Hawa dingin yang luar biasa di pagi subuh itu
menyelimuti sekitar lereng perbukitan. Di mana kabut
tampak masih tebal. Di antara keremangan cuaca dan
tebalnya kabut, tampak terlihat sebuah bangunan be-
sar. Ternyata sebuah kuil. Kuil itu bernama KUIL IS-
TANA HIJAU. Memanglah sebenarnya kuil itu amat be-
sar dan luas, hingga menyerupai sebuah istana saja
layaknya. Di sekeliling kuil itu dikelilingi oleh pagar
tembok tebal, yang tampak luas. Bagian depannya ter-
dapat pintu gapura dengan daun pintu dari terali besi.
Sedangkan bangunan itu sendiri keseluruhannya ber-
cat hijau. Kecuali atap gentingnya.
Cuaca yang remang-remang itupun berangsur-
angsur terang. Sementara kabut sedikit demi sedikit
mulai lenyap. Akan tetapi dalam hawa yang sebegitu
dinginnya ternyata telah ada orang yang keluar rumah.
Bahkan tanpa selimut menutupi tubuhnya. Dia seso-
sok tubuh yang berpinggang ramping, berambut pan-
jang beriapan.
Dalam keremangan kabut yang semakin meni-
pis, sudahlah dapat diterka kalau sosok tubuh itu ada-
lah sosok tubuh seorang wanita.
Angin yang bertiup sepoi di pagi remang itu te-
lah membawa bau amisnya darah. Hingga menyebar
sampai ke sebuah desa, yang terletak sejauh kurang
lebih enam belas kali lemparan tombak dari kuil Istana
Hijau.
Hal tersebutlah yang membuat wanita itu telah
keluar dari rumah. Dan berlari cepat menuju arah an-
gin bertiup. Tepat di saat keremangan mulai lenyap,
sosok tubuh itu telah tiba di satu tempat berdataran
tinggi. Di hadapannya adalah sebuah perbukitan yang
memanjang. Dan tak jauh dari lereng perbukitan itulah
terlihat berdiri dengan megahnya dari kejauhan ban-
gunan kuil Istana Hijau.
Siapakah gerangan Wanita itu? Dia ternyata tak
lain dari si Pendekar Wanita Pantai Selatan, alias RO-
RO CENTIL.
Baru saja ia menginap semalam di desa yang
bernama Lubuk Batang itu, Kedatangannya adalah
atas undangan seseorang dari kalangan Rimba Hijau,
yang berjulukan si Bangau Putih. Roro sendiri heran,
karena ia tidak mengenal akan nama itu. Namun men-
gingat dirinya sudah dikenal orang Persilatan, ia men-
duga si pengundang tentu membutuhkan bantuan.
Karena di samping si Pendekar Wanita ini seorang
yang gemar berpetualang, juga undangan itu dianggap
kesempatan baik untuk mengetahui ada hal apakah
gerangan, maka ia telah diundang melalui surat raha-
sia, juga ia berkeinginan mengetahui siapa gerangan
adanya si Bangau Putih itu. Sejak senja kemarin ia te-
lah tiba di tempat tujuan. Akan tetapi menunggu keda-
tangan si Bangau Putih di sebuah penginapan yang te-
lah ditentukan, harus-nya menggunakan kesabaran.
Kesempatan itu tidak di sia-siakan
Roro Centil, untuk melihat-lihat keadaan desa
yang ramai itu. Ternyata desa Lubuk Batang terletak di
sisi sebuah sungai, di sisi bukit. Rumah-rumah pen-
duduk berderet-deret memanjang di sisi sungai yang
berair jernih itu. Sampan dan jukung berseliweran di
permukaan air. Ada yang sekedar bermain perahu. Ada
juga yang memang mempunyai keperluan tertentu.
Bahkan di antaranya ada yang menggunakan sampan
untuk berdagang. Ternyata di samping rumah-rumah
yang berdiri di daratan, ada juga rumah-rumah yang
berdiri di atas air. Setelah puas melihat-lihat, Roro
kembali ke penginapan.
Tempat yang digunakan untuk bermalam ada-
lah sebuah rumah penginapan yang hanya satu-
satunya di tempat itu. Jendela kamarnya menghadap
ke arah tepian sungai yang di belakangnya adalah ba-
risan bukit yang memanjang. Pemandangan di tempat
itu memang indah.
Hingga sampai malam ia mondar-mandir keluar
kamar. Namun tak terlihat adanya orang yang men-
gundangnya. Diam-diam gadis pendekar ini tersenyum
sendiri. Mengapa ia tak menanyakan saja pada si pe-
milik penginapan, barangkali saja ia mengenal si Ban-
gau Putih.
Segera ia temui pemilik penginapan yang pada
saat itu tengah duduk di belakang mejanya. Laki-laki
tua ini tampak tengah asyik menikmati asap temba-
kaunya. Sambil duduk bertumpang kaki di kursi ma-
las. Sementara sepasang matanya seperti mengantuk.
"Maaf paman....! Apakah paman mengenal se-
seorang yang menyebut dirinya si Bangau Putih...?"
bertanya Roro.
Laki-laki ini membuka sepasang kelopak ma-
tanya. keningnya dikernyitkan. Segera kepalanya men-
dongak untuk menatap si penanya.
"Apakah maksud nona si paderi Kuil Istana Hi-
jau itu...?" Balik bertanya si pemilik penginapan. Roro
yang memang tak mengetahui, cepat-cepat saja men-
ganggukkan kepala. Tapi diam-diam Roro terkejut, tapi
juga bersyukur. Yang akhirnya mengetahui siapa
adanya si Bangau Putih itu.
"Kalau dia yang nona tanyakan, sayang sekali
orangnya sudah berangkat pergi. Memang sudah sejak
tiga hari yang lalu, paderi itu menginap di sini. Tam-
paknya ia tengah menunggu seseorang. Apakah nona
yang sedang ditunggunya?" Ujar laki-laki tua, seraya
bertanya. Sementara kembali ia menghisap dalam-
dalam pipanya. Dengan kelopak mata yang dika-
tupkan. Sikapnya seperti santai saja dalam berbicara.
Terpaksa Roro mengangguk. Walau sebenarnya ia tak
ingin berterus terang, dan berkata:
"Benar, paman.... Sejak kapan dia pergi? Dan di
manakah letaknya Kuil Istana Hijau itu....?"
Tanya Roro. Si pemilik penginapan itu buka
kembali kelopak matanya, dan hembuskan asap tem-
bakaunya dengan mendesis.
"Baru tadi pagi....! Sayang pertanyaan nona
mengenai di mana adanya Kuil Istana Hijau itu aku
tak mengetahui. Karena aku memang tak pernah ke
mana-mana selain duduk di kursi kawan setia ku ini,
ditemani pipa cangklong ku. Di rumah penginapan mi-
likku ini memang banyak disinggahi para tetamu dari
pelbagai kalangan Rimba Hijau. Aku dapat mengeta-
huinya tentu saja dari buku tamu...!" Ujar laki-laki tua
ini, seraya tepukkan tangannya memanggil seorang
pegawainya yang duduk di belakang meja yang berada
di sudut ruangan. Sang pegawai laki-laki itulah yang
telah mencatat nama-nama setiap pendatang yang
mau menginap, juga termasuk nama Roro Centil.
"Coba kulihat buku tamu itu sebentar...!" Ber-
kata si pemilik penginapan, ketika si pegawainya telah
bergegas datang. Laki-laki itu kembali beranjak pergi
untuk segera mengambilnya. Dan tak lama kemudian
telah menyerahkan buku catatan yang besar itu pa-
danya. Roro Centil cuma bisa berdiri diam berpeluk
tangan. Si pemilik penginapan merogoh saku bajunya
untuk mengeluarkan sebuah kaca mata. Setelah ber-
sihkan kacamata bulatnya dengan ujung baju, segera
ia mulai membuka lembaran buku tamu.
"Nah, kau lihat...! Di sini tertera nama si Ban-
gau Sakti paderi Kuil Istana Hijau. Yang orangnya su-
dah berangkat pergi. Dan pada malam ini yang telah
menginap adalah: Barong Segoro si Naga Hitam, Sito
Resmi si Dewi Rembulan. Dan yang terakhir adalah
nona sendiri .... Apakah nona bernama Sakuntala...?"
Ujar laki-laki tua itu seraya lakukan pertanyaan pada
Roro. Tentu saja Roro Centil mengangguk sambil ter-
senyum. Orang tua itu pun manggut-manggut seraya
menutup lagi buku tamunya.
Roro cepat-cepat menghaturkan terima kasih
seraya berlalu untuk kembali ke kamarnya. Sementara
diam-diam gadis ini tersenyum sendiri, karena ia me-
mang sengaja memakai nama palsu yang ditulis di bu-
ku tamu penginapan itu. Tapi telinga gadis ini telah
menangkap suara bisikan si pegawai penerima tamu
pada majikannya. Yang membisiki bahwa kedua ta-
munya si Naga Hitam dan Dewi Rembulan, juga telah
berangkat pergi tadi siang. Roro Centil kerutkan alis-
nya, dan masuk kamar untuk segera menutupnya
kembali dan sekaligus menguncinya. Gadis ini jatuh-
kan tubuhnya di pembaringan. Sepasang matanya
berkedap kedip, seperti tengah memikir serius. Akhir-
nya Roro mengambil keputusan untuk tidur. Dan esok
pagi akan berangkat mencari di mana adanya Kuil Is-
tana Hijau. Ia menduga si Bangau Sakti tentu telah
kembali ke tempatnya. Karena menduga tamu undan-
gannya tak datang.
Sayang aku terlambat datang kemari...! Ternya-
ta sudah tiga hari si Bangau Putin menginap di tempat
ini...! Menggumam Roro dalam hati. Tapi satu hal lagi
membuat Roro harus merenung sebelum berangkat ti-
dur. Yaitu memikirkan adanya dua orang tokoh Rimba
Hijau yang juga telah menginap di sini.
Apakah si Naga Hitam dan Dewi Rembulan itu
juga datang atas undangan si paderi Kuil Istana Hijau,
si Bangau Putih itu? Pikir Roro Centil. Ia tak bisa men-
jawab pertanyaannya sendiri. Dan karena merasa tak
perlu memikirkan siapa orang-orang yang belum dike-
nalnya itu, juga telah berangkat pergi, Roro Centil se-
gera pejamkan mata dan tarik selimutnya untuk tidur.
Tengah malam ketika si Pendekar Wanita Pan-
tai Selatan itu tengah pulas, sesosok tubuh berendap-
endap mendekati pintu kamarnya. Dengan mengguna-
kan kunci, bayangan sosok tubuh itu berhasil mem-
buka pintu kamar Roro. Akan tetapi mendengar suara
menggeram seekor harimau, orang yang menggunakan
topeng wajahnya itu kembali mundur. Dan cepat-cepat
keluar lagi, seraya mengunci kembali pintu kamar itu.
Serta bergegas menyelinap pergi. Dan menghi-
lang di balik tembok rumah. Kiranya Roro Centil telah
waspada. Ia telah menyuruh binatang siluman yang te-
lah tunduk padanya itu yaitu si Macan Tutul untuk
menjaganya di muka pintu kamar.
Kala menjelang pagi dinihari, Roro. Centil su-
dah terbangun. Setelah mencuci muka, ia kembali ke
kamar untuk membuka jendela. Hidung si pendekar
Wanita ini mencium bau amisnya darah yang terbawa
angin. Di tengah hawa dingin yang menyeruak masuk
ke dalam kamar. Udara masih remang-remang. Dan
kabut terlihat menutupi pemandangan di seberang
sungai.
Roro merasa perlu untuk menyelidiki dari mana
sumber bau amis darah itu. Sebagai seorang pendekar
gemblengan beberapa guru yang berilmu tinggi, Roro
Centil semakin dewasa dalam berfikir. Nalurinya yang
tajam mengatakan ada sesuatu telah terjadi. Segera,
setelah membenahi buntalan pakaiannya yang disang-
kutkan rapi di belakang punggung. Ia sudah melompat
dari jendela. Namun tak lupa Roro Centil telah sedia-
kan beberapa keping uang perak di atas meja, sebagai
pembayaran sewa kamarnya. Melalui jalan kecil di sisi
penginapan, Roro berindap-indap meninggalkan tem-
pat penginapan itu. Selanjutnya ia telah pergunakan
kelihaian ilmu meringankan tubuh untuk melompat ke
atas genting. Dan seterusnya berlompatan dari satu
wuwungan ke wuwungan lain. Sekejap antaranya Roro
telah jauh tinggalkan penginapan itu.
***
Kini di hadapannya adalah hamparan hijau dari
padang rumput, yang masih samar tertutup kabut Ga-
dis pendekar ini pergunakan ilmu lari cepat untuk me-
nyongsong arah angin. Bau amis darah itu semakin
santar setelah lewat beberapa belas kali lemparan
tombak dari rumah penginapan itu, kini terlihat sudah
di hadapannya sebuah bangunan besar yang mirip is-
tana. Dengan membaca ukiran huruf pada pintu gapu-
ra bangunan itu, segera ia mengetahui kalau itulah
bangunan Kuil Istana Hijau.
Apa lagi kini terlihat nyata tiang-tiang dan Kuil
serta keseluruhan bangunan itu yang berwarna hijau.
Sementara saat itu kabut sudah menipis sekali.
"Hm, inilah kiranya Kuil Istana Hijau....!", Bau
amis darah agaknya berasal dari sini. Ada apakah ge-
rangan yang telah terjadi..?". Desis suara Roro perla-
han. Sementara ia sudah melangkah masuk melalui
pintu gapura. Dan tiba-tiba saja sepasang mata Roro
telah melihat sosok-sosok tubuh yang bergelimpangan,
berserakan di sekitar halaman, dan tangga batu unda-
kan kuil ini. Tercenung Roro seketika. Sang Pendekar
Wanita ini telah berkelebat cepat untuk memeriksa
dengan menghampiri sesosok mayat yang melintang di
tangga batu undakan. Ternyata mayat seorang paderi.
Beberapa mayat ditelitinya. Ternyata juga paderi-
paderi yang telah tewas dengan mengerikan, yaitu den-
gan dada terbelah robek, bagai disayat benda tajam.
Keadaan di sekitar itu sunyi mencekam. Roro Centil
kembali tercenung sejenak. Apakah gerangan yang te-
lah terjadi...? Siapa yang telah membunuh paderi
paderi ini? Gumam Roro dalam hati. Seraya kemudian
Roro melesat untuk memasuki ruangan demi ruangan
di dalam kuil itu. Kembali ia melihat pemandangan
yang mengharukan. Karena di dalam ruangan pun pe-
nuh dengan mayat yang bergelimpangan. Bau amis da-
rah semakin santar pada ruangan dalam ini. Benar-
benar membuat Roro bergidik. Ia menduga telah terjadi
satu pertarungan di Kuil Istana Hijau ini.
Akan tetapi yang amat di herankan, tak satu-
pun ia menjumpai sosok tubuh yang bergeletakan itu
dari orang lain, selain para paderi.
"Aku harus mencari salah seorang yang masih
hidup, untuk bisa memberi keterangan mengenai pe-
ristiwa ini.. !" Desis Roro.
Heh! Jangan-jangan si Bangau Putih pun telah
turut tewas! Kukira paderi itu sengaja mengundangku
untuk aku membantunya. Namun aku terlambat da-
tang! Entah siapa orangnya, dan dari kelompok mana
gerangan yang telah membantai para paderi Kuil Ista-
na Hijau ini...! Gumam Roro dalam hati. Seraya ia su-
dah segera meneliti setiap ruangan. Dan memerik-
sanya, kalau-kalau ada terdapat orang yang masih hi-
dup, untuk diajak bicara.
Saat itu juga Roro Centil kembali berkelebatan
di dalam ruangan Kuil besar itu. Setiap ada tubuh
yang menggeletak, tentu diperiksanya. Akan tetapi
keadaan paderi itu sudah tidak bisa ditanya lagi. Kare-
na orangnya telah tewas. Bahkan darah yang mengalir
dari dada yang robek tersayat itu telah kental, hampir
mengering. Menandakan kematian paderi-paderi itu
sudah dalam waktu satu hari satu malam. Di tengah
ruangan yang paling besar juga terdapat beberapa
mayat yang tergeletak. Gadis Pendekar ini layangkan
pandangannya memeriksa sekitar ruangan. Ternyata di
altar paling depan itu terdapat sebuah arca Budha
yang telah hilang kepalanya. Berwarna kuning keema-
san. Roro kelebatkan tubuhnya ke sana. Arca Budha
ini tingginya hampir dua kaki. Ketika Roro memerik-
sanya, ternyata terbuat dari perunggu yang dilapisi
emas. Aneh...! Menggumam Roro. Kalau ada arca yang
hilang kepalanya, sudah pasti ada yang merusak. Pi-
kirnya. Dan Roro memang melihat jelas adanya bekas-
bekas benda tajam yang masih baru pada bagian leher
arca. Semakin yakin hati Roro, bahwa kepala arca itu
telah copot orang dengan paksa. Tapi memikir bahwa
arca itu terbuat dari perunggu yang dilapis emas, buat
apa orang mencurinya? Demikian fikir gadis Pendekar
ini.
Tersirat di hati Roro bahwa adanya mayat-
mayat di dalam dan di luar kuil itu adalah karena para
paderi bertarung melawan pencuri arca Budha itu, dan
berusaha mempertahankannya. Pada saat itu tiba-tiba
terdengar bentakan hebat disusul berkelebatnya se-
buah bayangan yang menghantamkan pukulan ke
arah Roro.
"Pencuri busuk..! Pembunuh keparat! Mampus-
lah kau...!". Gadis ini tak sempat untuk menoleh lagi,
karena angin pukulan telah bersiur di belakangnya….
BLAK...! Terpaksa ia gunakan lengannya untuk
serangan bokongan itu. Tampak tubuh Roro Centil
terhuyung dua tindak ke belakang. Roro terkejut juga
mengetahui tenaga dalam si penyerang begitu besar.
Ternyata si penyerangnya adalah sesosok tu-
buh dari seorang paderi yang memakai jubah kuning.
Paderi inipun terkejut bukan main ketika merasakan
lengannya seperti beradu dengan besi panas saja. Dan
tenaga tolakan dari bantu ran lengan itu telah mem-
buat tubuh laki-laki ini terjengkang dua tombak.
Roro sudah balikkan tubuh dan melompat ke
hadapan si penyerangnya. Dan menatap tajam paderi
itu.
"Kau orang tua seharusnya bertanya dulu! Jan-
gan main tuduh sembarangan...! Aku baru saja me-
masuki ruangan Kuil ini, dan lihat mayat-mayat berge-
limpangan. Bagaimana mungkin aku kau anggap pen-
curi dan membunuh...?". Bentak Roro berang. Paderi
itu segera bangkit berdiri, dan mengusap-usap jubah-
nya yang kotor. Seraya menatap pada Roro.
"Apakah omongan mu bisa dipercaya? Aku per-
lukan bukti, baru aku bisa mempercayaimu...!", Mem-
bentak lagi si paderi tua ini, yang usianya sekitar 50
tahun. Wajahnya menampilkan ketidakpuasan. Kumis
dan jenggotnya yang cuma sedikit itu bergerak-gerak
kala berbicara. Sementara sepasang matanya yang
masih tajam itu membersitkan hawa kemarahan pada
Roro. Sejenak Roro Centil tercenung mendengar kata-
kata si Paderi tua itu. Segera saja terpikir kalau ia
menggembol buntalan. Pasti disangkanya kepala arca
Budha yang disembunyikan.
"Hm! Baiklah kalau kau perlu bukti! Kau orang
tua tentu mencurigai isi buntalan di belakang pung-
gungku ini, bukan...?. Nah! Segera akan ku tunjuk-
kan!" Berkata Roro seraya dengan cepat melepaskan
buntalan di punggungnya, serta membukanya di ha-
dapan si paderi berjubah kuning.
Sepasang mata paderi itu menatap isi buntalan
itu dengan seksama. Tentu saja ia jadi melengak, ka-
rena isi buntalan itu adalah beberapa perangkat pa-
kaian wanita. Juga sehelai selimut tebal. Selesai me-
nunjukkan isi buntelannya, Roro Centil kembali mera-
pikannya, dan sangkutkan lagi di belakang punggung-
nya. Seraya sebentar kemudian ia telah bangkit berdiri
lagi. Tampaknya urusan sudah selesai. Akan tetapi si
paderi ternyata masih belum puas, terbukti dengan se-
pasang matanya melirik ke arah benda yang terbung
kus kain sutera hitam, yang tergantung di pinggang
Roro.
"Apakah selain kepala Arca Budha yang kau
curigai aku yang mencurinya, masih kau khawatir aku
mencuri benda lain di kuil ini?"., Bertanya Roro. Se-
raya tanpa menunggu jawaban ia telah lorot benda
yang tergantung di pinggangnya. Dan keluarkan isinya.
Melengak si paderi jubah kuning seraya berucap;
"Benda apakah gerangan itu?" Walau-suaranya
lirih, namun Roro cukup jelas mendengarnya.
"Inilah sepasang senjataku, orang tua..!' Senja-
ta yang kunamakan si Rantai Genit! Apakah anda juga
menyangka senjata ini barang curian...?", Tanya Roro
lagi.
"Tentu tidak, nona...! Paderi-paderi Kuil Istana
Hijau tak memiliki, atau menyimpan benda aneh se-
macam itu!" Berkata si paderi dengan suara datar.
Namun tampaknya ia sudah tak mencurigai Roro lagi.
"Baiklah ...! Aku percaya kau bukan si pembu-
nuh dan pencuri kepala Arca Budha itu. Kau telah
memeriksa semua ruangan, apakah menjumpai salah
seorang paderi yang masih hidup?. Aku perlukan kete-
rangan siapa yang melakukan perbuatan keji ini...!".
Berkata si paderi tua itu seraya menghela napas. Se-
mentara lengannya bergerak untuk mengelus jenggot-
nya yang sudah berwarna dua.
Roro selipkan kedua senjata di pinggang, dan
lepaskan bungkusan kain sutra hitam, yang segera
diselipkan ke balik pakaiannya. Seraya kemudian ia
menyahuti;
"Sayang! Aku tak menjumpai seorang pun yang
masih hidup. Bolehkah aku tahu siapa gerangan pa-
man yang terhormat ini?" Ujar Roro.
"Aku bernama Sapta Dasa Griwa, yang mendu-
duki tempat sebagai ketua dua di Kuil Istana Hijau ini.
Kepergianku untuk suatu urusan tiga hari yang lalu,
ternyata telah membawa bencana tanpa kuketahui di
kuil ini. Benar-benar membuat aku menyesal setengah
mati. Aku akan cari pembunuh keji dan pencuri itu
untuk kucincang sampai lumat...!". Tutur si paderi tua
itu yang diakhiri dengan rasa geram pada manusia
yang telah merusak binasakan kuil, dan para penghu-
ninya. Roro Centil manggut-manggut, dan termenung
sesaat seperti tengah berfikir. Lalu katanya:
"Siapakah Ketua satunya, maksudku Ketua
Utama di Kuil Istana Hijau ini?".
"Ketua Utama adalah Ki Dharma Setha ...!"
Menjawab Paderi Sapta Dasa Griwa. "Itulah yang aku
sesalkan...! Ki Dharma Setha memang untuk sementa-
ra menyerahkan tampuk pimpinan padaku, sejak ke-
berangkatannya ke pulau Kelapa. Berkenaan dengan
kunjungannya ke beberapa Kuil di daerah tanah Jawa
itu. Justru di saat beliau tidak ada telah terjadi musi-
bah besar seperti ini...!". Berkata paderi Ketua Dua ini
dengan nada sedih, seraya tundukkan wajahnya mena-
tap lantai. Genangan darah terlihat di mana-mana.
Bau amis dari darah manusia menyebar menusuk hi-
dung. Pada saat itu terdengar suara rintihan dari seso-
sok tubuh yang bergelimpangan itu dari sudut ruan-
gan. Terkejut Roro Centil. Tapi baru ia akan bergerak
untuk melihat, paderi Sapta Dasa Griwa telah mence-
lat terlebih dulu ke sana. Terlihat seorang paderi beru-
saha bangkit dengan keadaan tubuhnya yang terluka
parah. Paderi Ketua Dua itu telah segera menanyainya.
Lengannya bergerak mencengkram jubah di bagian da-
da paderi itu.
"Katakan cepat...! Apa yang telah terjadi? Siapa
yang melakukan pembunuhan keji dan pencurian ke-
pala arca Budha?". Berkata Sapta Dasa Griwa dengan
keras. Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan
yang sunyi mencekam itu. Roro Centil cepat membu-
runya untuk melihat. Akan tetapi begitu ia tiba, paderi
yang terluka parah itu justru telah terkulai kepalanya.
Nafasnya telah putus. Dengan sepasang mata yang me-
lotot seperti kematiannya penuh dengan kekecewaan.
"Dia sudah tak kuat hidup lagi...!". Berkata pa-
deri berjubah kuning itu seraya melepaskan cekalan
pada jubahnya. Dan iapun bangkit berdiri, menatap
Roro dengan tatapan kosong. Terdengar suaranya
menghela napas.
"Kita tak punya saksi hidup yang bisa ditanyai
untuk menjelaskan kejadian ini. Apakah nona bersedia
membantu kami untuk menyelidiki siapa gerangan
manusia terkutuk yang telah melakukan pembantaian
keji ini...?". Bertanya sang paderi Ketua Dua. Roro ce-
pat anggukkan kepala seraya berkata:
"Tentu...! Ini adalah masalah kemanusiaan.
Siapa pun akan tergerak hatinya untuk menangkap si
pelakunya. Sebenarnya kedatanganku adalah atas un-
dangan seorang paderi yang berjulukan si Bangau Pu-
tih. Yang menurut apa yang kudengar ternyata adalah
paderi dari Kuil Istana Hijau ini. Apakah kau orang tua
mengenal akan paderi itu?"
"Bangau Putih...? Hm...! Aku tak mengenalnya!
Aku sebagai wakil pimpinan di Kuil ini tentu mengenali
semua para paderi bawahanku. Akan tetapi paderi
yang bergelar si Bangau Putih itu, baru aku menden-
garnya?". Berkata Sapta Dasa Griwa.
Aneh...!?. Desis Roro dalam hati. Tetapi si pemi-
lik penginapan itu mengatakan si paderi Bangau Putih
itu adalah paderi Kuil Istana Hijau...! Bahkan namanya
pun tertulis di buku tamu! Demikian fikir si gadis Pen-
dekar Pantai Selatan yang jadi kerutkan alisnya.
Seperti dapat membaca fikiran Roro saja, si paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu sudah berkata lagi;
"Siapapun dapat mengaku dirinya sebagai seo-
rang paderi. Nona belum mengenal siapa orangnya,
mengapa mudah saja mempercayai? Siapa tahu manu-
sia yang menamakan dirinya si Bangau Putih itu ada
kaitannya dengan peristiwa ini...!".
Roro tak dapat menjawab. Akan tetapi masalah
ini adalah masalah yang memang serius untuk diseli-
diki. Dan Roro Centil telah bertekad untuk menyelidi-
kinya.
"Oh, ya...! Nona telah mengetahui siapa adanya
aku, bolehkah aku orang tua mengetahui siapa no-
na...? Tentunya seorang Pendekar yang punya nama di
Rimba Hijau...!". Bertanya paderi Ketua Dua, Sapta
Dasa Griwa.
"Ah, anda bisa saja...! Namaku Roro Centil."
Sahut Roro, tanpa menyebutkan julukan yang diberi-
kan kaum Rimba Hijau padanya. Akan tetapi ternyata
si Paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau itu justru telah
melengak. Dan serta merta telah segera menjura hor-
mat pada Roro.
"Ah.....!?. Kiranya sang Pendekar Wanita Pantai
Selatan yang punya nama harum semerbak. Maafkan
aku orang tua yang tak mengetahuinya sama sekali.
Aku memang sudah menduga sebelumnya, tapi tak ra-
gu. Karena belum pernah bertatap muka. Sepak ter-
jang anda terhadap kaum penjahat, dan golongan se-
sat yang merajalela, yang berhasil anda tumpas, mem-
buat aku orang tua amat kagum. Pantas tenaga dalam
nona Pendekar amat hebat. Jarang aku menjumpai
gadis seusia nona mempunyai kehebatan tenaga dalam
yang luar biasa. Ternyata di atas langit masih ada lagi
langit...!". Berkata Sapta Dasa Griwa dengan tampak-
kan wajah berseri.
Roro Centil jadi tersipu melihat penghormatan
orang, segera iapun merendahkan diri. Demikianlah...
Akhirnya Roro Centil berjanji akan membantu untuk
menyelidiki, atau membekuk siapa pelaku keji di Kuil
Istana Hijau, yang juga telah mencuri kepala arca
Budha itu. Kemudian si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan segera mohon diri. Serta sebelumnya akan usaha-
kan mencari orang untuk membantu penguburan para
jenazah.
*****
Roro Centil berkelebat meninggalkan Kuil Ista-
na Hijau .... Sementara hati si Pendekar wanita itu di-
liputi bermacam pertanyaan. Siapakah gerangan
adanya si Bangau Putih? Ada rahasia apakah pada ke-
pala arca Budha yang dicuri orang itu? Namun Roro
sudah injakkan kaki di satu perkampungan terdekat
Segera
ia sebarkan berita mengenai malapetaka di Kuil
Istana Hijau. Yang sebentar saja penduduk berdatan-
gan ke sana untuk melihat, serta membantu mengang-
kuti jenazah. Sementara Roro Centil yang memang tak
kuat mencium amisnya darah, segera berkelebat lagi
menuju arah hutan rimba. Ternyata itulah arah ke sisi
bukit. Kira-kira waktu sepenanak nasi, Roro hentikan
langkahnya. Tempat itu cukup tenang. Dengan suasa-
nanya yang dapat menenangkan hati. Ada sungai be-
rair jernih mengalir di bawah lereng bukit Roro sudah
gerakkan kakinya melompat ke sana. Sebentar kemu-
dian ia telah berada di tepian sungai yang berbatu-
batu. Suara gemericiknya air membangkitkan gairah
sang gadis Pendekar ini untuk menyiram tubuhnya. Ia
sudah lepaskan buntalan pakaiannya dari punggung,
dan letakkan dekat kakinya
"Tutul...! Adakah kau di sampingku .. ?". Berbisik Roro pada makhluk siluman yang telah tunduk pa-
danya. Dan terdengar suara menggeram di belakang-
nya.
"Bagus...! Tolong kau jagai pakaianku...!". Ujar
Roro dengan suara lirih. Segera saja terlihat asap tipis
mengepul, lalu menjelma seekor anak harimau tutul
sebesar kucing. Yang segera mendekam di sela akar
pohon. Roro tersenyum, seraya lepaskan pakaiannya
satu persatu. Dan lemparkan ke atas akar pohon rin-
dang di sisi sungai itu. Selanjutnya Roro segera me-
langkah turun dan melompat ke atas batu besar di
tengah sungai. Gadis yang ayu rupawan ini memang
memiliki potongan tubuh yang semampai serta padat
berisi. Terdengar suara berdebur, ketika Roro terjun-
kan tubuhnya ke permukaan air. Selanjutnya, ia su-
dah berkecimpung di air sungai yang jernih itu. Tam-
pak ia lepaskan kedua benda dari logam tipis warisan
Gurunya si Manusia Banci dari kedua tempat di tu-
buhnya. Dan letakkan kedua benda itu di atas batu.
Selanjutnya ia telah kembali menyelam ke dalam air.
Dan tak lama kemudian sudah tersembul lagi. Air sun-
gai tidak begitu dalam. Bahkan hanya sebatas dada.
Sementara sepasang mata telah memperhatikan dari
seberang sungai. Itulah sepasang mata dari seorang
seorang laki-laki berperawakan kurus seperti kurang
gizi. Wajahnya melengkung ke dalam. Hingga tampak
dahinya lebih menonjol. Tentu saja ia tak mengetahui
adanya seekor anak harimau tutul yang menjaga pa-
kaian Roro. Karena letak seberang sungai itu kira-kira
dua puluh tombak. Namun untuk melihat kemulusan
tubuh wanita muda di hadapannya kiranya tak luput
dari sepasang matanya yang berbinar-binar.
"Luar biasa...!" Mendesis suara laki-laki itu per-
lahan, yang keluar tanpa disadari. Sementara kepa-
lanya bergerak untuk terangkat lebih tinggi. Karena
ada ranting pohon yang menghalangi pandangannya.
Akan tetapi gerakan itu justru telah membuat Roro
Centil mengetahui adanya orang yang bersembunyi
mengintai di seberang sungai.
Tiba-tiba Roro Centil menyelam lagi. Kali ini
lama timbulnya. Tapi sebenarnya, ia tengah berenang
di dalam air untuk enjot tubuhnya ke seberang sungai.
Lalu sembulkan kepala dengan pelahan ke sisi batu
besar. Segera saja terlihat kepala seorang laki-laki
yang berambut sudah dua warna, tengah pentang ma-
ta ke seberang.
Inilah manusianya yang suka iseng terhadap
wanita yang sedang mandi...! Menggumam Roro dalam
hati. Tiba-tiba lengan Roro sudah bergerak menangkap
seekor kepiting di seta batu. Binatang itu ia lemparkan
ke arah laki-laki yang mata keranjang itu. Terdengar
suara mengaduh, tatkala sang kepiting yang meluncur
deras itu memasuki celah bajunya. Yang rupanya
langsung saja mencapit kulit yang tipis di antara tu-
lang iga yang bersembulan itu. Segera ia sudah lompat
berdiri. Dan tampak kelabakan membuka pakaiannya.
Binatang itu masih menempel di kulit dada. Lengannya
sudah bergerak menyambar binatang itu, dan dengan
menyeringai kesakitan ia melemparkannya entah ke
mana. Binatangnya telah lenyap, tinggal capitnya yang
masih menempel kuat. Karena saking kerasnya men-
capit, ketika dicengkeram untuk segera dilemparkan,
ternyata bahkan capitnya putus. Kembali ia kiprat-
kipratkan lengannya menampar dada. Hingga si capit
kepiting itu pun terlepas. Namun kulit dadanya sudah
terluka mengeluarkan darah. Melihat kejadian yang lu-
cu itu, Roro tak dapat menahan gelinya. Sehingga ia
sudah tertawa terpingkal-pingkal.
Adapun si laki-laki yang berusia sekitar 50 ta-
hun itu jadi melengak. Namun seketika wajahnya sudah berubah merah. Dilihatnya gadis yang sedang di
intipnya itu justru berada di dekatnya. Keruan saja,
sepasang matanya jadi melotot lebar menatap Roro.
Merasa dipergoki, dan bahkan di jaili oleh si gadis, se-
gera saja ia telah angkat langkah seribu melarikan diri.
Roro Centil tambah terpingkal-pingkal mener-
tawakan larinya yang lucu.
Selang sesaat, Roro sudah kembali beranjak
naik, setelah kenakan kembali dua benda penutup tu-
buhnya. Dan dengan menggunakan ilmunya Roro Cen-
til telah langsung melompat kembali ke darat. Roro
memberi isyarat pada si anak harimau Tutul itu untuk
melenyapkan diri. Yang segera tak lama kemudian
makhluk jejadian itupun lenyap. Segera Roro Centil
membuka buntalannya, dan keluarkan isinya. Ditarik-
nya keluar seperangkat pakaian yang berwarna kuning
emas. Lalu dikenakannya. Pakaian ini mempunyai so-
bekan atau belahan panjang sebatas paha. Yaitu pa-
kaian yang pernah dipergunakan menyamar menjadi si
Kupu-kupu Emas. Yaitu si wanita istri Dewa Tengko-
rak yang telah tewas.
Dengan pakaian ini memang Roro tampak se-
perti seorang gadis genit yang nakal. Setelah selesai
membenahi diri, Roro kembali rapikan buntalannya,
dengan memasukkan pakaian kotor Roro ke dalamnya.
Lalu sangkutkan lagi ke belakang punggungnya. Sepa-
sang senjata si Rantai Genit tergantung di sisi ping-
gang kirinya, dengan kedua bandulannya yang satu
agak tinggi dan satu lagi lebih rendah. Lalu si sepa-
sang Rantai Genit ini telah ditutupi lagi oleh secarik
kain sutra hitam. Setelah merenung sejenak Roro su-
dah kelebatkan diri pergi dari tempat itu.
*****
Sesosok tubuh berjubah putih tampak berjalan
tergesa-gesa di tengah padang rumput yang menghi-
jau. Sebentar bentar tampak ia menoleh ke belakang.
Ternyata ia seorang laki-laki berusia setengah abad.
Laki-laki ini memakai tudung lebar di kepalanya.
Hingga sepintas ia memang mirip dengan petani desa.
Wajahnya menampakkan rasa cemas, Seperti khawatir
ada orang yang mengejarnya.
Sementara itu matahari telah jauh condong ke
sebelah barat. Padang rumput itu telah dilaluinya
hampir separuhnya. Tinggal separuh padang rumput
lagi, ia akan tiba di hutan lebat. Tinggal kira-kira jarak
sepuluh atau dua belas kali lemparan tombak yang ha-
rus ditempuhnya. Kini ia tengah melewati jalan seta-
pak, yang di kiri kanannya tumbuh rumput alang-
alang setinggi dada.
Ketika baru beberapa belas tindak ia melang-
kah, tiba-tiba laki-laki ini merandek untuk hentikan
langkahnya. Keningnya tampak berkerut, dengan se-
pasang alisnya yang segera menyatu. Tiba-tiba saja se-
sosok tubuh telah bersembul dari rumput alang-alang
di hadapannya yang langsung saja menerjang laki-laki
itu dengan sabetan padang yang menyambar ganas.
Disertai bentakan keras.
TRANG...! Satu benturan keras dari beradunya
sepasang senjata segera terdengar di tengah kesunyian
padang rumput. Ternyata si laki-laki bertudung telah
mencabut keluar senjatanya. Dan berhasil menangkis
serangan mendadak itu.
Tubuhnya sudah melompat bersalto ke bela-
kang. Kini di hadapannya bersembulan tiga sosok tu-
buh yang memakai topeng berwarna hijau, yang mem-
bungkus seluruh kepalanya.
"Kau tak dapat melarikan diri, Bangau Putih...!
Kecuali kau tinggalkan nyawamu!" Membentak salah
seorang. Segera saja ketiga sosok tubuh itu mengu-
rung si laki-laki bertudung. Mengetahui penyamaran-
nya sudah ketahuan, si laki-laki bertudung segera
membuka tudung lebarnya. Dan lemparkan ke sisi. Ki-
ni terlihat wajah laki-laki itu lebih jelas. Kiranya ia seo-
rang paderi yang berkumis dan berjenggot pendek.
Ketiga orang yang mengurungnya itu rata-rata
menggunakan pedang. Sedangkan si laki-laki yang ber-
juluk si Bangau Putih itu terlihat memakai senjata
yang berbentuk ruyung, dengan berujungkan kepala
burung bangau yang berparuh tajam, Senjata itu ter-
buat dari baja putih. Yang memancarkan sinar berkila-
tan, terkena cahaya Matahari. Serentak ketiga laki-laki
bertopeng hijau itu menerjang dengan berbareng. Pe-
dang-pedang telanjang telah berkelebatan meluruk un-
tuk memanggangnya, disertai bentakan-bentakan ke-
ras yang merobek keheningan.
Terpaksa si Bangau Putih berkelit ke sana-
kemari menyelamatkan nyawanya, Berkali-kali terden-
gar suara berdentingan ketika senjata-senjata saling
beradu.
Kemanapun si Bangau Putih melompat, tentu
pedang-pedang telanjang itu akan memburunya. Rum-
put alang-alang setinggi dada itu sudah porak-poranda
terkena tabasan dan injakan kaki.
"Bukalah topeng-topeng kalian, biar aku men-
getahui siapa kalian...!". Berteriak si Bangau Putih, se-
raya pergunakan ruyungnya menangkis dua serangan
berbahaya.
TRANG...! TRANG...! Kali ini laki-laki paderi itu
mulai unjukkan tenaga dalamnya. Tampak dua orang
bertopeng itu terkejut, karena nyaris saja pedang-
pedangnya terlepas dari tangan mereka,
"Kalau kau sudah mampus, baru akan kubuka
topeng wajah kami...!". Membentak salah seorang seraya mengirim dua serangan beruntun.
PRAS! PRASS..! Alang-alang tebal itu yang kena
terbabat putus beterbangan, karena si Bangau Putih
telah melompat tinggi tiga tombak. Begitu turun, telah
gerakkan senjatanya menghantam kepala lawan.
WUUTTT...! Nyaris kepala si laki-laki bertopeng
itu bonyok, bila ia tak segera jatuhkan diri bergulin-
gan. Selanjutnya dua orang kawannya telah menerjang
lagi dengan tabasan-tabasan ke arah kaki dan dada.
"Keparrrat...!". Memaki si Bangau Putih. Kali ini
ia telah putarkan senjatanya, setelah berhasil loloskan
diri dari dua serangan berbahaya.
Ketiga orang lainnya yang telah kembali men-
gurung itu, tampak renggangkan lagi kurungannya,
karena mereka tampaknya agak jerih melihat senjata si
Bangau Putih, yang berputar bagai baling-baling. Tiba-
tiba tampak putaran senjata si Bangau Sakti, berubah.
Kini berkelebatan dengan arah yang simpang siur.
Hingga yang tampak adalah kepala bangau berparuh
runcing itu berkelebatan mematuk, mencecar ketiga
laki-laki bertopeng itu. Tampaknya gerakan menyilang
itu agak membingungkan lawan. Karena serangan-
serangan si Bangau Putih seperti berserabutan. Tiba-
tiba si Bangau Putih telah keluarkan bentakan keras.
Hal itu digunakan untuk membuat gentar lawan. Be-
nar saja! Di saat mereka tengah berfikir untuk me-
nembus bentengan si Bangau Putih yang kuat itu, ta-
hu-tahu patukan-patukan ruyung berkepala bangau
itu telah membuat gerakan-gerakan menukik dengan
cepat
CRAS! CRAS! PRRAKKK...! Dua patukan telak
yang meluncur deras, serta satu hantaman yang terla-
lu cepat, sudah tak dapat mereka hindarkan lagi. Sege-
ra terdengar teriakan-teriakan ngeri. Disusul dengan
robohnya ketiga pengeroyok itu. Darah segar bermuncratan membasahi rerumputan........
Si Bangau Putih ini sudah segera memburu tu-
buh salah seorang dari mereka. Dan membuka topeng
laki-laki yang sudah tewas itu. Tampak terlihat paderi
ini terkejut karena ternyata laki-laki bertopeng itupun
seorang paderi dari Kuil Istana Hijau. Segera ia berge-
rak melompat untuk membuka topeng yang lainnya.
Yang kemudian dapat diketahuinya ketiga manusia itu
paderi-paderi Kuil Istana Hijau.
Sejenak tercenung si Bangau Putih. Keningnya
terlihat semakin berkerut Lalu ia membungkuk untuk
bersihkan ujung senjatanya. Dan selipkan lagi dibalik
jubahnya. Selanjutnya ia telah teruskan langkahnya
tinggalkan tempat itu.
Kali ini ia pergunakan ilmu lari cepat. Hingga
tak berapa lama kemudian telah tiba di ujung padang
rumput Segera saja ia berkelebat untuk memasuki hu-
tan. Tapi, lagi-lagi ia merandek, seraya mencabut ke-
luar lagi senjatanya.
"Keluarlah Kalau kalian mengingini jiwaku. Dan
bertarung secara ksatria!" Membentak si Bangau Putih
dengan sepasang matanya menatap lurus ke depan.
Terdengar suara tertawa gelak-gelak, yang disusul
dengan berkelebatnya dua sosok tubuh di hadapan-
nya, dari balik semak belukar.
Ternyata keduanya adalah seorang laki-laki dan
wanita. Yang seorang memakai baju dari kulit Serigala.
Berusia sekitar 40 tahun. Bertubuh kekar, dengan wa-
jah penuh dengan cambang bauk yang lebat. Sedang
seorang lagi ternyata seorang wanita yang berparas
cukup cantik. Berusia sekitar 35 tahun. Rambutnya
dililit oleh benang sutera warna keemasan. Wanita ini
mengenakan pakaian berwarna ungu, dengan kem-
bang-kembang berwarna putih. Sepasang matanya
membersitkan sinar tajam menatap si paderi bergelar
Bangau Putih. Tampak iapun tertawa, memperlihatkan
sebaris giginya yang tidak rata. Wanita inilah yang di-
juluki si Dewi Rembulan di Rimba Hijau. Sedang yang
seorang lagi, yaitu laki-laki berbaju kulit Serigala ada-
lah Barong Segoro, alias si Naga Hitam. Perlu diketahui
kedua tokoh ini pernah menginap di penginapan di de-
sa Lubuk Batang. Di mana Roro pernah menginap juga
di sana.
"Hi hi hi... Kami hanya bertugas menawan mu!
Kalau mau membunuhmu pun kami kira tidaklah su-
kar. Sebenarnya kalau kami tidak terlambat datang,
sudah dapat membekuk mu di penginapan itu. Sayang
kau sudah berangkat pergi! Sebaiknya kau serahkan
dirimu saja Bangau Putih...! Agar cepat selesai tugas
kami...!". Berkata Sito Resmi, alias si Dewi Rembulan.
"Benar...! Biar kami bisa segera mengaso, bu-
kankah begitu Dewiku.. ?". Berkata si Naga Hitam. Se-
raya lirikkan matanya pada si wanita di sebelahnya,
yang jadi tersenyum genit. Tapi sudah menyambar bi-
cara lagi yang ditujukan pada si Naga Hitam.
"Hm...! Baru kenal dua hari sudah mulai ganjen
kau Barong Segoro...! Siapa sudi mengaso bersama-mu
lagi?. Ternyata kau bukan orang baik-baik...!" Kata -
kata itu membuat si laki-laki jambros ini tertawa ber-
kakakan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Barong Segoro bukanlah si Naga
Hitam, kalau tak berhasil menundukkan Rembulan...!
Kau lihat saja nanti, apakah kau bisa betah tidur sen-
dirian?. Ha ha ha.. ". Kembali si Naga Hitam tertawa
gelak-gelak. Akan tetapi sekejap telah berhenti. Sepa-
sang matanya menatap pada si Bangau Putih, dan ter-
dengar suaranya membentak keras.
"Bangau Putih...! Kalau kau membangkang un-
tuk serahkan dirimu, terpaksa aku akan lakukan ke-
kerasan padamu...!". Seraya berkata, Barong Segoro telah gerakkan lengannya ke atas dan ke bawah. Segera
terlihat oto-ototnya yang bersembulan. Dan perdengar-
kan suara berkrotakan. Ternyata ia tengah menyalur-
kan tenaga dalamnya. Dengan segera sepasang len-
gannya berubah menghitam.
Kini dengan sepuluh jari yang sudah terentang,
ia siap melakukan serangan. Adapun si Bangau Putih
ternyata tak mau menyerahkan diri begitu saja, Diam-
diam uap halus berwarna putih. Sementara si Dewi
Rembulan cuma berpeluk tangan saja. Bahkan telah
berkata;
"Hm, ku ingin lihat apakah kau mampu me-
nangkapnya hidup-hidup, Barong Segoro! Biarlah se-
mentara aku jadi penonton dulu. Hihi... hi... hi..."
Ucapnya seraya tertawa.
"Sebelum aku kalian tangkap, bolehkah aku
tahu siapa yang telah membayar kalian untuk peker-
jaan ini?". Tiba-tiba si Bangau Putih ajukan perta-
nyaan.
"Heh! Kau akan lihat dan ketahui sendiri, nanti
setelah kau kubawa menghadap padanya...!". Menya-
hut si Naga Hitam. Tampak si paderi berusia 50 tahun
ini, termenung sejenak, seperti tengah mempertim-
bangkan usul untuk menyerahkan diri. Tapi ia berfikir,
toh akhirnya ia akan mati di hadapan orang yang telah
diketahuinya.
Hal tersebut adalah sia-sia belaka, Pikirnya la-
gi. Berfikir demikian, si Bangau Putih segera berkata;
"Baik...! Kau boleh tawan aku kalau sudah tiada ber-
daya...!". Tentu saja kata-kata itu membuat si Naga Hi-
tam jadi plototkan matanya.
"Bagus...! Kalau begitu bersiaplah untuk meng-
hadapiku...!" Seraya berkata, Naga Hitam sudah lan-
carkan serangan dengan sepasang lengannya bergerak
mencengkeram ke arah leher si Bangau Putih. Tentu
saja paderi ini sudah hantamkan senjatanya mengha-
lau serangan. Sepasang lengan yang meluncur deras
dengan sepuluh jari terbuka itu telah bergerak teren-
tang. Akan tetapi tiba-tiba merubah serangan menjadi
terpecah dua jurusan. Yang satu meluncur untuk me-
nangkap senjata Ruyung, sedang satu lagi mengarah
untuk menyambar dada. Terkejut si Bangau Putih. Ce-
pat-cepat ia tarik kembali senjatanya. Dan secepat ki-
lat telah mengenjot tubuh untuk melambung dua tom-
bak.
Ruyung berkepala bangau itu kini digunakan
menghantam ke arah kepala si Naga Hitam. Membersit
suara senjatanya, disertai kilatan sinar perak melun-
cur deras ke arah kepala Naga Hitam perdengarkan
suara di hidung. Tiba-tiba telah gunakan lengannya
untuk menangkis serangan. THAK...! Terdengar suara
seperti menghantam benda keras. Tubuh si Bangau
Putih terpental ke atas lagi satu tombak, Paderi in! ter-
kejut bukan main, karena senjatanya seperti meng-
hantam basi saja layaknya. Bahkan tenaga dalamnya
terasa mental balik menghantam kembali ke tubuhnya,
Sehingga ia terlempar ke atas. Namun dengan gesit, ia
telah lakukan salto di udara, dan kembali jejakkan ka-
ki ke tanah. Melihat orang terkejut. Si Naga Hitam
agaknya mengetahui. Tampak ia perlihatkan sikap
angkuh. Seraya berkata;
"Heh...! Kiranya si Bangau Putih mulai tahu
siapa adanya si Naga Hitam! Sebaiknya kau lekas-
lekas serahkan dirimu, sebelum kau jadi rusak ca-
cat...!".
Tampak wajah si paderi jadi berubah merah.
Tiba-tiba ia telah berteriak keras, seraya putarkan sen-
jata Ruyungnya. Terdengar suara bersiutan. Sinar pe-
rak berkelebatan di hadapan si Naga Hitam. Sekejap
kemudian telah menerjang ke arah laki-laki kekar itu.
Tampaknya si Bangau Putih telah bertindak kepalang
basah. Kini dialah yang merangsak hebat. Kepala ban-
gau dari Ruyungnya berkelebatan mematuk, mengarah
tempat-tempat yang berbahaya. Disertai hantaman-
hantaman deras. Bahkan sebelah lengan si Bangau
Putih pun turut pegang peranan menghantam dengan
tenaga dalam yang telah dikeluarkan lebih dari sepa-
ruhnya.
Naga Hitam terkejut juga. Dan terlihat mulai
kewalahan. Tangkisan-tangkisan lengannya ternyata
selalu dihindari oleh paderi itu. Hal mana membuat ia
jadi memaklumi kelihayan lawan. Namun sukar bagi si
Naga Hitam untuk menembus benteng lawan, yang
lindungi tubuhnya dengan kelebatan sinar perak. Seo-
lah benteng baja yang sukar ditembus. Dalam pada itu
tiba-tiba terdengar suara tertawa si Dewi Rembulan.
Tubuhnya telah mencelat untuk sambarkan tali Jerat
Suteranya ke arah kaki si Bangau Putih.
RRRTT...! Bangau Putih tak menyangka sama
sekali si Dewi Rembulan akan menyerang ke arah kaki.
Karena saat itu ia tengah lancarkan serangan berun-
tun ke arah si Naga Hitam. Karena ia terpengaruh ge-
rak luncuran Jerat Sutera si Dewi Rembulan, tentu sa-
ja serangan beruntunnya agak lamban. Saat itu diper-
gunakan oleh si Naga Hitam untuk menangkap senjata
si paderi hingga terlepas ketika disentakan.
Belum lagi si Bangau Putih menyadari kela-
laiannya, tali Jerat Sutera Sito Resmi telah membelit
kakinya. Bahkan telah meluncur lagi tali Jerat Sutera
yang dilepas oleh wanita itu. Tak ampun lagi sebelah
lengannya pun telah kena terbelenggu. Hingga sekejap
kemudian tahu-tahu tubuhnya telah meluncur deras
ke arah depan, dibetot oleh si Dewi Rembulan, yang
gunakan tenaga dalam untuk menariknya.
Pada saat itulah si Naga Hitam lakukan totokan
telak. Hingga tubuh si Bangau Putih terjerembab ke
tanah untuk tak bisa. berkutik. Dewi Rembulan ter-
nyata telah bekerja cepat. Hingga sekejap, kaki dan
tangan si Bangau Putih kena diringkus tali Jerat Sute-
ranya
"Bagus...! Kalau sejak tadi kau membantuku,
tentu aku tak payah-payah keluarkan tenaga, Dewi
ku...!"
"Huuu ...! Naga Hitam ternyata terlalu lamban,
membuat aku tak sabar meringkus bangau kurus ini!
Orang macam kau mau taklukkan Rembulan?. Hi hi
hi..." Berkata si wanita, dengan tertawa mengejek laki-
laki di sebelahnya. Akan tetapi bukannya marah, si
Naga Hitam, bahkan tertawa bergelak. Seraya berkata;
"Ha ha ha.. ha ha... Aku akan taklukkan rem-
bulan bukan dengan kekerasan dengan pertarungan
seperti ini. Tapi akan kugunakan cara hebat, yang
akan membuat kau kagum dan bertekuk lutut menye-
rah tanpa syarat...!"
"Hm, sudahlah...! Ayo kau panggul dia! Dan
bawa pergi dari sini...!". Teriak si Dewi Rembulan, se-
raya sudah mendahului melangkah. Naga Hitam tak
berayal lagi, segera ia sudah angkat tubuh si Bangau
Putih, untuk seterusnya diletakkan di atas pundaknya
yang lebar. Kemudian dibawanya berlari mengejar Sito
Resmi, alias si Dewi Rembulan...
Saat itu satu bayangan kuning telah berkelebat
mengikutinya. Gerakannya lincah sekali. Bagaikan
seekor kijang saja, yang membuntuti kedua manusia di
hadapannya. Ketika bayangan itu berhenti sejenak un-
tuk melihat ke arah mana kedua orang yang dikuntit-
nya, segera diketahui siapa gerangan dia. Kira-nya tak
lain dari Roro Centil, si Pendekar Wanita Pantai Sela-
tan. Tampak ketika berjongkok, belahan panjang putih
mulus. Wajahnya tampilkan senyum di bibir. Pertanda
hatinya senang. Karena Roro Centil mulai mengetahui
siapa adanya si Bangau Putih. Pelacakan mencari jejak
pelaku peristiwa di Kuil Istana Hijau mulai terungkap,
sedikit demi sedikit. Sengaja ia tadi tak turun tangan
menolong si paderi yang telah mengundangnya itu. Ka-
rena Roro inginkan keterangan lebih jelas mengenai
penyelidikannya. la mengambil kesimpulan, bahwa da-
ri kedua orang yang berjulukan si Dewi Rembulan dan
Naga Hitam itu akan banyak membantunya menying-
kap tabir misteri pembantaian di Kuil Istana Hijau.
Demikianlah sehingga Roro segera terus membuntu-
tinya. Kini dilihatnya kedua orang di hadapannya
membelok ke sisi kiri untuk mendaki bukit.
"He? Kau akan ke mana...?. Kita harus menuju
terus ke barat, bukan ke selatan". Terdengar si Dewi
Rembulan berkata.
"Haha.. ha ha... Tenang sajalah Dewiku...! Aku
ada cara lebih baik untuk mendapat keuntungan me-
lebihi hadiah yang bakal kita terima Paderi tolol ini
akan membawa keberuntungan buat kita...! Bertanya
ia. Namun kakinya terus melangkah untuk mengikuti
si Naga Hitam.
"Ikuti saja aku. Sebentar lagi kita sudah sam-
pai...!". Menyahut si Naga Hitam. Yang sudah segera
menuruni bukit. Di bawah terlihat ada air sungai men-
galir berair jernih. Ternyata di situ ada terdapat se-
buah terowongan. Yaitu pada kelokan sungai. Tak la-
ma kemudian mereka sudah tiba di sebuah goa yang
tersembunyi.
"Hm. Tempat ini masih belum berubah, seperti
tiga tahun yang lalu. Agaknya memang tak pernah ada
orang mengetahui kalau di sini ada tempat persembu-
nyian yang aman...!".
"Kau pernah singgah kemari...?". Bertanya Sito
Resmi.
"Sering..!". "Sudah berapa kali...?". Tanya lagi si
Dewi Rembulan.
"Yah...! Mungkin sudah belasan kali. Aku lupa
lagi, tak sempat menghitungnya!" Menyahut si Naga
Hitam seraya hentikan langkahnya. Dan lemparkan
tubuh si Bangau Putih ke sudut goa. Sementara ia su-
dah mendongak untuk melihat cahaya merah di langit
sebelah barat.
"Sebentar lagi malam tiba. Sengaja kubawa kau
singgah di tempat kenangan ku ini. Kita bisa bermalam
di sini. Menunggu besok, untuk mengambil keputusan.
Apakah perlu kita antarkan si paderi tolol ini, atau kita
bunuh mampus saja sekalian...!" Berkata si Naga Hi-
tam. Sementara ia sudah segera jatuhkan pantatnya
untuk duduk di atas batu. Dewi Rembulan lagi-lagi
melengak. Sepasang alisnya jadi bergegas menyatu.
Akan tetapi ia sudah berkata;
"Terserahlah! Kalau hal itu lebih baik dan
menghasilkan keuntungan lebih besar, aku akan man-
dah saja...! Eh, ya... Kau sering kemari belasan kali,
apakah keperluanmu? Tiba-tiba si Dewi Rembulan su-
dah bertanya lagi ingin tahu.
"Ah, aku hanya melatih diri untuk menggerak-
kan Otot-Otot tubuhku. Waktu itu baru bisa mengua-
sai beberapa jurus silat yang ku peroleh dari mencuri.
"Mencuri...? Bagaimana caranya...?" Bertanya
lagi si Dewi Rembulan.
"He hehe... Caranya ialah dengan mengintip
orang bermain silat!". Menegaskan si Naga Hitam.
Tampak Sito Resmi manggut-manggut.
"Apa kau tak punya guru?". Tanyanya lagi.
Akan tetapi si Naga Hitam sudah garuk-garuk kepa-
lanya yang tidak gatal seraya ujarnya;
"Wah, wah, wah...Pertanyaanmu tiada hentinya.
Nantilah kita teruskan bercakap-cakap kalau mau tidur. Kini carilah persiapan untuk merebahkan diri. Ti-
dur beralas tanah begini mana enak. Bisa gatal kulit
tubuh!".
"Carilah sendiri untukmu, aku tak akan ti-
dur...!" Berkata si Dewi Rembulan. Tampaknya ia se-
perti menggoda si Naga Hitam. Laki-laki ini cuma ter-
senyum, tapi sudah beranjak melompat keluar goa se-
raya berkata;
"Baiklah...! Tolong kau jaga si paderi tolol itu,
jangan sampai ia bisa lepaskan diri...!". Dewi Rembu-
lan tak memberi sahutan. Menunggu tak berapa lama,
si Naga Hitam sudah kembali lagi dengan membawa
daun-daun asam di pundaknya. Sebentar kemudian ia
telah jadikan dedaunan itu alas tubuh yang empuk.
Sementara cuaca pun berubah berangsur-
angsur menjadi gelap. Untunglah ada cahaya rembu-
lan yang sebentar lagi akan terlihat sinarnya yang
memantul di air. Sementara si Bangau Putih cuma bi-
sa berdiam diri tanpa dapat berbuat apa-apa. Bahkan
bersuarapun ia tak dapat.
Dewi Rembulan melangkah ke sisi sungai. Dan
bersihkan muka dan anggota tubuhnya dengan sira-
man air sejuk. Sebentar kemudian ia telah kembali
duduk di atas batu.
"Eh, bagaimana caranya kau akan mengambil
keuntungan pada si paderi tolol ini?". Tiba-tiba ia su-
dah bertanya lagi.
Naga Hitam segera menghampiri wanita ini, se-
raya berkata;
"Caranya adalah soal yang gampang, dan bisa
belakangan dilakukan, akan tetapi keuntungannya bi-
sa dilakukan sekarang...?". Tentu saja si Dewi Rembu-
lan lagi-lagi melengak. "Bagaimana caranya...?". Ta-
nyanya lagi secara tak sadar, karena lagi-lagi ia laku-
kan pertanyaan yang tak ada putusnya
"Caranya adalah... begini...!". Si Naga Hitam te-
lah menyahuti, seraya tiba-tiba gerakkan lengannya
menotok tubuh si Dewi Rembulan. Tentu saja gerakan
tak terduga itu membuat ia tak bisa elakkan diri. Wa-
nita ini mengeluh perlahan, dan sekejap ia sudah tak
bisa berkutik lagi. Bahkan ketika lengan si Naga Hitam
telah terjulur menelusuri setiap lekuk dibagian tubuh-
nya, ia cuma bisa mandah saja. Tapi sepasang
matanya telah melotot gemas pada si Naga Hi-
tam. Seraya bibirnya keluarkan suara perlahan tapi
penuh kemendongkolan. Beruntung laki-laki itu tak
menotok urat suaranya. Naga Hitam! Beginikah me-
nundukkan ku...? Apakah tak ada cara lain yang lebih
baik?" "Segudang cara ada padaku...! Dan yang ini
adalah salah satu cara untuk membuatmu berhenti
bertanya...! Ha ha... Bukankah dengan sekejap aku te-
lah dapat membuatmu tunduk padaku...!" Naga Hitam
menyahut seenaknya, tanpa hentikan remasan Cakar
Naganya di kedua bukit lunak berlapis kain sutera itu.
Karena merasa tak ada gunanya bertarung bi-
cara dengan manusia yang mau menang sendiri, ak-
hirnya si Dewi Rembulan sudah tak memperdulikan-
nya lagi. Bahkan sudah katupkan kelopak matanya.
Tahu-tahu si Dewi Rembulan sudah rasakan tubuhnya
seperti melayang. Lalu meluncur turun perlahan, dan
mendarat di atas hamparan dedaunan.
Terasa dengusan nafas yang membersit di telin-
ganya. Sementara si Naga Hitam sudah singkirkan se-
gala sesuatu yang menghalangi pandangan mata.
Cuaca semakin remang di luar goa. Akan tetapi
cahaya bulan sudah segera membersitkan pantulan-
nya dari atas permukaan air.
"Setan alas...!" Memaki Roro Centil di tempat
persembunyiannya. Lalu palingkan wajah untuk me-
mandang ke lain arah.
Roro Centil masih berada di tempat persembu-
nyiannya, kesabaran seorang wanita memang berbeda
dengan laki-laki. Demi mencari keterangan yang lebih
lengkap, mengenai hal-ikhwal kejadian di Kuil Istana
Hijau, terpaksa Roro tak meninggalkan tempat per-
sembunyiannya Sementara si Bangau Putih, cuma bisa
pejamkan mata, tanpa bisa menghalangi pendenga-
rannya. Tentu saja segala desah angin dan gemericik-
nya air sungai yang mengalir tak luput dari pendenga-
rannya Secara diam-diam ia telah mencoba lepaskan
diri dari pengaruh totokan. Akan tetapi selama sekian
saat itu, usahanya sia-sia belaka.
Naga Hitam baringkan tubuhnya di samping si
Dewi Rembulan. Sepasang matanya terlihat mengatup.
Seperti ia enggan untuk bangun. Rasanya sudah mau
terus tidur saja, karena terasa tubuhnya lelah sekali.
Sementara si Dewi Rembulan bahkan bangkit berdu-
duk. Tiba-tiba lengannya terjulur ke tubuh si Naga Hi-
tam. Tapi secepat kilat, laki-laki itu sudah menangkap
pergelangan tangannya Seraya langsung menariknya
dengan cepat, hingga sekejap si Dewi Rembulan sudah
kembali berada dalam dekapannya. Naga Hitam terta-
wa menyeringai.
"Ha ha ha... kau mau balas menotok ku, bu-
kan...? Sudahlah Dewiku... Naga Hitam sudah tun-
dukkan Rembulan. Dia telah temukan pasangannya
yang serasi. Rembulan dan Naga harus bersatu...! Ka-
lau kelak sudah berhasil dengan tujuannya, pastilah
akan merupakan pasangan yang hebat...!" Ujar si Naga
Hitam seraya lengannya membelai sang Rembulan.
Tampaknya Rembulan benar-benar telah tunduk pada
si Naga Hitam. Ia memang harus mengakui kejantanan
si Naga Hitam yang telah menunaikan janjinya.
Selanjutnya yang terdengar adalah bisikan-
bisikan mesra saja, bagi kedua insan yang memadukasih. Roro Centil tetap bersabar menunggu tersing-
kapnya tabir pembantaian dan pencurian kepala arca
Budha di Kuil Istana Hijau.
Selang beberapa saat si Naga Hitam sudah ra-
pikan lagi baju kulit Serigala. Kini ia bangkit berdiri
untuk segera menghampiri si Bangau Putih.
Sementara Sito Resmi beranjak menuju sungai.
Ternyata di malam yang dingin itu, justru ia mandi ke-
ringat. Hingga ia merasa perlu membasuh tubuhnya
dengan siraman air sejuk. Lengan si Naga Hitam sudah
bergerak membuka totokan. Hingga si paderi ini kelua-
rkan suara keluhannya. Sepasang matanya menatap
pada si Naga Hitam.
"Apa yang kau inginkan dariku, Naga Hitam?
Mengapa tak kau bawa aku menghadap Ketuamu...?"
Bertanya si Bangau Putih.
"Hm...! Aku mau ajukan pertanyaan padamu.
Siapakah orang yang kau undang untuk datang ke
Penginapan? Dan apa hubunganmu dengan si Ketua
Utama Kuil Istana Hijau?"
"Apakah aku perlu memberitahukannya pada-
mu?" Tanya lagi si paderi.
"Jelas...! Kau jawablah dulu dua pertanyaan-
ku!" Ucap si Naga Hitam, seraya gerakkan lengannya
membuka totokan di tubuh si Bangau Putih. Hingga
tampak si paderi tua ini bisa beranjak duduk dengan
menyandar di dinding batu goa. Sementara kaki dan
tangannya masih tetap terikat dengan tali Jerat Sutera.
"Baiklah...! Kuberikan atau tak kuberitahu toh
sama saja. Akhirnya aku akan mati juga! Kalau tidak
di tanganmu, tentu di tangan si manusia yang mempe-
ralat mu!" Berkata si Bangau Putih seraya menghela
nafas. Akan tetapi Naga Hitam jadi tertawa gelak-gelak,
seraya berkata;
"Heh! Aku merasa tak diperalat oleh siapapun.
Aku bekerja sendiri demi untuk satu keuntungan. yai-
tu mencari SEPASANG PEDANG SILUMAN. Kabarnya
senjata Pusaka itu disimpan di dalam arca Budha.
Sayang aku datang terlambat. Karena cuma bisa men-
jumpai mayat-mayat yang berserakan dari para paderi
Kuil Istana Hijau.
Sepasang Pedang Siluman telah lenyap dicuri
orang terlebih dulu, dengan memotong kepala arca.
Bahkan potongan kepala area itu sendiripun lenyap
entah kemana...!"
Bangau Sakti jadi kerutkan alisnya. Saat itu si
Dewi Rembulan telah datang menghampiri dan berdiri
bertolak pinggang di belakang si Naga Hitam.
Paderi ini menatap wanita itu. Seraya berkata;
"Lepaskan tali Jerat Sutera mu nona...! Aku
berjanji tak akan mencoba melarikan diri. Seandainya
kulakukan toh aku tak bisa lepas dari cengkeraman
kalian!"
Tampak si wanita saling tatap dengan si Naga
Hitam, yang sudah segera mengangguk. Selanjutnya si
Dewi Rembulan segera saja membuka ikatan tali Jerat
Suteranya. Hingga si Bangau Putih bisa menarik nafas
lega. Kini ia dapat duduk dengan enak menyandar di
dinding batu. Dengan sepasang lengan terjalin kesepu-
luh jarinya.
"Sebenarnya aku tak tahu-menahu dengan
adanya Sepasang Pedang Pusaka itu, yang berada di
dalam arca Budha. Ki Dharma Setha si Ketua Utama
Kuil Istana Hijau meminta kesedian ku untuk bantu
menjaga Kuil, sebulan yang lalu. Berkenaan dengan
kepergiaannya ke Pulau Jawa. Ki Dharma Setha ada-
lah saudara tuaku. Tentu saja aku membawa surat
bukti dari Ketua Kuil Istana Hijau untuk bisa diterima
para paderi di sana. Terutama pada paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa. Karena dia tak mengenaliku. Sapta
Dasa Griwa baru menjabat di sana sekitar dua tahun
yang lalu. Sedang aku sudah lebih dari lima tahun
tinggalkan Kuil Istana Hijau. Dan membangun Kuil
sendiri di pantai pesisir sebelah timur. Tepatnya di
Tanjung Kait, dekat ibukota Kerajaan Sriwijaya.
Diperjalanan aku mendengar berita adanya ke-
kacauan di Kuil Istana Hijau. Dan desas-desus lolos-
nya seorang tawanan dari penjara besi. Tawanan itu
adalah bekas seorang paderi, yang ketahuan berbuat
kejahatan. Hingga Ki Dharma Sheta telah memenjara-
kannya. Bahkan dialah si pencipta, yang membuat ar-
ca Budha dari perunggu berlapis emas di Kuil Istana
Hijau itu. Entah siapa yang telah melepaskannya. Aku
menduga adanya kerjasama dengan orang dalam. Da-
lam perjalanan itu aku mendengar khabar adanya seo-
rang gadis bernama Roro Centil yang bergelar Pende-
kar Wanita Pantai Selatan. Gadis Pendekar itu pernah
menjadi sahabat baik Paderi Jayeng Rana, yaitu seo-
rang paderi asal Nepal yang pernah mendirikan Kuil di
Lereng Gunung Wilis.
Bahkan pernah juga ia menjadi murid Paderi
Sakti itu, dan menumpas tiga orang paderi cabul yang
mencemarkan nama baik paderi-paderi Kuil Welas
Asih di Lereng Gunung Wilis. Oleh swab itulah aku
mengundangnya, dengan melalui surat rahasia. Aku
berangkat terlebih dulu, dan menunggunya di Pengi-
napan desa Lubuk Batang. Tentu saja maksud undan-
ganku kesatu; Aku ingin berkenalan dengan Pendekar
Wanita yang terkenal itu yang sepak terjangnya adalah
membasmi kaum penjahat. Kedua aku memerlukan
bantuannya untuk mengatasi kerusuhan di Kuil Istana
Hijau...!" Demikian tutur si paderi Bangau Sakti Yang
kemudian hentikan penuturannya untuk menyeka ke-
ringat di dahinya.
"Apakah kau mengetahui siapa pencuri arca
Budha itu, dan juga pembantaian para paderi di Kuil
istana Hijau ...?" Bertanya Dewi Rembulan.
"Samasekali tidak! Dalam keadaan kacau demi-
kian yang sudah kudengar, aku tak berani masuki
Kuil. Cuma aku telah lakukan penyamaran sebagai pe-
tani desa, dan dari luar pintu sudah kulihat mayat-
mayat bergelimpangan!" Menjelaskan si Bangau Putih.
"Mengenai lenyapnya kepala arca Budha dan lenyap-
nya sepasang Pedang Siluman di dalam arca itu mana
aku mengetahui...?" Sambungnya lagi, seraya mengu-
sap-usap jenggotnya.
"Apakah kau mengetahui seluk-beluk Kuil Ista-
na Hijau...?" Bertanya lagi Sito Resmi. Pertanyaan itu
telah membuat si Bangau Putih jadi menghela nafas.
Tapi tetap menyahuti. Seraya ujarnya;
"Memang pada lima tahun yang lalu di bawah
Kuil ada ruangan rahasia. Akan tetapi telah ditutup
oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan melihatpun aku belum
pernah. Karena aku cuma mendengarnya saja dari Ke-
tua Utama Kuil Istana Hijau, Ki Dharma Sheta. Men-
genai keadaan sekarang mana aku mengetahui? Kare-
na walaupun aku masih ada pertalian saudara, akan
tetapi aku sudah termasuk tidak mengurusi keadaan
di dalam dan di luar kuil Istana Hijau. Boleh dibilang
sekarang aku adalah termasuk orang yang tidak tahu
apa-apa...! Tampak Dewi Rembulan seperti sudah tak
ingin lakukan pertanyaan lagi. Sementara si Naga Hi-
tam termenung sesaat, seperti berfikir. Bangau Putih
ternyata telah menyambung bicara lagi.
"Sudahlah...!, Kukira tak ada gunanya kalian
menawan ku lama-lama. Aku memang sedang bernasib
sial. Mengundang orang untuk bisa membantu ku,
ternyata orangnya pun tak kelihatan batang hidung-
nya. Sebaiknya kau bunuh saja sekarang. Toh sama
saja...! Sekarang mati, nanti pun akan mati di tangan
Ketua kalian yang tak kuketahui siapa!" Berkata si
Bangau Putih seraya lagi-lagi mengusap dahinya yang
berkeringat. Akan tetapi si Naga Hitam telah tertawa,
seraya berkata;
"Heh! Justru aku tak akan membunuhmu. Ka-
rena kupikir kau bisa kuajak bekerja sama. Aku akan
selidiki siapa gerangan si Topeng Perunggu, yang telah
bersedia memberikan upah 100 tail perak untuk me-
nawan mu. Aku menduga kuat kalau si Topeng Pe-
runggu itu adalah si pencuri sepasang Pedang Silu-
man. Kukira nilai pedang pusaka itu lebih tinggi dari
100 tail perak...!".
"Apa rencanamu, Naga Hitam...?" Bertanya De-
wi Rembulan.
"Ha ha ha... Kurasa dengan kekuatan kita ber-
tiga, akan dapat merobohkan dan menawan si Topeng
Perunggu. Aku percaya kau akan berhasil meringkus-
nya dengan Jerat Sutera mu?" Dengan memaksanya
untuk bicara, kita akan tahu siapa gerangan dia. Dan
kalau ternyata pedang pusaka itu ada padanya, bu-
kankah satu keuntungan di depan mata? Dan.... ha ha
ha... kita berdua akan menguasai Sepasang Pedang Si-
luman dengan mudah. Setelah itu adalah Urusan si
Bangau Putih untuk membekuknya. Kalau ternyata
dia manusianya yang melakukan pembantaian, tinggal
meringkusnya saja...!
Adapun mengenai urusan di Kuil Istana Hijau
selanjutnya, bukan urusan kita untuk mencampuri
...!" Tampak si Dewi Rembulan tersenyum, dan mang-
gut-manggut. Tapi seperti penasaran atau memang tak
mengerti, sudah bertanya lagi;
"Jadi bagaimana caranya...?". Naga Hitam jadi
mendongkol, tapi segera menjawab.
"Memang wanita di manapun selalu cerewet.
Nah, dengarkan...! Si Bangau Putih ini pura-pura jadi
tawanan kita. Lalu kita bawa menghadap pada si To-
peng Perunggu. Bereslah urusannya...!" Barulah si
Dewi Rembulan manggut-manggut.
"Mau tanya lagi Rembulan.. ?" Naga Hitam su-
dah mendahului bicara.
"Cukuplah! Aku sudah benar-benar mengerti
sekarang...!" Menyahut si wanita seraya beranjak un-
tuk duduk di atas batu kira-kira lima-enam langkah
dari situ. Akan tetapi pada saat itu telah terdengar su-
ara tertawa berkakakan diiringi kata-kata bernada din-
gin.
"Hoa ha ha... ha ha... Bagus! Naga Hitam! Kau
rupanya mau berkhianat! Hm! ketahuilah setiap perin-
tang ku tak ada lain jalan, selain Kematian...!" Begitu
suaranya habis, satu bayangan hitam telah berkelebat
ke hadapan si Naga Hitam. Kejadian itu terlalu cepat,
karena belum lagi si Naga Hitam ini menyadari, se-
rangkum senjata rahasia segera meluruk ke arahnya.
Terkesiap laki-laki ini. Secepat kilat ia segera bergulin-
gan menyelamatkan diri. Ia berhasil lolos dari serangan
tiba-tiba itu, akan tetapi rangkuman jarum berbisa itu
terus meluncur ke arah si Bangau Putih. Tampaknya
paderi itu tak akan mampu menghindari.
Akan tetapi satu bayangan kilat telah menyam-
bar tubuh paderi itu. Dan membawanya berkelebat
dengan cepat. Entah bayangan siapa, karena Roro
Centil pun ternyata masih berada di tempat persem-
bunyiannya. Adapun sosok tubuh berjubah hitam ini,
cuma bisa terpaku saja. Tapi ia tak segera mengejar
karena sepasang matanya ditujukan pada si Naga Hi-
tam. Terkejut laki-laki itu melihat sosok tubuh di ha-
dapannya.
"Hah!?... To...Topeng Perunggu...!" Teriak si Na-
ga Hitam dengan suara tertahan. Tiba-tiba lengannya
sudah bergerak mencekal lengan si Dewi
Rembulan, seraya berbisik;
"Hayo, cepat kita kabur...! Akan tetapi sungguh
di luar dugaan, justru si Dewi Rembulan secepat kilat
telah ulurkan tangan menotoknya. Terkesiap si Naga
Hitam. Namun tubuhnya sudah roboh terguling. Ter-
dengar si Dewi Rembulan tertawa mengikik. Seraya be-
ranjak mendekati si Topeng Perunggu, lalu sandarkan
punggungnya pada si Jubah Hitam itu.
"Hi hi hi... Naga Hitam! Ternyata kau tak dapat
tundukkan Rembulan. Kau adalah laki-laki yang pal-
ing bodoh di Dunia ini!". Seraya berkata, tiba-tiba ia te-
lah luncurkan Jerat Sutranya, yang segera membelit
kaki si Naga Hitam. Detik berikutnya tubuh si laki-laki
itu telah melayang ke udara. Terdengar suara tulang
yang remuk, ketika tubuh si Naga Hitam beradu den-
gan langit-langit batu Goa. Diiringi suara jeritan ngeri,
tubuh laki-laki itu jatuh berdebuk ke tanah. Tampak
tubuhnya menggeliat sejenak, lalu mengejang untuk
tidak bergerak lagi. Ternyata kepalanya telah remuk
dengan darah bermuncratan dua warna.
"Hm, bagus...! Kau memang wanita yang cerdik
dan hebat, bibi...!" Berkata si Topeng Perunggu dengan
memuji.
"Hi hi hi... manusia macam begini memang su-
dah selayaknya mati! Bukankah demikian Tugangga
...!" Berkata si Dewi Rembulan seraya menggamit len-
gan si Topeng Perunggu.
Topeng Perunggu hanya mendengus di hidung.
Lalu pegang pinggang si Dewi Rembulan. Sekejap ke-
mudian telah berangkat pergi dengan berkelebat. Ma-
sih terdengar suara cekikikan si wanita itu dari kejau-
han.
"Wanita kejam!" maki Roro Centil perlahan. Be-
tapa ia jadi mendongkol melihat si wanita itu yang ter-
nyata seorang yang kejam dan telengas. Tiba-tiba ia
pun kelebatkan tubuhnya untuk cepat menguntit. Ro-
ro Centil merasa mempunyai kesempatan untuk men-
getahui di mana sarang si Topeng Perunggu itu.
Ternyata si Topeng Perunggu telah memondong
si wanita itu. Bahkan dalam perjalanan itu topengnya
telah dilepaskan oleh si Dewi Rembulan. Tampak sete-
lah beberapa kali berkelebat, si Topeng Perunggu hen-
tikan langkah larinya. Dan dua buah kepala itu sudah
saling pagut dalam keremangan sinar Rembulan.
Selang sesaat... si laki-laki yang telah tak men-
genakan topeng itu. telah turunkan tubuh si Dewi
Rembulan dari pondongannya. Ternyata ia seorang la-
ki-laki berusia sekitar 30 tahun. Bertubuh jangkung,
dengan rambut lurus yang agak gondrong. Bermata le-
bar dan terlihat jalang. Hidungnya agak pilih meleng-
kung. Mereka segera duduk di rumput saling berdeka-
tan. Sinar bulan yang agak hampir bulat itu cukup
menerangi sekitar tempat itu.
"'Aku cemburu dengan si Naga Hitam itu, bi-
bi...! Aku menyangka bibi benar-benar mencin-
tainya...." Berkata laki-laki bernama Tugangga itu, se-
raya sudah kembali mendekap wanita itu ke dadanya.
Terdengar si Dewi Rembulan tertawa kecil, seraya
menggamit leher laki-laki itu dan menggelendot manja.
"Hi hi... Sudah lah jangan ingat dia lagi. Toh
orangnya sudah mampus! Kini apa rencanamu setelah
kau berhasil keluar dari penjara si paderi tua Dharma
Sheta". Berkata si Dewi Rembulan seraya jatuhkan ke-
palanya ke pangkuan si laki-laki Topeng Perunggu.
Sementara lengannya bergayut di leher.
"Apakah kau akan menguasai Kuil Istana Hijau,
atau akan malang melintang lagi di Rimba Hijau den-
gan Sepasang Pedang Siluman...?" Sambung si Dewi
Rembulan dengan suara berbisik. Karena dilihatnya
Tugangga tetap termenung belum menjawab. Selangsesaat baru laki-laki itu tertawa seraya ujarnya,
"Ha ha ha... Mungkin juga aku akan malang
melintang lagi di Dunia Persilatan. Selama tiga tahun
dipenjarakan di Penjara Besi oleh Ki Dharma Sheta,
aku telah menciptakan Dua belas jurus ampuh dari
Sepasang Pedang Siluman. Namun tanpa bantuan bibi
mungkin aku belum bisa keluar dari Penjara Besi yang
telah mengurung ku. Tentu saja sekali lagi aku meng-
haturkan terimakasih atas pertolongan itu..."
"Hi hi... Tanpa aku bekerja sama dengan si Pa-
deri — Sapta Dasa Griwa, mungkin aku tak tahu di
mana kau dipenjarakan. Biarkan dia dengan kemelut-
nya sendiri. Cuma sangat kusesalkan lolosnya si Ban-
gau Putih. Aku menduga orang yang telah menolong-
nya itu orang kosen yang berkepandaian tinggi. Atau
jangan-jangan dia pula yang telah mengirim berita-
berita pada si Bangau Putih. Apakah kau punya du-
gaan siapa gerangan dia...?" Bertanya si Dewi Rembu-
lan.
"Heh! Kalau ku berniat mengejarnya, tentu su-
dah ku bekuk dia hidup-hidup. Akan tetapi waktu itu
aku sedang cemburu padamu, bibi...! Mana aku ber-
niat mengejarnya, selain untuk menguliti si Naga Hi-
tam di depan matamu...!".
"Hi hi hi... lagi-lagi kau cemburu! Kau memang
mirip pamanmu dulu sewaktu masih hidup. Sayang ia
menemui kematiannya dengan cara yang menyakitkan!
Aku telah bersumpah akan menuntut balas kematian-
nya. Cuma waktu itu aku harus bersabar menunggu
waktu. Si Pendekar Gentayangan itu kini usianya telah
mencapai 100 tahun. Kabarnya ia mempunyai seorang
murid laki-laki yang usianya hampir seusia mu!" Ujar
si Dewi Rembulan bernama Sito Resmi itu. Sepasang
matanya memancarkan dendam yang tak pernah kun-
jung padam. Mendengar demikian Tugangga segera
menghiburnya.
"Sabarlah bibi...! Waktunya untuk membalas
dendam sudah dekat! Kita tinggal menunggu khabar
tibanya si paderi Ketua Dharma Sheta. Sementara kita
menetap dulu di Ruang Bawah tanah Kuil Istana Hi-
jau. Biar si paderi Sapta Dasa Griwa menguasai Kuil
dan berbuat seperti tak ada kejadian apa-apa.
Paderi itu telah berjasa pada kita. Seandainya
ia menjadi Pimpinan Utama Kuil itu kelak, tentu akan
menjadi salah seorang dari rekan kita. Akan mudah
bagi kita kelak bila sewaktu-waktu memerlukan perto-
longan. Selain itu pula kita harus bertindak tak kepa-
lang, untuk menghancurkan setiap perintang. Teruta-
ma membantu si paderi Sapta Dasa Griwa mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta...!" Ujar si Manusia Topeng
Perunggu. Lalu lanjutkan lagi, setelah termenung se-
saat.
"Sebenarnya menghilangnya aku dari Rimba Hi-
jau, adalah karena menyelamatkan diriku dari kejaran
musuh-musuhku. Dengan menyamar sebagai seorang
yang tolol, aku diterima sebagai paderi di Kuil Istana
Hijau oleh Ki Dharma Sheta. Dengan Kepala gundul
plontos, aku tak akan dikenali lagi oleh setiap musuh-
ku. Terutama oleh si Pewaris Sepasang Pedang Silu-
man. Karena mereka tetap memburu ku...!"
"Siapakah si Pewaris Sepasang Siluman itu...?"
Tanya Sito Resmi.
"Dialah yang bernama GIRI MAYANG alias si
Kelabang Kuning. Aku mencurinya dari ruang pusaka
di Rumah Perguruan Tri Mukti. Ternyata adalah milik
si Ketua Perguruan itu. Dan merupakan sepasang
benda keramat yang berusia lebih dari 100 tahun.
Ketua Perguruan itu bernama TUN PARERA,
yaitu guru dari si Kelabang Kuning, alias Giri Mayang.
Begitu aku jadi buronan, segera aku menyamar jadi
paderi di Kuil Istana Hijau. Ternyata kepandaianku da-
lam membuat arca mendapat pujian dari Ki Dharma
Sheta. Hingga ia telah meminta ku membuat kan se-
buah Arca Budha dari Perunggu berlapis Emas. Peng-
ganti arca lama yang telah rusak, yang terbuat dari ba-
tu. Tapi diam-diam telah ku sembunyikan Sepasang
Pedang Siluman di dalam arca itu, dengan harapan
suatu saat akan dapat kuambil lagi. Ternyata perbua-
tanku selama menjadi paderi yang kuperbuat dengan
sembunyi-sembunyi, telah membuat murka -Paderi Ke-
tua Ki Dharma Sheta. Hingga aku dipenjarakan di Pen-
jara Besi di ruang bawah tanah. Hal itu adalah sudah
menjadi rencanaku. karena dengan
demikian, aku dapat mempelajari 12 Jurus Il-
mu Pedang, yang terdapat tulisannya pada dua gulung
kertas kulit di dalam kedua gagang pedang. Dengan
masing-masing enam jurus pada setiap gulungnya. Ki-
ni aku telah menguasai ke 12 Jurus Ilmu Pedang itu.
Dan saatnya aku munculkan diri lagi di Rimba Hijau
...!". Ujar Tugangga, seraya tertawa puas.
Sementara itu Roro Centil telah mendengarkan
dari tempat persembunyiannya. Dan kini terungkap-
lah sudah misteri peristiwa di Kuil Istana Hijau. Ter-
nyata hilangnya potongan kepala arca Budha itu me-
mang benar ada hubungannya dengan Sepasang Pe-
dang Siluman, seperti yang telah diungkapkan oleh si
Naga Hitam. Saat itu si Dewi Rembulan telah mende-
kap tubuh si manusia bertopeng perunggu, yang to-
pengnya telah dilepaskan dan tampak tergeletak di de-
katnya. Terdengar wanita yang ternyata menggandrun-
gi keponakannya sendiri itu berbisik dengan suara
berdesis....
"Bagus Tugangga. Kau bisa balaskan sakit ha-
tiku pada si Pendekar Gentayangan. Kau belum beri-
kan jawabanmu mengenai siapa kira-kira yang telah
menolong si Bangau Putih itu. Agaknya kita harus
waspada setiap saat. Karena akan banyak para Pende-
kar yang membantu si Bangau Putih untuk mencari si
pembantai para paderi di Kuil Istana Hijau! Kudengar
si Bangau Putih itu meminta bantuan pada seorang
yang bernama Roro Centil, yang bergelar si Pendekar
Wanita Pantai Selatan. Entah orangnya apakah yang
pernah menginap di Penginapan desa Lubok Batang
...? Karena dari mata-mata yang kupasang di sana, ga-
dis itu mencari si Bangau Putih. Sayang mata-mataku
datang memberitahu setelah gadis itu berangkat pergi.
Ia katakan gadis itu amat aneh, karena ketika pada
malam hari, saat ia menggerayangi ke kamar, telah
melihat seekor harimau Tutul yang amat besar yang
menjaganya Cepat-cepat ia mengunci lagi pintu kamar.
Lalu bergegas untuk menyembunyikan diri....!". Tutur
si Dewi Rembulan dengan serius.
Laki-laki ini termenung. Tapi segera keluarkan
pendapatnya,
"Mengenai si penolong paderi Bangau Putih itu,
aku kurang bisa mengira-ngira siapa adanya dia. Tapi
kalau gadis yang kau katakan tadi, aku mengambil ke-
simpulan adalah si Pendekar Wanita itu ...!". Ujar Tu-
gangga.
"Mengenai harimau Tutul itu, aku mengira, ga-
dis pendekar itu mempunyai semacam ilmu hitam ...!"
Ujar Tugangga lagi.
"Mungkin juga! Justru itu kita harus lebih hati-
hati lagi, karena bukan mustahil kita akan banyak
menghadapi banyak musuh". Berkata si Dewi Rembu-
lan.
"Sudahlah...! Itu urusanku nanti. Kini apa ren-
canamu? Apakah kita bermalam di ruang bawah ta-
nah, ataukah akan bermalam di sini..,? Tampaknya
bibi terlalu lelah setelah berpacu tadi!". Kata-kata Tugangga terdengar seperti menyindir. Tentu saja mem-
buat si Dewi Rembulan jadi merah wajahnya. Syukur
tak kentara, karena cuaca memang tak begitu terang
seperti pada siang hari.
"Ih, laki-laki kau cemburu ..! Seandainya si
manusia tolol itu tak menotok ku, mana mungkin aku
bisa mandah saja... Walau bagaimana aku tetap bera-
da di urutan paling atas Tugangga. Aku masih sanggup
untuk melayanimu sepuluh jurus!",
"Ha haha... bibi memang hebat! Aku akan
membuktikannya!". Ujar Tugangga, seraya bersiap pa-
sang kuda-kuda. Sementara jubahnya telah ia lempar-
kan ke rumput.
"Aku akan buktikan kehebatanku! Kau baru
meyakini...!" Ujar si Dewi Rembulan, Seraya sibakkan
perintang-perintang yang menghalangi pertarungan.
Sepasang mata Tugangga cuma bisa berkilatan me-
mandang daun-daun pohon penghalang yang berjatu-
han.
"Bibi benar-benar masih mampu melayani be-
berapa jurusku?". Ujar Tugangga seraya tertawa me-
nyeringai.
Sementara itu Roro Centil lagi-lagi harus mem-
buang muka melihat pertarungan gila yang bakal ter-
jadi. Akan tetapi pada saat itu gadis ini mengeluh, ka-
rena saat ia dalam keadaan tak waspada, sesosok tu-
buh telah berindap-indap mendekati. Gerakannya ba-
gaikan kucing mengintai mangsanya. Dan tahu-tahu
telah gerakkan tangan menotok. Hingga tak ampun la-
gi tubuh Roro terkulai. Selanjutnya satu bekapan sapu
tangan, telah membuat ia tak mampu keluarkan sua-
ra.
Dan saat selanjutnya Roro cuma rasakan kepa-
lanya pusing, karena bau harum dari saputangan yang
menempel pada hidungnya. Hingga sekejap, gadis ini
sudah terkulai tak sadarkan diri. Roro cuma rasakan
tubuhnya seperti melayang... Dan ia tak menge-
tahui kalau ketika itu ia tengah dibawa berkelebat oleh
sesosok tubuh, yang memondongnya.
*****
Sementara itu pertarungan yang boleh diang-
gap "latihan" oleh kedua manusia di atas rumput di si-
si bukit itu, segera akan berlangsung.
"Keluarkan jurus-jurus yang kau pelajari sela-
ma ini, Tugangga! Aku akan melayani sepenuh hati,
agar kau benar-benar tak kecewa...!".
"Ha ha ha... walau dua tahun aku disekap, tapi
untuk jenis jurus-jurus selain 12 Jurus Ilmu Sepasang
Pedang Siluman, aku mempunyai bermacam jurus,
yang segera kau akan mengetahuinya...!", Berkata Tu-
gangga, seraya sudah hantamkan pukulannya ke arah
kaki. Menghadapi permainan yang menarik ini, tam-
paknya si Dewi Rembulan begitu senang. Segera ia
lompat ke udara tiga tombak. Gerakannya indah,
mempertontonkan bentuk liukkan yang mempesona.
Tugangga berseru kagum. Sepasang matanya berbinar.
Tiba-tiba ia sudah melompat cepat di bawah si Dewi
Rembulan. Sepasang lengannya terpentang. Terkejut si
Dewi Rembulan, lihat Tugangga berada di bawahnya.
Dan saat itu tubuhnya telah meluncur turun. Namun
dengan segera ia telah merobah posisi dengan sepa-
sang kaki terpentang untuk menjepit leher.
"Awas! Jaga leher mu, Tugangga...!" Teriak Dewi
Rembulan. Tugangga menyeringai. Ternyata ia tak be-
rusaha mengelak. Namun sepasang lengannya
berhasil menangkap sepasang lengan si Dewi
Rembulan. Jepitan sepasang kaki itu ternyata tak
mampu membuat untuk melepaskan cekalan pada
lengannya. Bahkan kini si Dewi Rembulan yang kelua-
rkan Suara keluhan. Tubuhnya segera bergelinjan-
gan.....
Saat itu seekor kelelawar yang telah berhasil
menggondol buah masak, telah melumat dan menyan-
tapnya dengan rakus. Terlalu sulit untuk menikmati,
segera ia bawa dan tempelkan ke batang pohon. Dan di
sana ia menikmati kelezatannya.
Pada jurus pertama itu, setelah bergulat untuk
mencoba lepaskan diri, akhirnya si Dewi Rembulan
berhasil jejakkan kaki ke pundak Tugangga. Sementa-
ra lengannya telah berhasil menangkap dahan pohon.
Laki-laki itu jatuh bergulingan. Namun dengan sebat
sambil bergulingan di rumput, lengannya berhasil me-
raih Jerat Sutera si wanita itu. Belum lagi si Dewi
Rembulan sadar akan serangan selanjutnya dari si
Manusia Topeng Perunggu, tahu-tahu jerat sutera itu
telah menyambar kakinya. Mengeluh si Dewi Rembu-
lan. Ia tak menyangka kalau keponakannya ini, ternya-
ta berwatak kasar. Tapi ia memang ingin menguji sam-
pai di mana kehebatan Tugangga.
Ia segera lepaskan pegangan tangannya pada
dahan. Akan tetapi justru tubuhnya roboh terguling,
karena sebelah kakinya telah kena Jerat Suteranya
sendiri. Detik berikutnya, satu totokan telah membuat
ia tak berkutik. Tahu-tahu ia rasakan tubuhnya telah
melayang naik lagi. Ternyata Tugangga telah melompat
ke atas dahan pohon, dan menarik Jerat Suteranya,
hingga tubuhnya menggelantung di dahan pohon den-
gan kaki terikat. Detik selanjutnya kedua kakinya te-
lah terikat kuat dengan terentang di dahan pohon. De-
wi Rembulan cuma bisa ternganga... karena gerakan
Tugangga begitu cepat. Tahu-tahu ia sudah tergantung
di dahan pohon, dengan kepala berada di bawah.
"Tugangga! Apa yang kau mau lakukan? Kau
mau menguliti aku?". Teriak si Dewi Rembulan. Diam-
diam wanita ini ngeri juga. Karena Tugangga ternyata
lebih buas dari si Naga Hitam. Khawatir juga ia kalau-
kalau laki-laki itu berubah fikiran, dan membunuhnya.
Karena sejak beberapa tahun ia baru berjumpa dengan
keponakannya ini. Akan tetapi wanita ini segera terse-
nyum, karena dari tingkah laku Tugangga dan sepa-
sang matanya yang liar, ia mengetahui laki-laki kepo-
nakannya ini cuma melampiaskan kemendongkolan
hatinya saja. Seolah-olah iapun sanggup menunduk-
kannya. Seperti melebihi kesanggupan si Naga Hitam,
yang telah tewas.
*****
Cahaya purnama tampak semakin tinggi. Ber-
sitkan sinar yang menyebar rata ke seluruh perbuki-
tan. Tugangga berdiri bertolak pinggang dengan mena-
tap pada si Dewi Rembulan yang tergantung jungkir
balik. Sepasang matanya menelusuri perbukitan dan
lembah-lembah ilalang di hadapannya Lalu tertawa
menyeringai.
"Aku bukan akan menguliti mu, bibi...! Tapi
akan tunjukkan satu jurus Kelelawar mencaplok Rem-
bulan. Satu jurus istimewa dari jurus-jurus yang ba-
nyak aku pergunakan dulu. Kala aku masih jadi pe-
tualang dari lembah ke lembah...!".
Seraya berkata ia sudah segera beranjak meng-
hampiri. Namun diam-diam Dewi Rembulan telah ber-
hasil bebaskan diri dari pengaruh totokan. Saat itu
seekor kelelawar kembali telah menyambar buah-buah
yang bergelantungan. Buah buahan yang ranum di su-
suri dengan moncongnya. Angin malam berdesir agak
keras mengguncang seekor kelelawar betina yang
menggantung itu hingga bergelinjangan. Tatkala mon
cong kelelawar yang susuri buah-buah ranum itu te-
mukan buah yang masak, segera merengkuhnya den-
gan lahap. Dua ekor kelelawar itu bagai bergelut untuk
saling merengkuh. Sementara desis angin malam bagai
kan nafas yang mendesah desah menerpa.... Kelelawar
jantan ternyata mulai semakin bernafsu melihat buah-
buah yang ranum itu. Segera terbang ke atas dahan
yang lebih tinggi. Dan dengan menggelantung di da-
han, lengannya sudah mencengkeram. Sementara
moncongnya merengkuh buah-buah yang ranum itu
berganti-ganti. Kelelawar betina cuma bisa ngangakan
moncongnya dengan suara cicitnya yang seperti men-
desis. Seperti masih ingin ia melumat yang sudah ter-
lepas dari moncongnya. Sementara kelelawar jantan te-
lah keluarkan kepandaiannya melumat apa yang bera-
da di depan moncongnya.
Sementara itu segera Tugangga telah keluarkan
suara berdesis di telinga. "Inilah jurus-jurus dari Kele-
lawar mencaplok Rembulan...!". Satu pukulan perla-
han itu ternyata telah membuat si Dewi Rembulan,
menggelinjang dengan keluhan keluar dari bibirnya. Ia
telah menangkis dengan sepenuh hati. Namun bebera-
pa kali serangan beruntun itu, telah membuat ia se-
perti rasakan tubuhnya jadi bergetaran.
Kedua tubuh kelelawar yang bergantung itu te-
rayun-ayun, kala angin bertiup mendesah-desah. Se-
pintas tampaknya seperti tengah bercanda. Karena
sayap-sayapnya saling rangkul dengan kuat. Terdengar
suara cicitnya di antara desah angin yang menerpa...
Dan selang sesaat mereka sudah seperti tidur lelap,
karena kekenyangan menyantap... Saat itu memang
Tugangga telah mengakhiri jurus-jurus yang di pertun-
jukkannya pada si Dewi Rembulan.
"Jurus-jurusmu memang hebat Tugangga...!.
Aku memang tak mampu mengungguli mu ...!" Berkata
Sito Resmi seraya buka kelopak matanya. Seraya ter-
tawa, Tugangga letikkan tubuh untuk kembali melom-
pat ke atas dahan. Lalu dengan cepat membuka kem-
bali tali Jerat Sutera yang melilit kaki Sito Resmi. Lalu
tarik tubuh si Dewi Rembulan ke atas. Selanjutnya su-
dah berada kembali disamping Tugangga dengan du-
duk di dahan menyandar di dada laki-laki itu.
"Kekuatan tenaga dalammu luar biasa Tugang-
ga. Tenagaku sampai tersedot habis ..!" Keluh si Dewi
Rembulan, Tugangga hanya tertawa, lalu tempelkan te-
lapak tangannya di punggung Sito Resmi. Hingga tak
lama kemudian Sito Resmi sudah merasa segar lagi.
Rembulan semakin tinggi menggantung di lan-
git. Malam terus merayap, kala dua sosok tubuh itu
tinggalkan lereng bukit, untuk berlalu dari tempat
yang telah menguras tenaga itu. Akan tetapi mereka
tampak dalam kepuasan dalam pertarungan barusan
Siapakah sosok tubuh yang telah menotok Roro Centil,
dan membuat ia tak berdaya itu? Mari kita ikuti siapa
gerangan dia.......
Sosok tubuh itu mengenakan topeng hitam pa-
da wajahnya. Bertubuh kekar, dengan rambut awut-
awutan. Setelah beberapa saat lamanya berlari-lari
dengan cepat. Sosok tubuh itupun hentikan larinya. Di
hadapannya adalah sebuah rawa-rawa. Seandainya
orang yang belum tahu jalan, sudah pasti akan terje-
rumus ke dalam rawa yang dalam itu. Ternyata ia
mengambil jalan memutar. Lalu temukan jalan lurus
berbatu-batu. Seperti memang jalan yang sengaja di-
buat untuk menyeberangi rawa itu. Meniti jalan lurus
itu, segera sudah terlihat sebuah bangunan di tengah
rawa. Di atas tanah ketinggian, kira-kira tiga kali lem-
paran tombak lagi.
Sementara Roro Centil masih terkulai dalam
pondongan orang itu. Dengan keluar suara tertawa lirih, segera ia telah enjot tubuh untuk melompat.
Hebat tenaga lompatan itu, karena dengan dua
kali melompat, ia telah tiba di sisi tanah ketinggian di
tengah rawa. Ternyata ia hams mengambil ancang-
ancang lagi untuk melompat. Di hadapannya dalam ja-
rak satu tombak lagi, terdapat kolam yang melingkari
tanah bangunan mirip pendopo.
Segera ia telah enjot tubuhnya sekali lagi, dan
mendarat di undak-undakan batu. Selanjutnya ia telah
melangkah untuk naik. Dan sekejap kemudian telah
tiba di muka pintu gedung pendopo. Tubuh Roro da-
lam pondongan telah dipindahkan ke atas bahu. Se-
mentara sebelah tangannya membuka pintu dengan
kunci yang ia keluarkan dari saku bajunya. Tak lama
si Pendekar Wanita itu sudah dibawa masuk ke dalam
gedung pendopo itu. Dan lenyap ketika pintu kembali
tertutup kembali. Di malam yang disinari rembulan itu
ternyata telah banyak peristiwa telah terjadi.
Ketika sadarkan diri, Roro Centil berada dalam
sebuah ruangan yang luas. Terkejut Pendekar wanita
ini ketika dapatkan dirinya dalam keadaan berdiri teri-
kat kaki dan tangannya oleh rantai. Dengan kaki serta
tangan terpentang pada palang besi. Lebih-lebih terke-
jutnya Roro Centil, ketika mengetahui pakaiannya te-
lah lenyap. Beruntung masih ada dua penghalang yang
menutupi bagian-bagian terpenting di tubuhnya.
Saat itu matahari telah menyorot masuk dari
jendela berdinding batu, sebelah atas. Kepala Roro
bergerak memutar untuk meneliti ruangan. Ia segera
dapat menduga, ruangan itu berada di bawah tanah.
Karena dindingnya tampak rembes oleh air. Dan terli-
hat ada beberapa tulang tengkorak manusia bersera-
kan di lantai lembab. Tempat apakah ini...? Dan siapa-
kah yang telah menotok ku.. ? Berkata Roro dalam ha-
ti. Segera teringat kejadian semalam, tatkala ia tengah
akan menyaksikan pertarungan gila si Dewi Rembulan
dan Topeng Perunggu. Tahu-tahu tubuhnya telah dito-
tok orang, dalam keadaan lengah. Dan sebuah sapu
tangan berbau harum telah menyumpal hidungnya.
Selanjutnya ia sudah tak sadarkan diri. Ketika sadar
tentu saja Roro jadi terkejut karena mengetahui ia da-
lam keadaan terikat sedemikian,
Diam-diam ia coba kerahkan tenaga dalamnya,
untuk mencoba memutuskan rantai. Akan tetapi lagi-
lagi ia terkesiap karena tenaganya telah punah. Hal
tersebut ternyata membuat murid si manusia Banci ini
mendongkol. Dan segera saja keluar adat anehnya. Ti-
ba-tiba Roro Centil telah perdengarkan suara tertawa
mengikik geli, hingga terpingkal-pingkal. Hingga selu-
ruh ruangan itu seperti penuh suara tertawa yang ber-
pantulan tak ada putusnya. Seolah di dalam ruangan
itu ada sepuluh wanita yang sama-sama tertawa.
Tentu saja hal itu telah membuat sebuah pintu
batu menjeblak terbuka dari atas. Dan sesosok tubuh
telah melompat ke bawah. Ternyata seorang laki-laki
yang mengenakan topeng di wajahnya. Yaitu laki-laki
yang telah menotoknya, dan menawan Roro di tempat
ini.
"Hentikan tertawamu Wanita Pendekar...!" Sen-
taknya, seraya berkelebat melompat ke hadapan Roro.
Yang dibentak ini ternyata bukannya berhenti tertawa,
bahkan semakin keras suara tertawanya. Kali ini diba-
rengi kata-kata....
"Hi hi hi... hi hi... Aku sudah tahu siapa kau,
mengapa masih juga menutupi wajahmu...? Lebih baik
kau lekas-lekas minta ampun padaku, dan lepaskan
aku! Kalau tidak, roh ku akan keluar untuk mencabut
nyawamu...! Hi hi hi... hi hi... Terkejut laki-laki berto-
peng ini, Kata-kata itu tentu saja membuat ia ragu.
Apakah benar orang yang di tawanya ini telah mengetahui dirinya? Agaknya mendengar gertakkan Roro itu,
nyali si manusia bertopeng ini, jadi kendur menyusut.
Ia menduga gadis itu mempunyai ilmu hitam. Namun
tiba-tiba wajahnya jadi berubah sinis. Dan bentakkan
kata-kata;
"Huah...! Kau kira aku bisa kau gertak demi-
kian? Walau kau sudah tahu siapa aku, tak menjadi
persoalan. Apakah kau bisa lepaskan diri dari rantai
belenggu itu!?" Selesai berkata ia telah lepaskan topeng
wajahnya. Ternyata dia tak lain dari Paderi Ketua Dua,
dari Kuil Istana Hijau. Yaitu Santa Dasa Griwa. Diam-
diam Roro Centil bergirang hati, karena usahanya un-
tuk mengetahui manusia yang menawannya membawa
hasil. Roro yang sudah mengetahui gerakan di bawah
tanah paderi yang bekerja sama dengan si Topeng Pe-
runggu itu, sudah tak heran lagi kalau manusia ini
mau mencelakai.
"He! Paderi pengkhianat! Apakah kau memang
inginkan roh ku mencabut nyawamu?" Teriak Roro ti-
ba-tiba dengan nada suara tinggi yang diiringi tertawa
mengikik.
"Ha ha ha ... silahkan rohmu keluar untuk
membunuhku...! Aku ingin lihat, apakah kau mampu
pergunakan ilmu hitammu...!" Ujar paderi Sapta Dasa
Griwa sinis.
"Kau memang tak pantas jadi seorang paderi.
Perbuatanmu bisa mencemarkan nama paderi lainnya.
Apa yang kau inginkan dengan menawan ku demikian
rupa?"
"Memang aku tak berniat menjadi paderi, nona
pendekar perkasa...! Aku justru ingin merobah Kuil Is-
tana Hijau untuk menjadi Kerajaan kecil yang ber-
naung di bawah Kerajaan Sriwijaya! Tentu saja kau
harus menyingkirkan setiap perintangnya, terutama
kau sendiri, yang telah ikut campur dalam urusan
ini...! Menyusul si Bangau Putih, dan yang te-
rakhir adalah si Ketua Utama Ki Dharma Sheta...!
Tempat ini memang sebuah ruang penyiksaan, Sebe-
lum dibunuh mati setiap tawanan yang berada di
ruangan ini harus menjalani siksaan lebih dulu. Tentu
saja aku menawan mu, adalah untuk menyiksamu
sampai setengah mati. Baru kubunuh dengan ini...!"
Seraya berkata, Dasa Sapta Griwa telah mengeluarkan
sepasang pedang pendek yang melengkung dari balik
jubahnya. Pedang itu berwarna hitam. Roro Centil jadi
melengak dengan sepasang mata membelalak. Kini di-
lihatnya, paderi itu sudah mendekatinya dengan terse-
nyum sinis. Adapun Roro Centil segera lakukan perta-
nyaan.
"Hm... Apakah itu Sepasang Pedang Silu-
man...?" Tanya Roro tanpa rasa gentar ketika Sapta
Dasa Griwa mendekatinya.
"Benar...! Sepasang pedang ini dapat membuat
punah segala macam ilmu Hitam. Dan kau boleh kelu-
arkan ilmu hitammu untuk membunuhku! He he he..."
Seraya berkata lengannya telah bergerak, dan tempel-
kan ujung pedang di leher Roro. Gadis ini cuma meli-
riknya dengan tersenyum. Agaknya Roro memang ber-
sikap aneh. Dan hal itu adalah kelebihan Roro dari se-
tiap orang. Karena ia seperti tak takut menghadapi
kematian. Tapi yang membuat heran Roro, adalah se-
pasang pedang pusaka ini, mengapa bisa berada di
tangan si paderi? Karena memang tidak mengetahui,
dengan serampangan saja Roro telah berkata;
"Menurut yang kudengar, Sepasang pedang itu
adalah milik TUN PARERA, Ketua Perguruan TRI
MUKTI. Kalau benda ini ada di tanganmu sudah pasti
kau pemiliknya yang asli...!" Diterka demikian, wajah
si paderi jadi berubah merah. Diam-diam ia membatin
dalam hati. Gadis Centil ini apakah punya ilmu nujum,
bisa segala tahu...? Terpaksa ia tak bisa sembunyikan
lagi siapa dirinya. Apa lagi ia berpendapat si Pendekar
Wanita itu sudah dalam kekuasaannya. Buat apa ia
menyembunyikan rahasia lagi? Memikir demikian, ia
sudah lantas berkata;
"Benar...! Akulah TUN PARERA, Ketua Pergu-
ruan Tri Mukti. Gerakanku adalah lebih awal dari si
Tugangga manusia Topeng Perunggu itu. Karena dalam
aku menguntit pencuri sepasang pedang pusaka lelu-
hur ku itu, akupun telah menyamar menjadi paderi,
dan diterima oleh Ki Dharma Sheta. Bahkan mendapat
kepercayaan menjadi wakil, sebagai paderi Ketua Dua
di Kuil Istana Hijau. Di samping ingin merebut kembali
sepasang pedang pusaka leluhur ku, akupun ingin
menguasai Kuil Istana Hijau. Ternyata kesempatan
itupun berhasil. Aku bertindak tatkala sudah berhasil
menghasut lebih dari sepertiga paderi. Bahkan hampir
separuhnya. Mengenai Sepasang Pedang Siluman,
memang sejak aku menyelidiki, baru kuketahui telah
disembunyikan si Tugangga ke dalam arca Budha.
Namun berkat banyaknya para paderi yang pro padaku
dan membantu dengan sembunyi-sembunyi, melalui
ruang bawah tanah, aku berhasil menjebol bawah ar-
ca. Dan mengambil sepasang senjata Pusaka itu"
"Mengapa harus bertindak dengan sembunyi-
sembunyi?" Tanya Roro.
"Ha ha ha... Dengan demikian, si Paderi Ketua
Dharma Sheta tak mencurigaiku. "Waktu itu adalah di
saat si Tugangga dipenjarakan karena ketahuan telah
membawa wanita, dan memperkosanya di ruangan su-
ci. Hukumannya amat berat Karena harus menjalani
hukum penjara selama tiga tahun...!"
"Apakah kau telah menukarnya dengan yang
palsu?" Tanya Roro lagi. Tersenyum Tun Parera seraya
menyontek dagu Roro untuk mendongak, oleh ujung
pedang.
"Otakmu cerdik, Roro Centil. Benar...! Aku telah
membuat yang palsu. Dan memerlukan waktu cukup
lama untuk membuatnya. Yaitu selama hampir satu
tahun.
"Apakah ke Dua Belas jurus Ilmu Sepasang Pe-
dang Siluman yang dipelajari Tugangga di penjara juga
palsu?." Bertanya Roro dengan menatap tajam Tun Pa-
rera.
"Hm! Kalau ke Dua Belas jurus itu tetap yang
asli. Karena manusia itu telah mengambilnya terlebih
dulu gulungan kertas kulit yang berada di dalam ga-
gang Pedang. Kau pasti dapat mengetahui tentang ke
Dua Belas jurus ilmu pedang itu, dari hasil kau men-
curi dengar saat kau mengintip mereka...!" Berkata
Sapta Dasa Griwa alias Tun Parera dengan mende-
katkan wajahnya pada Roro. Roro tak sempat menja-
wab. Dan memang tak perlu menjawab. Terpaksa ia
cuma mandah saja ketika hidung si paderi itu berkali-
kali mendarat di pipinya. Dalam hati Roro memaki ka-
lang kabut. Akan
tetapi ia memang harus bersabar untuk bisa le-
paskan diri. Sementara otaknya mulai bekerja. Mencari
jalan untuk bisa membebaskan diri.
"Tunggu dulu Tun Parera...! Mengapa tak kau
ajak aku bekerja sama denganmu?." Desis Roro den-
gan tatapan mata mengandung daya tarik. Sejenak si
paderi hentikan ciumannya. Lalu putarkan tubuh
membelakangi Roro. Tampaknya seperti sedang berfi-
kir. Tak lama ia tengah masukkan kedua pedang ke
dalam sarungnya di kedua sisi pinggang sebelah dalam
jubah. Lalu balikkan lagi tubuhnya dengan sepasang
mata menatap pada Roro.
"Aku belum bisa mempercayaimu nona Pende-
kar Roro Centil. Keadaan sudah mendesak. Dalam beberapa hari lagi aku dapat kabar dari mata-mataku, Ki
Dharma Sheta akan segera tiba. Laporan dari mata-
mataku, kapal yang ditumpangi paderi Ketua Utama
telah merapat di bandar pelabuhan. Kalau kau tak ku
sekap di tempat tawanan yang tersembunyi ini, aku
khawatir akan lebih banyak perintang ku untuk mele-
nyapkan Ki Dharma Sheta ...!"
"Baiklah! Kini apa yang akan kau lakukan ter-
hadap ku, segera lakukanlah ...!" Roro justru menan-
tang dengan suara mantap. Karena rasa ingin tahu apa
yang akan dilakukannya terhadap dirinya yang sudah
tak berdaya itu. Sepasang mata Tun Parera jadi terbe-
liak menatap Roro. Bahkan jadi geleng-geleng kan ke-
pala melihat ketabahan gadis pendekar itu.
"Ha ha ha... gadis semacammu memang langka!
Kau punya watak aneh...! Tadi menakut-nakutiku
dengan roh mu yang akan membunuhku, dan suruh
aku minta ampun padamu. Kini kau pasrahkan dirimu
mentah-mentah...!" Seraya berkata ia telah beranjak ke
sisi palang besi. Di situ tergantung sebuah cambuk da-
ri kulit. Segera ia raih benda itu.
"Baiklah...! Aku memang punya kesenangan
menyiksa wanita, sebelum aku mengingininya untuk
menghangatkan tubuhku! Ingin kulihat tarianmu di
ujung cambuk ini!" Segera dengan sekali lompat ia te-
lah menjauh, kira-kira lima tombak. Dan ulur tali
cambuknya yang memanjang sampai ke tanah. Roro
Centil kertakkan gigi. Kini baru diketahuinya kalau si
paderi ini berhati binatang. Sepasang mata Tun Parera
telah berbinar-binar merayapi sekujur tubuh Roro
yang mulus terpentang itu. Sebenar lagi ia akan meli-
hat tubuh gadis di hadapannya akan meliuk-liuk bagai
ular. Dan rintihan yang menggairahkan itu sudah se-
perti terdengar di telinganya. Dengan tertawa menyi-
ringai buas. Tun Parera telah putar-putarkan cambuk
nya di udara. Roro Centil menatap tak berkedip. Bibir-
nya tampak seperti bergumam lirih. Ketika itu ujung
cambukpun meluncur ke tubuh Roro untuk menyen-
tuh kulit sang Pendekar Wanita yang putih mulus ini.
Akan tetapi tiba-tiba Roro Centil telah gerakkan kepa-
lanya ke bawah. Apa yang terjadi? Rambut telah ber-
juntai menyambar untuk mengeprak ujung cambuk.
Hingga sebelum tubuhnya terkena hantaman. Ujung
cambuk itu telah menjadi hancur luluh. Terkejut Tun
Parera. Betapa ia tak menyangka akan bisa terjadi hal
itu. Tampak ia melompat ke depan satu tombak. Dan
kini hantamkan lagi cambuknya. Lagi-lagi Roro ke-
prakkan lagi rambutnya dengan menggerakkan kepa-
lanya. Kembali ujung cambuk menjadi hancur beran-
takan. Dua kali paderi Sapta Dasa Griwa hantamkan
cambuknya. Dan kali juga ujung cambuknya menjadi
hancur. Hingga kini cambuk itu tinggal lagi dua depa.
Sepasang mata laki-laki berusia 50 tahun ini jadi
membeliak melihat kehebatan serangan rambut Roro
Centil.
"Bagus...! Rupanya aku tak perlu menyiksamu
lagi. Kini terimalah kematianmu, Pendekar wanita!" Ia
sudah gerakkan lengannya melempar cambuknya. Dan
sekejap telah mencabut keluar sepasang Pedang Silu-
man. Ketika itu Tun Parera sudah segera melabrak Ro-
ro dengan berteriak keras. Sepasang senjatanya berke-
lebat timbulkan hawa dingin yang merasuk ke jantung.
Berdebar Roro Centil. Seluruh indranya telah dipa-
sang. Sayang Roro belum bisa lepaskan diri dari rantai
belenggu. Dan detik itu kedua ujung pedang sudah
meluncur ke arah dada dan leher. Akan tetapi pada de-
tik berbahaya itu segumpal asap hitam telah melin-
dungi Roro. Bahkan terus menerjang memapaki ter-
jangan Tun Parera. Terkesiap laki-laki ini, karena ra-
sakan satu cengkeraman yang menerkam dadanya.
Dan membuat tubuhnya jatuh bergulingan. Asap hi-
tam itu terus meluruk ke arahnya diiringi suara meng-
geram seekor harimau. Seketika Tun Parera jadi terke-
sima. Sepasang pedangnya bergerak menabas ke arah
depan. Buyarlah asap hitam, dan lenyap. Namun suara
menggeram itu tahu-tahu berada di belakangnya. Se-
cepat kilat ia balikkan tubuh. Kini terlihatlah se ekor
Harimau Tutul yang tubuhnya hampir sebesar kerbau
tengah perlihatkan taringnya, dan sudah bersiap un-
tuk menerkam.
Gila...!? Makhluk ini dari mana munculnya...!?
Teriak Parera dalam hati. Namun sudah melangkah
mundur tiga tindak. Sementara keringat dingin telah
mengembun di kening dan lehernya. Bulu tengkuknya
tiba-tiba meremang. Belum lagi ia menyadari, sang ha-
rimau Tutul telah melompat menerkam. Terpaksa ia
pergunakan lagi sepasang pedangnya menabas bebe-
rapa kali. Tapi semua itu bagai menabas angin belaka.
Karena tubuh si Harimau Tutul bagai bayang-bayang.
WUT! WUT! WUT! Beberapa serangan beruntun
telah ia sarangkan ke sasaran. Sang harimau Tutul ke-
luarkan suara menggeram dahsyat. Dan lolos ke depan
bagai segumpal asap. Tahu-tahu telah terjadi satu hal
yang aneh. Karena tampak Tun Parera telah berkelojo-
tan tubuhnya. Sepasang pedangnya telah terlepas. Kini
ia seperti berusaha melepaskan terkaman yang men-
cengkeram leher. Sepasang lengannya meronta, den-
gan memegangi lehernya. Dengan keadaan wajah yang
mengerikan. Karena sepasang matanya mendelik den-
gan mulut ternganga, dan lidah terjulur keluar. Sedang
air liurnya bersemburan bercampur darah. Tubuhnya
bergetar hebat. Kakinya menyepak ke sana-kemari...
Yang akhirnya roboh terguling. Selanjutnya ia seperti
tengah meregang nyawa, dan keluarkan jeritan-jeritan
parau yang menyayat hati. Namun selang tak lama,
tubuh Tun Parera alias si paderi Ketua Dua Kuil Istana
Hijau telah terkulai untuk tak berkutik lagi. Saat itu
Roro Centil telah kembali pulih tenaga dalamnya. Dan
tengah kerahkan kekuatan lengannya memutuskan
rantai belenggu. Terdengar suara mendesis dari mu-
lutnya. Asap tipis tampak mengepul keluar dari setiap
anggota tubuh yang terbelenggu rantai. Sekejap kemu-
dian terlihat rantai-rantai itu telah meleleh bagai ter-
kena bara api yang panas membara. Seluruh tubuh
Roro telah keluarkan keringat yang menetes. Inilah te-
naga Inti Api yang luar biasa. Yang dipergunakan Roro
untuk melepaskan belenggu. Tenaga dalam Roro yang
telah diwarisi si Dewa Tengkorak secara penuh, ternya-
ta dapat menghimpun hawa panas yang disalurkan ke
tempat tertentu. Kini dengan sekali sentakan berba-
reng, Roro Centil telah dapat melepaskan diri dari be-
lenggu. Dan lompat menghampiri di mana tubuh Tun
Parera menggeletak. Roro segera memeriksanya. Ter-
nyata Tun Parera si Ketua Perguruan TRI MUKTI alias
paderi Ketua Dua Kuil Istana Hijau yang bernama Sap-
ta Dasa Griwa telah tewas secara mengerikan. Dari
mulut, hidung dan telinganya tampak mengalirkan da-
rah kental. Dara ini menghela nafas. Dan bersyukur ia
bisa terhindar dari ketelengasannya. Segera ia periksa
jubah orang. Dan tarik keluar sepasang sarung pe-
dang. Lalu sepasang matanya dialihkan mencari kedua
Pedang Pusaka. Selanjutnya segera benahi lagi kedua
pedang itu untuk dimasukkan dalam serangkanya. Si
Tutul ternyata telah menjelmakan diri menjadi seekor
anak harimau sebesar kucing. Segera Roro beranjak
berlari ke dekat ruang atas yang menjeblak tadi, sete-
lah tatap sejenak si anak harimau Tutul dengan bibir
tersenyum. Kemudian sekali enjot tubuh, Roro Centil
sudah melompat naik. Kini ia berada di ruang atas.
Sementara si Tutul pun sudah melompat mengikuti.
Roro Centil selanjutnya memeriksa setiap ruangan.
Dan temukan lagi pakaiannya, serta buntalan pakaian
yang masih utuh isinya. Senjata Rantai Genitnya ter-
nyata tergantung di sisi pembaringan Tun Parera.
Tak banyak ayal lagi, segera Roro Centil kena-
kan lagi pakaiannya. Serta rapikan buntalannya untuk
disangkutkan lagi pada punggungnya. Selanjutnya su-
dah segera melompat untuk keluar gedung. Terpaksa
Roro pergunakan lengannya menghantam daun pintu.
Yang segera jebol berantakan. Sekali enjot tubuh, ia
sudah melesat keluar gedung. Dan perhatikan sekitar-
nya. Ternyata memang tak ada penghuni lain, selain
Tun Parera yang telah tewas. Gadis ayu ini berdiri te-
gak untuk mencari arah, Sepasang senjata anehnya
yaitu si Rantai Genit telah terselip lagi pada pinggang-
nya. Batu warna kuningnya berkilauan kena sorot ca-
haya Matahari. Tampaknya Roro agak bingung, Karena
ia dibawa kemari dalam keadaan tak sadarkan diri.
Roro tak mengetahui ia berada di daerah mana. Dan
baru mengetahui kalau rumah pendopo yang dibuat
sebagai tempat tawanan dirinya adalah sebuah gedung
terpencil di tengah rawa. Segera Roro beranjak untuk
menuruni undakan batu. Kini di bawah kakinya ada-
lah kolam air yang bergaris tengah sepertiga lemparan
tombak. Terkejut juga RORO CENTIL mengetahui ko-
lam yang memutari tempat ketinggian di bawah unda-
kan, ternyata penuh dengan lintah. Begitu membaui
darah manusia, segera merubung dekat kaki Roro.
"Gila...! Tempat ini sungguh tak menyenang-
kan! Mari kita tinggalkan tempat ini Tutul...!" Seraya
berkata Roro sudah bergerak melompati kolam. Pan-
dangan matanya segera dapat melihat adanya jalan lu-
rus berbatu-batu yang menyeberang rawa-rawa. Seke-
jap antaranya Roro Centil sudah berkelebat tinggalkan
tempat itu...
*****
Siapa gerangan yang menolong si Bangau Pu-
tih...? Mari kita lihat di sebuah pondok tersembunyi di
dalam hutan bambu. Tempat itu adalah tak jauh dari
sebuah muara sungai. Yaitu diantara tiga sungai yang
saling bertemu, Tempat ini sering disebut Lubuk Mua-
ra Seronok. Karena memang tempat yang diapit oleh
dua bukit itu, merupakan tempat yang indah. Akan te-
tapi memang sebuah tempat yang hampir jarang di-
kunjungi orang. Karena untuk dapat tiba di tempat ini,
adalah melalui jalan yang sukar ditempuh. Pondok ter-
sembunyi ini wuwungannya terbuat dari atap rumbia.
Dengan dinding dari anyaman bambu. Tapi adalah se-
buah pondok yang bersih. Serta tempat sekeliling yang
teratur rapi. Ditutup hutan bambu yang rapat itu, seo-
lah di alamnya tak terdapat pondok dan manusia......Di
ruang bagian depan itu ternyata telah ada dua orang
lelaki tua yang tengah duduk bercakap-cakap. Kiranya
mereka adalah si Bangau Putih. Dan yang seorang lagi
ternyata seorang tua yang berjubah aneh. Yaitu jubah-
nya bertambalan dengan bermacam warna. Selain ter-
buat dari bahan yang mahal, tapi juga bersih. Sehing-
ga tak menampilkan kemesuman. Rambut orang tua
itu memakai gelung terbungkus kain sutera warna hi-
tam. Kedua ujung kain suteranya terjuntai sepanjang
satu jengkal. Bertubuh jangkung, dan berkulit muka
putih. Rambut dan jenggotnya pun sudah sama me-
mutih. Laki-laki ini tanpa kumis. Hanya jenggotnya sa-
ja yang ia pelihara sepanjang dua jengkal. Wajahnya
menandakan seorang tua yang telah banyak makan
asam garam di Dunia Rimba Hijau. Dialah kiranya si
PENDEKAR GENTAYANGAN dari Gunung KUMBANG.
Yang nama aslinya adalah Ki Jagus Wedha.
Perlu diketahui bahwa Gunung Kumbang ada
lah sebuah gunung di Pulau Jawa. Dengan adanya me-
reka di Pulau Andalas, dapat dipastikan ada sesuatu
hal yang amat penting untuk datang ke tempat ini.
"Sekali lagi aku yang rendah si Bangau Putih
mengucapkan terimakasih atas pertolongan anda me-
nyelamatkan nyawaku...!" Berkata paderi itu. Ki Jagur
Wedha tersenyum sambil mengelus jenggotnya yang
panjang terjuntai.
"He he he... Sudahlah! Mengapa harus berkali-
kali menghaturkan terimakasih? Kita adalah sesama
manusia, yang memang membutuhkan tolong meno-
long dengan sesamanya" Ujar Ki Jagur Wedha. Bangau
Putih pun tersenyum sambil manggut-manggut
"Sungguh aku menjadi malu, karena dalam
usia anda yang sudah mencapai 100 tahun, ternyata
masih
punya kegesitan luar biasa. Entah ada urusan
apakah gerangan hingga anda berkunjung ke Pulau
Andalas ini?" Bertanya Bangau Putih.
"Hm! Anda terlalu memujiku paderi Kuil Tan-
jung Kait. Sebenarnya aku memang sudah pantas un-
tuk pensiun dari Rimba Hijau, akan tetapi kiranya ma-
sih ada saja urusan yang harus ku benahi. Sebenarnya
kedatanganku kemari bersama Ketua Kuil Istana Hi-
jau. Yaitu Ki Dharma Sheta. Kami telah singgah ke
Kuil anda di Tanjung Kait, untuk melihat keadaan di
tempat anda. Karena sebagaimana Ki Dharma Sheta
mengatakan, bahwa anda tengah dimohonkan ban-
tuannya menjaga Kuil Istana Hijau...!"
"Bagaimanakah keadaan di Tanjung Kait?" Ber-
tanya Bangau Putih memotong pembicaraan. Ki Jagur
Wedha tersenyum dan menjawab.
"Tidak terjadi apa-apa. Bahkan para paderi me-
nyambut dengan baik..."
"Apakah Ki Dharma Setha membatalkan kun
jungannya ke beberapa kuil di tanah Jawa? Laki-laki
berusia 100 tahun ini menjawab dengan menghela na-
fas.
"Seorang paderi dari Kuil Istana Hijau telah
menyusul Ki Dharma Sheta. Dia melaporkan ada hal-
hal yang tidak beres di dalam Kuil. Kebetulan aku
menjumpainya di sebuah penginapan. Dan mengajak-
nya untuk kembali secepatnya. Aku memang sudah
lama tak gentayangan lagi di Rimba Hijau. Hal tersebut
membuat aku ingin sekali turut mengatasi kemelut di
dalam Kuil Istana Hijau. Karena kudengar paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa yang telah dipercayainya,
melakukan gerakan bawah tanah. Menghasut para pa-
deri hampir separuhnya. Satu hal lagi adalah kudengar
tentang lolosnya seorang tahanan Ki Dharma Sheta
dari Penjara Besi. Menurut Ki Dharma Sheta baru di-
ketahui belakangan kalau paderi yang tengah menja-
lani hukumannya itu adalah seorang penjahat yang te-
lah mencuri sepasang Pedang Siluman. Hal itu me-
mang baru didengarnya beberapa pekan ini, karena
berita itu belumlah bisa dipercaya. Akan tetapi begitu
kami injakkan kaki di Pulau Andalas, sudah dengar
berita yang lebih hebat Yaitu pembantaian para paderi
Kuil Istana Hijau. Bahkan nyaris kami temui kematian,
karena serangan mata-mata yang memang telah dipa-
sang si paderi Sapta Dasa Griwa. Dari mata-mata yang
berhasil kutangkap, segera diketahui kalau si paderi
Sapta Dasa Griwa mau berkhianat. Dan berniat men-
guasai Kuil. Karena ia memang bercita-cita menjadikan
Kuil itu sebuah istana Kerajaan Kecil. Yang akan ia di-
rikan, dan bernaung di bawah panji Kerajaan Sriwi-
jaya. Kami telah tiba dengan waktu yang lebih diperce-
pat. Dan kini Ki Dharma Sheta berada disatu tempat
yang aman menunggu instruksi dariku. Die memang
menyerahkan urusan ini padaku. Karena mengang
gapku adalah seorang yang sudah berpengalaman un-
tuk menumpas komplotan penjahat...!" Demikian Ki
Jagur Wedha akhiri penuturannya. Bangau Putih
manggut-manggut mendengar penuturan itu. Dan ia-
pun ceritakan pula pengalamannya sejak ia ditugaskan
Ki Dharma Sheta untuk menjaga Kuil Istana Hijau. Di
mana ia menemui kesulitan sehingga tertawan oleh si
Naga Hitam dan Dewi Rembulan.
"He he he... si Dewi Rembulan itu istri mudanya
si Petir Dahana. Tokoh keji kepala perampok itu telah
kukirim nyawanya ke Neraka empat atau lima tahun
yang lalu. Ketika ku menolongmu dari serangan si To-
peng Perunggu yang akan membunuhmu sekaligus
dengan si Naga Hitam, aku sekilas melihat seorang da-
ra berbaju kuning tak jauh dari tempat itu. Apakah dia
si Roro Centil itu...?" Tanya Ki Jagur Wedha. Bangau
Putih kerutkan alisnya, seraya menjawab; "Entahlah...!
Aku tak mengetahuinya. Karena sejak aku mengun-
dangnya, sekali pun aku belum pernah bertemu muka.
Dan aku sama sekali tak mengetahui adanya orang di
tempat itu...!"
"He he he... ternyata kita orang-orang tua su-
dah jauh ketinggalan dengan para pendekar muda.
Cuma mereka belum begitu banyak pengalaman. Begi-
tu menolongmu, aku segera kembali lagi kesana. Dan
dapatkan si Naga Hitam telah tewas. Aku mencari-cari
di sekitar tempat itu, ternyata si Dewi Rembulan ten-
gah main gila dengan si Topeng Perunggu. Sedangkan
dara berbaju kuning itu entah kemana, tak kulihat ba-
tang hidungnya! Tadinya aku mau turun tangan mem-
bekuk dua manusia itu.... Akan tetapi sebagai seorang
tua yang sudah menjauhi segala macam urusan orang-
orang muda, aku lebih baik tinggalkan tempat itu. Ma-
sih banyak waktu untuk membekuknya...!" Ujar Ki Ja-
gur Wedha. Bangau Putih terdengar menghela nafas.
Dan berucap pula....
"Memang...! Keadaan dunia telah semakin se-
mrawut! Itulah sebabnya aku memilih menjadi seorang
paderi. Tapi tak nyana, akhirnya masih juga aku harus
jadi seekor kambing tua yang dungu. Karena kebodo-
han ku...!" Paderi ini teringat akan kelakuan gila si Na-
ga Hitam dan Dewi Rembulan, yang enak saja men-
gumbar nafsu di hadapannya... "Apakah anda tahu
siapa gerangan si Topeng Perunggu itu...?". Tanya si
Bangau Putih.
"He he he... Dia tak lain dari si manusia yang
telah lepaskan diri dari Penjara Besi di Kuil istana Hi-
jau! Kiranya si Dewi Rembulan itulah yang telah meno-
longnya keluar dari tahanan, Dia bernama TU-
GANGGA...! Yaitu keponakan dari si Petir Dahana yang
telah mampus di tanganku...!" Menyahut Ki Jagur
Wedha. Akan tetapi tiba-tiba laki-laki berusia satu ab-
ad ini telah berteriak dengan suara keras...
"Hooiiii...! Tetamu yang di luar. Mengapa tak
segera masuk?. Tak baik mendengarkan percakapan
dengan sembunyi-sembunyi...!" Melengak si Bangau
Putih. Karena telinga Ki Jagur Wedha ternyata amat
tajam pendengarannya. Ia sudah melongok keluar jen-
dela. Dan pada saat itu juga berkelebat masuk sesosok
tubuh ramping berbaju kuning emas, yang tak lain da-
ri si Pendekar Wanita Pantai Selatan Roro Centil.
"Aiii.... calon menantuku kiranya...! Silahkan
duduk! Silahkan duduk...!" Berkata Ki Jagur Wedha
dengan wajah berseri. Adapun Roro Centil jadi melen-
gak heran. Tahu-tahu disambut orang dengan me-
manggilnya calon menantu. Roro segera menjura pada
kedua orang tua itu. Karena sudah dipersilahkan du-
duk segera Roro pun mengambil tempat duduk di tikar
dekat pintu.
"Siapakah adanya kakek? Mengapa menye
butku calon menantumu...?" Bertanya Roro Centil. Ki
Jagur Wedha langsung menjawab;
"He he he... Dari melihat sepasang senjatamu
yang sudah terkenal itu, aku orang tua si Pendekar
Gentayangan sudah mengetahui kalau kau adalah Ro-
ro Centil. Bukankah Gurumu si Manusia Aneh Pantai
Selatan...?" Tanya Ki Jagur Wedha. Roro Centil naik-
kan alisnya, tapi segera mengangguk.
Aku memang muridnya. Dan kalau tak salah
anda adalah saudara angkat Guruku. Juga guru si Jo-
ko Sangit, benarkah demikian...?" Roro Centil balik
bertanya, karena dari nama julukan itu, Roro segera
teringat akan penjelasan Joko Sangit, sahabatnya.
Yang mengatakan ketika memberi kabar tentang kema-
tian Gurunya si Manusia Banci telah tewas, kala Joko
Sangit akan mengundangnya untuk menghadiri Ulang
Tahun si Pendekar Gentayangan ini. Yaitu pada usia
ke 100 tahun. Di mana akhirnya berkelanjutan Roro
mencari kedua orang pembunuh Gurunya di Pulau
Andalas ini. Ki Jagur Wedha manggut-manggut seraya
tertawa terkekeh-kekeh membenarkan.
"He he he... Apakah kau belum berkenalan
dengan paman ini? Beliau adalah paderi dari Tanjung
Kait, yang bergelar si Bangau Putih!" Roro Centil segera
menjura pada laki-laki berusia 50 tahun itu, Seraya
berkata;
"Maafkan keterlambatan ku memenuhi undan-
gan mu, paman Bangau Putih! Kiranya baru sekarang
kita berjumpa muka..."
"Ha ha ha... tak mengapa nona Roro Centil. Aku
sudah gembira akhirnya toh kita bisa berjumpa. Sung-
guh aku telah mendengar akan kehebatan sepak ter-
jang mu selama ini. Dan aku orang tua cuma bisa ge-
leng kepala melihat munculnya para generasi baru dari
Kaum Muda, yang berjuang menegakkan panji-panji
keadilan. Ternyata kami orang tua sudah tak mengenal
lagi tingginya ilmu tingkatan masa kini...!"
"Ah, anda terlalu merendahkan diri paman
Bangau Putih. Justru kepandaian yang ku peroleh
adalah warisan dari para kaum tua....!" Berkata Roro
Centil merendahkan diri. Selanjutnya mereka sudah
tertawa dengan gembira. Tiba-tiba Roro Centil ajukan
pertanyaan tadi. Yaitu mengenai panggilan sang kakek
padanya yang mengatakan kata-kata "Calon Menantu"
padanya. Kembali Ki Jagur Wedha tertawa gelak-gelak,
seraya ujarnya;
"He he he... Muridku yang sudah tak betah di
rumah itu tampaknya sering sekali membicarakan ten-
tang dirimu, Roro Centil. Aku berpendapat ia telah ja-
tuh cinta padamu. Kalau ada hubungan asmara dian-
tara kalian berdua mana aku mengetahui...?" Merah
seketika wajah Roro karena malu, juga karena merasa
tak punya soal-soal asmara dengannya. Dengan tersi-
pu ia segera menjawab.
"Kami memang pernah akrab. Akan tetapi sedi-
kitpun aku tak mengetahui apa yang namanya asma-
ra...!" Ujar Roro Polos. Tentu saja kata-kata itu mem-
buat kedua tokoh tua itu jadi terpingkal-pingkal.
"Baiklah! Baiklah...! Mengenai urusan orang
muda, aku tak akan mencampuri. Aku sendiri juga
pernah muda. Sayangnya aku laki-laki, jadi tak menge-
tahui isi hati wanita...!" Berujar si Pendekar Gentayan-
gan yang disambut oleh si Bangau Putih dengan
manggut-manggut.
Karena diminta menceritakan riwayat hidup-
nya, terpaksa Roro menceritakannya. Bahkan juga ten-
tang kematian Gurunya si Manusia Aneh Pantai Sela-
tan. Dan kedatangannya ke Pulau Andalas ini tak lain
untuk mencari dan berhasil menumpas kedua musuh-
nya. Yaitu kedua istri si Dewa Tengkorak. Si Peri Gunung Dempo dan si Kupu-kupu Emas. Tampaknya si
Pendekar Gentayangan terkejut mendengar kematian
adik angkatnya itu. Wajahnya jadi kelihatan bersedih.
"Aiii...!? Aku tak menyangka kalau dia sudah
mendahuluiku...! Benar-benar membuat aku seperti
enggan hidup di atas jagat ini. Begitu banyak keme-
lut...! Tapi memang sudah menjadi suratan takdir. Se-
mua yang hidup toh akan mati juga ...!" Kata-kata Ki
Jagur Wedha akhirnya bernada biasa lagi, seraya
menghela nafas. Karena sejauh manapun umur manu-
sia, toh akan menemui ajalnya juga tanpa diharap-
harap atau tanpa disadari...!
Mendengar Roro telah berhasil membalaskan
sakit hatinya, si Pendekar Gentayangan cuma mang-
gut-manggut Karena masalah Dunia Rimba Hijau me-
mang tak pernah ada putusnya. "Sakit hati dan balas
dendam adalah tidak terpuji kalau melakukan balas
dendam...!" Demikian sedikit pengarahan yang di uta-
rakan Ki Jagur Wedha pada Roro Centil. Gadis Pende-
kar ini cuma manggut-manggut membenarkan.
Selanjutnya Roro Centil pun ceritakan kejadian
tadi malam dan barusan, sejak ia disekap dalam ruang
tahanan. Dan berhasil menewaskan paderi Ketua Dua,
Sapta Dasa Griwa, yang ternyata adalah bernama TUN
PARERA, Kedua dari Perguruan Tri Mukti. Ia juga me-
miliki Sepasang Pedang Siluman. Juga dikisahkan ba-
gaimana Tun Parera mengelabui Ki Dharma Setha. Se-
hingga berhasil memalsukan sepasang pedang yang di-
curi Tugangga. Kemudian berniat menguasai Kui! Ista-
na Hijau. Lalu dengan tak melewatkan apa yang diden-
gar dan dialaminya, Roro Centil segera beberkan ki-
sahnya.
Ki Jagur Wedha jadi manggut-manggut menger-
ti. Dan ia sungguh tak menyangka kalau Paderi Sapta
Dasa Griwa adalah Tun Parera.
"Berarti si pencuri itu tak mengetahui kalau
benda yang berada di tangannya adalah barang pal-
su...?" Berkata Ki Jagur Wedha sambil mengelus jeng-
gotnya.
"Benar! Akan tetapi mereka tetap berbahaya.
Karena Tugangga alias si Topeng Perunggu memiliki
Dua Belas Jurus ampuh dari Sepasang Pedang Silu-
man...!" Yang telah dipelajarinya sejak ia disekap da-
lam Penjara Besi!" Ujar Roro Centil.
"Hm! Kini kita harus mengatur siasat untuk bi-
sa menumpas si Tugangga dan Dewi Rembulan!" Ber-
kata Ki Jagur Wedha seraya membuka bungkusan
kain sutera hitam yang dipakai menyembunyikan Se-
pasang Pedang Siluman yang asli. Akan tetapi pada
saat itu sebuah benda menggelinding ke dalam ruan-
gan. Terkejutlah mereka, karena benda itu mengelua-
rkan asap berbau mesiu. Serentak mereka sudah ber-
lompatan menghindarkan diri. Pendekar Gentayangan
berteriak memperingati "Awas...! Bahan Peledak. Sela-
matkan diri kalian...!"
Begitu mereka berlompatan, justru sebuah
bayangan berkelebat masuk dari pintu belakang ke da-
lam ruangan itu. Dan secepat kilat telah menyambar
sepasang pedang Pusaka yang baru dibuka pembung-
kusnya oleh Ki Jagur Wedha. Dan detik selanjutnya,
sudah berkelebat lagi untuk sesaat kemudian lenyap
dibalik rumpun bambu. Tetapi Roro Centil telah berge-
rak cepat mengejarnya. Namun sayang ia kehilangan
jejak. Sementara Bangau Putih dan si Pendekar Gen-
tayangan setelah menunggu sekian saat, ternyata tak
ada suara ledakan. Dengan menggerutu ia melompat
kembali ke dalam. Ternyata benda itu cuma keluarkan
asap saja tanpa meledak. Kedua tokoh tua ini jadi me-
rasa tertipu. Pada saat itu Roro Centil sudah berkele-
bat kembali ke depan pondok.
"Manusianya tak berhasil kutemukan. Benda
apakah itu tadi...?" Tanya Roro.
"Kita telah tertipu. Tak ada ledakan apa-apa
Bahkan asap itupun tak mengandung racun. Tentu ia
memang tak bermaksud mencelakai kita, cuma mau
merampas sepasang pedang itu saja rupanya...!" Ber-
kata Ki Jagur Wedha dengan rasa mendongkol, karena
dapat dipecundangi orang.
"Aku menduga dia si Giri Mayang alias si Kela-
bang Kuning. Yang kuketahui menurut pengakuan si
manusia Topeng Perunggu. Dia adalah muridnya si
Tun Parera, alias paderi tiruan Sapta Dasa Griwa.
Kalau memang benar dia adanya. Memang ia
yang berhak mewarisi Sepasang Pedang itu. Kita tak
perlu mengejarnya. Kini kita alihkan pembicaraan pa-
da cara mengatur rencana selanjutnya, sehingga Kuil
Istana Hijau bisa kembali putih...!" Berkata Roro Cen-
til.
"Akan tetapi kita tak bisa bicara di sini, kita
perlu berembuk dengan Ki Dharma Sheta. Karena dia
yang mengetahui seluk beluk Kuil Istana Hijau...!" Ujar
si Bangau Putih. "Benar! Sebaiknya kita berangkat ke
sana sekarang! "Membenarkan Ki Jagur Wedha. Roro
Centil tiba-tiba ajukan pertanyaan pada si Jagur Wed-
ha.
"Maaf, Kakek Pendekar Gentayangan. Pondok
ini milik siapakah...?" Ki Jagur Wedha kernyitkan ke-
ningnya menatap Roro.
"He he he... tempat ini aku tak mengetahui sia-
pa pemiliknya. Tapi sudah dua hari aku berada di sini,
tak pernah datang pemiliknya...!"
"Aneh...!? Kalau begitu marilah kita berangkat!"
Berkata Roro Centil. Dan selang beberapa saat, mereka
segera tinggalkan tempat hutan bambu itu. Sementara
dibenak Roro telah terlintas bahwa pondok itu tentu
ada rahasianya. Karena kemunculan orang yang me-
rampas pedang tak diketahuinya sama sekali.
Jangan-jangan pondok tempat sarang si Kela-
bang Kuning. Alias Giri Mayang. Fikir Roro, tapi Roro
hanya dapat menduga saja. Sementara, ia terus men-
gikuti ke mana Ki Jagur Wedha kelebatkan tubuhnya.
Dalam perjalanan itu mereka tak lagi bercakap-cakap.
*****
Saat itu matahari semakin tinggi menggelincar.
Burung-burung elang tampak beterbangan di udara.
Sesekali perdengarkan suaranya ketika melintas di
atas bukit. Tampaknya seperti memberi tanda akan
adanya satu pertarungan yang bakal meminta banyak
korban... Siapakah gerangan yang telah menyambar
kembali Sepasang Pedang Siluman...? Dugaan Roro
Centil ternyata tidak salah! Karena begitu mereka ber-
kelebat tinggalkan tempat itu. Sesosok tubuh yang
berbaju mirip rahib wanita dan berwarna Kuning telah
berkelebat lagi muncul dari balik rumpun bambu. Dan
sekejap telah berada di depan pondok.
Ternyata seorang wanita yang berusia sekitar
25 tahun. Beralis lurus mirip laki-laki berwajah agak
lonjong, dengan dagu agak panjang. Raut wajahnya
cukup cantik. Akan tetapi sinar matanya tampak me-
mancarkan dendam yang teramat hebat. Dialah GIRI
MAYANG alias si Kelabang Kuning. Tampak ada bekas
air mata yang telah mengering di pipinya. terlihat bi-
birnya bergetar menahan perasaan yang menggebu da-
lam dadanya. Terdengar suaranya lirih mendesis...
"Roro Centil! Tunggu saatnya aku akan adu ji-
wa denganmu...! Aku memang tak mencampuri urusan
guruku, akan tetapi hutang jiwa harus dibayar dengan
jiwa...! Kau telah pergunakan ilmu siluman untuk
membunuh Guruku TUN PARERA. Kelak sepasang Pe-
dang Siluman ini akan mengorek jantung mu...!" Sele-
sai berkata, iapun berkelebat dengan cepat menuju ke
arah sebelah barat.
*****
Dua hari berselang sejak kejadian-kejadian di
luar Kuil Istana Hijau, tampak di pagi buta tiga sosok
tubuh berkelebat melintas perbukitan. Kira-kira sepe-
nanak nasi, mereka hentikan tindakan kakinya. Lalu
bergerak untuk memecah menjadi tiga jurusan. ternya-
ta di hadapan mereka telah terlihat Kuil Istana Hijau.
Mereka adalah Roro Centil, si Bangau Putih dan si ka-
kek berusia 1 abad, Pendekar Gentayangan, alias Ki
Jagur Wedha.
Kiranya Roro bertugas untuk masuk melalui
lubang rahasia di belakang Gedung Kuil. Karena sudah
mendapat penjelasan tentang tanda-tanda tempat
menuju ke lubang rahasia di bawah tanah. Roro Centil
segera temukan tempatnya. yaitu sebuah arca Budha
dari batu dengan ukuran kecil di mana terdapat di
ujung sebuah tugu, di belakang gedung Kuil. Setelah
meneliti keadaan sekitar, segera ia melompat mende-
kati. Dengan hati-hati ia putarkan arca itu menghadap
ke timur. Tiba-tiba terdengar suara batu bergeser. Ki-
ranya sebuah lantas persegi di dekatnya telah bergeser
terbuka. Roro Centil melongok ke dalam, kiranya ada
tangga batu yang menurun. Secepat itu juga Roro su-
dah bergerak melompat ke dalam ruang. Lalu tanpa
ragu, segera meniti undakan untuk terus turun ke da-
lam. Tangga batu yang memanjang itu membelok ke
sebelah kiri. Terkejut Roro Centil, karena dapatkan sa-
tu ruangan luas di dalam lubang. Baru ia mau menin-
dak, terdengar suara orang bercakap-cakap yang me
nuju di mana Roro berdiri dibalik dinding. Ternyata
dua orang paderi. Saat mereka lewat, segera lengan
Roro bekerja.
Dua kali lengannya berkelebat, paderi-paderi
itu sudah keluarkan suara keluhan perlahan, dan ro-
boh tak sadarkan diri. Tersenyum gadis Pendekar ini.
Lalu dengan cepat ia sudah gotong kedua paderi untuk
disembunyikan di tempat gelap disudut dinding. Selan-
jutnya ia telah berkelebat dengan hati-hati, dan kini
masuki lagi satu ruangan kosong. Di sini cuma terlihat
mesin-mesin penggerak pintu-pintu rahasia. Saat itu
Roro bekerja cepat. Sebuah besi lempengan yang bera-
da di paling ujung, segera ia gerakkan ke bawah.
Sementara itu, si Bangau Putih yang berada di
satu ruangan depan Kuil Istana Hijau segera melihat
adanya satu lubang terbuka.
"Bagus...! Roro Centil telah berhasil memasuki
ruangan alat-alat rahasia! Berkata dalam hati si paderi
ini. Dan tanpa berayal ia telah bergerak melompat un-
tuk memasuki lubang. Lalu tempelkan tubuh ke sisi
dinding, Sementara itu Ki Jagur di luar Kuil. Dengan
sebelah lengan bertolak pinggang. Sedangkan sebelah
lagi mencekal tongkat sebatang ranting bambu, tiba-
tiba telah perdengarkan suaranya berteriak santar.
Suaranya berkumandang ke seluruh ruangan.
"Hoooooiiiii...! Para pengkhianat di bawah ta-
nah...! Kalian telah terkurung! jangan harap dapat me-
loloskan diri. Tugangga! Dewi Rembulan...! Keluarlah
untuk menghadapiku. Atas nama paderi Ketua Utama
Ki Dharma Sheta menyerahlah untuk mempertang-
gungjawabkan perbuatanmu! Para paderi yang berk-
hianat akan diberi ampun, kecuali bila kalian memang
membandel, akan tahu rasa akibatnya...!"
Setelah menanti sejenak. Tampaknya tak ada
tanda-tanda orang yang keluar dari dalam ruang bawah tanah. Ki Jagur Wedha berfikir sejenak.
"Pintu rahasia cuma ada tiga. Keduanya telah
di jaga oleh Roro Centil dan Bangau Putih. Kini tinggal
satu pintu disudut ruangan yang pasti mereka akan
keluar dari sana...!"
berfikir demikian, kembali Ki Jagur Wedha ber-
teriak keras-keras.
"Hoooiiiii...! Kalau ku hitung sampai tiga, tak
ada yang keluar untuk serahkan diri segera ruangan
bawah tanah akan ku ledakkan...!" Mengancam kakek
tua ini. Lalu lanjutkan dengan berteriak.
"Ketahuilah, pemimpin gerakan kalian si paderi
Ketua Dua, Sapta Dasa Griwa sudah kami kirim ji-
wanya ke Akhirat!"
Agaknya kata-kata ini membawa pengaruh. Ka-
rena segera beberapa paderi berduyun-duyun bersem-
bulan keluar dari satu lantai yang telah bergeser ter-
buka. Segera Ki Jagur Wedha sudah berkelebat ke sa-
na. Sembilan orang paderi tampak masing-masing
memegangi kepalanya, tanpa senjata keluar satu per
satu. Begitu melihat Ki Jagur Wedha segera berjongkok
di atas lantai.
"Semua berkumpul di sana!" Berkata Ki Jagur
Wedha dengan nada membentak. Kesembilan itu cuma
bisa menurut. Dan duduk berjajar dengan menekap
kepalanya masing-masing. Saat itu kakek tua ini ki-
baskan lengan jubahnya. Segera bersyiur angin keras.
Yang membuat kesembilan paderi itu keluarkan kelu-
han. Tahu-tahu mereka jadi terkejut, karena seluruh
tubuhnya telah tak bisa digerakkan lagi, karena telah
terkena totokan dari syiuran angin yang melumpuhkan
anggota tubuhnya. Mereka cuma bisa keluarkan kerin-
gat dingin dengan hati kebat-kebit.
Saat itu di pintu rahasia si Bangau Putih telah
terjadi pertarungan. Karena lima orang paderi telah
mengetahui adanya Bangau Putih didinding ruangan
lorong rahasia. Mereka segera menerjang dengan se-
rentak. Terpaksa Bangau Putih keluarkan jurus Ban-
gau Mematuk. Walaupun ia sudah tak bersenjata lagi,
akan tetapi jurus itu amat hebat. Karena tampak ber-
kelebat bayangan putih berseliweran diantara kelima
paderi di tingkat ketiga ini. Tahu-tahu tubuh mereka
telah terkena totokan lihai si Bangau Putih. Dan den-
gan perdengarkan keluhannya segera roboh terjungkal.
Dengan tiga kali lompatan paderi ini tiba di ruang ba-
gian bawah. Kembali ia menyelinap di sudut ruangan.
Sepasang matanya mengawasi keadaan di dalam ruan-
gan.
Saat itu Roro Centil telah berkelebat ke setiap
ruangan. Tentu saja dengan gerakan hati-hati. Tampak
tiga belas paderi yang rata-rata memakai ikat kepala
pembungkus berwarna hitam. Mereka tengah berem-
buk di dalam ruangan, Keluar takut, berdiam di dalam
pun tak ingin. Roro Centil sudah segera melompat ke
hadapan mereka.
"Hihi hihi... Mengapa kalian tak segera keluar?
Apakah mau mati terkubur di tempat ini...!" Berkata
Roro Centil.
Melengok ketiga belas paderi itu. Menatap Roro
yang memang berpakaian dengan paha tersembul dari
belahan gaunnya.
"Kau siapakah nona...?" Bertanya salah seo-
rang. Roro tersenyum. Lalu menjawab;
"Aku bisa juga dewi penyelamat nyawa kalian.
Akan tetapi bisa juga jadi malaikat pencabut nyawa."
Berkata Roro seraya tarik keluar sepasang senjatanya
si Rantai Genit dari pinggang. Melihat sepasang senja-
ta yang berbentuk lucu itu, mereka jadi melengak. Dan
melototkan mata dengan senyum menyiringai.
Sementara dua orang yang bertubuh jangkung
saling bisik dengan kawannya. Lalu melompat maju ke
hadapan Roro.
"Hm! Nona...! Baiklah kami akan keluar, asal
kau dapat antarkan kami jalan keluar yang selamat.
Aku tak mengetahui keadaan di atas. Bisa-bisa kami
cuma temui kematian. Roro kerutkan alisnya.
"Baiklah! Bersamaku kalian akan aman. Ikuti-
lah aku...!" Seraya berkata Roro Centil balikkan tu-
buhnya untuk segera keluar dari ruangan. Akan tetapi
pada saat itu keempat paderi itu telah menyergapnya
dari belakang. Dua orang mencekal lengan di kanan.
Dan dua orang mencekal di kiri.
Terkejut Roro Centil. Kakinya sudah bergerak
untuk lakukan tendangan. Akan tetapi tiba-tiba dua
orang lagi telah melompat menubruk ke arah kaki.
Dan segera saja lengan-lengan kekar telah berhasil me-
ringkus sepasang kaki Roro.
"Bagus...!" Terdengar satu suara keras di ruan-
gan itu. Dan sesosok tubuh berkelebat. Ternyata Dewi
Rembulan. Cepat bawa ke lorong rahasia!" Teriaknya.
Ia sudah mendahului beranjak kesatu ruangan. Di sa-
na ia gerakkan sebuah alat. Dan segera terbuka satu
lubang besar di dinding. Dalam keadaan tak berdaya,
Roro Centil digotong beramai-ramai memasuki lubang
rahasia itu. Ternyata adalah satu lorong di bawah ta-
nah. Sementara si Dewi Rembulan bertindak cepat
memberi isyarat pada para paderi pengikutnya untuk
memasuki lorong itu. Beberapa belas paderi segera
berlarian memasukinya.
Kemanakah Tugangga...?" Bertanya Dewi Rem-
bulan. Seraya lengannya bergerak menyambar jubah
seorang paderi yang dengan terburu-buru masuk me-
nyusul kawannya.
"Be... beliau ada di ruang wanita...!" Berkata
gagap si paderi itu.
"Gila...! Bukannya lekas bertindak, mengapa
masih enak-enak berada di sana?" Desisnya mendong-
kol. Benak wanita ini bekerja cepat. Lalu bertindak le-
kas menutup kembali ruangan rahasia itu.
"Hm. Ruangan ini adalah satu lorong yang me-
nembus ke luar lereng bukit. Satu-satunya jalan untuk
meloloskan diri! Wanita-wanita sekapan itu tak perlu
diurusi. Mengapa dalam situasi seperti ini Tugangga
tak bertindak cepat....? Berkata Dewi Rembulan dalam
hati. Tapi baru ia mau beranjak untuk berkelebat ke
ruangan paling ujung, telah terdengar bentakkan di
belakangnya.
"Dewi Rembulan...! Kau menyerahlah!" Ternyata
yang membentak adalah paderi Bangau Putih. Wanita
ini segera balikkan tubuhnya.
"Kunyuk tua, kiranya kau turut dalam penyer-
buan ini? Bagus! Kau rasakanlah kematianmu!" Teriak
Sito Resmi. Seraya kelebatkan Jala Suteranya me-
nyambar si Bangau Putih. Paderi tua ini segera pergu-
nakan kegesitannya menghindar. Lolos satu serangan,
segera si Dewi Rembulan sambarkan lagi sebuah lagi
jala sutera.
WUT! WUT! Dua serangan beruntun menyam-
bar. Bangau Putih segera gerakkan tubuhnya bersalto
dua kali di udara. Ia pernah kena dipecundangi wanita
ini, akan tetapi mana mau dipecundangi kedua ka-
linya? Segera ia pergunakan jurus-jurus bangau Putih
mematuk. Kedua lengannya ke tekuk sedemikian rupa
menyerupai kepala bangau. Lalu bergerak menyambar
tubuh si Dewi Rembulan. Tiga serangan berantai dapat
dielakkan wanita itu. Dan segera lindungi tubuhnya
dengan putarkan jala suteranya. Ternyata ia bertarung
sambil mundur. Akalnya yang cerdik telah membuat
perangkap buat si Bangau Putih. Paderi tua ini terus
mencecar dengan Patukan-patukan Bangaunya tanpa
menyadari kalau akan masuk perangkap. Dalam bebe-
rapa jurus saja mereka bertarung, ternyata telah tiba
pada ruangan paling ujung. Saat itulah si Dewi Rem-
bulan berteriak.
"Tugangga...! Bantu aku membunuh Bangau
Tua ini...!" Terkejut Bangau Putih. Sepasang mata pa-
deri ini melirik ke arah pintu kamar yang tertutup.
Dugaannya benar, karena tiba-tiba pintu kamar terbu-
ka. Dan melompat sesosok tubuh yang bertelanjang
dada. Dialah Tugangga. Yang dalam sekejap telah ber-
diri tegak di depan pintu. Tampak pada wajahnya pe-
rasaan mendongkol pada kedatangan orang yang
mengganggunya. Tiba-tiba ia telah cabut sepasang pe-
dang pendek melengkung dari belakang punggungnya.
"Minggir bibi....!" Teriaknya. Dan berkelebatlah
tubuh Tugangga menerjang ke arah si Bangau Putih.
Sepasang pedang Hitamnya berkelebat tak terlihat.
WUK! WUK Dua serangan kilat yang telah kelu-
arkan syiuran angin dingin, membuat si Bangau Putih
hams gulingkan tubuhnya ke lantai. Keringat dingin
mengembun di tengkuk laki- laki tua ini. Tugangga te-
lah beranjak lagi melangkah mendekati paderi ini.
"Heh! Kau telah berhasil lolos dari kematian!
Kini kau hanya antarkan nyawa saja kambing tua...!"
Akhir kata-katanya telah disusul dengan terjangan ki-
lat menabas Sakti Pentang Sayap. Tubuhnya tiba-tiba
melambung ke atas. Sepasang kakinya terpentang, se-
dang lengannya mengibas. Satu angin dahsyat segera
menerjang si manusia Topeng Perunggu itu, yang su-
dah tak memakai lagi topengnya.
Tapi kedua pedang telah diputar bagai baling-
baling untuk menangkis serangan balasan si Bangau
Putih. Segera terjadi bentrokan angin santar. Bangau
Putih terlempar keras ke belakang. Tubuhnya mem-
bentur tembok di belakangnya. Terdengar suara keras,
ketika tembok itu jebol berantakan. Bangau Putih me-
ringis menyeringai menahan, sakit pada punggungnya.
Tampak darah segar menetes keluar dari sudut bibir-
nya. Kiranya tubuhnya telah menjebol ke satu ruangan
lain yang tertutup. Segera terasa ada hawa segar ma-
suk ke tempat itu.
Tugangga menatap pada Dewi Rembulan lalu
berkata;
"Bibi...! Kau bunuhlah dia...! Ia sudah tak ber-
daya!" Kemudian laki-laki itu melompat lagi ke dalam
kamar. Dan menutup daun pintu dengan suara keras.
Sito Resmi kerutkan alisnya. Lagi-lagi tampak bibirnya
cemberut. Namun ia sudah segera menerobos untuk
menerjang si Bangau Putih. Dua serangan dari kedua
Jala Sutera menerjang si Bangau Putih. Hebat terjan-
gan itu, karena kedua Jala sutera itu sekonyong-
konyong telah berubah kaku bagai dua batang tombak.
CRAK...! CRAK...! Bangau Putih perdengarkan teriakan
tertahan. Namun ia masih sempat berguling- guling
menghindari maut lantai batu bekas kedua hantaman
itu tampak hancur berkepingan. Bangau Putih rasakan
tubuhnya lemah lunglai. Akan tetapi lengannya telah
menapak pada batu undakan yang menuju ke ruangan
atas. Kekuatannya timbul lagi. Ia harus menyela-
matkan diri...! Pikirnya. Dan dengan kuatkan tubuh,
segera ia bangkit berdiri. Dan secepat itu juga tanpa
berayal, segera mendaki undakkan batu ke atas, Saat
itu si Dewi Rembulan yang memang sedang mendong-
kol pada Tugangga. Jadi kian bertambah mendongkol,
karena buruannya telah angkat kaki melarikan diri.
Segera ia enjot tubuh melompat untuk mengejar.
Agaknya Bangau Putih sudah tak kuasa mendaki
tangga batu undakan itu. Tubuhnya sudah beberapa
kali tersuruk jatuh. Sedang si Dewi Rembulan sudah
mengejar kian dekat. Kini
jerat suteranya telah kembali meluncur ke arah
tubuhnya. Tak ada tenaga bagi si Bangau Putih untuk
menghindarkan diri lagi .... Namun pada saat itu telah
bersyiur satu angin keras, yang menghantam balik ke-
dua jala sutera. Loloslah si Bangau Putih dari maut.
Sebuah ranting bambu telah menyambar jubahnya.
Dan segera melayang ke atas. Ketika paderi ini buka
matanya, ternyata si Pendekar Gentayangan yang telah
menolongnya.
Melihat serangannya gagal, dan bahkan mem-
buat tubuh si Dewi Rembulan ini terlempar ke bela-
kang, segera wanita ini berbalik lagi menuruni tangga
batu. Lalu berkelebat masuk lagi ke dalam jebolan
tembok. Dari sebelah dalam ia mengintai siapa geran-
gan orang yang bertenaga besar, yang telah mengga-
galkan serangannya.
*****
Segera terlihat sesosok tubuh jangkung, ber-
janggut putih, yang panjangnya dus jengkal. Tanpa
kumis. Rambutnya digelung di atas kepala yang ter-
bungkus kain sutera hitam. Berjubah bertambalan
dengan bermacam warna. Seketika piaslah wajah si
Dewi Rembulan. Akan tetapi sinar matanya meman-
carkan dendam yang berkobar-kobar pada Ki Jagur
Wedha. Karena orang itulah yang telah membunuh su-
aminya. Padahal bagi manusia yang berakal budi, ten-
tulah mengetahui sebab-sebab kematian sang suami.
Yang nyata-nyata ada di jalur jalan sesat. Kalau harus
terbunuh adalah lumrah, karena kejahatan sang sua-
mi sudah melebihi takaran. Karena selain menjadi ke-
pala perampok yang kejam. Entah berapa nyawa orang
tak berdosa yang telah diambil hartanya dan dibunuh
pemiliknya. Tetapi wanita ini mana mau tahu urusan
itu? Bahkan dendamnya telah ia simpan di dada lak-
sana api dalam sekam. Kini ia cuma mengandalkan
Tugangga, yang bisa ia mintai pertolongan. Bukankah
PETIR DAHANA adalah paman Tugangga...? Pikir si
Dewi Rembulan. Kalau mereka berdua bertarung den-
gan maju bersama, tak mungkin si Pendekar Gen-
tayangan akan bisa mempertahankan nyawanya. Apa
lagi Tugangga telah menguasai Dua Belas jurus Ilmu
Pedang dari Sepasang Pedang Siluman...! Demikian pi-
kir si Dewi Rembulan dalam benaknya. Memikir demi-
kian, ia telah berkelebat ke muka pintu kamar. Di ma-
na Tugangga berada di dalam. Karena waktu mende-
sak, terpaksa ia terjang daun pintu hingga terbuka.
Sekelebat ia melihat adegan yang membuat sepasang
matanya membeliak. Akan tetapi cuma beberapa detik
saja.... Karena tiba-tiba telah membersit serangkum ja-
rum menyambar tubuhnya. Serangan tak terduga itu
mimpi pun tidak si Dewi Rembulan. Segera saja ia te-
lah keluarkan jeritan menyayat hati. Tubuhnya ter-
jengkang ke belakang. Dan berkelojotan. Sepasang ma-
tanya mendelik menatap Tugangga yang juga tengah
menatap padanya dengan terkesiap.
"Kkka... kau...kau...?!...Mmemm... bunuh...
ku... Bbo... ddoh... h..hh..." Hanya kata-kata terputus
itu yang ia dapat ucapkan. Karena sekejap kemudian,
tubuhnya telah terkulai. Tapi sekejap kembali bergelin-
jangan sekarat. Lidahnya terjulur dengan sepasang
mata membeliak putih. Setelah mengerang parau, ba-
rulah hembuskan nafas penghabisan. Sebentar saja
tampak wajahnya telah berubah kehitaman. Dan bela-
san jarum beracun telah menancap di sekujur tubuh-
nya.
Adapun Tugangga seperti tak percaya pada
penglihatannya. Karena disangkanya yang menerjang
daun pintu adalah musuh yang memang sedang ia
tunggu. Tak tahunya adalah bibinya sendiri, si Dewi
Rembulan, alis Sito Resmi. Tentu saja wajah laki-laki
ini jadi berubah pias karena terkejut. Tugangga me-
mang seorang laki-laki yang berani. Dalam keadaan
demikian gawat, ternyata masih sempat menggauli
seorang gadis. Birahinya yang telah disimpan selama
dua tahun dalam Penjara Besi, ternyata telah diumbar
keluar semaunya. Gadis di pembaringan itu adalah ga-
dis tawanan yang baru didapatnya semalam. Dalam
saat menjelang pagi ternyata Tugangga belum mampu
menundukkan hati sang gadis. Karena Tugangga me-
mang inginkan kewajaran. Bukan pak-
saan...Seandainya ia mau memaksa. Amatlah mudah
baginya melakukan apa saja. Akan tetapi laki-laki ber-
watak aneh ini telah mulai hilang kesabarannya. Rasa
jengkel pada sang gadis telah membuat ia segera me-
notoknya. Akan tetapi keinginan yang belum kesam-
paian itu telah terganggu dengan teriakan-teriakan da-
ri luar, dan kepanikan di dalam ruangan bawah tanah.
Namun Tugangga tetap tak beranjak dari kamarnya.
Ketika akhirnya terdengar suara pertarungan. Dan te-
riakan si Dewi Rembulan. Terpaksa ia buka daun
pintu. Serta umbar amarahnya pada si Bangau
Putih. Akan tetapi Bangau Putih dapat mematahkan
beberapa serangannya. Hingga terakhir beradanya dua
angin keras bertenaga dalam. Dan paderi Bangau Pu-
tih terlempar tubuhnya menjebol dinding ruangan di
sebelahnya. Melihat si Bangau Putih sudah terluka da-
lam, Tugangga perintahkan Dewi Rembulan membu-
nuhnya. Tak dinyana, kalau si Bangau Putih justru
dapat meloloskan diri dari maut. Dan ia memang tak
menyangka kalau yang menerjang daun pintu kamar
adalah sang bibi sendiri. Hingga berakhir dengan ke-
matian si Dewi Rembulan.
Hal tersebut membuat Tugangga jadi menyesal
setengah mati. Hingga saking kesalnya, ia telah tebas
leher si gadis yang mau di nodainya itu dengan pe-
dangnya. Darah segar muncrat berhamburan. Gadis
tanpa busana itu tewas mengerikan, tanpa dapat ber-
teriak lagi. Detik selanjutnya ia telah sambar jubahnya
untuk dikenakan dengan cepat. Lalu melompat ke su-
dut ruangan. Telinganya telah mendengar ada seseo-
rang mendekati tembok berlubang bekas tempat jebol-
nya si Bangau Putih.
Sementara itu rombongan para paderi yang
menyusuri lorong dalam ruang bawah tanah, hampir
tiba ke tempat tujuan. Roro Centil bagaikan boneka
kayu saja di gotong beramai-ramai meniti lorong.
Hampir tiga puluh paderi berbondong-bondong me-
nyusuri lorong gelap yang panjang itu. Sementara si
gadis pendekar ini tetap seperti tak berdaya. Salah seo-
rang yang berada paling depan telah berkata dengan
suara agak keras. Tentu saja suaranya terdengar sam-
pai ke belakang, berkumandang dalam lorong.
"He! Kawan-kawan...! Ujung lorong ini tinggal
sedikit lagi. Kita akan segera bebas sampai di luar. Kita
telah berbuat kesalahan. Dan kalian tahu, dengan kita
menyerahkan diri pada Ketua, berarti akan mendapat
hukuman berat. Jadi jalan sebaik-baiknya adalah kita
melarikan diri....!" Selesai ucapannya telah terdengar
riuh tanda mereka menyetujui.
"Bagaimana dengan gadis ini...? Apakah tidak
sebaiknya kita manfaatkan saja di tempat ini? Sayang
kalau kita tinggalkan. Atau kita bunuh saja setelah
masing-masing mendapat bagian...! Setujukah...?"
"Setuju...! Setuju...!1" Teriak beberapa orang
yang berada di belakang. Akan tetapi ada juga yang
menyahuti.
"Aku tak setuju...! Kita sedang dalam keadaan
gawat. Nyawa kita saja belum ketahuan. Mengapa harus mengumbar nafsu demikian? Ban aku jalan untuk
pulang kembali!" Teriak seorang yang berada di tengah.
Paderi ini masih berusia muda. Selesai berkata ia telah
menyeruak ke belakang untuk kembali ke lorong se-
mula.
"Bodoh....!" Teriak beberapa paderi. Akan tetapi
tanpa menghiraukan teriakan, ia telah menyeruak un-
tuk kembali kebagian belakang lorong.
"Tunggu...! Kami ikut...!" Berteriak salah seo-
rang yang berada dibagian belakang. Dan segera enam
orang telah buyar untuk menyusui paderi yang seo-
rang ini.
"Bagus! Kita harus bersikap ksatria! Kita telah
membuat kesalahan! Seandainya tidak di bunuh-pun
sudah bagus. Lebih baik kita menyerah! dan mengakui
kesalahan...! Mengenai hukuman yang bakal dijatuh-
kan Ketua pada kita adalah urusan nanti. Walaupun
berat, mengapa kita tak rela menerima...?" Berkata pa-
deri muda itu dengan gagah. Mendengar demikian
tampak beberapa paderi mulai sangsi untuk terus me-
larikan diri. Akhirnya beberapa paderi kembali putar
tubuh, untuk kembali ke arah belakang.
"Kami ikut...! Kami akan menyerahkan diri!" Te-
riak salah seorang. Dan lebih dari dua belas paderi se-
gera berhamburan ke belakang menyusul yang lain-
nya. Hingga belakangan tinggal delapan paderi saja
yang tetap berpendirian salah. Bahkan salah seorang
telah berkata;
"Bagus...! Lebih sedikit, lebih baik! Kini siapa
yang berani lebih dulu untuk menundukkan wanita
ini...! Aku Durgala adalah orang pertama yang punya
rencana ini, jadi aku yang berhak menjamah tubuh
gadis ini terlebih dulu! Selainnya boleh belakan-
gan...!1" Keempat orang yang mencekal anggota tubuh
Roro Centil segera meletakkan tubuh itu ke bawah,
tanpa melepaskan cekalannya. Sementara dua orang
lagi coba melepaskan sepasang senjata Roro, dari ke-
dua genggaman tangan. Akan tetapi kerasnya bukan
main. Durgala melangkah ke depan, seraya menotok
tubuh Roro pada dua tempat di pangkal lengan. Akan
tetapi tetap saja senjata itu tak dapat terlepas dari
genggaman tangan.
"Sudahlah biarkan saja. Kami akan mencekal
kaki dan tangannya! Silahkan kau bekerja...!" Berkata
seorang paderi yang mencekal kaki Roro.
Sepasang mata pendekar wanita ini masih ter-
katup kelopak matanya. Sementara Durgala telah le-
paskan jubahnya. Sepasang matanya berbinar melihat
paha yang tersingkap. Sepasang kaki yang terpentang,
dan tubuh yang padat gempal membuat nafsu seriga-
lanya seperti sudah tak tertahankan. Akan tetapi pada
saat lengannya mau menjamah payudara gadis pende-
kar itu, tiba-tiba Roro buka kelopak matanya. Bibirnya
tersenyum dan tiba-tiba tertawa mengikik. Sehingga
Durgala urungkan niatnya.
"Hi hi hi... kau belum siap, mengapa sudah tak
sabar? Sebaiknya kau siapkan dulu dirimu?" Berkata
Roro. Melengak paderi ini. Tapi segera tertawa menye-
ringai.
"He he he... betul! Aku terburu buru...!" "Aiii...!
Tak ku sangka aku akan mendapat pelayanan yang is-
timewa darimu, nona manis...!" Seraya berkata ia telah
bangkit berdiri untuk meniadakan sesuatu yang men-
jadi penghalang. Akan tetapi terkejut keempat orang
yang mencekal kaki dan tangan Roro, karena tiba-tiba
tubuhnya melambung ke atas bagai disentakkan satu
tenaga kuat sekali. Dan terdengarlah empat jeritan
menyayat, berbareng dengan suara berderaknya tulang
yang remuk terhantam batu di atas lorong.
PROK! PROK! KRAAK! KREKK! Dan disusul
dengan berjatuhannya keempat paderi itu kembali ke
bawah. Namun detik itu Roro Centil telah gulingkan
tubuhnya menyambar kaki Durgala yang segera ter-
banting ke tanah. Tentu saja jatuhnya tubuh Durgala
berbarengan dengan jatuhnya keempat paderi tadi. Be-
lum lagi Durgala sadar akan apa yang terjadi, tahu-
tahu tengkuknya telah disambar lengan Gadis Pende-
kar ini.
Kini dilihatnya keempat kawannya yang tadi
memegangi tangan dan kaki si gadis, tengah berkelojo-
tan bagaikan ayam yang baru disembelih. Tak lama
kemudian keempat paderi sial itupun tewas dengan tu-
lang-tulang hancur. Termasuk batok kepala yang pe-
cah berantakan. Melihat kejadian mengerikan yang se-
kejap mata itu, ketiga paderi yang lainnya segera ba-
likkan tubuh melarikan diri. Namun Roro Centil mana
mau mengampuni mereka. Segera saja lengannya ber-
gerak. Dan tubuh Durgala tiba-tiba meluncur dengan
deras ke arah mereka. Tak ampun lagi bertumbangan-
lah ketiga paderi itu, dengan teriakan-teriakan menge-
rikan. Tenaga lemparan Roro Centil ternyata telah
mempergunakan lebih dari separuh tenaga dalamnya.
Hingga tubuh-tubuh ketiga paderi terlempar bergulin-
gan. Dengan derak dari tulang-belulang yang patah.
Dan jerit kesakitan yang menyayat hati.
"Hlhi hihi hi hi... Baru kalian rasa, manusia-
manusia terkutuk...!" Roro beranjak tinggalkan mereka
untuk kembali berlari dalam terowongan menyusui
paderi-paderi lainnya yang akan menyerahkan diri.
Ternyata mereka tak dapat membuka pintu te-
rowongan. Karena alat penggerak berada di dalam.
Dan telah ditutupkan lagi oleh si Dewi Rembulan.
Melihat kedatangan Roro, mereka terkejut ka-
rena gadis itu telah dapat melepaskan diri. Sadarlah
mereka akan apa yang terjadi dengan nasib kawan
kawannya yang telah mengumbar nafsu hingga mem-
buat celaka sendiri.
"Ampunkan nyawa kami, nona Pendekar...!
Kami menyerah, dan akan serahkan diri pada Ketua
Kuil untuk menerima hukuman...!" Berkata salah seo-
rang dengan suara gemetar.
"Bagus...!! Minggirlah! Biar aku yang membuka
pintu untuk kalian bisa keluar dari lorong ini...!" Sege-
ra Roro langkahkan kaki ke depan, para paderi me-
nyingkir. Dan terdengarlah suara berderak keras.
Dinding batu penutup lorong hancur berkepingan. Ke-
tika lengan Roro bergerak menghantamnya.
Lebih dari dua puluh pasang mata paderi mu-
rid-murid Kuil Istana Hijau itu jadi terbeliak menatap
kagum akan kehebatan tenaga dalam Roro. Serentak
mereka berhamburan keluar. Pada saat itu di tempat
ruangan ini tengah terjadi pertarungan hebat antara Ki
Jagur Wedha dengan Tugangga. Roro Centil meman-
dang sejenak pada pertarungan. Juga para paderi-
paderi murid Kuil Istana Hijau ini jadi menonton perta-
rungan seru itu. Namun Roro Centil segera berkata;
"Kalian semua teruskan naik ke atas, berkum-
pul dengan yang lainnya...!" Serentak para paderi itu
dengan dipimpin paderi muda, berbaris menuju ke
ruang atas, dengan meniti tangga batu undakan. Di
belakang mereka adalah Roro Centil. Begitu kepala
mereka bersembulan ke atas, segera telah melihat
adanya sesosok tubuh berdiri di dekat lubang bawah
tanah. Siapa lagi kalau bukan Ki Dharma Sheta.
Ketua Kuil Istana Hijau. Serentak saja mereka
jatuhkan diri berlutut, dengan memegangi kepalanya,
seraya beberapa orang telah menangis tersedu.
"Guru...! Ampunilah kesalahan kami, yang te-
lah kena bujukan iblis, hingga mau mengkhianati
sumpah paderi...! Berikanlah hukuman pada kami...!"
Berkata si paderi muda, mewakilkan yang lainnya.
Seorang paderi yang bertubuh jangkung telah menan-
gis tersedu-sedu, dengan berlutut di hadapan paderi
Ketua Kuil itu.
"Benar, Guru...! Asalkan Guru ampuni nyawa
kami, biar menerima hukuman seberat apapun... akan
kami jalani!" Berkata paderi jangkung ini dengan wajah
pucat pias. Akan tetapi wajahnya membersitkan jiwa
ksatria, yang mau mengakui kesalahannya. Ki Dharma
Sheta mengelus jenggotnya, lalu menyapu dengan
pandangan tajam pada semua paderi muridnya. Wa-
jahnya membersitkan kemarahan yang luar biasa. Tu-
buhnya tergetar menahan gejolak darahnya yang men-
didih. Betapa bimbingannya selama ini telah seperti
tiada artinya. Akan tetapi selang sesaat, kemarahan
hatinya mulai mereda. Terdengar ia menghela nafas,
dan berkata;
"Semua manusia mempunyai kesalahan...!"
Ujarnya dengan pandangan mata menatapi keluar
Kuil. Dan lanjutkan lagi kata-katanya...
"Akan tetapi kesalahan itu tidak boleh terulang
lagi! Aku menghargai jiwa ksatria kalian yang mau
mengakui kesalahannya! Berjanjilah untuk tidak men-
gulangi segala perbuatan yang tidak terpuji ini...!"
"Kami berjanji Guru...!" Serentak bersama-sama
para paderi itu mengucapkan janji sumpahnya beru-
lang ulang sampai tiga kali. Saat itu Roro Centil sudah
berkelebat lagi menuruni undakan batu. Hatinya ter-
cekat melihat pertarungan hebat di ruangan bawah
Kuil. Ia mengkhawatirkan nasib si Pendekar Gentayan-
gan yang tengah bertarung dengan Tugangga.
Sementara itu pertarungan tengah berjalan se-
ru.... Tugangga tengah lancarkan jurus keenam dari 12
jurus andalannya, dari jurus istimewa Sepasang Pe-
dang Siluman. Ternyata Ki Jagur Wedha menghada
pinya cuma dengan sebuah ranting bambu kecil. Hal
mana membuat Roro melengak. Karena saat ia me-
nyaksikan, betapa ranting bambu itu mampu menang-
kis tajamnya mata pedang. Bahkan belum lagi me-
nyentuh ranting, sepasang pedang di tangan Tugangga
telah terpental balik. Akan tetapi Tugangga telah main
kan jurus-jurus yang membingungkan lawan. Karena
kilatan pedangnya hampir tak kelihatan saking cepat-
nya.
Tampak pada jurus kedelapan ini, Tugangga
merubah gerakan sepasang pedang. Kini kedua mata
pedang mengarah ke kaki. Berkali-kali Ki Jagur Wedha
terpaksa gunakan rantingnya untuk menangkis. Diser-
tai terkadang melompat menghindar. Akan tetapi dice-
car sedemikian terus-menerus, tampaknya orang tua
ini semakin lemah tenaganya. Ditambah usia yang su-
dah amat lanjut. Nafasnya terdengar menggeros. Wa-
laupun ia mempunyai tenaga dalam yang hebat, na-
mun lambat laun akan habis tenaganya.
Hingga kali ini ranting bambunya tak lagi
mampu menangkis mata pedang. Segera ranting senja-
tanya putus. Melihat tenaga dalam lawan telah men-
gendur. Tugangga girang hatinya. Tiba-tiba ia mem-
bentak keras. Dan pergunakan jurus kesembilan. Ju-
rus ini dinamakan jurus Setan Hitam Menyambar
Mangsa. Kedua pedangnya sekonyong-konyong seperti
lenyap terbungkus kabut hitam, yang berseliweran
dengan mengeluarkan hawa dingin. Sepasang mata Ki
Jagur Wedha memang sudah kurang awas. Apa lagi
bertarung dalam ruangan yang tidak begitu terang.
Hingga ia cuma mengandalkan pendengaran dan nalu-
rinya saja. Saat itu tiba-tiba ia berteriak tertahan, se-
raya lompat bergulingan. Akan tetapi tetap saja ujung
sepasang pedang telah memapas putus ujung jubah-
nya.
SRET! SRET! Melayang dua potong ujung ju-
bahnya yang bertambalan bermacam warna itu, nyaris
saja sebelah kaki dan sebelah lengannya terpapas pu-
tus.
"Hebat...! Jurus yang luar biasa...!" Teriak Ki
Jagur Wedha. Secepat kilat ia telah melompat berdiri
lagi. Tugangga tertawa mengejek. Sebuah senjatanya
dipakai menunjuk kakek tua itu.
"Hei! Pendekar Gentayangan...! Kini saatnya
kau benar-benar bergentayangan arwahmu di alam
Akhirat! Kau telah menewaskan paman ku PETIR DA-
HANA. Dan kini saat hutang jiwa harus dibayar lagi
dengan jiwa...! Aku adalah keponakannya yang akan
membalaskan kematian paman ku...!" Berteriak Tu-
gangga dengan sepasang mata menyorot tajam seolah
mau menembus jantung Ki Jagus Wedha. Akan tetapi
sang kakek yang telah berusia 100 tahun ini cuma ter-
tawa hambar.
"Heh heh heh... Pamanmu seorang kepala pe-
rampok yang kejam, dan telah banyak membunuh
orang tak berdosa! Kematiannya pun belum bisa me-
nebus dosanya. Kini kau justru mau memberatkan do-
sa pamanmu pula. He he he... Kalau nyawaku sih me-
mang sudah kujual murah. Asal kau sanggup membe-
linya! Tapi kau lihat di belakangmu. Apakah kalau aku
dapat kau bunuh sebagai pelampiasan dendam mu,
kau dapat selamatkan diri...? Dara cantik itu mana bi-
sa mengampuni nyawamu...? He he he..." Ujar Ki Jagur
Wedha seraya kembali tertawa terkekeh-kekeh.
Sementara Tugangga telah palingkan kepalanya
untuk melihat ke belakang. Segera sepasang matanya
beradu tatap dengan Roro Centil. Gadis Pendekar ini
mengerling si Pendekar Gentayangan dengan terse-
nyum. Lalu berkata;
"Aiii...! Kakek Pendekar Gentayangan...! Siapa
yang mau membiarkan kau mati dibunuh manusia ta-
hanan ini...? Siang-siang pun aku akan sudah dapat
membekuknya, untuk diserahkan pada paderi Ketua
Kuil Istana Hijau. Demi mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Sepasang Pedang Siluman yang palsu
itu rupanya belum kenyang menghirup darah para pa-
deri. Kini sudah mau dipakai lagi membantai orang!"
Ki Jagur Wedha jadi tertawa lagi.
"He he he...benar Roro Centil! Kalau aku mam-
pus duluan, siapa nanti yang akan jadi mertua mu?
Lebih baik kau ringkus saja dia cepat-cepat calon me-
nantuku...!" Wajah Roro Centil seketika jadi merah da-
du. Akan tetapi ia sudah segera melompat ke hadapan
Tugangga. Adapun laki-laki ini jadi melengak ketika
Roro mengatakan bahwa sepasang Pedang Siluman
yang ada padanya adalah yang palsu. Segera ia sudah
ajukan pertanyaan.
"Eh, nona! Agaknya kau yang berjulukan si
Pendekar Wanita Pantai Selatan! Bagus! Aku bisa ken-
al dengan orangnya. Ingin ku lihat kehebatan sepasang
senjatamu yang aneh itu. Akan tetapi aku ada perta-
nyaan .Mengapa kau katakan Sepasang Pedang Silu-
man di tanganku adalah senjata yang palsu?" Menden-
gar pertanyaan itu Roro cuma tersenyum. Lalu dengan
sikap seperti tak memandang mata pada laki-laki itu,
ia menyahuti.
"Benar! Bisanya kukatakan demikian, karena
yang asli ada di tanganku. Kudapatkan dari paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa, yang sebenarnya bernama
TUN PARERA. Bukankah sepasang pedang itu milik-
nya? Tun Parera telah lama menguntit mu, sejak sepa-
sang pedang pusaka itu kau curi dari Rumah Pergu-
ruan TRI MUKTI. Saat kau dipenjarakan, dia telah ber-
hasil mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu
aku sembunyikan. Dan dengan tanpa kesukaran, ia
berhasil mendapatkannya kembali dari dalam arca
Budha yang telah dikorek bagian bawahnya dari ruang
bawah tanah. Kemudian telah menggantinya dengan
yang palsu. Benda itu sengaja dibuat seperti aslinya.
Jadi bukankah yang kau miliki itu adalah Sepasang
Pedang Siluman yang palsu...?" Ujar Roro Centil men-
jelaskan.
Akan tetapi penjelasan itu justru membuat Tu-
gangga jadi tertawa terbahak-bahak saking gelinya.
Tentu saja membuat Roro dan Ki Jagur Wedha jadi ke-
rutkan alis tak mengerti. Dan disela tawanya itu, Tu-
gangga telah berkata;
"Ha ha ha... Kalau begitu yang tolol adalah si
Tun Parera. Ia sudah bisa menyaru menjadi paderi un-
tuk mengambil kembali Sepasang Pedang Siluman.
Lantas berniat lagi menguasai Kuil istana Hijau. Dia
tak tahu kalau sebelumnya aku tidak bodoh. Justru
yang ku sembunyikan di dalam arca Budha itulah
yang palsu. Seandainya ia memalsukan lagi, dengan
membuat duplikatnya, tentu di saat ini ada tiga pasang
Pedang Siluman di Rimba Persilatan. Ha ha ha... Sepa-
sang Pedangku ini justru yang aslinya! Kalau kau ingin
kubuktikan, kau lihatlah...!" Seraya berkata, Tugangga
telah kerahkan tenaga dalamnya pada sepasang pe-
dang. Diam-diam Tugangga telah mainkan pada jurus
kesepuluh dan sebelas, dari 12 jurus Sakti Sepasang
Pedang Siluman. Tampak sepasang lengannya bergetar
hebat. Satu pedang ujungnya ditujukan ke langit-
langit ruangan. Satu lagi ke arah samping, di mana
terdapat tembok tebal pembagi ruangan. Getaran se-
pasang lengannya semakin keras. Ketika tiba-tiba ke-
dua lengan Tugangga telah bergerak memutar, seperti
membuat lingkaran. Satu di atas langit-langit. Satu la-
gi di samping kirinya.
Pendekar Gentayangan dan Roro Centil menatap tak berkedip. Selang sesaat, tiba-tiba terdengar
bentakan keras Tugangga. Lingkaran pedang di samp-
ing kiranya secara mendadak diarahkan pada Ki Jagur
Wedha. Disertai bentakan keras menggeledek. Sege-
lombang tenaga yang tak kelihatan tiba-tiba telah me-
nerjang kedua arah. Terdengar suara tembok yang
ambrol. Pendekar Gentayangan telah berlaku ayal, ka-
rena tak menduga. Cuma tahu-tahu ia rasakan gore-
san sinar yang membuat sepasang kakinya menjadi
perih. Beruntung ia segera jatuhkan diri bergulingan.
Akan tetapi laki-laki tua itu sudah berteriak ngeri, ka-
rena sepasang kakinya telah tertabas putus. Dan ber-
samaan dengan membersitnya sinar pedang Siluman
yang telah menjebolkan tembok di belakangnya. Ada-
pun Roro Centil cuma ternganga melihat dinding lan-
git-langit ruangan itu tiba-tiba ambrol berbentuk ling-
karan. Pada saat itu pula tubuh si manusia Topeng Pe-
runggu telah melesat ke atas lubang. Terkesiap Roro
Centil. Segera ia sudah palingkan kepala melihat ke
arah Ki Jagur Wedha. Laki-laki tua ini tengah bergu-
lingan bersimbah darah. Dengan mengerang hebat. Ki-
ranya sepasang kakinya telah putus sebatas lutut.
"Kakeeeek...!" Berteriak Roro Centil. Dan segera
ia sudah memburu Pendekar Tua itu. Belum lagi Roro
sempat berfikir, telah terdengar suara keras lagi. Ki-
ranya tembok langit-langit kembali berhamburan ke
bawah dengan berlubang besar di beberapa bagian di
sekelilingnya.
"Cepat! Selamatkan dirimu.. ! Jangan hiraukan
diriku...!" Teriak Ki Jagur Wedha dengan wajah pucat.
Akan tetapi mana Roro mau biarkan sang kakek ter-
kubur di ruangan bawah tanah itu? Segera ia sambar
tubuh si Pendekar Tua, dan sebelah lengannya menje-
bol dinding. Begitu ia melompat masuk. Ruangan tadi
telah roboh bergemuruh.
"Ha ha ha... ha ha ha... Mampuslah kalian para
Pendekar sombong!" Terdengar teriakan Tugangga di-
antara derak gemuruh tembok langit-langit yang jebol
dengan suara gaduh. Debu mengepul membuat pan-
dangan menjadi samar. Roro Centil mencari akal un-
tuk dapat loloskan diri dari kurungan tembok di ruan-
gan bawah tanah itu. Sementara Tugangga tak hen-
tinya menyerang dari atas.
Dalam keadaan gawat itu, Roro Centil teringat
akan si Tutul, Harimau setianya. Segera ia perintahkan
untuk menampakkan diri,
"Tutul! Tumpaslah manusia keji itu!" Teriak Ro-
ro Centil. Menggeram si Harimau Tutul yang bertubuh
hampir sebesar kerbau itu. Dan bagaikan angin telah
melompat menerjang ke atas. Saat itu Tugangga ten-
gah tertawa terbahak-bahak dengan sambarkan Sinar
senjatanya. Ketika tiba-tiba terdengar geraman sang
harimau di belakangnya. Tahu-tahu ia telah rasakan
tengkuknya dicengkeram kuku-kuku yang tajam.
Meronta laki-laki ini dengan berteriak parau.
Sepasang pedangnya menebas ganas ke tubuh sang
harimau Tutul. Terdengar suara menggeram. Sang ha-
rimau Tutul ternyata telah lepaskan cengkeramannya.
Merasa sepasang pedangnya amat bertuah, Tugangga
pasang wajah sinis. Tiba-tiba berkelebat melompat un-
tuk menjauh dengan beberapa kali
lompatan hingga ia telah berada di halaman
Kuil. Saat itu sang Ketua Utama Kuil Istana Hijau telah
melompat ke hadapannya Sedang paderi-paderi mu-
ridnya cuma bisa memandang dengan mata membeliak
tak berkedip.
"Penipu busuk...! Kau harus pertanggungja-
wabkan perbuatanmu!" Teriak Ki Dharma Sheta seraya
menarik keluar tasbihnya. Tugangga tertawa menyeringai.
"Ha ha ha... Paderi Ketua! Sebenarnya aku tak
mencampuri urusan tentang pengkhianatan para pa-
deri, yang dipimpin oleh Sapta Griwa! Aku cuma num-
pang sembunyi di Kuil mu...!"
"Akan tetapi kau telah melakukan pembantaian
pada para paderi...!" Teriak Ki Dharma Sheta. Wajah-
nya menampilkan kegusaran pada laki-laki di hada-
pannya. Tiba-tiba Tugangga kembali tertawa berkaka-
kan, seraya ujarnya;
"Ha ha ha... Kemanakah gerangan si paderi Ke-
tua Dua, Sapta Dasa Griwa? Dialah yang telah memin-
jam tanganku untuk kepentingannya. Aku sendiri
memang tak menyangka kalau dia adalah TUN PARE-
RA, si Pemilik Sepasang Pedang Siluman yang telah ku
curi!"
"Orangnya telah tewas! Walau bagaimana kau
tetap bersalah besar! Karena secara utuh kaulah yang
telah lakukan pembantaian itu...!" Berkata Ki Dharma
Sheta dengan nada dingin. Pada saat itu terdengarlah
suara seorang wanita dibarengi dengan melompatnya
sesosok tubuh ramping. Kiranya Roro Centil.
"Akulah yang telah membunuhnya...!" Berkata
Roro dengan menatap tajam pada laki-laki di hada-
pannya. Sementara itu, Ki Jagur Wedha tengah dike-
rumuni oleh para paderi yang telah memberikan perto-
longan pada laki-laki tua itu. Diantaranya terdapat ju-
ga si Bangau Putih. Kiranya Roro Centil berhasil keluar
dari ruang rahasia di bawah tanah dengan memondong
tubuh Ki Jagur Wedha. Yang muncul di lubang terbu-
ka dekat para paderi murid-murid Kuil yang tengah
berkumpul. Segera saja mereka memberi pertolongan,
diantaranya terdapat juga si Bangau Putih.
Selanjutnya telah melompat ke hadapan si ma-
nusia Topeng Perunggu, alias TUGANGGA. Tentu saja
mendengar pengakuan gadis itu, Tugangga jadi melengak. Akan tetapi kembali perdengarkan tertawanya.
"Ha ha ha... Bagus! Bagus...! Kalau orangnya
sudah mampus, ya sudah! Aku sebenarnya enggan
meneruskan pertarungan. Cuma gara-gara kalian yang
datang menyerbu, aku telah kehilangan bibiku si Dewi
Rembulan. Yang membuat aku terkecoh tak lain si
pembunuh paman ku itu. Yaitu si Pendekar Gentayan-
gan! Ha ha ha...Biarlah kelak kapan-kapan aku akan
membunuhnya! Pelajaran dariku itu cukup menjadi-
kan peringatan baginya...!" Seraya berkata Tugangga
melirik pada Ki Jagur Wedha yang tengah meringis
menahan sakit pada kedua kakinya yang putus, telah
dibalut oleh para paderi.
Ki Dharma Sheta terkejut juga melihat keadaan
sahabatnya itu. Tiba-tiba dengan mendengus geram ia
berkata;
"Tugangga...! Kau tak bisa meloloskan diri lagi.
Hukumanmu kini adalah Kematian!". Seraya berkata
paderi Ketua ini telah menerjangnya dengan hantaman
telapak tangan bertenaga dalam. Sedang tasbihnya
berkelebat menyambar leher. Akan tetapi Tugangga te-
lah keluarkan jurus ke 12 dari Sepasang Pedang Silu-
man. Sinar hitam berkelebat menyambar ke arah Ki
Dharma Sheta. Terkejut paderi Ketua ini. Akan tetapi
pada saat itu berkelebat Roro Centil menangkis dengan
senjatanya si Rantai Genit.
WHUK! WHUK! Asap hitam terpental balik
menghantam ke arah si penyerangnya. Terkejut Tu-
gangga. Untung ia cepat lompat bergulingan. Kiranya
Roro pergunakan Jurus Ikan Hiu balikkan ekor. Selan-
jutnya Roro Centil sudah putarkan sepasang senja-
tanya untuk menerjang ke arah Tugangga. Laki-laki ini
terkejut ketika rasakan hawa panas menerjangnya.
Suara bagaikan ratusan bahkan seperti ribuan tawon
yang mengamuk meluruk ke arahnya. Namun dengan
gerakan kilat sepasang pedangnya telah menabas. Ro-
ro Centil terkejut. Beruntung ia segera tarik serangan-
nya dengan pergunakan langkah "Bidadari Mabuk Ke-
payang".
Seraya mengelakkan serangan pedang, Roro
Centil telah pergunakan rambutnya memukul ke arah
kepala Tugangga. Sambaran tak terduga itu membuat
laki-laki tahanan itu terkesiap. Segera ia berjumpalitan
di udara, dengan bersalto sejauh tiga tombak. Kini se-
pasang pedangnya bergerak melingkar. Roro Centil cu-
kup faham. Sepasang matanya mengawasi kemana
arah ujung pedang menghadap. Sementara ia telah ke-
rahkan tenaga dalamnya pada kedua lengan. Tampak
tiba-tiba sepasang bandulan si Rantai Genit jadi me-
merah bagai bara api. Saat itu segulung sinar hitam ti-
ba-tiba membersit ke arah Roro. Sedang segulung lagi
dengan tak terduga telah meluncur ke arah Ki Dharma
Sheta. Terkesiap paderi Ketua itu. Tasbihnya segera
dipakai memapaki serangan. Akan tetapi seketika itu
juga untaian tasbih hancur luluh.
Sinar hitam terus meluncur menghantam tiang
penyangga ruangan depan Kuil, yang seketika patah
berderak. Beruntung tidak menjadikan robohnya tiang
panglari. Karena masih ada tiga tiang lagi yang me-
nyangga.
Adapun si Ketua Kuil Istana Hijau terpaksa ja-
tuhkan diri bergulingan menghindari serangan dahsyat
yang aneh itu. Sedangkan Roro Centil begitu melihat
serangan, segera memapaki dengan senjatanya. Terse-
nyum Tugangga, Karena itulah jurus terakhir dari 12
Jurus sinar hitam Sepasang Pedang Siluman yang luar
biasa. Jangankan senjata terbuat dari besi. Walaupun
dari baja sekalipun akan hancur luluh terkena sinar
hitam yang dahsyat itu.
Akan tetapi Roro Centil memang bernasib baik,
karena tiba-tiba telah membersit sebuah sinar merah
yang menyala. Itulah sinar dari batu itu telah menyala.
Itulah sinar dari batu cincin Merah Delima, warisan
Gurunya. Tanpa sengaja sinar dari batu itu telah me-
nyala, akibat Roro salurkan tenaga dalam pada len-
gannya. Begitu kedua sinar beradu, terdengarlah suara
keras... bagaikan api tersiram air.
BHUSSSSH...! Roro Centil terhuyung tiga tin-
dak. Sedangkan Tugangga terhuyung lima tindak. Tu-
buhnya tampak bergetar bagai diserang kekuatan
aneh, yang membuat tulang-tulang tubuhnya terasa
lumpuh. Sedangkan sepasang pedang di kedua len-
gannya tiba-tiba lenyap jadi segumpal asap hitam yang
membubung.
Terbeliak sepasang mata laki-laki ini. Juga Roro
Centil menatap kejadian itu seperti tak masuk akal.
Saat itu terdengar suara Harimau mengaum dahsyat.
Dan sebuah bayangan kuning telah berkelebat bagai-
kan angin menyuruk ke arah tubuh Tugangga. Laki-
laki ini kembali menggeliat dengan berteriak parau.
Namun pada saat itu berkelebat sesosok tubuh kurus
kering ke arah Tugangga. Dengan sekali mengibaskan
lengan, Harimau Tutul terjengkang ke belakang, lalu
lenyap jadi segumpal asap. Tampak keadaan Tugangga
seperti sebuah kain lapuk yang sudah tak bertenaga
lagi. Dan jatuh menggeloso dengan bibir dan telinganya
mengeluarkan tetesan darah.
Kakek tua renta bertubuh kurus kering itu ber-
diri di hadapan Tugangga. Sebelah lengannya tiba-tiba
terjulur. Dengan jari-jari tangannya menyambar men-
jewer daun telinga laki-laki itu. Yang segera telah me-
maksanya untuk bangkit berdiri. Terdengar sura kata-
kata kakek kurus kering itu seperti mengomel...
"Bocah...! Kau terlalu ugal-ugalan! Sepasang
Pedang itu telah kembali lagi ke asalnya! Kau tak berhak memilikinya...!"
Selesai berkata, sang kakek kurus kering itu te-
lah menyeretnya pergi dari situ. Roro Centil cuma bisa
menatap kepergian kakek kurus itu dengan membeliak
tak berkedip. Keadaan di tempat itu seperti dicekam
keheningan. Semua menatap ke arah Tugangga yang
seperti sudah tak punya tenaga lagi untuk melangkah.
Hingga terseret-seret ia mengikuti kemana tubuh si
kakek membawa, dengan menjewer telinganya. Hingga
sampai kedua tubuh itu lenyap di balik kabut yang
menghalangi lereng bukit, barulah terdengar suara Ki
Dharma Sheta berkata perlahan.
"Siapakah orang tua kurus itu...?". Roro Centil
cuma menggeleng, seraya menarik nafas panjang. Dan
memang nyatanya semua orang tak ada yang tahu.
Termasuk si Bangau Putih dan Ki Jagur Wedha si Pen-
dekar Gentayangan.
Cuma diam-diam dibenak Roro Centil tersirat
sedikit ingatan, melihat wajah dan perawakan kakek
kurus itu. Tak lain adalah kakek tua renta yang per-
nah mengintipnya dari seberang sungai, ketika Roro
mandi. Terbayang di mata gadis pendekar ini ketika ia
menggodanya, dengan melemparkan seekor kepiting
yang masuk ke celah baju kakek mata keranjang itu.
Tersenyum Roro Centil. Akan tetapi juga terke-
jut, karena kakek itu bukan orang sembarangan. Ter-
bukti si Tutul telah dapat terlempar dengan sekali
menggerakkan lengan. Roro dapat menduga kelak
akan lebih banyak lagi perintang yang harus ia hadapi
di hari mendatang. Karena mulai bermunculan tokoh-
tokoh aneh, yang berilmu tinggi.
Sementara tanpa ada seorangpun yang menge-
tahui, seorang wanita muda sejak tadi telah memper-
hatikan jalannya pertarungan, Dialah GIRI MAYANG
adanya. Pada lengannya tergenggam dua pasang pedang. Yang amat mirip dengan Sepasang Pedang Silu-
man. Kini melihat bahwa pedang Siluman yang asli te-
lah lenyap, sirna tanpa bekas, ia jadi termangu-mangu
menatap kedua pasang pedangnya. Ternyata kedua
duanya adalah Dua pasang Pedang Siluman yang pal-
su!
Dengan kesal ia telah berkelebat pergi dari
tempat itu. Ketika melewati sebuah danau, kedua pa-
sang senjata itu sudah ia lemparkan ke tengah danau
yang sekejap kemudian tenggelam untuk tak timbul
lagi.......
Giri Mayang menatap pandangannya ke tengah
danau, Sepasang matanya kembali terlihat meneteskan
air bening. Di tengah isaknya itu terdengar suara kata-
kata yang mendesis.
"Roro Centi!! Tunggulah pembalasan dendam
ku kelak! GIRI MAYANG alias si Kelabang Kuning tak
akan pernah membiarkan dirinya terhina! Suatu saat
kita akan bertemu untuk bertarung. Pertarungan yang
kelak akan menentukan siapakah yang masih berhak
meneruskan kehidupan di Jagat Raya ini...!" Desis su-
ara kata katanya yang mengandung dendam sedalam
lautan, seperti terbawa desahnya angin lalu. Yang
menghempas hempas dedaunan menimbulkan suara
gemerisik seperti suara para iblis yang tertawa. Men-
tertawakan akan kebodohan seorang gadis yang terje-
rumus, dalam kancah dendam yang menggelegak.
Yang telah membius dirinya untuk memusuhi para
pendekar pembela keadilan.
Sementara langit semakin suram. Angin keras
kian menderu-deru. Hawa telah berubah menjadi din-
gin. Beberapa saat antaranya kilat pun saling me-
nyambar. Membersitkan cahaya seperti hendak mem-
belah langit...!
Suara petir pun segera terdengar menggele
gar...! Bergemuruh sahut menyahut. Alam seperti amat
murka, melihat manusia yang semakin bertindak se-
maunya....
Gadis ini berlari dan berlari... dengan air mata
bercucuran. Ia memang sudah tak perduli akan kega-
nasan alam. Tujuannya telah menjadi satu dalam da-
rah dan dagingnya. Tak akan bisa terpupus dengan
apa pun kecuali dengan darah yang mengalir. Darah
yang akan membuat ia akan merasa puas......
Akan tetapi manusia lupa bahwa takkan ada
kepuasan di dunia ini, tanpa adanya dasar pada jalan
lurus. Karena kesesatan selamanya akan tetap merajai
hati sanubari. Jika manusia itu tak berusaha mengha-
launya. Itulah sebabnya Rimba Hijau tetaplah sebuah
Rimba yang di dalamnya penuh dengan dendam yang
seperti tak pernah ada habisnya. Walau seribu Pende-
kar menumpas, menentang kezaliman, namun sejuta
kemelut akan tetap mereka hadapi! Yang tak jarang
memerlukan pengorbanan jiwa, Akan tetapi semangat
para pendekar penegak keadilan memang tak pernah
lenyap terpupus oleh ganasnya Tirani. Walau sejuta
kemelut mereka hadapi! Namun semangat perjuangan
menegakkan keadilan tetap berkobar di dada. Tak la-
puk oleh hujan, tak lekang oleh panas! Walau tahun
dan abad terus menjelang. Namun sejarah perjuangan
kaum pendekar, serta keharuman namanya, tetaplah
abadi sepanjang masa...
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar