SATU
ANGIN malam membersit keras menyibak de-
daunan di malam senyap itu... Daun-daun kering ber-
guguran ke tanah. Tak tampak sepotong rembulan pun
di atas langit yang hitam pekat. kebisuan mencekam
ketika sesosok tubuh berindap-indap meninggalkan
gedung Kadipaten. Dua orang penjaga yang tertidur le-
lap menyandar di pintu pendopo itu, tak melihat
adanya sesosok tubuh yang melewatinya. Dengkurnya
terdengar saling bersahutan.
Dengan gerakan hati-hati sosok tubuh itu me-
lewati pintu penjagaan ruangan pendopo. Kini bergerak
lagi untuk melewati taman. Di sini dia berhenti sejenak
untuk berpaling, melihat ke sekitar yang agak remang.
Rupanya suasana aman untuk meneruskan langkah-
nya. Tak berapa lama sudah tiba di muka pintu. Ca-
haya lampu yang temaram dari obor kecil di sudut
tembok itu menerangi wajahnya.
Ternyata dia seorang gadis berwajah cantik.
Akan tetapi raut wajahnya tampak pucat dan tegang...
Rambutnya kusut masai, dengan pakaian yang me-
nyingkap di sana-sini. Sepasang matanya tampak me-
mancar redup seperti habis menangis.
Kembali sejenak dia berpaling ke belakang.
Dengkur kedua penjaga itu masih terdengar dari ke-
jauhan. Cepat-cepat gadis ini palingkan wajahnya un-
tuk menatap ke arah api obor, dan segera beranjak un-
tuk meniupnya. Lalu cepat-cepat melangkah ke depan
pintu. Membuka palang pintunya dan meletakkannya
dengan hat-hati di tanah. Lalu ia membuka daun pintu
secukupnya. Selanjutnya dia sudah menyelinap ke-
luar.
Beberapa saat kemudian gadis, itu sudah berla
ri cepat meninggalkan gedung Kadipaten itu, dan le-
nyap di kegelapan malam.
Gadis itu berlari, dan terus berlari... Sesekali
terdengar suara isaknya menyibak lengangnya malam.
Akan tetapi isak tersendat itu seperti ditahannya. Ja-
tuh bangun dia berlari dan berjalan cepat tersaruk-
saruk. Hingga sebentar kemudian telah berada jauh
dari gedung Kadipaten itu. Kini di hadapannya terben-
tang anak sungai. Tertegun sejenak gadis itu. Tapi
dengan menggigit bibir dan singsingkan kainnya, sege-
ra beranjak menuruni. Terdengar suara air menyibak.
Tubuh si gadis terendam sampai separuhnya. Ada ter-
sirat rasa seram di hati si gadis, akan tetapi dia terus
melangkah untuk menyeberanginya. Beruntung da-
lamnya cuma sebatas dada. Selang sesaat si gadis su-
dah sampai di seberang. Ketika beranjak ke darat..
menggigil tubuh itu kedinginan. Namun dengan meng-
gigit bibir dia teruskan langkah kakinya. Ke mana tu-
juannya sebenarnya dia sendiri tak mengetahui, kare-
na yang penting adalah meninggalkan Gedung Kadipa-
ten itu sejauh-jauhnya.
Fajar mulai menampakkan diri, ketika gadis itu
melangkah terhuyung. Hampir semalam suntuk dia
berjalan tak pernah berhenti. Hawa dingin yang men-
cengkeram tubuh serta luka-luka pada telapak ka-
kinya sudah tak dirasakan lagi. Namun di wajah gadis
ini tersungging satu senyuman. Dia sudah bebas bagai
seekor burung yang terlepas dari sangkarnya. Walau
kebebasan itu cuma untuk sementara, karena orang-
orang Kadipaten tentu akan memburunya.
Walau demikian dia sudah dapat menarik nafas
1ega. Dijatuhkannya sang tubuh untuk duduk di rum-
putan. Di hadapannya adalah padang ilalang dari se-
buah lembah yang hijau. Sementara Mentari pagi su-
dah bersitkan sinarnya dari balik punggung bukit.
Wajah gadis ini tampilkan senyum berseri. Se-
pasang matanya menatap ke atas perbukitan. Ada ca-
haya cerah terpancar dan sedikit harapan tampak dari
tatapannya.
"Ah, PRAMANA...! Mengapa kejadiannya jadi
begini... !?" Gumam gadis ini lirih. Sementara wajah-
nya kembali tertunduk menatap rerumputan. Seperti
terbayang lagi wajah pemuda itu di pelupuk matanya.
Pemuda yang dicintainya. Akan tetapi nasib telah me-
renggutnya untuk tidak berjodoh dengan pemuda itu.
Nasib telah merenggut dirinya yang jatuh ke dalam pe-
lukan Adipati BANU REKSO.
Gadis ini bernama RATIH DEWI. Ia adalah pu-
teri seorang Demang di desa Guci Alit. Hubungan yang
dibinanya secara diam-diam dengan seorang pemuda
bernama PRAMANA akhirnya diketahui juga oleh ke-
dua orang tuanya.
"Ratih, anakku...!" Suatu hari ibunya berkata,
ia duduk berhadapan.
"Bukan ibu melarangmu bergaul dengan PRA-
MANA! Ibu memberi kebebasan padamu untuk bersa-
habat dengan siapa saja! Akan tetapi..."
"Tetapi apa, bu... ?". Tanya Ratih Dewi dengan
alis dinaikkan. Tersirat di wajah gadis ini satu perta-
nyaan yang membuat ia tercenung, karena dilihatnya
si ibu termangu memandang jauh keluar jendela.
"Tunggulah kedatangan ayahmu. Beliau baru
dipanggil oleh Kanjeng Adipati. Mungkin sebentar lagi
akan pulang....!". Menyahut perempuan tua itu, seraya
menghela napas. Lalu beranjak meninggalkan Ratih
Dewi yang cuma terpaku dalam kebingungan. Kata-
kata ibunya yang cuma sepotong itu cukup membuat-
nya merasa risau. Malamnya Ratih Dewi sudah berada
di hadapan kedua ayah dan ibunya. Kali ini terasa jan-
tung Ratih Dewi berdebaran. Terasa ada keganjilan
pada sikap sang ayah, yang menatapnya tajam-tajam.
Akan tetapi jelas terlihat kalau sang ayah pun amat
berat untuk mengatakannya, karena sampai sekian
lama mereka tetap terpaku.
Terdengar Ki Demang Harya Winangun ini
menghela napas. Tatapannya sekali-sekali dilayangkan
keluar jendela. Lalu tertunduk lagi.
Ki Demang menyulut pipa tembakaunya, serta
menghisapnya dalam-dalam. Lalu hembuskan asapnya
seperti membuang keresahan hati yang menggeluti sa-
nubarinya. Kemudian terdengar kata-katanya;
"Ratih Dewi anakku. Terlalu berat bagiku untuk
mengatakannya padamu, akan tetapi apa boleh buat.
"Kau anakku satu-satunya. Kau pasti tidak akan men-
gecewakan orang tuamu. Aku amat yakin akan priba-
dimu. Nah. Dengarlah...". Demikianlah dengan hati be-
rat Ki Demang menceritakan bahwa kedatangannya ke
Kadipaten adalah karena sang Adipati bermaksud me-
lamar Ratih Dewi. Pembicaraan mereka adalah untuk
yang ketiga kalinya. Kali ini Adipati Banu Rekso sudah
tak dapat menahan gejolak hatinya. Dan meminta
anak gadis Ki Demang dengan terang-terangan.
Bagaikan ada petir menggelegar di telinga, Ra-
tih Dewi terkejut bukan kepalang. Wajahnya seketika
pucat pias. Benarkah atau hanya main-main kata-kata
ayahnya itu?. Adipati Banu Rekso sudah beristri em-
pat. Mungkinkah kalau dia mau mempersuntingnya
pula..?. Terhenyak Ratih Dewi seketika.
"Kau...kau... menerimanya ayah...?" Tanya Ra-
tih Dewi.
"Yah...! Tak ada jalan lain. Aku mengetahui wa-
tak sang Adipati Banu Rekso. Kalau kutolak besar ba-
hayanya buat kedudukanku. Semua ini kuterima den-
gan terpaksa!". Ujar Ki Demang.
Hancur luluh seketika hati Ratih Dewi. Air ma
tanya sudah segera menetes keluar dari pelupuk ma-
tanya. Kandaslah sudah harapannya. Tiba-tiba di ja-
tuhkannya dirinya ke pangkuan sang ibu, dan menan-
gislah gadis itu terisak-isak. Sang ibu cuma linangkan
air mata dengan menunduk sedih. Wanita ini menge-
tahui betapa kehancuran hati anak gadisnya. Hati wa-
nita inipun menangis. Sebagai wanita dia dapat
merasakan kepedihan hati Ratih Dewi, namun
mana bisa ditentang keinginan sang Adipati?. Sepa-
sang lengan wanita tua ini cuma bisa mengelus-elus
rambut anak gadis yang dicintainya.
Sejak itu Ratih Dewi tak pernah keluar rum ah.
Sia-sia kedatangan Pramana untuk menjumpainya.
Pemuda ini pun maklum sudah. Dia cuma bisa meng-
hela napas tanpa berdaya untuk bisa menentang ke-
hadiran sang Adipati di rumah Ki Demang. Cuma bisa
tatapkan mata melihat dari kejauhan, tatkala Ratih
Dewi diboyong oleh Adipati Banu Rekso. Sepasang ma-
ta Pramana berkaca-kaca menatap tandu yang men-
gangkut Ratih Dewi, dengan dikawal oleh beberapa
prajurit dari Kadipaten. Sementara kedua orang tua-
nya cuma terpaku memandang. Upacara pernikahan
berlangsung sederhana saja di rumah Ki Demang. Se-
lesai upacara itu, Ratih Dewi segera diboyong.
Seperti nanar tatapan mata Pramana melihat
apa yang terpampang di depan matanya. Ternyata ki-
sah cinta mereka putus di tengah jalan. Tak ada lagi
harapan yang rasanya lebih baik bagi Pramana. Saat
itu juga dia kembali ke pondok. Mengemasi pakaian-
nya. Lalu menghadap gurunya, Panembahan Kumitir.
Tentu saja membuat Panembahan Galih Kumi-
tir terheran-heran. Namun saat itu Parta Kendala sang
murid tertua Perguruan Elang Putih membisiki di te-
linga sang Panembahan, yang membuatnya segera
manggut-manggut.
"Pergilah tenangkan hatimu, Pramana. Memang
sebaiknya kau turun gunung...! Kelak kalau menemui
kesulitan jangan segan-segan untuk kemari...!". Berka-
ta sang Guru. Agaknya orang tua ini maklum akan ke-
patahan hati pemuda muridnya itu.
"Terima kasih. Guru....! Kakang Parta Kendala,
Guru...! Hamba mohon diri!". Kedua orang itu pun
mengangguk. Pramana segera tinggalkan padepokan
yang selama beberapa tahun didiaminya. Juga tempat
dia digembleng dengan berbagai ilmu kedigjayaan oleh
Panembahan Galih Kumitir.
Di sana pula tempat terpautnya hati pada seo-
rang gadis jelita, puteri Ki Demang Harya Winangun.
Demang yang menguasai wilayah Desa Guci Alit dan
sekitarnya. Namun di sana pula kandas cintanya, ka-
rena direnggut oleh sang Adipati Banu Rekso. Adipati
yang punya wewenang besar di wilayah itu. Adipati
yang keinginannya tak dapat dibantah. Juga Adipati
yang menghancurkan harapannya.
Sementara Ratih Dewi cuma bisa titikkan air
mata di dalam tandu yang memboyongnya untuk ting-
gal di rumah Gedung sang Adipati Banu Rekso.
Ternyata Ratih Dewi sudah mempunyai renca-
na yang tersirat dalam benaknya. Rencana yang hanya
dia saja yang mengetahui. Cinta memang bisa mem-
buat orang jadi nekat. Cinta memang tak dapat dipak-
sakan.
Ratih Dewi tak mampu untuk menolak lamaran
sang Adipati yang sudah diterima ayahnya. Dia telah
berusaha menjadi seorang anak yang berbakti terha-
dap kedua orang tuanya, akan tetapi ternyata dia tak
berhasil mendustai dirinya sendiri. Ratih Dewi tak da-
pat menerima kehadiran sang Adipati Banu Rekso.
Adipati yang serakah! Pikirnya. Seorang pembesar
yang mementingkan dirinya sendiri tanpa mau tahu
akan penderitaan orang lain.
Berdebar hati Ratih Dewi kala sang Adipati te-
lah memasuki kamarnya. Saat itu para tamu sudah
pulang. Acara pesta di gedung Kadipaten sudah usai.
Tiga orang istrinya masing-masing telah pamit untuk
mengundurkan diri ke bilik masing-masing. Cuma istri
pertamanya yang paling tua tak terlihat menampakkan
diri. Wanita berusia sekitar 40 tahun itu cuma bisa
menghela nafas berat. Betapa pun ia cumalah seorang
istri yang tak punya wewenang apa-apa terhadap sang
Adipati. Wanita ini mempunyai tempat tinggal, sebuah
gedung yang terpisah agak jauh dari gedung Kadipa-
ten. Tak seorang pun mengetahui kalau sebenarnya di
hati wanita tua itu terpendam kepedihan. Walau ia su-
dah tawar akan artinya kehidupan sebagai seorang is-
tri Adipati, yang pada kenyataannya adalah melulu
penderitaan batin belaka yang harus dialami. "Kau be-
lum mengantuk dinda...?". Tanya sang Adipati seraya
menghampiri Ratih Dewi. Sebelah lengannya mengga-
mit pinggang istrinya yang sedari tadi tetap duduk
dengan setia di sisi pembaringan yang berbau harum
itu.
Kedua belah pipi Ratih Dewi segera mendapat
ciuman mesra dari laki-laki berusia 50 tahun itu. Ratih
Dewi tersenyum manis seraya tundukkan wajahnya
yang tiba-tiba terasa panas. Detak jantungnya semakin
cepat. Tak berani dia menatap wajah sang Adipati itu,
walau rasanya ingin dia menampar wajah kasar itu se-
kuat-kuatnya.
"Aku menantikan kakanda... Kanjeng Adipa-
ti...!" Ujar Ratih Dewi lirih.
"Oh...? Begitukah ...? Ha ha ha... kau memang
seorang gadis ayu yang menggairahkan, istriku...! Kau
berbeda dengan yang lainnya. Pantas kalau aku tergi-
la-gila padamu. Kau cantik, ayu dan kenes, Ratih Dewi...!". Berkata sang Adipati.
Selanjutnya sang Adipati Banu Rekso telah
mendekapnya erat-erat, akan tetapi Ratih Dewi cepat-
cepat mendorongnya seraya berkata.
"Mengapa terlalu tergesa kakanda...? Bukalah
pakaianmu dulu, dan simpan dulu keris pusaka itu.
Aku ngeri menyentuhnya...!".
"Oh, ya aku lupa, maafkan aku istriku...!".
Menyahut Banu Rekso seraya lepaskan pelu-
kannya. Dan menyingkirkan benda pusaka itu dari
punggungnya. Lalu meletakkannya di atas meja. Ratih
Dewi sudah beranjak menghampiri. Meraih keris pusa-
ka sang Adipati, lalu menyimpannya dalam lemari pa-
kaian. Banu Rekso cuma tersenyum.
"Kau takut dengan senjata pusaka itu, sayang
ku...?". Tanya Banu Rekso. Ratih Dewi cuma
mengangguk, seraya menghampiri lagi sang
Adipati. Di lengannya sudah tersedia handuk. Semen-
tara sang Adipati telah selesai menyingkirkan apa yang
menjadi penghalang. Cepat-cepat Ratih Dewi belitkan
handuk pada tubuh sang Adipati.
"Tubuhmu berkeringat, kakanda kanjeng Adi-
pati. Mandilah segarkan badanmu lebih dahulu. Bu-
kankah akan lebih bergairah untuk malam pertama ini
bagi hamba...!".
"Oh...? Baik. Baiklah...! Ha ha ha... Kau me-
mang benar-benar seorang istri teladan. Sebentar aku
sudah bebas dari bau keringat, sayang ku...!". Berkata
Adipati Banu Rekso. Ia tampaknya amat penurut seka-
li, padahal keinginannya sudah tak ter bendung lagi.
Banu Rekso beranjak meninggalkan kamar, dan menu-
tup pintunya kembali.
Ratih Dewi sudah baringkan tubuhnya di pem-
baringan, berselimutkan kain sutera tip is yang mem-
buat samar-samar tampak bayangan tubuh sang pen
gantin jelita itu. Sementara Ratih Dewi menanti dengan
hati berdebar. Degup jantungnya serasa berdeburan
keras. Namun dia masih bisa menahan ketegangan.
Rencana itu tak boleh gagal, pekik hatinya. Sepasang
mata laki-laki tua itu sudah merayapi setiap lekuk liku
di balik tirai sutera tipis di hadapannya. Senyumnya
terlihat melebar. Sementara sepasang kakinya telah
melangkah mendekati.
Ratih Dewi pejamkan kelopak matanya. Hatinya
terasa hancur berkepingan. Kala dia biarkan juluran
lengan nakal sang bandot tua itu menelusuri sega-
lanya. Akan kuberikanlah apa yang ada semuanya un-
tuk si manusia keparat ini... ?
Tersentak hati sang pelanduk ketika sesuatu
yang ditakutkan itu sesaat lagi akan terjadi. Akan
mandahkah dia untuk berdiam pasrahkan diri?. Hati
sang pelanduk menjerit, akan tetapi wajahnya tetap
tak menampakkan reaksi. Beberapa kali lengannya
sudah bergerak ke sisi pembaringan, di mana di bawah
tilam telah dia siapkan sepucuk keris berlekuk tujuh.
Keris telanjang yang telah ditaruh di situ adalah keris
pusaka milik sang Adipati. Namun beberapa kali pula
dia urungkan niatnya, karena khawatir akan menga-
lami kegagalan. Gagal berarti mautlah yang justru
akan menimpa dirinya.
Beruntung sang Adipati sudah keluarkan kelu-
hannya. Wajahnya menampilkan kekecewaan. Kemu-
dian gulingkan tubuhnya ke sisi. Terlihat sekujur tu-
buhnya bermandikan peluh. Ratih Dewi menarik nafas
lega. Puncak kengerian itu sudah terlewati... Kebulatan
hati Ratih Dewi telah tertanam untuk tak bisa diha-
puskan lagi. Di saat laki-laki tua itu sudah terdengar
mendengkur di sebelah tubuhnya, saat itu pula Ratih
Dewi telah sibakkan kain tilam di sisi pembaringan.
Segera lengannya sudah menggenggam sepucuk keris
berlekuk tujuh yang sudah telanjang itu. Di tatapnya
sejenak wajah sang Adipati Banu Rekso. Lengan Ratih
Dewi menggeletar. Akan tetapi keris itu sudah di hun-
jamkan berkali-kali ke dada dan lambung laki-laki
bandot tua itu. Tak sempat lagi Adipati Banu Rekso
untuk berteriak. Tubuhnya sudah menggelinjang ber-
kelojotan mandi darah. Namun sesaat kemudian sege-
ra mengejang untuk lepaskan nyawanya melayang ke
akhirat.
Selanjutnya segera beranjak keluar kamar.
Ternyata dia harus menunggu sampai semua orang
tertidur, dan barulah dengan berindap-indap keluar,
yang untuk seterusnya berhasil meloloskan diri.
Demikianlah awal kisah dari kejadian yang me-
nimpanya. Sepasang mata Ratih Dewi kembali jatuh-
kan air mata yang mengalir ke pipi. Isaknya kembali
terdengar... Ratih Dewi menekap wajahnya dengan ke-
sepuluh jari tangannya. Air mata itu mengalir turun
lewat sela jemarinya yang lentik. Namun selang sesaat
dia sudah kembali dapat menguasai diri lagi. Setelah
menghapus air matanya, kemudian bangkit berdiri.
Sepasang matanya menatap ke atas perbukitan di ma-
na cahaya mentari baru pancarkan sinarnya. Lalu be-
ranjak melangkah lagi untuk kembali meneruskan per-
jalanannya...
* * *
Sepasang pemuda bertubuh kekar, berpakaian
dari sutra warna biru yang mahal. Ikat kepalanya ber-
warna merah, dengan sabuk terbuat dari baja tipis
yang melingkar di pinggang. Sikapnya amat gagah.
Berwajah garang dan angkuh, namun boleh dibilang
cukup tampan. Tampak tengah ayunkan kakinya ber-
jalan cepat menuju ke tengah desa. Dia bernama REK
SO JIWO. Pemuda ini baru pulang dari berguru, yang
kedatangannya ke desa ini adalah untuk yang ketiga
kalinya sejak satu tahun yang lalu. Siapakah adanya
Rekso Jiwo ini... ? Pemuda yang umurnya berkisar an-
tara 23 tahun itu adalah putera sang Adipati Banu
Rekso.
Tampak dia sudah tiba di tengah desa. Bebera-
pa orang yang mengenalinya segera menyapa dengan
menjura hormat.
"Raden...! Oh, anda baru datang lagi Salah seo-
rang dari yang menyapa adalah seorang laki-laki beru-
sia 40 tahun yang bernama Sentani.
"Benar, paman! Tampaknya wajah-wajah kalian
menampilkan kesusahan?. Ada apakah yang terjadi ...!
Apakah orang-orang ELANG PUTIH menantang kalian
lagi...?". Bertanya Rekso Jiwo. Kedua lengannya sudah
bertolak pinggang. Setahun yang lalu ketika Rekso Ji-
wo datang ke desa ini, tengah terjadi keributan antara
beberapa orang anak-anak buah Sentani dengan
orang-orang Perguruan Elang Putih. Persoalannya ka-
rena beberapa murid Perguruan Elang Putih turut
campur dalam urusan perbuatan Sentani dan anak-
anak buahnya.
Tindakan Sentani yang semaunya menguras
harta benda penduduk, tentu saja membuat kegusaran
beberapa anak murid Perguruan Elang Putih. Seperti
di ketahui, Sentani adalah orang kepercayaan Adipati
Banu Rekso. Dan mendapat pula dukungan dari Rekso
Jiwo. Tentu saja jadi besar kepala, dan bertindak se-
maunya memeras penduduk, terutama para pedagang
dan petani, serta melakukan bermacam perbuatan ter-
cela lainnya. Bentrokan pun terjadi. Namun segera di-
tengahi oleh Ki Demang Harya Winangun.
Rekso Jiwo yang mengetahui Ki Demang mem-
punyai anak gadis cantik yang diam-diam tengah diincarnya, terpaksa tak turut campur. Padahal diam-diam
Rekso Jiwo mendongkol sekali, karena memang dia tak
menyenangi adanya Perguruan Elang Putih berada di
wilayah itu. Dia menganggap ilmu-ilmu kedigjayaan
Perguruan Elang Putih adalah kelas rendah. Justru
itulah Rekso Jiwo tak berniat berguru di Padepokan
tersebut. Bahkan dia telah menepuk dada di hadapan
kawan-kawannya bahwa kelak akan dijatuhkannya
wibawa Perguruan Elang Putih olehnya. Selanjutnya
Rekso Jiwo akan mendirikan satu Perguruan sendiri
yang punya wibawa besar. Apa lagi dengan dibawah
naungan kekuasaan ayahnya yang sebagai Adipati,
serta mempunyai wewenang besar di beberapa wilayah.
Kedatangannya kali ini adalah untuk menun-
jukkan serta membuktikan apa yang telah dicapainya
selama berguru lebih dari tiga tahun. Disamping me-
mang perlu menjumpai ayahnya, karena Rekso Jiwo
punya satu gagasan yang lebih baik dalam mengelola
pemerintahan ayahnya di sekitar wilayah yang dikua-
sai. Gagasan itu memang perlu dibicarakan pada sang
Adipati Banu Rekso. Tentu saja bagi seorang yang ber-
watak kurang baik, akan menelorkan satu gagasan
yang tidak baik pula. Mungkin baik bagi si pengelola,
akan tetapi amat merugikan bagi rakyat.
"Mengapa kalian diam semua?!". Tiba-tiba Rek-
so Jiwo membentak, karena dilihatnya Sentani dan
anak-anak buahnya terpaku dengan wajah menunduk.
Wajah-wajah mereka seperti menampakkan sesuatu
kesusahan yang sukar disampaikan.
Mendengar bentakan itu tentu saja mereka jadi
terkejut. Sentani pelahan mengangkat wajahnya. Lalu
tiba-tiba jatuhkan diri berlutut di hadapan Rekso Jiwo.
"Kami... kami tengah berkabung. Juga semua
rakyat di wilayah Kadipaten tengah berkabung, Ra-
den... ! Ramanda Raden, Kanjeng Gusti Adipati telah
berpulang...!".
"HAH...!?". Terkejut seketika Rekso Jiwo. Sepa-
sang matanya menatap pada Sentani, lalu alihkan pa-
da keenam orang anak buah Sentani itu. Mereka se-
mua menundukkan wajah tanpa ada yang berani men-
gangkatnya.
"Ramanda wafat...!?". Gumam Rekso Jiwo.
Tampak laki-laki ini tertunduk lesu. Sentani sudah
bangkit berdiri, lalu berkata, setelah menatap sejenak
pada Rekso Jiwo. "Sebaiknya Raden segera ke Kadipa-
ten. Ataukah mau mendengarkan penuturan hamba
terlebih dulu...?"
"Ceritakanlah...! Tuturkanlah apa yang menjadi
penyebab kematian ayahku! Sudah berapa harikah
menjelang kematian beliau?". Berkata Rekso Jiwo.
"Baiklah Raden. Mari kita bicara di bawah po-
hon itu, di sana udara sejuk!". Ujar Sentani seraya
menunjuk pada sebuah pohon rindang kira-kira sepu-
luh tombak di sebelah mereka.
Tak berapa lama mereka sudah berkumpul di
tempat itu. Mulailah Sentani membuka kisah penutu-
rannya. Setelah menghela nafas sejenak segera mulai
bicara.
"Sebenarnya kejadian itu tak ada yang menge-
tahui, akan tetapi banyak dugaan orang memperkuat
siapa pelaku dari pembunuhan itu... Kejadian itu ber-
langsung sudah dua hari ini, yaitu pada malam pen-
gantinnya Kanjeng Gusti Adipati..."
Rekso Jiwo beliakkan matanya mendengar
ayahnya ternyata telah kawin lagi untuk yang kelima
kalinya. Siapakah pengantin wanitanya...? Berkata
Rekso Jiwo dalam hati, akan tetapi dia tak hendak
memutuskan cerita Sentani. Hingga Sentani terus be-
rikan penuturannya panjang lebar pada Rekso Jiwo.
Tentu saja dengan beberapa dugaan yang dia berikan
semaunya saja mengenai pelaku pembunuhan itu.
Sementara Rekso Jiwo mendengarkan dengan wajah
sebentar pucat sebentar merah.
"Tak mungkin rasanya Ratih Dewi yang mela-
kukannya. Dia seorang wanita Lemah. Dugaanku ada-
lah ada orang kedua di belakang Ratih Dewi, yang sen-
gaja melenyapkan nyawa Gusti Kanjeng Adipati dan
membawa kabur gadis itu... !" Ujar Sentani setelah
mengakhiri penuturannya.
"Maksudmu siapa...?". Tanya Rekso Jiwo. Sepa-
sang alisnya bergerak menyatu dengan mata membela-
lak menatap Sentanu.
"Heh! Siapa lagi kalau bukan PRAMANA...! Pe-
muda murid Panembahan Galih Kumitir Ketua Pergu-
ruan ELANG PUTIH itu adalah kekasihnya. Buktinya
begitu ramanda mu tewas, si Pramana itu lenyap tak
ketahuan ke mana perginya...!". Ujar Sentani.
"Bedebah...! Benar paman, dugaanmu pasti tak
akan meleset. Tunggu kelak kedatanganku orang-
orang Elang Putih!". Teriak Rekso Jiwo dengan kema-
rahan luar biasa. Selanjutnya mereka segera bubar.
Rekso Jiwo kelebatkan tubuhnya untuk segera be-
rangkat menuju gedung Kadipaten.
* * *
Panembahan Galih Kumitir duduk di tengah
ruangan padepokan. Sementara lima belas orang mu-
rid-muridnya duduk bersimpuh di hadapannya.
Para Kendala murid tertuanya berada di sebe-
lah kiri ketua Perguruan Elang Putih itu. Tampaknya
ada sesuatu yang tengah dibicarakan oleh sang Pa-
nembahan. Laki-laki tua yang berusia lebih dari seten-
gah abad itu tampak duduk merenung dengan sepa-
sang mata terpejam. Sementara jari-jari tangannya
mengelus-elus jenggotnya yang panjang memutih. Ke-
palanya terbungkus dengan belitan kain kasar berwar-
na putih. Memakai jubah warna abu-abu yang tidak
terlalu bagus, tetapi bersih. Terdengar sang ketua
Elang Putih itu menghela napas, lalu berujar;
"Kita dalam kesulitan murid-muridku. Karena
orang-orang Kadipaten menganggap kita telah terlibat
dalam perkara pembunuhan Adipati Banu Rekso ...!".
Terkejut kelima belas murid-murid sang Pa-
nembahan. Mereka tatapkan pandangan pada gurunya
dengan wajah pucat. Beberapa orang saling pandang
dengan kawannya.
"Mengapa demikian Guru...? Kita tak mengeta-
hui masalah pembunuhan itu, mengapa kita bisa terli-
bat...?" Bertanya salah seorang yang duduk paling de-
pan.
"Hm, semua ini adalah karena kesalahan yang
sengaja dijatuhkan pada kita!"
"Apakah kita tak patut mencurigai juga, guru!
Bisa saja Pramana dianggap yang telah mem-
bunuh Adipati dan melarikan Ratih Dewi, karena gad
is anak Ki Demang itu adalah kekasihnya! Cinta terka-
dang bisa membuat orang jadi kejam, dan merubah fi-
kiran sehat menjadi tidak waras...!". Berkata Parta
Kendala, si murid tertua sang Panembahan.
"Tidak...! Aku tak sependapat. Aku tahu watak
serta pribadinya. Sejak selama empat tahun dalam
gemblengan ku, tak nantinya dia berhati telengas! Tin-
dakan itu pasti telah difikirkan sebelumnya, karena
dengan berbuat demikian berarti dia telah membawa
Perguruan Elang Putih ke ambang kehancuran...! Ja-
lan terbaik adalah kau Parta Kendala segera pergi ber-
sama beberapa orang saudara seperguruanmu mencari
di mana adanya Pramana ...!" Akan tetapi terlambat
sudah, karena pada waktu itu juga sudah terdengar
suara teriakan di luar padepokan..
"Orang-orang Elang Putih! Keluarlah kalian...!
Aku REKSO JIWO akan menuntut balas kematian
ayahku...!". Terkejut semua yang hadir termasuk sang
Panembahan Galih Kumitir. Parta Kendala sudah me-
lompat ke luar diikuti lima belas orang murid-murid
sang Panembahan.
"Bagus...! Mana Tua bangka keparat gurumu si
Ketua Elang Putih. Suruh dia menghadapku...!".
Teriak laki-laki tegap di luar padepokan itu.
Ternyata di sisi Rekso Jiwo, tegak berdiri seorang ka-
kek berjubah hitam berwajah kaku, dengan sebelah
matanya meram. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Pada lengannya tergenggam sebuah tongkat bercagak
dua, berwarna hitam. Semua murid-murid Perguruan
Elang Putih segera pentang mata untuk melihat ke
arah kedua orang itu. Parta Kendala belum menjawab,
namun sang Panembahan Galih Kumitir telah berada
di muka pintu padepokan. Tampak wajah sang Pa-
nembahan tampilkan perubahan melihat si kakek ber-
jubah hitam itu.
Tak salah lagi, dia si Setan Hitam! Ada apakah
dia muncul di sini...? Gumam sang Panembahan Galih
Kumitir dalam hati. Akan tetapi dia sudah mengetahui
kalau manusia itu adalah Gurunya Rekso Jiwo, anak
Adipati Banu Rekso itu.
"He he he... he he... Bagus! Bagus... ! Selamat
berjumpa Elang Putih. Kiranya baru sekarang kita ber-
jumpa setelah hampir sepuluh tahun tak bertemu. Tak
dinyana kau kini sudah jadi ketua Perguruan dan
punya kewibawaan di desa ini...!" Terdengar suara si
kakek jubah hitam yang ditujukan pada sang Panem-
bahan Galih.
"Angin apakah yang telah meniup mu datang
kemari, Setan Hitam?. Kami merasa tak mempunyai
kesalahan, mengapa datang-datang Raden Rekso Jiwo
muridmu ini mau menuntut balas kematian ayahan-
danya... ?".
"Bedebah...! Tua bangka keparat... ! Muridmu
yang bernama Pramana itulah yang telah melakukan
perbuatan keji. Masakan aku akan tinggal diam?. Ka-
lau muridnya pembunuh dan juga telah melarikan istri
orang, tentu Gurunya yang harus bertanggung ja-
wab...!". Teriak Rekso Jiwo dengan wajah berang.
"Tutup mulutmu Rekso Jiwo...! Kau menuduh
orang yang belum jelas kesalahannya. Belum tentu itu
perbuatan saudara seperguruanku!". Teriak Parta
Kendala. Laki-laki ini amat gusar, karena Gurunya di-
maki-maki seenaknya.
"Hoh...! Aku telah kehilangan ayahanda ku, ju-
ga seluruh rakyat di wilayah ini telah kehilangan pe-
mimpinnya. Kalau tak kutumpas biang keladi pembu-
nuhnya, serta meratakan padepokan ini dengan tanah
janganlah aku bisa meram tidur...! Kini tunjukkan di
mana adanya si bedebah Pramana itu. Kalian kira den-
gan menyembunyikan pemuda itu, kalian akan
aman....?. Huh! Jangan kalian harap...!". Merasa kata-
katanya diremehkan, Parta Kendala jadi naik pitam.
Tubuhnya sudah melompat ke hadapan Rekso Jiwo.
"Maaf, sobat Rekso Jiwo! Perguruan kami tak
menerima kedatangan tetamu yang tak tahu adat!
Silahkan kalian keluar...! Pramana sudah turun
gunung sebelum terjadi kejadian pembunuhan itu. Ka-
lau kau menganggap saudara seperguruanku itu yang
melakukan, tentu saja kami tidak terima...!". Kata-kata
pedas Parta Kendala membuat alis Rekso Jiwo naik ke
atas, lalu bergerak turun menyatu. Sepasang matanya
menatap Parta Kendala dengan sinar kemarahan. Tiba-
tiba Rekso Jiwo sudah keluarkan teriakan keras. Sebe-
lah lengannya bergerak menghantam dada laki-laki itu.
PLAK...! Parta Kendala cepat silangkan lengan
untuk menangkis. Tampak tubuh kedua pemuda itu
terhuyung. Dalam segebrakan saja, mereka telah sal-
ing menjajal kekuatan tenaga dalam lawan.
"Bagus...! Urusan tak perlu berlama-lama mu-
ridku. Manusia-manusia yang cuma menyebalkan ini
sebaiknya cepat-cepat disingkirkan dari wilayah
mu...!". Berkata si Setan Hitam dengan nada sinis.
Tentu saja kelima belas murid-murid perguruan Elang
Putih tak tinggal diam. Segera sudah mengurung me-
reka.
"Kalian mencari keributan tanpa sebab dan
bukti yang kuat, kami akan mempertahankan kebena-
ran. Karena kami yakin kejadian itu bukan perbuatan
saudara seperguruan kami...!" Berkata salah seorang
dari tiga murid utama Panembahan Galih.
Yaitu yang bernama Subala. Pada saat itu su-
dah berkelebat tubuh sang Panembahan ke dalam pa-
depokan.
"Tahan...! Sebaiknya kita bermusyawarah. Atau
kalau perlu kami akan berusaha mencari Pramana,
untuk membuktikan kebenaran tuduhanmu itu, raden
Rekso Jiwo!".
Akan tetapi jawabannya adalah serangan hebat
yang dilancarkan si Setan Hitam. Satu pukulan keras
bertenaga dalam telah menghantam dada sang panem-
bahan secara tak terduga.
BUK...! Terdengar laki-laki tua itu mengeluh.
Tubuhnya terdorong ke belakang beberapa langkah.
Gusarlah sang Panembahan.
Pukulan itu cukup membuat dada sang pa-
nembahan terasa sesak. Beruntung tidak terlalu keras,
karena si Setan Hitam itu sengaja menguji kekuatan
lawan.
"He he he... Sebaiknya kita bermusyawarah di
atas pertarungan, Elang Putih! Ingin kulihat sudah
sampai di mana kehebatan ilmu silatmu sejak sepuluh
tahun ini...!". Teriak si kakek berjubah hitam. "Huh...!
Kalian memang sengaja mencari keributan...! Baik!
Aku akan hadapi kau... Setan Hitam!". Berkata sang
panembahan. Selanjutnya dia sudah mengirim satu
pukulan dengan jurus Elang Sakti Menyambar Mang-
sa. Hebat pukulan itu, yang ternyata dibarengi dengan
cengkeraman yang mengarah ke batok kepala si Setan
Hitam. Suara angin menderu keras ketika lengan-
lengan si Elang Putih itu bergerak ke arah lawan. Na-
mun dengan berseru keras, si Tongkat Setan Hitam te-
lah sambarkan tongkatnya, yang bersitkan hawa din-
gin.
Tubuh Elang Putih berbalik untuk menukik.
Sepasang lengannya telah ditarik lagi. Kini telah jejak-
kan kaki di tanah. Cuma sekejap, karena selanjutnya
sudah hantamkan telapak tangan mengarah dada. In-
ilah jurus pukulan Menghantam Bukit. Terkejut si Se-
tan Hitam. Akan tetapi dengan tertawa dingin sudah
disambutnya serangan itu. Justru anehnya dia tak
menggerakkan tangan untuk menangkis.
BUK...! Hantaman itu telah mengenai sasaran-
nya dengan telak. Terkejut sang Panembahan, karena
lengannya seperti menghantam kapas... Tenaga puku-
lannya seperti lenyap tak berbekas.
Pada saat itulah tongkat si Setan Hitam berke-
lebat menyambar kaki. Disertai lengan jubahnya ber-
gerak menghantam kepala lawan.
Dalam posisi demikian ternyata cukup sulit un-
tuk menghindar. Namun dengan gulingkan tubuhnya
serta lakukan salto beberapa kali, ternyata si Elang
Putih telah mampu menyelamatkan diri. Namun tak
urung jubahnya kena disambar robek.
"Bagus...! Masih lincah juga kau, Elang Pu
tih...!" Teriak si Setan Hitam. Dia tidak mengejar. Akan
tetapi bahkan berkelebat ke arah pertarungan, di ma-
na tiga orang murid utama si Elang Putih tengah ber-
tarung dengan Rekso Jiwo. "Celaka Guru...! Kita tak
akan dapat menang melawannya.. !". Berkata sang Mu-
rid. Tercenung sang panembahan. Dilihatnya satu per-
satu para muridnya dibantai habis oleh Rekso Jiwo.
Pemuda itu cuma pergunakan lengan kosong saja, tapi
mampu mematahkan setiap serangan yang datang.
Bahkan bila sepasang lengannya bergerak, tentu akan
jatuh bertumbangan tubuh para muridnya dengan da-
da remuk.
"Iblis telengas! Hadapilah aku...!". Sang panem-
bahan gusar bukan main melihat keadaan para mu-
ridnya. Dengan menggerung keras dia sudah hantam-
kan pukulannya bertubi-tubi. Dengan tertawa jumawa
si kakek jubah hitam itu putarkan tongkatnya meng-
halau serangan. Sebentar saja pertarungan kedua to-
koh yang sudah kawakan dan telah lama tak bertemu
itu terjadi dengan hebatnya. Dua puluh jurus telah
berlalu, akan tetapi si Elang Putih tetap tak mampu
menembus bentengan hitam yang melindungi tubuh si
Setan Hitam. Bentengan hitam itu seperti mengelua-
rkan hawa aneh yang dinginnya luar biasa, yaitu dari
putaran tongkat si Setan Hitam.
Sementara Parta Kendala sudah pula melompat
untuk menerjang Rekso Jiwo. Pemuda ini tertawa si-
nis. Merasa ada sambaran angin di belakangnya, dia
sudah balikkan tubuh secepat kilat dan lancarkan
hantaman lengannya memapaki serangan.
WUT! WUT! Kedua pukulan masing-masing di
elakkan oleh mereka. Akan tetapi tenaga pukulan telah
membuat ikat kepala Rekso Jiwo terlepas. Pemuda ini
tampak gusar. Tiba-tiba dia telah cabut keluar senja-
tanya. Yaitu sebuah pedang berwarna hitam. Terkejut
Parta Kendala karena sinar dari pedang itu membuat
hawa mengantuk pada sepasang matanya.
Empat orang sisa para murid sang Panemba-
han terkejut melihat sinar hitam yang telah membuat
tubuhnya bergidik, karena pedang itu keluarkan hawa
dingin yang aneh. Ketika senjata itu digerakkan berpu-
tar, segera membersit keluar suara bagaikan hantu-
hantu yang tertawa cekikikan, disertai hawa mengan-
tuk yang menyerang mereka.
"Ilmu Sihir Hitam...!". Terperangah seketika
Parta Kendala. Dia pernah mendengar dari Gurunya
akan adanya Pedang Setan ini yang telah lenyap dua
puluh tahun yang lalu. Tak dinyana kalau benda pu-
saka itu akan muncul lagi. Dan anehnya berada
di tangan Rekso Jiwo. Sementara pada saat itu
sang Panembahan Galih Kumitir dalam keadaan terde-
sak. Namun masih sempat melihat ke arah Parta Ken-
dala yang tengah terperangah menatap pada Rekso Ji-
wo yang keluarkan Pedang Pusaka berwarna hitam itu.
Terkejut pendekar tua ini, karena segera dia sudah
mengenali senjata langka itu. Celaka...! Parta Kendala
harus cepat-cepat menyingkir pergi sebelum terlambat.
Pikir sang Panembahan. Akan tetapi justru terpecah-
nya perhatian, membuat kesempatan baik tak disia-
siakan oleh si Setan Hitam. Satu serangan ke arah da-
da dengan gerak tipuan, membuat si Elang
Putih melompat menghindar. Lompatan yang
sudah diperhitungkan itu ternyata adalah kesempatan
yang paling baik untuk menghantamkan tongkatnya.
BUK...! Terdengar suara teriakan keras sang
Panembahan, tubuhnya terjungkal dan menggelinding
beberapa kali. Ketika berhenti tampak jubahnya ba-
gian dada telah sobek hangus. Wajah sang panemba-
han tampak pucat pias, karena terasa dadanya remuk
terhantam tongkat si Satan Hitam. Akan tetapi dia su
dah berteriak untuk memperingati murid tertuanya.
"Parta Kendala, muridku... Pergilah cepat. Se-
lamatkan dirimu... Suaranya putus seketika, berba-
reng dengan berkelebatnya tongkat si Setan
Hitam yang menembus dadanya. Detik itu, Par-
ta Kendala sudah segera sadar akan apa yang harus
dikerjakan. Sekejap, sang murid tertua panembahan
Galih Kumitir itu sudah berkelebat cepat untuk ting-
galkan padepokan. Gerakan yang tak terduga itu
membuat Rekso Jiwo tak sempat untuk mengejar. Se-
mentara dilihatnya sisa empat orang dari murid-murid
Perguruan Elang Putih itu beranjak untuk melarikan
diri.
Kemendongkolan hatinya jadi ditumpahkan pa-
da mereka. Terdengar suara bentakannya, dan ketika
tubuh Rekso Jiwo berkelebat, segera sinar pedang
yang memukau itu telah membuat mereka berhenti
berlari. Selanjutnya sudah terdengar jeritan-jeritan
mengerikan, ketika dada dan leher mereka terkoyak
oleh tebasan pedang.
Bertumbanganlah keempat tubuh murid-murid
sang Panembahan, untuk roboh mandi darah. Setelah
berkelojotan, kemudian tewas.
"Bagus, muridku...! Menumpas musuh harus
sampai akarnya. Kelak harus kau cari satu orang yang
tadi melarikan diri. Dan cari si Pramana itu...!" Berkata
si Setan Hitam, yang sudah mencabut tongkatnya dari
hujamannya di dada sang Panembahan Galih Kumitir
alias si Elang Putih.
"He he he ... kekalahan 10 tahun yang lalu te-
lah tertebus, muridku...! Si Ketua Perguruan ELANG
PUTIH ini dulunya manusia yang selalu ikut campur
urusan orang. Dia dulu berjulukan si Pendekar Elang
Putih. Beberapa orang saudara seperguruanku tewas
di tangannya. Cuma aku yang berhasil lolos. Namun
sejak aku memperdalam ilmu silatku hingga ku berha-
sil memiliki Pedang Setan di tanganmu itu, dia sudah
bukan apa-apa lagi bagiku. He he he... kelak kau boleh
dirikan lagi Perguruan yang pasti sebentar akan mem-
buat kewibawaan mu terkenal ke setiap penjuru...!".
Rekso Jiwo manggut-manggut dengan terse-
nyum, lalu sarungkan lagi Pedang Setannya ke bela-
kang
punggung. Kedatangan sang Guru memang
amat di harapkan oleh Rekso Jiwo, yang memang me-
merlukan bantuan untuk melenyapkan sang Panem-
bahan Galih Kumitir. Ternyata justru datang dengan
membawa Pedang Setan yang diberikan padanya...
Sementara diam-diam Rekso Jiwo bergirang ha-
ti juga, karena dengan kematian ayahnya kelak dia bi-
sa menggantikan kedudukan sebagai Adipati yang
menguasai beberapa wilayah, serta punya wibawa.
Namun walau bagaimana tetap saja dia merasa
kehilangan, atas kematian sang Adipati Banu Rekso
ayahnya...
D U A
PRAMANA sudah jauh meninggalkan kawasan
perguruan Elang Putih. Tatapannya tak bergairah me-
natap ke depan. Berkali-kali terdengar dia menghela
nafas. Ditatapnya burung-burung elang di angkasa,
dan seketika teringatlah dia akan Gurunya sang Pa-
nembahan Galih Kumitir yang bergelar Pendekar Elang
Putih itu. Terasa trenyuh hatinya. Orang tua itu sudah
menggemblengnya dengan pelbagai ilmu kedigjayaan
selama lebih dari empat tahun. Kini dia meninggalkan
Perguruan karena semata-mata buat melipur hatinya
yang terluka. Karena untuk terus berdiam di sana cu-
ma akan membuat hatinya semakin pedih. Cintanya
terlalu besar pada Ratih Dewi. Kepergiannya justru un-
tuk menenangkan perasaan hatinya yang kalut.
Beberapa saat kemudian dia telah tiba di sisi
sebuah muara sungai yang di kiri-kanannya banyak
tumbuh rumput ilalang, serta pohon-pohon rimbun.
Keadaan di sini memang lebih menyenangkan. Peman-
dangan yang cukup bagus! Pikir Pramana. Dia pun
mengambil keputusan untuk menetap di sekitar hutan
itu.
Pramana adalah anak yatim piatu.
Ketika kejadian perampokan dua belas tahun
yang lalu dia masih kecil. Tak banyak yang diketahui
dengan kematian kedua orang tuanya. Cuma yang di-
ingatnya adalah dia mempunyai seorang saudara kem-
bar yang bernama WIRATMANA.
Wiratmana terhitung kakaknya, karena lahir
lebih dulu. Namun sejak kejadian mengerikan yang
menimpa keluarganya, Pramana tak mengetahui ke
mana gerangan sang kakak. Seingatnya adalah, dia
ikut bersama seorang laki-laki tua yang dipanggilnya
paman WANGSIT.
Ketika Pramana berusia lima belas tahun, pa-
man Wangsit meninggal karena usia tua dan serangan
penyakit yang dideritanya. Sayang paman Wangsit tak
pernah bisa menceritakan peristiwa kematian orang
tuanya, karena paman Wangsit adalah orang yang tu-
nawicara alias gagu. Pramana pergi mengembara ke
mana saja sepembawa kakinya. Lalu berjumpa dengan
seorang tua bernama Galih Kumitir. Demikianlah,
hingga dia menetap di padepokan ELANG PUTIH, ber-
sama gurunya Panembahan Galih Kumitir itu.
Telah beberapa hari ini Pramana merasa ha-
tinya tak enak. Lama-lama merasa bosan juga dia ting
gal di hutan rimba itu. Suatu hari terkejut ketika ten-
gah berburu mengejar pelanduk, telah mendengar sua-
ra jeritan seorang wanita. Suara itu seperti berteriak
minta tolong, yang nampaknya amat ketakutan sekali.
Apakah yang terjadi...? Sentak hati pemuda itu.
Sekejap tubuhnya sudah berkelebat melompat untuk
mencari di mana arah suara itu.
Dengan pergunakan indra pendengarannya
yang cukup tajam, Pramana menyusup ke semak be-
lukar. Suara teriakan itu semakin jelas. Lalu bergegas
melompat ke sebatang pohon. Dari atas cabang segera
dia dapat menyaksikan kejadian di bawahnya.
Ternyata seorang gadis tengah berteriak-teriak
dikejar beberapa orang laki-laki yang menyoren senjata
di pinggang. Bahkan salah seorang sudah berhasil
memenangkannya. Siapakah mereka...?. Dan siapa pu-
la gadis itu...?. Sentak Hati Pramana.
Dengan gerakan ringan Pramana melompat tu-
run. Jarak di hadapannya masih sekitar dua puluh
tombak. Tak berapa lama dia sudah mengintai di balik
semak belukar.
"Tidaak...! Tidaak...! Jangan ganggu aku! To-
looong...!". Teriak gadis itu.
"Ha ha ha... berteriaklah sekuatmu, manis. Di
tempat ini tak ada pendekar yang nyasar, untuk meno-
longmu!". Berkata salah seorang, yang tak lain dari
SENTANI. Beberapa orang anak buahnya telah berhasil
meringkus wanita itu.
Sementara itu di tempat persembunyiannya,
Pramana jadi terkejut, karena gadis itu tak lain dari
RATIH DEWI. Istri Adipati Banu Rekso, alias bekas ke-
kasihnya sendiri. Pramana menahan diri untuk tetap
di tempat persembunyiannya. Sepasang matanya me-
natap dengan berbagai pertanyaan memenuhi benak-
nya. Apakah yang terjadi dengan Ratih Dewi...?. Apa
kah dia melarikan diri dari Kadipaten?.
"Hahaha... haha... Aku akan mendapat hadiah
besar bila membawamu ke Kadipaten, bocah ayu...!
Kau telah membawa bencana besar, dengan
terbunuhnya Adipati Banu Rekso. Katakanlah, siapa
yang telah lakukan pembunuhan itu...!". Tanya Senta-
ni seraya mencekal dagu Ratih Dewi. Gadis ini so-
rotkan wajah ketakutan, akan tetapi segera menjawab
setelah kuatkan hati. Toh dia akan mati setelah usa-
hanya melarikan diri gagal. Dan kini tertangkap di tan-
gan orang-orang bayaran dari kadipaten! Pikir Ratih
Dewi.
"Heh! Baik aku katakan!. Akulah yang membu-
nuhnya, karena aku tak sudi menjadi istri kelima Adi-
pati itu. Aku bukan ayam yang dapat diperbuat se-
maunya. Manusia itu telah merenggutkan diriku dari
orang yang kucintai, yaitu Pramana! Nah! Jelaslah su-
dah! Kini bunuhlah aku sekarang juga. Tak perlu kau
bawa aku ke Kadipaten...! Bunuhlah! Bunuh...!". Te-
riak sang dara, yang dengan mata beringas menantang
wajah Sentani. Kata-kata itu membuat Sentani jadi
melengak, akan tetapi dia sudah tertawa lebar seraya
berkata.
"Hahaha... Bagus! Tapi apakah kata-katamu itu
bisa dipercaya...?. Aku tak yakin kau yang membu-
nuhnya! Akan tetapi biarlah, lupakan saja mengenai
siapa yang melakukannya. Namun untuk membu-
nuhmu siang-siang adalah amat disayangkan. Kau
masih pengantin baru, dan... kau memang amat mem-
pesonakan. Pantas kalau mendiang Adipati Banu Rek-
so menginginkan kau jadi istrinya...!".
Tampak sepasang mata Sentani semakin binal.
Juluran lengannya semakin turun ke leher, yang ke-
mudian meraba ke dada. Menggelinjang tubuh Ratih
Dewi untuk meronta. Wajahnya merah padam dan terasa jantungnya berdebar keras. Untuk menghadapi
kematian tak ditakutinya, akan tetapi justru satu hal
yang seperti sudah terbayang di depan matanya saja
yang dikhawatiri. Ketika tahu-tahu lengan Sentani te-
lah menotok tubuhnya. Ratih Dewi perdengarkan ke-
luhan, dan seketika tulang-tulang persendiannya tera-
sa lemah. Kepalanya terkulai menunduk.
"Ha ha ha... Tinggalkan wanita ini, dan kalian
boleh beristirahat agak jauhan...!"
Berkata Sentani pada anak buahnya. Tiga
orang yang mencekal tubuh si dara itu segera mere-
bahkan tubuh yang sudah tak berdaya itu di rerumpu-
tan. Lalu cepat-cepat menghilang pergi ke balik semak.
Sementara beberapa orang lainnya sudah melangkah
pergi menjauh. Namun tidak terlalu jauh, sudah ber-
henti untuk palingkan tubuhnya. Tentu saja berpa-
sang-pasang mata dari anak buah Sentanu, menatap
ke arah sang ketuanya.
BRET! BRET...!
BREEET... ! Lagi-lagi lengannya bergerak untuk
menyibakkan kain penutup tubuh yang putih mulus
itu... Segera saja satu pemandangan yang mendebar-
kan membuat sepasang mata Sentani semakin melebar
bulat, seolah kedua biji matanya mau meloncat keluar
dari kelopaknya. Napas Sentani semakin menggebu.
Bibirnya terbuka menyeringai meneteskan air liur. Se-
lanjutnya dia sudah gerakkan lengannya membuka
kancing bajunya, yang seperti sekejap saja sang baju
bagian atasnya telah diloloskan terbuka. Golok pan-
jang yang tersoren di pinggang segera di copotnya ter-
lebih dulu berikut sarungnya. Tampaknya Sentani su-
dah tak sabar untuk menerkam. Akan tetapi pada saat
itu juga, tiba-tiba terdengar sebuah bentakan keras.
Satu hantaman kaki telah membuat tubuh Sentani ja-
tuh tersungkur ke sebelah kiri. Terjangan hebat itu
membuat seketika tubuhnya menggelinding sejauh
empat tombak. Bukan saja Sentani yang terkejut, akan
tetapi juga anak buahnya. Karena segera mereka meli-
hat di tempat itu telah berdiri tegak sesosok tubuh,
yang tak lain dari Pramana.
"Setan Alas...! Kiranya kau bersembunyi di si-
ni...?. Bagus! Anak-anak. ringkus dia...! Dia si PRA-
MANA...!". Teriak Sentani dengan wajah merah padam.
Beberapa anak buahnya yang tadi terkesima,
seketika sadar kembali. Serentak mereka bergerak
mengurung Pramana dengan mencabut senjatanya
masing-masing.
Pertarungan pun segera terjadi. Pramana telah
mencabut keluar pedangnya untuk menangkis seran-
gan-serangan gencar para anak buah Sentani. Prama-
na dan kawan-kawannya memang pernah bentrok
dengan Sentani dan anak-anak buahnya setahun yang
lalu, yang dilerai oleh Ki Demang. Kini untuk kedua
kalinya Pramana berhadapan dengan orang-orang Sen-
tani dengan lain persoalan.
Kalau dulu adalah karena membela seorang
pedagang yang uang dan dagangannya dikuras habis
oleh begundal-begundal ini, akan tetapi sekarang ada-
lah karena membela kehormatan seorang wanita yang
adalah bekas kekasihnya sendiri.
Suara benturan-benturan senjata tajam, serta
teriakan-teriakan dan bentakan segera mengoyak ke-
sunyian di mulut hutan itu.
Dua orang roboh terjungkal terkena tebasan
pedang Pramana. Untuk pertarungan ini Pramana te-
lah keluarkan jurus-jurus permainan pedangnya yang
berkelebatan hebat. Tiga orang merangsak maju den-
gan berteriak membentak. Tiga buah golok berkeleba-
tan menabas pemuda itu.
Nyaris memapas pinggangnya, kalau Pramana
tak cepat berkelit. Selanjutnya kembali terjadi perta-
rungan dua lawan satu. Pramana terus merangsak la-
wan-lawannya. Jelas ilmu pedang dari jurus-jurus
Elang Putih cukup membuat anak-anak buah Sentani
agak gentar. Namun khawatir dibentak oleh ketuanya
mereka terpaksa dengan bersemangat kembali maju
menempur. Delapan orang anak buah Sentani kini
tinggal enam orang. Dua orang sudah terkapar tak
bernyawa.
Setahun belakangan ini ternyata membuat ke-
pandaian Pramana maju pesat, tapi dengan menge-
royok bersama rasanya tak mungkin kalau tak dapat
meringkusnya...! Demikian pikir Sentani. Tiba-tiba dia
sudah melompat untuk turut menempur Pramana!
Menghadapi empat orang anak buah Sentani ditambah
lagi dengan kedatangan si Ketua begundal-begundal
itu, ternyata membuat Pramana cukup kewalahan ju-
ga. Di samping satu keteledoran telah membuat len-
gannya terluka.
"He he... Bagus! Ayo, serang terus... !". Teriak
Sentani memberi semangat pada anak buahnya. Meli-
hat darah semakin mengucur di lengan Pramana. Sen-
tani tertawa gelak-gelak. "Ha ha ha... Semua senjata
anak buahku telah direndam dengan racun. Kau harus
hati-hati dengan lukamu Pramana, karena lebih ba-
nyak bergerak racun akan cepat menjalar!" Teriak Sen-
tani.
Terkesiap juga hati Pramana mendengar teria-
kan Sentani. Padahal Sentani hanya menggertaknya.
Namun hal itu telah membuat gerakannya tidak lagi
terarah. Permainan ilmu pedangnya agak kacau. justru
hal itu yang diinginkan Sentani.
Pramana mengeluh panjang, tubuhnya jatuh
bergulingan tanpa dapat dicegah lagi. Saat itu Sentanu
kembali lancarkan serangan ganasnya. Goloknya meluncur deras menyambar tubuh Pramana. Akan tetapi
pada saat yang genting itu berkelebat sesosok tubuh
menghalau serangan ganas Sentani.
TRANG...! Terdengar suara beradunya dua sen-
jata tajam. Terkejut Sentani. Benturan keras itu mem-
buat tubuhnya terhuyung ke belakang beberapa tin-
dak. Terasa telapak tangannya tergetar, yang nyaris
saja membuat goloknya terlepas dari tangannya. Be-
lum lagi diketahui siapa yang datang, sang penolong
itu sudah berkelebat menyambar lengan pemuda itu
untuk ditariknya pergi. Dalam beberapa kejap saja su-
dah lenyap di balik semak belukar.
"Sudahlah! Tak usah dikejar. Mari kita kembali
...!". Sentani sudah mendahului melompat ke arah aw-
al pertarungan tadi. Akan tetapi terkejut Sentani kare-
na tak mendapatkan tubuh Ratih Dewi di tempatnya
lagi.
"Hah...! Kemana perempuan itu...?!". Teriak
Sentani dengan kepala berpaling ke beberapa arah. Dia
cuma dapatkan sisa-sisa sobekan kain dan baju wani-
ta itu saja yang berceceran di rerumputan, serta ba-
junya sendiri yang tadi dilepaskan. Apakah wanita itu
dapat melepaskan diri dari pengaruh totokannya?. Bu-
kankah dia tadi dalam keadaan pingsan?. Berfikir Sen-
tani dalam benaknya.
Tiba-tiba Sentani telah melompat ke arah se
orang anak buahnya yang terluka.
"Kau tidak melihatnya...?". Tanyanya dengan
plototkan sepasang mata pada si anak buah.
Laki-laki yang terluka itu cuma gelengkan ke-
pala dengan lemah. Sementara bibirnya tampak me-
nyeringai menahan sakit dari luka goresan pedang di
dadanya.
"Bodoh! Goblok: Dungu... !" Berteriak Sentani
memaki. Lalu palingkan kepala pada keempat anak
buahnya.
"Hayo kalian cari perempuan itu Serentak
hampir berbareng mereka menyahuti, dan sege-
ra berkelebatan mencari dengan berpencar. Sementara
Sentani sendiri duduk mendeprok sambil menggaruk-
garuk kepalanya yang tidak gatal. Namun tak berapa
lama, satu persatu sudah kembali lagi, seraya memberi
laporan nihil.
* * *
PRAMANA mengikuti orang yang menarik len-
gannya itu untuk berlari cepat menembus hutan rimba
belantara. Beberapa saat antaranya mereka sudah
hentikan larinya. Terkejut juga girang hati Pramana
mengetahui orang itu tak lain dari kakak sepergu-
ruannya, yaitu Parta Kendala.
"Terima kasih kakang...! Kalau tak ditolong mu
mungkin aku sudah celaka!". Berkata Pramana. Parta
Kendala tak menyahut, tapi balikkan tubuhnya untuk
menatap ke arah lain. Wajahnya kaku tak menampak-
kan senyum secuilpun. Kedua tangannya tampak ter-
kepal, dan sesaat sudah tundukkan kepala disertai
terdengarnya suara helaan napas.
"Kakang...!? Kenapakah kau? Kalau kau tak
mau dengar ucapan terima kasihku mengapa kau to-
long aku?". Berkata Pramana. Tiba-tiba Parta Kendala
balikkan tubuhnya, dengan wajah memerah. Sepasang
matanya tampak berkaca-kaca menatap pada adik se-
perguruannya. Terkejut Pramana melihatnya. Hatinya
tersentak seketika. Pasti ada apa-apa yang terjadi, pi-
kirnya.
"Kakang Parta Kendala! Maafkanlah aku. Kata-
kanlah kakang, apa gerangan yang membuatmu ber-
sedih? Apakah karena aku dituduh orang-orang Kadipaten telah membunuh Kanjeng Adipati Banu Rek-
so...?". Tanya Pramana dengan suara lembut. Sang ka-
kak seperguruan tak menjawab, tapi menggelengkan
kepalanya.
"Bukan itu yang jadi masalah, Pramana!". Ak-
hirnya Parta Kendala bicara juga. "Akan tetapi..." Sam-
bung kata-katanya; dan seterusnya segera tuturkan
peristiwa di Padepokan Perguruan Elang Putih bebera-
pa hari yang lalu.
Serasa mendengar petir menggelegar di siang
hari layaknya, Pramana terkejut bukan main. Sepa-
sang matanya membeliak seperti tak percaya. Dadanya
tergetar menahan kepedihan yang amat luar biasa.
"Aku cuma bisa melihat kematian Guru dari ke-
jauhan. Semua saudara-saudara seperguruan kita tak
satupun yang hidup! Kalau aku tak menuruti perintah
Guru waktu itu untuk menyelamatkan diri, mungkin
akupun sudah tak hidup lagi di Dunia ini!" Ujar Parta
Kendala mengakhiri penuturannya.
"Kakang Parta Kendala...! Ini semua adalah ga-
ra-gara kepergianku! Hingga aku dituduh Rekso Jiwo
melarikan Ratih Dewi dan membunuh sang Adipati.
Maafkanlah aku, kakang! Kini apa yang harus
kita perbuat?". Berkata Pramana. Wajah Parta Kendala
kini menampakkan senyum, walau sepasang matanya
masih berkaca-kaca. Seraya ujarnya;
"Kau tak bersalah, Pramana. Mungkin kesala-
han itu terletak pada nasib. Dan berpangkal pada ke-
nekadan Ratih Dewi, yang nekad melenyapkan jiwa
Adipati Banu Rekso, suaminya! Kukira titik kesala-
hannya adalah pada kekasihmu itu, Pramana!".
"Akan tetapi hal itu tak bisa menjadikan orang-
orang ELANG PUTIH kehilangan segala-galanya. Teriak
Pramana, yang secara tak sadar telah keluarkan suara
keras. Wajahnya tampak merah padam, dadanya tu
run-naik. Pramana tak dapat menerima alasan yang
dilontarkan Rekso Jiwo, sebagai dalih untuk menum-
pas habis Perguruan Elang Putih. "Aku akan menuntut
balas kematian Guru dan saudara-saudara sepergu-
ruan kita itu, kelak...!". Berkata Pratama dengan
menggeram. Kedua lengannya terkepal, namun tiba-
tiba dia mengeluh seraya memegangi lengannya yang
terluka.
"Oh, aku terkena tabasan golok yang mengan-
dung racun. Apakah kau punya obat pemunah racun,
kakang?". Tanya Pramana dengan khawatir. Parta
Kendala terkejut, serta sudah melompat untuk meme-
riksa lengan Pramana. Akan tetapi selang sesaat, tiba-
tiba telah tertawa geli.
"Hahaha... Rupanya kau kena dibohongi si Sen-
tani itu. Lukamu biasa, tak beg itu membahayakan.
Tapi kau obatilah, sebentar rasa nyerinya akan hilang!"
Ujar Parta Kendala seraya berikan obat berupa serbuk
halus.
Tiba-tiba pada saat itu terdengar suara tertawa
dingin disertai berkelebatnya dua sosok tubuh. Bukan
main terkejutnya Parta Kendala, karena keduanya ada-
lah si Setan Hitam yang datang beserta muridnya. Yai-
tu Rekso Jiwo.
"Hah...?" Pucat bias seketika wajah Parta Ken-
dala. Sementara Pramana segera mengetahui siapa
yang datang. Melihat wajah pucat saudara sepergu-
ruannya ketika menatap pada si kakek berjubah hi-
tam, tahulah Pramana kalau orang itu adalah yang
berjuluk si Setan Hitam.
"Hahahehe... hehe.... Menumpas musuh harus
sampai ke akar-akarnya, muridku! Kini keduanya su-
dah berada di depan mata! Segeralah kau turun tan-
gan...!". Si kakek jubah hitam yang berwajah menye-
ramkan, dengan gigi besar-besar mencuat keluar serta
mata yang tinggal sebelah itu berkata se-enaknya. Su-
aranya seperti tempayan rengat, tak enak didengar,
dan membuat daun telinga jadi gatal seperti dikilik-
kilik.
Kalau Parta Kendala wajahnya seketika menjadi
pucat, akan tetapi sebaliknya Pramana men jadi gusar
dan kertak gigi melihat kedatangan kedua musuh yang
telah membinasakan Gurunya ini.
"Bagus... ! Macam beginikah tampangnya ma-
nusia-manusia keji yang telah membunuhi orang-
orang yang tak punya kesalahan di Padepokan Elang
Putih?". Berkata Pramana dengan sepasang mata me-
lotot tajam.
"He!? Besar juga nyalimu, bocah! Apakah kau
tak takut mati?". Bentak si Setan Hitam. Akan tetapi
jawabannya justru membuat si kakek jubah hitam ini
jadi melengak.
"Cuih...! Siapa yang takut akan mati. Bagiku
mati atau hidup sama saja tak ada bedanya.
Cuma yang berbeda adalah hidup seperti anjing hina
dan mati sebagai pahlawan, kukira lebih berharga ke-
matian!".
"Bedebah! Kunyuk...! Kurcaci semacammu lebih
baik dibuat mati tidak hiduppun tidak, barulah kau
bisa hilangkan kesombonganmu!" Bentak Rekso Jiwo.
"Bagus! Bagus! Kau buatlah dia cacat seumur
hidup, muridku. Biar lebih sengsara hidupnya melebihi
sengsaranya anjing kudisan! He he he he...". Selesai
membentak Rekso Jiwo sudah mencabut keluar Pe-
dang Setan dari sarangnya. Segera hawa dingin menyi-
bak membuat hawa aneh yang menjadikan mata seper-
ti mengantuk. Juga membuat semangat orang bisa
menghilang punah.
Sepasang mata Pramana terpaku menatap pe-
dang berwarna hitam legam itu. Adapun Parta Kendala
sudah segera salurkan kekuatan batinnya untuk me-
nolak kekuatan ilmu Hitam dari Pedang Setan. Namun
saat itu pedang dilengan Rekso Jiwo telah berkelebat
menabas ke arah leher.
WUT! Nyaris membuat putus menggelinding
kepala Parta Kendala kalau dia tak cepat membuang
diri ke samping. Akan tetapi sepasang matanya jadi
nanar, karena Rekso Jiwo telah putarkan pedangnya
membuat hawa aneh menyerang semakin hebat. Parta
Kendala hampir-hampir jatuh karena mengantuk, tak
kuat menahan tubuhnya. Saat itulah berkelebat kem-
bali beberapa kilatan Pedang Setan, yang tahu-tahu
Parta Kendala tak mampu lagi mengelakkannya.
DES! DES! Terdengar jeritan menyayat hati dari
Parta Kendala. Keadaan tubuhnya amat mengerikan,
karena kedua tangannya terpapas putus. Dan di saat
tubuh laki-laki itu terhuyung limbung, satu kilatan
Pedang Setan yang berkelebat terlalu cepat telah
menghunjam di dada Parta Kendala. Robohlah sang
murid tertua Panembahan Galih Kumitir dengan kea-
daan yang mengerikan. Tubuhnya bersimbah darah
yang menyemburat dari kedua luka lengannya yang
putus sebatas pundak.
Setelah meregang nyawa beberapa saat, maka
putuslah nyawa laki-laki murid ketua Perguruan
ELANG PUTIH itu. Pramana beliakkan sepasang ma-
tanya dengan mulut ternganga. Tubuhnya terguncang
gemetaran.
"Aku akan adu jiwa denganmu, IBLIS...!". Te-
riaknya lantang. Suaranya bagaikan hendak membuat
runtuhkan langit layaknya, saking gusarnya yang ba-
gai sudah tak terbendung lagi.
PLAK! PLAK...! WESS...! Beberapa serangan
dahsyat Pramana mendapat tangkisan telak dari len-
gan Rekso Jiwo, yang mempergunakan satu jurus hebat. Itulah jurus Tiga Iblis Membendung Lautan, yang
sudah matang dipelajarinya. Serangan yang bagaima-
napun lihainya akan punah dengan jurus itu. Karena
saat menerjang itu Pramana sendiri terheran. Seko-
nyong-konyong tubuh Rekso Jiwo seperti berubah jadi
tiga. Tentu saja serangannya lolos. Tahu-tahu terasa
lengannya kena terhantam di saat posisinya dalam
keadaan tak menguntungkan. Qua kali hantaman itu
membuat tubuh Pramana berpusing atau memutar
beberapa kali. Dan saat berikutnya satu tendangan te-
lak telah menghantam dada Pramana, yang seketika
terjungkal dengan teriakan tertahan.
"Hahaha... hehehe... Bagus! Bagus, muridku.
Ilmu Bayangan Sepuluh Iblis itu telah sempurna betul
kau kuasai! Ayolah cepat jangan membuang waktu.
Kau buat dia orang yang cacat tanpa daksa seumur
hidup!". Berkata si Setan Hitam dengan suara sember
yang membuat lubang telinga gatal.
"Baik, guru...! Aku memang akan membuatnya
mati tidak hiduppun tidak. Dan kelak aku akan ada-
kan satu permainan hebat di hadapannya. Hahaha...
haha...". Begitu habis suara tertawanya, kesepuluh tu-
buh bayangan Rekso Jiwo telah semakin rapat mengu-
rungnya. Mengamuklah Pramana sejadi-jadinya, den-
gan menerjang kesana-kemari dengan pukulan-
pukulan dahsyatnya. Akan tetapi semuanya seperti
menemui tempat kosong. Bahkan kali ini Pramana tak
dapat lagi menghindar ketika Rekso Jiwo gerakkan
lengannya menotok tubuhnya. Pemuda keluarkan ke-
luhannya. Baru saja tubuhnya terhuyung roboh, telah
terasa tengkuknya dicekal orang. Tahu-tahu dia rasa-
kan tubuhnya telah melayang di udara. Kiranya Rekso
Jiwo telah melemparkannya ke atas.
Pemuda ini mengeluh ketika rasakan tubuhnya
sudah meluncur turun kembali ke bawah. Dan selanjutnya terdengar suara tulang-tulang yang berderak
pat ah. Pramana keluarkan jeritannya yang menyayat
hati.
"Hehehe... Berikan padaku bocah itu, murid
ku... !". Teriak si Setan Hitam tiba-tiba. Entah menga-
pa manusia ini jadi kepingin ikut-ikutan menyiksa.
"Baik, guru...! Sambutlah! Tapi jangan kau bu-
nuh dia, guru!" Teriak Rekso Jiwo. Sekali gerakkan
tangan, tubuh Pramana kembali melayang ke udara.
Akan tetapi sebelum si Setan Hitam sempat menang-
gapinya, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dengan
gerakan bagaikan kilat menyambar tubuh pemuda itu.
Dan selanjutnya dengan gerakan yang sekali, telah
membawanya berkelebat cepat sekali. Hingga sebentar
saja sudah lenyap.
Adapun si Setan Hitam jadi terkejut bukan
main, karena tahu-tahu tubuhnya terhuyung dua tin-
dak. Kiranya di saat lengannya sudah bergerak untuk
menyambuti tubuh pemuda itu, tiba-tiba segelombang
angin halus tapi bertenaga besar, telah membuat tu-
buhnya terdorong. Dan berbareng dengan itu, satu
bayangan putih berkelebat menyambar tubuh Prama-
na. Tadinya dia sudah gerakkan kaki untuk mengejar,
akan tetapi telah terdengar satu suara halus yang diki-
rim dari jarak jauh. Padahal orangnya sudah tidak ke-
lihatan.
"Setan Hitam telengas....! Kelak akan datang
masanya kalian menyesali perbuatan keterlaluan ka-
lian...!". Suara itu cuma si Setan Hitam yang menden-
garnya.
"Siapa kau...?". Bentak kakek tonggos ini den-
gan suara berkumandang. Akan tetapi tiada jawaban
apa-apa. Semuanya berlalu seperti angin lewat saja.
Kini di tempat itu kembali sunyi. Rekso Jiwo cuma sal-
ing pandang dengan gurunya. Namun tak berapa lama
kemudian kedua sosok tubuh guru dan murid itu telah
berkelebat pergi meninggalkan tempat tersebut.
T I G A
PELAHAN LAHAN si gadis mulai membuka ke-
lopak matanya. Kelihatannya dia telah tersadar dari
pingsannya akibat pengaruh totokan. Gadis itu tak lain
dari Ratih Dewi. Terkejut sang gadis ini mengetahui di-
rinya berada dalam sebuah ruangan yang gelap. Seke-
lilingnya adalah cuma dinding yang terbuat dari batu
bertonjolan, yang ternyata adalah sebuah Goa. Dia
sendiri ter baring pada sebuah balai-balai beralasan ti-
kar rumput kering.
"Dimanakah aku ini... ? Dan tempat apakah
ini...?". Gumam Ratih Dewi berdesis. Dilihatnya samar-
samar di ujung ruangan ada bayangan sesosok tubuh
membelakangi. Tak jauh di dekatnya ada sebuah meja,
yang di atasnya terpasang sebuah lampu minyak ta-
nah. Siapakah orang itu?. Tanya Ratih Dewi dalam ha-
ti. Sementara dia mulai mengingat-ingat peristiwa di-
rinya. Terkejut Ratih Dewi ketika dapatkan tubuhnya
telanjang bulat. Dan dia cuma berselimutkan selembar
kain tipis yang tak seberapa panjang. Barulah dia sa-
dar akan apa yang dialami, karena seingatnya dia telah
terjatuh dalam cengkeraman orang-orang Kadipaten.
Terutama ada laki-laki bernama Sentani itu yang telah
berbuat kurang ajar terhadapnya, ketika menjadi ta-
wanan. Ratih Dewi memang sudah tak mengharapkan
hidup. Akan tetapi tetap saja dia mengkhawatirkan na-
sibnya kalau harus terpaksa melayani nafsu bejat. la-
ki-laki itu.
Tapi kini dia berada di tempat lain. Entah sia-
pakah orang itu. Apakah Sentani...?. pikirnya dalam
benak.
Karena Ratih Dewi cuma melihat punggungnya
saja, dia tak mengetahui siapa adanya sosok tubuh itu.
Namun dia sudah memastikan orang itu adalah Sen-
tani, karena siapa lagi kalau bukan manusia itu, yang
telah menodainya.
Perlahan dia bangkit. Sepasang matanya me-
mancar tajam menatap punggung orang itu. Kebera-
nian Ratih Dewi memang luar biasa. Tiba-tiba matanya
telah melihat sepotong kayu tergeletak di sudut ruang
yang samar-samar itu. Diraihnya benda itu. Lalu den-
gan berjingkat-jingkat beranjak mendekati orang yang
tengah duduk membelakangi. Entah apa yang tengah
dilakukan sosok tubuh itu, yang tampaknya seperti
tengah bersemadhi. Ketika itu Ratih Dewi telah tiba di
belakangnya dengan langkah tak menimbulkan suara.
Potongan kayu itu sudah diangkatnya tinggi-tinggi siap
untuk dihantamkan ke kepala orang itu. Akan tetapi
orang itu menoleh... Segera terlihat wajahnya yang ter-
tawa menyeringai.
"HAH...!?". Terperanjat Ratih Dewi. Sepasang
matanya hampir-hampir tak percaya, karena orang itu
adalah ayahnya. Alias Ki Demang Harya Winangun.
Akan tetapi wajah itu tampak pucat, dan menyeringai
menyeramkan. Membuat gadis ini tersentak kaget. dan
melangkah mundur dua tindak. Sebelah lengannya
memegangi kain yang membungkus tubuhnya sebatas
dada.
"Hehehe... Ratih Dewi, anakku... kau sudah sa-
dar, sayang...?". Suara sang "ayah" ini kedengarannya
begitu mesra. Tiba-tiba cepat sekali tubuhnya telah
melompat ke dekat sang gadis. Tahu-tahu lengannya
sudah menangkap pinggang Ratih Dewi.
"Ayah...!? Kau... kau... Akan tetapi selanjutnya
gadis itu sudah perdengarkan teriakannya, karena sekonyong-konyong wajah ayahnya itu telah berubah
menakutkan. Giginya besar-besar menonjol keluar.
Matanya cuma sebelah. Rambutnya yang panjang se-
batas bahu berwarna putih beriapan itu bergerak-
gerak bagaikan cacing-cacing kecil yang berjuntaian.
"Hah!? Kau bukan ayah?. Si... siapa kau... ? Ti-
daak! Tidaaak! Lepaskan aku!" Berteriak Ratih Dewi.
Akan tetapi sosok tubuh itu telah memondongnya den-
gan tertawa terkekeh-kekeh. Lalu diletakkan di pemba-
ringan beralaskan tikar rumput itu. Kain penutup tu-
buhnya telah melayang lagi entah ke mana.
Ratih Dewi serasa bermimpi yang amat mena-
kutkan. Akan tetapi seperti sungguhan. Anehnya dia
berada di tengah hutan dalam keadaan telanjang bu-
lat, dan tubuh basah kuyup disiram hujan. Tak men-
gerti dia sama sekali akan semua itu. Segera dia berlari
untuk mencari tempat meneduh. Tubuhnya menggigil
bukan main. Akan tetapi mau cari selimut atau pa-
kaian kemari? Hampir gila, dan seperti sudah hilang
akal wanita ini.
Pada saat itulah terdengar suara menyeramkan
di telinganya. Suara tertawa yang membuat bulu teng-
kuknya meremang berdiri. Tiba-tiba angin bersiur ke-
ras. Hawa dingin semakin merasuk ke tubuh menem-
bus ke tulang. Bergetaran tubuh gadis ini. Di samping
rasa takut, tapi juga karena hawa dingin yang tak ter-
tahankan.
"Hoaha... hahaha... anak manis...! Kau akan
kutolong dari kesusahanmu, asalkan kau menerima
beberapa syaratku. Hoahaha... haha...! Kalau kau tak
bersedia, kau akan mati dengan ketakutan dan ke-
sengsaraan... !". Terdengar suara orang berkata. Terpe-
rangah seketika Ratih Dewi. Suara itu berkumandang
di sekitarnya, akan tetapi tak ada orangnya. Setankah?
Makhluk haluskah...?. Pikir dalam benaknya. Ratih belum memberikan jawaban. Ketika pada saat itu kilatan
petir membuat cuaca gelap itu terang sekilas. Terlihat
di hadapannya sesosok tubuh berdiri menatap ke
arahnya. Siapakah...?. Tak pikir panjang Ratih Dewi
sudah gerakkan tubuh untuk berlutut. Seraya berka-
ta;.
"Bapak yang berada di hadapanku! Tolonglah
aku segera dari kesusahan, dan kekalutan fikiranku
ini. Apapun syarat itu akan aku kabulkan asalkan aku
terlepas dari kesusahan ini...
Baru saja selesai kata-katanya sudah terdengar
suara tertawa lagi terbahak-bahak. Tahu-tahu hujan
deras serta angin yang menderu-deru menerpa tubuh-
nya itu sirna. Cuaca pelahan-lahan berubah kembali
terang. Akan tetapi sudah terdengar bentakan keras
"Anak manis, cepat tutup matamu! Kalau tidak cuaca
akan kembali berubah seperti tadi...! Dan ingat, jangan
dibuka sebelum aku memerintahkanmu...!". "Oh,
baik... ! Baik, aku akan menutup mataku!". Ujar Ratih
Dewi. Padahal baru saja dia ingin melihat siapakah
orang di hadapannya. Tahu-tahu terasa tubuhnya me-
layang cepat sekali. Namun dia benar-benar tak berani
membuka matanya. Terasa ada lengan yang mencekal
pinggangnya. Selang sesaat tiupan angin telah mereda,
dan dirasakannya tubuhnya menyentuh alas rumput
kering. Lengannya sudah meraba sebuah selimut ker-
ing yang hangat. Tak ayal segera dipakainya untuk
membungkus tubuhnya yang menggigil kedinginan.
Ketika Ratih Dewi diperintahkan membuka matanya,
di hadapannya telah berdiri sesosok tubuh menatap-
nya. Sesosok tubuh laki-laki berbadan tegap, namun
wajahnya tak terlihat jelas, karena memakai topi tu-
dung yang menutupi sebagian wajahnya.
Ikutlah aku...!". Berkata orang itu. Ratih Dewi
terpaku sejenak.
"Andakah yang telah menolongku...?". Tanya
Ratih Dewi. Orang itu tak menyahut, karena tubuhnya
telah melompat ke depan ruangan goa yang luas itu.
Pada bagian ujungnya ada terdapat sebuah batu besar,
yang tingginya hampir setinggi manusia. Kesanalah
orang itu melompat, dan sekejap sudah duduk di atas
batu.
"Kalau di sini tak ada lain orang selain aku,
siapa lagi yang melakukan pertolongan padamu...?.
Heh, seandainya kubiarkan dirimu tanpa kusela-
matkan, niscaya kau sudah dijadikan pelampias nafsu
manusia bejat yang bakal membawamu ke tiang gan-
tungan! Kini cepatlah kau duduk di hadapanku!".
Tak ayal lagi Ratih Dewi sudah berucap dengan
suara tergetar takut dan girang menjadi satu. Ratih
Dewi cuma bisa mengangguk. Selanjutnya sudah ter-
dengar lagi suara orang bertudung itu dengan nada
suara dingin.
"Bagus! Kau harus bersedia menjadi muridku!"
Terkejut Ratih Dewi mendengarnya, akan tetapi dia
sudah segera bersujud di hadapan orang itu.
"Oh, terima kasih, guru...! Aku benar-benar me-
rasa amat senang sekali!". Ujarnya dengan wajah gi-
rang.
"Bagus...! Ketahuilah, ayahmu Ki Demang telah
tewas, juga ibumu...! Kasihan orang tua itu, karena ga-
ra-gara kau membunuh Adipati Banu Rekso, mereka
telah dijatuhi hukuman gantung oleh Tumenggung
Kadipaten...!". Ujar si orang bertudung.
"Oh...!? Ayah, ibu.... !?" Terkesiap Ratih Dewi.
Seketika wajahnya berubah pucat. Kemudian terden-
garlah isaknya tersendat. Betapa hancur hatinya men-
dengar berita itu. Selang beberapa saat setelah tangis-
nya mereda gadis ini dongakkan wajahnya menatap
sang guru, seraya berkata.
"Guru...! Ajarilah aku ilmu kepandaian. Aku...
aku..." Tak mampu Ratih Dewi meneruskan kata-
katanya, karena kembali dia terisak, dengan air mata
bercucuran.
"Kau mau menuntut balas, bukan?. Hahaha...
Bagus! Kau memang anak yang berbakti pada kedua
orang tua! Nah, tinggallah di sini sampai kau berhasil
mempunyai ilmu kepandaian. Jangan khawatir, aku
SILUMAN MUKA SERIBU akan menurunkan ilmu-ilmu
yang hebat padamu...!". Ujar si orang bertudung den-
gan suara berwibawa.
"Oh, terima kasih, guru! Terima kasih...!". Te-
riak Ratih Dewi dengan girang, seraya jatuhkan diri la-
gi untuk berlutut beberapa kali.
000O000
E M P A T
TIGA TAHUN berlalu sudah, sejak kejadian di
dalam goa itu. Di pertengahan musim kemarau... langit
tampak amat bersih membiru tak berawan. Udara
siang itu amat cerah. Seorang gadis cantik tampak
berdiri di ujung bukit. Di bawahnya mengalir sebuah
sungai berair jernih berbatu-batu. Itulah sungai yang
bernama Kali Kendil. Sedang bukit yang dipijaknya
adalah dataran tinggi di mana jauh di sebelah sana te-
gak menjulang Gunung Bromo dengan megahnya. An-
gin pegunungan yang menerpa membuat rambut si ga-
dis ayu tersibak beriapan. Dia memakai pakaian persi-
latan berwarna hijau lumut. Ikat pinggangnya terbuat
dari kulit ular. Sementara ikat kepalanya yang terjun-
tai juga berkibaran, yang juga berwarna hijau.
Siapa lagi gadis ayu yang bertubuh semampai
itu kalau bukan RORO CENTIL adanya. Seulas senyum
tampak terlihat pada bibirnya yang merah ranum keti-
ka menatap ke arah sungai yang mengalir di bawah
bukit. Lain pandangan matanya beralih ke sebelah ba-
rat sungai, di mana terlihat satu dua wuwungan ru-
mah penduduk di sela-sela pepohonan. Pasti di bagian
sebelah dalamnya terdapat perkampungan. Berkata
sang Pendekar Wanita Pantai Selatan ini dalam hati.
Sesaat kemudian tubuhnya sudah berkelebatan
menuruni bukit. Bagi mata manusia biasa yang tak
mempunyai kekuatan ilmu batin, akan merasa aneh
melihatnya. Karena sang gadis Pendekar ini tampak-
nya seperti tengah duduk dengan kaki terjuntai, tapi
tubuhnya meluncur pesat ke bawah bukit yang seke-
jap saja sudah tiba di tepian sungai. Padahal bagi yang
dapat melihat dengan mata batin, akan mengetahui
kalau gadis ini telah menunggang seekor macan Tutul
yang amat besar yang tak tampak oleh mata biasa. Itu-
lah si TUTUL sahabatnya Roro Centil, yang selalu setia
menemani kemanapun majikannya pergi. Tapi satu
keanehan si makhluk siluman ini, adalah tak bisa ber-
tindak sendiri tanpa diperintah.
Kini Roro Centil sudah tak gunakan kata-kata
biasa lagi untuk menitahnya kalau sedang diperlukan.
Akan tetapi mempergunakan kata-kata batin yang tak
diucapkan dengan mulut, melainkan dengan hati yang
disalurkan lewat kekuatan batin. Roro Centil tatapkan
sepasang matanya ke arah seberang sungai. Tampak
ada tiga buah pondok yang jarak antara satu dengan
lainnya tak begitu jauh. Tiba-tiba gadis pendekar ini
kerutkan alisnya. Nalurinya yang peka telah mengata-
kan ada sesuatu terjadi di seberang sungai. Kejap se-
lanjutnya adalah, tubuh sang gadis sudah melesat un-
tuk melompat ke seberang sungai.
Sementara itu di dalam sebuah pondok yang
berada paling ujung, memang telah terjadi sesuatu
yang mengerikan. Tampak empat sosok tubuh terkapar
bersimbah darah... Sekejap Roro sudah berada di mu-
ka pondok. Terkejut bukan main gadis ini. Sekali ber-
gerak melompat, dia sudah tiba di dalam. Roro tegak
berdiri di depan mayat-mayat, memasang telinganya
untuk mengetahui ada tidaknya orang di dalam. Tapi
ternyata sudah kosong ketika Roro memeriksanya. Se-
lanjutnya dia segera periksa keempat mayat, yang ter-
nyata sudah tewas cukup lama. "Apakah yang sudah
terjadi? Siapakah pembunuh mereka ini...?". Desis Ro-
ro.
Sekejap Roro sudah melompat keluar lagi. Kini
tubuhnya sudah memasuki lagi pondok-pondok di se-
berang sungai itu. Ternyata di sini pun banyak mayat-
mayat berserakan. "Gila...! Apakah di dalam perkam-
pungan pun semua penduduk tewas?". Desis
Roro, seraya berkelebat terus semakin masuk
ke dalam daerah yang merupakan perkampungan pen-
duduk di wilayah sekitar kaki bukit itu.
Tiga-empat rumah penduduk kembali dijumpai.
Tidak semua terdapat mayat, karena ada juga yang
sudah kosong melompong. Tampak Roro keluar den-
gan wajah lesu. Dia berdiri di depan pondok. Kepa-
lanya mendongak ke atas, dengan sepasang mata ter-
pejam. Sementara hatinya bergemuruh menahan lon-
jakan-lonjakan kuat dari dalam dadanya. Rasa gusar,
marah, sedih berkumpul menjadi satu. Dia harus te-
mukan si pelaku pembantaian ini. Tiba-tiba terdengar
suara tertawa gadis Pendekar ini. Tertawa yang mengi-
kik geli. Semakin lama semakin keras, dan terdengar
seperti berkumandang di beberapa tempat dan arah.
Bahkan seperti ada ratusan orang yang tertawa, kare-
na suara tertawa itu tak putus-putusnya berpantulan.
Tapi anehnya, dalam tertawa ini tampak air mata sidara bercucuran. Inilah satu kekuatan tenaga dalam
yang amat hebat menakutkan. Karena akibat suara
itu, keadaan sekitar tempat itu telah jadi berubah...
Beberapa buah genting telah merosot dari atas
wuwungan rumah yang berada di belakang Roro. Bu-
rung-burung kecil yang sembunyi di daun-daun po-
hon, serentak beterbangan dengan suara bercuit-cuit
ketakutan. Kira-kira hal itu berlangsung tiga kali se-
peminuman teh hangat, tiba-tiba terdengar suara ben-
takan keras dari ujung jalan desa. "Kurang aja ...! Ber-
henti! Hentikan tertawa itu bocah keparat...!" Disusul
dengan munculnya sesosok tubuh yang berjalan den-
gan sempoyongan, menekan kedua daun telinganya.
Itulah tubuh seorang laki-laki berjubah, hitam. Di len-
gannya tercekal sebuah tongkat yang ujungnya berca-
gak. Tiga buah gigi yang besar-besar menonjol keluar
dari mulutnya. Sebelah matanya tak berbiji lagi.
Roro sudah hentikan tertawanya. "Hi!? Bocah
cantik, siapa kau?" Bentaknya dengan garang. Wajah-
nya menampakkan kegusaran. Roro perhatikan orang
sekilas, tapi tiba-tiba sudah berlalu tinggalkan orang
itu. Melengak si laki-laki berjubah, yang tak lain dari si
SETAN HITAM adanya. Sebagai tokoh yang sudah ka-
wakan, dan punya nama besar, serta ditakuti di seki-
tar wilayah tempat itu, tentu saja perbuatan Roro itu
seperti menghinanya. Di samping heran, karena justru
suara tertawa yang membuat telinganya menjadi sakit,
tak lain dari suara tertawa seorang gadis cantik jelita.
Dari pengaruh yang dirasakannya jelaslah ka-
lau gadis itu berilmu tinggi dan bertenaga dalam hebat,
karena getarannya mengandung kekuatan hebat yang
menggetarkan jantung dan syaraf. Laki-laki tua jubah
hitam ini sudah julurkan lengannya menyambar teng-
kuk orang, disertai bentakan keras.
Gerakan menyambar ini bukan sembarangan,
karena jangankan tubuh manusia, batu pun akan
hancur kena cengkeraman tangannya. Inilah salah sa-
tu jurus kejinya si Setan Hitam, yang sengaja di per-
gunakan untuk menyerang lawan yang berilmu tinggi.
Tenaga dalam yang tersalur dalam tangannya bisa me-
remukkan tulang leher Roro, kalau gadis ini tak guna-
kan rambutnya mengepret ke belakang.
Terkejut si Setan Hitam, namun segera dia bu-
ru-buru tarik kembali serangannya. Dilihatnya gadis
itu menolehpun tidak kepadanya, membuat wajah si
Setan Hitam jadi semakin merah dan panas. Jelas ga-
dis yang berilmu tinggi! Pikir si Setan Hitam. Tapi ting-
kah lakunya yang aneh itu justru membuat dia jadi
semakin penasaran. Apalagi melihat caranya berjalan
untuk berlalu tinggalkan tempat itu, seperti santai saja
kelihatannya.
"Hihihi... banyak mayat yang kujumpai di tiap
rumah, ternyata cara pembunuhannya kurang kejam!
Entah setan atau iblis mana yang memperbuatnya?.
Benar-benar membuat malu aku si Ratu Segala
Iblis!".
"Hei! Perempuan sinting! Baru aku mendengar
ada julukan Ratu Segala Iblis! Kalau kau benar orang-
nya, coba tunjukkan padaku cara bagaimana membu-
nuh orang dengan kejam?!". Roro hentikan tindakan
kakinya. Sepasang matanya memang tidak terbuka se-
luruhnya, karena mirip orang mengantuk. Seperti la-
gak orang baru bangun tidur, Roro kucak-kucak ma-
tanya yang masih mengembang bekas air mata.
"Siapakah yang bertanya...?". Tanyanya juma-
wa. Justru dia tak memandang sama sekali pada si
kakek jubah hitam di hadapannya. Diam-diam Setan
Hitam mendongkol bukan main. Rasanya sudah mau
menghantamkan tongkatnya saja ke kepala gadis aneh
itu. Akan tetapi dengan menahan sabar, dia menjawab.
"Heh! Ketahuilah, aku si SETAN HITAM yang
bercokol dan menguasai di lima wilayah ini! Harap kau
buka lebar-lebar matamu, untuk melihatku! Agar kau
ketahui yang bagaimana wajah si Setan Hitam!". Akan
tetapi setelah mendengar penjelasan orang^ justru Ro-
ro Centil malah tertawa geli.
"Hihihi... hihi... Pantas! pantas! Setan Hitam
keroco yang baru kenal kejahatan kemarin sore, mana
bisa menandingi ketelangasan ku, si Ratu Segala Iblis?
Hi hi hi... hihi...". Tentu saja merah wajah si Setan Hi-
tam bagaikan kepiting direbus. Tubuhnya tampak ter-
getar hebat. Tiba-tiba dia berteriak keras. Lengannya
bergerak menghantam tanah di hadapannya, yang se-
ketika jadi hangus. Lalu hantamkan lagi ke kiri dan ke
kanannya. Terdengar suara batang-batang pohon yang
batangnya patah berantakan, dan roboh dengan suara
gemuruh.
Melihat orang unjuk kepandaian di depan ma-
tanya, Roro cuma perhatikan dengan mata meram me-
lek, dan bibir unjukkan senyum tipis.
"Kau tunggulah di sini, akan kutunjukkan ke-
kejaman ku di hadapanmu". Teriak si Setan Hitam. Ti-
ba-tiba tubuhnya berkelebat lenyap. Apakah yang dila-
kukannya?. Ternyata dia telah berkelebatan meng-
hantami semua pondok penduduk di sekitar tempat itu
dengan pukulan dahsyatnya, yang membuat kobaran
api segera membakar setiap wuwungan atau dinding
rumah. Hingga sebentar saja api berkobar di setiap
penjuru. Membakar dan menambus mayat-mayat yang
banyak berkaparan di dalamnya. Selang sesaat sudah
kembali lagi ke hadapan Roro. Tapi kini di lengannya
sesosok tubuh kecil dari seorang anak laki-laki yang
dijambak rambutnya.
"Hehehe... hehe... kau lihat! Aku akan beset-
beset bocah ini sampai jadi tiga belas bagian. Apakah
aku si Setan Hitam masih kurang kejam?. Seraya ber-
kata lengannya sudah bergerak untuk membeset tu-
buh anak kecil itu menjadi dua bagian. Akan tetapi
pada saat itu sudah terdengar bentakan halus.
"Tunggu...!". Suara bentakan itu datangnya dari
mulut Roro. Gadis pendekar yang aneh ini tolak ping-
gang di depan si Setan Hitam. Suara bentakan itu cu-
kup berpengaruh untuk urungkan niat keji si Setan
Hitam.
"Heh. Bukankah kau mau aku tunjukkan ca-
ranya berbuat kejam?. Cara kekejamanmu untuk
membeset tubuh bocah itu jadi tiga belas bagian ada-
lah cara kuno! Mana bisa dikatakan kejam?. Bisa-bisa
aku tertawa sampai terkentut-kentut! Apakah kau mau
ku anggap sebagai penjahat keroco?, atau iblis kema-
rin sore...?". Berkata Roro. Selanjutnya dia sudah lan-
jutkan kata-katanya.
"Berikan padaku bocah itu! Segera akan kutun-
jukkan bagaimana caranya berbuat yang paling ke-
jam!". Dengan sebelah mata melotot, si Setan Hitam
lemparkan bocah itu pada Roro. Diam-diam hatinya
semakin mendongkol, karena tetap saja apa yang di-
perbuatnya tidak merupakan kekejaman yang berhasil
membuat si gadis aneh itu mengambil perhatian.
"Nah, aku akan melemparkan bocah ini sejauh-
jauhnya. Sebelum tubuhnya menyentuh tanah, aku
akan menghantam dengan pukulanku yang sekaligus
akan membuat tubuh bocah ini hancur berserpihan.
Itu baru yang kuanggap kejam. Asalkan kau sanggup
lebih dulu menghantam, bukan saja aku mengakui ke-
kejamanmu, akan tetapi juga menganggapmu bukan
sebangsa iblis keroco yang baru lahir kemarin sore!
Sanggupkah kau?". Berkata Roro, setelah menyambuti
tubuh si bocah itu.
"Baik...! Hehehe... agaknya kau menganggap
aku tak mampu. Kau teramat meremehkan aku, bocah
perempuan!" Berkata si Setan Hitam dengan mendong-
kol.
SIUUUUT...! Roro sudah melemparkan tubuh
anak kecil itu, yang segera saja meluncur ke udara.
Dan berkelebatanlah dua tubuh itu mengejar... Akan
tetapi terkejut si Setan Hitam, karena tahu-tahu bocah
itu lenyap. Bukannya bocah itu saja yang lenyap, ka-
rena si gadis aneh itu pun lenyap entah ke mana.
Merah padam wajah orang tua berjubah ini. Dia
benar-benar merasa dipecundangi. Bukan saja dia te-
taplah sebagai seorang iblis keroco, tapi juga sudah di-
buat malu yang luar biasa oleh gadis aneh yang men-
gaku berjulukan si Ratu Segala Iblis.
"Haiiii...! Ratu Segala Iblis! Tampakkan diri mu.
Akan kubuat tubuhmu lumat menjadi tiga belas ba-
gian...!" Teriaknya dengan marah. Namun tetap saja
Roro tak menampakkan diri. Akhirnya dia pun berke-
lebat tinggalkan tempat itu.
Ke manakah gerangan Roro Centil? Dan ke ma-
na lenyapnya bocah kecil itu?. Baiklah kita ikuti apa
yang terjadi sebenarnya. Kiranya sewaktu bocah itu di-
lemparkan, Roro Centil telah bisikkan kata-kata, mela-
lui batinnya. Yaitu perintahkan si Tutul menyela-
matkan nyawa bocah itu. Hingga ketika si bocah itu
melayang dalam jarak lemparan sekitar dua puluh
tombak di atas pepohonan, detik itu pula si harimau
siluman telah menyambarnya terlebih dulu. Dan mem-
bawanya berkelebat lenyap.
Sementara Roro Centil ternyata langsung berge-
rak menuju ke setiap rumah yang terjadi kebakaran.
Dengan pergunakan hantaman telapak tangan yang
berhawa dingin, sekejap api-api yang baru menjilati
wuwungan setiap rumah segera punah padam. Berke-
lebatanlah tubuh pendekar wanita yang aneh itu untuk memusnahkan api di setiap tempat.
Dalam pada itu sesosok tubuh telah memper-
hatikannya dengan sepasang mata menatap terbelalak.
Itulah sepasang mata dari sesosok tubuh, laki-laki
yang berdiri di ujung jalan desa. Sepasang mata pe-
muda ini mengagumi kehebatan ilmu pukulan
Roro, juga kecantikannya yang membuat dia
terpesona.
Akan tetapi di satu tempat, sepasang mata jeli
juga tengah menatap pemuda itu dengan tatapan Ke-
cemburuan yang amat besar. Dialah si gadis bernama
Ratih Dewi. Di samping cemburu, tapi juga tertegun.
Karena tak menyangka dia dapat menjumpai pemuda
itu lagi, yang disangkanya sudah tak ada di dunia ini
lagi.
Tiga tahun sudah Ratih Dewi berguru dengan si
orang laki-laki bertudung yang misterius, yang dijum-
painya di saat memberikan pelajaran ilmu padanya.
Selama itu Ratih Dewi telah melupakan PRAMANA, ke-
kasihnya. Sang kekasih yang sudah dilupakannya, se-
jak dia mencari dan mencari di mana ada kesempatan.
Namun tak pernah dijumpai... kini tahu-tahu telah be-
rada di depan mata. Berdiri dengan gagah. Menyoren
pedang di punggung.
Oh, Pramana, aku masih mencintai dirimu
sampai kapan pun! Kau adalah milikku! Dan kau tak
boleh jatuh ke tangan lain wanita, sejak ku menjumpai
mu! Desis Ratih Dewi dalam hati. Wajahnya member-
sitkan kecemburuan, betapa pemuda itu menatap den-
gan kagum pada gadis aneh berbaju hijau itu. Akan te-
tapi dia tak mau buru-buru bertindak. Ingin dilihatnya
apakah yang akan dilakukan si Pramana itu setelah
menatap pada dara baju hijau itu? Pikir Ratih Dewi.
"Siapakah anda, sobat berpedang....? Tampak-
nya ada sesuatu yang aneh padaku. Mengapa kau menatapku tak lepas-lepas...?". Tanya Roro dengan berja-
lan melangkah ke hadapannya. Tentu saja gerakan
langkah seenaknya. Namun hal demikian itu justru
membuat sepasang mata Ratih Dewi jadi melotot kian
lebar. Gadis Centil... ! Makinya dalam hati.
Laki-laki itu menjura hormat. Sikapnya amat
sopan sekali. Lalu terdengar suaranya berkata;
"Ah, maafkan kelancanganku, nona Pendekar!
Namaku WIRATMANA...! Entah siapakah gerangan no-
na yang berilmu tinggi ini...!".
Roro Centil naikkan alisnya. Segera saja bibir-
nya terulas satu senyuman manis. Melihat penampilan
orang di hadapannya amat sopan santun, Roro tak te-
ga untuk mempermainkan. Apa lagi dari wajah pemu-
da di hadapannya itu menampakkan kejujuran hati,
serta sikap yang gagah berwibawa.
"Aih, anda terlalu memujiku, sekedar ilmu pen-
jinak api yang tak berarti itu mengapa pujianmu bu-
kan main? Hihihi... namaku Roro!". Ujar Roro Centil
singkat. Selanjutnya mereka telah tampak akrab berbi-
cara. Terutama mengenai keadaan di tempat itu yang
penuh dengan mayat-mayat manusia.
"Nona Roro, terus terang aku datang ke wilayah
ini adalah karena mendengar berita dari beberapa ke-
luarga yang telah berhasil melarikan diri dari "neraka"
di tempat ini, bahwa adanya seorang tokoh keji yang
menguasai wilayah ini. Dia berbuat semaunya saja.
Membunuh, merampas, menganiaya, memperkosa wa-
nita, dan lain-lain perbuatan kejam. Seperti kau lihat
sendiri banyak mayat berserakan di pelbagai tempat.
Di rumah-rumah penduduk, di sawah, di kebun atau
di sembarang tempat akan terjumpai satu dua mayat.
Kalau tidak yang masih baru, tentu yang sudah mem-
busuk. Semua itu adalah ulah perbuatan Manusia keji
itu... ".
"Apakah tokoh keji itu kau maksudkan si SE-
TAN HITAM?" Tanya Roro dengan kerutkan keningnya.
"Ah, rasanya bukan...? Menurut yang kudengar
adalah bergelar si SETAN CENGKRONG!" Ujar Wirat-
mana. Tentu saja Roro Centil jadi tercenung. Tadi dia
lihat sendiri si Setan Hitam membakari rumah dengan
ilmu pukulan hawa panasnya yang mengeluarkan api.
Juga di hadapannya telah siap membeset tubuh seo-
rang anak kecil menjadi tiga belas bagian. Kakek ber-
jubah hitam, berwajah seram itu sudah dipastikan Ro-
ro, kalau semua perbuatan kejam itu adalah perbua-
tannya. Karena ketika Roro Centil mengaku bergelar si
Ratu Segala Iblis, manusia itu menampilkan kekeja-
man di hadapan matanya dengan tanpa kenal peri ke-
manusiaan. Kini mendengar di sebutnya satu tokoh
bergelar si Setan Cengkrong, adalah baru didengarnya.
Hal mana membuat Roro jadi terheran dan melengak.
Sementara di tempat persembunyiannya Ratih
Dewi mendengarkan pembicaraan.
Sayang Ratih Dewi tak begitu memperhatikan
saat si pemuda itu memperkenalkan namanya tadi.
Kata-kata Wiratmana kedengaran olehnya adalah
PRAMANA. Siapakah sebenarnya laki-laki bernama Wi-
ratmana itu?. Dialah saudara kembar Pramana yang
justru kemunculannya adalah di samping mencari si
Setan Cengkrong, juga mencari jejak adiknya yaitu
Pramana, di manapun dia jejakkan kakinya. Adanya
berita kejahatan di wilayah itu yang menurut yang di-
dengarnya adalah perbuatan si Setan Cengkrong,
membuat dia merasa penasaran untuk mengetahui
manusia keji yang membuat keonaran itu. Adapun Ro-
ro Centil rupanya telah mengetahui adanya sesosok
tubuh yang sembunyi mendengarkan pembicaraan.
Segera dia berkata;
"Di manakah adanya penginapan yang paling
besar di tempat ini?". Tanya Roro setelah manggut-
manggut. Mendengar penuturan Wiratmana tentang
tokoh yang bernama Setan Cengkrong itu.
"Apakah anda mau menginap di sana?. Kebetu-
lan akupun menginap di tempat itu. Penginapan itu
cukup jauh dari sini. Kalau anda bersedia mari kuan-
tar. Kita bersama-sama ke sana. Kukira kita bisa ber-
cakap-cakap dengan leluasa. Ada tiga orang kawanku
di sana. Mereka bergelar si Tiga Pendekar Ular Mas!".
Setelah, berfikir sejenak, Roro Centil menjawab.
"Sebenarnya aku masih punya urusan lain.
Tunjukkan saja di arah mana letaknya, aku akan ke
sana menjelang senja nanti!".
"Baiklah, kalau begitu! Silahkan anda berjalan
ke utara. Tak jauh dari batas wilayah Kadipaten, anda
menjumpai satu penginapan yang lumayan besarnya.
Penginapan itu bernama Penginapan Sindu Rejo". Ujar
Wiratmana menjelaskan.
"Ya, ya...! Aku akan mencarinya nanti! Nah so-
bat, kukira aku harus tinggalkan tempat ini. Kelak kita
jumpa di penginapan tersebut... !".
Selesai berkata Roro Centil kelebatkan tubuh-
nya dengan cepat. Dan sekejap kemudian segera le-
nyap di balik pepohonan. Wiratmana menatap ke arah
lenyapnya tubuh Roro, dengan pandangan kagum.
Tampak bibirnya menggumam lirih.
"RORO...! Ah, nama yang indah seindah orang-
nya...!".
Akan tetapi baru saja dia mau balikkan tubuh-
nya untuk berlalu, tiba-tiba berkelebat sesosok tubuh
ramping di hadapannya dari arah samping.
Terkejut Wiratmana, karena lagi-lagi muncul
seorang gadis yang cukup cantik. Berbaju kembang-
kembang sewarna daun. Rambutnya berkepang dua,
yang satu dengan lainnya diikat menjadi satu di bela
kang. Mengenakan pita berwarna kuning. Di ping-
gangnya tersoren pedang yang tak seberapa panjang,
namun melengkung bagai bulan sabit. Siapakah ge-
rangan gadis ini? Pikir Wiratmana.
Sementara sang dara telah menatapnya dengan
tajam. Bibirnya tampak bergetar seperti mau mengu-
capkan kata-kata. Dan satu keanehan adalah dari se-
pasang matanya yang nampak galak itu, tampak ber-
kaca-kaca memandang kepadanya.
"Eh, siapakah anda nona? Apakah ada yang
anda cari.. ?". Tanya si pemuda. Dengan suara gemetar
Ratih Dewi menjawab, sementara wajahnya sudah me-
nunduk seperti menyembunyikan air matanya yang
mulai menggenang.
"Kau... kau sudah tidak mengenali diriku lagi,
PRAMANA... ?". Sahutnya pendek. Pramana...? Kata-
kata itu hampir membuat si pemuda itu telonjak kare-
na terkejutnya. Jelas itu adalah nama adik kembarnya.
"Aku... aku..." Pemuda ini berkata tergagap. Ta-
dinya dia mau menyebut kata-kata bahwa dirinya ada-
lah bukan Pramana. Akan tetapi tiba-tiba diurungkan
lagi. Karena rasa ingin tahu siapa gerangan sang dara
ini. Juga Wiratmana ingin mendengar di mana geran-
gan adik kembarnya itu. Sementara dia sudah punya
dugaan kalau adiknya berada di sekitar wilayah ini.
Tak dinyana kalau tiba-tiba sang gadis sudah
berlari ke arahnya, dan tahu-tahu sudah memeluknya.
Mendekapnya erat-erat sambil terisak-isak bersimbah
air mata.
"Pramana...! Kau... oh, betapa aku menang
gung rindu padamu, kasihku! Aku sengsara lahir ba-
tin. Aku ingin mati saja di hadapanmu, Pramana...!".
Tercenung Wiratama. Dalam keadaan serba salah, ter-
paksa dia biarkan saja gadis itu memeluki dan menci-
umi wajahnya. Hingga air mata sang gadis membasahi
wajah pemuda berbaju putih itu. Perlahan-lahan Wira-
tama mendorong tubuh gadis itu, sesaat setelah isak-
nya agak mereda. Gadis ini lepaskan pelukannya dan
berdiri membelakangi pemuda itu. Terdengar suara he-
laan nafasnya lirih di antara isaknya yang tinggal satu-
satu.
"Kuakui Pramana,... kau agak canggung karena
aku bukan lagi Ratih Dewi kekasihmu yang dulu. Aku
telah jadi istri Adipati Banu Rekso, walau cuma sema-
lam dan walau tanpa berhasil aku digagahi, karena
aku telah membunuh suamiku. Membunuhnya dengan
kejam! Aku telah membantainya dengan keri pusa-
kanya sendiri! Tak ada seorang pun yang mengetahui.
Kukira hanya dugaan orang saja yang mengira aku te-
lah membunuhnya. Juga dugaan-dugaan lain yang te-
lah membuat kau disangka yang melakukan perbuatan
keji itu, dan melarikan aku.
Aku banyak berdosa pada semua orang...! Ke-
pada suamiku, kepada kedua orang tuaku, juga kepa-
da orang-orang Perguruan ELANG PUTIH! Karena se-
mua mereka tewas di tangan Rekso Jiwo...!". Berkata
Ratih Dewi dengan wajah tertunduk. Sebelah lengan-
nya bergerak mengusap air matanya, dan dia sudah
duduk mendeprok di tanah. Wiratmana tercenung
mendengarkan. Tiba-tiba dia sudah memberanikan diri
bicara.
"Siapakah Rekso Jiwo itu...?". Ujarnya lirih.
Sementara pelahan dia sudah mendekati sang dara
dan ikut duduk di sebelahnya.
"Rekso Jiwo adalah anak Adipati Banu Rek-
so...!". Sahutnya. Dan segera Ratih Dewi ceritakan
panjang lebar tentang nasib dirinya hingga jatuh ke
tangan seorang tokoh sakti misterius yang bernama ge-
lar si IBLIS MUKA SERIBU.
Wiratmana semakin berani bertanya panjang
lebar pada sang dara, yang ternyata tetap belum men-
getahui kalau laki-laki di sebelahnya itu bukanlah
Pramana. Sayang Wiratmana tak mengetahui kalau di
belakangnya telah berdiri sesosok tubuh berwajah
mengerikan mirip tengkorak. Rambutnya putih beria-
pan. Memakai jubah warna ungu. Keadaan tubuhnya
ternyata tidak sempurna, alias cacat.
Sebelah lengannya melengkung kaku menekuk
ke bawah, dengan jari-jari terentang. Dan sebelah ka-
kinya putus sebatas lutut. Lengannya yang satu me-
megang sebuah tongkat kayu. Tiba-tiba saja telah ge-
rakkan tongkatnya menotok tubuh Wiratmana, yang
selanjutnya sudah disambar untuk dibawa berkelebat
pergi. Tentu saja membuat Ratih Dewi terkejut melen-
gak. Dia melompat untuk mengejar seraya membentak
keras.
"Heiii...! Berhenti keparat ...!". Namun gerakan
si manusia cacat itu amat cepat, Ratih Dewi perguna-
kan ilmu larinya mengejar. Akan tetapi sia-sia, karena
manusia cacat itu punya gerakan secepat angin yang
sekejap saja sudah lenyap tak kelihatan lagi.
Dalam keadaan dibawa berlari cepat itu, Wi-
ratmana benar-benar terperanjat, karena tak mengeta-
hui siapa adanya orang yang telah menotoknya. Na-
mun masih sempat lakukan pertanyaan dengan suara
tergagap.
"Eh, siapakah kau, mengapa menotok ku?. Mau
dibawa ke mana aku ini...?". Orang itu cuma menden-
gus di hidung tak menjawab pertanyaan Wiratmana.
Bahkan mempercepat larinya yang berkelebat bagai-
kan terbang.
Sementara Ratih Dewi berdiri tertegun menatap
ke depan. Hatinya jadi mencelos karena dia sudah da-
pat menduga siapa adanya manusia cacat itu. Benar
saja! Karena tiba-tiba telinganya telah mendengar satu
suara menyusup ke telinganya yang dilontarkan dari
jarak jauh, dengan menggunakan kekuatan tenaga da-
lam.
"Eh, nona manis istri Adipati Banu Rekso, si-
lahkan datang ke Bukit Kelelawar kalau kau inginkan
kekasihmu ini tetap hidup... ! Aku si Setan Cengkrong
menanti kedatanganmu...!".
"Benar.... . ! Dia si Setan Cengkrong!" Desis Ra-
tih Dewi. Dan tak ayal ia sudah gerakkan kaki untuk
tinggalkan tempat itu.
Sementara itu sesosok tubuh berbaju hijau te-
lah berkelebat mengejar si manusia cacat itu, dan
membuntutinya dengan diam-diam. Ternyata adalah
Roro Centil adanya. Hati gadis pendekar ini tercekat
untuk terus mengikuti si manusia cacat itu hingga
sampai mengetahui siapa gerangan orangnya. Bagai-
mana Roro Centil bisa mengetahui munculnya si Setan
Cengkrong itu?. Kiranya sewaktu Roro berkelebat pergi
tinggalkan Wiratmana, Roro telah bergerak memutar.
Tujuannya adalah ingin mengetahui siapa adanya wa-
nita yang mengintai di belakang Wiratmana. Hingga
akhirnya dia berhasil mengutip pembicaraan kedua-
nya. Satu keanehan adalah si gadis itu telah mengang-
gap Wiratmana adalah PRAMANA.
Tengah Roro menduga-duga apa latar bela-
kangnya sang gadis menyebut sang pemuda demikian,
tiba-tiba bersyiur angin halus di sebelahnya. Dan ta-
hu-tahu telah menotok Wiratmana, serta membawanya
berkelebat pergi. Tentu saja Roro mengetahui keadaan
tubuh orang yang cacat itu. Cuma karena membela-
kanginya, Roro tak dapat lihat jelas wajahnya. Dan di
saat Wiratmana dilarikan, Roro sudah berkelebat men-
gikutinya...
Bukit Kelelawar ternyata adalah sebuah bukit
yang sudah terkenal di wilayah itu, karena memang di
sana banyak kelelawar bergelantungan di siang hari
pada pepohonan. Agaknya memang merupakan tempat
yang menjadi sarang binatang-binatang itu.
Wiratmana sudah berada di dalam goa, saat si
manusia cacat itu membuka totokannya. Kini dengan
sepasang mata terbeliak, dia memandang pada orang
di hadapannya. "Apa yang kau inginkan diri ku, dan
siapakah kau ini... ?". Tanya Wiratmana.
"Hm, aku adalah orang yang tengah kau cari
itu, sobat! Orang yang kau tuduh melakukan kejaha-
tan. Bukan saja kau, akan tetapi semua pendekar ten-
gah mencariku, karena khabar cerita amat santer
bahwa aku adalah orang yang telah melakukan berma-
cam perbuatan keji...!". Ujar si manusia cacat.
"Jadi kau... kau si SETAN CENGKRONG itu?".
Tanya Wiratmana terkejut.
"Benar! Aku memang yang dijuluki demikian,
akan tetapi semua perbuatan itu bukan perbuatan
ku!"
"Tidak mungkin...!" Bentak Wiratmana. Len-
gannya sudah bergerak mencabut pedangnya yang ter-
soren di punggung, dan sudah menghunusnya dengan
wajah tegang. Pada saat itu tiba-tiba berkelebatan be-
berapa sosok tubuh memasuki mulut goa, disertai ben-
takan-bentakan keras menggema. Sebentar saja lebih
dari dua puluh orang telah mengurung si Setan
Cengkrong. Rata-rata mereka telah menghunus senja-
tanya yang bermacam-macam.
"Hahaha... Setan Cengkrong! Kali tak dapat me-
larikan diri! Kau telah terkepung! Tak ada jalan keluar
lagi bagimu selain kematian...". Teriak seorang yang
bersenjatakan tombak bermata tiga. Dialah yang diju-
luki si Tombak Malaikat. Sementara dua orang yang
berpakaian kulit harimau berkepala botak adalah si
Dua Macan Kembar. Dan tiga orang lagi yang berpa
kaian warna merah adalah yang berjulukan Tri Tung-
gal Cemeti Alam. Senjata yang dipergunakan adalah
cambuk yang ujungnya berduri-duri. Serta beberapa
tokoh lainnya yang tak begitu terkenal.
Ruangan goa Kelelawar memang sangat luas,
namun kini sudah dipadati oleh puluhan manusia,
membuat jadi penuh sesak. Masing-masing mulai be-
ranjak membuat lingkaran. Hingga tak memungkinkan
si Setan Cengkrong dapat meloloskan diri. Karena
ruangan goa itu cuma mempunyai satu pintu, akan
sukarlah kiranya si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Namun hal itu tak membuat si manusia cacat ini jadi
gentar, bahkan tak terlihat wajahnya berubah pucat
sedikitpun.
Sementara Wiratmana sudah melompat mun-
dur. Ternyata si Setan Cengkrong membiarkannya saja
tanpa menoleh.
"Biarlah kami yang akan meringkusnya terlebih
dulu...!". Teriak salah seorang dari para pendekar yang
berbaju merah. Dan berkelebatlah tiga sosok tubuh ke
hadapan si Setan Cengkrong. Memang bila dilihat se-
pintas adalah tak masuk akal kalau seorang manusia
yang sudah cacat, dengan sebelah lengan melengkung,
sebelah kaki putus dan tubuh yang agak membungkuk
itu harus dikepung sedemikian rupa. Akan tetapi ke-
nyataannya adalah demikian.
"Setan Cengkrong... ! Kami Tri Tunggal Cemeti
Alam, cuma menjalankan perintah untuk menangkap
mu dari Adipati Rekso Jiwo! Tetapi entah kawan-
kawanku akan mengampuni nyawamu atau tidak, aku
tak mengetahui...! Kalau kau menyerah secara suka-
rela adalah hal yang memungkinkan akan memperpan-
jang umurmu untuk beberapa waktu! Pertimbangkan-
lah baik-baik, sebelum terlambat..!" Berkata salah seo-
rang dari Tri Tunggal Cemeti Alam yang tertua.
Akan tetapi yang ditanya cuma berdiam diri
termenung. Kalau saja mau diperhatikan lebih jelas,
akan tampak setitik air bening yang tersembul di su-
dut mata yang cekung itu. Akan tetapi wajahnya me-
mang tak menampakkan perubahan.
Terdengar bibirnya berkemak-kemik, entah apa
yang digumamkan. Akan tetapi Wiratmana telah men-
dengarnya, karena itulah suara si Setan Cengkrong
yang khusus ditujukan padanya.
"Wiratmana...! Tampaknya sulit bagiku menje-
laskan pada semua orang, karena kau sendiripun tak-
kan mempercayai kata-kataku. Tak apalah, namun
seandainya aku panjang umur, kelak kau akan keta-
hui semuanya... Ya, semuanya...!".
Tercenung Wiratmana. Sepasang matanya me-
natap pada wajah si Setan Cengkrong yang menunduk
menatap tanah. Ketika dia palingkan wajahnya ke seki-
tar, terlihat wajah-wajah garang yang sudah siap men-
gantarkan kematian si manusia cacat itu.
"Setan Cengkrong! Kesabaran ada batasnya!
Rupanya kau lebih ingin memilih cepatnya kematian
mu! Baiklah, jangan kau menyesal...!". Seraya berkata,
si orang tertua dari tiga pendekar ini sudah melu-
ruskan cambuk berdurinya.
Selanjutnya mereka memutari si Setan
Cengkrong yang masih berdiri terpaku tak bergeming.
Dan... tiga utas cambuk berduri itu sudah meluncur
meluruk ke arah si tubuh cacat. CTARRR...!
CTARRR...!
CTARRR...! Hampir berbareng suara keras
menggema memekakkan telinga. Tubuh si Setan
Cengkrong tiba-tiba berkelebat menghindar. Gerakan-
nya ternyata amat tak terduga, karena seperti bayan-
gan putih yang melesat ketiga arah. Sementara lingka-
ran semakin diperbesar, hingga masing-masing orang
hampir merapat ke dinding goa. Namun kini sudah tak
beraturan lagi, karena harus siap menjaga kemungki-
nan si Setan Cengkrong meloloskan diri.
Dalam enam jurus saja keadaan sudah beru-
bah Kini si Setan Cengkrong merubah gerakannya. Ki-
ni tubuhnya bergelindingan cepat di antara kaki-kaki
ketiga orang lawannya. Tiba-tiba terdengar suara te-
riakan tertahan, ketika tiba-tiba satu persatu dari keti-
ga tokoh bercambuk duri itu keluarkan teriakan terta-
han, dan masing-masing roboh terguling. Kiranya
tongkat si Setan Cengkrong telah menghantam tulang
keringnya. Beruntung hantaman itu tidak terlalu ke-
ras, hingga mereka cuma meringis kesakitan meme-
gangi tulang keringnya yang benjol sebesar telur ang-
sa. Otomatis ketiga cambuknya terlepas. Bahkan den-
gan satu gerakan aneh, ketiga cambuk si Tri Tunggal
Cemeti Alam telah di sampok mental ke arah puluhan
orang yang mengelilinginya. Keruan saja keadaan jadi
berubah kacau.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat dua orang
berbaju macan loreng. Mereka adalah si Macan Kem-
bar, yang berkepala gundul klimis alias botak. Lang-
sung saja menerjang si Setan Cengkrong dengan sepa-
sang lengan masing-masing yang memakai kuku besi
sepanjang satu jengkal. Kuku-kuku ini mengandung
racun yang mematikan. Dibarengi bentakan keras, me-
reka gunakan cakar besinya untuk menyerang si Setan
Cengkrong.
"BRET....! BRET...! Dua serangan dengan men-
dadak itu membawa hasil cukup mengejutkan, karena
jubah si Setan Cengkrong kena dijambret hingga robek
hampir separuhnya. Menggerung keras si Setan
Cengkrong. Tubuhnya melejit naik dengan tongkat
menempel di tanah. Tiba-tiba si Setan Cengkrong ge-
rakkan tubuh memutar bagai gasing. BUK! BUK! Serangan mendadak itu membuat si Macan Kembar ter-
perangah, tak sempat lagi mereka mengelakkan diri.
Kedua dada manusia ini terkena hantaman kaki si Se-
tan Cengkrong dengan telak. Tak ampun lagi keduanya
jatuh ngusruk menubruk kawan-kawannya. Keadaan
kembali gaduh dan kacau.
Dengan gunakan kegesitan tubuhnya yang me-
lompat-lompat, disertai sambaran tongkatnya yang
terkadang berputar bagai baling-baling, dia terus me-
rangsak hebat. Tiga pedang yang meluruk ke arahnya
terpental ke atas, bahkan salah satunya menancap di
pundak salah seorang yang mengepungnya. Terdengar
suara teriakan di sana-sini, disertai beberapa tubuh
terlempar keluar goa. Pada saat itu si Setan Cengkrong
telah gelindingkan tubuhnya dengan cepat menerobos
kepungan.
Namun begitu kakinya menjejak di tanah, bebe-
rapa sosok tubuh sudah lompat menghadang. Kini gili-
ran si Tombak Malaikat yang menerjang terlebih dulu.
Ujung tombak. bermata tiganya menghunjam
ke dada, nyaris menembus jantungnya, kalau dia tak
cepat menangkis dengan tongkatnya yang disilangkan
di depan dada.
"Kau tak akan dapat meloloskan diri Setan
Cengkrong...!" Membentak si Tombak Malaikat. Senjata
tombak bermata tiganya mencecar terus si Setan
Cengkrong yang dalam keadaan rebah di tanah, segera
putarkan tongkatnya.
TRANG...! Terkejut si Tombak Malaikat. Tom-
baknya terpental balik. Telapak tangannya terasa ter-
getar. Kiranya yang menangkis adalah Wiratmana. Pe-
muda ini tak tega membiarkan si Setan Cengkrong da-
lam keadaan mengkhawatirkan sedemikian rupa. Be-
debah! Kau menolongnya...?". Teriak si Tombak Malai-
kat. Sepasang matanya mendelik gusar.
"Berilah kesempatan dia untuk bicara!" Teriak
Wiratmana dengan suara santar berwibawa. Pemuda
ini berdiri dengan gagah melintangkan pedang di atas
tubuh si Setan Cengkrong. Lalu berputar ke sekeliling-
nya.
"Aku Wiratmana akan melindungi jiwanya, dan
membunuh mampus siapa yang menolak untuk diajak
berdamai. Orang ini telah mengatakan padaku bahwa
semua perbuatan keji yang terjadi selama ini di bebe-
rapa wilayah adalah bukan perbuatannya!" Melengak
semua orang yang berada di situ, yang segera mereng-
gang beberapa langkah, serta saling pandang dengan
kawannya. Wiratmana sudah menatap kembali pada si
Setan Cengkrong seraya berkata.
"Bangunlah sobat! Bicaralah...! Kau dapat beri-
kan bantahan atas tuduhan mereka, dan berikan ala-
sanmu..!".
Namun pada saat itu terdengar suara tertawa
terbahak-bahak, disertai munculnya sesosok tubuh.
"Hahaha.. .haha... Iblis perusuh sudah tertangkap dan
terkepung, mengapa tak dibunuh mampus segera?".
Semua kepala segera berpaling ke arahnya. Ternyata
yang datang adalah Adipati Rekso Jiwo.
Terkejut semua orang, dan serentak mundur
memberi jalan seraya menjura hormat Wiratmana pun
menjura, seraya berkata.
"Maaf, Gusti Adipati. Bukan hamba mau mem-
bela penjahat, akan tetapi orang ini telah lakukan pe-
nyangkalan atas dirinya yang tidak bersalah. Hamba
kira ada baiknya kita memberi kesempatan untuk dia
membela diri..."
Termenung sejurus sang Adipati. Semua jadi
hening ketika sang Adipati tengah merenung. Lalu ter-
dengar bicaranya.
"Sebenarnya aku takkan pernah menerima sa
ran dari siapa pun, tapi kali ini biarlah. Kau berani
melindungi tentu punya hubungan baik dengan manu-
sia ini. Berikan padaku pedangmu, kau kini jadi san-
dera ku. Dan kuberi waktu si Setan Cengkrong untuk
membela diri!". Seraya berkata lengan sang Adipati su-
dah terjulur cepat merampas pedang di tangan Wirat-
mana.
Tentu saja gerakan tak terduga itu yang dila-
kukan dengan cepat, membuat Wiratmana terkejut.
Namun! pedangnya sudah kena dirampas. Dan satu
tenaga keras tahu-tahu telah mendorong tubuhnya
terhuyung ke belakang. Pada saat itu terdengar benta-
kan keras sang Adipati.
"Ringkus dia...!". Serentak saja tiga orang su-
dah bergerak menangkap kedua lengan Wiratmana.
Bahkan selanjutnya sang Adipati sudah lemparkan
seutas tali untuk mengikat tubuh pemuda itu. Tak ayal
segera saja Wiratmana sudah diikat erat. Namun di
saat semua mata mengarah pada Wiratmana, tiba-tiba
si Setan Cengkrong bergerak melompat. Sebelah ka-
kinya telah digunakan menghantam dada sang Adipati.
BUK..! Terjangan kaki itu telak mengenai dada Adipati
Rekso Jiwo, yang membuat tubuhnya terhuyung. Tapi
dengan cepat pedang di lengannya sudah dipakai me-
nabas. WUT..! Sayang serangan dalam keadaan tubuh
limbung itu tak membawa hasil. Karena si Setan
Cengkrong sudah menggelinding cepat. Sebelah len-
gannya menyambar sebuah tombak di tangan salah
seorang yang sedang terpukau, dan selanjutnya den-
gan gesit sudah gunakan tombak itu untuk melompat
pergi.
"Kejarrrr...!" Teriak Adipati Rekso Jiwo dengan
gusar. Sementara sebelah lengannya masih memegangi
dadanya yang terasa sesak akibat hantaman kaki si
Setan Cengkrong. Namun semua orang masih terpaku
melihat kecepatan serta kegesitan manusia cacat itu.
Saat mana si Setan Cengkrong sudah berkelebat le-
nyap.
"Bodoh...!". Maki sang Adipati. Akan tetapi pada
saat itu terdengar satu suara menyusup ke telinganya.
"Rekso Jiwo...! Manusia licik, pengecut! Aku
sudah tahu! Semua perbuatan keji itu kau dan guru-
mu si Setan Hitam yang melakukan! Tunggulah pem-
balasanku..."
"Hehe, Setan Cengkrong! Kuberi waktu kau se-
lama tiga hari, seandainya kau tak datang, sahabatmu
ini akan kubunuh mampus! Datanglah ke Goa Lembah
Pelangi, aku akan nantikan kau untuk menerima tan-
tanganmu...!"
Terkesiap si Setan Cengkrong. Tampak manu-
sia cacat ini menggeram amat. marahnya. Akan tetapi
dia sudah berkelebat pergi tinggalkan tempat keting-
gian itu. Akan halnya kata-kata dalam pengiriman su-
ara jarak jauh itu, tak seorangpun dari kaum tokoh-
tokoh persilatan yang mendengarnya. Namun ternyata
Roro Centil telah mendengar dengan jelas. Tentu saja
si Pendekar Wanita Pantai Selatan itu bisa mendengar,
karena secara kebetulan dia berada tak jauh dari si Se-
tan Cengkrong di tempat persembunyiannya. Karena
ketika terjadi pertarungan hebat di dalam goa, Roro
berada di tempat itu, hingga sampai kelanjutannya
muncul sang Adipati Rekso Jiwo.
"Hm, jelaslah sudah! Kalau begitu biang kerok-
nya adalah si Setan Hitam dan Rekso Jiwo! Setan
Cengkrong cuma jadi korban kelicikan adipati itu. En-
tah ada permusuhan apakah dengan kedua manusia
itu...!". Desis Roro perlahan.
Sementara itu sang Adipati telah perintahkan
Wiratmana segera dibawa, sebagai tawanan. "Bawa dia
ke Kadipaten! Dia merupakan jaminan nyawa si Setan
Cengkrong.!", Tiga orang anak buah sang Adipati sege-
ra menggusurnya jalan. Sedangkan Adipati Rekso Jiwo
yang berilmu tinggi itu, sekali berkelebat segera lenyap
dari situ. Para kaum Rimba Hijau yang lainnya pun se-
gera angkat kaki, dengan wajah-wajah yang menam-
pilkan kekecewaannya.
Ratih Dewi berjalan cepat menuju bukit Kelela-
war. Sementara hatinya berdebar tak keruan karena
mengkhawatirkan keselamatan Wiratmana, yang di
sangkanya Permana. Akan tetapi Ratih Dewi menemui
kesulitan untuk mencari bukit itu, karena disamping
dia jarang turun gunung sejak selama tiga tahun ber-
guru dengan si manusia misterius yang berjulukan Ib-
lis Muka Seribu, dia juga belum hafal situasi daerah
itu. Tujuan yang sebenarnya adalah membawa tugas
dari gurunya si Iblis Muka Seribu untuk mengambil
perbekalan yang telah disediakan, di desa Atas Angin.
Hal demikian memang sering dilakukan satu bulan se-
kali.
Sekalian untuk menguji ilmu kekuatan lari ce-
pat yang dipelajarinya. Dan juga merupakan ujian bagi
dirinya, apakah akan melarikan diri atau merasa betah
berdiam di goa tersembunyi itu. Perjumpaan dengan
gurunya boleh dibilang hanya berkisar dalam pelajaran
ilmu kedigjayaan saja, yang dilakukan secara aneh.
Yaitu Ratih Dewi diperintahkan menghapal se-
tiap gerakan. Dan pada menjelang malam dia harus
sudah siap menerima serangan mendadak dari sesosok
tubuh yang tak diketahuinya apakah gurunya, atau-
kah orang lain. Demikianlah hingga selama tiga tahun
itu Ratih Dewi tak pernah mengetahui wajah gurunya.
Terkadang dia menduga sang guru adalah seorang
yang cacat mukanya, hingga tak ingin menampakkan
wajahnya.
Demikianlah, hingga ketika giliran mengambil
perbekalan, Ratih menjumpai banyak mayat bergelim-
pangan di mana-mana. Hal tersebut menimbulkan per-
tanyaan dirinya. Sebulan yang lalu dia memang telah
mendengar adanya tokoh persilatan yang berjulukan si
Setan Cengkrong. Ratih Dewi memang punya dugaan
kalau hal itu perbuatan si Setan Cengkrong, yang me-
nurut apa yang didengar dari gurunya bahwa ada to-
koh golongan hitam yang sengaja membuat keonaran.
Padahal Ratih Dewi sendiri tak mengetahui entah Gu-
runya dari golongan mana? Bila melihat dari julukan-
nya, tentu akan menyangka tokoh golongan hitam, tapi
tindak-tanduk terhadap dirinya amat baik. Itulah ke-
misteriusan si Iblis Muka Seribu yang memang amat
misterius.
Sementara diam-diam hati sang dara ini sema-
kin kebat kebit. Disamping mengkhawatirkan nasib
sang kekasihnya, juga takut kalau kepergok sang guru
karena menyeleweng dari tugasnya.
Kekhawatirannya menjadi kenyataan, ketika ti-
ba-tiba terdengar suara tanpa ada orangnya. "Ratih
Dewi..! Sebaiknya kalau kau memang mau menunda
tugasmu tak menjadi soal. Akan tetapi urungkan
niatmu ke bukit Kelelawar. Kembalilah segera...!". Ter-
kejut bukan main Ratih Dewi, seketika wajahnya beru-
bah pucat Akan tetapi dia sudah menyahut...
"Ba... baik guru!". Dan tak ayal lagi dara ini su-
dah putar tubuh untuk selanjutnya tancap kaki berlari
cepat tinggalkan tempat itu. Sementara hatinya sema-
kin kebat-kebit. Entah hukuman apa yang akan dite-
rimanya nanti. Perjalanan yang ditempuh cukup jauh
dan melelahkan, namun dia terus berlari, dan berlari,
untuk segera sampai di tempat tujuan.
Tak dikisahkan perjalanannya... Ratih Dewi te-
lah sampai di mulut goa di mana selama ini menetap.
Ternyata sang guru sudah berada di dalam goa, duduk
di atas batu seperti biasa dengan topi tudung yang
menutupi wajahnya. Suara si Iblis Muka Seribu sudah
terdengar bernada dingin mencekam.
"Silahkan masuk, muridku. Dan kembali ke
kamar...!". Ratih Dewi mengangguk dan beranjak ma-
suk dengan wajah menunduk. Dara ini rebahkan tu-
buhnya di pembaringan dengan tubuh letih lesu. Se-
mentara hatinya berdebaran tak keruan rasa. Hawa
panas yang cukup membuat tubuh sang dara ini man-
di keringat, membuat dia lepaskan pakaian luarnya,
untuk duduk sambil mengipas. Saat itulah terdengar
satu suara yang tak asing lagi baginya, yaitu suara
sang guru yang didengarnya di balik dinding kamar.
"Ratih Dewi, kau tahu hukuman apa bagi mu-
rid yang menyeleweng dari tugasnya?" Pucat seketika
wajah dara ini. Segera dia menyahuti dengan suara
bergetar.
"Aku memang bersalah, guru! Silahkan beri
hukuman padaku! Aku ... aku akan menerimanya!".
"Bagus ..Sahut sang guru, yang tahu-tahu so-
sok tubuhnya sudah berdiri di depan pintu ruangan
kamarnya.
Terperangah Ratih Dewi, ketika baru untuk
pertama kalinya dia melihat wajah sang guru adalah
ternyata seorang laki-laki yang gagah dan cukup tam-
pan.
"Hukumanmu adalah melayani gurumu murid
ku...! Tiga tahun waktu yang cukup untuk aku mendi-
dikmu menjadi pewaris ilmu-ilmuku. Kau pernah ber-
janji tak menolak syarat-syarat yang ku ajukan. Ini
adalah salah satu syarat itu, yang merupakan juga
hukuman atas penyelewengan mu...! Apakah kau be-
rani menolaknya...?". Tanya si Iblis Muka Seribu. Pu-
cat pias wajah Ratih Dewi, akan tetapi dia sudah men-
jawab dengan suara tergetar.
"Ti... tidak, guru...!". Tersenyum si Iblis Muka
Seribu seraya berucap.
"Bagus! Kau memang seorang murid yang ber-
bakti terhadap gurumu...".
Sementara di luar goa telah terdengar suara
orang tertawa terkekeh-kekeh yang sudah berkelebat
masuk. Ternyata tak lain dari si Setan Hitam.
"Hehehe... hehe... Iblis Muka Seribu, aku bawa
seekor kelinci putih yang montok. Apakah kau tak
mengilar untuk menyantapnya?". Berkata si Setan Hi-
tam. Kakek jubah hitam ini memang membawa seekor
kelinci di tangannya, yang segera beranjak masuk ke
dalam. Akan tetapi karena tak ada sahutan, dia sudah
berkata sendirian seraya membawa kelincinya ke bela-
kang.
"Hmm...! Biarlah aku akan memasaknya, kau
tinggal menyantapnya saja nanti, hehehe...."
Dasar orang kejam dan telengas, si Setan Hitam
bukannya memotong dulu kelinci itu, baru menguli-
tinya. Akan tetapi langsung saja menguliti tanpa me-
motong terlebih dulu. Keruan saja binatang itu menci-
cit-cicit setengah mati. Keadaan di belakang goa ter-
nyata adalah sebuah bukit yang penuh tumbuh rum-
put ilalang. Cuaca tidak begitu bagus. Angin sesekali
berhembus menyibak daun-daun ilalang. Agaknya sen-
ja sudah tiba. Mentari mulai membenam di ufuk barat,
si Setan Hitam dengan tertawa-tawa menyeringai asyik
dengan pekerjaannya....
Selang tak lama sudah tercium bau wangi dari
sedapnya daging kelinci panggang. Ketika sosok tubuh
si Iblis Muka Seribu muncul di muka pintu ruang be-
lakang, kelinci itu sudah matang keseluruhannya. "Ah,
kebetulan...! Boleh aku mencicipinya, guru...?" Berkata
si Iblis Muka Seribu yang tak lain adalah Rekso Jiwo
alias sang Adipati.
"Hehehe... silahkan! silahkan...". Berkata si Se-
tan Hitam, seraya angkat daging kelinci dari pang-
gangnya. Selanjutnya sudah membelahnya menjadi
dua bagian. Dan tak berapa lama mereka sudah meng-
gayamnya panas-panas.
* * *
Mentari sudah hampir masuk ke peraduannya,
ketika di lembah dekat lereng perbukitan yang menghi-
jau itu terjadi kegaduhan. Enam belas orang bergerak
mengejar sesosok tubuh semampai yang berambut
panjang beriapan. Di pundaknya memanggul sesosok
tubuh yang kedua lengannya terikat. Sosok tubuh itu
tak lain dari RORO CENTIL adanya. Kiranya ketika
sang adipati berkelebat meninggalkan anak buah dan
kaum persilatan, Roro melihat Wiratmana diseret dan
didorong oleh tiga anak buah sang adipati itu untuk
dibawa ke Kadipaten. Diam-diam Roro mengikuti. Tapi
ternyata bukan Kadipaten yang dituju, melainkan ada-
lah Lembah Pelangi.
Di tengah perjalanan dekat sebuah candi pe-
ninggalan Kerajaan Sriwijaya telah dijemput oleh tiga
belas orang yang berpakaian rata-rata berwarna gelap.
Ternyata adalah orang-orangnya Adipati Rekso Jiwo.
Dua orang yang menunggang kuda menaikkan Wirat-
mana ke punggung salah seekor kuda, lalu memba-
wanya lebih dulu melalui satu lembah rumput. Semen-
tara yang lainnya mengiringi di belakang. Perjalanan
tidak begitu cepat, sehingga ke empat belas orang lelu-
asa mengikuti di belakang. Tentu saja Roro sudah
mengetahui kalau tujuannya adalah ke Lembah Pelan-
gi. Namun karena tak mengetahui di mana adanya
lembah tersebut, sengaja Roro menguntitnya.
Menjelang cuaca agak redup di mana matahari
mulai terbenam mereka sudah tiba di Lembah Pelangi.
Terkejut Roro Centil melihat situasi keadaan di lembah
tersebut dari kejauhan. Karena nampaknya di tempat
itu seperti keadaan di dalam kota tua. Terlihat banyak
prajurit-prajurit lengkap dengan tombaknya, mondar-
mandir di depan sebuah goa yang sekilas mirip sebuah
bangunan gedung yang ada undakan tangga batu di
bagian depannya.
Mengetahui keadaan akan lebih gawat, bila
sampai Wiratmana tertawan di Goa Lembah Pelangi,
segera Roro bertindak menyelamatkan Wiratmana...
Sementara Roro Centil terus tancap kaki den-
gan kerahkan ilmu lari meninggalkan kawasan Lem-
bah Pelangi. Selang tak lama segera hentikan larinya,
ketika memasuki mulut sebuah desa. Segera Roro Cen-
til lepaskan ikatan pada lengan si pemuda. Sementara
Wiratmana sudah hampir tak sadarkan diri, karena
sepanjang jalan sesekali tangan-tangan iseng sering
melayang ke arah tubuh dan kepalanya. Sepasang ma-
tanya sudah berkunang-kunang. Ketika tahu-tahu te-
rasa ada sebuah lengan yang menyambar tubuhnya,
dan melarikannya dengan cepat.
Terkejut Wiratmana, karena dirinya telah dito-
long oleh dara yang baru beberapa saat dikenalnya.
Dengan sepasang mata menatap seperti hampir tak
percaya, dia melihat dara jelita itu tersenyum padanya
seraya berucap.
"Sobat Wiratmana. Sukurlah aku bisa menye-
lamatkan dirimu. Hingga kau bukan lagi sandera yang
dapat dipermainkan seenaknya saja oleh si Adipati
itu...!".
"Oh, terima kasih atas pertolongan anda, nona
Roro! Aih, membuat aku jadi malu karena laki-laki di-
tolong oleh seorang wanita...!".
"Hihihi... hihi... memangnya kenapa?" Roro ter
tawa mengikik tampakkan sebaris giginya yang putih.
Membuat hati Wiratmana tergetar. Oh, indahnya wa-
jahnya, dan kedua lesung pipit di pipi itu...
Roro yang memang berniat mengunjungi pengi-
napan Sindu Rejo, yaitu tempat di mana Wiratmana
menginap, segera mengajak pemuda itu ke sana. Tentu
saja Wiratmana setuju, bahkan berlega hati, karena di
sana dia bisa menjumpai ketiga orang kawannya yang
tengah menantinya. Yaitu yang bergelar si Tiga Pende-
kar Ular Mas.
Penginapan Sindu Rejo adalah satu-satunya
penginapan di daerah itu, yang amat ramai baik siang
mau pun malam. Memang rata-rata penginapan selalu
menyediakan ruang untuk makan, yang dijadikan res-
toran di bagian bawahnya. Begitu juga pada siang hari
itu. Penginapan Sindu Rejo tampak ramai dikunjungi
orang. Terutama pada restorannya. Karena letaknya di
kota yang ramai, tak jarang dari para pengunjung yang
datang adalah orang-orang terpandang, pembesar
pembesar Keraton dan juga tak sedikit para kaum per-
silatan. Juga rakyat biasa.
Dua meja makan yang berada di sudut ruangan
tampak telah terisi oleh lima orang tokoh persilatan.
Mereka tak lain dari si Tiga Pendekar Ular Mas, Roro
Centil, dan Wiratmana. Kelima orang itu asyik dalam
pembicaraan yang dilakukan tidak terlalu keras mem-
buka suara. Semua kursi telah penuh. Cuma ada satu
bangku kosong di belakang Wiratama, yang sengaja
kursinya ditarik mendekat dengan para sahabatnya
untuk mengobrol sambil menikmati hidangan.
Ketika tiba-tiba masuk seorang laki-laki berusia
kira-kira 40 tahun lebih, diikuti delapan orang kawan-
nya. Laki-laki ini tak lain dari Sentani. Kedatangannya
disambut oleh si pemilik restoran dengan terbungkuk-
bungkuk menjura.
"Oh, selamat datang Kanjeng Tumenggung.
Aduuh, sayang sekali tak ada meja yang kosong. Harap
maafkan. Mungkin sebentar lagi...."
Belum lagi habis bicara si pemilik Restoran,
sudah terdengar bentakan keras, dibarengi dengan
disambarnya baju di dada orang tua itu.
"Aku bukan mau makan di restoran mu, tua
bangka! Tapi akan menyita rumah Penginapan ini be-
rikut semua isinya...!"
"Hah!?". Terkejut si pemilik Restoran. Wajahnya
jadi pias berubah pucat, dan tubuhnya gemetaran.
Dengan tergagap-gagap orang tua itu berkata...
"Oh, apakah kesalahanku Kanjeng Tumeng-
gung...! Me... mengapa bisa demikian...?".
"Kau telah menyembunyikan penjahat di Pengi-
napan mu! Kesalahan ini tak dapat diampuni!".Bentak
Sentani, seraya menghempaskan si Pemilik Restoran
itu, hingga jatuh ngusruk mencium lantai. Ketika
bangkit lagi mulutnya mengucurkan darah. Ternyata
giginya sudah tanggal dua buah. Tentu saja kejadian
itu membuat panik para tetamu yang sedang makan.
Tiba-tiba dua orang dari orang-orang bawahannya te-
lah menunjuk pada Wiratmana dan Roro Centil. Seraya
salah seorang berteriak.
"Itulah dia manusianya! Keduanya memang
sembunyi di tempat ini...!".
Ke delapan orang itu sudah mengurung mere-
ka, seraya mencabut pedang dari pinggang dan meng-
hunusnya. Sementara si pemilik restoran sudah me-
nyingkir dengan wajah pucat ketakutan.
Roro Centil maju ke tengah seraya menjura pa-
da Sentani.
"Maaf, apakah anda Tumenggung yang mengu-
asai wilayah ini?". Tanya Roro.
"Pakai tanya-tanya segala! Menyerahlah kau,
nona! Kau telah melindungi dan membawa lari sandera
Adipati Rekso Jiwo! Aku bawa surat perintah dari Kan-
jeng Sultan. Beliau memerintahkan kami untuk me-
nangkapmu berdua!".
Melengak Roro Centil dan Wiratmana. Adapun
si Tiga Pendekar Ular Mas tampak tampilkan wajah
pias, dan saling pandang pada kawannya. Juga mena-
tap
Roro dan Wiratmana. Tumenggung Sentani
mengeluarkan segulung kertas dari balik bajunya.
Akan tetapi pada saat itu berkelebat bayangan putih
memasuki Restoran. Tahu-tahu terdengar bentakan
keras...
"Surat Palsu ...!". Begitu terdengar bentakan
itu, tahu-tahu Tumenggung Sentani membeliak sepa-
sang matanya. Karena tiba-tiba punggungnya telah ter-
tembus tongkat kayu hingga ke dadanya. Selanjutnya
sudah roboh dengan berkelojotan meregang nyawa.
Delapan orang lainnya terkejut, dan serentak paling-
kan kepalanya. Akan tetapi ke delapan orang itu ham-
pir serentak bertumbangan satu persatu ketika tong-
kat si pendatang itu berkelebatan menabas leher me-
reka. Seketika ramai-lah suara teriakan dari orang-
orang yang sekarat. Bergelinjangan tubuh-tubuh itu
meregang nyawa. Namun sesaat mereka sudah tewas
dengan darah membanjir menganak sungai.
Ternyata di hadapan mereka telah berdiri seso-
sok tubuh dengan satu kaki, dan sebelah lengannya
melengkung ke dada. Wajahnya mengerikan mirip
tengkorak. Siapa lagi kalau bukan si Setan Cengkrong
adanya. Terkejut Wiratmana, juga Roro dan si Tiga
Pendekar Ular Mas. Sebelum mereka ucapkan kata-
kata, si Setan Cengkrong telah mendahului bicara.
"Tumenggung yang kubunuh mampus ini ada-
lah Tumenggung palsu! Mereka semua adalah begun
dalnya si Rekso Jiwo!". Selesai berkata, sepasang mata
si Setan Cengkrong tiba-tiba beralih menatap pada Wi-
ratmana. Di balik wajahnya yang kaku menyeramkan
itu, sepasang mata si Setan Cengkrong seperti mem-
bersitkan sinar aneh. Lalu alihkan menatap pada Roro,
dan si Tiga Pendekar Ular Mas.
"Sukurlah, kalian telah menyelamatkan
,sahabat ku itu dari sandera si Rekso Jiwo. Ketahuilah,
Adipati palsu itu sebenarnya tengah dalam kejaran
Gusti Kanjeng Sultan Hadibowo dari Kasepuhan. Dia
tak berhak menggantikan ayahnya, Adipati Banu Rek-
so yang tewas dibunuh! Karena dia cuma anak angkat
dari istri pertamanya. Namun dia telah memanfaatkan
jabatan sebagai Adipati selama hampir tiga tahun,
tanpa memberi laporan pada Kanjeng Sultan!". Tutur si
Setan Cengkrong. Akan tetapi pada saat itu, terdengar
bentakan keras.
"Setan Cengkrong! Manusia keparat...! Berani
kau memalsukan diriku?! Keluarlah untuk menerima
kematian...!". Terkejutlah lima pasang mata dari para
pendekar ini, termasuk Roro Centil. Karena di luar ter-
lihat pula manusia cacat yang bertubuh dan berwajah
serupa dengan Setan Cengkrong yang berada di dalam.
"Kaulah yang memalsukan diriku, manusia be-
jat!". Teriak Setan Cengkrong yang berada di dalam.
Dan sekejap saja dia sudah berkelebat keluar. Tak ayal
Roro Centil-pun menyusul melompat keluar di susul si
Tiga Pendekar Ular Mas dan Wiratmana.
Tiba-tiba si Setan Cengkrong yang tadi berada
di luar telah tarik keluar sebilah pedang berwarna hi-
tam legam. Itulah Pedang Setan. Tentu saja membuat
sekonyong-konyong si Tiga Pendekar Ular Mas terke-
siap. Seraya sudah maju melompat dengan berbareng
ke tengah kalangan.
"Darimana kau dapatkan Pedang Setan itu!".
Bentak salah seorang yang paling tua dari kedua ka-
wannya.
"Hahaha... aku merampasnya dari gurunya si
Setan Cengkrong palsu itu!".
Melengak si Tiga Pendekar Ular Mas. Seraya
sudah balikkan tubuh menatap si Setan Cengkrong sa-
tunya lagi.
"Gurunya adalah yang berjulukan si SETAN HI-
TAM!". Setan Cengkrong lanjutkan kata-katanya.
"Bedebah! Laknat...! Itulah gurumu... manusia
setan!". Teriak si Setan Cengkrong yang satu ini. Se-
mentara diam-diam hatinya mengeluh. Bedebah laknat
ini sengaja mau mengkambing hitamkan aku lagi! Ce-
laka, semua orang telah terpedaya dengan pengaruh
ilmu SIHIR HITAMNYA! Memikir demikian si Setan
Cengkrong yang satu ini terpaksa mengambil keputu-
san untuk menyelamatkan diri, karena bisa-bisa se-
mua kaum pendekar yang berada di situ akan mem-
bunuhnya. Segera saja dia berkelebat melompat ke
samping rumah penginapan, dan lenyap.
Saat itu si Setan Cengkrong sudah keluarkan
bentakannya untuk selanjutnya melompat mengejar.
Akan tetapi sebelum kakinya bergerak, sudah berkele-
bat ke hadapannya sesosok tubuh ramping. Ternyata
Roro Centil.
Dengan tertawa genit, Roro Centil sudah angkat
sebelah lengannya, seraya berkata.
"Maaf...! aku menahan anda sebentar, sobat Se-
tan Cengkrong!".
Tentu saja melenguk si Setan Cengkrong yang
baru ini. Akan tetapi melihat yang menghadang adalah
seorang gadis muda yang amat cantik, membuat dia
sejenak tertegun. "Apakah keperluanmu, adik manis?
Ah, gara-gara kau menahanku si manusia yang me-
nyaru diriku itu bisa kabur!". Ujar si manusia cacat
ini.
Akan tetapi kata-kata itu justru membuat Roro
jadi tertawa terpingkal-pingkal. Membuat si Setan
Cengkrong jadi plototkan matanya dengan tatapan
aneh.
"Eh, adik! Siapakah kau adanya? Mengapa kau
tertawa geli...?". Tanyanya.
"Hihihi... hihi... kau mengatakan bahwa dia te-
lah menyamar sebagai dirimu! Itulah yang membuat
ku tertawa! Kau adalah seorang manusia yang bertu-
buh normal, mengapa kau katakan dia menyaru seba-
gai dirimu? Bukankah aneh..!". Berkata Roro. Tentu
saja hal itu membuat si Setan Cengkrong ini jadi ter-
kesiap. Hatinya segera membatin. Celaka! Gadis ini te-
lah memunahkan ilmu SIHIR HITAM KU!???.
Terkejut bukan main si Setan Cengkrong palsu
ini, yang dirinya tak lain adalah Rekso Jiwo adanya.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM yang luar biasa
hebatnya, ternyata telah berhasil menyaru menyerupai
si Setan Cengkrong yang sebenarnya.
Bahkan telah pula merubah wajah dan perawa-
kan menjadi seorang tokoh persilatan yang berjulukan
si Iblis Muka Seribu. Seperti diketahui Iblis Muka Seri-
bu telah menjadi guru Ratih Dewi, yang sampai kini
dara itu sedikitpun tak mengetahui kalau gurunya
sendiri itu adalah musuh besarnya. Karena kedua
orang tuanya, yaitu Ki Demang Harya Winangun dan
istrinya telah dibunuh mati oleh Rekso Jiwo, alias gu-
runya sendiri.
Kekuatan ilmu SIHIR HITAM itu cuma berlaku
sampai satu pekan, atau tujuh hari. Beberapa bulan
belakangan ini Rekso Jiwo telah meminjam wajah dan
perawakan si manusia cacat, yang sebenarnya berju-
lukan si Cengkrong. Karena sejak kemunculannya be-
berapa bulan yang lalu, si orang cacat yang berilmu
tinggi itu banyak berbuat kebajikan menolong orang.
Rekso Jiwo segera dapat mengetahui siapa adanya
orang cacat itu, yang tak lain adalah PRAMANA. Seper-
ti yang pernah diceritakan, Pramana adalah kekasih
Ratih Dewi, juga salah seorang murid Penambahan Ga-
lih Kumitir, yang telah tewas dibunuhnya, berikut ke-
lima belas murid-muridnya. Cuma Pramana yang dibe-
rinya hidup, dan dibuatnya menjadi orang cacat tanpa
daksa. Saat Rekso Jiwo mengetahuinya adalah dengan
menguntitnya, ketika pemuda itu berhasil menggagal-
kan maksudnya merampok kereta kuda berisi barang
upeti yang diperuntukkan buat kerajaan Medang yang
sudah berganti dengan nama MATARAM.
Dengan mengetahui siapa adanya si manusia
cacat yang dijuluki si Cengkrong itu, serta mengetahui
pula siapa gurunya, maka Rekso Jiwo pergunakan il-
mu sesatnya menyaru sebagai Pramana. Hingga ber-
macam kejahatan itu jatuhkan nama si manusia cacat
alias Pramana yang terakhir dijuluki si SETAN
CENGKRONG. Demikianlah, terkadang Rekso Jiwo
menjadi Adipati, terkadang menjadi si Setan
Cengkrong. Juga terkadang menjadi guru Ratih Dewi
yang bergelar si Iblis Muka Seribu......
Kini mengetahui adanya seorang gadis yang tak
terkena pengaruh ilmu SIHIR HITAMnya, membuat
Rekso Jiwo jadi terkejut bukan main. Padahal Roro
sendiri sebenarnya tetap dalam pengaruh ilmu Sihir
Hitam Roro Centil memang sudah berusaha menggu-
nakan kekuatan batinnya untuk melihat siapa ujud
asli si Setan Cengkrong yang belakangan ini.
Itulah sebabnya Roro Centil bisa mengatakan
bahwa tubuh si "Setan Cengkrong" di hadapannya itu
normal. Sungguh tak dinyana kata-kata Roro itu seka-
ligus membuat punahnya ilmu SIHIR HITAM-nya Rek-
so Jiwo. Terlihat secara nyata tubuh si Setan
Cengkrong berangsur-angsur berubah ujud. Dan kem-
bali ke asal ujudnya sebagai Rekso Jiwo yang memang
bertubuh Normal. Sayangnya hal itu tak disadari oleh
Rekso Jiwo sendiri. Tentu saja kejadian aneh itu mem-
buat semua mata jadi terbeliak, termasuk juga Roro
Centil. Juga tak kurang dari dua puluh pasang mata
dari orang-orang yang menonton mengelilingi dari tem-
pat yang agak jauh, melihat perubahan aneh itu.
"Oh, maafkan aku, sobat Setan Cengkrong! Aku
hanya main-main saja. Kakimu memang cacat, kok...!
Siapa yang bilang kau orang normal...? Hihi hi... hi-
hi..." Seraya berkata, tiba-tiba Roro Centil telah gerak-
kan kakinya menghantam kaki Rekso Jiwo hingga ber-
derak hancur.... Dan dua kali lengannya bergerak se-
cara hampir berbareng membuat Rekso Jiwo terlempar
lima tombak, dengan perdengarkan jeritannya.
Keadaannya lebih parah lagi dari si Setan
Cengkrong yang sebenarnya. Karena berkali-kali Rekso
Jiwo berdiri, berkali-kali jatuh lagi. Sebabnya karena
telah terlepas sambungan tulang lututnya, hingga tak
bisa berdiri lagi walau dengan satu kaki. Saat Rekso
Jiwo tengah berjingkrakan jatuh bangun itulah berke-
lebat sesosok tubuh menghantam dada Rekso Jiwo
dengan telak.
Laki-laki itu kembali berteriak parau. Kali ini
kekuatan tenaga dalamnya telah punah sebagian,
hingga dia terjungkal dengan semburkan darah dari
mulutnya. Si penerjang itu tak lain dari Setan
Cengkrong, yang telah kembali muncul secara tiba-
tiba. Ternyata Setan Cengkrong memang masih sem-
bunyi di sekitar tempat itu.
"TAHAN...!" Satu teriakan menggema ketika si
Setan Cengkrong gerakkan tongkatnya disertai lompa-
tan tubuhnya, menusuk dada Rekso Jiwo.
Akan tetapi teriakan itu terlambat sudah...
Tongkat si Setan Cengkrong telah meluncur deras tak
tertahankan lagi. Dan menembus amblas ke dada Rek-
so Jiwo. Terdengar lagi teriakan mengerikan Rekso Ji-
wo. Tubuhnya menggeliat dengan wajah me nyeringai
kesakitan. Sementara kedua lengannya telah mencekal
tongkat yang amblas ke dadanya. Ternyata yang berte-
riak adalah Ratih Dewi.
"Guruuu...!". Teriaknya, seraya melompat ke-
hadapan Rekso Jiwo. Sepasang mata gadis ini bersim-
bahkan air mata. Ternyata Rekso Jiwo belum tewas.
Melihat kemunculan Ratih Dewi sepasang matanya
bersinar kembali. Bahkan masih sempat dia memak-
sakan diri untuk tersenyum. Dan berkata dengan sua-
ra lirih.
"Murid... ku! Aku me...nyesal mem... bunuh ke-
dua... orang... tua...mu..."
Selesai mengatakan demikian, terkulailah kepa-
la Rekso Jiwo. Nafasnya telah putus dan kembali
menghadap Tuhan. Tentu saja kata-kata itu bak petir
yang menggelegar didengar Ratih Dewi. Hatinya tak ke-
ruan rasa. Gurunya sendiri ternyata adalah pembunuh
ke dua orang tuanya
Pada saat itulah tiba-tiba berkelebat sebuah
bayangan hitam ke arah mayat Rekso Jiwo. Ternyata
tak lain dari si Setan Hitam. Tampak lengannya men-
cabut tongkat kayu di tubuh Rekso Jiwo dengan cepat.
Dan di luar dugaan telah melemparkannya ke arah
Pramana. Terkejut bukan main Roro Centil yang tak
sempat memperhatikan lemparan mendadak itu. Saat
itu Pramana memang tengah membelakangi si Setan
Hitam. Akan tetapi di saat yang amat gawat itu, Ratih
Dewi telah berseru keras. Dibarengi dengan berkele-
batnya sang tubuh ke arah Pramana.
"Awas!. Serangan gelap!". Tujuan Ratih yang
memperingati Pramana, yang tadinya bermaksud men
dorong tubuh pemuda itu, ternyata membawa kema-
tian pada dirinya sendiri. Karena sekejap antaranya
Ratih Dewi perdengarkan jeritan menyayat hati, ketika
tongkat kayu milik Pramana alias si Cengkrong itu
menghunjam tepat ke jantungnya.....
Sukar untuk diceritakan bagaimana Ratih Dewi
meregang nyawa di saat sekarat itu. Semua orang jadi
terkesima. Sementara Roro Centil telah keluarkan ben-
takan keras mengejar si Setan Hitam, yang telah me-
nyambar tubuh Rekso Jiwo untuk dibawa berkelebat.
Di lain kejap si Tiga Pendekar Ular Mas juga telah ber-
kelebatan mengejar.
"Berhenti.. !" Bentak Roro Centil yang sudah
melompat menghadang di depan si Setan Hitam.
"Hihihi... hihi... kita ketemu lagi Setan Hitam
eh, Setan Hitam! Mau kau bawa kemana rongsokan
itu? Dijualpun takkan laku!". Ujar Roro seenaknya.
Melotot mata si kakek tonggos ini. Namun juga terke-
jut, karena tak menyangka kalau mereka bisa berjum-
pa lagi di tempat ini. Di samping mendongkol, akan te-
tapi juga hatinya kebat-kebit. Karena dilihatnya sang
dara genit itu telah keluarkan sebuah pedang dari be-
lakang punggungnya. Itulah Pedang Setan miliknya.
Yaitu Pedang yang berada di tangan Rekso Jiwo
sang murid. Pedang Pusaka yang telah didapatnya
dengan susah payah itu kini berada di tangan seorang_
dara cantik yang berjulukan Ratu Segala Iblis. Roro
Centil memang pernah mempergunakan julukan demi-
kian pada si Setan Hitam, ketika mereka saling berte-
mu.
Melihat benda pusaka itu, si Setan Hitam su-
dah berkata bengis.
"Berikan padaku pedang itu! Itu punyaku...!"
Sebelah lengannya bergerak dengan telapak tangan
tertelentang ke arah Roro. Sementara Roro Centil ter
kejut bukan main karena tahu-tahu pedang yang dice-
kalnya itu seperti tersedot keras sekali oleh segelom-
bang tenaga yang tak terlihat.
Akan tetapi sebagai tokoh yang sudah cukup
lama berkecimpung di Rimba Hijau, Roro Centil segera
keluarkan ilmu dari lembar daun lontar, warisan gu-
runya. Yaitu ilmu tenaga dalam yang dinamakan Ajian
Sari Rapet.
Apakah yang terjadi?....
Kalau tadinya Roro Centil tampak agak kewala-
han menahan pedangnya agar jangan sampai kena ter-
sedot, tapi kini tampak tenang-tenang saja. Sementara
genggaman tangannya semakin rapat seperti sudah
menempel saja menjadi satu dengan gagang pedang.
Tentu saja melihat sang dara tampaknya enak saja
menahan kekuatan tenaga dalam yang menyedot dah-
syat itu, si Tiga Pendekar Ular Mas jadi menatap ka-
gum. Ternyata Ketiga Pendekar itu sudah berhasil me-
nyusul keduanya yang tengah adu kekuatan, menarik
dan menahan.
Dilihatnya si Setan Hitam sampai keluarkan air
liur dari mulutnya yang tonggos alias giginya tersem-
bul keluar. Kekuatannya ditambah lagi seperempat ba-
gian. Namun Roro tetap tenang-tenang saja. Membuat
si Setan Hitam jadi terheran-heran, tetapi juga penasa-
ran. Saat itu dengan sebelah lengannya yang lain, Roro
Centil loloskan sebuah senjata Rantai Genitnya. Tentu
saja hal itu tak luput dari sepasang mata tuanya yang
masih tajam.
Terkejut juga aneh, si Setan Hitam melihat
ujung rantai yang terdapat bandulan bentuknya mirip
payudara wanita. Belum lagi dia mampu menarik Pe-
dang Setan, selanjutnya Roro telah memutarkan si
Rantai Genit di atas kepala. Segera saja mengeluarkan
suara yang berdengung bagaikan suara ratusan atau
ribuan tawon. Hal mana amat mengganggu konsentrasi
si Setan Hitam. Namun dengan kerahkan kekuatan
menyedot tenaga yang ditambah secara tiba-tiba, dia
berhasil membuat pedang di tangan Roro terlepas.
Akan tetapi terkejutnya bukan alang kepalang, karena
justru Pedang Setan terlalu deras meluncur ke arah
tubuhnya. Mana mampu dia menangkapnya dengan
tenaga yang terlalu berlebihan demikian?
Kecepatan jari-jari tangannya untuk menang-
kap, ternyata lebih cepat sang Pedang Setan yang me-
luncur deras ke arah lambungnya, Tak ampun lagi pe-
dang pusaka itu telah lewat nyeplos menembus tu-
buhnya. Menyembur darah segar dari lambung dan
punggung si manusia berjubah hitam itu. Sementara
Pedang Setan yang nyeplos itu telah menancap amblas
di batu gunung sampai tak kelihatan lagi.
Bersamaan dengan robohnya tubuh si Setan
Hitam itu, teriakan parauhya pun terdengar santar.
Tubuh manusia itu berkelojotan meregang
nyawa yang jatuhnya saling tindih dengan mayat Rek-
so. Saat itu si Tiga Pendekar Ular Mas cuma bisa ter-
paku saja melihat kejadian yang berlangsung begitu
cepat.
Akan tetapi di luar dugaan si Tiga Pendekar
Ular Mas telah hantamkan lengannya dengan berba-
reng ke batu gunung di belakang si Setan. Hitam yang
tengah sekarat. Terdengar suara bagai ledakan.
Saat mereka menunggu asap menipis seraya
menjauh untuk memperhatikan ke mana melayangnya
sang pedang, saat itu pula Roro Centil sudah berkele-
bat lenyap. Ketika mereka melihat ke tempat kejadian
pertarungan, cuma dapatkan tubuh si Setan Hitam
yang sudah kaku tak bergeming. Sementara sang dara
yang bernama Roro itu sudah tak kelihatan lagi batang hidungnya..
T A M A T
0 comments:
Posting Komentar