NERAKA BUMI
Oleh T Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Gambar sampul oleh Pro's
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dan penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode 076 :
Neraka Bumi
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Di bawah siraman terik sinar matahari tampak
serombongan orang berkuda bergerak memasuki per-
batasan Desa Kendal. Melihat pakaian mereka, agaknya
rombongan itu adalah prajurit-prajurit kerajaan.
Penunggang kuda terdepan seorang lelaki bertubuh
gemuk. Wajahnya yang bulat terhias kumis tipis. Sorot
matanya demikian angkuh dan memandang rendah orang
lain. Dan, bibirnya membentuk senyum sinis penuh
ejekan. Penampilannya menunjukkan perangai buruk
lelaki gemuk yang menyandang jabatan perwira itu.
Dua penunggang kuda di kiri-kanan lelaki gemuk me-
miliki penampilan yang tidak jauh berbeda. Kendati sosok
keduanya, yang juga menjabat sebagai perwira, ber-
perawakan tegap, namun sorot mata mereka terlihat
begitu garang. Bahkan kalau diamati lebih teliti, sorot
mata itu menyembunyikan kekejaman serta kelicikan.
Jelas, kedua perwira itu pun mempunyai sifat yang buruk.
Di belakang ketiga perwira itu, tampak dua belas orang
prajurit berkuda. Sebagaimana sifat ketiga pimpinannya,
wajah mereka pun tidak menampilkan kesan baik. Sikap
duduk mereka terlihat demikian angkuh. Seolah mereka
bukan rombongan prajurit. Tapi, pembesar-pembesar
kerajaan yang seharusnya dipandang tinggi serta di-
hormati. Pemandangan itu terlihat sangat aneh. Mereka
tidak menunjukkan sikap terpuji sebagaimana abdi-abdi
kerajaan pelindung rakyat. Penampilan prajurit-prajurit
itu justru membuat orang merasa takut dan tidak suka.
Diiringi pandangan heran dan takut dari para
penduduk, rombongan itu terus bergerak menyusuri jalan
utama desa. Karena mereka prajurit-prajurit kerajaan,
para penduduk bergerak menepi saat rombongan lewat.
Penduduk desa semua membungkukkan tubuh dengan
sikap hormat. Orang-orang desa memang memandang
tinggi abdi-abdi kerajaan. Selain mereka terdiri dari
orang-orang pilihan, juga memang sudah sepatutnya untuk
dihormati.
Rombongan itu sendiri terus bergerak tanpa membalas
sikap hormat penduduk Desa Kendal. Jangankan balas
mengangguk, melirik pun tidak. Mereka malah semakin
menunjukkan sikap angkuh, agar penduduk lebih takut
dan semakin menaruh hormat.
Sikap para prajurit kerajaan itu tentu saja memancing
berbagai pendapat di kalangan penduduk. Seorang
pemuda yang rupanya berdarah panas merasa tersinggung
dengan sikap para prajurit. Pemuda itu mengutarakan
kekesalannya.
“Tidak kusangka prajurit-prajurit kerajaan mempunyai
sikap demikian angkuh! Melihat penampilannya, aku lebih
condong mengatakan mereka tak ubahnya serombongan
perampok kasar!” demikian yang dikatakan pemuda
berwajah kehitaman itu seraya mencibirkan bibir.
Penduduk di sebelah pemuda itu menjadi cemas. Sadar
kalau ucapan kawannya bisa mendatangkan celaka, cepat
ia menyodok tubuh pemuda itu dengan sikutnya. Ia
bermaksud mengingatkan kawannya supaya menjaga sikap
di hadapan rombongan prajurit yang sedang lewat itu.
“Ukhhh!”
Pemuda berwajah kehitaman, karena terlalu sering
terpanggang terik matahari, mengeluh pendek. Pukulan
sikut kawannya agak terlalu keras mengenai lambungnya.
Dan, keluhan pendek itu sempat tertangkap salah seorang
prajurit yang berada di barisan terakhir.
Dengan sorot mata garang, prajurit berbibir tebal itu
menoleh dan menatap kedua pemuda itu beberapa saat.
Kelihatan sekali ia tidak senang, meski yang didengarnya
sama sekali tidak mengganggu.
Pemuda bertubuh kurus, agaknya tahu diri. Ia segera
membungkuk hormat dan menundukkan kepala dalam-
dalam. Karena sorot mata prajurit berbibir tebal
menyiratkan ancaman.
Tapi, tidak demikian dengan pemuda berwajah
kehitaman yang berperawakan tegap dan tinggi. Ketika
melihat sorot mata yang demikian angkuh dan menghina,
ia sedikit pun tidak mengangguk. Apalagi menundukkan
kepala. Ditentangnya pandang mata prajurit berbibir tebal
dengan sangat berani. Sehingga, kawan di sebelahnya
menjadi pucat. Dan hanya bisa berharap agar pemuda itu
tidak mendapat marah prajurit berbibir tebal.
Tapi, harapan petani muda bertubuh kurus itu tidak
terkabul. Prajurit berbibir tebal sudah merasa tersinggung
dan marah.
“Petani Keparat! Kau berani menentangku, hah!”
bentak prajurit berbibir tebal. Kawan-kawannya serempak
menoleh. Ingin tahu apa yang terjadi dengan rekannya.
Petani muda bertubuh kekar itu tidak menjawab. Sinar
matanya terlihat semakin tajam. Kelihatannya, ia tidak
merasa gentar dengan prajurit berbibir tebal. Karuan saja
prajurit itu naik pitam!
“Kurang ajar! Rupanya kau merasa lebih kuat dariku,
hah!” kembali prajurit berbibir tebal itu membentak. Kali
ini disusul dengan ayunan sebatang pecut yang dicabutnya
dari pelana kuda. Dan...
Ctarrr...!
Ujung pecut meledak menimbulkan suara nyaring
memekakkan telinga. Dan dengan telak mencambuk
tubuh petani muda berwajah kehitaman, hingga baju
bagian bahunya robek.
Namun kendati cambukan itu cukup menyakitkan,
petani muda itu tidak mengeluh. Tubuhnya yang ter-
huyung kembali tegak. Dan sinar matanya masih juga
menyorot tajam tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit
pun!
“Hei, ada apa...?!”
Ledakan cambuk itu rupanya mengundang perhatian
tiga orang perwira di barisan depan. Perwira bertubuh
gemuk yang menjadi pimpinan rombongan langsung
bertanya. Nada suaranya terdengar menyiratkan ketidak-
senangan. Karena perjalanannya merasa terganggu.
“Ada seorang penduduk yang kurang ajar, Kakang
Lagawe...!” salah seorang prajurit memberi tahu.
“Hm.... Apa yang diperbuatnya...?” tanya perwira
gemuk itu lagi dengan nada tetap tinggi.
“Kelihatannya ia tidak menyukai kehadiran kita di desa
ini!” terdengar sahutan dari salah seorang prajuritnya.
“Kalau memang demikian, beri petani dungu dan
sombong itu sedikit pelajaran. Agar lain kali lebih
mengerti bagaimana harus bersikap terhadap tentara
kerajaan!” lanjut perwira gemuk itu. Ia menghentikan
langkah binatang tunggangannya dan ikut menatap petani
muda bertubuh tinggi kokoh itu.
“Baik, Kakang Lagawe...!” yang menyahuti adalah
prajurit berbibir tebal.
Wajah prajurit itu kelihatan semakin cerah setelah
mendapat dukungan pimpinannya. Tindakannya pun
semakin menjadi-jadi. Pecutnya meledak berkali-kali
merobek pakaian dan menimbulkan bilur-bilur merah di
tubuh petani muda, yang jatuh bangun tersengat ujung
pecut. Sampai akhirnya....
Tappp!
Secara kebetulan, petani muda itu berhasil menangkap
ujung pecut ketika untuk kesekian kali menyambar
tubuhnya. Kemudian, pecut itu dilibatkan ke lengannya.
Dan....
“Heahhh!”
Sambil membentak keras, petani muda yang tidak
mengenal takut itu menyentakkan ujung pecut. Kendati
luka-luka di tubuhnya cukup banyak dan menyakitkan,
tapi tenaga petani muda itu masih sangat kuat. Terbukti,
sentakannya membuat prajurit berbibir tebal tertarik dan
jatuh dari atas punggung kuda.
“Heiii...!”
Karena tidak menyangka tenaga petani muda itu sangat
kuat, prajurit berbibir tebal menjerit kaget saat tubuhnya
meluncur ke tanah dengan kepala lebih dulu. Dan....
Jrooottt!
“Ughhh...!”
Wajah prajurit berbibir tebal menghantam sebuah batu
sebesar kepalan orang dewasa. Akibatnya, wajah yang
jelek itu mengalirkan darah. Bibirnya yang tebal semakin
bertambah besar.
“Kuhrangh... ahjarrrh...!” seraya mengerang kesakitan,
prajurit berbibir tebal memaki murka. Sepasang matanya
mendelik seperti hendak melompat dari tempatnya.
Perbuatan petani muda itu benar-benar membangkitkan
kemaranannya.
“Jangan bunuh! Beri saja dia pelajaran seperlunya! Kita
membutuhkan tenaganya...!” perwira gemuk pimpinan
rombongan berseru mencegah. Karena ia melihat anggota
rombongannya yang terjatuh itu sudah meraba gagang
pedang. Siap untuk menggunakan senjatanya.
“Tapi, Kakang. Petani itu telah melukai kawan kita!”
salah seorang prajurit yang juga merasa geram, heran
dengan ucapan pimpinannya. Ia berusaha membela
temannya itu.
“Meskipun begitu, ia sangat kita perlukan. Ingat,
harganya pasti cukup mahal. Ia memiliki tenaga yang
kuat,” bantah perwira gemuk itu menekankan. Sehingga
semua prajurit terdiam. Tak satu pun yang berani
membantah lagi.
Karena tidak diperbolehkan menggunakan senjata,
terpaksalah prajurit berbibir tebal mempergunakan tangan
dan kakinya untuk menghajar petani muda itu.
“Mamphusss, khauuu...!” bentak prajurit berbibir tebal
tidak jelas. Karena bibirnya yang tebal membengkak dan
berdarah. Kendati demikian, luka itu tidak menghambat
tenaga dan gerakannya. Bahkan, ia melompat maju dengan
ganasnya. Seolah petani muda itu musuh bebuyutan yang
sangat dibencinya.
Petani muda itu boleh jadi memiliki tenaga alam yang
kuat. Tapi, sayangnya ia tidak bisa menandingi kecepatan
gerak lawan. Sehingga, satu dua pukulan mulai mengenai
wajah dan tubuhnya.
Bukkk, desss...!
“Uuuhhh...!”
Kalau sengatan ujung cambuk tidak membuatnya
mengeluh, kini pukulan dan tendangan yang menerpa
wajah dan tubuhnya membuat petani muda itu mulai
mengeluh. Tubuh kekarnya jatuh bangun dihajar prajurit
berbibir tebal yang memiliki ilmu silat cukup baik.
Terlebih ia prajurit kerajaan yang tentunya telah cukup
terlatih dengan baik. Maka, habislah petani muda itu
menjadi bulan-bulanan pukulan dan tendangannya, yang
dilancarkan dengan sekuat tenaga.
Para penduduk yang menyaksikan kejadian itu tidak
berani ikut campur. Mereka menyeret langkah menjauhi
tempat itu. Tak seorang pun ingin terlibat dan menerima
siksaan prajurit-prajurit sombong dan kejam itu.
“Mamphusss...!”
Desss...!
Lagi-lagi tubuh petani muda itu terpental deras.
Tubuhnya terbanting ke tanah. Kendati tidak berusaha
menangkis pukulan dan tendangan lawan, petani muda itu
bukan seseorang yang sulit dirobohkan.
Dan meskipun sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sakit,
petani itu rupanya masih belum mau menyerah. Wajahnya
yang biru sembab dan mengucurkan darah tidak mem
buatnya takut. Dengan susah payah ia merangkak bangkit
dengan sinar mata penuh kebencian!
“Hih!”
Lagi prajurit berbibir tebal melayangkan tendangannya
saat lawan tengah berusaha bangkit berdiri. Tanpa ampun
lagi, tubuh petani muda itu kembali terhempas ke tanah.
Ia mengerang dan bergulungan menahan rasa sakit di
perutnya yang terkena tendangan keras itu.
Kali ini prajurit berbibir tebal tidak sampai menunggu
lawannya bangkit. Dengan langkah lebar dihampirinya
petani itu. kemudian, diangkat naik dengan mencekal
leher bajunya. Dan...
Jrooottt!
Kepalannya melayang deras menghajar wajah yang
sudah membengkak itu. Sehingga pecah dan mengucurkan
darah segar. Hal itu dilakukan berkali-kali sampai akhirnya
tubuh petani yang malang itu terkulai pingsan. Kemudian,
tubuh itu didorongnya dengan keras hingga terbanting
dengan keras ke tanah.
“Biarkan tubuh petani kurang ajar ini tetap tergeletak
di tengah jalan sampai kami kembali! Siapa yang berani
menyentuhnya atau menolongnya, aku tidak akan segan-
segan memberi hukuman. Pedangku ini yang akan
memutuskan hukuman bagi si pembangkang!” ucapan itu
keluar dari mulut perwira gemuk yang menjadi pimpinan
rombongan tersebut. Usai berkata demikian, ia
memerintahkan prajuritnya untuk melanjutkan perjalanan
mereka kembali.
Setelah rombongan prajurit bergerak cukup jauh,
barulah para penduduk berani mendekat. Meskipun
demikian, mereka tidak berani maju lebih dari satu
tombak dari tubuh petani muda yang tak sadarkan diri itu.
Mereka hanya bisa memandang dengan hati iba.
Peringatan perwira gemuk tadi tampaknya masih
terngiang di telinga mereka.
***
Tiba di halaman sebuah rumah besar perwira gemuk
itu menghentikan rombongannya. Kemudian melompat
turun dari atas punggung kuda. Dua perwira lain
mengikuti perbuatannya. Demikian pula kedua belas
prajurit yang menjadi anggota rombongan kecil itu.
“Selamat datang di desa kami yang kecil ini, Tuan-tuan
yang gagah,” seorang lelaki tua yang menjadi Kepala Desa
Kendal menyambut dengan wajah cerah dan sikap hormat.
Kendati demikian, terlihat sirat kecemasan pada sorot
matanya. Tapi, perasaan itu berusaha ditutupinya dengan
menunjukkan sikap ramah dan hormat terhadap tamu-
tamunya itu.
Dua orang lelaki berusia sekitar lima puluh tahun dan
empat puluh tahun yang mengapit kepala desa itu
membungkuk hormat. Kelihatan sekali kalau sikap itu
dilakukannya dengan sangat terpaksa. Sepertinya kedua
sesepuh Desa Kendal itu merasa tidak suka dengan
kehadiran prajurit-prajurit kerajaan itu. Namun, mereka
berusaha bersikap wajar dengan memendam perasaan
tidak sukanya dalam-dalam. Karena mereka sadar dengan
siapa saat ini berhadapan.
“Hm.... Kaukah yang menjadi Kepala Desa Kendal ini,
Orang Tua?” tanpa menyambut sikap hormat lelaki tua
itu, Legawa melontarkan pertanyaan dengan sikap angkuh
seraya menegakkan kepala. Seolah ia ingin menunjukkan
bahwa dirinya jauh lebih tinggi dan terhormat daripada
kepala desa itu.
“Benar, Tuan. Aku Ki Sugali, yang mendapat
kepercayaan penduduk untuk memimpin desa ini,” jawab
Ki Sugali cepat sambil membungkukkan tubuh. “Sedang-
kan kedua orang ini adalah pembantu-pembantuku.
Mereka bertugas memberikan pelayanan kepada warga
desa,” lanjutnya memperkenalkan kedua sesepuh desa
yang berdiri di kanan-kirinya.
“Hm.... Mengapa kalian tidak segera memperkenalkan
diri...?” tegur Legawa menunjukkan rasa tak sukanya
kepada kedua pembantu Ki Sugali.
“Hamba bernama Ki Luganta,” sahut lelaki gagah
berusia lima puluh tahun, menyembunyikan kejengkelan-
nya mendengar nada suara yang demikian menyebalkan
itu.
“Hamba, Sujanta...,” sahut lelaki tegap berusia empat
puluh tahun yang berdiri di sebelah kiri Ki Sugali. Seperti
halnya Ki Luganta, Sujanta pun tampak menyimpan rapat-
rapat kedongkolan hatinya. Sehingga, suara maupun
sikapnya terlihat wajar dan tidak mencurigakan.
Tapi, meskipun ketiga sesepuh desa itu mem-
perlihatkan sikap hormat yang wajar, Legawa tidak bisa
dikibuli. Perwira gemuk yang bertubuh agak pendek itu
memang memiliki mata yang tajam. Ia dapat membaca
sikap yang disembunyikan ketiga sesepuh Desa Kendal.
Namun, hal itu tidak diutarakannya. Legawa mengambil
sikap diam dan tidak peduli. Padahal, tentu saja dalam
hatinya timbul ancaman.
“Nah, Ki Sugali. Aku tidak ingin berpanjang kata lagi.
Kami membawa amanat dari kerajaan,” ujar Legawa. Lalu,
membuka sebuah gulungan surat yang diterima dari
rekannya.
Ki Sugali yang tahu surat itu datang dari penguasa
negeri langsung menjatuhkan diri berlutut di depan
Legawa. Perbuatan itu diikuti oleh Ki Luganta dan
Sujanta.
Ditujukan kepala seluruh rakyat Kerajaan Tampak Serang.
Sehubungan akan dibangunnya sebuah istana untuk tempat
peristirahatan Prabu Pungga Dewa, maka dengan ini diminta
kesediaan rakyat untuk menyumbangkan tenaga. Bagi siapa
yang berani membantah akan mendapat hukuman berat. Dan
bagi yang berani menentang akan dihukum mati di tempat!
Tertanda
Prabu Pungga Dewa
Legawa kembali menggulung surat itu setelah mem-
bacakannya dengan terang dan jelas. Kemudian, diserah-
kan kepada salah seorang dari kedua perwira di kiri-
kanannya. Ditatapnya lekat-lekat wajah Ki Sugali serta
kedua sesepuh Desa Kendal yang sudah bergerak bangkit.
“Nah, sekarang aku ingin agar selekasnya kau
mengumpulkan penduduk di balai desa...,” ujar Legawa
dengan tegas bernada perintah kepada kepala desa itu.
“Maaf, Tuan Perwira. Kalau diperkenankan aku
mempunyai sedikit pertanyaan...?” Ki Luganta yang
menjadi tangan kanan Kepala Desa Kendal berkata sambil
membungkuk hormat.
“Hm.... Sejauh tidak menentang sabda Gusti Prabu
Pungga Dewa tentu boleh-boleh saja, Ki Luganta...,”
sahut Legawa dengan angkuh dan sinis.
“Kami memang sudah mendengar selentingan kabar
itu, Tuan Perwira. Yang hendak kami tanyakan,
bagaimana bagi mereka yang sudah berkeluarga atau yang
orangtuanya sudah tak sanggup mencari nafkah.
Sedangkan ia hanya mempunyai seorang putra? Harap
Tuan Perwira tidak keberatan dengan pertanyaan
kami...,” ujar Ki Luganta mengutarakan ganjalan hatinya.
“Hm.... Untuk hal itu tentu saja Gusti Prabu Pungga
Dewa mempunyai suatu kebijaksanaan, Ki Luganta. Kau
tidak perlu khawatir. Kami akan memberikan tunjangan
sekadarnya kepada orang-orang tersebut,” jawab Legawa
dengan tersenyum sinis. Sepertinya ia tidak merasa aneh
dengan pertanyaan itu.
“Terima kasih atas kebijaksanaan Gusti Prabu. Dengan
begitu legalah hati kami, Tuan Perwira,” lanjut Ki Luganta
dengan wajah berseri. Meski tetap tidak melenyapkan
bayangan kecemasan yang tersirat di wajahnya.
“Kalau begitu, kami tunggu di balai desa...,”
Legawa kemudian melompat ke atas punggung kuda
dan bergerak bersama rombongannya menuju balai desa.
***
DUA
Tidak terlalu sulit bagi Ki Sugali untuk melaksanakan
permintaan perwira gemuk itu. Dengan mengerahkan
seluruh keamanan desa, sebentar saja para penduduk telah
memadati balai desa. Termasuk para petani yang tengah
bekerja di sawah dan di ladang.
“Saudara-saudara sekalian!” Legawa membuka suara
setelah seluruh warga Desa Kendal berkumpul. “Saat ini
negara membutuhkan sumbangan tenaga dari rakyatnya.
Untuk itu, kepada laki-laki di Desa Kendal yang merasa
dirinya kuat segera saja mendaftarkan diri! Bagi mereka
yang telah berkeluarga atau harus meninggalkan orang-
tuanya yang sudah tidak mampu bekerja akan men-
dapatkan tunjangan dari kerajaan. Nah, bagi yang merasa
masih kuat bekerja keras, silakan maju satu persatu...!”
Ucapan perwira gemuk itu mendapat tanggapan yang
tidak begitu menyenangkan. Para penduduk kelihatan
enggan dan tidak berminat untuk mendaftarkan diri.
Melihat sikap enggan penduduk, wajah Legawa berubah
kelam.
Ki Sugali yang menyadari kegusaran Legawa segera
tampil di depan. Lelaki tua itu maklum akan sikap warga
desanya. Ia sudah mendengar tentang kejadian yang
menimpa salah seorang warganya. Meskipun sebenarnya
merasa marah akan tindakan para prajurit itu, Ki Sugali
tetap tampil untuk membujuk warganya. Karena bila
mereka membantah, pastilah penduduk Desa Kendal akan
dituduh sebagai sarang pemberontak. Hal itu tidak
diinginkan Ki Sugali.
“Saudara-saudaraku sekalian, warga Desa Kendal yang
tercinta. Apa yang disampaikan Tuan Perwira Legawa
merupakan panggilan negeri! Aku telah mendengar
sendiri bunyi surat perintah dari Prabu Pungga Dewa.
Kalau kalian ingin menunjukkan bahwa kalian seorang
anak negeri yang baik, sekaranglah saatnya untuk berbakti.
Jangan membuat malu nama Desa Kendal! Tunjukkan
bahwa kalian pun sanggup berbakti kepada negeri ini!” Ki
Sugali demikian bersemangat menyampaikan ucapannya.
Dan tampaknya ia mampu membangkitkan semangat
mereka.
Begitu ucapan Ki Sugali selesai, satu persatu laki-laki
warga Desa Kendal bergerak maju untuk mendaftarkan
diri. Tapi Legawa tidak merasa puas. Warga yang men-
daftar hanya lima belas orang. Dan kebanyakan dari
mereka sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun. Seketika
itu juga amarahnya meledak.
Ctarrr! Ctarrr...!
Suara ledakan pecut yang digerakkan dengan tenaga
dalam kuat membuat semua penduduk terkejut. Wajah
mereka mendadak berubah pucat. Banyak di antaranya
yang menutup kedua telinga. Suara lecutan pecut itu
terasa menyakitltan dan membuat telinga mereka ber-
dengung.
“Ini benar-benar penghinaan bagi pihak kerajaan!
Kalian semua telah memaksaku untuk bertindak keras.
Kalau cuma laki-laki jompo yang mendaftarkan diri, kami
semua akan mendapat hukuman dari Prabu Pungga Dewa.
Sekarang kuberi peringatan terakhir. Segera daftarkan
diri, atau terpaksa aku bertindak keras dan memaksa
kalian ikut bersama kami!” keras dan lantang ucapan
Legawa, membuat terkejut dan kesal puluhan warga desa
itu. Tapi, Legawa cukup pintar dengan membawa-bawa
nama Gusti Prabu Pungga Dewa. Sehingga, jika mereka
melawan akan dituduh sebagai pemberontak. Dan
hukuman berat akan mereka terima.
Ki Sugali sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Lelaki tua
yang masih gagah itu hanya berdiri dengan wajah agak
pucat. Ia tidak menentang ucapan Legawa. Tapi, juga
tidak berusaha membujuk warga desanya untuk ikut
mendaftar. Dan sikap kepala desa itu membuat Legawa
tak bisa lagi mengekang kemarahannya.
Dengan langkah lebar Legawa menghampiri
kerumunan penduduk. Tanpa banyak tanya, lelaki gemuk
itu mencengkeram leher baju seorang pemuda tanggung
yang berusia sekitar lima belas tahun. Dengan sekali
sentak tubuh pemuda itu terlempar keluar dari
kerumunan. Dan jatuh terjerembab di tanah.
“Bangun kau pemalas!” salah seorang dari dua perwira
yang berdiri tak jauh dari tempat jatuhnya pemuda
tanggung itu segera menarik bangkit dengan kasar.
Kemudian dilemparkannya ke arah barisan penduduk yang
telah mendaftarkan diri.
“Tuan Perwira, harap jangan bertindak kasar!” Ki
Sugali bergegas menyambut tubuh pemuda tanggung itu.
Tapi sebelum kedua lengannya sempat menangkap tubuh
pemuda itu, sebuah tendangan keras membuatnya
terhempas sejauh setengah tombak!
“Kau hendak berontak kepada kerajaan, Ki Sugali...!”
bentak perwira bertubuh tegap seraya memasang wajah
garang. Sepasang alisnya yang tebal nyaring terpaut.
Ditatapnya tajam-tajam Ki Sugali yang sudah bangkit
berdiri.
“Aku tidak bermaksud memberontak, Tuan Perwira!
Tapi pemuda itu masih terlalu kecil untuk bekerja berat.
Harap Tuan Perwira sedikit bijaksana!” Ki Sugali berkata
dengan wajah berkerut menahan perasaan. Ia merasa tidak
berdaya untuk membela warga desanya. Karena yang
dihadapinya prajurit-prajurit kerajaan. Kalau ia berani
melawan, niscaya Desa Kendal akan disapu bersih oleh
tentara kerajaan.
“Hm.... Semua ini karena kebandelan wargamu, Ki
Sugali! Mereka sendiri yang meminta kami bertindak
keras. Jadi, jangan menyalahkan kami!” tukas perwira
tegap itu keras dengan sikap mengancam.
Sementara itu, Ki Luganta dan Sujanta yang
merupakan orang-orang kepercayaan Ki Sugali bergerak
maju melihat kepala desanya diperlakukan dengan kasar.
Mereka siap melindungi lelaki tua itu. Keduanya berdiri
menghadang perwira tegap itu lengan sorot mata tajam.
“Keparat! Kalian rupanya ingin melawan, hah!” bentak
perwira tegap beralis tebal. Jari-jari tangannya meraba
gagang pedang yang terselip di pinggangnya.
“Tunggu...!”
Ki Sugali yang tidak menginginkan desanya tertimpa
musibah bergegas mencegah. Lelaki tua itu melesat
menghadapi perwira tegap beralis tebal, terlambat sedikit
saja, kemungkinan besar darah akan mengalir di bumi
Desa Kendal yang telah dipimpinnya selama belasan
tahun.
“Hm...,” perwira tegap itu menggeram gusar. Jemari
tangannya yang sudah siap meloloskan pedang bergeser
menjauh dari senjata maut itu. Sehingga, Ki Sugali
menarik napas lega.
“Tuan Perwira, berikanlah waktu kepada kami untuk
membujuk mereka agar mau ikut membangun istana
peristirahatan itu. Tapi, kuharap Tuan Perwira tidak
membawa pemuda-pemuda tanggung. Mereka masih
terlalu muda untuk melakukan pekerjaan itu,” Ki Sugali
masih berusaha membela warga desanya.
“Ki Sugali!” tukas perwira tegap dengan nada tinggi,
“Bagaimana kau bisa mengatakan bahwa pekerjaan yang
akan mereka lakukan sangat berat? Padahal, mereka hanya
membangun sebuah istana peristirahatan? Apakah itu kau
anggap pekerjaan berat?” lanjutnya tidak senang.
“Benar, mereka hanya bekerja untuk membangun
sebuah istana peristirahatan. Tapi, bukankah sebelum itu
mereka harus merobohkan bukit padas? Dan tempat
mereka bekerja adalah daerah yang panas? Harap Tuan
Perwira dapat mempertimbangkannya baik-baik...,” Ki
Sugali akhirnya mengutarakan berita yang tersebar luas di
luaran. Karena sudah belasan desa yang didatangi pasukan
kerajaan, dan membawa laki-laki untuk ikut bekerja di
tempat yang disebutkan Ki Sugali.
Semula Ki Sugali tidak ingin membeberkan berita itu.
Tapi ketika pasukan kerajaan memaksa pemuda-pemuda
tanggung, ia menjadi keberatan dan mencoba meminta
kebijaksanaan.
“Hm.... Dari mana kau mendapatkan berita tidak
benar itu, Ki Sugali?” tanya perwira tegap. Tampak jelas
betapa perwira itu menyembunyikan kekagetannya.
Rupanya, ia sedikit pun tidak menduga Ki Sugali akan ber-
kata demikian.
“Guranta! Tidak usah banyak cakap lagi. Lakukan saja
semuanya seperti biasa. Jika diberi hati mereka akan
semakin kurang ajar..!” bentakan keras itu berasal dari
mulut Legawa yatig masih saja menyeret penduduk, yang
menurutnya cukup memenuhi syarat.
Mendengar ucapan itu, perwira tegap beralis tebal
tidak membantah. Tanpa mempedulikan Ki Sugali dan
sesepuh Desa Kendal, ia kembali menerima dan melem-
parkan pemuda-pemuda dan laki-laki yang dilemparkan
Legawa kepadanya.
Melihat tindakan kasar dan bisa dikatakan kejam itu, Ki
Sugali merasa sedih sekali. Apalagi, ketika melihat semua
lelaki muda desa itu dipaksa mengikuti kemauan Legawa
dan pasukannya. Menggigil tubuh Kepala Desa Kendal.
Bahkan, hampir seluruh aparat keamanan desa juga
dipaksa ikut. Lepaslah pertahanan lelaki tua yang sangat
mencintai warga desanya itu. Kepercayaan yang diberikan
penduduk kepadanya memang tidak berlebihan. Ki Sugali
adalah seorang kepala desa yang bijaksana dan tidak ada
duanya. Ia bersedia mempertaruhkan nyawa demi
keselamatan warganya. Gambaran seorang pemimpin
sejati tercermin pada diri lelaki tua itu.
Semula Ki Sugali memang tidak mau bertindak
menentang, yang akan membuat dirinya dituduh sebagai
pemberontak. Kepala desa yang sangat mencintai tanah
kelahiran serta penduduknya itu khawatir Desa Kendal
akan dihancurkan kerajaan. Dan kekhawatiran itu bukan
cuma sekadar dugaan belaka.
Sudah ada beberapa desa yang diratakan dengan tanah.
Mereka adalah orang-orang yang menentang keputusan
Prabu Pungga Dewa, penguasa Kerajaan Tampak Serang.
Tapi melihat warga desanya dipaksa dengan kekerasan,
pikiran Ki Sugali pun berubah. Karena pemaksaan dengan
kekerasan sama artinya dengan menghancurkan masa
depan Desa Kendal. Semua itu membuat Ki Sugali tidak
lagi mempedulikan hukuman yang menantinya.
“Hentikan! Kalian bukan lagi abdi kerajaan yang
membela kepentingan dan keamanan rakyat. Lebih tepat
bila dikatakan kalian adalah perampok-perampok kejam.
Tindakan kalian menunjukkan ke arah itu!” bentak Ki
Sugali menggelegar.
Lelaki tua itu berteriak dengan mengerahkan seluruh
tenaga dalamnya. Jerit kesakitan dan suara cambukan
membuat Ki Sugali tidak lagi memikirkan keselamatan
dirinya. Terlebih, ketika menyaksikan tubuh warganya
yang berkelojotan di tanah karena cambukan pecut ketiga
perwira kejam itu. Amarahnya tidak bisa ditahan lagi.
Bentakan Ki Sugali seketika menghentikan penyiksaan
itu. Legawa dan anggota rombongannya berpaling dengan
pandangan mengancam. Bahkan, dua belas orang
prajuritnya sudah menghunus senjata. Siap digunakan
demi tugas yang mereka emban.
“Hm.... Kau hendak memberontak, Ki Sugali...?”
tegur Legawa.
“Jangan mengancam aku dengan kata-kata itu, Perwira
Biadab! Tindakan kalian sudah melewati batas-batas
perikemanusiaan. Aku tidak peduli dengan segala macam
sebutan itu. Pemberontak atau anjing sekalipun!” tukas Ki
Sugali yang sudah mencabut pedang. Sikap lelaki tua itu
tampak garang, seperti induk harimau yang tengah
melindungi induknya.
“Kurang ajar! Kau akan dihukum gantung, Ki Sugali!”
bentak Legawa tidak kalah garang. Pecut di tangannya
terlihat bergetar.
“Tidak peduli!” bentak Ki Sugali. Sepasang matanya
mencorong tajam. Pedangnya melintang di depan dada.
Siap menyabung nyawa demi jabatan yang dipercayakan
kepadanya.
“Keparat! Bunuh orang tua gila itu...!” Legawa segera
memerintahkan pasukannya untuk menyerang Ki Sugali.
“Yeaaa...!”
“Haaattt...!”
Dua belas orang prajurit Legawa meluruk dengan
senjata di tangan. Tapi, Ki Sugali dan dua orang
kepercayaannya telah siap menyambut mereka. Bahkan,
belasan orang keamanan desa ikut meloloskan senjata.
Mereka siap mempertaruhkan nyawa demi keadilan.
Sebentar saja perang kecil pun berlangsung. Suara
dentang senjata dan teriakan mewarnai pertempuran.
Semua terjadi begitu cepat dan tanpa direncanakan.
Legawa bersama dua orang perwira lainnya ikut turun
ke arena. Dengan menggunakan pecutnya, perwira gemuk
itu mengamuk hebat merobohkan siapa saja yang berada di
dekatnya. Para keamanan desa yang kebetulan meng-
hadapi perwira gemuk itu menjadi kalang kabut. Dalam
beberapa jurus enam orang tersungkur roboh tak sadarkan
diri. Itu memang disengaja oleh Legawa. Karena ia masih
memerlukan tenaga mereka.
Guranta dan perwira lainnya juga tidak tinggal diam.
Mereka menggunakan senjata untuk menghadapi amukan
warga Desa Kendal. Tampak, penduduk desa tidak rela
kepala desanya menghadapi pasukan kerajaan dan
mengalami kematian. Rasa cinta mereka membuat Ki
Sugali terharu. Hingga serangannya kian bertambah ganas.
Para prajurit kerajaan yang menghadapi orang tua itu
sempat dibuat kalang kabut. Mereka terpaksa bergerak
mundur. Karena kepandaian Ki Sugali memang tidak bisa
diremehkan. Juga Ki Luganta dan Sujanta yang bahu-
membahu bersama kepala desanya.
“Haaattt...!”
Melihat anggota pasukannya dibuat kocar-kacir,
Legawa menjadi berang. Perwira gemuk itu melayang
diiringi teriakan yang membahana. Kemudian, meluncur
turun di dekat ketiga sesepuh Desa Kendal. Dan langsung
melancarkan serangan.
Bwettt, bwettt, bwettt...!
Kali ini Legawa membuang pecutnya. Ia menghadapi
ketiga pemuka desa itu dengan pedang di tangan. Sekali
menyerang Legawa melepaskan serangkaian sambaran dan
tusukan. Tentu saja Ki Sugali dan dua orang pembantunya
tidak ingin mendapat celaka. Ketiganya berlompatan
mundur menyiapkan jurus-jurus barunya.
Tapi, Legawa tidak mau memberi kesempatan.
Sebelum mereka bersiap, tubuh lelaki gemuk itu udah
melayang dengan kecepatan yang mengagumkan. Memang
tidak percuma Legawa dikirim untuk melaksanakan tugas
yang berbahaya. Ia telah disiapkan dengan matang untuk
menghadapi berbagai rintangan. Dan Legawa mem-
buktikan kalau dirinya memang patut mengemban tugas
berat itu.
“Haaattt...!”
Whuuuttt...!
Sambaran mata pedang Legawa mengaung keras
mengancam Ki Luganta. Tapi orang tua itu dapat
mengatasinya dengan serangkaian tangkisan. Sehingga,
benturan keras pun tidak dapat dihindarkan.
Trangngng! Trangngng!
Legawa ternyata sangat licik. Tenaga tangkisan lawan
digunakan untuk menyusuli serangannya. Sengaja ia
mengendurkan tenaganya saat senjata lawan membentur
pedangnya. Kemudian memutarnya dengan secepat kilat.
Dan terus meluncur deras mengancam tenggorokan Ki
Luganta. Hingga....
Brettt!
“Hekkkh!”
Ki Luganta tidak sempat lagi menyelamatkan diri.
Sambaran mata pedang lawan merobek tenggorokannya.
Diiringi menyemburnya darah segar dari luka menganga di
lehernya Ki Luganta, tubuh sesepuh Desa Kendal itu
tersungkur tewas seketika itu juga.
“Yiaaattt...!”
Legawa tidak berhenti sampai di situ. Saat Sujanta
terpaku melihat kematian rekannya, pedang di tangan
perwira gemuk itu kembali melesat mencari sasaran.
Whuttt, brettt...!
“Aaakh…!”
Sujanta berusaha menghindar. Namun gerakannya
kalah cepat. Mata pedang Legawa keburu datang merobek
dada kanannya. Darah segar menyembur deras dari luka
yang cukup dalam itu. Dan sebelum Sujanta sempat
menyadarinya, kembali pedang Legawa berkelebat dua
kali!
Tanpa ampun lagi, tubuh Sujanta tersungkur roboh.
Darah membasahi di sekujur tubuhnya. Lelaki gagah itu
tewas dengan tiga luka memanjang di bagian dadanya.
“Keparat! Kubunuh kauuu...!”
Ki Sugali kalap bukan main melihat kematian
pembantu-pembantu setianya. Dengan kemarahan yang
menggelegak lelaki tua itu menerjang maju. Pedang di
tangannya berputaran menimbulkan suara mengaung
keras.
Bwettt, bwettt, bwettt!
Serangan Ki Sugali menemui tempat kosong. Legawa
ternyata pandai membaca serangan lawan. Perwira gemuk
itu telah bergeser mundur sebelum mata pedang Ki Sugali
melukainya. Kemudian, membalas dengan tusukan ujung
pedang yang bergetar mengaburkan pandangan lawan.
“Yaaattt...!”
Pekikan keras Legawa yang disertai suara berkesiutan
angin pedang membuat Ki Sugali sedikit gugup. Kendati
demikian, lelaki tua itu masih sempat menghindari.
Bahkan, dapat menyabetkan pedangnya ke pangkal lengan
lawan.
Brettt!
“Aaakhhh...!?”
Legawa memekik kesakitan. Tubuhnya terjajar
mundur beberapa langkah. Saat itu Ki Sugali menyusuli
serangannya dengan tusukan maut yang mematikan.
Tapi....
Blesss!
“Aaakh...!”
Ki Sugali meraung keras. Tubuhnya tertembus ujung
pedang hingga ke perut. Rupanya, pada saat yang gawat
itu Guranta dengan licik membokong Kepala Desa
Kendal. Sehingga Ki Sugali yang sangat bernafsu
merobohkan Legawa tidak sempat menyadarinya.
“Mampusss...!” desis Guranta seraya mencabut pedang
yang menyate tubuh lelaki tua itu.
Darah segar membanjir membasahi bumi Desa Kendal.
Tubuh lelaki tua yang gagah itu ambruk dengan nyawa
melayang meninggalkan raga.
Kematian ketiga sesepuh Desa Kendal membuat
perlawanan penduduk kocar-kacir. Dalam waktu singkat
mereka dapat didesak. Beberapa di antaranya berusaha
mencari selamat. Tapi, Legawa dan pasukannya tidak
tinggal diam. Mereka segera mencegah dengan sambaran
pedang. Sehingga, orang-orang malang itu roboh dengan
tubuh luka. Kecuali yang muda-muda dan kuat, semua
lelaki penduduk Desa Kendal dibantai habis. Tidak peduli
lelaki itu sudah berusia tua sekalipun!
Tidak berapa lama setelah kematian Ki Sugali dan dua
orang kepercayaannya perlawanan penduduk pun
berakhir. Mereka menyerah dan melemparkan senjatanya.
Kemudian, berlutut di hadapan Legawa.
“Bagus. Kalian ternyata masih berpikiran waras. Kalau
sejak semula kalian bersikap seperti ini, tentu warga desa
ini tidak akan binasa,” Legawa tampak puas dengan
keberhasilan tugasnya. Meski, pangkal lengannya terluka
oleh sayatan pedang Ki Sugali.
Legawa kemudian memerintahkan pasukannya untuk
mengumpulkan orang-orang yang diperlukan. Tanpa
kasihan para prajurit itu mengguyur mereka yang masih
tak sadarkan diri. Sehingga, orang-orang desa yang
memang sengaja dibuat pingsan tersadar.
Karena saat itu matahari sudah bergeser jauh ke barat,
Legawa memerintahkan pasukannya untuk bermalam di
desa itu dan mengumpulkan tawanan yang berjumlah tiga
puluh orang di balai desa dengan dijaga anggota
pasukannya. Walau kehilangan dua orang prajuritnya,
Legawa tidak kecewa. Ia cukup banyak mendapat tawanan
untuk dipekerjakan membangun istana peristirahatan
Prabu Pungga Dewa.
***
TIGA
Perbuatan Legawa dan pasukannya semakin menjadi-jadi.
Setelah mengurung semua lelaki yang akan dibawanya, ia
tidak melewatkan kesempatan selagi bermalam. Gadis-
gadis desa dan janda-janda yang baru kehilangan suami
dipaksa untuk menemaninya. Seolah Legawa hendak
merayakan kemenangannya tadi siang.
Apalah daya wanita-wanita desa yang lemah itu me-
lawan kekuatan dan keganasan pasukan Legawa. Mereka
hanya bisa menangis mengutuki nasibnya yang buruk. Tapi
semua itu tidak berani mereka tunjukkan di hadapan
Legawa dan pasukannya. Karena mereka tidak segan-segan
bertindak kasar kepada wanita-wanita. Dengan kejamnya
mereka dipaksa melayani prajurit-prajurit itu secara ber-
giliran. Kelihatannya, pasukan Kerajaan Tampak Serang
benar-benar telah berubah menjadi iblis keji!
“Hua ha ha...!”
Dalam salah satu ruangan balai desa yang telah
dilengkapi pembaringan Legawa tertawa-tawa penuh
kepuasan. Lelaki gemuk itu terbaring bertelanjang dada
dengan ditemani dua orang gadis yang tentu saja berparas
cantik. Dengan ganas Legawa memuaskan nafsu iblisnya.
Sementara gadis-gadis malang itu hanya bisa menuruti
kehendaknya. Sebab, bila mereka berani membantah
Legawa tidak segan-segan memberikannya kepada anggota
pasukannya untuk digilir. Dapat dibayangkan betapa
malangnya nasib wanita-wanita Desa Kendal, yang tidak
pernah membayangkan akan menerima nasib seburuk itu.
Pesta pora Legawa dan pasukannya berlangsung sampai
jauh malam. Dan baru usai ketika mereka mabuk karena
terlalu banyak minum arak dan, kelelahan. Tubuh mereka
bergeletakan di sembarang tempat. Meskipun begitu, tak
seorang pun yang mengganggu ketenangan tidur mereka.
Selain kaum lelakinya telah dikurung dalam sebuah
ruangan tertutup, wanitanya pun mereka buat mabuk
dengan menjejalkan arak secara paksa. Sehingga, malam
itu benar-benar sunyi dan sepi.
Saat sinar matahari menerobos masuk menggantikan
tugas sang Rembulan, Legawa menggeliat dari tidurnya.
Kemudian bergerak bangkit dan membangunkan pasukan-
nya dengan kasar. Mereka segera diperintahkan untuk
bersiap meninggalkan Desa Kendal.
Tidak berapa lama kemudian terlihatlah serombongan
orang berkuda keluar dari Desa Kendal. Di belakang
pasukan berkuda tampak dua puluh lima orang lelaki.
Tangan mereka terikat tali-tali kuat sebesar ibu jari, yang
dikaitkan satu sama lain dan dihubungkan ke tubuh kuda-
kuda para prajurit.
Sinar matahari naik semakin tinggi saat rombongan
Legawa telah cukup jauh meninggalkan Desa Kendal.
Mereka sedikit pun tidak mempedulikan orang-orang di
belakangnya, yang melangkah terseret-seret mengikuti
gerak kaki kuda. Karena betapa pun pelan langkah kaki
kuda itu tetap saja masih terlalu cepat bagi mereka.
Perjalanan yang jauh dengan medan berat dan sorotan
sinar matahari garang membuat orang-orang Desa Kendal
tersiksa. Terlihat beberapa dari mereka sudah mulai payah
dan hampir tidak sanggup melangkah lagi, Kerongkongan
mereka terasa kering, kendati wajah dan tubuhnya basah
oleh peluh yang tak hentinya mengalir.
“Aiiir...!” salah seorang warga Desa Kendal yang sudah
tidak sanggup menahan dahaga berteriak parau. Lidah
lelaki itu menjilati bibirnya yang kering dan mulai pecah-
pecah.
Tapi, rintihan itu tidak dipedulikan prajurit-prajurit
kerajaan. Bahkan mereka malah menambah kecepatan lari
kudanya. Sehingga, mereka yang sudah tidak sanggup
melangkah terjerembab jatuh dan terseret-seret di tanah.
Tampaknya mereka memang hendak menyiksa tawanan-
tawanan itu.
“Biadab! Kalian benar-benar tidak berperi-
kemanusiaan!” salah seorang dari tawanan tidak dapat lagi
mengendalikan diri. Sumpah-serapahnya segera meluncur.
“Salahmu sendiri, Orang-orang Tolol! Kalau saja tidak
memberontak, tentu tidak akan begini nasib kalian. Sebab,
biasanya kami membawa para pekerja dengan meng-
gunakan pedati. Tapi karena kalian telah berani
memberontak, kami tidak segan-segan lagi untuk berlaku
kejam!” prajurit berbibir tebal yang menaruh dendam
kepada warga Desa Kendal menyahuti dengan sorot mata
puas. Kemudian kembali berpaling ke depan dan tidak
peduli lagi.
“Kalian benar-benar, Iblis...!” lelaki bertubuh gagah
yang berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu kembali
memaki. Karena memang cuma itu yang bisa dilakukannya.
“Hm.... Mulutmu lancang sekali...!” geram prajurit
berbibir tebal. Dicabutnya pecut dari punggung kuda.
Dan ujung pecut itu langsung berbicara.
Cletarrr, ctarrr...!
Setelah meledak-ledak beberapa kali di udara, ujung
pecut meluncur turun mengancam tubuh lelaki gagah
yang barusan melontarkan makian. Tapi....
Taaappp!
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu sesosok
bayangan putih mengulurkan tangan menangkap ujung
pecut. Hingga, ujung pecut yang meluncur deras itu
langsung dijepit dengan dua jari. Gagallah cambukan
prajurit berbibir tebal.
“Tindakan kalian sudah melebihi batas, Tuan Prajurit
yang gagah!” ujar sosok berjubah putih, yang ternyata
seorang pemuda berwajah tampan. Dan pemuda itulah
yang telah berhasil menangkap luncuran ujung pecut dari
prajurit berbibir tebal tadi.
“Kurang ajar! Siapa kau? Rupanya kau pun ingin
memberontak terhadap Kerajaan Tampak Serang!” geram
prajurit berbibir tebal.
Prajurit itu rupanya belum menyadari bahwa pemuda
tampan berjubah putih itu bukanlah orang sembarangan.
Ia mampu menangkap ujung cambuk hanya dengan
menggunakan dua buah jari. Jelas, pemuda itu tidak bisa
disamakan dengan tawanan-tawanan itu.
“Hm.... Mudah sekali kau menuduh orang dengan
sebutan pemberontak, Tuan Prajurit yang gagah...,” tukas
pemuda tampan berjubah putih. Pemuda itu sengaja
memanggil dengan sebutan 'Tuan Prajurit yang gagah'.
Sebutan yang tidak cocok itu memang sengaja diucapkan-
nya agar prajurit itu malu.
Perdebatan di barisan belakang rupanya menarik
perhatian anggota pasukan lainnya. Bahkan, Legawa yang
berada di barisan depan menyempatkan diri menoleh ke
belakang. Keningnya berkerut melihat salah seorang
anggota pasukannya bersitegang dengan seorang pemuda
tampan berjubah putih. Merasa perjalanannya terganggu,
Legawa segera mengeluarkan perintahnya.
“Siksa dan tangkap pemberontak itu!” pekik Legawa.
Perwira gemuk itu tampaknya ingin memanfaatkan tenaga
pemuda tampan berjubah putih. Itu sebabnya, ia tidak
memerintahkan anggota pasukannya untuk membunuh
pemuda itu.
Tapi, sebelum perintah itu dilaksanakan pemuda
tampan berjubah putih telah lebih dulu bertindak. Ujung
pecut yang terjepit di antara kedua jarinya langsung
disentakkan.
“Aaakh...!?”
Prajurit berbibir tebal yang masih memegang gagang
cambuk memekik ngeri. Tubuhnya tersentak dari atas
punggung kuda. Dan meluncur turun dengan deras.
Tanah berbatu di bawahnya telah siap menanti tubuh
prajurit naas itu.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuh prajurit itu terbanting
ke tanah. Untungnya ia sempat melindungi wajah dengan
menekuk kedua siku lengannya. Sehingga, tidak sampai
membentur bebatuan kecil yang bertebaran di jalan.
Pemuda tampan berjubah putih itu sendiri sudah tidak
mempedulikan lawannya lagi. Ia sibuk memutuskan tali
pengikat penduduk Desa Kendal yang dihubungkan ke
tubuh kuda. Hanya dengan sekali sentak, tali-tali yang
kuat itu langsung putus.
Tampaknya, kemunculannya memang untuk menye-
lamatkan penduduk Desa Kendal.
“Keparat! Bunuh pemuda setan itu...!” Legawa ber-
teriak kalap. Lelaki gemuk itu kelihatan sangat terkejut
melihat pemuda itu dapat dengan mudah memutuskan
tambang pengikat. Sadarlah Legawa kalau yang dihadapi-
nya seorang tokoh persilatan.
“Kalian kembalilah ke desa. Aku yang akan menghadapi
pasukan berhati iblis ini...,” ujar pemuda tampan berjubah
putih yang tidak lain Pendekar Naga Putih.
“Tapi..., kami tidak ingin Kisanak celaka karena ingin
menolong kami...!” lelaki gagah yang tadi memaki berkata
penuh kekhawatiran. Ucapan itu jelas menggambarkan
keluhuran hatinya. Karena ia mengkhawatirkan nasib
pemuda tampan berjubah putih itu.
“Tidak perlu cemas, Kisanak. Aku bisa menjaga diri.
Pergilah dan tenangkan pikiranmu...,” tukas pemuda itu
seraya tersenyum cerah. Ucapan lelaki gagah itu membuat
hatinya terharu. Meski hanya seorang petani, ternyata ia
tidak mementingkan keselamatan dirinya sendiri.
“Tapi...,” lelaki gagah itu mencoba membantah.
“Pergilah, Kisanak yang gagah...,” ujar Pendekar Naga
Putih. Kemudian didorongnya tubuh petani gagah itu.
Karena saat itu sembilan orang prajurit kerajaan sudah
berlompatan dengan senjata di tangan.
Tanpak banyak cakap, Pendekar Naga Putih segera
bertindak. Sembilan orang prajurit yang bergerak maju
tersentak kaget! Mereka mendapati sosok pemuda
berjubah putih itu lenyap! Dan, senjata mereka yang
semula tergenggam erat tahu-tahu sudah berpindah
tangan. Tampak tangan kanan pemuda itu menggenggam
senjata.
“Gila...?!” salah seorang prajurit berseru dengan wajah
pucat. Ia tidak percaya dengan kejadian yang dialaminya.
“Senjata bukanlah barang mainan. Terlalu berbahaya
jika menggunakannya secara sembarangan. Sebaiknya
senjata-senjata ini dipergunakan dengan baik. Tapi, bukan
membunuhi orang-orang tidak berdosa...,” ujar Pendekar
Naga Putih yang kini telah berdiri tegak di hadapan
sembilan orang prajurit Legawa. Wajahnya tetap tenang
tanpa menyorotkan ancaman. Bahkan, senyumnya tak
lepas dari bibir.
Legawa sampai terjingkat di atas punggung kuda.
Kejadian itu seperti mimpi. Kendati ia tahu dunia
persilatan banyak dihuni tokoh-tokoh berkepandaian
tinggi, tetap saja ia meragukan penglihatan. Tokoh itu
demikian muda. Kalau saja yang melakukannya seorang
kakek tentu ia masih bisa percaya. Tapi seorang pemuda!
Benar-benar Legawa dibuat heran. Sehingga, untuk
beberapa saat belum bisa mengeluarkan suara sepatah
pun. Kenyataan yang terpampang di depan matanya
membuat Legawa tidak habis pikir.
“Hei, mengapa berdiri saja seperti patung? Ayo, bunuh
pemuda pemberontak itu...!” Legawa berteriak memberi
perintah setelah tersadar dari kekagetannya. Cepat
tubuhnya meluncur turun diikuti dua perwira
pembantunya.
Teguran Legawa membuat para prajurit itu sadar dari
keadaannya yang memalukan. Serentak mereka bergerak
maju mengandalkan kaki dan tangannya. Karena senjata
mereka telah direbut pemuda tampan itu.
“Hm....”
Panji bergumam perlahan. Kamudian, tangannya
digerakkan ke kiri-kanan saat serangan lawan tiba.
Meskipun gerakan tangan pemuda itu kelihatan sederhana,
tapi mengejutkan Legawa dan dua perwira lainnya. Tubuh
sembilan orang prajuritnya terlempar ke kiri-kanan
seperti dilontarkan tangan-tangan raksasa yang tak
tampak. Sedikit pun tidak mereka sadari kalau Pendekar
Naga Putih telah melemparkan mereka dengan sambaran
angin pukulannya. Mereka jatuh tanpa sempat mem-
perbaiki kuda-kudanya.
Kaget bukan main hati Legawa serta dua perwira
lainnya menyaksikan kejadian itu. Bagaimana para
prajuritnya dapat dibuat tunggang-langgang hanya dengan
gerakan sederhana? Legawa segera meloloskan pedang.
Lalu, memberi isyarat kepada dua perwira
pendampingnya untuk mengeroyok pemuda itu.
Dengan senjata di tangan, Legawa bergerak meng-
hampiri Pendekar Naga Putih. Sepasang matanya menatap
penuh selidik seolah hendak mengenali siapa pemuda itu.
Namun, tetap saja ia tidak bisa mengenalinya.
“Kisanak,” ujar Legawa. Langkahnya berhenti satu
tombak di hadapan sosok pemuda tampan itu.
“Perbuatanmu ini bisa mengakibatkan dirimu terlihat
dalam kesulitan besar. Kau bisa dituduh memberontak
karena berani menghalangi tugas resmi dari Gusti Prabu
Pungga Dewa. Karena itu, kuberi peringatan kepadamu!
Berlututlah dan meminta ampunan. Mungkin aku bisa
mempertimbangkan tindakanmu.”
Mendengar ucapan perwira gemuk itu, Pendekar Naga
Putih malah tersenyum. Meski demikian, kilatan pada
sepasang matanya tampak menyembunyikan kegusaran.
Untuk beberapa saat pemuda itu hanya menatap ketiga
perwira di depannya. Kemudian, berkata dengan suara
halus dan tenang.
“Tuan-tuan Perwira yang gagah,” ujar pemuda itu
perlahan namun jelas terdengar, “Mungkin benar kalian
mendapat tugas resmi dari Gusti Prabu Pungga Dewa.
Tapi, beginikah cara petugas pemerintah memperlakukan
rakyat? Haruskah mereka diikat seperti binatang dan
diseret sepanjang jala tanpa diberi setetes air penghilang
dahaga mereka. Tidakkah tindakan itu terlalu berlebihan?
Atau memang begitu bunyi surat perintah Gusti Prabu
Pungga Dewa?” dengan beraninya pemuda itu bertanya
penuh penasaran. Kelihatan sekali Panji tidak merasa
gentar.
“Seharusnya memang tidak. Tapi karena mereka berani
memberontak dan mengakibatkan dua prajurit kami
tewas, terpaksa kami menyiksa mereka agar menjadi
contoh bagi penduduk desa lainnya,” bantah Legawa.
Perwira gemuk itu tampak mulai merasa geram karena
Panji berani menyalahkan tindakannya.
“Hm... Pasti ada alasan kuat mengapa mereka
melakukan perlawanan. Mana mungkin penduduk desa
yang biasanya sangat ramah dan taat sampai mau
menentang kalau tidak ditekan dan disakiti” tukas Panji,
membuat wajah Legawa dan dua perwira lainnya merah
terbakar.
“Kau semakin kurang ajar saja, Kisanak! Kalau kami
berbuat kasar itu karena mereka berani membangkang.
Semua ucapanmu membuktikan bahwa kau menyetujui
tindakan mereka. Dengan demikian kau berarti hendak
memberontak terhadap kerajaan!” merasa kalah bicara,
Legawa tidak memperpanjang perdebatan itu. Tubuhnya
bergerak maju beberapa langkah. Dan pedang di
tangannya diputar sedemikian rupa hingga menimbulkan
deruan ingin keras.
Dua orang perwira lainnya pun melakukan hal yang
sama. Mereka bergerak dari kiri dan kanan. Tampaknya
mereka hendak mengeroyok pemuda tampan itu.
“Hm..., begitu lebih baik...,” ujar Panji. Sedikit pun ia
tidak merasa gentar menghadapi ketiga perwira yang jelas-
jelas hendak mencelakainya.
“Haaattt...!”
Legawa membuka serangan dengan sebuah teriakan
parau. Pedang di tangannya berkelebat mendatar. Rupa-
nya, perwira gemuk itu menyadari bahwa lawannya cukup
memiliki kemampuan. Dalam jurus pertama ia langsung
mengerahkan seluruh tenaganya.
Pendekar Naga Putih tetap berdiri tegak tanpa merasa
cemas. Ia menunggu sampai mata pedang tiba. Saat itu,
dua perwira dari kiri-kanannya juga melancarkan tusukan
dan sambaran pedang. Melihat jurus-jurus serangan itu,
Pendekar Naga Putih tahu mereka hendak membunuhnya.
Bweeet, bweeet!
Syuuuttt...!
Tiga batang mata pedang mengancam disertai desingan
tajam menusuk telinga. Pendekar Naga Putih hanya perlu
menarik mundur kaki depannya selangkah. Dengan
memiringkan badan, serangan pedang Legawa lewat satu
jengkal di depan tubuhnya. Sedangkan dua serangan dari
kiri-kanannya disambut dengan mengembangkan kedua
lengan. Kemudian, lengan itu berputar dan menggedor
dada dua perwira itu.
Desss, desss!
“Hukhhh!”
“Uggghhh!”
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua perwira itu terhempas
deras ke belakang. Cairan merah meleleh keluar dari
sudut bibir. Agaknya, bagian dalam tubuh kedua perwira
itu terguncang oleh hantaman telapak tangan Pendekar
Naga Putih. Mereka menggigil untuk beberapa saat.
Karena tenaga pukulan Pendekar Naga Putih mengandung
hawa sedingin es.
Dalam waktu yang hampir bersamaan Legawa mem-
peroleh tendangan lurus kaki kanan Pendeka Naga Putih.
Dengan telak tendangan itu bersaran di perutnya. Karuan
saja lelaki gemuk itu terbungkuk menahan mual.
Wajahnya seketika menjadi gelap. Dan sepasang matanya
membelalak bagai hendak terlompat keluar.
“Hiaaahhh!”
Disertai bentakan keras Pendekar Naga Putih
mengibaskan tamparannya ke wajah Legawa. Lelaki
gemuk itu tidak sempat lagi menghindari. Hingga....
Prattt!
Tanpa dapat dicegah Legawa terpelanting dan jatuh
berdebuk. Perwira gemuk itu tidak bisa segera bangkit.
Karena kepalanya masih terasa berat. Dan kedua telinga
nya berdenging.
***
EMPAT
“Bangsat...!” Legawa melompat bangkit dan melontarkan
makian seraya menggoyang-goyangkan kepala. Kemudian,
senjatanya mengibas ke kiri-kanan menerbitkan desingan
tajam. Legawa siap melanjutkan pertarungan.
Gumantara dan temannya pun telah bangkit. Keduanya
kembali membuka jurus dengan putaran pedang. Mereka
melompat maju dari samping dan belakang.
“Yeaaattt...!”
Dibarengi teriakan keras, Legawa menyabetkan
pedangnya dengan gerak menyilang. Kilatan sinar putih
berkilau seiring datangnya senjata maut itu.
Dari dua jurusan lain, dua pengeroyok Pendekar Naga
Putih juga telah maju menerjang. Pedang di tangan
mereka siap merenggut nyawa Pendekar Naga Putih.
Rupanya, pukulan-pukulan Pendekar Naga Putih yang
singgah di tubuh mereka membuat keduanya mendendam.
Itu terlihat dari semakin ganasnya serangan mereka.
Bwettt! Bwettt! Bweet!
Sambaran ketiga batang pedang itu sedikit pun tidak
menyulitkan Pendekar Naga Putih. Dengan mengandalkan
kegesitannya, tubuhnya berkelebatan di antara pedang
lawan. Dan semua serangan itu kandas tanpa hasil.
“Haaaiiittt..!”
Sambil berseru keras Pendekar Naga Putih membalas
serangan lawan. Telapak tangannya berkelebatan mener-
bitkan desiran angin dingin menusuk tulang. Kecepatan
gerak pemuda itu membuat lawan-lawannya gugup.
Terutama samparan hawa dingin, yang menghambat gerak
mereka. Hawa dingin itu sanggup membekukan otot-otot
tubuh mereka. Sehingga gerakan mereka jadi tak
beraturan.
Kali ini Panji memang tidak ingin memberi
kesempatan kepada lawan untuk membangun serangan.
Tamparan dan pukulannya datang bagai air bah. Tentu saja
ketiga perwira itu semakin terdesak. Sampai akhirnya
mereka tak sanggup lagi melindungi tubuhnya. Dan....
Bukkk!
“Aaakh...!”
Legawa mendapat bagian pertama. Perwira gemuk itu
terjengkang ke belakang. Sebuah pukulan telah menyodok
iganya. Tanpa ampun lagi tubuh perwira gemuk itu
terbanting ke tanah. Dan ia tidak sanggup bangkit lagi.
Kesadarannya telah lenyap. Legawa pingsan akibat
pukulan lawan.
Dua orang perwira lainnya pun tidak dapat bertahan
lebih lama. Tamparan dan tendangan Panji melemparkan
tubuh keduanya sejauh dua tombak. Keduanya langsung
menggeletak pingsan. Melihat lelehan darah dari sela-sela
bibir mereka, kedua perwira itu tampaknya mengalami
luka dalam. Seperti halnya Legawa.
Menyaksikan ketiga pimpinannya tak berdaya
menghadapi pemuda itu, para perwira menjadi pucat.
Mereka bergerak mundur dengan wajah dibasahi keringat
dingin. Jelas, mereka merasa gentar menghadapi Panji.
“Hm..., sebaiknya bawa pergi pimpinan kalian itu. Dan
kuingatkan agar kalian tidak lagi melakukan pemaksaan
terhadap rakyat yang tak berdosa. Kalau tenaga mereka
kalian perlukan, mintalah dengan baik-baik. Aku yakin
kalau demi kemajuan bangsa dan Kerajaan Tampak Serang
rakyat akan bersedia menyumbangkan tenaga dan pikiran-
nya. Camkan itu baik-baik!” ujar Panji pada sepuluh orang
perwira Kerajaan Tampak Serang yang hanya mengangguk
dengan hati berdebar penuh rasa takut.
Setelah mengingatkan para perwira itu, Pendekar Naga
Putih bergerak menghampiri penduduk Desa Kendal.
Mereka ternyata belum juga mau pergi meninggalkan
tempat itu. “Mengapa kalian masih berada di sini?” tegur
Panji.
“Kami belum mengucapkan terima kasih kepada Tuan
Pendekar. Selain itu, kami khawatir mereka akan datang
lagi untuk menghukum dan menyeret kami secara
paksa...,” petani bertubuh gagah yang kelihatan paling
berani dan pandai berbicara segera menyahuti.
Mendengar ucapan itu, Panji tercenung sejenak.
Dipandanginya wajah-wajah yang membayangkan
kecemasan itu untuk beberapa saat. Dan, terhenti pada
seraut wajah gagah yang barusan mengutarakan
kekhawatirannya.
“Aku mengerti perasaan kalian. Tapi percayalah. Aku
tidak akan tinggal diam. Kejadian ini membuatku ingin
mencari tahu apa sebenarnya yang sedang terjadi di
Kerajaan Tampak Serang. Aku akan menuntaskan masalah
ini secepatnya. Untuk itu, kuharap kalian tidak perlu
merasa cemas,” ujar Panji yang tentu saja bukan cuma
sekadar menghibur. Tapi, ia benar-benar hendak
menyelidiki kejadian itu.
Janji pemuda tampan berjubah putih itu tampaknya
melegakan hati penduduk Desa Kendal. Mereka
memandang wajah Panji dengan pandangan terima kasih.
“Nah, sekarang sebaiknya kalian pulang. Biar porsoalan
ini aku yang menyelesaikannya...,” lanjut Panji dengan
nada tidak ingin dibantah, meski tetap sopan dan lembut.
“Tapi..., kami belum mengenal siapa Kisanak yang
gagah?” tanya petani gagah mewakili pertanyaan yang
tersimpan dalam hati kawan-kawannya
“Panggil saja aku Panji...,” sahut Panji tersenyum
ramah. Kemudian, menganggukkan kepala mengiringi
langkah orang-orang Desa Kendal yang bergerak
meninggalkan tempat itu.
Panji baru bergerak pergi setelah rombongan
penduduk Desa Kendal lenyap di kejauhan. Demikian pula
rombongan pasukan Kerajaan Tampa Serang. Tempat itu
pun kembali sepi tanpa seorang pun terlihat.
***
“Ini tidak bisa didiamkan. Kita harus meminta keadilan
di kotaraja. Apa yang dilakukan pihak kerajaan jelas tidak
adil, dan menyengsarakan rakyat yang memang
kehidupannya sudah susah!”
Ucapan penuh rasa penasaran dan tak puas itu keluar
dari mulut seorang lelaki tegap. Saat itu tengah duduk di
sebuah kedai bersama dua orang kawannya.
“Benar!” lelaki kedua yang sepasang matanya bersinar
tajam dengan wajah terhias kumis lebat menimpali. “Kalau
cuma karena sebuah istana untuk tempat peristirahatan
Gusti Prabu Pungga Dewa, mengapa keringat rakyat harus
diperas demikian kejam? Kalau pun pihak kerajaan
memang memerlukan tenaga rakyat, semestinya mereka
memberi imbalan yang pantas. Karena rakyat mem-
butuhkan makan serta pakaian. Ini jelas harus kita
tentang!” lanjutnya tak puas.
Sedang orang ketiga yang lebih tua dari kedua
temannya hanya diam mendengarkan. Meski demikian,
lelaki empat puluh lima tahun itu berpikir keras. Ia
memang bukan tidak mendengarkan ucapan kedua
kawannya. Tapi, tengah berusaha mencari jalan keluar
yang baik.
“Bagaimana, Kakang Wiguna? Kalihatannya kau tidak
begitu mendengarkan pembicaraan kami?” tegur lelaki
tegap yang pertama kali berbicara. Ia merasa heran
melihat tidak adanya tanggapan dari lelaki itu.
Ki Wiguna tidak segera memberikan jawaban. Ia
menarik napas sebentar. Kemudian ditatapnya wajah
kedua kawannya dengan tenang. Dan kembali menarik
napas. Kali ini cukup panjang dan agak berat
“Adi Ranggala, Adi Gowanta,” ujar Ki Wiguna
perlahan dan tenang, tanpa terburu-buru, “Semua yang
kalian bicarakan tadi tentu saja aku dengar dengan jelas.
Masalahnya, kita tidak bisa langsung bertindak dan
melaporkan hal ini. Seperti kita semua tahu, para prajurit
kerajaan memiliki surat resmi dari Gusti Prabu Pungga
Dewa. Itu berarti pihak kerajaan memang benar-benar
mengutus tentaranya untuk mencari tenaga guna mem-
bangun istana peristirahatan itu. Hanya cara kerja mereka
yang tidak bisa kita terima. Jika kita mendatangi kotaraja
dan mengadukan hal ini, kemungkinan besar kitalah yang
dituduh menyebar fitnah. Sebab, bukan tidak mungkin
semua ini merupakan kerja orang-orang yang duduk di
pemerintahan. Aku khawatir mereka malah akan men-
jebloskan kita ke dalam penjara. Atau mungkin lebih
buruk dari itu.”
Mendengar ucapan Ki Wiguna, Ranggala dan Gowanta
saling bertukar pandang dengan kening berkerut.
Tampaknya mereka tidak berpikir ke arah itu. Keduanya
kaget mendengar perkataan Ki Wiguna.
“Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan untuk
menghadapi hal ini, Kakang?” Ranggala, lelaki tegap itu
membuka suara dengan agak putus asa. Apa yang baru saja
dipaparkan Ki Wiguna memang cukup masuk akal.
“Itulah yang membuatku termenung, Adi Ranggala.
Sayangnya sampai saat ini aku belum juga menemukan
jalan keluar yang baik,” sahut Ki Wiguna dengan wajah
menyesal.
Ranggala dan Gowanta menarik napas panjang.
Jawaban Ki Wiguna membuat mereka tidak bisa berkata
apa-apa lagi. Untuk beberapa saat, mereka termenung
mengikuti arus pikiran masing masing.
“Begini saja, Kakang,” tiba-tiba Gowanta memecahkan
keheningan di antara mereka. Rupanya, ia mendapatkan
sebuah pemikiran yang cukup baik.
“Bagaimana...?” tanya Ki Wiguna sungguh-sungguh.
“Katakanlah, Adi Gowanta. Siapa tahu jalan pikiranmu
cukup baik bagi kita,” Ranggala kelihatan tak sabar ketika
melihat Gowanta agak ragu untuk menyampaikannya.
“Menurutku sebaiknya kita berpura-pura ikut bekerja
membangun istana peristirahatan itu. Saat para prajurit
mencari pekerja ke desa; kita ikut mendaftar. Dengan
begitu kita bisa melihat bagaimana nasib para penduduk
yang bekerja di sana. Kalau memang benar para prajurit
itu bertindak kejam, tinggal kita terobos dan membebas-
kan rakyat yang bernasib buruk itu. Bagaimana? Apakah
kalian setuju?” tanya Gowanta setelah menjelaskan
usulnya.
“Usul itu memang cukup bagus. Sayangnya
mengandung resiko yang cukup besar,” tukas Ranggala
kurang setuju dengan usul Gowanta.
“Benar. Selain itu, aku telah banyak mendengar
tentang tokoh-tokoh persilatan yang melakukan tindakan
itu. Tapi, mereka tidak pernah dapat keluar dari tempat
itu. Karena di sana terdapat jagoan-jagoan kerajaan yang
berkepandaian tinggi. Jelas usul Adi Gowanta tidak
mungkin dapat kita lakukan. Itu sama saja dengan
memasuki sarang harimau!” jelas Ki Wiguna juga kurang
setuju. Ia memang lebih banyak tahu ketimbang Ranggal
dan Gowanta.
“Lalu, apa yang harus kita lakukan, Kakang. Rasanya
aku tidak tega membiarkan hal ini berlarut-larut. Apalagi
menurut selentingan kabar yang terdengar sudah cukup
banyak korban berjatuhan di tempat itu. Rakyat bekerja
dalam tekanan yang berat, tak ubahnya kerja paksa! Selain
tidak diberi imbalan, makan dan tidur mereka pun tidak
teratur. Bukankah ini sudah melewati batas?” Gowanta
kembali mengungkapkan rasa tidak puasnya terhadap
kerajaan.
Ki Wiguna dan Ranggala tidak menyahuti.
Pembicaraan terputus karena mereka mendengar suara
langkah kaki mendatangi meja mereka. Ada sedikit
ketegangan tergambar di wajah mereka. Jelas, ketiga
tokoh persilatan itu sangat berhati-hati. Mereka takut ada
mata-mata yang mendengarkan pembicaraan itu, kendati
ucapan mereka dilakukan dengan hati-hati.
“Maaf, kalau kehadiranku mengganggu pembicaraan
Kisanak bertiga,” ucapan itu terdengar begitu sopan,
menunjukkan kehalusan budi pemiliknya. Hingga, ketiga
lelaki gagah itu menolehkan kepala dan menatap pemilik
suara.
“Aku sempat mendengarkan pembicaraan sanak
bertiga. Dan rasanya aku tertarik untuk ikut bergabung.
Tentu saja kalau Kisanak tidak keberatan menerimaku,”
kembali orang itu menyambung ucapannya.
Ki Wiguna dan dua orang kawannya belum juga
menyahut. Mereka meneliti orang yang berbicara itu. Ia
adalah seorang pemuda tampan dengan air muka segar
penuh senyum. Tubuhnya yang sedang namun kelihatan
berisi terbungkus jubah putih sebatas lutut. Keseluruhan
penampilan pemuda itu simpatik dan menimbulkan rasa
suka bagi yang memandangnya. Tapi yang lebih menarik
ketiga lelaki gagah itu adalah tatapan mata-pemuda
tampan berjubah putih. Sinar matanya terlihat demikian
tajam dan penuh perbawa. Sebagai orang-orang persilatan,
ketiganya tahu dan sekaligus terkejut. Sinar mata seperti
itu hanya dimiliki tokoh-tokoh sakti, yang tenaga
dalamnya telah mencapai taraf sempurna. Mereka menjadi
heran dan tertegun beberapa saat.
“Kalian keberatan jika aku ikut bergabung...?”
Pertanyaan yang diucapkan dengan perlahan itu
ternyata mengejutkan Ki Wiguna dan kawan-kawannya.
Serentak wajah ketiganya menjadi kemerahan. Sadar akan
sikapnya yang kurang bijaksana dan seperti orang bodoh.
“Aaa.... Tidak... tidak.... Kami sama sekali tidak
keberatan...,” cepat-cepat Ki Wiguna menukas seraya
memperbaiki sikapnya yang kurang pantas.
“Benar, Kisanak. Kami sama sekali tidak keberatan.
Silakan...,” Ranggala ikut menimpali kendati terlihat agak
salah tingkah.
“Terima kasih...,” ujar pemuda tampan itu tersenyum
dan menarik kursi yang masih kosong. Kemudian duduk
dengan tenang sambil merayapi wajah ketiga lelaki gagah
itu.
Karena masih belum mengetahui dengan jelas maksud
pemuda tampan itu bergabung dengan mereka, Ki
Wiguna dan kawan-kawannya berdiam diri. Mereka tidak
ada yang berbicara. Itu berlangsung beberapa saat.
“Maaf,” pemuda tampan itu akhirnya memulai
percakapan. “Ada baiknya kalau aku memperkenalkan
diri. Mudah-mudahan dengan begitu kita bisa saling
terbuka. Namaku Panji. Seorang perantau miskin yang
tidak mempunyai tempat tinggal tetap.”
“Panji...!?”
Ki Wiguna kelihatan agak terkejut mendengar nama
itu. Keningnya berkerut dalam seperti tengah memikirkan
sesuatu. Ditatapnya pemuda yang duduk di depannya
dengan penuh selidik dan dada berdebar. Sehingga,
Ranggala dan Gowanta menjadi heran melihat sikap
kawannya.
“Benar. Aku bernama Panji...,” jelas pemuda tampan
berjubah putih menegaskan.
“Kisanak,” akhirnya Ki Wiguna mengeluarkankan suara
setelah membisu beberapa saat. “Katakanlah dengan jujur.
Apakah kau berjuluk Pendekar Naga Putih?” tanya Ki
Wiguna, debaran dalam dadanya terasa semakin keras.
Rupanya, lelaki tua itu pernah mendengar nama Panji.
Meski lupa-lupa ingat tentang tempat dan waktunya.
“Begitulah orang-orang memberikan julukan kepada-
ku,” sahut Panji membenarkan dugaan Ki Wiguna. Ia
merasa tak perlu menyembunyikan julukannya. Semua itu
tentu saja berdasarkan beberapa pertimbangan.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Ranggala dan Gowanta berdesis dengan wajah berubah
tegang! Kedua lelaki gagah itu sedikit pun tidak menduga
kalau pemuda tampan di depannya pendekar besar yang
namanya telah menggetarkan jagat.
“Benar! Kau pastilah Pendekar Naga Putih...!” seru
Ranggala dengan suara ditekan sekecil mungkin.
Tampaknya, ia tidak ingin pengunjung kedai mendengar
disebutnya nama pendekar besar itu.
Ki Wiguna tersenyum lebar tak sanggup menahan
luapan kegembiraan. Lelaki gagah itu tertawa sebagai
ungkapan rasa senangnya dapat berjumpa dengan tokoh
muda yang sepak terjangnya telah merepotkan golongan
sesat. Sama sekali tidak disangkanya hari ini dapat
berhadapan dengan Pendekar Naga Putih yang tersohor
itu.
“Maaf kalau sambutan kami tadi sangat tidak layak,
Pendekar Naga Putih. Kami benar-benar tidak menduga
akan kehadiranmu di kedai ini...,” ucap Ki Wiguna yang
segera bangkit dan menyalami Panji dengan penuh
kehangatan.
“Tidak mengapa, Kisanak. Aku maklum...,” tukas
Panji tersenyum menyambut uluran tangan Ki Wiguna.
Ranggala dan Gowanta pun bergegas bangkit dan
menyalami Pendekar Naga Putih. Kelihatan sekali
kegembiraan terpancar dari wajah-wajah mereka.
Agaknya, Ki Wiguna dan kawan-kawannya benar-benar
merasa senang dapat berjumpa dengan pendekar muda
itu.
Panji menerima uluran tangan Ranggala dan Gowanta
dengan tidak kalah hangat. Sikapnya tetap ramah dan
sopan, tidak terkesan membanggakan julukannya.
Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-kawannya semakin
menaruh rasa kagum dan hormat.
“Tentunya kau sudah mendengar semua pembicaraan
kami, Panji? Nah, mungkin kau mempunyai rencana yang
bisa dijadikan jalan keluar untuk masalah itu,” ujar Ki
Wiguna kemudian setelah saling memperkenalkan diri.
“Rasanya aku cukup tertarik dengan usul yang diajukan
Gowanta. Karena aku sendiri memang hendak melaku-
kannya...,” sahut Panji segera mengutarakan pendapatnya.
“Hm... Sebenarnya, terus terang aku kurang begitu
setuju. Tapi, dengan adanya kau, Panji, aku tidak lagi
merasa khawatir. Aku ikut mendukung usul yang diajukan
Adi Gowanta,” tandas Ki Wiguna, merubah pikirannya
setelah adanya Pendekar Naga Putih di tengah-tengah
mereka. Rarena Ki Wiguna telah cukup banyak men-
dengar kehebatan Pendekar Naga Putih yang menggemparkan rimba persilatan.
“Ya. Aku pun setuju!” timpal Ranggala tidak mau
ketinggalan. Seperti halnya Ki Wiguna, Ranggala pun
berubah pikiran setelah adanya Pendekar Naga Putih
bersama mereka.
“Terima kasih atas kepercayaan kalian kepadaku. Tapi,
tentunya aku membutuhkan bantuan kalian bertiga. Aku
baru saja tiba di daerah ini, dan belum tahu banyak
tentang tempat-tempat di sini. Untuk itu aku minta
petunjuk dari kalian. Kuharap kalian jangan sungkan-
sungkan memberikan petunjuk kepadaku...,” ujar Panji
merendah. Tapi, ucapan itu dikeluarkan dengan sungguh-
sungguh. Sehingga, Ki Wiguna dan teman-temannya
merasa tersanjung.
“Kita akan saling bantu, Pendekar Naga Putih...,” tukas
Ki Wiguna tersenyum lebar dengan wajah cerah. “Mari
kita minum untuk merayakan pertemuan ini...!” lanjutnya
seraya mengangkat gelas bambu dan meminumnya tanpa
ragu.
Pendekar Naga Putih, Ranggala, dan Gowanta
mengikuti tindakannya. Pertemuan itu terasa semakin-
menggembirakan. Apalagi, ketika Ki Wiguna memanggil
pelayan dan memesan hidangan. Pesta kecil itu jadi
semakin hangat. Mereka bertambah akrab satu sama lain.
***
LIMA
“Hayo, bekerja yang giat! Jangan bermalas-malasan...!”
Lelaki berperawakan tinggi besar dengan cambang
bauk lebat berteriak-teriak lantang. Sikapnya terlihat
garang dan bengis. Ia berdiri dengan kaki terpentang
mengawasi pekerja-pekerja yang tengah sibuk memecah
batu padas, menggerogoti sebuah bukit. Kedua tangannya
bertolak pinggang. Sebuah cambuk tergenggam di tangan
kanan. Lelaki tinggi besar itu bagai seorang algojo yang
siap menjatuhkan hukuman.
Sementara itu, tubuh-tubuh kotor bertelanjang baju di
bawahnya tampak bercucuran peluh. Tubuh mereka kurus
dan tidak terawat baik, dengan garis-garis bawah meng-
gambarkan penderitaan yang tak berkesudahan. Jelas
sekali mereka bekerja dengan sangat terpaksa. Karena
takut mendapat hukuman dari lelaki tinggi besar yang
selalu setia mengawasi mereka.
Saat itu matahari memancar garang, menambah
beratnya pekerjaan yang harus dilakukan. Terik sinar
matahari bagai hendak membakar tubuh-tubuh hitam dan
kotor itu. Alam sedikit pun tidak menunjukkan sikap
bersahabat kepada pekerja-pekerja.
Lelaki tinggi kekar yang mengawasi mereka tiba-tiba
menoleh. Ia mendengar suara langkah kaki banyak orang
menghampiri tempat itu. Keningnya tampak berkerut
melihat serombongan orang berpakaian lengkap bergerak
menghampiri dikawal delapan orang prajurit bersenjata.
“Hm.... Ada orang-orang baru rupanya...?” tegur
lelaki tinggi kekar dengan suara parau dan berat. Ia ber-
gerak menyambut dengan senyum di bibir. Kelihatannya
ia sangat gembira. Datangnya orang-orang baru, berarti
tenaga-tenaga baru dan kuat.
“Ini kami membawa lima belas orang pekerja yang akan
diperbantukan untuk memecah batu padas, Jonggala...!”
ujar salah satu dari delapan prajurit yang berada di barisan
depan.
“Bagus! Aku memang sudah bosan melihat pekerja-
pekerja dungu yang malas itu...,” sahut lelaki tinggi kekar
bernama Jonggala sambil melemparkan pandang ke arah
pekerja-pekerjanya. Keningnya berkerut tak senang.
Ketika melihat seorang pekerja tampak berhenti dan
memperhatikan rombongan yang baru datang.
“Kurang ajar! Hei, apa yang kau lihat, Pemalas...!”
Jonggala kelihatan marah sekali. Dengan wajah bengis,
lelaki kekar itu melangkah menghampiri. Kemudian..
Ctarrr! Ctarrr...!
“Aaakhhh...!”
Lelaki berusia empat puluh tahun yang sebenarnya
tidak melakukan kesalahan itu menjerit kesakitan.
Tubuhnya terpelanting jatuh. Terus menggelinding ke
bawah dan terbanting di tanah keras.
“Oooh...!”
Lelaki yang sebenarnya tegap itu menggeliat kesakitan.
Pada punggungnya terdapat garis merah bekas lecutan
cambuk. Ia berusaha bergerak bangkit dengan wajahnya
berkerut-kerut menahan sakit.
“Manusia pemalas...!” lagi-lagi Jonggala memaki
marah. Cambuk di tangannya kembali meluncur. Tidak
ada rasa iba sedikit pun di hatinya. Padahal, lelaki itu
tengah susah-payah hendak bangkit.
Terdengar jeritan kesakitan ketika ujung cambuk
Jonggala menyengat tubuh kurus itu. Sehingga, untuk
kedua kalinya pekerja itu menggeliat dan terjerembab
jatuh. Kali ini ia tidak mampu segera bangkit. Dari
mulutnya yang mengalirkan darah segar terdengar erang
kesakitan.
Peristiwa itu sedikit pun tidak membuat pekerja yang
lainnya berhenti. Mereka berpura-pura tidak melihat
penderitaan kawannya, dan terus bekerja. Karena sekali
saja mereka lengah, bukan mustahil ujung cambuk itu
akan singgah di tubuh mereka. Hal itu sudah sering kali
terjadi.
Sementara itu, sepasang mata milik seorang lelaki
tegap yang berada di antara rombongan menyorot tajam
penuh kebencian. Kelihatannya ia sudah tidak sabar lagi
menyaksikan kekejaman yang berlangsung di depan
matanya. Tapi, saat kakinya hendak melangkah sebuah
jari-jari tangan kokoh mencegahnya.
“Sabar, Ranggala. Biarlah untuk kali ini kita hanya
menyaksikan. Kita belum tahu jelas keadaan tempat ini,”
bisik pemuda tampan bertubuh sedang yang mengenakan
jubah putih. Ia tidak lain Panji.
Ranggala terpaksa menarik napas panjang. Kemudian
berpaling menatap dua orang kawannya, Ki Wiguna dan
Gowanta. Rupanya, keempat tokoh itu telah berhasil
menyelusup dalam rombongan pekerja yang didapat dari
desa-desa. Kini mereka telah berada di sebuah tempat
yang dikelilingi pagar kayu bulat setinggi dua tombak.
Tempat itu luas sekali.
Panji menghela napas lega melihat Ranggala mau
menuruti anjurannya. Ia sendiri sebenarnya tidak tahan
melihat tindakan Jonggala. Tapi karena belum tahu
bagaimana keadaan di tempat itu, Panji tidak segera
bertindak. Ia menahan perasaan marahnya sekuat tenaga.
Semula Panji agak khawatir untuk memasuki tempat
itu. Ia pernah menghajar rombongan prajurit kerajaan saat
membawa penduduk Desa Kendal. Pemuda itu akan
bertemu dengan prajurit yang pernah dipecundanginya.
Tapi, ternyata dugaannya meleset.
Legawa dan pasukannya tidak berada di tempat itu.
Rupanya, masing-masing pasukan mempunyai tugas yang
berbeda. Dan, pasukan yang dipimpin Legawa hanya
bertugas untuk mencari pekerja-pekerja. Kemudian
mengirimkannya ke tempat yang telah disediakan. Dan
pergi lagi untuk mencari tenaga kerja lainnya. Yang
mengantar para pekerja ke tempat itu adalah pasukan yang
berada di tempat penampungan terakhir. Mereka
diantarkan ke tempat yang bernama Cadas Hantu. Di
tempat itulah para pekerja diperas tenaganya siang dan
malam. Hampir tidak pernah beristirahat. Karena waktu
untuk beristirahat hanya sempit sekali.
Saat itu, Jonggala telah puas menyiksa pekerjanya. Ia
pergi meninggalkannya dan kembali menghampiri
rombongan pekerja yang baru tiba.
“Kalian boleh pergi...,” ujar Jonggala pada delapan
orang prajurit yang mengantarkan rombongan Panji. “Dan
kalian tanggalkan pakaian. Kerjalah yang baik dan jangan
sampai cambukku berbicara!” perintahnya kepada
rombongan yang baru tiba.
Tanpa banyak membantah, anggota rombongan yang di
antaranya Panji melepaskan pakaiannya. Tak seorang pun
yang membawa senjata. Karena di pintu gerbang pertama
senjata mereka telah dilucuti. Itu pun kalau ada. Kalau
tidak, mereka hanya diperiksa sebelum diantarkan ke
tempat mereka bekerja.
Ranggala, Ki Wiguna, dan Gowanta memang telah
mengetahui hal itu sebelumnya. Mereka telah membuang
senjatanya sebelum menyelusup ke dalam rombongan.
Mereka pun menyadari tempat itu sulit ditembus.
Penjaganya demikian ketat. Semua itu mereka lihat
sepanjang jalan menuju tempat mereka akan bekerja.
Mereka pun menjadi maklum mengapa tokoh-tokoh
persilatan yang menyelusup masuk tidak dapat keluar
dengan nyawa masih melekat di badan. Untuk melarikan
diri dari tempat itu memang pekerjaan yang hampir
mustahil!
Setelah melolos pakaiannya, Panji dan anggota
rombongan langsung diberi tugas. Mulailah mereka
bekerja dengan alat yang telah disediakan. Melihat
pekerjaan yang harus dilakukannya, Panji maklum
mengapa pekerjaan itu terasa sangat berat. Bukit yang
harus mereka ratakan merupakan batu cadas yang sangat
keras, tak ubahnya benda logam. Untuk memecahkan
memang bukan pekerjaan yang ringan. Pantaslah kalau
banyak orang tak sanggup bertahan lama. Panji baru
mengerti mengapa mereka tidak pernah berhenti dalam
usaha mencari tenaga-tenaga baru. Untuk meratakan bukit
itu diperlukan banyak tenaga serta waktu yang lama.
“Hm... Gusti Prabu Pungga Dewa benar-benar
keterlaluan! Menurutku, agak mustahil kalau beliau
hendak membangun istana peristirahatan di daerah Cadas
Hantu ini. Benar pemandangan di tempat ini memang
sangat indah. Tapi, untuk meratakan bukit ini akan
memerlukan waktu tahunan. Celaka, kalau begini. Bisa
habis rakyat Tampak Serang...,” gumam Panji yang mulai
mengayunkan alat pemecah batu dengan menggunakan
tenaga dalam.
Crakkk! “
Hasil pekerjaan Panji tentu saja tidak bisa disamakan
dengan pekerja-pekerja lainnya. Hanya dengan menambah
sedikit tenaganya, batu padas yang hitam seperti besi itu
dapat dipecah dengan dua kali hantam. Sehingga,
pekerjaannya lebih cepat dari pekerja-pekerja lainnya.
Demikian pula dengan Ki Wiguna, Ranggala,
Gowanta. Mereka adalah tokoh-tokoh persilatan, sehingga
dapat melakukan pekerjaan itu dengan lebih baik dari
pekerja-pekerja lainnya. Jonggala agak terkejut menyaksi-
kan hasil pekerjaan keempat pekerja baru itu.
“Hm.... Tampaknya mereka memiliki tenaga yang
besar. Bukan tidak mungkin keempat orang itu kaum
rimba persilatan yang kebetulan tertangkap oleh
pasukan...,” gumam Jonggala yang kelihatan tidak
menaruh curiga.
Sebelumnya memang telah ada tokoh-tokoh persilatan
yang dibawa oleh pasukan untuk dipekerjakan. Beberapa
orang yang mencoba hendak memberontak telah dibunuh
tanpa ampun. Sehingga, Jonggala tidak merasa khawatir
meski keempat pekerja baru itu diduganya sebagai orang-
orang persilatan. Penjagaan di tempat itu sangat ketat.
Tidak mungkin mereka berani memberontak, kecuali
memang sengaja hendak mencari mati.
***
Malam telah menyelimuti persada. Kegelapan yang
hanya diterangi sinar bulan sabit tidak mengganggu
kegiatan di Cadas Hantu. Obor-obor yang banyak
dipasang untuk penerangan membantu para pekerja agar
dapat meneruskan pekerjaannya. Sehingga, bagi para
pekerja tidak ada bedanya antara siang dan malam.
Mereka tetap bekerja sampai jauh malam.
Udara di Cadas Hantu itu ternyata sangat dingin bila
malam hari. Kalau pada siang hari pancaran sinar matahari
sangat panas menyengat kulit, malam harinya mereka
menggigil kedinginan. Pergantian udara yang sangat jauh
berbeda itu membuat para pekerja tidak sanggup
bertahan. Terlebih mereka bekerja dengan perut kosong.
Para pekerja itu hanya mendapat makan satu kali, pada
waktu fajar terbit. Dan kalau tidak datang tepat pada
waktunya, terpaksalah mereka berpuasa sepanjang hari.
Sebab, terlambat sedikit saja, mereka tidak mendapat
makanan. Sampai demikian keras dan kejamnya peraturan
di tempat itu.
“Sudah tiga hari kita berada di neraka ini, Panji.
Rasanya aku sudah tidak tahan tinggal lebih lama lagi. Aku
pun merasa kasihan dengan rakyat yang terlihat demikian
sengsara. Kita harus segera bertindak, Panji...,” Ranggala
mengutarakan perasaannya saat mereka beristirahat,
setelah bekerja sampai jauh malam. Mereka baru berhenti
pada waktu tengah malam.
“Jangan tergesa-gesa dulu, Ranggala. Selama dua
malam ini aku telah menyelidiki seluruh tempat ini. Aku
menemukan sesuatu yang cukup mengejutkan!” tukas
Panji menyabarkan Ranggala. Karena Panji masih belum
menemukan cara untuk mengeluarkan pekerja-pekerja
itu.
“Apa yang kau temukan, Panji?” tanya Ki Wiguna
menatap wajah tampan itu lekat-lekat.
“Tempat ini ternyata dijaga oleh sekitar tiga ratusan
orang prajurit. Belum ditambah dengan jagoan-jagoan
istana, termasuk Jonggala di dalamnya. Kalau hanya kita
berempat yang lolos tentu tidak terlalu sulit. Tapi
bagaimana dengan pekerja-pekerja itu? Aku khawatir jika
kita gagal nasib mereka akan semakin buruk. Karena
Jonggala tidak segan-segan melakukan siksaan...,” ujar
Panji membuat ketiga lelaki gagah itu terperanjat. Di
sekitar daerah itu mereka tidak melihat tempat yang dapat
menampung sekian banyak prajurit.
“Kau yakin...?” tanya Gowanta belum bisa percaya
dengan keterangan Panji.
“Tentu saja, Gowanta. Aku telah melihat dengan mata
kepalaku sendiri. Prajurit-prajurit itu sengaja ditempatkan
tersembunyi dan tak terlihat oleh kita. Tapi, sewaktu-
waktu mereka dapat muncul dan menggasak habis bagi
siapa saja yang mencoba lari dari tempat celaka ini...,”
jawab Panji bersungguh-sungguh, membuat dada ketiga
orang gagah ihi berdebar tegang.
“Hm.... Kalau harus menghadapi tiga ratus orang
prajurit dan masih ditambah dengan jagoan-jagoan istana,
jelas sulit sekali bagi kita untuk membebaskan rakyat.
Mendengar keteranganmu, aku jadi sangsi dengan
keberhasilan rencana kita...,” Ranggala terdengar meng-
hembuskan napas berat. Wajahnya menyembunyikan
kecemasan. Apa yang mereka rencanakan ternyata sulit
untuk dilaksanakan.
“Itu sebabnya kita harus bersabar, Ranggala. Aku
tengah memikirkan jalan keluar untuk dapat pergi dan
membebaskan pekerja-pekerja itu, yang jumlahnya
mencapai ratusan orang,” tukas Panji tetap tenang.
Kendati jiwanya tak lepas dari incaran maut.
“Kau punya rencana, Panji...?” Ki Wiguna yang juga
mulai ragu mengajukan pertanyaan. Ia melihat sikap
pemuda itu tetap tenang tanpa kecemasan sedikit pun.
“Beri aku waktu satu malam lagi untuk berpikir, Ki
Wiguna. Kalau belum juga menemukan jalan keluarnya
aku akan mendatangi Gusti Prabu Pungga Dewa. Kalau
perlu mengancamnya agar membatalkan rencana mem-
buat istana peristirahatan di tempat ini, yang jelas agak
mustahil. Kalaupun berhasil harus banyak nyawa rakyat
dikorbankan sebagai tumbalnya. Kau tahu sendiri, bukan?
Bagaimana kuatnya batu cadas yang mesti kita pecahkan
itu?” Panji mengutarakan rencananya.
“Baiklah. Kami tunggu keputusanmu...,” ujar Ki
Wiguna yang tentu saja tahu bagaimana beratnya
pekerjaan yang harus mereka lakukan.
Ranggala dan Gowanta hanya menganggukkan kepala.
Kemudian percakapan terhenti. Keempat orang itu
mencoba beristirahat, meski fajar tak lama lagi akan
terbit. Pertanda mereka harus kembali menjalani siksaan
yang disebut sebagai pekerjaan itu.
***
ENAM
“Bangun kau pemalas...!” Jonggala, lelaki bertubuh tinggi
kekar dengan wajah dipenuhi cambang bauk memasuki
barak pekerja dengan cambuk di tangan. Sesekali
terdengar ledakan ketika cambuk itu diayunkan ke udara.
Percikan bunga api berpendar menandakan kekuatan
tenaga pemiliknya.
Ctarrr! Ctarrr!
Ledakan cambuk yang menulikan telinga terdengar
mengejutkan. Para penghuni barak yang tengah terbuai
mimpi tersentak dari tidurnya. Mereka bergerak bangkit
dan berlarian keluar. Jelas terlihat betapa mereka sangat
takut kepada Jonggala, yang memang tidak segan-segan
bertindak kejam pada siapa saja yang berani mem-
bangkang.
“Hei, kau! Ayo bangun...!”
Sepasang alis Jonggala yang tebal nyaris bertemu di
tengah kening. Sorot matanya yang bengis tertuju ke
sosok tubuh yang masih saja terbaring. Jonggala segera
menghampiri dan menendang pembaringan.
Brakkk!
Terdengar suara keras disusul robohnya pembaringan
kayu. Tubuh di atasnya pun terbanting jatuh. Terdengar
suara rintih dari mulut lelaki kurus yang meringkuk di
tanah.
Jonggala kelihatan tidak ambil pusing. Kendati ia tahu
orang itu tengah menderita sakit, tetap saja ia meng
inginkan agar lelaki itu bekerja seperti biasa. Jonggala
melangkah lebar dan mengulurkan tangannya siap
mengangkat bangkit sosok kurus yang tengah menggigil
itu.
Pada saat jari-jari kokoh Jonggala siap mencengkeram
leher baju lelaki itu mendadak berkelebat sesosok
bayangan. Dan tahu-tahu pergelangan Jonggala tercekal
ketat.
“Kisanak, harap jangan terlalu kejam...,” terdengar
suara halus menegur perbuatan Jonggala.
Jonggala tentu saja menjadi gusar ketika pergelangan
tangannya dicekal demikian kuat. Tapi, lelaki tinggi kekar
itu terlihat kaget. Karena meski telah mengerahkan
tenaga, cekalan itu tidak mampu dilepaskan. Kenyataan
itu membuat Jonggala memaksa diri melihat siapa yang
berani berbuat demikian kepadanya.
“Kisanak. Orang ini jelas sedang sakit. Menurut
penglihatanku ia tidak akan mampu bekerja. Kuharap kau
sedikit mengerti dan membiarkannya beristirahat untuk
satu dua hari...,” ucap sosok yang mencekal pergelangan
Jonggala.
Jengkel bukan main hati Jonggala. Selama ini belum
pernah ada seorang pun yang berani mengucapkan kata-
kata demikian kepadanya. Jangankan menasihatinya,
menentang pandang matanya saja belum pernah ada yang
berani. Tentu saja teguran yang baru pertama kali itu
membuatnya berang.
Tapi, sosok pemuda tampan berjubah putih itu
kelihatan tetap tenang. Sepasang matanya yang tajam
berpengaruh menentang pandang mata Jonggala. Siapa
lagi pemuda tampan itu kalau bukan Panji. Rupanya,
secara kebetulan Jonggala bertugas membangunkan para
pekerja di mana Panji ditempatkan. Perbuatan Jonggala
yang melewati batas membuat Panji terpaksa bertindak.
“Hm... Kau rupanya...!” geram Jonggala yang rupanya
sempat memperhatikan saat pemuda itu datang bersama
rombongan. “Orang ini cuma berpura-pura sakit, ia jelas
tidak ingin bekerja!”
“Tidak, Kisanak. Coba kau lihat baik-baik benar-benar
sakit dan membutuhkan perawatan...” sanggah Panji
bersikeras tanpa melepaskan pandang matanya. Diam-
diam Panji mengerahkan kekuatan tenaga batin untuk
melumpuhkan Jonggala.
Kekuatan pandang mata Panji mulai mempelihatkan
hasil. Jonggala tampak mengerjap beberapa kali.
Kemudian mengalihkan tatapannya ke arah lain. Ia tidak
sanggup melawan perbawa yang timbul dari sepasang
mata pemuda itu.
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta yang semula
tegang melihat kejadian itu menghela napas lega. Mereka
maklum apa yang dilakukan Panji sangatlah berbahaya.
Tapi, mereka juga tidak menyalahkan. Tindakan Jonggala
memang sangat keterlaluan. Sehingga, ketiga tokoh itu
telah bersiap-siap kalau kejadian itu akan berbuntut
panjang. Tapi, ternyata tidak.
“Hm...,” Jonggala hanya bergumam tak jelas.
Kelihatannya ia agak gentar juga. Terbukti ia kemudian
melangkah keluar setelah menoleh sekilas ke arah pekerja
yang masih merintih dengan tubuh menggigil.
Gowanta dan Ranggala buru-buru mengangkat pekerja
itu ke pembaringan lainnya. Sedangkan Ki Wiguna
menghampiri Panji yang masih tegak di tempatnya.
“Untung tidak sampai berkepanjangan. Kalau tidak,
kita pasti akan celaka…,” ujar Ki Wiguna seraya menepuk
bahu Pendekar Naga Putih, yang juga sempat dilanda
ketegangan. Karena perbuatannya bisa membahayakan
jiwa ratusan pekerja yang berada di tempat penampungan
itu.
“Kelihatannya algojo itu agak gentar kepadamu,
Panji...,” Gowanta ikut bergabung dan memuji Panji.
Tampaknya, ia cukup puas dengan apa yang baru saja
dilakukan pemuda tampan itu.
“Tapi sekarang kita harus lebih waspada. Aku khawatir
Jonggala menaruh dendam dan mulai mencurigai kita...,”
ujar Panji mengingatkan. Kemudian melangkah lebar
meninggalkan barak, diikuti tiga tokoh persilatan itu.
Mereka menuju tempat biasa bekerja.
***
Saat itu matahari belum lagi muncul. Namun di sekitar
Bukit Cadas Hantu telah terjadi kesibukan. Suara benda
runcing yang dipergunakan untuk mengikis cadas
terdengar saling bersahutan. Mereka bekerja di bawah
sinar obor.
Di bagian lain terlihat kesibukan puluhan pekerja yang
mengangkut batu-batu untuk dikumpulkan di satu tempat.
Tubuh mereka terbungkuk-bungkuk membawa beban
berat di kepalanya. Mereka melangkah tersaruk-saruk.
Meskipun perut mereka telah terisi, namun apa yang
mereka makan terlalu sedikit. Hingga wajar saja bila
tenaga mereka semakin surut dan cepat lelah. Selain
kurang makan, mereka pun kurang beristirahat di waktu
malam.
“Aaahhh...!”
Seorang pekerja yang tengah memikul keranjang
dengan sebuah kayu pemikul tiba-tiba terjerembab jatuh.
Sehingga, batu yang dipikulnya berserakan di tanah.
Kesalahan yang hanya sedikit itu telah membuat seorang
pengawas melangkah lebar mendatanginya dengan wajah
bengis. Kemudian...
“Bodoh kau...!”
Seiring dengan suara bentakannya, melayanglah ujung
cambuk di tangan pengawas bertubuh tinggi tegap itu.
Sengatan ujung cambuk membuat tubuh di bawahnya
mengeliat kesakitan. Bilur merah bekas cambukan yang
panas terlihat mengalirkan darah.
“Ampun..., Tuan...,” lelaki tiga puluh tahunan itu
merintih meminta belas kasihan. Sepasang matanya
tampak basah.
Rasa sakit akibat cambukan itu agaknya demikian
menyiksa. Tubuh yang nyaris tinggal kulit pembungkus
tulang itu tentu sangat tersiksa. Tapi, lelaki tegap itu
sedikit pun tidak mempedulikan rintihan korbannya.
Cambuknya kembali meledak berkali-kali. Sehingga,
pekerja yang malang itu menjerit-jerit bergulingan di
tanah berbatu.
Belum lagi selesai persoalan yang satu, persoalan lain
datang menyusul. Lagi seorang pekerja jatuh terjerembab
ke tanah. Kawan-kawannya yang melihat berusaha
menolong. Tapi....
“Hei...!”
Malang....
Sebelum para pekerja itu sempat mengangkat bangkit,
pengawas tinggi tegap itu telah melihatnya. Dan, segera
melompat disertai lecutan cambuknya yang merobek
udara.
“Keparat..!”
Ctarrr! Ctarrr...!
Tentu saja mustahil pekerja-pekerja bertubuh kurus itu
mampu mengelak. Tanpa ampun lagi, tubuh mereka
terlempar ke kiri-kanan. Tubuh yang terhias garis merah
memanjang, bekas lecutan cambuk itu, mengalirkan darah
segar. Tapi, pengawas tinggi tegap itu belum puas.
Cambuknya kembali meledak-ledak di udara.
“Haaattt..!”
Saat ujung cambuk meliuk-liuk siap menyengat
korbannya, tiba-tiba terdengar pekikan keras. Disusul
melayangnya sesosok tubuh yang langsung mengulurkan
tangan memapaki ujung cambuk.
Prattt!
“Heiii...!”
Pengawas bertubuh tinggi tegap terlihat kaget. Ujung
cambuk itu berbalik dan mengancam dirinya. Cepat lelaki
itu menambah tenaganya dan memutar cambuknya
sedemikian rupa di atas kepala. Sehingga, ujung cambuk
tidak sampai mengenai dirinya.
“Kurang ajar! Rupanya kalian mulai berani mem-
bangkang, hah!” bentak pengawas tinggi tegap dengan
sepasang mata memancarkan kemarahan.
“Hm....”
Lelaki tegap yang memapaki serangan cambuk itu
bergumam tak kalah gusarnya. Ia adalah Gowanta.
Rupanya, kekajaman pengawas itu telah membuatnya
khilaf dan tidak lagi mempedulikan bahaya yang bakal
dihadapinya.
“Perbuatan kalian sudah melewati batas. Aku sudah
tidak bisa menahan sabar lebih lama lagi...!” geram
Gowanta dengan mata menyorot tajam. Seolah ingin
menelan pengawas itu bulat-bulat.
Perbuatan Gowanta yang melawan petugas menarik
perhatian pekerja lainnya. Apalagi ketika Panji, Ki
Wiguna dan Ranggala telah berada di belakang Gowanta.
Pengawas itu melangkah mundur. Ia melihat gelagat tak
baik yang merugikan dirinya.
Tanpa banyak cakap, pengawas tinggi tegap segera
bersuit nyaring. Agaknya, ia hendak memberi tanda
kepada kawan-kawannya. Sebentar kemudian terdengar
langkah berderap mendatangi tempat itu. Beberapa sosok
tubuh sudah berlompatan dengan gerakan yang ringan dan
mantap. Salah satu di antaranya adalah Jonggala, pengawas
bertubuh tinggi kekar dengan wajah dipenuhi cambang
bauk.
“Kita sudah terlanjur basah...!” bisik Panji kepada
kawan-kawannya.
Panji bergegas memberi perintah pada para pekerja
agar berkumpul di belakang. Sementara Ki Wiguna,
Ranggala, dan Gowanta berada di kiri-kanan Panji.
Mereka berempat siap mempertaruhkan nyawa demi
keselamatan orang banyak.
“Keparat...!” Jonggala yang melihat biang keladi semua
itu adalah pemuda yang pernah menentangnya menjadi
geram bukan main. Perintahnya pun segera ber-
kumandang.
“Tangkap pemuda pemberontak itu. Dan masukkan
semua pekerja ke dalam baraknya masing-masing...!”
Suara perintah Jonggala yang dikerahkan dengan
kekuatan tenaga dalam langsung dipatuhi puluhan prajurit
bersenjata yang berada di belakangnya. Serentak mereka
meluruk ke arah Panji dan kawan-kawannya.
“Heaaattt..!”
“Yeaaa...!”
Kilatan benda-benda tajam berkelebat mengancam
Panji dan ketiga kawannya. Tapi mereka sedikit pun tidak
merasa gentar. Bukannya mundur, mereka malah
bergerak maju menyambut hujan serangan.
“Haaaiiit...!”
Sekali mengibaskan tangan Pendekar Naga Putih
memukul roboh enam prajurit terdepan. Mereka ter-
lempar dan jatuh menggeletak pingsan.
Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowanta juga tidak mau
ketinggalan. Masing-masing merobohkan seorang lawan
dan langsung merebut senjatanya. Kemudian mengibaskan
senjata itu dengan mengerahkan tenaga dalam.
Breeet, breettt...!
“Aaa..!”
Jerit kematian berkumandang susul-menyusul.
sebentar saja senjata di tangan ketiga tokoh itu membuat
enam orang prajurit tersungkur mandi darah! Karuan saja
amukan keempat pendekar itu mengejutkan Jonggala dan
pasukannya. Sedarlah mereka bahwa keempat pekerja itu
tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap masuk.
“Kalian akan mendapat hukuman berat!” geram
Jonggala segera memberi isyarat kepada delapan orang
pengawas untuk mengeroyok para pengacau.
“Haaattt...!”
Dengan teriakan parau Jonggala meluncur datang. Kali
ini ia tidak hanya menggunakan cambuk, tapi juga
menggenggam sebatang pedang di tangan kanannya.
Kelihatannya Jonggala tidak puas hanya dengan satu
senjata saja.
Belum lagi serangan Jonggala tiba, delapan pengawas
lainnya telah menyusul dengan pedang di tangan. Mereka
bergerak menyebar membentuk setengah lingkaran untuk
menjepit Panji dan kawan-kawannya.
“Kalian bertiga cegah musuh yang datang dari
belakang. Biar serangan dari depan aku yang meng-
hadapi...!” Panji berseru kepada Ki Wiguna dan kawan-
kawannya.
Ki Wiguna terlihat agak ragu sejenak. Namun ketika
teringat siapa pemuda tampan berjubah putih itu, ia segera
mengajak Ranggala dan Gowanta untuk mengikuti saran
Panji. Ketiganya langsung bergerak ke belakang.
Apa yang diperkirakan Panji memang benar-benar
terjadi. Ki Wiguna, Ranggala, dan Gowan menggeram
gusar. Dari pihak pekerja telah jadi korban belasan orang.
Penyerang dari belakang yang terdiri dari perwira-perwira
kerajaan bersama seratus lebih prajurit, tentu tidak
mungkin mampu ditahan oleh pekerja yang terdiri dari
penduduk desa. Untung di antara sekian banyak pekerja
terdapat tokoh-tokoh persilatan yang menyelinap dan
menyamar. Mereka inilah yang berusaha membendung
serangan. Sehingga, korban tidak terlalu banyak yang
jatuh.
“Yeaaattt...!”
Ki Wiguna yang melihat kejadian itu segera melayang
dengan kecepatan tinggi. Pedang rampasannya berputaran
cepat bagai baling-baling. Lelaki itu mengamuk dengan
hebatnya.
Tindakan Ki Wiguna segera diikuti Ranggala dan
Gowanta. Kedua orang itu langsung menerjunkan diri ke
dalam kancah pertempuran. Pedang mereka berkelebatan
disertai suara mengaung tajam, membuat para prajurit
terkejut! Amukan mereka tak ubahnya banteng luka.
Brettt! Brettt!
“Aaa...!”
Jeritan ngeri terdengar silih berganti. Tubuh beberapa
orang prajurit yang terkena amukan pedang Ranggala dan
Gowanta terguling roboh mandi darah. Hingga, pasukan
kerajaan terpaksa bergerak mundur untuk beberapa saat
“Maju...!”
Salah seorang perwira berteriak memerintah.
Pedangnya teracung menuding Ki Wiguna dan para tokoh
persilatan lainnya. Sebentar kemudian, pertempuran pun
kembali pecah!
***
“Haaattt…!”
Pendekar Naga Putih yang menghadapi Jonggala
bersama delapan orang pengawas, yang merupakan
jagoan-jagoan kerajaan, tidak mau bertindak kepalang
tanggung. Sadar bahwa keselamatan pekerja berada di
tangannya, maka begitu serangan lawan datang Pendekar
Naga Putih mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'-
nya. Dengan 'Ilmu Silat Naga Sakti' Panji menerjang maju.
“Aaahhh…?!”
Jonggala dan kawan-kawannya terkejut bukan main.
Pancaran kabut bersinar putih keperakan dan serbuan
hawa dingin menggigit menyebar dari pukulan-pukulan
Panji, membuat mereka sadar siapa pemuda tampan itu
sebenarnya. Dan, kenyataan itu benar-benar mengejutkan
mereka.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Jonggala dan kawan-kawannya berseru hampir ber-
samaan. Mereka benar-benar tidak menyangka Pendekar
Naga Putih telah menyelundup ke dalam tempat yang
tenaga ketat itu. Tentu saja kenyataan itu membuat
mereka harus bersungguh-sungguh dalam menyiapkan
serangan. Sedapat mungkin mereka hendak meringkus
pendekar muda itu.
Tapi, Panji yang sangat mengkhawatirkan nasib para
pekerja sudah membagi-bagikan pukulan dan tendangan.
Kecepatan geraknya yang sukar diikuti mata membuat
Jonggala dan jagoan-jagoan Kerajaan Tampak Serang
kelabakan! Terutama tekanan hawa dingin yang
menyelimuti sekitar arena. Sehingga, mereka harus
memecahkan pikiran. Membangun dan membalas
serangan, sekaligus mengerahkan tenaga dalam untuk
menahan serbuan hawa dingin. Jelas, hal itu sangat
merepotkan dan tidak mudah!
Panji mempergunakan kesempatan dengan sebaik-
baiknya. Melihat lawan-lawannya kesulitan mengatasi
serbuan hawa dingin serangannya, maka tidak terlalu sulit
bagi Panji untuk memilih sasaran. Dan....
Bukkk! Desss!
“Aaarghhh...!”
Dua orang pengeroyoknya terpelanting muntah darah.
Sambaran tangan Pendekar Naga Putih yang dialiri tenaga
dahsyat telah menewaskan mereka dengan kulit kebiruan.
Terpaksa Pendekar Naga Putih menewaskan lawan-
lawannya. Kalau tidak, sulit baginya untuk menyelamat-
kan nyawa pekerja yang berada di belakangnya.
“Yeaaattt..!”
Lagi Pendekar Naga Putih melepaskan pukulan dahsyat
dengan pengerahan seluruh kekuatan tenaga mukjizatnya.
Tentu saja kehebatannya sulit diukur.
Blaaarrr...!
Ledakan keras menggema saat lontaran pukulan
Pendekar Naga Putih menghantam batu cadas sebesar
kerbau. Batu itu hancur berkeping-keping. Untunglah
Jonggala dan kawan-kawannya cepat menghindar. Jika
tidak, pastilah tubuh mereka yang menjadi sasarannya.
Serangan Pendekar Naga Putih tidak berhenti sampai
di situ. Begitu pukulan pertamanya gagal, ia segera
menyusuli dengan pukulan-pukulan berikutnya. Maksud-
nya jelas hendak mendesak jagoan-jagoan kerajaan.
“Yeeeaaattt...!”
“Aaa...!”
Empat orang jagoan yang terlambat menghindari
menjerit ngeri. Tubuh mereka terpental deras sejauh dua
tombak leoih. Mereka langsung tewas seketika dengan
tubuh bagian dalam hancur. Bahkan tulang-tulang mereka
berpatahan atau lepas dari sambungan. Sehingga, saat
keempat sosok mayat itu jatuh ke tanah tak ubahnya
sehelai kain basah.
Saat tempat di sekitarnya masih diselimuti debu tebal,
Panji melayang ke belakang. Gerakannya demikian cepat
laksana sambaran kilat. Orang-orang hanya melihat
sesosok bayangan samar melayang di atas kepalanya.
“Ki Wiguna! Kita harus membawa mereka keluar.
Mereka bisa terbantai habis di tempat ini...!” begitu kedua
kakinya menginjak tanah, Panji langsung berkata kepada
Ki Wiguna yang saat itu tengah mengamuk dengan
pedangnya.
“Arah mana yang harus kita ambil, Panji...?” tanya Ki
Wiguna masih sempat menyahuti, sambil tetap
melepaskan sambaran pedangnya.
“Tunggulah, aku akan menjebol pagar di bagian
selatan...!” sahut Panji. Pukulan mautnya meluncur ke
arah serombongan pasukan yang banyak memadati tempat
itu.
Whusss...! Duaaarrr...!
Hebat sekali akibat lontaran pukulan jarak jauh Panji.
Puluhan prajurit melayang bagai diterpa angin topan.
Teriakan-teriakan ngeri terdengar mengiringi terpental-
nya puluhan sosok tubuh prajurit-prajurit yang jatuh
dalam keadaan tewas.
Panji tak mempedulikan bagaimana nasib korban
pukulannya. Setelah melepaskan pukulan, tubuhnya
langsung melayang menuju arah selatan. Hanya dengan
beberapa kali loncatan, ia telah tiba di depan pagar kayu
bulat yang membentengi sekeliling tempat itu.
Kemudian....
“Heaaahhh...!”
Dibarengi sebuah bentakan keras, Panji melepaskan
pukulan kanannya dengan kekuatan penuh.
Blarrr...!
Pagar kayu bulat setinggi dua tombak itu pecah
berhamburan. Seketika itu juga, terciptalah sebuah pintu
keluar selebar dua tombak lebih.
Setelah menjebol dinding kayu, Panji kembali melesat
ke arah pertempuran. Kemudian melayang turun di
tengah kancah pertarungan.
“Aku akan cegah mereka, Ki Wiguna! Kau bawalah
para pekerja keluar dari tempat ini...!” seru Panji di
tengah deruan senjata dan jerit kematian.
“Bagaimana kalau mereka mengejar...?” Ki Wiguna
masih memperhitungkan kemungkinan itu.
“Jangan khawatir, semuanya telah kuperhitungkan...!”
sahut Panji seraya membagi-bagikan pukulan dan
tendangan, yang tentu saja mendapatkan korban yang
tidak sedikit. Sehingga, banyak perwira dan prajurit
kerajaan menghindari pemuda itu.
Dengan jalan yang dibuka Panji, Ki Wiguna dan
rombongan pekerja bergerak menuju dinding yang telah
dijebol. Ranggala, Gowanta, dan tokoh-tokoh persilatan
lainnya ikut membantu usaha pelarian itu dengan
menghalau siapa saja yang menghalangi mereka. Sampai
akhirnya, para pekerja keluar dengan berdesakan.
****
TUJUH
Seperti apa yang diperhitungkan Panji, untuk melarikan
diri dari tempat itu memang bukanlah suatu pekerjaan
mudah. Terbukti kini Panji harus menghadapi ratusan
prajurit di bawah pimpinan belasan orang perwira dengan
ditambah jagoan-jagoan istana. Untuk itu Panji harus
menguras tenaganya. Dan terpaksa bertindak kejam. Jika
tidak, dirinyalah yang akan menjadi korban kekejaman
lawan.
Kali ini Panji harus mempertaruhkan nyawanya.
Ratusan lawan harus dihadapinya seorang diri. Sedangkan
tokoh-tokoh lain bertugas membawa para pekerja
meninggalkan tempat yang bagai neraka itu.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, memang tidak sulit
bagi Panji untuk menghindari sambaran pedang maupun
tombak yang mengancam tubuhnya. Bahkan, masih bisa
membalas dengan pukulan dan tendangan mematikan. Itu
yang membuatnya dapat bertahan. Karena lawan-
lawannya agak gentar untuk menyerang dalam jarak
dekat. Setiap lawan maju mendekat selalu terpental balik
dalam keadaan tak bernyawa. Kendati demikian, Panji
harus tetap waspada. Lengah sedikit saja bisa meng-
akibatkan dirinya celaka.
“Jangan takut. Maju...!”
Jonggala yang kelihatannya lebih berperan dan
mempunyai pengaruh besar selalu memberi semangat. Di
bawah perintahnya, para prajurit itu tidak ada yang berani
membantah. Mereka kembali maju menggempur
Pendekar Naga Putih dengan senjata di tangan.
“Serbuuu...!”
Seiring dengan teriakan menggegap, ratusan prajurit
kembali meluruk ke arah Pendekar Naga Putih. Meski
sebenarnya mereka merasa gentar, namun perintah
Jonggala tidak berani mereka bantah.
Panji berdiri tegak menunggu lawan tiba dekat.
Sepasang matanya mencorong tajam menggetarkan
jantung. Serbuan hawa dingin yang keluar dari tubuhnya
membuat penampilan pemuda itu sungguh menggiriskan.
Terlebih pada tubuhnya telah banyak dinodai darah lawan.
Sehingga, sosok Pendekar Naga Putih terlihat seperti iblis
peminum darah!
“Siapa yang masih ingin hidup segera tinggalkan tempat
ini! Jika tidak, terpaksa aku akan mengirim kalian ke
neraka...!” seru Pendekar Naga Putih memperingatkan
dengan mengerahkan tenaga dalamnya. Suaranya
menggema dan terdengar sampai belasan tombak jauhnya.
“Jangan takut! Lama kelamaan tenaganya pasti habis!”
Jonggala yang tidak ingin pasukannya menjadi gentar
kembali berteriak memberi semangat
Para prajurit yang semula merandek pun bergerak
maju seraya berteriak-teriak. Jelas, mereka lebih takut
kepada Jonggala ketimbang terhadap Panji yang telah siap
menanti kedatangan mereka dengan pukulan-pukulan
mautnya.
“Haaattt...!”
Melihat para prajurit itu tidak mempedulikan
peringatannya, Panji berteriak keras memekakkan telinga.
Telapak tangannya didorong bergantian melontarkan
pukulan jarak jauh.
Whuuusss....
Duaaarrr...!
Ledakan keras terdengar susul-menyusul. Tubuh-
tubuh prajurit Kerajaan Tampak Serang beterbangan bagai
dilanda angin topan. Dan terbanting jatuh dalam keadaan
tak bernyawa.
Jonggala dan beberapa orang jagoan yang masih
selamat menjadi geram melihat sepak-terjang Pendekar
Naga Putih yang menggiriskan. Mereka sadar kalau
didiamkan terus para prajurit bisa terbantai habis oleh
pemuda tampan itu. Maka, mereka pun berlompatan maju
menerjang Pendekar Naga Putih.
“Haaattt..!”
“Yeaaattt..!”
Dibarengi teriakan-teriakan melengking, tubuh jagoan-
jagoan kerajaan melayang melewati kepala para prajurit.
Dan langsung menerjang Pendekar Naga Putih dengan
serangan-serangan maut.
Bweeettt! Whuuuttt...!
Panji yang sebelumnya memang telah siap siaga, segera
menggeser tubuhnya menghindari serangan lawan.
Kemudian membalas dengan pukulan-pukulan mautnya.
Namun, kali ini Jonggala dan kawan-kawannya bertindak
lebih hati-hati. Mereka tidak berani sembarangan
menyambut atau menangkis serangan pemuda itu. Dan,
mereka bertempur dengan menggunakan siasat licik.
Menyerang kemudian berlompatan mundur saat Pendekar
Naga Putih melepaskan serangan balasan. Agaknya,
mereka hendak menguras tenaga Pendekar Naga Putih dan
baru akan melumpuhkan bila tenaga pendekar muda itu
semakin lemah.
“Kurang ajar...!” Pendekar Naga Putih memaki dalam
hati melihat tindakan licik lawan-lawannya. Tahu akan
siasat lawan, Panji mengurangi lontaran serangan
balasannya. Dan baru membalas jika benar-benar memiliki
peluang yang sangat baik.
Saat Pendekar Naga Putih tengah berusaha melumpuh-
kan jagoan-jagoan kerajaan yang mengeroyoknya, tiba-
tiba....
“Aaa...!”
Jerit kematian terdengar dari arah belakang Panji.
Disusul dengan suara beradunya senjata tajam. Kenyataan
itu membuat Panji menjadi cemas. Suara itu datang dari
tempat Ki Wiguna dan para pekerja melarikan diri.
“Celaka...!” seru Panji terkejut. Apa yang didengar itu
jelas merupakan pertanda tidak baik. Panji langsung dapat
menduga Ki Wiguna dan kawan-kawannya mendapat
hambatan untuk meninggalkan tempat celaka itu.
Tanpa pikir panjang lagi, Panji segera menggabungkan
dua kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Seketika itu juga
tubuhnya memancarkan dua sinar yang memiliki sifat
berlawanan. Panji telah menggunakan 'Tenaga Sakti
Gerhana Bulan' pada bagian sebelah kiri tubuhnya, dan
'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' pada bagian kanan. Itu
berarti Pendekar Naga Putih telah merasa benar-benar
sangat memerlukan. Kalau tidak, Panji tidak akan
menggunakan dua kekuatan mukjizat itu secara
bersamaan. Dan kali ini ia melakukannya.
“Yeaaattt...!”
Blaaang...!
Dua sinar merah dan putih memancar membawa hawa
panas dan dingin secara bersamaan. Terjadilah ledakan
mengguntur saat pukulan Pendekar Naga Putih
menghantam kerumunan prajurit, kendati sebenarnya
pukulan itu ditujukan untuk Jonggala dan kawan-
kawannya. Sehingga, bangkai-bangkai pun semakin banyak
berserakan. Darah membanjiri bumi. Tampaknya, Bukit
Cadas Hantu benar-benar menjadi sebuah neraka. Tempat
pembantaian dan penyiksaan manusia.
“Gila...?!”
Jonggala yang merasakan betapa dahsyatnya pukulan
yang dilepaskan Panji menjadi pucat wajahnya. Untunglah
ia sempat menghindar, meski merasakan juga hawa dingin
dan panas menyengat kulitnya. Jonggala ngeri mem-
bayangkan pukulan itu melanggar tubuhnya. Ia percaya
tubuhnya akan hancur berkeping-keping bila terkena
pukulan maut itu.
Panji sendiri tidak mempedulikan akibat pukulan
dahsyatnya. Karena begitu melepas pukulan, tubuhnya
melayang menerobos pagar kayu bulat yang telah
dirobohkannya. Hatinya berdebar tegang menyaksikan Ki
Wiguna beserta para tokoh persilatan dan para pekerja
menghadapi serbuan pasukan berkuda yang berjumlah
tidak kurang dari seratus orang. Pasukan itu dilengkapi
dengan senjata. Sehingga, Ki Wiguna dan kawan-
kawannya mengalami kesulitan untuk menerobosnya.
Panji meluncur turun di luar pagar yang telah jebol.
Kemudian, membalikkan tubuh dan berdiri tegak menatap
Jonggala dan pasukannya yang berlarian mengejar keluar.
Tanpa pikir panjang lagi Pendekar Naga Putih
memusatkan tenaga gabungannya. Dan...
“Heaaattt...!”
Dibarengi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke tanah
tempat pagar-pagar kayu yang jebol itu berdiri.
Whusss...!
Serangkum angin pukulan berhawa panas dan dingin
berhembus kuat. Hingga...
Blaaang!
Debu mengepul tinggi membawa bongkahan tanah
besar dan kecil beterbangan ke udara. Tanah di sekitar
tempat itu bergetar kuat seperti diguncang gempa.
Kejadian itu membuat Jonggala dan pasukannya berlarian
mundur. Dan ketika kepulan debu semakin tipis, di depan
Jonggala dan pasukannya telah tercipta sebuah lubang
besar yang sangat dalam dan lebar. Sehingga, mereka tidak
mungkin dapat menyeberanginya.
Yakin kalau Jonggala dan pasukannya tidak mungkin
dapat mengejar melalui tempat itu, Panji memutar
tubuhnya dan melayang ke arah pertempuran yang masih
berlangsung. Kemudian terjun ke tengah-tengah
pertempuran dan membagi-bagikan pukulan serta
tendangan. Sehingga, tidak sedikit tubuh-tubuh prajurit
kerajaan yang terpental ke udara kemudian jatuh dengan
nyawa putus!
“Lari! Biar aku yang menghadang mereka...!” seru
Panji kepada Ki Wiguna yang berada tak jauh dari
tempatnya bertempur. Sambil berteriak, Panji
meningkatkan kecepatan dan kekuatan serangannya.
Hingga dirinya menjadi pusat perhatian lawan.
“Yeaaattt...!”
Dengan pekikan mengguntur Pendekar Naga Putih
melayang ke udara. Dari atas kedua tangannya melepaskan
pukulan susul-menyusul. Lalu, berjungkir balik beberapa
kali dan meluncur turun di tengah-tengah pasukan lawan.
Sebelum kakinya menginjak tanah, pukulan-pukulannya
datang menderu membuat lawan kalang-kabut!
Kesempatan itu tentu saja dipergunakan sebaik-baiknya
oleh Ki Wiguna. Ia berteriak mengerahkan kekuatan
tenaga dalamnya agar para tokoh persilatan dan pekerja
mengikuti perintahnya. Beberapa belas prajurit yang
mencoba menghalangi langsung dirobohkan dengan
sambaran pedang.
Melihat Ki Wiguna dan yang lainnya mulai bergerak
meninggalkan medan pertempuran, Panji segera
membantu dengan menewaskan lawan yang coba
menghalangi. Dan berusaha agar pasukan Kerajaan
Tampak Serang lebih tertarik kepadanya.
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang telah
mencapai titik kesempumaan, Panji bergerak cepat.
Sehingga, pasukan kerajaan seperti tengah berhadapan
dengan banyak orang. Padahal, lawannya cuma Panji
seorang. Yang berusaha menggiring prajurit-prajurit itu
agar berkumpul dalam satu arah.
Tentu saja Panji harus berkelebat ke sana kemari
sambil membagi-bagikan pukulan dan tendangan.
Sehingga, lawan-lawannya terdesak mundur dan tidak lagi
menyebar seperti semula.
Setelah pasukan prajurit di bawah pimpinan belasan
perwira itu terpisah dari Ki Wiguna dan kawan-
kawannya, Pendekar Naga Putih melenting ke udara.
Dan, meluncur turun dalam jarak tiga tombak di depan
tentara Kerajaan Tampak Serang.
“Hmmm...!”
Panji berdiri tegak menyatukan pikiran. Dua kekuatan
mukjizat dalam tubuhnya segera digabungkan.
Kemudian....
“Heaaattt...!”
Diiringi teriakan membahana, Panji melepaskan
pukulan gabungan dua tenaga sakti yang berkekuatan luar
biasa. Hawa dingin dan panas menyebar saat sinar putih
dan merah meluncur menghantam tanah.
Blarrr...!
Sebuah lubang besar yang dalam kembali tercipta
menghalangi pasukan Kerajaan Tampak Serang. Beberapa
puluh prajurit di barisan terdepan terpental dan jatuh ke
dalam lubang. Tentu saja perbuatan pendekar muda itu
sangat mengejutkan lawan-lawannya. Kegentaran mulai
merambati hati mereka. Sehingga, tak seorang pun yang
melakukan pengejaran.
Panji menunggu sampai Ki Wiguna dan yang lainnya
lari jauh dari tempat itu. Beberapa lubang masih dibuatnya
dengan melontarkan pukulan-pukulan hasil gabungan dua
kekuatan mukjizat dalam tubuhnya. Sehingga, pasukan
lawan benar-benar merasa gentar terhadap pendekar
muda yang digdaya itu.
Cukup lama Panji berdiri menunggu di tempat itu.
Baru kemudian bergerak pergi setelah yakin Ki Wiguna
dan yang lainnya telah pergi jauh dan tidak mungkin dapat
dikejar lagi.
***
Dengan ilmu lari cepatnya yang tinggi Pendekar Naga
Putih menyusul rombongan Ki Wiguna. Ia menemukan
mereka tengah beristirahat di sebuah sungai yang berair
jernih. Panji segera menghampiri Ki Wiguna dan tokoh-
tokoh persilatan yang tengah melepas lelah. Sementara
para pekerja yang selamat membersihkan diri sambil
melepas dahaga sepuas-puasnya.
“Apa yang selanjutnya harus kita perbuat, Panji? Bukan
mustahil prajurit kerajaan akan kembali mendatangi desa-
desa untuk membawa pekerja-pekerja baru. Sedangkan
kita tidak mungkin terus-menerus menghadapi mereka.
Lambat atau cepat kita pasti akan kalah. Karena pihak
kerajaan memiliki banyak prajurit terlatih,” Ki Wiguna
langsung mengutarakan apa yang ada dalam pikirannya.
Panji tidak segera menjawab. Ditatapnya lima belas
tokoh persilatan yang berada di sekelilingnya. Terdengar
helaan napas beratnya yang berkepanjangan. Dari kerutan
pada keningnya, terlihat jelas betapa Panji tengah berpikir
untuk menjawab pertanyaan Ki Wiguna, yang juga
menjadi pertanyaan bagi dirinya.
“Apakah di antara kalian ada yang mempunyai usul...?”
tanya Panji kepada tokoh-tokoh persilatan.
Ki Wiguna menggeleng. Kemudian merayapi wajah
tokoh-tokoh lainnya satu persatu. Tapi, semuanya
menggelengkan kepala. Masalah itu memang sulit untuk
dipecahkan.
“Jika demikian, terpaksa aku akan mendatangi kotaraja
untuk menemui Gusti Prabu Pungga Dewa. Hal ini tidak
bisa didiamkan berlarut-larut. Kita harus mengakhiri
penderitaan rakyat! Kalau bisa, aku akan mengingatkan
Gusti Prabu Pungga Dewa. Dan meminta kebijaksanaan-
nya untuk menghentikan perbuatan gila ini!” ujar Panji
kemudian.
“Gila! Itu sama saja dengan bunuh diri, Panji. Untuk
menemui Gusti Prabu Pungga Dewa bukanlah pekerjaan
yang mudah. Terlebih di sana banyak jagoan-jagoan istana
yang berkepandaian tinggi. Kau bisa ditangkap dan
dihukum mati!” Ki Wiguna yang terkejut mendengar
ucapan Panji langsung menukas. Jelas ia tidak setuju
dengan tindakan yang sangat berbahaya itu. Apalagi,
sekarang mereka merupakan buronan pemerintah.
Memasuki kotaraja sama saja dengan bunuh diri.
“Tidak ada jalan lain yang bisa kita lakukan. Biarlah aku
mempertaruhkan nyawa untuk kepentingan orang banyak.
Kuharap kalian ikut berdoa agar usahaku berhasil demi
kebaikan dan ketenteraman rakyat banyak,” ujar Panji
bersikeras dengan usulnya. Karena memang tidak ada
jalan lain kecuali menghadap Gusti Prabu Pungga Dewa.
Mendengar keputusan Panji yang kelihatannya tidak
bisa dirubah lagi, Ki Wiguna dan para tokoh persilatan
tidak ada yang angkat bicara. Mereka terdiam. Terharu
akan pengorbanan pemuda tampan itu, yang rela mem-
pertaruhkan nyawanya meski harus memasuki sarang
macan.
“Sebaiknya kalian mencari tempat persembunyian yang
baik. Penduduk tidak bisa kembali ke desanya masing-
masing sebelum persoalan ini selesai. Kelak aku akan
datang untuk memberi kabar. Jika dalam tujuh hari aku
belum menemui kalian, itu berarti usahaku menemui jalan
buntu. Kemungkinan aku tewas atau tertawan pihak
kerajaan,” ujar Panji memberikan saran.
“Baiklah, Panji. Kami akan menuruti saranmu. Kau
sendiri ajaklah beberapa orang untuk menemanimu. Aku
akan membawa penduduk ke Hutan Panawangan. Di sana
kami akan menunggu kedatanganmu,” ucap Ki Wiguna
yang akhirnya terpaksa menyetujui usul Panji. Walau
demikian, ia menawarkan agar Panji membawa beberapa
orang tokoh.
“Maaf, kawan-kawan. Bukannya aku meremehkan
kepandaian kalian. Tapi, menurut hematku akan lebih baik
jika aku datang sendiri. Selain tidak akan menarik
perhatian, juga bisa mudah menyelinap ke dalam istana.
Harap kalian tidak berkecil hati dan memaklumi
ucapanku,” Panji menukas dan tidak bisa menerima usul
Ki Wiguna.
Apa yang dikatakan Panji memang bukan mengada-
ada. Ki Wiguna maupun tokoh-tokoh persilatan lainnya
maklum bahwa perkataan itu memang benar adanya.
Mereka tidak merasa tersinggung, apalagi diremehkan.
“Kalau itu sudah menjadi keputusanmu, kami tidak bisa
berkata apa-apa. Kami harap kau berhati-hati. Bukan tidak
mungkin prajurit-prajurit dan pembesar kotaraja telah
mendengar peristiwa ini, dan tengah membicarakan
dirimu. Begitu kau masuk ke dalam kotaraja, mungkin
mereka akan menyergapmu,” akhirnya Ki Wiguna
mengalah dan hanya berpesan kepada Panji.
“Terima kasih. Percayalah, aku tidak akan bertindak
gegabah. Nah, aku pergi dulu...,” usai berkata demikian,
Panji segera melesat menuju arah barat Karena pusat
pemerintahan Kerajaan Tampak Serang terletak di sebelah
barat tempat itu.
Ki Wiguna dan tokoh persilatan lainnya hanya bisa
memandang kepergian Pendekar Naga Putih dengan wajah
penuh harapan. Tentu saja mereka berharap usaha Panji
berhasil. Dengan demikian, rakyat akan kembali hidup
tenang.
***
DELAPAN
“Mudah-mudahan Kenanga tidak kecewa karena aku
terlalu lama menyusulnya. Dia pasti mengerti dengan
keadaan ini. Hambatan ini bukan semata-mata karena aku
sengaja tidak ingin segera menemuinya. Ia pasti maklum.
Apa yang kulakukan ini adalah tugasku sebagai penegak
keadilan...,” gumam Panji seraya berlari dengan
menggunakan ilmu lari cepatnya. Sebab, ia harus segera
tiba di Kotaraja Tampak Serang.
Sebagaimana diketahui, saat ini Panji tengah dalam
perjalanan menuju Kadipaten Tumapel. Di sana Kenanga
berharap agar Panji segera menyusulnya. Tapi, perjalanan
Panji kembali terhambat. Ia menemukan sebuah persoalan
yang tidak bisa ditinggalkannya begitu saja. Sebagai
seorang pendekar, ia berkewajiban untuk menegakkan
keadilan dan memberantas segala bentuk kejahatan. Dan ia
harus mengenyampingkan persoalan pribadi demi
kepentingan orang banyak. (Untuk mengetahui mengenai
perpisahan Panji dengan Kenanga dapat dibaca dalam
episode: “Rase Perak”).
Setelah menempuh perjalanan yang cukup lama,
akhirnya Panji tiba di Kotaraja Tampak Serang.
Saat itu matahari tengah memancarkan sinarnya yang
hangat ke bumi. Udara tidak begitu panas. Apalagi, tiupan
angin masih terasa segarmembelai wajah. Panji melangkah
lebar memasuki gerbang kotaraja.
Pemuda itu menekan ketegangan hatinya saat hendak
melewati pintu gerbang yang terjaga ketat. Dengan tenang
dilangkahkan kakinya perlahan melewati gerbang bersama
beberapa orang pedagang. Hatinya baru merasa lega
ketika para penjaga pintu gerbang tidak menahannya.
Hingga, Panji berpendapat kabar tentang kekacauan di
Bukit Cadas Hantu kemungkinan besar belum sampai ke
kotaraja. Itu berarti ia masih bisa bergerak leluasa tanpa
khawatir dicurigai.
Karena saat itu hari masih pagi, Panji memutuskan
untuk langsung menuju istana. Ia berharap dapat bertemu
Prabu Pungga Dewa yang menjadi penguasa tertinggi di
Kerajaan Tampak Serang.
“Berhenti...!”
Dua orang prajurit penjaga pintu gerbang istana,
segera menyilangkan tombaknya menghadang pintu
masuk. Padahal, saat itu Panji masih berada sekitar dua
tombak dari pintu gerbang. Hal itu menandakan bahwa
penjaga-penjaga pintu gerbang istana sangat sigap dan
cekatan.
Panji menghentikan langkahnya dalam jarak satu
tombak. Kemudian, mengangguk sopan kepada dua
penjaga yang menghadangnya. Panji tidak peduli walau
penjaga-penjaga itu sedikit pun tidak membalas
anggukannya.
“Hamba hendak menghadap Gusti Prabu Pungga
Dewa. Ada sesuatu kepentingan yang sangat mendesak
dan harus segera dilaporkan. Harap Tuan-tuan me-
laporkan tentang kedatangan hamba...” ujar Panji dengan
penuh sopan dan bibir tersenyum. Tentu saja ia berharap
mendapat izin untuk menghadap Prabu Pungga Dewa.
“Hm... Kau benar-benar lancang, Kisanak!” tukas salah
satu dari kedua penjaga itu sinis. “Untuk menghadap Gusti
Prabu Pungga Dewa bukanlah suatu hal yang mudah dan
bisa dilakukan sembarang waktu. Kalau kau mempunyai
kepentingan, harus melaporkannya terlebih dulu kepada
kepala jaga. Nanti kepala jaga yang memutuskan apakah
kau bisa menghadap atau tidak. Andaikata bisa pun masih
harus ditentukan waktunya. Juga belum tentu Gusti Prabu
yang langsung menangani. Semua ada peraturannya,
Kisanak.”
Mendengar penjelasan penjaga, Panji menjadi bingung.
Ia memang sedikit mengerti tentang peraturan yang
berlaku di istana. Meski ia tidak suka dengan segala
peraturan yang bertele-tele, tetap saja semua itu harus
diturutinya. Dan ia pun menghargai peraturan itu.
“Kalau begitu, hadapkanlah aku pada kepala jaga kalian.
Mudah-mudahan beliau bisa mengerti betapa pentingnya
urusanku ini,” ujar Panji masih dengan sopan.
Meskipun sinis, penjaga itu mau juga menghadapkan
Panji kepada pimpinannya. Dan Panji segera mengutara-
kan maksud kedatangannya kepada seorang perwira
pendek gemuk yang wajahnya berminyak. Kendati
perwira itu terlihat angkuh, Panji tidak ambil peduli.
Dengan jujur ia menerangkan maksud kedatangannya.
“Jadi persoalan itu yang membawamu kemari?” tanya
perwira gendut setelah mendengar penjelasan Panji.
Sambil berkata demikian, sepasang matanya meneliti
sosok Panji dengan seksama. Ada kilatan aneh pada
sepasang mata perwira itu. Bahkan, ia terlihat
menyembunyikan senyum licik. Dan Panji tahu semua itu.
“Sebelum menemui Gusti Prabu, kau terlebih dahulu
harus bertemu dengan Senapati Godamarta. Mari ikut
aku...,” ujar perwira gendut. Lalu, bangkit berdiri dan
melangkah menuju sebuah bangunan megah tempat
kediaman Senapati Godamarta.
Tanpa membantah Panji mengikuti langkah kepala
jaga. Kewaspadaannya tentu saja tidak dilupakan. Sebab,
sikap dan cara memandang perwira gendut itu me-
nimbulkan kesan tidak enak di hatinya.
Di sebuah ruangan yang cukup luas Panji diperintahkan
untuk menunggu. Sedangkan kepala jaga itu bergegas
meninggalkannya. Ia harus segera kembali ke pos.
Tinggallah Panji seorang diri di dalam ruangan itu.
Tidak berapa lama setelah perwira gendut itu lenyap,
tiba-tiba dari empat pintu di kiri-kanan ruangan
bermunculan delapan orang bersenjata. Sinar mata
mereka menunjukkan gelagat tidak baik. Cepat Panji
bergerak bangkit.
“Tangkap pemuda itu! Kalau perlu bunuh...!”
terdengar suara parau yang mengejutkan.
Dari balik daun pintu depan Panji, agak ke kiri,
muncul seorang lelaki tinggi besar bercambang bauk.
Lelaki itulah yang bernama Godamarta dan menjabat
sebagai senapati di Kerajaan Tampak Serang. Anehnya, ia
terlihat sangat membenci dan memusuhi Panji.
Melihat keadaan di sekelilingnya, sadarlah Panji kalau
ia telah masuk perangkap. Tapi Panji tidak menjadi
gentar. Ia hanya merasa penasaran dengan tindakan tidak
adil Senapati Godamarta.
“Tuan Senapati. Kedatangan hamba adalah membawa
maksud baik. Hamba datang dengan membawa suara
rakyat yang menderita. Harap Tuan Senapati suka
menghadapkan hamba kepada Gusti Prabu Pungga Dewa,”
ujar Panji hendak memastikan kalau-kalau Senapati
Godamarta telah salah menafsirkan maksud kedatangan-
nya.
“Karena itulah kau harus dilenyapkan, Pendekar Naga
Putih! Aku sudah tahu begitu melihatmu. Di tempat ini
kau jangan menganggap dirimu paling hebat sejagat. Kau
telah membuat susah dengan ulahmu itu. Sekarang,
terimalah ganjarannya...!” tukas Senapati Godamarta
kembali mengulang perintahnya.
Delapan orang bersenjata di kiri kanan Panji bergerak
maju. Mereka sepertinya cukup mengenal siapa yang
harus dihadapi. Terbukti, sikap mereka demikian hati-hati
dan tidak berani memandang rendah.
Kendati belum mengerti mengapa Senapati Godamarta
memusuhinya, Panji tidak mau pasrah diperlakukan
seperti itu. Melihat delapan orang jagoan andalan Senapati
Godamarta sudah bergerak maju, Panji menggeser
langkahnya ke tengah ruangan. Ia memang tidak perlu
banyak bicara lagi. Sikap dan ucapan Senapati Godamarta
telah menjelaskan segalanya.
“Haaattt...!”
Empat jagoan di sebelah kanan Panji bergerak
menerjang dengan senjata di tangan. Serangan mereka
yang kuat dan mematikan menyadarkan Panji bahwa
nyawanya hendak diambil. Tentu saja Panji tidak sudi!
“Haiiittt...!”
Begitu serangan lawan tiba, Panji melenting ke udara.
Dari atas ia melepaskan pukulan-pukulan cepat dan kuat
ke arah empat orang lawannya. Namun, mereka ternyata
cukup gesit dan sanggup menghindar dari serangan Panji
yang agak tak terduga. Dan sebelum Panji melanjutkan
serangannya, empat orang di sebelah kirinya datang
mengeroyok. Sehingga, Panji terpaksa menunda
serangannya. Dan dengan mengandalkan kegesitannya
menghindari sambaran pedang lawan yang berkesiutan di
sekitar tubuhnya.
“Hahhh...?!”
Beeeddd!
Gagal dengan serangan pedang, salah seorang
pengeroyok melepaskan pukulan lurus ke dada Panji.
Namun dengan gerakan yang sukar diikuti mata, Panji
dapat mengelak. Bahkan langsung mengirim serangkaian
serangan balasan.
Whuuukkk...!
Cakar naga Panji meluncur siap menghantam tubuh
penyerangnya. Pengeroyok lainnya tidak tinggal diam.
Mereka serentak menerjang melindungi kawannya.
Plakkk! Plakkk!
Panji merasakan lengannya agak tergetar saat bertemu
dengan lengan dua orang lawan. Meski kedua lawannya
sempat tergetar mundur. Namun, Panji segera maklum
mereka bukanlah orang-orang sembarangan. Apalagi
Senapati Godamarta telah mengetahui siapa dirinya.
Tentunya delapan orang itu telah diperhitungkan
kepandaiannya. Dan mereka memang tangguh. Panji baru
tahu setelah lengannya bergetar saat berbenturan tadi.
“Mampusss...!”
Whuuuettt..!
Dua batang pedang datang menjepit Panji dari kiri-
kanan. Desing tajam yang menusuk telinga membuat Panji
menekuk kedua lututnya dengan kuda-kuda silang.
Kemudian, menggeser kaki kanannya dari dalam keluar.
Tubuhnya meliuk menghindari dua mata pedang yang siap
menghunjam sasaran. Pedang-pedang itu hanya sejengkal
lewat di atas punggungnya. Dan Panji mengangkat kedua
tangannya. Lalu, diputar begitu lengan lawan terlibat.
“Haaahhh!”
Dibarengi sebuah bentakan keras Panji menghajar
kedua lawannya dengan gedoran punggung tangan. Saat
melakukan gerakan itu ia masih mengunci tangan mereka
di ketiak. Dan ...
Bukkk, bukkk!
Kuat bukan main pukulan yang dikerahkan Panji.
Tubuh mereka terlempar ke belakang sejauh dua tombak.
Bahkan, sampai membentur dinding ruangan. Dan, jatuh
menggeloso di lantai. Wajah mereka pucat dengan kulit
agak kebiruan. Untuk sesaat mereka menggigil. Kemudian
roboh tak sadarkan diri setelah memuntahkan darah
kental.
“Keparat...!” Senapati Godamarta geram bukan main
melihat jagoan andalannya dapat dirobohkan. Ia sudah siap
untuk terjun ke gelanggang pertempuran.
“Haaaiiittt...!”
Panji melenting ke udara seiring teriakannya. Empat
batang pedang yang datang mengancam mengenai angin
kosong di bawahnya. Dari atas Pendekar Naga Putih
mengirimkan serangkaian pukulan yang amat kuat dan
menerbitkan hawa dingin menusuk tulang.
“Aaakkkh...!”
Dua orang lawan terpekik kaget. Tubuh mereka
terjungkal ke lantai. Dan menggeletak tewas dengan batok
kepala retak terkena cengkeraman cakar naga Pendekar
Naga Putih.
Dua lainnya berhasil menangkis. Meski untuk itu
mereka harus jatuh bergulingan. Karena tenaga mereka
kalah kuat. Selain harus mengusir hawa dingin yang
merasuk ke dalam tubuh. Sehingga, untuk beberapa saat
mereka tidak mampu melanjutkan pertarungan.
Tapi, pada saat yang bersamaan, Senapati Godamarta
bertindak curang. Tubuhnya melayang dengan sebuah
tendangan mengarah ke tubuh Pendekar Naga Putih.
Sedangkan saat itu Panji tengah melepaskan pukulannya
dari udara. Sehingga....
Deeesss...!
“Hukkkh...!”
Tendangan keras itu tidak sanggup dielakkan Pendekar
Naga Putih. Tubuh pemuda itu terlempar sampai
menjebol dinding ruangan, dan terus bergulingan di
ruangan lain.
Sadar bahwa dirinya berada dalam sarang harimau,
Pendekar Naga Putih bergegas melenting bangkit dengan
dadanya terasa nyeri. Pemuda itu menjebol dinding
ruangan dengan pukulannya. Terus melesat pergi
meninggalkan tempat itu.
“Kepung! Tangkap! Jangan biarkan penjahat itu
lolos...!” Senapati Godamarta berteriak-teriak me-
merintahkan para prajuritnya.
Panji sendiri sempat kaget melihat bagian luar
bangunan. Ia telah dikurung oleh prajurit-prajurit
kerajaan. Tapi, ia tidak ambil peduli. Dengan mengerah-
kan tenaga gabungan untuk melindungi tubuhnya dari
hujan anak panah, Panji menerobos barisan prajurit.
Syuuuttt, suuuttt...!
Trakkk! Trakk! Trakkk!
Belasan anak panah berpatahan runtuh ke tanah.
Pendekar Naga Putih terus melesat sambil tetap
mengibaskan kedua tangannya untuk merobohkan enam
prajurit di depannya. Kemudian, melesat pergi tanpa
mempedulikan teriakan Senapati Godamarta yang sangat
berang.
“Keparat!” Senapati Godamarta hanya bisa membanting
kaki. Pendekar Naga Putih berhasil lolos dari jebakannya.
***
Saat itu kegelapan telah menyelimuti persada. Suara
binatang malam saling bersahutan menyemaraki suasana.
Langit yang hanya diterangi sinar bulan sabit, tampak
kelam. Gemintang pun tidak begitu banyak bergantungan
menemani malam.
Di sebuah bangunan tua yang terletak di luar kotaraja
Panji tengah duduk bersemadi. Luka dalam akibat
tendangan Senapati Godamarta sudah hilang, dan dadanya
tidak lagi terasa nyeri. Kesehatannya telah pulih seperti
sediakala.
Beberapa saat kemudian, Panji menyelesaikan
semadinya. Pemuda itu bergerak bangkit dan menatap
langit kelam sesaat. Terus melesat dengan kecepatan
tinggi menuju kotaraja. Sebentar kemudian, bayangannya
telah lenyap ditelan kegelapan malam.
Dengan kepandaian yang dimiliki Panji memasuki
kotaraja dengah sembunyi-sembunyi. Ia berniat menemui
Gusti Prabu Pungga Dewa di dalam istananya. Hatinya
masih belum puas kalau belum berhadapan langsung
dengan penguasa negeri itu. Ia ingin mendapat kepastian
bagaimana sikap Prabu Pungga Dewa dalam masalah itu.
Karena selain penguasa tertinggi Kerajaan Tampak Serang,
tidak ada lagi yang dipercayainya. Pengalaman itu
diperolehnya tadi pagi ketika menemui Senapati
Godamarta. Panji tidak ingin tertipu untuk kedua kali.
Bagai hantu keluar mencari mangsa, Panji berkelebat
menyusup ke dalam bangunan induk. Dari pengalaman-
pengalamannya berpetualang Panji cukup tahu di mana ia
bisa menemui penguasa negeri. Tentu saja ia tidak
bertindak ceroboh untuk memasuki istana yang terjaga
ketat itu.
Tidak sulit bagi Panji menyelinap masuk ke dalam
istana, tanpa sepengetahuan para penjaga. Setelah
melewati beberapa buah kamar, Panji dapat memastikan
di mana tempat peraduan Prabu Pungga Dewa. Hanya
dengan tekanan telapak tangan, pintu kamar itu terbuka
tanpa mengeluarkan suara yang berarti. Bergegas Panji
menyelinap masuk ke dalam kamar.
Dengan hati-hati disingkapnya penutup pembaringan
yang berbau harum semerbak. Perlahan Panji menyentuh
sesosok tubuh yang memiliki raut wajah menyinarkan
keagungan. Tubuh itu tersentak dan membuka mata.
Prabu Pungga Dewa kaget melihat seorang pemuda
tanpan berjubah putih berada di dalam kamarnya. Tapi
ketika ia hendak membentak marah, jemari tangan Panji
bergerak cepat melakukan totokan. Sehingga, Prabu
Pungga Dewa seketika tidak bisa berbicara.
“Maafkan kelancangan hamba, Gusti Prabu...,” ujar
Panji segera berlutut menyembah lelaki berwajah agung
itu. Sikapnya menunjukkan bahwa ia tidak bermaksud
jahat. Panji menengadahkan wajah untuk melihat
tanggapan Prabu Pungga Dewa.
“Hamba hanya ingin menyampaikan suatu berita yang
menyangkut kepentingan rakyat banyak. Hamba sudah
mencoba untuk menghadap secara baik-baik, namun
malah terancam bahaya. Terpaksa hamba melakukan
kelancangan ini...,” ujar Panji lagi. Dilihatnya sinar
kemarahan pada sepasang mata itu lenyap. Panji lalu
bergegas membebaskan pengaruh totokannya.
“Apa sebenarnya yang kau inginkan, Pemuda gagah?”
tanya Prabu Pungga Dewa setelah menarik napas beberapa
kali. Ditatapnya wajah tampan di depannya dengan sinar
mata penuh keheranan.
Tanpa banyak cakap Panji menceritakan keperluannya.
Juga tentang perlakuan Senapati Godamarta yang telah
menjebak dan hampir mencelakakan dirinya. Semua itu
diucapkan Panji dengan periahan dan jelas, membuat
kening Prabu Pungga Dewa berkerut. Kelihatan sekali
penguasa negeri itu tak percaya dengan keterangan Panji.
Tapi, melihat sikap dan tindakan Panji yang nekat
menemuinya, Prabu Pungga Dewa mulai percaya.
“Hm...,” Prabu Pungga Dewa mengangguk-anggukkan
kepala setelah mendengar uraian Panji. Terlihat kilatan
marah pada sepasang matanya. Tapi, jelas bukan ditujukan
kepada Panji.
“Kau siapa, Pemuda gagah? Mengapa berani mem-
pertaruhkan nyawa demi kepentingan orang banyak?”
tanya Prabu Pungga Dewa dengan lembut, mencerminkan
sifat bijaksana dan penuh kasih.
“Hamba bernama Panji, Gusti Prabu. Hamba sedikit
pun tidak mengharapkan apa-apa dalam melakukan
kebajikan. Menurut hamba, semua ini memang sudah
menjadi kewajiban bagi setiap manusia yang menginginkan
keadilan dan ketenteraman,” sahut Panji dengan heran.
Sikap Prabu Pungga Dewa sama sekali tidak menunjukkan
ketamakan maupun kebengisan. Bahkan, terkesan
bijaksana dan penuh keadilan. Sikap itu membuat Panji
tidak habis mengerti.
“Kau pastilah termasuk kaum persilatan. Apakah kau
mempunyai julukan?” tanya Prabu Pungga Dewa yang
kelihatan semakin tertarik dengan pemuda tampan yang
sopan dan manis budi bahasanya itu.
“Benar, hamba adalah orang persilatan yang kasar dan
kurang memiliki kesopanan, Gusti Prabu. Orang-orang
menjuluki hamba Pendekar Naga Putih....”
“Aaahhh...?! Jadi kaulah rupanya yang dijuluki
Pendekar Naga Putih. Sungguh gembira aku dapat
berjumpa denganmu, Pendekar Naga Putih. Namamu
demikian harum dipuja banyak orang,” Prabu Pungga
Dewa rupanya pernah mendengar julukan Panji. Dan itu
membuat Panji merasa lega, berarti ia akan lebih
dipercaya lagi.
“Terima kasih Gusti Prabu...,” ucap Panji tetap
merendah. Kendati Prabu Pungga Dewa jelas-jelas telah
memujinya.
“Mengenai istana peristirahatan, sebenarnya sudah
lama kubatalkan. Karena setelah kutinjau, tempat itu
terdiri dari batu-batu padas yang keras dan sulit
dihancurkan. Kalau sekarang ada orang yang
mengumpulkan pekerja dan hendak mengikis bukit itu
dengan alasan untuk membangun istana peristirahatan,
jelas tidak benar. Rupanya, desas-desus yang kudengar di
kalangan pembesar istana ada benarnya,” ujar Prabu
Pungga Dewa mengejutkan Panji. Ternyata niat untuk
membangun istana peristirahatan di Bukit Cadas Hantu
telah dibatalkan.
“Tapi orang-orang yang mempekerjakan penduduk
secara paksa adalah orang-orang kerajaan, Gusti Prabu.
Bahkan, kabarnya mereka memiliki surat resmi bercap
kerajaan?” Panji kembali menegasi penjelasannya. Karena
Prabu Pungga Dewa membantah apa yang diceritakannya
tadi.
“Kurang ajar! Mereka jelas telah mencemarkan nama
baik Kerajaan Tampak Serang. Untuk perbuatan itu
mereka harus mendapat hukuman berat!”“
Prabu Pungga Dewa kelihatan marah besar mendengar
perkataan Panji.
“Apakah mereka pihak luar yang sengaja mencemarkan
nama Kerajaan Tampak Serang, Gusti?” tanya Panji belum
bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi di dalam
Kerajaan Tampak Serang.
“Seperti yang kukatakan tadi, ada selentingan kabar
tentang pejabat yang hendak memberontak. Kemungkinan
besar di Bukit Cadas Hantu hendak didirikan benteng bagi
kelompok pemberontak itu. Karena, istana peristirahatan
yang pernah hendak kubuat sudah kubatalkan. Sekarang
aku yakin siapa yang menjadi biang keladi semua ini!”
tegas Prabu Pungga Dewa menyimpan kemurkaan.
“Maksud Tuanku Gusti yang berkhianat adalah
Senapati Godamarta...?” terka Panji. Karena Senapati
itulah yang telah menjebak dan menghalanginya berjumpa
dengan Gusti Prabu Pungga Dewa.
“Tepat! Memang Senapati Godamartalah yang menjadi
biang keladi semua ini. Aku akan segera memerintahkan
prajurit-prajuritku untuk meringkusnya. Untuk ke Bukit
Cadas Hantu sendiri akan kukirim pasukan guna
meringkus para pemberontak itu. Mereka harus ditumpas
habis sampai ke akar-akarnya!” tegas Prabu Pungga Dewa.
“Jika demikian, berarti persoalan ini telah selesai.
Karena untuk menumpas para pemberontak itu tentunya
Gusti Prabu tidak memerlukan tenaga hamba. Sebab, di
istana ini banyak terdapat orang pandai yang sanggup
melakukannya...,” ujar Panji dengan perasaan lega. Tidak
disangkanya kalau persoalan itu demikian sederhana. Ia
tidak periu bersusah-payah lagi.
“Kurang lebih begitulah, Panji. Dan untuk penderitaan
serta kerugian rakyat akan segera kukirimkan pengganti-
nya. Kupercayakan kepadamu untuk menyerahkan
pengganti kerugian kepada mereka. Juga sampaikan
permintaan maafku...,” ujar Prabu Pungga Dewa,
membuat Panji semakin kagum dan tunduk kepada raja
yang ternyata adil dan bijaksana itu.
Malam itu juga Prabu Pungga Dewa memanggil
Senapati Godamarta. Dan memerintahkan dua orang
senapati lainnya untuk membawa seribu prajurit-prajurit
pilihan guna menumpas para pemberontak di Bukit Cadas
Hantu. Panji sendiri tetap berada di samping Prabu
Pungga Dewa. Itu atas permintaan Prabu Pungga Dewa.
Dengan tujuan agar Pendekar Naga Putih merasa puas.
Senapati Godamarta serta pengikut-pengikutnya
dijebloskan ke dalam tahanan dan menanti hukuman
gantung. Pagi harinya, Panji yang terpaksa tidak
beristirahat semalaman suntuk ditugaskan Prabu Pungga
Dewa untuk membawa pengganti kerugian bagi rakyat.
Gusti Prabu mengirimkan makanan serta ribuan keping
uang. Sekaligus permintaan maaf dari Gusti Prabu
Kerajaan Tampak Serang.
“Setelah tugasmu selesai, kalau kau tidak mempunyai
kepentingan lain singgahlah ke istanaku, Pendekar Naga
Putih. Tentu saja ini merupakan undangan resmi. Kapan
saja kau sempat, pintu istanaku selalu terbuka untuk-
mu...,” pesan Prabu Pungga Dewa sesaat sebelum kereta
kuda yang dibawa Panji bergerak meninggalkan halaman
istana.
“Terima kasih, Gusti. Hamba akan ingat hal itu...,”
sahut Panji penuh hormat. Kemudian menghela empat
ekor kuda yang menarik kereta. Dan bergerak
meninggalkan kotaraja. Diiringi pandang mata Prabu
Pungga Dewa yang terkesan dan kagum terhadap
pendekar muda itu.
***
Kedatangan Panji di Hutan Panawangan disambut
dengan suka-cita. Apalagi, kabar yang dibawa pendekar
muda itu benar-benar melegakan hati. Terutama para
penduduk yang mendapatkan makanan serta kepingan
uang dari Prabu Pungga Dewa. Langsung saja mereka
yang semula mengutuk, berbalik memuji tak habis-
habisnya.
Ki Wiguna dan tokoh-tokoh persilatan lainnya
menyalami Panji dengan wajah berseri. Mereka benar-
benar kagum atas tindakan Panji yang demikian berani
mempertaruhkan nyawa. Mereka merasa mendapat
contoh yang baik dari sosok pendekar muda itu. Tindakan
Pendekar Naga Putih telah menanamkan semangat serta
jiwa kependekaran yang semakin tebal dalam hati mereka.
“Sahabat-sahabat sekalian. Maaf, kalau aku tidak bisa
menemani kalian lebih lama. Ada sesuatu keperluan yang
agak mendesak. Karena itu, aku mohon pamit...,” ucap
Panji kepada tokoh-tokoh persilatan yang mengelilinginya.
Ki Wiguna dan kawan-kawannya tentu saja maklum
akan banyaknya tugas-tugas Panji. Mereka tidak berusaha
mencegah kepergian pemuda itu. Dan melepaskannya
dengan tatapan mata penuh kebanggaan dan juga haru.
Bangga bahwa dalam golongan mereka telah muncul
seorang tokoh muda .yang dapat diandalkan, baik dalam
kepandaian maupun budi pekertinya. Dan terharu atas
perbuatan pemuda itu yang berani mempertaruhkan
nyawa demi kepentingan orang banyak.
Panji sendiri telah melesat pergi dengan menggunakan
ilmu lari cepatnya. Tujuannya tentu saja hendak menyusul
Kenanga ke Kadipaten Tumapel, di sana kekasihnya sudah cukup lama menunggu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar