..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 19 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE TONGKAT DELAPAN NAGA

matjenuh khairil


 

TONGKAT DELAPAN NAGA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: Tongkat Delapan Naga 
128 hal. ; 12 x 18 cm


SATU


Di tengah padang rumput yang luas dan sunyi, dua 
sosok bayangan melesat dengan kecepatan tinggi. Me-
reka seperti tengah berlomba dan saling mengungguli 
dalam ilmu meringankan tubuh. Kelihatan betapa ke-
duanya sama-sama mengerahkan segenap kemam-
puan untuk dapat mencapai sebuah tanah perbukitan 
di depan mereka.
“Haiiittt..!”
Ketika tinggal beberapa tombak lagi keduanya men-
capai bukit, tiba-tiba sosok yang berlari di sebelah ka-
nan memekik nyaring. Tubuhnya yang pendek gemuk 
melenting ke udara, dan berputaran beberapa kali. 
Kemudian menjejakkan kaki dengan ringan di atas ta-
nah.
“Ha ha ha...! Ternyata ilmu meringankan tubuhku 
masih lebih unggul daripada kau, Kakang...!”
Sosok gemuk pendek itu tertawa gelak, hingga perut 
buncitnya tampak berguncang. Wajahnya tampak ber-
seri-seri, merasa bangga karena berhasil mencapai bu-
kit itu lebih dulu daripada kawannya.
Sosok kedua yang bertubuh tinggi kurus dan ber-
mata sayu, memang kalah cepat dengan kawannya. 
Kendati perbedaannya hanya sekejapan mata, ia tetap 
tiba belakangan. Disambutnya kekalahan itu dengan 
senyum getir. Tak sepatah kata pun terlontar dari mu-
lutnya.
Kedua sosok tubuh yang telah tiba di kaki bukit itu 
sama-sama menjatuhkan diri di atas rerumputan ker-
ing. Wajah keduanya tampak agak memerah dan dipe-
nuhi peluh. Mereka telah berlomba menempuh jarak 
yang cukup jauh. Kendati demikian, deru napas mereka terdengar tidak memburu. Hal itu menandakan 
bahwa kedua orang itu memang telah terlatih dengan 
baik.
Plok! Plok! Plok!
Saat keduanya tengah melepaskan kelelahan, tiba-
tiba terdengar suara tepukan yang mengandung keku-
atan tenaga dalam tingkat tinggi. Karuan saja mereka 
tersentak kaget, dan segera menolehkan kepala ke 
arah suara tepukan itu. Dan..., betapa terkejut hati 
keduanya ketika melihat seorang bertubuh jangkung 
dengan kumis lebat telah berdiri tak jauh dari tempat 
mereka berdua duduk.
“Hua ha ha...! Hebat..., hebat! Suatu ilmu merin-
gankan tubuh yang mengagumkan. Tapi sayang masih 
terlalu mentah...!”
Sambil berdiri dan menatap penuh ejekan, sosok 
bertubuh jangkung melontarkan kata-kata yang jelas 
memandang rendah kedua orang itu.
Meskipun kata-kata itu jelas merupakan sebuah 
penghinaan, keduanya masih tetap tenang dan berdiri 
sambil menatap sosok jangkung itu dengan penuh 
perhatian. Kemudian terdengar ucapan yang membuat 
sosok jangkung mengerutkan kening agak heran.
“Hm..., kata-katamu sungguh tepat sekali, Ki- sa-
nak! Kami memang tak bermaksud memamerkan ke-
pandaian yang tak seberapa ini di hadapanmu. Kalau 
boleh tahu, siapa Kisanak ini? Dan ada keperluan apa 
menghampiri kami...?”
Sosok tinggi kurus bermata sayu berkata sambil 
menatap tajam sosok di depannya, seakan hendak 
mengenali siapa sebenarnya sosok jangkung itu.
Lelaki bertubuh jangkung dan berkumis lebat yang 
berusia sekitar enam puluh lima tahun itu tertegun 
beberapa saat. Dirinya sama sekali tak menduga akan

mendapat jawaban seperti itu Sehingga untuk bebera-
pa saat lamanya, ia hanya berdiri mematung karena 
kehilangan kata-kata. Hal itu tak berlangsung lama. 
Karena kemudian terdengar suaranya yang menggele-
gar penuh ejekan.
“Hua ha ha...! Apa kalian tak akan lari terbirit-birit 
kalau ku perkenalkan nama besarku?”
Seketika itu juga wajah kedua lelaki pendek gemuk 
dan si tinggi kurus bermata sayu berubah merah pa-
dam mendengar ucapan bernada menghina itu. Kedu-
anya saling bertukar pandang sejenak dengan tangan 
terkepal. Kemudian kembali berpaling kepada lelaki 
tua bertubuh jangkung dan berkumis tebal yang masih 
tertawa terbahak-bahak.
“Maafkan kami yang tak mengenal nama besarmu, 
Ki! Maklumlah kami hanya perantau yang memiliki se-
dikit bekal untuk menjaga diri,” ujar lelaki tinggi ku-
rus. “Dan karena takut kemalaman di jalan, maka ka-
mi harus mempercepat perjalanan dengan berlomba.”
Lelaki tinggi kurus bermata sayu berusaha mene-
kan kemarahan dalam dadanya. Biar bagaimanapun 
dirinya tak ingin bertindak ceroboh. Sebab hatinya 
menduga kalau lelaki berwajah kasar yang mengha-
dang mereka bukan orang sembarangan. Terbukti so-
sok bertubuh jangkung itu dapat membaca ilmu me-
ringankan tubuh, bahkan melontarkan hinaan.
“Hua ha ha...! Tokoh-tokoh Perguruan Gunung 
Sumbing mengaku perantau kemalaman! Kalau begitu, 
aku, Tongkat Delapan Naga akan segera mencarikan 
tempat untuk kalian beristirahat..!”
Begitu Ucapannya selesai, sosok jangkung berkumis 
lebat yang mengaku berjuluk Tongkat Delapan Naga 
itu langsung melesat ke depan dengan kecepatan kilat 
Dan sebatang tongkat kepala naga di tangan kanannya


meluncur ke depan. Suara bergemuruh yang timbul 
dari lesatannya menandakan betapa kuat tenaga sakti 
yang terkandung dalam hantaman tongkat hitam itu.
Whuttt...!
Dua orang lelaki yang memang merupakan tokoh-
tokoh Perguruan Gunung Sumbing itu cepat melompat 
ke belakang. Keduanya langsung berpencar ke kiri ka-
nan, bersiap untuk menghadapi serangan selanjutnya. 
Mereka sadar bahwa Tongkat Delapan Naga bukanlah 
sekadar menggertak saja.
“Hati-hati, Adi Gumilang...!”
Lelaki tinggi kurus bermata sayu mengingatkan ka-
wannya. Dari serangan tongkat kepala naga barusan, 
ia tahu betapa kuat tenaga dalam Tongkat Delapan 
Naga itu.
Lelaki pendek gemuk yang bernama Gumilang 
hanya mengangguk tipis. Lalu tanpa banyak bicara lagi 
tangannya meloloskan sebatang golok besar yang pada 
bagian punggungnya bergerigi.
Bwet! Bwettt..!
Gumilang memutar-mutar golok besarnya hingga 
menimbulkan suara berkesiutan. Menilik dari caranya, 
jelas Gumilang seorang yang ahli dalam permainan il-
mu golok. Tak mengherankan karena lelaki gemuk itu 
termasuk salah seorang tokoh Perguruan Gunung 
Sumbing.
Tadi pun Gumilang sudah memperlihatkan kelebi-
han dengan mengalahkan kawannya dalam ilmu lari 
cepat. Padahal lelaki tinggi kurus bermata sayu yang 
bernama Gompala itu kakak seperguruannya. Namun 
Gompala hanya memiliki kelebihan dalam hal pengua-
saan ilmu tenaga dalam.
“Haaattt..!”
Disertai teriakan keras, Gumilang menerjang maju.

Golok besarnya berkelebatan cepat membentuk gulun-
gan sinar yang menderu-deru.
Untuk sesaat Tongkat Delapan Naga dibuat kagum 
oleh kehebatan ilmu golok lawannya. Bibirnya bergerak 
membentuk senyum mengejek. Kemudian dengan se-
buah gerakan cepat, tubuhnya yang jangkung bergerak 
menyelinap di antara sambaran sinar golok Gumilang. 
Gerakan Tongkat Delapan Naga memang hebat bukan 
main! Gumilang sama sekali tak berhasil menyarang-
kan golok besarnya ke tubuh lawan. Sebab, sebelum 
ujung goloknya datang menyambar, sosok Tongkat De-
lapan Naga telah lebih dulu lenyap dari pandangan 
mata. Sehingga, Gumilang tampak bagaikan mengejar 
bayangan goloknya sendiri.
“Hea...!”
Melihat kawannya mulai kewalahan, Gompala pun 
tak tinggal diam. Diiringi pekikan nyaring, tubuhnya 
melesat ke tengah arena. Tangan kanannya yang 
menggenggam sebatang pedang, langsung melancar-
kan serangan kilat yang mengarah bagian-bagian ter-
lemah di tubuh lawan.
Wut! Wuttt..!
Trak! Trakkk...!
“Heh!”
Dua kali sambaran pedang Gompala dapat digagal-
kan oleh tongkat hitam lawannya. Akibat benturan itu 
tubuh Gompala tergetar mundur sampai beberapa 
langkah. Wajahnya menyeringai menahan rasa nyeri 
pada lengannya. Untung genggamannya sangat kuat 
Kalau tidak, pasti pedang di tangannya terlepas saat 
Tongkat Delapan Naga menangkisnya.
“Satu...!”
Wuttt..!
Tongkat Delapan Naga yang berhasil memukul

mundur Gompala, tiba-tiba membentak keras. Disusul 
dengan sambaran tongkatnya memburu tubuh pendek 
gemuk Gumilang.
Blukkk...!
“Hukh...!”
Gumilang yang tak sempat menyadari datangnya 
ancaman ujung tongkat dengan kecepatan tinggi itu, 
terpental deras dengan tubuh membungkuk. Ujung 
tongkat lawan menghantam telak perut buncitnya. 
Hingga, Gumilang terbanting ke tanah, tak sanggup 
mempertahankan kuda-kudanya.
“Hua ha ha...!”
Tongkat Delapan Naga tertawa parau. Sesaat kemu-
dian tubuhnya kembali menerjang sambil menghan-
tamkan tongkat dari atas ke bawah, sebelum Gumilang 
sempat berdiri tegak.
“Hah...?”
Prakkk...!
Malang nian nasib Gumilang. Belum lagi sempat 
menyadari bahaya, tahu-tahu kepalanya terhantam 
tongkat lawan. Pukulan tongkat yang dikerahkan den-
gan tenaga dalam itu langsung mengakibatkan kepa-
lanya retak. Darah segar pun mengalir membasahi ke-
pala seiring tubuhnya yang terbanting ke rerumputan. 
Seketika itu pula Gumilang tewas.
“Adi Gumilang...?!”
Gompala memekik dengan wajah pucat Tubuhnya 
menggigil melihat Gumilang terkapar berlumuran da-
rah. Dia telah menduga apa yang dialami kawannya.
“He he he...! Sudah kubilang kalau aku akan mengi-
rim kalian berdua ke akherat..,” ujar Tongkat Delapan 
Naga dengan tertawa terkekeh-kekeh, yang bagi Gom-
pala tentu saja terdengar menyakitkan.
“Keparat! Apa salah kami! Mengapa kau berlaku sekejam ini!” pekik Gompala yang dadanya bagai hendak 
meledak menahankan dendam dan amarah.
“He he he...! Sebaiknya kau bersiap saja untuk me-
nyusul kawanmu.,.!” tukas Tongkat Delapan Naga seo-
lah, tak peduli dengan kemarahan dan rasa penasaran 
Gompala. Bahkan mulutnya tersenyum sinis, mem-
buat Gompala tak sanggup lagi menahan kemarahan-
nya.
“Sekarang terimalah pembalasanku ini, Iblis Keji! 
Heaaa...!”
Dengan kemarahan yang menggelegak, Gompala 
menerjang maju. Pedangnya berputaran menimbulkan 
gulungan sinar putih yang mengaung bagaikan ratu-
san lebah marah.
Namun Tongkat Delapan Naga menghadapinya 
sambil tertawa terkekeh-kekeh, seakan menganggap 
remeh lawan. Serangan pedang yang dilakukan Gom-
pala sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuhnya 
yang jangkung. Sebab, gerakan Tongkat Delapan Naga 
memang cepat luar biasa. Sehingga, meskipun Gompa-
la telah mengerahkan seluruh kemampuannya, tetap 
saja tak berdaya menghadapi kecepatan gerak lawan. 
Bahkan ketika pertarungan menginjak pada jurus ke-
tiga puluh, Gompala tak sempat menghindari sebuah 
hantaman tongkat lawan pada tubuhnya.
“Hih...!”
Blukkk...!
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh lelaki tinggi kurus itu ter-
lempar deras. Darah segar menyembur dari mulutnya. 
Dan sebelum dirinya sempat mengatur keseimbangan, 
sebuah pukulan keras menghantam tubuhnya. Seketi-
ka dada Gompala remuk. Mulutnya mengerang mena-
han rasa sakit yang mendera.

“Kau...,”
Gompala tak sempat lagi menyelesaikan ucapannya, 
karena tubuhnya ambruk dan langsung tewas.
“Hua ha ha...!”
Tongkat Delapan Naga terbahak-bahak melihat ke-
dua lawannya terkapar tewas berlumuran darah. Se-
saat kemudian tubuhnya melesat meninggalkan kaki 
Bukit Gundul. Hanya gema suara tawanya yang masih 
terdengar sayup-sayup.
***
Sinar matahari terasa panas menyengat kulit. Angin 
sesekali bertiup kencang membawa hawa pengab, 
membuat orang berpeluh. Seorang pemuda tampan 
berjubah putih melangkah tenang di bawah terik ma-
tahari. Kakinya mengayun ringan, dan dengan tenang 
memasuki mulut Desa Kranggan. Jubahnya yang pan-
jang dan berwarna putih berkibaran tertiup angin 
siang itu.
Siapa lagi pemuda itu kalau bukan Panji, yang di 
kalangan persilatan lebih dikenal dengan julukan Pen-
dekar Naga Putih. Kabar tentang berbagai peristiwa 
yang menimpa kaum persilatan akhir-akhir ini mem-
buat langkahnya sampai ke Desa Kranggan. Sebagai 
seorang pendekar, Panji merasa berkewajiban untuk 
menyelidiki pelaku dari semua kejadian yang diden-
garnya.
Cukup lama Panji menyusuri jalan utama desa itu, 
sampai akhirnya menemukan sebuah kedai minum 
yang cukup ramai pengunjung. Namun belum sempat 
kakinya menyentuh ambang pintu, tiba-tiba terdengar 
sebuah bentakan kasar.
Mulanya Panji tidak begitu peduli, tapi ketika men-
dengar adanya suara jerit kesakitan di sela bentakan,

ia pun menolehkan kepala. Keningnya berkerut ketika 
melihat adanya kerumunan penduduk yang meman-
dang ke satu arah. Merasa penasaran dan ingin tahu, 
Panji segera mengayun langkahnya hendak melihat 
apa yang menarik perhatian sebagian penduduk desa 
itu. Kemudian menyeruak kerumunan untuk melihat 
apa yang sedang terjadi.
Beberapa tombak di hadapan Panji tampak seorang 
lelaki berwajah kasar tengah membentak-bentak sam-
bil memukuli lelaki lain yang berusia setengah baya. 
Lelaki setengah baya yang berpakaian petani miskin 
itu menjawab dengan suara gemetar ketakutan. Bebe-
rapa luka memar tampak menghias wajah tuanya, saat 
menengadah. Karena saat itu dirinya, tengah berlutut 
di bawah kaki lelaki berwajah kasar yang menyik-
sanya.
Panji yang belum mengetahui duduk persoalannya, 
tentu saja tak berani mengambil tindakan. Pemuda 
tampan itu berdiri memandang dengan kening berke-
rut penuh perhatian. Namun biar bagaimanapun di-
rinya tentu saja tak setuju dengan perbuatan lelaki ka-
sar itu yang menyiksa orang semaunya.
“Ingat, Parta! Perbuatanmu ini akan menjadi mala-
petaka bagi seluruh keluargamu!” bentak lelaki kasar 
itu dengan suara menggelegar.
‘Tapi Tuan, aku betul-betul belum mempunyai uang 
untuk membayar hutang-hutang itu. Tolonglah! Beri 
aku waktu beberapa hari lagi untuk melunasinya...!” 
ujar lelaki setengah baya, yang dipanggil Parta. Sua-
ranya gemetar dan terbata-bata.
Tapi...,
Blukkk...!
“Aduuuh...! Ampun, Tuan!”
Sebuah tendangan keras menghantam iga Parta.

Karuan saja tubuhnya yang tengah berlutut, langsung 
terjengkang dan terguling. Mulutnya meringis-ringis 
kesakitan sambil memegangi iganya yang terasa re-
muk. Dari celah-celah bibirnya tampak mengalir cairan 
merah. Kendati demikian, lelaki malang itu tetap tak 
berani bangkit untuk melawan, bahkan tetap bersim-
puh dan menyembah-nyembah.
“Bangsat! Orang tua keras kepala! Apa kau ingin se-
luruh keluargamu digantung Juragan Labang?! Kau 
tahu, sudah berapa lama tak membayar hutang-
hutangmu itu?! Hampir dua bulan, tahu! Dan setiap 
kali ditagih, selalu bilang tak punya uang!
Lalu, apa saja kerjamu selama ini, hah!” bentak le-
laki kasar itu semakin geram. Tangannya kembali te-
rangkat siap untuk menghajar orang tua malang itu. 
Namun gerakannya terhenti ketika mendengar suara 
halus, disusul munculnya seorang gadis manis yang 
langsung menghambur ke arah lelaki tua yang tengah 
bersimpuh itu.
“Ayaaah...!”
Tubuh semampai itu langsung memeluk tubuh Par-
ta yang tengah bersimpuh sambil mengiba-iba. Sejenak 
mata tua lelaki itu membelalak kaget. Kemudian beru-
bah diliputi kekhawatiran yang dalam.
“Warti! Mengapa kau kemari, Nak? Tak tahukah 
bahwa kedatanganmu justru akan semakin memper-
buruk keadaan? Ya, Tuhan..., selamatkanlah anakku 
dari kekejaman orang-orang berhati iblis itu...!” ujar 
Parta dengan suara gemetar penuh rasa takut dan ce-
mas.
Kekhawatiran yang ditunjukkan lelaki tua itu tak 
berlebihan. Sebab orang yang disebut dengan nama 
Juragan Labang oleh lelaki kasar yang menyiksanya 
itu, seorang juragan tanah mata keranjang. Apabila

sampai mengetahui bahwa dirinya mempunyai seorang 
putri yang masih remaja, terlebih berwajah cantik dan 
menarik seperti Warti, juragan tanah itu sudah pasti 
tak akan tinggal diam. Putrinya jelas bakal terancam 
bahaya yang lebih mengerikan daripada maut! Jan-
gankan Warti yang masih gadis. Wanita bersuami pun, 
kalau Juragan Labang menginginkan, tak seorang pun 
yang bisa menolongnya. Itu sebabnya mengapa petani 
tua itu sangat khawatir akan nasib putrinya.
***
DUA


‘Tidak, Ayah! Aku tak tahan melihat orang-orang ke-
jam ini menyiksamu terus-menerus. Aku..., aku tak 
tahan, Ayah!”
Warti, gadis desa berwajah manis berusia sekitar 
tujuh belas tahun itu sama sekali tak peduli. Ia me-
nangis keras sambil memeluk tubuh ayahnya disaksi-
kan puluhan pasang mata yang telah menjadi basah. 
Mereka tentu saja merasa kasihan melihat kemalangan 
yang menimpa keluarga itu. Namun, tak ada yang da-
pat mereka lakukan, karena tak seorang pun yang be-
rani menentang Juragan Labang. Terlebih lelaki kasar 
yang melakukan penyiksaan itu merupakan salah seo-
rang dari sekian banyak tukang pukul yang sangat ke-
jam.
Tidak demikian halnya dengan Warti. Ia yang sela-
ma ini disembunyikan ayahnya dan tak pernah keluar 
rumah, sama sekali tak merasa takut Matanya yang 
basah, tiba-tiba menatap lelaki kasar yang menyiksa 
ayahnya. Tatapan mata gadis itu demikian tajam serta 
memancarkan kemarahan dan kebencian.

“Kalian manusia berhati iblis yang tak punya pera-
saan! Mengapa sekarang kalian diam? Ayo, bunuh ka-
mi! Siksa kami! Lebih baik mati daripada diperlakukan 
seperti binatang begini!” teriak Warti seraya bergerak 
bangkit dan berdiri dengan sikap menantang.
Semenjak melihat kedatangan Warti yang berwajah 
cantik dan bertubuh menggairahkan itu, lelaki kasar, 
tukang pukul Juragan Labang yang didampingi dua 
orang kawannya, tersenyum licik. Di benaknya seketi-
ka terbayang sekantung uang yang sudah pasti bakal 
didapat apabila bisa membawa gadis itu ke hadapan 
majikannya. Maka, ia sama sekali tak peduli terhadap 
caci maki gadis itu. Bahkan sikap garangnya lenyap 
seketika.
“He he he...! Anak gadis Pak Tua itu boleh juga, Ka-
kang...,” bisik salah seorang dari kedua kawan lelaki 
kasar itu. Mulutnya menyeringai dengan sepasang ma-
ta menjelajahi sekujur tubuh Warti.
“Wah, kita bakal mendapat hadiah besar dari Jura-
gan Labang jika dapat membawa gadis itu ke hada-
pannya...!” yang satunya lagi menimpali. Wajahnya 
tampak berseri membayangkan uang yang bakal dite-
rima dari majikan mereka.
Sebenarnya tanpa ucapan kedua kawannya pun, le-
laki kasar yang tadi menyiksa orangtua Warti sudah 
tahu apa yang harus dilakukannya. Senyumnya tam-
pak semakin lebar ketika mendengar ucapan kedua 
kawannya. Perlahan kakinya melangkah menghampiri 
Warti dan ayahnya.
“Hm..., Pak Tua! Kalau saja anakmu itu mau datang 
menghadap Juragan Labang dan membicarakan masa-
lah hutangmu, kami yakin kau malah akan menda-
patkan keuntungan besar. Selain hutang-hutangmu 
lunas, kau pun pasti akan mendapatkan modal besar

untuk membeli bibit-bibit tanaman atau pun peralatan 
pertanian. Nah, bukankah kehidupanmu bisa mening-
kat lebih baik?”
Lelaki kasar yang semula berwajah bengis dan tak 
berperasaan itu, kini berkata manis membujuk. Tentu 
saja sikap itu dibuat-buat.
Mendengar ucapan tukang pukul Juragan Labang 
itu, ayah Warti bukan merasa gembira, tetapi sebalik-
nya. Wajahnya tampak memucat dengan mata terbela-
lak lebar menyiratkan rasa takut yang tak dapat dis-
embunyikan. Lelaki setengah baya itu telah mem-
bayangkan apa maksud lelaki kasar itu. Merasa tak 
berdaya, petani tua itu mengalihkan tatapan matanya 
ke tempat kerumunan penduduk, seolah hendak me-
minta pertolongan. Namun setiap wajah yang menda-
pat tatapan matanya, selalu menunduk. Parta memak-
lumi, bahwa tak seorang pun di antara para penduduk 
yang ingin mencari penyakit Karena mencampuri uru-
san itu berarti melawan Juragan Labang.
‘Tuan, kasihanilah kami yang miskin ini! Berilah 
waktu dua hari! Aku berjanji akan melunasi hutang-
hutangku. Janganlah putri ku yang tak tahu apa-apa, 
harus dibawa...!” akhirnya Parta meminta belas kasi-
han. Sebab dirinya tak bisa mengharapkan bantuan 
penduduk yang hanya berkerumun dan menatap pe-
nuh iba.
Jawaban tak menyenangkan itu membuat tukang 
pukul Juragan Labang menggeram gusar. Wajahnya 
yang semula dibuat seramah mungkin, berubah ben-
gis. Bahkan sepasang matanya menyorot tajam menyi-
ratkan ancaman.
“Ah, sudahlah, Kang! Untuk apa melayani monyet 
tua tak berguna itu?! Bawa saja anak gadisnya. Kalau 
ia melawan, biar aku yang kasih hadiah!” usul salah

seorang tukang pukul Juragan Labang yang berkumis 
tebal dan bermata lebar.
“Jangan, Tuan! Kasihanilah kami...!”
Parta tampak semakin gelisah. Dipegangnya lengan 
Warti yang juga mulai ketakutan, karena wajah ketiga 
lelaki kasar itu berubah garang menakutkan.
“Minggat kau! Tua bangka tak tahu diuntung!” ben-
tak lelaki kasar itu sambil melayangkan pukulan ke 
tubuh Parta. Petani malang itu terjungkal ke tanah.
Plakkk...!
“Manusia kejam! Iblis...!”
Warti berteriak-teriak dengan air mata berlinang. 
Karena marah melihat keadaan ayahnya, tanpa pikir 
panjang, gadis cantik itu langsung menyerbu dan me-
mukuli tubuh lelaki kasar yang memukul ayahnya.
Namun apa artinya pukulan seorang gadis lemah 
seperti Warti. Pukulan-pukulan itu tentu saja tidak 
menimbulkan rasa sakit bagi tukang pukul Juragan 
Labang. Lelaki kasar itu kemudian menangkap kedua 
tangan Warti.
“Lepaskan aku! Kau bukan manusia! Kau pantas-
nya menjadi iblis penghuni neraka jahanam...!”
“Diam!”
Plakkk!
Tubuh Warti yang meronta-ronta sekuat tenaga, 
langsung terpelanting akibat tamparan keras mendarat 
di wajahnya. Sebelum gadis itu sempat bangkit, lelaki 
kasar itu telah menyeret tangannya dan dipaksa bang-
kit.
“Suka atau tidak kau tetap akan kubawa mengha-
dap majikanku!” bentak lelaki kasar itu sambil men-
jambak rambut Warti hingga terangkat menatapnya.
Panji yang semenjak tadi mengikuti kejadian itu, 
sudah siap untuk menolong ayah-beranak yang malang itu. Namun niat untuk itu terpaksa diurungkan. 
Karena tiba-tiba ada sesosok bayangan putih yang 
berkelebat mendahuluinya. Akhirnya Panji memu-
tuskan untuk melihat perkembangan selanjutnya.
“Hei, Anjing-anjing Busuk! Hendak kau bawa ke 
mana gadis itu?!” bentak sosok bayangan tadi yang 
sudah berdiri dengan kaki terpentang. Jelas kalau ia 
hendak mencegah perbuatan tiga orang tukang pukul 
Juragan Labang itu.
Panji sempat mengerutkan kening ketika melihat 
sosok bayangan putih itu ternyata seorang gadis mu-
da. Ingatannya langsung melayang pada wajah Kenan-
ga, kekasihnya. Sebab, gadis berpakaian serba putih 
berusia sekitar delapan belas tahun itu, memiliki wa-
jah cantik dan manis. Namun, sorot matanya tampak 
demikian tajam menusuk jantung. Sekilas saja Panji 
tahu kalau gadis berpakaian putih itu akan mampu 
menolong Warti dan ayahnya.
Teringat akan Kenanga, Panji pun kembali tersadar 
apa yang tengah dilakukannya saat itu. Dirinya dan 
Kenanga memang sengaja berpisah untuk menyelidiki 
orang-orang yang telah melakukan serangkaian keja-
hatan dengan membunuhi beberapa tokoh persilatan 
serta murid-murid perguruan terkenal. Adanya bebe-
rapa kejadian yang berlangsung dalam waktu bersa-
maan, membuat keduanya memutuskan berpisah un-
tuk sama-sama menyelidiki si pembuat kekacauan itu. 
Itu sebabnya Pendekar Naga Putih datang seorang diri 
ke Desa Kranggan.
Perkiraan Panji ternyata tidak meleset Sosok bayan-
gan putih yang ternyata seorang gadis muda itu me-
mang bukan wanita sembarangan. Terbukti selain ge-
rakannya sangat cepat tampak sebilah pedang tergan-
tung di punggung. Jelas gadis muda itu dari kalangan

persilatan yang tentu saja memiliki kepandaian. Kalau 
tidak, mana berani mencampuri urusan itu.
‘Turunkan gadis itu, atau nyawa kalian melayang!”
Gadis cantik berpakaian serba putih itu kembali 
membentak galak Jari telunjuknya menuding Warti 
yang saat itu berada dalam pondongan salah seorang 
tukang pukul Juragan Labang.
“Wah..., Kakang! Gadis desa ini tak ada artinya bila 
dibandingkan dengannya!” salah seorang kawan lelaki 
kasar itu berseru dengan wajah membayangkan keka-
guman yang sangat Kemudian kembali menyambung 
ucapannya, “Eh, Nini yang cantik dan manis, apa kau 
ingin menggantikan gadis ini untuk kami bawa meng-
hadap Juragan Labang? Kalau kau bersedia, dengan 
senang hati gadis ini akan kami bebaskan. Bahkan hu-
tang-hutang tua bangka itu pun akan kami anggap lu-
nas...!”
Rupanya salah seorang dari ketiga tukang pukul 
Juragan Labang itu tidak sabar. Tangannya menjulur 
hendak menangkap lengan berkulit kuning langsat dan 
halus milik gadis itu.
Plakkk!
“Auuuh...!”
Entah dengan cara bagaimana, tahu-tahu saja lela-
ki yang hendak menangkap tangan gadis cantik berpa-
kaian serba putih itu terpelanting sambil menjerit ke-
sakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah. Dari celah-
celah bibirnya terlihat cairan merah mengalir keluar. 
Tampak bibirnya pecah akibat tamparan kilat yang di-
lancarkan gadis itu.
“Bangsat! Perempuan setan! Kau rupanya mencari 
mampus!” sambil membentak penuh amarah, tangan 
lelaki berkumis lebat dan bermata lebar itu langsung 
bergerak mencabut pedang di punggungnya.

Sringngng!
Sebentuk sinar putih berkeredep ketika pedang ter-
cabut dari sarungnya. Dan..., 
“Haaattt..!”
Wut! Wuttt...!
Disertai teriakan nyaring, lelaki berkumis lebat itu 
bergerak menerjang. Pedang di tangannya berkeleba-
tan cepat membentak kilatan sinar dan suara berke-
siut.
“Hm...,”
Gadis cantik berpakaian serba putih itu hanya 
mendengus perlahan. Kakinya bergerak ke kanan, 
sambaran pedang itu pun lewat dari sasarannya. Saat 
itu pula kaki kirinya bergerak cepat melakukan sebuah 
tendangan kilat ke perut lawan.
“Heaaa...!”
Bukkk!
“Hukh!”
Tendangan kaki mungil itu mendarat telak pada sa-
sarannya. Akibatnya sungguh mengagumkan! Tubuh 
lelaki berkumis tebal dan bertubuh tinggi besar itu 
terdorong ke belakang lalu terjungkal ke tanah.
Beberapa saat lamanya, lelaki itu tak mampu bang-
kit Tendangan gadis itu membuat isi perutnya bagai 
hendak termuntah keluar. Sehingga, ia hanya bisa me-
ringis dan memandang dengan sinar mata penuh den-
dam.
Kejadian itu tentu saja di luar dugaan dua orang
tukang pukul lainnya. Mereka hampir tak percaya ka-
lau gadis cantik yang kelihatan lemah itu ternyata 
sanggup membuat kawan mereka roboh tak berdaya 
hanya dengan sekali gebrak!
“Perempuan iblis! Siapa kau sebenarnya? Dan apa 
maksudmu mencampuri urusan kami?!” bentak lelaki

kasar itu gusar, penuh kemarahan. Meskipun sebe-
narnya agak gentar, mereka merasa malu untuk me-
nunjukkan kelemahan di depan para penduduk.
“Hm..., kalian ingin kenal siapa aku? Nah, dengar-
lah baik-baik!. Aku Dewi Kematian, yang akan menca-
but nyawa kalian sekarang juga!” gadis cantik berpa-
kaian serba putih itu menyahut dengan senyum men-
gejek.
“Keparat! Tidak peduli siapa pun kau adanya, yang 
jelas kau akan menerima akibat dari kelancanganmu 
ini!” lelaki kasar bertubuh kekar berotot, yang menjadi 
pimpinan kedua orang kawannya, membentak sambil 
menggenggam pedang erat-erat Tubuhnya langsung 
merangsek maju diikuti kawannya yang juga sudah 
menghunus pedang.
“Heaaattt..!”
Wut! Wuttt!
Serangan kedua orang tukang pukul Juragan La-
bang itu memang cukup cepat dan kuat Namun tidak 
demikian anggapan gadis cantik yang mengaku seba-
gai Dewi Kematian. Dengan hanya menggeser-geser tu-
buhnya, sambaran pedang kedua orang lawannya sela-
lu saja dapat dihindarkan. Bahkan ketika ia mulai-
membalas, kedua orang tukang pukul itulah yang 
menjadi kewalahan dibuatnya.
Panji menyaksikan perkelahian itu dengan hati ter-
kejut Hatinya sama sekali tak menyangka, kalau gadis 
cantik berpakaian serba putih itu ternyata tokoh yang 
berjuluk Dewi Kematian. Nama tokoh itu memang te-
lah cukup lama didengarnya. Sebab, sepak terjang 
Dewi Kematian memang membikin penasaran para to-
koh persilatan khususnya golongan putih.
Dewi Kematian memang selalu menentang kejaha-
tan. Namun tindakannya terlalu kejam. Tidak aneh

memang kalau tokoh itu dijuluki sebagai Dewi Kema-
tian. Sebab, setiap penjahat yang naas berjumpa den-
gannya, sudah pasti tak bakal selamat! Dewi Kematian 
tak pernah membiarkan setiap pelaku kejahatan hidup 
apabila berjumpa dengannya.
“Hm..., siapa sangka tokoh yang memiliki julukan 
sedemikian menyeramkan itu ternyata hanya seorang 
gadis muda yang berwajah cantik dan manis. Kalau ti-
dak mendengar sendiri, rasanya aku tak bisa percaya 
begitu saja...,” gumam Panji tanpa mengalihkan pan-
dangannya dari arena perkelahian.
***
“Hiaaat...!”
Dewi Kematian yang sudah mendesak kedua la-
wannya hingga tak berdaya, tiba-tiba mengeluarkan 
lengkingan tinggi yang mengejutkan! Kemudian dis-
usul dengan lesatan tubuhnya yang sulit diikuti mata. 
Dan...,
Wuttt!
Bret! Brettt...!
“Aaa .!”
Terdengar jeritan yang panjang merobek udara 
siang. Disusul kemudian dengan robohnya kedua 
orang tukang pukul Juragan Labang dengan tubuh 
bersimbah darah. Kedua lelaki muda itu seketika te-
was dengan tubuh bagian depan tergores luka meman-
jang seperti bekas sambaran mata pedang. Padahal tak 
seorang pun melihat adanya pedang di tangan gadis 
cantik berpakaian serba putih itu.
Pendekar Naga Putih yang masih mengawasi gadis 
itu tampak tersenyum. Seberapa pun kecepatan gerak 
yang dilakukan Dewi Kematian itu tak dapat mengela-
bui matanya. Meski gerakan wanita cantik itu demi

kian cepat sewaktu mencabut dan menyarungkan pe-
dang, semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Dan 
memang hanya dirinya seoranglah yang tahu kalau 
kedua orang lelaki kasar itu terbunuh oleh tebasan 
pedang Dewi Kematian.
Tewasnya kedua orang tukang pukul Juragan La-
bang itu, membuat para penduduk yang berkerumun 
merasa ketakutan! Satu persatu mereka bergerak me-
ninggalkan tempat itu. Para penduduk tak ingin terli-
bat dan terbawa-bawa, karena tentu saja akan mem-
buat susah hidup mereka.
Dewi Kematian sendiri sama sekali tak peduli. Den-
gan langkah tenang, dihampirinya tukang pukul ber-
kumis tebal yang masih terduduk merasakan sakit pa-
da perutnya. Tanpa berkata sepatah pun, kaki mungil 
wanita cantik ini langsung saja bergerak.
Bukkk!
‘Pergi kau, Anjing Buduk! Laporkan pada majikan-
mu bahwa Dewi Kematian akan berkunjung untuk 
mengambil kepalanya!” bentak Dewi Kematian.
Tukang pukul Juragan Labang itu tampak meringis 
kesakitan. Terdengar suara rintihan dari mulutnya. 
Hati lelaki berwajah kasar itu pun merasa bimbang. 
Namun, ketika Dewi Kematian kembali mengulang 
bentakannya, langsung saja ia memaksa diri bangkit 
Kemudian, berlari tertatih-tatih meninggalkan tempat 
itu.
Dewi Kematian berdiri terpaku memandangi keper-
gian lelaki itu. Kendati demikian, telinganya menang-
kap gerakan dua orang yang ditolongnya. Kedua anak 
dan bapak itu bergerak menghampiri.
“Nisanak..., terima kasih atas pertolonganmu. En-
tah apa yang akan terjadi dengan putri ku tanpa perto-
longanmu. Sekali lagi, kami mengucapkan terima ka

sih...,” ujar Parta dengan terbungkuk-bung- kuk sam-
bil menggandeng tangan putrinya.
“Bangunlah, Paman! Dan kau juga, Adik Manis. 
Bangunlah! Yang kulakukan tadi bukan apa-apa. Lagi
pula mereka memang pantas menerima kematian. 
Orang-orang seperti itu tak boleh dibiarkan hidup! 
Hanya menyusahkan orang lain saja,” ujar Dewi Kema-
tian dengan suara dingin.
“Nisanak...,” Parta, lelaki tua itu kembali memang-
gil, “Sebaiknya Nini segera meninggalkan desa ini. Ka-
mi khawatir orang-orang tadi akan datang dengan 
membawa kawan-kawan mereka yang lain dalam jum-
lah banyak. Tukang-tukang pukul Juragan Labang ra-
ta-rata pandai ilmu silat Terutama sekali orang yang 
bernama Sarpala. Bahkan kalau tak salah dijuluki se-
bagai Golok Tanpa Bayangan. Aku sendiri belum men-
gerti mengapa dijuluki demikian. Yang jelas kami me-
rasa khawatir kalau sampai Nisanak celaka di tangan 
mereka...,” 
“Hm..., aku memang akan pergi, Paman. Tapi bukan 
untuk meninggalkan desa ini. Melainkan untuk men-
gunjungi orang yang bernama Juragan Labang itu!” je-
las Dewi Kematian yang tentu-saja membuat ayah be-
ranak itu merasa terkejut.
‘Tapi..., jumlah tukang pukul Juragan Labang san-
gat banyak sekali! Sangat berbahaya kalau Nisanak 
yang seorang diri harus menghadapi mereka. Apalagi 
mereka orang-orang yang licik dan sangat kejam. Aku 
bukan hendak menakut-nakuti. Tapi, sudah ada bebe-
rapa orang jago silat mendatangi Juragan Labang un-
tuk meminta agar menghentikan perbuatannya yang 
memeras penduduk. Tapi, mereka semua tewas bah-
kan kepalanya digantung di balai desa! Maksudnya 
tentu saja agar penduduk semakin takut dan tak berani berbuat macam-macam,” Parta menjelaskan den-
gan wajah penuh kecemasan. Kelihatannya lelaki tua 
itu tak ingin orang lain mendapat celaka hanya karena 
membela keluarganya.
“Hm..., jadi orang yang bernama Juragan Labang itu 
lintah darat? Dan apa yang menyebabkan mereka me-
nyiksamu seperti ini, Paman?” tanpa mempedulikan 
kecemasan petani tua itu, Dewi Kematian malah men-
galihkan pembicaraan.
Secara singkat dan jelas, Parta menceritakan apa 
yang menimpa keluarganya, yang juga dialami keba-
nyakan penduduk Desa Kranggan.
“Hm..., kalau begitu Juragan Labang memang perlu 
dibasmi...!” gumam Dewi Kematian setelah mendengar 
penjelasan petani tua itu. “Dan aku akan berusaha 
merubah kehidupan penduduk desa ini, Paman. Nah, 
selamat tinggal...!”
Belum lagi Parta sempat berbicara, tahu-tahu saja 
sosok Dewi Kematian telah lenyap dari hadapannya. Ia 
hanya melihat berkelebatnya bayangan putih dengan 
kecepatan yang tak bisa diikuti pandangan matanya. 
Dan di kejauhan ia melihat sosok Dewi Kematian yang 
semakin mengecil.
“Mungkinkah ia seorang dewi yang sengaja diturun-
kan, untuk menolong penduduk Desa Kranggan..-.? 
Rasanya mustahil kalau seorang manusia dapat 
menghilang seperti itu...?” gumam Parta yang hanya 
bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan penuh 
takjub.
Tanpa sepengetahuan Dewi Kematian, sesosok 
bayangan putih lainnya bergerak menyusul. Parta dan 
putrinya hanya merasakan ada sambaran angin keras 
yang membuat pakaian mereka berkibar.
Mereka sama sekali tak tahu kalau angin besar itu

tercipta karena gerakan sosok bayangan putih yang 
berkelebat demikian cepatnya.
Bayangan putih yang menyusul Dewi Kematian itu 
tentu saja Panji. Ia menyusul karena ingin mengetahui 
apa yang akan dilakukan tokoh wanita yang selalu ber-
tindak kejam terhadap para penjahat itu. Selain itu, ia 
pun khawatir kalau-kalau Dewi Kematian akan mene-
mui celaka di tangan tukang-tukang pukul Juragan 
Labang, yang didengarnya memiliki kepandaian tinggi. 
Semua itu didengar dari penjelasan Parta.
***
TIGA


Dewi Kematian yang tengah mencari rumah Jura-
gan Labang tampaknya tidak menemukan kesulitan. 
Setelah bertanya pada salah seorang penduduk desa, 
gadis cantik itu langsung melesat menuju sebuah ban-
gunan besar dan megah.
“Hm..., ini mencurigakan...,” gumam Dewi Kematian 
setelah menghentikan langkahnya di depan pintu ger-
bang. Sepasang matanya yang tajam menyapu hala-
man rumah besar itu yang tampak sunyi. Tak seorang 
tukang pukul pun terlihat berjaga-jaga.
Sebagai seorang tokoh yang telah cukup banyak 
pengalaman, Dewi Kematian bisa menduga akan 
adanya persiapan lawan dalam menyambut kedatan-
gannya. Namun mana mungkin Dewi Kematian yang 
nama besarnya sanggup membuat ketakutan seorang 
penjahat kejam akan merasa gentar. Meskipun sadar 
bahwa kesunyian rumah Juragan Labang tidak wajar, 
gadis cantik berpakaian putih itu tetap melangkah ma-
suk. Tentu saja kewaspadaannya tetap dikerahkan,

menjaga kemungkinan yang bakal terjadi.
Wut wut wuttt...!
Ternyata benar dugaan Dewi Kematian. Baru saja 
empat langkah dari ambang pintu gerbang, terdengar 
suara berdesingan menyambut kedatangannya.
“Hhh...!” Dewi Kematian mendengus. Sepasang ma-
tanya yang tajam menangkap adanya enam batang 
tombak meluncur ke arahnya. Namun tak ada gelagat 
pada dirinya untuk mengelak. Seolah Dewi Kematian 
ingin menunjukkan bahwa dirinya tidaklah mudah un-
tuk dirobohkan dengan serangan gelap seperti itu.
“Hih...!”
Trak! Trak! Trak!
Sekali mengibaskan kedua tangannya yang berkulit 
halus, terdengar suara benda berpatahan. Dan keenam 
batang tombak yang meluncur ke tubuhnya, langsung 
berpentalan ke tanah dalam keadaan patah menjadi 
dua. Dari sini dapat dilihat betapa lihai dan kuatnya 
tenaga dalam Dewi Kematian. Tampaknya dia sengaja 
mempertunjukkan kemampuan itu agar musuh tahu 
siapa dirinya. Dan Dewi Kematian jelas tak bisa dipan-
dang sebelah mata!
“Keluarlah, Manusia-manusia Pengecut! Tak ada 
gunanya kalian berbuat seperti ini terhadap Dewi Ke-
matian!” tantang gadis cantik berpakaian serba putih 
itu. Dewi Kematian sengaja mengerahkan tenaga da-
lamnya hingga suara teriakan itu terdengar bergema 
masuk ke seluruh bagian bangunan megah, rumah 
Juragan Labang.
Gadis cantik berwajah dingin yang berjuluk Dewi 
Kematian ini memang bukan hanya kejam terhadap 
orang-orang jahat Ia pun memiliki sifat tinggi hati dan 
selalu tak sudi dipandang rendah. Itu sebabnya men-
gapa ia tidak mengelak dari serangan tombak.

Dewi Kematian tak perlu menunggu lama atas sam-
butan lawan-lawannya. Sebab beberapa saat kemu-
dian, belasan sosok tubuh berloncatan dari sekeliling-
nya. Sehingga, dalam waktu singkat dirinya sudah ter-
kepung belasan orang tukang pukul yang rata-rata 
bertampang bengis.
“Hmh!”
Dewi Kematian mendengus. Diperhatikannya satu 
persatu para tukang pukul Juragan Labang sambil 
menghitung jumlah mereka. Tanpa rasa gentar sedikit 
pun gadis cantik itu berdiri tegap di tengah kepungan 
musuh-musuhnya.
“Hua ha ha...! Sungguh tak kusangka kalau musuh 
yang bakal kita hadapi hanyalah seorang gadis muda 
yang berwajah cantik dan bertubuh menggiurkan! Ka-
lau sejak semula aku tahu, tentu aku akan menyam-
butnya di dalam kamar yang indah dan harum!”
Seorang lelaki tinggi kekar berkepala botak mengki-
lat, tertawa meremehkan. Bahkan melontarkan ucapan 
yang tentu saja maknanya dapat ditangkap oleh Dewi 
Kematian.
Namun untuk perkataannya itu ternyata harus di-
bayar cukup mahal. Sebab, baru saja ucapannya sele-
sai, tahu-tahu sesosok bayangan putih berkelebat den-
gan kecepatan tinggi, hingga sulit untuk ditangkap se-
cara jelas. Dan...,
Plak! Plakkk...!
“Augh...!”
Luar biasa memang kecepatan gerak yang dimiliki 
Dewi Kematian. Lelaki botak bertubuh kekar berotot 
itu tak sanggup menyelamatkan mulutnya dari dua 
kali tamparan keras, yang membuatnya terpekik kesa-
kitan. Bahkan tubuh lelaki kekar itu terbanting ke ta-
nah dengan kerasnya.

Lelaki kekar berkepala botak mengkilat itu menga-
duh-aduh sambil memegangi mulutnya dengan kedua 
tangan. Tamparan itu bukan hanya membuat bibirnya 
pecah berdarah. Empat buah giginya langsung tanggal 
seketika. Karuan saja kejadian tak terduga ini mem-
buat yang lainnya terkejut setengah mati! Sungguh 
mereka tak menyangka kalau gadis cantik berwajah 
dingin itu, ternyata dapat bergerak secepat sambaran 
kilat! Kejadian itu membuat mereka sadar kalau Dewi 
Kematian memang tak bisa dianggap remeh.
“Hm..., masih adakah yang ingin menyambutku di 
dalam sebuah kamar yang indah dan harum?” tanya 
Dewi Kematian seraya mengedarkan pandangan men-
gawasi pengepungnya dengan senyum mengejek.
Sadar bahwa gadis muda itu bukanlah orang sem-
barangan, tak seorang pun yang sudi membuka mulut 
mendengar tantangan Dewi Kematian. Namun bukan 
berarti mereka merasa gentar dan membiarkan wanita 
cantik itu bebas berbuat sekehendak hatinya. Bahkan 
kepungan semakin rapat. Belasan senjata terhunus 
siap menggempur Dewi Kematian.
“Serbuuu...! Heaaa...!”
“Heaaa...!”
Seorang lelaki berpakaian serba hitam memekik 
nyaring. Tubuhnya langsung bergerak menerjang Dewi 
Kematian dengan sambaran pedang. Kawan-kawannya 
yang lain juga tak lagi merasa tertarik terhadap kecan-
tikan maupun keindahan tubuh Dewi Kematian.
“Heaaa...!”
Wut! Wuttt..!
“Hait! Heaaa...!”
Dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi 
Kematian menghindari setiap tebasan senjata para 
pengeroyok. Tubuhnya berkelebatan cepat di antara ki

latan-kilatan sinar pedang yang berdesingan membu-
ru. Sejauh itu, tak satu pun mata pedang dapat me-
nyentuh tubuhnya. Jangankan untuk dapat melu-
kainya, untuk menyentuh ujung pakaiannya pun tak 
dapat mereka lakukan. Sebab, gerakan yang dilakukan 
gadis cantik itu selalu dapat mendahului kecepatan 
sambaran senjata lawan.
“Haiiit! Heaaa...!.”
Setelah dalam belasan jurus hanya menghindar 
dengan mengandalkan kecepatan geraknya, Dewi Ke-
matian merasa tak cukup. Diiringi teriakan keras dan 
melengking, tubuhnya bergerak lebih cepat, sambil 
melontarkan pukulan ke tubuh lawan-lawannya.
Bukkk! Plakkk...!
“Aaakh...!”
Pekik kesakitan seketika terdengar. Tiga orang pen-
geroyok terjungkal ke tanah terkena pukulan yang di-
lancarkan Dewi Kematian.
“Hueh...!”
“Hukh...!”
Ketiga orang berpakaian hitam itu berkelojotan di 
tanah. Dari mulut mereka keluar darah segar. Sesaat 
kemudian ketiganya tewas dengan mata membeliak. 
Tampaknya pukulan yang dilancarkan Dewi Kematian 
tak tanggung-tanggung. Tak mengherankan kalau ke-
tiga lelaki yang terkena pukulan itu langsung muntah 
darah bahkan tewas seketika.
“Heat..!”
Tiba-tiba terdengar suara pekikan keras menggele-
gar. Dewi Kematian yang tengah sibuk melancarkan 
pukulan dan tendangan kepada lawan- lawannya sem-
pat tersentak. Sesosok bayangan kehitaman berkelebat 
cepat, memasuki arena pertarungan dan langsung me-
lancarkan serangan.

Bwet! Bwettt!
Dewi Kematian tersentak ketika mendengar adanya 
sambaran angin keras menderu ke tubuhnya. Disadari 
kalau serangan ini tak dapat disamakan dengan para 
pengeroyoknya yang lain. Maka dengan cepat dibalik-
kan tubuhnya dan menyambut serangan itu dengan 
tangkisan kedua tangannya yang telah diisi tenaga da-
lam.
Dukkk! Plakkk!
Dewi Kematian kembali dilanda rasa kaget! Betapa 
tidak? Tangkisan yang dilakukan membuat kuda-
kudanya tergempur mundur sampai dua langkah. 
Tampaknya serangan yang dilakukan sosok bayangan 
itu sangat kuat Kedua lengannya dirasakan bergetar 
hebat, hingga meninggalkan rasa nyeri.
Bukan hanya Dewi Kematian yang merasa terkejut 
Penyerangnya pun tak kalah kaget. Selain serangannya 
dapat digagalkan, sosok tubuh berpakaian hitam ter-
lontar deras ke belakang. Namun dengan cepat dirinya 
berusaha memperbaiki keseimbangan dengan melaku-
kan salto, lalu meluncur turun. Melihat dari raut wa-
jahnya yang meringis, dapat ditebak kalau pembokong 
licik itu merasa linu pada kedua lengannya.
Perkelahian tertunda sesaat Sosok jangkung yang 
tingginya melebihi ukuran biasa, menatap tajam wajah 
Dewi Kematian yang juga menatapnya. Tampaknya ke-
dua tokoh itu hendak mengukur kekuatan lawan mela-
lui tatapan mata masing-masing.
***
“Hm..., kau pasti orang yang berjuluk Golok Tanpa 
Bayangan!” Dewi Kematian membuka suaranya yang 
bening namun terasa dingin, membuat bulu kuduk 
meremang.

“Sungguh tak kusangka kalau orang yang berjuluk 
Dewi Kematian adalah seorang gadis muda yang cantik 
menggiurkan. Semula, kukira seorang nenek tua yang 
sudah bau tanah...!” sosok jangkung terbungkus pa-
kaian serba hitam itu menukas, juga dengan suara 
dingin dan terkesan merendahkan. Tampaknya lelaki 
jangkung ini tak ingin menunjukkan bahwa ia sedikit 
gentar setelah merasakan betapa kuat tenaga dalam 
Dewi Kematian.
“Aku meragukan julukanmu yang berlebihan itu, 
Kisanak! Buktikanlah bahwa kau memang memiliki il-
mu golok yang hebat laksana tanpa bayangan...!” tan-
tang Dewi Kematian dengan nada sinis. Dan..., entah 
kapan tangannya bergerak, tiba-tiba saja di tangan ga-
dis cantik berwajah dingin itu telah tergenggam seba-
tang pedang. Sinar pedang itu sanggup membuat bulu 
kuduk meremang. Jelas senjata di tangan Dewi Kema-
tian bukan sembarang- an pedang.
“Hmh...!” Golok Tanpa Bayangan mendengus kasar. 
Sekali tangan bergerak, golok di pinggangnya telah 
pindah ke tangan kanan. Gerakan tokoh jangkung itu 
begitu cepat Caranya mencabut senjata pun, menun-
jukkan bahwa dirinya seorang ahli ilmu golok yang 
tangguh.
“Kau jangan mimpi dapat berbuat sekehendak ha-
timu di tempat ini, Dewi Kematian! Kedatanganmu sa-
ma saja dengan ular menghampiri penggebuk!” ujar 
Golok Tanpa Bayangan dengan senyum mengejek.
“Buktikan! Haiiittt..!”
Wung! Wungngng!
Tanpa banyak cakap, Dewi Kematian melesat diser-
tai kibasan pedangnya yang begitu cepat Seketika ter-
dengar suara mengaung bagaikan dengung ratusan le-
bah yang marah. Suara ini jelas menandakan bahwa

Dewi Kematian tidak ingin menganggap remeh dan 
main-main dalam melancarkan serangan.
Golok Tanpa Bayangan pun bukan tak tahu kalau 
lawan kali ini dihadapinya sangat lihai dalam ilmu pe-
dang. Matanya sempat melihat gulungan sinar dari pu-
taran pedang yang sangat cepat dan berubah-ubah itu. 
Maka, ia pun tak segan-segan segera mengeluarkan 
kepandaian yang membuat namanya terkenal di ka-
langan persilatan itu.
“Heaaa...!”
Trang! Trangngng...!
Wut! Wuttt..!
Bunga api memercik ketika kedua senjata saling 
berbenturan keras. Dewi Kematian agak kaget ketika 
mencium adanya bau busuk memuakkan berasal dari 
golok lawan. Tahulah gadis cantik ini kalau senjata la-
wan ternyata mengandung racun jahat yang berba-
haya. Dan itu membuat kemarahannya semakin me-
muncak!
“Hiaaa...!”
Setelah mengetahui bahwa senjata lawan mengan-
dung racun yang berbahaya, Dewi Kematian semakin 
memperhebat serangan pedangnya. Sehingga, kali ini 
Golok Tanpa Bayangan terpaksa harus bermain mun-
dur. Sebab, lawannya benar-benar tak ingin memberi 
peluang kepadanya untuk membangun serangan. Ten-
tu saja hal itu membuatnya tambah penasaran dan 
marah!
Meskipun salah satu tampak terdesak, pertarungan 
itu tampak indah. Sinar senjata mereka yang bergu-
lung-gulung saling tindih, merupakan sebuah peman-
dangan yang sungguh mengagumkan. Apalagi sesekali 
masih diselingi dengan pijaran bunga api, saat kedua 
senjata saling berbenturan keras. Membuat pertempuran itu tak membosankan untuk disaksikan.
Ketika pertarungan menginjak pada jurus yang ke-
tiga puluh, terlihatlah betapa Dewi Kematian masih 
jauh lebih unggul ketimbang lawannya. Terbukti sinar 
lingkaran pedang semakin mendesak sinar golok lawan 
yang kian menyempit. Bahkan Golok Tanpa Bayangan 
tak mampu melancarkan serangan balasan. Yang da-
pat dilakukan hanya membuat benteng pertahanan 
sekuatnya agar tak sampai celaka oleh pedang gadis 
cantik berwajah dingin itu.
“Shaaah...!”
Di saat merasa benar-benar sudah tak berdaya 
menghadapi gempuran lawan, mendadak Golok Tanpa 
Bayangan membentak sambil mengebutkan sapu tan-
gan berwarna hijau. Seketika itu pula mengepulkan 
asap kekuningan yang berbau harum memabukkan. 
Rupanya tokoh jangkung itu mulai berbuat curang 
dengan menebarkan bubuk beracun ke arah lawannya.
“Bangsat licik..!”
Dewi Kematian mencaci maki kelicikan Golok Tanpa 
Bayangan. Tubuhnya tampak terhuyung. Racun ber-
bau harum itu telah membuat kepalanya pening. Dan 
pandangannya pun kabur. Hingga, sosok lawan seolah 
menjadi banyak dalam pandangannya.
“Hih...!”
Trangngng!
“Uuuh...!”
Kendati demikian, Dewi Kematian masih sempat 
menyambut datangnya sambaran golok lawan yang 
mengancam tubuhnya. Namun tangkisan itu membuat 
kepalanya dirasakan kian berat Hingga tubuhnya 
kembali terjajar mundur. Terdengar keluhan lirih dari 
mulutnya.
‘Pergilah menghadap malaikat maut, Perempuan

Liar...!”
Golok Tanpa Bayangan yang merasa gembira meli-
hat keadaan lawan, kembali melesat melanjutkan se-
rangannya. Tubuhnya meluncur ke depan dengan ma-
ta golok siap menghunjam perut Dewi Kematian!
Whuttt..!
Plakkk...!
“Aaakh...!”
Belum sampai mata golok itu menemui sasarannya, 
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih yang lang-
sung memapaki serangan Golok Tanpa Bayangan. Tu-
buh lelaki jangkung itu pun terpental disertai pekik 
kesakitannya.
Sedangkan sosok bayangan putih itu langsung me-
nyambut tubuh Dewi Kematian, yang telah sempoyon-
gan hampir jatuh ke tanah. Tampaknya racun wangi 
yang ditaburkan Golok Tanpa Bayangan benar-benar 
telah merasuk ke tubuh gadis cantik itu.
“Keparat! Siapa kau...? Berani bertingkah di hada-
pan Golok Tanpa Bayangan?” Golok Tanpa Bayangan 
menatap tajam pemuda tampan berjubah putih yang 
ternyata Panji.
“Hm..., siapa pun adanya aku, yang jelas perbuatan 
curangmu tak bisa dibiarkan, Golok Tanpa Bayangan!” 
tukas Panji yang tengah memondong tubuh Dewi . 
Kematian.
“Kurang ajar! Habisi pemuda itu...!” teriak Golok 
Tanpa Bayangan ditujukan kepada para tukang pukul 
lain yang sejak tadi hanya diam menyaksikan perta-
rungan itu. Karena merasa tersinggung mendengar ja-
waban Panji, Golok Tanpa Bayangan langsung melesat 
maju menyerang, diikuti para anak buahnya. Dalam 
sekejap belasan tukang pukul Juragan Labang menge-
royok Panji, si Pendekar Naga Putih.

“Seraaang...!”
“Hiaaa...!”
Plak! Bukkk!
Kendati hanya menggunakan satu tangan, sekali 
bergerak Panji mampu memapak dan menghantam la-
wan. Tiga orang anak buah Golok Tanpa Bayangan se-
ketika terpelanting. Sedangkan serangan Golok Tanpa 
Bayangan sendiri dapat dielakkan dengan menggeser 
dan memiringkan tubuh. Kemudian langsung mengi-
rimkan sebuah tendangan kilat ke perut lelaki jang-
kung itu. 
Wuttt..!
“Aaakh...?!”
Golok Tanpa Bayangan tersentak kaget ketika meli-
hat betapa cepatnya tendangan yang dilancarkan pe-
muda itu. Gerakan itu jauh lebih cepat daripada yang 
dilakukan Dewi Kematian. Sadar kalau dirinya teran-
cam bahaya, lelaki jangkung itu langsung melempar-
kan tubuhnya ke belakang untuk menyelamatkan diri.
“Gila...?! Pemuda keparat itu jauh lebih lihai ketim-
bang Dewi Kematian?! Hm... siapa lagi pemuda itu...?” 
desis Golok Tanpa Bayangan setelah meluncur turun 
dengan selamat Wajahnya masih pucat, karena rasa 
terkejutnya belum hilang akibat serangan balasan 
yang dilancarkan Panji.
Keterkejutan itu tampaknya tak hanya melanda Go-
lok Tanpa Bayangan, melainkan semua tukang pukul 
Golok Tanpa Bayangan yang ada di tempat itu. Mereka 
merasa kecut juga menyaksikan kemampuan yang di-
perlihatkan Panji. Sehingga mereka hanya berani men-
gepung dari jarak agak jauh.
Panji berdiri tegak mengawasi lawan-lawannya. Ke-
tika melihat mereka belum menunjukkan gerakan, dis-
empatkan matanya melirik wajah Dewi Kematian. Hatinya menjadi cemas ketika melihat betapa wajah can-
tik itu kini tampak semakin memucat Bahkan ada 
warna kehijauan yang masih samar. Sadarlah Panji 
bahwa keadaan Dewi Kematian cukup gawat!
“Hua ha ha...! Perempuan kejam itu tak akan sela-
mat dari ‘Racun Kelabang Hijau’, Pemuda Keparat! Tak 
seorang pun yang dapat menyembuhkannya. Dan kau 
boleh tangisi kekasihmu yang malang itu...!”
Golok Tanpa Bayangan tertawa bergelak ketika me-
lihat kecemasan membayang di wajah Panji.
“Manusia keji...!” desis Panji yang tentu saja merasa 
geram terhadap Golok Tanpa Bayangan Namun dirinya 
memutuskan untuk cepat meninggalkan tempat itu. 
Hatinya khawatir kalau racun yang telah merasuk ke 
tubuh Dewi Kematian akan semakin bertambah parah. 
Tanpa mempedulikan lawan-lawannya, Panji langsung 
berkelebat meninggalkan halaman depan kediaman 
Juragan Labang.
Golok Tanpa Bayangan tentu saja tak bisa berbuat 
apa-apa. Karena sebelum dia sempat melakukan pen-
gejaran, bayangan Panji sudah jauh meninggalkan pin-
tu gerbang. Sehingga, lelaki jangkung itu cuma bisa 
membanting kakinya ke tanah karena kesal.
***
EMPAT


Pendekar Naga Putih terus berlari meninggalkan 
Desa Kranggan, membawa tubuh Dewi Kematian. 
Sampai di sebuah hutan kecil dihentikan larinya. Ke-
mudian dilanjutkan dengan langkah perlahan sambil 
mencari tempat yang cocok untuk mengobati Dewi 
Kematian yang terserang racun ganas.

Setelah agak jauh memasuki hutan itu, akhirnya 
Panji menemukan sebuah pondok yang terbuat dari 
kayu yang keadaannya sudah tak layak untuk dihuni. 
Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa di dalam 
pondok itu tak ada siapa-siapa, Panji membawa masuk 
Dewi Kematian. Di atas sebuah balai bambu yang ma-
sih cukup baik, direbahkan gadis itu dengan tubuh 
tertelungkup.
Pendekar Naga Putih memejamkan mata untuk 
memusatkan pikirannya sejenak. Kemudian diulurkan 
kedua telapak tangan dan ditempelkan pada punggung 
Dewi Kematian. Sementara tubuhnya sendiri telah ter-
bungkus sinar kuning yang menebarkan hawa panas. 
Sinar itu berasal dari ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ 
yang dikerahkannya. Panji memang bermaksud me-
mindahkan kekuatan itu guna mengobati tubuh gadis 
yang terserang racun.
Tidak lama kemudian, setelah seluruh tenaga muk-
jizat itu pindah ke tubuh Dewi Kematian, Panji pun 
melepaskan telapak tangannya, la menunggu beberapa 
saat sampai sinar kuning keemasan yang kini menye-
limuti tubuh Dewi Kematian lenyap. Jika sinar itu le-
nyap berarti tenaga mukjizatnya benar- benar telah 
merasuk ke tubuh gadis cantik yang masih terkulai 
lemas itu.
Panji tak perlu menunggu terlalu lama untuk meli-
hat Dewi Kematian sadar dari pingsannya. ‘Tenaga 
Sakti Inti Panas Bumi’ bekerja cepat mengusir racun 
yang terisap gadis itu. Dengan sabar Panji memperha-
tikan perubahan yang terjadi pada tubuh Dewi Kema-
tian. Dilihatnya ada uap tipis berwarna kehitaman ke-
luar dari ubun-ubun Dewi Kematian. Uap tipis itu per-
lahan-lahan lenyap, menandakan bahwa hawa bera-
cun telah terusir keluar dari dalam tubuh gadis cantik

berwajah dingin itu.
Namun lenyapnya hawa beracun itu bukan berarti 
bahwa Dewi Kematian telah pulih. Kendati bahaya su-
dah lewat, tenaga gadis itu belum seluruhnya pulih.
“Emhh... uhh...!” Dewi Kematian menggeliat perla-
han. Dari mulutnya terdengar desahan. Perlahan-
lahan tubuhnya hendak bangkit, tapi tak mampu ka-
rena tenaganya masih terlalu lemah. Samar-samar ma-
tanya yang bening menangkap ada bayangan putih 
duduk tak jauh dari tempat pembaringannya.
“Si... apa..., kau...?” tanya Dewi Kematian dengan 
suara lemah Keningnya tampak berkerut Dan sepa-
sang matanya menyiratkan kecurigaan.
Panji merasa belum perlu untuk memberikan jawa-
ban. Bergegas ia bangkit dan melangkah mendekati te-
pi pembaringan. Di tangannya tergenggam sebutir pil 
berwarna putih salju, yang berkhasiat untuk memu-
lihkan tenaga.
“Kau tak perlu banyak bicara dulu, Nisanak! Se-
baiknya telanlah pil ini guna memulihkan tenagamu. 
Percayalah, aku tak punya maksud apa-apa selain 
menolongmu...!” ujar Panji seraya menyodorkan pil itu 
ke mulut Dewi Kematian.
Dewi Kematian tampaknya tak begitu saja langsung 
percaya. Matanya menatap tajam wajah Panji, meski-
pun hanya tampak samar-samar. Wajah Panji terse-
nyum ramah dan menyiratkan satu ketulusan. Hal itu 
pula membuat Dewi Kematian membuka mulutnya 
menerima pil pemberian Panji.
“Nah, sekarang pusatkanlah pikiranmu seperti bi-
asa jika melakukan semadi. Hal itu dapat membantu 
daya kerja obat tadi...!” jelas Panji seraya menatap wa-
jah gadis cantik di depannya.
Tanpa ragu-ragu Dewi Kematian menuruti perintah

Panji. Sebab dirinya merasakan ada hawa hangat yang 
mulai menjalar ke bagian dalam sekujur tubuhnya, 
beberapa saat setelah pil berwarna putih salju itu me-
masuki kerongkongan.
Panji tersenyum lega melihat Dewi Kematian menu-
ruti petunjuknya tanpa ragu. Tubuhnya bangkit lalu 
melangkah menjauhi balai bambu tempat gadis itu 
terbaring. Perlahan kakinya berjalan mendekati am-
bang pintu. Dengan sabar pendekar muda berwajah 
tampan itu menunggu pulihnya kekuatan Dewi Kema-
tian.
Pendekar Naga Putih yang tengah duduk di ambang 
pintu rumah itu tiba-tiba tersentak lalu bangkit berdi-
ri. Matanya yang tajam melihat ada sosok bayangan 
berkelebat menuju pondok tempatnya berada. Hatinya 
terkejut demi menyadari bahwa yang datang itu orang 
yang memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Hal itu 
diketahui dari gerakan yang sama sekali tak tertang-
kap pendengarannya. Padahal seharusnya Panji sudah 
bisa menangkap suara langkah sebelum melihat 
orangnya.
Sosok bayangan yang kini tiba-tiba telah berdiri di 
depan Panji sangat mengagumkan. Selain itu Panji be-
lum tahu secara jelas, apakah yang datang kawan atau 
lawan. Maka, dengan cepat tubuhnya melesat turun 
dari pondok menyambut kedatangan sosok bayangan 
itu.
“Kisanak siapa...? Ada keperluan apa datang ke 
tempat ini?” meskipun diliputi rasa curiga, Panji tetap 
menyapa dengan bahasa halus dan sopan. Bahkan di-
bungkukkan tubuhnya sebagai tanda hormat
Sosok tubuh yang ternyata seorang lelaki tua me-
megang tongkat berkepala naga, tak segera menjawab 
pertanyaan Panji. Sepasang matanya yang lebar dan

selalu bergerak liar, menatap sosok pemuda tampan 
yang menyapanya. Mulutnya tampak menyeringai 
aneh, membuat Panji curiga dan bersikap waspada.
“Heh heh heh...! Kau lucu sekali!”
Lelaki tua itu tertawa terkekeh-kekeh sambil mem-
perhatikan Panji. Belum juga terdengar jawaban atas
pertanyaan pemuda tampan berjubah putih itu. Mu-
lutnya masih terus tertawa-tawa, seakan benar-benar 
merasa lucu melihat sosok Panji.
Pendekar Naga Putih sama sekali tak merasa ter-
singgung dengan sikap lelaki tua itu. Sebab dirinya te-
lah maklum, banyak tokoh kaum rimba persilatan 
yang memiliki sikap aneh. Bahkan mendekati kegilaan. 
Sehingga dia hanya tersenyum dan menghela napas 
perlahan-lahan. Ditatapnya sosok lelaki tua bertongkat 
kepala naga itu dengan pandangan penuh selidik.’ Ha-
tinya kembali dilanda keterkejutan ketika mulai dapat 
menduga siapa sebenarnya lelaki tua yang berdiri di 
hadapannya itu.
“Maaf, Orang Tua! Kalau aku tak salah duga, bu-
kankah kau Tongkat Delapan Naga yang kesohor 
itu...?” ujar Panji mencoba menerka lelaki tua bertong-
kat kepala naga itu. Ciri-ciri lelaki tua yang berdiri di 
hadapannya memang sama dengan tokoh sakti itu.
Pendekar Naga Putih semakin kaget Karena dirinya 
telah mendengar bahwa Tongkat Delapan Naga sudah 
lama menghilang dari dunia persilatan. Namun seka-
rang tahu-tahu muncul di hadapannya. Semua ini 
membuat dirinya berpikir.
“Huah hah hah...! Kau tak salah, Bocah! Aku me-
mang yang dijuluki Tongkat Delapan Naga, dan akan 
segera menjadi jago nomor satu di kolong langit! Huah 
hah hah...!”
Lelaki tua itu terbahak-bahak kegirangan ketika

mendengar pemuda tampan di depannya telah men-
genal siapa dirinya. Dan itu membuat hatinya semakin 
merasa bangga akan ketenaran namanya.
Sebenarnya hati Panji hampir percaya kalau lelaki 
tua yang berdiri di depannya sebenarnya tokoh sakti 
berjuluk Tongkat Delapan Naga. Namun keraguan me-
nyelinap di hatinya ketika melihat sikap kakek itu yang 
tidak pantas ditunjukkan seorang tokoh tua dari go-
longan pendekar. Ucapan lelaki tua itu menunjukkan 
kesombongan yang seharusnya dijauhi oleh tokoh-
tokoh golongan putih. Ini yang membuat Panji mulai 
meragukan keaslian Tongkat Delapan Naga.
“Hm..., kau kelihatannya meragukan nama besarku, 
Bocah...?” tukas Tongkat Delapan Naga yang telah 
menghentikan tawanya dan menatap wajah Panji den-
gan sorot mata menikam jantung.
Belum sempat Panji memberikan jawaban, tiba-tiba 
kakek tua itu sudah mengayunkan tongkat kepala na-
ganya menyerang Panji. 
“Hei...?!”
Panji tentu saja kaget melihat serangan mendadak 
yang sama sekali tak disangkanya itu. Karena me-
nyangka bahwa Tongkat Delapan Naga hanya sekadar 
ingin mengujinya, Panji mencoba mengelak dengan 
lompatan ke samping. Namun serangan itu ternyata te-
rus berkelanjutan. Bahkan mendengar deru suara 
sambaran angin yang berkesiutan, sadarlah Panji ka-
lau serangan itu sangat berbahaya dan bisa mengan-
cam keselamatan jiwanya.
‘Tongkat Delapan Naga, harap jangan main-
main...!” seru Panji mengingatkan lelaki tua itu.
“Hua hah hah...!”
Tongkat Delapan Naga sama sekali tak menanggapi, 
justru tertawa terbahak-bahak. Bahkan serangan
tongkatnya tampak semakin diperhebat. Hal itu mem-
buat Panji sedikit kewalahan, untuk menghindari 
sambaran tongkat yang berbahaya itu.
“Heeaaa...!”
Wuutt! Bweettt..!
Panji terus melompat ke sana kemari menggunakan 
kelincahannya untuk mengelakkan sambaran tongkat 
lawan. Namun hal itu tentu saja sangat berbahaya ba-
ginya. Sehingga sesekali dicobanya menangkis tongkat 
lawan. Bahkan melepaskan serangan saat benar-benar 
merasa terdesak. 
“Hih...!”
Plakk!
Wutt!
Tangkisan telapak tangan Panji memang berhasil 
membuat sambaran tongkat itu menyeleweng dari sa-
sarannya. Namun dirasakan ada hawa panas menyen-
gat telapak tangannya. Sedangkan tongkat kepala naga 
itu sudah melesat dan kembali mengancam dadanya 
dengan kecepatan tinggi!
“Celaka...!” desis Panji terkejut.
“Heaa...!”
Tak ada jalan lain bagi Panji kecuali mengelak. 
Dengan pekikan nyaring tubuhnya melenting ke udara. 
Setelah melakukan putaran beberapa kali, tubuh pe-
muda berjubah putih itu meluncur dan mendarat di 
tanah.
“Gerakan yang bagus...!” terdengar Tongkat Delapan 
Naga memuji gerakan Panji. “Kau ternyata cukup pan-
dai untuk menghadapiku, Bocah!” lanjutnya yang kini 
semakin bersemangat untuk melanjutkan pertarun-
gan.
‘Tunggu, Tongkat Delapan Naga..;!” sebelum lelaki 
tua itu memulai serangannya kembali, Panji mengang

kat tangan dan berseru mencegah.
“Heh heh heh...! Kau takut menghadapiku?” ejek 
Tongkat Delapan Naga sembari memperdengarkan ke-
kehnya yang parau.
‘Tidak pernah ada kata takut dalam pikiranku, 
Tongkat Delapan Naga. Tapi, aku tak ingin bertarung 
tanpa sebab. Apalagi aku sekarang ingat bahwa kau 
seorang tokoh terhormat dari sebuah perguruan,” tu-
kas Panji menatap wajah lawan. “Dan aku pun rasanya 
dapat menduga mengapa kau meninggalkan perguruan 
dan berkeliaran sampai ke tempat ini. Bukankah kau 
ingin menyelidiki kekacauan yang terjadi di kalangan 
persilatan? Hal ini tentu saja tak sulit untuk ditebak. 
Karena hampir semua tokoh persilatan saat ini merasa 
berkewajiban untuk meredakan kekacauan yang ten-
gah terjadi. Jadi jelas, tak ada gunanya kita lanjutkan 
perkelahian ini!” tandas Panji tegas.
“Heh heh heh...! Itu menurutmu, Bocah! Tapi, bagi-
ku pertarungan ini sangat perlu, bahkan harus dilan-
jutkan! Kulihat kau bukan merupakan lawan yang 
mudah untuk dirobohkan. Hal ini membangkitkan se-
mangatku Untuk merobohkanmu. Sebaiknya kau ber-
siaplah menghadapi seranganku...!” sahut Tongkat De-
lapan Naga yang tetap bersikeras melanjutkan perta-
rungan.
“Orang Tua! Kuharap kau tak terlalu memaksakan 
kehendak! Sebagai tokoh terhormat yang nama besar-
mu sudah sangat kesohor, tak sepantasnya kau bersi-
kap seperti ini. Masih banyak hal yang lebih penting 
ketimbang perkelahian ini. Apalagi kita tokoh segolon-
gan. Kalau hal ini sampai tersebar di kalangan persila-
tan, bukankah kita hanya akan menjadi bahan terta-
waan dan cemoohan orang banyak? Karena sementara 
yang lain sibuk mencari penyebab kekacauan, kita malah bertarung dengan orang sendiri. Tanpa sebab yang 
jelas lagi. Bukankah hal ini sangat memalukan?” Panji 
masih tetap bertahan tak ingin pertarungan tanpa gu-
na itu berkelanjutan.
“Heh heh heh...! Sebuah nasihat yang sangat bagus, 
Bocah! Tapi, yang jelas aku akan tetap menyerangmu. 
Jadi tak ada gunanya kau berbicara lagi...,”
Dan, baru saja perkataan itu selesai diucapkan, tu-
buh Tongkat Delapan Naga sudah melesat cepat sambil 
membabatkan tongkatnya.
Wutt! Wrrets!
Daun-daun kering dan debu beterbangan saat tong-
kat berkepala naga di tangan lelaki tua itu menderu-
deru begitu cepat Sadar bahwa lawannya tak mungkin 
dapat dinasihati, tidak ada jalan lain bagi Panji kecuali 
membela diri. Dan dengan sangat terpaksa dirinya me-
ladeni kakek yang dianggapnya sinting dan gila nama 
besar itu. Sebab, ia tentu saja tak ingin mati di tangan 
kakek yang berjuluk Tongkat Delapan Naga itu.
Pertarungan sengit pun tak terelakan. Sambaran 
tongkat berkepala naga itu benar-benar membuat Panji 
kewalahan. Hal itu disebabkan karena dirinya tak ber-
sungguh-sungguh dalam menghadapi lawannya. Se-
hingga, tentu saja pemuda itu terdesak hebat Sebab, 
ilmu tongkat kakek itu benar-benar hebat dan sangat 
berbahaya!
“Yeeaahhh...!”
Tongkat Delapan Naga yang tahu kalau lawan tak 
bersungguh-sungguh, semakin bernafsu melancarkan 
serangan. Tongkatnya yang berkepala naga berkeleba-
tan menyambar secepat kilat memburu sasarannya.
Panji mau tak mau mengeluarkan ilmu andalannya 
guna mengatasi gencarnya serangan lawan. Kalau ti-
dak, dirinya bisa celaka, bahkan mungkin tewas di

tangan Tongkat Delapan Naga yang semakin ganas da-
lam melancarkan serangannya itu.
“Heaa...!”
Whuukkkk!
Memasuki jurus yang kelima puluh, tongkat berke-
pala naga menyambar datar mengarah pinggang la-
wan. Dengan cepat Panji menggeser tubuh sambil me-
nepiskan tongkat dengan kibasan tangan kirinya yang 
sudah dilindungi ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’.
“Hih...!”
Takkkk!
“Heh...?!”
Tongkat Delapan Naga terpekik kaget Sambaran 
tongkatnya berhasil dipapaki lawan hingga menyele-
weng ke samping. Di samping itu lengannya dirasakan 
tergetar disertai ada hawa dingin menyusup melalui 
tongkatnya. Kejadian ini membuat Tongkat Delapan 
Naga melompat mundur sejauh satu tombak. Sepasang 
matanya yang tajam menatap sosok lawan seolah baru 
sekarang menyadari siapa sebenarnya pemuda tampan 
berjubah putih yang menjadi lawannya itu.
“Hm..., Bocah! Kaukah yang dijuluki sebagai Pende-
kar Naga Putih? Bukankah jurus-jurus yang kau per-
gunakan adalah ‘Ilmu Silat Naga Sakti’?” tanya Tong-
kat Delapan Naga dengan mata membelalak. 
“Hmmm..., aku tahu tangkisanmu tadi memakai ‘Tena-
ga Sakti Gerhana Bulan’, bukan? Benar-benar hebat, 
membuat aku semakin bersemangat untuk mengalah-
kanmu,” lanjutnya seraya menatap tajam wajah Pen-
dekar Naga Putih, seakan ingin meyakinkan dugaan-
nya.
“Kau tidak salah, Orang Tua. Meskipun julukan 
Pendekar Naga Putih tak ada artinya jika dibandingkan 
dengan nama besar Tongkat Delapan Naga, tapi begitu

lah orang-orang menjuluki aku. Dan harap kau berse-
dia, mengakhiri perkelahian ini setelah mengetahui 
nama julukan yang kosong itu...,” sahut Panji seolah 
ingin membuang rasa bangga meski nama julukannya 
telah sampai pula ke telinga tokoh sakti itu. Malah 
pendekar muda itu meminta agar perkelahian yang 
menurutnya tak berguna segera dihentikan.
“Sudah, tak perlu banyak cakap lagi! Aku tak akan 
berhenti sebelum merobohkanmu, Pendekar Naga Pu-
tih! Bayangkan, betapa dunia persilatan akan geger ji-
ka mendengar bahwa pendekar muda yang dibangga-
banggakan tokoh persilatan ternyata roboh di tangan 
Tongkat Delapan Naga! Jadi percuma saja kau minta 
aku menyudahi perkelahian yang akan membuat na-
maku semakin menjulang ini...!” bantah Tongkat Dela-
pan Naga yang justru semakin bersikeras hendak me-
robohkan lawan. Apalagi setelah tahu bahwa yang di-
hadapinya ternyata Pendekar Naga Putih. Seorang to-
koh muda yang akhir-akhir ini menggemparkan dunia 
persilatan dengan sepak terjang yang bertujuan mene-
gakkan kebenaran.
Tanpa menunggu jawaban lagi, Tongkat Delapan 
Naga memutar senjatanya yang membuat sekitar tem-
pat itu bagai dilanda angin ribut Bahkan pondok tem-
pat Panji meninggalkan Dewi Kematian, tampak berde-
rak-derak bagaikan hendak roboh. Tentu saja hal itu 
membuat Panji merasa cemas.
Karena khawatir terhadap keadaan pondok yang 
hampir ambruk oleh angin putaran tongkat lawan, 
Panji segera melompat mundur menaiki tangga. Na-
mun, baru saja mendaratkan kakinya, terdengar se-
buah suara halus bernada dingin yang ditujukan ke-
pada Tongkat Delapan Naga.
“Hm..., bagus sekali perbuatanmu, Tongkat Delapan

Naga! Sebagai seorang tokoh yang mempunyai nama 
besar, perbuatanmu benar-benar memalukan dan 
mencemarkan nama Perguruan Bukit Dewa! Tak dapat 
kubayangkan, betapa hancurnya hati Ki Sela Panda, 
kakak seperguruanmu. Apa yang membuatmu beru-
bah menjadi iblis kejam yang memiliki keinginan gila 
untuk menjadi tokoh nomor satu di rimba persilatan? 
Kau benar-benar sinting, Tongkat Delapan Naga!”
Suara itu ternyata milik Dewi Kematian yang telah 
berdiri di ambang pintu pondok. Pendekar Naga Putih 
terkejut, lalu menatap wajah gadis cantik itu dengan 
penuh kecemasan. Sebab, ucapan itu jelas dapat me-
nimbulkan kemarahan Tongkat Delapan Naga.
Namun ternyata Tongkat Delapan Naga sama sekali 
tak menunjukkan tanda-tanda kemarahan, walau 
mendapat kecaman yang pedas dari Dewi Kematian. 
Lelaki tua itu hanya terkekeh perlahan, tapi terasa 
menggetarkan dada, karena dikeluarkan dengan pen-
gerahan tenaga dalam yang tinggi.
“Hm..., siapa kau, Anak Manis? Lancang benar mu-
lutmu di depanku?” tanya Tongkat Delapan Naga den-
gan suara tak menunjukkan kemarahan. Sepasang 
matanya meneliti sosok Dewi Kematian dengan penuh 
selidik.
“Aku Dewi Kematian yang akan segera mengakhiri 
petualangan jahatmu! Aku datang mewakili eyang gu-
ruku, Eyang Guna Wisesa untuk menghukum mu! Kau 
tentu kenal dengan guruku itu!” sahut Dewi Kematian 
memperkenalkan nama sekaligus gurunya.
Pendekar Naga Putih merasa heran bukan main ke-
tika melihat betapa wajah Tongkat Delapan Naga tam-
pak berubah pucat Dan menduga bahwa kakek itu 
pasti mengenal orang yang bernama Eyang Guna Wi-
sesa. Karena saat Dewi Kematian menyebutkan nama

itulah wajah Tongkat Delapan Naga berubah. Keliha-
tannya lelaki tua itu menjadi gentar mendengar nama 
guru Dewi Kematian.
“Kau..., kau murid tua bangka Guna Wisesa...?” de-
sis Tongkat Delapan Naga seraya bergerak mundur. 
Kepalanya menoleh ke sana kemari memperhatikan 
sekelilingnya. Sepertinya merasa khawatir kalau-kalau 
Eyang Guna Wisesa berada di sekitar tempat itu.
“Hi hi hik! Kau kelihatannya takut kalau-kalau 
eyang guruku berada di sekitar tempat ini, Tongkat De-
lapan Naga! Kurasa guru pasti akan datang ke tempat 
ini untuk menghukum dirimu....”
Dewi Kematian tertawa mengejek. Dan sengaja me-
nakut-nakuti tokoh itu dengan mengatakan bahwa gu-
runya akan muncul untuk menghukum Tongkat Dela-
pan Naga.
Ucapan Dewi Kematian ternyata ditanggapi dengan 
sungguh-sungguh oleh Tongkat Delapan Naga. Terlihat 
lelaki tua itu semakin gelisah dan terus bergerak mun-
dur sambil memperhatikan sekelilingnya. Dan menda-
dak tubuhnya melesat meninggalkan tempat itu. Keli-
hatannya Tongkat Delapan Naga benar-benar ketaku-
tan terhadap Eyang Guna Wisesa, hingga melarikan di-
ri.
Dewi Kematian tertawa mengiringi kepergian kakek 
sakti itu. Tinggal Panji yang menatap bingung, karena 
tak tahu kenapa Tongkat Delapan Naga yang begitu 
sakti itu ketakutan setengah mati. Pendekar Naga Pu-
tih hanya bisa menatap sosok Tongkat Delapan Naga 
yang semakin jauh. Kemudian ganti menatap Dewi 
Kematian yang masih tertawa terpingkal-pingkal, meli-
hat tingkah kakek itu yang baginya sangat lucu.
***

LIMA

“Aku tak mengerti, mengapa lelaki tua itu begitu ke-
takutan setelah mendengar nama gurumu, Dewi Kema-
tian,” ujar Panji setelah sosok Tongkat Delapan Naga 
tak lagi terlihat Dan tawa gadis cantik berwajah dingin 
itu pun telah terhenti.
‘Tidak perlu heran, Pendekar Naga Putih. Terima 
kasih atas pertolonganmu. Aku benar-benar merasa 
bangga karena seorang pendekar besar sepertimu ter-
nyata masih menaruh perhatian kepada orang seperti-
ku. Kau pun tak perlu heran mengapa aku bisa men-
genalmu. Sebab, secara samar-samar tadi aku men-
dengar Tongkat Delapan Naga menyebut nama julu-
kanmu,” ujar Dewi Kematian. Semua ucapannya be-
lum merupakan jawaban bagi pertanyaan Panji. Tam-
paknya gadis cantik berwajah dingin itu tak ingin sege-
ra memberikan jawaban. Bahkan tampak kakinya me-
langkah menuruni tangga. Kemudian duduk di atas 
sebatang pohon tua yang tumbang.
Panji pun melangkah mengikuti Dewi Kematian, 
dan ikut duduk di dekat gadis cantik berpakaian serba 
putih itu. Sesaat ada kekaguman dalam hatinya meli-
hat kecantikan wajah Dewi Kematian yang tengah me-
natap lurus ke depan. Seolah gadis itu tak sadar bah-
wa Panji tengah memperhatikannya dan menunggu 
jawaban.
“Guruku, Eyang Guna Wisesa adalah paman guru 
dari Ki Sela Panda yang menjadi Ketua Perguruan Bu-
kit Dewa, dan juga termasuk Paman Guru Tongkat De-
lapan Naga. Dia pernah memberi didikan kepada ke-
dua orang yang terhitung kakak seperguruanku itu, 
kendati hanya beberapa macam ilmu. Baik Ki SelaPanda maupun Tongkat Delapan Naga telah mengang-
gap guruku sebagai pengganti orangtua mereka. Selain 
itu, Eyang Guna Wisesa juga termasuk satu-satunya 
sesepuh Perguruan Bukit Dewa yang masih hidup. 
Semua tokoh perguruan sangat menaruh hormat dan 
merasa segan kepada beliau. Kendati beliau sendiri 
sudah memutuskan untuk tak mencampuri urusan 
perguruan. Bahkan sangat jarang sekali berkunjung ke 
Bukit Dewa. Boleh dikatakan nyaris tak pernah. Na-
mun beliau tetap dianggap sebagai sesepuh yang kata-
katanya ditaati, bahkan kuasa menjatuhkan hukuman 
terhadap murid yang menyeleweng. Mungkin itu se-
babnya mengapa Tongkat Delapan Naga sangat takut 
ketika aku menyebutkan nama eyang guruku.”
Dewi Kematian mengakhiri ceritanya, kemudian 
menghela napas. Wajahnya menoleh ke arah Panji 
yang duduk di sampingnya.
“Hm..., pantas saja Tongkat Delapan Naga kelihatan 
demikian takut terhadap gurumu. Berarti beliau memi-
liki ilmu kepandaian yang sangat tinggi. Tongkat Dela-
pan Naga lebih memilih menghindar ketimbang harus 
menerima hukuman dari gurumu itu. Satu hal yang 
masih membuatku tak mengerti. Mengapa tadi kau 
melontarkan kata-kata yang demikian tajam? Seolah 
Tongkat Delapan Naga telah berbuat dosa besar dan 
menyeleweng dari jalan kebenaran. Dapatkah kau 
menjelaskannya padaku?” tanya Panji lagi, tanpa 
menghilangkan sikap sopannya terhadap wanita cantik 
di sampingnya.
“Hm..., jadi kau belum mendengar tentang terbu-
nuhnya beberapa orang tokoh persilatan?” Dewi Kema-
tian balik bertanya.
‘Tentu saja sudah. Justru aku sedang berusaha un-
tuk menyelidikinya,” sahut Panji cepat

“Nah, menurut keterangan yang kudengar selama 
perjalananku, Tongkat Delapan Naga-lah yang mela-
kukannya. Tapi, tentu saja aku belum percaya sepe-
nuhnya. Sebab, aku belum menyaksikannya sendiri. 
Lagi pula, Tongkat Delapan Naga selama ini terhitung 
tokoh besar yang dihormati banyak orang. Jadi, kupi-
kir kemungkinan besar ada orang ketiga yang memfit-
nahnya. Tapi sekarang aku mulai ragu, dan memper-
cayai kabar-kabar itu. Kau lihat tadi, bukan? Bagai-
mana Tongkat Delapan Naga lari terbirit-birit ketika 
aku menyebut nama guruku.
Padahal aku hanya sekadar hendak mengujinya. 
Sebab, kalau orang tua tadi merupakan samaran dari 
Tongkat Delapan Naga, tentu tak akan setakut itu ter-
hadap guruku. Kenyataannya ia benar-benar Tongkat 
Delapan Naga tulen. Kini aku mulai yakin kalau tokoh-
tokoh yang terbunuh itu adalah hasil perbuatannya. 
Apa yang menjadi sebabnya, aku sendiri belum ta-
hu...!” jelas Dewi Kematian yang membuat Panji men-
jadi heran. Tentu saja ia pun belum bisa percaya kalau 
Tongkat Delapan Naga akan bertindak sejauh itu.
“Hm..., kalau kabar itu sudah tersiar secara luas, 
berarti Perguruan Bukit Dewa tengah terancam kehan-
curan! Sebab, bukan tak mungkin kalau tokoh-tokoh 
persilatan yang merasa yakin kalau semua itu perbua-
tan Tongkat Delapan Naga, akan datang ke Bukit Dewa 
untuk meminta keadilan. Jika sudah demikian, per-
tempuran pasti sulit untuk dihindarkan. Apalagi bagi 
kelompok yang memang menaruh rasa tak suka kepa-
da Perguruan Bukit Dewa, mereka tentu akan memba-
kar hati tokoh-tokoh persilatan. Dan ini bencana besar 
bagi tokoh-tokoh golongan putih. Sebab jika mereka 
saling bunuh, tokoh-tokoh golongan hitam akan berso-
rak kegirangan,” Panji menghentikan ucapannya, dan

menoleh ke wajah Dewi Kematian. “Aku harus mence-
gah jangan sampai peristiwa berdarah itu terjadi, Dewi 
Kematian! Apakah kau tak ada keinginan untuk itu?”
“Hm..., urusanku belum selesai, Pendekar Naga Pu-
tih. Pantang bagi Dewi Kematian meninggalkan urusan 
yang belum tuntas!” sahut gadis cantik itu dengan su-
ara ditekan. Seolah ada dendam di dalam hatinya.
“Maksudmu, kau hendak kembali ke tempat Jura-
gan Labang itu?” tanya Panji yang sudah dapat mene-
bak ke mana tujuan ucapan gadis cantik berpakaian 
serba putih itu.
“Kira-kira begitulah...,”
“Hm..., jangan menurutkan nafsu yang hanya akan 
membuatmu celaka, Dewi Kematian!” tukas Panji me-
nasihati dengan nada penuh persahabatan, “Bukan 
maksudku meremehkan kepandaianmu. Tapi, sikapmu 
yang ceroboh itulah yang harus kau ubah. Selain jum-
lah mereka belum jelas, mereka pun sangat licik dan 
tak segan-segan melakukan kecurangan.”
“Hm..., jadi kau merasa bangga telah dapat meno-
long dan menyelamatkan nyawaku? Dan merasa ber-
hak untuk memberi nasihat kepadaku, begitu?” dingin 
tetapi tajam sekali ucapan yang dilontarkan Dewi Ke-
matian, membuat Panji tersentak kaget Karena dirinya 
sama sekali tak menyangka kalau Dewi Kematian akan 
berkata seperti itu.
“Bukan itu maksudku...,” sanggah Panji dengan su-
ara lemah.
“Jadi...?” tukas Dewi Kematian menyunggingkan 
senyum sinis yang membuat Panji semakin tak enak.
“Aku hanya mengingatkan bukan berbicara soal 
hak. Soal saling mengingatkan itu kurasa tak ada 
anehnya. Sebab, sudah kewajiban bagi setiap manusia 
untuk saling mengingatkan sesamanya. Nah, apa aku

salah kalau mengingatkan mu agar jangan sampai ce-
laka?”
Dewi Kematian tak menyahut Ditatapnya wajah 
Panji dengan sorot mata tajam, seolah ingin menjenguk 
ke dalam hati pendekar muda berwajah tampan itu. 
Terdengar pertanyaannya yang bernada menuntut.
“Katakanlah secara jujur, mengapa kau mengkha-
watirkan keselamatanku, Pendekar Naga Putih? Se-
dangkan kita baru saling mengenal dan belum menge-
tahui sifat masing-masing.”
Pendekar Naga Putih sempat terkejut ketika men-
dengar pertanyaan yang tentu saja ia tahu benar mak-
sudnya itu. Memang diakuinya bahwa Dewi Kematian 
memiliki wajah cantik dan tubuh langsing padat 
menggiurkan. Sebagai lelaki normal, tentu saja dirinya 
pun merasa tertarik dengan gadis Itu. Namun, bukan 
berarti akan mengkhianati Kenanga yang sangat dicin-
tainya. Boleh jadi hatinya kagum dan suka kepada 
Dewi Kematian. Tapi, untuk mengkhianati kekasihnya, 
Panji harus berpikir seribu kali.
“Aku merasa kagum dan suka kepadamu, Dewi Ke-
matian. Itu sebabnya aku merasa khawatir mendengar 
kau berniat untuk mendatangi tempat Juragan Labang 
kembali...,” jawab Panji sejujurnya.
“Hm..., jadi bukan karena kau cinta kepadaku.. ?” 
desak gadis cantik itu menyerang langsung tanpa me-
rasa jengah. Hal itu tentu saja tak aneh, mengingat 
siapa adanya gadis berpakaian putih ini. Dewi Kema-
tian merupakan tokoh persilatan yang telah cukup la-
ma malang melintang. Dan sepertinya wanita itu pun 
terjangkit penyakit seperti kebanyakan tokoh persila-
tan yang bersifat aneh. Tanpa tedeng aling-aling, atau 
merasa malu mengungkapkan keinginan hatinya.
Mendengar pertanyaan itu, Panji menarik napas

panjang. Matanya menerawang menatap langit senja 
hari yang redup. Baru kemudian menoleh kepada Dewi 
Kematian, setelah cukup lama terdiam.
‘Tidak sulit bagi seorang lelaki untuk jatuh cinta 
kepadamu, Dewi Kematian. Kau memiliki segala syarat 
untuk jadi idaman setiap lelaki. Aku sendiri merasa 
kagum dan suka kepadamu. Tapi, rasanya aku yakin 
kalau hal itu bukanlah apa yang dinamakan cinta,” 
jawab Panji yang malah membuat Dewi Kematian ter-
senyum manis. Panji yang tahu benar kalau gadis itu 
jarang tersenyum, terpaksa harus mengakui betapa 
jauh lebih cantik dan menariknya wajah Dewi Kema-
tian saat tersenyum seperti itu. Seolah alam pun ikut 
tersenyum dan menjadi cerah seketika.
“Itulah awal dari cinta, Pendekar Naga Putih...,” ujar 
Dewi Kematian yang kelihatannya merasa sangat yakin 
kalau Pendekar Naga Putih yang sejak lama dikagu-
minya itu telah jatuh cinta terhadapnya.
“Hhh..., sudahlah! Bukankah kau hendak menya-
troni tempat kediaman Juragan Labang? Marilah ku-
temani! Setelah persoalan ini selesai, baru aku akan 
pergi ke Bukit Dewa untuk mencegah kemungkinan 
terjadinya pertumpahan darah...,” tukas Panji menga-
lihkan pembicaraan. Dirinya tidak ingin gadis itu men-
jadi kecewa apabila disebutkan bahwa ia telah mem-
punyai seorang pujaan hati, dan tak mungkin akan 
berkhianat
Dewi Kematian tertawa kecil. Kemudian bergegas 
bangkit dan melangkah meninggalkan pondok. Panji 
mengikuti dan menjajari langkah gadis cantik berwa-
jah dingin, yang mulai banyak tersenyum.
“Sebaiknya kita mempercepat langkah agar tak ke-
malaman...!” usul Panji yang langsung disetujui oleh 
Dewi Kematian. Sebentar kemudian, keduanya melesat
menggunakan ilmu lari cepat masing-masing.
***
“Hei, Labang, Manusia Serakah, keluar kau! Kami 
datang mewakili penduduk desa yang kau cekik leher-
nya!”
Begitu tiba di depan gerbang rumah besar tempat 
kediaman Juragan Labang, Dewi Kematian langsung 
berteriak dengan mengerahkan tenaga dalam. Sehing-
ga, suaranya bergaung jauh, menembus dinding ru-
mah juragan tanah itu. Dewi Kematian yakin kalau 
orang yang bernama Juragan Labang maupun kaki 
tangannya akan mendengar teriakan itu.
Namun, Dewi Kematian tampaknya tak bisa bersa-
bar menunggu kemunculan Juragan Labang ataupun 
kaki tangannya. Kakinya segera melangkah lebar di-
ikuti Panji memasuki halaman rumah besar itu.
“Berhenti...!”
Terdengar suara bentakan yang disusul dengan 
munculnya belasan sosok tubuh berpakaian serba hi-
tam. Mereka langsung menyebar, mengurung Panji dan 
Dewi Kematian.
“Heh heh heh...! Rupanya kau kembali datang un-
tuk mengantarkan nyawa, Dewi Kematian...!” ujar lela-
ki jangkung yang tak lain si Golok Tanpa Bayangan. 
Lelaki ini menyembunyikan rasa terkejutnya ketika 
melihat Dewi Kematian sudah segar bugar tanpa 
adanya tanda-tanda keracunan. Hingga, ia mengalih-
kan pandang menatap sosok pemuda tampan berjubah 
putih yang berdiri di samping gadis cantik itu.
“Aku tak tahu bagaimana caranya kau menyem-
buhkan perempuan liar ini, Kisanak. Yang jelas aku 
merasa kagum terhadapmu. Sebab, jarang sekali orang 
yang dapat bertahan setelah ‘Racun Kelabang Hijau’

terisap ke dalam tubuhnya,” ujar Golok Tanpa Bayan-
gan ditujukan kepada Pendekar Naga Putih.
“Jangan lupa, Golok Tanpa Bayangan! Setiap pe-
nyakit sudah pasti ada obatnya. Jadi, percuma saja 
kalau sekarang kau masih hendak menggunakan ra-
cun keji itu,” sahut Panji tersenyum tipis, membuat 
wajah Golok Tanpa Bayangan mengetam.
“Hhh...!”
Golok Tanpa Bayangan menggeram gusar. Kemu-
dian dikibaskan kedua tangannya sebagai isyarat bagi 
kawan-kawannya agar mulai menyerang. Namun lang-
kah mereka tertunda ketika mendengar sebuah benta-
kan yang menggetarkan dada.
“Siapa yang barusan berteriak-teriak mencari Jura-
gan Labang?”
Pendekar Naga Putih dan Dewi Kematian pun tak 
luput dari keterkejutan. Keduanya langsung menoleh-
kan wajah memandang sesosok lelaki bertubuh kecil 
yang berdiri di ambang pintu didampingi sosok lainnya 
yang berperawakan gemuk
Dalam sepintas saja Panji dapat mengetahui kalau 
kedua orang lelaki itu tentu memiliki kepandaian yang 
lebih tinggi dari Golok Tanpa Bayangan. Selain suara 
bentakannya mengandung tenaga dalam tinggi, Golok 
Tanpa Bayangan terlihat tak berani bergerak untuk 
menyerang. Jelas bahwa lelaki jangkung itu menunggu 
perintah.
“Hm..., mereka adalah Kerbau Mata Satu dan Setan 
Cebol. Keduanya merupakan tokoh-tokoh golongan se-
sat berkepandaian tinggi. Entah ada hubungan apa 
mereka dengan Juragan Labang?” bisik Dewi Kematian 
yang langsung mengenali kedua orang lelaki itu. Diam-
diam dirinya membenarkan apa yang pernah dikata-
kan Panji sebelum mendatangi tempat itu. Untung saja

Pendekar Naga Putih mendampinginya. Kalau tidak, 
sudah pasti ia akan celaka menghadapi lawan-lawan 
yang diketahui sangat tangguh itu.
“Hm..., sejak mula aku sudah curiga dengan orang 
yang bernama Juragan Labang itu. Tak mungkin ia se-
demikian berani memeras penduduk desa ini kalau tak 
punya andalan. Sekarang terbukti kalau juragan tanah 
itu mempunyai hubungan erat dengan tokoh-tokoh se-
sat Hhh..., kurasa Juragan Labang menyisihkan seba-
gian hartanya untuk tokoh-tokoh sesat demi untuk 
melindungi keselamatannya,” ujar Panji yang memang 
telah menduganya semenjak semula. Jadi dirinya tak 
merasa heran melihat adanya dua orang tokoh sesat di 
tempat kediaman Juragan Labang itu.
“Kalau begitu, kita mempunyai alasan yang lebih 
kuat untuk membekuk Juragan Labang itu...!” timpal 
Dewi Kematian yang kini sudah menghunus pedang-
nya.
Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol yang tak men-
dapat jawaban, langsung saja menggenjotkan kaki. Se-
ketika itu juga tubuhnya melesat ke tengah arena. Ke-
duanya mendarat ringan dua tombak lebih di hadapan 
Panji dan Dewi Kematian. Sikap kedua tokoh sesat itu 
terlihat angkuh dan sangat memandang rendah.
“Hm..., jangan banyak jual lagak di hadapan Dewi 
Kematian dan Pendekar Naga Putih, Badut-badut Ko-
tor...!” ujar Dewi Kematian sengaja memperkenalkan 
julukannya dan menyebut Pendekar Naga Putih, ketika 
melihat kesombongan sikap kedua tokoh sesat itu.
Gertakan Dewi Kematian ternyata membuat Kerbau 
Mata Satu, Setan Cebol, juga Golok Tanpa Bayangan
tersentak kaget bukan main! Kalau nama Dewi Kema-
tian saja sudah sempat membuat mereka terkejut, 
apalagi nama Pendekar Naga Putih yang sangat terkenal itu. Wajah tokoh-tokoh sesat itu berubah pucat 
untuk sesaat Namun, mereka cepat menyembunyikan 
dan mencoba bersikap untuk tetap tenang. Seolah ke-
dua nama itu sama sekali tak ada artinya bagi mereka.
“Hm..., jadi tokoh yang berjuluk Dewi Kematian itu 
ternyata seorang gadis muda? Hhh... menggiurkan lagi! 
Sungguh sangat tak sesuai dengan sepak terjangnya 
yang kudengar selama ini! Tapi, petualanganmu akan 
segera berakhir di sini, Nisanak!” ujar Kerbau Mata Sa-
tu setelah dapat menekan rasa terkejut dan gentar di 
hatinya.
“Hm..., jangan kira aku tidak tahu kalau hati kalian 
sudah menjadi gentar ketika mendengar nama kami 
berdua. Dan aku yakin kalau di hati kalian telah ada 
rencana untuk melarikan diri mencari selamat..!” .
Dewi Kematian memperdengarkan suara tawa ber-
nada mengejek, yang membuat wajah tokoh-tokoh se-
sat itu berubah kelam. Apalagi ketika gadis cantik itu 
mengeluarkan ucapannya, yang bernada menghina.
‘Perempuan Keparat..! Kurobek mulutmu...!”
Setan Cebol tampaknya sudah tak mampu mena-
han kemarahannya setelah mendengar hinaan Dewi 
Kematian. Seketika tubuhnya langsung melesat den-
gan tamparan tangan kanannya yang siap meremuk-
kan mulut Dewi Kematian.
“Hih...!”
Wutt!
“Haits...!”
Dewi Kematian tentu saja tak mudah untuk dis-
erang secara demikian. Sekali bergerak saja, serangan 
itu luput dan hanya mengenai angin kosong. Bahkan 
gadis cantik itu langsung mengirimkan serangan bala-
san dengan sebuah tendangan kilat yang mengejutkan! 
“Hih...!”

Plakkk!
Setan Cebol memutar tamparannya yang gagal dan 
menangkis tendangan itu. Hingga tubuhnya mencelat 
mundur dengan telapak tangan terasa ngilu. Tahulah 
tokoh cebol ini kalau tenaga dalam Dewi Kematian ma-
sih berada di atasnya. 
“Hi hi hi...!”
Dewi Kematian yang melihat lawannya terdorong ke 
belakang, langsung tertawa-tawa cekikikan mengejek. 
Hal itu membuat wajah Setan Cebol berubah merah 
padam. Lelaki bertubuh gemuk pendek itu tentu saja 
tahu bahwa Dewi Kematian memang sengaja menghi-
nanya dengan suara tawa itu.
“Hm..., mari kita bekuk perempuan liar itu, Setan 
Cebol! Tapi, jangan dibunuh dulu! Aku ingin menikma-
ti kehangatan tubuhnya....”
Kerbau Mata Satu yang sejak tadi sudah berkali-
kali menelan air liur karena tergiur kecantikan dan 
keindahan tubuh Dewi Kematian, langsung menawar-
kan bantuan untuk mengeroyok wanita cantik berwa-
jah dingin itu.
Setan Cebol tentu saja sadar, dirinya tak mungkin 
mampu mengalahkan Dewi Kematian kalau seorang di-
ri. Maka lelaki pendek itu mengangguk, dan bergerak 
ke kanan. Sementara Kerbau Mata Satu sudah berge-
rak ke kiri. Keduanya mengapit Dewi Kematian dan 
siap menyerang perempuan cantik itu.
Dewi Kematian sama sekali tak memperlihatkan ra-
sa gentar. Bahkan gadis itu tampak mulai mengatur 
kuda-kuda dan siap menghadapi keroyokan kedua 
orang tokoh sesat andalan Juragan Labang itu.
***

ENAM

“Hyaattt..!”
“Heaaa...!”
Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol menerjang maju 
secara bersamaan. Tampaknya kedua tokoh sesat itu 
ingin membuat Dewi Kematian kebingungan dalam 
menghadapi serangan yang sekaligus dilakukan dari 
dua arah itu.
Namun Dewi Kematian bukan tokoh wanita yang 
dapat dianggap remeh, sehingga dengan mudah dapat 
roboh seperti yang mereka bayangkan. Meskipun 
usianya masih terbilang muda, gadis cantik itu sudah 
memiliki pengalaman bertempur yang cukup banyak. 
Sehingga, dalam menghadapi dua serangan sekaligus 
itu, sama sekali tak tampak gugup. Tubuhnya melent-
ing ke udara dengan gerakan indah. Dan dari atas pe-
dangnya menyambar secepat kilat mengancam Kerbau 
Mata Satu yang menyerang dari sebelah kirinya itu.
“Heaaa...!”
Bweet!
Kerbau Mata Satu yang gagal menyarangkan seran-
gannya, bahkan terancam bahaya maut itu, tentu saja 
tersentak kaget bukan main! Dengan cepat dilempar-
kan tubuhnya ke belakang guna menyelamatkan diri. 
Sehingga, serangan pedang Dewi Kematian pun me-
nemui kegagalan.
Namun ilmu pedang yang dimiliki gadis cantik itu 
benar-benar di luar dugaan. Begitu cepat dan dahsyat 
Ketika serangannya kepada Kerbau Mata Satu gagal, 
pedang di tangannya berputar setengah lingkaran. Dan 
langsung menusuk ubun-ubun Setan Cebol. Semua itu 
dilakukan Dewi Kematian dengan posisi tubuh terbalik
dengan kaki berada di atas. Gerakan yang sangat cepat 
itu membuat semua yang berada di halaman rumah 
Juragan Labang tergeleng-geleng kagum. Benar-benar 
mengagumkan ilmu pedang gadis cantik ini!
Wuutt!
“Hea...!”
Tidak seperti Kerbau Mata Satu yang agak gugup 
dalam mengatasi serangan lawan, Setan Cebol terlihat 
tenang. Kendati ia tahu nyawanya terancam, lelaki 
pendek itu sama sekali tak merasa gugup. Dengan se-
buah gerakan yang manis, tubuhnya meliuk dalam po-
sisi kuda-kuda rendah.
Tusukan pedang Dewi Kematian pun lewat setengah 
jengkal di belakang lehernya. Bahkan Setan Cebol yang 
memiliki gerakan cepat seperti setan itu, masih sempat 
mengirimkan sebuah tendangan yang mengarah kepala 
Dewi Kematian! Sayang serangan itu pun menemui ke-
gagalan, karena tubuh Dewi Kematian sudah berjung-
kir balik dengan menotolkan ujung pedangnya ke ta-
nah. Lalu meluncur turun dengan manis.
Pertarungan sengit pun berlanjut Kendati kedua to-
koh sesat itu berusaha keras untuk merobohkan la-
wannya, tetap saja mereka belum mampu melakukan-
nya. Pertarungan cepat itu telah menginjak jurus yang 
ketiga puluh. Namun Dewi Kematian yang tak mudah 
untuk ditundukkan, terus melompat ke kanan dan kiri 
mengelakkan serangan lawan, sambil sesekali me-
nangkis dan membalas serangan.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih pun tampak 
menghadapi keroyokan Golok Tanpa Bayangan yang 
dibantu delapan belas orang kawannya. Namun ke-
royokan itu tentu saja tak berarti banyak baginya. 
Meskipun hanya mengandalkan tangan kosong, setiap 
senjata lawan yang datang mengancam, selalu saja

terpental balik dan pemiliknya jatuh terjungkal. Kare-
na kedua tangan Panji yang terlapisi kabut bersinar 
putih keperakan, sama sekali tak dapat dilukai pedang 
dan golok lawan. Kenyataan itu membuat para penge-
royoknya menjadi gentar. Apalagi jika teringat bahwa 
pemuda itu seorang tokoh besar yang berjuluk Pende-
kar Naga Putih. Sehingga, para tukang pukul Juragan 
Labang itu lebih banyak melompat menghindar ketim-
bang melancarkan serangan. Karena sepasang tangan
Panji merupakan senjata yang ampuh untuk memukul 
roboh setiap lawan yang berani mendekat
Golok Tanpa Bayangan tentu saja merasa penasa-
ran bukan main. Ilmu andalan yang telah membuat 
namanya ditakuti, ternyata sama sekali tak berarti 
menghadapi pemuda tampan berjubah putih itu. Se-
bab, serangan goloknya selalu kalah cepat dengan ge-
rakan lawan. Selama kurang lebih sepuluh jurus ia 
menyerang dengan seluruh kemampuannya, tetapi te-
tap saja sia-sia. Bahkan dirinya nyaris terkena tampa-
ran pemuda itu, yang membuat tubuhnya terhuyung-
huyung dalam upaya menyelamatkan diri.
“Haattt..!”
Kali ini Golok Tanpa Bayangan kembali menerjang 
maju, setelah terdiam sejenak memikirkan cara untuk 
melumpuhkan Pendekar Naga Putih. Begitu teringat 
akan Racun Kelabang Hijau-nya, timbul harapan baru 
dalam hati tokoh sesat bertubuh jangkung itu. Dirinya 
merasa yakin kalau kali ini lawan akan dapat diroboh-
kan.
Sedangkan para pengepung yang melihat sang Pe-
mimpin kembali menyerang pemuda itu, beberapa di 
antaranya ikut melompat maju sambil membabatkan 
senjata masing-masing. Namun semua itu dapat diha-
lau dengan mudah oleh Pendekar Naga Putih. Kibasan

tangannya yang mengeluarkan angin keras, membuat 
enam penyerang terpental balik dengan senjata berpa-
tahan. Panji kembali berpaling menghadapi Golok Tan-
pa Bayangan.
Betapapun cepatnya gerakan tangan Golok Tanpa 
Bayangan saat mengeluarkan sapu tangan berwarna 
hijau dari balik pakaiannya, tetap saja tertangkap ma-
ta Panji. Pemuda itu langsung dapat menebak kalau 
lawannya hendak menggunakan Racun Kelabang Hijau 
untuk merobohkannya.
“Heaa!”
Beettt!
Sambaran golok yang merupakan tipuan itu sama 
sekali tak dipedulikan Panji. Karena matanya melihat 
gerakan yang tak bersungguh-sungguh sewaktu golok 
datang menyambar. Dugaannya tidak meleset Karena 
sebelum senjata itu tiba, Golok Tanpa Bayangan segera 
menarik pulang senjatanya, sambil mengibaskan tan-
gan kiri yang memegang sapu tangan berisi bubuk Ra-
cun Kelabang Hijau.
Namun Pendekar Naga Putih telah lebih dulu was-
pada. Begitu melihat adanya serbuk berbau harum 
memabukkan menyebar ke wajahnya, dengan cepat 
tangan kanannya dihentakkan ke depan. Begitu kuat-
nya angin pukulan yang diciptakan dorongan tangan 
Panji. Serbuk berwarna kehijauan itu tersapu balik 
dan mengenai wajah majikannya sendiri. Bahkan Panji 
masih menyusulnya dengan sebuah tendangan kilat...,
“Hih...!”
Bukkk!
“Huakkhh!”
Blukk!
Golok Tanpa Bayangan yang gelagapan karena bu-
buk Racun Kelabang Hijau berbalik dan mengenai wajahnya, langsung terjungkal muntah darah akibat ten-
dangan keras itu. Tubuhnya terbanting ke tanah den-
gan suara berdebuk. Tokoh sesat bertubuh jangkung 
itu bergulingan di tanah, karena bubuk racun itu pun 
telah mengenai kedua matanya.
“Aaaa...!”
Terdengar suara seperti api yang diceburkan ke da-
lam air. Dan dari sepasang mata Golok Tanpa Bayan-
gan yang terpejam, tampak mengepul asap tipis berbau 
busuk. Rupanya bubuk beracun itu telah membutakan 
kedua mata majikannya. Hal itu membuat Golok Tan-
pa Bayangan langsung sekarat Dirinya tak sempat 
mengingat untuk mengambil obat penangkal racun 
yang ada di dalam pakaiannya. Sehingga, dalam waktu 
yang tak terlalu lama, tubuh lelaki jangkung itu pun 
menggelepar lalu tewas termakan racunnya sendiri. 
Karena hampir semua racun yang ditebarkan terisap 
ke dalam tubuhnya.
Menyaksikan pimpinannya tewas, wajah para pen-
geroyok yang lain pucat ketakutan. Mereka yang masih 
tersisa kurang lebih enam orang, langsung saja men-
gambil langkah seribu mencari selamat masing-
masing.
Pendekar Naga Putih berusaha untuk melakukan 
pengejaran. Dirinya merasa lebih penting mencari Ju-
ragan Labang, yang menjadi biang keladi dari semua 
kesengsaraan penduduk Desa Kranggan. Maka, lang-
sung saja tubuhnya melesat ke dalam bangunan.
Bagian dalam bangunan itu ternyata berisi barang-
barang mahal yang kebanyakan berupa benda lukisan 
berbentuk indah. Pendekar Naga Putih menggeleng-
geleng kepala melihat kemewahan hidup juragan tanah 
itu. Diperiksanya kamar-kamar yang cukup banyak 
terdapat di dalam bangunan. Sampai akhirnya dia me

nemukan seorang lelaki setengah baya berkepala se-
tengah botak dan berperut buncit Lelaki itu tengah 
bersembunyi di balik lemari pakaian, di salah satu 
kamar yang dihuni gundiknya.
“Ampun..., ampunkan aku, Tuan Pendekar...! Am-
billah semua hartaku asalkan aku tak dibunuh...!” ra-
tap Juragan Labang ketika Panji mencengkeram leher 
bajunya. Lalu diseretnya dari dalam kamar, tanpa 
mempedulikan perempuan setengah telanjang yang 
tampak ketakutan di sudut pembaringan.
“Aku bukan sebangsa perampok sepertimu, Juragan 
Labang! Tapi semua ini buah dari perbuatan serakah
mu sendiri yang berbuat sewenang-wenang mengan-
dalkan tukang-tukang pukulmu yang galak dan kejam 
itu!” bentak Panji sambil terus menyeret tubuh Jura-
gan Labang keluar dari rumahnya.
Baru saja Panji tiba di ambang pintu, tampak Dewi 
Kematian berlari menyongsongnya. Rupanya gadis itu 
telah berhasil mengatasi kedua orang lawan.
“Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol berhasil mela-
rikan diri dengan cara yang sangat licik!” tanpa dimin-
ta, Dewi Kematian langsung saja menjelaskan tentang 
kedua orang lawannya. Kemudian mengalihkan pan-
dang kepada lelaki setengah baya berkepala setengah 
botak itu. “Hm..., inikah orang yang bernama Juragan 
Labang...?” tanyanya seraya menatap tajam penuh ke-
bencian.
Panji tak perlu memberikan jawaban. Sebab, lelaki 
setengah baya yang dilepaskannya itu, langsung men-
jatuhkan diri berlutut di hadapan Dewi Kematian. Ru-
panya ia sudah mendengar dari para pembantu siapa 
sebenarnya wanita muda berwajah cantik itu.
“Hm..., manusia sepertimu tak pantas dibiarkan hi-
dup lebih lama! Terimalah kematianmu, Jahanam!”

begitu ucapannya selesai, Dewi Kematian langsung 
mengayunkan tangan siap mematahkan batang leher 
Juragan Labang. Namun, serangan itu tak sampai pa-
da sasarannya, karena Panji lebih dulu menangkap 
lengan gadis cantik itu.
‘Tunggu! Masih ada sedikit persoalan yang hendak 
kutanyakan kepadanya...!” cegah Panji ketika melihat 
sinar mata menentang dari Dewi Kematian.
Dengan helaan napas berat, Dewi Kematian mau ju-
ga menuruti keinginan Panji. Matanya menatap tajam 
wajah lelaki setengah baya berperut buncit itu dengan 
penuh ancaman.
“Jelaskan, kau punya hubungan apa dengan Ker-
bau Mata Satu dan Setan Cebol?” tanya Panji setengah 
membentak, membuat tubuh Juragan Labang semakin 
gemetar ketakutan.
“Mereka... mempunyai sebuah perkumpulan yang 
memerlukan biaya. Dengan janji akan memberikan 
perlindungan kepada sekeluarga ku, mereka datang 
menagih uang setiap minggu. Karena mereka jagoan-
jagoan yang hebat, aku berikan apa saja yang mereka 
minta. Dan apabila diperlukan, mereka siap memban-
tuku,” tutur Juragan Labang, yang tampaknya tak be-
rani berbohong, karena nyawanya tergantung dari ja-
waban itu.
Mendengar jawaban itu, Pendekar Naga Putih dan 
Dewi Kematian saling bertukar pandang sejenak. Me-
reka tentu saja dapat menduga perkumpulan yang di-
maksud tentu merupakan perkumpulan kaum sesat 
Dan ada kemungkinan mempunyai kaitan dengan ke-
kacauan yang belakangan ini meresahkan kalangan 
persilatan.
“Sekarang biar kuhabisi nyawa bandot tua ini...!” 
ujar Dewi Kematian yang siap mengirim pukulan maut

ke kepala Juragan Labang. Namun niatnya tak disetu-
jui Panji. Tentu saja gadis itu merasa penasaran.
“Labang!” panggil Panji tanpa mempedulikan sinar 
mata menentang dari Dewi Kematian. “Apakah kau 
sanggup bersumpah untuk merubah semua kela-
kuanmu apabila dibebaskan dari hukuman mati?” 
tanya Panji seraya mengangkat bangkit lelaki tua itu.
Sejenak Juragan Labang seperti tak percaya. Ma-
tanya menatap wajah pemuda tampan yang menjanji-
kan kehidupan kepadanya. Kemudian ganti menatap 
wajah Dewi Kematian. Namun buru-buru ia menun-
dukkan wajahnya, karena sepasang mata gadis cantik 
berpakaian serba putih itu terasa seperti ujung pisau 
yang menikam jantungnya.
“Aku berjanji, Tuan Pendekar...,” jawab Juragan La-
bang dengan suara tersendat, namun kelihatan ber-
sungguh-sungguh.
“Hm..., bagaimana kalau kemudian kau mengingka-
rinya...?” Dewi Kematian menukas cepat dengan suara 
dingin. Tubuh lelaki berperut buncit itu kembali meng-
gigil ketakutan.
“Nyawaku sebagai taruhannya...,” jawab Juragan 
Labang tanpa berpikir lagi. Sebab hatinya sudah mera-
sa lega mendengar tawaran kebebasan dari kedua 
orang itu.
“Hm..., kau yang berjanji, Labang! Dan jika kuden-
gar kau mengingkari janjimu, aku akan datang untuk 
mengambil kepalamu!” ujar Panji yang membuat lelaki 
tua itu bergidik membayangkan kepalanya akan di-
penggal dari tubuhnya.
“Aku berjanji... aku berjanji...!” jawab Juragan La-
bang sambil manggut-manggut seperti burung pelatuk
Panji percaya melihat kesungguhan Juragan La-
bang. Dia pun yakin kalau juragan tanah itu akan merubah semua kelakuan buruknya. Dengan isyarat ge-
rakan kepala, diajaknya Dewi Kematian untuk me-
ninggalkan tempat itu.
Gerakan keduanya yang nyaris tanpa suara, mem-
buat lelaki setengah baya itu tak sadar dan masih te-
tap menunduk. Padahal Pendekar Naga Putih dan De-
wi Kematian telah lenyap dari tempat itu.
“Hm..., kau terlalu lemah, Pendekar Naga Putih!” 
ujar Dewi Kematian saat keduanya menerobos kere-
mangan dengan langkah tidak terburu- buru.
“Dewi Kematian,” ujar Panji tersenyum, “Kita harus 
melihat mana yang patut untuk dibunuh, dan mana 
yang harus dibiarkan hidup! Aku percaya kalau Jura-
gan Labang akan merubah semua kelakuannya. Tadi 
kulihat kesungguhan dalam ucapan dan sikapnya. La-
gi pula kalaupun ia mengingkari, apa susahnya untuk 
datang dan mengambil kepalanya seperti yang aku ka-
takan? Jelasnya, tidak semua penjahat harus dibu-
nuh!” tegas Panji sekaligus memberi nasihat terselu-
bung. Karena dirinya juga bermaksud agar Dewi Kema-
tian tak lagi selalu membunuh setiap penjahat yang di-
jumpai.
“Jangan menggurui aku, Pendekar Naga Putih! Aku 
tahu apa yang harus kulakukan terhadap manusia-
manusia busuk yang kerjanya menyusahkan orang 
lain!”
Dewi Kematian menukas cepat dengan suara dingin 
dan penuh tekanan. Panji menghela napas berat, ka-
rena tahu kalau gadis itu memiliki watak yang keras 
dan tak mudah diluruskan.
‘Tentu saja aku tak menggurui mu, hanya sekadar 
memberikan pandangan. Aku tak akan memintamu 
untuk merubah sikap yang selama ini kau yakini itu,” 
ujar Panji dengan nada perlahan. Kemudian dilempar

kan pandangannya ke langit yang mulai terselimut ke-
gelapan. “Sebaiknya kita mencari tempat menginap. 
Esok, pagi-pagi sekali aku harus segera meninggalkan 
desa ini.”
“Kau hendak pergi ke Bukit Dewa...?” tanya Dewi 
Kematian. Wajahnya tampak berubah ketika menden-
gar ucapan Panji yang seolah mengatakan ingin pergi 
sendiri tanpa perlu ditemani olehnya.
Panji mengangguk tipis, dan tidak berkata apa-apa 
lagi. Dewi Kematian pun diam seribu bahasa. Keliha-
tannya gadis itu merasa malu untuk mengatakan 
bahwa ia ingin menyertainya. Ucapan itu hanya disim-
pan di dalam hati. Dirinya tak ingin Pendekar Naga Pu-
tih menuduhnya tak tahu malu, karena ingin menyer-
tai pemuda itu, yang berarti ingin selalu berdekatan.
Malam mulai menyelimuti bumi. Rembulan muncul 
setengah, menggantung di langit kelabu. Panji dan 
Dewi Kematian memasuki sebuah rumah penginapan 
yang cuma ada satu-satunya di Desa Kranggan. Be-
runtung masih ada tiga kamar yang tersisa. Sehingga, 
mereka tidak perlu mencari rumah penduduk untuk
melewatkan malam itu.
***
TUJUH


“Berhenti...!”
Sepuluh orang lelaki gagah serentak berhenti ketika 
mendengar suara bentakan keras menggelegar. Untuk 
sesaat, mereka saling bertukar pandang satu sama 
lain. Wajah mereka mencerminkan keheranan. Kendati 
demikian, kesepuluh lelaki muda itu tetap bersikap te-
nang. Seolah sama sekali tak merasa khawatir oleh
suara bentakan yang jelas mengandung tenaga dalam 
kuat itu.
Sekitar lima tombak di hadapan sepuluh lelaki ga-
gah itu, tampak belasan sosok tubuh berdiri mengha-
dang jalan. Dengan wajah bengis para penghadang itu 
seakan mengancam. Tentu saja sikap yang jelas tidak 
menampilkan itikad baik itu membuat sepuluh lelaki 
gagah bersikap waspada. Bahkan beberapa di anta-
ranya tampak meraba gagang pedang di pinggang.
“Hendak ke mana, kalian? Kelihatannya begitu ter-
gesa-gesa?” tegur seorang lelaki berwajah keras, den-
gan kumis lebat sambil berkacak pinggang dengan la-
gak sombong. Seolah-olah ia tengah bertanya kepada 
anak buahnya, sedikit pun tak memandang sebelah 
mata kepada rombongan lelaki yang rata-rata bersikap 
gagah itu.
Seorang anggota rombongan yang berada paling de-
pan, melangkah maju beberapa tindak, mewakili ka-
wan-kawannya. Wajahnya yang dihiasi cambang dan 
kumis tipis tampak memancarkan kewibawaan. Tata-
pan matanya demikian tenang, menandakan bahwa le-
laki berpakaian kuning itu memiliki rasa percaya diri 
yang tinggi. Dia memang sengaja mendahului kawan-
kawannya demi untuk menghindari hal-hal yang tak 
diinginkan.
“Maaf, Kisanak sekalian! Kami tengah menghadapi 
sebuah persoalan yang sifatnya sangat mendesak se-
kali. Harap Kisanak sekalian suka memberi jalan ke-
pada kami!” ucap lelaki berewok itu dengan sikap so-
pan namun terdengar tegas.
“Hm..., kau kira kami tak tahu ke mana tujuanmu, 
Pendekar Cambuk Halilintar? Jangan heran kalau aku 
mengenal julukanmu! Dan, hutan ini merupakan satu-
satunya jalan untuk menuju kaki Bukit Dewa. Nah,

apa dugaanku salah?”
Lelaki berkumis lebat itu tersenyum sinis, membuat 
lelaki berewok yang berjuluk Pendekar Cambuk Hali-
lintar merasa terkejut, dan sadar bahwa orang-orang 
itu memang sengaja hendak mencari perkara.
“Siapa kalian sebenarnya? Dan apa maksud kalian 
menghadang perjalanan kami?” salah seorang anggota 
rombongan yang merasa tersinggung mendengar per-
kataan itu, langsung melangkah maju. Ditentangnya 
pandang mata lelaki berkumis lebat itu tanpa rasa 
gentar sedikit pun.
“Benarkah kau ingin tahu, Kisanak? Nah, dengarlah 
baik-baik! Kami murid-murid Perguruan Bukit Dewa 
yang akan menghalangi siapa saja yang hendak naik 
ke bukit Bagi siapa yang membantah. Hm..., aku akan 
mengantarkannya ke... akherat! Hah hah hah...!” lelaki 
berkumis tebal dan berpakaian merah itu tertawa ter-
bahak-bahak, diikuti pula kawan-kawan di belakang-
nya.
“Setan...!” geram lelaki muda berusia sekitar dua 
puluh delapan tahun yang marah mendengar perka-
taan itu. Sepasang matanya memancarkan api seperti 
hendak membakar hangus lelaki berkumis lebat yang 
masih terbahak-bahak itu.
Bukan hanya pemuda tinggi tegap itu yang tak bisa 
menahan kemarahan. Hampir semua anggota rombon-
gan tampak sudah siap untuk bertarung mati-matian. 
Namun, Pendekar Cambuk Halilintar mencegah ka-
wan-kawannya dengan melintangkan lengan.
“Hm..., aku tak percaya kalau kalian murid- murid 
Ki Sela Panda! Sebaiknya berterus-terang saja, atau 
menyingkir dan membiarkan kami melanjutkan perja-
lanan!”
Pendekar Cambuk Halilintar berkata dengan lantang dan tegas. Bahkan jari-jari tangan kanannya su-
dah meraba gagang cambuk yang melingkar di ping-
gangnya. Jelas ia siap bertindak apabila para pengha-
dang tetap berkeras.
“Hmh!”
Lelaki berkumis lebat itu mendengus kasar. Dengan 
cepat tangannya meloloskan pedang kembar yang ter-
gantung di punggung.
Sriingngng!
Cepat dan kuat sekali gerakan lelaki ini ketika melo-
loskan pedangnya. Seolah ia hendak memamerkan ke-
pandaiannya di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar 
dan kawan-kawannya.
“Sepasang Pedang Darah...?!”
Pendekar Cambuk Halilintar tampak kaget ketika 
melihat sepasang pedang berwarna merah darah itu. 
Kilatan sinarnya terasa panas seperti api. Sehingga, ia 
bergeser mundur. Dirinya pernah mendengar tentang 
kehebatan tokoh sesat dari wilayah utara itu.
Sembilan orang lelaki gagah rombongan tokoh- to-
koh persilatan yang hendak menuntut keadilan kepada 
Ki Sela Panda itu pun tampak kaget. Meski nama Se-
tan Pedang Darah belum mereka dengar, tetapi kilatan 
sinar sepasang pedang itu membuat sebagian seman-
gat mereka terbang. Hingga wajah mereka terlihat pu-
cat Karena Sepasang Pedang Darah memang memiliki 
pengaruh yang menggetarkan. Terlebih warnanya yang 
seperti bara api itu.
Memandangnya saja seolah terasa panas sekujur 
tubuh.
Tokoh berkumis lebat yang berjuluk Setan Pedang 
Darah ini tak banyak cakap lagi. Dengan suara dengu-
san kasar, ia memerintahkan para pengikutnya agar 
bergerak maju.

“Habisi yang lainnya! Biar Pendekar Cambuk Hali-
lintar bagianku!” perintah Setan Pedang Darah, lalu 
melangkah lebar menghampiri Pendekar Cambuk Hali-
lintar.
Pendekar Cambuk Halilintar pun sadar bahwa la-
wannya seorang tokoh sesat ternama yang berhati ke-
jam. Namun hatinya tak mengerti mengapa tokoh itu 
hendak membunuhnya. Senjata andalannya sudah 
tergenggam erat
Whuukk! Whuukk!
Cambuk di tangan lelaki berwajah berewok itu dipu-
tar di atas kepala, menimbulkan suara men- deru-
deru. Sementara itu kawan-kawannya sudah berta-
rung dengan para pengikut Setan Pedang Darah. Dia 
sendiri siap menghadapi tokoh sesat wilayah utara itu.
“Saaattt!”
Setan Pedang Darah membentak nyaring. Tubuhnya 
bergerak ke depan dengan langkah menyilang yang 
aneh, tapi cepat bukan main. Sepasang pedangnya 
tampak membentuk dua buah gundukan merah yang 
menimbulkan hawa panas menyengat
“Heaaa...!”
Jtarrr!
Glaarrr...!
Wuut! Wuukk...!
Pendekar Cambuk Halilintar tak mau kalah gertak. 
Senjatanya meledak-ledak menimbulkan suara meng-
gelegar yang memekakkan telinga. Kalau saja lawan-
nya bukan orang yang memiliki tenaga dalam kuat, 
pasti sudah menggeloso ke tanah, tak sanggup mena-
han suara ledakan yang berdentum-dentum itu.
Dalam sekejap mata saja, kedua tokoh dari dua go-
longan berbeda ini sudah saling serang dengan ganas-
nya. Namun, setelah dua puluh jurus kemudian, Pendekar Cambuk Halilintar tampak mulai terdesak oleh 
sambaran sepasang pedang lawan. Tubuhnya sudah 
mulai dibasahi peluh yang terus membanjir. Hawa pa-
nas yang sangat mengganggu itu membuat pikirannya 
terpecah. Hingga, gerakan cambuknya lebih sering ka-
cau dan tak terarah. Hal itulah yang membuat tubuh-
nya terdesak serangan gencar lawan. Sehingga terpak-
sa bermain mundur sambil memutar cambuk melin-
dungi tubuh.
“Saaattt...!”
Setan Pedang Darah yang melihat lawan sudah 
tampak tak berdaya, semakin mempergencar serangan. 
Sepasang pedangnya menyambar-nyambar mengelua-
rkan hawa panas menyengat
Beett! Wuuttt!
Slats!
“Aaahhh...?!”
Pendekar Cambuk Halilintar terpekik ketika melihat 
dua bentuk cahaya merah meluncur ke tubuhnya. 
Dengan cepat dilecutkan cambuknya guna menghalau 
serangan maut itu. Tapi....
Tasss! Tasss!
Seraut wajah Pendekar Cambuk Halilintar pucat ke-
tika senjatanya terbantai putus menjadi tiga. Sedang-
kan sepasang pedang lawan terus meluncur datang 
mengancam nyawanya.
‘Pergilah ke neraka...!” ejek Setan Pedang Darah 
yang merasa yakin bahwa kemenangan akan segera 
diperolehnya.
Tapi....
Whuuusss...!
Saat kedua ujung senjata Setan Pedang Darah ting-
gal satu jengkal dari sasarannya, tiba-tiba terdengar 
suara angin menderu keras. Dan sebelum ia sadar

akan suara itu, tahu-tahu kedua lengannya terpental 
menyeleweng dari sasaran. Bahkan tubuhnya ter-
huyung-huyung akibat lontaran pukulan jarak jauh 
yang kuat itu.
Belum lagi, Setan Pedang Darah sempat memper-
baiki kedudukan kuda-kudanya, sesosok bayangan 
putih berkelebat laksana sambaran kilat Sosok bayan-
gan itu turun di hadapan Pendekar Cambuk Halilintar.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Pendekar Cambuk Halilintar berseru penuh kele-
gaan dan kegembiraan. Karena dirinya telah kenal be-
nar sosok pemuda tampan berjubah putih yang telah 
menyelamatkan nyawanya dari ancaman maut baru-
san.
Mendengar nama Pendekar Naga Putih, Setan Pe-
dang Darah tersentak kaget. Diangkat wajahnya mena-
tap sosok yang memang Panji. Kemunculan pendekar 
muda itu membuat Setan Pedang Darah kelihatan ce-
mas. Kedatangan pemuda itu jelas membuat pihak la-
wan menjadi jauh lebih kuat Dirinya sadar, untuk me-
lanjutkan niatnya sama saja dengan mencari penyakit 
Maka, mulutnya segera mengeluarkan suitan nyaring, 
sebagai isyarat kepada para anak buah agar mening-
galkan tempat itu.
“Pendekar Naga Putih, jangan biarkan Setan Pedang 
Darah meloloskan diri! Ia harus menjelaskan alasan-
nya menghadang kepergian kami ke Bukit Dewa...!” se-
ru Pendekar Cambuk Halilintar.
Panji yang tak mengetahui duduk persoalannya, se-
jenak tertegun. Namun ketika teringat akan kekacauan 
yang belakangan ini telah meresahkan kaum persila-
tan khususnya golongan putih, langsung melesat men-
gejar Setan Pedang Darah. Pendekar Cambuk Halilin-
tar tertegun menyaksikan kecepatan gerak Pendekar

Naga Putih. Matanya dirasakan silau karena hanya 
sempat melihat kelebat bayangan putih. Tubuh Pende-
kar Naga Putih telah lenyap dari hadapannya.
“Luar biasa...! Pemuda itu dapat bergerak bagai ki-
lat! Seolah ia pandai menghilang saja! Rasanya sangat 
sulit mencari orang yang setingkat dengannya. Padahal 
usianya masih terbilang sangat muda...!” gumam Pen-
dekar Cambuk Halilintar dengan mata terbelalak ka-
gum terhadap kecepatan gerak Pendekar Naga Putih.
“Setan Pedang Darah, berhentilah! Tak ada gunanya 
kau melarikan diri...!” bentak Panji ketika jarak di an-
tara mereka tinggal tiga tombak lagi
Namun tampaknya tokoh sesat tak menuruti seruan 
Pendekar Naga Putih. Bahkan semakin menambah ke-
cepatannya. Sehingga, jarak di antara mereka kembali 
terpisah sejauh enam tombak.
“Haiiitt...!”
Melihat Setan Pedang Darah semakin mempercepat 
larinya, Panji berseru nyaring. Seketika itu juga tu-
buhnya melambung ke udara. Dan setelah berjumpali-
tan beberapa kali di udara tubuhnya meluncur turun. 
Begitu mendarat kakinya langsung menghentak, maka 
tubuhnya kembali melenting. Kali ini lewat di atas ke-
pala lawannya.
Jlegg!
Setan Pedang Darah kaget bukan kepalang. Dirinya 
hanya merasakan sambaran angin di atas kepalanya. 
Namun tahu-tahu di depannya dalam jarak satu tom-
bak, telah berdiri sosok Pendekar Naga Putih. Tokoh 
sesat itu tampak tertegun sesaat. Kemudian melesat 
menerjang maju dengan sepasang pedangnya yang 
menyambar-nyambar membawa hawa panas menyen-
gat
Merasakan adanya hawa panas yang terasa menyengat kulit, Panji segera mengerahkan Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan’-nya. Seketika itu pula tubuhnya ter-
bungkus sinar putih keperakan yang menebarkan ha-
wa dingin menusuk tulang. Dengan demikian, hawa 
panas yang keluar dari sepasang pedang lawan, tak la-
gi mengganggunya.
“Hih...!”
Bweet! Bweett!
“Hait!”
Ketika sepasang pedang yang berpijar seperti bara 
itu berkelebat menyambar, Panji menggeser tubuhnya 
ke kanan. Kemudian langsung mengirimkan sebuah 
tendangan cepat ke perut lawan.
Zzeebbb!
“Hait..!”
Setan Pedang Darah ternyata cukup tangkas. Meli-
hat adanya tendangan yang datang mengancam perut-
nya, dengan cepat dilemparkan tubuhnya ke kiri. Ge-
rakan itu disertai kibasan pedang di tangan kanannya, 
maksudnya hendak membabat kaki lawan. Sayang, la-
gi-lagi serangan itu gagal! Karena Panji sudah menarik 
pulang tendangan dengan menekuk lututnya. Dan be-
gitu sambaran pedang lawan lewat, kakinya langsung 
dilepas kembali menghajar bahu kanan lawannya.
Buukkk!
Kendati tak terlalu telak, tendangan itu cukup un-
tuk membuat tubuh Setan Pedang Darah terhuyung-
huyung. Namun tokoh sesat itu mampu menguasai ke-
seimbangan tubuhnya dengan baik. Dan kembali siap 
menghadapi lawannya.
“Sebaiknya kau menyerahlah, Setan Pedang Darah! 
Dan jelaskan apa yang membuatmu hendak membu-
nuh Pendekar Cambuk Halilintar beserta rombongan-
nya!” pinta Panji menatap tajam wajah lawannya, yang

terpaksa menunduk. Sorot mata pemuda itu bersinar 
dan terasa menggetarkan dada dan membuat bulu ku-
duknya meremang.
“Mata pemuda itu seperti mata iblis saja...!” desis 
Setan Pedang Darah dalam hati. Dirinya tak mau me-
nyerah begitu saja kepada Pendekar Naga Putih. Bah-
kan tanpa berkata sepatah kata pun dia menerjang 
maju dengan ganasnya.
“Hm..., rupanya kau lebih suka menghadapi keke-
rasan...!” desis Panji geram.
Begitu pedang lawan tiba, tubuhnya langsung ber-
kelebat lenyap, menyelinap di antara sambaran sepa-
sang pedang maut itu. Kemudian sambil mengelak 
tangannya melancarkan tamparan yang menghem-
buskan hawa dingin menusuk tulang.
“Aaahhh...?!”
Setan Pedang Darah terpekik kaget ketika kepa-
lanya nyaris terkena tamparan pemuda itu. Dengan 
cepat dilemparkan tubuhnya lalu bergulingan sambil 
memutar pedang melindungi diri.
“Heaahh...!”
Melihat tubuh lawannya bergulingan menjauh, Panji 
cepat melompat lurus ke depan dengan menghentak 
kedua tangannya, melancarkan pukulan jarak jauh. 
Tepat pada saat itu tubuh Setan Pedang Darah melent-
ing bangkit.
Breesshh...!
“Uuuhh...!”
Setan Pedang Darah terpekik. Meskipun pukulan 
jarak jauh Pendekar Naga Putih berhasil diredam den-
gan kibasan sepasang pedangnya, tak urung tubuhnya 
terdorong mundur. Mulutnya meringis. Dirasakan da-
danya begitu serak. Pendekar Naga Putih segera me-
lancarkan serangan susulan, menendang perut lawan.

Buugk...!
“Huakkhh...!”
Tendangan keras mendarat telak pada sasarannya. 
Akibatnya tubuh Setan Pedang Darah terpental ke 
samping disertai semburan darah segar dari mulutnya. 
Tubuhnya terbanting ke tanah tanpa ampun. Sedang-
kan sepasang senjatanya terpental lepas dari gengga-
man. Dan sebelum sempat bangkit berdiri, Panji telah 
melepaskan totokan cepat yang membuat tokoh sesat 
itu mengeluh. Tubuhnya terkulai tak mampu bergerak. 
Hanya sinar matanya yang menatap Pendekar Naga 
Putih dengan penuh dendam dan kebencian.
Pendekar Cambuk Halilintar dan rombongannya 
berlarian mendatangi Panji. Rombongan itu tinggal de-
lapan orang karena dua di antara mereka tewas terbu-
nuh di tangan para pengikut Setan Pedang Darah, 
yang rata-rata berkepandaian tinggi.
“Syukurlah, kau berhasil menawannya, Pendekar 
Naga Putih...!” ujar Pendekar Cambuk Halilintar 
menghela napas lega melihat Setan Pedang Darah da-
lam keadaan terkulai lumpuh.
“Bagaimana dengan para pengikutnya?” tanya Panji 
kepada Pendekar Cambuk Halilintar.
“Mereka terpaksa kami bunuh! Karena sangat sulit 
untuk menawan mereka hidup-hidup. Dua orang ka-
wan kami bernasib sial, tewas di tangan pengikut-
pengikut Setan Pedang Darah...,” jelas Pendekar Cam-
buk Halilintar kepada Panji.
“Sebaiknya kita bawa saja Setan Pedang Darah ke 
atas Bukit Dewa. Biar dia akan menjelaskan maksud 
jahatnya di depan Ketua Perguruan Bukit Dewa,” usul 
Panji yang disambut anggukan kepala Pendekar Cam-
buk Halilintar dan kawan-kawannya.
“Benar, Pendekar Naga Putih! Karena Setan Pedang

Darah ini semula telah mengaku sebagai murid Ki Sela 
Panda. Siapa tahu perbuatannya ini ada kaitan dengan 
sepak terjang Tongkat Delapan Naga yang telah mene-
waskan banyak tokoh persilatan, termasuk dua orang 
tokoh utama dari Perguruan Gunung Sumbing,” timpal 
Pendekar Cambuk Halilintar yang membuat Panji sem-
pat terkejut.
Namun Pendekar Naga Putih menahan keinginan-
nya untuk bertanya. Sebab, penjelasan tentang semua 
itu pasti akan didengarnya dari Setan Pedang Darah 
ataupun Ki Sela Panda, yang menjadi kakak sepergu-
ruan Tongkat Delapan Naga. Tanpa banyak cakap lagi, 
Panji langsung memondong tubuh Setan Pedang Da-
rah. Bersama Pendekar Cambuk Halilintar dan rom-
bongannya, mereka bergerak menuju Bukit Dewa.
***
DELAPAN


“Saudara-saudara sekalian, harap kalian dapat ber-
sabar dan menyerahkan persoalan ini kepadaku. Aku 
sendiri akan membawa adik seperguruanku yang telah 
berdosa itu ke hadapan kalian semua. Tapi, beri aku 
waktu untuk mencarinya...!”
Lelaki tua berusia sekitar tujuh lima tahun itu ber-
kata dengan suara lantang. Di belakangnya tampak 
puluhan murid Perguruan Bukit Dewa berdiri dengan 
wajah diliputi ketegangan. Saat itu perguruan mereka 
kedatangan tokoh-tokoh persilatan yang menuntut 
keadilan atas tindakan Tongkat Delapan Naga, mem-
bunuhi banyak tokoh persilatan.
“Hei, Ki Sela Panda! Kami bukan tak percaya den-
gan kegagahan mu! Tapi, apa tak mungkin kau sengaja

menyembunyikan adik seperguruanmu di dalam ban-
gunan perguruan yang luas ini? Kalau kau merasa tu-
duhan kami tak benar, mengapa mencegah kami yang 
hendak menggeledah tempat ini? Sampai kapan kami 
harus menunggu janjimu itu?”
Seorang lelaki tinggi besar yang memegang sebuah 
kapak besar dan berat, berkata lantang, hingga diden-
gar puluhan tokoh-tokoh persilatan yang hadir di tem-
pat itu. Dan ucapannya mendapat dukungan dari lebih 
sebagian tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.
“Saudara Kunta Laga!” ujar Ki Sela Panda dengan 
suara perlahan dan wajah membayangkan kedukaan 
yang dalam. Ditatapnya lelaki tinggi kekar itu dengan 
sinar mata sedih. “Sebagai seorang ketua perguruan, 
aku tentu tak akan mengingkari janji yang telah kuu-
capkan. Pantang bagiku berkata dusta! Harap kau beri 
kelonggaran kepada orang tua seperti aku ini! Aku ber-
janji akan menyeretnya ke hadapan kalian. Paling lam-
bat sebelum purnama aku berusaha sudah menang-
kapnya...!”
‘Tidak bisa! Kami minta agar kau menyerahkannya 
sekarang juga kepada kami!” seorang lelaki bermata 
sipit tampil ke depan. Wajahnya tampak menyiratkan 
kebencian dan dendam, ‘Tongkat Delapan Naga telah 
membunuh dua orang tokoh Perguruan Gunung 
Sumbing! Dan mereka adalah kakak-kakak seperguru-
anku! Tidakkah kau rasakan betapa sakit dan sedih-
nya hatiku ketika mengetahui bahwa pembunuh lak-
nat itu seorang tokoh ternama yang jadi adik sepergu-
ruanmu!” lanjut murid Perguruan Gunung Sumbing 
itu berapi-api. Suara itu disambut para tokoh lainnya 
yang mendukung “ ucapan lelaki bermata sipit ini.
Mendengar ucapan itu, Ki Sela Panda menghela na-
pas berat Wajahnya tertunduk lesu. Dirinya merasa
ikut berdosa atas perbuatan yang dilakukan adik se-
perguruannya. Meskipun belum menyaksikan sendiri, 
Ketua Perguruan Bukit Dewa tak kuasa mengatakan 
bahwa para tamunya berdusta dan hanya sekadar me-
lempar fitnah.
‘Tunggu apa lagi, ayo kita geledah tempat ini...!” le-
laki bermata sipit itu berseru lantang, ketika melihat 
Ki Sela Panda tak bisa membantah ucapannya. Dan ia 
sudah bergerak maju diikuti puluhan tokoh persilatan, 
termasuk Ki Kunta Laga.
Melihat para tokoh persilatan itu memaksa hendak 
masuk, murid-murid Ki Sela Panda bergegas mencabut 
senjata dan berloncatan menghadang. Kedua belah pi-
hak sudah sama-sama tegang dan siap saling serang. 
Tapi...,
“Hentikan semua ketololan ini...!”
Tiba-tiba terdengar sebuah seruan yang mengan-
dung tenaga dalam yang luar biasa. Kedua belah pihak 
yang siap saling gempur, sama terkejut dan mengerah-
kan tenaga untuk menenangkan dada mereka yang 
terguncang. Kemudian sebelum orang-orang itu sadar 
dari keterkejutannya, tampak sesosok bayangan putih 
berkelebat dengan kecepatan luar biasa. Sosok bayan-
gan itu mendarat ringan di hadapan tokoh-tokoh persi-
latan yang hendak menuntut keadilan.
“Pendekar Naga Putih...!”
Hampir setengah lebih dari tokoh-tokoh persilatan 
yang hadir di tempat itu berseni kaget Karena sosok 
bayangan putih yang muncul itu ternyata Panji atau 
yang lebih dikenal sebagai Pendekar Naga Putih. Keha-
diran tokoh muda yang banyak mendatangkan keka-
guman di hati para tokoh persilatan itu sempat mem-
buat ketegangan mereda untuk sementara.
“Kita tak boleh mengikuti amarah yang hanya akan

mendatangkan penyesalan di kemudian hari! Aku ber-
diri di sini bukan untuk berpihak kepada siapa pun! 
Tapi, aku berpijak kepada kebenaran dan keadilan! 
Nah, marilah kita bicarakan hal ini dengan kepala din-
gin. Dan mudah-mudahan orang yang kubawa ini bisa 
memberikan keterangan penting yang kiranya akan 
dapat membawa titik terang bagi kita semua...!” ujar 
Panji dengan suara lantang, membuat semua tokoh 
yang hadir mau tak mau mendengarkan ucapan pen-
dekar muda itu.
Ketika melihat semua tokoh yang hadir tak memberi 
tanggapan, Panji menoleh kepada Ki Sela Panda. Keti-
ka itu matanya terbentur pada seraut wajah jelita seo-
rang dara berpakaian serba hijau. Panji tersenyum, ka-
rena dara jelita itu tak lain Kenanga, kekasihnya. Den-
gan tersenyum, Kenanga bergerak menghampiri Panji.
“Syukurlah, kau keburu datang, Kakang! Sedikit sa-
ja kau terlambat, tempat ini pasti sudah menjadi lau-
tan darah...,” ujar Kenanga yang tak menyembunyikan 
kebanggaannya atas perbuatan sang Kekasih yang te-
lah mampu membuat suasana kembali tenang.
“Sudah kuduga, kau pun pasti ada di tempat ini, 
Kenanga...,” sambut Panji tersenyum menatap Kenan-
ga yang sudah di depannya.
Pendekar Naga Putih kemudian didampingi keka-
sihnya menghadap Ki Sela Panda. Dirinya mengajukan 
usul untuk mengumpulkan tokoh-tokoh terkemuka 
guna membicarakan persoalan itu. Tak lupa Panji me-
minta maaf atas sikapnya yang telah lancang, tanpa 
izin dari Ki Sela Panda berbicara di depan tamu-tamu 
Perguruan Bukit Dewa.
Ki Sela Panda sendiri tersenyum penuh rasa syu-
kur. Lelaki tua itu menyetujui usul pendekar muda 
yang semakin mendatangkan kekaguman di hatinya

itu. Maka, segera diajaknya beberapa orang tokoh ter-
kemuka untuk bersama-sama membahas masalah itu 
di dalam ruang pertemuan perguruan. Sedangkan to-
koh-tokoh persilatan lain dipersilakan beristirahat me-
nunggu keputusan yang akan disepakati bersama.
***
Di bawah siraman sinar matahari yang terik, tam-
pak serombongan orang bergerak meninggalkan ban-
gunan Perguruan Bukit Dewa. Mereka adalah tokoh-
tokoh persilatan yang hendak menyerbu markas golon-
gan sesat, sekaligus mencari Tongkat Delapan Naga. 
Tokoh tua yang telah menggegerkan rimba persilatan 
dengan ulahnya.
Kehadiran Pendekar Naga Putih yang berhasil me-
redam ketegangan serta permusuhan orang- orang se-
golongan itu, juga telah membawa titik terang. Sebab, 
Setan Pedang Darah menceritakan segala hal yang di-
pertanyakan para tokoh persilatan di salah satu ruang 
Perguruan Bukit Dewa. Sebagai seorang tokoh golon-
gan sesat, tentu saja Setan Pedang Darah lebih me-
mentingkan keselamatan diri sendiri. Melihat betapa 
tokoh-tokoh sakti mengelilinginya dengan sinar mata 
penuh ancaman, tokoh sesat itu pun tak ragu-ragu 
untuk menjawab semua pertanyaan dengan jujur.
Apa yang diceritakan Setan Pedang Darah, mem-
buat tokoh-tokoh persilatan menggeram marah. Tokoh 
sesat wilayah utara itu mengatakan bahwa golongan 
sesat segera bergabung setelah mendengar sepak ter-
jang Tongkat Delapan Naga yang membunuhi kawan 
segolongan. Dengan licik, para tokoh sesat menemui 
Tongkat Delapan Naga dan mengangkat tokoh sakti itu
menjadi pemimpin dari golongan sesat Tongkat Dela-
pan Naga pun langsung menerima pengangkatan seba

gai pemimpin itu. Padahal hal itu dilakukan golongan 
sesat dengan maksud untuk mengadu domba sesama 
golongan putih. Karena sepak terjang Tongkat Delapan 
Naga yang menggegerkan itu, tentu akan melibatkan 
Perguruan Bukit Dewa. Sehingga sudah pasti pergu-
ruan besar yang terkenal itu akan menjadi tumpahan 
kemarahan tokoh-tokoh persilatan golongan putih. 
Sayang, Tongkat Delapan Naga yang kelihatan agak 
kurang waras itu sama sekali tak menyadari kelicikan 
tokoh-tokoh sesat.
Setan Pedang Darah pun langsung memberikan pe-
tunjuk ketika Ki Sela Panda bertanya tentang letak 
markas yang didirikan kaum golongan sesat itu. Begitu 
mendapat gambaran, tokoh-tokoh persilatan yang di-
pimpin Ki Sela Panda, Pendekar Naga Putih, Pendekar 
Cambuk Halilintar, Kenanga, Ki Kunta Laga, dan ba-
nyak lagi tokoh-tokoh terkemuka lainnya, langsung 
bergerak menuju ke markas yang ditunjukkan Setan 
Pedang Darah. Tentu saja tokoh sesat itu dijadikan pe-
nunjuk jalan. Sebab, mereka belum yakin benar akan 
keterangan Setan Pedang Darah.
Kira-kira menjelang senja, tibalah rombongan tokoh 
persilatan itu di mulut sebuah hutan yang sangat lebat 
Pepohonan besar tumbuh menjulang, membuat di da-
lam hutan itu hampir tak terkena cahaya matahari, 
saking rapatnya pepohonan yang tumbuh.
“Di dalam Hutan Kidul inilah markas kami didiri-
kan...,” ujar Pedang Setan Darah yang menghentikan 
langkahnya di mulut hutan.
‘Tunjukkan jalannya! Kami tentu belum percaya se-
penuhnya kepadamu, Pedang Setan Darah! Siapa tahu 
hutan ini dipenuhi dengan jebakan maut!” ujar Panji 
sambil mendorong tokoh sesat itu agar lebih dulu ma-
suk ke dalam hutan.

Setan Pedang Darah berjalan di depan. Para tokoh 
persilatan mengikutinya bergerak menerobos kelebatan 
pepohonan hutan. Ketika cukup dalam rombongan itu 
memasuki hutan, tanpa sepengetahuan tokoh-tokoh 
itu, Setan Pedang Darah sengaja menginjak sebuah je-
bakan yang memang banyak dipasang di sekitar hutan 
lebat itu.
Srats!
Whuuukkk...!
“Haiittt..!”
Setan Pedang Darah sudah berseru dan melenting 
ke udara setelah menginjak jebakan itu. Saat itu juga, 
sebuah benda bulat yang besar dan dipenuhi benda-
benda tajam, meluncur cepat ke arah rombongan.
“Awaaasss...!”
Panji yang sempat menangkap suara sambaran 
benda maut itu, segera berseru memperingatkan ka-
wan-kawannya. Dan ketika melihat tubuh Setan Pe-
dang Darah melesat hendak melarikan diri, langsung 
saja Panji mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya 
untuk mengejar. Di udara ia melepaskan sebuah pu-
kulan jarak jauh dengan pengerahan Tenaga Sakti 
Gerhana Bulan’-nya.
Wutt!
Breesshh!
Pukulan jarak jauh yang sangat kuat itu menerjang 
tubuh bagian belakang Setan Pedang Darah. Hingga 
tubuh tokoh sesat yang licik itu terbanting ke tanah 
memuntahkan darah segar. Panji meluncur turun. 
Dengan telapak kaki, diinjaknya punggung Setan Pe-
dang Darah yang hanya bisa meringis dengan wajah 
pucat
Namun apa yang tadi dilakukan Setan Pedang Da-
rah ternyata telah membuat enam orang tokoh tewas.

Dua tersambar bola berduri karena tidak sempat 
menghindar. Empat lainnya yang melesat mengelak 
dari ancaman maut, telah menginjak jebakan lain saat 
mendarat di tanah. Dan jebakan itu mendatangkan be-
lasan tombak yang meluncur dengan kecepatan tinggi. 
Sehingga, keempat tokoh itu tewas tertembus tombak.
“Setan Pedang Darah, tunjukkan jalan lain yang le-
bih aman! Jangan coba main gila jika masih ingin me-
lihat matahari esok pagi!” bentak Panji menambah te-
kanan pada telapak kakinya.
Setan Pedang Darah terpekik kesakitan. Berat kaki 
Pendekar Naga Putih yang menekan punggungnya ba-
gaikan tindihan seekor gajah. Lelaki berpakaian merah 
dan berkumis tebal itu mengangguk lemah. Melihat 
kesungguhan dalam pandang mata pendekar muda 
yang sakti itu, dirinya tak berani main-main lagi. Per-
lahan tubuhnya bangkit lalu berjalan membawa rom-
bongan itu melalui tempat yang aman, hingga tiba di 
dekat sebuah bangunan tua yang cukup besar.
Setelah menotok pingsan Setan Pedang Darah, Pen-
dekar Naga Putih menyusun penyerangan bersama to-
koh-tokoh terkemuka. Rombongan dipecah empat ke-
lompok. Masing-masing dipimpin oleh Ki Sela Panda, 
Pendekar Cambuk Halilintar, Kenanga, dan Ki Kunta 
Laga. Pendekar Naga Putih bergerak sendiri, karena 
mendapat tugas khusus dari Ki Sela Panda untuk 
mencari adik seperguruannya. Memang kepada Panji 
seoranglah Ki Sela Panda menjelaskan mengapa Tong-
kat Delapan Naga berlaku demikian keji terhadap ka-
wan segolongan.
Setelah keempat kelompok itu bergerak dari empat 
jurusan, Panji langsung berkelebat dan bergerak ma-
suk dari bagian depan. Hal itu dilakukan setelah telin-
ganya mendengar suara-suara pertempuran, tanda

bahwa mereka telah menyerbu masuk.
Dengan kepandaiannya yang tinggi, tak sulit bagi 
Panji untuk bergerak tanpa menemui kesulitan yang 
berarti. Kakinya melangkah memasuki bagian dalam 
bangunan tua itu untuk mencari Tongkat Delapan Na-
ga. Di arena pertempuran tadi Panji sempat melihat 
adanya Kerbau Mata Satu dan Setan Cebol. Namun, 
hal itu sama sekali tak membuatnya terkejut Sejak 
semula telah diduganya kalau kedua orang tokoh sesat 
itu pasti mempunyai kaitan dengan kekacauan yang 
terjadi di dunia persilatan.
“Heaattt...!”
“Yeaaa...!”
Ketika Panji memasuki bagian tengah bangunan, 
dari balik dinding tiba-tiba muncul delapan orang lela-
ki berwajah bengis yang langsung menerjang dengan 
senjata terhunus. Pendekar Naga Putih sama sekali tak 
merasa gugup. Kendati dilihat dari cara menyerang, 
mereka rata-rata memiliki tenaga yang cukup kuat dan 
kelincahan yang mengagumkan, semua itu dapat di-
atasinya dengan baik. Sambil bergerak melompat ke 
kanan dan ke kiri serta meliuk untuk mengelak dari 
babatan senjata, Panji mengirimkan tamparan dan pu-
kulan. Serangan balasan itu membuat lawannya roboh 
satu persatu. Hingga, dalam sepuluh jurus saja kede-
lapan lelaki berwajah bengis telah tergeletak dengan 
tubuh luka parah.
“Hyaaattt..!”
Panji yang baru saja hendak kembali melangkah 
untuk mencari Tongkat Delapan Naga, tersentak kaget 
ketika mendengar suara bentakan mengguntur. Belum 
lagi ia sempat melihat sosok penyerang itu, sebuah 
sambaran angin kuat membuat Panji harus melempar-
kan tubuhnya ke belakang.

Whuukkk!
Baru saja kedua kakinya menginjak tanah, angin 
keras kembali menyambar dengan kecepatan tinggi. 
Karena untuk mengelak tak ada waktu lagi, Panji ber-
gegas mengerahkan tenaga saktinya dan mengangkat 
tangan kiri untuk memapaki.
Dukkk!
Pendekar Naga Putih terkejut ketika lengannya yang 
dipakai menangkis, terasa panas dan nyeri. Bahkan 
kuda-kudanya sempat tergempur dua langkah ke bela-
kang. Dan dalam keadaan tubuh belum seimbang Pan-
ji menyempatkan diri untuk melihat penyerangnya 
yang ia tahu memiliki kepandaian tinggi itu.
“Tongkat Delapan Naga...!” seru Panji terkejut dan 
juga girang. Sebab, orang yang dicari-cari justru da-
tang menghampirinya.
“Heh heh heh...! Selamat berjumpa lagi, Pendekar 
Naga Putih! Kali ini kau tak mungkin dapat lolos dari 
kematian...!” ujar lelaki tua yang tak lain si Tongkat 
Delapan Naga. Tawa paraunya terdengar meningkahi 
deruan putaran tongkat yang menimbulkan hawa din-
gin di tempat itu.
“Tongkat Delapan Naga, aku mendapat perintah da-
ri Ki Sela Panda untuk membawamu kembali ke pergu-
ruan. Kuharap kau tak menyalahkan apabila aku ter-
paksa bertindak lancang...!” ujar Panji yang segera 
menyiapkan ‘Ilmu Silat Naga Sakti’ nya. Kali ini disim-
pannya ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, dan mengerah-
kan ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’. Karena sebagai-
mana yang dikatakan Ki Sela Panda, Tongkat Delapan 
Naga telah menderita keracunan pada jalan darah be-
sar di kepalanya. Semua itu akibat usaha keras berla-
tih sebuah ilmu yang sangat sulit untuk dipelajari. Itu-
lah yang menyebabkan Tongkat Delapan Naga tergang

gu pikirannya. Dan ketika Panji berjanji untuk berusa-
ha mengembalikan kewarasan Tongkat Delapan Naga, 
Ki Sela Panda langsung meminta pendekar muda itu 
agar jangan sampai membunuh adik seperguruannya. 
Karena pada dasarnya Tongkat Delapan Naga bukan
orang jahat.
“Hyaattt..!”
Tongkat Delapan Naga yang kelihatan kaget begitu 
mendengar ucapan Pendekar Naga Putih, berubah 
menjadi kemarahan yang meledak-ledak. Seketika to-
koh tua itu melancarkan serangan dahsyat dari jurus-
jurus mukjizat yang telah membuat otaknya terganggu.
Kali ini Panji tak mau lagi mengalah. Tugas dari Ki 
Sela Panda memang berat Namun ia harus dapat me-
lumpuhkan Tongkat Delapan Naga tanpa harus mem-
buat kakek itu terluka berat
Ki Sela Panda sendiri sudah menguji kepandaian 
Pendekar Naga Putih sebelum mengutarakan permin-
taannya. Dan ketika mendapati kenyataan bahwa ke-
pandaian Pendekar Naga Putih dapat diandalkan, Ke-
tua Perguruan Bukit Dewa itu yakin kalau tugas yang 
diberikannya dapat dijalankan dengan baik. Lelaki tua 
itu juga meminta agar kalau bisa Pendekar Naga Putih 
tidak sampai menewaskan adik seperguruannya.
Tugas itu memang tak mudah. Dengan kepandaian 
Tongkat Delapan Naga yang sedemikian tinggi, sulit 
bagi Panji untuk melumpuhkan kakek itu tanpa mem-
buatnya terluka.
Menghadapi gempuran-gempuran hebat yang men-
gandung hawa mukjizat, Pendekar Naga Putih tampak 
terdesak dalam jurus-jurus awal. Pemuda itu hanya 
bisa mengelak tanpa mendapat kesempatan untuk 
membalas. Karena sebelum sempat melepaskan seran-
gan balasan, tongkat berkepala naga lawan selalu

mendahului, memotong geraknya. Sehingga, Panji ter-
paksa harus mengerahkan kelincahannya agar tidak 
sampai celaka di tangan lawan.
“Heeaaa...!”
Wuutt! Wuutt!
Tongkat Delapan Naga sendiri merasa penasaran 
bukan main. Meskipun berhasil membuat lawan terde-
sak, sampai sejauh itu senjatanya belum juga berhasil 
mengenai sasaran. Dan ini membuat serangannya se-
makin bertambah ganas!
“Haaaiiittt..! Heaa...!”
Sadar bahwa kalau dibiarkan lama-lama dirinya bi-
sa celaka, Pendekar Naga Putih memutuskan untuk 
mengerahkan jurus-jurus pamungkasnya. Tubuhnya 
melenting ke udara untuk kemudian meluncur turun 
dengan kecepatan kilat Sepasang tangannya berputa-
ran cepat membentuk gulungan sinar yang menyilau-
kan mata, hingga lawan sulit menduga serangan itu. 
Sebab sepasang tangan bahkan tubuh Panji sangat su-
lit untuk dilihat jelas.
“Hih...!”
Brretts!
“Ehh...!”
Tapi, Tongkat Delapan Naga memang nyata bukan 
tokoh sembarangan! Jurus ‘Naga Sakti Meluruk ke Da-
lam Bumi’ yang selama ini tak pernah gagal, dapat di-
halau dengan baik oleh sambaran tongkat kepala naga 
kakek itu. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan 
lagi. Meski serangan itu gagal, tubuh Tongkat Delapan 
Naga tak urung tergetar mundur sejauh satu tombak.
“Heeaattt..!”
Kesempatan baik itu tak dilewatkan begitu saja oleh 
Panji. Dengan cepat kedua tangannya bergerak mela-
kukan dorongan sambil mengerahkan ‘Tenaga Sakti In

ti Panas Bumi’ seluruhnya.
Brressh!
“Aakh...!”
Blukk!
Tongkat Delapan Naga yang sama sekali tak men-
duga serangan itu, terpekik ngeri. Pukulan dahsyat la-
wan menghantam telak tubuhnya. Tubuh lelaki tua itu 
pun terlempar ke belakang hingga menabrak dinding, 
dan terbanting ke tanah. Sekujur tubuhnya terbung-
kus sinar kuning keemasan yang. memancarkan hawa 
panas membakar.
Melihat hal itu, Pendekar Naga Putih menghela na-
pas lega. Kakinya baru melangkah setelah sinar kun-
ing keemasan yang membungkus tubuh lelaki tua itu 
lenyap, tanda bahwa tenaga mukjizat yang dilontarkan 
telah seluruhnya merasuk ke dalam tubuh lawan. Hati 
Panji yakin kalau kekuatan mukjizat yang ajaib itu 
akan dapat menyembuhkan kegilaan Tongkat Delapan 
Naga.
‘Pendekar Naga Putih...!”
“Kakang...!”
Dua sosok tubuh bergerak menghampiri Pendekar 
Naga Putih tengah memondong tubuh Tongkat Dela-
pan Naga. Mereka Ki Sela Panda dan Kenanga. Yang 
satu mengkhawatirkan adik seperguruannya, sedang 
yang satunya lagi mengkhawatirkan keselamatan ke-
kasih pujaan hatinya.
“Syukurlah kau tidak apa-apa, Kakang,..!” Kenanga 
menghela napas lega seraya: melingkarkan lengannya 
ke lengan Panji.
“Tidak perlu cemas, Ki. Ia cuma pingsan untuk be-
berapa saat saja. Dan setelah sadar nanti, mudah-
mudahan ia akan sembuh seperti sediakala...!” jelas 
Panji ketika melihat kecemasan membayang di wajah

Ki Sela Panda. Kemudian langsung menyerahkan tu-
buh Tongkat Delapan Naga kepada kakek itu. Tak lupa 
Panji menyerahkan beberapa butir pil berwarna putih 
salju yang berkhasiat untuk memulihkan tenaga da-
lam. Serta diberikan beberapa petunjuk cara pema-
kaian obat itu.
Tiba di luar bangunan, Pendekar Naga Putih melihat 
pertempuran telah selesai. Mayat-mayat bergelimpan-
gan saling tumpang tindih. Sedangkan para tokoh per-
silatan tengah sibuk mengurus kawan-kawannya yang 
terluka ataupun tewas. Panji juga melihat adanya be-
lasan orang tokoh sesat yang menyerah. Hatinya ka-
gum terhadap sikap para tokoh persilatan itu karena 
ternyata masih mau mengampuni lawan-lawan yang 
menyerah kalah. Bahkan tokoh-tokoh sesat yang ter-
tawan dibebaskan setelah berjanji akan mengubah ja-
lan hidup yang selama ini dipenuhi dosa itu.
“Kurasa sudah waktunya kami mohon diri, Ki....”
Pendekar Naga Putih menoleh kepada Ki Sela Pan-
da, mohon pamit setelah merasakan bahwa Tenaga 
Sakti Inti Panas Bumi’ telah merasuk kembali ke da-
lam tubuhnya. Tak seorang pun yang mengetahui, juga 
Kenanga! Karena memang hanya dirinya yang tahu ke-
pulangan tenaga mukjizat itu ke dalam tubuh. Dan itu 
pun berarti bahwa Tenaga Inti Panas Bumi telah dapat 
memusnahkan keracunan yang diderita tokoh ternama 
Perguruan Bukit Dewa itu.
Ki Sela Panda baru saja hendak mengucapkan rasa 
terima kasihnya kepada Pendekar Naga Putih, ketika 
dilihatnya sosok pemuda perkasa itu telah berkelebat 
pergi membawa Kenanga, kekasihnya.
Panji dan Kenanga sama sekali tak tahu betapa se-
pasang mata bening yang basah mengiringi kepergian 
mereka. Pemilik mata yang menggambarkan kekecewaan itu tak lain Dewi Kematian, yang datang terlam-
bat ke tempat itu. Saat ia datang, pertempuran sudah 
usai, dan ketika melihat sosok Pendekar Naga Putih 
berdiri di samping Ki Sela Panda serta dara jelita ber-
pakaian serba hijau, dirinya tak berani menghampiri. 
Karena melihat betapa dara jelita berpakaian serba hi-
jau itu memandang mesra dan manja kepada pemuda 
tampan berjubah putih yang diam-diam telah mena-
wan hatinya itu.
“Hhhh....”
Dewi Kematian menghela napas berat ketika bayan-
gan pasangan pendekar muda itu lenyap dari pandan-
gan. Kakinya melangkah gontai meninggalkan tempat 
itu. Dirinya tak lagi mempedulikan tokoh-tokoh persi-
latan yang saat itu masih sibuk menguburkan mayat-
mayat kawan maupun lawannya. Rasa kecewa melihat 
Pendekar Naga Putih ternyata telah mempunyai gadis 
pilihan yang cantik jelita bagaikan bidadari, membuat 
wajah Dewi Kematian menjadi semakin membeku. Bi-
birnya terkatup rapat, tak lagi mengulas senyum se-
perti ketika tengah melakukan perjalanan bersama 
Pendekar Naga Putih. Dan kini semua tinggal kenan-
gan manis yang tak mungkin dapat terulang lagi.




                               SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar