..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Senin, 24 Februari 2025

PENDEKAR BLOON EPISODE NERAKA NERAKA

matjenuh khairil

 

Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya kebetulan belaka.
NERAKA-NERAKA
Oleh : D. AFFANDY
Diterbitkan oleh : Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama : 1994
Sampul : Ken Bangun
Setting Oleh : Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi 
dalam bentuk apapun tanpa ijin 
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Neraka-Neraka


SATU

Sampai sejauh mana Prisma Permata ber-
pendar? Dan seberapa hebat kekuatan yang dimi-
likinya? Hanya Datuk Alang Sitepu saja yang 
mengetahuinya. Sebagaimana pembicaraan yang 
sedang berlangsung di dalam ruangan pertemuan 
itu.
"Aku sekarang sudah menemukan cara un-
tuk menggabungkan kekuatan yang kumiliki den-
gan kekuatan Prisma Permata ini. Hanya kita 
memerlukan waktu dan tempat yang aman untuk 
melakukannya."
"Datuk! Apakah tempat kediamanku ini ti-
dak cukup aman?" tanya Diraja Penghulu Iblis.
Raja Penyihir ini menyeringai, Bibirnya 
yang menggelambir dan nyaris tanggal dari tem-
patnya bergoyang-goyang.
"Harus kuakui tempat ini sudah tidak 
aman lagi. Tamu-tamu yang tidak diundang ber-
keliaran disini pula."
"Aku menyediakan Ciruyung tempat ting-
galku untuk menggabungkan dua inti kekuatan 
antara Prisma Permata dengan ilmu sihir Datuk!" 
Nyanyuk Pingitan menawarkan diri.
"Hmm, sebuah ide yang sangat baik. Aku 
setuju. Tapi bagaimana dengan kawan Buto Te-
renggi dan Diraja Penghulu Iblis?" Si Bungkuk 
Lima memandang lurus pada dua orang ini.
"Aku setuju saja. Asalkan semuanya sesuai 
dengan rencana kita!" Diraja Penghulu Iblis menyetujuinya.
Hanya Buto Terenggi saja yang tidak mem-
berikan jawaban. Namun ia menganggukkan ke-
pala.
Datuk Alang Sitepu tertawa. Sejenak sete-
lah tawanya terhenti ia berkata:
"Kalau semuanya sudah setuju, sekarang 
aku ingin mengajak Nyanyuk Pingitan pergi ke 
rumahnya. Anda berdua boleh menunggu disini 
untuk mengecoh musuh diluar! Sepekan menda-
tang anda boleh menyusulku jika aku tidak sem-
pat datang kemari!" pesan Datuk Alang Sitepu.
"Baiklah. Aku meminta agar Diraja Penghu-
lu Iblis dan Buto Terenggi menjaga keutuhan 
bakal istana yang akan kita bangun ini."
Setelah berkata begitu Nyanyuk Pingitan 
dan Datuk Alang Sitepu bangkit berdiri. Pada saat 
itu waktu sudah menjelang subuh. Berangkatlah 
kedua tokoh ini meninggalkan gunung Pangrang-
ko.
Sementara itu pada saat yang sama, Dewi 
Bulan yang telah menyamar sebagai Pendekar 
Blo'on ini tengah tertidur pulas. Ia memang tam-
pak letih sekali menghindari sikap Maya Swari 
yang begitu manja dan mengajaknya melakukan 
hubungan sebagaimana layaknya suami istri un-
tuk yang kedua kalinya. Bagaimana mereka dapat 
melakukannya. Sedangkan pendekar Blo'on palsu 
mempunyai kelamin yang sama.
Dewi Bulan sebenarnya merasa geli sendiri, 
tapi juga khawatir. Ia tidak dapat membayangkan
bagaimana jadinya jika Suro Blondo yang berada 
di samping Maya Swari.
Paling tidak malam ini mereka sudah me-
lambung ke surga. Walau sesungguhnya Suro 
Blondo hanya berpura-pura saja menjadi suami 
Maya Swari.
Setabah-tabahnya laki-laki, siapa sih 
orangnya yang tidak tergiur melihat kecantikan 
Maya Swari?
Dengan alasan terlalu lelah, Maya Swari 
rupanya mau mengerti juga. Ia pun kelelahan se-
telah lama membujuk demikian juga halnya den-
gan Suro Blondo palsu.
Dalam keadaan pulas sedemikian rupa, 
kedua orang ini sama sekali tidak tahu bahwa 
saat itu ada sosok bayangan mengendap-endap. 
Bayangan itu tercipta dari api. Setelah sampai di-
depan pintu kamar Maya Swari. Bayangan terse-
but berhenti. Matanya memandang liar kesekeli-
lingnya untuk memastikan keadaan aman-aman 
saja.
Tidak lama tangannya bergerak, tangan itu 
sama sekali tidak menyentuh pintu. Tapi sungguh 
aneh, pintu terbuka. Si bayangan berkerudung 
itu menyelinap masuk. Setelah mulutnya berko-
mat-kamit. Tidak lama ia telah mendekati Maya 
Swari. Gadis ini sempat menggeliat, namun tidak 
terjaga.
Bayangan berpakaian gelap ini kemudian 
menotok urat gerak dan jalan suara Maya Swari. 
Gadis ini tersentak kaget dan terjaga. Matanya

pun terbelalak lebar. Tapi sayang sudah terlam-
bat, jangankan bergerak bersuara saja Maya Swa-
ri tidak mampu.
Orang yang telah menotok gadis ini mem-
punyai maksud yang tidak baik. Bayangan itu 
tanpa menunggu lebih lama lagi langsung me-
manggul Maya Swari di pundaknya. Lalu menye-
linap pergi dengan membawa Maya Swari.
Melihat caranya, tentu bayangan itu memi-
liki kepandaian sangat tinggi sekali. Sebab Dewi 
Bulan yang memiliki kepandaian tidak rendah 
sama sekali tidak terjaga dari tidurnya.
Kita tinggalkan Dewi Bulan yang tertidur 
pulas memeluk mimpi. Ketika itu matahari mulai 
meninggi. Di salah satu lereng gunung Pangrang-
ko. Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng tampak 
terheran-heran melihat dandanan pendekar 
Blo'on yang menjadi kacung itu. Rupanya tadi 
malam mereka tidak sempat melihat keadaan si 
pemuda berhubung begitu sibuknya mereka men-
gamankan Manusia Merah. Tapi kini setelah ma-
nusia Merah berada di tempat yang aman dan pu-
las pula. Mereka baru dapat melihat keadaan Su-
ro Blondo yang sebenarnya.
"Kau...!"
"Ya, aku." Suro Blondo cengengesan sambil 
membetulkan topinya, berupa ikat kepala model 
kacung.
"Bukan itu maksudku. Siapa namamu? 
Apakah kau punya gelar?" tanya Gajah Gemuk 
sambil uncang-uncang kaki, namun mata tetap

tertuju pada Manusia Merah yang tengah tertidur.
"Aku Suro Blondo?"
"Apa? Suro Blondo?" Gajah Krempeng bela-
lakkan mata. Teringat nama depan si pemuda, la-
ki-laki kurus macam kurang makan ini teringat 
pula kejadian sekitar delapan belas tahun yang 
lalu.
"Apakah kau terlahir di gunung Bromo pa-
da malam satu Asyuro delapan belas tahun yang 
lalu?" Gajah Gemuk ikut bicara.
"Kok tau...?"
"Ya tau... Pernah terjadi peristiwa besar 
disana. Jika benarlah kau anak ajaib sebagaima-
na dikatakan oleh seorang resi di pantai selatan 
pulau Jawa. Berarti sesuai dengan tanggal kelahi-
ran kau manusia hebat. Tapi mengapa bertam-
pang tolol seperti ini? Benarkah rambutmu me-
rah?"
Tanpa menunggu jawaban si pemuda Ga-
jah Gemuk mencopot ikat kepala si pemuda. Tapi 
apa yang diharapkannya tidak menjadi kenya-
taan.
"Rambutnya hitam, kakang. Seperti bukan 
dia orangnya si bayi ajaib dulu." Gajah Kurus 
menimpali.
"Apakah ciri-cirinya seperti itu?" Suro 
Blondo bertanya. Tiba-tiba ia menuangkan air di-
dalam kendi yang dibawanya. Rambutnya menjadi 
basah. Ketika rambut diusap, maka kelihatanlah 
warna yang asli.
"Hei... siapa kau ini yang sebenarnya anak

muda?" Hampir bersamaan Gajah Gemuk dan 
Gajah Kurus bertanya.
"Namaku Suro Blondo, tidak punya ibu ti-
dak punya bapak. Orang-orang yang telah mem-
bunuh orang tuaku kini masih dalam pengejaran. 
Yang lain-lainnya aku tidak bisa katakan!"
"Ah malang benar nasibmu. Mengenai per-
soalanmu kita bicarakan saja nanti. Sekarang 
aku ingin bertanya mengapa kau menyamar se-
bagai kacung?" tanya Gajah Gemuk heran.
"Seseorang yang memintaku begini. Karena 
aku memang tidak mau menikah dengan anaknya 
iblis." Suro Blondo berterus terang.
"Siapa yang menyuruhmu?"
"Seorang sahabat yang cukup lama kuken-
al." sahut Pendekar Blo'on, lalu tersenyum.
"Namanya? Sebutkan namanya?" desak 
Gajah Gemuk.
"Sssst, bicara jangan keras-keras. Jika 
manusia Merah terjaga, mati kita semua." Si pe-
muda berbisik.
"Aku mengerti. Coba katakan siapa na-
manya?" Gajah Gemuk berbisik pula sehingga se-
kilas terlihat lucu.
"Dewi Bulaan...!" jawab Suro Blondo den-
gan suara keras lalu tertawa ngakak. Gajah Ge-
muk sampai melompat kaget. Sebaliknya Gajah 
Krempeng malah menoleh ke arah Manusia Me-
rah. Rupanya ia takut laki-laki tinggi lima meter 
berkulit merah darah ini terjaga.
"Dewi Bulan! Sekarang dimana dia?" desak

Gajah Gemuk.
"Eeh... setelah kakek ketahui namanya 
mengapa sekarang malah jadi ngotot?"
"Bocah! Cepat katakan! Dan jangan pula 
kau panggil aku kakek!"
"Bagaimana ini. Mana yang harus kujawab 
duluan." tanya Suro Blondo sambil menyeka ke-
ningnya yang keringatan lalu garuk-garuk kepala 
seperti monyet.
"Kau harus memanggilku paman. Karena 
umurku paling baru sembilan puluh tahun...!"
Kini Suro Blondolah yang menjadi kaget. 
Orang yang dihadapinya termasuk Orang sinting. 
Masa' umur sudah bau tanah masih minta di-
panggil paman? Pikir si pemuda.
"Baiklah paman. Dewi Bulan itu ahli dalam 
menyamar, punya tahi lalat di dagu. Aku yakin 
paman berdua akan tertarik padanya bila sudah 
melihat lesung pipitnya...!"
Jawaban yang ngaco ini membuat Gajah 
Gemuk jadi sewot. Sekali gebrak tangannya su-
dah mencengkeram krah baju si pemuda, lalu di-
angkatnya pemuda itu tinggi-tinggi.
"Wei... mati aku...!"
"Cepat Jawab!"
"Bagaimana bisa jawab kalau leherku dice-
kik begini?"
"Jika punya kepandaian mengapa tidak di-
pergunakan!" dengus Gajah Gemuk.
Karena merasa sulit bernapas dan kepala 
serasa mau pecah akibat jepitan yang begitu

kuatnya. Suro Blondo terpaksa lepaskan tendan-
gan.
Buuk!
Tendangan yang sangat keras itu membuat 
cekalan Gajah Gemuk terlepas. Dan Suro Blondo 
terbanting di tanah. Ia tercengang melihat Gajah 
Gemuk hanya usap-usap perutnya yang kena di-
tendang. Memang Suro Blondo tidak mengerah-
kan tenaga dalamnya, karena ia merasa tidak 
punya permusuhan dengan laki-laki berat dua ra-
tus kati ini. Tapi tendangan yang dilepaskannya 
tadi dengan mempergunakan seluruh tenaga luar. 
Jika Gajah Gemuk tidak mengalami akibat apa-
apa. Ini sungguh menakjubkan bagi Suro Blondo.
"Duduk kurang ajar. Kau nakal sekali. Ka-
rena kau telah menendangku, sekarang aku ha-
rus memukulmu!" Gajah Gemuk cemberut.
Baru saja Gajah Gemuk hendak bergebrak. 
Tahu-tahu ada tangan kurus kering yang mena-
hannya.
"Sabar kakang! Urusan kita masih banyak. 
Mengapa kita harus bertengkar?" kata Gajah 
Krempeng.
Lagi-lagi terjadi sesuatu yang sangat sulit 
dipercaya. Suro Blondo melihat Gajah Gemuk su-
dah mengerahkan tenaga dalamnya. Tapi begitu 
tangan Gajah Krempeng yang hanya sebesar len-
gan bayi itu menahan. Gerakan Gajah Gemuk jadi 
terhenti. Padahal si pemuda dapat memastikan, 
kalau ada angin kencang sedikit-sedikit saja me-
nerpa badan Gajah Krempeng. Pastilah laki-laki
berbadan tipis ini jatuh tunggang langgang.
Tokh ia tidak dapat berpikir lagi, karena 
saat itu Gajah Krempeng yang tampaknya lebih 
penyabar ini telah menghadap kearahnya.
"Bocah...! Dewi Bulan adalah murid tung-
gal kami. Jika ada apa-apa, tentu kakangku ini 
akan menuntut mu. Sekarang coba katakan di-
mana dia!" desah Gajah Krempeng. Barulah Pen-
dekar Blo'on mengerti.


DUA


"Dewi sendiri yang meminta untuk meng-
gantikan kedudukanku sebagai pengantin. Kare-
na saat ini dia sedang bersenang-senang dengan 
putri Diraja Penghulu Iblis! Ha ha ha...!"
"Huh... kalau begitu dia dalam keadaan 
berbahaya. Bagaimana ini adik Krempeng?"
"Kita bisa menyelamatkannya. Mari kita 
kesana...!"
"Tapi manusia Merah ini bagaimana pula?"
"Untuk sementara biarkan Suro Blondo 
yang menjaganya!"
"Mana aku bisa?" Pendekar Blo'on mem-
bantah. Tapi percuma saja, kedua gajah itu telah 
pergi.
Sekarang tinggallah Suro Blondo seorang 
diri. Ia tidak tahu apa yang harus diperbuatnya. 
Terkecuali diam menunggu sampai Manusia Merah sadar dari pingsannya.
"Kalau aku tetap berada disini keadaan bi-
sa jadi kacau. Manusia Merah ini pingsan seperti 
mendengkur dan mendengkur seperti pingsan. 
Aku tidak tahu apakah penyamaran sudah ter-
bongkar atau belum. Tapi.... "
Suro tiba-tiba saja terdiam begitu melihat 
Manusia Merah menggeliat.
"Oh... oh... moga saja jangan bangun sam-
pai dunia kiamat!" desis Suro sambil mengurut 
dada.
Apa yang diharapkannya itu ternyata tidak 
kesampaian. Karena Manusia Merah begitu men-
gerjabkannya matanya langsung duduk. Begitu 
tingginya dia, sehingga dalam posisi seperti itu 
tingginya sudah menyamai Pendekar Blo'on yang 
tengah berdiri.
"Laaa... ladalah... dimana aku. Dimana 
musuh-musuhku. Kurang ajar, Prisma Permata 
milikku diambil orang. Aku harus mencarinya. 
Bau badannya aku tahu. Orangnya harus ku-
tangkap!" kata Manusia Merah alias Soma Sastra. 
Matanya mencari-cari. Ee... dia melihat ada seo-
rang pemuda tidak dikenal didepannya. "Kau sia-
pa? Kaukah orangnya yang telah menyeretku?"
"Mati aku!" Suro Blondo keluarkan keringat 
dingin. Terbayang olehnya mulut Soma Sastra 
dapat menyemburkan lidah api. Sehingga diam-
diam ia bergidik seram. "Aku Suro Blondo, seo-
rang kawan yang juga ingin menangkap orang 
yang telah mencuri Prisma Kristalmu."

"Heh... kawan? Seingatku aku tidak punya 
kawan. Apakah kau bisa kupercaya?" Manusia 
Merah meragu.
"Harus. Kau harus percaya hanya padaku. 
Karena didunia memang sangat jarang orang yang 
bisa dipercaya. Selain aku kau tidak punya ka-
wan lagi. Musuhmu ada dimana-mana!"
"Hmm, begitukah?"
"Iya. Kulihat kau mempunyai kecerdikan 
yang lambat, kawan. Lihatlah aku juga begitu. Li-
hat tampangku pula... dimana-mana kau tidak 
akan pernah bertemu dengan orang sepertiku. 
Hanya manusia yang punya tampang sepertiku 
ini saja yang dapat menjadi kawanmu!" kata Suro 
Blondo sambil tertawa-tawa. Cuping hidung Soma 
Sastra kembang kempis. Seakan ia mengendus 
dan berusaha mengenali lawan bicaranya. Setelah 
itu Manusia Merah ini tertawa ngakak.
Kini giliran Suro Blondo yang dibuat pon-
tang-panting. Suara tawa manusia merah tidak 
ubahnya seperti rentetan halilintar yang Maha 
Dahsyat. Sungguhpun Suro Blondo telah menu-
tup indra pendengarannya. Tetap saja pengaruh 
suara tawa itu membuat jantung dan isi kepa-
lanya terguncang. Pendekar Blo'on jatuh bangun. 
Kedua matanya telah berubah memerah karena 
menahan rasa sakit yang sangat.
Patut diakui getaran suara Manusia Merah 
ini menimbulkan gempa disana sini. Bahkan ban-
gunan milik Diraja Penghulu Iblis pun sempat 
tergetar.

"Hentikan...!" teriak Pendekar Blo'on. Tidak 
kalah kerasnya pemuda itu berteriak. Soma Sa-
stra hentikan tawanya seketika. Ia kemudian ber-
paling dan memandang tajam pada Suro.
"Mengapa harus berhenti kawan. Setelah 
aku terkurung dibawah tanah selama seratus ta-
hun. Mengapa tidak boleh tertawa?"
Suro sesungguhnya kaget juga. Tapi ia ke-
mudian bicara apa adanya
"Suara tawamu membuat gunung runtuh 
dan lautan bergelombang. Aku tidak kuat men-
dengarnya. Eeh... apakah kau bersungguh-
sungguh mau mengangkat sahabat denganku?"
"Hmm, kurasa begitu. Tapi aku perlu men-
cari Prisma Permata yang telah dicuri maling. 
Tanpa prisma itu pulau Jawa bisa tenggelam."
"Jangan takut. Aku akan membantumu, 
tapi bagaimana caranya?"
Manusia Merah menggelengkan kepala.
"Tidak akan semudah itu kawan. Sekarang 
aku sudah tidak mengendus lagi bau si pencuri. 
Mungkin ia sudah pergi ke suatu tempat! Aku ha-
rus menyusulnya sebelum bahaya besar mengan-
camku!"
Soma Sastra bangkit berdiri. "Selamat ting-
gal kawanku. Ditengah jalan nanti aku akan 
membantai siapa saja yang kutemui karena me-
reka musuhku!"
"Betul, golongan iblis memang musuh kita. 
Selamat jalan!" Suro Blondo melambaikan tan-
gannya persis diatas kuping. Manusia Merah segera melangkah pergi. Langkah kakinya panjang 
dan berat, hingga dalam waktu sekejap ia telah 
tidak terlihat lagi.
Barulah pada saat itu Pendekar Blo'on te-
ringat sesuatu. Ia tepuk-tepuk keningnya.
"Ah mengapa bodoh sekali aku ini. Kalau ia 
membantai semua orang yang ditemuinya di ja-
lan. Bukan tidak mungkin orang-orang tanpa do-
sa menjadi sasarannya. Tapi... eeh, apa pula 
itu...?"
Pemuda yang baru saja berniat menyusul 
Soma Sastra ini menjadi menunda niatnya saat 
terdengar suara teriakan disertai beradunya sen-
jata tajam membelah keheningan pagi menjelang 
siang.
"Siapakah yang sedang bertempur itu?" ba-
tinnya dalam hati.
Laksana kilat ia bergegas pergi menuju 
tempat terjadinya pertempuran tersebut. Hanya 
dalam beberapa detik saja ia sudah sampai di 
lingkungan bangunan besar milik Diraja Penghu-
lu Iblis.
Bangunan itu tetap utuh sebagaimana 
mestinya. Padahal tadi malam bangunan ini se-
perti dimakan api. Tapi pendekar Blo'on segera 
maklum bahwa apa yang dilihatnya tadi malam 
hanyalah permainan sihir seseorang. Dalam arti 
Manusia Merah telah tertipu. Hanya para pen-
gawal yang bergelimpangan tanpa nyawa saja 
yang kelihatan.
Kini ditempat yang sama telah terjadi per
tempuran lagi. Orang yang terlibat pertempuran 
itu adalah Dewi Bulan yang telah melepas pe-
nyamarannya dibantu dengan Gajah Gemuk dan 
Gajah Krempeng. Sedangkan yang menjadi lawan 
mereka adalah Buto Terenggi dan Diraja Penghu-
lu Iblis. Suro Blondo melihat saat itu Dewi Bulan 
telah terluka pada bagian bahu dan tangannya.
Mengapa gadis itu sampai terlibat pertem-
puran dengan Buto Terenggi? Pagi-pagi sekali Di-
raja Penghulu Iblis memanggil putrinya melalui 
seorang pengawal yang tersisa. Ia memang ingin 
membicarakan masalah yang tertunda tadi ma-
lam.
Tapi begitu pengawal ini sampai dikamar 
Maya Swari, gadis itu tidak berada ditempat. Dewi 
bulan yang menyaru sebagai Suro Blondo yang 
juga sempat terkejut melihat raibnya Maya Swari 
mengaku terus-terang bahwa Maya Swari hilang. 
Spontan pengawal tadi melapor pada Diraja Peng-
hulu Iblis. Tidak pelak lagi Dewi Bulan pun di-
panggil dan terbongkarlah penyamarannya. Meli-
hat kenyataan ini Diraja Penghulu Iblis menjadi 
panik, lalu ia memanggil algojo untuk memenggal 
Dewi Bulan dihalaman depan.
Tapi lagi-lagi ia mendapat laporan bahwa 
para algojo dan pengawal-pengawal lainnya ber-
kaparan. Mati.
Apa yang dialami oleh Diraja Penghulu Iblis 
tidak ubahnya seperti mimpi buruk. Tadi malam 
ia memang mendengar sendiri dari laporan Nyanyuk Pingitan tentang kehadiran manusia Merah.

Tapi ia menyangka selain bangunan istana milik-
nya yang dilindungi oleh raja penyihir, ia juga 
menyangka para pengawal dan juga muridnya ju-
ga dalam lindungan selubung gaib. Tidak dinyana 
para undangan yang telah dijadikan pengawal 
berkat Racun Pelemah Akal, cuma bertahan bebe-
rapa jam saja.
Bagaimana pun Diraja Penghulu Iblis san-
gat sayang sekali pada putri satu-satunya. Jika 
Maya Swari yang mempunyai kepandaian tinggi 
itu diculik oleh orang lain. Pasti ini ada hubun-
gannya dengan penyamaran Dewi Bulan. Karena 
gadis itu menurutnya tetap tidak mau mengaku. 
Maka akhirnya ia memutuskan untuk membu-
nuhnya. Tapi ternyata diluar dugaannya Dewi Bu-
lan memiliki kepandaian yang cukup tinggi.
Tidak pelak lagi terjadilah pertempuran 
sengit. Jurus demi jurus berlalu. Tapi masih be-
lum ada tanda-tanda sapa yang bakal meme-
nangkan pertarungan sengit itu.
Tapi ketika Diraja Penghulu Iblis menge-
rahkan jurus-jurus simpanannya. Maka disini 
terlihatlah bahwa Dewi Bulan mulai terdesak.
Dua kali pukulan menghantam perut dan 
dada si gadis. Hingga selain menimbulkan luka 
dalam juga membuat Dewi Bulan menjadi murka. 
Ia mencabut pedang pendeknya. Dengan menge-
rahkan jurus Kupu-Kupu Biru yang cukup ter-
kenal itu ia merangsak lawannya.
Pertempuran menjadi sengit. Permainan 
pedang Dewi Bulan hanya dapat berkembang selama lima belas jurus. Diraja Penghulu Iblis ter-
nyata selain sangat licik dan memang berpenga-
laman kini mulai melepaskan pukulan-pukulan 
yang sangat keji.
Dalam pertempuran menjelang lima puluh 
jurus, selain terdesak hebat. Keselamatan Dewi 
Bulan benar-benar dalam keadaan terancam. Sa-
tu pukulan dahsyat yang dilepaskan oleh Raka 
Tendra ini berhasil dihindari dengan tangkisan 
pedang. Tapi akibatnya ia terpaksa melepaskan 
pedangnya yang berubah panas seperti terbakar. 
Pukulan kedua dilepaskan oleh lawannya lagi. 
Namun pada saat-saat yang sangat kritis itu ada 
cahaya biru berkilauan menghambat cahaya hi-
tam membara yang melesat dari telapak tangan 
Raka Tendra. 
Glaar! Glaar!
Terjadi ledakan dahsyat. Diraja Penghulu 
Iblis terguncang tubuhnya. Sebaliknya pada ba-
gian lain tampak seorang laki-laki krempeng jatuh 
terduduk, sedangkan yang berbadan gemuk 
hanya terguncang-guncang saja perutnya yang 
berlapis lemak.
"Bangunlah muridku!" Gajah Gemuk lang-
sung mendekap muridnya dan mengurut pung-
gung gadis itu hingga memuntahkan darah kental 
berwarna hitam. Yang kurus langsung berdiri dan 
mendamprat ditujukan pada Raka Tendra: "Iblis-
iblis pengecut! Beraninya cuma dengan bocah in-
gusan yang punya kepandaian tidak seberapa."
Raka Tendra tidak langsung menjawab.

Melainkan meneliti orang yang bicara petenteng 
tangan dibawah ketiak.
"Ah... bukankah anda berdua Gajah Ge-
muk dan Gajah Krempeng. Maafkanlah kami yang
lupa menyambut dan mengundang majikan Mer-
babu waktu pesta kemarin!"
Gajah Gemuk mendengus. "Pesta apa? Sia-
pa yang mau makan bangkai orang-orang yang 
sudah mati. Lagipula kau punya dua kesalahan. 
Pertama kau telah melukai muridku...."
"Maaf..." Raka Tendra memotong. "Aku ti-
dak menyangka gadis itu murid kalian."
"Yang kedua." Gajah Gemuk menyambuti. 
"Kau harus menyerahkan Buto Terenggi manusia 
daun itu kepada kami."
"Apakah salahnya?"
"Kesalahannya sudah sangat jelas. Dia te-
lah mencuri ular-ular Kayangan milik kami. Dua 
kesalahan dibandingkan satu kenakalan murid 
kami kau masih utang satu, Raka Tendra!"
"Tapi...!"
"Tidak ada tapi-tapi. Kalau kau tidak ingin 
kami membakar singgasanamu ini sebaliknya se-
rahkan maling itu?"
"Tidak bisa. Terkecuali orang yang ber-
sangkutan sudi menjumpai kalian!" Raka Tendra 
tetap bersikeras.
"Biarkan saudara Diraja Penghulu Iblis! 
Aku telah datang menjumpai kalian. Sekarang 
mau apa?"
Tiba-tiba terdengar suara ketus dan yang

bicara tidak lain adalah Datuk Mambang Pitoka. 
"Bagus kau sudah datang! Sekarang serah-
kan ular-ular yang kau curi!" Gajah Gemuk men-
dengus marah. 
Datuk Mambang Pitoka sebaliknya malah 
tertawa ngakak. "Ambillah dari perutku kalau ka-
lian mampu!" tantangnya.
Dan ini bagi kedua Gajah sungguh meru-
pakan penghinaan besar. Mereka merasa lebih 
terhina dan sakit lagi setelah melihat muridnya 
terluka terkena pukulan Raka Tendra.
"Iblis-iblis pengecut! Aku tahu siasat keji 
kalian dengan menyebar undangan merah!" desis 
Gajah Krempeng sudah tidak sabar lagi.
Sementara Gajah Gemuk membawa Dewi 
Bulan ke tempat yang aman. Dia sendiri langsung 
menyerang kedua tokoh sesat itu secara bersamaan.


TIGA


Tidak dapat dihindari lagi pertempuran 
sengit segera terjadi. Pada hakekatnya masing-
masing lawan adalah tokoh-tokoh angkatan tua 
yang memiliki kepandaian tinggi. Sehingga begitu 
bergebrak, angin kencang langsung menyambar.
"Hiya...!"
"Shaa...!"
Masing-masing fihak keluarkan teriakan

melengking tinggi. Lalu Gajah Krempeng lentik-
kan tubuhnya ke udara. Tangannya mendorong 
kebagian dada lawan. Sekali lagi angin menderu 
dahsyat, Inilah jurus 'Para Gajah Bersilahturah-
mi'. Sungguhpun jurus ini terkesan konyol, tapi 
tidak bisa dianggap main-main. Raka Tendra sen-
diri sempat terdorong ke belakang. Ia hindari tan-
gan Gajah Krempeng yang terus terulur panjang.
"Aiih...!" Buto Terenggi dan Diraja Penghulu 
Iblis sama-sama mengegoskan tubuhnya ke 
samping kiri. Tangan Raka Tendra mengemplang 
ke kepala lawannya. Gerakan menghindar sekali-
gus membalas serangan lawan ini benar-benar ti-
dak terduga oleh Gajah Krempeng. Ia terpaksa ta-
rik pukulan untuk selamatkan kepala dari kep-
langan musuh.
"Hmm, hebat juga kau iblis!"
"Tutup mulutmu!" bentak Raka Tendra.
Tokoh iblis itu sendiri kini kerahkan jurus 
MENEPIS KABUT MENGUAK TABIR
Ini merupakan salah satu jurus pedang 
tunggal yang diciptakan oleh Diraja Penghulu Ib-
lis. Tapi jurus ini akan lebih berbahaya lagi bila 
dimainkan dengan tangan kosong.
Diraja Penghulu Iblis tekuk kaki kanan ke 
depan, tangan kiri menjulur ke samping sedang-
kan tangan kanan membentuk paruh. Dengan 
bertumpu pada kaki kirinya tiba-tiba ia melompat 
ke depan lalu hantam ke kiri dan hantam ke ka-
nan. Cepat bukan main gerakannya. Sehingga 
tangan lawan berubah menjadi banyak. Udara

disekitarnya menebar bau busuk menyengat.
Menghadapi serangan Raka Tendra saja 
Gajah Krempeng sudah mulai kerepotan apalagi 
dari bagian lain Buto Terenggi juga mencecarnya 
secara beruntun.
Jika Gajah Gemuk malah tertawa-tawa me-
lihat keroyokan itu, sebaliknya pendekar Blo'on 
menjadi sangat marah. Sejak tadi ia melihat per-
tempuran yang sengit itu. Tapi kini setelah meli-
hat kedahsyatan serangan Raka Tendra ia sudah 
tidak sabar lagi. Ia menyeruak dari tempat per-
sembunyian. Setelah itu terdengar pula suara 
bentakannya.
"Bukanlah tindakan orang gagah bertarung 
main keroyokan! Manusia daun mata ikan lele. 
Alangkah baiknya kalau kau bertarung dengan 
aku. Aku jadi ingin merobek-robek pakaian yang 
melekat di tubuhmu itu!"
Datuk Mambang Pitoka menoleh ke arah 
Suro Blondo. Lalu terdengar gema suara tawanya.
"Huh... bukankah kau mantunya Diraja 
Penghulu Iblis, mengapa kau malah mencaci go-
longan mertuamu?"
"Ha ha ha! Siapa sudi jadi mantu iblis. 
Sampai mati pun aku tetap tidak setuju!" Suro 
Blondo pencongkan mulutnya lalu meludah ke 
tanah. Karena angin kebetulan berhembus ke 
arahnya. Maka ludahnya membasahi wajah sen-
diri.
"Kalau begitu kau memang pantas kucin-
cang!" Datuk Mambang Pitoka menggembor marah.
Ia melompat ke depan, lalu lepaskan ten-
dangan menggeledek ke dada lawannya. Karena 
sudah mengetahui kehebatan pemuda ini ketika 
adu Pibu beberapa hari yang lalu. Maka ketika le-
paskan tendangan tadi ia kerahkan setengah dari 
tenaga dalamnya.
Angin bersiut nyaring. Tapi Suro Blondo 
keburu rundukkan kepala, tangannya menderu 
menghantam perut lawan. Gerakan ini benar-
benar diluar dugaan Buto Terenggi. Sehingga ia 
tidak sempat menarik pulang kakinya, sementara 
tinju Suro Blondo menggedor dengan telak. 
Duuk!
Habis memukul si pemuda langsung me-
lompat mundur. Sehingga Buto Terenggi yang in-
gin menyamakan kedudukan jadi kecele.
Gusar bukan main melihat serangannya 
hanya mengenai angin. Hanya dalam beberapa 
gebrakan saja ia telah mempergunakan jurus an-
dalan, 'MENGUKIR NAMA DI ATAS PUSARA'.
Ini merupakan salah satu jurus berbahaya 
yang penuh dengan tipuan. Bila ia hantamkan 
tangan kiri, maka yang diincar adalah kepala la-
wan. Tangan kanan yang memukul, kaki menen-
dang. Kiri-kanan, atas bawah disusul dengan 
bentakan-bentakan menggeledek membuat Suro 
Blondo terpaksa mengerahkan jurus 'SERIGALA 
MELOLONG KERA SAKTI KIPASKAN EKOR'.
Gerakan si pemuda berubah secara total. 
Tubuhnya tidak lagi hanya meliuk ke depan dan

belakang bagaikan pucuk cemara ditiup angin. 
Melainkan telah melompat ke samping kiri, lalu 
berjongkok, melompat atau garuk-garuk kepa-
lanya.
Apa yang dilakukan oleh si pemuda ternya-
ta hanya membuat kemarahan Buto Terenggi se-
makin berkobar-kobar.
Ia semakin memperhebat serangannya. Ki-
ni kakinya melakukan tendangan beruntun ke 
arah lawan yang terus berjingkrak-jingkrak.
Pendekar Blo'on tiba-tiba berbalik. Tendan-
gan lawan tidak dielakkannya. Ia menunggu den-
gan sikap seakan gugup, lalu....
Wuuiis!
Traaap!
Buto Terenggi terbelalak. Sama sekali ia ti-
dak menyangka lawan akan menangkap kakinya. 
Karena kaki kirinya tertangkap, ia bermaksud 
memukul kepala lawan yang berada dibawahnya. 
Pada saat itu diluar dugaan pula tiba-tiba Suro 
Blondo mendorong kakinya.
Gubraak!
Jika Buto Terenggi tidak punya ilmu me-
ringankan tubuh yang sudah sangat sempurna. 
Pasti ia telah jatuh tunggang langgang
"Huuup!"
Dengan terhuyung-huyung ia mendaratkan 
kedua kakinya. Wajahnya yang hitam berubah ke-
lam membesi.
"Pemuda bertampang tolol ini ternyata ti-
dak bisa dianggap main. Gerakannya seradak

seruduk seperti babi mabuk. Tapi..." pikirnya.
"Hanya segitukah kepandaianmu manusia 
daun?" Suro Blondo tersenyum mengejek.
"Bangsat sombong!" maki Buto Terenggi 
dengan suaranya yang sember. Tiba-tiba saja ia 
melompat ke depan, lalu melompat pula ke samp-
ing kanan, lalu kesamping kiri.
Melihat gerakan lawan yang sungguh san-
gat aneh dan lucu ini Suro Blondo hampir saja 
tertawa. Pada saat itu pula ia mendengar Gajah 
Gemuk mengisiki.
"Jangan kau pandang enteng dia. Sebentar 
lagi kalau bukan perutmu, kepalamu yang dibikin 
ambrol. Sekarang dia telah mengerahkan ajian 
'MERUBAH RUPA MEMBENTUK BAYANGAN'!"
"Heeh...!" Suro Blondo sempat tertegun, la-
lu menerjang ke depan saat lawannya telah beru-
bah menjadi empat orang. Tidak tanggung-
tanggung lagi ia menghantam ke depan. Tapi sa-
saran yang ditujukan hanya dengan sedikit 
menggeser kaki berhasil menghindari serangan si 
pemuda. Serangan luput, dari belakang pukulan 
laksana palu godam mendera punggungnya seca-
ra beruntun.
Pemuda berambut kemerah-merahan ini 
terpelanting. Darah meleleh dari sudut-sudut bi-
birnya. Dengan bersusah payah ia bangkit berdiri, 
matanya berkunang-kunang. Kemudian terdengar 
suara lolongan dari mulutnya yang berdarah, su-
ara lolongan itu kemudian berubah menjadi tan-
gis yang begitu menyedihkan, selanjutnya secara

aneh berubah pula menjadi suara tawa berkepan-
jangan. Bukan hanya lawan saja yang dibuat ter-
kejut. Sebaliknya Gajah Gemuk yang sedang be-
rusaha menyembuhkan luka dalam yang diderita 
oleh Dewi Bulan juga terkejut. Sementara dalam 
keadaan tertawa-tawa itu Suro Blondo langsung 
teringat pada nasehat gurunya.
"Jika kau dalam keadaan sakit, bersikap-
lah tenang untuk menahan rasa sakitmu! Jika 
lawanmu tunggal tapi banyak, pejamkanlah ma-
tamu untuk menghadapinya. Karena permainan 
sulap tidak dapat menipu mata hati!"
Suro Blondo menyeringai, dengan masih 
terus tertawa dan menangis karena pada saat itu 
ia tengah mengerahkan jurus TAWA KERA 
SILUMAN. Pendekar Blo'on tiba-tiba pejamkan 
matanya. Kini ia bertarung hanya mengandalkan 
ketajaman telinganya saja.
Wuut!
"Hiyaa...!"
Buto Terenggi tiba-tiba merangsak ke de-
pan. Empat bayangan berupa dirinya juga me-
nyertainya. Keanehan segera dirasakan oleh laki-
laki mata sipit ini. Karena ternyata lawannya bu-
kan mengincar bayangannya melainkan dirinya 
sendiri.
Deb! Bet!
"Haaakgh!"
Tinju si pemuda mendarat dengan telak di 
dada Buto Terenggi. Laki-laki ini terseret mundur. 
Ia batuk-batuk, mukanya berubah pucat, lalu
menyemburlah darah dari mulutnya. Kalaupun 
Datuk Mambang Pitoka ini kemudian menjadi 
sangat murka, semata-mata bukan karena rasa 
sakit yang dideritanya. Melainkan rasa malu yang 
sangat, karena ia tidak menyangka ajian yang te-
lah diyakininya selama bertahun-tahun dan 
membuat geger orang-orang persilatan di wilayah 
timur kini dapat dihindari oleh seorang pemuda 
bertampang tolol.
Ia ambil mata kail dibahunya, setelah itu 
dengan mempergunakan mata kail yang dapat 
menjulur panjang itu ia menyerang si pemuda.
"Hmm, maling itu kini mencoba memancing 
lawannya dengan kail yang dipergunakan untuk 
mencuri ular Kayangan!" desis Gajah Gemuk. Ia 
menoleh pada Dewi Bulan yang terus mengawasi 
jalannya pertempuran. "Mari muridku. Sebaiknya 
kita pergi ke Ciruyung! Aku khawatir Iblis penyi-
hir itu sudah dapat memecahkan teka-teki Prisma 
Permata untuk menghantam kaum lurus!"
Tap... tapi bagaimana dengan guru kurus 
dan pemuda itu?" Dewi Bulan diam-diam menjadi 
khawatir.
"Ah... sudahlah aku bosan melihat permai-
nan mereka. Aku yakin masing-masing pihak da-
pat menjaga diri, kalau pun tidak selamat paling-
paling mampus! Ayo...!" ajak Gajah Gemuk.
Karena murid tidak memberikan reaksi. 
Maka ia sambar muridnya, lalu didukung diba-
hunya. Selanjutnya Gajah Gemuk berlari dengan 
kecepatan laksana terbang.
Apa yang diperhitungkan oleh Gajah Ge-
muk memang tidak meleset. Diraja Penghulu Iblis 
sendiri yang bertarung dengan Gajah Krempeng 
jadi tidak bersemangat karena kosentrasinya sela-
lu terpecah memikirkan keselamatan anaknya.
Mereka sudah sama-sama terluka. Jika 
Gajah Krempeng tubuhnya babak belur dan men-
derita luka bacokan pada keningnya, maka Diraja 
Penghulu Iblis juga menderita luka dalam yang ti-
dak ringan.
Jelas sekali jika kedua tokoh ini mempu-
nyai kepandaian dan kesaktian hampir seimbang.
Setelah pertempuran sengit itu berlang-
sung selama hampir sembilan puluh jurus maka 
Diraja Penghulu Iblis mulai berpikir untuk me-
nyusul dua kawannya ke Lembah Ciruyung.
Sekejap kemudian ia mengeluarkan bola 
kecil berwarna hitam. Bola itu dilemparkannya ke 
arah Gajah Krempeng secara berturut-turut. Begi-
tu bola hitam itu meletus. Maka asap tebal mene-
bar dan membuat gelap sekelilingnya.
"Aku belum kalah, Krempeng! Urusanku 
juga banyak! Sampai ketemu di Lembah Ci-
ruyung!" kata Diraja Penghulu Iblis.
"Bangsat kecoa. Mau mampus saja menga-
pa harus ke Lembah Ciruyung?" desis Gajah 
Krempeng sambil terbatuk-batuk.
Dalam kesempatan itu Buto Terenggi juga 
sudah sangat terdesak sekali mendapat serangan 
balik yang membuat kepalanya menjadi semakin 
bertambah pusing. Dalam keadaan sendiri seperti
itu. Menghadapi Pendekar Blo'on saja ia sudah 
sangat terdesak sekali. Apalagi jika mengingat Ga-
jah Krempeng ikut bergabung. Akhirnya mau ti-
dak mau ia harus mengikuti jejak Diraja Penghu-
lu Iblis. Dalam keadaan begitu rupa ia segera 
mempergunakan kelicikannya. Mula-mula men-
desak Suro Blondo dengan serangan-serangan 
yang sangat berbahaya. Setelah itu ia melepaskan 
pukulan 'PARA MAMBANG BERSEDIH'.
Seleret sinar kuning kemilau keemasan 
menderu dari telapak tangannya hingga membuat 
suasana disekelilingnya berubah menjadi panas 
bukan main.
Pendekar Blo'on tercekat. Kemudian ia le-
paskan pukulan 'KERA SAKTI MENOLAK PETIR'. 
Sepuluh ujung jemari tangan Suro Blondo me-
mancarkan sinar putih kemilau laksana salju. 
Pukulan ini menimbulkan udara dingin bagaikan 
di padang es.
Ketika dua pukulan sakti ini bertemu di-
udara. Maka terjadilah ledakan dahsyat. Suro 
Blondo sempat tergontai-gontai. Dadanya sesak 
bukan main, wajahnya berubah pucat. Ketika ia 
melihat ke depannya. Dilihatnya Buto Terenggi 
sudah tidak berada ditempat lagi.
Sambil memegangi dadanya dengan tangan 
kiri, Suro Blondo garuk-garuk kepala dengan tan-
gan kanan. Ia terduduk di bawah sebatang pohon 
yang sangat rindang. Sementara Gajah Krempeng 
datang menghampiri.
"Heh... wong gila kowe lawan. Akhirnya dia

kabur. Mengapa kau tidak membunuh manusia 
daun itu?"
"Paman sendiri mengapa tidak bunuh 
Penghulu Iblis?" Suro Blondo balik bertanya.
"Ah... dia? Seharusnya aku membunuhnya. 
Tapi jika itu kulakukan, maka aku tidak akan 
berjumpa lagi dengannya. Eeh... maksudku aku 
tidak tega melakukannya. Bukankah dia mertua-
mu?"
Bukannya marah, Suro Blondo sebaliknya 
malah tergelak-gelak. "Siapa sudi menjadi man-
tunya. Sudahlah... jangan bicarakan masalah itu. 
Urusanku masih banyak. Aku takut Prisma Per-
mata itu tidak dapat kita ambil dari tangan Raja 
Penyihir jika ia berhasil memecahkan rahasia 
yang terkandung didalamnya." 
"Kurasa mereka bergabung dengan kawan-
kawannya di lembah Ciruyung. Tapi sebelum kita 
berangkat kesana alangkah lebih baik lagi jika ki-
ta bakar saja sarang iblis ini!"
"Aku setuju." kata Suro Blondo.
Mereka kemudian bahu membahu melaku-
kan pembakaran besar-besaran. Bangunan ber-
bentuk istana itu hanya dalam waktu yang sangat 
singkat saja telah berubah menjadi lautan api.
"Sekarang tempat tinggalnya yang menjadi 
lautan api. Besok orangnya akan kujadikan de-
bu." 
"Jangan buang waktu! Sebaiknya kita be-
rangkat sekarang!" kata Suro Blondo. mengingatkan.

"Hmm, baiklah!"
Mereka menuruni gunung Pangkrangko. 
Tapi setelah sampai ditengah jalan mereka dike-
jutkan lagi dengan hadirnya para pengungsi seca-
ra besar-besaran.
"Orang-orang pada membawa bungkusan. 
Hendak kemanakan mereka, paman?"
"Gila... aku juga tidak tahu. Tapi alangkah 
baiknya jika kita tanyakan pada mereka!" Gajah 
Krempeng kemudian menghampiri salah seorang 
dari para pengungsi itu. Barulah mereka mengerti 
telah terjadi luapan lumpur panas yang berasal 
dari gunung Gede. 
"Anak muda, seingatku dibawah gunung 
gede bukankah ada Gua Darah. Apakah mungkin 
Gua Darah hancur kemudian menyemburkan la-
har panas karena kebangkitan manusia merah?"
"Aku tidak tahu, paman. Tapi sebaiknya ki-
ta kabarkan hal ini pada semua tokoh-tokoh per-
silatan yang ada."
"Mari kita susul kakangku...!"
Maka kedua laki-laki ini langsung berang-
kat menuju lembah Ciruyung.


EMPAT


Maya Swari terus dibawa berlari dengan 
kecepatan laksana terbang. Jika malam ia tidak 
dapat mengenali siapa yang telah melarikannya

itu. Maka kini dalam keadaan siang tentu ia tahu 
dan kenal orang yang telah menculiknya itu. Dia 
tidak lain adalah Datuk Alang Sitepu, Raja Penyi-
hir dari gunung Sibayak. Apakah raja penyihir ini 
memang ada dua? Bukankah sesungguhnya Da-
tuk Alang Sitepu tengah mengadakan perjalanan 
menuju Lembah Ciruyung bersama Nyanyuk Pin-
gitan?
Marilah kita simak pada saat mereka me-
ninggalkan Diraja Penghulu Iblis dan Buta Te-
renggi.
Ketika pertama kali melihat kecantikan 
Maya Swari diatas pelaminan. Datuk Alang Sitepu 
alias Bungkuk Lima ini sudah merasa jatuh hati 
dan terbangkit nafsunya. Tapi ia tidak mau bersi-
kap gegabah. Karena ada hal yang sangat besar 
yang perlu mendapat perhatiannya. Hal besar itu 
menyangkut Prisma Permata yang berada ditan-
gan Nyanyuk sebagai orang yang telah mencu-
rinya dari Goa Darah.
Malam ketika kawan-kawannya memper-
cayakan Prisma Permata kepadanya. Tentu ini 
merupakan satu kemenangan. Karena hanya ia 
sendiri yang tahu sampai sejauh mana kegunaan 
barang yang sangat langka itu. Setelah Prisma 
Permata ada ditangannya ia mengatur siasat lagi 
dengan mencari dalih bahwa ia memerlukan tem-
pat yang aman untuk memecahkan rahasia yang 
terkandung dalam Prisma tersebut. Padahal tanpa 
pemecahan apapun, sesungguhnya Prisma Permata itu memang memiliki kesaktian yang dahsyat. Asal saja tahu cara penggunannya.
Apa yang dikatakan oleh Datuk Alang Site-
pu sebenarnya hanya tipuan semata karena ia 
sendiri memang ingin menguasai dan mendirikan 
kerajaan persilatan tanpa ada orang lain, sung-
guhpun kawan-kawan segolongan sendiri.
Menjelang dinihari mereka berangkat ke 
Lembah Ciruyung, baru lima puluh tombak me-
ninggalkan istana Diraja Penghulu Iblis ia mem-
beritahu Nyanyuk Pingitan bahwa disepanjang ja-
lan nanti jangan bicara atau berkata apapun. Se-
telah merasa yakin. Berkat kesaktian serta man-
tra-mantra sihirnya yang sangat ampuh. Datuk 
Alang Sitepu menciptakan kembarannya. Sedang-
kan yang asli berbalik ke istana dan menculik 
Maya Swari.
Jadilah Nyanyuk Pingitan berjalan dengan 
bayangan sang Raja Penyihir. Kini di pinggir hu-
tan Jati Muyung laki-laki bongkok berwajah han-
cur sebelah dan bermata satu ini meletakkan 
Maya Swari.
Gadis itu selain sangat marah juga menjadi 
ketakutan sekali. Ketika Datuk Alang Sitepu 
membuka jalan suaranya. Maka menyemburlah 
caci maki dari bibirnya yang mungil dan selalu 
membasah.
"Iblis keparat! Mengapa kau membawaku 
kemari?"
"Ah... jangan terlalu galak, Maya. Aku 
membawamu kemari tentu ada tujuan. Setiap la-
ki-laki menghendaki seseorang juga pasti ada tujuan tertentu. Kecantikanmu membuat jantungku 
mpot-mpotan. Apakah kau tidak merasakannya?" 
Datuk Alang Sitepu kemudian tergelak-gelak. 
Tangannya dengan leluasa menjamah dan mem-
belai pipi Maya Swari yang kemerah. Lalu belaian 
itu turun ke bagian lehernya yang jenjang, kemu-
dian turun lagi dibagian dadanya. Karena pakaian 
Maya Swari menghambat gerakan tangannya, 
maka tidak ampun lagi pakaian itu dicabiknya.
Terlihatlah payudara si gadis yang putih 
tegak menantang. Datuk Alang Sitepu demi meli-
hat pemandangan ini langsung menelan ludah. 
Matanya yang cuma, tinggal sebelah berputar-
putar liar, tenggorokannya turun naik. 
Dengan nafas terengah-engah diremasnya 
dada si gadis yang kenyal itu berulang-ulang 
hingga membuat Maya Swari menjerit-jerit kesa-
kitan. Ia berusaha meronta dan membebaskan di-
ri dari totokan. Tapi setelah ia mengerahkan tena-
ga dalamnya berulang-ulang apa yang dilakukan-
nya sia-sia saja.
"Bangsat! Manusia rendah... keparat...!"
"Hakk Hak Kak...! Percuma saja kau me-
ronta dan menjerit, Maya. Gerakanmu hanya 
membuat semangatku kian menggebu untuk me-
nikmati kehangatan tubuhmu. Aku tahu kau ma-
sih suci. Tentu ini merupakan kenikmatan yang 
tidak ada duanya." desis laki-laki berwajah men-
gerikan itu dengan suara sember.
"Lep.. lepaskan..! Oh... tidak...!" Maya Swa-
ri menjerit-jerit ketakutan.
Setiap geliatnya membuat darah tua Datuk 
Alang Sitepu semakin panas berapi-api.
Bret! Bret!
Celana panjang biru penutup aurat Maya 
Swari terenggut lepas. Melihat tubuh telanjang 
didepannya, jantung si datuk semakin mpot-
mpotan. Ia raba-raba bagian yang sangat peka 
itu. Kini Maya Swari yang dalam keadaan teran-
cam itu bukan lagi menjerit, melainkan sudah 
menangis.
Lebih ketakutan lagi ketika sang Datuk 
membuka celananya sendiri. Nasib serta kehor-
matan putri iblis namun baik budi ini benar-
benar berada di ujung tanduk.
Terlebih-lebih ketika melihat laki-laki ber-
muka busuk sebelah itu mulai menindihnya. Na-
mun rupanya suratan nasib menentukan lain. 
Pada saat-saat yang sangat kritis itu ada sinar 
putih yang datangnya dari balik pohon menderu 
ke arah Maya Swari. Sinar putih tanpa rasa itu 
langsung menembus ubun-ubun Maya Swari. Ga-
dis itu menjadi kejang dan ia merasa tubuhnya 
secara tiba-tiba seperti tersentak.
Tanpa diduga-duga kini dari bagian bawah 
Maya Swari mencuat kepala ular berwarna putih. 
Ular itu langsung mematuk kepala burung kra-
mat Datuk Alang Sitepu, hingga membuatnya me-
raung dan lepaskan pelukan.
Sambil terguling-guling Datuk Alang Sitepu 
pegangi burungnya yang dipatuk ular. Karena 
ular itu masih lengket dikepala anunya. Maka

anunya yang bisa membengkak dan mengempis 
itu mengucurkan darah.
Didera rasa sakit yang bukan alang kepa-
lang. Sang Datuk terpaksa memencet badan ular 
putih. Tapi ular itu tidak mati. Jalan satu-
satunya adalah memencet kepala ular tersebut. 
Tapi ia juga bingung. Jika kepala ular itu dipen-
cetnya, praktis kepala anunya juga ikut tergencet. 
Ini akan bertambah repot. Karena separoh kepala 
anunya berada didalam mulut sang ular. Tidak 
ada jalan lain lagi. Datuk Alang Sitepu terpaksa 
memotong badan ular tersebut dengan memper-
gunakan kuku-kukunya yang runcing.
Ular itu menggelepar, mulutnya terbuka, 
dengan sendirinya ular itu jatuh bersamaan men-
gempisnya kepala anunya sang datuk.
Digeceknya ular itu sampai menjadi serpi-
han daging. Anunya jadi bengkak lagi karena bisa 
ular. Barulah pada saat itu ia teringat mengapa 
tadi tidak mempergunakan ilmu sihir saja untuk 
membunuh ular itu.
Cepat-cepat ia mengambil obat penawar bi-
sa. Dalam hati ia berguman. "Bagaimana nanti ji-
ka anunya tidak dapat dipergunakan lagi. Jika 
anunya loyo dan tidak bisa kembang kempis ini 
bisa berabe, berarti setiap ada kesempatan me-
nikmati kehangatan gadis ia harus gigit jari."
Kenyataan ini rupanya yang membuat Da-
tuk Alang Sitepu menjadi marah sekaligus meno-
leh ke arah si gadis yang hampir mencelakakan 
dirinya. Tapi alangkah terkejutnya dia karena gadis itu sudah tidak ada lagi di tempat terkecuali 
hanya pakaiannya saja yang berserakan diatas re-
rumputan.
"Dajal! Perempuan sundul... pemborosan 
dan buang-buang waktu saja. Awas... aku tahu 
ada yang menolongnya. Suatu hari nanti jika ke-
temu ia akan kuperkosa pulang pergi!" desis 
Bungkuk Lima sambil menyeringai kesakitan. Be-
gitu marahnya dia, sampai-sampai ia memukul-
kan tongkatnya yang berbulu kepala ular Cobra 
ke tanah.
Seketika dari bekas pukulan tongkatnya 
itu menyembur mata air panas berbau amis. Da-
tuk Alang Sitepu rupanya masih belum puas. Ia 
melepaskan pukulan ke batu-batu gunung yang 
terdapat disekelilingnya. Batu-batu itu hancur 
berkeping-keping menerbangkan serpihan debu. 
Maka akhirnya ia meneruskan perjalanannya 
kembali. Tapi ia menghentikan langkah kaki keti-
ka menyadari bahwa dari pusernya ke bawah ti-
dak berpenutup apa-apa. 
"Sial! Gara-gara bukit kembar urusanku 
jadi kapiran!"
Seperti orang linglung tokoh yang biasanya 
angker ini kembali mendapatkan celananya. Un-
tung Prisma Kristal Permata masih berada ditem-
patnya. Setelah mengenakan pakaiannya kembali 
kini ia melanjutkan perjalanannya ke Lembah Ci-
ruyung.
Sementara itu tubuh telanjang Maya Swari 
terus melayang dalam keadaan rebah diudara.

Sinar putih kemilau itu terus menggerakkannya 
ke satu arah. Sampai kemudian berhenti men-
gembang persis ditengah-tengah hutan Hutan Jati 
Muyung.
Lalu dari atas batu tidak jauh dari gadis itu 
yang tengah mengapung diudara. Terlihat seorang 
kakek tua berambut serba putih, wajahnya nyaris 
tertutup bulu-bulu warna putih. Alis matanya 
yang juga berwarna putih itu tertutup caping 
bambu.
Si kakek yang semula hanya mempermain-
kan ranting kayu berwarna putih sambil bersiul-
siul ini tiba-tiba hentikan siulannya. Ranting pu-
tih ditangannya digerakkannya ke bawah. Hingga 
membuat Maya Swari jatuh terduduk. Ia jentik-
kan ranting itu ke arah Maya Swari. Mengagum-
kan sekali dalam sekedipan mata Maya Swari te-
lah berpakaian lengkap berwarna putih seperti 
sutera halus. Si gadis dalam keadaan terkejut 
bercampur takjub ini memandang ke sekeliling-
nya. Ia tidak melihat siapa-siapa disitu terkecuali 
dirinya sendiri dan juga kakek bercaping yang 
duduk diatas batu. Satu hal yang membuatnya 
heran adalah sekujur tubuh si kakek memancar-
kan cahaya putih berpendar-pedar.
"Andakah yang telah menyelamatkan aku?" 
tanya Maya Swari dengan penuh rasa terima ka-
sih.
Yang ditanya tidak langsung menjawab. 
Melainkan angkat capingnya, pandangi wajah 
Maya Swari dengan tatapan bosan.

"Gusti Allah yang telah menyelamatkanmu 
dari nista. Bukankah kau putri Diraja Penghulu 
Iblis?"
Maya Swari merasa senang karena ternyata 
orang tua aneh ini kenal nama ayahnya. Dengan 
cepat ia menjawab.
"Anda kenal dengan orang tuaku, kakek?" 
"Huh! Siapa yang tidak kenal dengan Diraja 
Penghulu Iblis. Karena undangannya membuat 
aku turun gunung. Jika bertemu ayahmu pasti 
kugebuk hingga babak belur!" dengus si kakek.
Jawaban si kakek benar-benar sangat ber-
tolak belakang dengan apa yang diharapkannya.
"Apakah salah ayahku?" bentak Maya Swa-
ri menjadi sewot. Sungguhpun ia sadar karena 
kakek bercaping itu ia selamat dari aib yang san-
gat besar.
"Salah ayahmu? Huh... salah ayahmu san-
gat banyak sekali. Karena undangannya Prisma 
Kristal Permata dicuri dari Goa Darah. Karena di-
curi Goa Darah menjadi hancur menyemburkan 
hawa panas. Manusia merah terlepas dari kurun-
gan. Kini membantai penduduk yang tidak berdo-
sa, orang-orang sengsara mengungsi menyela-
matkan diri dari amukan lava dan amukan Ma-
nusia Merah. Raja Penyihir yang hampir meno-
daimu juga telah menyihir orang-orang yang tidak 
berdosa menjadi patung batu. Siasat apa lagi 
yang lebih keji, melebihi kejinya iblis berkepala 
ular?"
"Benarkah apa yang kakek katakan itu?"

tanya Maya Swari dengan terkejut.
"Aku tidak memintamu percaya, setan te-
tap setan. Iblis bukan anak setan. Karena hatimu 
baik. Itu sebabnya aku beri kesempatan kau hi-
dup. Tapi ingat jika kau mencampuri urusan 
orang tua. Tidak segan-segan aku membunuhmu 
kelak dikemudian hari."
"Tapi...!"
Kakek bercaping putih ini memotong. "Ti-
dak ada tapi-tapi. Cepat minggat dari hadapan-
ku!"
Panas hati Maya Swari, memerah wajahnya 
karena menahan amarah. Laki-laki gaek ini ang-
kuhnya bukan main-main. Kalaulah tidak men-
gingat dia telah menolongnya. Tentu sudah dila-
braknya sejak tadi.
"Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelumnya, 
sudilah kakek memberitahu siapa nama dan ge-
larmu."
"Hak hak hak! Gelar? Apa itu gelar? Aku 
hanya punya nama Barata Surya Penghulu Silu-
man Kera Putih!"
Karena merasa tidak kenal dengan nama 
itu, maka Maya Swari hanya diam saja. Jika saja 
Datuk Alang Sitepu yang mendengar si kakek 
menyebut nama, tentu ia akan berpikir dua kali 
untuk bertatap muka dengan si kakek. Sebagai-
mana diketahui Barata Surya alias Penghulu Si-
luman Kera Putih adalah satu diantara dua guru 
Pendekar Blo'on. Guru yang lainnya adalah De-
wana atau Malaikat Berambut Api yang tinggal di

Pulau Seribu Satu Malam. Jika salah satu guru si 
pemuda sampai turun gunung, sama artinya ada 
persoalan besar akan terjadi.
Laki-laki yang punya sikap ugal-ugalan, 
konyol dan angin-anginan ini lalu batuk-batuk.
"Tunggu apa lagi. Menyingkirlah kau dari 
sini!"
Semakin bertambah geram saja Maya Swa-
ri. Ia tanpa menoleh-noleh lagi langsung melang-
kah pergi. Tidak lama Penghulu Siluman Kera Pu-
tih pun berlalu. Tapi bukan dengan berjalan kaki, 
melainkan mengambang diudara selanjutnya me-
lesat dengan bantuan hembusan angin kencang.


LIMA


"Hraaak!" Sekali berteriak, sekali berge-
brak. Orang-orang yang marah karena melihat 
manusia merah melakukan pembunuhan disepanjang jalan yang dilaluinya berpelantingan ro-
boh.
"Cincang manusia gila itu!" teriak salah 
seorang mengkomandoi kawan-kawannya.
Para penduduk yang telah dirasuk marah 
ini bergerak kembali. Berbagai jenis senjata 
menghantam kaki dan perut Manusia Merah. Tidak satupun dari senjata-senjata itu dapat menembus kulit manusia keturunan raja Jin ini.
"Hraaaaa! Hraaaaakh...!"
Kaki menendang, tangan menghantam kiri 
dan kanan. Lalu orang-orang malang itu berpe-
lantingan roboh.
"Wuaaarkh."
"Hekkkh...!" 
Para korban berjatuhan, keadaan mereka 
sungguh menyedihkan. Ada yang kepalanya di-
potes, ada yang dipatahkan pinggangnya dan ti-
dak jarang dibanting lalu diinjak-injak.
Kenyataan ini tentu tidak lepas dari perha-
tian seorang perempuan berpakaian kembang. 
Rupanya perempuan cantik berusia sekitar tiga 
puluhan ini terus mengikuti perjalanan Manusia 
Merah Soma Sastra.
Setelah lama melihat kekejaman serta 
pembantaian yang dilakukannya. Akhirnya pe-
rempuan baju kembang-kembang yang tidak lain 
adalah Ratu Penyair tujuh Bayangan ini berusaha 
mendekati Soma Sastra.
Ia berkelebat-kelebat diantara kerumunan 
orang-orang yang mengeroyok Manusia Merah. 
Sampai kemudian terdengar suara bentakannya.
"Hei kalian semua! Apakah sudah pada gi-
la? Dia jelas tidak dapat kalian kalahkan. Mun-
dur... lebih baik mundur kataku!"
Peringatan ini paling tidak cukup berpen-
garuh dan menyadarkan sebagian diantara mere-
ka. Tapi tidak bagi orang-orang yang telah kehi-
langan sanak keluarganya.
Mereka malah menjadi nekad dan beringas. 
Akibatnya mereka tidak ubahnya menciptakan

neraka bagi mereka sendiri.
Korban terus berjatuhan. Sampai kemu-
dian Ratu Penyair Tujuh Bayangan bicara seperti 
orang yang sedang bersair dengan suara keras 
merobek langit
Tololnya manusia karena menuruti marah!
Marah adalah nafsu hewani!
Malang sungguh malang.
Kesadaran datangnya selalu terlambat.
Turut kata nafsu angkara murka jadinya!
Setan lawannya, iblis tandinganya.
Tolol! Bodoh! Bego! 
Badai menggila mengapa dilawan?
Jika sayang badan harus tahu diri.
Jika sayang nyawa sebaiknya angkat kaki.
Pulang! Pulang!
Jangan-biarkan badan jadi tulang!
Biarkan anak jin ciptakan neraka karena 
dia tidak tahu dosa 
Dasar celaka....
Ratu Penyair Tujuh Bayangan hentikan 
ucapannya. Ia memandang lurus ke arah Manu-
sia Merah yang melotot kearahnya.
Laki-laki raksasa berkulit merah ini tiba-
tiba menghentikan gerakannya lalu berkata.
"Kau... perempuan baju kembang-kembang 
apa maksud ucapanmu itu?"
Ratu Penyair Tujuh Bayangan seketika 
menutup indera pendengarannya ketika mendengar suara Manusia Merah yang tidak ubahnya se-
perti suara gelegar halilintar itu.
Sungguhpun ia telah menutup daun telin-
ganya, tapi tetap saja jantungnya berdetak keras. 
Orang-orang yang telah mulai menjauhi Manusia 
Merah itu juga berkaparan mati. Telinga mereka 
meneteskan darah, mata melotot juga mengalir-
kan darah.
"Sobat merah! Aku tahu kau mencari Pris-
ma Permata yang telah dicuri oleh Nyanyuk Pingi-
tan. Orang yang kau cari sekarang telah melari-
kan diri ke Lembah Ciruyung. Kuharap kau tidak 
membunuh manusia yang tidak memiliki dosa 
dan salah apa-apa kepadamu!"
"Kau apakah Dewa? Aku bukan sobatmu, 
didunia ini semua musuhku. Aku hanya punya 
seorang sahabat. Suro Blondo namanya. Jadi kau 
jangan mengaku-ngaku!" Manusia Merah men-
dengus marah.
"Kalau Pendekar Blo'on itu sahabatmu, 
perlu kau tahu dia juga sahabatku!"
"Tidak bisa. Tidak bisa! Di dunia hanya ada 
seorang sahabat. Kau hanya mengaku dan ber-
maksud menipu! Puuuuh...!"
Tanpa diduga-duga Manusia Merah kecil-
kan bibirnya, mulutnya menggembung dan angin 
laksana badai topan berhembus menerjang Ratu 
Penyair Tujuh Bayangan. Serangan seketika ini 
membuat Ratu Penyair Tujuh Bayangan tadi 
tunggang langgang. Dengan mengerahkan seluruh 
tenaga dalam yang dimilikinya ia mencacakkan

kakinya diatas tanah membentuk kuda-kuda. 
Saat itu ia pun ingin melepaskan pukulannya ke 
arah Manusia Merah.
Hanya niatnya itu diurungkannya ketika ia 
mengingat sesuatu. Selanjutnya ia melompat ke 
samping kiri. Manusia merah mengejar dan in-
jakkan kakinya yang berat dan menimbulkan 
gempa.
"Kalau pulau Jawa ini tenggelam karena 
ulah para iblis yang sok berkuasa aku tidak per-
duli. Tapi terus terang saja aku takut dengan 
murka bapak angkat. Hiiiih.... diiekh...!"
Manusia Merah Soma Sastra pukulkan 
tangannya ke arah Ratu Penyair Tujuh Bayangan. 
Tapi begitu tangannya menderu, lawan sudah 
menghindar. Praktis pukulannya menghantam 
batu. Batu hancur dan meninggalkan lubang be-
sar. Melihat Kenyataan ini Ratu Penyair Tujuh 
Bayangan menjadi dingin tengkuknya. Tidak ter-
bayangkan bagaimana jika dirinya yang terkena 
tinju Manusia Merah. Paling tidak gepeng dan ke-
luar taik muda. 
"Gerakanmu menghindar sebagus walet api 
di neraka. Aku ingin tahu apakah kau juga mam-
pu menghindari lidah apiku!"
Usai berkata ia kempiskan perut, lalu tarik 
nafasnya dalam-dalam. Setelah itu.
"Haaah...!"
Seketika dari mulut manusia merah me-
nyembur lidah api. Titisan Raja Jin ini memang 
memiliki banyak keanehan disamping terlalu lugu. Begitu api menyembur langsung menyambar 
Ratu Penyair Tujuh Bayangan. Perempuan ini 
terpaksa bersalto ke belakang untuk menghindari 
sambaran lidah api. Tapi anehnya lidah api yang 
menyembur dari mulut Manusia Merah terus 
mengejar kemana pun ia berusaha menghindar. 
Tidak pelak lagi bangunan yang ada disekitarnya 
ikut terbakar. Hanya dalam waktu singkat diseki-
tar mereka telah menjadi lautan api.
"Gilaaa....! Jika aku hanya bertahan begini 
terus, mustahil aku dapat memberi pengertian 
kepadanya. Jalan satu-satunya adalah dengan 
sedikit unjuk kebolehan...." Pikir Ratu Penyair Tu-
juh Bayangan. 
Sekejap tubuhnya berkelebat lenyap. Ia 
dengan mempergunakan ilmu meringankan tu-
buh yang sangat tinggi terus berputar-putar di-
atas kepala Manusia Merah, hingga membuat la-
ki-laki berumur lebih dari satu abad ini kelaba-
kan.
Adalah buta jika lawan dianggap kawan
Anak Jin menjadi picik karena kawan di-
anggap lawan
Prisma Permata sekarang telah dikuasai 
oleh Raja Penyihir
Mengapa membuang-buang waktu tidak 
mendapatkannya?
Pergi cepat pergi
Terlambat sedikit kembarannya bakal terlahir....

Seakan diingatkan Manusia Merah jadi ter-
cekat. Apa yang baru saja diucapkan oleh Ratu 
Penyair Tujuh Bayangan seakan memiliki kesan 
yang mendalam baginya. Mendadak ia katupkan 
mulutnya, tangannya berhenti menyerang, lalu 
matanya yang berkilat-kilat aneh memandang ta-
jam pada Ratu Penyair Tujuh Bayangan.
"Kau bagaimana bisa mengetahuinya? Apa 
yang kau ucapkan itu memang benar adanya. 
Aku harus segera pergi, tapi tidak tahu dimana 
Lembah Ciruyung!" ujar Soma Sastra dengan bin-
gung.
"Aku tahu tempatnya. Kalau kau mau aku 
bisa tunjukkan!"
"Baik! Aku setuju, tapi jika kau menipuku, 
rasakan sendiri akibatnya." ancam Manusia Me-
rah.
"Kau harus percaya padaku jika segala 
urusan ini dapat diselesaikan dengan baik!"
Manusia Merah mengangguk setuju. Den-
gan perasaan ngeri akhirnya Ratu Penyair Tujuh 
Bayangan pergi bersama Manusia Merah menuju 
Lembah Ciruyung.
Lembah Ciruyung merupakan lembah 
sunyi berbatu. Ditengah-tengah lembah itu terda-
pat sebuah bangunan terbuat dari batu. Dalam 
keadaan tertentu lembah ini selalu berselimut ka-
but tebal. Tidak jauh dari samping bangunan terlihat sebuah pemandangan yang cukup unik lagi 
menyeramkan.

Tengkorak dan tulang belulang manusia 
bertebaran dimana-mana. Tidak ada yang tahu 
bahwa penghuni lembah Ciruyung ini pada setiap 
bulan purnama selalu menculik kaum laki-laki 
untuk dijadikan persembahan para roh dan mak-
hluk lelembut yang diyakininya dapat menimbul-
kan malapetaka.
Suasana diluar bangunan memang terasa 
sangat sunyi sekali ketika Diraja Penghulu Iblis 
dan Buto Terenggi sampai di tempat itu. Seba-
gaimana di daerah Jawa lainnya. Suatu tempat 
terkadang sangat diyakini memiliki kekuatan gaib 
yang dapat mendatangkan kesenangan dan ke-
sengsaraan.
Demikian juga halnya dengan lembah Ci-
ruyung ini. Siapapun yang berada di tempat itu 
bila satu aliran dengan penguasa lembah. Maka 
kekuatannya jadi berlipat ganda. Kekuatan ini 
merasuk dalam diri seseorang tanpa disadarinya. 
Demikian juga halnya yang terjadi pada diri Dira-
ja Penghulu Iblis dan juga Datuk Mambang Pito-
ka.
Ketika itu ada empat sinar yang merasuk 
dalam diri mereka. Merah, kuning, hitam dan bi-
ru.
Tanpa sadar mereka terus berjalan mende-
kati bangunan batu yang sudah tidak asing lagi 
bagi mereka.
"Lihatlah tumpukan tulang belulang itu, 
Datuk. Rupanya sobat kita semakin tua semakin 
rajin mengumpulkan korban persembahan."
"Betul. Tentunya orang-orang malang itu 
dijadikan gundiknya dulu sebelum dijadikan kor-
ban persembahan terhadap para roh disini." Raka 
Tenda menimpali.
"Kepada sobat-sobat tamu diluar. Mengapa 
hanya diam disitu?"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara sember 
dari dalam bangunan. Pintu batu terbuka. Dibalik 
pintu tidak ada siapa-siapa, berarti pintu itu 
membuka dengan sendirinya.
Setelah melirik ke arah kawannya. Datuk 
Mambang Pitoka kemudian melangkah masuk di-
ikuti Raka Tendra.
"Hik hik hik...! Beginilah keadaan tempat 
tinggalku. Tentunya sangat jauh berbeda dengan 
singgasanamu, Diraja Penghulu!"
Setelah saling menjura penuh rasa hormat. 
Maka tidak lama setelah itu mereka duduk men-
gelilingi meja terbuat dari batu hitam. Konon batu 
hitam memiliki kemukjijatan untuk menyembuh-
kan gigitan binatang berbisa. Tapi Diraja Penghu-
lu Iblis manalah perduli dengan hal-hal semacam 
ini. Sekarang hatinya tetap gelisah mengingat pu-
tri tunggalnya masih belum ditemukannya.
"Kalian mengapa cepat sekali datang kema-
ri? Apakah keadaan di puncak Gunung Pan-
grangko sudah tidak layak lagi untuk dipertahan-
kan?" tanya Nyanyuk Pingitan sambil tertawa. 
Sehingga deretan giginya yang hitam pekat terlihat begitu mengerikan.
Secara singkat Diraja Penghulu Iblis ke

mudian menceritakan perihal hilangnya Maya 
Swari dan penyerbuan yang dilakukan oleh dua 
tokoh Gajah dari Merbabu. Ia juga tidak lupa 
membicarakan tentang Suro Blondo dan juga De-
wi Bulan. Tidak ayal lagi Nyanyuk Pingitan men-
jadi marah.
"Aku sangat yakin salah satu dari orang-
orang golongan putih telah menculik anakmu. 
Tapi... kita tidak tahu siapa dia. Dan kemungki-
nan lainnya bisa saja pemuda bertampang tolol 
itu yang telah menyembunyikannya di suatu tem-
pat. Keadaan ini kurasa dapat kita atasi, karena 
tidak sampai dua hari lagi, Datuk Alang Sitepu te-
lah berhasil memecahkan kehebatan yang ter-
sembunyi dibalik Prisma Permata tersebut."
"Sudahlah, sekarang istirahat dulu. Mu-
suh-musuh kita mustahil berani menyatroni lem-
bah ini" kata Nyanyuk Pingitan dengan penuh 
keyakinan.
Kepada dua tamu ini Nyanyuk Pingitan 
menyuguhkan tuak wangi. Ketika mereka baru 
saja hendak melanjutkan pembicaraan.
Tiba-tiba saja terjadi guncangan yang san-
gat keras pada dinding ruangan. Guncangan ini 
tentu sangat mengejutkan bagi orang-orang yang 
berada didalamnya. Sehingga ketiga tokoh sesat 
ini langsung menghambur keluar. Hanya datuk 
Alang Sitepu saja yang tetap bersemedi diruangan 
khusus bangunan batu tersebut.
Begitu mereka berada diluar. Maka terli-
hatlah oleh mereka seorang laki-laki gemuk bukan main dibantu dengan oleh seorang gadis se-
dang bertarung dengan dua ekor harimau putih 
peliharaan Nyanyuk Pingitan.
Perempuan berwajah mengerikan ini terke-
keh-kekeh melihatnya.
"Rupanya kita kedatangan tamu. Biarlah 
dua ekor macan putih milikku yang melayaninya. 
Sebentar lagi mereka tentu menjadi santapan 
yang empuk! Hik hik hik...!"
"Kau begitu yakin, Nyanyuk? Tahukah kau 
bahwa laki-laki gemuk itu adalah tokoh dari gu-
nung Merbabu?" tanya Raka Tendra.
"Apakah mereka setan, atau apa. Aku tidak 
perduli. Jika mereka tidak mempunyai nyawa 
rangkap mengapa begitu takut? Dua macan putih 
itu mempunyai keahlian tiga tingkat diatasku. 
Karena mereka adalah paman guruku!"
Apa yang dikatakan oleh Nyanyuk Pingitan 
memang tidak berlebihan. Selain sangat tangkas, 
kedua macan putih ini seakan mengerti ilmu silat. 
Setiap serangan yang dilakukannya ganas bukan 
main. Apalagi mereka menyerang dengan cara 
yang berbeda-beda.
Sebagai orang yang sangat berpengalaman, 
Gajah Gemuk bukan tidak menyadari akan hal 
ini. Menghadapi dua ekor harimau sekaligus bu-
kan apa-apa baginya. Tapi ia juga harus melin-
dungi muridnya yang baru saja sembuh dari luka 
dalam yang dideritanya.
Ini yang membuatnya agak repot. Sebenar-
nya ada satu hal yang membuatnya terheran

heran. Seingatnya ia sudah dua kali menghantam 
kepala harimau putih itu dengan telak dan keras. 
Tapi pukulan yang mengandung tenaga dalam 
tinggi ini seakan tidak membawa arti apa-apa.
Malah kedua binatang ini semakin liar dan 
beringas, sehingga setiap serangan baik berupa 
cakaran maupun terjangan mereka semakin berbahaya saja.


ENAM


Kenyataan ini membuat Gajah Gemuk se-
gera menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak 
wajar pada kedua harimau itu. Ia merasa tidak 
yakin ada harimau kebal terhadap serangan pukulannya. Untuk itu ia mengambil ancang-
ancang. Kedua tangan yang dikepalkannya kemudian dihantamkannya ke tanah. Lalu terdengar bentakannya yang sember.
"Jika kau bukan harimau sungguhan, ma-
ka kembalilah ke asalmu!"
Tubuhnya tiba-tiba melesat ke depan, ber-
samaan waktunya dengan sang harimau yang 
menerjang ke arahnya.
Begitu cakar sang macan menyambar ke 
bagian muka ia miring ke kiri sementara dua tinjunya menggedor dada makhluk buas tersebut 
dua-duanya sekaligus.
Buk! Beek!

"Graaaumg...!"
Kedua harimau putih itu terlempar dan 
mengeluarkan suara menggerung. Begitu me-
nyentuh tanah makhluk ini menggelepar dan se-
cara perlahan kembali ke asalnya.
"Harimau siluman!" desis Dewi Bulan. Se-
ketika ia mencabut pedang pendeknya. Dua ekor 
harimau yang telah kembali menjadi manusia ini 
bangkit berdiri. Ternyata mereka adalah dua 
orang laki-laki berumur kira-kira 56 tahun be-
rambut panjang menjulai berbaju putih dan be-
rambut putih. Ditangan mereka tergenggam se-
buah seruling berwarna kuning keemasan.
"Berani kau datang ke lembah ini, Gendut! 
Sama artinya kau dan muridmu membuang nya-
wa percuma." dengus salah seorang diantara me-
reka.
"Ha ha ha! Melihat pada seruling itu dan 
juga melihat tampang kalian yang jelek-jelek. Kau 
pastilah Sepasang Iblis Seruling Emas? Suruh ke-
luar murid keponakanmu yang pantas menjadi 
nenek kalian itu!"
"Kau berada diwilayah kami. Tidak layak 
memerintah terkecuali patuh pada perintah ka-
mi!"
"Setan! Murid keponakanmu itu telah men-
curi Prisma Permata, hingga membuat sebagian 
Jawa ini dilanda lautan lahar panas. Ulahnya te-
lah membangkitkan Manusia Merah dari penjara 
bumi. Selain itu dengan Prisma Permata itu Nyanyuk Pingitan dan kawan-kawannya bermaksud

merajai rimba persilatan dengan mendirikan se-
buah kerajaan." 
"He he he! Itu adalah sebuah rencana yang 
sangat baik, gendut. Mengapa kau malah iri? Ka-
lau kurang senang mengapa kau dan orang-orang 
golongan lurus tidak mendirikan sebuah menara 
kematian saja?"
Bukannya marah Gajah Gemuk malah ter-
gelak-gelak.
"Aha, betul. Kami juga memang bermaksud 
mendirikan sebuah menara sekaligus membuat 
lubang besar. Tapi kami persiapkan semua itu 
untuk mengubur kalian," kata Gajah Gemuk pu-
la. 
"Paman Rawa dan Paman Ruwi. Jangan 
mengulur-ulur waktu. Lekas bunuh guru dan 
murid itu sekarang juga!" teriak Nyanyuk Pingitan 
yang terus menyaksikan perdebatan itu bersama 
dua orang kawannya. Rawa dan Rawi menanggapi 
perintah murid ponakan itu dengan anggukan 
kepala. Iblis Seruling Emas ini tiba-tiba memben-
tuk gerakan yang sangat aneh. Tangan yang me-
megang seruling menuding lurus ke depan. Se-
dangkan tangan kiri menyilang di dada.
"Hiiit!"
Wuuus!
Nguuung!
Ketika mulut mereka menggembor nyaring. 
Tahu-tahu tubuh mereka telah melesat ke depan. 
Yang diincar adalah mata dan tenggorokan Dewi 
Bulan juga gurunya. Gadis ini kiblatkan pedang
nya dengan mengandalkan jurus TARIAN KUPU-
KUPU DI ATAS BUNGA MATAHARF. Sedangkan 
Gajah Gemuk sendiri pergunakan tangannya un-
tuk menangkis seruling lawan. 
"Haiiit!"
Traang! Traaang!
Terlihat ada percikan bunga api ketika pe-
dang ditangan Dewi Bulan membentur seruling 
emas ditangan Rawa. Gadis itu sempat terhuyung 
mundur, dan tubuhnya bergetar. Jemari tangan-
nya terasa panas bukan main. Jelas dalam hal 
tenaga dalam. Dewi Bulan berada beberapa ting-
kat di bawah Rawa. 
Gajah Gemuk sendiri yang tangannya 
membentur seruling milik Rawi cuma tergetar. 
Kalau saja ia tidak melindungi tangannya dengan 
ajian Wesi Baja. Tentu tangannya yang dipergu-
nakan untuk menangkis sudah remuk sejak tadi.
Sambil tertawa he he he he, kini Gajah 
Gemuk balas menyerang. Sungguhpun badannya 
gemuk luar biasa, tapi serangan-serangan yang 
dilancarkannya sebat bukan main.
Hanya ia kelihatan lebih berhati-hati, kare-
na ia sendiri juga harus melindungi keselamatan 
muridnya.
Walaupun Sepasang Iblis Seruling Emas 
merupakan tokoh-tokoh yang mempunyai kepan-
daian tinggi. Tapi Gajah Gemuk adalah tokoh an-
gin-anginan yang punya kepandaian sulit dijajaki. 
Sehingga tidak mudah bagi Sepasang Iblis 
Seruling Emas ini untuk menjatuhkannya begitu
saja.
Tidak ayal lagi semakin lama pertarungan 
itu berlangsung semakin seru.
Sementara itu di dekat bangunan batu juga 
terjadi keributan. Rupanya Suro Blondo dan Ga-
jah kurus telah sampai di Lembah Ciruyung juga. 
Jika Gajah Kurus langsung bergabung dengan 
Gajah Gemuk setelah melihat Dewi Bulan agak 
terdesak. Sebaliknya Pendekar Blo'on langsung 
berhadapan dengan Nyanyuk Pingitan, Buto Te-
renggi dan juga Diraja Penghulu Iblis.
"Akhirnya kau berani datang juga kemari, 
bocah! Manusia tidak tahu membalas guna seper-
timu memang layak mampus. Tapi sebelumnya 
kau harus memberitahukan padaku. Dimana 
Maya Swari kau sembunyikan?!" Raka Tendra 
menggeram. Sedangkan dua orang kawannya te-
lah bersiap-siap untuk mengemplang.
"Aku mana tahu menahu tentang putrimu." 
Suro Blondo garuk kepalanya. Lalu tersenyum.
"Bukankah kau telah menjadi suaminya?" 
Raka Tendra melotot.
"Aku suami bohong-bohongan, jadi pen-
gantin juga bohong-bohongan. Eeh... iblis bau 
apek! Kulihat setelah kau bergabung dengan ka-
wan-kawanmu menjadi berani unjuk gigi dan 
sombong. Apa kau kira kawan-kawanmu itu be-
cus menghadapi Manusia Merah?" Si pemuda 
kemudian tergelak-gelak. "Lebih baik kalian se-
rahkan saja Prisma Permata yang telah kalian cu-
ri untuk kukembalikan pada yang empunya. Kujamin aku cuma minta tangan dan kaki kalian sa-
ja."
"Bocah goblok tidak tahu gelagat! Mulutmu 
besar dan kelewat sombong. Apa kau kira kami 
akan mengampunimu?"
"Jhe... siapa yang minta ampun?" Si pemu-
da pegang mulutnya. "Dasar edan mulutku kecil 
kalian bilang besar. Sudahlah, bosan aku bicara 
dengan kalian! Serahkan saja Prisma Permata itu 
padaku!"
Sebagai jawabannya Raka Tendra langsung 
mengemplang kepala si pemuda. Suro begitu me-
rasakan sambaran angin langsung merundukkan 
badannya, sehingga kemplangan lawannya lewat 
diatas kepalanya. Geram bukan main Raka Ten-
dra melihat tinjunya luput dari sasaran. Kali ini 
ditendangnya selangkangan Suro. Suro melompat 
lagi, Ee... lagi-lagi serangan luput pula. Melihat si 
pemuda berhasil menghindari serangan. Dua 
lainnya menjadi kesal. Tanpa sadar mereka seca-
ra bersama-sama ikut menyerang.
Mendapat serangan dari segala penjuru 
arah dan dilakukan oleh tokoh-tokoh yang berke-
pandaian tinggi pula. Maka semakin konyollah ge-
rakan menghindar yang dilakukan oleh Suro. 
"Manusia kampret!" Buto Terenggi yang 
sudah merasakan kehebatan lawannya memaki 
sambil mengejar. Bersamaan waktunya dengan 
itu Raka Tendra menyerang pula dari samping kiri.
Suro terperangah, ia berpikir diantara se

rangan kedua lawan. Tidak satupun yang dapat 
dianggap ringan. Untuk itu ketika ia merasakan 
angin menderu menghantam dada, pinggang, 
tenggorokan dan juga kepala. Segera ia perguna-
kan jurus 'KACAU BALAU', yaitu salah satu jurus 
ambang pamungkas yang diwariskan oleh kakek 
merangkap gurunya Dewana alias Malaikat Be-
rambut Api.
Dengan gerakan yang sangat sulit diper-
caya ia jatuhkan tubuhnya. Pukulan itu luput. 
Tapi dari samping tidak terduga menderu tendan-
gan Nyanyuk Pingitan. Tidak sempat lagi Suro 
menghindar. Perutnya kena dihantam kaki la-
wannya. Begitu kerasnya tendangan itu hingga 
membuat tubuhnya yang bergulung-gulung itu te-
rangkat kemudian terbanting lagi.
Suro merasa perutnya pecah. Panas bukan 
main perut yang kena tendangan. Ia menggeliat 
sambil terus berguling-guling. "Aduh biung! Moga-
moga tempat nasiku tidak berantakan di dalam. 
Nenek jelek itu benar-benar minta nyawaku. Tapi 
daripada aku memberinya nyawa, lebih baik ia 
kuberi tendangan juga." geram Suro dalam hati.
Dengan punggung bertumpu diatas tanah, 
Suro memutar tubuhnya. Kaki telentang dan me-
nyambar siapa saja yang mencoba mendekatinya.
Dukk!
Bletak! Bletak!
"Anjing!" maki Nyanyuk Pingitan ketika tu-
lang keringnya tersambar tumit lawannya, hingga 
membuatnya terpincang-pincang.
"Monyet! Ha ha ha... dasar monyet hitam 
jelek!" Suro meledek. Semakin lama tentu ketiga 
lawannya ini semakin hilang kesabarannya. 
"Mundur sobat-sobatku...!" teriak Nyanyuk 
Pingitan. Suaranya semakin sember dan bibirnya 
bertambah dower pertanda kemarahannya sudah 
mencapai ubun-ubun. "Biar aku mewakili Diraja 
Penghulu Iblis mencabut nyawa bocah gendeng 
ini." 
Dua lawan mundur, kini hanya Nyanyuk 
Pingitan saja yang berhadapan dengan Suro 
Blondo.
"Aku tidak akan pernah puas sebelum 
memakan darah dan dagingmu." 
"Dari pada makan darah daging. Bagaima-
na kalau kau minum kencingku saja?" Lagi-lagi 
ucapan Suro hanya membuat hati si nenek men-
jadi semakin panas.
"Bangsat. Kau memang pemuda tolol seka-
ligus miring! Kudengar kau punya julukan yang 
konyol. Dulu sayang sekali aku tidak sempat me-
nyaksikan malam kelahiranmu yang mengheboh-
kan itu. Otakmu miring, jalanmu sinting. Coba 
sebutkan siapa gurumu?" kata Nyanyuk Pingitan.
Diam-diam rupanya ia juga ingin memasti-
kan siapa guru pemuda berambut kemerahan ini.
"Ha ha ha! Kau mau bertarung atau ber-
kotbah didepanku, eeeh...? Kupikir iblis seperti-
mu bisa kotbah."
"Anjing buduk!" Nyanyuk Pingitan tiba-tiba 
mendorong kedua tangannya ke depan. Seleret

sinar hitam menderu dan menghantam Suro.
Sesaat sebelum sinar itu menghantam tu-
buhnya. Ia telah melesat ke udara. Dalam kea-
daan berjumpalitan seperti itu, tidak mau kalah 
ia juga lepaskan pukulan 'RATAPAN 
PEMBANGKIT SUKMA'. Deru angin bagaikan di 
lautan badai. Bukan main dinginnya udara dis-
ekitar tempat itu. Sinar putih bergulung-gulung 
bagai awan putih yang siap memporak-
porandakan segalanya.
Nyanyuk Pingitan kejut bukan alang-alang 
melihat sinar hitam yang melesat dari telapak 
tangannya terbuntal sinar putih laksana salju.
Pukulan Nyanyuk Pingitan yang membalik 
ditambah lagi dengan pukulan yang dilepaskan 
oleh Suro tindih menindih. Nyanyuk Pingitan be-
rusaha mempertahankan diri dengan melipat 
gandakan tenaga dalam sambil melepaskan puku-
lan beruntun. Tapi apa yang dilakukannya ini ti-
dak menolongnya. Secara pelan namun pasti tu-
buhnya mulai terseret menjauhi kalangan per-
tempuran. Pakaiannya mulai koyak-koyak di be-
berapa bagian terkena hembusan angin yang se-
makin menggila,
Maka goyah juga akhirnya pertahanan 
Nyanyuk Pingitan
Blaar! Deer...!
Nyanyuk Pingitan jatuh menimpa dua ka-
wannya. Sungguh aneh jika ia tidak mengalami 
akibat apa-apa. Sebagaimana kita ketahui, mereka berada di wilayahnya sendiri. Lembah Ciruyung mempunyai banyak keanehan. Salah satu 
diantaranya adalah membuat para penghuni dan 
sahabat penghuni bertambah baik dalam hal te-
naga dalam maupun ilmunya.
Kini mereka bertiga bahu membahu. Tan-
gan mereka saling menyatu. Begitu jemari tangan 
mereka menunjuk ke arah Suro Blondo. Lima be-
las sinar hitam melesat ke arah si pemuda. Mera-
sakan sambaran angin sinar hitam itu saja Suro 
merasa tubuhnya seperti terbakar. Ia tidak dapat 
membayangkan bagaimana jika kelima belas sinar 
itu menghantam tubuhnya.
Ia menjadi kecut, tapi segera pergunakan 
jurus 'SERIBU KERA SAKTI MENGECOH 
HARIMAU'. Di samping itu ia juga pergunakan se-
tengah dari tenaga dalamnya untuk memper-
siapkan pukulan 'MATAHARI REMBULAN TIDAK 
BERSINAR'.
Karuan saja suasana semakin bertambah 
seru dan tegang. Tapi Suro tetap berhati-hati ka-
rena melihat jumlah lawannya cukup banyak ju-
ga. Ia tidak ingin konyol sebelum berhasil mere-
but Prisma Permata yang di sembunyikan oleh sa-
lah satu tokoh iblis ini.

TUJUH


Kita tinggalkan dulu Pendekar Blo'on yang 
sedang menghadapi lawan-lawan yang cukup berat. Sementara itu Gajah Gemuk dan Gajah 
Krempeng yang kini tengah menghadapi Sepasang 
Iblis Seruling Emas tampak mulai berada di atas 
angin.
Saudara sedarah yang selalu bertarung 
dengan mempergunakan tangan kosong ini sejak 
mengerahkan jurus 'PARA GAJAH 
BERSILATURAHMI' berhasil menekan serangan 
lawan-lawannya.
Sungguhpun memang patut diakui Gajah 
Gemuk dan Gajah Krempeng juga tidak terlepas 
dari luka dalam yang diderita. Namun keadaan 
lawan jauh lebih parah lagi.
"Kakang! Kita sebenarnya terlalu banyak 
mengulur waktu dan menguras tenaga...!" Gajah 
Krempeng mulai mengisiki saudaranya. Sebaik-
nya kita habisi saja. Lihatlah bocah itu kelihatan-
nya jadi bulan-bulanan. Kita harus menolong-
nya."
"Apa yang kau katakan memang benar. Ta-
pi orang ini seperti punya nyawa rangkap saja. 
Aku sudah membantingnya, tapi tidak mampus! 
Lihatlah murid kita nampaknya gelisah sekali me-
lihat pemuda itu jadi keroyokan."
"Tapi mengapa dia tidak turun tangan 
membantu kawannya?"
"Aku telah menotoknya tolol! Kalau tidak 
sejak tadi dia pasti telah bergabung dengan pe-
muda itu."
"Sebaiknya lepaskan saja. Biar dia bantu 
Suro Blondo."

"Edan... Dewi Bulan belum sembuh benar 
dari luka dalam yang dideritanya. Biarkan dia is-
tirahat, kalau perlu kita-kita yang sudah pada tua 
bangka ini selesaikan urusan disini, lalu bantu 
disana."
"Huuuup!"
Seruling ditangan Rawa menderu pada saat 
Gajah Gemuk saling mengirimkan isyarat pada 
sesamanya.
Apa yang dilakukan oleh Rawa bukan sem-
barangan serangan. Karena ia telah mengerahkan 
jurus 'HARIMAU MERANGKUH LEMBAH'.
Gajah Gemuk terpaksa tarik pulang puku-
lan lalu menyampok senjata Rawa. Tapi hanya 
membelokkannya sedikit saja tangkisan Gajah 
Gemuk luput. Serangan ganas ini tampaknya 
akan membuat remuk wajah lawan jika Gajah 
Gemuk tidak cepat merundukkan wajahnya ke 
samping lalu sambar tangan kanan lawan yang 
memegang senjata.
"Dewa Bergabung Gajah menjerit!" teriak-
nya sambil mematahkan tangan lawannya. 
Kraak!
Tangan Rawa patah mengeluarkan suara 
berderak, namun Rawa sama sekali tidak menje-
rit. Seruling jatuh, langsung dipungut Gajah Ge-
muk. Dengan sekuat tenaga langsung dipukulkan 
ke kepala Rawa.
Praak!
Darah dan otak Rawa berhamburan. Ba-
dannya langsung menggelosor ke tanah. Melihat

kematian saudara seperguruannya. Ruwi menjerit 
bagai orang kesurupan. Tiba-tiba ia mengangkat 
tangannya tinggi-tinggi, sementara seruling ditan-
gannya dia lemparkan ke udara.
Mulut Ruwi berkomat-kamit. Dari telapak 
tangannya menebar kabut tipis dan menimbulkan 
bau kayu cendana.
Dari atasnya seruling yang dilemparkannya 
keluar suara aneh. Ketika Gajah Gemuk dan Ga-
jah Krempeng mendongak ke langit. Maka terlihat 
oleh puluhan bahkan ratusan seruling yang sa-
ma. Seruling dengan ujung runcing itu kemudian 
meluruk ke tanah bagaikan anak panah yang di-
lepaskan dari langit. 
Tentu saja suasana menjadi gempar. Gajah 
Gemuk dan adiknya langsung putar tangan diatas 
kepala dengan kecepatan bagaikan titiran. Maka 
terdengar suara tung ting tang disertai berpenta-
lannya puluhan seruling yang kena disampok ke 
berbagai arah.
Sepuluh seruling kena dihalau, yang da-
tang dua puluh menyerang. Dua puluh berhasil 
dienyahkan yang datang empat puluh. Begitulah 
yang terjadi seterusnya.
Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng berjin-
grak-jingrak bagai orang yang diserang lebah.
"Wuaaaah.... Tipuan mata gombal!" teriak-
nya.
Teriakan yang sangat keras itu tentu saja 
membuat kosentrasi lawannya buyar. Praktis se-
ruling yang sedang menari-nari di atas udara pun
berubah menjadi tunggal dan jatuh ke bawah. 
Sebelum seruling itu menyentuh tanah, Rawi be-
rusaha menggapainya. Kesempatan lengah Ruwi 
dipergunakan oleh Gajah Krempeng dan Gajah 
Gemuk untuk melepaskan pukulan.
Braak!
Raaaak!
"Aaaaa...!"
Dihantam dari depan dan belakang oleh 
Gajah bersaudara. Dada Rawi remuk. Ia hanya 
mampu menjerit pendek, tulang-tulang rusuknya 
melesak dan menyatu. Ketika Gajah Gemuk dan 
adiknya sama-sama tarik tangannya. Maka Rawi 
yang sudah tidak bernyawa itu ambruk tergontai-
gontai.
Keduanya saling berpandangan setelah itu 
mereka berpaling ke arah Suro Blondo dan lawan-
lawannya yang tampak mulai letih. "Sebaiknya ki-
ta bantu dia?" "Mari. Eeeh... tapi tunggu dulu. 
Lembah ini seperti diguncang gempa!" Gajah Ge-
muk memasang telinganya baik-baik. Kemudian 
ia memandang ke satu arah dimana suara itu be-
rasal.
"Lihat bukan gempa! Tapi manusia merah!"
Benar saja yang datang ternyata manusia 
merah. Ia tidak datang sendiri, melainkan bersa-
ma seorang perempuan berpakaian kembang-
kembang.
Sekali lihat kedua Gajah bersaudara sudah 
dapat mengenali perempuan itu. Namun mereka 
jadi heran. Bagaimana mungkin Ratu Penyair Tujuh Bayangan dapat menjinakkan Manusia Me-
rah.
Semakin mendekati tengah lembah suara 
mereka semakin menggemuruh. Batu-batu dis-
ampingnya di tendang oleh manusia dengan tinggi 
lima meter ini sehingga hujan batu di tengah-
tengah lembah sudah tidak dapat dihindari. Prak-
tis mereka yang sedang bertarung keluar dari ka-
langan pertempuran. Manusia Merah berdiri te-
gak di tengah-tengah mereka.
Cuping hidungnya mengendus-endus. Lalu 
matanya tiba-tiba melotot mendelik pada Nya-
nyuk Pingitan.
"Kau...!" Telunjuk Manusia Merah langsung 
menuding pada Nyanyuk Pingitan. Sinar merah 
laksana darah menyembur dari telapak tangan 
Soma Sastra. Sinar itu menderu kencang. Nya-
nyuk Pingitan tahu gelagat dan langsung meng-
hindari serangan yang tidak disangka-sangka ini. 
Serangan luput, pohon dibelakangnya jadi korban 
langsung terbakar bagaikan pohon kering.
"Kau yang telah mencuri Prisma Permata 
dari Goa Darah. Goa Darah hancur. Aku terbebas 
dari dalamnya, tapi bukan malah merdeka, seba-
liknya sangat tersiksa! Terimalah kematianmu...!" 
Manusia Merah kembali tudingkan telunjuknya. 
Dua leret sinar laksana bara melesat dari ujung 
kuku Manusia Merah. Lagi-lagi Nyanyuk Pingitan 
berusaha menghindarinya sambil lontarkan caci 
maki. Tapi rupanya Manusia Merah ini tidak beri 
kesempatan lagi. Sepuluh jari direntangkannya.
Maka dari sepuluh jari itu secara berturut-turut 
menderu sinar yang sama. Diserang sedemikian 
rupa, Nyanyuk Pingitan jadi pontang-panting ju-
ga. Sungguh pun patut diakui ia punya tenaga 
dalam tinggi dan juga ilmu mengentengi tubuh 
yang sudah sangat sempurna.
Tapi ternyata Manusia Merah bukan saja 
hanya menyerang Nyanyuk Pingitan. Raka Tenda-
ra, Buto Terenggi dan kawan-kawan. Suro Blondo 
tidak luput dari serangannya. Melihat ini Pende-
kar Blo'on jadi kebat kebit juga. Karena Serangan 
Manusia Merah itu disamping sangat ganas juga 
mematikan dan menimbulkan kobaran api dima-
na-mana.
Suasana di Lembah Ciruyung saat itu be-
nar-benar telah berubah menjadi Neraka.
"Manusia Merah sobatku! Jangan kau bu-
nuh kawan-kawanku. Bunuh saja manusia jelek 
itu!" teriak Suro Blondo.
"Heeh... bukankah kawanku hanya dua. 
Kau dan juga perempuan baju kembangan ini...!" 
Manusia Merah menyahuti.
"Tidak manusia gendut perut macam kuali 
tengkurap itu juga kawan kita. Juga yang kurus 
kurang makan itu kawan. Mengamuk ya menga-
muk, tapi jangan bunuh kawan sendiri!"
"Baik. Dan kalian cukup menonton di ping-
gir saja. Ketiga orang ini bagianku...!"
Apa yang dikatakan oleh Manusia Merah 
bukan hanya sekedar omongan belaka. Karena di-
lain saat ia telah menyerang Nyanyuk Pingitan,

Buto Terenggi dan juga Diraja Penghulu Iblis se-
kaligus
Ketiga tokoh iblis ini tentu saja gembira se-
kali. Melihat lawan-lawannya yang lain tidak ikut 
mengeroyok mereka. Itu sebabnya mereka ini 
langsung mengerubuti Manusia Merah dengan 
berbagai tipu muslihat yang ada. Tidak segan-
segannya mereka mengeluarkan senjata andalan 
dan juga melepaskan pukulan-pukulan yang san-
gat mematikan.
Tapi putra titisan Jin ini selain kebal senja-
ta juga tidak mempan pukulan sakti. Sehingga 
apa yang mereka lakukan hanya sia-sia saja.
Karena yang menjadi incaran pertama ada-
lah Nyanyuk Pingitan. Maka Manusia Merah lang-
sung mencecarnya tanpa menghiraukan serangan 
dua orang lawan lainnya yang juga berbahaya tapi 
tidak berakibat pada Soma Sastra.
"Hiya..."
Nyanyuk Pingitan yang sudah semakin ter-
desak walaupun dibantu oleh kawan-kawannya 
ini tiba-tiba cabut tusuk kondai perak dari batok 
kepalanya. Laksana kilat sambil melesat ke udara 
ia sambitkan tusuk konde itu ke arah mata Ma-
nusia Merah.
Tapi Soma Sastra ini sambil menggeram 
murka segera tepis sambitan lawan dengan tela-
pak tangannya.
Traang!
Suara berkrontangan terdengar. Sambitan 
itu luput, sementara tangan Manusia Merah yang

terulur terus menyambar ke arah pinggangnya.
Nyanyuk Pingitan berusaha berkelit dari 
jangkauan tangan lawannya. Tapi sudah tidak 
ada lagi kesempatan baginya, karena begitu tan-
gan kiri luput. Maka tangan kanannya kembali 
menyambar. Dan....
Kreepkkk...!
Kini Nyanyuk Pingitan berada dalam geng-
gaman Manusia Merah. Dua kawannya yang be-
rusaha menolong dengan menusukkan senjata 
masing-masing ke paha lawannya tidak membawa 
akibat apa-apa.
Tusukan tidak mempan, maka mereka 
memukul. Tapi pukulan yang mereka arahkan ke 
kaki lawan ini malah berbalik dan menyerang diri 
mereka sendiri.
Cengkeraman pada pinggang Nyanyuk Pin-
gitan memang begitu kerasnya. Malah semakin 
lama Nyanyuk Pingitan merasakan tekanan yang 
membuat isi perutnya mau pecah dan dada sea-
kan meledak.
"Cepat kau katakan dimana Prisma Perma-
ta itu kau sembunyikan!" bentak Manusia Merah 
hingga membuat Nyanyuk Pingitan yang telah 
melindungi telinganya dengan tenaga dalam saja 
menggelepar.
"Ak... aku tidak menyimpannya! Benda itu 
sekarang berada ditangan Raja Penyihir!" jawab 
Nyanyuk Pingitan sambil megap-megap.
Dalam hidupnya barulah kali ini ia merasa 
ngeri menghadapi lawan.

"Cepat panggil keluar mereka!"
"Bukan mereka tapi cuma ahli sihir itu saja 
yang berada didalam bangunan batu...!"
"Ak-ku—tidak bisa..,!"
Tekanan pada perut Nyanyuk Pingitan se-
makin mengeras. Sehingga dari mulut dan hidung 
perempuan berwajah angker itu menyembur da-
rah bercampur kotoran.
Sementara itu dari balik pintu bangunan 
batu melompat keluar seorang laki-laki berbadan 
bungkuk berwajah rusak sebelah menebar bau 
busuk dan bermata merah bagaikan bara. Laki-
laki itu berbadan bungkuk dan memegang tong-
kat berwarna hitam dengan hulu berukir kepala 
ular cobra.
Begitu melihat kemunculan laki-laki ini, 
maka Suro Blondo, Gajah Gemuk dan Gajah Ku-
rus menghambur ke sana.
Ratu Penyair Tujuh Bayangan yang baru 
mau menyusul langkahnya segera dihadang oleh 
Diraja Penghulu Iblis. Rupanya setelah mereka 
kehabisan akal untuk menjatuhkan Manusia Me-
rah, Diraja Penghulu Iblis menjadi marah bukan 
kepalang.
"Aku tidak akan ikut main keroyokan se-
perti kalian! Raka Tendra rupanya kau lebih suka 
mengurusi persoalan Prisma Permata itu dari pa-
da mengurusi Putrimu yang hampir saja diperko-
sa oleh Datuk Alang Sitepu?"
"Ratu Penyair! Mengapa kau berpihak pada 
musuh? Lagipula apakah mungkin Datuk Alang
berani melakukan itu?"
"Turut kata-kataku. Lebih baik kau kemba-
li ke gunung Pangrangko untuk hindari kematian 
bersamaku."
Raka Tendra yang dalam keadaan terkejut 
ini tidak dapat mengambil keputusan secepatnya. 
Ratu penyair Tujuh Bayangan jadi tidak sabar. 
Disambarnya tangan sahabatnya ini. Kemudian 
tanpa menoleh-noleh lagi mereka pergi dengan 
kecepatan laksana terbang...
Sementara itu Datuk Alang Sitepu malah 
tersenyum-senyum begitu melihat Pendekar 
Blo'on serta dua gajah bersaudara. Tidak lupa ia-
pun memandang tajam pada Manusia Merah yang 
sedang mengadili Nyanyuk Pingitan.
"Kalian sudah pada datang kemari semua-
nya. Berarti kalian telah datang ke neraka tanpa 
diundang. Kau manusianya yang bernama Suro 
Blondo. Dan kalian berdua tentu dua Gajah yang 
tidak berguna!" Datuk Alang Sitepu menggeram 
dahsyat. "Kalian segera mampus dan jadi bangkai 
percuma!"
Laki-laki bertampang menjijikkan dan ber-
badan bungkuk ini angkat tongkatnya tinggi-
tinggi.
Tongkat itu kemudian menebar bau bu-
suknya bangkai. Dari hulu tongkat keluar kabut 
tipis berwarna kelabu. Kabut itu membentuk 
bayangan dan kemudian berubah menjadi manu-
sia yang sama persis dengan Gajah Gemuk dan 
Gajah Kurus.

"Mundur anak muda!" teriak Gajah Gemuk 
dan Gajah Kurus. Ia sendiri kemudian melompat 
ke depan. Setelah itu mengebutkan jubah yang 
menggelantung di pundak mereka ke arah kem-
baran tiruan.
Terdengar suara letusan yang sangat keras. 
Gajah yang tercipta atas kekuatan sihir itu le-
nyap. Tubuh Datuk Alang Pitoka sempat tergetar. 
Gajah Gemuk dan Gajah Kurus asli tertawa men-
gekeh.
"Masih banyakkah permainan sulapmu? 
Jangan sungkan-sungkan, keluarkan saja semu-
anya!"
Datuk Alang Sitepu hanya tersenyum men-
gejek. Ia goyang-goyangkan kepala tongkatnya. 
Kali ini kabut merah yang menebar. Kabut itu 
semakin lama membubung setinggi lima meter. 
Maka terciptalah manusia merah tiruan. Manusia 
Merah ini langsung menyerang Gajah Gemuk dan 
Gajah Kurus.
Pendekar Blo'on tentu saja tidak dapat 
tinggal diam. Tiba-tiba ia menerjang ke arah Da-
tuk Alang Sitepu.
Sementara itu Manusia Merah yang se-
sungguhnya benar-benar sedang mengadili Nya-
nyuk Pingitan yang membuat Jawa bagian Barat 
telah tenggelam oleh lumpur lava. Mula-mula ia 
mencopoti tangan Nyanyuk Pingitan. Perempuan 
renta berkulit hitam legam ini menjerit-jerit kesa-
kitan. Kemudian ketika kedua kakinya ditarik lepas dari badannya. Maka darah menyembur ke

luar dari luka-luka yang sangat mengerikan ini. 
Sampai disini Nyanyuk Pingitan sudah tidak 
mampu menjerit lagi. Suaranya habis bersama hi-
langnya seluruh tenaga yang mengalir ditubuh-
nya.
Setelah itu sambil menggeram. Manusia 
Merah menginjak tubuh yang sudah tidak ber-
daya ini hingga hancur dan melesak ke dalam ta-
nah.
"Ha ha ha...! Mati... malingnya sudah ma-
ti...!" teriak Manusia Merah sambil tertawa-tawa. 
Suara tawa laki-laki ini benar-benar membuat 
Lembah Ciruyung seperti dilanda gempa.
Buto Terenggi meskipun tubuhnya sempat 
terguncang-guncang menjadi murka sekali meli-
hat kematian Nyanyuk Pingitan.

DELAPAN


Ia sambil menggembor bagaikan kerbau 
yang marah karena nggak mau disembelih langsung mencabut kailnya yang dapat berubah memanjang itu. Begitu kail ada ditangannya, ia lang-
sung menyerang Manusia Merah dengan segenap 
kemampuan yang dimilikinya. Tentu saja apa 
yang dilakukannya ini mendapat perlawanan yang 
sengit dari Manusia Merah. Laki-laki berbadan 
luar biasa tinggi ini tiba-tiba membuka mulutnya. 
Lidahnya yang kemerah-merahan ini terjulur. Api

tiba-tiba melesat bergulung-gulung dari mulut 
Manusia Merah yang terbuka lebar. Tidak pelak 
lagi Buto Terenggi terpaksa melepaskan pukulan 
saktinya.
Seleret sinar kuning keperakan mencelat 
dari telapak tangan Buto Terenggi. Sinar kuning 
itu menyambar bola api yang bergulung-gulung 
dari mulut Manusia Merah.
Zzssst...! 
"Hiiih...!"
Tampaknya usaha Buto Terenggi hanya 
sia-sia saja. Tidak lama kemudian pukulan itu 
membalik dan menghantam diri Buto Terenggi.
Hanya dalam waktu singkat, jika saja laki-
laki ini tidak cepat menghindar sudah terkena 
pukulannya sendiri, ditambah lagi dengan samba-
ran lidah api yang keluar dari mulut Manusia Me-
rah. Paling tidak tubuhnya bisa gosong.
Namun pada saat-saat yang sangat kritis 
itu dari arah samping menggerung pula suara 
lainnya. Manusia Merah terkejut bukan alang ke-
palang. Ketika ia memandang ke arah itu. Maka 
dilihatnya Datuk Alang Sitepu tengah menga-
cungkan Prisma Permata ditangannya tinggi-
tinggi. Dari Prisma itu pula mencuat keluar Ma-
nusia Merah yang sama persis dengan Manusia 
Merah yang asli. Mati-matian Suro Blondo beru-
saha menghalangi. Tapi apa yang dilakukannya 
tampaknya tidak mendatangkan hasil. Tubuhnya 
bahkan terpelanting tunggang langgang terkena 
pengaruh getaran kehadiran Manusia Merah baru

yang muncul dari salah satu sisi Prisma.
"Hraaaakhhh...!"
Terwujudlah kembaran manusia merah ini. 
Maka Manusia Merah dengan Manusia Merah 
bertarung.
Keadaan di lembah Ciruyung semakin ber-
tambah mengerikan sekali.
"Paman Gajah berdua. Mundurlah! Hadapi 
manusia Buto yang satu itu!" teriak Pendekar 
Blo'on.
Gajah Krempeng dan Gajah Gemuk segera 
melompat dari kalangan pertempuran.
Mereka langsung berhadapan dengan Buto 
Terenggi yang kini telah mempergunakan kailnya 
sebagai senjata.
Sementara itu Suro Blondo kini telah ber-
hadapan dengan Datuk Alang Sitepu. Laki-laki 
ahli sihir ini kembali menggerak-gerakkan tongkat 
ditangannya. Dari telapak tangan kiri tiba-tiba 
meluncur pukulan ekor ular Cobra yang langsung 
menyerang Suro Blondo.
"Heaaa...!"
Pemuda ini sambil berteriak nyaring segera 
lepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir' Inilah 
untuk yang pertama kalinya Pendekar Blo'on me-
lepaskan pukulan Maha Dahsyat yang diwariskan 
oleh kakek gurunya Malaikat berambut Api.
Seketika terdengar suara jeritan dimana-
mana. Angin kencang menderu-deru menerbang-
kan batu-batu sebesar kambing jantan. Sinar Hi-
tam dan merah melesat dari telapak tangan laki

laki ini. Dan suasana disekitar lembah berubah 
panas bagai di neraka.
Duuum! Duuum!
Terjadi ledakan dahsyat ketika pukulan 
yang melesat dari telapak tangan Suro Blondo 
membentur tongkat ditangan Datuk Alang Sitepu. 
Ular-ular cobra, jadi-jadian tersapu bersih. Tubuh 
Datuk Alang Sitepu tergontai-gontai.
Kedua Manusia Merah yang sedang berta-
rung terkejut bukan kepalang. Sedangkan Gajah 
Gemuk dan Gajah Krempeng terpaksa menyingkir 
jauh-jauh.
"Aduh tauubaat. Biyung... bocah gemblung 
itu ternyata hendak membuat mampus kita se-
mua!" desis Gajah Krempeng sambil leletkan li-
dah.
Sementara itu Datuk Alang Sitepu sudah 
bangkit berdiri. Wajahnya berubah pucat. Bibir-
nya yang menggelambir itu bergoyang-goyang dan 
seperti mau copot dari tempatnya.
"Kau ternyata pemuda yang tangguh. Tapi 
kau tidak mungkin dapat mengalahkan raja Sihir 
dari seberang...." dengusnya.
Tongkat di tangannya kemudian diangkat-
nya tinggi-tinggi. Menyusul Prisma Permata yang 
berwarna merah berkilauan. Begitu kedua benda 
ini diadu. Maka tercipta pula Suro Blondo-Suro 
Blondo yang lain.
Si Pemuda meskipun geram tapi tertawa 
ngakak. Ia menggabungkan pukulan 'Ratapan 
Pembangkit Sukma' dan 'Neraka Hari Terakhir'

menjadi satu. Sebaliknya untuk menghindari se-
rangan lawannya ia menggabungkan jurus 'Kera 
Putih Memilah Kutu' dan 'Jurus Seribu Kera Sakti 
Mengecoh Harimau'.
Pukulan beruntun dilepaskannya ke arah 
dirinya yang palsu, tidak lupa ia juga melepaskan 
pukulan ke arah Datuk Alang Sitepu.
Hari ini Pendekar Blo'on benar-benar harus 
menguras tenaga habis-habisan dan juga terpak-
sa mengerahkan segenap kemampuan dan kesak-
tian yang ia miliki.
Pukulan-pukulan beruntun yang dile-
paskannya membuat ciptaan Datuk Alang Sitepu 
musnah terbakar. Tapi satu menghilang yang ter-
cipta bisa dua, tiga dan berlipat ganda. Inilah 
yang membuat Pendekar Blo'on menjadi repot se-
kali. Dalam keadaan seperti itu ia tidak sempat 
lagi mengingat petuah-petuah yang pernah dibe-
rikan oleh gurunya. Kini ia telah bersiap-siap un-
tuk mencabut senjata pusakanya Mandau Jantan 
yang terselip dibalik bajunya.
Tapi pada saat-saat yang menegangkan itu-
lah, seakan datangnya dari langit terlihat cahaya 
berwarna putih. Cahaya putih itu berpendar-
pendar dan langsung menyambar ke arah tangan 
kiri Datuk Alang Sitepu yang sedang bertarung 
melawan Suro Blondo.
Hanya dalam waktu sekedipan mata saja. 
Prisma Permata telah berpindah tangan.
"Benda celaka ini hanya membuat geger 
dunia dan isinya!" terdengar suara tanpa rupa.

Semua orang langsung menghentikan pertempu-
ran. Terkecuali Buto Terenggi yang kini telah di 
totok oleh Gajah Gemuk dan menjadi tawanan-
nya. Manusia Merah sendiri menjadi terheran-
heran melihat lawannya yang menyerupai dirinya 
jadi menyusut. Bahkan kemudian hilang begitu 
saja.
Sementara diantara Datuk Alang Sitepu 
dan Suro Blondo kini telah berdiri- seorang laki-
laki berbaju putih, berambut putih dan pokoknya 
semuanya serba putih. Ditangan kakek itu meng-
genggam sebuah Prisma Permata milik Manusia 
Merah.
Anehnya Manusia Merah sendiri langsung 
bersujud di depan si kakek yang tidak lain adalah 
Penghulu Siluman Kera Putih alias Barata Surya 
dan merupakan guru pendekar Blo'on.
"Aha... guru, telah datang rupanya. Hore 
guru telah datang...!" Suro Blondo tanpa sadar 
bertepuk tangan sambil berjingkrak-jingkrak se-
hingga mengundang tawa yang lainnya. 
"Cah geblek! Jangan kau berjingkrak-
jingkrak seperti anak kecil." kata kakek yang se-
kujur badannya memancarkan cahaya putih ini 
penuh teguran. Suro Blondo langsung terdiam 
sambil garuk-garuk kepalanya.
Sementara itu Datuk Alang Sitepu yang te-
lah menderita luka dalam parah akibat pukulan si 
pemuda yang terakhir tadi langsung tahu gelagat.
Ia sadar meskipun ia merupakan raja penyihir 
namun ia tidak mungkin mengkadali tokoh tua

yang satu ini. Itu sebabnya begitu orang-orang 
lengah. Ia langsung ambil langkah seribu.
Tapi apa yang dilakukannya ini terlihat 
oleh Gajah Gemuk dan Gajah Krempeng sehingga 
ia mereka langsung melakukan pengejaran.
"Tinggalkan kepalamu yang bau busuk! 
Jangan lari! He he he he... malah lari...!" Maki Ga-
jah Gemuk sambil menggendong muridnya Dewi 
Bulan ia tertawa-tawa.
"Guru... mengapa guru malah menyusul 
kemari?" tanya Suro Blondo. Matanya meman-
dang tajam pada Prisma Permata yang berada di 
tangan gurunya.
"Ketololanmu selalu membuatku kuatir. 
Kalau kau mati digebuk orang mana aku perduli. 
Tapi jika hanya setengah mati saja apa aku tidak 
repot!" dengus Barata Surya yang sama konyolnya 
dengan sang murid ini tanpa senyum.
"Ah... guru. Kawanku Manusia Merah apa-
kah harus dibiarkan mendekam seperti itu. To-
long kembalikan Prisma Permata itu padanya 
guru...! Kasihan dia."
"Suro Blondo. Aku lebih tahu apa yang ti-
dak kau ketahui." Penghulu Siluman Kera Putih 
lalu berpaling pada manusia merah. "Kau bocah 
malang. Sebaiknya bangkit!"
Manusia Merah bangkit berdiri. Ia tidak be-
rani memandang pada Barata Surya secara lang-
sung.
"Prisma Permata ini memang milikmu. Un-
tuk itu akan kukembalikan padamu. Tapi sebelumnya ingat-ingatlah pada pesanku ini. Kau ha-
rus kembali ke gunung Gede bersama Prisma ini. 
Jika kau sayang dengan nyawa manusia. Tentu 
kau akan menolong mereka dari kehancuran. 
Hanya dengan kau kembali ke sana saja amukan 
lahar panas akan berhenti dengan sendirinya."
"Baik paman mulia."
"Aku bagaimana guru? Apakah juga harus 
kembali ke tempat tinggal guru?!" tanya Suro 
sambil cengar-cengir.
"Kau bocah geblek, mana kau boleh kem-
bali ke puncak Mahameru? Rimba persilatan ma-
sih membutuhkan uluran tanganmu, demikian 
juga manusia lain yang hidup dalam kekejaman 
jaman. Lagipula kau harus mencari musuh besar 
orang tuamu, maka teruskanlah pengembaraan-
mu!"
"Apakah guru hendak ikut aku?"
"Siapa sudi, jalan bersama denganmu bisa 
membuat aku semakin goblok!"
"Guru sendiri memang sudah geblek, su-
dah miring dan setengah edan dari sananya, kok. 
Ha ha ha...!"
"Anak Setan! Jangan kau berani kurang 
ajar padaku, ya?" bentak Barata Surya dengan 
mata melotot.
"Guru muka monyet. Nyiet-nyiet... ha ha 
ha...! Urusilah kera-kera silumanmu!" dengus si 
konyol.
Kalaulah Penghulu Siluman Kera Putih ti-
dak hapal betul bagaimana tabiat murid yang

sangat disayangnya itu. Tentu Si Bocah Ajaib su-
dah di kemplangnya sejak tadi-tadi.
Kini sikap Barata Surya berubah serius. Ia 
berpaling pada Manusia Merah yang terus men-
dekam seperti ayam betina mau nelor.
"Terima prisma Permata ini, jangan kau sa-
lah pergunakan lagi." pesan si kakek.
Manusia Merah menerima Kristal Permata 
tersebut, kemudian....
"Budi baik paman pasti selalu ku kenang!" 
kata Manusia Merah dengan penuh rasa hormat.
"Jangan lupa, kau pun harus mengenang-
ku, sobat!" kata Suro tidak mau ketinggalan.
"Ya, aku juga akan mengenangmu, sahabat 
tolol sepertimu di dunia ini mana ada duanya. 
Tapi terus terang aku suka, aku suka padamu!"
"Hus, kau pikir aku perempuan apa?"
"Sudahlah, jangan pula kalian saling bersi-
keras. Pergilah Titisan Jin!" perintah Barata 
Surya.
Maka tanpa bicara apa-apa lagi, Manusia 
Merah langsung meninggalkan Lembah Ciruyung 
yang porak poranda.
Suro Blondo memperhatikan kepergian sa-
habatnya itu sambil geleng-gelengkan kepala. Ke-
tika Suro menoleh ke arah gurunya, maka Peng-
hulu Siluman Kera Putih itu telah kembali beru-
bah menjadi cahaya putih, cahaya itu membentuk 
sosok Barata Surya, sayup-sayup Suro menden-
gar suara gurunya....
"Hati-hatilah kau membawa diri, muridku!

Kerjakanlah apa yang semestinya kau kerjakan, 
jangan tunda sampai besok apalagi sampai tua. 
Pesanku jangan cengeng, jangan tinggi hati, jan-
gan mata keranjang dan jangan pula ngompol. Ha 
ha ha...!"
"Si edan itu dari dulu sampai sekarang te-
tap saja edan. Ah, guruku aku pasti merindu-
kanmu!" desis Suro.
Pendekar Mandau Jantan alias Si Bocah 
Ajaib celingak-celinguk. Ia sekarang hanya tinggal 
seorang diri.
"Weleh, dunia ini sekarang kurasakan sepi 
sekali. Sekarang aku tinggal sendiri. Buto Tereng-
gi dibawa kabur untuk terima hukuman dari pa-
man Krempeng. Sunyi sungguh sunyi." desah Su-
ro, seraya kemudian melangkah meninggalkan 
Lembah Ciruyung. Sampai di bibir lembah yang 
mulai berselimut kabut terdengar sayup-sayup 
suara si pemuda konyol seperti orang sedang ber-
sair.
Lembah ini sunyi, tapi hatiku lebih sunyi 
lagi.
Aku sendiri kau tidak sendiri. Aku rindu 
apakah kau juga rindu?
Bulan... oh kau bulan, lirikanmu membuat 
hatiku berbunga-bunga.
Senyumanmu membuat jantungku nyut-
nyutan.
Adakah hatimu semanis empedu? 
Bulan oh bulan, dimanakah dikau?
Ha ha ha. Aku disini....
Suara si pemuda tiba-tiba terputus ketika 
mendengar suara bergemerisik tidak jauh di sampingnya. 


SEMBILAN


"Hi hi hi...! Pemuda goblok lagi kasmaran. 
Manusia paling tolol di kolong langit. Sair picisan 
begitu apa hebatnya?" kata sebuah suara dari ba-
lik semak belukar.
Suro nyengir, lalu garuk-garuk kepala. 
"Ee... kau siapa, manusia usilan perempuan jelek 
kayak hantu. Atau kuntilanak kawannya almar-
hum Nyanyuk Pingitan atau kau saudara kem-
barnya?" cibir Suro Blondo.
"Hi hi hi...! Jika kau melihat diriku, aku 
yakin kau akan tergila-gila karena diriku memang 
cantik!" sahut si gadis.
"Siapa mau percaya, orang yang selalu 
sembunyikan diri biasanya punya wajah buruk 
seperti beruk (monyet). Tentu saja beruk yang 
paling jelek di dunia. Ha ha ha...!"
"Hmm, bicaramu sungguh keterlaluan. 
Apakah setelah kawan-kawanmu pergi kau masih 
mau jual lagak di depan si Cantik?" dengus suara 
di balik semak-semak itu.
"Kalau kau memang cantik, mengapa tidak

perlihatkan diri?" tanya Suro.
Suasana berubah sunyi, Pendekar Bloon 
garuk-garuk kepala. Semak belukar di samping-
nya sedikit pun tidak bergoyang.
"Hei, mengapa kau diam?" tanya Suro. Di-
am-diam hatinya mulai gelisah. Kembali tidak 
terdengar jawaban apa-apa. Suro penasaran, lalu 
mendekati semak-semak belukar dimana suara 
tadi berasal. Daun-daun disibakkannya.
"Tidak ada, apa tadi rohnya Nyanyuk Pingi-
tan yang mulai gentayangan ya...?" pikir Si Bocah 
Ajaib. 
Kemudian ia menyingkap semak-semak di 
sampingnya. Tiba-tiba saja sebuah tangan meng-
hantamnya.
Buaak...!
"Ekh...!"
Suro jatuh terduduk, pukulan tadi cukup 
keras juga, apalagi pemuda ini dalam keadaan ti-
dak waspada. Pemuda itu merasa beribu kunang-
kunang menari di matanya, nafasnya sesak. Na-
mun dengan cepat ia bangkit berdiri.
Pendekar Mandau Jantan hendak lepaskan 
pukulan, namun di balik semak belukar terlihat 
sesosok tubuh melesat ke udara, dilain waktu te-
lah menjejakkan kakinya tanpa menimbulkan su-
ara sedikit pun
Suro cepat berbalik. Maka terlihatlah oleh-
nya seorang gadis berpakaian ketat. Sehingga ba-
gian-bagian yang menonjol bertonjolan dengan je-
las. Namun wajah gadis ini ternyata jelek bukan

main. Mukanya benjol-benjol seperti tumbuh pe-
nyakit bisul yang tidak terhitung.
"Gadis ini bersuara merdu, aku mengapa 
tidak yakin kalau dia gadis yang jelek. Padahal 
kenyataannya benar-benar jelek." guman Suro da-
lam hati.
"Pemuda geblek berambut seperti rambut 
jagung! Kau telah membuat bencana di lembah 
Ciruyung. Tahukah kau hal itu hanya akan me-
nyengsarakan dirimu sendiri?" dengus si gadis. 
Suro tertawa dengan mulut terpencong. 
"Betulkan begitu, kalau begitu aku menjadi sedih. 
Tapi aku lebih sedih lagi melihat wajahmu yang 
jelek. Ha ha ha!" 
"Kau boleh bicara apa saja. Yang perlu kau 
ketahui jika guruku datang kesini. Pasti jiwamu 
tidak akan tertolong!"
"Siapa gurumu? Apakah masih punya hu-
bungan dengan Nyanyuk Pingitan?" tanya si ko-
nyol.
"Guruku adalah kakang seperguruan den-
gan bibi guru Nyanyuk Pingitan! Nah sekarang 
sudah jelas bagimu! Bersiap-siaplah untuk mam-
pus! Heaa...!" Gadis yang sekujur tubuhnya dipe-
nuhi dengan benjolan-benjolan itu langsung me-
nyerang Suro Blondo. Pemuda berambut hitam 
kemerahan ini berkelit.
"Hei... kau sudah jelek main serang saja. 
Sebutkan dulu namamu, nanti baru boleh kau 
membunuhku!"
"Kau segera tahu siapa namaku setelah di

neraka nanti!" dengus si Cantik.
"Aih...!"
Suro terpaksa merundukkan tubuhnya ke-
tika tinju lawan menghantam mukanya. Si gadis 
mendengus geram. Dalam hati ia merasa kaget 
juga melihat keanehan gerak yang dimiliki oleh 
lawan.
Tiba-tiba saja ia melompat mundur, lalu 
bergerak ke samping, sedangkan tangannya me-
lakukan gerakan seperti menggaruk dada.
"Wah kalau gatal biarkan aku saja yang 
menggaruk kau punya dada, Cantik. Pasti aku ti-
dak akan menolak! Tapi aku yakin di atas kau 
punya bisul masih ada bisul-bisul yang lain 
dan...!"
"Anak setan!" maki si gadis. Kemudian ia 
melompat tangannya terpentang mencakar mulut 
Suro. Suro katupkan mulut dan selamatkan ke-
pala. Tangan kanan di angkat, sehingga terjadi 
benturan keras.
Duuk! 
"Ukh...!"
Suro sempat terhuyung, telapak tangannya 
memerah, mulut si pemuda termonyong-
monyong. Kemudian ia memutar tubuhnya, ten-
dangan lawan bersiut keras. Suro berjongkok, la-
lu melompat-lompat sambil garuk sana sini. Keti-
ka tendangan pertama lolos, maka si gadis meng-
hujaninya dengan pukulan dan tendangan.
Pendekar Blo'on tampak semakin sibuk. Si 
Cantik, namun jelek kelihatannya semakin membabi buta. Tiba-tiba saja ia melompat, ee... Suro 
terpeleset. Tidak ayal lagi tinju lawannya meng-
hantam tubuh si konyol...
Buk! Buk!
"Adow...!"
Pendekar Mandau Jantan terguling-guling. 
Ia jatuh tengkurap, lawan sekali lagi melompat 
bermaksud menginjak punggung Suro dengan sa-
tu hentakan yang sangat keras. Tapi Suro sudah 
menggelinding lagi, sehingga injakan si Cantik 
meleset. Kaki gadis itu sampai amblas sampai se-
dalam mata kaki. Ia cabut kakinya, begitu terbe-
bas tubuhnya melesat, tangan meluncur men-
cengkeram leher Suro. Belum kena Suro sudah 
melotot seperti orang yang tercekik. Bukan main 
geramnya si Cantik melihat tingkah si konyol. Ia 
kemudian mengerahkan jurus 'Pancaran Surya', 
sungguh aneh. Tubuh gadis itu kemudian berpu-
tar-putar. Di bibirnya terdengar pekikan-pekikan 
seperti suara nyanyian-nyanyian sumbang. Tu-
buhnya berkelebat, lalu tubuhnya meluncur lagi. 
Suro ketika itu segera mengerahkan jurus 
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Suro melompat-lompat, pantatnya ber-
goyang-goyang dengan gerakan yang tidak tera-
tur, ia menjerit-jerit seperti hewan buas yang me-
lolong. Lalu disaat serangan beruntun menghuja-
ni dirinya. Pemuda ini langsung memapakinya.
Des! Des!
"Heh...!"
Si cantik terhuyung-huyung, namun Suro

hanya tergetar saja. Gadis itu menggeram. Lalu 
tanpa terduga-duga lepaskan pukulan ke arah si 
konyol. 
"Edan. Dia benar-benar menghendaki nya-
waku. Bukan main-main?!" gerutu Suro.
Serangan yang menghampar hawa dingin 
itu melabrak Suro, tapi pemuda ini tidak tinggal 
diam. Dengan mulut termonyong-monyong seba-
gai tanda keseriusannya. Pendekar Mandau Jan-
tan hentakkan tangannya. "'Kera Sakti Menolak 
Petir'! Heaaa...!" Sinar putih menderu. Lalu terjadi 
benturan persis di depan Suro Blondo. 
Buuuum...! 
"Hekh!"
Suro menjerit sambil terhuyung-huyung. 
Tangannya mendekap wajahnya yang panas se-
perti tercebur ke dalam air mendidih. Si Cantik 
tergelak-gelak.
"Goblok, sebenarnya aku tidak goblok. Aku 
cerdik, namun selalu agak telat mikir!" gerutu Su-
ro mencaci diri sendiri.
"Sebentar lagi kau benar-benar mampus, 
Pendekar Geblek. Hutang nyawa bibi guruku ha-
rus dibayar lunas dengan tampang konyolmu!" 
geram Si Cantik.
"Hh, Cantik namun jelek. Silakan jika kau 
mampu melakukannya. Jika aku mati, arwahku 
gentayangan. Aku akan mencari manusia jelek 
sepertimu, aku akan menghantui hidupmu hingga 
kau minta ampun dan terkencing-kencing!" sahut 
Suro.

"Dasar Setan!"
"Kau juga biangnya setan."
"Haiiiit!"
Sambil membentak keras, Cantik menca-
but senjata dari balik pinggangnya. Senjatanya 
unik juga, sebuah keris berkeluk tujuh berwarna 
hitam.
"Kau punya senjata bentuknya berliku-
liku. Sungguh unik, tapi racun yang terkandung 
di dalamnya sangat keji. Kalian golongan sesat 
memang orang-orang yang selalu haus darah. Ke-
tahuan Nyanyuk Pingitan bersalah, kalian masih 
tetap membelanya!" kata Suro. 
Sebagai jawaban Cantik gerakkan senjata 
di tangannya. Sinar hitam menderu, lalu menu-
suk lambung Suro. Pemuda ini pergunakan jurus 
'Kacau-balau', dan yang namanya jurus ini- me-
mang benar-benar kacau sekali. Setiap serangan 
balik maupun gerakan menghindar yang dilaku-
kan Suro tidak pakai aturan sebagaimana 
umumnya jurus-jurus silat biasa. Kaki si pemuda 
bergerak lincah, tubuhnya meliuk ke kanan atau 
ke kiri seperti pohon yang di tiup angin.
Di lain waktu ia sudah berputar, lalu keti-
ka tusukan untuk yang kesekian kalinya mence-
car tubuhnya, maka Suro berkelebat dan berpu-
tar ke belakang. Seluruh tenaga dalam di alirkan 
ke tangan, hingga tangan itu bergetar. Lalu....
Braak!
"Akh...!"
Pukulan keras itu membuat tubuh Cantik

terpelanting. Keris di tangannya tercampak jauh. 
Ia langsung tidak sadarkan diri, sedangkan darah 
tampak mengalir deras di mulutnya.


SEPULUH


Suro Blondo yang semula memang tidak 
punya niat membunuh gadis yang mengaku sebagai si Cantik ini langsung datang menghampiri. 
Entah mengapa ada perasaan lain di hatinya. Ru-
panya itulah yang membuatnya terdorong untuk 
mengusap darah yang mengalir di sudut-sudut 
bibir yang dipenuhi dengan benjolan-benjolan itu. 
Eeh, benjolan tersingkap. Ternyata di balik benjolan tersebut tampak begitu halus.
"Orang ini ternyata memakai topeng!" desis 
Suro.
Ia kemudian menyingkapkan topeng yang 
sangat mirip dengan kulit itu. Begitu topeng tipis 
ini terkelupas seluruhnya. Maka terbelalaklah 
mata Suro lebar-lebar.
"Astaga! Wajahnya sangat cantik sekali. 
Mengapa dia lebih suka menyaru seperti orang 
buruk? Aku sungguh tidak menyangka dan hati-
ku mengapa deg-degkan begini? Padahal dia jelas-
jelas musuhku!" guman Pendekar Blo'on. Ia 
menggaruk-garuk rambutnya hingga tampak 
acak-acakkan.

Sebentar diperiksanya keadaan Si Cantik. 
Ternyata nafasnya masih ada, jantungnya berde-
nyut satu-satu. Gadis itu pun ditelungkupkan-
nya. Setelah menelungkup ia berusaha mengalir-
kan tenaga dalam agar jalan darah gadis itu men-
jadi lancar.
Sayang belum sempat Suro menyempurna-
kan peredaran darah di tubuh gadis itu terasa 
ada angin dingin bersiut. Ketika Suro menoleh ke 
belakang, maka tubuhnya tersungkur.
Rupanya orang yang baru datang itu me-
nendangnya. Bukan hanya sekali tendangan saja, 
melainkan berulang-ulang. Tubuh si konyol ter-
banting dan terangkat, lalu terbanting lagi.
Perut Bocah Ajaib ini seperti hancur dada 
terasa remuk. Dengan gerakan seperti monyet 
yang kalah perang ia menghindar setengah berla-
ri.
Kemudian ia menoleh, dilihatnya seorang 
kakek tua berambut putih bermata juling dan 
menggendong buntalan di punggungnya telah 
berdiri bertolak pinggang.
"Kau apakan muridku?" Dingin suara si 
kakek. Namun mata julingnya terus berputar-
putar tidak mau berhenti.
"Tidak diapa-apakan, dia sendiri yang me-
nyerangku. Karena muridmu hendak menusukku, 
maka aku terpaksa membela diri. Mana mungkin 
aku berdiam diri" 
"Hmm, agar kau tahu. Aku adalah Nya-
nyuk Buyutan, saudara tua Nyanyuk Pingitan
yang telah kau bunuh. Asalku dari Cijulang, nah 
apa jawabmu hingga kau berani membunuh Nya-
nyuk Pingitan?" geram Nyanyuk Buyutan. Suro 
tergelak-gelak, lalu pegang mulutnya hingga ter-
tutup rapat-rapat.
"Nyanyuk Buyutan, ketahuilah... adikmu 
itu telah bersekutu dengan tokoh-tokoh sesat me-
larikan Prisma Permata. Sedangkan Prisma itu 
sendiri milik Manusia Merah. Dia bersalah, tentu 
saja. Karena Prisma itu sangat penting artinya 
bagi keseimbangan tanah Jawa ini. Nah kalau da-
ratan sudah tenggelam, kita semua akan hidup di 
mana, Ki?"
"Aku sudah mendengar kabar itu. Tapi aku 
tetap tidak puas hati. Bagaimana pun darah ha-
rus dibayar darah!"
"Kalau begitu dendammu terlalu membabi 
buta. Sungguh setan telah menyesatkanmu!"
"Diam!" bentak Nyanyuk Buyutan. "Me-
nyesal sekali aku harus membunuhmu!"
"Apa artinya kau bunuh aku, tokh daging-
ku tidak enak, orang jelek mata juling! Ha ha 
ha...!"
"Tertawalah kau sepuasmu. Katakan apa 
julukanmu anak Setan bertampang tolol?!"
"Ak... eh, mau membunuh atau diskusi, 
Ki? Kalau kau tanya julukan gelar atau apa saja 
namanya. Kalau nggak salah 'Pendekar Blo'on' 
itulah julukanku. Nah apakah engkau juga ingin 
kukasih julukan, Ki?" tanya Suro dengan mulut 
terpencong.

Nyanyuk Pingitan terdiam, namun matanya 
mendelik.
"Kalau kau mau gelar dariku, bagaimana 
kalau julukanmu Orang Sinting Mata Juling?" ka-
ta Suro sambil cengar-cengir.
"Bangsat betul kau! Anak setan sepertimu 
pantasnya kukirim ke neraka. Kau hanya mem-
buat gatal tanganku!"
"Masih mending, Ki. Pantatku sendiri su-
dah gatal-gatal sejak tadi!" sahut Suro. 
Jawaban si konyol ini benar-benar mem-
buat jengkel Nyanyuk Buyutan. Tanpa menghi-
raukan muridnya yang masih belum juga sadar-
kan diri. Si kakek langsung lepaskan pukulan 
dahsyat ke arah Suro.
Segulung sinar biru kehitam-hitaman 
menggebu menghamparkan hawa panas yang 
sangat luar biasa sekali. 
"Wuaaak...!"
Dengan gerakan yang tidak terduga-duga, 
Suro Blondo melenting ke udara. Tangannya 
langsung ditetapkan ke depan memapas serangan 
lawan dengan pukulan 'Ratapan Pembangkit 
Sukma'.
Angin kencang dingin, menghamparkan 
hawa dingin laksana es menderu-deru dan terja-
dilah benturan keras bukan main-main.
Buuuum...! 
"Waaa...!"
"Heeew...!"
Terjengkang Suro Blondo tunggang lang
gang. Untung punggungnya duluan yang meng-
hempas ke tanah. Jika kepalanya duluan, nasib si 
geblek semakin bertambah konyol saja.
Nyanyuk Buyutan sendiri sebagai salah sa-
tu tokoh berpengalaman sempat kaget. Ia sempat 
merasakan tangannya kesemutan, laki-laki kurus 
ini terhuyung-huyung seperti orang mabuk.
Suro leletkan lidah, kepalanya digeleng-
gelengkan berulang-ulang. Mulutnya cemberut.
"Kau ternyata boleh juga Pendekar geblek. 
Melihat pukulanmu tadi rasanya kau ada hubun-
gan dengan Malaikat Berambut Api! Benarkah?" 
tanya si juling dan matanya terus berputar-putar 
seperti mata yang bingung.
"Syukur, Ki. Kau kenal kakekku, mestinya 
kita salaman dulu!" kata Suro lalu ia mendekat 
berpura-pura salaman. Di luar dugaan tangannya 
menghantam dada Nyanyuk Buyutan.
Tokoh sesat yang telah kenyang makan 
asam garam persilatan ini tentu tidak kena dika-
dali. Ia berkelit, tangannya menyampok, sedang-
kan kakinya menendang.
Kini situasi berbalik, Suro terpaksa ber-
jingkrak. Lalu ia pergunakan jurus 'Seribu Kera 
Putih Mengecoh Harimau', tubuhnya pun berke-
lebat. Namun ujung kakinya tersangkut kaki la-
wannya. Si konyol jatuh, tapi kakinya dengan cepat berputar. Kini punggung lawannya yang jadi 
sasaran.
Dees!
Gubraak!

"Bangsat!"
Begitu memaki Nyanyuk Buyutan melom-
pat dan berdiri lagi. Kemudian ia cabut senja-
tanya. Senjata berbentuk kebutan yang dapat me-
lemas atau berubah kaku sesuai dengan pengera-
han tenaga dalam tersebut menghantam dada Su-
ro.
Pemuda ini tidak dapat mengelakkannya 
lagi. Dadanya terhantam kebutan. Bajunya han-
cur daging dadanya robek dan Suro menjerit-jerit 
kesakitan.
Wajah si Bocah Ajaib berubah tegang, per-
lahan namun pasti rambutnya yang hitam keme-
rah-merahan ini berubah merah laksana bara.
"Gila, inikah si bocah Ajaib itu?" pikir Nya-
nyuk Buyutan. "Tidak dapat disangkal bila di ba-
lik wajahnya yang ketolol-tololan ia memiliki ber-
bagai keanehan yang sungguh mengagumkan!"
"Huuuuuk...!" 
"Ha ha ha...!" Suro tertawa-tawa, tapi tu-
buhnya berkelebat lenyap. Itulah jurus 'Tawa Ke-
ra Siluman'. Tawa si konyol tidak kunjung henti, 
sedikit banyaknya kosentrasi lawan jadi tergang-
gu. Tiba-tiba saja Suro menerjang ke depan gera-
kannya ini dua kali kecepatan biasa. Melihat pe-
muda ini nekad mengadu nyawa. Nyanyuk Buyu-
tan kebutkan senjata di tangannya.
Senjata itu berubah kaku dan tegang se-
perti kawat besi. Yang menjadi sasaran adalah 
bagian muka Suro. Pemuda ini mendengus geram, kepalanya dirundukkan. Setengah berjong

kok, tangannya terangkat tinggi menghantam si-
ku lawan.
Tak!
Senjata terlepas, namun kaki lawan meng-
hantam dadanya. Pemuda ini menjerit. Bibirnya 
mengucurkan darah. Ia jatuh terduduk, di saat 
itulah lawan mencoba menghabisi jiwanya.
Dalam keadaan terluka dalam, Suro tidak 
mungkin menghindar. Sementara jiwanya benar-
benar dalam keadaan terancam bahaya. Tidak 
ada pilihan lain. Pendekar Blo'on raba pinggang-
nya, lalu tangan bergerak. Saat tangan bergerak, 
terdengar suara jerit, tawa bercampur suara ring-
kikan kuda.
Ternyata pemuda ini telah mencabut Man-
dau Jantan. Terlihat sinar hitam menyambar tan-
gan Nyanyuk Buyutan.
Tess!
Ada sepotong tangan terpental, terdengar 
pula jeritan. Jeritan yang kemudian semakin 
menjauh, ternyata Nyanyuk Buyutan melarikan 
diri sambil menyambar tubuh muridnya.
"Suatu saat kau akan merasakan bagaima-
na dahsyatnya pembalasanku!" kata Nyanyuk 
Buyutan sayup-sayup di kejauhan.
Suro tidak menyahuti, ia batuk-batuk, ma-
lah darah yang keluar. Setelah menelan dua obat 
pulung sambil mengembalikan tenaga dalamnya. 
Maka rasa sakit itu agak berkurang.
"Ekh... gila, hampir saja aku mampus!" 
maki Pendekar Blo'on.

Pelan-pelan ia berdiri, namun ketika ia 
mendengar suara sayup-sayup suara seorang ga-
dis, maka tersentaklah ia....
"Kakang Pangeran Linglung... suamiku ke-
kasihku...!" 
"Celaka, itu kan suaranya Maya Swari! 
Wah sudah tidak betul lagi. Siapa mau menjadi 
suaminya putri iblis! Mendingan aku ngacir saja!" 
guman Suro.
Tanpa menunggu kedatangan Maya Swari, 
Suro langsung lari tunggang langgang.
"Kakang Pangeran... Pangeran Linglung... 
tega nian dikau... hu hu hu...!" tangis si gadis me-
ledak
Semakin di panggil Pendekar konyol ini 
semakin ngibrit. Meskipun ketika itu dadanya masih mendenyut.






                                 T A M A T


Share:

0 comments:

Posting Komentar

Blog Archive