SANG PENGHANCUR
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Puji S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
Dalam episode
Sang Penghancur
128 hal; 12 x 18 cm
SATU
Matahari sudah semakin naik, saat dua sosok tu-
buh melangkah menyusuri jalanan lebar. Di kiri dan
kanan jalan, terbentang persawahan luas, dengan pa-
di-padi yang telah mulai menguning. Tampaknya se-
bentar lagi para petani akan segera menikmati panen.
Sesekali mereka melayangkan pandangan sambil terus
melangkah perlahan. Sapaan ramah para penduduk
yang kebetulan berpapasan, disambut ramah disertai
senyum manis menghias wajah.
“Hm.... Penduduk Desa Mandala Sari ini ramah-
ramah sekali, Kakang. Aku merasa senang sekali...,”
kata sosok ramping yang terbungkus pakaian berwar-
na hijau, perlahan.
Melihat dari penampilannya, jelas dia adalah seo-
rang wanita. Suaranya terdengar bening dan enak ter-
dengar telinga. Apalagi, juga dibarengi untaian senyum
manis. Sehingga wajah yang memang sangat cantik
itu, tampak semakin mempesona.
Sosok satu lagi yang tidak kalah menariknya dari
dara jelita itu tampak mengangguk seraya tersenyum.
Tubuhnya sedang, namun padat berisi. Bahkan seperti
menyimpan suatu kekuatan hebat. Wajahnya bersih
dan tampan. Bagian kepalanya diikat oleh kain ber-
warna putih. Demikian pula pakaian dan jubah yang
dikenakannya yang juga berwarna putih. Bagi kaum
rimba persilatan, sepasang anak muda itu memang
sudah sangat dikenal. Mereka tidak lain dari Kenanga
dan Pendekar Naga Putih. Sedangkan gadis yang ber-
nama Kenanga sendiri pernah menggetarkan dunia
persilatan dengan julukannya yang terkenal, Bidadari
Iblis.
Kini kedua pendekar muda itu tengah memasuki
Desa Mandala Sari. Desa kecil yang penduduknya ke-
banyakan adalah petani itu, tentu saja tidak mengena-
linya. Sehingga mereka merasa bebas bergerak.
“Hei! Mau lari ke mana kau, Keparat...!”
Panji dan Kenanga yang hendak membelokkan
langkahnya menuju sebuah kedai seketika merandek.
Mereka melihat seorang lelaki tinggi besar melebihi
ukuran manusia biasa, tampak melesat keluar dari
kedai. Di belakang orang itu, tampak pula seorang le-
laki yang tidak kalah menyeramkan. Dia muncul dari
ambang pintu kedai. Setelah menoleh ke kanan kiri, ia
lalu mengejar lelaki tinggi besar tadi.
Kening sepasang pendekar muda itu berkerut he-
ran. Mereka tidak bisa memutuskan untuk bertindak,
karena belum mengetahui persoalannya. Baik Panji
maupun Kenanga hanya bertukar pandangan sambil
mengangkat bahu.
Baru saja keduanya hendak melangkah masuk ke
dalam kedai, muncul seorang lelaki tinggi kurus. Laki-
laki berusia sekitar lima puluh tahun itu langsung
menghadang jalan Panji dan Kenanga.
“Tuan muda, tolong pisahkan mereka...! Jangan
sampai mereka saling bunuh sesama saudara sendiri.
Kasihan, Tuan Muda. Mereka bukanlah orang jahat...”
pinta lelaki tinggi kurus itu sambil menjatuhkan tu-
buhnya di depan kaki Panji. Suaranya terdengar terpu-
tus-putus dan napasnya memburu.
Pendekar Naga Putih cepat menangkap bahu lelaki
itu, dan mengangkatnya. Ia memang tidak suka meli-
hat sikap yang dianggapnya berlebihan.
“Mengapa kau tidak meminta tolong kepada orang-
orang di dalam kedai itu, Paman? Mengapa harus ke-
padaku?” tanya Panji, merasa agak curiga pada lelaki
tua itu.
“Ah! Jangan salah sangka, Tuan Muda. Aku sudah
meminta tolong kepada mereka, tapi tak seorang pun
yang berani melakukannya. Dan begitu melihat Tuan
Muda, aku yakin kalau Tuan Muda bersedia memisah-
kan mereka. Cepatlah, Tuan Muda. Aku khawatir ka-
lau mereka sudah berkelahi satu sama lain...,” jelas le-
laki itu.
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Kalau tadi
agak curiga, itu karena Panji memang selalu berhati-
hati dalam bertindak. Setelah mendengar penjelasan
lelaki setengah baya itu, Kenanga langsung diajaknya
mengejar kedua lelaki bertubuh tinggi besar tadi.
“Hah...?!” lelaki setengah baya itu terbelalak bagai-
kan melihat hantu di siang bolong.
Baru saja selesai bicara, tiba-tiba tubuh Panji le-
nyap dari pandangan. Itulah yang menyebabkan laki-
laki setengah baya itu terbelalak. Bahkan tubuhnya
menggigil.
“Mereka pasti bukan manusia...,” desis laki-laki itu
dengan suara gemetar.
Ucapan itu jelas menandakan kalau ia sama sekali
tidak mengerti ilmu silat. Sehingga, bayangan Panji
dan Kenanga yang tidak tertangkap mata tuanya, di-
anggap pandai menghilang seperti hantu.
Panji dan Kenanga sama sekali tidak peduli dengan
penilaian orang tua itu. Mereka terus melesat menggu-
nakan ilmu lari cepat. Bahkan penduduk yang kebetu-
lan ada di jalan-jalan, hanya merasakan adanya sam-
baran angin keras, saat kedua pendekar muda itu me-
lewati mereka.
“Hihhh.... Mungkinkah yang lewat barusan se-
tan...?” gumam seorang lelaki berusia sekitar enam pu-
luh tahun. Saat Panji dan Kenanga lewat, ia berdiri
agak di tengah jalan sambil memberi makan kudanya.
“Ke mana mereka pergi, Kakang...?” tanya Kenanga,
seraya mengerahkan kepandaiannya mengimbangi lari
Pendekar Naga Putih.
Dan tentu saja Panji tidak ingin kekasihnya kehabi-
san napas. Maka ilmu larinya tidak dikerahkan selu-
ruhnya, agar Kenanga lebih mudah menjajari langkah-
nya.
“Hm.... Aku tidak tahu pasti. Yang jelas, kulihat me-
reka saling berkejaran melewati batas desa ini...,” sa-
hut Panji, sambil tetap berlari dan mengedarkan pan-
dangan ke kiri dan kanan.
Hebatnya, meskipun sambil berlari cepat, pemuda
itu dapat melihat jelas keadaan sekitarnya. Tentu saja
hal itu tidak terlalu aneh bagi yang telah tahu keheba-
tan tenaga sakti yang dimiliki pemuda itu.
“Itu mereka, Kakang...!” seru Kenanga, seraya me-
nunjuk ke arah kanan Panji.
Pendekar Naga Putih mengangguk, meskipun sebe-
narnya telah tahu lebih dulu. Namun, Kenanga tidak
melihat anggukan Panji. Gadis itu hanya melihat keka-
sihnya berbelok menuju arah yang ditunjukannya.
“Hm.... Tampaknya mereka telah bertarung sengit.
Aneh! Apa yang menyebkan sesama saudara itu sam-
pai hendak saling bunuh...?” gumam Panji, setelah
memperlambat larinya.
Tidak lama kemudian, sepasang pendekar muda itu
pun tiba di dekat kedua lelaki bertubuh raksasa yang
sedang bertarung mati-matian.
“Tahan...!”
Begitu mendekat, Panji langsung melesat sambil
berseru nyaring. Tubuhnya tiga kali berjumpalitan di
udara, sebelum meluncur turun dengan kedua tangan
terkembang.
Plak! Plak!
“Uhhh...?!”
Terdengar benturan nyaring saat sepasang telapak
tangan Panji memapak kepalan kedua orang itu. Aki-
batnya, tubuh pemuda tampan berjubah putih itu
kembali melenting ke udara. Sedangkan kedua lelaki
tinggi besar itu terjajar beberapa langkah yang disertai
seruan kaget.
Kedua lelaki tinggi besar yang otot-ototnya meling-
kar bagaikan akar pohon itu menggeram marah. Kedu-
anya menatap sosok pemuda berjubah putih yang su-
dah meluncur turun itu dengan sinar mata berapi. Je-
las, mereka tidak senang melihat campur tangan pe-
muda itu.
“Hmm.... Siapa kau, Anak Muda?! Apa kau sudah
bosan hidup berani mencampuri urusan kami...?” ge-
ram salah seorang dari kedua lelaki itu.
Ia mengenakan selempang kulit harimau, seperti
yang biasa dikenakan seorang pemburu. Sepasang
tangannya tampak mengepal kuat, hingga memper-
dengarkan bunyi berkerotokan.
Ketika beralih kepada Kenanga, tampak laki-laki
tinggi besar yang wajahnya bercambang bauk itu men-
coba tersenyum. Sayang, senyum yang mungkin me-
rupakan senyum termanis yang pernah dimilikinya,
tak ubahnya sebuah seringai harimau lapar. Tentu sa-
ja bukan wajahnya tambah menarik, tapi malah sema-
kin mengerikan.
“Aneh. Tenaga mereka bukan hanya tenaga kasar
saja. Sepertinya kedua orang ini bukan tokoh semba-
rangan. Entah siapa sebenarnya mereka...?” bisik Panji
ketika Kenanga datang mendekati. Sedangkan sepa-
sang matanya tetap tidak lepas dari wajah kedua orang
bertubuh raksasa di depannya.
“Latungga! Persoalan kita belum selesai. Ayo cari
tempat lain untuk menyelesaikannya...!” kata lelaki
bertubuh raksasa kepada laki-laki yang juga bertubuh
tinggi besar dengan suara berat
Orang yang bernama Latungga itu wajahnya hanya
terhias cambang. Sedangkan laki-laki yang satu lagi
wajahnya dipenuhi brewok, sehingga tampak lebih
menyeramkan ketimbang Latungga.
“Hm.... Siapa yang takut kepadamu, Lagonta! Baik,
mari kita cari tempat lain...,” sahut laki-laki berselem-
pang kulit harimau yang bernama Latungga. Dia juga
menggeram marah mendengar tantangan itu. Kemu-
dian tubuhnya segera melesat cepat, mengikuti lang-
kah lawannya yang bernama Lagonta.
“Tunggu...!”
Kedua lelaki bertubuh raksasa yang bernama La-
tungga dan Lagonta itu sama-sama menahan langkah.
Mereka berbalik menatap ke arah pemuda berjubah
putih yang tengah menghampiri. Kembali mereka
menggeram jengkel, menatap sosok Pendekar Naga Pu-
tih. Rasanya tubuh pemuda itu akan ditelan bulat-
bulat, lewat tatapan mata.
***
“Maaf. Terpaksa urusan kalian kucampuri. Hal ini
karena permintaan seorang lelaki tinggi kurus di kedai
tempat kalian makan tadi. Menurutnya, kalian ada-
lah...”
Panji tidak sempat lagi melanjutkan ucapan, begitu
Latungga dan Lagonta telah menerkam dari kiri dan
kanan. Anehnya, gerakan mereka ternyata cukup cepat
Sehingga, Panji jadi kagum dibuatnya.
Wuuut! Wuuut!
“Hait..!”
Pendekar Naga Putih melenting ke udara, dan kem-
bali meluncur turun satu tombak dari kedua lawannya
yang hanya menangkap angin kosong.
Kegagalan itu membuat Latungga dan Lagonta se-
makin murka. Mereka kembali menggeram, dan siap
menerjang Panji.
“Nah! Kalau menghadapi aku, kalian bisa bersatu
bahu-membahu, mengapa harus bertempur hanya un-
tuk saling mencelakai diri sendiri? Apa sebenarnya
yang diperebutkan...?” tanya Panji tetap berusaha me-
nenangkan dan mendamaikan kedua lelaki bertubuh
raksasa, yang menurut keterangan lelaki tinggi kurus
di kedai tadi adalah saudara sekandung.
“Tidak perlu banyak mulut! Kau telah berani men-
campuri urusan kami! Untuk itu, terimalah ganjaran-
nya...!” geram Latungga.
Kali ini, laki-laki berselempang kulit harimau itu
siap menerjang menggunakan jurus-jurus dahsyat
“Heaaa...!”
Dibarengi bentakan parau, Latungga mengirimkan
pukulan lurus ke depan. Meskipun kelihatan agak ka-
ku, namun kecepatannya sempat membuat kening
Panji berkerut penuh keheranan.
“Hm...,” Panji yang menjadi penasaran, hanya ber-
gumam tak jelas.
Pemuda itu sama sekali tidak terlihat mengelak.
Malah ada kesan kalau sengaja ingin mengukur keku-
atan pukulan Latungga. Dan begitu pukulan lurus la-
wan datang, lengannya dikibaskan.
Dukkk!
“Hei...?!”
Panji berseru kaget ketika membentur lengan lawan
yang besar dan berbulu itu. Ternyata lengan lawan
sangat keras sekali, bagaikan sebatang besi! Maka,
Pendekar Naga Putih terpaksa menggeser mundur
langkahnya. Jelas sudah, Latungga atau mungkin juga
Lagonta, bukan hanya dua laki-laki bertubuh raksasa
yang bertenaga kasar. Tapi mereka memiliki kekuatan
tenaga dalam yang tidak bisa dipandang remeh.
Tentu saja hal itu cukup mengejutkan Panji. Me-
mang sulit diduga, siapa sebenarnya kedua orang lihai
itu.
“Mengapa, Kakang...?”
Kenanga yang terkejut ketika mendengar seruan
Panji, cepat menghampiri. Tampak Kenanga merasa
khawatir terhadap keselamatan kekasihnya.
Meskipun disadari kalau kesaktian Panji sangat su-
kar dicari tandingannya, namun ia tetap mengkhawa-
tirkannya.
“Tidak apa-apa, Kenanga. Aku tadi hanya mencoba,
sampai di mana kekuatan tenaga mereka. Tapi, hasil-
nya benar-benar mengejutkan. Rasanya, kekuatan
yang mereka miliki tidak kalah dengan kekuatan tena-
ga saktimu,” jelas Panji.
“Apakah kau tidak keliru, Kakang...?” Kenanga yang
terkejut dan setengah tak percaya, menatap Panji den-
gan mulut ternganga.
Memang sulit bagi Kenanga untuk percaya kalau
kedua orang bertubuh raksasa yang nampak kasar itu
memiliki kekuatan tenaga dalam yang sebanding den-
gan kekuatannya. Dan keterangan Panji belum bisa di-
terimanya. Bukannya tidak percaya, tapi ia menjadi
penasaran. Bahkan ingin mencobanya sendiri.
“Kenanga, jangan ceroboh...!” Panji mencoba men-
cegah niat kekasihnya yang merasa penasaran. Cepat
pergelangan tangan gadis jelita itu dicekalnya.
“Jangan khawatir, Kakang. Aku hanya ingin menco-
banya...,” bantah Kenanga sambil tersenyum dan sinar
mata menuntut agar diperbolehkan mencoba tenaga
kedua orang itu.
“Hati-hatilah...,” pesan Panji. Pendekar Naga Putih
terpaksa mengalah ketika sepasang mata bening itu
menatapnya.
Pendekar Naga Putih pun melepaskan cekalannya
dan melangkah mundur beberapa tindak. Dan pemuda
itu siap menolong apabila kekasihnya terancam.
“Hm.... Majulah kalian, manusia tidak tahu diun-
tung!” ejek Kenanga. Dan gadis itu sudah mengerah-
kan tenaga dalamnya, hingga menyebar ke kedua len-
gannya.
“Hmm...!”
Latungga yang tadi tampak tertarik dengan dara je-
lita itu, menjadi jengkel. Rupanya, ia tidak bisa mene-
rima ucapan yang mengandung makian bagi dirinya.
Maka sambil memperdengarkan suara menggeram,
mulai dilancarkannya sebuah serangan dahsyat
“Hm...,” Kenanga hanya bergumam melihat datang-
nya serangan lawan.
Dengan gerakan lincah, kedua kaki gadis itu me-
langkah ke kiri dan kanan, menghindari datangnya
pukulan yang menimbulkan angin menderu-deru. Na-
mun ketika gerakan lawan semakin bertambah cepat,
tangan kanannya cepat diangkat, memapak sebuah te-
basan yang mengancam perutnya.
Plakkk!
Terdengar benturan keras seperti ledakan kecil yang
membuat udara di sekitarnya bergetar. Sedangkan tu-
buh keduanya tampak tersurut mundur sejauh enam
langkah. Apa yang diperkirakan Pendekar Naga Putih
memang tidak meleset Tenaga Latungga ternyata seim-
bang dengan tenaga kekasihnya.
Setelah merasakan sendiri, barulah Kenanga percaya bahwa tenaga kedua raksasa itu jelas sangat
kuat. Bahkan sampai bisa menyamai tenaganya.
“Bagaimana? Apakah kau sudah percaya...?” bisik
Panji yang tiba-tiba sudah berada di samping Kenanga.
Dara jelita itu tersenyum pahit Meskipun begitu,
daya tariknya tetap tak sirna. Masih cantik dan ayu.
“Aku yakin mereka bukan berasal dari Desa Manda-
la Sari. Meskipun aku tidak bisa menduga, tapi jelas
mereka adalah pendatang di desa itu, seperti halnya
kita,” ujar Kenanga.
Gadis itu tidak yakin kalau Latungga dan Lagonta
adalah penduduk asli Desa Mandala Sari. Selain logat
bicara yang kaku dan kasar, raut wajah mereka juga
sangat jauh berbeda dibanding penduduk asli desa itu.
“Itu sudah jelas, Kenanga. Kalau tidak salah, mere-
ka lebih mirip penduduk asli wilayah Utara. Daerah
yang gersang dan keras itu rasanya lebih tepat bagi
mereka. Selain itu, nama mereka juga sangat asing ba-
gi telinga kita. Tapi, mengapa lelaki tinggi kurus itu ta-
hu kalau mereka saudara kandung?” desah Panji men-
gerutkan keningnya. Ia langsung teringat lelaki seten-
gah baya yang meminta pertolongannya agar memi-
sahkan Latungga dan Lagonta.
“Mungkin saja orang tua itu hanya menduga-duga
saja, Kakang. Sebab, selain wajah mereka hampir se-
rupa, tubuh mereka pun tidak berbeda. Jadi, tidak ter-
lalu sulit mengetahui kalau mereka itu saudara kan-
dung,” timpal Kenanga.
Gadis itu segera melepaskan pandangan ke arah La-
tungga dan Lagonta yang tengah melangkah dan siap
melanjutkan perkelahian. Bahkan kali ini bergerak ke
kiri dan kanan, seperti hendak menangkap Panji dan
Kenanga.
“Sabar dulu, Kisanak. Kalau boleh tahu, siapakah
kalian ini sebenarnya? Dan, apa yang membuat kalian
berkelahi?” tanya Pendekar Naga Putih, mencoba men-
getahui tentang dua lelaki bertubuh raksasa itu.
Tapi, Latungga dan Lagonta sama sekali tidak
mempedulikan pertanyaan Panji. Mereka terus berge-
rak dan siap menerjang.
“Yeaaah...!”
Latungga berteriak parau membuka serangannya.
Sepasang tangannya yang besar dan berbulu lebat itu
bergerak susul-menyusul, disertai deru angin berkesi-
utan. Sasaran serangannya adalah Kenanga.
“Hait..!”
Kenanga tidak sedikit pun gentar, meski telah men-
getahui kekuatan lawan tidak kalah dengan kekuatan-
nya sendiri. Disertai teriakan melengking, tubuh dara
jelita itu bergerak menyambut serangan lawan. Seben-
tar saja, keduanya telah terlibat perkelahian seru.
“Hmrrr...!”
Lagonta menggeram bagaikan macan lapar. Lelaki
bertubuh raksasa dengan wajah ditumbuhi brewok le-
bat itu sama sekali tidak mau peduli. Apalagi menden-
gar pertanyaan Panji. Padahal Pendekar Naga Putih
masih penasaran ingin mengetahui, apa yang menye-
babkan Latungga dan Lagonta berkelahi mati-matian.
Tapi karena pertanyaannya tak terjawab, akhirnya
Panji melayani serangan Lagonta.
Wuuut..!
Kepalan sebesar buah kelapa itu meluncur deras ke
arah Panji. Sedangkan Panji yang merasa penasaran
dan ingin memberikan pelajaran agar mata Lagonta
terbuka, segera mengangkat tangannya yang sudah
terlapisi kabut bersinar putih keperakan. Dan....
Desss...!
“Aaakh...?!”
Lagonta memekik kesakitan. Tubuhnya seketika itu
juga terpelanting ke tanah. Dan kenyataan itu mem-
buat Lagonta terbelalak tak percaya apa yang diala-
minya tadi. Ia kembali menggeram untuk mengusir
hawa dingin yang meresap melalui pergelangan tan-
gannya.
“Hmrrr...! Kulumat hancur tubuhmu...!” geram La-
gonta.
Kelihatan kalau laki-laki brewok itu semakin murka
akibat tangkisan Panji yang terasa menyesakkan da-
danya. Tapi rasa sesak itu hanya sekejap, untuk ke-
mudian lenyap tanpa bekas. Sehingga Lagonta belum
percaya kalau pemuda bertubuh sedang itu memiliki
kekuatan sampai demikian hebatnya. Ia menghibur di-
ri dengan menganggap kalau hal itu terjadi akibat ke-
cerobohannya.
Maka, kali ini Lagonta kelihatan agak hati-hati da-
lam membuka serangan. Jurus-jurus pilihannya pun
mulai dipersiapkan untuk menggempur Pendekar Naga
Putih.
***
DUA
“Haaat..!”
Lagonta kembali membuka serangan. Kali ini gera-
kannya jauh lebih cepat dan lebih kuat dari sebelum-
nya. Sehingga, hati Panji semakin penasaran dibuat-
nya.
Dan Pendekar Naga Putih pun mulai menunjukkan
kebolehannya. Tubuhnya yang telah terselimut lapisan
kabut bersinar putih keperakan, bergerak cepat laksa-
na sambaran kilat di angkasa.
“Hiaaah...!”
Pendekar Naga Putih menggeser tubuhnya ke samp-
ing, menghindari sebuah tendangan yang mengincar
lambung. Kemudian tangan kanannya bergerak cepat
melakukan tebasan miring, mengancam pelipis lawan.
Gerakan itu ternyata hanya tipuan saja. Begitu Lagon-
ta mencoba mengelak, tiba-tiba telapak tangan kirinya
menghajar dada lawan.
Desss...!
“Akh...!”
Lagonta kontan memekik kesakitan. Tubuh lelaki
bertubuh raksasa itu terhuyung limbung hingga satu
setengah tombak. Melihat tetesan darah di sudut bibir
Lagonta, jelas kalau hantaman telapak tangan Panji te-
lah mengguncangkan isi dadanya.
“Brrrh...!”
Lelaki tinggi besar dan berwajah brewok itu menggi-
gil kedinginan. Cepat kedua tangannya disilangkan di
depan dada. Kemudian, dia membentak seraya mengi-
baskan kedua lengannya ke kiri dan kanan untuk
mengusir pengaruh hawa dingin yang merasuki tulang
sumsumnya. Untung, Pendekar Naga Putih tidak ber-
niat membunuh lawannya. Padahal kalau mau, ra-
sanya tidak terlalu sulit. Terbukti dalam dua puluh ju-
rus saja, pukulannya telah berhasil bersarang di tubuh
lawan.
Lagonta yang menyadari kalau lawannya benar-
benar memiliki kepandaian tinggi, terlihat mulai gen-
tar. Sekilas matanya melirik ke arah pertarungan di
sebelahnya. Kembali hatinya merasa terkejut melihat
Latungga terdesak oleh sinar pedang gadis jelita yang
menjadi lawannya.
“Hm...,” gumam Panji perlahan ketika melihat Ke-
nanga telah menggunakan Pedang Sinar Rembulan.
Pendekar Naga Putih tahu, mengapa kekasihnya
menggunakan pedang. Memang, tubuh kedua orang
bertubuh raksasa itu memiliki kekebalan terhadap pu-
kulan. Kalau tadi lawannya bisa dibuat kesakitan, itu
karena tenaga saktinya memang jauh lebih tinggi.
Lain halnya Kenanga yang memiliki kekuatan seim-
bang dibanding lawannya. Tentu gadis jelita itu telah
mengetahui kekebalan tubuh Latungga. Terbukti, sen-
jatanya telah digunakan untuk menggempur lelaki itu.
Brettt!
“Akh...?!”
Tiba-tiba Latungga menjerit kesakitan. Tubuhnya
kontan terjajar limbung. Darah segar tampak memba-
sahi bagian iganya. Jelas, Latungga telah termakan ta-
jamnya senjata lawan.
Lagonta mendekati saudaranya. Mereka tampak sal-
ing bertukar pandang sejenak, lalu menganggukkan
kepala. Meski hanya melalui pertukaran pandangan
saja, keduanya tampak seperti telah bersepakat
“Yeaaa...!”
Tiba-tiba saja Latungga dan Lagonta memekik sam-
bil meluncur bersama-sama ke arah Panji. Terdengar
deru angin berkesiutan mengiringi datangnya serangan
kedua manusia tangguh itu.
Bwettt!
Panji menarik mundur tubuhnya saat cengkeraman
Latungga datang menyambar lambung kiri. Dan sebe-
lum sempat melontarkan serangan balasan, pukulan
Lagonta datang mengancam dada. Cepat tubuhnya di-
putar setengah lingkaran. Lalu kaki kanannya lang-
sung bergerak menyambar kepala Lagonta dengan ke-
cepatan kilat
Zebbb!
Melihat tendangan kilat yang mengancam kepala,
Lagonta memutar tubuhnya menggunakan tenaga
pinggang. Begitu tendangan lawan luput, kembali di-
lontarkannya serangan balasan yang menimbulkan de-
singan angin.
Demikian pula Latungga. Laki-laki tinggi besar den-
gan selempang kulit harimau itu ikut menerjang lewat
cengkeraman-cengkeraman mautnya yang sanggup
meremas hancur sebuah batu sebesar kepala kerbau.
Sebentar saja, ketiga tokoh sakti itu terlibat perke-
lahian yang lebih seru dan mendebarkan daripada per-
tarungan pertama tadi.
Kenanga nampak siap bergerak membantu, ketika
kedua raksasa itu mengeroyok kekasihnya. Tapi, niat
itu diurungkan begitu melihat Panji sama sekali tidak
mampu didesak kedua lawannya. Ia hanya berdiri me-
nonton perkelahian seru itu. Sepertinya, hatinya mera-
sa yakin kalau kekasihnya akan bisa menundukkan
lawan-lawannya.
Perkiraan Kenanga memang tidak meleset Meskipun
Lagonta dan Latungga mati-matian menggempur Pen-
dekar Naga Putih, tapi tetap saja tidak mampu mende-
saknya. Bahkan lama-kelamaan mereka sendiri yang
mulai terjebak oleh gelombang hawa dingin yang me-
mancar dari pukulan maupun tubuh pemuda itu.
“Bangsat..!” Lagonta memaki gusar ketika merasa-
kan gerakannya mulai terhambat dan kaku. Akibatnya
perhatiannya jadi terganggu. Serangannya pun terlihat
kacau, tidak lagi beraturan.
Ternyata bukan hanya Lagonta saja yang mengala-
mi hal menjengkelkan. Latungga pun merasakan hal
yang sama. Sambaran gelombang hawa dingin yang
menusuk tulang, membuat gempurannya mulai men-
gendur. Akibatnya, kedua manusia bertubuh raksasa
itu mulai terdesak oleh serangan lawan. Kenyataan itu
membuat mereka semakin penasaran.
“Hait..!”
Panji yang memang hendak melihat kekuatan tubuh
lawan dalam menghadapi pengaruh hawa dingin ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’nya, mulai melancarkan se-
rangan gencar. Pemuda itu berniat menawan kedua
lawannya hidup-hidup.
Itu sebabnya, Panji semenjak tadi hanya sesekali
membalas serangan lawan. Ketika pertempuran men-
ginjak jurus keempat puluh, ilmu silat lawan belum
juga dikenalinya. Sehingga pemuda sakti itu pun mulai
melakukan tekanan-tekanan berat
Lagonta dan Latungga kelabakan setengah mati ke-
tika Pendekar Naga Putih mulai melancarkan seran-
gan-serangan maut. Mereka sekarang hanya bisa ber-
gerak mundur, tanpa mampu melakukan serangan ba-
lasan. Kenyataan itu membuat mereka semakin sadar
akan kesaktian lawan.
Bukkk!
“Hukhhh...!”
Tubuh Latungga terpental satu tombak lebih begitu
tiba-tiba sebuah pukulan mendarat telak di dadanya.
Darah segar tampak menyembur membasahi tubuh-
nya. Kendati demikian, ia masih berusaha bangkit dan
mencoba mengusir hawa dingin yang meresap ke da-
lam tubuh.
Desss!
“Aaa...!”
Hantaman telapak tangan kiri Panji yang mengan-
dung ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ kembali mendarat
di dada kanan Lagonta. Tanpa ampun lagi, tubuh laki-
laki brewok itu terbanting keras sejauh hampir dua
tombak dari tempat semula.
“Ukhhh...”
Lagonta kontan terbatuk mengeluarkan darah segar
dari mulut. Untuk beberapa saat, dia hanya bisa ter-
duduk sambil mendekap dada kanannya yang terasa
sesak. Kemudian, tubuhnya baru bergerak bangkit
perlahan-lahan, setelah sesaknya agak berkurang.
Latungga segera melangkah mendekati saudaranya.
Mereka kini berdiri tegak menatap Panji yang juga ba-
las menatap. Kedua lelaki tinggi besar itu bergerak
mundur ketika melihat pemuda berjubah putih itu me-
langkah mendekat
“Hm.... Bagaimana? Apakah kalian masih ingin me-
lanjutkan perkelahian tanpa sebab ini?” tantang Panji.
Pendekar Naga Putih segera menghentikan langkah
ketika melihat lawan bergerak mundur. Jelas sekali
kalau Latungga dan Lagonta sudah jera terhadap Pen-
dekar Naga Putih.
Tapi mendadak, Lagonta dan Latungga melempar-
kan sebuah benda bulat ke arah Panji dan Kenanga
berdiri.
Darrr...!
Panji yang menyadari benda itu adalah sejenis sen-
jata peledak tersentak kaget Ia segera melontarkan tu-
buhnya sambil menarik lengan kekasihnya untuk me-
lompat jauh ke belakang. Sehingga, asap tebal yang
disertai gumpalan tanah itu tidak sampai mengotori
tubuh mereka.
Sejurus setelah ledakan terjadi, Panji dan Kenanga
bergerak menyebar ke kiri dan kanan. Mereka kemu-
dian melesat ke tempat yang tidak tertutup gumpalan
asap, untuk menangkap kedua manusia bertubuh rak-
sasa itu.
“Hm.... Sudah kuduga mereka akan melarikan diri
dengan cara licik...,” gumam Panji ketika tidak mene-
mukan Latungga dan Lagonta di tempat semula.
“Itu mereka, Kakang...!” seru Kenanga tiba-tiba,
sambil menudingkan telunjuknya ke arah hutan.
Tanpa membuang waktu lagi, Panji yang sempat
melihat bayangan kedua lawannya, langsung bergerak
mengejar.
Bagaikan bayangan hantu yang tengah bercanda,
kedua sosok pendekar muda itu bergerak cepat menu-
ju hutan. Sebentar saja, mereka telah tiba di tempat
Kenanga pertama kali melihat bayangan Latungga dan
Lagonta. Tapi begitu tiba, bayangan kedua orang ber-
tubuh raksasa itu kembali lenyap bagai ditelan bumi.
“Itu...!”
Tiba-tiba Panji yang tengah mencari-cari, melihat
dua sosok bayangan bergerak sekitar enam tombak da-
ri tempatnya berdiri. Cepat dikejarnya bayangan itu
dengan mengerahkan ilmu lari cepatnya.
“Kurang ajar...!” maki Kenanga penuh kegeraman.
Meskipun mereka telah berlari cukup jauh, ternyata
bayangan Lagonta dan Latungga tidak juga ditemukan.
Sehingga, dara jelita itu menjadi jengkel dibuatnya.
“Hm.... Kita jelajahi seluruh pelosok hutan ini. Aku
yakin, mereka pasti belum jauh...,” usul Panji yang
disambut anggukan kepala oleh Kenanga.
Kemudian mereka memulai pencarian. Tapi meski-
pun setiap pelosok hutan itu telah dijelajahi, sosok La-
gonta dan Latungga tetap tidak berhasil ditemukan.
Mereka terpaksa menginap di dalam hutan lebat itu,
karena hari sudah menjelang malam, saat pencarian
dihentikan.
“Hm.... Benar-benar aneh. Entah apa sebenarnya
maksud mereka? Mengapa mereka begitu cepat meng-
hilang? Padahal menurut perhitunganku, mereka akan
dapat kita ringkus. Aneh...?” gumam Panji sambil me-
rebahkan tubuhnya di atas rerumputan tebal dengan
kepala beralaskan buntalan pakaiannya.
Kenanga hanya menghela napas berat Jelas hatinya
sama penasarannya dengan Panji.
“Sebaiknya, besok kita cari mereka lagi, Kakang.
Siapa tahu masih bersembunyi di tempat yang tidak
diketahui di dalam hutan ini,” usul Kenanga, sebelum
memejamkan matanya.
Panji hanya bergumam pelan menjawab usul keka-
sihnya. Kemudian, matanya segera dipejamkan rapat-
rapat.
Malam baru saja berganti pagi, saat serombongan
orang bergerak memasuki Desa Mandala Sari. Melihat
langkah serta pakaiannya, jelas kalau rombongan itu
terdiri dari orang-orang persilatan yang tergabung da-
lam sebuah partai. Semua itu mudah diterka, karena
mereka rata-rata mengenakan warna pakaian serupa.
Bahkan pada bagian kiri dada terlihat sebuah lambang
kepala harimau yang disulam oleh benang putih. Siapa
lagi rombongan itu kalau bukan dari Perguruan Macan
Putih yang sudah terkenal.
Para penduduk Desa Mandala Sari yang menyaksi-
kan, jadi memandang heran. Apalagi, rombongan itu
terus saja bergerak tanpa ada tanda-tanda hendak
singgah. Tentu saja semua itu semakin menimbulkan
tanda tanya besar dalam benak mereka. Walaupun be-
gitu, tak seorang pun yang berani bertanya. Semua
pertanyaan itu dipendam dalam hati.
Tidak lama setelah rombongan itu lenyap dari pan-
dangan, datang rombongan lain yang jumlahnya lebih
sedikit. Dan melihat pakaian yang berbeda-beda, dapat
diduga kalau mereka bukanlah orang partai tertentu.
Dari langkah yang ringan, bisa diketahui kalau mereka
adalah kaum rimba persilatan. Tapi kelihatan sekali
bahwa mereka itu datang dan berkelompok dengan satu tujuan.
Para penduduk yang sejak tadi sudah masuk ke
rumah, kembali bermunculan. Rasa heran kembali
menyelimuti hati mereka. Semua itu terpancar jelas
dari pandangan maupun wajah mereka.
“Aneh. Mengapa hari ini banyak sekali orang gagah
melalui desa kita? Hendak ke mana tujuan mereka se-
benarnya...?”
Terdengar bisikan perlahan yang membicarakan
rombongan-rombongan kaum persilatan itu. Tapi
orang yang diajak bicara hanya menggelengkan kepala
dengan wajah bodoh. Sebab ia sendiri pun tidak tahu,
ke mana tujuan rombongan orang-orang gagah itu.
“Tanyakan sendiri kalau memang ingin tahu...,” sa-
lah seorang penduduk yang berwajah kehitaman, lang-
sung nyeletuk.
Rupanya ia sempat mendengar bisik-bisik kawan-
nya. Tapi orang yang bertanya tadi hanya mengangkat
bahu tanda menyerah. Sebentar saja, mereka kembali
terdiam tanpa kata.
Penduduk Desa Mandala Sari semakin merasa pe-
nasaran ketika masih banyak lagi rombongan orang
rimba persilatan yang melalui desa mereka. Rasa pe-
nasaran membuat beberapa orang pemuda mengikuti
rombongan terakhir, secara diam-diam. Bahkan ikut
dan membaurkan diri dalam rombongan itu.
Jauh di luar Desa Mandala Sari, para tokoh persila-
tan telah berkumpul memadati sebuah lapangan rum-
put luas. Di tengah lapangan telah berdiri sebuah
panggung yang cukup luas. Dan menurut kabar, pang-
gung itu akan digunakan untuk berlaga.
“Sahabat-sahabat sekalian...!”
Seorang lelaki gagah berusia sekitar lima puluh ta-
hun yang tampil ke atas panggung, membuka sua
ranya yang lantang. Sebentar saja, suasana yang se-
mula bagaikan pasar ayam, jadi senyap. Kini semua
mata tertuju ke atas panggung.
“Seperti yang telah disepakati para tokoh persilatan
di daerah Timur ini, kita berkumpul dengan satu tu-
juan mulia. Yaitu, mencari pemimpin kaum persilatan
golongan putih. Semua itu untuk menyatukan semua
tokoh atau partai yang ada di wilayah Timur ini. Untuk
itu, para tokoh yang telah mengajukan diri menjadi
pimpinan telah berkumpul dan siap mengadu kesak-
tian di atas panggung terbuka ini,” lelaki berusia se-
tengah baya itu menghentikan kata-katanya.
Saat itu, orang-orang yang berada di bawah pang-
gung bersorak riuh-rendah. Baru setelah laki-laki itu
mengangkat kedua tangannya dan meminta perhatian,
suasana jadi hening kembali.
“Saudara-saudara sekalian...,” lanjut lelaki setengah
baya itu, setelah terdiam beberapa saat “Sampai saat
ini, telah tercatat enam calon yang telah mendaftarkan
diri untuk memperebutkan jabatan itu. Mereka ini
akan dipertemukan, setelah ditentukan melalui un-
dian. Kemudian, ketiga orang pemenang pada babak
pertama, kembali akan diundi untuk menentukan sia-
pa-siapa yang akan bertarung. Karena pada babak ke-
dua nanti akan terjadi tiga orang pemenang, maka su-
dah tentu , akan ada seorang peserta yang beruntung
tidak menjalani pertarungan pada babak kedua. Ia
akan bertarung pada babak ketiga, melawan pemenang
babak kedua. Demikianlah ketentuan pertandingan
ini, yang telah disetujui peserta-peserta yang bersang-
kutan.”
Usai mengumumkan peraturan pertandingan, lelaki
gagah itu pun melangkah turun dari atas panggung.
Sebentar kemudian, suasana pun hening seketika.
Rupa-rupanya, para penonton yang berada di bawah
panggung merasa sedikit tegang menantikan muncul-
nya dua orang peserta di babak pertama itu.
“Hait...!”
Tiba-tiba para penonton dikejutkan satu bentakan
halus yang disusul melesatnya sesosok bayangan me-
rah ke atas panggung. Sebelum mendaratkan kedua
kakinya di lantai panggung, bayangan itu berputar le-
bih dulu sebanyak empat kali di udara. Gerakannya
demikian indah dan mengagumkan, sehingga para pe-
nonton langsung menyambutnya dengan tempik sorak
gegap-gempita.
Lelaki gagah berpakaian serba merah yang berusia
sekitar lima puluh tahun itu tersenyum lebar. Tubuh-
nya membungkuk ke empat penjuru sambil mengang-
gukkan kepalanya. Kemudian, kakinya melangkah ke
sudut kanan panggung, menanti calon lawannya.
Rupanya sosok bayangan merah itu tidak perlu me-
nunggu terlalu lama. Dari barisan penonton di sebelah
kanan panggung, terdengar tempik sorak riuh-rendah,
mengiringi langkah seorang lelaki gemuk terbungkus
pakaian serba putih. Dia terus melangkah ke arah
panggung tanpa terburu-buru.
“Hidup Cakar Macan Putih...!” Tiba-tiba terdengar
teriakan seorang penonton dari tempat lelaki gemuk
itu muncul yang mengelu-elukan jagoannya. Kemu-
dian, teriakan tadi disambut teriakan kawan-
kawannya. Sehingga suasana jadi semakin ribut
Lelaki gagah berjuluk Cakar Macan Putih itu berge-
rak melesat ke atas panggung. Gerakannya terlihat
mantap dan ringan, pertanda ilmu meringankan tu-
buhnya tidak rendah. Meskipun gerakannya terlihat
sederhana, namun saat tubuhnya meluncur turun ke
lantai panggung, kembali terdengar tepuk tangan yang
gegap-gempita. Kebisingan baru reda saat lelaki gagah
itu mengangkat kedua tangannya ke atas.
Sebelum berhadapan dengan lawannya, lelaki ber-
pakaian serba putih itu memutar tubuhnya ke empat
penjuru sambil membungkukkan tubuh. Kemudian,
tubuhnya berbalik memandang ke arah lelaki setengah
baya berpakaian serba merah yang menanti sejak tadi
di sudut kanan panggung. Mereka berdiri berhadapan,
siap bertarung.
***
TIGA
“Cakar Macan Putih, silakan...,” ujar lelaki setengah
baya berpakaian serba merah sembari tersenyum le-
bar.
Ketika berdiri berhadapan, perbedaan warna pa-
kaian mereka tampak menyolok sekali. Sehingga sua-
sana di atas panggung terlihat semarak, membuat te-
puk tangan orang-orang di bawah panggung semakin
keras menyambut kedua tokoh yang telah terkenal itu.
“Harap kau sudi memberi pelajaran kepadaku, Pen-
dekar Tapak Bara...,” sahut Cakar Macan Putih.
Cakar Macan Putih menarik kaki kanannya ke
samping, kemudian meliukkan tubuhnya dengan
menggunakan tenaga pinggang. Gerakannya persis se-
perti harimau yang menggeliat bermalas-malasan. Se-
pasang tangannya yang telah membentuk cakar hari-
mau, bergerak ke depan hingga menimbulkan samba-
ran angin keras.
“Hm.... Jangan terlalu merendah, Adi. Jurus ‘Cakar
Macan’mu telah dikenal tokoh-tokoh daerah Timur ini.
Harap jangan terlalu sungkan...,” timpal lelaki yang
berjuluk Pendekar Tapak Bara kembali tersenyum le-
bar.
Lawan Pendekar Tapak Bara memang lebih muda
sekitar lima tahun dibanding dirinya. Sehingga diberi-
kannya kesempatan kepada Cakar Macan Putih untuk
memulai serangan.
“Bersiaplah, Pendekar Tapak Bara...! Haaat..!” seru
Cakar Macan Putih, nyaring seraya memulai serangan.
Kedua kaki Cakar Macan Putih yang kokoh itu me-
lakukan langkah-langkah panjang dan kadang bersi-
langan. Sepasang cakarnya berputaran, menyambar-
nyambar disertai hembusan angin keras. Jelas, lelaki
berpakaian serba putih itu langsung menggunakan il-
mu andalannya untuk menundukkan lawan.
Pendekar Tapak Bara bergumam perlahan. Tubuh-
nya segera bergerak ke samping, saat sambaran cakar
lawan datang bertubi-tubi. Kemudian, tubuhnya lang-
sung berputar mengirimkan sebuah tendangan kilat
yang menderu mengancam batang leher lawan.
Plak!
Masing-masing terjajar mundur sejauh empat lang-
kah. Dalam pertemuan tenaga yang pertama, tampak
tenaga dalam mereka seimbang. Pertarungan pun
kembali berlanjut lebih seru.
Cakar Macan Putih dengan gerakan laksana seekor
harimau jantan, terus mendesak lawan dengan samba-
ran-sambaran cakarnya yang sanggup meremas han-
cur sebuah batu besar. Sepasang cakarnya bergerak
silih berganti, disertai lengkingan yang merobek udara.
Melihat betapa gencarnya serangan yang dilakukan, je-
las kalau Cakar Macan Putih ingin segera menyelesai-
kan pertarungan babak pertama itu.
Sama halnya seperti Cakar Macan Putih, Pendekar
Tapak Bara terkenal karena ilmu tangan kosongnya.
Tentu saja pertempuran dua tokoh persilatan yang
sama-sama mengandalkan ilmu tangan kosong itu
sangat seru.
Pendekar Tapak Bara sendiri terlihat agak berhati-
hati dalam menghadapi lawan. Dia tampak lebih ba-
nyak menghindar ketimbang melakukan serangan ba-
lasan. Sepertinya, ingin dilihatnya, sampai di mana
kekuatan lawan yang gencar mendesaknya itu. Meski-
pun demikian, sepasang mata lelaki tua itu menyorot
tajam, mencari peluang untuk dapat melontarkan pu-
kulan secara tepat
“Hiaaah...!”
Ketika pertempuran memasuki jurus kedua puluh,
tiba-tiba Pendekar Tapak Bara membentak nyaring
hingga mengejutkan lawannya. Berbarengan dengan
itu, telapak tangan kanannya bergerak cepat menuju
dada lawan yang terbuka. Sementara pada saat itu,
Cakar Macan Putih melakukan serangan dengan ke-
dua tangan ke arah kepala lawan.
Desss...!
Tanpa ampun lagi, pukulan telapak tangan Pende-
kar Tapak Bara telak menghajar dada kiri lawannya.
Namun dengan gerakan kokoh, Cakar Macan Putih
menghentakkan kaki kanannya ke lantai panggung
untuk menahan daya dorong yang ditimbulkan han-
taman telapak tangan lawan. Tampak wajah lelaki ge-
muk itu agak menyeringai sambil mengusap-usap da-
danya yang terasa agak panas, hingga membuat ke-
rongkongannya seperti kering.
“Hmhhh....”
Cakar Macan Putih menggeram keras, menggetar-
kan lantai panggung. Kemudian, disertai sebuah leng-
kingan panjang laksana raung harimau luka, lawannya
kembali diterjang.
Tapi kali ini Pendekar Tapak Bara mulai memperli-
hatkan kehebatan ilmu ‘Tapak Bara’nya yang terkenal.
Asap tipis tampak mengepul ketika telapak tangannya
digosok-gosokkan, hingga sebentar kemudian berubah
menjadi merah seperti bara api.
Jelaslah sekarang, mengapa lelaki setengah baya itu
sampai mendapat julukan Pendekar Tapak Bara. Ru-
pa-rupanya, semua itu karena ilmu tangan kosong
yang dimilikinya.
“Heaaat..!”
Sepasang telapak tangan lelaki berpakaian merah
itu menyambar-nyambar diiringi hawa panas, yang
membuat tubuh lawan menjadi bersimbah peluh sete-
lah bertarung selama lima belas jurus lebih. Bahkan
wajah Cakar Macan Putih terlihat agak kemerahan,
seperti terbakar hawa panas yang menebar lewat sam-
baran telapak tangan lawan. Tentu saja hawa panas
itu membuat gerakannya menjadi kacau tak beratu-
ran, dan perhatiannya tidak bisa lagi terpusatkan.
Itulah salah satu keistimewaan ilmu ‘Tapak Bara’
yang dimiliki lawan. Akibatnya, setelah bertarung
kembali selama sepuluh jurus lebih, Cakar Macan Pu-
tih tidak sempat lagi mengelakkan sebuah tamparan
pada bahu kanannya.
Desss...!
“Aaakh...!”
Cakar Macan Putih memekik kesakitan. Tubuhnya
terpelanting dan jatuh ke bawah panggung. Pada ba-
gian bahu yang terkena tamparan tangan lawannya
tampak terbakar, hingga kulitnya melepuh kehitaman.
Bahkan pada sudut bibirnya terlihat ada aliran darah
segar. Jelas, tamparan tadi membuat Cakar Macan Pu-
tih mengalami luka dalam.
Jatuhnya tubuh Cakar Macan Putih ke bawah
panggung, disambut tempik sorak yang berkepanjan-
gan. Hal itu berarti kemenangan buat Pendekar Tapak
Bara. Lelaki setengah baya itu kembali memperli-
hatkan senyum lebarnya, kemudian melangkah turun
menghampiri Cakar Macan Putih yang telah dipapah
kawan-kawannya.
“Terimalah obat ini, Adi. Kalau tidak, luka pukulan
itu akan membusuk dalam beberapa hari. Maafkan ke-
teledoranku...,” ucap Pendekar Tapak Bara sambil me-
nyodorkan obat bubuk.
Cakar Macan Putih langsung menerimanya tanpa
ragu-ragu lagi. Sepertinya, lelaki gemuk itu pun telah
mengetahui akan akibat pukulan telapak tangan la-
wannya.
“Terima kasih, Kakang. Apa yang kau lakukan tadi
memang sudah lumrah dalam pertandingan. Aku pun
sama sekali tidak sakit hati,” sahut Cakar Macan Putih
sambil tersenyum lebar. Pendekar Tapak Bara kemu-
dian pamit untuk kembali ke tempat duduknya.
***
Sosok Pendekar Tapak Bara dan Cakar Macan Putih
tidak lagi jadi perhatian. Sebab, saat itu di atas pang-
gung telah berdiri berhadapan dua peserta lainnya.
Kedua lelaki gagah itu pun saling menunjukkan kebo-
lehan untuk mencari kemenangan.
Pertarungan yang tidak kalah serunya dengan per-
tarungan pertama membuat para penonton sama seka-
li tidak bersuara. Semua mata tertuju ke arah pang-
gung, tanpa berkedip sedikit pun. Memang dua orang
yang tengah berlaga itu, jauh lebih ganas daripada
Pendekar Tapak Bara atau Cakar Macan Putih. Se-
hingga para penonton pun menjadi tegang menyaksikannya.
“Haaat...!”
Lelaki tinggi besar itu membentak keras, disertai
uluran tangan yang membentuk cakar naga. Untung
lawannya yang bertubuh tinggi sedang itu cukup gesit.
Ia bisa mengelakkan cengkeraman pada kedua ba-
hunya itu dengan menarik tubuhnya ke belakang.
Bahkan, masih sempat pula melepaskan sebuah ten-
dangan yang mengancam perut lawannya.
Desss...!
“Akh...!?”
Aneh! Tubuh lelaki tinggi besar itu tak bergeming
dari tempatnya. Malah sebaliknya, lelaki tinggi sedang
itulah yang memekik kesakitan. Ia merasakan ujung
sepatunya seperti bertemu dengan benda kenyal yang
membuat tenaga tendangannya berbalik. Tentu saja
kenyataan itu membuatnya agak terkejut.
“Ha ha ha...!”
Lelaki tinggi besar itu tertawa bergelak. Kemudian,
dilayangkannya sebuah tendangan ke arah lawan yang
saat itu masih belum hilang keheranan dan kepenasa-
rannya.
Bukkk!
Telapak kaki yang besar dan berat itu telak meng-
hajar dada kanan lawannya. Akibatnya, tubuh tinggi
sedang itu terpental ke bawah panggung, dan jatuh
berdebuk keras. Darah segar menyembur ketika ia ter-
batuk. Jelas tendangan keras itu telah mengguncang-
kan bagian dalam dadanya.
“Hidup Pendekar Naga Besi...!”
Terdengar pekik para pendukung lelaki tinggi besar
yang berjuluk Pendekar Naga Besi itu. Kemudian, lela-
ki tinggi besar yang nampak kokoh bagai batu karang
itu, melangkah turun dari atas panggung, setelah
memberi hormat keempat penjuru.
Pendekar Tapak Bara mengerutkan keningnya da-
lam-dalam. Tampak kalau ia memperhitungkan keha-
diran Pendekar Naga Besi, yang memiliki kekebalan
tubuh mengagumkan hatinya itu. Pendekar Tapak Ba-
ra kembali menatap ke arah panggung.
Saat itu dua peserta terakhir sudah saling terjang
dengan hebatnya.
***
“Hm....”
Pendekar Tapak Bara bergumam perlahan ketika
melihat jalan pertarungan yang kurang menarik. Lelaki
setengah baya itu melihat kalau pertandingan yang
tengah berlangsung di atas panggung itu berat sebe-
lah. Sehingga, ia menilai bahwa pertarungan itu tidak
akan berlangsung lama.
Penilaian Pendekar Tapak Bara tidak meleset jauh.
Seorang lelaki tinggi kurus yang bertarung dengan le-
laki gemuk berwajah brewok, tampak sudah semakin
mendekati kemenangan.
Hanya orang-orang yang memiliki tingkat rendah
sajalah yang belum mengerti, kenapa lelaki gemuk itu
dapat didesak habis-habisan oleh seorang lelaki tinggi
kurus berwajah pucat seperti orang penyakitan.
Orang-orang yang tidak begitu tinggi ilmu silatnya,
terutama tenaga dalamnya, memang sulit untuk mela-
kukan penilaian. Meskipun bentuk lahiriahnya tampak
jauh berbeda, tapi lelaki tinggi kurus berwajah pucat
itu adalah seorang ahli ilmu tenaga dalam. Pukulan
dan tendangannya selalu disertai desingan angin ta-
jam. Sehingga lelaki gemuk berwajah brewok yang bi-
asanya kebal terhadap pukulan itu, terpaksa dibuat ja-
tuh-bangun oleh lawannya.
Desss...!
Untuk kesekian kalinya sebuah kepalan lelaki tinggi
kurus itu mendarat telak di perut lawan. Akibatnya le-
laki berwajah brewok itu terhuyung limbung. Belum
lagi sempat memperbaiki kuda-kudanya, sebuah ten-
dangan keras membuat tubuhnya terjengkang disertai
cairan darah yang menyembur dari mulutnya.
Meskipun tendangan dan pukulan lawan telah
mendatangkan luka yang cukup parah, namun lelaki
berwajah brewok itu masih berusaha untuk berdiri te-
gak. Tapi sebelum kedua kakinya sempat membentuk
kuda-kuda, serangan lawan kembali meluncur men-
gancam tubuhnya.
“Hait..!”
Desss...!
Kali ini lelaki berwajah brewok itu tidak mungkin
dapat bangkit lagi. Hantaman telapak tangan lawan
yang mengandung kekuatan hebat itu, langsung mem-
buat tubuhnya melambung dan jatuh ke bawah pang-
gung.
“Hidup Telapak Tangan Dewa...!”
Seketika, belasan orang penonton pendukung lelaki
tinggi kurus berwajah pucat itu langsung mengelu-
elukan jagoannya.
Lelaki yang dijuluki Telapak Tangan Dewa itu ke-
mudian beranjak turun dari atas panggung, setelah
menghormat keempat penjuru. Ia tidak merasa cemas
akan nasib lawannya, karena pukulan yang dilaku-
kannya tidak mengakibatkan kematian. Itu sebabnya,
ia sama sekali tidak peduli ketika melihat tubuh lelaki
brewok yang ternyata hanya pingsan itu, telah digotong
oleh kawan-kawannya.
Suasana pun kembali riuh seperti dalam pasar.
Masing-masing penonton saling membicarakan perta-
rungan-pertarungan selanjutnya, yang menurut mere
ka jelas akan lebih seru dan mendebarkan. Suara-
suara seperti dengung lebah marah itu baru berhenti
saat seorang lelaki gagah telah berdiri di atas pang-
gung.
“Sahabat-sahabat sekalian, harap tenang...!”
Lelaki gagah itu mengerahkan tenaga melalui sua-
ranya. Sebentar saja, perhatian para penonton pun
kembali beralih ke atas panggung.
“Kita semua tahu, dalam babak pertama tadi, Pen-
dekar Tapak Bara, Pendekar Naga Besi, dan Telapak
Tangan Dewa adalah pemenang-pemenangnya. Seba-
gaimana telah disebutkan tadi, dalam babak kedua ini
yang akan tampil adalah Pendekar Tapak Bara mela-
wan Pendekar Naga Besi. Sedangkan Telapak Tangan
Dewa mendapatkan keberuntungan tidak turun dalam
pertarungan babak kedua ini. Ia baru akan bertarung
pada babak ketiga nanti melawan pemenang babak
kedua,” jelas lelaki gagah itu lagi. Usai menyampaikan
peraturan pertandingan, ia pun melangkah turun di-
iringi tepuk tangan yang riuh.
Suasana bising kembali sunyi saat kedua tokoh
yang akan bertarung telah saling berhadapan. Para
penonton semakin bertambah tegang, ketika Pendekar
Tapak Bara dan Pendekar Naga Besi sudah mulai ber-
gerak saling mendekati.
“Sambutlah seranganku, Naga Besi...!” Pendekar
Tapak Bara berseru memperingatkan lawannya seraya
bergerak maju dengan gerakan cepat. Sepasang tan-
gannya berputaran menimbulkan deruan angin keras.
Bettt..!
Pendekar Naga Besi menggeser langkah ke samping
menghindari tusukan jari-jari tangan lawan yang me-
nimbulkan suara desingan tajam itu. Kemudian lang-
sung memutar tubuh setengah lingkaran, sambil melepaskan tendangan yang mengancam pelipis lawannya.
Plak!
Tubuh kedua tokoh sakti itu sama-sama terjajar
mundur tiga langkah. Pendekar Tapak Bara yang men-
gangkat tangan kanannya memapaki tendangan lawan,
agak terkejut ketika merasakan lengannya tergetar
akibat benturan yang cukup keras itu. Tapi tokoh ber-
pakaian merah darah itu tidak sempat lagi berpikir le-
bih jauh. Sebab, saat itu Pendekar Naga Besi telah me-
lesat maju dengan serangan-serangan gencarnya.
“Hait..!”
Pendekar Tapak Bara langsung memutar kedua
tangannya sambil menggeser langkah ke kiri dan ka-
nan. Sepasang telapak tangannya bergerak menyam-
bar-nyambar, menimbulkan sambaran angin yang
menderu-deru. Keduanya kembali saling terjang den-
gan mengandalkan jurus-jurus pilihan. Sehingga per-
tarungan semakin bertambah seru dan menegangkan.
Lawan Pendekar Tapak Bara kali ini, tidaklah dapat
disamakan dengan lawan sebelumnya. Pendekar Naga
Besi yang dihadapinya benar-benar tangguh dan sukar
ditundukkan. Kenyataan itu membuat Pendekar Tapak
Bara harus bekerja keras untuk mengimbangi lawan-
nya.
“Hiaaah...!”
Pendekar Naga Besi membentak nyaring sambil
mengangkat tangannya memapak sebuah hantaman
telapak tangan lawan yang mengancam pelipis kirinya.
Plak!
“Uhhh...?!”
Untuk kesekian kalinya, kembali terdengar suara
nyaring saat kedua lengan yang berisi kekuatan hebat
itu berbenturan. Tapi kali ini Pendekar Tapak Bara ha-
rus menerima kenyataan pahit. Pertemuan tenaga itu
membuatnya hampir terpelanting jatuh. Sedangkan
lawannya hanya terjajar mundur sejauh lima langkah.
Jelas sudah kalau tenaga sakti Pendekar Naga Besi
lebih baik setingkat dari lawannya. Tentu saja kenya-
taan itu membuat Pendekar Tapak Bara semakin pe-
nasaran. Ia mencoba menghibur diri dengan alasan
bahwa kedudukannya saat itu memang tidak me-
mungkinkan. Maka serangan-serangannya pun sema-
kin dipergencar.
Lelaki tinggi besar yang dikenal sebagai Pendekar
Naga Besi itu memang tangguh sekali. Meskipun dalam
hal kecepatan, masih kalah dengaan lawannya, namun
dapat ditutupinya dengan kekebalan tubuhnya yang
memang sangat hebat itu. Sehingga Pendekar Tapak
Bara agak kewalahan menghadapinya.
Bukkk!
Ketika pertarungan menginjak pada jurus keempat
puluh, sebuah hantaman telapak tangan Pendekar Ta-
pak Bara, sempat singgah di dada kiri lawannya. Aki-
batnya, tubuh lelaki tinggi besar itu terjajar mundur
sejauh delapan langkah. Tentu saja hal ini membuat
lawannya penasaran.
“Gila! Bagaimana mungkin ia bisa memiliki ilmu ke-
kebalan tubuh sehebat itu...? Padahal biasanya tak
seorang pun yang sanggup menahan pukulan ilmu
‘Tapak Bara’ku...,” desis Pendekar Tapak Bara dengan
mata membelalak setelah hantaman telapak tangannya
ternyata seperti tidak dirasakan oleh lawannya.
“He he he...! Pukulanmu memang hebat sekali, Pen-
dekar Tapak Bara. Tapi sayang, hawa panas tenagamu
belum sanggup menembus kekebalan kulit tubuh-
ku...,” ujar Pendekar Naga Besi.
Lelaki tinggi besar itu memang memiliki sejenis ilmu
kebal yang dinamakan ‘Baju Kulit Naga’. Ilmu yang
termasuk langka itu telah dilatih dan diyakininya den-
gan sempurna. Sehingga tokoh bertubuh tinggi besar
itu sukar dilukai. Jangankan pukulan tangan kosong,
senjata tajam pun belum tentu sanggup menembus
kekebalan ilmu ‘Baju Kulit Naga’nya.
“Hm.... Jangan sombong dulu, Pendekar Naga Besi.
Kalau kau bisa melemparku ke bawah panggung, ba-
rulah kau boleh sesumbar,” sambut Pendekar Tapak
Bara sedikit jengkel mendengar ucapan lawannya.
“Yaiiit..!”
Dengan sebuah bentakan keras, Pendekar Tapak
Bara menyilangkan sepasang lengannya di atas kepala.
Terdengar suara napasnya yang mirip dengusan ker-
bau liar. Beberapa saat kemudian, sepasang lengan to-
koh sakti itu telah berubah merah, hingga ke siku.
Tampak Pendekar Tapak Bara telah mengerahkan se-
luruh kekuatan ilmu andalannya untuk bisa menem-
bus kekebalan tubuh lawan.
“Hm...,” Pendekar Naga Besi bergumam perlahan
menyaksikan perbuatan lawannya.
Tokoh tinggi besar itu bergerak menggeser langkah-
nya ke kanan, sambil memutar sepasang lengannya
yang menimbulkan deru angin tajam. Keduanya saling
berdiri berhadapan, siap untuk saling terjang kembali.
***
EMPAT
“Haaat..!”
Pendekar Tapak Bara kembali bergerak maju diser-
tai sambaran sepasang tangannya yang menimbulkan
angin berdesingan. Bahkan setiap kali telapak tangan
nya menyambar, selalu didahului hawa panas me-
nyengat. Tentu saja serangan-serangan maut itu mem-
buat para penonton semakin bertambah tegang me-
nyaksikannya.
Namun, dengan penuh ketenangan dan rasa per-
caya diri yang tinggi, Pendekar Naga Besi bergerak
mengimbangi permainan lawannya. Kakinya yang pan-
jang dan kokoh, bergerak melakukan geseran-geseran
yang menimbulkan suara berdecitan. Sepertinya tokoh
tinggi besar itu memang sengaja menggesekkan tela-
pak kakinya ke lantai panggung, guna membuyarkan
pemusatan pikiran lawan. Sesekali ia melepaskan
cengkeraman dan tendangan, membalas serangan la-
wannya.
Pertarungan terlihat masih berimbang. Keduanya
berusaha keras untuk saling menjatuhkan lawannya.
Pertarungan kedua tokoh sakti itu semakin cepat ber-
jalan. Jurus-jurus andalan telah digunakan untuk
memperoleh kemenangan.
Sayangnya, sampai saat ini tak satu orang pun yang
bisa menebak siapa yang akan menjadi pemenang. Se-
bab kedua tokoh itu memang sama-sama gesit dan
tangguh. Sehingga sangat sulit untuk menentukan
siapa yang akan menjadi pemenang pada pertarungan
babak kedua itu.
“Hmh...!”
Pendekar Naga Besi rupanya agak jengkel juga me-
lihat kekuatan lawannya. Ketika memasuki jurus yang
keenam puluh tujuh, lelaki tinggi kekar itu melompat
ke belakang. Kemudian melipat sepasang tangannya
yang saling membelit. Tubuhnya meliuk-liuk ke kiri
dan kanan dengan posisi lengan yang masih berbeli-
tan.
“Hm.... Sambutlah jurus ‘Dewa Naga Bercengkerama’, Pendekar Tapak Bara...!” desis Pendekar Naga Be-
si yang kembali menggeser langkahnya dengan suara
berdecitan akibat bergesekan dengan lantai panggung.
Sepasang tangannya terkadang mengembang ke kiri
dan kanan, menyambar-nyambar menimbulkan deru
angin tajam.
Whuuut..!
Pendekar Tapak Bara terkejut bukan main ketika
merasa terkepung dari dua arah ia pun semakin me-
nyadari kehebatan serangan lawannya. Apalagi sepa-
sang tangan lawannya bergerak bagaikan seekor ular
hidup yang bekerjasama untuk mencelakakannya. Le-
laki gagah itu cepat memutar sepasang tangannya dan
balas menyerang dengan sambaran-sambaran jurus
‘Tapak Bara’nya.
Whusss...!
Sambaran cakar yang dilontarkan Pendekar Naga
Besi mengenai tempat kosong, karena lawannya lebih
dahulu bergerak ke samping sambil mengirimkan han-
taman telapak tangannya. Luncuran telapak tangan itu
diiringi serbuan hawa panas menyengat
Plakkk!
“Akh...?!”
Para penonton memekik kaget ketika Pendekar Naga
Besi mengangkat tangan kanannya memapaki hanta-
man telapak tangan yang memerah seperti bara api itu.
Para penonton kembali menarik napas dengan wa-
jah agak lega ketika melihat tubuh kedua tokoh itu
hanya terhuyung beberapa langkah ke belakang.
Pendekar Tapak Bara benar-benar penasaran bukan
main ketika melihat lawannya sama sekali tidak cidera.
Bahkan lengan kanannya terasa ngilu akibat perte-
muan tenaga yang amat kuat itu. Jelas, tenaga dalam
lawan masih berada di atasnya.
“Heaaah...!”
Pendekar Naga Besi yang hanya terjajar empat
langkah, kembali membentak keras. Cakar tangan ka-
nannya bergerak menyambar dengan kecepatan men-
gejutkan. Tentu saja serangan kilat itu membuat Pen-
dekar Tapak Bara yang masih terhuyung mundur men-
jadi sangat terkejut. Akibatnya....
Desss!
“Aaakh...?!”
Lelaki gagah berpakaian serba merah itu memekik
kesakitan saat jari-jari tangan lawan yang keras, me-
robek dada kirinya. Tanpa ampun lagi, tubuh Pendekar
Tapak Bara terlempar deras disertai semburan darah
segar dari mulutnya. Kemudian, tubuh lelaki gagah itu
terbanting jatuh ke bawah panggung!
Para pendukung Pendekar Tapak Bara segera berge-
rak memburu. Mereka sangat terkejut melihat kulit
dan daging bagian dada jagoan mereka, terobek dalam
bagaikan terkena cakar seekor beruang besar. Darah
segar tampak meleleh membasahi pakaiannya.
Tanpa banyak cakap lagi, mereka langsung menggo-
tong tubuh pendekar yang separuh pingsan itu dan
bergerak meninggalkan arena. Sepertinya mereka kehi-
langan hasrat untuk mengetahui siapa yang bakal
menjadi pemenang dalam babak ketiga nanti.
Pendekar Naga Besi berdiri gagah di atas panggung.
Ia hanya tersenyum tipis melihat rombongan Pergu-
ruan Tapak Maut bergerak meninggalkan tempat itu.
Setelah rombongan berpakaian serba merah itu lenyap,
Pendekar Naga Besi melangkah ke sudut panggung un-
tuk menanti lawan berikutnya.
Tidak lama kemudian, seorang lelaki tinggi kurus
bergerak naik ke atas panggung. Dengan gerakan in-
dah, tubuh lelaki itu bergerak berputar beberapa kali
sebelum kedua kakinya menyentuh lantai panggung.
Dia adalah Telapak Tangan Dewa yang menjadi lawan
terakhir bagi Pendekar Naga Besi.
“Kepandaianmu benar-benar hebat, Pendekar Naga
Besi. Terutama sekali ilmu ‘Baju Kulit Naga’ yang telah
kau yakini secara sempurna itu. Kuharap kau tidak
memberikan pelajaran terlalu keras kepadaku...,” puji
Telapak Tangan Dewa, tanpa bermaksud mengejek
ataupun merendahkan.
Memang, apa yang dikatakan Telapak Tangan Dewa
merupakan suatu bukti yang telah disaksikan dengan
mata kepalanya sendiri. Usai berkata demikian, lelaki
tinggi kurus berwajah pucat itu melangkah ke samping
beberapa langkah, dengan sorot mata tajam.
“Jangan terlalu merendah, Telapak Tangan Dewa,”
timpal Pendekar Naga Besi. “Ilmu ‘Telapak Tangan De-
wa’mu telah lama kudengar. Mudah-mudahan kulit
tubuhku bisa menahan kerasnya pukulan mautmu
yang terkenal itu. Marilah kita mulai...!”
Tepuk tangan penonton menyambut kedua tokoh
sakti yang telah berhadapan dalam jarak satu tombak
itu. Ketegangan para penonton kian memuncak, kare-
na pada pertarungan babak ketiga inilah yang paling
menentukan. Siapa yang menjadi pemenangnya, dialah
yang terpilih menjadi pimpinan tokoh persilatan golon-
gan putih di wilayah Timur.
Suasana pun mereda saat kedua tokoh itu sudah
bergerak mempersiapkan serangannya masing-masing.
***
“Haaat..!”
Pendekar Naga Besi yang sangat bernafsu untuk
memperoleh kemenangan, segera saja melesat ke de-
pan. Tokoh tinggi besar itu rupanya tidak sabar meli
hat lawannya yang hanya berputar-putar tanpa terlihat
tanda-tanda akan menyerang. Sehingga ia pun segera
memulainya.
Pertarungan pun kembali berlangsung. Bahkan kali
ini lebih seru dan menegangkan daripada pertandingan
sebelumnya. Keduanya terlihat mengerahkan seluruh
kemampuannya untuk keluar sebagai pemenang. Wa-
jar saja, sebab pertarungan terakhir ini merupakan
babak penentuan yang sangat menegangkan. Baik bagi
mereka yang tengah bertarung, ataupun para penon-
ton yang semakin terkesima melihat penampilan kedua
tokoh sakti itu.
Sekali ini, Pendekar Naga Besi benar-benar menge-
rahkan seluruh kemampuannya. Meskipun begitu, to-
koh bertubuh tinggi besar yang nampak kokoh itu, je-
las masih kalah setingkat dalam hal kecepatan dengan
lawannya. Terlihat beberapa pukulan lawan mengenai
bagian tubuhnya. Untunglah lelaki tinggi besar itu
memiliki ilmu kebal yang tangguh. Kalau tidak, pasti
Pendekar Naga Besi telah tergeletak di lantai pang-
gung.
“Yeaaat...!”
Untuk kesekian kalinya, Telapak Tangan Dewa
kembali melontarkan telapak tangan ke tubuh lawan.
Kali ini ia mengerahkan tenaga yang langsung dipu-
satkan sepenuhnya pada telapak tangan kanan.
Desss!
“Higggh...!”
Hebat sekali hantaman telapak tangan lelaki tinggi
kurus bermuka pucat itu. Pendekar Naga Besi yang bi-
asanya kokoh itu, sampai terlempar sejauh satu tom-
bak.
Namun, tepuk tangan kembali menggema saat tu-
buh lelaki tinggi besar itu berputar sebanyak tiga kali
di udara, dan mendaratkan kedua kakinya di bibir
panggung. Terlihat tokoh itu mengangkat kedua tan-
gannya ke atas disertai hembusan napas berat yang
bersambungan.
“Gila...! Telapak Tangan Dewa benar-benar hebat
sekali. Hampir saja kekebalan tubuhku dapat ditem-
bus oleh pukulannya...!” desis Pendekar Naga Besi, se-
telah berhasil menghilangkan sedikit rasa sesak di da-
lam dadanya. Terlihat wajah gagah dan seram itu sedi-
kit pucat. Pukulan lawannya kali ini benar-benar hebat
dan hampir tidak bisa ditahan dengan ilmu ‘Baju Kulit
Naga’nya.
“Heaaat..!”
Pendekar Naga Besi tidak sempat berpikir panjang
lagi. Saat itu lawan telah kembali menyusun serangan-
serangan mautnya. Sehingga, ia kembali harus berha-
dapan dan mengerahkan kemampuannya untuk me-
lindungi diri dari gempuran lawan.
Pertarungan berlanjut lagi. Pendekar Naga Besi kali
ini terlihat bergerak lamban. Namun, setiap Hentakan
pukulannya selalu diiringi hembusan angin menderu.
Tampak lelaki tinggi besar itu hendak menggunakan
kekuatannya menghadapi gempuran lawan yang se-
makin bertambah cepat itu.
Ketika pertarungan telah menginjak pada jurus
yang keseratus lima, Telapak Tangan Dewa kembali
memanfaatkan pertahanan lawan yang terbuka. Ia
langsung melontarkan hantaman telapak tangannya
sekuat tenaga.
Tapi Pendekar Naga Besi rupanya memang sengaja
memancing pukulan lawan untuk masuk. Terbukti to-
koh tinggi besar itu langsung memapaki pukulan la-
wan pada saat yang sama.
Bukkk!
Desss!
Beberapa penonton sampai tersentak kaget melihat
kejadian yang mengejutkan itu. Dalam waktu yang
bersamaan, kedua tokoh sakti itu saling menyarang-
kan pukulannya ke tubuh lawan.
“Uhhh...!”
Tubuh Telapak Tangan Dewa terlempar deras ke be-
lakang. Hantaman kepalan lawan pada dada kirinya,
membuat tokoh sakti itu mengalami luka dalam yang
parah. Hal itu terlihat dari tetesan darah segar yang
tak henti mengalir dari sudut bibirnya. Lelaki tinggi
kurus itu langsung duduk bersila guna menenangkan
guncangan dalam dadanya akibat pukulan keras la-
wan.
Sedangkan Pendekar Naga Besi yang mengandalkan
ilmu ‘Baju Kulit Naga’nya, hanya terdorong sejauh satu
tombak. Pukulan lawan yang menghantam dada kiri
atasnya, tidaklah separah pukulan keras yang pertama
kali dirasakannya. Bahkan tokoh tinggi besar itu su-
dah dapat mengatasi sedikit rasa nyeri pada bagian
yang terpukul telapak tangan lawan. Jelaslah sudah
kalau Pendekar Naga Besi keluar sebagai pemenang
dalam memperebutkan pimpinan golongan putih di wi-
layah Timur itu.
Sesaat kemudian, seorang lelaki gagah yang bertu-
gas sebagai penilai, bergerak naik ke atas panggung.
Sedangkan Pendekar Naga Besi melangkah dan berdiri
di samping kanan lelaki gagah itu.
“Saudara-saudara sekalian. Dengan keluarnya Pen-
dekar Naga Besi sebagai pemenang, maka sudah tentu
beliaulah yang akan memimpin seluruh partai persila-
tan golongan putih di daerah Timur ini. Sedangkan,
Telapak Tangan Dewa terpilih sebagai wakilnya. Untuk
itu, marilah kita sambut pemimpin-pemimpin besar ki
ta yang akan melindungi seluruh partai dan golongan
putih di daerah Timur ini,” ujar lelaki gagah itu seraya
bertepuk tangan. Dan ajakannya itu disambut teria-
kan-teriakan ribut para tokoh persilatan dan penonton
yang menyaksikan pertandingan jujur ini.
“Hidup Pendekar Naga Besi...!”
“Hidup pemimpin besar kita...!”
Teriakan-teriakan yang riuh itu membuat Pendekar
Naga Besi membungkukkan tubuhnya sambil terse-
nyum lebar. Kemudian tokoh itu mengangkat lengan
Telapak Tangan Dewa yang sudah berdiri di sebelah-
nya.
Tanpa ada yang menyadari, tidak jauh dari arena
pertandingan tampak sosok tubuh tengah berdiri
memperhatikan. Lalu....
“Ha ha ha...!”
Tiba-tiba suara teriakan-teriakan dan tepuk tangan
semua orang yang riuh rendah itu tertekan oleh gema
tawa yang bagaikan datang mengelilingi tempat itu.
Suara tawa yang mengandung kekuatan maha dah-
syat itu membuat belasan orang tokoh berkepandaian
lumayan kontan bergulingan sambil menutup lubang
telinga. Bahkan beberapa orang yang memiliki tenaga
dalam rendah, langsung tergeletak tewas dengan lele-
han darah dari lubang hidung, mulut, dan kedua telin-
ga. Tentu saja suasana gembira itu berubah menjadi
lengking kematian yang susul-menyusul.
Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa yang
berada di atas panggung juga menjadi terkejut bukan
kepalang. Suara tawa yang bergema panjang di setiap
penjuru itu membuat mereka memejamkan mata.
Langsung mereka mengerahkan tenaga sakti untuk
melawan pengaruh suara yang luar biasa itu. Tubuh
kedua tokoh sakti itu sampai bergetar, dengan butir
butir keringat membasahi wajah dan tubuh.
“Heaaa...!”
Bagaikan telah sepakat, tiba-tiba Pendekar Naga
Besi dan Telapak Tangan Dewa mengeluarkan pekik
melengking untuk melawan pengaruh tawa mengeri-
kan yang menyerang.
Hembusan angin bertiup keras diiringi derak pepo-
honan kontan tercipta akibat pengaruh dua lengkingan
yang saling tindih-menindih. Tentu saja yang paling
tersiksa adalah mereka yang memiliki tenaga dalam
rendah. Pengaruh dua suara yang saling tindih-
menindih itu, membuat belasan tokoh persilatan ber-
kepandaian rendah terjatuh dengan isi dada pecah.
Tidak lama kemudian, tawa yang menggetarkan se-
kitar daerah itu pun lenyap seketika. Maka Pendekar
Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa ikut menghenti-
kan lengkingan panjangnya. Keduanya tampak menga-
tur napas yang memburu, karena harus mengerahkan
tenaga sepenuhnya untuk melawan pengaruh tawa
yang benar-benar dahsyat tadi.
“Hai, Manusia Pengecut! Siapakah kau? Kalau me-
mang ingin mengacau di tempat ini, tunjukkan rupa-
mu! Kalau tidak, kembalilah pulang ke pangkuan ibu-
mu! Kami tidak punya banyak waktu untuk mengurusi
manusia pengecut yang beraninya hanya bersem-
bunyi!”
Pendekar Naga Besi yang merasa bertanggung ja-
wab atas kematian kawan-kawannya segera saja mem-
buka suara, menantang si empunya suara yang belum
menampakkan batang hidungnya.
Pendekar Naga Besi dan para tokoh lain yang masih
selamat, tidak perlu menunggu lama. Buktinya dari
sebelah kanan panggung dalam jarak lima tombak le-
bih, tampak empat lelaki yang rata-rata bertubuh tinggi tengah melangkah menghampiri. Seorang yang pal-
ing depan tampak mengenakan pakaian dari benang
emas murni. Sehingga tubuhnya tampak berkilauan
saat tertimpa sinar matahari. Sehingga membuat orang
sukar mengenali wajah orang itu.
Di sebelah kiri sosok berpakaian emas itu berjalan
seorang lelaki tua bertubuh tinggi kurus. Sedangkan di
belakang mereka terlihat dua lelaki bertubuh raksasa
mengiringi.
Sementara para tokoh golongan putih terus menanti
kedatangan empat orang aneh itu dengan hati tegang.
***
LIMA
“Hm.... Pertandingan ini tidak sah sebelum aku
menguji pemenangnya. Untuk itu, dua orang peme-
nang yang ingin menjabat sebagai ketua dan wakilnya,
harus berhadapan denganku...,” kata lelaki tinggi te-
gap berpakaian kuning emas, dengan nada sangat
sombong. Sedangkan tiga orang yang mengiringinya
mengangguk, seperti membenarkan.
Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan Dewa
mengerutkan kening tak senang. Mereka menatap ta-
jam lelaki berpakaian kurung emas dan berwajah ga-
gah yang berusia sekitar tiga puluh tahun. Bibirnya
terlihat selalu menyunggingkan senyum mengejek dan
memandang rendah orang lain. Sepasang matanya
tampak menyorot tajam, menyiratkan kekuatan yang
sukar diukur. Meskipun demikian, Pendekar Naga Besi
dan Telapak Tangan Dewa sama sekali tidak gentar.
Sejenak kedua tokoh sakti itu saling bertukar pan-
dang, seolah ingin meminta pendapat
“Hm.... Siapakah kau, Kisanak? Menilik dari logat-
mu, jelas kau bukan orang wilayah Timur. Dari mana
asalmu, dan apa tujuanmu membuat keributan di
tempat ini...?” tegur Pendekar Naga Besi dengan suara
tegas mengandung perbawa kuat. Sepasang matanya
menyorot tajam menyiratkan kejengkelan hatinya.
“Hei, Pendekar Naga Besi! Bersikaplah sedikit sopan
terhadap ketua kami!” dengus lelaki tinggi kurus beru-
sia setengah baya dengan lagak sombong. “Ketahuilah!
Ketua kami dijuluki sebagai Sang Penghancur. Menge-
nai asal kami, silakan terka sendiri. Karena aku yakin
kau pasti bisa mengenali logat bicara kami....”
Ucapan bernada sombong itu membuat beberapa
orang tokoh menjadi marah. Tanpa dapat dicegah Pen-
dekar Naga Besi, dua orang tokoh yang paling dekat
langsung saja melompat sambil melontarkan pukulan
ke arah tubuh lelaki kurus itu.
Beeet! Beeet!
Dua buah pukulan yang datangnya dari samping,
sama sekali tidak membuat lelaki setengah baya itu
terkejut. Kaki kanannya segera melangkah ke samping
sambil memiringkan tubuh sedikit. Kemudian kaki ka-
nan itu kembali bergerak, melepaskan sebuah tendan-
gan kilat mengejutkan!
Desss! Desss!
Tanpa ampun lagi, tubuh kedua tokoh persilatan itu
terjengkang. Maka keadaan pun menjadi semakin ka-
cau ketika dua tokoh itu ternyata langsung pingsan,
hanya dengan sekali gebrak! Padahal tingkat kepan-
daian mereka tidaklah terlalu rendah. Tentu saja keja-
dian itu membuat yang lain bergerak mundur sambil
mencabut senjata masing-masing.
“Tahan...!” Pendekar Naga Besi langsung berteriak
mencegah.
Tubuh Pendekar Naga Besi kemudian melayang tu-
run dari atas panggung, dan berdiri menghadapi rom-
bongan kecil yang datang langsung mengacau itu. Se-
rentak para tokoh persilatan yang marah itu bergerak
mundur ke belakang Pendekar Naga Besi.
“Kisanak sekalian! Apa sebenarnya yang diinginkan
dari kami?! Bukankah di antara kita tidak ada perseli-
sihan? Mengapa datang-datang langsung membunuh
belasan orang kawan kami?! Apa sebenarnya maksud
kalian...?” tegur Pendekar Naga Besi.
Pendekar itu diam-diam telah mengerahkan tenaga
saktinya untuk melindungi tubuh kalau sewaktu-
waktu diserang secara mendadak.
“Hm.... Yang diinginkan ketua kami adalah jabatan
pimpinan di daerah Timur ini. Bahkan bukan hanya
daerah Timur saja, tapi seluruh negeri ini harus bera-
da di bawah kepemimpinan ketua kami. Kalau kalian
tidak senang, silakan berhadapan dengan ketua kami,”
sahut lelaki tinggi kurus berusia setengah baya itu
kembali. Sepertinya, dia memang bertindak sebagai ju-
ru bicara dari lelaki tinggi tegap berpakaian kuning
emas itu.
“Keparat! Rupanya kedatangan kalian memang sen-
gaja mencari keributan...!” bentak Pendekar Naga Besi
yang memang tidak bisa menahan kemarahannya lagi.
Langsung saja tubuhnya bergerak mundur, me-
nyiapkan serangan.
Sebelum Pendekar Naga Besi bergerak, tiba-tiba me-
layang dua sosok tubuh yang langsung mendarat di ki-
ri dan kanannya. Mereka tak lain adalah Telapak Tan-
gan Dewa dan Cakar Macan Putih.
Pendekar Naga Besi mengisyaratkan kepada kedua
rekannya untuk mundur. Sepertinya, tanggung jawab-
nya hendak diperlihatkan di hadapan para tokoh persi-
latan yang telah mengangkatnya sebagai pimpinan se-
mua golongan putih di daerah Timur ini.
“Ketua tidak perlu turun tangan untuk menghadapi
pengacau-pengacau rendah ini. Sebaiknya Ketua me-
nyaksikan saja, bagaimana kami menghajar orang-
orang sombong itu...,” bantah Pendekar Cakar Macan
Putih, dengan nada hormat
Lelaki gemuk berpakaian serba putih itu sudah
menganggap Pendekar Naga Besi sebagai pemimpin
yang harus dihormati. Bahkan Pendekar Naga Besi su-
dah dipanggil dengan sebutan ketua.
“Benar apa yang dikatakan Cakar Macan Putih, Ke-
tua...,” timpal Telapak Tangan Dewa.
Lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu pun me-
manggil Pendekar Naga Besi dengan sebutan ketua.
Sikapnya juga sudah seperti bawahan terhadap pimpi-
nannya. Maka, Pendekar Naga Besi terpaksa menga-
lah, lalu melangkah mundur. Dibiarkannya saja kedua
orang rekannya untuk membereskan pengacau-
pengacau itu.
“Hm....”
Lelaki tegap yang tinggi tubuhnya hampir menyamai
kedua orang pengawalnya, melangkah maju dengan si-
kap angkuh. Kedua lengannya dikibaskan sebagai per-
tanda agar ketiga orang pengikutnya menjauh. Sambil
melangkah, jubah panjangnya yang berwarna kuning
keemasan dilepaskan begitu saja. Kemudian jubahnya
disambut lelaki tinggi kurus yang bertindak sebagai
pelayannya.
“Hm.... Mengapa kau tidak maju sekalian, Pendekar
Naga Besi? Apakah kau takut dipermalukan di depan
pengikut-pengikut barumu?” ejek lelaki tinggi tegap
yang disebut sebagai Sang Penghancur itu. Nadanya
sangat menghina, sehingga wajah Pendekar Naga Besi
menjadi merah karenanya.
“Hm.... Jangan mengumbar kesombongan, Sang
Penghancur. Kalau memang sanggup menghadapi ka-
mi berdua, bersiaplah. Jangan banyak bicara lagi...!”
geram Cakar Macan Putih yang sudah tidak sabar un-
tuk segera memberi pelajaran kepada lelaki tinggi te-
gap berpakaian kuning keemasan itu.
“Kalau begitu, mengapa kalian tidak segera ma-
ju...?” tantang Sang Penghancur seraya melipat kedua
tangan dengan lagak jumawa. Tentu saja sikap yang
nyata-nyata memandang rendah itu membuat Cakar
Macan Putih menjadi geram bukan main.
“Jaga seranganku...!”
Tanpa membuang-buang waktu lagi, Cakar Macan
Putih menyerang dengan pukulan lurus disertai penge-
rahan tenaga dalam sepenuhnya. Sepertinya, lawan in-
gin dirobohkannya dengan sekali pukul saja.
Bukkk!
“Akh...?!”
Terjadilah hal yang membuat para tokoh persilatan,
termasuk Pendekar Naga Besi dan Telapak Tangan
Dewa, menjadi terkejut dengan wajah berubah. Puku-
lan yang telak menghantam dada Sang Penghancur
malah membuat Cakar Macan Putih berteriak kesaki-
tan. Bahkan lelaki bertubuh gemuk itu terjungkal de-
ras ke belakang. Tangan kanannya yang digunakan
untuk memukul tampak bengkak, berwarna kemera-
han seperti tersengat lidah api. Tentu saja kejadian itu
menimbulkan kegemparan di kalangan tokoh aliran
putih yang berkumpul di tempat ini.
“Ilmu iblis...!” desis Telapak Tangan Dewa yang tahu
kekuatan pukulan rekannya. Tanpa sadar, tokoh bertubuh tinggi kurus itu bergerak mundur dengan wajah
tegang.
Pendekar Naga Besi sendiri yang juga memiliki ilmu
‘Baju Kulit Naga’ merasa terkejut melihat akibat yang
diderita rekannya. Meskipun tubuhnya sendiri sang-
gup menahan pukulan Cakar Macan Putih, namun ti-
dak bisa membuat lengan yang memukul akan mem-
bengkak seperti itu. Kecuali, apabila tenaga lawan jauh
di bawahnya. Apalagi sampai membuat lengan lawan
sampai terbakar. Kecemasan pun membayang pada
wajah yang gagah dan keras itu. Tentu saja, hatinya
merasa terkejut melihat kesaktian tokoh muda yang
berjuluk Sang Penghancur itu.
“Hm.... Hanya itukah kesaktian orang-orang yang
ingin menjadi pimpinan kaum persilatan...?” ejek Sang
Penghancur disertai senyum sinis yang menyakitkan.
“Bangsat! Jangan sesumbar dulu, Sang Penghan-
cur! Kalau benar-benar memiliki kekebalan, tahanlah
pedangku ini...!”
Tiba-tiba seorang lelaki brewok bertubuh kekar me-
lesat maju dengan tebasan pedangnya. Kepandaiannya
pun tidak bisa dipandang rendah. Ia adalah salah seo-
rang calon pemimpin yang dikalahkan Telapak Tangan
Dewa pada babak kedua pertandingan perebutan pim-
pinan persilatan. Tidak heran kalau sambaran pe-
dangnya sangat berbahaya.
Klang...!
Lagi-lagi para tokoh persilatan golongan putih terbe-
lalak takjub! Tebasan pedang lelaki brewok yang san-
gat kuat itu ternyata sama sekali tidak dielakkan la-
wan. Malah tubuh lelaki brewok itu sendirilah yang
terjengkang ke belakang. Meskipun langsung dapat
bangkit, namun jelas sekali kalau ia menderita rasa
sakit yang hebat pada tulang lengannya.
“Hm.... Sambutlah seranganku...!”
Pendekar Naga Besi yang sudah tidak bisa menahan
rasa marahnya, segera saja melesat maju. Langsung
dikirimkannya pukulan, yang menimbulkan deru an-
gin tajam.
Bersamaan dengan itu, Telapak Tangan Dewa ikut
menyertai. Rupanya setelah melihat kehebatan tokoh
berjuluk Sang Penghancur itu, ia tidak ragu lagi men-
geroyok.
“Hm.... Begitu baru benar...,” gumam Sang Peng-
hancur sambil melebarkan senyum mengejek.
Kali ini Sang Penghancur menggeser langkahnya ke
samping, sehingga serangan kedua tokoh sakti itu
hanya mengenai angin kosong. Hal itu dilakukan bu-
kan karena takut, tapi karena ingin menunjukkan ke-
hebatannya di depan tokoh-tokoh persilatan yang me-
nyaksikan pertarungan. Maka, mulai dibalasnya se-
rangan para pengeroyoknya.
“Hiahhh!”
Bettt! Bettt!
Sang Penghancur melontarkan hantaman kedua te-
lapak tangan ke kiri dan kanan. Kemudian dilan-
jutkannya dengan tendangan kilat yang berputar keti-
ka kedua lawannya menghindari hantaman telapak
tangannya.
Plak! Plak!
“Uaaah...?!”
“Haiii...?!”
Baik Pendekar Naga Besi maupun Telapak Tangan
Dewa terlempar ke belakang, dan hampir terjatuh aki-
bat menangkis tendangan lawan. Bahkan Pendekar
Naga Besi merasa kaget, merasakan getaran pada len-
gannya yang digunakan untuk menangkis tendangan
lawan tadi.
“Gila...! Bagaimana mungkin ia bisa memiliki tenaga
dalam sedemikian kuatnya? Siapakah sebenarnya to-
koh yang berjuluk Sang Penghancur itu...?” gumam
Pendekar Naga Besi.
Pendekar Naga Besi benar-benar merasa kaget ka-
rena kekebalannya dapat ditembus oleh tendangan la-
wan. Padahal, itu hanya melalui tangkisan saja. Entah
apa jadinya bila tendangan tokoh tinggi tegap yang
hampir menyamai tinggi tubuhnya itu sampai menge-
nai sasaran. Bergetar hati lelaki tinggi besar itu mem-
bayangkannya.
“Hm.... Apakah kalian sudah merasa takluk kepa-
daku...?” ejek Sang Penghancur sambil melipat kedua
tangannya di depan dada.
Benar-benar sombong tokoh berpakaian kuning
emas itu. Aliran darah Pendekar Naga Besi dan Tela-
pak Tangan Dewa menggelegak naik ke kepala, hingga
wajah mereka menjadi kemerahan.
“Bedebah sombong...!” umpat Telapak Tangan De-
wa.
Segera Telapak Tangan Dewa menggeser langkah-
nya ke sebelah kiri. Sedangkan Pendekar Naga Besi
bergerak ke sebelah kanan. Tampak mereka hendak
menerjang lawan dari dua arah.
***
“Haaat..!”
Diiring pekik melengking tinggi, tubuh Pendekar
Naga Besi melayang menerjang lawan. Dari udara, se-
pasang cakarnya menyambar susul-menyusul. Dari si-
ni bisa diketahui kalau jurus ‘Dewa Naga Bercengke-
rama’ tengah dikeluarkannya. Dan ini adalah merupakan ilmu pamungkasnya. Tentu saja kehebatan seran-
gannya tidak bisa dianggap ringan.
Demikian pula halnya Telapak Tangan Dewa. Tokoh
bertubuh tinggi kurus berwajah kepucatan itu sudah
pula mengeluarkan ilmu pamungkas dari jurus ‘Tela-
pak Dewa’nya.
Bettt! Bettt!
Dada Telapak Tangan Dewa tampak remuk akibat
gedoran dahsyat Sang Penghancur.
Lain halnya dengan Pendekar Naga Besi. Tokoh
yang memiliki ilmu kekebalan tubuh tangguh itu tidak
sampai tewas oleh pukulan keras lawan. Meskipun be-
gitu, bukan berarti tidak mengalami luka dalam. Dari
lelehan darah segar di sudut bibirnya, tampak Pende-
kar Naga Besi cukup menderita akibat hantaman keras
pada tubuhnya.
“Hm.... Kau benar-benar mengagumkan, Pendekar
Naga Besi. Rupanya pukulanku belum mampu mengu-
sir arwahmu ke akhirat sana. Orang-orang kuat seper-
timulah yang kuharapkan untuk menjadi pembantu-
ku...,” puji Sang Penghancur dengan tarikan bibir
mengandung ejekan. Ucapan terakhirnya lebih meru-
pakan tawaran bagi Pendekar Naga Besi untuk berga-
bung.
“Hm.... Jangan harap aku sudi bersekutu dengan
manusia laknat yang telah begitu kejam membunuh
kawan-kawanku. Lebih baik mati sebagai pendekar da-
ripada harus ikut kepada orang-orang pengecut berha-
ti keji seperti kau dan kawan-kawanmu itu, Sang
Penghancur!” tolak Pendekar Naga Besi dengan be-
rangnya.
Usai berkata demikian, Pendekar Naga Besi mema-
lingkan wajahnya ke belakang, ke arah pengikut-
pengikutnya.
“Lebih baik kita semua mati sebagai pendekar-
pendekar yang selalu menjunjung tinggi kegagahan!
Ayo, maju...!” perintah Pendekar Naga Besi.
Segera Pendekar Naga Besi mencabut sebilah golok
besar yang selama ini tergantung di punggungnya.
Kemudian tubuhnya langsung melesat menerjang Sang
Penghancur, dibantu beberapa orang tokoh yang ke-
pandaiannya tidak berselisih jauh.
“Heaaa...!”
Pendekar Naga Besi bersama pengikut-pengikutnya
segera menyerbu Sang Penghancur. Sedangkan tokoh
sakti bertubuh tegap dan berpakaian kuning keemasan
itu hanya menggumam perlahan. Kemudian kedua
tangannya dikembangkan dengan kedudukan kaki
menyilang. Sikapnya mirip seekor garuda yang tengah
bermalasan. Namun, hembusan angin yang ditimbul-
kannya benar-benar hebat. Sehingga, membuat debu
dan dedaunan kering beterbangan bagai terlanda angin
topan dahsyat
“Heaaat..!”
Dibarengi bentakan nyaring, Sang Penghancur
mengibaskan sepasang lengannya ke kiri dan kanan
seraya melesat menyambut datangnya para penge-
royok.
Hebat bukan main akibat yang ditimbulkan gerakan
tokoh muda bertubuh tinggi tegap itu. Begitu lincah
tubuhnya berkelebat di antara sambaran sinar pedang
lawan. Sebentar saja, empat orang lawan telah terpe-
lanting tewas dengan kepala remuk. Tentu saja sepak
terjang yang mengerikan dari Sang Penghancur itu
membuat para pengeroyok menjadi gentar.
“Hm.... Mengapa harus mundur? Bukankah kalian
sendiri yang menginginkan kematian...?” ejek Sang
Penghancur ketika melihat pengeroyoknya tinggal
enam orang, termasuk Pendekar Naga Besi
Usai berkata demikian, sepasang tangan Sang
Penghancur dengan telapak terbuka langsung dido-
rongkan ke depan. Dan....
Whusss...!
Blarrr...!
“Aaa...!”
Terdengar ledakan mengguntur yang diselingi pekik
kematian melengking merobek angkasa. Empat orang
pengeroyok kontan terlempar ke kiri dan kanan den-
gan tubuh cerai-berai. Untunglah, Pendekar Naga Besi
dan seorang lelaki brewok berhasil melompat jauh,
menghindari ledakan akibat pukulan jarak jauh yang
luar biasa itu.
“Ha ha ha...! Benar-benar menggelikan! Seorang
pemimpin persilatan dari banyak partai dan golongan
yang semula membusungkan dada, terpaksa harus lari
terbirit-birit oleh pukulan jarak jauhku! Lucu..., lu-
cu...,” ledek Sang Penghancur.
Mendengar ucapan bernada menghina itu, dada
Pendekar Naga Besi bagaikan hendak meledak.
“Hm.... Ilmu silatmu memang sangat dahsyat, Sang
Penghancur. Tapi perlu kau ketahui, perbuatanmu ha-
ri ini akan mendatangkan murka kaum golongan putih
di seluruh pelosok negeri. Suatu saat kelak, kau pasti
akan lari ketakutan seperti seekor anjing yang dipukuli
majikannya. Aku yakin, pasti akan ada seseorang yang
bisa membuatmu jungkir balik dan lari terbirit-birit ke-
takutan...!”
Karena merah, Pendekar Naga Besi membalas hi-
naan lawannya dengan kata-kata yang tepat mengenai
sasaran. Sehingga wajah Sang Penghancur kontan be-
rubah kuning keemasan seperti pakaian yang dikena-
kannya. Hal ini pertanda Sang Penghancur mulai di
landa kemurkaan.
“Hm.... Hendak kulihat, siapa orang yang sanggup
mencegah Sang Penghancur...,” desis tokoh sakti me-
nyeramkan itu dengan gigi bergemeretak penuh kege-
raman. Sepasang matanya yang tajam, melotot penuh
nafsu dendam.
Pendekar Naga Besi dan seorang pengikutnya ber-
siap menghadapi gempuran dahsyat yang mungkin
akan mendatangkan kematian bagi mereka. Keduanya
bergerak ke kiri dan kanan, memecah perhatian lawan
yang sangat sakti itu.
***
ENAM
“Bersiaplah melayat ke neraka...! Haaat..!”
Dibarengi pekik laksana ledakan petir di angkasa,
tokoh sakti berpakaian kuning emas itu melesat cepat
bagai kilat mengincar Pendekar Naga Besi. Rupanya,
lelaki tinggi besar itu lebih dipilih untuk dijadikan kor-
ban berikutnya.
Bettt..!
“Haihhh...!”
Pendekar Naga Besi berseru nyaring sambil melesat
ke udara dan berjumpalitan. Dan begitu mendarat di
tanah, tubuhnya langsung berguling menjauh dari la-
wannya.
Sang Penghancur benar-benar telah menjadi kalap
ketika pukulan mautnya berhasil dihindari lawan. Ma-
ka ketika lelaki brewok yang ikut mengeroyoknya me-
nerjang maju dengan kibasan pedang, tubuhnya lang-
sung melayang menyambut datangnya senjata lawan.
Untuk kesekian kalinya, Sang Penghancur kembali
membuat kejutan baru. Mata pedang yang meluncur
ke tubuhnya, langsung dipapak dengan cengkeraman
jemari tangannya!
Krappp!
Pedang lelaki brewok itu berhasil ditangkap dan di-
patahkan jari-jari tangan sekeras baja itu. Belum juga
lawan menyadari apa yang telah menimpa senjatanya,
tiba-tiba jari-jari mengerikan itu menerjang dan men-
cengkeram leher.
“Aaa...!”
Lelaki brewok itu menjerit ngeri ketika tubuhnya te-
lah terangkat naik ke udara. Jeritannya lenyap seketi-
ka, begitu jari-jari tangan Sang Penghancur meremas
tenggorokannya dengan pengerahan tenaga saktinya.
“Sambut mayat kawanmu ini...!” bentak Sang Peng-
hancur sambil melemparkan tubuh korbannya ke arah
Pendekar Naga Besi.
Melihat hal ini, Pendekar Naga Besi semakin geram.
Lelaki tinggi besar itu cepat melompat ke samping
menghindari mayat kawannya. Kemudian pedangnya
siap diputar-putar begitu melihat lawan sudah akan
menerjangnya.
Namun langkah kaki Sang Penghancur tertunda ke-
tika mendengar seruan-seruan kaget yang ternyata be-
rasal dari para pengikutnya. Cepat wajahnya menoleh
ke arah ketiga pengikutnya yang tengah dikeroyok pu-
luhan tokoh persilatan. Kening lelaki tegap berpakaian
kuning emas itu agak berkerut ketika melihat dua
orang bertubuh tinggi besar yang merupakan penga-
walnya tengah terpental hingga beberapa tombak
jauhnya. Sedangkan lelaki tinggi kurus yang merupa-
kan pelayannya, tengah berlari ke arahnya dengan na-
pas memburu dan wajah tegang.
“Pendekar Naga Putih...! Pemuda sakti itu menga-
muk menghajar Lagonta dan Latungga. Mereka..., ter-
desak...,” lapor lelaki setengah baya itu dengan suara
terputus-putus.
Melihat raut wajahnya yang gelisah, jelas kalau le-
laki tinggi kurus itu merasa tegang atas kemunculan
Pendekar Naga Putih.
“Pendekar Naga Putih...?! Bagaimana ia bisa sampai
ke tempat ini? Bukankah Latungga dan Lagonta telah
kuperintahkan untuk memancingnya, menjauhi Desa
Mandala Sari? Kau pun bodoh sekali, Labinta...? Apa
saja yang kau kerjakan selama ini...?” Sang Penghan-
cur tampak terkejut mendengar laporan orang berna-
ma Labinta itu.
Bentakan lelaki tinggi tegap yang berjuluk Sang
Penghancur itu terhenti saat Latungga dan Lagonta da-
tang berlari-lari menghampirinya. Wajah kedua orang
bertubuh raksasa itu tampak agak pucat. Jelas, mere-
ka telah melarikan diri dari pertempuran untuk berga-
bung bersama pimpinannya.
“Ha ha ha...! Belum kering ludahku mengucapkan-
nya, ternyata apa yang kuharapkan telah menjadi ke-
nyataan! Hei, Sang Penghancur! Mengapa kelihatan
wajahmu pucat mendengar nama Pendekar Naga Pu-
tih? Ke mana perginya kesombongan dan kegarangan-
mu?“
Pendekar Naga Besi yang melihat perubahan sikap
Sang Penghancur ketika mendengar munculnya Pen-
dekar Naga Putih, segera tertawa terbahak-bahak. Ha-
tinya menjadi puas karena bisa membalas semua
penghinaan dan sakit hatinya terhadap tokoh sakti itu.
“Hm.... Keparat! Kubunuh kau, Pecundang...!” ben-
tak Sang Penghancur.
Laki-laki berpakaian keemasan itu merasa geram
bukan main ketika melihat Pendekar Naga Besi mener-
tawakan dirinya. Segera saja tubuhnya melayang ke
arah lawan, siap mencabut nyawa Pendekar Naga Besi.
“Haiiit..!”
Namun sebelum serangannya sempat menyentuh
tubuh Pendekar Naga Besi, terdengar teriakan me-
lengking yang disusul berkelebatnya sesosok bayangan
putih keperakan yang menebarkan hawa dingin menu-
suk tulang.
Plarrr...!
Terdengarlah suara letupan kecil, diiringi kepulan
asap tipis yang menandakan adanya pertemuan dua
gelombang tenaga sakti berlainan sifat. Kedua sosok
tubuh itu sama-sama terdorong mundur dan berjum-
palitan beberapa kali, sebelum menyentuh permukaan
tanah.
“Hm.... Kini aku baru sadar akan kelakuan aneh
pengikutmu yang bernama Latungga dan Lagonta. Ru-
panya mereka sengaja membawaku pergi jauh dari De-
sa Mandala Sari, agar kau dan pengikut-pengikutmu
bisa berbuat sesuka hati menebarkan bencana.
Sayang, kedatanganku agak terlambat. Sehingga, sia-
sat kalian bisa dianggap berhasil...,” desis pemuda
tampan berjubah putih yang sekujur tubuhnya masih
terselimuti kabut putih keperakan.
Pemuda itu tak lain dari Pendekar Naga Putih, yang
ketika memasuki Desa Mandala Sari dapat dipancing
dua orang bertubuh raksasa bernama Latungga dan
Lagonta untuk menjauhi desa itu. Meskipun perte-
muan para tokoh persilatan berada cukup jauh di luar
desa, tapi Panji telah melihat rombongan tokoh persila-
tan yang melewati Desa Mandala Sari yang pergi ke
tempat pertemuan ini. Namun karena harus mencari
Latungga dan Lagonta yang dianggap masih bersembunyi di dalam hutan, maka kedatangan pemuda itu
agak terlambat.
Padahal orang yang dikira masih bersembunyi di
dalam hutan telah pergi secara diam-diam keluar dari
dalam hutan, saat malam tiba. Itulah sebabnya, ketika
keesokan paginya Panji dan Kenanga mencari, namun
tidak juga berhasil menemukan Latungga dan Lagonta.
Sementara itu, para tokoh persilatan yang semula
diamuk Lagonta, Latungga, dan Labinta telah berkum-
pul di belakang Pendekar Naga Besi. Di antara mereka
terlihat seorang dara jelita yang tidak lain dari Kenan-
ga. Rupanya, pasangan pendekar muda itulah yang te-
lah menyelamatkan para pengikut Pendekar Naga Besi.
Sang Penghancur yang merasakan betapa kuatnya
tenaga sakti pemuda berjubah putih itu menatap den-
gan mata redup. Meski demikian, mulutnya tetap saja
membentuk senyum mengejek yang memandang ren-
dah orang lain. Sesaat kemudian, mata yang semula
redup itu terbuka lebar dan melotot tajam. Rupanya
Sang Penghancur seperti hendak menilai kesaktian
pemuda di hadapannya yang nama besarnya telah di-
dengarnya.
“Hm..., Pendekar Naga Putih. Sebenarnya aku tidak
ingin kau turut campur dalam masalah ini. Aku senga-
ja memancingmu, menjauhi tempat ini melalui dua
pembantuku. Hal itu kulakukan, karena aku merasa
kasihan padamu. Dalam usia yang masih muda, kau
terpaksa harus tewas di tanganku. Itulah sebabnya,
mengapa aku belum ingin bentrok denganmu,” ujar
Sang Penghancur.
Secara tidak langsung, sebenarnya Sang Penghan-
cur ingin mengatakan kalau kepandaiannya masih
jauh di atas Pendekar Naga Putih. Tentu saja ucapan
itu memancing kegeraman para tokoh persilatan yang
mendengarnya. Sedang Panji sendiri hanya tersenyum
saja.
“Tapi, dengan membuat kekacauan dan membunuh
orang-orang tak berdosa di tempat ini, kau sama saja
telah membuat permusuhan denganku, Kisanak. Dan
aku wajib menghentikannya. Kalau kau memang tidak
menghendaki pertarungan, sebaiknya menyerahlah
dengan baik-baik untuk diadili di hadapan tokoh-
tokoh persilatan yang ada di tempat ini,” sahut Panji.
Sikapnya tetap tenang, meskipun disadari kalau la-
wannya memiliki kesaktian yang mengagumkan.
“Ha ha ha...! Kau kira aku begitu tolol untuk me-
nyerah tanpa bertarung lebih dulu? Jangan harap,
Pendekar Naga Putih. Aku pun sama sekali tidak gen-
tar menghadapimu. Hanya saja, aku merasa kau be-
lum saatnya mati di tanganku,” sahut Sang Penghan-
cur bernada tantangan seraya memperdengarkan sua-
ra tawanya yang berkepanjangan.
“Lebih baik manusia kejam sepertinya harus segera
dilenyapkan, Pendekar Naga Putih. Kalau tidak, kelak
akan mencelakai orang-orang tak berdosa seperti yang
baru saja dilakukannya...,” bisik Pendekar Naga Besi
yang memang dendam terhadap tokoh berjuluk Sang
Penghancur itu. Sedangkan Panji menanggapinya den-
gan senyum tenang.
“Kalau kau tidak suka menyerah, aku terpaksa me-
nangkapmu dengan jalan kekerasan, Kisanak...,” ujar
Panji.
Pendekar Naga Putih segera melangkah maju empat
tindak. Sehingga, Sang Penghancur bergerak mundur
sambil mengibaskan kedua tangannya. Disuruhnya
para pengikutnya untuk menyingkir.
“Kalian pergilah. Aku akan menyusul...,” biak Sang
Penghancur tanpa menolehkan kepalanya.
Berbarengan dengan bergeraknya ketiga orang pen-
gikutnya meninggalkan tempat itu, Sang Penghancur
memasang kuda-kudanya. Rupanya dia siap bertarung
melawan Pendekar Naga Putih.
“Hm.... Sebaiknya kalian menyingkir. Aku khawatir
pukulan-pukulan jarak jauh tokoh itu akan mengenai
kalian...,” Panji mengingatkan yang lain agar menying-
kir.
Pendekar Naga Putih memang menduga kalau orang
yang kali ini dihadapinya tentu memiliki kesaktian
yang tinggi. Buktinya, dari beberapa mayat tokoh yang
dikenalnya memiliki kepandaian tinggi, telah bergele-
takan. Bahkan ada beberapa di antaranya tewas den-
gan anggota tubuh cerai-berai.
Panji menduga, hal ini disebabkan pukulan maut
lelaki tinggi tegap berpakaian kuning emas itu. Maka
tanpa banyak bicara lagi, langkahnya segera digeser
dengan kuda-kuda kokoh dan kuat.
***
“Sambut seranganku, Pendekar Naga Putih...!”
Belum lagi gema suaranya lenyap, tubuh Sang
Penghancur telah melesat cepat bagai kilat Langsung
diterjangnya Pendekar Naga Putih. Sepasang tangan-
nya bergerak cepat menyambar-nyambar, disertai deru
angin mencicit hingga menyakitkan telinga.
Whusss...!
Sebuah tamparan yang mendatangkan deru angin
kuat berhawa panas menyengat, meluncur mengarah
ke kepala Pendekar Naga Putih. Namun pemuda itu
pun dapat cepat bergerak mengelak, dan langsung me-
lontarkan serangan balasan yang tidak kalah dahsyat-
nya. Akibatnya terjadilah pertarungan seru dan mendebarkan.
Sadar akan kesaktian lawannya, Panji langsung
menggunakan ilmu ‘Naga Sakti’nya untuk mengimban-
gi permainan lawan. Sepasang tangannya menyambar-
nyambar diiringi tiupan angin dingin yang menusuk
tulang. Bahkan sesekali kakinya melayang, melakukan
tendangan kilat yang sama sekali tidak terduga. Aki-
batnya, beberapa kali tendangan kilatnya nyaris men-
genai sasarannya. Untunglah gerakan Sang Penghan-
cur demikian gesit, sehingga selalu saja mampu men-
gelak.
“Hiaaah...!”
Ketika pertarungan menginjak jurus yang keempat
puluh, Panji yang melihat pertahanan lawan terbuka
langsung saja menyarangkan telapak tangan ke dada
lawan. Meskipun kesempatan itu hanya sekejap saja,
Panji cepat dapat memanfaatkannya.
Desss...!
“Hei...?!”
Hantaman telapak tangan Pendekar Naga Putih
memang telak mengenai dada lawan. Tapi bukan main
terkejutnya pemuda itu ketika merasakan adanya daya
tolak yang membuat telapak tangannya berbalik bagai
menghantam segumpal karet kenyal. Maka, kesempa-
tan baik itu tidak disia-siakan oleh Sang Penghancur.
Langsung tinjunya dilontarkan ke tubuh lawan.
Bukkk!
“Ugkhhh...!”
Tubuh Panji terjajar mundur akibat hantaman telak
mengandung tenaga dalam yang amat kuat. Untunglah
lapisan kabut bersinar putih keperakan yang menyeli-
muti tubuhnya sanggup meredam kerasnya pukulan
lawan. Sehingga tubuhnya hanya terdorong ke bela-
kang, dengan sedikit rasa nyeri yang menggigit pada
bagian yang terkena pukulan.
Sebenarnya, Sang Penghancur juga cukup tertegun
ketika merasakan kepalannya seperti amblas ke dalam
samudera es yang tidak berdasar. Hal itu menyadar-
kannya kalau lawan pun memiliki ilmu kekebalan tu-
buh yang sangat aneh. Bahkan belum pernah dite-
muinya selama ini. Tentu saja hal itu membuatnya
semakin berhati-hati dalam menghadapi pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih itu.
Kedua tokoh sakti itu kembali saling tatap dengan
sinar mata tajam. Setelah satu sama lain menyarang-
kan sebuah pukulan, kini baru diyakini kalau tubuh
lawan masing-masing kebal terhadap pukulan. Dan
kini, baik Pendekar Naga Putih maupun Sang Peng-
hancur semakin berhati-hati untuk pertarungan selan-
jutnya.
“Heahhh...!”
Tiba-tiba Sang Penghancur membentak keras, lak-
sana ledakan guntur di siang bolong. Seiring dengan
itu, sepasang tangannya bergerak ke atas, kemudian
berputar secara aneh dan tidak beraturan.
Sesaat kemudian, terlihatlah sebuah pemandangan
yang membuat takjub Panji maupun tokoh-tokoh per-
silatan yang menyaksikannya. Betapa tidak? Tubuh
Sang Penghancur tiba-tiba telah mengeluarkan sinar
kuning keemasan yang menyilaukan mata. Apalagi,
pakaian yang dikenakannya sangat menunjang sinar
yang keluar dari tubuhnya. Maka semakin kuatlah
daya pancar yang menyilaukan mata. Dan akibatnya,
Panji sulit sekali melihat wajah lawannya. Bahkan, tu-
buh lawan pun tampak seperti bayangan mentari yang
membuatnya tidak kuat memandang berlama-lama.
“Gila! Pantas pakaiannya terbuat dari benang emas!
Bahkan masih dilengkapi dengan benda-benda sebesar
lempengan uang di lingkar dadanya. Tentu hal itu un-
tuk menambah kuatnya pancaran keemasan yang me-
nyilaukan mata. Benar-benar seorang tokoh yang cer-
dik dan berbahaya,” desis Panji seraya bergerak mun-
dur dan memalingkan wajahnya dari pancaran sinar
kuning keemasan yang membuat matanya perih.
“Heaaat..!”
Sang Penghancur membentak nyaring, dan lang-
sung menerjang Panji. Ia memang sengaja mengenakan
pakaian kuning emas dan hiasan di lingkar dadanya
yang terbuat dari emas murni. Rupanya semua itu da-
pat membantunya, agar kekuatan daya pancar kuning
keemasan yang muncul dari tubuhnya bisa mempen-
garuhi pandangan dan pikiran lawan. Seperti halnya
yang saat ini dialami Pendekar Naga Putih.
Panji kini terpaksa harus memejamkan matanya
untuk mengelakkan serangan lawan. Dia berloncatan
menghindari pukulan dan tamparan Sang Penghancur
yang bisa diketahui dari sambaran angin yang datang
menuju tubuhnya. Untuk beberapa jurus lamanya,
Pendekar Naga Putih hanya bisa mengelak tanpa
mampu melontarkan serangan balasan.
Duk! Duk...!
Plak!
Dua kali Panji berhasil memapak pukulan lawan.
Namun untuk yang ketiga kali ia tidak sempat lagi me-
nangkis atau menghindar! Meskipun demikian, tubuh-
nya masih sempat dimiringkan. Sehingga bukan kepa-
lanya yang terkena tamparan, tapi bahu kanan yang
telah terlindung tenaga sakti.
Tubuh Pendekar Naga Putih langsung terjajar lim-
bung. Sadar kalau serangan lawan pasti masih terus
berkelanjutan, Panji cepat melambung ke udara dan
berjumpalitan beberapa kali menjauhi lawannya. Kemudian tubuhnya baru meluncur turun dengan gera-
kan ringan.
“Kakang...?!”
Kenanga yang sempat melihat tubuh kekasihnya
terkena tamparan lawan, segera berlari memburu. Na-
mun Panji cepat mencegah, demi keselamatan gadis itu
sendiri.
“Kenanga, menyingkirlah...! Orang ini sangat berba-
haya...!” ujar Panji memperingatkan.
Akhirnya meski dengan hati berat, dara jelita itu
mau juga mengikuti perintah Panji. Kenanga melang-
kah mundur dengan wajah agak pucat. Sebagai seo-
rang wanita, tentu saja tidak bisa menahan kekhawati-
ran melihat nyawa kekasihnya terancam. Saat ini dia
benar-benar hanya memikirkan keselamatan Panji.
Meski ada terbersit kesadaran kalau kekasihnya dapat
menjaga diri, namun tetap saja dicekam kecemasan
dan kegelisahan.
Sang Penghancur kembali menerjang Panji dengan
serangan-serangan mautnya. Maka cepat Panji menge-
rahkan semangat dan seluruh kekuatan dahsyat ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’ yang telah dilatihnya hing-
ga mencapai titik kesempurnaan. Sesaat kemudian,
lapisan kabut yang menyelimuti sekujur tubuh Pende-
kar Naga Putih semakin melebar disertai hembusan
hawa dingin. Sehingga, membuat udara di sekitar are-
na pertarungan bagai tengah dilanda badai salju.
“Heaaah...!”
Dibarengi bentakan nyaring yang merontokkan jan-
tung, tubuh Pendekar Naga Putih mengelak ke samp-
ing. Langsung cakar naganya diayunkan, disertai
hembusan angin dingin yang bisa membekukan urat-
urat di tubuh lawan. Untungnya, Sang Penghancur
memiliki tenaga sakti luar biasa. Sehingga dengan hawa panas yang keluar dari tubuh, tokoh itu mampu
untuk bertahan dari hembusan hawa dingin yang me-
nebar dari tubuh Pendekar Naga Putih.
“Luar biasa...! Benar-benar sukar dipercaya kalau
ada manusia yang memiliki kesaktian yang demikian
langka! Sepertinya, selama hidupku tidak akan pernah
menemukan pertarungan seperti ini...!” gumam Pende-
kar Naga Besi, terbelalak takjub menyaksikan perta-
rungan yang benar-benar mirip dongeng itu.
Pendekar bertubuh tinggi besar itu menggelengkan
kepala sambil tak henti-hentinya berdecak penuh ke-
kaguman. Yang disaksikannya saat itu bukan lagi dua
sosok bayangan sedang bertarung, melainkan dua ber-
kas sinar emas dan putih keperakan. Kedua sinar itu
terlihat saling libat dan saling terjang disertai samba-
ran hawa panas dan dingin berganti-ganti. Kadang, to-
koh itu melihat sinar putih keperakan nampak terde-
sak oleh sinar kuning keemasan yang memancar ga-
rang. Pemandangan seperti itu, tentu saja membuat
para tokoh persilatan menahan napas dengan wajah
tegang. Karena mereka tahu, Pendekar Naga Putih te-
lah terdesak.
Di lain saat, terdengar helaan napas lega serta wa-
jah penuh senyum ketika sinar putih keperakan dapat
mendesak sinar kuning emas yang terlihat terus berge-
rak mundur. Hal itu menandakan, Pendekar Naga Pu-
tih tengah berada di atas angin dan berhasil mendesak
lawan.
Blarrr...!
Tiba-tiba saja terdengar ledakan dahsyat laksana
gemuruh petir di siang bolong. Kemudian, disusul ber-
pencarnya kedua gunduk sinar yang semula saling li-
bat. Bahkan, beberapa orang tokoh sampai jatuh ter-
duduk, akibat ledakan yang mengguncang dada. Ledakan mengguntur itu membuat lutut mereka gemetar,
hingga tidak mampu menahan tubuhnya. Dapat di-
bayangkan, betapa hebatnya benturan yang baru saja
terjadi. Padahal, jarak pertarungan dengan para tokoh
persilatan terpisah sekitar empat tombak lebih.
“Haiiit..!”
Panji berseru nyaring sambil berputaran sebanyak
lima kali di udara. Hal itu dilakukan untuk menahan
daya dorong yang amat kuat akibat benturan dahsyat
itu. Dan dengan indahnya, tubuh pemuda berjubah
putih itu dapat mendarat ringan di atas tanah.
Lain halnya yang dilakukan Sang Penghancur. Pada
saat tubuhnya terlontar deras ke belakang, ia langsung
berputaran dan melarikan diri meninggalkan arena
pertarungan. Tak seorang pun yang menyangka tokoh
itu bakal melarikan diri. Karena masih terkesima oleh
benturan dahsyat itu. Kini Sang Penghancur telah le-
nyap di saat orang-orang tersadar dari pengaruh leda-
kan laksana gemuruh petir tadi.
Panji berkelebat mengejar. Tapi karena jaraknya te-
lah terpisah cukup jauh, akhirnya pemuda itu kembali
dengan tangan hampa. Wajahnya pun tampak agak
menyesal.
***
TUJUH
Kenanga berlari menyongsong kekasihnya dengan
wajah agak cemas. Panji sendiri menyambut kedatan-
gan dara jelita itu dengan senyumnya. Paling tidak,
agar hati dara jelita yang tengah diliputi kecemasan itu
menjadi lega.
“Kakang...!”
Kenanga langsung memeluk, yang disambut Panji
dengan tangan terbuka. Kemudian mereka melangkah
ke arah Pendekar Naga Besi dan para pengikutnya
yang rupanya tidak ingin mengganggu. Sehingga mere-
ka hanya berdiri menanti, agak jauh dari sepasang
pendekar muda itu.
“Maaf, Paman. Tokoh itu memang luar biasa. Hari
ini aku terpaksa gagal membekuknya. Tapi mudah-
mudahan, lain kali tidak akan terulang lagi. Harap
Paman memaklumi kalau aku tidak bisa membantu
untuk membereskan tempat ini. Aku dan kawanku ini
akan mengejar orang-orang telengas itu. Doakan kami,
Paman...,” ucap Panji.
Pendekar Naga Putih langsung meminta diri untuk
mengejar Sang Penghancur. Dia memang khawatir ka-
lau tokoh sesat itu akan mengulangi lagi kejahatannya
di tempat lain.
“Kami mengerti, Pendekar Naga Putih. Biar bagai-
manapun juga, kami tetap mengucapkan terima kasih
atas pertolonganmu. Kalau tidak, mungkin saat ini
kami semua telah jadi bangkai akibat ulah tokoh yang
mengaku berjuluk Sang Penghancur itu,” sahut Pen-
dekar Naga Besi.
Diiringi pandangan mata penuh kagum dari para
tokoh persilatan, Panji dan Kenanga bergerak mening-
galkan tempat itu. Setelah bayangan pasangan pende-
kar muda itu lenyap, barulah Pendekar Naga Besi dan
para pengikutnya membereskan tempat itu untuk
menguburkan kawan-kawannya yang tewas. Sedang-
kan yang terluka dipapah, meninggalkan tempat per-
temuan yang berubah menjadi arena pemakaman.
Alam pun kembali hening setelah para tokoh persilatan
meninggalkan tempat itu.
***
Pendekar Naga Putih dan Kenanga melangkah agak
lambat, meninggalkan batas desa di belakangnya. Dari
tempat mereka berjalan, masih terlihat atap-atap ru-
mah penduduk. Satu dua orang yang kebetulan berpa-
pasan dengan mereka, hanya bisa menatap iri. Karena
baik yang pria maupun yang wanita, sama-sama me-
nimbulkan kekaguman bagi siapa saja yang melihat-
nya.
“Kita harus segera menemukan tokoh-tokoh jahat
itu, Kakang. Kalau dibiarkan terlalu lama, bisa lebih
banyak menimbulkan korban,” kata Kenanga.
Gadis itu melangkah tanpa melepaskan genggaman
jemari tangannya dari tangan Pendekar Naga Putih.
Dan dalam nada ucapannya, terkandung rasa penasa-
ran dan kegeraman yang dalam.
“Sabarlah, Kenanga. Bukankah saat ini pun kita
tengah berusaha menemukan jejak mereka. Tapi sela-
ma tiga hari ini, kita belum juga dapat menemukan
tanda-tanda tempat persembunyian mereka. Sedang-
kan yang kita temui hanyalah bekas-bekas kejahatan
mereka saja. Contohnya yang kita temukan kemarin.
Sebuah perguruan habis mereka musnahkan tanpa
rasa kemanusiaan sedikit pun. Sepertinya, tokoh itu
ingin menghancurkan apa saja yang ditemuinya sesuai
julukannya. Sang Penghancur...,” sahut Panji.
Memang Pendekar Naga Putih semakin bertambah
geram kepada tokoh yang berjuluk Sang Penghancur
itu. Beberapa kali, Panji menemukan bekas-bekas ke-
jahatan tokoh sesat berkepandaian tinggi itu.
Meskipun selama tiga hari itu mereka tidak mene-
mukan petunjuk sedikit pun, namun sama sekali tidak
putus asa. Bahkan semangat untuk dapat menemukan
tokoh sesat itu semakin menggebu-gebu. Hal itu timbul, selain karena merasa ikut bertanggung jawab,
Panji dan Kenanga sadar kalau tokoh berjuluk Sang
Penghancur itu sukar sekali dilawan.
Sangat jarang ada tokoh persilatan dari golongan
putih yang sanggup menandingi tokoh sesat itu. Bah-
kan kebanyakan dari para tokoh tua, hanya memen-
tingkan untuk bertapa dan mengasingkan diri, tanpa
sudi ikut campur dalam segala urusan dunia ramai
yang dianggap hanya memusingkan kepala dan me-
nambah dosa saja. Dan, semua itu mereka timpakan
ke pundak tokoh-tokoh muda seperti Pendekar Naga
Putih.
“Hm.... Apakah kita harus berpencar, Kakang...?”
usul Kenanga.
Namun Panji menggeleng tidak menyetujui usul
yang menurutnya sangat berbahaya itu.
“Tidak mungkin, Kenanga. Selain kepandaian Sang
Penghancur masih belum bisa diukur, tiga orang pen-
gikutnya pun bukan orang lemah. Bahkan kalau dua
orang pengawal bertubuh raksasa itu maju secara ber-
sama-sama, belum tentu kau sanggup menandinginya.
Usulmu sangat berbahaya...,” jelas Panji sejujurnya,
tanpa bermaksud merendahkan kepandaian kekasih-
nya.
“Hm.... Kalaupun mereka maju secara bersama-
sama, rasanya aku masih bisa mengalahkan mereka,
Kakang. Meskipun tidak mudah, tapi bisa mengguna-
kan ilmu ‘Pedang Naga Sakti’ yang pernah kau ajarkan
kepadaku. Bahkan sekarang, telah ku gabung dengan
jurus ‘Bidadari Menabur Bunga’ yang merupakan ju-
rus ilmu pedang andalanku,” bantah dara jelita itu.
Panji mengangguk-angguk ketika mendengar penje-
lasan kekasihnya. Ia pun segera teringat kedua ilmu
pedang tingkat tinggi yang telah digabungkan Kenanga
dengan sedikit petunjuk darinya. Meskipun demikian,
Panji tetap saja merasa khawatir.
“Hm.... Selama ini, kita selalu melakukan perjala-
nan melewati desa-desa dan hutan-hutan kecil. Se-
baiknya, mulai saat ini kita menjauhi desa dan harus
mengambil jalan-jalan tersembunyi Kita harus menda-
hului mereka. Bukankah selama ini kita hanya mene-
mukan bekas-bekas kejahatan mereka? Itu sama ar-
tinya jalan yang kita lewati, telah lebih dulu dilalui me-
reka. Ya, benar! Kita harus mendahului dan mengha-
dang mereka di depan,” ujar Panji, tiba-tiba menda-
patkan pemikiran bagus untuk menemukan Sang
Penghancur dan kawan-kawannya.
“Tapi, bagaimana kita bisa tahu kalau mereka be-
lum lewat, Kakang?” tanya Kenanga.
“Hm.... Kalau kita terus melakukan perjalanan tan-
pa henti ke arah Barat, bukan mustahil akan bisa
mendahului mereka. Biasanya dalam melakukan keja-
hatan, mereka pasti akan menunda perjalanan. Nah!
Setelah yakin kalau mereka telah tertinggal, baru kita
mengambil jalan membalik ke desa. Dengan begitu,
kemungkinan besar kita bisa berpapasan dengan Sang
Penghancur dan kawan-kawannya,” jelas Panji.
Penjelasan itu seketika membuat wajah Kenanga
berseri-seri. Memang besar sekali kemungkinannya
dapat berpapasan dengan tokoh-tokoh sesat itu, seper-
ti yang dijelaskan kekasihnya.
“Kalau begitu, kita harus memulainya sekarang,
Kakang...,” ujar dara jelita itu, penuh semangat. Sepa-
sang mata bintangnya tampak berbinar-binar. Tampak
ia sangat mengharapkan untuk segera bertemu orang-
orang jahat itu.
“Ayolah...,” ajak Panji.
Pendekar Naga Putih segera melesat mengerahkan
ilmu lari cepatnya. Tanpa banyak cakap lagi, Kenanga
pun segera mengejar kekasihnya. Mereka berbarengan
meninggalkan tempat itu, melintasi tempat-tempat su-
kar yang jarang dijamah manusia. Kebulatan tekad
untuk segera dapat membasmi Sang Penghancur,
membuat pasangan pendekar muda itu tidak pernah
merasa lelah. Mereka hanya beristirahat apabila perut
benar-benar lapar. Dan terpaksa menginap di dalam
hutan, apabila telah betul-betul sulit melawan rasa
kantuk.
***
“Tolooong...! Lepaskan aku, Manusia Jahat..!”
Gadis manis berkulit kuning langsat dengan bentuk
tubuh mengundang hasrat itu meronta-ronta dalam
pondongan seorang lelaki tinggi besar. Pada bagian
atas tubuh laki-laki itu hanya mengenakan selempang
kulit harimau. Dia terus saja melangkah sambil terta-
wa-tawa.
Di sebelah lelaki bertubuh raksasa itu, berjalan le-
laki lain yang sama besarnya. Hanya bedanya, wajah-
nya ditumbuhi brewok. Sehingga semakin menambah
keseraman wajahnya. Tubuhnya pun dihiasi otot me-
lingkar-lingkar bagaikan akar pohon. Dan dia juga
memondong seorang gadis yang hanya mengenakan
kain sebatas dada. Sementara gadis desa itu terus me-
ronta-ronta, berusaha melepaskan diri
“Ha ha ha...! Kau tidak membawa gadis cantik un-
tuk menemanimu malam nanti, Labinta...?” tanya lela-
ki bertubuh raksasa yang wajahnya ditumbuhi brewok.
Dia tak lain adalah Lagonta. Sedangkan dua orang
lainnya tentu saja Latungga, dan Labinta. Ketiganya
adalah pembantu setia Sang Penghancur, yang selama
ini merajalela tanpa ada yang berani mencegah.
“Hm.... Manusia-manusia liar dari mana kalian, be-
rani mengganggu gadis-gadis desa kami...?!”
Teguran itu demikian tenang, namun mengandung
wibawa yang cukup kuat Sehingga membuat Lagonta,
Latungga, dan Labinta serentak mengangkat kepala.
“He he he...! Lebih baik kalian menyingkir saja, da-
ripada mengantarkan nyawa percuma...,” sahut Labin-
ta sambil tertawa-tawa, melihat delapan orang keama-
nan desa tahu-tahu sudah menghadang jalan. Kemu-
dian Labinta melangkah maju.
“Berhenti! Lepaskan gadis-gadis itu, atau terpaksa
kami menggunakan kekerasan...!” bentak seorang lela-
ki gagah yang menjadi pimpinan tujuh orang kawan-
nya.
Tapi, peringatan itu sama sekali tidak digubris La-
binta. Lelaki tinggi kurus berusia lima puluh tahun itu
terus saja melangkah, tanpa mempedulikan ancaman
kedelapan lelaki berseragam hitam yang menghadang.
“Bangsat! Tangkap mereka...!”
Karena peringatannya tidak dipedulikan, lelaki ga-
gah itu memerintahkan tujuh orang kawannya. Se-
dang, ia sendiri sudah melangkah maju seraya menca-
but senjatanya.
“Hm.... Tikus-tikus busuk banyak lagak...!” umpat
Labinta, sehingga membuat keamanan desa itu sema-
kin bertambah marah.
Sebentar saja, Labinta telah terkurung delapan
orang lelaki berseragam hitam. Maka tanpa dapat dice-
gah, pertempuran kecil pun pecah. Dan tentu saja se-
bagai tokoh berkepandaian tinggi, dengan mudah La-
binta dapat menghindari setiap sambaran pedang yang
mengancam tubuhnya. Sekali tangannya bergerak, dua
orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah. Tentu
saja hal itu membuat yang lain menjadi terkejut
“Keparat! Kau harus membayar mahal nyawa ka-
wan-kawan kami...!” bentak lelaki gagah itu murka, se-
raya melompat dengan sabetan pedangnya.
Bettt..!
Labinta hanya memiringkan tubuhnya sedikit, ke-
mudian tangannya langsung bergerak melipat lengan
yang memegang pedang itu.
Krekkk!
“Aaa...!”
Lelaki gagah itu menjerit kesakitan ketika Labinta
dengan mudah mematahkan lengannya. Belum lagi ke-
jadian yang berlangsung terlalu cepat itu disadari, ta-
hu-tahu saja jemari tangan Labinta meluncur ke teng-
gorokannya. Sekali tekan saja, tewaslah lelaki gagah
yang menjadi pimpinan keamanan desa itu.
“Keparat kau, Manusia Laknat...!”
Tiba-tiba terdengar teriakan melengking, yang dis-
usul berkelebatannya sesosok bayangan hijau. Bahkan
langsung menampar kepala Labinta.
Desss...!
“Ughhh...!”
Meskipun Labinta telah memiringkan tubuhnya, tak
urung bahunya terkena tamparan sosok bayangan hi-
jau itu. Akibatnya, tubuh tinggi kurus itu pun ter-
huyung ke belakang.
“Terimalah hukumanmu...!”
Kembali sosok bayangan hijau bertubuh ramping
itu melesat dengan serangan mautnya. Tapi, Labinta
sudah dapat menguasai keseimbangannya. Maka, se-
gera dia melompat menghindar, kemudian membalas
dengan gerakan cepat dan kuat Sebentar saja, kedua-
nya telah terlibat pertarungan sengit Sedangkan lima
orang keamanan desa yang masih tersisa segera berge-
rak menjauh dan berdiri menonton.
Lagonta dan Latungga segera dapat mengenali, sia-
pa adanya sosok bayangan hijau itu. Mereka segera
menoleh ke kanan dan kiri dengan wajah berubah te-
gang. Rupanya, ada sesuatu yang dikhawatirkan me-
reka.
“Apa yang kalian cari, Raksasa-raksasa Tolol...?!”
Terdengar teguran bernada mengejek, yang mem-
buat Lagonta dan Latungga menoleh ke arah asal sua-
ra. Dan keduanya kontan terhenyak mundur, saat me-
lihat seorang pemuda berjubah putih tengah duduk
tenang di sebuah cabang pohon di tepi jalan. Karuan
saja wajah mereka menjadi berubah. Nyata sekali pan-
caran kegentaran pada wajah kedua orang bertubuh
raksasa itu.
“Pendekar Naga Putih...?!” desis keduanya hampir
bersamaan.
Bagai diberi aba-aba, langsung saja gadis yang be-
rada dalam pondongan masing-masing dilemparkan.
Karena saat itu, Panji telah melayang turun dari atas
pohon.
Melihat kalau gadis desa itu dilemparkan begitu sa-
ja ke tanah, cepat Pendekar Naga Putih melesat dan
menyambar. Sedangkan Lagonta dan Latungga hanya
berdiri bengong, menyaksikan perbuatan pemuda ber-
jubah putih itu. Setelah menyelamatkan kedua gadis
itu dan menyuruhnya pergi, Panji berbalik menatap
Lagonta dan Latungga berganti-ganti dengan sorot ma-
ta tajam.
“Hm.... Bersiaplah menerima hukuman atas perbua-
tan kalian...!” desis Panji yang memang telah geram
terhadap manusia-manusia liar itu. Mendengar ucapan
mengandung maut itu, Lagonta dan Latungga segera
mencabut golok besar di pinggang masing-masing.
Kemudian mereka menyilangkannya di depan dada,
siap menyambut serangan Pendekar Naga Putih.
***
DELAPAN
“Heaaat..!”
Dibarengi teriakan mengguntur, Lagonta dan La-
tungga segera melesat mengeroyok Pendekar Naga Pu-
tih. Dapat dibayangkan, betapa mengerikannya seran-
gan kedua orang bertubuh raksasa itu. Sambaran sen-
jata mereka menimbulkan suara mengaung tajam,
membuat orang jadi gemetar. Bahkan bisa kalah, sebe-
lum bertanding melawan mereka.
Tapi tidak demikian halnya bagi Panji. Kalaupun
pada pertemuan pertama di Desa Mandala Sari Panji
sempat dibuat terkejut, itu karena bertarung tidak
sungguh-sungguh. Pendekar Naga Putih mengira me-
reka adalah orang baik-baik. Sekarang, setelah menge-
tahui betapa jahatnya kedua orang bertubuh raksasa
yang bersaudara itu, Panji pun tidak sudi bertindak se-
tengah-setengah lagi. Maka begitu bertarung, langsung
digunakannya ilmu ‘Naga Sakti’nya.
Wreeeet! Wreeet!
Lagonta dan Latungga yang telah mengetahui kehe-
batan pemuda berjubah putih itu, segera saja melom-
pat mundur menghindari sambaran cakar naga lawan.
Apalagi, sambaran cakar itu masih diiringi serbuan
hawa dingin yang membuat tubuh menggigil. Maka,
semakin gentarlah hati Lagonta dan Latungga.
Panji benar-benar tidak sudi memberi hati kepada
kedua orang bertubuh raksasa yang liar itu. Dan begi-
tu kedua orang lawannya melompat mundur menghindari serangan, pemuda itu sudah melepaskan tendan-
gan dan tamparan kilat. Akibatnya kedua orang bertu-
buh raksasa itu harus mati-matian menyelamatkan di-
ri dari ancaman serangan Pendekar Naga Putih yang
jelas-jelas ingin menghukum atas perbuatan mereka.
Sadar kalau menyerah pun tidak ada gunanya, La-
gonta dan Latungga sepakat untuk bertarung mati-
matian. Maka mereka mulai melontarkan serangan
dengan kelebatan golok besar yang mengerikan.
Bwettt! Bwettt!
Dua batang golok besar dan berat itu menyambar
cepat dari dua arah yang berlawanan. Namun, Panji
hanya merendahkan kuda-kudanya sambil mengi-
baskan kedua tangannya ke kiri dan kanan.
Plak! Plak!
Lagonta dan Latungga berteriak kaget Tubuh mere-
ka kontan terpelanting dan hampir jatuh, kalau tidak
segera menguasai diri. Sementara Pendekar Naga Putih
yang tidak sudi memberi kesempatan lagi, sudah kem-
bali menerjang dengan tendangan berputar.
Desss!
“Hugkh...!”
Lagonta langsung memuntahkan darah segar dan
terpelanting keras ke tanah, hingga menimbulkan sua-
ra berdebum. Sedangkan Panji cepat mengirimkan
tamparan keras ke pelipis Latungga.
Plakkk!
Latungga langsung menjerit ngeri. Tubuhnya yang
tinggi besar melintir bagaikan layangan putus. Setelah
sempoyongan sesaat, dia terbanting jatuh dan tewas
dengan mata mendelik. Kepalanya retak akibat tampa-
ran keras yang mengandung ‘Tenaga Sakti Gerhana
Bulan’.
“Latungga...!” Lagonta menjerit keras memanggil
nama adiknya.
Wajah lelaki bertubuh raksasa itu berubah berin-
gas, melihat tubuh adiknya telah tergeletak menjadi
mayat. Bagaikan telah menjadi gila, Lagonta mener-
kam Panji dengan cengkeraman tangannya yang besar
dan kuat
Wuttt..!
Pendekar Naga Putih cepat melompat menghindari
terkaman Lagonta. Dan dari atas, ujung kakinya cepat
menotok tepat di tengah kening lawannya.
Tukkk...! .
“Aaargh...!”
Lagonta kontan meraung keras ketika tendangan
yang amat kuat itu telak menghantam keningnya.
Tanpa ampun lagi, tubuh raksasa berwajah brewok itu
terbanting ke tanah. Bagian kening yang terkena toto-
kan maut itu tampak berlubang. Otaknya pun bercece-
ran keluar. Setelah meregang sesaat, Lagonta tewas
menyusul adiknya.
Setelah menyelesaikan lawannya, Panji menoleh ke
arah pertarungan Kenanga melawan Labinta. Dia ada-
lah lelaki tinggi kurus berusia setengah baya, yang
pernah menipu Panji ketika berada di Desa Mandala
Sari. Pemuda itu melangkah ke arah lima orang berse-
ragam hitam yang merupakan keamanan desa. Tam-
paknya, Panji tidak perlu mengkhawatirkan Kenanga
yang diyakini bisa mengatasi lawan.
“Kalian tolong urus mayat kedua raksasa ini. Aku
akan mencari majikan mereka...,” ujar Panji kepada
keamanan desa itu.
Dan keamanan desa itu hanya bisa mengangguk.
Sepertinya, mereka masih belum terbebas dari kete-
gangan melihat, pertarungan Pendekar Naga Putih me-
lawan dua orang bertubuh raksasa yang menyeramkan
itu.
“Kenanga, tahan...!”
Panji yang sudah membalikkan tubuhnya, cepat
berseru mencegah ketika melihat Kenanga sudah ber-
hasil menundukkan lawannya, dan hendak membu-
nuh lelaki tinggi kurus itu. Cepat bagai kilat, tubuh
Pendekar Naga Putih melesat ke arena pertempuran
yang telah selesai.
“Rasanya, aku ingin meremukkan batok kepala ma-
nusia keji ini, Kakang...,” dengus gadis itu, tanpa me-
lepaskan tatapan matanya kepada Labinta yang sudah
tidak berdaya.
“Kita masih memerlukannya untuk dapat menemu-
kan Sang Penghancur. Dialah biang keladi dari semua
kejahatan yang dilakukan mereka,” jelas Panji. Dan
Kenanga langsung menurut
“Nah, cepat katakan! Di mana ketuamu yang som-
bong itu bersembunyi...?” bentak Kenanga sambil
mengangkat tangannya, mengancam akan meremuk-
kan batok kepala lelaki setengah baya itu.
Labinta yang sadar kalau petualangannya sudah
berakhir, menjawab dengan suara pelan. Mirip sebuah
bisikan. Sepertinya, semangat lelaki itu lenyap setelah
melihat Latungga dan Lagonta telah tewas di tangan
Pendekar Naga Putih.
“Sang Penghancur tengah bersemadi di dalam Hu-
tan Klaren yang terletak di sebelah Timur desa ini...,”
jawab Labinta lesu.
Namun setelah itu, Labinta mengangkat tangannya
yang langsung dihantamkan ke kepalanya.
Kragh!
Panji dan Kenanga yang tengah melayangkan pan-
dangannya ke arah yang ditunjuk Labinta, menjadi
terkejut ketika tiba-tiba mendengar suara keras. Mereka kontan tertegun melihat Labinta roboh. Darah segar
tampak menggenang di sekitar kepalanya yang remuk
akibat pukulannya sendiri.
“Hm.... Dia telah mengambil jalannya sendiri. Se-
baiknya, kita segera menemui Sang Penghancur, agar
masalah ini segera tuntas...,” ajak Panji.
Segera sepasang pendekar muda itu berkelebat me-
nuju Hutan Klaren, tempat Sang Penghancur berada.
Sebentar saja, tubuh mereka lenyap. Hanya bayangan
samar di kejauhan saja yang terlihat, untuk kemudian
menghilang. Sementara, mayat Labinta pun diurus pa-
ra keamanan desa.
***
Panji dan Kenanga berdiri tegak dalam jarak tiga
tombak dari sebuah gubuk sederhana, yang biasa di-
gunakan para pemburu sebagai tempat beristirahat Se-
telah berpesan agar Kenanga menunggu di tempatnya,
Panji melangkah mendekati pondok.
“Hei, Sang Penghancur! Keluarlah! Petualanganmu
sudah berakhir! Aku datang untuk menghentikan ke-
biadabanmu...!” teriak Panji, disertai pengerahan tena-
ga dalam. Sehingga, suaranya bergema dan seperti da-
tang dari setiap sudut Hutan Klaren.
Sang Penghancur yang tengah tenggelam dalam se-
madinya, tentu saja menjadi terkejut ketika mendengar
teriakan bertenaga dalam tinggi itu. Karena dugaannya
yang datang hanya orang-orang yang sengaja berlagak
pahlawan untuk mengantarkan nyawa, Sang Penghan-
cur pun melesat keluar dengan wajah berang. Namun
setibanya di luar pondok, tokoh berpakaian kuning
emas itu pun terkejut. Ternyata sosok yang berdiri di
depan pondok adalah Pendekar Naga Putih!
“Kau..., Pendekar Naga Putih...?!” desis Sang Penghancur.
Wajah tokoh berpakaian kuning keemasan itu tam-
pak sedikit tegang. Sebentar kemudian, wajahnya be-
rubah seperti biasanya, angkuh dengan senyum men-
gejek.
“Bagaimana kau bisa menemukan tempat ini, Pen-
dekar Naga Putih...?” tanya Sang Penghancur dengan
kening berkerut. Tentu ia merasa heran melihat keda-
tangan Pendekar Naga Putih yang telah mengetahui
tempat bersemadinya.
“Hm.... tidak perlu heran, Sang Penghancur. Labin-
ta-lah yang memberitahukan kepadaku, sesaat sebe-
lum kepalanya sendiri diremukkan. Dan Latungga dan
Lagonta telah pula pergi ke alam baka. Sepertinya, me-
reka sudah bosan hidup di dunia ini...,” sahut Panji,
sehingga membuat wajah Sang Penghancur seketika
berubah beringas.
“Keparat! Kau harus menebus ketiga pembantuku
dengan nyawamu, Pendekar Naga Putih. Bersiaplah
untuk mati!” geram Sang Penghancur.
Kemarahan tokoh sesat itu bangkit begitu menden-
gar kematian ketiga pembantunya yang setia.
“Hm.... Kaulah yang harus bertanggung jawab atas
kematian orang-orang tak berdosa yang telah kau bu-
nuh, Sang Penghancur! Kedatanganku menjadi wakil
mereka untuk mencabut nyawamu,” sahut Panji tidak
kalah berangnya.
Pemuda itu menggeser langkahnya ke kanan, ketika
melihat Sang Penghancur telah mempersiapkan seran-
gannya.
“Haaat..!”
Tanpa banyak bicara lagi, Sang Penghancur lang-
sung melesat dengan serangan-serangan mautnya.
Cahaya emas menyilaukan mata sudah memancar dari
tubuhnya, disertai menebarnya hawa panas menyen-
gat. Semua itu sangat berpengaruh dan bisa menga-
caukan perhatian lawan. Tidak heran kalau musuh-
musuh yang kurang pengalaman bertempur dan tidak
memiliki tenaga dalam tinggi akan mudah dijatuhkan
Sang Penghancur. Bahkan Pendekar Naga Putih sendi-
ri pun nyaris celaka di tangan tokoh sakti itu. Dan un-
tungnya, tubuh pemuda itu terlindung lapisan kabut
bersinar putih keperakan, sehingga tidak mudah dilu-
kai.
Panji yang sadar akan kesaktian lawan dan penga-
ruh pancaran sinar emas yang mengganggu pandang
matanya, segera mengerahkan tenaga gabungan. Hawa
mukjizat ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ dan ‘Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ membuat tubuhnya terselimut
kabut putih bersinar keperakan dan sinar kuning
keemasan yang berasal dari Pedang Naga Langit. Den-
gan menyatukan kedua tenaga mukjizat itulah, Pende-
kar Naga Putih menghadapi gempuran Sang Penghan-
cur.
Wueeet!
Dengan menggeser langkah sambil memiringkan
tubuh, Pendekar Naga Putih mengelakkan hantaman
telapak tangan lawan yang menebarkan hawa panas
menyengat. Kemudian, dia balas menggempur dengan
sambaran cakar naganya. Akibatnya, Sang Penghancur
menjadi kelabakan, karena sergapan cakar naga la-
wannya mengandung hawa berlainan. Hal itu tentu sa-
ja membuatnya menjadi kewalahan. Cepat ia melompat
mundur, menghindari sambaran cakar naga lawannya,
seraya mengirimkan tendangan kilat tak terduga.
Plakkk!
Panji yang ingin segera menyelesaikan pertarungan,
mengangkat tangannya untuk memapak tendangan
lawan. Akibatnya, tubuh kedua tokoh sakti itu sama-
sama terjajar ke belakang.
Melihat lawannya agak terhuyung, Panji kembali
melesat sambil mendorongkan sepasang telapak tan-
gannya yang mengandung dua unsur tenaga berlainan
sifat. Sang Penghancur yang merasa tidak mempunyai
kesempatan mengelak, segera menyambut dengan do-
rongan sepasang tangannya. Bahkan, juga mengerah-
kan seluruh kekuatan tenaga saktinya.
Blarrr!
Benar-benar mengerikan benturan dua gelombang
tenaga raksasa itu. Akibatnya, tubuh Sang Penghancur
terlempar deras ke belakang, hingga menjebol dinding
pondok yang terbuat dari kayu.
Pendekar Naga Putih sendiri terlempar ke belakang,
seperti halnya Sang Penghancur. Namun dengan kege-
sitannya, daya luncur itu dapat dipatahkan dengan
berputaran di udara. Kemudian kedua kakinya menda-
rat ringan di atas rerumputan kering.
“Yaaah...!”
Seiring teriakan membahana, kayu pondok yang lu-
ruh itu beterbangan ke segala penjuru. Tak lama ke-
mudian, sosok Sang Penghancur muncul dengan sega-
la keangkerannya. Bahkan wajahnya telah berubah
kekuningan seperti disepuh emas. Tampak sekali ka-
lau hatinya benar-benar telah murka. Di sudut bibir-
nya tampak lelehan darah yang menandakan kalau te-
lah menderita luka dalam yang cukup parah.
Seperti tidak merasakan luka dalamnya, lelaki ting-
gi kokoh itu kembali menerjang Pendekar Naga Putih.
Serangan itu segera disambut Pendekar Naga Putih
dengan sambaran cakar naganya yang berdecit-decit
merobek udara.
Kini kedua tokoh sakti itu kembali saling gempur
dengan hebatnya.
Plak! Plak!
Terdengar ledakan kecil dua kali berturut-turut ke-
tika dua pasang lengan satu sama lain bertemu.
Kemudian mereka kembali saling terjang bagaikan
banteng luka!
Seratus jurus telah cepat terlewat. Dan sampai se-
jauh itu, belum kelihatan tanda-tanda pemenangnya.
Meskipun serangan Panji demikian gencar, tapi ke-
gesitan lawannya benar-benar mengagumkan. Apalagi,
tubuh Sang Penghancur terlindung pakaian berwarna
emas yang ternyata mampu meredam pukulan Pende-
kar Naga Putih. Maka tak heran kalau Pendekar Naga
Putih menjadi cukup repot dan harus mengerahkan
kemampuannya untuk menundukkan tokoh sakti itu.
Desss...!
Pendekar Naga Putih langsung menyarangkan ten-
dangan, ketika melihat pertahanan lawan terbuka.
Tanpa ampun lagi, tubuh Sang Penghancur terjeng-
kang ke belakang hingga satu tombak lebih. Namun,
tokoh sakti itu kembali bangkit meski terlihat agak
menyeringai menahan rasa sesak. Kemudian Sang
Penghancur kembali membangun serangan yang masih
tetap ganas dan berbahaya.
“Yeaaat..!”
Panji yang merasa jengkel melihat kekuatan daya
tahan tubuh lawan, segera mengeluarkan ‘Pekikan Na-
ga Marah’. Dan akibatnya, Sang Penghancur tersentak
mundur seraya mengerahkan hawa sakti untuk melin-
dungi bagian dalam dadanya yang terguncang. Maka,
Panji tidak menyia-nyiakan kesempatan baik itu. Cepat
tubuhnya melesat, diikuti dorongan sepasang telapak
tangannya ke depan.
Whusss....
Blarrr!
“Aaarghhh...!
Sang Penghancur berteriak membelah langit begitu
sepasang telapak tangan Panji telah menggedor da-
danya. Akibatnya, tubuh tokoh sakti itu terlempar de-
ras hingga hampir tiga tombak. Kemudian, tubuhnya
terbanting jatuh menimbulkan suara berdebuk keras.
Panji segera melesat menghampiri lawannya yang
tengah berusaha bangkit, namun selalu terjatuh kem-
bali. Tampak sekali Sang Penghancur telah sekarat
akibat hantaman yang meremukkan dada bagian da-
lamnya. Bahkan tulang-tulang dadanya pun terlihat
melesak ke dalam. Jelas, tulang-tulang dada tokoh itu
remuk akibat gempuran telapak tangan Pendekar Naga
Putih yang memang luar biasa.
“Bunuhlah aku, Pendekar Naga Putih...! Jangan
siksa aku seperti ini...,” erang Sang Penghancur den-
gan mulut tak henti-hentinya mengalirkan darah.
Melihat hal ini, Panji menjadi tak tega. Kemudian
tangannya segera digerakkan dengan telapak terbuka,
Prakkk!
Kepala Sang Penghancur pun langsung pecah aki-
bat tamparan keras Pendekar Naga Putih yang men-
gandung kekuatan hebat Tamatlah riwayat Sang Peng-
hancur yang menggiriskan itu. Kemudian Panji men-
guburkan mayatnya di dekat pondok, dibantu Kenan-
ga.
Angin senja bertiup lembut mempermainkan anak
rambut Kenanga yang berjalan meninggalkan Hutan
Klaren bersama kekasihnya. Gadis jelita itu melingkar-
kan lengannya ke pinggang Panji yang merangkul
pundaknya. Dedaunan pohon melambai, seperti men-
gucapkan selamat jalan kepada sepasang pendekar
muda yang telah menyelesaikan tugasnya.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar