..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Sabtu, 22 Februari 2025

PENDEKAR MATA KERANJANG EPISODE GEGER PARA IBLIS

matjenuh khairil

 

 
GEGER PARA IBLIS
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108 
dalam episode:
Geger Para Iblis
128 hal.

SATU

Pendekar Mata Keranjang 108 menggenjot se-
mangatnya, untuk lari lebih cepat lagi. Namun demi-
kian, sepasang matanya terus jelalatan ke sekeliling. 
Sementara telinganya ditajamkan. Dan saat itu juga 
sayup-sayup gendang telinganya menangkap derap 
langkah kaki-kaki kuda yang makin lama makin keras. 
Dan sepertinya, datang dari arah depan. 
Seakan-akan mendapat firasat tidak baik, pemu-
da murid Wong Agung ini segera menghentikan la-
rinya.
"Penunggang kuda ini sepertinya tergesa-gesa. 
Derapnya demikian cepat dan keras. Dan riuh rendah 
suara penunggangnya, mengisyaratkan agar kuda-
kuda itu berlari lebih kencang. Seolah-olah mereka 
mengejar sesuatu.... Jangan-jangan mereka...."
Belum sampai Aji alias Pendekar Mata Keranjang 
108 meneruskan kata hatinya, derap langkah kaki-
kaki kuda mendadak berhenti. Dan belum sempat dia 
berbuat apa-apa, sepasang matanya telah melihat dua 
ekor kuda telah berdiri kokoh delapan tombak di ha-
dapannya. Cukup terperanjat juga pemuda ini, menya-
dari kecepatan lari kuda-kuda itu.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat tampang 
dua orang penunggang kuda itu. Matanya serentak 
mendelik lebar dengan dahi berkerut. Sementara di 
depan dua penunggang kuda tampak saling berpan-
dangan, lalu tertawa lepas.
"Yang memakai jubah hitam, wajahnya mirip 
tengkorak dengan sepasang mata merah.... Yang satu 
lagi mengenakan pakaian hitam. Dagunya kokoh. Ke-
dua tangan dan kaki tampak besar berotot. Padahal, 
dia adalah seorang perempuan.... Hm..., aku hanya bisa mengenali yang berjubah hitam dan berwajah mirip 
tengkorak. Dia adalah tokoh yang dulu menewaskan 
Dewi Kuning di Jurang Guringring. Kalau tak salah 
manusia sesat ini berjuluk Tengkorak Berjubah. Se-
mentara yang perempuan, tak bisa ku kenali... Mereka 
sengaja menghadangku, atau hanya kebetulan...? Na-
mun melihat tampang. mereka...."
"Dayang Lembah Neraka...!" 
Pertanyaan di hati Pendekar Mata Keranjang 108 
seketika terputus tatkala dari arah seberang terdengar 
suara menegur yang cukup berat dan keras. Jelas 
asalnya dari mulut laki-laki berjubah hitam yang tak 
lain Tengkorak Berjubah.
"Hari ini nasib kita memang sangat mujur. Bu-
ruan kita sengaja datang menyerahkan apa yang kita 
inginkan.... Ha... ha... ha...!" lanjut Tengkorak Berju-
bah.
Sambil berkata, Tengkorak Berjubah melirik pe-
nunggang kuda di sampingnya yang tak lain memang 
Dayang Lembah Neraka.
Sedangkan Dayang Lembah Neraka hanya men-
gangguk perlahan tanpa menoleh. Sepasang matanya 
memandang tajam ke arah Pendekar Mata Keranjang 
108 tanpa berkedip.
"Tak disangka! Jadi, inikah manusia yang berge-
lar Pendekar Mata Keranjang 108? Hm.... Muda dan 
tampan...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka selama ini memang 
hanya mendengar nama Pendekar Mata Keranjang 108 
tanpa pernah bertemu sekali pun. Hingga untuk bebe-
rapa saat, matanya hanya memandang seakan terke-
sima. Dan ini membuat Tengkorak Berjubah agak 
jengkel.
"Dayang Lembah Neraka!" bentak Tengkorak Ber-
jubah menggerakkan tulang bibirnya menegur. "Kau

telah tua peot. Tubuhmu sudah melengkung. Apakah 
kau masih bergairah jika melihat pemuda tampan...?! 
Kau bisa mencicipinya kalau keinginan kita telah ter-
capai...."
Dayang Lembah Neraka berpaling pada Tengko-
rak Berjubah dengan dagu semakin membatu. Ma-
tanya melotot, menghujam tajam.
"Tua jelek! Tutup mulut kotormu! Sekarang bu-
kan waktunya untuk bercanda!" dengus Dayang Lem-
bah Neraka. 
Mendengar percakapan dua orang di hadapan-
nya, mata Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak. 
Darahnya tersirap sejenak.
"Mereka menginginkan sesuatu dariku. Pasti 
bumbung bambu atau kipas ini. Aku harus berhati-
hati. Tengkorak Berjubah adalah tokoh berkepandaian 
tinggi. Dan perempuan yang bergelar Dayang Lembah 
Neraka meski aku belum pernah melihatnya, pasti juga 
tidak bisa dibuat main-main...."
Selagi Aji berpikir begitu, Tengkorak Berjubah 
dan Dayang Lembah Neraka telah berkelebat melayang 
dari kuda tunggangan masing-masing. Dan tahu-tahu 
mereka telah berdiri terjajar sepuluh langkah di hada-
pannya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau bisa melan-
jutkan perjalanan semaumu. Tapi sebelumnya, ting-
galkan dulu kipas dan bumbung bambu yang ada di 
tanganmu!" ujar Tengkorak Berjubah dengan tulang 
bibir bergerak, menyunggingkan seringai.
Meski Aji telah dapat menduga apa yang diingin-
kan mereka, tapi tak urung terkejut juga. Namun se-
saat kemudian wajahnya berpaling, memandang juru-
san lain.
"Nasib kalian hari ini ternyata tidak semujur yang 
dikira. Kipas dan bumbung itu telah diambil sepasang

manusia yang bergelar Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma. Jadi, jika kalian menginginkan barang itu, silakan 
berurusan dengan mereka!" kilah Aji, enteng.
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka 
saling beradu pandang. Lalu serentak pula pandangan 
mata masing-masing segera beralih pada Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dengan sorot mata tak percaya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kali ini kami tak 
ingin mendengar gurauan mu! Cepat serahkan benda-
benda itu jika nyawamu masih ingin tetap di raga!" an-
cam Dayang Lembah Neraka, membentak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bersiul pendek. 
Matanya menyengat satu persatu pada Tengkorak Ber-
jubah dan Dayang Lembah Neraka. Sementara bibir-
nya tersenyum-senyum.
"Aku juga tidak ingin bergurau! Apalagi menden-
gar tawa temanmu yang merdu bagai bebek pulang 
kandang. Lebih baik kalian turuti omonganku, atau 
segera menyusul Sepasang Iblis Pendulang Sukma...!" 
balas Aji, bernada mengejek.
Raut muka yang hanya berupa rangkaian tulang-
tulang tanpa kulit milik Tengkorak Berjubah kontan 
bergerak-gerak, tatkala mendengar ejekan pemuda 
murid Wong Agung. Segera kedua tangannya ditarik
sedikit ke belakang, siap menghantamkan pukulan ja-
rak jauh.
Namun sebelum hal itu terjadi, Dayang Lembah 
Neraka maju selangkah. Segera diberinya isyarat agar 
Tengkorak Berjubah tidak meneruskan niatnya. 
"Tengkorak Berjubah! Jangan terlalu tergesa-
gesa. Kita selidiki dulu kebenaran ucapannya. Agar ki-
ta tidak buang-buang waktu dan tenaga!" ujar Dayang 
Lembah Neraka.
Meski dengan melenguh sember, akhirnya Teng-
korak Berjubah mengurungkan niat. Namun mata merahnya tetap berputar liar, menatap Aji dengan dada 
bergetar menahan gejolak amarah. 
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kalau ucapanmu 
benar, kau harus bersedia kami geledah!" ujar Dayang 
Lembah Neraka sambil mengerdipkan sebelah ma-
tanya.
Tingkah laku Dayang Lembah Neraka membuat 
Aji mendelik. Sementara bibirnya menahan tawa.
"Busyet! Bentuk tubuhnya memang seorang pe-
rempuan. Tapi tangannya yang begitu berotot dan be-
sar, di mana nikmatnya jika meraba...? Apalagi jika 
tangannya memijit kelerengku. Hiii.... mati aku...!" ka-
ta Aji dalam hati seraya menahan bahunya yang bergi-
dik menindih rasa geli dan ngeri.
"He... ?!" teriak Dayang Lembah Neraka. "Wajah-
mu berubah, sebelum kusentuh. Apakah kau begitu 
perasa? Aku percaya, kau nanti akan ketagihan jika te-
lah merasakan sentuhan tanganku. Bahkan akan 
mencari-cari untuk melakukan sentuhan-sentuhan la-
gi.... Hik... hik... hik...!" 
Begitu kata-katanya hilang dari pendengaran, 
Dayang Lembah Neraka berkelebat cepat. Dan di kejap 
lain dia telah berdiri dua langkah di depan Aji disertai 
senyum mengembang serta dada dibusung-
busungkan. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Mata 
Keranjang 108 semakin tak bisa menahan tawanya.
"Ha... ha... ha...!"
Tak berapa lama kemudian, meledaklah tawa Aji. 
"He.... Diam!" bentak Dayang Lembah Neraka 
dengan mata mendelik.
Ledakan tawa Aji sekonyong-konyong terpenggal. 
Kakinya segera beringsut satu langkah ke belakang. 
Namun baru saja melangkah, kedua tangan Dayang 
Lembah Neraka telah bergerak cepat ke arah pinggang.
Aji terperanjat, namun buru-buru menghindar

dengan menggeser kakinya ke samping. Sehingga, ke-
dua tangan Dayang Lembah Neraka hanya menakup 
tempat kosong. Saat itu juga wajah perempuan tua ge-
nit ini berubah menjadi merah padam.
"He... he... he...!"
Di pihak lain dari arah belakang terdengar suara 
tawa sember Tengkorak Berjubah.
Kalau tidak ingat dengan masalah bumbung 
bambu dan kipas, Dayang Lembah Neraka sudah pasti 
akan melonjak marah mendengar tawa Tengkorak Ber-
jubah yang bernada mengejek barusan. Matanya 
hanya sempat melirik tajam ke arah laki-laki berwajah 
tengkorak, lalu cepat beralih menatap Pendekar Mata 
Keranjang 108.
"Melihat rasa ketakutan di wajahmu, berarti uca-
panmu bohong! Sekali lagi kuperingatkan, lekas se-
rahkan benda itu!" bentak Dayang Lembah Neraka. Pe-
lipisnya sudah bergerak-gerak, menindih amarah di 
dadanya. Sedangkan kedua tangannya segera pula di-
tarik ke samping siap melepaskan pukulan.
"Dayang Lembah Neraka!" sebut Aji dengan sikap 
menangkis. "Jangan bertindak bodoh, kalau tak ingin 
menyesal. Percayai saja ucapanku. Atau kalau kau in-
gin bertemu Sepasang Iblis Pendulang Sukma, aku bi-
sa tunjukkan tempatnya!"
"Hmm.... Di mana mereka?!" selak Tengkorak 
Berjubah sambil meloncat mendekati Dayang Lembah 
Neraka. 
"Di tempat asal temanmu itu!" jawab Aji, seraya 
mengangkat bahunya mengarah pada Dayang Lembah 
Neraka.
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka 
saling berpandangan satu sama lain. Dahi masing-
masing tampak berkerut.
"Apa maksudmu?!" bentak Dayang Lembah Neraka seakan tak sabar ingin penjelasan. "Kau jangan 
mengada-ada dengan menebar berita bohong!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum tawar.
"Dayang Lembah Neraka.... Melihat gelar yang 
kau sandang, tentu sudah tak asing dengan tempat 
mengerikan itu. Dan Sepasang Iblis Pendulang Sukma 
mungkin juga sedang bersenang-senang di sana!" jelas 
Aji, enteng.
"Bajingan! Berarti Sepasang Iblis Pendulang 
Sukma telah tewas di tangannya...!" sentak Dayang 
Lembah Neraka seakan berkata pada diri sendiri.
"Nah, kalian telah tahu di mana Sepasang Iblis 
Pendulang Sukma berada. Sekarang kalian tinggal pi-
lih salah satu. Cepat tinggalkan tempat ini, atau tetap 
di sini untuk segera menyusul teman-temanmu itu!" 
ujar Pendekar Mata Keranjang 108 bernada mengan-
cam.
Dayang Lembah Neraka menyeringai. Sementara 
Tengkorak Berjubah keluarkan dengusan sengau. Da-
lam hati masing-masing perlahan-lahan menyeruak 
perasaan gentar. Namun mereka pantang begitu saja 
menyerah. Hingga dengan menekan rasa gentar, 
Dayang Lembah Neraka keluarkan tawa pendek seraya 
berkata.
"Bocah ingusan! Jangan dikira kami akan lari 
tunggang langgang mendengar ancaman. Kuperin-
gatkan sekali lagi, jika tak segera menyerahkan barang 
yang kami inginkan, kaulah yang akan kukirim ke 
kampung halamanku di Lembah Neraka!"
"Begitu?" leceh Pendekar Mata Keranjang 108 
sambil mengangakan mulutnya, lalu mengangguk-
angguk.
Karena ditunggu agak lama sepertinya Pendekar 
Mata Keranjang 108 tidak hendak memberi apa yang 
dikehendaki, kesabaran Dayang Lembah Neraka akhirnya mencapai batas. Kedua tangannya secepat kilat 
di-hantamkan ke arah pemuda murid Wong Agung ini 
disertai tenaga dalam tinggi.
Wesss...!
Seketika gelombang angin panas yang menebar 
kilatan-kilatan segera menyambar cepat dari kedua 
tangan Dayang Lembah Neraka.
"Hup...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 melenting ke uda-
ra, menghindar serangan Dayang Lembah Neraka. Dan 
hantaman kedua tangan perempuan tua itu hanya 
menerabas tempat kosong tempat tadi Aji berdiri.
Masih berada di udara, Aji segera melirikan ekor 
matanya ke arah Dayang Lembah Neraka. Lalu sekejap 
itu juga tubuhnya cepat menukik dengan kaki kanan 
lurus. Sementara kedua tangannya bergerak ke sana 
ke mari sukar diikuti mata.
Dayang Lembah Neraka terperangah kaget. Dia 
masih tak percaya, karena serangannya begitu mudah 
dielakkan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun ka-
rena telah kenyang pengalaman selama malang melin-
tang dalam rimba persilatan, membuat sikapnya tak 
gugup. Meski, diam-diam dalam hati mengutuk habis-
habisan.
"Haram jadah. Manusia ini benar-benar sulit di-
tebak gerakannya. Tidak mustahil jika Sepasang Iblis 
Pendulang Sukma terjungkal di tangannya.... Aku ha-
rus berhati-hati...."
Sambil membatin Dayang Lembah Neraka mema-
langkan kedua tangannya di atas kepala. Sedang kaki 
kanannya diangkat tinggi dengan sedikit mendoyong-
kan tubuh ke belakang.
Bersamaan dengan gerakan Dayang Lembah Ne-
raka. Serangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah 
meluncur datang. Dan...

Derr...! Derr...!
Terdengar dua kali benturan keras berturut-
turut. Tubuh Aji tampak mental balik ke udara. Sete-
lah membuat gerakan jungkir balik dua kali, kakinya 
mendarat di atas tanah dengan tubuh terhuyung-
huyung. Kedua tangannya yang sempat bentrok den-
gan tangan Dayang Lembah Neraka terasa ngilu bukan 
main. Begitu melirik, Aji sedikit tersentak kaget. Ter-
nyata kedua tangannya telah berubah agak kehitaman.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
pelanting hingga beberapa tombak ke belakang. Na-
mun dia masih bisa menguasai diri, hingga tak sampai 
jatuh terbanting. Meski demikian, tak urung pundak-
nya terasa bagai terpenggal!
"Mengapa aku bodoh! Jelas kedua tangannya 
yang begitu berotot dan besar adalah senjata andalan-
nya. Jadi, aku harus menghindari bentrok dengan ke-
dua tangannya...," kata Aji dalam hati merutuki diri 
sendiri.
Aji lantas melirik Dayang Lembah Neraka. Pe-
rempuan berdagu menonjol kokoh serta tangan besar 
dan berotot ini tampak bersedekap dengan kedua mata 
sedikit terpejam. Bibirnya berkemik-kemik seperti 
mengucapkan sesuatu.
Belum lama Aji memperhatikan, tiba-tiba saja 
Dayang Lembah Neraka melesat ke arah Aji, memper-
dengarkan suara melengking tinggi.
Melihat gelagat Dayang Lembah Neraka yang 
menginginkan bentrok langsung, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melompat ke samping berkelit. 
Namun Aji dibuat terkesima, karena mendadak tubuh 
Dayang Lembah Neraka berbelok dengan kecepatan 
luar biasa. Hingga baru saja pemuda ini menjejakkan 
sepasang kakinya, desir angin deras disertai dua kele-
batan bayangan hitam, yang ternyata kedua tangan

Dayang Lembah Neraka, sudah berada di depan wa-
jahnya!
Wess! Wess!
Karena tak ada jalan lain untuk bisa menyela-
matkan wajahnya dari gempuran kedua tangan 
Dayang Lembah Neraka, maka dengan memusatkan 
tenaga dalam Aji menyentakkan kedua tangannya.
Derr...! Derr...!
"Aaakh...!"
Terjadi benturan antara dua pasang tangan. Aji 
kontan terpekik tertahan. Dan sebelum lenyap suara 
pekikannya, Dayang Lembah Neraka telah pula meng-
hantamkan kaki kiri ke arah dadanya.
Diegkh...!
Bukkk!
Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting dengan 
punggung terlebih dahulu menghempas di atas tanah. 
Tangannya kini lebih menghitam. Bahkan bagai te-
gang, tak bisa digerakkan. Dadanya bergetar hebat dan 
sulit bernapas. Hingga untuk beberapa saat, pemuda 
ini nampak tersengal dengan bahu turun naik.
Namun karena Dayang Lembah Neraka terlihat 
telah siap kembali dengan serangan, dengan menahan 
rasa sakit dan marah, Pendekar Mata Keranjang 108 
cepat bangkit. Tapi belum lagi bisa menguasai kea-
daan, kaki kanan Dayang Lembah Neraka melesat ce-
pat menghantam pinggangnya.
Desss...! Bukkk!
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 sesaat ter-
gontai-gontai, lalu terhempas roboh.
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka terse-
nyum puas. Sedangkan dari arah belakang Tengkorak 
Berjubah mengeluarkan tawa sember yang menusuk 
telinga.
Begitu tawanya berhenti Tengkorak Berjubah se

gera berkelebat. Dan tahu-tahu dia sudah berada lima 
langkah di samping Pendekar Mata Keranjang 108, 
siap mengirimkan pukulan dengan tenaga dalam pe-
nuh. Padahal, pemuda murid Wong Agung ini masih 
tampak menggeliat hendak bangkit.
Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka mengira 
Tengkorak Berjubah akan mengirimkan pukulan me-
matikan dan merampas kipas serta bumbung bambu 
dari tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Maka pe-
rempuan tua itu segera pula berkelebat, lalu berdiri te-
gak menghadang serangan Tengkorak Berjubah.
"Tua jahanam! Jangan bertindak licik. Aku yang 
berhasil membuatnya roboh. Jadi sudah sepantasnya 
kipas dan bumbung bambu itu menjadi hakku!" ben-
tak Dayang Lembah Neraka dengan sepasang mata 
berkilat-kilat menatap Tengkorak Berjubah.
"Perempuan sundal! Apa kau lupa, kita sama-
sama tak berhak atas kipas dan bumbung bambu itu. 
Kita hanya kacung yang bertugas merampas benda itu, 
dari menyerahkan pada Malaikat Berdarah Biru!" maki 
laki-laki berwajah tengkorak ini.
Dayang Lembah Neraka mendongakkan kepala. 
Mulutnya membuka, mengeluarkan tawa mengikik. 
Tapi tiba-tiba tawanya berhenti. Kepalanya kembali lu-
rus ke depan memandang sinis pada Tengkorak Berju-
bah.
"Tua jahanam! Jangan dikira aku tak tahu, apa 
yang ada dalam benakmu. Kata-katamu tadi hanya 
untuk menutupi kelicikanmu, bukan? Dan sebenar-
nya, kau ingin menguasai benda itu!" balas Dayang 
Lembah Neraka sengit
Mendengar kata-kata Dayang Lembah Neraka, 
tulang-tulang di wajah Tengkorak Berjubah serentak 
bergerak-gerak. Tangannya yang juga hanya merupa-
kan rangkaian tulang tanpa kulit tampak mengepal.

Hatinya geram, bukan karena dihalangi serangannya. 
Namun karena apa yang ada dalam benaknya ternyata 
bisa dibaca Dayang Lembah Neraka.
"Bedebah! Perempuan ini rupanya tahu rencana-
ku. Dia harus kusingkirkan sekarang juga!"
Namun belum sempat niat Tengkorak Berjubah 
terlaksana, kedua matanya membesar. Dan cepat-
cepat tubuhnya berkelebat ke samping.
"Ha... ha... ha...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa ngakak, mengira 
Tengkorak Berjubah ketakutan. Tapi suara tawanya 
kontan lenyap tatkala....
Werrr...!
Mendadak saja dari arah belakang terdengar sua-
ra gemuruh dahsyat disertai menyeruaknya hawa pa-
nas menyengat. Begitu berpaling, perempuan tua ini 
tercekat dengan wajah sedikit pias. Tubuhnya segera 
hendak berkelebat, namun terlambat. Karena ...
Desss...!
"Aaa...!"
Sekejap itu juga tubuh Dayang Lembah Neraka 
terpelanting jauh disertai jeritan keras. Begitu menyu-
ruk di atas tanah, mulutnya ternganga. Baju bagian 
pundak belakang koyak besar dan hangus. Kulit di ba-
lik koyakan itu merah bagai terebus!
Di seberang, tampak Pendekar Mata Keranjang 
108 menarik pulang kedua tangannya yang baru saja 
melepaskan pukulan sap keempat, yakni 'Segara Geni'
"Keparat! Tak kukira! Ternyata pemuda itu masih 
bisa bertahan dengan pukulanku. Hampir tak dapat 
kupercaya...," kata batin Dayang Lembah Neraka sam-
bil menatap tajam pada Pendekar Mata Keranjang 108 
yang ternyata telah bangkit. Bahkan telah pula mele-
paskan pukulan jarak jauh.
Dengan dada panas dan wajah merah membara,

Dayang Lembah Neraka merambat bangkit. Tidak 
sampai tegak penuh, tiba-tiba tubuhnya berputar dan 
hilang dari pandangan.
Tahu apa yang hendak diperbuat lawan, Pende-
kar Mata Keranjang 108 segera pula memutar tubuh-
nya. Kini sosoknya pun lenyap, berubah jadi bayangan 
yang bergerak cepat sulit ditangkap mata.
Werrr...!
Werrr...!
"Heaaa...!"
Sebentar kemudian di tempat itu tampak dua 
bayangan yang saling berkelebat, mengeluarkan de-
ruan-deruan angin kencang. Dan sesekali terdengar 
suara bentakan membahana tanpa terlihat jelas sosok-
sosoknya.
Tak jauh dari situ, Tengkorak Berjubah terlihat 
tenang-tenang saja sambil mengawasi. Namun demi-
kian, kedua tangannya tampak tertarik sedikit ke bela-
kang, pertanda tengah bersikap waspada.
"Lebih baik aku menunggu. Jika perempuan 
sundal itu tewas, akan lebih baik lagi. Karena dengan 
leluasa, aku bisa menguasai kipas dan bumbung bam-
bu yang katanya berisi lembaran-lembaran jurus si-
lat.... Dan jika pun perempuan sundal itu berhasil 
mematahkan Pendekar Mata Keranjang 108, aku ha-
rus dapat merampasnya. Meski, terlebih dahulu harus 
menyabung nyawa dengan perempuan sundal itu.... 
Apa boleh buat? Teman tinggal teman. Urusan benda 
pusaka itu di atas segalanya...," kata batin Tengkorak 
Berjubah, bibirnya menyunggingkan senyum beringas 
dengan kepala mengangguk perlahan.
Selagi Tengkorak Berjubah berpikir begitu.... 
"Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan tertahan, disusul ter-
jerembabnya sesosok tubuh di atas tanah. Begitu menoleh ke arah tubuh yang terjerembab, Tengkorak Ber-
jubah menahan napas. Tapi, bibirnya tetap tersenyum 
mengejek.
Sosok yang terjerembab ternyata Dayang Lembah 
Neraka. Namun perempuan tua itu segera bangkit. 
Sambil memegangi dadanya yang terasa sesak karena 
terhantam pukulan jarak jauh Pendekar Mata Keran-
jang 108, matanya melirik ke arah Tengkorak Berju-
bah.
"Setan alas! Kenapa dia hanya diam saja tanpa 
melakukan sesuatu untuk segera merampas kipas dan 
bumbung bambu...?!" maki Dayang Lembah Neraka 
bergumam. Dahinya tampak berkerut, menduga-duga.
Sementara pada saat itu, Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang telah mendarat kini melangkah tiga tin-
dak ke depan.
"Hmm.... Meski mereka teman, rupanya satu sa-
ma lain dihinggapi sifat serakah saling tak mau men-
galah. Hal ini harus ku manfaatkan...," gumam Aji.
Maka saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108 
segera melesat ke udara, membuat gerakan berputar 
dua kali. Lalu mantap sekali kakinya mendarat di 
Samping Dayang Lembah Neraka. Dan tanpa menung-
gu lama, kedua tangannya segera menghantamkan ke 
arah Dayang Lembah Neraka. 
"Heh?!"
Disertai rasa kaget, Dayang Lembah Neraka sege-
ra mengerahkan tenaga dalam ke tangan dan kakinya. 
Lantas didahului bentakan nyaring kedua tangannya 
dihantamkan, memapak serangan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Tepat pada saat itu, kedua kakinya pun 
amblas ke dalam tanah.
Dayang Lembah Neraka sengaja mengerahkan 
tenaga pada tangan dan kaki. Tujuannya agar tangan-
nya dapat memapak serangan Pendekar Mata Keranjang 108. Sementara kakinya dapat menahan tubuh ji-
ka terjadi bentrokan pukulan.
Blarrr!
Bentrok pukulan berisi tenaga dalam tinggi yang 
sebenarnya tidak diinginkan Dayang Lembah Neraka, 
akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi.
Begitu dua pukulan bertemu, tubuh Pendekar 
Mata Keranjang 108 terseret ke belakang. Namun sebe-
lum tubuhnya lebih jauh tersapu bias pukulan, tenaga 
dalam-nya segera dikerahkan. Sehingga, mendadak 
tubuhnya berhenti meluncur. Malah kini, di bawah se-
pasang kakinya tampak dua kubangan yang membuat 
tubuhnya bagai terpantek kokoh.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka tak 
bergeming sedikit pun. Hanya pakaiannya yang berki-
bar-kibar terkena hembusan angin dari pukulan yang 
bentrok. Senyap beberapa saat.
Di antara Dayang Lembah Neraka dan Pendekar 
Mata Keranjang 108, kini sama-sama saling diam. Sa-
lah satu tidak ada yang bersuara atau memulai seran-
gan. Hanya mata masing-masing saling menghujam. 
Namun sesaat kemudian, tubuh Dayang Lembah Ne-
raka tampak bergetar hebat, seiring bergetarnya tanah 
yang dipijak. Sekejap lain dahi perempuan tua ini be-
rubah berkerut-kerut. Sementara sekujur tubuhnya 
mulai dibasahi keringat. 
"Hsss...!"
Tidak berselang lama, terdengar desisan geram 
dari mulut Dayang Lembah Neraka, karena tubuhnya 
sedikit demi sedikit mulai bergoyang.
Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108 secara 
diam-diam menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga tanah di tempat itu bagai dilanda gempa berke-
kuatan dahsyat.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan,

Dayang Lembah Neraka segera menjajarkan kedua 
tangan di depan dada. Lalu seketika disentakkannya 
ke bawah. Maka terjadilah hal yang menakjubkan. Ge-
taran-getaran hebat di sekitarnya mendadak berhenti. 
Dan tubuhnya kini kembali kokoh tegak.
Mendapati perempuan tua itu berhasil meredam, 
Aji kembali menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga, tanah di sekitar tempat Dayang Lembah Nera-
ka kembali berguncang. Untuk beberapa waktu pe-
rempuan ini memang masih mampu membendung. 
Tapi itu tidak lama.
"Heaaa...!"
Ketika Pendekar Mata Keranjang 108 membentak 
keras, tubuh Dayang Lembah Neraka oleng. Bahkan 
mulai bergerak ke atas, tercabut dari dalam tanah!
"Hih...! Wuuut...!"
Saat demikian itulah, secara tiba-tiba Pendekar 
Mata Keranjang 108 menghantamkan kedua tangan-
nya ke depan, melepaskan pukulan jarak jauh.
Wuuss! Wuuuss!
Dua rangkum angin menderu menggemuruh dan 
bergelombang, menyambar keluar dari kedua tangan 
Pendekar Mata Keranjang 108. Sambaran angin itu te-
rus menyapu deras ke arah Dayang Lembah Neraka, 
kedua kakinya kini telah terangkat dari dalam tanah.
Namun, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang
108 tiba-tiba membeliak besar melihat apa yang terja-
di.
"Hiaaa...!" 
Didahului teriakan bagai merobek langit, satu 
depa lagi serangan Pendekar Mata Keranjang 108 yang 
berisi tenaga dalam tinggi menghantam, Dayang Lem-
bah Neraka merentangkan kedua tangannya. Dan di 
sekejap itu juga, tubuhnya tiba-tiba melenting tinggi ke 
udara, membuat serangan Pendekar Mata Keranjang

108 yang berhawa maut hanya menghajar tempat ko-
song!
Malah begitu Dayang Lembah Neraka berhasil 
berkelit, dari udara tubuhnya berbalik sambil mele-
paskan pukulan tiga kali berturut-turut dengan gera-
kan aneh, seperti orang memperagakan tarian patah-
patah.
Wuutt! Wuutt!
Gumpalan gelombang yang menebar hawa panas 
menukik deras dari udara. Hebatnya, belum sampai 
gumpalan gelombang itu menggebrak, terdengar letu-
pan perlahan. Di sekejap lain gumpalan gelombang itu 
pecah berantakan, menyambar bersiutan ke sana ke-
mari dari segala jurusan. Namun semuanya mengarah 
pada satu titik, yakni tubuh Pendekar Mata Keranjang 
108!
"Jangkrik! Rupanya dia masih menyimpan ilmu. 
Apa boleh buat! Aku terpaksa menggunakan kipas un-
tuk menghalau gelombang yang seperti hujan jahanam 
ini...!" rutuk batin Aji, seraya cepat menyabut kipas 
dari balik bajunya. Dan secepat kilat pula dikebutkan-
nya secara berputar-putar di atas kepala.
Wuutt! Wuutt! Tarrr...!
Pecahan-pecahan gelombang berwarna hitam ser-
ta merta berhamburan mental. Namun di pihak lain, 
Dayang Lembah Neraka menambah sentakan-sentakan 
tangannya, Akibatnya gelombang berwarna hitam itu 
tak henti-hentinya menyambar.
"Busyet! Aku tak bisa bertahan begini terus-
terusan. Karena pecahan gelombang ini bertambah 
banyak, sumber penggerak darinya harus dilumpuh-
kan dulu...!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 
segera berkelebat cepat menjauh dari kurungan peca-
han gelombang. Aji tahu, meski gelombang itu hanya

pecahan-pecahan, namun akibat yang ditimbulkannya 
sangat hebat. Buktinya tanah di sekitar tempat itu kini 
banyak membentuk lobang sebesar satu genggaman 
tangan, terhajar pecahan gelombang hitam yang mene-
rabas. Bahkan karena begitu gencarnya sentakan tan-
gan Dayang Lembah Neraka, udara di tempat itu men-
jadi redup!
Sebelum kehilangan lawan yang tertutup gumpa-
lan-gumpalan gelombang, dan sebelum pecahan-
pecahan gelombang itu ada yang menghantam, Pende-
kar Mata Keranjang 108 bertindak cepat. Tangan ka-
nannya memutar-mutar kipas lebih cepat, sementara 
tangan kiri menghantamkan ke udara. 
Wusss...!
Tiba-tiba udara redup yang melingkupi tempat 
itu terkuak sinar putih, membuat suasana seketika ja-
di terang benderang. Inilah pertanda Pendekar Mata 
Keranjang 108 telah melepaskan pukulan sap kelima.
"Bayu Cakra Buana!" sentak Tengkorak Berjubah 
tanpa sadar dari tempatnya berdiri, ketika melihat apa 
yang terjadi.
"Aaa...!"
Belum habis rasa terkejut Tengkorak Berjubah, 
terdengar jeritan keras. Bersamaan dengan itu, dari se-
la-sela gelombang hitam yang masih saja menyambar 
turun, menukik deras tubuh Dayang Lembah Neraka!
Brak!
Keras sekali tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
banting di atas tanah, tanpa dapat bergerak lagi. Aki-
batnya, ketika sambaran pecahan gelombang dari se-
rangannya sendiri menghajar tubuhnya, dia tidak bisa 
menghindar.
Darrr...! Darrr...!
"Aaa...!"
Tubuh Dayang Lembah Neraka kontan tersambar

pecahan-pecahan gelombang warna hitam. Terdengar 
beberapa kali jeritan. Begitu suaranya terhenti, tubuh-
nya telah hangus dengan kulit mengelupas! 
Melihat Dayang Lembah Neraka tewas, Tengkorak 
Berjubah tersenyum. Dan sebelum senyumnya lenyap, 
tubuhnya segera berkelebat sambil menghentakkan 
kedua tangannya ke arah Pendekar Mata Keranjang 
108.
"Hih...!"
Wesss...!
Angin deras segera menyapu, mengeluarkan kila-
tan-kilatan menggidikkan. Pada saat yang sama, sosok 
Tengkorak Berjubah melesat cepat ke arah samping 
sambil menunggu. Bahkan telah siap pula melepaskan 
pukulan beruntun. 
"Hiaaa...!"
Aji sedari tadi memang telah mewaspadai gerak-
gerik Tengkorak Berjubah. Maka disertai bentakan ke-
ras, tubuhnya langsung menerjang ke samping, me-
nyongsong langkah Tengkorak Berjubah sambil meng-
hindari serangan. Dan seketika tangan kanannya men-
gibaskan kipas ungu. Sementara tangan kiri melepas 
pukulan Bayu Cakra Buana.
Werrr...!
Tengkorak Berjubah menggerutukkan tulang ra-
hangnya. Sinar berkilau keputihan yang melesat me-
nyambar dari tangan kiri Pendekar Mata Keranjang 
108, segera disambut dengan hantaman tangan kiri
dan ka-nan.
Wuuut! Wuuut...! 
Darr! Daarr!
Dua kali ledakan segera menggulung sekitarnya. 
Tanah yang tadi sudah porak poranda semakin beran-
takan, membubung ke udara menutupi pemandangan. 
Saat demikian, Tengkorak Berjubah yang tubuhnya

sempat terhuyung-huyung ke belakang akibat bentro-
kan pukulan, segera melesat ke udara. Begitu berada 
di udara jubah hitamnya dikibaskan. Lalu secepat itu 
pula dibuatnya gerakan salto beberapa kali. Maka, ti-
ba-tiba saja tubuhnya melayang turun menerjang ke 
arah Pendekar Mata Keranjang 108!
Werrr...!
Kibasan jubah Tengkorak Berjubah memang bu-
kan kibasan biasa, karena disertai tenaga dalam kuat. 
Maka saat itu juga angin kencang segera melesat, 
mengarah pada Pendekar Mata Keranjang 108.
Melihat serangan beruntun Tengkorak Berjubah, 
Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut. Namun 
dia segera melompat ke samping, menghindari samba-
ran angin jubah hitam. Nyatanya sambaran itu me-
mang hanya lewat disampingnya. Namun baru saja Aji 
berhasil menghindar, kaki Tengkorak Berjubah tiba-
tiba sudah menghantam ke arah dadanya. 
Bukkk! 
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berteriak keras ke-
tika kaki Tengkorak Berjubah mampir di dadanya. Tu-
buhnya mencelat hingga beberapa tombak dan jatuh 
berdebuk di tanah. Perlahan Aji merambat bangkit. 
Da-rah segar muntah dari mulutnya.
Sementara Tengkorak Berjubah menyeringai. Ka-
kinya lantas melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
"Bocah! Nyawamu sudah berada di ujung tanduk. 
Sebelum tubuhmu hancur, lekas serahkan kipas itu. 
Sekalian dengan bumbung bambu yang pasti kau sim-
pan! Jika kau menuruti kehendakku, nyawamu masih 
bisa kuampuni!" ujar Tengkorak Berjubah, pongah.
"Tua jahanam! Jangan disangka bisa menda-
patkan kipas ini, sebelum kau benar-benar melihat

mayatku!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 marah 
seraya bangkit.
Baru saja tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 
tegak, Tengkorak Berjubah mengeluarkan lenguhan 
keras. Lalu tubuhnya melesat. Setelah membuat gera-
kan berputar beberapa kali di udara, sepasang kakinya 
yang tertutup jubah hitam menukik deras ke arah 
Pendekar Mata Keranjang 108!
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Mata 
Keranjang 108 merebahkan tubuhnya sejajar tanah. 
Weess! Weess!
Terjangan sepasang kaki Tengkorak Berjubah 
hanya menghantam tempat kosong di atas tubuh Aji.
"Keparat!" maki Tengkorak berjubah.
Laki-laki berwajah tengkorak ini segera memutar 
tubuhnya. Kini tubuhnya menyusur tanah dengan 
kencang. Sepasang kakinya lurus, mengarah ke tubuh 
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih telentang.
Karena waktu untuk menghindar tidak ada, den-
gan cepat Aji memiringkan tubuh. Pada saat yang sa-
ma kedua kakinya diangkat dan ditekuk di depan da-
da. Dan begitu terjangan kaki lurus Tengkorak Berju-
bah satu depa lagi menghempas, kakinya cepat dilu-
ruskan untuk memapak.
Brakk! Brakk!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar dua kali benturan keras, disusul ter-
dengarnya seruan dua kali. Ternyata baik Tengkorak 
Berjubah maupun Pendekar Mata Keranjang 108 sa-
ma-sama kesakitan.
Sementara itu tubuh Tengkorak Berjubah tam-
pak mental balik. Kuat sekali tubuhnya terjungkal di 
tanah lalu bergulingan beberapa kali. Sedangkan tu-
buh Pendekar Mata Keranjang 108 terbalik dengan ke

pala lebih dahulu menyuruk tanah.
Tengkorak Berjubah segera bangkit. Sepasang 
matanya berkilat membeliak. Tulang pelipisnya berge-
rak-gerak keras.
"Heangg...!" 
Didahului bentakan sengau, tubuh Tengkorak 
Berjubah membuat lompatan-lompatan. Dan menda-
dak dia bergulingan di atas tanah dengan cepat. Begitu 
tiga tom-bak di depan Pendekar Mata Keranjang 108, 
tubuhnya berhenti. Dan dalam keadaan miring, kedua 
tangannya dihantamkan.
Weess! Weess!
Dua gelombang angin laksana gelombang berge-
muruh langsung menghantam ke depan.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera menghentakkan kipasnya melengkung di depan 
dadanya. Sedangkan tangan kiri melepas pukulan 
'Bayu Cakra Buana'.
Wesss...!
"Heh?!"
Sepasang mata Tengkorak Berjubah tiba-tiba ter-
belalak lebar dengan wajah mengisyaratkan kecema-
san. Karena serangannya mendadak bagai tertahan 
dan mengapung di udara. Sementara itu, lesatan sinar 
putih bagai tak terbendung lagi menerobos gelombang 
angin sentakan tangannya dan terus melesat cepat.
Tengkorak Berjubah berusaha menghindar, na-
mun gerakannya terlambat. Hingga....
Dess...!
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh laki-laki berwajah tengko-
rak ini tergeser jauh ke belakang dengan jubah berde-
rik robek-robek. Dari tulang bibirnya mengalir darah 
kehitaman pertanda terluka dalam amat parah.
Hebatnya, meski keadaannya sudah tak me

mungkinkan lagi, Tengkorak Berjubah segera bangkit. 
Dan dengan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya melesat
sambil mengeluarkan bentakan-bentakan sengau dah-
syat.
Karena tenaganya sudah terkuras, membuat 
Tengkorak Berjubah hanya mengandalkan sepasang 
tangan dan kakinya untuk menghantam sambil menu-
bruk.
Diam-diam Pendekar Mata Keranjang 108 yang 
telah bangkit pula tercengang. Sungguh tidak disangka 
jika manusia tanpa kulit ini memiliki ketahanan tubuh 
yang sangat tangguh. Karena sampai saat ini, belum 
ada seorang pun yang bisa selamat dari pukulan 'Bayu 
Cakra Buana'.
Maka secepat itu pula Pendekar Mata Keranjang 
108 cepat menakupkan kedua tangannya di depan da-
da dengan kipas terkembang. Dan begitu tubuh Teng-
korak Berjubah melabrak, kipasnya disentakkan. Se-
mentara kaki kanannya diangkat ke atas. Lalu....
Dess! Desss! Prak!
"Aaakh...!"
Tulang wajah Tengkorak Berjubah kontan tanggal 
berantakan. Namun tak urung juga sepasang tangan-
nya masih sempat menangkap leher Pendekar Mata 
Keranjang 108, dan menyentakkannya ke samping. 
Hingga sekejap kemudian, tampak dua sosok tubuh 
sama-sama terbanting dan terkapar di atas tanah.
Yang pertama sosok Tengkorak Berjubah yang 
terkapar dengan wajah cerai berai tidak bernyawa lagi. 
Sementara sosok satunya, Pendekar Mata Keranjang 
108 yang terkapar dengan tangan kiri memegangi le-
hernya yang tampak membiru dan terasa panas!
***

DUA

Langit di atas Singasari terhalangi arak-arakan 
awan hitam dan tebal. Nun jauh di ujung sebelah ba-
rat, sesekali terdengar gelegar bersahutan diiringi kila-
tan-kilatan. Sekejap suasana sedikit terang, namun se-
telah itu cuaca semakin hitam kelam dan mencekam.
Angin berhembus kencang, membawa udara dingin 
menusuk tulang. 
Di dalam sebuah ruangan yang terletak di bagian 
belakang Candi Singasari, dua sosok tampak berdiri 
saling berhadapan. Ruangan ini tampak lengang, ka-
rena hanya berisi sebuah ranjang besar yang tertata 
rapi dan sebuah penerangan lampu teplok. Karena 
ruangan itu agak besar, membuat sinar lampu tak 
mampu menerobos seluruh ruangan. Sehingga suasa-
na tampak remang-remang.
Sebuah tangan kekar sesekali bergerak mengu-
sap-usap dagu yang kokoh, Sementara sepasang ma-
tanya tak berkedip memandang ke depan, dengan so-
rot jalang dan liar penuh nafsu.
Yang memiliki tangan kekar dan dagu kokoh ser-
ta mata jalang adalah seorang pemuda tampan. Tu-
buhnya terbungkus jubah toga hitam merah menyala, 
yang di pinggangnya tampak terselip sebuah kipas li-
pat berwarna hitam. Tubuhnya tegap. Bibirnya sering 
mengumbar senyum seringai. Pemuda ini tak lain ada-
lah Malaikat Berdarah Biru.
Sementara yang di hadapan Malaikat Berdarah 
Biru adalah seorang gadis muda berwajah cantik. Tu-
buhnya yang ramping sekal, dibungkus baju warna 
merah tanpa lengan. Pakaian bawahnya dibuat mem-
belah di bagian samping. Hingga meski hanya diterangi 
cahaya temaram, kulit pahanya yang putih mulus ter

lihat jelas. Bahkan makin mengundang hasrat. Ram-
butnya yang ikal panjang dikuncir ke atas, menam-
pakkan lehernya yang jenjang. Dadanya kencang 
membusung, dengan pinggul besar menantang. Siapa 
lagi gadis ini kalau bukan Bayangan Seribu Wajah.
"Malaikat Berdarah Biru!" panggil Bayangan Seri-
bu Wajah, setelah lama mereka terkekang kebisuan. 
"Tadi aku sudah menceritakan tentang perjalananku 
dengan Bayangan Iblis, gurumu. Memang itulah ke-
nyataannya. Kami berdua tak bisa mengorek keteran-
gan dari mulut perempuan setan kakak sepergurua-
nku tentang di mana Pendekar Mata Keranjang 108 
berada. Jadi, terpaksa kita harus melacaknya sendiri!"
Senyum seringai Malaikat Berdarah Biru menye-
ruak keluar. Namun matanya tak juga beranjak dari 
lekuk-lekuk tubuh gadis di depannya.
"Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah nya-
tanya hanya besar gelar! Mengorek keterangan saja tak 
berhasil...!" rutuk batin Malaikat Berdarah Biru.
Setelah puas menatap tubuh, kini mata Malaikat 
Berdarah Biru beralih ke wajah Bayangan Seribu Wa-
jah.
"Bayangan Seribu Wajah...," panggil pemuda mu-
rid Bayangan Iblis. "Benar apa katamu. Kita harus me-
lacak sendiri Pendekar Mata Keranjang 108. Karena 
aku juga sudah cemas, Sepasang Iblis Pendulang 
Sukma, Tengkorak Berjubah, Dayang Lembah Neraka, 
serta Putri Tunjung Kuning seharusnya telah kembali 
ke sini.... Apakah mungkin mereka menipuku!" 
Bayangan Seribu Wajah tersenyum seraya me-
renggangkan kedua kakinya, membuat sepasang pa-
hanya lebih terlihat: Seketika mata Malaikat Berdarah 
Biru beralih menjilati paha yang putih menantang itu, 
hingga makin terbeliak.
"Malaikat Berdarah Biru...! Persoalan menghada

pi Pendekar Mata Keranjang 108, seharusnya kau ti-
dak menyerahkan begitu saja pada mereka-mereka. 
Meski kemampuan mereka tak diragukan lagi, namun 
untuk menghadapi manusia berjuluk Pendekar Mata 
Keranjang 108, kurasa tidak bakal mampu. Bahkan....
"
"Bayangan Seribu Wajah...!"
Belum habis Bayangan Seribu Wajah bicara, Ma-
laikat Berdarah Biru sudah mengelak sambil mema-
lingkan wajahnya.
"Dalam masalah ini, aku lebih tahu daripada kau! 
Harap kau jangan menggurui ku!" lanjut Malaikat Ber-
darah Biru.
Air muka Bayangan Seribu Wajah merah padam.
"Anak ini angkuh dan bermulut besar. Sean-
dainya bukan murid dari Bayangan Iblis, sudah ku-
tampar mulutnya. Namun demikian, di balik itu dia 
memang pemuda yang menggoda. Tubuhnya tegap ke-
kar dengan tangan kokoh. Hmm.... Di atas tempat ti-
dur pastilah mengasyikkan...," desah batin Bayangan 
Seribu Wajah.
Membayangkan hal-hal yang memabukkannya, 
raut wajah Bayangan Seribu Wajah tiba-tiba berubah. 
Senyumnya mengembang. Dadanya sengaja dibusung-
kan.
"Malaikat Berdarah Biru.... Aku tak berniat 
menggurui mu. Namun, aku hanya mengingatkan mu. 
Kau terima boleh, tidak pun tidak apa-apa. Ngg..., ka-
lau sudah tak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku 
akan menemui gurumu untuk membicarakan langkah 
apa selanjutnya...," kata gadis cantik ini dengan suara 
perlahan, se-olah-olah mendesah.
Sebelum berbalik, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling. Lalu kakinya melangkah hendak pergi. Tapi 
langkahnya tertahan, tatkala tangan kokoh Malaikat

Berdarah Biru terasa memegang pundaknya dari bela-
kang.
"Tunggu...," ujar Malaikat Berdarah Biru seraya 
memperkeras cekalannya pada pundak Bayangan Se-
ribu Wajah.
"Auuuww...!"
Bayangan Seribu Wajah menjerit tertahan, na-
mun berkesan manja. 
"Bayangan Seribu Wajah.... Soal itu, bisa dibica-
rakan nanti. Kalau boleh aku tahu, benarkah ucapan-
mu tentang bumbung bambu yang kini berada di tan-
gan Pendekar Mata Keranjang 108 itu berisi jurus-
jurus hebat?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah berpaling. Sejenak sepa-
sang matanya menusuk tajam ke bola mata Malaikat 
Berdarah Biru yang tampak berkilat meredam amukan 
nafsu. Disertai senyum, kepalanya lantas mengangguk 
perlahan.
Malaikat Berdarah Biru melepaskan cekalan pada 
pundak Bayangan Seribu Wajah. Tangannya diangkat, 
lalu diusap-usapnya pada ujung dagu gadis itu. Se-
mentara, matanya menyengat tajam ke dada montok 
menantang di depannya.
"Jika demikian, besok pagi aku akan mencari je-
jak Pendekar Mata Keranjang 108. Aku hanya memer-
lukan kipasnya. Bumbung bambu akan kuserahkan 
padamu...," kata Malaikat Berdarah Biru. 
Gadis di hadapan Malaikat Berdarah Biru mem-
belalakkan matanya, seakan terkejut tak percaya.
"Kau akan merebut bumbung bambu...?" tanya 
Bayangan Seribu Wajah.
"Benar. Aku akan merebutnya dari tangan mu-
suhku untukmu!" tegas Malaikat Berdarah Biru diser-
tai anggukkan kepala.
Wajah Bayangan Seribu Wajah makin cerah. Sebagai luapan kegembiraan, tiba-tiba saja Bayangan Se-
ribu Wajah memeluk Malaikat Berdarah Biru. Wajah-
nya langsung direbahkan di dada bidang pemuda ini. 
Dadanya yang kencang menantang ditekankan rapat-
rapat, membuat hasrat kelaki-lakian Malaikat Berda-
rah Biru semakin menggelegak.
"Kau tidak berdusta...?" desah Bayangan Seribu 
Wajah mengusap punggung Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru tidak buka mulut. Seba-
gai jawaban kedua tangannya dikatupkan ke pung-
gung Bayangan Seribu Wajah. Sementara wajahnya 
bergerak turun ke kuduk gadis dalam rangkulannya 
kini. Lalu dengan napas menghembus panjang, kuduk 
gadis ini diciuminya.
Bayangan Seribu Wajah menggelinjang seraya 
menengadahkan wajahnya. Saat itulah wajah Malaikat 
Berdarah Biru segera menyergap, memagut bibir me-
rah menantang milik gadis ini. 
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu 
Wajah cukup lama tenggelam dalam amukan samude-
ra asmara. Apalagi didukung oleh suasana temaran 
dan malam dingin yang berhembus menusuk. Sehing-
ga, membuat keduanya seakan segan untuk mele-
paskan pelukan satu sama lain. Hingga tatkala sang 
surya sudah menampakkan diri dari ufuk timur, me-
reka masih terlelap kelelahan setelah mengarungi sa-
mudera asmara.
Namun, mendadak terasa getaran-getaran di 
ruangan itu. Sebagai orang yang berilmu tinggi, Malai-
kat Berdarah Biru cepat membuka sepasang matanya. 
Lalu, secepat kilat pakaian yang berserakan disambar-
nya. Cepat kipasnya dilepitkan. Saat itu juga tubuhnya 
berkelebat keluar dari ruangan.
Tapi mendadak langkah Malaikat Berdarah Biru 
berhenti. Matanya terbelalak besar, dengan senyum seringai tak senang.
"Setan buntung! Mengganggu kesenangan saja!" 
rutuk Malaikat Berdarah Biru begitu tahu apa yang 
menyebabkan getaran-getaran tadi terjadi.
Ternyata, di ruangan tengah tampak Bayangan 
Iblis, guru Malaikat Berdarah Biru sendiri. Perempuan 
tua itu tengah duduk bersila dengan kedua tangan 
menakup di depan dada. Matanya yang cekung menga-
tup rapat. Sementara bibirnya bergerak-gerak seperti 
mengucapkan sesuatu.
Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat. 
Dan baru saja mulutnya membuka hendak berkata, 
sang guru telah membuka kelopak matanya. Diberinya 
isyarat agar sang murid tidak meneruskan niatnya.
Malaikat Berdarah Biru yang telah tahu apa yang 
sedang dilakukan gurunya segera mengatupkan kem-
bali mulutnya. Padahal, dalam hati dia mengutuk ha-
bis-habisan. Wajahnya cepat dipalingkan, memandang 
jurusan lain sambil menunggu dengan perasaan tak 
senang.
"Apa lagi yang diperoleh dalam semadinya kali 
ini...? Tapi, baiklah. Akan kutunggu saja...," kata batin 
Malaikat Berdarah Biru seraya kembali memandang 
pada Bayangan Iblis.
Pada saat itulah Bayangan Iblis melambaikan 
tangan, memberi isyarat agar Malaikat Berdarah Biru 
mendekat. Dengan langkah berat pemuda ini menuruti 
isyarat itu dan duduk di hadapan gurunya.
"Muridku.... Kau jangan kecewa jika aku menga-
takan sesuatu yang tak berkenan di hatimu...," ujar 
Bayangan Iblis.
Sebentar perempuan tua itu menghentikan uca-
pannya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya kuat-kuat.
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan gumaman

tak jelas. Dahinya berkerut, seakan-akan menduga-
duga.
"Jangan berbelit-belit. Katakan saja...!" ujar Ma-
laikat Berdarah Biru agak keras, seolah-olah tidak be-
rada di hadapan gurunya. 
Bayangan Iblis menatap tajam muridnya seben-
tar.
"Orang-orang yang kau tugaskan untuk membu-
ru Pendekar Mata Keranjang 108, rupanya sedang 
mengalami nasib jelek. Mereka tak berhasil. Malah se-
karang hanya tinggal Putri Tunjung Kuning yang ma-
sih membawa nyawa di hadapannya!" jelas Bayangan 
Iblis.
Meski terkejut bukan alang kepalang, namun Ma-
laikat Berdarah Biru mencoba menahannya dengan 
senyum. Dia diam untuk beberapa lama, menampak-
kan sikap biasa-biasa saja.
"Muridku...!" lanjut Bayangan Iblis. "Dalam mata 
batin ku, aku mendapat firasat jelek...." 
"Guru!" selak Malaikat Berdarah Biru. "Apa hidup 
ini hanya akan ditentukan oleh firasat-firasat yang be-
lum tentu benar? Hal itu hanya akan membuat kita 
bodoh, dan takut berbuat sesuatu. Kitab dan kipas 
pusaka telah berada di tanganku. Dan aku tak akan 
percaya dengan segala macam firasat!"
Bayangan Iblis batuk beberapa kali. Lalu kepa-
lanya mendongak menghadapkan wajahnya ke langit-
langit ruangan.
"Kau benar, Muridku. Namun, satu hal yang per-
lu kau ketahui. Selama hidupku yang sudah hampir 
seratus tahun ini, firasat ku tak pernah meleset! Den-
garlah! Ingat! Kau hanya perlu mendengar. Soal per-
caya atau tidak, itu urusan nanti...!" tegas Bayangan 
Iblis sambil tetap memandangi langit-langit.
Malaikat Berdarah Biru mengangkat bahunya,

menyembunyikan rasa jengkel dan geram. Namun de-
mikian, dia tak hendak membantah. Seakan disadari, 
bahwa ucapan orang tua di hadapannya memang ada 
benar-nya.
"Muridku...," lanjut Bayangan Iblis setelah meli-
hat muridnya menyadari arti ucapannya. "Kau melihat 
arak-arakan awan hitam bergelombang, melingkupi 
langit. Sehingga, suasana bumi menjadi hitam pekat. 
Namun tiba-tiba saja arakan awan hitam itu menguak, 
dengan menerobosnya sebuah larikan-larikan kilatan 
putih. Bahkan tak lama kemudian, arakan awan hitam 
itu lenyap bagai tertelan kilatan-kilatan putih. Saat 
demikian itulah, aku melihat jelas sosok manusia du-
duk di atas arakan awan hitam yang mulai menipis 
pudar...."
"Siapa manusia itu, Guru...?!" desak Malaikat 
Berdarah Biru tak sabar.
Perempuan tua itu tidak segera menjawab. Wa-
jahnya kini berpaling, memandang muridnya.
"Aku sebenarnya hampir tak percaya, kalau dia 
yang duduk...," jawab Bayangan Iblis. 
"Guru! Siapa orangnya? Apakah musuhku, Pen-
dekar Mata Keranjang 108?" desak Malaikat Berdarah 
Biru lagi.
Bayangan Iblis menggeleng perlahan.
"Dia adalah kakak seperguruan Bayangan Seribu 
Wajah! Perempuan tua aneh yang tak mau menye-
butkan namanya sendiri. Dan perempuan tua yang te-
lah menyerahkan bumbung bambu pada Pendekar Ma-
ta Keranjang 108!" jelas Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru kepalkan kedua tangan-
nya. Lalu dipukulkannya tangan itu satu sama lain, 
menumpahkan rasa marah. Dagunya yang kokoh se-
makin kencang dengan pelipis bergerak-gerak.
"Muridku.... Kau telah tahu. Meski aku dan

Bayangan Seribu Wajah telah berhasil mengalahkan 
perempuan tua itu, namun kami berdua tak berhasil 
menewaskannya...," kata Bayangan Iblis lagi.
"Hmm.... Apakah ucapanmu sebagai ungkapan 
bahwa aku harus mencari sekaligus membuatnya jadi 
mayat?!" tukas Malaikat Berdarah Biru dengan nada 
tinggi.
Bayangan Iblis tersenyum. Mulutnya yang selalu 
bergerak-gerak seakan-akan mengunyah sesuatu yang 
tak habis-habisnya, mendadak berhenti.
"Sebenarnya tidak ada artinya membunuh pe-
rempuan tua itu. Dia hanyalah perlambang, bahwa 
benda dari dirinyalah yang membuat keadaan hitam 
pekat itu menjadi terang kembali...."
"Apa maksudmu, Guru?!"
"Bumbung bambu yang diberikannya pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108, itulah yang sebenarnya 
pangkal dari cahaya putih itu!" jelas Bayangan Iblis.
Saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru terdiam. 
Kali ini perasaan cemas dan khawatir tak bisa disem-
bunyikan dan terpancar jelas dari raut wajahnya.
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang, 
Guru?!" tanya Malaikat Berdarah Biru dengan suara 
bergetar.
"Kita korek kembali keterangan dari mulut pe-
rempuan tua itu! Aku merasa dia masih menyimpan 
sesuatu. Dan lain dari itu, firasat ku mengatakan Pen-
dekar Mata Keranjang 108 juga akan menemuinya...," 
sahut Bayangan Iblis.
"Tapi di mana kita akan menemukannya? Bu-
kankah tempatnya telah kau hancurkan?" tanya Ma-
laikat Berdarah Biru lagi.
"Hmm.... Soal di mana tempatnya, Bayangan Se-
ribu Wajah yang pasti tahu. Bangunkan dia. Kita be-
rangkat sekarang juga! Tapi, kau harus keramas dahu

lu. Baumu bukan seperti biasanya...."
Wajah Malaikat Berdarah Biru merah padam. Dia 
cepat berdiri, lalu segera berkelebat meninggalkan 
Bayangan Iblis. Sementara perempuan tua ini terse-
nyum sambil menggeleng-geleng.
***
TIGA


Puncak Bukit Watu Dakon terbungkus kabut ti-
pis pagi hari. Bangunan batu yang berdiri kokoh di 
puncaknya sepi bagai tak berpenghuni. Padahal, di da-
lamnya tampak beberapa orang perempuan gundul 
berpakaian hijau-hijau tengah hilir mudik. Raut muka 
mereka menampakkan rasa kecemasan.
Di sebuah ruangan dalam, tampak seorang gadis 
muda berwajah cantik tengah duduk dengan wajah re-
dup. Rambutnya panjang. Kulitnya yang putih ter-
bungkus pakaian tipis berwarna putih. Begitu tipisnya, 
membuat lekuk tubuhnya yang membentuk indah ter-
lihat sangat mempesonakan. Namun ada satu kejang-
galan. Meski raut wajahnya cantik, kedua tangannya 
ternyata hitam legam dan berbulu.
Sepasang mata gadis ini tak henti-hentinya me-
mandang ke depan, ke arah ranjang besar yang di 
atasnya tergolek sesosok tubuh yang ternyata seorang 
perempuan tua. Pakaiannya compang-camping. Raut 
wajahnya menakutkan. Karena, di bawah sepasang 
matanya tak terlihat tonjolan hidung. Rambutnya pu-
tih dan awut-awutan. Sekujur tubuhnya tampak 
membiru dengan darah mengering terlihat di sekitar 
telinga dan mulutnya yang tipis. Napas perempuan ini 
berhembus pelan-pelan, dan sesekali terdengar batuk

batuk kecil. Melihat keadaannya, dia sedang terluka 
parah.
Gadis cantik yang bertangan hitam dan berbulu 
itu tak lain adalah Ratu Pualam Putih. Dia melangkah 
mendekati ranjang. Sepasang matanya yang bulat ber-
binar, berkaca-kaca. Sementara bahunya tak jarang 
naik turun menahan isak.
Mendengar langkah-langkah halus dan isakan 
tertahan, perempuan tua di atas ranjang yang tak lain 
perempuan tak bernama itu membuka kelopak ma-
tanya. Sejenak mata perempuan tua guru Ratu Pualam 
Putih ini memandang ke atas. Lalu matanya beralih ke 
samping, tempat gadis itu berdiri. (Tentang Ratu Pua-
lam Putih, silakan baca serial Pendekar Mata Keran-
jang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Iblis").
"Guru...," sebut Ratu Pualam Putih perlahan. 
"Bagaimana keadaanmu...?"
Setelah mengatur napas dan batuk kecil berulang 
kali, perempuan tua itu tersenyum. Padahal, tampak 
benar kalau senyum itu sangat dipaksakan.
"Kadarwati...," kata perempuan tua itu memang-
gil nama asli Ratu Pualam Putih. "Kau tidak usah ce-
mas begitu rupa. Keadaanku sudah membaik. Dan se-
cepatnya aku akan meninggalkan tempatmu ini...."
"Tapi, Guru...."
Belum selesai Ratu Pualam Putih meneruskan 
ucapannya, perempuan tua itu menggeleng perlahan.
"Sudah kukatakan, keadaanku sudah baik. Aku 
tak mau membuatmu repot. Lagi pula, orang yang 
mencelakai ku pasti akan terus memburu ku. Dan itu 
berarti, kau...."
"Perempuan setan! Aku tahu kau ada di dalam. 
Lekas keluar! Jika tidak, tempat ini akan kami han-
curkan!"
Perempuan tua itu menghentikan kata-katanya.

Karena dari arah luar terdengar bentakan keras men-
gancam.
Jelas, ucapan bernada ancaman itu dikeluarkan 
dari jarak jauh. Namun karena dikerahkan lewat tena-
ga dalam, maka suaranya menggema dan mengiang di 
telinga setiap orang yang ada di dalam bangunan.
Beberapa anak buah Ratu Pualam Putih yang ada 
dalam ruangan ini segera membentuk barisan, siap 
hendak menyongsong keluar. Namun belum sampai 
mereka bergerak, Ratu Pualam Putih telah memberi 
isyarat pada anak buahnya untuk mengurungkan niat.
Gadis ini lantas berpaling ke belakang, memandang le-
kat-lekat pada gurunya yang telah berdiri dan mulai 
melangkah hendak keluar.
"Kadarwati.... Jangan ikut campur masalah ini. 
Biar aku sendiri yang menyelesaikan...!" ujar perem-
puan tak bernama setelah dekat dengan Ratu Pualam 
Putih.
Ratu Pualam Putih menarik napas panjang, sea-
kan melepaskan beban berat yang menindih dadanya. 
Wajahnya tampak menyiratkan kekecewaan.
"Guru! Bertahun-tahun aku kau didik. Budi ja-
samu padaku tidak bisa lagi dihitung. Sekarang, ku
mohon berilah kesempatan padaku untuk sedikit 
membalas budi-mu!" ucap Kadarwati alias Ratu Pua-
lam Putih.
Perempuan tua berpakaian compang-camping ini 
tersenyum kecut, lalu menggeleng.
"Muridku, aku bukannya tak mau dibantu. Na-
mun bukan sekarang waktunya!" tolak perempuan tua 
itu. 
"Aku tak mengerti maksudmu...."
"Sekarang mundurlah. Biar aku yang menghada-
pi mereka. Lagi pula, orang-orang di luar ini bukan 
tandingan mu...," ujar perempuan tua ini.

Setelah berkata, perempuan tua berpakaian 
compang-camping itu melesat keluar, diiringi tatapan 
kosong Ratu Pualam Putih. Sedangkan gadis berwajah 
cantik jelita ini masih tegak termangu agak lama. Tapi 
perasaan khawatir yang begitu dalam terhadap gu-
runya membuat kakinya perlahan-lahan melangkah 
keluar.
Sementara itu, begitu perempuan tak bernama 
menjejakkan kakinya di luar, tiga sosok manusia lang-
sung mengurungnya. Sejenak matanya menyapu den-
gan tajam pada tiga orang yang mengurungnya. Nam-
paknya yang dikenalnya hanya dua orang. Yakni, pe-
rempuan tua berjubah dengan sorban hitam, yang mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak. Dia tak lain adalah 
Bayangan Iblis. Seorang lagi adalah gadis berparas jeli-
ta. Pakaiannya warna merah. Dan dia tak lain adik se-
perguruannya sendiri yakni Bayangan Seribu Wajah.
Sedang yang tak dikenali adalah seorang pemuda 
berwajah tampan. Badannya kekar, terbungkus jubah 
toga merah menyala. Sesekali bibirnya mengembang-
kan senyum.
"Perempuan setan!" bentak Bayangan Iblis den-
gan mata membelalak. "Kali ini kau tak akan bisa lolos 
lagi. Tapi hal itu masih bisa diatur, asalkan kau mau 
mengatakan di mana pemuda berjuluk Pendekar Mata 
Keranjang 108 itu!"
Wajah perempuan tak bernama berubah merah 
padam.
"He... he... he...!"
Aneh! Meski baru saja diejek dengan sebutan 
'perempuan setan', sesaat kemudian perempuan tua 
ini malah tertawa mengekeh panjang.
Ternyata kekehan tawa itu bukan tawa biasa. 
Buktinya sesaat kemudian tampak Bayangan Iblis dan 
Bayangan Seribu Wajah memejamkan mata masing

masing sesaat, untuk mengerahkan tenaga dalam. Me-
reka berusaha menangkis suara mengiang keras yang 
menusuk-nusuk gendang telinga. Sementara pemuda 
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah 
Biru tampak tenang. Bahkan tersenyum mengejek.
Begitu kekehan tawa perempuan tua itu terhenti, 
Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah saling ber-
pandangan. Mereka benar-benar sadar kalau lawan 
dihadapi benar-benar tangguh. Belum lama ini, mere-
ka berdua telah berhasil membuat perempuan tak ber-
nama ini terluka parah. Tapi nyatanya, perempuan tua 
itu masih mampu mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Di pihak lain, perempuan tua juga sedikit terke-
jut. Karena dia sempat melihat kalau Malaikat Berda-
rah Biru tak terpengaruh sama sekali oleh tawanya.
"Hmm.... Siapa gerangan pemuda ini? Melihat si-
kapnya, ilmunya jelas lebih tinggi daripada Bayangan
Iblis dan Bayangan Seribu Wajah. Buktinya dia tak 
terpengaruh sama sekali oleh tenaga dalam yang ku 
keluarkan...," kata batin perempuan tua itu seraya 
menatap Malaikat Berdarah Biru dengan sorot mata 
menyelidik.
Pada saat yang sama, tiba-tiba Bayangan Iblis te-
lah berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tegak 
lima langkah di hadapan perempuan tua itu.
"Kau jangan memaksaku, Bayangan Iblis! Sudah 
kukatakan, aku tak tahu ke mana perginya pemuda 
yang kau cari!" tegas perempuan tua itu, mendahului.
"Setan alas! Kau memang ingin mampus!" gertak 
Bayangan Iblis.
Begitu tuntas kata-katanya, Bayangan Iblis lang-
sung meloncat sambil menghentakkan kedua tangan-
nya ke arah kepala perempuan tua itu.
Wesss...!
Begitu tiba-tiba dan cepat serangan Bayangan Iblis, namun perempuan tak bernama masih sempat 
menghindar dengan menarik kepalanya ke samping. 
Dan belum sampai perempuan tua itu kembali bersiap, 
mendadak saja Bayangan Iblis menyusuli serangan 
dengan terjangan kaki ke dada. Lalu....
Desss!
"Aaakh..,!"
Perempuan tak bernama itu berseru tertahan 
dengan tubuh mencelat dua tombak ke belakang. Cu-
kup keras tubuhnya mencium tanah. Dan baru saja 
dia hendak bangkit, Bayangan Seribu Wajah telah ber-
kelebat. Lalu, tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
"Ratih!" seru perempuan tua itu setelah benar-
benar berdiri, menyebut nama asli Bayangan Seribu 
Wajah. "Sadarlah. Meski kau runtuhkan langit dan ke-
ringkan lautan, bumbung bambu itu tak mungkin kau 
dapatkan!"
Ratih atau Bayangan Seribu Wajah menyeringai. 
Dan tanpa berkata-kata lagi kedua tangannya segera 
dihantamkan ke arah perempuan tua.
Wesss...! Wesss...!.
Dua rangkum sinar merah segera meluncur dari 
tangan Ratih, menggebrak kakak seperguruannya. 
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan melengking keras, perem-
puan tua itu cepat mengepakkan kedua tangannya. 
Saat itu juga gumpalan asap putih yang menebar aro-
ma bunga tujuh warna segera mengepul. Namun se-
saat kemudian, kepulan asap itu mengeras. Bahkan ti-
ba-tiba saja melesat ke depan, memapak serangan la-
wannya. 
Blarrr! 
Seketika terdengar ledakan dahsyat. Tubuh 
Bayangan Seribu Wajah tampak terpelanting dan jatuh 
tersuruk di tanah. Namun sesaat kemudian dia telah

bangkit, meski mulutnya keluarkan caci maki tak ka-
ruan. Sudut bibirnya tampak menggenang darah. Tan-
gan kanannya merah melepuh. Dan nafasnya berhem-
bus tersengal.
Sementara perempuan tak bernama itu hanya 
terseret dua langkah ke belakang dengan tubuh tetap 
tegak kokoh. Bahkan secepat kilat kedua tangannya 
dihantamkan. Dan kali ini yang jadi sasarannya adalah 
Bayangan Iblis.
"Hih!"
Wesss...!
Angin deras bergemuruh dahsyat yang menebar-
kan aroma bunga tujuh warna kembali menggebrak ke 
arah perempuan guru dari Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis yang tak menyangka akan men-
dapat serangan sedikit terkejut. Secepat kilat tubuh-
nya dimiringkan.
Plashhh!
"Aaakh...!"
Namun sambaran serangan perempuan tua itu 
masih sempat menghantam bahu sebelah kanan 
Bayangan Iblis. Disertai keluhan tertahan, Bayangan 
Iblis terbanting dan terjengkang jatuh. Jubah hitam-
nya tampak berlobang dan berbau sangit. Kedua ma-
tanya mendelik dengan napas tersengal-sengal. Namun 
begitu, Bayangan Iblis tak mau menyerah begitu saja. 
Secepatnya dia bergerak bangkit. Sejenak dipandang-
nya Bayangan Seribu Wajah. Diberinya isyarat dengan 
angguk-anggukkan kepala Ratih.
Begitu anggukan kepala Bayangan Iblis berhenti, 
Bayangan Seribu Wajah mendadak berkelebat. Pada 
saat yang hampir bersamaan, Bayangan Iblis berkele-
bat.
Sekejap kemudian kedua tokoh sesat ini telah 
berdiri berjajar dan langsung menghentakkan kedua

tangan ke depan bersamaan.
Werrr...!
Wesss...!
Larikan sinar merah hitam menghentak. Sua-
ranya menggemuruh, bagai ombak menggulung. Se-
mentara, perempuan tak bernama itu terbelalak. Dari 
mulutnya terdengar seruan tertahan karena tercen-
gang. Rambutnya yang tipis dan awut-awutan tampak 
berkibar-kibar. Demikian juga pakaiannya.
Mendapati serangan, perempuan tua ini segera 
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mem-
bendung. Namun bagaimanapun tenaga dalamnya di-
kerahkan, dia hanya bertahan sebentar. Karena....
"Uhhh...!"
Tubuh perempuan tua yang memang masih ter-
luka dalam ini terseret mencelat ke belakang, lalu ja-
tuh terkapar begitu punggungnya yang bungkuk 
menghempas sebatang pohon!
Beberapa lama perempuan tua ini terhenyak 
dengan napas sesak. Sekujur tubuhnya terasa tegang 
kaku dan remuk redam. Sepasang matanya menger-
jap-ngerjap perih. Telinganya berdengung-dengung 
nyeri.
Sementara itu Bayangan Seribu Wajah dan 
Bayangan Iblis saling berpandangan. Lalu mereka me-
langkah mendekati disertai tawa kemenangan. Se-
dangkan di belakang, Malaikat Berdarah Biru hanya 
menyeringai, lalu meludah.
Ketika dekat dengan perempuan tua yang kini 
duduk bersila menahan sakit, Bayangan Seribu Wajah 
dan Bayangan Iblis menghentikan tawanya. Bayangan 
Iblis lantas hendak merengkuh tubuh perempuan tua 
ini, bermaksud menyeretnya. 
"Hih...!"
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melepaskan pu

kulan yang telah dialiri tenaga dalam tinggi. 
Wesss!
"Awas serangan!" teriak Bayangan Seribu Wajah 
memperingati.
Gumpalan asap segera melesat cepat dari telapak 
tangan perempuan tak bernama ini mengeluarkan sua-
ra menggidikkan.
Namun karena jaraknya begitu dekat, membuat 
Bayangan Iblis tak sempat lagi menghindar. Sehing-
ga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, serangan perempuan tua ini 
telak menghantam dada Bayangan Iblis. Seketika guru 
Malaikat Berdarah Biru ini terhumbalang sampai bebe-
rapa tombak ke belakang.
Begitu tubuh Bayangan Iblis berhenti dan terka-
par di atas tanah, Bayangan Seribu Wajah serta Malai-
kat Berdarah Biru tercengang. Sekujur tubuh Bayan-
gan Iblis tampak telah berubah kebiru-biruan. Dari 
mata dan hidungnya keluar darah kehitaman. Pa-
kaiannya telah koyak di sana-sini. Dan dikala mencoba 
merambat bangkit, tubuhnya kembali jatuh dan terka-
par tak sadarkan diri.
Melihat hal demikian, Bayangan Seribu Wajah 
beringsut mundur dua tindak. Tubuhnya sedikit berge-
tar. Dia sepertinya tahu, tak akan mampu menghadapi 
kakak seperguruannya ini sendirian. Meski, kakaknya 
telah terluka parah.
Berpikir demikian, Bayangan Seribu Wajah ber-
paling pada Malaikat Berdarah Biru. Seakan tahu apa 
yang ada di benak wanita ini, pemuda berbaju toga 
merah ini segera berpaling dari tubuh gurunya. Wa-
jahnya tampak mengelam dengan pelipis bergerak-
gerak. Dagunya mengembung, dengan sepasang mata

berkilat-kilat menindih hawa amarah yang meluap. 
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras, Malaikat Berdarah Biru 
berkelebat. Begitu menjejakkan kaki tak jauh dari 
tempat perempuan tua, kedua tangannya segera di-
hantamkan, melepaskan dua pukulan sakti. Tangan 
kanan melepas pukulan 'Serat Jiwa', sedang tangan ki-
ri melepas pukulan 'Badai Biru'.
Wess! Weess!
Dua larik sinar merah dan biru yang menebarkan 
hawa panas menyengat segera menghajar ke arah pe-
rempuan tua. Sementara dari arah samping, Bayangan 
Seribu Wajah tak tinggal diam. Tangannya juga segera 
menghentak, melepas pukulan.
Wert...!
Kini perempuan tua itu terkurung larikan-larikan 
sinar yang berhawa maut.
Disadari, jika tak dapat membendung seluruh se-
rangan, maka diputuskan untuk menangkis serangan 
Malaikat Berdarah Biru. Karena diduga serangan pe-
muda ini lebih berbahaya.
"Hih...!"
Seketika perempuan tua ini menghantamkan ke-
dua tangannya ke depan. Sementara tubuhnya dimi-
ringkan hampir menyentuh tanah, untuk menghindari 
serangan Bayangan Seribu Wajah yang menggebrak 
dari samping.
Blarr! Blaarr!
Puncak Bukit Watu Dakon bagai dilanda gempa 
dahsyat. Pohon-pohon di puncak bukit banyak yang 
berderak, lalu bertumbangan. Tanah terbongkar hebat 
dengan berubah menjadi hitam.
Sementara itu tubuh perempuan tua terseret ke 
belakang. Sepertinya dia masih bisa bertahan, agar tak 
terpelanting terkena bias bentrok pukulannya dengan

pukulan Malaikat Berdarah Biru. Namun gerakannya 
untuk bertahan justru membuatnya lupa dengan se-
rangan Bayangan Seribu Wajah yang datang dari 
samping. Tatkala dia sadar, datangnya sudah terlam-
bat. Dan....
Desss!
Saat itu juga serangan Bayangan Seribu Wajah 
menghujam tepat ke dada perempuan tua itu. Tak ter-
dengar suara jeritan dari mulutnya, meski nampak 
ternganga lebar! Yang terdengar hanya suara bergede-
bukan. Kemudian disusul tubuhnya yang bergulingan 
di tanah.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu 
Wajah seketika membesarkan mata masing-masing. 
Mereka hampir tak percaya dengan pandangannya 
sendiri. Meski telah terluka parah dan baru saja ter-
hantam telak pukulan Bayangan Seribu Wajah, pe-
rempuan tua itu masih bisa merambat bangkit. Bah-
kan duduk, walau dengan tubuh lunglai.
Malaikat Berdarah Biru yang serangannya dapat 
dibendung perempuan tua itu menggeram marah. Lan-
tas kakinya melangkah lebar-lebar ke arah perempuan 
tua ini, tanpa lagi memandang. Dan dua tombak di
hadapan perempuan tua yang sudah nampak tak ber-
daya, langkahnya berhenti. Sejenak matanya meman-
dang tajam, lalu meludah ke tanah. Dan setelah itu ti-
ba-tiba kedua tangannya ditarik ke belakang, siap me-
lepas pukulan.
"Perempuan setan! Kau pantas tewas dengan 
membawa kebodohanmu!"
Setelah berkata begitu, Malaikat Berdarah Biru 
menghantamkan kedua tangannya ke depan. 
Wesss...!
Karena tubuhnya telah terluka, perempuan tua 
itu tak bisa lagi untuk bergerak menghindar. Dan dia

hanya diam, seolah pasrah menunggu saat kematian.
Namun sedepa lagi hantaman tangan Malaikat 
Berdarah Biru menghajar, mendadak berkelebat se-
buah bayangan, lalu berdiri di hadapan perempuan 
tua seakan membentengi dari serangan Malaikat Ber-
darah Biru.
Anehnya, sosok yang berdiri di depan perempuan 
tua itu tak berusaha menangkis. Dia hanya berdiri di-
am, sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tak pelak lagi, hantaman tangan Malaikat Berda-
rah Biru menggebrak tubuh sosok hingga terpental.
"Kadarwati...," bisik perempuan tua itu lirih.
Guru dari Ratu Pualam Putih ini mencoba berte-
riak agar sosok yang tak lain memang Kadarwati atau 
Ratu Pualam Putih itu segera menghindar. Namun dari 
mulutnya tak terdengar suara. Hingga hanya sepasang 
matanya saja yang terpejam tatkala hantaman tangan 
Malaikat Berdarah Biru yang bertenaga dalam tinggi 
menghajar tubuh Ratu Pualam Putih.
Ratu Pualam Putih telah terkapar di atas tanah
puncak bukit. Keadaannya sudah sangat mengerikan. 
Pakaian yang dikenakannya hangus. Sekujur tubuh-
nya menjadi merah biru. Rambutnya rontok. Matanya 
mengalirkan darah!
Jauh sebelum Ratu Pualam Putih membentengi 
gurunya dari serangan Malaikat Berdarah Biru, dia te-
lah menyuruh seluruh anak buahnya meninggalkan 
bangunan tempat tinggalnya untuk sementara. Semu-
la, wanita berkepala gundul itu menolak. Tapi karena 
melihat kesungguhan Ratu Pualam Putih, mereka tak 
berani membantah. Maka dengan berat hati mereka 
meninggalkan bangunan di puncak Bukit Watu Dakon.
Sementara itu kini Malaikat Berdarah Biru tersenyum puas. Sedangkan, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling sebentar, lalu melangkah mendekati perem-
puan tua yang kini juga terkapar terkena bias puku-
lan, Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah segera memeriksa tubuh 
perempuan tua itu.
"Hmm.... Nadi tangannya sudah tidak terasa de-
nyutan. Dadanya juga tak terlihat bergerak. Dia sudah 
tewas...," gumam Bayangan Seribu Wajah dalam hati, 
seraya bangkit dan melangkah ke arah Malaikat Ber-
darah Biru.
"Bagaimana, Bayangan Seribu Wajah?" tanya Ma-
laikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah menggeleng perlahan.
"Dua-duanya telah tewas!" jelas wanita ini sambil 
mengerdipkan sebelah matanya.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk, lalu berba-
lik melangkah ke arah Bayangan Iblis yang masih ter-
kapar tak sadarkan diri. Di belakangnya Bayangan Se-
ribu Wajah mengikuti.
"Kita harus segera membawanya. Dia tampak ter-
luka cukup parah!" ujar Malaikat Berdarah Biru tanpa 
menoleh pada Bayangan Seribu Wajah yang kini telah 
berdiri menjajari.
Bayangan Seribu Wajah tidak menjawab. Hanya 
sepasang matanya memandang ke arah Bayangan Iblis 
sebentar, lalu beralih pada Malaikat Berdarah Biru.
Tangannya lalu bergerak melingkar ke pinggang 
pemuda ini.
"Benar. Kita harus membawanya...," ucap Bayan-
gan Seribu Wajah dengan suara mendesah.
Wajah wanita ini lantas mendongak sedikit, den-
gan tumit terangkat. Dan dengan tiba-tiba dipagutnya 
bibir Malaikat Berdarah Biru.
Sejenak Malaikat Berdarah Biru terkesima. Namun tak lama kemudian dibalasnya pagutan itu den-
gan semangat. Tapi ketika kedua tangan Bayangan Se-
ribu Wajah mulai bergerak menjalar, tangan kokohnya 
segera menepisnya.
"Jangan berlaku gila di sini...!" sergah Malaikat 
Berdarah Biru dengan suara sedikit bergetar. "Waktu 
kita masih banyak! Kita urus guru dulu...."
Bayangan Seribu Wajah tak menjawab, seperti 
tak mendengar teguran Malaikat Berdarah Biru.
"Kau dengar kata-kataku tadi bukan?!" bentak 
Malaikat Berdarah Biru. "Kita harus urus tubuh Guru 
yang masih memerlukan pertolongan dahulu."
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru mene-
piskan tangan Bayangan Seribu Wajah agak keras. 
Lantas kakinya melangkah mendekati tubuh gurunya. 
Lalu dengan cepat diangkat dan dipanggulnya di atas 
pundak.
Sementara Bayangan Seribu Wajah yang gejolak 
nafsunya terpenggal, jadi cemberut sambil membuang 
muka. Namun tatkala Malaikat Berdarah Biru menja-
jarinya dan berbisik perlahan, wajah Bayangan Seribu 
Wajah berubah cerah. Lantas digandengnya tangan 
Malaikat Berdarah Biru yang memanggul tubuh 
Bayangan Iblis. Mereka kini menuruni Bukit Watu Da-
kon.
***
EMPAT


Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 menghenti-
kan langkahnya ketika melihat dua sosok tubuh ten-
gah menuruni Bukit Watu Dakon. Setelah mengawasi 
dengan seksama dan memasang telinga baik-baik, dia

cepat menyelinap ke balik semak belukar.
Gerakan dua sosok itu amat cepat, sehingga se-
bentar saja telah dekat dengan Pendekar Mata Keran-
jang 108. Ketika telah jelas tampang dua sosok yang 
sedang menuruni bukit, sepasang mata Aji terbelalak 
lebar.
"Hmm.... Malaikat Berdarah Biru... Bayangan Se-
ribu Wajah...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108 
dalam hati. Matanya yang tajam memperhatikan lebih 
seksama lagi. "Hmm.... Mereka sepertinya telah saling 
kenal baik. Bahkan nampaknya tengah jatuh cinta. 
Tapi Malaikat Berdarah Biru membawa seseorang.... 
Siapa dia? Dan orang itu tampaknya terluka...."
Sambil terus memperhatikan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 berpikir keras.
"Melihat ada yang terluka, pasti telah terjadi se-
suatu di atas sana.... Sebaiknya aku menghindar da-
hulu bertemu dengan mereka. Aku khawatir pada Ratu 
Pualam Putih. Jangan-jangan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan 
kata hatinya. Pada saat yang sama Bayangan Seribu 
Wajah dan Malaikat Berdarah Biru tepat melintas tak 
jauh dari tempatnya. Sejenak ditahannya napas den-
gan lebih merundukkan kepala.
Hanya beberapa saat setelah mereka melintas, 
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat. Dan 
dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat 
tinggi, dia berlari kencang mendaki arah puncak bukit.
Sampai di puncak bukit, sepasang mata Aji lang-
sung mendelik dengan raut wajah berubah. Sepasang 
kakinya bagai tiang besi terpancang kokoh, berat un-
tuk digerakkan.
"Ratu Pualam Putih!" teriak Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 keras
Saat itu juga, Aji melompat ke arah tubuh Ratu

Pualam Putih yang tampak terbujur kaku dalam kea-
daan mengenaskan. Diguncang-guncangnya tubuh ka-
ku wanita cantik itu, namun sudah tak lagi bergerak. 
Cepat Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba menge-
rahkan tenaga dalam, dan menyalurkannya pada dada 
Ratu Pualam Putih. Tapi, sia-sia. Wanita ini tetap tak
bergeming sedikit pun.
"Apa yang telah terjadi? Pasti ini perbuatan Ma-
laikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu Wajah! Ke-
parat! Aku tak akan tinggal diam. Aku akan membuat 
per-hitungan dengan mereka. Perbuatan mereka sudah 
melampaui batas!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkata pa-
da diri sendiri dengan menahan rasa amarah yang 
menggebu, terdengar erangan menyayat. Bagai kilat 
tubuhnya segera berkelebat ke arah sumber suara 
erangan.
Untuk kedua kali pendekar murid Wong Agung 
ini dibuat terbeliak tak berkedip. Bahkan sepasang ka-
kinya tampak goyah, karena bergetar hebat.
Di samping sebuah pohon besar yang tumbang, 
tampak tubuh perempuan tua berpakaian compang-
camping terkapar mandi darah. Dadanya yang tak lagi 
tertutup, naik turun menghembuskan napas satu-satu 
tak beraturan.
"Eyang...," teriak Pendekar Mata Keranjang 108 
seraya melompat mendekati. "Eyang..., aku Aji. Berta-
hanlah! Aku akan menolongmu...."
Dada perempuan tua itu berhenti bergerak. 
Erangannya pun sesaat tak lagi terdengar. Kelopak 
matanya yang telah cekung dan berdarah, membuka 
perlahan. Namun sesaat kemudian kembali memejam.
"Eyang...," panggil Aji lagi. 
"Aji...," sebut perempuan tua itu perlahan, ham-
pir tak terdengar. Tangannya bergerak seakan meng

gapai. "Kau telah mempelajari isi bumbung bambu 
itu...?"
Aji mengangguk
"Sudah, Eyang...."
Pendekar Mata Keranjang 108 berkata agak ke-
ras, khawatir perempuan tua itu tak bisa mendengar 
suaranya. Karena, ternyata dari lobang telinganya te-
lah mengalir pula darah berwarna kehitaman.
Perempuan tua itu menarik napas panjang. Bi-
birnya yang kecil tersenyum meski sepasang matanya 
masih tetap terpejam.
"Bagus. Pergunakanlah sebaik-baiknya apa yang 
ada padamu. Hanya itu pesanku.... Dan jika aku me-
ninggal, kuharap sudilah kau menyandingkan kubur-
ku dengan kubur Kadarwati.... Dan..., satu lagi.... 
Kau..., harus cepat bertindak sebelum para iblis itu 
merajalela...," ujar perempuan tak bernama.
Habis berkata begitu, bibir perempuan tua itu 
terkatup rapat. Nafasnya tak lagi berhembus. Aji coba 
menyalurkan tenaga dalam. Namun begitu tangannya 
menempel, tubuh perempuan tua itu sudah terasa 
dingin.
"Eyang...," teriak Aji melengking.
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ter-
duduk lemas dengan sepasang mata nanar, meman-
dangi tubuh di depannya. Lalu tatapannya beralih pa-
da tubuh Ratu Pualam Putih. Kedua tangannya men-
gepal dan diangkat ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Malaikat Berdarah Bi-
ru! Tunggulah saatnya. Kalian tak akan lolos lagi!" de-
sis Pendekar Mata Keranjang 108.
Senja sudah turun melingkupi puncak Bukit Wa-
tu Dakon. Delapan anak buah Ratu Pualam Putih yang 
semula diperintahkan menyingkir oleh pimpinan mere-
ka, kini telah kembali dengan wajah tersaput kedukaan dan kekecewaan. Namun mereka tak bisa ber-
buat apa-apa. Karena bagi mereka, pantang untuk 
menentang perintah pimpinan.
Dibantu delapan wanita berkepala gundul itu, 
Pendekar Mata Keranjang 108 selesai memakamkan 
jenazah perempuan tua dan Ratu Pualam Putih. Dan 
seperti pesan perempuan tua, kuburan mereka disan-
dingkan.
Setelah delapan anak buah Ratu Pualam Putih 
masuk ke dalam bangunan, Pendekar Mata Keranjang 
108 masih tetap duduk di atas makam yang masih ba-
ru ini dengan wajah muram. Sesekali ditariknya napas 
dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan-lahan. 
Bayangan wajah Ratu Pualam Putih dan perempuan 
tua itu terus terbayang di pelupuk matanya.
"Ratu Pualam Putih...," bisik Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Maafkan, aku telah terlambat menyela-
matkanmu. Namun, percayalah. Mereka yang berbuat 
kejam padamu akan menerima balasan setimpal. Dan 
aku juga minta maaf, karena belum bisa menepati janji 
ku padamu...."
Aji mengusap wajahnya dengan telapak tangan,
lalu menarik napas panjang dan dalam.
"Ratu Pualam Putin...,"lanjut Aji. "Aku merasa 
memerlukanmu, begitu kau telah pergi. Ah! Segalanya 
memang tak ada gunanya lagi. Tapi bagaimanapun ju-
ga, kau akan tetap kusimpan di hatiku...."
Kenangan pemuda ini lantas beralih pada perem-
puan tua itu. Seorang tua aneh yang telah memberi 
bumbung bambu padanya.
"Eyang.... Aku berjanji di depan makammu, akan 
selalu menuruti kata-kata yang kau pesankan. Me-
numpas para iblis keparat itu, dan mengamalkan apa 
yang telah ku peroleh untuk kebaikan umat manu-
sia...," desah Pendekar Mata Keranjang 108.

Malam terus beranjak. Namun, rupanya Pende-
kar Mata Keranjang 108 tak hendak beranjak juga dari 
makam dua wanita yang patut dihormatinya. Dia tetap 
duduk merenung. Hingga mungkin karena tubuh dan 
pikiran terlalu lelah, akhirnya dia jatuh tertidur.
"Aji...."
Sebuah suara terdengar sayup-sayup memanggil. 
Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya tak asing lagi 
dengan suara itu. Suara orang yang telah dikenalnya 
dengan baik. Begitu wajahnya berpaling, tampak Wong 
Agung berdiri tak jauh di hadapannya.
"Eyang Wong Agung...," seru Aji, seraya menjura 
hormat.
Guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini terse-
nyum. Kepalanya mengangguk.
"Aji.... Dalam rimba persilatan keadaan memang 
datang silih berganti. Ada kalanya keadaan datang 
membawa kesenangan, dan tak jarang pula membawa 
kedukaan. Sebagai ksatria, kau harus bisa menerima 
kenyataan ini. Inilah hidup! Dan sebagai ksatria, pan-
tang juga meneteskan air mata hanya karena kenya-
taan. Kau harus tegar. Apa pun kenyataan yang terja-
di!" kata Wong Agung dengan suara berat.
Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya. 
Wajahnya menatap jauh ke depan.
"Aji! Aku melihat burung gagak terbang ke arah 
utara, dan hinggap di atas tempat Ageng Panangkaran. 
Burung gagak adalah perlambang alam kegelapan. Aku 
khawatir, sesuatu terjadi pada paman Ageng Panang-
karan. Pergilah kau ke tempatnya. Dan, harap ingat 
ucapanku. Tegarlah menghadapi kenyataan...," lanjut 
Wong Agung.
Setelah berkata begitu, Wong Agung tersenyum. 
Dan perlahan-lahan tubuhnya menghilang dari hada-
pan Pendekar Mata Keranjang 108.

Aji tersentak. Dan dia mendapatkan dirinya ma-
sih duduk di atas makam Ratu Pualam Putih dan pe-
rempuan tua itu.
"Hmm.... Aku bermimpi...," gumam Aji termangu. 
Kedua matanya segera dikucek-kucek. Begitu matanya 
terang, Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut, 
Karena, ternyata sinar matahari sudah mulai mengin-
tip dari balik gunung. 
Perlahan-lahan Pendekar Mata Keranjang 108 
berdiri. Matanya memandang berkeliling, dan berujung 
pada dua makam di sampingnya.
"Ratu Pualam Putih dan Eyang.....Aku pergi seka-
rang. Damailah kalian...."
Setelah berucap begitu, Pendekar Mata Keranjang 
108 melangkah meninggalkan puncak Bukit Watu Da-
kon.
"Mimpi ku tadi malam, adalah sebuah isyarat. 
Aku harus segera ke tempat Eyang Ageng Panangka-
ran. Bukan tak mungkin para iblis itu menuju ke sana, 
untuk mencariku...," gumam Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 terus berkelebat, 
dan kini tiba di lereng bukit.
"Kalau aku ke sana, pasti bertemu Sakawuni. 
Lantas, bagaimana jika nantinya Eyang Ageng Panang-
karan meminta ku untuk..., ah! Itu urusan nanti. Yang 
penting, aku menemui Eyang Ageng Panangkaran...," 
lanjut Aji,
Pendekar Mata Keranjang 108 terus melangkah 
menuju arah utara, arah tempat Ageng Panangkaran 
berada. Yakni, Lembah Baka.
***
Dua penunggang kuda langsung menghentikan 
tunggangan masing-masing ketika di depan terhampar

sebuah lembah agak luas. Lembah ini telah banyak di-
kenal orang. Selain karena pemandangannya indah, di 
lembah ini juga hidup seorang tokoh silat berkepan-
daian tinggi yang bersifat ramah dan suka menolong. 
Dia tak lain tokoh bernama Ageng Panangkaran.
"Inilah Lembah Baka, Malaikat Berdarah Biru! 
Tempat orang yang kita cari!" jelas penunggang kuda di 
sebelah kanan, yang ternyata seorang gadis berwajah 
cantik jelita. Rambutnya yang panjang dikuncir ke 
atas. Pakaian yang dikenakannya berwarna merah dan 
begitu ketat, menampakkan tubuhnya yang memben-
tuk indah.
"Tapi, apakah Pendekar Mata Keranjang 108 be-
rada di sini?" tanya penunggang kuda di sebelah kiri 
yang ternyata Malaikat Berdarah Biru.
"Tujuan kita kemari bukan untuk mencari Pen-
dekar Mata Keranjang 108, namun untuk menghabisi 
penghuni Lembah Baka ini. Dengan begitu, Pendekar 
Mata Keranjang 108 pasti akan mencari kita. Karena, 
penghuni tempat ini adalah salah satu gurunya.... Se-
kaligus, untuk membalas atas perbuatan Pendekar 
Mata Keranjang 108 yang menewaskan para pemban-
tumu!" jawab gadis berbaju merah yang tak lain 
Bayangan Seribu Wajah sambil mengerling.
Sementara pemuda kekar dengan dagu kokoh ini 
hanya menyorot tajam dengan matanya. Dibalasnya 
kerlingan itu dengan senyum buas.
"Tapi kita harus berhati-hati. Ageng Panangkaran 
adalah tokoh tersohor...!" sambung Bayangan Seribu 
Wajah.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru berpaling, langsung me-
ludah ke tanah mendengar kata-kata gadis di sam-
pingnya. Wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya 
bergerak-gerak dengan dagu semakin mengembang.

"Malaikat Berdarah Biru! Kau jangan terburu ma-
rah," sambung Bayangan Seribu Wajah perlahan, begi-
tu melihat gelagat tak baik. "Aku percaya, meski Ageng 
Panangkaran mempunyai nama besar, namun diband-
ing dirimu, dia tidak ada apa-apanya!"
"Hmm...."
Hanya itu yang kemudian terdengar dari mulut 
Malaikat Berdarah Biru. Kembali kepalanya berpaling 
pada Bayangan Seribu Wajah.
"Ayo kita teruskan perjalanan. Akan kubuktikan 
bahwa nama besar Ageng Panangkaran tidak berarti 
banyak bagi Malaikat Berdarah Biru, calon pemimpin 
rimba persilatan!" ajak Malaikat Berdarah Biru dengan 
sikap jumawa.
Mereka lantas menghela kuda tunggangan mas-
ing-masing, menuju ke Lembah Baka. Namun baru sa-
ja mencapai tengah lembah....
"Jika kalian berniat tidak baik, kuharap lekas 
tinggalkan tempat ini!"
Mereka berdua dikejutkan suara teguran yang ti-
ba-tiba saja bergaung.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu 
Wajah sekonyong-konyong menghentikan kuda tung-
gangan masing-masing. Mereka saling berpandangan. 
Bayangan Seribu Wajah nampak terkejut besar. Se-
mentara Malaikat Berdarah Biru tetap berlaku tenang. 
Malah kepalanya segera mendongak.
"Jahanam! Perlihatkan bentuk mu! Jangan hanya 
berkata dari balik tempat persembunyian seperti seo-
rang pengecut!" bentak Malaikat Berdarah Biru, keras.
Bentakan Malaikat Berdarah Biru dilanjutkan 
dengan tawa mengekeh. Namun tiba-tiba saja kekehan 
tawanya berhenti. Suasana hening sejenak.
"He...! Cepat tunjukkan dirimu! Mari kita bukti-
kan siapa di antara kita yang patut menyandang nama

besar!" lanjut Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara tawa membahana panjang, lalu 
gema suara itu lenyap.
"Rupanya kalian datang menginginkan nama be-
sar. Ah! Sungguh sayang sekali. Hari ini aku tak men-
jual nama besar itu. Maka dari itu, lekaslah tinggalkan 
tempat ini. Kalian salah alamat jika datang ke sini 
dengan menginginkan nama besar...!" lanjut suara itu.
"Setan alas!" desis Malaikat Berdarah Biru den-
gan raut mengelam. Kedua tangannya mengepal. Alis 
matanya menukik saling bertautan. Gerahamnya ge-
meletak menekan rasa geram.
"Kulihat kalian tidak tuli. Lantas kenapa masih 
berdiri di situ?" terdengar lagi suara tanpa terlihat so-
sok yang berucap.
Suasana hening seketika. Ekor mata Malaikat 
Berdarah Biru melirik sebentar, lalu tiba-tiba tubuh-
nya berkelebat cepat. Gerakannya diikuti oleh Bayan-
gan Seribu Wajah. Dan tahu-tahu mereka telah berdiri 
sambil berkacak pinggang di sebelah sebuah batu be-
sar. Sepasang matanya menyapu berkeliling, namun 
tak menemukan siapa-siapa.
"Jahanam busuk! Rupanya kau takut menghada-
piku...!" maki Malaikat Berdarah Biru.
"Apa yang perlu ditakutkan?"
Tiba-tiba saja terdengar sahutan, membuat Ma-
laikat Berdarah Biru segera berpaling. Demikian juga 
Bayangan Seribu Wajah.
Kedua orang ini sama-sama terperangah. Di de-
kat kuda mereka berdua tadi, tampak berdiri tegak se-
seorang sambil mengulas senyum. Dia adalah seorang 
laki-laki berusia lanjut. Rambutnya panjang sudah
memutih. Demikian pula jenggotnya. Meski telah be-
rumur, namun bekas ketampanan masih tergambar jelas di wajahnya.
"Siapa kau?!" bentak Malaikat Berdarah Biru, 
mengawasi tanpa berkedip.
Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa membuka 
mulut. Dan ini membuat amarah Malaikat Berdarah 
Biru. Segera jubah toganya dikibaskan. 
Wuuut! Wuuuttt!
Dua hempasan angin kencang dari kibasan jubah 
toga Malaikat Berdarah Biru menggebrak cepat. Na-
mun hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya 
tanpa me-rubah kedua kakinya, sambaran angin itu 
hanya lewat satu depan di samping laki-laki berusia 
lanjut ini.
"Sebelum kau menyesal, lekas jawab pertanyaan-
ku!" bentak Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Sebagai tuan rumah, mestinya aku yang layak 
bertanya pada kalian. Siapa kalian sebenarnya?! Dan, 
apa maksudmu datang ke sini!"
Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Wa-
jahnya dipalingkan ke samping. Sementara Bayangan 
Seribu Wajah tertawa perlahan bernada mengejek.
"Dengar, Orang Tua! Aku adalah Bayangan Seri-
bu Wajah. Sedang temanku itu adalah calon pemimpin 
tunggal rimba persilatan, yang sudah mempunyai na-
ma besar. Orang-orang dunia persilatan menggelarinya 
sebagai Malaikat Berdarah Biru!"
Laki-laki berusia lanjut yang tak lain Ki Ageng 
Panangkaran terperangah kaget. Kedua kakinya be-
ringsut mundur satu tindak ke belakang. Dia memang 
belum pernah bertemu Bayangan Seribu Wajah dan 
Malaikat Berdarah Biru. Namun sebagai seorang tokoh 
yang pernah malang melintang dalam rimba persilatan, 
nama-nama tokoh yang kini ada di hadapannya per-
nah didengarnya. Dia juga telah mendengar bahwa me-
reka adalah tokoh sesat yang bengis dan licik.

Melihat laki-laki di hadapannya beringsut mun-
dur, Malaikat Berdarah Biru tersenyum menyeringai 
penuh ejekan. Sedangkan Bayangan Seribu Wajah se-
makin keras tawanya.
"Malaikat Berdarah Biru...!" kata Bayangan Seri-
bu Wajah. "Si tua inilah yang kita cari!"
"Aku sudah tahu!" jawab Malaikat Berdarah Biru 
tanpa menoleh. Sepasang matanya lurus menatap ta-
jam Ki Ageng Panangkaran.
"Apa perlu mereka mencariku...? Apa ada hubun-
gannya dengan Aji?" kata batin Ki Ageng Panangkaran.
Laki-laki tua ini memandang satu persatu pada 
dua orang di hadapannya.
"Aku sudah dengar nama-nama kalian. Dan aku 
sangat gembira bisa bertemu orang-orang hebat seperti 
kalian. Tapi kalau aku boleh tahu, ada urusan apakah 
yang membuat orang-orang besar seperti kalian datang 
ke tempat sunyi seperti ini?!" tanya Ki Ageng Panang-
karan.
"Aku menginginkan nyawamu!" serobot Bayangan 
Seribu Wajah dengan mendelik.
"Benar! Kami ingin nyawamu. Namun, itu bisa di-
tangguhkan jika kau mengatakan dimana Pendekar 
Mata Keranjang 108!" timpal Malaikat Berdarah Biru 
sambil melangkah mendekati Ki Ageng Panangkaran.
Mendengar kata-kata dua orang di hadapannya, 
Ki Ageng Panangkaran tersenyum. Sementara diam-
diam, dalam hatinya terselip perasaan sedikit gentar.
"Kalian datang ke tempat yang salah jika mena-
nyakan keberadaan Pendekar Mata Keranjang 108! 
Aku sudah tua, dan sudah tak pernah ikut campur lagi 
segala macam persoalan dunia persilatan. Jadi, hara-
pan kalian mungkin tak bisa aku penuhi. Dan di satu 
sisi aku pun tak mau dipaksa demikian rupa dengan 
segala macam ancaman!" sahut Ki Ageng Panangkaran,

berusaha menindih rasa gentarnya.
"Jangan berdusta di hadapan kami. Dan, ingat! 
Ancaman kami tidak main-main. Sekarang katakan sa-
ja, di mana Pendekar Mata Keranjang 108. Maka nya-
wamu akan selamat!" desak Bayangan Seribu Wajah 
seraya melangkah menjajari Malaikat Berdarah Biru.
"Sayang sekali, aku tak bisa menjawabnya!" sa-
hut Ki Ageng Panangkaran dengan sikap waspada. Dia 
merasa ancaman Malaikat Berdarah Biru dan Bayan-
gan Seribu Wajah tidak hanya sekadar gertakan.
Mendengar jawaban Ki Ageng Panangkaran, Ma-
laikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
"Kau layak segera masuk liang kubur!" kata Ma-
laikat Berdarah Biru ketika tawanya berhenti.
Seketika Malaikat Berdarah Biru mendorongkan 
kedua telapak tangannya ke depan. Dorongan itu se-
pertinya pelan. Namun hebatnya....
Werrr...!
Satu gelombang pusaran angin deras yang berde-
rak-derak keras menyambar cepat ke arah Ki Ageng 
Panangkaran.
"Hup!"
Ki Ageng Panangkaran yang sudah waspada sege-
ra melesat cepat ke arah samping untuk menghindar. 
Lalu seketika dia balas menggempur dengan menghen-
takkan kedua tangannya.
"Hih...!"
Werrr...!
Serangkum angin menggemuruh dahsyat yang 
menebarkan hawa dingin menusuk melesat ke arah 
Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati serangan, manusia kejam yang diken-
al suka perempuan dan berilmu tinggi ini mendongak-
kan kepala sambil mendengus. Dia tidak berusaha 
menghindar dari serangan. Bahkan sepertinya tidak

menganggap bahaya serangan Ki Ageng Panangkaran.
Baru ketika satu depa lagi serangan laki-laki tua 
itu menggebrak, Malaikat Berdarah Biru menarik ke-
dua tangannya ke belakang. Dan seketika dihampar-
kannya ke depan.
Wusss...!
Angin kencang berhawa dingin yang menyambar 
dari telapak tangan Ki Ageng Panangkaran langsung 
menghilang musnah, tersapu sambaran angin yang ke-
luar dari sentakan tangan Malaikat Berdarah Biru. 
Dan sekejap itu juga, tubuh pemuda murid Bayangan 
Iblis ini berputar cepat. Lalu didahului bentakan ram-
pak, kedua tangannya menghentak hampir berbaren-
gan.
Wesss...!
Wusss...!
Larikan sinar merah dan biru dari pukulan sakti 
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru' menghempas ke arah Ki 
Ageng Panangkaran. 
Werrr...!
Sementara pada saat yang sama, Bayangan Seri-
bu Wajah yang dari tadi hanya diam memperhatikan, 
kini juga ikut-ikutan mengirimkan serangan. Mereka 
berdua sepertinya ingin segera menyudahi Ki Ageng 
Panangkaran.
Seketika Ki Ageng Panangkaran tercekat kaget. 
Dia tak menduga jika akan dikeroyok demikian rupa. 
Namun, laki-laki tua ini tak bisa berpikir lebih lama 
lagi. Karena, larikan-larikan sinar merah dan biru, ser-
ta gelombang angin sentakan Bayangan Seribu Wajah, 
telah merambah ke arahnya dari empat jurusan!
Ki Ageng Panangkaran cepat menakupkan kedua 
tangannya di depan wajah. Matanya langsung dipejam 
rapat-rapat. Dan mendadak kedua tangannya dibuka 
didorong ke depan sambil diputar-putar.

Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu 
Wajah tidak merasakan adanya sambaran angin ken-
cang. Mereka hanya mendengar suara perlahan seperti 
desisan. Namun kedua orang berilmu tinggi ini dibuat 
tak percaya dengan apa yang terjadi. Ternyata seran-
gan hebat keduanya seperti terkena kekuatan dahsyat 
dan berhenti secara tiba-tiba!
Malaikat Berdarah Biru membanting-banting ke-
dua kakinya, menahan geram. Sedang Bayangan Seri-
bu Wajah terbeliak marah.
"Heaa...!"
Mereka sama-sama mengeluarkan bentakan 
menggemuruh, dan serentak pula kembali mengirim-
kan serangan susulan.
Wesss...!
Wusss...!
Tapi untuk kedua kali kedua orang ini dibuat 
terkejut. Serangan mereka ternyata tak bisa menerobos 
pertahanan lawan. Malah ketiga Ki Ageng Panangkaran 
mengibaskan kedua tangannya ke depan, mereka ter-
kesima. Karena, serangan mereka mental balik. Bah-
kan melesat ke arah mereka sendiri.
Werrr...!
"Menyingkir!" seru Malaikat Berdarah Biru mem-
peringati Bayangan Seribu Wajah seraya melompat 
menghindar.
Namun, peringatan itu datangnya terlambat. 
Bayangan Seribu Wajah yang seperti tercengang tak 
percaya, lamban untuk berkelit. Akibatnya...
Prasss...!
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh wanita itu terterabas se-
rangannya sendiri. Seketika tubuhnya mencelat diirin-
gi jeritan dari mulutnya.
Begitu menghempas di atas tanah, Bayangan Seribu Wajah melotot tajam. Wajahnya merah padam 
dengan bibir mengembung. Gadis ini lantas bangkit, 
dan meludah. Tampak cairan berwarna merah keluar 
dari mulutnya yang mengembung.
"Keparat edan! Kubunuh kau!" maki Bayangan 
Seribu Wajah seraya berkelebat cepat sambil mengi-
rimkan pukulan.
Sementara Malaikat Berdarah Biru menggertak-
kan rahang. Hatinya panas melihat dua kali serangan-
nya dapat dibendung dengan mudah.
"Waktunya ku coba ilmu dari kitab hitam...!" kata 
batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini segera memalangkan kedua tangan-
nya di depan dada. Lantas tangan kanannya menyu-
sup ke balik baju. Dan sebentar kemudian di tangan
kanannya telah tergenggam kipas berwarna hitam yang 
ujung sebelahnya terkikis.
Sementara itu Ki Ageng Panangkaran tampak 
berkelebat menjauh, menghindari serangan Bayangan 
Seribu Wajah. Sampai saat ini pun serangan yang di-
lancarkan Bayangan Seribu Wajah hanya menghantam 
tempat kosong.
Saat itulah Malaikat Berdarah Biru segera men-
dorong tangan kirinya. Sementara tangan kanan men-
gibaskan kipas hitamnya.
Wuuut...!
Blarrr....!
Suasana mendadak redup hitam, dan disusul 
oleh terdengarnya suara menggemuruh bagai gelom-
bang dahsyat yang disertai kilatan-kilatan mena-
kutkan! Inilah jurus kelima dari kitab hitam ciptaan 
Empu Jaladara, yakni pukulan 'Bayu Sukma'.
Ki Ageng Panangkaran yang baru saja menjejak-
kan kedua kakinya setelah berhasil menghindarkan di-
ri dari pukulan Bayangan Seribu Wajah kontan terperangah. Dia hampir tidak percaya. Dahinya berkerut 
dengan mata menyipit dan terbelalak.
"Celaka! Jadi dia yang telah berhasil menda-
patkan kitab dan kipas pusaka kedua milik Empu Ja-
ladara! Ah!, Semoga saja Aji telah pula berhasil men-
dapatkan jurus pemusnahnya. Karena jika tidak, du-
nia persilatan akan mengalami sebuah sejarah hi-
tam...," desis Ki Ageng Panangkaran.
Ki Ageng Panangkaran tidak bisa lagi mene-
ruskan kata batin. Karena, pukulan sakti Malaikat 
Berdarah Biru telah berarak menuju ke arahnya. Den-
gan segenap tenaga, dia menghempaskan diri bergu-
lingan di atas tanah. Dan bersamaan dengan itu, dile-
paskannya satu pukulan untuk menghadang.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Lembah Baka bagai diguncang gempa dahsyat. 
Gelegarnya mampu membuat tanah di tempat itu ter-
bongkar dan rengkah-rengkah hitam. Sementara tu-
buh Ki Ageng Panangkaran terlempar deras sampai ti-
ga tombak disertai kekehan tertahan. Kedua tangan-
nya yang digunakan untuk menghadang serangan Ma-
laikat Berdarah Biru lunglai tak bisa digerakkan. Da-
danya berdebar nyeri dengan kedua kaki bergetar he-
bat. Sementara jubah yang dikenakan tampak koyak di 
sana-sini.
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru yang tidak bergeming 
sama sekali mengeluarkan tawa bergerai-gerai.
"Hmm.... Luar biasa! Aku tak mengira jika ilmu 
ini demikian hebatnya!" seru batin Malaikat Berdarah 
Biru sambil tersenyum puas.
Namun senyum pemuda itu mendadak berganti 
seringai, tatkala Ki Ageng Panangkaran terlihat bangkit 
berdiri seraya siap melepaskan pukulan jarak jauh.

"Orang tua ini hebat juga pertahanan tubuhnya! 
Akan ku coba sekali lagi, apakah dia masih bisa me-
nahan pukulan 'Bayu Sukma'!" kata Malaikat Berdarah 
Biru dalam hati, seraya melangkah ke arah Ki Ageng 
Panangkaran.
Sementara itu, Bayangan Seribu Wajah cepat 
mundur dari gelanggang pertarungan. Dan kini dia 
hanya melihat dari jarak agak jauh.
"Tua bangka bau kubur! Umurmu tinggal lima 
kejapan mata. Jika kau bisa tunjukkan di mana Pen-
dekar Mata Keranjang 108, umurmu akan ku perpan-
jang!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan jumawa 
sambil berkipas-kipas.
Ki Ageng Panangkaran yang tampaknya telah ter-
luka, tersenyum ramah menyembunyikan rasa nyeri 
yang mendera dada serta kedua tangannya. Namun 
matanya tak hendak berpaling dari bola mata Malaikat 
Berdarah Biru.
"Kau bukan penentu umur manusia. Lebih baik 
mati bagiku, daripada hidup menebar kekejian seperti 
kau!" tegas Ki Ageng Panangkaran.
"Jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru.
Segera pemuda itu mendorong tangan kirinya ke 
depan. Sedang tangan kanannya memutar kipas den-
gan cepat.
Wesss...! 
Werrr...!
Di lain pihak, meski Ki Ageng Panangkaran mera-
sa tak bisa menandingi pukulan sakti Malaikat Berda-
rah Biru, namun tak mau menyerah begitu saja. Sege-
ra pula seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada ke-
dua tangannya.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras Ki Ageng Panangkaran 
menghantamkan kedua tangannya, memapak serangan Malaikat Berdarah Biru.
Werrr!
Glarrr!
Brattt...!
Terdengar gelegar hebat, disusul melayangnya 
tubuh Ki Ageng Panangkaran. Begitu terkapar di atas 
tanah, pakaian laki-laki tua ini tak karuan. Sekujur 
badannya bermandikan darah. Sebentar tubuh itu ma-
sih bergerak-gerak, namun tak lama diam tak berkutik 
lagi.
Sebentar Malaikat Berdarah Biru memandangi 
mayat Ki Ageng Panangkaran. Dan ketika telinganya 
mendengar suara langkah kaki, dia menoleh. Ternyata 
Bayangan Seribu Wajah telah setengah tombak di de-
katnya.
"Kau pantas memimpin dunia persilatan! Dan se-
karang aku merasa pasti, kau kelak pasti dapat men-
galahkan Pendekar Mata Keranjang 108...," puji 
Bayangan Seribu Wajah.
Yang, dipuji mengembangkan cuping hidungnya. 
Ekor matanya melirik ke arah dada Bayangan Seribu 
Wajah yang sepertinya nampak sengaja dibusungkan.
"Hmmm.... Ayo kita pulang!" ajak Malaikat Berda-
rah Biru. 
"Tapi...."
Bayangan Seribu Wajah tidak meneruskan kata-
katanya, karena saat itu juga Malaikat Berdarah Biru 
telah meraih tubuhnya. Seketika dipanggulnya tubuh 
ramping itu meninggalkan tengah lembah menuju ku-
da tunggangan mereka.
***
LIMA

"Burung gagak adalah perlambang alam kegela-
pan...."
Kata-kata Wong Agung dalam mimpi terngiang-
ngiang di telinga Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Alam kegelapan.... Apa maksudnya?" 
gumam Aji saat dalam perjalanan ke Lembah Baka, 
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. "Alam kegela-
pan.... Alam kegelapan tak ada lain, kecuali alam ku-
bur. Eyang Wong Agung melihat alam kegelapan di 
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. Berarti beliau 
sedang dalam keadaan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan. 
Larinya makin dipercepat disertai ilmu meringankan 
tubuh yang sudah sangat tinggi.
Begitu menginjak Lembah Baka, Pendekar Mata 
Keranjang 108 agak mengurangi kecepatan larinya.
"Semoga tak terjadi apa-apa pada Eyang Ageng 
Panangkaran...," bisik Aji sambil terus melangkah den-
gan sepasang mata terus menebar ke sekeliling.
Mencapai tengah lembah, dada Aji bergetar. Se-
pasang mata dan telinganya lebih dipertajam. Di tem-
pat itu pemuda ini melihat tanahnya porak poranda 
seperti habis terjadi perkelahian. Dan kepalanya bagai 
tak bisa digerakkan lagi, tatkala sepasang matanya ter-
tumbuk pada sosok berjubah koyak-koyak bermandi 
darah.
"Eyang...," jerit Pendekar Mata Keranjang 108, se-
raya cepat menghambur.
Yang dipanggil diam saja. Bahkan tatkala Pende-
kar Mata Keranjang 108 mendekat dan mencoba 
mengguncang tubuhnya, sosok yang tak lain Ki Ageng 
Panangkaran tetap diam:

Pendekar Mata Keranjang 108 menengadahkan 
kepalanya memandang langit. Dadanya bergetar hebat. 
Tangannya mengepal dengan otot-otot menggurat jelas. 
Jakunnya naik turun tak beraturan. Matanya meme-
jam dengan bibir saling menggigit.
"Mereka benar-benar kejam! Apa yang mereka in-
ginkan hingga sampai hati berbuat keji pada orang 
yang tak bersalah? Kalau mereka mencariku, kenapa 
mesti berbuat kejam pada orang yang telah kuanggap 
sebagai guru-guruku?" desis Pendekar Mata Keranjang 
108 dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas duduk ber-
simpuh di samping tubuh Ki Ageng Panangkaran. Di-
pandanginya tubuh bermandi darah di hadapannya.
Tiba-tiba mata Pendekar Mata Keranjang 108 
membesar, ketika melihat di saku jubah Ki Ageng Pa-
nangkaran yang sudah tak karuan terdapat robekan 
kain berwarna merah. Dengan tangan gemetar, dipun-
gutnya robekan kain itu. Dan dadanya semakin meng-
hentak keras, tatkala melihat tulisan di robekan kain 
itu.
Jika ingin tahu apa yang terjadi, datang ke Candi 
Singasari
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk-
angguk, setelah membaca isi tulisan itu.
"Hmm.... Iblis-iblis itu rupanya mendekam di sa-
na! Aku akan cepat melacak ke sana! Sebelum kekeja-
man itu merambat ke mana-mana!" desis Pendekar 
Mata Keranjang 108 dengan dada bergemuruh dan gigi 
bergemerutuk menahan amarah.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir be-
gitu, terdengar hentakan ladam kaki-kaki kuda menu-
ju Lembah Baka. Dan sebelum sempat menduga siapa 
adanya para penunggang, hentakan ladam kuda le-
nyap. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba sepuluh

langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108 
berdiri dua orang dengan sikap curiga. Malah sepasang 
mata mereka membesar berkilat merah, tatkala meli-
hat keadaan Ki Ageng Panangkaran.
Pendekar Mata Keranjang 108 luruskan pandan-
gan, melihat satu persatu pada dua orang yang kini 
berdiri. Seulas senyum segera mengembang dari bibir-
nya begitu mengenali, siapa dua orang tersebut.
Namun senyum Pendekar Mata Keranjang 108 
serentak terpotong, tatkala dua orang di hadapannya 
malah saling pandang satu sama lain tanpa senyum. 
Tentu saja Pendekar Mata Keranjang 108 murid Wong 
Agung ini jadi tidak enak hati.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Apa yang telah 
kau perbuat pada Guru!"
Mata Pendekar Mata Keranjang 108 mendelik 
hampir tak percaya, ketika terdengar suara teguran 
dari salah seorang yang ada di sebelah kiri. Dia adalah 
seorang pemuda tampan dengan sepasang trisula ter-
selip di pinggang.
Aji tidak menjawab. Ditahannya hawa amarah 
yang mulai menjalari dadanya.
"Sialan! Rupanya mereka mencurigai aku!"
Melihat suasana kaku dan gelagat tidak baik, 
Pendekar Mata Keranjang 108 segera bangkit. Ditatap-
nya kembali dua orang di hadapannya dengan sorot ta-
jam.
"Kakang Pandu! Tapi, apakah mungkin...," bisik 
salah sosok yang berdiri di sebelah kiri. Dia ternyata 
seorang gadis berwajah manis dengan mata sayu.
Pemuda yang dipanggil Pandu berpaling.
"Sakawuni! Kau lihat sendiri tadi, bagaimana dia 
bertingkah di hadapan tubuh Guru. Pasti dia yang 
berbuat keji pada Guru!" sergah pemuda bersenjata 
trisula.

"Pandu, Sakawuni! Jangan berprasangka pada-
ku. Waktu aku datang, keadaan Eyang Ageng Panang-
karan sudah meninggal. Dan aku sendiri tak tahu, sia-
pa yang berbuat kejam seperti ini!" tegas Aji dengan ta-
tapan meyakinkan.
Dua orang yang memang Pandu dan Sakawuni, 
murid Ki Ageng Panangkaran sejenak saling tukar 
pandangan. Sementara mengetahui gurunya telah me-
ninggal, wajah Sakawuni langsung berubah mendung.
"Hmm.... Begitu? Pendekar Mata Keranjang 108! 
Apa ucapanmu bisa dipercaya?! Kita sudah saling ken-
al. Maka lebih baik terus teranglah!" kata Pandu den-
gan tatapan masih curiga.
Aji semakin mendelikkan matanya. Sementara 
Pandu dan Sakawuni mulai bergerak melangkah men-
dekati.
"Kalau bukan kau yang mengatakan, pasti sudah 
kurobek-robek mulutmu!" desis Aji, geram.
Pandu tersenyum sinis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kami tahu, kau 
adalah manusia berkepandaian tinggi. Namun, aku tak 
takut! Apalagi jika masalahnya berhubungan nyawa 
Guru! Menyingkirlah...!"
Meski dengan menahan perasaan dongkol, ma-
rah, panas, Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya 
menjauh dari sisi tubuh Ki Ageng Panangkaran. 
Begitu dekat dengan tubuh gurunya, Sakawuni 
langsung menghambur dan memeluk tubuh Ki Ageng 
Panangkaran yang sudah kaku dan dingin. Tangisnya 
yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya meledak. Se-
mentara Pandu yang mengikuti langkah Sakawuni te-
rus mengawasi tubuh gurunya dengan seksama. Sese-
kali wajahnya diusap lalu menarik napas dalam-dalam.
"Guru! Aku bersumpah, akan kucincang orang 
yang membuatmu seperti ini!" ucap Sakawuni di selasela isak tangisnya.
"Dan akan kubawa penggalan kepala orang yang 
berbuat keji padamu!" timpal Pandu dengan suara ber-
getar dan berapi-api.
Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam 
kesedihan yang mendalam. Namun begitu sadar ada 
orang lain di tempat ini, serentak mereka menghenti-
kan ratapan serta isak tangisnya. Keduanya berpaling 
ke tempat tadi Pendekar Mata Keranjang 108 berdiri. 
Dan mereka jadi melengak kaget, tatkala mengetahui 
Aji sudah tidak ada di tempatnya semula.
"Dia ketakutan! Berarti dialah yang berbuat ini!"
desis Pandu seraya menyapukan pandangannya ber-
putar, namun tidak menemukan orang yang dicari. 
"Sakawuni! Kau ke arah barat. Dan aku ke arah ti-
mur!"
Pandu cepat berbalik dan berkelebat ke arah ti-
mur.
Dan tak menunggu lama, Sakawuni pun berkele-
bat ke arah barat.
"Hmm.... Apakah mungkin Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang melakukan perbuatan keji itu?!" gumam 
Sakawuni dalam hati sambil terus berkelebat mengejar 
Pendekar Mata Keranjang 108. "Seandainya bukan dia, 
lantas siapa? Selama ini, Guru tak pernah lagi beruru-
san dengan orang-orang rimba persilatan. Tapi siapa 
pun orangnya, dia pasti berilmu tinggi. Jangan-jangan 
memang dia. Kalau dia, apa masalahnya? Bukankah 
antara Pendekar Mata Keranjang 108 dengan Guru 
sudah saling kenal baik. Malah menurut cerita Guru, 
Pendekar Mata Keranjang 108 pernah menolongnya. 
Ah! Tapi manusia kerap kali berubah pikiran, tak ter-
kecuali Pendekar Mata Keranjang 108. Dan kalau me-
mang dia yang melakukan, aku pun tak akan tinggal 
diam, meski sebenarnya aku begitu merindukan di

rinya sejak pertama kali bertemu.... Ah! Kenapa aku 
bisa bertemu dengannya dalam keadaan sulit begi-
ni...?"
Tiba-tiba Sakawuni menghentikan larinya. Kepa-
lanya langsung menoleh ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang menyelidik.
"Aku merasakan sedang diikuti seseorang. Bukan 
Kakang Pandu. Hmm.... Dia tampaknya berkepandaian 
tinggi. Karena begitu saja lenyap bagai ditelan perut 
bumi.... Aku akan membuatnya menampakkan diri...," 
gumam Sakawuni.
Sakawuni lantas melanjutkan larinya. Namun 
kali ini ekor matanya tak henti-hentinya berputar liar. 
Sementara telinganya dipasang baik-baik.
Agak jauh, gadis itu kembali merasakan orang 
mengikuti langkahnya. Namun, dia seperti tak acuh. 
Dan begitu merasa orang yang mengikuti tak berada 
jauh, dan dapat menentukan arah adanya, tubuhnya 
mendadak berbalik. Saat itu juga kedua tangannya di-
hantamkan ke tempat yang diduga menjadi persembu-
nyian orang yang mengikuti langkahnya.
Wuuuttt!
Serangkum angin berdesir kencang dari kedua te-
lapak tangan Sakawuni segera melesat, mengeluarkan 
suara bagai gelombang dahsyat. 
Brakkk...!
Ternyata Sakawuni hanya mendengar suara ber-
deraknya pohon tumbang, tanpa jeritan atau dengusan 
seperti yang diharapkan. Dengan menggeram marah 
tubuhnya lantas berbalik kembali, dan melesat mene-
ruskan perjalanan ke arah barat. Namun baru saja ka-
kinya melangkah hendak bergerak berkelebat, dari 
arah samping terdengar suara gemerisik. Cepat gadis 
itu berpaling ke kiri.
Sakawuni tercekat. Ternyata lima langkah dari

tempatnya berdiri, semak belukar menguak. Lalu, 
muncul Pendekar Mata Keranjang 108.
Sebentar Sakawuni terkesima. Namun tak lama 
kemudian, dia telah dapat menguasai diri.
"Manusia satu ini benar-benar berilmu tinggi. 
Aku bisa dikecohnya. Aku sebenarnya masih meragu-
kan dugaan kakang Pandu. Tapi...."
Belum selesai Sakawuni membatin, Aji telah me-
langkah mendekati tanpa senyum. Malah sepasang 
matanya tajam berkilat, mengawasi gadis itu.
Tak tahan ditatap demikian, Sakawuni menun-
duk. Bukan karena takut, namun karena mata itu se-
perti memendam keanehan yang membuat dadanya 
berdebar lebih cepat. Dan ini membuat dia ingin ber-
lama-lama di situ, meski tanpa memandang.
"Sakawuni!" tegur Aji dengan suara perlahan. 
"Aku meninggalkan kalian jangan dianggap karena ta-
kut atau pengecut. Tapi, itu kulakukan karena aku tak 
ingin menambah kepedihan hatiku. Dan aku tak ingin 
membuat keributan di depan jenazah Eyang Ageng Pa-
nangkaran!"
Sakawuni diam saja. Wajahnya dipalingkan. Na-
mun ekor matanya sesekali mencuri pandang.
"Percayalah, bukan aku yang melakukannya...," 
sambung Aji dengan kedua mata tetap memandang 
Sakawuni.
Sementara yang diajak bercakap masih saja tak 
buka suara.
"Sakawuni! Sebenarnya aku ingin lebih lama ber-
temu denganmu. Namun kali ini rupanya kau tak begi-
tu berkenan. Baiklah.... Aku pun masih punya sesuatu 
yang harus segera kuselesaikan. Jaga dirimu baik-
baik!" lanjut Aji.
Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang 108 
berbalik dan melangkah pergi. Namun baru tiga lang

kah, gerakan kakinya dihentikan tatkala....
"Pendekar Mata Keranjang 108!" panggil Saka-
wuni. "Kau tak perlu bicara soal kematian Guru. Kare-
na hal itu masih kuselidiki. Jika nantinya memang kau 
yang melakukannya, sumpahku terhadap Guru masih 
berlaku! Dan, jangan harap kau bisa lolos dari tangan-
ku. Tubuhmu akan kucincang dan kepalamu akan ku-
bawa ke makam Guru!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berbalik, meman-
dang Sakawuni dengan senyum tersungging.
"Bagus! Itu memang hal yang patut dilakukan 
seorang murid yang baik. Kutunggu kedatanganmu di 
Kampung Blumbang. Namun, percayalah. Kedatan-
ganmu nantinya kuharap tidak membawa amarah. 
Apalagi berniat memenggal kepalaku. Kuharap, keda-
tanganmu dengan senyum yang selama ini selalu ku
rindukan dan mata yang selalu ku impikan...," tegas 
Pendekar Mata Keranjang 108.
Wajah Sakawuni berubah merah padam. Da-
danya berdebar-debar.
"Ah! Kenapa aku tadi bicara begitu keras? Dia ta-
di mengatakan senyum ku selalu dirindukan.... Apa-
kah dia selama ini juga merasakan seperti apa yang ku 
rasakan... ? Hmm.... Betapa bahagianya jika dia benar-
benar selalu mengimpikan diriku. Aku akan datang ke-
lak ke Kampung Blumbang, membawa seperti apa yang 
dikatakannya tadi...," rutuk Sakawuni dalam hati.
"Sakawuni.... Kau temukan dia?!"
Sebuah suara tiba-tiba menyadarkan Sakawuni. 
Begitu berpaling gadis ini terperanjat. Ternyata Pandu 
telah berdiri tak jauh darinya dengan dahi mengernyit. 
Sedangkan matanya memandang dengan menyipit dan 
membesar.
Sebentar Sakawuni mengerjap-ngerjapkan sepa-
sang matanya yang sayu. Lantas pandangannya berpu

tar ke sekeliling.
"Hmm.... Pendekar Mata Keranjang 108 telah 
pergi. Aku harus menyembunyikan pertemuan tadi, 
karena kurasa kakang Pandu masih curiga pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108...," gumam gadis itu dalam 
hati.
"Sakawuni.... Ada apa denganmu?" tanya Pandu 
sambil menggeleng-geleng penuh keheranan.
Sakawuni tersenyum, lalu melangkah mendekati 
kakak seperguruannya.
"Kakang.... Aku tidak menemukan dia...," sahut 
Sakawuni perlahan.
"Tapi sepertinya kau tadi termenung. Jangan-
jangan kau...."
"Kakang Pandu!" potong Sakawuni dengan wajah 
cemberut. "Kita baru saja ditinggalkan orang yang se-
lama ini mengasuh dan mendidik kita. Aku sedang me-
renungkan Guru!"
Pandu sedikit tersentak, dan seperti baru sadar. 
Lantas kepalanya mengangguk.
"Maafkan aku, Sakawuni.... Aku..., aku terlalu
berprasangka padamu! Ini gara-gara Pendekar Mata 
Keranjang 108! Hmm...," ucap Pandu.
Sakawuni sesaat menatap Pandu, lalu terse-
nyum.
"Kakang! Kita harus cepat kembali dan mengurus 
jenazah Guru.... Soal lainnya, kita bicarakan nanti se-
telah pemakaman Guru selesai...."
Pandu mengangguk.
***

ENAM

Guntur menggelegar membelah angkasa. Langit 
menghitam tertutup bongkahan-bongkahan awan yang 
sepertinya enggan beranjak. Saat itu juga hujan deras 
mengguyur bumi, mengeluarkan desahan yang meng-
gidikkan bulu roma. Padahal sebenarnya matahari ba-
ru saja merayap bangun dari titik timur.
Pendekar Mata Keranjang 108 berkelebat membe-
lah derasnya hujan. Tubuhnya tampak bergetar meng-
gigil kedinginan. Sementara gigi-giginya saling beradu 
satu sama lain mengeluarkan suara bergeletak.
Ketika mencapai ujung desa yang berbatasan 
dengan Singasari, Pendekar Mata Keranjang 108 
menghentikan larinya. Dan tatkala melihat sebuah ke-
dai, tanpa pikir panjang lagi tubuhnya langsung berke-
lebat.
Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 
memasuki kedai, langkahnya terhenti seketika. Sepa-
sang matanya sesaat membeliak tak berkedip. Da-
danya berdebar kencang dengan tubuh semakin berge-
tar. Kedua tangannya kontan membentuk kepalan.
Pemilik kedai yang mengetahui tingkah Pendekar 
Mata Keranjang 108 serentak mengawasi dengan sinar 
mata curiga. Dengan tatapan nyalang. Kakinya me-
langkah mendekati Pendekar Mata Keranjang 108 yang 
masih tampak berdiri di ambang pintu kedai.
"Silakan, Den. Mari masuk...," sapa pemilik kedai 
dengan senyum yang dipaksa-paksakan.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya 
tidak mendengar sapaan ramah itu. Sepasang matanya 
tetap mengawasi dengan pandangan amarah pada seo-
rang gadis yang duduk di pinggir dinding kedai.
Gadis yang dipandangi Pendekar Mata Keranjang

108 berwajah cantik jelita. Kulitnya putih, dibalut pa-
kaian ketat warna merah. Rambutnya panjang ikal dan 
dikuncir agak ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Kali ini kau tak akan 
kulepaskan lagi!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 
dengan geram.
Aji lantas berbalik dan melangkah keluar dari ke-
dai. Tindakannya membuat pemilik kedai makin heran. 
Sejenak diawasi kepergian Pendekar Mata Keranjang 
108, lalu beralih pada gadis berbaju merah.
"Anak muda, jika melihat gadis cantik tingkahnya 
aneh-aneh...," bisik pemilik kedai sambil menggeleng 
dan melangkah kembali ke dalam.
Sampai di meja gadis berbaju merah itu berada, 
pemilik kedai sejenak menghentikan kakinya. Matanya 
yang sudah redup dimakan usia sedikit membesar 
memperhatikan.
"Hmm.... Tak dapat disangkal! Gadis ini memang 
benar-benar cantik. Apalagi potongan tubuhnya indah. 
Dan pakaiannya pun dibuat demikian rupa. Hm.... 
Seandainya masih muda, aku tentu tak mau kalah 
saing dengan pemuda tadi...," kata batin pemilik kedai.
Namun pemilik kedai ini segera memalingkan wa-
jahnya tatkala gadis berbaju merah serta merta me-
mandang ke arahnya.
"Tua-tua masih juga suka mencuri pandang. Da-
sar laki-laki!" gumam gadis yang tak lain Bayangan Se-
ribu Wajah seraya mengalihkan pandangan ke jurusan 
lain.
Saat itulah sepasang mata Bayangan Seribu Wa-
jah menangkap sesosok tubuh berpakaian hijau den-
gan baju dalam warna kuning lengan panjang sedang 
duduk jongkok di tiang kedai.
"Hm.... Rupanya dia datang lebih awal dari du-
gaan.... Dia pasti telah melihatku. Ini kesempatan

baik...," gumam Bayangan Seribu Wajah.
Gadis cantik berbaju merah itu tetap tenang me-
neruskan santap makanannya. Namun ekor matanya 
tak henti-hentinya melirik.
Setelah menyelesaikan makan, Bayangan Seribu 
Wajah berdiri. Kakinya melangkah tenang ke dalam, 
membayar harga makanannya. Lalu dengan tenang dia 
melangkah keluar.
Di ambang pintu, Bayangan Seribu Wajah meng-
hentikan langkahnya. Dahinya berkerut dengan mata 
berputar ke sekeliling halaman kedai yang baru saja 
diguyur hujan. Dahinya makin mengernyit, tatkala se-
pasang matanya tak menemukan orang yang dicari.
"Hmm.... Aku tadi pasti tidak salah lihat. Me-
mang dia, Pendekar Mata Keranjang 108 yang tadi 
jongkok di sini. Tapi, ke mana dia sekarang...? Apa 
langsung menuju Singasari...? Hmm.... Berarti dia te-
lah mengetahui kejadian di Lembah Baka," kata 
Bayangan Seribu Wajah dalam hati. 
"Sebaiknya aku cepat ke Candi Singasari."
Bayangan Seribu Wajah segera melangkah keluar 
dari kedai sambil memperhatikan berkeliling. Namun 
orang yang dicari memang tidak ada. Maka segera 
menghempos kekuatannya hendak berkelebat. Namun 
gerakan tubuhnya tiba-tiba dibatalkan ketika telin-
ganya menangkap sebuah nyanyian tak karuan, di-
tingkah siulan pendek-pendek. Perlahan memang. Na-
mun hebatnya, mampu membuat telinga yang men-
dengarnya bagai ditusuk-tusuk
"Dia masih berada di sini. Rupanya dia sengaja 
menungguku...."
Bayangan Seribu Wajah segera memalingkan wa-
jah ke arah sumber suara nyanyian. Hatinya sedikit 
terkejut. Karena saat berpaling....
Wesss...!

Mendadak terasa serangkum angin menyambar 
ke arah gadis ini.
Bayangan Seribu Wajah segera berbalik cepat 
sambil menghantamkan kedua tangannya.
Wusss...!
Prasss...!
Namun kembali gadis itu dibuat terkejut. Karena 
serangan yang dilancarkannya mendadak mental balik, 
dan melesat ke arah dirinya sendiri.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, Bayangan Seribu Wa-
jah cepat melesat ke samping, menghindari serangan-
nya sendiri.
"Heh?!"
Begitu menjejak tanah di samping, Bayangan Se-
ribu Wajah membelalak mata hampir tak percaya. Ter-
nyata sambaran angin yang mengarah padanya dan 
serangannya yang berbalik akibat kipasan-kipasan 
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sepertinya tidak 
disengaja.
Memang saat itu Aji tengah berkipas-kipas bagai 
menghilangkan rasa gerah yang mendera sekujur tu-
buhnya.
Selagi Bayangan Seribu Wajah terlolong kehera-
nan, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat
"Bayangan Seribu Wajah! Hari ini kau tidak akan 
bisa lari dari tanganku! Berdoalah sebelum ajal men-
jemput mu!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108 
yang tahu-tahu telah berdiri tujuh langkah di depan 
Bayangan Seribu Wajah.
Dengan menekan rasa terkejut, gadis itu menatap 
nyalang pada murid Wong Agung ini. Bersamaan den-
gan itu senyumnya segera menyeruak di bibirnya yang 
tampak membentuk indah.
"Kau terlalu sembrono bicara. Kaulah yang terlebih dahulu akan kukirim menyusul nenek moyangmu!" 
balas Bayangan Seribu Wajah, jumawa.
Saat itu juga Bayangan Seribu Wajah segera me-
nyongsong Pendekar Mata Keranjang 108 dengan hen-
takan kedua tangannya ke arah kepala.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan keras, Aji cepat melesat ke 
udara, sehingga hantaman tangan Bayangan Seribu 
Wajah yang langsung mengarah pada salah satu ba-
gian me-matikan lolos menerabas angin.
Aji yang kali ini bertekad menaklukkan Bayangan 
Seribu Wajah, tak lagi menyia-nyiakan kesempatan. 
Saat itu juga, dari udara tubuhnya mendadak menukik 
deras dengan kaki kiri lurus menghantam. Serangan 
ini sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian. 
Karena begitu lawan menghindari terjangan kaki ki-
rinya, tangan kirinya cepat mengibaskan. Sedangkan 
tangan kanan menusuk dengan pangkal kipas.
Namun Bayangan Seribu Wajah rupanya bisa 
membaca tipuan ini. Nyatanya, dia tidak berusaha 
menghindar. Malah sambil mengeluarkan tawa ngikik, 
disambutnya terjangan kaki kiri Aji dengan pentangan 
tangan di depan dada. Lalu begitu terjangan itu sam-
pai, kedua tangannya segera diputar. Sehingga, mau 
tak mau Aji harus menarik pulang kaki kirinya.
Namun Aji pun tak mau serangannya sia-sia. 
Sambil menarik kembali kaki kirinya, kedua tangannya 
segera bergerak. Tangan kirinya yang terbuka didorong 
perlahan ke arah dada. Sedangkan tangan kanan yang 
memegang kipas disabetkan melengkung
Wusss...! 
Desiran angin kencang yang menggemuruh mele-
sat, disusul kemudian sambaran sinar keputihan me-
lengkung.
Bayangan Seribu Wajah sadar bahaya sedang

mengancamnya. 
"Huhhh...!"
Sambil mendengus keras, Bayangan Seribu Wa-
jah langsung berkelebat ke samping, menghindari 
sambaran serangan tangan kiri Aji. Lalu, mendadak 
tubuhnya terus bergulingan di atas tanah. Pada gulin-
gan kelima, dia berhenti. Langsung kedua tangannya 
dihantamkan, memapasi sinar putih lengkung dari ki-
basan kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108.
Wuttt...!
Wusss...!
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Suara desiran-desiran yang sejak tadi melingkupi 
akibat bias pukulan Bayangan Seribu Wajah atau Pen-
dekar Mata Keranjang 108, segera punah oleh gelegar 
dahsyat. Memang begitu keras hantaman kedua tan-
gan Bayangan Seribu Wajah bentrok dengan sinar pu-
tih melengkung. Bahkan gadis itu sampai menjerit ter-
tahan.
Tampak tubuh Bayangan Seribu Wajah melenting 
ke udara, lalu jatuh berdebuk di atas tanah dengan 
pakaian berubah warna agak kebiruan.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 sendiri 
terjajar tiga langkah ke belakang. Tubuhnya ter-
huyung-huyung, lantas jatuh terduduk.
"Keparat! Kubunuh kau!" bentak Bayangan Seri-
bu Wajah seraya bangkit.
Dan tiba-tiba saja tubuh gadis itu berputar mele-
sat ke udara, lalu lenyap dari pandangan.
"Gila! Ke mana dia lenyapnya?!" gerutu Aji dalam 
hati sambil memutar kepalanya, mencari Bayangan Se-
ribu Wajah.
Sewaktu Aji memutar pandangan, mendadak 
menebar hawa dingin yang disertai aroma bunga kamboja dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik cepat. 
Ternyata, Bayangan Seribu Wajah telah berdiri tegak 
dengan senyum satu langkah di belakangnya. Dan se-
belum sempat Pendekar Mata Keranjang 108 melompat 
menjauhkan diri, kedua tangan gadis itu telah terlebih 
dahulu berkelebat menyambar ke arah pelipis.
Werrr...!
Deru angin kencang melesat mendahului hanta-
man tangan Bayangan Seribu Wajah, membuat Aji ter-
huyung sedikit. Saat demikian itulah hantaman kedua 
tangan Bayangan Seribu Wajah datang!
Wuttt...!
Dengan menindih rasa terkejut, Aji mengerahkan 
segenap tenaga untuk melenting ke atas. Namun ju-
stru saat itulah secepat kilat Bayangan Seribu Wajah 
menarik kembali kedua tangannya seraya melepas ka-
ki kanannya. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 seketika merasa-
kan dadanya seperti jebol begitu tendangan Bayangan 
Seribu Wajah mendarat telak. Disertai lenguhan pen-
dek, tubuhnya meluncur deras lima tombak, dan baru 
terhenti ketika punggungnya menghempas tiang pe-
nyangga kedai. Saat itu juga tiang kedai patah dan 
atapnya runtuh, menimpa tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang terkapar di bawahnya.
"Jangkrik! Keras benar tendangannya. Dadaku 
terasa ambrol, dan sakit bukan alang kepalang. Napas 
ku sesak. Huhhh...! Mataku sedikit berkunang-
kunang. Benar-benar gila!" keluh Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya 
diam tak bergerak.
Namun tatkala matanya melihat Bayangan Seribu 
Wajah melangkah mendatangi, Pendekar Mata Keran

jang 108 segera bangkit dari timbunan atap kedai. Se-
ketika tubuhnya berkelebat menyongsong langkah ga-
dis itu, sambil melepaskan pukulan 'Bayu Cakra Bua-
na'. Sementara, tangan kanannya lurus mengebutkan 
kipasnya.
Wuttt...! Wesss...!
Seketika larikan-larikan sinar putih redup meng-
gebrak, mengeluarkan suara deru dahsyat. Di sekejap 
lain menyusul tebaran angin dingin menusuk!
Menyadari adanya serangan berbahaya, Bayan-
gan Seribu Wajah cepat menghalau. Kedua tangannya 
disentakkan bersiutan terus menerus, membuat kila-
tan-kilatan merah yang menyambar dari kedua tan-
gannya bagai hujan tak henti-hentinya. 
"Heh?!"
Namun Bayangan Seribu Wajah menjadi pucat 
pasi tatkala mendapati serangannya bagai tertahan 
dinding karang. Dan bahkan sedikit demi sedikit le-
nyap ditelan sinar redup putih pukulan sakti 'Bayu 
Cakra Buana'. Dan wajahnya semakin pias bagai ka-
fan, ketika matanya menangkap sinar redup putih te-
rus saja menerabas ke arahnya. 
"Ah!"
Bayangan Seribu Wajah mengeluarkan seruan 
seolah-olah terkejut cemas. Dia hampir tak percaya 
dan tak habis pikir, mengapa serangan andalannya be-
gitu mudah hilang lenyap? Dengan wajah terheran-
heran, tubuhnya direbahkan sejajar tanah. Lalu tiba-
tiba kedua tangannya kembali disentakkan untuk 
membendung lesatan sinar putih redup.
Wesss...!
"Heh...?!"
Namun usaha Bayangan Seribu Wajah tak ada 
hasilnya. Ternyata lesatan sinar sambaran tangan 
Pendekar Mata Keranjang 108 tak bisa ditahannya.

Akibatnya....
Plassshh...!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut Bayan-
gan Seribu Wajah tepat ketika tubuhnya melayang. 
Tubuh itu meliuk sebentar, lalu roboh ke tanah yang 
baru saja tersiram air hujan.
Mendapati lawan roboh, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera berkelebat mendekati. Dia khawatir, 
Bayangan Seribu Wajah masih mampu bertahan. Na-
mun langkah pendekar murid Wong Agung ini terhenti, 
ketika yakin kalau gadis itu tak lagi bangkit dengan 
sepasang mata terbelalak seperti menyimpan dendam. 
Jelas, dia telah tewas!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik 
dan berkelebat ke arah barat, arah Candi Singasari.
Begitu sosok Aji tak lagi tampak, beberapa orang 
di kedai yang sedari tadi melihat dengan kagum dan 
khawatir, segera menghambur keluar.
Berpasang-pasang mata serentak melotot dengan 
mulut menganga, seperti hampir tak percaya. Gadis 
cantik berbaju merah yang tadi sempat menyantap 
makanan di kedai, tubuhnya perlahan-lahan berubah. 
Wajahnya yang tadinya putih dan tampak kencang 
dengan dada membusung menantang, berubah menja-
di wajah seorang nenek-nenek. Rautnya keriput dan 
kehitaman. Dadanya pun kendor, hampir menyentuh 
perut!
***

TUJUH

Tidak sulit bagi Pendekar Mata Keranjang 108 
untuk menemukan Candi Singasari. Namun begitu su-
asana pelataran candi yang lengang, membuat pera-
saan ragu-ragu menyeruak di hatinya.
"Di bagian mana bajingan itu mendekam...? Aku 
tidak melihat satu bangun pun yang layak untuk dija-
dikan sebagai tempat tinggal." gumam Pendekar Mata 
Keranjang 108 bertanya dalam hati. Pandangan ma-
tanya yang tidak kesiap diarahkan jauh ke depan, 
mengitari pelataran dan sisi candi.
Tapi perasaan ragu-ragu pendekar murid Wong 
Agung ini sedikit sirna. Malah matanya segera dipe-
jamkan. Sementara pendengarannya ditajamkan. Begi-
tu matanya dibuka kembali, Pendekar Mata Keranjang 
108 segera menyelinap ke balik sebuah pohon.
"Aku merasakan ada getaran-getaran halus yang 
tak henti-hentinya...," kata batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Hmm.... Ini getaran-getaran yang diaki-
batkan tenaga dalam. Aku harus berhati-hati. Yang 
membuat getaran-getaran ini pasti mempunyai ilmu 
cukup tinggi. Dan sebaiknya, aku menunggu sebentar 
sambil menyelidik sekitar tempat ini...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108 
segera berkelebat cepat mengitari pelataran candi. Na-
mun sebegitu jauh sumber getaran yang kini terasa 
mulai agak sirna belum bisa ditemukan.
Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 
hendak melanjutkan penyelidikikannya, sepasang te-
linganya menangkap suara benda bergesek. Kedua ma-
tanya segera nyalang mencari. Kakinya seketika mun-
dur tiga langkah ke belakang. Sementara matanya tak 
hentinya mengawasi ke depan. Tepatnya, ke bagian belakang candi yang sepertinya tak terawat baik.
"Suara itu berasal dari sana...," bisik Pendekar 
Mata Keranjang 108.
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba dari bagian bela-
kang candi melesat sebuah bayangan hitam.
"He... he... he...!"
Kemudian menyusul suara tawa mengekeh. Keti-
ka suara tawa lenyap, tahu-tahu....
"Jangan berani berbuat macam-macam di sini ji-
ka nyawamu masih kau perlukan!"
Terdengar suara bentakan dahsyat seketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menoleh, melihat satu so-
sok telah berdiri empat tombak di belakang. Dan baru 
saja Aji berbalik, sosok itu telah menghentakkan kedua 
tangannya.
Dua rangkum angin kencang laksana gemuruh 
gelombang segera menyapu ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Aji terperangah. Raut mukanya berubah seketika 
dengan mata membesar. Namun dia tak bisa berlama-
lama karena saat itu juga sapuan angin kencang mela-
brak.
Dengan gerakan lincah Pendekar Mata Keranjang 
108 memiringkan sedikit tubuhnya. Sehingga, samba-
ran angin itu hanya menghantam tempat kosong satu 
jengkal di sampingnya. 
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar kembali suara tawa keras panjang 
berderai-derai. Sepasang mata Pendekar Mata Keran-
jang 108 memperhatikan seksama.
"Hmm.... Siapa manusia ini?" tanya Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dalam hati, seraya memperhatikan 
lebih seksama.
Di hadapan Aji kini berdiri seorang perempuan 
tua berjubah warna hitam dan bersorban. Rambutnya

putih yang panjang dibiarkan bergerai awut-awutan. 
Paras wajahnya putih pucat. Namun kulit wajahnya 
tebal dengan sepasang mata terpuruk ke dalam. Mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak-gerak, seperti men-
gunyah sesuatu yang tak pernah habis.
"Siapa kau?!" bentak perempuan tua berjubah hi-
tam itu tiba-tiba.
Dahi Pendekar Mata Keranjang 108 mengernyit. 
Matanya memandang tak berkedip. Dia berpikir keras, 
mengingat-ingat.
"Ah, aku ingat. Manusia ini adalah orang yang 
dipanggul Malaikat Berdarah Biru, saat turun dari Bu-
kit Watu Dakon. Hm..., tapi siapa dia? Sobat Malaikat 
Berdarah Biru? Atau...?"
"Bocah setan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan 
kata batinnya, karena saat itu terdengar lagi bentakan 
dari orang di hadapannya. Dia tak lain guru Malaikat 
Berdarah Biru, yakni Bayangan Iblis.
"Sebelum kurobek mulutmu, lekas jawab perta-
nyaanku!" lanjut Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik kuncir 
rambutnya. Bibirnya tersenyum.
"Orang tua! Namaku Aji Saputra. Aku seorang 
pengelana yang tersesat jalan. Bisakah kau menun-
jukkan padaku, ke mana arah menuju tempat pema-
kaman?" jelas Aji, berpura-pura.
Bayangan Iblis tiba-tiba menghentikan gerakan 
mulutnya. Sorban di kepalanya bergerak sedikit, men-
gikuti kerutan dahinya. Sedangkan matanya melotot, 
mengawasi pemuda di hadapannya dari ujung kepala 
hingga ujung kaki.
"Aneh! Pemuda tersesat jalan yang ditanyakan 
tempat orang mati. Siapa kampret ini? Tapi melihat 
dengan mudahnya dia menghindari sambaran seran

ganku, jelas bukanlah orang sembarangan. Lagi pula 
sikapnya tak menunjukkan rasa takut sama sekali, 
meski ku gertak dengan serangan mendadak. Hmm.... 
Siapa sebenarnya dia...?" kata batin Bayangan Iblis.
Tatapan Bayangan Iblis menjalan terus, dan ber-
henti pada dua bola mata Aji. Bahkan kini sinar ma-
tanya mencorong tajam, seperti hendak menghujam 
jantung pemuda itu.
"Bocah sesat!" kembali Bayangan Iblis memben-
tak. "Kalau itu yang kau tanyakan, aku bisa tunjukan 
padamu! Ini jalannya!"
Saat itu juga Bayangan Iblis segera melesat cepat 
ke depan. Kedua tangannya yang mengepal menghan-
tamkan ke arah kanan kiri pelipis Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Wuuut! Wuuut!
Sinar putih biru redup berkilat menghantam ter-
lebih dahulu sebelum dua tangan itu menggebrak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bertindak cepat. 
Disadari betul meski belum pernah bertemu, namun 
melihat serangan dadakan tadi, Pendekar Mata Keran-
jang 108 bisa segera menduga bahwa orang tua di ha-
dapannya mempunyai kepandaian tinggi. Maka sece-
pat kilat kepalanya merunduk menghindari hantaman 
tangan. Kemudian kedua tangannya yang berputar di-
dorongkan. Sehingga secara tiba-tiba, tangannya men-
julur hendak menangkap dua pundak Bayangan Iblis.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
jat, karena saat itu mendadak pula Bayangan Iblis 
memiringkan tubuhnya ke belakang. Tepat ketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menarik kedua tangannya, 
hantaman kaki kanan Bayangan Iblis melesat ke de-
pan. Sehingga gerakan Aji agak terlambat. Dan....
Prakkk!
"Aaakh...!"
Terdengar benturan keras. Tangan Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 bagai tersengat jilatan api. Tubuhnya 
segera beringsut mundur dengan mulut meringis ke-
sakitan. Sementara orang tua renta itu mengeluarkan 
seruan perlahan. Wajahnya yang berkulit tebal berge-
rak-gerak, dan berubah menjadi mengelam.
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya...?!" bentak 
Bayangan Iblis.
"Tadi sudah kukatakan. Apa perlu ku ulangi la-
gi?" sahut Pendekar Mata Keranjang 108 masih dengan 
meringis. 
"Orang sesat! Waktuku tidak banyak! Katakan, 
apa maksudmu sebenarnya?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 memasukkan tan-
gan kiri ke balik pakaian hijaunya. Lalu begitu keluar 
lagi, dalam genggamannya terdapat robekan kain ber-
warna merah. Dengan senyum dikulum, dilemparkan-
nya robekan kain ke hadapan Bayangan Iblis,
Sejenak Bayangan Iblis memperhatikan wajah 
Pendekar Mata Keranjang 108 dengan pandangan tak 
mengerti. Lalu, matanya beralih pada robekan kain 
yang kini tercampak di depannya. Tiba-tiba mata pe-
rempuan tua ini membeliak besar. Hidungnya men-
gendus. Dan sebentar kemudian, dihelanya napas da-
lam-dalam. Tingkahnya seakan-akan ingin meyakin-
kan penciumannya.
"Hmm.... Aku mencium aroma Bunga Kamboja. 
Astaga! Berarti ini robekan kain pakaian Bayangan Se-
ribu Wajah!" sentak Bayangan Iblis.
Dan sekonyong-konyong, air muka Bayangan Ib-
lis tambah memerah. Pelipisnya bergerak-gerak per-
tanda menahan amarah.
"Kurasa kau sudah tahu. Sekarang giliranmu un-
tuk menyusul temanmu itu!" usik Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sebelum Bayangan Iblis bersuara. Wajah

nya kini telah berubah. Tak ada senyum di bibirnya.
"Keparat! Kau apakan temanku itu, heh?!"
"Pertanyaan bodoh. Tapi karena orang tua yang 
bertanya, aku maklum. Dengar baik-baik, biar aku tak 
usah mengulangi. Temanmu yang bergelar Bayangan 
Seribu Wajah, telah kukirim ke tempat pemakaman!" 
jelas Pendekar Mata Keranjang 108 enteng.
Bayangan Iblis melengak kaget. Tanpa terasa dia 
menelan liurnya sendiri. Mulutnya bergerak-gerak le-
bih cepat dan keras, seraya menggumam sesuatu yang 
tidak jelas. Lantas kakinya mundur dua langkah. Ke-
palanya mendongak ke atas.
"Pemuda jahanam! Pasang telingamu baik-baik. 
Kau saat ini sedang berhadapan dengan tokoh rimba 
persilatan yang berjuluk Bayangan Iblis. Dan melihat 
tampang dari ciri-cirimu, serta dendam yang kau tum-
pahkan pada Bayangan Seribu Wajah, aku yakin kau 
pasti pemuda yang bergelar Pendekar Mata Keranjang 
108!"
"Bagus! Dan untung kau telah dapat mengenali-
ku, hingga aku tak perlu susah-susah lagi menerang-
kan...!"
"Hmm... begitu?" kata Bayangan Iblis sambil ter-
tawa panjang. "Pendekar Mata Keranjang 108! Dengar! 
Jika kau bersedia menyerahkan kipas dan bumbung 
bambu yang ada padamu, aku tidak akan menuntut 
ke-matian Bayangan Seribu Wajah. Bahkan aku akan 
menggantinya dengan perawan sebanyak yang kau 
minta!"
"Ha... ha... ha...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 malah tertawa ter-
bahak-bahak.
"Sayang sekali kau terlambat, Orang Tua! Aku 
sebenarnya tertarik sekali dengan tawaranmu yang 
membuat dadaku bergetar. Namun seperti yang kuka

takan tadi, kau terlambat. Bayangan Seribu Wajah te-
lah merampas kipas dan bumbung bambu itu. Kalau 
kau benar-benar menginginkannya, aku bisa mengan-
tarmu ke tempat Bayangan Seribu Wajah. Sekarang 
juga!" balas Pendekar Mata Keranjang l08, enteng.
Bayangan Iblis menggeram. Tubuhnya yang renta 
bergetar hebat. Lalu....
"Heaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, tubuh perempuan 
tua itu berputar hebat, dan bergulingan di pelataran 
candi dua kali. Pada gulingan ketiga, tiba-tiba tubuh-
nya melesat ke udara dan langsung melemparkan ta-
nah yang ternyata telah tergenggam di tangannya.
Wuuuss! Wuuuss!
Pemandangan tiba-tiba redup terhalang taburan 
tanah yang ternyata kini telah pula menebarkan hawa 
panas menyengat. Dan sebelum taburan tanah itu 
menghambur kembali ke bawah, Bayangan Iblis segera 
men-dorong kedua tangannya.
Wusss...!
Taburan tanah itu seketika tertahan di udara. 
Dan sekejap kemudian, bergerak cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108 laksana kabut hitam!
Pendekar Mata Keranjang 108 tercekat sebentar. 
Namun seketika kedua tangannya segera dipentang-
kan, lalu digerakkan ke depan. Jelas terlihat kalau 
murid Wong Agung ini ternyata telah melepas pukulan 
'Ombak Membelah Karang'.
Wuttt!
"Heh?!"
Namun mata Pendekar Mata Keranjang 108 jadi 
terkesiap. Ternyata kabut hitam hamparan tanah itu 
tak mempan oleh pukulan yang telah dilepaskannya. 
Malah kabut hitam berhawa panas itu lebih cepat lagi 
bergerak!

"Edan! Pukulan 'Ombak Membelah Karang' tak 
mampu membendungnya. Akan ku tahan dengan 
'Bayu Cakra Buana'!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik tangan ki-
rinya. Sementara tangan kanannya cepat menyelinap 
ke balik baju, mengambil kipasnya. Di sekejap lain, 
tangan kiri dan kanannya segera menghentak ke atas.
Wuttt!
Werrr...!
Hamparan tanah yang menghampar panas kon-
tan tersapu, dan berhamburan mental lalu lenyap!
"Hei?!"
Bayangan Iblis yang baru saja mendarat terkejut 
bukan kepalang. Sambil menyeringai buas, dia cepat 
melompat ke samping.
"Hiaaat...!"
Lalu dengan bentakan dahsyat perempuan tua 
itu mengirimkan serangan dengan terjangan kaki lu-
rus.
Begitu cepat terjangan kaki itu. Sehingga belum 
sempat Pendekar Mata Keranjang 108 mengetahui apa 
yang hendak dilakukan lawan, terjangan kaki itu telah 
datang menghantam.
"Celaka! Aku hampir tak percaya kalau gerakan 
perempuan setua dia masih begitu cepat. Hmm.... Tak 
percuma jika rimba persilatan menjulukinya Bayangan 
Iblis!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati. 
Dan...
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan tubuh-
nya bagai terhantam beban berkati-kati. Kedua ka-
kinya terasa goyah, lalu tubuhnya melayang ringan 
disertai keluhan panjang. Begitu membuka mata, tu-
buhnya telah terkapar di pelataran candi dengan darah

merembes dari sudut bibir.
Melihat pemuda itu terjengkang roboh, Bayangan 
Iblis tak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya cepat 
dilorot hingga hampir jongkok. Dan sekonyong-
konyong, tubuhnya melesat ke udara. Satu tombak di 
atas udara, tiba-tiba dia menukik deras dengan tangan 
kanan kiri terpentang siap memukul. Sementara, kaki 
kanan dan kiri siap menerjang!
Aji hanya menyeringai. Tubuhnya segera bangkit 
seraya mengibas-ngibaskan bajunya yang penuh den-
gan lumuran tanah. Lalu sambil menggeram disong-
songnya serangan Bayangan Iblis. Dilepaskannya satu 
pukulan tangan kiri. Sedang tangan kanannya menu-
suk menggunakan kipas ungu.
"Hih...!"
Desss! Desss! 
Prakkk! 
"Aaakh...!"
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Di 
lain sekejap terdengar pula bunyi patah. Sementara, 
perempuan renta berjuluk Bayangan Iblis yang semula 
merasa di atas angin kini mengeluarkan pekikan bebe-
rapa kali. Tangan kanan kirinya yang siap menghan-
tam ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108 
bermentalan. Sedangkan sepasang kakinya terhumba-
lang ke atas, membuat tubuhnya terjungkir dan me-
nyusup tanah!
Di lain pihak, Aji tak bergeming sedikit pun. Na-
mun tubuhnya sebentar kemudian tampak oleng dan 
jatuh terduduk.
Untuk beberapa saat perempuan tua renta guru 
Malaikat Berdarah Biru itu terhenyak nanar dengan 
wajah meringis menahan sakit. Dari sela bibirnya 
mengalir darah kehitaman, pertanda terluka dalam.
Hebatnya, meski telah terluka Bayangan Iblis bagai tak merasakannya. Dia segera bangkit.
"Heaaagh...!"
Sambil meraung keras, perempuan tua itu me-
lompat seraya mengirimkan jotosan yang telah dialiri 
tenaga dalam penuh.
Seett! Seeett!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mengem-
bangkan kipasnya dan langsung dikebut-kebutkan di 
depan dada. Tubuhnya diputar hingga miring. Sepa-
sang matanya melirik ke kanan, ke arah serangan 
Bayangan Iblis datang.
Jotosan-jotosan Bayangan Iblis begitu cepat dan 
susul menyusul. Sehingga yang tampak hanya bayang-
bayang hitam yang melesat kian kemari mengeluarkan 
sinar biru redup. Dahsyatnya, setiap kelebatan tan-
gannya yang belum menghantam sasaran, sinar putih 
biru telah terlebih dahulu melesat mendahului!
Begitu sinar putih biru yang datangnya menda-
hului serangan sesungguhnya datang, Pendekar Mata 
Keranjang 108 cepat menghentakkan kipasnya dari 
bawah melengkung ke atas.
Weeesss! Weeesss!
Blap!
Larikan-larikan sinar putih segera melingkupi, 
membuat deruan sinar putih biru tertahan. 
"Heh?!"
Bayangan Iblis terperangah kaget. Namun karena 
tubuhnya telah telanjur maju, hingga tak ada waktu 
untuk mengurungkan serangan. Maka mau tak mau 
sambil menindih rasa jera yang mulai mengusik da-
danya, jotosan-jotosan tangannya diteruskan.
Wuutt...! Wuutt...!
Murid Wong Agung segera merunduk, menghin-
dari jotosan-jotosan tangan Bayangan Iblis. Dan ber-
samaan dengan itu tangan kirinya dihantamkan sambil memutar tubuhnya.
Sinar putih redup disertai kepalan tangan Pende-
kar Mata Keranjang 108 yang keras bukan main tidak 
bila lagi dibendung. Akibatnya, langsung menghantam 
telak dada Bayangan Iblis.
Desss...!
"Aaakh...!" 
Orang tua ini meraung keras. Tubuhnya mence-
lat sampai delapan tombak. Saat tubuhnya melayang, 
dia masih bisa menyadari keadaan. Maka tenaga da-
lamnya coba dikerahan untuk menahan luncuran tu-
buhnya.
"Hei?!" 
Namun Bayangan Iblis jadi terkejut. Semakin co-
ba menahan, semakin cepat luncuran tubuhnya. Hing-
ga tanpa bisa lagi berpikir apa yang harus diperbuat, 
tubuhnya telah menghantam pintu masuk candi yang 
terbuat dari batu hitam.
Brakkk...! 
Sekujur tubuh Bayangan Iblis telah merah ber-
mandi darah yang keluar dari lobang-lobang di seluruh 
tubuhnya. Begitu banyaknya darah yang keluar, mem-
buatnya tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya. 
Jubah hitam yang dikenakan telah terkoyak tak ka-
ruan. Rambutnya yang semula putih kini berubah 
menjadi hitam berbau sangit!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sempat juga 
terkapar, segera bangkit. Lalu kakinya melangkah, 
mendekati Bayangan Iblis sambil berkipas-kipas.
"Bayangan Iblis!" panggil Pendekar Mata Keran-
jang 108 begitu dekat. "Tunjukkan, di mana manusia 
laknat yang menggelari diri dengan Malaikat Berdarah 
Biru itu...!"
Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya sepa-
sang matanya tampak mengerjap-ngerjap, membuat

Pendekar Mata Keranjang 108 naik pitam. Aji lantas 
berjongkok. Janggut Bayangan Iblis disentuh dan di-
tengadahkan ke atas. Sementara kipasnya disentakkan 
melipat, dan ditekankan ke pipi Bayangan Iblis.
"Jika kau tidak mau menjawab, jangan menyesal 
bila pipimu akan kubuat berlobang dengan ujung ki-
pas ini!" gertak Pendekar Mata Keranjang 108 dengan 
mata berkilat-kilat.
Bayangan Iblis yang nampak ketakutan coba 
membuka mulutnya. Namun, tak ada suara yang ter-
dengar keluar.
"Sialan! Kau benar-benar ingin pipimu berlo-
bang...!" kembali Pendekar Mata Keranjang 108 meng-
gertak.
Dan baru saja hendak membuka mulutnya....
"Kau tidak usah berlaku kasar pada orang tua ji-
ka aku yang kau cari!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 dike-
jutkan suara yang datang dari arah belakangnya. Ce-
pat Aji berpaling dan kontan terperangah....
***
DELAPAN


Seorang pemuda bertubuh kekar terbungkus ju-
bah toga warna merah menyala tahu-tahu telah berdiri 
tegak. Di telinga kirinya tampak sebuah anting-anting 
sambil berdiri demikian, tangannya tak henti-hentinya 
mengipas. Setiap kibasan kipasnya tampak menyam-
bar sinar hitam. Setelah sejenak mengawasi, pemuda 
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah 
Biru berpaling dan meludah ke tanah.
"Phuih...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat bangkit, 
memandang tajam ke depan. Sepasang matanya me-
nyipit dengan dahi membentuk beberapa kerutan. Se-
mentara tangan kirinya mengepal.
"Sialan! Dia memang benar-benar telah berhasil 
mendapatkan benda pusaka itu! Aku harus berhati-
hati. Dia mungkin akan jauh lebih hebat daripada be-
berapa tahun silam...," rutuk batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 seraya melangkah ke tengah pelataran 
candi.
Begitu Malaikat Berdarah Biru memalingkan wa-
jahnya kembali, pelipisnya bergerak-gerak. Dagunya 
yang kokoh mengembung dengan sepasang mata 
membeliak.
"Guru!" teriak Malaikat Berdarah Biru seraya 
menghambur ke arah Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 kaget. Sungguh 
tak disangka kalau Bayangan Iblis adalah guru Malai-
kat Berdarah Biru.
"Hmm.... Jadi dia gurunya...!" gumam Pendekar 
Mata Keranjang 108 sambil mengangguk-angguk.
"Guru! Akan ku kuliti bangsat itu!" geram Malai-
kat Berdarah Biru seraya menoleh ke arah Pendekar 
Mata Keranjang 108.
"Anak Agung...," panggil Bayangan Iblis perlahan 
dengan suara agak tersendat. "Kau harus berhati-hati 
menghadapinya. Dia ternyata hebat!"
Mendengar ucapan gurunya, Malaikat Berdarah 
Biru mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Bibirnya 
menyeringai, lalu mendengus keras.
"Guru! Kau tidak pantas mengeluarkan kata-kata 
itu di hadapanku! Kau boleh mengakui kehebatannya. 
Namun pantang bagi Malaikat Berdarah Biru."
"Anak Agung...," kata Bayangan Iblis, memanggil 
nama asli Malaikat Berdarah Biru. "Kau berhak men

gatakan itu. Tapi...."
"Cukup!" sentak Malaikat Berdarah Biru, menyela 
kata-kata gurunya. "Aku tak mau mendengar lagi uca-
panmu! Lihat saja nanti, siapa yang terlebih dahulu 
menjadi penghuni liang kubur!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru melangkah 
ke tengah pelataran candi. Matanya menyengat tajam, 
seakan ingin mengelupas batok kepala Pendekar Mata 
Keranjang 108.
"Perbuatanmu sudah melampaui batas. Hari ini 
adalah hari akhir penundaan nyawamu yang dahulu 
masih kuampuni!" desis Pendekar Mata Keranjang 
108.
Malaikat Berdarah Biru hanya mendongak ke 
atas. Bibirnya menyeruakkan senyum bernada menge-
jek.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Orang yang akan 
menemui ajal memang biasanya suka mengungkit-
ungkit masa lalu. Kau tahu? Ajalmu rupanya harus di-
tentukan tanganku! Tangan Malaikat Berdarah Biru. 
Ha... ha... ha...!" balas Malaikat Berdarah Biru pongah!
"Manusia angkuh! Seharusnya kau belajar dari 
kematian gurumu si Bidadari Telapak Setan, serta 
guru barumu yang kini tinggal menunggu jemputan!"
Malaikat Berdarah Biru kembali menyunggingkan 
senyum mengejek. Matanya melirik pada gurunya si 
Bayangan Iblis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau keliru jika 
menyuruhku belajar dari mereka. Karena, mereka-
mereka adalah orang bodoh yang tak sanggup mengan-
tarmu ke liang kubur!" kata Malaikat Berdarah Biru, 
makin pongah. Saking pongahnya, para gurunya di-
anggap orang bodoh,
"Hmm.... Rupanya kini kau tak membutuhkan 
guru lagi. Apakah berarti ilmumu telah demikian tinggi? Bagaimana kalau kau ajarkan padaku barang seju-
rus dua jurus?" ujar Pendekar Mata Keranjang 108, 
bernada menantang. 
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergelak-gelak.
"Aku bukan hanya akan mengajarimu jurus-
jurus. Namun juga akan menunjukkan, bagaimana ca-
ranya menikmati kematian!" lanjut pemuda bernama 
Anak Agung ini.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru segera me-
luruk ke depan sambil menghantamkan tangan kiri. 
Sedangkan tangan kanan tetap mengipas-ngipas.
Wusss...!
Selarik sinar biru redup melesat cepat ke arah 
Pendekar Mata Keranjang 108. Rupanya Malaikat Ber-
darah Biru langsung memulai serangan dengan mele-
paskan pukulan sakti 'Badai Biru'.
Aji sadar, serangan ini amat berbahaya. Maka se-
gera kakinya bergeser ke samping, menghindari seran-
gan Malaikat Berdarah Biru. Maka pukulan pembuka 
Anak Agung hanya menghajar tempat kosong di samp-
ing kanannya.
Wajah Malaikat Berdarah Biru makin geram, me-
lihat serangan pembukanya begitu mudah dihindari. 
Gigi-giginya saling beradu bergemeletak. 
"Heaaa...!"
Didahului bentakan garang, Anak Agung melom-
pat sambil mengibaskan kipasnya. Sementara tangan 
kirinya melepas pukulan 'Badai Biru'.
Wusss...!
Wesss...!
Sinar hitam, merah, dan biru bergemuruh segera 
menggebrak.
Sadar kalau serangan ini tak cukup hanya dihin-
dari, Pendekar Mata Keranjang 108 segera bertindak

cepat. Tangan kanannya cepat mengebutkan kipasnya, 
sementara tangan kiri mendorong ke depan.
Wusss...!
Werrr...!
Segurat sinar putih dan berlarik-larik sinar putih 
redup menyambar ke depan, memapak serangan Ma-
laikat Berdarah Biru. Lalu....
Blaarr! Blaaarrr!
Gelegar dahsyat segera memecah tempat itu. Ta-
nah pelataran candi nampak porak poranda dan ber-
hamburan ke udara. Suasana menjadi gelap seketika.
Saat demikian, Malaikat Berdarah Biru segera 
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seketika 
tubuhnya berputaran, dan mendadak lenyap bagai di-
telan suasana gelap. Namun di kejap lain, tahu-tahu 
Anak Agung telah lima langkah di samping Pendekar 
Mata Keranjang 108. Langsung tangan kirinya meng-
hantam. Sedangkan tangan kanannya bergerak menu-
sukkan kipas yang terlipat. 
"Heh?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berseru terkejut, 
tak mengira jika Malaikat Berdarah Biru dapat melihat 
keberadaannya dalam suasana demikian. Padahal saat 
itu, tubuhnya sudah berkelebat ke samping untuk 
menghindar dari sesuatu yang tak diduga.
Sambil menekan rasa terkejut, Pendekar Mata 
Keranjang 108 cepat merebahkan diri di atas tanah. 
Namun tak disangka, Malaikat Berdarah Biru menya-
pukan sepasang kaki ke bahunya yang terbuka! Dan....
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berputar 
disertai keluhan pendek. Saat itulah Malaikat Berda-
rah Biru menyapukan kembali kakinya dari arah ber-
lawanan putaran tubuh Pendekar Mata Keranjang 108!

Desss!
Aaakh...!"
Dari mulut Pendekar Mata Keranjang 108 kemba-
li terdengar pekikan tertahan begitu sapuan Anak 
Agung menemui sasaran. Tubuhnya melayang jauh 
sampai tiga tombak, lalu terkapar di tanah dengan pa-
kaian koyak dan kulit merah melepuh.
Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 jatuh ter-
kapar, Malaikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak. 
Lantas kakinya melangkah dua tindak ke depan. Den-
gan mata terpejam, bibirnya berkemik-kemik mengu-
capkan sesuatu yang tidak jelas. Saat Pendekar Mata 
Keranjang 108 murid Wong Agung bangkit, Malaikat 
Berdarah Biru segera berkelebat sambil mengirimkan 
serangan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Serangkum angin deras disertai melesatnya sinar 
merah, biru, dan hitam meluruk ke arah Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 yang baru saja bangkit berdiri.
"Celaka!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108 da-
lam hati.
Dengan raut muka tercengang, Aji segera pula 
menghentakkan tangannya. Sementara, tangan sa-
tunya mengibaskan kipas.
Wuuut...!
Udara yang semula agak redup karena bias se-
rangan pukulan Malaikat Berdarah Biru kontan saja 
menguak benderang. Di kejap lain....
Blarrr...!
Blarrr...!
Terdengar suara gelegar dua kali. Karena saat 
melepaskan serangan keadaan tubuhnya belum begitu 
sempurna, tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-
huyung-huyung. Namun sebelum jatuh terkapar kem-
bali, tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk mena
han tubuhnya.
Wusss...!
"Heh?!"
Tapi Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Ka-
rena begitu berhasil menahan tubuhnya agar tidak ter-
jatuh, dari arah samping menyambar angin keras. Aki-
batnya lututnya yang mulai tampak goyah dan berge-
tar hebat. Aji sadar betul adanya bahaya. Maka teka-
nan tenaga dalamnya ditambah agar tubuhnya tidak 
tersapu. Hingga tak lama kemudian, tubuhnya kembali 
tegak kokoh.
Sementara itu Malaikat Berdarah Biru yang tadi 
menghantamkan pukulan jarak jauh dengan setengah 
tenaganya, merasa sangat penasaran. Ternyata seran-
gannya masih bisa dibendung. Maka segera tenaganya 
dilipatgandakan.
Kini di pelataran candi tampak dua orang tokoh 
tingkat tinggi sedang berdiri dengan tangan masing-
masing mendorong ke depan. Tubuh-tubuh mereka 
mulai tampak dibasahi keringat. Sesekali tubuh mere-
ka terlihat goyah, namun sejenak kemudian telah 
kembali kokoh.
Untuk beberapa saat kedua orang ini masih bisa 
bertahan dengan membendung serangan satu sama 
lain. 
"Hiaaa...!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 mem-
bentak garang sambil melipatgandakan tenaga dalam. 
Sedangkan Malaikat Berdarah Biru tampak terkejut, 
karena kedua kakinya tiba-tiba goyah. Tanah yang di-
pijak bergetar hebat, membuat tubuhnya perlahan-
lahan terhuyung-huyung hendak roboh.
"Heaaa...!"
Malaikat Berdarah Biru juga mengeluarkan ben-
takan membahana, sambil menghentakkan kedua tangannya mengirimkan pukulan 'Serat Jiwa' dan 'Badai 
Biru'.
Wusss...!
Wesss...!
Sinar merah dan biru menggebrak ke depan ke 
arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih berdiri 
kokoh.
Mendapati serangan ini Pendekar Mata Keranjang 
108 tidak berani bertindak ceroboh. Kedua tangannya 
segera pula disetakkan ke depan.
Wesss...!
Blarrr...!
Terdengar dentuman dahsyat. Pelataran candi 
bagai diguncang gempa maha dahsyat. Pohon-pohon 
yang ada di sekitarnya berderak bertumbangan.
Tampak Malaikat Berdarah Biru goyah, tak bisa 
menguasai diri lagi. Saat itu juga, tubuhnya jatuh ber-
gulingan di atas tanah. Dicobanya bangkit, namun ter-
huyung kembali dan jatuh lagi. Maka segera tenaga 
dalamnya dipusatkan, lalu perlahan-lahan bangkit dan 
duduk bersila.
Di lain pihak, tubuh Pendekar Mata Keranjang 
108 tampak bergetar hebat ketika terjadi bentrokan 
barusan. Kakinya sedikit demi sedikit bagai tersedot 
dan masuk ke dalam tanah. Begitu kakinya masuk, lu-
tutnya goyah. Lalu, tak lama kemudian tubuhnya ja-
tuh terduduk dengan kaki masuk ke dalam tanah! Se-
perti Malaikat Berdarah Biru, saat jatuh terduduk, se-
gera pula kakinya ditarik. Lalu dia duduk bersila men-
gembalikan tenaganya.
***
Begitu keadaannya pulih, Malaikat Berdarah Biru 
segera berkelebat, lalu berdiri di tengah pelataran can

di dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara 
tangan kanan mengipas-ngipas. Sepasang matanya 
tampak merah membeliak dengan dagu mengembung.
"Pendekar Mata Perempuan!" bentak Malaikat 
Berdarah Biru sambil memalingkan wajahnya dan me-
ludah. "Kau telah keluarkan pukulan 'Bayu Cakra Bu-
ana! Dan kau sendiri lihat, aku tidak apa-apa. Seka-
rang, terimalah pukulan 'Bayu Sukma'!"
Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Dia telah 
tahu, pukulan 'Bayu Sukma' adalah pukulan sap keli-
ma dari kitab hitam, seperti apa yang pernah didengar 
dari gurunya. Namun pendekar murid Wong Agung ini 
tetap tenang, tidak memperlihatkan raut terkejut, 
meski diam-diam dalam hati khawatir juga.
Merasa gelagat tidak baik, sebelum Malaikat Ber-
darah Biru melepaskan pukulan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera mendahului dengan menghentak-
kan kedua tangannya. Dilepaskannya kembali 'Bayu 
Cakra Buana'.
Wusss...!
Malaikat Berdarah Biru yang sepertinya bisa 
membaca benak Pendekar Mata Keranjang 108 segera 
melesat jauh ke samping sambil mengibaskan kipas-
nya. Akibatnya serangan Pendekar Mata Keranjang 
108 membelok, menghantam angin.
Saat itulah dari arah samping, sambil membuat 
gerakan dua kali putaran di udara Malaikat Berdarah 
Biru melepaskan pukulan 'Bayu Sukma'.
Wuttt...!
Pelataran candi Singasari mendadak menghitam. 
Di lain kejap... 
Blarrr...!
Terdengar suara menggemuruh bagai gelombang 
dahsyat, disertai kilatan-kilatan menakutkan. Inilah 
pukulan sakti sap kelima dari kitab hitam yakni puku

lan 'Bayu Sukma'!
Pendekar Mata Keranjang 108 tak mau terseret 
dalam rasa terkejut. Maka segera dilepaskannya puku-
lan 'Bayu Cakra Buana' untuk membendung pukulan 
sakti 'Bayu Sukma'.
Werrr...!
"Heh?!" 
Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108 ha-
rus menerima kenyataan. Ternyata sinar putih yang 
menyambar dari kipas dan tangan kirinya tak mampu 
melabrak habis sinar hitam yang menyambar dari tan-
gan Malaikat Berdarah Biru. Bahkan sinar hitam itu 
pecah, melebar membentuk kilatan-kilatan semakin 
banyak dan mengarah padanya.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat ke 
belakang. Begitu mendarat kembali, tenaga dalamnya 
dikerahkan sambil mengirimkan pukulan. 
"Hih!"
Wesss...!
Namun pukulan Pendekar Mata Keranjang 108 
yang kedua kali ini pun rupanya tak membawa hasil 
banyak. Malah, membuat pecahan-pecahan sinar hi-
tam semakin banyak, dan semakin cepat melesat ke 
arahnya!
"Sialan! Celaka tiga belas!" gerutu Pendekar Mata 
Keranjang 108 seperti kehilangan akal.
Sementara, Malaikat Berdarah Biru semakin ga-
rang, sambil tak henti-hentinya menghantamkan ke-
dua tangannya.
"Hmm.... Saatnya aku menggunakan jurus 'Bayu 
Kencana' dalam bumbung bambu...," kata Pendekar 
Mata Keranjang 108 dalam hati.
Dengan gerakan cepat, Aji mengalihkan kipasnya 
ke tangan kiri. Sementara tangan kanan dibuka di de-
pan dada.

Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108 
hendak menggunakan pukulan 'Bayu Kencana', seran-
gan Malaikat Berdarah Biru telah meluncur dekat. 
Dan...,
Desss!
"Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan tubuh Pendekar Mata 
Keranjang 108 terpelanting begitu serangan Anak 
Agung menerabas bahu kirinya. Tubuhnya kontan me-
layang dan jatuh terkapar di tanah. Tubuh sebelah ki-
rinya bagai ngilu tak bisa digerakkan. Tangan kirinya 
lumpuh lunglai. Sementara hawa panas menjilat, mu-
lai menjalari seluruh tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 bangkit. Tapi 
mendadak, wajahnya pucat pasi. Karena, tubuhnya 
bagai tegang kaku tak bisa digerakkan. Hingga untuk 
beberapa saat, Aji hanya diam sambil mengawasi Ma-
laikat Berdarah Biru yang tampak mulai melangkah ke 
arahnya disertai tawa bergelak-gelak.
"Jangkrik! Aku memerlukan waktu agak lama un-
tuk memulihkan tenagaku. Tapi, bagaimana? Bajingan 
itu telah mendatangi...," kata batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 Seraya memutar otak untuk mengalihkan 
perhatian Malaikat Berdarah Biru.
Sebelum Pendekar Mata Keranjang 108 tuntas 
berpikir, tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru telah berke-
lebat. Dan tahu-tahu dia berdiri sepuluh langkah di 
hadapannya, dengan sepasang mata menyengat tajam. 
Sementara bibirnya menyeringai mengejek.
"Akhirnya ajalmu hanya tinggal seperti memba-
likkan tangan saja! Ha... ha... ha...!" ejek Malaikat Ber-
darah Biru sambil memutar-mutar kipasnya.
"Jahanam! Mulutmu terlalu besar berkoar! Kau 
tak bisa menentukan ajal!" bentak Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Diam-diam, tenaga dalamnya dikerahkan

untuk memulihkan tubuhnya.
Malaikat Berdarah Biru mengertakkan rahang. 
Kepalanya berpaling. Lalu dari mulutnya mengumbar 
senyum buas. 
"Kau bisa bicara seenakmu. Tapi aku akan mem-
buktikannya!" desis Malaikat Berdarah Biru sambil 
melangkah mundur dua tindak ke belakang. Tangan 
kirinya di-tarik sedikit ke belakang. Sementara kipas-
nya dipalangkan di bawah dagu.
"Busyet! Dia benar-benar ingin segera menghabisi 
ku.... Setan! Tubuhku belum sepenuhnya pulih. Jika 
langsung melepaskan 'Bayu Kencana' pasti akan sia-
sia.... Padahal hanya itu satu-satunya jalan untuk me-
nangkis serangannya...," gerutu Aji.
Sewaktu Pendekar Mata Keranjang 108 dilanda 
kebimbangan, Malaikat Berdarah Biru telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Sukma'.
"Apa boleh buat? Terpaksa aku akan mengha-
dangnya dengan 'Bayu Kencana'!" kata Pendekar Mata 
Keranjang 108 dalam hati.
Saat itu juga Aji membuka tangan kanannya di 
depan dada. Sementara tangan kirinya memutar-mutar 
kipas dengan gerakan perlahan.
Wusss...!
Sinar hitam melesat, membuat pemandangan tak 
bisa menembus kepekatan. Pendekar Mata Keranjang 
108 telah siap menangkis. Namun satu tombak lagi se-
rangan Malaikat Berdarah Biru menghajar....
Wesss...! Wesss...!
Entah dari mana, berlarik-larik sinar kuning tiba-
tiba menghadang, membuat suasana sedikit terang. 
Saat demikian itulah Pendekar Mata Keranjang 108 
melesat jauh ke samping untuk menghindari serangan 
sinar hitam.
Meski sinar kuning itu hanya sejenak mampu

membendung, dan kemudian lenyap ditelan sinar hi-
tam, namun dalam waktu yang sekejap itu Pendekar 
Mata Keranjang 108 bisa meloloskan diri dari serangan 
berbahaya. Hingga tak ayal lagi, sinar hitam pukulan 
Malaikat Berdarah Biru hanya menerpa tempat ko-
song!
"Jahanam bedebah! Siapa berani ikut campur 
masalah ini, he...?!" bentak Malaikat Berdarah Biru.
Saat itu juga, Anak Agung memalingkan wajah-
nya ke samping. Di tempat lain Pendekar Mata Keran-
jang 108 pun ikut-ikutan mencari tahu, siapa orang 
yang menyelamatkan jiwanya.
Begitu mengetahui siapa orang yang menghadang 
serangan, baik Malaikat Berdarah Biru atau Pendekar 
Mata Keranjang 108 sama-sama melengak!
***
SEMBILAN


Sepuluh langkah di samping Malaikat Berdarah 
Biru, tampak tegak berdiri seorang gadis cantik. Kulit-
nya putih mulus dengan dada membusung kencang 
menantang. Pakaiannya warna kuning. Rambutnya 
panjang tergerai. Matanya bulat berbinar.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tertahan hampir tak percaya.
Sementara itu begitu melihat siapa orang yang 
menghalau serangannya, mata Malaikat Berdarah Biru 
kontan membeliak besar. Tangannya bergetar dan ber-
geretakan mengepal. Pelipisnya bergerak-gerak dengan 
dahi mengernyit. Sedangkan bibirnya menyeringai 
buas.
"Perempuan sundal! Rupanya kau ular kepala 
dua. Musuh dalam selimut! Perbuatanmu harus di-
bayar mahal dengan nyawamu!" dengus Malaikat Ber-
darah Biru sambil melangkah mendekat.
Gadis berpakaian kuning yang memang Putri 
Tunjung Kuning hanya tersenyum ramah.
"Manusia licik! Kaulah yang harus menyerahkan 
nyawa busukmu padaku!" teriak Putri Tunjung Kuning 
sambil siap melepas pukulan.
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar ucapan Putri Tunjung Kuning, Malai-
kat Berdarah Biru tertawa keras. Namun tiba-tiba saja 
tawanya terpenggal. Wajahnya dipalingkan ke samp-
ing.
"Phuih! Phuih!"
Setelah meludah dua kali, Malaikat Berdarah Bi-
ru mendongak.
"Perempuan tak tahu diri! Bersiaplah menghada-
pi kematianmu!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru menghen-
takkan kedua tangannya ke depan. Karena merasa 
dikhianati, kali ini tanpa pikir panjang lagi langsung 
dilepaskannya pukulan 'Bayu Sukma'.
Wesss!
Saat itu juga udara di pelataran candi kembali hi-
tam redup. Di kejap lain, sinar hitam segera mengge-
brak ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Hiaaat...!"
Didahului jeritan melengking, tangan kiri dan 
kanan Putri Tunjung Kuning segera bergerak meng-
hantamkan pukulan.
Wuttt!
"Heh?!"
Paras Putri Tunjung Kuning mendadak meredup 
pucat, tatkala tangkisan yang dilancarkannya hanya

sejenak membendung serangan Malaikat Berdarah Bi-
ru. Tak lama kemudian, sinar hitam itu bagai tak ter-
halang lagi, menerabas cepat ke arahnya. 
"Lekas menyingkir!" teriak Pendekar Mata Keran-
jang 108, memperingati Putri Tunjung Kuning.
Namun, Putri Tunjung Kuning sepertinya tak 
acuh dengan peringatan barusan. Malah kembali dile-
paskannya satu pukulan.
Wesss...!
Tapi seperti semula, serangan gadis itu tak mam-
pu menahan gerak sinar hitam yang terus meluruk. 
Sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi terdengar suara jeritan lengk-
ing yang menyayat dari mulut Putri Tunjung Kuning. 
Begitu gema jeritannya lenyap, tampak tubuh gadis ini 
telah telentang di atas pelataran candi dengan pakaian 
hangus tak karuan. Kulitnya yang semula putih mu-
lus, berubah menjadi kebiruan. Dari sudut bibirnya 
mengalir darah hitam kental. Matanya merah dan 
rambut mengelinting!
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disengat 
kalajengking melihat keadaan Putri Tunjung Kuning. 
Meski tahu kalau gadis itu menginginkan sesuatu da-
rinya, dan bahkan tak mustahil menginginkan kema-
tiannya, namun jasa dalam menyelamatkan dirinya da-
ri serangan Malaikat Berdarah Biru, membuatnya me-
lupakan semuanya. Hingga tatkala Malaikat Berdarah 
Biru mulai melangkah mendekati Putri Tunjung Kun-
ing yang sudah lemah tak berdaya, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melesat dan tegak berdiri mengha-
dang Malaikat Berdarah Biru.
"Malaikat Tengik! Seharusnya kau-malu mengha-
jar orang yang sudah tidak berdaya! Hadapilah aku!"

tantang Pendekar Mata Keranjang 108.
Sejenak mata Malaikat Berdarah Biru menatap 
tajam Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ha... ha... ha...!"
"Pendekar Bodoh! Dengar! Kejahatan memang ti-
dak adil dan tidak pernah mengenal adat. Karena itu-
lah kejahatan pasti menang!" tukas Malaikat Berdarah 
Biru, pongah.
"Hmmm.... Begitu?" gumam Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sambil tersenyum dingin. "Otakmu me-
mang perlu dicuci. Akan kutunjukkan padamu tempat 
yang baik untuk mencuci otak. Bersiaplah berangkat!"
"Ha... ha... ha...! Malaikat Berdarah Biru pantang 
minta petunjuk pendekar perempuan!"
Seketika bibir Malaikat Berdarah Biru berkemik. 
Lalu sesaat kemudian, tangan kiri kanannya telah ber-
gerak melepas pukulan.
Wusss...!
Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 tidak beru-
saha mengelak atau menangkis. Dan ini membuat Ma-
laikat Berdarah Biru gusar.
Begitu sinar hitam satu depa lagi menghajar, 
Pendekar Mata Keranjang 108 mendorong telapak tan-
gan kanannya ke depan dada. Sedangkan tangan kiri 
yang memegang kipas dipentangkan ke samping.
Wesss...!
"Heh?!"
Malaikat Berdarah Biru tertegun hampir tak 
mempercayai penglihatannya. Sinar hitam pukulan 
'Bayu Sukma' yang dilancarkannya ternyata tersedot 
tangan Pendekar Mata Keranjang 108! Bahkan seben-
tar kemudian, sinar itu lenyap!
Saat demikian itulah, Pendekar Mata Keranjang 
108 segera mengibaskan kipasnya ke depan.
Wuttt...!

Karena masih terkesima melihat apa yang baru 
saja terjadi, Malaikat Berdarah Biru tak sempat lagi 
menghindar. Akibatnya....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Anak Agung terhumba-
lang ke belakang sejauh lima tombak disertai keluhan 
tertahan. Begitu kerasnya sambaran angin yang keluar 
dari kibasan kipas Pendekar Mata Keranjang 108, 
membuat tangan Malaikat Berdarah Biru yang meme-
gang kipas bergetar hebat. Dan tak lama kemudian, 
tampak kipas di tangan kanannya terpental jatuh!
Malaikat Berdarah Biru menggereng keras. Ma-
tanya nanar, mencari kipasnya. Begitu sepasang ma-
tanya melihat kipasnya, dia cepat bangkit hendak 
mengambil. Namun baru saja tubuhnya berdiri hendak 
berkelebat, Pendekar Mata Keranjang 108 telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Wuuuttt!
"Heh?!"
Malaikat Berdarah Biru kaget. Namun tubuhnya 
masih berusaha berkelit dengan menjatuhkan diri ke 
samping sejajar tanah. Tapi, tanpa diduga sama sekali, 
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat. Dan begi-
tu murid Bayangan Iblis ini akan bangkit, kedua tan-
gan Aji telah memapak kepalanya!
Prak! Prakkk!
"Aaakh,..!"
Malaikat Berdarah Biru kontan menjerit tertahan 
merasakan kepalanya seperti terpenggal. Matanya 
mendadak menghitam, tak bisa melihat. Sementara 
darah segar telah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Hebatnya, meski sudah dalam keadaan begitu, 
Malaikat Berdarah Biru segera merambat bangkit. Dan 
tanpa melihat di mana lawannya berada, kedua tan

gannya segera disentakkan.
Wusss...!
Wesss...!
Sejenak kemudian di pelataran candi melesat be-
berapa sinar merah biru dari tangan kiri dan kanan 
Malaikat Berdarah Biru yang melepaskan pukulan 
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru'.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 segera 
meloncat ke sana kemari untuk menghindar.
Namun tak demikian halnya Putri Tunjung Kun-
ing dan Bayangan Iblis. Karena sedang terluka dalam, 
membuat mereka tak bisa lagi bergerak menghindar. 
Sehingga tatkala sentakan tangan Malaikat Berdarah 
Biru yang menghempas ke sana kemari meluncur ke 
arah mereka....
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Seketika terdengar dua lengkingan keras dari 
mulut Putri Tunjung Kuning dan Bayangan Iblis!
Sebenarnya, waktu itu Pendekar Mata Keranjang 
108 hendak menyelamatkan Putri Tunjung Kuning. 
Namun karena begitu gencarnya serangan Malaikat 
Berdarah Biru yang tak bisa ditentukan arahnya, 
membuat gerakannya terlambat untuk bertindak.
Melihat Putri Tunjung Kuning bergulingan di atas 
tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat 
menghambur.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma-
tanya. Dipandanginya Pendekar Mata Keranjang 108 
dengan tatapan aneh. Bibirnya berusaha dibuka hen-
dak mengucapkan sesuatu.
"Putri Tunjung Kuning.... Bertahanlah.... Aku

akan menolongmu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108 
lirih sambil mengangkat kepala gadis ini.
Putri Tunjung Kuning tersenyum. Kepalanya 
yang telah lunglai digelengkan perlahan.
"Pendekar Mata.... Keranjang 108.... Maafkanlah 
segala kesalahanku selama ini...," ucap Putri Tunjung 
Kuning perlahan dan tersendat-sendat.
Pendekar Mata Keranjang 108 menempelkan te-
lunjuknya di depan mulut, memberi isyarat agar Putri 
Tunjung Kuning tak meneruskan ucapannya.
"Pendekar.... Aku..., aku sebenarnya.... Men..., 
mencintaimu...."
Habis berkata, kelopak mata Putri Tunjung Kun-
ing mengatup. Lalu kepalanya lunglai ke samping. 
Pingsan!
"Putri Tunjung Kuning!" teriak Pendekar Mata 
Keranjang 108 keras, membuat Malaikat Berdarah Bi-
ru cepat palingkan wajahnya ke arah sumber suara.
Karena pandangan Malaikat Berdarah Biru saat 
itu masih belum bisa digunakan, membuat dirinya 
hanya mengandalkan telinga untuk mengetahui tem-
pat beradanya Pendekar Mata Keranjang 108.
Demi mendengar teriakan Pendekar Mata Keran-
jang 108, tanpa membuang-buang waktu lagi Malaikat 
Berdarah Biru segera mengirimkan serangan kedua 
tangannya menghentak melepas pukulan 'Serat Jiwa' 
dan 'Badai Biru'. 
Wesss...! Wusss...!
Berlarik-larik sinar berwarna merah biru yang 
bergemuruh dahsyat menyambar cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108! 
Secepat kilat, Pendekar Mata Keranjang 108 
bangkit dari sisi Putri Tunjung Kuning. Segera tubuh-
nya diputar hingga miring. Lalu tiba-tiba kipasnya di-
kibaskan.

Wuuuttt!
Wesss!
Sinar berwarna keputihan menebar, memapak 
serangan. Dan mendadak saja, serangan Malaikat Ber-
darah Biru bagai menghantam dinding tebal kasat ma-
ta. Dan lebih dahsyat lagi serangan yang menyambar 
berwarna merah biru itu mental balik.
Wesss...!
Karena tak bisa lagi melihat, akibatnya Malaikat 
Berdarah Biru tak mengetahui jika pukulannya kini 
melesat ke arahnya. Telinganya sejenak hanya men-
dengar suara gemuruh menyambar ke arahnya.
"Heh?!"
Anak Agung terperangah dengan mulut menden-
gus. Dia coba menduga-duga. Namun begitu sadar, 
pukulannya sendiri yang mental telah sedepa lagi 
menghajar tubuhnya. Meski begitu, tak kehabisan ak-
al.
"Hup!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Malaikat Berdarah 
Biru bergerak berkelit. Namun, terlambat. Karena.... 
Dess! Desss! 
"Aaa...!"
Serangan yang mental itu ternyata lebih cepat 
menghajar, sebelum Malaikat Berdarah Biru bergerak. 
Hingga tanpa ampun lagi pukulan 'Serat Jiwa' dan 
'Badai Biru' menggebrak pemiliknya sendiri!
Langit bagai dirobek jeritan yang keluar dari mu-
lut Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya melayang, dan 
jatuh terpuruk di atas tanah dengan baju toga merah-
nya hangus dan centang perentang. Raut mukanya 
membiru. Sementara dari lobang-lobang di sekujur tu-
buhnya mengalir darah kehitaman, pertanda terluka 
amat dalam!
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 hampir saja tak mempercayai penglihatan matanya. Dalam kea-
daan terluka dalam, ternyata Malaikat Berdarah Biru 
mampu bergerak-gerak bangkit.
Dan tanpa diduga sama sekali, begitu telah 
bangkit Malaikat Berdarah Biru cepat memutar tu-
buhnya. Lalu secepat kilat pula berkelebat meninggal-
kan pelataran candi.
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak mau begitu 
saja melepaskan orang yang telah menewaskan orang 
tua aneh serta Ki Ageng Panangkaran. Tubuhnya cepat 
pula berkelebat menyusul. Namun baru saja bergerak, 
terdengar erangan menyayat dari mulut Putri Tunjung 
Kuning.
Pendekar Mata Keranjang 108 tampak ragu-ragu. 
Padahal, semula disangka Putri Tunjung Kuning telah 
tewas.
Karena didorong keingintahuannya, Pendekar 
Mata Keranjang 108 mengurungkan niat untuk me-
nyusul Malaikat Berdarah Biru. Kepalanya lantas ber-
paling ke arah Putri Tunjung Kuning. Dan begitu meli-
hat mulut gadis itu bergerak-gerak mengerang, tubuh-
nya segera berkelebat.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 meman-
dangi gadis yang kini tampak mengerang dengan mata 
redup sayu.
"Putri Tunjung Kuning...," sebut Aji pelan.
Putri Tunjung Kuning terlihat berusaha kelua-
rkan suara. Namun hingga agak lama, tak juga terden-
gar apa-apa dari mulutnya. Bahkan kedua kelopak 
matanya kembali meredup pelan-pelan dan memejam.
Perlahan-lahan Aji menarik nadi tangan Putri 
Tunjung Kuning.
"Hmm.... Masih terasa denyutan.... Berarti dia 
masih hidup. Aku harus segera mencari orang yang 
dapat mengobatinya...," gumam Pendekar Mata Keran

jang
Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108 sege-
ra menyapukan pandangan ke arah Malaikat Berdarah 
Biru berkelebat. Namun, sosok tokoh sesat itu telah 
lenyap. Kemudian Aji bangkit berdiri.
"Untuk kedua kalinya dia bisa lolos. Namun un-
tuk ketiga kali nanti, jangan harap bisa kabur lagi!" 
gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melang-
kah ke tengah pelataran candi. Dipungutnya kipas hi-
tam milik Malaikat Berdarah Biru yang terjatuh. Se-
saat ditimang-timangnya, lalu dijajarkan dengan kipas 
ungu miliknya.
Kedua kipas itu memang nyaris serupa, baik 
ukuran maupun bahannya. Yang membedakan adalah 
warna, serta ujung sebelah kipas. Jika ujung kipas 
ungu milik Pendekar Mata Keranjang 108 utuh, maka 
ujung kipas hitam Malaikat Berdarah Biru tampak ter-
kikis sedikit. Sepertinya si pencipta belum selesai 
membuatnya.
"Meski kipas ini dibuat satu tangan, namun nya-
tanya pengaruh yang dipancarkannya berbeda...," bisik 
Pendekar Mata Keranjang 108, sambil melipat kedua 
kipas dan memasukkannya ke dalam balik jubahnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah ke arah 
Putri Tunjung Kuning kembali. Begitu dekat, dengan 
cekatan tubuh Putri Tunjung Kuning segera diangkat 
dan dibawanya meninggalkan pelataran Candi Singa-
sari yang sudah lengang.



                       SELESAI

Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108 
selanjutnya:
NERAKA ASMARA

















































Share:

0 comments:

Posting Komentar