PEREMPUAN BERBISA
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Perempuan Berbisa 128 hal; 12x18 cm
SATU
Dua orang laki-laki berpakaian pemburu yang tengah beristirahat di dalam pondok sebuah hutan,
tersentak kaget ketika terdengar sebuah isak tangis lirih. Demikian memilukan dan menyayat hati, mengundang
iba bagi siapa saja yang mendengar. Sesekali terdengar gumaman saat tangis terhenti. Gumaman penuh
keputusasaan yang menunjukkan jiwa yang guncang. Rasanya, orang ini tak sanggup menghadapi cobaan hidup
yang sangat berat. Suara rintihan jiwanya yang merana, diwarnai sumpah dan kutuk menggidikkan.
"Kau dengar suara itu...?"
Salah seorang pemburu yang berjubah tinggi kurus, langsung menoleh ke arah kawannya.
Orang yang ditanya segera berpaling. Sepasang matanya tampak bergerak liar. Wajahnya agak pucat,
dengan keringat dingin mengalir di keningnya.
"Kau kenapa, Risman?!" tanya lelaki tinggi kurus itu, terkejut. "Kau..., sakit…?"
"Aku.... Suara itu, Karma. Itu pasti suara hantu penunggu hutan ini...!" desis laki-laki pemburu yang
dipanggil Risman, gugup dan semakin pucat.
"Hhh...!" lelaki yang dipanggil Karman menghela napas penuh kejengkelan. Sikap Risman mau tidak
mau membuatnya terpengaruh, "Bodoh! Kalaupun benar hantu itu ada, saat ini belum waktunya untuk keluar!"
Kata-kata Karma sekaligus dimaksudkan untuk menghibur diri sendiri.
"Tapi, Karma. Suara tangis perempuan itu, apakah bukan suara hantu penunggu hutan ini...?!" bantah
Risman. Dia berusaha mengingatkan kawannya bahwa apa yang terdengar memang sangat ganjil.
"Hm..., mari kita buktikan!" sergah Karma. Tampaknya, laki-laki tinggi kurus itu tidak begitu percaya
akan segala macam takhayul. Segera dia melompat keluar dari dalam pondok, kemudian mencari sumber suara
tangis itu. Sementara kawannya segera mengikuti.
Betapapun Karma yang berusia sekitar tiga puluh tahun ini berusaha meyakinkan hati, tapi tak urung
dadanya berdebar kian keras, saat suara tangis semakin dekat dan jelas terdengar. Sambil melolos pedang di
punggungnya, dia bergerak maju dengan perasaan tegang. Tampak otot-otot wajah dan tangannya juga sudah
menegang,
"Iii..., ittuu...?!"
Tunjuk Risman dengan suara parau. Telunjuk laki-laki itu menuding ke arah sebatang pohon besar,
kurang lebih dua tombak di depan. Wajahnya pucat bagai tak dialiri darah! Mulutnya gemetar dengan sepasang
mata nyaris keluar.
Sementara, Karma menarik tubuhnya ke belakang. Napasnya juga terdengar teratur. Meski perasaannya
terguncang dengan debaran dalam dada kian keras lelaki ini memberanikan diri untuk maju lebih dekat.
Di depan sana, tampak sosok berambut panjang acak-acakan, menutupi hampir seluruh wajahnya yang
tersembunyi. Tangannya memeluk akar pohon erat-erat. Dan ini memang gambaran yang menyeramkan bagi
orang-orang pengecut. Terlebih suasana dan tempat hutan ini begitu mendukung. Jelas, ini adalah sebuah
pemandangan yang sanggup merontokkan jantung!
Tapi, tidak demikian halnya Karma yang berwajah tirus dengan pedang telah terhunus ini. Meski diakui
sosok itu sempat menggetarkan jantungnya, tapi tetap saja hatinya merasa penasaran. Dan hatinya hampir yakin,
bahwa sosok perempuan yang tengah terisak itu adalah manusia biasa seperti dirinya. Kini langkahnya sudah
terhenti kurang dari setengah tombak di belakang sosok itu.
"Hai, Nisanak. Siapakah kau? Suara tangismu telah mengganggu ketenangan istirahat kami...," sapa
lelaki berwajah tirus ini sambil menyentuh bahu sosok yang diyakini adalah seorang perempuan dengan gagang
pedangnya.
Teguran dan sentuhan gagang pedang itu membuat isak tangis perempuan ini terhenti. Kepalanya yang
menunduk, seketika terangkat dan berputar ke belakang. Sepasang mata merah yang agak bengkak. Wajah
bersimbah air mata, membuat trenyuh hati orang yang memandangnya. Anehnya, semua itu sama sekali tidak
memudarkan kecantikan parasnya. Sehingga membuat kedua orang pemburu ini terpaku tak sanggup menahan
pesona kecantikannya.
"Siapa kalian. Dan, mau apa...?" Suara tersendat agak parau dan mata yang berubah gelisah itu,
membuat kedua orang pemburu ini saling bertukar pandang sesaat. Kemudian, mereka kembali menatap wanita
cantik yang kini sudah bangkit, merapatkan tubuhnya pada batang pohon.
"Jangan khawatir. Kami bukan orang jahat...," kilah Karma dengan suara lembut dan bibir tersenyum
ramah.
"Betul, Nisanak," timpal Risman, yang tinggi besar namun bernyali kecil. "Suara isak tangismu
membuat kami terganggu. Dan mungkin kami berdua dapat membantu...."
Perempuan cantik dengan bentuk tubuh indah ini kembali menutup wajah dengan kedua tangannya.
Kedua bahunya terguncang lembut. Tak lama terdengar isak tangisnya kembali terdengar.
"Pergilah kalian. Tinggalkan aku sendiri! Biarlah aku mati dimangsa binatang buas, daripada hidup
tersiksa seperti ini...!" ujar wanita itu.
Dua orang pemburu ini kembali saling berpandangan. Mereka merasa ragu untuk memenuhi
permintaan perempuan cantik itu.
"Nisanak...," ujar Karma. "Tidak baik bersikap putus asa seperti itu. Setiap kesulitan, pasti ada jalan
keluarnya. Dan kalau kau tidak keberatan, kami berdua siap membantu...."
"Ceritakanlah kesulitanmu, Nisanak...," timpal Risman.
"Tidak! Tak seorang pun yang dapat menolongku! Kalian hanya akan mengorbankan nyawa sia-sia...,"
bantah perempuan cantik itu tetap menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangannya.
"Bagi kami kematian bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti! Dan kami bersedia mati demi
menolongmu!" tegas Risman, sambil membusungkan dada dengan mata berkilat penuh semangat. Padahal,
waktu pertama mendengar isak tangis tadi, dialah yang paling ciut nyalinya.
Isak tangis perempuan cantik ini berhenti. Kedua tangannya diturunkan dari wajahnya. Kemudian
ditatapnya kedua pemburu itu bergantian.
"Benarkah kalian berdua bersedia mati demi menolongku? Mengapa? Bukankah kalian tidak
mengenalku?" tanya wanita itu.
"Suara tangismu demikian sedih, Nisanak. Dan ini membuat kami berdua terseret dan ikut merasakan
betapa beratnya derita yang kau alami. Maka kami ingin membantu untuk meringankan penderitaanmu itu,"
jawab Risman. Dia benar-benar sudah lupa betapa sebelumnya merasa takut bukan main. Kini, sikapnya seolah-
olah kalau dirinyalah yang paling gagah dan berani.
Perempuan cantik itu mencoba tersenyum. Tentu saja dengan wajah bersimbah air mata seperti itu,
senyumnya tampak lucu dan pahit. Meskipun demikian, senyumnya sudah membuat lega hati kedua orang
pemburu yang berjanji akan membantu.
"Mari ikut kami, Nisanak. Hari sudah mulai gelap. Sebentar lagi, malam akan turun. Sebaiknya kita
berbicara di pondok tempat kami istirahat" ajak Risman, yang lagi-lagi mendahului kawannya. Bahkan sudah
bergeser sedikit, memberi jalan kepada perempuan cantik itu.
***
"Beristirahatlah, Nisanak Kau kelihatannya lelah sekali. Mengenai persoalanmu, besok saja
dibicarakan," ujar pemburu bertubuh besar itu dengan sikap ramah.
"Terima kasih. Kalian berdua sangat baik, sehingga sudi menyusahkan diri demi menolongku...," sahut
perempuan cantik ini, yang kemudian duduk di tepi pembaringan kayu.
Kedua pemburu ini hanya tersenyum penuh arti, yang sulit dijabarkan.
"Sementara kau beristirahat, kami akan menyiapkan makanan untuk kita bertiga," kata Risman.
Kemudian tubuhnya berbalik dan melangkah keluar dari ruangan itu, diikuti kawannya.
Dan perempuan cantik ini pun merebahkan diri, ketika daun pintu ditutup rapat dari luar. Sebentar saja,
sudah terdengar suara dengkurnya yang halus.
Tapi belum berapa lama perempuan itu terlelap, napasnya sudah terasa sesak. Tubuhnya langsung
meronta, merasakan adanya suatu benda berat yang menindihnya. Suara dengusan napas memburu berhawa
panas, memaksa membuka matanya.
"Hei? Apa yang hendak kau perbuat..?!"
Perempuan cantik itu berteriak ketika mendapati sesosok tubuh penuh nafsu tengah berusaha
melepaskan kain yang dikenakannya, sekuat tenaga tubuhnya memberontak, membuat keduanya terlempar dari
atas pembaringan.
"Keparat busuk...!" maki perempuan cantik ini, ketika mengenali siapa orang yang berusaha
menodainya. Dalam kemarahan, tenaganya dikerahkan untuk menendang selangkangan sosok yang kembali
hendak menyergapnya.
Desss!
Tendangan tak terduga yang keras dan telak itu, membuat sosok yang hendak menerkamnya terjajar
disertai lengking kesakitan. Memang, ia tak lain dari Risman!
"Rupanya kalian tidak sungguh-sungguh hendak menolongku! Kalian tak lebih dari binatang-binatang
menjijikkan...!" pekik perempuan cantik ini. Segera dia menghambur menerobos pintu yang tertutup.
"He he he...! Tentu saja kami akan menolongmu. Tapi, mana ada pertolongan tanpa imbalan? Dan
sebelum menolong, kami meminta imbalannya dulu...," ujar Karma yang sudah bergerak menghadang di depan
pintu.
Namun perempuan cantik ini nekad menerjang. Sehingga, keduanya roboh bersama daun pintu yang
jebol seketika. Tubuh mereka jatuh bergulingan, hingga ke halaman depan pondok. Namun perempuan cantik
ini bergegas bangkit, kemudian melarikan diri menerobos kegelapan.
"Hei! Jangan lari...!" seru Karma.
Segera laki-laki kurus itu bangkit dan mengejar, selelah menyambar sebuah obor di salah satu tiang
penyangga pondok.
Sesaat kemudian, pemburu bertubuh besar muncul di ambang pintu. Wajahnya masih meringis-ringis
menggambarkan rasa sakit pada selangkangannya. Dengan tertatih-tatih, dia pun berusaha mengejar perempuan
cantik yang hendak dinikmatinya.
Malam yang gelap dan masih ditambah kelebatan pepohonan hutan, membuat kedua orang pemburu itu
kehilangan jejak buruannya. Setelah beberapa saat mengejar, namun sosok perempuan cantik itu tak juga dapat
ditemukan. Akhirnya, mereka memutuskan untuk kembali ke pondok.
Tidak berapa lama setelah sosok kedua orang pemburu itu lenyap di kejauhan, perempuan cantik yang
dikejar pun muncul dari sebuah timbunan semak. Dengan langkah tertatih-tatih dan diselingi isak tangisnya
yang tertahan, perempuan ini mengayunkan langkah tanpa tujuan. Yang pasti, ia melangkah menjauhi pondok.
Namun baru beberaa langkah berjalan....
"Hei? Tidak salahkah penglihatanku?! Benarkah yang kulihat ini seorang manusia? Atau, peri penghuni
hutan yang kesasar...??!"
Tiba-tiba terdengar sebuah suara yang mengejutkan perempuan cantik itu.
Seruan itu berasal dari seorang lelaki bertampang garang dengan wajahnya ditumbuhi brewok liar.
Sepasang matanya nyalang, menunjukkan kalau lelaki ini bukanlah orang baik-baik. Dia berdiri tegak
menghadang jalan, kurang lebih satu tombak di depan perempuan yang pakaiannya kotor dan robek di beberapa
tempat ini.
Sedangkann perempuan cantik ini hanya bisa menahan seruan kaget. Sementara sebelah telapak
tangannya menutupi mulutnya. Sepasang matanya tampak berputar liar.
"Kasihanilah aku, Tuan.... Jangan ganggu aku...!" rintih perempuan berambut riap-riapan ini.
Meski keadaannya sudah mirip gelandangan, namun wanita ini tak bisa menyembunyikan kecantikan
serta kesempurnaan bentuk tubuhnya. Pengalamannya terhadap sikap dua orang pemburu yang ternyata
menyimpan niat kotor terhadap dirinya, membuatnya harus bersikap waspada dengan bahaya yang tengah
mengincarnya.
"He he he.... Siapa yang ingin mengganggumu, Manis. Jangan takut. Aku malah akan menghancurkan
kepala siapa saja yang berani mengganggumu."
Sambil berkata demikian, lelaki bertampang garang ini melompat maju. Dan tahu-tahu, dia telah berada
tepat di hadapan perempuan cantik ini.
"Tidak, pergi...! Jangan dekati aku...!" teriak perempuan cantik ini sambil bergerak mundur ketakutan.
Namun, sekali laki-laki bertampang garang ini mengulur tangan, tubuh perempuan itu teringkus.
Bahkan langsung jatuh ke dalam pelukan lelaki ini.
"Tolooong.... Lepaskan aku...!" perempuan cantik ini menjerit-jerit dan meronta, berusaha melepaskan
diri. Namun usahanya sia-sia, karena sepasang lengan berbulu itu memeluknya demikian kuat.
"Percuma berteriak minta tolong, Manis. Dalam hutan yang lebat dan sepagi ini, mana ada orang yang
dapat menolongmu. Lagi pula, aku tidak mungkin menyakitimu. Justru aku akan menjadikanmu istri. Dan kau
pasti bangga menjadi istri Golok Tunggal, yang terkenal sebagai penguasa Rimba Kenara ini,",ujar lelaki
brewok ini. Pada pipi kiri laki-laki yang berjuluk Golok Tunggal itu terdapat bekas luka memanjang. Sehingga
membuat wajahnya semakin menyeramkan.
"Aku tidak mau...! Tidak sudi..!"
"Kau harus mau, Manis. Tidak ada seorang pun yang dapat menolak keinginan Golok Tunggal...!"
tukas Golok Tunggal.
Segera laki-laki itu memondong tubuh perempuan itu. Kemudian tubuhnya berputar melangkah lebar
meninggalkan tempat itu disertai suara tawa bergelak. Namun belum jauh dia melangkah....
"Tunggu...!"
Tiba-tiba terdengar bentakan, yang disusul melayangnya sesosok bayangan putih. Tahu-tahu saja, di
hadapan Golok Tunggal telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah panjang berwarna putih.
"Siapa kau, hingga berani menghadang jalan Golok Tunggal! Rupanya kau belum mengenal Penguasa
Rimba Kenara ini?" bentak Golok Tunggal, langsung menunjukkan wajah garangnya.
"Aku tidak peduli, apakah kau Golok Tunggal atau Kadal Buntung! Yang pasti, kau harus lepaskan
perempuan dalam pondonganmu itu!" tukas pemuda tampan berjubah putih ini dengan sikap tetap tenang.
Bahkan dengan langkah tenang pula, pemuda itu mendekati Golok Tunggal. Sedikit pun tidak terlihat
adanya gambaran kegentaran pada wajahnya. Padahal, nama besar Golok Tunggal sudah cukup terkenal sebagai
seorang perampok tunggal, penguasa Rimba Kenara.
"Keparat! Bocah bosan hidup...!"
Golok Tunggal benar-benar murka mendengar hinaan pemuda tampan itu. Langsung saja perempuan
muda dalam pondongannya dilemparkan begitu saja ke atas tanah. Kemudian kakinya melangkah maju,
mencabut golok tunggal yang menjadi kebanggaannya.
"Hyaaattt...!"
Whuttt!
Golok besar di tangan lelaki bertampang garang ini langsung menderu datang dengan kecepatan
menggetarkan. Sementara pemuda tampan berjubah putih itu hanya perlu menggeser tubuhnya ke kanan. Lalu,
dari samping kakinya mencelat melepaskan tendangan ke perut Golok Tunggal. Gerakan ini tentu saja membuat
perampok ini terkejut melihatnya, ia berusaha menghindar dengan menarik mundur tubuhnya. Tapi....
Bukkk!
Meski tidak terlalu telak, namun tendangan pemuda tampan berjubah putih itu tetap mengenai sasaran.
Akibatnya, Golok Tunggal tak dapat lagi mempertahankan kuda-kudanya. Tubuhnya kontan terjajar melintir.
Sedang pemuda berjubah putih itu sudah menyusuli serangannya dengan sebuah tamparan kilat.
"Yiaaah...!"
Golok Tunggal berusaha menyelamatkan diri dengan membabatkan senjata sekenanya. Sambaran
golok yang menderu, membuat pemuda tampan ini merobah gerakannya. Cepat tendangannya berputar, dengan
merubah tamparan menjadi tangkisan, yang kemudian melibat pergelangan Golok Tunggal.
Krekkkh!
Terdengar suara tulang lengan patah, yang membuat Golok Tunggal meraung kesakitan. Golok besar di
tangannya tak dapat dipertahankan lagi hingga jatuh ke tanah. Tubuhnya sendiri tersentak ke depan, yang
disambut lutut pemuda tampan berjubah putih itu.
Bukkk!
"Hukkhh...!"
Begitu telak lutut itu menghantam rusuk, membuat Golok Tunggal merasa napasnya terhenti untuk
sesaat. Darah segar kontan muncrat dari mulutnya. Tubuhnya pun melorot jatuh bagai sehelai karung basah.
"Semoga hal ini menjadi pelajaran bagimu untuk tidak membanggakan kepandaian sendiri, Golok
Tunggal...," ujar pemuda tampan berjubah putih itu.
Lalu, pemuda itu segera meninggalkan lawannya. Dihampirinya perempuan cantik yang masih
terduduk di tanah dengan wajah pucat.
"Jangan pandangi aku seperti itu. Aku hanya ingin menolongmu dari cengkeraman Golok Tunggal.
Setelah sekarang bebas, boleh pergi sesukamu," ujar pemuda tampan berjubah putih itu.
Perempuan cantik ini tertegun. Untuk beberapa saat, ia tidak bisa berkata apa-apa. Hanya
dipandanginya sosok pemuda itu dengan wajah heran.
"Kau..., tidak mengharapkan imbalan atas pertolongan yang kau berikan kepadaku...?!" tanya
perumpuan cantik ini, langsung teringat pada dua orang pemburu yang nyaris memperkosa dirinya.
Pemuda itu tersenyum dan menggeleng lemah.
"Terima kasih...," ujar perempuan cantik ini, "Namaku Anila. Kau siapakah, Anak Muda?"
"Namaku, Panji. Dan kau boleh memanggilku demikian," jawab pemuda berjubah putih, yang memang
Pendekar Naga Putih alias Panji. Dan Panji sendiri hampir tertawa mendengar perempuan itu menyebutnya anak
muda. Padahal, ia yakin kalau usia perempuan itu hanya sedikit lebih tua darinya.
"Kau juga boleh memanggilku Anila saja," tukas Anila. Perempuan itu segera bergerak bangkit. Dan
kelihatannya, dia mulai menaruh kepercayaan terhadap pemuda tampan penolongnya.
"Mengapa kau sampai berada di tempat ini, Anila? Ke mana sebenarnya tujuanmu?" tanya Panji.
Tentu saja Pendekar Naga Putih merasa heran. Apalagi dandanan Anila tidak menunjukkan tanda-tanda
kalau dia berasal dari rimba persilatan. Kebaya dan kain yang dikenakan, menunjukkan kalau dugaan Panji tidak
meleset.
Anila menghela napas panjang begitu bayangan kejadian yang lalu lenyap. Kemudian kakinya
melangkah meninggalkan tempat itu. Sementara, Panji bergerak mengikuti, setelah menoleh ke arah Golok
Tunggal yang nampak bangkit dan bergegas meninggalkan tempat itu dengan tatapan penuh dendam.
"Panji! Apakah kau ingin mendengar kisah hidupku?" tanya Anila, saat keduanya melangkah
menyusuri jalan setapak.
"Kalau kau tidak keberatan, dan menganggapku cukup pantas untuk mengetahui," ujar Panji,
menyerahkan keputusannya kepada perempuan cantik itu.
"Ceritaku cukup panjang. Dan mungkin, akan membuatmu bosan...," tukas Arula agak ragu.
"Aku adalah seorang pendengar yang baik."
Anila, tersenyum mendengar jawaban Panji. Saat itu, mereka berdua telah keluar dari Rimba Kenara.
Anila mengajak Panji menuju aliran sungai, lalu bersama-sama duduk di tepi sungai menatapi riak air di
bawahnya.
"Aku sebenarnya adalah istri pertama Senapati Guptasena," tutur wanita itu memulai ceritanya.
"Karena pengaruh istri mudanya, aku dibuang ke hutan ini, setelah diberi Racun Cubung Biru yang diramu oleh
seorang penyihir tua."
Sejenak Anila menghentikan ceritanya, untuk melihat tanggapan Pendekar Naga Putih.
"Itu terjadi setelah suamiku, Senapati Guptasena, mendapatkan istri kedua yang bernama Cindarani.
Padahal, aku berhasil memberi keturunan padanya setelah satu setengah tahun suamiku mengambil istri kedua.
Bahkan aku dituduh berhubungan gelap dengan seorang perwira muda yang bernama Jamantara...."
Anila tidak bisa menahan tangisnya. Bagai bendungan jebol, air mata kontan berderai membasahi
pipinya.
Ingatan Anila langsung kembali pada kejadian yang menimpa dirinya. Memang kendati tubuhnya
dirasuki Racun Kecubung Biru hingga menjadi seperti tidak waras, tapi Anila masih mampu mengingat kejadian
demi kejadian yang menimpa dirinya. Masih diingat, bagaimana Jamantara membawanya dengan kerangkeng
pada malam itu.
Ternyata, Jamantara tidak membawanya ke tebing jurang, seperti apa yang diperintahkan Senapati
Guptasena. Para bawahannya malah diajak memasuki sebuah hutan yang terletak cukup jauh dari benteng.
Sebenarnya, Jamantara merasa kasihan melihat perempuan itu. Apalagi, dia juga tahu rencana busuk
yang disusun Cindarani. Maka entah kenapa, timbul rasa kasihannya Perwira Muda Jamantara lantas
mengeluarkan botol kecil berisi cairan kuning, yang merupakan penangkal Racun Kecubung Biru.
Dengan mengandalkan kepandaiannya, Jamantara melemparkan botol kecil itu. Seketika, botol itu
meluncur pesat dan masuk ke dalam mulut Anila yang tengah meraung-raung. Sengaja lemparannya disertai
pengerahan tenaga dalam, sehingga kepala Anila sampai terdongak, dan tubuhnya terjajar membentur dinding
kerangkeng. Sedang botol yang masuk ke dalam mulutnya, langsung pecah setelah membentur langit-langit.
Maka cairan kuning itu seketika tumpah dalam mulut Anila.
Setelah berpesan kepada enam orang prajuritnya agar menyimpan rahasia rapat-rapat, Jamantara
bergerak meninggalkan kereta di dalam hutan. Keenam prajurit itu tentu saja paham. Dan mereka pun merasa
iba atas apa yang telah terjadi terhadap istri pertama Senapati Guptasena.
DUA
Panji tidak berusaha mencegah Anila yang menangis sedih, melepaskan semua kedukaannya melalui
air mata. Perlahan-lahan tangis Anila berhenti, kendati sesekali isaknya masih terdengar.
"Setelah sembuh dari pengaruh racun, aku berusaha bertemu suami dan anak. Tapi, semua usahaku sia-
sia. Para penjaga gerbang mengusirku. Rupanya, aku yang dianggap mempunyai penyakit, telah tersebar dan
diketahui seluruh penghuni benteng. Mereka menganggapku sebagai sumber penyakit. Sehingga jangankan
untuk dapat bertemu suami dan anakku, untuk mendekati benteng saja tidak diperbolehkan. Aku ditangkap dan
kembali dibuang sejauh-jauhnya," tutur Anila, mengakhiri ceritanya.
"Apakah suamimu tidak pernah mendengar tentang kedatanganmu?" tanya Panji, sewaktu melihat
Anila termenung setelah bercerita.
"Kemungkinan tidak. Karena Cindarani mungkin telah semakin berkuasa? Bisa saja dia berpesan
kepada penjaga gerbang, agar menangkap dan membuangku sejauh-jauhnya, apabila aku muncul mendekati
benteng," jelas Anila tanpa menoleh kepada Panji.
"Kalau begitu, aku akan mencoba menemui Jamantara. Dan aku akan...."
"Jangan...!" potong Anila.
"Mengapa?" tanya Panji agak heran. "Bukankah Jamantara merupakan kunci dari semua kejadian yang
kau alami? Apabila dia kupaksa untuk menceritakannya di hadapan Senapati Guptasena, ada kemungkinan
kebahagiaanmu akan kau dapatkan kembali."
"Selain Jamantara memiliki kepandaian tinggi yang tentu sulit ditangkap, suamiku pun belum tentu
percaya begitu saja. Lagi pula, aku sudah merasa kecewa terhadap sikap suamiku yang mau percaya pada istri
mudanya. Saat ini, aku hanya mempunyai satu keinginan saja. Dapat berkumpul bersama putraku saja, itu sudah
cukup," ungkap Anila.
"Apakah kau menghendaki agar aku menculiknya?"
"Terserah kau, Panji. Yang jelas, saat ini hanya itu yang kuinginkan," tukas Anila. Kali ini, ditatapnya
wajah Panji dengan memelas, menggambarkan keinginannya yang besar untuk dapat berkumpul bersama
putranya.
Panji tidak segera memberi jawaban. Malah, pemuda itu termenung memikirkan keinginan Anila yang
tentu saja bukan hal yang mudah. Karena untuk mewujudkan keinginan itu, Pendekar Naga Putih ini harus
menyelusup ke dalam benteng yang merupakan suatu pekerjaan sulit dan berbahaya. Apalagi benteng
perbatasan yang harus dimasuki dijaga ketat. Sehingga, sulit untuk dapat menyelundup ke dalam benteng tanpa
diketahui. Dan hal ini disadari betul oleh Pendekar Naga Putih, karena sudah pernah melihat benteng yang
dimaksud Anila.
"Untuk mengambil putraku memang bukan pekerjaan muda, Panji. Tapi, aku pun tidak ingin kau tewas
hanya karena ingin menolongku," desah Anila. Suaranya terdengar perlahan, menggambarkan rasa putus asa.
"Aku tidak memikirkan tentang keselamatan diriku, Anila. Tapi, sedang berpikir bagaimana caranya
masuk dan keluar dari benteng tanpa diketahui penjaga-penjaganya," tukas Panji.
"Jadi, kau tetap ingin menolongku, meski bahaya maut mengancam...?!" tanya Anila, dengan sepasang
mata berbinar penuh harap.
"Aku memang bermaksud menolongmu, Anila. Tapi, jangan terlalu berharap. Karena, kemungkinan
untuk berhasil sangat kecil"
"Tidak, Panji! Aku akan merasa berdosa jika kau sampai tewas! Kuucapkan terima kasih atas
perhatianmu yang begitu besar kepadaku. Biarlah.... Ini memang sudah garis nasibku, harus berpisah dengan
suami dan anakku," sentak Anila. Akhirnya, diputuskan untuk tidak menerima pertolongan Panji.
"Aku tetap akan menolongmu, Anila. Untuk itu, aku memerlukan keterangan darimu tentang keadaan
di dalam benteng. Juga, tempat anakmu berada, sehingga akan mempermudah usahaku," tukas Panji mantap.
Anila langsung menatap pemuda di sampingnya penuh keharuan.
Karena Panji tetap berkeras hendak menolongnya, maka Anila segera memberi gambaran tentang
keadaan dalam benteng, serta memberitahukan letak kamar putranya.
"Baiklah, Anila. Nanti malam aku akan mencobanya," desah Panji, setelah mendapatkan keterangan
agar bisa mempermudah penyelusupan ke dalam benteng.
Baru saja kata-kata itu habis, tiba-tiba saja Pendekar Naga Putih melenting bangkit dari duduknya.
Telinganya yang tajam menangkap adanya suara mencurigakan. Tindakan Panji seketika membuat Anila
terkejut!
"Ada apa, Panji...?" tanya Anila, mengikuti arah pandangan mata Panji yang tengah meneliti
sekitarnya.
"Rupanya ada orang lain yang ikut mendengar pembicaraan kita...," bisik Panji.
"Apakah orang itu berniat jahat..?" tanya Anila lagi, sambil merapatkan tubuhnya ke tubuh Panji.
Dalam ketegangannya, tanpa sadar lengan Panji dicekal erat-erat.
"Entahlah..," desah Panji.
Pendekar Naga Putih tetap mendiamkan perbuatan Anila, sambil terus mengawasi sekitarnya. Hatinya
merasa heran ketika tidak menemukan sepotong manusia pun. Padahal, tadi jelas-jelas terdengar adanya suara
orang saling berbisik.
"Hm.... Sepertinya ada orang yang sengaja mempermainkan aku. Jika demikian berarti orang itu
mengenali aku...," gumam Panji dalam hati, seraya menoleh kepada Anila. Segera diajaknya wanita itu pergi
meninggalkan tempat ini.
Namun baru beberapa tindak keduanya melangkah, lagi-lagi Panji mendengar suara orang saling
berbisik. Rasa penasaran dan jengkel, membuat Panji bergegas memutar tubuhnya. Kemudian dilemparkannya
dua batang ranting sepanjang setengah jengkal yang diambil dari atas tanah. Maka seketika dua batang ranting
itu melesat dengan suara berdesing, tak ubahnya dua bilah pisau terbang.
"Kurang ajar...!" desis Panji, sewaktu dua ranting yang dilepaskannya tidak membawa hasil.
Suara desing ranting seketika lenyap seperti tertelan benda lunak. Kenyataan itu membuat Pendekar
Naga Putih semakin sadar kalau orang yang menurutnya sengaja hendak mempermainkannya, memang bukan
orang sembarangan. Padahal, dua batang ranting yang dilepaskan tidak bisa dihadapi sembarang orang.
"Para Kisanak yang gagah.... Harap tunjukkanlah diri kalian kepadaku yang bodoh ini...!" seru Panji
sambil menatap ke satu arah. Tempat itu diduga menjadi persembunyian dua orang yang dicarinya.
Tiba-tiba....
"Hak hak hak..!"
"Khek kek kek...!"
Terdengar suara tawa ganjil yang berbeda satu sama lain. Tawa yang terdengar berat dan sumbar, bisa
dibayangkan kalau pemiliknya bertubuh tinggi besar dan berwatak kasar. Sedang yang terdengar melengking
tinggi dan membuat gendang telinga terasa saka, bisa diduga kalau pemiliknya memiliki perawakan kecil dan
kurus. Malah kemungkinan besar adalah seorang nenek nyinyir.
"Hak hak hak..! Kau dengar, Dinda? Ternyata seorang pendekar muda gagah yang ditakuti banyak
orang, sekarang mengaku bodoh di depan kita! Bukankah ini berita besar bagi kaum persilatan...!"
Terdengar suara berat dan parau, membuat wajah Panji agak kemerahan.
"Khek kek kek...! Kau benar, Kanda! Pengakuan Pendekar Naga Putih benar-benar membuatku merasa
sangat tinggi dan hebat! Mari kita menemuinya. Ingin kulihat dia bersujud di depan kita berdua...!" timpal suara
melengking yang menusuk gendang telinga.
Dengan menahan kejengkelan, Pendekar Naga Putih menunggu kemunculan dua orang yang hendak
mempermainkannya. Tapi, diam-diam hatinya berdebar tegang. Karena baik dari suara tawa maupun nada
bicaranya, kedua orang yang bersembunyi merupakan orang-orang tangguh bertenaga dalam tinggi. Dan Panji
tahu, mereka sengaja menunjukkan kehebatannya melalui suara.
Agak lama juga Pendekar Naga Putih itu berdiri menunggu, namun belum seorang pun yang
menampakkan batang hidungnya. Padahal, hatinya sudah mulai tak sabar. Demikian pula Anila yang tubuhnya
merapat ke tubuh Panji. Dari wajahnya yang agak pucat dan deru napas yang boros, jelas menunjukkan betapa
hatinya tengah dilanda ketegangan!
"Kurang ajar! Rupanya mereka masih juga mempermainkan diriku...!"
Panji menggeram jengkel sewaktu kedua sosok yang ditunggunya tak juga menunjukkan diri.
"Biar kubuka mata mereka agar tidak terlalu menganggap remeh...."
Ucapan terakhir Pendekar Naga Putih disusul gerakan tangan yang tampak bergetar, disertai kabut
bersinar putih keperakan yang melapisi telapak hingga pergelangan.
"Sekarang, kalian harus benar-benar keluar...," desis Panji.
Seketika Pendekar Naga Putih menghentakkan kedua tangannya, melontarkan pukulan jarak jauhnya ke
sebatang pohon berdaun lebat di depan, sekitar tiga tombak dari tempatnya berdiri.
Whusss!
Serangkum angin dingin laksana hembusan topan, menderu datang. Namun berbarengan dengan itu,
dari arah pohon juga meluncur angin pukulan yang mendesis-desis, menerbitkan hawa dingin luar biasa ke arah
Pendekar Naga Putih.
Bummm!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua pukulan maha dahsyat yang sama-sama mengandung hawa dingin luar
biasa saling berbenturan. Begitu kerasnya, sampai-sampai tanah di sekitar tempat itu bergetar keras. Sedang
pohon besar yang menjadi ajang pertemuan dua tenaga raksasa itu tampak berderak ribut dan langsung patah
pada bagian tengahnya.
Kejadian yang sama sekali tak disangka, membuat Panji tersentak kaget. Bahkan benturan keras itu
membuat tubuhnya terjajar mundur dan agak menggigil. Sementara, rasa dingin sudah menjalar ke tubuh Anila
yang memang berdiri rapat ke tubuh Panji. Meski tidak berbahaya, namun cukup membuat Panji terkejut.
Diawali suara tawa ganjil yang saling bersahutan, meluncurlah dua sosok tubuh dari atas batang pohon
yang tumbang. Dan dua sosok itu lantas melayang turun, kurang lebih dua tombak di hadapan Panji.
Diawali suara tawa ganjil yang bersahutan, meluncurlah dua sosok tubuh dari atas batang pohon yang
tumbang. Sosok pertama seorang laki-laki tinggi kurus seperti bambu, sekilas terlihat ringkih dan penyakitan.
Sosok kedua seorang perempuan gemuk berusia empat puluh tahun. Tubuhnya yang gemuk dan bundar ditutupi
pakaian berlapis-lapis!
Sosok pertama adalah seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus, bagaikan sebatang bambu. Sekilas
memang terlihat ringkih dan penyakitan. Tapi bagi Pendekar Naga Putih, sosok bertelanjang baju dan berkulit
kemerahan seperti terbakar itu membuat Panji terkejut. Betapa tidak? Udara saat ini tidaklah terlalu panas.
Namun, sekujur tubuh lelaki tinggi kurus itu tampak dibanjiri peluh. Tahulah Panji kalau lelaki tinggi kurus
yang selalu, mendesis-desis kepanasan ini memiliki tenaga dalam yang berhawa panas.
Sementara sosok kedua adalah seorang perempuan berusia kira-kira empat puluh tahun. Tubuhnya
setinggi bahu lelaki di sampingnya. Perempuan ini demikian gemuk, dan terlihat bundar bagaikan bola.
Anehnya, tubuh yang sudah bulat itu, masih ditutupi pakaian berlapis-lapis. Meski demikian, dia masih saja
kelihatan seperti orang kedinginan. Wajahnya pucat, dan bibirnya terlihat pucat. Kedua tangannya selalu dilipat
di depan dada.
Semakin terkejut hari Pendekar Naga Putih melihat sosok perempuan yang seperti gajah bengkak itu.
Sekali pandang saja bisa dimengerti kalau perempuan itu memiliki tenaga dalam berhawa dingin yang tidak
kalah dengan kekuatan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' milik Pendekar Naga Putih. Dan hal ini sudah dirasakan
Panji, sewaktu dipapak pukulan perempuan gendut itu.
"Khek kek kek...! Inilah kami, Pendekar Naga Putih. Dan kau tidak perlu sungkan untuk bersujud
kepada kami berdua...," ujar perempuan gendut dengan suara melengking menusuk gendang telinga.
"Benar, Pendekar Naga Putih! Kau tidak perlu sungkan seperti kata istriku! Tidak enak rasanya kalau
hanya bersujud, mesti dipaksa segala...," timpal lelaki kurus bermuka merah sambil memperdengarkan tawanya
yang bagai burung gagak. Besar dan sember.
Panji berusaha menekan rasa terkejutnya. Ucapan kedua orang tokoh ganjil dan seperti kurang waras
ini tidak begitu dipedulikannya, karena tengah berusaha keras mengingat-ingat siapa adanya mereka. Tapi meski
telah menguras seluruh ingatannya tetap saja tidak dapat mengingatnya.
Sementara itu, Anila sendiri semakin merapatkan tubuhnya ke tubuh Panji. Penampilan kedua sosok
tubuh itu memang cukup menggetarkan hatinya. Terlebih suara tawa mereka yang terasa sangat menyakitkan
telinganya. Dan ini membuat selebar wajah Anila menjadi pucat.
"Apa yang mereka kehendaki dari kita, Panji...?" tanya Anila berbisik.
"Entahlah. Yang jelas, mereka itu orang-orang yang pikirannya telah terganggu, akibat terlalu
memaksakan diri dalam mempelajari ilmu-ilmu tinggi," jawab Panji sambil memeluk tubuh Anila sejenak,
untuk memberi ketabahan.
Pendekar Naga Putih memang merasakan kalau tubuh Anila menggigil, bagai orang terserang demam.
Dan Anila memang merasakan adanya rasa tenang di hatinya, meski pelukan Panji hanya berlangsung
sesaat.
"Terima kasih, Panji...," bisik Anila lirih. Wanita ini tidak menjadi marah, karena tahu apa maksud
pelukan Pendekar Naga Putih. Sedang Panji hanya tersenyum tipis, kemudian kembali menatap dua sosok tubuh
ganjil di hadapannya.
"Maaf.... Pengetahuanku terlalu dangkal, hingga tidak mengenal siapa kalian berdua. Kuharap, kalian
tidak terlalu pelit memperkenalkan nama dan julukan...," ujar Panji seraya merangkapkan kedua tangan dengan
tubuh sedikit membungkuk, sebagai tanda hormat kepada kedua orang tokoh itu. Namun, Pendekar Naga Putih
tak mempedulikan permintaan mereka yang menghendaki dirinya agar bersujud.
Dua tokoh aneh itu kembali memperdengarkan tawa ganjilnya. Yang lelaki melangkah ke depan. Tapi,
tubuhnya ternyata meluncur demikian cepat. Panji jadi terkejut, karena tahu-tahu saja jari-jari tangan lelaki
kurus itu sudah berada di atas kepalanya.
"Berlututlah, Pendekar Naga Putih...!" seru orang tua kurus itu. Rupanya, ia hendak memaksakan
kehendak terhadap Panji.
Panji tentu saja tidak sudi dirinya dipaksa berlutut. Kakinya cepat melangkah ke samping, sambil
membawa Anila. Tapi, ternyata jari-jari tangan lelaki tinggi kurus itu masih terus mengejar. Bahkan tak ubahnya
bagai bayangan yang mengikuti ke mana arah geraknya. Dan ini membuat Panji menjadi jengkel. Cepat
tangannya diangkat sewaktu jari-jari tangan kurus itu kembali datang mengikuti gerakan tubuhnya.
Plakkk!
Meski sudah menduga kekuatan lawan, tak urung tubuh Pendekar Naga PCtrih terdorong sewaktu
memapak jari-jari tangan kurus itu. Ada hawa hangat yang mengalir ke dalam lengannya. Untungnya, Panji
masih dapat menyelamatkan diri hingga tidak sampai terbanting ke tanah. Meski demikian, kenyataan ini
membuatnya sadar kalau 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' yang digunakannya tidak sanggup membendung
kekuatan tenaga panas lelaki tinggi kurus itu.
"Orang tua," ujar Panji, setelah kembali dapat berdiri tegak. Sementara, lengan kanannya masih
melingkar di pinggang Anila, "Tak baik memaksakan kehendak kepada orang lain. Kuharap, kau tidak
melanjutkan seranganmu."
"Lalu, apa yang akan kau lakukan bila aku menghentikan serangan?" tanya lelaki tinggi kurus itu
dengan wajah bodoh.
Panji tertegun mendengar pertanyaan itu. Sebuah pertanyaan aneh, sehingga membuatnya terdiam
beberapa saat.
"Kanda," potong istri lelaki tinggi kurus itu sebelum Panji mendapat jawaban. "Untuk apa
menghentikan serangan? Yang jelas ia harus bersujud dulu dan mengaku kalah kepada kita. Baru kemudian, kita
berunding untuk bekerja sama dengannya."
"Ah! Kau betul sekali, Dinda!" seru lelaki tinggi kurus itu sambil menampar keningnya perlahan.
"Mengapa aku sampai lupa dengan tujuan kita semula?"
"Kerja sama...?!" desis Panji disertai kerutan kening dan wajah heran.
Kemudian Pendekar Naga Putih menoleh kepada Anila. Kini baru disadari kalau saat itu lengannya
masih melingkar di pinggang perempuan cantik itu. Bergegas Panji melepaskan lengannya, dan meminta maaf
kepada Anila. Sementara, wanita ini hanya tersenyum tipis, memaklumi sikap Panji yang memang memeluk
tubuhnya sewaktu berlompatan menghindari serangan lelaki tinggi kurus itu.
"Benar, Pendekar Naga Putih. Kami, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, mengajak bekerja sama
untuk menyelundup ke dalam benteng. Karena, kami pun mempunyai keperluan di tempat itu," jelas perempuan
gendut yang mengaku berjuluk Iblis Kutub Utara.
"Ada keperluan apa kalian berdua hendak menyelundup ke dalam benteng itu?" kini Anila yang
bertanya. Perempuan cantik yang rambutnya masih awut-awutan ini tak dapat menahan rasa keingintahuannya.
"Hm.... Kau tidak perlu tahu, Perempuan Buangan! Kami tidak mempunyai keperluan denganmu!"
bentak Iblis Kutub Utara pada Anila.
Wajah perempuan gendut itu berubah garang. Sepasang matanya berkilat, merpancarkan hawa dingin.
Melihat hal ini, tubuh Anila jadi menggigil. Seketika pandangannya dibuang ke arah lain.
Panji menggeser langkahnya, melindungi Anila sewaktu melihat Iblis Kutub Utara melangkah maju
dengan kedua tangan terkembang. Agak heran juga hati Pendekar Naga Putih melihat adanya sorot kebencian
pada sinar mata perempuan gendut itu.
"Hmhh.... Di mana-mana laki-laki sama saja! Begitu melihat perempuan cantik, langsung saja berlagak
sok pahlawan! Berlagak hendak melindungilah, menolonglah. Agar dikatakan baik hati dan gagah! Benci aku!
Muak aku! Chuihh...!"
Panji menahan tawanya melihat perempuan gendut itu mencak-mencak, memuntahkan kemarahannya.
Mengertilah Panji. Rupanya, Iblis Kutub Utara yang gendut dan wajahnya dipenuhi bintik-bintik hitam itu
sangat benci pada kecantikan. Penyebabnya, tentu saja karena wajahnya yang buruk dan tidak menarik.
"Ibjis Kutub Utara," panggil Panji, "Perempuan ini kubela bukan karena kecantikan wajahnya. Tapi,
karena memang sangat memerlukan pertolongan. Bukankah kau dan suamimu sudah mendengar tentang kisah
hidupnya yang menyedihkan?"
"Haaahh...! Perempuan cantik di mana-mana sama saja! Apabila berjumpa pemuda tampan dan
menarik, pasti akan merengek-rengek dan menceritakan kisah hidupnya yang penuh penderitaan. Padahal, itu
hanya alasan saja agar bisa bersama-sama lebih lama. Menurutku, perempuan cantik yang bersamamu adalah
ulat betina yang berbahaya!"
Rupanya Iblis Kutub Utara masih belum puas juga menumpahkan kedongkolannya kepada Anila.
Tentu saja ini membuat bekas istri Senapati Guptasena berang.
"Hei, Iblis Kutub Utara!" seru Anila, lantang. "Aku tahu, mengapa kau membenciku. Karena, aku
memang cantik dan menarik. Tidak sepertimu yang gendut seperti gajah bengkak. Bahkan wajahmu pun tak
menarik. Mana ada laki-laki yang sudi mendekatimu? Masih untung tengkorak hidup itu mau mergadi suamimu.
Padahal, kau lebih pantas bersuamikan gajah yang lebih bengkak!"
"Booaangsaaattt...!"
Iblis Kutub Utara meraung bagai binatang luka mendengar balasan Anila yang melampiaskan
kemarahannya. Kedua kakinya menggedor-gedor tanah, membuat sekitar tempat itu bergetar. Wajah perempuan
gendut itu terlihat semakin pucat. Bahkan dari ubun-ubun kepalanya, keluar asap tipis berwarna putih.
Kelihatannya, Iblis Kutub Utara benar-benar murka!
"Akan kuremukkan tubuhmu, perempuan setaaann...!"
Disertai teriakan menggemuruh, Iblis Kutub Utara menerjang ke depan dengan kedua tangan
terkembang. Kaki-kakinya yang besar dan berat berdebum-debum menggetarkan jantung.
"Anila, menyindirlah...!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih menjadi kaget bukan main. Sama sekali tak disangka kalau Iblis Kutub Utara
akan sedemikian marah oleh hinaan Anila.
Panji cepat melompat ke samping, sewaktu terjangan Iblis Kutub Utara beralih mengancamnya. Deru
angin dingin yang datang menyertai cengkeraman jari-jari Iblis Kutub Utara, sempat membuat tubuhnya goyah
sewaktu mendarat di tanah. Kenyataan itu membuat Pendekar Naga Putih sadar, bahwa dalam kemarahan Iblis
Kutub Utara telah mengerahkan seluruh kekuatan tenaga saktinya. Untungnya, pemuda ini pun memiliki dasar
tenaga sakti berhawa dingin. Jika tidak, bisa dibayangkan kalau tubuhnya akan terbujur kaku bagai batang
pohon, tak sanggup menahan hawa dingin luar biasa.
"Kulumat tubuhmu kali ini, Pendekar Naga Putih...!" pekik Iblis Kutub Utara.
Kembali perempuan gendut menggelinding datang. Kali ini, kedua telapak tangannya yang terbuka
melancarkan pukulan jarak jauh bergantian.
"Hm...."
Deru angin dingin yang datang bagai badai salju, membuat Panji menggeram. Seketika kedua kakinya
dipancangkan ke tanah, hingga melesak sebatas mata kaki. Sekujur tubuhnya telah terlapisi kabut bersinar putih
keperakan. Melihat dari pendaran sinarnya yang lebar, dapat diketahui kalau Pendekar Naga Putih mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' sepenuhnya!
"Hyaaattt...!"
Dibarengi sebuah pekik mengguntur, tubuh Pendekar Naga Putih melesat ke depan, menyambut
terjangan Iblis Kutub Utara. Dua gelombang angin dingin laksana badai salju langsung menggemuruh datang.
Bummm...!
Ledakan keras mengguntur bagai gunung runtuh tercipta, menandai benturan dua gelombang tenaga
raksasa. Tanah di sekitar tempat itu berguncang laksana digoyang gempa. Beberapa batang pohon berderak,
langsung tumbang tercabut sampai ke akar-akarnya. Jelas, betapa dahsyat dan mengerikannya benturan yang
terjadi!
Sementara, tubuh Panji dan Iblis Kutub Utara sama-sama terpental balik dengan derasnya. Tubuh
mereka terus terbanting ke tanah, dan terguling-guling sampai lima tombak lebih. Meski demikian, keduanya
terlihat sama-sama bergerak bangkit dan langsung bersila, untuk menenangkan bagian dalam tubuh yang
terguncang keras! Wajah mereka tampak sama-sama pucat kebiruan tanda mengalami luka dalam. Kenyataan ini
membuktikan kalau tenaga sakti mereka seimbang.
Anila yang terpelanting akibat benturan dua tenaga sakti, bergegas bangkit dan berlari menghampiri
Panji. Wanita cantik ini sampai melupakan keselamatan diri sendiri, saking khawatir terhadap nasib pemuda itu.
Melihat Panji tengah tenggelam dalam semadinya, Anila segera berdiri di belakang seperti menjaga agar
pemuda itu tidak ada yang mengganggu.
Sementara itu, Setan Gurun Api tampak seperti tidak mempedulikan keadaan istrinya. Kepalanya
malah manggut-manggut sambil tak lepas menatap wajah Anila. Sesekali Setan Gurun Api menggerak-gerakkan
kedua alisnya sambil memamerkan senyum yang dianggap paling manis, sewaktu Anila kebetulan memandang
ke arahnya.
Sedangkan Anila menjadi sebal melihat kegenitan lelaki tua itu. Tapi, ia tidak berkata apa-apa kecuali
membuang pandangan. Jijik rasanya meladeni Setan Gurun Api, yang sepertinya menggunakan kesempatan
untuk menggoda.
TIGA
Panji lebih cepat bangkit daripada Iblis Kutub Utara. Semua itu tentu saja tidak terlepas dari 'Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi', yang bekerja membakar luka dalam tubuhnya.
"Panji.... Kau tidak apa-apa...?" tanya Anila, ketika melihat Panji telah membuka matanya.
Wajah perempuan cantik ini terlihat cemas. Dan ia sudah berjongkok di samping Panji, memandangi
dari samping.
"Aku tidak apa-apa, Anila," jawab Panji, membuat kekhawatiran Anila berkurang banyak. "Sebaiknya
kita segera pergi dari sini."
Panji langsung bangkit berdiri. Dengan mencekal lengan Anila, tubuhnya melesat cepat pergi
meninggalkan tempat ini.
"Pendekar Naga Putih! Hendak kau bawa ke mana perempuan cantik itu...?" Tiba-tiba terdengar seruan
berat dan parau, yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan. Dan tahu-tahu Setan Gurun Api telah berdiri
menghadang Panji.
"Setan Gurun Api! Kuharap jangan mengganggu kami lagi! Ke mana pun Anila kubawa, bukan
urusanmu. Maka harap kau menyingkir! Biarlah kami pergi!" tegas Panji, setengah mengancam.
"Panji! Kalau setan kurus itu berani macam-macam, lebih baik kita tunggu sampai istrinya selesai
bersemadi. Akan kuadukan kalau suaminya sangat genit. Dia menggodaku, selagi istrinya semadi," kata Anila.
Wanita itu menduga kalau Ki Rampak takut kepada istrinya. Makanya, dia mencoba memancing.
"Hus! Hus! Jangan...!" seru Setan Gurun Api, setengah berbisik sambil menempelkan jari telunjuk ke
mulut. "Kalau kalian ingin pergi, pergilah cepat! Aku tidak akan menghalangi...."
Hampir meledak tawa Panji, melihat sikap Setan Gurun Api langsung berubah ketika digertak Anila.
Namun Pendekar Naga Putih tak menyia-nyia-kan kesempatan itu. Tubuhnya cepat melesat pergi, meninggalkan
tempat ini dengan membawa Anila.
"Lain kali kita bertemu lagi..., An...!"
Begg!
Ki Rampak sampai terjerunuk, akibat gebukan pada punggungnya. Seruannya terputus, dan langsung
dilanjutkan dengan suara batuk yang sambung-menyambung.
"Siapa yang akan kau temui pada lain kali itu, ha?! Dan, ke mana perginya Pendekar Naga Putih serta
perempuan genit itu?!"
"Mereka..., mereka sudah pergi jauh..,," jawab Setan Gurun Api agak gugup.
Rupanya perempuan seperti gajah bengkak inilah yang memukul punggung suaminya. Sehingga, Setan
Gurun Apa merasa beruntung, ucapannya tidak sampai selesai.
"Hm.... Mengapa mereka pergi kau diamkan saja, hah?! Kau kasihan ya, kepada perempuan ular itu?
Kau takut tubuhnya yang molek kuremukkan? Dasar lelaki mata keranjang! Hiihh...!"
"Aaoo...!"
Setan Gurun Api langsung menjerit-jerit kesakitan, karena daun telinganya telah dijewer keras-keras
oleh istrinya. Tapi, lelaki tinggi kurus ini sama sekali tidak berani memberontak.
"Ayo! Tunjukkan, ke mana mereka pergi...!" bentak Iblis Kutub Utara sambil menarik-narik daun
telinga suaminya.
Tindakan itu membuat telaki tinggi kurus ini berjalan terbungkuk-bungkuk, menunjukkan arah lari
Panji dan Anila.
***
Sang Malam kini menunjukkan kekuasaannya. Bulan yang hanya sepotong, menggantung di langit
kelam. Cahayanya yang samar, berpendar berusaha menerobos kegelapan. Namun semua itu tidak menghalangi
sesosok tubuh yang tampak bergerak mendekati sebuah bangunan benteng tapal batas kerajaan.
Sosok itu tak lain dari Panji, yang bermaksud menyelundup masuk ke dalam benteng tempat tinggal
Senapati Guptasena. Petunjuk-petunjuk Anila memang diakui sangat banyak membantu.
Melalui sudut kiri bagian belakang, Pendekar Naga Putih melayang naik ke atas tembok. Bagian ini
memang paling lemah penjagaannya. Tembok yang lebih tinggi dari bagian lain dan penerangan yang cukup,
jelas tidak memungkinkan bagi musuh untuk menyelundup masuk. Tapi sayang perhitungan itu tidak berlaku
bagi tokoh-tokoh persilatan tingkat tinggi. Tentu saja mereka akan dapat melayang naik tanpa kesulitan berarti.
Terlebih, bagi Panji yang mendapat bantuan dari orang yang tahu banyak tentang keadaan di luar maupun di
dalam benteng.
Pendekar Naga Putih melayang turun dengan gerakan ringan. Tubuhnya terus melesat, dan merapat
pada dinding bangunan pada bagian yang agak gelap, ia berhenti sesaat, sambil memperhatikan bangunan yang
banyak terdapat di dalam benteng, sampai akhirnya menemukan induk bangunan yang menjadi tempat tinggal
Senapati Guptasena. Baru kemudian, tubuhnya bergerak menyelinap dari satu bangunan ke bangunan lain,
mendekati tempat yang menjadi tujuan. Dan bukan main kagetnya pemuda itu sewaktu tengah bergerak,
telinganya menangkap suara desir halus menuju ke arahnya.
Tappp!
Tidak terlalu sulit bagi Pendekar Naga Putih untuk menangkap sebuah benda bulat sebesar ibu jari
yang datang mengancam tubuhnya dengan kecepatan tinggi. Panji makin terkejut ketika benda yang ternyata
berupa sebutir kerikil itu membuat lengannya bergetar.
"Khekkekkek... Selamat bertemu lagi, Pendekar Naga Putih...!"
Sebuah suara disertai tawa ganjil, memasuki gendang telinga Pendekar Naga Putih. Panji terkesiap,
menyadari siapa adanya manusia yang mengirimkan suara dari jauh itu. Kepalanya menengadah, mencari sosok
pemilik suara dan tawa ganjil yang memang Iblis Kutub Utara itu.
"Kurang ajar...! Sepasang suami-istri iblis sinting itu pasti telah menguntitku sejak tadi...!" geram Panji,
ketika mendapati dua sosok tubuh di atas atap salah satu bangunan yang terdapat dalam benteng ini.
"Terima kasih kau telah menuntun kami masuk ke dalam benteng ini tanpa kesulitan...."
Suara berat dan parau disertai tawa seperti pekik burung gagak yang mengiang di gendang telinga,
membuat Panji menggertakkan giginya menahan geram. Hatinya sungguh menyesal telah menganggap remeh
kedua orang suami-istri sinting itu. Sehingga tanpa disadari telah digunakan sebagai petunjuk jalan masuk ke
dalam benteng. Apalagi, adanya kedua orang tokoh aneh itu, membuat Panji sadar kalau keadaannya sangat
berbahaya. Terutama, jika mereka membuat ulah dan sampai diketahui penghuni benteng.
"Jangan khawatir, Pendekar Naga Putih, Kita mempunyai urusan berlainan, meski masih ada sangkut
pautnya. Kalau kau tidak menyusahkan, kami pun tidak akan membuatmu susah," suara ganjil Iblis Kutub Utara
kembali terdengar di telinga Panji.
***
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api melesat meninggalkan Panji. Dari atas bangunan induk, mereka
meluncur turun di halaman samping.
Di sini, rupanya mereka telah dihadang oleh empat orang prajurit peronda. Namun hanya sekali
berkelebat, keempat orang prajurit itu langsung diselesaikan dengan tamparan-tamparan yang membuat kepala
remuk. Sedikit pun tak terdengar suara dari mulut keempat prajurit peronda itu. Memang, gerakan sepasang
suami-istri sinting ini demikian cepat dan mematikan!
Kini, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Apa tiba di depan pintu sebuah kamar yang diduga merupakan
tempat Senapati Guptasena beristirahat. Dan dengan gerakan dahsyat, kedua tokoh sinting ini langsung saja
mendobrak pintu, seperti tak lagi peduli kalau perbuatan itu dapat mengundang bahaya.
"Keparat! Siapa berani mati membuat keributan di tempat ini...!"
Terdengar bentakan menggelegar. Lalu seorang lelaki gagah dalam keadaan setengah telanjang,
melenting bangkit dari atas pembaringannya. Sedang wanita cantik yang berbaring di sebelahnya, bergegas
menarik selimut untuk menutupi tubuhnya yang juga dalam keadaan setengah telanjang. Terdengar jeritannya
yang halus menandai keterkejutan hatinya.
"Kedatangan kami untuk membawamu, Senapati Guptasena!"
Setan Gurun Api yang menyahuti bentakan lelaki gagah yang tak lain dari Senapati Guptasena.
Kemudian, laki-laki tua itu bergerak maju. Kecepatannya bagai kilat sambil mengulur tangannya untuk
mencengkeram leher senapati itu.
Iblis Kutub Utara pun tidak mau ketinggalan. Seperti berlomba dengan suaminya, tubuhnya yang bulat
menggelinding datang dengan kedua tangan terkembang.
Kaget bukan kepalang hati Senapati Guptasena, ketika merasakan adanya sambaran angin panas dan
dingin menerpa tubuhnya. Akibatnya, untuk sesaat tubuhnya seperti terserang demam hebat. Sadar kalau kedua
perusuh yang menyerangnya merupakan tokoh-tokoh pandai, ia cepat melompat ke belakang untuk
menyelamatkan diri.
Tapi untuk kedua kalinya, panglima gagah ini kembali dibuat terkejut! Serangan kedua orang perusuh
ternyata masih terus mengejar dan mengancam, membuat jengkel Senapati Guptasena. Maka dengan seluruh
tenaga, kedua lengannya dikibaskan untuk memapak sergapan yang masih terus mengikutinya.
Plakk, plakkk!
"Aaaakh...?!"
Senapati Guptasena terpekik kesakitan. Tubuhnya langsung terlempar, hingga membentur dinding di
belakangnya hingga jebol. Jelas, betapa hebatnya tenaga serangan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api!
Namun, sepasang suami istri sinting ini pun tidak bisa melanjutkan serangan, karena prajurit-prajurit
Senapati Guptasena telah datang menyelamatkan junjungannya. Sedang Senapati Guptasena sendiri telah
ditolong dua orang perwira tinggi. Sementara itu, sekitar tiga puluh orang prajurit telah siaga dengan senjata di
tangan. Mereka langsung mengepung Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api!
"Hm.... Tidak disangka kalau tempat ini kedatangan manusia-manusia yang sudah bosan hidup...!"
Kata-kata bernada ancaman itu terucap dari mulut seorang perwira tinggi kurus, berwajah agak pucat.
Selain perwira ini, masih terdapat empat orang perwira lain termasuk dua orang yang menolong Senapati
Guptasena.
Sepasang suami-istri sinting memperdengarkan tawanya yang ganjil. Kelihatannya, kepungan itu sama
sekali tidak membuat mereka gentar. Malah, tawa keduanya semakin keras dan panjang. Sehingga, membuat
para pengepung serentak menutup telinga.
"Serbuuu...!"
Perwira tinggi kurus berwajah pucat itu segera mengambil keputusan. Sepertinya, ia sadar kalau
keadaan dibiarkan berlarut-larut, pihaknyalah yang bakal mendapat celaka.
Seketika ujung-ujung tombak puluhan prajurit itu membuat tawa Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun
Api terhenti. Mereka sudah mengamuk, membagi-bagi tamparan dan tendangan. Akibatnya prajurit-prajurit
yang datang menyerbu berpentalan tak tentu arah. Beberapa orang malah ada yang langsung menggeletak tewas.
Tapi biar bagaimanapun lihainya, Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api tetaplah manusia-manusia
biasa yang terdiri dari tulang dan daging. Sehingga, meski telah belasan prajurit bergeletakan menjadi korban
kekejaman mereka, puluhan prajurit lain datang menyerbu bagaikan tak pernah habis. Bahkan perkelahian yang
telah bergeser ke luar bangunan induk, membuat sepasang suami-istri sinting ini jadi kewalahan. Seolah, seluruh
penghuni benteng telah tumpah keluar untuk mencincang tubuh mereka berdua. Mau tidak mau, Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api merasa bergidik juga menghSdapi keroyokan yang semakin menyemut ini.
"Tahan senjata...!"
Di tengah teriakan marah dan pekik para prajurit, Iblis Kutub Utara tiba-tiba berseru melengking
merobek kegelapan malam. Kedua tangan perempuan gendut ini mengibas, membuat pengeroyok terdepan
terdorong mundur dan berjatuhan menimpa prajurit-prajurit di belakang. Maka pertempuran pun terhenti
seketika.
"Kau tidak punya waktu lagi untuk meminta ampun, Iblis Gendut! Tidak ada kata menyerah bagimu,
kecuali mati dengan tubuh tercincang!" hardik Senapati Guptasena yang kemarahannya sudah mencapai ubun-
ubun.
"Khek kek kek..!"
Iblis Kutub Utara masih sempat juga tertawa, kendati ucapan Senapati Guptasena membuatnya ngeri.
"Tubuh kami berdua boleh kau cincang sepuasmu, Senapati Guptasena. Tapi perlu kau ketahui, bahwa
bukan hanya kami berdua yang malam ini menyusup ke dalam bentengmu. Ada seorang tokoh besar yang
berjuluk Pendekar Naga Putih, saat ini mungkin sudah berhasil menculik putramu yang semata wayang!"
"Hm.... Jangan dikira kami bisa diperdaya, Iblis Gendut! Sebaiknya, bualanmu itu kau bawa saja
menghadap malaikat penjaga neraka...!" ejek Senapati Guptasena, tak menggubris perkataan Iblis Kutub Utara.
"Buat apa kami berdusta! Kami tidak takut menghadapi kematian!" tukas Setan Gurun Api. "Apa yang
dikatakan istriku sama sekali tidak bohong. Tapi kalau memang kau ingin kehilangan putramu yang hanya satu-
satunya, silakan saja ini dianggap bualan!"
Ucapan Setan Gurun Api membuat Senapati Guptasena bungkam. Wajah kedua orang tokoh itu
memang tidak menunjukkan tanda-tanda kebohongan. Maka segera diperintahkannya dua orang perwira
bersama puluhan prajurit untuk membuktikan perkataan kedua orang ini.
***
Sementara itu, Pendekar Naga Putih hanya bisa menghela napas menyesali keteledorannya. Namun ia
tidak bisa berbuat apa-apa, selain membiarkan sepasang suami istri-sinting itu melesat pergi. Saat ini, Panji
sudah berkelebat memasuki tempat kediaman Senapati Guptasena melalui sebuah jalan rahasia.
Jalan itu memang sengaja dibuat, atas perintah Senapan Guptasena untuk tempat persembunyian bagi
keluarganya jika dalam keadaan terdesak. Lorong-lorong jalan rahasia yang agak gelap, ternyata membawa
Panji tiba di kamar perpustakaan.
Penjagaan di dalam bangunan induk yang tidak terlalu ketat, memudahkan Pendekar Naga Putih
menyelinap ke kamar Paridesta, putra tunggal Senapati Guptasena yang menjadi tujuannya. Beruntung ia tidak
menemui kesulitan. Karena, kamar itu sama sekali tidak terjaga. Setelah mengurut dua bagian tubuh bocah
berusia kurang dari dua tahun itu agar tidak terjaga dan tidak menangis, Panji segera mengikat ke punggungnya.
Kemudian bergegas dia keluar dari dalam kamar.
Tapi bukan main kagetnya hati Pendekar Naga Putih ketika berada di luar kamar. Ternyata dirinya
telah terkepung oleh sedikitnya dua puluh orang prajurit dan dua orang perwira dengan senjata di tangan!
"Celaka...?!" desis Panji agak cemas.
Memang Pendekar Naga Putih tidak menghendaki adanya pertempuran. Tapi melihat keadaan yang
dihadapinya, jelas harapannya tidak mungkin terwujud.
Memang, inilah kelicikan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, sehingga Panji terkepung. Dan
Pendekar Naga Putih sendiri memang telah menduganya.
EMPAT
"Tahan...!"
Panji berseru sambil mengangkat tangan kanannya. Seketika langkah maju puluhan prajurit dan dua
orang perwira yang mengepungnya terhenti.
"Penculik hina! Jangan harap dapat keluar hidup-hidup dari tempat ini!" bentak salah seorang perwira,
yang kulit wajahnya berwarna kemerahan.
"Menyerahlah! Serahkan putra junjungan kami. Jika menurut, hukumanmu akan diperingan," tambah
perwira yang berperut buncit.
"Hm.... Putra junjungan kalian ada di tanganku. Akulah yang seharusnya memberi pilihan. Bukan
kalian, Tuan Perwira," sahut Panji tersenyum tipis.
Dua orang perwira itu saling berpandangan sesaat. Tampaknya, mereka baru sadar kalau pemuda
tampan berjubah putih itu berada di pihak yang menang. Karena, putra junjungan mereka berada dalam
kekuasaannya.
"Nah! Sekarang, aku minta kalian menyingkir. Senjata kalian bisa membuat bocah ini terluka. Kalau itu
sampai terjadi, Senapati Guptasena akan menggantung kalian semua!" lanjut Panji, sehingga membuat wajah
pengepungnya berubah pucat!
"Keparat! Tahukah kau bahwa perbuatanmu akan membuat dirimu menjadi musuh kerajaan! Kau akan
menjadi buronan! Tidak akan ada lagi ketenangan dalam hidupmu. Ingat itu baik-baik! Pikir lebih mendalam,
sebelum terlambat menyesali perbuatanmu malam ini!" gertak perwira yang bermuka merah.
Memang, perwira itu merasa serba salah. Membiarkan Panji pergi membawa putra junjungannya,
sudah pasti ia akan mendapat marah besar. Sebaliknya, Senapati Guptasena tentu akan mendampratnya habis-
habisan, apabila mencegah kepergian Panji dengan menggunakan kekerasan.
"Anak muda," panggil perwira yang berperut buncit sambil melangkah maju empat tindak. Sepasang
matanya menyorot tajam, meneliti sosok Panji. "Benarkah kau yang berjuluk Pendekar Naga Putih?"
Pertanyaan itu tidak membuat Panji kaget. "Mengapa kau menduga demikian, Tuan Perwira?"
"Ketahuilah. Bukan hanya kau saja yang menyelundup ke dalam benteng malam ini. Masih ada
sepasang orang tua sinting yang mengganggu atasan kami. Dalam keadaan terjepit, mereka mengatakan kalau
seorang tokoh berjuluk Pendekar Naga Putih akan menculik putra panglima kami," jelas perwira berperut buncit
itu, membuat Panji tersenyum masam.
"Semestinya kalian tidak perlu mendengarkan ocehan sepasang iblis sinting itu. Ucapan mereka
memang tidak salah. Tapi, aku menculik bukan tanpa alasan," tukas Panji, langsung teringat kalau perbuatannya
karena tidak sampai hati melihat penderitaan Anila, ibu bocah yang diculiknya.
"Hm.... Jadi, kau berjuluk Pendekar Naga Putih?!"
Kali ini perwira bermuka merah yang menegasi. Sepasang matanya tampak menyiratkan keheranan
besar. Kalau tidak melihat sendiri, ia tidak akan percaya Pendekar Naga Putih melakukan penculikan.
"Sudahlah.... Aku tidak ingin berpanjang kata lagi...," tukas Panji cepat, tidak mempedulikan keheranan
mereka. "Ingat! Putra Senapati Guptasena bisa celaka jika kalian menghalangi kepergianku,"
Pendekar Naga Putih langsung melangkah lebar sambil menyibakkan kedua tangannya. Hawa dingin
yang keluar membuat para prajurit berlompatan mundur, saling berbenturan satu sama lain.
"Tunggu...!"
Seruan itu dibarengi lesatan tubuh dua perwira yang langsung menghadang jalan. Tapi, Panji tidak
peduli. Tubuhnya sudah melompat tinggi melampaui kepala dua orang perwira, dan terus melesat menerobos
kegelapan.
"Kejaaarrr...!"
Panji yang yakin kalau pengejarnya tidak akan menggunakan senjata, terus berlari meninggalkan
tempat itu. Sementara tempat prajurit penjaga gerbang yang menghadang langsung dirobohkan dengan totokan.
Dan saat hendak melewati gerbang, telinganya menangkap suara lengkingan panjang yang menggetarkan dada.
Panji kenal betul, siapa pemilik suara itu. Tapi, ia tidak mau ambil pusing. Pendekar Naga Putih terus berlari
meninggalkan benteng tapal batas itu.
***
Senapati Guptasena kaget bukan main! Lengkingan yang mengandung tenaga dahsyat membuat dirinya
terpelanting jatuh! Padahal, tenaga dalamnya telah dikerahkan untuk melindungi dada dan menutup telinga
dengan kedua tangannya. Tapi, pengaruh lengkingan itu ternyata tidak dapat ditahannya.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api terus memperdengarkan lengkingan, membuat para pengepung
terdekat berpelantingan roboh. Suasana pun menjadi kacau! Dan kesempatan itu pun digunakan suami-istri
sinting ini untuk menotok Senapati Guptasena dan membawanya pergi. Tak seorang pun yang dapat
mencegahnya, karena sepanjang jalan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api masih saja memperdengarkan
lengkingan.
"Khek kek kek... Akhirnya kita berhasil juga, Kanda...," ujar Iblis Kutub Utara.
Perempuan itu segera menghentikan larinya, setelah yakin kalau tidak akan terkejar. Napasnya
terdengar tersengal-sengal kelelahan. Wajah yang biasanya pucat, terlihat agak kemerahan. Tubuh gendutnya
dihempaskan telentang di atas tanah berumput.
Keadaan Setan Gurun Api tidak berbeda jauh dengan istrinya. Kendati tawa ganjil masih bisa
terdengar, namun tetap saja tersendat-sendat. Sekujur tubuhnya yang memang tak pernah kering, terlihat
semakin kuyup. Dengus napasnya terdengar kasar seperti seekor kuda pacu. Tubuh yang mirip batang bambu ini
juga menggeletak di tanah, bersebelahan dengan istrinya.
"Biang kunyuk! Kekuatan pasukan di dalam benteng itu memang bukan isapan jempol! Bagusnya, kita
memiliki tenaga dalam sempurna. Jika tidak, mungkin sekarang telah menghadap penjaga neraka," runtuk Setan
Gurun Api.
"Heh?! Kita sudah setengah mati dan kehabisan tenaga seperti ini, masih kau bilang bagus! Dasar
cecak kering! Kau senang ya, kalau aku mampus?" Iblis Kutub Utara memiringkan kepala, memandang
suaminya dengan mata melotot marah.
"Wah! Kau jangan salah tangkap, Gajah Bengkak. Apa aku salah ucap?" Setan Gurun Api juga
berpaling memandang istrinya.
"Lagi pula, mana mungkin ada perempuan lain yang lebih cantik dan montok sepertimu, Dinda. Sudah,
jangan berpikir yang bukan-bukan! Lebih baik, kita istirahat sambil menghimpun tenaga," ujar Setan Gurun
Api.
Muka berang Iblis Kutub Utara perlahan memudar. Pujian suaminya nyatanya membuat bibirnya
tersenyum.
"Benar, tidak ada perempuan lain yang lebih cantik dariku?" tanya perempuan gendut itu bernada
manja.
"Benar, Dinda. Kaulah perempuan tercantik dan termontok di jagad ini," jawab Setan Gurun Api, juga
tersenyum. Kemudian, kata-katanya dilanjutkan dalam hati. "Tentu saja kau paling cantik dan montok di antara
gajah-gajah perempuan di jagad ini. Dasar perempuan gila pujian!"
Iblis Kutub Utara yang tidak tahu kelanjutan perkataan suaminya, tersenyum semakin manis.
Sementara, Senapati Guptasena yang tergeletak di sampingnya hanya bisa menyumpah-nyumpah suami-istri
sinting itu dalam hati. Memang urat suaranya tertotok kuat, sehingga tidak bisa bersuara. Tubuhnya pun tidak
bisa digerakkan, akibat totokan perempuan gendut di sampingnya.
***
"Ooh, anakku...!"
Air mata Anila runtuh, begitu membuka pintu kamar penginapan. Didapatinya Panji tengah berdiri
sambil menggendong seorang bocah laki-laki berusia kurang dari dua tahun. Bagai orang hilang ingatan,
direbutnya bocah itu dari gendongan Panji. Dipeluk dan diciuminya dengan air mata bercucuran.
Panji yang masih berdiri di ambang pintu, menarik napas panjang. Luapan kegembiraan Anila yang
telah mendapatkan kembali putranya, membuat hatinya terharu. Tindakan menculik yang sedikit banyak
membuat dirinya telah berbuat kesalahan, terhapus seketika. Malah, hatinya merasa bersyukur dapat membuat
Anila berkumpul kembali bersama putranya.
"Oh! Maaf, Panji. Aku sampai lupa mengucapkan terima kasih kepadamu!" seru Anila, tersadar dari
luapan kegembiraannya. Bergegas dihampirinya Pendekar Naga Putih.
"Aku tidak ingin mengganggu kegembiraanmu, Anila. Aku akan beristirahat di kamar sebelah," kata
Panji.
Anila tidak segera menanggapi. Tubuhnya segera berbalik, dan melangkah menuju pembaringan.
Sebentar saja, wanita itu telah kembali menemui Panji, setelah merebahkan putranya yang telah
terbebas dari totokan dan masih terlelap seperti waktu Panji membawanya. Seolah, tidak pernah terjadi apa-apa
pada dirinya.
"Panji," panggil Anila menengadahkan wajahnya, menatap pemuda di depannya. "Aku tidak tahu,
bagaimana harus menyatakan rasa terima kasihku. Rasanya, seluruh apa yang ada pada diriku pun belum cukup
untuk membalas kebaikanmu. Tetapi aku tidak mempunyai apa-apa, kecuali diri ini. Kau boleh meminta apa
saja kepadaku. Kau boleh ambil apa saja yang kau inginkan dariku. Terserahmu. Semalam, sebulan, setahun,
atau selamanya. Aku rela melayanimu sampai kapan pun!"
"Anila...?!" desis Panji kaget.
"Panji...."
Kekagetan Panji ditanggapi lain oleh Anila. Tanpa ragu-ragu lagi, tubuhnya dijatuhkan ke dalam
pelukan Panji. Terdengar desahan halus dari mulut Anila, yang merebahkan kepalanya di dada Panji.
"Anila, sadarlah...," ujar Panji.
Pendekar Naga Putih jadi kebingungan. Tak disangka kalau pertolongan yang diberikannya akan
berbuntut seperti ini. Tapi untuk melepaskan pelukan Anila begitu saja, ia takut perempuan itu akan
tersinggung. Sehingga, Panji jadi serba salah.
"Apa aku kurang cantik, Panji? Atau, tubuhku sudah tidak padat lagi karena telah melahirkan seorang
anak?"
"Bukan begitu, Anila."
Panji jadi agak gugup merasakan betapa tubuh hangat Anila semakin ketat merapat ke tubuhnya.
Hatinya berdebar semakin keras, sewaktu dengan pandainya Anila membelai dadanya. Khawatir dirinya
semakin terbakar lupa, Panji menangkap tangan Anila. Lalu, segera didorongnya perlahan-lahan tubuh yang
sudah panas itu.
"Aku tidak mengharapkan balasan apa pun darimu, Anila. Semua kulakukan dengan ikhlas," tolak
Panji halus, dengan wajah memerah dan napas agak memburu.
Setelah berkata demikian, Panji memutar tubuhnya, meninggalkan Anila yang masih termangu tak
mengerti.
Anila memang terlalu cantik. Tubuhnya yang indah dan hangat, sanggup meruntuhkan lelaki mana pun.
Dan kalau saja tadi bayangan Kenanga tidak melintas di depan mata, Panji tidak yakin dirinya masih sanggup
bertahan. Hatinya merasa bersyukur, bayangan kekasihnya datang menyelamatkannya dari godaan.
"Heran?! Apa yang membuat pemuda itu sanggup bertahan? Padahal, aku dapat merasakan betapa ia
sudah hampir tak berdaya?" gumam Anila, masih terpaku di ambang pintu. Sementara itu, sosok Panji sudah
meninggalkan tempat ini.
***
Ketukan pada pintu kamar, membuat Panji menggeliat bangkit dan turun dari pembaringan. Tampak
pelayan rumah penginapan yang sudah berusia setengah baya berdiri di ambang pintu meneliti wajahnya.
"Tuan yang bernama Panji?"
"Benar. Ada apa?" sahut Panji disertai kerutan kening.
"Ada pesan dari Nisanak yang menginap di kamar sebelah. Katanya, Tuan tidak perlu menunggunya
untuk sarapan pagi. Karena, ia akan mengajak putranya untuk melihat-lihat desa ini...," lapor wanita setengah
baya itu.
"Apa dia mengatakan tujuannya?" potong Panji tak sabar.
"Tidak, Tuan. Tapi, katanya, Tuan tidak perlu khawatir. Ia akan segera kembali menemui Tuan...,"
sahut pelayan itu.
Merasa semua amanat telah disampaikan, pelayan itu berpamit kepada Panji. Lalu tubuhnya ber-balik
meninggalkan Pendekar Naga Putih yang masih berdiri di ambang pintu.
Panji yang lupa menyampaikan pesan kepada Anila agar jangan dulu memperlihatkan putranya di
depan umum, bergegas hendak menyusul. Ia khawatir. Senapati Guptasena telah menyebar orang-orangnya
untuk mencari putranya yang hilang.
Tapi, kaki kanannya yang baru melangkah keluar dari pintu rumah penginapan, kembali ditarik.
Bahkan Pendekar Naga Putih terpaksa kembali ke kamarnya, karena serombongan kecil prajurit kerajaan tengah
bergerak menuju tempatnya menginap. Sebuah penginapan yang juga berupa kedai pada bagian depannya.
***
"Heran! Tidak biasanya ada prajurit yang berkeliaran di desa ini...?" gumam Panji, memancing
tanggapan pelayan yang membawakan makanan pesanannya.
Terpaksa niat untuk mencari Anila ditunda. Dan agar bisa mendapatkan keterangan, Panji sengaja
duduk di dalam kedai dan memesan makanan.
"Memang, Tuan," sahut pelayan kedai tanpa diminta. "Apa Tuan belum mendengar kalau benteng
perbatasan dibuat gempar semalam?"
Keterangan ini, tidak segera dilanjutkan. Dia seperti sengaja membuat Panji penasaran. Tapi sewaktu
melihat tamunya diam saja, pelayan itu meneruskan ceritanya sampai selesai.
"Senapati Guptasena dan putranya hilang diculik orang!" tutur pelayan itu.
Kali ini Panji benar-benar dibuat terkejut! Panji tidak merasa perlu lagi mendengar tentang siapa
penculik Senapati Guptasena. Tanpa menyelesaikan makannya, bergegas Pendekar Naga Putih bangkit dan
memberikan uang pembayaran kepada pelayan yang masih terus nyerocos.
Melihat tidak adanya prajurit yang berkeliaran di jalan, bergegas Panji melesat meninggalkan
penginapan yang juga telah dilunasi. Secara sembunyi-sembunyi, agar tidak sampai bertemu prajurit-prajurit
kerajaan, Pendekar Naga Putih menjelajahi sekitar desa itu untuk mencari Anila. Namun usahanya sia-sia.
Pencarian dihentikan, setelah lebih dari setengah hari mengelilingi tanpa hasil. Ada terselip rasa khawatir dan
kasihan membayangkan Anila tertangkap oleh prajurit yarig banyak berkeliaran di desa ini.
Panji berdiri gundah di atas sebuah dataran yang agak tinggi. Matanya memandang berkeliling,
menduga-duga ke mana kira-kira Anila pergi. Pandangan Panji terhenti pada sebuah gundukan tanah berupa
anak bukit, yang banyak ditumbuhi pepohonan. Letaknya, di sebelah selatan desa, kira-kira seperempat hari
perjalanan biasa.
"Siapa tahu Anila pergi bersembunyi ke tempat itu...."
Setelah berpikir demikian, tanpa membuang waktu lagi Panji segera melesat menuju anak bukit itu.
Bagi orang seperti dirinya, memang tidak membutuhkan waktu lama. Beberapa saat saja, langkah Panji telah
tiba di seputar kaki anak bukit yang ternyata memang cukup baik sebagai tempat persembunyian. Pepohonan
liar yang tumbuh rapat, menjadikan anak bukit itu cocok sebagai sarang buronan. Rasa cemas melihat tempat itu
tidak cocok bagi perempuan, membuat Panji segera merambah semak perdu. Ia mulai menjelajah sekitarnya.
Tapi mendadak saja....
Wrrrrt, wwrrttt!
Baru sekitar delapan tombak Panji melangkah, tiba-tiba kedua pergelangan kakinya terjepit sesuatu.
Dan sebelum sempat menyadari, tahu-tahu tubuhnya tersentak ke atas, untuk kemudian terhenti berjarak satu
setengah tombak dari atas tanah. Kedua pergelangan kakinya terjerat tali perangkap, membuat tubuhnya
tergantung dan terayun-ayun.
"Hua ha ha...! Perangkapku ternyata benar-benar jitu! Semula kusangka harimau gagah yang cerdik.
Tapi, nyatanya hanya seekor babi tolol!"
Terdengar tawa terbahak dan ucapan bernada menghina, yang disusul munculnya sesosok tubuh
bertampang garang. Wajahnya ditumbuhi berewok liar, dengan sepasang mata berapi memancarkan dendam dan
kebencian.
"Golok Tunggal..!" seru Panji agak terkejut begitu mengenali lelaki bertampang garang yang pernah
dipecundanginya.
"Bagus! Kau rupanya masih mengenaliku, Bocah Sombong! Itu berarti kau pun pasti masih ingat
perbuatanmu yang sok pahlawan tempo hari," balas Golok Tunggal, yang mengaku sebagai Penguasa Rimba
Kenara. Langkahnya terayun lambat, merasa yakin kalau dendamnya akan segera terlampiaskan.
"Hm.... Kau rupanya masih belum kapok," tukas Panji tanpa menunjukkan rasa gentar, meski dirinya
telah tertawan.
Pendekar Naga Putih bukan tidak tahu kalau kali ini Golok Tunggal tidak seorang diri. Adanya suara
langkah kaki lain, yang bermunculan dari semak sekitarnya, membuat Parlji mengerti kalau Golok Tunggal
memang sudah mempersiapkan pembalasan dendamnya. Dalam hati, Pendekar Naga Putih menghitung jumlah
orang yang baru datang itu. Sembilan orang.
"Hm.... Masih juga hendak berlagak seperti harimau? Tahukah kau, Bocah! Tali penjerat kakimu telah
kulumuri racun?" ejek Golok Tunggal kembali memperdengarkan gelak tawanya.
"Begitukah?" tukas Panji tersenyum sinis. "Biar kucoba, apakah racunmu dapat melukaiku."
Usai berkata demikian, Panji menyentak naik separo tubuhnya, hendak menjangkau tali dengan kedua
tangannya.
Golok Tunggal dan kawan-kawannya yang berkumpul di bawah tubuh Pendekar Naga Putih terus
memperdengarkan gelak tawa ramai. Karena, sewaktu Panji hendak menjangkau tali yang menjerat kedua
lakinya, secara tiba-tiba tubuhnya meluncur deras ke bawah. Akibatnya, niatnya tertunda. Pendekar Naga Putih
sudah mengulur tangan untuk menahan tubuhnya yang menurutnya akan terbanting ke tanah, tapi lagi-lagi
dibuat kaget. Karena sebelum kedua telapak tangannya menyentuh permukaan tanah, tali yang menjerat kakinya
cepat tertarik ke atas. Bisa dimengertilah sekarang, mengapa Golok Tunggal tampak begitu yakin kalau
Pendekar Naga Putih tidak akan bisa membebaskan diri dari perangkap. Rupanya selain sembilan orang yang
dilihatnya, masih ada empat orang lagi yang bertugas mempermainkan tali penjerat.
"Perangkapmu cukup mengagumkan, Golok Tunggal. Tapi sayang, kau terlalu sombong dan
meremehkan orang lain. Coba kau lihat, apakah tali-tali ini akan sanggup menahan berat tubuhku," kata Panji.
Segera Pendekar Naga Putih mengerahkan ilmu memberatkan tubuh, membuat dirinya lebih berat dari seekor
gajah.
Sementara itu Golok Tunggal bersama sembilan orang kawannya terus tertawa terbahak-bahak. Tapi,
mulut-mulut yang terbuka lebar itu seketika menutup. Sepuluh pasang mata itu terbelalak bagai hendak
melompat dari rongganya. Ternyata tubuh pemuda yang tengah tergantung tiba-tiba meluncur deras, disusul
teriakan-teriakan ngeri dari empat sosok tubuh yang tersentak naik, mengikuti tali-tali yang masih dipegang.
Panji sengaja mengayun tubuhnya dengan gerakan berputar, kemudian meluncur turun sekitar dua
tombak lebih dari tempat Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya berada. Dan karena Pendekar Naga
Putih masih belum melepaskan ilmu memberatkan tubuhnya, maka keempat orang yang memegang tali penjerat
ganti bergantungan sambil berteriak-teriak ketakutan.
"Golok Tunggal! Tidakkah kau iri pada keempat lawanmu? Lihatlah! Mereka bersorak-sorak
kegirangan sambil bertepuk tangan. Dan sebentar lagi, mereka akan saling berlomba melompat ke bawah!"
Setelah berkata demikian, Panji membungkuk. Langsung dilepaskannya ikatan pada kedua pergelangan
kakinya.
"Jangaaannn...! Tuan Pendekar. Ampuuun...!"
Keempat erang kawan Golok Tunggal yang tergantung setinggi tiga tombak dari permukaan tanah,
berteriak-teriak ketakutan. Wajah mereka pucat, bagai tak berdarah dengan sekujur tubuh sudah dibasahi
keringat dingin.
"Ah! Aku tidak yakin kalau kalian benar-benar takut!" ledek Panji sambil menengadahkan kepalanya,
memandang empat orang lelaki yang kehilangan tampang bengisnya.
"Kami tobat, Tuan Pendekar! Kami tidak ingin terbanting jatuh! Kami mengaku salah, dan berjanji
tidak akan mengulangi perbuatan jahat lagi! Kami ingin hidup dan menjadi orang baik-baik!"
Keempat orang itu bergantian berteriak meminta belas kasihan. Melihat kesungguhan dalam ucapan
dan wajah mereka, Pendekar Naga Putih yang memang tidak sungguh-sungguh, segera mengulurkan perlahan-
lahan tali yang telah dilepas dari pergelangan kaki. Sehingga, keempat orang itu dapat tiba di tanah dengan
selamat. Tampak jelas, betapa tubuh mereka masih gemetar oleh rasa takut.
Panji tersenyum lega, dan balas mengangguk ketika keempat orang itu mengucapkan terima kasih. Dan
tanpa menghiraukan Golok Tunggal serta kawannya yang lain, keempat lelaki itu bergegas meninggalkan
tempat ini.
LIMA
"Golok Tunggal," ujar Panji, menghadapi Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya. "Kalau kau
mau jujur, sebenarnya di antara kita tidak pernah ada permusuhan. Kalaupun ada, itu karena kesalahanmu. Dan
aku..."
"Cukup!" tukas Golok Tunggal dengan bentakan keras. "Kau tidak perlu berkotbah di depanku! Lebih
baik, bersiaplah untuk merasakan pembalasan Golok Tunggal!"
Cring!
Terdengar suara gemerincing sewaktu Golok Tunggal mencabut senjatanya. Kemudian, diberikannya
isyarat kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok Pendekar Naga Putih. Golok Tunggal sendiri sudah
bergerak maju sambil memutar senjatanya.
Panji, tersenyum pahit, melihat sikap keras kepala Golok Tunggal. Tubuhnya masih belum bergeser,
meski Golok Tunggal dan sembilan orang kawannya telah mengurung membentuk lingkaran lebar.
"Seraaang...!"
Golok Tunggal langsung memberi perintah. Golok besar di tangannya berputar cepat menimbulkan
suara angin menderu-deru, dan langsung meluncur datang mengancam tubuh Pendekar Naga Putih.
Whukkk!
Senjata yang besar dan berat itu menderu lewat di samping tubuh Panji, yang sudah bergeser seangkah.
Dan Pendekar Naga Putih terus melompat mundur, sewaktu dua senjata pengeroyok lain berdesing datang.
"Hyaahhh...!"
Sambil melompat berputar, Panji membentak seiring tendangan yang membuat dua orang penyerang di
belakang terjungkal roboh. Kemudian serangannya kembali menghentak dua penyerang dari samping.
"Hyaattt...!"
Golok Tunggal kembali menyerbu dengan tusukan golok, sewaktu Pendekar Naga Putih baru saja
menjejakkan kedua kaki di tanah. Namun tusukan itu kembali luput karena Panji telah menekuk tubuhnya ke
belakang sambil mengirimkan sebuah tendangan lurus ke perut.
"Begh!"
"Hegh!"
Tendangan yang cepat dan tak terduga membuat Golok Tunggal memekik kesakitan. Tubuhnya kontan
terpelanting roboh. Rasa mual yang menyerang perut, membuatnya tak mampu buru-buru bangkit.
Sementara itu lima pengeroyok yang tersisa bergegas menyerbu untuk menolong Golok Tunggal.
Senjata-senjata mereka berdesingan, meluncur mengancam tubuh Pendekar Naga Putih. Tapi semua serangan
dapat mudah dipatahkan Panji. Bahkan serangan balasannya membuat tiga orang langsung berpelantingan yang
disusul robohnya dua orang lain, ketika terkena tendangan Panji.
Ketika sembilan pengeroyok masih bergeletakan di tanah sambil mengerang kesakitan, Panji
melangkah menghampiri Golok Tunggal yang masih belum bisa menghilangkan rasa mualnya.
"Golok Tunggal," sebut Panji dengan sikap penuh perbawa. "Apakah untuk menyadarkanmu dari
kesesatan, aku harus mematahkan kedua kaki dan| tanganmu terlebih dulu?"
Golok Tunggal tidak menjawab. Namun sorot matanya menentang tatapan Panji. Terdengar suara
menggereng dari kerongkongannya.
"Persetan denganmu. Mampuslah...!"
Diam-diam, rupanya Golok Tunggal tengah berusaha memulihkan kekuatan. Setelah merasa cukup
kuat, tubuhnya langsung melenting bangkit. Bahkan cepat senjatanya ditusukkan sambil membentak.
Namun, Panji cepat menarik kaki kirinya sambil memiringkan tubuh. Begitu ujung golok lewat dan
tubuh Golok Tunggal berada di depan, tangannya langsung menghantam punggung. Akibatnya, Golok Tunggal
seketika terbanting keras.
Ngkk!
"Uhh..."
Golok Tunggal merintih. Tebasan Pendekar Naga Putih membuat tulang punggungnya terasa patah.
Belum lagi rasa sakit itu lenyap, tahu-tahu kedua tangannya telah diputar ke belakang.
Krekk!
"Aaakh...!"
Golok Tunggal menjerit kesakitan.
"Hendak kulihat, apakah kesesatanmu masih akan dilanjutkan setelah kubuat cacat," geram Panji, siap
mematahkan kedua tangan Golok Tunggal.
"Jangaaan...!" jerit Golok Tunggal ketakutan. Ngeri hatinya membayangkan cacat yang akan diterima.
"Mengapa? Bukankah ini yang kau kehendaki?" tanya Pendekar Naga Putih sambil melanjutkan
perbuatannya.
"Ampuuunnn...!' Aku menyerah...! Jangan patahkan tanganku! Aku berjanji akan meninggalkan
kesesatan," jerit Golok Tunggal dengan napas tersengal dan wajah semakin pucat.
"Hm... Kau tidak bisa dipercaya!"
"Aku bersumpah...!" tukas Golok Tunggal buru-buru, karena Panji masih terus memuntir kedua
tangannya.
"Baiklah," ujar Panji, akhirnya melepaskan kedua tangan Golok Tunggal. "Untuk kali ini, aku percaya
sumpahmu. Tapi jika kudengar kau masih melanjutkan perbuatan sesatmu, aku akan datangi untuk mematahkan
kedua kaki dan tanganmu!"
"Baik, baik...," sambut Golok Tunggal terengah.
"Sekarang, jawab pertanyaanku. Aku sedang mencari wanita, yang pernah kau ganggu di Rimba
Kenar|. Apakah kau melihatnya di sekitar kaki anak bukit ini?" tanya Pendekar Naga Putih.
Sementara ini Golok Tunggal sudah duduk di depan Panji.
"Bukankah ia bersamamu menginap di Desa Bajang?" Golok Tunggal balik, bertanya.
Panji menatap wajah Golok Tunggal beberapa saat, lalu menghela napas kecewa. Golok Tunggal
ternyata sama sekali tidak tahu tentang kepergian Anila. Panji percaya, Golok Tunggal sama sekali tidak
berdusta. Dan pertanyaan yang diajukan kepadanya memang sungguh-sungguh.
"Sudahlah. Aku harus mencarinya ke tempat lain. Tapi kalau kau nanti melihatnya, bawa perempuan
itu pergi meninggalkan daerah ini," pesan Panji sambil bergerak bangkit.
Dan ketika melihat Golok Tunggal hendak bertanya, Panji segera mendahuluinya.
"Kau tidak perlu tahu mengapa! Jalankan saja, apa yang tadi kusampaikan! "
"Baik, baik, Tuan Pendekar...."
Golok Tunggal mengangguk berkali-kali. Dia masih terus mengangguk, tidak sadar kalau Panji sudah
melesat meninggalkan tempat ini.
***
Dua orang lelaki setengah tua tampak memperlambat lari kudanya, sewaktu tiba di pinggir sebuah
aliran sungai. Dan ketika kuda mereka hendak dibawa menyeberang, tiba-tiba saja dihentikan. Rupanya, sosok
perempuan gendut dan lelaki tinggi kurus di seberang sungai, membuat kedua penunggang kuda ini berhenti
dengan kening berkerut. Sorot mata kedua penunggang kuda itu memancarkan kecurigaan, sewaktu melihat
adanya sosok tubuh lain dalam pondongan lelaki tinggi kurus di sebelang sungai.
"Rasanya aku mengenal kedua orang di seberang itu, Kakang Bogantara...," desis salah satu
penunggang kuda, yang memiliki jenggot terpelihara rapi.
"Benar, Adi Sobaya. Perbedaan mereka satu sama lain sangat menyolok dan mudah diingat. Kita harus
berhati-hati! Kalau tidak salah, mereka adalah Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api, seperti yang kita duga.
Mereka merupakan tokoh-tokoh sinting yang sukar ditebak tingkah lakunya," bisik laki-laki yang dipanggil
Bogantara. Usianya tiga tahun lebih tua dari laki-laki yang bernama Sobaya. Sewaktu berbicara, sepasang
matanya tertuju lurus ke depan.
Dugaan Bogantara dan Sobaya memang tidak meleset. Dua sosok yang di seberang sungai, yang kini
sudah berloncatan menyeberang dengan gerakan ringan adalah Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api.
Sedangkan sosok dalam pondongan Setan Gurun Api jelas adalah Senapati Guptasena yang berhasil diculik.
Bogantara dan Sobaya tersenyum menganggukkan kepala kepada suami-istri sinting itu, ketika sudah
tiba di dekat mereka. Kedua penunggang kuda ini mengambil sikap pura-pura tidak mengenal. Mereka hanya
menunjukkan sikap ramah, sebagaimana dua perantau yang kebetulan berpapasan di jalan.
Setan Gurun Api menyeringai, memperlihatkan beberapa buah giginya yang tanggal. Sedangan Iblis
Kutub Utara tidak mempedulikan sikap ramah kedua penunggang kuda itu. Sepasang matanya memang tertuju
ke arah Bogantara dan Sobaya. Tapi, bukan kedua orang itu yang menjadi perhatiannya. Justru, binatang
tunggangan merekalah yang menarik minatnya.
"Hai...?!" tiba-tiba Setan Gurun Api berseru mengejutkan sambil menoleh ke arah istrinya. "Dinda!
Coba perhatikan baik-baik. Bukankah mereka Jago-jago Pedang dari Selatan?"
"Benar, Kanda," sahut Iblis Kutub Utara, setelah meneliti wajah Bogantara dan Sobaya beberapa saat.
"Tapi, kabarnya mereka berdua telah mengabdikan diri pada kerajaan. Lantas, mengapa sekarang bisa
berkeliaran di tempat ini?"
"Eh...?!" Setan Gurun Api sedikit terkejut dengan keterangan istrinya.
Sementara itu Bogantara dan Sobaya tampak diliputi ketegangan. Mereka merasa serba salah.
Meneruskan niat untuk menyeberang, takut suami-istri itu tersinggung. Diam di tempat dan mendengarkan
pembicaraan mereka, sangat tersiksa rasanya. Mereka khawatir, kedua tokoh akan mencari gara-gara. Memang,
sudah banyak terdengar sepak terjang sepasang suami-istri sinting itu, yang sering-kali membuat ulah tanpa
sebab. Tapi mereka tidak bisa berbuat lain, kecuali diam dan mendengarkan.
"Hei? Apakah kalian sengaja hendak mencari kami?" tanya Setan Gurun Api, mulai menunjukkan ulah.
"Mencari kalian...?" Bogantara keheranan. "Untuk apa?"
"Jangan berpura-pura bodoh! Ayo, ngaku! Kalian pasti sengaja menghadang di tempat ini, bukan?
Coba-coba hendak merebut senapati tolol ini dari kami!" desak Iblis Kutub Utara. Perempuan gendut ini sudah
melangkah maju dengan sikap mengancam.
"Senapati tolol...?"
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan, berdesis berbarengan. Kemudian mereka sama-sama
berpaling menatap sosok tubuh yang tergantung di bahu Setan Gurun Api.
"Nah! Benar, kan? Kalian sengaja menghadang untuk membebaskan senapati tolol ini?" tuduh Setan
Gurun Api, begitu melihat Bogantara dan Sobaya memandang sosok Senapati Guptasena yang tergantung di
bahunya.
Anehnya, lelaki tinggi kurus ini menunjukkan sikap seperti anak kecil yang takut mainannya direbut
orang. Kakinya melangkah mundur, sambil menyilangkan kedua tangan, melingkari tubuh Senapati Guptasena.
"Maaf, sahabat Setan Gurun Api. Kami benar-benar belum mengerti. Kami memang benar diutus sang
Prabu. Tapi, bukan untuk merebut orang yang kalian bawa itu. Melainkan, untuk menggabungkan diri dengan
pasukan Senapati Guptasena di benteng perbatasan," jelas Bogantara.
Mata laki-laki ini tak lepas dari sosok di bahu Setan Gurun Api. Dia memang penasaran mendengar
ucapan suami-istri sinting itu, yang mengaku sebagai penculik orang yang disebut sebagai senapati tolol. Tapi
sosok yang hanya terlihat punggungnya tidak bisa dikenali Bogantara. Dan ini membuatnya penasaran ingin
tahu siapa sebenarnya sosok di atas bahu Setan Gurun Api.
"Haaa...! Alasan yang dicari-cari...!" kata Setan Gurun Api dengan suara sember, sambil menuding
wajah Bogantara.
Tapi sikap lucu ini tidak membuat Bogantara dan Sobaya tertawa. Bahkan mereka malah semakin
tegang.
Bogantara dan Sobaya saling bertukar pandangan sesaat. Ucapan-ucapan dan tuduhan yang
mencurigakan membuat mereka ingin mengetahui, siapa sebenarnya yang ada dalam pondongan Setan Gurun
Api itu.
"Bisakah kami..."
"Tidak bisaaa...!" potong Setan Gurun Api langsung.
Lelaki tinggi kurus ini menjebikkan bibirnya, sambil menggoyang-goyangkan telapak tangan.
"Kalian boleh pergi dan bergabung dengan pasukan di benteng perbatasan itu. Tapi, Senapati
Guptasena tetap harus kami bawa. Bukan begitu, Dinda?" lanjut Setan Gurun Api, menoleh kepada istrinya.
Perempuan gendut itu hanya mengangguk membenarkan.
"Kalau begitu, kami terpaksa harus melupakan kebodohan sendiri...," kata Bogantara langsung
melompat turun dari atas punggung kudanya, begitu Setan Gurun Api sudah menjelaskan secara tidak langsung.
Sobaya pun tidak mau ketinggalan. Tubuhnya meluncur turun dengan ringan. Sepasang pedang di
punggungnya segera dicabut keluar, dan langsung disilangkan di depan dada.
"Serahkan Senapati Guptasena kepada kami...!" pinta Sobaya dengan sikap mengancam. Rasa
gentarnya lenyap, begitu tahu kalau suami-istri itu telah menculik Senapati Guptasena.
"Wah! Jagoan-jagoan istana ini hendak jual lagak di depan kita, Dinda...," ujar Setan Gurun Api,
memandang remeh kedua orang jagoan istana itu.
"Biar aku yang menghadapinya, Kanda...!"
Baru saja perkataannya lenyap, Iblis Kutub Utara sudah menggelinding datang disertai tebaran hawa
dingin. Dan tahu-tahu, tamparannya sudah berada di depan kepala Sobaya. Tentu saja Sobaya kaget bukan
kepalang! Jago pedang pasangan ini sempat gugup, sewaktu wajahnya terasa beku oleh sambaran angin pukulan
wanita gendut itu.
Tapi, memang tidak percuma bila Sobaya terpilih sebagai salah satu jagoan istana. Ancaman telapak
tangan Iblis Kutub Utara pada kepalanya, segera disambut gerakan sepasang pedangnya yang bersilangan. Siap
menggunting putus lengan perempuan gendut itu.
Tring!
Sobaya mencelos hatinya, sewaktu guntingan sepasang pedangnya kehilangan sasaran. Ternyata Iblis
Kutub Utara sudah merobah gerakan, dan kini meluncur datang mengancam dadanya yang terbuka!
"Haiiittt..!"
Untuk menyelamatkan diri Sobaya berseru nyaring lalu melemparkan tubuhnya untuk berjumpalitan ke
belakang. Kendati telah menginjakkan kaki dengan selamat, tak urung wajah Sobaya menjadi agak pucat!
Dalam dua gebrakan saja, ia nyaris celaka di tangan perempuan gendut itu.
Sementara itu, Bogantara telah bergerak mendekati Setan Gurun Api. Pedang di tangan kanannya
bergulung-gulung, membentuk gundukan sinar putih. Tapi, niatnya tidak tersampaikan, karena Iblis Kutub Utara
datang menghalanginya. Terpaksa Bogantara merobah serangan, dan kini ditujukan kepada perempuan gendut
itu.
Sobaya yang baru saja lolos dari maut, tidak tinggal diam. Tahu betapa hebat dan berbahayanya
perempuan gendut itu, maka langsung saja menerjunkan diri ke dalam kancah perkelahian untuk membantu
rekannya. Kedua jago istana ini bekerja sama dalam menghadapi Iblis Kutub Utara.
Dua puluh jurus telah lewat. Sejauh ini, Bogantara dan Sobaya masih bisa mengimbangi serangan-
serangan lawan. Tidak jarang ujung-ujung pedang mereka sempat membuat Iblis Kutub Utara kewalahan. Dan
hal ini membuat perempuan gendut itu menjadi marah! Serangan-serangannya di tingkatkan, sehingga pada
jurus-jurus selanjutnya, Bogantara dan Sobaya terpaksa harus bermain mundur. Udara di sekitar arena
pertarungan yang semakin bertambah dingin, membuat gerakan mereka menjadi agak lambat. Sedang, serangan
perempuan gendut itu semakin bertambah gencar. Akibatnya, Bogantara dan Sobaya terdesak hebat!
"Kena...!"
Tiba-tiba-Iblis Kutub Utara berteriak nyaring sambil menghantamkan telapak tangan ke dada Sobaya.
Desss!
"Uhkkk...!"
Perhatian Sobaya tadi memang terpecah oleh teriakan lawannya. Maka dia harus merelakan telapak
tangan lawan telak menghantam dadanya. Sehingga tubuhnya terpental deras memuntahkan darah segar!
"Terima balasanku, Gajah Bengkak! Yiaaa...!"
Bogantara marah bukan main. Pedang di tangannya cepat meluncur membabat kepala Iblis Kutub Utara
yang baru menarik pulang tangannya. Tapi, sambaran pedang Bogantara tertangkap pendengaran perempuan
gendut itu.
Bogantara sempat dibuat kagum, karena perempuan gendut itu ternyata mampu menjaga
keseimbangan. Bahkan sama sekali tidak jatuh, sewaktu menghindari babatan pedang dengan menarik tubuh
atasnya hingga doyong ke belakang! Malah dalam kedudukan demikian, masih juga sempat mengirimkan
tendangan lurus!
Zebbb!
Telapak kaki Iblis Kutub Utara lewat di samping bahu Bogantara, yang menghindar dengan menekuk
lutut kanan. Buru-buru Bogantara merobah kedudukannya disertai bacokan pedang ke sambungan lutut Iblis
Kutub Utara. Sayang sebelum serangannya mendekati sasaran, tendangan yang luput dari perempuan gendut itu
telah terayun ke dadanya.
Dukkk!
Meski berhasil menyelamatkan dada dengan melintangkan tangan kiri, tak urung kuda-kuda Bogantara
tergempur. Tubuhnya terpental, akibat benturan keras. Dan selagi tubuhnya melayang di atas tanah, Iblis Kutub
Utara mengejar datang disertai dorongan kedua telapak tangan.
Bresss!
"Aaaa...!"
Bogantara menjerit ngeri. Tubuhnya kembali terpental deras, disertai muntahan darah segar yang
berceceran di tanah. Tapi sebelum tubuh jago istana ini terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan putih
berkelebat dan langsung menangkap tubuh Bogantara.
Tappp!
Luncuran tubuh Bogantara tertahan, ketika berhasil ditangkap bayangan putih itu. Tapi jago istana ini
sudah tidak ingat apa-apa lagi alias tak sadarkan diri. Sementara orang yang menyelamatkan nyawanya
meluncur turun dengan ringan.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi...!"
Setan Gurun Api yang mengikuti jalannya perkelahian, langsung memperdengarkan tawa ganjil. Tokoh
sinting ini malah kelihatan gembira, melihat kemunculan bayangan putih yang ternyata Pendekar Naga Putih,
dan yang menyelamatkan Bogantara. Malah kakinya sudah melangkah lebar, menghampiri Panji.
"Kanda!"
Tiba-tiba sentakan nyaring menghentikan langkah Setan Gurun Api. Bergegas tubuhnya diputar
menghadapi istrinya, yang berkacak pinggang dengan sepasang mata berkilat marah.
"Ayo kita pergi dari tempat ini!"
Sambil berkata demikian, Iblis Kutub Utara langsung menyambar lengan suaminya, memaksanya
meninggalkan tempat itu.
"Mengapa kau marah-marah, Dinda?" tanya Setan Gurun Api yang tidak menolak dituntun pergi.
"Hm.... Kau pikir aku tidak tahu, ya? Otak kotormu sudah bisa kubaca! Kau gembira melihat
kemunculan Pendekar Naga Putih, karena perempuan genit yang dulu bersamanya itu, kan? Hayo.... Ngaku atau
tidak?" hardik Iblis Kutub Utara seraya memindahkan tangannya ke telinga suaminya. Lalu dijewernya telinga
laki-laki kurus itu keras-keras, sampai menjerit kesakitan. Tapi perempuan gendut ini tidak peduli. Terus
dijewernya telinga itu dan dibawanya pergi meninggalkan tempat ini.
Sebelum tubuh jago istana itu terbanting ke tanah, tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat
menangkap tubuh Bogantara.
Tappp!
Tubuh Bogantara berhasil ditangkap.
"Hak hak hak..! Pendekar Naga Putih muncul lagi!" Setan Gurun Apa yang melihat jalannya
perkelahian, langsung memperdengarkan tawa ganjil.
"Hua ha ha...! Siapa sangka kedatanganku, telah membuat Iblis Kutub Utara dan suaminya lari terbirit-
birit...!"
Ucapan lantang itu membuat langkah Iblis Kutub Utara terhenti. Kemudian, tubuhnya berputaran
dengan tangan melekat erat di telinga suaminya. Dan ini membuat Setan Gurun Api terpaksa ikut berbalik
sambil meringis.
"Khek kek kek..!"
Setelah diam sebentar dengan mata menatap sosok Panji, Iblis Kutub Utara tertawa berkakakan. Sama
sekali tidak disadari kalau tangannya justru memuntir telinga suaminya kuat-kuat!
"Aaooo...!" Setan Gurun Api menjerit kesakitan sekuat-kuatnya.
"Ada apa, Kanda...?!" tanya Iblis Kutub Utara dengan wajah tak berdosa.
"Ada apa, ada apa!" tukas Setan Gurun Api bersungut-sungut dengan wajah mirip udang rebus,
"Tanganmu ini, apa tidak bisa dilepaskan barang sebentar?"
"Oohh...!" seru perempuan gendut ini yang timbul kasihan melihat wajah suaminya yang terlihat sangat
kesakitan, langsung dielus-elusnya telinga suaminya. "Kanda.... Ayo kita lihat dari dekat, seperti apa sih rupa
orang yang mengatakan kita lari terbirit-birit."
Setan Gurun Api yang masih mendongkol, tidak menyahut sepatah pun. Hanya diikutinya langkah
istrinya yang menghampiri Pendekar Naga Putih.
ENAM
Panji tersenyum tipis, melihat pancingannya mengena, ia berdiri menunggu sepasang suami-istri
sinting itu mendekatinya. Beberapa tombak di samping kiri Pendekar Naga Putih, tampak Sobaya
memperhatikan. Jago istana yang lukanya tidak terlalu parah ini, duduk di bawah sebatang pohon untuk menjaga
Bogantara yang masih tak sadarkan diri. Sobaya tidak mencemaskan keadaan rekannya, yang telah diberi
pertolongan sementara oleh Pendekar Naga Putih. Nama besar dan sepak terjang Pendekar Naga Putih,
membuatnya percaya penuh terhadap kemampuan penolong rekannya. Apalagi, Pendekar Naga Putih
meyakinkan dirinya kalau keadaan rekannya tidak perlu terlalu dicemaskan. Sehingga, ucapan itu membuat
hatinya tenang.
Pendekar Naga Putih sengaja memasang wajah seram, sewaktu sepasang suami-istri sinting itu berhenti
dua langkah di hadapannya. Sengaja Panji bersikap gila-gilaan, untuk mengimbangi mereka. Dengan begitu, ia
tidak terlalu jengkel oleh ulah ganjil mereka.
"Hei, Iblis Gendut seperti gajah dan Iblis Kurus seperti cecak kering! Sewaktu di benteng perbatasan,
aku memang tidak sempat mengurusi kalian! Sehingga, kalian berhasil menculik Senapati Guptasena.
Keberhasilan kalian secara tidak langsung, adalah karena bantuanku. Nah! Sekarang, aku minta imbalan atas
jasaku," hardik Panji sambil berkacak pinggang.
Kaget juga sepasang suami-istri sinting ini mendengar ucapan Pendekar Naga Putih. Dan mereka saling
bertukar pandang, lalu mengangguk-angguk. Seperti telah mendapat kata sepakat, keduanya berpaling menatap
Panji.
"Seharusnya kamilah yang menuntut imbalan darimu, Pendekar Naga Putih!" Iblis Kutub Utara balik
menuntut. "Karena kami, maka kau berhasil menculik putra senapati tolol ini."
"Tidak bisa," sanggah Panji. "Tidak ada bukti kalau aku berhasil melakukan hal itu. Coba buka mata
kalian lebar-lebar. Apakah aku membawa bocah yang kalian maksudkan itu?"
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api melangkah maju, lalu berjalan mengitari tubuh Panji. Kepala
mereka manggut-manggut, ketika tidak menemukan adanya putra Senapati Guptasena pada sekujur tubuh
Pendekar Naga Putih.
"Benar juga, ya...," desah keduanya manggut-manggut kebingungan.
"Sebaliknya, pada kalian bukti itu jelas terlihat," kata Panji merasa menang. "Kalian telah berhasil
menculik Senapati Guptasena. Dan itu karena jasaku."
"Lalu, apa yang kau inginkan dari kami?" tanya Iblis Kutub Utara, menatap Panji dengan wajah bodoh.
"Aku menginginkan bagian tubuh Senapati Guptasena," jawab Panji, berusaha keras menahan tawa.
Tidak disangkanya sedemikian mudah membodohi suami-istri sinting itu.
"Maksudmu.,.?" Setan Gurun Api menegasi.
"Senapati Guptasena terculik, karena kerja sama kita bertiga. Tentunya supaya adil, kita bagi tiga saja
tubuhnya...."
"Aku tidak setuju!" tukas Iblis Kutub Utara, langsung.
Demikian juga Setan Gurun Api. Keduanya menyatakan keberatan atas usul Pendekar Naga Putih.
Bahkan sikap ketololan mereka nyaris pupus, oleh sinar garang yang mulai nampak di wajah keduanya.
"Bagaimana kalau kita adakan perlombaan...?" kata Panji buru-buru, melihat keadaan mulai tegang.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api hanya bergumam.
"Tubuh Senapati Guptasena kita ikat pada sebatang pohon dalam jarak kurang lebih sepuluh tombak
dari kita bertiga. Lalu, kita berlomba untuk membebaskannya. Siapa yang melakukannya lebih dulu, dinyatakan
sebagai pemenang. Dengan demikian, Senapati Guptasena berhak menjadi miliknya tanpa boleh diganggu,"
Panji mengungkapkan usulnya.
Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api tampaknya tidak keberatan. Sorot kegarangan di wajah mereka
perlahan pudar. Keduanya mengangguk, setelah saling bertukar pandangan beberapa saat.
"Aku setuju!" ujar Iblis Kutub Utara.
"Aku juga!" sambung Setan Gurun Api.
Suami-istri sinting yang sakti ini tampak gembira sekali. Bahkan Setan Gurun Api, yang memondong
tubuh Senapati Guptasena, bergegas membawa dan mengikatnya pada sebatang pohon. Kemudian buru-buru ia
kembali dengan sepasang mata bersinar-sinar.
"Apa lomba sudah bisa dimulai...?" tanya lelaki tinggi kurus ini, menatap istrinya dan Pendekar Naga
Putih bergantian.
"Sabar, Setan Gurun Api. Kita harus membuat peraturan dulu," ujar Panji, hampir tak dapat menahan
tawa melihat ketidaksabaran tokoh yang kini bersikap seperti kanak-kanak itu.
"Wah! Aku tidak suka segala macam peraturan!"
Setan Gurun Api tampak tak senang. Lalu kepalanya menoleh ke arah istrinya, meminta dukungan.
Tapi, perempuan gendut ini malah memandang Panji.
"Setan Gurun Api," panggil Panji setelah melihat wajah suami-istri sinting itu. Kelihatannya, mereka
beda pendapat satu sama lain, "Siapa tidak menuruti aturan, tidak boleh mengikuti lomba ini!"
"Betul!" sambut Iblis Kutub Utara, berpihak kepada Panji. "Dan kalau kau masih banyak mulut, aku
akan melemparmu jauh-jauh!"
Setan Gurun Api tidak berani banyak cakap lagi. Tapi, bukan karena takut ancaman istrinya, melainkan
takut tidak diperbolehkan ikut berlomba. Ini yang membuatnya menurut dan tak lagi bawel. Bahkan sewaktu
Panji memanggilnya untuk bersiap dalam garis sejajar yang telah dibuat, Setan Gurun Api hanya mengangguk
dengan mata bersinar-sinar. Kini ketiganya siap berlomba! "Hei, tunggu...! Aku ikut..!" Panji dan suami-istri
sinting ini sama-sama menoleh ke arah asal suara. Wajah Pendekar Naga Putih menampakkan kegembiraan
ketika mengenali siapa adanya orang yang berteriak dan melesat menghampiri mereka. Sebaliknya, Iblis Kutub
Utara dan Setan Gurun Api memperlihatkan kemarahan. Bahkan keduanya terdengar menggereng.
"Heh heh heh..., Pendekar Naga Putih! Mengapa kau tidak memberitahukan aku, kalau hari ini ada
lomba yang menyenangkan...."
Begitu tiba, sosok yang tingginya hanya sebahu Panji dan bertubuh kurus ini, langsung saja mengomel
panjang-pendek. Kemudian tanpa meminta persetujuan dari Panji ataupun Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun
Api, sosok yang ternyata seorang kakek ini langsung saja mengambil tempat, siap ikut sebagai peserta lomba!
"Tidak bisa!"
Sebelum Panji sempat buka suara, terdengar bentakan Iblis Kutub Utara yang keras.
"Eh! Mengapa? Apa hakmu melarangku? Seharusnya, kaulah yang tidak boleh mengikuti perlombaan
ini," dengus kakek yang baru datang ini, tidak mau kalah.
"Haaa...!"
Bantahan ini membuat kemarahan Iblis Kutub Utara berubah menjadi keheranan besar! Mengapa
malah dirinya yang seharusnya tidak boleh ikut?
"Mengapa...?!" tanya Iblis Kutub Utara, akhirnya.
"Ya! Karena, kau sedang hamil!" jawab kakek ini, enteng.
Rupanya, kakek kerdil itu tidak kalah sewotnya dengan Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api!
Namun, kelihatannya ia lebih cerdik!
Iblis Kutub Utara tersentak kaget! Ucapan kakek itu membuatnya melirik perutnya yang memang
buncit, persis seperti orang hamil. Tapi, sebentar kemudian baru disadari.
"Boangsaaattt...!"
Iblis Kutub Utara berteriak melengking sekuat-kuatnya. Kemarahannya sudah tidak bisa ditahan lagi
mendengar hinaan kakek bertongkat kayu hitam yang butut itu. Seketika perempuan gendut merangsek maju,
seperti orang kesetanan!
"Ada gajah bunting mengamuuuk..!" teriak kakek bertubuh pendek itu, memperlihatkan wajah seperti
orang ketakutan.
Kemudian dia berlari menyembunyikan diri di belakang tubuh Pendekar Naga Putih.
"Whaaaa....!"
Iblis Kutub Utara berteriak keras! Cengkeramannya kini tertuju ke tubuh Panji!
"Kakek Peramal Sinting, kau benar-benar gila...!" desis Panji, mengumpat pada kakek yang
bersembunyi di belakang tubuhnya. Kemudian bergegas dihindarinya cengkeraman maut yang telah didahului
sambaran angin yang dingin menusuk tulang.
Kegagalan serangan membuat Iblis Kutub Utara semakin bertambah kalap. Tubuhnya cepat melesat
mengejar kedua orang itu. Cengkeraman yang kali ini masih ditambah lontaran pukulan jarak jauh yang sanggup
membekukan urat-urat tubuh datang bertubi-tubi laksana amukan badai salju. Panji terpaksa harus terus
berlompatan menyelamatkan diri. Sementara, kakek yang ternyata berjuluk Kakek Peramal Sinting tidak
melepaskan pegangan pada pakaian belakang Pendekar Naga Putih. Sehingga, ke mana Panji melompat
menghindar, Kakek Peramal Sinting tidak pernah ketinggalan. Tubuhnya melekat erat bagai seekor lintah!
"Iblis Kutub Utara! Tahan seranganmu...!" seru Panji yang masih belum mau membalas sungguh-
sungguh. "Kalau kau masih belum juga berhenti, perlombaan akan kubatalkan...!"
"Berlombalah kau dengan kakek gila itu di akherat...!" sahut Iblis Kutub Utara dengan kemarahan yang
tak juga surut.
Plakkk!
Karena tidak berhasil membujuk, terpaksa Panji mengangkat sebelah tangannya untuk memapak
sewaktu pukulan perempuan gendut itu datang mengancam. Benturan keras membuat mereka sama-sama
terjajar mundur!
"Jangan menganggap remeh perempuan bunting itu, Pendekar Naga Putih," Kakek Peramal Sinting
terkekeh memperingatkan Panji.
"Mengapa kau masih saja belum kapok, Kakek Peramal Sinting? Hentikan hinaanmu. Atau, kau
memang ingin tubuhmu dilumatnya?" tukas Panji. Hatinya agak jengkel juga, dijadikan tameng kakek itu.
"Siapa bilang aku menghina?!" bantah Kakek Peramal Sinting setengah berteriak.
"Lalu, apa menurutmu kalau itu bukan merupakan hinaan?" tukas Panji, ketika Kakek Peramal Sinting
menyangkal.
"Aku tidak menghina. Aku tahu. Iblis Kutub Utara memiliki tubuh seperti gajah bengkak. Tapi, aku
juga tahu kalau saat ini ia sedang dalam keadaan hamil!"
"Hahhh...?!"
"Aku berkata yang sebenarnya, Pendekar Naga Putih...,'' lanjut Kakek Peramal Sinting sambil terkekeh
gembira bisa membuat Panji kaget.
Panji tidak mempedulikan Kakek Peramal Sinting lagi. Karena, saat itu sambaran angin dingin kembali
datang. Bukan hanya Iblis Kutub Utara yang melanjutkan serangannya. Namun, suaminya kini ikut membantu!
"Tahan serangan! Aku hendak menyampaikan sebuah berita besar untuk kalian berdua...!" cegah Panji
pada suami-istri sinting itu sambil mengangkat kedua tangannya.
"Tidak perlu...!" Iblis Kutub Utara terus maju.
"Whaaa...!"
Panji terpaksa harus melompat, demi menyelamatkan diri.
"Iblis Kutub Utara, Kakek Peramal Sinting! Bukan hendak menghinamu. Tapi, ia bilang kau memang
benar-benar hamil! Kalian berdua akan segera mempunyai seorang keturunan...!" seru Panji, selagi Iblis Kutub
Utara yang mengejarnya meluncur datang.
Seruan Panji begitu jelas terdengar di telinga Iblis Kutub Utara. Hatinya tampak meragu untuk
melanjutkan serangan. Lalu gerakannya dihentikan. Dipandanginya Panji yang berada satu tombak di depan.
Sementara itu Setan Gurun Api, yang juga mendengar seruan Panji, segera berlari menghampiri
istrinya. Lelaki kurus ini tertawa-tawa sambil menepuk-nepuk perut buncit istrinya perlahan-lahan.
"Pendekar Naga Putih! Sebagai seorang tokoh muda yang bernama besar, tentunya kau pantang
berdusta! Katakanlah, apakah ucapanmu itu bukan dusta?" tanya Iblis Kutub Utara, dengan mimik wajah aneh.
Wajah wanita itu berkerut-kerut bagai hendak menangis. Karena, ia tengah berusaha menguasai
perasaannya, siap menerima kenyataan pahit kalau Panji ternyata berdusta. Padahal, apa yang dikatakan Panji
dan Kakek Peramal Sinting itu merupakan harapan yang selama belasan tahun didambakan. Tidak heran, betapa
perempuan gemuk ini terlihat agak tersiksa menunggu jawaban Panji.
"Aku tidak berdusta, Iblis Kutub Utara," jawab Panji mantap, setelah menoleh ke arah Kakek Peramal
Sinting yang menganggukkan kepala.
"Bodoh kalau kau tidak mengetahuinya, perempuan gendut!" Kakek Peramal Sinting kembali memaki,
membuat Panji kembali menjadi tegang!
Tapi, Iblis Kutub Utara kali ini tidak marah. Bahkan makian Kakek Peramal Sinting mungkin tidak
didengarnya, karena ia tengah mengelus perutnya penuh kasih sayang. Kedua pipinya tampak basah oleh air
mata. Perempuan gendut yang tingkahnya ganjil dan terlihat tak berperasaan ini, merasa bahagia dan terharu
mendapatkan kenyataan kalau dirinya hamil.
"Terima kasih, Pendekar Naga Putih! Juga kau, Kakek Peramal Sinting," ucap Iblis Kutub Utara yang
mendadak saja berubah lembut. Kemudian kepalanya berpaling kepada suaminya. "Kanda, sebaiknya kita
kembali dan menetap di utara untuk menunggu kelahiran anak kita."
Setan Gurun Api mengangguk. Dibelainya wajah gemuk istrinya penuh kasih. Kemudian dibimbingnya
lengan istrinya, pergi meninggalkan tempat itu, setelah berpesan kepada Panji.
"Sampaikan kepada Senapati Guptasena, bahwa segala yang pernah terjadi telah kami lupakan.
Dosanya kami maafkan...," kata Setan Gurun Api.
Panji tidak bertanya apa-apa. Hanya kepalanya mengangguk, dan berjanji akan menyampaikannya
kepada Senapati Guptasena.
"Heh heh heh...! Rahasia Tuhan memang sangat sulit. Iblis Kutub Utara yang terkenal kejam dan
kurang waras, bisa berubah lembut tak beda dengan perempuan-perempuan lemah. Benar-benar sukar
dipercaya...," desah Kakek Peramal Sinting.
Kakek bertubuh kecil itu belum melepaskan pandangannya ke sosok Iblis Kutub Utara dan Setan
Gurun Api yang semakin jauh dan samar, untuk kemudian lenyap sama sekali.
Panji mengangguk-angguk, merasakan kebenaran ucapan Kakek Peramal Sinting. Kemudian diajak
kakek itu ke tempat Senapati Guptasena terikat, dalam keadaan tak sadarkan diri.
TUJUH
Senapati Guptasena mengeluh begitu sadar dari pingsannya. Meski totokan pada tubuhnya telah
dibebaskan Panji, namun tubuhnya masih terasa lemah. Matanya terbuka perlahan, dan langsung melihat
seorang pemuda tampan tengah membungkuk di samping tubuhnya. Keningnya lantas berkerut, seraya
mengedarkan pandangan ke sekeliling. Ketika tidak melihat adanya suami-istri sinting yang menculiknya,
tahulah Senapati Guptasena kalau pemuda tampan berjubah putih itu telah menyelamatkannya.
"Siapakah kau, Anak Muda...?" tanya Senapati Guptasena, setelah menatap Kakek Peramal Sinting
sekilas. Sepasang matanya menatap Panji penuh selidik.
"Nama hamba Panji, Tuan Senapati," jawab Panji mengangguk hormat.
"Hm.... Ke mana perginya Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api..?!" tanya senapati gagah ini lagi.
"Mereka telah pergi dengan meninggalkan pesan kepada hamba, untuk menyampaikan permintaan
maaf. Juga mereka berpesan kalau telah memaafkan dosa Tuan Senapati. Mereka tidak mengatakan sebab-
sebabnya, karena Tuan Senapati sudah mengerti. Begitu kata mereka," jelas Panji.
"Syukur kalau mereka telah menyadarinya...," desah Senapati Guptasena menggambarkan perasaan
lega di hati. Kemudian tubuhnya bergerak bangkit, disertai helaan napas panjang.
Panji ikut bangkit, dan tetap berdiri di samping Senapati Guptasena. Dadanya sedikit berdebar, sewaktu
menyadari kalau sepasang mata Senapati Guptasena memperhatikan dirinya.
"Iblis Kutub Utara dan Setan Gurun Api menculikku dengan maksud untuk membalas dendam atas
kematian murid mereka...."
Tanpa diminta, Senapati Guptasena menjelaskan persoalannya dengan suami-istri sinting yang
menculiknya.
Panji tidak menanggapi. Demikian juga Kakek Peramal Sinting yang sudah membawa Bogantara dan
Sobaya ke tempat Senapati Guptasena dan Panji berada.
Bogantara dan Sobaya langsung memberi hormat kepada Senapati Guptasena. Mereka berdua
menyatakan kelegaan hatinya karena senapati gagah itu telah terbebas dari cengkeraman penculik-penculiknya.
Kemudian, diceritakannya secara singkat tentang keperluan mereka, yang diutus sang Prabu.
"Untunglah pada saat kami terancam maut, Pendekar Naga Putih datang menyelamatkan kami
berdua...."
Bogantara yang juga mengisahkan tentang usaha mereka menyelamatkan senapati gagah itu,
mengakhiri kalimatnya.
"Pendekar Naga Putih...?!" desis Senapati Guptasena, mengulang julukan Panji. Kemudian kepalanya
berpaling, menatap Panji dengan sorot mata tajam. Wajahnya benar-benar menggambarkan kemarahan yang
siap meledak!
"Maaf, Tuan Senapati. Hamba terpaksa melakukannya...."
Tahu apa yang membuat Senapati Guptasena tiba-tiba menatap marah kepadanya, Panji buru-buru
minta maaf.
"Sejak sadar dan melihat wajah serta dandananmu, aku memang sudah curiga!" cetus Senapati
Guptasena dengan rahang mengeras dan wajah membesi.
Bogantara dan Sobaya tentu saja menjadi heran. Mereka bertukar pandangan satu sama lain, tak
mengerti mengapa panglima gagah itu mendadak marah setelah mendengar Pendekar Naga Putih disebut. Tapi,
keduanya tidak berkata apa-apa. Mereka hanya menduga kalau antara Pendekar Naga Putih dan Senapati
Guptasena ada sesuatu yang tidak diketahui.
Kakek Peramal Sinting pun tidak berbuat apa-apa. Ia hanya senyum-senyum sambil menyandarkan
tubuh pada sebatang pohon. Sedikit pun tak terlihat tanda-tanda akan mencampuri persoalan itu.
"Pendekar Naga Putih...!" lanjut Senapati Guptasena dengan suara bergetar menahan marah, "Selama
ini, kita belum pernah bertemu, bukan? Apa salahku kepadamu? Mengapa kau begitu tega melakukan tindakan
keji dengan menculik putraku? Bahkan bekerja sama dengan kedua orang tokoh sesat yang menculikku! Apa
artinya semua ini, Pendekar Naga Putih? Dan, di mana kau sembunyikan Paridesta, putraku itu?"
"Tuan Senapati," kata Panji mengangkat kepalanya dengan wajah agak pucat. "Hamba memang
mengakui telah melakukan penculikan. Tapi, sama sekali tidak bekerja sama dengan suami-istri sinting itu.
Kebetulan saja, kami datang pada waktu yang bersamaan. Dan mereka mengetahui kehadiran hamba," jelas
Panji.
Lalu Pendekar Naga Putih menceritakan pertemuannya dengani Anila, termasuk Iblis Kutub Utara dan
Setan Gurun Api. Apa yang pernah didengarnya dari Anila, diceritakannya kepada Senapati Guptasena. Juga,
tentang penderitaan dan keinginan perempuan itu untuk berkumpul bersama putranya.
Disinggungnya nama Anila, membuat Senapati Guptasena menunduk lemas. Wajah berangnya lenyap,
berganti kedukaan. Terdengar tarikan napas panjangnya, sewaktu mengangkat kepala memandang Pendekar
Naga Putih
"Kau..., kau telah ditipunya, Pendekar Naga Putih...," desah Senapati Guptasena tidak lagi
menunjukkan kemarahan.
"Maksud, Tuan Senapati...?" Panji minta penjelasan.
"Cerita Anila tidak seluruhnya benar. Sebagian, justru merupakan kebalikannya. Benar, Anila adalah
istri, pertamaku. Tapi, aku sama sekali tidak membuangnya ke hutan. Dan lagi justru Cindarani-lah yang
memberi keturunan kepadaku. Bukan Anila, seperti yang diceritakannya kepadamu. Karena tidak bisa memberi
keturunan, Anila merasa iri. Bahkan berusaha bertindak jahat pada Cindarani. Anila-lah yang merasa terpukul
oleh kelahiran Paridesta. Ia terpaksa kukembalikan ke desa kelahirannya. Sementara Jamantara memang kekasih
gelap Anila. Anila telah mempengaruhi dan membujuknya, untuk bekerja sama menyingkirkan Cindarani dan
Paridesta..."
Senapati Guptasena berhenti sebentar untuk menarik napas.
"Lalu..., tentang dukun sihir dan Racun Kecubung Biru...?"
Panji mempergunakan kesempatan itu untuk bertanya. Wajahnya jadi agak pucat dan muram, teringat
kesalahan yang dilakukannya. Hatinya juga menyesal, telah begitu mudah terjebak oleh cerita Anila, hingga
mempercayai kemalangannya. Bahkan menolongnya untuk melakukan penculikan.
"Tentang dukun sihir itu, aku tidak begitu jelas. Yang kutahu, Anila memang nyaris berhasil
membunuh Cindarani dengan menggunakan Racun Kecubung Biru. Tapi, aku telah lama menaruh kecurigaan
padanya. Kulihat, tingkah-lakunya semakin aneh. Maka beberapa orang kepercayaanku kutugaskan untuk terus
mengawasinya. Ternyata, dua orang dayang telah bersekongkol dengannya. Mereka berhasil kutangkap, dan
kumintai keterangan. Dari sini, keterlibatan Jamantara terungkap. Dia dijebloskan ke dalam tahanan, dan Anila
dikembalikan ke desanya. Hhh..., sama sekali tak kusangka kalau ia masih tetap menaruh dendam...," sesal
Senapati Guptasena atas sikap istri pertamanya yang pernah disayanginya.
"Hamba mengaku salah, Tuan Senapati," sesal Panji menghela napas berat, "Dan hamba siap menerima
hukuman...."
"Di mana putraku sekarang, Pendekar Naga Putih...?" tanya Senapati Guptasena, tak begitu
memperhatikan perkataan Panji.
Lemas seluruh tubuh Panji mendengar pertanyaan itu. Dengan suara lemah, diceritakannya tentang
kepergian Anila. Dan sekarang baru disadari kalau Anila telah membawa pergi Paridesta. Jadi, bukan untuk
melihat-lihat desa seperti cerita pelayan kedai waktu itu.
"Celaka...!" desis Senapati Guptasena memukulkan tinju ke telapak tangannya sendiri, "Entah apa yang
akan dilakukannya terhadap Paridesta...?!"
"Hamba..., hamba akan mencarinya, Tuan Senapati," ujar Panji, langsung ingin menebus kesalahannya.
Senapati Guptasena memandang Panji beberapa saat, lalu menganggukkan kepala.
"Baiklah, Pendekar Naga Putih. Aku pun akan mengerahkan orang-orangku untuk mencari Anila. Jika
kau dapat menemukannya, bawalah ke benteng. Katakan, aku akan memaafkan segala kesalahannya. Dan dia
masih kuharap agar mau sadar. Seandainya ingin kembali, aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Aku
memang belum menceraikannya," jelas Senapati Guptasena.
Setelah berbasa-basi sebentar, senapati itu berpamit kepada Panji, diikuti Bogantara dan Sobaya.
Sementara, niatnya untuk berpamit kepada Kakek Peramal Sinting dibatalkan karena orang tua aneh itu tengah
tertidur pulas, bersandar pada batang pohon. Senapati Guptasena tersenyum menggelengkan kepala melihat
kelakuan kakek itu.
***
"Kek...," panggil Panji sambil menyentuh tubuh Kakek Peramal Sinting, sepeninggal Senapati
Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Hmmm...."
Kakek Peramal Sinting menggeliat sebentar, mengerjap-ngerjapkan matanya.
"Eh?! Mengapa sepi sekali...?!" seru kakek itu keheranan, sewaktu tidak melihat adanya Senapati
Guptasena dan kedua orang jagoan istana.
"Aku perlu pertolonganmu...," ujar Panji, setelah menjelaskan tentang kepergian ketiga orang itu.
"Pertolongan...?!" ulang Kakek Peramal Sinting keheranan.
Kakek itu lantas tertawa terpingkal-pingkal sambil memegangi perutnya.
"Hei, pohon-pohon dan seluruh makhluk yang ada di tempat ini! Dengarlah! Bukankah sangat lucu jika
seorang tokoh muda yang membuat datuk sesat lari terbirit-birit, kini meminta pertolongan seorang kakek jompo
sepertiku...?"
"Aku sungguh-sungguh, Kek," tegas Panji.
Pendekar Naga Putih tidak mempedulikan ucapan Kakek Peramal Sinting, yang bagi sebagian orang
dianggap tidak waras. Panji sendiri tidak menganggap demikian, karena tahu kalau kesintingan kakek itu
merupakan ciri seorang tokoh persilatan, yang kebanyakan memang cenderung tidak lumrah manusia.
Kakek Peramal Sinting menghentikan ocehan dan tawanya, ketika melihat kesungguhan di wajah
Pendekar Naga Putih.
"Bukankah kakek sendiri yang meramalkan tentang peristiwa yang bakal terjadi di daerah ini? Malah
sempat menasihatkan, agar aku berpisah dengan Kenanga untuk sementara waktu, yang harus mengikuti
pertemuan para pendekar di daerah barat?" tflntut Panji kepada Kakek Peramal Sinting.
Sebelumnya, Panji memang telah bertemu Kakek Peramal Sinting, sewaktu tengah bersama Kenanga.
Lalu, ia menasihatkan agar Panji dan Kenanga berpisah untuk berbagi tugas. Kenanga pergi untuk mengikuti
pertemuan para pendekar, sedang Panji ke selatan, mengikuti petunjuk Kakek Peramal Sinting. Itu sebabnya,
mengapa Panji tidak terlihat bersama Kenanga.
"Ingat kembali, apa yang diceritakan Anila kepadamu, Pendekar Naga Putih. Lalu, carilah tempat yang
kau anggap baik untuk Anila menyembunyikan diri.... Nah, selamat tinggal...!"
"Kek...?!" panggil Panji agak kaget melihat Kakek Peramal Sinting melesat pergi meninggalkannya.
"Kau tidak memerlukan aku lagi, Pendekar Naga Putih! Selesaikanlah sendiri. Setelah itu, baru susul
kekasihmu...!" cegah suara Kakek Peramal Sinting, yang sosoknya lenyap ditelan kelebatan pohon.
Panji hanya bisa menghela napas, kemudian melangkah pergi sambil mengingat-ingat cerita Anila. Dan
Pendekar Naga Putih lantas menduga-duga tempat persembunyian Anila.
DELAPAN
"Celaka! Bukankah bocah itu putra kesayangan Senapati Guptasena?! Mengapa kau membawanya ke
sini, Anila?! Ulahmu bisa membuatku susah! Kalau sampai mereka menemukanmu, aku bisa digantung!"
Anila hanya tersenyum mengejek, tak peduli ucapan dukun sihir yang pernah dimintakan tolong itu.
Dengan sikap tetap tenang, tubuh Paridesta direbahkan di atas pembaringan kayu, berlapis selembar tikar
pandan. Baru kemudian ia berbalik menghadapi kakek Dukun Sihir itu.
"Aku telah membayar mahal kepadamu. Secara tidak langsung kau pun terlibat dalam urusan ini. Kini,
aku belum mempunyai rencana untuk pergi ke mana-mana. Satu-satunya tempat yang kuanggap aman adalah
gubuk jelekmu ini! Untuk sementara, aku akan tinggal di sini! Tapi, ingat jangan berpikir yang bukan-bukan!
Sebab, aku bisa menyeretmu ke tiang gantungan lebih cepat daripada yang kau perkirakan!" tandas Anila,
membuat Kakek Dukun Sihir itu menggeram jengkel.
"Gila...!" desis kakek itu sambil memutar tubuh, melangkah keluar pondok.
"Kau mau ke mana...?" tanya Anila ketus.
"Aku mau pergi dari sini!" jawab kakek berjubah hitam ini, tanpa menoleh.
"Tidak bisa!" tandas Anila mencegah, "Kau harus membantuku! Jaga tempat ini. Cegah siapa saja yang
datang, kecuali Senapati Guptasena. Kalau dia datang, aku sendiri yang akan menghadapinya!"
"Apa sebenarnya yang kau kehendaki, Anila?" tanya Kakek Dukun Sihir, menunda langkahnya. Ia
berdiri di ambang pintu, menatap Anila dengan sorot mata tajam.
"Kelak kau akan mengetahuinya jika Senapati Guptasena datang," jawab Anila. Kemudian wanita itu
memutar tubuhnya, masuk ke dalam kamar. "Ingat pesanku!"
Kakek Dukun Sihir mendengus jengkel, lantas melangkah keluar dengan perasaan tak karuan. Baru
saja sebelah kakinya menginjak anak tangga terakhir, matanya menangkap sesosok bayangan berkelebat. Dan
tahu-tahu, di hadapannya telah berdiri seorang pemuda tampan berjubah panjang berwarna putih. Siapa lagi
kalau bukan Panji, si Pendekar Naga Putih.
"Hm... Kau mengejutkan aku, Anak Muda!" ujar Kakek Dukun Sihir meneliti sosok Panji. "Apakah
kau hendak minta bantuanku untuk mencarikan kekasihmu yang hilang?"
"Maaf kalau aku telah membuatmu terkejut, Kek," ujar Panji, sambil meneliti sekitar pondok "Aku
memang mempunyai sedikit keperluan. Dan aku memang sedang mencari seorang perempuan yang berusia
sekitar dua puluh delapan tahun. Tapi, ia bukan kekasihku. Hanya saja, aku mempunyai satu urusan dengannya.
Kau pasti mengenalnya. Perempuan itu bernama Anila," Kini mata Pendekar Naga Putih menatap tajam kakek
itu.
"Mencari seorang perempuan yang bernama Anila?! Mengapa kau datang ke tempat ini, Anak Muda...?
Dan mengapa pula kau menduga aku mengenalnya?" tukas Kakek Dukun Sihir, menatap tak senang kepada
Panji.
"Kau tidak perlu menyangkal, Kek! Anila sudah bercerita banyak kepadaku. Dan ia juga pernah
menyinggung tentang dirimu. Dan kuharap, jangan mempersulit. Aku adalah kawan baik Anila. Dan aku juga
tahu tentang apa saja yang pernah dialaminya. Bahkan, aku juga yang telah menolongnya dalam menculik putra
Senapati Guptasena," tandas Panji, tak mempercayai ucapan Kakek Dukun Sihir itu.
Kakek Dukun Sihir itu termenung sebentar. Keterangan Panji membuatnya ragu. Terlebih, pengakuan
Panji yang mengatakan telah membantu Anila melakukan penculikan.
"Maaf.... Aku tidak bisa membantumu, Anak Muda...," tegas Kakek Dukun Sihir, ketika teringat pesan
Anila kepadanya. "Sebaiknya, carilah di tempat orangtuanya yang bernama...."
"Ki Wanagung maksudmu?" potong Panji, membuat Kakek Dukun Sihir agak kaget. "Aku sudah
menemuinya. Dan ternyata, Anila tidak berada di sana. Bahkan orang tua itu sama sekali tidak tahu tentang apa
yang sudah terjadi terhadap putri tunggalnya. Aku tidak menjelaskannya, sebab hanya akan membuatnya sedih."
"Lalu, mengapa kau menduga Anila berada di tempatku?" tukas Kakek Dukun Sihir ketus,
menunjukkan ketidaksenangannya.
"Karena ada kemungkinan Anila bersembunyi di tempat ini," tandas Panji mulai tak sabar.
Pendekar Naga Putih semakin menaruh curiga melihat Kakek Dukun Sihir itu berdiri, menghalangi
pintu. Dan Panji menduga kalau kakek itu menyembunyikan sesuatu.
"Carilah di tempat lain, Anak Muda! Jangan sampai kesabaranku habis!" usir Kakek Dukun Sihir,
setengah mengancam.
Panji terdiam sesaat. Terdengar tarikan napasnya yang panjang dan berat.
"Baiklah, Kek. Terima kasih atas nasihatmu," ujar Panji mengalah.
Kemudian Pendekar Naga Putih memutar tubuhnya, dan melesat meninggalkan tempat itu.
Sementara Kakek Dukun Sihir itu menghela napas lega. Kemudian kakinya melangkah masuk ke
dalam pondok, setelah bayangan Panji lenyap di kejauhan. Tapi begitu tubuhnya lenyap di balik pintu yang
ditutupnya, sosok Panji kembali muncul. Rupanya, Pendekar Naga Putih tidak sungguh-sungguh hendak
meninggalkan tempat itu. Bahkan kemudian melesat mendekati pondok dengan jalani memutar, melalui
belakang. Kemudian dengan tubuh mengendap-endap, didekatinya pondok itu.
"Hm.... Mengapa kau kembali lagi, Anak Muda?"
Suara berat dan parau itu membuat langkah Panji terhenti. Pendekar Naga Putih mengenali suara si
Kakek Dukun Sihir, hingga sempat kaget juga. Sama sekali tidak disangka kalau kehadirannya sampai bisa
diketahui.
"Aku terpaksa, Kek," aku Panji, memandang kagum sosok Kakek Dukun Sihir yang muncul dari pintu
belakang pondok, "Dan aku harus memeriksa bagian dalam pondok "
"Sombong sekali kau, Anak Muda! Apa kau pikir aku akan membiarkanmu masuk?" tukas Kakek
Dukun Sihir, menampakkan wajah berang. "Kau harus belajar menghormati orang tua...!"
Setelah berkata demikian, Kakek Dukun Sihir itu mengangkat tangan kanannya dengan jari-jari
terbuka. Kemudian ia membentak keras menggetarkan dada!
"Lihatlah! Pohon di belakangmu akan roboh menimpamu. Mereka tak suka melihat sikapmu yang
kurang ajar kepadaku...!" bentak Kakek Dukun Sihir itu dengan sorot mata tajam berpengaruh.
Mendengar suara berderak ribut di belakangnya, Panji menoleh. Kaget bukan main hatinya, ketika
melihat pohon di belakangnya meluncur hendak menimpa tubuhnya. Cepat Pendekar Naga Putih melompat ke
samping menyelamatkan diri.
"Pohon itu akan terus mengejarmu, Anak Muda! Dia tidak akan pemah berhenti sebelum melumat
tubuhmu...!"
Kembali Kakek Dukun Sihir membentak dengan tangan tetap terulur ke arah batang pohon yang tengah
roboh itu.
"Sihir...?!" seru Panji.
Pendekar Naga Putih baru menyadari perbuatan Kakek Dukun Sihir, sewaktu melihat batang pohon
besar itu melayang ke arahnya. Cepat ditariknya napas dalam-dalam untuk mengumpulkan hawa murni. Lalu
Pendekar Naga Putih membentak mengguntur, untuk melenyapkan pengaruh sihir kakek berjubah hitam itu.
"Aaahhh...?!"
Kakek Dukun Sihir terkejut! Bentakan Pendekar Naga Putih membuat isi dadanya berguncang, hingga
tubuhnya terjajar mundur sejauh setengah tombak. Sedang pohon besar yang tengah meluncur ke arah Panji,
mendadak lenyap tanpa bekas! Sementara, pohon yang sesungguhnya masih tetap berdiri kekar di tempatnya
semula.
"Pantas kau bersikap demikian sombong, Anak Muda. Kiranya kau memiliki kepandaian yang cukup
hebat...!" puji Kakek Dukun Sihir itu. Kemudian kedua matanya dipejamkan. Lantas kedua tangannya dengan
telapak terbuka digosokkan satu sama lain.
"Hm.... Kau hendak mempertontonkan permainan anak kecil, Kakek Tua...!" ejek Panji dengan suara
mengandung tekanan tenaga dalam.
Sebentar kemudian, sekujur tubuh Pendekar Naga Putih telah terbungkus sinar kuning keemasan.
Memang Panji telah mengerahkan 'Tenaga Sakti Inti Panas Bumi' untuk melawan pengaruh sihir lawannya.
Lagi-lagi tubuh Kakek Dukun Sihir ini terjajar mundur disertai pekik kekagetannya. Kobaran api yang
tercipta melalui gesekan kedua telapak tangannya, mendadak sirna. Wajahnya tampak agak pucat. Napasnya
tersengal, tanda kalau telah mengerahkan banyak tenaga dalam saat mempergunakan ilmu sihirnya. Tapi,
pancaran sinar kuning keemasan yang keluar dari tubuh Pendekar Naga Putih, membuat Kakek Dukun Sihir
merasa kedua matanya sakit dan panas.
"Ilmu Iblisss...?!" rutuk Kakek Dukun Sihir itu. Kakek itu kaget bukan main, ketika merasakan betapa
sinar kuning keemasan itu membuat kekuatan sihirnya lenyap. Sadar kalau ilmu sihirnya tidak lagi berguna,
kakek ini lantas mempergunakan cara lain. Seketika ia melompat menerjang Panji dengan sambaran tongkat.
Whuuuttt..!
Panji menggeser tubuhnya dua langkah ke samping, menghindari babatan tongkat di kepala. Dan ketika
tongkat itu menusuk ke belahan dada, tangan kanannya cepat dikibaskan untuk menangkis.
Dukkk!
Kakek Dukun Sihir memekik kesakitan! Tangkisan Panji membuat tongkatnya terlepas dari pegangan.
Tubuhnya kontan terpental dan terbanting ke tanah. Tampak dari sela bibirnya cairan merah merembes turun.
Panji yang tak menyangka kalau kepandaian silat kakek itu jauh berada di bawahnya, merasa agak
sedikit menyesal. Tapi, hatinya juga bersyukur tidak menggunakan tenaga terlalu berlebihan. Sehingga, Kakek
Dukun Sihir itu hanya terguncang sedikit bagian dalam tubuhnya.
"Keparat...!" desis Kakek Dukun Sihir.
Ia lantas bergerak bangkit sambil melepaskan kantung sebesar telapak tangan berwarna merah.
"Kali ini kau tidak akan luput dari kematian!"
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu dikibaskan, menebarkan bubuk berwarna merah ke tubuh
Panji.
"Percuma kau buang racunmu sia-sia, Kek! Sebaiknya, katakan saja di mana Anila bersembunyi!" ujar
Panji mengibaskan kedua tangannya.
Terdengar letupan-letupan kecil di udara, sewaktu sinar kuning keemasan yang keluar dari kibasan
tangan Panji, membakar musnah bubuk beracun itu.
"Gila...?!"
Lagi-lagi Kakek Dukun Sihir mengumpat hampir tak percaya dengan apa yang disaksikan. Menyadari
kalau pemuda yang menjadi lawannya tidak mungkin dapat ditundukkannya, maka tanpa banyak cakap lagi
Kakek Dukun Sihir ini memutar tubuhnya, berlari meninggalkan tempat itu.
"Tunggu...!" cegah Panji.
Pendekar Naga Putih langsung melenting berputaran di udara. Sekejap kemudian, tubuhnya telah
berdiri, kurang lebih satu setengah tombak di depan Kakek Dukun Sihir itu.
"Tunjukkan, di mana Anila bersembunyi..?" tanya Panji dengan sorot mata mengancam.
"Kau mencariku, Panji...?"
Tiba-tiba terdengar suara halus, Panji menoleh. Tampak Anila berdiri di depan pintu belakang pondok
sambil menggendong Paridesta. Bergegas Panji meninggalkan Kakek Dukun Sihir, untuk menemui Anila.
"Panji...," panggil Anila dengan suara bergetar penuh kedukaan. Sorot matanya demikian sayu,
menimbulkan rasa iba bagi orang yang melihatnya.
"Aku sudah tahu semuanya, Anila...," tukas Panji, ketika melihat bibir perempuan itu bergerak hendak
mengatakan sesuatu.
"Lalu..., kau ingin merebut anak ini dariku?" tanya Anila.
Wajah perempuan itu sempat berubah, ketika mendengar ucapan Panji. Terdengar keluhan putus asa
ketika Pendekar Naga Putih mengangguk tegas.
"Anila...."
"Berhenti!" bentak Anila dengan wajah berlinang air mata. "Kalau kau teruskan niatmu, aku akan
membunuh anak ini. Lalu, nyawaku sendiri akan kuhabisi. Sehingga, kau hanya akan membawa bangkai kami
ke hadapan suamiku!"
Panji terkejut. Seketika langkahnya terhenti. Ditatapnya Anila dengan hati tegang!
"Anila...," panggil Panji pelan. "Aku bukan hanya akan membawa anak itu, tapi juga dirimu. Dan...."
"Tidak! Kau boleh pilih. Tinggalkan tempat ini, atau melihat kami berdua menjadi bangkai!" tandas
Anila. Wanita itu sudah melingkarkan jari-jari tangannya di leher Paridesta.
Panji tertegun. Disadari kalau Anila bukan sekadar menggertak. Memang, dalam keputusasaan, orang
bisa berlaku nekat. Dan Pendekar Naga Putih tidak menginginkan hal itu sampai terjadi. Kini otaknya berputar
mencari jalan keluar.
"Aku tidak bisa berbuat lain, Anila."
Akhirnya Panji berkata tegas, setelah berpikir sambil memandang wajah Anila. Melihat perempuan itu
bungkam dan menangis terisak, Panji buru-buru mencecarnya.
"Senapati Guptasena tidak akan menghukummu. Malah ia masih mengakui kalau kau adalah istrinya, ia
menghendaki agar kau sadar dari kesesatanmu. Madumu, Cindarani, juga berharap agar kau kembali. Paridesta
bukan hanya putranya, tapi juga putramu. Begitu yang dikatakan Senapati Guptasena, mengenai sikap
Cindarani"
Panji berhenti sebentar untuk melihat tanggapan Anila.
Sementara itu, Anila semakin terisak sedih. Didekap dan diciuminya anak dalam pelukannya.
"Jangan berbuat bodoh, yang kelak akan membuatmu menyesal seumur hidup, Anila," lanjut Panji
ketika melihat perbuatan Anila terhadap Paridesta.
Sikap itu membuat Panji tahu kalau Anila pun menaruh rasa sayang terhadap putra tirinya.
"Ikutlah bersamaku, Anila. Perkataan seorang senapati, sama dengan nyawanya. Dan aku tahu,
Senapati Guptasena sungguh-sungguh akan menerimamu. Asalkan, kau sadar akan kesalahanmu selama ini.
Beliau akan memaafkan dan mengampunimu, Anila..."
"Jangan membohongiku, Panji" ujar Anila di sela isak tangisnya. "Dosaku terlalu besar kepada mereka
berdua. Aku perempuan jahat! Mustahil rasanya kalau mereka akan sudi mengampuni!"
"Aku tidak membohongimu, Anila!" sangkal Panji. "Nyawaku taruhannya! Dan kau tidak perlu
khawatir. Kalau Senapati Guptasena dan istrinya berdusta, aku akan membelamu, Anila! Tapi, aku percaya
mereka tidak akan melakukan hal itu."
"Kau bersungguh-sungguh, Panji? Benar kau akan membelaku, apabila mereka berdusta? Sadarkah kau
kalau yang kau bela adalah perempuan jahat berlurhur dosa?"
"Aku bersumpah, Anila!" jawab Panji mantap. "Benar kau telah membuat banyak kesalahan. Tapi,
setiap orang berhak kembali ke jalan kebaikan. Dan itu berarti, kau telah membela kebenaran!"
Anila terdiam beberapa saat. Ia sudah cukup tahu banyak tentang Panji. Dia tahu, bagaimana pendirian
dan sikap pemuda itu. Pemuda yang mau menolong siapa saja tanpa mengharap jasa. Dan setelah berpikir
beberapa saat, Anila melangkah menghampiri. Lalu diserahkannya anak dalam pondongannya.
"Biarlah Paridesta tetap dalam pondonganmu," ujar Panji tersenyum lega. "Kau lihat, ia begitu tenang
dalam tidurnya. Itu karena, ia tahu kalau dirinya berada dalam pondongan ibunya yang tulus menyayanginya.
Tidakkah kau bahagia, Anila...?"
"Terima kasih, Panji. Kau masih saja percaya kepadaku. Padahal, aku pernah mendustaimu...," ujar
Anila tersenyum penuh keharuan. Kembali didekap erat dan diciuminya Paridesta dengan air mata bercucuran.
"Maafkan kalau Ibu telah membuatmu susah, anakku...."
Ketiganya bergegas meninggalkan tempat itu, diiringi pandang mata Kakek Dukun Sihir, yang sedikit
banyak merasa lega. Kakek ini masih tegak berdiri sampai bayangan Panji dan Anila lenyap di kejauhan.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar