum Tangan Iblis memper-
siapkan diri kembali ia telah melancarkan serangan selendangnya.
Tangan Iblis mulai mengeluh di dalam hati, setelah
kakek tua ini ternyata tidak mau memberi kesempatan
kepadanya untuk bernapas.
Selendang Wiku Salaka merupakan sebuah senjata
yang paling aneh dan sangat berbahaya. Dengan di-
landasi tenaga dalam ia mampu berubah-ubah sesekali
seperti baja keras yang mampu memporak-porandakan
setiap benda yang dihajarnya sampai berkeping-ke-
ping. Di lain saat, selendang itu ujungnya dapat me-
matuk-matuk lemas, seperti mulut seekor ular yang
siap mencaplok mangsa. Sehingga seluruhnya selen-
dang kakek Wiku Salaka dapat bergerak dengan jurus
maut sebanyak empat puluh bagian.
Masih mujur bagi Tangan Iblis bahwa ia memiliki
kegesitan dan simpanan ilmu yang cukup, sehingga
dengan meloncat dan berjumpalitan kesana-sini ia
menghindar dari kejaran selendang si kakek yang sela-
lu mengancam nyawanya.
Hingga saat itu, Tangan Iblis masih bertangan ko-
song, sebab ia tak pernah mendapat kesempatan un-
tuk melolos pedangnya yang tergantung di pinggang.
Tambahan lagi, selama ia turun tangan di tempat itu,
selalu saja mengandalkan ilmu pukulan telapak maut-
nya. Tak tahunya sekarang ia telah ketanggor lawan
yang hebat!
Telah dicobanya beberapa kali menghantam kakek
Wiku Salaka dengan pukulan mautnya, tapi semuanya
telah gagal. Apalagi sempat menyentuh tubuh si ka-
kek, mendekat saja pun sukar, disebabkan oleh haja-
ran si selendang kakek Wiku Salaka tadi.
“Hee, kakek bangkotan! Mengapa tak kau biarkan
aku mencabut pedangku, sedang engkau sendiri meng-
genggam senjata?! Nah, apa itu adil namanya?!” seru
Tangan Iblis seraya masih berloncatan menghindar.
Oleh seruan tadi, kakek Wiku Salaka memanggut-
manggutkan kepala lalu berkata, “Eeh, eh. Bagus, bo-
cah ingusan! Cabutlah senjatamu! Cabutlah dia lekas-
lekas, supaya orang-orang tidak bakal mengatakan,
bahwa Wiku Salaka seorang pengecut karena membu-
nuh lawannya yang tak bersenjata!”
Sungguh hebat ucapan kakek berambut putih ini.
Sifat ksatria dan kebijaksanaan tergambar di dalamnya
cukup mengagumkan bagi telinga-telinga yang men-
dengarnya, termasuk pula si Tangan Iblis sendiri.
Berbareng itu, kakek Wiku Salaka mengendorkan
serangannya, untuk memberi kesempatan kepada si
Tangan Iblis yang hendak mencabut pedangnya.
Tanpa menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Ta-
ngan Iblis buru-buru melolos senjatanya dan balas
menyerang ke arah si kakek Wiku Salaka.
Sebentar kemudian berlangsunglah pertempuran
yang lebih hebat karena masing-masing telah bersen-
jata di tangannya. Pedang di tangan si Tangan Iblis,
menyambar-nyambar dengan ganasnya, berkilatan ter-
timpa cahaya rembulan yang lagi mengembang. Na-
mun itu hanya sedikit menolong terhadap kedudukan
Tangan Iblis, sebab kembali selendang si kakek Wiku
Salaka mencecarnya dengan serangan-serangan beran-
tai yang dahsyat mematikan.
Detik-detik selanjutnya, keringat dingin si Tangan
Iblis bercucuran keluar dari lubang kulitnya, manakala
tenaganya seperti terkuras habis oleh serangan si ka-
kek yang dahsyat. Berkali-kali si Tangan Iblis terpaksa
mengerahkan kekuatannya sewaktu ujung selendang
kakek Wiku Salaka membentur pedangnya. Terasa
kemudian pada setiap benturan, rasa nyeri kelewat ba-
tas, seolah-olah puluhan jarum lembut merayap ke
tangan kanannya.
Dan akhirnya, pada suatu ketika... ujung selendang
Wiku Salaka membentur dengan serunya pada pedang
Si Tangan Iblis, disusul bunyi berdentang logam patah.
Klaaangng!
Patahlah sudah pedang si Tangan Iblis!
Saking kagetnya, si Tangan Iblis terhenyak lalu ter-
pelanting roboh ke belakang disertai wajah kepucatan
dan nafasnya tersengal-sengal. Pikirnya, “Celaka! Se-
kali ini habis riwayatku!”
Kakek Wiku Salaka telah mengangkat tinggi-tinggi
tangannya yang menggenggam selendang, siap dis-
abetkan ke tubuh Tangan Iblis yang telah kepayahan
terlentang di depannya. Semua menahan napas meng-
ikuti adegan yang menegangkan dan mencengkam pe-
rasaan.
Namun diam-diam telah terjadi sesuatu yang tidak
mudah diketahui sebab-sebabnya. Ketika tangan Wiku
Salaka telah terangkat tinggi dan sorot matanya mena-
tap tajam ke wajah Tangan Iblis, tiba-tiba bergeloralah
satu perasaan aneh yang menyelinap ke hati si kakek
ubanan ini. Tiba-tiba saja ia seperti telah mengenal
wajah si Tangan Iblis. Seolah-olah ia telah mengenal-
nya sama sekali, sehingga membuatnya termangu be-
berapa saat. Selanjutnya, Wiku Salaka menurunkan
tangan yang semula telah siap menghajarkan selen-
dangnya ke tubuh Tangan Iblis.
“Tangan Iblis! Bangunlah, dan cepatlah berlalu dari
tempat ini selekasnya, sebelum aku merubah niatku!”
ujar kakek Wiku Salaka dengan suara yang berwibawa.
“Lekaas!”
Si Tangan Iblis seperti tak mau percaya dengan ka-
ta-kata si kakek yang baru saja hampir membu-
nuhnya. Namun ia segera bangkit perlahan-lahan keti-
ka didengarnya sekali lagi Wiku Salaka berkata, “Aku
masih ingin memberimu kesempatan untuk memper-
baiki dirimu! Karenanya, lekaslah pergi dari tempat
ini!”
Semua orang tertegun menyaksikan adegan yang
cukup aneh ini. Seseorang yang telah bertempur mati-
matian, ketika ia berhasil mengalahkan lawan dan
tinggal membunuhnya sekali, semudah orang memijit
buah tomat, tiba-tiba saja telah mengurungkan niat-
nya.
Agaknya si kakek Wiku Salaka ini tak sampai hati
mengakhiri nyawa si Tangan Iblis. Terbukti bahwa ia
telah melepaskan lawannya tersebut, untuk cepat-
cepat berlalu, meninggalkan tempat ini.
Akhirnya dengan langkah terseok-seok si Tangan
Iblis telah bangkit dan kemudian melangkah mening-
galkan halaman rumah Wayan Arsana, dengan diikuti
oleh pandangan mata orang-orang di situ.
Sebuah geram tertahan terdengar dari mulut Ta-
ngan Iblis, sambil berjalan itu. Entah, apakah itu ge-
ram kemarahan atau geram pertanda kelelahan diri-
nya. Juga kedua tangannya mengusap debu-debu yang
melekat pada kulit dan pakaiannya.
Sekonyong-konyong, sehabis ia mengusap-usap
pinggangnya, berbaliklah si Tangan Iblis ke belakang
ke arah Wiku Salaka sementara tangan kanannya me-
ngibas dengan kecepatan yang hebat dan menakjub-
kan!
Di saat yang pendek itu, beterbanganlah belasan ja-
rum beracun, berkeredapan seperti kunang-kunang
menyambar ke arah kakek Wiku Salaka.
Hampir semuanya terpekik melihat hal ini, sebab
jaranglah orang mampu menangkis serangan senjata
rahasia yang berjarak pendek dan tiba-tiba ini.
Made Maya yang masih berjongkok di samping
ayahnya lekas-lekas berseru dengan kecemasan, “Ka-
kek! Awas! Jarum beracun!”
Untunglah, si kakek Wiku Salaka sendiri telah waspada sejak tadi, ketika ia membiarkan si Tangan Iblis
berlalu meninggalkan tempat itu. Maka secepat kilat ia
melolos selendang kuning yang telah dikalungkan pada
lehernya, untuk selanjutnya ditebaskan ke udara me-
nyapu jarum-jarum beracun milik Tangan Iblis:
Kejadian ini begitu cepatnya. Sebagian jarum tadi
terpental balik dan bersarang pada pundak si Tangan
Iblis, sampai seketika mulut pendekar ini berteriak ke-
sakitan. “Aauucchh!”
“Huh, bocah ingusan mencoba berlaku curang?!”
desis si kakek Wiku Salaka seraya menggeram jengkel.
“Sekarang, rasakanlah senjatamu itu sendiri. Huh, aku
tak perlu kuatir, sebab toh engkau memiliki obat pe-
nawarnya!”
Si Tangan Iblis peringisan menahan sakit, lalu ber-
jalan dengan cepat dan sedikit sempoyongan men-
dekati I Jembrana dan Jimbaran yang lagi mengerang
kesakitan. Dengan tidak banyak berkata, si Tangan Ib-
lis lalu mencabut keris yang melekat pada lambung
Jimbaran dan membantingnya ke tanah.
“Mari kita pulang!” ujar Tangan Iblis kepada kedua
muridnya, dan sekali sambar, ia telah memanggul me-
reka di pundaknya untuk kemudian dibawanya kabur
ke arah selatan.
Beberapa orang sisa pengikut Jembrana, segera pu-
la lari terbirit-birit setelah mengetahui bahwa pe-
mimpin-pemimpin mereka kabur meninggalkan tempat
itu. Teman-temannya yang terluka sempat pula me-
reka bawa. Yang tertinggal kemudian adalah orang-
orang yang terluka parah dan mayat yang berkaparan
di tanah.
Wiku Salaka, Sunutama, Made Maya dan sisa dari
penjaga-penjaga pengikut Wayan Arsana segera me-
rawat dan mengurus korban-korban pertempuran tadi.
Untuk pendekar Ngurah Jelantik, segera si kakek
Wiku Salaka dapat membebaskan kelumpuhan tubuh-
nya akibat tertotoknya jalan darah. Tapi untuk Wayan
Arsana dan Ki Selakriya, tidaklah bisa disembuhkan
seketika, karena keduanya terluka dalam sehingga
memerlukan beberapa hari untuk memulihkan tenaga
dan kesehatan tubuh mereka.
Di pendapa rumah Wayan Arsana tampaklah ke-
mudian kesibukan orang-orang yang merawat dan
mengobati orang-orang terluka. Suasana menjadi te-
nang, masing-masing terlibat dengan kesibukan ker-
janya, hanya sesekali terdengar erangan dan rintihan
dari orang-orang yang tengah dirawat luka-lukanya.
Wayan Arsana duduk dengan punggung tersandar,
demikian pula dengan Ki Selakriya. Di dekat mereka
duduk pula si Made Maya mendampingi ayahnya.
“Eeh, jadi Bapa Wiku Salakalah yang mengajarmu
bersilat dan menjadi gurumu?” berkata Wayan Arsana
kepada putrinya.
“Benar, Ayah,” sahut Made Maya. “Kakek Wikulah
yang menjadi guruku.”
Wayan Arsana kemudian manggut-manggut dengan
keterangan putrinya. Satu keheranan lagi baginya,
bahwa kakek Wiku Salaka atau yang selama ini dike-
nalnya sebagai ayah mertuanya, jadi ayah dari istrinya,
mempunyai kepandaian silat yang begitu hebat. Ingin
rasanya Wayan Arsana banyak bertanya tentang hal
itu kepada Made Maya ataupun Wiku Salaka sendiri.
Tapi, melihat kesibukan dan suasana yang demikian
repot, maka mau tak mau Wayan Arsana terpaksa
mengurungkan niatnya.
“Biarlah lain kali akan kutanyakan kepada Bapa
Wiku Salaka,” pikir Wayan Arsana seraya melempar
pandang ke halaman yang kini makin terang-ben-
derang oleh cahaya rembulan.
Beberapa orang penjaga tampak mondar-mandir
menjaga pintu gerbang. Sang malampun terus berjalan
dengan tenangnya, seperti tak pernah menggubris
bahwa pertempuran baru saja terjadi, dan kini ber-
akhir dengan kemenangan pihak Wayan Arsana, sete-
lah terusirnya si Tangan Iblis dan beberapa sisa anak
buahnya.
***
DUA
SINAR MATAHARI yang terik seolah-olah tak kuasa
menembuskan hawa panasnya yang menyengat kulit,
ke lereng-lereng kaki gunung yang diselimuti oleh ka-
but putih yang berarak-arak, melayang dengan malas-
nya. Gunung ini, yang disebut orang dengan nama
Gunung Merbuk, berdiri menjulang tinggi merupakan
pagar di sebelah timur bagi kota Gilimanuk.
Di sebuah lerengnya di daerah selatan, hari itu
tampak adanya kesibukan kecil yang sebenarnya agak
mengherankan, sebab daerah itu biasanya tidak per-
nah dirambah oleh manusia.
Sedang hari itu beberapa gubuk darurat yang ber-
atap daun ilalang telah berdiri di lereng selatan dan
beberapa orang bersenjata tengah berjaga-jaga di anta-
ranya.
“Rasanya seperti tak sabar untuk terus-menerus
menunggu pondok yang bobrok ini. Enakan yang ikut
dengan pemimpin, mereka dapat beraksi mengelua-
rkan ilmu-ilmu simpanan dan keberaniannya!” ujar
seorang penjaga yang dengan malas duduk bersandar
pada kaki batang pohon asam.
Seorang temannya yang duduk di samping, bering-
sut dan menoleh seraya berkata, “Ah, kau mau berlagak jagoan, Dregil?”
“Hmm, mengapa tidak? Bukankah itu pula yang ki-
ta inginkan?!” sahut teman penjaga yang bernama
Dregil. “Apakah Kakang Arje juga tidak kepingin begi-
tu?”
“Heh, heh! Masih enak yang tinggal di sini,” berkata
si Arje. “Apakah kau kira, bertempur itu tidak memper-
taruhkan nyawa?”
“Benar. Itu benar! Namun toh kita bertempur di
samping pemimpin. Dan beliau adalah orang yang sak-
ti dan selalu menang dalam setiap pertempuran. Men-
dengar namanya saja, orang akan bergidik dan berlu-
tut untuk memenuhi segala permintaannya!” kembali
Dregil mengomong.
Arje rupanya sangat mengantuk, dan ia tidak lagi
menanggapi omongan Dregil dengan ulasannya, tapi
ditanggapinya dengan mulutnya yang menguap, me-
lenguh bagai sapi kekenyangan.
Dengan mendongkol, Dregil melihat mulut teman-
nya yang menguap lebar tadi, lalu kepalanya memba-
yangkan persamaan mulut temannya dengan mulut
seekor buaya. Lalu, tiba-tiba Dregil tersenyum sendiri
seperti orang gendeng, manakala dalam ingatannya
terlintas pikiran yang iseng, bagaimana seandainya ke
dalam mulut tadi dimasukkan seekor kadal hidup, se-
perti yang dilihat di samping kakinya sekarang ini?
Mendapat pikiran jahil tadi, tangan si Dregil tiba-
tiba menubruk si kadal yang tengah lenggat-lenggot di
dekat kakinya. Tapi sang kadal lebih dulu mencium
bahaya yang mengancamnya, hingga dengan sebat ia
lari ke bawah semak.
Tinggal si Dregil yang gerenengan sendiri setelah
kecepatan tangannya masih bisa dikalahkan oleh se-
ekor kadal. Kembali ia mengawasi si Arje yang kini te-
lah sesengguran mendengkur dengan nikmat di sebelahnya.
Akhirnya Dregilpun turut menguap setelah berkali-
kali ia menatapi Arje. Rasanya, kantuknya telah tim-
bul, terpengaruh oleh kepulasan sahabatnya, dan ke-
mudian dua orang itupun tertidur pulas.
Beberapa waktu kemudian, sebelum mereka terti-
dur sepemakan sirih lamanya, datanglah seorang pen-
jaga lain ke tempat itu dan ia lantas menggeleng-
gelengkan kepalanya, melihat kedua temannya terse-
but.
“Hee, Arje, Dregil! Bangun, lekas!” seru si penjaga
yang baru datang seraya mengguncang-guncang kaki
Dregil dan Arje dengan keras.
Mendadak saja, Dregil terbangun, sekaligus mene-
bas pedang lebarnya ke depan dengan cepatnya.
“Ahh, edan orang ini!” seru si penjaga yang baru da-
tang sambil meloncat ke atas menghindari tebasan pe-
dang si Dregil yang nyaris memenggal tangannya. “Ta-
han! Kau sudah kesurupan setan rupanya!”
Dregil terlongoh mendengar seruan tadi dan buru-
buru ia menarik serangannya. “Maaf, sobat! Baru saja
aku bermimpi melihat seekor kadal yang hendak mela-
hap kakiku. Maka aku secepat kilat membacoknya de-
ngan pedang ini. Tak tahunya, tangan Andalah yang
mengguncang-guncang kakiku. Harap Anda suka me-
maafkanku, sobat.”
“Tak apalah,” gumam si penjaga yang berwajah ga-
rang memperlihatkan rasa mengkalnya. “Sudah waktu-
nya kalian berdua menjaga! Mengapa masih tidur saja?
Lekaslah bertugas!”
“Ngngng... baiklah kami berjaga,” ujar Dregil dan
Arje bersama, lalu bangkit dan menggeloyor ke arah se-
latan sambil menggerutu.
***
Sementara itu, seorang nenek yang berwajah buruk
berjalan menerobos semak-belukar menempuh hutan
yang menutupi kaki selatan Gunung Merbuk. Seben-
tar-sebentar ia mengerutkan keningnya dan bersu-
ngut-sungut sambil bibirnya komat kamit menggerun-
dal. “Bocah tolol! Lagi-lagi meninggalkan orang tua ke-
lewat lama! Sudah kuperingatkan jangan semaunya
pergi mengeluyur, tapi masih tetap bandel. Dasar bo-
cah gendeng. Apakah ia mau mengandalkan ilmunya
yang masih kurang seperempat tataran?! Heh, kadang-
kadang ia sampai jauh mengembara, mendatangi kota-
kota dan pulau-pulau. Yang sering diceriterakan, ia
senang mengunjungi Bukit Kepala Singa yang terletak
di tengah-tengah Pulau Mondoliko. Heh, bocah gelan-
dangan!”
Demikianlah nenek tua berwajah buruk tapi senan-
tiasa menggerundal di sepanjang perjalanan. Menilik
ucapan dan kata-katanya, dapatlah ditarik kesimpulan
bahwa dia sangat menyayangi putranya dan kini de-
ngan susah payah mencarinya menerobos hutan, me-
nyeberangi jurang-jurang dan menempuh bahaya.
“Hmm, aku akan mencarinya ke Gilimanuk, seperti
yang pernah ia katakan kepadaku beberapa waktu
yang lalu,” lagi si nenek mengomel. “Tapi aku juga he-
ran kepadanya, mengapa ia sangat tertarik kepada ko-
ta sekecil Gilimanuk itu? Apakah ada sesuatu itu yang
menarik perhatian dan menahannya di sana?”
Langkah si nenek berwajah buruk ini sangat aneh.
Di tanah yang rata, ia tetap berjalan seperti biasa, se-
langkah demi selangkah sambil tertatih-tatih menggu-
nakan tongkatnya yang berwarna hitam mengkilat ber-
ukir-ukir amat indah. Akan tetapi, bila ia melewati teb-
ing ataupun jurang, dengan enaknya ia meloncatinya
semudah bila ia melangkah di tanah yang rata.
Sungguh menakjubkan gerakan si nenek ini. Ketika
ia meloncat tadi, tampaklah kakinya dengan sebat
mencapai sasaran yang dikehendaki, sementara mu-
lutnya berkikikan mengeluarkan suara tertawa seperti
suara kuda betina yang binal. Sama sekali ia tak men-
cemaskan bahaya yang menghadangnya seperti ter-
pancar pada wajah dan sorot matanya yang tajam.
Bila di tengah jalan ia menghadapi binatang-bina-
tang liar, cukuplah dengan mengobat-abitkan tongkat
hitamnya yang segera mengeluarkan suara mendesis-
desis, dan menyingkirlah kabur si binatang liar tadi
dengan ketakutan.
Semua tingkah laku si nenek bertongkat ini, tentu
akan menimbulkan ketakjuban yang luar bisa. Sebab
bagaimana mungkin orang setua dia mampu menyebe-
rangi jurang dengan sekali loncat saja?
Namun sayang, tentu saja orang tak akan dapat
melihat keanehan si nenek tadi, sebab dia tidak sem-
barangan memperlihatkannya di depan orang lain.
Dengan demikian maka orang lain akan tetap meng-
anggapnya sebagai seorang tua yang lumrah tanpa
keanehan-keanehan apapun.
Ketika si nenek hampir mencapai kaki gunung sebe-
lah selatan, diam-diam dua pasang mata telah mengin-
tainya. Kedua-duanya tengah berbisik-bisik ketika si
nenek berwajah buruk melewati sebuah pohon be-
ringin yang besar dan bercabang-cabang rimbun.
“Sstt, kau lihat itu, Dregil?!”
“Heh. Yah, aku melihatnya. Seorang nenek kudisan
yang bertongkat...,” gumam yang seorang sambil me-
ringis.
“Mengapa, Adi Dregil? Apakah itu nenekmu?”
“Huss! Ngomong seenaknya. Nenekku sudah mati
dua tahun yang lalu!” sahut Dregil.
“Heh, heh, sayang bahwa sebentar lagi mungkin si
nenek kudisan itu akan mati!” ujar si Arje seraya me-
nyungir-nyungirkan hidungnya karena seekor lalat
yang mengganggu.
“Weh, mati? Apa sebabnya?” si Dregil kaget.
“Kau lihat bukan, bahwa si nenek itu tidak mema-
kai caping?!” kata Arje kembali, membuat Dregil makin
bingung.
“Huh, apa hubungannya dengan caping?! Masak,
orang tidak memakai caping lantas mati!” gerundal
Dregil uring-uringan.
Arje tidak menggubris kata-kata temannya, mala-
han ia memuntir telinga si Dregil sambil berbisik, “Kau
cukup tolol, sobat! Coba, kau dapat melihat pada se-
buah cabang beringin yang tengah dilewati nenek itu?”
“Ooh, celaka!” desis Dregil, begitu ia menurut kata-
kata Arje seraya melihat ke cabang pohon beringin ter-
sebut. “Seekor ular!”
“Naa, itulah sebabnya aku mengatakan bahwa si
nenek akan mati, karena kepalanya pasti disambar
oleh mulut si ular yang nampaknya rakus sekali.”
“Mari kita menolongnya, Kakang Arje,” ujar Dregil
sambil mengawasi ke depan.
“Menolongnya?!” desis Arje dengan nyungir. “Apa
pula perlunya menolong seorang nenek bangkotan
yang tak ada gunanya? Biarlah ia dicaplok dan mam-
pus. Kecuali kalau dia adalah seorang gadis yang can-
tik! Huh, pasti akan kutolong dengan segera!”
Dregil mengerdip-ngerdip mendengar tutur kata sa-
habatnya, lalu iapun berkata, “Eh, betul juga, ya. Biar-
lah ia dicaplok ular. Aku kepingin melihat adegan itu!”
Begitulah bisik-bisik si Dregil dan Arje yang ber-
sembunyi di balik semak belukar sambil mengawasi
nenek tua yang terhuyung-huyung berjalan melewati
pohon beringin raksasa.
Keduanya makin berdebar-debar ketika dari atas
cabang pohon beringin itu, meluncur tubuh seekor
ular yang menyambar dengan cepatnya ke bawah.
Dregil dan Arje hampir dapat memastikan bahwa
mulut ular itu akan tepat mencaplok kepala si nenek
bertongkat, namun tiba-tiba kedua orang itu berbareng
melongo, sewaktu dengan sebat, si nenek bertongkat
meloncat ke samping menghindari sambaran sang ular.
Dregil menggosok-gosokkan jarinya ke mata, sebab
ia tak mau percaya melihat kecekatan si nenek yang
dengan mudahnya menghindari sambaran maut. Le-
bih-lebih lagi dengan Arje yang semula telah memasti-
kan kematian si nenek, sekarang menjadi melompong.
Si ular sendiri bukan main marahnya. Ia mengelua-
rkan desisan hebat menggerakkan kepalanya kesana-
kemari, siap menyerang kembali. Sedang si nenek
tinggal berdiri dengan sambil mengobat-abitkan tong-
kat hitamnya.
Rupanya saja sang ular merasa dipermainkan oleh
mangsanya. Maka secepat kilat ia menyambar kembali
dengan gerakan kilat.
Tetapi tiba-tiba si nenekpun bergerak cepat dan lin-
cah meloncat kesana-kemari menerobos di antara
sambaran-sambaran maut si ular yang kelaparan.
Dregil dan Arje melompong, begitu mereka menyak-
sikan adegan yang menakjubkan ini. Dan sesaat ke-
mudian, keduanya melihat adegan yang lebih menarik
lagi, hampir sukar dipercaya. Tampak si nenek tua
menebas tongkat hitamnya beberapa kali dibarengi
bunyi benturan beberapa kali yang mirip ledakan mer-
con, dan sesaat berikutnya tubuh ular tersebut meng-
gelantung runtuh ke tanah dengan kepala yang hancur
dan leher yang patah-patah.
Si nenek tua ini menatapi tubuh ular yang telah
mengelumpruk mati di tanah sambil mengusap-usap
tongkat hitamnya.
“Cuhh!” Si nenek meludah ke bangkai ular dan
menggerundal. “Binatang edan! Orang sudah peyot
dengan kulit yang alot begini masih akan dimangsa.
Kini mampus kowe, huh!”
Kembali si nenek melangkahkan kaki, berjalan ke
arah barat dengan tenangnya, seolah-olah ia tidak per-
nah mengalami apa-apa.
***
Dalam pada itu Dregil dan Arje yang selalu menga-
wasi nenek tadi, lalu berbisik-bisik.
“Kakang Arje, kau lihat sendiri bukan? Nenek itu
luar biasa,” Dregil berkata.
“Benar. Tapi karenanya pula, aku jadi curiga. Sia-
pakah dia sebenarnya?” ujar Arje dan tangannya telah
meraba hulu pedangnya. “Mari kita cegat dia, lalu kita
tanya apa perlunya sampai keluyuran di tempat ini?”
“Ehh, tapi apa perlunya, Kakang Arje? Bukankah
kalau kita berdiam diri, malah nenek itu tidak akan
mengetahui tempat kita ini?”
“Heei, apakah kau lupa, bahwa si Tangan Iblis telah
memerintahkan kita, agar setiap orang yang berani le-
wat di sini, dicegat dan kemudian tanyai apa tujuan-
nya? Jika membahayakan kita, bunuh saja!” Arje ber-
kata pasti.
“Tapi apakah yakin bahwa kita mampu menghada-
pinya. Bukankah ular ganas itu telah dibunuhnya de-
ngan tongkat di tangannya?”
“Hah, tentang ular itu, mungkin secara kebetulan
saja dapat dibunuhnya. Siapa tahu ular tadi tengah
kelaparan dan tidak memiliki kekuatan. Dengan demi-
kian, kan mudah membunuhnya?”
Dregil mengerdip-ngerdip. “Baiklah, aku setuju
mencegatnya. Tapi kau harus berani menghadapinya,
Kakang Arje!”
“Jangan kuatir. Aku nanti yang akan pertama menegurnya!” sahut Arje. “Ayo, lekas kita menghalangi
nya!”
Bagaikan serigala mencium mangsa, keduanya ber-
loncatan dari semak-semak lebat dan berhentilah me-
reka di tengah jalan, tepat di depan si nenek bertong-
kat dengan sikap menghadang.
Sesaat itu pula si nenek terkejut, tapi saat berikut-
nya ia tertawa mengikik terpingkal-pingkal seperti
anak kecil melihat sesuatu yang lucu.
“Hi, hi, hi. Kalian membikin aku terkejut, bocah-
bocah!” ujar si nenek manggut-manggut. “Apa maksud
kalian dengan malang-melintang di depanku ini, heei?”
Mendengar dirinya disebut bocah-bocah, Dregil dan
Arje menjadi naik darah seketika.
“Kau tak boleh ngomong seenakmu, nenek peyot!
Kau telah masuk daerahku ini, dan tanpa keperluan
yang harus kau katakan kepada kami, engkau harus
kembali!” seru Arje. Suaranya penuh nada ancaman.
“Hee?! Hih, hi, hi, hi. Sejak kapan daerah ini di ba-
wah kekuasaanmu?” kata si nenek acuh tak acuh.
“Kurang ajar! Banyak ngomong, kau nenek peyot!”
seru Dregil. “Lekas kau sebutkan, siapa namamu dan
apa tujuanmu di sini?”
Nenek tua itu mengangkat dahi mendengar perta-
nyaan yang kasar lalu sorot matanya berkilatan ma-
rah. Tapi aneh, sebentar pula sorot matanya jadi re-
dup. Agaknya ia masih dapat menahan diri.
“Ha, ha, ha. Betul, nenek peyot. Katakan saja apa
perlumu sampai keluyuran di daerah ini?!” seru Arje
tak mau ketinggalan.
“Bagus, bocah! Bagus! Aku bernama Nyi Durganti.
Nah, puas bukan? Itulah namaku yang kalian ingin-
kan!”
“Durganti? Hmm, nama yang aneh,” desis Arje ter-
cengang. “Lalu apa tujuanmu kemari?”
“Kau ingin tahu tujuanku? Hmm, aku tengah mencari anakku yang minggat dari rumah.”
“Dan siapa nama anakmu itu? Laki-laki atau pe-
rempuan?!” bertanya pula si Dregil dengan gencar
sambil bertolak pinggang.
Nenek Durganti mengerinyitkan dahinya. Wajahnya
yang penuh kerut-merut serta beberapa bintik dengan
warna kulit yang kuning kehijauan seperti mayat, be-
nar-benar menyeramkan. Begitu menghadapi Dregil
dan Arje yang memberondongkan pertanyaan-perta-
nyaan, ia lantas jengkel, katanya kemudian, “Keparat!
Kalian masih ingusan! Tidak tahu adat! Kalian mena-
nyaiku seperti memeriksa seorang pesakitan!”
“He, heh, he. Lucu! Lucu,” seru Arje diiringi keta-
wanya. “Wajahmu makin peyot, Nek!”
“Heh, he. Betul! He, he, he. Betul!” ujar Dregil mem-
betulkan pendapat si Arje. “Kalau marah, wajahnya
makin peyot!”
“Hyaatt!” teriak nenek Durganti seraya menya-
betkan tongkat hitamnya ke depan, menyapu ke arah
dada Dregil dan Arje.
Dengan kekagetan yang luar biasa, Dregil dan Arje
buru-buru membuang diri ke samping, terus berguli-
ngan menjauh dari lawannya.
“Naa, ayolah teruskan mementang mulut, bocah i-
ngusan! Baru sekian saja sudah gelagepan!” ejek ne-
nek Durganti disusul ludahnya meloncat dari bibir.
Terang bahwa Dregil dan Arje tidak mengira bahwa
si nenek kempong-perot itu mampu melabrak dengan
gerakan tongkat yang tiba-tiba. Untung saja bahwa ke-
duanya mempunyai ilmu yang lumayan. Jika tidak,
mana bisa mereka lolos dengan mudahnya dari sera-
ngan tongkat hitam si nenek.
***
TIGA
TANPA MEMBUANG waktu, keduanya segera melo-
los pedangnya seraya bangkit dan bersiaga, sementara
si nenek Durganti masih berkikikan ketawa.
“Huh! Seranganmu sungguh mengagumkan, nenek
reyot! Tapi jangan kau kira bahwa kami tak sanggup
melawanmu?!” berkata Arje seraya melentur-lenturkan
pedangnya.
“Bagus! Cobalah mulai. Aku ingin tahu sampai be-
rapa lama kalian mampu menghadapiku?!” kata nenek
Durganti. Tangannya telah menggenggam pertengahan
batang tongkat, siap diputarnya untuk menghadapi
kedua lawannya. “Ayo, bocah ingusan, jangan malu-
malu. Majulah berbareng kemari, supaya tidak kepa-
lang tanggung!”
Seperti akan meledak dada Dregil dan Arje mende-
ngar tantangan nenek Durganti tersebut. Maka secepat
kilat keduanya menyerbu bersama, menebaskan pe-
dang yang berkilat-kilat di tangannya.
“Jeeaah!”
Kalau pedang Arje mengancam kepala si nenek
Durganti, pedang Dregil bergerak menyapu ke arah lu-
tut.
Ternyata memang serangan mereka saling bergerak
dengan jurus berpasangan dan tentu saja serangan
begini akan sukar untuk dihadapi. Dan celakanya lagi,
Arje juga mengibaskan tangan kirinya, disusul bebe-
rapa pisau kecil menyambar ke arah nenek Durganti.
“Tobat! Serangan beruntun!” desis nenek Durganti
saking kagetnya mendapat serangan yang begitu ganas
dan penuh nafsu.
Tetapi sesaat kemudian, nenek Durganti dengan te-
nang menghadapi serangan lawan, sebab untuk meng
hadapi gerakan yang buas diperlukan ketenangan.
Makin tenang, makin jelas ia dapat mengikuti gerakan
lawan. Maka itulah sebabnya nenek Durganti tiba-tiba
melesat miring ke depan dengan menggerakkan kedua
tangannya berbareng, berserabutan kesana-kemari.
Tangan kiri menyapu ke depan tubuh, sedang tangan
kanannya menggenggam tongkat yang berputar seperti
baling-baling.
Tap! Tap! Tap! Trang Traaangng!
Beberapa bunyi benturan terdengar beruntun su-
sul-menyusul dan sesaat kemudian Dregil serta Arje
terhuyung ke belakang sambil mulutnya peringisan
menahan rasa sakit dan pedih yang membakar jari-jari
tangan kanannya
Mereka terpaksa kagum bahwa kedua senjata pe-
dangnya kena ditangkis oleh putaran tongkat hitam si
nenek Durganti yang bergerak ke atas dan ke bawah.
Malahan dengan melongo, keduanya menatap tangan
kiri nenek tua tadi. Pada tiap-tiap sela-sela jari-jema-
rinya terseliplah pisau-pisau kecil yang tadi dilempar
oleh Arje.
Melihat kenyataan ini, secepat kilat Arje bersuit
nyaring memberi isyarat tanda bahaya kepada teman-
temannya yang masih tinggal di dalam gubuk-gubuk
darurat di sekitar tempat tersebut.
Sungguh mengagumkan bahwa nenek Durganti ma-
sih tetap tenang, bahkan ia tertawa cekikikan, ketika
sesaat kemudian beberapa teman Arje berloncatan ke-
luar dari balik semak-semak, langsung mengepungnya.
“Hi, hi, hih. Mari, kalian semua! Kita bermain-main
menghilangkaN kantuk. Hi, hik. Coba kuhitung semu-
anya. Satu, dua, tiga, empat, lima, tambah satu lagi,
enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh! Wah, wah,
hampir dua regu pasukan lengkap dengan senjata. Ini
sudah cukup banyak. Hayo, sekarang marilah, silakan
membuka serangan!” berkata nenek Durganti menan-
tang, sementara Arje dan teman-temannya telah ber-
siaga.
Siapakah yang tidak jengkel mendengarkan tanta-
ngan nenek reyot yang berlagak perkasa ini? Lebih-
lebih Dregil dan Arje, kelihatan mengkerot-kerotkan gi-
ginya menahan marah.
“Kawan-kawan! Keroyok nenek bangkotan ini! Ca-
cah-cacah tubuhnya sampai lumat! Lekas!” teriak Arje
memberi aba-aba, yang seketika disambut oleh teria-
kan kawan-kawannya.
Mereka bersepuluh serentak bergerak menyerang si
nenek Durganti dengan cara berpasangan, masing-
masing dua orang menyerang berturut-turut, susul-
menyusul sebagai ombak laut yang ganas.
Biar bagaimanapun, nenek tua ini menghadapi ke-
sepuluh lawannya dengan tenang. Meski seolah-olah
hujan serangan senjata mengurungnya, ia dengan se-
bat memutar tongkat hitam di tangannya menyambut
setiap serangan.
Ketika ternyata nenek itu masih tangguh mengha-
dapi serangan-serangan tersebut, Arje dan kawan-
kawannya merubah siasat. Mereka membentuk satu
lingkaran yang mengepung nenek Durganti dengan ke-
tatnya, tanpa ada tempat yang lowong untuk diterobos.
Kesepuluh lawan nenek Durganti tersebut kemudian
bergerak melingkar, seperti roda yang tengah berputar,
membuat lawan yang belum kenyang pengalaman
akan pusing. Dan justru inilah yang dikehendaki oleh
mereka. Bila lawannya sudah pusing, maka serangan
serentak akan mereka lancarkan seketika. Tapi, da-
patkah nenek Durganti tadi menjadi pusing? Ini tak
dapat dipastikan, kecuali ia sedikit kelihatan ter-
huyung.
“Serang!” teriak Arje dan seketika kesepuluh pengepung tadi bergerak ke dalam, melancarkan sera-
ngan-serangan dahsyatnya.
Weeesssttt Trrraaangng!
Nenek Durganti menangkis dan tubuhnya melenting
ke udara lalu meloncat ke luar dari lingkaran kepu-
ngan kesepuluh lawannya.
Akan tetapi mereka tangguh pula. Lingkaran manu-
sia inipun bergerak cepat ke samping mencegat lonca-
tan si nenek, sehingga akhirnya, begitu nenek Durgan-
ti tiba di tanah, ia telah mendapatkan dirinya tetap da-
lam kepungan musuh.
Kini tahulah dia, bahwa kesepuluh lawannya akan
sangat sukar untuk dirobohkan satu persatu, jadi ha-
rus secara serentak pula. Oleh sebab itu, nenek Dur-
ganti telah bersiaga sepenuhnya, lebih-lebih ketika la-
wan-lawannya meluruk kembali melancarkan sera-
ngan. Kali ini nenek Durganti tidak menghindar tapi
tetap tinggal di dalam lingkaran pengepungan dengan
memutar tongkat hitamnya.
Traang! Trang! Triing!
Benturan-benturan senjata terjadi dan kesepuluh
pengepung tadi terhuyung ke belakang, begitu senjata-
senjata mereka beradu lawan tongkat si nenek Dur-
ganti.
Detik berikutnya, dalam saat yang singkat, Durganti
bergerak lebih cepat lagi, sangat mengagumkan. Ia me-
loncat berkeliling, ke sana-ke mari sambil tangan ki-
rinya berserabutan menotok jalan darah kesepuluh la-
wannya seperti pada sisi leher, pundak ataupun dada.
“Aaakh! Aduuuh! Tobat!” seru mereka hampir ber-
bareng dengan tubuh-tubuh kaku seperti arca yang
bernyawa, begitu tubuh mereka kena ditotok oleh jari-
jari Durganti yang ampuh.
Si nenek itu kini berdiri tenang di tengah lawan-lawannya yang telah kaku, kemudian berkata, “Naaa,
bocah-bocah ingusan! Sekarang bagaimana keinginan
kalian? Apakah masih ingin membandel dan sombong
di hadapanku, hah? Hi, hi, hi, hi. Jika mau, aku bisa
meninggalkan kalian dalam keadaan begini, supaya
tubuh-tubuh kalian dapat disantap oleh binatang-
binatang buas di hutan ini.”
“Jangan pergi, nenek! Kami bertobat!” seru Arje dan
kawan-kawannya serentak. “Tolong bebaskan kami!
Kami mengaku kalah!”
“Hi, hi, hi, jadi kalian cukup puas dengan permai-
nan ini? Baiklah, aku akan membebaskan kalian. Tapi
kalian harus sanggup membantuku! Juga harus me-
minta maaf! Bagaimana? Sanggup?”
“Sanggup!” ujar kesepuluh lawan yang telah bertu-
buh kaku. “Kami meminta maaf kepada nenek Durgan-
ti.”
“Hi, hi, hi. Bagus,” seru nenek Durganti sambil ber-
loncatan keliling membebaskan totokan jalan darah
kepada seseorang lawannya dan sebentar kemudian
Arje, Dregil dan kawan-kawannya telah sembuh dan
pulih seperti sediakala. Mereka merasa bagai terbebas
dari kematian yang hampir mengancamnya.
***
Arje, Dregil dan kedelapan kawannya berdiri meng-
gerombol di hadapan nenek Durganti dengan kepala
tertunduk. Mereka yang semula menganggap ringan
dan sepele terhadap lawannya yang telah tua renta ini,
kini merasa malu begitu nenek Durganti telah menak-
lukkan mereka kesemuanya.
Sebaliknya si nenek itu masih tersenyum-senyum
puas, kemudian ia menebarkan pandangan matanya
ke depan dan berkata, “Hih, hi, hi. Siapa kalian berdua
yang pertama mencegatku?” Nenek Durganti berkata
seraya menunjuk ke arah Dregil dan Arje dengan jari
jarinya yang berkuku panjang.
“Saya Dregil dan ini si Arje,” ujar Dregil.
“Sekarang jelaskan kepadaku, apakah keperluan
kalian sampai menggerombol dan membuka gubuk-
gubuk di sini?”
“Kami sedang menunggu pemimpin kami,” berkata
Dregil. “Dan sekarang sudah seharusnya ia tiba di sini.”
“Ke mana perginya?”
“Ke Gilimanuk.”
“Haa, ke Gilimanuk, katamu?” seru nenek Durganti
dengan kaget. “Siapa nama pemimpinmu itu, bocah?”
“Dia bernama si Tangan Iblis!”
“Si Tangan Iblis?!” berseru lebih keras si nenek Dur-
ganti sampai kesepuluh orang di depannya terguncang
kaget, sebab dada mereka sesaat berdentang hebat
oleh seruan si nenek yang terisi tenaga dalam.
“Mengapa terkejut, Nenek? Apakah nama Tangan
Iblis cukup menggentarkan bagi Nenek?” ujar Dregil.
“Menggentarkan? Tentu saja!” sahut nenek Durgan-
ti. “Tapi bukan karena takut kepadanya!”
“Jadi maksud Nenek...?!” sela Dregil menegaskan.
“Aku sudah lama mencarinya!” nenek Durganti di-
barengi ketawa cekikikan bernada gembira sampai tu-
buhnya berguncang-guncang dan rambutnya yang te-
rurai lepas awut-awutan itu ikut tergerak berhambu-
ran melambai-lambai. “Sebab, kalian harus tahu seka-
rang, bahwa si Tangan Iblis itu adalah puteraku! Ka-
lian mengerti, hah?! Buka kupingmu lebar-lebar. Ta-
ngan Iblis yang menjadi pemimpin kalian itu adalah
anakku!”
Mendengar perkataan tadi, Dregil dan kawan-ka-
wannya bagai disambar petir kagetnya. Mereka seren-
tak membungkuk hormat ke hadapan nenek Durganti
seraya berkata ketakutan, “Harap dimaafkan perla-
kuan kami yang kurang pantas tadi.”
“Hi, hi, hi, sudah kuampuni, kalian,” berseru nenek
Durganti. “Tak kukira bahwa Tangan Iblis bisa menjadi
seorang pemimpin. Tapi jelaskan kepadaku, Dregil, apa
sebabnya ia pergi ke Gilimanuk?”
“Mereka sedang menyerbu rumah seorang saudagar
kaya,” kata Dregil pula, membuat nenek Durganti ter-
kejut.
“Wah, kelewat berani anak ini,” gereneng Durganti.
“Mudah-mudahan ia tidak menemui kesulitan di sana.
Hai, Dregil. Kau tadi mengatakan bahwa seharusnya
mereka telah pulang?!”
“Benar, Nenek. Malah seharusnya mereka sudah ti-
ba tadi malam!”
“Ooo, jadi terlambat artinya,” kata Nenek Durganti
dengan hati berdebar-debar. “Kalau ternyata demikian,
marilah Dregil, siapkan diri kalian untuk menyusul si
Tangan Iblis!”
Sebentar kemudian terlihatlah kesibukan memper-
siapkan diri untuk perjalanan ke barat menuju ke Gili-
manuk. Namun tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh
munculnya sesosok tubuh manusia yang bermandi ke-
ringat dan beberapa luka berdarah tampak menghiasi
tubuhnya. Nenek Durganti dan orang-orang menolong-
nya.
“Tolong! Aduh, Ki Tangan Iblis terluka,” rintih orang
yang terluka tadi dengan terengah-engah, menandakan
bahwa ia telah menempuh perjalanan yang jauh.
“Di mana teman-teman yang lain?” berkata Dregil.
“Dan Ki Tangan Iblis berada di mana?”
“Ki Tangan Iblis terluka bersama I Jembrana dan
Jimbaran, tertinggal di belakang sana. Tapi untunglah
kita telah lolos dari kejaran mereka!”
Nenek Durganti seperti tak sabar mendengar orang
menyelesaikan kata-katanya. Karena ia telah lama
mencari Tangan Iblis dan kini mendengar bahwa
anaknya telah mendapat luka, maka cepat-cepat ia
berkata, “Dregil! Arje! Bawalah separuh teman-teman
mengikuti aku. Yang separuh tinggal di sini, merawat
orang yang luka-luka. Pasti akan datang lagi lainnya!”
Selesai berkata, Nenek Durganti telah meloncat ke
barat disusul oleh Dregil, Arje, dan tiga orang teman-
nya. Sebentar saja tampaklah bayangan-bayangan
manusia yang berlari, berloncatan menerobos semak
dan jalan-jalan kecil tak ubahnya kijang-kijang yang
lagi berkejaran.
Dregil dan Arje serta kawan-kawannya terpaksa
mengerahkan tenaga untuk dapat mengikuti loncatan
dan lari si Nenek Durganti yang berada di sebelah de-
pan. Tak urung mereka mengumpat-umpat di dalam
hati, di samping rasa kagum terhadap Nenek Durganti
yang sudah tua renta, tapi malah mengalahkan mereka,
terutama dalam ilmu tenaga dalam dan tata kelahi.
Nenek Durganti yang berlari paling depan selalu
memasang telinga dan menebarkan pandangan ma-
tanya meskipun ia tengah berlari begitu cepat. Ram-
butnya yang terurai lepas dan berkibar-kibar tertiup
angin menimbulkan pandangan yang menyeramkan di
samping wajahnya yang berkeriput dan berwarna se-
perti mayat.
Ketika mereka sampai pada sebuah mata air, tiba-
tiba nenek Durganti mengacungkan tangan kirinya ke
atas, dan seketika itu pula Dregil dan kawan-kawan-
nya segera berhenti.
Tak jauh dari tepian mata air, tiga sosok tubuh te-
ngah tergeletak dengan mengerang kesakitan. Seorang
di antaranya berlepotan darah pada mulut dan di sebe-
lahnya, seorang lagi menebah lambungnya yang meng-
alirkan darah. Sedang di depan mereka nampak seo-
rang yang kelihatannya masih mampu mengatasi diri-
nya telah mencoba untuk duduk. Pada pundak kiri
orang ini kelihatan satu bengkak kebiruan yang meng-
alirkan darah kental kehitaman.
“Anakku... Tangan Iblis!” berseru nenek Durganti
seraya berlari mendekati orang yang bengkak pada
pundaknya.
“I Jembrana dan Jimbaran juga luka!” seru Dregil
dengan cemasnya. Ia tidak mengira bahwa ketiga orang
sakti tadi dapat menderita kekalahan dan luka-luka.
Maka dapatlah Dregil membayangkan bahwa lawan
dan musuh yang mereka hadapi memiliki kesaktian
yang hebat.
“Kau terluka, Nak?!” sapa si nenek seraya meme-
riksa pundak Tangan Iblis yang bengkak. “Terkena apa
ini?!”
“Senjata jarumku sendiri. Ia terpental balik kena
tangkisan senjata lawan,” ujar Tangan Iblis disertai ce-
ritera singkatnya tentang pertempuran dahsyat di se-
belah timur Gilimanuk. “Tapi Ibu tak usah cemas, se-
bab aku telah minum obat penawarnya.”
“Hmm, lawanmu bernama Wiku Salaka?! Aku be-
lum pernah mendengarnya,” nenek Durganti berkata
pula, sementara tangannya mengurut-urut tempat-
tempat di sekitar pundak Tangan Iblis yang bengkak.
“Biarlah lain kali kau ceritakan lebih jelas tentang per-
tempuran itu. Sekarang yang penting kau dan teman-
temanmu yang terluka harus segera mendapat perawa-
tan.”
Dregil, Arje, dan ketiga temannya cepat membantu
membuat usungan dari bambu untuk membawa I Jem-
brana dan Jimbaran yang terluka parah. Sedang Ta-
ngan Iblis sendiri mampu berjalan dengan dibantu oleh
ibunya. Ni Durganti.
Akhirnya rombongan ini bergerak ke timur dengan
pelahan melewati jalan-jalan rintisan kecil yang me-
nembus kerimbunan pohon-pohon raksasa dalam hutan di kaki selatan Gunung Merbuk.
Di sepanjang perjalanan, timbullah pertanyaan-per-
tanyaan di dalam diri si nenek Durganti tentang lawan
yang baru saja mengalahkan Tangan Iblis. Ia tidak
mengerti mengapa Tangan Iblis yang telah digembleng-
nya itu, masih dapat dikalahkan oleh lawannya begitu
saja. Bahkan terkena oleh senjata rahasianya sendiri.
Bukankah ini sangat memalukan bagi seorang jagoan
seperti Tangan Iblis?
Namun kemudian Nenek Durgantipun menjadi sa-
dar, bahwa gemblengan yang diberikan kepada putra-
nya belum selesai seluruhnya. Sehingga kekalahan si
Tangan Iblis masih bisa dimaklumi. Satu hal yang
menjadi jelas baginya ialah tentang lawan yang berna-
ma Wiku Salaka. Setidak-tidaknya ia berilmu setingkat
dengan dirinya.
***
EMPAT
SANG WAKTU TERUS BERJALAN. Pagi, siang, sore,
dan malam, dan seterusnya kembali lagi sang pagi
dengan sinar mataharinya yang segar dan hangat. Be-
gitulah irama waktu selalu berulang-ulang tanpa mem-
bosankan. Meskipun sang pagi hadir di setiap harinya,
namun toh setiap kali ada suasana yang berlainan se-
jalan dengan irama kehidupan manusia dan alam seki-
tarnya.
Berangsur-angsur kesehatan Wayan Arsana, si sau-
dagar kaya yang berumah di sebelah timur Gilimanuk,
telah pulih dan sembuh berkat rawatan ayah mertua-
nya, yakni Ki Wiku Salaka.
Dalam waktu yang sama, Ki Selakriya telah pula
memperoleh kesehatannya kembali, sesudah ia beristirahat cukup lama. Pemahat ini masih tinggal bersama
puteranya, Sunutama, dalam rumah Wayan Arsana.
Dan Ki Selakriya kini mendapat satu kegembiraan
yang tak terhingga, ketika Wayan Arsana mengajaknya
untuk merundingkan peningkatan hubungan antara
Sunutama dan Made Maya.
“Apakah Anda tidak keberatan jika Sunutama men-
jadi suami Made Maya?” tanya Wayan Arsana kepada
sahabatnya yang waktu itu duduk-duduk bersama di
ruang pendapa.
“Ooh, satu kehormatan bagi saya, Ki Wayan,” ujar
Ki Selakriya berseri-seri gembira. “Tapi apakah kiranya
patut jika keluarga Andika yang kaya raya itu meng-
ambil Sunutama sebagai menantu? Eh, maksud saya,
bukannya kami terlalu membedakan antara miskin
dan kaya. Tetapi bukankah di sini berlaku pembagian
kasta-kasta di dalam masyarakat?”
“Eh, janganlah Anda terlalu memusingkan soal itu,
Ki Sela. Seorang saudagar seperti saya ini, bisa tergo-
long kasta Waisya. Dan seorang pemahat yang baik se-
perti Anda, juga termasuk kasta Waisya. Jadi setidak-
tidaknya kita berada dalam kedudukan yang sejajar.”
Ki Selakriya mengangguk-angguk dengan hati yang
puas dan ia berkata pula, “Terima kasih atas ketera-
ngan Andika tadi. Dengan demikian aku tidak merasa
sungkan-sungkan lagi.”
“Dan lagi,” ujar Ki Wayan Arsana melanjutkan bica-
ranya, “yang penting bahwa kedua calon suami istri
tersebut saling cinta-mencintai, seperti halnya Ananda
Sunutama dan Made Maya. Nah, semoga Anda tak lagi
merisaukan hal itu.”
“Sekali lagi terima kasih,” kata Ki Selakriya. “Na-
mun harap Andika tidak keberatan untuk menerima
hadiah perkawinan dari saya, sebagai mas kawin un-
tuk Ananda Made Maya. Untuk itu kami telah mengerjakan dua buah patung singa, merupakan sepa-
sang patung pengawal pintu gerbang yang bentuknya
kami ambil dari patung singa di Candi Borobudur.”
“Hmm, akan kami terima dengan senang hati karya-
karya Anda itu. Terima kasih,” berkata Wayan Arsana
dengan mata yang berkaca-kaca saking terharunya.
Kalau yang diberikan oleh sahabatnya itu berwujud
harta benda tentulah itu merupakan hal yang lumrah,
apalagi bagi Ki Wayan Arsana yang kaya raya dan ber-
lebih-lebih dalam harta bendanya. Tapi yang diberikan
Ki Selakriya ternyata adalah patung pahatan hasil
daya cipta yang tentu nilainya akan lebih tinggi dari-
pada harta benda yang dapat diserahkan Ki Selakriya.
Rupanya tidak Wayan Arsana saja yang berkaca-
kaca matanya, Ki Selakriyapun demikian pula. Rasa
harunya tak terkira, bahwa pengharapan dan cita-ci-
tanya sebagai seorang tua, kini telah terlaksana. Akhir-
nya Sunutama telah mendapat jodohnya, seorang ga-
dis yang baik budi pekertinya dan pandai dan berilmu
tinggi pula. Itulah Made Maya.
***
Sementara itu, seorang yang berperawakan gagah
dan mengenakan caping lebar, tengah berpacu ke arah
timur. Kudanya diderapkannya dengan cepat mening-
galkan debu-debu dan kerikil bertaburan. Sebentar ia
menoleh ke arah barat, menatap pintu gerbang rumah
Ki Wayan Arsana yang menjulang tinggi dengan me-
gahnya.
“Hmm, terpaksa aku harus kembali dulu ke Singa-
raja, dan memberi laporan kepada pimpinan tamtama,”
demikian desah si penunggang kuda yang tidak lain
adalah pendekar Ngurah Jelantik. “Melihat luka Jim-
baran dan Jembrana yang cukup parah, pastilah me-
reka tidak akan hidup lebih lama dari satu minggu.
Namun aku akan tetap membuntuti mereka, sebelum
aku tahu dengan pasti tentang kematian mereka! Se-
dang munculnya tokoh jagoan seperti si Tangan Iblis
itu, benar-benar di luar dugaan! Dia berilmu tinggi dan
mempunyai kekuatan yang tangguh. Untung saja ka-
kek Wiku Salaka turun tangan untuk ikut mengusir si
Tangan Iblis. Jika tidak, mungkin rumah Wayan Arsa-
na seisinya telah dihancurkannya. Sayang aku belum
banyak mengetahui tentang si Tangan Iblis ini, dan
semoga saja pimpinan tamtama di Singaraja dapat ba-
nyak memberikan keterangan tentang dia.”
Ngurah Jelantik terus memacu kudanya dan ketika
ia sekali lagi menoleh ke belakang, pintu gerbang dan
rumah Wayan Arsana telah lenyap dari pandangannya,
tertutup oleh pepohonan.
Kini pusat perhatian Ngurah Jelantik dipusatkan-
nya ke depan, ke arah jalan yang akan ditempuhnya.
Jalan-jalan ini masuk ke bawah pohon-pohon raksasa,
menerobos hutan yang lebat, bagaikan masuk ke da-
lam pelukan raksasa rimba yang menyeramkan. Jalan
tersebut sangat lengang dan sepi seolah-olah anginpun
tiada bertiup di situ, bisu dan mencengkam perasaan.
Sebenarnya, jaranglah orang yang berani lewat sen-
dirian di jalan yang menerobos lewat hutan ini. Kalau
toh ada, tentulah mereka menyeberang dengan cara
berombongan, lengkap dengan para pengawal yang
bersenjata, sebab seringlah perampok-perampok men-
cegat orang-orang yang lewat di situ, untuk merampas
harta bendanya. Selain itu, tidak jarang mereka di-
bayangi oleh binatang-binatang buas, seperti harimau
ataupun ular yang besar kebanyakan hidup di tempat-
tempat lembab dan suram.
Ternyata pendekar Ngurah Jelantik tidak dipenga-
ruhi oleh hal-hal itu, terbukti dengan enaknya ia
menggeprak kudanya menempuh hutan yang lembab
di depan.
Apabila Ngurah Jelantik makin jauh masuk ke da-
lam perut hutan, segera ia merasakan hawa yang lem-
bab. Cahaya matahari cuma kuasa menembus berkas-
berkas sinarnya ke dasar hutan sehingga pemandan-
gan di situ tampak lebih seram, laksana alam impian
yang penuh kengerian. Ditambah pula dengan ba-
nyaknya sulur dan akar-akaran yang berjuntai dari
atas dahan-dahan pepohonan, sempurnalah kesera-
man yang menjelma di situ.
Tiba-tiba, Ngurah Jelantik terperanjat ketika kuda-
nya meringkik-ringkik kecil serta mengangguk-angguk-
kan kepala. Bersamaan kemudian, telinga pendekar
Singaraja yang sangat peka itu telah mendengar suara-
suara manusia dari ujung jalan yang tengah ditem-
puhnya.
“Kau telah mencium bahaya, Hitam?” kata Ngurah
Jelantik seraya menepuk-nepuk leher kudanya. “Te-
nang saja di sini, aku akan melihatnya!”
Ngurah Jelantik kemudian membelokkan kudanya
ke dalam semak di tepi jalan, lalu dengan sebatnya ia
turun ke tanah.
Segera setelah ia menambatkan tali kekang kuda-
nya ke sebuah dahan pohon, lekas-lekas ia mengen-
dap-endap maju ke depan dengan hati-hati. Dahan-
dahan kering yang kelihatan berserakan di tanah, sela-
lu dihindarinya agar tidak menimbulkan suara, karena
injakan kakinya yang melangkah setapak demi setapak
dalam gerakan yang sangat lambat.
“Heh, siapa kiranya yang berada di tempat ini selain
aku?” gumam Ngurah Jelantik. “Kedengarannya me-
reka bercakap-cakap dengan kerasnya. Pertengkaran
barangkali!”
Apa yang menjadi perkiraan Ngurah Jelantik dalam
dirinya tadi ternyata mendekati kebenaran. Begitu jari
jarinya menguak dedaunan semak yang menghalang di
depan mata, terlihatlah beberapa orang berwajah be-
ngis menghadang di tengah jalan, sedang di depan me-
reka berdirilah seorang gadis dan seorang laki-laki tua
yang memanggul sapu lidi bertangkai serta bungkusan
barang yang terikat pada batang sapu tersebut.
“Kami bukan orang kaya, Tuan. Kami tak membawa
apa-apa yang bernilai. Maka kami mohon kepada
Tuan-tuan sekalian, agar kami boleh melanjutkan per-
jalanan,” ujar laki-laki tua dengan wajah ketakutan
sementara tangan kirinya memegang lengan gadis yang
berdiri di sampingnya dalam sikap yang melindungi.
“Sejak tadi belum kau sebut namamu! Dan juga
nama gadis cantik di sebelah itu!” teriak seorang ber-
senjata pedang, berikat kepala merah.
“Apa perlunya kau tanyakan namanya, Kakang
Arje?! Yang perlu kan bungkusan yang dibawa mere-
ka?!” ujar seorang teman di dekatnya.
“Hus, diam dulu kau, Dregil!” berkata Arje. “Siapa
tahu mereka masih ada hubungan keluarga dengan
saya.”
“Lekas sebut namamu, Pak!” sambung Dregil pula.
“Siapa tahu bahwa nama gadis ini akan cocok untuk
nama calon istriku?!”
“Saya bernama Ki Sukerte, Tuan,” laki-laki tua ber-
kata. “Dan anak gadisku ini adalah Putu Tantri.”
“Ha, ha, ha. Bagaimana, Kakang Arje? Bukankah
cocok sekali bila Putu Tantri menjadi istri saya?!” ujar
Dregil sambil berjingkrakan senang. “Dan bungkusan
mereka, kita rampas pula!”
“Bagus!” puji Arje. “Kau berpikir cemerlang, Dregil.
Sebab itu lekas-lekas kita mintai bungkusan tersebut
dari mereka!”
“Jangan, Tuan. Bungkusan ini cuma berisi kain-
kain tua yang tidak berharga,” keluh Ki Sukerte.
“Keparat! Apa kau ingin dipaksa untuk menye-
rahkan benda-benda itu, hei?!” seru Arje dengan meng-
ancamkan pedangnya ke depan, mengarah ke dada Ki
Sukerte. “Lekas! Jangan tunggu sampai hilang kesaba-
ranku!”
“Ooh, kasihanilah kami, Tuan. Bungkusan ini ada-
lah satu-satunya bekal kami di perjalanan. Jangan
Tuan-tuan memintanya.”
***
Sementara itu, Ngurah Jelantik yang bersembunyi
mengintai di balik dedaunan semak, ikut berdebar-
debar hatinya melihat peristiwa yang ada di hadapan-
nya. Ia telah melihat bahaya yang tengah mengintai.
Menuruti gerak hati dan darma ksatria, sudah sepan-
tasnyalah bila ia cepat-cepat tampil ke depan untuk
turun tangan memberikan bantuannya kepada Ki Su-
kerte dan anak gadisnya. Namun sebagai seorang pen-
dekar yang telah kaya akan pengalaman, ia lalu men-
jadi curiga dan menangguhkan niatnya tadi. Sebab ia
tak habis mengerti mengapa kedua orang ini berani
menempuh perjalanan melewati hutan yang kelewat
angker dan penuh bahaya. Untuk mencari mati, ba-
rangkali? Itupun tidak mungkin! Mestinya mereka
memang sengaja lewat di hutan ini. Dengan begitu da-
patlah disimpulkan bahwa keduanya termasuk orang-
orang pemberani. Dan satu hal lagi yang meragukan
hati Ngurah Jelantik adalah sikap serta gerakan Ki
Sukerte. Meskipun ia nampak ketakutan, namun po-
sisi tubuhnya selalu menunjukkan kesiagaan dalam
menghadapi bahaya yang mengancamnya. Seperti ta-
ngan kanan yang menggenggam erat batang sapu, se-
mentara kaki kiri terbuka ke depan setengah langkah
dan kaki kanan serong ke belakang.
“Lekas serahkan bungkusan barangmu itu! Cepat!
Kau dengar dengan telingamu, hee!” tiba-tiba terdengar
teriakan Arje yang membuat Ngurah Jelantik ikut ter-
kejut. Nampaknya ia telah kehilangan sabar dan men-
gancam dengan pedangnya yang berkilat kepada Ki
Sukerte.
“Jangan, Tuan! Jangan bermain-main dengan pe-
dang setajam itu. Tuan telah menakuti anak saya!”
ujar Ki Sukerte ketakutan.
“Nah, jika demikian, lekaslah kau serahkan barang-
barangmu itu! Ayo!” bentak Arje sambil bergerak maju
mendekati Ki Sukerte berdua.
“Tidak! Maaf, Tuan. Kami tak mempunyai apa-apa
yang patut kami serahkan untuk Tuan-tuan sekalian!”
seru Putu Tantri. “Sebab tak ada barang-barang kami
yang berharga untuk dijual.”
“He, he, he. Kalau untuk kau, bocah manis, cukup
kau serahkan dirimu untuk menjadi istriku,” ujar Dre-
gil menyela. “Sedang untuk ayahmu, cukup menye-
rahkan bungkusan barang itu!”
Ki Sukerte dan Putu Tantri tidak lekas-lekas men-
jawab, kecuali keduanya berusaha melarikan diri. Sa-
yang bahwa teman-teman Dregil dan Arje telah waspa-
da, sehingga ketika keduanya bergerak mencurigakan,
para penghadang telah lebih dulu mencegatnya.
“Ooo, jadi kalian berdua telah nekad, yaa?!” teriak
Arje sangat marah. “Jika demikian kami tidak mempu-
nyai pilihan lain, selain memaksa kalian untuk me-
nyerahkan barang-barangmu!”
“Kawan-kawan! Cepat kita ringkus keduanya! Tapi
yang perempuan jangan dilukai, sebab ia menjadi ba-
gianku!” seru Dregil pula.
Sekejap itu pula, Arje, Dregil dan kawan-kawannya
telah menyerang Ki Sukerte dan mengincar bungkusan
yang dibawanya. Kenekadan Ki Sukerte ternyata telah
menimbulkan kecurigaan di pihak Arje dan Dregil. Pikir mereka, kalau toh bungkusan itu cuma berisi kain-
kain tua ataupun barang-barang tak berharga, menga-
pa tidak lekas-lekas diserahkan saja kepada mereka?
Dengan agak terkejut, Ki Sukerte buru-buru me-
nangkiskan tangkai sapunya ketika sebuah tebasan
pedang Arje menyerang dari depan.
Clang!
Benturan seru terdengar nyaring dan Arje secepat
kilat melompat ke samping, sedang tangannya tergetar
hebat.
Dalam waktu yang sama dan singkat, Dregil telah
pula menyerang dari samping dengan sebuah tombak.
Karenanya, Ki Sukerte secepatnya memutar tangkai
sapunya ke samping menangkis tombak lawannya se-
belum mata tombak tersebut menembus lambungnya.
Sungguh berat gerakan Ki Sukerte. Sebab di sam-
ping menanggulangi serangan lawan, iapun masih ha-
rus melindungi Putu Tantri dari gerayangan tangan-
tangan pengeroyoknya.
“Hyaaatt!” jeritan mengagetkan dari mulut Arje me-
lengking, bersama pedangnya menebas dari sebelah ki-
ri Ki Sukerte, yang saat itu tengah menahan serangan
tombak dari Dregil.
Waaak!
Tiba-tiba tali pengikat bungkusan Ki Sukerte kena
terbabat putus, sehingga bungkusan tadi terbuka ber-
serakan setelah jatuh terhempas di tanah.
Ki Sukerte dan anak gadisnya terkejut ketika bung-
kusan tadi terjatuh, terlebih-lebih lagi bagi Arje dan
kawan-kawannya. Mereka sesaat seperti ternganga me-
lihat isi bungkusan Ki Sukerte yang terserak di tanah.
Tampaklah kitab-kitab daun lontar, beberapa lembar
kain tua yang usang dengan beberapa corat-coret dan
dua buah kipas yang mengeluarkan cahaya putih gemerlapan, menyilaukan mata.
“Sepasang Kipas Perak!” desis Arje dan Dregil, begi-
tu melihat kipas gemerlapan tadi. “Pastilah! Itu barang
berharga yang pernah kita jumpai!”
“Ha, ha, ha. Ternyata kau masih mempunyai barang
berharga, Pak!” Dregil berkata. “Kau telah mencoba
mengelabui kami. Akhirnya hukuman beratlah yang
akan kau terima!”
Ki Sukerte tidak lagi memperhatikan kata-kata an-
caman dari Dregil, melainkan ia segera berkata kepada
anak gadisnya, “Putu Tantri, tunggu apa lagi kau? Ce-
pat bereskan barang-barang kita yang tumpah ini,
Nak! Dan peganglah sepasang Kipas Perak itu!”
Dengan gerakan hebat, Putu Tantri telah membung-
kus kembali barang-barang yang berserakan di dekat
kakinya, sementara Ki Sukerte berjaga-jaga melindu-
nginya dengan sapu lidi bertangkai.
Hampir semua mata terpaku melihat kecepatan Pu-
tu Tantri bergerak. Sesudah ia membungkus kembali
barang-barang tadi, lalu diselempangkan ke punggung,
dan kedua ujung bungkusan kain tadi ditalikan ke da-
danya.
Kedua kipas perak telah tergenggam masing-masing
pada tangan kiri dan kanan Putu Tantri, dan karena-
nya, para pengepung tadi terkekeh-kekeh geli melihat
sikap tersebut.
“Ha, ha, ha, ha. Kau akan menari, bocah ayu?!” se-
ru Dregil yang suka memandang remeh kepada setiap
orang yang menjadi lawannya.
Tetapi alangkah kagetnya kemudian, sebelum Dregil
melanjutkan kata-katanya, mendadak saja Putu Tantri
telah mengibaskan kipasnya ke depan yang mengem-
bang terbuka dengan bunyi menjetar! Bersamaan itu
pula menyambarlah angin dingin menampar ke depan
Dregil dengan santernya.
“Huh!” desis si Dregil sambil nyungir-nyungir meng
atasi rasa kagetnya. “Jadi kau mampu pula untuk me-
layani tombakku ini? Baiklah, kau boleh main-main
dengan kipasmu beberapa jurus, tapi setelah itu kau
akan kuringkus dalam pelukanku. Heh, heh, heh!”
Bagaimanapun juga, pendekar Ngurah Jelantik
yang mengikuti peristiwa ini dari tempat persembunyi-
annya, menjadi kian tertarik.
Arje sudah semakin penasaran menghadapi Ki Su-
kerte yang menggunakan sapu lidi bertangkai sebagai
senjata. Rasanya memang sangat aneh hal itu jika di-
pikirkan oleh si Arje yang bersenjata pedang dan kini
berputar secepat kitiran mencecar ke arah Ki Sukerte.
Terpaksa Arje berpikir keras untuk ini. Berkali-kali su-
dah, ia terpaksa menghindari sodokan-sodokan sapu
lidi yang berujung runcing dan tajam dari lawannya.
Bahkan ia menjadi semakin marah ketika diketahuinya
bahwa Ki Sukerte pandai pula bertempur menghadapi
serangan pedangnya.
Makin bertambah hebat pertempuran tersebut, apa-
bila kawan-kawan Arje dan Dregil telah menerjang pula
ke arah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
“Maaf, Tuan-tuan,” seru Ki Sukerte sambil bertem-
pur. “Sapu lidiku ini biasa untuk menyapu sampah-
sampah kotoran, tapi sekarang terpaksa kugunakan
untuk menghadapi Tuan-tuan sekalian. Sekali lagi ha-
rap dimaafkan!”
“Keparat!” sumpah si Arje mendengar ejekan lawan-
nya yang telah menyamakan dirinya dengan sampah
kotoran. “Kau harus mati sekarang!”
Beberapa saat telah berlalu. Kelihatannya Ki Su-
kerte dan anak gadisnya agak kerepotan menghadapi
keroyokan anak buah Tangan Iblis yang telah makan
gemblengan ini. Meskipun senjata sapu lidi Ki Sukerte
berhasil melukai salah seorang di antara pengeroyok-
nya, tetapi sama sekali tidak memperingan tekanan
dari pihak lawan.
Dalam pada itu, sepasang kipas perak di tangan Pu-
tu Tantri berkilatan menyambar-nyambar kesana-
kemari dengan dahsyatnya dan jaranglah dari lawan-
lawannya yang langsung berani membentur dengan
senjata mereka. Namun agak sayang bahwa jurus-
jurus yang digunakan oleh Putu Tantri terasa kurang
sempurna.
Ngurah Jelantik yang masih saja sembunyi, hampir-
hampir meloncat untuk membantu Ki Sukerte berdua.
Tapi mendadak saja terdengarlah jeritan mencicit yang
sangat kerasnya mengiringi berkelebatannya bayangan
manusia yang meloncat dari semak-semak bagaikan
keluar dari liang persembunyiannya.
Mereka yang sibuk bertempur, seketika terhenti se-
jenak dengan kemunculan tokoh ini. Rasa kaget ber-
campur pukau menyebabkan mereka tidak dapat ber-
kata-kata untuk beberapa saat lamanya. Bahkan me-
reka mundur beberapa langkah ke belakang, ketika to-
koh manusia tadi meloncat ke tengah arena pertempu-
ran.
Dengan demikian, arena tadi seakan-akan terpisah
menjadi dua bagian. Yang sebelah adalah pihak Arje,
Dregil, dan kawan-kawannya, sedang di sebelah lain
berdirilah Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Perawakan tokoh yang baru muncul ini agak pen-
dek, namun tegap dan agak bundar pula. Wajahnya ti-
dak tampak bengis, tapi dari sinar matanya yang sipit
terbayanglah sifat kelicikan dan penuh siasat. Ia me-
makai kain berbunga-bunga coklat dan celana hitam,
tanpa baju. Sedang kulit tubuhnya kehitaman, berbu-
lu-bulu panjang. Yang agak lucu adalah kumis orang
tersebut. Cuma beberapa lembar, panjang-panjang dan
kaku. Dihubungkan dengan gigi depannya yang besar-
besar dan selalu meringis, tidaklah bisa disalahkan jika orang menyamakan wajah tadi dengan wajah seekor
tikus hutan.
“Cih! Cih! Cih! Kalian membuat onar di sini, kepa-
rat!” ujar manusia bulat pendek tadi seraya menunjuk
ke pihak Arje dan Dregil. “Kalian mencoba merampas
barang-barang milik orang berdua ini, ha?!”
“Persetan! Ini urusan kami! Apa pula kepentingan-
mu, sampai kau berani turut campur! Apakah kau be-
lum tahu bahwa kami adalah anak buah si Tangan Ib-
lis?!” teriak Dregil sangat marah.
“Tangan Iblis?” ulang manusia bulat pendek seraya
berpikir-pikir sebentar. “Cih! Aku tak kenal namanya!
Tidak peduli si Tangan Iblis atau si Tangan Gendruwo,
aku tidak takut karenanya. Sebab bagi Bagus Wirog ti-
dak ada yang perlu ditakuti, tahu?! Kalau kalian ingin
tahu kepentinganku, barang-barang milik kedua orang
inilah yang sejak tadi telah kuincar!”
“Kurang ajar! Jadi kita mempunyai maksud yang
sama, sobat!” seru Dregil. “Kau boleh merampasnya bi-
la telah mengalahkan kami terlebih dahulu!”
“Eee, jadi terangnya kalian menantangku, ya?!” ber-
teriak Bagus Wirog serta mencabut dua buah cambuk
pendek berwarna hitam mengkilat dari ikat pinggang-
nya. Dengan anyamannya yang beruas-ruas, maka
cambuk tadi miriplah dengan dua buah ekor tikus
yang telah terpotong.
Mendengar kesombongan lawannya yang cuma seo-
rang diri, Dregil menggeretukkan giginya. Segera ia
berkata kepada kawannya, “Kakang Arje, biar aku pe-
cahkan kepala si Bagus Wirog ini bersama kawan-
kawan. Kau jagalah Ki Sukerte berdua, supaya jangan
lepas sebagai buruan kita!”
“Bagus, Adi Dregil. Cepatlah bertindak!” seru Arje,
bersamaan Dregil telah menerjang ke arah lawan disertai beberapa kawannya.
Bagai macan-macan kelaparan, mereka melesat ke
depan dan senjata-senjata di tangannya berkelebat me-
nyambar kepala Bagus Wirog. Akan tetapi lawan mere-
ka yang bulat pendek bergigi tikus ini tidak lekas men-
jadi gentar oleh serangan membadai tadi.
Bagus Wirog ternyata bukan lawan yang dapat di-
duga kekuatannya. Biasanya seorang yang diserang
seperti itu pasti akan menghindar ataupun jika ia
orang yang tangguh, pastilah akan bersiaga menang-
kisnya dengan segala pengerahan tenaga. Namun ti-
daklah begitu dengan Bagus Wirog ini. Begitu senjata-
senjata lawan beramai-ramai menghujan ke arah diri-
nya, ia cepat berjongkok dan memutar kedua cambuk
pendeknya di atas kepala.
Plak! Plaak! Plaak! Taarrr!
Seketika itu juga Dregil dan kawan-kawannya men-
jerit kaget, sebab senjata-senjata mereka seolah-olah
telah menerjang bantalan karet. Itulah tangkisan Ba-
gus Wirog.
Dengan begitu maka Dregil dan kawan-kawannya
terpental surut beberapa langkah dengan tangan ke-
semutan, sedang Bagus Wirog sendiri cuma terkekeh-
kekeh kegelian, masih dalam sikap jongkok.
Untuk jurus tangkisan yang hebat tadi, diam-diam
Ngurah Jelantik mengangguk-angguk kagum dari tem-
pat persembunyiannya.
“Siapakah tokoh yang menamakan dirinya Bagus
Wirog itu?” demikian pikir Ngurah Jelantik.
Dregil menjadi penasaran dan hampir tidak percaya,
bahwa senjata-senjata mereka tidak mampu menem-
bus putaran cambuk pendek dari Bagus Wirog. Maka
Dregil meloncat kembali sambil menyapukan mata
tombaknya ke arah Bagus Wirog lalu disusul pula de-
ngan serangan kawan-kawannya berbareng. Dengan
demikian maka pertempuran hebat berlangsung kembali di tengah hutan yang lebat dan berkabut tipis.
Dalam pada itu, Arje dan tiga orang kawan-ka-
wannya masih terus menjaga kedua lawannya, yakni
Ki Sukerte dan Putu Tantri. Namun sampai sejauh ini
mereka tidak berbuat apa-apa, sebab perhatian me-
reka sama-sama tertarik ke arah pertempuran dahsyat
antara Bagus Wirog melawan Dregil dan kawan-kawan-
nya.
Sinar matahari yang sangat terik dan panas itu ru-
panya telah mulai menghangatkan dasar hutan dan
permukaan tanahnya, sehingga uap air beramai-ramai
melayang ke atas, merupakan kabut tipis yang mene-
rawang bagai sutera.
Bagus Wirog sungguh menakjubkan gerakannya.
Cepat dan cekatan menerobos serangan lawannya ke-
sana-kemari, sementara kedua cambuk pendek hitam
di tangannya berkali-kali mematuk ke arah pertahanan
lawan yang kosong dan lengah. Sekali-kali ia berguli-
ngan di tanah untuk kemudian meloncat ke atas de-
ngan lincah, bagaikan seekor tikus menerkam lawan-
nya.
Kini Dregil dan kawan-kawannya mulai mengucur-
kan keringat dingin setelah berkali-kali senjata-senjata
mereka gagal menyentuh tubuh Bagus Wirog. Sedang
sebaliknya, lawannya yang bertubuh bulat pendek ini
kelihatan semakin segar saja. Bahkan sekarang cam-
buk pendeknya bertambah ganas.
Pada jurus berikutnya, mendadak saja Bagus Wirog
melenting ke atas dan tiba-tiba cambuk kirinya mele-
cut kepala salah seorang kawan Dregil, sedang cambuk
kanannya menghajar tangan seorang lawannya yang
lain.
“Waaarrgh!”
Semuanya terkejut ketika dua jeritan berbareng
mengumandang memasuki udara, disusul dengan dua
tubuh kawan Dregil terjungkal roboh dalam keadaan
kepala retak dan yang seorang tangannya patah!
Keruan saja Dregil dan kawan-kawannya yang ma-
sih tinggal menjadi ngeri juga melihat kedua kawannya
roboh dalam keadaan mengerikan. Sehingga kemudian
mereka terdesak oleh terjangan-terjangan cambuk Ba-
gus Wirog yang datang laksana prahara.
Melihat hal itu, Arje tidak mau tinggal diam menon-
ton kawan-kawannya semakin terdesak. Maka secepat
kilat ia melesat dan langsung menerjang Bagus Wirog
dengan tebasan-tebasan pedangnya yang dilambari
oleh segenap kekuatan dan kemarahan.
Meskipun Dregil telah dibantu oleh Arje dan kawan-
kawan lainnya, namun Bagus Wirog sama sekali tidak
terpengaruh olehnya. Tambahan tenaga Arje tadi seo-
lah-olah cuma tuangan setetes air ke dalam laut tanpa
memberi pengaruh dan perubahan suasana.
Terpaksalah mereka mengakui akan kelebihan Ba-
gus Wirog ini dan mati-matian mempertahankan diri.
Inilah yang benar-benar di luar dugaan. Kalau semula
mereka berada di pihak penyerang, kini berbalik seba-
gai pihak yang diserang.
“Cih! Cih! Cih! Lekaslah minggat dari sini!” seru Wi-
rog sambil meloncat kesana-kemari tanpa memberi ke-
sempatan lowong kepada lawan-lawannya untuk seka-
dar bernafas lega.
***
Ngurah Jelantik berdebar-debar pula menyaksikan
pertempuran itu. Iapun bertanya-tanya dalam hati,
apakah sanggup kiranya jika suatu saat ia menolong
Ki Sukerte dan Putu Tantri serta menghadapi Bagus
Wirog ini?!
Arje, Dregil, dan para pengikutnya semakin terdesak
lebih hebat lagi. Dapatlah dipastikan, bahwa mereka
akan berantakan untuk lima jurus kemudian.
“Hih, hi. Hi. Masih belum mau lari? Apakah kalian
menunggu sampai kedua cambukku ini memecahkan
batok-batok kepalamu?!” seru Bagus Wirog, sementara
kedua cambuknya terus beraksi.
Dalam saat yang demikian kritisnya, sekonyong-
konyong dua buah sinar menyambar tubuh Bagus Wi-
rog dari balik semak belukar. Untunglah si tokoh bulat
pendek ini cepat melenting ke udara dan dua buah pi-
sau runcing menghunjam ke dalam batang pohon di
sebelahnya.
Bagus Wirog kemudian mendarat kembali di tanah
dan mulutnya komat-kamit mengumpat, “Keparat!
Siapa main gila-gilaan ini?! Hayo lekas ke luar, menun-
jukkan batang hidungmu, supaya dapat kupecahkan
sekali!”
Iapun tertegun, ketika sebagai jawaban kata-kata-
nya, muncullah seorang berperawakan gagah dari ba-
lik semak-semak, melangkah ke tengah arena pertem-
puran dengan tenangnya.
“Kakang Jimbaran!” seru Dregil dan Arje dalam sua-
ra gembira dan penuh harapan. “Si wajah tikus ini te-
lah mengganggu kami!”
“Jangan cemas! Akupun ingin mencoba kekuatan-
nya!” kata Jimbaran sambil melesat dengan gerakan
tiba-tiba, sedang kakinya telah melancarkan tendan-
gan hebat yang sukar diikuti mata!
Buuk!
Paha Bagus Wirog tanpa ampun terhajar oleh ten-
dangan Jimbaran, sehingga tubuhnya terguling dan
menggelinding seperti bola. Tetapi sungguh di luar du-
gaan, ketika kemudian tubuh Bagus Wirog melenting
balik dan menerjang ke arah Jimbaran dalam kecepa-
tan tinggi, sampai lawan-lawannya kebingungan untuk
sesaat.
Plaakk!
Pundak Jimbaran ganti terkena tendangan kaki Ba-
gus Wirog sampai tubuhnya terguncang dan jatuh ter-
duduk.
Arje, Dregil, dan kawan-kawannya tercekat melihat
kejadian tadi. Berbareng mereka menerjang ke arah
Bagus Wirog dan sesaat kemudian, Jimbaran setelah
bangkit ikut pula mengurung si tokoh bulat pendek
itu.
Ki Sukerte dan Putu Tantri masih saja berdiri terce-
nung mengawasi pertempuran tadi. Kalau mereka mau
lari, sebenarnya mudah saja, meskipun dijaga oleh tiga
orang anak buah Dregil. Hanya saja mereka memang
sengaja untuk masih tinggal di situ sambil menyaksi-
kan pertempuran dan jurus-jurus yang digunakan oleh
pihak Jimbaran dan pihak Bagus Wirog.
Tampaklah bahwa Jimbaran dan kawan-kawannya
mengamuk. Mereka bertempur menggunakan jurus be-
rantai yang menghantam lawan dengan gerakan ter-
atur dan sambung-menyambung tanpa ada saat yang
lowong sedikitpun. Kini angin kemenangan ganti ber-
pihak pada Jimbaran dan kawan-kawannya. Keme-
nangan yang semula hampir diperoleh si Bagus Wirog,
menjadi buyar dengan datangnya Jimbaran di pihak
lawan.
Agaknya masih beruntunglah buat Bagus Wirog,
karena dimilikinya kegesitan yang luar biasa. Sehingga
kendati dirinya telah terdesak, masih saja ia mampu
meloloskan diri dari sentuhan senjata-senjata lawan-
nya.
“Celaka! Aku makin terdesak!” desis Bagus Wirog
bersungut-sungut gelisah. “Ketiga lawanku yang uta-
ma ini, memiliki tenaga gabungan yang luar biasa.
Sangat sulit untuk memecahkan tenaga mereka seo-
rang diri. Untuk laripun rasanya sangat sukar! Mereka
telah mengepungku dari segenap arah, tak ubahnya
satu lingkaran mata rantai baja! Hmm, biar kucoba
untuk beberapa saat lagi!”
Dari tempat persembunyiannya, Ngurah Jelantik se-
perti terpukau menyaksikan pertempuran tadi. Mata-
nya terus saja melotot, sebab ia memang merasa
sayang untuk berkedip sebentar saja dan melewatkan
adegan-adegan di depannya. Jurus-jurus yang diguna-
kan oleh Bagus Wirog sungguh menarik hatinya, serta
diam-diam ia mencatat di dalam otaknya yang cerdas.
Bagus Wirog yang semula berusaha mengatasi te-
kanan dari pihak lawannya, ternyata tidak berhasil
dengan baik. Malahan hampir-hampir saja pedang
Jimbaran sempat membacok kepalanya, jika ia tidak
lekas-lekas membuang diri ke samping serta berguli-
ngan di tanah.
Tampaklah Bagus Wirog terengah-engah dengan
mulut menyeringai, hingga giginya yang besar-besar
menonjol keluar tak ubahnya sikap seekor tikus yang
ketakutan karena kalah berkelahi dan menanti ajal-
nya.
Melihat itu, Jimbaran dan kawan-kawannya telah
bersiap melancarkan serangan terakhir yang pasti
mematikan. Dengan langkah perlahan mereka mende-
kati Bagus Wirog, sementara senjata-senjata di ta-
ngannya gemerlapan oleh sinar matahari.
Baik Ngurah Jelantik maupun Ki Sukerte dan Putu
Tantri sama tergetar hatinya melihat adegan yang te-
gang itu. Meskipun Bagus Wirog dan pihak Jimbaran
semula sama-sama bermaksud jahat, merampas ba-
rang-barang Ki Sukerte, namun kini keadaan Bagus
Wirog benar-benar memilukan dan patut dikasihani.
Mendadak saja, si tokoh bulat pendek itu mendo-
ngakkan kepalanya ke atas dan mengeluarkan jeritan
panjang mencicit yang seketika memenuhi udara di
tengah hutan dengan menggetarkan dada siapa saja.
Jeritan tadi lebih mirip jeritan seekor tikus daripada
jeritan seorang manusia. Karenanya, tidak mengheran-
kan bila Ki Sukerte berdua, Ngurah Jelantik, maupun
Jimbaran beserta anak buahnya hampir-hampir tidak
bisa mempercayai bahwa jeritan tadi keluar dari mulut
Bagus Wirog, si manusia bulat pendek.
Berbareng selesainya kumandang dan gema jeritan
mencicit dari Bagus Wirog tadi, terdengarlah suara
gemeresak daun semak belukar dan rerumputan di se-
belah timur mereka, seolah-olah bunyi injakkan kaki
berpuluh-puluh banyaknya.
Suara berderak dan gemerisik tadi makin dekat dan
sesaat kemudian terlihatlah satu pemandangan yang
membuat Jimbaran serta semua orang yang berada di
tempat itu mengeluarkan jeritan tertahan. Sebab dari
sela dedaunan dan rumput-rumput muncullah belasan
ekor tikus hutan yang besar-besar, berbulu hitam ke-
coklatan dan bergigi tajam. Dari gerakannya yang gesit
dan mulutnya yang menyeringai mengeluarkan liur,
dapatlah diketahui bahwa puluhan tikus tadi sangat
liar.
Namun mengherankan pula, ketika binatang-bina-
tang pengerat ini berhenti dan menggerombol di sam-
ping dan di belakang Bagus Wirog sambil mencicit-
cicit, menciumi kakinya seakan-akan memeriksa kaki
Bagus Wirog mengalami cedera atau tidak.
Siapakah tidak mengkirik dan berdiri bulu teng-
kuknya melihat pemandangan yang ganjil dan me-
nyeramkan ini? Bagus Wirog yang berdiri tegap di seki-
tar puluhan tikus-tikus hutan ini tak ubahnya raja da-
ri para tikus liar tersebut. Apalagi wajahnya yang agak
mirip-mirip tikus itu menyebabkan keganjilan tersebut
benar-benar mencekam perasaan orang-orang yang berada di sekeliling tempat tersebut.
Terlebih-lebih bagi Jimbaran dan anak buahnya
yang semula mengepung rapat-rapat terhadap Bagus
Wirog, kini dengan sendirinya mundur-mundur ke be-
lakang dengan hati kecut.
Belum lagi mereka sempat berbuat sesuatu, tiba-
tiba saja Bagus Wirog telah mencicit keras sambil me-
nunjukkan jarinya ke arah Jimbaran dan anak buah-
nya. Maka seketika itu juga, puluhan tikus hutan yang
bergerombol di sekitar Bagus Wirog menyerbu berlon-
catan, meluruk bagai air bah, ke arah mereka dengan
suara bergemuruh dan mencicit-cicit.
Seorang anak buah Jimbaran yang berdiri paling
depan mencoba untuk menebaskan pedangnya, tapi
binatang-binatang pengerat yang liar ini lebih cepat
menyerangnya.
“Awas, Ktut!” teriak teman-temannya.
Tapi terlambat! Dalam sekejap mata, pada tubuh
orang itu telah bergayutan puluhan ekor tikus yang
mencercah badannya dengan gigi-gigi tajam dan beker-
ja cepat.
“Tikus-tikus keparat! Pergi! Pergiii!” teriak histeris
terdengar dari mulut si Ktut yang sejurus kemudian te-
lah terguling roboh di tanah.
Sambil bergulingan tadi, si Ktut berusaha mengi-
bas-ibaskan tangan dan kakinya yang kini telah meng-
hitam karena hampir-hampir tertutup oleh tubuh-
tubuh tikus hutan yang mengeroyoknya.
Putu Tantri yang melihat kejadian ini, mendekap
erat-erat ayahnya, Ki Sukerte. Hampir saja gadis ini
pingsan karena tak tahan melihat adegan yang ngeri
dan menyeramkan tadi.
“Aaakh! Tolong! Tolooongng! Aduuh... sakit., sakiiit!”
Jerit kesakitan dan parau terdengar dari mulut si Ktut
yang masih berusaha berkutat melepaskan tikus-tikus
yang kini telah mulai menggerogoti tubuhnya, sehingga
darahpun bercucuran membasahi tubuh dan tanah di
sekitarnya.
Ternyata bau darah segar dan amis itu sangat me-
narik selera tikus-tikus lain yang belum ikut menge-
royok tubuh si Ktut, sehingga dengan cepat mereka be-
ramai-ramai menyerbu ke tubuh manusia yang telah
tidak berdaya dan kini berkelojotan di tanah setengah
mati.
Boleh dikatakan semua mata terpukau menghadapi
adegan yang paling mengerikan yang belum pernah
terjadi selama hidup mereka. Apalagi kini mereka me-
nyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Sedang Ngurah Jelantik yang sedari tadi masih saja
terpukau di tempat persembunyiannya, seperti tidak
mau percaya untuk meyakini bagaimana puluhan ti-
kus liar bisa diperintah oleh seorang manusia, dan be-
rani menyerang manusia pula! Tapi pertanyaan ini
memang tak pernah bisa terjawab manakala perhatian
tertumpah pada adegan yang mengerikan ini. Si kor-
ban sudah tak mampu berbuat apa-apa dan sesaat
kemudian ia masih berusaha merangkak, tapi toh ak-
hirnya jatuh kembali di tanah dan menggelepar-gelepar
sangat mengharukan.
“Waaarrrggghhh!”
Terdengarlah jerit berkepanjangan dan itulah meru-
pakan jerit terakhir dari mulut si Ktut. Tubuhnya ter-
hampar di tanah tanpa berkutik, sementara puluhan
tikus liar itu dengan lahapnya menggerogoti kulit da-
gingnya. Gigi-gigi setajam pahat mereka, bekerja de-
ngan cepatnya. Memotong, menggerek dan mencercah
tubuh sang korban untuk kemudian dilahap dan pin-
dah ke dalam perut-perut mereka, yang tampaknya se-
lalu lapar serta keranjingan daging segar.
Jimbaran dan anak buahnya seketika terbang se-
mangatnya melihat sepak terjang tikus-tikus lain yang
telah membinasakan salah satu kawannya dalam seke-
jap saja. Mereka menjadi sibuk menjaga diri supaya ti-
dak ikut direncah oleh tikus-tikus tersebut. Beberapa
orang, termasuk Jimbaran, Dregil, dan Arje, dengan
lincahnya menggebrak tikus-tikus yang mencoba me-
rangsak tubuh mereka. Namun terpaksa mereka terhe-
ran-heran dan kewalahan, ketika tikus-tikus yang di-
gebrak tadi, begitu terjatuh, lalu serentak menyerbu
kembali ke arah mereka dengan ganasnya.
Sementara itu, Putu Tantri menjerit dan terisak-isak
ketika pandangan matanya menatap ke arah tubuh si
Ktut yang malang. Ternyata tubuh si korban dalam
waktu singkat telah merupakan kerangka tulang de-
ngan sedikit sisa-sisa daging merah yang melekat di
sana-sini. Sedang di sekitarnya, puluhan tikus yang te-
lah selesai berpesta-pora tadi kelihatan duduk-duduk
sambil mulutnya masih berkomat-kamit, mengunyah
sisa-sisa daging dan darah segar yang masih berlepo-
tan di sekitar mulut.
Sebentar kemudian mereka ramai lagi mencicit-cicit
dan menatapkan pandangan matanya ke arah Jimba-
ran serta anak buahnya. Mata hewan-hewan kanibal
tadi memancarkan perasaan yang selalu haus akan
daging dan darah dari manusia-manusia yang berdiri
di hadapannya. Hal ini dapat pula diketahui oleh Jim-
baran yang senantiasa waspada. Setelah dia melihat
kematian si Ktut dan betapa nekadnya binatang-
binatang liar tadi dalam menghadapi lawannya, maka
cepat-cepat ia memberi tahu kepada anak buahnya.
“Awas, tunggu aba-abaku! Kita harus segera me-
nyingkir dari binatang-binatang terkutuk ini!”
Bagus Wirog tertawa terkekeh-kekeh melihat ting-
kah ketakutan dan kengerian dari Jimbaran dan anak
buahnya. Seraya duduk di atas sebongkah batu besar
ia mengejek dan berseru ke arah mereka, “Ha, hi, hi,
hi! Mengapa tidak lekas-lekas angkat kaki dari tempat
ini?! Apakah kalian ingin seperti temanmu tadi?! Ting-
gal tulang dan mampus dalam sekejap mata?!”
Selesai dengan kata-katanya, Bagus Wirog meng-
acungkan tangannya ke arah rombongan Jimbaran
disertai jeritan mencicit-cicit yang ke luar dari mulut-
nya. Serentak para tikus liar tadi menyerbu, mengge-
muruh ke arah manusia-manusia di depannya. Dari
mulutnya terdengar bunyi mencericit riuh, seolah-olah
saling mengatakan, mana manusia-manusia yang bak-
al direncak sebagai korbannya.
Akan tetapi Jimbaran telah mengambil satu kepu-
tusan untuk menyingkir dari tempat itu. Bagaimana-
pun juga, sebagai manusia, Jimbaran dan kawan-
kawannya tidak sudi mati konyol di mulut binatang-
binatang pengerat yang lahap daging itu. Kalau toh ia
mati, lebih baik mati di tangan manusia-manusia yang
menjadi lawannya. Sedang kini yang dihadapi oleh me-
reka adalah para tikus liar. Dan alangkah rendah dan
hinanya menurut mereka, jika seandainya sampai mati
dikeroyok oleh binatang tersebut.
“Mundur!” teriak Jimbaran kepada kawan-kawan-
nya, dan serentak mereka berloncatan ke belakang un-
tuk kemudian kabur ke arah utara.
Kepergian gerombolan Jimbaran tadi diiringi oleh
gema ketawa Bagus Wirog yang terkekeh-kekeh meng-
umbar ketawa puasnya. Sementara itu, para tikus ikut
pula mencericit ramai sambil mengangguk-anggukan
kepala. Malahan satu dua ekor di antaranya, berlonca-
tan menjungkit-jungkit, bagai luapan rasa gembiranya.
Tempat tersebut telah penuh oleh tikus-tikus dan
sekarang hanya Ki Sukerte serta Putu Tantri yang ting-
gal di situ, di samping Bagus Wirog sendiri. Beberapa
ekor tikus masih tampak menggerogoti kerangka si
Ktut hingga menimbulkan pemandangan yang mengerikan, tapi juga mengharukan.
“Cih! Cih! Chih! Para pengecut telah kabur!” kata
Bagus Wirog menggeleng-gelengkan kepala. “Mengapa
tidak sedari tadi, sebelum kawannya yang seorang ini
mampus?!”
Ki Sukerte dan Putu Tantri sesaat masih terpaku di
tempatnya ketika Jimbaran dan kawan-kawannya me-
ninggalkan tempat tersebut. Mereka tersadar dan kaget
oleh bentakan Bagus Wirog yang tiba-tiba mengacung-
kan tangan.
“Heeii, kalian berdua! Hi, hi, hi. Sekarang kamulah
yang akan mendapat giliran berikutnya untuk diga-
nyang oleh tikus-tikus ini! Kecuali jika Anda menye-
rahkan semua barang-barangmu, termasuk sepasang
kipas perak di tangan bocah manis itu!”
Ki Sukerte memandang sesaat ke samping, kepada
Putu Tantri, lalu berkata kepada Bagus Wirog keras-
keras, “Kau manusia biadab! Mana bisa barang-barang
pusaka ini mesti kami serahkan kepadamu dengan
enaknya!”
“Jadi kalian ingin kekerasan untuk mempertahan-
kan barang-barang butut itu?!”
“Cobalah untuk mengambil barang-barang ini dari
tanganku, kalau mau! Mereka akan kupertahankan
mati-matian! Bukankah begitu, Putu Tantri?!”
Gadis yang memegang sepasang kipas perak itu
mengangguk mantap seraya memasang jurus memper-
tahankan diri, sebab ia telah yakin bahwa sebentar
kemudian bakal terjadi pertarungan ramai.
“Kalau begitu, matilah kalian!” seru Bagus Wirog se-
rentak mengacungkan tangannya, disusul kemudian
puluhan tikus tadi menyerbu dengan liarnya ke arah
Ki Sukerte dan Putu Tantri.
Kedua ayah dan anak ini cepat menggunakan senja-
tanya, menghadapi para tikus yang telah siap merencah tubuh tanpa ampun. Kedua kipas perak di tangan
Putu Tantri berkali-kali berkelebatan menyambar para
tikus yang berani mendekat ke arahnya, namun patut
dikagumi bahwa tikus-tikus tadi mampu mengelak
dengan gesitnya. Dengan demikian untuk sementara
Putu Tantri berhasil menanggulangi serangan tikus-
tikus tersebut, akan tetapi ia tak berhasil membunuh
seekorpun. Jadi tampaklah bahwa masing-masing sa-
ling serang-menyerang dan mengelak tanpa korban
yang jatuh.
Entah apa sebabnya para tikus itu tidak berani le-
bih seru menyerang Putu Tantri. Apakah disebabkan
gadis ini bersenjata kipas perak yang selalu menyam-
bar-nyambar melindungi diri, ataukah memang me-
reka sengaja mempermainkan Putu Tantri. Sebab bisa
juga dimaklumi, setelah gadis itu kelelahan, tentulah
suatu saat ia akan terlengah dan di saat itulah para ti-
kus tadi merencah dan melahap tubuhnya!
Berbeda dengan Ki Sukerte yang bersenjata sapu
bertongkat. Seganas tikus-tikus itu menyerang, sece-
pat itu pula senjata aneh tadi berputar disertai samba-
ran-sambaran yang mematikan. Seekor di antara ti-
kus-tikus tadi segera terhajar oleh ujung lidi-lidi yang
tajam dan seketika terpelanting jatuh di antara kawan-
kawannya dengan keadaan tubuh luka-luka mencu-
curkan darah.
Tiba-tiba saja terjadilah sesuatu yang aneh, tapi ju-
ga mengerikan. Dan ternyata inilah nanti yang mem-
pengaruhi kelemahan pertahanan Ki Sukerte dan Putu
Tantri. Si tikus yang terluka tadi, begitu tubuhnya ter-
jatuh di antara kawan-kawannya, segera dikeroyok
dan direncah oleh para tikus lainnya sampai tubuhnya
hancur dan lumat dalam sekejap mata, untuk kemu-
dian dilahap oleh mereka! Inilah yang aneh! Apakah
karena mereka marah melihat seorang di antara kawannya terluka dan kemudian menghukum serta
membunuhnya sendiri? Ataukah barangkali mereka
masih kelaparan, sehingga begitu melihat kawannya
terluka dan bakal mati dengan cuma-cuma, segera di-
ganyangnya sendiri?!
Keruan saja Putu Tantri menjadi ngeri dan perta-
hanan dirinya menjadi kendor. Hal ini mempengaruhi
pula Ki Sukerte. Melihat anaknya kehilangan seman-
gat, iapun menjadi putus asa. Maka terdesaklah me-
reka oleh puluhan tikus-tikus tadi dan bisa dipastikan
bahwa keduanya segera akan mengalami kematian
tragis, seandainya sebuah bayangan manusia tidak se-
gera melesat ke arah mereka.
“Kisanak! Janganlah takut! Aku membela kalian!”
seru bayangan manusia tadi yang tidak lain adalah
pendekar Ngurah Jelantik. “Teruskan pertahankan de-
ngan senjata-senjata Anda!”
“Baik! Terima kasih, sahabat,” ujar Ki Sukerte pula.
“Nah, Putu Tantri, bangkitkan lagi keberanianmu!”
Maka sekejap kemudian ketiga orang itu memain-
kan senjata-senjatanya dengan hebat, dilandasi oleh
ilmu permainannya yang matang sehingga pertempu-
ran tadi menjadi kian seru. Ketiga orang ini dapat me-
robohkan beberapa ekor tikus setelah dengan mati-
matian bertempur sengit melawan hewan-hewan pe-
ngerat tadi.
Itupun sebenarnya telah merupakan kemajuan yang
dapat mereka capai, sebab sesungguhnya tikus-tikus
tersebut mampu bertempur seperti naluri manusia,
seperti menyerang, mengelak gerak tipuan, dan seba-
gainya. Rasanya, mereka telah memiliki kecakapan ta-
di dengan latihan dan melewati percobaan-percobaan
yang terinci.
Maka tak heranlah, meskipun beberapa ekor dari
tikus-tikus tadi telah binasa, yang lainnyapun masih
gigih dan sengit melancarkan serangan-serangannya.
Agaknya saja pertempuran ini akan menelan waktu
yang lebih lama.
Bagus Wirog yang sejak semula masih duduk di
atas batu besar itu diam-diam telah menggeram ma-
rah, sesudah sekian lama mengikuti pertempuran ter-
sebut. Ia mulai menjadi risau begitu dilihatnya bebe-
rapa ekor tikus pengikutnya telah binasa oleh senjata-
senjata ketiga lawannya.
“Keparat!” desis Bagus Wirog. “Ada yang membela
kedua orang calon korbanku. Tunggulah sepak ter-
jangku yang segera akan datang melandanya! Haaatt!”
Tubuh Bagus Wirog melesat, berkelebat dengan ge-
sitnya, segesit loncatan tikus-tikus liar yang berada di
situ. Ia langsung menerjang ke arah Ngurah Jelantik,
sementara kedua cambuk hitam pendek di tangannya
dengan deras melayang ke pundak lawan.
“Awas, Tuan!” seru Putu Tantri dari samping, ketika
ia melihat serangan kilat Bagus Wirog yang datang de-
ngan dahsyatnya.
Pendekar Ngurah Jelantik cepat memutar tubuh se-
raya mengibaskan pedangnya ke samping, menangkis
terjangan cambuk Bagus Wirog.
Blaarr!
Sebuah letupan membisingkan terdengar sewaktu
pedang Ngurah Jelantik berbenturan dengan kedua
cambuk pendek Bagus Wirog.
“Uhh!” keluh si Ngurah Jelantik sambil terpental ke
belakang akibat benturan tadi. Hampir saja ia jatuh
tunggang-langgang ke arah puluhan tikus-tikus di si-
tu, jika saja ia tidak cepat-cepat berjumpalitan ke atas,
memunahkan pengaruh dari benturan lawannya itu.
“Bagus! Bagus! Tapi seranganku tidak sampai se-
kian saja, sobat! Inilah dia sambungannya!” seru Ba-
gus Wirog dengan kerasnya.
Ngurah Jelantik yang telah melesat turun segera
disambut oleh serangkaian serangan dari Bagus Wirog.
Akan tetapi, sejak ia hampir roboh oleh benturan sen-
jata lawannya yang bulat pendek itu, segeralah ia me-
nyiapkan diri. Sebab sejak itulah ia mengetahui uku-
ran kekuatan dan ilmu Bagus Wirog yang sesungguh-
nya sangat hebat dan kemungkinan berada di atas
tingkatan dirinya. Karenanya, pertempuran menjadi
lebih hebat.
Dengan turun tangannya Bagus Wirog ke arena per-
tempuran, sesungguhnya membuat keadaan Ki Sukerte
dan Putu Tantri menjadi terancam kembali oleh sera-
ngan-serangan tikus liar tadi, sebab untuk menanggu-
langi Bagus Wirog, terpaksalah Ngurah Jelantik men-
curahkan dan memusatkan perhatiannya sepenuhnya
kepada lawannya. Ini berarti ia tidak lagi sempat mem-
berikan bantuannya kepada Ki Sukerte dan Putu Tan-
tri dalam menghadapi tikus-tikus tersebut.
Pada sesungguhnya, meskipun ia sibuk bertempur
melawan Bagus Wirog, pendekar Ngurah Jelantik ber-
kali-kali melempar pandang ke arah Ki Sukerte dan
anak gadisnya. Ia merasa tidak sampai hati membiar-
kan kedua orang itu bertempur sendirian melawan he-
wan-hewan pengerat yang liar dan senantiasa haus
korban. Justru perhatian Ngurah Jelantik berkali-kali
menjadi terpecah karenanya. Memanglah kalau dipikir-
pikir, keadaan sama-sama serba sulit, baik bagi Ngu-
rah Jelantik maupun bagi Ki Sukerte dan Putu Tantri
sendiri.
“Rasakanlah olehmu, sobat! Sebentar lagi mereka
berdua akan binasa dilahap oleh tikus-tikus ini, se-
dang engkau sendiri juga akan mampus di tanganku!”
seru Bagus Wirog. “Salahmu sendiri mengapa engkau
sampai campur tangan!”
“Hah, jangan main gertak terhadapku, iblis! Aku
masih mampu menghadapi seranganmu! Sekarang,
apa lagi yang akan engkau keluarkan?!”
Ucapan Ngurah Jelantik tadi betul-betul meme-
rahkan telinga Bagus Wirog. Ia tidak lekas menjawab-
nya, kecuali sesaat kemudian mulutnya mengeluarkan
bunyi mencicit keras.
Keruan saja Ngurah Jelantik menjadi kaget dan
hampir tidak percaya bahwa suara jeritan tikus tadi
bisa keluar dari mulut Bagus Wirog.
Detik berikutnya, puluhan ekor tikus hutan yang
liar dan masih segar bermunculan dari balik semak be-
lukar seakan-akan baru saja keluar dari liang rumah-
nya. Mereka langsung menyerbu Ngurah Jelantik, se-
lagi ia sibuk dan gigih bertempur melawan Bagus Wi-
rog.
“Ha, ha, ha. Hiruplah udara segar sebanyak-ba-
nyaknya dan tataplah wajahku baik-baik sebelum tu-
buhmu hancur dicacah mereka. Atau barangkali kau
lebih suka mati karena senjataku ini, haa?!” seru Ba-
gus Wirog dengan mencecar terus-menerus ke arah
Ngurah Jelantik.
Mendapat serangan ganda dari tikus-tikus dan Ba-
gus Wirog sendiri, Ngurah Jelantik menjadi kian kere-
potan. Keringatnya bercucuran membasahi setiap ku-
litnya, dan hampir saja pedangnya terlepas karena te-
lapak tangannyapun telah licin. Tambahan lagi, ha-
tinya pun kian risau, ketika melihat ke arah Ki Sukerte
dan Putu Tantri. Mereka telah pula nampak akan kele-
tihannya serta keputus-asaan yang membayang dari
wajahnya. Jika seandainya Ngurah Jelantik tadi sendi-
rian saja, agaknya tak akan malulah jika ia mengambil
langkah seribu, melarikan diri dari Bagus Wirog serta
para tikus liar tadi. Tapi bukankah ia masih harus
mengingat kedua orang lain yang patut ditolong dan
diselamatkan dari kebinasaan?
Dalam keadaan yang menegangkan, di mana kebi-
nasaan telah mengancam kepada Ngurah Jelantik, Ki
Sukerte, serta Putu Tantri, sekonyong-konyong terde-
ngarlah bunyi dengungan yang sambung-menyambung
membahana ke segenap sudut-sudut daun pepohonan
dan pelosok-pelosok hutan di sekitar arena pertempu-
ran tadi.
Hal ini mengagetkan siapa saja, baik manusia-ma-
nusia maupun puluhan tikus-tikus yang berada di si-
tu, sehingga tanpa disadari pertempuran menjadi ken-
dor beberapa saat.
Mulut-mulut para tikus pengikut Bagus Wirog pada
saling mencericit, seperti membayangkan satu kegeli-
sahan yang mulai merayapi hati segenap makhluk
yang berada di tempat itu, seperti burung-burung un-
ggas yang beterbangan menyingkir ke udara, disusul
beberapa ekor bajing berloncatan dengan paniknya.
Dengungan tadi makin jelas terdengar, turun naik
mengalun dari arah selatan bagai sebuah alunan mu-
sik yang mampu menggetar dan merobohkan segenap
isi hutan.
Nguuggng....
Digerakkan oleh naluri yang sama, mereka serentak
mengawaskan mata ke arah selatan, di mana daun-
daun seperti tergetar dan sesaat kemudian menampak-
lah segumpal kabut putih yang mengalir ke utara me-
nembus dedaunan dengan diiringi bunyi berisik dan
mendengung.
“Ohh! Apakah itu yang datang?! Hantu?!” pikir pen-
dekar Ngurah Jelantik dengan perasaan panik. “Celaka
ini. Bertambah lagi bahaya yang mengancam....”
Tak berbeda dengan Ki Sukerte dan Putu Tantri
yang berdiri dengan cemas. Keduanya tidak mengira
bahwa perjalanannya telah menemui rintangan-rinta-
ngan yang sangat berbahaya. Pencegatan oleh orang
orangnya Jimbaran, kemudian Bagus Wirog, dan kini
bahaya apalagi yang tersembunyi di belakang suara
berdengung itu.
Setiap dada makin berdebar-debar manakala gum-
palan awan putih tadi semakin mendekat ke arah me-
reka, tanpa ada yang bisa mengetahui apakah sebe-
narnya itu.
Mendadak saja gumpalan awan putih tadi meluruk
ke bawah, menyebar ke arah bekas arena pertempuran
laksana sebuah gumpalan awan mendung yang pecah
dan menyebarkan air hujan.
“Tawon putih!” teriak Bagus Wirog dalam nada sua-
ra parau dan berbau panik ketakutan, ketika ia dapat
mengenal bahwa gumpalan kabut awan yang meluruk
dan memencar ke arahnya itu, adalah serombongan
lebah-lebah berbisa yang ratusan jumlahnya! Dan ce-
lakanya, kawanan lebah putih berbisa tadi langsung
menyerangnya.
Keruan saja Bagus Wirog secepat kilat memutar ke-
dua cambuk pendeknya untuk melindungi tubuhnya
dari serangan kawanan lebah berbisa tadi. Sedang pa-
ra tikus pengikut Bagus Wirog, menjadi kalang-kabut
setelah mereka diserang oleh beratus-ratus lebah ber-
bisa dari udara.
Berbeda sewaktu mereka menghadapi manusia
yang bertubuh lebih besar dan mudah menyerangnya,
akan tetapi mereka sekarang berhadapan dengan la-
wan-lawan yang jauh lebih kecil dan bersenjatakan
sengat-sengat berbisa.
Beberapa ekor tikus segera terkena sengatan lebah
putih itu dan sejurus kemudian berkaparan di tanah
dengan tubuh kaku tanpa nyawa.
Sungguh hebat serangan lebah putih yang mematikan tersebut, sehingga patutlah bahwa Bagus Wirog
bertempur mati-matian menjaga dirinya.
Tapi terjadi pula satu keanehan, bahwa lebah-lebah
tadi cuma menyerang Bagus Wirog dan tikus-tikusnya.
Sedang Ki Sukerte, Putu Tantri, serta Ngurah Jelantik,
cuma dilewatinya, tanpa diusik sedikitpun. Itulah pula
sebabnya mereka bertiga jadi terbengong-bengong ke-
heranan, menyaksikan pertempuran aneh yang selama
hidupnya baru sekali ini dilihatnya.
***
LIMA
TIKUS-TIKUS YANG MATI KAKU karena sengatan
lebah-lebah beracun makin bertambah jumlahnya.
Bangkai-bangkainya berserakan terkapar di sana-sini,
sementara yang masih hidup dengan sibuknya berlon-
catan kesana-kemari menghindari serangan lawan
yang tidak kurang ganasnya. Hal ini tidak sedikit me-
nimbulkan kekacauan pada gerombolan tikus-tikus
tadi. Kadang-kadang mereka saling bertubrukan ketika
berloncatan menghindari serangan lebah putih.
Demikian pula Bagus Wirog makin kerepotan dan
terdesak meskipun ia dengan hebatnya memutar ke-
dua cambuk pendek secepat kitiran berpusing. Me-
mang ia berhasil pula meruntuhkan beberapa ekor le-
bah, tapi itupun setelah sekian lama bertempur mati-
matian.
“Serangga keparat!” teriak Bagus Wirog mengumpat-
umpat dengan kemarahan yang memuncak, seraya
mengeluarkan jurus-jurus puncak dari permainan
cambuk hitamnya. Benar-benar seperti orang kerasu-
kan setan sepak terjang Bagus Wirog sekali ini, sampai
tak memperdulikan keadaan sekeliling, kecuali pusat
perhatiannya cuma tertuju ke arah lebah-lebah putih
yang beterbangan mengeroyok dan berkeliling di sekitarnya.
Namun tak lama kemudian, ketika kakinya kena
tabrak oleh seekor tikus, Bagus Wirog seperti teringat
kembali kepada nasib para tikus anak buahnya itu.
Dan seketika bukan main kagetnya, begitu ia tepat me-
lempar pandangan matanya ke arah sekeliling. Tam-
paklah dengan jelas, tidak kurang dari dua puluh ekor
tikus pengikutnya, telah mati kaku tergeletak di tanah.
Kini sadarlah bahwa keadaan tidak begitu mengun-
tungkan bagi dirinya serta segenap tikus-tikus tadi.
Kalau toh ia mampu bertahan dalam menghadapi se-
rangan lebah-lebah itu, berarti akan lebih banyak kor-
ban yang jatuh di pihak tikus-tikus anak buahnya.
Bagus Wirog segera mengeluarkan jeritan mencicit
yang panjang disusul dengan tubuhnya meloncat ke
arah semak belukar di sebelah timur. Demikian pula
dengan serentak, para tikus anak buahnya menarik di-
ri dari tempat pertempuran untuk kabur ke arah ti-
mur, mengikuti Bagus Wirog.
Sebentar saja Bagus Wirog dan tikus-tikusnya telah
lenyap dari pandangan mata. Yang tertinggal kemudian
hanyalah bangkai-bangkai tikus yang telah mati kaku.
Sedang lebah-lebah putih itu masih beterbangan berke-
liling di atas bekas arena pertempuran, bagai gumpalan
awan putih yang berdengungan membisingkan.
Karenanya, Ngurah Jelantik, Ki Sukerte, dan Putu
Tantri merasa cemas. Sebab, setelah kaburnya Bagus
Wirog dan tikus-tikusnya, tidaklah mustahil bahwa le-
bah-lebah berbisa itu akan ganti menyerang diri me-
reka!
Namun, mendadak saja berkelebatlah satu baya-
ngan bertubuh ramping dari arah selatan, menuju ke
arah mereka sambil bersenandung merdu.
“Lebah putih lebah sayang, terbang rendah melayang-layang. Orang baik patut disayang, orang jahat
pasti diserang. Ha, ha, ha. Maaf, sahabat-sahabat
sayang. Andika semua tak perlu kuatir dengan lebah
putihku ini!” ujar seorang gadis cantik yang masih re-
maja sekali sambil berloncatan mendekati Ngurah Je-
lantik bertiga.
Gerakan yang ringan hampir tanpa suara membuat
gadis remaja ini seakan-akan melayang dan Ngurah
Jelantik bertiga menjadi kagum karenanya.
“Kami mengucapkan terima kasih atas bantuan No-
na!” ujar Ngurah Jelantik seraya mengangguk kepada
gadis remaja tadi. “Dan perkenalkanlah, saya bernama
Ngurah Jelantik, sedang mereka ini adalah Ki Sukerte
dan Putu Tantri.”
“Aah, sama-sama, Tuan. Sesama makhluk, kita wa-
jib tolong-menolong,” berkata si gadis remaja sambil
melempar senyum manis yang menggetarkan hati Ngu-
rah Jelantik.
“Nama saya adalah Tanjung,” demikian si gadis re-
maja memperkenalkan diri dan mendadak saja sesosok
bayangan orang tua melesat ke arah mereka berbareng
Tanjung berseru. “Oh, itu kakek saya, Ki Tutur telah
datang. Sekarang aku harus pergi meninggalkan An-
dika bertiga.”
“Maaf, Tuan-tuan. Cucuku ini sangat nakal. Ia ter-
lalu jauh menggembalakan lebah putihnya,” seru si
kakek Tutur seraya menyambar pinggang si Tanjung
dan kabur ke arah selatan, bersama lebah-lebah putih
yang terbang mengelompok bagai gumpalan awan pu-
tih yang berdengungan di sepanjang jalan.
Pendekar Ngurah Jelantik, Ki Sukerte dan Putu
Tantri menghela nafas dengan lenyapnya Ki Tutur,
Tanjung, dan lebah-lebah putihnya, di balik pepoho-
nan yang lebat. Mereka merasa sayang bahwa kejadian
tadi telah berlalu dengan cepatnya tanpa suatu perke-
nalan yang lebih mendalam. Akhirnya merekapun telah bersiap-siap melanjutkan perjalanannya masing-
masing.
“Kami bermaksud mengunjungi sanak keluarga
yang tinggal di daerah Gilimanuk,” ujar Ki Sukerte ke-
tika berpamitan dengan pendekar Ngurah Jelantik.
“Semoga kita dapat berjumpa lagi dalam keadaan sehat
dan selamat.”
“Saya pun harus secepatnya melanjutkan perjala-
nan ke Singaraja,” Ngurah Jelantik berkata sambil me-
nyiapkan tali-temali kudanya. “Nah, aku permisi seka-
rang, Ki Sukerte. Selamat jalan dan selamat tinggal.”
“Selamat jalan, Tuan,” ujar Ki Sukerte dan Putu
Tantri hampir berbareng. “Berhati-hatilah. Semoga De-
wata Agung melindungi Anda!”
Pendekar Ngurah Jelantik memacu kudanya ke arah
timur, menyusuri jalan rintisan dan lenyap di balik pe-
pohonan. Sedang Ki Sukerte bersama Putu Tantripun
telah melangkahkan kakinya, melanjutkan perjalanan-
nya menuju ke daerah barat, di mana sang matahari
merayap ke arah sana pula dengan lambatnya.
Beberapa ekor burung layang-layang berbondongan
kembali ke sarangnya dengan tergesa, seolah-olah ta-
kut kemalaman di tengah perjalanan.
***
Beberapa orang yang tengah duduk-duduk berkum-
pul di dekat pohon-pohon ilalang di tengah hutan,
mendadak saja dibikin terkejut oleh munculnya bebe-
rapa orang dengan langkah tergesa-gesa dan terengah-
engah. Wajah-wajah mereka berkilat basah oleh keri-
ngat dan kotor dengan debu yang menutupi kulit-kulit
tubuhnya. Begitu pula pakaian dari beberapa orang di
antara mereka telah sobek-sobek di sana-sini disertai
luka-luka kecil berdarah.
Tampak sekali bahwa mereka telah kelelahan serta
suasana kecemasan masih belum lepas dari wajah-
wajahnya. Malahan di antara mereka segera merebah-
kan diri di atas rerumputan dengan nafas yang ber-
sesakan.
“Heei, mengapa kalian ini?!” berseru seorang berwa-
jah garang yang duduk di situ. “Apa yang telah terjadi,
Jimbaran?! Katakan lekas!”
“Ses... sesuatu yang mengerikan...,” sahut Jimbaran
tergagap-gagap. “Seorang kawan kami... yakni si Ktut,
telah tewas...!”
“Haah, tewas katamu?!” seru Tangan Iblis sambil
mengguncang-guncang bahu Jimbaran. “Sebutkan,
siapa yang telah berbuat sekurang ajar itu, hee?!”
“Waktu itu kami telah mencegat dua orang di dae-
rah selatan, lalu tiba-tiba saja muncul seorang manu-
sia bulat pendek yang membawa tikus-tikus berjumlah
puluhan. Ia menolong kedua orang tadi dan bertempur
dengan kami. Ternyata mereka sangat kuat, hingga si
Ktut menjadi korban keroyokan tikus-tikus liar dan di-
lahapnya sampai habis! Akhirnya, kami terpaksa meng-
undurkan diri,” demikian tutur ceritera Jimbaran.
Si Tangan Iblis terperanjat sesaat mendengar nasib
seorang anak buahnya yang mati secara konyol dima-
kan oleh tikus-tikus liar tadi. Akan tetapi, segera ia
berkata dengan nada marah, “Naah, sudah berkali-kali
aku katakan, supaya jangan mengganggu siapapun di
tempat ini! Kau tahu, itu sangat berbahaya bagi tempat
pondokan kita yang tersembunyi di sini. Apakah otak-
mu tidak berpikir, bahwa tindakanmu tadi bisa mem-
bawa orang-orang lain ke tempat ini?!”
Jimbaran tertunduk ketakutan menghadapi kema-
rahan Tangan Iblis, maka katanya kemudian, “Maaf,
Kakang, kami terlengah waktu itu....”
“Heei, kau belum menyebutkan nama lawanmu
yang bertubuh bulat pendek tadi?!” ujar Nyi Durganti
menyela. “Siapakah dia?!”
“Oooh, betul, Nyai. Nama orang itu adalah Bagus
Wirog!” ujar Jimbaran gugup.
“Hooh! Si keparat Bagus Wirog telah keluyuran
sampai di daerah ini?!” seru Nyi Durganti dengan ka-
get. “Ngngng, ini berbahaya. Bagus Wirog bukanlah
orang sembarangan. Ia sangat sakti dan mempunyai
rombongan tikus-tikus seperti yang diceriterakan oleh
Jimbaran tadi.”
“Jadi, Ibu telah mengenalnya?” gerendeng Tangan
Iblis. “Apakah ia bermusuhan dengan Ibu?”
“Benar, Angger. Aku telah mengenal Bagus Wirog
itu. Memang kami pernah berselisih kecil, tapi kalian
tak usah kuatir. Aku sanggup menghadapinya.”
“Terima kasih, Ibu. Kembali tentang penyerbuan ke
rumah saudagar Wayan Arsana, kapankah itu bisa ki-
ta laksanakan?!”
Nyi Durganti mengerutkan keningnya mendengar
perkataan anaknya, si Tangan Iblis, dan kemudian
menggumam, “Hm, kau masih penasaran terhadapnya,
Ngger! Apakah perlunya mengusik orang-orang tolol
itu?”
“Ibu,” ujar Tangan Iblis dengan lembutnya, “sebe-
narnya kami dapat melupakan hal itu. Namun sayang
sekali bahwa kami telah mendapat penghinaan yang
sangat keterlaluan. Mereka melepaskan kami dengan
iringan ketawa dan ejekan. Terlebih lagi dengan si tua
Wiku Salaka yang telah memandangku dengan sebelah
mata saja, benar-benar merupakan hinaan yang tidak
mudah terlupakan. Aku adalah putra Nyi Durganti.
Mendapat hinaan begitu, apakah itu secara tidak lang-
sung menampar muka Ibu?!”
Nyi Durganti menghela napas panjang, begitu Ta-
ngan Iblis rampung mengutarakan pendapatnya. Apa
yang diutarakan anaknya tadi banyak benarnya. Namun sebab musabab bibit persengketaan itu, dirasa-
nya tidak mempunyai sangkut paut dengan dirinya.
Bukankah si Tangan Iblis sekadar mempaut dengan
dirinya? Bukankah si Tangan Iblis sekadar membela
anak muridnya, yakni Jembrana dan Jimbaran setelah
berselisih dengan Wayan Arsana? Dan kebetulan pula,
seorang sahabat Jimbaran yang bernama Wasi Bera te-
lah terlibat dalam persoalan mereka. Dengan demikian
apakah itu sebenarnya tidak sepenuhnya merupakan
tanggung jawab Tangan Iblis sendiri? Akan tetapi, se-
kali lagi sifat orang tua, mendengar anaknya kalah dan
katanya mendapat penghinaan, siapakah yang tidak
akan terbakar hatinya?
Pertimbangan manusia kadang-kadang memang
mudah condong ke arah sepihak. Jarang yang bisa
bertahan bahwa untuk yang salah harus disalahkan,
sedang yang benar harus tetap benar. Apalagi jika itu
sudah menyangkut hubungan keluarga. Tentunya
hanya seorang ksatrialah yang mampu bersifat adil
dan seimbang. Baginya tidak akan ada sifat-sifat saha-
bat atau keluarga, sebab ia selalu memandang manu-
sia mempunyai hak yang sama. Sehingga pertimba-
ngannya akan bersifat umum menyeluruh.
Tetapi sekali lagi hal itu sangatlah sukarnya. Seperti
halnya Nyi Durganti yang telah mendengar penjelasan
dari Tangan Iblis, segera hatinya terbakar oleh kema-
rahan yang menyala bagaikan obor. Apalagi didasari
oleh pertimbangan hati yang dangkal, maka Nyi Dur-
ganti tidak mempunyai lagi pertimbangan lain, selain
harus membela Tangan Iblis dengan sungguh-sungguh.
“Baiklah, Angger Tangan Iblis. Kita akan mencari
hari yang baik, dan aku perlu memikirkan satu siasat
yang jitu. Aku mengharap bisa langsung memukul
benggol-benggolnya, tanpa banyak menimbulkan kor-
ban di pihak orang-orang rendahan yang tidak tahu
apa-apa!”
“Terima kasih, Ibu. Hanya itulah yang ananda ha-
rapkan,” berkata Tangan Iblis. Mukanya berseri-seri
puas sepuas anak kecil yang dijanjikan oleh ibunya
untuk mendapatkan kembang gula manis.
“Tapi kalian harus memperhatikan, pimpinan ada-
lah di Tangan Iblis, sedang segala sesuatu harus men-
dengar nasehatku terlebih dulu. Ingatlah akan bahaya
pasukan kerajaan! Jika kalian bertindak liar semau-
maunya, aku akan cuci tangan dari perkara ini!” demi-
kian bicara Nyi Durganti dengan tandasnya.
“Kami akan mematuhi segala nasehatmu, Ibu,” ber-
kata Tangan Iblis sekali lagi dengan senangnya. “Saya
akan memerintahkan seluruh pengikutku untuk mem-
perhatikan hal itu.”
Dalam pada itu, Dregil dan Arje tengah membantu
mengobati kawan-kawannya yang terluka. Kebanyakan
adalah luka-luka bekas gigitan tikus-tikus liar pengi-
kut Bagus Wirog, ketika mereka bertempur beberapa
saat yang lalu.
Kadang kala Dregil dan Arje masih meremang bulu
tengkuknya bila teringat akan kematian seorang ka-
wannya akibat keroyokan tikus-tikus liar. Kedua orang
tadi seperti sukar mempercayai, betapa tubuh si Ktut
dapat habis kulit dagingnya dalam sekejap mata oleh
rencahan gigi tikus-tikus tadi. Dan yang membuatnya
lebih heran adalah perawakan, wajah dan tindak-tan-
duk Bagus Wirog yang menyerupai seekor tikus.
Semua itu diceritakannya kepada kawan-kawan lain-
nya yang tidak ikut bertempur pada waktu itu. Karena-
nya, keruan saja mereka tercengang-cengang kehera-
nan mendengar penuturan ceritera si Dregil dan Arje.
“Apakah engkau kira-kira berani menghadapi tikus-
tikus itu, Parse?” bertanya Dregil sambil cengingisan
setengah mengejek, kepada temannya yang bertubuh
gemuk di sebelahnya.
“Weeh, tentu saja berani. Kalau memang itu menja-
di lawan kita, haruslah kita lawan!” temannya yang
bernama Parse berkata dengan penuh semangat.
“Hi, hi, hi. Semangatmu hebat! Tapi aku kuatir bah-
wa tubuhmu yang gemuk itu akan menarik selera ti-
kus-tikus tadi,” kata Dregil menggoda. “Atau mungkin
saja kau berani menghadapinya asal tikus-tikus tadi
ompong, tanpa gigi. Sehingga mereka cuma mampu
menjilat-jilati tubuhmu saja. Hi, hi, hi.”
“Huss! Ngawur sekali bicaramu,” potong Parse cem-
berut. “Bagaimana kalau kita membawa kucing-kucing
untuk melawan mereka?!”
“Satu usul yang baik! Hmmm, tapi di mana kita ha-
rus mencari kucing-kucing dalam jumlah yang ba-
nyak?” sambut si Dregil. “Dan lagi, untuk seekor ku-
cing, paling-paling ia hanya sanggup menelan dua ekor
tikus hutan itu. Sedang jumlah tikus tadi pasti ratusan
jumlahnya! Nah, bukankah itu merupakan persoalan
yang cukup sulit dan memusingkan?! Salah-salah ma-
lah kucing-kucing itu yang akan dilahap oleh gerombo-
lan tikus liar tadi! Sayang, engkau tidak ikut kami
waktu itu. Ternyata tikus-tikus tersebut sangat terlatih
dan mampu menghindari senjata-senjata yang meng-
ancamnya.”
“Jika demikian, lebih baik aku tidak ikut bertempur
melawan binatang-binatang tadi. Aku lebih senang
tinggal di sini menjaga pondok, atau membantu mema-
sak makanan,” sahut Parse.
“Hi, hi, hi. Memang itulah pekerjaan yang paling co-
cok buatmu!” ujar Dregil diiringi ketawa segenap ka-
wan-kawan lainnya yang berada di sekelilingnya. “He,
he, he. Apabila sudah sampai pada persoalan masakan, saya kira Parselah yang paling cocok.”
Suasana menjadi gembira beberapa saat, dan itu
cukup menghibur hati mereka yang tengah bergurau,
tanpa mengetahui bahwa para pemimpinnya tengah
merencanakan penyerbuan ke rumah saudagar Wayan
Arsana di daerah Gilimanuk. Dan boleh dipastikan,
bahwa pertempuran kali ini akan lebih hebat, karena
Nyi Durganti yang sakti, yakni ibu si Tangan Iblis sen-
diri, akan turun tangan membantu mereka di gelang-
gang pertempuran.
Entah kapan rencana itu akan dilaksanakan. Ba-
rangkali satu minggu lagi, atau sebulan kemudian, dan
mungkin juga pada keesokan harinya, tak seorang di
antara mereka yang mengetahuinya. Yang jelas saja,
mereka melihat bahwa para pemimpinnya seperti si
Tangan Iblis, Nyi Durganti, I Jembrana, Jimbaran dan
seorang lagi yang bertubuh kurus, dengan sibuknya
kasak-kusuk melakukan perundingan.
Kabut putih yang sebening sutera mulai mengam-
bang di udara seiring dengan merendahnya sang mata-
hari ke cakrawala barat. Beberapa ekor kelelawar ber-
kepak mengembangkan sayapnya, beterbangan ke
udara mencari makanannya, tanpa menggubris manu-
sia-manusia yang bergerombol di dekat pondok-pon-
dok ilalang di hutan tadi.
***
Di suatu malam, ketika sang purnama mulai me-
ngembang di langit dengan megahnya, sinarnya telah
merambah ke segenap permukaan bumi, sampai dae-
rah Gilimanukpun bermandi cahaya perak.
Beberapa sosok tubuh dengan lincahnya mengen-
dap-ngendap di balik semak-semak hutan kecil yang
terletak di sebelah timur rumah Wayan Arsana. Mereka
tampak berhenti dan membicarakan sesuatu dengan
segenap rombongannya yang terdiri tidak kurang dari
delapan orang lebih.
“Dengarkan sekali lagi baik-baik. Terutama dengan
Adi Jimbaran yang pernah membuat kesalahan!”
Semuanya mengangguk, kecuali seorang wanita ber-
wajah mayat kepucatan yang mendengarkan peringa-
tan tadi dengan tenangnya. Itulah dia, Nyi Durganti.
“Ingatlah, bahwa ini bukan penyerbuan yang sebe-
narnya, melainkan sekadar peringatan untuk meng-
guncangkan perasaan mereka! Nah, maka janganlah
melakukan suatu tindakan apapun tanpa isyarat dari
saya!” begitu Tangan Iblis memperingatkan para peng-
ikutnya.
“Jangan kuatir, Kakang. Aku akan memimpin me-
reka agar tinggal di tempat ini baik-baik,” ujar I Jem-
brana berjanji.
“Baik. Sekarang kita bisa berangkat, Ibu,” Tangan
Iblis berkata kepada Nyi Durganti. “Mereka akan me-
nunggu kita di sini.”
“Ayo, Tangan Iblis. Ikuti aku!” seru Nyi Durganti
sambil meloncat dengan gesitnya meninggalkan tempat
itu, laksana seekor kijang.
Tangan Iblis segera menyusulnya dengan melesat ke
arah timur, mendekati arah tembok rumah Wayan Ar-
sana. Keduanya merupakan dua bayangan hitam yang
berkelebatan ringan, tak ubahnya dua iblis yang te-
ngah mencari korbannya.
Keduanya kemudian melesat ke atas tembok pagar
tanpa menimbulkan suara, untuk melanjutkan berlon-
catan dari genting atap rumah satu ke genting lainnya.
Gerakan mereka sangat cepat dan sebatnya, sehingga
orang biasa tak akan tahu tentang penyelundupan ini,
apalagi sampai mengetahui rencana-rencana yang te-
ngah tergambar di otak Tangan Iblis bersama ibunya.
Tiba-tiba mereka terkejut ketika melihat bekas-
bekas hiasan janur yang telah agak kering di halaman
rumah itu.
“Bekas-bekas pesta, Ibu!” bisik Tangan Iblis kepada
Nyi Durganti di sebelahnya. “Agaknya belum lama ber-
langsung. Mungkin kemarin, atau dua hari yang lalu.”
“Biarlah, kita melaksanakan rencana kita,” ujar Nyi
Durganti.
Kembali mereka berloncatan memutar. Dan ketika
mencapai halaman rumah, Tangan Iblis berhenti se-
saat di atas genting, seraya menatapi dua buah patung
singa yang berdiri megah di depan pintu rumah.
“Ssst, mengapa berhenti di sini?” gereneng Nyi Dur-
ganti kepada anaknya. “Adakah sesuatu yang penting
sampai engkau menghentikan langkahmu?”
“Lihatlah dua buah patung singa itu, Bu. Aku jadi
teringat dengan Pulau Mondoliko.”
“Apa hubungannya?!”
“Aku tiba-tiba mendapat satu pikiran yang selama
ini tengah kucari-cari. Tak tahunya pemecahan itu te-
lah kudapatkan di tempat ini.”
“Ah ayolah, Ngger! Kita harus cepat-cepat melaksa-
nakan pekerjaan kita,” desak Nyi Durganti. “Tentang
patung singa itu, pikirkan saja belakangan.”
“Baik, Ibu,” sahut Tangan Iblis sambil meloncat
kembali bersama Nyi Durganti ke arah utara, menelu-
suri segenap pojok rumah.
Dalam saat yang bersamaan pula, di sebuah perta-
manan, jauh di sebelah utara yang masih termasuk
lingkungan rumah saudagar Wayan Arsana, dua orang
muda-mudi sedang asyik bercengkerama. Yang putri
sangat cantik, sedang prianya berwajah tampan. Wajah
si putri tadi masih menampakkan bekas-bekas cuku-
ran upacara pengantin dan sanggulnya dihiasi bunga-
bunga harum yang semerbak mengambar di udara te-
rang bulan. Keduanya duduk di atas kursi panjang
terbuat dari batu putih dan saling memandang mesra.
“Kau tak menyesal bersuamikan aku, Made Maya?”
bertanya si pria sambil mengusap pipi pengantin putri
yang montok merah jambu itu.
“Jangan katakan itu, Kakang Sunutama,” ujar Made
Maya, sementara jari-jarinya menutupi bibir suaminya,
seperti takut kalau suaminya berkata-kata lebih lanjut.
“Apakah Kakang masih menyangsikan cinta kasihku?”
“Bukan begitu, Adi Maya. Hanya aku sedikit kuatir
kalau kedudukan kita dipandang tidak seimbang oleh
mata masyarakat.”
“Ahh, itu tak usah dipikirkan, Kakang. Mereka toh
cukup menghargai Kakang Sunutama sebagai pemahat
ulung di daerah ini.”
Sunutama manggut-manggut mendengar tutur kata
istrinya. “Syukurlah jika demikian, Dinda. Aku tak
pernah menyangsikan cintamu.”
“Ooh, Kakang...,” keluh Made Maya seraya mere-
bahkan kepalanya ke dada Sunutama yang bidang dan
tegap, membuat laki-laki muda itu tergetar hatinya.
“Heei, mengapa kau menangis, Maya?” sapa Sunu-
tama dengan membelai-belai rambut istrinya. Butiran
air mata yang mengalir keluar dari sudut mata Made
Maya berkilatan tertimpa cahaya perak rembulan, ba-
gaikan intan permata.
“Aku berbahagia, Kakang. Berbahagia sekali,” keluh
Made Maya dan memeluk tubuh suaminya lebih erat.
“Lihatlah sang purnama itu, Maya. Ia seperti mener-
tawakan dirimu, karena Dinda telah meruntuhkan bu-
tiran air mata bahagia,” berkata kemudian Sunutama
dengan mengusap leher Made Maya, sampai mengge-
linjangkan kegelian.
Sambil tersenyum manja Made Maya merangkul
leher suaminya dan Sunutama membiarkannya. Seke-
jap kemudian sepasang temantin baru itu telah terha-
nyut dalam kemesraan bermandikan cahaya perak
sang rembulan.
Huk...! Huk...! Huuukk...!
Siulan burung hantu terdengar memecah kesunyi-
an, mengagetkan tiba-tiba Sunutama dan Made Maya.
“Ooh, aku takut, Kakang Sunutama,” ujar Made
Maya dengan manjanya. “Suara burung hantu itu sa-
ngat menyeramkan.”
“Eh, masakan seorang pendekar seperti kau ini ta-
kut mendengar suara burung hantu?” desah Sunuta-
ma menggoda. “Apakah tidak mungkin, bahwa burung
hantu tersebut memberi salam dan ucapan selamat
kepada kita?”
“Aku merasa sebaliknya, bahwa ia memberi isyarat
akan datangnya marabahaya,” sahut Made Maya.
Sunutama tidak lekas menjawab, melainkan ia meng-
angkat hidungnya ke udara dan menggerundal, “Coba
dengarkan baik-baik, Made Maya. Aku mendengar ge-
rakan yang lembut sekali. Entah bunyi daun terjatuh
atau bunyi lainnya aku belum tahu. Sebaiknya kita
berhati-hati, Dinda.”
Belum lama mereka menyelesaikan kata-katanya,
mendadak saja berkelebatlah dua bayangan hitam dari
arah selatan dan langsung turun ke tengah pertama-
nan, membuyarkan kabut malam yang tengah mela-
yang.
Made Maya hampir berteriak mendengar suara beri-
sik yang mengiringi turunnya dua sosok tubuh manu-
sia ke tengah pertamanan. Yang lebih mengagetkannya
adalah wajah kaku mayat dari seorang di antara kedua
pendatang itu. Mereka mengeluarkan derai ketawa ber-
nada berat yang tertahan di dalam mulutnya. Agaknya
mereka cukup berhati-hati dan berusaha agar orang
lain tidak akan mendengarnya.
“Siapa kalian?! Datang secara gelap di tempat ini?”
seru Sunutama bersiaga.
“Bagus kalau kalian bertanya. Tapi coba perhatikan
baik-baik siapa aku ini!” seru si wajah garang yang ti-
dak lain adalah Tangan Iblis.
“Tangan Iblis! Kaulah yang telah merusak keten-
traman di sini beberapa waktu yang lalu?!” berseru
Sunutama dengan beraninya, begitu mengenal wajah
si pendatang.
“Jangan banyak mulut. Hari ini aku akan meng-
adakan pembalasan!” sahut Tangan Iblis. “Ibu, apakah
pendapatmu sekarang?”
“Robohkan yang laki-laki, tapi jangan kau bunuh!
Biar aku yang akan menangkap perempuannya!” ujar
Nyi Durganti seraya bersiaga pula dengan terkaman-
nya. Jari-jari tangannya mengembang disertai sorot
mata yang mengerikan seperti hantu.
Made Maya yang melihatnya, seolah-olah telah
menghadapi hantu leak yang ganas. Serentak hatinya
menjadi bergetar ketakutan. Namun iapun telah berte-
kad melawan.
Di saat itu pula Tangan Iblis melesat ke depan, me-
lancarkan serangannya kepada Sunutama yang telah
bersiaga sepenuhnya. Maka sejenak kemudian terjadi-
lah pertempuran yang sangat seru di tengah pertama-
nan yang semula bersuasana tenang.
Sunutama sudah pernah melihat sepak terjang si
Tangan Iblis, karenanya ia sangat berhati-hati dan ti-
dak mau gegabah menghadapi lawannya ini.
“Heh, heh. Kau mampu bertahan berapa jurus
menghadapi seranganku ini, ha?!” ujar Tangan Iblis
dengan melancarkan tendangan kakinya.
Wuuutt!
Sunutama cukup waspada dan mengeluarkan gera-
kan gesit berjungkir balik ke udara untuk kemudian
turun ke bawah sambil menyapukan kedua tangannya
ke arah kepala Tangan Iblis dengan gaya ketam mencapit belut.
“Setan!” gerundal Tangan Iblis lantaran kaget de-
ngan serangan Sunutama yang tanpa terduga. Namun
dasar ia telah banyak pengalaman, maka secepat kilat
ia menjatuhkan diri ke bawah.
Tak tahunya, Sunutama kembali melancarkan se-
rentetan serangan maut dengan dupakan kaki ke arah
dada Tangan Iblis, yang saat itu masih tertelentang di
tanah.
“Heeit, jangan gegabah!” seru Tangan Iblis sambil
menerjangkan kakinya ke atas menyambut dupakan
Sunutama yang mendatang dengan derasnya.
Blaakk!
Benturan keras terjadi, dengan akibat Sunutama
terpelanting ke belakang, sedang Tangan Iblis pun pe-
ringisan menahan rasa kesemutan yang menjalar di
kakinya akibat benturan tadi
“Kurang ajar! Bertenaga pula orang muda ini!” um-
pat Tangan Iblis. “Sayang aku tak boleh membinasa-
kannya!”
Dengan sedikit pusing, Sunutama cepat bersiaga
kembali untuk menghadapi lawannya.
“Heei, Angger Tangan Iblis! Jangan bermain-main
seperti anak kecil. Lekaslah robohkan anak itu!” seru
Nyi Durganti. “Tunggu apalagi?!”
“Baik, Ibu. Tapi dia cukup bandel!” sahut Tangan
Iblis. “Sebentar lagi, barangkali dua jurus kemudian!”
Demikian teriakan pasti dari Tangan Iblis dan sambil
menggeram marah, ia melipat-gandakan serangannya
kepada Sunutama.
Sementara itu, Made Maya merasa kerepotan meng-
hadapi serangan Nyi Durganti. Apalagi nenek berwajah
mayat ini selalu menyorotkan sinar matanya yang pe-
nuh pesona dan memukau. Serangan-serangan yang
dilancarkannya seperti lenyap tak berbekas dalam
tangkisan Nyi Durganti. Dan inilah yang membuatnya
cemas. Seolah-olah lawannya berwujud bayangan be-
laka, sehingga setiap kali diserang, dengan mudahnya
ia menangkis.
Kesulitan istrinya ini telah dilihat oleh Sunutama.
Maka gerakannya makin nekad. Namun ini menimbul-
kan kelengahan, dan dua jurus kemudian, seperti su-
dah diramalkan oleh Tangan Iblis, Tangan Iblis mener-
kam pundaknya.
Plaak!
“Aakh!”
Sunutama mengaduh pendek dan pandangannya
menjadi kabur. Berbareng roboh pingsan, mulutnya
menyebut nama istrinya, “Made Mayaaa....!”
“Kakang Sunutama...!” seru Made Maya kecemasan
dan dengan marahnya ia mendamprat ke arah Nyi
Durganti. “Kalian jahat! Awas aku akan berteriak jika
kalian tidak minggat dari tempat ini. Apakah kalian in-
gin berhadapan dengan Kakek Wiku Salaka dan pen-
dekar-pendekar lainnya?!”
Mendengar ini Nyi Durganti secepat kilat menyapu-
kan tangannya ke depan dan mengusap wajah Made
Maya yang seketika jatuh pingsan di tangan Nyi Dur-
ganti.
“Nah, sekarang tempelkan surat peringatan itu!” seru
Nyi Durganti kepada Tangan Iblis. “Lekaslah, Ngger!”
Tangan Iblis pun cepat melemparkan sebilah pisau
yang bertempelkan secarik kain bertulis ke arah seba-
tang pohon di pertamanan, sementara Nyi Durganti te-
lah memondong tubuh Made Maya.
“Hei, keparat! Kalian mengacau!” jerit sesosok tu-
buh ramping bersenjatakan sepasang kipas perak di
tangannya dan menyerang Nyi Durganti. “Terimalah
serangan si Putu Tantri ini! Heeitt!”
Nyi Durganti yang sakti itu tidak gugup sedikitpun.
Ia cukup mengibaskan kepalanya sehingga rambutnya
yang terurai panjang menghajar lengan Putu Tantri
sampai gadis ini merasa kesakitan dan lumpuh sesaat.
Kesempatan ini digunakan oleh Nyi Durganti dan
Tangan Iblis untuk kemudian melesat ke atas genting
dan berloncatan cepat ke arah selatan, kabur tanpa
menimbulkan suara.
“Toloooooong! Maling! Maliingng!” teriak Putu Tantri
sambil mendeprok kesakitan di tanah, mengagetkan
segenap isi rumah saudagar Wayan Arsana dan me-
reka berlarian ke arah taman, di mana satu tragedi di
tengah kabut baru saja terjadi.
Sampai di sini selesailah seri Naga Geni “Tragedi di
Tengah Kabut”, dan segera akan menyusul seri Naga
Geni, yakni “Berakhir di Ujung Fajar”. Di situ akan kita
ketahui nasib Made Maya selanjutnya, yang ternyata
membawa serentetan peristiwa yang mengharukan, tegang dan sangat menarik.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar