TERJEBAK DI PERUT
BUMI
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Terjebak di Perut Bumi
136 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
"Hua ha ha...!"
Terdengar suara tawa berat yang menggema dan
memenuhi wilayah Hutan Sindang. Di antara derai ta-
wa yang bagaikan tak pernah habis, terselip isak tan-
gis seorang wanita yang terdengar demikian lemah dan
tak berdaya.
"Cup..., cup.... Sudah jangan menangis lagi, manis.
Jangan khawatir, kau akan kujadikan anakku yang
paling tersayang... "
Kembali suara berat yang parau itu terdengar ber-
gema memenuhi daerah Barat Hutan Sindang.
"Nah, kita sudah sampai...," kata seorang lelaki
berwajah brewok dengan dada telanjang.
Rambut laki-laki itu panjang, hingga melewati ba-
hu. Bahkan dibiarkan menjuntai, hingga menutupi se-
bagian wajahnya. Di bahu kanannya tampak sesosok
tubuh ramping tak berdaya dalam dekapan tangannya
yang berbulu kasar.
"Jangan...! Aku tidak mau...! Tolooong...!"
Ketika mendengar lelaki brewok itu berkata telah
sampai di tempatnya, gadis desa yang hanya me-
ngenakan kain sebatas dada itu kembali meronta.
Bahkan berteriak-teriak ketakutan.
"Hus..., hus.... Jangan ribut. Nanti kalau sampai
anakku yang lain melihat, mereka tentu akan merasa
iri dan marah kepadamu," desis bibir tebal yang ter-
sembunyi di balik brewok tak terurus itu.
Nada bicara dan tingkah laki-laki kasar itu persis
seperti seorang bapak yang tengah membujuk anak-
nya. Tangan yang kekar, dan berbulu menepuk lembut
pantat gadis itu. Sepertinya lelaki brewok itu tidak wa
ras.
Namun, gadis desa itu sama sekali tidak perduli. la
malah semakin keras berteriak-teriak ketakutan. Rasa
takut yang hebat dalam dirinya, membuatnya nekad
menggigit bahu lelaki raksasa itu.
"Hihhh...!"
"Aakkhh...!?"
Terkejut juga lelaki kasar itu, karena tidak me-
nyangka kalau tangkapannya akan melakukan hal itu
terhadapnya. Kekagetan itu, membuat dekapannya se-
ketika mengendor. Wajahnya tampak agak meringis,
merasakan nyeri akibat gigitan gadis desa itu.
"Haii...?!"
Rasa terkejut lelaki brewok yang persis orang hu-
tan itu semakin bertambah-tambah. Sebab pada saat
dekapannya mengendor, tahu-tahu saja gadis desa
yang nekad itu melorot turun. Begitu merasa terbebas,
gadis berkulit kuning langsat itu bergerak melarikan
diri ke dalam hutan.
"Hua ha ha... Bagus.... Aku suka sekali main petak
umpet. Ayo, anakku cantik. Bersembunyilah. Nanti
aku akan mencarimu sampai ketemu...."
Dasar orang gila! Melihat tawanannya lari, lelaki
brewok itu malah tertawa-tawa kegirangan. Bahkan
menganggap gadis desa itu sengaja mengajaknya ber-
main petak umpet. Benar-benar sinting!
Tanpa memperdulikan gadis desa yang terus me-
larikan diri menyusup semak-semak, lelaki kasar ber-
usia sekitar lima puluh tahun itu meraba pinggang-
nya. Sebentar kemudian, tampaklah sebuah guci kecil
tempat menyimpan arak. Semakin jelas sudah. Selain
sinting, lelaki kasar itu pun seorang pemabukan.
Cegluk... cegluk...!
Terdengar suara tegukan ketika arak di dalam guci
kecil itu masuk melewati kerongkongannya. Sepasang
mata orang tua gila dan pemabukan itu tampak me-
rem-melek, seperti tengah menghayati nikmatnya bu-
tir-butir arak yang melintasi kerongkongan.
"He he he he.... Nikmaaattt...."
Sambil menjilati bibir, orang tua itu terkekeh. Ke-
mudian dia melangkah bergoyang-goyang. Sepertinya,
ia telah lupa pada tawanannya yang melarikan diri itu.
Tapi ternyata meskipun terlihat agak sinting, pe-
mabukan, dan sedikit pikun, orang tua brewokan ber-
penampilan kumuh itu sama sekali tidak lupa pada
tawanannya yang kabur. Buktinya, dia mulai melang-
kah ke dalam hutan setelah mengembalikan guci arak
ke pinggangnya. Meskipun langkahnya terlihat agak
sempoyongan seperti orang akan jatuh, tapi dia terus
saja melangkah ke dalam hutan.
"Yaaahhh.... Cah ayo cah, di mana kau sembu-
nyi..."
Dasar sinting! Sambil melangkah diselingi lom-
patan-lompatan kecil, orang tua itu bernyanyi-nyanyi
sambil menggerak-gerakkan tangannya dengan ting-
kah lucu. Bahkan terkadang berhenti, hanya untuk
memutar badannya seperti seorang penari. Benar-
benar edan!
Setelah kurang lebih dua puluh lima tombak, men-
dadak orang tua sinting itu menghentikan langkahnya
dengan kening berkerut. Kemudian dengan lagak se-
perti seekor anjing, hidungnya mengendus-endus.
"Hayaaa...! Dasar binatang kurang ajar, tidak tahu
diri. Apa tidak ada tempat lain untuk membuang koto-
ran...."
Orang tua sinting itu mengomel panjang-pendek
sambil berjingkat-jingkat, sambil memijat hidungnya
yang berbentuk seperti tomat. Rupanya, telapak kaki
nya yang telanjang menginjak kotoran binatang yang
kebetulan masih baru dan hangat. Sambil tidak henti-
hentinya mengomel, dia kembali melanjutkan pencari-
annya dengan tidak terburu-buru. Sepertinya, ia sama
sekali tidak merasa khawatir akan kehilangan bu-
ruannya.
***
Sementara itu, gadis desa yang terus melarikan diri
tanpa tujuan, sudah tidak karuan lagi kain yang dike-
nakannya. Di sana-sini telah robek, tersangkut dahan
atau semak berduri. Meskipun kakinya ter-gores di sa-
na-sini hingga meneteskan darah, tapi gadis desa itu
tidak memperdulikannya. Yang ada dalam pikirannya
saat itu adalah melarikan diri sejauh-jauhnya.
"Ooohhh...."
Untuk yang kesekian kalinya, gadis desa itu kem-
bali terhumbalang jatuh akibat akar pohon yang mun-
cul di permukaan tanah. Tubuhnya terguling-guling ke
bawah, karena tanah di depannya agak menurun.
Begitu luncuran tubuhnya terhenti, gadis desa
yang keras hati itu berusaha bangkit, meski dengan
wajah menyeringai. Tak diperdulikannya tambahan lu-
ka memar yang diderita, dan kembali berlari dengan
napas bagaikan kuda pacu.
Graauurrhhh...!
Tiba-tiba saja terdengar raungan keras yang bagai
hendak merontokkan jantung. Suara auman harimau
yang menggetar di tengah hutan, membuat langkah
gadis itu terhenti seketika. Dia menoleh ke kiri-kanan
dengan wajah pucat, dan tubuh menggigil ketakutan!
"Ohhh...?!"
Gadis desa itu menyumbat mulutnya dengan jari
jari tangan, sehingga pekikan suaranya agak tertahan.
Wajahnya tampak sudah demikian pucat, bagai tak di-
aliri darah. Sedangkan kedua kakinya menggigil, se-
perti tak sanggup menahan bobot tubuhnya.
Graurhhh...!
Harimau belang yang tiba-tiba saja muncul di de-
pan gadis itu dalam jarak lima tombak lebih, benar-
benar membuat nafasnya seperti putus. Dan ketika
harimau buas itu kembali mengaum sambil memper-
lihatkan taring-taringnya, gadis desa itu sudah tidak
sanggup berdiri lagi. Tubuhnya melorot jatuh, ber-
sandarkan sebatang pohon sambil memandang dengan
tubuh gemetaran.
Dengan langkah satu-satu, harimau berumur cu-
kup tua itu melangkah ke arah mangsanya. Sesekali
langkahnya terhenti, lalu menggereng memperlihatkan
taringnya. Sikapnya jelas sangat waspada, dan penuh
kehati-hatian. Sepertinya, harimau itu hendak melihat
apa yang akan diperbuat calon korbannya.
Grrrhhh....!
Setelah jarak antara mereka tinggal kira-kira dua
tombak, harimau itu tampak berhenti. Kemudian bina-
tang buas itu, duduk menatap gadis desa yang hampir
mati karena ketakutan. Dan diiringi raungan panjang,
tubuh harimau itu melesat dengan kuku kaki depan
siap merencah tubuh korbannya.
Graunggg...!
"Auuuwww....!"
Gadis desa itu berteriak ngeri ketika terkaman ha-
rimau belang datang mengancamnya. Dan karena rasa
ngeri yang hebat, gadis desa itu menyembunyikan wa-
jahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya merungkut
dengan kedua kaki terlipat.
Deeesss!
Graunggg...!
Gusraaakkk...!
Tiba-tiba saja, gadis itu merasa heran ketika men-
dengar raung kesakitan dari si raja hutan. Bahkan da-
danya sempat berdebar tegang, ketika juga ter-dengar
suara berdebuk yang menandakan jatuhnya sebuah
benda berat.
Namun, gadis desa yang semula ingin mengetahui
apa sebenarnya yang telah terjadi terhadap harimau
buas tadi, jadi terpekik kaget. Hal itu terjadi ketika
terdengar suara terkekeh yang teramat dikenalnya.
"He he he...! Ayo, Belang. Kau ingin bermain-main
dengan majikanmu. He he he.... Jangan takut. Aku ti-
dak suka dagingmu yang alot itu. Tapi yang ku ingin-
kan justru daging muda yang hendak kau santap. Ta-
hukah kau, daging muda itu milikku...?"
Seorang lelaki tua brewokan yang berdirinya ber-
goyang-goyang, mengomel panjang-pendek kepada ha-
rimau itu. Rupanya, orang tua sinting inilah yang me-
nyelamatkan nyawa gadis desa itu dari kematian.
Harimau jantan berumur tua itu menggerang,
memperlihatkan taringnya yang tajam berkilat. Wa-
laupun begitu, si Raja Hutan ini sama sekali tidak be-
rusaha maju. Sepertinya, hajaran orang tua sinting
pemabukan tadi cukup dirasakannya. Sehingga bina-
tang buas ini agak berhati-hati dalam menerima tan-
tangan orang tua sinting itu.
"He he he,..! Kau takut, Belang? Atau ingin minta
bagian dariku...?" tanya orang tua sinting itu yang kini
malah berjongkok sambil mengganjal dagunya dengan
sebelah tangan.
Sikap orang itu benar-benar berbahaya sekali. Se-
bab, apabila Si Raja Hutan itu menerkam, akan sulit
rasanya untuk menghindar dalam keadaan seperti itu.
Tapi, nampaknya orang tua sinting itu sama sekali ti-
dak merasa khawatir.
Harimau jantan bertubuh besar ini menjilat-jilat
bibirnya, seolah-olah tengah memikirkan tawaran lela-
ki brewok yang tidak waras itu. Kemudian dia mengge-
reng dengan kepala tegak.
"Eh? Kau ingin merebutnya...? Oho..., tentu saja
boleh. Tapi, kau harus merebutnya secara jantan,
ya....?" ujar orang tua sinting itu, seolah-olah mengerti
isyarat sang Raja Hutan.
Tampak orang tua itu bangkit berdiri, dan memun-
gut sebatang ranting sebesar ibu jari tangan.
Wuuut! Wuuuttt..!
Bagaikan orang yang tengah mencoba kekuatan-
nya, si pemabuk sinting itu memukul-mukulkan rant-
ing kayu yang dipungutnya ke udara berkali-kali.
"He he he.... Bagus.... Cukup baik, cukup baik...,"
desis orang tua sinting itu berulang-ulang sambil kem-
bali mengebut-ngebutkan ranting kayu di tangannya.
Kemudian, dia berdiri tegak menanti harimau itu ber-
gerak maju.
Tapi sampai beberapa saat lamanya, Raja Hutan
itu sama sekali tidak menampakkan tanda-tanda me-
nyerang. Binatang buas itu hanya berputar-putar ke
kiri dan kanan, sambil menggereng mempertunjukkan
taringnya yang runcing.
"Oooh! Rupanya kau tidak ingin memulai? Baiklah.
Kalau begitu, aku yang akan membuka serangan. Ber-
siaplah, Belang...," ujar orang tua sinting itu. Rupa-nya
dia memang telah cukup mengerti tingkah laku para
penghuni Hutan Sindang. Apalagi, ia pun merupakan
salah satu penghuni hutan itu.
Sebenarnya orang tua gila pemabukan yang terlihat
lucu itu tidaklah semenarik tingkahnya. Pada dasar
nya, sifatnya keji dan tidak mengenal kasihan dan am-
pun. Meskipun tingkahnya terlihat lucu dan aneh, tapi
orang tua itu adalah seorang tokoh sesat yang sangat
ditakuti. Banyak sudah perbuatannya yang dikutuk
kaum rimba persilatan. Tapi, siapa pula yang berani
mencegah kekejamannya? Bahkan tidak sedikit pen-
dekar tua dan muda yang datang hanya untuk men-
gantar nyawa kepada orang tua itu. Sehingga lama-
kelamaan, nyali kaum persilatan pun mulai mengen-
dor. Jarang ada yang berani menghalangi per-buatan
tokoh sinting pemabukan itu.
Belakangan ini, tokoh sinting yang dijuluki Pema-
buk Berhati Iblis itu kembali melakukan serangkaian
kejahatan. Entah, sudah berapa puluh nyawa yang
terbang akibat tangannya yang telengas. Dan, gadis
desa itu merupakan kejahatan terakhir yang baru saja
dilakukannya.
"Hiaaahhh...!"
Orang tua sinting yang berjuluk si Pemabuk Berha-
ti Iblis tampak bergerak maju dengan langkah goyah.
Tapi, gerakannya justru sangat hebat dan membin-
gungkan. Tubuh dan kakinya yang bergoyang-goyang
membuat orang sulit menebak, apakah orang sinting
itu hendak maju atau mundur.
Demikian pula halnya si Raja Hutan. Melihat tubuh
lawannya yang bergerak maju bagaikan malas-
malasan, membuat kepala binatang itu menggeleng
seolah merasa pusing melihat tingkah lawannya.
"He he he...! Bodoh kau, Belang. Awas kepala-
mu...."
Sambil bergerak mundur maju dengan langkah
goyah, Pemabuk Berhati Iblis menggerakkan ranting
kayu di tangan kanannya dengan kecepatan menggetarkan.
Bukkk!
Grauuung. .!
Sang Raja Hutan meraung kesakitan! Lecutan rant-
ing sebesar ibu jari tangan itu terasa bagaikan hanta-
man sebatang besi pada kepalanya. Karuan saja bina-
tang buas itu langsung menggelepar dengan ke-pala
retak. Benar-benar ganas serangan yang dilancar-kan
orang tua sinting itu. Sekali hajar saja, langsung mem-
buat harimau tewas!
"He he he...! Lihat, anakku. Binatang yang mena-
kut-nakuti mu itu sudah tidur pulas. Rupanya, ia lelah
dan mengantuk setelah menggerung-gerung kelaparan.
Ayo, bangun manis. Man kita pulang...," ujar Pemabuk
Berhati Iblis itu melangkah maju dan berjongkok
membelai punggung gadis desa yang ketakutan.
"Ohhh...!"
Gadis desa itu merenggutkan tubuhnya ketika me-
rasakan jari-jari tangan kasar itu merayap ke belahan
dadanya yang membusung indah. Segera saja ia bang-
kit, dan berlari tanpa memperdulikan arah yang di-
tempuh.
"He he he.... Jadi kau hendak kembali ke tempat-
ku...?"
Suara Pemabuk Berhati Iblis membuat langkah ga-
dis itu langsung terhenti. Jelas, ia merasa terkejut
mendengar ucapan tadi. Dan apa yang dikatakan
orang tua sinting itu memang benar. Dia justru berlari
ke arah semula
"Ohhh..." desah gadis desa itu, menahan tangisnya.
Ia berdiri menatap Pemabuk Berhati Iblis dengan sinar
mata memelas mohon diampuni dan dilepaskan.
"He he he.... Kau benar-benar binal dan meng-
gairahkan, Anakku. Ayo, kemarilah. Jangan takut...,"
rayu Pemabuk Berhati Iblis.
Kini orang tua sinting itu bergerak maju mendekati
si gadis. Dan gerakannya yang sempoyongan itu benar-
benar hebat dan mengejutkan. Sebab, tahu-tahu saja
sepasang lengannya telah memeluk tubuh gadis desa
itu. Padahal, jarak di antara mereka tadi masih sekitar
dua tombak lebih. Tentu saja hal itu menunjukkan ka-
lau ilmu meringankan tubuh si Pemabuk Berhati Iblis
memang sangat hebat.
Gadis desa ini hanya bisa menangis saat lelaki
berwatak sinting itu mencium wajahnya. Sepertinya,
semua tingkah dan kenekatannya tadi semakin mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis merasa semakin terang-
sang. Sehingga, tanpa sabar lagi segera saja diterkam-
nya tubuh gadis itu.
Namun, nasib baik rupanya masih tetap menaungi
gadis desa itu. Pada saat lelaki sinting itu semakin
buas, terdengar sebuah bentakan nyaring yang me-
ngejutkan. Bahkan bentakan itu masih dibarengi se-
buah tangan yang mencengkram. Malah tubuh lelaki
bercambang bauk yang tengah menggumuli gadis itu
langsung dilemparkan.
"Ahhh...!?"
Tentu saja kejadian yang sangat tiba-tiba itu mem-
buat Pemabuk Berhati Iblis terpekik kaget! Sebab sebe-
lum ia menyadari, tahu-tahu saja tubuhnya terasa me-
layang ke udara! Untunglah orang tua sinting itu san-
gat sigap. Maka segera saja ia berputar beberapa kali
di udara, sebelum mendarat selamat di tanah.
"Setan alas! Dedemit busuk! Hantu sundal...!" Pe-
mabuk Berhati Iblis mencak-mencak bagaikan cacing
kepanasan. Kali ini ia benar-benar marah, karena ada
orang yang berani mengganggu kese-nangannya.
***
DUA
Sementara, di depan gadis desa itu telah berdiri
seorang pemuda tampan berjubah putih. Dengan sikap
tenang tanpa memperdulikan kemarahan lelaki brewok
sinting di hadapannya, gadis desa itu ditarik agar
bangkit.
Sebenarnya bukan main dongkolnya hati Pemabuk
Berhati Iblis. Tapi karena tingkahnya seperti orang
mabuk, atau tidak waras, maka kemarahan yang di-
perlihatkannya nampak lucu.
Pemuda tampan berjubah putih yang melihat lelaki
sinting pemabuk itu seperti tengah bersiap untuk me-
nyerang, segera saja mengangkat tangan kanannya
sambil berseru nyaring.
'Tunggu...!"
"Ehhh...?!" lelaki sinting berperawakan gemuk se-
perti orang hutan itu menahan langkah dengan wajah
bingung. "Apa..., apa kau bilang barusan...?"
"Kubilang tunggu dulu. Pemabuk. Apa kau sudah
tuli, karena jarang bergaul dengan manusia...?" tegas
pemuda tampan berjubah putih dengan wajah tetap
tenang.
Tenang sekali pemuda itu melepaskan jubah luar-
nya, lalu diserahkan kepada gadis desa yang kainnya
memang sudah tidak patut dikenakan ini.
"Aku...? Berhenti...?" ulang Pemabuk Berhati Iblis
sambil menunjuk ujung hidungnya sendiri dengan wa-
jah ketololan.
Sepertinya, ia merasa heran karena ada seorang
pemuda yang pantas menjadi anaknya, begitu berani
mati menyuruhnya berhenti.
"Ya. Kau, orang tua sinting! Bukankah kau yang
berjuluk Pemabuk Berhati Iblis? Nah! Kalau benar,
berhentilah. Aku ingin bicara denganmu...," tegas pe-
muda tampan itu lagi tanpa memperdulikan sikap lucu
dan ketololan lelaki sinting dihadapannya.
"He he he.... Lucu! Benar-benar lucu. Padahal, aku
seorang iblis kejam yang banyak ditakuti orang-orang
sakti. Tapi ternyata masih ada yang berani memerin-
tah. Benar-benar aneh dunia ini. Padahal para tokoh
tua banyak yang lari terbirit-birit bila bertemu dengan-
ku. Tapi ternyata pemuda yang pantas menjadi anakku
ini, memiliki hati macan...."
Pemabuk Berhati Iblis tergelak-gelak sambil meme-
gangi perutnya. Dalam keadaan seperti itu, orang tentu
tidak akan percaya kalau orang tua ini memiliki otak
yang tidak waras. Sebab, ucapannya demikian rapi ti-
dak ubahnya orang waras.
Pemuda berjubah putih itu sendiri sempat me-
ngerutkan kening mendengar ucapan Pemabuk Berhati
Iblis. Dengan pandangan curiga, ditatapnya wajah Pe-
mabuk Berhati Iblis dengan teliti. Seolah-olah ingin di-
ketahui apakah orang tua itu memang tidak waras,
atau sengaja berpura-pura gila?
"Pemabuk Berhati Iblis, dengarlah kata-kataku,"
ujar pemuda berjubah putih itu bernada agak keras.
Hal itu dilakukan untuk memancing perhatian orang
sinting ini. "Perbuatanmu selama ini sudah keter-
laluan, dan tidak bisa lagi dimaafkan! Tanganmu telah
dilumuri darah korban-korbanmu yang. tidak berdosa.
Sekarang kuminta ketegasan mu. Hentikan perbuatan-
perbuatan jahatmu, atau terpaksa aku yang harus
menghentikannya...."
"Ha...?!"
Pemabuk Berhati Iblis terbelalak kaget bagai tidak
percaya dengan apa yang didengarnya. Dengan lagak
bodoh, dia pura-pura mengorek telinganya seolah-olah
ucapan pemuda tampan berjubah putih itu kurang be-
gitu jelas.
"Coba ulangi ucapanmu tadi, Bocah bagus?” pinta
Pemabuk Berhati Iblis sambil menelengkan kepalanya
seperti ingin mendengarkan lebih jelas. Tentu saja hal
itu dilakukan hanya untuk mengejek.
"Hm..., dengarlah baik-baik. Aku, Pendekar Naga
Putih memperingatkan agar kau menghentikan semua
perbuatan jahatmu selama ini. Jika tidak, akulah yang
akan menghentikan mu!"
Terdengar jawaban tegas dan mengandung per-
bawa menggetarkan dari pemuda tampan itu. Rupa-
nya, pemuda tampan yang mengaku berjuluk Pendekar
Naga Putih tidak suka dipandang rendah sedemikian
rupa oleh Pemabuk Berhati Iblis. Sehingga julukannya
terpaksa disebutkan untuk memancing perhatian to-
koh sesat itu.
Pengakuan pemuda berjubah putih berwajah tam-
pan itu, ternyata sangat manjur. Mendengar julukan
Pendekar Naga Putih, Pemabuk Berhati Iblis langsung
saja terbelalak. Jelas sekali wajah orang sinting itu
menampilkan keterkejutan yang sangat
"Benar.... Kau pastilah Pendekar Naga Putih...," de-
sis lelaki tua pemabukan itu sambil menatap Panji
dengan sepasang mata yang bergerak liar.
"Hm..,. Hari ini kau telah membantai habis sebuah
keluarga petani yang tak berdosa hanya untuk men-
culik anak gadisnya. Sadarkah kau, bahwa perbuatan
itu sangat keji dan dikutuk orang...?" lanjut Panji. Su-
aranya yang mantap dan mengandung perbawa, mem-
buat orang tua sinting itu segera tersadar.
"He he he.... Ya..., ya. Aku memang selalu me-
lakukan perbuatan jahat. Karena semakin banyak berbuat kejahatan, tentu orang akan semakin takut kepa-
daku. Ya... ya.... Aku adalah Pemabuk Berhati Iblis si
Raja Kejahatan...."
Kegilaan lelaki pemabuk itu rupanya timbul kem-
bali. Terdengarlah ucapan-ucapan ngawur yang tidak
beraturan. Panji yang sudah tidak ingin memper-
panjang urusan pembicaraan kosong itu, segera saja
melompat ke arah lawannya. Kedua kakinya meng-
injak tanah, tepat satu tombak di hadapan orang tua
itu.
Pemabuk Berhati Iblis yang mengira pemuda itu te-
lah mulai membuka serangan, segera saja merendah-
kan tubuhnya sambil mendorong sepasang telapak
tangannya ke depan.
"Whuttt...!"
Serangkum angin kuat, berhembus seiring ter-
dorongnya sepasang telapak Pemabuk Berhati Iblis.
"Hm...," gumam Panji tak jelas. Segera Pendekar
Naga Putih menggeser tubuhnya ke samping kanan
dengan kuda-kuda rendah, sehingga angin pukulan
berbau amis itu lewat di sampingnya.
"Ilmu 'Pukulan Katak Beracun'...!" desis Pendekar
Naga Putih. Panji memang langsung mengenali ilmu
pukulan tenaga dalam orang tua sinting itu. Diam-
diam Pendekar Naga Putih terkejut juga melihat orang
tua sinting itu memiliki ilmu pukulan hebat, dan ja-
rang terdapat dalam dunia persilatan.
Pemabuk Berhati Iblis rupanya tidak hanya ber-
henti sampai di situ saja. Begitu melihat Pendekar Na-
ga Putih dapat menghindari pukulan jarak jauh-nya,
tokoh berotak miring itu segera saja melesat seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...! .
Pemabuk Berhati Iblis segera menyambar seperti
seekor katak melompat.
Bweeettt...!
Pendekar Naga Putih pun menggeser tubuhnya ke
kiri, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun itu!
Pendekar Naga Putih kembali menggeser tubuh-
nya, menghindari sambaran cakar lawan yang me-
ngandung racun. Hal itu baru disadari ketika merasa-
kan hawa yang menyambar lewat dekat tubuhnya.
"Yiaaahhh...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi, bergegas pe-
muda itu memutar tubuhnya dengan sebuah lom-
patan. Bahkan sekaligus melepaskan sebuah tenda-
ngan kilat! Sehingga, Pemabuk Berhati Iblis yang baru
saja menjejakkan kaki dan tangannya di tanah lang-
sung kembali melompat menghindar. Pertarungan pun
semakin seru ketika Pemabuk Berhati Iblis mulai me-
lancarkan serangan-serangan gencar. Tapi, Pendekar
Naga Putih hanya melayani dengan 'Ilmu Naga Sakti’
yang juga menjadi andalannya.
Jurus demi jurus berlalu cepat. Ketika pertaru-
ngan menginjak jurus yang keempat puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai merubah gerakan-gerakan-
nya. Gerak langkahnya tampak tidak teratur dan ber-
goyang-goyang. Sesekali orang tua sinting itu meneguk
araknya, sambil terus mengelak dan membalas sera-
ngan Pendekar Naga Putih dengan gerakan terpatah-
patah dan perubahan-perubahan yang mengejutkan!
"Hiaikkkhhh...!"
Tak ubahnya seperti seorang pemabuk tulen, ter-
kadang orang sinting itu seolah-olah bergerak seperti
hendak terjatuh. Namun dalam gerakan-gerakan itu
tersembunyi serangan-serangan cepat dan mengejut-
kan! Sehingga, Pendekar Naga Putih yang baru kali ini
menghadapi ilmu itu, cukup dibuat kerepotan untuk
beberapa jurus lamanya.
Tapi sebagai seorang pendekar yang telah banyak
mengalami pertempuran maut, tentu saja Pendekar
Naga Putih segera dapat menemukan kelemahan ilmu
silat lawannya. Dengan cerdiknya, Panji ikut bergerak
mengikuti irama langkah dan tubuh lawannya. Se-
hingga, Pemabuk Berhati Iblis sempat dibuat ter-
cengang oleh kecerdikan pemuda itu dalam mencari
kelemahan ilmunya.
"Heaaahhh...!"
Ketika pertarungan mulai menginjak jurus yang ke-
lima puluh lima, terlihat Pendekar Naga Putih mulai
melakukan tekanan-tekanan berat pada lawan. Lapi-
san kabut bersinar putih keperakan yang menyelimuti
tubuhnya selalu dapat memukul balik lontaran puku-
lan beracun lawan. Tentu saja racun Pemabuk Berhati
Iblis yang memang bersifat dingin, tidak mampu me-
nembus pertahanan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
yang juga memiliki sifat dingin. Bahkan hawa yang
terpancar dari tubuh pemuda itu masih jauh lebih
kuat daripada racun katak miliknya.
Mendekati jurus yang ke enam puluh, terlihat Pe-
mabuk Berhati Iblis mulai kewalahan. Gerakan-
gerakannya pun mulai melambat, karena terganggu
pancaran hawa dingin dari tubuh dan sambaran puku-
lan lawan. Hal Ini membuat lelaki tua berotak miring
itu menyumpah-nyumpah dengan kata-kata kotor.
"Bangsat! Kunyuk bau tengik...!"
Sambil berlompatan dan menggeser langkah untuk
menghindari serangan-serangan Pendekar Naga Putih,
mulut lelaki berotak miring itu tak henti-hentinya
mengomel.
"Hiattt..!"
Saat lawan sudah benar-benar tak mampu lagi ber-
tahan lebih lama, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih
berseru keras sambil melontarkan dua buah hantaman
telapak tangan secara berturut-turut ke tubuh lawan!
"Aaahhh...?!"
Bukan main terkejutnya hati tokoh sesat pe-
mabukan itu. Maka tanpa dapat dihindari lagi, dua
buah hantaman telapak tangan pemuda berjubah pu-
tih itu langsung mencapai sasarannya!
Buuukkk! Deeesss!
"Huakhhh...!"
Darah segar langsung menyembur dari mulut Pe-
mabuk Berhati Iblis. Tubuh lelaki brewokan itu ter-
lempar bagaikan selembar daun kering yang
diterbangkan angin! Kemudian, tubuh tinggi kekar itu
terbanting jatuh setelah membentur sebatang pohon
yang bergerak bagaikan hendak roboh!
Panji melangkah lambat ketika melihat tubuh la-
wannya tidak dapat bangkit lagi. Tampak Pemabuk
Berhati Iblis terlihat menggigil hebat bagaikan orang
menderita demam tinggi. Jelas, tokoh sesat yang meng-
giriskan itu mengalami luka dalam yang sangat parah!
Namun, Pendekar Naga Putih benar-benar tidak
menyangka sama sekali kalau tokoh itu ternyata me-
miliki daya tahan tubuh yang luar biasa. Tepat pada
saat Panji berdiri membungkuk dekat tubuh lelaki itu,
tiba-tiba saja Pemabuk Berhati Iblis mendorong sepa-
sang telapak tangannya dengan sisa-sisa tenaga yang
masih dimiliki! Karuan saja serangan mendadak dalam
jarak dekat itu sangat mengejutkan Panji!
Whuuusss...!
Sebagai seorang pendekar yang sering mene-
mukan lawan berat bersifat licik, tentu saja Panji ti-
dak mudah dikelabuhi. Meskipun kelihatannya tidak
siap, tapi nyatanya Pendekar Naga Putih dapat meng-
hadapi serangan licik dengan baik. 'Tenaga Sakti Ger-
hana Bulan' nya langsung bangkit seiring kibasan len-
gan pemuda itu untuk melumpuhkan pukulan bera-
cun lawannya. Dan...,
Blaaarrr...!
"Hukkkh...!"
Benturan dahsyat pun tidak bisa terelakan lagi.
Pemabuk Berhati Iblis mengeluarkan keluhan bagai-
kan orang tercekik. Bahkan tubuhnya kontan melesak
ke dalam bumi, hingga satu jengkal dalamnya. Napas
orang tua gila itu langsung putus seketika itu juga!
Pendekar Naga Putih sendiri terjajar mundur dua
langkah. Sebab biar bagaimanapun hawa beracun pu-
kulan yang dilepaskan dalam jarak dekat dan tiba-tiba,
sedikit banyak telah mempengaruhi tubuhnya pula.
Cepat pemuda itu menarik napas beberapa kali sambil
mengerahkan hawa murni untuk mengusir pergi hawa
beracun yang sempat menyerap ke dalam tubuhnya.
Beberapa saat kemudian, baru Panji dapat menarik
napas lega setelah terbebas dari hawa be-racun puku-
lan Pemabuk Berhati Iblis.
Sementara itu gadis desa yang diselamatkan lang-
sung memeluk tubuh Pendekar Naga Putih karena ra-
sa tegang dan bersyukurnya. Panji sendiri membelai
punggung gadis desa itu, dan menghiburnya ketika
mendengar isak tangis lirih.
"Sudahlah, Nisanak. Bahaya telah lewat. Sebaiknya
kau tunggu sebentar. Aku hendak menguburkan ma-
yat tokoh sesat itu...," ujar Panji, seraya melepaskan
pelukan wanita itu dengan gerakan lembut
“Tapi, bagaimana dengan gadis-gadis lain yang di-
tawan di tempat kediaman orang tua jahat itu? Apakah
tuan Pendekar tidak ingin menolongnya...?" tanya gadis desa itu.
Mata basah gadis itu menatap wajah tampan pe-
nolongnya. Rupanya, dia masih teringat ucapan Pema-
buk Berhati Iblis sebelum melarikan diri.
"Aku sudah mendatangi kediaman tokoh pemabu-
kan ini sebelum menemukan dan mendengar teriakan-
mu. Di sana, aku hanya menemukan kerangka ma-
nusia yang berserakan. Menurutku, Pemabuk Berhati
Iblis ini juga pemakan daging manusia...," jelas Panji.
Seketika, gadis desa itu membelalak terkejut Se-
bab, semula hanya diduga kalau Pemabuk Berhati Iblis
itu hanya hendak merampas keperawanan saja.
Melihat gadis itu jatuh terduduk setelah mende-
ngar keterangannya, Panji bergegas menguburkan
mayat Pemabuk Berhati Iblis. Memang, meskipun se-
masa hidupnya orang tua itu sangat jahat, tapi tetap
saja mayatnya harus dikuburkan secara layak. Setelah
selesai menanam mayat Pemabuk Berhati Iblis, Pende-
kar Naga Putih mengajak gadis malang itu kembali ke
desa tempat tinggalnya.
***
"Dari mana saja kau, Kakang? Pantas sejak tadi
aku mencarimu, tidak juga ketemu...,"
Dara berparas jelita yang mengenakan pakaian
serba hijau itu langsung menyambut kedatangan pe-
muda tampan berjubah putih dengan pertanyaan-
pertanyaan.
Sedang pemuda tampan berjubah putih yang baru
saja tiba di ambang pintu kamar penginapan, hanya
tersenyum. Kemudian, dia melangkah masuk dan du-
duk di tepi pembaringan di samping data jelita itu.
"Aku pikir kau sengaja meninggalkan aku karena
sudah merasa bosan...," rungut gadis jelita itu dengan
wajah agak mendung. Memang hatinya sempat merasa
nelangsa ketika pemuda itu pergi tanpa pamit.
Pemuda berjubah putih itu semakin melebarkan
senyumnya. Perlahan tangannya melingkar, memeluk
tubuh gadis jelita itu dengan lembut. Dikecupnya ken-
ing gadis itu penuh kasih sayang.
"Sebenarnya aku hendak mengajakmu serta, Ke-
nanga. Tapi ketika aku masuk ke kamarmu, ternyata
kau masih tertidur pulas. Jadi, terpaksa aku pergi
tanpa memberitahukan mu terlebih dahulu," jawab
pemuda tampan berjubah putih yang ternyata memang
Panji atau lebih dikenal berjuluk Pendekar Naga Putih.
Rupanya pemuda itu telah kembali setelah me-
ngantarkan gadis desa yang ditolongnya dari ceng-
kraman Pemabuk Berhati Iblis. Dan kini dia berusaha
menjelaskan duduk perkaranya.
"Mengapa kau tidak membangunkan aku, Ka-
kang...?" masih dengan nada kurang puas, gadis jelita
yang memang Kenanga kembali bertanya sambil me-
natap wajah Panji.
"Hmmm... Aku tidak ingin mengganggu istirahat-
mu. Lagi pula, aku pergi hanya sebentar. Jadi, kupikir
tidak pamit pun tak apalah. Eh, mengapa kau tidak
mengunci pintu kamarmu sebelum tidur, Kenanga?
Bagaimana kalau yang masuk itu bukan aku. Bisa-
bisa celaka...," tanya Panji ketika teringat saat masuk
ke dalam kamar gadis itu, pintu memang tidak dikun-
ci.
"Mungkin aku lupa, Kakang. Tapi, aku tak kha-
watir. Kalau memang ada orang jahat hendak meng-
ganggu ku, tentu aku segera tahu...," elak Kenanga
sambil menyandarkan kepalanya ke dada bidang pe-
muda tampan itu. Sepertinya, gadis jelita itu sudah tidak merajuk lagi.
"Tapi ketika aku masuk, kenapa kau tidak tahu...?"
desak Panji lagi, seolah hendak mengetahui apa kira-
kira jawaban kekasihnya. .
"Mmm.... Mungkin sukma ku tahu kalau orang
yang masuk ke dalam kamarku adalah Kakang. Tentu
saja aku tidak segera terbangun, karena sukma ku ti-
dak takut meskipun kakak akan berbuat macam-
macam," sahut Kenanga, seenaknya, sambil tersenyum
menggoda.
"Sukma mu mungkin percaya denganku. Tapi ba-
gaimana dengan kau sendiri? Apakah kau tidak takut
bila aku berbuat macam-macam terhadapmu?" panc-
ing Panji lagi, seperti ingin mengetahui isi hati dara je-
lita yang sangat dicintainya.
"Mengapa harus takut? Selain aku sangat yakin
terhadap kebersihan hati mu aku pun tidak takut di-
apa-apakan. Bukankah kalau kau ingin berbuat yang
tidak-tidak, sudah dari dulu-dulu dapat melakukan-
nya. Nyatanya, kau tidak pernah. Kau tetap meng-
hormati ku, meskipun aku sendiri telah menyerahkan
diriku bulat-bulat untuk mengabdi kepadamu. Jadi,
apa lagi yang harus ku takutkan...?" elak Kenanga.
Gadis itu kini semakin merapatkan tubuhnya ke
dalam pelukan kekasihnya. Lama gadis itu menikmati
kedamaian dalam pelukan pemuda pujaannya. Sejak
dulu ia memang sudah pasrah, karena tahu kalau
Panji tidak akan pernah mau menodai cinta kasih me-
reka. Kenanga percaya penuh akan hal itu.
"Terima kasih, Kenanga. Aku benar-benar bahagia
menerima kepercayaan dan cinta kasih yang tulus da-
rimu...,"desah Panji sambil menunduk perlahan.
Segera dikecupnya bibir indah kekasihnya penuh perasaan.
"Nah, sekarang ceritakanlah. Ke mana kau pergi
dari pagi hingga siang ini...?" tanya Kenanga, setelah
pemuda itu melepaskan pelukannya.
"Baiklah...," desah Panji.
Segera saja Pendekar Naga Putih menceritakan
pengalamannya. Sedang Kenanga hanya mendengar-
kan tanpa memotong cerita kekasihnya sedikitpun.
***
Malam mulai jatuh. Kegelapan yang merambat me-
nyelimuti permukaan bumi, membuat suasana Desa
Jipang menjadi sepi. Penduduk desa yang ke-
banyakan petani penggarap, sejak tadi telah mering-
kuk di atas pembaringan. Mereka beristirahat untuk
menyediakan tenaga, setelah bekerja keras seharian
penuh.
Pendekar Naga Putih saat ini juga, telah terbaring
di atas pembaringan. Dia yang bersama kekasihnya
menginap di salah satu rumah penginapan desa itu, te-
lah pula berada di dalam kamar masing-masing. Be-
danya, Kenanga telah tertidur lelap setelah men-dengar
cerita Panji tentang pengalamannya dalam menumpas
tokoh sesat yang berjuluk Pemabuk Ber-hati Iblis. Se-
dangkan saat ini Panji masih belum bisa memejamkan
mata. Pemuda itu rebah telentang, menatap langit-
langit kamar dengan pikiran tak menentu.
"Aneh...,"
Bibir pemuda tampan itu menggerimit perlahan,
sambil menghela napas beberapa kali dengan perasaan
tak menentu. Kemudian, Pendekar Naga Putih bangkit
perlahan dan duduk bersila di atas pembaringan. Se-
bentar kemudian, dia telah terlelap dalam semadi-nya.
Rupanya, Panji memutuskan untuk bersemadi daripa
da termenung dengan pikiran mengembara.
Keanehan yang dialami Pendekar Naga Putih rupa-
nya mempunyai hubungan erat dengan keadaan di
luar penginapan. Memang pada saat menjelang tengah
malam, tampak sosok-sosok bayangan hitam bergerak
gesit mengepung rumah tempat Panji dan Kenanga
menginap. Dari sikap yang mencurigakan, jelas kalau
mereka mempunyai maksud tidak baik.
Panji yang tengah tenggelam dalam semadinya, ter-
sadar seketika. Pendengarannya yang tajam dan san-
gat terlatih, menangkap adanya langkah-langkah men-
curigakan di luar kamar. Maka, semadinya cepat-cepat
diselesaikan.
Dalam kegelapan kamar, karena sejak tadi sudah
memadamkan pelita, Panji bergerak perlahan me-
rebahkan dirinya kembali. Ia pura-pura terlelap untuk
mengetahui kelanjutan dari langkah-langkah men-
curigakan yang didengarnya di luar kamar. Sekejap
pemuda itu teringat Pemabuk Berhati Iblis yang tewas
di tangannya. Maka, langsung timbul dugaan kalau
suara langkah kaki yang mendekati kamarnya pasti
mempunyai hubungan dengan tindakannya pagi tadi.
Pendekar Naga Putih menahan nafasnya ketika
mendengar daun jendelanya dibuka dari luar. Meski-
pun orang yang melakukannya sangat lihai dan hati-
hati, tapi tetap saja semua itu tidak terlepas dari pen-
dengaran Pendekar Naga Putih. Malah Panji tetap ter-
baring tenang, seolah tidak mengetahui hal itu.
Rupanya, sosok-sosok bayangan hitam yang men-
datangi kamar Pendekar Naga Putih tidak bodoh. Tan-
pa melompat masuk, dua diantara mereka lang-sung
melemparkan senjata rahasia berupa jarum-jarum ha-
lus yang menebarkan bau harum memabukkan.
Panji yang semula mengira kalau orang-orang yang
mendekati kamarnya pasti akan melompat masuk, ten-
tu saja menjadi terkejut. Apalagi, serangan senjata ra-
hasia itu sama sekali tidak diduga sebelumnya. Dan
karena untuk melindungi tubuhnya dengan tenaga
sakti yang dapat mengeluarkan kabut bersinar jelas
dapat diketahui, maka Panji memutuskan untuk sege-
ra melompat bangkit. Tubuh Pendekar Naga Putih
langsung melayang secepat kilat, menuju jendela ka-
mar yang sedikit terbuka.
Braaakkk...!
Jendela kamar penginapan itu langsung jebol keti-
ka Panji menerobos sambil mendorongkan telapak tan-
gannya ke depan!
"Aaahhh...?!"
Enam sosok tubuh yang berada di luar kamar,
menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka ber-
lompatan mundur sambil memberondong senjata ra-
hasia ke arah pemuda itu.
Whuuut! Whuuut!
Siuttt..!
Senjata-senjata rahasia yang diduga mengandung
racun dielakkan Pendekar Naga Putih dengan berjum-
palitan ke atas setinggi beberapa tombak. Kemudian,
tubuhnya meluncur turun setelah senjata-senjata ge-
lap itu lewat di bawah kakinya.
Pendekar Naga Putih yang baru saja meluncur tu-
run dari udara, langsung disambut kembali oleh se-
rangan-serangan enam sosok bayangan hitam yang ra-
ta-rata memiliki ilmu meringankan tubuh hampir sem-
purna. Tentu saja, hal itu membuatnya menjadi terhe-
ran-heran!
"Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan nyaring, tubuh Pendekar Naga
Putih kembali berputar cepat ke depan. Begitu menjejak tanah, sebuah tendangan kaki kanan Panji lang-
sung menghajar salah seorang lawan di belakangnya!
Bukkk!
"Uhhh...!"
Sosok berpakaian serba hitam yang terkena ten-
dangan keras pemuda itu langsung terjungkal ke bela-
kang! Tapi, Panji kembali mengerutkan keningnya
dengan wajah setengah tak percaya. Memang begitu
terjatuh, sosok berpakaian hitam yang terkena ten-
dangan keras itu langsung bangkit dengan sigapnya.
Seolah, orang itu sama sekali tidak merasakan keras-
nya tendangan Pendekar Naga Putih!
“Tahannn...!"
Panji berseru sambil mengangkat tangannya untuk
menghentikan pertarungan. Bentakannya yang keras
dan menggetarkan isi dada, langsung menghentikan
gerakan lawan-lawannya. Bahkan beberapa di antara-
nya tampak terjajar mundur diiringi keluhannya. Je-
las, Panji mengerahkannya dengan tenaga dalam ting-
gi.
"Siapa kalian...?! Dan mengapa menyerangku tan-
pa sebab?" tanya Panji.
Langsung dirayapinya wajah-wajah yang tersem-
bunyi di balik kain hitam itu. Namun, tak seorang pun
yang menjawab pertanyaan pemuda itu. Mereka saling
menatap satu sama lain. Kemudian, salah seorang di
antaranya menggerakkan kepala sebagai isyarat.
Bagaikan diberi aba-aba, enam sosok berpakaian
hitam yang wajahnya terlindungi selembar kain hitam
langsung berlompatan ke belakang secara bersamaan.
Melihat sikap dan cara mereka, tahulah Panji kalau
enam orang pengeroyoknya merupakan sebuah ke-
satuan yang kompak dan telah terlatih baik.
"Hmmm.... Siapa orang-orang tak dikenal ini...?
Nampaknya mereka orang-orang terlatih yang sengaja
dipersiapkan untuk membunuh. Gerakan mereka de-
mikian rapi dan kompak...," gumam Pendekar Naga
Putih seraya mengerutkan keningnya ketika melihat
enam orang itu melompat mundur.
Panji yang tengah sibuk memikirkan apa yang
hendak dilakukan orang-orang itu selanjutnya, me-
noleh terkejut mendengar adanya suara pertempuran
di tempat lain.
"Kenanga...!" seru Panji, perlahan.
Pendekar Naga Putih langsung teringat gadis jelita
kekasihnya yang tadi kelihatannya telah tertidur. Tan-
pa membuang-buang waktu lagi, pemuda itu segera
saja melesat menuju kamar kekasihnya yang terletak
di sebelah kamarnya.
Usaha Pendekar Naga Putih ternyata tidak di-
biarkan begitu saja. Enam sosok berpakaian hitam
yang semula berlompatan mundur itu bergerak ber-
barengan, untuk mencegah pemuda itu.
"Haiiittt...!"
"Yeaaattt...!"
Karuan saja perbuatan keenam sosok bayangan hi-
tam yang mencegahnya membuat Panji menjadi geram.
Langsung saja tubuhnya berbalik dan me-nyambut se-
rangan keenam orang itu!
"Hm... Kalian terlalu memaksa! Jangan sesali per-
buatan kalian ini...!" geram Pendekar Naga Putih.
Whuuut! Whuuut!
Dua orang di antara mereka bergerak melontarkan
pukulan-pukulan yang menimbulkan desir angin ta-
jam! Langsung saja Panji memiringkan tubuhnya, ke-
mudian langsung mengibaskan lengan kirinya meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'.
Breeeshhh...!
Akibatnya tentu saja cukup hebat! Meskipun Panji
tidak menggunakan tenaga sepenuhnya, namun kiba-
san tangannya tentu saja sanggup meremukkan batu
sebesar perut kerbau bunting sekalipun!
"Akhhh...!"
Dua orang berpakaian serba hitam yang terkena
samburan angin dari kibasan tangan pemuda itu lang-
sung terlempar deras ke belakang. Untunglah bukan
tangan itu yang sampai mengenai tubuh me-reka, ka-
rena keduanya sempat mundur ke belakang. Tapi
meskipun hanya terkena sisa angin pukulan Panji, tak
urung keduanya hampir terjungkal mencium tanah!
"Gila....?!" Terdengar dengusan salah seorang dari
kedua sosok berpakaian hitam yang menandakan ke-
terkejutannya begitu merasakan kelihaian pemuda
tampan berjubah putih yang menjadi lawan mereka.
Bersamaan terdorongnya kedua orang sosok ber-
pakaian hitam, empat lainnya segera bergerak mun-
dur. Mereka seolah-olah sengaja memancing Panji un-
tuk menjauhi kamar kekasihnya.
Panji yang sudah terlanjur geram, sama sekali ti-
dak berpikir demikian. Hal itu karena ia telah percaya
terhadap Kenanga. Gadis itu pasti bisa menjaga harga
dirinya baik-baik. Memang, melihat kepandaian enam
orang yang mengeroyoknya, Panji yakin gadis jelita itu
pasti dapat mengatasinya, meskipun jumlah penge-
royok Kenanga mungkin juga sama dengan jumlah pa-
ra pengeroyoknya.
Pikiran itu membuat Panji segera memutuskan un-
tuk menggempur lawan-lawannya. Segera saja tubuh-
nya bergerak dengan jurus-jurus 'Ilmu Naga Sakti'nya.
Karuan saja, gempuran Panji kali ini mem-buat enam
orang laki-laki berpakaian serba hitam itu kelabakan!
Untungnya, mereka memiliki ilmu meringankan tubuh
yang rada tinggi juga. Sehingga meskipun agak terde-
sak, mereka masih juga sempat menyelamatkan diri
dari sambaran cakar naga Panji!
Keenam sosok berpakaian serba hitam itu terus
berlompatan secara bergantian ke belakang. Sehingga
secara perlahan, pertarungan itu terus menjauhi ka-
mar Kenanga. Bahkan telah pula keluar dari ling-
kungan rumah penginapan itu.
Ketika desakan-desakan Pendekar Naga Putih se-
makin menghebat, mendadak keenam sosok tubuh itu
meleset menggunakan ilmu larinya. Mereka segera
meninggalkan Pendekar Naga Putih yang hanya terlon-
gong heran.
"Hei, berhenti...!"
Pendekar Naga Putih tidak bisa terpaku dalam ke-
heranannya. Maka diputuskannya untuk menang-kap
salah seorang dari mereka. Maksudnya untuk mencari
keterangan, apa maksud orang-orang itu me-
nyerangnya. Segera saja Pendekar Naga Putih melesat
melakukan pengejaran! Meskipun ilmu lari lawannya
rata-rata sangat mengagumkan, tapi bagi Panji tidak
menjadi masalah.
"Haiiittt...!"
Hanya beberapa kali lompatan saja, tubuh Pen-
dekar Naga Putih telah cepat melayang. Kemudian, dia
meluncur turun sejauh satu tombak di hadapan enam
orang yang hendak melarikan diri.
"Hahhh...?!"
Keenam orang itu seperti belum mengenal betul,
siapa pemuda tampan berjubah putih dihadapan me-
reka kini. Buktinya, mereka sangat terkejut melihat
pemuda itu dapat mengejar dalam waktu singkat. Kini
sadarlah keenam orang itu pemuda yang dihadapi bu-
kanlah orang sembarangan.
"Hm.... Kalian datang tanpa diundang, dan lang-
sung mencari keributan tanpa sebab. Lalu kini mau
pergi begitu saja...? Huh! jangan harap dapat lolos se-
belum menjelaskan apa maksud kalian hendak men-
celakai ku?" desis Panji sambil melangkah lambat den-
gan tatapan tajam mencorong, menggetarkan dada la-
wan-lawannya.
Tanpa sadar, keenam orang lelaki berseragam hi-
tam itu bergerak mundur karena perbawa yang timbul
dari wajah maupun tatapan mata pemuda tampan di
hadapan mereka demikian menggetarkan!
Tapi dengan gerak tak terduga, tiba-tiba saja ke-
enam sosok tubuh terbungkus pakaian hitam itu sama
menggerakkan tangan secara berbarengan. Kemudian
mereka langsung melemparkan benda-benda bulat se-
besar telur burung puyuh ke arah Panji!
Wheeesss! Wheeesss...!
Sekali lihat saja, Panji langsung dapat menduga
kalau senjata yang dilontarkan merupakan peledak
yang bisa menewaskannya. Cepat-cepat diambilnya
keputusan untuk menghindarinya dengan lentingan
tinggi ke depan menuju ke arah enam orang berse-
ragam hitam itu. Kemudian, tubuhnya berputar dan
meluncur turun dengan kecepatan bagai seekor elang
menyambar mangsa!
Namun, gerakan Pendekar Naga Putih ternyata
masih kalah cepat. Begitu selesai melemparkan benda-
benda bulat itu, keenam lawannya langsung melempar
tubuh ke semak-semak yang banyak terdapat di seki-
tarnya. Bahkan kegelapan malam telah membantu me-
reka untuk meloloskan diri.
"Kurang ajar...!" desis Panji geram. Kemudian, pe-
muda itu kembali melenting ketika terdengar ledakan
susul-menyusul di belakangnya.
Setelah mendaratkan kakinya di atas tanah, Panji
mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya. Be-
gitu ledakkan itu lenyap, keadaan pun sunyi seketika.
Namun pemuda itu tetap bermaksud menangkap gera-
kan-gerakan di sekitarnya. Ia, memang merasa yakin
kalau musuh-musuhnya pasti belum lari terlalu jauh.
"Haiiittt...!"
Ketika mendengar langkah yang sangat ringan di
sebelah kirinya, cepat Panji berseru keras diiringi lesa-
tan tubuhnya. Jarak sejauh tiga tombak lebih itu ter-
nyata dapat dicapainya dengan sekali lompatan saja.
"Hei?! Mau lari ke mana kau, Pengecut..!" bentak
Panji saat melihat sesosok bayangan hitam bergerak
hendak melarikan diri.
Cepat bagai kilat, tubuh Pendekar Naga Putih
kembali melenting dan berjumpalitan beberapa kali se-
belum meluncur turun.
Sosok berpakaian hitam yang hanya seorang itu je-
las kelihatan sangat kaget melihat kehadiran Panji.
Tanpa banyak bicara lagi, segera saja Panji diberon-
dong dengan senjata-senjata rahasianya.
Tapi, Pendekar Naga Putih yang sudah mengambil
keputusan untuk menawan orang itu hidup-hidup, se-
gera saja bergerak ke samping. Kemudian dia terus
melesat dengan cengkeraman kedua tangan siap me-
lumpuhkan lawan.
Kepandaian orang itu ternyata tidak begitu tinggi.
Nyata sekali kelemahannya saat hanya seorang diri.
Jelas, kehebatan serta keuletannya hanya karena kerja
sama yang serempak dengan kawan-kawannya. Se-
dangkan kalau sendiri, sepertinya orang itu sama se-
kali tidak berarti apa-apa bagi Panji.
Kreeeppp! Tuggg...!
"Uhhh...!"
Lelaki berpakaian serba hitam yang naas itu tak
sanggup lagi menghindari serangan Pendekar Naga Pu-
tih. Tubuhnya langsung melorot jatuh seketika itu juga
akibat totokan yang dilakukan Panji.
Tapi sebelum Pendekar Naga Putih sempat mencari
keterangan dari mulut orang itu, terdengar desingan-
desingan senjata rahasia yang mengancam keduanya.
Cepat-cepat Panji membalikkan tubuh sambil mengi-
baskan tangannya, untuk menghalau pergi senjata-
senjata yang mengancam nyawanya. Tapi....
"Akhhh...!"
Lelaki yang tertotok lumpuh oleh Panji, terdengar
mengeluh tertahan. Tak lama kemudian, kepalanya
langsung tergolek lemah. Jelas, kalau senjata rahasia
yang mengenai orang itu mengandung racun memati-
kan!
"Bangsat licik...!" dengus Panji geram.
Pendekar Naga Putih benar-benar menjadi marah
ketika melihat orang yang telah dilumpuhkannya te-
was, dengan tiga buah jarum halus menancap dalam
di bagian lehernya.
Dengan perasaan geram serta penasaran, pemuda
itu bergerak bangkit. Namun, ia kembali menunduk
memeriksa mayat orang itu ketika teringat orang yang
terkena tendangan kerasnya ketika bertarung di pengi-
napan tadi.
Pendekar Naga Putih ingin tahu, apa gerangan
yang membuat tendangannya bagai tidak berarti bagi
orang-orang itu, melalui mayat laki-laki yang baru saja
tewas oleh jarum-jarum beracun. Dan pemuda itu
menjadi kecewa ketika tidak menemukan apa-apa di
balik pakaian lelaki berseragam hitam yang tewas itu.
Kini, Panji bergegas kembali ke penginapan, karena je-
las tidak mungkin.
***
Tiba di tempat penginapan, kening Panji jadi ber-
kerut ketika tidak melihat pertempuran lagi. Segera sa-
ja pemuda itu berlari ke kamar kekasihnya. Namun,
kamar telah kosong tanpa penghuninya.
"Paman.... Apakah di antara para tamu disini ada
yang melihat seorang gadis berpakaian serba hijau...?"
tanya Panji, menghampiri salah seorang tamu pengi-
napan yang tengah berkerumun dekat kamar kekasih-
nya.
"Aku tidak tahu, Anak Muda. Ketika mendengar
suara ribut-ribut tadi, aku tidak berani keluar dari
kamar. Baru setelah keributan tidak terdengar lagi,
aku berani keluar kamar. Namun aku tidak melihat
siapa-siapa lagi. Apalagi gadis berpakaian hijau ka-
wanmu itu...," jawab lelaki setengah baya yang ru-
panya tahu kalau Kenanga adalah kawan pemuda itu.
"Kisanak. Aku tadi melihat kawanmu mengejar
orang-orang berseragam hitam yang melarikan diri ke
arah Selatan. Sepertinya, orang-orang jahat itu merasa
gentar terhadap kawanmu yang ternyata sangat hebat
ilmu silatnya. Aku sempat melihat ketika ia dikeroyok.
Tapi..., aku hanya mengintainya dari balik jendela ka-
mar...," ujar seorang lelaki berusia sekitar tiga puluh
tahun tersenyum malu-malu.
Tapi, Panji sendiri sudah tidak memperdulikan
ucapan orang itu selanjutnya. Pemuda itu langsung
kabur ketika mendengar Kenanga mengejar lawannya
ke arah Selatan. Tentu saja lenyapnya pemuda itu
membuat para tamu menjadi gempar!
"Celaka...! Jangan-jangan tadi itu arwahnya yang
merasa penasaran..., hiiiyyy...!"
Sambil merinding ketakutan, lelaki berusia tiga puluh tahun itu langsung berlari masuk ke dalam ka-
marnya. Memang, setelah bicaranya selesai tadi, ia ti-
dak lagi menemukan pemuda tampan berjubah putih
itu di hadapannya. Padahal sejak tadi tak seorang pun
yang mengalihkan pandangan dari wajah pemuda
tampan itu. Tentu saja sebagai orang awam terhadap
ilmu silat, mereka menyangka pemuda itu pandai
menghilang. Bahkan dianggap sebagai arwah!
***
EMPAT
Menjelang pagi, Panji kembali ke tempat pengi-
napannya. Pemuda itu gagal mencari kekasihnya.
Meski semalaman telah menjelajahi seluruh daerah di
sekitar Desa Jipang, namun jejak Kenanga tetap tidak
ditemukan. Gadis jelita itu seperti lenyap ditelan bumi.
Tanpa sepengetahuan para tamu lain yang juga
menginap di penginapan itu, Panji menyelinap masuk
ke dalam kamarnya. Dari raut wajahnya, jelas sekali
kalau pemuda itu merasa cemas terhadap keselamatan
kekasihnya. Mengingat kelicikan lawan-lawannya se-
malam, dikhawatirkan kekasihnya terjebak. Bahkan
ada kemungkinan ditangkap gerombolan orang-orang
tak dikenal berpakaian serba hitam. Hanya itu du-
gaannya dan Panji merasa yakin kalau kekasihnya be-
lum tewas.
Pendekar Naga Putih termenung di atas pembari-
ngannya menghadap langit-langit kamar. Sejauh itu,
belum juga ditemukan jawaban tentang orang-orang
yang menyatroninya semalam. Meskipun pikirannya
telah terkuras, tapi tetap saja jalan itu masih terlalu
gelap. Selain itu iapun merasa, sebagai orang yang se-
lalu terlibat kekerasan, pasti banyak orang dari kalan-
gan sesat yang mengincarnya untuk membalas den-
dam. Ataupun, melenyapkannya agar perbuatan jahat
mereka tidak ada lagi yang menghalangi.
Ketika kamar-kamar penginapan mulai sunyi saat
penghuninya tengah menikmati hidangan di kedai de-
pan penginapan, Panji bergegas menuju kamar keka-
sihnya. Diambilnya buntalan pakaian Kenanga dan
disatukan dengan pakaian-pakaiannya. Kemudian, dia
menuju ruang makan.
Tapi baru saja Panji merapatkan pintu kamarnya,
seorang pelayan bergegas menghampirinya. Meski den-
gan kening agak berkerut, Panji menghadapi pelayan
itu dengan wajah tetap tenang.
Setelah menyapa ramah, pelayan itu memperhati-
kan wajah serta pakaian yang dikenakan Panji. Puas
meneliti, pelayan setengah baya itu bertanya ragu-
ragu.
"Tuan! Benarkah Tuan yang dijuluki orang sebagai
Pendekar Naga Putih...?"
Panji tidak segera menjawab pertanyaan pelayan
itu. Sejenak ditatapnya wajah pelayan setengah baya
itu dengan sorot mata tajam. Tentu saja pelayan ini
menjadi salah tingkah.
"Benar, Paman. Ada apa...?" tanya Panji.
Pendekar Naga Putih menghubungkan pertanyaan
pelayan itu dengan kejadian semalam, sehingga mem-
buat kekasihnya lenyap.
"Oooh.... Anu, Tuan pendekar...," sahut lelaki itu
dengan sikap berubah jauh.
Kali ini, setelah mengetahui kalau pemuda itu ada-
lah seorang pendekar, iapun terlihat agak ber-lebihan
dalam menghormat.
“Ya, Paman. Katakanlah, ada perlu apa...?" desak
Panji yang menjadi tak sabar melihat sikap berlebihan
orang tua itu.
Jelas sikap pemuda itu agak berubah akibat le-
nyapnya gadis jelita yang sangat dicintainya. Ke-
sabarannya yang selama ini selalu tergambar jelas pa-
da wajah dan senyumnya, mendadak lenyap. Hati-nya
benar-benar cemas akan nasib Kenanga.
"Ng..., anu.... Di depan ada Tuan Pendekar Garuda
Sakti yang hendak bertemu Tuan...," jelas pelayan se-
tengah baya itu sambil membungkuk-bungkuk penuh
hormat.
"Pendekar Garuda Sakti...?" gumam Panji agak me-
renung.
Setelah mengingat sejenak, namun tak juga me-
ngenali orang yang berjuluk Pendekar Garuda Sakti
itu, Panji mengangguk mengiyakan.
"Orang itu menunggu di ruang makan, Tuan Pen-
dekar...," jelas pelayan setengah baya itu lagi, ketika
melihat pemuda yang berjuluk Pendekar Naga Putih
termenung.
"Baik. Aku akan segera menemuinya...," sahut Pan-
ji, segera melangkah menuju ruang makan mengikuti
pelayan itu.
Panji terdiam sesaat ketika pelayan penginapan itu
menunjuk ke arah seorang lelaki gagah berusia sekitar
empat puluh tahun. Dia tampak tenang di sebuah su-
dut yang agak ke depan. Perlahan, pemuda itu me-
langkah mendekat.
Lelaki gagah yang wajahnya terhias kumis tebal itu
bangkit, ketika melihat seorang pemuda tampan ber-
jubah putih menghampirinya. Segera saja tubuhnya
membungkuk hormat kepada Panji.
"Pendekar Naga Putih..., benar-benar suatu karunia besar karena aku dapat bertemu denganmu. Begitu
mendengar khabar adanya seorang pemuda tampan
berjubah putih bersama seorang dara jelita berpakaian
hijau menginap di salah satu penginapan Desa Jipang
ini, aku langsung saja bergegas ke sini. Sudah lama
aku mengagumi sepak terjang mu dalam memerangi
kaum sesat, Pendekar Naga Putih. Ah..., benar-benar
beruntung sekali aku dapat bertemu lang-sung dengan
pendekar besar yang menggemparkan dunia persila-
tan...."
Lelaki gagah yang mengaku sebagai Pendekar Ga-
ruda Sakti itu langsung saja nyerocos sebelum Panji
bertanya. Sehingga, pemuda itu merasa sedikit curiga
terhadap sikapnya yang seperti terlalu berlebihan.
"Terima kasih atas pujian mu yang rasanya terlalu
tinggi untukku itu, sahabat. Tapi, akupun sangat se-
nang berjumpa denganmu. Sayang, aku hanya seorang
pengembara yang kebetulan singgah di desa ini. Jadi,
maaf kalau belum begitu mendengar tentang Pendekar
Garuda Sakti...," ucap Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya menjadi mudah
curiga sejak kejadian semalam, yang menyebabkan hi-
langnya Kenanga.
"Ah.... Tidak mengapa, Pendekar Naga Putih. Aku
memang kurang begitu terkenal di kalangan rimba
persilatan. Tapi di daerah sekitar Desa Jipang, boleh
dibilang akulah orang nomor satu. Maaf, bukannya
bermaksud sombong. Apalah artinya seorang pendekar
sepertiku bila dibandingkan nama besarmu, Pendekar
Naga Putih. Mmm..., oh! Panggil saja aku Gumang. Ra-
sanya, kita akan lebih akrab bila hanya memanggil
nama saja...," ujar Pendekar Garuda Sakti lagi sambil
mempersilakan pemuda. itu duduk.
"Aku Panji," balas Pendekar Naga Putih, pendek.
Panji mulai melenyapkan rasa curiganya terhadap
Gumang. Pemuda itu tersenyum dan segera duduk
menghadapi lelaki gagah yang mengaku bernama Gu-
mang. Kemudian Pendekar Naga Putih memesan mi-
numan kepada salah seorang pelayan.
"Mmm.... Kalau boleh aku tahu, kira-kira apa
keperluan mu denganku, Gumang?" tanya Panji.
"Tidak ada yang khusus, Panji," sahut Gumang.
"Jelasnya, aku hanya ingin berjumpa dan agar dapat
mengenal lebih jauh denganmu saja. Mmm..., apakah
kau tidak ingin memperkenalkan aku dengan tu-
nangan mu? Kudengar, gadis jelita berpakaian hijau
yang selalu bersamamu adalah calon istrimu. Betul
demikian...?" Lanjut Gumang sambil melirik ke arah
pintu yang menghubungkan ruang makan itu dengan
kamar-kamar penginapan.
Panji tidak segera menjawab pertanyaan atau per-
mintaan Gumang. Dia malah meneguk airnya agar ti-
dak kelihatan sedang termenung. Setelah beberapa
saat kemudian, Panji menurunkan minumannya dan
menatap wajah Pendekar Garuda Sakti di depannya.
"Gumang..." Panggil pemuda itu perlahan, "Sebagai
orang nomor satu di daerah ini, pernahkah kau ber-
jumpa orang-orang berseragam hitam, yang kemuncu-
lan mereka selalu berkelompok serta memiliki ilmu
meringankan tubuh tinggi...?"
Pendekar Naga Putih mencari kesempatan untuk
memperoleh keterangan tentang orang-orang yang se-
malam menyatroninya. Pertanyaan itu baru terpikir
saat ia merenung tadi.
"Hm.... Orang-orang berseragam hitam yang mun-
cul berkelompok, dan memiliki ilmu meringankan tu-
buh sangat tinggi..," Gumang bergumam sambil men-
gerutkan keningnya dalam-dalam.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu berusaha
berpikir keras untuk menjawab pertanyaan Panji. Keli-
hatannya Pendekar Garuda Sakti hendak mem-bantu
pemuda itu.
"Kau pernah berjumpa orang-orang seperti yang
kusebutkan itu...?" desak Panji lagi, tak sabar me-
nunggu jawabannya.
"Mmm..., belum. Tapi, aku pernah mendengar ten-
tang orang-orang itu. Kalau tidak salah, mereka meru-
pakan pembunuh bayaran yang kabarnya sangat dita-
kuti kalangan persilatan. Mengapa kau tanyakan itu,
Pendekar Naga Putih...?" tanya Gumang dengan kening
berkerut.
Mau tidak mau, Panji terpaksa menjelaskannya.
Sedangkan Pendekar Garuda Sakti mendengarkan pe-
nuh perhatian.
"Ah..., benar-benar cari penyakit!" geram Gumang
setelah mendengarkan keterangan Panji. Jelas, lelaki
gagah itu merasa marah sekali.
"Jadi, mereka berhasil menculik kekasihmu se-
malam...?" tanya Pendekar Garuda Sakti masih tidak
percaya.
"Begitulah. Dan aku akan mencari, ke manapun
mereka pergi...!" tegas Panji sambil mengepalkan tin-
junya kuat-kuat.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih. Aku akan
mencoba mencari keterangan tentang tempat sem-
bunyinya manusia-manusia laknat itu. Setelah itu, ba-
rulah kita bersama-sama menggempurnya!" ujar Gu-
mang dengan semangat menyala-nyala.
Kelihatan sekali kalau lelaki gagah itu sangat me-
naruh perhatian terhadap kejadian yang menimpa diri
kekasih Pendekar Naga Putih.
Setelah berkata demikian, Gumang pamit. Dia berniat menanyakan sahabat-sahabatnya, tentang orang-
orang berpakaian hitam yang menculik tunangan Pen-
dekar Naga Putih.
Pendekar Naga Putih yang semula hendak mening-
galkan penginapan untuk mencari kekasihnya, ter-
paksa harus menunda niatnya. Karena, Gumang yang
berjuluk Pendekar Garuda Sakti menjanjikan untuk
mencari keterangan tentang orang-orang yang men-
culik Kenanga. Sehingga, dia terpaksa menunggu di
penginapan itu.
***
Pendekar Garuda Sakti yang sepertinya sangat
bangga dapat melakukan pekerjaan untuk Pendekar
Naga Putih, beberapa hari kemudian telah kembali
mengunjungi tempat penginapan Panji. Kabar yang di-
bawanya pun cukup melegakan perasaan pemuda itu.
"Hm.... Jadi mereka memiliki perkumpulan yang
cukup kuat?" tegas Panji setelah mendengar kete-
rangan Gumang.
"Benar, Panji. Perkumpulan itu sendiri sangat ra-
hasia. Jarang ada tokoh persilatan yang tahu, di mana
sarang perkumpulan pembunuh bayaran yang berna-
ma Naga Hitam itu. Untunglah, ada salah seorang ka-
wanku yang secara tak sengaja pernah tersesat di dae-
rah perkumpulan itu. Sayang, ia tidak mengetahui
orang yang menjadi pimpinan perkumpulan pembunuh
bayaran itu...," jelas Gumang lagi. Nada suaranya ter-
sirat kebanggaan karena dapat membantu pendekar
muda itu.
"Kalau begitu, sekarang juga aku harus menemui
mereka," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja hendak me
nyatroni markas kelompok pembunuh bayaran yang
telah menculik kekasihnya itu. Tapi, Gumang segera
mencegahnya. Sehingga, kening pemuda itu sempat
berkerut heran.
"Mengapa, Gumang? Bukankah lebih cepat akan
lebih baik?" tanya Panji, seolah tak mengerti apa mak-
sud Gumang sebenarnya sehingga mencegah kepergi-
annya.
"Maaf, Pendekar Naga Putih. Bukan maksudku
mencegah keinginanmu itu. Tapi, aku merasa ragu.
apakah mereka benar-benar telah menculik kekasih-
mu...?" ucap Gumang, menjelaskan duduk per-
karanya.
"Sebenarnya aku juga kurang yakin, Gumang. Se-
bab, kalau benar mereka menculik kekasihku, pasti
akan menghubungi ku? Tapi sampai hari ini, mereka
ternyata sama sekali tidak menghubungi ku. Bukan-
kah ini aneh...," Panji yang rupanya juga berpikiran
sama dengan Pendekar Garuda Sakti, segera saja men-
gung-kapkan rasa penasarannya.
"Itulah yang ingin kukatakan padamu, Panji. Tapi
kalau memang mereka tidak menculiknya, mengapa
pula kekasihmu tidak kembali ke penginapan...?"
tanya Gumang, mengerutkan keningnya seperti tengah
berpikir keras untuk memecahkan masalah yang ma-
sih gelap itu.
Pada saat kedua orang itu tengah termenung me-
ngikuti arus pikiran masing-masing, tiba-tiba seorang
pelayan datang tergopoh-gopoh menghampiri.
'Tuan..., Tuan...!"
Pelayan setengah baya itu berteriak-teriak berlari
ke arah mereka. Tentu saja Panji dan Gumang ter-
sentak kaget, dan menoleh dengan kening berketut.
"Seorang pedagang keliling mengantarkan surat ini.
Katanya surat ini untuk Tuan Pendekar Naga Putih...,"
lapor pelayan setengah baya itu sambil menyodorkan
sepucuk surat kepada Panji.
Gumang tidak berkata sepatah pun pada saat Panji
tengah membaca gulungan surat itu. Hanya saja, ke-
ning lelaki gagah itu agak berkerut melihat ketegangan
dan kegusaran di wajah Pendekar Naga Putih.
"Hm.... Rupanya mereka benar menculik Kenanga.
Perkumpulan pembunuh bayaran Naga Terbang meng-
undangku untuk datang ke Lembah Bintang. Mereka
akan membebaskan Kenanga, apabila aku menyerah-
kan diri...," gumam Panji menjelaskan isi surat itu. Se-
hingga, wajah Gumang tampak menegang.
"Lembah Bintang...?" desis Gumang dengan wajah
agak pucat.
Jelas lelaki gagah itu telah mengetahui lembah
yang dimaksudkan kelompok pembunuh bayaran yang
bernama Naga Hitam.
"Mengapa, Gumang? Apakah ada sesuatu yang
menakutkan di lembah itu...? Apa kau sudah pernah
mendatangi tempat itu sebelumnya?" tanya Panji. Pen-
dekar Naga Putih memang merasa heran melihat wajah
sahabat barunya tampak pucat.
"Aku belum pernah ke lembah itu. Tapi kalau boleh
ku nasehati, sebaiknya jangan datang ke lembah cela-
ka itu, Panji....." ujar Gumang menjelaskan
kekhawatirannya. Semua itu tergambar jelas baik
dari wajah maupun ucapannya.
"Hm.... Tidak mungkin, Gumang. Apapun yang
akan dihadapi nanti, aku tetap harus datang me-
menuhi undangan mereka!" tegas Panji dengan suara
mantap.
Pendekar Garuda Sakti menatap wajah Panji penuh
kecemasan. Berkali-kali terdengar helaan napas berat
nya yang berkepanjangan. Beberapa saat lamanya,
Gumang terdiam tanpa kata.
"Aku yakin, mereka pasti akan menjebakmu. Se-
pertinya, mereka telah diperalat orang lain untuk
membunuhmu. Dan umpannya adalah kekasihmu
yang sekarang di tangan mereka...," desah Gumang
tanpa semangat
Wajah Pendekar Garuda Sakti tampak demikian
kuyu. Sehingga, Panji semakin merasa suka dan ber-
syukur mendapatkan seorang kawan sebaik laki-laki
gagah itu.
"Meskipun benar begitu, aku tetap akan me-
menuhi undangan mereka. kalau tidak, apa jadinya
nasib kekasihku? Atau, kau mempunyai pikiran lain
yang mungkin dapat dijadikan pilihan...?" tanya Panji,
hendak mengetahui pendapat Gumang.
Lelaki gagah berkumis tebal itu hanya meng-
gelengkan kepala tak. bergairah. Sepertinya Gumang
ikut merasa susah memikirkan masalah yang dihadapi
Pendekar Naga Putih.
"Kalau begitu, tidak ada jalan lain. Aku harus pergi
untuk menukar diriku dengan Kenanga. Atau kalau
mungkin, aku akan menghadapi mereka untuk mem-
bebaskan kekasihku," kembali Panji menandaskan
ucapannya yang sepertinya tidak mungkin dapat beru-
bah lagi.
"Hhh.... Kalau saja ada yang bisa kulakukan untuk
meringankan persoalanmu, senang sekali rasanya.
Sayang, aku hanyalah orang bodoh yang tidak mem-
punyai pendapat lain...," desah Gumang disertai he-
laan napas beratnya yang berkepanjangan.
"Terima kasih, Gumang. Kau tidak perlu berkecil
hati. Apa yang selama beberapa hari ini kau lakukan
untukku, itu rasanya sudah lebih dari cukup. Entah,
bagaimana aku dapat membayar lunas hutang budi
ini..,," kata Panji sambil menepuk-nepuk bahu Gu-
mang.
Untuk beberapa saat lamanya, kedua orang lelaki
gagah itu sama terdiam tanpa kata. Mereka kembali
termenung mengikuti arus pikiran masing-masing.
Panji yang merasa tidak enak melihat wajah pendekar
itu agak gelap, terpaksa menunda kepergiannya. Dan
lagi waktu yang ditentukannya adalah tengah malam.
Jadi rasanya masih banyak waktu bagi pemuda itu un-
tuk memikirkan cara terbaik untuk membebaskan ke-
kasihnya.
"Gumang...," panggil Panji dengan suara perlahan.
Namun, lelaki gagah itu tersentak kaget, karena
terlalu tenggelam dalam lamunannya.
"Ada apa, Panji...?" tanya Pendekar Garuda Sakti
dengan mata berbinar. Seolah, ia mengharapkan Pen-
dekar Naga Putih akan memintanya untuk ikut serta
memenuhi undangan itu.
"Kira-kira berapa lama untuk bisa mencapai Lem-
bah Bintang itu...?" tanya Panji, sekedar untuk mele-
nyapkan kekakuan di antara mereka.
"Hm.... Untuk mendatangi Lembah Bintang dari
Desa Jipang ini, mungkin hanya beberapa jam kalau
dilakukan olehmu. Tapi kalau orang lain yang me-
lakukannya termasuk aku, mungkin bisa satu hari sa-
tu malam...," jawab Gumang, singkat.
"Kalau begitu, aku harus segera berkemas. Sebab,
waktu yang diberikan hanya sampai tengah malam...,"
kata Panji, segera bangkit dari duduknya.
'"Panji...," panggil Gumang menahan langkah pe-
muda tampan itu, "Hati-hatilah. Maaf, aku tidak bisa
membantumu lebih jauh. Kalaupun aku me-maksa
ikut untuk menambah pengalaman, itu hanya akan
menyusahkanmu saja. Jadi, sebaiknya aku pergi dulu.
Semoga kau dapat menyelamatkan kekasih-mu...."
Gumang akhirnya berpamit kepada Panji, karena
memang tidak ada lagi yang bisa dilakukannya untuk
pemuda itu.
"Baiklah. Terima kasih atas segala bantuanmu...,"
ucap Panji tanpa berusaha mencegah kepergian lelaki
gagah yang begitu mau bersusah payah membantunya.
Setelah kepergian Pendekar Garuda Sakti, Panji
bergegas ke dalam kamarnya dan membuntal pa-
kaiannya. Usai membayar sewa penginapan, dia be-
rangkat menuju Lembah Bintang.
***
Panji bergerak cepat meninggalkan Desa Jipang
dengan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Pe-
muda itu berniat tiba lebih awal, agar bisa menyelidiki
daerah sekitar Lembah Bintang. Karena diduga, bukan
tidak mungkin musuh-musuhnya telah memasang pe-
rangkap atau jebakan untuk menewaskannya. Pikiran
itulah yang membuat Panji berlari bagaikan orang di-
kejar setan.
Menjelang senja, Panji telah tiba beberapa puluh
tombak di bawah kaki Gunung Burangkang. Memang,
di bawah kaki gunung itulah Lembah Bintang terletak.
Dengan memperlambat gerak langkah larinya, Pen-
dekar Naga Putih terus mendekati kaki Gunung Bu-
rangkang melalui jalan yang agak tersembunyi. Ketika
bulan telah menampakkan wajahnya yang bulat, Panji
pun telah berada di daerah sekitar Lembah Bintang.
"Aneh.... Lembah yang terdiri dari batu-batu ber-
lumut inikah yang menurut Gumang menyeram-
kan...? Lalu, di mana letak keangkerannya...?" gumam
Panji menatapi lembah di bawahnya dari balik rimbu-
nan semak belukar.
Kening Pendekar Naga Putih berkerut agak heran
melihat Lembah Bintang. Karena sejauh mata me-
mandang, tak satu pun yang bisa menimbulkan kese-
raman. Sehingga, pemuda itu menjadi tak me-ngerti
ketika dengan rasa takut dan dengan wajah pucat
Pendekar Garuda Sakti membicarakan lembah itu.
Ketika malam sudah mulai larut, Panji bergerak
hati-hati menuruni lembah. Ilmu meringankan tu-
buhnya dikerahkan hingga puncaknya. Pendengar-
annya dipasang tajam-tajam untuk mendengar suara-
suara yang bisa menimbulkan kecurigaan. Sepasang
matanya mencorong tajam, bagaikan mata seekor naga
di kegelapan. Sedangkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya, siap menyebar melindungi tubuhnya.
"Hua ha ha...! Untuk apa mengendap-endap seperti
maling yang hendak mencuri, Pendekar Naga Putih!
Kau tidak perlu khawatir. Tempat ini tidak ada jebakan
atau perangkap satupun...!"
Tiba-tiba terdengar suara tawa bergema meme-
nuhi Lembah Bintang, yang disusul suara parau dan
berat. Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut, ka-
rena sama sekali tidak mengetahui di mana musuh-
musuhnya bersembunyi.
Sadar kalau kedatangannya sudah diketahui la-
wan, Panji pun menegakkan tubuhnya. Sambil me-
langkah penuh waspada, dikitarinya sekitar Lembah
Bintang dengan sorot mata yang bagaikan menyala di
kegelapan. Sementara sinar bulan yang semula me-
mancar, telah tertutup awan hitam, membuat suasa
Lembah Bintang menjadi gelap. Apalagi, hembusan
angin demikian keras hingga membuat jubahnya ber-
kibar. Tapi, Pendekar Naga Putih terus bergerak maju
tanpa rasa gentar sedikit pun.
"Hei, mengapa kalian bersembunyi? Aku sudah da-
tang memenuhi undangan kalian! Bebaskan kawan-
ku, atau kuhancurkan lembah ini...!"
Panji berteriak disertai pengerahan tenaga sak-
tinya. Tentu saja suaranya menimbulkan gaung yang
menggetarkan.
Suasana kembali sunyi ketika gema suara pemuda
perkasa itu lenyap ditelan hembusan angin yang san-
gat keras. Beberapa saat kemudian, telinga Pen-dekar
Naga Putih mendengar banyak suara langkah kaki
orang dari depannya.
Panji termenung sambil mencoba menghitung jum-
lah lawan melalui langkah-langkah kaki. Kemudian
kepalanya diangkat setelah dapat menebak jumlah la-
wan.
"Hm..., dua belas orang rasanya tidak terlalu ba-
nyak. Aneh, mengapa mereka tidak membawa jumlah
yang lebih banyak? Ataukah semua yang datang me-
rupakan pentolan pembunuh bayaran perkumpulan
Naga Hitam...?" gumam Panji seperti bicara sendiri. Se-
lain itu, Pendekar Naga Putih juga menangkap adanya
langkah yang terseret-seret dengan paksa. Berdebar
hati Panji, karena diduga langkah terseret itu pastilah
langkah kekasihnya yang ditawan mereka.
Panji tidak perlu menunggu lama, karena bebe-
rapa saat kemudian tampaklah belasan sosok tubuh
yang berlarian menuju ke arah aliran sungai yang
membentang di bawahnya. Bergegas pemuda itu men-
gikutinya, dan baru berhenti dalam jarak tiga tombak.
Dan kini tampaklah belasan sosok tubuh terbungkus
pakaian hitam.
"Nah, Pendekar Naga Putih! Sekarang kau boleh pi-
lih. Menyerahkan diri agar nyawamu bisa kami cabut,
atau terpaksa dara jelita ini kami lemparkan ke sun-
gai...."
Terdengar salah seorang dari sosok-sosok tubuh
itu berteriak memberikan pilihan kepada Pendekar Na-
ga Putih.
Panji melangkah beberapa tombak lagi untuk me-
negasi raut wajah sosok yang berbicara itu. Tampak
seorang lelaki tua berpakaian serba hitam, berusia se-
kitar enam puluh tahun. Sepasang matanya tampak
menyorot tajam menggetarkan jantung. Jelas, hal itu
menandakan kalau lelaki tua itu bukan orang semba-
rangan.
Di sebelah kanan lelaki tua itu berdiri seorang lela-
ki tinggi kurus. Tingginya hampir satu setengah kali
tinggi manusia biasa. Sepasang mata lelaki jangkung
berusia lima puluh tahun lebih itu pun menimbulkan
perbawa menggetarkan. Tahulah Panji, ia kini berha-
dapan dengan datuk-datuk golongan hitam. Memang
hanya orang-orang tingkat tinggilah yang memiliki si-
nar mata demikian tajam!
Sedangkan sepuluh orang lainnya tidak begitu di-
perhatikannya. Karena wajah mereka terlindung kain
hitam. Pendekar Naga Putih pun menduga, mereka itu-
lah orang-orang yang menyatroninya di penginapan.
Sepasang mata Panji semakin mencorong ketika
melihat adanya sesosok tubuh ramping terbungkus
pakaian hijau yang tubuhnya terikat tali. Dua orang
berpakaian hitam tampak memegangi sosok yang jelas
seorang wanita itu. Sayang, wajah sosok ramping itu
tidak begitu jelas karena terhalang rambutnya yang ja-
tuh menutupi sebagian wajahnya. Kepala gadis itu ter-
tunduk seperti tidak sadarkan diri.
"Kenanga...!" desis bibir Pendekar Naga Putih den-
gan hati berdebar.
Hati Panji bagaikan teriris melihat kekasihnya san-
gat menderita, seperti itu. Terdengar suara ber-
kerotokan dari buku-buku jari tangannya ketika tin-
junya dikepalkan erat-erat.
Pandangan Panji kembali beralih ke arah dua so-
sok tubuh yang diduga merupakan pimpinan musuh-
musuhnya. Setelah menarik napas untuk menente-
ramkan hatinya, pemuda tampan itu menatap tajam ke
arah musuh-musuhnya.
"Rasanya dapat kuduga, siapa kalian berdua,
Orang Tua. Kalian adalah Datuk Naga Hitam dan Peta-
pa Gunung Kulon. Tapi, tak kusangka datuk-datuk
terhormat seperti kalian demikian bersifat merendah
dengan melakukan perbuatan selicik ini. Menurutku,
kalian berdua lebih pantas menjadi pen-jahat-penjahat
rendah yang tidak patut untuk men-jadi seorang da-
tuk....," geram Panji sambil menatap tajam kedua
orang datuk sesat itu.
"He he he he...."
Terdengar gema tawa perlahan yang lembut dari
sosok bertubuh jangkung yang tak lain Petapa Gunung
Kulon. Datuk sesat yang menyembunyikan kekejaman-
nya di balik sifat lembut dan pakaian pertapanya, keli-
hatannya sama sekali tidak tersinggung oleh ucapan
Panji.
"Pendekar Naga Putih! Orang-orang seperti kami
yang berdiri di barisan golongan sesat, tidak ada lagi
kata licik atau sifat rendah. Bagi kami, semua yang
kami lakukan adalah halal. Jadi, tidak ada gunanya
memancing harga diri kami agar membebaskan gadis-
mu itu. Lebih baik, putuskanlah. Nyawamu, atau nya-
wa kekasihmu yang jelita itu...," ujar Pertapa Suci den-
gan suara lembut dan terkesan penuh kesabaran.
"Bangsat rendah...!" maki Panji sambil bergerak
maju mendekat.
Hati pemuda itu merasa geram sekali karena di-
sodorkan pilihan yang sangat sulit.
"Jangan dekat..!" bentak seorang lelaki bertubuh
gemuk dan berkepala botak. Pada telinga kirinya
menggantung anting-anting dari emas. Dan dia lang-
sung memerintahkan dua orang anak buahnya yang
memegang gadis berpakaian hijau itu, untuk menjauh.
"Hm..., Datuk Naga Hitam!" sentak Panji dengan
suara garang, "Kau tidak pantas menjadi seorang da-
tuk kaum sesat, dengan jiwa yang sangat kerdil dan
pengecut!"
"He he he.... Makilah sampai mulutmu berbusa,
Pendekar Naga Putih. Semua ini kaulah yang mencari-
nya. Beberapa hari yang lalu, kau telah membunuh
saudara seperguruanku di Hutan Sindang. Jadi, seka-
rang rasakanlah pembalasanku...," sahut Datuk Naga
Hitam, kalem. Bahkan makian Pendekar Naga Putih
malah disambut dengan gelak tawa yang berkepan-
jangan.
"Keparat! Pantas kau tidak jauh berbeda dengan
tokoh gila pemabukan itu! Rupanya kau ingin mem-
balas dendam terhadapku. Tapi, sayangnya hatimu li-
cik dan rendah. Kau tidak berani menghadapiku seca-
ra jantan. Sehingga, harus melakukan perbuatan sehi-
na ini!" geram Panji lagi.
Kini, Pendekar Naga Putih mulai mengerti, me-
ngapa Datuk Naga Hitam sampai ingin membunuh-
nya. Rupanya datuk sesat itu merupakan saudara se-
perguruan dari Pemabuk Berhati Iblis yang di-
bunuhnya beberapa hari yang lalu.
"Sudah! Tidak perlu banyak cakap! Cepat kau pilih!
Nyawamu, atau nyawa kekasihmu...! Ku hitung sampai
tiga...!" bentak Datuk Naga Hitam yang tidak ingin
memberi kesempatan kepada Pendekar Naga Putih un-
tuk berpikir lebih jauh.
***
Panji menggeram gusar. Jelas, untuk mengambil
keputusan itu sangat sulit baginya. Sejenak ditatapi-
nya wajah sosok tubuh ramping itu dengan sorot ta-
jam. Seolah-olah ia ingin melihat wajah gadis yang ter-
tutup rambut itu. Sayang, Kenanga tidak sadarkan di-
ri. Kalau saja sadar, ada kemungkinan gadis itu mem-
berikan pilihan untuk mengambil keputusan. Kini be-
ban itu harus ditanggung sendiri. Sehingga, tentu saja
sukar sekali bagi Panji untuk memutuskannya.
"Dua...! terdengar Datuk Naga Hitam kembali me-
lanjutkan hitungannya.
Pendekar Naga Putih menatap wajah datuk sesat
itu berganti-ganti. Kemudian, tatapannya beralih ke
arah sosok Kenanga. Seolah-olah dia mengharapkan
agar gadis itu sadar dari pingsannya.
"Bawa gadis itu kemari...!" kembali Datuk Naga Hi-
tam memberi perintah ketika Panji belum juga menja-
wab.
Segera saja kedua orang berseragam hitam itu
membawa sosok Kenanga ke dekat tebing, siap untuk
dijatuhkan ke bawah sungai yang mengalir deras.
"Ti...,"
Tahaan..!"
Cepat Panji berteriak mencegah sambil melesat
hendak mendekati tebing. Namun delapan orang ber-
seragam hitam yang sejak tadi memperhatikannya, se-
gera saja membentuk barisan menghadang Pendekar
Naga Putih agar tidak mendekat.
Tentu saja perbuatan orang-orang berseragam hitam itu membuat Panji jengkel. Bahkan tangannya te-
lah siap terangkat untuk melontarkan pukulan maut.
Melihat Pendekar Naga Putih siap mengamuk, ce-
pat Datuk Naga Hitam memerintahkan untuk me-
lemparkan gadis tawanannya ke dalam sungai. Se-
hingga, Panji terpaksa menelan kembali kemarahan-
nya.
"Bangsat licik...!" umpat Pendekar Naga Putih, di-
iringi suara berkerotokan dari jari-jarinya yang me-
ngepal.
Pendekar Naga Putih benar-benar dibuat tak ber-
daya oleh golongan sesat itu, dengan adanya Kenanga
di tangan mereka.
"Sekarang melompatlah ke dalam sungai itu, Pen-
dekar Naga Putih. Jika masih juga membantah, keka-
sihmu inilah yang akan kulemparkan ke bawah sana!"
Datuk Naga Hitam yang sepertinya merasa kha-
watir kalau-kalau pemuda itu akan membantah kem-
bali, segera mendorong tubuh gadis tawanannya se-
makin dekat ke tepi.
'Tunggu...!" seru Panji dengan wajah merah padam,
karena tidak berdaya menghadapi kelicikan datuk se-
sat itu. "Baiklah. Aku akan menuruti perintah kalian,
asalkan kekasihku dibebaskan terlebih dahulu."
"Ingat, Pendekar Naga Putih! Bukan kau saja yang
berhak mengajukan syarat. Tapi juga kami. Untuk itu,
kaulah yang harus menuruti perintah kami," timpal
Petapa Gunung Kulon. Sepertinya, datuk sesat yang
satu itu juga sudah tidak sabar melihat kebandelan
Pendekar Naga Putih.
"Hmmmhhh...!"
Panji mengeram gusar mendengar ucapan lawan-
nya. Tidak ada pilihan lain baginya, kecuali menuruti
kemauan lawan-lawannya.
"Rupanya, sampai di sinilah akhir petualangan-
ku," gumam Panji dalam hati sambil melangkah ke tepi
jurang.
Pendekar Naga Putih semakin melangkah men-
dekati jurang yang dibelah oleh sungai yang tampak
deras sekali. Langkahnya tampak mantap, penuh ke-
pasrahan pada Yang Maha Pencipta.
"Ingat, manusia-manusia licik! Apabila aku telah
tewas dan kalian tidak membebaskan kekasihku maka
aku bersumpah akan mengejar kalian! Meskipun, aku
sudah berada di alam Iain ...! Aku tidak akan pernah
puas sebelum menghirup darah hitam kalian...!"
Demikian kata-kata terakhir pemuda itu, sehingga
membuat bulu roma para tokoh sesat sampai berdiri,
Jelas nyali mereka terasa ngeri mendengar sumpah
yang dikeluarkan dengan suara dingin dan datar itu.
Datuk-datuk sesat itu sama sekali tidak menjawab
kata-kata Panji. Mereka hanya berdiri menatap pemu-
da itu, yang kemudian menerjunkan dirinya ke dalam
aliran sungai yang sangat deras.
"Ha ha ha...! Dengan lenyapnya Pendekar Naga Pu-
tih, maka tidak akan ada lagi yang berani mengha-
langi kita...!"
Tawa Datuk Naga Hitam berderai, seiring dengan
melayangnya tubuh Pendekar Naga Putih ke dasar
sungai.
Gadis tawanan yang sejak tadi tak sadarkan diri,
terlihat mengangkat kepalanya. Matanya menatap ta-
jam ke arah tubuh Pendekar Naga Putih yang masih
melayang-layang. Sekilas, terlihat senyum dingin
menghiasi wajahnya yang masih tertutup sebagian
rambutnya yang panjang terurai.
Diiringi gelak tawa yang berkepanjangan, gem-
bong-gembong golongan sesat itu pun pergi meninggalkan tepian sungai. Sementara tubuh Pendekar Naga
Putih telah jatuh ke dalam air, dan terus hanyut ter-
bawa arus sungai yang demikian deras.
***
Sementara itu, tubuh Pendekar Naga Putih terus
terseret arus sungai yang mengalir deras. Panji sendiri
mencoba menggapai-gapai untuk mencari pegangan,
namun arus sungai sangatlah kuat. Di samping itu, di
sungai rupanya tidak ada satu pun yang dapat dibuat
pegangan. Apalagi, keadaan sangatlah gelap. Sehingga,
Panji bagaikan orang buta yang menggapai di ke-
gelapan.
Air sungai yang ganas itu terus menyeret tubuh
Pendekar Naga Putih tanpa ampun. Sedangkan pe-
muda itu sendiri sama sekali tidak berdaya mengha-
dapi keganasan alam, Hingga, akhirnya dia hanya pa-
srah sambil mengerahkan tenaga saktinya untuk me-
lindungi tubuh agar tidak sampai mengalami luka pa-
rah.
Meskipun sungai itu dengan ganasnya meng-
ombang-ambingkan dan melemparkan tubuhnya kian
kemari, Panji tetap berusaha sadar. Karena kalau
sampai jatuh pingsan maka kemungkinan untuk hidup
sangatlah tipis.
Entah, sudah berapa lama tubuh pemuda itu di-
permainkan air sungai. Yang jelas, Panji merasakan
tubuhnya sangat lelah, dan tenaganya seperti terkuras
habis. Sehingga, batu-batu padas yang bertonjolan di
dinding sungai mulai menggores tubuhnya. Darah pun
mulai mengalir dari luka-luka kecil yang terasakan
sangat perih. Pakaiannya sendiri sudah compang-
camping tidak karuan. Hingga akhirnya, pemuda itu
terus terbawa sebuah muara yang terdapat pusaran
maut. Rupanya, pusaran air itulah yang membuat
Lembah Bintang sangat ditakuti. Memang tidak sedikit
tokoh persilatan yang tewas di dalam pusaran maut
itu.
Panji yang keadaan tubuhnya sudah semakin me-
lemah, mengeluh ketika tahu kalau tubuhnya terseret
ke dalam pusaran maut itu. Hingga akhirnya, tubuh
pemuda itu tenggelam dan lenyap ke dalam pusaran
maut.
Pada saat tubuhnya tersedot ke dalam pusaran
maut, Panji menarik napas dalam-dalam. Karena, dis-
adari, kalau tubuhnya akan tenggelam ke dalam air
yang bagaikan tidak berdasar. Sehingga pada suatu
saat, tubuhnya bagaikan dilemparkan air ke daratan!
Bruuuggg!
"Aaakh...!"
Panji menjerit kesakitan ketika tubuhnya mem-
bentur benda keras yang dasarnya tidak rata. Karena
tidak sanggup menahan rasa sakit dan rasa lelah, ak-
hirnya Panji jatuh tak sadarkan diri.
Cukup lama tubuh pemuda perkasa itu tergolek
pingsan setelah dipermainkan air sungai yang ganas.
Keadaan sekeliling yang remang-remang, membuat
Panji yang mulai sadarkan diri itu tidak tahu, apakah
hari masih malam atau pagi. Yang jelas, pemuda itu
merasakan seluruh tubuhnya seperti remuk dan sakit-
sakit. Maka meskipun telah sadarkan diri, pemuda itu
masih belum sanggup untuk bangkit berdiri.
"uh...!”
Panji mengerang ketika mencoba bergerak, se-
kujur tubuhnya dirasakan sangat linu. Goresan-go-
resan di seluruh tubuhnya pun menimbulkan rasa pe-
rih yang luar biasa. Akhirnya, pemuda itu tidak berusaha bangkit, dan tetap rebah terlentang tanpa berge-
rak sedikit pun.
Dalam keadaan setengah sadar, Pendekar Naga Pu-
tih mencoba mengatur napas dengan maksud me-
mulihkan tenaganya. Hatinya mulai merasa lega ketika
tenaga saktinya mulai bergerak menyebar ke seluruh
tubuhnya. Meskipun tenaga itu belum dapat diguna-
kan untuk membuatnya sanggup berdiri, tapi Pende-
kar Naga Putih sudah mulai merasa tenang. Perlahan
perhatiannya mulai dialihkan ke sekeliling tempat itu.
"Di manakah sebenarnya aku berada...?" desis
Pendekar Naga Putih itu dengan wajah keheranan. Ka-
rena, sekelilingnya hanya terdapat dinding-dinding
berbatu sangat kasar, persis seperti keadaan dinding
goa. Merasa belum percaya akan apa yang dialaminya,
Pendekar Naga Putih kembali memejamkan matanya,
dan mengatur pernafasannya.
***
ENAM
Begitu kesehatannya terasa sudah hampir pulih,
Panji bergerak bangkit perlahan. Pemuda itu berdiri te-
gak sambil mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'
nya. Sebentar kemudian, tampaklah lapisan kabut
bersinar putih keperakan menyelubungi sekujur tu-
buhnya.
"Hhh...," Panji menarik napas penuh kelegaan.
Dengan wajah yang mulai nampak segar, pemuda
itu merayapi daerah sekitarnya. Namun sejauh mata-
nya memandang, yang terlihat hanyalah dinding-
dinding batu kasar yang bertonjolan. Lubang-lubang
besar yang terdapat batu-batu runcing di langit-langit-
nya, membuat Panji sadar kalau dirinya berada di da-
lam perut bumi. Selain itu ia merasa hawa lembab
berbau tanah basah, juga menandakan kalau ia bera-
da jauh di bawah tanah.
Masih dengan pikiran tidak menentu, Panji me-
langkah menyusuri jalan berair dangkal. Satu-satunya
pikiran yang memenuhi benaknya saat itu ialah, men-
cari jalan keluar untuk mengetahui nasib kekasihnya.
Jalan berair dangkal yang semula disusurinya,
makin lama semakin dalam. Sehingga, Panji meng-
ambil jalan melalui sebuah gua yang cukup besar. Da-
taran di dalam gua itu sangat berbeda jauh dengan
yang barusan dilaluinya. Tanah di tempat itu tampak
gembur, seperti mengandung pasir. Meski demikian,
Panji bertekad untuk mengetahui ke mana lorong gua
itu akan membawanya.
"Eh...!?"
Panji menancapkan kakinya kuat-kuat ketika ta-
nah yang dipijaknya terasa bergetar. Semula getaran
itu dikira ditimbulkan oleh gempa. Namun ketika meli-
hat adanya sesuatu yang menyembul dari dalam ta-
nah, sadarlah Panji bahwa makhluk itulah yang telah
membuat tanah di bawahnya bergetar. Cepat pemuda
itu melangkah mundur dengan hati tegang!
"Earrrggghhh. ..I"
Makhluk yang bentuknya sangat aneh dan me-
nyeramkan itu meraung, menatap Panji dengan se-
pasang mata yang merah menyala. Tubuhnya yang
panjang dan dihiasi gelang-gelang di sepanjang ba-
dannya, membuat Panji sempat terbelalak dengan ken-
ing berkerut.
"Gila! Binatang apa ini...?" desis Panji sambil me-
langkah mundur.
Makhluk yang bentuknya mirip seekor ular rak-
sasa itu benar-benar mengerikan. Taring-taringnya
yang tajam dengan lendir-lendir di sekitar mulutnya,
membuat Panji hendak berbalik dan lari keluar gua.
Tapi, niat itu ditundanya ketika dari belakangnya
pun mulai bermunculan makhluk-makhluk serupa.
"Aaahhh?!"
Panji kembali terpekik mundur melihat makhluk-
makhluk menyeramkan itu terus bermunculan di seke-
lilingnya.
Sadar kalau tidak mempunyai jalan lain untuk ke-
luar kecuali menghadapinya, Panji segera menge-
rahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' nya. Untunglah
tenaga saktinya telah dapat bekerja kembali dengan
baik. Kalau tidak, rasanya riwayat Pendekar Naga Pu-
tih akan berakhir amat mengenaskan!
"Hmmmhhh...!"
Disertai geraman yang menggetarkan langit-langit
gua, Panji mendorongkan sepasang telapak tangannya
ke depan! Serangkum angin dingin yang menusuk tu-
lang, berhembus keras. Tubuhnya pun telah pula ter-
lindungi lapisan kabut bersinar putih keperakan.
Broolll...!
Terkejut bukan main hari Pendekar Naga Putih ke-
tika dari bawahnya, tiba-tiba muncul seekor makhluk
yang langsung menggigit kaki kanannya. Cepat pemu-
da itu bertindak, mengayunkan tangannya dengan ge-
rakan membacok!
"Hiaaahhh...!"
Whuuuttt....! Deeesss...!.
Makhluk yang berupa seekor ular raksasa dengan
tubuh bergelang-gelang itu meraung ketika sisi telapak
tangan Panji menghajar telak lehernya. Namun, Panji
sendiri sangat terkejut merasakan telapak tangannya
bagaikan menghantam sebatang benda kenyal, bagai
bongkahan karet saja.
"Gila! Tubuh makhluk celaka ini ternyata sangat
kuat dan memiliki kekebalan yang aneh...!?" desis Pan-
ji sambil melangkah mundur.
Sungguh tidak disangka kalau pukulannya hanya
membuat makhluk itu meraung kesakitan. Padahal
menurut perkiraannya, makhluk aneh itu seharusnya
tewas akibat tebasan telapak tangannya.
Pendekar Naga Putih terus berpikir keras mencari
cara untuk mengalahkan makhluk-makhluk mengeri-
kan itu. Hingga akhirnya, diputuskannya untuk meng-
gunakan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi', yang memiliki
sifat panas.
"Hm..., mengapa tidak?" desis Panji sambil menarik
kembali 'Tenaga Sakti Gerhana' Bulan' nya, "Bukankah
makhluk-makhluk celaka ini memiliki tubuh yang din-
gin dan kenyal. Satu-satunya jalan untuk melenyap-
kan hanyalah menggunakan tenaga yang bersifat pa-
nas...."
Dengan mengandalkan pikiran itu, Panji segera
memancing keluar 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' yang
tercipta dari Pedang Naga Langit.
"Hhh...!"
Diiringi helaan nafasnya, muncullah sinar kuning
keemasan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Se-
ketika itu juga, hawa panas pun menebar memenuhi
lorong gua yang luas itu.
"Earrrggghhh...!
Binatang-binatang aneh itu terlihat marah ketika
merasakan adanya hawa panas yang menebar dari tu-
buh Pendekar Naga Putih. Tanpa memperdulikan ke-
marahan binatang-binatang itu, Panji segera saja
mendorongkan sepasang telapak tangannya ke depan.
"Heaaahhh...!"
Whuuusss...! Blaaarrr...!
Hebat dan sangat mengerikan sekali akibat do-
rongan sepasang tangan Panji. Balasan makhluk-
makhluk mengerikan itu langsung terlempar seiring
ledakan keras yang meruntuhkan langit-langit gua.
Cepat Panji melompat menghindari batu-batu runcing
yang berjatuhan dari langit-langit gua.
Melihat pukulannya berhasil membuat makhuk-
makhluk itu hancur berkeping-berkeping, Panji cepat
melesat ke depan meninggalkan gua itu. Kemudian, dia
terus berlari tanpa memperdulikan air yang mem-
basahi hingga ke lututnya.
Entah sudah berapa lama pemuda itu berlari tanpa
henti. Langkahnya baru melambat ketika sudah me-
masuki tempat yang cukup luas. Cepat ia melompat ke
darat, ketika melihat adanya tanah lembab di tepi ali-
ran air itu.
"Haaaff!?"
Ketika lewat di depan sebuah mulut gua yang le-
bar, tiba-tiba saja Panji memekik kaget. Cepat Pen-
dekar Naga Putih menancapkan kedua kakinya di atas
tanah hingga melesak melewati mata kaki. Memang
pemuda itu merasakan adanya suatu tenaga aneh
yang menyeretnya ke dalam gua.
"Gila! apa lagi ini...!?" seru Panji membayangkan
makhluk-makhluk aneh yang mungkin akan muncul
kembali entah dalam bentuk apa. .
Tapi, kekuatan aneh itu semakin kuat menarik tu-
buhnya. Sehingga Panji terpaksa mengerahkan selu-
ruh kekuatan tenaga saktinya, untuk bertahan. Meski
demikian, karena tanah yang dipijaknya sangat lembab
dan licin, akhirnya tubuhnya terseret ke dalam gua be-
serta tanah yang memendam kakinya.
"Hi hi hi...!"
Bulu roma di tengkuk Panji meremang ketika telin-
ganya menangkap suara tawa mengikik yang berke-
panjangan.
"Gila! Makhluk seperti apa lagi yang akan kutemui
di dalam perut bumi ini...?" desis Panji.
Akhirnya Pendekar Naga Putih membiarkan tu-
buhnya tersedot ke dalam gua besar itu. ia hanya
mengimbangi agar tubuhnya tidak sampai terjerunuk
ke depan.
***
Kegelapan dan bau tanah lembab menyambut ke-
datangan Pendekar Naga Putih di dalam gua itu. Na-
mun, tubuhnya terus tersedot hingga ke sebuah ruan-
gan lebar yang agak terang. Panji sendiri tidak menger-
ti, apa yang membuat ruangan lebar itu tidak gelap se-
perti lorong gua yang baru dilaluinya. Ketika tenaga
yang menyedot tubuhnya terasa telah lenyap, Panji se-
gera mengendurkan tenaganya. Untuk bebe-rapa saat
lamanya, dia seperti merasa silau oleh pantulan ca-
haya yang berasal dari dinding dan langit-langit gua.
Pancaran sinar kekuningan itu membuat Pendekar
Naga Putih sadar, apa yang terkandung di dalam dind-
ing dan langit-langit gua itu.
"Hi hi hi...! Selamat datang, anak manusia...! Ak-
hirnya ada juga orang yang akan menemaniku di perut
bumi ini...!"
Terkejut bukan main hati Pendekar Naga Putih ke-
tika mendengar suara nyaring yang bagai menusuk te-
linga. Cepat wajahnya menoleh ke arah sumber suara.
Dan..., hampir tidak dipercayainya ketika melihat se-
sosok tubuh ringkih yang rambut putihnya sudah
hampir tidak tersisa. Satu-satunya yang mem-buat
Panji mengenali kalau sosok itu wanita adalah buah
dada yang menggantung bagai baton kempes di tubuh
sosok tulang terbalut kulit keriput itu.
Untuk beberapa saat lamanya, Panji hanya berdiri
bengong menatapi sosok wanita yang sangat tua itu.
Nenek yang entah usianya sudah berapa ratus tahun
itu hanya mengenakan selembar kain usang, menutupi
bagian pinggang hingga ke lututnya. Sedangkan tubuh
bagian atasnya polos tanpa selembar benang pun.
"Hei, mengapa menatap ku seperti itu? Kau mem-
punyai pikiran jelek, ya? Kau suka dengan tubuhku,
ya? Ayo, jawab! Mengapa kau diam saja? Berbicaralah!
Sudah puluhan tahun aku tidak pernah mendengar
suara manusia di sini. Aku rindu sekali mendengar
suara manusia untuk kuajak bercakap-cakap. Ber-
bicaralah, Anak Muda tampan! Jangan menyiksaku
dengan membisu seperti itu...."
Dari marah, suara nenek itu akhirnya terdengar
memelas. Dia meminta Panji untuk berbicara atau
mengatakan sesuatu agar telinganya bisa mendengar
suara makhluk sejenisnya kembali. Jelas, otak nenek
itu kurang waras.
Sebenarnya Panji merasa geli mendengar nenek itu
menuduhnya mempunyai pikiran jelek dan menyukai
tubuhnya. Tapi, dia tidak berusaha menyinggung pe-
rasaan nenek itu dengan senyumnya. Apalagi dengan
tawanya.
"Nenek yang baik. Aku tidak tahu, siapa adanya
Nenek. aku berada di sini bukan atas kemauanku sen-
diri. Tapi, orang-orang jahat di luar sanalah yang
membuatku sampai di tempat celaka ini. Namaku Pan-
ji. Kau sendiri siapa, Nek...?" tanya Panji sambil berdiri
tegak, karena nenek itu tengah menghampiri-nya.
"Bodoh! Kau tidak pantas menyebutku Nenek, Pe-
muda tolol! Panggil aku, Uyut. Karena, usiaku jauh le-
bih tua daripada nenekmu yang berada jauh di atas
sana. Dan bukan di luar! Huh! Sial betul aku ini. Da-
pat teman, ternyata seorang pemuda sinting yang bero-
tak udang!" umpat nenek itu menyalahkan ucapan dan
sebutan Panji.
Bahkan tanpa memperdulikan perasaan Panji,
enak saja nenek itu memakinya sebagai pemuda sint-
ing berotak udang. Tentu saja Panji menjadi kaget
mendengarnya.
"Sinting...!" desis Panji.
Pendekar Naga Putih sempat merasa kesal karena
dirinya dimaki sedemikian rupa. Namun dia tidak be-
rani mengucapkannya, karena khawatir tingkah nenek
itu akan semakin menggila. Biar bagaimanapun, ia ha-
rus bersyukur dapat bertemu manusia Iain di dalam
perut bumi ini.
"Eh, dasar pemuda sinting! Mengapa kau malah di-
am? Ayo, panggil aku Uyut! Atau, kau tidak suka ke-
padaku, ya? Kau ingin minggat, ya? Ingin me-
ninggalkan aku sendirian, ya? Huh! Tidak bisa..., tidak
bisa...," dengus nenek itu sambil menggoyang-goyang-
kan tangan dengan kepala menggeleng-geleng keras.
"Celaka ...!" desis Panji.
Sepertinya, nenek gila itu tidak akan membiarkan
Panji pergi dari alam bawah tanah itu. Tentu saja hal
itu membuatnya cemas.
"Maaf, Uyut. Aku memang tidak akan pergi dari pe-
rut bumi ini. Lagi pula, mana ada jalan keluar dari Ne-
raka ini? Kalaupun ada, pastilah Uyut tidak akan ting-
gal di sini, bukan?" sahut Panji dengan suara yang cu-
kup keras.
Sengaja semua itu dikatakannya untuk memancing
pendapat nenek itu. Dan kalau memang ada jalan ke-
luar, pasti nenek itu akan mengatakannya.
"Bagus, kalau kau tidak akan meninggalkan tem-
pat ini. Tapi jangan dikira tidak ada jalan...eh?! Pasti
tidak ada jalan keluar. Ya, tidak ada jalan keluar!" kata
nenek itu berulang-ulang seperti baru menyadari kalau
dirinya telah terpancing untuk me-ngatakan ada ti-
daknya jalan keluar.
“Ya, tidak ada jalan keluar. Dan, aku akan ter-
kubur hidup-hidup di sini. Atau, menanti datangnya
kematian tanpa mampu mencegah kejahatan yang ber-
langsung di atas sana...," desah Panji kembali hendak
memancing perhatian nenek itu tentang kejahatan
yang masih terus berkelanjutan mengotori bumi.
"Kejahatan di atas sana...?" gumam nenek itu ter-
menung sejenak, mengulang ucapan Panji. "Aku tidak
perduli dengan segala manusia yang berada di atas sa-
na! Huh! Selama ini mereka pun tidak perduli dengan
nasibku! Tidak ada seorang pun yang menolong ku!
Aku dibiarkan terkubur hidup-hidup di tempat ini
berteman cacing-cacing raksasa dan makhluk-
makhluk lain yang tidak bisa kuajak bicara. Lalu, un-
tuk apa harus memikirkan orang-orang sinting di atas
sana?"
Mendadak saja nenek itu berteriak-teriak, seolah-
olah ingin mengungkapkan perasaan yang selama ini
terpendam di dalam hatinya. Ketika diingatkan Panji,
maka meluncurlah semua rasa ketidakpuasan dan
dendamnya terhadap orang-orang di atas bumi yang
dianggap tidak mau menolongnya.
Panji terdiam tanpa menjawab sepatah pun. Di-
biarkannya nenek itu mengungkapkan segala isi ha-
tinya yang selama ini terpendam. la menunggu nenek
itu menyelesaikan segala perasaannya. Panji berharap,
agar perasaan dendam dan tertekan dalam diri nenek
itu dapat tersalur lewat ucapan-ucapannya.
"Uyut..," panggil Panji setelah nenek itu meng-
hentikan ucapan dan tangisnya.
Tanpa ragu-ragu lagi, dipeluknya tubuh renta itu
penuh rasa iba. Sebab, apa yang selama ini dialami
nenek itu bukan tidak mungkin akan dialaminya juga.
Hanya bedanya, ia kini ditemani nenek itu.
Cukup lama nenek itu menangis di dada Panji.
Sementara Pendekar Naga Putih membiarkannya, dan
membelai-belai punggung nenek itu dengan lembut
"Aaahhh...!"
Mendadak saja, nenek itu menarik tubuhnya dan
menjauh dari Panji. Pemuda itu tetap saja tenang, me-
nanti apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh nenek
penghuni perut bumi itu.
"Uyut..!?"
Panji yang melihat tubuh nenek itu tiba-tiba lim-
bung dan hendak jatuh, segera saja melesat me-
nangkap tubuh renta itu. Sehingga, tubuh kurus yang
hanya tulang terbalut kulit keriput itu tidak sampai
terbanting jatuh.
Perlahan-lahan Panji merebahkan tubuh nenek itu
di atas sebuah batu pipih, tempat semula nenek itu
duduk bersila. Hatinya merasa cemas ketika me-
rasakan denyut jantung yang kian terdengar lemah.
Tentu saja kenyataan itu membuatnya menjadi he-
ran. Sebab, semula nenek itu kelihatan demikian kuat
dan tidak menunjukkan tanda-tanda menderita sakit.
"Pan... ji....Itukah namamu, Cucuku...?" tiba-tiba
terdengar suara nenek itu lemah. Maka bergegas Panji
mendekat
"Benar, Uyut. Itulah namaku...," sahut Panji de-
ngan suara sedikit keras, agar bisa terdengar nenek
itu.
"Pan...ji. Kau jangan merasa heran melihat ke-
adaan ku ini. Kalau selama ini aku kuat bertahan, itu
hanya karena tekadku demikian kuat untuk berjumpa
dengan bangsaku. Dan setelah melihatmu, penyakit
tua yang telah lama ku derita ini, kembali kambuh,"
tutur nenek itu dengan suara lirih dan hampir tidak
terdengar.
Panji menjadi merasa perlu mendekatkan telin-
ganya agar dapat menangkap jelas setiap kata yang di-
ucapkan nenek itu. Dengan sabar, dinantinya kata-
kata yang akan meluncur dari bibir tua itu.
'Tahukah kau, Panji? Berapa umurku sekarang?
Hampir genap seratus lima puluh tahun! Jadi seratus
tahun lebih aku terkubur di dalam perut bumi ini."
Nenek itu kembali menghentikan ucapannya. Ter-
dengar tarikan nafasnya yang berulang-ulang. Jelas
sekali kalau untuk berbicara pun ia sudah me-rasa
sangat lelah.
“Kuatkanlah hatimu, Uyut. Aku akan mencoba
mengobati dan menyembuhkan mu?” ujar Panji yang
tiba-tiba merasa iba, dan memutuskan untuk tinggal
menemani sisa-sisa umur nenek itu.
"Tidak perlu, Cucuku. Ah..., aku bisa melihat bah-
wa kau adalah seorang pemuda jujur dan sangat baik.
Kepandaian yang kau miliki pun sangat tinggi. Jauh
lebih tinggi sebelum aku terlempar ke neraka ini. Tadi
pun, aku hampir tidak sanggup menyeret mu kemari.
Kau harus keluar dari tempat ini, Cucuku. harus!" te-
gas nenek itu yang kemudian terbatuk hebat.
Cepat Panji mengurut leher bagian belakang nenek
itu perlahan.
'Tapi..., bagaimana dengan Uyut sendiri? Tidak.
Aku tidak bisa meninggalkan Uyut sendirian di sini.
Biarlah aku tidak usah melihat dunia lagi. Aku akan
tinggal di sini menemani Uyut," jawab Panji tegas.
Meskipun semula hendak keluar dari dalam neraka
bumi itu, tapi hati Pendekar Naga Putih tidak tega me-
lihat nenek itu tinggal sendiri tanpa ada yang mene-
mani.
"Terima kasih, Cucuku. Tapi, umurku hanya ting-
gal beberapa hari lagi. Dan aku tidak ingin kau menga-
lami apa yang selama ini kujalani. Seratus tahun lebih
aku harus menekan semua penderitaan ini, akibat
ulah musuhku yang mengalahkan aku dalam sebuah
pertarungan mati-matian. Selama itu, aku telah mem-
buat jalan keluar dengan menggunakan tanganku sen-
diri. Sayang, ketika aku berhasil membuat jalan keluar
itu, umurku kira-kira sudah seratus empat puluh de-
lapan tahun. Dan aku tidak ingin akan menjadi bahan
ejekan orang kalau aku keluar kelak. Untuk itulah aku
menetapkan tinggal di perut bumi ini sambil menung-
gu, kalau-kalau akan ada orang yang datang. Setelah
kepergianku yang kurasa tidak lama lagi, pergilah ber-
jalan ke Utara, Cucuku. Kelak kau akan tiba di sebuah
pantai. Nah, dari sanalah kau baru bisa menemukan
dunia luar. Jangan sia-siakan umurmu di tempat cela-
ka ini...," jelas nenek itu.
Namun, kegembiraan Panji sudah lenyap sejak
mengetahui kalau nenek itu ternyata tidak akan beru-
sia lama lagi. Maka iapun memutuskan untuk mene-
mani sisa hidup nenek itu. Karena tanpa nenek itu,
bukan tidak mungkin ia akan tetap tinggal di dalam
perut bumi menanti kematian datang men-jemputnya.
"Biarlah, Uyut. Lupakan tentang jalan keluar itu.
Aku ingin pada saat-saat akhir hidup Uyut, akan ada
seorang yang menemani dan merawat secara baik. Un-
tuk itu, aku akan tinggal di tempat ini dan merawat
Uyut" jawab Panji.
Pendekar Naga Putih terpaksa menundukkan wa-
jahnya, karena tidak ingin kalau nenek itu sempat me-
nangkap adanya binar kekecewaan di matanya.
Cukup lama Panji tertunduk sambil menggenggam
telapak tangan nenek itu. Kesadarannya baru bangkit
setelah merasakan, betapa telapak tangan yang di-
genggamnya, mulai dingin dan tidak terasa adanya de-
nyutan.
"Uyut..," panggil Panji dengan suara cemas.
Namun, nenek itu tetap diam. Dan dia masih ter-
baring dengan wajah mengukir senyum bahagia.
"Uyut...!"
Dengan suara yang penuh rasa cemas, Panji meng-
guncangkan tubuh nenek itu. Namun nenek penghuni
perut bumi itu tetap terdiam tanpa menunjukkan tan-
da-tanda akan terbangun. Sadarlah Panji kalau nenek
itu telah tiada.
"Aaah.... Uyut. Betapa besarnya budimu kepadaku.
Tanpa adanya kau di tempat ini, rasanya aku tidak
mungkin dapat menemukan jalan keluar," desah Panji
dengan suara berduka.
Dengan perasaan yang masih tidak menentu, Panji
mengangkat mayat nenek itu. Kemudian dikuburkan-
nya nenek itu di dalam gua.
"Uyut. Maafkan, kalau aku tidak bisa tinggal lebih
lama. Setelah kepergianmu, rasanya aku lebih baik
pergi meninggalkan tempat ini. Aku pamit, Uyut..," de-
sah Panji, duduk di samping makam nenek penghuni
perut bumi itu.
Tidak berapa lama kemudian, pemuda itu pun me-
langkah ke arah Utara seperti yang dikatakan nenek
penghuni perut bumi sebelum kematiannya.
***
TUJUH
Setelah berhari-hari menelusuri lorong yang sulit
dan berliku-liku, tibalah Panji di sebuah dinding tebing
karang yang menjorok ke pantai. Debur ombak yang
terdengar dari kejauhan, membuat pemuda itu se-
makin bersemangat melihat dunia luar kembali. Tidak
berapa lama kemudian, Pendekar Naga Putih tampak
berdiri sambil menarik napas sepuas-puasnya. Di-
tatapinya air laut yang bagaikan tidak bertepi.
'Ya, Tuhan.... Akhirnya aku bisa juga melihat dunia
kembali...," desah Panji mengucap syukur karena ma-
sih bisa keluar dari dalam perut bumi.
Puas menatap laut lepas sambil menghirup udara
segar, Panji mulai mengalihkan perhatiannya ke se-
kitar tempat itu. Ia melihat kalau dirinya berada di ba-
wah sebuah dinding tebing setinggi kira-kira se-puluh
tombak dari daratan. Segera saja pemuda itu merayap
naik, dengan menanamkan jari-jari tangan-nya ke
dinding tebing. Tentu saja perbuatan itu tidak mudah.
Untunglah tenaga sakti yang dimilikinya sudah demi-
kian tinggi, sehingga Panji bisa tiba di atas daratan
berbatu karang.
Pendekar Naga Putih yang terlalu merasa gembira
karena dapat terbebaskan dari kurungan perut bumi,
sama sekali tidak menyadari keadaan dirinya. Pakaian-
nya yang lebih mirip gelandangan, tidak sempat di-
ingatnya. Rambut dan wajahnya pun tampak kotor ba-
gaikan tidak pernah dibersihkan. Rasanya, kalau saat
itu ia mengaku sebagai Pendekar Naga Putih, orang
pasti akan senantiasa menertawakannya. Memang
keadaan pemuda itu tentu saja sangat jauh berbeda,
sebelum terjebak di dalam perut bumi.
Dengan langkah ringan, Panji mengayunkan kaki-
nya menuju ke arah perkampungan nelayan, yang di-
duganya pasti tidak jauh dari tempatnya berada saat
itu. Pemuda itu pun sama sekali tidak menyadari be-
tapa tubuhnya telah menyusut dalam beberapa hari.
Sebab, selama berada di dalam perut bumi, dia jarang
sekali menemukan makanan untuk mengisi perutnya.
Kalau beruntung, dalam dua hari barulah ia bisa men-
dapatkan seekor ikan yang kebetulan tersasar, atau
terjebak di ceruk tanah. Jadi, tidak aneh kalau tubuh-
nya jauh lebih kurus dari semula.
Ketika memasuki perkampungan nelayan, barulah
Pendekar Naga Putih menyadari keadaannya. Beberapa
gadis-gadis nelayan yang berpapasan dengannya, ber-
gegas menyingkir sambil memijat hidungnya. Sehing-
ga, pemuda itu tersenyum kecut menyaksikan sikap
mereka.
Panji yang semula berniat menyingkir untuk mem-
bersihkan diri, menahan langkahnya ketika mendengar
jeritan yang diiringi gemuruh derap kaki kuda. Tanpa
membuang-buang waktu lagi, segera saja tubuhnya
melesat secepat kilat. Kedua kakinya bagaikan tidak
menyentuh permukaan pantai berpasir. Sehingga, be-
berapa orang nelayan yang tengah berlarian sempat
terjatuh lemas ketika tubuh Pendekar Naga Putih lewat
di sampingnya.
"Tolooong...! Tolooong...!"
Terdengar jeritan-jeritan ketakutan yang membuat
suasana semakin bising. Darah pemuda itu mendidih
seketika begitu melihat serombongan orang berkuda
mengenakan seragam serba hitam, tengah menyeret-
nyeret seorang lelaki tua. Tentu saja lelaki tua itu men-
jerit-jerit kesakitan sambil memegangi tali yang menjerat tubuhnya. Sedangkan orang berpakaian hitam
yang berada di atas punggung kuda malah ter-bahak-
bahak, seperti merasa gembira melihat penderitaan le-
laki tua itu.
"Biadab...!" desis pemuda itu menggertakkan gi-
ginya, menahan geram.
Hati Pendekar Naga Putih semakin terbakar begitu
mengenali kalau para penunggang kuda itu tak lain
adalah gerombolan Naga Hitam! Cepat bagai kilat, tu-
buh pemuda itu melayang dan langsung melakukan
tamparan keras ke arah wajah si penunggang kuda.
Whuuuttt! Plakkk!
"Aaakkkh...!"
Laki-laki itu tak sempat lagi menghindari Tam-
paran telak itu tepat menghantam kepalanya. Diiringi
jerit kematian, tubuh penunggang kuda itu terjungkal
dan tewas seketika dengan kepala retak!
Panji sendiri sudah langsung menyambar tubuh
nelayan setengah baya itu, setelah dilepaskan dari ika-
tan yang membelit tubuhnya. Kemudian dia lang-sung
melarikannya ke tempat yang aman.
Setelah meletakkan tubuh lelaki setengah tua itu,
Panji kembali melesat ke luar. Sepasang matanya ber-
putar dengan sorot menggetarkan ketika men-dengar
jeritan seorang wanita.
"Biadab...! Rupanya setan-setan keparat itu se-
makin merajalela ke berbagai tempat!" desis Panji me-
lihat salah seorang anggota rombongan penunggang
kuda itu tengah berusaha menodai seorang gadis putri
nelayan.
Peristiwa yang terjadi di depan sebuah rumah ne-
layan itu, merupakan satu bukti kalau kelompok kaum
sesat yang semula tak dikenal itu sudah me-
nampakkan diri secara terang-terangan, sejak mereka
menganggap Pendekar Naga Putih telah tewas di Lem-
bah Bintang.
Tanpa membuang-buang waktu, Panji kembali me-
lesat ke dekat lelaki yang hendak memperkosa gadis
nelayan itu secara biadab. Begitu tiba, tangannya
langsung mengangkat naik tubuh lelaki itu.
"Heaaahhh!"
Dibarengi bentakan keras, Panji melemparkan tu-
buh lelaki itu sekuat tenaga!
Braaakkk...!
Lemparan Panji yang sekuat tenaga, tentu saja be-
rakibat sangat hebat! Tubuh orang itu melayang deras,
dan membentur tiang penyangga rumah hingga berde-
rak patah! Bahkan tubuh orang itu langsung tertancap
di patahan tiang!
"Aaa...!"
Darah segar menyembur seiring jerit kematian yang
melengking merobek udara! Sebentar kemudian, tubuh
lelaki itu pun terkulai tewas.
Tanpa memperdulikan korbannya, Panji kembali
mengamuk menggiriskan! Para penunggang kuda yang
berjumlah dua puluh orang itu beterbangan bagaikan
diamuk badai! Tak satu pun dari mereka yang selamat
dari tangan maut Pendekar Naga Putih! Sehingga da-
lam waktu sebentar saja, habislah seluruh anggota
pembunuh bayaran Naga Hitam!
Para nelayan beserta keluarganya yang semula
bersembunyi di dalam rumah, bergegas keluar. Mereka
bersorak menyambut kemenangan Panji. Bahkan, ga-
dis-gadis nelayan yang semula menyingkir ketika pe-
muda itu lewat di sampingnya, kini malah berebutan
mengerumuninya.
Pendekar Naga Putih hanya tersenyum tanpa tahu
harus berkata apa. Perlahan kemudian, tangan pemuda itu terangkat ke atas. Anehnya, isyarat itu lang-
sung membuat teriakan-teriakan gembira lenyap. Ru-
panya penduduk perkampungan nelayan itu sangat
mengagumi pemuda berwajah kotor dengan pakaian
seperti jembel itu.
Pada saat suasana hening itu, tampak dua orang
lelaki gagah menyeruak mendekati Panji. Begitu ber-
hadapan, keduanya langsung membungkuk hormat ke
arah Pendekar Naga Putih.
"Kisanak, kepandaianmu sangat hebat. Kami be-
nar-benar sangat kagum dan berterima kasih ke-
padamu. Perlu kau tahu, orang-orang yang berpa-
kaian hitam itu adalah kelompok kaum sesat yang saat
ini tengah merajalela tanpa ada yang berani men-
cegahnya," jelas salah satu dari kedua orang itu tanpa
diminta.
Rupanya kedua orang itu sempat melihat sepak
terjang Panji yang menggiriskan, ketika menghadapi
gerombolan pembunuh bayaran Naga Hitam tadi.
"Benar, Kisanak. Melihat kepandaianmu, rasanya
orang seperti kaulah yang selama ini kami cari-cari.
Bersediakah Kisanak bergabung dengan kami untuk
memberantas gerombolan manusia laknat itu...?"
tanya orang bertubuh gemuk pendek dengan sepasang
alis hitam berbentuk golok.
"Sebenarnya kami tengah berusaha menghubungi
seorang pendekar pengelana yang berjuluk Pendekar
Naga Putih. Sayangnya kami mendapat khabar, pen-
dekar muda yang sakti itu telah tewas di tangan Datuk
Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon. Padahal, saat
ini dunia persilatan sangat memerlukan orang seperti
dia...," ujar orang pertama lagi, yang tubuhnya tinggi
kurus dengan sepasang mata cerdik.
"Mmm... Kalau kalian melihatku sewaktu membasmi gerombolan sesat itu, mengapa tidak turun tan-
gan untuk mencegah mereka? Apakah kaum golongan
putih telah demikian pengecut hingga membiarkan ke-
jahatan merajalela di mana-mana...?" tukas Panji, me-
nyahuti sebelum salah seorang di antara kedua orang
itu berbicara kembali. Nada ucapan pemuda itu jelas-
jelas sebuah teguran.
"Maaf, kami berdua datang terlambat," sahut lelaki
pendek gemuk dengan nada bersalah, "Kami terpaksa
hanya menyaksikan ketika kau menghabisi manusia-
manusia laknat itu. Selain itu, mereka rata-rata memi-
liki kepandaian tinggi. Meskipun kami berdua tidak ta-
kut mati, tapi untuk menghadapi gerombolan itu ra-
sanya tidak akan sanggup," jawab lelaki itu membela
diri.
"Hm.... Kalau begitu, mari bawa aku kepada ketua
kelompok kalian...," ujar Panji tetap dengan nada yang
datar.
Pendekar Naga Putih sengaja tidak memperkenal-
kan diri sebagai Pendekar Naga Putih, karena ingin
melihat, apakah ada di antara para tokoh golongan pu-
tih yang akan mengenalnya dalam keadaan demikian.
"Aaah...! Marilah, Kisanak. Pendekar Garuda Sakti
dan Pendekar Gunung Batur, pasti akan gembira me-
nyambut kedatanganmu...," sambut lelaki tinggi kurus
itu cepat.
Kelihatan sekali kalau ia merasa sangat gembira
mendengar pernyataan pemuda yang telah disaksikan
sendiri kesaktiannya.
Sambil melangkah meninggalkan perkampungan
nelayan, Panji meminta agar kedua orang lelaki gagah
itu menceritakan apa-apa yang telah terjadi dalam du-
nia persilatan.
Kedua orang lelaki gagah itu sendiri nampaknya
sangat bangga bisa menceritakan kepada pemuda itu
tentang peristiwa yang telah membuat golongan putih
kalang kabut. Pendekar Naga Putih sendiri hanya
menganggukkan kepala sambil menoleh ke arah kedua
orang itu berganti-ganti. Memang kedua lelaki gagah
itu bercerita secara bergantian.
***
Panji berhenti sejenak di depan sebuah rumah be-
sar yang terletak di dalam sebuah hutan. Diam-diam
bibirnya tersenyum sendiri. Ingin rasanya pemuda itu
segera bertemu Pendekar Garuda Sakti. Panji ber-
maksud tidak akan memperkenalkan dirinya, karena
ingin melihat apakah lelaki gagah yang pernah ber-
jumpa dengannya di Desa Jipang masih dapat menge-
nali dirinya yang telah berubah ini.
"Mari, Kisanak...!"
Lamunan Panji tentang pertemuan pertamanya
dengan Pendekar Garuda Sakti buyar, ketika lelaki ga-
gah bertubuh pendek gemuk itu mempersilakannya
masuk. Segera saja pemuda itu melangkah meng-
ikutinya.
Kening pemuda itu sempat berkerut melihat ba-
nyaknya tokoh persilatan yang telah berkumpul di
tempat itu. Melihat semua itu, Pendekar Naga Putih
mulai dapat meraba kejadian yang melanda negeri itu
semenjak dirinya lenyap di dalam perut bumi.
"Selamat datang di tempat ini, Kisanak...," sapa
seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh tahun
lebih yang duduk di kursi terbuat dari kayu tebal. Le-
laki gagah itu segera bangkit diiringi orang di sebelah
kanannya. Meskipun telah berumur, namun orang itu
terlihat masih tampan dan segar. Kedua orang itu
membungkuk hormat ke arah Panji yang segera mem-
balasnya.
'Terima kasih atas kesediaan kalian menerima-
ku...," sahut Panji menyembunyikan senyumnya.
Ternyata lelaki gagah yang dikenali sebagai Pen-
dekar Garuda Sakti itu sama sekali tidak mengenali-
nya. Hanya saja, lelaki gagah yang dikenal Panji ber-
nama Gumang itu seperti menatapnya penuh selidik.
Tapi, Panji berpura-pura bodoh.
"Kami telah mendengar laporan tentang dirimu, Ki-
sanak. Syukurlah kau bersedia membantu kami. Ka-
rena pada saat-saat seperti ini, kami memang sangat
membutuhkan orang-orang pandai untuk me-
nanggulangi kaum sesat yang semakin merajalela.
"Oh.... Inikah pemuda yang telah membantai habis
orang-orang biadab itu...?"
Tiba-tiba terdengar suara bening dan merdu yang
membuat wajah Panji agak pucat. Karena dikenalinya
betul suara merdu itu.
Panji yang menoleh ke arah asal suara itu, men-
jadi berdebar tegang. Ditahannya keinginan untuk me-
nyebut nama seorang dara jelita berpakaian serba hi-
jau, yang tengah berdiri menatapnya dengan wajah te-
gang.
"Kau... ah...! Kau Kakang Panji...!?"
Tiba-tiba saja, sebelum Panji sempat menyebutkan
nama seorang dara jelita, gadis itu sudah keburu
menghambur ke dalam pelukan Panji. Gadis yang tak
lain dari Kenanga itu tampaknya dapat mengenal Pan-
ji, bagaimanapun rupa kekasihnya saat itu.
"Kakang...!"
Tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga langsung memeluk
tubuh pemuda berpakaian gembel itu erat-erat. Ter-
dengar ledakan tangisnya yang tidak bias dibendung.
"Kenanga...,"
Akhirnya keluar juga suara itu dari mulut Panji.
Pemuda itu memeluk tubuh kekasihnya penuh ke-
rinduan. Mereka sama sekali lupa kalau saat itu ba-
nyak orang di sekeliling yang memandang bingung.
"Kakang, ke mana saja kau selama ini? Apa yang
telah terjadi denganmu? Menurut khabar yang ku-
dengar, kau telah tewas di dalam Lembah Bintang. La-
lu, mengapa kau tiba-tiba muncul dalam keadaan se-
perti ini...?" Kenanga langsung memberondong keka-
sihnya dengan pertanyaan-pertanyaan, begitu mereka
saling melepaskan rangkulan.
Mendengar pertanyaan kekasihnya, tentu saja Pan-
ji menjadi heran. Tapi Pendekar Naga Putih segera
mengerti. Dia ingat ketika disuruh memilih oleh datuk-
datuk sesat itu, Kenanga tengah tak sadarkan diri. Ja-
di wajar saja kalau gadis itu tidak tahu.
"Hm.... Syukurlah Datuk Naga Hitam dan Petapa
Gunung Kulon memenuhi janjinya untuk membe-
baskan mu. Saat itu, kau tengah pingsan dalam tawa-
nan mereka dan...,"
"Aku pingsan...? Ditawan mereka...? Apa maksud
mu, Kakang? Aku sama sekali tidak pernah ter-tawan
mereka. Karena, saat aku dikeroyok sewaktu di pengi-
napan Desa Jipang, ada Pendekar Gunung Batur yang
kebetulan menyelamatkanku. Karena saat itu aku ja-
tuh pingsan akibat racun mereka, maka Pen-dekar
Gunung Batur membawaku ke tempat tinggal-nya. Ja-
di, aku sama sekali tidak tertawan seperti katamu itu,"
sergah Kenanga.
"Hm..., aku ingat sekarang. Pantas saja kedua iblis
itu tidak memperlihatkan secara jelas gadis yang dita-
wannya. Gadis itu rupanya sengaja diberi pakaian hi-
jau yang serupa dengan pakaianmu. Rambutnya yang
panjang ditutupi ke wajahnya. Bangsat! kalau begitu
aku telah tertipu mentah-mentah!" geram Panji.
Panji langsung teringat saat mendekati gadis tawa-
nan berpakaian serba hijau itu, Datuk Naga Hitam dan
kawan-kawannya selalu mencegah dan berusaha agar
tidak sampai melihat jelas wajah gadis yang dikiranya
sebagai Kenanga.
"Untunglah kau selamat, Pendekar Naga Putih. Se-
jak pertama kali kau datang tadi, aku sudah me-rasa
curiga. Tapi, aku tidak yakin kalau itu adalah kau. Se-
bab, tak seorang pun yang pernah selamat dari pusa-
ran maut di muara sungai Lembah Bintang. Syukurlah
Tuhan masih melindungimu dan kita semua." Pende-
kar Garuda Sakti yang memang pernah mengenal pe-
muda itu, segera saja menya-huti.
Tentu saja kedatangan pemuda yang ternyata Pen-
dekar Naga Putih itu, disambut meriah tokoh-tokoh
persilatan yang tergabung di bawah pimpinan Pen-
dekar Garuda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
'Terima kasih, Gumang. Dan aku pun telah men-
dengar semua dari dua orang tokoh yang mengajakku
ke mari tadi. Rasanya, memang sudah saatnya ke-
jahatan manusia-manusia sesat itu kita berantas...,"
ucap Panji yang masih tak lepas dari pelukan Kenan-
ga.
Sepertinya gadis jelita itu sama sekali tidak peduli,
meskipun tubuh kekasihnya mengeluarkan bau tak
sedap saat itu. Semua itu lenyap ditelan kerinduan
dan rasa cintanya yang mendalam.
"Kalau begitu, kita harus menyusun rencana untuk
menghancurkan Datuk Naga Hitam dan begundal-
begundalnya...," ujar Pendekar Naga Putih lagi.
"Rasanya, kita tidak perlu menyatroni mereka,
Pendekar Naga Putih. Menurut beberapa orang tokoh
yang menyelidiki kegiatan gerombolan pembunuh
bayaran Naga Hitam, mereka melihat adanya dua
orang anggota gerombolan itu yang sempat melarikan
diri pada waktu kau memberantas kawan-kawannya di
perkampungan nelayan. Jadi menurut perkiraan ku,
mereka sendirilah yang akan datang ke tempat kita
ini," jelas Pendekar Garuda Sakti.
"Kalau begitu, kita hanya tinggal menunggu mere-
ka saja. Hm..., apakah kau sudah mempersiapkan pe-
nyambutan untuk mereka, Gumang?" tanya Panji den-
gan sorot mata kagum.
Pemuda itu merasa agak bersalah, karena sempat
mencurigai Gumang pada waktu di Desa Jipang. Tapi
kini Panji tahu, lelaki gagah itu memang merupakan
seorang pendekar yang pantas dikagumi. Terbukti, ia
dapat menyatukan tokoh-tokoh persilatan yang di-
musuhi kelompok kaum sesat Naga Hitam.
'Tentu saja aku sudah mempersiapkannya dengan
baik, Panji. Hanya satu hal yang ku takutkan...," Gu-
mang tidak segera menyelesaikan kalimatnya. Seper-
tinya, ia hendak melihat sambutan Pendekar Naga Pu-
tih.
"Oh, ya. Tentu saja aku akan bersiap untuk itu...,"
sahut Panji.
Pendekar Naga Putih segera saja mengetahui, kalau
yang dimaksudkan Pendekar Garuda Sakti adalah ke-
hadiran dua datuk sesat yang memang tidak mungkin
dapat ditandingi oleh Gumang maupun Pendekar Gu-
nung Batur. Tentu saja Panji mengerti.
"Hm..., Kalau begitu, bagaimana apabila kau mem-
bersihkan tubuhmu dulu, Kakang? Menurutku, kau
pasti tidak pernah membersihkan tubuhmu sejak le-
nyap ditelan pusaran maut Lembah Bintang," Ke-
nanga mengingatkan.
Gadis jelita itu menutup hidungnya untuk meng-
goda Panji. Semua itu jelas dari pancaran matanya
yang berbinar.
"Hm.... Tapi kau tetap suka kan...," bisik Panji yang
tentu saja hanya bisa didengar oleh gadis jelita itu. Ke-
nanga sendiri hanya tersenyum mendengar ucapan
Panji.
Setelah berpamitan kepada Gumang dan Pendekar
Gunung Batur, Kenanga pun mengantarkan pemuda
itu untuk membersihkan tubuhnya dan berganti pa-
kaian.
***
DELAPAN
Saat itu, senja baru menampakkan kekuasaan-
nya. Semburat cahaya kemerahan tampak menghias
kaki langit sebelah Barat. Hembusan angin bersilir
lembut, bagai elusan tangan bidadari.
Di tengah siraman senja, bangunan tua yang men-
jadi tempat tinggal tokoh persilatan, tampak sunyi.
Hanya satu dua orang yang terlihat hilir-mudik dengan
senjata di pinggang. Sikap mereka tampak sedikit te-
gang, karena menurut perhitungan Pendekar Garuda
Sakti kemungkinan malam atau senja hari itu pihak
golongan sesat akan mendatangi mereka.
Sedangkan di bagian dalam bangunan tua yang
terletak di sebelah Timur Hutan Bajang, tampak bebe-
rapa orang berkumpul mengelilingi sebuah meja bulat.
Sepertinya, mereka tengah merencanakan untuk men-
gatur siasat dan pembagian tugas dalam meng-hadapi
musuh yang akan menyerang.
"Jika Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon
memang akan muncul, biarlah jadi bagian Pendekar
Naga Putih. Kita harus mengakui, kalau tidak mungkin
sanggup menghadapi kedua datuk sesat itu, kecuali
Pendekar Naga Putih. Justru karena adanya saudara
kita. Pendekar Naga Putih-lah, maka aku berani me-
nanggung akibatnya untuk menghadapi mereka. Kalau
tidak, mungkin aku akan mengajak kalian semua un-
tuk mengungsi, seperti yang selama ini kita laku-kan.
Rasanya, sekaranglah saatnya bagi golongan putih un-
tuk bangkit!" kata Pendekar Garuda Sakti penuh se-
mangat.
Tokoh lainnya hanya menganggukkan kepala tanda
setuju. Karena, apa yang dikatakan lelaki gagah itu
memang tidak berlebihan. Dan mereka semua tahu
akan hal itu.
Pendekar Garuda Sakti menatapi rekan-rekannya,
seolah menunggu pendapat dari tokoh lainnya. Setelah
beberapa saat tidak ada yang angkat suara, lelaki ga-
gah itu pun melanjutkan ucapannya.
"Kalau begitu, pertemuan ini kututup. Sebagai-
mana yang telah kita bicarakan tadi, semua harus sia-
ga di tempat masing-masing. Tidak ada seorang pun
yang boleh bergerak, sebelum mendengar tanda dari-
ku. Kurasa cukup sekian...."
Setelah berkata demikian, Pendekar Garuda Sakti
bangkit dari duduknya diikuti para tokoh lain. Satu
persatu mereka meninggalkan ruang pertemuan untuk
melaksanakan apa yang barusan dibicarakan.
Baru saja Pendekar Garuda Sakti membubarkan
pertemuan itu, mendadak dari depan telah terdengar
suara ribut-ribut. Segera saja para tokoh itu berlompa-
tan keluar dengan senjata di tangan. Rupanya, perhi-
tungan mereka meleset! Padahal dugaan se-belumnya
musuh akan menyerang saat malam datang.
"Aku pergi dulu...,"
Panji yang memang tidak ikut bergabung dengan
para tokoh persilatan lain, segera saja berpamitan. Be-
lum lagi gaung suaranya hilang, tubuhnya telah lenyap
seperti asap tertiup angin.
Setelah tubuh Pendekar Naga Putih lenyap, Pen-
dekar Garuda Sakti, Pendekar Gunung Batur, Ke-
nanga, serta para tokoh lainnya segera saja berlari
menuju gerbang depan. Di tangan mereka telah ter-
genggam senjata terhunus.
Begitu tiba di gerbang depan, para tokoh itu lang-
sung saja menerjunkan diri ke dalam kancah pertem-
puran yang telah ramai berkobar. Meskipun rencana
mereka ternyata berantakan, namun para tokoh persi-
latan itu tetap berjuang gigih! Tidak ada lagi rasa takut
dalam hati mereka. Yang terpikirkan saat itu hanyalah
mengusir musuh secepatnya, atau membunuh lawan
sebanyak-banyaknya.
Pendekar Garuda Sakti sendiri sudah menghadapi
seorang lelaki bertubuh gemuk yang wajahnya ter-
lindung kain hitam. Melihat betapa laki-laki gemuk itu
banyak menewaskan rekan-rekannya, langsung saja
Pendekar Garuda Sakti menggempurnya dengan pe-
dang telanjang!
"Hiaaattt..!"
Dibarengi sebuah teriakan keras, Gumang yang
berjuluk si Pendekar Garuda Sakti mengibaskan senja-
tanya, memapak sambaran pedang lelaki gemuk itu
yang hendak mencelakakan salah seorang rekan-nya.
Sehingga, lelaki gemuk itu membatalkan sera-ngan,
dan memutar senjatanya menyambut serangan Gu-
mang. Sebentar saja, mereka segera terlibat dalam se-
buah pertarungan sengit!
Gumang yang telah menyaksikan kehebatan lawan,
segera saja mengerahkan seluruh kepandaian untuk
menundukkan lawan secepat mungkin.
Beeettt! Beeettt!
Senjata yang berupa golok besar di tangan lelaki
gagah berkumis tebal itu berputar dan meliuk-liuk ce-
pat. Tidak percuma Gumang mendapat julukan seba-
gai Pendekar Garuda Sakti. Hal ini terbukti dari gem-
puran-gempurannya yang cepat dan kuat laksana
amukan seekor garuda yang sedang marah!
Tapi, lelaki gemuk berseragam hitam itu pun ter-
nyata bukan orang lemah. Senjata di tangannya yang
berupa sebilah pedang lemas, mengaung-ngaung men-
gincar tubuh lawan. Gerakannya pun tak kalah cepat
dibanding Gumang. Apalagi, senjata yang digunakan-
nya dapat pula digunakan untuk melibat. Sehingga,
pertarungan di antara kedua orang tokoh itu pun ber-
langsung seru dan terlihat seimbang!
Di tempat lain, Kenanga juga mendapat seorang
lawan yang cukup tangguh. Wanita cantik berambut
panjang yang menjadi lawannya, ternyata seorang to-
koh berilmu tinggi. Julukannya cukup membuat orang
gentar. Yakni, Peri Sungai Alur!
Sayangnya yang kali ini dihadapi Peri Sungai Alur
tidak dapat disamakan dengan lawan-lawannya yang
terdahulu, Sebelum bertemu dengan Pendekar Naga
Putih pun, Kenanga merupakan seorang gadis yang
sulit dicari tandingannya. Baik dalam ilmu silat mau-
pun kejelitaannya. Apalagi, setelah bertemu dan me-
lakukan petualangan bersama Pendekar Naga Putih.
Tentu saja kepandaian yang dimilikinya pun maju pe-
sat.
Dalam menghadapi Peri Sungai Alur, Kenanga yang
menggunakan Pedang Sinar Bulan, mulai mendesak
lawannya melalui jurus-jurus andalan. Bahkan dalam
kesempatan itu, dicobanya menggunakan ilmu 'Pedang
Naga Sakti' yang diajarkan kekasihnya.
Kehebatan ilmu 'Pedang Naga Sakti', tentu saja ti-
dak dapat disejajarkan dengan ilmu-ilmu pedang lain
yang ada di kolong langit ini. Meskipun Kenanga baru
mempelajarinya beberapa jurus, namun kehebatannya
tampak jelas. Terbukti, Peri Sungai Alur tampak ke-
labakan menghadapi serangan gadis jelita itu. Se-
hingga dalam tiga puluh jurus saja, Peri Sungai Alur
hanya bisa bermain mundur tanpa mampu me-
lancarkan serangan balasan.
"Yiaaattt..!"
Kenanga kembali mengeluarkan bentakan nyaring,
disertai tusukan pedangnya yang mengaung tajam! Ki-
latan sinar putih yang berpendar dari badan pedang,
membuat Peri Sungai Alur semakin kewalahan!
"Aaahhh...!"
Peri Sungai Alur memekik tertahan ketika hampir
saja pedang lawan menggores lengan atasnya. Untung-
lah tubuhnya sempat dimiringkan, sehingga pedang itu
lewat dua jari dari sasarannya.
Tapi, Kenanga rupanya jauh lebih cerdik dari la-
wan. Begitu tusukannya luput, cepat pedangnya dita-
rik pulang dengan geseran ke arah sasaran. Dan...
Breeettt..!
"Aaakh...!"
Mata pedang Kenanga langsung menggores pangkal
lengan Peri Sungai Alur yang tak sempat lagi meng-
hindar. Tubuh wanita cantik itu terjajar limbung bebe-
rapa langkah ke samping. Dan Kenanga tidak ingin
menyia-nyiakan kesempatan baik ini. Cepat tubuhnya
melesat dengan jurus 'Bidadari Menabur Bunga'.
"Yeaaattt...!"
Sinar putih keperakan yang bergulung-gulung itu
tentu saja membuat Peri Sungai Alur menjadi gugup
bukan main! Akibatnya, ia tidak sanggup lagi meng-
hindari gulungan sinar pedang gadis jelita yang menja-
di lawannya.
Breeettt! Breeettt!
"Aaa...!"
Peri Sungai Alur meraung keras ketika gulungan
sinar putih keperakan yang ditimbulkan Pedang Sinar
Bulan di tangan Kenanga merobek-robek tubuhnya!
Darah segar kontan menyembur dari beberapa luka
berlubang di tubuh wanita cantik pengikut Datuk Naga
Hitam.
Kenanga menatap tajam tubuh lawannya yang ter-
banting berlumuran darah. Setelah yakin kalau Peri
Sungai Alur tidak bernyawa lagi, gadis itu pun segera
berpindah ke arena lain untuk membantu rekan-
rekannya
***
Setelah berpamitan kepada kawan-kawannya, Panji
segera bergerak menuju ke luar bangunan. Kemudian,
terus melesat ke arah samping dan terus ke depan. Ke-
tika melihat beberapa orang berpakaian serba hitam
hendak menghadangnya, Pendekar Naga Putih lang-
sung merobohkan lawan-lawannya dengan pukulan-
pukulan maut
Enam orang berseragam hitam yang bernasib sial
langsung saja beterbangan bagaikan lalat menghampiri
pelita. Mereka tewas seketika akibat pukulan maut
yang dilontarkan Pendekar Naga Putih. Kemudian,
Panji terus melesat ke depan.
Pendekar Naga Putih baru menghentikan larinya
ketika dari kejauhan terlihat dua sosok tubuh yang ti-
dak mungkin dapat dilupakannya. Mereka tak lain
adalah Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon.
Rupanya, mereka hanya menyaksikan para pengikut-
nya yang tengah bertarung melawan tokoh-tokoh go-
longan putih. Tanpa membuang-buang waktu lagi, se-
gera dikerahkannya 'Ilmu Mengirim Suara Dari Jauh'
kepada kedua orang tokoh sesat itu.
"Hei, badut-badut konyol! Tidakkah kalian ingin
ikut meramaikan suasana denganku...?"
Suara bisikan Panji ternyata terdengar jelas di te-
linga kedua orang gembong kaum sesat itu.
Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung Kulon, se-
gera saja menoleh dengan wajah terkejut. Hati mereka
semakin berdebar tegang saat melihat sesosok tubuh
berjubah putih, tengah berdiri menatap mereka dari ja-
rak sepuluh tombak di belakang.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Datuk Naga Hitam
dengan suara agak bergetar.
Jelas sekali kalau tokoh sesat bertubuh gemuk itu
terkejut melihat sosok Panji. Padahal setahunya pe-
muda itu telah tewas di dalam pusaran maut.
"Mustahil...?! Pasti ada orang yang hendak mena-
kut-nakuti kita...," terdengar suara Petapa Gunung
Kulon yang hampir-hampir tidak terdengar.
Tokoh sesat bertubuh jangkung itu menelan lu-
dahnya yang terasa pahit dan kering. Rupanya tokoh
yang ukuran tubuhnya melebihi manusia biasa itu me-
rasa gentar melihat sosok Pendekar Naga Putih.
Tapi walaupun hati agak berdebar, kedua datuk
sesat itu melangkah juga menghampiri sosok Pen-
dekar Naga Putih. Mereka mencoba meyakini, kalau-
kalau itu adalah orang lain yang menyamar sebagai
Pendekar Naga Putih. Padahal menurut mereka, Pendekar Naga Putih telah tewas kurang lebih sebulan
yang lalu. Dan, mereka pun menyaksikannya dengan
mata kepala sendiri.
"Hm.... Kalian terkejut melihatku, Badut-badut ko-
nyol...?" tegur Panji begitu kedua orang gembong kaum
sesat itu datang mendekat.
"Haaahhh...?!"
Baik Datuk Naga Hitam maupun Petapa Gunung
Kulon sama-sama terbelalak kaget, tak ubahnya me-
lihat hantu di siang bolong! Mereka terpaku menatap
sosok Pendekar Naga Putih yang tersenyum membalas
tatapan kedua gembong kaum sesat itu.
"Kau.... Kau, Pendekar Naga Putih...! Bagaimana
kau bisa selamat dari pusaran maut itu...?" desis Da-
tuk Naga Hitam, setengah tak percaya dengan kebera-
daan pemuda di depannya.
"Mustahil...! Kau pasti orang lain yang sengaja me-
nyamar sebagai Pendekar Naga Putih untuk me-nakuti
kami. Hm.... Kau tahu, Kisanak. Tidak satu makhluk
pun yang dapat selamat dari pusaran maut itu...," kata
Petapa Gunung Kulon sambil meyakinkan hatinya
bahwa pemuda itu bukanlah Pendekar Naga Putih.
Apalagi, sosok tubuh Panji sekarang memang lebih ku-
rus dari semula.
"Hm.... Aku tidak perduli pendapat kalian, Ma-
nusia-manusia keji! Yang penting, sekarang kedatan-
gan ku untuk membunuh kalian. Hhh...! Kalian ber-
dua telah membuat kesalahan besar yang tidak mung-
kin dapat ku maafkan. Malah, kehadiran kalian di mu-
ka bumi ini hanya membuat orang-orang lain celaka.
Jadi, tidak perlu banyak bicara lagi. Sebaik-nya, ber-
siaplah menerima hukuman!" ujar Panji de-ngan teka-
nan nada datar dan dingin. Sorot matanya juga tam-
pak berkilat menatap kedua orang lawannya.
"Setan! Siapa pun adanya kau, Datuk Naga Hitam
tidak takut! Dan kaulah yang akan kukirim ke nera-
ka...!"
Sambil berkata demikian, Datuk Naga Hitam men-
cabut keluar sebuah pedang berwarna hitam yang jelas
mengandung racun mematikan. Kemudian pedang itu
dilintangkan di depan dadanya, siap untuk bertarung.
Begitu pula sikap yang diambil Petapa Gunung Ku-
lon. Tokoh sesat bertubuh tinggi luar biasa itu melo-
loskan tasbih yang selalu menghias lehernya. Jangan
dipandang ringan senjata itu. Meskipun ha-nya terdiri
dari kayu, namun telah direndam dalam ramuan khu-
sus. Sehingga, kayu-kayu bulat sebesar kelereng itu
menjadi sekeras besi.
Melihat kedua orang lawan sudah saling menge-
luarkan senjata, Pendekar Naga Putih memejamkan
matanya sejenak, untuk memusatkan tenaga batinnya.
Sekejap kemudian, terciptalah sebatang pedang ber-
sinar kekuningan di tangan kanannya.
"Nah, mulailah...," desis Panji tanpa mempedulikan
keterkejutan lawan-lawannya.
Tentu saja Datuk Naga Hitam dan Petapa Gunung
Kulon melihat kapan tangan pemuda itu bergerak
mencabut senjata.
"Heaaahhh...!"
Tanpa mempedulikan dari mana pemuda itu mem-
peroleh pedang, Datuk Naga Hitam segera saja me-
mulai serangan diiringi sebuah teriakan nyaring! Tu-
buh lelaki gemuk berusia sekitar lima puluh lima ta-
hun lebih itu segera melesat disertai putaran pedang-
nya yang mengaung bagai ratusan lebah marah!
Bersamaan dengan itu, Petapa Gunung Kulon tidak
mau telah dengan rekannya. Tokoh bertubuh tinggi
luar biasa itu bergerak dengan langkah-langkah pan
jang, mendekati Pendekar Naga Putih. Tasbih di tan-
gannya berputaran, menyambar-nyambar menim-
bulkan suara yang menyakitkan telinga. Jelas tenaga
sakti kedua orang tokoh itu tidak bisa dipandang rin-
gan.
Tapi, Panji tidak mau berdiam diri menanti da-
tangnya serangan kedua orang datuk sesat itu. Cepat
bagai kilat, pemuda itu melesat memapak serangan
pedang Datuk Naga Hitam. Pendekar Naga Putih sama
sekali tidak merasa gentar dengan racun ganas di ba-
dan pedang lawan. Karena, Pedang Naga Langitnya
sendiri adalah sebuah senjata langka yang dapat me-
musnahkan segala macam jenis racun.
"Yeaaattt..!"
Diiringi pekikan mengguntur, Pendekar Naga Putih
memutar senjatanya dengan jurus ilmu 'Pedang Naga
Sakti'nya. Langsung saja cahaya kekuningan berpen-
dar menyilaukan mata. Sebentar saja pertarungan an-
tara tokoh-tokoh sakti dunia persilatan itu ber-
langsung mendebarkan!
Ketiga orang tokoh menggiriskan itu saling terjang
dengan dahsyatnya! Sehingga, tubuh mereka tidak lagi
dapat terlihat mata. Mereka hanya merupakan tiga so-
sok bayangan yang saling desak dan saling libat!
Debu dan bebatuan yang berada di sekitar arena
pertempuran ketiga tokoh sakti itu, berpentalan ke se-
gala arah, karena terkena sepakan dan angin samba-
ran senjata. Bahkan, saking hebatnya sambaran serta
gerakan kaki mereka, batu-batu yang terpental jauh,
langsung mengenai tubuh orang-orang yang ber-
tempur di arena lain. Padahal, jarak antara pertem-
puran ketiga orang tokoh itu dengan pertempuran lain
terpisah sekitar delapan tombak. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya pertarungan tokoh
tokoh sakti itu.
Beberapa orang tokoh persilatan yang tengah ber-
tarung melawan kelompok Naga Hitam, tiba-tiba ter-
pental roboh akibat batu sebesar kepalan tangan yang
mampir ke tubuh dan kepala mereka. Tidak sedikit di
antaranya yang terluka mengalirkan darah. Tentu saja,
kejadian itu membuat yang lain bergegas lari menjauh,
agar tidak terkena batu-batu nyasar.
"Hiaaattt..!"
Ketika pertarungan itu telah lewat dari enam puluh
jurus, tiba-tiba saja Datuk Naga Hitam memekik nyar-
ing dan menggetarkan! Orang-orang yang tidak terlalu
tinggi tenaga dalamnya, langsung roboh sambil mene-
kap kedua telinga. Padahal, mereka berada se-puluh
tombak lebih dari ketiga tokoh itu. Maka dapat di-
bayangkan, betapa mengerikannya akibat pekikan Da-
tuk Naga Hitam!
Tapi bagi Panji sendiri, pekikan itu tidak terlalu be-
rarti. Tubuhnya yang terselimut lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan, tentu saja tidak bisa ditembus
pekikan yang bagaimanapun kerasnya.
Walaupun begitu, Pendekar Naga Putih tidak me-
mandang enteng serangan yang dilancarkan Datuk
Naga Hitam. Maka seiring pekikan dahsyat dari lawan,
tubuh pemuda itu segera bergeser dengan lompatan
pendek. Sehingga sambaran pedang lawan hanya me-
nembus angin kosong saja. Dan begitu senjata lawan
lewat, segera saja dilontarkan serangan balasan den-
gan kecepatan sukar diikuti mata.
Syuuuttt..!
Terdengar suara berdecit tajam mengiringi lun-
curan sinar kuning yang berasal dari pedang Pendekar
Naga Putih!
"Aaa...!?"
Datuk Naga Hitam memekik tertahan ketika pe-
dang di tangan Panji meluruk deras ke arah jantung-
nya. Tanpa pikir panjang lagi, tokoh sesat bertubuh
gemuk itu langsung melempar tubuhnya ke belakang,
dan terus berjumpalitan beberapa kali untuk menye-
lamatkan selembar nyawanya.
Pendekar Naga Putih yang hendak menyusuli se-
rangannya yang gagal itu, terpaksa menundanya keti-
ka mendengar dengungan tajam dari arah kanan. Ce-
pat tubuhnya menunduk, menghindari sambaran biji-
biji tasbih yang mungkin bisa meremukkan kepala-
nya. Kemudian, tubuh pemuda itu berputar secepat ki-
lat disertai sebuah tendangan mengejutkan!
Petapa Gunung Kulon yang tidak sempat lagi
menghindari diri, segera saja mengangkat tangan ki-
rinya untuk menangkis tendangan yang mengancam
kepalanya. Tapi akibatnya...
Plaaakkk!
"Aaahhh...!?"
Kakek itu kontan memekik kaget! Bahkan akibat
tangkisannya, kuda-kudanya jadi tergempur hingga
tubuhnya terjajar mundur sejauh satu tombak! Dan
tanpa diduga, telapak tangannya yang digunakan un-
tuk menangkis terasa demikian nyeri disertai hawa
dingin yang merembes masuk sebatas siku. Hal itu
langsung membuat lengan kiri Petapa Gunung Kulon
serasa lumpuh untuk beberapa saat lamanya!
Pendekar Naga Putih sendiri tidak mau menyia-
nyiakan kesempatan baik ini selagi tubuh lawannya
terjajar mundur. Cepat ia kembali melompat, meng-
gunakan jurus 'Naga Sakti Meluruk Ke Dalam Bumi'
yang merupakan jurus terampuh dari 'Ilmu Silat Naga
Sakti' nya.
Wueeettt! Wueeettt!
"Aaahhh...!?"
Untuk kedua kalinya, Petapa Gunung Kulon me-
mekik kaget! Pendaran sinar kuning keemasan yang
membentuk bulatan-bulatan menyilaukan mata, mem-
buatnya terjajar mundur beberapa langkah sambil me-
lindungi matanya. Akibatnya...,
Breeettt! Breeettt!
Breeettt! Breeettt!
"Arrrggghhh...!"
Petapa Gunung Kulon meraung panjang ketika pe-
dang Pendekar Naga Putih merobek-robek tubuhnya!
Pada saat itu, rupanya Datuk Naga Hitam malah
mengambil kesempatan. Dia berusaha menusuk Panji
dari belakang!
"Arrrggghhh...!"
Bagai binatang luka, Petapa Gunung Kulon me-
raung parau saat pedang lawan merobek-robek tubuh-
nya! Darah segar kontan menyembur, membasahi ta-
nah berumput kering. Dan begitu tubuh kakek jang-
kung itu ambruk ke tanah, terdengar suara berdebuk
keras disertai lepasnya nyawa dari raganya.
Datuk Naga Hitam rupanya hendak memperguna-
kan kesempatan, sewaktu Panji menikamkan pedang-
nya ke tubuh Petapa Gunung Kulon tampak tubuh
orang tua gemuk itu meluncur dengan ujung pedang
tertuju lurus ke punggung Pendekar Naga Putih yang
saat itu membelakanginya!
Wuuuttt..!
Ujung pedang hitam di tangan Datuk Naga Hitam
meluncur lurus dengan suara mengaung tajam!
Sayang Pendekar Naga Putih tidak semudah itu di-
bokong. Telinganya yang tajam, sempat menangkap
adanya bahaya yang datang dari belakang. Maka den-
gan gerakan tak terduga, saat ujung pedang hitam itu
tinggal sejengkal dari punggungnya, tubuh Pendekar
Naga Putih cepat melenting berputar ke belakang me-
lampaui kepala lawan. Gerakan itu masih dibarengi
pula dengan tusukan pedangnya yang tepat mendarat
di tengkuk Datuk Naga Hitam!
Craaabbb...!
"Highhh...!"
Datuk Naga Hitam hanya bisa mengeluarkan suara
seperti orang tercekik, karena pedang di tangan lawan-
nya amblas hingga tembus ke leher depan! Darah segar
segera menyembur, saat Pendekar Naga Putih men-
cabut kembali pedangnya. Kemudian, pemuda itu ma-
sih juga sempat mengirimkan sebuah jejakan ke tubuh
belakang lawannya. Karuan saja tubuh tokoh sesat itu
ambruk ke tanah disertai semburan darah dan mulut!
Bagaikan seekor ayam yang disembelih, tubuh Da-
tuk Naga Hitam menggelepar-gelepar sebelum ke-
mudian melepaskan nyawa yang hanya satu-satunya
itu.
"Hhh...,"
Terdengar helaan napas kelegaan dari mulut Pen-
dekar Naga Putih ketika melihat kedua orang lawannya
telah tewas. Ketika tidak mendengar suara-suara per-
tarungan di tempat lain, Panji segera menolehkan ke-
pala. Tampak pertarungan telah berakhir. Tiba-tiba
ada suara yang memanggil.
"Kakang...,"
Kenanga datang berlari-lari kecil menghampiri pe-
muda itu.
"Aku sudah menemukan, siapa orang yang me-
nyamar sebagai diriku ketika di Lembah Bintang...,"
lapor gadis jelita itu dengan napas masih memburu.
Rupanya, Kenanga baru saja menyelesaikan per-
tarungan terakhirnya. Tampak pedang di tangannya
masih berlumuran darah.
"Oh ya...? Siapa wanita itu...?" tanya Panji dengan
wajah setengah tak percaya.
"Wanita itu berwajah cantik dan berambut pan-
jang. Dia adalah Peri Sungai Alur. Aku bisa menduga,
karena hanya dialah satu-satunya wanita dari sekian
banyak anggota Datuk Naga Hitam...," jelas Kenanga
penuh kepuasan, karena bisa menemukan penyebab
celakanya pemuda pujaan hatinya.
"Lalu, ke mana sekarang wanita itu...?" tanya Pen-
dekar Naga Putih lagi.
"Dia sudah kubunuh sejak tadi...," jawab Kenanga
singkat. Sepertinya, dia tidak begitu suka jika Panji
menanyakan wanita cantik itu.
"Hm.... Lebih baik, kita segera pergi. Bukankah ti-
dak ada persoalan lagi di tempat ini...?" ujar Panji.
Pendekar Naga Putih menatap gadis jelita itu untuk
mendapat kepastian. Ketika melihat anggukan Kenan-
ga, pemuda itu segera saja mengajaknya pergi.
"Pendekar Naga Putih.... Tunggu...!"
Tiba-tiba saja terdengar teriakan yang menahan
langkah Panji dan Kenanga. Mereka menoleh ke arah
dua orang lelaki gagah yang tak lain dari Pendekar Ga-
ruda Sakti dan Pendekar Gunung Batur.
"Maaf, sahabat-sahabat. Kami harus melanjutkan
perjalanan!" sahut Panji sambil melambaikan tangan
kepada kedua orang gagah itu. Kenanga juga ikut me-
lambaikan tangannya. Setelah itu, tubuh mereka sege-
ra berkelebat, menerobos kegelapan malam.
Tinggallah Pendekar Garuda Sakti dan Pendekar
Gunung Batur yang hanya dapat menggeleng-geleng-
kan kepala menatap kepergian pasangan pendekar
muda yang sakti itu.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar