..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE PEWARIS KERIS NAGA EMAS

Pewaris Keris Naga Emas

 

PEWARIS KERIS 
NAGA EMAS
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama 
Penerbit Cintamedia, Jakarta 
Penyunting : Suhardi 
Hak cipta pada Penerbit 
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pewaris Keris Naga Emas
136 hal. ; 12 x 18 cm

SATU

Bayu duduk diam bersila memandangi Dewi Be-
ruang Putih yang juga duduk bersila dengan sikap ber-
semadi. Kedua telapak tangan gadis berpakaian putih 
compang-camping dan penuh tambalan itu menempel 
rapat di depan dada. Kedua matanya terlihat terpejam. 
Sedangkan tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih, 
terlihat seekor beruang berbulu putih seperti kapas 
mendekam diam dan memperhatikan gadis itu juga.
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang 
pada pemuda berbaju kulit harimau yang lebih dikenal 
dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
Entah sudah berapa lama Dewi Beruang Putih du-
duk bersila dan bersemadi sejak bertarung dengan Ki 
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan Bayu 
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi 
Beruang Putih tidak menginginkan pertolongan Pende-
kar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan 
dirinya sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, per-
lahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga 
hanya dia sendiri yang mendengarnya. Dan, memang 
Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa 
begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertam-
bah menyengat, bagaikan berada dekat dengan tungku 
api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik di 
kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan, 
rerumputan dan dedaunan mulai kelihatan menguning 
kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daun-
nya. Bayu sendiri mulai merasa tidak tahan dengan 
udara yang semakin panas menyengat ini. Sambil

menghembuskan napas panjang, dia kemudian bang-
kit berdiri. Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi 
Beruang Putih yang masih duduk bersemadi ditemani 
Beruang Putih peliharaannya. Ketika kepala Pendekar 
Pulau Neraka sedikit mendongak ke atas, keningnya 
langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu mataha-
ri sedikit tertutup oleh awan, udara di sekitar Bayu te-
rus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan in-
gin membakar seluruh kulit tubuhnya.
Hawa panas yang dirasakan Pendekar Pulau Nera-
ka semakin lama semakin menggila saja. Bayu hampir 
tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak menge-
rahkan hawa murni untuk menahan sengatan hawa 
panas itu, mendadak terjadi perubahan yang begitu 
cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat 
ini mendadak menghilang. Dan, langsung berganti 
dengan udara dingin yang menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di 
pinggiran Jurang Setan. Ketika itu dia merasakan hal 
yang sama dengan yang dialaminya sekarang ini. Hawa 
panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat 
membuat peredaran darahnya terganggu (Baca serial 
Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis 
Sakti"). Tubuh Pendekar Pulau Neraka terlihat bergidik 
dan menggigil kedinginan. Pandangannya tertuju lurus 
pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam, du-
duk bersila dengan sikap bersemadi.
Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa dalam uda-
ra yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun 
turun gumpalan-gumpalan putih seperti kapas. Dan, 
sebentar saja sekitar hutan itu dipenuhi oleh gumpa-
lan-gumpalan putih yang menyebarkan udara dingin 
membekukan tulang.
"Hep!"

Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menya-
lurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Hawa murni 
yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi 
menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali 
duduk bersila. Kedua telapak tangannya dirapatkan di 
depan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa mur-
ni dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu 
merasuk ke dalam tubuhnya. Hal itu membuat darah-
nya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di dalam 
tubuhnya.
***
Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk 
bersila dengan sikap bersemadi melawan hawa dingin 
yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan, kini 
gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menu-
tupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya bagian leher 
dan kepalanya yang masih terlihat.
Sementara itu, Dewi Beruang Putih masih tetap 
bersemadi.
"Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-
camping penuh tambalan itu melompat bangkit berdiri. 
Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah 
dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, se-
dangkan matanya memandang ke arah matahari yang 
saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh...?!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat, 
tidak jauh di depannya, seorang pemuda berwajah 
tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbung-
kus gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu 
menghampiri sambil terus mengamati. Sedangkan pe-
muda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam

dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan 
kedua tangannya ke depan, sambil duduk bersila di 
depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga 
dari kedua telapak tangannya memancar cahaya me-
rah bagai api yang berkobar. Cahaya merah itu lang-
sung menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Hup...!"
Hanya sebentar kemudian, Dewi Beruang Putih 
sudah melompat ke belakang sejauh tiga langkah. 
Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya. 
Tidak ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tu-
buhnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka bangkit ber-
diri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berba-
ju putih compang-camping dan penuh tambalan di de-
pannya. Gadis itu juga memandangi wajah Pendekar 
Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan cukup 
tajam, sedikit terlindung oleh rambutnya yang meriap 
tak beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan berta-
tapan saja dengan sinar mata yang cukup tajam. Ke-
mudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya 
perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tem-
pat ini. Dia melihat, tidak jauh darinya tergeletak dua 
sosok tubuh tak bernyawa lagi. Dan, di atas sebatang 
pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di seba-
tang cabang yang cukup besar dan kuat. Dia tahu, 
mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua orang dari si 
Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Be-
ruang Putih.
Nada suara gadis itu terdengar begitu dingin. Bah-
kan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada suaranya.

Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar 
Pulau Neraka.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik 
bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian 
pengemis ini sesungguhnya sudah tahu bahwa dialah 
yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau 
tidak ada Bayu, mungkin gadis ini dan beruang putih 
raksasanya sudah tewas di tangan Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau Nera-
ka dalam kisah "Dewi Beruang Putih"). Tapi, entah ke-
napa Dewi Beruang Putih bersikap seakan-akan tidak 
tahu apa yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau 
kau bisa membunuh mereka semua, itu berarti kau 
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka," 
kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang ter-
dengar datar dan dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka. 
Kau juga harus bisa mengalahkan aku kalau ingin 
menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Pu-
tih, semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke 
kanan dua tindak. Pandangannya masih tetap tak ber-
kedip, tertuju lurus ke bola mata yang hampir tertutup 
rambut hitam acak-acakan itu. Kata-kata Dewi Be-
ruang Putih barusan sudah membuktikan, bahwa se-
benarnya dia memang mengetahui semua yang telah 
terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu 
tersenyum. Beberapa saat mereka kembali terdiam, tak 
berbicara lagi. Sedikit Bayu melirik pada beruang putih 
raksasa yang masih mendekam diam di bawah pohon, 
tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan 
jarak hanya sekitar dua batang tombak.

"Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Ki-
sanak. Karena, akulah yang berhak memegang keris 
pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah 
seorang wanita. Tapi aku tidak yakin kalau kau pewa-
risnya," ujar Bayu, yang tetap bersikap tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar 
kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, dia 
cepat menyadari, memang tidak mudah membuktikan 
bahwa dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas 
yang sekarang berada di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru seka-
rang ini muncul ke dunia luar, setelah selama lima be-
las tahun tinggal bersama-sama dengan Tiga Pengemis 
Sakti di dalam dasar Jurang Setan. Terlebih lagi, den-
gan keadaannya yang seperti ini, tidak mungkin ada 
orang yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua 
orang menyangka kalau dia sudah mati tercebur ke 
dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga 
Emas itu?" tanya Dewi Beruang Putih, kemudian sea-
kan-akan tengah menguji Pendekar Pulau Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap. "Namanya Intan Ku-
mala. Dan dia putri tunggal Ki Satria, tapi memang 
kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan 
aku akan terus berusaha menemuinya kalau dia me-
mang benar-benar masih hidup sekarang ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan 
Kumala. Dan aku putri tunggal Ki Satria," kata Dewi 
Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak ma-
tanya tampak menyipit. Diperhatikannya seluruh tu-
buh gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Jelas

sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka ti-
dak percaya dengan pengakuan yang diucapkan Dewi 
Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak Aku 
akan buktikan bahwa akulah pewaris tunggal Keris 
Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan 
suara yang masih tetap terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang 
tahu semua duduk persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih 
melesat masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan 
itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah 
pohon juga ikut melompat cepat. Begitu cepat gerakan 
mereka, hingga dalam sekejap mata keduanya sudah 
lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di 
tempatnya. Kedua matanya memandang lurus ke arah 
kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa 
itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri di-
am. Kemudian, dia memutar tubuhnya dan melangkah 
ringan meninggalkan daerah padang rumput di ten-
gah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan, 
seakan-akan tidak menjejak tanah. Sebentar saja Pen-
dekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan tempat
ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang 
menggeletak di tanah dan satu lagi di atas pohon.
***
"Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua 
yang cukup besar dan hampir tertutup oleh semak be-
lukar.

Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka 
menghilang dari pendengaran, seorang gadis cantik 
berbaju merah muda agak ketat muncul dari dalam 
gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar 
yang menutupi mulut gua. Seekor monyet kecil berada 
di pundak kanannya. Monyet kecil itu cepat melompat 
turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet
kecil berbulu hitam itu, lalu ditaruh di atas pundak
kanannya. Sedang gadis cantik berbaju merah muda 
agak ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau 
Neraka. Kedua tangannya kelihatan kotor, penuh den-
gan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Bi-
ru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata 
Bayu sambil menunjuk ke arah kanan.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan me-
langkah mengikuti arah yang ditunjuk Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan Bayu tetap berdiri memperhatikan. 
Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam 
lebatnya pepohonan. Dan, tak lama kemudian dia 
muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari no-
da tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Rat-
na Wulan setelah dekat di depan Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih 
jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi.”
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya te

rayun melangkah. Ratna Wulan mengikuti, lalu mense-
jajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pu-
lau Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan 
lagi saat melihat ada sesuatu yang lain pada raut wa-
jah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Se-
tan...?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak men-
gerti. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka da-
lam-dalam. Sedangkan kakinya terus terayun melang-
kah mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda 
tampan berbaju kulit harimau di sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku 
sedang terdesak," lanjut Bayu.
'Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pen-
dekar Pulau Neraka berada di dasar Jurang Setan. Me-
reka memang sempat dihadang seekor beruang putih 
bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja 
menyerang, tapi kemudian juga dengan mendadak 
berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu sa-
ja. Dan, sekarang Beruang Putih itu berada di sini, di 
hutan yang dekat dengan perbatasan Desa Gebang. 
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Ta-
pi, dia yakin bahwa Bayu tidak mungkin berbohong 
padanya.
"Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut 
Bayu dengan suara yang terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak men-
gerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, ma-
sih pelan.
"Pemiliknya...?!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan ke

terkejutannya. Dia memang benar-benar terkejut men-
dengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan 
kali ini bersama pemiliknya. Walaupun sejak berada di 
dasar Jurang Setan dia sudah menduga bahwa be-
ruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja 
gadis ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki 
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi dia juga men-
ginginkan Keris Naga Emas. Bahkan dia pun mengaku 
bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu, 
Wulan," sambung Bayu, tanpa menghiraukan keterke-
jutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhati-
kan wajah gadis ini lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan 
kakinya perlahan-lahan.
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus 
memperhatikan Ratna Wulan yang tidak juga meng-
hentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah 
Bayu kembali melangkah dan mensejajarkan jalannya 
di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka menge-
rutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna 
Wulan yang tampak berubah. Sedangkan pandangan 
mata gadis itu tetap tertuju lurus ke depan. Sedikit 
pun Ratna Wulan tidak membuka suara.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?"
Pertanyaan Bayu kali ini bernada mendesak. Dia 
memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba si-
kap Ratna Wulan berubah setelah dia menceritakan 
semua peristiwa yang dialaminya tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan.
Gadis cantik berbaju merah itu seakan-akan tidak 
yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat 
kening Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada

sesuatu yang dipikirkan gadis ini. Tapi, entah apa...? 
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa ti-
ba-tiba saja seperti ada sesuatu yang terlintas di dalam 
kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran itu melin-
tas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di da-
lam kepalanya saat ini.
"Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris 
Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan, setelah cu-
kup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa na-
manya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Pu-
tih. Tapi setelah dia melihat Keris Naga Emas, lang-
sung dia mengaku bernama Intan Kumala. Bahkan dia 
juga menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Sa-
tria. Tapi aku belum percaya kalau Dewi Beruang Pu-
tih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak 
mau menyerahkan keris pusaka yang dititipkan pada-
ku ini pada sembarang orang. Aku harus menyerah-
kannya pada orang yang benar-benar tepat," kata 
Bayu, tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Ka-
kang," gumam Ratna Wulan perlahan, seakan-akan bi-
cara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan...?!" sentak Bayu ka-
get.
Ratna Wulan tidak menjawab. Dia kembali diam 
dan terus melangkah tanpa bicara lagi. Sedangkan 
Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya
ini. Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari ka-
ta-kata yang diucapkan Ratna Wulan barusan. Kata-
kata yang bernada menggumam itu seakan-akan ke-
luar bukan dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan me

nuju ke Desa Gebang. Saat ini matahari sudah jauh 
condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik 
mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jing-
ga. Sungguh indah pemandangan senja ini. Tapi, kein-
dahan yang tersirat itu tidak bisa dinikmati Bayu 
maupun Ratna Wulan. Mereka terus sibuk dengan 
berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam 
benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di da-
lam kepala mereka saat ini. Hanya mereka sendiri yang 
tahu.
***
DUA


Malam sudah turun menyelimuti seluruh permu-
kaan bumi Desa Gebang. Kesunyian begitu terasa me-
nemani sang dewi malam yang memancar lembut den-
gan sinarnya yang indah keperakan. Tidak jauh dari 
perbatasan sebelah Timur, tampak seorang gadis ber-
baju putih, compang-camping, dan penuh tambalan 
berdiri tegak di depan puing-puing reruntuhan sebuah 
rumah yang berhalaman luas. Sunyi sekali di sekitar-
nya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini 
selain gadis berpakaian pengemis itu.
Entah sudah berapa lama dia berada di dekat 
puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya 
yang begitu tajam tampak tak berkedip sedikit pun 
memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada se-
suatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak 
akan mungkin bisa dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat 
rumah itu masih berdiri tegak dan begitu indah. Bibir-
nya kemudian tersenyum saat melihat seorang bocah

perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berla-
ri-lari kecil sambil tertawa riang mengelilingi taman 
yang tertata sangat indah. Di belakang gadis kecil itu, 
seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir ter-
senyum manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti ja-
tuh...!" seru wanita cantik berpakaian indah bagai 
permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar lem-
but sekali.
Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala 
itu berhenti berlari. Dia berbalik memandangi wanita 
cantik yang tak lain adalah ibunya ini. Senyuman ma-
nis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang me-
rah. Dari pintu taman, terlihat pula seorang laki-laki 
berusia sekitar lima puluh tahun yang kelihatan gagah 
dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi. 
Begitu ceria wajah-wajah mereka.
Namun, keceriaan mereka mendadak sirna ketika 
tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras 
ke arah gadis kecil itu. Laki-laki setengah baya yang 
berdiri di ambang pintu taman cepat sekali melesat. 
Secepat kilat pula tangan kanannya tampak diki-
baskan ke depan. Dan, langsung disambarnya anak 
panah yang hampir menghunjam ke dada gadis kecil 
itu.
"Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejak-
kan kakinya di tanah, tepat di depan Intan Kumala. 
Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis kecil 
itu bergegas berlari dan langsung mengambil gadis ke-
cil itu ke dalam gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-
laki setengah baya itu sambil memperhatikan anak 
panah yang berada dalam genggaman tangan kanan-
nya.

Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas me-
ninggalkan taman yang indah ini. Namun, belum juga 
dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah bayan-
gan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu di 
depan wanita cantik itu sudah berdiri seorang perem-
puan tua bertubuh bungkuk yang mengenakan jubah 
panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan 
tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian
ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Oh...?!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah 
gadis kecil itu segera melompat. Begitu ringan gera-
kannya. Tahu-tahu dia sudah, berada di samping ka-
nan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya ter-
tawa terkikik. Suara tawanya terdengar sangat kering 
dan mengerikan. Matanya yang memerah dan bersinar 
tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah 
baya itu. Kemudian pandangannya berpindah pada In-
tan Kumala yang berada di dalam gendongan ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik..! Tidak lama 
lagi kau akan hancur, Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau? Apa maksudmu da-
tang ke sini?" bentak ayah Intan Kumala yang berna-
ma Ki Satria itu dengan suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan 
itu bergerak hendak menyambar Intan Kumala. Tapi, 
sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh Intan 
Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"

Bet!
"Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tan-
gannya ketika Ki Satria mengebutkan tangan kanan-
nya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam 
tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat 
mundur. Dirasakannya angin kebutan tangan kanan 
Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu me-
nyengat.
"Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu, 
Satria. Aku datang justru ingin menyelamatkan ketu-
runanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis 
dingin.
"Katakan dulu, siapa kau? Apa maksudmu berkata 
begitu?" ujar Ki Satria dengan tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa 
keluar dari istanaku karena ingin menyelamatkan ke-
turunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran 
sudah dekat di depan matamu," sahut perempuan tua 
itu dengan nada suara yang masih tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Se-
baiknya pergi saja kau. Dan, jangan coba-coba meng-
ganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria, 
yang tidak percaya dengan kata-kata perempuan tua 
itu.
"Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus pe-
rempuan tua yang mengaku bernama Ratu Mayat Bu-
kit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pen-
gawalku, heh...!" bentak Ki Satria lagi.
Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandan-
gi Ki Satria. Dia melangkah mundur beberapa tindak, 
kemudian tanpa berkata sedikit pun melesat pergi 
dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam 
sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap tak terlihat

lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Sa-
tria sambil merangkul pundak istrinya.
***
Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya ma-
suk ke dalam rumah ternyata sama sekali tidak meng-
hilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di 
taman tadi. Kedua bola matanya kini terbeliak lebar 
begitu melihat orang-orangnya yang berada di dalam 
rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi. Darah ber-
cucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat 
membawa anak dan istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
'Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga 
anak kita," kata Ki Satria, mencoba menenangkan is-
trinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah le-
bih dulu berpesan kepada istrinya untuk mengunci 
pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan ter-
gesa-gesa, Ki Satria menyusuri lorong yang tidak sebe-
rapa panjang. Dia langsung masuk ke dalam ruangan 
tengah yang berukuran cukup luas. Kembali bola ma-
tanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat ber-
gelimpangan di dalam ruangan ini.
"Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-
mayat yang bergelimpangan hampir memenuhi lantai 
ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, 
laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan ka-
kinya di ambang pintu, yang berhubungan langsung 
dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk 
ke dalam ruangan depan.

"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya 
dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dia me-
rasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan tengah ta-
di, ruangan depan ini pun dipenuhi oleh mayat-mayat 
yang tampaknya masih baru. Darah yang menggenangi 
lantai pun masih terlihat segar dan hangat. Sambil 
berjingkat, Ki Satria terus menuju ke pintu depan. Di-
periksanya beberapa orang yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi itu. Keningnya langsung berkerut. Kemu-
dian dipandanginya sekalian semua tubuh yang berge-
limpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa 
banyak darah...?" gumam Ki Laksa pada dirinya sendi-
ri.
Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh me-
reka. Meskipun darah yang menggenang dan meme-
nuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut, 
hidung, serta telinga. Kematian yang sangat aneh ini 
membuat Ki Satria bertanya-tanya sendiri di dalam ha-
ti. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas terjadi per-
tarungan. Dan, tak ada luka sedikit pun di tubuh me-
reka semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit 
pun tak ada suara yang ditimbulkan. Ini pertanda 
bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah 
mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan 
kedua kakinya mendarat di lantai beranda depan. Se-
bentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat. 
Hanya mayat-mayat yang tampak bergelimpangan sal-
ing tumpang tindih di halaman depan rumah yang be-
rukuran besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis

Ki Satria, geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih 
ketika melihat tak ada seorang pun pengawalnya yang 
masih hidup. Semua sudah bergelimpangan tak ber-
nyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terja-
di. Padahal, sejak tadi dia berada di taman belakang 
bersama anak dan istrinya. Dan, sama sekali tidak di-
dengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi, 
kini orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak 
bernyawa lagi. Darah menggenang dihampir setiap su-
dut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang ke-
percayaannya. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang 
terdengar. Suaranya yang keras karena dikeluarkan 
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu 
menggema sampai terdengar ke seluruh penjuru mata 
angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahu-
ti teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka? Apakah mereka juga sudah 
mati...?" gumam Ki Satria, bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya 
berkeliling. Tapi, tidak juga ada seorang pun yang dili-
hatnya hidup. Semua yang dilihatnya hanyalah mayat-
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau an-
yir darah begitu tajam menyeruak rongga hidung. Ke-
mudian perlahan Ki Satria bergerak hendak melang-
kah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, ba-
ru saja kakinya menjejak tanah, mendadak...I
Wusss...!
"Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begi-
tu mendengar desiran angin yang sangat halus dari 
arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia menge-
butkan tangan kanannya.

Tap!
"Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di ta-
nah, di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak 
bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang terkep-
al bergerak terbuka. Dan, kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar begitu melihat di dalam telapak 
tangannya terdapat sebuah benda berbentuk kapak 
kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh, 
mendadak terlihat tiga buah bayangan berkelebatan 
meluruk turun dari atas atap. Ki Satria cepat-cepat 
melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Ma-
nis sekali gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara 
sedikit pun, kakinya kembali menjejak tanah.
Tap!
"Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah 
itu mendesis ketika melihat tiga orang laki-laki berusia 
muda sudah berada sekitar dua batang tombak di de-
pannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju den-
gan potongan yang sama, tapi dengan warna yang ber-
beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda. 
Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh ta-
hun. Tampak di tangan kanan mereka masing-masing 
ter-genggam sebilah kapak yang berukuran sangat be-
sar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di 
tangan kanan ketiga pemuda itu. Ki Satria tahu, mere-
ka adalah tokoh-tokoh persilatan yang dikenal dengan 
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku," 
desis Ki Satria, dingin menggetarkan. "Keparat...! Apa 
maksud kalian membunuhi orang-orangku, heh...?"
'Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria,"

kata salah seorang dari ketiga pemuda itu, yang men-
genakan baju berwarna merah menyala.
"Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya 
lagi, yang mengenakan baju biru.
Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu 
yang diambil dari dalam saku bajunya. Ki Satria cepat 
melompat dan berputaran beberapa kali di udara, lalu 
kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilem-
parkan pemuda berbaju biru itu ternyata berupa ser-
buk berwarna kuning, yang langsung menguap menja-
di asap.
. "Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran da-
rah dan memindahkan pernafasannya ke perut. Dia 
tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi 
asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya 
dan mematikan. Kembali tubuhnya melenting ke udara 
dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula ka-
kinya menjejak tanah setelah jaraknya sudah menca-
pai sekitar tiga batang tombak
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai 
hembusan nafasnya yang berat.
***
Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang 
bernama Nyai Wandari kelihatan cemas. Dia tidak me-
lepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu juga 
seperti bisa merasakan kecemasan ibunya. Dia meme-
luk dan menyembunyikan kepalanya di dada yang 
membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh...?!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar 
suara ketukan di pintu. Pandangannya langsung tertu

ju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu se-
bentar saja sudah menghilang. Tapi, tak lama kemu-
dian terdengar lagi. Perlahan-lahan wanita itu bangkit 
dari pembaringan.
"Siapa..?!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari 
balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar 
ini. Dia langsung membukanya. Dan, seorang laki-laki 
berusia sekitar empat puluh lima tahun terlihat berdiri 
tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang pan-
jang tergelung ke atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan 
Rara Putri Intan."
"Oh...?! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun? Di 
mana suamiku?" tanya Nyai Wandari, tidak bisa lagi 
menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...," 
sahut Ki Rahun, terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan 
Ki Rahun tetap menunggu di depan pintu. Nyai Wan-
dari mengambil bungkusan kain putih dari dalam ko-
tak kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia me-
nyelipkan bungkusan kain putih yang tampak berisi 
sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya. Tak
berapa lama kemudian, dia sudah keluar lagi sambil 
tetap menggendong putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya 
Nyai Wandari sambil terus berjalan mengikuti orang 
kepercayaan suaminya ini.

"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Ra-
hun, tanpa menghentikan langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak 
begitu panjang menuju ke bagian belakang rumah be-
sar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada 
di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai 
Wandari untuk masuk lebih dulu. Nyai Wandari tahu,
pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya. 
Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia 
yang langsung menuju keluar melalui jalan di bawah 
tanah.
Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Ra-
hun menggeser sebongkah baru besar yang sering di-
gunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang ber-
bentuk pipih itu terdapat lubang yang cukup besar., 
Tanpa banyak bicara lagi, Nyai Wandari bergegas ma-
suk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari be-
lakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup 
setelah mereka melewatinya.
"Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?" 
tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki 
Rahun. "Di sana sudah menunggu dua puluh orang
pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka...? Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang 
dan menyerang. Sudah banyak yang menjadi korban," 
jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berja-
lan di depan sambil tetap memeluk putrinya dalam 
gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari bela-
kang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke bela-
kang.

Lorong rahasia di bawah tanah ini cukup panjang 
juga. Tapi, keadaannya sangat terang, karena banyak 
obor terpasang di dinding. Ki Rahun bergegas menda-
hului setelah mereka sampai di ujung lorong bawah 
tanah ini. Dia mendorong sebongkah batu yang cukup 
besar. Sedikit demi sedikit batu itu pun tergeser. Dan, 
tampaklah dengan nyata bahwa tempat ini merupakan 
ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan, 
ternyata mereka sudah ditunggu oleh sekitar dua pu-
luh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak bi-
cara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung 
masuk ke dalam hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi. 
Dia terus mengikuti pemuda-pemuda yang dia kenali 
sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki Rahun 
selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali 
berpaling ke belakang. Tak ada seorang pun yang 
membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan terus ber-
jalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Se-
tan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar 
bahwa jalan yang ditempuh mereka bukan menuju ke 
gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpa-
nan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui me-
reka," sahut Ki Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa meneri-
ma alasan yang diberikan Ki Rahun barusan. Memang, 
mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan ini 
untuk menuju ke gua penyimpanan senjata pusaka. 
Walaupun, tentu saja mereka harus memutar dan ber-
jalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak mengeluh

dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan 
mengikuti para pengawalnya yang berjumlah sekitar 
dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun tetap berja-
lan di belakangnya.
***
TIGA


Sementara itu Ki Satria tengah bertarung mengha-
dapi tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan 
si Perampok Tiga Nyawa. Pertarungan yang semula 
berlangsung di halaman rumah berangsur-angsur ber-
pindah. Dan, tanpa disadari, mereka bergerak ke arah 
hutan yang langsung berbatasan dengan bagian bela-
kang rumah. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi 
pertarungan itu tampaknya belum menunjukkan tan-
da-tanda akan berhenti.
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang 
Setan, yang tampak sangat besar dan dalam. Begitu 
dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat 
sulit dilihat. Apalagi, kabut yang sangat tebal selalu
menutupinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari, 
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya juga 
sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ke-
tika melihat suaminya sedang bertarung sengit dengan 
tiga lelaki yang masing-masing bersenjatakan kapak.
"Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai 
Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang 
kalau pertarungannya dicampuri," tolak Ki Rahun.
'Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.

Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak 
bisa dibantah lagi. Ki Satria pasti tidak akan senang 
kalau pertarungannya dicampuri orang lain. Nyai 
Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah 
itu lebih memilih mati dalam pertarungan daripada ha-
rus dicampuri orang lain. Meskipun ada orang yang 
benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak 
akan berterima kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini," 
ajak Ki Rahun.
Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat. Kemudian dia bergegas mengikuti Ki Ra-
hun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi perta-
rungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga 
bergegas mengikuti. Tidak ada seorang pun yang bera-
ni ikut terjun ke dalam pertarungan itu. Tapi, belum 
juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba 
saja terdengar bentakan yang sangat keras dan meng-
gelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung j 
berhenti melangkah. Pada saat itu, terlihat sebuah 
bayangan putih berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-
tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang 
berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu 
sulit dikenali, karena tertutup oleh topeng kayu ber-
warna hitam. Tampak di tangan kanannya tergenggam 
sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian 
ujungnya.
"Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari," 
ujar orang berjubah putih dan bertopeng kayu hitam 
itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.

"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras dan menggelegar suara tawanya. 
Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit, seperti 
tertusuk jarum. Nyai Wandari cepat-cepat menutup te-
linga putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melom-
pat dan langsung menerjang ke arah Nyai Wandari. 
Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat se-
buah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memo-
tong arus terjangan orang bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat me-
lenting ke belakang, sehingga terhindar dari suatu 
benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di 
udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak ta-
nah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Nyai
Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua 
puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan 
Nyai Wandari sudah berdiri seorang perempuan tua 
bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengko-
rak tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari 
langsung mengenali, perempuan tua itulah yang da-
tang menemuinya di taman dan hendak meminta 
anaknya tadi.
"Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu den-
gan topeng jelek, Laksa," desis perempuan tua bung-
kuk yang dikenali Nyai Wandari bernama Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar be-
gitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Den

gan kasar sekali dia membuka topeng kayu berwarna 
hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di ba-
lik topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang 
agaknya berusia lima puluh tahun lebih. Sorot ma-
tanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu sangat 
dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak per-
caya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-
tanya ataupun berpikir panjang. Karena, tiba-tiba saja 
Ki Laksa sudah melompat begitu cepat melakukan se-
rangan.
"Hiyaaat...!" 
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit 
Tengkorak ternyata juga melentingkan tubuhnya. Dis-
ambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu. Dan, 
secara bersamaan keduanya melepaskan satu pukulan 
keras menggeledek yang mengandung pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang 
dilepaskannya, hingga mereka sama-sama tidak dapat 
lagi menghindari benturan dua tenaga dalam yang 
tinggi tingkatannya itu.
Plak!
Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpen-
tal balik ke belakang. Namun, dengan manis sekali ke-
duanya berhasil menjejakkan kaki di tanah secara ber-
samaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, me-
reka sudah berlompatan kembali saling menyerang. 
Pertarungan pun tak lagi terhindarkan, seakan-akan 
menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara 
Ki Satria dan tiga orang lawannya yang dikenal dengan 
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak 
dan Ki Laksa terlihat semakin sengit. Keduanya men

geluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat 
berbahaya. Pukulan-pukulan yang mereka lontarkan 
mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat 
tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai 
sasaran akan menimbulkan ledakan dahsyat jika 
menghantam pohon atau bebatuan hingga hancur ber-
keping-keping.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat 
Ki Laksa melompat ke udara. Dan, secepat kilat pula 
tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan ke arah 
kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi tena-
ga dalam yang disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki 
Laksa, sehingga menimbulkan suara angin menderu 
yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat 
ke belakang. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan 
tongkatnya. Ditangkisnya kibasan tongkat Ki Laksa.
Trakkk!
Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai 
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke 
segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak ter-
dorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu 
pula terlihat Ki Laksa memutar tubuhnya di udara. La-
lu, tanpa diduga sama sekali, lelaki tua itu melepaskan 
satu tendangan keras menggeledek disertai pengera-
han tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah
setengah mati. Cepat-cepat dia menggeser kakinya ke 
samping sambil meliukkan tubuh menghindari ten-
dangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berju-
bah putih itu. Tapi dengan gesit dan cepat sekali Ki

Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan, secepat kilat 
kembali dia menghentakkan kaki kanannya ke depan 
dengan setengah berputar. Begitu cepatnya serangan 
yang dilancarkan laki-laki berjubah putih itu, sehingga 
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tidak sempat lagi meng-
hindar. Dan.... 
Des!
"Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa men-
darat di dada kiri Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aki-
batnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu 
terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah ba-
tu sebesar kerbau yang sangat kokoh langsung hancur 
berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki 
Laksa cepat melompat ke arah Nyai Wandari. Tapi, ti-
ba-tiba saja wanita cantik itu mengebutkan tangan ki-
rinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya 
sudah tergenggam sebilah pisau kecil yang sangat ta-
jam dan berkilatan, yang dicabutnya dengan cepat tadi 
dari balik ikat pinggangnya.
"Heh...?! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba 
sekelebatan cahaya keperakan hampir saja membelah 
dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang dan berputaran beberapa kali.
Pada saat itu, Ratu Mayat Bukit Tengkorak sudah
bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari
yang masih menggendong putrinya.
"Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus disela-
matkan," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak cepat-
cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwajah buruk penuh keriput itu beberapa saat. Kemudian 
dia menyerahkan Intan Kumala kepadanya. Dan, ce-
pat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari 
gendongan Nyai Wandari, lalu bergegas melesat pergi 
dengan cepat sekali. Namun, belum juga dia pergi 
jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat 
tanpa seorang pun sempat mengetahuinya. Dan, saat 
itu juga terlihat beberapa benda halus seperti jarum 
berhamburan dengan deras sekali ke arah si Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari 
akan mendapat serangan gelap yang begitu cepat itu, 
tidak dapat lagi menghindarkan diri. Dan....
Crap!
"Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung 
menembus tubuh Ratu Mayat Bukit Tengkorak Perem-
puan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan 
Kumala yang berada dalam gendongannya seketika ter-
lepas dan langsung melayang jauh menuju ke arah ju-
rang.
"Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar ter-
peranjat.
***
Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak me-
raih anaknya yang melayang ke arah jurang. Tapi be-
lum juga dia bergerak jauh, Ki Laksa sudah bertindak 
cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dike-
butkan ke arah lambung wanita cantik itu.
Bet!
"Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung
saja dia cepat-cepat berkelit meliukkan tubuhnya tadi


menghindari sabetan tongkat yang berujung runcing
itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke 
arah jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya! 
begitu kakinya menjejak tanah. Tapi, baru saja dia me-
lesat, kembali Ki Laksa menghadang dengan cepat. Sa-
tu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan, te-
naga dalam tinggi langsung dilepaskannya dengan ce-
pat sekali ke arah dada. 
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya 
dan berputaran ke belakang menghindari pukulan itu. 
Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali, tahu-
tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan ke-
ras menggeledek yang begitu cepat. Benar-benar cepat 
tendangan yang dilepaskan laki-laki berjubah putih 
itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar, 
terlebih lagi pikirannya tengah tercurah pada putrinya 
yang sedang menghadapi maut.
Des!
"Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu ja-
tuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara itu 
Intan Kumala terus meluncur dan mulai masuk ke da-
lam jurang. Jeritannya yang panjang melengking ter-
dengar begitu menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang 
terasa sesak akibat terkena tendangan Ki Laksa tadi. 
Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak 
mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke 
dalam Jurang Setan. Jeritan bocah kecil itu masih juga

terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama 
anaknya sambil terus berlari menghampiri jurang. Ta-
pi, begitu dia sampai di tepi jurang, tubuh Intan Ku-
mala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal yang 
terlihat kini menyelimuti seluruh bagian dalam jurang 
itu.
"Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat ju-
ga mempengaruhi perhatian Ki Satria yang sedang ber-
tarung melawan si Perampok Tiga Nyawa. Dia sempat 
berpaling ke arah Jurang Setan. Dan, pada saat itu ju-
ga si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju bi-
ru melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi
menghindari pukulan itu. Akibatnya, dadanya telah
terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga 
dalam tinggi itu.
Degkh!
"Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan
tubuh kekar itu baru berhenti melayang setelah meng-
hantam sebatang pohon yang cukup besar hingga han-
cur berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang menge-
nakan baju kuning melompat cepat sambil menge-
butkan kapaknya yang berukuran sangat besar. 
Wuk! 
"Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke

samping. Dihindarinya hantaman kapak yang berkila-
tan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat bangkit 
berdiri sambil mendekap dadanya yang terasa begitu 
sesak.
"Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang 
lagi serangan berupa tendangan kaki kiri dari si Pe-
rampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju merah. 
Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan men-
gegoskan tubuhnya ke kanan. Namun, begitu kaki ka-
nan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa itu te-
rayun cepat sambil memutar ke arah lambung, Ki Sa-
tria tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Des!
"Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali 
dia jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Belum 
lagi dia sempat bangkit berdiri, si Perampok Tiga Nya-
wa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan 
kapaknya dengan deras sekali sambil melompat dan 
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke 
samping. 
Crab!
Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang
kosong. Namun, secepat kilat pemuda berbaju merah
itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-
keras menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan
pemuda yang mengenakan baju kuning juga melaku-
kan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua

serangan yang datang secara bersamaan itu. Tapi begi-
tu berada di udara, mendadak pemuda yang mengena-
kan baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu 
juga terlihat serbuk berwarna kuning tersebar lang-
sung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan kali ini, 
sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wa-
jahnya seketika membiru. Serbuk racun yang ditebar-
kan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu 
langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus 
merembes dengan cepat ke dalam dada. Napas Ki Sa-
tria terasa bagai tersumbat batu yang sangat besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya am-
bruk menggelepar di tanah. Mulut, hidung, dan telin-
ganya mulai kelihatan mengeluarkan darah. Dia terus 
menggelepar sambil mengerang meregang nyawa, hing-
ga akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Seluruh tu-
buh lelaki tua itu langsung membiru. Dan, darah terus
bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mema-
tung sambil terus memandang ke dalam Jurang Setan 
yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki 
Rahun dan dua puluh orang pengawalnya, yang semu-
anya menyandang golok terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak 
Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Ta-
pi, wanita cantik itu tampaknya sama sekali belum ta-
hu bahwa laki-laki di hadapannya ini telah mengkhia-
natinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah 
menjauhi bibir jurang diikuti para pengawalnya. Se-
dangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa hanya 
diam memandang dengan bibir mengulum senyum.

Keempat lelaki itu terus memperhatikan Nyai Wandari, 
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya yang se-
makin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga 
Nyawa yang mengenakan baju merah.
'Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin 
Nyai Wandari mengetahui rencanaku. Juga Ki Rahun
itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan
orang-orang kita," kata si Perampok Tiga Nyawa yang
berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh-kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang
pengawalnya terus bergerak cepat menerobos lebatnya
hutan. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Ki 
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti 
dari jarak yang cukup jauh. Akhirnya, sampailah me-
reka di gua tempat penyimpanan senjata. Ki Rahun se-
gera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Me-
reka cepat-cepat masuk ke dalam gua itu. Kemudian, 
begitu pintu ditutup, Ki Laksa dan si Perampok Tiga 
Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa
yang mengenakan baju biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pe-
muda yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga
Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan ja-
rak jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu 
pun tak lama kemudian hancur seiring dengan terden-
garnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang 
menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak me-
lihat gua itu telah hancur tak berbentuk lagi.

TIGA

Glarrr! 
"Oh...?!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh 
tambalan itu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar 
ledakan keras menggelegar, Lamunannya buyar saat 
itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke 
atas. Tampak langit begitu kelam, tersaput awan hitam 
yang menggumpal tebal. Gadis itu kemudian kembali 
memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melaku-
kannya, kini sakit hatimu sudah terbalas. Tapi aku 
masih punya satu persoalan. Aku belum bisa menda-
patkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan 
mendapatkan keris itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh 
tambalan itu berkata-kata dengan suara yang terden-
gar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air bening 
menitik keluar dari sudut matanya. Tapi, cepat dia 
menyadari, lalu cepat-cepat menghapus air matanya 
dengan punggung tangan. Sebentar kemudian kakinya 
mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan 
puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa 
langkah dia berjalan, mendadak...
Srek! 
"Heh...?!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuh-
nya ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari 
arah belakang. Saat itu, terlihat sebuah bayangan ber-
kelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepoho-
nan yang menghitam kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melompat. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di atas ca-
bang pohon yang cukup tinggi. Saat itu sekilas dia me-
lihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak jauh 
darinya.
"Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung melu-
ruk deras ke arah menghilangnya bayangan itu. Sete-
lah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kem-
bali tubuhnya melenting tinggi ke udara. Beberapa kali 
dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis 
sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala se-
seorang yang berlari cepat menyelinap di antara pepo-
honan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis ber-
baju putih compang-camping dan penuh tambalan itu 
menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tom-
bak dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berba-
ju putih compang-camping dan penuh tambalan yang 
tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak me-
nyipitkan kelopak matanya saat memperhatikan laki-
laki setengah baya di depannya.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau memata-matai 
ku?" tegur Dewi Beruang Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tata-
pan matanya yang begitu tajam menembus langsung 
ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan agak 
memerah. Sedangkan laki-laki setengah baya yang 
mengenakan baju kuning agak ketat itu beberapa saat 
terdiam. Tampak dia memindahkan tongkat kayunya 
dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia 
melangkah ke depan. Sinar matanya yang memerah 
terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si Dewi 
Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak.

Untuk apa kau datang dan memperhatikan bekas ru-
mah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu den-
gan nada suara yang terdengar dingin sekali.
"Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas 
si Dewi Beruang Putih yang tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk..?!" desis Dewi Beruang Putih, lang-
sung memutuskan ucapan laki-laki setengah baya itu.
"Heh...?!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memper-
kenalkan dirinya dengan nama Ki Gaduk itulah yang 
terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu me-
nyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis 
didepannya ini dalam-dalam, seakan-akan mencari se-
suatu pada diri gadis berpakaian pengemis ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku
lagi, Paman. Lima belas tahun memang bukan waktu 
yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan nada 
suara yang terdengar agak mendesah.
"Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang
tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...," 
jawab Dewi Beruang Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala...?!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis
itu memperkenalkan dirinya. Dia sampai menarik ka-
kinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya 
terlihat menyipit memperhatikan gadis berpakaian 
pengemis di depannya ini. Kelihatannya lelaki tua ini
tidak percaya kalau gadis itu bernama Intan Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala..., 
putri tunggal Ki Satria dan Nyai Wandari," selak si De-
wi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.

"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Ga-
duk sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" ke-
luh Dewi Beruang Putih. "Kenapa semua orang me-
nyangka aku sudah mati? Padahal aku masih hidup, 
walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-
katanya. Dia memandangi Ki Gaduk dalam-dalam. Ga-
dis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal 
yang ikut dengan ibunya ketika Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa menghancurkan rumah ayahnya. 
Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudu-
kan Ki Satria sebagai orang kepercayaan kerajaan yang 
bertugas mengantar barang-barang berharga ataupun 
mengawal anggota keluarga istana dan para pembesar 
lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki 
Gaduk, melainkan masih ada dua puluh orang lagi 
yang bersama dengan Nyai Wandari ketika itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk memper-
cayai ku begitu saja. Aku memang tidak mungkin bisa 
meyakinkanmu bahwa aku benar-benar Intan Kumala. 
Tidak mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu. 
Tapi aku akan membuktikan kalau aku adalah Intan 
Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang 
Putih dengan nada suara agak tertahan.
Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih 
memutar tubuhnya berbalik, lalu segera melangkah 
pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan 
Ki Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa 
yang ada di dalam kepalanya saat itu. Bahkan dia ma-
sih tetap berdiri diam mematung walaupun si Dewi Be-
ruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala su-
dah tidak terlihat lagi, tertelan pekatnya malam ya 
dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Gaduk perlahan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
***
Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mema-
tung di dalam gelapnya malam. Kemudian dia memu-
tar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga sebentar
saja sudah jauh. Dan Ki Gaduk terus berlari menem-
bus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali dae-
rah hutan ini. Tidak ada sedikit pun halangan baginya, 
meski malam begitu pekat dan bulan tersaput awa hi-
tam yang tebal menggumpal.
Cras!
Glarrr!
Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angka-
sa, disertai dengan ledakan guntur menggelegar bagai 
hendak membelah alam. Namun, Ki Gaduk terus ber-
lari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru 
berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan 
cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari balok-
balok kayu bulat. Di depan pintu, terlihat dua orang 
laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mereka
masing-masing membawa tombak dan golok yang ter-
selip di pinggang. Salah seorang langsung membuka 
pintu begitu melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Ga-
duk saat melewati dua orang penjaga pintu itu.
"Baik, Ki," sahut mereka bersamaan.
Salah seorang penjaga cepat-cepat menutup pintu 
setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga, 
dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis ber-
pakaian putih penuh tambalan dan compang-camping. 
Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang Putih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tem-
pat yang menyerupai sebuah benteng ini. Dengan ayu-
nan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah men-
dekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu 
sambil menyilangkan tombaknya di depan dada.
"Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Be-
ruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan ma-
suk," sahut salah seorang penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau 
cepat tinggalkan tempat ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya.
Dipandanginya dua orang pemuda penjaga pintu itu. 
Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan 
kedua tangannya secara bergantian. Begitu cepat ge-
rakannya, sehingga dua orang pemuda itu tampak ter-
henyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu 
tahu-tahu....
"Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu
terkena totokan halus di bagian dada sebelah kiri. Se-
dangkan Dewi Beruang Putih berdiri tegak di depan 
pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemu-
da penjaga pintu yang menggeletak tak sadarkan diri 
setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu sia-
pa aku," desis Dewi Beruang Putih.
Kemudian gadis berpakaian compang-camping 
mendorong pintu yang terbuat dari gelondongan kayu.
Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit dia menjulurkan

kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada 
seorang pun yang terlihat, cepat dia melompat masuk 
ke dalam. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya, 
mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tom-
bak dan golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih 
sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh
orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan. 
Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Diraya-
pinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya
dengan senjata masing-masing terhunus di tangan. 
Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah ban-
gunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di 
beranda depan rumah yang sangat besar berdiri seo-
rang wanita berusia setengah baya. Di samping wanita 
itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang 
dikenal oleh Dewi Beruang Putih sebagai Ki Gaduk. 
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis 
kecantikan masih terlihat jelas pada raut wajah wanita 
itu. Wanita cantik setengah baya itu kemudian me-
langkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari be-
randa. Ki Gaduk pun mengikuti dari belakang.
Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian 
pandangannya berpindah ke beranda. Di situ terlihat 
seorang gadis berdiri tidak jauh dari pintu. Gadis itu 
tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat, 
yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping 
dan indah. Tampak pula sebilah pedang berukuran 
panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya 
itu sudah sampai begitu dekat di depan Dewi Beruang 
Putih. Jarak mereka tinggal sekitar enam langkah. Se-
dangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak

dan golok masih tetap mengepung dengan sikap siap 
menerima perintah. Tak ada seorang pun yang mem-
buka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu 
mencekam. Detak-detak jantung begitu terasa jelas 
terdengar.
Entah kenapa, sorot mata Dewi Beruang Putih dan 
wanita setengah baya yang cantik itu saling bertemu. 
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di da-
lam dada. Dan, getaran itu semakin lama semakin ber-
tambah kuat. Kedua wanita itu terus terpaku dari 
mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpan-
dangan, seperti tengah berbicara di antara hati mas-
ing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala...?
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu 
terlebih dulu tersadar. Dia langsung bertanya dengan 
suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang 
Putih.
'Terus terang, aku memang kehilangan seorang 
anak perempuan lima belas tahun yang lalu. Dan ka-
lau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu. 
Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Ku-
mala," kata wanita itu, tegas.
Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang 
tidak mempunyai bukti satu pun yang bisa menunjuk-
kan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal 
Ki Satria. Tapi di dalam hatinya dia merasa yakin ka-
lau wanita yang berdiri di depannya ini adalah ibunya, 
ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun terpisah. 
Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita 
di hadapannya ini. Tapi, karena sikap wanita itu jelas 
sekali menunjukkan keragu-raguan, Dewi Beruang Pu-
tih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas 
tahun ini.

"Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kuma-
la, kau pasti tahu nama ayah dan ibumu," kata wanita 
setengah baya itu lagi, yang jelas hendak menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai 
Wandari," sahut Dewi Beruang Putih, tegas.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari 
kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu 
Perampok Tiga Nyawa. Ayah tewas dalam pertarungan, 
sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku, se-
telah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan. 
Hanya itu yang aku ingat," jelas Dewi Beruang Putih 
dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai 
Wandari itu hanya bisa menggigit-gigit bibirnya men-
dengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu. Dan 
tampak jelas kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup 
detak jantungnya begitu jelas terdengar. Sedangkan ta-
rikan nafasnya juga begitu kuat memburu. Di hada-
pannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam me-
mandangi dengan perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak.
Tapi apakah kau tahu kalau ada seorang lagi yang 
berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng-gelengkan 
kepalanya. Dia memang tidak tahu kalau masih ada 
satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia
tahu, hanya Ki Laksa yang berkhianat. Dan, lelaki itu 
telah merebut kedudukan Ki Satria menjadi orang ke-
percayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata 
pusaka suamiku. Itu sebabnya, kenapa suamiku sam-
pai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang be-
nar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka 
itu. Kalau kau bisa membawa pusaka itu padaku, kau

memang anakku yang hilang lima belas tahun lalu," 
kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia 
tahu, pusaka apa yang dimaksudkan wanita setengah 
baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang memegangnya
sekarang. Inilah yang membuatnya diam terpaku. Dia
justru mencari wanita ini karena ingin merebut kem-
bali Keris Naga Emas dari tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai 
ibunya ini malah memintanya untuk membawa Keris 
Naga Emas kepadanya.
Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi berbicara. Dia
harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul 
kembali dengan ibu kandungnya ini. Tanpa berkata-
kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung
melangkah keluar dari bangunan besar berbentuk ben-
teng pertahanan ini. Dua orang pemuda yang meme-
gang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu ger-
bang.
Dewi Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa 
berpaling lagi sedikit pun. Sedangkan Nyai Wandari 
yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri me-
mandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk men-
dapatkan Keris Naga Emas," ujar Nyai Wandari, mem-
beri perintah.
'Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak meno-
lak
"Gaduk, perasaanku mengatakan, dia memang In-
tan Kumala," selak Nyai Wandari, memotong cepat. 
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa memban-
tah lagi.

Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan me-
langkah cepat-cepat ke rumah besar tempat tinggalnya 
selama ini. Dia berhenti setelah sampai di depan pintu. 
Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang se-
jak tadi berdiri saja di samping pintu. Gadis itu juga 
memandangnya dengan sinar mata yang begitu sukar 
diartikan.
"Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar, 
gadis itu, ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam? ka-
ta Nyai Wandari.
'Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu?' de-
sak gadis itu.
Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu ga-
dis itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam 
rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu 
ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang 
beralaskan permadani lembut berwarna biru muda. 
Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan, 
Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa 
yang terjadi lima belas tahun yang lalu, di saat dia ten-
gah mengandung sekitar dua bulan. Gadis cantik itu 
tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedi-
kit pun dia tidak menyelak sampai Ny Wandari selesai 
dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik
berbaju biru muda itu masih tetap diam, meskipun
ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi wa-
jah yang sudah mulai keriput itu dalam-dalam. Entah 
apa yang dirasakannya saat ini setelah mendengar se-
mua cerita menyedihkan yang terjadi lima belas tahun 
lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang 
ini aku tidak tahu, bagaimana nasib kakakmu,” kata 
Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup lama

berdiam diri.
"Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa 
hidup di dalam Jurang Setan...?" tanya gadis cantik 
yang dipanggil Rara Anting itu, dengan suara yang pe-
lan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar 
ada orang yang bisa hidup setelah jatuh ke dalam Ju-
rang Setan," sahut Nyai Wandari, mendesah perlahan.
'Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting, 
terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku 
sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Bibirnya terlihat mengukir sebuah senyum. Ta-
pi, terasa getir sekali senyum itu. Perlahan-lahan me-
malingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui 
jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Raut wajahnya 
terlihat menyiratkan kedukaan yang begitu dalam. Ra-
ra Anting beringsut mendekati dan langsung memeluk 
bahu ibunya.
"Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih 
hidup," ujar Rara Anting, berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam 
aku selalu memohon pada Hyang Widi untuk melin-
dungi Intan Kumala dan mempertemukan aku den-
gannya kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbi-
sik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata 
Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam-dalam ke 
bola mata anak gadisnya ini. Terlihat jelas adanya ke-
sungguhan pada sinar mata Rara Anting. Nyai Wandari 
tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung me-
narik gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukan.


Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang jatuh 
menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, ti-
dak tahu harus berbuat apa lagi. Dia takut kalau uca-
pannya tadi membuat hati ibunya terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemu-
dian perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dan 
memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan 
punggung tangannya dia menyeka air mata yang men-
galir membasahi pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan 
bekal yang kau miliki belum cukup untuk mengarungi 
ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak 
tersendat.
'Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk 
mencari keterangan tentang kakakmu. Sebaiknya kau 
di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang aku 
miliki sekarang ini selain kau," selak Nyai Wandari, ce-
pat-cepat memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang menge-
nali Paman Gaduk. Tapi tidak ada seorang pun yang 
bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan, 
Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting.... Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu, 
aku tidak akan keluar dari tempat ini. Berikan aku ke-
sempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak In-
tan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk 
mencegah Rara Anting jika gadis itu sudah mengingin-
kan sesuatu. Gadis ini memang keras. Dan, wataknya 
yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada men-
diang suaminya. Agaknya, tidak ada sedikit pun yang 
terbuang dari watak-watak Ki Satria pada diri Rara 
Anting…

"Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil 
langsung memeluk wanita yang melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu 
kau jangan keluar lagi dari tempat ini," pesan Nyai 
Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting 
dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul 
Nyai Wandari.
"Untuk apa...?"
"Bekalmu belum cukup, Anting."
'Tapi, di antara yang lain, aku tidak pernah terka-
lahkan, Bu. Mereka semua masih berada di bawah ke-
pandaianku. Hanya Paman Gaduk dan Ibu yang tidak 
bisa aku kalahkan," tolak Rara Anting, tegas.
"Hhh...!"
Nyai Wandari hanya menghembuskan napas pan-
jang. Memang sulit baginya untuk bisa berdebat den-
gan Rara Anting. Gadis itu tidak akan mau mengubah 
pendiriannya. Kalau sudah mengatakan sesuatu, se-
lamanya dia tidak akan mengubah atau menarik lagi 
ucapannya. Nyai Wandari pun tidak bisa lagi mende-
sak. Dia hanya bisa berpesan agar anak bungsunya ini 
berhati-hati, karena akan sangat banyak rintangan 
dan bahaya yang akan dihadapinya, di alam bebas 
nanti.
***
LIMA


Intan Kumala duduk memeluk lutut sambil me-
mandang ke arah Desa Gebang dari atas ketinggian

bukit batu. Angin yang bertiup kencang sore ini mem-
buat rambutnya yang dibiarkan meriap melambai-
lambai mengganggu penglihatannya. Tapi, gadis yang 
dikenal selalu menggunakan nama Dewi Beruang Putih 
itu tetap diam tak bergeming sedikit pun. Kedua ma-
tanya tidak berkedip memandang lurus ke arah Desa 
Gebang, desa tempatnya dilahirkan.
Tring!
"Heh...?! Apa itu...?"
Intan Kumala terhenyak kaget ketika tiba-tiba te-
linganya mendengar dentingan halus. Cepat dia terlon-
jak bangkit berdiri. Sebentar dia menengadahkan ke-
palanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan lebih 
jelas lagi suara yang membuatnya terkejut tadi.
"Suara pertarungan...," gumamnya, perlahan.
Beberapa saat Intan Kumala mencoba menen-
tukan arah datangnya suara yang didengarnya baru-
san. Kemudian tubuhnya melesat begitu cepat bagai 
kilat. Sungguh ringan gerakannya, bagaikan daun ker-
ing tertiup angin. Dewi Beruang Putih terus berlari ce-
pat disertai ilmu meringankan tubuhnya menuruni le-
reng bukit batu ini. Begitu ringan dan cepat larinya, 
sehingga kedua telapak kakinya bagaikan tidak me-
nyentuh tanah sama sekali. Dan, sebentar saja dia su-
dah sampai di kaki bukit batu ini.
Tampak di sebuah padang rumput yang tidak sebe-
rapa luas, seorang gadis berbaju biru muda tengah 
bertarung melawan empat orang laki-laki bertubuh 
tinggi kekar yang masing-masing menggunakan senja-
ta berupa golok Gadis itu tampak kewalahan mengha-
dapi serangan-serangan empat orang lawannya.
"Akh...!"
Jelas sekali terlihat gadis itu terpental sambil me-
mekik keras begitu dadanya terkena tendangan salah 
seorang lawannya. Dia tersuruk jatuh mencium tanah.

Dan, pada saat itu, seorang lawannya lagi sudah me-
lompat sambil mengibaskan goloknya dengan cepat.
Pada saat itu juga....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kumala cepat me-
lompat. Langsung dia melepaskan satu pukulan keras 
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah 
mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya serangan 
yang dilakukan Intan Kumala, sehingga laki-laki ber-
tubuh tinggi tegap yang mengenakan baju hitam itu ti-
dak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Keras sekali pukulan yang dilontarkan Intan Ku-
mala. Akibatnya, laki-laki berbaju hitam itu terpental 
ke belakang sejauh dua batang tombak. Tubuhnya 
menghantam tanah dengan keras, lalu bergulingan be-
berapa kali. Tapi, dia cepat melompat bangkit berdiri, 
meskipun agak sedikit terhuyung. Sedangkan Intan 
Kumala sudah mendarat tepat di samping gadis berba-
ju biru muda yang mulai bergerak bangkit berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Intan Kumala sambil 
berpaling sedikit.
"Hanya dadaku sesak. Terima kasih...," sahut gadis 
itu, setelah bisa berdiri kembali.
Tangan kanan gadis berbaju biru muda itu terus 
memegangi dadanya yang sesak, akibat terkena ten-
dangan keras bertenaga dalam cukup tinggi dari la-
wannya tadi. Sementara itu, empat laki-laki bertubuh 
tinggi tegap dan kekar dengan wajah kasar yang men-
cerminkan kebengisan sudah bergerak mengepung dari 
empat arah. Golok-golok mereka bergerak-gerak perla-
han melintang di depan dada.
"Kalau ada kesempatan, menyingkirlah. Biar mere-
ka aku yang tangani," kata Intan Kumala.

Gadis cantik berbaju biru muda itu hanya men-
ganggukkan kepalanya. Dia memang menyadari, tidak 
akan mungkin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi 
kalau meneruskan pertarungan ini. Dadanya yang ter-
kena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi 
tadi masih terasa sangat nyeri dan sesak. Nafasnya
pun tersendat-sendat.
"Sakit..?" tanya Intan Kumala sambil memandangi
gadis di sampingnya ini.
"Iya," sahut gadis itu sambil meringis menahan sa-
kit di dadanya.
Sebentar Intan Kumala memandangi gadis itu. Ke-
mudian, tiba-tiba saja dia bergerak cepat menyambar
pinggang gadis berbaju biru muda itu. Dan, secepat ki-
lat pula dia melompat tinggi ke udara. Begitu cepat
dan ringan gerakannya. Keempat orang pengepung 
pun tidak sempat lagi menyadari. Tahu-tahu, Intan 
Kumala sudah berada di luar kepungan, lalu segera
menurunkan gadis berbaju biru muda yang berada da-
lam kepitannya. Pada saat itu, keempat orang laki-laki 
bertampang kasar dan bengis itu baru menyadari kea-
daan yang terjadi. Dan, mereka langsung berlompatan 
hendak mengepung kembali.
"Hiyaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala sudah
begitu cepat bertindak, Sambil melompat dan berteriak
nyaring, gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang
Putih itu melontarkan beberapa pukulan secara berun-
tun yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga da-
lam yang tinggi.
Tapi, empat orang laki-laki bertampang kasar itu
memang bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan
manis sekali mereka berhasil menghindari serangan
cepat yang dilancarkan Dewi Beruang Putih.
"Hup! Hiya! Hiya! Yeaaah...!"

Tiba-tiba saja Intan Kumala menjatuhkan tubuh-
nya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan, be-
gitu melompat bangkit, secepat kilat dia mengibaskan 
tangan kanannya dengan cepat sekali sambil memutar 
tubuhnya. Tampak rumput-rumput kering, yang dica-
butnya tadi ketika bergulingan, berhamburan bagai 
anak-anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Keempat lawan Dewi Beruang Putih kelabakan se-
tengah mati menghindari rumput-rumput kering yang 
berhamburan bagai serbuan anak panah itu. Mereka 
mengebutkan goloknya dengan cepat untuk menyam-
pok rumput-rumput yang berubah menjadi senjata 
mematikan itu. Dan, pada saat itu pula, Intan Kumala 
kembali dengan cepat melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaat...!" 
Cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat. Dan, se-
cepat itu pula dia melepaskan satu pukulan keras 
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang 
tinggi ke arah salah seorang lawannya. Begitu cepat-
nya serangan yang dilancarkan Dewi Beruang Putih 
itu, sehingga sulit sekali diikuti dengan pandangan 
mata biasa. Dan....
Des!
"Aaakh...!" 
"Hiyaaa.,.!"
Begitu berhasil menjatuhkan seorang lawan, Intan 
Kumala cepat melompat kembali dan melepaskan satu 
tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada seorang
lawan lainnya. Sungguh cepat luar biasa gerakan yang
dilakukan Dewi Beruang Putih. Laki-laki tinggi besar
dan berwajah kasar itu pun sulit untuk bisa menghin-
dari lagi.
Begkh!

"Akh...!"
***
Gerakan-gerakan yang dilakukan Intan Kumala
memang sangat sulit diikuti dengan pandangan mata
biasa. Satu persatu dia menjatuhkan lawan-lawannya
hingga berpelantingan sambil memekik keras. Pukulan
serta tendangan yang dilontarkan Dewi Beruang Putih
juga mengandung pengerahan tenaga dalam yang su-
dah mencapai tingkat tinggi. Dan, akibatnya sungguh
luar biasa. Keempat laki-laki berwajah kasar itu lang-
sung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi setelah
memperdengarkan erangan kecil.
"Hup...!"
Dengan sekali lesatan saja, Intan Kumala sudah
berada dekat di depan gadis cantik berbaju biru muda.
Sedangkan keempat laki-laki yang mengeroyoknya tadi 
sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Keempat laki-
laki bertubuh besar itu menggeletak tak bergerak-
gerak lagi. Tapi, dari gerakan halus di dada masing-
masing bisa dipastikan mereka masih hidup. Memang, 
pukulan serta tendangan yang dilepaskan Intan Kuma-
la tidak sampai mematikan, walaupun disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya. 
Karena, Intan Kumala sengaja tidak melakukannya 
pada bagian tubuh yang mematikan. Dia hanya ingin 
membuat keempat orang itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana dadamu? Masih sakit...?" tanya Intan 
Kumala.
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda itu.
"Coba aku periksa."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, si Dewi 
Beruang Putih segera menempelkan telapak tangan 
kanannya di dada gadis ini. Saat itulah dia menyalur

kan hawa murni, yang membuat dada gadis itu terasa 
hangat. Hanya sebentar Intan Kumala menempelkan 
telapak tangan kanannya. Dia kemudian melangkah 
mundur dan duduk bersila di bawah pohon. Sedang-
kan gadis berwajah cantik yang mengenakan baju biru 
muda itu mengambil tempat di depan Dewi Beruang 
Putih. Dia merasakan dadanya tidak lagi sesak dan 
nyeri.
"Sepertinya aku pernah melihatmu...," kata Intan 
Kumala, agak ragu-ragu.
"Memang, kau pernah melihatku di padepokan 
ibu," sahut gadis itu.
"Padepokan ibu...?" Intan Kumala menyipitkan ke-
ningnya.
"Kau yang datang kemarin malam," kata gadis itu 
lagi.
Intan Kumala langsung terlonjak berdiri begitu te-
ringat bahwa gadis inilah yang dilihatnya di rumah
yang didatanginya kemarin malam. Dia ingat, gadis ini
berdiri di dekat pintu ketika dia sedang berusaha
meyakinkan Nyai Wandari kalau dia adalah anaknya.
"Aku sengaja keluar dari padepokan untuk berte-
mu denganmu, Kak Intan," kata gadis cantik berbaju
biru muda yang tak lain adalah Rara Anting ini.
"Eh...?! Kenapa kau memanggilku Kak Intan...?'
sentak Intan Kumala.
"Aku yakin kalau kau adalah kakakku. Kau adalah
Intan Kumala, kakakku yang hilang lima belas tahu 
yang lalu," kata Rara Anting, mantap.
"Siapa namamu?" tanya Intan Kumala.
"Rara Anting."
Intan Kumala memandangi gadis cantik yang se-
sungguhnya baru berusia sekitar lima belas tahu ini. 
Tapi, tubuh Rara Anting yang bongsor memang mem-
buatnya tampak sudah berusia lebih dari delapan be

las tahun. Hanya sorot matanya yang masih menam-
pakkan kekanak-kanakannya.
Intan Kumala kembali duduk. Punggungnya di 
sandarkan ke batang pohon. Namun, pandangannya
tetap tertuju pada gadis cantik yang masih tetap du-
duk di depannya ini.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku ka-
kakmu?" tanya Intan Kumala lagi.
"Waktu itu aku memang belum lahir, Kak. Aku ma-
sih berada di dalam kandungan ibu. Jadi aku bisa 
memaklumi kalau kau tidak bisa mengenaliku," jelas 
Rara Anting
"Rara Anting, sebaiknya kau kembali saja kepada 
ibumu. Tidak ada gunanya kau menemuiku. Ibumu 
sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya," ka-
ta Intan Kumala, dengan suara agak tertahan.
Dewi Beruang Putih tampak menggigit-gigit bibir-
nya sendiri saat mengatakan bahwa ibunya tidak mau 
mengakui dia sebagai anaknya yang hilang lima belas 
tahun lalu. Saat itu Rara Anting menggeser duduknya 
lebih dekat, sehingga jaraknya hanya tinggal satu 
langkah lagi di depan Dewi Beruang Putih.
"Aku akan membantumu mencari pusaka itu, Kak.
Kita akan bersama-sama menyerahkannya kepada 
ibu," kata Rara Anting, mantap.
"Tidak..," desah Intan Kumala seraya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..?"
"Kau tidak tahu bahayanya mendapatkan Keris Na-
ga Emas, Rara Anting," kata Intan Kumala. "Keris itu 
sekarang berada di tangan orang yang memiliki tingkat 
kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu bisa 
memperolehnya dengan mudah. Kecuali, aku bisa
mengalahkannya. Dan itu juga sulit, Rara Anting. Se-
baiknya kau kembali saja ke padepokan. Biar aku sen

diri yang berusaha merebut keris itu, ini persoalanku, 
kau tidak perlu melibatkan diri."
'Tapi, Kak..."
"Sudahlah, Rara Anting. Ibumu pasti cemas memi-
kirkan mu. Jangan kau buat ibu menderita lagi. Sudah 
terlalu banyak penderitaan yang dialaminya,' potong 
Intan Kumala dengan cepat.
Rara Anting tidak bersuara lagi. Entah kenapa, dia
tidak bisa membantah semua ucapan yang dikatakan 
oleh Dewi Beruang Putih. Padahal, biasanya dia tidak 
mau kalah.
Sementara itu Intan Kumala sudah berdiri lagi. Dia 
melangkah beberapa tindak menjauhi Rara Anting. 
Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Gebang 
yang terlihat begitu kecil dari kaki bukit batu ini.
"Pulanglah, Anting. Masih banyak yang harus aku
kerjakan," kata Intan Kumala tanpa berpaling sedikit 
pun.
"Kak...."
Tapi, Intan Kumala sudah melesat begitu cepat, 
sehingga Rara Anting tidak sempat lagi meneruskan
kata-katanya. Gadis itu hanya bisa diam. Dipandan-
ginya arah kepergian Dewi Beruang Putih, yang dengan 
cepat sekali melesat bagai menghilang tertelan bumi.
"Aku yakin, kau adalah Intan Kumala, Kakakku,”
desah Rara Anting sambil bangkit berdiri.
Sebentar gadis cantik berbaju biru muda itu masih 
memandang ke arah kepergian Intan Kumala. Dia ke-
mudian perlahan-lahan mengayunkan kakinya me-
ninggalkan tepian hutan ini. Rara Anting pun terus 
berjalan perlahan-lahan. Dan, tanpa disadari dia ju-
stru berjalan menuju ke Desa Gebang.
***

Sementara itu Intan Kumala sendiri sudah berada 
di Desa Gebang. Pakaiannya yang compang-camping 
dan penuh tambalan tentu saja membuatnya menjadi 
perhatian semua orang di desa yang cukup besar ini. 
Tapi, Intan Kumala tidak mau peduli. Dia terus men-
gayunkan kakinya perlahan-lahan. Disusurinya jalan 
tanah berdebu yang seakan-akan membelah Desa Ge-
bang ini menjadi dua bagian.
Ayunan kaki Dewi Beruang Putih tiba-tiba terhenti 
ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju kulit 
harimau berada di dalam sebuah kedai kecil tidak jauh 
dari tempatnya berdiri. Di depan pemuda itu, tampak 
duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju 
berwarna merah muda. Dan, sebilah gagang pedang 
menyembul di punggung gadis itu. Seekor monyet kecil 
berbulu hitam terlihat pula duduk nangkring di pinggi-
ran meja. Pada saat itu, pemuda berbaju kulit harimau 
yang tak lain adalah Bayu dan lebih dikenal dengan ju-
lukan Pendekar Pulau Neraka itu menoleh ke arah ja-
lan.
Sesaat darah Pendekar Pulau Neraka terkesiap be-
gitu melihat Intan Kumala berada di seberang jalan. 
Cepat dia berdiri dari kursinya. Bersamaan dengan itu, 
gadis cantik berbaju merah yang berada di depannya 
juga melihat ke arah jalan, lalu cepat-cepat berdiri 
mengikuti Pendekar Pulau Neraka.
"Sebentar aku kembali," kata Bayu, seraya men-
gambil Tiren dan meletakkan di pundak kanannya. La-
lu, bergegas dia keluar dari kedai.
Intan Kumala, yang melihat Pendekar Pulau Nera-
ka melangkah menghampirinya, segera mengayunkan 
kakinya cepat-cepat. Dia langsung menyeruak di anta-
ra kerumunan banyak orang yang hampir memadati 
jalan tanah berdebu ini. Sedangkan Bayu terus berja-
lan cepat dengan langkahnya yang lebar-lebar menge

jar gadis berbaju compang-camping itu. Dan, di bela-
kangnya tampak Ratna Wulan mengikuti.
"Nisanak, tunggu...!" seru Bayu seraya memperce-
pat langkahnya.
Namun, Intan Kumala malah semakin memperce-
pat langkah. Bahkan, kini dia berlari menghindari ke-
jaran Pendekar Pulau Neraka. Tanpa berpikir panjang 
lagi, Bayu pun segera berlari semakin cepat. Tapi keti-
ka sampai di perbatasan desa sebelah Timur, Bayu ke-
hilangan gadis berpakaian pengemis yang dikejarnya 
itu. Dewi Beruang Putih tiba-tiba saja menghilang sete-
lah melawan perbatasan Desa Gebang ini.
"Hhh! Ke mana dia...?" keluh Bayu sambil meng-
hentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan-
nya berkeliling. Tapi, tetap saja dia tidak melihat Dewi 
Beruang Putih. Bahkan, bayangannya gadis itu pun ti-
dak terlihat sama sekali. Intan Kumala benar-benar 
seperti lenyap tertelan bumi. Sementara itu, Ratna Wu-
lan sudah berada di samping pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu kau bersusah 
payah mencari dia," kata Ratna Wulan.
Bayu tidak menyahut. Dia terus mengedarkan 
pandangannya berkeliling. Tapi, si Dewi Beruang Putih 
benar-benar lenyap begitu saja seperti tertelan bumi di 
perbatasan sebelah Timur Desa Gebang ini.
"Kau pasti terpengaruh oleh cerita perempuan tua 
di kedai kemarin, Kakang," kata Ratna Wulan lagi.
"Hampir semua orang di Desa Gebang ini bilang, 
anak gadis Ki Satria lima belas tahun lalu jatuh terce-
bur ke dalam Jurang Setan. Bukan hanya perempuan 
tua yang aneh itu saja yang bilang, Wulan," kata Bayu'.
'Tapi...."
"Aku yakin, dia memang Intan Kumala, yang lima

belas tahun lalu tercebur ke dalam Jurang Setan," po-
tong Bayu cepat.
Ratna Wulan tidak bisa bicara lagi. Dia tahu, Pen-
dekar Pulau Neraka sudah merasa pasti bahwa si Dewi 
Beruang Putih adalah Intan Kumala, gadis yang sudah 
dicarinya selama ini. Dan, gadis itulah satu-satunya 
pewaris Keris Naga Emas, yang diserahi oleh Ki Rahun 
dulu kepada Bayu (Baca serial Pendekar Pulau Neraka 
dalam kisah 'Tiga Pengemis Sakti’).
"Kalau ternyata bukan dia pewarisnya, apa kau
akan terus mencari pewaris Keris Naga Emas yang se-
benarnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan, ingin kepas-
tian.
"Aku tidak bisa mengabaikan pesan orang yang su-
dah meninggal, Wulan. Sampai kapan pun, aku akan 
tetap mencari pewaris Keris Naga Emas. Bahkan kalau 
perlu aku akan berusaha mencari istri Ki Satria, yang 
belum kita ketahui nasibnya sampai saat ini. Sahut 
Bayu, tegas.
Trek!
Tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terin-
jak. Bayu cepat memutar tubuhnya. Ratna Wulan
mengikuti gerak Pendekar Pulau Neraka. Dan, mereka 
langsung terkejut begitu melihat si Dewi Beruang Putih
tahu-tahu sudah berdiri di atas punggung seekor 
ruang putih raksasa.
***
ENAM


"Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan dan indah, si 
Dewi Beruang Putih melompat turun dari punggung

beruang raksasa berbulu putih itu. Dan, tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah 
tepat sekitar satu batang tombak di depan Pendekar 
Pulau Neraka. Dia seakan-akan ingin memamerkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai 
tingkat tinggi. Sedangkan beruang raksasa berbulu pu-
tih itu tetap diam tak bergerak sedikit pun. Namun, so-
rot matanya yang begitu tajam tertuju langsung ke bo-
la mata Pendekar Pulau Neraka.
"Kisanak, aku pernah mengatakan padamu bahwa 
aku akan membuktikan kalau diriku adalah Intan 
Kumala. Aku sudah bertemu dengan ibuku. Tapi aku 
tidak diakuinya sebelum mendapatkan bukti. Dan aku 
harus menyerahkan Keris Naga Emas sebagai bukti 
bahwa aku adalah anaknya. Kau mengerti maksudku, 
Kisanak..?" ujar Dewi Beruang Putih dengan nada sua-
ra yang terasa dingin sekali.
Bayu tersenyum, lalu melangkah beberapa tindak 
mendekati Dewi Beruang Putih. Dia berhenti setelah 
jaraknya tinggal sekitar lima langkah. Dan, dari balik
sabuk yang membelit pinggangnya, dikeluarkannya 
sebilah keris yang berwarna kuning emas dan berca-
haya indah.
"Memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak 
mempercayaimu, Nisanak. Terimalah pusaka warisan 
mu ini," kata Bayu dengan suara yang terdengar begitu 
lembut.
"Heh...?!"
Si Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Sungguh 
dia tidak menyangka kalau pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu bisa begitu cepat sekali mengubah pendi-
riannya. Bahkan, dia mau menyerahkan Keris Naga 
Emas begitu saja. Intan Kumala bukannya menerima 
keris yang disodorkan itu, tapi malah memandangi 
Bayu, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berba

ju kulit harimau ini benar-benar mau menyerahkan 
keris itu.
"Ambillah.... Keris Naga Emas ini memang milikmu, 
Intan Kumala," kata Bayu sambil tetap menyodorkan 
Keris Naga Emas itu.
Intan Kumala masih, belum juga mau menerima 
keris itu. Dia benar-benar tidak mengerti akan peru-
bahan sikap Bayu yang begitu cepat ini. Padahal, se-
mula Bayu tidak percaya kalau dia adalah putri Ki Sa-
tria, pewaris tunggal Keris Naga Emas. Tapi sekarang, 
dengan mudah sekali Bayu ingin menyerahkan keris 
itu. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai perta-
nyaan di dalam benak Dewi Beruang Putih.
Wusss!
"Awaaas...!" 
"Heh...?!"
Teriakan Intan Kumala yang begitu keras dan tiba-
tiba membuat Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat dia
melompat ke belakang ketika melihat sebuah bayan-
gan hitam berkelebat begitu cepat ke arahnya. Pada 
saat yang bersamaan, Intan Kumala juga melompat ke 
belakang dan berputaran dua kali di udara.
"Hap!"
Indah sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di 
tanah setelah melakukan tiga kali putaran di udara.
Tapi, mendadak dia langsung tersentak kaget setengah 
mati. Keris Naga Emas yang tadi berada dalam geng-
gaman tangannya ternyata sudah tidak ada lagi.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Bukan hanya Bayu yang tampak terkejut. Intan 
Kumala dan Ratna Wulan pun tersentak kaget ketika 
tiba-tiba terdengar suara tawa yang terkikik kering 
mengerikan. Suara tawa itu terdengar menggema, sea-
kan-akan datang dari segala penjuru mata angina. Jelas, tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga 
dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah sebatang po-
hon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari Intan 
Kumala berdiri. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Pu-
lau Neraka, sehingga sulit diikuti dengan pandangan
mata biasa. 
Srak!
Baru saja Pendekar Pulau Neraka menembus 
daun-daun pohon yang rimbun itu, mendadak dia su-
dah terpental keluar dengan deras sekali. Beberapa 
kali pemuda berbaju kulit harimau itu melakukan pu-
taran di udara. Dan, dengan manis sekali kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tepat pada saat itu, dari kerim-
bunan daun pohon meluncur sesosok tubuh berbaju 
serba hitam yang longgar. Cepat sekali sosok tubuh hi-
tam itu meluncur turun dari atas pohon. Dan, tahu-
tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang perempuan 
tua yang berjubah panjang dan longgar berwarna hi-
tam pekat. Sebatang tongkat berkepala tengkorak 
tampak tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan 
tangan kirinya memegang Keris Naga Emas. Wajahnya 
yang berkeriput terlihat pucat seperti mayat. Namun, 
sinar matanya yang merah bersorot begitu tajam.
Sementara itu Intan Kumala tertegun diam me-
mandangi perempuan tua bungkuk berjubah hitam 
yang tiba-tiba muncul itu. Ingatannya langsung kem-
bali ke masa lima belas tahun silam, di saat dia baru 
berusia sekitar empat tahun. Perempuan tua inilah 
yang datang memperingatkan ayahnya dan hendak 
mengambilnya sebelum terjadi peristiwa yang mene-
waskan Ki Satria. Intan Kumala ingat, perempuan tua 
bungkuk dan berjubah hitam itu adalah Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak.

"Nek, bukankah kau yang bernama Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak...?" tanya Intan Kumala, ingin meya-
kinkan hatinya.
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?" sentak perem-
puan tua berjubah hitam itu, agak terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Nek. Kau yang datang pada 
ayahku dan hendak mengambilku lima belas tahun 
yang lalu. Tapi..., bukankah kau sudah mati oleh sen-
jata rahasia...?" ujar Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Hik hik hik...! Tidak kusangka, rupanya kau ma-
sih hidup, Bocah. Hik hik hik...! Bagus, aku senang
melihat kau masih hidup. Itu berarti kau bisa mewarisi 
ilmu-ilmuku, Intan Kumala."
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak gembira. Dia 
kemudian melangkah menghampiri Dewi Beruang Pu-
tih. Tawanya yang terkekeh terus terdengar sumbang 
menyakitkan telinga. Sementara itu Intan Kumala ma-
sih tetap diam dan tak bergeming sedikit pun. Sedang-
kan Bayu dan Ratna Wulan hanya bisa memandang 
dengan sinar mata yang memancarkan ketidakmenger-
tian.
"Senjata-senjata rahasia itu memang mengandung 
racun. Tapi tidak ada artinya bagiku, Intan. Waktu itu 
aku hanya pingsan sebentar," kata Ratu Mayat Bukit 
Tengkorak. "Sayang.... Kalau saja ayahmu mau men-
dengar kata-kataku, tidak akan mungkin terjadi mala-
petaka itu."
Saat itu Intan Kumala tampak gembira, karena 
masih ada orang yang mengenalinya. Dia melirik sedi-
kit pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tidak 
jauh darinya. Saat itu Bayu juga tengah memandang 
pada Dewi Beruang Putih yang sesungguhnya berwa-
jah cantik. Dan, tanpa disadari, pandangan mata me-
reka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, saat itu 
juga Intan Kumala merasakan adanya desiran pada

aliran darahnya. Tapi cepat-cepat dia segera mema-
lingkan mukanya dan memandang kembali pada Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak. 
"Ini milikmu. Terimalah...." 
Ratu Mayat Bukit Tengkorak menyerahkan Keris 
Naga Emas yang tadi dirampasnya dari tangan Bayu. 
Tapi, Intan Kumala tidak langsung menerima senjata 
pusaka warisan terakhir ayahnya itu. Dia malah meli-
rik lagi pada Pendekar Pulau Neraka. Dan, rupanya 
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa mengetahui li-
rikan Dewi Beruang Putih ini. Sambil tersenyum, dia 
menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tidak terli-
hat gerakan pada anggukan kepala Pendekar Pulau 
Neraka itu.
'Terima kasih," ucap Intan Kumala seraya meneri-
ma Keris Naga Emas dari tangan perempuan tua ber-
tubuh bungkuk itu.
Sebentar Dewi Beruang Putih memandangi keris 
bergagang kepala naga dan berwarna kuning keema-
san itu. Kemudian diselipkannya keris itu ke balik ikat 
pinggangnya. Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak ter-
senyum-senyum melihat Keris Naga Emas sudah ter-
simpan di balik ikat pinggang Intan Kumala.
"Kau sudah bertemu dengan ibumu, Intan?" tan 
Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala tidak langsung menjawab. Kepalanya 
bergerak tertunduk saat mendengar pertanyaan pe-
rempuan tua berwajah pucat seperti mayat itu. Na-
mun, tak berapa lama kemudian dia sudah mengang-
kat kepalanya kembali. Sebentar ditatapnya wajah ke-
riput yang pucat itu. Kemudian kepalanya diangguk-
kan sedikit.
"Lalu?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala masih belum juga membuka mulut-
nya. Saat itu juga dia merasakan lidahnya menjadi ke

lu, sulit untuk diajak bicara. Entah apa yang akan di-
katakannya pada perempuan tua ini. Karena, tidak
mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ibunya ti-
dak mau menerima dirinya tanpa membawa Keris Naga 
Emas.
"Ada apa, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak.
Kelopak mata perempuan tua itu tampak menyipit 
ketika melihat raut wajah Dewi Beruang Putih yang ke-
lihatan murung. Sementara itu Bayu, yang sejak tadi 
juga memperhatikan, merasakan ada sesuatu yang 
tersembunyi yang membuat Intan Kumala tampak mu-
rung begitu. Perlahan-lahan pemuda tampan itu men-
dekati, lalu berdiri di samping Ratu Mayat Bukit Teng-
korak. Sedangkan perempuan tua berjubah hitam yang 
wajahnya pucat bagai mayat itu hanya melirik sedikit 
pada Pendekar Pulau Neraka.
"Katakan padaku, Intan. Kau sudah menemui ibu-
mu, bukan...?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala menganggukkan kepalanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" desak Ratu Mayat Bukit 
Tengkorak lagi.
"Ibu tidak mau menerima kehadiranku," jawab In-
tan Kumala, pelan sekali.
"Heh...?! Benar begitu...?" sentak Ratu Mayat Bukit 
Tengkorak, terkejut.
Bukan hanya perempuan tua itu yang terkejut 
mendengar pengakuan Dewi Beruang Putih. Tapi, Bayu 
yang sejak tadi diam saja juga tersentak kaget men-
dengarnya. Dia sampai memandangi wajah gadis itu 
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han dari ucapannya barusan. Sedangkan Intan Kuma-
la hanya mengangguk. Lalu kepalanya kembali tertun-
duk menekuri ujung jari kakinya.
Keheningan langsung menyelimuti mereka semua.

Tak ada lagi yang membuka suara. Bukan hanya Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak yang tidak mengerti dengan si-
kap Nyai Wandari. Bayu juga tidak habis mengerti, ke-
napa Nyai Wandari tidak mau mengakui Intan Kumala 
sebagai anaknya. Apakah perpisahan yang begitu lama 
telah menjadikan Nyai Wandari lupa pada anak gadis-
nya ini? Sulit untuk mencari jawaban dari semua per-
tanyaan yang bergayut di kepala mereka saat itu. Se-
dangkan Intan Kumala sendiri hanya diam, seperti 
menerima saja semua yang telah terjadi pada dirinya.
***
Nyala api unggun yang cukup besar membuat uda-
ra malam yang dingin ini sedikit terusir. Tidak jauh da-
ri api unggun itu, terlihat Ratu Mayat Bukit Tengkorak 
tengah berbincang-bincang dengan Ratna Wulan. Dan 
seekor monyet kecil tampak duduk di pangkuan Ratna 
Wulan sambil menikmati pisang.
Sementara itu agak jauh di suatu tempat yang cu-
kup gelap dan padat ditumbuhi pepohonan, tampak 
Bayu berdiri tegak di depan Intan Kumala. Gadis ber-
juluk Dewi Beruang Putih itu tidak lagi kelihatan kum-
al dan kotor. Meskipun pakaian putih yang dikena-
kannya masih tetap compang-camping dan penuh 
tambalan, terlihat rambutnya tidak lagi dibiarkan me-
riap tak teratur. Dan, kecantikannya kini sudah bisa 
jelas dipandang.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenar-
nya pada Ratu Mayat, Intan?" ujar Bayu, dengan suara 
yang terdengar pelan.
"Entahlah.... Aku sepertinya belum percaya penuh 
padanya," sahut Intan Kumala, agak mendesah.
"Tapi, kenapa kau mengatakannya padaku?"
Intan Kumala tidak bisa menjawab. Entah kenapa,

si Dewi Beruang Putih jadi begitu mudah mempercayai 
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan, dia telah mencerita-
kan semua tentang pertemuannya dengan ibunya, 
termasuk permintaan ibunya agar dia membawa Keris 
Naga Emas kalau ingin diakui sebagai anak. Hal inilah 
yang tidak diceritakan Intan Kumala kepada Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak.
"Lalu, kau akan ke sana lagi dan menyerahkan Ke-
ris Naga Emas itu kepada ibumu?" tanya Bayu lagi.
"Aku..., aku jadi ragu-ragu," sahut Intan Kumala, 
bimbang.
"Kenapa?"
"Aku memang merasakan adanya getaran saat me-
lihatnya, Bayu. Tapi aku merasa asing, dan...," ucapan 
Intan Kumala terputus.
"Kau merasa, ada sesuatu yang lain pada ibumu, 
Intan?" tanya Bayu lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Intan Kumala, 
dengan suara tetap mendesah.
Tiba-tiba saja Intan Kumala terisak. Bayu langsung 
terkejut melihat gadis yang selama ini dikenalnya begi-
tu tegar dan keras tiba-tiba saja mengeluarkan air ma-
ta. Dan, tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Pulau 
Neraka selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukan-
nya.
Namun, tangisan Intan Kumala bukannya berhenti, 
tapi malah menjadi-jadi. Dia menyembunyikan wajah-
nya di dada Bayu yang bidang dan sedikit berbulu. 
Dan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Bayu. Dia 
membiarkan saja dadanya dibasahi air mata, Cukup 
lama juga Pendekar Pulau Neraka membiarkan Intan 
Kumala menangis di dadanya. Dia baru melepaskan 
pelukannya setelah tidak lagi mendengar isak tangis 
gadis itu.
"Rasanya tidak ada lagi gunanya aku hidup. lbu

kandungku saja tidak mau menerimaku sebagai anak-
nya," keluh Intan Kumala, setelah bisa menguasai di-
rinya lagi.
'Tidak, Intan. Masih banyak yang bisa kau laku-
kan," hibur Bayu.
Intan Kumala memandangi wajah tampan Pende-
kar Pulau Neraka. Begitu dekatnya wajah mereka, se-
hingga desah napas mereka terasa begitu hangat me-
nerpa kulit wajah. Beberapa saat keduanya terdiam
dan hanya saling pandang.
"Bayu..., boleh aku memanggilmu dengan sebutan 
Kakang...?" pinta Intan Kumala.
"Kenapa tidak? Aku senang kalau kau mau me-
manggilku begitu," sambut Bayu seraya memberikan 
senyumnya yang manis.
Intan Kumala tersenyum kecil. Jarak mereka masih 
begitu dekat, seakan-akan sama-sama tidak mau men-
jauh. Intan Kumala sendiri seperti tidak menyadari 
bahwa sejak tadi tangannya digenggam Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan, genggaman itu membuatnya seperti 
mendapat kekuatan di hati. Kehangatan genggaman 
tangan Bayu membuat Intan Kumala kembali tegar. 
Isak tangisnya pun benar-benar hilang. Hanya sisa-
sisa air matanya yang masih terlihat membasahi wa-
jahnya.
"Kakang, boleh aku tahu kenapa kau selalu menca-
ri dan memperhatikan aku...?" tanya Intan Kumala se-
telah beberapa saat terdiam.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menye-
rahkan Keris Naga Emas pada pemiliknya. Orang itu 
hanya menyebutkan nama Intan Kumala. Dan dari se-
kian banyak orang yang aku tanyai, aku merasa pasti 
kalau kau adalah pewaris Keris Naga Emas. Itu sebab-
nya kenapa aku selalu mencarimu, Intan," jelas Bayu 
dengan suara yang lembut.

"Sekarang Keris Naga Emas sudah ada padaku. La-
lu, apa yang akan kau lakukan?"
Bayu hanya mengangkat bahunya. Dia tidak segera 
menjawab pertanyaan Dewi Beruang Putih. Saat ini le-
laki berbaju kulit harimau itu memang tidak tahu, apa 
yang akan dilakukannya. Mungkin dia akan melan-
jutkan pengembaraannya lagi. Dan, dia akan melaku-
kan perjalanan yang tiada ujung akhirnya, yang begitu 
panjang dan melelahkan. Tapi, memang sudah demi-
kianlah garis perjalanan hidup seorang pendekar kela-
na seperti Pendekar Pulau Neraka. Pendekar kelana 
seperti ini tidak akan pernah bisa hidup dalam satu 
tempat. Dia akan selalu berpindah-pindah dan selalu 
menentang maut.
"Kakang, kau tadi bilang bahwa Keris Naga Emas
kau dapatkan dari seseorang. Boleh aku tahu siapa
orangnya...?" Intan Kumala kembali membuka suara.
"Ki Rahun," sahut Bayu.
"Paman Rahun...?!" Intan Kumala tampak agak 
terkejut mendengar nama yang barusan disebut Bayu.
"Iya, dia mengaku bernama Ki Rahun. Kau kenal 
dia, Intan...?"
"Paman Rahun adalah salah seorang pekerja ayah-
ku yang sudah dipercaya. Dia yang membawa aku dan 
ibu keluar dari rumah. Oh... kenapa Keris Naga Emas 
ada padanya...?"
"Katanya, dia mencuri keris itu dari ayahmu. Tapi
dia akhirnya menyadari kalau dirinya hanya diperalat
oleh Ki Laksa. Dia mencoba membalas, karena dia pun 
kemudian dikhianati. Tapi nasib menentukan lain. Ki 
Rahun tewas akibat luka-lukanya terlalu parah, 
Sayang..., aku tidak bisa menyelamatkannya," ujar 
Bayu, pelan.
"Akh..., kenapa begitu banyak orang yang berkhia-
nat...?" keluh Intan Kumala dengan nada suara yang

terdengar mendesah.
Bayu diam saja. Dan, keduanya kembali terdiam.
Namun mata mereka kini berpandangan. Perlahan-
lahan Bayu melingkarkan tangannya ke pinggang yang 
ramping ini, kemudian merengkuhnya dengan lembut 
ke dalam pelukan. Sama sekali Intan Kumala tidak 
menolak. Dan, saat itu dia merasakan dadanya meng-
gemuruh.
"Mhhh...."
Perlahan-lahan kedua kelopak mata Intan Kumala 
terpejam saat Bayu mulai mendekatkan wajahnya. 
Semakin dekat ke wajah Bayu, semakin terasa pula 
kehangatan dari desah nafasnya. Dan, tiba-tiba saja 
seluruh tubuh gadis itu menggeletar ketika merasakan 
sentuhan lembut dan hangat di bibirnya.
"Ohhh...," desah Intan Kumala.
Merasakan tidak ada perlawanan dari gadis ini, 
Bayu langsung melumat bibir yang selalu merah 
menggairahkan itu. Sedangkan Intan Kumala hanya 
mendesah dan menggumam kecil. Dia merasakan ada 
sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang 
sangat asing dan belum pernah dirasakannya selama 
ini. Tapi, seperti ada suatu dorongan kuat di dalam di-
rinya yang membuat dia melingkarkan tangannya di 
leher Pendekar Pulau Neraka. Intan Kumala pun se-
makin mendesakkan tubuhnya lebih ke dalam pada 
pelukan, pemuda tampan itu.
Sementara jari-jari tangan Bayu mulai bergerak 
menjelajahi tubuh gadis itu, Intan Kumala menggelin-
jang di dalam pelukan pemuda ini, sama sekali si Dewi 
Beruang Putih tidak menyadari kalau jari-jari tangan 
Pendekar Pulau Neraka dengan lincah sekali mulai me-
lepaskan pakaiannya. Dan, ketika Bayu melepaskan 
pagutannya....
"Oh...?!"

Intan Kumala seketika tersentak. Dia langsung
menyurukkan kepalanya ke dada Bayu yang bidang 
dan tegap. Wajahnya seketika bersemu merah. Entah 
apa yang ada di dalam dadanya. Seumur hidupnya, be-
lum pernah dia merasakan hal seperti tadi, sesuatu 
yang membuatnya menggeletar. Dia seperti tidak pedu-
li bahwa pakaiannya sebagian sudah terbuka hingga 
menampakkan kulit tubuhnya yang putih dan halus.
Baru saja Bayu mengecup pundak gadis itu, tiba-
tiba....
Srek!
***
Bayu segera menoleh ketika mendengar suara ber-
gemerisik. Dan, dia tampak terpana begitu tahu-tahu 
Ratna Wulan muncul dari kegelapan malam. Gadis itu 
juga terbeliak lebar. Dia terkejut setengah mati melihat 
Intan Kumala berada di dalam pelukan Pendekar Pu-
lau Neraka.
Beberapa saat Ratna Wulan terpaku diam dengan 
mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dia seakan-
akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya 
saat ini. Kemudian gadis itu cepat-cepat memutar tu-
buhnya dan langsung berlari cepat menjauhi tempat 
itu. Pada saat itu juga, Intan Kumala baru melepaskan 
pelukannya. Dia sempat melihat sedikit bagian bela-
kang tubuh Ratna Wulan sebelum menghilang ditelan 
kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan.
Bayu cepat-cepat melepaskan pelukannya pada In-
tan Kumala. Tampak jelas sekali di wajahnya bahwa 
dia begitu serba salah. Sebentar dia memandang Intan 
Kumala, dan sebentar kemudian menatap ke arah 
Ratna Wulan yang sudah tidak terlihat lagi.
"Ayo kita kembali, Intan," ajak Bayu, langsung

mengusir kekakuan yang menghinggapi dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya Intan Kumala, yang memang 
tidak sempat melihat jelas.
"Ratna Wulan," sahut Bayu.
Intan Kumala yang baru saja melangkah mengikuti 
Pendekar Pulau Neraka seketika berhenti berjalan. 
Dan, Bayu juga ikut berhenti. Dia memutar tubuhnya 
menghadap pada Dewi Beruang Putih. Pandangan ma-
ta mereka langsung bertemu begitu dalam.
"Dia..., dia melihat...," suara Intan Kumala ter-
gagap dan terputus.
"Mungkin," sahut Bayu seraya mengangkat ba-
hunya sedikit.
Intan Kumala memandang Pendekar Pulau Neraka 
dalam-dalam. Kemudian dia bergegas berlari mening-
galkan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Intan, tunggu...!" teriak Bayu.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengejar. Se-
dangkan Intan Kumala sudah jauh menembus lebat-
nya hutan yang gelap ini.
***
TUJUH


Bayu kelabakan setengah mati, karena pagi ini dia 
tidak melihat Ratna Wulan. Padahal, semalam gadis 
itu masih terlihat tidur melingkar di dekat Ratu Maya 
Bukit Tengkorak. Pendekar Pulau Neraka sudah men-
cari ke setiap pelosok hutan ini, tapi tidak juga mene-
mukan gadis itu. Ratna Wulan benar-benar mening-
galkannya tanpa pamit. Bayu terduduk lemas di samp-
ing Intan Kumala. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Teng-
korak hanya diam memandangi Pendekar Pulau Neraka, yang terus kelihatan gelisah dengan hilangnya 
Ratna Wulan.
"Sudah kau cari ke sungai, Bayu?" tegur Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak.
"Sudah. Dia tidak ada di sana," sahut Bayu, lesu.
"Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" desah Ra-
tu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bertanya pada diri 
sendiri.
Tentu saja Bayu dan Intan Kumala tidak menjawab 
pertanyaan yang bernada menggumam itu. Mereka 
hanya saling melemparkan pandang. Mereka tahu, ke-
napa Ratna Wulan pergi tanpa pamit. Gadis itu pasti
merasa marah, kecewa, dan entah apa lagi, setelah me-
lihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Bayu da-
lam keadaan setengah telanjang.
"Mungkin dia punya urusan sendiri yang tidak mau 
dicampuri, Bayu. Apa Ratna Wulan pernah cerita se-
suatu padamu, Bayu?" ujar Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak.
"Tidak. Dia jarang bicara, Nek," sahut Bayu tenang.
"Hm..., gadis itu memang pendiam. Dia jarang se-
kali bicara kalau tidak ditanya," gumam Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Bayu dan Intan Kumala diam saja. Sambil meng-
hembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka 
kemudian bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangan 
pada Intan Kumala. Dibantunya gadis itu berdiri. Se-
dangkan Tiren langsung melompat naik ke pundak 
Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil berbulu hitam ini 
juga tidak bersikap seperti biasanya. Tidak terdengar 
sedikit pun celotehnya yang ribut menyakitkan telinga. 
Dia seakan-akan mengetahui kegundahan yang sedang 
terjadi pada diri Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu, memecah kebi-
suan yang terjadi di antara mereka.

"Apa tidak sebaiknya kita cari Ratna Wulan dulu, 
Kakang...?" usul Intan Kumala, yang merasa bersalah 
terhadap kepergian Ratna Wulan yang tanpa pamit.
Bayu tidak menjawab. Dia menatap pada Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan wanita tua itu ma-
lah mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan-
akan tidak ingin mencampuri urusan ini. Dia seperti
membiarkan Pendekar Pulau Neraka memutuskannya
sendiri.
"Aku akan mencarinya kalau urusanmu sudah se-
lesai," kata Bayu.
Intan Kumala hanya mengangkat bahunya sedikit.
Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mengi-
kuti Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang sudah lebih du-
lu berjalan tiga batang tombak di depan. Intan Kumala 
kemudian mensejajarkan langkahnya di samping Pen-
dekar Pulau Neraka. Tak ada yang berbicara sedikit 
pun. Tapi, sesekali Intan Kumala terlihat melirik ke 
wajah Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Kau masih memikirkannya, Kakang?" tegur Intan 
Kumala.
"Hm...."
Bayu hanya menggumam. Dia melirik pada gadis di 
sebelahnya ini. Kakinya terus terayun melangkah den-
gan teratur. Sedangkan Intan Kumala terus meman-
dang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dia tahu 
kalau Bayu masih memikirkan Ratna Wulan yang pergi 
begitu saja tanpa pamit.
Entah kenapa, ada perasaan tidak senang di hati 
Intan Kumala melihat Bayu diam saja dengan kening 
terus berkerut. Timbul dugaan di dalam kepalanya 
bahwa Pendekar Pulau Neraka masih terus memikir-
kan Ratna Wulan. Rasa tidak senang gadis cantik pe-
waris Keris Naga Emas ini timbul dan rasa cemburu.
Intan Kumala sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa

mencemburui Ratna Wulan. Padahal, baru semalam 
dia merasa begitu dekat dengan pendekar tampan ini. 
Sedangkan sebelumnya, Bayu sudah bersama-sama 
dengan Ratna Wulan.
"Dia tentu sangat berarti bagimu, Kakang," ujar In-
tan Kumala dengan nada suara yang terdengar agak 
sinis.
"Aku merasa bertanggung jawab padanya, Intan," 
sahut Bayu, mencoba meminta pengertian.
Pendekar Pulau Neraka merasakan adanya nada 
kecemburuan di dalam suara Intan Kumala barusan. 
Bayu langsung menyadari bahwa gadis ini sudah ter-
pikat padanya. Entah terpikat karena apa. Mungkin 
karena ketampanannya, atau mungkin karena tingkat 
kepandaian yang dimilikinya begitu tinggi. Tapi yang 
jelas, Bayu tahu bahwa Intan Kumala mencemburui 
Ratna Wulan Dan, itu jelas sekali tersirat dari nada 
suaranya yang terdengar sinis tadi.
"Bagiku, Ratna Wulan bukan orang lain lagi. Dia 
kuanggap adikku sendiri. Orang tua angkatnya meni-
tipkan padaku sampai dia bisa bertemu kembali den-
gan orang tua kandungnya. Aku sudah berjanji akan 
selalu menjaganya," ujar Bayu, mengatakan yang se-
benarnya tentang Ratna Wulan.
"Oh, benarkah...?" desah Intan Kumala, setengah 
tidak percaya.
"Orang tua angkatnya adalah adik angkat ayahku.
Jadi tidak berlebihan kalau aku juga menganggap-
nya adik. Dan aku masih mempunyai tanggung jawab 
yang tidak kecil. Dia harus kupertemukan dengan 
orangtua kandungnya," sambung Bayu.
Intan Kumala terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi.
Mereka terus berjalan mengikuti langkah kaki Ratu
Mayat Bukit Tengkorak, yang berjalan sekitar satu ba-
tang tombak di depan. Tidak ada lagi yang berbicara.

Dan, tidak ada yang tahu, apa yang ada di dalam hati 
masing-masing. Tapi, sesekali tampak Intan Kumala 
melirik dan memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka 
yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang ada di 
dalam kepalanya saat ini, hanya dia sendiri yang tahu. 
Dan, dia sendiri juga tidak bisa menebak isi hati Pen-
dekar Pulau Neraka.
***
Matahari sudah berada di atas kepala. Bayu, Intan 
Kumala, dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak pun sudah 
sampai di depan sebuah bangunan besar yang dikeli-
lingi pagar gelondongan kayu. Bangunan besar ini me-
nyerupai sebuah benteng pertahanan. Di dalam ban-
gunan seperti benteng itulah ibu kandung Intan Ku-
mala tinggal.
"Pertama kali aku datang ke sini, ada dua orang 
penjaga di depan pintu," gumam Intan Kumala. 'Tapi 
kenapa sekarang tidak ada penjaga seorang pun...?"
Keadaan bangunan itu memang kelihatan sepi, se-
perti tidak berpenghuni. Tapi, Bayu mendengar suara-
suara orang dari dalam pagar benteng yang tinggi dan 
kokoh itu. Pendengarannya memang tajam, sehingga 
bisa mengetahui kalau di dalam pagar benteng itu ada 
orang.
"Coba, aku lihat dulu," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
Tapi, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba saja dari atas pagar benteng itu bermunculan 
orang-orang yang siap dengan anak panah terpasang 
di busur. Perempuan tua bertubuh bungkuk dan ber-
jubah hitam panjang itu langsung menghentikan ayu-
nan kakinya. Sekitar tiga puluh orang di atas pagar 
benteng itu tampak mengarahkan panah kepadanya.

"Hm..., sikap mereka seperti menyambut musuh 
saja," gumam Bayu, agak mendesis.
"Biar aku bicara dengan mereka, Kakang," kata In-
tan Kumala.
Belum juga Bayu menjawab, si Dewi Beruang Putih 
sudah melangkah ke depan. Dilewatinya Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak Sementara itu Bayu juga melangkah. 
Tapi, dia berhenti setelah sampai di samping perem-
puan tua bungkuk berjubah hitam itu. Sedangkan In-
tan Kumala sudah dekat sekali dengan pintu. Sekitar 
satu batang tombak lagi jaraknya. Dan yang pasti, ga-
dis itu sudah berada di dalam jangkauan panah yang 
terarah kepadanya.
"Dengar...! Kami datang bukan sebagai musuh. 
Kami ingin bertemu dengan Nyai Wandari...!"
Lantang sekali suara Intan Kumala. Tapi, tak ada 
sahutan sedikit pun dari orang-orang yang berada di 
atas pagar benteng itu. Mereka tetap mengarahkan 
ujung anak panah masing-masing kepada Dewi Be-
ruang Putih. Sedangkan gadis itu tetap berdiri tegak
dengan kepala agak menengadah ke atas. Dipandan-
ginya orang-orang yang berada di atas pagar benteng 
dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan,
tampaknya mereka tinggal menunggu perintah untuk 
melepaskan anak-anak panah itu. Intan Kumala ke-
mudian melangkah lagi beberapa tindak.
"Katakan pada pimpinanmu. Aku... Intan Kumala 
yang datang membawa pesanannya!" seru Intan Kuma-
la lagi, masih tetap lantang karena disertai dengan 
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Begitu suara Intan Kumala menghilang dari pen-
dengaran, tampak pintu gerbang yang tebal dan kokoh 
itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan, dari balik
pintu itu keluar seorang gadis cantik berbaju biru mu-
da, yang didampingi seorang laki-laki setengah baya.

Di belakang mereka, terlihat sekitar sepuluh orang 
yang menyandang senjata tombak, pedang, dan golok 
di pinggang. Tapi, semuanya tetap berdiri di ambang 
pintu.
"Kak Intan, cepat masuk...!" seru gadis cantik ber-
baju biru muda itu lantang.
Intan Kumala berpaling ke belakang. Sebentar ke-
dua matanya menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak dan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia men-
gayunkan kakinya melangkah. Bayu dan Ratu Mayat 
Bukit Tengkorak bergegas mengikuti.
Gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain ada-
lah Rara Anting, itu pun bergegas memeluk Intan Ku-
mala. Langsung saja dia memberikan ciuman di pipi si 
Dewi Beruang Putih.
"Ayo masuk...," ajak Rara Anting.
Pintu gerbang itu segera tertutup kembali begitu 
mereka sudah berada di dalam. Rara Anting dan lelaki 
setengah baya yang tak lain adalah Paman Gaduk 
membawa mereka masuk ke bangunan utama yang 
berdiri di tengah-tengah pagar benteng ini. Di dalam 
bangunan itu sudah menunggu Nyai Wandari. Perem-
puan berusia setengah baya yang masih kelihatan can-
tik itu mempersilakan tamu-tamunya ini duduk.
Tidak ada kursi ataupun meja di dalam ruangan 
yang berukuran cukup besar ini. Mereka semua duduk 
bersila di lantai kayu yang beralaskan permadani tebal 
berwarna merah muda yang lembut. Rara Anting du-
duk di samping si Dewi Beruang Putih. Mereka duduk 
tepat di depan Nyai Wandari. Sedangkan Bayu dan Ra-
tu Mayat Bukit Tengkorak berada di sebelah kanan, 
agak di belakang Nyai Wandari.
"Aku bawa Keris Naga Emas yang kau inginkan, 
Nyai," kata Intan Kumala dengan nada suaranya agak 
ditekan.

Terasa canggung sekali suara dan sikap Dewi Be-
ruang Putih. Gadis itu mengeluarkan Keris Naga Emas 
dari balik ikat pinggangnya. Kemudian, keris itu dile-
takkannya dengan hati-hati di depan Nyai Wandari. 
Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik
itu menjumput Keris Naga Emas. Beberapa saat dia 
memperhatikan, lalu bibirnya tampak tersenyum sam-
bil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dia 
memandang Intan Kumala dalam-dalam. Dan, tiba-tiba 
saja kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.
"Anakku...," desis Nyai Wandari, mendesah.
"Oh, Ibu...."
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan perasaan
hatinya. Dia langsung menghambur dan memeluk 
ibunya yang sudah lima belas tahun terpisah dengan-
nya ini. Saat itu juga, semua orang yang berada di da-
lam ruangan ini menundukkan kepala. Mereka sea-
kan-akan tidak sanggup menyaksikan pertemuan yang 
begitu mengharukan ini. Rara Anting pun sampai me-
nitikkan air mata, walaupun bibirnya yang bergetar 
terlihat menyunggingkan senyum.
Entah berapa lama Intan Kumala dan ibunya ber-
pelukan saling menumpahkan seluruh kerinduannya 
yang selama ini terpendam dalam di hati. Perlahan-
lahan Nyai Wandari melepaskan pelukannya. Dipan-
danginya wajah Intan Kumala dalam-dalam, seakan-
akan ingin menuntaskan kerinduannya. Sedangkan In-
tan Kumala mengusap air mata yang membasahi selu-
ruh wajahnya. Dia kembali duduk bersila di samping 
Rara Anting. Kesunyian masih terjadi beberapa saat 
lamanya di dalam ruangan yang berukuran cukup be-
sar ini.
***

"Intan, bagaimana kau bisa mendapatkan Keris 
Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari setelah bisa me-
nenangkan dirinya kembali.
"Keris itu ada pada Kakang Bayu," sahut Intan 
Kumala, sambil melirik pemuda tampan berpakaian 
kulit harimau.
Nyai Wandari langsung menatap pada pemuda 
tampan berbaju kulit harimau itu. Dan, sesaat kemu-
dian pandangannya tertuju langsung pada perempuan 
tua bertubuh bungkuk dan berjubah panjang hitam 
yang duduk di samping Bayu. Tapi Nyai Wandari ce-
pat-cepat mengalihkan pandangannya kembali kepada 
Bayu begitu Ratu Mayat Bukit Tengkorak membalas 
tatapannya dengan tidak kalah dalamnya.
'Terima kasih, Anak Muda," ucap Nyai Wandari.
Bayu hanya tersenyum. Kepalanya sedikit ter-
angguk. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Tengkorak diam 
saja. Sedikit pun perempuan tua itu tidak membuka 
suara. Dia masih tetap diam meskipun beberapa kali 
memergoki Nyai Wandari memperhatikannya dengan 
begitu dalam. Dan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak me-
nebak, Nyai Wandari pasti sedang berusaha mengin-
gat-ingat perihal dirinya.
"Anak muda, Boleh aku tahu bagaimana kau bisa
mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai Wan-
dari.
"Seseorang yang memberikannya kepadaku," sahut 
Bayu. 
"Seseorang...? Siapa?" tanya Nyai Wandari.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka mence-
ritakan semuanya tentang bagaimana dia memperoleh 
Keris Naga Emas itu. Juga, bagaimana di berusaha un-
tuk bisa menyelamatkan nyawa Ki Rahun yang akhir-
nya tidak bisa tertolong lagi. Bayu bercerita. Ki Rahun 
hanya bisa menyerahkan Keris Naga Emas kepadanya,

sebelum menghembuskan napas terakhir. Bahkan, Ki 
Rahun sempat pula memberikan pesan terakhir yang 
harus dikerjakan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pesan 
yang kelihatannya sangat menyenangkan itu ternyata 
membuat Bayu terpaksa beberapa kali bertarung.
"Oh, jadi Rahun sudah meninggal...?" desah Nyai 
Wandari dengan suara agak tertahan.
"Ya, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Lu-
ka-luka akibat pertarungannya dengan Ki Laksa dan si 
Perampok Tiga Nyawa terlalu parah. Dia meninggal se-
telah memberikan Keris Naga Emas sambil berpesan
kepadaku," jelas Bayu lagi.
(Untuk lebih jelas lagi, baca serial Pendekar Pulau Ne-
raka dalam episode "Tiga Pengemis Sakti" dan "Dewi 
Beruang Putih")
"Lalu, bagaimana dengan Laksa dan si Perampok 
Tiga Nyawa?" tanya Nyai Wandari lagi, ingin tahu lebih 
dalam.
"Mereka sudah mati semua, Bu," sahut Intan Ku-
mala.
"Oh, benarkah...?!"
Intan Kumala mengangguk meyakinkan. Tergurat 
kelegaan dalam hembusan napas Nyai Wandari begitu 
mengetahui kalau orang yang mengkhianati dan mem-
bunuh suaminya sudah tewas. Tapi, sesaat kemudian 
wajahnya langsung diselimuti mendung.
"Kakang Bayu yang menewaskan mereka semua," 
kata Intan Kumala lagi, sambil melirik pada Pendekar 
Pulau Neraka.
"Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi. 
Tentu kau memiliki tingkat kepandaian yang sangat 
tinggi hingga bisa mengalahkan mereka, Anak Muda," 
kata Nyai Wandari.
Pada saat itu, masuk seorang anak muda dengan 
sebilah pedang tergantung di pinggang. Pemuda itu

membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Nyai 
Wandari hanya menganggukkan kepalanya sedikit un-
tuk membalas penghormatan anak muda yang usianya 
sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Ada apa?" tanya Nyai Wandari.
"Mereka sudah datang, Nyai. Jumlah mereka se-
makin bertambah banyak saja." 
"Hm...."
Nyai Wandari menggumam perlahan. Sebentar dia 
memandangi Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak 
bergantian, lalu beralih memandangi kedua anak ga-
disnya, kemudian kembali menatap pada pemuda yang 
masih berdiri di ambang pintu dengan tubuh agak 
membungkuk itu.
"Siapkan semua orang yang ada. Sebentar lagi aku 
keluar," kata Nyai Wandari, tegas.
"Baik, Nyai," sahut pemuda itu seraya menjura 
memberi hormat.
Kemudian pemuda itu bergegas meninggalkan 
ruangan ini. Saat itu Nyai Wandari bangkit berdiri dari 
duduknya, lalu diikuti Paman Gaduk. Dan, semua 
yang berada di ruangan ini juga bergegas berdiri. Tapi, 
tidak ada yang mendahului berjalan keluar dari rumah 
ini. Kemudian Nyai Wandari pun melangkah keluar, 
setelah mengedarkan pandangannya berkeliling bebe-
rapa saat.
"Siapa yang datang, Anting?" tanya Intan Kumala, 
berbisik perlahan di dekat telinga Rara Anting.
"Mereka yang mau merebut tempat ini," sahut Rara 
Anting.
"Siapa mereka?" tanya Intan Kumala lagi.
Sementara itu Nyai Wandari dan Paman Gaduk su-
dah sampai di luar ruangan, diikuti Bayu dan Ratu 
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan Intan Kumala dan 
Rara Anting masih tetap berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas dan kelihatan begitu 
lapang ini, karena tidak ada satu pun barang di da-
lamnya.
"Gerombolan perampok yang ingin menguasai hu-
tan ini. Mereka tidak senang dan merasa terganggu 
dengan berdirinya padepokan ini. Sudah beberapa kali 
mereka berusaha menghancurkan dan merebutnya, 
tapi ibu dan semua murid-muridnya berhasil mengha-
lau mereka," Rara Anting menjelaskan dengan singkat 
keadaan di dalam lingkungan benteng padepokan ini.
"Hm, kenapa ibu tidak menceritakan hal ini kepa-
daku...?" gumam Intan Kumala, seperti berbicara pada 
diri sendiri. "Dan kau juga, Anting, kenapa waktu itu 
tidak mengatakannya kepadaku?"
"Maafkan aku, Kak Aku memang dilarang ibu un-
tuk menceritakan hal ini kepadamu sebelum ibu mera-
sa yakin kalau kau adalah Intan Kumala," sahut Rara 
Anting. 
Intan Kumala mengangguk-anggukkan kepalanya. 
Dia bisa mengerti akan semua yang diucapkan Rara 
Anting barusan. Kemudian dia mengajak adik satu-
satunya ini keluar. Tanpa membantah sedikit pun, Ra-
ra Anting melangkah mengikuti kakaknya yang sudah 
lebih dahulu berjalan keluar.
***
DELAPAN


Intan Kumala bergegas menghampiri Bayu begitu
sampai di luar. Sungguh dia terkejut bukan main, ka-
rena sudah terjadi pertempuran yang begitu sengit luar 
benteng bangunan padepokan ini. Jeritan-jeritan me-
lengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak

murid-murid Nyai Wandari melepaskan anak-anak pa-
nah dari atas pagar benteng. Sedangkan Nyai Wandari 
sendiri terlihat berdiri di atas menara, didampingi Pa-
man Gaduk. Sementara itu, di halaman yang luas, ter-
lihat lebih dari lima puluh orang sudah siap dengan 
senjata. terhunus di tangan. Mereka semua berdiri dan 
berbaris dengan rapi menghadap ke pintu gerbang.
Der! Der! Der!
Tampak pintu gerbang yang kokoh itu bergetar dis-
ertai dengan suara yang begitu keras menggetarkan 
hati. Rupanya orang-orang yang berada di luar pagar
benteng ini tengah berusaha untuk mendobrak pintu. 
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terden-
gar, disertai dengan dentingan-dentingan senjata yang 
beradu dengan anak-anak panah.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke 
udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya, sehingga 
dalam sekejap saja Pendekar Pulau Neraka sudah 
hinggap di atas pagar benteng yang mengelilingi ban-
gunan besar padepokan ini. Kening pemuda, berbaju 
kulit harimau itu tampak berkerut ketika melihat begi-
tu banyak orang tengah berusaha menerobos masuk 
ke dalam benteng ini, meskipun anak-anak panah te-
rus menghujani tanpa henti.
Bayu berpaling sedikit saat merasakan ada orang 
mendarat tepat di sebelah kanannya. Ternyata Nyai 
Wandari yang menghampirinya. Pendekar Pulau Nera-
ka kembali mengarahkan pandangan keluar benteng 
ini. Jelas sekali terlihat, tidak sedikit dari orang-orang 
di luar sana yang sudah menggeletak tak bernyawa ter-
tembus panah.
"Siapa pemimpin mereka, Nyai?" tanya Bayu.
"Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari. "Itu yang 
ada di bawah pohon kenanga."

Bayu mengarahkan pandangannya mengikuti jari 
telunjuk Nyai Wandari. Di bawah sebatang pohon ke-
nanga, memang terlihat seorang laki-laki bertubuh 
tinggi tegap dengan wajah yang kasar dan dipenuhi
brewok. Sebilah golok yang berukuran sangat besar 
tampak tersandang di pundaknya.
"Apakah dia memimpin mereka semua seorang diri 
saja, Nyai?" tanya Bayu.
"Ya, dia memang memimpin sendiri," sahut Nyai 
Wandari.
"Hm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia merasa aneh ada 
orang yang bisa memimpin begitu banyak anak buah 
seorang diri saja. Biasanya, seorang pemimpin sebuah 
kelompok selalu didampingi oleh wakil-wakil keper-
cayaan. Tapi, Garang Dungkul sama sekali tidak di-
dampingi seorang wakil pun. Sementara itu teriakan-
teriakan Garang Dungkul yang memberi perintah begi-
tu keras terdengar menggelegar. Suaranya mengalah-
kan teriakan-teriakan dan jeritan-jeritan melengking 
dari orang-orangnya yang berjumlah begitu banyak, 
yang terus berusaha menerobos masuk ke dalam ben-
teng padepokan Nyai Wandari ini.
"Kau jangan heran melihat kenekatan mereka, 
Bayu. Mereka orang-orang yang tidak mengenal kata 
takut. Mereka tidak pernah peduli, meskipun sudah 
banyak yang tewas," kata Nyai Wandari lagi.
"Hentikan pertumpahan darah ini, Nyai," kata
Bayu, tegas.
"Apa...?!"
Nyai Wandari tampak terkejut mendengar permin-
taan Bayu yang tidak diduganya sama sekali itu. Di-
pandanginya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. 
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han hati dari kata-katanya barusan. Sedangkan yang

dipandangi malah menatap pada Garang Dungkul 
dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Aku akan menantang pemimpinnya," kata Bayu 
lagi, dengan nada suara yang tetap tegas.
"Kau jangan gila-gilaan, Bayu!" sentak Nyai Wanda-
ri.
Bayu tersenyum saja.
"Aku akan membuat perjanjian dengannya, Nyai. 
Aku akan mengusir mereka tanpa harus mengeluarkan 
darah lebih banyak lagi," sambung Bayu.
Nyai Wandari masih belum percaya dengan ke-
sanggupan Pendekar Pulau Neraka ini untuk menan-
tang Garang Dungkul, seorang pemimpin gerombolan 
perampok yang sangat tinggi kepandaiannya. Selain 
itu, kekejamannya juga sudah begitu terkenal. Dia ti-
dak pernah membiarkan lawan-lawannya tetap hidup. 
Dia akan membunuh siapa saja yang berani menan-
tangnya.
"Perintahkan murid-muridmu menghentikan se-
rangannya, Nyai," pinta Bayu, tegas.
"Kau akan dilumatnya habis, Bayu," kata Nyai 
Wandari, masih mencoba mencegah keinginan Bayu 
untuk menantang pemimpin gerombolan perampok itu.
"Percayalah kepadaku, Nyai," ujar Bayu, berusaha 
meyakinkan Nyai Wandari.
Sebentar Nyai Wandari termenung berpikir. Kemu-
dian dia memerintahkan murid-muridnya untuk ber-
henti menghujani perampok-perampok itu dengan 
anak panah. Begitu terdengar teriakan keras dari Nyai 
Wandari, panah-panah itu pun berhenti berhamburan.
Saat itu juga Bayu hendak melompat turun. Tapi, 
Nyai Wandari cepat mencegahnya.
"Bawa ini, Bayu," kata Nyai Wandari sambil menye-
rahkan Keris Naga Emas.
Bayu hanya memandangi senjata pusaka berwarna

kuning keemasan yang berbentuk seekor naga itu.
"Aku sengaja mencari Keris Naga Emas ini untuk
menghadapi Garang Dungkul. Tapi karena kau yang 
akan menghadapinya, maka keris ini aku serahkan 
padamu," kata Nyai Wandari lagi.
'Terima kasih, Nyai. Simpan saja pusaka itu. Aku 
tidak akan bisa menggunakannya," tolak Bayu, halus.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat ke-
luar dari benteng padepokan ini. Begitu indah dan rin-
gan gerakannya. Nyai Wandari sendiri tidak dapat lagi 
mencegahnya. Perempuan setengah baya itu pun me-
nyimpan kembali Keris Naga Emas ke balik lipatan ba-
junya.
Tepat di saat Pendekar Pulau Neraka mendarat di 
tanah, Intan Kumala dan Rara Anting sampai di samp-
ing ibunya. Mereka tampak terkejut melihat Bayu su-
dah berada di luar pagar benteng padepokan ini. Se-
dangkan perampok-perampok itu juga menghentikan 
usahanya mendobrak pintu. Mereka langsung bergerak 
mengepung Pendekar Pulau Neraka. Tampak pemuda 
berbaju kulit harimau itu melangkah tegap mengham-
piri Garang Dungkul yang masih tetap berdiri angkuh 
di bawah pohon kenanga.
"Mau apa Kakang Bayu ke sana, Bu?" tanya Intan 
Kumala.
"Menantang Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Heh...?!"
Bukan hanya Intan Kumala yang terkejut, tapi Ra-
ra Anting juga tersentak kaget mendengar jawaban 
ibunya. Saat itu juga tersirat kecemasan di wajah In-
tan Kumala. Dia begitu cemas, karena Bayu akan 
menghadapi pemimpin gerombolan perampok itu seo-
rang diri saja. Tapi, saat itu Bayu sudah melangkah 
menghampiri Garang Dungkul, dengan ayunan kaki 
yang tegap dan mantap.

***
"Kau yang bernama Garang Dungkul?" tanya Bayu 
dengan nada suara yang agak dalam begitu berada se-
kitar dua batang tombak lagi di depan laki-laki bertu-
buh tinggi tegap dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Phuih!" Garang Dungkul menyemburkan ludah-
nya. "Benar, aku yang bernama Garang Dungkul. Mau 
apa kau kemari?"
"Aku akan menantangmu bertarung, Garang 
Dungkul," sahut Bayu, tegas.
"Ha ha ha...!"
Garang Dungkul tertawa terbahak-bahak menden-
gar tantangan terbuka yang diucapkan Pendekar Pulau 
Neraka. Sedangkan Bayu diam saja sambil menatap ta-
jam pada laki-laki berwajah kasar ini. Sementara itu 
semua anak buah Garang Dungkul sudah membuat 
lingkaran mengepung tempat keduanya berdiri.
Di atas pagar benteng, terlihat Nyai Wandari dan
kedua putrinya serta murid-muridnya menyaksikan 
dengan hati berdebar cemas. Tapi, tak ada seorang 
pun yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya bisa 
memohon perlindungan bagi Pendekar Pulau Neraka 
pada Sang Hyang Widi di dalam hati.
"Dengar, Garang Dungkul. Kalau kau bisa menga-
lahkan aku, kau boleh menduduki padepokan itu. Tapi 
kalau kau yang kalah, kau harus membawa pergi se-
mua anak buahmu. Dan jangan kembali lagi ke sini," 
kata Bayu, memberikan penawaran.
"Phuih! Matamu sudah buta, Bocah! Apa kau tidak 
tahu siapa aku, heh...?!" bentak Garang Dungkul, sen-
git.
"Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku in-
gin menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut

Bayu, mantap.
"Edan...! Apa yang kau andalkan, Bocah?"
"Keyakinan untuk mengalahkanmu."
"Phuih!"
Merah padam seluruh wajah Garang Dungkul 
mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang be-
gitu tenang dan mantap. Dia merasa direndahkan dan 
tidak dipandang sebelah mata. Baru kali ini dia ditan-
tang oleh seorang pemuda yang usianya jauh di ba-
wahnya. Tapi, tantangan yang dilontarkan secara ter-
buka ini tidak mungkin bisa ditolak lagi. Dia akan ke-
hilangan muka kalau menolak tantangan terbuka se-
perti ini.
"Baik, aku terima tawaranmu, Bocah. Tapi aku 
akan menambahkan tawaranmu," kata Garang Dung-
kul.
"Katakan," balas Bayu.
"Aku akan membantai semua yang ada di dalam 
sana. Dan kau harus menyaksikan semua itu. Menger-
ti...?!"
Lantang sekali suara Garang Dungkul, sehingga 
sampai terdengar oleh mereka yang berada di atas pa-
gar benteng padepokan itu.
"Kau tidak akan bisa mengumbar nafsumu, Garang 
Dungkul," ujar, Bayu yang nada suaranya kali ini tera-
sa sinis.
"Keparat..!" geram Garang Dungkul, tak bisa lagi 
menahan kemarahannya. "Mampus kau! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Garang Dungkul melompat sambil 
mengayunkan goloknya yang besar ke arah kepala pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tapi, dengan gerakan 
yang begitu manis, Bayu berhasil menghindari seran-
gan itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke belakang 
beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"

Baru saja Bayu menjejakkan kakinya di tanah, Ga-
rang Dungkul sudah melakukan serangan lagi secara 
beruntun dengan cepat sekali. Bayu pun terpaksa ber-
jumpalitan menghindarinya.
Pendekar Pulau Neraka mencoba mencari peluang 
untuk balas menyerang. Tapi, Garang Dungkul ru-
panya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun ke-
pada lawannya untuk balas menyerang. Cepat sekali 
dia kembali menyerang dengan goloknya yang besar 
dan berkilatan tajam. Bayu pun harus berjumpalitan 
lagi. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap seran-
gan yang datang begitu cepat dan dahsyat luar biasa 
ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Semakin dahsyat saja serangan-serangan yang di-
lancarkan Garang Dungkul. Semua orang yang me-
nyaksikan pertarungan itu pun tampak menahan na-
pas. Dan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua 
orang yang tengah bertarung ini terlihat begitu cepat, 
sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa. 
Hanya bayangan-bayangan yang terlihat berkelebatan 
begitu cepat.
Pertarungan itu berjalan begitu dahsyat. Garang 
Dungkul langsung mengerahkan jurus-jurusnya yang 
dahsyat dan sangat berbahaya. Goloknya yang beruku-
ran raksasa berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh 
Pendekar Pulau Neraka. Entah sudah berapa jurus 
berlalu, tapi tampaknya pertarungan itu masih akan 
terus berlangsung dan semakin bertambah sengit saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!" 
"Hap!"
Tepat ketika Garang Dungkul membabatkan golok-
nya ke dada, cepat sekali Bayu mengatupkan kedua te-
lapak tangannya di depan dada. Sehingga ujung golok 
yang berkilatan tajam itu terjepit di antara kedua tan

gan yang merapat itu.
"Ihhh...!"
Garang Dungkul terkejut setengah mati. Cepat-
cepat dia menarik senjatanya disertai pengerahan te-
naga dalam yang tinggi. Dan, pada saat itu juga....
"Hih!"
Bayu malah menghentakkan kedua tangannya me-
lepaskan jepitan pada golok itu. Hingga tak pelak lagi, 
Garang Dungkul jadi tersentak. Dia langsung ter-
huyung ke belakang, tidak bisa lagi menguasai ke-
seimbangan tubuhnya. Dan, pada saat itu pula, den-
gan kecepatan bagai kilat, Bayu melompat sambil me-
lepaskan satu tendangan keras menggeledek yang 
mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Tanpa diduga sama sekali, Garang Dungkul malah 
mengebutkan goloknya ke depan. Cepat-cepat Bayu 
memutar tubuhnya. Dihindarinya sambaran golok itu. 
Lalu, beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara. 
Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di 
tanah, sekitar dua batang tombak di depan Garang 
Dungkul.
"Hap!"
Cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri 
dan mendoyongkan sedikit ke depan. Kedua kakinya 
dipentang lebar ke samping. Sorot matanya yang begi-
tu tajam terarah lurus ke bola mata laki-laki bertubuh 
tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan ka-
nannya yang menyilang di depan dada. Tangan kanan 
Pendekar Pulau Neraka itu terulur ke depan. Saat itu 
juga, terlihat Cakra Maut yang selama ini menempel di 
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur

deras.
"Hup!"
Garang Dungkul cepat-cepat melentingkan tubuh-
nya ke udara dan melakukan putaran beberapa kali. 
Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau 
Neraka itu. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya di 
tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya. 
Cakra Maut kembali melesat begitu cepat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke udara, Garang Dungkul men-
gebutkan goloknya dengan cepat, tepat di saat Cakra 
Maut hampir menembus dadanya. Dua senjata pun 
langsung berbenturan begitu keras, sampai menim-
bulkan ledakan yang dahsyat luar biasa, bagai ledakan 
gunung berapi yang murka akibat ulah manusia yang 
tidak bertanggung jawab.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melenting ke udara sambil 
menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Ca-
kra Maut kembali menempel di pergelangan tangan 
kanan Pendekar Pulau Neraka dengan cepat sekali. 
Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu su-
dah melompat begitu cepat dan meluruk deras ke arah 
Garang Dungkul.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Bayu kali 
ini. Akibatnya Garang Dungkul, yang masih berusaha 
menguasai diri akibat benturan goloknya dengan Ca-
kra Maut tadi, tidak dapat lagi menghindari tendangan 
menggeledek yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka 
dari udara.
Des!
"Akh...!"
Garang Dungkul memekik sedikit begitu tendangan 
yang dilepaskan Bayu mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang. 
Sebatang pohon yang terlanda tubuh besar itu lang-
sung hancur berkeping-keping. Dan, saat itu juga 
Bayu sudah kembali melompat tinggi-tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Slap!
Kembali Cakra Maut melesat cepat begitu tangan 
kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan. Ce-
pat sekali senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu me-
luncur, sehingga Garang Dungkul yang baru saja men-
coba bangkit berdiri tidak dapat lagi menghindari. 
Dan...
Crab!
"Aaa…!”
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga 
terdengar menyayat ketika Cakra Maut menembus da-
da Garang Dungkul. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu 
menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat keluar 
begitu Cakra Maut melesat balik dan kembali menem-
pel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali 
di tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh 
yang dimilikinya. Sehingga, tak sedikit pun terdengar 
suara saat tubuhnya mendarat tidak jauh dari Garang 
Dungkul, yang menggeletak dan menggelepar mere-
gang nyawa di antara puing-puing kayu pohon yang 
terlanda tubuhnya tadi.
"Kau..., kau... 
Akh!"
Garang Dungkul tidak mampu lagi menyelesaikan 
ucapannya. Dia langsung mengejang kaku dan tewas 
seketika dengan dada berlubang berlumuran darah.

Melihat pemimpinnya tewas, seketika itu juga 
orang-orang yang mengepung Bayu langsung berlarian 
mengambil langkah seribu. Sedangkan Pendekar Pulau 
Neraka tersenyum saja melihat anak buah si Garang 
Dungkul berserabutan melarikan diri.
Sementara itu dari dalam benteng, berhamburan-
lah semua murid Nyai Wandari. Di antara mereka, ter-
lihat pula Intan Kumala, Rara Anting, dan Nyai Wan-
dari sendiri. Mereka setengah berlari menghampiri 
Pendekar Pulau Neraka.
Nyai Wandari langsung menyodorkan tangan begitu 
sampai di dekat pemuda berbaju kulit harimau ini. 
Dan, Bayu langsung menyambutnya dengan senyum 
tersungging di bibir.
'Terima kasih, kau telah menyelamatkan padepo-
kanku," ucap Nyai Wandari, tulus.
"Sudah sepantasnya sesama makhluk hidup saling 
membantu, Nyai," sambut Bayu, merendah.
"Bayu, sebagai ucapan rasa terima kasihku, mau-
kah kau tinggal beberapa hari di padepokanku," pinta 
Nyai Wandari.
Bayu belum bisa menjawab permintaan itu. Tapi, 
Intan Kumala sudah mendesak dibantu adiknya. Pen-
dekar Pulau Neraka pun tidak bisa lagi menolak per-
mintaan mereka. Dia hanya menganggukkan kepala 
saja. Dan Intan Kumala tampak tersenyum cerah meli-
hat anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka.


                          SELESAI



Share:

0 comments:

Posting Komentar