KENCAN DI UJUNG
MAUT
Hak cipta dan Copy Right
pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit.
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 002 :
Kencan Di Ujung Maut
SATU
PUNCAK Gunung Merana masih tetap
dibayang-bayangi oleh kabut tipis yang
menyebarkan hawa dingin. Dalam
bayang-bayang kabut tipis itu lah seraut
wajah polos dalam usia remaja tampak
mencucurkan keringat. Tenaganya dike-
rahkan untuk menahan bobot badannya yang
sedang mengangkat kedua kaki ke atas dan
kepala ke bawah. Tangan kanannya yang
menyangga berat badan itu bertumpu pada
sebatang tonggak bambu yang runcing
setinggi lutut.
Dengan tangan kiri di kebelakangkan
tubuh itu berjuhgkir balik dalam posisi
tegak dan diam tanpa gerak. Telapak
tangannya yang bertumpu pada keruncingan
tonggak bambu itu makin lama semakin
gemetar. Keruncingan tonggak bambu itu
seakan ingin menembus ke telapak tangan
bocah muda tersebut. Namun karena
pengendalian tenaga dalam yang disa-
lurkan melalui ke tangan kanannya itulah
yang membuat keruncingan bambu tak mampu
menembus telapak tangan tersebut
"Pusatkan perhatian dan tenaga ke
tanganmu. Jangan bergeser sedikit pun,
agar pengendalian tenaga dalam itu
benar-benar mampu kau kuasai, Raka" ujar
seorang lelaki tua berusia sekitar enam
puluh tahun lebih. Lelaki itu berpakaian
putih krem dan berikat pinggang kain
hitam. Orang tersebut mempunyai rambut
abu-abu sepunggung, jenggot dan kumisnya
tipis berwarna abu-abu pula. Dengan
tongkat hitam di tangan kanan, lelaki tua
itu pa-dangi anak angkatnya yang bernama
Raka dengan pandangan penuh wibawa. Si
jubah putih kusam itu tak lain adalah
Pawang Badai, penunggu makam keramat
yang menjadi kuburan Eyang Mangkuranda,
guru si Pawang Badai sendiri.
Si jubah putih kusam hingga mirip
warna krem itu melangkah ke arah kanan
Raka Pura. Rupanya di sana juga ada
seorang bocah remaja lagi yang melakukan
hal serupa. Bagi yang tak tahu, bocah
remaja usia sekitar lima belas tahun itu
akan disangka sebagai si Raka Pura,
karena mempunyai kesamaan pada wajah,
potongan tubuh, rambut dan pakaian.
Bocah remaja itu adalah Soka Pura, adik
kembar si Raka Pura. la berpakaian putih
bersih dengan baju tanpa lengan dan ikat
pinggang kain merah, sama dengan yang
dikenakan Raka Pura, kakak kembarnya.
"Atur napasmu, Soka! Jangan terlalu
boros napas, supaya pengendalian tenaga
pun keluar secara teratur."
"Beres, Ayah!"
Soka masih bisa menjawab. la tampak
lebih santai dari Raka. Sekalipun
tubuhnya juga berjungkir balik dengan
telapak tangan kiri bertumpu pada
keruncingan bambu, namun ia tampak
melakukannya dengan ringan. Keringatnya
tidak sederas keringat kakaknya.
Udara dingin yang hadir bersama
kabut seakan tak mampu menyerap keringat
dari tubuh Raka. Maka anak itu terpejam,
karena pencurahan tenaga d-lamnya
benar-benar diatur dan dipusatkan ke te-
lapak tangan. Tetapi Soka masih bisa
membuka mata dan melirik ke arah
kakaknya, bahkan sempat tersenyum
melihat kakaknya berkeringat deras.
"Jika telapak tangan kalian mulai
terasa panas, dan pusat keruncingan
bambu mulai menyengat, segera turun
serta lepaskan tangan kalian. Itu
berarti kemampuan tenaga dalam kalian
sudah mencapai titik tertinggi dan jika
diteruskan dapat membuat tenaga dalam
kalian membalik arah, mencederai diri
kalian sendiri," ujar Pawang Badai
sambil melangkah dengan kalem, penuh
wibawa.
Bocah kembar itu sepertinya sedang
berlomba unjuk kemampuan. Menurut
perhitungan Pawang Badai, mestinya
mereka sudah harus berhenti, karena rasa
panas muiai menyengat telapak tangan me-
reka. Tetapi kenyataannya, mereka masih
bertahan, seakan sama-sama gengsi jika
harus menyudahi latihan lebih duiu.
Beberapa saat kemudian, ternyata
Raka Pura lebih dulu mengakhiri latihan
tersebut. Telapak tangannya terasa panas
dan ujung keruncingan yang ditekan
dengan telapak tangan itu telah terasa
memantulkan tenaga dalam yang
dikeluarkan.
Jleeg...!
Dalam satu sentakan tubuh Raka Pura
melesat ke belakang, lalu menapakkan
kakinya ke tanah dengan tegak.
"Huuuffh...!" Raka hembuskan napas
kelelahannya. Pawang Badai mendeka-
tinya, lalu memeriksa telapak tangan
kanan Raka. Ternyata ada noda merah
matang sebesar kacang hijau di tengah
telapakannya itu.
"Kalau tadi kau tak segera hentikan
latihan ini, maka tenaga dalammu akan
membalik dan merusak jaringan uratmu!"
ujar Pawang Badai.
"Aku sudah tak kuat menahan panas,
Ayah."
"Hmmm..., bagus! Nanti sore kita
ulangi lagi."
Raka sedikit mencemaskan adiknya
karena Soka terlalu lama menahan tubuh
dengan telapak tangan bertumpu pada
keruncingan bambu. la pun segera
mengingatkan kepada sang adik.
"Jangan dipaksakan, Soka! Nanti
jaringan uratmu rusak sendiri. Turunlah
jika sudah merasa tak mampu bertahan
lagi."
Tetapi Soka Pura menjawab dengan
senyum konyolnya.
"Jangan samakan ketahananku dengan
ketahananmu, Raka! Aku masih sanggup
begini terus sampai matahari tenggelam
nanti."
"Sombong!" dengus Raka sambil
melengos, sementara Soka menertawa-
kannya tanpa suara.
Pawang Badai sempat merasa heran dan
kagum dengan ketahanan Soka.
"Gila! Mestinya dia tak akan mampu
cengar-cengir begitu. Setidaknya ia akan
mengucurkan keringat sederas keringat
Raka. Mestinya pula dia tak akan mampu
sebegitu lamanya lakukan latihan ini?!"
Pawang Badai mulai curiga dengan
kemampuan Soka bertahan dalam keadaan
seperti itu. Pandangan mata si tua
bertubuh kurus itu mulai menangkap
sesuatu yang ganjil di tangan kiri Soka
yang dipakai bertumpu pada ujung
keruncingan bambu tersebut.
Pawang Badai melangkah kalem dekati
Soka. Tiba-tiba ia menangkap punggung
tangan kiri Soka yang bertumpu di atas
keruncingan bambu itu.
Teeb...!
Tangan itu diremas oleh Pawang
Badai.
"Turunlah!" perintah Pawang Badai.
"Apa maksud, Ayah? Aku masih mampu
bertahan beberapa saat lagi, Ayah."
"Turunlah sekarang juga!" hardik
Pawang Badai.
Dengan gerakan agak pelan. Soka Pura
pun akhirnya menurunkan kakinya yang
semula lurus ke atas dengan kepala di
bawah. Tapi tangan kirinya tetap
digenggam oleh sang ayah angkat. Hal Itu
membuat Raka menjadi heran dan mencoba
menerka-nerka apa yang terjadi pada diri
adik kembarnya itu, sehingga si ayah
angkat tampak mau marah. Raka pun dekati
mereka.
Soka suka berdiri tegak, tapi tangan
kirinya masih menggenggam karena diremat
oleh Pawang Badai. Ketika matanya beradu
pandang dengan mata si Pawang Badai, Soka
menjadi salah tingkah dan cengar-cengir
kecut.
"Buka genggaman tanganmu!" perintah
Pawang Badai.
"Anu. begini, hmmm... soalnya,
begini, hmmm...." Soka semakin salah
tingkah.
"Buka genggamanmu!" hardik sang
ayah angkat.
Soka takut, dan membuka kepalan
tangannya pelan-pelan. Sang kakak ikut
memandang tegang saat genggaman tangan
si adik membuka pelan-pelan.
"Oh...?!" Raka terkejut, karena
ternyata di telapak tangan Soka terdapat
sepotong kulit hewan yang tebal.
Sepotong kulit berukuran kecil itulah
yang dipakai alas bertumpu di atas
keruncingan bambu tadi.
"Curang kau!" bentak Raka Pura
dengan dongkol. "Pantas kau bisa
bertahan lama sekali, rupanya kau
melapisi telapak tanganmu dengan kulit
binatang!"
"He, he, he...! Habis kalau tidak
pakai tatakan takut bambunya nyoblos
tanganku," ujar Soka dengan
cengar-cengir.
Buuhk...!
Raka memukul punggung adiknya de-
ngan jengkel.
"Hei, kau berani memukulku, hah?!"
Soka menjadi berang. la mau mengejar
kakaknya yang segera menjauh, tapi
tangannya tak dilepaskan dari genggaman
si Pawang Badai.
"Kau yang, salah, Soka!" ujar Pawang
Badai. "Ayah tak suka mempunyai anak yang
licik!"
"Aku bukan licik, tapi cerdik,
Ayah!" bantah Soka, lalu terdengar suara
Raka berseru di belakang ayah angkatnya.
"Hukum dia, Ayah! Hukum yang berat
biar kapok!"
Pawang Badai segera berkata,
"Hukumanmu adalah berdiri dengan ujung
jempol kakimu, satu kaki diangkat, satu
kaki untuk berdiri! Jangan berhenti
sebelum matahari terbenam."
"Syukurrr...! Rasain, berdiri
seperti burung bangau!" ledek Raka.
"Awas kau nanti!" ancam Soka.
"Lakukan sekarang juga, Soka!"
hardik Pawang Badai. Mau tak mau Soka
melakukan hukuman itu, berdiri dengan
satu kaki dan hanya mernakai ujung jempol
kakinya saja, sementara kedua tangan
harus merentang lurus ke samping tak
boleh turun ke bawah.
Pawang Badai sangat tegas dalam
mengajar dan mendidik kedua anak
angkatnya itu. Tak ada ampun bagi siapa
pun yang melakukan pelanggaran dalam
masa latihan. Bahkan bila perlu, hukuman
yang dijatuhkan kepada yang bersalah
berupa tamparan beberapa kali.
Namun bagaimanapun juga, Pawang
Badai sangat sayang kepada si kembar,
Raka dan Soka, demikian pula istrinya,
Nyi Padmi. Sekalipun Raka dan Soka bukan
anak kandung mereka, tapi mereka
mencurahkan kasih sayangnya seperti
halnya curahan kasih sayang seorang ayah
dan ibu kandung.
Sampai usia lima belas tahun itu,
Soka dan Raka belum tahu bahwa ia adalah
anak angkat si Pawang Badai dan Nyai
Padmi. Menurut kedua orangtua itu, belum
saatnya menceritakan siapa orangtua Raka
dan Soka sebenarnya. Pawang Badai
bersikeras untuk tidak menceritakan hal
itu sebelum kedua anak itu menyelesaikan
pelajaran ilmu kanuragan yang harus
mereka kuasai sepenuhnya.
"Jika mereka diberi tahu sekarang,
maka pikiran mereka tidak akan terpusat
pada ilmu yang mereka pelajari," ujar
Pawang Badai kepada istrinya Nyi Padmi,
yang dulu bertindak sebagai dukun bayi
pada saat si kembar itu lahir dari
seorang ibu bernama Muninggar. (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode:
"Dendam Asmara Liar").
Kedua suami istri yang menjadi
penunggu makam keramat Eyang Mangkuranda
alias si Dewa Kencan itu, adalah pasangan
yang mandul tapi tetap saling setia.
Kehadiran si kembar membuat mereka
merasa hidup serba indah dan bahagia,
walau kadang kedua anak itu sering bikin
jengkel hati mereka. Mereka merawat si
anak kembar setelah mendapat perintah
dari roh sang guru, si Dewa Kencan itu,
dan bahkan Pawang Badai sendiri
diizinkan untuk menurunkan ilmunya
kepada Raka dan Soka.
Roh Eyang Mangkuranda memang sering
perdengarkan suara tanpa rupa kepada
mereka. Bukan hanya didengar oleh Pawang
Badai dan Nyi Padmi saja, tapi suara
tanpa rupa itu juga sesekali didengar
oleh Raka dan Soka.
Bahkan jika kedua anak itu saling
berlatih di hutan belakang makam, mereka
sering mendengar suara orang tua tertawa
terkekeh-kekeh tanpa ada wujud yang bisa
mereka lihat. Pada mulanya memang mereka
takut, tapi setelah terbiasa mereka
tidak merasa takut dan tidak merasa heran
lagi. Mereka akan langsung mengetahui
bahwa suara tawa tanpa rupa itu adalah
suara roh Eyang Mangkuranda, yang dalam
silsilahnya sebagai kakek guru mereka.
Pernah pada suatu sore, ketika
mereka berlatih menghancurkan batu
dengan tangan kosong, suara tawa tanpa
rupa itu terdengar lagi di antara mereka
berdua.
Pawang Badai memberi tugas kepada si
anak kembar itu untuk menghancurkan batu
sebesar kepala kerbau, masing-masing
anak mendapat bagian sepuluh batu.
"Ah, enteng! Baru sepuluh batu. Dua
puluh batu pun aku tak keberatan," ujar
Soka Pura sambil mencibir konyol.
"Jangan meremehkan tugas ini, Soka!
Satu batu saja belum tentu bisa kau
hancurkan dalam waktu setengah hari,
apalagi sepuluh batu?!" kata kakaknya
dengan bersungut-sungut, sang adik hanya
cengar-cengir.
Raka mendekati sebongkah batu yang
sudah disiapkan oleh Pawang Badai sehari
sebelum mereka mendapat tugas tersebut.
Batu itu dihantam dengan tangannya.
Desss...!
"Aaaow...!" Raka memekik kesakitan
sambil mengibas-ngibaskan tangannya.
Batu itu masih utuh, hanya geripis
tepiannya saja. Rupanya tenaga anak itu
belum mampu disalurkan ke tangannya,
sehingga yang diperoleh hanya rasa ngilu
pada tulang lengannya.
Soka menertawakan kakaknya yang
menyeringai menahan sakit pada
pergelangan tangannya.
"Percuma kalau makan sering nambah
tapi mukul batu begitu saja tak becus!"
kecam adiknya.
"Alaaa... kau sendiri belum tentu
becus!"
"Eh, jangan menyepelekan Soka Pura,
ya? Biar begini-begini tiap malam aku
selalu mimpi bertemu Eyang Dewa Kencan
dan menerima kekuatan hawa saktinya,"
sambil Soka membusungkan dada dan
mencibir sombong.
"Coba kau hantam salah satu batu
bagianmu itu!"
"Boleh saja! Lihat kehebatanku
ini...!"
Soka segera dekati salah satu batu,
kemudian batu itu dihantam dengan
telapak tangan kirinya.
Dees...!
Praak...!
Ternyata batu itu terbelah menjadi
dua bagian, walaupun tak sama besar.
Raka tertegun melihat kenyataan
itu. Soka makin membusungkan dada dengan
sombongnya. Raka segera tak mau kalah, ia
menghantam batu yang tadi belum bisa
hancur itu dengan telapak tangan
kanannya.
Dees...!
"Aauh...!" Raka mengibas-ngibaskan
tangannya yang kesakitan, sedangkan batu
itu masih utuh tanpa geripis sedikit pun.
"Nah, lihat...! Mana kekuatanmu,
Raka? Kekuatanmu hanya di perut saja,
khususnya untuk menampung nasi.
Perhatikan caraku memukul ini...."
Soka memilih salah satu batu,
kemudian dengan setengah berjongkok,
batu itu dihantamnya dengan tangan kiri.
Dees...!
Prrak...!
Batu tersebut terbelah menjadi tiga
bagian tak sama besar.
Diam-diam si Pawang Badai telah
muncul di tempat itu, memperhatikan
kemampuan Soka dalam memecahkan batu
tadi. Raka tampak sedih dan malu karena
selalu dikecam oleh adiknya. Dari tadi
tak satu batu pun yang sudah berhasil
dihantamnya hingga pecah.
"Lihat, dua batu akan kuhantam
berturut-turut dengan cepat!" ujar Soka
setelah memilih dua batu yang
bersebelahan. Ia menghantam kedua batu
itu secara beruntun dengan tangan kiri
Des, des...!
Prak, prak...!
Lalu ia berdiri tegak dengan dada
membusung, memandang ke arah kakaknya
yang terbengong kagum. Soka tampak
semakin sombong, bersiul mondar-mandir
menyindir kakaknya.
Pada saat itulah terdengar suara
tawa yang terkekeh. Mereka tak kaget
lagi, dan segera memberi hormat dengan
sikap tegak dan kepala menunduk.
"Selamat sore, Eyang...," sapa
mereka serempak.
"Heh, heh, heh, hen...! Rupanya
kalian sedang beradu kecerdasan otak,
Cucu-cucuku?!"
"Bukan kecerdasan otak, tapi
kekuatan tenaga dalam yang kami adu,
Eyang," ujar Raka meralat kata-kata roh
Eyang Mangkuranda itu.
"Kau menghantam batu dengan tenaga,
tapi adikmu menghantam batu dengan
akal."
"Apa maksud, Eyang?"
"Ada sepuluh batu yang tadi malam
sudah dipecahkan dulu oleh Soka memakai
palu besi. Batu yang pecah ditautkan lagi
hingga seperti batu yang masih utuh.
Sebab itulah Soka setiap menghantam batu
langsung pecah atau terbelah, karena
batu-batu yang dipukul adaiah batu-batu
pilihannya, yaitu batu yang sudah
dipecahkan pada malam harinya."
"Ah, jangan memfitnah begitu,
Eyang!" sela Soka dengan cemberut.
"Heh, heh, heh... coba sekarang
hantam lagi satu batu sampai terbelah
seperti tadi!"
"Baik, Eyang! Kumohon Eyang melihat
dengan cermat."
Soka melangkah dekati batu yang ada
di bawah pohon, padahal di depannya tadi
ada batu agak kecil, tapi ia memilih yang
di bawah pohon. Tentunya batu yang di
bawah pohon adalah batu yang sudah
dibelah dengan palu besi besar pada malam
harinya.
Soka mencibir sombong, "Lihat ini,
Raka...!"
Batu itu pun dihantamnya dengan
tangan kiri. Tapi ketika tangan kiri itu
melesat untuk menghantam batu, ternyata
batu tersebut berpindah tempat dengan
cepat dan batu yang lainnya bergeser ke
tempat batu yang pindah tadi.
Wees, slaap...!
Tangan kiri Soka pun tiba di batu
tersebut.
Dess...!
"Aaaoow...!" Ia memekik keras-keras
sambil berjingkat-jingkat dengan tangan
dikibas-kibaskan Batu itu tetap utuh
tanpa geripis sedikit pun, sementara
tangan Soka justru menjadi bengkak. la
tak tahu kalau batu itu sudah diganti
dengan kekuatan gaib oleh roh Eyang
Mangkuranda dengan batu yang masih utuh.
Karenanya, ketika Soka memekik kesakitan
dan mengibas-ngibaskan tangannya,
terdengar pula suara tawa tanpa rupa dari
roh Eyang Mangkuranda.
"Heh, heh, heh, heh...! Itulah
tandanya kalau kau memukul bukan memakai
tenaga tapi memakai akal."
Pawang Badai segera mendekati
mereka sambil manggut-manggut. Soka
menjadi cemas ketika mengetahui si
Pawang Badai mendekatinya. Sementara
itu, Raka menggerutu tiada habisnya
dengan hati dongkol karena dikelabuhi
adiknya.
"Pantas setiap batu dihantam
langsung pecah! Huuuh...! Licik!" kepala
Soka didorong keras oleh Raka hingga
tersentak maju. Soka mau marah, tapi
segera terdengar suara Pawang Badai
memanggilnya.
"Soka...! Jika kau selalu
menggunakan akalmu untuk mengelabuiku,
itu sama saja kau mendidik dirimu untuk
menjadi lemah dan bodoh."
"Maaa... maaf. Ayah."
"Jika kau bertemu dengan musuh, tak
mungkin kepala musuh kau retakkan dulu
pada malam harinya, lalu kau tantang
bertarung pada siang harinya!"
Raka menimpali dengan nada kesal,
"Hukum saja dia, Ayah!"
Pawang Badai berkata, "Sebagai
hukumannya, hantamlah batu disana sampai
pecah atau terbelah, sambil Pawang Badai
menuding ke suatu tempat. Soka
terbelalak kaget dan menegang.
"Mampus aku!" gerutunya sambil
memandangi batu sebesar anak sapi yang
tampak kokoh dan sangat keras itu.
"Sebelum batu itu pecah walau hanya
secuil, kau tak diizinkan untuk pulang.
Makan malammu akan dihabiskan oleh Raka
jika kau tak bisa membuat batu itu
pecah!"
"Asyik, dapat makan dua piring!"
seru Raka sambil meledek adiknya dengan
menari-nari jejingkrakan.
"Sial! Gara-gara roh Eyang Dewa
Kencan melihat kekuranganku, aku jadi
kena hukuman seberat ini!"
Gerutuan itu didengar pula oleh roh
Eyang Mangkuranda yang rupanya selalu
mendampingi sisa muridnya dan anak
didikan sang murid itu. Tapi roh Eyang
Mangkuranda itu hanya tertawa terkekeh-
kekeh dalam gema, kemudian seperti
menjauh dan lenyap tanpa suara lagi. Soka
Pura terpaksa berusaha merasa menghantam
batu itu dengan tangan kirinya, karena ia
memang kidal, dan berusaha secepatnya
dapat selesaikan tugas tersebut. Sebab
ia tak ingin jatah makannya malam itu
disantap oleh sang kakak.
Mereka memang selalu tampak
bersaing dalam menuntut ilmu.
Masing-masing ingin dianggap paling
unggul. Terutama sang adik, selalu tak
ingin dikalahkan oleh sang kakak,
padahal ketekunannya lebih tinggi sang
kakak. Oleh karenanya, Soka selalu
mencari cara agar dapat mengungguli
kakaknya dengan menggunakan berbagai
akal dan kelicikan. Namun pada akhirnya
ia selalu mengakui bahwa ia kurang tekun
dalam berlatih. Mau tak mau ia
mempertinggi ketekunannya, walau hanya
sampai batas dapat sejajar dengan ilmu
yang dimiliki kakaknya. Jika sudah
sejajar, ketekunan Soka kembali ber-
kurang dan selalu bikin ulah yang
menjengkelkan Pawang Badai.
Mereka diwajibkan bangun pagi dan
berlari mengelilingi puncak Gunung
Merana itu. Soka sering malas melakukan
latihan rutin tiap pagi itu, sehingga
banyak cara yang digunakan untuk
memperingan bebannya dalam melakukan
latihan rutin tersebut. Seperti
misalnya, ia berlagak jatuh dan kakinya
terkilir, lalu tak bisa berjalan. Mau tak
mau sang kakak menggendongnya sambil
berlari sebagai tanda bahwa Raka masih
tetap sayang kepada adiknya. Begitu
hampir sampai rumah, Soka buru-buru
minta diturunkan dan berlagak kakinya
sudah sembuh. Maka jarak lari yang
ditempuhnya cukup pendek dan membuatnya
tak terlalu lelah.
Tetapi pagi itu, Soka berlari dengan
cepat sekali. Lalu di suatu tempat yang
sepi, ia sengaja berhenti dan memainkan
satu jurus bertenaga dalam. Raka yang
tertinggal sempat mengintip dari balik
pepohonan. Mata sang kakak menjadi
terbelalak ketika melihat Soka sentakkan
tangannya ke depan dalam keadaan semua
jari lurus merapat. Sentakan tangan itu
diarahkan ke sebatang pohon.
Craak...!
Kulit pohon terkelupas sebagian
sebelum tangan itu menyentuh pohon
tersebut. Raka yang kagum hanya bisa
membatin, "Sejak kapan dia punya Jurus
itu? Ayah belum mengajarkan jurus ter-
sebut!"
Maka ketika Raka muncul dan
menanyakannya, dengan lagak kesombongan
yang konyol Soka menjawab,
"Semalam aku bermimpi ditemui Eyang
Guru lagi. Eyang Guru mengajarkan jurus
itu padaku, katanya, hanya untuk diriku.
Jadi maaf kalau aku tak bisa
mengajarkannya padamu, Raka!"
Raka merasa iri, bagaimanapun juga
ia harus bisa membujuk adiknya agar
mengajarkan jurus tersebut.
"Ayah akan marah padamu dan kau akan
dihukum terjun ke jurang kalau
menggunakan jurus itu tanpa seizin Ayah.
Akan kuadukan kepada Ayah kalau kau tak
mau ajarkan jurus itu padaku."
"Jangan begitu kau, Raka! Aku bisa
mampus kalau disuruh terjun ke jurang!"
"Makanya ajarkanlah jurus dari
Eyang Guru itu!"
"Baiklah, tapi berjanjilah kau tak
akan mengadukan hal ini kepada Ayah!"
"Aku berjanji!"
"Sumpah...?!"
"Sumpah!"
"Sumpah apa?"
"Sumpah serapah juga berani!"
"Uuuh...!" Soka bersungut-sungut,
tapi akhirnya jurus itu diajarkan pula
kepada Raka.
Mereka memang sering ditemui
mendiang Eyang Guru, Dewa Kencan. Seakan
di dalam mimpi itu mereka benar-benar
hidup bersama Eyang Guru. Jurus-jurus
yang diajarkan kepada mereka sebagian
besar belum dimiliki oleh Pawang Badai,
tapi ada juga yang sudah dimiliki Pawang
Badai, hanya saja belum diturunkan
kepada mereka.
Tetapi tepat pada malam bulan
purnama, ketika udara dingin namun tanpa
kabut setebal biasanya, Pawang Badai
perintahkan si anak kembar itu untuk
lakukan semadi kubur.
"Apakah tak terlalu bahaya bagi
mereka?" ujar Nyi Padmi yang merasa
was-was mendengar kedua anak kembar itu
akan lakukan semadi kubur.
"Tidak apa-apa. Kurasa mereka sudah
cukup kuat melakukan semadi kubur, tapi
usia mereka kini sudah tujuh belas
tahun," jawab Pawang Badai menenteramkan
hati istrinya tercinta.
Kini anak kembar itu memang sudah
berusia tujuh belas tahun. Mereka tumbuh
sebagai pemuda yang gagah dan tampan.
Badan mereka kekar berisi, sesuai dengan
tinggi tubuh mereka. Ilmu yang
ditempuhnya pun semakin tinggi lagi.
Semadi kubur adalah melakukan
semadi dengan badan terkubur di tanah
sampai batas leher. Semadi kubur itu
berguna untuk menyatukan getaran nadi
dengan getaran bumi, sehingga setiap
getaran tubuh yang disalurkan melalui
tenaga dalam dapat membuat bumi pun
bergetar.
"Berapa lama kami harus lakukan
semadi kubur, Ayah?"
"Lamanya empat puluh hari!" jawab
Pawang Badai.
"Lama sekali?!" gerutu Soka.
"Bagaimana kalau dipersingkat menjadi
empat hari saja. Ayah."
"Atau tiga hari saja," timpal Raka.
Soka menambahkan lagi, "Soalnya
Raka tidak akan kuat menahan lapar jika
sampai empat puluh hari!"
"Enak saja! Kalau hanya menahan
lapar empat puluh hari. aku kuat saja.
Tapi menahan pipis yang tidak kuat,
Ayah!"
"Tidak ada penawaran!" tegas Pawang
Badai. "Kalian harus mampu melakukannya,
karena semadi kubur adalah kunci
pengendalian tenaga untuk memperoleh
bantuan tenaga dari getaran bumi. Kalau
kalian tak melakukannya, maka kalian tak
akan memperoleh ilmu yang bisa dibilang
dahsyat!"
Kedua pemuda kembar itu saling
melirik, lalu menyentak bahu tanpa
pasrah. Mau tak mau mereka harus lakukan
semadi kubur tersebut, karena mereka
sama-sama ingin mencapai pelajaran
tingkat tinggi.
Pada hari kesepuluh, mereka tidak
mengalam gangguan apa-apa. Tapi pada
hari ketiga belas, yang merupakan angka
keramat, mereka mendapat gangguan dari
berbagai makhluk halus yang mengerikan.
Gangguan itu bisa diatasi oleh mereka.
Demikian pula gangguan-gangguan pada
hari berikutnya.
Ketika mereka mencapai malam
keempat puluh, tiba-tiba mereka
merasakan sekujur tubuh mereka bergetar.
Dari getaran pelan sampai getaran tinggi
yang membuat mereka bagai diguncang oleh
sang bumi.
Rasa panas menyengat di sekujur
tubuh mereka sampai pada bagian kepala
yang tak ikut terkubur itu. Mereka
bagaikan dimasukkan ke dalam lumpur
lahar yang membuat kulit tubuh mereka
terasa melepuh dan matang.
Namun mereka masih terus saling
bertahan karena mereka tak ingin gagal.
Soka tak ingin gagal sementara kakaknya
berhasil, Raka sendiri tak ingin gagal
sementara adiknya berhasil.
Ketika melewati pertengahan malam,
udara dingin menyerang mereka tidak
seperti biasanya. Hawa dingin itu terasa
meresap ke bumi dan membungkus tubuh
mereka yang terkubur. Alam pun akhirnya
dihinggapi oleh busa-busa salju. Kepala
kedua anak kembar itu menjadi putih
karena terbungkus busa salju. Mereka
bukan saja menggigil. namun nyaris tak
bisa bernapas karena jantung mereka
terasa membeku. Mereka bertahan terus
karena waktunya tinggal setengah malam
lagi.
Menjelang fajar menyingslng,
tiba-tiba mereka yang dikubur secara
bersebelahan dasar jarak dua langkah,
dikejutkan oleh datangnya sinar terang
benderang yang amat menyilaukan. Sinar
itu semula melesat bagaikan kunang-
kunang terbang cepat, berputar-putar
mengelilingi mereka beberapa kali,
akhirnya hinggap di atas sehelai daun
semak. Sinar yang besarnya seperti
kunang-kunang itu berwarna putih dan
makin lama semakin besar, bertambah
lebar, lalu menyilaukan pandangan mata
mereka.
Kekuatan pancaran sinarnya begitu
tinggi, sehingga mata mereka terasa
buta. Tapi dalam kebutaan tersebut,
mereka segera melihat sesosok bayangan
seorang kakek berjenggot panjang dan
berkepala gundul. Kakek itu mengenakan
jubah kuning seperti pakaian biksu dan
membawa tasbih dari manik-manik berwarna
biru menyala.
Mereka akhirnya tak merasa asing
lagi melihat sosok tua yang berdiri di
depan mereka itu. Sebab sosok tua itu
sering mereka temui di alam mimpi. Sosok
tua tersebut tak lain adalah Eyang Mang-
kuranda alias si Dewa Kencan, yang
berwajah ramah dan murah senyum.
"Hebat, hebat, hebat...! Heh, heh,
heh...! Kalian telah menyerap ilmu
'Getar Jagat' yang jarang dimiliki
orang," ujar si Eyang Guru. "Dari semua
muridku, hanya si Pawang Badai, ayah
angkat kalian itu, yang mampu kuasai ilmu
'Getar Jagat'! Memang masih ada beberapa
ilmu yang akan kuturunkan langsung
kepada kalian nanti. Tapi ada satu hal
yang teramat penting dan harus kalian
lakukan setelah ini!"
Kedua pemuda kembar itu sama-sama
menyimak setiap kata Eyang Guru, tak satu
pun yang berani menyahut atau memotong
kata-kata tersebut. Walau dalam hati
mereka ada satu kejanggalan kala
mendengar sang Eyang Guru menyebutkan
nama Pawang Badai sebagai ayah angkat
mereka. Ini benar-benar mengejutkan
namun juga membuat mereka menjadi
bimbang dengan pendengarannya sendiri.
"Hal yang terpenting harus sekali
kalian lakukan adalah mengambil sepasang
pusaka yang bernama 'Pedang Tangan
Malaikat' yang ada di Gua Mulut Naga.
Segeralah berangkat sebelum pusaka milik
ayahku itu menjadi milik orang lain!"
Blaaap...!
Tiba-tiba cahaya menyiiaukan itu
lenyap seketika bersama hilangnya
bayangan Eyang Guru Mangkuranda.
Pandangan mata mereka kembali gelap
pekat bagaikan buta, dan jiwa mereka se-
perti melayang-layang di tempat yang
hampa udara.
* * *
DUA
PAWANG Badai terkejut ketika kedua
anak kembar itu menanyakan tentang
'Pedang Tangan Malaikat'. Mata si tua
Pawang Badai terkesip sambil sembunyikan
rasa curiga. Satu persatu si anak kembar
itu ditatapnya tanpa bicara. Suasana
hening meliputi mereka bertiga, sedikit
menegangkan.
"Jika Ayah tidak berkenan dengan
pertanyaan kami, sebaiknya kita lupakan
saja pertanyaan tadi, Ayah," ujar Raka
Pura dengan rasa takut kena marah sang
ayah angkat.
"Dari mana kalian mendengar tentang
pedang pusaka itu?" tanya Pawang Badai
dengan suara nyaris datar tanpa tekanan.
"Semalam roh Eyang Mangkuranda
menemui kami, Ayah," jawab Raka dengan
tetap duduk bersila di depan Pawang
Badai, sedangkan Soka pun duduk bersila
di samping kakaknya.
Mendengar jawaban itu, Pawang Badai
semakin kaget, hanya saja rasa kaget itu
masih bisa disembunyikan dengan sikap
tenang dan penuh wibawa.
"Kami hanya ingin tahu apakah benar
Pedang Tangan Malaikat itu memang ada,
dan mengapa kami diutus Eyang Guru untuk
mengambil pedang itu di Gua Mulut Naga.
Hanya itu tujuan pertanyaan kami, Ayah,"
tambah Raka Pura, sementara sang adik
masih diam saja
Setelah menghempaskan napas
panjang, Pawang Badai pun mulai menjawab
pertanyaan tersebut dengan suara pelan,
namun jelas didengar oleh mereka berdua.
"Pedang Tangan Malaikat itu memang
ada. Pedang pusaka itu dulu milik ayah
dan pamannya Eyang Guru yang bernama
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati.
Keduanya adalah tokoh berilmu tinggi dan
merupakan anak kembar, seperti kalian."
Soka Pura sempat menyela kata, "Jadi
pedang itu ada dua, Ayah?"
"Benar, pedang pusaka itu memang ada
dua," jawab Pawang Badai. "Menurut
cerita Eyang Guru Mangkuranda yang
pernah kudengar, kedua pedang pusaka itu
mempunyai kehebatan yang luar biasa.
Jika mereka berdua sudah menghunus pe-
dang, maka tak ada lawan yang bisa
menandinginya. Akhirnya mereka sepakat
untuk tinggalkan dunia persilatan dan
mengasingkan diri di tempat yang sunyi.
Sepasang pedang kembar itu disimpan oleh
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati di
suatu tempat yang tak diketahui oleh
siapa pun. Bahkan menurut pengakuan
Eyang Dewa Kencan semasa hidupnya,
beliau juga tidak mengetahui di mana
pedang pusaka tersebut disembunyikan
oleh ayah dan paman beliau."
"Tapi mengapa semalam Eyang Guru
Mangkuranda bisa menyebutkan nama tempat
penyimpanan pedang tersebut?" sela Soka
Pura.
"Itulah yang tak kumengerti. Tapi
barangkali saja, roh Eyang Guru kalian
itu diutus pula oleh roh ayah dan paman
beliau untuk sampaikan nama tempat
kepada kalian, yaitu Gua Mulut Naga."
"Di mana letak gua itu. Ayah?" tanya
Raka setelah Pawang Badai hentikan
blcaranya beberapa saat. Raka Pura
tampak lebih berambisi untuk dapatkan
pedang pusaka tersebut, jika benar
pedang itu memang ada.
"Tanyakan kepada orang-orang rimba
persilatan, salah satu dari mereka pasti
ada yang tahu di mana letak Gua Mulut Naga
itu. Karena jika kalian bisa dapatkan
pedang pusaka tersebut, maka kalian
barulah berhak menggunakan gelar:
Pendekar. Entah kalian mau berjuluk
pendekar apa pun juga, yang jelas harus
dapatkan pedang itu lebih dulu."
"Apakah Eyang Guru tak pernah
mengutus Ayah atau murid lainnya untuk
mengambil pedang itu?"
"Jangankan mengutus, menyebutkan
nama Gua Mulut Naga saja belum pernah.
Baru sekarang aku mendengar nama Gua
Mulut Naga itu, Soka."
"Kalau begitu kami lebih beruntung
daripada murid-murid Eyang Guru
Mangkuranda sebelumnya, ya?" ujar Soka
kepada kakaknya. "Kita dianggap murid
terhormat ketimbang...."
"Ketimbang Ayah, begitu maksudmu?"
potong Raka.
Soka Pura hanya meilrik ayah
angkatnya sambil berkata, "Aku tidak
bilang begitu lho, Ayah! Raka yang merasa
mengatakan begitu!"
Takut sang ayah tersinggung, Raka
buru-buru kembalikan pada pembicaraan
awal.
"Jadi, menurut Ayah apakah kami
tetap harus mencari Gua Mulut Naga?"
"Ya. Kalian harus cari tempat itu
dan dapatkan kedua pedang pusaka
tersebut. Setelah mendapatkan pedang
tersebut, cepatlah pulang dan tunggu roh
Eyang Guru kalian menemui kalian, entah
dalam mimpi maupun dalam bayangan!"
"Kami akan kerjakan tugas itu,
Ayah!" ujar Raka dengan tegas, pada waktu
itu Nyi Padmi muncul membawakan hidangan
makan siang untuk mereka bersama.
"Mau ke mana kalian?"
"Mencari pusaka Pedang Tangan
Malaikat, Ibu!" jawab Raka.
"Biar kami berdua sama-sama jadi
pendekar!" timpal Soka dengan wajah
memancarkan rasa bangga.
"Ah, sudahlah tak perlu ke mana-mana
lagi. Cukuplah kalian mempunyai bekal
ilmu dari ayahmu ini. Kalau kalian pergi,
kami akan merasa sepi. Ayah dan Ibu sudah
tua, sudah dekat masa dipanggil oleh
Hyang Maha Kuasa. Kami ingin pergunakan
sisa hidup kami yang tinggal beberapa
saat lagi ini untuk menikmati
kebahagiaan bersama kalian!"
"Mereka tetap harus berangkat!"
ujar Pawang Badai kepada istrinya. "Ini
bukan sekadar harapan dan cita-cita
mereka, namun sudah merupakan suatu
tugas Eyang Mangkuranda sendiri yang
mengutus mereka mencari pedang pusaka
itu."
"Oh...?! Jadi kalian ditemui oleh
roh Eyang Mangkuranda lagi?" Nyi Padmi
agak kaget.
"Benar, Ibu," jawab Raka, kemudian
mengulangi cerita pertemuan mereka
dengan bayangan roh Eyang Mangkuranda.
"Jika begitu, Ibu tak bisa bilang
apa-apa lagi," kata Nyi Padmi dengan nada
sedih. "Berangkatlah dan dapatkan dengan
segera pedang tersebut, Anak-anakku."
"Kami akan berangkat secepatnya.
Tapi ada satu hal lagi yang ingin kami
tanyakan kepada Ayah dan Ibu," ujar Raka
Pura.
"Tentang apa lagi?"
Raka melirik Soka, seakan mendesak
adiknya yang bicara. Tapi Soka memberi
isyarat dengan anggukan dan kedipan
mata, seakan mendesak sang kakak saja
yang bicara. Terjadilah masa hening
beberapa saat yang menimbulkan rasa
heran di hati Pawang Badai dan Nyi Padmi.
"Katakan, apa yang ingin kalian
tanyakan itu?!" desak Nyi Padmi.
"Hmmm... apakah... apakah benar
kami ini anak angkat Ayah dan Ibu?"
Akhirnya Raka Pura yang bicara
dengan wajah murung. Soka Pura tundukkan
kepala, seakan tak mau tampakkan
wajahnya yang juga ikut murung karena
diliputi debar-debar kesedihan. Nyi
Padmi beradu pandang dengan suaminya.
Wajah Nyi Padmi pun mulai tampak
membendung duka dan kecemasan.
"Mengapa kalian bertanya begitu,
Anakku?" ujar Nyi Padmi yang segera
bersimpuh di tengah-tengah antara Raka
dan Soka. Kedua tangannya mengusap-usap
kepala pemuda kembar itu.
Sambungnya lagi, "Bukankah kalian
masih ingat bahwa sejak kecii kalian
berdua dibesarkan oleh Ayah dan Ibu?
Mengapa kalian mempunyai pertanyaan
seperti itu, Anakku?!"
"Ibu...," Raka beranikan bicara
lagi dengan lirih. "Semalam bayangan roh
Eyang Mangkuranda sempat rnenyinggung
masalah itu walau hanya sepintas
sekali."
Pawang Badai segera menarik napas
dalam-dalam, sepertinya ada sesuatu yang
ditekan kuat-kuat dari dalam hatinya,
lalu bicara kepada istrinya, "Mereka
sudah besar, sudah waktunya mengetahui
siapa diri mereka sebenarnya. Barangkali
begitulah maksud Eyang Guru
Mangkuranda!"
Raka Pura dan Soka Pura mulai
menahan debar-debar dalam hatinya. Namun
keduanya sama-sama tundukkan wajah
dengan kesedihan kian merambah. Setelah
sama-sama saling membisu beberapa helaan
napas, Pawang Badai perdengarkan
suaranya lagi dengan tenang dan
berwibawa.
Raka Pura dan Soka Pura.... Kalian
adalah anak-anakku juga anak ibumu ini,
Sejak kecil, bahkan sejak kalian lahir,
kamilah yang merawat kalian. Kasih
sayang kami tercurah sepenuhnya untuk
kalian. Sakit kalian adalah sakit Ayah
dan Ibu, nyawa kalian adalah nyawa kami
juga. Tetapi sesungguhnya, kami hanyalah
perawat kalian berdua. Tugas kami
hanyalah merawat, membesarkan,
mendidik, dan mencintai kalian dengan
sepenuh hati...."
Nyi Padmi juga tundukkan kepala.
Bola matanya tangis keharuan yang
ditahan dalam dadanya. Kedua tangannya
masih pegang punggung Raka dan Soka di
kanan kirinya.
Kini sudah waktunya kalian
mengetahui, bahwa tugas Ayah dan Ibu
hanya itu. Sedangkan lahirkan kalian
bukan kami. Kalian dilahirkan dari rahim
seorang ibu berhati mulia yang bernama
Muninggar yang bersuamikan seorang putra
Demang bernama Panji Pura. Mereka berdua
itulah orangtua kalian yang sebenarnya.
Muninggar dan Panji Pura itulah ibu dan
ayah kandung kalian...."
Raka dan Soka semakin tundukkan
wajah. Bayang-bayang kedukaan semakin
mengembang kuat di wajah kedua pemuda
kembar Itu. Lidah mereka sama-sama
terasa kelu, sehingga sulit bicara dan
menelan ludah. Tetapi suara isak tangis
mulai terdengar di samping mereka. Suara
isak tangis samar-samar itu tak lain
adalah tangis keharuan Nyi Padmi, ibu
angkat mereka.
Pawang Badai masih bersuara tenang
dan tegar, namun nada suaranya
menyejukkan hati kedua pemuda kembar
itu, bahkan menimbulkan perasaan iba
yang menghadirkan tangis di batin
mereka.
"Kakek kalian adalah Ki Demang
Yasaguna, yang menjabat sebagai Demang
di wilayah Pademangan kaki Gunung Merana
ini. Pada saat ibu kandungmu Muninggar,
ingin melahirkan kalian, ibumu di sini
sedang dalam perjalanan menemui Ki De-
mang Yasaguna untuk sampaikan firasat
buruk yang hadir melalui mimpi. Ibumu
yang kurus inilah yang menolong
kelahiran kalian dari rahim Ibu Mulia Mu-
ninggar...."
Akhirnya seluruh kisah kelahiran
Raka dan Soka dituturkan oleh Pawang
Badai dengan suara yang lembut namun
punya nada bijaksana sekali. Cerita itu
juga menyinggung nyinggung nama Ratu
Cumbu Laras yang menjadi biang bencana
bagi keluarga Panji Pura. Kala itu Ratu
Cumbu Laras berskandal dengan Panji
Pura, sehingga saat Muninggar melahirkan
anak kembar hingga nyawanya tak
tertolong, Panji Pura sedang berada
dalam pelukan Ratu Cumbu Laras.
Kelahiran bayi kembar membuat Ratu
Cumbu Laras gembira, karena ia sedang
membutuhkan tumbai bayi kembar sebagai
korban persembahan bagi tuannya, yaitu
iblis Dewa Seribu Laknat.
Pawang Badai pun menceritakan
malapetaka yang melanda wiiayah
Pademangan, di mana semua penduduk
Pademangan tewas dibantai oleh
orang-orang bertopeng. Orang-orang
bertopeng itu adalah kaki tangan Ratu
Cumbu Laras. Hanya dua orang yang
selamat, yaitu seorang penduduk dan
Panji Pura, sebab pada waktu terjadi
pembantaian massal, Panji Pura masih
berada dalam dekapan Ratu Cumbu Laras,
sedangkan bayi kembar sudah lebih dulu
dibawa pergi ke puncak Gunung Merana oleh
Pawang Badai. Maka ketika Panji Pura
pulang ke rumah dan mengetahui
keluarganya telah dibantai semua,
termasuk seluruh penduduk Pademangan,
lelaki itu pun akhirnya menjadi gila dan
pergi entah ke mana mengikuti alam
kegilaannya, (Baca serial Pendekar
Kembar dalam episode: "Dendam Asmara
Liar").
Wajah duka dan hati meratap sedih
kini mulai berangsur-angsur pudar,
berganti warna-warna dendam yang
akhirnya memancar dari pandangan mata
kedua pemuda kembar itu. Bayangan Ratu
Cumbu Laras yang diceritakan Pawang
Badai melekat kuat di pelupuk mata Raka
dan Soka. Kobaran api dendam mendidihkan
darah mereka, membuat panas terasa
sesak. Bahkan Soka Pura tampak
berkeringat dingin karena menahan
gejolak murka di dalam hatinya.
"Sampai sekarang, kami tak pernah
mendengar kabar di mana ayah kandungmu si
Panji Pura, itu berada," sambung Pawang
Badai. "Tapi firasatku mengatakan, suatu
saat kalian akan bertemu dengan ayah
kandung kalian, bahkan besar kemung-
kinannya kalian akan bertemu dengan Ratu
Cumbu Laras. Karena sampai sekarang aku
tak pernah mendengar kabar tentang
kematian Ratu Cumbu Laras."
Dengan suara parau dan gemetar, Raka
Pura berkata sambil mengangkat kepala
menegakkan dada, demikian pula yang
dilakukan Soka Pura.
"Aku akan menantang pertarungan
dengan Ratu Cumbu Laras sampai salah satu
dari kami ada yang mati, Ayah!"
"Izinkan tanganku berlumur darah
untuk mencabut jantung Ratu Cumbu Laras
dan meremas-remasnya, Ayah!" sahut Soka
Pura dengan kulit wajah kemerah-merahan.
"Anakku...," Nyi Padmi buka suara
dengan sisa duka yang membuat parau dan
bergetar suaranya. "... jika kalian
ingin lakukan hal itu jangan berdasarkan
dendam, tapi lakukanlah demi kedamaian
hidup sesama yang telah dirusak oleh Ratu
Cumbu Laras itu, Nak."
"Benar apa kata ibumu itu, Raka dan
Soka," sahut Pawang Badai. "Jiwa yang
dirasuki dendam hanya akan membuat Jiwa
itu akan menjadi liar, dan hidup pun
menjadi miskin ketenangan, miskin pula
perdamaian. Jangan kobarkan api dendam
dalam hati kalian, karena api dendam yang
berkobar hanya akan membuat hidupmu
kering dan tandus. Tetapi berbuatlah
kebajikan terhadap sesama, tundukkan
keangkara murkaan, lawanlah kejahatan
demi kebenaran, niscaya hidupmu akan
penuh ketenangan, kedamaian dan
keteduhan. Di dalam menumpas keangkara
murkaan itulah, pembalasan yang kalian
tuntut akan terbalas dengan sendirinya
tanpa dirongrong oleh api dendam
kesumat. Hiduplah dalam kesadaran akan
tugasmu sebagai umat manusia yang harus
tolong-menolong dan saling mengasihi di
antara sesama."
Menurut Raka Pura, nasihat itu cukup
bijaksana dan mampu meredamkan api
dendam di dalam hatinya. Tetapi hati Soka
Pura berpendapat lain.
"Saling mengasihi boleh-boleh saja,
tapi kalau Ratu Cumbu Laras lewat di
depanku, kuhabisi kurajang habis dari
ujung rambut sampai ke jempol kakinya!"
Akhirnya Pawang Badai dan Nyi Padmi
melepas kepergian kedua pemuda kembar
itu yang ingin mencari Pedang Tangan
Malaikat. Sebab siapa pun yang memiliki
Pedang Tangan Malaikat, maka ia berhak
menyandang geiar seorang pendekar yang
diakui oleh dunia persilatan.
"Hati-hatilah jika kalian bertemu
dengan seorang lelaki, yang mempunyai
wajah mirip kalian, karena siapa tahu dia
adalah ayah kandung kalian sendiri si
Panji Pura. Sujudlah di kakinya, karena
biar bagaimanapun dia adalah ayah
kandung kalian sendiri," pesan Pawang
Badai.
"Kami akan turuti pesan Ayah ini,"
ujar Raka Pura.
"Jika kalian sempat bertemu dengan
ayah kandung kalian, sampaikan salamku
dan ibumu di sini kepada beliau. Dan
ingat, katakan kepadanya bahwa kau
adalah murid Eyang Mangkuranda alias si
Dewa Kencan. Sedangkan aku dan ibumu di
sini hanya sebagai orangtua angkat
kalian, pembimbing dan perawat kalian.
Guru kalian tetap Eyang Mangkuranda,
karena seluruh ilmu yang kuajarkan
kepada kalian adalah ilmu warisan
beliau."
Pawang Badai menepuk-nepuk pundak
Raka dan Soka yang berdiri bersebelahan.
"Kita sama-sama murid Eyang Mangkuranda.
Jaga nama baik aliran silat kita dan
jangan mencoreng nama perguruan kita di
mata dunia persilatan!"
"Baik, Ayah!" Jawab keduanya secara
bersamaan.
"Berangkatlah, Anakku! Tunjukkan
pada dunia persilatan bahwa aliran Dewa
Kencan masih ada dan tetap menjadi
pembela kebenaran!"
"Baik, Ayah! Kami mohon pamit dan
mohon doa restu Ayah serta Ibu yang tak
mungkin bisa kami lupakan seumur hidup
kami!"
"Anakku...," Nyi Padmi menitikkan
air mata ketika memeluk Raka dan Soka.
Kedua anak muda itu diciuminya dengan
curahan kasih sayang tiada tara. Raka dan
Soka hanya menangis haru dalam hati
masing-masing. Rasa berat meninggalkan
sang orang tua angkat membuat mereka
saling memeluk lama kedua orang tua itu.
"Raka, jaga adikmu baik-baik, ya
Nak?" pesan Nyi Padmi di sela tangisnya.
"Aku akan selalu ingat pesan Ibu
ini!" tegas Raka menyenangkan hati sang
ibu angkat.
"Soka, bantu kakakmu dalam
kesulitan apa pun, ya Nak."
"Baik, Ibu," jawab Soka dengan suara
bergetar menahan kesedihan.
Pawang Badai segera berkata,
"Kalian tak boleh saling bertengkar.
Karena perpaduan jurus kalian akan
menghasilkan kekuatan dahsyat yang sulit
dicari tandingannya. Yang tua harus
banyak mengalah, yang muda pun jangan
kurang ajar! Ingat itu, Soka!"
"Ya, aku akan ingat selalu nasihat
Ayah!"
"Berbaliklah ke belakang. Aku butuh
punggung kalian!" ujar Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu segera
berbalik memunggungi Pawang Badai. Kedua
telapak tangan Pawang Badai segera
ditempelkan di punggung mereka. Tubuh
lelaki berjenggot abu-abu itu mulai ber-
getar. Makin lama getarannya makin kuat,
rona wajahnya pun tampak menegang. Lalu,
dari masing-masing telapak tangan yang
ditempelkan ke punggung kedua anak
kembar itu mulai berasap. Bertambah lama
bertambah banyak pula asap tersebut.
Kini tubuh Pawang Badai bukan saja
bergetar namun berguncang-guncang
dengan telapak tangan tetap menapak di
punggung Raka dan Soka. Sementara itu,
Raka dan Soka mengeraskan urat mereka,
kodua tangan mereka sedikit mengembang
dan menggenggam. Mereka merasakan hawa
panas bercampur dingin silih berganti
meresap ke dalam tubuh mereka, menjalar
dari punggung ke kepala dan ke telapak
kaki.
Brrruk...!
Tiba-tiba Pawang Badai jatuh
terduduk dan napasnya terengah-engah,
wajah pun menjadi pucat. Raka dan Soka
sama-sama terkejut dan segera membantu
Pawang Badai untuk berdiri.
"Ayaaah...?!"
"Tak apa, aku hanya kesemutan!" ujar
Pawang Badai dengan tenang. Ia pun
berdiri setelah sang istri ikut menolong
dengan wajah cemas.
Kini Pawang Badai berhadapan dengan
Raka dan Soka, kedua tangannya menepuk
pelan pipi si anak kembar tersebut.
Pluk, pluk...!
"Kutitipkan jurus ‘Badai Jalang'
kepada kalian, sebagai tanda kasih
sayangku yang paling tinggi tetap
menyertai ke mana pun kalian berada.
Pergunakan dalam keadaan sangat
terpepet. Tangan, napas dan tenagamu
akan bergerak sendiri lalu mengeluarkan
badai dahsyat jika hati atau mulut kalian
menyebut kata 'Badai Jalang' sambil
menahan napas dipusar."
"Terima kasih, Ayah!"
"Jurus 'Badai Jalang' juga membuat
kalian bersahabat dengan badai mana pun,
sehingga tubuh kalian tak akan
dihempaskan oleh sang badai, walaupun
batu sebesar kerbau dapat diguling-
kannya."
"Kami paham, Ayah," ujar Raka Pura.
"Kini jurus 'Badai Jalang' sudah tak
ada padaku.
Kalianlah pemilik dari ilmu tunggal
yang tidak dimiliki oleh tokoh mana pun
di rimba persilatan itu!"
Rasa bangga dan haru menyelimuti
hati mereka. Rasa bangga itu mengembang
dalam hati karena kini mereka telah
memiliki ilmu tunggal yang hanya di-
miliki oleh si Pawang Badai tersebut,
tetapi hati mereka pun terharu karena
rasakan betapa besar cinta kasih si
Pawang Badai sampai rela serahkan jurus
'Badai Jalang' kepada mereka. Cinta
kasih kedua orang penjaga makam keramat
itulah yang membuat langkah Raka dan Soka
terasa mantap dan tegar saat turun dari
Gunung Merana dan menghamburkan diri ke
dalam kancah dunia persilatan. Kedua
pemuda yang memiliki wajah seperti
pinang dibelah dua itu memandang lurus
bagai menembus masa depan dengan penuh
keberanian dan semangat kependekaran.
* * *
TIGA
MELINTASI lembah landai berhutan
jati liar, melangkah kedua pemuda kembar
yang sulit dibedakan itu terpaksa
terhenti. Mereka mendengar suara pekik
pertarungan yang melengking tinggi dan
menarik perhatian. Mereka sepakat
bergegas ke arah pertarungan itu untuk
melihat sekaligus membandlngkan
jurus-jurus mereka dengan jurus-jurus
yang dipakai dalam pertarungan tersebut.
"Kita jangan ikut campur urusan
mereka!"
"Jangan!" tegas Soka Pura.
"Kita hanya melihat sejauh mana
kehebatan jurus dan ilmu mereka yang
bertarung itu. Ingat, kita hanya
melihat!"
"Nonton!"
"Melihat!"
"lya, sama saja dengan nonton!"
"Beda. Melihat itu bersifat
mengamati, tapi kalau menonton itu
bersifat menikmati!"
Perdebatan mereka terhenti dengan
sendirinya ketika mereka tiba di sebuah
tebing setinggi lima tombak. Dari atas
tepian tebing itu mereka melihat jelas
siapa yang bertarung di bawah sana.
Seorang gadis berusia sekitar tujuh
belas tahun sedang terpelanting akibat
pukulan perempuan berjubah hijau dari
jarak jauh. Perempuah berjubah hijau itu
hantamkan pukulan tenaga dalamnya tanpa
sinar ke arah si gadis Secara refleks
kedua tangan si gadis menahan pukulan
tersebut dengam membentangkan kedua
telapak tangannya di depan dada. Tetapi
agaknya pukulan tenaga dalam lawan cukup
besar, sehingga gadis itu terpelanting
dan jatuh terbanting.
Brruk...!
Menyedihkan sekali.
Seorang nenek yang sejak tadi masih
diam pandangi pertarungan itu dari bawah
pohon, kali ini serukan kata kepada
perempuan berjubah hijau.
"Cukup, Peri Kenanga! Kurasa cucuku
memang bukan tandinganmu!"
"Jadi kau yang ingin menggantikan
cucumu untuk pindah ke neraka, Nini
Sawandupa?!" seru perempuan berjubah
hijau yang ternyata bernama Peri Kenanga
itu. Tetapi sang nenek yang dipanggil
dengan nama Nini Sawandupa itu justru
tertawa kecil bernada mengejek.
"Hik, hik, hik, hik...! Jangan
sesumbar dulu di depanku, Peri Kenanga.
Kau bisa saja menumbangkan cucuku, si
Ratih Selayang itu, tapi jangan harap kau
bisa bergerak dari hadapanku!
Hiaaah...!"
Nini Sawandupa yang mengenakan
jubah lengan panjang warna kuning lusuh
itu segera sentakan tongkatnya ke depan.
Wuuut...!
Tiba-tiba dari ujung tongkatnya
melesat sinar merah lurus sebesar
kelingkingnya.
Claaap...!
Peri Kenang hantamkan kepalan
tangannya ke depan, bertepatan dengan
itu dari tengah kepalan tangannya
melesat sinar hijau lebair menghantam
sinar merahnya Nini Sawandupa.
Claap...!
Blaaarrr...!
Terjadilah ledakan bergelombang
sentak cukup besar yang membuat Nini
Sawandupa terlempar ke belakang sejauh
empat langkah dan jatuh terbanting.
Brruk...!
Tulang-tulangnya seakan nyaris
patah semua karena kerentaannya.
Sedangkan si Peri Kenanga hanya
terdorong mundur beberapa langkah, namun
segera tegak kembali, siap hadapi
lawannya.
"Kuat juga yang berjubah hijau Itu,"
gumam Raka seperti bicara pada diri
sendiri.
Soka Pura menimpali, "Cantik
sekali!"
"Yang mana?"
"Yang berwajah imut-imut itu!"
sambil mata Soka pandangi gadis berwajah
imut-imut dengan mengenakan baju tanpa
lengan berwarna biru terang dan
celananya pun berwarna biru terang.
"Gadis itu sedang beristirahat
sambil menahan rasa sakitnya. Untuk apa
diperhatikan?! Perhatikan saja yang
sedang bertarung itu!"
"Bukankah sudah kubllang tadi, kita
menonton saja. Katamu, menonton itu
berarti menikmati, dan sekarang aku
sedang menikmati sesuatu yang
menyegarkan pandangan mataku!" ujar Soka
sambil tetap tak berkedip pandangi gadis
berambut Surus sepundak dengan poni
depan. Gadis cantik itu tampak sedang
berusana berdiri dengan berpegangan pada
pohon. Tapi ia tak mampu berdiri cepat
karena bagian dadanya tejasa sakit
akibat terhantam pukulan jarak jauhnya
si Peri Kenanga.
Perempuan berusia sekitar empat
puluh tahun itu segera berseru kepada
nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun.
"Jika kau tetap merahasiakan
keterangan yang kubutuhkan, aku tak akan
memberi ampun lagi pada kalian berdua!"
"Peri Kenanga, aku ini sudah tua.
Untuk apa aku berbohong kepadamu kalau
memang aku benar-benar tidak mengetahui
di mana letak Gua Mulut Naga Itu!"
Raka dan Soka sama-sama terkejut.
Mata mereka saling pandang sejenak
sebelum mereka lanjutkan perhatian ke
tempat pertarungan.
"Rupanya mereka punya masalah
sendiri dengan gua yang sedang kita cari,
Raka!" bisik Soka, sang adik. ,
"Ya, tapi diamlah dulu, kita lihat
dulu apa yang terjadi pada diri si jubah
hijau jika sang nenek masih tetap
merahasiakan tempat tersebut."
Perempuan berjubah hijau lengan
panjang ternyata semakin berang ketika
sang nenek dan cucunya tetap tak mau
memberikan keterangan tentang Gua Mulut
Naga itu. Rupanya perempuan itu bukan
sekadar perempuan yang punya ilmu
sedang-sedang saja, melainkan berilmu
cukup tinggi, sehingga Nini Sawandupa
dihajarnya habis-habisan. Jika sang
nenek saja dihajar habis-habisan oleh
Peri Kenanga, apalagi sang cucu cantik
itu. Berulangkali Ratih Selayang dibuat
terpental dan terbanting-banting oleh
pukulan tenaga dalam Peri Kenanga.
Akhirnya gadis cantik imut-imut bermata
bundar indah itu mencabut senjatanya
yang sejak tadi terselip di pinggang,
sebuah trisula putih kristal, seperti
terbuat dari beling tembus pandang.
Seet...!
Nini Sawandupa berseru dengan
suaranya yang serak dan tubuh
terhuyung-huyung karena dadanya terkena
pukulan bertenaga dalam yang membuat
darahnya keluar dari mulut.
"Ratih, jangan pergunakan senjata
itu! Jangan...!"
Tapi Ratih Selayang tidak pedulikan
seruan neneknya. Trisula bening itu
tiba-tiba memancarkan cahaya merah
indah, bagaikan seberkas cahaya merah
yang terselubung beling putih. Trisula
itu diangkat lurus ke atas, seakan
diacungkan kepada sang langit. Salah
satu kakinya terlipat ke atas, kaki yang
satunya berdiri tegak. Tangan kiri Ratih
Selayang mengembang ke samping dan
suaranya memekik panjang.
"Guntur Petaka...!"
Tiba-tiba trisuia Itu diarahkan
kepada Peri Kenanga. Tetapi tepat pada
saat itu Peri Kenanga lakukan lompatan
plik-plak, berjungkir balik dengan
pergunakan kedua tangan dan kaki untuk
memutar di tanah.
Plak, plak, plak, plak, plak...!
Wees...!
Tubuh itu melambung tinggi di udara,
sementara trisula telah melesat sinar
merah bercabang tujuh, menyebar ke arah
depannya.
Cralaap...!
Di udara, Peri Kenanga sentakkan
kedua jari tangan kanannya ke arah Ratih
Selayang, dan melesatlah sinar biru
terang berbintik-bintik bagaikan bunga
api.
Craaps...!
Nini Sawandupa cepat-cepat
tengkurap ke tanah. Jika tidak ia akan
tersambar sinar merah dari trisuia
tersebut. Tujuh sinar merah yang
menyebar itu akhirnya menghantam
pepohonan dan batu sebesar manusia
dewasa.
Blar, blegar...!
Bummm...!
Apa pun yang terkena tujuh sinar
merah itu langsung hancur menjadi serbuk
iembut yang beter-bangan ke mana-mana.
Batu sebesar orang dewasa itu lenyap dan
serbuknya berhamburan, sedangkan enam
pohon yang terkena sinar dari trisuia itu
Juga sirna dalam sekejap. Tahu-tahu ada
serbuk cokiat kehijauan bertaburan ke
mana-mana dan bau kayo kering pun
menyebar seketika itu juga.
Sedangkan sinar birunya Peri
Kenanga melesat dari sasaran, karena
pada saat itu Ratih Selayang segera
tumbang ke belakang bagai kehabisan
tenaga. Sinar biru itu menghantam
sebatatig pohon besar dan tinggi.
Blaar...!
Pohon itu tetap utuh tanpa lecet
sedikit pun. Bahkan satu daunnya tak ada
yang jatuh ke bumi.
"Gila! Ternyata jurus mautnya si
gadis cantik itu masih lebih dahsyat dari
jurus sinar birunya Peri Kenanga!" ujar
Soka Pura dengan perasaan kagum. "Kurasa
seandainya tadi....''
Kata-kata Soka Pura terhenti dan
wajah pemuda itu menjadi lebih
terbelalak tegang lagi, matanya tak
berkedip pandangi pohon yang terkena
sinar birunya Peri Kenanga itu.
Pohon tersebut tiba-tiba mengecil,
mengecil, dan terus mengecil sambil
menjadi rendah, sampai akhirnya kel
seperti rumput dan lenyap tanpa bekas
lagi.
Mulut Soka ternganga tanpa bisa
bicara. Mata pun tak bisa berkedip sampai
beberapa saat lamanya. Sedangkan Raka
Pura hanya bisa memandang tak berkedip,
namun bibirnya terkatup rapat tanpa
suara. Kedua anak kembar itu sama-sama
terkesima dan terpaku beberapa saat
melihat pohon yang terkena sinar biru
tadi.
Peri Kenanga ternyata masih bisa
daratkan kakinya ke bumi dengan tegak. la
tak mengalami kekurangan tenaga seperti
yang terjadi pada diri Ratih Selayang.
Tetapi pada saat itu, Nini Sawandupa se-
gera lepaskan serangan mautnya dari
tongkat yang disodorkan kedepan. Tubuh
Nini Sawandupa melayang bagaikan terbang
dari tanah menuju ke punggung Peri
Kenanga. Gerakan melayangnya begitu
cepat, sehinga sukar dihindari oleh
lawan.
"Hiaaaah...!"
Weees...!
Duuhk...!
Blaaap...!
Sinar merah membias lebar dalam
sekejap ketika tongkat itu menyodok
punggung Peri Kenanga. Perempuan
berjubah hijau itu berkutang kuning
menutupi gumpalan dadanya yang masih
tampak montok itu segera terjungkal ke
depan dengan keluarkan suara pekik
tertahan.
Haahk...!"
Wuuurs...!
Peri Kenanga berguling di tanah,
tapi dengan cepat ia segera berdiri
dengan satu lututnya, kemudian mencabut
kipas hitam dari pinggangnya. Kipas itu
segera dibentangkan dalam satu sentakan.
Berrtt...!
Lalu dikibaskan dari kiri ke kanan.
Weess...!
Tubuh Nini Sawandupa yang sedang
ingin menerjangnya lagi dengan
tongkatnya itu terlempar seketika bagai
diterjang badai kencang. Tapi ia sempat
melepaskan cahaya putih seperti senjata
rahasia secara beruntundari ujung kepala
tongkatnya.
Clap, clap, clap...!
Tiga sinar putih kecil itu dihadang
oleh kipas hitam Peri Kenanga. Namun yang
terjadi adalah ledakan besar pada saat
sinar-sinar itu menghantam ben tangan
kipas hitam.
Blaarrr...!
"Edan! Dahsyat-dahsyat ilmu
mereka?!" gumam Soka Pura. "Tapi
bagaimana dengan gadis itu? Apakah ia
mati? Mengapa tidak bergerak, Raka?!
Mengapa ia tidak bergerak?!" sambil
mengguncang pundak Raka. Raka
menyentakkan pundaknya dengan jengkel.
"Mana kutahu! Tanyakan sendiri
padanya apakah dia mati atau hanya
setengah mati!" sentak Raka dalam
gerutuan yang bersungut-sungut.
Pandangan mata Raka segera kembali
kepada si Peri Kenanga dan Nini
Sawandupa. Keduanya ternyata mengalami
luka berdarah yang keluar dari mulut
mereka. Peri Kenanga yang bangkit itu
terpaksa limbung ke sana-sini, tampak
memaksakan diri untuk dapat bertahan.
Jubah hijaunya menjadi hangus selebar
piring makan akibat sodokan tongkat
tadi.
Sedangkan Nini Sawandupa terpental
jauh dan baru saja bangkit sambil
terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk.
Ia berpegangan tongkatnya yang bagaikan
menancap kuat di tanah. Wajahnya menjadi
biru legam, namun masih mampu melangkah
dekati lawannya.
"Tua-tua alot juga nyawanya, ya?"
bisik Soka Pura, dan hanya dijawab
seenaknya oleh Raka.
"Mungkin nyawanya terbuat dari
karet mentah!"
Tapi perhatian Raka lebih tertuju
pada Peri Kenanga yang tampak lebih parah
dari Nini Sawandupa itu. Hanya saja, Raka
tak tahu bahwa saat itu Nini Sawandupa
sedang membatin geram dalam hatinya.
"Jahanam si Sawandupa! Dia
mengeringkan darah merahku sedikit demi
sedikit dengan jurus sodokan tongkatnya
tadi. Kalau tak cepat-cepat kutangkal
dengan napas penyembuh aku bisa mati
kekeringan darah sebelum matahari
bergeser ke barat Terpaksa kutunda dulu
pertarungan ini. Aku harus segera
menyingkir demi selamatkan diri untuk
lakukan penyerangan kembali!"
Tetapi dari mulut Peri Kenanga
sempat terlontar kata yang cukup keras
walau sedikit parau dan badan oleng ke
sana-sini.
"Sawandupa...! Bagaimanapun juga
aku tetap akan datang mengganggu cucumu
jika kau tak mau berikan keterangan
tentang rahasia gua itu! Bila perlu,
cepat atau lambat akan kuhabisi nyawa
cucumu, agar kau tersiksa hidup tanpa
seorang cucu kesayangan!"
"Kubunuh kau, Keparaaat...!"
Wees...!
Blaass...!
Peri Kenanga melesat larikan diri,
dari pertarungan berikutnya. Karena jika
ia masih tetap adu kekuatan dengan Nini
Sawandupa, maka darah di sekujur
tubuhnya akan menjadi kering dan tak
sempat terobati.
"Jangan lari kau bajingan....
teriak Nini Sawandupa sambil mengejar
lawannya. Tapi karena ia pun memendam
luka dibagian dalam dada, maka gerak-
annya tak bisa lincah dan cepat seperti
semula.
"Sekalipun kau lari ke ujung dunia
tetap akan kuburu kau, Peri bangkai!
Belum puas hatiku jika kau masih hidup
dan masih mengganggu cucuku! Berhenti
kau keparaat...!"
Soka tampak tegang pandangi Nini
Sawandupa yang mengejar Peri Kenanga.
"Celakai Nenek itu nekat sekali
orangnya?! Sudah tahu lawannya lari dan
dirinya terluka, tetap saja mengejar
lawan?!"
"Dia benar-benar murka kepada Peri
Kenanga," ujar Raka pelan.
"Murka ya murka, tapi kalau dia
akhirnya terbunuh oleh si Peri Kenanga,
kita akan kehilangan kunci rahasia
menuju Gua Mulut Naga!"
Raka menatap adiknya. "Apa
maksudnya?!"
"Nenek itu pasti kunci yang dapat
membuka rahasia jalan menuju Gua Mulut
Naga. Jika ia tidak tahu-menahu tentang
guatersebut.tak mungkin Peri Kenanga
begitu mengancam seperti tadi!"
"Kalau begitu kita selamatkan nyawa
Nini Sawandupa, siapa tahu terhadap kita
dia mau berikan keterangan rahasia gua
tersebut!"
"Kejarlah dia dan dampingi agar
jangan sampai nyawanya melayang di
tangan Peri Kenanga!"
"Kau sendiri bagaimana?!"
"Aku akan menolong cucunya!
Tampaknya kalau tak segera ditolong, dia
akan kehilangan nyawa juga. Jika kita
berhasil menolong nyawa sang cucu, tentu
si nenek merasa berhutang jasa kepada
kita dan dia akan membalas jasa baik kita
dengan memberikan keterangan rahasia Gua
Mulut Naga itu!"
"Benar juga pendapatmu. Kali ini
otakmu rada cerdas sedikit, Soka!"
"Sudah, berangkatlah sana, Kejar si
nenek! Jangan memuji orang pandai
sepertiku!"
"Hmrn...!" Raka mencibir mendengar
ucapan terakhir adiknya, walau ia tahu
semata-mata hanya bercanda. la pun
segera berkelebat cepat menyusul Nini
Sawandupa. Raka Pura mengunakan jurus
'Jalur Badai' yang kecepatannya
menyerupai hembusan badai tercepat.
Wuuuzzz...!
Sementara itu, Soka Pura segera
berkelebat cepat menuruni tebing,
hampiri si gadis berbaju biru cerah yang
masih terkapar tak berkutik itu. Ketika
tiba di sana, gadis yang telentang itu
dipandangi dengan senyum berseri-seri.
"Cantik sekali! Memang benar-benar
cantik gadis itu," gumamnya' dengan
suara pelan tanpa pedulikan rona wajah si
gadis yang semakin memucat itu.
"Agaknya ia bukan saja kehabisan
tenaga, namun juga terluka dalam akibat
pukulan Peri Kenanga tadi. Hmmm...!
Mungkin sekaranglah saatnya kucoba
menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk
mengobati luka-iuka gadis ini dan
memulihkan kekuatannya kembali."
Jurus 'Sambung Nyawa' adalah jurus
pengobatan yang diturunkan langsung oleh
bayangan roh Eyang Mangkuranda kepada
kedua anak kembar tu. 'Sambung Nyawa'
hanya istilah pengobatan saja. Jurus itu
bukan saja mampu sembuhkan luka secara
ajaib, bukan saja mampu menawarkan racun
apa pun, namun juga mampu pulihkan
kekuatan yang telah hilang karena suatu
pertempuran.
Soka Pura sempat gemetar dan
deg-degan sebentar, karena ia harus
menempelkan telapak tangannya ke tubuh
gadis itu. Dalam jurus pengobatan yang
diajarkan oleh bayangan roh Eyang
Mangkuranda, telapak tangan harus
ditempelkan pada tubuh si penderita
bagian mana saja, asal menempel langsung
pada kulit si penderita, tidak terhalang
kain atau selembar benang pun. Bisa
bagian telapak kaki, betis, punggung,
dahi, lengan, bahkan melalui telapak
tangan si penderita pun bisa.
Tapi Soka Pura yang bandel dan
bertangan kidal itu bermaksud
menempelkan telapak tangan kirinya ke
dada si gadis. Oleh sebab itulah ia
gemetar dan berdebar-debar sesaat. Namun
ia segera pejamkan mata dan nekat
menempelkan telapak tangan kirinya di
tengah dada si gadis yang mengenakan baju
tanpa lengan tapi berbelahan dada agak
lebar.
Pieek...!
"Aduh, hangatnya...," pikir Soka
dengan nakal.
Tapi pikiran nakal itu segera
dibuang. la menarik napas dan
menyalurkan hawa murninya dan kekuatan
inti gaib ke dalam tangan kiri.
Beberapa saat kemudian telapak
tangan kiri itu memancarkan cahaya
bersinar-sinar warna ungu. Tubuh si
gadis segera berubah menjadi ungu
samar-samar. Ketika tubuh itu telah
menjadi ungu, Soka Pura segera
melepaskan telapak tangannya.
Blaab...!
Cahaya ungu bersinar-sinar pada
tangan kirinya padam seketika, tapi
tubuh si gadis masih memancarkan cahaya
ungu redup.
Makin lama cahaya ungu yang
menyelimuti sekujur tubuh Ratih Selayang
itu menjadi semakin redup, bertanda
penyakitnya mulai menipis dan
kekuatannya mulai pulih kembali. Tiga
helaan napas kemudian, cahaya ungu redup
itu hilang sama sekali dari tubuh si
gadis, menandakan seluruh penyakit telah
lenyap dan kekuatan tenaganya pulih
kembali.
Terbukti si gadis segera dapat
bernapas dengan teratur, matanya pun
terbuka pelan-pelan. Seraut wajah tampan
dipandangnya dalam kebeningan bola mata
yang bundar itu. Ratih Selayang segera
tersentak kaget dan bangkit sambil
menggeser mundur tubuhnya.
"Oooh...?!" mata si gadis makin
bundar karena mendelik dengan mulut
terperangah bundar pula.
Soka Pura menjadi salah tingkah dan
malu sendiri karena dipandang sebagai
sesuatu yang menakutkan sekaligus
mengejutkan bagi si gadis.
"Apa dia pikir melihat wajah setan,
sampai kagetnya seperti itu?! Sialan!"
gerutunya Soka dalam hatinya. Si gadis
semakin tampak ketakutan sewaktu Soka
mengajaknya tersenyum lagi dan berusaha
mendekatinya.
"Tid... tidak! Tidak...!" Ratih
Selayang cepat-cepat bangkit dan berlari
mundur ke balik pohon. "Aaaa...!" ia
menjerit kuat-kuat dengan wajah semakin
tegang, bagai melihat sesuatu yang amat
menyeramkan.
"Ooo... gadis edan!" maki Soka dalam
hati sambil berdiri dan membuang
pandangan ke arah sekelilingnya. la
takut ada orang mendengar jeritan si ga-
dis hingga menyangka si gadis ingin
diperkosanya. Akhirnya Soka pun
melontarkan pertanyaan dengan nada
jengkel.
"Mengapa kau takut padaku?! Aku yang
mengobati lukamu dan memulihkan
kekuatanmu. Mengapa menjerit ketakutan
begitu?!"
"Kaau... kau... kaukah si Setan
Cabul itu?!"
"Setan Cabul?!" gumam Soka, lalu
berseru, "Namaku Soka, bukan Setan
Cabul!"
"Tap... tapi... oh, tidak! Kau pasti
si Setan Cabul yang gemar memperkosa
perempuan!"
"Husy! Seenaknya saja menuduh
orang! Aku belum pernah memperkosa
wanita. Tapi kalau kau inginkan begitu,
aku... aku pikir-pikir dulu!"
Gadis itu pandangi Soka yang
bersungut-sungut hingga beberapa saat
lamanya.
"Siapa si Setan Cabul itu?!" tanya
Soka dengan serius.
* * *
EMPAT
SETELAH yakin betul bahwa pemuda
tampan yang berambut lurus sebahu itu
bukan si Setan Cabul, senyum gadis itu
mulai mekar dari sedikit-sedikit,
lama-lama menjadi lebar dan indah. Bibir
ranum itu tampak luoas sekali jika
sung-gingkan senyum lebar, memancarkan
daya pesona yang membuat Soka bergetar
dalam hatinya.
Apalagi melihat penampilan Soka
yang bergelang kulit hewan warna hitam
dengan manik-manik putih logam, Ratih
Selayang semakin yakin bahwa pemuda
bertubuh tinggi dan gagah itu bukan orang
yang perlu ditakuti. Bahkan hati kecil
Ratih Selayang berkata pada dirinya
sendiri.
"Dia bukan orang yang perlu
ditakuti, tapi perlu didekati."
Setelah Soka jelaskan dalam
pengakuannya sebagai anak dari Pawang
Badai, gadis itu segera terkesiap dan
rasa kagumnya bertambah besar, karena ia
tahu tentang siapa si Pawang Badai itu.
"Nenekku pernah bercerita tentang
si Pawang Badai yang berilmu tinggi dan
sekarang sudah mengasingkan diri di
puncak Gunung Merana."
"Dari sanalah aku berasal," sahut
Soka dengan senyum menawan dan pandangan
matanya yang menggetarkan hati gadis
mana pun.
"Aku jadi malu sendiri setelah yakin
betul bahwa kau bukan si Setan Cabul."
"Mengapa kau sampai menyangkaku si
Setan Cabul?"
"Karena... karena dia juga tampan,
hanya saja tidak semuda dirimu. Tapi...
tapi...," Ratih Selayang tersipu
kembali. "Sudahlah, jangan mendesikku
dengan pertanyaan seperti itu. Aku malu
sekali padamu, Soka! Yang jelas Setan
Cabul adalah pria yang tak boleh melihat
perempuan. la selalu memperkosanya, lalu
mencacati korbannya entah dipotong
jarinya, dipotong tangannya, atau
dibutakan matanya, dan kekejian
lainnya."
"Pantas kau sangat ketakutan" ujar
Soka sambil tetap tersenyum ramah.
"Aku memang selalu merasa takut jika
membayangkan peristiwa tersebut."
"Kau tak perlu takut lagi, karena
sekarang aku hadir di dunia persilatan
untuk hancurkan orang-orang kejam
seperti si Setan Cabul itu!"
Si gadis melirik dalam senyum yang
memancarkan rasa aman dan kagum. Soka
Pura merasa disanjung dengan pandangan
mata sesederhana Itu. Hatinya kembali
berdesir indah dengan tatapan mata tak
mau beralih ke arah lain. Mereka masih
tetap ditempat pertarungan tadi, di
bawah pohon, karena menunggu Nini
Sawandupa kembali ke tempat itu.
"Mengapa kau sampai terlibat
perkara dengan perempuan berjubah hijau
tadi?"
"Peri Kenanga maksudmu?"
"Ya. Siapa Peri Kenanga itu?"
"Bibi tiriku!" jawab Ratih Selayang
dengan nada ketus, memancarkan
kebenciannya terhadap Peri Kenanga.
"Meski dia bibi tiriku, tapi aku
menganggap tidak pernah bersaudara
dengan perempuan liar Itu!" tambah Ratih
Selayang. "Dia selalu menggangguku agar
nenek menunjukkan padanya jalan menuju
ke Gua Mulut Naga."
"Apakah nenekmu benar-benar
mengetahui jalan menuju gua tersebut?"
"Aku tak tahu secara pasti. Nenek
selalu menghindar jika kutanyakan hal
itu padanya. Dia selalu mengaku tidak
tahu tentang jalan menuju ke gua
tersebut, dan menganggap orang-orang
seperti Peri Kenanga itu adalah orang
gila yang kurang kerjaan."
Soka Pura diam sebentar, batinnya
berkecamuk sendiri.
"Aku tak yakin kalau Nini Sawandupa
tak tahu jalan menuju Gua Mulut Naga.
Pasti ada sesuatu yang membuat Nini
Sawandupa terpaksa harus tetap
merahasiakan jalan menuju gua tersebut.
Ada baiknya jika kutanyakan latar
belakang kehidupan Nini Sawandupa kepada
cucunya yang cantik ini."
Namun sebelum Soka ajukan
pertanyaan lagi, Ratih Selayang sudah
lebih dulu berkata kepadanya dengan
suaranya yang merdu dan enak didengar
itu.
"Kau mau singgah ke gubuk kami?"
"Jauhkah rumahmu itu?!"
"Tak seberapa jauh dari sini."
"Aku perlu mengetahui tentang
rahasia Gua Mulut Naga itu, Ratih."
Gadis itu memandang dengan dahi
berkerut. "Untuk apa kau ingin
mengetahuinya?"
"Mencari kemungkinan kalau-kalau
gua itu bisa kupakai untuk berbulan madu
kelak," jawab Soka dengan tetap
merahasiakan tentang adanya pedang
pusaka di sana. ia justru menjawab dengan
canda, namun canda itu juga sebuah
pancingan untuk Ratih Selayang.
"Apakah kau sudah akan menikah,
sehingga sudah memikirkan tempat untuk
berbuian madu?" tanya gadis itu sedikit
merasa kecewa.
"Belum. Bahkan aku belum mempunyai
seorang kekasih."
"Lalu, mengapa kau memikirkan masa
berbulan madu?"
"Sebenarnya bukan aku yang akan
menikah dan berbulan madu."
"Lalu siapa?"
"Kakakku...."
"O, kau punya kakak?" sambil mereka
melangkah menuju ke tempat tinggal gadis
itu.
"Ya, sekarang kakakku sedang
menyusul nenekmu. Karena kami tak ingin
nenekmu tumbang di tangan Peri Kenanga
yang tampaknya memang liar itu."
"Oh, syukurlah kalau nenek ada yang
membayang-bayanginya."
"Memang itu tugasnya. Tapi tugasku
adalah menyelamatkan dirimu dari luka
parah tadi."
Ratih Selayang tundukkan kepala
sambil tersenyum manis.
"Jurus "Guntur Petaka' memang
selalu menguras tenagaku dan memouatku
seperti kehilangan hidup. Karena memang
sebenarnya belum waktunya aku
menggunakan jurus 'Guntur Petaka' karena
kekuatanku masih belum seberapa. Tapi
tadi kupikir dapat untuk meleburkan raga
bibi tiriku itu. Ternyata tidak, dan
akhirnya aku kehilangan kekuatan serta
tak sadarkan diri."
"Kau juga terluka dalam yang cukup
berbahaya."
"Ya, aku menyadari hal itu.
Syukurlah kau datang tepat pada
waktunya, sehingga kau dapat selamatkan
nyawaku dari luka bakar yang akibat
pukulan jarak jauhnya si Peri Kenanga
itu."
"Aku dan kakakku hanya kebetulan
saja lewat, lalu melihatmu bertarung
melawan musuh yang tak sebanding. Sayang
sebelum kami bergerak, Peri Kenanga
sudah kabur lebih dulu. Aku tak tega me-
lihatmu terkapar tanpa daya seperti
tadi."
"Sungguh kau tak tega?"
"Ya, sangat tak tega! Aku hampir
saja melepaskan kemarahanku jika kakakku
tidak menghalanginya. Sepertinya kala
itu aku merasa tak rela melihatmu
dtsakiti oleh Peri Kenanga."
Hati gadis itu berdesir antara
bangga dan bahagia mendengar ucapan
Soka. ia tak sadar telah hanyut dalam
rayuan kata si tampan yang memang pandai
meluluhkan hati seorang gadis Itu.
"Kurasa dia akan datang lagi dalam
waktu dekat nanti," kata Ratih Selayang.
"Kalau begitu aku harus menjagamu!
Aku tak ingin dia menyentuh tubuhmu lagi.
Jangankan menyentuh tubuhmu, menyentuh
bayanganmu pun bisa kubunuh seketika itu
pula si Peri Kenanga!"
"Hanya menyentuh bayanganku, kau
akan marah padanya?!"
"Ya. Memang begitulah aku. Entah
mengapa tadi tiba-tiba aku merasa tak
rela dan sakit hati sekali melihatmu
terlempar oleh pukulannya. Rasa-rasanya
aku perlu menghadapi perempuan itu
secepatnya dan membunuhnya agar tidak
mengganggumu lagi!"
Ratih Selayang tersenyum bangga
sekali. la merasa seperti mendapat
seorang pelindung yang memanjakan
dirinya. Kemanjaan memang sering
diperoleh dari neneknya. Tapi kemanjaan
kali ini terasa sangat berbeda dengan
kemanjaan sang nenek. Kemanjaan dari
seorang pemuda tampan, gagah dan
menawanterasa melambungkan jiwa
ketimbang kemanjaan seorang nenek.
Debar-debar keindahan itu tiba-tiba
buyar mendadak. Seberkas sinar merah
bagai bold kecil melesat dari arah
samping,
Wees...!
Lalu sinar merah itu menghantam
pohon di depan langkah mereka berdua.
Jegaarrr...!
Pohon pun tumbang melintang jalan.
Brrrusskk...!
Secara refleks tangan Soka
menyambar tubuh Ratih Selayang dan
membawanya lompat mundur.
Wuuttt...!
"Ooh...?! Apa yang terjadi, Soka?!"
"Seseorang ingin mencelakai kita,
Ratih!" sambil napas Soka ditarik dan
dihembuskan dalam kelegaan. Tapi
pandangan matanya segera menatap tajam
ke arah datangnya sinar merah tadi. Soka
segera mengambil alih di depan Ratih
Selayang, seakan ia melindungi gadis itu
dan menjadi perisai siap mati jika ada
bahaya yang ingin menyerang Ratih
Selayang. Sikap itu membuat hati Ratih
Selayang menjadi semakin bangga dan
merasa bahagia berada bersama Soka Pura.
"Keluar kau, Setan gundul!" teriak
Soka melontarkan tantangan.
Wuuut, jleeg...!
Sekelebat bayangan melintas di
depan mereka, lalu berhenti tepat di atas
batang pohon yang tumbang. Soka Pura
terkesima menatap sesosok tubuh tinggi,
besar, berkumis lebat dan bertampang
sangar. Seorang lelaki berpotongan mirip
raksasa itu berdiri tegak sambil
memandang Soka Pura dengan mata melebar
menyeramkan.
"Aku bukan setan gundul. Tikus
sengit!" geram lelaki berbaju hitam dan
bercelana merah itu. Baju hitamnya yang
tak dikancingkan membuat perutnya yang,
buncit tampak berpusar besar, dadanya
berbulu lebat dan tampak kekar seperti
tebing cadas. Lelaki berkulit hitam itu
berusia sekitar empat puluh tahun lebih,
tapi gerakannya tampak cukup matang.
Dilihat dari lompatan cepat dalam
kemunculannya itu, Soka Pura dapat
memastikan bahwa lelaki itu berilmu
tinggi, setidaknya cukup menguasai ilmu
peringan tubuh dengan baik.
"Siapa lelaki itu, Ratih?" bisik
Soka sambil sedikit menengok ke belakang
tapi matanya tetap mengawasi orang mirip
raksasa yang menyelipkan golok lebar di
pinggangnya.
"Apakah dia yang bernama si Setan
Cabul?!" tambah Soka.
"Bukan. Dia bukan si Setan Cabul,"
bisik Ratih Selayang. "Dia adalah
Palagupa, orang Lembah Hutan. Hati-hati
berhadapan dengan dia."
"Memangnya kenapa?"
"Ilmunya tinggi dan tak mau hentikan
pertarungan jika lawannya belum mati."
"Wah, kacau...! Sekalinya dapat
musuh segede ini?!" gumam hati Soka Pura
sedikit ngeper melihat sosok tinggi
besar orang yang akan dihadapinya.
"Ratih Selayang...!" suara Palagupa
cukup keras dan besar, menandakan ia
sebagai orang yang ganas dan mudah
tersinggung.
"Sudah satu purnama nenekmu tak
datang ke Lembah Hantu memberikan
jawaban atas pinangan ketuaku. Sang
ketua tak bisa bersabar lagi. Maka hari
ini juga, mau atau tidak, aku ditugaskan
untuk memboyongmu ke Lembah Hantu dan kau
akan menikah dengan sang Ketua di sana!"
"Aku tidak sudi menikah dengan
ketuamu!" ketus Ratih Selayang sambil
melangkah keluar dari belakang Soka.
Gadis itu menampakkan keberaniannya,
sementara Soka mulai serba kikuk. Dalam
sepintas ia sudah dapat memahami maksud
kemunculan Palagupa itu, diutus oleh
ketua Lembah Hantu untuk membawa Ratih
Selayang yang akan diambil istri oleh
sang Ketua Lembah Hantu.
Tetapi Soka merasa lega begitu
mendengar jawaban Ratih Selayang tadi
yang jelas-jelas menolak lamaran itu.
Hanya saja, tentunya Palagupa akan
memaksa, dan Soka harus ambil tindakan
melindungi Ratih Selayang jika ingin
mendapat pujian serta makin dikagumi
oleh gadis itu. Tetapi Soka sendiri tak
yakin akan unggul jika melawan orang
sebesar itu.
"Bisa-bisa wajahku pindah ke lutut
kalau begini. Tapi kalau aku melarikan
diri, uuh... memalukan sekali! Apa kata
Ratih Selayang nanti jika aku melarikan
diri, sementara ia sudah bangga mendapat
pelindung seperti diriku?!"
Suara Palagupa terdengar
mengagetkan Soka.
"Jangan memaksaku bertindak kasar
di depanmu, Ratih! Kau harus mau kubawa
ke Lembah Hantu dan menikah dengan sang
Ketua!"
"Aku tidak mau!" tegas Ratih
Selayang. "Aku sudah punya kekasih
sendiri. Dia inilah kekasihku!" sambil
menuding Soka.
Soka membatin, "Mati aku...!"
"Kalau kau bisa kalahkan kekasihku
ini, kau boleh boyong aku ke Lembah
Hantu!"
"Baahh...!" sentak Palagupa. "Bocah
ingusan seperti itu kau andalkan untuk
melawanku?! Ggrrhmm...! Sekali remas
keluar isi perutnya lewat mulut!" sambil
Palagupa menatap tajam kepada Soka
dengan mata mulai merah samar-samar.
"Jangan lakukan pertarungan jarak
dekat. Remasan tangannya dapat
meremukkan tulang-tulangmu!"
"Wah, tambah parah...," keluh Soka
dalam hati. Keringat dinginnya pun mulai
membasah di beberapa bagian tubuhnya.
"Hei, bocah kencur! Benarkah kau
kekasihnya Ratih Selayang?!" Palagupa
bertanya dengan suara menyentak dan
besar.
"Hmm... ehh... ya... ya begitulah
seperti apa kata Ratih tadi," jawab Soka
agak gugup dan semakin salah tingkah.
"Grrrmmhh...! Kalau mau selamat
pergilah dari Ratih Selayang sekarang
juga! Lekas pergi!" suara itu
menggelegar bagai ingin rubuhkan
pohon-pohon di sekelilingnya. Jantung
Soka pun terasa ingin copot karena
getaran suara orang berwajah sangar dan
berambut panjang sebahu itu.
"Kau boleh pergi jika berhasil
langkahi mayat Soka Pura, kekasihku ini!
Bukankah begitu, Soka?!" ujar Ratih
Selayang dengan suara lantang.
"Hmmm, hmmm... iya, memang begitu.
Tapi... tapi ya memang begitu!" sambil
keringat dingin Soka mengalir terus,
karena baru sekarang ia berhadapan
langsung dengan seorang musuh. Sayangnya
begitu berhadapan dengan musuh, keadaan
si musuh benar-benar tak seimbang dengan
keadaan dirinya.
Jleeg...!
Buung...!
Palagupa turun dari batang pohon,
hentakan kakinya terasa menggetarkan
ta-nah yang dipijak Soka Pura. Pemuda itu
menelan napas untuk dapatkan ketenangan
batinnya?
"Bocah kunyuk!" seru Palagupa
sambil menuding Soka. "Jika memang
nyawamu yang menjadi syarat membawa
Ratih Selayang ke Lembah Hantu, maka
sekarang juga aku akan mencabut nyawamu
dengan menjebol dada dan meremas
jantungmu sampai pecah!"
Sebongkah batu sebesar kepala Soka
diambilnya. Batu hitam itu segera
diremas dengan dua tangan bersama
pandangan mata melotot sangar pandangi
Soka.
"Hhhrraaahh...!".
Prraakks...!
Batu itu hancur dalam sekali
rerrias. Mata Soka sedikit mengecil dan
tubuhnya bergidik merinding
membayangkan seandainya batu itu adalah
kepalanya. Sebab, kejap kemudian
Palagupa berkata dengan darah menggeram.
"Kepalamu lebih empuk dari batu!
Jika batu saja bisa kuhancurkan dalam
sekali remas, apalagi hanya kepalamu,
Bocah kunyuk!"
Ratih Selayang berbisik, "Dia pamer
ilmu. Jika kau bisa ungguli pameran
ilmunya, dia akan lari sebelum
bertarung. Itulah kebiasaan orang Lembah
Hantu!"
Soka, segera berpikir mencari cara
untuk ungguli pameran ilmu lawannya.
Akhirnya ia temukan batu sebesar kepalan
bayi. Batu itu dipungutnya dan
dilempar-lemparkan kecil di tangan
kirinya seperti buat mainan. Ratih
Selayang kerutkan dahi dan berbisik
dalam sindiran.
"Apa tak ada yang lebih kecil lagi?"
"Cukup segini saja."
Soka menjawab pelan, karena
pikirannya sedang mencari cara untuk
bisa kalahkan manusia seperti raksasa
itu. Ratih Selayang diam-diam merasa
kecewa karena Soka hanya mengambil batu
kecil. Seandainya Soka dapat meremas
hancur batu itu, tentu saja akan
ditertawakan Palagupa, karena tidak
lebih hebat dari si Palagupa tadi.
"Apa yang ingin kau unjukkan padaku,
hah?! Ilmu kencurmu itu?!" ejek
Palagupa. Soka hanya c-ngar-cengir
pandangi Ratih Selayang.
Tapi tiba-tiba batu sebesar kepalan
bayi itu dilemparkan dengan kekuatan
tenaga dalam ke arah Palagupa.
Wees...!
Palagupa kaget dan tak
menyangka-nyangka akan mendapat lem
paran batu secepat itu. Akibatnya ia
terperangah kaget tak bergerak sedikit
pun. Pada saat itulah batu tersebut tepat
kenai mata kiri Palagupa.
Plook...!
"Huaaahhrr...!"
Palagupa berteriak
sekeras-kerasnya. Kedua tangannya
segera pegangi mata kiri yang pecah
karena lemparan batu bertenaga dalam
tinggi itu. Dalam keadaan Palagupa
menunduk itu, Soka Pura segera lakukan
lompatan dengan kaki menjejak penuh
tenaga.
Wuuut...!
Brruuss...!
"Aaahk...!" Palagupa limbung ke
belakang sambil satu tangan pegangi
matanya yang berdarah dan tangan satunya
lagi meraba-raba ke samping mencari
pegangan.
Soka Pura tidak memberi kesempatan
sedikit pun, ia segera meiayangkan
tendangan putarnya dengan cepat dalam
satu lompatan tak terlalu tinggi.
"Hiaat...!" .
Wess, plaak...!
Wajah Palagupa bagai ditampar
dengan kayu balok cukup keras. Wajah itu
sempat terlempar ke kiri dan tubuh besar
itu semakin oleng.
Soka Pura segera maju setengah
berlutut dan menghantamkan pukulan
tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah
bagian bawah perut Palagupa.
Peet...!
Plook...!
"Haaahk...!" Palagupa mendelik
seketika walau dengan satu mata. la
semakin memekik keras, dan akhirnya
tumbang ke belakang.
Brrukk...!
"Ratih, cepat lari! Cepat...!"
Ratih Selayang salah tanggap. Gadis
itu segera lari sendiri secepat-cepatnya
tanpa menghiraukan
Soka yang berlari berbeda arah.
Begitu menyadari, Soka terkejut dan
memaki dalam kedongkolan.
"Dasar bodoh! Kenapa lari ke sana?!
Huhh...! Terpaksa aku balik lagi kalau
begini!"
Soka pun kembali ke arah semula, ia
terpaksa melewati tempat pertarungannya
dengan Palagupa. Tapi pada saat itu,
Palagupa sedang mengerang dan berusaha
bangkit. Begitu melihat Soka berlari di
depannya, ia segera melepaskan pukulan
bersinar merah panjang.
"Heeaahihrr...!"
Claaap..
Weess...!
Kelebatan sinar merah sempat
ditangkap mata Soka. Maka dengan serta
merta Soka pun melompat berjungkir balik
ke arah depan.
Wuutt...!
Duaarr...!
"Aaow...!" Soka memekik, betisnya
terkena pukulan bersinar merah itu,
langsung hangus sampai batas lutut. Kaki
kanan Soka mengepulkan asap dan tak bisa
dipakai berlari lagi. Ia mengerang-
ngerang kesakitan dengan mata terpejam.
Ketika matanya dibuka kembali,
ternyata Palagupa sudah berada di
depannya dalam jarak tiga langkah.
Manusia tinggi besar itu sedang melayang
di udara dan ingin menginjak tubuh Soka
yang sedang terduduk miring.
Melihat bayangan sebesar gajah
ingin menimpanya, secara refleks
tangannya bergerak ke depan, menyodok
maju dengan seluruh jarinya lurus
merapat.
Suuutt...!
"Huaaah...!"
Palagupa berteriak keras-keras dan
panjang. Jurus 'Kobra Liar' pemberian
Eyang Mangkuranda yang melalui mimpi itu
kini mampu merobek perut besar Palagupa.
Jika dulu jurus itu dalam latihannya
dapat membuat kulit kayu koyak dan
terkelupas, kini dalam keadaan Jurus itu
semakin matang di tangan si kembar telah
mampu merobek perut besar berikut
berkulit hitam itu.
Palagupa tumbang dalam keadaan isi
perutnya berhamburan mengerikan. ia
menggelepar-gelepar sebentar sambil
mengerang seperti sapi disembelih.
Beberapa kejap kemudian, tubuh besar itu
tidak bergerak lagi selama-lamanya
karena tidak pernah mau bernapas lagi.
Nyawanya telah pergi meninggalkan raga
tanpa pamit kepada siapa pun.
Suara teriakan menyeramkan itu
didengar oleh Ratih Selayang. la
hentikan langkah larinya karena ia tahu
suara itu adalah suara Paiaguna. Dengan
rasa ingin tahu begitu besar, Ratih
Selayang kembali ke arah semula.
Saat ia tiba di tempat tewasnya
Palagupa, pemuda tampan yang ketinggalan
itu sedang mengerang dan cengar-cengir
kesakitan. Kakinya yang hangus itu masih
mengepulkan asap samar-samar, membuat
celananya pun hangus terbakar sampai
batas lutut.
Ratih Selayang tertegun pandangi
mayat Palagupa. la tak menyangka orang
tinggi besar itu dapat ditumbangkan oleh
Soka dalam keadaan semengerikan begitu.
"Apakah... apakah dia sudah mati?"
tanyanya kepada Soka sambil mendekat dan
jongkok di samping pemuda yang masih
cengar-cengir menahan rasa sakit itu.
"Desak dia supaya mengaku sudah mati
atau belum” jawab Soka agak dongkol
karena Ratih Selayang tidak segera
hiraukan lukanya melainkan justru lebih
memperhatikan ke mayat Palagupa.
Ratih Selayang pandangi mayat
Palagupa dengan ragu-ragu sambil bicara
kepada Soka.
"Orang Lembah Hantu jarang yang mati
dalam keadaan mengerikan begitu! Siapa
yang membuat perutmu sampai jebol
begitu, Soka?"
"Entah" jawab Soka menyentak.
Sentakan itu membuat Ratih Selayang
segera berpaling menatap Soka.
"Mengapa kau membentakku?!"
"Apa kau tak melihat kakiku terbakar
begini?!"
"Ooh...?! boh... kakimu?! Kakimu
kenapa, Soka?!" Ratih Selayang segera
terkejut dan menjadi cemas begitu
melihat kaki Soka Pura. Wajah cemas yang
membendung kesedihan itu menghibur
kedongkolan di hati Soka. ia semakin
berlagak kesakitan, walau ssbenarnya ia
bisa menahannya sesaat untuk lakukan
penyembuhan menggunakan jurus 'Sambung
Nyawa'nya itu.
"Soka... oh, Soka...! Maafkan aku,
Soka. Gara-gara kau membelaku, akhirnya
kau terluka begini, Soka!" Ratih
Selayang memeluk kepala Soka bagaikan
orang panik.
Wajah Soka tenggelam di permukaan
dada si gadis. Hidungnya mengendus-
endus. Bau keringat si gadis menyebarkan
aroma wangi yang lembut namun cukup
mengusik urat gairahnya.
"Aduh, aku tak kuat, Ratih... aku
tak kuat lagi...," rintih Soka semakin
berpura-pura meratap.
"Soka... bertahanlah! Aku akan
membawamu pulang biar nenek mengobati
lukamu itu! Bertahan, ya Soka...!"
sambil Ratih Selayang kian memekik erat
kepala Soka, dengan begitu wajah Soka
makin terbenam di dada si gadis.
Kehangatan dada itu terasa membakar
wajah Soka Pura.
"Oouhk...! Aku tak kuat, Ratih...."
"Oh, Soka... jangan tewas dulu,
Soka. Kita baru bertemu dan saling
mengenal...."
"Aku tak tahan, karena tak bisa
bernapas, Ratih! Kendurkan
pelukanmu...."
"Ooh, maaf... maaf, Soka!" Ratih
Selayang buru-buru melepaskan pelukan-
nya sambil menggeragap malu. Sepertinya
ia baru menyadari apa yang telah
dilakukannya terhadap pemuda itu
sebenarnya sangat memalukan. Maka kepala
itu bukan saja dilepaskan dari pelukan,
namun juga didorong dalam satu sentakan
kedua tangan.
Wuuutt...!
"Kasar amat dia itu...!" gerutu Soka
dalam hatinya.
* * *
LIMA
ILMU pengobatan yang dinamakan
jurus 'Sambung Nyawa' itu dilakukan Soka
tanpa harus menempelkan telapak
tangannya. Jurus itu jika untuk
mengobati diri sendiri cukup dengan
memejamkan mata dan mengeraskan urat
tubuhnya beberapa saat. Kemudian tubuh
itu memancarkan sinar ungu samar-samar.
Sinar itu redup kembali bersama
lenyapnya luka bakar di kaki kanan Soka.
Tetapi celana putihnya tetap terpotong
sebatas lutut dengan sisa bakar yang
tampak nyata.
Ratih Selayang segera membawa
pulang Soka, karena menurut dugaan
mereka, Nini Sawandupa telah sampai di
rumah setelah menengok ke tempat
pertarungannya dengan Peri Kenanga tadi
dan tidak menemukan cucunya di sana. Soka
tak merasa sungkan-sungkan dibawa pulang
oleh gadis cantik berwajah imut-imut
itu. Justru hatinya bersorak kegirangan,
sebab dengan jalan begitu maka
hubungannya dengan Ratih Selayang akan
semakin akrab.
Sementara hati Soka Pura bersorak
kegirangan, hati Raka tidak demikian.
Raka menggerutu dalam batinnya setelah
sadari bahwa dirinya mendapat tugas yang
cukup menjengkelkan.
Betapa tidak menjengkelkan? Nini
Sawandupa berhasil disusul dalam
pengejarannya terhadap Peri Kenanga.
Raka Pura sengaja menghadang langkah
Nini Sawandupa, karena ia melihat darah
sang nenek banyak yang keluar dan
berceceran ke mana-mana. Sebentar-s
ebentar nenek hentikan langkah untuk
terbatuk-batuk dan memuntahkan darah
segar kembali. Raka tak tega, sehingga ia
menghentikan sang nenek untuk menolong
mengobati luka tersebut.
Tetapi Nini Sawandupa ternyata
salah paham dengan maksud kemunculan
Raka di depannya. Dalam keadaan masih
dibakar oleh kemarahannya, Nini
Sawandupa segera melepaskan serangan
tanpa banyak bicara. la mengangkat
tongkatnya dalam satu lompatan
menerjang, lalu tongkat itu dihantamkan
ke kepaia Raka.
Wuuuk...!
Beruntung sekali Raka Pura segera
merendahkan badan dengan kepaia meliuk
bagai seekor angsa, sehingga hantaman
tongkat itu tak mengenai kepalanya.
Tetapi angin kibasan tongkat itu
menghantam punggung Raka hingga tubuh
Raka tersungkur ke tanah.
Brruuss...!
"Modar kau begundal iblis!
Hiaah...!"
Nini Sawandupa langsung menginjak
punggung Raka dengan keras.
"Heekh...!" Raka bagaikan ditimpa
pohon besar. la sulit bernapas dan tulang
punggungnya terasa patah. Beruntung
salah satu kaki Nini Sawandupa berada tak
jauh dari tangan Raka, sehingga dengan
jari menguncup semua dan mengeras, mata
kaki nenek berjubah kuning itu
dihantamnya kuat-kuat.
Dess...!
Trak...!
"Aaauuh...! Sambar geledek kau!"
maki si nenek sambil tubuhnya tersentak
ke atas karena kesakitan. Pada saat
itulah tubuh Raka segera berguling ke
samping dan cepat-cepat bangun.
Ternyata jurus 'Cocor Singa' mampu
membuat mata kaki Nini Sawandupa menjadi
biru legam dan sekitar mata kaki itu
menjadi memar. Kaki tersebut tak bisa
dipakai berdirl lagi, sehingga sang
nenek menggunakan tongkatnya sebagai
pengganti kaki yang biru legam itu. Raka
buru-buru tarik napas untuk salurkan
hawa murni dalam tubuhnya, sehingga rasa
sakit di punggung pun mulai berkurang.
"Kau akan mati kalau masih tetap
membela Peri Kenanga, Anak dungu!" geram
Nini Sawandupa.
Raka Pura berkata dengan kalem tapi
tegas.
"Aku bukan begundalnya Peri
Kenanga, aku tidak kenal dengan
perempuan itu, Nini Sawandupa!"
"Omong kosong! Kau pasti pemuas
gairah perempuan jalang itu!"
"Kau salah, Nini! Aku sengaja
mencegat langkahmu agar jangan teruskan
pengejaran, karena lukamu sangat parah.
Aku tahu kau memaksakan diri dan itu
sangat berbahaya. Aku terpaksa hentikan
langkahmu dan ingin menolong sembuhkan
lukamu itu, Nini!"
"Bedebah! Bocah kemarin sore ingin
berlagak jadi tabib di depanku, hah?!"
serunya dengan suara tua yang membuat
napasnya ngos-ngosan.
"Aku memang bukan tabib. Tapi ayahku
berpesan agar aku selalu menolong yang
lemah dan menghancurkan
keangkaramurkaan!"
"Hmmrrh...!" Nini Sawandupa
menggeram sesaat. "Siapa ayahmu itu,
hah?!"
"Pawang Badai dari puncak Gunung
Merana!"
"Hahh...?!" mata tua itu terbelalak
begitu mendengar nama Pawang Badai.
Kemudian dahi yang berkeriput itu kini
semakin keriput karena berkerut saat
pandangi Raka Pura dengan sangsi.
"Aku kenal dengan si Pawang Badai!
Dia dan istrinya Padmi, adalah pasangan
mandul yang tidak mempunyai keturunan.
Kau jangan mengaku-aku sebagai anak
sahabatku, Bocah lancang!"
"Aku adalah... anak angkatnya,"
jawab Raka dengan lirih karena segera
teringat ayah kandungnya sendiri.
Ingatan itu segera disingkirkan dari
benak Raka setelah Nini Sawandupa ajukan
tanya sebagai penguji kebenaran
pengakuan Raka itu.
"Jika kau benar anak angkat si
Pawang Badai, kau tentunya tahu siapa
nama asli si Pawang Badai itu?!"
"Orang-orang yang menaruh hormat
kepadanya memanggilnya, Ki Pamitran!"
"Ooh...?!" Nini Sawandupa terkesiap
karena Raka dapat menjawab pertanyaannya
dengan benar. Ketegangannya mulai
mengendur, tatapan mata bersikap
bermusuhan itu mulai redup. Dengan
bantuan tongkatnya ia melangkah sambil
mengangkat kaki yang memar. Setelah
berada dekat Raka, mata tua itu kian
mengecil memandangi Raka dari ujung
rambut sampai ujung kaki.
"Apakah... maksudmu kau adalah
murid si Pawang Badai?"
"Bukan! Pawang Badai adalah ayah
angkatku, dan aku adalah murid Eyang Guru
Dewa Kencan!"
"Astaga" Nini Sawandupa terpekik
dalam satu sentakan rasa kaget hingga
kepalanya ditarik mundur sedikit. Wajah
tua itu kini tampak tegang diliputi rasa
takut.
"Bee... benarkah... ucapanmu itu,
Nak? Bukankah si Dewa Kencan telah lama
tiada?!"
"Tapi rohnya masih bisa mengajarkan
jurus-jurus mautnya padaku melalui
mimpi!"
"Oh, memang luar biasa sekali
beliau," gumam Nini Sawandupa semakin
melemah.
"Karenanya, seperti kataku tadi,
Nini... kuhadang dirimu karena aku tahu
lukamu semakin parah. Dengan segala
hormatku, izinkan aku sembuhkan lukamu
itu agar tak merenggut jiwamu sendiri,
Nini!"
"Balklah. Aku berterima kasih
padamu, Anak muda! Aku bisa obati lukaku
sendiri walau harus beristirahat dua
tiga hari lamanya. Tapi ada yang lebih
penting lagi untuk mendapat pertolongan,
yaitu cucuku, si Ratih Selayang."
"Dia sudah ditangani oleh adikku,
Nini!"
"Oh, jadi kau datang bersama
adikmu?"
"Kami melihat pertarungan tadi,
tapi kami tak berani ikut campur. Setelah
melihat keadaanmu dan Ratih Selayang
dalam keadaan bahaya, aku dan adikku
terpaksa ikut campur hanya dalam hal
mengobati luka kalian!"
Diam-diam hati nenek berambut putih
dan sedikit bungkuk itu bukan saja merasa
bersyukur mendengar cucunya sudah ada
yang menolongnya sendiri, tapi juga
ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu
pengobatan yang dimiliki oleh anak
angkat sahabatnya itu. Maka, Nini
Sawandupa pun segera menyatakan diri
bersedia menerima pengobatan yang akan
dilakukan Raka.
"Berapa lama kau mampu sembuhkan
lukaku ini, Nak?"
"Semoga tak sampai setengah hari."
"Tak sampai setengah hari?!" gumam
Nini Sawandupa dengan heran, mengingat
usia Raka yang masih muda itu.
Nini Sawandupa semakin heran
setelah Raka Pura membuktikan
kata-katanya. Jurus 'Sambung Nyawa'
segera digunakan seperti yang dilakukan
Soka terhadap Ratih Selayang itu.
Ternyata cara penyembuhan yang mempunyai
unsur kekuatan inti gaib itu mampu
membuat badan Nini Sawandupa menjadi
segar tenaganya bagaikan pulih kembali,
sedangkan lukanya lenyap tanpa bekas
seperti tak pernah menderita luka
segores pun. Tentu saja hal itu membuat
Nini Sawandupa kian takjub dan semakin
percaya kepada Raka Pura.
"Kalau begitu aku ingin segera
menengok keadaan cucu tunggalku, apakah
ia sudah siuman dari pingsannya atau
masih terkapar karena kebandelannya
tadi!" ujar Nini Sawandupa.
"Aku akan mendampingimu ke sana,
Nini Sawandupa! Kita lihat bersama
bagaimana keadaan cucumu itu."
Maka bergegaslah mereka kembali ke
arah semula. Dalam perjalanan itulah,
Raka Pura sempat memancing keterangan
dari mulut nenek berjubah kuning itu.
"Sebenarnya siapa Peri Kenanga itu,
Nini? Kulihat ilmunya cukup lumayan
juga."
"Bukan lumayan saja. Tingkatan
ilmunya sudah termasuk tingkat tinggi.
Sangat tak setanding jika cucuku
melawannya. Peri Kenanga sebenarnya
masih ada hubungan saudara denganku,
tapi saudara jauh. Bibi tirinya Ratih
Selayang. la penguasa Kuil Darah
Perawan, yaitu sebuah aliran sesat yang
anggotanya para pelacur liar."
"Lalu, mengapa ia tampak bernafsu
sekali ingin membunuhmu, Nini?"
"Sebenarnya yang diincar adalah
Ratih Selayang, cucuku. Dia hanya ingin
memanfaatkan cucuku sebagai sandera agar
aku menebusnya dengan sebuah rahasla."
"Rahasia apa itu Nini? Boleh
kutahu?" Nini Sawandupa diam beberapa
saat. Sepe-tinya ada sesuatu yang perlu
dipertimbangkan dan meragukan. Raka Pura
berlagak tidak terlalu terburu-buru
untuk mengetahui rahasia itu, sehingga
ia tampak tidak terlalu membutuhkan
rahasia tersebut. Padahal Raka
berdebar-debar penuh harap agar nenek
berambut putih rata itu segera sebutkan
rahasia Gua Mulut Naga.
Sayangnya sebelum Nini Sawandupa
menjawab pertanyaan Raka, tiba-tiba
mereka sama-sama hentikan langkah karena
kemunculan seseorang yang menghadang
langkah mereka. Orang tersebut muncul
dari tebing cadas tak seberapa tinggi,
melompat begitu saja dan mendaratkan
kakinya dengan tegak di depan langkah
mereka.
Raka Pura terkesip melihat seorang
lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh
tahun lebih berwajah panjang. Si tua
berwajah panjang itu mengenakan jubah
abu-abu berlengan panjang sesuai dengan
tubuhnya yang jangkung. Kepalanya gundul
bagian tengah, tapi ada sisa rambut yang
tumbuh memutih di bagian sekitar telinga
ke belakang. la juga menggenggam
sebatang tongkat coklat yang ujung
atasnya berbentuk kepala ikan lele. la
tampak masih tegap dan llncah.
"Kita bertemu lagi, Sawandupa!"
ujar si tua berwajah lonjong itu dengan
nada dingin, sesuai pandangan matanya
yang bagai ingin membekukan darah.
"Siapa dia, Nini?"
"Mundurlah, ini bagianku juga. Dia
adalah Hantu Muka Tembok, musuh lamaku!"
Nini Sawandupa pun berbisik sambil tetap
pandangi Hantu Muka Tembok.
Pak tua bertabuh kurus itu pandangi
Raka sesaat. Ia tampak merasa asing
dengan wajah tampan si anak muda
tersebut. Tak lama kemudian terdengar
suaranya yang bernada berat itu.
"Hmmm, rupanya kau mau menjodohkan
cucumu dengan anak muda itu,
Sawandupa?!"
"Menjodohkan atau tidak itu bukan
urusanmu, Gumarah!" tegas Nini
Sawandupa. "Apa maumu menghadang
langkahku?!"
"Tetap seperti dulu! Serahkan peta
menuju Gua Mulut Naga itu padaku! Dulu
aku memang kalah melawanmu, tapi
sekarang aku akan menebus kekalahanku
dengan mencabut nyawamu, Sawandupa.
Tebusan itu bisa kubatalkan jika kau mau
serahkan peta tersebut sekarang juga!"
"Persetan dengan tuntutan kolotmu
itu! Aku tidak punya peta menuju gua itu!
Aku hanya punya peta menuju kuburanmu,
Hantu Muka Tembok!"
Raka Pura segera merenggangkan
jarak dengan Nini Sawandupa. Seolah-olah
ia tidak ingin ikut campur urusan mereka.
Tetapi sebenarnya menyimak persoalan
yang mereka pertengkarkan itu, karena
Hantu Muka Tembok ternyata juga ingin me-
nuju ke Gua Mulut Naga. Hal ini lebih
menarik lagi bagi Raka Pura untuk
dapatkan keterangan secara tak langsung
tentang siapa Nini Sawandupa sebenarnya
dan bagaimana pengetahuannya tentang Gua
Mulut Naga itu.
Pernyataan sikap Nini Sawandupa
yang tetap tidak peduli dengan tuntutan
Hantu Muka Tembok itu membuat si Hantu
Muka Tembok semakin dongkol kepada nenek
berjubah kuning. la maju dua langkah,
tongkatnya dipindahkan dari tangan kiri
ke tangan kanan. Nini Sawandupa tidak
merasa takut sedikit pun, bahkan ikut
maju satu langkah, sehingga jarak mereka
menjadi tlga langkah. Raka Pura semakin
menepi, seakan memberi tempat bagi Nini
Sawandupa untuk menghadapi musuh
lamanya.
Kali ini aku lebih baik mengirimmu
ke neraka daripada tidak mendapatkan
peta itu. Sawandupa!" geram Hantu Muka
Tembok.
"Kali ini pun aku lebih baik
mengakhiri masa hidupmu yang sudah bau
tanah kuburan Itu daripada membiarkan
kau melarikan diri lagi, Gumarah!" ujar
sang nenek dengan sebutkan nama asli
Hantu Muka Tembok.
Mereka saling beradu pandang mata
dengan tajam. Keduanya sama-sama
menggenggam tongkat masing-masing
dengan kuat. Bahkan genggaman tangan
Hantu Muka Tembok telah membuat ujung
kepaia tongkat berbentuk ikan lele itu
mulai kepulkan asap putih samar-samar.
Raka Pura memperhatikan dengan
tegang, karena ia tahu si Hantu Muka
Tembok mulai kerahkan tenaga dalamnya ke
dalam tongkat, sehingga tongkatnya
menjadi berasap.
Tetapi agaknya Nini Sawandupa tidak
hanya diam mematung menunggu serangan
lawan. Tongkatnya bagai diremas
kuat-kuat lalu ujung kepala tongkat
putihnya yang berbentuk kuncup bunga
teratai itu berasap tipis dan
memancarkan cahaya merah jambu. Cahaya
merah itu makin lama semakin terang,
sedangkan asap di tongkat Hantu Muka
Tembok makin lama semakin mengepul
banyak.
Wuuust...!
Raka Pura kaget. Tiba-tiba kedua
tokoh tua itu telah saling berpindah
tempat. Mereka sama-sama bergerak
menerjang dengan gerakan sangat cepat,
sehingga sulit dilihat oleh mata biasa.
Tahu-tahu Nini Sawandupa telah berada di
tempat Hantu Muka Tembok berdiri tadi,
dan Hantu Muka Tembok telah menempati
taman yang dipijak Nini Sawandupa tadi.
"Luar biasa gerakan mereka?!" gumam
Raka Pura mengagumi kecepatan gerak
kedua tokoh tua itu, waiau ia sendiri
sebenarnya mempunyai kecepatan gerak
yang dapat mengagumkan kedua tokoh tua
itu.
Raka Pura semakin terperanjat
ketika memperhatikan kepaia tongkat
mereka. Kini kepaia tongkat
Hantu Muka Tembok tidak berasap
lagi, melainkan memancarkan cahaya merah
muda samar-samar, sedangkan kepaia
tongkat Nini Sawandupa hanya berasap
banyak tanpa cahaya merah. Seolah-olah
Hantu Muka Tembok telah berhasil merebut
cahaya merah dari tongkat lawannya dan
memindahkan ke tongkatnya sendiri.
Nini Sawandupa pun akhirnya
menggeram penuh kemarahan setelah
pandangi kepaia tongkatnya sendiri.
"Keparat kau, Gumarah!"
"Sekarang aku dapat menyerap
seluruh ilmumu jika kau tak mau serahkan
peta gua tersebut, Sawandupa! Aku yang
sekarang bukan aku yang mudah kau
tumbangkan tiga tahun yang lalu,
Sawandupa! Pertimbangkan kekerasan
hatimu terhadap peta Hantu Muka Tembok
itu!"
"Aku tidak punya peta apa-apa,
Keparat! Aku tidak tahu menahu tentang
gua itu!"
"Tidak mungkin! Kau pikir aku tak
tahu, bahwa kau adalah satu-satunya
tawanan yang berhasil lotos dari Gua
Mulut Naga itu?! Empat tawanan Raja
Bopeng yang seharusnya dibuang ke Gua
Mulut Naga hanya kau yang mampu
selamatkan diri, keluar dari gua
tersebut."
"Aku tidak dibuang ke gua itu!
Memang aku dan ketiga rekan
seperguruanku ditangkap oleh Raja
Bopeng! Tetapi kami tidak dibawa ke Gua
Mulut Naga!" sentak Nini Sawandupa yang
tiap katanya disimak baik-baik oleh Raka
Pura.
"Omong kosongmu tak mungkin bisa
membodohi otak tuaku, Sawandupa! Aku
tahu, kalian berempat ditangkap Raja
Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk
Dara, tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga.
Delapan pengawalnya ditugaskan
mengambil bunga penakluk cinta itu,
sambil membuang kalian ke dalam Gua Mulut
Naga. Raja Bopeng tahu, kau dan ketiga
rekan seperguruanmu itu mengetahui di
mana letak Gua Mulut Naga, bahkan
kabarnya gurumu pernah membuat petanya
untuk seorang sahabat yang sudah
telanjur tewas sebelum peta Itu
diserahkan padanya...."
Diam-diam Raka Pura mencatat semua
kata-kata Hantu Muka Tembok. Dari
kata-kata tersebut, Raka dapat simpulkan
bahwa Nini Sawandupa dan ketiga rekan
seperguruannya pernah ditangkap oleh
Raja Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk
Dara. Bunga itu tumbuh di sekitar Gua
Mulut Naga. Rupanya Raja Bopeng mendapat
petunjuk dari seseorang bahwa pihakyang
mengetahui di mana gua itu berada adalah
pihak perguruannya Nini Sawandupa.
Raja Bopeng yang berhasil membantai
habis seluruh murid perguruan tersebut
bersama guru mereka, memanfaatkan
keempat sisa murid perguruan itu sebagai
petunjuk jalan menuju Gua Mulut Naga.
Maka diperintahkan beberapa pengawal
untuk membawa keempat tawanan tersebut
ke Gua Mulut Naga. Keempatnya harus
dibunuh di saha sebagai tumbal memetik
Bunga Pucuk Dara.
Tetapi Nini Sawandupa memberontak
dan membuat beberapa pengawal tewas,
sebagian melarikan diri pulang ke
hadapan Raja Bopeng. Sayangnya tiga
rekan seperguruan Nini Sawandupa gugur
dalam pemberontakan itu.
Pada waktu itu, Hantu Muka Tembok
alias si Ki Gumarah itu mendapat kabar
tentang peristiwa tersebut dari
keponakannya yang menjadi prajurit
gerbang di istana Raja Bopeng. Maka ia
tahu persis, bahwa Nini Sawandupa pernah
sampai di Gua Mulut Naga yang sejak dulu
sulit ditemukan orang itu. Hantu Muka
Tembok yakin betul bahwa Nini Sawandupa
mengetahui tempat gua tersebut berada,
karena mendiang gurunya Nini Sawandupa
yang berjuluk Resi Garba adalah seorang
penjelajah gua di seluruh tanah Jawa dan
sekitarnya. Ilmu dan kesaktian Resi
Garba diperoleh dari gua ke gua, dan
pernah dihebohkan sebagai manusia
pertama yang dapat membunuh seekor naga
bersisik emas yang mendiami sebuah gua.
Menurut kesimpulan para tokoh lainnya,
gua itulah yang dinamakan Gua Mulut Naga.
Nini Sawandupa selalu membantah
kesimpulan itu. Bahwa mendiang gurunya
memang pernah mengalahkan seekor naga
bersislk emas yang mendiami sebuah gua,
tetapi gua itu bukan Gua Mulut Naga. la
juga membantah anggapan para tokoh rimba
persilatan yang mengatakan dirinya
mengetahui Gua Mulut Naga dari cerita
sang guru, karena Nini Sawandupa
dikabarkan menjadi murid kesayangan sang
guru, sehingga segala rahasia yang tidak
dimiliki orang lain dan murid lainnya
dibeberkan di depan Nini Sawandupa.
"Kau tak bisa mengelak lagi,
Sawandupa!" ujar Hantu Muka Tembok.
"Sekarang kau tinggal memilih, mau mati
cepat-cepat atau membantuku menemukan
Gua Mulut Naga itu dengan menyerahkan
peta yang pernah dibuat gurumu itu atau
menjadi pemanduku menuju gua tersebut?!"
"Aku memilih membunuhmu
cepat-cepat, Hantu Muka Tembok!" bentak
Nini Sawandupa dengan berangnya.
Gigi menggeletuk, mata menyipit,
wajah pun tampak kaku. Uccipan Nini
Sawandupa agaknya tak bisa membendumg
kesabaran Hantu Muka Tembok lagi. Maka
serta merta tongkat berkepala ikan lele
itu disentakkan kedepan seakan ingin
menyodok dada Nini Sawandupa. Tetapi
perempuan tua itu pun tak mau kalah
tangkas, tongkat putihnya yang masih
berasap itu pun disentakkan ke depan
hingga kepaia tongkat itu berbenturan
dengan kepala tongkat Hantu Muka Tembok.
Wuuut, traakk...!
Blaarrr...!
Cahaya merah menyebar dalam
sekejap. Ledakan yang timbul akibat
benturan tongkat dengan tongkat itu
membuat Nini Sawandupa terlempar hingga
tubuhnya membentur pohon dengan
kerasnya.
Duuur...!
Daun-daun pohon pun berguguran
akibat benturan tubuh Nini Sawandupa.
Nenek itu langsung terkulai lemah dengan
sekujur tubuh merah matang seperti
kepiting rebus.
Ledakan yang tampaknya tak seberapa
dahsyat itu ternyata telah mempunyal
kekuatan beracun tinggi. Gelombang
ledakannya menyebarkan racun ke dua arah
yang membuat Hantu Muka Tembok sendiri
terkapar dalam jarak tujuh langkah ke
belakang setelah terlebih dulu tubuhnya
melayang bagai dilemparkan tangan
raksasa. Kakek berjubah abu-abu itu
mengerang lirih tak bisa bangkit lagi.
Sekujur tubuhnya menjadi merah
kebiru-biruan. Rupanya ia terluka lebih
parah dari Nini Sawandupa. Matanya
terbeliak-beliak dengan mulut
ternganga.
"Celaka Keduanya bisa sama-sama
mati di sini kalau tidak segera kutolong"
pikir Raka Pura. Maka ia bergegas hampiri
Nini Sawandupa lebih dulu. la selamatkan
nyawa Nini Sawandupa dengan jurus
'Sambung Nyawa'-nya. Jurus itu pun
segera diguna-kan untuk menolong keadaan
si Hantu Muka Tembok.
Namun agaknya Hantu Muka Tembok
masih mempunyai tenaga cadangan. Melihat
Raka Pura mendekatinya, ia menyangka
anak muda itu bermaksud buruk padanya.
Serta merta kakinya berkelebat menendang
ke perut Raka dengan tenaga dalam tinggi.
Wuutt, beehk...!
"Uuhkk...!" Raka Pura mendelik
dengan sedikit bungkuk. la sama sekali
tak menyangka akan mendapat fendangan
segarias itu. Mulut Raka pun segera
lelohkan darah kental dengan napas bagai
menyumbat di tenggorokan. Seluruh urat
dan persendian terasa hilang dari
tubuhnya, sehingga ia pun segera jatuh
terpuruk tanpa daya lagi.
Hantu Muka Tembok mencoba bangkit
walau dengan bantuan tongkatnya. la
menahan luka parahnya sambil pandangi
tubuh Nini Sawandupa yang memancarkan
cahaya ungu.
"Gawat! Rupanya si Sawandupa punya
ilmu baru yang bisa memancarkan cahaya
ungu dari sekujur tubuhnya! Ooh...
keadaanku sangat parah. Tak mungkin aku
bisa kalahkan dirinya untuk saat ini.
Tapi... sebaiknya kucoba dengan jurus
baruku yang dapat menyerap habis tenaga
dan kesaktiannya itu!"
Hantu Muka Tembok segera mengangkat
tangan kirinya. Tapi ketika tangan kiri
itu bergerak naik, tiba-tiba pandangan
matanya menjadi buram dan detak
jantungnya sangat cepat.
"Uuhk...! Tenaga intiku makin
membakar bagian dalam tubuh! Sebaiknya
kutangguhkan dulu rencanaku! Uuh...!"
Hantu Muka Tembok nyaris tak mampu
bertahan lagi. Untung tenaga cadangannya
masih tersisa, sehingga dapat diper
gunakan untuk melarikan diri dari tempat
tersebut. Sedangkan Nini Sawandupa masih
memancarkan cahaya ungu samar-samar dari
tubuhnya. Cahaya itu segera redup dan
hilang sama sekali. Maka luka pun hilang
dan kekuatan pun pulih kembali. la
terkejut melihat Raka Pura meringkuk
dengan lemas sekali.
Mata sang nenek membelalak lebar,
menatap ke sana-sini dengan liar.
"Gumarah!" teriaknya. "Biadab kau,
Gumarah! Mengapa kau lawan anak semuda
dia, hah?! Keluar kau, Gumarah!"
Kemarahan nenek yang rambut
putihnya terlepas dari kondenya itu
segera memeriksa keadaan Raka Pura
dengan cemas, karena ia masih ingat bahwa
anak muda itulah yang tadi telah dua kali
selamatkan jiwanya dari luka berbahaya.
"Celaka! Hantu itu telah menggu-
nakan jurus pelumpuh indera, yang
membuat anak ini seperti mati! Agak sulit
membebaskan pelumpuh indera ini! Tapi
akan kucoba di rumah saja. Sebaiknya dia
kubawa pulang sambil menghampiri cucuku
di tempat pertarunganku dengan si
keparat Peri Kenanga itu!"
Maka tanpa canggung lagi, Nini
Sawandupa mengangkat tubuh kekar pemuda
tampan itu dan memanggulnya di pundak.
Dalam keadaan tua renta dan bertubuh
kurus begitu, ia mampu memanggul badan
sekekar Raka. Jika tidak menggunakan
ilmu tenaga dalam, tak mungkin seorang
nenek renta mampu memanggul beban
seberat itu. Bahkan mampu sambil berlari
dengan gerakan cukup cepat.
"Edan! Ke mana si Ratih Selayang?!"
gumamnya dalam hati ketika tiba di tempat
pertarungannya dengan Peri Kenanga tadi.
la memandang ke sana sini mencari
cucunya.
"Apakah sudah pulang ke rumah?
Hmm... sebaiknya aku segera ke rumah saja
sambil cepat-cepat mengobati anak muda
ini. Oh, kurasa Ratih akan suka dengan
pemuda tampan ini!"
Nini Sawandupa segera bergegas
menuju ke pondoknya. Tetapi ketika
sampai di pondok, Ratih Selayang tidak
ada di tempat. Hal yang mengejutkan lagi,
keadaan rumah itu sangat berantakan,
morat-marit ke sana-sini. Pondok itu
bagai habis diterjang badai bagian
dalamnya saja.
"Jahanam!" geram Nini Sawandupa.
"Siapa yang berani lakukan hal ini di
rumahku?! Bangkai busuk betul orang itu!
Pasti dia mencari peta, dan... oh,
bagaimana keadaan cucuku?! Di mana dia
sekarang?!" Nini Sawandupa menggeram
kuat-kuat, pandangan matanya memancar-
kan murka yang tak terlampiaskan.
"Apakah si Hantu Muka Tembok tadi
datang kemari lebih dulu sebelum
menemuiku di sana?! Atau... ada pihak
lain yang mempunyai maksud sama dengan si
Hantu Muka Tembok dan Peri Kenanga?!"
* * *
ENAM
MALAM itu, sebenarnya Ratih
Selayang berada tak jauh dari rumahnya.
Hanya terhalang sebuah bukit yang bisa
ditempuh dalam waktu singkat. Tetapi
Ratih Selayang tak tahu kalau rumahnya
diacak-acak orang. Mungkin karena
hatinya terlalu sibuk bersorak
kegirangan mendapat kenalan ganteng,
maka nalurinya menjadi tak begitu peka.
Pada saat Soka Pura telah sehat dan
bermaksud dibawa pulang ke rumah, Ratih
Selayang sempat berpikir buruk tentang
tanggapan neneknya nanti.
"Jangan-jangan nenek akan marah
padaku jika aku pulang membawa seorang
pemuda? Dia akan menyangkaku hanya bisa
bersenang-senang sementara nenek
bertaruh nyawa melawan Peri Kenanga.
Hmmm...! Sebaiknya Soka kubawa ke hutan
balik bukit saja. Aku ingin menikmati
keindahan malam terang bulan bersama
Soka di sana. Pemandangannya lebih
indah, suasananya lebih menyenangkan
daripada di rumah."
Karenanya, Ratih Selayang pun
segera berkata kepada Soka Pura, "Maukah
kau menikmati pemandangan yang indah di
balik bukit itu?"
"Mengapa tidak? Tapi bukankah
sekarang senja sudah hampir berganti
malam?"
"Justru kita di sana bisa menikmati
matahari tenggelam perlahan-lahan di
garis cakrawala! Aku ingin tunjukkan
padamu tempat yang berpanorama indah di
daerahku ini!"
Tentu saja tawaran itu anti
penolakan bagi Soka. Hatinya pun
bersorak kegirangan ketika tangannya
digandeng Ratih Selayang dan si gadis
mengajaknya berlari mendaki lereng
bukit. Mereka tertawa-tawa dalam suasana
ceria saat menuruni lereng bukit
berpohon renggang.
Ternyata pemandangan di sana memang
cukup indah. Selain hutan itu berpohon
jarang, pandangan mata dapat terlempar
luas dan jauh, sejauh batas cakrawaia. Di
hutan itu pun ada gua kecil yang bagian
depannya berumput pendek dan rata. Gua
itu sering dipakai beristirahat oleh si
gadis. Sungguh sebuah tempat yang nyaman
untuk menghibur hati yang sedang
dirundung kesedihan. Bebatuannya pun
dapat dipakai untuk duduk santai sambil
menikmati sang mentari mundur dari
peredarannya.
"Aku sering duduk di sini hingga
berlama-lama," ujar Ratih Selayang.
"Kadang aku bermalam di dalam gua itu.
Gua itu sudah seperti tempat tidurku
sendiri."
"Dengan siapa kau di sini? Pasti
dengan seorang pemuda," Soka sengaja
menggoda sebagai pancingan.
Gadis itu mencibir. "Hmmm...! Kau
pikir aku mudah akrab dengan setiap
pemuda? Baru sekarang aku datang ke
tempat ini bersama seorang pemuda.
Kaulah satu-satunya pemuda yang
beruntung, Soka."
"Benarkah?" sambil Soka makin
mendekat dan pandangan mata mereka
saling beradu.
"Gadis secantik kau biasanya punya
kekasih lebih dari tiga."
"Enak saja" Ratih Selayang mencibir
lagi. "Apa kalau sudah cantik kekasihnya
harus lebih dari tiga?"
"Biasanya...!"
"Aku bukan gadis biasanya!" sentak
Ratih Selayang sambil cemberut dan
palingkan wajah. Soka Pura girang
melihat reaksi seperti itu. la segera
memegang kedua pundak gadis itu dari
belakang dan berbisik dalam suara penuh
kelembutan.
"Aku hanya bercanda. Tak mungkin aku
menganggapmu gadis senakal itu."
Debar-debar keindahan kian
melambungkan jiwa Ratih Selayang, karena
itulah ia bertambah sewotnya biar
mendapat sambutan lebih mesra lagi.
"Aku tidak suka pemuda yang mudah
menilaiku serendah itu."
"Maafkan aku, Ratih. Jangan marah
begitu, nanti kau tambah cantik dan aku
tambah kebingungan menghindarimu."
"Jadi kau punya rencana mau
menghindar?!" Ratih Selayang palingkan
wajah pandangi Soka dengan mata
bundarnya yang seakan memantulkan cahaya
senja itu. Soka Pura hanya sunggingkan
senyum sambil gelengkan kepala. Itu pun
sudah membuat hati Ratih Selayang
semakin berdesir-desir lagi.
"Apakah itu mungkin? Walau baru
sekejap bertemu, aku merasa seperti
sudah bertahun-tahun mengenalmu.
Rasa-rasanya akan sulit menghindar da-
rimu, Ratih."
"Benarkah ucapanmu itu, Soka?"
Pemuda berambut sepundak itu hanya
anggukkan kepaia sambii sunggingkan
senyum. Senyum itu memancing si gadis
untuk membalasnya dengan lebih lembut
lagi.
Makin lama Soka makin mendekatkan
wajah. Hembusan napasnya terasa
menghangat di wajah Ratih Selayang.
Ternyata gadis itu tetap diam walau wajah
Soka semakin dekat. Bahkan kini mata si
gadis pun memejam pelan-pelan. Soka tak
bisa hentikan gerakan kepalanya yang
membuat bibirnya menjadi bersentuhan
dengan bibir Ratih Selayang.
Bibir ranum itu tak mau merekah.
Namun pegangan kedua tangan Ratih
Selayang di pundak Soka terasa gemetar.
Bahkan ketika bibir itu dikecup
pelan-pelan oleh Soka, getaran tangan
Ratih Selayang semakin bertambah keras.
Tangan itu pun meremat bagai menahan
ledakan rasa nikmat akibat lidahnya
dipagut pelan-pelan oleh Soka Pura.
Sekalipun kemesraan seperti itu
belum pernah didapat oleh Soka, tetapi
naluri kemesraan seorang manusia telah
membimbingnya sendiri untuk mencari
keindahan pada diri lawan jenisnya.
Naluri itu menuntun gerakan Soka yang
sekiranya menghadirkan keindahan lebih
tinggi lagi. Tangan pun tak bisa tinggal
diam. Sekalipun hanya mengusap punggung
gadis itu, namun debar-debar keindahan
terasa semakin nyata dan melenakan
sukma.
Tapi ketika tangan Soka mulai
merayap ke dada Ratih Selayang, gadis itu
buru-buru mencekal tangan tersebut.
Kecupan bibir mereka terputus, karena
merenggangkan jarak dengan sendirinya.
Dengan napas yang sudah tidak teratur
lagi, Soka menatap Ratih Selayang sambil
bisikan kata bernada keluh.
"Aku hanya ingin menyentuhnya.
Hanya menyentuh saja, Ratih."
Gadis itu gelengkan kepala. "Aku tak
ingin."
"Mengapa? Tak bolehkah jika aku
hanya ingin merasakan kehangatan sebatas
dada saja?"
Ratih Selayang gelengkan kepala
lagi. "Aku belum pernah. Aku takut,
Soka," sambil mata si gadis tetap sayu.
Ketika mereka sama-sama bungkam dan
saling tatap, Ratih Selayang menggigit
bibirnya sendiri bagai menahan keresahan
yang menyiksa jiwa. la pun akhirnya
merebahkan kepala di dada bidang Soka
Pura. Pemuda itu menautkan kedua
tangannya dalam satu pelukan yang
menghangat di tubuh Ratih Selayang.
Tangan yang memeluk itu akhirnya
meraba-raba punggung Ratih Selayang.
Rabaan lembut terasa menggetarkan hati,
menerbangkan jiwa si gadis. Terlebih
setelah usapan lembut itu merayap ke
bawah dan meremas di bagian bawah
pinggul, Ratih Selayang mendesah lirih
dengan mata terpejam dan kepala semakin
dirapatkan ke dada Soka. Tangan gadis itu
juga memeluk dan meremas punggung Soka
sebagai tempat bertahannya luapan hasrat
yang tak berani dinyatakan dalam
lahiriah.
Hanya saja, tiba-tiba seberkas
sinar merah melesat cepat di luar dugaan
mereka. Dalam keadaan dihanyutkan oleh
asmara, tiba-tiba seorang melepaskan
pukulan jarak jauh berupa sinar merah
yang segera menghantam pinggang belakang
Soka.
Weess...!
Deeb...!
"Aaakh...!"
"Soka...?!" Ratih Selayang segera
tarik diri dan memandang Soka. Pemuda itu
mengejang dengan kepala sedikit
terdongak, mataterbelalak, mulut
ternganga dan tak bergerak sedikit pun
bagaikan patung. Tetapi warna kulitnya
segera berubah menjadi kemerah-merahan.
"Soka...?! Kenapa kau?! Kenapa kau,
Soka?!" Ratih Selayang sangat tegang dan
panik. la mengguncang-guncang tubuh
Soka, tapi pemuda itu benar-benar
bagaikan patung yang tak bisa bergerak
sedikit pun. Bahkan ucapkan kata lirih
pun tak mampu.
"Oh, Soka...?! Pasti ada orang yang
menyerang kita, Soka!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar
dengan jelas di belakang Soka Pura.
"Dia tak akan bisa bergerak dan
bicara. Jurus totokan 'Tapak Merah'ku
akan membuatnya diam selamanya bagaikan
patung. Tak akan bisa bergerak dan hidup
seperti biasanya jika tak kulepaskan
totokan!"
Suara kalem itu milik seorang
perempuan. Ratih Selayang segera
pandangi perempuan berjubah merah yang
berdiri dengan angkuhnya. Perempuan
berjubah merah itu berusia sekitar tiga
puluh tahun dan mengenakan pakaian yang
seronok. Jubahnya tak dikancingkan,
sementara pakaian dalam yang menutupi
bagian atas dan bawah hanya sekelumit
saja. Terlalu kecil, sehingga apa yang
ditutupi itu tampak mengintip sedikit
dari kain penutupnya.
Rupanya si gadis sudah mengenali
perempuan itu, sehingga ia pun segera
menyapa dengan nada berang.
"Dasar perempuan jahanam! Mengapa
kau menotoknya, Ranum Sani?!"
"Sudah tiga hari aku mencari pemuda
berperawakan seperti dia, tapi baru
sekarang kudapatkan!"
"Jangan coba-coba menyentuhnya jika
kau tak ingin kukirim ke neraka, Ranum
Sani!" gertak Ratih Selayang dengan
berani, padahal ia sadar bahwa Ilmunya
lebih rendah dibanding ilmu lawannya.
Tapi demi mempertahankan pemuda tampan
itu.
"Hik, hik, hik, hik...," Ranum Sani
menertawakan gertakan itu. "Bocah
kemarin sore berani menggertakku?! Oh,
alangkah malang nasibmu, Nona! Aku tak
akan ampuni kesalahanmu jika kau berani
menggertakku kedua kalinya!"
Ranum Sani maju dua langkah, Ratih
Selayang bergeser ke kiri menghadang
langkah itu agar tak menyambar Soka yang
masih berdiri bagaikan patung itu.
Trisulanya segera dicabut dan siap
digunakan menyerang lawan
sewaktu-waktu. Ranum Sani masih tampak
tenang, sunggingkan senyum sinis,
berjalan pelan mengelilingi Soka Pura,
sementara Ratih Selayang ikut bergerak
dan selalu memunggungi Soka Pura.
"Ratih Selayang, lebih baik aku
membunuhmu daripada aku gagal
mendapatkan pemuda seperti dia! Karena
kegagalanku berarti hukuman terberat
yang harus kuterima dari sang ketua! Aku
tak mau terkena hukuman lagi karena gagal
mencuri peta wasiat dari tangan
nenekmu!"
"Persetan dengan kegagalanmu! Lebih
baik kau pulang ke Kuil Darah Perawan
sekarang juga! Ketuamu, si Peri Kenanga
itu, mungkin telah dibunuh oleh nenekku
dalam perjalanan melarikan diri pulang
ke Kuil Darah Perawan!"
"Kau benar-benar tak bisa diberi
ampun lagi! Menggertakku dua kali sama
saja siap melepaskan nyawa!"
"Demi mempertahankan Soka Pura, aku
siap mengorbankan nyawa!" ujar Ratih
Selayang dengan lantang.
"Hiaat...!" Ranum Sani membuka
kuda-kuda dengan kedua tangan berkuku
runcing terangkat ke atas pundak, tubuh
bergeser ke kiri hingga menghadapi lawan
dalam keadaan menyamping. Jubahnya
dihembus angin senja bersama gerakan
rambutnya yang bergerai dipermainkan
angin juga.
Ranum Sani ternyata adalah anak buah
Peri Kenanga dari Kuil Darah Perawan,
yaitu sebuah kelompok perempuan
beraliran sesat yang terdiri dari para
pelacur liar. Ranum Sani ditugaskan
untuk mencuri peta wasiat, yaitu peta
tentang jalur jalan menuju Gua Mulut
Naga. Tetapi ia gagal memperolehnya, dan
sebagai hukumannya ia harus menda-patkan
seorang pemuda berperawakan tinggi,
gagah, kekar dan tampan, la harus
menundukkan pemuda itu, lalu
mempersembahkan kepada sang ketua
sebagai pelayan gairah sang ketua. Jika
tugas itu gagal juga, maka ia akan
dihukum berat yang dapat membuatnya
cacat seumur hidup.
"Rumahmu sudah kuobrak-abrik dan
ternyata peta wasiat itu memang tidak
ada! Sekarang harapanku hanya ada pada
pemuda itu, Ratih Selayang. Jika kau
menghalangiku, maka terimalah jurus
penembus jantungmu ini! Heeah...!"
Ranum Sani tiba-tiba melepaskan
pukulan jarak lima langkah. Pukulan itu
berupa sinar kuning seperti telur ayam
yang melesat dari telapak tangan
kirinya.
Claaap...!
Melihat cahaya kuning melesat ke
arahnya, Ratih Selayang segera tempelkan
telapak tangan kirinya ke ujung gagang
trisula, kemudian kedua tangan itu
menyentak ke depan.
Claap...!
Dari ujung runcing trisula melesat
sinar merah panjang tanpa putus yang
segera menghantam cahaya kuning ter-
sebut.
Blaaarr...!
Ledakan besar mengeluarkan
gelombang panas. Gelombang hawa panas
itu menghempas tubuh Ratih Selayang.
Wuuuss...!
"Aahk...!" Ratih Selayang pun
terpekik, tubuhnya terhempas ke
belakang, nyaris membentur tubuh Soka
yang mematung. la jatuh di depan kaki So-
ka dalam keadaan menyeringai menahan
hawa panas yang menyengat sekujur
tubuhnya, sedangkan Ranum Sani tampak
tidak mengalami cedera apa pun kecuali
hanya tersentak mundur satu langkah.
Ratih Selayang bergegas bangkit
waiau sambil menahan rasa sakit di
permukaan kulit tubuhnya. Tetapi
tiba-tiba Ranum Sani melemparkan sesuatu
yang diambil dari balik jubahnya.
Weess...!
Slaatt...!
Sebatang jarum merah melesat cepat
dan nyaris tak terlihat mata Ratih
Selayang. Jarum itu gagal ditangkis
dengan tebasan trisuia, akhirnya
menancap di bawah pundak kanan.
Jruub...!
"Uuhk...!" Ratih Selayang mengejang
sambil menyeringai makin kuat. Ia
mencoba bertahan dan ingin lakukan
serangan lagi. Tapi langkahnya menjadi
limbung. Jarum beracun itu telah bekerja
cepat dalam darahnya dan melemahkan
seluruh urat sarafnya.
"Oohk...! Oohk...!" Ratih Selayang
semakin terhuyung-huyung. la mulai sadar
akan keadaan dirinya yang tak akan mampu
melawan Ranum Sani. Maka dengan sisa
tenaganya, ia mencoba larikan diri
mencari sang nenek.
"Hik, hik, hik...! Memang
selayaknya kau melarikan diri dan tak
perlu unjuk kesetiaan lagi, Ratih
Selayang!" Ranum Sani menertawakan
hingga terkikik-kikik. Ratih Selayang
tak peduli, ia tetap lari dan berlari
terus menuju rumahnya.
Tetapi sampai di rumah ternyata yang
ia temukan hanyalah keadaan yang
berantakan. Ratih Selayang segera tahu,
bahwa Ranum Sanilah yang mengacak-acak
isi rumahnya untuk mencari peta wasiat.
Karena gagal, Ranum Sani pergi ke
arah balik bukit. Tanpa disengaja ia
temukan Ratih Selayang bersama Soka
Pura.
Ratih Selayang segera mencari
neneknya ke arah pertempurannya dengan
Peri Kenanga tadi. Karena sang nenek
belum muncul di tempat itu, Ratih
Selayang pun segera pergi mencari sang
nenek ke mana-mana. Senja yang kian tua
membuat Ratih Selayang tak sadar telah
bersimpang jalan dengan sang nenek yang
menuju ke pondoknya sambil memanggul
Raka Pura.
Sementara itu, Ranum Sani bersorak
kegirangan dalam hatinya. la berhasil
dapatkan pemuda yang sesuai dengan
keinginan sang ketua. Bahkan dalam
hatinya, Ranum Sani mengakui ketampanan
Soka Pura.
"Dia benar-benar tampan dan
menggairahkan sekali!" sambil memper-
hatikan Soka sampai mengitarinya.
"Dadanya bidang, lengannya kekar,
wajahnya tak membosankan dan... oh,
sungguh menggiurkan sekali pemuda ini."
Ranum Sani mendesis pelan sambil
meremas dadanya sendiri. Pandangan
matanya mulai sayu, pertanda api gairah
telah membakar hasratnya untuk bercumbu.
"Sebaiknya kurasakan dulu keha-
ngatannya sebelum kuserahkan kepada sang
ketua! Oh, kebetulan ada gua di sebelah
sana! Kurasa gua itu dapat dipakai
mengetahui apakah ia benar-benar jantan
atau biasa-biasa saja? Hmmm... masih
muda, lagi! Hik, hik, hik...!"
Ranum Sani segera memanggul tubuh
Soka yang masih belum dibebaskan dari
pengaruh totokannya tadi. la membawa
masuk pemuda itu ke dalam gua. Ternyata
gua itu tergolong berkeadaan rapi. Punya
susunan jerami yang membentang bagaikan
kasur, punya bebatuan yang menyerupai
dinding penyekat, punya sisa kayu bakar
sebagai tanda gua itu pernah dipakai
bermalam seseorang yang menyalakan api
unggun. Ranum Sani tak tahu bahwa Ratih
Selayang sering datang ke gua itu untuk
menyendiri, merenungi khayaiannya yang
tak jauh dari persoalan jodoh dan cinta.
Soka Pura dibaringkan di atas kasur
jerami buatan Ratih Selayang. Keadaannya
masih seperti patung bernyawa.
Ranum Sani segera melepaskan
totokannya. Soka terkejut dan langsung
bangkit, duduk dengan mata terbelalak
dan mulut terbengong. ia merasa heran
begitu melihat seraut wajah cantik yang
tak lagi imut-imut.
"Oh...?! Mengapa wajahmu berubah,
Ratih?!"
"Aku...," Ranum Sani tak jadi
lanjutkan ucapannya. Semula ia ingin
mengaku sebagai Ranum Sani, sedangkan
Ratih Selayang sudah meiarikan diri. Ta-
pi agaknya ia punya pemikiran lain,
sehingga lanjutan kata-katanya pun
menjadi berbeda.
"Hmm, iya... memang beginilah wajah
asliku sebenarnya. Apakah... apakah kau
tak suka dengan wajah asliku jika sedang
kasmaran begini?!"
Soka Pura kerutkan dahinya,
pandangi perempuan cantik yang mempunyai
kematangan dalam bersikap di depan lawan
jenisnya itu. Soka tak ingat apa-apa
tentang kejadian yang tadi dialami saat
berpelukan dengan Ratih Selayang. Bahkan
Soka tak merasa terkena totokan atau
serangan apa pun. Karenanya la merasa
baru saja sadar dari lamunan dan
menemukan Ratih Selayang sudah berubah
menjadi perempuan cantik yang punya
wajah menantang gairah.
"Bee... benarkah kau jika kasmaran
menjadi berubah secantik ini?"
"Katakan saja kalau kau tak suka
dengan wajah asliku ini!" Ranum Sani
berlagak cemberut, seperti yang
dilihatnya saat Ratih Selayang sewot di
depan Soka.
Melihat kecemberutan itu, Soka Pura
pura-pura meraih pundak Ranum Sani dan
menghadapkan wajah itu ke arahnya.
"Ratih, jangan salah sangka. Aku
justru suka sekali melihat kecantikanmu
yang asli begini! Jangan marah, Ratih,"
bujuk Soka dengan senyum dan kelembutan
yang menawan hati Ranum Sani.
"Benarkah kau tak menyesal berada di
gua ini bersamaku?"
"Tidak. Tapi... oh, ya... apakah ini
gua yang ada di belakang kita tadi?"
sambil Soka memandang ke arah luar dengan
berlutut, karena pandangannya ke arah
luar terhalang batu serupa dindlng
sebatas perut.
"Memang ini gua yang ada di belakang
kita," sambil tangan Ranum Sani meraih
tangan Soka agar pemuda itu duduk
kembali.
"Aku tak menyangka kau bisa berubah
wajah jika sedang bergairah," ujar Soka
sambil mengusap pipi Ranum Sani. "Apakah
benar kau sedang bergairah?"
Perempuan bermata sayu itu
anggukkan kepala dengan senyum nakal.
Bibirnya yang menggiurkan dipamerkan
dengan sesekali dijilatnya sendiri. Soka
Pura memandanginya dengan hati
berdebar-debar. Mata pemuda itu semakin
nakal ketika menatap ke dada yang tampak
lebih besar dari milik Ratih Selayang.
"Kenapa kau memandangi terus? Kau
mau?" tawaran itu bagai tantangan yang
membuat dada Soka bergemuruh.
"Kalau kau suka ambil saja!" tambah
Ranum Sani sambil menyodorkan dadanya.
Tapi pemuda itu justru salah tingkah
dan tampak makin gemetar. la hanya
tersenyum-senyum dengan keraguan yang
menggundahkan hati. Ranum Sani tak sadar
dan segera meraih tangan Soka, lalu
menempelkan di dadanya.
"Ambillah, jangan takut!"
Soka semakin sesak napas. "Tadi dia
tak berani, sekarang dia sangat berani.
Apakah semua wanita selalu begitu?"
pikir Soka saat belum berani lakukan
apa-apa. Tapi karena tangannya ditekan
masuk oleh tangan Ranum Sani hingga
menyelusup di balik penutup dada itu,
maka tangan Soka pun mulai rasakan
kehangatan yang begitu cepat mengalir ke
seluruh tubuh. Tangan itu pun secara
naluriah bergerak pelan-pelan dan
membuat jantung berdetak sangat cepat.
"Oouuh...! Ssshh, aahhh...!" Ranum
Sani mulai mendesah dengan mata
terbeliak. Wajahnya maju sedikit,
dagunya terangkat, bibirnya merekah, dan
naluri pemuda itu mengatakan bahwa bibir
sedikit tebal tapi indah itu minta
dikecup seperti tadi. Maka, Soka pun
menempelkan bibirnya ke bibir Ranum
Sani, kemudian bibir itu dilumatnya.
Kejap berikutnya ganti bibir Soka yang
dilumat dengan ganas dan melambungkan
jiwa. Karena pada saat itu tangan Ranum
Sani pun tak tinggal diam. Tangan itu
menyelusup dan menemukan apa yang
diharapkan oleh puncak cumbuan itu.
"Ahhh..!" perempuan itu hamburkan
napas melalui mulut la mulai merebah dan
membentang pasrah. Tapi Soka hanya
menciumi wajah dan mengecup-ngecup bibir
Ranum Sani. Hal itu membuat Ranum Sani
berkesimpulan bahwa Soka belum paham
betul jurus-jurus kemesraan yang
seharusnya dilakukan.
"Ambillah ini... Ambil dan pagutlah
pelan-pelan...!" sambil ia menyodorkan
dadanya dan menarik kepala Soka agar
mendekati sepasang gumpalan daging yang
menggunung itu. Soka pun segera
menyambar ujungnya dan memagut
pelan-pelan.
"Oouh, yaaah... nikmat sekali.
Terus... jangan berhenti... uuuh,
terus....." Ranum Sani mulai berceloteh
disela desah napas dan erangan
kenikmatan. Secara tak sengaja ia telah
menjadi pemandu kemesraan bagi Soka
Pura, karena tanpa dipandu Soka Pura
masih terlalu kaku memainkan irama
keindahannya.
"Rupanya ia masih perjaka," pikir
Ranum Sani dengan hati kian
berdebar-debar.
"Biarlah sekarang sampai di sini
dulu. Nanti di kuil akan kuhabisi. Aku
akan bermalam di sini dan membawanya ke
kuil esok pagi saja!" pikir Ranum Sani
saat mereka mulai mengantuk.
Esoknya pemuda itu tertegun, diam
tak berkata, hanyut dalam lamunan. Ranum
Sani menertawakan tanpa suara, lalu
mencubit hidung Soka sambil menyapa
genit.
"Kenapa melamun?! Apakah kau kecewa
karena belum menikmati kebahagiaan
sejati?"
"Tidak, Ratih. Aku tidak kecewa."
"Lalu, mengapa kau melamun? Apa yang
kau lamunkan?"
"Seharusnya aku tidak ada di sini
Seharusnya kau bersama Raka pergi ke
suatu tempat."
Ranum Sani tersentak kaget, namun
buru-buru menutupi kekagetannya itu
dengan tawa yang berhamburan. Seakan ia
menertawakan ucapan Soka yang
dilontarkan seperti orang menggumam itu.
"Mengapa kau tertawa?"
"Kau mengigau! Apakah kau tak tahu
jalan menuju Gua Mulut Naga?!"
"Aku memang tidak tahu. Apakah kau
mengetahuinya, Ratih?!" |
Ranum Sani cekikikan lagi. Tapi
hatinya membatin, "Siapa pemuda ini
sebenarnya? Tadi ia mengaku bernama
Soka, tapi mengapa ia mencari Gua Mulut
Naga? Oh, gawat juga! Apakah dia juga
ingin dapatkan Bunga Pucuk Darsi,
seperti yang diharapkan sang ketua
itu?!"
Sesaat setelah habiskan tawa yang
dipaksakan itu, Ranum Sani pun memandang
Soka yang sejak tadi menatapnya dengan
dahi berkerut dan merasa aneh karena
kata-katanya ditertawakan.
"Kurasa kau hanya berpura-pura tak
tahu apa yang dimaksud Gua Mulut Naga
itu."
"Aku memang tak tahu."
"Kau ingin tahu apa yang dimaksud
Gua Mulut Naga?"
"Tentu. Jelaskan, Ratih."
Sambil tertawa kecil, Ranum Sani
meraih tangan Soka dan meletakkannya ke
'mahkota'-nya sendiri.
"Gua Mulut Naga itu ini!"
"Apa...?!" Soka terbelalak kaget.
"Ini mulutnya, dan... ini naganya!"
tangan itu dipindahkan Ranum Sani ke
pangkal paha Soka sendiri. Perempuan itu
hamburkan tawa, sementara Soka menjadi
terbengong melompong.
"Benarkah Gua Mulut Naga itu... ada
di setiap perempuan?" tanya Soka dalam
hatinya.
Esok paginya, mereka terbangun
karena mendengar suara ledakan cukup
keras. Bahkan gua tempat bermalam mereka
mengalami guncangan yang mencemaskan.
Untuk mengetahui apa penyebab ledakan
itu, mereka pun bergegas keluar dengan
keadaan telah berpakaian lengkap.
Ternyata pertarungan di ujung pagi
itu dilakukan oleh Nini Sawandupa dengan
seorang wanita berambut panjang sebahu,
mengenakan rompi cekak warna putih perak
dan celananya juga berwarna perak.
Perempuan itu berbadan tinggi, sekal,
montok, dan berkulit kuning langsat.
Sebilah pedang bergagang dan bersarung
perak terselip di pinggangnya.
Pada saat Ranum Sani dan Soka Pura
tiba di tempat tersebut, mereka melihat
Nini Sawandupa sedang terlempar ke
belakang dan terbanting dengan kerasnya,
sedangkan perempuan berompi perak yang
usianya sekitar empat puluh dua tahun itu
hanya terhuyung-huyung ke belakang.
Rupanya mereka baru saja mengadu
kekuatan tenaga dalam hingga timbulkan
suara ledakan yang ketiga kalinya.
Ranum Sani terperanjat meiihat
perempuan yang menggenggam bumbung bambu
kecil dengan ukuran sebesar tongkat dan
panjangnya sekitar dua jengkal itu. la
tak sadar menyebutkan nama perempuan
berpakaian putih perak itu.
"Walet Perak...?!"
Soka Pura segera bertanya, "Walet
Perak itu siapa?!"
"Sahabatku!" jawab Ranum Sani.
"Benarkah dia sahabatmu? Mengapa
dia menyerang nenekmu?" tanya Soka Pura
karena ia masih beranggapan bahwa Ranum
Sani adalah wujud asli dari Ratih
Selayang.
Mendengar pertanyaan itu, Ranum
Sani segera gugup. ia tak sempat
menjelaskan bahwa Walet Perak adalah
pelarian dari Pesisir Kulon, bekas
orangnya Ratu Cumbu Laras yang bergabung
dengan pihak Kuil Darah Perawan. (Baca
serial Pendekar Kembar dalam episode:
Dendam Asmara Liar"). Karena tiba-tiba
Ranum Sani melihat Walet Perak terdesak
oleh serangan Nini Sawandupa yang
membahayakan, maka Ranum Sani pun
lepaskan pukulan jarak jauhnya ke
punggung Nini Sawandupa.
Claap...!
Sinar kuning itu meluncur cepat ke
arah sang nenek.
Namun agaknya kewaspadaan sang
nenek cukup tajam. Saat ia ingin lepaskan
pukulan lagi ke arah Walet Perak sambil
lakukan lompatan ke samping. ekor
matanya melihat sinar kuning mende-
katinya. Langsung saja pukulan itu
dilepaskan ke arah datangnya sinar
kuning tersebut.
Claap...!
Cahaya merah berbentuk seperti mata
tombak itu melesat dari tangan Nini
Sawandupa dan bertabrakan dengan sinar
kuning tersebut.
Blegarrr...!
Nini Sawandupa terlempar kembali
dan membentur sebatang pohon dengan
keras. Sementara itu, Soka Pura
terperanjat melihat Ranum Sani menyerang
Nini Sawandupa.
"Kenapa kau serang sendiri
nenekmu?!" sentak Soka Pura.
Melihat lawannya terlempar jatuh,
Walet Perak segera menatap Ranum Sani,
maka pertanyaan Soka tidak terjawab,
karena suara Walet Perak segera
terdengar berseru kepada Ranum Sani.
"Ranum Sani, halangi dia, Peta
wasiat sudah kudapatkan! Akan kuserahkan
kepada sang ketua!"
Ranum Sani pun tinggalkan Soka dan
segera menyerang Nini Sawandupa. Hal itu
membuat Saka Pura mulai sadar bahwa ia
telah tertipu mentah-mentah oleh
pengakuan Ranum Sani tadi. Kini ia tahu
bahwa Ranum Sani bukan Ratih Selayang,
terbukti ikut menyerang Nini Sawandupa
dan memihak si Walet Perak. Entah di
pihak mana mereka, yang jelas Soka tahu
bahwa Ranum Sani adalah musuh Nini
Sawandupa juga.
Maka ketika Ranum Sani mencabut
pedangnya dan ingin menebaskan ke pundak
Nini Sawandupa, tangan Soka Pura segera
menyentak ke depan dalam keadaan kelima
jarinya mekar dan telapak tangannya
telungkup.
Claap, weees...!
Seberkas cahaya putih seperti pisau
runcing melesat dari telapak tangan Soka
Pura. Jurus 'Cakar Matahari' yang
meluncurkan sinar putih seperti pisau
runcing itu tepat kenai lambung Ranum
Sani.
Cuurrb...!
"Aaaahhk...!"
Jurus Cakar Matahari' tak
menimbulkan ledakan yang menggelegar.
Tetapi begitu sinar putih mirip pisau
runcing itu menghujam masuk ke lambung
Ranum Sani, perempuan itu langsung jatuh
tersung-kur bagai kehilangan tenaga
secara tiba-tiba.
Brruk...!
Sedangkan sinar putih mirip pisau
itu ternyata menembus keluar dari tubuh
Ranum Sani dan melesat cepat langsung
kenai perut si Walet Perak. Kejadian itu
sangat tak diduga-duga oleh Walet Perak
maupun Soka Pura sendiri. Soka hanya
ingin mematahkan serangan Ranum Sani
tanpa mengarah kepada Walet Perak.
Currb...!
Walet Perak segera memekik
tertahan,
"Aaahk...!" tubuhnya melengkung ke
belakang, dan segera tumbang tanpa mampu
bertahan lagi. Bambu kecil warna hitam
itu terlempar dari genggaman si Walet
Perak.
Nini Sawandupa yang bergegas
tegakkan kepaia memandangi lawannya juga
ikut terkejut melihat kehadiran Ranum
Sani yang sudah dikenalnya, dan
tersentak kaget melihat si pemuda
berpakaian serba putih berwajah tampan
itu. Tapi sang nenek berjubah kuning itu
tambah kaget lagi setelah melihat Ranum
Sani dan Walet Perak terkapar tanpa
bernapas lagi. Tubuh mereka hangus dan
menjadi arang pada bagian sekitar luka
yang terkena sinar putih tadi. Bahkan
pakaian mereka di sekitar luka tanpa
darah itu pun ikut terbakar hangus hanya
di bagian sekitar luka. Kedua tubuh itu
menjadi tak berdarah, kering bagaikan
kayu bakar, sementara kehangusan itu
berwarna hitam dan seperti arang. Tentu
saja mereka tak bernyawa lagi.
Nini Sawandupa kerahkan sisa
tenaganya dan melesat untuk menyambar
bambu sepanjang dua jengkal tersebut.
Agaknya bambu itu hanya satu ruas dan
dipakai sebagai tempat menyimpan sesuatu
di bagian dalamnya.
Soka Pura segera dekati Nini
Sawandupa. la ingin menyapa dan
memperkenalkan diri, lalu ingin pula
menceritakan perkenalannya dengan Ratih
Selayang. Tapi tiba-tiba sang nenek
sudah lebih dahulu hamburkan omelan
kepadanya.
"Dasar bandel! Kubilang lukamu
belum sembuh betul dan kau harus
beristirahat sampai nantl siang! Mengapa
kau justru menyusulku?! Kau sangka aku
tak sanggup menangkap pencuri peta
wasiat ini?!"
Soka Pura jadi bingung dan
terbengong-bengong. Lalu ia segera
berkata, "Maaf, Nek... kita belum saling
kenal. mengapa kau sudah memarahiku?!"
"Apa...?! Kau biiang kita belum
saling meng-nal?! Kau pikir mata tuaku
telah rabun?! Kembali ke pondok dan
istirahat sampai nanti siang!" sentak
sang nenek sambil serukan perihtah yang
tidak berkesan permusuhan. Rupanya Nini
Sawandupa menyangka pemuda itu adalah
Raka Pura yang harus beristirahat sampai
nanti slang setelah semalam lakukan
pengobatan untuk lukanya.
Maaf, aku bukan Raka, Nek! Aku Soka,
adiknya!"
"Hahh...?!" sang nenek pun
terperangah kaget. la segera ingat
cerita Raka tentang sang adik dan
pertengkaran Ratih Selayang dengan Raka
Pura tadi malam.
Rupanya setelah Ratih Selayang
gagal mencari neneknya, ia kembali ke
rumahnya yang telah berantakan bagian
dalamnya itu. Ia bertemu dengan sang
nenek yang sedang membaringkan Raka Pura
di atas pembaringan. Dengan menahan luka
beracun yang makin melemahkan tenaganya
itu, Ratih Selayang segera menghamburkan
pelukannya ke tubuh Raka Pura yang
disangka Soka Pura itu.
"Soka...?! Oh, syukurlah kau
tertolong oleh nenekku! Jika tidak, maka
kau akan menjadi santapan orang-orang
Kuil Darah Perawan, Soka...?! Soka,
bicaralah!"
Pada waktu itu, Nini Sawandupa baru
bisa membuat Raka sadar dan bisa bicara,
tapi belum bisa menggerakkan anggota
tubuhnya. Melihat Ratih Selayang memeluk
dengan tangis, Raka Pura menjadi
kebingungan dan segera berkata pelan.
"Aku bukan Soka. Aku adalah Raka!"
"Bohong! Kau adalah Soka, aku tak
mungkin lupa dengan wajahmu!"
"Aku kakaknya Soka!"
Perdebatah itu sempat terjadi
beberapa saat dan Ratih Selayang tetap
tak percaya bahwa pemuda itu adalah
saudara kembar Soka Pura. Bahkan sampai
saat sang nenek selesai mengobati luka
beracunnya, Ratih Selayang masih tetap
beranggapan bahwa pemuda itu adalah Soka
Pura. Walau Raka mengaku mempunyai
saudara kembar yang sangat mirip
dengannya, Ratih Selayang tetap tak mau
percaya, karena menurut gadis itu tak ada
beda sedikit pun yang ditemuinya pada
Raka. Jadi ia tetap menganggap pemuda itu
adalah Soka. Penjelasan sang nenek pun
tidak membuat pendiriannya berubah,
sampai akhirnya sang nenek jengkel
sendiri.
"Terserah kau sajalah! Mau kau
anggap Soka atau Raka, aku tak mau
pusing-pusing lagi!"
Meski luka di bawah pundaknya belum
sembuh, tapi Ratih Selayang tetap
membantu neneknya mengobati pemuda
tampan itu. Bahkan semalaman ia tak tidur
demi menjaga pemuda itu sambil lakukan
perawatan kecil-kecilan.
Pada waktu matahari mulai muncul,
Nini Sawandupa terbangun dari tidurnya
karena tiba-tiba hatinya berdebar-debar
dan menjadi cemas sekali. Ada sesuatu
yang membuatnya makin lama semakin
cemas, akhirnya ia pun keluar dan menuju
ke belakang rumah. Cahaya matahari yang
telah menerangi bumi secara samar-samar
itu menampakkan gerakan Nini Sawandupa
yang melesat ke atas pohon dalam satu
sentakan kaki ke tanah.
Wuuut...!
Ternyata Nini Sawandupa mengambil
sesuatu dari dahan besar yang berlubang.
Ternyata yang diambilnya adalah bambu
hitam satu ruas. Bambu hitam itulah yang
dicemaskannya, karena bambu itu berisi
gulungan peta wasiat peninggalan
gurunya. Nini Sawandupa merasa lega
melihat gulungan peta itu masih ada di
dalam bumbung bambu Itu dengan aman. la
sempat mengeluarkan dan memeriksa
gulungan lontar tersebut.
Ternyata rumah itu sudah diintai
oleh seseorang sejak tengah malam. Orang
tersebut tidak lain adalah si Walet
Perak. Perempuan itu melihat Nini
Sawandupa keluarkan gulungan lontar dari
dalam bambu sepanjang dua jengkal. la
langsung menduga bahwa gulungan lontar
itulah peta wasiat yang dicarinya.
Maka dengan satu kekuatan tenaga
dalam penyedot, peta yang sudah
dimasukkan kembali ke dalam bambu dan
bambu itu sudah dalam keadaan tertutup
lagi, siap untuk disimpan di tempatnya
semula, tiba-tiba terlepas dari tangan
Nini Sawandupa.
Wuuutt...!
Bambu itu melayang sendiri dan
tertangkap di tangan Walet Perak.
"Keparat kau! Kembalikan benda
itu!" teriak Nini Sawandupa, tapi
teriakan itu tak dihiraukan. Walet Perak
segera melarikan diri dan Nini Sawandupa
segera mengejarnya, sehingga terjadilah
pertarungan di lereng bukit tak jauh dari
gua tempat Soka dan Ranum Sani bermalam.
Kini ketika Nini Sawandupa membawa
pulang Soka, Ratih Selayang menjadi
terkejut bukan kepalang. la sedang
menyeka wajah Raka Pura dengan air hangat
dengan penuh kesetiaan. Begitu Soka
muncul, gerakan itu terhenti dan sempat
dilanjutkan.
"Raka...?!" sapa sang adik dengan
cemas melihat keadaan kakaknya.
Kemudian, Soka pun sembuhkan luka sang
kakak dan kembalikan kekuatan Raka Pura
dengan menggunakan jurus pengobatan yang
dinamakan jurus Sambung Nyawa' itu.
"Pantas pemuda ini dingin
terhadapku, ternyata dia memang
benar-benar bukan Soka Pura?! Aiih...
malu sekali aku kalau begini!" gumam hati
Ratih Selayang sambil berdiri menyudut
ketika si kembar itu berunding dengan
neneknya.
Raka dan Soka akhirnya jeiaskan
tujuan mereka sebenarnya, dan ceritakan
tentang tugas mengambil pusaka di dalam
Gua Mulut Naga. Karena guru-nya Nini
Sawandupa adalah sahabat baik mendiang
Eyang Guru Dewa Kencan, akhirnya nenek
berjubah kuning itu serahkan peta
tersebut kepada murid kembar si Dewa
Kencan.
"Jika benar ada pusaka di dalam gua
itu, pergilah ke sana dan ambil pusaka
itu sebelum didahului oleh orang lain.
Aku rela jika kalian yang datang ke sana
dengan bantuan peta wasiat ini!" kata
Nini Sawandupa dengan tegas, tanpa ragu
sedikit pun.
"Apakah si Hantu Muka Tembok, Peri
Kenanga atau yang lainnya juga
menghendaki pusaka tersebut, Nini?"
tanya Raka.
"Mereka tidak tahu," jawab Nini
Sawandupa dengan suara petan. "Mereka
hanya ingin memetik Bunga Pucuk Dara yang
akan membuat lawan jenis pemilik bunga
itu akan tunduk dan bertekuk lutut tanpa
syarat lagi. Pemilik Bunga Pucuk Dara
akan menjadi penguasa yang ditakuti tapi
juga dicintai bagi lawan jenisnya. Bunga
itulah yang diincar oleh mereka!"
Raka dan Soka manggut-manggut
dengan hati lega. Dan siang harinya,
mereka pun segera pamit untuk berangkat
menuju Gua Mulut Naga dengan bantuan peta
tersebut.
"Aku ikut!" tegas Ratih Selayang.
"Tidak, Ratih!" sahut neneknya.
"Ini urusan perguruan mereka. Kita hanya
bisa doakan supaya mereka berhasil
dapatkan pusaka Pedang Tangan Malaikat.
Sebab seingatku, mendiang eyang gurumu
pernah berkata, siapa yang memiliki
Pedang Tangan Malaikat dia berhak
menyandang gelar pendekar, karena pusaka
itu memang sebenarnya milik sepasang
pendekar yang hidup di masa sekitar dua
ratus tahun yang lalu."
Ratih Selayang kecewa, namun tak
berani menentang keputusan sang nenek.
Hanya saja, hati gadis itu menjadi
sedikit terhibur setelah Soka Pura
berjanji akan mengunjunginya kembali
jika pusaka itu telah diperolehnya.
Pemuda kembar itu akhirnya
berangkat menuju Gua Mulut Naga.
Tetapi berhasilkah mereka dapatkan
Pedang Tangan Malaikat jika banyak pihak
yang ingin sampai lebih dulu di gua
tersebut? Mereka adalah para tokoh
berilmu tinggi seperti Peri Kenanga dan
Hantu Muka Tembok?
SELESAI
Ikuti Kelanjutannya dalam :
“GUA MULUT NAGA”
https://matjenuhkhairil.blogspot.com
0 comments:
Posting Komentar