JODOH DI
GUNUNG KENDENG
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting oleh: M. Yohandi
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Jodoh Di Gunung Kendeng
Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
1
Lembah Tegal Wilis memang selalu sunyi. Tidak
ada hembusan angin, tidak ada kicauan burung, sea-
kan tidak ada penghidupan di situ. Pohon-pohon me-
ranggas gersang, tanah berbatu cadas kemerah-
merahan. Namun pagi itu kesunyian seakan disentak-
kan oleh suara nyanyian yang tidak karu-karuan jun-
trungnya. Irama lagu yang terdengar pun terkesan as-
al-asalan. Terkadang keras, atau pelan mendayu-dayu
atau berubah seperti teriakan monyet di hutan.
Tidak berselang lama muncul seorang pemuda
berbaju biru, memakai ikat kepala warna biru belang-
belang kuning. Sesekali ia menggaruk rambutnya yang
hitam kemerah-merahan. Bibirnya menyunggingkan
senyum ketolol-tololan walau patut diakui wajahnya
memang tampan. Di atas lampingan batu yang mem-
bukit, pemuda berdiri tegak, memandang ke depannya
sambil golang-golengkan kepala. Kemudian terdengar-
lah suaranya yang seperti orang bersair....
Serngenge, lintang karo mbulan isek iku-iku woe
Wujudte ndunyo isek panggah aket mbiyen mulo
Menungso podo rupane, podo rambute lanang
atawa wadon.
Atine menungso seng gonta ganti
Kang Gusti Allah ndadeke menungso lan Jin
Sak tenane kudu bekti karo Zat seng ndadeake
Lamun menungso sering lali lan silo karo isinendunyo
Ojo ngono, mengko siro ngerti pasti
Tekane dino pembalesan
Mengko siro gelo
Sopo seng mujo dunyo,
Sak tenane dunyo lan isine iki ngapusi awakmu
Artinya:
Matahari, bintang dan rembulan tetap itu-itu sa-
ja
Wujud (keadaan) bumi masih tetap seperti dulu
kala
Manusia sama rupanya, sama rambutnya laki-
laki atau perempuan.
Hati manusia yang berubah-ubah
Gusti Allah menjadikan manusia dan Jin
Sebenarnya semata-mata hanya untuk me-
nyembah pada Zat yang telah menjadikannya
Tapi manusia sering lupa dan silau dengan
isinya dunia
Jangan begitu, nanti kau tahu pasti
Akan datangnya hari Pembalasan
Nanti kau sangat menyesal
Siapa yang memuja dunia
Sesungguhnya dunia dan seisinya ini telah
menipu dirimu....
Dari berdiri Suro Blondo si Bocah Ajaib duduk. Mulut-
nya termonyong-monyong sambil berdecap-decap.
Ha ha ha...!
Si tolol, si bodoh, si geblek, adalah diriku ini ....
Aku merasa senang diriku merasa bodoh,
Jika aku pandai tentu membuat aku sombongdan merasa cukup
Aku adalah orang yang bersalah
Dengan mengingat salahku, aku menjadi hati-
hati bertindak ceroboh
Aku bukan orang yang paling benar, mengang-
gap benar hanya membuat diri banyak melakukan ke-
salahan.
Aku adalah orang yang paling lemah
Mengingat kelemahanku, aku merasa pasti ada
zat yang Maha perkasa di atasku
Aku merasa menjadi orang yang paling berun-
tung, karena aku punya tangan, punya kaki, punya ma-
ta punya telinga, punya hidung, punya mulut...
Kelahiranku di dunia ini adalah tempat ujianku
Bermula dari tiada, ada dan kembali ke tiada.
Dua berbanding satu
Aku yakin yang dua itu adalah kekal...
Lalu aku ini siapa?
Ha ha ha...!
Pendekar Blo'on garuk-garuk kepala. Ia terbo-
doh oleh ucapannya sendiri. Si Bocah Ajaib kemudian
berdiri. Tengkuknya tiba-tiba saja meremang berdiri.
"Hh, tidak dapat kubayangkan betapa sunyinya
di alam kubur. Dalam kegelapan berteman perbuatan
baik atau buruk. Seandainya saja setiap orang men-
gingat datangnya mati yang pasti itu. Masihkah mere-
ka dapat tertawa dan menumpuk-numpuk dosa? Aku
yakin mereka pastilah banyak menangisinya!" pikir Su-
ro.
Belum lagi Suro berandai-andai lebih lanjut.
Tiba-tiba dari arah belakangnya muncul seorang gadis
berwajah cantik luar biasa. Matanya bening dan bulat.
Wajahnya kemerah-merahan, sinar matanya meman-
carkan daya pesona bagai mukjijat yang tentu saja
membuat hati laki-laki tergetar atau tidak akan tahan
menatap berlama-lama. Memang itulah yang kini se-
dang terjadi pada Pendekar Blo'on ini.
Ia hanya mampu memandang wajah dan mata
yang benar-benar memancarkan seribu satu pesona
itu sekejap saja. Tiba-tiba ia tertunduk, hatinya berde-
bar. Belum pernah Suro merasakan perasaan yang se-
perti ini.
"Lembah Tegal Wilis daerah tidak bertuan!"
berkata si gadis. Dan lagi-lagi Suro tercekat, suara ga-
dis berbaju hijau ini benar-benar merdu, lagi-lagi Suro
merasa belum pernah mendengar suara gadis yang
semerdu ini. "Kulihat sedari tadi kau berdiri mematung
di sini seperti orang bego. Setelah kudekati kau ternya-
ta memang bego. Sebaiknya kau cepat pergi dari sini.
Siapa pun namamu aku tidak perduli, apa pun gelar-
mu aku tidak mau tahu. Keadaan benar-benar gawat
saat ini." serunya seakan memperingatkan.
Untuk pertama kalinya Suro angkat wajahnya,
lalu terlihat senyum tipis di bibirnya. Karena merasa
serba salah tidak tahu harus bicara darimana, maka
pemuda ini pun garuk-garuk rambutnya.
"Eeh, seperti dugaanku kau memang pemuda
konyol yang tidak tahu bahaya. Ketahuilah, di depan-
mu itu ada jalan, jalan tersebut akan dilalui oleh para
rombongan yang akan meminang puteri Reza Baiduri."
"Jika orang hendak lewat, mengapa aku harus
menyingkir?" sahut Suro seenaknya. "Aku di sini, bu-
kan di tengah jalan. Aku tidak perduli dengan urusan
pinang meminang. Hatiku sedang risau memikirkan
umat manusia. Eeh... ngomong-ngomong puteri siapa-
kah yang mau dipinang? Apakah Reza Baiduri anak
pembesar, hartawan, puteri Jin atau puteri jurangan
tahu?"
"Pemuda ceriwis! Jangan kau berani bersikap
konyol di depanku. Para utusan itu adalah tokoh-
tokoh sakti. Mereka tidak suka di sepanjang jalan yang
mereka lalui ada orang lain yang melihatnya. Bisa-bisa
kau dibunuhnya!" tegas gadis baju hijau.
"Cantik! Aku ini bukan orang yang suka usilan.
Kau ini siapakah? Apakah kau centeng, orang bayaran
atau anak pembantu? Sayang sekali jika gadis secan-
tikmu sudi menjadi pembantu orang lain. Pantasnya
kau adalah puteri yang akan dilamar."
"Banyak mulut. Kau tidak berhak tahu siapa
diriku pemuda bertampang konyol! Cepat pergi! Kalau
telingamu tidak congekan tentu sekarang kau telah
mendengar suara langkah kuda ke mari!" bentak si ga-
dis.
"Aku tidak mau pergi!" tegas Suro. "Aku yakin
setiap ada sesuatu yang dirahasiakan. Pasti ada keti-
dak beresan di dalamnya."
"Pemuda sinting. Anak bukan saudara bukan,
terserahmulah. Kalau ada apa-apanya tanggungkan
sendiri!" Dan kemudian gadis baju hijau itu berkelebat
lenyap di balik batu-batu besar.
"Kelihatannya dia sangat ketakutan sekali. Ada
apa rupanya?" pikir Suro.
Pendekar Blo'on kerat-kerutkan keningnya. Ti-
dak lama kemudian terlihatlah serombongan orang-
orang berkuda. Di belakang rombongan berkuda itu
tampak sebuah kereta yang ditarik dua kuda berbadan
tegap dan kuat sekali. Tentu orang di dalam kereta itu
bukan sembarangan orang, paling tidak berasal dari
keluarga terpandang. Terbukti keretanya saja cukup
bagus dan dihias dengan hiasan dari perak. Di atas ke-
reta kuda terdapat sebuah simbol berbentuk kepala
harimau. Simbol itu terbuat dari emas seluruhnya.
Setelah sampai di depan Pendekar Mandau
Jantan. Maka rombongan yang berada paling depan
langsung menarik kendali kuda, hingga membuat bi-
natang tunggangan itu langsung berhenti. Penung-
gangnya berkumis tebal, memelihara jenggot seperti
kambing bandot, wajahnya bopeng-bopeng tidak rata,
tatapan matanya sinis. Sedangkan mulutnya, nah mu-
lutnya itu yang paling jelek. Bibir bawahnya memble
seperti disengat sepuluh ekor lebah berbisa. Orang ini
tidak memakai baju. Yang aneh, sekujur tubuhnya pe-
nuh tatto bergambar harimau dalam berbagai ukuran.
"Kau yang berani tunjukkan tampang sebutkan
nama?"
Suro nyengir.
"Aku?"
"Ya, kau monyet! Kau kira aku sedang berbica-
ra dengan siapa?" bentak si laki-laki bengis.
"Aku sendiri bingung siapa aku. Yang jelas bu-
kan si bibir dower yang sekujur tubuhnya di tatto ma-
cam orang gila!" jawab Pendekar Blo'on tenang-tenang
saja.
Di balik batu si gadis mengomel. "Wong edan
tidak tahu gelagat! Dia bicara seenak perutnya pada
Macan Terbang ketua dan sesepuh Perguruan Lembah
Kebinasaan?!"
Pipi laki-laki berumur enam puluh tahun itu
menggembung. Matanya berkilat-kilat.
"Kau sungguh tidak mengenal peradatan sekali,
pemuda geblek! Tidak tahukah kau dengan siapa kau
berhadapan?" dengus Macan Terbang.
"Ha ha ha...! Bagaimana aku tahu sedang ber-
hadapan dengan setan jelek dari mana. Kisanak sendi-
ri tidak perkenalkan diri dan tidak mau sebutkan asal-
usul! Memang aku pikirin?" sahut Pendekar Blo'on dis-
ertai tawa. "Eh... kalau tidak salah kalian hendak me-
lamar, ya? Aku jadi ingin tahu seperti apa sih tam-
pangnya calon mempelai laki-laki? Apakah lebih dower
dan lebih jelek darimu atau sekujur tubuhnya di tatto
juga dengan gambar perempuan telanjang?"
"Tetua, bicara kunyuk jelek ini sudah sangat
keterlaluan! Biar kami yang menutup mulutnya den-
gan golok ini!" kata salah seorang laki-laki yang berada
di samping Macan Terbang. Tapi laki-laki tua itu mem-
beri isyarat untuk diam. Suro nyeletuk...
"Walah baru jadi anjing piaraan saja kau sudah
jual lagak padaku kuping sebelah, atau kau mau ko-
nyol? Ke sini biar kubuat babak belur!" dengus Suro
sambil pencongkan mulut, mencibir.
"Pemuda kurang ajar! Kami orang-orang dari
Lembah Kebinasaan tentu tidak segan memberikan se-
buah pelajaran kepadamu! Huh...!" Kuping tunggal
membarengi ucapannya dengan lemparan dua buah
golok berukuran kecil. Kedua senjata tajam tersebut
bergerak cepat membeset udara. Kecepatannya me-
mang sungguh di luar dugaan Pendekar Blo'on. Apa
yang sedang terjadi tidak lepas dari perhatian gadis ba-
ju hijau.
"Nah kau rasakan! Jika tidak dapat menghin-
dar, sebentar lagi tentu tubuhmu tertembus senjata
milik Kuping Tunggal."
Di luar dugaan para rombongan itu tiba-tiba
saja Si Bocah Ajaib lakukan gerakan menghindar se-
perti langkah-langkah seekor monyet. Mula-mula ia
berjingkrak. Lalu melompat ke udara dengan gerakan
yang sangat lucu namun membuat orang yang meli-
hatnya berdecak kagum.
Sebuah golok luput dan terus meluncur meng-
hantam batu di belakangnya. Sedangkan golok lain
meluncur ke arah tenggorokan Suro. Pemuda beram-
but hitam kemerahan ini tidak membiarkan lehernya
putus. Tangannya dengan cepat bergerak.
Set!
Tep!
"Nih kukembalikan golok jelekmu!" dengus
Pendekar Mandau Jantan. Dengan gerakan asal-asalan
dilakukannya. Senjata itu meluncur kembali dengan
kecepatan berlipat ganda. Kuping tunggal kelabakan.
Ia menggebrak kuda tunggangannya. Sehingga luput-
lah serangan itu. Nasib sial menimpa kawan yang be-
rada di belakangnya. Tubuhnya langsung tertembus
senjata milik kawan sendiri. Ia menjerit keras, tubuh-
nya tersungkur. Kagetlah Macan Terbang sesepuh
Lembah Kebinasaan melihat anak buahnya mati seca-
ra mengenaskan itu. Memandang ke arah Suro dengan
penuh keheranan sekaligus marah hanya membuat la-
ki-laki tua ini menjadi bertambah gondok.
"Anak setan itu malah gorak-garuk kepala
kayak monyet. Aku sama sekali tidak menyangka ka-
lau dia punya kepandaian sehebat itu. Kehebatannya
tersembunyi di balik tampangnya yang konyol tidak
meyakinkan. Bangsat betul!" maki Macan Terbang da-
lam hati.
"A... ha ha ha...! Jika kalian ingin melamar,
mengapa tidak cepat teruskan perjalanan?" kata Suro
sambil cengar-cengir. "Apa nanti kata calon besan jika
kalian datang membawa mayat sendiri. Kalau untuk
keperluan sayur atau gulai. Bukankah kambing atau
lembu masih banyak. Apa kalian sudah pada gila? Ma-
sa' daging sesamanya mau kalian jadikan sate?"
"Pemuda keparat!" Membentak Macan Terbang.
"Kau siapa sebenarnya? Rambutmu, wajah tololmu, ge-
rakan silatmu, rasa-rasanya tidak asing lagi bagiku!"
Orang bertatto tersebut tiba-tiba ketuk keningnya.
"Hmm, aku rasanya pernah mendengar saat hari kela-
hiranmu. Kau...!"
Macan Terbang tiba-tiba saja belalakan mata,
mulutnya terbuka lebar tanda kaget. "Menurut Ki Be
gawan Sudra bukankah kau si Bocah Ajaib itu!" desis
si kakek.
"Entahlah, peramal dari Pantai Selatan itu
mungkin sudah gila. Ramalannya hanya membuat aku
jadi yatim piatu. Hayo, aku masih memberi kalian ke-
sempatan untuk meneruskan perjalanan. Jika kalian
tetap membantah, jangan salahkan aku andai cuma
arwah gentayangan kalian saja yang sampai di tempat
tujuan!" gertak Pendekar Blo'on.
"Ayah, lebih baik perjalanan diteruskan. Biar-
kan saja pemuda gila itu hidup. Kelak jika kita berte-
mu lagi dengannya, kita dapat meminta nyawanya!"
kata sebuah suara dari dalam kereta kuda. Mungkin
inilah calon mempelai laki-laki. Suro tentu tidak dapat
melihat orangnya, kereta kuda itu tertutup rapat.
"Ya... lebih baik kalian cepat minggat. Aku ya-
kin anakmu takut mati. Jika anakmu mati, tentu calon
pengantin perempuan tidak mau kawin dengan bang-
kai! Ha ha ha...!"
Walau Macan Terbang sebenarnya tidak tahan
mendengar kata-kata Pendekar Blo'on. Di sisi lain ia
sangat sayang pada anaknya. Pemuda tampan ber-
tampang tolol ini tidak dapat dijajaki sampai di mana
kehebatannya. Bagaimana jika mereka kalah?
"Jalan...!" perintah Macan Terbang.
"Tapi, tetua...!" Kuping Tunggal tampak tidak
puas.
"Jalan kataku, goblok!" bentak Macan Terbang.
Bukan main kecewanya Kuping tunggal, seba-
gai seorang murid. Tentu ia tidak dapat membantah.
Maka mereka pun bergerak lagi tanpa pernah menoleh
ke belakang.
***
2
"Cantik! Keluarlah, orang-orang jelek itu sudah
berlalu. Dia tidak akan mengganggumu lagi!" seru Su-
ro. Belum sempat Pendekar Blo'on menoleh, tahu-tahu
gadis cantik baju hijau sudah berdiri di belakangnya.
"Heh...! Gerakanmu seperti bayangan saja, aku
ingin bertanya apakah orang-orang tadi telah menyu-
sahkanmu?"
"Kau orang goblok! Dengar pemuda sinting. Aku
adalah salah satu anggota tuan rumah. Kanjeng Sunan
Bandi Suliwa pamanku. Mereka adalah para tetamu
Kanjeng Sunan. Kau telah membuat aku kehilangan
muka di depan pamanku. Apa jawabku nanti jika be-
liau bertanya tentang tanggung jawabku tentang kea-
manan rombongan yang ingin melamar puteri Reza
Baiduri?" tanya si cantik baju hijau cemberut.
"Oh, maafkan aku. Sama sekali aku tidak tahu
bahwa kau sedang bertugas mengawasi para tamu
pamanmu yang hendak melamar keponakanmu! Maaf-
kan... sekali maafkan...!"
"Percuma saja. Berdoalah agar Macan Terbang
tidak melaporkan kejadian ini pada Kanjeng Sunan.
Jika hal itu sampai terjadi, paman ku bisa memenjara-
kan aku!" Gadis baju hijau mengeluh. Terlihat jelas ia
berusaha menyimpan ketakutannya.
Pendekar Blo'on tersentak kaget, "Seorang pa-
man tega menghukum keponakan sendiri? Baru sekali
ini aku mendengar. ada orang berbuat sekeji itu!"
Gadis baju hijau tidak segera menjawab. Per-
soalan yang sedang dihadapinya memang tidak mu-
dah. Malah begitu rumit berbelit-belit. Tidak ada seo-
rang pun yang dapat membantunya. Jika ia bersikap
kasar pada pemuda ini atau menangkapnya. Mungkinhal itu dapat dilakukannya, mengingat ia dapat berge-
rak cepat seperti kilat. Inilah sebabnya ia dikenal den-
gan julukan Puteri Kilat Bayangan. Mungkin pemuda
ini dapat membantunya dalam menyelesaikan masalah
puteri Reza Baiduri yang sesungguhnya sudah punya
seorang kekasih yaitu Ambar Alam.
"Mengapa kau diam Cantik? Apa kau mau
menghukumku? Untuk menebus kesalahanku, aku re-
la kau hadapkan pada Sunan Bandi Suliwa. Dengan
begitu tentu kau terbebas dari hukuman pamanmu?"
kata si konyol, tiba-tiba saja ia merasa iba.
"Kau memanggilku, Cantik? Berani benar kau
bicara begitu?" desis gadis baju hijau
Matanya membulat lebar mempesona, sehingga
membuat Pendekar Blo'on semakin salah tingkah dan
dag dig dug.
"Kau memang cantik, kecantikanmu setara
dengan bidadari. Karena kau tidak mau beritahu na-
ma. Maka aku terpaksa memanggilmu begitu!" jawab
Pendekar Blo'on sambil garuk-garuk kepala. Ketika ga-
dis baju hijau terus memandangnya. Suro tundukkan
wajahnya, ia tidak kuat menatap mata yang indah itu
berlama-lama.
"Panggil saja aku Puteri Kilat Bayangan." jelas
gadis baju hijau.
"Eeh... ha ha ha...! Julukanmu seperti ilmu lari
cepatku! Ahk... bagaimana ini." Suro seka keningnya.
"Jangan menghina. Ingat! Aku tidak mau ber-
tindak kasar padamu karena semata-mata aku mem-
butuhkan bantuanmu! Persoalan ini harus dapat dis-
elesaikan demi kemerdekaan sebuah hati yang tidak
berdaya terhempas belenggu adat!"
"Apa maksudmu!" tanya Suro. Tiba-tiba ia du-
duk bersila, tangannya menopang dagu tidak bedanya
dengan seorang pendengar yang sangat baik.
Gadis secantik bidadari itu membuang pandan-
gan matanya jauh-jauh. Keningnya berkerut, wajahnya
tampak resah, namun keresahannya itu membuatnya
semakin menggemaskan.
"Jelaskan dulu siapa dirimu?" desah Puteri
Kilat Bayangan.
"Aku...?!" Suro nyengir lalu garuk-garuk kepala.
"Namaku Suro Blondo. Anak yatim piatu, tidak punya
bapak tidak punya ibu, tidak juga babi atau babu...!"
Plak!
"Astaga! Kau berani menamparku?" desis Pen-
dekar Blo'on. Ia mengusap-usap wajahnya yang beru-
bah merah. Jika saja bukan gadis ini yang menampar-
nya. Tentu si konyol sudah membalas.
"Bicaramu kacau seperti orang setengah gila!"
dengus gadis baju hijau cemberut. "Bagaimana aku bi-
sa mengharap bantuanmu, jika sikapmu tidak pernah
serius?"
"Eemm, katakanlah. Dalam beberapa hal aku
juga masih bisa diajak serius." jawab Si Bocah Ajaib
sambil sesekali mencuri pandang.
Berhadapan dengan seorang gadis jelita yang
punya tatapan mata menggetarkan itu. Entah menga-
pa Suro tiba-tiba menjadi seperti seorang gadis yang
sangat pemalu.
"Begini, Sunan Bandi Suliwa adalah pewaris
Kasunanan Parit Wolu. Beliau punya seorang puteri
cantik Reza Baiduri. Tidak sebagaimana biasanya. Se-
tiap puteri kasunanan selalu dijodohkan dengan pan-
geran. Pamanku ingin menghapus tradisi lama. Karena
sejak muda beliau adalah orang yang banyak bergaul
dengan kalangan rimba persilatan. Yang aku sayang-
kan, Sunan punya tiga pilihan untuk puterinya. Per-
tama, cenderung memilih calon dari bekas sahabatnya
dulu. Diantaranya adalah putera Macan Terbang tadi.
Tapi kurasa masih akan datang lagi sahabat-sahabat
yang lainnya. Jika hal itu terjadi, maka keadaan san-
gat kisruh, di samping itu perlu kujelaskan padamu
bahwa puteri Reza Baiduri tidak mau dijodohkan...!"
"Mengapa begitu?" tanya Suro. "Apakah kepo-
nakanmu itu sudah punya kekasih?"
"Tepat. Dia sudah punya kekasih, bahkan me-
reka sudah saling mencinta sejak mereka berumur li-
ma belas tahun. Cuma Ambar Alam sekarang entah di
mana. Konon sejak Sunan Bandi Suliwa mengetahui
hubungan anaknya dengan pemuda itu. Sunan secara
diam-diam menangkap pemuda itu dan menghukum-
nya di sebuah tempat rahasia. Puteri tidak tahu bahwa
kekasihnya itu menjalani hukuman yang dijatuhkan
oleh ayahnya." jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Lalu apakah Reza Baiduri masih mencintainya
setelah terpisah sekian lama?"
"Cintanya sedalam laut seluas jagad, tidak ter-
pisahkan walau nyawa jadi taruhannya."
"Cek cek cek! Hebat betul. Kekasih yang setia
seperti itu jangan dikuburi kalau belum mati." celetuk
Suro sambil nyengir. "Lalu apa yang harus kulakukan
Cantik, eeh Putri?"
"Aku minta kau mau mencari Ambar Alam dan
membawa pemuda itu secepatnya ke Parit Wolu. Aku
jadi khawatir jika pemuda itu tidak cepat-cepat datang
puteri Reza terlanjur terikat tali perkawinan secara
paksa."
"Di mana aku mencarinya? Apakah kau bisa
menjamin pemuda itu masih hidup hingga saat ini?"
"Hi hi hi...! Kau pergilah ke daerah Tujuh Goa
Larangan. Ambar Alam menjalani hukuman di salah
satu gua itu. Antara hidup dan mati kemungkinannya
setengah berbanding setengah. Kalau pun dia sudah
tiada. Paling tidak kau dapat membawa kerangka
mayatnya untuk ditunjukkan pada Puteri Reza."
"Engkau sendiri bagaimana?"
"Aku harus kembali ke Kasunanan Parit Wolu.
Sedapatnya aku harus mencegah perkawinan secara
paksa itu." jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Tapi... eeh...!" Suro Blondo jadi terkejut sekali
ketika melihat gadis secantik Bidadari tersebut telah
lenyap dari hadapannya. "Secepat itu dia pergi. Pantas
ia dijuluki Puteri Kilat Bayangan." Si Konyol geleng-
gelengkan kepala.
* * *
Selama hampir lima tahun lebih pemuda itu di-
benamkan di dalam gua kecil yang cuma seukuran tu-
buhnya. Tangannya terantai, kaki terbelenggu. Selama
itu ia tidak kuasa bergerak sama sekali. Karena per-
mukaan gua itu menghadap ke langit mirip sebuah lu-
bang. Tidak heran bila perubahan cuaca mempenga-
ruhi tubuhnya. Bila panas terik, ia merasa seperti ter-
panggang di atas api. Bila malam tiba, maka cuaca
dingin menggerogotinya, menyusup hingga ke sum-
sum tulang. Tidak tertahankan betapa beratnya siksa
yang ia alami.
Menjalani siksaan di alam terbuka seperti itu,
di sebuah daerah sunyi tidak bertuan adalah suatu
cobaan yang Maha berat. Sekujur tubuhnya mulai dari
bagian dada ke atas tampak hitam. Sedangkan bagian
lain yang terbenam di dalam gua putih seperti tidak
berdarah. Selama itu ia tidak makan apa-apa. Kalau ia
merasa haus, ia harus menunggu malam hari tiba di
mana embun akan menetes dari langit. Ia cukup hanya
membuka mulutnya. Sepanjang malam paling ia hanya
mendapat tiga tetes embun. Pabila ia lapar, maka ia
hanya dapat memakan jamur merah yang terdapat di
mulut gua. Itu pun hanya didapatnya bila musim hujan tiba.
Jamur-jamur yang tumbuh sebulan sekali itu-
lah yang membuatnya bertahan hidup hingga saat ini.
Tapi akibat jamur-jamur itu pula yang merubah jalan
hidupnya, jalan pikirannya pun bahkan berubah. Dulu
setelah setahun ia menjalani hukuman dibenam di gua
sempit tersebut. Ia pernah didatangi oleh sosok tubuh
berpakaian serba putih. Orang yang dapat datang dan
pergi secepat setan itu menyebut dirinya sebagai Dewa
Rindu. Ia pun masih ingat dengan pesan-pesannya,
yang penuh kearipan namun menghiba-hiba.
"Anak manusia yang terpasung di kulit bumi!
Takdir telah menentukan jalan hidupmu begini. Jan-
gan salahkan dirimu, usah pula kau salahkan keten-
tuan hukum yang berlaku atas dirimu, hu hu hu...!
Cinta adalah awal kebahagiaan dan awal celaka. Pen-
deritaan dan kekecewaan. Tempat menggantung harap
dan tempat meminta adalah pada Tuhanmu! Bukan
manusia manapun. Sebab bagaimana pun tingginya
derajat manusia, ia tidak punya kuasa atas dirinya
atau diri orang lain. Nah sekarang apa jawabmu?"
Saat itu Ambar Alam dalam keadaan sadar dan
tiada. Suara itu lamat-lamat terdengar oleh pemuda
yang didera penderitaan,
"Aku hanya meminta agar Anda mau membuka
belengguh keparat dan menarikku dari dalam lubang
celaka ini!" jawab Ambar Alam.
Dewa Rindu gelengkan kepala. "Aku tidak dapat
melakukannya? Hanya Tuhan yang mampu berbuat
sekehendak hatinya. Kau sekarang berada di ruang
Pembatas Siksa. Ikatan itu akan lenyap dengan sendi-
rinya bila pakaian di tubuhmu telah lapuk semua. Kau
bisa minta seribu pertolongan dariku yang lain. Bukan
yang satu ini." kata Dewa Rindu.
"Berarti aku akan mati sengsara di sini? Aku tidak mendapatkan air dan tidak mendapatkan maka-
nan pula."
"Langit selalu mencucurkan air rahmat untuk
setiap makhluk. Dengan air itu pula tumbuh-
tumbuhan dapat hidup. Di permukaan gua ini akan
segera tumbuh Jamur Dewa. Jamur berkhasiat...!"
"Selama setahun di sini aku tidak pernah meli-
hat jamur itu. Berilah aku kesaktian, yang dengan ke-
saktian itu derajatku di atas tokoh-tokoh sakti. Se-
hingga hidupku menjadi berguna dan tidak terhina?!"
"Selama kau berada di sini, suasana dalam
keadaan musim kemarau. Jamur mukjijat itu hanya
dapat tumbuh bila udara lembab atau musim hujan.
Sedangkan mengenai kesaktian, kau akan menda-
patkannya secara alamiah. Kesaktianmu berada di
atas tokoh-tokoh manapun. Banyaklah merenung, ba-
nyak pula berpikir atas jamur-jamur yang akan kau
makan nanti. Kau akan berada di alam pikiran yang
sangat lain, kau akan mendapatkan kata-kata yang
dapat melindungi dirimu. Setiap kata yang kau
ucapkan adalah kehancuran bagi dirimu juga kebaikan
pula atas jiwamu. Aku datang sekali dalam hidupmu.
Nah... Gusti Allah memberimu jamur Dewa yang san-
gat berkhasiat. Jamur Dewa, ingat...! Dewa Sabrang...
Dewa Sabrang...!"
Suara itu mengiang-ngiang di dalam telinganya,
berputar-putar merasuk lembut dalam otaknya, berge-
rak dalam darah menyatu dalam hati. Hingga Ambar
Alam merasa terbebas dari belenggu penderitaan, dari
ketidak pastian cinta yang terhalang tembok berduri
yang kini malah menjerumuskannya dalam kesengsa-
raan.
"Dewa Sabrang...!" desis Ambar Alam berusaha
mengulang-ulang ucapan Dewa Rindu yang kini telah
lenyap dari hadapannya.
Demikianlah, hari terus datang silih bergan-
ti. Apa yang dikatakan oleh Dewa Rindu memang ter-
bukti, jamur Dewa yang berwarna merah itu tumbuh
setiap sebulan sekali. Ambar Alam atau yang selalu
mengingat dirinya dengan Dewa Rindu dapat bertahan
hidup, dengan memakan jamur tersebut. Tentu saja ti-
dak mempergunakan kaki dan tangannya yang terbe-
lenggu. Melainkan langsung dengan mulutnya. Reaksi
dari jamur-jamur itu memang sangat hebat. Hari per-
tama Ambar Alam memakan jamur tersebut ia lang-
sung tidak sadarkan diri selama sepekan. Akan tetapi
setelah sadar, ia segera dapat merasakan tubuhnya
menjadi sangat ringan tanpa bobot. Namun keanehan
lainnya pun terjadi. Ia hampir lupa pada dirinya sendi-
ri, hanya guratan-guratan masa lalu saja yang terka-
dang membayang dalam pikirannya. Terkadang Dewa
Sabrang memperhatikan bentuk jamur yang meliuk-
liuk. Bertudung seakan melindungi diri. Jamur itu
menyilang antara yang satu dengan yang lainnya. Yang
mengejutkan baginya, bila ada serangga yang hinggap
di bagian tudung jamur. Maka binatang-binatang itu
langsung menggelepar mati.
Sekarang Ambar Alam alias Dewa Sabrang juga
suka bicara pada dirinya sendiri. Lidahnya seringan
kapas. Dalam berpikir dan dalam perenungan yang
panjang. Melahirkan kata-kata yang terkadang men-
gandung arti kehidupan, walau tidak jarang mengisya-
ratkan kehampaan-kehampaan hidup yang dilaluinya.
Di sini aku sendiri
Meratapi waktu menghitung hari
Dua alam yang telah kulalui
membuatku masih belum mengerti diri...
Alam rahim telah pun berlalu, alam dunia, sedang kujalani
Alam kubur sangat mengerikan bagiku Alam ak-
herat sedasyat-dasyatnya penderitaan...
Celakanya manusia mudah berjanji
Sengsaranya umat menyanggupi apa yang tidak
mampu, ia mengerjakannya.
Celakanya aku karena berharap dan me-
minta cinta manusia?
Ya... Gusti Allah...
Aku lupa pada janjiku padamu ketika berada di
alam rahim
Aku lupa untuk apa aku dihidupkan di dunia
ini...
Sebaik-baiknya manusia adalah diam membisu,
daripada bicara tidak berguna...
Dan dari setiap kealpaan yang ada,
Baru kusadari bahwa waktu hidupku di dunia
ini semakin sempit dan tiada lama lagi...
Pakaian ini telah lapuk, jasad ini kian merenta
Aku tidak bisa menghindar dari setiap janji dan
ketentuanMu
Maka terbebaslah aku dari neraka dunia yang
menipu dan memperdaya
Untuk pertama kalinya setelah lima tahun be-
rada di gua sempit itu Dewa Sabrang memandang ke
langit. Matanya berkaca-kaca, tiba-tiba saja ia menun-
dukkan wajahnya kembali.
"Aku hanya seorang hamba, aku tidak pantas
memandang ke langit. Aku hanya berhak memandang
ke bumi. Manusia tanpa kebaikan adalah makhluk
yang paling hina... ukh... ukh...!"
***
3
Dewa Sabrang menggerakkan tubuhnya. Maka
secara tidak terduga-duga pakaiannya yang sudah la-
puk itu pun hancur. Lalu kedua tangannya yang terbe-
lenggu rantai dan terjepit di tengah-tengah mulut gua
sempit terbuka. Kini dengan leluasa ia dapat bergerak,
kedua tangannya ditarik keluar. Setelah tangan dapat
digerak-gerakkannya, hanya beberapa saat setelah itu
dipukulnya tanah yang melingkar disekeliling pingang-
nya.
Buummm!
Terjadi ledakan keras. Tanah di depan mulut
gua kecil hancur berantakan menjadi kepingan debu.
Ini sungguh menakjubkan sekali, sebab tanah tersebut
sebelumnya keras melebihi batu karang. Dewa Sa-
brang menggerakkan tubuhnya.
Tidak lama ia telah melompat keluar. Rantai
yang membelenggu kakinya ternyata sudah terlepas.
Yang mengherankan dari bagian dada ke bawah kulit
Dewa Sabrang tampak putih berkilau-kilauan. Pemuda
itu memperhatikan dirinya yang lucu. Tiba-tiba saja ia
meraung, satu pukulan dilepaskannya secara bertu-
rut-turut. Bukit-bukit yang terdapat di depannya han-
cur berantakan. Tanah dan debu berterbangan. Dewa
Sabrang tertunduk lesu. Kedua tangannya semakin
menghitam, sebaliknya bagian pusat ke bawah ber-
warna putih mengkilat.
Memandang ke langit aku malu
Berpaling ke belakang kulihat puing-puing cinta
yang hitam
Kuterjebak derita karena cinta
Karena berharap karena pinta
Kini engkau entah berada di mana
Entah milik siapa?
Aku ingin pulang
Aku lupa segala di mana rumahku
Lalu mana yang harus kupilih?
Mencari cintaNya jauh dari keramaian dunia
Menyendiri dalam sunyi kulihat keberadaan-
nya....
Lalu tangisku ini adalah kepasrahan diri dalam
penghambaanku sampai akhir hidup aku melihat du-
nia,...
Dewa Sabrang terdiam. Ia tenggelam dalam pe-
renungan. Dia larut dalam pemikiran yang mendalam.
Sekejab kemudian daun telinganya bergerak-gerak. La-
lu Dewa Sabrang memandang ke satu arah.
"Siapa di situ?" bentaknya. Suaranya pelan saja
tapi membuat sakit telinga yang mendengarnya.
"Aku di sini? Situ siapa?" sahut sebuah suara.
"Perlihatkan diri, aku tidak suka membunuh
orang tanpa kukenal wajah dan namanya!"
Dari balik bukit kemudian muncul sosok tubuh
berpakaian serba biru. Pemuda itu tidak hentinya
menggaruk kepala, namun setelah melihat keadaan
Dewa Sabrang yang tidak berpakaian sama sekali. Ta-
wa pemuda ini tertawa bergelak.
Datang dari jauh membawa amanat
Membawa tugas yang juga berat
Sampai di tempat apakah tidak kuwalat
Melihat barang keramat tidak disunat
Ha ha ha...!
Mendengar ucapan Suro Blondo yang menyin-
dirnya itu, Dewa Sabrang segera menyadari akan keadaan dirinya sendiri. Ia langsung tekap bawah pusar-
nya. Sekali ia melompat sampailah Dewa Sabrang di
depan pemuda rambut hitam kemerahan. Ia menceng-
keram leher pemuda itu, dengan demikian maka ter-
buka auratnya. Suro berkelit menghindar sambil me-
nunjuk-nunjuk.
"Hei... malu-malu... tutupi dulu buah jambu
monyet dan batangnya. Setelah itu baru kau boleh ber-
tindak sesuka hati." kata Suro di sertai tawa bekaka-
kan.
Lagi-lagi Dewa Sabrang urungkan niatnya. Lalu
tutupi dia punya. Wajah pemuda berambut panjang
menjela ini berubah kelam.
"Serahkan celanamu?" pinta Dewa Sabrang pe-
nuh ancaman.
"Mana bisa. Celanaku cuma atu-atunya. Kalau
kuberikan padamu berarti aku menjadi seperti sauda-
ra. Malu... ha ha ha... malu...!"
"Jika demikian kau benar-benar ingin cepat
mati!" desis Dewa Sabrang. Ia bermaksud menerjang
Pendekar Blo'on, namun pemuda itu dengan cepat
mencegahnya.
"Urungkan niatmu Ambar Alam. Aku datang
dengan membawa maksud yang sangat baik untuk-
mu!" jelas Pendekar Blo'on.
"Aku sama sekali tidak mengenalmu, berita apa
yang kau bawa? Ingat! Aku mulai saat ini telah ber-
sumpah untuk menjauhi keramaian dunia ini yang te-
lah menyeretku dalam belenggu kesengsaraan." tegas
Dewa Sabrang.
"Aku Suro Blondo, bukankah saudara yang
bernama Ambar Alam?" tanya Si Bocah Ajaib menyeli-
dik.
Dewa Sabrang kerutkan keningnya. Seakan ia
sedang berusaha mengingat-ingat siapa dirinya. Tapi
justru yang teringat olehnya adalah seseorang yang te-
lah menyakiti dirinya....
"Adakah kau pernah menyadari siapa dirimu?
Kau bukan keturunan bangsawan atau Kasunanan.
Sedangkan Reza Baiduri adalah anak orang berpang-
kat. Bangsawan dan terpandang di mata dunia, jangan
lagi kau dekati puteriku. Jangan dekati... jangan...
jangan...!"
Suara itu mengiang-ngiang di telinganya. Se-
hingga Dewa Sabrang terpaksa menutupi telinganya.
"Ada apa saudara?" tanya Suro serius.
Dewa Sabrang gelengkan kepala. "Aku bukan
Ambar Alam! Aku tidak suka dengan nama lama. Na-
ma itu hanya membawa kesialan dalam hidupku. Kau
dengar pemuda bertampang tolol?!"
Si Bocah Ajaib anggukkan kepala. Untuk me-
nunjukkan itikad baik Suro lepaskan bajunya dan me-
nyerahkannya pada Dewa Sabrang.
"Pakailah! Nanti jika kita sudah berada di kota,
aku dapat mencarikan pakaian yang pantas untukmu!"
"Baju ini tidak mungkin kupakai. Kalau atas
tertutup bawah tidak! Sebaiknya begini saja...!" Dewa
Sabrang kemudian melilitkan pakaian itu ke bagian
pinggang.
"Waduh, baju dipakai seperti celana. Bagaima-
na jika tiba-tiba saja ia kencing atau ngompol? Mana
mungkin aku melarangnya, aku takut dia salah pen-
gertian." kata Pendekar Mandau Jantan dalam hati.
Merasa serba salah, akhirnya ia hanya dapat garuk-
garuk kepala saja.
"Kulihat kau sangat baik. Semoga kebaikanmu
tidak menipu. Nah sekarang coba kau katakan kabar
apa yang kau bawa dan siapa yang memberi kabar ke-
padamu?"
"Menurut Puteri Kilat Bayangan. Apa yang terjadi pada dirimu karena ulah orang tua Reza Baiduri.
Dan...."
"Tunggu dulu!!" Dewa Sabrang cepat memo-
tong. "Puteri Kilat Bayangan jika tidak salah adalah bi-
bi gadis itu. Selama aku menjalin cinta dengan kepo-
nakannya, dia tidak pernah mengganggu kami, bah-
kan kelihatannya ia mendukung, merestui hubungan
kami. Puteri Kilat Bayangan Sakti, ilmu silatnya tinggi.
Kabarnya ia belajar itu di Puri Setan. Gurunya seorang
perempuan misterius yang cantik pula. Tapi Sunan
Bandi Suliwa lebih sakti lagi, beliau punya Seruling
Akherat. Salah satu kehebatan Sunan telah ditunjuk-
kan padaku dengan membenamkan aku di gua Batas
Penyiksaan. Tempat terlaknat yang membuatku men-
derita selama hampir lima tahun. Hal ini tidak akan
terjadi jika aku tidak nekad berpacaran dengan puteri
tunggalnya. Huh... sungguh aku sudah bosan memi-
kirkan dunia. Manusia kebanyakan tidak memandang
keluhuran hati dan ketulusan cinta. Orang cuma sela-
lu bertanya apa yang dia punya, apa jabatannya apa
kedudukannya."
"Sebenarnya siapa engkau yang sebenarnya
saudaraku?"
"Aku tidak tahu, ayah ibuku sudah lama me-
ninggal. Sunan yang kemudian menolongku dan men-
gangkat aku menjadi bendara upeti. Salahkah aku jika
menaruh cinta pada puterinya? Sementara Reza Bai-
duri juga menaruh cinta padaku!"
"Tentu saja tidak salah. Yang salah jika laki-
laki bercinta dengan laki-laki, perempuan dengan pe-
rempuan. Lonceng dengan lonceng, gunung dengan
gunung. Kalian berjalan di atas kodrat, tapi biasanya
manusia ada yang tidak suka dengan kodratnya."
"Betul. Menurut Sunan, perbedaan aku dengan
puterinya tidak ubahnya seperti langit dengan bumi.
Dia berkuasa atas puterinya. Padahal manusia se-
sungguhnya tidak punya kuasa apa-apa atas diri orang
lain!"
"Aku paham maksud ucapanmu. Sekarang
yang ingin kusampaikan padamu. Puteri Kilat Bayan-
gan berharap agar aku menemukanmu, sekarang su-
dah bertemu. Ketahuilah, sebelum kemari aku melihat
ada rombongan yang ingin pergi ke Parit Wolu. Menu-
rut si Cantik, orang itu masih sahabat Sunan Bandi
Suliwa. Mereka mau melamar Reza Baiduri, konon ma-
sih ada lagi rombongan yang lain. Mereka punya tu-
juan yang sama. Puteri Kilat Bayangan mengharap
agar kau dapat datang ke sana. Reza Baiduri selalu
menantikan kehadiranmu." jelas murid Penghulu Si-
luman Kera Putih dan Malaikat Berambut Api serius.
Ada perubahan pada wajah Dewa Sabrang yang
hitam. Tatapan matanya kosong. Lalu dia gelengkan
kepala berulang-ulang....
Berpaling pada masa lalu adalah kehinaan
Untuk apa aku kembali jika hanya menyakitkan
hati,
Biarlah semuanya berjalan menurut takdir dan
kehendak
Harapku dan pintaku pada manusia telah le-
nyap
Dalam sunyi dan perenungan yang panjang
Sesungguhnya aku pernah datang pada jalan
yang salah
Langkah keinginan hati sudah lama kukubur
Di dalam gua sempit penyiksa terlaknat...
Mengertikah kau hai pembawa amanat??
Lagi-lagi Suro tertegun. Ia berpikir rupanya
pemuda ini pernah mengalami guncangan batin yang
sangat berat. Lalu sekarang bagaimana cara ia mem-
bujuk Dewa Sabrang agar bersedia ikut bersamanya ke
Parit Wolu?
"Sahabat Suro, amanat telah kau sampaikan,
sekarang pergilah! Jangan kau hiraukan aku!" tegas
Ambar Alam.
"Dewa Sabrang! Seburuk-buruknya manusia
adalah orang yang mengabaikan perasaan orang lain.
Reza Baiduri siang dan malam selalu mengharapkan
kehadiranmu, menanti kedatanganmu dan membawa
dia pergi dari penjara tradisi yang selama ini sangat
menyiksanya. Percayalah, dia tidak pernah jauh dari
hatimu."
"Entahlah, aku tidak bisa memutuskan apa-apa
saat ini. Selamat tinggal...!" Sebelum gema suaranya
lenyap, Dewa Sabrang telah berkelebat pergi mening-
galkan Suro.
"Tunggu...!" cegah si pemuda. Saking bingung-
nya Pendekar Blo'on cuma dapat garuk-garuk kepa-
lanya. "Apa nanti jawabku jika Puteri Kilat Bayangan
bertanya tentang Ambar Alam? Apapun resikonya aku
harus segera ke Parit Wolu:" kata si pemuda.
* * *
"Hentikanlah tangismu?!" membentak laki-laki
setengah baya berpakaian bangsawan pada gadis can-
tik bertubuh kurus. Walau pun wajahnya menyimpan
duka yang mendalam. Hal ini tidak dapat menghapus
kecantikannya yang menawan dan sangat alami itu.
"Sebentar lagi orang-orang yang akan mela-
marmu datang. Bagaimana kata mereka nanti jika me-
lihatmu bersedih terus?" dengus laki-laki yang tidak
lain adalah Sunan Bandi Suliwa marah.
"Saya tidak mau menikah dengan laki-laki ma-
na pun pilihan ayah! Ayah selalu memaksa dan mau
menang sendiri, mengapa tidak ayah saja yang kawin
dengan mereka?!" sahut Reza Baiduri dengan wajah
tertunduk.
Plak!
"Aoww...!"
Si gadis menjerit kesakitan, tubuhnya terlem-
par dan jatuh terhempas di sudut ranjang. Dari sudut
bibirnya meneteskan darah. Tangis puteri Reza Baiduri
semakin tersendat-sendat.
"Mengapa tidak ayahanda bunuh saja aku? In-
gat ayah, jika ayah terus memaksaku, aku lebih baik
memilih mati!"
"Kurang ajar! Anak tidak tahu membalas guna!"
teriak Sunan Bandi Suliwa, ia hendak menampar
anaknya lagi, namun urung begitu mendengar suara
pintu diketuk oleh se-seorang. "Siapa?"
"Hamba Sunan Hamba hendak melapor tentang
kedatangan Kala Demit dan muridnya?"
Sunan membuka pintu, wajahnya masih me-
nyiratkan kemarahan. Lalu seraya menoleh pada Pute-
ri Kilat Bayangan.
"Keponakanku, jaga puteri Reza. Jangan sekali
pun lengah. Dia menjadi tanggung jawabmu. Jika
sampai terjadi apa-apa dengannya aku tidak segan
memenggal kepalamu!"
"Baik, paman Sunan!" sahut si jelita,
Bandi Suliwa segera meninggalkan kamar pu-
trinya. Dengan diikuti oleh seorang pengawal ia menu-
ju ke halaman depan. Ternyata di sana telah berdiri
seorang laki-laki berpakaian hitam berwajah angker
bengis.
Di samping laki-laki itu tampak seorang pemu-
da gagah angkuh berpakaian sama seperti si kakek.
Di punggungnya terdapat, buntalan juga tersembul se-
buah kebutan berwarna hitam.
"Sahabatku Kala Demit! Aih, tidak kusangka
kau memenuhi undanganku. Silakan masuk!" perintah
Sunan Bandi Suliwa dengan ramah. Tanpa basa basi
lagi, tokoh dari Pasuruan ini langsung mengikuti tuan
rumah. Mereka duduk di atas permadani tebal berwar-
na hitam.
"Sudah lama kita tidak saling bertemu! Apa ka-
barmu, Kala Demit?"
"Keadaanku masih tetap sama seperti dulu. Ha
ha ha...!" Laki-laki itu tertawa membahak.
"Inilah muridmu?" tanya Sunan sambil menge-
lus-elus janggutnya.
"Ya...!"
"Dulu kau mengatakan punya dua murid. Sete-
lah gagal mendapatkan si bayi Ajaib yang terlahir pada
malam satu Asyuro. Lalu mana muridmu yang satunya
lagi?"
"Muridku yang satunya lagi termasuk murid
bengal, meskipun ia seorang gadis. Ia suka berpetua-
lang dan sering berada di pantai Selatan! Susah men-
gatur murid bengal itu. Sedangkan muridku yang ini
adalah anak berbakti, penurut dan seluruh ilmu ke-
pandaianku telah kuturunkan kepadanya. Kekuran-
gannya adalah dia kurang pintar bicara, aku yakin dia
pasti sangat cocok berjodoh dengan putrimu. Sekarang
aku menyatakan mau melamar putrimu untuk kujo-
dohkan dengan muridku! Bagaimana apakah kau setu-
ju...?"
"Ha ha ha...! Masalah itu sebaiknya kita bicara-
kan nanti saja. Sebab masih ada lagi seorang pelamar,
dia anak Macan Terbang! Mengenai siapa nanti yang
dipilih oleh putriku. Kita sebagai orang tua tidak perlu
kecewa, bukankah begitu sobat Kala Demit!"
"Tentu saja... ha ha ha...!" sahut si kakek. Dalam hatinya memaki. "Jika tidak kudapatkan putrimu
secara baik-baik, tentu aku punya seribu akal untuk
menghancurkan saingan muridku!"
***
4
"Untuk menunggu kedatangan tamu kedua se-
kaligus yang terakhir, alangkah baiknya jika sekarang
ini engkau dan muridmu menikmati hidangan yang te-
lah tersedia, Kala Demit!"
Beberapa pelayan yang masih sangat muda-
muda langsung menyediakan berbagai jenis makanan
di atas permadani.
"Ini hari yang menyenangkan, muridku. Apa
pendapatmu jika kau menjadi menantu Sunan Bandi
Suliwa kelak?" Kala Demit melirik pada pemuda ang-
kuh yang duduk di sampingnya. Pemuda gagap ini lalu
menjawab...
"Ka... ka ka... lau, Su-su-nan, menjadi mertua-
ku. A-a-a-ku... tentu sangat bahagia sekali...!"
"Tentu kau ingin melihat calon isterimu, bu-
kan? Dapatkah kau katakan padaku bagaimana ra-
sanya kau jatuh cinta?" tanya Kala Demit disertai se-
nyum.
"Ra-ra-rasanya jatuh cin-cin-ta. Aku se-seperti
i-i-ingin, be-berak-berak dan ken-kencing melulu!" sa-
hut Sidra Gagap.
Wajah Sunan Bandi Suliwa berubah merah pa-
dam. Sebaliknya Kala Demit malah tertawa tergelak-
gelak.
"Anak setan ini bicaranya saja tidak lempang.
Bagaimana mungkin putriku bisa tertarik padanya?"
maki Sunan dalam hati.
"Kau dengar Sunan. Muridku ternyata sudah
tidak sabar. Untuk kesungguhanku ini. Maka aku
membawakan mutiara serta emas berharga yang tidak
ternilai harganya." Kala Demit mengambil buntalan be-
sar yang berada di pundak Sidra Gagap. Ketika bunta-
lan itu dibuka di depan Sunan Bandi Suliwa, maka
yang dikatakan oleh Kala Demit itu memang tidak me-
nyimpang.
"Aku merasa berterima kasih atas penghargaan
ini. Walau bagaimana pun kita harus menunggu pela-
mar kedua!" tegas Sunan Bandi Suliwa. Kala Demit
manggut-manggut, walau hatinya merasa tidak senang
sekali.
"Kanjeng Sunan, rombongan dari Lembah Ke-
binasaan datang." lapor seorang pengawal yang datang
tiba-tiba. Sunan melirik pada tamunya sekilas.
"Saudara Kala Demit harap tunggu di sini. Se-
bentar lagi kita bisa berkumpul bersama tetamu yang
lainnya."
"Silakan!" jawab si kakek cemberut.
Di halaman depan tampak beberapa orang laki-
laki berkuda. Salah seorang di antaranya adalah orang
tua bertelanjang dada berbibir dower. Sekujur tubuh-
nya penuh tatto bergambar harimau. Tatapan matanya
sinis, sedangkan di belakangnya tampak sebuah kereta
kuda. Ketika pintu kereta terbuka, maka dari dalam
kereta itu muncul seorang pemuda berkepala setengah
botak, perutnya agak gendut, tidak memakai baju, ce-
lana kedodoran dan ia selalu menggaruk-garuk seku-
jur badannya. Rupanya pemuda itu menderita penya-
kit kurap yang tidak pernah tersembuhkan.
"Sahabatku Sunan Bandi Suliwa, akhirnya aku
dapat juga menginjakkan kaki di kasunanmu. Lihatlah
anakku sudah dewasa kini. Dia siap berjodoh dengan
putrimu!"
"Gila... mengapa begini jadinya? Anak Macan
Terbang ini semula kukira tampan sebagaimana kecil
dulu. Tidak tahunya kini setelah dewasa malah ber-
tambah jelek penyakitan! Oh... bagaimana pun aku ti-
dak mungkin menarik ucapan kembali. Salah seorang
diantara mereka akan menjadi calon pendamping pu-
triku!" pikir Sunan.
"Marilah masuk sahabatku. Aku tentu tidak
dapat melupakan jasa baikmu dan Kala Demit yang
pernah menolongku ketika dulu Kasunanan ini menja-
di rebutan antara aku dan adikku Rara Ayu."
"Sukurlah kalau kau mau mengingat jasa baik
orang lain. Ingat aku ada membawa barang-barang
berharga untuk meminang putrimu! Tentu saja aku ti-
dak sakit hati andai nanti ternyata putrimu tertarik
pada murid Kala Demit."
"Ha ha ha...! Kau orang yang mudah mengalah,
Macan Terbang. Belum juga pertemuan dilaksanakan,
kau sudah bersikap pasrah!"
"Semua ini kulakukan demi menjaga nama baik
persahabatan! Bukankah begitu?" sahut Macan Ter-
bang.
Si bibir dower ini lalu mengikuti tuan rumah
menuju ke ruangan tamu. Setelah berada di dalam,
ternyata Macan Terbang melihat Kala Demit dan mu-
ridnya sudah berada di sana.
Kala Demit yang telah sama kita ketahui (Da-
lam Episode Neraka Gunung Bromo) ikut membunuh
Satria Purba juga isterinya. Yaitu orang tua Pendekar
Blo'on, dalam usahanya mendapatkan bayi ajaib yang
terlahir pada malam satu Asyuro. Ia hanya tersenyum
tipis melihat kehadiran Macan Terbang.
"Ternyata kami datang terlambat, anda telah
mendahului kami, sobat Kala Demit!" kata Macan Ter-
bang sekedar basa-basi.
"Bagaimana pun Sunan tetap berkenan me-
nunggu kedatanganmu! Nah sekarang tunggu apa lagi.
Bukankah Sunan sudah dapat memanggil putri Reza
agar dia dapat memilih yang mana diantara dua pe-
muda yang menjadi pilihannya?" Kala Demit keliha-
tannya sudah tidak sabar sekali.
"Baiklah! Tunggu di sini, sebentar lagi putriku
pasti akan kemari!" Sunan Bandi Suliwa kemudian
meninggalkan para tamunya. Tidak lama kemudian
muncullah puteri Reza Baiduri diiringi Sunan dan juga
Puteri Kilat Bayangan.
Semua hadirin terkesima melihat kecantikan
Reza, tapi ternyata gadis baju hijau yang mengirin-
ginya lebih cantik lagi. Matanya indah seperti bintang
kejora dan penuh daya pesona yang sangat tinggi. Se-
tiap laki-laki normal pasti cenderung memilih Puteri
Kilat Bayangan, walau pun memang patut diakui Pute-
ri Reza juga sangat cantik.
"Sunan, apakah kedua gadis ini putrimu?"
tanya Kala Demit sambil berdecak kagum.
"Yang satunya adalah keponakanku!" sahut
Sunan Bandi Suliwa. Lalu ia menoleh pada putrinya.
"Nah putriku, kau sekarang tinggal memilih yang mana
diantara kedua pemuda itu yang kau sukai?"
Puteri Reza yang sangat takut pada ayahnya ini
sama sekali tidak memberikan jawaban apa-apa. Ia
memandang pada kedua pemuda itu dengan perasaan
jijik. Air matanya bergulir, tanpa sadar kepalanya te-
rangguk-angguk searah pada Sidra Gagap.
Rupanya arti anggukan yang tidak di sengaja
ini di artikan lain baik oleh Sunan sendiri maupun Ka-
la Demit dan muridnya.
"Aih... di-di-a mau pada kau. A... aku juga mau.
A-a-aku ja-di kawin? Ha ha ha, guru...!" Sidra Gagap
berjingkrak-jingkrak. Sebaliknya puteri Reza terkesiap.
Ia berlari ke kamarnya. Puteri Kilat Bayangan terkesi-
ma namun juga tidak mengejar.
"Ayah...!" Randu Walang protes. "Puteri itu,
menjatuhkan pilihan pada pemuda jelek gagap itu?!
Bagaimana dengan aku, ayah?" tanya pemuda berke-
pala botak kurapan itu seperti hendak menangis.
Sidra Gagap tertawa. "Li-lihat-lah... gu-guru. Si
botak ke-kecewa. Malang benar nasibnya!"
Macan Terbang tidak kehabisan akal. Walau
pun tidak mendapatkan puteri Reza, bukankah gadis
baju hijau itu kecantikan menyamai bidadari. Anaknya
pasti tidak menolak berjodoh dengan gadis itu. Dia le-
bih cantik dan bentuk badannya juga lebih bagus dari
puteri Reza. Sunan, apakah aku boleh usul?" bertanya
Macan Terbang.
"Tentu saja. Silakan."
"Murid Kala Demit sudah berjodoh dengan pu-
terimu, sedangkan anakku belum berjodoh. Bagaima-
na jika keponakanmu itu kupilih menjadi pendamping
Randu Walang?" Pertanyaan itu kelihatannya biasa-
biasa saja, namun sangat mengejutkan bagi Puteri Ki-
lat Bayangan.
"Dikiranya aku ini kambing, main jodoh-
jodohkan saja. Manusia kurapan begitu siapa sudi.
Nenek-nenek keriput pun pasti tidak sudi berjodoh
dengan si botak!" maki gadis baju hijau dalam hati.
Sunan Bandi Suliwa terdiam untuk beberapa
saat lamanya. Ia mengelus-elus jenggotnya yang cuma
beberapa gelintir itu.
"Keponakanku, apakah kau menerima tawaran
itu? Ketahuilah, mereka ini adalah sahabat-sahabatku.
Kau tidak boleh mengecewakan mereka!"
"Paman, sudah kukatakan aku tidak akan
mengambil laki-laki manapun sebelum aku dapat me-
nemukan siapa yang telah membunuh kedua orang
tuaku. Sedikit pun tidak terlintas dalam pikiranku un-
tuk menikah. Harap paman tidak kecewa!" tegas Puteri
Kilat Bayangan.
Maka memerahlah wajah Sunan mendengar
ucapan keponakannya. Apalagi ketika itu mereka be-
rada di tengah-tengah orang lain.
"Putri, kau bicara apa? Sadarkah kau sedang
berhadapan dengan siapa?" bentak Sunan marah.
"Maafkan aku, paman...!" kata Puteri Kilat
Bayangan. Lalu tanpa bicara apa-apa lagi, dengan wa-
jah tertunduk gadis baju hijau meninggalkan ruangan
pertemuan itu.
"Ah... maafkan sahabatku!" kata Macan Ter-
bang. "Seharusnya aku tidak salah bicara."
"Jangan tersinggung, Macan Terbang. Lama-
ranmu pada keponakanku tetap kuterima. Dia masih
bisa dibujuk. Apa yang terjadi barusan tadi karena ia
tidak pernah menyangka hal ini sebelumnya. Yang ter-
penting sekarang ini kita harus mempersiapkan segala
perhelatan besar untuk menyambut datangnya hari
perkawinan kedua pasangan mempelai ini!" Sunan
Bandi Suliwa memutuskan.
Bukan main gembiranya masing-masing pihak,
baik dari Kala Demit maupun Macan Terbang menden-
gar ketegasan Gusti Sunan. Mereka mengelu-elukan
keputusan Sunan Parit Wolu yang mereka anggap cu-
kup bijaksana ini.
* * *
Langkahnya lambat-lambat menghampiri Reza
Baiduri yang terus menangis memeluk guling di ka-
marnya. Gadis berbaju hijau berwajah jelita tersebut
menyentuh bahu sang puteri. Melihat siapa yang da-
tang, maka puteri Reza Baiduri langsung memeluk
saudara misannya.
"Kakak, mengapa begini buruknya nasib hi-
dupku! Aku tidak rela disentuh oleh laki-laki yang ti-
dak kusukai. Aku harus mati... mati... kakak! Kurasa
itulah jalan yang paling baik bagiku!" tegas puteri Reza
berputus asa.
"Jangan mudah berputus asa. Jika kita tetap
bertahan di sini, nasibku pun tidak berbeda dengan
nasibmu, adikku! Kita harus mencari kesempatan un-
tuk meloloskan diri sebelum pesta perkawinan itu ber-
langsung. Aku yakin pemuda Blo'on itu dapat mene-
mukan kekasihmu!" jelas Puteri Kilat Bayangan.
"Apa, pemuda tolol? Bagaimana pemuda tolol
dapat melakukan sesuatu? Rupanya dimana kakang
Ambar Alam sekarang berada? Kakak tahu tapi men-
gapa tidak mau cerita padaku?" tanya puteri Reza Bai-
duri.
"Tidak cukup waktu untuk menjelaskannya pa-
damu! Sekarang sebaiknya kau bersiap-siap. Nanti bila
malam tiba kita akan meloloskan diri dari tempat ini.
Bersediakah kau?" Mata puteri Reza yang semula me-
redup, sekarang tampak berbinar-binar.
"Benarkah? Dapatkah kakak mempertemukan
aku dengan kakang Ambar yang telah pergi selama li-
ma tahun itu?"
"Tenang, jangan banyak bertanya. Bersikaplah
seakan menurut di depan orang tuamu!" Puteri Kilat
Bayangan menasehati. Reza Baiduri anggukkan kepa-
la.
Malam itu rencana tentang sebuah pesta besar
disusun, Kala Demit, Macan Terbang dan Sunan Bandi
Suliwa kelihatan tampak serius membicarakan masa-
lah ini. Sunan Suliwa merasa yakin betul, dalam seha-
rian ini baik putri maupun keponakannya telah beru-
bah menjadi baik dan penurut. Sebagai orang tua tentu saja ia sangat puas. Kini terlaksanalah semua cita-
cita untuk menjodohkan anaknya dengan murid anak
sahabat-sahabat yang dulu pernah membantu usa-
hanya tetap mempertahankan Kasunanan Parit Wolu.
Sementara itu Puteri Kilat Bayangan di dalam
kamar adik misannya sedang sibuk mengatur rencana
pelarian mereka. Wajah kedua gadis itu tampak te-
gang. Di luar sepengetahuan mereka, di dalam kegela-
pan tampak berkelebat sesosok bayangan. Bayangan
itu selanjutnya mengendap-endap mendekati kamar di
mana Puteri Reza berada. Ternyata di bagian luar ka-
mar dijaga ketat oleh beberapa orang pengawal.
"Gila! Orang-orang ini jika tidak kulumpuhkan
urusan bisa jadi kapiran." gerutu si pemuda sambil ga-
ruk-garuk kepala. Tidak lama sosok bayangan biru ini
langsung bergerak mendekati para pengawal bersenja-
ta tombak yang jumlahnya tidak lebih dari tiga orang.
"Hei... siapa di situ...?!" bentak salah seorang
pengawal yang kebetulan mengetahui kehadiran sosok
berpakaian serba biru tersebut.
Jplok!
"Uph...!"
Pengawal apes ini langsung terdiam, sekujur
tubuhnya kaku tertotok. Sedangkan urat bicaranya
pun tidak mampu mengeluarkan suara. Melihat kea-
daan kawannya, dua orang lainnya langsung menyer-
bu. Namun sungguh hebat. Pemuda baju biru ini den-
gan gesit telah bergerak menyambar-nyambar bagai-
kan seekor monyet terbang. Hanya dalam waktu sing-
kat kedua pengawal apes ini mengalami nasib yang
sama. Tubuh mereka kaku, jangankan bergerak se-
dangkan bicara saja tidak mampu.
"He he he! Jadilah kalian patung tolol sampai
besok pagi!" desis si pemuda. Keadaan ketiga pengawal
ini memang tampak sangat lucu. Mereka menjadi kaku
dalam keadaan bermain silat.
Sambil geleng-gelengkan kepala pemuda baju
biru menghampiri jendela. Jendela sisir diketuknya.
"Siapa?" terdengar suara merdu dari dalam ka-
mar.
"Si-anu... aku, Suro...!" sahut pemuda baju biru
yang tidak lain adalah Pendekar Blo’on.
"Kau sudah sampai? Malam ini juga kalau bisa
kau menolong kami meninggalkan tempat ini!" kata
sebuah suara lainnya.
Suro sudah dapat memastikan bahwa gadis
yang baru bicara itu tidak lain adalah Puteri Kilat
Bayangan.
“Bukalah jendela ini sebelum pengawal-
pengawal lain melihatku!” pinta Pendekar Blo’on den-
gan suara berbisik.
Tak lama jendela pun terbuka, Si Bocah Ajaib
melihat ada dua orang gadis di dalam kamar tersebut.
Yang satunya sudah dikenal oleh pemuda itu sedang-
kan yang lainnya adalah seorang gadis bertubuh ku-
rus, wajahnya bulat lonjong dan cantik meskipun agak
pucat.
“Apa yang terjadi?”
“Tidak cukup waktu untuk menjelaskannya pa-
damu, Suro.” Puteri Kilat Bayangan menyahuti. Seraya
mendekati jeruji besi, kemudian gadis ini mematahkan
besi-besi pengaman jendela tersebut.
Pendekar Blo’on dibuat melongo dengan kekua-
tan tenaga dalam yang dimiliki oleh si gadis. Belum hi-
lang kaget di hatinya, Puteri Kilat Bayangan dan puteri
Reza telah berhasil keluar meninggalkan kamar.
“Bagaimana kau bisa sampai kemari?” tanya
Puteri Kilat.
“Ku lumpuhkan penjaga di depan, lalu yang
menjaga di sini kubuat jadi patung sementara. Kalau
keadaan sudah gaswat, eeh… gawat, sebaiknya kita
menyingkir saja!” saran Suro.
“Mari…!”
Puteri Kilat Bayangan membimbing puteri Reza.
Gadis ini selanjutnya melompati pagar Kasunanan se-
dangkan Pendekar Mandau Jantan mengikutinya dari
belakang. Ketiga orang ini hanya beberapa saat saja te-
lah menghilang di kegelapan malam. Lalu keadaan be-
rubah sunyi, menghentak. Ketiga pengawal yang di-
tinggalkan dalam keadaan tertotok menjadi pucat ke-
takutan. Sebab bagaimana pun keamanan puteri men-
jadi tanggung jawab mereka.
***
5
Pagi hari udara terasa dingin menusuk. Puncak
gunung Kendeng berselimut kabut tebal. Puteri Kilat
Bayangan, Pendekar Blo'on, dan puteri Reza kelihatan
sama-sama letih setelah hampir semalaman terus ber-
lari meninggalkan Kasunanan Parit Wolu.
"Kita istirahat di sini. Nafasku sudah hampir
putus!" ujar Suro Blondo dengan suara tersengal. Pu-
teri Kilat Bayangan tersenyum, gadis baju hijau ini ke-
lihatannya biasa-biasa saja. Ia dapat lari secepat an-
gin, keletihan yang terlihat tadi sekarang bahkan telah
lenyap. Berganti dengan sesungging senyum yang
membuat jantung Suro dag dig dug tidak menentu.
"Saat ini pamanku pasti bingung, kemarahan-
nya tidak dapat kubayangkan. Mereka pasti mencari
kita."
"Biarkan saja. Mereka itu orang-orang gila yang
suka memaksakan kehendaknya sendiri. Buat apa ri
sau?" sahut Suro, seraya menyeka keningnya yang ba-
sah oleh keringat.
"Saudara...!" Puteri Reza buka bicara, "Menurut
kakak puteri, saudara mencari kakang Ambar Alam.
Apakah saudara bertemu dengannya dan mengapa
saudara tidak membawanya kemari?"
"Terus terang saja, aku memang telah bertemu
dengan Dewa Sabrang. Dia baru saja terbebas dari hu-
kuman pendam yang dijatuhkan oleh ayahmu! Sayang
aku tidak mampu membujuknya, dan...!"
"Apa? Ayah telah menghukumnya? Tidak
mungkin!!" desis puteri Reza Baiduri. Matanya terbela-
lak tidak percaya. Suro garuk-garuk kepala. Ia keliha-
tan bingung, sehingga ia memandang pada Puteri Kilat
Bayangan dengan tatapan penuh tanda tanya
"Benar, Reza. Ayahmu memang telah menghu-
kum Ambar Alam di sebuah gua sempit selama lima
tahun ini. Aku yang mengetahui kejadian itu, hanya
aku tidak berani mengatakannya padamu, karena ke-
tika itu paman mengancamku agar jangan membocor-
kan rahasianya kepadamu!" jelas Puteri Kilat Bayan-
gan.
"Jadi? Apakah kakang Ambar tidak mau men-
jumpaiku lagi? Oh... sia-sialah penantianku selama
ini!" kata puteri Reza seraya lalu mendekap wajahnya.
Tangisnya tersedu-sedu. Suro jadi bingung, hingga
membuatnya garuk-garuk kepala. Lalu terlintas se-
buah akal di benaknya. Seraya pun berkata:
"Puteri tidak usah bingung-bingung. Ambar
Alam alias Dewa Sabrang berjanji akan menjumpaimu.
Cuma dia tidak mau ke Parit Wolu, itu sebabnya puteri
kami ajak ke sini. Pada saatnya nanti dia akan datang,
kau harus bersabar dan mulai sekarang kita harus
mulai atur siasat!"
"Siasat apa?" bertanya Puteri Kilat Bayan
gan.
Belum sempat Suro mengatakan siasat apa
yang hendak dijalankannya. Dari puncak gunung Ken-
deng tiba-tiba saja terdengar suara tawa mengekeh.
Suara itu disertai dengan menderunya angin kencang
bergulung-gulung. Lalu muncul seorang nenek tua be-
rambut putih, tidak punya tangan tidak pula memiliki
kaki. Kehadirannya didukung oleh dua ekor kera yang
sangat besar. Kera-kera itu hampir setinggi Suro Blon-
do.
Suro terkesiap dan pencongkan mulutnya. Se-
dangkan Puteri Kilat Bayangan kerutkan keningnya. Ia
seperti pernah bertemu dengan nenek yang duduk di
atas bahu dua monyet besar berjalan tegak tersebut,
hanya dia sudah lupa kapan dan di mana.
"Sudah sepuluh tahun daerah kekuasaanku ini
tidak disambangi tamu. Pagi ini aku merasa punya un-
tung karena ada tiga ekor kurcaci datang ke sini. Dua
kurcaci cantik, sedangkan yang satunya... hik hik hik!
Cukup tampan juga, tapi tampangnya seperti kedua
anakku ini!"
"Orang tua kaki dan tangan buntung! Siapakah
anda? Setan buntung penghuni gunung atau manusia
juga seperti kami?" tanya Suro dengan perasaan dong-
kol.
Nenek tua yang duduk di atas bahu kedua ekor
monyet besar itu dongakkan wajahnya ke langit. Lalu
tawanya kembali meledak, sedangkan monyet-monyet
yang mendukungnya ikut berjingkrak-jingkrak kegi-
rangan.
"Hik hik hik! Bertanyalah pada gadis secantik
bidadari itu? Dia mungkin bisa memberi jawaban un-
tukmu!" Suro menoleh ke arah Puteri Kilat Bayangan,
tapi gadis ini menggelengkan kepala dengan ragu-ragu.
Tiba-tiba nenek tidak bertangan tidak berkaki
ini membentak. "Puteri Kilat Bayangan, anak tunggal
Rara Ayu, dan Raden Aryo Lungga. Kau adalah gadis
bodoh yang tidak tahu bagaimana orang tuamu dibu-
nuh. Kau tentu tidak tahu bagaimana dan siapa yang
membunuh orang tuamu? Kala itu kau masih bayi
pentil, masih suka ngompol. Tapi aku melihat, aku
menyaksikan. Aku melihat darah Raden Aryo Lungga
ketika dadanya tertembus pedang. Aku melihat ibumu
yang dibokong dari belakang, saat itu kau berada di
pangkuannya! Kematian itu, kematian itu membuat
aku merana, aku kehilangan tangan dan kaki. Kalian
tahu semua ini pekerjaan siapa?"
Puteri Kilat Bayangan tidak mampu mem-
buka mulut, puteri Reza sama saja. Sedangkan murid
Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Berambut
Api kerat-kerutkan keningnya.
"Kami tentu saja tidak tahu, nek!" sahut Suro.
"Diam goblok. Aku tidak bicara padamu!" si ne-
nek mendengus sinis.
Suro katupkan mulutnya, ia bersungut-sungut
tanda tidak suka melihat tingkah orang itu.
"Tua bangka itu galak sekali. Aku tidak tahu
siapa dia, apa maksudnya. Apakah dia juga punya
maksud tidak baik juga? Awas, kalau macam-macam
aku tidak segan membuntungi kepalanya!" gerutu Suro
dalam hati. "Cobalah jawab, Puteri Kilat?!" Gadis jelita
yang matanya memancarkan seribu pesona angkat wa-
jahnya. Memandang pada nenek serba buntung itu
dengan perasaan tidak mengerti.
"Sekarang aku ingat. Kalau tidak salah aku
pernah berjumpa denganmu di kaputren ketika aku
berumur tujuh tahun. Lalu ketika pengawal melihat-
mu, kau melarikan diri!"
"Aku bukan melarikan diri, goblok! Kedatan-
ganku hanya ingin memastikan apakah kau dalam
keadaan sehat sebagaimana yang kuharapkan!"
"Lalu nenek sendiri siapa?"
"Hik hik hik! Aku hanya mau bicara membuka
rahasia jika pemuda konyol itu menyingkir untuk se-
mentara dari hadapanku! Ini rahasia besar, masalah
keluarga."
"Tapi dia telah menolong kami!" seru Puteri Ki-
lat Bayangan.
"Tidak perduli apa dia telah menolong atau be-
rusaha merebut hatimu. Masa lalu adalah bagian dari
hidupmu masa kini. Kalau kau tertarik ingin mengeta-
huinya. Sebaiknya usir dia untuk sementara waktu!"
Ucapan itu membuat kedua gadis cantik ini me-
lengak kaget. Sebaliknya merasa sangat terhina. Wa-
jahnya yang tampan ini bersemu merah.
"Bicaramu seenak perutmu nenek jelek. Kau
cacat namun sombong dan angkuh. Aku paling benci
pada orang sombong, tapi lebih benci lagi pada orang
cacat sombong. Huh, aku tidak akan perduli dengan
bicaramu, uruslah gadis-gadis ini. Jika nanti ternyata
kau tidak becus melindunginya dari kejaran para setan
kapiran itu. Aku akan datang lagi meminta lidahmu
dan kepalamu!" dengus Suro.
"Tunggu saudara...!"
Sia-sia saja puteri Reza mencegah, karena ter-
nyata pemuda berambut hitam kemerahan itu telah
lenyap dari hadapannya.
"Biarkan dip, pergi. Masalah yang akan kuceri-
takan ini hanya akan membuat malu kalian saja bila
sampai diketahui orang luar."
Puteri Kilat Bayangan sebenarnya merasa tidak
enak hati juga sebab bagaimana pun Suro telah beru-
saha menolong mereka.
"Apa yang ingin kau sampaikan, nenek. Aku
heran kau mengenal kedua orang tuaku."
"Tentu saja aku mengenal orang tuamu. Karena
Raden Aryo Lungga adalah puteraku. Semua ini terjadi
akibat ulah Sunan Bandi Suliwa. Ia terlalu rakus den-
gan kedudukan dan jabatan. Sehingga ketika warisan
Kasunanan hendak dibagi oleh almarhum kakek ka-
lian. Rupanya sunan Bandi Suliwa tidak terima. Sepe-
kan kakek kalian meninggal, Sunan meminta bantuan
tokoh-tokoh sesat rimba persilatan untuk menghan-
curkan Raden Aryo Lungga dan juga Rara Ayu yang
masih terhitung saudara tua Sunan...!"
"Ayahanda sekejam itu?" Puteri Reza memekik
keras.
"Ini sebuah kenyataan, aku kehilangan tangan
dan kaki. Semua itu kulakukan semata-mata karena
ingin menegakkan kebenaran. Tetapi ayahmu terlalu
tangguh. Aku jadi pecundang dan terpaksa menying-
kir. Perlu kau ketahui juga, puteri Reza. Pemuda tadi
benar, kekasihmu di hukum oleh Sunan. Karena apa?
Dia tidak suka kalian memadu kasih sesuai dengan
kehendakmu. Sebab sesuai perjanjian mereka dulu.
Sunan telah berniat menjodohkan kau dengan salah
seorang putera dari sekutu-sekutunya. Sunan merasa
berhutang budi pada mereka."
"Dan lebih celaka lagi, paman bermaksud men-
jodohkan aku dengan putera Macan Terbang yang ku-
disan itu!" Puteri Kilat Bayangan menyahuti.
Puteri Reza menangis tersedu-sedu. Meskipun
Reza tahu ayahnya sangat keras, namun ia tidak me-
nyangka kalau ayahnya tega berbuat sekejam itu
hanya untuk mempertahankan warisan. Tiba-tiba ia
merasa bersalah, jika Puteri Kilat Bayangan mau tentu
ia dapat membalas dendam padanya. Atau paling tidak
berubah membencinya.
"Kalau benarlah apa yang dikatakan oleh nenek
ini. Sekarang kakak bebas memperlakukan aku sesuka
hati kakak. Jika kakak mau membalas, balaslah kema-
tian uwa Rara Ayu. Aku sudah muak melihat kecula-
san dan kekejaman ayah." Puteri Reza tampak putus
asa sekali.
Puteri Kilat Bayangan tersenyum pedih. Kema-
rahannya terhadap pamannya memang meledak-ledak.
Tapi untuk melampiaskan kemarahan itu pada Puteri
Reza, sama sekali tidak terlintas dalam, pikirannya. Ia
teramat sayang pada gadis itu. Jangankan membu-
nuhnya, sedangkan menyakiti hatinya saja Puteri Kilat
tidak sanggup.
"Jangan kau pikirkan masalah ini. Nasib kita
sama, jika aku berhadapan dengan paman, persoalan-
nya mungkin lain. Kita sama-sama tidak mengetahui.
Sekarang kita harus memikirkan apa yang akan kita
lakukan jika paman dan para sekutunya mencari ki-
ta?"
"Itu persoalan yang mudah. Kita buat sebuah
pesta di sini untuk mengelabuhi Sunan Bandi Suliwa."
"Caranya bagaimana?" tanya Puteri Kilat.
"Kita berbuat seolah-olah kalian sudah dini-
kahkan dengan pemuda-pemuda yang telah menjadi
pilihan kalian!" kata si nenek disertai tawa mengekeh.
"Tapi bagaimana kita mendapatkan pemuda
yang mau mengerti persoalan kita. Sedangkan pemuda
tadi saja sudah nenek usir."
"Puteri Kilat, aku tidak mengusirnya. Aku
hanya memintanya untuk menyingkir. Dia pasti kem-
bali, karena kulihat matanya mengatakan cinta pada-
mu, Puteri Kilat! Hik hik hik...!"
Wajah si jelita merah seperti kepiting rebus. Ia
sendiri sesungguhnya sangat kaget, tidak menyangka
kalau Suro ada perasaan padanya. Namun untuk me-
nanggapi ucapan si nenek. Ia merasa tidak punya pe-
rasaan apa-apa pada si pemuda.
"Jika pemuda itu tidak kembali, siapa yang
akan menggantikannya?"
"Hik hik hik! Cucuku, tentu kedua anak-anak
ini dapat menjadi mempelai laki-laki. Tidak sungguhan
tentu, sebab aku tidak akan sudi punya cucu turunan
monyet."
"Ini pekerjaan gila, nek. Aku keberatan melaku-
kannya!" tegas Puteri Kilat Bayangan. Sedangkan pute-
ri Reza tidak memberi tanggapan apa-apa. Pikirannya
tenggelam dalam persoalan-persoalan yang rumit dan
menyakitkan hati.
"Lebih gila lagi jika kalian berdua menjadi
isteri para musuh yang membuat kau dan puteri Reza
sengsara lahir batin."
"Apa maksud kepura-puraan ini?"
"Hik hik hik! Aku yakin rencana pemuda konyol
itu sama dengan rencanaku. Kalian hanya berpura-
pura jadi pengantin, bila Sunan dan kawan-kawannya
muncul ke sini!" jelas Nini Suri Pamungkas.
"Baiklah, nek. Rencana gila ini kuterima. Tapi
walau bagaimana pun aku harus mencari pemuda itu.
Aku ingin tahu bagaimana nasib kakang Ambar Alam.
Dia yang telah mengetahuinya, aku harus berjumpa
dengannya!" tegas puteri Reza.
"Jangan bodoh. Jika kau meninggalkan lereng
Kendeng ini. Bahaya selalu mengancammu. Sebaiknya
tetaplah kau disini. Kita bisa bersama-sama memper-
siapkan pesta bohong-bohongan untuk menyambut
kedatangan mereka jika Sunan dan orang-orangnya
datang kesini. Hik hik hik...!"
Apa yang dikatakan oleh Nini Suri Pamungkas
memang benar, hanya puteri Reza kelihatannya me-
mang tidak dapat tenang jika ia belum bertemu dengan
Suro. Ia harus bertanya bagaimana keadaan Ambar
Alam dan berada dimana saat ini?
"Sekarang marilah kita ke pondokku yang be-
rada di balik bukit itu!" ajak si nenek. Perempuan ca-
cat itu menepuk-nepuk pundak kedua monyet besar
yang berjalan dengan kedua kakinya.
"Nguk! Ngrokk!"
Tiba-tiba saja kedua monyet itu berbalik dan
berjalan cepat menuju pondok yang terdapat di balik
bukit.
* * *
Dewa Sabrang bukan lagi pemuda lemah seper-
ti lima tahun yang lalu di saat Sunan Bandi Suliwa
membenamkan sebagian tubuhnya di salah satu gua
sempit di daerah yang teramat tandus. Berkat penga-
laman yang panjang pahit dan menyakitkan itu pula ia
memperoleh kesaktian yang sungguh dapat diandal-
kan. Itulah jamur Dewa Sabrang. Walau pun untuk
semua itu ia harus rela tubuhnya menjadi belang. Pu-
tih dan hitam.
Sekarang ia menjadi bingung ke mana hendak
pergi. Mengasingkan diri untuk mencari ketenangan
jiwa adalah sudah menjadi sumpahnya. Namun keha-
diran pemuda berwajah tolol kekanak-kanakan itu te-
lah mengusik jalan pikirannya. Reza Baiduri mungkin-
kah sekarang masih mengingatnya? Dewa Sabrang
terduduk lesu di pinggir sebuah tebing yang sangat cu-
ram.
Kebimbangan?
Mengapa kini kau datang mengusikku lagi?
Padahal aku sudah menentukan sebuah jalan
yang mendaki lagi sangat sulit
Jalan pilihan yang orang lain jarang menempuhnya
Kini aku berada di persimpangan jalan...
Aku bingung lagi untuk menentukan arah
Resah, bingung, gelisah tegang menerjang
Mana jalanku yang dulu??
Mana....???
"Engkau bingung tentang jalan hidupmu sendi-
ri. Kau ketahuilah bahwa jalan hidupmu adalah ke ne-
raka!" sahut sebuah suara.
Dewa Sabrang tersentak kaget. Ia memandang
ke salah satu arah. Saat itu dilihatnya ada seorang la-
ki-laki berpakaian serba hitam berdiri tegak tidak jauh
di depannya. Di punggungnya tergantung sebuah
gunting berukuran sangat besar berwarna putih
mengkilat karena ketajamannya.
"Kau siapa?" tanya Dewa Sabrang dengan mata
setengah terpicing.
"Ha ha ha...! Sunan Bandi Suliwa sejak lima
tahun yang lalu telah menugaskan aku dengan upah
besar untuk mengawasi gerak-gerikmu. Sebenarnya
sejak dulu aku sudah berniat membunuhmu. Karena
aku terlanjur terikat janji untuk melihat penderitaan-
mu selama lima tahun itu. Maka aku, Hantu Pemeng-
gal Kepala selalu menunggu. Ternyata sekarang aku
melihat sesuatu yang sangat lain dalam dirimu. Sepa-
ruh tubuhmu seperti singkong bakar. Sedangkan ba-
gian lainnya seperti salju. Karena kau sudah terbebas
sepenuhnya. Kini adalah tugasku untuk menghentikan
langkahmu agar tidak mengganggu puteri Reza lagi."
Jawaban Hantu Pemenggal Kepala membuat Dewa Sa-
brang belalakkan mata.
***
6
"Kau bermimpi di tengah hari bolong, Hantu
Pemenggal Kepala. Perlu kau ingat. Bagiku cinta ma-
nusia sudah tidak menjadi persoalan utama lagi. Satu
hal yang patut kau pertanyakan. Aku tidak suka pe-
maksaan terjadi atas manusia lain. Kini arah langkah-
ku berubah lagi, kaulah yang telah merubahnya. Jika
aku kembali ke Parit Wolu, semata-mata hanya kare-
na ingin minta tanggung jawab Sunan. Apa katamu
tentang pernyataanku ini?"
"Silakan kau bawa mimpi-mimpimu itu ke da-
lam kubur! Kau segera tahu akibat yang harus kau
tanggungkan!" kata laki-laki berumur lima puluhan
ini. Ia mengacak-acak rambutnya yang lurus bagaikan
ijuk. Disentakkannya kepala ke belakang dua kali.
Disertai dengan teriakan keras, Hantu Pemeng-
gal Kepala hantamkan tinjunya ke dada Dewa Sa-
brang. Angin keras menderu, rambut Dewa Sabrang
yang riap-riapan berkibar-kibar. Namun detik itu ju-
ga ia menggeser langkahnya ke samping. Setelah itu
kepala dirundukkan, sikunya menyongsong ke depan.
Maka terjadilah benturan sangat keras. Hantu Pe-
menggal Kepala terjajar mundur disertai seringai kesa-
kitan. Dewa Sabrang lakukan sebuah gerakan cukup
unik. Tangannya diangkat menutupi kepala, lalu ia
melompat satu tendangan dilepaskannya.
Setelah merasakan besarnya tenaga dalam yang
dimiliki oleh lawan. Hantu Pemenggal Kepala kali ini
tampak menghindar. Kemudian ia bersalto di udara.
Setelah itu tinju kirinya menghantam bahu si pemuda.
Sesungguhnya Dewa Sabrang sama sekali tidak memi-
liki dasar-dasar ilmu silat. Sehingga ketika pukulan itu
meluncur ke bagian tubuhnya ia tidak kuasa menghindar lagi.
Buuuk!
"Heh...!"
Hantu Pemenggal Kepala kaget setengah mati.
Pukulan yang dilepaskannya tidak membawa akibat
apa-apa bagi lawannya. Sebaliknya tangan laki-laki itu
kontan bengkak membiru.
"Gila! Darimana dia mendapatkan kekuatan se-
perti itu? Tubuhnya keras seperti karang. Padahal du-
lu menurut Sunan ia tidak mempunyai kesaktian apa-
apa?" desis sang Hantu dalam hati.
"Kaget, Hantu jelek? Kau tidak usah heran, sa-
tu lagi yang perlu kau ketahui, dibalik penderitaan
pasti ada hikmahnya. Aku telah mendapatkan hikmah
itu. Sekarang kau boleh menyerangku bagian mana sa-
ja yang kau suka. Tapi ingat, jika sampai sepuluh ju-
rus dimuka kau tidak mampu mengalahkan aku. Tu-
buhmu akan kupatahkan menjadi empat bagian!" an-
cam Dewa Sabrang berapi-api.
"Bangsat! Hiyaa....!" teriak Hantu Pemenggal
Kepala. Laki-laki berambut kaku ini tiba-tiba saja le-
paskan pukulan 'Pemutus Raga Mencabut Sukma' sa-
lah satu pukulan yang tentu saja menjadi andalannya.
Hanya dalam waktu yang teramat singkat, menggele-
tarlah sekujur tubuh Hantu Pemenggal Kepala. Kedua
telapak tangannya sampai ke siku telah berubah men-
jadi hitam menebarkan asap tipis berbau sengit. Untuk
diketahui, Hantu Pemenggal Kepala adalah seorang ja-
goan bayaran berasal dari daerah Pagar Alam. Ia juga
memiliki kepandaian tinggi, terlebih-lebih dalam mem-
pergunakan guntingnya.
Sekejab kemudian menderulah sinar hitam me-
labrak Dewa Sabrang. Pemuda itu segera mempergu-
nakan tangannya untuk lindungi kepala. Sedangkan
tangan lainnya yang telah berubah memutih akibat
pengerahan tenaga dalam langsung dikibaskannya ke
depan.
Wuuut!
Buum!
Terjadilah ledakan yang sangat keras, hingga
membuat dua sosok tubuh terlempar jauh dari kalan-
gan pertempuran. Hantu Pemenggal Kepala dengan ce-
pat berusaha bangkit berdiri. Darah meleleh dari hi-
dung dan sudut-sudut bibirnya. Dewa Sabrang sendiri
tidak mengalami akibat apa-apa. Hanya wajahnya ber-
selimut debu. Ia duduk bersila, matanya terpejam.
Menduga lawannya terluka dalam, maka Hantu
Pemenggal Kepala yang sudah tahu kehebatan lawan-
nya langsung mengambil gunting besar yang selalu
tergantung di punggungnya.
Ckrek! Ckrek!
Suara angin disertai bunyi gunting yang men-
gatup dan membuka terdengar jelas. Namun sama se-
kali Dewa Sabrang seakan tidak menghiraukan bahaya
yang mengancamnya.
Craak!
Craak!
Ketika gunting maut itu menghantam leher dan
bagian tubuh lain Dewa Sabrang. Tidak sedikitpun
senjata itu mampu melukai lawannya. Hantu Pemeng-
gal Kepala melompat mundur saking kagetnya. Di saat
belum lagi hilang kecut di hati laki-laki itu, Dewa Sa-
brang sudah lepaskan pukulan menggeledek ke arah
Hantu Pemenggal Kepala.
Orang ini mencoba selamatkan diri. Ia bergul-
ing-guling menjauhi sinar hitam putih yang menghan-
tam dirinya. Namun dengan cepat sekali pukulan jarak
jauh itu meluas. Hingga tidak urung Hantu Pemenggal
Kepala terhantam pukulan yang dilepaskan oleh lawannya.
"Haaakh!"
Hantu Pemenggal Kepala terkapar. Luka yang
dideritanya memang cukup parah. Dewa Sabrang ter-
senyum sinis, menghampiri lawannya dengan langkah
satu-satu.
Tangan pemuda itu mencengkeram leher la-
wannya. Sekali sentak, maka berdirilah Hantu secara
paksa.
"Setan! Kau pandanglah mata dan wajah ku
baik-baik. Kau lihatlah!" seru Dewa Sabrang. Dengan
bersusah payah Hantu Pemenggal Kepala membuka
matanya, memperhatikan wajah Dewa Sabrang dengan
perasaan kecut.
"Bukankah kau lihat sisa-sisa penderitaanku!
Agar kau dapat mengetahuinya, seperti ini rasanya!"
dengus Dewa Sabrang. Seraya mencengkeram rambut
Hantu Pemenggal Kepala. Tiba-tiba saja kedua tan-
gannya sama bergerak dan....
Kraak! Kraak! Kraak!
"Akrrrkh...!"
Terdengar sebuah jeritan yang sangat mengeri-
kan. Tubuh Hantu Pemenggal Kepala patah menjadi ti-
ga bagian. Matanya melotot, darah menyembur dari
mulut laki-laki itu tiada henti. Ketika Dewa Sabrang
mencampakkan tubuh lawannya. Maka tidak terlihat
adanya gerakan lagi. Hantu Pemenggal Kepala tewas
penasaran.
"Aku telah membunuh, puah!? Inilah pembu-
nuhan pertama yang kulakukan. Apa mungkin aku
dapat berhenti dari membunuh? Ini adalah awal,
mungkin baru akan berakhir setelah aku dapat mema-
tahkan kepala Sunan Bandi Suliwa!" desis Dewa Sa-
brang, wajah pemuda itu semakin bertambah murung.
* * *
Sunan Bandi Suliwa jelas menjadi gusar ketika
melihat kenyataan bahwa putrinya dan Puteri Kilat
Bayangan sang keponakan melarikan diri. Lebih gusar
lagi, karena ada orang lain yang ikut ambil bagian da-
lam pelarian itu sebagaimana penjelasan pengawal
yang sempat ditotok oleh Bayangan Biru. Tidak kalah
geramnya, Kala Demit maupun Macan Terbang. Lebih
panik lagi Sidra Gagap dan Randu Walang. Mereka ti-
dak hentinya, menjerit atau meraung seperti orang gi-
la.
Patut dimaklumi, baik Sidra Gagap maupun
Randu Walang adalah pemuda jelek dan punya kesia-
lan pula. Kesialan itu berupa penyakit gagap, sedang-
kan yang satunya lagi kudisan dan kepala botak pula.
Sedangkan kedua gadis yang akan menjadi calon isteri
adalah gadis-gadis cantik. Bukan gadis kampungan
yang hanya dengan memandangnya langsung kenyang.
Puteri Kilat Bayangan sangat aduhai dan memikat. Itu
calon pasangan Randu Walang yang botak kudisan.
Sedangkan puteri Reza Baiduri cantik pula, walau ma-
tanya memang tidak memancarkan pesona tinggi.
Yang mereka khawatirkan, bagaimana sean-
dainya kedua gadis itu diperistri oleh Bayangan Biru
yang telah membawa lari mereka. Sebaliknya Sunan
Bandi Suliwa lain lagi. Ia menyangka yang melarikan
puterinya tentu Ambar Alam kekasih puterinya ia hu-
kum pendam selama lima tahun di gua sempit. Padah-
al sampai sekarang ini Hantu Pemenggal Kepala yang
dipercaya mengawasi gerak-gerik Ambar Alam tidak
muncul juga.
"Kita tidak bisa berpangku tangan lebih lama.
Sekarang ini harus ada kerjasama di kedua belah pi-
hak agar kita dapat menemukan puteriku dan juga ke-
ponakan murtad itu!" berkata Sunan Bandi Suliwa
sambil berusaha menekan kemarahannya. Laki-laki
kurus ceking berwajah kelimis tersenyum, tokh se-
nyumnya tidak dapat memendam kegelisahan hatinya.
"Pemuda yang melarikan kedua puteri itu be-
nar-benar anak setan yang sudah bosan hidup, sobat
Macan Terbang. Apa benar kau pernah bertemu den-
gan pemuda gendeng itu?"
"Benar. Dia bahkan sempat membunuh salah
seorang anak buahku ketika aku melakukan perjala-
nan ke sini." sahut Macan Terbang. Ia kemudian men-
jelaskan ciri-cirinya secara terperinci. Penjelasan Ma-
can Terbang membuat kening Kala Demit menggerimit
dalam.
"Rambutnya, tampangnya rasanya tidak salah.
Dua puluh tahun yang lalu aku menginginkannya. Ti-
dak kusangka bibit bencana itu sekarang sudah men-
jadi biang penyakit yang cukup berbahaya. Bagaimana
pun aku harus menemukan cara untuk melenyapkan-
nya!" pikir Kala Demit. Untuk lebih jelasnya bacalah
(Dalam episode Neraka Gunung Bromo & Bayang-
Bayang Kematian).
"Apa jawabmu sahabat Kala Demit?" tanya Su-
nan Bandi Suliwa seakan bosan menunggu.
Kala Demit usap-usap jenggotnya. "Muridku
dan putera Macan Terbang sebaiknya bergabung dan
sama-sama melakukan pencaharian. Sedangkan aku
dan Macan Terbang mencari mereka bersama-sama,
kurasa Sunan sendiri sebaiknya membawa sebagian
pengawal untuk menelusuri tempat-tempat yang kita
anggap mencurigakan. Sekitar tiga hari lagi kita ber-
kumpul di sini. Apapun hasilnya!"
"Aku setuju sobat Kala Demit. Kalau mau be-
rangkat, sekaranglah waktunya bagi kita!" ujar Sunan
Bandi Suliwa seakan tidak sabar. Siang hari itu juga
berangkatlah tiga rombongan yang telah disepakati ini.
Mereka sama-sama menunggang kuda. Sidra Gagap
dan Randu Walang bergerak mencari kedua putri yang
melarikan diri dengan disertai oleh seluruh anak buah
ayahnya Macan Terbang. Masing-masing menempuh
jalan yang berbeda. Ini dimaksudkan agar pencaharian
tidak berlangsung lama.
* * *
Senja hari, pemuda rambut hitam kemerahan
duduk di atas sebuah pohon yang sangat tinggi. Tata-
pan matanya memandang jauh pada hamparan gu-
nung Kendeng yang menjulang tinggi. Lalu di tengah-
tengah semilirnya angin senja yang sepoi-sepoi menye-
jukkan. Pemuda itu melantunkan lagu-lagu yang tidak
jelas dan kurang teratur. Terkadang suaranya me-
lengking tinggi meledak-ledak seperti suara monyet
yang berteriak. Atau di lain waktu berubah pelan men-
dayu-dayu, kemudian berubah sangat pelan tidak ter-
dengar, tidak bedanya seperti orang yang berkemak-
kemik membaca doa.
Setelah letih menyanyi si pemuda garuk-garuk
kepala. Melihat ke bagian lain dari atas pohon itu, ter-
dapat sebuah sungai berair jernih. Bahkan dari atas
pohon Pendekar Blo'on dapat melihat adanya ikan
yang sedang bermain-main.
"Terbit seleraku bila memandangmu. Tapi...
akh...!" Si konyol garuk-garuk kepala. Wajahnya beru-
bah murung. "Yang satu ini sangat lain. Sudah sering
kulihat gadis cantik, yang hitam manis, yang kuning
langsat. Yang hitam macam pantat kuali, yang umit-
umit, eeh... yang imut-imut. Yang besar pantatnya,
yang kempes dadanya. Yang besar dadanya kempes di
pantat. Semua itu adalah keindahan, tapi yang satu ini
lain sekali. Begitu ketemu jantungku langsung serseran, melihat wajahnya hatiku bergetar. Belum per-
nah aku seresah ini. Mungkin inilah yang rasanya ja-
tuh cinta pada pandangan pertama. Semestinya aku
tidak meninggalkan mereka. Uhh... nenek jelek kaki
buntung itu membuat aku kesal. Apakah aku harus
kembali ke sana?" Suro jadi ragu-ragu.
Tokh keragu-raguan itu tidak berlangsung la-
ma. Suro memutuskan untuk kembali menjumpai pu-
teri Reza dan Puteri Kilat Bayangan di lereng bagian
selatan gunung Kendeng. Sementara itu puteri Reza
secara diam-diam rupanya meninggalkan Nini Suri
Pamungkas dan juga kakak misannya. Gadis ini masih
penasaran dan tetap ingin mencari Pendekar Blo'on
yang dianggapnya memang mengetahui di mana Am-
bar Alam berada. Karena sejak kecil gadis berbaju pu-
tih ini memang tidak pernah pergi kemana-mana.
Tentu saja suasana di daerah pegunungan yang
ditumbuhi hutan lebat cukup membingungkannya. Ia
pun tersesat.
"Kemana perginya pemuda geblek itu?" Puteri
Reza menggumam seorang diri. "Hutan di lereng gu-
nung ini sangat luas sekali. Eeh... aku seperti menden-
gar suara langkah-langkah kuda kemari!" Gadis berba-
ju putih tercekat. Dalam keadaan bingung seperti itu
terlintas dalam benaknya untuk bersembunyi. Namun
apa yang hendak dilakukannya terlambat. Karena si
penunggang kuda telah melihatnya.
"Kurang ajar. Si gagap itu rupanya mencariku!"
Karena melihat tidak ada kesempatan lain. Ma-
ka puteri Reza berlari selamatkan diri.
"A-a-aku... calon suamimu. Meng-meng-apa ta-
kut." kata Sidra Gagap dengan suara terbata-bata. Ti-
ba-tiba ia melompat dari punggung kudanya. Dikejar-
nya puteri Reza yang sekarang sudah berada di pinggir
sungai.
"Pergi kau dariku pemuda goblok!" teriak gadis
itu ketakutan. Karena Sidra Gagap terus mengejarnya.
Maka akhirnya puteri Reza melompat ke sungai. Pa-
kaiannya jadi basah sehingga bagian-bagian tubuhnya
yang indah itu terlihat dengan jelas. Sungai itu ternya-
ta hanya sedalam betis saja. Sidra Gagap gemetar tu-
buhnya. Seraya leletkan lidah begitu melihat kain yang
membalut pinggul si gadis tersingkap sampai sebatas
pertengahan paha. Melihat kaki yang halus mulus ini.
Sidra Gagap jadi tergoda. Ia melompat ke sungai.
"Ak-aku... ja-jadi tidak sabar menunggu malam
per-pertama. Ka-u calon isteriku. Se-se-sekarang dan
nanti sama saja...!" kata si gagap. Puteri Reza meronta-
ronta di saat pemuda berwajah angkuh itu memeluk-
nya. Sidra Gagap ternyata semakin kurang ajar saja. Ia
meremas-remas dada sang puteri yang membayang ke-
tat di balik pakaiannya yang basah.
"Ki-kita bersenang-senang... ti-ti-tidak ada yang
melihat. Hanya kita saja berdua...!" desis si pemuda
sementara tangannya tiada henti meraba-raba kian
kemari.
Selain bertambah kecut gadis ini tentu marah
bukan main. Disayangkan puteri Reza memang tidak
memiliki kepandaian apa-apa. Ia hanya menjerit-jerit
di saat Sidra Gagap mencopoti kancing pakaiannya
dan menarik lepas kain yang membalut tubuhnya. Ga-
dis itu benar-benar dalam keadaan setengah telanjang.
Si gagap melototkan matanya melihat keindahan di
depannya. Nafsu kelakiannya terbangkitkan.
***
7
Dipeluknya puteri Reza erat-erat, ia menciumi
wajah sang puteri. Dari wajah beralih ke leher, dari
leher Sidra Gagap memberanikan wajahnya di antara
kedua bukit kembar sang puteri. Gadis ini menjerit-
jerit ketakutan. Terlebih-lebih lagi ketika Sidra Gagap
tanpa melepaskan pelukannya langsung melucuti pa-
kaian sendiri. Terakhir ditariknya secara paksa penu-
tup bagian terlarang milik si gadis.
Sidra Gagap memang tidak ubahnya binatang
jalang yang liar. Ia terus berusaha menerobos kesucian
si gadis secara paksa. Namun hal itu tentu saja tidak
mudah dilakukannya. Karena puteri Reza berusaha
mempertahankan kehormatannya dengan cara mera-
patkan kedua kakinya. Didera oleh luapan nafsu
yang meledak-ledak. Tentu saja lama-kelamaan Sidra
Gagap menjadi tidak sabar. Ia berusaha menguakkan
kedua kaki si gadis dengan paksa. Sehebat-hebatnya
tenaga perempuan. Lama kelamaan melemah juga. Ke-
dua kaki si gadis akhirnya merenggang. Sidra melihat
hal ini langsung menyusup di antara kedua kaki
mangsanya.
Namun kelihatannya nasib baik memang masih
berpihak pada puteri Reza. Karena pada waktu itu te-
rasa ada angin dingin berkesir, sosok Bayangan Biru
berkelebat. Sedetik kemudian terdengar Suara jeritan
Sidra. Tubuhnya terpelanting ke belakang, beberapa
buah rambutnya jebol. Di belakangnya terdengar suara
nyanyian tidak menentu persis orang yang memaki-
maki. Melihat dirinya yang dalam keadaan telanjang
bulat itu. Puteri langsung menyambar sebagian pa-
kaiannya yang hanyut. Lalu dengan sekenanya ia me-
nutupkan kain dan baju ke bagian-bagian yang bertonjolan.
Sidra Gagap sendiri jadi kaget. Ia pegangi kepa-
lanya. Ternyata ada yang botak. Pada bagian yang bo-
tak meneteskan darah. Artinya seseorang telah mena-
rik rambutnya hingga bagian kulitnya ikut tersobek.
Sakit bukan main rasanya, nafsu bejadnya sontak
menjadi lenyap. Puteri Reza langsung bersembunyi ke
tempat yang aman. Sedangkan Sidra Gagap berdiri,
memutar-mutar dan langsung menghadap ke pinggir
tebing. Di sana ternyata telah berdiri seorang pemuda
berpakaian serba biru berwajah ketolo-tololan, se-
dangkan tatapan matanya angker menyorotkan ama-
rah.
"K-k-kau sia-apa, monyet be-be-berani men-
campuri urusan orang lain!" bentak Sidra dengan sua-
ra tergagap-gagap. Si baju biru yang tiada lain adalah
Suro Blondo mendengus sinis. Ulah si gagap ini telah
dilihatnya tadi di atas pohon. Bahkan kedatangannya
juga sudah diketahuinya. Tanpa memberi jawaban,
Suro menendang sebuah batu kerikil. Batu meluncur
lurus persis ke tengah-tengah selangkangan Sidra Ga-
gap. Si pemuda gagap saking kagetnya rupanya masih
belum merasa saat itu ia sedang tidak berpakaian.
Takkk!
Batu kerikil langsung menghantam batang
anunya yang cukup besar dan mulai mengempis. Ka-
ruan saja Sidra menjerit kesakitan sambil jejingkra-
kan. Ia menggerung, mendekap sambil memegangi pe-
rutnya yang mulas. Batang anunya bengkak membiru,
salah satu telurnya juga biru, mungkin juga pecah.
"Aduh biyung... sakitnya... keparat! Anak setan,
tol-tolol, sontoloyol" Sidra memaki-maki. Anunya se-
makin bertambah bengkak saja. Suro tertawa bekaka-
kan. Bibirnya termonyong-monyong, sedangkan tangan
kiri garuk-garuk rambut di atas kuping.
"Bicaramu saja masih tidak lempang! Kau pikir
aku kepincut melihat anumu yang item itu? Pakai dulu
pakaianmu, jika kau masih penasaran aku menung-
gumu di sini!" dengus Pendekar Blo'on sinis.
Sidra sama sekali tidak menyahuti. Ia segera
memakai pakaiannya. Selesai berpakaian ia melompat
ke bibir sungai.
"Bunuh manusia keparat itu, Suro!" teriak pu-
teri Reza dengan penuh kebencian.
"Jangan khawatir. Dia pasti menerima ganjaran
setimpal dariku!" sahut Suro. Sidra menunjuk-nunjuk
Suro dengan berangnya. Matanya melotot, lidahnya
terjulur seperti anjing. Rupanya inilah puncak kema-
rahan si pemuda.
"Kk... kau tel-lah merusak, kes....!"
"Keselo...!" Suro menyambuti. Lalu tawanya
kembali terdengar.
"Ja-jahanam! Gur... gur-uku, pasti tidak aa-
akan ting-ting....!"
"Tinggi hati!" Lagi-lagi Suro menyahuti
Mendapat ejekan sedemikian rupa, semakin ka-
laplah Sidra Gagap. Kemarahan itu ditindihnya. Ia be-
rusaha bicara sebaik mungkin.
"An-anak Setan! Kau telah melarikan calon is-
is...!"
"Istana surgamu! Gila betul. Bicara saja kau ti-
dak becus! Sekarang katakan padaku siapa gurumu!?"
dengus Suro tidak sabar.
"Hh... ha ha ha...! Gur-guruku Kala Demit.
Tampangmu yang konyol itu pasti akan dibuatnya
hancur!" teriak Sidra Gagap penuh rasa percaya diri.
Wajah pemuda bertampang ketolol-tololan itu
berubah kelam seketika. Sekujur tubuhnya menggele-
tar. Matanya melotot seakan baru saja melihat gelegar
halilintar di siang bolong. Ketika pemuda ini tertawa,
maka tawanya kini terasa lain, berubah menyeramkan
dan mendirikan bulu roma. Suro acungkan tinjunya ke
udara, kemudian terdengar siulan panjang tidak tera-
tur.
"Ha ha ha! Kala Demit! Sebuah nama jahanam
yang terukir di dalam kalbuku. Sembilan buah huruf
yang tidak pernah terhapus dari dalam kepalaku! Ber-
tahun-tahun aku mencarinya. Dia adalah satu dari
Sepasang Iblis Pegat Nyawa yang terdaftar dalam buku
lembaran yang paling hitam. Kau muridnya? Ha ha
ha...! Jika semula aku punya rencana bagus untukmu,
maka kini rencanaku lain lagi. Sebentar lagi kau bera-
da dalam genggamanku, Kala Demit harus datang ke-
padaku untuk menyerahkan nyawa busuknya!" jerit
Pendekar Blo'on.
"Ka-kau siapa?" tanya Sidra Gagap sinis.
"Agar kau tidak semakin gagap penasaran. Ke-
tahuilah bahwa aku adalah anak yang kedua orang tu-
anya terbunuh pada malam satu Asyuro di lereng gu-
nung Bromo. Gurumu adalah salah seorang dari tiga
pembunuh orang tuaku. Kau dengar? Gurumu pem-
bunuh orang tuaku!" jawab murid Penghulu Siluman
Kera Putih dan murid Malaikat Berambut Api tegas.
Sebagai seorang murid, tentu saja Sidra pernah
mendengar tentang apa yang dikatakan oleh pemuda
itu dari gurunya. Namun sekarang ia menjadi heran
sendiri setelah melihat pemuda yang waktu kecilnya
jadi rebutan. Pemuda bertampang goblok itu bagaima-
na menjadi pusat perhatian dan rebutan para tokoh?
Bahkan mereka rela saling berbunuhan untuk menda-
patkannya. Padahal Sidra merasa yakin, otaknya pasti
tidak lebih cerdik dari otak keledai.
"Ja-jadi kau-lah orangnya yang dimak-sudkan
oleh guruku! Kebetulan sekali, kesalahanmu sudah
tumpuk undung padaku. Jika aku meringkusmu, ten
tu aku dapat tunjuk-kan pada guru, bahwa dia dulu
telah memperebutkan bu-bualan pertapa gila! Huh...
mampus!" teriak Sidra Gagap.
Bibir Sidra membulat kecil, seraya lalu meniup
dengan keras. Dari dalam mulutnya melesat lima buah
jarum berwarna putih mengkilat. Jika saja Suro tidak
awas sejak tadi, pasti mata dan wajahnya sudah ditan-
capi senjata-senjata rahasia milik lawan. Suro menja-
tuhkan tubuhnya lalu terus berguling-guling. Gerakan
yang dilakukannya itu bukan menjauh, melainkan
mendekati lawan, lalu kakinya menendang.
Des!
Sidra Gagap meraung keras. Tinjunya kanan
kiri menghantam dada dan muka Suro dengan telak. Ia
merasa yakin pukulan itu pasti tidak meleset. Apalagi
kelihatannya lawan merasa kesulitan untuk menghin-
dar, setengah jengkal lagi serangan mengenai sasaran.
Suro menarik tubuhnya ke belakang dengan gerakan
setengah berjingkrak. Lalu ia melompat, kepalanya di-
miringkan ke kiri dan ke kanan. Begitulah yang dila-
kukan berulang-ulang. Tidak satu pun serangan gen-
car Sidra yang mengenai sasaran.
"Huk! Nguk! Nguk!" Untuk beberapa saat la-
manya itulah yang dilakukan Suro secara terus mene-
rus. Tingkahnya memang hampir sama dengan gerak
seekor monyet yang menari-nari. Terkadang sambil
menghindar ia garuk-garuk kepala, garuk hidung atau
menggaruk punggungnya. Di dalam kesempatan lain-
nya seraya melompat dengan kaki ditekuk. Kakinya
melesat...
Wuuk!
Sidra Gagap melompat, serangan luput. Di saat
Suro sedang berjumpalitan di udara. Sidra membaren-
ginya dengan pukulan telak.
Buuk!
"Hukh!"
Ketika menjejakkan kakinya di atas tanah, Suro
langsung terbungkuk-bungkuk memegangi perutnya.
"Kau segera mampus, pemuda setan! Pukulan
'Mendobrak Benteng Membunuh Setan' tidak bisa di-
anggap main-main!" desis Sidra kata-katanya agak
lancar.
"Setan jelek tidak becus bicara! Besar juga kau
punya mulut! Huh...!" Suro tiba-tiba saja berjongkok,
lalu segera menerjang ke depan. Namun sungguh sial,
belum lagi ia mencapai sasaran, Sidra sudah mele-
paskan pukulan jarak jauhnya.
Hawa panes bergulung-gulung menyambar wa-
jah Suro. Pemuda itu meraung keras, lalu membanting
tubuhnya ke kiri.
Buumm!
Terlihat sebuah lubang sangat besar ketika le-
dakan itu terjadi. Suro leletkan lidah. Wajahnya masih
terasa panas, ia bangkit berdiri. Mulutnya pletat-pletot,
sekejap kemudian murid Penghulu Siluman Kera Putih
ini dorongkan kedua tangannya. Angin kencang men-
deru, hawa dingin menghampar disertai sinar putih
bagaikan salju. Sidra Gagap merasa pukulan susulan
yang dilepaskannya membalik. Ia berusaha memperta-
hankan diri dengan melipat gandakan tenaga dalam-
nya. Tubuhnya malah tergetar, kakinya terseret-seret.
"Aaak...!"
Sidra terguling-guling. Ia terkapar dengan mu-
lut menyemburkan darah. Suro tersenyum sinis, den-
gan cepat ia menghampiri lawannya. Begitu dekat ia
bermaksud mencengkeram baju lawannya. Diluar du-
gaan Sidra menghantamkan kebutan ke dada Suro.
Prat!
Pendekar Blo'on memekik kaget. Ia terhuyung
mundur, dadanya meneteskan darah.
"Penipu licik! Kau akan tahu rasa nanti." desis
si pemuda disertai seringai kesakitan.
"Ha ha ha! Ka-ka-u ternyata memang Pendekar
Goblok!" sahut Sidra Gagap sambil mengibas-
ngibaskan kebutan di tangannya.
"Ya... mungkin saja aku goblok. Tapi kau, ha-
haha...! Manusia sinting yang mesti ku potong lidah-
nya!"
Pendekar Mandau Jantan acungkan tinjunya
ke depan. Tinju itu diputar-putarnya. Dengan mem-
pergunakan jurus "Serigala Melolong Kera Sakti Ki-
baskan Ekor', pemuda ini langsung melabrak lawan-
nya. Serangan-serangan yang dilancarkan oleh Suro
memang sangat cepat di samping mengandung teka-
teki yang sulit dipecahkan. Suatu saat tinju Suro men-
deru disertai tendangan kaki. Melihat serangan yang
datang secara bersamaan. ini. Tentu Sidra segera ber-
jumpalitan ke belakang. Tapi ternyata Suro merubah
gerakannya, ia berputar ke arah lawannya bergerak.
Sesekali terdengar suara lolongan panjang. Ketika Si-
dra menjejakkan kakinya. Tentu pemuda gagap ini jadi
kaget karena lawan ternyata Suro telah berada di bela-
kangnya. Dengan tangan terkepal dihantamnya wajah
Sidra.
Dieng!
Pukulan keras itu laksana palu godam meng-
hantam kepala. Sejuta bintang bertaburan di mata Si-
dra Gagap, kepalanya mendadak sontak jadi pusing.
Selagi ia sempoyongan, Suro melompat, tangannya
bergerak cepat.
Breet!
Senjata itu pun berpindah tangan. Serta merta
gagang kebutan digetokkan lagi ke kepala Sidra Gagap.
Kepala pemuda itu pun benjol-benjol. Ia jatuh terdu-
duk. Melihat pemuda itu dalam keadaan tidak berdaya,
maka puteri Reza berlari menghampiri, lalu lepaskan
tendangan bertubi-tubi dengan tenaga kasarnya.
"Sudah biarkan saja!" Suro Blondo mencegah.
"Bunuh dia!!" perintah si gadis. Suro gelengkan
kepala.
"Kau membelanya?" Puteri Reza belalakkan
mata.
"Kau salah, puteri. Ketahuilah. Guru pemuda
sableng ini adalah orang yang kucari-cari selama ini.
Kala Demit telah membunuh ayah dan ibuku di gu-
nung Bromo. Jika dia kubunuh, maka aku kehilangan
kesempatan untuk menagih hutang nyawa. Sekarang
aku punya rencana!" Tiba-tiba saja Suro menotok Si-
dra Gagap. Lalu lanjutkan ucapannya. "Nenek kaki
buntung itu kulihat punya dua ekor monyet. Rencana-
ku bagaimana jika kita sandingkan dia dengan mo-
nyet-monyet itu di atas pelaminan. Ha ha ha...!"
"Nenek itu pun punya rencana yang sama den-
gan rencanamu! Aku setuju saja, walau pun sebenar-
nya aku muak melihat tampangnya!"
"Untuk itu kita jangan buang-buang waktu.
Mari!" Suro memanggul Sidra di bahunya. Setelah itu
mereka berjalan melewati semak belukar yang terdapat
di sekelilingnya.
* * *
"Reza hanya membuat urusan jadi tertunda-
tunda. Jika ia sampai ketahuan ayahnya atau calon
suaminya. Tentu masalahnya semakin gawat. Kasihan
sekali nasibnya. Gunung Kendeng ini sangat luas, di-
mana aku harus mencarinya?" pikir gadis baju hijau.
Puteri Kilat Bayangan akhirnya berlari-lari menelusuri
lereng gunung di sebelah barat.
"Rasanya tidak mungkin dia berada di sekitar
tempat ini. Heh, aku melihat semak-semak belukar di
sebelah sana bergerak-gerak." kata Puteri Kilat. Ia ke-
mudian memanggil-manggil adik misannya itu. Namun
sampai suaranya serak tetap tidak ada sahutan.
"Puteri Reza...!!" teriaknya berulang-ulang.
Karena tetap tidak ada jawaban, maka Puteri
Kilat Bayangan mendekati semak-semak yang dicuri-
gainya. Setelah menyelidik kian kemari, ternyata ia ti-
dak melihat siapa-siapa di situ. Gadis ini lama kela-
maan menjadi kesal juga.
"Heh, ada kuda di sini? Kuda milik siapa?" Ga-
dis baju hijau tersentak kaget. "Bukankah ini kuda mi-
lik paman. Aku merasa seperti ada beberapa pasang
mata mengawasiku!" Puteri Kilat Bayangan merasa ti-
dak enak. Ternyata dugaannya memang tidak meleset,
sebab tidak lama bermunculan beberapa orang laki-
laki dari balik semak belukar. Orang-orang bertam-
pang angker ini langsung mengurung si gadis.
"Ha ha ha...! Kalau memang sudah jodoh, ke-
mana pun kau pergi akhirnya kami temukan juga!" ka-
ta sebuah suara.
"Keparat! Bukankah itu suara Randu Walang?"
desis Puteri Kilat Bayangan kecut.
***
8
Ternyata setelah terlihat dengan jelas, memang
Randu Walang dan beberapa orang anak buahnya yang
telah mengepung Puteri Kilat Bayangan. Salah seorang
diantaranya adalah laki-laki berkuping tunggal yang
tempo hari berhadapan dengan Pendekar Blo'on dan
hampir saja menjadi sasaran goloknya sendiri.
"Calon isteriku, mengapa kau tega-teganya me-
larikan diri dariku. Apakah kau tidak suka padaku?"
tanya Randu Walang. Pemuda yang sekujur tubuhnya
di penuhi penyakit kurap itu tiada hentinya mengga-
ruk-garuk sekujur tubuhnya. Apalagi ketika itu panas
sedemikian teriknya, sehingga tubuhnya yang keringa-
tan membuat penyakit kurapnya semakin menjadi-
jadi.
"Orang jelek kudisan. Terus terang aku me-
mang tidak suka padamu. Kurasa kambing congekan
pun tidak sudi menjadi isterimu. Sebaiknya kau urus
penyakit menjijikkan yang menghinggapi tubuhmu.
Jangan coba-coba membujukku. Sekali pun tidak ter-
lintas dalam pikiranku untuk berumah tangga. Sean-
dainya aku punya keinginan nanti, tentu bukan den-
gan dirimu!" bentak Puteri Kilat Bayangan sinis.
Jawaban ini tentu saja membuat Randu Walang
merasa terhina. Apalagi anak buahnya yang berkuping
sebelah.
"Anak ketua, sebaiknya serahkan saja urusan
perempuan ini kepada kami. Kalau sudah kena diring-
kus tentu dia tidak akan banyak tingkah lagi...!"
"Ha ha ha! Tentu saja gadis ini menjadi ba-
gianmu untuk menaklukkannya. Tapi ingat, kau tidak
boleh menyakitinya, bahkan membuat lecet tubuhnya
sedikit pun tidak boleh!" sahut Randu Walang.
Begitu mendapat aba-aba, Jalak Abang dan li-
ma orang anak buahnya langsung mengurung si gadis
Secantik bidadari ini. Kelima laki-laki berbadan tegap
yang di dadanya terdapat tatto bergambar harimau be-
sar ini Secara bersamaan mencengkeram lawannya.
Gerakan mereka cepat sekali. Bahkan lebih cepat dari
dugaan Puteri Kilat Bayangan.
Wuus!
Lima buah tangan laksana setan gerayangan
menjamah bagian-bagian tubuh si gadis. Gadis baju
hijau memaki-maki dalam hati. Tiba-tiba saja secepat
kilat tubuhnya melesat ke udara sambil lepaskan ten-
dangan memutar.
"Hiyaa...!"
Spontan kelima laki-laki itu menarik pulang
tangannya. Tendangan kilat itu hanya membeset uda-
ra. Selagi Puteri Kilat berputar-putar di atas kepala la-
wan-lawannya. Maka dua diantara penyerangnya juga
melompat ke udara.
Tindakan mereka yang nekad itu di sambut
oleh gadis baju hijau dengan hentakan kedua tangan-
nya.
Bukk!
Walau pun serangan kilat yang dilakukan oleh
Puteri Kilat Bayangan kelihatan pelan. Namun akibat-
nya sungguh sangat luar biasa sekali. Kedua laki-laki
itu seperti dibanting gajah. Mereka menggeliat, kawan-
kawannya langsung menyerbu. Kini mereka sudah mu-
lai mengeluarkan jurus-jurus harimau yang sangat
berbahaya sekali.
Gadis baju hijau tersenyum mencibir. Tiga laki-
laki langsung menerkam Puteri Kilat. Sesuai dengan
julukannya, gadis ini cepat sekali berkelebat. Tahu-
tahu lawannya menghantam angin. Si gadis memutar
tubuhnya, kedua tangannya menderu. Kiri kanan
menghantam dada lawan.
Buk! Buuk!
"Wuakh...!"
Kedua orang ini terpelanting roboh, tulang ru-
suknya patah dan mereka menjerit-jerit kesakitan. Pu-
teri Kilat Bayangan tidak memberi kesempatan lagi.
Sekali lompat ia sudah menginjak perut kedua laki-laki
itu hingga mata mereka melotot. Melihat keganasan si
gadis Jalak Abang dan dua orang kawannya cabut senjata. Mereka sudah tidak menghiraukan teriakan Ran-
du Walang yang khawatir gadis baju hijau menjadi sa-
saran senjata.
"Jalak Abang jangan lukai dia. Calon isteriku
jangan sampai lecet! Awas aku potong kupingmu jika
sampai calon isteriku terluka!"
Wut! Wut!
Tiga buah golok menderu, membelah, mencin-
cang, menebas dan membabat tubuh lawannya. Puteri
Kilat Bayangan tidak bedanya dengan seekor burung
walet. Berkelebat kian-kemari, menyambar atau terka-
dang menerobos ke pertahanan lawannya.
Tapi pertahanan Jalak Abang dan dua kawan-
nya cukup kokoh juga. Tubuh mereka diselubungi si-
nar golok yang berwarna putih bagaikan bintang-
bintang yang bertaburan.
"Bunuh!" teriak Jalak Abang prustasi.
"Jalak Abang! Kau berani melawan kehendak-
ku! Jika gadis itu terbunuh, kepalamu nanti akan
menjadi gantinya. Tidak cukup itu saja, anak binimu
juga akan kubunuh semuanya!"
Maka pucatlah wajah Jalak Seta ketika diin-
gatkan tentang anak isterinya. Ia menjadi ragu-ragu
untuk melampiaskan keinginannya, justeru kesempa-
tan ini langsung dimanfaatkan oleh Puteri Kilat
Bayangan. Si gadis lepaskan pukulan 'Bidadari Kilat
Halilintar'. Kedua tangannya diadu satu dengan yang
lainnya. Terdengar ledakan dahsyat, sinar merah kun-
ing dan biru bertebaran bagai bunga api.
Jalak Abang terbelalak matanya, serangan la-
wan yang datang secara tiba-tiba itu tidak mungkin di-
elakkannya. Maka golok di tangan langsung diputar-
nya. Lima larik sinar melabrak tubuhnya, golok lang-
sung leleh, Jalak Abang terpaksa lepaskan senjata
sambil menjerit-jerit. Praktis ia tidak memiliki pelindung apa-apa.
Bum! Buum!
Jeritan keras laksana merobek langit. Jalak
Abang tubuhnya terbelah menjadi empat bagian.
Sungguh mengenaskan keadaan laki-laki ini. Sedang-
kan kedua kawannya juga mengalami nasib sial. Seba-
gian pukulan Puteri Kilat Bayangan mengenai mereka.
Sungguh pun tubuh orang-orang ini tidak tercerai be-
rai. Namun nyawa mereka tidak terselamatkan lagi.
Puteri Kilat Bayangan membalikkan tubuhnya,
memandang pada Randu Walang dengan tatapan mata
sinis. Pemuda itu tercekat, hanya dalam waktu belasan
jurus saja semua anak buah ayahnya sudah terkapar
tanpa nyawa. Hal-hal seperti ini sangat jarang terjadi,
sama sekali ia tidak menyangka gadis itu mempunyai
kepandaian tinggi. Saking bingungnya Randu Walang
garuk-garuk koreng di sekujur tubuhnya.
"Kau mengapa bertindak kejam begitu, calon is-
teriku!" desis Randu Walang kecut.
"Hei... botak kurapan, jangan lagi kau sebut
aku calon isterimu jika tidak ingin mampus!" dengus si
gadis sengit. Memang sejak pertama bertemu dengan
pemuda ini sedikit pun tiada rasa simpati di hatinya.
Malah kebenciannya meledak-ledak. Benci botaknya,
benci kurapnya, pokoknya benci segala-galanya.
"Kau... mengapa begini galak. Apa kau ingin
agar aku bertindak kasar padamu...?" bertanya Randu
Walang disertai senyum terkekeh-kekeh.
"Hi hi hi...! Kau rupanya masih belum tahu sia-
pa aku! Jika kau mampu menangkapku, mungkin aku
bersedia mempertimbangkan permintaan gilamu.
Mungkin juga aku bersedia tidur denganmu, dengan
syarat kau bisa menangkapku!" kata Puteri Kilat
Bayangan berbohong. "Tapi jika sepuluh jurus di de-
pan kau tidak bisa berbuat apa-apa. Kau akan kujo
dohkan dengan monyet milik nenekku!"
"Tawaranmu sangat mengesankan hatiku, calon
isteriku. Jangankan cuma menangkap, membelai dan
memeluk pun aku sanggup. Ayolah aku sudah tidak
kuat lagi menahan keinginanku!" desis Randu Walang,
kata-katanya bernada mesum.
"Orang gila! Hiya...!" teriak Puteri Kilat Bayan-
gan. Berhadapan dengan Randu Walang tentu saja si
gadis tidak mau bersikap untung-untungan. Ia menge-
luarkan segenap ilmu meringankan tubuh yang dimili-
kinya. Sebaliknya Randu Walang karena terdorong
keinginan nafsunya yang meledak-ledak segera beru-
saha menangkap gadis baju hijau.
Tidak heran bila pertempuran itu sekejap saja
sudah menjadi sengit luar biasa. Pada dasarnya Randu
Walang adalah pewaris tunggal jurus-jurus Macan
Terbang milik ayahnya. Tidak heran jika serangannya
lebih berbobot dan sangat berbahaya sekali.
"Haiit! Kena...!" teriak Randu Walang dengan
gerakan orang memeluk.
Set!
Secepat kilat gadis baju hijau telah melesat ke
samping. Randu Walang memeluk angin. Ia meludah
dan memaki kegagalannya sendiri. Tiba-tiba saja si
pemuda botak silangkan kedua tangannya di depan
dada.
Tubuhnya sebentar saja sudah menggeletar,
dari ubun-ubunnya yang gesang mengepul kabut tipis
berwarna merah. Mulutnya meraung seperti jeritan ha-
rimau. Kaki kanan kemudian ditarik ke belakang, se-
dangkan kedua tangannya kini secara serentak berge-
rak ke samping ditarik ke belakang, kemudian dido-
rong ke depan. Setiap gerakan apapun yang dilaku-
kannya selalu menimbulkan desir angin yang sangat
panas sekali. Lalu...
Graaung!
Satu sentakan yang disertai dengan gerakan
kaki membuat tubuh Randu Walang melesat laksana
terbang. Cengkeramannya terarah pada bagian batok
kepala Puteri Kilat. Gadis baju hijau melihat betapa
berbahayanya serangan ini. Ia menjatuhkan pung-
gungnya. Kaki terangkat dan menghantam dada Randu
Walang. Pemuda ini memekik keras, sepuluh jurus
hanya dalam waktu singkat telah terlewati. Sejauh itu
pemuda kurapan masih belum dapat menyentuh tu-
buh Puteri Kilat Bayangan. Maka bertarunglah mereka
tanpa memakai peraturan lagi.
"Gadis sebaiknya kau menyerah saja! Percuma
kau mengadakan perlawanan!" teriak Randu Walang
memberi aba-aba.
"Menangkap sapi saja kau tidak becus, ternyata
mulutnya hanya mampu berkoar!" sahut Puteri Kilat
sinis.
"Hmm, pandai juga kau bicara. Wajahnya can-
tik seperti bidadari, kuharap kau juga pandai melaya-
niku bila sudah di atas ranjang!"
Wuut!
Plakk!
Randu Walang terhuyung ke belakang. Dua
buah giginya rontok, Puteri Kilat rupanya menjadi gu-
sar ketika mendengar ucapan Randu Walang yang ti-
dak senonoh itu.
Pruuh!
Dua buah gigi berpentalan keluar dari mulut
Randu Walang bersamaan menyemburnya ludah ber-
campur darah.
"Betina setan! Rasakanlah pembalasanku!" te-
riak si pemuda botak kudisan.
Sret!
Sing!
Randu mencabut pedang pendek dari balik
punggungnya. Dengan masih mempergunakan jurus-
jurus dasar Macan Terbang ia mendesak Puteri Kilat
Bayangan. Si gadis mengandalkan ilmu meringankan
tubuh dan gerakannya yang cepat seperti kilat terus
menghindar. Tapi gempuran Randu Walang semakin
lama semakin bertambah cepat bahkan membahaya-
kan keselamatannya.
"Haiit...!"
Gadis baju hijau membentak keras. Tubuhnya
bersalto sebanyak tiga kali. Melihat gerakan itu Randu
membarenginya dengan satu tusukan dan sabetan.
Puteri menjadi gugup, tiba-tiba posisi berbalik,
hingga membuat si gadis jelita jadi terdesak. Walau
pun begitu gadis baju hijau terpaksa berguling-guling
untuk selamatkan diri. Ternyata senjata lawan telah
mendahuluinya. Pedang itu menyambar bagian dada
hingga ke perut.
Breet!
Kancing-kancing baju si gadis terbeset lepas,
pakaian bagian dalamnya juga berantakan angin nakal
ikut menyibakkannya. Sehingga terlihatlah dada Puteri
Kilat yang mulus padat menantang. Merah wajah gadis
ini, ia berusaha menutupi bagian yang terbuka itu
dengan menautkan pakaiannya. Bibir mungilnya yang
tipis kemerah-merahan memaki.
"Kau telah berani mempermalukan aku! Nanti
akan kau rasakan akibatnya...!" teriak si gadis.
"Ha ha ha...! Bila kau marah-marah, di mataku
semakin bertambah cantik saja. Di sini cuma kita ber-
dua, mengapa kita tidak bersenang-senang saja."
"Hmm, bicaramu semakin kurang ajar saja?!"
jerit Puteri Kilat Bayangan. Tangan kiri menutupi da-
da, tangan kanan digerak-gerakkan ke atas kepala se-
dangkan jemari tangannya menyatu rapat seperti paruh burung. Kaki kiri si gadis diangkat ke atas, gera-
kan-gerakan ini terkenal sangat cepat.
"Kau...? Bukankah itu jurus 'Congcorang'...!"
desis Randu Walang dengan mata melotot kaget.
"Ya, berhati-hatilah kau. Salah langkah kau bi-
sa kehilangan mata!" tegas si jelita. Apa yang dikata-
kannya itu bukan gertakan kosong. Sebab begitu Ran-
du Walang menyerang. Maka gadis itu telah lenyap da-
ri hadapannya. Randu jadi bingung. Ia berbalik, di
waktu itu tendangan lawan telah menghantam da-
danya dengan sangat keras sekali.
Pemuda botak kudisan memang sial nasibnya.
Ia terguling-guling. Justru pada waktu itu wajahnya
mencium kotoran kuda.
"Bangsat! Kuda goblok, berak tidak bilang-
bilang! Hiaaa...!" Merasa penasaran bercampur rasa
malu. Randu Walang bangkit berdiri. Dengan beringas
ia menusukkan senjata ke perut Puteri Kilat Bayangan.
Serangan itu tidak dielakkan oleh lawan. Tetapi di saat
pedang hampir menembus kulitnya yang putih itu.
Jemari tangan si gadis bergerak cepat.
Taap!
Badan senjata terjepit di antara jemari lawan-
nya. Puteri Kilat berputar-putar seperti gerakan seekor
belalang yang menghindari patukan burung. Randu
Walang ternyata tidak dapat mengikutinya, sehingga
pedangnya berpindah ke tangan lawannya. Gadis baju
hijau melemparkan senjata itu ke semak-semak. Di
saat Randu terperangah menyaksikan keajaiban yang
terjadi. Satu jari tangan Puteri Kilat mencoblos ma-
tanya.
"Wuaakh...!"
"Mataku, akhh... mataku...!" jerit Randu Wa-
lang sambil memegangi sebelah matanya yang hancur.
Ia berguling-guling seperti setan gila yang prustasi.
"Bangun!" bentak si gadis.
Merasakan penderitaan yang teramat sangat
itu, tentu saja Randu Walang tidak menghiraukan
ucapan si gadis. Ia terus berguling-guling sambil pe-
gangi sebelah matanya yang hancur.
Buuk!
"Ukh...!"
Randu menjerit tertahan ketika kaki si gadis
menghantam punggungnya. Puteri Kilat Bayangan ter-
senyum sinis.
"Kini telah terbukti, kiranya kau hanya bermu-
lut besar saja!" dengus si gadis. Kemudian ditotoknya
Randu Walang. Tangannya di ikat dengan tali yang ter-
sampir di atas pelana kuda. Tidak berselang lama Pu-
teri Kilat Bayangan telah berada di atas punggung ku-
da. Maka Randu Walang pun diseret menuju lereng
gunung Kendeng. Keadaan pemuda kudisan itu benar-
benar sangat mengenaskan. Tubuhnya terhempas-
hempas di atas tanah berbatu.
"Niatmu untuk menjadi pengantin akan kami
turuti, sebentar lagi! Hi hi hi...!" Puteri Kilat Bayangan
tertawa mengekeh.
***
9
Kasunanan Parit Wolu di pagi itu dalam keadaan sepi. Bangunan megah ini hanya dijaga oleh be-
berapa orang pengawal saja bersenjata lengkap. Sudah
hampir dua hari ini Sunan tidak berada di tempat. Ru-
panya usaha Sunan untuk menemukan puterinya
kembali belum mendatangkan hasil. Sepagi itu dari
bagian luar tembok benteng, tampak sesosok tubuh
bergerak cepat mendekati gerbang utama. Pemuda be-
rambut riap-riapan memakai baju biru bercelana hi-
tam komprang ini langsung dihadang oleh pengawal
yang bertugas di tempat itu.
"Berhenti!!" perintah salah seorang dari dua
pengawal dengan lagak memuakkan. Si pemuda henti-
kan langkahnya, memandang sejenak ke arah si pen-
gawal dengan tatapan mata bosan.
"Mau apa kau kemari, orang muda kulit hitam
putih?" tanya yang lainnya.
"Huh, aku hendak bertemu dengan kanjeng
Sunan. Apakah dia ada di tempat?" tanya si pemuda
dingin.
"Beliau tidak ada. Kalau pun ada, tentu kau ti-
dak boleh masuk!" jawab si pengawal ketus. Kedua ra-
hang si pemuda mengatup rapat dan tampak meng-
gembung menahan marah.
"Kalian berdua sama bangsatnya dengan Sunan
Bandi Suliwa! Kalau tidak mau mampus sebaiknya
kau menyingkir!" tegas pemuda itu.
"Monyet gila kesasar, sadarkah kau sedang
berhadapan dengan siapa?" tanya si pengawal, seraya
menodongkan pedangnya ke leher Dewa Sabrang.
Namun tanpa disangka-sangka si pemuda me-
nepiskan senjata itu, lalu membalikkannya ke tenggo-
rokan pengawal. Gerakan yang dilakukannya ini san-
gat cepat bukan main. Tahu-tahu leher pengawal ma-
lang ini mengucurkan darah. Si pengawal menjerit
sambil mendekap tenggorokannya yang nyaris putus.
Pedang disentakkan dari tangan lawan. Sekelebatan
senjata telah berpindah tangan. Belum lagi pengawal
kedua sempat berbuat sesuatu, pedang di tangan De-
wa Sabrang sudah amblas di bagian perutnya.
Kedua pengawal ini kemudian roboh tidak ber-
kutik, yang lain-lainnya langsung berhamburan keluar
begitu mendengar suara jeritan kawannya. Betapa ka-
getnya mereka ketika melihat seorang pemuda berdiri
tegak dengan tatapan matanya yang dingin menusuk.
Di tangan pemuda itu tergenggam sebilah pedang ber-
lumuran darah.
"Hei... siapa kau...?" teriak salah seorang dian-
tara belasan pengawal ini sambil mencabut senjatanya.
Dewa Sabrang tersenyum tipis. Tatapan matanya
sungguh menggidikkan bagi yang memandangnya.
Masa lalu sering terlupakan
Tapi aku tidak bisa melakukannya
Saat aku berada di simpang keraguan
Kusadari matahari sudah makin meninggi
Aku hampir tidak dapat lagi membedakan
Cinta Tuhanku dan sayang manusia
Masa lalu telah menusukku dengan sembilu te-
ramat dalam...
Hal ini sangat melukai, melukai teramat dalam
Salahkah aku menggantung harap
Antara harapan dan sia-sia
Aku datang bukan tuk mengharap cinta dan ka-
sih dari seorang anak manusia
Aku hanya ingin bertanya, mengapa orang-orang
tersalah masih bisa tertawa
Mengapa pula orang-orang benar malah menan-
gis
Aku datang bukan untuk menghapus luka atau
perturutkan nafsu kebencian.
Aku datang semata-mata untuk meluruskan
jalan agar tidak semakin menyesatkan!
Menyingkirlah! Menyingkir!!
Jawaban Dewa Sabrang yang tidak ubahnya
seperti orang yang melantunkan bait-bait sair ini tentu
saja membuat pengawal-pengawal itu menjadi sangat
marah. Salah seorang diantaranya dengan tidak sabar
langsung menyerbu ke arah Dewa Sabrang. Namun
pemuda itu laksana kilat langsung menyambitkan sen-
jata berlumuran darah di tangannya. Senjata itu me-
luncur laksana kilat dan tidak terelakkan lagi.
"Wuaaak...!"
Gerakan si pengawal tertahan, matanya mende-
lik. Ia dekap pedang itu dan berusaha mencabut senja-
ta yang membenam di perutnya. Tindakan yang dila-
kukannya ini hanya mempercepat kematiannya saja. Ia
terguling, yang lain-lainnya sempat terperangah. Tapi
hanya sebentar saja. Di lain waktu mereka sudah me-
nyerbu sambil mengibaskan senjata di tangan masing-
masing.
Menghadapi hujan senjata yang bertubi-tubi
ini, Dewa Sabrang hanya menghindar seenaknya saja.
Sehingga tidak dapat dicegah beberapa senjata milik
lawannya mengenai tubuhnya. Tapi serangan itu tidak
membawa akibat apa-apa. Untuk kedua kalinya para
pengawal ini dibuat terkejut. Dewa Sabrang tertawa
dingin. Tangannya yang sudah berwarna putih kehi-
tam-hitaman itu akhirnya bergerak laksana kilat.
Buk! Buk! Buk!
Pukulan-pukulan yang dilakukan oleh Dewa
Sabrang membuat lawannya menjerit kesakitan. Mere-
ka roboh, tubuh berubah berwarna hitam. Darah ken-
tal meleleh dari hidung mereka. Dewa Sabrang ru-
panya sudah tidak dapat lagi mengendalikan amarah-
nya. Sehingga secara tidak sadar ia sudah mempergu-
nakan pukulan Racun Dewa. Akibatnya tentu sangat
mengerikan sekali. Apa yang terjadi pada kawan-
kawannya membuat sisa-sisa pengawal menjadi kecut
kehilangan nyali.
"Lebih baik jangan kalian halang-halangi aku,
jika ingin selamat!" dengus Dewa Sabrang. "Pergilah
sebelum kalian mengalami nasib seperti kawan-kawan
kalian!" bentak Dewa Sabrang.
Melihat tidak ada kemungkinan lain lagi. Para
pengawal ini pun berserabutan meninggalkan halaman
Kasunanan. Dewa Sabrang memperhatikan tingkah
pengecut pengawal-pengawal itu untuk kemudian
langsung bergerak memasuki ruangan besar dihada-
pannya. Tidak sampai setengah jam kemudian Dewa
Sabrang telah keluar lagi dengan perasaan kecewa.
"Aku tahu kemana puteri pergi! Kurasa kesana-
lah aku harus mencari!" pikir Dewa Sabrang. Pemuda
ini kemudian menghampiri seekor kuda putih yang
terdapat di samping bangunan itu. Dengan memper-
gunakan kuda itu ia berangkat menuju gunung Ken-
deng.
* * *
Tetabuhan ala kadarnya sudah tersedia di ba-
wah tratak. Perhelatan besar itu agaknya sudah ham-
pir dimulai. Pengantin perempuan sudah dirias ala ka-
darnya. Sedangkan mempelai laki-laki memakai topi
caping yang terbuat dari kulit kayu. Wajahnya coreng
moreng dengan warna kontras, hitam merah dan biru.
Kedua mempelai laki-laki ini memakai pakaian kedo-
doran. Tubuh mereka dibaluri warna yang terbuat dari
tanah liat. Bibirnya diberi warna merah menyala.
Tampaknya di lereng gunung Kendeng sedang
diadakan pesta besar. Dua pasang pengantin disan-
dingkan sekaligus. Di samping mempelai laki-laki du-
duk dengan resah mempelai perempuan. Mempelai pe-
rempuan tidak henti-hentinya cengar-cengir atau ga-
ruk-garuk kepala. Terkadang bahkan tidak segan-
segan mempelai perempuan mencari kutu di kepala
pasangannya. Sementara di samping mempelai laki-
laki tersedia arak keras, mereka tidak henti-hentinya
meneguk minuman memabukkan itu hingga membuat
mata memerah dan bicara melantur tidak karuan. Pa-
da deretan sebelah kiri, tampak mempelai laki-laki du-
duk dengan santai. Kelihatan sekali ia kurang menghi-
raukan matanya yang bengkak membiru. Wajahnya
juga coreng moreng, bicaranya ngawur tidak karuan.
Terkadang ia tertawa-tawa sendiri, sedangkan mempe-
lai perempuan yang duduk di sampingnya terdiam
dengan mulut melongo.
Pada setiap pasangan pengantin itu. Di sam-
pingnya berdiri seorang gadis berpakaian dayang me-
megang kipas dari daun pisang. Para gadis itu tidak
henti-hentinya tersenyum. Wajah mereka juga coreng
moreng, bergincu tebal dan memakai alis berukir tebal
pula.
Para gadis pengiring ini mengenakan kostum
yang sepenuhnya terbuat dari rangkaian bunga. Walau
patut diakui dibalik semua itu mereka berpakaian
lengkap. Kipas daun pisang tidak henti-hentinya diki-
baskan. Lalu mempelai perempuan nyengir lagi sambil
melahap pisang yang terdapat di sampingnya.
Tidak lama kemudian muncul seorang nenek
dipanggul oleh dua ekor monyet besar. Dia tidak lain
adalah nenek kaki dan tangan buntung yang lebih di-
kenal dengan Nini Suri Pamungkas. Perempuan cacat
ini memperhatikan dua pasang pengantin yang kini ke-
lihatan sibuk dengan urusan masing-masing. Pengan-
tin perempuan terus menerus makan pisang, sedang-
kan mempelai laki-laki tiada henti meneguk minu-
mannya.
"Nguk! Nguk!"
Kedua monyet yang memanggul si nenek tam-
pak ribut. Namun monyet-monyet ini tidak berani melakukan sesuatu yang membuat majikannya bisa ma-
rah. Nini Suri Pamungkas menepuk-nepuk bahu ke-
dua monyet yang selalu memanggulnya kemana pun
nenek ini pergi.
"Jangan cemburu, Nyet Tam, Nyet Tih!" kata si
nenek (Maksudnya monyet hitam dan monyet putih).
"Isteri-isteri kalian hanya dipinjam sementara waktu
buat kedua pemuda yang gila kawin ini. Nanti jika pes-
ta besar ini selesai. Mereka pasti kembali pada kalian
juga!"
"Nenek jelek! Cepat tepung tawari pasangan
mempelai ini. Sebagai tanda restu darimu, aku sudah
tidak sabar memukul tetabuhan ini!" ujar pemuda baju
hijau yang sedari tadi tiada henti mencuri pandang
pada gadis pengiring mempelai yang berada di sudut
kanan.
"Hik hik hik! Pemuda tolol! Tanganmu gatal in-
gin memukul tetabuhan atau kau merasa pingin seper-
ti mempelai ini. Lalu siapa yang ingin kau jadikan pa-
sangan? Cucuku Puteri Kilat Bayangan atau mempelai
yang suka makan pisang itu?" ejek Nini Suri Pamung-
kas.
Puteri Kilat Bayangan tundukkan wajahnya.
Seandainya wajahnya tidak tertutup pewarna. Tentu
terlihat betapa paras gadis secantik bidadari itu beru-
bah memerah seperti tomat matang. Suro Blondo
nyengir, walau hatinya memang tidak pernah tenang.
"Jangan kau menyindir ku, Nek! Aku khawatir
malah kau ingin kawin yang kedua kalinya. Jangan se-
rakah, aku yang muda-muda saja belum pernah mera-
sakan jadi pengantin. Ha ha ha...!"
"Anak setan sontoloyo. Tutup mulutmu, seka-
rang aku hendak memberikan restu pada kedua pa-
sang pengantin ini. Nah tabuhlah kendangmu, ayo pu-
kul!" perintah si nenek.
Plak! Dut! Plak! Dut! Duuut!
Kendang dipukul bertalu-talu. Tentu saja ira-
manya sesuka hati si pemuda. Sementara di bawah
tratak si nenek mulai menaburkan bunga-bunga hutan
yang terdiri dari berbagai jenis. Baik puteri Reza mau-
pun Puteri Kilat Bayangan sama menahan tawa meli-
hat cara si pemuda memukul tetabuhan yang kedenga-
rannya seperti orang yang kentut di tengah orang ra-
mai hingga tertahan-tahan. Suro termonyong-monyong
melihat mempelai perempuan jejingkrakan sambil me-
makan pisang. Sesekali mempelai perempuan men-
cium mempelai laki-laki tanpa rasa malu.
Clepot!
"Dasar binatang! Tidak ada pikirannya, betul-
betul gendeng!!" gerutu Suro.
"Ayo yang keras kau menabuh kendang. Jan-
gan pelan seperti cacing kurang makan. Ayo lebih ke-
ras lagi. Biar para tetamu tidak nyasar kondangan di
tempat lain!" perintah Nini Suri Pamungkas.
Si pemuda pun akhirnya memperkeras puku-
lannya. Saking kerasnya, hingga tetabuhan menjadi
robek. Suro melempar tabuhan yang robek dan meng-
gantikannya dengan tetabuhan yang lain. Sementara
mempelai yang sedang bersanding tampak tersenyum-
senyum.
"Hei bagaimana rasanya jadi pengantin?" tanya
Si Bocah Ajaib di tengah-tengah kesibukannya. Perta-
nyaannya ditujukan pada Randu Walang yang sudah
mabuk berat.
"Ha ha ha...! Jadi pengantin kepala rasanya
muter terus. Endah juga sih, tapi ada mual sedikit-
sedikit...!" jawab Randu Walang yang memang sudah
mabuk berat.
"Uh... uh...! Aku lain, kawanku itu salah. Jadi
pengantin rasanya seperti berada di atas angin, melayang timbul tenggelam. Kepala agak sakit dan dunia
ini rasanya milik orang-orang kaya. Lalu jalan tidak ra-
ta, tratak ini bergerak-gerak mengerikan. Uh... uh...!"
Sidra Gagap dengan lancar ikut menanggapi perta-
nyaan Suro Blondo.
"Orang-orang mabuk, disandingkan dengan
monyet pun bagi kalian indah saja!" teriak Pendekar
Blo'on, kemudian terdengar suara tawanya bergelak-
gelak.
* * *
Kita tinggalkan kesibukan pesta gila yang terja-
di di lereng gunung Kendeng. Sementara itu di bagian
lain lereng gunung, tampak Sunan Bandi Suliwa dan
para pengawalnya yang berjumlah belasan orang tam-
pak terns memacu kudanya. Baik para pengawal mau-
pun Sunan Bandi Suliwa sendiri sudah sama-sama le-
tih. Apalagi mengingat sudah dua malam mereka tidak
istirahat barang sedikit pun.
"Kanjeng Sunan, bagaimana jika kita melepas
lelah sebentar!" tanya salah seorang pengawal dengan
perasaan takut.
"Siapa yang mau istirahat silakan. Tapi istira-
hatnya seumur hidup!" dengus Sunan tanpa mengu-
rangi kecepatan kudanya yang sudah sangat kelela-
han.
Pengawal ini langsung katupkan bibirnya. Ku-
da-kuda itu terus berlari bagai dikejar-kejar setan. Se-
telah melewati tikungan tebing curam. Mendadak saja
tiga orang pengawal di depan menjerit dan langsung
terlempar dari atas pelana kudanya. Begitu menyentuh
tanah para pengawal yang malang ini langsung terdiam
tidak berkutik. Sunan menghentikan kuda, belum lagi
hilang rasa kagetnya dan belum pula sempat meneliti.
Dari balik batu besar menderu sinar hitam putih dan
langsung melabrak pengawal yang berada di belakang-
nya. Sunan tidak sempat lagi memberi peringatan. Li-
ma orang pengawal langsung roboh bersama kuda
tunggangan mereka. Sekujur tubuh pengawal-
pengawal ini berubah menghitam keracunan.
Pukulan gelap tadi benar-benar sangat dahsyat.
Sunan sendiri seakan hampir tidak percaya dengan
apa yang disaksikannya. Tiga orang bisa pengawal
menjadi kecut. Selagi ia hendak bicara, dari balik batu
besar muncul seorang pemuda terambut riap-riapan
berwajah dingin. Dari kepala hingga ke dada kulit pe-
muda itu hitam pekat, sedangkan dari dada hingga ke
ujung kaki berwarna putih seperti kapas. Walau pun
peristiwa itu sudah berlangsung lima tahun yang lalu,
tapi Sunan masih dapat mengingat bekas bendaha-
ranya itu.
"Kau rupanya!?" desis Sunan Bandi Suliwa
sinis.
"Ya, aku Ambar Alam si Dewa Sabrang. Orang
yang lima tahun lalu kau hukum pendam di mulut gua
celaka itu. Tidak ada jalan bagimu untuk selamat Su-
nan. Aku tahu muslihatmu. Dulu kau bersekutu den-
gan tokoh-tokoh sesat yang akan menjadi besanmu ke-
tika menghancurkan orang tua Puteri Kilat Bayangan.
Kini kau memperkosa kemerdekaan hati manusia den-
gan kehendak gilamu!" dengus Dewa Sabrang.
"Rupanya kau merasa sakit hati karena aku
melarangmu berhubungan dengan putriku. Ha ha ha!
Sebaiknya kau berkaca siapa dirimu!"
"Bukan persoalan sakit hati atau putus hara-
pan. Aku hanya ingin membuatmu mengerti bahwa
manusia tidak punya kuasa atas jiwa orang lain!
Heaa...!" Dewa Sabrang berteriak keras dan langsung
lepaskan pukulan "Payung Dewa'. Udara panas membakar bergulung-gulung, angin sambarannya saja su-
dah membuat tiga pengawal Sunan Bandi Suliwa ter-
kapar tidak berdaya.
Sedangkan Sunan sendiri langsung melompat
dari punggung kudanya. Gerakannya cukup menga-
gumkan. Kuda Sunan menjadi sasaran. Terdengar
dentuman sangat keras menggelegar. Kuda hitam itu
terbanting ke tanah. Sunan yang sekarang sudah be-
rada dekat dengan Dewa Sabrang dengan penuh kema-
rahan juga lepaskan pukulan 'Tapak Sakti'. Suasana
mendadak sontak berubah panas seperti berada di ne-
raka. Dewa Sabrang tidak tinggal diam. Ia pun le-
paskan pukulan dengan tenaga berlipat ganda.
Buum!
Ledakan-ledakan itu sangat mengerikan sekali.
Masing-masing pihak sempat terangkat ke udara. Ru-
panya Dewa Sabrang sudah memperhitungkan betapa
hebatnya kesaktian yang dimiliki oleh Sunan Bandi
Suliwa. Sehingga di saat berhadapan ia langsung me-
lepaskan pukulan-pukulan yang sangat mematikan.
Sunan terkejut sekali melihat kemajuan pesat yang di-
peroleh Ambar Alam. Ia kelihatan seakan-akan tidak
percaya melihat kehebatan Dewa Sabrang.
Menyadari lawannya sekarang bukan pemuda
yang lemah lagi, maka Sunan Bandi Suliwa pun segera
mengerahkan jurus-jurus yang paling diandalkannya.
Tidak terelakkan lagi terjadilah pertempuran sengit di
mana masing-masing pihak melepaskan pukulan-
pukulan dahsyat yang menjadi andalannya masing-
masing.
“Kini saatnya, Sunan!?” teriak Dewa Sabrang
histeris.
“Jangan kau bermimpi!” dengus Sunan Bandi.
Laki-laki itu kemudian hentakkan kedua tan-
gannya ke depan. Sekejab saja terlihat tiga leret sinar
meluncur deras ke arah Dewa Sabrang. Pemuda ini
pun tidak mau kalah. Ia lepaskan pukulan untuk me-
nyambut serangan lawannya. Sinar putih menyilaukan
melesat laksana kilat. Lalu terjadi ledakan keras
menggelegar. Dua-duanya tercampak, tapi diantara
mereka berdua tidak satu pun yang terluka. Sunan
Bandi Suliwa terpaksa cabut senjatanya. Sebuah pe-
dang berwarna kuning dan dikenal dengan nama pu-
saka Wesi Kuning ini lalu ditusukkan ke dada Dewa
Sabrang.
***
10
"Haiit!"
Dewa Sabrang berguling-guling, senjata itu me-
nyerempet di bahunya. Si pemuda menjerit keras. Ter-
nyata senjata ampuh itu mampu menembus kekebalan
tubuh Dewa Sabrang. Pemuda rambut riap-riapan
bangkit lagi. "Aku dan dia sama-sama kebal. Tapi ku-
rasa aku mampu mengatasinya." pikir Dewa Sa-
brang. Terlintas sebuah akal di benaknya, ia merasa
yakin sekali Sunan Bandi Suliwa tidak mungkin dapat
dirobohkan terkecuali dengan mempergunakan senjata
miliknya sendiri. Untuk itu ia harus dapat merampas
senjata dari tangan lawannya. Mengingat sampai kesi-
tu, maka sambil lindungi kepala Dewa Sabrang men-
coba mendesak, baru beberapa gebrakan ia sudah ter-
dorong mundur lagi karena senjata lawan terus saja
berkelebat-kelebat menyambar ke arah tubuhnya.
Dewa Sabrang terpaksa bersurut mundur lagi
sambil mengerahkan seluruh tenaga dalamnya ke
bagian telapak tangan. Sebentar saja kedua tangannya
telah berwarna hitam keputih-putihan. Sunan kaget
sekali melihat perubahan ini. Ia lalu memutar senjata
lindungi diri. Badai topan mengandung hawa panas
bergulung-gulung.
Wuuk! Wuuk!
Senjata kanjeng Sunan diputar membentuk pe-
risai. Sekejab kemudian laki-laki itu langsung dapat
merasakan sebuah tekanan yang dahsyat. Kedua tan-
gannya goyah, pedang Wesi Kuning menggeletar. Lalu
serangan itu semakin tindih menindih, hingga Sunan
terdorong dan akhirnya terlempar. Senjata di tangan
terlepas. Dewa Sabrang yang memang menghendaki
kejadian ini langsung menyerbu, lalu memungut senja-
ta milik lawan.
Sunan Bandi Suliwa yang masih jungkir balik
langsung berubah pucat wajahnya melihat senjatanya
sudah berpindah ke tangan musuh.
"Serahkan senjataku!" teriak Sunan dengan su-
ara bergetar.
Dewa Sabrang menyeringai sinis. Di lain kejab
tanpa didahului oleh ucapan apapun ia sudah membu-
ru Sunan. Lawan berkelit menghindar sambil menepis
lengan Dewa Sabrang. Gerakan itu dapat dihindari
oleh si pemuda. Senjata di tangannya kembali berkib-
lat. Sunan terdesak, namun masih berusaha lepaskan
tendangan.
Wuus!
Lagi-lagi serangan itu gagal mengenai sasaran.
Sementara senjata di tangan Dewa Sabrang sudah me-
nerobos pertahanannya. Tidak terelakkan lagi senjata
maut itu pun menembus perut kanjeng Sunan.
Ces!
"Akh...!"
Kanjeng Sunan Bandi Suliwa memekik terta-
han. Perutnya yang tertembus pedangnya sendiri mengepulkan asap menebar bau sengit. Matanya mendelik
sedangkan tubuhnya menggeletar untuk beberapa saat
lamanya. Setelah itu Sunan Bandi Suliwa terkapar ti-
dak bangun-bangun lagi. Dewa Sabrang setelah men-
gamankan pedang Wesi Kuning milik lawannya lang-
sung memanggul tubuh Sunan yang sudah tidak ber-
nyawa. Setelah itu ia langsung menaiki kuda yang dis-
embunyikannya di semak-semak. Mayat Sunan Bandi
Suliwa disampirkannya ke bagian depan pelana, ke-
mudian itu tali kekang disentakkan dan kuda pun ber-
lari meninggalkan mayat-mayat pengawal yang berge-
limpangan.
* * *
"Tamu akhirnya datang juga!" sera Pendekar
Blo'on. Dan tetabuhan di depannya dipukul dengan
keras.
"Setiap tamu yang datang mengapa tidak dis-
ambut?" menimpali Nini Suri. Pamungkas.
"Mereka masih heran melihat pengantin! Di
atas pelaminan putra dan murid mereka tampak gagah
seperti macan loyo!" kata Pendekar Blo'on. Seraya hen-
tikan tetabuhannya. Lalu berdiri tegak di depan mem-
pelai yang sedang bersanding.
Tidak jauh di seberang teratak, Macan Terbang
dan Kala Demit Sudah melompat dari punggung kuda
masing-masing.
Mata mereka terbelalak melihat anak dan mu-
rid mereka bersanding dengan monyet besar. Lebih he-
ran lagi karena baik Sidra Gagap dan Randu Walang
dihias secara asal-asalan dan kedua pemuda itu keli-
hatannya sedang dalam keadaan mabuk berat.
"Siapa yang berani melakukan tindakan gila itu
pada muridku!" teriak Kala Demit marah besar.
"Ha ha ha...! Orang jelek. Bukankah kau men-
ginginkan muridmu menjadi pengantin. Kini mereka
sudah bersanding dan tampak bahagia, kenapa tamu
datang marah-marah? Aku dan nenek itu yang me-
riasnya tanpa harus membayar. Mana rasa terima ka-
sihmu!" ejek Suro Blondo sambil garuk-garuk kepala.
"Bangsat! Permainan gila ini harus diakhiri dan
kalian mesti menyerah pada kami!" teriak Macan Ter-
bang tidak sabaran.
"Walah... bebaskan dulu putramu. Baru nanti
kita bebas bicara. Lihatlah dia sudah mabuk berat.
Apa kau juga ingin mabuk seperti anakmu!" dengus
Suro dengan tangan berkacak pinggang.
Kata-kata Pendekar Blo'on yang seenaknya itu
tentu membuat Macan Terbang menjadi kalap. Ia
pun melompat ke depan dengan maksud memberi pe-
lajaran pada si konyol sekaligus menarik putranya dari
atas pelaminan. Namun tidak terduga-duga rupanya
bagian lantai tratak di pasang lubang besar. Begitu
menginjakkan kakinya di bawah teratak. Macan Ter-
bang langsung terperosok ke dalamnya. Walau pun
Macan Terbang telah berusaha menyelamatkan diri
namun lubang itu terlalu lebar. Sehingga ia kehilangan
keseimbangan. Tidak ayal lagi tubuhnya meluncur ke
bawah. Sedetik kemudian terdengar suara jeritannya
yang menyayat. Tubuh Macan Terbang tertembus
bambu-bambu runcing berceragah yang dipasang di
bawah lubang tersebut. Kala Demit telan ludah melihat
kematian Macan Terbang yang mengenaskan itu. Ia ti-
dak bisa membayangkan bagaimana jika dirinya yang
tercebur ke dalam lubang tersebut.
Sementara itu, Puteri Kilat Bayangan dan Nini
Suri Pamungkas sudah mengepung tokoh sesat.
"Kalian manusia-manusia pengecut yang sangat
licik!" dengus Kala Demit marah sekali.
"Jangan banyak bacot, Kala Demit. Segala
kebusukanmu bersama Sunan sudah diketahui oleh
semua orang yang berada di sini. Kau dulu ikut mem-
buntungi kaki dan tanganku bersama Sunan Bandi
Suliwa. Sekarang tibalah saatnya bagimu untuk mera-
sakan penderitaanku dan juga penderitaan Puteri Kilat
Bayangan!" tegas Nini Suri Pamungkas.
"Tunggu dulu!" Suro Blondo tiba-tiba saja me-
lompat dan kini berdiri tegak di tengah-tengah mereka.
"Kala Demit punya seribu hutang yang harus dibayar-
nya hari ini. Siapapun yang berada di sini tidak boleh
ikut campur! Dia menjadi bagianku!"
Tokoh sesat itu memandang lurus pada Suro.
Setelah memperhatikan ciri-ciri pemuda itu, sekarang
yakinlah dia bahwa pemuda berambut hitam kemera-
han ini adalah si Bocah Ajaib yang terlahir pada ma-
lam satu Asyuro di lereng Bromo.
Mendengar ucapan Suro, Nini Suri Pamungkas
dan Puteri Kilat Bayangan langsung mundur teratur.
Sebaliknya Kala Demit melangkah maju menghampiri
Pendekar Blo'on.
"Kau si bocah ajaib itu?"
"Betul!" sahut Suro ketus.
"Menyesal aku telah membunuh orang tuamu.
Jika cuma beginilah tampangnya bocah yang kami pe-
rebutkan tempo hari. Tentu aku tidak akan ikut ambil
bagian dalam urusan gila itu. Sekarang kau mau apa?"
"Ha ha ha...! Ayah, ibu...!" Suro menengadah-
kan wajahnya ke langit. "Hari ini aku telah bertemu
dengan orang yang menyebabkan kematianmu! Hu-
tang-hutang itu harus impas! Ha ha...!" Suro berteriak-
teriak seperti orang gila. Kala Demit yang sudah men-
dengar kehebatan pemuda berwajah ketolol-tololan ini
tidak membiarkan kesempatan berlalu begitu saja.
Dengan cepat ia layangkan pukulannya ke bagian dada
Suro Blondo.
Serangan ini dua kali kecepatan suara. Tiba-
tiba saja Suro sudah jatuh terpelanting. Ia menggerung
marah, dengan mulut peletat-pletot seraya melompat
berdiri. Berhadapan dengan musuh besarnya Pendekar
Blo'on tidak mau bersikap ayal-ayalan lagi. Mendadak
sontak terdengar suara tawa yang tiada henti-hentinya
dari mulut si pemuda. Suara yang sedemikian menye-
ramkan membuyarkan konsentrasi lawannya. Lalu tu-
buhnya berkelebat, gerakannya sangat cepat, namun
terhuyung-huyung seperti kera mabuk.
Kala Demit jadi terkesiap. Ia langsung mengha-
lau setiap serangan si pemuda yang mengandung ber-
macam-macam muslihat, meskipun jurus-jurus dan
setiap gerakannya sangat aneh sulit dipecahkan.
"Astaga! Itu adalah jurus Tawa Kera Siluman
milik Penghulu Siluman Kera Putih!" desis Nini Suri
Pamungkas. Rupanya si nenek kenal dengan Barata
Surya tokoh sakti bukan main yang punya watak ko-
nyol, angin-anginan itu. "Pantas tingkah pemuda itu
sangat mirip dengan tokoh aneh itu."
Di tengah-tengah pertempuran yang sengit di
antara dua musuh bebuyutan ini. Muncul Dewa Sa-
brang, pemuda itu sama sekali tidak menghiraukan
mereka yang bertempur, melainkan menghampiri Nini
Suri Pamungkas dan dua gadis dengan dandanan
aneh.
"Kakang Ambar!?" seru puteri Reza sambil me-
meluk Dewa Sabrang. Ia menangis terisak-isak di dada
kekasihnya yang terpisah selama lima tahun.
"Apa yang terjadi disini?" tanya Dewa Sabrang
dingin.
"Kami mengecoh paman Sunan dan para saha-
batnya!" Puteri Kilat Bayangan yang menyahuti.
"Nenek, Reza. Aku telah membunuh Sunan
Bandi Suliwa. Jika kalian membenciku aku tidak akan
sakit hati. Perbuatan gila itu harus dihentikan!"
"Dia memang pantas menerima hukuman itu."
Kata Puteri Kilat. "Kurasa Puteri Reza dapat memak-
luminya. Aku pesankan padamu, lindungilah adik mi-
sanku itu baik-baik. Sayangilah dia sebagaimana dia
menyayangimu!"
"Betul, dia sudah tidak punya siapa-siapa lagi."
Nini Suri Pamungkas menimpali.
"Kau mau mengampuni aku, Reza?" tanya De-
wa Sabrang kelihatan kurang puas.
"Aku memaklumi tindakanmu, kakang, Semoga
Gusti Allah mau memaafkan kau dan ayahku!"
"Oh, kau selalu baik padaku. Mari kita bawa
mayat ayahmu untuk dikuburkan secara layak!"
Puteri Reza Baiduri menganggukkan kepala.
Setelah berpamitan pada Nini Suri dan Puteri Kilat,
mereka meninggalkan tempat itu.
Kini tinggallah Puteri Kilat dan neneknya yang
terus mengawasi jalannya pertempuran yang semakin
sengit itu. Pada waktu itu Pendekar Blo'on memang
sudah tampak terluka. Ia telah mengerahkan segenap
kesaktian yang dimilikinya. Sekarang pemuda ini
menghadapi tekanan-tekanan yang tidak ringan dari
Kala Demit. Apalagi tokoh sesat ini telah melepaskan
pukulan-pukulan yang sangat dahsyat. Menghadapi
serangan gencar yang seakan tidak ada habis-habisnya
ini. Suro terpaksa mengeluarkan jurus 'Neraka Pem-
basmi Iblis', salah satu jurus tingkatan terakhir wari-
san kakek gurunya Malaikat Berambut Api.
Di satu kesempatan Kala Demit berusaha me-
nerobos pertahanan lawannya. Di saat pemuda itu me-
lompat ke udara. Maka tinjunya yang telah berwarna
hitam itu menderu. Suro melihat kelebatan tangan la-
wan segera menangkis.
Dess!
"Heh...!"
"Eeh...!"
Dua-duanya sama terkejut. Warna merah
membekas di telapak tangan Suro. Sedangkan Kala
Demit dalam keadaan terhuyung-huyung langsung le-
paskan pukulan "Menerobos Langit Membelah Mataha-
ri'.
"Terimalah kematianmu, anak setan!" Sekejab
saja kedua tangannya dihentakkan. Melihat hal ini Ni-
ni Suri Pamungkas jadi khawatir atas keselamatan si
pemuda. Ia bergerak ke depan sambil mengebutkan
ujung jubahnya. Sinar biru tampak melesat, lalu me-
nepis sinar hitam kuning di tengah jalan.
Buum!
"Akh...!"
Nenek kaki dan tangan buntung menjerit keras.
Tubuhnya terlempar dari bahu-bahu monyet yang
mendukungnya. Ketika Puteri Kilat hendak membantu
Suro yang dalam keadaan kalang kabut itu. Si pemuda
membentak keras.
"Jangan mendekat, Puteri Kilat!" Pendekar
Blo'on memperingatkan. Pemuda itu tiba-tiba saja hen-
takkan tangannya. Di lain kejab terlihat bayangan hi-
tam berkelebat-kelebat disertai terdengarnya suara
ringkik, ratapan tangis dan tawa bergelak-gelak. Ki-
ranya pemuda itu sudah mempergunakan Mandau
Jantan yang sangat hebat itu.
Wuus!
Kini posisi berbalik, Kala Demit jadi kalang ka-
but dan berusaha menghindari tebasan-tebasan senja-
ta lawan.
Bet!
Karena tidak melihat adanya peluang lain. Maka laki-laki itu langsung mengeluarkan kebutan. Namun senjata mautnya ini hanya dapat melindungi di-
rinya beberapa saat saja. Ketika Suro melompat, Man-
dau Jantan di tangannya memapas senjata lawan.
Pres!
Kebutan itu jadi berantakan. Mandau bergerak
lagi, sementara Kala Demit bergerak mundur menjauh.
"Hiya...!"
Crees!
"Akh...!"
Kala Demit meraung keras. Tangannya terbabat
putus sebatas lengan. Darah mengucur. Namun Suro
yang sudah kalap ini terus memburunya. Sebelum
senjata mengenai sasaran yang diharapkan. Terdengar
suara ledakan yang disertai menebarnya asap hitam
menutup pandangan. Suro terpaksa menahan gera-
kan. Tidak lama setelah asap hitam menghilang, maka
ia tidak melihat Kala Demit maupun Randu Walang
dan Sidra Gagap di situ.
"Jahanam! Dia melarikan diri. Ukh..,!" desis Su-
ro agak terbungkuk-bungkuk. Rupanya ia menderita
luka dalam yang tidak pernah dihiraukannya sejak ta-
di.
"Cucuku, bawalah pemuda itu ke pondok. Lu-
ka-lukanya harus diobati. Dia murid tokoh hebat. Kau
harus mengenalnya lebih dekat lagi! Hik hik hik!" kata
Nini Suri Pamungkas. Gadis secantik bidadari ini
dengan malu-malu memapah Suro yang tampak kele-
lahan. Tubuhnya gemetar, bukan karena menahan ra-
sa sakit saja, melainkan juga karena didera oleh pera-
saan aneh terhadap Puteri Kilat Bayangan. Untuk
pertama kalinya ia tidak dapat bertingkah macam-
macam. Bahkan untuk bicara saja Suro tidak berani.
Mungkin inilah yang dikatakan cinta pada pandangan
pertama, Suro tidak tahu. Pendekar Blo'on hanya da-
pat berharap meskipun ia gagal membunuh orang
yang telah mencelakakan orang tuanya. Mudah-
mudahan si jelita yang penuh seribu pesona itu punya perasaan yang sama.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar