PEWARIS KERIS
NAGA EMAS
Oleh Teguh Suprianto
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Suhardi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Teguh Suprianto
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Pewaris Keris Naga Emas
136 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Bayu duduk diam bersila memandangi Dewi Be-
ruang Putih yang juga duduk bersila dengan sikap ber-
semadi. Kedua telapak tangan gadis berpakaian putih
compang-camping dan penuh tambalan itu menempel
rapat di depan dada. Kedua matanya terlihat terpejam.
Sedangkan tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih,
terlihat seekor beruang berbulu putih seperti kapas
mendekam diam dan memperhatikan gadis itu juga.
Sesekali binatang bertubuh raksasa ini memandang
pada pemuda berbaju kulit harimau yang lebih dikenal
dengan julukan Pendekar Pulau Neraka.
Entah sudah berapa lama Dewi Beruang Putih du-
duk bersila dan bersemadi sejak bertarung dengan Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Sedangkan Bayu
tidak bisa lagi berbuat sesuatu. Dan, memang Dewi
Beruang Putih tidak menginginkan pertolongan Pende-
kar Pulau Neraka. Dia masih bisa mengatasi keadaan
dirinya sendiri dengan cara bersemadi.
"Heh! Panas sekali udara di sini," keluh Bayu, per-
lahan.
Begitu pelan suara Pendekar Pulau Neraka, hingga
hanya dia sendiri yang mendengarnya. Dan, memang
Bayu merasakan udara di sekitarnya menjadi terasa
begitu panas. Bahkan, semakin lama semakin bertam-
bah menyengat, bagaikan berada dekat dengan tungku
api pembakaran. Keringat mulai terlihat menitik di
kening Pendekar Pulau Neraka.
Udara terasa semakin bertambah panas. Bahkan,
rerumputan dan dedaunan mulai kelihatan menguning
kering. Pohon-pohon pun mulai menggugurkan daun-
nya. Bayu sendiri mulai merasa tidak tahan dengan
udara yang semakin panas menyengat ini. Sambil
menghembuskan napas panjang, dia kemudian bang-
kit berdiri. Sebentar pandangannya tertuju pada Dewi
Beruang Putih yang masih duduk bersemadi ditemani
Beruang Putih peliharaannya. Ketika kepala Pendekar
Pulau Neraka sedikit mendongak ke atas, keningnya
langsung berkerut. Karena, meskipun saat itu mataha-
ri sedikit tertutup oleh awan, udara di sekitar Bayu te-
rus bertambah panas dan menyengat, seakan-akan in-
gin membakar seluruh kulit tubuhnya.
Hawa panas yang dirasakan Pendekar Pulau Nera-
ka semakin lama semakin menggila saja. Bayu hampir
tidak tahan lagi. Namun, baru saja dia hendak menge-
rahkan hawa murni untuk menahan sengatan hawa
panas itu, mendadak terjadi perubahan yang begitu
cepat. Hawa panas yang dirasakan begitu menyengat
ini mendadak menghilang. Dan, langsung berganti
dengan udara dingin yang menggigilkan.
"Ugkh...!"
Bayu langsung teringat ketika dirinya berada di
pinggiran Jurang Setan. Ketika itu dia merasakan hal
yang sama dengan yang dialaminya sekarang ini. Hawa
panas dan dingin yang bergantian itu begitu cepat
membuat peredaran darahnya terganggu (Baca serial
Pendekar Pulau Neraka dalam kisah "Tiga Pengemis
Sakti"). Tubuh Pendekar Pulau Neraka terlihat bergidik
dan menggigil kedinginan. Pandangannya tertuju lurus
pada Dewi Beruang Putih yang masih tetap diam, du-
duk bersila dengan sikap bersemadi.
Cukup lama juga Bayu merasa tersiksa dalam uda-
ra yang begitu dingin menggigilkan ini. Dari langit pun
turun gumpalan-gumpalan putih seperti kapas. Dan,
sebentar saja sekitar hutan itu dipenuhi oleh gumpa-
lan-gumpalan putih yang menyebarkan udara dingin
membekukan tulang.
"Hep!"
Tidak ada jalan lain bagi Bayu. Dia segera menya-
lurkan hawa murni ke seluruh tubuhnya. Hawa murni
yang terasa hangat membuat tubuhnya tidak lagi
menggigil kedinginan. Pendekar Pulau Neraka kembali
duduk bersila. Kedua telapak tangannya dirapatkan di
depan dada. Dia merasakan, semakin kuat hawa mur-
ni dikerahkannya, semakin keras pula hawa dingin itu
merasuk ke dalam tubuhnya. Hal itu membuat darah-
nya bergolak, seakan-akan ada pertentangan di dalam
tubuhnya.
***
Entah berapa lama Pendekar Pulau Neraka duduk
bersila dengan sikap bersemadi melawan hawa dingin
yang menyelimuti seluruh tubuhnya. Bahkan, kini
gumpalan-gumpalan putih bagai kapas sudah menu-
tupi hampir seluruh tubuhnya. Hanya bagian leher
dan kepalanya yang masih terlihat.
Sementara itu, Dewi Beruang Putih masih tetap
bersemadi.
"Hup!"
Tiba-tiba saja gadis berbaju putih dan compang-
camping penuh tambalan itu melompat bangkit berdiri.
Sebentar dia melakukan beberapa gerakan yang indah
dan lembut. Kemudian tubuhnya berdiri tegap, se-
dangkan matanya memandang ke arah matahari yang
saat itu mulai terlihat condong ke arah Barat.
"Oh...?!"
Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Dia melihat,
tidak jauh di depannya, seorang pemuda berwajah
tampan duduk bersila dengan seluruh tubuh terbung-
kus gumpalan putih seperti kapas. Bergegas gadis itu
menghampiri sambil terus mengamati. Sedangkan pe-
muda tampan yang tak lain adalah Bayu tetap diam
dengan mata terpejam rapat.
"Hep...!"
Cepat-cepat Dewi Beruang Putih menghentakkan
kedua tangannya ke depan, sambil duduk bersila di
depan Pendekar Pulau Neraka. Dan, seketika itu juga
dari kedua telapak tangannya memancar cahaya me-
rah bagai api yang berkobar. Cahaya merah itu lang-
sung menyelubungi seluruh tubuh Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Hup...!"
Hanya sebentar kemudian, Dewi Beruang Putih
sudah melompat ke belakang sejauh tiga langkah.
Dan, saat itu juga Bayu membuka kelopak matanya.
Tidak ada lagi gumpalan putih yang menyelimuti tu-
buhnya. Perlahan Pendekar Pulau Neraka bangkit ber-
diri. Pandangannya langsung tertuju pada gadis berba-
ju putih compang-camping dan penuh tambalan di de-
pannya. Gadis itu juga memandangi wajah Pendekar
Pulau Neraka dengan sinar mata yang kelihatan cukup
tajam, sedikit terlindung oleh rambutnya yang meriap
tak beraturan.
Entah berapa lama mereka berdiam diri dan berta-
tapan saja dengan sinar mata yang cukup tajam. Ke-
mudian Dewi Beruang Putih menggerakkan kepalanya
perlahan. Pandangannya mengarah ke sekeliling tem-
pat ini. Dia melihat, tidak jauh darinya tergeletak dua
sosok tubuh tak bernyawa lagi. Dan, di atas sebatang
pohon terlihat pula sesosok tubuh tersampir di seba-
tang cabang yang cukup besar dan kuat. Dia tahu,
mayat-mayat itu adalah Ki Laksa dan dua orang dari si
Perampok Tiga Nyawa.
"Kau yang membunuh mereka...?" tanya Dewi Be-
ruang Putih.
Nada suara gadis itu terdengar begitu dingin. Bah-
kan, tak ada tekanan nada sedikit pun pada suaranya.
Pandangannya kembali tertuju tajam pada Pendekar
Pulau Neraka.
"Kenapa kau bertanya begitu?" Bayu malah balik
bertanya.
Pendekar Pulau Neraka tahu, gadis berpakaian
pengemis ini sesungguhnya sudah tahu bahwa dialah
yang menewaskan ketiga laki-laki tua itu. Dan, kalau
tidak ada Bayu, mungkin gadis ini dan beruang putih
raksasanya sudah tewas di tangan Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa (Baca serial Pendekar Pulau Nera-
ka dalam kisah "Dewi Beruang Putih"). Tapi, entah ke-
napa Dewi Beruang Putih bersikap seakan-akan tidak
tahu apa yang telah terjadi di tempat ini tadi.
"Mereka bukan orang-orang sembarangan. Kalau
kau bisa membunuh mereka semua, itu berarti kau
memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari mereka,"
kata Dewi Beruang Putih dengan nada suara yang ter-
dengar datar dan dingin.
"Lalu...?" Bayu sengaja memancing.
"Kau sudah mengalahkan dan membunuh mereka.
Kau juga harus bisa mengalahkan aku kalau ingin
menguasai Keris Naga Emas," desis Dewi Beruang Pu-
tih, semakin dingin.
Bayu tersenyum tipis. Dia menggeser kakinya ke
kanan dua tindak. Pandangannya masih tetap tak ber-
kedip, tertuju lurus ke bola mata yang hampir tertutup
rambut hitam acak-acakan itu. Kata-kata Dewi Be-
ruang Putih barusan sudah membuktikan, bahwa se-
benarnya dia memang mengetahui semua yang telah
terjadi di dalam hutan ini. Itulah yang membuat Bayu
tersenyum. Beberapa saat mereka kembali terdiam, tak
berbicara lagi. Sedikit Bayu melirik pada beruang putih
raksasa yang masih mendekam diam di bawah pohon,
tidak jauh di belakang Dewi Beruang Putih ini, dengan
jarak hanya sekitar dua batang tombak.
"Sebaiknya kau serahkan saja keris itu padaku, Ki-
sanak. Karena, akulah yang berhak memegang keris
pusaka itu," kata Dewi Beruang Putih lagi.
"Memang yang berhak memegang keris ini adalah
seorang wanita. Tapi aku tidak yakin kalau kau pewa-
risnya," ujar Bayu, yang tetap bersikap tenang.
"Huh!"
Dewi Beruang Putih mendengus kesal mendengar
kata-kata pemuda berbaju kulit harimau itu. Tapi, dia
cepat menyadari, memang tidak mudah membuktikan
bahwa dirinyalah pewaris tunggal Keris Naga Emas
yang sekarang berada di tangan Pendekar Pulau Nera-
ka itu. Dia juga menyadari, dirinya sendiri baru seka-
rang ini muncul ke dunia luar, setelah selama lima be-
las tahun tinggal bersama-sama dengan Tiga Pengemis
Sakti di dalam dasar Jurang Setan. Terlebih lagi, den-
gan keadaannya yang seperti ini, tidak mungkin ada
orang yang bisa mengenalinya lagi. Bahkan, semua
orang menyangka kalau dia sudah mati tercebur ke
dalam Jurang Setan saat usianya baru empat tahun.
"Kisanak, kau tahu siapa nama pewaris Keris Naga
Emas itu?" tanya Dewi Beruang Putih, kemudian sea-
kan-akan tengah menguji Pendekar Pulau Neraka.
"Ya," sahut Bayu mantap. "Namanya Intan Ku-
mala. Dan dia putri tunggal Ki Satria, tapi memang
kuakui, aku belum pernah bertemu dengannya. Dan
aku akan terus berusaha menemuinya kalau dia me-
mang benar-benar masih hidup sekarang ini."
"Ketahuilah, Kisanak. Akulah yang bernama Intan
Kumala. Dan aku putri tunggal Ki Satria," kata Dewi
Beruang Putih dengan tegas.
"Hm..."
Bayu hanya mengerutkan keningnya. Kelopak ma-
tanya tampak menyipit. Diperhatikannya seluruh tu-
buh gadis berpakaian pengemis di depannya ini. Jelas
sekali dari sinar matanya, Pendekar Pulau Neraka ti-
dak percaya dengan pengakuan yang diucapkan Dewi
Beruang Putih barusan.
"Baiklah kalau kau tidak percaya, Kisanak Aku
akan buktikan bahwa akulah pewaris tunggal Keris
Naga Emas itu," kata Dewi Beruang Putih lagi, dengan
suara yang masih tetap terdengar tegas.
"Bagaimana kau akan membuktikannya?"
"Menemukan ibuku yang hilang. Hanya ibuku yang
tahu semua duduk persoalannya."
"Hm...."
"Kita akan bertemu lagi, Kisanak"
Kemudian dengan cepat sekali Dewi Beruang Putih
melesat masuk ke dalam hutan. Bersamaan dengan
itu, Beruang Putih yang sejak tadi mendekam di bawah
pohon juga ikut melompat cepat. Begitu cepat gerakan
mereka, hingga dalam sekejap mata keduanya sudah
lenyap tak terlihat lagi.
Sementara itu Bayu masih tetap berdiri tegak di
tempatnya. Kedua matanya memandang lurus ke arah
kepergian gadis pengemis dan beruang putih raksasa
itu. Beberapa saat Pendekar Pulau Neraka berdiri di-
am. Kemudian, dia memutar tubuhnya dan melangkah
ringan meninggalkan daerah padang rumput di ten-
gah-tengah hutan ini. Ayunan kakinya begitu ringan,
seakan-akan tidak menjejak tanah. Sebentar saja Pen-
dekar Pulau Neraka sudah jauh meninggalkan tempat
ini, sekaligus meninggalkan dua sosok mayat yang
menggeletak di tanah dan satu lagi di atas pohon.
***
"Wulan...!" seru Bayu lantang, di depan mulut gua
yang cukup besar dan hampir tertutup oleh semak be-
lukar.
Belum lagi suara teriakan Pendekar Pulau Neraka
menghilang dari pendengaran, seorang gadis cantik
berbaju merah muda agak ketat muncul dari dalam
gua. Gadis itu tampak menyibakkan semak belukar
yang menutupi mulut gua. Seekor monyet kecil berada
di pundak kanannya. Monyet kecil itu cepat melompat
turun dan berlari-lari menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
Bayu mengulurkan tangannya. Diraihnya monyet
kecil berbulu hitam itu, lalu ditaruh di atas pundak
kanannya. Sedang gadis cantik berbaju merah muda
agak ketat itu sudah berada di depan Pendekar Pulau
Neraka. Kedua tangannya kelihatan kotor, penuh den-
gan lumpur yang melekat.
"Kenapa tanganmu, Wulan?" tanya Bayu.
"Aku baru saja selesai menguburkan si Nyawa Bi-
ru," sahut Ratna Wulan.
"Di sana ada sungai. Cuci dulu tanganmu," kata
Bayu sambil menunjuk ke arah kanan.
Tanpa berkata-kata sedikit pun, Ratna Wulan me-
langkah mengikuti arah yang ditunjuk Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Bayu tetap berdiri memperhatikan.
Hanya sebentar, gadis itu telah menghilang di dalam
lebatnya pepohonan. Dan, tak lama kemudian dia
muncul lagi dengan tangan yang sudah bersih dari no-
da tanah berlumpur.
"Ke mana saja kau pergi tadi, Kakang?" tanya Rat-
na Wulan setelah dekat di depan Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Membereskan mereka," sahut Bayu, kalem.
"Terus...?" desak Ratna Wulan, ingin tahu lebih
jauh.
"Yaaah..., mereka tidak mungkin bisa muncul lagi.”
"Kau menewaskan mereka semua?"
Bayu hanya menganggukkan kepala. Kakinya te
rayun melangkah. Ratna Wulan mengikuti, lalu mense-
jajarkan ayunan kakinya di sebelah kiri Pendekar Pu-
lau Neraka.
"Lalu, apa lagi yang terjadi...?" tanya Ratna Wulan
lagi saat melihat ada sesuatu yang lain pada raut wa-
jah Pendekar Pulau Neraka.
"Kau ingat ketika berada di dasar Jurang Se-
tan...?" Bayu malah balik bertanya.
Ratna Wulan mengerutkan keningnya tidak men-
gerti. Dipandanginya wajah Pendekar Pulau Neraka da-
lam-dalam. Sedangkan kakinya terus terayun melang-
kah mengikuti irama ayunan langkah kaki pemuda
tampan berbaju kulit harimau di sebelah kanannya ini.
"Beruang putih raksasa itu muncul lagi ketika aku
sedang terdesak," lanjut Bayu.
'Beruang putih...?"
Ratna Wulan langsung teringat saat dia dan Pen-
dekar Pulau Neraka berada di dasar Jurang Setan. Me-
reka memang sempat dihadang seekor beruang putih
bertubuh raksasa. Beruang Putih itu langsung saja
menyerang, tapi kemudian juga dengan mendadak
berhenti menyerang. Bahkan, langsung pergi begitu sa-
ja. Dan, sekarang Beruang Putih itu berada di sini, di
hutan yang dekat dengan perbatasan Desa Gebang.
Ratna Wulan hampir tidak percaya mendengarnya. Ta-
pi, dia yakin bahwa Bayu tidak mungkin berbohong
padanya.
"Tadi dia muncul tidak sendirian, Wulan," lanjut
Bayu dengan suara yang terdengar pelan.
"Maksudmu...?" Ratna Wulan semakin tidak men-
gerti.
"Dia datang bersama pemiliknya," sahut Bayu, ma-
sih pelan.
"Pemiliknya...?!"
Ratna Wulan tidak bisa lagi menyembunyikan ke
terkejutannya. Dia memang benar-benar terkejut men-
dengar beruang putih raksasa itu muncul lagi, bahkan
kali ini bersama pemiliknya. Walaupun sejak berada di
dasar Jurang Setan dia sudah menduga bahwa be-
ruang putih raksasa itu dipelihara orang, tetap saja
gadis ini tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.
"Dia bukan saja mempunyai urusan dengan Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa. Tapi dia juga men-
ginginkan Keris Naga Emas. Bahkan dia pun mengaku
bernama Intan Kumala, pewaris Keris Naga Emas itu,
Wulan," sambung Bayu, tanpa menghiraukan keterke-
jutan gadis di sebelahnya itu.
"Oh...," Ratna Wulan mendesah panjang.
"Ada apa, Wulan?" tanya Bayu sambil memperhati-
kan wajah gadis ini lekat-lekat.
Ratna Wulan diam saja. Dia terus mengayunkan
kakinya perlahan-lahan.
Bayu menghentikan ayunan langkahnya. Dia terus
memperhatikan Ratna Wulan yang tidak juga meng-
hentikan ayunan kakinya. Sesaat kemudian barulah
Bayu kembali melangkah dan mensejajarkan jalannya
di samping gadis ini. Pendekar Pulau Neraka menge-
rutkan keningnya. Dipandanginya raut wajah Ratna
Wulan yang tampak berubah. Sedangkan pandangan
mata gadis itu tetap tertuju lurus ke depan. Sedikit
pun Ratna Wulan tidak membuka suara.
"Ada yang mengganggu pikiranmu, Wulan?"
Pertanyaan Bayu kali ini bernada mendesak. Dia
memang benar-benar ingin tahu, kenapa tiba-tiba si-
kap Ratna Wulan berubah setelah dia menceritakan
semua peristiwa yang dialaminya tadi.
"Entahlah...," desah Ratna Wulan, perlahan.
Gadis cantik berbaju merah itu seakan-akan tidak
yakin dengan jawabannya sendiri. Hal ini membuat
kening Bayu semakin dalam berkerut. Dia yakin, ada
sesuatu yang dipikirkan gadis ini. Tapi, entah apa...?
Sedangkan Ratna Wulan sendiri tidak tahu, kenapa ti-
ba-tiba saja seperti ada sesuatu yang terlintas di dalam
kepalanya. Hanya sekelebatan saja pikiran itu melin-
tas, hingga dia tidak yakin dengan apa yang ada di da-
lam kepalanya saat ini.
"Kakang, aku jadi lupa, siapa nama gadis pewaris
Keris Naga Emas itu?" tanya Ratna Wulan, setelah cu-
kup lama berdiam diri membisu.
"Intan Kumala," sahut Bayu singkat.
"Lalu, gadis pemilik beruang putih itu, siapa na-
manya?"
"Semula dia mengaku bernama Dewi Beruang Pu-
tih. Tapi setelah dia melihat Keris Naga Emas, lang-
sung dia mengaku bernama Intan Kumala. Bahkan dia
juga menyebutkan bahwa nama ayahnya adalah Ki Sa-
tria. Tapi aku belum percaya kalau Dewi Beruang Pu-
tih itu adalah Intan Kumala, Wulan. Dan aku tidak
mau menyerahkan keris pusaka yang dititipkan pada-
ku ini pada sembarang orang. Aku harus menyerah-
kannya pada orang yang benar-benar tepat," kata
Bayu, tegas.
"Aku merasa, memang dialah pewarisnya, Ka-
kang," gumam Ratna Wulan perlahan, seakan-akan bi-
cara dengan dirinya sendiri.
"Apa yang kau bilang, Wulan...?!" sentak Bayu ka-
get.
Ratna Wulan tidak menjawab. Dia kembali diam
dan terus melangkah tanpa bicara lagi. Sedangkan
Bayu terus memandangi wajah cantik di sampingnya
ini. Sungguh dia tidak mengerti, apa maksud dari ka-
ta-kata yang diucapkan Ratna Wulan barusan. Kata-
kata yang bernada menggumam itu seakan-akan ke-
luar bukan dari bibir gadis ini.
Sementara itu tanpa disadari, mereka berjalan me
nuju ke Desa Gebang. Saat ini matahari sudah jauh
condong ke ufuk Barat. Cahayanya yang semula terik
mulai terasa begitu lembut dan berwarna merah jing-
ga. Sungguh indah pemandangan senja ini. Tapi, kein-
dahan yang tersirat itu tidak bisa dinikmati Bayu
maupun Ratna Wulan. Mereka terus sibuk dengan
berbagai macam pikiran yang berkecamuk di dalam
benaknya masing-masing. Entah apa yang ada di da-
lam kepala mereka saat ini. Hanya mereka sendiri yang
tahu.
***
DUA
Malam sudah turun menyelimuti seluruh permu-
kaan bumi Desa Gebang. Kesunyian begitu terasa me-
nemani sang dewi malam yang memancar lembut den-
gan sinarnya yang indah keperakan. Tidak jauh dari
perbatasan sebelah Timur, tampak seorang gadis ber-
baju putih, compang-camping, dan penuh tambalan
berdiri tegak di depan puing-puing reruntuhan sebuah
rumah yang berhalaman luas. Sunyi sekali di sekitar-
nya. Tak ada seorang pun yang terlihat di tempat ini
selain gadis berpakaian pengemis itu.
Entah sudah berapa lama dia berada di dekat
puing-puing reruntuhan rumah itu. Sinar matanya
yang begitu tajam tampak tak berkedip sedikit pun
memandangi reruntuhan rumah itu. Memang, ada se-
suatu yang sedang dikenangnya, sesuatu yang tak
akan mungkin bisa dilupakannya seumur hidup.
Di dalam pandangannya, seakan-akan dia melihat
rumah itu masih berdiri tegak dan begitu indah. Bibir-
nya kemudian tersenyum saat melihat seorang bocah
perempuan berusia sekitar empat tahun tengah berla-
ri-lari kecil sambil tertawa riang mengelilingi taman
yang tertata sangat indah. Di belakang gadis kecil itu,
seorang wanita cantik mengikutinya dengan bibir ter-
senyum manis.
"Jangan kencang-kencang larinya, Intan. Nanti ja-
tuh...!" seru wanita cantik berpakaian indah bagai
permaisuri raja itu, dengan suara yang terdengar lem-
but sekali.
Gadis kecil yang memang bernama Intan Kumala
itu berhenti berlari. Dia berbalik memandangi wanita
cantik yang tak lain adalah ibunya ini. Senyuman ma-
nis yang begitu lucu menyungging di bibirnya yang me-
rah. Dari pintu taman, terlihat pula seorang laki-laki
berusia sekitar lima puluh tahun yang kelihatan gagah
dan tampan berdiri tersenyum-senyum memandangi.
Begitu ceria wajah-wajah mereka.
Namun, keceriaan mereka mendadak sirna ketika
tiba-tiba terlihat sebatang anak panah meluncur deras
ke arah gadis kecil itu. Laki-laki setengah baya yang
berdiri di ambang pintu taman cepat sekali melesat.
Secepat kilat pula tangan kanannya tampak diki-
baskan ke depan. Dan, langsung disambarnya anak
panah yang hampir menghunjam ke dada gadis kecil
itu.
"Hap!"
Manis sekali laki-laki setengah baya itu menjejak-
kan kakinya di tanah, tepat di depan Intan Kumala.
Saat itu juga, wanita yang tadi mengikuti gadis kecil
itu bergegas berlari dan langsung mengambil gadis ke-
cil itu ke dalam gendongannya.
"Cepat kau bawa masuk ke dalam, Rayi," kata laki-
laki setengah baya itu sambil memperhatikan anak
panah yang berada dalam genggaman tangan kanan-
nya.
Tanpa diperintah dua kali, wanita itu bergegas me-
ninggalkan taman yang indah ini. Namun, belum juga
dia sampai di pintu taman, mendadak sebuah bayan-
gan terlihat berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-tahu di
depan wanita cantik itu sudah berdiri seorang perem-
puan tua bertubuh bungkuk yang mengenakan jubah
panjang berwarna hitam. Di tangan kanan perempuan
tua itu tergenggam sebatang tongkat, dengan bagian
ujung atasnya berbentuk tengkorak kepala manusia.
"Oh...?!"
"Hup!"
Laki-laki setengah baya yang juga merupakan ayah
gadis kecil itu segera melompat. Begitu ringan gera-
kannya. Tahu-tahu dia sudah, berada di samping ka-
nan istrinya yang memeluk Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
"Siapa kau?" bentak ayah Intan Kumala.
"Hik hik hik...!"
Perempuan tua bertubuh bungkuk itu hanya ter-
tawa terkikik. Suara tawanya terdengar sangat kering
dan mengerikan. Matanya yang memerah dan bersinar
tajam menatap langsung ke bola mata lelaki setengah
baya itu. Kemudian pandangannya berpindah pada In-
tan Kumala yang berada di dalam gendongan ibunya.
"Tidak lama lagi, Satria. Hik hik hik..! Tidak lama
lagi kau akan hancur, Satria...!"
"Perempuan tua, siapa kau? Apa maksudmu da-
tang ke sini?" bentak ayah Intan Kumala yang berna-
ma Ki Satria itu dengan suaranya yang tajam.
"Hik hik hik...!"
Cepat sekali tangan keriput yang terulur ke depan
itu bergerak hendak menyambar Intan Kumala. Tapi,
sebelum tangan perempuan tua itu menyentuh Intan
Kumala, Ki Satria sudah cepat bertindak.
"Hiyaaa...!"
Bet!
"Ikh...!"
Cepat-cepat perempuan tua menarik kembali tan-
gannya ketika Ki Satria mengebutkan tangan kanan-
nya begitu cepat dengan pengerahan tenaga dalam
tinggi. Dua langkah perempuan tua itu melompat
mundur. Dirasakannya angin kebutan tangan kanan
Ki Satria yang mengandung hawa panas begitu me-
nyengat.
"Kau benar-benar tidak sayang dengan puterimu,
Satria. Aku datang justru ingin menyelamatkan ketu-
runanmu!" bentak perempuan tua itu sambil mendesis
dingin.
"Katakan dulu, siapa kau? Apa maksudmu berkata
begitu?" ujar Ki Satria dengan tidak kalah dinginnya.
"Aku Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aku terpaksa
keluar dari istanaku karena ingin menyelamatkan ke-
turunanmu, Satria. Kau dalam bahaya. Kehancuran
sudah dekat di depan matamu," sahut perempuan tua
itu dengan nada suara yang masih tetap dingin.
"Jangan coba-coba menggertak ku, Nisanak. Se-
baiknya pergi saja kau. Dan, jangan coba-coba meng-
ganggu ketenteraman keluargaku!" bentak Ki Satria,
yang tidak percaya dengan kata-kata perempuan tua
itu.
"Heh! Kau benar-benar bodoh, Satria!" dengus pe-
rempuan tua yang mengaku bernama Ratu Mayat Bu-
kit Tengkorak itu.
"Cepat pergi! Atau kau ingin aku panggil para pen-
gawalku, heh...!" bentak Ki Satria lagi.
Sebentar Ratu Mayat Bukit Tengkorak memandan-
gi Ki Satria. Dia melangkah mundur beberapa tindak,
kemudian tanpa berkata sedikit pun melesat pergi
dengan cepat sekali. Begitu cepat gerakannya. Dalam
sekejap mata, tubuhnya pun sudah lenyap tak terlihat
lagi, bagaikan hilang tertelan bumi.
"Mari, Rayi Sebaiknya kita masuk saja," ajak Ki Sa-
tria sambil merangkul pundak istrinya.
***
Ajakan Ki Satria membawa istri dan anaknya ma-
suk ke dalam rumah ternyata sama sekali tidak meng-
hilangkan ketegangan yang terjadi dengan tiba-tiba di
taman tadi. Kedua bola matanya kini terbeliak lebar
begitu melihat orang-orangnya yang berada di dalam
rumah sudah terkapar tak bernyawa lagi. Darah ber-
cucuran menggenangi lantai. Ki Satria cepat-cepat
membawa anak dan istrinya ke dalam kamar.
"Kau jangan ke mana-mana, Rayi," pesan Ki Satria.
"Kakang...," kata wanita itu dengan suara bergetar.
'Tenanglah, aku akan kembali secepatnya. Jaga
anak kita," kata Ki Satria, mencoba menenangkan is-
trinya.
Bergegas Ki Satria keluar dari kamar itu setelah le-
bih dulu berpesan kepada istrinya untuk mengunci
pintu dan jendela. Dengan langkah yang lebar dan ter-
gesa-gesa, Ki Satria menyusuri lorong yang tidak sebe-
rapa panjang. Dia langsung masuk ke dalam ruangan
tengah yang berukuran cukup luas. Kembali bola ma-
tanya terbeliak lebar begitu melihat mayat-mayat ber-
gelimpangan di dalam ruangan ini.
"Hup!"
Bagaikan seekor kijang, Ki Satria melompati mayat-
mayat yang bergelimpangan hampir memenuhi lantai
ruangan ini. Tanpa menimbulkan suara sedikit pun,
laki-laki setengah baya itu langsung menjejakkan ka-
kinya di ambang pintu, yang berhubungan langsung
dengan ruangan depan. Cepat dia menerobos masuk
ke dalam ruangan depan.
"Keparat...!" desis Ki Satria, geram.
Hampir laki-laki setengah baya itu tidak percaya
dengan apa yang disaksikannya sekarang ini. Dia me-
rasa seperti mimpi. Seperti halnya ruangan tengah ta-
di, ruangan depan ini pun dipenuhi oleh mayat-mayat
yang tampaknya masih baru. Darah yang menggenangi
lantai pun masih terlihat segar dan hangat. Sambil
berjingkat, Ki Satria terus menuju ke pintu depan. Di-
periksanya beberapa orang yang menggeletak tak ber-
nyawa lagi itu. Keningnya langsung berkerut. Kemu-
dian dipandanginya sekalian semua tubuh yang berge-
limpangan saling tumpang tindih itu.
"Hm, aneh..., tak ada luka sedikit pun. Tapi kenapa
banyak darah...?" gumam Ki Laksa pada dirinya sendi-
ri.
Memang, tidak ada sedikit pun luka di tubuh me-
reka. Meskipun darah yang menggenang dan meme-
nuhi lantai itu jelas sekali tampak keluar dari mulut,
hidung, serta telinga. Kematian yang sangat aneh ini
membuat Ki Satria bertanya-tanya sendiri di dalam ha-
ti. Tak ada sedikit pun tanda-tanda bekas terjadi per-
tarungan. Dan, tak ada luka sedikit pun di tubuh me-
reka semua.
"Hup!"
Ringan sekali Ki Satria melompat keluar. Sedikit
pun tak ada suara yang ditimbulkan. Ini pertanda
bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki sudah
mencapai pada tingkatan yang tinggi. Begitu ringan
kedua kakinya mendarat di lantai beranda depan. Se-
bentar dia mengedarkan pandangannya berkeliling.
Tapi, tetap tak ada seorang pun yang terlihat.
Hanya mayat-mayat yang tampak bergelimpangan sal-
ing tumpang tindih di halaman depan rumah yang be-
rukuran besar bagai sebuah istana kecil ini.
"Setan keparat! Bagaimana ini bisa terjadi...!" desis
Ki Satria, geram.
Darah lelaki setengah baya itu langsung mendidih
ketika melihat tak ada seorang pun pengawalnya yang
masih hidup. Semua sudah bergelimpangan tak ber-
nyawa lagi. Dia juga tidak tahu, kapan semua ini terja-
di. Padahal, sejak tadi dia berada di taman belakang
bersama anak dan istrinya. Dan, sama sekali tidak di-
dengarnya suara pertarungan sedikit pun tadi. Tapi,
kini orang-orangnya terlihat sudah menggeletak tak
bernyawa lagi. Darah menggenang dihampir setiap su-
dut tempat tinggalnya yang megah ini.
"Laksa...! Rahun...!"
Ki Laksa berteriak keras memanggil dua orang ke-
percayaannya. Tapi, tak ada sahutan sedikit pun yang
terdengar. Suaranya yang keras karena dikeluarkan
dengan pengerahan tenaga dalam yang tinggi itu
menggema sampai terdengar ke seluruh penjuru mata
angin. Dan, hanya gemerisik dedaunan yang menyahu-
ti teriakan laki-laki gagah berusia setengah baya ini.
"Hm, ke mana mereka? Apakah mereka juga sudah
mati...?" gumam Ki Satria, bertanya-tanya sendiri.
Kembali Ki Satria mengedarkan pandangannya
berkeliling. Tapi, tidak juga ada seorang pun yang dili-
hatnya hidup. Semua yang dilihatnya hanyalah mayat-
mayat bergelimpangan saling tumpang tindih, Bau an-
yir darah begitu tajam menyeruak rongga hidung. Ke-
mudian perlahan Ki Satria bergerak hendak melang-
kah keluar dari beranda depan rumahnya ini. Tapi, ba-
ru saja kakinya menjejak tanah, mendadak...I
Wusss...!
"Hup!"
Cepat sekali Ki Satria melentingkan tubuhnya begi-
tu mendengar desiran angin yang sangat halus dari
arah kanannya. Dan, secepat itu pula dia menge-
butkan tangan kanannya.
Tap!
"Hap!"
Manis sekali Ki Satria menjejakkan kakinya di ta-
nah, di antara tubuh-tubuh yang bergelimpangan tak
bernyawa lagi. Perlahan tangan kanannya yang terkep-
al bergerak terbuka. Dan, kedua bola matanya lang-
sung terbeliak lebar begitu melihat di dalam telapak
tangannya terdapat sebuah benda berbentuk kapak
kecil berwarna merah.
"Perampok Tiga Nyawa...," desis Ki Satria.
Tapi, belum juga Ki Satria sempat berpikir jauh,
mendadak terlihat tiga buah bayangan berkelebatan
meluruk turun dari atas atap. Ki Satria cepat-cepat
melompat ke belakang sejauh dua batang tombak. Ma-
nis sekali gerakannya. Dan, tanpa menimbulkan suara
sedikit pun, kakinya kembali menjejak tanah.
Tap!
"Keparat...!" bentak Ki Satria.
Lelaki setengah baya yang masih kelihatan gagah
itu mendesis ketika melihat tiga orang laki-laki berusia
muda sudah berada sekitar dua batang tombak di de-
pannya. Ketiga lelaki muda itu mengenakan baju den-
gan potongan yang sama, tapi dengan warna yang ber-
beda. Mereka memang jelas masih tergolong muda.
Paling tidak, usia mereka baru sekitar tiga puluh ta-
hun. Tampak di tangan kanan mereka masing-masing
ter-genggam sebilah kapak yang berukuran sangat be-
sar. Dan, kilatan cahaya membersit dari mata kapak di
tangan kanan ketiga pemuda itu. Ki Satria tahu, mere-
ka adalah tokoh-tokoh persilatan yang dikenal dengan
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
"Pasti kalian yang membantai para pengawalku,"
desis Ki Satria, dingin menggetarkan. "Keparat...! Apa
maksud kalian membunuhi orang-orangku, heh...?"
'Tidak terlalu sulit menidurkan mereka, Ki Satria,"
kata salah seorang dari ketiga pemuda itu, yang men-
genakan baju berwarna merah menyala.
"Hanya dengan ini...," sambung pemuda satunya
lagi, yang mengenakan baju biru.
Pemuda berbaju biru itu melemparkan sesuatu
yang diambil dari dalam saku bajunya. Ki Satria cepat
melompat dan berputaran beberapa kali di udara, lalu
kakinya kembali menjejak tanah. Benda yang dilem-
parkan pemuda berbaju biru itu ternyata berupa ser-
buk berwarna kuning, yang langsung menguap menja-
di asap.
. "Upfhs...!"
Cepat-cepat Ki Satria menutup seluruh aliran da-
rah dan memindahkan pernafasannya ke perut. Dia
tahu bahwa serbuk kuning yang menguap menjadi
asap itu adalah serbuk racun yang sangat berbahaya
dan mematikan. Kembali tubuhnya melenting ke udara
dan berputaran beberapa kali. Lalu, kembali pula ka-
kinya menjejak tanah setelah jaraknya sudah menca-
pai sekitar tiga batang tombak
"Phuuuh...! Edan...!" dengus Ki Satria disertai
hembusan nafasnya yang berat.
***
Sementara itu di dalam kamar, istri Ki Satria yang
bernama Nyai Wandari kelihatan cemas. Dia tidak me-
lepaskan putrinya dari pelukan. Gadis kecil itu juga
seperti bisa merasakan kecemasan ibunya. Dia meme-
luk dan menyembunyikan kepalanya di dada yang
membusung indah itu.
Tok! Tok! Tok..!
"Oh...?!"
Nyai Wandari tersentak kaget ketika mendengar
suara ketukan di pintu. Pandangannya langsung tertu
ju ke arah pintu yang tertutup rapat. Ketukan itu se-
bentar saja sudah menghilang. Tapi, tak lama kemu-
dian terdengar lagi. Perlahan-lahan wanita itu bangkit
dari pembaringan.
"Siapa..?!" tanya Nyai Wandari, agak keras.
"Aku, Nyai...," sahut suara seorang laki-laki dari
balik pintu.
"Siapa?" tanya Nyai Wandari lagi.
"Rahun."
"Oh, Rahun...."
Bergegas Nyai Wandari menghampiri pintu kamar
ini. Dia langsung membukanya. Dan, seorang laki-laki
berusia sekitar empat puluh lima tahun terlihat berdiri
tegak di ambang pintu. Tampak rambutnya yang pan-
jang tergelung ke atas kepala.
"Ada apa, Rahun?"
"Ki Satria meminta ku untuk membawa Nyai dan
Rara Putri Intan."
"Oh...?! Apa yang terjadi sebenarnya, Rahun? Di
mana suamiku?" tanya Nyai Wandari, tidak bisa lagi
menyembunyikan kecemasannya.
"Keadaan gawat, Nyai. Sebaiknya Nyai bergegas...,"
sahut Ki Rahun, terputus.
"Sebentar."
Nyai Wandari kembali menutup pintu. Sedangkan
Ki Rahun tetap menunggu di depan pintu. Nyai Wan-
dari mengambil bungkusan kain putih dari dalam ko-
tak kayu yang ada di meja kecil dekat jendela. Dia me-
nyelipkan bungkusan kain putih yang tampak berisi
sebilah pisau kecil itu ke balik ikat pinggangnya. Tak
berapa lama kemudian, dia sudah keluar lagi sambil
tetap menggendong putrinya.
"Ke mana kau akan membawaku, Rahun?" tanya
Nyai Wandari sambil terus berjalan mengikuti orang
kepercayaan suaminya ini.
"Mengungsi ke tempat yang aman," sahut Ki Ra-
hun, tanpa menghentikan langkahnya.
Mereka terus berjalan menyusuri lorong yang tidak
begitu panjang menuju ke bagian belakang rumah be-
sar dan megah ini. Ki Rahun membuka pintu yang ada
di ujung lorong. Kemudian dipersilahkannya Nyai
Wandari untuk masuk lebih dulu. Nyai Wandari tahu,
pintu ini merupakan pintu kamar semadi suaminya.
Dan, di dalam kamar ini terdapat sebuah pintu rahasia
yang langsung menuju keluar melalui jalan di bawah
tanah.
Setelah berada di dalam kamar semadi itu. Ki Ra-
hun menggeser sebongkah baru besar yang sering di-
gunakan untuk bersemadi. Di bawah baru yang ber-
bentuk pipih itu terdapat lubang yang cukup besar.,
Tanpa banyak bicara lagi, Nyai Wandari bergegas ma-
suk ke dalam lubang itu. Ki Rahun mengikuti dari be-
lakang. Batu pipih itu pun kembali bergerak menutup
setelah mereka melewatinya.
"Ke mana suamiku menyuruh mengungsi, Rahun?"
tanya Nyai Wandari.
"Ke gua penyimpanan senjata pusaka," sahut Ki
Rahun. "Di sana sudah menunggu dua puluh orang
pengawal, Nyai."
"Lalu, di mana suamiku?"
"Menghadapi mereka bersama yang lain."
"Mereka...? Siapa mereka, Rahun?"
"Aku tidak tahu, Nyai. Mereka tiba-tiba saja datang
dan menyerang. Sudah banyak yang menjadi korban,"
jelas Ki Rahun dengan singkat.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia terus berja-
lan di depan sambil tetap memeluk putrinya dalam
gendongan. Sedangkan Ki Rahun mengikuti dari bela-
kang. Tampak sebentar-sebentar dia menoleh ke bela-
kang.
Lorong rahasia di bawah tanah ini cukup panjang
juga. Tapi, keadaannya sangat terang, karena banyak
obor terpasang di dinding. Ki Rahun bergegas menda-
hului setelah mereka sampai di ujung lorong bawah
tanah ini. Dia mendorong sebongkah batu yang cukup
besar. Sedikit demi sedikit batu itu pun tergeser. Dan,
tampaklah dengan nyata bahwa tempat ini merupakan
ujung lorong. Mereka langsung bergegas keluar. Dan,
ternyata mereka sudah ditunggu oleh sekitar dua pu-
luh orang pemuda bersenjata golok. Tanpa banyak bi-
cara lagi, semuanya bergegas berjalan dan langsung
masuk ke dalam hutan.
Nyai Wandari sendiri tidak banyak bertanya lagi.
Dia terus mengikuti pemuda-pemuda yang dia kenali
sebagai para pengawal suaminya. Sedangkan Ki Rahun
selalu berada di belakang wanita itu, sambil sesekali
berpaling ke belakang. Tak ada seorang pun yang
membuka suara lagi. Semuanya terdiam dan terus ber-
jalan merambah hutan yang cukup lebat ini.
"Rahun, bukankah ini jalan menuju ke Jurang Se-
tan...?"
Nyai Wandari baru membuka suara ketika sadar
bahwa jalan yang ditempuh mereka bukan menuju ke
gua tempat penyimpanan senjata.
"Memang benar, Nyai," sahut Ki Rahun.
"Tapi tadi kau bilang, kita akan ke gua penyimpa-
nan senjata pusaka."
"Ini hanya siasat saja, Nyai. Untuk mengelabui me-
reka," sahut Ki Rahun.
Nyai Wandari tidak bertanya lagi. Dia bisa meneri-
ma alasan yang diberikan Ki Rahun barusan. Memang,
mereka bisa saja melalui pinggiran Jurang Setan ini
untuk menuju ke gua penyimpanan senjata pusaka.
Walaupun, tentu saja mereka harus memutar dan ber-
jalan lebih jauh. Tapi, Nyai Wandari tidak mengeluh
dan tidak mau bertanya lagi. Dia terus saja berjalan
mengikuti para pengawalnya yang berjumlah sekitar
dua puluh orang itu. Sedangkan Ki Rahun tetap berja-
lan di belakangnya.
***
TIGA
Sementara itu Ki Satria tengah bertarung mengha-
dapi tiga orang lawannya yang dikenal dengan julukan
si Perampok Tiga Nyawa. Pertarungan yang semula
berlangsung di halaman rumah berangsur-angsur ber-
pindah. Dan, tanpa disadari, mereka bergerak ke arah
hutan yang langsung berbatasan dengan bagian bela-
kang rumah. Entah sudah berapa jurus berlalu, tapi
pertarungan itu tampaknya belum menunjukkan tan-
da-tanda akan berhenti.
Akhirnya, pertarungan itu sampai di dekat Jurang
Setan, yang tampak sangat besar dan dalam. Begitu
dalam jurang ini, sampai-sampai dasarnya pun sangat
sulit dilihat. Apalagi, kabut yang sangat tebal selalu
menutupinya.
Pada saat yang hampir bersamaan, Nyai Wandari,
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya juga
sampai di jurang ini. Nyai Wandari begitu terkejut ke-
tika melihat suaminya sedang bertarung sengit dengan
tiga lelaki yang masing-masing bersenjatakan kapak.
"Rahun, cepat bantu suamiku!" perintah Nyai
Wandari.
"Tidak mungkin, Nyai. Ki Satria tidak akan senang
kalau pertarungannya dicampuri," tolak Ki Rahun.
'Tapi...," Nyai Wandari tidak melanjutkan ucapannya.
Memang, alasan yang dikemukakan Ki Rahun tidak
bisa dibantah lagi. Ki Satria pasti tidak akan senang
kalau pertarungannya dicampuri orang lain. Nyai
Wandari tahu betul watak suaminya. Lelaki tua gagah
itu lebih memilih mati dalam pertarungan daripada ha-
rus dicampuri orang lain. Meskipun ada orang yang
benar-benar bermaksud membantunya, Ki Satria tidak
akan berterima kasih. Bahkan, dia bisa marah besar.
"Ayo, Nyai. Sebaiknya kita menyingkir dari sini,"
ajak Ki Rahun.
Nyai Wandari memperhatikan pertarungan itu be-
berapa saat. Kemudian dia bergegas mengikuti Ki Ra-
hun yang sudah lebih dulu berjalan menjauhi perta-
rungan. Dua puluh orang yang mengawal mereka juga
bergegas mengikuti. Tidak ada seorang pun yang bera-
ni ikut terjun ke dalam pertarungan itu. Tapi, belum
juga mereka jauh, tiba-tiba....
"Berhenti kalian semua...!"
"Heh...?!"
"Hah...?!"
Bukan main terkejutnya mereka ketika tiba-tiba
saja terdengar bentakan yang sangat keras dan meng-
gelegar bagai guntur di siang hari. Mereka langsung j
berhenti melangkah. Pada saat itu, terlihat sebuah
bayangan putih berkelebat begitu cepat. Dan, tahu-
tahu di depan mereka sudah berdiri seseorang yang
berjubah putih panjang dan longgar. Wajah orang itu
sulit dikenali, karena tertutup oleh topeng kayu ber-
warna hitam. Tampak di tangan kanannya tergenggam
sebatang tongkat kayu yang runcing pada bagian
ujungnya.
"Kau tidak akan bisa lolos dariku, Nyai Wandari,"
ujar orang berjubah putih dan bertopeng kayu hitam
itu dengan nada suara yang terdengar begitu dingin.
"Siapa kau?" bentak Nyai Wandari.
"Ha ha ha...!"
Orang bertopeng hitam itu hanya tertawa terbahak-
bahak. Begitu keras dan menggelegar suara tawanya.
Telinga yang mendengarnya pun terasa sakit, seperti
tertusuk jarum. Nyai Wandari cepat-cepat menutup te-
linga putrinya.
"Kalian semua harus mampus! Hiyaaat..!"
Bagaikan kilat, orang bertopeng hitam itu melom-
pat dan langsung menerjang ke arah Nyai Wandari.
Tapi, belum juga dia sampai, mendadak terlihat se-
buah bayangan hitam berkelebat begitu cepat memo-
tong arus terjangan orang bertopeng itu.
"Uts...!"
Untung saja orang bertopeng hitam itu cepat me-
lenting ke belakang, sehingga terhindar dari suatu
benturan keras. Beberapa kali tubuhnya berputaran di
udara. Dan, dengan manis sekali kakinya menjejak ta-
nah, sekitar dua batang tombak jauhnya dari Nyai
Wandari, yang masih didampingi Ki Rahun dan dua
puluh orang pengawalnya.
Entah dari mana datangnya, tahu-tahu di depan
Nyai Wandari sudah berdiri seorang perempuan tua
bertubuh bungkuk, dengan tongkat berkepala tengko-
rak tergenggam pada tangan kanannya. Nyai Wandari
langsung mengenali, perempuan tua itulah yang da-
tang menemuinya di taman dan hendak meminta
anaknya tadi.
"Tidak ada gunanya kau menutupi wajahmu den-
gan topeng jelek, Laksa," desis perempuan tua bung-
kuk yang dikenali Nyai Wandari bernama Ratu Mayat
Bukit Tengkorak itu, dengan suara yang terdengar be-
gitu kering dan dingin.
"Laksa...?" desis Nyai Wandari, terkejut.
"Phuih!"
Orang bertopeng hitam itu mendengus berat. Den
gan kasar sekali dia membuka topeng kayu berwarna
hitam yang menutupi wajahnya. Kini tampaklah di ba-
lik topeng kayu itu, seraut wajah seorang laki-laki yang
agaknya berusia lima puluh tahun lebih. Sorot ma-
tanya tampak tajam berapi-api. Dan, wajah itu sangat
dikenali oleh Nyai Wandari.
"Laksa...!" desis Nyai Wandari, hampir tidak per-
caya.
Tapi, Nyai Wandari tidak sempat lagi bertanya-
tanya ataupun berpikir panjang. Karena, tiba-tiba saja
Ki Laksa sudah melompat begitu cepat melakukan se-
rangan.
"Hiyaaat...!"
"Hup! Yeaaah...!"
Pada saat yang bersamaan, Ratu Mayat Bukit
Tengkorak ternyata juga melentingkan tubuhnya. Dis-
ambutnya serangan laki-laki berjubah putih itu. Dan,
secara bersamaan keduanya melepaskan satu pukulan
keras menggeledek yang mengandung pengerahan te-
naga dalam tingkat tinggi. Begitu cepat pukulan yang
dilepaskannya, hingga mereka sama-sama tidak dapat
lagi menghindari benturan dua tenaga dalam yang
tinggi tingkatannya itu.
Plak!
Seketika itu juga tubuh mereka sama-sama terpen-
tal balik ke belakang. Namun, dengan manis sekali ke-
duanya berhasil menjejakkan kaki di tanah secara ber-
samaan. Dan, tanpa membuang-buang waktu lagi, me-
reka sudah berlompatan kembali saling menyerang.
Pertarungan pun tak lagi terhindarkan, seakan-akan
menyaingi pertarungan seru yang sedang terjadi antara
Ki Satria dan tiga orang lawannya yang dikenal dengan
julukan si Perampok Tiga Nyawa.
Pertarungan antara Ratu Mayat Bukit Tengkorak
dan Ki Laksa terlihat semakin sengit. Keduanya men
geluarkan jurus-jurus yang begitu dahsyat dan sangat
berbahaya. Pukulan-pukulan yang mereka lontarkan
mengandung pengerahan tenaga dalam yang sangat
tinggi. Sehingga setiap pukulan yang tidak mengenai
sasaran akan menimbulkan ledakan dahsyat jika
menghantam pohon atau bebatuan hingga hancur ber-
keping-keping.
"Hiyaaat...!"
Sambil berteriak keras menggelegar, bagaikan kilat
Ki Laksa melompat ke udara. Dan, secepat kilat pula
tongkatnya yang berujung runcing dikebutkan ke arah
kepala Ratu Mayat Bukit Tengkorak Begitu tinggi tena-
ga dalam yang disalurkan ke dalam kebutan tongkat Ki
Laksa, sehingga menimbulkan suara angin menderu
yang disertai hempasan hawa panas menyengat.
"Uts...! Hap!"
Cepat-cepat Ratu Mayat Bukit Tengkorak melompat
ke belakang. Dan, secepat itu pula dia menghentakkan
tongkatnya. Ditangkisnya kibasan tongkat Ki Laksa.
Trakkk!
Dua senjata tongkat beradu begitu keras sampai
menimbulkan percikan bunga api yang menyebar ke
segala arah. Tampak Ratu Mayat Bukit Tengkorak ter-
dorong ke belakang dua langkah. Dan, pada saat itu
pula terlihat Ki Laksa memutar tubuhnya di udara. La-
lu, tanpa diduga sama sekali, lelaki tua itu melepaskan
satu tendangan keras menggeledek disertai pengera-
han tenaga dalam yang begitu tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
"Oh...?!"
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak terperangah
setengah mati. Cepat-cepat dia menggeser kakinya ke
samping sambil meliukkan tubuh menghindari ten-
dangan menggeledek yang dilepaskan laki-laki berju-
bah putih itu. Tapi dengan gesit dan cepat sekali Ki
Laksa bisa memutar balik kakinya. Dan, secepat kilat
kembali dia menghentakkan kaki kanannya ke depan
dengan setengah berputar. Begitu cepatnya serangan
yang dilancarkan laki-laki berjubah putih itu, sehingga
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tidak sempat lagi meng-
hindar. Dan....
Des!
"Akh...!"
Telak sekali tendangan kaki kanan Ki Laksa men-
darat di dada kiri Ratu Mayat Bukit Tengkorak. Aki-
batnya, tubuh perempuan tua yang agak kurus itu
terpental cukup jauh ke belakang. Dan, sebongkah ba-
tu sebesar kerbau yang sangat kokoh langsung hancur
berkeping-keping seketika begitu tubuh si Ratu Mayat
Bukit Tengkorak menghantamnya.
"Hiyaaat...!"
Tanpa membuang-buang waktu sedikit pun, Ki
Laksa cepat melompat ke arah Nyai Wandari. Tapi, ti-
ba-tiba saja wanita cantik itu mengebutkan tangan ki-
rinya dengan cepat. Dan, tahu-tahu di tangan kirinya
sudah tergenggam sebilah pisau kecil yang sangat ta-
jam dan berkilatan, yang dicabutnya dengan cepat tadi
dari balik ikat pinggangnya.
"Heh...?! Uts!"
Ki Laksa terperanjat setengah mati begitu tiba-tiba
sekelebatan cahaya keperakan hampir saja membelah
dadanya. Cepat-cepat dia melentingkan tubuhnya ke
belakang dan berputaran beberapa kali.
Pada saat itu, Ratu Mayat Bukit Tengkorak sudah
bisa berdiri lagi. Dia segera menghampiri Nyai Wandari
yang masih menggendong putrinya.
"Berikan anakmu padaku, Nyai. Dia harus disela-
matkan," kata Ratu Mayat Bukit Tengkorak cepat-
cepat.
Nyai Wandari memandangi perempuan tua berwajah buruk penuh keriput itu beberapa saat. Kemudian
dia menyerahkan Intan Kumala kepadanya. Dan, ce-
pat-cepat perempuan tua itu meraih Intan Kumala dari
gendongan Nyai Wandari, lalu bergegas melesat pergi
dengan cepat sekali. Namun, belum juga dia pergi
jauh, tiba-tiba tangan kanan Ki Rahun bergerak cepat
tanpa seorang pun sempat mengetahuinya. Dan, saat
itu juga terlihat beberapa benda halus seperti jarum
berhamburan dengan deras sekali ke arah si Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
Ratu Mayat Bukit Tengkorak, yang tidak menyadari
akan mendapat serangan gelap yang begitu cepat itu,
tidak dapat lagi menghindarkan diri. Dan....
Crap!
"Akh...!"
Beberapa benda halus seperti jarum itu langsung
menembus tubuh Ratu Mayat Bukit Tengkorak Perem-
puan tua itu pun jatuh terguling ke tanah. Dan Intan
Kumala yang berada dalam gendongannya seketika ter-
lepas dan langsung melayang jauh menuju ke arah ju-
rang.
"Intan...!" jerit Nyai Wandari, benar-benar ter-
peranjat.
***
Cepat-cepat Nyai Wandari melompat hendak me-
raih anaknya yang melayang ke arah jurang. Tapi be-
lum juga dia bergerak jauh, Ki Laksa sudah bertindak
cepat. Tongkatnya yang berujung runcing segera dike-
butkan ke arah lambung wanita cantik itu.
Bet!
"Ikh...!"
Hampir saja lambung Nyai Wandari robek. Untung
saja dia cepat-cepat berkelit meliukkan tubuhnya tadi
menghindari sabetan tongkat yang berujung runcing
itu. Sedangkan Intan Kumala terus meluncur deras ke
arah jurang.
"Ibuuu...!" jerit Intan Kumala, ketakutan.
"Hup! Hiyaaa...!"
Nyai Wandari kembali melesat mengejar anaknya!
begitu kakinya menjejak tanah. Tapi, baru saja dia me-
lesat, kembali Ki Laksa menghadang dengan cepat. Sa-
tu pukulan keras yang disertai dengan pengerahan, te-
naga dalam tinggi langsung dilepaskannya dengan ce-
pat sekali ke arah dada.
"Hap!"
Nyai Wandari cepat-cepat melentingkan tubuhnya
dan berputaran ke belakang menghindari pukulan itu.
Dan, begitu kakinya menjejak tanah kembali, tahu-
tahu Ki Laksa sudah melepaskan satu tendangan ke-
ras menggeledek yang begitu cepat. Benar-benar cepat
tendangan yang dilepaskan laki-laki berjubah putih
itu. Nyai Wandari pun tidak sempat lagi menghindar,
terlebih lagi pikirannya tengah tercurah pada putrinya
yang sedang menghadapi maut.
Des!
"Akh...!"
Nyai Wandari terpental deras ke belakang, lalu ja-
tuh bergulingan beberapa kali di tanah. Sementara itu
Intan Kumala terus meluncur dan mulai masuk ke da-
lam jurang. Jeritannya yang panjang melengking ter-
dengar begitu menggiris.
"Ibuuu...!"
"Intan...!"
Nyai Wandari tidak mempedulikan dadanya yang
terasa sesak akibat terkena tendangan Ki Laksa tadi.
Cepat-cepat dia melompat bangkit berdiri hendak
mengejar lagi anaknya yang sudah mulai tercebur ke
dalam Jurang Setan. Jeritan bocah kecil itu masih juga
terdengar, meskipun semakin jauh.
"Intan...!"
Nyai Wandari berteriak-teriak memanggil nama
anaknya sambil terus berlari menghampiri jurang. Ta-
pi, begitu dia sampai di tepi jurang, tubuh Intan Ku-
mala sudah tidak terlihat lagi. Hanya kabut tebal yang
terlihat kini menyelimuti seluruh bagian dalam jurang
itu.
"Oh, Intan...."
Jeritan Intan Kumala dan Nyai Wandari sempat ju-
ga mempengaruhi perhatian Ki Satria yang sedang ber-
tarung melawan si Perampok Tiga Nyawa. Dia sempat
berpaling ke arah Jurang Setan. Dan, pada saat itu ju-
ga si Perampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju bi-
ru melepaskan satu pukulan keras disertai pengerahan
tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
"Hiyaaa...!"
Ki Satria yang tengah lengah tidak sempat lagi
menghindari pukulan itu. Akibatnya, dadanya telah
terkena pukulan yang mengandung pengerahan tenaga
dalam tinggi itu.
Degkh!
"Akh...!"
Ki Satria memekik tertahan. Tubuhnya langsung
terpental ke belakang sejauh dua batang tombak. Dan
tubuh kekar itu baru berhenti melayang setelah meng-
hantam sebatang pohon yang cukup besar hingga han-
cur berkeping-keping.
"Hiyaaa...!"
Saat itu juga si Perampok Tiga Nyawa yang menge-
nakan baju kuning melompat cepat sambil menge-
butkan kapaknya yang berukuran sangat besar.
Wuk!
"Hih...!"
Ki Satria cepat-cepat menggulirkan tubuhnya ke
samping. Dihindarinya hantaman kapak yang berkila-
tan itu. Kemudian, dengan cepat dia melompat bangkit
berdiri sambil mendekap dadanya yang terasa begitu
sesak.
"Yeaaah...!"
Belum lagi pijakan kaki Ki Satria sempurna, datang
lagi serangan berupa tendangan kaki kiri dari si Pe-
rampok Tiga Nyawa yang mengenakan baju merah.
Kembali Ki Satria masih bisa menghindar dengan men-
gegoskan tubuhnya ke kanan. Namun, begitu kaki ka-
nan salah seorang dari si Perampok Tiga Nyawa itu te-
rayun cepat sambil memutar ke arah lambung, Ki Sa-
tria tidak dapat lagi menghindar. Dan....
Des!
"Akgh...!"
Untuk kedua kalinya Ki Satria terpekik. Kembali
dia jatuh bergulingan di tanah beberapa kali. Belum
lagi dia sempat bangkit berdiri, si Perampok Tiga Nya-
wa yang mengenakan baju biru sudah mengayunkan
kapaknya dengan deras sekali sambil melompat dan
berteriak keras menggelegar.
"Hiyaaat.:.!"
Wuk!
"Uts...!"
Cepat-cepat Ki Satria menggulirkan tubuhnya ke
samping.
Crab!
Hantaman kapak itu hanya mengenai tanah yang
kosong. Namun, secepat kilat pemuda berbaju merah
itu kembali mengayunkan kapaknya sambil berteriak-
keras menggelegar. Dan, pada saat yang bersamaan
pemuda yang mengenakan baju kuning juga melaku-
kan serangan dengan kapaknya dari arah lain.
"Hup!"
Ki Satria cepat-cepat melompat menghindari dua
serangan yang datang secara bersamaan itu. Tapi begi-
tu berada di udara, mendadak pemuda yang mengena-
kan baju biru mengebutkan tangan kanannya. Saat itu
juga terlihat serbuk berwarna kuning tersebar lang-
sung ke wajah Ki Satria. Begitu cepat serangan kali ini,
sehingga ki Satria tidak sempat lagi menghindarinya.
"Ukgh...!"
Ki Satria langsung terhuyung dan terbatuk. Wa-
jahnya seketika membiru. Serbuk racun yang ditebar-
kan si Perampok Tiga Nyawa yang berbaju biru itu
langsung merasuk ke dalam hidung Ki Satria dan terus
merembes dengan cepat ke dalam dada. Napas Ki Sa-
tria terasa bagai tersumbat batu yang sangat besar.
"Ugkh! Ugkh...!"
Ki Satria semakin terhuyung, lalu tubuhnya am-
bruk menggelepar di tanah. Mulut, hidung, dan telin-
ganya mulai kelihatan mengeluarkan darah. Dia terus
menggelepar sambil mengerang meregang nyawa, hing-
ga akhirnya diam tak bergerak-gerak lagi. Seluruh tu-
buh lelaki tua itu langsung membiru. Dan, darah terus
bercucuran keluar dari mulut, hidung, dan telinganya.
Sementara itu Nyai Wandari masih berdiri mema-
tung sambil terus memandang ke dalam Jurang Setan
yang selalu berkabut itu. Dia kini sudah didampingi Ki
Rahun dan dua puluh orang pengawalnya, yang semu-
anya menyandang golok terhunus di tangan kanan.
"Ayo, Nyai. Kita cepat tinggalkan tempat ini," ajak
Ki Rahun.
Sebentar Nyai Wandari memandangi Ki Rahun. Ta-
pi, wanita cantik itu tampaknya sama sekali belum ta-
hu bahwa laki-laki di hadapannya ini telah mengkhia-
natinya. Kemudian Nyai Wandari segera melangkah
menjauhi bibir jurang diikuti para pengawalnya. Se-
dangkan Ki Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa hanya
diam memandang dengan bibir mengulum senyum.
Keempat lelaki itu terus memperhatikan Nyai Wandari,
Ki Rahun, dan dua puluh orang pengawalnya yang se-
makin jauh meninggalkan tempat ini.
"Bagaimana sekarang, Ki?" tanya si Perampok Tiga
Nyawa yang mengenakan baju merah.
'Tunggu sampai mereka jauh dulu. Aku tidak ingin
Nyai Wandari mengetahui rencanaku. Juga Ki Rahun
itu. Dia bisa berbahaya nantinya," sahut Ki Laksa.
"Ternyata tidak sulit, Ki. Tidak perlu mengerahkan
orang-orang kita," kata si Perampok Tiga Nyawa yang
berbaju merah lagi.
"He he he...!" Ki Laksa hanya terkekeh-kekeh.
"Ayo...."
Nyai Wandari, Ki Rahun, dan dua puluh orang
pengawalnya terus bergerak cepat menerobos lebatnya
hutan. Dan, tidak ada seorang pun yang tahu kalau Ki
Laksa dan si Perampok Tiga Nyawa terus membuntuti
dari jarak yang cukup jauh. Akhirnya, sampailah me-
reka di gua tempat penyimpanan senjata. Ki Rahun se-
gera membuka pintu gua yang terbuat dari batu. Me-
reka cepat-cepat masuk ke dalam gua itu. Kemudian,
begitu pintu ditutup, Ki Laksa dan si Perampok Tiga
Nyawa muncul di sana.
"Bagaimana, Ki?" tanya si Perampok Tiga Nyawa
yang mengenakan baju biru.
"Hancurkan gua itu," perintah Ki Laksa.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang pe-
muda yang dikenal dengan julukan si Perampok Tiga
Nyawa itu langsung melepaskan pukulan-pukulan ja-
rak jauh yang begitu dahsyat. Tak pelak lagi, gua itu
pun tak lama kemudian hancur seiring dengan terden-
garnya ledakan-ledakan dahsyat menggelegar yang
menggetarkan bumi.
"Ha ha ha...!" Ki Laksa tertawa terbahak-bahak me-
lihat gua itu telah hancur tak berbentuk lagi.
TIGA
Glarrr!
"Oh...?!"
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu tersentak kaget ketika tiba-tiba terdengar
ledakan keras menggelegar, Lamunannya buyar saat
itu juga. Dia segera menengadahkan kepalanya ke
atas. Tampak langit begitu kelam, tersaput awan hitam
yang menggumpal tebal. Gadis itu kemudian kembali
memandangi reruntuhan puing rumah di depannya.
"Ayah, Ibu.... Walaupun bukan aku yang melaku-
kannya, kini sakit hatimu sudah terbalas. Tapi aku
masih punya satu persoalan. Aku belum bisa menda-
patkan keris pusaka mu. Aku janji, Ayah. Aku akan
mendapatkan keris itu."
Gadis berbaju putih dan compang-camping penuh
tambalan itu berkata-kata dengan suara yang terden-
gar pelan sekali. Dan, tanpa disadari, setitik air bening
menitik keluar dari sudut matanya. Tapi, cepat dia
menyadari, lalu cepat-cepat menghapus air matanya
dengan punggung tangan. Sebentar kemudian kakinya
mulai bergerak melangkah mendekati reruntuhan
puing rumah di depannya ini. Namun, baru beberapa
langkah dia berjalan, mendadak...
Srek!
"Heh...?!"
Cepat dia berhenti dan langsung memutar tubuh-
nya ketika tiba-tiba terdengar suara gemerisik dari
arah belakang. Saat itu, terlihat sebuah bayangan ber-
kelebat cepat menyelinap di antara lebatnya pepoho-
nan yang menghitam kelam.
"Hup...!"
Begitu cepat dan ringan gerakannya saat melompat. Dan, tahu-tahu gadis itu sudah berada di atas ca-
bang pohon yang cukup tinggi. Saat itu sekilas dia me-
lihat kembali sebuah bayangan berkelebat tidak jauh
darinya.
"Hup!"
Kembali dia melompat turun dan langsung melu-
ruk deras ke arah menghilangnya bayangan itu. Sete-
lah sedikit ujung jari kakinya menyentuh tanah, kem-
bali tubuhnya melenting tinggi ke udara. Beberapa kali
dia melakukan putaran di udara, lalu dengan manis
sekali meluruk deras begitu melewati atas kepala se-
seorang yang berlari cepat menyelinap di antara pepo-
honan.
"Berhenti kau...!"
Tanpa menimbulkan suara sedikit pun, gadis ber-
baju putih compang-camping dan penuh tambalan itu
menjejakkan kakinya pada jarak setengah batang tom-
bak dari seorang laki-laki setengah baya. Gadis berba-
ju putih compang-camping dan penuh tambalan yang
tak lain adalah si Dewi Beruang Putih itu tampak me-
nyipitkan kelopak matanya saat memperhatikan laki-
laki setengah baya di depannya.
"Siapa kau, Kisanak? Kenapa kau memata-matai
ku?" tegur Dewi Beruang Putih.
Suara gadis itu terdengar dingin dan datar. Tata-
pan matanya yang begitu tajam menembus langsung
ke bola mata lelaki di hadapannya yang kelihatan agak
memerah. Sedangkan laki-laki setengah baya yang
mengenakan baju kuning agak ketat itu beberapa saat
terdiam. Tampak dia memindahkan tongkat kayunya
dari tangan kanan ke tangan kiri. Lalu dua tindak dia
melangkah ke depan. Sinar matanya yang memerah
terlihat begitu tajam membalas tatapan mata si Dewi
Beruang Putih.
"Seharusnya aku yang bertanya padamu, Nisanak.
Untuk apa kau datang dan memperhatikan bekas ru-
mah Ki Satria...?" ujar laki-laki setengah baya itu den-
gan nada suara yang terdengar dingin sekali.
"Heh...?! Siapa kau ini sebenarnya, Kisanak?" balas
si Dewi Beruang Putih yang tampak terkejut.
"Orang-orang selalu memanggilku Ki Gaduk..."
"Paman Gaduk..?!" desis Dewi Beruang Putih, lang-
sung memutuskan ucapan laki-laki setengah baya itu.
"Heh...?!"
Kali ini laki-laki setengah baya yang memper-
kenalkan dirinya dengan nama Ki Gaduk itulah yang
terperanjat, saat gadis berpakaian pengemis itu me-
nyebutnya paman. Dia langsung memperhatikan gadis
didepannya ini dalam-dalam, seakan-akan mencari se-
suatu pada diri gadis berpakaian pengemis ini.
"Oh...! Kau... kau pasti sudah tidak mengenaliku
lagi, Paman. Lima belas tahun memang bukan waktu
yang pendek," kata si Dewi Beruang Putih dengan nada
suara yang terdengar agak mendesah.
"Nisanak, siapa kau ini?" tanya Ki Gaduk, yang
tampak penasaran.
"Paman, aku... aku Intan, Paman. Intan Kumala...,"
jawab Dewi Beruang Putih, agak tersendat.
"Intan Kumala...?!"
Ki Gaduk tampak semakin terperanjat saat gadis
itu memperkenalkan dirinya. Dia sampai menarik ka-
kinya ke belakang tiga langkah. Dan, kelopak matanya
terlihat menyipit memperhatikan gadis berpakaian
pengemis di depannya ini. Kelihatannya lelaki tua ini
tidak percaya kalau gadis itu bernama Intan Kumala.
"Tidak...," desis Ki Gaduk kemudian sambil meng-
geleng-gelengkan kepalanya.
"Aku benar-benar Intan, Paman. Intan Kumala...,
putri tunggal Ki Satria dan Nyai Wandari," selak si De-
wi Beruang Putih, mencoba meyakinkan.
"Tidak.... Intan Kumala sudah mati...," desis Ki Ga-
duk sambil terus menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Oh..., kenapa kau menyangka begitu, Paman?" ke-
luh Dewi Beruang Putih. "Kenapa semua orang me-
nyangka aku sudah mati? Padahal aku masih hidup,
walaupun...."
Dewi Beruang Putih tidak melanjutkan kata-
katanya. Dia memandangi Ki Gaduk dalam-dalam. Ga-
dis itu ingat, Ki Gaduk adalah salah seorang pengawal
yang ikut dengan ibunya ketika Ki Laksa dan si Pe-
rampok Tiga Nyawa menghancurkan rumah ayahnya.
Dia juga tahu, Ki Laksa telah mengambil alih kedudu-
kan Ki Satria sebagai orang kepercayaan kerajaan yang
bertugas mengantar barang-barang berharga ataupun
mengawal anggota keluarga istana dan para pembesar
lainnya. Gadis itu pun masih ingat, bukan hanya Ki
Gaduk, melainkan masih ada dua puluh orang lagi
yang bersama dengan Nyai Wandari ketika itu.
"Aku tahu, memang tidak mudah untuk memper-
cayai ku begitu saja. Aku memang tidak mungkin bisa
meyakinkanmu bahwa aku benar-benar Intan Kumala.
Tidak mengapa, Paman. Aku tidak menyalahkanmu.
Tapi aku akan membuktikan kalau aku adalah Intan
Kumala, putri tunggal Ki Satari," kata Dewi Beruang
Putih dengan nada suara agak tertahan.
Setelah berkata demikian, Dewi Beruang Putih
memutar tubuhnya berbalik, lalu segera melangkah
pergi dengan ayunan kaki perlahan-lahan. Sedangkan
Ki Gaduk masih tetap diam memandangi. Entah apa
yang ada di dalam kepalanya saat itu. Bahkan dia ma-
sih tetap berdiri diam mematung walaupun si Dewi Be-
ruang Putih yang mengaku bernama Intan Kumala su-
dah tidak terlihat lagi, tertelan pekatnya malam ya
dingin ini.
"Oh, benarkah dia Intan Kumala...?" desah Ki Gaduk perlahan, bertanya-tanya pada dirinya sendiri.
***
Entah berapa lama Ki Gaduk berdiri diam mema-
tung di dalam gelapnya malam. Kemudian dia memu-
tar tubuhnya dan cepat berlari sambil mengerahkan
ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai tingkat
tinggi. Begitu cepatnya dia berlari, sehingga sebentar
saja sudah jauh. Dan Ki Gaduk terus berlari menem-
bus lebatnya hutan. Dia tampak sudah mengenali dae-
rah hutan ini. Tidak ada sedikit pun halangan baginya,
meski malam begitu pekat dan bulan tersaput awa hi-
tam yang tebal menggumpal.
Cras!
Glarrr!
Sesekali terlihat cahaya kilat menyambar di angka-
sa, disertai dengan ledakan guntur menggelegar bagai
hendak membelah alam. Namun, Ki Gaduk terus ber-
lari semakin jauh masuk ke dalam hutan. Dia baru
berhenti setelah sampai di depan sebuah bangunan
cukup besar yang dikelilingi pagar tinggi dari balok-
balok kayu bulat. Di depan pintu, terlihat dua orang
laki-laki berusia sekitar dua puluh lima tahun. Mereka
masing-masing membawa tombak dan golok yang ter-
selip di pinggang. Salah seorang langsung membuka
pintu begitu melihat Ki Gaduk.
"Jangan biarkan siapa pun masuk," pesan Ki Ga-
duk saat melewati dua orang penjaga pintu itu.
"Baik, Ki," sahut mereka bersamaan.
Salah seorang penjaga cepat-cepat menutup pintu
setelah Ki Gaduk berada di dalam. Pada saat itu juga,
dari balik sebatang pohon muncul seorang gadis ber-
pakaian putih penuh tambalan dan compang-camping.
Dari pakaiannya, jelas dia adalah si Dewi Beruang Putih. Rupanya dia mengikuti Ki Gaduk sampai ke tem-
pat yang menyerupai sebuah benteng ini. Dengan ayu-
nan kaki yang ringan dan tenang, dia melangkah men-
dekati pintu yang dijaga dua orang pemuda itu.
"Berhenti...!" bentak salah seorang pemuda itu
sambil menyilangkan tombaknya di depan dada.
"Biarkan aku masuk ke dalam!" desis si Dewi Be-
ruang Putih, dingin.
"Tidak ada seorang pun yang diperbolehkan ma-
suk," sahut salah seorang penjaga itu, tegas.
"Hm, kenapa...?"
"Itu perintah dari Ki Gaduk. Dan sebaiknya kau
cepat tinggalkan tempat ini."
Dewi Beruang Putih menyipitkan kelopak matanya.
Dipandanginya dua orang pemuda penjaga pintu itu.
Dan, tiba-tiba....
"Hih!"
Cepat sekali dia melompat sambil mengebutkan
kedua tangannya secara bergantian. Begitu cepat ge-
rakannya, sehingga dua orang pemuda itu tampak ter-
henyak. Dan, sebelum mereka bisa berbuat sesuatu
tahu-tahu....
"Hegkh!"
"Ugkh...!"
Kedua pemuda itu langsung jatuh tersuruk begitu
terkena totokan halus di bagian dada sebelah kiri. Se-
dangkan Dewi Beruang Putih berdiri tegak di depan
pintu. Dia hanya melirik sedikit pada dua orang pemu-
da penjaga pintu yang menggeletak tak sadarkan diri
setelah jalan darahnya tertotok.
"Kalian tidak akan bersikap begitu kalau tahu sia-
pa aku," desis Dewi Beruang Putih.
Kemudian gadis berpakaian compang-camping
mendorong pintu yang terbuat dari gelondongan kayu.
Perlahan-lahan pintu terkuak. Sedikit dia menjulurkan
kepalanya melongok ke dalam. Setelah yakin tidak ada
seorang pun yang terlihat, cepat dia melompat masuk
ke dalam. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya,
mendadak bermunculan orang-orang bersenjata tom-
bak dan golok. Dan, sebentar saja Dewi Beruang Putih
sudah terkepung oleh tidak kurang dari tiga puluh
orang yang masih muda-muda.
"Hm...."
Dewi Beruang Putih hanya menggumam perlahan.
Dia mengedarkan pandangannya berkeliling. Diraya-
pinya orang-orang yang telah rapat mengepungnya
dengan senjata masing-masing terhunus di tangan.
Kemudian pandangannya tertuju ke arah sebuah ban-
gunan rumah besar yang terbuat dari kayu. Tampak di
beranda depan rumah yang sangat besar berdiri seo-
rang wanita berusia setengah baya. Di samping wanita
itu, berdiri pula seorang laki-laki berbaju kuning yang
dikenal oleh Dewi Beruang Putih sebagai Ki Gaduk.
Walaupun sudah berusia setengah baya, garis-garis
kecantikan masih terlihat jelas pada raut wajah wanita
itu. Wanita cantik setengah baya itu kemudian me-
langkah perlahan dengan anggun sekali keluar dari be-
randa. Ki Gaduk pun mengikuti dari belakang.
Dewi Beruang Putih memandangi wajah wanita se-
tengah baya yang masih kelihatan cantik. Kemudian
pandangannya berpindah ke beranda. Di situ terlihat
seorang gadis berdiri tidak jauh dari pintu. Gadis itu
tampak amat cantik, dengan baju biru muda ketat,
yang membentuk lekuk-lekuk tubuhnya yang ramping
dan indah. Tampak pula sebilah pedang berukuran
panjang tergantung di pinggangnya yang ramping.
Sementara itu, Ki Gaduk dan wanita setengah baya
itu sudah sampai begitu dekat di depan Dewi Beruang
Putih. Jarak mereka tinggal sekitar enam langkah. Se-
dangkan sekitar tiga puluh orang bersenjata tombak
dan golok masih tetap mengepung dengan sikap siap
menerima perintah. Tak ada seorang pun yang mem-
buka suara. Suasana pun menjadi hening dan begitu
mencekam. Detak-detak jantung begitu terasa jelas
terdengar.
Entah kenapa, sorot mata Dewi Beruang Putih dan
wanita setengah baya yang cantik itu saling bertemu.
Mereka sama-sama merasakan adanya getaran di da-
lam dada. Dan, getaran itu semakin lama semakin ber-
tambah kuat. Kedua wanita itu terus terpaku dari
mematung diam. Cukup lama juga keduanya berpan-
dangan, seperti tengah berbicara di antara hati mas-
ing-masing.
"Kau yang mengaku bernama Intan Kumala...?
Wanita setengah baya yang masih kelihatan cantik itu
terlebih dulu tersadar. Dia langsung bertanya dengan
suara yang agak tertekan.
"Aku memang Intan Kumala," sahut Dewi Beruang
Putih.
'Terus terang, aku memang kehilangan seorang
anak perempuan lima belas tahun yang lalu. Dan ka-
lau memang masih hidup, dia tentu sudah sebesar mu.
Tapi aku ingin bukti kalau kau benar-benar Intan Ku-
mala," kata wanita itu, tegas.
Dewi Beruang Putih langsung terdiam. Dia memang
tidak mempunyai bukti satu pun yang bisa menunjuk-
kan bahwa dirinya adalah Intan Kumala, putri tunggal
Ki Satria. Tapi di dalam hatinya dia merasa yakin ka-
lau wanita yang berdiri di depannya ini adalah ibunya,
ibu kandungnya yang sudah lima belas tahun terpisah.
Ingin rasanya dia bersimpuh dan memeluk kaki wanita
di hadapannya ini. Tapi, karena sikap wanita itu jelas
sekali menunjukkan keragu-raguan, Dewi Beruang Pu-
tih harus menahan rasa kerinduan selama lima belas
tahun ini.
"Nisanak, kalau kau memang anakku Intan Kuma-
la, kau pasti tahu nama ayah dan ibumu," kata wanita
setengah baya itu lagi, yang jelas hendak menguji.
"Ayahku bernama Ki Satria. Sedangkan ibuku Nyai
Wandari," sahut Dewi Beruang Putih, tegas.
"Lalu, bagaimana kau bisa sampai terpisah dari
kedua orang tuamu?"
"Ayah dikhianati oleh Paman Laksa yang dibantu
Perampok Tiga Nyawa. Ayah tewas dalam pertarungan,
sedangkan aku tidak tahu bagaimana nasib ibuku, se-
telah aku terlempar masuk ke dalam Jurang Setan.
Hanya itu yang aku ingat," jelas Dewi Beruang Putih
dengan singkat.
Wanita setengah baya yang tak lain memang Nyai
Wandari itu hanya bisa menggigit-gigit bibirnya men-
dengar penuturan gadis berpakaian pengemis itu. Dan
tampak jelas kedua bola matanya berkaca-kaca. Degup
detak jantungnya begitu jelas terdengar. Sedangkan ta-
rikan nafasnya juga begitu kuat memburu. Di hada-
pannya, Dewi Beruang Putih tetap berdiri diam me-
mandangi dengan perasaan yang tidak menentu.
"Apa yang kau katakan memang benar, Nisanak.
Tapi apakah kau tahu kalau ada seorang lagi yang
berkhianat?" tanya Nyai Wandari lagi.
Dewi Beruang Putih hanya menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia memang tidak tahu kalau masih ada
satu orang lagi yang mengkhianati ayahnya. Yang dia
tahu, hanya Ki Laksa yang berkhianat. Dan, lelaki itu
telah merebut kedudukan Ki Satria menjadi orang ke-
percayaan kerajaan.
"Seorang lagi telah berkhianat dan mencuri senjata
pusaka suamiku. Itu sebabnya, kenapa suamiku sam-
pai mudah dikalahkan. Nisanak, jika kau memang be-
nar Intan Kumala, aku hanya ingin bukti lewat pusaka
itu. Kalau kau bisa membawa pusaka itu padaku, kau
memang anakku yang hilang lima belas tahun lalu,"
kata Nyai Wandari, dengan suara agak tersendat.
Dewi Beruang Putih hanya diam memandangi. Dia
tahu, pusaka apa yang dimaksudkan wanita setengah
baya ini. Dan dia juga tahu, siapa yang memegangnya
sekarang. Inilah yang membuatnya diam terpaku. Dia
justru mencari wanita ini karena ingin merebut kem-
bali Keris Naga Emas dari tangan Pendekar Pulau Ne-
raka. Tapi sekarang wanita yang diyakini sebagai
ibunya ini malah memintanya untuk membawa Keris
Naga Emas kepadanya.
Dewi Beruang Putih tidak bisa lagi berbicara. Dia
harus membawa Keris Naga Emas agar bisa berkumpul
kembali dengan ibu kandungnya ini. Tanpa berkata-
kata sedikit pun, dia memutar tubuhnya dan langsung
melangkah keluar dari bangunan besar berbentuk ben-
teng pertahanan ini. Dua orang pemuda yang meme-
gang senjata tombak cepat-cepat membuka pintu ger-
bang.
Dewi Beruang Putih terus melangkah keluar tanpa
berpaling lagi sedikit pun. Sedangkan Nyai Wandari
yang terus didampingi Ki Gaduk masih berdiri me-
mandangi sampai pintu gerbang ditutup kembali.
"Gaduk...," kata Nyai Wandari pelan sekali.
"Iya, Nyai," sahut Ki Gaduk.
"Kau ikuti dia. Dan bantu sebisa mu untuk men-
dapatkan Keris Naga Emas," ujar Nyai Wandari, mem-
beri perintah.
'Tapi, Nyai...," kata Ki Gaduk, seperti hendak meno-
lak
"Gaduk, perasaanku mengatakan, dia memang In-
tan Kumala," selak Nyai Wandari, memotong cepat.
"Ikuti dia, jangan sampai ketahuan."
"Baik, Nyai," sahut Ki Gaduk, tidak bisa memban-
tah lagi.
Nyai Wandari bergegas memutar tubuhnya dan me-
langkah cepat-cepat ke rumah besar tempat tinggalnya
selama ini. Dia berhenti setelah sampai di depan pintu.
Sedikit dia melirik pada seorang gadis cantik yang se-
jak tadi berdiri saja di samping pintu. Gadis itu juga
memandangnya dengan sinar mata yang begitu sukar
diartikan.
"Bu..., benarkah aku masih punya kakak...?" ujar,
gadis itu, ragu-ragu.
"Ayo masuk, Ibu ceritakan semuanya di dalam? ka-
ta Nyai Wandari.
'Tapi, benarkah aku masih punya kakak, Bu?' de-
sak gadis itu.
Nyai Wandari tersenyum, lalu merengkuh bahu ga-
dis itu. Mereka kemudian melangkah masuk ke dalam
rumah yang berukuran besar dan terbuat dari kayu
ini. Keduanya duduk di balai-balai dari bambu yang
beralaskan permadani lembut berwarna biru muda.
Dengan tutur kata yang lembut dan perlahan-lahan,
Nyai Wandari kemudian menceritakan semua peristiwa
yang terjadi lima belas tahun yang lalu, di saat dia ten-
gah mengandung sekitar dua bulan. Gadis cantik itu
tampak mendengarkan dengan penuh perhatian. Sedi-
kit pun dia tidak menyelak sampai Ny Wandari selesai
dengan ceritanya.
Lama juga kedua wanita itu terdiam. Gadis cantik
berbaju biru muda itu masih tetap diam, meskipun
ibunya sudah tidak bercerita lagi. Dia memandangi wa-
jah yang sudah mulai keriput itu dalam-dalam. Entah
apa yang dirasakannya saat ini setelah mendengar se-
mua cerita menyedihkan yang terjadi lima belas tahun
lalu itu.
"Begitulah ceritanya, Rara Anting. Sampai sekarang
ini aku tidak tahu, bagaimana nasib kakakmu,” kata
Nyai Wandari agak mendesah, setelah cukup lama
berdiam diri.
"Bu, apa mungkin Kak Intan Kumala masih bisa
hidup di dalam Jurang Setan...?" tanya gadis cantik
yang dipanggil Rara Anting itu, dengan suara yang pe-
lan sekali dan terdengar ragu-ragu.
"Entahlah, Anakku. Belum pernah aku mendengar
ada orang yang bisa hidup setelah jatuh ke dalam Ju-
rang Setan," sahut Nyai Wandari, mendesah perlahan.
'Tapi, siapa gadis itu tadi, Bu?" tanya Rara Anting,
terus mendesak.
"Aku tidak tahu, Rara Anting. Tapi dia mengaku
sebagai Intan Kumala."
"Ibu percaya?"
Nyai Wandari hanya menggeleng-gelengkan kepa-
lanya. Bibirnya terlihat mengukir sebuah senyum. Ta-
pi, terasa getir sekali senyum itu. Perlahan-lahan me-
malingkan kepalanya, lalu menatap keluar melalui
jendela yang dibiarkan terbuka lebar. Raut wajahnya
terlihat menyiratkan kedukaan yang begitu dalam. Ra-
ra Anting beringsut mendekati dan langsung memeluk
bahu ibunya.
"Bu..., aku senang sekali kalau Kak Intan masih
hidup," ujar Rara Anting, berbisik pelan.
"Aku juga berharap begitu, Anting. Siang malam
aku selalu memohon pada Hyang Widi untuk melin-
dungi Intan Kumala dan mempertemukan aku den-
gannya kembali," sahut Nyai Wandari, yang juga berbi-
sik pelan.
"Jika Ibu mengizinkan, aku akan mencarinya," kata
Rara Anting.
Nyai Wandari langsung menatap dalam-dalam ke
bola mata anak gadisnya ini. Terlihat jelas adanya ke-
sungguhan pada sinar mata Rara Anting. Nyai Wandari
tidak dapat lagi mengendalikan diri. Dia langsung me-
narik gadis itu dan merengkuhnya ke dalam pelukan.
Tak dapat lagi dia menahan air matanya yang jatuh
menitik. Sedangkan Rara Anting hanya diam saja, ti-
dak tahu harus berbuat apa lagi. Dia takut kalau uca-
pannya tadi membuat hati ibunya terluka.
Lama juga Nyai Wandari memeluk putrinya. Kemu-
dian perlahan-lahan dia melepaskan pelukannya dan
memandangi wajah Rara Anting begitu dalam. Dengan
punggung tangannya dia menyeka air mata yang men-
galir membasahi pipinya.
"Dunia luar begitu kejam, Anakku. Sedangkan
bekal yang kau miliki belum cukup untuk mengarungi
ganasnya rimba belantara," kata Nyai Wandari, agak
tersendat.
'Tapi, Bu...."
"Aku sudah memerintahkan Paman Gaduk untuk
mencari keterangan tentang kakakmu. Sebaiknya kau
di sini saja bersamaku, Anting. Tidak ada lagi yang aku
miliki sekarang ini selain kau," selak Nyai Wandari, ce-
pat-cepat memotong ucapan putrinya.
"Bu, orang-orang mungkin masih ada yang menge-
nali Paman Gaduk. Tapi tidak ada seorang pun yang
bisa mengenaliku. Izinkan aku mencari kak Intan,
Bu...," rengek Rara Anting.
"Jangan, Anting.... Aku tidak mau kehilangan mu."
"Aku janji, Bu. Hanya satu pekan saja. Setelah itu,
aku tidak akan keluar dari tempat ini. Berikan aku ke-
sempatan, Bu. Aku akan mencari tahu kabar Kak In-
tan," desak Rara Anting.
Nyai Wandari terdiam. Memang sulit baginya untuk
mencegah Rara Anting jika gadis itu sudah mengingin-
kan sesuatu. Gadis ini memang keras. Dan, wataknya
yang keras ini mengingatkan Nyai Wandari pada men-
diang suaminya. Agaknya, tidak ada sedikit pun yang
terbuang dari watak-watak Ki Satria pada diri Rara
Anting…
"Baiklah...," desah Nyai Wandari, mengalah.
"Oh, terima kasih, Bu...," ucap Rara Anting sambil
langsung memeluk wanita yang melahirkannya ini.
"Tapi ingat, Anting. Satu pekan saja. Setelah itu
kau jangan keluar lagi dari tempat ini," pesan Nyai
Wandari, mengingatkan.
"Aku janji, Bu. Satu pekan saja," sahut Rara Anting
dengan gembira.
"Dan sebaiknya pula kau membawa teman," usul
Nyai Wandari.
"Untuk apa...?"
"Bekalmu belum cukup, Anting."
'Tapi, di antara yang lain, aku tidak pernah terka-
lahkan, Bu. Mereka semua masih berada di bawah ke-
pandaianku. Hanya Paman Gaduk dan Ibu yang tidak
bisa aku kalahkan," tolak Rara Anting, tegas.
"Hhh...!"
Nyai Wandari hanya menghembuskan napas pan-
jang. Memang sulit baginya untuk bisa berdebat den-
gan Rara Anting. Gadis itu tidak akan mau mengubah
pendiriannya. Kalau sudah mengatakan sesuatu, se-
lamanya dia tidak akan mengubah atau menarik lagi
ucapannya. Nyai Wandari pun tidak bisa lagi mende-
sak. Dia hanya bisa berpesan agar anak bungsunya ini
berhati-hati, karena akan sangat banyak rintangan
dan bahaya yang akan dihadapinya, di alam bebas
nanti.
***
LIMA
Intan Kumala duduk memeluk lutut sambil me-
mandang ke arah Desa Gebang dari atas ketinggian
bukit batu. Angin yang bertiup kencang sore ini mem-
buat rambutnya yang dibiarkan meriap melambai-
lambai mengganggu penglihatannya. Tapi, gadis yang
dikenal selalu menggunakan nama Dewi Beruang Putih
itu tetap diam tak bergeming sedikit pun. Kedua ma-
tanya tidak berkedip memandang lurus ke arah Desa
Gebang, desa tempatnya dilahirkan.
Tring!
"Heh...?! Apa itu...?"
Intan Kumala terhenyak kaget ketika tiba-tiba te-
linganya mendengar dentingan halus. Cepat dia terlon-
jak bangkit berdiri. Sebentar dia menengadahkan ke-
palanya sedikit. Dicobanya untuk mendengarkan lebih
jelas lagi suara yang membuatnya terkejut tadi.
"Suara pertarungan...," gumamnya, perlahan.
Beberapa saat Intan Kumala mencoba menen-
tukan arah datangnya suara yang didengarnya baru-
san. Kemudian tubuhnya melesat begitu cepat bagai
kilat. Sungguh ringan gerakannya, bagaikan daun ker-
ing tertiup angin. Dewi Beruang Putih terus berlari ce-
pat disertai ilmu meringankan tubuhnya menuruni le-
reng bukit batu ini. Begitu ringan dan cepat larinya,
sehingga kedua telapak kakinya bagaikan tidak me-
nyentuh tanah sama sekali. Dan, sebentar saja dia su-
dah sampai di kaki bukit batu ini.
Tampak di sebuah padang rumput yang tidak sebe-
rapa luas, seorang gadis berbaju biru muda tengah
bertarung melawan empat orang laki-laki bertubuh
tinggi kekar yang masing-masing menggunakan senja-
ta berupa golok Gadis itu tampak kewalahan mengha-
dapi serangan-serangan empat orang lawannya.
"Akh...!"
Jelas sekali terlihat gadis itu terpental sambil me-
mekik keras begitu dadanya terkena tendangan salah
seorang lawannya. Dia tersuruk jatuh mencium tanah.
Dan, pada saat itu, seorang lawannya lagi sudah me-
lompat sambil mengibaskan goloknya dengan cepat.
Pada saat itu juga....
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, Intan Kumala cepat me-
lompat. Langsung dia melepaskan satu pukulan keras
disertai dengan pengerahan tenaga dalam yang sudah
mencapai tingkat tinggi. Begitu cepatnya serangan
yang dilakukan Intan Kumala, sehingga laki-laki ber-
tubuh tinggi tegap yang mengenakan baju hitam itu ti-
dak dapat lagi menghindar.
Diegkh!
"Akh...!"
Keras sekali pukulan yang dilontarkan Intan Ku-
mala. Akibatnya, laki-laki berbaju hitam itu terpental
ke belakang sejauh dua batang tombak. Tubuhnya
menghantam tanah dengan keras, lalu bergulingan be-
berapa kali. Tapi, dia cepat melompat bangkit berdiri,
meskipun agak sedikit terhuyung. Sedangkan Intan
Kumala sudah mendarat tepat di samping gadis berba-
ju biru muda yang mulai bergerak bangkit berdiri.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Intan Kumala sambil
berpaling sedikit.
"Hanya dadaku sesak. Terima kasih...," sahut gadis
itu, setelah bisa berdiri kembali.
Tangan kanan gadis berbaju biru muda itu terus
memegangi dadanya yang sesak, akibat terkena ten-
dangan keras bertenaga dalam cukup tinggi dari la-
wannya tadi. Sementara itu, empat laki-laki bertubuh
tinggi tegap dan kekar dengan wajah kasar yang men-
cerminkan kebengisan sudah bergerak mengepung dari
empat arah. Golok-golok mereka bergerak-gerak perla-
han melintang di depan dada.
"Kalau ada kesempatan, menyingkirlah. Biar mere-
ka aku yang tangani," kata Intan Kumala.
Gadis cantik berbaju biru muda itu hanya men-
ganggukkan kepalanya. Dia memang menyadari, tidak
akan mungkin dirinya bisa bertahan lebih lama lagi
kalau meneruskan pertarungan ini. Dadanya yang ter-
kena tendangan keras bertenaga dalam cukup tinggi
tadi masih terasa sangat nyeri dan sesak. Nafasnya
pun tersendat-sendat.
"Sakit..?" tanya Intan Kumala sambil memandangi
gadis di sampingnya ini.
"Iya," sahut gadis itu sambil meringis menahan sa-
kit di dadanya.
Sebentar Intan Kumala memandangi gadis itu. Ke-
mudian, tiba-tiba saja dia bergerak cepat menyambar
pinggang gadis berbaju biru muda itu. Dan, secepat ki-
lat pula dia melompat tinggi ke udara. Begitu cepat
dan ringan gerakannya. Keempat orang pengepung
pun tidak sempat lagi menyadari. Tahu-tahu, Intan
Kumala sudah berada di luar kepungan, lalu segera
menurunkan gadis berbaju biru muda yang berada da-
lam kepitannya. Pada saat itu, keempat orang laki-laki
bertampang kasar dan bengis itu baru menyadari kea-
daan yang terjadi. Dan, mereka langsung berlompatan
hendak mengepung kembali.
"Hiyaaat..!"
Pada saat yang bersamaan, Intan Kumala sudah
begitu cepat bertindak, Sambil melompat dan berteriak
nyaring, gadis yang menjuluki dirinya si Dewi Beruang
Putih itu melontarkan beberapa pukulan secara berun-
tun yang begitu cepat, disertai pengerahan tenaga da-
lam yang tinggi.
Tapi, empat orang laki-laki bertampang kasar itu
memang bukanlah lawan yang sembarangan. Dengan
manis sekali mereka berhasil menghindari serangan
cepat yang dilancarkan Dewi Beruang Putih.
"Hup! Hiya! Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Intan Kumala menjatuhkan tubuh-
nya ke tanah, lalu bergulingan beberapa kali. Dan, be-
gitu melompat bangkit, secepat kilat dia mengibaskan
tangan kanannya dengan cepat sekali sambil memutar
tubuhnya. Tampak rumput-rumput kering, yang dica-
butnya tadi ketika bergulingan, berhamburan bagai
anak-anak panah yang terlepas dari busurnya.
"Hup! Yeaaah...!"
"Hiyaaa...!"
Keempat lawan Dewi Beruang Putih kelabakan se-
tengah mati menghindari rumput-rumput kering yang
berhamburan bagai serbuan anak panah itu. Mereka
mengebutkan goloknya dengan cepat untuk menyam-
pok rumput-rumput yang berubah menjadi senjata
mematikan itu. Dan, pada saat itu pula, Intan Kumala
kembali dengan cepat melentingkan tubuhnya.
"Hiyaaat...!"
Cepat sekali Dewi Beruang Putih melesat. Dan, se-
cepat itu pula dia melepaskan satu pukulan keras
menggeledek disertai pengerahan tenaga dalam yang
tinggi ke arah salah seorang lawannya. Begitu cepat-
nya serangan yang dilancarkan Dewi Beruang Putih
itu, sehingga sulit sekali diikuti dengan pandangan
mata biasa. Dan....
Des!
"Aaakh...!"
"Hiyaaa.,.!"
Begitu berhasil menjatuhkan seorang lawan, Intan
Kumala cepat melompat kembali dan melepaskan satu
tendangan keras bertenaga dalam tinggi pada seorang
lawan lainnya. Sungguh cepat luar biasa gerakan yang
dilakukan Dewi Beruang Putih. Laki-laki tinggi besar
dan berwajah kasar itu pun sulit untuk bisa menghin-
dari lagi.
Begkh!
"Akh...!"
***
Gerakan-gerakan yang dilakukan Intan Kumala
memang sangat sulit diikuti dengan pandangan mata
biasa. Satu persatu dia menjatuhkan lawan-lawannya
hingga berpelantingan sambil memekik keras. Pukulan
serta tendangan yang dilontarkan Dewi Beruang Putih
juga mengandung pengerahan tenaga dalam yang su-
dah mencapai tingkat tinggi. Dan, akibatnya sungguh
luar biasa. Keempat laki-laki berwajah kasar itu lang-
sung terjungkal dan tak mampu bangkit lagi setelah
memperdengarkan erangan kecil.
"Hup...!"
Dengan sekali lesatan saja, Intan Kumala sudah
berada dekat di depan gadis cantik berbaju biru muda.
Sedangkan keempat laki-laki yang mengeroyoknya tadi
sudah tidak ada lagi yang bisa berdiri. Keempat laki-
laki bertubuh besar itu menggeletak tak bergerak-
gerak lagi. Tapi, dari gerakan halus di dada masing-
masing bisa dipastikan mereka masih hidup. Memang,
pukulan serta tendangan yang dilepaskan Intan Kuma-
la tidak sampai mematikan, walaupun disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang tinggi tingkatannya.
Karena, Intan Kumala sengaja tidak melakukannya
pada bagian tubuh yang mematikan. Dia hanya ingin
membuat keempat orang itu tidak sadarkan diri.
"Bagaimana dadamu? Masih sakit...?" tanya Intan
Kumala.
"Sedikit," sahut gadis berbaju biru muda itu.
"Coba aku periksa."
Tanpa menunggu persetujuan gadis itu, si Dewi
Beruang Putih segera menempelkan telapak tangan
kanannya di dada gadis ini. Saat itulah dia menyalur
kan hawa murni, yang membuat dada gadis itu terasa
hangat. Hanya sebentar Intan Kumala menempelkan
telapak tangan kanannya. Dia kemudian melangkah
mundur dan duduk bersila di bawah pohon. Sedang-
kan gadis berwajah cantik yang mengenakan baju biru
muda itu mengambil tempat di depan Dewi Beruang
Putih. Dia merasakan dadanya tidak lagi sesak dan
nyeri.
"Sepertinya aku pernah melihatmu...," kata Intan
Kumala, agak ragu-ragu.
"Memang, kau pernah melihatku di padepokan
ibu," sahut gadis itu.
"Padepokan ibu...?" Intan Kumala menyipitkan ke-
ningnya.
"Kau yang datang kemarin malam," kata gadis itu
lagi.
Intan Kumala langsung terlonjak berdiri begitu te-
ringat bahwa gadis inilah yang dilihatnya di rumah
yang didatanginya kemarin malam. Dia ingat, gadis ini
berdiri di dekat pintu ketika dia sedang berusaha
meyakinkan Nyai Wandari kalau dia adalah anaknya.
"Aku sengaja keluar dari padepokan untuk berte-
mu denganmu, Kak Intan," kata gadis cantik berbaju
biru muda yang tak lain adalah Rara Anting ini.
"Eh...?! Kenapa kau memanggilku Kak Intan...?'
sentak Intan Kumala.
"Aku yakin kalau kau adalah kakakku. Kau adalah
Intan Kumala, kakakku yang hilang lima belas tahu
yang lalu," kata Rara Anting, mantap.
"Siapa namamu?" tanya Intan Kumala.
"Rara Anting."
Intan Kumala memandangi gadis cantik yang se-
sungguhnya baru berusia sekitar lima belas tahu ini.
Tapi, tubuh Rara Anting yang bongsor memang mem-
buatnya tampak sudah berusia lebih dari delapan be
las tahun. Hanya sorot matanya yang masih menam-
pakkan kekanak-kanakannya.
Intan Kumala kembali duduk. Punggungnya di
sandarkan ke batang pohon. Namun, pandangannya
tetap tertuju pada gadis cantik yang masih tetap du-
duk di depannya ini.
"Bagaimana kau bisa begitu yakin bahwa aku ka-
kakmu?" tanya Intan Kumala lagi.
"Waktu itu aku memang belum lahir, Kak. Aku ma-
sih berada di dalam kandungan ibu. Jadi aku bisa
memaklumi kalau kau tidak bisa mengenaliku," jelas
Rara Anting
"Rara Anting, sebaiknya kau kembali saja kepada
ibumu. Tidak ada gunanya kau menemuiku. Ibumu
sendiri tidak mau mengakui aku sebagai anaknya," ka-
ta Intan Kumala, dengan suara agak tertahan.
Dewi Beruang Putih tampak menggigit-gigit bibir-
nya sendiri saat mengatakan bahwa ibunya tidak mau
mengakui dia sebagai anaknya yang hilang lima belas
tahun lalu. Saat itu Rara Anting menggeser duduknya
lebih dekat, sehingga jaraknya hanya tinggal satu
langkah lagi di depan Dewi Beruang Putih.
"Aku akan membantumu mencari pusaka itu, Kak.
Kita akan bersama-sama menyerahkannya kepada
ibu," kata Rara Anting, mantap.
"Tidak..," desah Intan Kumala seraya menggeleng-
gelengkan kepalanya.
"Kenapa tidak..?"
"Kau tidak tahu bahayanya mendapatkan Keris Na-
ga Emas, Rara Anting," kata Intan Kumala. "Keris itu
sekarang berada di tangan orang yang memiliki tingkat
kepandaian sangat tinggi. Aku sendiri belum tentu bisa
memperolehnya dengan mudah. Kecuali, aku bisa
mengalahkannya. Dan itu juga sulit, Rara Anting. Se-
baiknya kau kembali saja ke padepokan. Biar aku sen
diri yang berusaha merebut keris itu, ini persoalanku,
kau tidak perlu melibatkan diri."
'Tapi, Kak..."
"Sudahlah, Rara Anting. Ibumu pasti cemas memi-
kirkan mu. Jangan kau buat ibu menderita lagi. Sudah
terlalu banyak penderitaan yang dialaminya,' potong
Intan Kumala dengan cepat.
Rara Anting tidak bersuara lagi. Entah kenapa, dia
tidak bisa membantah semua ucapan yang dikatakan
oleh Dewi Beruang Putih. Padahal, biasanya dia tidak
mau kalah.
Sementara itu Intan Kumala sudah berdiri lagi. Dia
melangkah beberapa tindak menjauhi Rara Anting.
Pandangannya tertuju lurus ke arah Desa Gebang
yang terlihat begitu kecil dari kaki bukit batu ini.
"Pulanglah, Anting. Masih banyak yang harus aku
kerjakan," kata Intan Kumala tanpa berpaling sedikit
pun.
"Kak...."
Tapi, Intan Kumala sudah melesat begitu cepat,
sehingga Rara Anting tidak sempat lagi meneruskan
kata-katanya. Gadis itu hanya bisa diam. Dipandan-
ginya arah kepergian Dewi Beruang Putih, yang dengan
cepat sekali melesat bagai menghilang tertelan bumi.
"Aku yakin, kau adalah Intan Kumala, Kakakku,”
desah Rara Anting sambil bangkit berdiri.
Sebentar gadis cantik berbaju biru muda itu masih
memandang ke arah kepergian Intan Kumala. Dia ke-
mudian perlahan-lahan mengayunkan kakinya me-
ninggalkan tepian hutan ini. Rara Anting pun terus
berjalan perlahan-lahan. Dan, tanpa disadari dia ju-
stru berjalan menuju ke Desa Gebang.
***
Sementara itu Intan Kumala sendiri sudah berada
di Desa Gebang. Pakaiannya yang compang-camping
dan penuh tambalan tentu saja membuatnya menjadi
perhatian semua orang di desa yang cukup besar ini.
Tapi, Intan Kumala tidak mau peduli. Dia terus men-
gayunkan kakinya perlahan-lahan. Disusurinya jalan
tanah berdebu yang seakan-akan membelah Desa Ge-
bang ini menjadi dua bagian.
Ayunan kaki Dewi Beruang Putih tiba-tiba terhenti
ketika melihat seorang pemuda tampan berbaju kulit
harimau berada di dalam sebuah kedai kecil tidak jauh
dari tempatnya berdiri. Di depan pemuda itu, tampak
duduk seorang gadis cantik yang mengenakan baju
berwarna merah muda. Dan, sebilah gagang pedang
menyembul di punggung gadis itu. Seekor monyet kecil
berbulu hitam terlihat pula duduk nangkring di pinggi-
ran meja. Pada saat itu, pemuda berbaju kulit harimau
yang tak lain adalah Bayu dan lebih dikenal dengan ju-
lukan Pendekar Pulau Neraka itu menoleh ke arah ja-
lan.
Sesaat darah Pendekar Pulau Neraka terkesiap be-
gitu melihat Intan Kumala berada di seberang jalan.
Cepat dia berdiri dari kursinya. Bersamaan dengan itu,
gadis cantik berbaju merah yang berada di depannya
juga melihat ke arah jalan, lalu cepat-cepat berdiri
mengikuti Pendekar Pulau Neraka.
"Sebentar aku kembali," kata Bayu, seraya men-
gambil Tiren dan meletakkan di pundak kanannya. La-
lu, bergegas dia keluar dari kedai.
Intan Kumala, yang melihat Pendekar Pulau Nera-
ka melangkah menghampirinya, segera mengayunkan
kakinya cepat-cepat. Dia langsung menyeruak di anta-
ra kerumunan banyak orang yang hampir memadati
jalan tanah berdebu ini. Sedangkan Bayu terus berja-
lan cepat dengan langkahnya yang lebar-lebar menge
jar gadis berbaju compang-camping itu. Dan, di bela-
kangnya tampak Ratna Wulan mengikuti.
"Nisanak, tunggu...!" seru Bayu seraya memperce-
pat langkahnya.
Namun, Intan Kumala malah semakin memperce-
pat langkah. Bahkan, kini dia berlari menghindari ke-
jaran Pendekar Pulau Neraka. Tanpa berpikir panjang
lagi, Bayu pun segera berlari semakin cepat. Tapi keti-
ka sampai di perbatasan desa sebelah Timur, Bayu ke-
hilangan gadis berpakaian pengemis yang dikejarnya
itu. Dewi Beruang Putih tiba-tiba saja menghilang sete-
lah melawan perbatasan Desa Gebang ini.
"Hhh! Ke mana dia...?" keluh Bayu sambil meng-
hentikan langkahnya.
Pendekar Pulau Neraka mengedarkan pandangan-
nya berkeliling. Tapi, tetap saja dia tidak melihat Dewi
Beruang Putih. Bahkan, bayangannya gadis itu pun ti-
dak terlihat sama sekali. Intan Kumala benar-benar
seperti lenyap tertelan bumi. Sementara itu, Ratna Wu-
lan sudah berada di samping pemuda berbaju kulit ha-
rimau ini.
"Sudahlah, Kakang. Tidak perlu kau bersusah
payah mencari dia," kata Ratna Wulan.
Bayu tidak menyahut. Dia terus mengedarkan
pandangannya berkeliling. Tapi, si Dewi Beruang Putih
benar-benar lenyap begitu saja seperti tertelan bumi di
perbatasan sebelah Timur Desa Gebang ini.
"Kau pasti terpengaruh oleh cerita perempuan tua
di kedai kemarin, Kakang," kata Ratna Wulan lagi.
"Hampir semua orang di Desa Gebang ini bilang,
anak gadis Ki Satria lima belas tahun lalu jatuh terce-
bur ke dalam Jurang Setan. Bukan hanya perempuan
tua yang aneh itu saja yang bilang, Wulan," kata Bayu'.
'Tapi...."
"Aku yakin, dia memang Intan Kumala, yang lima
belas tahun lalu tercebur ke dalam Jurang Setan," po-
tong Bayu cepat.
Ratna Wulan tidak bisa bicara lagi. Dia tahu, Pen-
dekar Pulau Neraka sudah merasa pasti bahwa si Dewi
Beruang Putih adalah Intan Kumala, gadis yang sudah
dicarinya selama ini. Dan, gadis itulah satu-satunya
pewaris Keris Naga Emas, yang diserahi oleh Ki Rahun
dulu kepada Bayu (Baca serial Pendekar Pulau Neraka
dalam kisah 'Tiga Pengemis Sakti’).
"Kalau ternyata bukan dia pewarisnya, apa kau
akan terus mencari pewaris Keris Naga Emas yang se-
benarnya, Kakang?" tanya Ratna Wulan, ingin kepas-
tian.
"Aku tidak bisa mengabaikan pesan orang yang su-
dah meninggal, Wulan. Sampai kapan pun, aku akan
tetap mencari pewaris Keris Naga Emas. Bahkan kalau
perlu aku akan berusaha mencari istri Ki Satria, yang
belum kita ketahui nasibnya sampai saat ini. Sahut
Bayu, tegas.
Trek!
Tiba-tiba saja terdengar suara ranting patah terin-
jak. Bayu cepat memutar tubuhnya. Ratna Wulan
mengikuti gerak Pendekar Pulau Neraka. Dan, mereka
langsung terkejut begitu melihat si Dewi Beruang Putih
tahu-tahu sudah berdiri di atas punggung seekor
ruang putih raksasa.
***
ENAM
"Hup!"
Dengan gerakan yang begitu ringan dan indah, si
Dewi Beruang Putih melompat turun dari punggung
beruang raksasa berbulu putih itu. Dan, tanpa me-
nimbulkan suara sedikit pun, kakinya menjejak tanah
tepat sekitar satu batang tombak di depan Pendekar
Pulau Neraka. Dia seakan-akan ingin memamerkan il-
mu meringankan tubuhnya yang sudah mencapai
tingkat tinggi. Sedangkan beruang raksasa berbulu pu-
tih itu tetap diam tak bergerak sedikit pun. Namun, so-
rot matanya yang begitu tajam tertuju langsung ke bo-
la mata Pendekar Pulau Neraka.
"Kisanak, aku pernah mengatakan padamu bahwa
aku akan membuktikan kalau diriku adalah Intan
Kumala. Aku sudah bertemu dengan ibuku. Tapi aku
tidak diakuinya sebelum mendapatkan bukti. Dan aku
harus menyerahkan Keris Naga Emas sebagai bukti
bahwa aku adalah anaknya. Kau mengerti maksudku,
Kisanak..?" ujar Dewi Beruang Putih dengan nada sua-
ra yang terasa dingin sekali.
Bayu tersenyum, lalu melangkah beberapa tindak
mendekati Dewi Beruang Putih. Dia berhenti setelah
jaraknya tinggal sekitar lima langkah. Dan, dari balik
sabuk yang membelit pinggangnya, dikeluarkannya
sebilah keris yang berwarna kuning emas dan berca-
haya indah.
"Memang tidak ada alasan lagi bagiku untuk tidak
mempercayaimu, Nisanak. Terimalah pusaka warisan
mu ini," kata Bayu dengan suara yang terdengar begitu
lembut.
"Heh...?!"
Si Dewi Beruang Putih tampak terkejut. Sungguh
dia tidak menyangka kalau pemuda berbaju kulit ha-
rimau itu bisa begitu cepat sekali mengubah pendi-
riannya. Bahkan, dia mau menyerahkan Keris Naga
Emas begitu saja. Intan Kumala bukannya menerima
keris yang disodorkan itu, tapi malah memandangi
Bayu, seakan-akan tidak percaya kalau pemuda berba
ju kulit harimau ini benar-benar mau menyerahkan
keris itu.
"Ambillah.... Keris Naga Emas ini memang milikmu,
Intan Kumala," kata Bayu sambil tetap menyodorkan
Keris Naga Emas itu.
Intan Kumala masih, belum juga mau menerima
keris itu. Dia benar-benar tidak mengerti akan peru-
bahan sikap Bayu yang begitu cepat ini. Padahal, se-
mula Bayu tidak percaya kalau dia adalah putri Ki Sa-
tria, pewaris tunggal Keris Naga Emas. Tapi sekarang,
dengan mudah sekali Bayu ingin menyerahkan keris
itu. Hal ini tentu saja menimbulkan berbagai perta-
nyaan di dalam benak Dewi Beruang Putih.
Wusss!
"Awaaas...!"
"Heh...?!"
Teriakan Intan Kumala yang begitu keras dan tiba-
tiba membuat Bayu tersentak kaget. Cepat-cepat dia
melompat ke belakang ketika melihat sebuah bayan-
gan hitam berkelebat begitu cepat ke arahnya. Pada
saat yang bersamaan, Intan Kumala juga melompat ke
belakang dan berputaran dua kali di udara.
"Hap!"
Indah sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali di
tanah setelah melakukan tiga kali putaran di udara.
Tapi, mendadak dia langsung tersentak kaget setengah
mati. Keris Naga Emas yang tadi berada dalam geng-
gaman tangannya ternyata sudah tidak ada lagi.
"Hik hik hik...!"
"Oh...?!"
Bukan hanya Bayu yang tampak terkejut. Intan
Kumala dan Ratna Wulan pun tersentak kaget ketika
tiba-tiba terdengar suara tawa yang terkikik kering
mengerikan. Suara tawa itu terdengar menggema, sea-
kan-akan datang dari segala penjuru mata angina. Jelas, tawa itu dikeluarkan dengan pengerahan tenaga
dalam yang tinggi sekali tingkatannya.
"Hup! Hiyaaa...!"
Tiba-tiba saja Bayu melesat ke arah sebatang po-
hon beringin yang sangat besar, tidak jauh dari Intan
Kumala berdiri. Begitu cepatnya gerakan Pendekar Pu-
lau Neraka, sehingga sulit diikuti dengan pandangan
mata biasa.
Srak!
Baru saja Pendekar Pulau Neraka menembus
daun-daun pohon yang rimbun itu, mendadak dia su-
dah terpental keluar dengan deras sekali. Beberapa
kali pemuda berbaju kulit harimau itu melakukan pu-
taran di udara. Dan, dengan manis sekali kedua ka-
kinya menjejak tanah. Tepat pada saat itu, dari kerim-
bunan daun pohon meluncur sesosok tubuh berbaju
serba hitam yang longgar. Cepat sekali sosok tubuh hi-
tam itu meluncur turun dari atas pohon. Dan, tahu-
tahu di depan Bayu sudah berdiri seorang perempuan
tua yang berjubah panjang dan longgar berwarna hi-
tam pekat. Sebatang tongkat berkepala tengkorak
tampak tergenggam di tangan kanannya. Sedangkan
tangan kirinya memegang Keris Naga Emas. Wajahnya
yang berkeriput terlihat pucat seperti mayat. Namun,
sinar matanya yang merah bersorot begitu tajam.
Sementara itu Intan Kumala tertegun diam me-
mandangi perempuan tua bungkuk berjubah hitam
yang tiba-tiba muncul itu. Ingatannya langsung kem-
bali ke masa lima belas tahun silam, di saat dia baru
berusia sekitar empat tahun. Perempuan tua inilah
yang datang memperingatkan ayahnya dan hendak
mengambilnya sebelum terjadi peristiwa yang mene-
waskan Ki Satria. Intan Kumala ingat, perempuan tua
bungkuk dan berjubah hitam itu adalah Ratu Mayat
Bukit Tengkorak.
"Nek, bukankah kau yang bernama Ratu Mayat
Bukit Tengkorak...?" tanya Intan Kumala, ingin meya-
kinkan hatinya.
"Heh...?! Dari mana kau tahu...?" sentak perem-
puan tua berjubah hitam itu, agak terkejut.
"Aku tahu siapa kau, Nek. Kau yang datang pada
ayahku dan hendak mengambilku lima belas tahun
yang lalu. Tapi..., bukankah kau sudah mati oleh sen-
jata rahasia...?" ujar Intan Kumala, agak ragu-ragu.
"Hik hik hik...! Tidak kusangka, rupanya kau ma-
sih hidup, Bocah. Hik hik hik...! Bagus, aku senang
melihat kau masih hidup. Itu berarti kau bisa mewarisi
ilmu-ilmuku, Intan Kumala."
Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak gembira. Dia
kemudian melangkah menghampiri Dewi Beruang Pu-
tih. Tawanya yang terkekeh terus terdengar sumbang
menyakitkan telinga. Sementara itu Intan Kumala ma-
sih tetap diam dan tak bergeming sedikit pun. Sedang-
kan Bayu dan Ratna Wulan hanya bisa memandang
dengan sinar mata yang memancarkan ketidakmenger-
tian.
"Senjata-senjata rahasia itu memang mengandung
racun. Tapi tidak ada artinya bagiku, Intan. Waktu itu
aku hanya pingsan sebentar," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak. "Sayang.... Kalau saja ayahmu mau men-
dengar kata-kataku, tidak akan mungkin terjadi mala-
petaka itu."
Saat itu Intan Kumala tampak gembira, karena
masih ada orang yang mengenalinya. Dia melirik sedi-
kit pada Pendekar Pulau Neraka yang berdiri tidak
jauh darinya. Saat itu Bayu juga tengah memandang
pada Dewi Beruang Putih yang sesungguhnya berwa-
jah cantik. Dan, tanpa disadari, pandangan mata me-
reka bertemu pada satu titik. Entah kenapa, saat itu
juga Intan Kumala merasakan adanya desiran pada
aliran darahnya. Tapi cepat-cepat dia segera mema-
lingkan mukanya dan memandang kembali pada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
"Ini milikmu. Terimalah...."
Ratu Mayat Bukit Tengkorak menyerahkan Keris
Naga Emas yang tadi dirampasnya dari tangan Bayu.
Tapi, Intan Kumala tidak langsung menerima senjata
pusaka warisan terakhir ayahnya itu. Dia malah meli-
rik lagi pada Pendekar Pulau Neraka. Dan, rupanya
pemuda berbaju kulit harimau itu bisa mengetahui li-
rikan Dewi Beruang Putih ini. Sambil tersenyum, dia
menganggukkan kepalanya sedikit. Hampir tidak terli-
hat gerakan pada anggukan kepala Pendekar Pulau
Neraka itu.
'Terima kasih," ucap Intan Kumala seraya meneri-
ma Keris Naga Emas dari tangan perempuan tua ber-
tubuh bungkuk itu.
Sebentar Dewi Beruang Putih memandangi keris
bergagang kepala naga dan berwarna kuning keema-
san itu. Kemudian diselipkannya keris itu ke balik ikat
pinggangnya. Ratu Mayat Bukit Tengkorak tampak ter-
senyum-senyum melihat Keris Naga Emas sudah ter-
simpan di balik ikat pinggang Intan Kumala.
"Kau sudah bertemu dengan ibumu, Intan?" tan
Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala tidak langsung menjawab. Kepalanya
bergerak tertunduk saat mendengar pertanyaan pe-
rempuan tua berwajah pucat seperti mayat itu. Na-
mun, tak berapa lama kemudian dia sudah mengang-
kat kepalanya kembali. Sebentar ditatapnya wajah ke-
riput yang pucat itu. Kemudian kepalanya diangguk-
kan sedikit.
"Lalu?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala masih belum juga membuka mulut-
nya. Saat itu juga dia merasakan lidahnya menjadi ke
lu, sulit untuk diajak bicara. Entah apa yang akan di-
katakannya pada perempuan tua ini. Karena, tidak
mungkin baginya untuk mengatakan bahwa ibunya ti-
dak mau menerima dirinya tanpa membawa Keris Naga
Emas.
"Ada apa, Intan?" tanya Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak.
Kelopak mata perempuan tua itu tampak menyipit
ketika melihat raut wajah Dewi Beruang Putih yang ke-
lihatan murung. Sementara itu Bayu, yang sejak tadi
juga memperhatikan, merasakan ada sesuatu yang
tersembunyi yang membuat Intan Kumala tampak mu-
rung begitu. Perlahan-lahan pemuda tampan itu men-
dekati, lalu berdiri di samping Ratu Mayat Bukit Teng-
korak. Sedangkan perempuan tua berjubah hitam yang
wajahnya pucat bagai mayat itu hanya melirik sedikit
pada Pendekar Pulau Neraka.
"Katakan padaku, Intan. Kau sudah menemui ibu-
mu, bukan...?" desak Ratu Mayat Bukit Tengkorak.
Intan Kumala menganggukkan kepalanya.
"Lalu, apa yang terjadi?" desak Ratu Mayat Bukit
Tengkorak lagi.
"Ibu tidak mau menerima kehadiranku," jawab In-
tan Kumala, pelan sekali.
"Heh...?! Benar begitu...?" sentak Ratu Mayat Bukit
Tengkorak, terkejut.
Bukan hanya perempuan tua itu yang terkejut
mendengar pengakuan Dewi Beruang Putih. Tapi, Bayu
yang sejak tadi diam saja juga tersentak kaget men-
dengarnya. Dia sampai memandangi wajah gadis itu
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han dari ucapannya barusan. Sedangkan Intan Kuma-
la hanya mengangguk. Lalu kepalanya kembali tertun-
duk menekuri ujung jari kakinya.
Keheningan langsung menyelimuti mereka semua.
Tak ada lagi yang membuka suara. Bukan hanya Ratu
Mayat Bukit Tengkorak yang tidak mengerti dengan si-
kap Nyai Wandari. Bayu juga tidak habis mengerti, ke-
napa Nyai Wandari tidak mau mengakui Intan Kumala
sebagai anaknya. Apakah perpisahan yang begitu lama
telah menjadikan Nyai Wandari lupa pada anak gadis-
nya ini? Sulit untuk mencari jawaban dari semua per-
tanyaan yang bergayut di kepala mereka saat itu. Se-
dangkan Intan Kumala sendiri hanya diam, seperti
menerima saja semua yang telah terjadi pada dirinya.
***
Nyala api unggun yang cukup besar membuat uda-
ra malam yang dingin ini sedikit terusir. Tidak jauh da-
ri api unggun itu, terlihat Ratu Mayat Bukit Tengkorak
tengah berbincang-bincang dengan Ratna Wulan. Dan
seekor monyet kecil tampak duduk di pangkuan Ratna
Wulan sambil menikmati pisang.
Sementara itu agak jauh di suatu tempat yang cu-
kup gelap dan padat ditumbuhi pepohonan, tampak
Bayu berdiri tegak di depan Intan Kumala. Gadis ber-
juluk Dewi Beruang Putih itu tidak lagi kelihatan kum-
al dan kotor. Meskipun pakaian putih yang dikena-
kannya masih tetap compang-camping dan penuh
tambalan, terlihat rambutnya tidak lagi dibiarkan me-
riap tak teratur. Dan, kecantikannya kini sudah bisa
jelas dipandang.
"Kenapa kau tidak mengatakan hal yang sebenar-
nya pada Ratu Mayat, Intan?" ujar Bayu, dengan suara
yang terdengar pelan.
"Entahlah.... Aku sepertinya belum percaya penuh
padanya," sahut Intan Kumala, agak mendesah.
"Tapi, kenapa kau mengatakannya padaku?"
Intan Kumala tidak bisa menjawab. Entah kenapa,
si Dewi Beruang Putih jadi begitu mudah mempercayai
Pendekar Pulau Neraka. Bahkan, dia telah mencerita-
kan semua tentang pertemuannya dengan ibunya,
termasuk permintaan ibunya agar dia membawa Keris
Naga Emas kalau ingin diakui sebagai anak. Hal inilah
yang tidak diceritakan Intan Kumala kepada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
"Lalu, kau akan ke sana lagi dan menyerahkan Ke-
ris Naga Emas itu kepada ibumu?" tanya Bayu lagi.
"Aku..., aku jadi ragu-ragu," sahut Intan Kumala,
bimbang.
"Kenapa?"
"Aku memang merasakan adanya getaran saat me-
lihatnya, Bayu. Tapi aku merasa asing, dan...," ucapan
Intan Kumala terputus.
"Kau merasa, ada sesuatu yang lain pada ibumu,
Intan?" tanya Bayu lagi.
"Entahlah.... Aku tidak tahu," sahut Intan Kumala,
dengan suara tetap mendesah.
Tiba-tiba saja Intan Kumala terisak. Bayu langsung
terkejut melihat gadis yang selama ini dikenalnya begi-
tu tegar dan keras tiba-tiba saja mengeluarkan air ma-
ta. Dan, tidak ada yang bisa dilakukan Pendekar Pulau
Neraka selain merengkuh gadis itu ke dalam pelukan-
nya.
Namun, tangisan Intan Kumala bukannya berhenti,
tapi malah menjadi-jadi. Dia menyembunyikan wajah-
nya di dada Bayu yang bidang dan sedikit berbulu.
Dan, tidak ada lagi yang bisa dilakukan oleh Bayu. Dia
membiarkan saja dadanya dibasahi air mata, Cukup
lama juga Pendekar Pulau Neraka membiarkan Intan
Kumala menangis di dadanya. Dia baru melepaskan
pelukannya setelah tidak lagi mendengar isak tangis
gadis itu.
"Rasanya tidak ada lagi gunanya aku hidup. lbu
kandungku saja tidak mau menerimaku sebagai anak-
nya," keluh Intan Kumala, setelah bisa menguasai di-
rinya lagi.
'Tidak, Intan. Masih banyak yang bisa kau laku-
kan," hibur Bayu.
Intan Kumala memandangi wajah tampan Pende-
kar Pulau Neraka. Begitu dekatnya wajah mereka, se-
hingga desah napas mereka terasa begitu hangat me-
nerpa kulit wajah. Beberapa saat keduanya terdiam
dan hanya saling pandang.
"Bayu..., boleh aku memanggilmu dengan sebutan
Kakang...?" pinta Intan Kumala.
"Kenapa tidak? Aku senang kalau kau mau me-
manggilku begitu," sambut Bayu seraya memberikan
senyumnya yang manis.
Intan Kumala tersenyum kecil. Jarak mereka masih
begitu dekat, seakan-akan sama-sama tidak mau men-
jauh. Intan Kumala sendiri seperti tidak menyadari
bahwa sejak tadi tangannya digenggam Pendekar Pu-
lau Neraka. Dan, genggaman itu membuatnya seperti
mendapat kekuatan di hati. Kehangatan genggaman
tangan Bayu membuat Intan Kumala kembali tegar.
Isak tangisnya pun benar-benar hilang. Hanya sisa-
sisa air matanya yang masih terlihat membasahi wa-
jahnya.
"Kakang, boleh aku tahu kenapa kau selalu menca-
ri dan memperhatikan aku...?" tanya Intan Kumala se-
telah beberapa saat terdiam.
"Aku mendapat pesan dari seseorang untuk menye-
rahkan Keris Naga Emas pada pemiliknya. Orang itu
hanya menyebutkan nama Intan Kumala. Dan dari se-
kian banyak orang yang aku tanyai, aku merasa pasti
kalau kau adalah pewaris Keris Naga Emas. Itu sebab-
nya kenapa aku selalu mencarimu, Intan," jelas Bayu
dengan suara yang lembut.
"Sekarang Keris Naga Emas sudah ada padaku. La-
lu, apa yang akan kau lakukan?"
Bayu hanya mengangkat bahunya. Dia tidak segera
menjawab pertanyaan Dewi Beruang Putih. Saat ini le-
laki berbaju kulit harimau itu memang tidak tahu, apa
yang akan dilakukannya. Mungkin dia akan melan-
jutkan pengembaraannya lagi. Dan, dia akan melaku-
kan perjalanan yang tiada ujung akhirnya, yang begitu
panjang dan melelahkan. Tapi, memang sudah demi-
kianlah garis perjalanan hidup seorang pendekar kela-
na seperti Pendekar Pulau Neraka. Pendekar kelana
seperti ini tidak akan pernah bisa hidup dalam satu
tempat. Dia akan selalu berpindah-pindah dan selalu
menentang maut.
"Kakang, kau tadi bilang bahwa Keris Naga Emas
kau dapatkan dari seseorang. Boleh aku tahu siapa
orangnya...?" Intan Kumala kembali membuka suara.
"Ki Rahun," sahut Bayu.
"Paman Rahun...?!" Intan Kumala tampak agak
terkejut mendengar nama yang barusan disebut Bayu.
"Iya, dia mengaku bernama Ki Rahun. Kau kenal
dia, Intan...?"
"Paman Rahun adalah salah seorang pekerja ayah-
ku yang sudah dipercaya. Dia yang membawa aku dan
ibu keluar dari rumah. Oh... kenapa Keris Naga Emas
ada padanya...?"
"Katanya, dia mencuri keris itu dari ayahmu. Tapi
dia akhirnya menyadari kalau dirinya hanya diperalat
oleh Ki Laksa. Dia mencoba membalas, karena dia pun
kemudian dikhianati. Tapi nasib menentukan lain. Ki
Rahun tewas akibat luka-lukanya terlalu parah,
Sayang..., aku tidak bisa menyelamatkannya," ujar
Bayu, pelan.
"Akh..., kenapa begitu banyak orang yang berkhia-
nat...?" keluh Intan Kumala dengan nada suara yang
terdengar mendesah.
Bayu diam saja. Dan, keduanya kembali terdiam.
Namun mata mereka kini berpandangan. Perlahan-
lahan Bayu melingkarkan tangannya ke pinggang yang
ramping ini, kemudian merengkuhnya dengan lembut
ke dalam pelukan. Sama sekali Intan Kumala tidak
menolak. Dan, saat itu dia merasakan dadanya meng-
gemuruh.
"Mhhh...."
Perlahan-lahan kedua kelopak mata Intan Kumala
terpejam saat Bayu mulai mendekatkan wajahnya.
Semakin dekat ke wajah Bayu, semakin terasa pula
kehangatan dari desah nafasnya. Dan, tiba-tiba saja
seluruh tubuh gadis itu menggeletar ketika merasakan
sentuhan lembut dan hangat di bibirnya.
"Ohhh...," desah Intan Kumala.
Merasakan tidak ada perlawanan dari gadis ini,
Bayu langsung melumat bibir yang selalu merah
menggairahkan itu. Sedangkan Intan Kumala hanya
mendesah dan menggumam kecil. Dia merasakan ada
sesuatu yang aneh di dalam dirinya, sesuatu yang
sangat asing dan belum pernah dirasakannya selama
ini. Tapi, seperti ada suatu dorongan kuat di dalam di-
rinya yang membuat dia melingkarkan tangannya di
leher Pendekar Pulau Neraka. Intan Kumala pun se-
makin mendesakkan tubuhnya lebih ke dalam pada
pelukan, pemuda tampan itu.
Sementara jari-jari tangan Bayu mulai bergerak
menjelajahi tubuh gadis itu, Intan Kumala menggelin-
jang di dalam pelukan pemuda ini, sama sekali si Dewi
Beruang Putih tidak menyadari kalau jari-jari tangan
Pendekar Pulau Neraka dengan lincah sekali mulai me-
lepaskan pakaiannya. Dan, ketika Bayu melepaskan
pagutannya....
"Oh...?!"
Intan Kumala seketika tersentak. Dia langsung
menyurukkan kepalanya ke dada Bayu yang bidang
dan tegap. Wajahnya seketika bersemu merah. Entah
apa yang ada di dalam dadanya. Seumur hidupnya, be-
lum pernah dia merasakan hal seperti tadi, sesuatu
yang membuatnya menggeletar. Dia seperti tidak pedu-
li bahwa pakaiannya sebagian sudah terbuka hingga
menampakkan kulit tubuhnya yang putih dan halus.
Baru saja Bayu mengecup pundak gadis itu, tiba-
tiba....
Srek!
***
Bayu segera menoleh ketika mendengar suara ber-
gemerisik. Dan, dia tampak terpana begitu tahu-tahu
Ratna Wulan muncul dari kegelapan malam. Gadis itu
juga terbeliak lebar. Dia terkejut setengah mati melihat
Intan Kumala berada di dalam pelukan Pendekar Pu-
lau Neraka.
Beberapa saat Ratna Wulan terpaku diam dengan
mata terbeliak dan mulut ternganga lebar. Dia seakan-
akan tidak percaya dengan apa yang disaksikannya
saat ini. Kemudian gadis itu cepat-cepat memutar tu-
buhnya dan langsung berlari cepat menjauhi tempat
itu. Pada saat itu juga, Intan Kumala baru melepaskan
pelukannya. Dia sempat melihat sedikit bagian bela-
kang tubuh Ratna Wulan sebelum menghilang ditelan
kegelapan malam dan rimbunnya pepohonan.
Bayu cepat-cepat melepaskan pelukannya pada In-
tan Kumala. Tampak jelas sekali di wajahnya bahwa
dia begitu serba salah. Sebentar dia memandang Intan
Kumala, dan sebentar kemudian menatap ke arah
Ratna Wulan yang sudah tidak terlihat lagi.
"Ayo kita kembali, Intan," ajak Bayu, langsung
mengusir kekakuan yang menghinggapi dirinya.
"Siapa itu tadi?" tanya Intan Kumala, yang memang
tidak sempat melihat jelas.
"Ratna Wulan," sahut Bayu.
Intan Kumala yang baru saja melangkah mengikuti
Pendekar Pulau Neraka seketika berhenti berjalan.
Dan, Bayu juga ikut berhenti. Dia memutar tubuhnya
menghadap pada Dewi Beruang Putih. Pandangan ma-
ta mereka langsung bertemu begitu dalam.
"Dia..., dia melihat...," suara Intan Kumala ter-
gagap dan terputus.
"Mungkin," sahut Bayu seraya mengangkat ba-
hunya sedikit.
Intan Kumala memandang Pendekar Pulau Neraka
dalam-dalam. Kemudian dia bergegas berlari mening-
galkan pemuda berbaju kulit harimau ini.
"Intan, tunggu...!" teriak Bayu.
Cepat-cepat Pendekar Pulau Neraka mengejar. Se-
dangkan Intan Kumala sudah jauh menembus lebat-
nya hutan yang gelap ini.
***
TUJUH
Bayu kelabakan setengah mati, karena pagi ini dia
tidak melihat Ratna Wulan. Padahal, semalam gadis
itu masih terlihat tidur melingkar di dekat Ratu Maya
Bukit Tengkorak. Pendekar Pulau Neraka sudah men-
cari ke setiap pelosok hutan ini, tapi tidak juga mene-
mukan gadis itu. Ratna Wulan benar-benar mening-
galkannya tanpa pamit. Bayu terduduk lemas di samp-
ing Intan Kumala. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Teng-
korak hanya diam memandangi Pendekar Pulau Neraka, yang terus kelihatan gelisah dengan hilangnya
Ratna Wulan.
"Sudah kau cari ke sungai, Bayu?" tegur Ratu
Mayat Bukit Tengkorak.
"Sudah. Dia tidak ada di sana," sahut Bayu, lesu.
"Aneh.... Kenapa dia pergi begitu saja...?" desah Ra-
tu Mayat Bukit Tengkorak, seperti bertanya pada diri
sendiri.
Tentu saja Bayu dan Intan Kumala tidak menjawab
pertanyaan yang bernada menggumam itu. Mereka
hanya saling melemparkan pandang. Mereka tahu, ke-
napa Ratna Wulan pergi tanpa pamit. Gadis itu pasti
merasa marah, kecewa, dan entah apa lagi, setelah me-
lihat Intan Kumala berada di dalam pelukan Bayu da-
lam keadaan setengah telanjang.
"Mungkin dia punya urusan sendiri yang tidak mau
dicampuri, Bayu. Apa Ratna Wulan pernah cerita se-
suatu padamu, Bayu?" ujar Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak.
"Tidak. Dia jarang bicara, Nek," sahut Bayu tenang.
"Hm..., gadis itu memang pendiam. Dia jarang se-
kali bicara kalau tidak ditanya," gumam Ratu Mayat
Bukit Tengkorak, seperti bicara pada dirinya sendiri.
Bayu dan Intan Kumala diam saja. Sambil meng-
hembuskan napas panjang, Pendekar Pulau Neraka
kemudian bangkit berdiri. Dia mengulurkan tangan
pada Intan Kumala. Dibantunya gadis itu berdiri. Se-
dangkan Tiren langsung melompat naik ke pundak
Pendekar Pulau Neraka. Monyet kecil berbulu hitam ini
juga tidak bersikap seperti biasanya. Tidak terdengar
sedikit pun celotehnya yang ribut menyakitkan telinga.
Dia seakan-akan mengetahui kegundahan yang sedang
terjadi pada diri Pendekar Pulau Neraka.
"Ayo, kita berangkat," ajak Bayu, memecah kebi-
suan yang terjadi di antara mereka.
"Apa tidak sebaiknya kita cari Ratna Wulan dulu,
Kakang...?" usul Intan Kumala, yang merasa bersalah
terhadap kepergian Ratna Wulan yang tanpa pamit.
Bayu tidak menjawab. Dia menatap pada Ratu
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan wanita tua itu ma-
lah mengarahkan pandangannya ke arah lain, seakan-
akan tidak ingin mencampuri urusan ini. Dia seperti
membiarkan Pendekar Pulau Neraka memutuskannya
sendiri.
"Aku akan mencarinya kalau urusanmu sudah se-
lesai," kata Bayu.
Intan Kumala hanya mengangkat bahunya sedikit.
Sedangkan Bayu sudah mengayunkan kakinya mengi-
kuti Ratu Mayat Bukit Tengkorak yang sudah lebih du-
lu berjalan tiga batang tombak di depan. Intan Kumala
kemudian mensejajarkan langkahnya di samping Pen-
dekar Pulau Neraka. Tak ada yang berbicara sedikit
pun. Tapi, sesekali Intan Kumala terlihat melirik ke
wajah Pendekar Pulau Neraka di sampingnya.
"Kau masih memikirkannya, Kakang?" tegur Intan
Kumala.
"Hm...."
Bayu hanya menggumam. Dia melirik pada gadis di
sebelahnya ini. Kakinya terus terayun melangkah den-
gan teratur. Sedangkan Intan Kumala terus meman-
dang wajah tampan Pendekar Pulau Neraka. Dia tahu
kalau Bayu masih memikirkan Ratna Wulan yang pergi
begitu saja tanpa pamit.
Entah kenapa, ada perasaan tidak senang di hati
Intan Kumala melihat Bayu diam saja dengan kening
terus berkerut. Timbul dugaan di dalam kepalanya
bahwa Pendekar Pulau Neraka masih terus memikir-
kan Ratna Wulan. Rasa tidak senang gadis cantik pe-
waris Keris Naga Emas ini timbul dan rasa cemburu.
Intan Kumala sendiri tidak tahu, kenapa dia bisa
mencemburui Ratna Wulan. Padahal, baru semalam
dia merasa begitu dekat dengan pendekar tampan ini.
Sedangkan sebelumnya, Bayu sudah bersama-sama
dengan Ratna Wulan.
"Dia tentu sangat berarti bagimu, Kakang," ujar In-
tan Kumala dengan nada suara yang terdengar agak
sinis.
"Aku merasa bertanggung jawab padanya, Intan,"
sahut Bayu, mencoba meminta pengertian.
Pendekar Pulau Neraka merasakan adanya nada
kecemburuan di dalam suara Intan Kumala barusan.
Bayu langsung menyadari bahwa gadis ini sudah ter-
pikat padanya. Entah terpikat karena apa. Mungkin
karena ketampanannya, atau mungkin karena tingkat
kepandaian yang dimilikinya begitu tinggi. Tapi yang
jelas, Bayu tahu bahwa Intan Kumala mencemburui
Ratna Wulan Dan, itu jelas sekali tersirat dari nada
suaranya yang terdengar sinis tadi.
"Bagiku, Ratna Wulan bukan orang lain lagi. Dia
kuanggap adikku sendiri. Orang tua angkatnya meni-
tipkan padaku sampai dia bisa bertemu kembali den-
gan orang tua kandungnya. Aku sudah berjanji akan
selalu menjaganya," ujar Bayu, mengatakan yang se-
benarnya tentang Ratna Wulan.
"Oh, benarkah...?" desah Intan Kumala, setengah
tidak percaya.
"Orang tua angkatnya adalah adik angkat ayahku.
Jadi tidak berlebihan kalau aku juga menganggap-
nya adik. Dan aku masih mempunyai tanggung jawab
yang tidak kecil. Dia harus kupertemukan dengan
orangtua kandungnya," sambung Bayu.
Intan Kumala terdiam. Bayu juga tidak bicara lagi.
Mereka terus berjalan mengikuti langkah kaki Ratu
Mayat Bukit Tengkorak, yang berjalan sekitar satu ba-
tang tombak di depan. Tidak ada lagi yang berbicara.
Dan, tidak ada yang tahu, apa yang ada di dalam hati
masing-masing. Tapi, sesekali tampak Intan Kumala
melirik dan memandangi wajah Pendekar Pulau Neraka
yang berjalan di sampingnya. Entah apa yang ada di
dalam kepalanya saat ini, hanya dia sendiri yang tahu.
Dan, dia sendiri juga tidak bisa menebak isi hati Pen-
dekar Pulau Neraka.
***
Matahari sudah berada di atas kepala. Bayu, Intan
Kumala, dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak pun sudah
sampai di depan sebuah bangunan besar yang dikeli-
lingi pagar gelondongan kayu. Bangunan besar ini me-
nyerupai sebuah benteng pertahanan. Di dalam ban-
gunan seperti benteng itulah ibu kandung Intan Ku-
mala tinggal.
"Pertama kali aku datang ke sini, ada dua orang
penjaga di depan pintu," gumam Intan Kumala. 'Tapi
kenapa sekarang tidak ada penjaga seorang pun...?"
Keadaan bangunan itu memang kelihatan sepi, se-
perti tidak berpenghuni. Tapi, Bayu mendengar suara-
suara orang dari dalam pagar benteng yang tinggi dan
kokoh itu. Pendengarannya memang tajam, sehingga
bisa mengetahui kalau di dalam pagar benteng itu ada
orang.
"Coba, aku lihat dulu," kata Ratu Mayat Bukit
Tengkorak.
Tapi, baru saja dia berjalan beberapa langkah, tiba-
tiba saja dari atas pagar benteng itu bermunculan
orang-orang yang siap dengan anak panah terpasang
di busur. Perempuan tua bertubuh bungkuk dan ber-
jubah hitam panjang itu langsung menghentikan ayu-
nan kakinya. Sekitar tiga puluh orang di atas pagar
benteng itu tampak mengarahkan panah kepadanya.
"Hm..., sikap mereka seperti menyambut musuh
saja," gumam Bayu, agak mendesis.
"Biar aku bicara dengan mereka, Kakang," kata In-
tan Kumala.
Belum juga Bayu menjawab, si Dewi Beruang Putih
sudah melangkah ke depan. Dilewatinya Ratu Mayat
Bukit Tengkorak Sementara itu Bayu juga melangkah.
Tapi, dia berhenti setelah sampai di samping perem-
puan tua bungkuk berjubah hitam itu. Sedangkan In-
tan Kumala sudah dekat sekali dengan pintu. Sekitar
satu batang tombak lagi jaraknya. Dan yang pasti, ga-
dis itu sudah berada di dalam jangkauan panah yang
terarah kepadanya.
"Dengar...! Kami datang bukan sebagai musuh.
Kami ingin bertemu dengan Nyai Wandari...!"
Lantang sekali suara Intan Kumala. Tapi, tak ada
sahutan sedikit pun dari orang-orang yang berada di
atas pagar benteng itu. Mereka tetap mengarahkan
ujung anak panah masing-masing kepada Dewi Be-
ruang Putih. Sedangkan gadis itu tetap berdiri tegak
dengan kepala agak menengadah ke atas. Dipandan-
ginya orang-orang yang berada di atas pagar benteng
dengan anak panah terpasang pada busurnya. Dan,
tampaknya mereka tinggal menunggu perintah untuk
melepaskan anak-anak panah itu. Intan Kumala ke-
mudian melangkah lagi beberapa tindak.
"Katakan pada pimpinanmu. Aku... Intan Kumala
yang datang membawa pesanannya!" seru Intan Kuma-
la lagi, masih tetap lantang karena disertai dengan
pengerahan tenaga dalam yang cukup tinggi.
Begitu suara Intan Kumala menghilang dari pen-
dengaran, tampak pintu gerbang yang tebal dan kokoh
itu bergerak terbuka perlahan-lahan. Dan, dari balik
pintu itu keluar seorang gadis cantik berbaju biru mu-
da, yang didampingi seorang laki-laki setengah baya.
Di belakang mereka, terlihat sekitar sepuluh orang
yang menyandang senjata tombak, pedang, dan golok
di pinggang. Tapi, semuanya tetap berdiri di ambang
pintu.
"Kak Intan, cepat masuk...!" seru gadis cantik ber-
baju biru muda itu lantang.
Intan Kumala berpaling ke belakang. Sebentar ke-
dua matanya menatap pada Ratu Mayat Bukit Tengko-
rak dan Pendekar Pulau Neraka. Kemudian dia men-
gayunkan kakinya melangkah. Bayu dan Ratu Mayat
Bukit Tengkorak bergegas mengikuti.
Gadis cantik berbaju biru muda yang tak lain ada-
lah Rara Anting, itu pun bergegas memeluk Intan Ku-
mala. Langsung saja dia memberikan ciuman di pipi si
Dewi Beruang Putih.
"Ayo masuk...," ajak Rara Anting.
Pintu gerbang itu segera tertutup kembali begitu
mereka sudah berada di dalam. Rara Anting dan lelaki
setengah baya yang tak lain adalah Paman Gaduk
membawa mereka masuk ke bangunan utama yang
berdiri di tengah-tengah pagar benteng ini. Di dalam
bangunan itu sudah menunggu Nyai Wandari. Perem-
puan berusia setengah baya yang masih kelihatan can-
tik itu mempersilakan tamu-tamunya ini duduk.
Tidak ada kursi ataupun meja di dalam ruangan
yang berukuran cukup besar ini. Mereka semua duduk
bersila di lantai kayu yang beralaskan permadani tebal
berwarna merah muda yang lembut. Rara Anting du-
duk di samping si Dewi Beruang Putih. Mereka duduk
tepat di depan Nyai Wandari. Sedangkan Bayu dan Ra-
tu Mayat Bukit Tengkorak berada di sebelah kanan,
agak di belakang Nyai Wandari.
"Aku bawa Keris Naga Emas yang kau inginkan,
Nyai," kata Intan Kumala dengan nada suaranya agak
ditekan.
Terasa canggung sekali suara dan sikap Dewi Be-
ruang Putih. Gadis itu mengeluarkan Keris Naga Emas
dari balik ikat pinggangnya. Kemudian, keris itu dile-
takkannya dengan hati-hati di depan Nyai Wandari.
Perempuan setengah baya yang masih kelihatan cantik
itu menjumput Keris Naga Emas. Beberapa saat dia
memperhatikan, lalu bibirnya tampak tersenyum sam-
bil mengangguk-anggukkan kepala. Kemudian dia
memandang Intan Kumala dalam-dalam. Dan, tiba-tiba
saja kedua bola matanya terlihat berkaca-kaca.
"Anakku...," desis Nyai Wandari, mendesah.
"Oh, Ibu...."
Intan Kumala tidak dapat lagi menahan perasaan
hatinya. Dia langsung menghambur dan memeluk
ibunya yang sudah lima belas tahun terpisah dengan-
nya ini. Saat itu juga, semua orang yang berada di da-
lam ruangan ini menundukkan kepala. Mereka sea-
kan-akan tidak sanggup menyaksikan pertemuan yang
begitu mengharukan ini. Rara Anting pun sampai me-
nitikkan air mata, walaupun bibirnya yang bergetar
terlihat menyunggingkan senyum.
Entah berapa lama Intan Kumala dan ibunya ber-
pelukan saling menumpahkan seluruh kerinduannya
yang selama ini terpendam dalam di hati. Perlahan-
lahan Nyai Wandari melepaskan pelukannya. Dipan-
danginya wajah Intan Kumala dalam-dalam, seakan-
akan ingin menuntaskan kerinduannya. Sedangkan In-
tan Kumala mengusap air mata yang membasahi selu-
ruh wajahnya. Dia kembali duduk bersila di samping
Rara Anting. Kesunyian masih terjadi beberapa saat
lamanya di dalam ruangan yang berukuran cukup be-
sar ini.
***
"Intan, bagaimana kau bisa mendapatkan Keris
Naga Emas ini?" tanya Nyai Wandari setelah bisa me-
nenangkan dirinya kembali.
"Keris itu ada pada Kakang Bayu," sahut Intan
Kumala, sambil melirik pemuda tampan berpakaian
kulit harimau.
Nyai Wandari langsung menatap pada pemuda
tampan berbaju kulit harimau itu. Dan, sesaat kemu-
dian pandangannya tertuju langsung pada perempuan
tua bertubuh bungkuk dan berjubah panjang hitam
yang duduk di samping Bayu. Tapi Nyai Wandari ce-
pat-cepat mengalihkan pandangannya kembali kepada
Bayu begitu Ratu Mayat Bukit Tengkorak membalas
tatapannya dengan tidak kalah dalamnya.
'Terima kasih, Anak Muda," ucap Nyai Wandari.
Bayu hanya tersenyum. Kepalanya sedikit ter-
angguk. Sedangkan Ratu Mayat Bukit Tengkorak diam
saja. Sedikit pun perempuan tua itu tidak membuka
suara. Dia masih tetap diam meskipun beberapa kali
memergoki Nyai Wandari memperhatikannya dengan
begitu dalam. Dan, Ratu Mayat Bukit Tengkorak me-
nebak, Nyai Wandari pasti sedang berusaha mengin-
gat-ingat perihal dirinya.
"Anak muda, Boleh aku tahu bagaimana kau bisa
mendapatkan Keris Naga Emas ini?" tanya Nyai Wan-
dari.
"Seseorang yang memberikannya kepadaku," sahut
Bayu.
"Seseorang...? Siapa?" tanya Nyai Wandari.
Tanpa diminta lagi, Pendekar Pulau Neraka mence-
ritakan semuanya tentang bagaimana dia memperoleh
Keris Naga Emas itu. Juga, bagaimana di berusaha un-
tuk bisa menyelamatkan nyawa Ki Rahun yang akhir-
nya tidak bisa tertolong lagi. Bayu bercerita. Ki Rahun
hanya bisa menyerahkan Keris Naga Emas kepadanya,
sebelum menghembuskan napas terakhir. Bahkan, Ki
Rahun sempat pula memberikan pesan terakhir yang
harus dikerjakan Pendekar Pulau Neraka. Dan, pesan
yang kelihatannya sangat menyenangkan itu ternyata
membuat Bayu terpaksa beberapa kali bertarung.
"Oh, jadi Rahun sudah meninggal...?" desah Nyai
Wandari dengan suara agak tertahan.
"Ya, aku tidak bisa menyelamatkan nyawanya. Lu-
ka-luka akibat pertarungannya dengan Ki Laksa dan si
Perampok Tiga Nyawa terlalu parah. Dia meninggal se-
telah memberikan Keris Naga Emas sambil berpesan
kepadaku," jelas Bayu lagi.
(Untuk lebih jelas lagi, baca serial Pendekar Pulau Ne-
raka dalam episode "Tiga Pengemis Sakti" dan "Dewi
Beruang Putih")
"Lalu, bagaimana dengan Laksa dan si Perampok
Tiga Nyawa?" tanya Nyai Wandari lagi, ingin tahu lebih
dalam.
"Mereka sudah mati semua, Bu," sahut Intan Ku-
mala.
"Oh, benarkah...?!"
Intan Kumala mengangguk meyakinkan. Tergurat
kelegaan dalam hembusan napas Nyai Wandari begitu
mengetahui kalau orang yang mengkhianati dan mem-
bunuh suaminya sudah tewas. Tapi, sesaat kemudian
wajahnya langsung diselimuti mendung.
"Kakang Bayu yang menewaskan mereka semua,"
kata Intan Kumala lagi, sambil melirik pada Pendekar
Pulau Neraka.
"Mereka orang-orang yang berkepandaian tinggi.
Tentu kau memiliki tingkat kepandaian yang sangat
tinggi hingga bisa mengalahkan mereka, Anak Muda,"
kata Nyai Wandari.
Pada saat itu, masuk seorang anak muda dengan
sebilah pedang tergantung di pinggang. Pemuda itu
membungkukkan tubuhnya memberi hormat. Nyai
Wandari hanya menganggukkan kepalanya sedikit un-
tuk membalas penghormatan anak muda yang usianya
sekitar dua puluh dua tahun itu.
"Ada apa?" tanya Nyai Wandari.
"Mereka sudah datang, Nyai. Jumlah mereka se-
makin bertambah banyak saja."
"Hm...."
Nyai Wandari menggumam perlahan. Sebentar dia
memandangi Bayu dan Ratu Mayat Bukit Tengkorak
bergantian, lalu beralih memandangi kedua anak ga-
disnya, kemudian kembali menatap pada pemuda yang
masih berdiri di ambang pintu dengan tubuh agak
membungkuk itu.
"Siapkan semua orang yang ada. Sebentar lagi aku
keluar," kata Nyai Wandari, tegas.
"Baik, Nyai," sahut pemuda itu seraya menjura
memberi hormat.
Kemudian pemuda itu bergegas meninggalkan
ruangan ini. Saat itu Nyai Wandari bangkit berdiri dari
duduknya, lalu diikuti Paman Gaduk. Dan, semua
yang berada di ruangan ini juga bergegas berdiri. Tapi,
tidak ada yang mendahului berjalan keluar dari rumah
ini. Kemudian Nyai Wandari pun melangkah keluar,
setelah mengedarkan pandangannya berkeliling bebe-
rapa saat.
"Siapa yang datang, Anting?" tanya Intan Kumala,
berbisik perlahan di dekat telinga Rara Anting.
"Mereka yang mau merebut tempat ini," sahut Rara
Anting.
"Siapa mereka?" tanya Intan Kumala lagi.
Sementara itu Nyai Wandari dan Paman Gaduk su-
dah sampai di luar ruangan, diikuti Bayu dan Ratu
Mayat Bukit Tengkorak. Sedangkan Intan Kumala dan
Rara Anting masih tetap berada di dalam ruangan depan yang berukuran cukup luas dan kelihatan begitu
lapang ini, karena tidak ada satu pun barang di da-
lamnya.
"Gerombolan perampok yang ingin menguasai hu-
tan ini. Mereka tidak senang dan merasa terganggu
dengan berdirinya padepokan ini. Sudah beberapa kali
mereka berusaha menghancurkan dan merebutnya,
tapi ibu dan semua murid-muridnya berhasil mengha-
lau mereka," Rara Anting menjelaskan dengan singkat
keadaan di dalam lingkungan benteng padepokan ini.
"Hm, kenapa ibu tidak menceritakan hal ini kepa-
daku...?" gumam Intan Kumala, seperti berbicara pada
diri sendiri. "Dan kau juga, Anting, kenapa waktu itu
tidak mengatakannya kepadaku?"
"Maafkan aku, Kak Aku memang dilarang ibu un-
tuk menceritakan hal ini kepadamu sebelum ibu mera-
sa yakin kalau kau adalah Intan Kumala," sahut Rara
Anting.
Intan Kumala mengangguk-anggukkan kepalanya.
Dia bisa mengerti akan semua yang diucapkan Rara
Anting barusan. Kemudian dia mengajak adik satu-
satunya ini keluar. Tanpa membantah sedikit pun, Ra-
ra Anting melangkah mengikuti kakaknya yang sudah
lebih dahulu berjalan keluar.
***
DELAPAN
Intan Kumala bergegas menghampiri Bayu begitu
sampai di luar. Sungguh dia terkejut bukan main, ka-
rena sudah terjadi pertempuran yang begitu sengit luar
benteng bangunan padepokan ini. Jeritan-jeritan me-
lengking tinggi terdengar begitu menyayat. Tampak
murid-murid Nyai Wandari melepaskan anak-anak pa-
nah dari atas pagar benteng. Sedangkan Nyai Wandari
sendiri terlihat berdiri di atas menara, didampingi Pa-
man Gaduk. Sementara itu, di halaman yang luas, ter-
lihat lebih dari lima puluh orang sudah siap dengan
senjata. terhunus di tangan. Mereka semua berdiri dan
berbaris dengan rapi menghadap ke pintu gerbang.
Der! Der! Der!
Tampak pintu gerbang yang kokoh itu bergetar dis-
ertai dengan suara yang begitu keras menggetarkan
hati. Rupanya orang-orang yang berada di luar pagar
benteng ini tengah berusaha untuk mendobrak pintu.
Jeritan-jeritan panjang melengking tinggi terus terden-
gar, disertai dengan dentingan-dentingan senjata yang
beradu dengan anak-anak panah.
"Hup...!"
Tiba-tiba saja Bayu melentingkan tubuhnya ke
udara. Begitu cepat dan ringan gerakannya, sehingga
dalam sekejap saja Pendekar Pulau Neraka sudah
hinggap di atas pagar benteng yang mengelilingi ban-
gunan besar padepokan ini. Kening pemuda, berbaju
kulit harimau itu tampak berkerut ketika melihat begi-
tu banyak orang tengah berusaha menerobos masuk
ke dalam benteng ini, meskipun anak-anak panah te-
rus menghujani tanpa henti.
Bayu berpaling sedikit saat merasakan ada orang
mendarat tepat di sebelah kanannya. Ternyata Nyai
Wandari yang menghampirinya. Pendekar Pulau Nera-
ka kembali mengarahkan pandangan keluar benteng
ini. Jelas sekali terlihat, tidak sedikit dari orang-orang
di luar sana yang sudah menggeletak tak bernyawa ter-
tembus panah.
"Siapa pemimpin mereka, Nyai?" tanya Bayu.
"Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari. "Itu yang
ada di bawah pohon kenanga."
Bayu mengarahkan pandangannya mengikuti jari
telunjuk Nyai Wandari. Di bawah sebatang pohon ke-
nanga, memang terlihat seorang laki-laki bertubuh
tinggi tegap dengan wajah yang kasar dan dipenuhi
brewok. Sebilah golok yang berukuran sangat besar
tampak tersandang di pundaknya.
"Apakah dia memimpin mereka semua seorang diri
saja, Nyai?" tanya Bayu.
"Ya, dia memang memimpin sendiri," sahut Nyai
Wandari.
"Hm...."
Bayu menggumam perlahan. Dia merasa aneh ada
orang yang bisa memimpin begitu banyak anak buah
seorang diri saja. Biasanya, seorang pemimpin sebuah
kelompok selalu didampingi oleh wakil-wakil keper-
cayaan. Tapi, Garang Dungkul sama sekali tidak di-
dampingi seorang wakil pun. Sementara itu teriakan-
teriakan Garang Dungkul yang memberi perintah begi-
tu keras terdengar menggelegar. Suaranya mengalah-
kan teriakan-teriakan dan jeritan-jeritan melengking
dari orang-orangnya yang berjumlah begitu banyak,
yang terus berusaha menerobos masuk ke dalam ben-
teng padepokan Nyai Wandari ini.
"Kau jangan heran melihat kenekatan mereka,
Bayu. Mereka orang-orang yang tidak mengenal kata
takut. Mereka tidak pernah peduli, meskipun sudah
banyak yang tewas," kata Nyai Wandari lagi.
"Hentikan pertumpahan darah ini, Nyai," kata
Bayu, tegas.
"Apa...?!"
Nyai Wandari tampak terkejut mendengar permin-
taan Bayu yang tidak diduganya sama sekali itu. Di-
pandanginya wajah tampan Pendekar Pulau Neraka.
dalam-dalam, seakan-akan ingin mencari kesunggu-
han hati dari kata-katanya barusan. Sedangkan yang
dipandangi malah menatap pada Garang Dungkul
dengan sinar mata yang begitu tajam.
"Aku akan menantang pemimpinnya," kata Bayu
lagi, dengan nada suara yang tetap tegas.
"Kau jangan gila-gilaan, Bayu!" sentak Nyai Wanda-
ri.
Bayu tersenyum saja.
"Aku akan membuat perjanjian dengannya, Nyai.
Aku akan mengusir mereka tanpa harus mengeluarkan
darah lebih banyak lagi," sambung Bayu.
Nyai Wandari masih belum percaya dengan ke-
sanggupan Pendekar Pulau Neraka ini untuk menan-
tang Garang Dungkul, seorang pemimpin gerombolan
perampok yang sangat tinggi kepandaiannya. Selain
itu, kekejamannya juga sudah begitu terkenal. Dia ti-
dak pernah membiarkan lawan-lawannya tetap hidup.
Dia akan membunuh siapa saja yang berani menan-
tangnya.
"Perintahkan murid-muridmu menghentikan se-
rangannya, Nyai," pinta Bayu, tegas.
"Kau akan dilumatnya habis, Bayu," kata Nyai
Wandari, masih mencoba mencegah keinginan Bayu
untuk menantang pemimpin gerombolan perampok itu.
"Percayalah kepadaku, Nyai," ujar Bayu, berusaha
meyakinkan Nyai Wandari.
Sebentar Nyai Wandari termenung berpikir. Kemu-
dian dia memerintahkan murid-muridnya untuk ber-
henti menghujani perampok-perampok itu dengan
anak panah. Begitu terdengar teriakan keras dari Nyai
Wandari, panah-panah itu pun berhenti berhamburan.
Saat itu juga Bayu hendak melompat turun. Tapi,
Nyai Wandari cepat mencegahnya.
"Bawa ini, Bayu," kata Nyai Wandari sambil menye-
rahkan Keris Naga Emas.
Bayu hanya memandangi senjata pusaka berwarna
kuning keemasan yang berbentuk seekor naga itu.
"Aku sengaja mencari Keris Naga Emas ini untuk
menghadapi Garang Dungkul. Tapi karena kau yang
akan menghadapinya, maka keris ini aku serahkan
padamu," kata Nyai Wandari lagi.
'Terima kasih, Nyai. Simpan saja pusaka itu. Aku
tidak akan bisa menggunakannya," tolak Bayu, halus.
Setelah berkata begitu, Bayu segera melompat ke-
luar dari benteng padepokan ini. Begitu indah dan rin-
gan gerakannya. Nyai Wandari sendiri tidak dapat lagi
mencegahnya. Perempuan setengah baya itu pun me-
nyimpan kembali Keris Naga Emas ke balik lipatan ba-
junya.
Tepat di saat Pendekar Pulau Neraka mendarat di
tanah, Intan Kumala dan Rara Anting sampai di samp-
ing ibunya. Mereka tampak terkejut melihat Bayu su-
dah berada di luar pagar benteng padepokan ini. Se-
dangkan perampok-perampok itu juga menghentikan
usahanya mendobrak pintu. Mereka langsung bergerak
mengepung Pendekar Pulau Neraka. Tampak pemuda
berbaju kulit harimau itu melangkah tegap mengham-
piri Garang Dungkul yang masih tetap berdiri angkuh
di bawah pohon kenanga.
"Mau apa Kakang Bayu ke sana, Bu?" tanya Intan
Kumala.
"Menantang Garang Dungkul," sahut Nyai Wandari.
"Heh...?!"
Bukan hanya Intan Kumala yang terkejut, tapi Ra-
ra Anting juga tersentak kaget mendengar jawaban
ibunya. Saat itu juga tersirat kecemasan di wajah In-
tan Kumala. Dia begitu cemas, karena Bayu akan
menghadapi pemimpin gerombolan perampok itu seo-
rang diri saja. Tapi, saat itu Bayu sudah melangkah
menghampiri Garang Dungkul, dengan ayunan kaki
yang tegap dan mantap.
***
"Kau yang bernama Garang Dungkul?" tanya Bayu
dengan nada suara yang agak dalam begitu berada se-
kitar dua batang tombak lagi di depan laki-laki bertu-
buh tinggi tegap dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Phuih!" Garang Dungkul menyemburkan ludah-
nya. "Benar, aku yang bernama Garang Dungkul. Mau
apa kau kemari?"
"Aku akan menantangmu bertarung, Garang
Dungkul," sahut Bayu, tegas.
"Ha ha ha...!"
Garang Dungkul tertawa terbahak-bahak menden-
gar tantangan terbuka yang diucapkan Pendekar Pulau
Neraka. Sedangkan Bayu diam saja sambil menatap ta-
jam pada laki-laki berwajah kasar ini. Sementara itu
semua anak buah Garang Dungkul sudah membuat
lingkaran mengepung tempat keduanya berdiri.
Di atas pagar benteng, terlihat Nyai Wandari dan
kedua putrinya serta murid-muridnya menyaksikan
dengan hati berdebar cemas. Tapi, tak ada seorang
pun yang bisa berbuat sesuatu. Mereka hanya bisa
memohon perlindungan bagi Pendekar Pulau Neraka
pada Sang Hyang Widi di dalam hati.
"Dengar, Garang Dungkul. Kalau kau bisa menga-
lahkan aku, kau boleh menduduki padepokan itu. Tapi
kalau kau yang kalah, kau harus membawa pergi se-
mua anak buahmu. Dan jangan kembali lagi ke sini,"
kata Bayu, memberikan penawaran.
"Phuih! Matamu sudah buta, Bocah! Apa kau tidak
tahu siapa aku, heh...?!" bentak Garang Dungkul, sen-
git.
"Justru karena aku tahu siapa kau, maka aku in-
gin menantangmu bertarung, Garang Dungkul," sahut
Bayu, mantap.
"Edan...! Apa yang kau andalkan, Bocah?"
"Keyakinan untuk mengalahkanmu."
"Phuih!"
Merah padam seluruh wajah Garang Dungkul
mendengar kata-kata Pendekar Pulau Neraka yang be-
gitu tenang dan mantap. Dia merasa direndahkan dan
tidak dipandang sebelah mata. Baru kali ini dia ditan-
tang oleh seorang pemuda yang usianya jauh di ba-
wahnya. Tapi, tantangan yang dilontarkan secara ter-
buka ini tidak mungkin bisa ditolak lagi. Dia akan ke-
hilangan muka kalau menolak tantangan terbuka se-
perti ini.
"Baik, aku terima tawaranmu, Bocah. Tapi aku
akan menambahkan tawaranmu," kata Garang Dung-
kul.
"Katakan," balas Bayu.
"Aku akan membantai semua yang ada di dalam
sana. Dan kau harus menyaksikan semua itu. Menger-
ti...?!"
Lantang sekali suara Garang Dungkul, sehingga
sampai terdengar oleh mereka yang berada di atas pa-
gar benteng padepokan itu.
"Kau tidak akan bisa mengumbar nafsumu, Garang
Dungkul," ujar, Bayu yang nada suaranya kali ini tera-
sa sinis.
"Keparat..!" geram Garang Dungkul, tak bisa lagi
menahan kemarahannya. "Mampus kau! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Garang Dungkul melompat sambil
mengayunkan goloknya yang besar ke arah kepala pe-
muda berbaju kulit harimau ini. Tapi, dengan gerakan
yang begitu manis, Bayu berhasil menghindari seran-
gan itu. Dan, cepat-cepat dia melompat ke belakang
beberapa langkah.
"Hiyaaa...!"
Baru saja Bayu menjejakkan kakinya di tanah, Ga-
rang Dungkul sudah melakukan serangan lagi secara
beruntun dengan cepat sekali. Bayu pun terpaksa ber-
jumpalitan menghindarinya.
Pendekar Pulau Neraka mencoba mencari peluang
untuk balas menyerang. Tapi, Garang Dungkul ru-
panya tidak mau memberi kesempatan sedikit pun ke-
pada lawannya untuk balas menyerang. Cepat sekali
dia kembali menyerang dengan goloknya yang besar
dan berkilatan tajam. Bayu pun harus berjumpalitan
lagi. Tubuhnya meliuk-liuk menghindari setiap seran-
gan yang datang begitu cepat dan dahsyat luar biasa
ini.
"Hiya! Hiya! Hiyaaa...!"
Semakin dahsyat saja serangan-serangan yang di-
lancarkan Garang Dungkul. Semua orang yang me-
nyaksikan pertarungan itu pun tampak menahan na-
pas. Dan, gerakan-gerakan yang dilakukan oleh kedua
orang yang tengah bertarung ini terlihat begitu cepat,
sehingga sulit diikuti dengan pandangan mata biasa.
Hanya bayangan-bayangan yang terlihat berkelebatan
begitu cepat.
Pertarungan itu berjalan begitu dahsyat. Garang
Dungkul langsung mengerahkan jurus-jurusnya yang
dahsyat dan sangat berbahaya. Goloknya yang beruku-
ran raksasa berkelebatan begitu cepat di sekitar tubuh
Pendekar Pulau Neraka. Entah sudah berapa jurus
berlalu, tapi tampaknya pertarungan itu masih akan
terus berlangsung dan semakin bertambah sengit saja.
"Mampus kau! Hiyaaa...!"
"Hap!"
Tepat ketika Garang Dungkul membabatkan golok-
nya ke dada, cepat sekali Bayu mengatupkan kedua te-
lapak tangannya di depan dada. Sehingga ujung golok
yang berkilatan tajam itu terjepit di antara kedua tan
gan yang merapat itu.
"Ihhh...!"
Garang Dungkul terkejut setengah mati. Cepat-
cepat dia menarik senjatanya disertai pengerahan te-
naga dalam yang tinggi. Dan, pada saat itu juga....
"Hih!"
Bayu malah menghentakkan kedua tangannya me-
lepaskan jepitan pada golok itu. Hingga tak pelak lagi,
Garang Dungkul jadi tersentak. Dia langsung ter-
huyung ke belakang, tidak bisa lagi menguasai ke-
seimbangan tubuhnya. Dan, pada saat itu pula, den-
gan kecepatan bagai kilat, Bayu melompat sambil me-
lepaskan satu tendangan keras menggeledek yang
mengarah ke dada.
"Hiyaaa...!"
"Hih!"
Tanpa diduga sama sekali, Garang Dungkul malah
mengebutkan goloknya ke depan. Cepat-cepat Bayu
memutar tubuhnya. Dihindarinya sambaran golok itu.
Lalu, beberapa kali Bayu melakukan putaran di udara.
Dan, dengan manis sekali dia menjejakkan kakinya di
tanah, sekitar dua batang tombak di depan Garang
Dungkul.
"Hap!"
Cepat-cepat Bayu memiringkan tubuhnya ke kiri
dan mendoyongkan sedikit ke depan. Kedua kakinya
dipentang lebar ke samping. Sorot matanya yang begi-
tu tajam terarah lurus ke bola mata laki-laki bertubuh
tinggi besar dan berwajah kasar penuh brewok itu.
"Hiya! Yeaaah...!"
Tiba-tiba saja Bayu menghentakkan tangan ka-
nannya yang menyilang di depan dada. Tangan kanan
Pendekar Pulau Neraka itu terulur ke depan. Saat itu
juga, terlihat Cakra Maut yang selama ini menempel di
pergelangan tangan Pendekar Pulau Neraka meluncur
deras.
"Hup!"
Garang Dungkul cepat-cepat melentingkan tubuh-
nya ke udara dan melakukan putaran beberapa kali.
Dihindarinya terjangan senjata maut Pendekar Pulau
Neraka itu. Tapi, baru saja dia menjejakkan kakinya di
tanah, Bayu sudah menghentakkan tangan kanannya.
Cakra Maut kembali melesat begitu cepat.
"Hup! Hiyaaa...!"
Sambil melompat ke udara, Garang Dungkul men-
gebutkan goloknya dengan cepat, tepat di saat Cakra
Maut hampir menembus dadanya. Dua senjata pun
langsung berbenturan begitu keras, sampai menim-
bulkan ledakan yang dahsyat luar biasa, bagai ledakan
gunung berapi yang murka akibat ulah manusia yang
tidak bertanggung jawab.
"Hup! Hiyaaa...!"
Cepat sekali Bayu melenting ke udara sambil
menghentakkan tangan kanannya ke atas kepala. Ca-
kra Maut kembali menempel di pergelangan tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka dengan cepat sekali.
Dan, tahu-tahu pemuda berbaju kulit harimau itu su-
dah melompat begitu cepat dan meluruk deras ke arah
Garang Dungkul.
"Yeaaah...!"
Begitu cepat serangan yang dilancarkan Bayu kali
ini. Akibatnya Garang Dungkul, yang masih berusaha
menguasai diri akibat benturan goloknya dengan Ca-
kra Maut tadi, tidak dapat lagi menghindari tendangan
menggeledek yang dilepaskan Pendekar Pulau Neraka
dari udara.
Des!
"Akh...!"
Garang Dungkul memekik sedikit begitu tendangan
yang dilepaskan Bayu mendarat telak di dadanya. Seketika itu juga tubuhnya terpental deras ke belakang.
Sebatang pohon yang terlanda tubuh besar itu lang-
sung hancur berkeping-keping. Dan, saat itu juga
Bayu sudah kembali melompat tinggi-tinggi ke udara.
"Hiyaaa...!"
Bet!
Slap!
Kembali Cakra Maut melesat cepat begitu tangan
kanan Pendekar Pulau Neraka mengibas ke depan. Ce-
pat sekali senjata maut Pendekar Pulau Neraka itu me-
luncur, sehingga Garang Dungkul yang baru saja men-
coba bangkit berdiri tidak dapat lagi menghindari.
Dan...
Crab!
"Aaa…!”
Jeritan panjang melengking tinggi seketika itu juga
terdengar menyayat ketika Cakra Maut menembus da-
da Garang Dungkul. Laki-laki bertubuh tinggi besar itu
menggelepar di tanah. Darah langsung muncrat keluar
begitu Cakra Maut melesat balik dan kembali menem-
pel di pergelangan tangan kanan Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Hap!"
Ringan sekali Bayu menjejakkan kakinya kembali
di tanah. Begitu sempurna ilmu meringankan tubuh
yang dimilikinya. Sehingga, tak sedikit pun terdengar
suara saat tubuhnya mendarat tidak jauh dari Garang
Dungkul, yang menggeletak dan menggelepar mere-
gang nyawa di antara puing-puing kayu pohon yang
terlanda tubuhnya tadi.
"Kau..., kau...
Akh!"
Garang Dungkul tidak mampu lagi menyelesaikan
ucapannya. Dia langsung mengejang kaku dan tewas
seketika dengan dada berlubang berlumuran darah.
Melihat pemimpinnya tewas, seketika itu juga
orang-orang yang mengepung Bayu langsung berlarian
mengambil langkah seribu. Sedangkan Pendekar Pulau
Neraka tersenyum saja melihat anak buah si Garang
Dungkul berserabutan melarikan diri.
Sementara itu dari dalam benteng, berhamburan-
lah semua murid Nyai Wandari. Di antara mereka, ter-
lihat pula Intan Kumala, Rara Anting, dan Nyai Wan-
dari sendiri. Mereka setengah berlari menghampiri
Pendekar Pulau Neraka.
Nyai Wandari langsung menyodorkan tangan begitu
sampai di dekat pemuda berbaju kulit harimau ini.
Dan, Bayu langsung menyambutnya dengan senyum
tersungging di bibir.
'Terima kasih, kau telah menyelamatkan padepo-
kanku," ucap Nyai Wandari, tulus.
"Sudah sepantasnya sesama makhluk hidup saling
membantu, Nyai," sambut Bayu, merendah.
"Bayu, sebagai ucapan rasa terima kasihku, mau-
kah kau tinggal beberapa hari di padepokanku," pinta
Nyai Wandari.
Bayu belum bisa menjawab permintaan itu. Tapi,
Intan Kumala sudah mendesak dibantu adiknya. Pen-
dekar Pulau Neraka pun tidak bisa lagi menolak per-
mintaan mereka. Dia hanya menganggukkan kepala
saja. Dan Intan Kumala tampak tersenyum cerah meli-
hat anggukan kepala Pendekar Pulau Neraka.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar