Serial Pendekar Naga Putih
GOA LARANGAN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : TuH S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy atau
memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa Isln
tertulis dari penerbit
SATU
Cahaya kemerahan tampak menghias kaki langit sebelah
timur. Tak lama kemudian, kegelapan mulai turun perlahan
merambah permukaan bumi. Dan purnama pun muncul
menghiasi langit yang kelam. Cahayanya yang kuning
keperakan menebar, menguak kegelapan malam.
"Auuung...!"
Seiring dengan munculnya purnama dan hembusan angin
dingin yang bertiup keras terdengar lolongan anjing hutan.
Gema lolongannya terbawa angin hingga jauh ke Desa Larang.
Suara lolongan yang terdengar menyayat hati dan mendirikan
bulu roma itu membuat warga Desa Larang semakin rapat
memejamkan matanya.
Tapi siapa sangka dalam suasana seperti itu, yang
membuat orang enggan ke luar rumah, terlihat dua orang
pengendara kuda tengah menerobos kegelapan malam.
Dengan bantuan cahaya rembulan, kedua penunggang kuda
itu bergerak perlahan menuju Desa Larang.
"Sudah kuduga, kita pasti akan kemalaman di jalan
sebelum tiba di Desa Larang. Kalau saja Ka-kang mau
mendengar nasihatku untuk berangkat esok pagi, mungkin
tidak akan begini jadinya. Apalagi suasana malam ini begitu
menyeramkan. Hhh.... Entah mengapa hatiku berdebar-debar.
Mungkin karena kita masih harus melewati tepi Hutan
Larangan yang angker itu...," gumam penunggang kuda
berwajah kurus dengan sebaris kumis tercukur rapi. Nada
suaranya terdengar tak puas menyalahkan kawan
seperjalanannya.
"Tapi kita tidak bisa meninggalkan tempat ini sebelum
jenazah adikku dimakamkan. Apa kata orang nanti kalau aku
tidak ikut mengantar ke kuburan? Kalau saja sakit adikku tidak
terlalu parah dan utusannya tidak berpesan agar aku segera
datang, mungkin aku tidak akan menjenguknya. Sebab aku
tidak suka melewati tepi Hutan Larangan. Sayang, kita tidak
bisa melewati jalan lain untuk sampai ke desa adikku. Jadi,
yahhh... Terpaksa harus kulakukan. Kuharap kau mau
mengerti, Adi Guminta,..," sahut lelaki gagah yang tampak
masih diselimuti kedukaan. Rupanya dia masih terkenang
adiknya yang pergi untuk selama-lamanya.
Lelaki bertubuh kurus yang bernama Guminta hanya
menghela napas panjang. Kedukaan sahabatnya bukan tidak
dimengertinya, tapi dia tidak bisa menenteramkan hatinya
yang dipenuhi rasa cemas. Karena mereka harus melewati tepi
Hutan Larangan untuk sampai ke desa tempat tinggal mereka.
"Auuung...!"
"Binatang keparat! Lolongannya membuat hatiku semakin
tak tenang!" umpat Guminta ketika serigala hutan kembali
memperdengarkan suaranya yang mendirikan bulu roma.
"Tahan mulutmu, Adi! Jangan terlalu banyak mengumpat
Sebaiknya kita berdoa agar selamat sampai ke desa kita."
Lelaki gagah yang bernama Jatayu menasihati Guminta
agar jangan melontarkan makian setiap kali mendengar
lolongan binatang buas.
"Bagaimana aku bisa tenang, Kakang. Lolongan binatang
setan itu seolah sengaja diperdengarkan untuk membuat kita
ketakutan. Huh! Kalau saja binatang itu berani datang
mendekat, akan kuhabisi nyawanya!" geram Guminta tak mau
mendengar nasihat Ki Jatayu.
Sesungguhnya lelaki itu sengaja melontarkan kata-kata
agar rasa takutnya berkurang. Dan ternyata usahanya cukup
berhasil. Sebab dengan banyak berbicara, rasa takutnya bisa
terlupakan. Sayang ucapan yang dikeluarkannya terlalu kasar,
hingga membuat Ki Jatayu tak senang.
"Biarkan binatang itu melolong sesuka hatinya, Adi. Yang
penting kita tetap menjaga sikap dan ucapan agar penghuni
Hutan Larangan tidak marah. Aku khawatir ucapanmu akan
mencelakakan kita berdua...," Ki Jatayu kembali menasihati
Guminta dengan mengingatkan keangkeran Hutan Larangan.
"Kau jangan menakut-nakuti aku, Kakang...," desis
Guminta.
Wajah lelaki kurus itu berubah pucat ketika mendengar
ucapan Ki Jatayu. Apalagi saat itu mereka sudah semakin
dekat dengan Hutan Larangan Guminta tidak bisa lagi
menyembunyikan rasa takutnya.
"Aku bukan ingin menakut-nakutimu, Adi Guminta. Tapi
sekadar mengingatkanmu agar bisa menjaga mulutmu," ujar
Ki Jatayu seraya memperlambat lari kudanya saat tepi Hutan
Larangan tinggal beberapa tombak lagi di depan mereka.
Wajah Guminta semakin pucat ketika jarak tepi Hutan
Larangan bertambah dekat. Jelas terlihat kalau lelaki kurus
berusia sekitar tiga puluh tahun itu tengah dilanda ketakutan
yang cukup hebat
"Kakang, lihat...!" Guminta berseru tertahan ketika di depan
mereka terlihat dua bulatan berwarna merah. "Itu..., itu mata
setan...!"
Ki Jatayu pun sempat tergetar hatinya ketika melihat dua
bulatan berwarna merah darah menghadang perjalanan
mereka. Kendati demikian, lelaki gagah itu mencoba untuk
tetap bersikap tenang, dan meneliti dengan seksama sepasang
mata yang menghadang di depan.
Angin dingin bertiup keras membuat dedaunan pohon
tersibak. Dan cahaya rembulan yang menerobos dedaunan
pohon, jatuh tepat di tempat sepasang mata merah darah itu
berada.
"Hhh.... Rupanya hanya seekor serigala kesasar," gumam Ki
Jatayu menghela napas lega. Tapi rasa lega itu hanya
berlangsung sekejap, karena tiba-tiba terdengar suara aneh
yang membuat dada mereka berdebar keras.
"Keaaak..., kik..., kik..., kik,..!"
Suara parau menyeramkan yang sanggup membuat putus
nyawa seorang,penakut itu terdengar bergema panjang,
disertai hembusan angin dingin yang bertiup keras.
"Ssse..., se..., setaaan...!"
Guminta tidak sanggup lagi menahan rasa takut yang
mendera hatinya. Bagai orang yang kerasukan setan, kudanya
segera dibedal dan melesat secepat anak panah, menerobos
kegelapan malam.
"Adi Guminta! Tahaaan...!"
Ki Jatayu berusaha mencegah Guminta. Sayang, perbuatan
lelaki gagah itu sia-sia, karena Guminta sudah tidak peduli lagi
dengan keadaan di sekelilingnya.
Tapi sebelum Guminta sempat lari jauh, tiba-tiba terlihat
sesosok bayangan hitam yang mirip kelelawar raksasa,
terbang mengejar lelaki kurus itu. Dan....
Breeet! Breeer!
"Aaa...!"
Terdengar jerit kematian panjang merobek kehenlngan
malam. Tubuh Guminta terlempar dari atas punggung kuda
dengan pakaian berlumur darah.
"Adi Guminta...!"
Ki Jatayu memekik tertahan melihat kejadian itu. Lelaki itu
cepat melesat dengan pedang terhunus. Namun, sosok yang
mirip kelelawar raksasa itu telah menghilang di balik rimbunan
pohon.
Dengan tangkas, Ki Jatayu melompat turun dari atas
punggung kuda. Rasa takutnya seketika lenyap, terhapus oleh
rasa tanggung jawab atas keselamatan kawannya. Tapi nyawa
Guminta telah terbang. Lehernya hampir putus akibat cakaran
makhluk yang mirip kelelawar raksasa.
"Ah, Adi Guminta...," rintih Ki Jatayu sedih, menyaksikan
kematian kawannya yang begitu mengenaskan.
Ketika teringat akan bayangan hitam yang mirip kelelawar
raksasa, Ki Jatayu segera berbalik dengan sigap. Pedangnya
disilangkan di depan dada. Sepasang matanya berputar liar
meneliti keadaan di sekitarnya. Tapi tak sesosok makhlukpun
yang dilihatnya. Hanya kegelapan dan hembusan angin dingin
yang didapatinya.
"Hei, Makhluk Keparat! Apa kau sudah merasa puas dengan
satu nyawa saja?! Mengapa kau tidak bunuh aku juga? Ayo,
tunjukkan rupamu! Aku, Ki Jatayu saat ini menantangmu
untuk bertarung mati-matian...!"
Ki Jatayu berteriak menantang, setelah beberapa saat
lamanya sosok makhluk itu tidak juga menampakkan diri.
Lelaki gagah itu sudah lupa akan Hutan Larangan yang
dianggap keramat dan ditakuti penduduk sekitarnya. Rupanya
kematian Guminta membuatnya nekat, dan tidak takut
menghadapi kematian.
Tapi sosok makhluk yang ditunggu-tunggu tak kunjung
muncul. Sehingga lelaki gagah itu menjadi jengkel. Untuk
menumpahkan kemarahannya, Ki Jatayu menebaskan
pedangnya ke sebatang pohon yang langsung berderak roboh!
Sesaat setelah pohon yang dipapasnya itu tumbang,
terdengar langkah-langkah kaki lunak berlarian ke arahnya.
Cepat Ki Jatayu berbalik sambil menyilangkan pedangnya, siap
menghadapi segala kemungkinan.
Tidak berapa lama kemudian, sosok-sosok kecil
bermunculan mengepung Ki Jatayu. Terdengar gerengan buas
di sana-sini dengan mata semerah saga dan air liur tak henti
berjatuhan.
"Setan...!"
Bentak Ki Jatayu ketika melihat yang berdatangan
mengepungnya adalah belasan ekor serigala kelaparan. Tentu
saja lelaki gagah Itu marah, karena bukan binatang-binatang
kelaparan itu yang ditantangnya.
"Hmmmr..., grrr...!"
Gerengan-gerengan
buas binatang kelaparan
itu membuat Ki Jatayu
sadar kalau dirinya
tengah diincar bahaya
maut. Maka pedang di
tangannya segera
berkelebat saat dua ekor
serigala mener-jangnya
dari depan.
"Mampus kau,
Binatang Laknat...!"
maki Ki Jatayu seraya
menebaskan pedangnya
dengan pengerahan
tenaga dalam.
Crakkk! Crakkk!
Darah segar muncrat saat pedang Ki Jatayu merobek perut
dan leher dua ekor serigala yang menyerangnya. Tapi
percikan darah segar itu tidak membuat gentar yang lainnya.
Malah serigala-serigala itu semakin bertambah buas. Sehingga
Ki Jatayu kewalahan menghadapi serbuan binatang-binatang
buas yang licik itu.
"Makhluk keparat..!"
Sesekali terdengar lelaki gagah itu mengumpat ketika
beberapa bagian tubuhnya terkoyak oleh taring-taring yang
runcing dan tajam. Sehingga Ki Jatayu terpaksa harus
bergerak mundur menjauhi tepi Hutan Larangan.
"Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya pedang di tangan Ki Jatayu kembali
menyambar, tiga kali berturut-turut. Akibatnya, tiga ekor
serigala yang berada di kanan dan kirinya terjungkal roboh
mandi darah. Pada saat yang hampir bersamaan, seekor
serigala yang berada di belakangnya melesat mengancam
tengkuk Ki Jatayu dengan taringnya yang runcing. Dan...
Crappp!
"Aaa...!"
Ki Jatayu memekik kesakitan ketika taring binatang itu
tertancap di belakang lehernya. Cepat lelaki gagah itu
mengulurkan tangannya mencekal leher serigala buas itu.
Kemudian membantingnya ke tanah dengan sekuat tenaga.
Bukkk!
Tak puas hanya dengan bantingan, lelaki gagah itu
mengayunkan telapak kakinya menjejak tubuh binatang itu.
Sehingga serigala malang itu melolong ketika telapak kaki Ki
Jatayu yang mengandung tenaga dalam kuat itu meluluh-
lantakkan tubuhnya.
"Mampus kau, Binatang Laknat...!" bantak Ki Jatayu geram.
Sayang, kemarahan yang melewati batas itu membuatnya
lengah. Seekor serigala yang berada di depannya menerkam
dengan kedua kaki depan menerjang dada Ki Jatayu.
Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terjerembab ke belakang.
Menyadari kedudukannya sudah tidak dapat lagi bertahan,
Ki Jatayu pun mengayunkan pedangnya secara membabi buta.
Terdengar raungan keras berturut-turut disusul robohnya tiga
ekor serigala dengan tubuh bermandikan darah. Ki Jatayu
sendiri langsung bergulingan menjauhi tempat itu. Dengan
sisa-sisa tenaganya, lelaki gagah itu berusaha bangkit dan
melarikan diri menuju desa.
Serigala-serigala kelaparan itu agaknya tidak ingin
melepaskan calon korbannya begitu saja. Dengan suara ribut,
binatang-binatang kelaparan itu berserabutan mengejar Ki
Jatayu.
-odwo-
Dengan mengerahkan seluruh kemampuannya, Ki Jatayu
berlari tersaruk-saruk menerobos kegelapan malam.
Untunglah bias-bias cahaya rembulan yang menerobos
dedaunan menolong pandangan Ki Jatayu. Sehingga lelaki itu
dapat menentukan arah larinya dengan tepat. Kalau saja saat
itu bulan Bdak muncul penuh, mungkin Ki Jatayu mengalami
kesulitan untuk mengenali jalan.
Napas Ki Jatayu sudah hampir putus karena pengerahan
tenaga yang melewati batas. Darah yang terus mengalir dari
luka-lukanya membuat tenaga lelaki gagah itu semakin lemah.
Meski demikian, semangatnya berusaha dikempos, karena
menyadari kalau binatang-binatang buas yang mengejarnya
sudah semakin dekat. Sayangnya tenaga Ki Jatayu sudah tak
sanggup lagi untuk menambah kecepatan larinya. Sehingga
tak berapa lama kemudian, seekor serigala yang berada di
belakangnya melompat, menerkam punggungnya.
Brukkkl
"Aaah...!"
Ki Jatayu terpekik kaget. Tubuhnya yang sudah semakin
lemah terjerembab jatuh mencium tanah berumput Untung
senjatanya masih tergenggam erat Dan sambil menggulingkan
tubuh ke samping, pedangnya disabetkan ke belakang.
Sehingga serigala yang menerkamnya langsung terlempar
mandi darah. Ki Jatayu sendiri sudah melompat bangkit meski
dengan terhuyung-huyung. Disusulnya peluh yang membasahi
wajah dan menghalangi pandangan matanya. Menyadari
dirinya sudah kembali terkepung, Ki Jatayu memutuskan untuk
mempertahankan selembar nyawanya sampai titik darah
terakhir.
"Hm.... Majulah kalian! Aku akan mengadu nyawa dengan
kalian...!" desis Ki Jatayu seraya menyilangkan pedangnya di
depan dada. Siap untuk bertarung mati-matian!
Terdengar gerengan buas di sana-sini. Mata-mata yang
merah seperti darah, menatapnya penuh hasrat Moncong-
moncong bertaring runcing dengan air Hur yang tak henti-
hentinya menetes, siap mengoyak tubuh lelaki gagah itu.
Ki Jatayu menekan segala rasa takut dan ngeri yang
mencekam jiwanya. Giginya digertakkan kuatkuat untuk
membangkitkan semangat dan keberanian yang masih dimiliki.
"Haaat...!"
Diawali sebuah bentakan keras, tubuh Ki Jatayu melayang
ke depan mendahului binatang-binatang buas itu. Pedang di
tangannya berkelebat menerbitkan cahaya putih, disertai
suara berdesing nyaring. Sayang, sambaran pedangnya
menemui tempat kosong.
"Setan alas...!"
Ki Jatayu memaki sekenanya ketika sambaran pedangnya
kembali mengenai tempat kosong. Padahal, untuk serangan
itu sisa-sisa tenaganya telah dikerahkan. Sehingga, tubuhnya
agak terhuyung ketika serangan itu tidak memberi hasil
seperti yang diharapkan.
"Aaa...!"
Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika salah seekor
binatang itu melekat di punggung dan menancapkan
taringnya. Kali ini Ki Jatayu tidak sempat lagi menyabetkan
pedangnya ke arah serigala itu. Karena pada saat itu juga
serigala-serigala yang lainnya sudah berlompatan menerkam
tubuhnya. Akibatnya, tubuh lelaki gagah itu terbanting ke atas
tanah berumput. Terdengar jeritannya yang panjang merobek
kesunyian malam.
Pada saat serigala-serigala buas itu tengah berusaha
mengoyak tubuh Ki Jatayu, tiba-tiba muncul sesosok
bayangan putih yang langsung saja mengibaskan kedua
tangannya. Sehingga, binatang-binatang buas itu terlempar ke
kiri dan kanan. Beberapa di antaranya langsung tewas dengan
tubuh remuk karena terbentur batang pohon.
"Pergi kalian, Binatang-binatang Laknat..!" bentak sosok
bayangan putih itu sambil melemparkan serigala-serigala buas
dari tubuh Ki Jatayu. Sebentar saja tubuh Ki Jatayu telah
terbebas dari keroyokan binatang-binatang buas yang licik itu.
Sosok berjubah panjang warna putih yang ternyata seorang
pemuda tampan itu berjongkok untuk memeriksa keadaan
orang yang ditolongnya. Terlihat kepalanya menggeleng ketika
menyaksikan luka-luka gigitan serigala di sekujur tubuh lelaki
tua yang malang itu. Agaknya pemuda berjubah putih itu
sadar kalau nyawa Ki Jatayu sudah tidak mungkin dapat
tertolong lagi.
"Ki.,.," pemuda tampan berjubah putih itu memanggil
perlahan, ketika melihat sepasang mata Ki Jatayu bergerak
membuka. Sayangnya napas orang tua itu tinggal satu-satu.
Sehingga, sukar sekali untuk mengeluarkan suara.
Ketika mendengar suara gerengan di belakangnya, pemuda
berjubah putih itu segera berbalik dengan sigap. Keadaan Ki
Jatayu terpaksa dilupakannya ketika melihat enam ekor
serigala berdiri di belakangnya, siap menerkam tubuhnya.
"Hm.... Rupanya kalian masih belum pergi juga!" desis
pemuda berjubah putih dengan nada geram.
Jelas sekali terlihat kalau pemuda berjubah putih itu sangat
marah pada binatang-binatang buas yang selalu bergerombol
dalam mencari mangsa. Perlahan-lahan tubuhnya bergerak
bangkit, siap menghadapi serigala-serigala yang sedang
kelaparan,
"Hm...."
Pemuda berjubah putih yang berperawakan sedang itu
mendengus perlahan ketika keenam serigala buas melesat
menerkamnya. Dan...
"Heaaah...!"
Hebat dan sangat mengagumkan gerakan tubuh pemuda
berjubah putih itu. Sekali melesat, sepasang tangannya
bergerak ke kiri dan kanan dengan tebasan sisi telapak tangan
miring. Akibatnya, keenam serigala buas itu langsung
terlempar ke kiri dan kanan dan terbanting keras ke tanah
berumput tanpa sanggup bangkit lagi. Tulang-tulang tubuh
binatang itu telah remuk akibat hantaman sisi telapak tangan
miring yang dilancarkan pemuda berjubah putih. Sungguh
mengagumkan!
Setelah memperhatikan keadaan sekeliling dan memastikan
serigala-serigala itu sudah menjadi bangkai, pemuda berjubah
putih itu melangkah ke arah tubuh Ki Jatayu. Terdengar
helaan napas beratnya bernada sesal, melihat lelaki tua yang
ditolongnya telah tewas.
Mendadak pemuda berjubah putih itu membalikkan
tubuhnya. Pendengarannya yang tajam menangkap ada
desiran angin di belakangnya. Sepasang matanya mencorong
tajam, siap menghadapi kemungkinan bahaya lain yang
datang mengancam.
"Kau, Kenanga...?" tegur pemuda berjubah putih saat
mengenali siapa yang baru datang dan menjejakkan kakinya
di atas tanah berumput
"Ya. Aku, Kakang...," sahut suara lembut seorang gadis.
Rupanya yang baru datang itu memang Kenanga Dengan
demikian, pemuda berjubah putih itupun dapat dikenali
dengan mudah. Siapa lagi yang bersama Kenanga kalau bukan
Panji yang berjuluk Pendekar Naga Putih.
"Aku hampir kehilangan jejakmu, Kakang. Kau berlari
terlalu cepat Untunglah aku mendengar raung kematian
binatang-binatang celaka ini tadi. Sehingga dapat menentukan
tempat ini dengan tepat," ujar Kenang sambil melangkah
mendekati kekasihnya.
"Kita terlambat, Kenanga. Orang tua malang ini sudah
tewas kehabisan darah. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka bekas
cakaran dan gigitan binatang itu...," sahut Panji penuh sesal.
"Mengapa kau kecewa, Kakang? Kita hanya manusia biasa.
Jadi, wajar saja jika sekali waktu kita gagal menyelamatkan
orang dari malapetaka," hibur Kenanga mencoba mengusir
rasa kecewa di hati pemuda tampan itu.
"Yahhhh.... Aku pun menyadarinya. Tapi mengapa orang
tua ini berada di tempat ini? Dan, apa pula yang menyebabkan
binatang-binatang buas itu sampai menyerangnya...?" gumam
Panji bertanya-tanya.
"Rasanya jawaban pertanyaanmu tidak sulit, Kakang.
Mungkin orang tua itu seorang pengembara seperti kita, yang
kemalaman di jalan. Lalu bertemu dengan serigala-serigala
kelaparan yang tengah mencari mangsa. Karena binatang
yang menyerangnya terlalu banyak, orang tua itu merasa
kewalahan dan tidak bisa mempertahankan dirinya dari
keroyokan gerombolan serigala buas itu...," sahut Kenaga,
menduga-duga.
"Kasihan orang tua malang ini...," gumam Panji, iba melihat
cara kemarJan Ki Jatayu yang mengenaskan. "Sebaiknya kita
melewatkan malam di tempat ini. Besok pagi kita kuburkan
jenazah orang tua malang iri...."
'Terserah Kakang sajalah...," sahut Kenanga tak
membantah usul kekasihnya.
-odwo-
DUA
Lima sosok tubuh bertampang kasar dengan sinar mata
tajam, bergerak memasuki mulut Desa Larang. Begitu
melewati mulut desa, mereka langsung menuju sebuah kedai
yang terletak di sebelah kiri jalan utama.
"Kita beristirahat dulu di kedai itu, sambil bertanya-tanya
untuk memastikan arah tujuan kita agar tidak meleset," ujar
lelaki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata cekung.
Melihat sikap dan caranya berbicara, dapat dipastikan kalau
lelaki tinggi kurus itu bertindak sebagai pimpinan dari keempat
kawannya.
"Menurutku arah yang kita ambil sudah benar, Kakang.
Bukankah desa ini bernama Larang, seperti yang tertera di
tiang batu perbatasan desa...?" sahut orang bertubuh pendek
gemuk dengan bagian tengah kepalanya botak.
Rambut di kepala orang itu hanya tumbuh di kedua asi
samping. Dan seluruh permukaan wajahnya dipenuhi bopeng-
bopeng bekas penyakit cacar. Sehingga, tidak sedap
dipandang mata. Apalagi sepasang matanya yang terlalu besar
itu menyiratkan kekejaman. Membuat orang enggan untuk
beradu pandang dengannya.
"Apa yang kau katakan itu tidak salah, Adi Gumantara.
Tapi, akan lebih baik jika kita tahu secara pasti di mana letak
Goa Larangan yang kita tuju itu. Sebab, bisa saja hanya nama
desa ini yang hampir mirip dengan tempat yang kita cari,"
bantah lelaki tinggi kurus sambil mengayun langkahnya
mendekati kedai yang tampak cukup ramai oleh pengunjung.
"Perkiraan Kakang Gontang sama persis dengan
pemikiranku. Mungkin hanya namanya saja yang hampir mirip.
Tapi, siapa tahu tempatnya berjauhan. Jadi, tidak ada
salahnya kita bertanya pada pemilik atau pelayan kedai.
Dengan demikian, kita bisa mengetahui secara pasti letak Goa
Larangan itu...," timpal yang lainnya, mendukung usul
pimpinan mereka yang bernama Gontang.
"Heh, tidak kusangka hari ini otakmu bisa berpikir jernih.
Adi Kambala. Padahal biasanya kau paling bodoh di antara
yang lainnya. Ada kemajuan rupanya, heh...?" dengus Ki
Gontang bernada sedikit mengejek..
Namun, lelaki bertubuh kekar yang dipanggil Kambala tidak
merasa tersinggung. Dia hanya terkekeh memamerkan giginya
yang hitam dan besar-besar.
Pembicaraan kelima orang bertampang kasar itu terhenti
saat mereka sudah berada di ambang pintu kedai. Ki Gontang
melangkah masuk lebih dulu. Sepasang matanya bergerak
menyapu seluruh isi ruangan. Tubuhnya tegak di ambang
pintu kedai, membuat sebagian pengunjung menoleh ke arah
lelaki tinggi kurus bermata cekung itu. Tapi pandangan
mereka segera beralih ke arah hidangan di atas meja, ketika
melihat tampang Ki Gontang yang menyeramkan. Terutama
tatapan matanya yang setajam mata elang. Sehingga
beberapa orang pengunjung yang dapat menangkap gelagat
tidak baik kelima pendatang itu, cepat-cepat menyelesaikan
makannya dan bergerak meninggalkan kedai
Ki Gontang hanya mendengus ketika pengunjung yang
hendak meninggalkan kedai meminta jalan kepadanya dengan
tubuh terbungkuk-bung-kuk. Kemudian lelaki itu bergerak
masuk diikuti empat kawannya.
"Ambilkan kami arak terbaik dan makanan yang paling
istimewa di kedai ini. Cepat..!" pinta Ki Gontang kepada
pelayan, berusia empat puluh tahun yang kelihatan agak
takut-takut menghampiri kelima lelaki berwajah garang itu.
"Baik..., baik, Tuan...," sahut pelayan itu bergegas
menyiapkan pesanan Ki Gontang. "Hei, tunggu dulu...!" seru
Gumantara. §eruan lelaki gemuk yang mukanya bopeng-
bopeng itu membuat pelayan kedai menahan langkahnya, dan
berbalik.
"Ada apa, Tuan...?" tanyanya hati-hati, takut akan berbuat
salah.
Agaknya, pelayan kedai itu sudah dapat meraba kalau
kelima orang tamunya kemungkinan besar bukanlah orang
baik-baik. Meskipun tidak bisa menebaknya dengan pasti, tapi
sinar mata kelima orang tamunya jelas membayangkan watak
yang kejam. Dan pelayan kedai itu tidak ingin mencari
penyakit.
"Desa ini bernama Desa Larang, bukan?" tanya Gumantara
dengan suara kasar.
"Benar, Tuan...," sahut pelayan itu agak gugup, melihat
sorot mata yang demikian tajam menatap wajahnya
"Hm.... Apakah desa ini ada hubungannya dengan Goa
Larangan? Tahukah kau, di mana goa itu berada...?" tanya
Gumantara langsung pada tujuan.
Mendengar nama Goa Larangan, wajah pelayan itu
langsung berubah pias dan tubuhnya gemetar ketakutan.
Sehingga, Ki Gontang dan kawan-kawannya merasa heran
melihat perubahan yang tiba-tiba itu.
"Hei! Apa kau tidak mendengar pertanyaanku! Mengapa
kau begitu ketakutan ketika aku menyebut nama Goa
Larangan? Hayo, jawab?!" bentak Gumantara tak sabar ketika
melihat pelayan kedai belum juga menjawab pertanyaannya
"Aku..., aku...."
Ucapan pelayan kedai itu membuat Gumantara semakin tak
sabar. Tangannya langsung mengepal, siap menghajar
pelayan kedai yang ketakutan.
"Sabar, Adi Gumantara," cegah Ki Gontang ketika melihat
pelayan itu semakin sulit mengeluarkan suara. "Biar aku yang
bertanya padanya...."
Gumantara mendengus jengkel. Meskipun demikian, lelaki
itu tidak membantah ucapan Ki Gontang. Tapi sepasang
matanya yang besar masih tetap menatap tajam wajah
pelayan kedai yang ketakutan.
Ki Gontang yang dapat menduga pelayan kedai itu pasti
mengetahui perihal Goa Larangan, bertindak lebih ramah. Itu
dilakukannya untuk menenangkan hati pelayan kedai.
Diajaknya pelayan yang gemetar itu untuk duduk di dekatnya.
Sementara dia sendiri bangkit berdiri sambil menepuk-nepuk
bahu pelayan kedai bertubuh sedang itu.
"Aku tahu kau pasti mengenal baik tempat yang bernama
Goa Larangan itu, bukan? Nah, sekarang tunjukan pada kami,
di mana goa itu berada. Jangan takut, kami tidak akan
menyakitimu. Malah kami akan memberimu hadiah sebagai
imbalan atas petunjuk yang kau berikan. Tentu saja jika
petunjukmu itu benar. Kalau tidak, terpaksa aku akan
memberi hadiah dalam bentuk lain yang mungkin tidak akan
menyenangkan hatimu. Nah, sekarang katakan dengan
jujur...," bujuk Ki Gontang yang meskipun suaranya berusaha
ditekan selembut mungkin, tapi tetap mengandung nada
ancaman di dalamnya.
"Goa.... Larangan... terletak di.... Ah.... Maafkan aku. Tuan.
aku tidak bisa memberitahukanmu. Tempat itu dianggap
keramat oleh penduduk desa ini. Tidak ada seorang pun yang
boleh menginjakkan kakinya di tempat suci itu, kecuali pada
waktu-waktu tertentu. Apalagi bagi orang luar Desa Larang ini,
kepala desa kami melarang keras....," jelas pelayan itu
mengungkapkan perihal Goa Larangan pada kelima tamunya.
"Bagus..., bagus! Memang goa itulah yang kami cari. Dan
mengenai dilarang atau tidak, kami tak peduli. Sekarang
katakan, di mana letak Goa Larangan itu?" desak Ki Gontang
tanpa mempedulikan tempat itu keramat atau tidak yang
diinginkannya hanyalah keterangan tentang letak goa itu.
"Tapi..., tapi...."
"Keparat' Rupanya kau lebih suka kami menggunakan
kekerasan!" Gumantara yang memang berwatak beringas
membentak marah. Tangan kanannya langsung bergerak
menampar pelipis pelayan kedai itu.
Whuuut.. tappp!
Tamparan tangan Gumantara berhenti separuh jalan,
karena jari-jari tangan Ki Gontang telah mencekal lengannya.
Sehingga, tamparan itu tidak sampai mengenai sasaran.
"Jangan bodoh. Adi Gumantara! Bersikaplah sabar sedikit.
Kita memerlukan keterangan pelayan ini tentang letak Goa
Larangan!" geram Ki Gontangj jengkel melihat perbuatan
kawannya. Gumantara segera menarik lengannya yang dicekal
erat jari-jari tangan Ki Gontang.
"Ayo. Katakan, di mana letak goa itu. Kalau tidak, kawanku
ini akan segera meremukkan batok kepalamu yang keropos
dan tak berguna itu!" Ki Gontang yang mulai kehilangan
kesabaran mengeluarkan ancaman, membuat pelayan itu
menggigil ketakutan.
"Jangan paksa dia, Kisanak. Tempat yang kalian cari
memang merupakan tempat keramat dan suci. Tidak ada
seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya di tempat itu,
termasuk warga desa ini, kecuali pada saat-saat yang telah
ditentukan oleh nenek moyang kami yang merupakan pendiri
desa ini...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara tenang dan berwibawa.
Membuat Ki Gontang dan yang lainnya segera menoleh ke
arah sumber suara itu.
"Hm...," Ki Gontang mendengus ketika melihat seraut
wajah berwibawa dengan potongan tubuh tegap, berdiri tegap
menatap wajah Ki Gontang dan kawan-kawannya bergantian.
"Siapa kau? Mengapa mencampuri urusan kami?"
Lelaki gagah itu tersenyum mendengar pertanyaan Ki
Gontang.
"Siapa bilang ini bukan urusanku? Sebagai Kepala
Keamanan Desa Larang, tentu saja aku bertanggung jawab
terhadap segala sesuatu yang terjadi di desa ini. Karena
tempat yang kalian cari termasuk wilayah tanggung jawabku,
maka sudah sepatutnya aku mencampuri urusan ini," sahut
lelaki gagah bertubuh tegap dengan suara tenang, tanpa rasa
gentar sedikit pun, kendati Ki Gontang tidak seorang diri.
Sedangkan lelaki gagah itu hanya sendiri tanpa seorang
kawan pun mendampinginya.
"Ha ha ha...! Bagus..., bagus! Kalau begitu, sekarang
tunjukkan di mana letak Goa Larangan!" ujar Ki Gontang
tertawa parau mendengar ucapan lelaki bertubuh tegap itu.
Ki Gontang mendorong tubuh pelayan kedai itu hingga
terjatuh ke lantai bersama kursi yang didudukinya. Lalu
kakinya melangkah ke arah lelaki bertubuh tegap.
"Boleh kutahu namamu, Kepala Keamanan Gagah
Perkasa...?" tanya Ki Gontang setengah mengejek.
Jelas, lelaki tinggi kurus itu memandang remeh lelaki
bertubuh tegap yang mengaku sebagai Kepala Keamanan
Desa Larang. Rupanya tokoh penting desa itu secara
kebetulan sedang berada di kedai makan. Dan mencoba
menengahi keributan itu setelah mendengar Goa Larangan
disebut-sebut.
"Namaku Kaliga. Aku minta dengan sangat agar kalian tidak
mengganggu tempat keramat kami...," sahut lelaki
berperawakan tegap yang mengaku bernama Ki Kaliga.
Meskipun sikap dan ucapannya kelihatan tenang. Namun,
Ki Kaliga telah mempersiapkan tenaga simpanannya untuk
dipergunakan sewaktu-waktu bila diperlukan. Apalagi
menghadapi Ki Gontang yang sinar matanya demikian tajam
menggetarkan jantung.
"Hm.... Asal kau tahu saja, Ki Kaliga! Melarang kami pergi
ke Goa Larangan, sama artinya dengan menantang kami.
Karena kami akan melabrak siapa saja yang berani mencegah
maksud kami itu. Kau paham?" ujar Ki Gontang seraya
menatap tajam wajah Ki Kaliga yang balas menatapnya
dengan sorot yang tidak kalah tajam.
"Ah, Kakang Gontang terlalu bertele-tele. Untuk apa
meladeni cecunguk itu. Hajar saja, dan paksa dia untuk
menunjukkan letak Goa Larangan. Kalau masih membandel
juga, siksa saja sampai dia menyesal telah dilahirkan ke dunia
ini oleh ibunya," ucap Gumantara tidak sabar melihat sikap Ki
Gontang yang dianggapnya terlalu sabar.
Ki Kaliga segera merasakan gelagat yang tidak baik Melihat
sepasang tangan Ki Gontang mulai mengepal, kepala
keamanan desa itu segera menggenjot tubuhnya melesat ke
luar kedai. Ki Kaliga tidak ingin bertarung di dalam kedai yang
nanti akan merugikan pemilik kedai makan itu.
"Hei, mau ke mana kau, Pengecut..?!"
Gumantara yang berewatak berangasan langsung melesat
mengejar. Tubuh gemuk yang kelihatan berat itu ternyata
mampu bergerak cepat, seolah bukan menjadi halangan
baginya. Dari ani dapat ditebak kalau ilmu meringankan
tubuhnya tidak bisa dipandang ringan.
Jleg!
Gumantara mendaratkan kedua kakinya dalam jarak satu
tombak lebih di hadapan Ki Kaliga. Kepala keamanan desa itu
memang bukan ingin melarikan diri seperti yang diduga
Gumantara. Terbukti lelaki bertubuh tegap berusia sekitar
empat puluh lima tahun itu sudah berdiri menunggu di
samping kedai, yang mempunyai halaman cukup luas untuk
digunakan sebagai medan perkelahian.
"He he he...! Kusangka kau sejenis ayam sayur, Ki Kaliga.
Ternyata kau termasuk pejaman jenis petarung. Aku suka
dengan sikapmu...," ujar Gumantara memperdengarkan tawa
yang sumbang dan tidak enak didengar.
"Hm.... Apapun akan kuhadapi untuk mempertahankan
kehormatan Desa Larang. Untuk tugas ini, aku siap
mempertaruhkan selembar nyawaku!" tegas Ki Kaliga dengan
sikap gagah dan penuh wibawa. Bahkan kedua kakinya sudah
dilebarkan, siap untuk menghadapi serangan mendadak
"Bagus! Aku ingin lihat, apakah kepandaianmu sehebat
sikapmu," ejek Gumantara segera menyiapkan jurusnya untuk
menggebrak Ki Kaliga.
Kepala Keamanan Desa Larang pun sudah membuka
jurusnya, siap menyambut serangan lawan. Sikap kuda-kuda
yang ditunjukkan Ki Kaliga terlihat kokoh, membuat
Gumantara mengangguk-angguk sebagai pertanda
mengagumi kedudukan kuda-kuda lawan.
Kedua tokoh itu bergerak memutar menyiapkan gebrakan
dengan menggunakan jurus pilihan mereka Sementara, Ki
Gontang dan tiga kawannya menyaksikan pertarungan yang
akan segera berlangsung dari tepi arena.
Belasan warga Desa Larang kelihatan mengintip dari
rumahnya untuk menyaksikan perkelahian itu. Beberapa di
antaranya memberanikan diri menyaksikan secara terbuka.
Sehingga sebentar saja di sekeliling arena, dalam jarak dua
tombak lebih, telah cukup banyak orang yang hendak
menyaksikan perkelahian itu.
-odwo
"Heaaat..!"
Gumantara berteriak keras sebagai tanda kalau
serangannya akan dimulai. Tubuh lelaki gemuk pendek
berwajah bopeng itu melesat cepat, disertai pukulan susul-
menyusul yang menimbulkan desiran angin berkesiutan. Jelas
kalau menunjukkan kekuatan yang tersembunyi dalam
serangan itu tidak bisa dipandang ringan.
Bettt! Betet!
Serangkaian pukulan yang cepat dan kuat datang
mengancam beberapa bagian terlemah tubuh Ki Kaliga. Lelaki
tegap itu pun tidak mau tinggal diam. Dengan sebuah gerakan
yang indah, tubuhnya meliuk menghindari setiap lontaran
pukulan yang dikirimkan lawan. Kemudian membalas dengan
tidak kalah hebatnya. Sebentar kemudian, keduanya telah
terlibat dalam sebuah perkelahian yang seru dan
menegangkan
Suara angin pukulan terdengar berkesiutan silih berganti.
Membuat arena pertempuran diselimuti kepulan debu akibat
geseran kaki dan tendangan mereka. Sehingga bagi orang
yang tidak memiliki kepandaian ilmu silat, tidak dapa
membedakan antara kepala keamanan desa mereka, dan
lelaki gemuk berwajah bopeng. Kedua orang itu hanya tampak
seperti dua sosok bayangan yang saling libat dan saling
terjang.
"Hiaaat..!"
Gumantara kelihatan sangat bernafsu ingin segera
melumpuhkan lawannya. Serangannya datang bertubi-tubi
bagai air bah yang mengalir deras. Sehingga dalam jurus-jurus
awal, Gumantara berada di atas angin. Sebab, Ki Kaliga lebih
banyak bertahan daripada melancarkan serangan. Agaknya
tokoh bertubuh tegap itu sengaja hendak menguras tenaga
lawan, kemudian balas menyerangnya setelah lawannya mulai
kepayahan.
Siasat yang dilancarkan Ki Kaliga ternyata gagal. Meskipun
Gumantara terlihat menghambur-hamburkan tenaga, tapi
sampai jurus kedua puluh, lelaki gemuk itu masih gencar
melancarkan serangannya. Bahkan makin lama kelihatan kian
hebat dan berbahaya. Ki Kaliga terkejut melihat kekuatan
lawan seperti tak pernah berkurang. Maka, kepala keamanan
desa itu pun merubah siasatnya dengan balas menggempur
sesekali.
Plak! Plak!
"Aihhh...?!"
Terdengar benturan keras berturut-turut, disusul pekik
tertahan dari salah seorang petarung. Terlihat tubuh Ki Kaliga
terjajar mundur sejauh empat langkah. Sedangkan tubuh
lawannya hanya tergetar di tempat Itu membuktikan kalau
kekuatan tenaga dalam Ki Kaliga masih satu tingkat di bawah
lawan. Demikian pula dalam kecepatan. Gumantara masih
lebih unggul dari lawannya.
Kenyataan itu membuat Ki Kaliga terperanjat Tidak
disangkanya kalau lelaki gemuk pendek berwajah bopeng itu
masih lebih unggul dalam segala hal dari dirinya. Berpikir
begitu, Ki Kaliga lebih berhari-hari dan langsung mengeluarkan
jurus-jurus andalan untuk menghadapi lawan.
"Yeaaa...!"
Kembali Gumantara membuka serangan lebih dulu. Kaki
dan tangan lelaki gemuk pendek itu bergerak cepat
mengirimkan pukulan dan tendangan berbahaya. Dengan
sasaran adalah bagian-bagian terlemah tubuh lawan.
"Heaaah...!"
Ki Kaliga menggeser tubuhnya saat sebuah pukulan lawan
datang mengincar pelipisnya. Kemudian dikirimkannya
serangan balasan dengan sodokan jari-jari tangan, yang
bergerak dari bawah ke atas, mengarah ulu hati lawan. Tapi,
Gumantara tampaknya telah mempersiapkan segalanya
dengan cermat Terbukti serangan itu dapat digagalkannya
dengan tepisan telapak tangan kiri. Sehingga, serangan Ki
Kaliga lewat dari sasaran.
Kesempatan baik sewaktu kuda-kuda Ki Kaliga tergempur
akibat tepisan tangannya, tidak dilewatkan begitu saja oleh
Gumantara. Cepat tubuh lelaki itu berputar sambil
mengirimkan sebuah tendangan kilat ke perut lawan.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Tendangan yang cepat dan kuat itu tidak sempat lagi
dihindari Ki Kaliga. Akibatnya, tubuh lelaki tegap itu terdorong
ke belakang, dan nyaris jatuh kalau tidak segera melempar
tubuhnya dengan bersalto dua kali di udara.
Tapi, Gumantara seperti telah memiliki pengalaman yang
sangat luas dalam bertarung. Seperti dapat membaca gerakan
lawan, tubuh lelaki gemuk pendek itu segera melesat ke
depan seraya mendorongkan telapak tangannya ke dada Ki
Kaliga, tepat pada saat tubuh lelaki tegap itu meluncur turun
dan siap mendarat di atas tanah. Sehingga.....
Desss!
"Huakkkh...!"
Darah segar menyembur keluar ketika sepasang telapak
tangan Gumantara singgah di dada lelaki tegap itu. Akibatnya,
tubuh Ki Kaliga terlempar ke belakang sejauh satu tombak!
Dan terus jatuh berdebuk di atas tanah berdebu, hingga
menimbulkan kepulan debu yang cukup tebal
"He he he...! Ternyata hanya begitu saja kepandaian yang
dimiliki seorang keamanan desa!" ejek Gumantara tertawa
perlahan dengan sikap semakin angkuh.
Kemudian, lelaki gemuk itu melangkah satu-satu
menghampiri Ki Kaliga yang tengah berusaha bangkit sambil
mendekap dadanya yang terasa panas dan sesak Lelaki
bertubuh tegap itu terbatuk dan mengeluarkan cairan merah.
Rupanya hantaman sepasang telapak tangan Gumantara telah
mengakibtkan luka dalam yang tidak ringan.
Plak!
Sebelum Ki Kaliga sempat menyadari datangnya serangan,
tamparan keras pada pelipisnya membuat lelaki itu tersungkur
pingsan.
"Bawa dia, Gumantara...!" perintah Ki Gontang dan segera
mengajak kawan-kawannya meninggalkan tempat itu.
Sebentar kemudian, tubuh mereka tinggal bayangan samar di
kejauhan.
"Ayo, kita laporkan kejadian ini pada kepala desa...!" ujar
seorang warga yang segera berlari untuk melaporkan kejadian
itu pada kepala desa. Beberapa orang lainnya ikut menyertai.
-odwo-
TIGA
"Apa?! Ki Kaliga diculik orang?!" Lelaki tua bertubuh gemuk
itu terlontar dari kursinya. Wajahnya yang kelimis dengan
kumis tercukur rapi, rampak diliputi keheranan besar. Lelaki
yang memiliki sepasang mata setajam elang itu tidak
mempercayai laporan yang baru saja disampaikan seorang
warganya.
Kepala Desa Larang yang bernama Ki Samiang itu tentu
saja tidak bisa mempercayai laporan warganya begitu saja.
Selain mengenal baik siapa Ki Kaliga, Ki Samiang juga Cdak
mempercayai kalau tangan kanannya itu diculik orang. Mana
mungkin Ki Kaliga yang cukup mempunyai ilmu silat itu sampai
diculik orang?
"Apa kau tidak salah lihat..?" tanya lelaki gemuk itu kepada
salah satu dari tiga orang warga desanya yang datang
melaporkan kejadian itu.
"Tidak, Ki. Kami menyaksikan dengan mata kepala sendiri.
Bahkan masih banyak warga yang menyaksikan kejadian itu.
Entah apa yang membuat Ki Kaliga berkelahi dengan salah
seorang dari lima lelaki bertampang kasar itu. Dan Ki Kaliga
terpukul roboh, lalu dibawa kabur oleh mereka...," lelaki
bertubuh sedang dengan kulit muka kecoklatan melengkapi
laporannya agar Ki Samiang lebih yakin.
"Aneh?! Benar-benar sulit dipercaya. Bagaimana mungkin
Ki Kaliga dapat begitu mudah dirobohkan lawan? Lagi pula,
apa keperluan kelima orang asing itu sampai harus membawa
kabur?" gumam Ki Samiang melangkah hilir-mudik sambil
menggeleng kepala dengan perasaan tak menentu.
Setelah hilir-mudik beberapa kali dengan benak dipenuhi
berbagai macam pertanyaan, Ki Samiang mendadak
menghentikan langkahnya dan kembali menatap ketiga orang
warga desanya.
"Lalu, ke mana mereka membawa pergi Ki Kaliga...?" tanya
kepala desa itu, mencoba, untuk mempercayai laporan
warganya.
"Mereka menuju ke selatan, Ki...," jawab lelaki yang
wajahnya kecoklatan dengan mantap.
Sehingga, mau tidak mau Ki Samiang mulai mempercayai
laporan itu. Karena ketiga warganya itu terlihat sangat yakin
dan tidak ragu-ragu dalam menjawab setiap pertanyaan yang
dilontarkannya. Kelihatannya mereka memang tahu persis dan
bukan mendengar dari orang lain.
"Baiklah. Aku akan segera menyelidiki dan mencari kelima
orang asing itu. Sekarang kalian boleh kembali ke rumah
masing-masing," ujar Ki Samiang mengucapkan terima kasih
atas kesediaan mereka mau melaporkan kejadian itu
kepadanya.
Setelah membungkuk hormat dan mohon diri, ketiga petani
itu bergegas meninggalkan rumah besar yang menjadi tempat
tinggal kepala desanya.
"Hm.... Tunggu sebentar...!"
Tiba-tiba Ki Samiang mencegah kepergian warga desanya
yang baru saja tiba di ambang pintu. Sehingga mereka
menahan langkah dan membalikkan tubuh.
"Ada yang bisa kami lakukan, Ki...?" salah seorang dari
mereka menawarkan bantuan sambil membungkuk hormat /
"Tidak..., tidak. Aku hanya ingin memastikan apakah benar
mereka menuju selatan desa ini?" tanya Ki Samiang seraya
menggoyangkan telapak rangannya, menolak dengan halus
tawaran warganya
"Pasti, Ki. Kami yakin sekali...."
Kembali lelaki berwajah kecoklatan menjawab tegas,
membuat Ki Samiang mengangguk-anggukkan kepala.
"Kalau begitu, mereka akan melewati Hutan Larangan?
Atau bukan mustahil mereka telah memasuki hutan itu.
Celaka! Aku harus segera mencegah orang-orang asing itu
mengotori keramat dan suci warga desa ini" Gumam Ki
Samian sambil mengelus dagunya yang licin tanpa jenggot.
Wajah lelaki tua itu kelihatan agak tegang ketika teringat
tempat angker yang seringkali digunakari sebagai tempat
pemujaan roh leluhur warga Desa Larang, termasuk dirinya.
"Apakah kami masih diperlukan, Ki...?"
Seorang lelaki bertubuh sedang bertanya dengan hati-hati.
Agaknya mereka merasa risih harus berdiri seperti itu, dan
menyaksikan sikap kepala desanya yang nampak kebingungan
dan tegang.
Ki Samiang tersentak dari lamunannya. Cepat kepalanya
menoleh ke arah asal suara. Dia baru menyadari ketika
melihat tiga orang warganya yang melapor masih berdiri
dengan wajah resah.
"Tidak..., tidak. Kalian boleh pergi...," ujar Ki Samiang,
membuat ketiga orang itu merasa lega dan bergegas
meninggalkan tempat itu.
Tinggalan Ki Samiang berjalan hilir-mudik sambil
menggendong kedua tangannya di belakang. Beberapa saat
kemudian, dia berseru memanggil para pengawalnya. Dan
minta disiapkan seekor kuda serta dua belas orang pengawal,
untuk menemaninya melakukan pencarian terhadap Ki Kaliga.
Tidak berapa lama kemudian, terlihat rombongan kecil
penunggang kuda bergerak meninggalkan tempat kediaman
Kepala Desa Larang. Mereka adalah Ki Samiang dan dua belas
pengawalnya.
Setelah melewati mulut desa, Ki Samiang membedal
kudanya yang segera meluncur cepat melintasi jalanan tanah
berdebu. Sedangkan kedua belas orang pengawal itu berada
setengah tombak di belakangnya. Rombongan itu terus
bergerak cepat menuju arah selatan Desa Larang, yang
merupakan wilayah hutan yang sangat lebat dan dianggap
sebagai tempat suci oleh penduduk Desa Larang.
Pada sebuah persimpangan jalan, Ki Samiang membawa
rombongannya mengambil jalan ke arah sebelah kiri, tepat
menuju Hutan Larangan. Beberapa pengawal kepala desa itu
tampak berwajah tegang. Mereka merasa gentar harus
melewati daerah hutan angker itu.
Ki Samiang sendiri berusaha menekan rasa tidak tenang di
dalam hatinya. Lelaki tua itu menghibur diri dengan
meyakinkan dirinya bahwa mereka hanya akan mencari di
sekitar tepi hutan, dan tidak masuk ke dalamnya. Karena itu
merupakan pantangan yang tidak boleh dilanggar, kecuali
pada waktu-waktu tertentu, seperti.mengadakan upacara
penyembahan. Dengan meyakinkan niat itu, hati Ki Samiang
sedikit agak tenang. Sehingga, kudanya terus bergerak maju
semakin mendekati tepi Hutan Larangan.
Tapi, beberapa tombak sebelum mencapai tepi hutan, Ki
Samiang menarik tali kekang kudanya. Wajahnya terlihat agak
pucat, dan sepasang matanya menyipit, seolah hendak
menajamkan penglihatannya.
"Ada apa, Ki...?" tegur seorang pengawal yang berada
tepat di belakangnya.
Nada bicara orang itu terdengar bergetar, menyiratkan
ketegangan hati pemiliknya. Dan, Ki Samiang tidak berkata
apa-apa. Kepala Desa Larang itu maklum akan perasaan
semua penduduk desanya, jika mendekati rimba angker itu.
Pertanyaan pengawal itu tidak dijawab Ki Samiang dengan
kata-kata. Laki-laki gemuk itu hanya meluruskan jari
telunjuknya ke arah sebuah benda, yang dari kejauhan
tampak seperti sesosok tubuh yang berbaring diam.
"Mungkinkah itu Ki Kaliga yang telah dianiaya, kemudian
dibunuh kelima orang asing itu, Ki...?" ujar pengawal itu lagi
menduga-duga, membuat Ki Samiang mengerutkan keningnya
dalam-dalam. Di benak lelaki tua itu tidak terpikir akan dugaan
demikian.
"Hm...."
Ki Samiang hanya bergumam perlahan meski dadanya
terasa berdebar lebih cepat dari biasa. Lalu dia melompat
turun dari atas punggung kudanya
"Kalian berdua ikut aku...!" perintah lelaki gemuk itu seraya
menunjuk dua pengawal yang berada di belakangnya.
"Baik, Ki..," sahut keduanya segera bergerak turun dari atas
punggung kuda masing-masing.
Kedua pengawal itu melangkah di sisi kiri dan kanan kepala
desanya dengan sikap waspada.
Meskipun mereka sebenarnya merasa gentar, tapi tidak
berani menunjukkannya di depan Ki Samiang. Karena rasa
malu dan hormat kepada kepala desa yang baik hati itu.
Semakin dekat dengan benda itu, Ki Samiang bertambah
yakin kalau benda yang berada tak jauh dari tepi Hutan
Larangan itu adalah sesosok tubuh manusia yang telah tewas.
Itu dapat diketahui dari bercak-bercak darah yang mulai
kering di seluruh pakaian yang terkoyak-koyak itu.
"Itu memang sesosok mayat, Ki...," ujar pengawal yang
berada di sebelah kanan Ki Samiang.
Sambil berkata demikian, pengawal itu menggeser
tubuhnya ke belakang lelaki gemuk itu. Wajahnya tampak pias
dan dipenuhi peluh sebesar butir-butir jagung
"Aku tahu. Tapi kita harus memastikannya, apakah benar
itu mayat Ki Kaliga. Melihat bercak-bercak darah yang hampir
kering di sekujur tubuhnya, pasti itu bukan mayat Ki Kaliga.
Karena dia baru beberapa saat yang lalu diculik...," ujar Ki
Samiang segera dapat menebak dengan tepat, setelah
menenangkan pikirannya.
"Kalau begitu, sosok mayat itu siapa, Ki...?" gumam
pengawal yang berada di kiri Ki Samiang
Suaranya tampak kering dan sukar dikeluarkan. Beberapa
kali pengawal itu harus meneguk air liurnya untuk membasahi
tenggorokan.
"Untuk mengetahuinya secara pasti, kita harus melihatnya
dari dekat..," ujar Ki Samiang melanjutkan langkahnya dengan
sikap penuh waspada. Karena hati lelaki gemuk itu tak lepas
dari rasa tegang dan gentar.
Setelah dengan susah-payah melangkah, akhirnya ketiga
orang itu tiba di dekat mayat yang keadaannya hampir tak
dapat dikenali lagi. Sekujur tubuh dan wajahnya terkoyak-
koyak seperti diserang binatang buas yang kelaparan. Bahkan
beberapa anggota tubuhnya sudah tak utuh lagi, kemungkinan
besar orang malang itu telah diserang binatang buas penghuni
Hutan Larangan.
"Hei! Bukankah ini Guminta, yang beberapa hari lalu pergi
bersama Ki Jatayu untuk menengok keluarga orang tua itu di
desa sebelah?! Mengapa dia tewas di tepi Hutan Larangan?
Dan, ke mana perginya Ki Jatayu...?" ujar salah seorang
pengawal. Rupanya dia masih bisa mengenali mayat yang
rusak itu.
"Guminta...?" desis Ki Samiang mencoba mengingat nama
itu.
Setelah beberapa saat orang tua itu baru teringat kalau
Guminta adalah salah seorang warganya. Kalau Ki Jatayu
sudah dikenalnya dengan baik. Karena nama itu cukup
terkenal di kalangan penduduk Desa Larang. Lagi pula, dia
adalah seorang guru silat di desanya.
"Rupanya Ki Jatayu dan Guminta hendak pulang ke Desa
Larang Tapi, mereka kemalaman di jalan sebelum mencapai
desa. Kemungkinan besar keduanya diserang serigala-serigala
kelaparan yang seringkali terlihat di batas desa, saat hari
menjelang malam...," ujar Ki Samiang menduga kejadian yang
menimpa dua warga desanya itu.
"Jika demikian, mengapa mayat Ki Jatayu tidak berada di
sekitar tempat ini? Rasanya mustahil kalau ia melarikan diri ke
dalam hutan," timpal salah seorang pengawal dengan suara
berbisik. Agaknya dia hampir tidak kuat lagi mengeluarkan
suara karena ketakutan.
"Bisa saja Ki Jatayu melakukan kesalahan seperti itu.
Karena keadaan malam yang gelap maka ia tidak bisa
mengenali jalan dengan baik. Tapi, untuk mencari mayatnya
ke daiam hutan jelas tidak mungkin. Itu merupakan
pantangan bagi kita," ujar Ki Samiang seraya menghela napas
panjang dengan wajah berduka.
Kepala desa itu merasa terpukul dengan kejadian yang
baru pertama kali dialami penduduk desanya. Belum lagi Ki
Kaliga dapat ditemukan, kini dia harus menerima kenyataan
pahit dengan tewasnya Guminta dan lenyapnya Ki Jatayu. Ini
merupakan malapeteka bagi penduduk Desa Larang yang
selama ini aman dan tenteram.
"Lalu..., apakah kita tidak perlu mengetahui nasib Ki
Jatayu, Ki?" tanya salah seorang pengawal dengan muka
bodoh. Pertanyaan itu sebenarnya tidak perlu diajukan, karena
Ki Samiang sudah menjelaskannya barusan.
"Bawa mayat itu, dan kita kembali ke desa. Mengenai
pencarian terhadap Ki Kaliga, biarlah kita menunggu
kelanjutan sepak terjang penculik itu," ujar Ki Samiang segera
mengayunkan langkahnya pergi.
Tanpa banyak cakap lagi, kedua pengawal kepala desa itu
cepat-cepat mengangkat mayat Guminta. Kemudian dinaikkan
ke atas punggung kuda. Sebentar kemudian, rombongan itu
bergerak kembali ke Desa Larang.
-odwo-
Pemuda tampan berjubah putih dan dara jelita berpakaian
serba hijau melangkah perlahan memasuki Desa Larang.
Pandangan penuh curiga dan tak suka dari beberapa
penduduk yang kebetulan berpapasan di jalan, tidak mereka
pedulikan. Keduanya terus bergerak maju memasuki desa.
"Hm... Nampaknya penduduk desa ini tidak bersikap ramah
kepada kita, Kakang. Mungkin desa ini jarang didatangi orang
asing, atau mereka mempunyai kesan buruk terhadap
pendatang. Sehingga, mereka curiga dan tak suka melihat
kedatangan kita...."
Dara jelita berpakaian serba hijau itu berkata perlahan,
mengungkapkan perasaan hatinya atas sikap dan pandang
mata orang-orang desa.
"Biarlah, yang penting kita tidak melakukan kesalahan
terhadap mereka. Mungkin dugaan mu memang benar,
Kenanga. Mereka mungkin mempunyai pengalaman pahit
dengan para pendatang...," sahut pemuda tampan berjubah
putih, yang tak lain Panji.
'Tapi..., lama-lama aku jengkel juga, Kakang. Siapa yang
tahan jika hampir semua penduduk desa ini memperlihatkan
sikap seperti itu...."
Dara jelita berpakaian serba hijau yang sudah pasti
Kenanga, masih tak bisa menghilangkan perasaan tidak
enaknya akan sikap dan pandang mata yang seperti
membenci dan mengusir mereka dari tempat itu.
"Sudahlah, biarkan saja. Lebih baik kita singgah dulu di
kedai itu, Kenanga. Siapa tahu kita bisa mendapat keterangan
dari pelayan atau pembicaraan orang-orang yang berada di
dalam kedai. Biasanya di dalam kedai sering terjadi
pembicaraan yang tanpa sengaja membuat satu kejadian
tersebar luas...," ujar Panji seraya menarik lengan kekasihnya.
"Hm.... Hendak kemana kalian...?"
Seorang lelaki kekar bercambang bauk tiba-tiba berdiri
menghadang di ambang pintu kedai. Sikapnya terlihat seperti
sangat membenci kedua pendatang itu.
Pendekar Naga Putih tampak menekan telapak iangan
kekasihnya, sebagai isyarat agar persoalan itu segera
diserahkan kepadanya. Kelihatannya dara jelita itu mengerti.
Terbukti ia hanya berdiri tenang di sebelah Panji, meski
dengan sinar mata mengandung rasa penasaran yang dalam.
"Kisanak...," ujar Panji dengan suara tenang dan
menyungging senyum ramah. "Kami adalah perantau yang
kebetulan melewati desa ini. Dan kami berdua hendak
melepaskan lelah di kedai ini...."
'Tidak bisa! Kedai ini sudah tutup dan tidak menerima tamu
lagi!" bentak lelaki kekar berwajah brewok itu dengan
sepasang mata melotot
"Mungkin Kisanak salah. Aku lihat di dalam kedai masih
banyak orang yang sedang menikmati, hidangan atau sekadar
melepaskan haus. Jelas tidak benar kalau kedai ini sudah
tutup. Lagi pula, jika memang tidak menerima tamu lagi,
seharusnya pintu kedai ini tidak dibiarkan terbuka...," bantah
Panji dengan nada biasa, tanpa kelihatan marah atau
menunjukkan sikap tidak senang.
Lelaki brewok yang menyeramkan itu menjadi agak
bingung, dan menoleh ke dalam kedai yang memang tampak
masih banyak orang yang tengah bersantap.
"Meskipun kelihatannya masih buka, tapi sudah tidak ada
lagi makanan yang dapat disediakan! Semuanya sudah
habis...!"
Lelaki kekar itu mengajukan alasan lain, setelah terdiam
beberapa saat, mencari jawaban yang tepat bagi pasangan
pendekar muda itu.
Panji kelihatannya mengalah dengan memperdengarkan
helaan napas panjang. Setelah terdiam sesaat, terdengar
kata-katanya yang membuat lelaki brewok itu menggertakkan
gigi menahan jengkel.
"Kalau begitu..., bisakah Kisanak menunjukkan kedai lain
yang masih menerima tamu dan dapat menyediakan makanan
untuk kami berdua?"
"Tidak! Semua kedai di desa ini telah ditutup! Kalau kau
memang hendak mencari makanan dan tempat melepaskan
lelah, silakan cari di desa lain!" geram lelaki brewok itu.
Memang, lelaki brewok itu hampir kehabisan cara untuk
menghadapi pemuda tampan yang sepertinya tidak tahu
bahwa kehadirannya tidak dikehendaki warga desa.
Ketenangan dan kesabaran pemuda itu membuat dia tidak
bisa berbuat apa-apa.
"Hm.... Kira-kira berapa lama perjalanan yang harus
ditempuh agar kami dapat tiba di desa lain yang kau
maksudkan itu...?" tanya Panji, masih dengan suara tenang
dan menyunggingkan senyum.
"Keparat!"
Akhirnya lelaki kekar berwajah brewok itu tidak bisa
menahan kesabarannya lagi. Dia membentak dengan suara
menggelegar pertanda kemarahan hatinya sudah memuncak.
"Kau memang tidak tahu diri, Anak Muda! Maka perlu
ditindak dengan kekerasan!"
Begitu ucapannya selesai, lelaki brewok itu langsung
mengayunkan kepalannya yang besar ke dada Pendekar Naga
Putih.
Whutrt!
Kepalan yang besar dan kelihatan mengandung tenaga
kuat itu meluncur datang. Tapi, Panji seperti tidak menyadari
datangnya bahaya. Pemuda berjubah putih itu tetap bersikap
tenang. Padahal kepalan itu tinggal setengah jengkal lagi dari
dadanya. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Lelaki brewok yang semula sudah mengembangkan senyum
karena mengira kepalannya akan mengenai sasaran, tiba-tiba
memekik kesakitan! Padahal kepalannya tepat mengenai
sasaran. Tapi justru dia yang berjingkrak sambil memegangi
kepalan kanannya yang tampak membengkak. Lelaki brewok
itu mengaduh-aduh tanpa menyadari kalau perbuatannya itu
terlihat sangat lucu. Karena sambil melompat-lompat,
mulutnya tak henti-hentinya meniup kepalan kanannya.
"Kurang ajar...!"
Terdengar suara geraman dari kerumunan penduduk desa
yang menyaksikan kejadian itu. Tak berapa lama kemudian,
muncul seorang lelaki bei perawakan tinggi kurus menyeruak
menghampi Panji. Di belakangnya masih ada enam orang
lainnya yang mengikuti.
"Hei, Orang Asing! Sudah kuduga kalau kedatanganmu ke
desa ini hanya akan menimbulkan kerusuhan. Rupanya kau
sudah merasa menjadi jagoan nomor satu, hanya karena
memperlihatkan sedikit kekuatanmu itu! Huh! Orang-orang
kurang ajar seperti kalian memang perlu diajar adat Biar lain
kali lebih sopan!" bentak lelaki berperawakan kurus itu sambil
menudingkan jari telunjuknya ke wajah Pendekar Naga Putih,
yang kelihatan tetapi tenang tanpa amarah.
Tidak demikian dengan Kenanga yang berdiri di samping
kekasihnya. Kegeraman dan kejengkelan yang sejak tadi
ditahannya, tak mampu lagi dibendung ketika mendengar
makian kasar lelaki berperawakan kurus yang berlagak seperti
Jagoan kampung.
"Hei, Cecak Kering! Enak saja kau menyalahkan kami! Apa
kau sudah buta dan tidak melihat siapa yang memulai
pertengkaran?! Kalau saja kawanku ini menghendaki, sekali
mengibaskan tangannya kalian semua akan pindah ke akhirat,
tahu!" bentak Kenanga, tidak mau kalah gertak sambil
menuding wajah seperti tengkorak itu.
Ucapan Kenanga tentu saja membuat lelaki kurus itu
melangkah mundur agar tidak tertusuk jari tangannya
"Keparat! Sombong sekali kau. Gadis Liar! Biarpun
wajahmu cantik seperti bidadari, jangan kira kami tidak tega
untuk memberi pelajaran padamu! Nah, rasakanlah ini...!"
bentak lelaki tinggi kurus Itu, langsung melontarkan
pukulannya.
Agaknya lelaki itu merasa malu dituding-tuding seorang
gadis di depan orang banyak. Jika ia tidak menunjukkan siapa
dirinya, pasti orang-orang akan menertawakannya.
Tapi, dara jelita itu tidak berusaha untuk mengelak,
meskipun tahu kalau pukulan lelaki kurus itu lebih berisi
daripada pukulan lelaki brewok tadi Hal itu terbukti dari
adanya hawa tenaga dalam dari pukulan lawan.
Whuttt! Kreppp!
Ketika kepalan lelaki kurus itu datang mendekat. Kenanga
mengulurkan jari-jari tangannya tanpa menggeser tubuh.
Akibatnya, kepalan itu tertangkap dan seperti melekat di
telapak tangannya Tentu saja kejadian yang tak pernah
diduga itu membuat lawan kaget
"Ilmu setan...!" desis lelaki tinggi kurus itu terengah-engah
dengan wajah berpeluh. Meskipun seluruh tenagannya telah
dikerahkan, tapi tetap saja kepalannya tidak bisa dilepaskan.
"Heaaah...!"
Merasa penasaran, lelaki tinggi kurus itu rnembentak keras
seraya mengerahkan seluruh tenaj ganya untuk menarik
pulang kepalannya. Sayangi justru saat itu Kenanga sengaja
mengendurkah genggamannya. Sehingga....
-odwo
EMPAT
"Ahhh...?!"
Lelaki tinggi kurus itu terkejut bukan main. Ketika
tangannya ditarik, tubuhnya langsung jatuh terjengkang ke
belakang karena Kenanga telah melepaskan cengkeramannya.
Gusrakkk!
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki kurus itu jatuh melanggar
penduduk yang berkerumun di belakangnya. Keadaan menjadi
semakin ramai, ketika beberapa penduduk yang terlanggar
tubuh lelaki kurus itu ikut terjatuh. Sehingga tubuh mereka
saling bertindihan.
Merasa telah dipecundangi di depan orang banyak, lelaki
kurus itu menjadi marah. Dicabutnya pedang yang tergantung
di pinggang.
Srattt..!
Secercah sinar putih berkelebat diiringi suara berdesing,
ketika senjata itu tercabut keluar dari sarungnya. Bersamaan
dengan itu, beberapa orang lainnya ikut menghunus senjata.
Jelas, tindakan mereka bukan lagi kekerasan biasa. Karena
dengan menghunus senjata, bukan tidak mungkin akan ada
korban yang jatuh.
"Tahan...!"'
Panji yang sejak tadi kelihatan sabar dan selalu tersenyum,
tiba-tiba mengeluarkan bentakan keras yang membuat orang-
orang Desa Larang terlompa dan jatuh terduduk, termasuk
lelaki bertubuh kurus dan kawan-kawannya yang telah
menghunus senjata. Akibatnya, mereka merasa gentar setelah
merasakan kehebatan pemuda tampan itu.
"Kisanak sekalian. Kami datang ke desa ini tanpa maksud
jahat sedikitpun! Kami hanya sekadar singgah untuk
melepaskan lelah. Setelah itu, akan meninggalkan desa ini
untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, tindakan kalian semakin
menjadi-jadi, karena kami terlalu mengalah. Untuk itu,
kuharap persoalan selesai sampai di sini, dan biarkan kami
pergi.,.," ujar Panji dengan suara lantang.
"Kupikir Kakang tidak bisa naik darah...," goda Kenanga
berbisik di telinga kekasihnya, membuat Panji menahan
senyum.
Tampaknya bentakan Panji barusan membunt orang-orang
Desa Larang belum menyadari sepenuhnya apa yang terjadi.
Mereka bungkam seraya menatap pemuda itu dengan sinar
mata bodoh. Melihat semua itu, Panji mengajak Kenanga
untuk segera meninggalkan desa itu.
“Tunggu...!"
Baru beberapa langkah sepasang pendekar muda itu
berjalan, tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang membuat
keduanya menghentikan langkah dan berbalik.
Seorang lelaki bertubuh gemuk yang rambut di atas
telinganya sebagian memutih, bergerak menghampiri Panji
dan Kenanga dengan menunggang seekor kuda jantan
berbulu hitam. Setelah dekat, lelaki yang tidak lain Ki Samiang
itu melompat turun dari atas punggung kudanya. Beberapa
orang pengawal tampak menyertai laki-laki tua itu dengan
keadaan siap tempur.
"Hm.... Kudengar ada orang asing yang mendatangi desa
ini dan telah membuat keributan. Apakah kalian berdua
orangnya...?" tanya Ki Samiang yang meskipun nadanya
lembut tapi jelas menyiratkan ketidaksenangan hatinya.
Panji yang melihat wajah orang tua itu kelihatan cukup
bijaksana, segera menyentuh tangan kekasihnya agar tidak
membuat persoalan baru. Kenanga mengerti isyarat pemuda
itu, hingga menahan ucapan yang sudah berada di ujung
lidahnya. Dan menyerahkan persoalan itu kepada Panji.
"Maaf, kalau kehadiran kami telah mengganggu penduduk
desa ini. Tapi, kami tidak bermaksud buruk apalagi mencari
keributan. Kalau memang kedatangan kami dianggap suatu
kesalahan, harap dimaafkan. Sekarang, biarkan kami pergi
tanpa diganggu," ujar Panji untuk menjawab pertanyaan Ki
Samiang dan menunjukkan ketegasan tindakannya. Sehingga,
lelaki tua itu tertegun tak bisa berkata-kata lagi.
Melihat orang tua itu terdiam, Panji segera mengajak
kekasihnya untuk melanjutkan perjalanan. Tapi, baru
beberapa tindak mengayun langkah, kembali terdengar
panggilan yang ditujukan kepada mereka.
"Kisanak, harap tunggu sebentar...," seru Ki Samiang. Nada
suaranya kini terdengar lebih lunak
Rupanya ucapan Panji tadi membuat orang tua itu
terkesan. Juga merasa yakin kalau pasangan! muda itu orang
baik-baik, dan mungkin memiliki kepandaian yang tidak
rendah. Itu diduganya dari cara pemuda itu berbicara dan
bersikap, penuh keyakinan dan ketegasan membuat Ki
Samiang kagum.
Semula Panji tidak mengacuhkan panggilan itu. Tapi, ketika
mendengar suara langkah orang berlari di belakangnya,
akhirnya pemuda itu menghentikan langkahnya untuk yang
kedua kali, dan berbalik menghadap Ki Samiang.
"Kisanak. Setelah mendengar kata-katamu tadi, aku yakin
kalau kalian berdua orang baik-baik Untuk itu, atas nama
semua warga Desa Larang, aku minta maaf atas kejadian
tidak menyenangkan yang kalian alami," ujar lelaki tua
bertubuh gemuk itu sambil menganggukkan kepala.
Panji maupun Kenanga bukanlah orang-orangi pendendam.
Mereka tentu saja merasa kagum dengan ucapan orang tua
itu. Sebab, jarang orang yang mau meminta maaf dan
mengakui kesalahannya. Apalagi mengingat umur mereka
terpaut jauh, hingga membuat Panji tidak enak.
"Kami pun minta maaf apabila ucapan atau kelakuan kami
mungkin agak sedikit kasar...," ujar Panji sambil melebarkan
senyumnya dengan dada lapang, karena merasa lega
persoalan di antara mereka telah selesai.
"Nah, jika demikian, biarlah sekarang aku mengundang
kalian berdua ke rumahku. Dan kuharap kalian tidak
menolak...," pinta Ki Samiang setengah memaksa. Sehingga
Panji maupun Kenanga tidak bisa menolaknya.
"Mudah-mudahan kehadiran kami tidak merepotkan...,"
ujar Panji yang disambut tawa perlahan oleh Ki Samiang.
Sehingga, suasana di antara mereka semakin akrab.
Ki Samiang melangkah mengajak kedua tamunya menuju
tempat tinggalnya Saat itu Panji dan Kenanga belum menduga
kalau Ki Samiang adalah Kepala Desa Larang. Tapi, mereka
tidak terlalu terkejut, karena dari sikap dan cara berbicara
orang tua itu keduanya sudah bisa menebak.
Atas permintaan Ki Samiang, Panji dan Kenanga terpaksa
harus melewatkan malam di tempat kediaman kepala desa itu.
"Sebenarnya, apa yang membuat orang-orang desa ini
tidak suka kepada pendatang, Ki...?" Panja menyempatkan diri
untuk mengorek keterangan dari Ki Samiang tentang sikap
orang-orang Desa Larang yang menurutnya agak ganjil. Saat
itu mereka bertiga tengah duduk di beranda depan sambil
menikmati keindahan suasana malam.
"Hhh...!"
Ki Samiang menghela napas panjang sebelum menjawab
pertanyaan Panji. Kelihatannya orang tua itu merasa berat
untuk mengingat peristiwa pahit yang pernah dialaminya.
"Kejadiannya belum lama berlalu. Kematian ada lima orang
pendatang memasuki desa ini Mereka membuat kekacauan,
sehingga Ki Kaliga, yang menjadi kepercayaanku harus turun
tangan untuk menghentikannya. Sayang, kelima orang itu
bukan tokoh sembarangan. Ki Kaliga dapat ditundukkan oleh
salah seorang dari mereka. Entah apa yang mereka inginkan
dari kepala keamanan desa itu, sampai-sampai mereka
menculiknya...," jelas Ki Samiang membuat Panji dan Kenanga
mulai mengerti dan memaklumi sikap orang-orang desa.
"Apakah Ki Samiang sudah bersaha untuk mencari Ki
Kaliga?" tanya Kenanga ikut menimpali.
"Kami sudah berusaha untuk mencari kelima orang asing
itu. Tapi, sebelum sempat menemukan jejak mereka, ada lagi
warga desa kami yang tertimpa musibah. Tepatnya, di dekat
Hutan Larangan kami menemukan mayat salah seorang warga
desa. Tapi, orang yang satunya lagi tidak dapat kami
temukan. Untuk mencarinya ke dalam hutan, tidak mungkin,
karena tidak ada seorang pun dari kami yang berani memasuki
Hutan Larangan. Itu merupakan pantangan turun-temurun,"
jelas Ki Samiang lagi.
"Hm.... Apakah orang yang tidak ditemukan mayatnya itu
bertubuh gagah berusia kira-kira enam puluh tahun?" tanya
Panji saat teringat seorang lelaki tua yang dikeroyok serigala-
serigala kelaparan hingga tewas.
"Benar sekali! Apakah kalian pernah melihat atau berjumpa
dengannya?"
Ki Samiang kelihatan sangat bernafsu ketika mendengar
penjelasan Panji tentang ciri-ciri Ki Jatayu. Lelaki tua itu
berharap agar Panji benar-benar berjumpa dengan Ki Jatayu.
"Kemarin malam, saat kami berdua melewatkan malam di
sebuah hutan kecil, ada seorang lelaki tua berperawakan
gagah yang diserbu segerombolan serigala kelaparan. Sayang,
kami terlambat datang. Orang tua itu telah tewas karena luka-
luka di tubuhnya yang terlalu banyak mengeluarkan darah,"
jelas Panji, membuat Ki Samiang mendekap wajahnya dengan
kedua telapak tangan. Kelihatan sekali kalau orang tua itu
sangat terpukul
"Lalu...," suara Ki Samiang terdengar agak parau ketika
melontarkan pertanyaan menggantung itu.
"Setelah malam berganti pagi, kami menguburkan jenazah
orang tua itu di dekat sebuah sunga kecil di selatan desa ini,"
jawab Panji lagi yang mengetahui ke mana arah pertanyaan Ki
Samiang.
Kepala Desa Larang itu menarik napas berulang-ulang.
Kelihatan sekali kalau dia merasa berduka dengan kejadian
yang mengerikan itu.
"Ki, apakah peristiwa seperti ini sudah sering-kali terjadi?"
Panji baru berani mengajukan pertanyaan ketika Ki
Samiang telah melepaskan kedua telapak tangannya dari
wajah.
"Justru karena tidak pernah terjadi sebelumnya maka aku
menjadi cemas. Sebab, kemungkinan besar peristiwa ini akan
berkelanjutan. Bahkan bukan mustahil, serigala-serigala
kelaparan itu akan berkeliaran sampai ke desa. Itu yang aku
khawatirkan, Panji," jawab Ki Samiang mengungkapkan
kekhawatirannya yang selama ini hanya dipendam dalam hati.
Lelaki itu tidak ingin menceritakan perasaannya itu kepada
keluarga atau warga Desa Larang. Baru kepada Panji
diungkapkannya rasa khawatir itu.
"Kalau sampai demikian, sungguh berbahaya sekali...,"
desah Panji, memaklumi kekhawatiran Kepala Desa Larang itu.
Kecemasan lelaki itu menandakan dirinya adalah seorang
kepala desa yang baik dan penuh tanggung jawab. Kenyataan
itu membuat Panji dan Kenanga bertambah hormat padanya.
"Bagaimana jika kami berdua mencegah binatang-binatang
kelaparan itu, agar tidak sampai berkeliaran ke desa ini atau
desa-desa lainnya?" usul Panji menawarkan bantuan. Rupanya
pemuda itu merasa ikut bertanggung jawab atas keselamatan
orang banyak, khususnya warga Desa Larang.
"Pekerjaan itu sangat berbahaya, Panji. Bisa-bisa kau yang
akan menjadi korban kebuasan serigala-serigala kelaparan itu.
Tidak. Aku tidak ingin kau celaka hanya karena ingin
membantu meringankan beban pikiran ini," sahut Ki Samiang
tidak bisa menerima usul Panji.
"Jangan pikirkan keselamatan kami, Ki. Tapi, pikirkanlah
apa yang akan menimpa warga desa ini bila serigala-serigala
kelaparan itu tidak segera dicegah. Kematian bukanlah hal
yang menakutkan bagi kami berdua. Karena kami hidup
berpetualang dari satu tempat ke tempat lainnya. Sudah tidak
terhitung lagi, berapa banyak kami menemui ancaman maut
yang nyaris membawa kematian. Jelasnya, kami berdua
bersedia mempertaruhkan nyawa demi kepentingan orang
banyak Itu sudah menjadi kewajiban setiap orang gagah," ujar
Panji mempertahankan pendapatnya untuk membantu Ki
Samiang dalam persoalan itu.
Ki Samiang terdiam ketika mendengar ucapan Panji.
Kebenaran ucapan pemuda itu memang tidt bisa dibantah.
Lelaki tua itu pun tahu kalau kedua orang tamunya benar-
benar ingin membantu, tanpa mengharapkan imbalan darinya.
"Panji, serigala-serigala itu kemungkinan besar penghuni
Hutan Larangan yang kami anggap sebagai tempat suci, dan
tempat bersemayam roh para leluhur kami. Jelas untuk
mengusir pergi binatang binatang itu bertentangan dengan
kepercayaan yang kami anut Itu salah satu alasan yang
membuat aku pusing."
Akhirnya Ki Samiang mengungkapkan kembali keresahan
hatinya. Dan, alasan itu membuat Panj terdiam.
"Jadi, dengan kata lain Ki Samiang hendak membiarkan
saja bila serigala-serigala buas itu memasuki desa, lalu
mencabik-cabik tubuh bocah tak berdosa dan orang-orang tua
lemah, begitu?" ujar Panji setelah beberapa saat lamanya
terdiam, mencari kata-kata yang tepat untuk membangkitkan
semangat Ki Samiang yang telah lenyap terpengaruh
kepercayaan yang dianutnya
"Hhh.... Sebaiknya kita lihat saja kelanjutan malapetaka ini.
Jika perkiraanku benar. Terpaksa aku harus melanggar
kepercayaan yang selama turun-temurun kami anut, demi
keselamatan penduduk Desa Larang yang menjadi tanggung
jawabku ini."
Karena tidak bisa membantah ucapan Panji, akhirnya Ki
Samiang memutuskan untuk melihat kelanjutan kejadian itu
lebih dahulu.
"Baiklah, Ki. Aku setuju. Mudah-mudahan apa yang kita
khawatirkan tidak menjadi kenyataan...."
Panji pun akhirnya mengalah dan tidak berusaha untuk
mendesak lagi. Tentu saja pemuda itu berharap agar apa yang
mereka khawatirkan tidak akan terjadi.
Malam semakin bertambah larut ketika ketiga orang itu
terdiam mengikuti arus pikiran masing-masing. Bintang-
bintang yang tampak di angkasa menjadi perhatian mereka.
Tiba-tiba....
"Auuung...!"
Lolongan serigala terdengar sayup-sayup hingga
menembus pendengaran ketiga orang itu. Ki Samiang
tersentak bangkit dari duduknya. Seolah lolongan serigala tadi
tidak jauh dari tempat itu. Dari sikapnya itu dapat ditebak
kalau sejak tadi Ki Samiang masih memikirkannya.
"Mungkinkah malam ini binatang-binatang kelaparan itu
kembali meminta korban?" desis Ki Samiang bertanya pada
diri sendiri.
Wajah lelaki tua itu tampak tegang. Sehingga Panji merasa
perlu untuk menenangkan hatinya
"Binatang-binatang itu masih jauh berada di dalam hutan,
Ki. Jadi kita tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Biarlah
kami akan meronda untuk berjaga-jaga dan sekaligus
menikmati keindahan malam yang cerah ini..," ujar Panji
membuat Ki Samiang tersentak dari lamunannya.
Lelaki tua itu menganggukkan kepala, karena meronda
memang perlu dilakukan untuk berjaga-jaga. Siapa tahu,
serigala-serigala itu benar-benar akan muncul untuk memasuki
Desa Larang.
"Ki Samiang tidak perlu mengkhawatirkan kami. Bukankah
di luar banyak peronda desa yang sedang berkeliling? Jadi,
anggap saja kami sedang berjalan-jalan mencari udara
malam," sebelum meninggalkan orang tua itu, Panji kembali
mengingatkan agar Ki Samiang tidak terlalu dilanda
ketegangan.
"Hm.... Terserah kalian. Mudah-mudahan dengan tidur aku
bisa melenyapkan segala keruwetan ini...." ujar Ki Samiang
sambil melangkah masuk ke rumahnya diiringi pandang mata
Panji dan Kenanga.
Setelah sosok orang tua itu lenyap di balik pintu, Panji
bergerak mengajak kekasihnya mengelilingi desa untuk
berjaga-jaga.
"Kepercayaan yang dianut Ki Samiang beserta warga
desanya terasa aneh bagiku, Kakang. Apa yang mereka
harapkan dengan menganggap Hutan Larangan sebagai
tempat suci dan tempat bersemayam roh-roh leluhur mereka?
Apakah itu berarti mereka menyembah roh ieluhurnya demi
maksud-maksud tertentu?"
Sambil melangkah, Kenanga mengemukakan apa uang
mengganjal harinya, sewaktu mendengar penuturan Ki
Samiang tadi.
"Hm.... Di dunia ini terdapat bermacam-macam
kepercayaan, Kenanga. Semua itu kebanyakan warisan dari
leluhur-leluhur mereka. Mungkin mereka mendapatkan apa
yang dicarinya setelah melakukan penyembahan pada roh
nenek moyang. Kita tidak boleh mengganggunya Apalagi kalau
itu sudah menjadi keyakinan mereka dan diwariskan secara
turun-temurun, rasanya sulit untuk dirubah," timpal Panji
membuat Kenanga mengangguk-angguk mengerti.
Malam semakin larut saat sepasang pendekar muda itu
bergerak menerobos kegelapan malam, yang sesekali
ditingkahi hembusan angin dingin. Sejauh itu, belum tampak
tanda-tanda adanya sesuatu yang mengancam ketenteraman
Desa Larang. Sehingga, kedua pendekar muda itu menarik
napas lega.
-odwo-
LIMA
"Auuung...!"
Saat udara malam semakin dingin, lolongan serigala
kembali terdengar, membuat bulu tengkuk meremang. Panji
yang sedang berjalan bersama Kenanga menghentikan
langkah. Saat itu pendengaran mereka yang tajam
menangkap langkah-langkah lembut bergerak menuju desa.
"Kakang, lihat..!" desis Kenanga seraya menunjuk sebuah
tempat yang terhalang kerimbunan pohon.
Di kegelapan malam, tampak tiga pasang mata merah
menyala tengah menatap mereka tanpa berkedip. Sebagai
orang-orang yang telah berpengalaman, tentu saja mereka
tahu kalau tiga pasangi mata itu adalah mata serigala!
"Kekhawatiran Ki Samiang ternyata tidak meleset jauh.
Meskipun baru tiga ekor yang terlihat, tapi binatang-binatang
kelaparan itu benar-benar berkeliaran sampai ke desa ini.
Padahal letak hutan yang dimaksud Ki Samiang cukup jauh
dari sini," gumam Panji perlahan. Sedangkan matanya tidak
beralih dari tiga pasang mata bulat merah menyala dalam
kegelapan itu.
"Apa kita akan langsung mengusir binatang-binatang itu,
Kakang...?" tanya Kenanga meminta pendapat Panji. Agaknya
dara jelita ini tidak ingin bertindak ceroboh dalam menghadapi
binatang-binatang buas itu.
"Sebaiknya kita lihat saja dulu, apa yang akan dikerjakan
serigala-serigala itu di desa ini...," sahut Panji, yang mulai
melangkah mundur untuk memancing binatang liar itu keluar
dari kegelapan.
Melihat kekasihnya telah bergerak mundur, Kenanga segera
mengikuti tanpa banyak tanya. Dara jelita itu tahu apa yang
diinginkan Panji.
"Keaaak.... Kik..., kik.., kik..!"
"Hei...?!"
Terkejut bukan kepalang sepasang pendekar muda itu saat
melihat sesosok bayangan hitam yang menyerupai kekelawar
raksasa, menyeberang dari satu pohon ke pohon lain dengan
memperdengarkan tawa yang membuat bulu kuduk
merinding.
"Apa itu, Kakang...?" desis Kenanga yang terjajar mundur
karena suara dan sosok menyerupai kelelawar raksasa itu
begitu tiba-tiba datangnya.
"Hm.... Binatang apa pula itu...?" gumam Panji yang seperti
juga Kenanga, tidak melihat secara jelas sosok mirip kelelawar
raksasa yag telah lenyap di balik kerimbunan pohon.
'Tampaknya seperti kelelawar raksasa, Kakang. Tapi,
mengapa suaranya demikian aneh dan menyeramkan?"
gumam dara jelita itu sambil terap memandang pohon tempat
sosok yang mirip kelelawar raksasa itu lenyap.
"Jangan-jangan makhluk itu sejenis binatang penghisap
darah. Kita harus tetap siaga, Kenanga. Mungkin saja malam
ini akan ada kejadian yang menggemparkan Desa Larang...,"
sahut Panji, mencoba menduga-duga maksud kemunculan
sosok mirip kelelawar itu.
Makhluk itu tidak mungkin manusia, karena sosok
bayangan hitam tadi dapat terbang di udara. Dan itu bukan
lagi merupakan ilmu meringankan tubuh. Kenyataan itu
membuat kepala Panji dipenuhi berbagai macam pertanyaan
yang tak terjawab.
"Apakah kita akan melaporkannya kepada Ki Samiang,
Kakang?" tanya Kenanga merasa khawatir jika makhluk yang
mirip kelelawar raksasa itu akan melakukan kejahatan di Desa
Larang.
"Sebaiknya jangan dulu. Aku ingin melihat dengan jelas,
seperti apa sebenarnya makhluk bersuara mengerikan itu...,"
sahut Panji seraya mengambil sebuah kerikil dan
melemparkannya ke pohon berdaun rimbun yang tingginya
mencapai sepuluh tombak.
Krosakkk!
Kerikil yang dilemparkan Panji dengan mengerahkan tenaga
dalam itu melesat cepat melebihi anak panah yang terlepas
dari busur. Dan terus menerobos timbunan dedaunan.
Sehingga....
"Keaaak...! Kaaak..., kaaak...!"
Makhluk yang membuat penasaran sepasang pendekar
muda itu melesat keluar dari rimbunan dedaunan sambil
memperdengarkan pekik kemarahan. Kemudian terbang
mengepakkan sayapnya yang besar dan nampak kokoh.
Rupanya makhluk itu hendak berpindah ke pohon lain.
"Hm... Hendak kulihat seperti apa rupamu sebenarnya...,"
desis Panji segera melayang ke udara untuk mencegah
kepergian makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu.
"Haiiit..!"
Dengan mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, Panji
melontarkan pukulan jarak jauh untuk menjatuhkan makhluk
aneh dan mengerikan itu.
"Kaaakkk..!"
Makhluk yang mirip kelelawar raksasa itu seperti tahu ada
bahaya yang datang mengancam. Sayapnya yang besar
dikepakkan, seolah hendak memapaki pukulan jarak jauh
Pendekar Naga Putih.
Plarrr...!
Heran bukan main hati Panji ketika melihat makhluk itu
mampu memapaki pukulan jarak jauhnya. Padahal pukulan itu
sanggup memecahkan batu karang sebesar kerbau. Tapi,
makhluk itu sanggup menahan pukulannya.
"Luar biasa! Hebat sekali kekuatan yang dimilikinya.
Makhluk itu bukan saja tidak jatuh, bahkan sanggup
menghadapi pukulan jarak jauh yang kulontarkan...," desis
Panji heran menyaksikan kejadian itu. Bagaimana mungkin
makhluk itu bisa memiliki kekuatan sedemikian hebat sampai
mampu meredam kekuatan pukulannya?
"Keaaakhhh...!"
Rupanya makhluk raksasa itu marah terhadap Panji
Terbukti, setelah lenyap di balik pohon, makhluk itu kembali
muncul. Malah kali ini menukik turun. Tujuannya adalah Panji
yang barusan menyerang dengan pukulan jarak jauh.
"Kakang! Makhluk itu hendak membalas seranganmu!" seru
Kenanga cemas ketika melihat makhluk itu mengincar
kekasihnya dengan pekikan marah yang menggetarkan
jantung.
"Tenanglah, Kenanga. Aku pun ingin tahu sampai di mana
kekuatan makhluk aneh itu. Dan apa maksudnya berada di
daerah ini,..!" seru Panji yang segera bersiap menyambut
serangan makhluk mirip kelelawar raksasa itu.
Werrrr...!
Disertai suara menderu yang timbul dari kepakan sayapnya,
makhluk itu meluncur
datang menerjang
Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Tepat pada saat kedua
sayap binatang raksasa itu
bergerak hendak
menggeprak tubuhnya,
Panji mendorongkan
sepasang telapak
tangannya dengan
pengerahan tenaga dalam.
Akibatnya....
Bresssh...!
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu memekik keras ketika sepasang telapak
Pendekar Naga Putih berbenturan dengan sepasang sayapnya
yang besar dan kuat Akibatnya, tubuh makhluk itu terdorong
sejauh satu setengah tombak lebih! Sedangkan Panji sempat
terjajar empat langkah ke belakang.
"Hebat! Makhluk itu benar-benar luar biasa! Tenaganya tak
ubahnya seperti tenaga dalam tokoh-tokoh persilatan!" ujar
Panji setelah memperbaiki kuda-kudanya dan kembali bersiap
menghadapi serangan berikutnya.
"Keaaakhhh...!"
Makhluk itu kembali muncul dan berputaran di udara
setelah sebelumnya menghilang di kerimbunan pohon.
Agaknya makhluk itu ragu untuk melanjutkan serangannya.
Mungkin ia gentar setelah merasakan kehebatan pemuda
tampan berjubah putih itu. Karena beberapa saat kemudian,
sosok makhluk raksasa itu melayang pergi. Caranya pun
sangat aneh, yaitu dengan terbang berpindah-pindah dari satu
pohon ke pohon yang lain. Untuk kemudian lenyap ditelan
kegelapan malam.
"Hi hi hi...! Rupanya kelelawar raksasa itu merasa gentar
bertarung denganmu, Kakang. Buktinya ia melarikan diri
sambil memekik marah...."
Kenanga tertawa lirih ketika menyaksikan kelelawar raksasa
itu pergi meninggalkan tempat ini. Mungkin kembali ke
sarangnya
"Hm... Meskipun begitu, aku tetap penasaran. Kelelawar
raksasa itu pasti akan muncul lagi di desa ini. Yang membuat
aku bertanya-tanya, dari mana makhluk itu datang? Dan apa
yang dicarinya di desa ini?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya masih merasa penasaran,
karena seumur hidupnya baru kali ini melihat kelelawar
sebesar itu. Bahkan sangat terlatih, dan memiliki tenaga yang
sangat kuat Buktinya, meskipun Panji telah mengerahkan tiga
perempat tenaganya, makhluk itu tidak terluka sedikit pun,
kecuali terdorong ke belakang. Ini suatu hal yang sangat luar
biasa!
Baru saja Panji berhenti berbicara, terdengar gerengan lirih
dari balik kegelapan pohon. Ketika sepasang pendekar muda
itu menoleh, mereka tidak lagi melihat tiga pasang mata
merah menyala, melainkan puluhan pasang mata yang tengah
menatap keduanya dari kegelapan. Rupanya serigala-serigala
kelaparan itu telah semakin banyak berkumpul di tempat itu.
"Hm.... Binatang-binatang licik itu rupanya menunggu
kawan-kawannya untuk bersama-sama menyerang kita,"
gumam Kenanga yang diam-diam berdiri juga bulu kuduknya
melihat puluhan pasang mata merah di kegelapan malam itu.
Apa yang diduga Kenanga ternyata tidak salah. Setelah
berjumlah puluhan, serigala-serigala kelaparan dan buas itu
mulai bergerak ke luar dari kegelapan. Terdengar gerengan-
gerengan binatang itu sambil bergegas maju dengan langkah-
langkah perlahan.
"Binatang-binatang ini jelas sangat berbahaya hingga
berani memasuki desa untuk mencari makan. Sebaiknya kita
beri pelajaran agar mereka jera datang kembali ke desa
ini....." gumam Panji, sambil menunggu binatang-binatang itu
tiba dekat
"Haaat..!"
Begitu sertgala-segiala terdepan menerjang Panji dengan
lompatan panjang dan moncong terbuka, Pendekar Naga Putih
langsung mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan kanan.
Terdengar lenguh kesakitan binatang-binatang itu yang
berpelantingan terkena tamparan dan tebasan sisi telapak
tangannya.
Lain lagi dengan Kenanga. Melihat binatang-binatang itu
berlomba menerjang tubuhnya, Pedang Sinar Rembulan-nya
langsung diloloskan dari ikat pinggang. Kemudian, membabat
serigala-serigala lapar itu dengan ganas.
Crattt! Crattt!
Tanpa amun lagi, binatang-binatang jahat itu segera
bertumbangan satu persatu. Darah segar mengalir membasahi
permukaan bumi. Sebentar saja, dara jelita itu sudah
merobohkan tiga belas serigala yang mengeroyoknya.
"Hm.... Hayo, majulah kalian...!" tantang Kenanga ketika
melihat serigala-serigala itu berlompatan mundur dan
berputaran mengelilinginya. Sepertinya binatang-binatang itu
ingin mencari kelemahan korbannya.
Sedangkan Panji sendiri sudah merobohkan belasan
serigala yang mengeroyoknya. Sehingga, binatang yang
biasanya mencari mangsa secara berkelompok itu kelihatan
gentar terhadap sepak terjangnya. Terbukti, satu dua ekor
binatang itu mulai bergerak menyingkir dan hanya
menyaksikan dari kejauhan. Di sinilah letak kelicikan serigala.
Kadang tidak ingin bersusah-payah mengeluarkan tenaga, dan
hanya menanti sisa dengan penuh kesabaran.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga bukanlah calon korban
yang mudah untuk dimangsa. Sebaliknya, justru binatang-
binatang itulah yang menjadi korban amukan sepasang
pendekar muda itu.
Selagi Panji dan Kenanga bertempur dengan gerombolan
serigala, tiba-tiba terlihat sinar obor bermunculan ditingkahi
suara hiruk-pikuk. Tak berapa lama kemudian, muncullah para
peronda desa yang berjumlah sekitar sepuluh orang.
Kedatangan para peronda itu membuat gerombolan serigala
melarikan diri meninggalkan calon mangsanya dalam keadaan
utuh dan selamat
"Ah! Syukurlah kalian selamat Ketika mendengar suara
serigala-serigala liar itu, langsung kari mencari asal suaranya
yang terdengar ribut Kiranya binatang-binatang kelaparan itu
tengah mengeroyok kalian...," ujar pimpinan peronda desa
yang berperawakan tegap dengan kumis tebal menghias
wajahnya. Para peronda itu kelihatan kaget melihat banyak
bangkai serigala di sekitar tempat itu.
"Wah! Kalian benar-benar hebat! Banyak sekali kawanan
binatang itu yang tewas di tangan kalian...," puji seorang
peronda yang merasa kagum melihat banyaknya bangkai
serigala yang tewas oleh amukan kedua orang itu.
Panji hanya tersenyum tanpa merasa bangga akan
perbuatannya. Pemuda itu terlihat mengerutkan kening.
Pendekar Naga Putih tengah memikirkan, mengapa binatang-
binatang itu lari berserabutan ketika para peronda datang?
Panji menerka kalau ada yang ditakuti gerombolan serigala itu
dari para peronda.
Setelah berpikir beberapa saat, mencari jawaban apa yang
membuat gerombolan serigala liar itu lari, Panji berhasil
menemukan jawabannya. Menurutnya, serigala-serigala liar itu
takut oleh sinar obor di tangan para peronda.
"Jika kalian berjumpa dan dikeroyok serigala, gunakanlah
obor kalian untuk menyerang. Sebab, serigala-serigala liar itu
takut melihat sinar obor...," ujar Panji memberi petunjuk pada
para peronda.
"Gerombolan serigala buas itu takut pada sinar obor...?"
tanya pimpinan peronda heran mendengar petunjuk yang
sangat sederhana itu.
'Kurasa begitu. Sebab, setelah melihat karian datang,
gerombolan serigala liar itu lari berserabutan meninggalkan
tempata ini," sahut Panji meyakinkan para peronda yang
kemudian mengangguk-anggukkan kepala dengan perasaan
lega. Karena merekapun khawatir jika serigala-serigala
kelaparan itu akan datang lagi ke Desa Larang.
Setelah memberikan petunjuk, Panji berpamitan dan
mengajak Kenanga kembali ke rumah Ki Samiang.
-odwo-
"Seekor kelelawar raksasa...? Apa kalian tidak salah lihat?"
tanya Ki Samiang setengah tak percaya ketika Panji
mengatakan mereka bertemu seekor kelelawar besar sewaktu
meronda semalam.
"Benar, Ki. Bahkan aku sempat beradu tenaga dengan
makhluk itu, meski tidak terlalu lama. Aku yakin sekali kalau
makhluk Itu seekor kelelawar raksasa. Hanya yang kurasakan
aneh adalah suara teriakannya, yang menurutku lebih
mendekati ringkikan kuda...," jelas Panji lagi berusaha
meyakinkan Ki Samiang.
"Selain itu, gerombolan serigala kelaparan yang membuat
Ki Samiang khawatir, ternyata benar-benar muncul dan
menyerang kamu Untunglah para peronda keburu datang.
Sehingga kami tidak terluka. Karena serigala-serigala liar itu
segera melarikan diri," timpal Kenanga melengkapi cerita
Panji.
Dara jelita itu sengaja tidak menceritakan, betapa mereka
telah merobohkan puluhan serigala liar. Karena khawatir Ki
Samiang semakin tidak percaya dan menganggap mereka
telah membual. Selain itu, bangkai-bangkai serigala yang
mereka, bunuh telah ditanam olah para peronda dalam
sebuah lubang besar. Dan mereka berdua berpesan agar tidak
menyebarluaskan kejadian semalam, agar penduduk tidak
merasa was-was.
'Tentang hal itu aku sudah mendapat laporan dari kepala
ronda semalam. Untunglah kalian tidak menderita luka-luka.
Kalau sampai terjadi, aku akan merasa menyesal sekali...,"
ujar Ki Samiang setelah menghela napas berulang-ulang.
Agaknya apa yang dipesankan Panji kepada kepala ronda
semalam benar-benar dipatuhi. Buktinya, Ki Samiang tidak
menyebut-nyebut mengenai serigala yang terbunuh di tangan
sepasang pendekar muda itu. Karena dalam pandangan Ki
Samiang, kedua orang muda itu hanya orang-orang perantau
yang memiliki bekal ilmu silat untuk menjaga diri dari
gangguan orang jahat
"Tentang kelelawar besar yang kami ceritakan tadi,
menurutku pasti mempunyai tempat persembunyian. Dan,
satu-satunya tempat yang paling aman bagi makhluk raksasa
itu adalah Hutan Larangan yang lebat dan hampir tidak pernah
dijamah manusia. Untuk itu, kalau Ki Samiang mengizinkan,
kami berdua berniat hendak mencari sarang binatang itu
dalam Hutan Larangan," ujar Panji mengingatkan Kepala Desa
Larangan tentang makhluk raksasa yang dijumpainya
semalam.
"Panji, kalau benar makhluk itu ada dan mempunyai sarang
di dalam Hutan Larangan. Hanya ada satu tempat yang pantas
untuk menjadi tempat persembunyiannya," ujar Ki Samiang
seraya menatap wajah pemuda tampan itu dengan sorot mata
tajam.
"Maksudmu, Ki...?" tanya Panji menegasi
"Di dalam Hutan Larangan ada sebuah goa yang kami
namakan Goa Larangan. Tempat itu cukup luas dan dalam,
meskipun gelap karena sinar matahari tidak masuk ke
dalamnya. Yang menjadi persoalan, baik hutan maupun goa
itu tidak boleh didatangi siapa pun! Kecuali bila kami hendak
melakukan penyembahan pada roh leluhur kami. Dan itu biasa
dilakukan setelah selesai panen."
Ki Samiang kembali menerangkan pada Panji dan Kenanga
bahwa kedua tempat itu tidak boleh didatangi.
"Baiklah, Ki. Kami memaklumi dan menghormati
kepercayaan yang dianut penduduk desa ini. Tapi, kalau kami
boleh tahu, apa kira-kira bentuk sembahan yang diberikan
penduduk desa terhadap roh leluhur itu?" tanya Panji
menyembunyikan kecurigaannya.
Bagi kaum rimba persilatan seperti Pendekar Naga Putih,
tidak ada tempat yang angker atau keramat. Baik itu berupa
hutan, bukit atau pegununj an. Karena justru di tempat-
tempat sepi dan dianggap seram itulah, tokoh-tokoh tua rimba
persilatan pergi mengasingkan diri menunggu ajal datang
menjemput Demikian juga yang dilakukan guru Panji yang
berjuluk Malaikat Petir. Panji menduga kalau di dalam Hutan
Larangan atau Goa Larangai ada suatu misteri yang
membuatnya penasaran dai ingin mengungkapkannya.
"Sebaiknya, lupakan saja soal kelelawar raksasa itu.
Bukankah makhluk itu tidak melakukan apa-apa? Siapa tahu
binatang itu merupakan jelmaan dari roh leluhur kami yang
hendak melindungi keturunannya dari segala bahaya yang
datang mengancam. Buktinya, kelelawar besar itu barui
muncul di saat serigala-serigala kelaparan itu mengganas dan
berkeliaran sampai ke desa ini," ujar Ki Samiang tidak
menjawab pertanyaan Panji. Menurutnya suatu hal yang tabu
jika harus menjawabnya, karena ini menyangkut upacara suci.
Kenanga hampir tertawa mendengar perkataan kepala desa
itu, Untung saja, dara jelita itu bisa menahannya.
Panji sendiri menyembunyikan senyumnya ketika
mendengar ucapan Ki Samiang. Karena biar bagaimanapun,
dia tidak bisa percaya ada orang mati dapat berubah wujud
menjadi binatang untuk melindungi keturunannya. Kalaupun
ada, itu hanyalah dalam dongeng anak-anak Kendati
demikian, Panji tidak membantah. Pemuda itu
menganggukkan kepala untuk membuat hati Ki Samiang
menjadi tenteram, dan tidak merasa ditertawakan.
"Jika demikian, kami mohon pamit untuk melanjutkan
perjalanan. Terima kasih atas segala kebaikan yang telah
diberikan selama kami berada di desa ini Harap Ki Samiang
sudi memaafkan tindakan kami ini. Bukannya kami berdua
tidak kerasan. Tapi sebagai pengelana, rasanya akan lebih
bebas jika tinggal di alam terbuka. Selain itu, kami ingin
menambah pengalaman dengan melihat bagian lain belahan
bumi ini," ujar Panji membuat Ki Samiang terperanjat
"Ah! Mengapa kalian begitu terburu-buru? Tinggallah
beberapa hari lagi. Selain itu, masih banyak waktu untuk
melanjutkan perjalanan. Karena kalian berdua tidak
mempunyai tujuan yang pasti dan harus tiba tepat pada
waktunya."
Ki Samiang berusaha mencegah kepergian sepasang
pendekar muda itu. Tapi, Panji telah membulatkan tekad
untuk melanjutkan perjalanan.
"Apa boleh buat Kami hanya bisa berharap agar lain waktu
kalian dapat singgah lagi di desa ini. Pintu rumahku selalu
terbuka menyambut kefl datangan kalian berdua...," ujar Ki
Samiang akhirfl nya mengalah. Sebab kedua pendekar muda
itu sudah tidak bisa ditunda lagi kepergiannya.
'Terima kasih, Ki. Akan kami ingat kata-katamu," ucap Panji
yang diam-diam merasa terharu melihat kebaikan Ki Samiang
yang sangat tulus itu.
Kepala Desa Larang itu berdiri di beranda rumahnya
mengiringi kepergian sepasang orang muda yang
menimbulkan rasa suka di hatinya Baru setelah bayangan
Panji dan Kenanga lenyap dari pandangan, Ki Samiang
melangkah masuk ke dalam rumahnya.
-odwo-
ENAM
"Keparat! Kau benar-benar keras kepala! Apa yang
membuatmu lebih suka mati daripada menunjukkan di mana
letak Goa Larangan?!" bentak lelaki tinggi kurus bermata
cekung seraya mengayunkan kakinya menendang tubuh di
bawahnya yang meringkuk lemah.
"Aaakh...!"
Lelaki gagah itu terguling-guling terkena tendangan keras
yang dilancarkan lelaki tinggi kurus bermata cekung yang
tidak lain Ki Gontang. Darah segar tampak mengalir dari mulut
lelaki gagah yang bernama Ki Kaliga.
"Cepat katakan, di mana letak Goa Larangan itu...?!"
Kembali Ki Gontang membentak sambil menarik bangkit
tubuh gagah yang wajahnya telah dipenuhi darah.
"Sampai mati pun aku tidak sudi menunjukkannya...," rintih
Ki Kaliga dengan suara serak.
Lelaki gagah itu ternyata tidak takut menghadapi kemattan
atau siksaan. Karena berada di dalam Hutan Larangan itu saja
sudah merupakan pantangan baginya. Apalagi harus
menunjukkan la Goa Larangan. Tentu saja Ki Kaliga tidak mau
melanggar pantangan itu untuk kedua kalinya.
"Hm.... Baik kalau begitu! Aku ingin lihat sampai di mana
kau sanggup menahan siksaan yang akan kuberikan padamu
nanti!" geram Ki Gonraol hampir kehabisan akal menghadapi
kebandelan tawanannya itu.
Sudah beberapa hari ini, sejak dirinya menculik Ki Kaliga
dan Desa Larang, Ki Gontang terus memaksanya agar
menunjukkan letak Goa Larangat Tapi, lelaki tua itu tetap
tidak mau menunjukkan meskipun harus menerima siksaan
yang menyakitkan.
Pada hari keempat sejak Ki Kaliga diculik, kesabaran Ki
Gontang sudah habis. Maka, siksaan yang akan diberikan pada
Ki Kaliga pun jauh lebih hebat dari siksaan sebelumnya.
"Buka semua pakaian yang melekat di tubuhnya...,"
perintah Ki Gontang pada Kambala yani bertubuh kekar.
Tanpa membantah lagi, Kambala langsung saja melucuti
semua pakaian yang menempel di tubuh Ki Kaliga Tentu saja
lelaki gagah itu jadi terkejut bercampur heran.
"Hei, apa yang hendak kalian lakukan?" teriak Ki Kaliga
yang hanya dapat berteriak-teriak tanpa mampu melakukan
perlawanan. Karena seluruh tenaganya telah terkuras habis
akibat siksaan demi siksaan yang dialaminya dalam beberapa
hari itu.
"Hm.. Kau rasakan akibat kekerasan sikapmu, Kaliga!" ujar
Ki Gontang dengan sorot mata bengis.
Tidak sedikit pun terlihat gambaran rasa kasihan pada
wajah lelaki itu. Malah dia tampak semakin gembira saat
melakukan penyiksaan.
"Bawa dia ke dekat pohon itu...."
Kembali Ki Gontang memberi perintah kepada Kambala,
yang mematuhinya tanpa membantah se-patah kata pun.
Bahkan lelaki kekar itu seperti ikut menikmati pertunjukan
yang akan segera disaksikan.
"Nah! Kau lihat, Kaliga. Di pohon ini banyak terdapat semut
merah yang gigitannya terasa panas di kulit Kurasa kau pasti
akan suka jika tubuhmu kugantung di barang pohon ini agar
semut-semut merah menggigiti tubuhmu...," ujar Ki Gontang
membuat wajah Ki Kaliga makin bertambah pucat Ngeri
hatinya membayangkan siksaan yang akan dijalaninya
"Keparat! Kalian semua memang bukan manusia! Orang
seperti kalian pantasnya menjadi penghuni neraka!" teriak Ki
Kaliga geram.
"Hm.... Kuberi kesempatan untuk yang terakhir kali. Kalau
masih membandel, silakan bersenang-senang dengan semut-
semut yang manis dan lucu itu...," ujar Ki Gontang sambil
memperdengarkan tawanya yang berkepanjangan.
"Setan! Apa sebenarnya yang kalian cari di dalam Goa
Larangan? Jika berharap akan dapat menemukan harta, kalian
telah salah tempat Di gua itu tidak ada sesuatu yang berharga
untuk kaliai ambil!" teriak Ki Kaliga yang tidak mengerti apa
tujuan lima lelaki kasar itu mencari Goa Larangan Padahal,
sepanjang pengetahuan Ki Kaliga, di dalam goa itu tidak ada
benda-benda berharga atai benda pusaka. Aneh jika kelima
tokoh sesat itu ber sikeras hendak mencari Goa Larangan.
"Aku tidak perlu khotbahmu! Katakan, di mana letak Goa
Larangan atau kau kugantung di atas pohon itu...!" bentak Ki
Gontang jengkel mendengari Ki Kaliga mengulangi kata-kata
yang entah sudahi berapa kati diucapkan.
Kali ini Ki Kaliga malah membisu. Tak ada sepatah kata pun
yang keluar dari mulutnya. Sikap itu menunjukkan kalau Ki
Kaliga masih tetapi mempertahankan kepercayaan yang
dianutnya secara turun-temurun. Lelaki gagah itu lebih suka
disiksa daripada harus menunjukkan Goa Larangan kepada Ki
Gontang dan kawan-kawannya.
"Bedebah! Gantung dia...!" perintah Ki Gontang setelah
menunggu beberapa saat lamanya namun bibir Ki Kaliga tetap
terkatup rapat
Kambala yang bertindak sebagai algojo, segera mengikat
tangan lelaki gagah itu ke belakang. Kemudian, tubuh Ki
Kaliga dililit dengan tambang. Dan sekali sentak saja, tubuh
lelaki gagah itu terangkat naik, tergantung di pohon.
Kemudian Kambala mengikatkan tambang di tangannya ke
pohon lain. Sehingga, tubuh orang kepercayaan Kepala Desa
Larang itu terayun-ayun dengan rambang yang mengikat
tubuhnya tergantung di dahan pohon.
Tak lama kemudian, tampak semut-semut merah bergerak
beriringan menyusuri tambang, menuju tubuh Ki Kaliga yang
tidak berpakaian. Dan....
"Aaakh.... Aaa...!"
Ki Kaliga menjerit-jerit kesakitan ketika semut-semut merah
itu menancapkan giginya ke tubuhnya. Rasa panas dan gatal
membuat lelaki gagah itu meronta-ronta. Sehingga, tubuhnya
terayun-ayun. Tapi, gerakan itu justru membuat semut-semut
merah itu semakin tertarik. Maka, semakin banyaklah
binatang-binatang kecil itu mengerubuti tubuh Ki Kaliga.
Sudah pasti lama-kelamaan kulit dan daging lelaki gagah itu
akan terkikis habis.
Melihat betapa Ki Kaliga tetap tidak mau berbicara, Ki
Gontang segera mengajak keempat kawannya meninggalkan
Ki Kaliga yang tergantung di atas pohon dan dikerubuti semut-
semut merah. Agaknya, Ki Gontang mengambil keputusan
untuk mencari Goa Larangan tanpa petunjuk
-odwo-
"Kakang. Aku benar-benar penasaran ingin mengetahui
sampai di mana keangkeran Hutan Larangan. Apa kau tidak
ingin melihatnya...?" tanya dara berpakaian serba hijau yang
wajahnya tampak demikian jelita.
"Hm.... Kau pikir apa yang membuatku ingin cepat-cepat
pergi dari rumah Ki Samiang? Bagaimanapun angkernya
sebuah hutan, paling hanya karena banyak dihuni binatang
buas. Contohnya! Hutan Randu Apus, tempat Eyang Tirtayasa
tinggal Keangkeran hutan itu ternyata hanya karena banyak
binatang buas yang bertubuh lebih besar dari biasanya. Itu
sebabnya, aku ingin melihat apa sebenarnya yang membuat
Hutan Larangan tidak ada yang berani memasukinya," jawab
Panji, membuat dara jelita itu membelalakkan matanya yang
indah.
"Jadi kita hendak pergi ke sana...?" seru Kenanga hampir
berteriak kegirangan.
Semula dara jelita itu menduga kalau kekasih nya benar-
benar akan melanjutkan perjalanan. Ternyata pemuda itu
hanya ingin mengelabui Ki Samiang. Karena orang tua itu
tidak mengizinkan mereka memasuki Hutan Larangan.
"Aku tidak bisa melupakan kelelawar raksasa yang kita
jumpai semalam. Menurut dugaanku, satu-satunya yang
pantas menjadi tempat tinggal makhluk itu adalah Hutan
Larangan. Aku harus bertemu dengannya untuk mengetahui
secara pasti, apakah binatang itu peliharaan seorang tokoh
sakti yang bertapa dan mengasingkan diri di dalam Huran
Larangan? Itu masih harus dibuktikan," ujar Panji menjelaskan
tujuannya memasuki Hutan Larangan yang dianggap tempat
suci oleh Ki Samiang serta penduduk desanya. Tapi tidak bagi
Panji dan Kenanga, dan tokoh-tokoh persilatan lainnya.
Panji sengaja mengambil jalan memutar untuk
menghilangkan kecurigaan Ki Samiang, yang mungkin
mengirimkan orang untuk mengikuti perjalanannya. Dengan
mengambil jalan sebelah barat Desa Larang, itu sudah cukup
untuk mengelabui Ki Samiang dan warga desanya. Pasangan
pendekar muda itu mengerahkan ilmu lari cepatnya, setelah
cukup jauh meninggalkan Desa Larang. Kemudian kembali
berputar menuju Hutan Larangan.
Bagi tokoh berkepandaian tinggi seperti Panji dan Kenanga,
perjalanan jauh dapat ditempuh dalam waktu singkat Maka,
dengan menggunakan Ilmu lari cepatnya, dalam waktu singkat
saja keduanya telah tiba di tepi Hutan Larangan.
"Hm.... Tempat ini memang tampak angker dan
menyeramkan. Sepantasnya memang hanya binatang-
binatang buas langka saja yang menghuni hutan ini..„"gumam
Kenanga ketika mereka berdiri beberapa saat sebelum
memasuki belantara yang cukup lebat itu.
Tanpa khawatir terhadap binatang buas dan ular berbisa,
kedua orang muda itu bergerak merambah Hutan Larangan.
Sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, tidak
sukar bagi mereka untuk melakukan perjalanan ini. Dan racun
binatang berbisa pun tidak membuat mereka gentar. Sebab
Panji mempunyai obat pemunah racun yang paling ganas
sekalipun. Sehingga perjalanan dapat mereka lakukan dengan
cepat
"Hhh.... Kiranya hanya begini saja hutan yang dianggap
suci dan keramat oleh Ki Samiang dai warga desanya.
Rasanya tidak ada yang perlu ditakuti kecuali jalan yang
sangat sulit bagi orang-orang biasa," gumam Kenanga setelah
merambah semakin jauh tidak lagi merasakan keangkeran
Hutan Larangan. Karena menurutnya memang tidak ada yang
harus ditakuti.
"Sebentar, Kenanga..." Tiba-tiba Panji menahan gerak
langkahnya sambil menyentuh bahu kekasihnya. Pendekar
Naga Putih mendengar suara jeritan yang samar-samar
ditangkap indera pendengarannya.
"Ada apa, Kakang...?" tanya Kenanga seraya menoleh ke
kiri dan kanan.
"Kita ambil jalan menuju arah barat.."," ujar Panji segera
mengajak kekasihnya menuju ke barat Meski dengan wajah
dipenuhi tanda-tanya, Kenanga tidak membantah. Gadis itu
tahu kalau kekasihnya mungkin menangkap suara yang belum
dapat didengarnya, karena masih terlalu jauh dara jangkauan
indera pendengarannya.
Setelah cukup lama mereka berlari menerobos semak
belukar, baru dara jelita Itu bisa menangkap suara jerit
kesakitan, maski masih agak samar. Sedang bagi Panji sudah
semakin jelas terdengar.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah mereka di tempat Ki
Kaliga menjalani siksaan. Pemandangan itu membuat Kenanga
mengalihkan pandangannya. Sebab di sebuah dahan pohon
tampak sesosok lelaki tengah tergantung dengan tubuh polos,
tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.
"Ihhh...!"
Kenanga bergerak menjauhi tubuh Ki Kaliga yang
tergantung di atas cabang pohon besar itu. Sedangkan Panji
bertindak cepat Dilepaskannya lilitan tambang pada sebatang
pohon yang berhubungan langsung dengan tambang yang
melilit tubuh Ki Kaliga. Kemudian diturunkannya lelaki yang
malang itu dengan perlahan-lahan.
'Terima kasih, Kisanak...," desis Ki Kaliga sambil menggaruk
sekujur tubuhnya.
"Jangan lakukan itu, Ki. Aku mempunyai minyak gosok
yang dapat mengurangi penderitaanmu...," ujar Panji
mencegah perbuatan lelaki tua bertubuh gagah Itu.
Lalu Panji mengeluarkan minyak dalam sebuah botol kecil.
Kemudian dioleskannya ke sekujur tubuh Ki Kaliga yang
berbintil-bintil karena gigitan semut merah.
Bukan main gembiranya hari lelaki gagah itu ketika
merasakan minyak yang dioleskan pemudi itu sanggup
menghilangkan rasa panas dan gatal hanya dalam beberapa
saat saja. Tanpa malu-malu lagi, diterimanya sepasang
pakaian yang diulurkan Panji. Meskipun agak kekecilan,
namun ternyata cukup pantas untuk dikenakan Ki Kaliga.
"Kau pasti Ki Kaliga, orang kepercayaan Ki Samiang yang
menjadi Kepala Keamanan Desa Larang, bukan?" terka Panji
tanpa ragu.
Sebelumnya, pemuda itu memang telah mendapat
penjelasan dari Ki Samiang tentang ciri-ciri Ki Kaliga, pada
waktu Panji menginap di tempat' kediaman kepala desa itu.
"Bagaimana kau bisa menebak dengan tepat, Anak Muda.
Siapa kau sebenarnya, dan mengapa berani memasuki Hutan
Larangan ini?" tanya Ki Kaliga heran. Karena dirinya merasa
belum pernah berjumpa dengan pemuda tampan berjubah
putih itu.
"Namaku Panji, Ki. Dan kedatanganku ke hutan ini untuk
melakukan penyelidikan tentang sesuatu yang ingin kuketahui
secara pasti. Aku mendapat keterangan dari Ki Samiang
tentang ciri-ciri orang kepercayaannya yang diculik lima orang
asing. Sekarang ke mana perginya kelima orang itu? Apa
sebenarnya yang mereka kehendaki...?" ucap Panji
menanyakan perihal lima orang asing yang menculik lelaki itu.
"Mereka terus masuk ke dalam hutan untuk mencari Goa
Larangan. Aku berkeras tidak mau menunjukkan di mana letak
Goa Larangan. Sehingga mereka menyiksaku sedemikian rupa.
Lalu meninggalkanku tergantung di cabang pohon yang
banyak dihuni semut-semut merah. Hm.... Biar nampai mati
pun mereka tidak akan menemukan tempat itu. Karena yang
dinamakan Goa Larangan adalah sebuah sumur tua yang lebar
dan dalam. Kalau mereka mencari goa di dalam hutan ini,
jelas tidak ada...," jawab Ki Kaliga yang tanpa sadar
menceritakan semua itu pada Panji yang belum begitu
dikenalnya.
Entah karena rasa gembira atau pemuda itu mengenal baik
Ki Samiang, sehingga Ki Kaliga langsung saja menerangkan
tentang Goa Larangan secara jelas pada pemuda itu.
"Lalu, apa yang akan kau lakukan selanjutnya? Apakah
hendak menyusul kelima orang itu atau kembali ke desa?"
tanya Panji mengalihkan perhatian Ki Kaliga agar lupa dengan
apa yang baru saja diceritakannya.
"Hm.... Untuk kembali seorang diri rasanya sama dengan
bunuh diri. Jika tidak dimangsa harimau atau binatang buas
lainnya, mungkin terkena patukan ular berbisa. Hhh.... Kalian
sendiri hendak berbuat apa di hutan ini? Biarlah aku ikut
dengan kalian saja," jawab Ki Kaliga yang merasa serba salah.
Lelaki itu tidak mungkin dapat keluar dengan selamat dari
hutan itu. Karena banyak binatang binatang berbisa dan
binatang buas yang mungkfl akan dijumpainya di tengah jalan.
Maka dengan sangat terpaksa lelaki itu mengambil keputusan
untuk ikut dengan dua orang muda itu.
"Kami hendak mencari Goa Larangan. Apakah Ki Kaliga
tidak takut?" pancing Panji ingin mengetahui tanggapan orang
tua itu tentang tujuannya. Padahal Pendekar Naga Putih
sendiri sebenarnya tidak tahu harus pergi ke mana. Karena
niatnya datang ke tempat itu hanya untuk mencari sarang
kelelawar raksasa yang membuatnya penasaran.
"Hhh.... Ada apa sebenarnya di dalam Goa Larangan itu?
Padahal sepanjang pengetahuanku tidak ada sesuatu yang
berharga di dalam sumur tua itu," gumam Ki Kaliga heran.
"Hm... Bagaimana kau tahu kalau di dalam Goa Larangan
tidak terdapat apa-apa? Bukankah belum pernah ada seorang
pun yang berani memasuki goa itu?" kembali Panji
memancing.
Pendekar Naga Putih tentu hanya sekadar menduga-duga,
mengingat Hutan Larangan dianggap sebagai tempat suci dan
keramat. Selain itu, ia pun merasa heran mendengar Ki Kaliga
lebih suka disiksa daripada harus memberitahukan letak Goa
Larangan pada kelima orang penculiknya.
Mendengar perkataan Panji, Ki Kaliga tampak berpikir
keras. Memang, selama ini belum pernah ada orang yang
berani masuk ke dalam Goa Larangan. Sehingga, lelaki tua itu
tidak menjawab pertanyaan Panji.
"Apa sebenarnya yang kau cari di tempat terlarang itu,
Anak Muda?"
Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya Ki Kaliga
melontarkan pertanyaan itu pada Panji. Sepasang mata lelaki
tua itu meneliti wajah pemuda tampan yang telah
menyelamatkannya. Rupanya Ki Kaliga hendak menilai sifat
Panji melalui mata pemuda tampan itu.
"Yang jelas aku tidak memerlukan harta atau benda-benda
pusaka, kalau itu yang kau maksud," jawab Panji, membuat Ki
Kaliga mengerutkan keningnya tak mengerti. Sebab hanya
kedua hal itulah yang kebanyakan diincar orang. Bahkan
diperebutkan sampai dengan taruhan nyawa.
"Lalu...?" desak Ki Kaliga ingin tahu.
"Sudah kubilang sejak tadi. Kami berdua hanya ingin
membuktikan sesuatu. Kalau kukatakan, kau pasti tidak akan
percaya. Sebaiknya kita segera berangkat menuju Hutan
Larangan," ujar Panji membuat Ki Kaliga menjadi serba salah.
Namun, karena melihat wajah pemuda itu yang jelas tidak
menampilkan watak jahat atau licik. Akhirnya Ki Kaliga
memberanikan diri melanggar larangan itu. Bahkan ia
bertindak sebagai penunjuk jalan bagi Panji dan Kenanga.
Setelah melewati tempat-tempat yang sukar karena banyak
ditumbuhi semak belukar, akhirnya mereka pun tiba di sebuah
tanah lapang yang agak luas. Hamparan rumput hijau
membentang di hadapan mereka. Tapi langkah Ki Kaliga
tertunda ketika di depannya terlihat lima sosok tubuh berdiri
tegak seolah sengaja menunggu kedatangan ketiga orang itu.
"He hehe....! Ternyata nasibmu masih baik, Ki Kaliga.
Rupanya ada orang yang berbaik hati menemukan dan
membebaskanmu," ujar lelaki bertubuh kurus dengan
sepasang mata cekung ke dalam. Sehingga kedua tulang
pipinya tampak menonjol. Siapa lagi orang itu kalau bukan Ki
Gontang.
Panji yang melihat kelima orang bertampang kasar itu
berdiri menghadang jalan, terus saja melangkah maju, dan
baru menghentikan langkahnya dalam jarak satu tombak.
Terlihat sepasang mata pemuda tampan itu meneliti sebuah
lambang yang tertera di bagian dari pakaian mereka.
"Hm.... Rupanya kalian orang-orang Partai Tapak Darah...,"
ujar Panji yang langsung mengenali asal kelima lelaki kasar
itu. Tidak sulit untuk mengetahuinya. Lambang itu memang
merupakan tanda pengenal bagi orang-orang Partai Tapak
Darah yang namanya cukup disegani kawan maupun lawan.
Partai itu memiliki banyak tokoh-tokoh ternama.
"Bagus kalau kau sudah mengenal kami, Anak Muda.
Sekarang kau boleh pergi dari sini. Tinggalkan lelaki keras
kepala dan dara jelita itu untuk kami...," ujar Gumantara yang
separo kepalanya botak dengan wajah bopeng seperti bekas
cacar.
Panji yang telah banyak mendengar Partai Tapak Darah
bukan termasuk golongan baik-baik, tentu saja tidak ingin
mengalah. Dipandanginya kelima sosok bertampang kasar itu
satu persatu. Kemudian terdengar suaranya yang lantang dan
jelas.
"Aku tidak peduli siapa kalian. Ada baiknya jika kalian
segera angkat kaki dari tempat ini. Hutan suci ini tidak pantas
diinjak-injak oleh orang-orang kotor seperti kalian. Nah! Apa
lagi yang kalian tunggu...?" ujar Panji dengan sikap tenang
membuat kelima orang lelaki kasar itu seperti tak percaya
mendengarnya.
Bahkan Ki Kaliga sendiri pucat wajahnya. Tidak pernah
disangkanya kalau pemuda tampan bertubuh sedang itu tidak
merasa gentar. Padahal, Ki Kaliga bukan tandingan salah
seorang dari kelima tokoh Partai Tapak Darah itu.
"Hm...."
Kambala yang bertubuh sekokoh batu karang, bertindak
maju menghampiri Panji. Keduanya berdiri berhadapan dalam
jarak setengah tombak. Tubuh Pendekar Naga Putih hanya
setinggi telinga Kambala, karena tubuh lelaki itu memang
tergolong tinggi besar, bahkan paling tinggi di antara saudara-
saudara seperguruannya.
Panji tidak menampakkan perasaan apa pun Ketenangan
sikap pemuda tampan berjubah putih itu membuat Kambala
merasa tidak sabar ingin segera meremas tubuh pemuda di
hadapannya itu. Tapi, sampai beberapa saat lamanya, kedua
orang itu masih tetap saling berhadapan dengan sorot mata
tajam. Tak satu pun dari keduanya tampak memulai gerakan.
Mereka sama-sama bisu seperti patung batu.
-odwo
TUJUH
"Heaaah...!"
Tiba-tiba Kambala membentak keras! Sepasang lengannya
yang besar terulur hendak mencekal kedua bahu Pendekar
Naga Putih. Tapi, pemuda itu tampak tidak berusaha
mengelak, sehingga Kambala menyunggingkan senyum
mengejek di bibirnya.
Tapi...
Kreppp!
"Aaah...?!"
Kambala yang mengerahkan tenaganya hendak
mengangkat dan membanting tubuh Pendekar Naga Putih,
terkejut bukan main! Meskipun seluruh kekuatannya telah
dikerahkan, tetap saja tubuh Panji tidak mampu diangkatnya.
"Apa yang kau lakukan, Orang Kuat? Jika hendak memijati
tubuhku, jangan begini caranya. Kau harus tahu bagaimana
cara memijat yang baik...," ujar Panji yang telah mengerahkan
tenaga simpanannya untuk memberatkan tubuhnya menjadi
berlipat-lipat
"Setan...!"
Sadar kalau dirinya telah dipermainkan, Kambala menjadi
murka. Ditariknya kedua tangan yard semula mencengkeram
bahu Panji. Kemudian dia melakukan serangan menjepit
kepala pemuda itu dengan tepukan telapak tangan yang
dibenturkan ke kedua sisi kepala Pendekar Naga Putih.
"Yeaaa....!"
Plakkk!
Begitu sepasang telapak tangan Kambala meluncur datang,
Panji merendahkan tubuhnya. Sehingga, lelaki kekar itu
seperti orang yang bertepuk tangan seorang diri. Tentu saja
gerakan itu membuat telapak tangannya terasa pedas bukan
main.
"Keparat! Kuremukkan kepalamu...!"
Kemurkaan Kambala rupanya sudah naik ke ubun-ubun. Ia
menerjang kalang-kabut tanpa peduli lagi dengan keselamatan
dirinya. Sehingga....
Desss!
"Aughhh...!"
Sebuah tendangan keras, telak menghajar dada Kambala
yang terlalu bernafsu dalam melancarkan serangan. Sehingga,
lelaki kekar itu kecolongan! Tubuhnya terhuyung mundur, dan
pada sudut bibirnya terlihat cairan berwarna merah.
Melihat kenyataan itu, Ki Gontang dan yang lain-lainnya
sadar kalau pemuda itu tidak bisa dipandang ringan. Bahkan
jelas merupakan lawan yang cukup berat Terbukti dapat
mempermainkan Kambala yang kepandaiannya tidak berselisih
jauh dengan yang lainnya. Maka, mereka langsung maju
bersama-sama menghadapi pemuda itu. Bahkan masing-
masing telah menggenggam sebatang pedang.
"Biar aku bermain-main dengan mereka sebentar,
Kenanga...," ujar Panji ketika melihat kekasihnya bersiap
hendak masuk ke dalam arena pertarungan. Sehingga, dara
jelita itu menahan geraknya dan berdiri di tempat semula.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih telah dikelilingi lima
orang lawannya. Meskipun demikian, pemuda itu kelihatan
tetap tenang. Sehingga membuat Ki Kaliga bertanya-tanya
siapa sebenarnya pemuda tampan berjubah putih itu?
Mengapa dia kelihatan demikian tenang menghadapi
keroyokan lima tokoh sakti?
Jawabannya pun segera muncul ketika Panji mengerahkan
Tenaga Sakti Gerhana Bulan'nya. Lapisan kabut bersinar putih,
keperakan yang menyelimuti tubuh Panji membuat dirinya
dikenali.
"Pendekar Naga Putih...?!"
Seruan ribut itu berasal dari lima tokoh Partai Tapak Darah.
Tampak mereka sangat terkejut setelah mengetahui siapa
sebenarnya pemuda tampan yang menjadi lawan mereka. Ada
bayang ke-gentaran di wajah mereka masing-masing. Namun,
mencoba untuk ditutupi dengan sikap angkuh.
Ki Kaliga pun tidak kalah terkejutnya ketika mendengar
julukan Pendekar Naga Pulih disebut Sebuah julukan yang
tidak asing di telinganya. Karena lelaki gagah itu salah seorang
pengagum pendekar muda itu. Sukar dibayangkan, betapa
gembiranya hati Ki Kaliga saat itu. Selain dirinya telah
diselamatkan oleh pendekar yang selama ini dikaguminya, dia
juga telah mengantarkan Pendekar Naga Putih yang hendak
mencari Goa Larangan. Tentu saja setelah mengetahui siapa
pemuda itu, Ki Kaliga akan mengantarkannya dengan senang
hati.
Jika tadi Ki Kaliga memandang keheranan saat Panji
mempermainkan Kambala, kini sinar mata lelaki tua itu
bersinar-sinar penuh kegembiraan, karena bisa menyaksikan
ilmu andalan yang dimiliki Pendekar Naga Putih. Bukan main
senangnya hati Ki Kaliga membayangkan betapa sebentar lagi
dia akan menyaksikan ilmu andalan pendekar muda yang
selama ini hanya didengarnya melalui mulut orang lain.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih sudah membentuk
kuda-kuda ketika lima tokoh Partai. Tapak Darah mulai
bergerak berganti-ganti kedudukan Agaknya setelah
mengetahui siapa lawannya, kelima tokoh sesat itu
mengandalkan ilmu gabungan yang dapat dimainkan oleh
empat orang atau lebih.
"Haaat..!'
Gontang yang menjadi pimpinan keempat kawannya
berteriak nyaring. Tubuhnya meluncur cepat dengan sabetan
yang berdesing tajam.
Bettt..!
Panji menggeser tubuhnya dengan kedudukan miring.
Sehingga sabetan pedang lawan lewat di samping tubuhnya.
Tapi, sebelum pemuda itu melontarkan serangan balasan,
pedang di tangan lawannya sudah berputar balik dengan
gerakan menusuk. Bahkan seorang lawannya yang lain ikut
membarengi dengan sambaran pedang yang mengancam
lambung pemuda itu.
"Haiiit..!"
Panji yang menyadari dirinya akan terjepit jika tetap di
tempat semula, segera berseru keras sambil melesat ke udara.
Dari atas, tangannya bergerak menampar batok kepala Ki
Gontang yang berada di bawahnya.
Lelaki bertubuh kurus dengan sepasang mata cekung itu
ternyata mampu bertindak cepat Tamparan telapak tangan
Panji luput karena kuda-kudanya telah direndahkan seraya
membuang kepalanya ke belakang. Pada saat itu juga, dua
buah sinar pedang meluncur datang mengancam tubuh
Pendekar Naga Putih! Padahal saat itu Panji masih berada di
udara.
Tapi Panji adalah pemuda gemblengan yang telah terlatih
baik. Keadaan sulit itu dapat diatasinya dengan tenang.
Meskipun masih berada di udara, sepasang tangannya
bergerak terkembang memapaki serangan kedua pedang
lawan.
Plak! Plak!
"Ahhh...?!"
Kedua lawannya memekik kaget ketika pedang mereka
melenceng, sedangkan tangan mereka terasa dingin hampir
membeku. Sehingga untuk beberapa saat lamanya, tangan itu
belum dapat digunakan untuk menyerang.
Panji bukan tidak mengetahuinya, tapi pemuda itu lebih
memperhatikan lawan yang berada di belakangnya. Sebab,
pada saat tubuhnya meluncur turun, pedang lawan sudah siap
menyambut luncuran tubuhnya. Tentu saja Pendekar Naga
Putih telah mempersiapkan dengan baik cara mengatasi
bahaya itu. Cepat kedua kakinya berputar sebelum menyentuh
tanah. Satu menendang pergelangan tangan lawan yang
memegang pedang, sedang yang lain meluncur ke dada lawan
dengan mempergunakan tumit
Plakkk! Buggg!
"Hukkkh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh orang itu langsung terlempar ke
belakang terkena tendangan keras yang telak menghantam
dadanya. Darah segar me-netes dari sudut bibirnya, pertanda
tendangan Panji telah membuat lawannya terluka dalam.
"Haiiit..!"
"Aaat..!"
Kembali kedua lawannya menerjang maju begitu Panji
menjejakkan kakinya ke tanah. Diam-diam Pendekar Naga
Putih kagum melihat kehebatan ilmu gabungan lawan. Tapi
bukan berarti kalau Panji kewalahan. Sama sekali tidak.
Bahkan serangan yang datang cepat saat tubuhnya baru
menjejak tanah, dapat dihalaunya dengan kibasan kedua
lengan yang membuat tubuh lawan terhuyung. Kemudian,
Panji masih sempat memberikan sebuah hantaman ke tubuh
Kambala.
Desss...!
Lagi-lagi Kambala harus merasakan kerasnya kepalan
pemuda itu. Iganya yang terkena kepalan tangan Pendekar
Naga Putih, membuat tubuh lelaki kekar itu tidak sanggup lagi
mempertahankan kuda-kudanya. Akibatnya, tubuh kekar itu
terbanting ke tanah dengan suara berdebuk keras.
Sedangkan saat itu, Pendekar Naga Putih sudah menerjang
maju ke arah dua orang lainnya yang tengah melesat maju
dengan putaran pedang yangberdesingan. Tapi...
Bresssh!
"Aaa...!"
Kedua pengeroyok itu memekik ngeri ketika dorongan
sepasang telapak tangan Panji membuat tubuh mereka
terpental laksana terhantam angin ribut Sehingga tanpa dapat
dicegah lagi, tubuh mereka jatuh terguling-guling.
"Aaat..!"
Lelaki berwajah bopeng yang bernama Gumantara rupanya
merasa penasaran, maka ketika Panji baru saja melontarkan
serangan ke arah dua orang kawannya, Gumantara
memanfaatkan kesempatan itu untuk membabatkan
senjatanya ke tengkuk lawan.
Panji yang menangkap ada suara berdesing di
belakangnya, langsung membalikkan tubuh dengan cara
berjungkir balik ke udara.
Whuuut..!
Tusukan pedang Gumantara meluncur pesat di bawah
lawan. Sedangkan Panji yang berada di atas, enak saja
menggedorkan telapak tangan kanannya ke punggung lelaki
berwajah bopeng itu.
Beggg!
"Ughhh...!"
Gumantara langsung tersungkur mencium tanah. Dan
sebelum sempat dia melompat bangkit, Panji telah
mengirimkan sebuah tamparan ke pelipis lawan.
Plarrr...!
Akibatnya sudah bisa dibayangkan, tubuh Gumantara
berputar bagai sebuah gasing. Kemudian ambruk ke tanah
dengan nyawa yang telah pindah ke alam baka. Tamparan
Panji telah menyebabkan tengkorak kepalanya retak!
Kematian Gumantara membuat Ki Gontang menjadi murka.
Tanpa perhitungan yang masak, langsung saja dia melesat
sambil menusukkan ujung pedangnya tepat menuju jantung
Pendekar Naga Putih. Tapi....
Plak! Derrr...!
Panji yang malah bergerak maju menyambut datangnya
luncuran tubuh lawan, membuat Ki Gontang kaget. Hal itu
sama sekali tidak disangkanya. Sehingga tebasan bilah
pedangnya berhasil ditepiskan Panji yang bersamaan dengan
itu mengirimkan hantaman telapak tangan ke dada lawan.
Tubuh Ki Gontang pun terlempar bagai daun kering yang
diterbangkan angin. Kemudian ambruk ke tanah. Darah segar
meleleh keluar membasahi bumi. Nyawa Ki Gontang pun
melayang dengan tulang dada hancur terkena hantaman
Pendekar Naga Putih.
"Haaat..!"
Seperti sebuah baling-baling, tubuh Pendekar Naga Putih
berputaran di udara menghampiri Kambala dan seorang
rekannya.
Blarrr...!
Kali ini tidak ada ampun lagi bagi kedua orang itu. Pukulan
jarak jauh Panji membuat tubuh mereka bagai disentakkan
sebuah kekuatan raksasa. Sehingga mreka langsung tewas
dengan tulang dada melesak ke dalam.
Lawan Panji yang tinggal seorang rupanya takut menerima
kematian. Lelaki itu segera melempar pedangnya dan berlutut
minta ampun.
"Ampun, Pendekar Naga Putih! Aku belum ingin mati...,"
ratap lelaki bertubuh sedang itu
"Hm...."
Panji hanya mendengus mendengar ratapan lelaki itu.
Sebenarnya Pendekar Naga Putih benci dengan lelaki cengeng
seperti itu. Tapi, karena ada yang ingin diketahui, maka Panji
tidak menghabisi lelaki itu.
"Coba katakan, apa yang kalian cari di tempat ini? Mengapa
ingin mencari Goa Larangan? Jawab sejujurnya! Kalau tidak,
aku akan mengirimmu ke neraka untuk menemani kawan-
kawanmu...," ujar Panji mengancam.
"Kedatangan kami ke tempat ini untuk mencari kitab
pusaka Partai Tapak Darah. Pimpinan mengutus kami untuk
mencarinya di sebuah tempat yang bernama Goa Larangan.
Tapi kami tidak berhasil menemukannya di dalam hutan ini,"
jawab lelaki bertubuh sedang yang Panji tahu berkata jujur.
"Hm.... Siapa yang menyimpan kitab pusaka partaimu di
Goa Larangan?" tanya Panji lagi, merasa tertarik dengan
jawaban orang itu.
"Seseorang telah mencurinya Dan kami ditugaskan untuk
mengambil kembali pusaka itu sekaligus membawa pencurinya
untuk dihukum," jelas lelaki itu dengan suara yang mulai
tenang. Tampaknya pembicaraan itu membuatnya rupa kalau
mereka adalah musuh.
"Hm.... Paman, coba tunjukkan padaku di mana Goa
Larangan itu?" tanya Panji seraya melemparkan pandang ke
wajah Ki Kaliga yang duduk termenung memikirkan semua
kejadian yang baru dialaminya. Mendengar dirinya dipanggil,
Ki Kaliga langsung menoleh dan bergegas menghampiri
Pendekar Naga Putih.
"Ada apa, Panji...?" tanya lelaki tua yang tubuhnya masih
terlihat gagah itu.
Wajah Ki Kaliga tampak cerah, seolah merasa bangga kalau
pendekar muda itu memerlukan bantuannya. Perubahan sikap
Ki Kaliga itu tentu saja setelah mengetahui siapa sebenarnya
pemuda tampan berjubah putih itu.
"Antarkan kami ke Goa Larangan...," pinta Panji yang
membuat Ki Kaliga bergegas melangkah tanpa membantah.
Tapi ketika ekor matanya menangkap bayangan tokoh
Partai Tapak Darah yang ingin ikut, Ki Kaliga tampak bimbang.
"Biarlah dia ikut bersama kita, Paman. Karena dia juga
mempunyai kepentingan dengan Goa Larangan," ujar Panji
mencoba bersikap adil setelah mendengar penuturan tokoh
Partai Tapak Darah. Tapi tentu saja dia akan melihat lebih
dulu. Karena bisa saja orang-orang Partai Tapak Darah
mengaku-ngaku agar bisa mencuri kitab yang berada di Goa
Larangan.
Maka berangkatlah Ki Kalinga. Kenanga, Panji dan tokoh
Partai Tapak Darah itu menuju Goa Larangan.
-odwo-
DELAPAN
Tidak berapa lama kemudian, setelah melewati jalan yang
berbelok-belok, tibalah mereka di dekat sebatang pohon
raksasa yang tingginya sekitar lima atau enam belas tombak
Tidak jauh dari pohon raksasa itu ada sebuah lubang sumur
yang cukup lebar. Anehnya, meskipun sumur itu berada di
dalam sebuah hutan yang cukup subur, tapi dindingnya batu
padas yang keras. Sedangkan lubangnya dapat dimasuki kira-
kira dua orang.
"Inikah yang dinamakan Goa Larangan, Paman...?" tanya
Panji yang jika mencari sendiri pasti tidak akan dapat
menemukannya seperti juga orang-orang Partai Tapak Darah.
Karena yang dimaksud goa adalah sebuah sumur tua, yang
mungkin telah berusia ratusan tahun.
"Benar, Panji. Sumur tua inilah yang bernama Goa
Larangan. Leluhur kami yang menamakannya," jawab Ki
Kaliga tegas tanpa keraguan sedikit pun.
"Nah, Juntala. Inilah Goa Larangan. Lakukan apa yang
menjadi keinginanmu...," ujar Panji pada tokoh Partai Tapak
Darah yang memperkenalkan diri dengan nama Juntala.
Melihat sumur tua yang tadi telah ditemukan bersama
saudara-saudara seperguruannya, Juntai tampak bingung.
Lelaki itu tidak menyangka kalau sumur tua itulah yang
dinamakan Goa Larangan. Mengenai apa sebabnya sumur itu
dinamakan demikian, tak seorang pun yang mengetahuinya,
termasuk Ki Kaliga.
"Kau tidak ingin mengetahui dasar sumur ini?' tanya Panji
ketika melihat Juntala hanya termenung di bibir sumur.
"Aku memang harus melihat dan meneliti sampai ke
dasarnya," sahut Juntala tersentak dari lamunannya.
Lelaki itu segera bersiap hendak menuruni sumur itu karena
merasa memikul tanggung jawab penuh untuk dapat
menemukan kitab partainya.
"Hukuman apa yang menantimu bila kau kembali dengan
tangan hampa, Juntala...?" tanya Panji yang mengetahui kalau
partai-partai besar beraliran hitam selalu memberi hukuman
bagi setiap muridnya yang gagal melaksanakan tugas.
Kemungkinan besar Partai Tapak Darah pun demikian.
"Mungkin hukuman gantung. Tapi, ketua kami menekankan
agar tidak usah kembali jika gagal...," jawab Juntala yang
sikapnya tidak gelisah lagi. Sebab lelaki itu percaya penuh
akan kebersihan hati Pendekar Naga Putih.
Panji meninggalkan Juntala yang sudah menuruni sumur
setelah menjatuhkan batu terlebih dahulu. Ketika mengetahui
kalau sumur tua itu tidak begitu dalam, tokoh Partai Tapak
Darah itu langsung melayang turun tanpa ragu. Tangannya
bergerak menapak ke kiri dan kanan dinding sumur sebagai
penahan daya luncur tubuhnya. Sehingga, lelaki bertubuh
sedang itu dapat mendarat dengan baik di dalam sumur.
"Bagaimana ini, Kakang? Mana mungkin kelelawar raksasa
itu tinggal di dalam sumur? Kemungkinan besar dugaanmu
keliru. Makhluk itu pasti tidak tinggal di hutan ini...," ujar
Kenanga yang merasa kecewa setelah melihat apa yang
dinamakan Goa Larangan. Karena lubang sumur itu tidak
mungkin dapat dilewati kelelawar raksasa yang memiliki
sepasang sayap lebar.
"Hm.... Aku pun agak bingung. Satu-satunya dugaanku
hanya Hutan Larangan ini. Karena hampir tidak pernah
dijamah manusia. Jika makhluk Itu tinggal di tempat lain
rasanya akan mudah ditemukan orang. Dan sudah pasti akan
banyak diburu orang...," jawab Panji yang sepertinya masih
tetap yakin kalau kelelawar raksasa itu tinggal di daerah Hutan
Larangan. Hanya saja belum bisa diketahui letaknya secara
pasti.
"Aaa...!"
Pembicaraan Panji dan Kenanga terputus. Suara jeritan
yang menyayat itu berasal dari dalam sumur. Siapa lagi yang
mengeluarkan Jerit kematian itu kalau bukan Juntala. Sebab,
hanya tokoh Parfi Tapak Darah itulah yang berada di dasar
sumur
"Celaka! Jangan-jangan arwah leluhur kini murka, Pendekar
Naga Putih. Kalau sampai itu terjadi, malapetaka akan
menggilas Desa Larang! Sudah kubilang kalau tempat ini
adalah tempat keramat yang tidak boleh didatangi sembarang
oranga dan sembarang waktu...."
Wajah Ki Kaliga terlihat pucat setelah mendengar jerit
kematian Juntala. Ingatannya kembali pada kepercayaan yang
dianutnya. Sehingga mengira kematian Juntala disebabkan
tokoh itu telah berbuat kurang ajar dengan menginjakkan
kakinya di tempat suci.
'Tenanglah, Paman. Semua itu hanya khayalan. Aku akari
melihat ke dasar sumur, untuk memastikan apakah Juntala
sudah tewas atau hanya terkena sengatan binatang
berbisa...," ujar Panji menenangkan Ki Kaliga yang kelihatan
sangat ketakutan.
"Ki Apakah tidak ada jalan tembus yang berhubungan
dengan sumur ini...?" tanya Kenanga tiba-tiba. Tapi, dara jelita
itu menjadi kecewa ketika melihat gelengan kepala Ki Kaliga.
Saat itu Panji sudah bersiap untuk turun ke dasar sumur.
Terlebih dahulu Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana
Bulan' untuk berjaga-jaga bila ada bahaya yang mungkin
menantinya di bawah sana.
"Memang sebaiknya kita periksa saja tempat Itu,
Kakang...."
Kenanga rupanya hendak ikut masuk ke dalam Goa
Larangan. Panji tidak mencegah, karena baik di dalam sumur
atau di luar, sama bahayanya. Maka, pemuda itu tidak
berusaha melarang kekasihnya yang ingin ikut turun ke dasar
Goa Larangan.
Sementara itu Ki Kaliga sudah duduk bersemadi dengan
mulut komat-kamit tak karuan. Entah apa yang diucapkannya,
tidak begitu jelas terdengar. Karena lebih mirip orang yang
sedang mengomel.
Setelah mempersiapkan tenaganya, Panji pun meluncur
turun dengan ringannya. Tidak sulit bagi pemuda itu untuk
riba di dasar sumur dengan selamat Beberapa saat kemudian,
kedua kakinya sudah menjejak tanah keras yang menjadi
dasar Goa Larangan. Yang membuat Panji terkejut di
hadapannya ada sebuah lubang besar yang menyerupai mulut
goa. Mungkin itulah yang dinamakan Goa Larangan.
Sedangkan sumur tua itu hanya merupakan pintu masuk
menuju tempat keramat itu.
Beberapa saat setelah Panji tiba di dasar sumur, Kenanga
meluncur datang dan langsung mendarat di sebelah kanan
kekasihnya. Sepasang mata bulat dara jelita itu tampak
terbelalak melihat ada sebuah lubang goa di sebelah kanan
dinding sumur.
"Kalau begitu, orang yang menamakan tempat ini sebagai
Goa Larangan tidak salah, kakang. Tentu inilah yang dimaksud
Goa Larangan yanfl sesungguhnya. Sedangkan sumur tua ini
hanya merupakan pintu masuk...," gumam Kenanga dengan
suara perlahan.
"Hm.... Mungkin semakin ke dalam akan bertambah luas.
Jadi kemungkinan besar kelelawar raksasa itu bersarang di
dalam Goa Larangan ini...,” ujar Panji perlahan sambil
bergerak maju.
"Tapi, bagaimana mungkin kelelawar raksasa itu dapat
masuk melalui sumur yang jelas tidak akan bisa dilewatinya.
Karena sayap kelelawar itu sangat lebar."
Kenanga masih belum percaya jika kelelawar raksasa itu
bersarang di dalam goa di dasar sumur ini.
'Tenanglah. Yang penting kita harus tetap waspada. Sebab,
kematian Juntala mungkin karena serangan gelap yang tidak
sempat dielakkannya," bisik Panji seraya bergerak maju
perlahan-lahan merapat ke dinding goa.
Kenanga berada di belakang Panji. Dara jelita itu pun
bergerak maju dengan merapatkan tubuh pada dinding goa.
Sehingga, mereka tidak akan terjebak bila ada lubang-lubang
yang mungkin banyak terdapat di dalam goa yang gelap itu.
Setelah cukup lama berjalan, tibalah mereka di sebuah
tempat yang agak terang. Kagum bukan main hati Panji dan
Kenanga ketika mengetahui dari mana asal cahaya yang
menerangi tempat itu.
"Emas...!" bisik Panji seraya meraba dinding goa di sekitar
ruangan itu. Memang tidak salah, dinding goa di ruangan itu
dilapisi emas'.
Kenanga pun terpaku sesaat ketika memastikan kalau
dinding goa di bagian itu memang dilapisi emas murni. Tapi,
karena keduanya tidak terlalu tertarik dengan harta, maka hal
itu tidak membuat mereka lupa daratan dan lengah.
"Aihhh...!"
Panji menarik mundur kakinya ketika merasa menginjak
sesuatu. Dan ketika pemuda itu menengok ke bawah kakinya,
dilihatnya tubuh Juntala yang telah menjadi mayat
"Dia tewas keracunan...! Mungkin sewaktu melihat dinding
ruangan goa ini terbuat dari emas, Juntala menjadi lupa
daratan dan lengah. Akibatnya, dia tidak sempat menghindar
dari sengatan binatang berbisa yang hidup di dalam goa ini,"
ujar Panji, menduga-duga.
"Kita terus saja, Kakang...," usul Kenanga tanpa berniat
untuk mengambil emas di dinding goa itu.
"Baik...," sahut Panji terus melangkah maju dengan penuh
kewaspadaan.
Baru saja kaki kanan Pendekar Naga Putih bergerak
melewati ruangan goa yang dindingnya berlapis emas murni,
tiba-tiba....
"Ceeet... Ceeet..!"
Puluhan ekor kelelawar beterbangan keluar. Rupanya
mereka merasa terganggu dengan kedatangan kedua orang
itu. Sehingga, suasana menjadi gaduh. Panji terpaksa
mengibaskan lengannya ke kiri dan kanan memukul runtuh
binatang-binatang itu. Sebab, binatang yang kalap itu terbang
serabutan menabrak apa saja yang ada di depannya.
Termasuk tubuh dan wajah kedua pendekar muda itu.
Akibatnya, puluhan ekor kelelawar menggeletak jadi bangkai.
Setelah melewati sarang kelelawar, Panji dan Kenanga tiba
di sebuah ruangan besar yang mirip bagian dalam rumah.
Bedanya, dinding ruangan goa yang luas itu terbuat dari batu
padas yang sangat keras.
"Hm.... Tempat ini terang karena ada kayu api di setiap
sudut ruangan. Jelas, tempat ini ada pemiliknya...," gumam
Panji semakin waspada dan meningkatkan indera
pendengarannya.
"Sungguh hebat sekali Akhirnya kalian sampai juga di
tempat ini...."
Tiba-tiba terdengar sebuah suara parau yang membuat
Panji dan Kenanga menoleh ke sekeliling ruangan itu.
Pasangan pendekar muda itu melangkah mundur dua tindak,
ketika melihat sesosok bayangan kelelawar raksasa tergambar
di dekat ruangan sebeiah depan. Panji segera dapat menebak,
sosok yang menyerupai kelelawar raksasa itu tengah
merapatkan tubuhnya ke dinding. Sehingga menimbulkan
bayang-bayang besar dan menakutkan.
"Hm.... Sejak semula aku memang sudah merasa curiga.
Ternyata dugaanku tidak meleset Kelelawar raksasa itu bukan
binatang sungguhan, tapi seorang manusia berilmu tinggi
yang kemungkinan besar tengah memperdalam suatu ilmu,"
ujar Panji membuat sosok kelelawar di dinding goa itu
mengeluarkan tawa yang mirip ringkikan kuda.
"Kau benar-benar hebat dan cerdas, Pendekar Naga Putih.
Aku memang telah memperdalam suatu ilmu dan sudah
merampungkannya setahun yang lalu. Untuk semakin
memantapkannya, terutama ilmu meringankan tubuh, aku
harus membuat sepasang sayap dan keluar pada malam hari.
Karena udara malam yang dingin membuat tubuh terasa
berat. Dengan begitu, ilmu meringankan tubuhku akan
semakin sempurna."
Kelelawar raksasa yang ternyata seorang manusia dan
telah mengenal siapa Panji sebenarnya, setelah mereka
sempat bentrok sewaktu kelelawar raksasa itu mendatangi
Desa Larang beberapa waktu lalu, memberikan penjelasan
pada pemuda itu. Rupanya sosok itu yakin kalau Panji tidak
akan membongkar rahasianya, karena akan dibunuhnya.
"Jika begitu, ilmu yang kau pelajari berasal dari kitab milik
Partai Tapak Darah?"
Panji langsung menghubungkan keterangan Juntala dengan
ucapan sosok kelelawar raksasa itu Jelas kini, pencuri kitab
yang dicari Juntala itu adalah kelelawar raksasa yang juga
dicari Panji.
"Aku salah seorang tokoh partai itu, Pendekar Naga Putih.
Karena guru kami bertindak pilih kasih maka aku memutuskan
untuk membawa lari dua buah kitab miliknya. Tapi, sekarang
sudah kumusnahkan setelah isinya kupelajari dengan
sempurna...," ujar kelelawar raksasa itu lagi dan kembali
memperdengarkan tawanya yang mendirikan bulu roma.
"Licik...!" umpat Panji tanpa merasa gentar kalau tokoh itu
akan marah.
"Sekarang tibalah saat kematianmu, Pendekar Naga Putih!
Ayo, ikut aku..."
Setelah berkata demikian, sosok kelelawar raksasa itu
lenyap. Sementara Panji dan Kenanga yang tidak ingin
kehilangan buruannya, bergegas menyusul.
Pada sebuah ruangan yang sempit dan berbelok, tiba-tiba
kelelawar raksasa itu melayang naik Kemudian lenyap entah
ke mana.
"Ikuti aku, Pendekar Naga Putih...," terdengar suara berat
dari atas. Rupanya kelelawar raksasa itu tahu kalau Panji
tengah kebingungan mencarinya.
Maka tanpa banyak cakap lagi, Panji bergegas melayang
naik, disusul kemudian oleh Kenanga. Bukan main herannya
sepasang pendekar muda itu ketika mereka kembali ke tempat
semula. Rupanya jalan ke luar kelelawar raksasa itu adalah
pohon besar yang tumbuh di dekat sumur. Pada bagian
tengah pohon itu terdapat lubang yang dijadikan jalan bagi
tokoh aneh itu.
"Bersiaplah, Pendekar Naga Putih...."
Begitu tiba di luar goa, kelelawar raksasa itu langsung
menantang Panji. Agaknya, tokoh itu sudah tidak sabar lagi
untuk mencoba ilmu yang telah sekian tahun dipelajarinya.
"Heaaat..!"
Begitu Panji bersiap, kelelawar raksasa itu segera melayang
disertai serangan yang dahsyat
Werrr...!
Angin berhembus keras mengiringi datangnya sambaran
sayap buatan tokoh aneh itu. Pendekar Naga Putih yang
sudah menyiapkan jurus dan tenaganya, langsung bergerak
memutar sambil menghantamkan telapak tangan kanannya
menyambut tamparan sayap kelelawar raksasa itu. Panji
merasa penasaran ingin mencoba sampai di mana kekuatan
tenaga dalam lawan.
Bresssh...!
"Aihhh...!"
Bukan main terkejutnya tokoh yang kelelawar raksasa itu.
Benturan keras dua gelombang tenaga dalam mereka,
membuat tubuhnya terlempar mundur sejauh satu tombak
lebih. Demikian pula yang dialami Panji. Meskipun
kelihatannya kekuatan mereka berimbang, tapi tetap saja
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' masih lebih unggul meskipun
hanya satu tingkat
"Aaat..!"
Rupanya manusia kelalawar itu merasa ditantang setelah
mengetahui kekuatannya masih di bawah Pendekar Naga
Putih. Maka kali ini tokoh aneh itu menggunakan ilmu
meringankan tubuhnya untuk menyerang.
Panji tentu saja tidak memandang rendah Ilmu
meringankan tubuh lawannya. Terlebih lagi tokoh itu telah
melatihnya sedemikian rupa. Sehingga wajar saja kalau
kegesitannya benar-benar sukar untuk dicari bandingannya.
Sayang, tokoh itu harus bertarung dengan Pendekar Naga
Putih yang selain mendapatkan gemblengan dari tokoh sakti,
juga memiliki pengalaman tuas dalam bertarung. Sehingga,
dalam soal ilmu meringankan tubuh pun manusia kelelawar itu
tidak bisa mengunggulinya. Jelanya, tingkat kepandaian ilmu
meringankan tubuh mereka seimbang.
"Keparat'' desis manusia kelelawar itu tidak senang melihat
kelebihan Pendekar Naga Putih. Maka, serangannya kini
terlihat sangat ganas dan banyak menggunakan tipu muslihat
Bettt! Bettt..!
Serangkum angin keras berdesingan tajam ketika tangan
yang berkuku runcing itu datang menyambar-nyambar dengan
kecepatan yang luar biasa.
"Hm...."
Pendekar Naga Putih yang sadar kalau tokoh itu mulai
bangkit kegilaannya, segera mengerahkan ilmu andalannya.
Sepasang tangannya langsung membentuk cakar naga.
Kemudian bergerak memutar saat sambaran cakar lawan
datang, dan langsung membalas dengan tidak kalah
berbahayanya. Sebentar kemudian, kedua tokoh digdaya itu
telah bertarung sengit Beberapa batang pohon yang berada di
arena pertarungan, langsung bertumbangan terlanggar angin
pukulan mereka yang ber-clutan. Benar-benar sebuah
pertarungan maut yang sangat mendebarkan.
Kenanga yang menyaksikan pertarungan hebat itu
bergegas mencari tempat perlindungan. Dara jelita Itu
menarik lengan Ki Kaliga yang saat itu masih bersemadi
dengan mulut yang tak henti-hentinya berkomat-kamit.
Mereka bersembunyi agar tidak terkena angin pukulan nyasar.
Saat itu pertarungan sudah menginjak pada jurus
kesembilan puluh dua. Baik Pendekar Naga Putih maupun
manusia keielawar masih belum kelihatan ada yang terdesak.
Nampaknya kepandaian kedua tokoh itu memang hampir
berimbang. Kalau pun Pendekar Naga Putih masih lebih
unggul tapi itu bukan berarti dengan mudah dapat
menundukkan lawannya. Apalagi manusia kelelawar itu
merupakan tokoh kawakan.
"Heaaat..!" "Yeaaa...!"
Untuk kesekian kalinya, mereka kembali saling gempur.
Semua jurus-jurus tingkat tinggi telah mereka gunakan.
Namun, hasilnya tetap belum bisa mendesak lawan.
Saat pertarungan menginjak jurus keseratus sepuluh, Panji
dan manusia kelelawar sama-sama melenting ke udara.
Kemudian saling terjang dengan dorongan sepasang telapak
tangan mereka. Maka....
Blarrr...!
Bumi laksana diguncang gempa ketika dua tenaga luar
biasa beradu di udara. Akibatnya, baik tubuh Pendekar Naga
Putih maupun tubuh lawan langsung terlempar ke belakang,
seperti daun kering yang diterbangkan angin!
"Haiiit..!" "Hiaaah...!"
Meskipun benturan itu sudah demikian dahsyatnya, namun
kedua tokoh sakti itu masih sanggup berputaran di udara
untuk meredam daya dorong yang membuat tubuh mereka
seperti terbang. Itu pun baru dapat dilakukan setelah tiga
tombak lebih tubuh mereka terdorong.
Kedua tokoh itu kembali bergerak mendekat Panji
menyatukan pikirannya untuk memanggil keluar 'Tenaga Sakti
Inti Panas Bumi'. Dan sebentar kemudian, muncullah lapisan
sinar kuning keemasan yang berpendar menyelimuti bagian
kanan tubuh Pendekar Naga Putih.
"Haiiit..!"
Saat itu manusia kelelawar sudah kembali melunak maju
dengan seluruh kekuatannya. Pendekar Naga Putih berdiri
tegak dengan kedua kaki terpentang. Kemudian bergerak
maju dengan langkah diseret membuat guratan-guratan yang
dalam di tanah. Dan....
Darrr...!
"Aaa...!
Dorongan sepasang telapak tangan Panji yang
mengandung dua unsur kekuatan gaib, berbenturan hebat
dengan pukulan jarak jauh lawan. Akibatnya, tubuh Pendekar
Naga Putih melesak ke dalam tanah hampir sebatas lutut
Sedangkan tubuh lawannya terpental keras, membentur
batang pohon untuk kemudian ambruk ke tanah dalam
keadaan hangus! Kematian manusia kelelawar Itu disebabkan
oleh kekuatan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang memang
sangat dahsyat dan mengandung hawa panas.
"Kakang...”
Kenanga yang sejak tadi merasa cemas akali keselamatan
kekasihnya, segera menghambur begitu melihat Panji berhasil
melumpuhkan lawannya.
“Kakang...."
Dara jelita itu merangkul dan merebahkan kepalanya di
dada Panji yang tampak masih lelah. Pemuda itu mengelus
rambut Kenanga dengan penuh kasih.
"Aku takut kehilanganmu, Kakang...," ucap Kenanga
mengangkat kepalanya menatap wajah Pendekar Naga Putih
yang masih dibasahi peluh
"Aku pun takut kehilanganmu, Kenanga...,” desah Panji
berbisik di telinga dara jelita itu.
Sementara, Ki Kaliga tampak terpaku menyak sikan
pemandangan itu. Lelaki tua itu hanya dapat meneguk air liur
melihat kemesraan sepasang kekasih yang saling mencintai
itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar