GEGER PARA IBLIS
Darma Patria
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Cover oleh Henky
Editor: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
Darma Patria
Pendekar Mata Keranjang 108
dalam episode:
Geger Para Iblis
128 hal.
SATU
Pendekar Mata Keranjang 108 menggenjot se-
mangatnya, untuk lari lebih cepat lagi. Namun demi-
kian, sepasang matanya terus jelalatan ke sekeliling.
Sementara telinganya ditajamkan. Dan saat itu juga
sayup-sayup gendang telinganya menangkap derap
langkah kaki-kaki kuda yang makin lama makin keras.
Dan sepertinya, datang dari arah depan.
Seakan-akan mendapat firasat tidak baik, pemu-
da murid Wong Agung ini segera menghentikan la-
rinya.
"Penunggang kuda ini sepertinya tergesa-gesa.
Derapnya demikian cepat dan keras. Dan riuh rendah
suara penunggangnya, mengisyaratkan agar kuda-
kuda itu berlari lebih kencang. Seolah-olah mereka
mengejar sesuatu.... Jangan-jangan mereka...."
Belum sampai Aji alias Pendekar Mata Keranjang
108 meneruskan kata hatinya, derap langkah kaki-
kaki kuda mendadak berhenti. Dan belum sempat dia
berbuat apa-apa, sepasang matanya telah melihat dua
ekor kuda telah berdiri kokoh delapan tombak di ha-
dapannya. Cukup terperanjat juga pemuda ini, menya-
dari kecepatan lari kuda-kuda itu.
Dan lebih terkejut lagi ketika melihat tampang
dua orang penunggang kuda itu. Matanya serentak
mendelik lebar dengan dahi berkerut. Sementara di
depan dua penunggang kuda tampak saling berpan-
dangan, lalu tertawa lepas.
"Yang memakai jubah hitam, wajahnya mirip
tengkorak dengan sepasang mata merah.... Yang satu
lagi mengenakan pakaian hitam. Dagunya kokoh. Ke-
dua tangan dan kaki tampak besar berotot. Padahal,
dia adalah seorang perempuan.... Hm..., aku hanya bisa mengenali yang berjubah hitam dan berwajah mirip
tengkorak. Dia adalah tokoh yang dulu menewaskan
Dewi Kuning di Jurang Guringring. Kalau tak salah
manusia sesat ini berjuluk Tengkorak Berjubah. Se-
mentara yang perempuan, tak bisa ku kenali... Mereka
sengaja menghadangku, atau hanya kebetulan...? Na-
mun melihat tampang. mereka...."
"Dayang Lembah Neraka...!"
Pertanyaan di hati Pendekar Mata Keranjang 108
seketika terputus tatkala dari arah seberang terdengar
suara menegur yang cukup berat dan keras. Jelas
asalnya dari mulut laki-laki berjubah hitam yang tak
lain Tengkorak Berjubah.
"Hari ini nasib kita memang sangat mujur. Bu-
ruan kita sengaja datang menyerahkan apa yang kita
inginkan.... Ha... ha... ha...!" lanjut Tengkorak Berju-
bah.
Sambil berkata, Tengkorak Berjubah melirik pe-
nunggang kuda di sampingnya yang tak lain memang
Dayang Lembah Neraka.
Sedangkan Dayang Lembah Neraka hanya men-
gangguk perlahan tanpa menoleh. Sepasang matanya
memandang tajam ke arah Pendekar Mata Keranjang
108 tanpa berkedip.
"Tak disangka! Jadi, inikah manusia yang berge-
lar Pendekar Mata Keranjang 108? Hm.... Muda dan
tampan...," kata batin Dayang Lembah Neraka.
Dayang Lembah Neraka selama ini memang
hanya mendengar nama Pendekar Mata Keranjang 108
tanpa pernah bertemu sekali pun. Hingga untuk bebe-
rapa saat, matanya hanya memandang seakan terke-
sima. Dan ini membuat Tengkorak Berjubah agak
jengkel.
"Dayang Lembah Neraka!" bentak Tengkorak Ber-
jubah menggerakkan tulang bibirnya menegur. "Kau
telah tua peot. Tubuhmu sudah melengkung. Apakah
kau masih bergairah jika melihat pemuda tampan...?!
Kau bisa mencicipinya kalau keinginan kita telah ter-
capai...."
Dayang Lembah Neraka berpaling pada Tengko-
rak Berjubah dengan dagu semakin membatu. Ma-
tanya melotot, menghujam tajam.
"Tua jelek! Tutup mulut kotormu! Sekarang bu-
kan waktunya untuk bercanda!" dengus Dayang Lem-
bah Neraka.
Mendengar percakapan dua orang di hadapan-
nya, mata Pendekar Mata Keranjang 108 terbelalak.
Darahnya tersirap sejenak.
"Mereka menginginkan sesuatu dariku. Pasti
bumbung bambu atau kipas ini. Aku harus berhati-
hati. Tengkorak Berjubah adalah tokoh berkepandaian
tinggi. Dan perempuan yang bergelar Dayang Lembah
Neraka meski aku belum pernah melihatnya, pasti juga
tidak bisa dibuat main-main...."
Selagi Aji berpikir begitu, Tengkorak Berjubah
dan Dayang Lembah Neraka telah berkelebat melayang
dari kuda tunggangan masing-masing. Dan tahu-tahu
mereka telah berdiri terjajar sepuluh langkah di hada-
pannya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau bisa melan-
jutkan perjalanan semaumu. Tapi sebelumnya, ting-
galkan dulu kipas dan bumbung bambu yang ada di
tanganmu!" ujar Tengkorak Berjubah dengan tulang
bibir bergerak, menyunggingkan seringai.
Meski Aji telah dapat menduga apa yang diingin-
kan mereka, tapi tak urung terkejut juga. Namun se-
saat kemudian wajahnya berpaling, memandang juru-
san lain.
"Nasib kalian hari ini ternyata tidak semujur yang
dikira. Kipas dan bumbung itu telah diambil sepasang
manusia yang bergelar Sepasang Iblis Pendulang Suk-
ma. Jadi, jika kalian menginginkan barang itu, silakan
berurusan dengan mereka!" kilah Aji, enteng.
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka
saling beradu pandang. Lalu serentak pula pandangan
mata masing-masing segera beralih pada Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dengan sorot mata tak percaya.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kali ini kami tak
ingin mendengar gurauan mu! Cepat serahkan benda-
benda itu jika nyawamu masih ingin tetap di raga!" an-
cam Dayang Lembah Neraka, membentak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bersiul pendek.
Matanya menyengat satu persatu pada Tengkorak Ber-
jubah dan Dayang Lembah Neraka. Sementara bibir-
nya tersenyum-senyum.
"Aku juga tidak ingin bergurau! Apalagi menden-
gar tawa temanmu yang merdu bagai bebek pulang
kandang. Lebih baik kalian turuti omonganku, atau
segera menyusul Sepasang Iblis Pendulang Sukma...!"
balas Aji, bernada mengejek.
Raut muka yang hanya berupa rangkaian tulang-
tulang tanpa kulit milik Tengkorak Berjubah kontan
bergerak-gerak, tatkala mendengar ejekan pemuda
murid Wong Agung. Segera kedua tangannya ditarik
sedikit ke belakang, siap menghantamkan pukulan ja-
rak jauh.
Namun sebelum hal itu terjadi, Dayang Lembah
Neraka maju selangkah. Segera diberinya isyarat agar
Tengkorak Berjubah tidak meneruskan niatnya.
"Tengkorak Berjubah! Jangan terlalu tergesa-
gesa. Kita selidiki dulu kebenaran ucapannya. Agar ki-
ta tidak buang-buang waktu dan tenaga!" ujar Dayang
Lembah Neraka.
Meski dengan melenguh sember, akhirnya Teng-
korak Berjubah mengurungkan niat. Namun mata merahnya tetap berputar liar, menatap Aji dengan dada
bergetar menahan gejolak amarah.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kalau ucapanmu
benar, kau harus bersedia kami geledah!" ujar Dayang
Lembah Neraka sambil mengerdipkan sebelah ma-
tanya.
Tingkah laku Dayang Lembah Neraka membuat
Aji mendelik. Sementara bibirnya menahan tawa.
"Busyet! Bentuk tubuhnya memang seorang pe-
rempuan. Tapi tangannya yang begitu berotot dan be-
sar, di mana nikmatnya jika meraba...? Apalagi jika
tangannya memijit kelerengku. Hiii.... mati aku...!" ka-
ta Aji dalam hati seraya menahan bahunya yang bergi-
dik menindih rasa geli dan ngeri.
"He... ?!" teriak Dayang Lembah Neraka. "Wajah-
mu berubah, sebelum kusentuh. Apakah kau begitu
perasa? Aku percaya, kau nanti akan ketagihan jika te-
lah merasakan sentuhan tanganku. Bahkan akan
mencari-cari untuk melakukan sentuhan-sentuhan la-
gi.... Hik... hik... hik...!"
Begitu kata-katanya hilang dari pendengaran,
Dayang Lembah Neraka berkelebat cepat. Dan di kejap
lain dia telah berdiri dua langkah di depan Aji disertai
senyum mengembang serta dada dibusung-
busungkan. Hal ini tentu saja membuat Pendekar Mata
Keranjang 108 semakin tak bisa menahan tawanya.
"Ha... ha... ha...!"
Tak berapa lama kemudian, meledaklah tawa Aji.
"He.... Diam!" bentak Dayang Lembah Neraka
dengan mata mendelik.
Ledakan tawa Aji sekonyong-konyong terpenggal.
Kakinya segera beringsut satu langkah ke belakang.
Namun baru saja melangkah, kedua tangan Dayang
Lembah Neraka telah bergerak cepat ke arah pinggang.
Aji terperanjat, namun buru-buru menghindar
dengan menggeser kakinya ke samping. Sehingga, ke-
dua tangan Dayang Lembah Neraka hanya menakup
tempat kosong. Saat itu juga wajah perempuan tua ge-
nit ini berubah menjadi merah padam.
"He... he... he...!"
Di pihak lain dari arah belakang terdengar suara
tawa sember Tengkorak Berjubah.
Kalau tidak ingat dengan masalah bumbung
bambu dan kipas, Dayang Lembah Neraka sudah pasti
akan melonjak marah mendengar tawa Tengkorak Ber-
jubah yang bernada mengejek barusan. Matanya
hanya sempat melirik tajam ke arah laki-laki berwajah
tengkorak, lalu cepat beralih menatap Pendekar Mata
Keranjang 108.
"Melihat rasa ketakutan di wajahmu, berarti uca-
panmu bohong! Sekali lagi kuperingatkan, lekas se-
rahkan benda itu!" bentak Dayang Lembah Neraka. Pe-
lipisnya sudah bergerak-gerak, menindih amarah di
dadanya. Sedangkan kedua tangannya segera pula di-
tarik ke samping siap melepaskan pukulan.
"Dayang Lembah Neraka!" sebut Aji dengan sikap
menangkis. "Jangan bertindak bodoh, kalau tak ingin
menyesal. Percayai saja ucapanku. Atau kalau kau in-
gin bertemu Sepasang Iblis Pendulang Sukma, aku bi-
sa tunjukkan tempatnya!"
"Hmm.... Di mana mereka?!" selak Tengkorak
Berjubah sambil meloncat mendekati Dayang Lembah
Neraka.
"Di tempat asal temanmu itu!" jawab Aji, seraya
mengangkat bahunya mengarah pada Dayang Lembah
Neraka.
Tengkorak Berjubah dan Dayang Lembah Neraka
saling berpandangan satu sama lain. Dahi masing-
masing tampak berkerut.
"Apa maksudmu?!" bentak Dayang Lembah Neraka seakan tak sabar ingin penjelasan. "Kau jangan
mengada-ada dengan menebar berita bohong!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tersenyum tawar.
"Dayang Lembah Neraka.... Melihat gelar yang
kau sandang, tentu sudah tak asing dengan tempat
mengerikan itu. Dan Sepasang Iblis Pendulang Sukma
mungkin juga sedang bersenang-senang di sana!" jelas
Aji, enteng.
"Bajingan! Berarti Sepasang Iblis Pendulang
Sukma telah tewas di tangannya...!" sentak Dayang
Lembah Neraka seakan berkata pada diri sendiri.
"Nah, kalian telah tahu di mana Sepasang Iblis
Pendulang Sukma berada. Sekarang kalian tinggal pi-
lih salah satu. Cepat tinggalkan tempat ini, atau tetap
di sini untuk segera menyusul teman-temanmu itu!"
ujar Pendekar Mata Keranjang 108 bernada mengan-
cam.
Dayang Lembah Neraka menyeringai. Sementara
Tengkorak Berjubah keluarkan dengusan sengau. Da-
lam hati masing-masing perlahan-lahan menyeruak
perasaan gentar. Namun mereka pantang begitu saja
menyerah. Hingga dengan menekan rasa gentar,
Dayang Lembah Neraka keluarkan tawa pendek seraya
berkata.
"Bocah ingusan! Jangan dikira kami akan lari
tunggang langgang mendengar ancaman. Kuperin-
gatkan sekali lagi, jika tak segera menyerahkan barang
yang kami inginkan, kaulah yang akan kukirim ke
kampung halamanku di Lembah Neraka!"
"Begitu?" leceh Pendekar Mata Keranjang 108
sambil mengangakan mulutnya, lalu mengangguk-
angguk.
Karena ditunggu agak lama sepertinya Pendekar
Mata Keranjang 108 tidak hendak memberi apa yang
dikehendaki, kesabaran Dayang Lembah Neraka akhirnya mencapai batas. Kedua tangannya secepat kilat
di-hantamkan ke arah pemuda murid Wong Agung ini
disertai tenaga dalam tinggi.
Wesss...!
Seketika gelombang angin panas yang menebar
kilatan-kilatan segera menyambar cepat dari kedua
tangan Dayang Lembah Neraka.
"Hup...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 melenting ke uda-
ra, menghindar serangan Dayang Lembah Neraka. Dan
hantaman kedua tangan perempuan tua itu hanya
menerabas tempat kosong tempat tadi Aji berdiri.
Masih berada di udara, Aji segera melirikan ekor
matanya ke arah Dayang Lembah Neraka. Lalu sekejap
itu juga tubuhnya cepat menukik dengan kaki kanan
lurus. Sementara kedua tangannya bergerak ke sana
ke mari sukar diikuti mata.
Dayang Lembah Neraka terperangah kaget. Dia
masih tak percaya, karena serangannya begitu mudah
dielakkan Pendekar Mata Keranjang 108. Namun ka-
rena telah kenyang pengalaman selama malang melin-
tang dalam rimba persilatan, membuat sikapnya tak
gugup. Meski, diam-diam dalam hati mengutuk habis-
habisan.
"Haram jadah. Manusia ini benar-benar sulit di-
tebak gerakannya. Tidak mustahil jika Sepasang Iblis
Pendulang Sukma terjungkal di tangannya.... Aku ha-
rus berhati-hati...."
Sambil membatin Dayang Lembah Neraka mema-
langkan kedua tangannya di atas kepala. Sedang kaki
kanannya diangkat tinggi dengan sedikit mendoyong-
kan tubuh ke belakang.
Bersamaan dengan gerakan Dayang Lembah Ne-
raka. Serangan Pendekar Mata Keranjang 108 telah
meluncur datang. Dan...
Derr...! Derr...!
Terdengar dua kali benturan keras berturut-
turut. Tubuh Aji tampak mental balik ke udara. Sete-
lah membuat gerakan jungkir balik dua kali, kakinya
mendarat di atas tanah dengan tubuh terhuyung-
huyung. Kedua tangannya yang sempat bentrok den-
gan tangan Dayang Lembah Neraka terasa ngilu bukan
main. Begitu melirik, Aji sedikit tersentak kaget. Ter-
nyata kedua tangannya telah berubah agak kehitaman.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
pelanting hingga beberapa tombak ke belakang. Na-
mun dia masih bisa menguasai diri, hingga tak sampai
jatuh terbanting. Meski demikian, tak urung pundak-
nya terasa bagai terpenggal!
"Mengapa aku bodoh! Jelas kedua tangannya
yang begitu berotot dan besar adalah senjata andalan-
nya. Jadi, aku harus menghindari bentrok dengan ke-
dua tangannya...," kata Aji dalam hati merutuki diri
sendiri.
Aji lantas melirik Dayang Lembah Neraka. Pe-
rempuan berdagu menonjol kokoh serta tangan besar
dan berotot ini tampak bersedekap dengan kedua mata
sedikit terpejam. Bibirnya berkemik-kemik seperti
mengucapkan sesuatu.
Belum lama Aji memperhatikan, tiba-tiba saja
Dayang Lembah Neraka melesat ke arah Aji, memper-
dengarkan suara melengking tinggi.
Melihat gelagat Dayang Lembah Neraka yang
menginginkan bentrok langsung, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melompat ke samping berkelit.
Namun Aji dibuat terkesima, karena mendadak tubuh
Dayang Lembah Neraka berbelok dengan kecepatan
luar biasa. Hingga baru saja pemuda ini menjejakkan
sepasang kakinya, desir angin deras disertai dua kele-
batan bayangan hitam, yang ternyata kedua tangan
Dayang Lembah Neraka, sudah berada di depan wa-
jahnya!
Wess! Wess!
Karena tak ada jalan lain untuk bisa menyela-
matkan wajahnya dari gempuran kedua tangan
Dayang Lembah Neraka, maka dengan memusatkan
tenaga dalam Aji menyentakkan kedua tangannya.
Derr...! Derr...!
"Aaakh...!"
Terjadi benturan antara dua pasang tangan. Aji
kontan terpekik tertahan. Dan sebelum lenyap suara
pekikannya, Dayang Lembah Neraka telah pula meng-
hantamkan kaki kiri ke arah dadanya.
Diegkh...!
Bukkk!
Pendekar Mata Keranjang 108 terbanting dengan
punggung terlebih dahulu menghempas di atas tanah.
Tangannya kini lebih menghitam. Bahkan bagai te-
gang, tak bisa digerakkan. Dadanya bergetar hebat dan
sulit bernapas. Hingga untuk beberapa saat, pemuda
ini nampak tersengal dengan bahu turun naik.
Namun karena Dayang Lembah Neraka terlihat
telah siap kembali dengan serangan, dengan menahan
rasa sakit dan marah, Pendekar Mata Keranjang 108
cepat bangkit. Tapi belum lagi bisa menguasai kea-
daan, kaki kanan Dayang Lembah Neraka melesat ce-
pat menghantam pinggangnya.
Desss...! Bukkk!
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 sesaat ter-
gontai-gontai, lalu terhempas roboh.
Sementara itu, Dayang Lembah Neraka terse-
nyum puas. Sedangkan dari arah belakang Tengkorak
Berjubah mengeluarkan tawa sember yang menusuk
telinga.
Begitu tawanya berhenti Tengkorak Berjubah se
gera berkelebat. Dan tahu-tahu dia sudah berada lima
langkah di samping Pendekar Mata Keranjang 108,
siap mengirimkan pukulan dengan tenaga dalam pe-
nuh. Padahal, pemuda murid Wong Agung ini masih
tampak menggeliat hendak bangkit.
Di lain pihak, Dayang Lembah Neraka mengira
Tengkorak Berjubah akan mengirimkan pukulan me-
matikan dan merampas kipas serta bumbung bambu
dari tangan Pendekar Mata Keranjang 108. Maka pe-
rempuan tua itu segera pula berkelebat, lalu berdiri te-
gak menghadang serangan Tengkorak Berjubah.
"Tua jahanam! Jangan bertindak licik. Aku yang
berhasil membuatnya roboh. Jadi sudah sepantasnya
kipas dan bumbung bambu itu menjadi hakku!" ben-
tak Dayang Lembah Neraka dengan sepasang mata
berkilat-kilat menatap Tengkorak Berjubah.
"Perempuan sundal! Apa kau lupa, kita sama-
sama tak berhak atas kipas dan bumbung bambu itu.
Kita hanya kacung yang bertugas merampas benda itu,
dari menyerahkan pada Malaikat Berdarah Biru!" maki
laki-laki berwajah tengkorak ini.
Dayang Lembah Neraka mendongakkan kepala.
Mulutnya membuka, mengeluarkan tawa mengikik.
Tapi tiba-tiba tawanya berhenti. Kepalanya kembali lu-
rus ke depan memandang sinis pada Tengkorak Berju-
bah.
"Tua jahanam! Jangan dikira aku tak tahu, apa
yang ada dalam benakmu. Kata-katamu tadi hanya
untuk menutupi kelicikanmu, bukan? Dan sebenar-
nya, kau ingin menguasai benda itu!" balas Dayang
Lembah Neraka sengit
Mendengar kata-kata Dayang Lembah Neraka,
tulang-tulang di wajah Tengkorak Berjubah serentak
bergerak-gerak. Tangannya yang juga hanya merupa-
kan rangkaian tulang tanpa kulit tampak mengepal.
Hatinya geram, bukan karena dihalangi serangannya.
Namun karena apa yang ada dalam benaknya ternyata
bisa dibaca Dayang Lembah Neraka.
"Bedebah! Perempuan ini rupanya tahu rencana-
ku. Dia harus kusingkirkan sekarang juga!"
Namun belum sempat niat Tengkorak Berjubah
terlaksana, kedua matanya membesar. Dan cepat-
cepat tubuhnya berkelebat ke samping.
"Ha... ha... ha...!"
Dayang Lembah Neraka tertawa ngakak, mengira
Tengkorak Berjubah ketakutan. Tapi suara tawanya
kontan lenyap tatkala....
Werrr...!
Mendadak saja dari arah belakang terdengar sua-
ra gemuruh dahsyat disertai menyeruaknya hawa pa-
nas menyengat. Begitu berpaling, perempuan tua ini
tercekat dengan wajah sedikit pias. Tubuhnya segera
hendak berkelebat, namun terlambat. Karena ...
Desss...!
"Aaa...!"
Sekejap itu juga tubuh Dayang Lembah Neraka
terpelanting jauh disertai jeritan keras. Begitu menyu-
ruk di atas tanah, mulutnya ternganga. Baju bagian
pundak belakang koyak besar dan hangus. Kulit di ba-
lik koyakan itu merah bagai terebus!
Di seberang, tampak Pendekar Mata Keranjang
108 menarik pulang kedua tangannya yang baru saja
melepaskan pukulan sap keempat, yakni 'Segara Geni'
"Keparat! Tak kukira! Ternyata pemuda itu masih
bisa bertahan dengan pukulanku. Hampir tak dapat
kupercaya...," kata batin Dayang Lembah Neraka sam-
bil menatap tajam pada Pendekar Mata Keranjang 108
yang ternyata telah bangkit. Bahkan telah pula mele-
paskan pukulan jarak jauh.
Dengan dada panas dan wajah merah membara,
Dayang Lembah Neraka merambat bangkit. Tidak
sampai tegak penuh, tiba-tiba tubuhnya berputar dan
hilang dari pandangan.
Tahu apa yang hendak diperbuat lawan, Pende-
kar Mata Keranjang 108 segera pula memutar tubuh-
nya. Kini sosoknya pun lenyap, berubah jadi bayangan
yang bergerak cepat sulit ditangkap mata.
Werrr...!
Werrr...!
"Heaaa...!"
Sebentar kemudian di tempat itu tampak dua
bayangan yang saling berkelebat, mengeluarkan de-
ruan-deruan angin kencang. Dan sesekali terdengar
suara bentakan membahana tanpa terlihat jelas sosok-
sosoknya.
Tak jauh dari situ, Tengkorak Berjubah terlihat
tenang-tenang saja sambil mengawasi. Namun demi-
kian, kedua tangannya tampak tertarik sedikit ke bela-
kang, pertanda tengah bersikap waspada.
"Lebih baik aku menunggu. Jika perempuan
sundal itu tewas, akan lebih baik lagi. Karena dengan
leluasa, aku bisa menguasai kipas dan bumbung bam-
bu yang katanya berisi lembaran-lembaran jurus si-
lat.... Dan jika pun perempuan sundal itu berhasil
mematahkan Pendekar Mata Keranjang 108, aku ha-
rus dapat merampasnya. Meski, terlebih dahulu harus
menyabung nyawa dengan perempuan sundal itu....
Apa boleh buat? Teman tinggal teman. Urusan benda
pusaka itu di atas segalanya...," kata batin Tengkorak
Berjubah, bibirnya menyunggingkan senyum beringas
dengan kepala mengangguk perlahan.
Selagi Tengkorak Berjubah berpikir begitu....
"Aaa...!"
Mendadak terdengar jeritan tertahan, disusul ter-
jerembabnya sesosok tubuh di atas tanah. Begitu menoleh ke arah tubuh yang terjerembab, Tengkorak Ber-
jubah menahan napas. Tapi, bibirnya tetap tersenyum
mengejek.
Sosok yang terjerembab ternyata Dayang Lembah
Neraka. Namun perempuan tua itu segera bangkit.
Sambil memegangi dadanya yang terasa sesak karena
terhantam pukulan jarak jauh Pendekar Mata Keran-
jang 108, matanya melirik ke arah Tengkorak Berju-
bah.
"Setan alas! Kenapa dia hanya diam saja tanpa
melakukan sesuatu untuk segera merampas kipas dan
bumbung bambu...?!" maki Dayang Lembah Neraka
bergumam. Dahinya tampak berkerut, menduga-duga.
Sementara pada saat itu, Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang telah mendarat kini melangkah tiga tin-
dak ke depan.
"Hmm.... Meski mereka teman, rupanya satu sa-
ma lain dihinggapi sifat serakah saling tak mau men-
galah. Hal ini harus ku manfaatkan...," gumam Aji.
Maka saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108
segera melesat ke udara, membuat gerakan berputar
dua kali. Lalu mantap sekali kakinya mendarat di
Samping Dayang Lembah Neraka. Dan tanpa menung-
gu lama, kedua tangannya segera menghantamkan ke
arah Dayang Lembah Neraka.
"Heh?!"
Disertai rasa kaget, Dayang Lembah Neraka sege-
ra mengerahkan tenaga dalam ke tangan dan kakinya.
Lantas didahului bentakan nyaring kedua tangannya
dihantamkan, memapak serangan Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Tepat pada saat itu, kedua kakinya pun
amblas ke dalam tanah.
Dayang Lembah Neraka sengaja mengerahkan
tenaga pada tangan dan kaki. Tujuannya agar tangan-
nya dapat memapak serangan Pendekar Mata Keranjang 108. Sementara kakinya dapat menahan tubuh ji-
ka terjadi bentrokan pukulan.
Blarrr!
Bentrok pukulan berisi tenaga dalam tinggi yang
sebenarnya tidak diinginkan Dayang Lembah Neraka,
akhirnya tidak dapat dihindarkan lagi.
Begitu dua pukulan bertemu, tubuh Pendekar
Mata Keranjang 108 terseret ke belakang. Namun sebe-
lum tubuhnya lebih jauh tersapu bias pukulan, tenaga
dalam-nya segera dikerahkan. Sehingga, mendadak
tubuhnya berhenti meluncur. Malah kini, di bawah se-
pasang kakinya tampak dua kubangan yang membuat
tubuhnya bagai terpantek kokoh.
Di lain pihak, tubuh Dayang Lembah Neraka tak
bergeming sedikit pun. Hanya pakaiannya yang berki-
bar-kibar terkena hembusan angin dari pukulan yang
bentrok. Senyap beberapa saat.
Di antara Dayang Lembah Neraka dan Pendekar
Mata Keranjang 108, kini sama-sama saling diam. Sa-
lah satu tidak ada yang bersuara atau memulai seran-
gan. Hanya mata masing-masing saling menghujam.
Namun sesaat kemudian, tubuh Dayang Lembah Ne-
raka tampak bergetar hebat, seiring bergetarnya tanah
yang dipijak. Sekejap lain dahi perempuan tua ini be-
rubah berkerut-kerut. Sementara sekujur tubuhnya
mulai dibasahi keringat.
"Hsss...!"
Tidak berselang lama, terdengar desisan geram
dari mulut Dayang Lembah Neraka, karena tubuhnya
sedikit demi sedikit mulai bergoyang.
Di depan, Pendekar Mata Keranjang 108 secara
diam-diam menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga tanah di tempat itu bagai dilanda gempa berke-
kuatan dahsyat.
Melihat keadaan yang tidak menguntungkan,
Dayang Lembah Neraka segera menjajarkan kedua
tangan di depan dada. Lalu seketika disentakkannya
ke bawah. Maka terjadilah hal yang menakjubkan. Ge-
taran-getaran hebat di sekitarnya mendadak berhenti.
Dan tubuhnya kini kembali kokoh tegak.
Mendapati perempuan tua itu berhasil meredam,
Aji kembali menambah tekanan tenaga dalamnya. Se-
hingga, tanah di sekitar tempat Dayang Lembah Nera-
ka kembali berguncang. Untuk beberapa waktu pe-
rempuan ini memang masih mampu membendung.
Tapi itu tidak lama.
"Heaaa...!"
Ketika Pendekar Mata Keranjang 108 membentak
keras, tubuh Dayang Lembah Neraka oleng. Bahkan
mulai bergerak ke atas, tercabut dari dalam tanah!
"Hih...! Wuuut...!"
Saat demikian itulah, secara tiba-tiba Pendekar
Mata Keranjang 108 menghantamkan kedua tangan-
nya ke depan, melepaskan pukulan jarak jauh.
Wuuss! Wuuuss!
Dua rangkum angin menderu menggemuruh dan
bergelombang, menyambar keluar dari kedua tangan
Pendekar Mata Keranjang 108. Sambaran angin itu te-
rus menyapu deras ke arah Dayang Lembah Neraka,
kedua kakinya kini telah terangkat dari dalam tanah.
Namun, sepasang mata Pendekar Mata Keranjang
108 tiba-tiba membeliak besar melihat apa yang terja-
di.
"Hiaaa...!"
Didahului teriakan bagai merobek langit, satu
depa lagi serangan Pendekar Mata Keranjang 108 yang
berisi tenaga dalam tinggi menghantam, Dayang Lem-
bah Neraka merentangkan kedua tangannya. Dan di
sekejap itu juga, tubuhnya tiba-tiba melenting tinggi ke
udara, membuat serangan Pendekar Mata Keranjang
108 yang berhawa maut hanya menghajar tempat ko-
song!
Malah begitu Dayang Lembah Neraka berhasil
berkelit, dari udara tubuhnya berbalik sambil mele-
paskan pukulan tiga kali berturut-turut dengan gera-
kan aneh, seperti orang memperagakan tarian patah-
patah.
Wuutt! Wuutt!
Gumpalan gelombang yang menebar hawa panas
menukik deras dari udara. Hebatnya, belum sampai
gumpalan gelombang itu menggebrak, terdengar letu-
pan perlahan. Di sekejap lain gumpalan gelombang itu
pecah berantakan, menyambar bersiutan ke sana ke-
mari dari segala jurusan. Namun semuanya mengarah
pada satu titik, yakni tubuh Pendekar Mata Keranjang
108!
"Jangkrik! Rupanya dia masih menyimpan ilmu.
Apa boleh buat! Aku terpaksa menggunakan kipas un-
tuk menghalau gelombang yang seperti hujan jahanam
ini...!" rutuk batin Aji, seraya cepat menyabut kipas
dari balik bajunya. Dan secepat kilat pula dikebutkan-
nya secara berputar-putar di atas kepala.
Wuutt! Wuutt! Tarrr...!
Pecahan-pecahan gelombang berwarna hitam ser-
ta merta berhamburan mental. Namun di pihak lain,
Dayang Lembah Neraka menambah sentakan-sentakan
tangannya, Akibatnya gelombang berwarna hitam itu
tak henti-hentinya menyambar.
"Busyet! Aku tak bisa bertahan begini terus-
terusan. Karena pecahan gelombang ini bertambah
banyak, sumber penggerak darinya harus dilumpuh-
kan dulu...!"
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berkelebat cepat menjauh dari kurungan peca-
han gelombang. Aji tahu, meski gelombang itu hanya
pecahan-pecahan, namun akibat yang ditimbulkannya
sangat hebat. Buktinya tanah di sekitar tempat itu kini
banyak membentuk lobang sebesar satu genggaman
tangan, terhajar pecahan gelombang hitam yang mene-
rabas. Bahkan karena begitu gencarnya sentakan tan-
gan Dayang Lembah Neraka, udara di tempat itu men-
jadi redup!
Sebelum kehilangan lawan yang tertutup gumpa-
lan-gumpalan gelombang, dan sebelum pecahan-
pecahan gelombang itu ada yang menghantam, Pende-
kar Mata Keranjang 108 bertindak cepat. Tangan ka-
nannya memutar-mutar kipas lebih cepat, sementara
tangan kiri menghantamkan ke udara.
Wusss...!
Tiba-tiba udara redup yang melingkupi tempat
itu terkuak sinar putih, membuat suasana seketika ja-
di terang benderang. Inilah pertanda Pendekar Mata
Keranjang 108 telah melepaskan pukulan sap kelima.
"Bayu Cakra Buana!" sentak Tengkorak Berjubah
tanpa sadar dari tempatnya berdiri, ketika melihat apa
yang terjadi.
"Aaa...!"
Belum habis rasa terkejut Tengkorak Berjubah,
terdengar jeritan keras. Bersamaan dengan itu, dari se-
la-sela gelombang hitam yang masih saja menyambar
turun, menukik deras tubuh Dayang Lembah Neraka!
Brak!
Keras sekali tubuh Dayang Lembah Neraka ter-
banting di atas tanah, tanpa dapat bergerak lagi. Aki-
batnya, ketika sambaran pecahan gelombang dari se-
rangannya sendiri menghajar tubuhnya, dia tidak bisa
menghindar.
Darrr...! Darrr...!
"Aaa...!"
Tubuh Dayang Lembah Neraka kontan tersambar
pecahan-pecahan gelombang warna hitam. Terdengar
beberapa kali jeritan. Begitu suaranya terhenti, tubuh-
nya telah hangus dengan kulit mengelupas!
Melihat Dayang Lembah Neraka tewas, Tengkorak
Berjubah tersenyum. Dan sebelum senyumnya lenyap,
tubuhnya segera berkelebat sambil menghentakkan
kedua tangannya ke arah Pendekar Mata Keranjang
108.
"Hih...!"
Wesss...!
Angin deras segera menyapu, mengeluarkan kila-
tan-kilatan menggidikkan. Pada saat yang sama, sosok
Tengkorak Berjubah melesat cepat ke arah samping
sambil menunggu. Bahkan telah siap pula melepaskan
pukulan beruntun.
"Hiaaa...!"
Aji sedari tadi memang telah mewaspadai gerak-
gerik Tengkorak Berjubah. Maka disertai bentakan ke-
ras, tubuhnya langsung menerjang ke samping, me-
nyongsong langkah Tengkorak Berjubah sambil meng-
hindari serangan. Dan seketika tangan kanannya men-
gibaskan kipas ungu. Sementara tangan kiri melepas
pukulan Bayu Cakra Buana.
Werrr...!
Tengkorak Berjubah menggerutukkan tulang ra-
hangnya. Sinar berkilau keputihan yang melesat me-
nyambar dari tangan kiri Pendekar Mata Keranjang
108, segera disambut dengan hantaman tangan kiri
dan ka-nan.
Wuuut! Wuuut...!
Darr! Daarr!
Dua kali ledakan segera menggulung sekitarnya.
Tanah yang tadi sudah porak poranda semakin beran-
takan, membubung ke udara menutupi pemandangan.
Saat demikian, Tengkorak Berjubah yang tubuhnya
sempat terhuyung-huyung ke belakang akibat bentro-
kan pukulan, segera melesat ke udara. Begitu berada
di udara jubah hitamnya dikibaskan. Lalu secepat itu
pula dibuatnya gerakan salto beberapa kali. Maka, ti-
ba-tiba saja tubuhnya melayang turun menerjang ke
arah Pendekar Mata Keranjang 108!
Werrr...!
Kibasan jubah Tengkorak Berjubah memang bu-
kan kibasan biasa, karena disertai tenaga dalam kuat.
Maka saat itu juga angin kencang segera melesat,
mengarah pada Pendekar Mata Keranjang 108.
Melihat serangan beruntun Tengkorak Berjubah,
Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut. Namun
dia segera melompat ke samping, menghindari samba-
ran angin jubah hitam. Nyatanya sambaran itu me-
mang hanya lewat disampingnya. Namun baru saja Aji
berhasil menghindar, kaki Tengkorak Berjubah tiba-
tiba sudah menghantam ke arah dadanya.
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berteriak keras ke-
tika kaki Tengkorak Berjubah mampir di dadanya. Tu-
buhnya mencelat hingga beberapa tombak dan jatuh
berdebuk di tanah. Perlahan Aji merambat bangkit.
Da-rah segar muntah dari mulutnya.
Sementara Tengkorak Berjubah menyeringai. Ka-
kinya lantas melangkah mendekati Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
"Bocah! Nyawamu sudah berada di ujung tanduk.
Sebelum tubuhmu hancur, lekas serahkan kipas itu.
Sekalian dengan bumbung bambu yang pasti kau sim-
pan! Jika kau menuruti kehendakku, nyawamu masih
bisa kuampuni!" ujar Tengkorak Berjubah, pongah.
"Tua jahanam! Jangan disangka bisa menda-
patkan kipas ini, sebelum kau benar-benar melihat
mayatku!" teriak Pendekar Mata Keranjang 108 marah
seraya bangkit.
Baru saja tubuh Pendekar Mata Keranjang 108
tegak, Tengkorak Berjubah mengeluarkan lenguhan
keras. Lalu tubuhnya melesat. Setelah membuat gera-
kan berputar beberapa kali di udara, sepasang kakinya
yang tertutup jubah hitam menukik deras ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108!
Dengan gerakan mengagumkan, Pendekar Mata
Keranjang 108 merebahkan tubuhnya sejajar tanah.
Weess! Weess!
Terjangan sepasang kaki Tengkorak Berjubah
hanya menghantam tempat kosong di atas tubuh Aji.
"Keparat!" maki Tengkorak berjubah.
Laki-laki berwajah tengkorak ini segera memutar
tubuhnya. Kini tubuhnya menyusur tanah dengan
kencang. Sepasang kakinya lurus, mengarah ke tubuh
Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih telentang.
Karena waktu untuk menghindar tidak ada, den-
gan cepat Aji memiringkan tubuh. Pada saat yang sa-
ma kedua kakinya diangkat dan ditekuk di depan da-
da. Dan begitu terjangan kaki lurus Tengkorak Berju-
bah satu depa lagi menghempas, kakinya cepat dilu-
ruskan untuk memapak.
Brakk! Brakk!
"Aaa...!"
"Aaakh...!"
Terdengar dua kali benturan keras, disusul ter-
dengarnya seruan dua kali. Ternyata baik Tengkorak
Berjubah maupun Pendekar Mata Keranjang 108 sa-
ma-sama kesakitan.
Sementara itu tubuh Tengkorak Berjubah tam-
pak mental balik. Kuat sekali tubuhnya terjungkal di
tanah lalu bergulingan beberapa kali. Sedangkan tu-
buh Pendekar Mata Keranjang 108 terbalik dengan ke
pala lebih dahulu menyuruk tanah.
Tengkorak Berjubah segera bangkit. Sepasang
matanya berkilat membeliak. Tulang pelipisnya berge-
rak-gerak keras.
"Heangg...!"
Didahului bentakan sengau, tubuh Tengkorak
Berjubah membuat lompatan-lompatan. Dan menda-
dak dia bergulingan di atas tanah dengan cepat. Begitu
tiga tom-bak di depan Pendekar Mata Keranjang 108,
tubuhnya berhenti. Dan dalam keadaan miring, kedua
tangannya dihantamkan.
Weess! Weess!
Dua gelombang angin laksana gelombang berge-
muruh langsung menghantam ke depan.
Di lain pihak, Pendekar Mata Keranjang 108 se-
gera menghentakkan kipasnya melengkung di depan
dadanya. Sedangkan tangan kiri melepas pukulan
'Bayu Cakra Buana'.
Wesss...!
"Heh?!"
Sepasang mata Tengkorak Berjubah tiba-tiba ter-
belalak lebar dengan wajah mengisyaratkan kecema-
san. Karena serangannya mendadak bagai tertahan
dan mengapung di udara. Sementara itu, lesatan sinar
putih bagai tak terbendung lagi menerobos gelombang
angin sentakan tangannya dan terus melesat cepat.
Tengkorak Berjubah berusaha menghindar, na-
mun gerakannya terlambat. Hingga....
Dess...!
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh laki-laki berwajah tengko-
rak ini tergeser jauh ke belakang dengan jubah berde-
rik robek-robek. Dari tulang bibirnya mengalir darah
kehitaman pertanda terluka dalam amat parah.
Hebatnya, meski keadaannya sudah tak me
mungkinkan lagi, Tengkorak Berjubah segera bangkit.
Dan dengan sisa-sisa tenaganya. Tubuhnya melesat
sambil mengeluarkan bentakan-bentakan sengau dah-
syat.
Karena tenaganya sudah terkuras, membuat
Tengkorak Berjubah hanya mengandalkan sepasang
tangan dan kakinya untuk menghantam sambil menu-
bruk.
Diam-diam Pendekar Mata Keranjang 108 yang
telah bangkit pula tercengang. Sungguh tidak disangka
jika manusia tanpa kulit ini memiliki ketahanan tubuh
yang sangat tangguh. Karena sampai saat ini, belum
ada seorang pun yang bisa selamat dari pukulan 'Bayu
Cakra Buana'.
Maka secepat itu pula Pendekar Mata Keranjang
108 cepat menakupkan kedua tangannya di depan da-
da dengan kipas terkembang. Dan begitu tubuh Teng-
korak Berjubah melabrak, kipasnya disentakkan. Se-
mentara kaki kanannya diangkat ke atas. Lalu....
Dess! Desss! Prak!
"Aaakh...!"
Tulang wajah Tengkorak Berjubah kontan tanggal
berantakan. Namun tak urung juga sepasang tangan-
nya masih sempat menangkap leher Pendekar Mata
Keranjang 108, dan menyentakkannya ke samping.
Hingga sekejap kemudian, tampak dua sosok tubuh
sama-sama terbanting dan terkapar di atas tanah.
Yang pertama sosok Tengkorak Berjubah yang
terkapar dengan wajah cerai berai tidak bernyawa lagi.
Sementara sosok satunya, Pendekar Mata Keranjang
108 yang terkapar dengan tangan kiri memegangi le-
hernya yang tampak membiru dan terasa panas!
***
DUA
Langit di atas Singasari terhalangi arak-arakan
awan hitam dan tebal. Nun jauh di ujung sebelah ba-
rat, sesekali terdengar gelegar bersahutan diiringi kila-
tan-kilatan. Sekejap suasana sedikit terang, namun se-
telah itu cuaca semakin hitam kelam dan mencekam.
Angin berhembus kencang, membawa udara dingin
menusuk tulang.
Di dalam sebuah ruangan yang terletak di bagian
belakang Candi Singasari, dua sosok tampak berdiri
saling berhadapan. Ruangan ini tampak lengang, ka-
rena hanya berisi sebuah ranjang besar yang tertata
rapi dan sebuah penerangan lampu teplok. Karena
ruangan itu agak besar, membuat sinar lampu tak
mampu menerobos seluruh ruangan. Sehingga suasa-
na tampak remang-remang.
Sebuah tangan kekar sesekali bergerak mengu-
sap-usap dagu yang kokoh, Sementara sepasang ma-
tanya tak berkedip memandang ke depan, dengan so-
rot jalang dan liar penuh nafsu.
Yang memiliki tangan kekar dan dagu kokoh ser-
ta mata jalang adalah seorang pemuda tampan. Tu-
buhnya terbungkus jubah toga hitam merah menyala,
yang di pinggangnya tampak terselip sebuah kipas li-
pat berwarna hitam. Tubuhnya tegap. Bibirnya sering
mengumbar senyum seringai. Pemuda ini tak lain ada-
lah Malaikat Berdarah Biru.
Sementara yang di hadapan Malaikat Berdarah
Biru adalah seorang gadis muda berwajah cantik. Tu-
buhnya yang ramping sekal, dibungkus baju warna
merah tanpa lengan. Pakaian bawahnya dibuat mem-
belah di bagian samping. Hingga meski hanya diterangi
cahaya temaram, kulit pahanya yang putih mulus ter
lihat jelas. Bahkan makin mengundang hasrat. Ram-
butnya yang ikal panjang dikuncir ke atas, menam-
pakkan lehernya yang jenjang. Dadanya kencang
membusung, dengan pinggul besar menantang. Siapa
lagi gadis ini kalau bukan Bayangan Seribu Wajah.
"Malaikat Berdarah Biru!" panggil Bayangan Seri-
bu Wajah, setelah lama mereka terkekang kebisuan.
"Tadi aku sudah menceritakan tentang perjalananku
dengan Bayangan Iblis, gurumu. Memang itulah ke-
nyataannya. Kami berdua tak bisa mengorek keteran-
gan dari mulut perempuan setan kakak sepergurua-
nku tentang di mana Pendekar Mata Keranjang 108
berada. Jadi, terpaksa kita harus melacaknya sendiri!"
Senyum seringai Malaikat Berdarah Biru menye-
ruak keluar. Namun matanya tak juga beranjak dari
lekuk-lekuk tubuh gadis di depannya.
"Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah nya-
tanya hanya besar gelar! Mengorek keterangan saja tak
berhasil...!" rutuk batin Malaikat Berdarah Biru.
Setelah puas menatap tubuh, kini mata Malaikat
Berdarah Biru beralih ke wajah Bayangan Seribu Wa-
jah.
"Bayangan Seribu Wajah...," panggil pemuda mu-
rid Bayangan Iblis. "Benar apa katamu. Kita harus me-
lacak sendiri Pendekar Mata Keranjang 108. Karena
aku juga sudah cemas, Sepasang Iblis Pendulang
Sukma, Tengkorak Berjubah, Dayang Lembah Neraka,
serta Putri Tunjung Kuning seharusnya telah kembali
ke sini.... Apakah mungkin mereka menipuku!"
Bayangan Seribu Wajah tersenyum seraya me-
renggangkan kedua kakinya, membuat sepasang pa-
hanya lebih terlihat: Seketika mata Malaikat Berdarah
Biru beralih menjilati paha yang putih menantang itu,
hingga makin terbeliak.
"Malaikat Berdarah Biru...! Persoalan menghada
pi Pendekar Mata Keranjang 108, seharusnya kau ti-
dak menyerahkan begitu saja pada mereka-mereka.
Meski kemampuan mereka tak diragukan lagi, namun
untuk menghadapi manusia berjuluk Pendekar Mata
Keranjang 108, kurasa tidak bakal mampu. Bahkan....
"
"Bayangan Seribu Wajah...!"
Belum habis Bayangan Seribu Wajah bicara, Ma-
laikat Berdarah Biru sudah mengelak sambil mema-
lingkan wajahnya.
"Dalam masalah ini, aku lebih tahu daripada kau!
Harap kau jangan menggurui ku!" lanjut Malaikat Ber-
darah Biru.
Air muka Bayangan Seribu Wajah merah padam.
"Anak ini angkuh dan bermulut besar. Sean-
dainya bukan murid dari Bayangan Iblis, sudah ku-
tampar mulutnya. Namun demikian, di balik itu dia
memang pemuda yang menggoda. Tubuhnya tegap ke-
kar dengan tangan kokoh. Hmm.... Di atas tempat ti-
dur pastilah mengasyikkan...," desah batin Bayangan
Seribu Wajah.
Membayangkan hal-hal yang memabukkannya,
raut wajah Bayangan Seribu Wajah tiba-tiba berubah.
Senyumnya mengembang. Dadanya sengaja dibusung-
kan.
"Malaikat Berdarah Biru.... Aku tak berniat
menggurui mu. Namun, aku hanya mengingatkan mu.
Kau terima boleh, tidak pun tidak apa-apa. Ngg..., ka-
lau sudah tak ada yang perlu dibicarakan lagi, aku
akan menemui gurumu untuk membicarakan langkah
apa selanjutnya...," kata gadis cantik ini dengan suara
perlahan, se-olah-olah mendesah.
Sebelum berbalik, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling. Lalu kakinya melangkah hendak pergi. Tapi
langkahnya tertahan, tatkala tangan kokoh Malaikat
Berdarah Biru terasa memegang pundaknya dari bela-
kang.
"Tunggu...," ujar Malaikat Berdarah Biru seraya
memperkeras cekalannya pada pundak Bayangan Se-
ribu Wajah.
"Auuuww...!"
Bayangan Seribu Wajah menjerit tertahan, na-
mun berkesan manja.
"Bayangan Seribu Wajah.... Soal itu, bisa dibica-
rakan nanti. Kalau boleh aku tahu, benarkah ucapan-
mu tentang bumbung bambu yang kini berada di tan-
gan Pendekar Mata Keranjang 108 itu berisi jurus-
jurus hebat?" tanya Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah berpaling. Sejenak sepa-
sang matanya menusuk tajam ke bola mata Malaikat
Berdarah Biru yang tampak berkilat meredam amukan
nafsu. Disertai senyum, kepalanya lantas mengangguk
perlahan.
Malaikat Berdarah Biru melepaskan cekalan pada
pundak Bayangan Seribu Wajah. Tangannya diangkat,
lalu diusap-usapnya pada ujung dagu gadis itu. Se-
mentara, matanya menyengat tajam ke dada montok
menantang di depannya.
"Jika demikian, besok pagi aku akan mencari je-
jak Pendekar Mata Keranjang 108. Aku hanya memer-
lukan kipasnya. Bumbung bambu akan kuserahkan
padamu...," kata Malaikat Berdarah Biru.
Gadis di hadapan Malaikat Berdarah Biru mem-
belalakkan matanya, seakan terkejut tak percaya.
"Kau akan merebut bumbung bambu...?" tanya
Bayangan Seribu Wajah.
"Benar. Aku akan merebutnya dari tangan mu-
suhku untukmu!" tegas Malaikat Berdarah Biru diser-
tai anggukkan kepala.
Wajah Bayangan Seribu Wajah makin cerah. Sebagai luapan kegembiraan, tiba-tiba saja Bayangan Se-
ribu Wajah memeluk Malaikat Berdarah Biru. Wajah-
nya langsung direbahkan di dada bidang pemuda ini.
Dadanya yang kencang menantang ditekankan rapat-
rapat, membuat hasrat kelaki-lakian Malaikat Berda-
rah Biru semakin menggelegak.
"Kau tidak berdusta...?" desah Bayangan Seribu
Wajah mengusap punggung Malaikat Berdarah Biru.
Malaikat Berdarah Biru tidak buka mulut. Seba-
gai jawaban kedua tangannya dikatupkan ke pung-
gung Bayangan Seribu Wajah. Sementara wajahnya
bergerak turun ke kuduk gadis dalam rangkulannya
kini. Lalu dengan napas menghembus panjang, kuduk
gadis ini diciuminya.
Bayangan Seribu Wajah menggelinjang seraya
menengadahkan wajahnya. Saat itulah wajah Malaikat
Berdarah Biru segera menyergap, memagut bibir me-
rah menantang milik gadis ini.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah cukup lama tenggelam dalam amukan samude-
ra asmara. Apalagi didukung oleh suasana temaran
dan malam dingin yang berhembus menusuk. Sehing-
ga, membuat keduanya seakan segan untuk mele-
paskan pelukan satu sama lain. Hingga tatkala sang
surya sudah menampakkan diri dari ufuk timur, me-
reka masih terlelap kelelahan setelah mengarungi sa-
mudera asmara.
Namun, mendadak terasa getaran-getaran di
ruangan itu. Sebagai orang yang berilmu tinggi, Malai-
kat Berdarah Biru cepat membuka sepasang matanya.
Lalu, secepat kilat pakaian yang berserakan disambar-
nya. Cepat kipasnya dilepitkan. Saat itu juga tubuhnya
berkelebat keluar dari ruangan.
Tapi mendadak langkah Malaikat Berdarah Biru
berhenti. Matanya terbelalak besar, dengan senyum seringai tak senang.
"Setan buntung! Mengganggu kesenangan saja!"
rutuk Malaikat Berdarah Biru begitu tahu apa yang
menyebabkan getaran-getaran tadi terjadi.
Ternyata, di ruangan tengah tampak Bayangan
Iblis, guru Malaikat Berdarah Biru sendiri. Perempuan
tua itu tengah duduk bersila dengan kedua tangan
menakup di depan dada. Matanya yang cekung menga-
tup rapat. Sementara bibirnya bergerak-gerak seperti
mengucapkan sesuatu.
Malaikat Berdarah Biru melangkah mendekat.
Dan baru saja mulutnya membuka hendak berkata,
sang guru telah membuka kelopak matanya. Diberinya
isyarat agar sang murid tidak meneruskan niatnya.
Malaikat Berdarah Biru yang telah tahu apa yang
sedang dilakukan gurunya segera mengatupkan kem-
bali mulutnya. Padahal, dalam hati dia mengutuk ha-
bis-habisan. Wajahnya cepat dipalingkan, memandang
jurusan lain sambil menunggu dengan perasaan tak
senang.
"Apa lagi yang diperoleh dalam semadinya kali
ini...? Tapi, baiklah. Akan kutunggu saja...," kata batin
Malaikat Berdarah Biru seraya kembali memandang
pada Bayangan Iblis.
Pada saat itulah Bayangan Iblis melambaikan
tangan, memberi isyarat agar Malaikat Berdarah Biru
mendekat. Dengan langkah berat pemuda ini menuruti
isyarat itu dan duduk di hadapan gurunya.
"Muridku.... Kau jangan kecewa jika aku menga-
takan sesuatu yang tak berkenan di hatimu...," ujar
Bayangan Iblis.
Sebentar perempuan tua itu menghentikan uca-
pannya. Ditariknya napas dalam-dalam dan dihem-
buskannya kuat-kuat.
Malaikat Berdarah Biru mengeluarkan gumaman
tak jelas. Dahinya berkerut, seakan-akan menduga-
duga.
"Jangan berbelit-belit. Katakan saja...!" ujar Ma-
laikat Berdarah Biru agak keras, seolah-olah tidak be-
rada di hadapan gurunya.
Bayangan Iblis menatap tajam muridnya seben-
tar.
"Orang-orang yang kau tugaskan untuk membu-
ru Pendekar Mata Keranjang 108, rupanya sedang
mengalami nasib jelek. Mereka tak berhasil. Malah se-
karang hanya tinggal Putri Tunjung Kuning yang ma-
sih membawa nyawa di hadapannya!" jelas Bayangan
Iblis.
Meski terkejut bukan alang kepalang, namun Ma-
laikat Berdarah Biru mencoba menahannya dengan
senyum. Dia diam untuk beberapa lama, menampak-
kan sikap biasa-biasa saja.
"Muridku...!" lanjut Bayangan Iblis. "Dalam mata
batin ku, aku mendapat firasat jelek...."
"Guru!" selak Malaikat Berdarah Biru. "Apa hidup
ini hanya akan ditentukan oleh firasat-firasat yang be-
lum tentu benar? Hal itu hanya akan membuat kita
bodoh, dan takut berbuat sesuatu. Kitab dan kipas
pusaka telah berada di tanganku. Dan aku tak akan
percaya dengan segala macam firasat!"
Bayangan Iblis batuk beberapa kali. Lalu kepa-
lanya mendongak menghadapkan wajahnya ke langit-
langit ruangan.
"Kau benar, Muridku. Namun, satu hal yang per-
lu kau ketahui. Selama hidupku yang sudah hampir
seratus tahun ini, firasat ku tak pernah meleset! Den-
garlah! Ingat! Kau hanya perlu mendengar. Soal per-
caya atau tidak, itu urusan nanti...!" tegas Bayangan
Iblis sambil tetap memandangi langit-langit.
Malaikat Berdarah Biru mengangkat bahunya,
menyembunyikan rasa jengkel dan geram. Namun de-
mikian, dia tak hendak membantah. Seakan disadari,
bahwa ucapan orang tua di hadapannya memang ada
benar-nya.
"Muridku...," lanjut Bayangan Iblis setelah meli-
hat muridnya menyadari arti ucapannya. "Kau melihat
arak-arakan awan hitam bergelombang, melingkupi
langit. Sehingga, suasana bumi menjadi hitam pekat.
Namun tiba-tiba saja arakan awan hitam itu menguak,
dengan menerobosnya sebuah larikan-larikan kilatan
putih. Bahkan tak lama kemudian, arakan awan hitam
itu lenyap bagai tertelan kilatan-kilatan putih. Saat
demikian itulah, aku melihat jelas sosok manusia du-
duk di atas arakan awan hitam yang mulai menipis
pudar...."
"Siapa manusia itu, Guru...?!" desak Malaikat
Berdarah Biru tak sabar.
Perempuan tua itu tidak segera menjawab. Wa-
jahnya kini berpaling, memandang muridnya.
"Aku sebenarnya hampir tak percaya, kalau dia
yang duduk...," jawab Bayangan Iblis.
"Guru! Siapa orangnya? Apakah musuhku, Pen-
dekar Mata Keranjang 108?" desak Malaikat Berdarah
Biru lagi.
Bayangan Iblis menggeleng perlahan.
"Dia adalah kakak seperguruan Bayangan Seribu
Wajah! Perempuan tua aneh yang tak mau menye-
butkan namanya sendiri. Dan perempuan tua yang te-
lah menyerahkan bumbung bambu pada Pendekar Ma-
ta Keranjang 108!" jelas Bayangan Iblis.
Malaikat Berdarah Biru kepalkan kedua tangan-
nya. Lalu dipukulkannya tangan itu satu sama lain,
menumpahkan rasa marah. Dagunya yang kokoh se-
makin kencang dengan pelipis bergerak-gerak.
"Muridku.... Kau telah tahu. Meski aku dan
Bayangan Seribu Wajah telah berhasil mengalahkan
perempuan tua itu, namun kami berdua tak berhasil
menewaskannya...," kata Bayangan Iblis lagi.
"Hmm.... Apakah ucapanmu sebagai ungkapan
bahwa aku harus mencari sekaligus membuatnya jadi
mayat?!" tukas Malaikat Berdarah Biru dengan nada
tinggi.
Bayangan Iblis tersenyum. Mulutnya yang selalu
bergerak-gerak seakan-akan mengunyah sesuatu yang
tak habis-habisnya, mendadak berhenti.
"Sebenarnya tidak ada artinya membunuh pe-
rempuan tua itu. Dia hanyalah perlambang, bahwa
benda dari dirinyalah yang membuat keadaan hitam
pekat itu menjadi terang kembali...."
"Apa maksudmu, Guru?!"
"Bumbung bambu yang diberikannya pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108, itulah yang sebenarnya
pangkal dari cahaya putih itu!" jelas Bayangan Iblis.
Saat itu juga, Malaikat Berdarah Biru terdiam.
Kali ini perasaan cemas dan khawatir tak bisa disem-
bunyikan dan terpancar jelas dari raut wajahnya.
"Lantas apa yang harus kita lakukan sekarang,
Guru?!" tanya Malaikat Berdarah Biru dengan suara
bergetar.
"Kita korek kembali keterangan dari mulut pe-
rempuan tua itu! Aku merasa dia masih menyimpan
sesuatu. Dan lain dari itu, firasat ku mengatakan Pen-
dekar Mata Keranjang 108 juga akan menemuinya...,"
sahut Bayangan Iblis.
"Tapi di mana kita akan menemukannya? Bu-
kankah tempatnya telah kau hancurkan?" tanya Ma-
laikat Berdarah Biru lagi.
"Hmm.... Soal di mana tempatnya, Bayangan Se-
ribu Wajah yang pasti tahu. Bangunkan dia. Kita be-
rangkat sekarang juga! Tapi, kau harus keramas dahu
lu. Baumu bukan seperti biasanya...."
Wajah Malaikat Berdarah Biru merah padam. Dia
cepat berdiri, lalu segera berkelebat meninggalkan
Bayangan Iblis. Sementara perempuan tua ini terse-
nyum sambil menggeleng-geleng.
***
TIGA
Puncak Bukit Watu Dakon terbungkus kabut ti-
pis pagi hari. Bangunan batu yang berdiri kokoh di
puncaknya sepi bagai tak berpenghuni. Padahal, di da-
lamnya tampak beberapa orang perempuan gundul
berpakaian hijau-hijau tengah hilir mudik. Raut muka
mereka menampakkan rasa kecemasan.
Di sebuah ruangan dalam, tampak seorang gadis
muda berwajah cantik tengah duduk dengan wajah re-
dup. Rambutnya panjang. Kulitnya yang putih ter-
bungkus pakaian tipis berwarna putih. Begitu tipisnya,
membuat lekuk tubuhnya yang membentuk indah ter-
lihat sangat mempesonakan. Namun ada satu kejang-
galan. Meski raut wajahnya cantik, kedua tangannya
ternyata hitam legam dan berbulu.
Sepasang mata gadis ini tak henti-hentinya me-
mandang ke depan, ke arah ranjang besar yang di
atasnya tergolek sesosok tubuh yang ternyata seorang
perempuan tua. Pakaiannya compang-camping. Raut
wajahnya menakutkan. Karena, di bawah sepasang
matanya tak terlihat tonjolan hidung. Rambutnya pu-
tih dan awut-awutan. Sekujur tubuhnya tampak
membiru dengan darah mengering terlihat di sekitar
telinga dan mulutnya yang tipis. Napas perempuan ini
berhembus pelan-pelan, dan sesekali terdengar batuk
batuk kecil. Melihat keadaannya, dia sedang terluka
parah.
Gadis cantik yang bertangan hitam dan berbulu
itu tak lain adalah Ratu Pualam Putih. Dia melangkah
mendekati ranjang. Sepasang matanya yang bulat ber-
binar, berkaca-kaca. Sementara bahunya tak jarang
naik turun menahan isak.
Mendengar langkah-langkah halus dan isakan
tertahan, perempuan tua di atas ranjang yang tak lain
perempuan tak bernama itu membuka kelopak ma-
tanya. Sejenak mata perempuan tua guru Ratu Pualam
Putih ini memandang ke atas. Lalu matanya beralih ke
samping, tempat gadis itu berdiri. (Tentang Ratu Pua-
lam Putih, silakan baca serial Pendekar Mata Keran-
jang 108 dalam episode: "Persekutuan Para Iblis").
"Guru...," sebut Ratu Pualam Putih perlahan.
"Bagaimana keadaanmu...?"
Setelah mengatur napas dan batuk kecil berulang
kali, perempuan tua itu tersenyum. Padahal, tampak
benar kalau senyum itu sangat dipaksakan.
"Kadarwati...," kata perempuan tua itu memang-
gil nama asli Ratu Pualam Putih. "Kau tidak usah ce-
mas begitu rupa. Keadaanku sudah membaik. Dan se-
cepatnya aku akan meninggalkan tempatmu ini...."
"Tapi, Guru...."
Belum selesai Ratu Pualam Putih meneruskan
ucapannya, perempuan tua itu menggeleng perlahan.
"Sudah kukatakan, keadaanku sudah baik. Aku
tak mau membuatmu repot. Lagi pula, orang yang
mencelakai ku pasti akan terus memburu ku. Dan itu
berarti, kau...."
"Perempuan setan! Aku tahu kau ada di dalam.
Lekas keluar! Jika tidak, tempat ini akan kami han-
curkan!"
Perempuan tua itu menghentikan kata-katanya.
Karena dari arah luar terdengar bentakan keras men-
gancam.
Jelas, ucapan bernada ancaman itu dikeluarkan
dari jarak jauh. Namun karena dikerahkan lewat tena-
ga dalam, maka suaranya menggema dan mengiang di
telinga setiap orang yang ada di dalam bangunan.
Beberapa anak buah Ratu Pualam Putih yang ada
dalam ruangan ini segera membentuk barisan, siap
hendak menyongsong keluar. Namun belum sampai
mereka bergerak, Ratu Pualam Putih telah memberi
isyarat pada anak buahnya untuk mengurungkan niat.
Gadis ini lantas berpaling ke belakang, memandang le-
kat-lekat pada gurunya yang telah berdiri dan mulai
melangkah hendak keluar.
"Kadarwati.... Jangan ikut campur masalah ini.
Biar aku sendiri yang menyelesaikan...!" ujar perem-
puan tak bernama setelah dekat dengan Ratu Pualam
Putih.
Ratu Pualam Putih menarik napas panjang, sea-
kan melepaskan beban berat yang menindih dadanya.
Wajahnya tampak menyiratkan kekecewaan.
"Guru! Bertahun-tahun aku kau didik. Budi ja-
samu padaku tidak bisa lagi dihitung. Sekarang, ku
mohon berilah kesempatan padaku untuk sedikit
membalas budi-mu!" ucap Kadarwati alias Ratu Pua-
lam Putih.
Perempuan tua berpakaian compang-camping ini
tersenyum kecut, lalu menggeleng.
"Muridku, aku bukannya tak mau dibantu. Na-
mun bukan sekarang waktunya!" tolak perempuan tua
itu.
"Aku tak mengerti maksudmu...."
"Sekarang mundurlah. Biar aku yang menghada-
pi mereka. Lagi pula, orang-orang di luar ini bukan
tandingan mu...," ujar perempuan tua ini.
Setelah berkata, perempuan tua berpakaian
compang-camping itu melesat keluar, diiringi tatapan
kosong Ratu Pualam Putih. Sedangkan gadis berwajah
cantik jelita ini masih tegak termangu agak lama. Tapi
perasaan khawatir yang begitu dalam terhadap gu-
runya membuat kakinya perlahan-lahan melangkah
keluar.
Sementara itu, begitu perempuan tak bernama
menjejakkan kakinya di luar, tiga sosok manusia lang-
sung mengurungnya. Sejenak matanya menyapu den-
gan tajam pada tiga orang yang mengurungnya. Nam-
paknya yang dikenalnya hanya dua orang. Yakni, pe-
rempuan tua berjubah dengan sorban hitam, yang mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak. Dia tak lain adalah
Bayangan Iblis. Seorang lagi adalah gadis berparas jeli-
ta. Pakaiannya warna merah. Dan dia tak lain adik se-
perguruannya sendiri yakni Bayangan Seribu Wajah.
Sedang yang tak dikenali adalah seorang pemuda
berwajah tampan. Badannya kekar, terbungkus jubah
toga merah menyala. Sesekali bibirnya mengembang-
kan senyum.
"Perempuan setan!" bentak Bayangan Iblis den-
gan mata membelalak. "Kali ini kau tak akan bisa lolos
lagi. Tapi hal itu masih bisa diatur, asalkan kau mau
mengatakan di mana pemuda berjuluk Pendekar Mata
Keranjang 108 itu!"
Wajah perempuan tak bernama berubah merah
padam.
"He... he... he...!"
Aneh! Meski baru saja diejek dengan sebutan
'perempuan setan', sesaat kemudian perempuan tua
ini malah tertawa mengekeh panjang.
Ternyata kekehan tawa itu bukan tawa biasa.
Buktinya sesaat kemudian tampak Bayangan Iblis dan
Bayangan Seribu Wajah memejamkan mata masing
masing sesaat, untuk mengerahkan tenaga dalam. Me-
reka berusaha menangkis suara mengiang keras yang
menusuk-nusuk gendang telinga. Sementara pemuda
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah
Biru tampak tenang. Bahkan tersenyum mengejek.
Begitu kekehan tawa perempuan tua itu terhenti,
Bayangan Iblis dan Bayangan Seribu Wajah saling ber-
pandangan. Mereka benar-benar sadar kalau lawan
dihadapi benar-benar tangguh. Belum lama ini, mere-
ka berdua telah berhasil membuat perempuan tak ber-
nama ini terluka parah. Tapi nyatanya, perempuan tua
itu masih mampu mengerahkan tenaga dalam tinggi.
Di pihak lain, perempuan tua juga sedikit terke-
jut. Karena dia sempat melihat kalau Malaikat Berda-
rah Biru tak terpengaruh sama sekali oleh tawanya.
"Hmm.... Siapa gerangan pemuda ini? Melihat si-
kapnya, ilmunya jelas lebih tinggi daripada Bayangan
Iblis dan Bayangan Seribu Wajah. Buktinya dia tak
terpengaruh sama sekali oleh tenaga dalam yang ku
keluarkan...," kata batin perempuan tua itu seraya
menatap Malaikat Berdarah Biru dengan sorot mata
menyelidik.
Pada saat yang sama, tiba-tiba Bayangan Iblis te-
lah berkelebat. Dan tahu-tahu dia telah berdiri tegak
lima langkah di hadapan perempuan tua itu.
"Kau jangan memaksaku, Bayangan Iblis! Sudah
kukatakan, aku tak tahu ke mana perginya pemuda
yang kau cari!" tegas perempuan tua itu, mendahului.
"Setan alas! Kau memang ingin mampus!" gertak
Bayangan Iblis.
Begitu tuntas kata-katanya, Bayangan Iblis lang-
sung meloncat sambil menghentakkan kedua tangan-
nya ke arah kepala perempuan tua itu.
Wesss...!
Begitu tiba-tiba dan cepat serangan Bayangan Iblis, namun perempuan tak bernama masih sempat
menghindar dengan menarik kepalanya ke samping.
Dan belum sampai perempuan tua itu kembali bersiap,
mendadak saja Bayangan Iblis menyusuli serangan
dengan terjangan kaki ke dada. Lalu....
Desss!
"Aaakh..,!"
Perempuan tak bernama itu berseru tertahan
dengan tubuh mencelat dua tombak ke belakang. Cu-
kup keras tubuhnya mencium tanah. Dan baru saja
dia hendak bangkit, Bayangan Seribu Wajah telah ber-
kelebat. Lalu, tahu-tahu sudah berdiri di sampingnya.
"Ratih!" seru perempuan tua itu setelah benar-
benar berdiri, menyebut nama asli Bayangan Seribu
Wajah. "Sadarlah. Meski kau runtuhkan langit dan ke-
ringkan lautan, bumbung bambu itu tak mungkin kau
dapatkan!"
Ratih atau Bayangan Seribu Wajah menyeringai.
Dan tanpa berkata-kata lagi kedua tangannya segera
dihantamkan ke arah perempuan tua.
Wesss...! Wesss...!.
Dua rangkum sinar merah segera meluncur dari
tangan Ratih, menggebrak kakak seperguruannya.
"Hiaaa...!"
Didahului bentakan melengking keras, perem-
puan tua itu cepat mengepakkan kedua tangannya.
Saat itu juga gumpalan asap putih yang menebar aro-
ma bunga tujuh warna segera mengepul. Namun se-
saat kemudian, kepulan asap itu mengeras. Bahkan ti-
ba-tiba saja melesat ke depan, memapak serangan la-
wannya.
Blarrr!
Seketika terdengar ledakan dahsyat. Tubuh
Bayangan Seribu Wajah tampak terpelanting dan jatuh
tersuruk di tanah. Namun sesaat kemudian dia telah
bangkit, meski mulutnya keluarkan caci maki tak ka-
ruan. Sudut bibirnya tampak menggenang darah. Tan-
gan kanannya merah melepuh. Dan nafasnya berhem-
bus tersengal.
Sementara perempuan tak bernama itu hanya
terseret dua langkah ke belakang dengan tubuh tetap
tegak kokoh. Bahkan secepat kilat kedua tangannya
dihantamkan. Dan kali ini yang jadi sasarannya adalah
Bayangan Iblis.
"Hih!"
Wesss...!
Angin deras bergemuruh dahsyat yang menebar-
kan aroma bunga tujuh warna kembali menggebrak ke
arah perempuan guru dari Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Iblis yang tak menyangka akan men-
dapat serangan sedikit terkejut. Secepat kilat tubuh-
nya dimiringkan.
Plashhh!
"Aaakh...!"
Namun sambaran serangan perempuan tua itu
masih sempat menghantam bahu sebelah kanan
Bayangan Iblis. Disertai keluhan tertahan, Bayangan
Iblis terbanting dan terjengkang jatuh. Jubah hitam-
nya tampak berlobang dan berbau sangit. Kedua ma-
tanya mendelik dengan napas tersengal-sengal. Namun
begitu, Bayangan Iblis tak mau menyerah begitu saja.
Secepatnya dia bergerak bangkit. Sejenak dipandang-
nya Bayangan Seribu Wajah. Diberinya isyarat dengan
angguk-anggukkan kepala Ratih.
Begitu anggukan kepala Bayangan Iblis berhenti,
Bayangan Seribu Wajah mendadak berkelebat. Pada
saat yang hampir bersamaan, Bayangan Iblis berkele-
bat.
Sekejap kemudian kedua tokoh sesat ini telah
berdiri berjajar dan langsung menghentakkan kedua
tangan ke depan bersamaan.
Werrr...!
Wesss...!
Larikan sinar merah hitam menghentak. Sua-
ranya menggemuruh, bagai ombak menggulung. Se-
mentara, perempuan tak bernama itu terbelalak. Dari
mulutnya terdengar seruan tertahan karena tercen-
gang. Rambutnya yang tipis dan awut-awutan tampak
berkibar-kibar. Demikian juga pakaiannya.
Mendapati serangan, perempuan tua ini segera
mengerahkan tenaga dalam sepenuhnya untuk mem-
bendung. Namun bagaimanapun tenaga dalamnya di-
kerahkan, dia hanya bertahan sebentar. Karena....
"Uhhh...!"
Tubuh perempuan tua yang memang masih ter-
luka dalam ini terseret mencelat ke belakang, lalu ja-
tuh terkapar begitu punggungnya yang bungkuk
menghempas sebatang pohon!
Beberapa lama perempuan tua ini terhenyak
dengan napas sesak. Sekujur tubuhnya terasa tegang
kaku dan remuk redam. Sepasang matanya menger-
jap-ngerjap perih. Telinganya berdengung-dengung
nyeri.
Sementara itu Bayangan Seribu Wajah dan
Bayangan Iblis saling berpandangan. Lalu mereka me-
langkah mendekati disertai tawa kemenangan. Se-
dangkan di belakang, Malaikat Berdarah Biru hanya
menyeringai, lalu meludah.
Ketika dekat dengan perempuan tua yang kini
duduk bersila menahan sakit, Bayangan Seribu Wajah
dan Bayangan Iblis menghentikan tawanya. Bayangan
Iblis lantas hendak merengkuh tubuh perempuan tua
ini, bermaksud menyeretnya.
"Hih...!"
Tiba-tiba saja perempuan tua ini melepaskan pu
kulan yang telah dialiri tenaga dalam tinggi.
Wesss!
"Awas serangan!" teriak Bayangan Seribu Wajah
memperingati.
Gumpalan asap segera melesat cepat dari telapak
tangan perempuan tak bernama ini mengeluarkan sua-
ra menggidikkan.
Namun karena jaraknya begitu dekat, membuat
Bayangan Iblis tak sempat lagi menghindar. Sehing-
ga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, serangan perempuan tua ini
telak menghantam dada Bayangan Iblis. Seketika guru
Malaikat Berdarah Biru ini terhumbalang sampai bebe-
rapa tombak ke belakang.
Begitu tubuh Bayangan Iblis berhenti dan terka-
par di atas tanah, Bayangan Seribu Wajah serta Malai-
kat Berdarah Biru tercengang. Sekujur tubuh Bayan-
gan Iblis tampak telah berubah kebiru-biruan. Dari
mata dan hidungnya keluar darah kehitaman. Pa-
kaiannya telah koyak di sana-sini. Dan dikala mencoba
merambat bangkit, tubuhnya kembali jatuh dan terka-
par tak sadarkan diri.
Melihat hal demikian, Bayangan Seribu Wajah
beringsut mundur dua tindak. Tubuhnya sedikit berge-
tar. Dia sepertinya tahu, tak akan mampu menghadapi
kakak seperguruannya ini sendirian. Meski, kakaknya
telah terluka parah.
Berpikir demikian, Bayangan Seribu Wajah ber-
paling pada Malaikat Berdarah Biru. Seakan tahu apa
yang ada di benak wanita ini, pemuda berbaju toga
merah ini segera berpaling dari tubuh gurunya. Wa-
jahnya tampak mengelam dengan pelipis bergerak-
gerak. Dagunya mengembung, dengan sepasang mata
berkilat-kilat menindih hawa amarah yang meluap.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras, Malaikat Berdarah Biru
berkelebat. Begitu menjejakkan kaki tak jauh dari
tempat perempuan tua, kedua tangannya segera di-
hantamkan, melepaskan dua pukulan sakti. Tangan
kanan melepas pukulan 'Serat Jiwa', sedang tangan ki-
ri melepas pukulan 'Badai Biru'.
Wess! Weess!
Dua larik sinar merah dan biru yang menebarkan
hawa panas menyengat segera menghajar ke arah pe-
rempuan tua. Sementara dari arah samping, Bayangan
Seribu Wajah tak tinggal diam. Tangannya juga segera
menghentak, melepas pukulan.
Wert...!
Kini perempuan tua itu terkurung larikan-larikan
sinar yang berhawa maut.
Disadari, jika tak dapat membendung seluruh se-
rangan, maka diputuskan untuk menangkis serangan
Malaikat Berdarah Biru. Karena diduga serangan pe-
muda ini lebih berbahaya.
"Hih...!"
Seketika perempuan tua ini menghantamkan ke-
dua tangannya ke depan. Sementara tubuhnya dimi-
ringkan hampir menyentuh tanah, untuk menghindari
serangan Bayangan Seribu Wajah yang menggebrak
dari samping.
Blarr! Blaarr!
Puncak Bukit Watu Dakon bagai dilanda gempa
dahsyat. Pohon-pohon di puncak bukit banyak yang
berderak, lalu bertumbangan. Tanah terbongkar hebat
dengan berubah menjadi hitam.
Sementara itu tubuh perempuan tua terseret ke
belakang. Sepertinya dia masih bisa bertahan, agar tak
terpelanting terkena bias bentrok pukulannya dengan
pukulan Malaikat Berdarah Biru. Namun gerakannya
untuk bertahan justru membuatnya lupa dengan se-
rangan Bayangan Seribu Wajah yang datang dari
samping. Tatkala dia sadar, datangnya sudah terlam-
bat. Dan....
Desss!
Saat itu juga serangan Bayangan Seribu Wajah
menghujam tepat ke dada perempuan tua itu. Tak ter-
dengar suara jeritan dari mulutnya, meski nampak
ternganga lebar! Yang terdengar hanya suara bergede-
bukan. Kemudian disusul tubuhnya yang bergulingan
di tanah.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah seketika membesarkan mata masing-masing.
Mereka hampir tak percaya dengan pandangannya
sendiri. Meski telah terluka parah dan baru saja ter-
hantam telak pukulan Bayangan Seribu Wajah, pe-
rempuan tua itu masih bisa merambat bangkit. Bah-
kan duduk, walau dengan tubuh lunglai.
Malaikat Berdarah Biru yang serangannya dapat
dibendung perempuan tua itu menggeram marah. Lan-
tas kakinya melangkah lebar-lebar ke arah perempuan
tua ini, tanpa lagi memandang. Dan dua tombak di
hadapan perempuan tua yang sudah nampak tak ber-
daya, langkahnya berhenti. Sejenak matanya meman-
dang tajam, lalu meludah ke tanah. Dan setelah itu ti-
ba-tiba kedua tangannya ditarik ke belakang, siap me-
lepas pukulan.
"Perempuan setan! Kau pantas tewas dengan
membawa kebodohanmu!"
Setelah berkata begitu, Malaikat Berdarah Biru
menghantamkan kedua tangannya ke depan.
Wesss...!
Karena tubuhnya telah terluka, perempuan tua
itu tak bisa lagi untuk bergerak menghindar. Dan dia
hanya diam, seolah pasrah menunggu saat kematian.
Namun sedepa lagi hantaman tangan Malaikat
Berdarah Biru menghajar, mendadak berkelebat se-
buah bayangan, lalu berdiri di hadapan perempuan
tua seakan membentengi dari serangan Malaikat Ber-
darah Biru.
Anehnya, sosok yang berdiri di depan perempuan
tua itu tak berusaha menangkis. Dia hanya berdiri di-
am, sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tak pelak lagi, hantaman tangan Malaikat Berda-
rah Biru menggebrak tubuh sosok hingga terpental.
"Kadarwati...," bisik perempuan tua itu lirih.
Guru dari Ratu Pualam Putih ini mencoba berte-
riak agar sosok yang tak lain memang Kadarwati atau
Ratu Pualam Putih itu segera menghindar. Namun dari
mulutnya tak terdengar suara. Hingga hanya sepasang
matanya saja yang terpejam tatkala hantaman tangan
Malaikat Berdarah Biru yang bertenaga dalam tinggi
menghajar tubuh Ratu Pualam Putih.
Ratu Pualam Putih telah terkapar di atas tanah
puncak bukit. Keadaannya sudah sangat mengerikan.
Pakaian yang dikenakannya hangus. Sekujur tubuh-
nya menjadi merah biru. Rambutnya rontok. Matanya
mengalirkan darah!
Jauh sebelum Ratu Pualam Putih membentengi
gurunya dari serangan Malaikat Berdarah Biru, dia te-
lah menyuruh seluruh anak buahnya meninggalkan
bangunan tempat tinggalnya untuk sementara. Semu-
la, wanita berkepala gundul itu menolak. Tapi karena
melihat kesungguhan Ratu Pualam Putih, mereka tak
berani membantah. Maka dengan berat hati mereka
meninggalkan bangunan di puncak Bukit Watu Dakon.
Sementara itu kini Malaikat Berdarah Biru tersenyum puas. Sedangkan, Bayangan Seribu Wajah men-
gerling sebentar, lalu melangkah mendekati perem-
puan tua yang kini juga terkapar terkena bias puku-
lan, Malaikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah segera memeriksa tubuh
perempuan tua itu.
"Hmm.... Nadi tangannya sudah tidak terasa de-
nyutan. Dadanya juga tak terlihat bergerak. Dia sudah
tewas...," gumam Bayangan Seribu Wajah dalam hati,
seraya bangkit dan melangkah ke arah Malaikat Ber-
darah Biru.
"Bagaimana, Bayangan Seribu Wajah?" tanya Ma-
laikat Berdarah Biru.
Bayangan Seribu Wajah menggeleng perlahan.
"Dua-duanya telah tewas!" jelas wanita ini sambil
mengerdipkan sebelah matanya.
Malaikat Berdarah Biru mengangguk, lalu berba-
lik melangkah ke arah Bayangan Iblis yang masih ter-
kapar tak sadarkan diri. Di belakangnya Bayangan Se-
ribu Wajah mengikuti.
"Kita harus segera membawanya. Dia tampak ter-
luka cukup parah!" ujar Malaikat Berdarah Biru tanpa
menoleh pada Bayangan Seribu Wajah yang kini telah
berdiri menjajari.
Bayangan Seribu Wajah tidak menjawab. Hanya
sepasang matanya memandang ke arah Bayangan Iblis
sebentar, lalu beralih pada Malaikat Berdarah Biru.
Tangannya lalu bergerak melingkar ke pinggang
pemuda ini.
"Benar. Kita harus membawanya...," ucap Bayan-
gan Seribu Wajah dengan suara mendesah.
Wajah wanita ini lantas mendongak sedikit, den-
gan tumit terangkat. Dan dengan tiba-tiba dipagutnya
bibir Malaikat Berdarah Biru.
Sejenak Malaikat Berdarah Biru terkesima. Namun tak lama kemudian dibalasnya pagutan itu den-
gan semangat. Tapi ketika kedua tangan Bayangan Se-
ribu Wajah mulai bergerak menjalar, tangan kokohnya
segera menepisnya.
"Jangan berlaku gila di sini...!" sergah Malaikat
Berdarah Biru dengan suara sedikit bergetar. "Waktu
kita masih banyak! Kita urus guru dulu...."
Bayangan Seribu Wajah tak menjawab, seperti
tak mendengar teguran Malaikat Berdarah Biru.
"Kau dengar kata-kataku tadi bukan?!" bentak
Malaikat Berdarah Biru. "Kita harus urus tubuh Guru
yang masih memerlukan pertolongan dahulu."
Habis berkata, Malaikat Berdarah Biru mene-
piskan tangan Bayangan Seribu Wajah agak keras.
Lantas kakinya melangkah mendekati tubuh gurunya.
Lalu dengan cepat diangkat dan dipanggulnya di atas
pundak.
Sementara Bayangan Seribu Wajah yang gejolak
nafsunya terpenggal, jadi cemberut sambil membuang
muka. Namun tatkala Malaikat Berdarah Biru menja-
jarinya dan berbisik perlahan, wajah Bayangan Seribu
Wajah berubah cerah. Lantas digandengnya tangan
Malaikat Berdarah Biru yang memanggul tubuh
Bayangan Iblis. Mereka kini menuruni Bukit Watu Da-
kon.
***
EMPAT
Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 menghenti-
kan langkahnya ketika melihat dua sosok tubuh ten-
gah menuruni Bukit Watu Dakon. Setelah mengawasi
dengan seksama dan memasang telinga baik-baik, dia
cepat menyelinap ke balik semak belukar.
Gerakan dua sosok itu amat cepat, sehingga se-
bentar saja telah dekat dengan Pendekar Mata Keran-
jang 108. Ketika telah jelas tampang dua sosok yang
sedang menuruni bukit, sepasang mata Aji terbelalak
lebar.
"Hmm.... Malaikat Berdarah Biru... Bayangan Se-
ribu Wajah...," gumam Pendekar Mata Keranjang 108
dalam hati. Matanya yang tajam memperhatikan lebih
seksama lagi. "Hmm.... Mereka sepertinya telah saling
kenal baik. Bahkan nampaknya tengah jatuh cinta.
Tapi Malaikat Berdarah Biru membawa seseorang....
Siapa dia? Dan orang itu tampaknya terluka...."
Sambil terus memperhatikan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 berpikir keras.
"Melihat ada yang terluka, pasti telah terjadi se-
suatu di atas sana.... Sebaiknya aku menghindar da-
hulu bertemu dengan mereka. Aku khawatir pada Ratu
Pualam Putih. Jangan-jangan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan
kata hatinya. Pada saat yang sama Bayangan Seribu
Wajah dan Malaikat Berdarah Biru tepat melintas tak
jauh dari tempatnya. Sejenak ditahannya napas den-
gan lebih merundukkan kepala.
Hanya beberapa saat setelah mereka melintas,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat. Dan
dengan ilmu meringankan tubuh yang telah sangat
tinggi, dia berlari kencang mendaki arah puncak bukit.
Sampai di puncak bukit, sepasang mata Aji lang-
sung mendelik dengan raut wajah berubah. Sepasang
kakinya bagai tiang besi terpancang kokoh, berat un-
tuk digerakkan.
"Ratu Pualam Putih!" teriak Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 keras
Saat itu juga, Aji melompat ke arah tubuh Ratu
Pualam Putih yang tampak terbujur kaku dalam kea-
daan mengenaskan. Diguncang-guncangnya tubuh ka-
ku wanita cantik itu, namun sudah tak lagi bergerak.
Cepat Pendekar Mata Keranjang 108 mencoba menge-
rahkan tenaga dalam, dan menyalurkannya pada dada
Ratu Pualam Putih. Tapi, sia-sia. Wanita ini tetap tak
bergeming sedikit pun.
"Apa yang telah terjadi? Pasti ini perbuatan Ma-
laikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu Wajah! Ke-
parat! Aku tak akan tinggal diam. Aku akan membuat
per-hitungan dengan mereka. Perbuatan mereka sudah
melampaui batas!"
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berkata pa-
da diri sendiri dengan menahan rasa amarah yang
menggebu, terdengar erangan menyayat. Bagai kilat
tubuhnya segera berkelebat ke arah sumber suara
erangan.
Untuk kedua kali pendekar murid Wong Agung
ini dibuat terbeliak tak berkedip. Bahkan sepasang ka-
kinya tampak goyah, karena bergetar hebat.
Di samping sebuah pohon besar yang tumbang,
tampak tubuh perempuan tua berpakaian compang-
camping terkapar mandi darah. Dadanya yang tak lagi
tertutup, naik turun menghembuskan napas satu-satu
tak beraturan.
"Eyang...," teriak Pendekar Mata Keranjang 108
seraya melompat mendekati. "Eyang..., aku Aji. Berta-
hanlah! Aku akan menolongmu...."
Dada perempuan tua itu berhenti bergerak.
Erangannya pun sesaat tak lagi terdengar. Kelopak
matanya yang telah cekung dan berdarah, membuka
perlahan. Namun sesaat kemudian kembali memejam.
"Eyang...," panggil Aji lagi.
"Aji...," sebut perempuan tua itu perlahan, ham-
pir tak terdengar. Tangannya bergerak seakan meng
gapai. "Kau telah mempelajari isi bumbung bambu
itu...?"
Aji mengangguk
"Sudah, Eyang...."
Pendekar Mata Keranjang 108 berkata agak ke-
ras, khawatir perempuan tua itu tak bisa mendengar
suaranya. Karena, ternyata dari lobang telinganya te-
lah mengalir pula darah berwarna kehitaman.
Perempuan tua itu menarik napas panjang. Bi-
birnya yang kecil tersenyum meski sepasang matanya
masih tetap terpejam.
"Bagus. Pergunakanlah sebaik-baiknya apa yang
ada padamu. Hanya itu pesanku.... Dan jika aku me-
ninggal, kuharap sudilah kau menyandingkan kubur-
ku dengan kubur Kadarwati.... Dan..., satu lagi....
Kau..., harus cepat bertindak sebelum para iblis itu
merajalela...," ujar perempuan tak bernama.
Habis berkata begitu, bibir perempuan tua itu
terkatup rapat. Nafasnya tak lagi berhembus. Aji coba
menyalurkan tenaga dalam. Namun begitu tangannya
menempel, tubuh perempuan tua itu sudah terasa
dingin.
"Eyang...," teriak Aji melengking.
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 lantas ter-
duduk lemas dengan sepasang mata nanar, meman-
dangi tubuh di depannya. Lalu tatapannya beralih pa-
da tubuh Ratu Pualam Putih. Kedua tangannya men-
gepal dan diangkat ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Malaikat Berdarah Bi-
ru! Tunggulah saatnya. Kalian tak akan lolos lagi!" de-
sis Pendekar Mata Keranjang 108.
Senja sudah turun melingkupi puncak Bukit Wa-
tu Dakon. Delapan anak buah Ratu Pualam Putih yang
semula diperintahkan menyingkir oleh pimpinan mere-
ka, kini telah kembali dengan wajah tersaput kedukaan dan kekecewaan. Namun mereka tak bisa ber-
buat apa-apa. Karena bagi mereka, pantang untuk
menentang perintah pimpinan.
Dibantu delapan wanita berkepala gundul itu,
Pendekar Mata Keranjang 108 selesai memakamkan
jenazah perempuan tua dan Ratu Pualam Putih. Dan
seperti pesan perempuan tua, kuburan mereka disan-
dingkan.
Setelah delapan anak buah Ratu Pualam Putih
masuk ke dalam bangunan, Pendekar Mata Keranjang
108 masih tetap duduk di atas makam yang masih ba-
ru ini dengan wajah muram. Sesekali ditariknya napas
dalam-dalam dan dihembuskannya perlahan-lahan.
Bayangan wajah Ratu Pualam Putih dan perempuan
tua itu terus terbayang di pelupuk matanya.
"Ratu Pualam Putih...," bisik Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Maafkan, aku telah terlambat menyela-
matkanmu. Namun, percayalah. Mereka yang berbuat
kejam padamu akan menerima balasan setimpal. Dan
aku juga minta maaf, karena belum bisa menepati janji
ku padamu...."
Aji mengusap wajahnya dengan telapak tangan,
lalu menarik napas panjang dan dalam.
"Ratu Pualam Putin...,"lanjut Aji. "Aku merasa
memerlukanmu, begitu kau telah pergi. Ah! Segalanya
memang tak ada gunanya lagi. Tapi bagaimanapun ju-
ga, kau akan tetap kusimpan di hatiku...."
Kenangan pemuda ini lantas beralih pada perem-
puan tua itu. Seorang tua aneh yang telah memberi
bumbung bambu padanya.
"Eyang.... Aku berjanji di depan makammu, akan
selalu menuruti kata-kata yang kau pesankan. Me-
numpas para iblis keparat itu, dan mengamalkan apa
yang telah ku peroleh untuk kebaikan umat manu-
sia...," desah Pendekar Mata Keranjang 108.
Malam terus beranjak. Namun, rupanya Pende-
kar Mata Keranjang 108 tak hendak beranjak juga dari
makam dua wanita yang patut dihormatinya. Dia tetap
duduk merenung. Hingga mungkin karena tubuh dan
pikiran terlalu lelah, akhirnya dia jatuh tertidur.
"Aji...."
Sebuah suara terdengar sayup-sayup memanggil.
Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya tak asing lagi
dengan suara itu. Suara orang yang telah dikenalnya
dengan baik. Begitu wajahnya berpaling, tampak Wong
Agung berdiri tak jauh di hadapannya.
"Eyang Wong Agung...," seru Aji, seraya menjura
hormat.
Guru Pendekar Mata Keranjang 108 ini terse-
nyum. Kepalanya mengangguk.
"Aji.... Dalam rimba persilatan keadaan memang
datang silih berganti. Ada kalanya keadaan datang
membawa kesenangan, dan tak jarang pula membawa
kedukaan. Sebagai ksatria, kau harus bisa menerima
kenyataan ini. Inilah hidup! Dan sebagai ksatria, pan-
tang juga meneteskan air mata hanya karena kenya-
taan. Kau harus tegar. Apa pun kenyataan yang terja-
di!" kata Wong Agung dengan suara berat.
Sejenak Wong Agung menghentikan ucapannya.
Wajahnya menatap jauh ke depan.
"Aji! Aku melihat burung gagak terbang ke arah
utara, dan hinggap di atas tempat Ageng Panangkaran.
Burung gagak adalah perlambang alam kegelapan. Aku
khawatir, sesuatu terjadi pada paman Ageng Panang-
karan. Pergilah kau ke tempatnya. Dan, harap ingat
ucapanku. Tegarlah menghadapi kenyataan...," lanjut
Wong Agung.
Setelah berkata begitu, Wong Agung tersenyum.
Dan perlahan-lahan tubuhnya menghilang dari hada-
pan Pendekar Mata Keranjang 108.
Aji tersentak. Dan dia mendapatkan dirinya ma-
sih duduk di atas makam Ratu Pualam Putih dan pe-
rempuan tua itu.
"Hmm.... Aku bermimpi...," gumam Aji termangu.
Kedua matanya segera dikucek-kucek. Begitu matanya
terang, Pendekar Mata Keranjang 108 sedikit terkejut,
Karena, ternyata sinar matahari sudah mulai mengin-
tip dari balik gunung.
Perlahan-lahan Pendekar Mata Keranjang 108
berdiri. Matanya memandang berkeliling, dan berujung
pada dua makam di sampingnya.
"Ratu Pualam Putih dan Eyang.....Aku pergi seka-
rang. Damailah kalian...."
Setelah berucap begitu, Pendekar Mata Keranjang
108 melangkah meninggalkan puncak Bukit Watu Da-
kon.
"Mimpi ku tadi malam, adalah sebuah isyarat.
Aku harus segera ke tempat Eyang Ageng Panangka-
ran. Bukan tak mungkin para iblis itu menuju ke sana,
untuk mencariku...," gumam Aji.
Pendekar Mata Keranjang 108 terus berkelebat,
dan kini tiba di lereng bukit.
"Kalau aku ke sana, pasti bertemu Sakawuni.
Lantas, bagaimana jika nantinya Eyang Ageng Panang-
karan meminta ku untuk..., ah! Itu urusan nanti. Yang
penting, aku menemui Eyang Ageng Panangkaran...,"
lanjut Aji,
Pendekar Mata Keranjang 108 terus melangkah
menuju arah utara, arah tempat Ageng Panangkaran
berada. Yakni, Lembah Baka.
***
Dua penunggang kuda langsung menghentikan
tunggangan masing-masing ketika di depan terhampar
sebuah lembah agak luas. Lembah ini telah banyak di-
kenal orang. Selain karena pemandangannya indah, di
lembah ini juga hidup seorang tokoh silat berkepan-
daian tinggi yang bersifat ramah dan suka menolong.
Dia tak lain tokoh bernama Ageng Panangkaran.
"Inilah Lembah Baka, Malaikat Berdarah Biru!
Tempat orang yang kita cari!" jelas penunggang kuda di
sebelah kanan, yang ternyata seorang gadis berwajah
cantik jelita. Rambutnya yang panjang dikuncir ke
atas. Pakaian yang dikenakannya berwarna merah dan
begitu ketat, menampakkan tubuhnya yang memben-
tuk indah.
"Tapi, apakah Pendekar Mata Keranjang 108 be-
rada di sini?" tanya penunggang kuda di sebelah kiri
yang ternyata Malaikat Berdarah Biru.
"Tujuan kita kemari bukan untuk mencari Pen-
dekar Mata Keranjang 108, namun untuk menghabisi
penghuni Lembah Baka ini. Dengan begitu, Pendekar
Mata Keranjang 108 pasti akan mencari kita. Karena,
penghuni tempat ini adalah salah satu gurunya.... Se-
kaligus, untuk membalas atas perbuatan Pendekar
Mata Keranjang 108 yang menewaskan para pemban-
tumu!" jawab gadis berbaju merah yang tak lain
Bayangan Seribu Wajah sambil mengerling.
Sementara pemuda kekar dengan dagu kokoh ini
hanya menyorot tajam dengan matanya. Dibalasnya
kerlingan itu dengan senyum buas.
"Tapi kita harus berhati-hati. Ageng Panangkaran
adalah tokoh tersohor...!" sambung Bayangan Seribu
Wajah.
"Phuih...!"
Malaikat Berdarah Biru berpaling, langsung me-
ludah ke tanah mendengar kata-kata gadis di sam-
pingnya. Wajahnya berubah merah padam. Pelipisnya
bergerak-gerak dengan dagu semakin mengembang.
"Malaikat Berdarah Biru! Kau jangan terburu ma-
rah," sambung Bayangan Seribu Wajah perlahan, begi-
tu melihat gelagat tak baik. "Aku percaya, meski Ageng
Panangkaran mempunyai nama besar, namun diband-
ing dirimu, dia tidak ada apa-apanya!"
"Hmm...."
Hanya itu yang kemudian terdengar dari mulut
Malaikat Berdarah Biru. Kembali kepalanya berpaling
pada Bayangan Seribu Wajah.
"Ayo kita teruskan perjalanan. Akan kubuktikan
bahwa nama besar Ageng Panangkaran tidak berarti
banyak bagi Malaikat Berdarah Biru, calon pemimpin
rimba persilatan!" ajak Malaikat Berdarah Biru dengan
sikap jumawa.
Mereka lantas menghela kuda tunggangan mas-
ing-masing, menuju ke Lembah Baka. Namun baru sa-
ja mencapai tengah lembah....
"Jika kalian berniat tidak baik, kuharap lekas
tinggalkan tempat ini!"
Mereka berdua dikejutkan suara teguran yang ti-
ba-tiba saja bergaung.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah sekonyong-konyong menghentikan kuda tung-
gangan masing-masing. Mereka saling berpandangan.
Bayangan Seribu Wajah nampak terkejut besar. Se-
mentara Malaikat Berdarah Biru tetap berlaku tenang.
Malah kepalanya segera mendongak.
"Jahanam! Perlihatkan bentuk mu! Jangan hanya
berkata dari balik tempat persembunyian seperti seo-
rang pengecut!" bentak Malaikat Berdarah Biru, keras.
Bentakan Malaikat Berdarah Biru dilanjutkan
dengan tawa mengekeh. Namun tiba-tiba saja kekehan
tawanya berhenti. Suasana hening sejenak.
"He...! Cepat tunjukkan dirimu! Mari kita bukti-
kan siapa di antara kita yang patut menyandang nama
besar!" lanjut Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar suara tawa membahana panjang, lalu
gema suara itu lenyap.
"Rupanya kalian datang menginginkan nama be-
sar. Ah! Sungguh sayang sekali. Hari ini aku tak men-
jual nama besar itu. Maka dari itu, lekaslah tinggalkan
tempat ini. Kalian salah alamat jika datang ke sini
dengan menginginkan nama besar...!" lanjut suara itu.
"Setan alas!" desis Malaikat Berdarah Biru den-
gan raut mengelam. Kedua tangannya mengepal. Alis
matanya menukik saling bertautan. Gerahamnya ge-
meletak menekan rasa geram.
"Kulihat kalian tidak tuli. Lantas kenapa masih
berdiri di situ?" terdengar lagi suara tanpa terlihat so-
sok yang berucap.
Suasana hening seketika. Ekor mata Malaikat
Berdarah Biru melirik sebentar, lalu tiba-tiba tubuh-
nya berkelebat cepat. Gerakannya diikuti oleh Bayan-
gan Seribu Wajah. Dan tahu-tahu mereka telah berdiri
sambil berkacak pinggang di sebelah sebuah batu be-
sar. Sepasang matanya menyapu berkeliling, namun
tak menemukan siapa-siapa.
"Jahanam busuk! Rupanya kau takut menghada-
piku...!" maki Malaikat Berdarah Biru.
"Apa yang perlu ditakutkan?"
Tiba-tiba saja terdengar sahutan, membuat Ma-
laikat Berdarah Biru segera berpaling. Demikian juga
Bayangan Seribu Wajah.
Kedua orang ini sama-sama terperangah. Di de-
kat kuda mereka berdua tadi, tampak berdiri tegak se-
seorang sambil mengulas senyum. Dia adalah seorang
laki-laki berusia lanjut. Rambutnya panjang sudah
memutih. Demikian pula jenggotnya. Meski telah be-
rumur, namun bekas ketampanan masih tergambar jelas di wajahnya.
"Siapa kau?!" bentak Malaikat Berdarah Biru,
mengawasi tanpa berkedip.
Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa membuka
mulut. Dan ini membuat amarah Malaikat Berdarah
Biru. Segera jubah toganya dikibaskan.
Wuuut! Wuuuttt!
Dua hempasan angin kencang dari kibasan jubah
toga Malaikat Berdarah Biru menggebrak cepat. Na-
mun hanya dengan sedikit memiringkan tubuhnya
tanpa me-rubah kedua kakinya, sambaran angin itu
hanya lewat satu depan di samping laki-laki berusia
lanjut ini.
"Sebelum kau menyesal, lekas jawab pertanyaan-
ku!" bentak Malaikat Berdarah Biru kembali.
"Sebagai tuan rumah, mestinya aku yang layak
bertanya pada kalian. Siapa kalian sebenarnya?! Dan,
apa maksudmu datang ke sini!"
Malaikat Berdarah Biru mendengus keras. Wa-
jahnya dipalingkan ke samping. Sementara Bayangan
Seribu Wajah tertawa perlahan bernada mengejek.
"Dengar, Orang Tua! Aku adalah Bayangan Seri-
bu Wajah. Sedang temanku itu adalah calon pemimpin
tunggal rimba persilatan, yang sudah mempunyai na-
ma besar. Orang-orang dunia persilatan menggelarinya
sebagai Malaikat Berdarah Biru!"
Laki-laki berusia lanjut yang tak lain Ki Ageng
Panangkaran terperangah kaget. Kedua kakinya be-
ringsut mundur satu tindak ke belakang. Dia memang
belum pernah bertemu Bayangan Seribu Wajah dan
Malaikat Berdarah Biru. Namun sebagai seorang tokoh
yang pernah malang melintang dalam rimba persilatan,
nama-nama tokoh yang kini ada di hadapannya per-
nah didengarnya. Dia juga telah mendengar bahwa me-
reka adalah tokoh sesat yang bengis dan licik.
Melihat laki-laki di hadapannya beringsut mun-
dur, Malaikat Berdarah Biru tersenyum menyeringai
penuh ejekan. Sedangkan Bayangan Seribu Wajah se-
makin keras tawanya.
"Malaikat Berdarah Biru...!" kata Bayangan Seri-
bu Wajah. "Si tua inilah yang kita cari!"
"Aku sudah tahu!" jawab Malaikat Berdarah Biru
tanpa menoleh. Sepasang matanya lurus menatap ta-
jam Ki Ageng Panangkaran.
"Apa perlu mereka mencariku...? Apa ada hubun-
gannya dengan Aji?" kata batin Ki Ageng Panangkaran.
Laki-laki tua ini memandang satu persatu pada
dua orang di hadapannya.
"Aku sudah dengar nama-nama kalian. Dan aku
sangat gembira bisa bertemu orang-orang hebat seperti
kalian. Tapi kalau aku boleh tahu, ada urusan apakah
yang membuat orang-orang besar seperti kalian datang
ke tempat sunyi seperti ini?!" tanya Ki Ageng Panang-
karan.
"Aku menginginkan nyawamu!" serobot Bayangan
Seribu Wajah dengan mendelik.
"Benar! Kami ingin nyawamu. Namun, itu bisa di-
tangguhkan jika kau mengatakan dimana Pendekar
Mata Keranjang 108!" timpal Malaikat Berdarah Biru
sambil melangkah mendekati Ki Ageng Panangkaran.
Mendengar kata-kata dua orang di hadapannya,
Ki Ageng Panangkaran tersenyum. Sementara diam-
diam, dalam hatinya terselip perasaan sedikit gentar.
"Kalian datang ke tempat yang salah jika mena-
nyakan keberadaan Pendekar Mata Keranjang 108!
Aku sudah tua, dan sudah tak pernah ikut campur lagi
segala macam persoalan dunia persilatan. Jadi, hara-
pan kalian mungkin tak bisa aku penuhi. Dan di satu
sisi aku pun tak mau dipaksa demikian rupa dengan
segala macam ancaman!" sahut Ki Ageng Panangkaran,
berusaha menindih rasa gentarnya.
"Jangan berdusta di hadapan kami. Dan, ingat!
Ancaman kami tidak main-main. Sekarang katakan sa-
ja, di mana Pendekar Mata Keranjang 108. Maka nya-
wamu akan selamat!" desak Bayangan Seribu Wajah
seraya melangkah menjajari Malaikat Berdarah Biru.
"Sayang sekali, aku tak bisa menjawabnya!" sa-
hut Ki Ageng Panangkaran dengan sikap waspada. Dia
merasa ancaman Malaikat Berdarah Biru dan Bayan-
gan Seribu Wajah tidak hanya sekadar gertakan.
Mendengar jawaban Ki Ageng Panangkaran, Ma-
laikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
"Kau layak segera masuk liang kubur!" kata Ma-
laikat Berdarah Biru ketika tawanya berhenti.
Seketika Malaikat Berdarah Biru mendorongkan
kedua telapak tangannya ke depan. Dorongan itu se-
pertinya pelan. Namun hebatnya....
Werrr...!
Satu gelombang pusaran angin deras yang berde-
rak-derak keras menyambar cepat ke arah Ki Ageng
Panangkaran.
"Hup!"
Ki Ageng Panangkaran yang sudah waspada sege-
ra melesat cepat ke arah samping untuk menghindar.
Lalu seketika dia balas menggempur dengan menghen-
takkan kedua tangannya.
"Hih...!"
Werrr...!
Serangkum angin menggemuruh dahsyat yang
menebarkan hawa dingin menusuk melesat ke arah
Malaikat Berdarah Biru.
Mendapati serangan, manusia kejam yang diken-
al suka perempuan dan berilmu tinggi ini mendongak-
kan kepala sambil mendengus. Dia tidak berusaha
menghindar dari serangan. Bahkan sepertinya tidak
menganggap bahaya serangan Ki Ageng Panangkaran.
Baru ketika satu depa lagi serangan laki-laki tua
itu menggebrak, Malaikat Berdarah Biru menarik ke-
dua tangannya ke belakang. Dan seketika dihampar-
kannya ke depan.
Wusss...!
Angin kencang berhawa dingin yang menyambar
dari telapak tangan Ki Ageng Panangkaran langsung
menghilang musnah, tersapu sambaran angin yang ke-
luar dari sentakan tangan Malaikat Berdarah Biru.
Dan sekejap itu juga, tubuh pemuda murid Bayangan
Iblis ini berputar cepat. Lalu didahului bentakan ram-
pak, kedua tangannya menghentak hampir berbaren-
gan.
Wesss...!
Wusss...!
Larikan sinar merah dan biru dari pukulan sakti
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru' menghempas ke arah Ki
Ageng Panangkaran.
Werrr...!
Sementara pada saat yang sama, Bayangan Seri-
bu Wajah yang dari tadi hanya diam memperhatikan,
kini juga ikut-ikutan mengirimkan serangan. Mereka
berdua sepertinya ingin segera menyudahi Ki Ageng
Panangkaran.
Seketika Ki Ageng Panangkaran tercekat kaget.
Dia tak menduga jika akan dikeroyok demikian rupa.
Namun, laki-laki tua ini tak bisa berpikir lebih lama
lagi. Karena, larikan-larikan sinar merah dan biru, ser-
ta gelombang angin sentakan Bayangan Seribu Wajah,
telah merambah ke arahnya dari empat jurusan!
Ki Ageng Panangkaran cepat menakupkan kedua
tangannya di depan wajah. Matanya langsung dipejam
rapat-rapat. Dan mendadak kedua tangannya dibuka
didorong ke depan sambil diputar-putar.
Malaikat Berdarah Biru dan Bayangan Seribu
Wajah tidak merasakan adanya sambaran angin ken-
cang. Mereka hanya mendengar suara perlahan seperti
desisan. Namun kedua orang berilmu tinggi ini dibuat
tak percaya dengan apa yang terjadi. Ternyata seran-
gan hebat keduanya seperti terkena kekuatan dahsyat
dan berhenti secara tiba-tiba!
Malaikat Berdarah Biru membanting-banting ke-
dua kakinya, menahan geram. Sedang Bayangan Seri-
bu Wajah terbeliak marah.
"Heaa...!"
Mereka sama-sama mengeluarkan bentakan
menggemuruh, dan serentak pula kembali mengirim-
kan serangan susulan.
Wesss...!
Wusss...!
Tapi untuk kedua kali kedua orang ini dibuat
terkejut. Serangan mereka ternyata tak bisa menerobos
pertahanan lawan. Malah ketiga Ki Ageng Panangkaran
mengibaskan kedua tangannya ke depan, mereka ter-
kesima. Karena, serangan mereka mental balik. Bah-
kan melesat ke arah mereka sendiri.
Werrr...!
"Menyingkir!" seru Malaikat Berdarah Biru mem-
peringati Bayangan Seribu Wajah seraya melompat
menghindar.
Namun, peringatan itu datangnya terlambat.
Bayangan Seribu Wajah yang seperti tercengang tak
percaya, lamban untuk berkelit. Akibatnya...
Prasss...!
"Aaakh...!"
Tak ampun lagi tubuh wanita itu terterabas se-
rangannya sendiri. Seketika tubuhnya mencelat diirin-
gi jeritan dari mulutnya.
Begitu menghempas di atas tanah, Bayangan Seribu Wajah melotot tajam. Wajahnya merah padam
dengan bibir mengembung. Gadis ini lantas bangkit,
dan meludah. Tampak cairan berwarna merah keluar
dari mulutnya yang mengembung.
"Keparat edan! Kubunuh kau!" maki Bayangan
Seribu Wajah seraya berkelebat cepat sambil mengi-
rimkan pukulan.
Sementara Malaikat Berdarah Biru menggertak-
kan rahang. Hatinya panas melihat dua kali serangan-
nya dapat dibendung dengan mudah.
"Waktunya ku coba ilmu dari kitab hitam...!" kata
batin Malaikat Berdarah Biru.
Pemuda ini segera memalangkan kedua tangan-
nya di depan dada. Lantas tangan kanannya menyu-
sup ke balik baju. Dan sebentar kemudian di tangan
kanannya telah tergenggam kipas berwarna hitam yang
ujung sebelahnya terkikis.
Sementara itu Ki Ageng Panangkaran tampak
berkelebat menjauh, menghindari serangan Bayangan
Seribu Wajah. Sampai saat ini pun serangan yang di-
lancarkan Bayangan Seribu Wajah hanya menghantam
tempat kosong.
Saat itulah Malaikat Berdarah Biru segera men-
dorong tangan kirinya. Sementara tangan kanan men-
gibaskan kipas hitamnya.
Wuuut...!
Blarrr....!
Suasana mendadak redup hitam, dan disusul
oleh terdengarnya suara menggemuruh bagai gelom-
bang dahsyat yang disertai kilatan-kilatan mena-
kutkan! Inilah jurus kelima dari kitab hitam ciptaan
Empu Jaladara, yakni pukulan 'Bayu Sukma'.
Ki Ageng Panangkaran yang baru saja menjejak-
kan kedua kakinya setelah berhasil menghindarkan di-
ri dari pukulan Bayangan Seribu Wajah kontan terperangah. Dia hampir tidak percaya. Dahinya berkerut
dengan mata menyipit dan terbelalak.
"Celaka! Jadi dia yang telah berhasil menda-
patkan kitab dan kipas pusaka kedua milik Empu Ja-
ladara! Ah!, Semoga saja Aji telah pula berhasil men-
dapatkan jurus pemusnahnya. Karena jika tidak, du-
nia persilatan akan mengalami sebuah sejarah hi-
tam...," desis Ki Ageng Panangkaran.
Ki Ageng Panangkaran tidak bisa lagi mene-
ruskan kata batin. Karena, pukulan sakti Malaikat
Berdarah Biru telah berarak menuju ke arahnya. Den-
gan segenap tenaga, dia menghempaskan diri bergu-
lingan di atas tanah. Dan bersamaan dengan itu, dile-
paskannya satu pukulan untuk menghadang.
Blarrr!
"Aaakh...!"
Lembah Baka bagai diguncang gempa dahsyat.
Gelegarnya mampu membuat tanah di tempat itu ter-
bongkar dan rengkah-rengkah hitam. Sementara tu-
buh Ki Ageng Panangkaran terlempar deras sampai ti-
ga tombak disertai kekehan tertahan. Kedua tangan-
nya yang digunakan untuk menghadang serangan Ma-
laikat Berdarah Biru lunglai tak bisa digerakkan. Da-
danya berdebar nyeri dengan kedua kaki bergetar he-
bat. Sementara jubah yang dikenakan tampak koyak di
sana-sini.
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru yang tidak bergeming
sama sekali mengeluarkan tawa bergerai-gerai.
"Hmm.... Luar biasa! Aku tak mengira jika ilmu
ini demikian hebatnya!" seru batin Malaikat Berdarah
Biru sambil tersenyum puas.
Namun senyum pemuda itu mendadak berganti
seringai, tatkala Ki Ageng Panangkaran terlihat bangkit
berdiri seraya siap melepaskan pukulan jarak jauh.
"Orang tua ini hebat juga pertahanan tubuhnya!
Akan ku coba sekali lagi, apakah dia masih bisa me-
nahan pukulan 'Bayu Sukma'!" kata Malaikat Berdarah
Biru dalam hati, seraya melangkah ke arah Ki Ageng
Panangkaran.
Sementara itu, Bayangan Seribu Wajah cepat
mundur dari gelanggang pertarungan. Dan kini dia
hanya melihat dari jarak agak jauh.
"Tua bangka bau kubur! Umurmu tinggal lima
kejapan mata. Jika kau bisa tunjukkan di mana Pen-
dekar Mata Keranjang 108, umurmu akan ku perpan-
jang!" kata Malaikat Berdarah Biru dengan jumawa
sambil berkipas-kipas.
Ki Ageng Panangkaran yang tampaknya telah ter-
luka, tersenyum ramah menyembunyikan rasa nyeri
yang mendera dada serta kedua tangannya. Namun
matanya tak hendak berpaling dari bola mata Malaikat
Berdarah Biru.
"Kau bukan penentu umur manusia. Lebih baik
mati bagiku, daripada hidup menebar kekejian seperti
kau!" tegas Ki Ageng Panangkaran.
"Jahanam!" maki Malaikat Berdarah Biru.
Segera pemuda itu mendorong tangan kirinya ke
depan. Sedang tangan kanannya memutar kipas den-
gan cepat.
Wesss...!
Werrr...!
Di lain pihak, meski Ki Ageng Panangkaran mera-
sa tak bisa menandingi pukulan sakti Malaikat Berda-
rah Biru, namun tak mau menyerah begitu saja. Sege-
ra pula seluruh tenaga dalamnya dikerahkan pada ke-
dua tangannya.
"Heaaa...!"
Disertai bentakan keras Ki Ageng Panangkaran
menghantamkan kedua tangannya, memapak serangan Malaikat Berdarah Biru.
Werrr!
Glarrr!
Brattt...!
Terdengar gelegar hebat, disusul melayangnya
tubuh Ki Ageng Panangkaran. Begitu terkapar di atas
tanah, pakaian laki-laki tua ini tak karuan. Sekujur
badannya bermandikan darah. Sebentar tubuh itu ma-
sih bergerak-gerak, namun tak lama diam tak berkutik
lagi.
Sebentar Malaikat Berdarah Biru memandangi
mayat Ki Ageng Panangkaran. Dan ketika telinganya
mendengar suara langkah kaki, dia menoleh. Ternyata
Bayangan Seribu Wajah telah setengah tombak di de-
katnya.
"Kau pantas memimpin dunia persilatan! Dan se-
karang aku merasa pasti, kau kelak pasti dapat men-
galahkan Pendekar Mata Keranjang 108...," puji
Bayangan Seribu Wajah.
Yang, dipuji mengembangkan cuping hidungnya.
Ekor matanya melirik ke arah dada Bayangan Seribu
Wajah yang sepertinya nampak sengaja dibusungkan.
"Hmmm.... Ayo kita pulang!" ajak Malaikat Berda-
rah Biru.
"Tapi...."
Bayangan Seribu Wajah tidak meneruskan kata-
katanya, karena saat itu juga Malaikat Berdarah Biru
telah meraih tubuhnya. Seketika dipanggulnya tubuh
ramping itu meninggalkan tengah lembah menuju ku-
da tunggangan mereka.
***
LIMA
"Burung gagak adalah perlambang alam kegela-
pan...."
Kata-kata Wong Agung dalam mimpi terngiang-
ngiang di telinga Pendekar Mata Keranjang 108.
"Hmm.... Alam kegelapan.... Apa maksudnya?"
gumam Aji saat dalam perjalanan ke Lembah Baka,
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. "Alam kegela-
pan.... Alam kegelapan tak ada lain, kecuali alam ku-
bur. Eyang Wong Agung melihat alam kegelapan di
tempat tinggal Ki Ageng Panangkaran. Berarti beliau
sedang dalam keadaan...."
Pendekar Mata Keranjang 108 tak meneruskan.
Larinya makin dipercepat disertai ilmu meringankan
tubuh yang sudah sangat tinggi.
Begitu menginjak Lembah Baka, Pendekar Mata
Keranjang 108 agak mengurangi kecepatan larinya.
"Semoga tak terjadi apa-apa pada Eyang Ageng
Panangkaran...," bisik Aji sambil terus melangkah den-
gan sepasang mata terus menebar ke sekeliling.
Mencapai tengah lembah, dada Aji bergetar. Se-
pasang mata dan telinganya lebih dipertajam. Di tem-
pat itu pemuda ini melihat tanahnya porak poranda
seperti habis terjadi perkelahian. Dan kepalanya bagai
tak bisa digerakkan lagi, tatkala sepasang matanya ter-
tumbuk pada sosok berjubah koyak-koyak bermandi
darah.
"Eyang...," jerit Pendekar Mata Keranjang 108, se-
raya cepat menghambur.
Yang dipanggil diam saja. Bahkan tatkala Pende-
kar Mata Keranjang 108 mendekat dan mencoba
mengguncang tubuhnya, sosok yang tak lain Ki Ageng
Panangkaran tetap diam:
Pendekar Mata Keranjang 108 menengadahkan
kepalanya memandang langit. Dadanya bergetar hebat.
Tangannya mengepal dengan otot-otot menggurat jelas.
Jakunnya naik turun tak beraturan. Matanya meme-
jam dengan bibir saling menggigit.
"Mereka benar-benar kejam! Apa yang mereka in-
ginkan hingga sampai hati berbuat keji pada orang
yang tak bersalah? Kalau mereka mencariku, kenapa
mesti berbuat kejam pada orang yang telah kuanggap
sebagai guru-guruku?" desis Pendekar Mata Keranjang
108 dalam hati.
Pendekar Mata Keranjang 108 lantas duduk ber-
simpuh di samping tubuh Ki Ageng Panangkaran. Di-
pandanginya tubuh bermandi darah di hadapannya.
Tiba-tiba mata Pendekar Mata Keranjang 108
membesar, ketika melihat di saku jubah Ki Ageng Pa-
nangkaran yang sudah tak karuan terdapat robekan
kain berwarna merah. Dengan tangan gemetar, dipun-
gutnya robekan kain itu. Dan dadanya semakin meng-
hentak keras, tatkala melihat tulisan di robekan kain
itu.
Jika ingin tahu apa yang terjadi, datang ke Candi
Singasari
Pendekar Mata Keranjang 108 mengangguk-
angguk, setelah membaca isi tulisan itu.
"Hmm.... Iblis-iblis itu rupanya mendekam di sa-
na! Aku akan cepat melacak ke sana! Sebelum kekeja-
man itu merambat ke mana-mana!" desis Pendekar
Mata Keranjang 108 dengan dada bergemuruh dan gigi
bergemerutuk menahan amarah.
Selagi Pendekar Mata Keranjang 108 berpikir be-
gitu, terdengar hentakan ladam kaki-kaki kuda menu-
ju Lembah Baka. Dan sebelum sempat menduga siapa
adanya para penunggang, hentakan ladam kuda le-
nyap. Dan bersamaan dengan itu, tiba-tiba sepuluh
langkah di hadapan Pendekar Mata Keranjang 108
berdiri dua orang dengan sikap curiga. Malah sepasang
mata mereka membesar berkilat merah, tatkala meli-
hat keadaan Ki Ageng Panangkaran.
Pendekar Mata Keranjang 108 luruskan pandan-
gan, melihat satu persatu pada dua orang yang kini
berdiri. Seulas senyum segera mengembang dari bibir-
nya begitu mengenali, siapa dua orang tersebut.
Namun senyum Pendekar Mata Keranjang 108
serentak terpotong, tatkala dua orang di hadapannya
malah saling pandang satu sama lain tanpa senyum.
Tentu saja Pendekar Mata Keranjang 108 murid Wong
Agung ini jadi tidak enak hati.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Apa yang telah
kau perbuat pada Guru!"
Mata Pendekar Mata Keranjang 108 mendelik
hampir tak percaya, ketika terdengar suara teguran
dari salah seorang yang ada di sebelah kiri. Dia adalah
seorang pemuda tampan dengan sepasang trisula ter-
selip di pinggang.
Aji tidak menjawab. Ditahannya hawa amarah
yang mulai menjalari dadanya.
"Sialan! Rupanya mereka mencurigai aku!"
Melihat suasana kaku dan gelagat tidak baik,
Pendekar Mata Keranjang 108 segera bangkit. Ditatap-
nya kembali dua orang di hadapannya dengan sorot ta-
jam.
"Kakang Pandu! Tapi, apakah mungkin...," bisik
salah sosok yang berdiri di sebelah kiri. Dia ternyata
seorang gadis berwajah manis dengan mata sayu.
Pemuda yang dipanggil Pandu berpaling.
"Sakawuni! Kau lihat sendiri tadi, bagaimana dia
bertingkah di hadapan tubuh Guru. Pasti dia yang
berbuat keji pada Guru!" sergah pemuda bersenjata
trisula.
"Pandu, Sakawuni! Jangan berprasangka pada-
ku. Waktu aku datang, keadaan Eyang Ageng Panang-
karan sudah meninggal. Dan aku sendiri tak tahu, sia-
pa yang berbuat kejam seperti ini!" tegas Aji dengan ta-
tapan meyakinkan.
Dua orang yang memang Pandu dan Sakawuni,
murid Ki Ageng Panangkaran sejenak saling tukar
pandangan. Sementara mengetahui gurunya telah me-
ninggal, wajah Sakawuni langsung berubah mendung.
"Hmm.... Begitu? Pendekar Mata Keranjang 108!
Apa ucapanmu bisa dipercaya?! Kita sudah saling ken-
al. Maka lebih baik terus teranglah!" kata Pandu den-
gan tatapan masih curiga.
Aji semakin mendelikkan matanya. Sementara
Pandu dan Sakawuni mulai bergerak melangkah men-
dekati.
"Kalau bukan kau yang mengatakan, pasti sudah
kurobek-robek mulutmu!" desis Aji, geram.
Pandu tersenyum sinis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kami tahu, kau
adalah manusia berkepandaian tinggi. Namun, aku tak
takut! Apalagi jika masalahnya berhubungan nyawa
Guru! Menyingkirlah...!"
Meski dengan menahan perasaan dongkol, ma-
rah, panas, Pendekar Mata Keranjang 108 akhirnya
menjauh dari sisi tubuh Ki Ageng Panangkaran.
Begitu dekat dengan tubuh gurunya, Sakawuni
langsung menghambur dan memeluk tubuh Ki Ageng
Panangkaran yang sudah kaku dan dingin. Tangisnya
yang sejak tadi ditahan-tahan akhirnya meledak. Se-
mentara Pandu yang mengikuti langkah Sakawuni te-
rus mengawasi tubuh gurunya dengan seksama. Sese-
kali wajahnya diusap lalu menarik napas dalam-dalam.
"Guru! Aku bersumpah, akan kucincang orang
yang membuatmu seperti ini!" ucap Sakawuni di selasela isak tangisnya.
"Dan akan kubawa penggalan kepala orang yang
berbuat keji padamu!" timpal Pandu dengan suara ber-
getar dan berapi-api.
Untuk beberapa saat mereka tenggelam dalam
kesedihan yang mendalam. Namun begitu sadar ada
orang lain di tempat ini, serentak mereka menghenti-
kan ratapan serta isak tangisnya. Keduanya berpaling
ke tempat tadi Pendekar Mata Keranjang 108 berdiri.
Dan mereka jadi melengak kaget, tatkala mengetahui
Aji sudah tidak ada di tempatnya semula.
"Dia ketakutan! Berarti dialah yang berbuat ini!"
desis Pandu seraya menyapukan pandangannya ber-
putar, namun tidak menemukan orang yang dicari.
"Sakawuni! Kau ke arah barat. Dan aku ke arah ti-
mur!"
Pandu cepat berbalik dan berkelebat ke arah ti-
mur.
Dan tak menunggu lama, Sakawuni pun berkele-
bat ke arah barat.
"Hmm.... Apakah mungkin Pendekar Mata Keran-
jang 108 yang melakukan perbuatan keji itu?!" gumam
Sakawuni dalam hati sambil terus berkelebat mengejar
Pendekar Mata Keranjang 108. "Seandainya bukan dia,
lantas siapa? Selama ini, Guru tak pernah lagi beruru-
san dengan orang-orang rimba persilatan. Tapi siapa
pun orangnya, dia pasti berilmu tinggi. Jangan-jangan
memang dia. Kalau dia, apa masalahnya? Bukankah
antara Pendekar Mata Keranjang 108 dengan Guru
sudah saling kenal baik. Malah menurut cerita Guru,
Pendekar Mata Keranjang 108 pernah menolongnya.
Ah! Tapi manusia kerap kali berubah pikiran, tak ter-
kecuali Pendekar Mata Keranjang 108. Dan kalau me-
mang dia yang melakukan, aku pun tak akan tinggal
diam, meski sebenarnya aku begitu merindukan di
rinya sejak pertama kali bertemu.... Ah! Kenapa aku
bisa bertemu dengannya dalam keadaan sulit begi-
ni...?"
Tiba-tiba Sakawuni menghentikan larinya. Kepa-
lanya langsung menoleh ke belakang. Sepasang ma-
tanya memandang menyelidik.
"Aku merasakan sedang diikuti seseorang. Bukan
Kakang Pandu. Hmm.... Dia tampaknya berkepandaian
tinggi. Karena begitu saja lenyap bagai ditelan perut
bumi.... Aku akan membuatnya menampakkan diri...,"
gumam Sakawuni.
Sakawuni lantas melanjutkan larinya. Namun
kali ini ekor matanya tak henti-hentinya berputar liar.
Sementara telinganya dipasang baik-baik.
Agak jauh, gadis itu kembali merasakan orang
mengikuti langkahnya. Namun, dia seperti tak acuh.
Dan begitu merasa orang yang mengikuti tak berada
jauh, dan dapat menentukan arah adanya, tubuhnya
mendadak berbalik. Saat itu juga kedua tangannya di-
hantamkan ke tempat yang diduga menjadi persembu-
nyian orang yang mengikuti langkahnya.
Wuuuttt!
Serangkum angin berdesir kencang dari kedua te-
lapak tangan Sakawuni segera melesat, mengeluarkan
suara bagai gelombang dahsyat.
Brakkk...!
Ternyata Sakawuni hanya mendengar suara ber-
deraknya pohon tumbang, tanpa jeritan atau dengusan
seperti yang diharapkan. Dengan menggeram marah
tubuhnya lantas berbalik kembali, dan melesat mene-
ruskan perjalanan ke arah barat. Namun baru saja ka-
kinya melangkah hendak bergerak berkelebat, dari
arah samping terdengar suara gemerisik. Cepat gadis
itu berpaling ke kiri.
Sakawuni tercekat. Ternyata lima langkah dari
tempatnya berdiri, semak belukar menguak. Lalu,
muncul Pendekar Mata Keranjang 108.
Sebentar Sakawuni terkesima. Namun tak lama
kemudian, dia telah dapat menguasai diri.
"Manusia satu ini benar-benar berilmu tinggi.
Aku bisa dikecohnya. Aku sebenarnya masih meragu-
kan dugaan kakang Pandu. Tapi...."
Belum selesai Sakawuni membatin, Aji telah me-
langkah mendekati tanpa senyum. Malah sepasang
matanya tajam berkilat, mengawasi gadis itu.
Tak tahan ditatap demikian, Sakawuni menun-
duk. Bukan karena takut, namun karena mata itu se-
perti memendam keanehan yang membuat dadanya
berdebar lebih cepat. Dan ini membuat dia ingin ber-
lama-lama di situ, meski tanpa memandang.
"Sakawuni!" tegur Aji dengan suara perlahan.
"Aku meninggalkan kalian jangan dianggap karena ta-
kut atau pengecut. Tapi, itu kulakukan karena aku tak
ingin menambah kepedihan hatiku. Dan aku tak ingin
membuat keributan di depan jenazah Eyang Ageng Pa-
nangkaran!"
Sakawuni diam saja. Wajahnya dipalingkan. Na-
mun ekor matanya sesekali mencuri pandang.
"Percayalah, bukan aku yang melakukannya...,"
sambung Aji dengan kedua mata tetap memandang
Sakawuni.
Sementara yang diajak bercakap masih saja tak
buka suara.
"Sakawuni! Sebenarnya aku ingin lebih lama ber-
temu denganmu. Namun kali ini rupanya kau tak begi-
tu berkenan. Baiklah.... Aku pun masih punya sesuatu
yang harus segera kuselesaikan. Jaga dirimu baik-
baik!" lanjut Aji.
Habis berkata, Pendekar Mata Keranjang 108
berbalik dan melangkah pergi. Namun baru tiga lang
kah, gerakan kakinya dihentikan tatkala....
"Pendekar Mata Keranjang 108!" panggil Saka-
wuni. "Kau tak perlu bicara soal kematian Guru. Kare-
na hal itu masih kuselidiki. Jika nantinya memang kau
yang melakukannya, sumpahku terhadap Guru masih
berlaku! Dan, jangan harap kau bisa lolos dari tangan-
ku. Tubuhmu akan kucincang dan kepalamu akan ku-
bawa ke makam Guru!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berbalik, meman-
dang Sakawuni dengan senyum tersungging.
"Bagus! Itu memang hal yang patut dilakukan
seorang murid yang baik. Kutunggu kedatanganmu di
Kampung Blumbang. Namun, percayalah. Kedatan-
ganmu nantinya kuharap tidak membawa amarah.
Apalagi berniat memenggal kepalaku. Kuharap, keda-
tanganmu dengan senyum yang selama ini selalu ku
rindukan dan mata yang selalu ku impikan...," tegas
Pendekar Mata Keranjang 108.
Wajah Sakawuni berubah merah padam. Da-
danya berdebar-debar.
"Ah! Kenapa aku tadi bicara begitu keras? Dia ta-
di mengatakan senyum ku selalu dirindukan.... Apa-
kah dia selama ini juga merasakan seperti apa yang ku
rasakan... ? Hmm.... Betapa bahagianya jika dia benar-
benar selalu mengimpikan diriku. Aku akan datang ke-
lak ke Kampung Blumbang, membawa seperti apa yang
dikatakannya tadi...," rutuk Sakawuni dalam hati.
"Sakawuni.... Kau temukan dia?!"
Sebuah suara tiba-tiba menyadarkan Sakawuni.
Begitu berpaling gadis ini terperanjat. Ternyata Pandu
telah berdiri tak jauh darinya dengan dahi mengernyit.
Sedangkan matanya memandang dengan menyipit dan
membesar.
Sebentar Sakawuni mengerjap-ngerjapkan sepa-
sang matanya yang sayu. Lantas pandangannya berpu
tar ke sekeliling.
"Hmm.... Pendekar Mata Keranjang 108 telah
pergi. Aku harus menyembunyikan pertemuan tadi,
karena kurasa kakang Pandu masih curiga pada Pen-
dekar Mata Keranjang 108...," gumam gadis itu dalam
hati.
"Sakawuni.... Ada apa denganmu?" tanya Pandu
sambil menggeleng-geleng penuh keheranan.
Sakawuni tersenyum, lalu melangkah mendekati
kakak seperguruannya.
"Kakang.... Aku tidak menemukan dia...," sahut
Sakawuni perlahan.
"Tapi sepertinya kau tadi termenung. Jangan-
jangan kau...."
"Kakang Pandu!" potong Sakawuni dengan wajah
cemberut. "Kita baru saja ditinggalkan orang yang se-
lama ini mengasuh dan mendidik kita. Aku sedang me-
renungkan Guru!"
Pandu sedikit tersentak, dan seperti baru sadar.
Lantas kepalanya mengangguk.
"Maafkan aku, Sakawuni.... Aku..., aku terlalu
berprasangka padamu! Ini gara-gara Pendekar Mata
Keranjang 108! Hmm...," ucap Pandu.
Sakawuni sesaat menatap Pandu, lalu terse-
nyum.
"Kakang! Kita harus cepat kembali dan mengurus
jenazah Guru.... Soal lainnya, kita bicarakan nanti se-
telah pemakaman Guru selesai...."
Pandu mengangguk.
***
ENAM
Guntur menggelegar membelah angkasa. Langit
menghitam tertutup bongkahan-bongkahan awan yang
sepertinya enggan beranjak. Saat itu juga hujan deras
mengguyur bumi, mengeluarkan desahan yang meng-
gidikkan bulu roma. Padahal sebenarnya matahari ba-
ru saja merayap bangun dari titik timur.
Pendekar Mata Keranjang 108 berkelebat membe-
lah derasnya hujan. Tubuhnya tampak bergetar meng-
gigil kedinginan. Sementara gigi-giginya saling beradu
satu sama lain mengeluarkan suara bergeletak.
Ketika mencapai ujung desa yang berbatasan
dengan Singasari, Pendekar Mata Keranjang 108
menghentikan larinya. Dan tatkala melihat sebuah ke-
dai, tanpa pikir panjang lagi tubuhnya langsung berke-
lebat.
Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
memasuki kedai, langkahnya terhenti seketika. Sepa-
sang matanya sesaat membeliak tak berkedip. Da-
danya berdebar kencang dengan tubuh semakin berge-
tar. Kedua tangannya kontan membentuk kepalan.
Pemilik kedai yang mengetahui tingkah Pendekar
Mata Keranjang 108 serentak mengawasi dengan sinar
mata curiga. Dengan tatapan nyalang. Kakinya me-
langkah mendekati Pendekar Mata Keranjang 108 yang
masih tampak berdiri di ambang pintu kedai.
"Silakan, Den. Mari masuk...," sapa pemilik kedai
dengan senyum yang dipaksa-paksakan.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 sepertinya
tidak mendengar sapaan ramah itu. Sepasang matanya
tetap mengawasi dengan pandangan amarah pada seo-
rang gadis yang duduk di pinggir dinding kedai.
Gadis yang dipandangi Pendekar Mata Keranjang
108 berwajah cantik jelita. Kulitnya putih, dibalut pa-
kaian ketat warna merah. Rambutnya panjang ikal dan
dikuncir agak ke atas.
"Bayangan Seribu Wajah! Kali ini kau tak akan
kulepaskan lagi!" desis Pendekar Mata Keranjang 108
dengan geram.
Aji lantas berbalik dan melangkah keluar dari ke-
dai. Tindakannya membuat pemilik kedai makin heran.
Sejenak diawasi kepergian Pendekar Mata Keranjang
108, lalu beralih pada gadis berbaju merah.
"Anak muda, jika melihat gadis cantik tingkahnya
aneh-aneh...," bisik pemilik kedai sambil menggeleng
dan melangkah kembali ke dalam.
Sampai di meja gadis berbaju merah itu berada,
pemilik kedai sejenak menghentikan kakinya. Matanya
yang sudah redup dimakan usia sedikit membesar
memperhatikan.
"Hmm.... Tak dapat disangkal! Gadis ini memang
benar-benar cantik. Apalagi potongan tubuhnya indah.
Dan pakaiannya pun dibuat demikian rupa. Hm....
Seandainya masih muda, aku tentu tak mau kalah
saing dengan pemuda tadi...," kata batin pemilik kedai.
Namun pemilik kedai ini segera memalingkan wa-
jahnya tatkala gadis berbaju merah serta merta me-
mandang ke arahnya.
"Tua-tua masih juga suka mencuri pandang. Da-
sar laki-laki!" gumam gadis yang tak lain Bayangan Se-
ribu Wajah seraya mengalihkan pandangan ke jurusan
lain.
Saat itulah sepasang mata Bayangan Seribu Wa-
jah menangkap sesosok tubuh berpakaian hijau den-
gan baju dalam warna kuning lengan panjang sedang
duduk jongkok di tiang kedai.
"Hm.... Rupanya dia datang lebih awal dari du-
gaan.... Dia pasti telah melihatku. Ini kesempatan
baik...," gumam Bayangan Seribu Wajah.
Gadis cantik berbaju merah itu tetap tenang me-
neruskan santap makanannya. Namun ekor matanya
tak henti-hentinya melirik.
Setelah menyelesaikan makan, Bayangan Seribu
Wajah berdiri. Kakinya melangkah tenang ke dalam,
membayar harga makanannya. Lalu dengan tenang dia
melangkah keluar.
Di ambang pintu, Bayangan Seribu Wajah meng-
hentikan langkahnya. Dahinya berkerut dengan mata
berputar ke sekeliling halaman kedai yang baru saja
diguyur hujan. Dahinya makin mengernyit, tatkala se-
pasang matanya tak menemukan orang yang dicari.
"Hmm.... Aku tadi pasti tidak salah lihat. Me-
mang dia, Pendekar Mata Keranjang 108 yang tadi
jongkok di sini. Tapi, ke mana dia sekarang...? Apa
langsung menuju Singasari...? Hmm.... Berarti dia te-
lah mengetahui kejadian di Lembah Baka," kata
Bayangan Seribu Wajah dalam hati.
"Sebaiknya aku cepat ke Candi Singasari."
Bayangan Seribu Wajah segera melangkah keluar
dari kedai sambil memperhatikan berkeliling. Namun
orang yang dicari memang tidak ada. Maka segera
menghempos kekuatannya hendak berkelebat. Namun
gerakan tubuhnya tiba-tiba dibatalkan ketika telin-
ganya menangkap sebuah nyanyian tak karuan, di-
tingkah siulan pendek-pendek. Perlahan memang. Na-
mun hebatnya, mampu membuat telinga yang men-
dengarnya bagai ditusuk-tusuk
"Dia masih berada di sini. Rupanya dia sengaja
menungguku...."
Bayangan Seribu Wajah segera memalingkan wa-
jah ke arah sumber suara nyanyian. Hatinya sedikit
terkejut. Karena saat berpaling....
Wesss...!
Mendadak terasa serangkum angin menyambar
ke arah gadis ini.
Bayangan Seribu Wajah segera berbalik cepat
sambil menghantamkan kedua tangannya.
Wusss...!
Prasss...!
Namun kembali gadis itu dibuat terkejut. Karena
serangan yang dilancarkannya mendadak mental balik,
dan melesat ke arah dirinya sendiri.
"Hiaaa...!"
Disertai teriakan nyaring, Bayangan Seribu Wa-
jah cepat melesat ke samping, menghindari serangan-
nya sendiri.
"Heh?!"
Begitu menjejak tanah di samping, Bayangan Se-
ribu Wajah membelalak mata hampir tak percaya. Ter-
nyata sambaran angin yang mengarah padanya dan
serangannya yang berbalik akibat kipasan-kipasan
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sepertinya tidak
disengaja.
Memang saat itu Aji tengah berkipas-kipas bagai
menghilangkan rasa gerah yang mendera sekujur tu-
buhnya.
Selagi Bayangan Seribu Wajah terlolong kehera-
nan, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat
"Bayangan Seribu Wajah! Hari ini kau tidak akan
bisa lari dari tanganku! Berdoalah sebelum ajal men-
jemput mu!" bentak Pendekar Mata Keranjang 108
yang tahu-tahu telah berdiri tujuh langkah di depan
Bayangan Seribu Wajah.
Dengan menekan rasa terkejut, gadis itu menatap
nyalang pada murid Wong Agung ini. Bersamaan den-
gan itu senyumnya segera menyeruak di bibirnya yang
tampak membentuk indah.
"Kau terlalu sembrono bicara. Kaulah yang terlebih dahulu akan kukirim menyusul nenek moyangmu!"
balas Bayangan Seribu Wajah, jumawa.
Saat itu juga Bayangan Seribu Wajah segera me-
nyongsong Pendekar Mata Keranjang 108 dengan hen-
takan kedua tangannya ke arah kepala.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan keras, Aji cepat melesat ke
udara, sehingga hantaman tangan Bayangan Seribu
Wajah yang langsung mengarah pada salah satu ba-
gian me-matikan lolos menerabas angin.
Aji yang kali ini bertekad menaklukkan Bayangan
Seribu Wajah, tak lagi menyia-nyiakan kesempatan.
Saat itu juga, dari udara tubuhnya mendadak menukik
deras dengan kaki kiri lurus menghantam. Serangan
ini sebenarnya hanya untuk mengalihkan perhatian.
Karena begitu lawan menghindari terjangan kaki ki-
rinya, tangan kirinya cepat mengibaskan. Sedangkan
tangan kanan menusuk dengan pangkal kipas.
Namun Bayangan Seribu Wajah rupanya bisa
membaca tipuan ini. Nyatanya, dia tidak berusaha
menghindar. Malah sambil mengeluarkan tawa ngikik,
disambutnya terjangan kaki kiri Aji dengan pentangan
tangan di depan dada. Lalu begitu terjangan itu sam-
pai, kedua tangannya segera diputar. Sehingga, mau
tak mau Aji harus menarik pulang kaki kirinya.
Namun Aji pun tak mau serangannya sia-sia.
Sambil menarik kembali kaki kirinya, kedua tangannya
segera bergerak. Tangan kirinya yang terbuka didorong
perlahan ke arah dada. Sedangkan tangan kanan yang
memegang kipas disabetkan melengkung
Wusss...!
Desiran angin kencang yang menggemuruh mele-
sat, disusul kemudian sambaran sinar keputihan me-
lengkung.
Bayangan Seribu Wajah sadar bahaya sedang
mengancamnya.
"Huhhh...!"
Sambil mendengus keras, Bayangan Seribu Wa-
jah langsung berkelebat ke samping, menghindari
sambaran serangan tangan kiri Aji. Lalu, mendadak
tubuhnya terus bergulingan di atas tanah. Pada gulin-
gan kelima, dia berhenti. Langsung kedua tangannya
dihantamkan, memapasi sinar putih lengkung dari ki-
basan kipas ungu Pendekar Mata Keranjang 108.
Wuttt...!
Wusss...!
Blarrr...!
"Aaakh...!"
Suara desiran-desiran yang sejak tadi melingkupi
akibat bias pukulan Bayangan Seribu Wajah atau Pen-
dekar Mata Keranjang 108, segera punah oleh gelegar
dahsyat. Memang begitu keras hantaman kedua tan-
gan Bayangan Seribu Wajah bentrok dengan sinar pu-
tih melengkung. Bahkan gadis itu sampai menjerit ter-
tahan.
Tampak tubuh Bayangan Seribu Wajah melenting
ke udara, lalu jatuh berdebuk di atas tanah dengan
pakaian berubah warna agak kebiruan.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 sendiri
terjajar tiga langkah ke belakang. Tubuhnya ter-
huyung-huyung, lantas jatuh terduduk.
"Keparat! Kubunuh kau!" bentak Bayangan Seri-
bu Wajah seraya bangkit.
Dan tiba-tiba saja tubuh gadis itu berputar mele-
sat ke udara, lalu lenyap dari pandangan.
"Gila! Ke mana dia lenyapnya?!" gerutu Aji dalam
hati sambil memutar kepalanya, mencari Bayangan Se-
ribu Wajah.
Sewaktu Aji memutar pandangan, mendadak
menebar hawa dingin yang disertai aroma bunga kamboja dari belakang. Seketika tubuhnya berbalik cepat.
Ternyata, Bayangan Seribu Wajah telah berdiri tegak
dengan senyum satu langkah di belakangnya. Dan se-
belum sempat Pendekar Mata Keranjang 108 melompat
menjauhkan diri, kedua tangan gadis itu telah terlebih
dahulu berkelebat menyambar ke arah pelipis.
Werrr...!
Deru angin kencang melesat mendahului hanta-
man tangan Bayangan Seribu Wajah, membuat Aji ter-
huyung sedikit. Saat demikian itulah hantaman kedua
tangan Bayangan Seribu Wajah datang!
Wuttt...!
Dengan menindih rasa terkejut, Aji mengerahkan
segenap tenaga untuk melenting ke atas. Namun ju-
stru saat itulah secepat kilat Bayangan Seribu Wajah
menarik kembali kedua tangannya seraya melepas ka-
ki kanannya. Dan....
Bukkk!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 seketika merasa-
kan dadanya seperti jebol begitu tendangan Bayangan
Seribu Wajah mendarat telak. Disertai lenguhan pen-
dek, tubuhnya meluncur deras lima tombak, dan baru
terhenti ketika punggungnya menghempas tiang pe-
nyangga kedai. Saat itu juga tiang kedai patah dan
atapnya runtuh, menimpa tubuh Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 yang terkapar di bawahnya.
"Jangkrik! Keras benar tendangannya. Dadaku
terasa ambrol, dan sakit bukan alang kepalang. Napas
ku sesak. Huhhh...! Mataku sedikit berkunang-
kunang. Benar-benar gila!" keluh Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Untuk beberapa saat lamanya dia hanya
diam tak bergerak.
Namun tatkala matanya melihat Bayangan Seribu
Wajah melangkah mendatangi, Pendekar Mata Keran
jang 108 segera bangkit dari timbunan atap kedai. Se-
ketika tubuhnya berkelebat menyongsong langkah ga-
dis itu, sambil melepaskan pukulan 'Bayu Cakra Bua-
na'. Sementara, tangan kanannya lurus mengebutkan
kipasnya.
Wuttt...! Wesss...!
Seketika larikan-larikan sinar putih redup meng-
gebrak, mengeluarkan suara deru dahsyat. Di sekejap
lain menyusul tebaran angin dingin menusuk!
Menyadari adanya serangan berbahaya, Bayan-
gan Seribu Wajah cepat menghalau. Kedua tangannya
disentakkan bersiutan terus menerus, membuat kila-
tan-kilatan merah yang menyambar dari kedua tan-
gannya bagai hujan tak henti-hentinya.
"Heh?!"
Namun Bayangan Seribu Wajah menjadi pucat
pasi tatkala mendapati serangannya bagai tertahan
dinding karang. Dan bahkan sedikit demi sedikit le-
nyap ditelan sinar redup putih pukulan sakti 'Bayu
Cakra Buana'. Dan wajahnya semakin pias bagai ka-
fan, ketika matanya menangkap sinar redup putih te-
rus saja menerabas ke arahnya.
"Ah!"
Bayangan Seribu Wajah mengeluarkan seruan
seolah-olah terkejut cemas. Dia hampir tak percaya
dan tak habis pikir, mengapa serangan andalannya be-
gitu mudah hilang lenyap? Dengan wajah terheran-
heran, tubuhnya direbahkan sejajar tanah. Lalu tiba-
tiba kedua tangannya kembali disentakkan untuk
membendung lesatan sinar putih redup.
Wesss...!
"Heh...?!"
Namun usaha Bayangan Seribu Wajah tak ada
hasilnya. Ternyata lesatan sinar sambaran tangan
Pendekar Mata Keranjang 108 tak bisa ditahannya.
Akibatnya....
Plassshh...!
"Aaa...!"
Terdengar jeritan melengking dari mulut Bayan-
gan Seribu Wajah tepat ketika tubuhnya melayang.
Tubuh itu meliuk sebentar, lalu roboh ke tanah yang
baru saja tersiram air hujan.
Mendapati lawan roboh, Pendekar Mata Keran-
jang 108 segera berkelebat mendekati. Dia khawatir,
Bayangan Seribu Wajah masih mampu bertahan. Na-
mun langkah pendekar murid Wong Agung ini terhenti,
ketika yakin kalau gadis itu tak lagi bangkit dengan
sepasang mata terbelalak seperti menyimpan dendam.
Jelas, dia telah tewas!
Pendekar Mata Keranjang 108 segera berbalik
dan berkelebat ke arah barat, arah Candi Singasari.
Begitu sosok Aji tak lagi tampak, beberapa orang
di kedai yang sedari tadi melihat dengan kagum dan
khawatir, segera menghambur keluar.
Berpasang-pasang mata serentak melotot dengan
mulut menganga, seperti hampir tak percaya. Gadis
cantik berbaju merah yang tadi sempat menyantap
makanan di kedai, tubuhnya perlahan-lahan berubah.
Wajahnya yang tadinya putih dan tampak kencang
dengan dada membusung menantang, berubah menja-
di wajah seorang nenek-nenek. Rautnya keriput dan
kehitaman. Dadanya pun kendor, hampir menyentuh
perut!
***
TUJUH
Tidak sulit bagi Pendekar Mata Keranjang 108
untuk menemukan Candi Singasari. Namun begitu su-
asana pelataran candi yang lengang, membuat pera-
saan ragu-ragu menyeruak di hatinya.
"Di bagian mana bajingan itu mendekam...? Aku
tidak melihat satu bangun pun yang layak untuk dija-
dikan sebagai tempat tinggal." gumam Pendekar Mata
Keranjang 108 bertanya dalam hati. Pandangan ma-
tanya yang tidak kesiap diarahkan jauh ke depan,
mengitari pelataran dan sisi candi.
Tapi perasaan ragu-ragu pendekar murid Wong
Agung ini sedikit sirna. Malah matanya segera dipe-
jamkan. Sementara pendengarannya ditajamkan. Begi-
tu matanya dibuka kembali, Pendekar Mata Keranjang
108 segera menyelinap ke balik sebuah pohon.
"Aku merasakan ada getaran-getaran halus yang
tak henti-hentinya...," kata batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. "Hmm.... Ini getaran-getaran yang diaki-
batkan tenaga dalam. Aku harus berhati-hati. Yang
membuat getaran-getaran ini pasti mempunyai ilmu
cukup tinggi. Dan sebaiknya, aku menunggu sebentar
sambil menyelidik sekitar tempat ini...."
Berpikir begitu, Pendekar Mata Keranjang 108
segera berkelebat cepat mengitari pelataran candi. Na-
mun sebegitu jauh sumber getaran yang kini terasa
mulai agak sirna belum bisa ditemukan.
Dan baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
hendak melanjutkan penyelidikikannya, sepasang te-
linganya menangkap suara benda bergesek. Kedua ma-
tanya segera nyalang mencari. Kakinya seketika mun-
dur tiga langkah ke belakang. Sementara matanya tak
hentinya mengawasi ke depan. Tepatnya, ke bagian belakang candi yang sepertinya tak terawat baik.
"Suara itu berasal dari sana...," bisik Pendekar
Mata Keranjang 108.
Selagi berpikir begitu, tiba-tiba dari bagian bela-
kang candi melesat sebuah bayangan hitam.
"He... he... he...!"
Kemudian menyusul suara tawa mengekeh. Keti-
ka suara tawa lenyap, tahu-tahu....
"Jangan berani berbuat macam-macam di sini ji-
ka nyawamu masih kau perlukan!"
Terdengar suara bentakan dahsyat seketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menoleh, melihat satu so-
sok telah berdiri empat tombak di belakang. Dan baru
saja Aji berbalik, sosok itu telah menghentakkan kedua
tangannya.
Dua rangkum angin kencang laksana gemuruh
gelombang segera menyapu ke arah Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Aji terperangah. Raut mukanya berubah seketika
dengan mata membesar. Namun dia tak bisa berlama-
lama karena saat itu juga sapuan angin kencang mela-
brak.
Dengan gerakan lincah Pendekar Mata Keranjang
108 memiringkan sedikit tubuhnya. Sehingga, samba-
ran angin itu hanya menghantam tempat kosong satu
jengkal di sampingnya.
"Ha... ha... ha...!"
Terdengar kembali suara tawa keras panjang
berderai-derai. Sepasang mata Pendekar Mata Keran-
jang 108 memperhatikan seksama.
"Hmm.... Siapa manusia ini?" tanya Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 dalam hati, seraya memperhatikan
lebih seksama.
Di hadapan Aji kini berdiri seorang perempuan
tua berjubah warna hitam dan bersorban. Rambutnya
putih yang panjang dibiarkan bergerai awut-awutan.
Paras wajahnya putih pucat. Namun kulit wajahnya
tebal dengan sepasang mata terpuruk ke dalam. Mu-
lutnya tak henti-hentinya bergerak-gerak, seperti men-
gunyah sesuatu yang tak pernah habis.
"Siapa kau?!" bentak perempuan tua berjubah hi-
tam itu tiba-tiba.
Dahi Pendekar Mata Keranjang 108 mengernyit.
Matanya memandang tak berkedip. Dia berpikir keras,
mengingat-ingat.
"Ah, aku ingat. Manusia ini adalah orang yang
dipanggul Malaikat Berdarah Biru, saat turun dari Bu-
kit Watu Dakon. Hm..., tapi siapa dia? Sobat Malaikat
Berdarah Biru? Atau...?"
"Bocah setan!"
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak meneruskan
kata batinnya, karena saat itu terdengar lagi bentakan
dari orang di hadapannya. Dia tak lain guru Malaikat
Berdarah Biru, yakni Bayangan Iblis.
"Sebelum kurobek mulutmu, lekas jawab perta-
nyaanku!" lanjut Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik kuncir
rambutnya. Bibirnya tersenyum.
"Orang tua! Namaku Aji Saputra. Aku seorang
pengelana yang tersesat jalan. Bisakah kau menun-
jukkan padaku, ke mana arah menuju tempat pema-
kaman?" jelas Aji, berpura-pura.
Bayangan Iblis tiba-tiba menghentikan gerakan
mulutnya. Sorban di kepalanya bergerak sedikit, men-
gikuti kerutan dahinya. Sedangkan matanya melotot,
mengawasi pemuda di hadapannya dari ujung kepala
hingga ujung kaki.
"Aneh! Pemuda tersesat jalan yang ditanyakan
tempat orang mati. Siapa kampret ini? Tapi melihat
dengan mudahnya dia menghindari sambaran seran
ganku, jelas bukanlah orang sembarangan. Lagi pula
sikapnya tak menunjukkan rasa takut sama sekali,
meski ku gertak dengan serangan mendadak. Hmm....
Siapa sebenarnya dia...?" kata batin Bayangan Iblis.
Tatapan Bayangan Iblis menjalan terus, dan ber-
henti pada dua bola mata Aji. Bahkan kini sinar ma-
tanya mencorong tajam, seperti hendak menghujam
jantung pemuda itu.
"Bocah sesat!" kembali Bayangan Iblis memben-
tak. "Kalau itu yang kau tanyakan, aku bisa tunjukan
padamu! Ini jalannya!"
Saat itu juga Bayangan Iblis segera melesat cepat
ke depan. Kedua tangannya yang mengepal menghan-
tamkan ke arah kanan kiri pelipis Pendekar Mata Ke-
ranjang 108!
Wuuut! Wuuut!
Sinar putih biru redup berkilat menghantam ter-
lebih dahulu sebelum dua tangan itu menggebrak.
Pendekar Mata Keranjang 108 bertindak cepat.
Disadari betul meski belum pernah bertemu, namun
melihat serangan dadakan tadi, Pendekar Mata Keran-
jang 108 bisa segera menduga bahwa orang tua di ha-
dapannya mempunyai kepandaian tinggi. Maka sece-
pat kilat kepalanya merunduk menghindari hantaman
tangan. Kemudian kedua tangannya yang berputar di-
dorongkan. Sehingga secara tiba-tiba, tangannya men-
julur hendak menangkap dua pundak Bayangan Iblis.
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 terperan-
jat, karena saat itu mendadak pula Bayangan Iblis
memiringkan tubuhnya ke belakang. Tepat ketika Pen-
dekar Mata Keranjang 108 menarik kedua tangannya,
hantaman kaki kanan Bayangan Iblis melesat ke de-
pan. Sehingga gerakan Aji agak terlambat. Dan....
Prakkk!
"Aaakh...!"
Terdengar benturan keras. Tangan Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 bagai tersengat jilatan api. Tubuhnya
segera beringsut mundur dengan mulut meringis ke-
sakitan. Sementara orang tua renta itu mengeluarkan
seruan perlahan. Wajahnya yang berkulit tebal berge-
rak-gerak, dan berubah menjadi mengelam.
"Kurang ajar! Siapa kau sebenarnya...?!" bentak
Bayangan Iblis.
"Tadi sudah kukatakan. Apa perlu ku ulangi la-
gi?" sahut Pendekar Mata Keranjang 108 masih dengan
meringis.
"Orang sesat! Waktuku tidak banyak! Katakan,
apa maksudmu sebenarnya?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 memasukkan tan-
gan kiri ke balik pakaian hijaunya. Lalu begitu keluar
lagi, dalam genggamannya terdapat robekan kain ber-
warna merah. Dengan senyum dikulum, dilemparkan-
nya robekan kain ke hadapan Bayangan Iblis,
Sejenak Bayangan Iblis memperhatikan wajah
Pendekar Mata Keranjang 108 dengan pandangan tak
mengerti. Lalu, matanya beralih pada robekan kain
yang kini tercampak di depannya. Tiba-tiba mata pe-
rempuan tua ini membeliak besar. Hidungnya men-
gendus. Dan sebentar kemudian, dihelanya napas da-
lam-dalam. Tingkahnya seakan-akan ingin meyakin-
kan penciumannya.
"Hmm.... Aku mencium aroma Bunga Kamboja.
Astaga! Berarti ini robekan kain pakaian Bayangan Se-
ribu Wajah!" sentak Bayangan Iblis.
Dan sekonyong-konyong, air muka Bayangan Ib-
lis tambah memerah. Pelipisnya bergerak-gerak per-
tanda menahan amarah.
"Kurasa kau sudah tahu. Sekarang giliranmu un-
tuk menyusul temanmu itu!" usik Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sebelum Bayangan Iblis bersuara. Wajah
nya kini telah berubah. Tak ada senyum di bibirnya.
"Keparat! Kau apakan temanku itu, heh?!"
"Pertanyaan bodoh. Tapi karena orang tua yang
bertanya, aku maklum. Dengar baik-baik, biar aku tak
usah mengulangi. Temanmu yang bergelar Bayangan
Seribu Wajah, telah kukirim ke tempat pemakaman!"
jelas Pendekar Mata Keranjang 108 enteng.
Bayangan Iblis melengak kaget. Tanpa terasa dia
menelan liurnya sendiri. Mulutnya bergerak-gerak le-
bih cepat dan keras, seraya menggumam sesuatu yang
tidak jelas. Lantas kakinya mundur dua langkah. Ke-
palanya mendongak ke atas.
"Pemuda jahanam! Pasang telingamu baik-baik.
Kau saat ini sedang berhadapan dengan tokoh rimba
persilatan yang berjuluk Bayangan Iblis. Dan melihat
tampang dari ciri-cirimu, serta dendam yang kau tum-
pahkan pada Bayangan Seribu Wajah, aku yakin kau
pasti pemuda yang bergelar Pendekar Mata Keranjang
108!"
"Bagus! Dan untung kau telah dapat mengenali-
ku, hingga aku tak perlu susah-susah lagi menerang-
kan...!"
"Hmm... begitu?" kata Bayangan Iblis sambil ter-
tawa panjang. "Pendekar Mata Keranjang 108! Dengar!
Jika kau bersedia menyerahkan kipas dan bumbung
bambu yang ada padamu, aku tidak akan menuntut
ke-matian Bayangan Seribu Wajah. Bahkan aku akan
menggantinya dengan perawan sebanyak yang kau
minta!"
"Ha... ha... ha...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 malah tertawa ter-
bahak-bahak.
"Sayang sekali kau terlambat, Orang Tua! Aku
sebenarnya tertarik sekali dengan tawaranmu yang
membuat dadaku bergetar. Namun seperti yang kuka
takan tadi, kau terlambat. Bayangan Seribu Wajah te-
lah merampas kipas dan bumbung bambu itu. Kalau
kau benar-benar menginginkannya, aku bisa mengan-
tarmu ke tempat Bayangan Seribu Wajah. Sekarang
juga!" balas Pendekar Mata Keranjang l08, enteng.
Bayangan Iblis menggeram. Tubuhnya yang renta
bergetar hebat. Lalu....
"Heaaa...!"
Didahului bentakan nyaring, tubuh perempuan
tua itu berputar hebat, dan bergulingan di pelataran
candi dua kali. Pada gulingan ketiga, tiba-tiba tubuh-
nya melesat ke udara dan langsung melemparkan ta-
nah yang ternyata telah tergenggam di tangannya.
Wuuuss! Wuuuss!
Pemandangan tiba-tiba redup terhalang taburan
tanah yang ternyata kini telah pula menebarkan hawa
panas menyengat. Dan sebelum taburan tanah itu
menghambur kembali ke bawah, Bayangan Iblis segera
men-dorong kedua tangannya.
Wusss...!
Taburan tanah itu seketika tertahan di udara.
Dan sekejap kemudian, bergerak cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108 laksana kabut hitam!
Pendekar Mata Keranjang 108 tercekat sebentar.
Namun seketika kedua tangannya segera dipentang-
kan, lalu digerakkan ke depan. Jelas terlihat kalau
murid Wong Agung ini ternyata telah melepas pukulan
'Ombak Membelah Karang'.
Wuttt!
"Heh?!"
Namun mata Pendekar Mata Keranjang 108 jadi
terkesiap. Ternyata kabut hitam hamparan tanah itu
tak mempan oleh pukulan yang telah dilepaskannya.
Malah kabut hitam berhawa panas itu lebih cepat lagi
bergerak!
"Edan! Pukulan 'Ombak Membelah Karang' tak
mampu membendungnya. Akan ku tahan dengan
'Bayu Cakra Buana'!"
Pendekar Mata Keranjang 108 menarik tangan ki-
rinya. Sementara tangan kanannya cepat menyelinap
ke balik baju, mengambil kipasnya. Di sekejap lain,
tangan kiri dan kanannya segera menghentak ke atas.
Wuttt!
Werrr...!
Hamparan tanah yang menghampar panas kon-
tan tersapu, dan berhamburan mental lalu lenyap!
"Hei?!"
Bayangan Iblis yang baru saja mendarat terkejut
bukan kepalang. Sambil menyeringai buas, dia cepat
melompat ke samping.
"Hiaaat...!"
Lalu dengan bentakan dahsyat perempuan tua
itu mengirimkan serangan dengan terjangan kaki lu-
rus.
Begitu cepat terjangan kaki itu. Sehingga belum
sempat Pendekar Mata Keranjang 108 mengetahui apa
yang hendak dilakukan lawan, terjangan kaki itu telah
datang menghantam.
"Celaka! Aku hampir tak percaya kalau gerakan
perempuan setua dia masih begitu cepat. Hmm.... Tak
percuma jika rimba persilatan menjulukinya Bayangan
Iblis!" desis Pendekar Mata Keranjang 108 dalam hati.
Dan...
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 merasakan tubuh-
nya bagai terhantam beban berkati-kati. Kedua ka-
kinya terasa goyah, lalu tubuhnya melayang ringan
disertai keluhan panjang. Begitu membuka mata, tu-
buhnya telah terkapar di pelataran candi dengan darah
merembes dari sudut bibir.
Melihat pemuda itu terjengkang roboh, Bayangan
Iblis tak menyia-nyiakan kesempatan. Tubuhnya cepat
dilorot hingga hampir jongkok. Dan sekonyong-
konyong, tubuhnya melesat ke udara. Satu tombak di
atas udara, tiba-tiba dia menukik deras dengan tangan
kanan kiri terpentang siap memukul. Sementara, kaki
kanan dan kiri siap menerjang!
Aji hanya menyeringai. Tubuhnya segera bangkit
seraya mengibas-ngibaskan bajunya yang penuh den-
gan lumuran tanah. Lalu sambil menggeram disong-
songnya serangan Bayangan Iblis. Dilepaskannya satu
pukulan tangan kiri. Sedang tangan kanannya menu-
suk menggunakan kipas ungu.
"Hih...!"
Desss! Desss!
Prakkk!
"Aaakh...!"
Terdengar benturan dua kali berturut-turut. Di
lain sekejap terdengar pula bunyi patah. Sementara,
perempuan renta berjuluk Bayangan Iblis yang semula
merasa di atas angin kini mengeluarkan pekikan bebe-
rapa kali. Tangan kanan kirinya yang siap menghan-
tam ke arah kepala Pendekar Mata Keranjang 108
bermentalan. Sedangkan sepasang kakinya terhumba-
lang ke atas, membuat tubuhnya terjungkir dan me-
nyusup tanah!
Di lain pihak, Aji tak bergeming sedikit pun. Na-
mun tubuhnya sebentar kemudian tampak oleng dan
jatuh terduduk.
Untuk beberapa saat perempuan tua renta guru
Malaikat Berdarah Biru itu terhenyak nanar dengan
wajah meringis menahan sakit. Dari sela bibirnya
mengalir darah kehitaman, pertanda terluka dalam.
Hebatnya, meski telah terluka Bayangan Iblis bagai tak merasakannya. Dia segera bangkit.
"Heaaagh...!"
Sambil meraung keras, perempuan tua itu me-
lompat seraya mengirimkan jotosan yang telah dialiri
tenaga dalam penuh.
Seett! Seeett!
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat mengem-
bangkan kipasnya dan langsung dikebut-kebutkan di
depan dada. Tubuhnya diputar hingga miring. Sepa-
sang matanya melirik ke kanan, ke arah serangan
Bayangan Iblis datang.
Jotosan-jotosan Bayangan Iblis begitu cepat dan
susul menyusul. Sehingga yang tampak hanya bayang-
bayang hitam yang melesat kian kemari mengeluarkan
sinar biru redup. Dahsyatnya, setiap kelebatan tan-
gannya yang belum menghantam sasaran, sinar putih
biru telah terlebih dahulu melesat mendahului!
Begitu sinar putih biru yang datangnya menda-
hului serangan sesungguhnya datang, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat menghentakkan kipasnya dari
bawah melengkung ke atas.
Weeesss! Weeesss!
Blap!
Larikan-larikan sinar putih segera melingkupi,
membuat deruan sinar putih biru tertahan.
"Heh?!"
Bayangan Iblis terperangah kaget. Namun karena
tubuhnya telah telanjur maju, hingga tak ada waktu
untuk mengurungkan serangan. Maka mau tak mau
sambil menindih rasa jera yang mulai mengusik da-
danya, jotosan-jotosan tangannya diteruskan.
Wuutt...! Wuutt...!
Murid Wong Agung segera merunduk, menghin-
dari jotosan-jotosan tangan Bayangan Iblis. Dan ber-
samaan dengan itu tangan kirinya dihantamkan sambil memutar tubuhnya.
Sinar putih redup disertai kepalan tangan Pende-
kar Mata Keranjang 108 yang keras bukan main tidak
bila lagi dibendung. Akibatnya, langsung menghantam
telak dada Bayangan Iblis.
Desss...!
"Aaakh...!"
Orang tua ini meraung keras. Tubuhnya mence-
lat sampai delapan tombak. Saat tubuhnya melayang,
dia masih bisa menyadari keadaan. Maka tenaga da-
lamnya coba dikerahan untuk menahan luncuran tu-
buhnya.
"Hei?!"
Namun Bayangan Iblis jadi terkejut. Semakin co-
ba menahan, semakin cepat luncuran tubuhnya. Hing-
ga tanpa bisa lagi berpikir apa yang harus diperbuat,
tubuhnya telah menghantam pintu masuk candi yang
terbuat dari batu hitam.
Brakkk...!
Sekujur tubuh Bayangan Iblis telah merah ber-
mandi darah yang keluar dari lobang-lobang di seluruh
tubuhnya. Begitu banyaknya darah yang keluar, mem-
buatnya tak mampu menggerakkan anggota tubuhnya.
Jubah hitam yang dikenakan telah terkoyak tak ka-
ruan. Rambutnya yang semula putih kini berubah
menjadi hitam berbau sangit!
Pendekar Mata Keranjang 108 yang sempat juga
terkapar, segera bangkit. Lalu kakinya melangkah,
mendekati Bayangan Iblis sambil berkipas-kipas.
"Bayangan Iblis!" panggil Pendekar Mata Keran-
jang 108 begitu dekat. "Tunjukkan, di mana manusia
laknat yang menggelari diri dengan Malaikat Berdarah
Biru itu...!"
Yang diajak bicara hanya diam saja. Hanya sepa-
sang matanya tampak mengerjap-ngerjap, membuat
Pendekar Mata Keranjang 108 naik pitam. Aji lantas
berjongkok. Janggut Bayangan Iblis disentuh dan di-
tengadahkan ke atas. Sementara kipasnya disentakkan
melipat, dan ditekankan ke pipi Bayangan Iblis.
"Jika kau tidak mau menjawab, jangan menyesal
bila pipimu akan kubuat berlobang dengan ujung ki-
pas ini!" gertak Pendekar Mata Keranjang 108 dengan
mata berkilat-kilat.
Bayangan Iblis yang nampak ketakutan coba
membuka mulutnya. Namun, tak ada suara yang ter-
dengar keluar.
"Sialan! Kau benar-benar ingin pipimu berlo-
bang...!" kembali Pendekar Mata Keranjang 108 meng-
gertak.
Dan baru saja hendak membuka mulutnya....
"Kau tidak usah berlaku kasar pada orang tua ji-
ka aku yang kau cari!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 dike-
jutkan suara yang datang dari arah belakangnya. Ce-
pat Aji berpaling dan kontan terperangah....
***
DELAPAN
Seorang pemuda bertubuh kekar terbungkus ju-
bah toga warna merah menyala tahu-tahu telah berdiri
tegak. Di telinga kirinya tampak sebuah anting-anting
sambil berdiri demikian, tangannya tak henti-hentinya
mengipas. Setiap kibasan kipasnya tampak menyam-
bar sinar hitam. Setelah sejenak mengawasi, pemuda
berjubah toga merah yang tak lain Malaikat Berdarah
Biru berpaling dan meludah ke tanah.
"Phuih...!"
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat bangkit,
memandang tajam ke depan. Sepasang matanya me-
nyipit dengan dahi membentuk beberapa kerutan. Se-
mentara tangan kirinya mengepal.
"Sialan! Dia memang benar-benar telah berhasil
mendapatkan benda pusaka itu! Aku harus berhati-
hati. Dia mungkin akan jauh lebih hebat daripada be-
berapa tahun silam...," rutuk batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 seraya melangkah ke tengah pelataran
candi.
Begitu Malaikat Berdarah Biru memalingkan wa-
jahnya kembali, pelipisnya bergerak-gerak. Dagunya
yang kokoh mengembung dengan sepasang mata
membeliak.
"Guru!" teriak Malaikat Berdarah Biru seraya
menghambur ke arah Bayangan Iblis.
Pendekar Mata Keranjang 108 kaget. Sungguh
tak disangka kalau Bayangan Iblis adalah guru Malai-
kat Berdarah Biru.
"Hmm.... Jadi dia gurunya...!" gumam Pendekar
Mata Keranjang 108 sambil mengangguk-angguk.
"Guru! Akan ku kuliti bangsat itu!" geram Malai-
kat Berdarah Biru seraya menoleh ke arah Pendekar
Mata Keranjang 108.
"Anak Agung...," panggil Bayangan Iblis perlahan
dengan suara agak tersendat. "Kau harus berhati-hati
menghadapinya. Dia ternyata hebat!"
Mendengar ucapan gurunya, Malaikat Berdarah
Biru mengatupkan rahangnya rapat-rapat. Bibirnya
menyeringai, lalu mendengus keras.
"Guru! Kau tidak pantas mengeluarkan kata-kata
itu di hadapanku! Kau boleh mengakui kehebatannya.
Namun pantang bagi Malaikat Berdarah Biru."
"Anak Agung...," kata Bayangan Iblis, memanggil
nama asli Malaikat Berdarah Biru. "Kau berhak men
gatakan itu. Tapi...."
"Cukup!" sentak Malaikat Berdarah Biru, menyela
kata-kata gurunya. "Aku tak mau mendengar lagi uca-
panmu! Lihat saja nanti, siapa yang terlebih dahulu
menjadi penghuni liang kubur!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru melangkah
ke tengah pelataran candi. Matanya menyengat tajam,
seakan ingin mengelupas batok kepala Pendekar Mata
Keranjang 108.
"Perbuatanmu sudah melampaui batas. Hari ini
adalah hari akhir penundaan nyawamu yang dahulu
masih kuampuni!" desis Pendekar Mata Keranjang
108.
Malaikat Berdarah Biru hanya mendongak ke
atas. Bibirnya menyeruakkan senyum bernada menge-
jek.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Orang yang akan
menemui ajal memang biasanya suka mengungkit-
ungkit masa lalu. Kau tahu? Ajalmu rupanya harus di-
tentukan tanganku! Tangan Malaikat Berdarah Biru.
Ha... ha... ha...!" balas Malaikat Berdarah Biru pongah!
"Manusia angkuh! Seharusnya kau belajar dari
kematian gurumu si Bidadari Telapak Setan, serta
guru barumu yang kini tinggal menunggu jemputan!"
Malaikat Berdarah Biru kembali menyunggingkan
senyum mengejek. Matanya melirik pada gurunya si
Bayangan Iblis.
"Pendekar Mata Keranjang 108! Kau keliru jika
menyuruhku belajar dari mereka. Karena, mereka-
mereka adalah orang bodoh yang tak sanggup mengan-
tarmu ke liang kubur!" kata Malaikat Berdarah Biru,
makin pongah. Saking pongahnya, para gurunya di-
anggap orang bodoh,
"Hmm.... Rupanya kini kau tak membutuhkan
guru lagi. Apakah berarti ilmumu telah demikian tinggi? Bagaimana kalau kau ajarkan padaku barang seju-
rus dua jurus?" ujar Pendekar Mata Keranjang 108,
bernada menantang.
"Ha... ha... ha...!"
Malaikat Berdarah Biru tertawa bergelak-gelak.
"Aku bukan hanya akan mengajarimu jurus-
jurus. Namun juga akan menunjukkan, bagaimana ca-
ranya menikmati kematian!" lanjut pemuda bernama
Anak Agung ini.
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru segera me-
luruk ke depan sambil menghantamkan tangan kiri.
Sedangkan tangan kanan tetap mengipas-ngipas.
Wusss...!
Selarik sinar biru redup melesat cepat ke arah
Pendekar Mata Keranjang 108. Rupanya Malaikat Ber-
darah Biru langsung memulai serangan dengan mele-
paskan pukulan sakti 'Badai Biru'.
Aji sadar, serangan ini amat berbahaya. Maka se-
gera kakinya bergeser ke samping, menghindari seran-
gan Malaikat Berdarah Biru. Maka pukulan pembuka
Anak Agung hanya menghajar tempat kosong di samp-
ing kanannya.
Wajah Malaikat Berdarah Biru makin geram, me-
lihat serangan pembukanya begitu mudah dihindari.
Gigi-giginya saling beradu bergemeletak.
"Heaaa...!"
Didahului bentakan garang, Anak Agung melom-
pat sambil mengibaskan kipasnya. Sementara tangan
kirinya melepas pukulan 'Badai Biru'.
Wusss...!
Wesss...!
Sinar hitam, merah, dan biru bergemuruh segera
menggebrak.
Sadar kalau serangan ini tak cukup hanya dihin-
dari, Pendekar Mata Keranjang 108 segera bertindak
cepat. Tangan kanannya cepat mengebutkan kipasnya,
sementara tangan kiri mendorong ke depan.
Wusss...!
Werrr...!
Segurat sinar putih dan berlarik-larik sinar putih
redup menyambar ke depan, memapak serangan Ma-
laikat Berdarah Biru. Lalu....
Blaarr! Blaaarrr!
Gelegar dahsyat segera memecah tempat itu. Ta-
nah pelataran candi nampak porak poranda dan ber-
hamburan ke udara. Suasana menjadi gelap seketika.
Saat demikian, Malaikat Berdarah Biru segera
mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya. Seketika
tubuhnya berputaran, dan mendadak lenyap bagai di-
telan suasana gelap. Namun di kejap lain, tahu-tahu
Anak Agung telah lima langkah di samping Pendekar
Mata Keranjang 108. Langsung tangan kirinya meng-
hantam. Sedangkan tangan kanannya bergerak menu-
sukkan kipas yang terlipat.
"Heh?!"
Pendekar Mata Keranjang 108 berseru terkejut,
tak mengira jika Malaikat Berdarah Biru dapat melihat
keberadaannya dalam suasana demikian. Padahal saat
itu, tubuhnya sudah berkelebat ke samping untuk
menghindar dari sesuatu yang tak diduga.
Sambil menekan rasa terkejut, Pendekar Mata
Keranjang 108 cepat merebahkan diri di atas tanah.
Namun tak disangka, Malaikat Berdarah Biru menya-
pukan sepasang kaki ke bahunya yang terbuka! Dan....
Desss!
"Aaakh...!"
Tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 berputar
disertai keluhan pendek. Saat itulah Malaikat Berda-
rah Biru menyapukan kembali kakinya dari arah ber-
lawanan putaran tubuh Pendekar Mata Keranjang 108!
Desss!
Aaakh...!"
Dari mulut Pendekar Mata Keranjang 108 kemba-
li terdengar pekikan tertahan begitu sapuan Anak
Agung menemui sasaran. Tubuhnya melayang jauh
sampai tiga tombak, lalu terkapar di tanah dengan pa-
kaian koyak dan kulit merah melepuh.
Begitu Pendekar Mata Keranjang 108 jatuh ter-
kapar, Malaikat Berdarah Biru tertawa tergelak-gelak.
Lantas kakinya melangkah dua tindak ke depan. Den-
gan mata terpejam, bibirnya berkemik-kemik mengu-
capkan sesuatu yang tidak jelas. Saat Pendekar Mata
Keranjang 108 murid Wong Agung bangkit, Malaikat
Berdarah Biru segera berkelebat sambil mengirimkan
serangan.
Wuuuttt! Wuuuttt!
Serangkum angin deras disertai melesatnya sinar
merah, biru, dan hitam meluruk ke arah Pendekar Ma-
ta Keranjang 108 yang baru saja bangkit berdiri.
"Celaka!" keluh Pendekar Mata Keranjang 108 da-
lam hati.
Dengan raut muka tercengang, Aji segera pula
menghentakkan tangannya. Sementara, tangan sa-
tunya mengibaskan kipas.
Wuuut...!
Udara yang semula agak redup karena bias se-
rangan pukulan Malaikat Berdarah Biru kontan saja
menguak benderang. Di kejap lain....
Blarrr...!
Blarrr...!
Terdengar suara gelegar dua kali. Karena saat
melepaskan serangan keadaan tubuhnya belum begitu
sempurna, tubuh Pendekar Mata Keranjang 108 ter-
huyung-huyung. Namun sebelum jatuh terkapar kem-
bali, tenaga dalamnya segera dikerahkan untuk mena
han tubuhnya.
Wusss...!
"Heh?!"
Tapi Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Ka-
rena begitu berhasil menahan tubuhnya agar tidak ter-
jatuh, dari arah samping menyambar angin keras. Aki-
batnya lututnya yang mulai tampak goyah dan berge-
tar hebat. Aji sadar betul adanya bahaya. Maka teka-
nan tenaga dalamnya ditambah agar tubuhnya tidak
tersapu. Hingga tak lama kemudian, tubuhnya kembali
tegak kokoh.
Sementara itu Malaikat Berdarah Biru yang tadi
menghantamkan pukulan jarak jauh dengan setengah
tenaganya, merasa sangat penasaran. Ternyata seran-
gannya masih bisa dibendung. Maka segera tenaganya
dilipatgandakan.
Kini di pelataran candi tampak dua orang tokoh
tingkat tinggi sedang berdiri dengan tangan masing-
masing mendorong ke depan. Tubuh-tubuh mereka
mulai tampak dibasahi keringat. Sesekali tubuh mere-
ka terlihat goyah, namun sejenak kemudian telah
kembali kokoh.
Untuk beberapa saat kedua orang ini masih bisa
bertahan dengan membendung serangan satu sama
lain.
"Hiaaa...!"
Mendadak Pendekar Mata Keranjang 108 mem-
bentak garang sambil melipatgandakan tenaga dalam.
Sedangkan Malaikat Berdarah Biru tampak terkejut,
karena kedua kakinya tiba-tiba goyah. Tanah yang di-
pijak bergetar hebat, membuat tubuhnya perlahan-
lahan terhuyung-huyung hendak roboh.
"Heaaa...!"
Malaikat Berdarah Biru juga mengeluarkan ben-
takan membahana, sambil menghentakkan kedua tangannya mengirimkan pukulan 'Serat Jiwa' dan 'Badai
Biru'.
Wusss...!
Wesss...!
Sinar merah dan biru menggebrak ke depan ke
arah Pendekar Mata Keranjang 108 yang masih berdiri
kokoh.
Mendapati serangan ini Pendekar Mata Keranjang
108 tidak berani bertindak ceroboh. Kedua tangannya
segera pula disetakkan ke depan.
Wesss...!
Blarrr...!
Terdengar dentuman dahsyat. Pelataran candi
bagai diguncang gempa maha dahsyat. Pohon-pohon
yang ada di sekitarnya berderak bertumbangan.
Tampak Malaikat Berdarah Biru goyah, tak bisa
menguasai diri lagi. Saat itu juga, tubuhnya jatuh ber-
gulingan di atas tanah. Dicobanya bangkit, namun ter-
huyung kembali dan jatuh lagi. Maka segera tenaga
dalamnya dipusatkan, lalu perlahan-lahan bangkit dan
duduk bersila.
Di lain pihak, tubuh Pendekar Mata Keranjang
108 tampak bergetar hebat ketika terjadi bentrokan
barusan. Kakinya sedikit demi sedikit bagai tersedot
dan masuk ke dalam tanah. Begitu kakinya masuk, lu-
tutnya goyah. Lalu, tak lama kemudian tubuhnya ja-
tuh terduduk dengan kaki masuk ke dalam tanah! Se-
perti Malaikat Berdarah Biru, saat jatuh terduduk, se-
gera pula kakinya ditarik. Lalu dia duduk bersila men-
gembalikan tenaganya.
***
Begitu keadaannya pulih, Malaikat Berdarah Biru
segera berkelebat, lalu berdiri di tengah pelataran can
di dengan tangan kiri berkacak pinggang. Sementara
tangan kanan mengipas-ngipas. Sepasang matanya
tampak merah membeliak dengan dagu mengembung.
"Pendekar Mata Perempuan!" bentak Malaikat
Berdarah Biru sambil memalingkan wajahnya dan me-
ludah. "Kau telah keluarkan pukulan 'Bayu Cakra Bu-
ana! Dan kau sendiri lihat, aku tidak apa-apa. Seka-
rang, terimalah pukulan 'Bayu Sukma'!"
Pendekar Mata Keranjang 108 terkejut. Dia telah
tahu, pukulan 'Bayu Sukma' adalah pukulan sap keli-
ma dari kitab hitam, seperti apa yang pernah didengar
dari gurunya. Namun pendekar murid Wong Agung ini
tetap tenang, tidak memperlihatkan raut terkejut,
meski diam-diam dalam hati khawatir juga.
Merasa gelagat tidak baik, sebelum Malaikat Ber-
darah Biru melepaskan pukulan, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera mendahului dengan menghentak-
kan kedua tangannya. Dilepaskannya kembali 'Bayu
Cakra Buana'.
Wusss...!
Malaikat Berdarah Biru yang sepertinya bisa
membaca benak Pendekar Mata Keranjang 108 segera
melesat jauh ke samping sambil mengibaskan kipas-
nya. Akibatnya serangan Pendekar Mata Keranjang
108 membelok, menghantam angin.
Saat itulah dari arah samping, sambil membuat
gerakan dua kali putaran di udara Malaikat Berdarah
Biru melepaskan pukulan 'Bayu Sukma'.
Wuttt...!
Pelataran candi Singasari mendadak menghitam.
Di lain kejap...
Blarrr...!
Terdengar suara menggemuruh bagai gelombang
dahsyat, disertai kilatan-kilatan menakutkan. Inilah
pukulan sakti sap kelima dari kitab hitam yakni puku
lan 'Bayu Sukma'!
Pendekar Mata Keranjang 108 tak mau terseret
dalam rasa terkejut. Maka segera dilepaskannya puku-
lan 'Bayu Cakra Buana' untuk membendung pukulan
sakti 'Bayu Sukma'.
Werrr...!
"Heh?!"
Mau tak mau Pendekar Mata Keranjang 108 ha-
rus menerima kenyataan. Ternyata sinar putih yang
menyambar dari kipas dan tangan kirinya tak mampu
melabrak habis sinar hitam yang menyambar dari tan-
gan Malaikat Berdarah Biru. Bahkan sinar hitam itu
pecah, melebar membentuk kilatan-kilatan semakin
banyak dan mengarah padanya.
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat ke
belakang. Begitu mendarat kembali, tenaga dalamnya
dikerahkan sambil mengirimkan pukulan.
"Hih!"
Wesss...!
Namun pukulan Pendekar Mata Keranjang 108
yang kedua kali ini pun rupanya tak membawa hasil
banyak. Malah, membuat pecahan-pecahan sinar hi-
tam semakin banyak, dan semakin cepat melesat ke
arahnya!
"Sialan! Celaka tiga belas!" gerutu Pendekar Mata
Keranjang 108 seperti kehilangan akal.
Sementara, Malaikat Berdarah Biru semakin ga-
rang, sambil tak henti-hentinya menghantamkan ke-
dua tangannya.
"Hmm.... Saatnya aku menggunakan jurus 'Bayu
Kencana' dalam bumbung bambu...," kata Pendekar
Mata Keranjang 108 dalam hati.
Dengan gerakan cepat, Aji mengalihkan kipasnya
ke tangan kiri. Sementara tangan kanan dibuka di de-
pan dada.
Namun baru saja Pendekar Mata Keranjang 108
hendak menggunakan pukulan 'Bayu Kencana', seran-
gan Malaikat Berdarah Biru telah meluncur dekat.
Dan...,
Desss!
"Aaakh...!"
Disertai keluhan tertahan tubuh Pendekar Mata
Keranjang 108 terpelanting begitu serangan Anak
Agung menerabas bahu kirinya. Tubuhnya kontan me-
layang dan jatuh terkapar di tanah. Tubuh sebelah ki-
rinya bagai ngilu tak bisa digerakkan. Tangan kirinya
lumpuh lunglai. Sementara hawa panas menjilat, mu-
lai menjalari seluruh tubuhnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 bangkit. Tapi
mendadak, wajahnya pucat pasi. Karena, tubuhnya
bagai tegang kaku tak bisa digerakkan. Hingga untuk
beberapa saat, Aji hanya diam sambil mengawasi Ma-
laikat Berdarah Biru yang tampak mulai melangkah ke
arahnya disertai tawa bergelak-gelak.
"Jangkrik! Aku memerlukan waktu agak lama un-
tuk memulihkan tenagaku. Tapi, bagaimana? Bajingan
itu telah mendatangi...," kata batin Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 Seraya memutar otak untuk mengalihkan
perhatian Malaikat Berdarah Biru.
Sebelum Pendekar Mata Keranjang 108 tuntas
berpikir, tiba-tiba Malaikat Berdarah Biru telah berke-
lebat. Dan tahu-tahu dia berdiri sepuluh langkah di
hadapannya, dengan sepasang mata menyengat tajam.
Sementara bibirnya menyeringai mengejek.
"Akhirnya ajalmu hanya tinggal seperti memba-
likkan tangan saja! Ha... ha... ha...!" ejek Malaikat Ber-
darah Biru sambil memutar-mutar kipasnya.
"Jahanam! Mulutmu terlalu besar berkoar! Kau
tak bisa menentukan ajal!" bentak Pendekar Mata Ke-
ranjang 108. Diam-diam, tenaga dalamnya dikerahkan
untuk memulihkan tubuhnya.
Malaikat Berdarah Biru mengertakkan rahang.
Kepalanya berpaling. Lalu dari mulutnya mengumbar
senyum buas.
"Kau bisa bicara seenakmu. Tapi aku akan mem-
buktikannya!" desis Malaikat Berdarah Biru sambil
melangkah mundur dua tindak ke belakang. Tangan
kirinya di-tarik sedikit ke belakang. Sementara kipas-
nya dipalangkan di bawah dagu.
"Busyet! Dia benar-benar ingin segera menghabisi
ku.... Setan! Tubuhku belum sepenuhnya pulih. Jika
langsung melepaskan 'Bayu Kencana' pasti akan sia-
sia.... Padahal hanya itu satu-satunya jalan untuk me-
nangkis serangannya...," gerutu Aji.
Sewaktu Pendekar Mata Keranjang 108 dilanda
kebimbangan, Malaikat Berdarah Biru telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Sukma'.
"Apa boleh buat? Terpaksa aku akan mengha-
dangnya dengan 'Bayu Kencana'!" kata Pendekar Mata
Keranjang 108 dalam hati.
Saat itu juga Aji membuka tangan kanannya di
depan dada. Sementara tangan kirinya memutar-mutar
kipas dengan gerakan perlahan.
Wusss...!
Sinar hitam melesat, membuat pemandangan tak
bisa menembus kepekatan. Pendekar Mata Keranjang
108 telah siap menangkis. Namun satu tombak lagi se-
rangan Malaikat Berdarah Biru menghajar....
Wesss...! Wesss...!
Entah dari mana, berlarik-larik sinar kuning tiba-
tiba menghadang, membuat suasana sedikit terang.
Saat demikian itulah Pendekar Mata Keranjang 108
melesat jauh ke samping untuk menghindari serangan
sinar hitam.
Meski sinar kuning itu hanya sejenak mampu
membendung, dan kemudian lenyap ditelan sinar hi-
tam, namun dalam waktu yang sekejap itu Pendekar
Mata Keranjang 108 bisa meloloskan diri dari serangan
berbahaya. Hingga tak ayal lagi, sinar hitam pukulan
Malaikat Berdarah Biru hanya menerpa tempat ko-
song!
"Jahanam bedebah! Siapa berani ikut campur
masalah ini, he...?!" bentak Malaikat Berdarah Biru.
Saat itu juga, Anak Agung memalingkan wajah-
nya ke samping. Di tempat lain Pendekar Mata Keran-
jang 108 pun ikut-ikutan mencari tahu, siapa orang
yang menyelamatkan jiwanya.
Begitu mengetahui siapa orang yang menghadang
serangan, baik Malaikat Berdarah Biru atau Pendekar
Mata Keranjang 108 sama-sama melengak!
***
SEMBILAN
Sepuluh langkah di samping Malaikat Berdarah
Biru, tampak tegak berdiri seorang gadis cantik. Kulit-
nya putih mulus dengan dada membusung kencang
menantang. Pakaiannya warna kuning. Rambutnya
panjang tergerai. Matanya bulat berbinar.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 tertahan hampir tak percaya.
Sementara itu begitu melihat siapa orang yang
menghalau serangannya, mata Malaikat Berdarah Biru
kontan membeliak besar. Tangannya bergetar dan ber-
geretakan mengepal. Pelipisnya bergerak-gerak dengan
dahi mengernyit. Sedangkan bibirnya menyeringai
buas.
"Perempuan sundal! Rupanya kau ular kepala
dua. Musuh dalam selimut! Perbuatanmu harus di-
bayar mahal dengan nyawamu!" dengus Malaikat Ber-
darah Biru sambil melangkah mendekat.
Gadis berpakaian kuning yang memang Putri
Tunjung Kuning hanya tersenyum ramah.
"Manusia licik! Kaulah yang harus menyerahkan
nyawa busukmu padaku!" teriak Putri Tunjung Kuning
sambil siap melepas pukulan.
"Ha... ha... ha...!"
Mendengar ucapan Putri Tunjung Kuning, Malai-
kat Berdarah Biru tertawa keras. Namun tiba-tiba saja
tawanya terpenggal. Wajahnya dipalingkan ke samp-
ing.
"Phuih! Phuih!"
Setelah meludah dua kali, Malaikat Berdarah Bi-
ru mendongak.
"Perempuan tak tahu diri! Bersiaplah menghada-
pi kematianmu!"
Saat itu juga Malaikat Berdarah Biru menghen-
takkan kedua tangannya ke depan. Karena merasa
dikhianati, kali ini tanpa pikir panjang lagi langsung
dilepaskannya pukulan 'Bayu Sukma'.
Wesss!
Saat itu juga udara di pelataran candi kembali hi-
tam redup. Di kejap lain, sinar hitam segera mengge-
brak ke arah Putri Tunjung Kuning.
"Hiaaat...!"
Didahului jeritan melengking, tangan kiri dan
kanan Putri Tunjung Kuning segera bergerak meng-
hantamkan pukulan.
Wuttt!
"Heh?!"
Paras Putri Tunjung Kuning mendadak meredup
pucat, tatkala tangkisan yang dilancarkannya hanya
sejenak membendung serangan Malaikat Berdarah Bi-
ru. Tak lama kemudian, sinar hitam itu bagai tak ter-
halang lagi, menerabas cepat ke arahnya.
"Lekas menyingkir!" teriak Pendekar Mata Keran-
jang 108, memperingati Putri Tunjung Kuning.
Namun, Putri Tunjung Kuning sepertinya tak
acuh dengan peringatan barusan. Malah kembali dile-
paskannya satu pukulan.
Wesss...!
Tapi seperti semula, serangan gadis itu tak mam-
pu menahan gerak sinar hitam yang terus meluruk.
Sehingga....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi terdengar suara jeritan lengk-
ing yang menyayat dari mulut Putri Tunjung Kuning.
Begitu gema jeritannya lenyap, tampak tubuh gadis ini
telah telentang di atas pelataran candi dengan pakaian
hangus tak karuan. Kulitnya yang semula putih mu-
lus, berubah menjadi kebiruan. Dari sudut bibirnya
mengalir darah hitam kental. Matanya merah dan
rambut mengelinting!
Pendekar Mata Keranjang 108 laksana disengat
kalajengking melihat keadaan Putri Tunjung Kuning.
Meski tahu kalau gadis itu menginginkan sesuatu da-
rinya, dan bahkan tak mustahil menginginkan kema-
tiannya, namun jasa dalam menyelamatkan dirinya da-
ri serangan Malaikat Berdarah Biru, membuatnya me-
lupakan semuanya. Hingga tatkala Malaikat Berdarah
Biru mulai melangkah mendekati Putri Tunjung Kun-
ing yang sudah lemah tak berdaya, Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 segera melesat dan tegak berdiri mengha-
dang Malaikat Berdarah Biru.
"Malaikat Tengik! Seharusnya kau-malu mengha-
jar orang yang sudah tidak berdaya! Hadapilah aku!"
tantang Pendekar Mata Keranjang 108.
Sejenak mata Malaikat Berdarah Biru menatap
tajam Pendekar Mata Keranjang 108.
"Ha... ha... ha...!"
"Pendekar Bodoh! Dengar! Kejahatan memang ti-
dak adil dan tidak pernah mengenal adat. Karena itu-
lah kejahatan pasti menang!" tukas Malaikat Berdarah
Biru, pongah.
"Hmmm.... Begitu?" gumam Pendekar Mata Ke-
ranjang 108 sambil tersenyum dingin. "Otakmu me-
mang perlu dicuci. Akan kutunjukkan padamu tempat
yang baik untuk mencuci otak. Bersiaplah berangkat!"
"Ha... ha... ha...! Malaikat Berdarah Biru pantang
minta petunjuk pendekar perempuan!"
Seketika bibir Malaikat Berdarah Biru berkemik.
Lalu sesaat kemudian, tangan kiri kanannya telah ber-
gerak melepas pukulan.
Wusss...!
Kali ini Pendekar Mata Keranjang 108 tidak beru-
saha mengelak atau menangkis. Dan ini membuat Ma-
laikat Berdarah Biru gusar.
Begitu sinar hitam satu depa lagi menghajar,
Pendekar Mata Keranjang 108 mendorong telapak tan-
gan kanannya ke depan dada. Sedangkan tangan kiri
yang memegang kipas dipentangkan ke samping.
Wesss...!
"Heh?!"
Malaikat Berdarah Biru tertegun hampir tak
mempercayai penglihatannya. Sinar hitam pukulan
'Bayu Sukma' yang dilancarkannya ternyata tersedot
tangan Pendekar Mata Keranjang 108! Bahkan seben-
tar kemudian, sinar itu lenyap!
Saat demikian itulah, Pendekar Mata Keranjang
108 segera mengibaskan kipasnya ke depan.
Wuttt...!
Karena masih terkesima melihat apa yang baru
saja terjadi, Malaikat Berdarah Biru tak sempat lagi
menghindar. Akibatnya....
Desss...!
"Aaakh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Anak Agung terhumba-
lang ke belakang sejauh lima tombak disertai keluhan
tertahan. Begitu kerasnya sambaran angin yang keluar
dari kibasan kipas Pendekar Mata Keranjang 108,
membuat tangan Malaikat Berdarah Biru yang meme-
gang kipas bergetar hebat. Dan tak lama kemudian,
tampak kipas di tangan kanannya terpental jatuh!
Malaikat Berdarah Biru menggereng keras. Ma-
tanya nanar, mencari kipasnya. Begitu sepasang ma-
tanya melihat kipasnya, dia cepat bangkit hendak
mengambil. Namun baru saja tubuhnya berdiri hendak
berkelebat, Pendekar Mata Keranjang 108 telah mele-
paskan pukulan 'Bayu Cakra Buana'.
Wuuuttt!
"Heh?!"
Malaikat Berdarah Biru kaget. Namun tubuhnya
masih berusaha berkelit dengan menjatuhkan diri ke
samping sejajar tanah. Tapi, tanpa diduga sama sekali,
Pendekar Mata Keranjang 108 cepat melesat. Dan begi-
tu murid Bayangan Iblis ini akan bangkit, kedua tan-
gan Aji telah memapak kepalanya!
Prak! Prakkk!
"Aaakh,..!"
Malaikat Berdarah Biru kontan menjerit tertahan
merasakan kepalanya seperti terpenggal. Matanya
mendadak menghitam, tak bisa melihat. Sementara
darah segar telah muncrat dari mulut dan hidungnya.
Hebatnya, meski sudah dalam keadaan begitu,
Malaikat Berdarah Biru segera merambat bangkit. Dan
tanpa melihat di mana lawannya berada, kedua tan
gannya segera disentakkan.
Wusss...!
Wesss...!
Sejenak kemudian di pelataran candi melesat be-
berapa sinar merah biru dari tangan kiri dan kanan
Malaikat Berdarah Biru yang melepaskan pukulan
'Serat Jiwa' dan 'Badai Biru'.
Sementara Pendekar Mata Keranjang 108 segera
meloncat ke sana kemari untuk menghindar.
Namun tak demikian halnya Putri Tunjung Kun-
ing dan Bayangan Iblis. Karena sedang terluka dalam,
membuat mereka tak bisa lagi bergerak menghindar.
Sehingga tatkala sentakan tangan Malaikat Berdarah
Biru yang menghempas ke sana kemari meluncur ke
arah mereka....
Desss! Desss!
"Aaakh...!"
"Aaa...!"
Seketika terdengar dua lengkingan keras dari
mulut Putri Tunjung Kuning dan Bayangan Iblis!
Sebenarnya, waktu itu Pendekar Mata Keranjang
108 hendak menyelamatkan Putri Tunjung Kuning.
Namun karena begitu gencarnya serangan Malaikat
Berdarah Biru yang tak bisa ditentukan arahnya,
membuat gerakannya terlambat untuk bertindak.
Melihat Putri Tunjung Kuning bergulingan di atas
tanah, Pendekar Mata Keranjang 108 segera berkelebat
menghambur.
"Putri Tunjung Kuning!" seru Pendekar Mata Ke-
ranjang 108.
Putri Tunjung Kuning membuka kelopak ma-
tanya. Dipandanginya Pendekar Mata Keranjang 108
dengan tatapan aneh. Bibirnya berusaha dibuka hen-
dak mengucapkan sesuatu.
"Putri Tunjung Kuning.... Bertahanlah.... Aku
akan menolongmu!" ujar Pendekar Mata Keranjang 108
lirih sambil mengangkat kepala gadis ini.
Putri Tunjung Kuning tersenyum. Kepalanya
yang telah lunglai digelengkan perlahan.
"Pendekar Mata.... Keranjang 108.... Maafkanlah
segala kesalahanku selama ini...," ucap Putri Tunjung
Kuning perlahan dan tersendat-sendat.
Pendekar Mata Keranjang 108 menempelkan te-
lunjuknya di depan mulut, memberi isyarat agar Putri
Tunjung Kuning tak meneruskan ucapannya.
"Pendekar.... Aku..., aku sebenarnya.... Men...,
mencintaimu...."
Habis berkata, kelopak mata Putri Tunjung Kun-
ing mengatup. Lalu kepalanya lunglai ke samping.
Pingsan!
"Putri Tunjung Kuning!" teriak Pendekar Mata
Keranjang 108 keras, membuat Malaikat Berdarah Bi-
ru cepat palingkan wajahnya ke arah sumber suara.
Karena pandangan Malaikat Berdarah Biru saat
itu masih belum bisa digunakan, membuat dirinya
hanya mengandalkan telinga untuk mengetahui tem-
pat beradanya Pendekar Mata Keranjang 108.
Demi mendengar teriakan Pendekar Mata Keran-
jang 108, tanpa membuang-buang waktu lagi Malaikat
Berdarah Biru segera mengirimkan serangan kedua
tangannya menghentak melepas pukulan 'Serat Jiwa'
dan 'Badai Biru'.
Wesss...! Wusss...!
Berlarik-larik sinar berwarna merah biru yang
bergemuruh dahsyat menyambar cepat ke arah Pende-
kar Mata Keranjang 108!
Secepat kilat, Pendekar Mata Keranjang 108
bangkit dari sisi Putri Tunjung Kuning. Segera tubuh-
nya diputar hingga miring. Lalu tiba-tiba kipasnya di-
kibaskan.
Wuuuttt!
Wesss!
Sinar berwarna keputihan menebar, memapak
serangan. Dan mendadak saja, serangan Malaikat Ber-
darah Biru bagai menghantam dinding tebal kasat ma-
ta. Dan lebih dahsyat lagi serangan yang menyambar
berwarna merah biru itu mental balik.
Wesss...!
Karena tak bisa lagi melihat, akibatnya Malaikat
Berdarah Biru tak mengetahui jika pukulannya kini
melesat ke arahnya. Telinganya sejenak hanya men-
dengar suara gemuruh menyambar ke arahnya.
"Heh?!"
Anak Agung terperangah dengan mulut menden-
gus. Dia coba menduga-duga. Namun begitu sadar,
pukulannya sendiri yang mental telah sedepa lagi
menghajar tubuhnya. Meski begitu, tak kehabisan ak-
al.
"Hup!"
Dengan sisa-sisa tenaganya, Malaikat Berdarah
Biru bergerak berkelit. Namun, terlambat. Karena....
Dess! Desss!
"Aaa...!"
Serangan yang mental itu ternyata lebih cepat
menghajar, sebelum Malaikat Berdarah Biru bergerak.
Hingga tanpa ampun lagi pukulan 'Serat Jiwa' dan
'Badai Biru' menggebrak pemiliknya sendiri!
Langit bagai dirobek jeritan yang keluar dari mu-
lut Malaikat Berdarah Biru. Tubuhnya melayang, dan
jatuh terpuruk di atas tanah dengan baju toga merah-
nya hangus dan centang perentang. Raut mukanya
membiru. Sementara dari lobang-lobang di sekujur tu-
buhnya mengalir darah kehitaman, pertanda terluka
amat dalam!
Namun Pendekar Mata Keranjang 108 hampir saja tak mempercayai penglihatan matanya. Dalam kea-
daan terluka dalam, ternyata Malaikat Berdarah Biru
mampu bergerak-gerak bangkit.
Dan tanpa diduga sama sekali, begitu telah
bangkit Malaikat Berdarah Biru cepat memutar tu-
buhnya. Lalu secepat kilat pula berkelebat meninggal-
kan pelataran candi.
Pendekar Mata Keranjang 108 tidak mau begitu
saja melepaskan orang yang telah menewaskan orang
tua aneh serta Ki Ageng Panangkaran. Tubuhnya cepat
pula berkelebat menyusul. Namun baru saja bergerak,
terdengar erangan menyayat dari mulut Putri Tunjung
Kuning.
Pendekar Mata Keranjang 108 tampak ragu-ragu.
Padahal, semula disangka Putri Tunjung Kuning telah
tewas.
Karena didorong keingintahuannya, Pendekar
Mata Keranjang 108 mengurungkan niat untuk me-
nyusul Malaikat Berdarah Biru. Kepalanya lantas ber-
paling ke arah Putri Tunjung Kuning. Dan begitu meli-
hat mulut gadis itu bergerak-gerak mengerang, tubuh-
nya segera berkelebat.
Sejenak Pendekar Mata Keranjang 108 meman-
dangi gadis yang kini tampak mengerang dengan mata
redup sayu.
"Putri Tunjung Kuning...," sebut Aji pelan.
Putri Tunjung Kuning terlihat berusaha kelua-
rkan suara. Namun hingga agak lama, tak juga terden-
gar apa-apa dari mulutnya. Bahkan kedua kelopak
matanya kembali meredup pelan-pelan dan memejam.
Perlahan-lahan Aji menarik nadi tangan Putri
Tunjung Kuning.
"Hmm.... Masih terasa denyutan.... Berarti dia
masih hidup. Aku harus segera mencari orang yang
dapat mengobatinya...," gumam Pendekar Mata Keran
jang
Saat itu juga Pendekar Mata Keranjang 108 sege-
ra menyapukan pandangan ke arah Malaikat Berdarah
Biru berkelebat. Namun, sosok tokoh sesat itu telah
lenyap. Kemudian Aji bangkit berdiri.
"Untuk kedua kalinya dia bisa lolos. Namun un-
tuk ketiga kali nanti, jangan harap bisa kabur lagi!"
gumam Pendekar Mata Keranjang 108 seraya melang-
kah ke tengah pelataran candi. Dipungutnya kipas hi-
tam milik Malaikat Berdarah Biru yang terjatuh. Se-
saat ditimang-timangnya, lalu dijajarkan dengan kipas
ungu miliknya.
Kedua kipas itu memang nyaris serupa, baik
ukuran maupun bahannya. Yang membedakan adalah
warna, serta ujung sebelah kipas. Jika ujung kipas
ungu milik Pendekar Mata Keranjang 108 utuh, maka
ujung kipas hitam Malaikat Berdarah Biru tampak ter-
kikis sedikit. Sepertinya si pencipta belum selesai
membuatnya.
"Meski kipas ini dibuat satu tangan, namun nya-
tanya pengaruh yang dipancarkannya berbeda...," bisik
Pendekar Mata Keranjang 108, sambil melipat kedua
kipas dan memasukkannya ke dalam balik jubahnya.
Pendekar Mata Keranjang 108 melangkah ke arah
Putri Tunjung Kuning kembali. Begitu dekat, dengan
cekatan tubuh Putri Tunjung Kuning segera diangkat
dan dibawanya meninggalkan pelataran Candi Singa-
sari yang sudah lengang.
SELESAI
Tunggu serial Pendekar Mata Keranjang 108
selanjutnya:
NERAKA ASMARA
0 comments:
Posting Komentar