..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 13 Februari 2025

PENDEKAR KEMBAR EPISODE KENCAN DI UJUNG MAUT

matjenuh

 

KENCAN DI UJUNG 
MAUT
Hak cipta dan Copy Right
pada Penerbit
Dibawah Lindungan Undang-Undang
Dilarang Mengcopy atau Memperbanyak
Sebagian atau Seluruh Isi Buku ini
Tanpa Izin Tertulis dari Penerbit.
Serial Pendekar Kembar
Dalam Episode 002 :
Kencan Di Ujung Maut

SATU

PUNCAK Gunung Merana masih tetap 
dibayang-bayangi oleh kabut tipis yang 
menyebarkan hawa dingin. Dalam 
bayang-bayang kabut tipis itu lah seraut 
wajah polos dalam usia remaja tampak 
mencucurkan keringat. Tenaganya dike-
rahkan untuk menahan bobot badannya yang 
sedang mengangkat kedua kaki ke atas dan 
kepala ke bawah. Tangan kanannya yang 
menyangga berat badan itu bertumpu pada 
sebatang tonggak bambu yang runcing 
setinggi lutut.
Dengan tangan kiri di kebelakangkan 
tubuh itu berjuhgkir balik dalam posisi 
tegak dan diam tanpa gerak. Telapak 
tangannya yang bertumpu pada keruncingan 
tonggak bambu itu makin lama semakin 
gemetar. Keruncingan tonggak bambu itu 
seakan ingin menembus ke telapak tangan 
bocah muda tersebut. Namun karena 
pengendalian tenaga dalam yang disa-
lurkan melalui ke tangan kanannya itulah 
yang membuat keruncingan bambu tak mampu 
menembus telapak tangan tersebut
"Pusatkan perhatian dan tenaga ke 
tanganmu. Jangan bergeser sedikit pun, 
agar pengendalian tenaga dalam itu 
benar-benar mampu kau kuasai, Raka" ujar 
seorang lelaki tua berusia sekitar enam 
puluh tahun lebih. Lelaki itu berpakaian 
putih krem dan berikat pinggang kain 
hitam. Orang tersebut mempunyai rambut

abu-abu sepunggung, jenggot dan kumisnya 
tipis berwarna abu-abu pula. Dengan 
tongkat hitam di tangan kanan, lelaki tua 
itu pa-dangi anak angkatnya yang bernama 
Raka dengan pandangan penuh wibawa. Si 
jubah putih kusam itu tak lain adalah 
Pawang Badai, penunggu makam keramat 
yang menjadi kuburan Eyang Mangkuranda, 
guru si Pawang Badai sendiri.
Si jubah putih kusam hingga mirip 
warna krem itu melangkah ke arah kanan 
Raka Pura. Rupanya di sana juga ada 
seorang bocah remaja lagi yang melakukan 
hal serupa. Bagi yang tak tahu, bocah 
remaja usia sekitar lima belas tahun itu 
akan disangka sebagai si Raka Pura, 
karena mempunyai kesamaan pada wajah, 
potongan tubuh, rambut dan pakaian. 
Bocah remaja itu adalah Soka Pura, adik 
kembar si Raka Pura. la berpakaian putih 
bersih dengan baju tanpa lengan dan ikat 
pinggang kain merah, sama dengan yang 
dikenakan Raka Pura, kakak kembarnya.
"Atur napasmu, Soka! Jangan terlalu 
boros napas, supaya pengendalian tenaga 
pun keluar secara teratur."
"Beres, Ayah!"
Soka masih bisa menjawab. la tampak 
lebih santai dari Raka. Sekalipun 
tubuhnya juga berjungkir balik dengan 
telapak tangan kiri bertumpu pada 
keruncingan bambu, namun ia tampak 
melakukannya dengan ringan. Keringatnya 
tidak sederas keringat kakaknya.

Udara dingin yang hadir bersama 
kabut seakan tak mampu menyerap keringat 
dari tubuh Raka. Maka anak itu terpejam, 
karena pencurahan tenaga d-lamnya 
benar-benar diatur dan dipusatkan ke te-
lapak tangan. Tetapi Soka masih bisa 
membuka mata dan melirik ke arah 
kakaknya, bahkan sempat tersenyum 
melihat kakaknya berkeringat deras.
"Jika telapak tangan kalian mulai 
terasa panas, dan pusat keruncingan 
bambu mulai menyengat, segera turun 
serta lepaskan tangan kalian. Itu 
berarti kemampuan tenaga dalam kalian 
sudah mencapai titik tertinggi dan jika 
diteruskan dapat membuat tenaga dalam 
kalian membalik arah, mencederai diri 
kalian sendiri," ujar Pawang Badai 
sambil melangkah dengan kalem, penuh 
wibawa.
Bocah kembar itu sepertinya sedang 
berlomba unjuk kemampuan. Menurut 
perhitungan Pawang Badai, mestinya 
mereka sudah harus berhenti, karena rasa 
panas muiai menyengat telapak tangan me-
reka. Tetapi kenyataannya, mereka masih 
bertahan, seakan sama-sama gengsi jika 
harus menyudahi latihan lebih duiu.
Beberapa saat kemudian, ternyata 
Raka Pura lebih dulu mengakhiri latihan 
tersebut. Telapak tangannya terasa panas 
dan ujung keruncingan yang ditekan 
dengan telapak tangan itu telah terasa

memantulkan tenaga dalam yang 
dikeluarkan.
Jleeg...! 
Dalam satu sentakan tubuh Raka Pura 
melesat ke belakang, lalu menapakkan 
kakinya ke tanah dengan tegak.
"Huuuffh...!" Raka hembuskan napas 
kelelahannya. Pawang Badai mendeka-
tinya, lalu memeriksa telapak tangan 
kanan Raka. Ternyata ada noda merah 
matang sebesar kacang hijau di tengah 
telapakannya itu.
"Kalau tadi kau tak segera hentikan 
latihan ini, maka tenaga dalammu akan 
membalik dan merusak jaringan uratmu!" 
ujar Pawang Badai.
"Aku sudah tak kuat menahan panas, 
Ayah."
"Hmmm..., bagus! Nanti sore kita 
ulangi lagi."
Raka sedikit mencemaskan adiknya 
karena Soka terlalu lama menahan tubuh 
dengan telapak tangan bertumpu pada 
keruncingan bambu. la pun segera 
mengingatkan kepada sang adik.
"Jangan dipaksakan, Soka! Nanti 
jaringan uratmu rusak sendiri. Turunlah 
jika sudah merasa tak mampu bertahan 
lagi."
Tetapi Soka Pura menjawab dengan
senyum konyolnya.
"Jangan samakan ketahananku dengan 
ketahananmu, Raka! Aku masih sanggup

begini terus sampai matahari tenggelam 
nanti."
"Sombong!" dengus Raka sambil 
melengos, sementara Soka menertawa-
kannya tanpa suara.
Pawang Badai sempat merasa heran dan 
kagum dengan ketahanan Soka.
"Gila! Mestinya dia tak akan mampu 
cengar-cengir begitu. Setidaknya ia akan 
mengucurkan keringat sederas keringat 
Raka. Mestinya pula dia tak akan mampu 
sebegitu lamanya lakukan latihan ini?!"
Pawang Badai mulai curiga dengan 
kemampuan Soka bertahan dalam keadaan 
seperti itu. Pandangan mata si tua 
bertubuh kurus itu mulai menangkap 
sesuatu yang ganjil di tangan kiri Soka 
yang dipakai bertumpu pada ujung 
keruncingan bambu tersebut.
Pawang Badai melangkah kalem dekati 
Soka. Tiba-tiba ia menangkap punggung 
tangan kiri Soka yang bertumpu di atas 
keruncingan bambu itu. 
Teeb...! 
Tangan itu diremas oleh Pawang 
Badai.
"Turunlah!" perintah Pawang Badai.
"Apa maksud, Ayah? Aku masih mampu 
bertahan beberapa saat lagi, Ayah."
"Turunlah sekarang juga!" hardik 
Pawang Badai.
Dengan gerakan agak pelan. Soka Pura 
pun akhirnya menurunkan kakinya yang 
semula lurus ke atas dengan kepala di

bawah. Tapi tangan kirinya tetap 
digenggam oleh sang ayah angkat. Hal Itu 
membuat Raka menjadi heran dan mencoba 
menerka-nerka apa yang terjadi pada diri 
adik kembarnya itu, sehingga si ayah 
angkat tampak mau marah. Raka pun dekati 
mereka.
Soka suka berdiri tegak, tapi tangan 
kirinya masih menggenggam karena diremat 
oleh Pawang Badai. Ketika matanya beradu 
pandang dengan mata si Pawang Badai, Soka 
menjadi salah tingkah dan cengar-cengir 
kecut.
"Buka genggaman tanganmu!" perintah 
Pawang Badai.
"Anu. begini, hmmm... soalnya, 
begini, hmmm...." Soka semakin salah 
tingkah.
"Buka genggamanmu!" hardik sang 
ayah angkat.
Soka takut, dan membuka kepalan 
tangannya pelan-pelan. Sang kakak ikut 
memandang tegang saat genggaman tangan 
si adik membuka pelan-pelan.
"Oh...?!" Raka terkejut, karena 
ternyata di telapak tangan Soka terdapat 
sepotong kulit hewan yang tebal. 
Sepotong kulit berukuran kecil itulah 
yang dipakai alas bertumpu di atas 
keruncingan bambu tadi.
"Curang kau!" bentak Raka Pura 
dengan dongkol. "Pantas kau bisa 
bertahan lama sekali, rupanya kau

melapisi telapak tanganmu dengan kulit 
binatang!"
"He, he, he...! Habis kalau tidak 
pakai tatakan takut bambunya nyoblos 
tanganku," ujar Soka dengan 
cengar-cengir.
Buuhk...! 
Raka memukul punggung adiknya de-
ngan jengkel. 
"Hei, kau berani memukulku, hah?!" 
Soka menjadi berang. la mau mengejar 
kakaknya yang segera menjauh, tapi 
tangannya tak dilepaskan dari genggaman 
si Pawang Badai.
"Kau yang, salah, Soka!" ujar Pawang 
Badai. "Ayah tak suka mempunyai anak yang 
licik!"
"Aku bukan licik, tapi cerdik, 
Ayah!" bantah Soka, lalu terdengar suara 
Raka berseru di belakang ayah angkatnya.
"Hukum dia, Ayah! Hukum yang berat 
biar kapok!"
Pawang Badai segera berkata, 
"Hukumanmu adalah berdiri dengan ujung 
jempol kakimu, satu kaki diangkat, satu
kaki untuk berdiri! Jangan berhenti 
sebelum matahari terbenam."
"Syukurrr...! Rasain, berdiri 
seperti burung bangau!" ledek Raka.
"Awas kau nanti!" ancam Soka.
"Lakukan sekarang juga, Soka!" 
hardik Pawang Badai. Mau tak mau Soka 
melakukan hukuman itu, berdiri dengan 
satu kaki dan hanya mernakai ujung jempol

kakinya saja, sementara kedua tangan 
harus merentang lurus ke samping tak 
boleh turun ke bawah.
Pawang Badai sangat tegas dalam 
mengajar dan mendidik kedua anak 
angkatnya itu. Tak ada ampun bagi siapa 
pun yang melakukan pelanggaran dalam 
masa latihan. Bahkan bila perlu, hukuman 
yang dijatuhkan kepada yang bersalah 
berupa tamparan beberapa kali.
Namun bagaimanapun juga, Pawang 
Badai sangat sayang kepada si kembar, 
Raka dan Soka, demikian pula istrinya,
Nyi Padmi. Sekalipun Raka dan Soka bukan 
anak kandung mereka, tapi mereka 
mencurahkan kasih sayangnya seperti 
halnya curahan kasih sayang seorang ayah 
dan ibu kandung.
Sampai usia lima belas tahun itu, 
Soka dan Raka belum tahu bahwa ia adalah 
anak angkat si Pawang Badai dan Nyai 
Padmi. Menurut kedua orangtua itu, belum 
saatnya menceritakan siapa orangtua Raka 
dan Soka sebenarnya. Pawang Badai 
bersikeras untuk tidak menceritakan hal 
itu sebelum kedua anak itu menyelesaikan 
pelajaran ilmu kanuragan yang harus 
mereka kuasai sepenuhnya.
"Jika mereka diberi tahu sekarang, 
maka pikiran mereka tidak akan terpusat 
pada ilmu yang mereka pelajari," ujar 
Pawang Badai kepada istrinya Nyi Padmi, 
yang dulu bertindak sebagai dukun bayi 
pada saat si kembar itu lahir dari

seorang ibu bernama Muninggar. (Baca 
serial Pendekar Kembar dalam episode: 
"Dendam Asmara Liar").
Kedua suami istri yang menjadi 
penunggu makam keramat Eyang Mangkuranda 
alias si Dewa Kencan itu, adalah pasangan 
yang mandul tapi tetap saling setia. 
Kehadiran si kembar membuat mereka 
merasa hidup serba indah dan bahagia, 
walau kadang kedua anak itu sering bikin 
jengkel hati mereka. Mereka merawat si 
anak kembar setelah mendapat perintah 
dari roh sang guru, si Dewa Kencan itu, 
dan bahkan Pawang Badai sendiri 
diizinkan untuk menurunkan ilmunya 
kepada Raka dan Soka.
Roh Eyang Mangkuranda memang sering 
perdengarkan suara tanpa rupa kepada 
mereka. Bukan hanya didengar oleh Pawang 
Badai dan Nyi Padmi saja, tapi suara 
tanpa rupa itu juga sesekali didengar 
oleh Raka dan Soka.
Bahkan jika kedua anak itu saling 
berlatih di hutan belakang makam, mereka 
sering mendengar suara orang tua tertawa 
terkekeh-kekeh tanpa ada wujud yang bisa 
mereka lihat. Pada mulanya memang mereka 
takut, tapi setelah terbiasa mereka 
tidak merasa takut dan tidak merasa heran 
lagi. Mereka akan langsung mengetahui 
bahwa suara tawa tanpa rupa itu adalah 
suara roh Eyang Mangkuranda, yang dalam 
silsilahnya sebagai kakek guru mereka.


Pernah pada suatu sore, ketika 
mereka berlatih menghancurkan batu 
dengan tangan kosong, suara tawa tanpa 
rupa itu terdengar lagi di antara mereka
berdua.
Pawang Badai memberi tugas kepada si 
anak kembar itu untuk menghancurkan batu 
sebesar kepala kerbau, masing-masing 
anak mendapat bagian sepuluh batu.
"Ah, enteng! Baru sepuluh batu. Dua 
puluh batu pun aku tak keberatan," ujar 
Soka Pura sambil mencibir konyol.
"Jangan meremehkan tugas ini, Soka! 
Satu batu saja belum tentu bisa kau 
hancurkan dalam waktu setengah hari, 
apalagi sepuluh batu?!" kata kakaknya 
dengan bersungut-sungut, sang adik hanya 
cengar-cengir.
Raka mendekati sebongkah batu yang 
sudah disiapkan oleh Pawang Badai sehari 
sebelum mereka mendapat tugas tersebut. 
Batu itu dihantam dengan tangannya. 
Desss...!
"Aaaow...!" Raka memekik kesakitan 
sambil mengibas-ngibaskan tangannya. 
Batu itu masih utuh, hanya geripis 
tepiannya saja. Rupanya tenaga anak itu 
belum mampu disalurkan ke tangannya, 
sehingga yang diperoleh hanya rasa ngilu 
pada tulang lengannya.
Soka menertawakan kakaknya yang 
menyeringai menahan sakit pada 
pergelangan tangannya.

"Percuma kalau makan sering nambah 
tapi mukul batu begitu saja tak becus!" 
kecam adiknya.
"Alaaa... kau sendiri belum tentu 
becus!"
"Eh, jangan menyepelekan Soka Pura, 
ya? Biar begini-begini tiap malam aku 
selalu mimpi bertemu Eyang Dewa Kencan 
dan menerima kekuatan hawa saktinya," 
sambil Soka membusungkan dada dan 
mencibir sombong.
"Coba kau hantam salah satu batu 
bagianmu itu!"
"Boleh saja! Lihat kehebatanku 
ini...!"
Soka segera dekati salah satu batu, 
kemudian batu itu dihantam dengan 
telapak tangan kirinya. 
Dees...! 
Praak...! 
Ternyata batu itu terbelah menjadi 
dua bagian, walaupun tak sama besar.
Raka tertegun melihat kenyataan 
itu. Soka makin membusungkan dada dengan 
sombongnya. Raka segera tak mau kalah, ia 
menghantam batu yang tadi belum bisa 
hancur itu dengan telapak tangan 
kanannya. 
Dees...!
"Aauh...!" Raka mengibas-ngibaskan 
tangannya yang kesakitan, sedangkan batu 
itu masih utuh tanpa geripis sedikit pun.
"Nah, lihat...! Mana kekuatanmu, 
Raka? Kekuatanmu hanya di perut saja,

khususnya untuk menampung nasi. 
Perhatikan caraku memukul ini...."
Soka memilih salah satu batu, 
kemudian dengan setengah berjongkok, 
batu itu dihantamnya dengan tangan kiri. 
Dees...! 
Prrak...! 
Batu tersebut terbelah menjadi tiga 
bagian tak sama besar.
Diam-diam si Pawang Badai telah 
muncul di tempat itu, memperhatikan 
kemampuan Soka dalam memecahkan batu 
tadi. Raka tampak sedih dan malu karena 
selalu dikecam oleh adiknya. Dari tadi 
tak satu batu pun yang sudah berhasil 
dihantamnya hingga pecah.
"Lihat, dua batu akan kuhantam 
berturut-turut dengan cepat!" ujar Soka 
setelah memilih dua batu yang 
bersebelahan. Ia menghantam kedua batu 
itu secara beruntun dengan tangan kiri 
Des, des...! 
Prak, prak...!
Lalu ia berdiri tegak dengan dada 
membusung, memandang ke arah kakaknya 
yang terbengong kagum. Soka tampak 
semakin sombong, bersiul mondar-mandir 
menyindir kakaknya.
Pada saat itulah terdengar suara 
tawa yang terkekeh. Mereka tak kaget 
lagi, dan segera memberi hormat dengan 
sikap tegak dan kepala menunduk.
"Selamat sore, Eyang...," sapa 
mereka serempak.

"Heh, heh, heh, hen...! Rupanya 
kalian sedang beradu kecerdasan otak, 
Cucu-cucuku?!"
"Bukan kecerdasan otak, tapi 
kekuatan tenaga dalam yang kami adu, 
Eyang," ujar Raka meralat kata-kata roh 
Eyang Mangkuranda itu.
"Kau menghantam batu dengan tenaga, 
tapi adikmu menghantam batu dengan 
akal."
"Apa maksud, Eyang?"
"Ada sepuluh batu yang tadi malam 
sudah dipecahkan dulu oleh Soka memakai 
palu besi. Batu yang pecah ditautkan lagi 
hingga seperti batu yang masih utuh. 
Sebab itulah Soka setiap menghantam batu 
langsung pecah atau terbelah, karena 
batu-batu yang dipukul adaiah batu-batu 
pilihannya, yaitu batu yang sudah 
dipecahkan pada malam harinya."
"Ah, jangan memfitnah begitu, 
Eyang!" sela Soka dengan cemberut.
"Heh, heh, heh... coba sekarang 
hantam lagi satu batu sampai terbelah 
seperti tadi!"
"Baik, Eyang! Kumohon Eyang melihat 
dengan cermat."
Soka melangkah dekati batu yang ada 
di bawah pohon, padahal di depannya tadi 
ada batu agak kecil, tapi ia memilih yang 
di bawah pohon. Tentunya batu yang di 
bawah pohon adalah batu yang sudah
dibelah dengan palu besi besar pada malam 
harinya.

Soka mencibir sombong, "Lihat ini, 
Raka...!"
Batu itu pun dihantamnya dengan 
tangan kiri. Tapi ketika tangan kiri itu 
melesat untuk menghantam batu, ternyata 
batu tersebut berpindah tempat dengan 
cepat dan batu yang lainnya bergeser ke 
tempat batu yang pindah tadi. 
Wees, slaap...!
Tangan kiri Soka pun tiba di batu 
tersebut. 
Dess...!
"Aaaoow...!" Ia memekik keras-keras 
sambil berjingkat-jingkat dengan tangan 
dikibas-kibaskan Batu itu tetap utuh 
tanpa geripis sedikit pun, sementara 
tangan Soka justru menjadi bengkak. la 
tak tahu kalau batu itu sudah diganti 
dengan kekuatan gaib oleh roh Eyang 
Mangkuranda dengan batu yang masih utuh. 
Karenanya, ketika Soka memekik kesakitan 
dan mengibas-ngibaskan tangannya,
terdengar pula suara tawa tanpa rupa dari 
roh Eyang Mangkuranda.
"Heh, heh, heh, heh...! Itulah 
tandanya kalau kau memukul bukan memakai 
tenaga tapi memakai akal."
Pawang Badai segera mendekati 
mereka sambil manggut-manggut. Soka 
menjadi cemas ketika mengetahui si 
Pawang Badai mendekatinya. Sementara 
itu, Raka menggerutu tiada habisnya 
dengan hati dongkol karena dikelabuhi 
adiknya.


"Pantas setiap batu dihantam 
langsung pecah! Huuuh...! Licik!" kepala 
Soka didorong keras oleh Raka hingga 
tersentak maju. Soka mau marah, tapi 
segera terdengar suara Pawang Badai 
memanggilnya.
"Soka...! Jika kau selalu 
menggunakan akalmu untuk mengelabuiku, 
itu sama saja kau mendidik dirimu untuk 
menjadi lemah dan bodoh."
"Maaa... maaf. Ayah."
"Jika kau bertemu dengan musuh, tak
mungkin kepala musuh kau retakkan dulu 
pada malam harinya, lalu kau tantang 
bertarung pada siang harinya!"
Raka menimpali dengan nada kesal, 
"Hukum saja dia, Ayah!"
Pawang Badai berkata, "Sebagai 
hukumannya, hantamlah batu disana sampai 
pecah atau terbelah, sambil Pawang Badai 
menuding ke suatu tempat. Soka 
terbelalak kaget dan menegang.
"Mampus aku!" gerutunya sambil 
memandangi batu sebesar anak sapi yang 
tampak kokoh dan sangat keras itu.
"Sebelum batu itu pecah walau hanya 
secuil, kau tak diizinkan untuk pulang. 
Makan malammu akan dihabiskan oleh Raka 
jika kau tak bisa membuat batu itu 
pecah!"
"Asyik, dapat makan dua piring!" 
seru Raka sambil meledek adiknya dengan 
menari-nari jejingkrakan.

"Sial! Gara-gara roh Eyang Dewa 
Kencan melihat kekuranganku, aku jadi 
kena hukuman seberat ini!"
Gerutuan itu didengar pula oleh roh 
Eyang Mangkuranda yang rupanya selalu 
mendampingi sisa muridnya dan anak 
didikan sang murid itu. Tapi roh Eyang 
Mangkuranda itu hanya tertawa terkekeh-
kekeh dalam gema, kemudian seperti 
menjauh dan lenyap tanpa suara lagi. Soka 
Pura terpaksa berusaha merasa menghantam 
batu itu dengan tangan kirinya, karena ia 
memang kidal, dan berusaha secepatnya 
dapat selesaikan tugas tersebut. Sebab 
ia tak ingin jatah makannya malam itu 
disantap oleh sang kakak.
Mereka memang selalu tampak 
bersaing dalam menuntut ilmu. 
Masing-masing ingin dianggap paling 
unggul. Terutama sang adik, selalu tak 
ingin dikalahkan oleh sang kakak, 
padahal ketekunannya lebih tinggi sang 
kakak. Oleh karenanya, Soka selalu 
mencari cara agar dapat mengungguli 
kakaknya dengan menggunakan berbagai 
akal dan kelicikan. Namun pada akhirnya 
ia selalu mengakui bahwa ia kurang tekun 
dalam berlatih. Mau tak mau ia 
mempertinggi ketekunannya, walau hanya 
sampai batas dapat sejajar dengan ilmu 
yang dimiliki kakaknya. Jika sudah 
sejajar, ketekunan Soka kembali ber-
kurang dan selalu bikin ulah yang 
menjengkelkan Pawang Badai.

Mereka diwajibkan bangun pagi dan 
berlari mengelilingi puncak Gunung 
Merana itu. Soka sering malas melakukan 
latihan rutin tiap pagi itu, sehingga 
banyak cara yang digunakan untuk 
memperingan bebannya dalam melakukan 
latihan rutin tersebut. Seperti 
misalnya, ia berlagak jatuh dan kakinya 
terkilir, lalu tak bisa berjalan. Mau tak 
mau sang kakak menggendongnya sambil 
berlari sebagai tanda bahwa Raka masih 
tetap sayang kepada adiknya. Begitu 
hampir sampai rumah, Soka buru-buru 
minta diturunkan dan berlagak kakinya 
sudah sembuh. Maka jarak lari yang 
ditempuhnya cukup pendek dan membuatnya 
tak terlalu lelah.
Tetapi pagi itu, Soka berlari dengan 
cepat sekali. Lalu di suatu tempat yang 
sepi, ia sengaja berhenti dan memainkan 
satu jurus bertenaga dalam. Raka yang 
tertinggal sempat mengintip dari balik 
pepohonan. Mata sang kakak menjadi 
terbelalak ketika melihat Soka sentakkan 
tangannya ke depan dalam keadaan semua 
jari lurus merapat. Sentakan tangan itu 
diarahkan ke sebatang pohon.
Craak...! 
Kulit pohon terkelupas sebagian 
sebelum tangan itu menyentuh pohon 
tersebut. Raka yang kagum hanya bisa 
membatin, "Sejak kapan dia punya Jurus 
itu? Ayah belum mengajarkan jurus ter-
sebut!"

Maka ketika Raka muncul dan 
menanyakannya, dengan lagak kesombongan 
yang konyol Soka menjawab,
"Semalam aku bermimpi ditemui Eyang 
Guru lagi. Eyang Guru mengajarkan jurus 
itu padaku, katanya, hanya untuk diriku. 
Jadi maaf kalau aku tak bisa 
mengajarkannya padamu, Raka!"
Raka merasa iri, bagaimanapun juga 
ia harus bisa membujuk adiknya agar 
mengajarkan jurus tersebut.
"Ayah akan marah padamu dan kau akan 
dihukum terjun ke jurang kalau 
menggunakan jurus itu tanpa seizin Ayah. 
Akan kuadukan kepada Ayah kalau kau tak 
mau ajarkan jurus itu padaku."
"Jangan begitu kau, Raka! Aku bisa 
mampus kalau disuruh terjun ke jurang!"
"Makanya ajarkanlah jurus dari 
Eyang Guru itu!"
"Baiklah, tapi berjanjilah kau tak 
akan mengadukan hal ini kepada Ayah!" 
"Aku berjanji!" 
"Sumpah...?!" 
"Sumpah!" 
"Sumpah apa?"
"Sumpah serapah juga berani!"
"Uuuh...!" Soka bersungut-sungut, 
tapi akhirnya jurus itu diajarkan pula 
kepada Raka.
Mereka memang sering ditemui 
mendiang Eyang Guru, Dewa Kencan. Seakan 
di dalam mimpi itu mereka benar-benar 
hidup bersama Eyang Guru. Jurus-jurus

yang diajarkan kepada mereka sebagian 
besar belum dimiliki oleh Pawang Badai, 
tapi ada juga yang sudah dimiliki Pawang 
Badai, hanya saja belum diturunkan 
kepada mereka.
Tetapi tepat pada malam bulan 
purnama, ketika udara dingin namun tanpa 
kabut setebal biasanya, Pawang Badai 
perintahkan si anak kembar itu untuk 
lakukan semadi kubur.
"Apakah tak terlalu bahaya bagi
mereka?" ujar Nyi Padmi yang merasa 
was-was mendengar kedua anak kembar itu 
akan lakukan semadi kubur.
"Tidak apa-apa. Kurasa mereka sudah 
cukup kuat melakukan semadi kubur, tapi 
usia mereka kini sudah tujuh belas 
tahun," jawab Pawang Badai menenteramkan 
hati istrinya tercinta.
Kini anak kembar itu memang sudah 
berusia tujuh belas tahun. Mereka tumbuh 
sebagai pemuda yang gagah dan tampan. 
Badan mereka kekar berisi, sesuai dengan
tinggi tubuh mereka. Ilmu yang 
ditempuhnya pun semakin tinggi lagi.
Semadi kubur adalah melakukan 
semadi dengan badan terkubur di tanah 
sampai batas leher. Semadi kubur itu 
berguna untuk menyatukan getaran nadi 
dengan getaran bumi, sehingga setiap 
getaran tubuh yang disalurkan melalui 
tenaga dalam dapat membuat bumi pun 
bergetar.

"Berapa lama kami harus lakukan 
semadi kubur, Ayah?"
"Lamanya empat puluh hari!" jawab 
Pawang Badai.
"Lama sekali?!" gerutu Soka. 
"Bagaimana kalau dipersingkat menjadi 
empat hari saja. Ayah."
"Atau tiga hari saja," timpal Raka.
Soka menambahkan lagi, "Soalnya 
Raka tidak akan kuat menahan lapar jika 
sampai empat puluh hari!"
"Enak saja! Kalau hanya menahan 
lapar empat puluh hari. aku kuat saja. 
Tapi menahan pipis yang tidak kuat, 
Ayah!"
"Tidak ada penawaran!" tegas Pawang 
Badai. "Kalian harus mampu melakukannya, 
karena semadi kubur adalah kunci 
pengendalian tenaga untuk memperoleh 
bantuan tenaga dari getaran bumi. Kalau 
kalian tak melakukannya, maka kalian tak 
akan memperoleh ilmu yang bisa dibilang 
dahsyat!"
Kedua pemuda kembar itu saling 
melirik, lalu menyentak bahu tanpa 
pasrah. Mau tak mau mereka harus lakukan 
semadi kubur tersebut, karena mereka 
sama-sama ingin mencapai pelajaran 
tingkat tinggi.
Pada hari kesepuluh, mereka tidak 
mengalam gangguan apa-apa. Tapi pada 
hari ketiga belas, yang merupakan angka 
keramat, mereka mendapat gangguan dari 
berbagai makhluk halus yang mengerikan.

Gangguan itu bisa diatasi oleh mereka. 
Demikian pula gangguan-gangguan pada 
hari berikutnya.
Ketika mereka mencapai malam 
keempat puluh, tiba-tiba mereka 
merasakan sekujur tubuh mereka bergetar. 
Dari getaran pelan sampai getaran tinggi 
yang membuat mereka bagai diguncang oleh 
sang bumi.
Rasa panas menyengat di sekujur 
tubuh mereka sampai pada bagian kepala 
yang tak ikut terkubur itu. Mereka 
bagaikan dimasukkan ke dalam lumpur 
lahar yang membuat kulit tubuh mereka 
terasa melepuh dan matang.
Namun mereka masih terus saling 
bertahan karena mereka tak ingin gagal. 
Soka tak ingin gagal sementara kakaknya 
berhasil, Raka sendiri tak ingin gagal 
sementara adiknya berhasil.
Ketika melewati pertengahan malam, 
udara dingin menyerang mereka tidak 
seperti biasanya. Hawa dingin itu terasa 
meresap ke bumi dan membungkus tubuh 
mereka yang terkubur. Alam pun akhirnya 
dihinggapi oleh busa-busa salju. Kepala 
kedua anak kembar itu menjadi putih 
karena terbungkus busa salju. Mereka 
bukan saja menggigil. namun nyaris tak 
bisa bernapas karena jantung mereka 
terasa membeku. Mereka bertahan terus 
karena waktunya tinggal setengah malam 
lagi.

Menjelang fajar menyingslng, 
tiba-tiba mereka yang dikubur secara 
bersebelahan dasar jarak dua langkah, 
dikejutkan oleh datangnya sinar terang 
benderang yang amat menyilaukan. Sinar 
itu semula melesat bagaikan kunang-
kunang terbang cepat, berputar-putar 
mengelilingi mereka beberapa kali, 
akhirnya hinggap di atas sehelai daun 
semak. Sinar yang besarnya seperti 
kunang-kunang itu berwarna putih dan 
makin lama semakin besar, bertambah 
lebar, lalu menyilaukan pandangan mata 
mereka.
Kekuatan pancaran sinarnya begitu 
tinggi, sehingga mata mereka terasa 
buta. Tapi dalam kebutaan tersebut, 
mereka segera melihat sesosok bayangan 
seorang kakek berjenggot panjang dan 
berkepala gundul. Kakek itu mengenakan 
jubah kuning seperti pakaian biksu dan 
membawa tasbih dari manik-manik berwarna 
biru menyala.
Mereka akhirnya tak merasa asing 
lagi melihat sosok tua yang berdiri di 
depan mereka itu. Sebab sosok tua itu 
sering mereka temui di alam mimpi. Sosok 
tua tersebut tak lain adalah Eyang Mang-
kuranda alias si Dewa Kencan, yang 
berwajah ramah dan murah senyum.
"Hebat, hebat, hebat...! Heh, heh, 
heh...! Kalian telah menyerap ilmu 
'Getar Jagat' yang jarang dimiliki 
orang," ujar si Eyang Guru. "Dari semua

muridku, hanya si Pawang Badai, ayah 
angkat kalian itu, yang mampu kuasai ilmu 
'Getar Jagat'! Memang masih ada beberapa 
ilmu yang akan kuturunkan langsung 
kepada kalian nanti. Tapi ada satu hal 
yang teramat penting dan harus kalian 
lakukan setelah ini!"
Kedua pemuda kembar itu sama-sama 
menyimak setiap kata Eyang Guru, tak satu 
pun yang berani menyahut atau memotong 
kata-kata tersebut. Walau dalam hati 
mereka ada satu kejanggalan kala 
mendengar sang Eyang Guru menyebutkan 
nama Pawang Badai sebagai ayah angkat 
mereka. Ini benar-benar mengejutkan 
namun juga membuat mereka menjadi 
bimbang dengan pendengarannya sendiri.
"Hal yang terpenting harus sekali 
kalian lakukan adalah mengambil sepasang 
pusaka yang bernama 'Pedang Tangan 
Malaikat' yang ada di Gua Mulut Naga. 
Segeralah berangkat sebelum pusaka milik 
ayahku itu menjadi milik orang lain!"
Blaaap...! 
Tiba-tiba cahaya menyiiaukan itu 
lenyap seketika bersama hilangnya 
bayangan Eyang Guru Mangkuranda. 
Pandangan mata mereka kembali gelap 
pekat bagaikan buta, dan jiwa mereka se-
perti melayang-layang di tempat yang 
hampa udara.
* * *

DUA

PAWANG Badai terkejut ketika kedua 
anak kembar itu menanyakan tentang 
'Pedang Tangan Malaikat'. Mata si tua 
Pawang Badai terkesip sambil sembunyikan 
rasa curiga. Satu persatu si anak kembar 
itu ditatapnya tanpa bicara. Suasana 
hening meliputi mereka bertiga, sedikit 
menegangkan.
"Jika Ayah tidak berkenan dengan 
pertanyaan kami, sebaiknya kita lupakan 
saja pertanyaan tadi, Ayah," ujar Raka 
Pura dengan rasa takut kena marah sang 
ayah angkat.
"Dari mana kalian mendengar tentang 
pedang pusaka itu?" tanya Pawang Badai 
dengan suara nyaris datar tanpa tekanan.
"Semalam roh Eyang Mangkuranda 
menemui kami, Ayah," jawab Raka dengan 
tetap duduk bersila di depan Pawang 
Badai, sedangkan Soka pun duduk bersila 
di samping kakaknya.
Mendengar jawaban itu, Pawang Badai 
semakin kaget, hanya saja rasa kaget itu 
masih bisa disembunyikan dengan sikap 
tenang dan penuh wibawa.
"Kami hanya ingin tahu apakah benar 
Pedang Tangan Malaikat itu memang ada, 
dan mengapa kami diutus Eyang Guru untuk 
mengambil pedang itu di Gua Mulut Naga. 
Hanya itu tujuan pertanyaan kami, Ayah," 
tambah Raka Pura, sementara sang adik
masih diam saja

Setelah menghempaskan napas 
panjang, Pawang Badai pun mulai menjawab 
pertanyaan tersebut dengan suara pelan, 
namun jelas didengar oleh mereka berdua.
"Pedang Tangan Malaikat itu memang 
ada. Pedang pusaka itu dulu milik ayah 
dan pamannya Eyang Guru yang bernama 
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati. 
Keduanya adalah tokoh berilmu tinggi dan 
merupakan anak kembar, seperti kalian."
Soka Pura sempat menyela kata, "Jadi 
pedang itu ada dua, Ayah?"
"Benar, pedang pusaka itu memang ada 
dua," jawab Pawang Badai. "Menurut 
cerita Eyang Guru Mangkuranda yang 
pernah kudengar, kedua pedang pusaka itu 
mempunyai kehebatan yang luar biasa. 
Jika mereka berdua sudah menghunus pe-
dang, maka tak ada lawan yang bisa 
menandinginya. Akhirnya mereka sepakat 
untuk tinggalkan dunia persilatan dan
mengasingkan diri di tempat yang sunyi. 
Sepasang pedang kembar itu disimpan oleh 
Eyang Suralaya dan Eyang Surapati di 
suatu tempat yang tak diketahui oleh 
siapa pun. Bahkan menurut pengakuan 
Eyang Dewa Kencan semasa hidupnya, 
beliau juga tidak mengetahui di mana 
pedang pusaka tersebut disembunyikan 
oleh ayah dan paman beliau."
"Tapi mengapa semalam Eyang Guru 
Mangkuranda bisa menyebutkan nama tempat 
penyimpanan pedang tersebut?" sela Soka 
Pura.

"Itulah yang tak kumengerti. Tapi 
barangkali saja, roh Eyang Guru kalian 
itu diutus pula oleh roh ayah dan paman 
beliau untuk sampaikan nama tempat 
kepada kalian, yaitu Gua Mulut Naga."
"Di mana letak gua itu. Ayah?" tanya 
Raka setelah Pawang Badai hentikan 
blcaranya beberapa saat. Raka Pura 
tampak lebih berambisi untuk dapatkan 
pedang pusaka tersebut, jika benar 
pedang itu memang ada.
"Tanyakan kepada orang-orang rimba 
persilatan, salah satu dari mereka pasti
ada yang tahu di mana letak Gua Mulut Naga 
itu. Karena jika kalian bisa dapatkan 
pedang pusaka tersebut, maka kalian 
barulah berhak menggunakan gelar: 
Pendekar. Entah kalian mau berjuluk 
pendekar apa pun juga, yang jelas harus 
dapatkan pedang itu lebih dulu."
"Apakah Eyang Guru tak pernah 
mengutus Ayah atau murid lainnya untuk 
mengambil pedang itu?"
"Jangankan mengutus, menyebutkan 
nama Gua Mulut Naga saja belum pernah. 
Baru sekarang aku mendengar nama Gua 
Mulut Naga itu, Soka."
"Kalau begitu kami lebih beruntung 
daripada murid-murid Eyang Guru 
Mangkuranda sebelumnya, ya?" ujar Soka 
kepada kakaknya. "Kita dianggap murid 
terhormat ketimbang...."
"Ketimbang Ayah, begitu maksudmu?" 
potong Raka.


Soka Pura hanya meilrik ayah 
angkatnya sambil berkata, "Aku tidak 
bilang begitu lho, Ayah! Raka yang merasa 
mengatakan begitu!"
Takut sang ayah tersinggung, Raka 
buru-buru kembalikan pada pembicaraan 
awal.
"Jadi, menurut Ayah apakah kami 
tetap harus mencari Gua Mulut Naga?"
"Ya. Kalian harus cari tempat itu 
dan dapatkan kedua pedang pusaka 
tersebut. Setelah mendapatkan pedang 
tersebut, cepatlah pulang dan tunggu roh 
Eyang Guru kalian menemui kalian, entah 
dalam mimpi maupun dalam bayangan!"
"Kami akan kerjakan tugas itu, 
Ayah!" ujar Raka dengan tegas, pada waktu 
itu Nyi Padmi muncul membawakan hidangan 
makan siang untuk mereka bersama.
"Mau ke mana kalian?"
"Mencari pusaka Pedang Tangan 
Malaikat, Ibu!" jawab Raka.
"Biar kami berdua sama-sama jadi 
pendekar!" timpal Soka dengan wajah 
memancarkan rasa bangga.
"Ah, sudahlah tak perlu ke mana-mana 
lagi. Cukuplah kalian mempunyai bekal 
ilmu dari ayahmu ini. Kalau kalian pergi, 
kami akan merasa sepi. Ayah dan Ibu sudah 
tua, sudah dekat masa dipanggil oleh
Hyang Maha Kuasa. Kami ingin pergunakan 
sisa hidup kami yang tinggal beberapa 
saat lagi ini untuk menikmati 
kebahagiaan bersama kalian!"

"Mereka tetap harus berangkat!" 
ujar Pawang Badai kepada istrinya. "Ini 
bukan sekadar harapan dan cita-cita 
mereka, namun sudah merupakan suatu 
tugas Eyang Mangkuranda sendiri yang 
mengutus mereka mencari pedang pusaka 
itu."
"Oh...?! Jadi kalian ditemui oleh 
roh Eyang Mangkuranda lagi?" Nyi Padmi 
agak kaget.
"Benar, Ibu," jawab Raka, kemudian 
mengulangi cerita pertemuan mereka 
dengan bayangan roh Eyang Mangkuranda.
"Jika begitu, Ibu tak bisa bilang 
apa-apa lagi," kata Nyi Padmi dengan nada 
sedih. "Berangkatlah dan dapatkan dengan 
segera pedang tersebut, Anak-anakku."
"Kami akan berangkat secepatnya. 
Tapi ada satu hal lagi yang ingin kami 
tanyakan kepada Ayah dan Ibu," ujar Raka 
Pura.
"Tentang apa lagi?"
Raka melirik Soka, seakan mendesak 
adiknya yang bicara. Tapi Soka memberi 
isyarat dengan anggukan dan kedipan 
mata, seakan mendesak sang kakak saja 
yang bicara. Terjadilah masa hening 
beberapa saat yang menimbulkan rasa 
heran di hati Pawang Badai dan Nyi Padmi.
"Katakan, apa yang ingin kalian 
tanyakan itu?!" desak Nyi Padmi.
"Hmmm... apakah... apakah benar 
kami ini anak angkat Ayah dan Ibu?"

Akhirnya Raka Pura yang bicara 
dengan wajah murung. Soka Pura tundukkan 
kepala, seakan tak mau tampakkan 
wajahnya yang juga ikut murung karena 
diliputi debar-debar kesedihan. Nyi 
Padmi beradu pandang dengan suaminya. 
Wajah Nyi Padmi pun mulai tampak 
membendung duka dan kecemasan.
"Mengapa kalian bertanya begitu, 
Anakku?" ujar Nyi Padmi yang segera 
bersimpuh di tengah-tengah antara Raka 
dan Soka. Kedua tangannya mengusap-usap 
kepala pemuda kembar itu.
Sambungnya lagi, "Bukankah kalian 
masih ingat bahwa sejak kecii kalian 
berdua dibesarkan oleh Ayah dan Ibu? 
Mengapa kalian mempunyai pertanyaan 
seperti itu, Anakku?!"
"Ibu...," Raka beranikan bicara 
lagi dengan lirih. "Semalam bayangan roh 
Eyang Mangkuranda sempat rnenyinggung 
masalah itu walau hanya sepintas 
sekali."
Pawang Badai segera menarik napas 
dalam-dalam, sepertinya ada sesuatu yang 
ditekan kuat-kuat dari dalam hatinya, 
lalu bicara kepada istrinya, "Mereka 
sudah besar, sudah waktunya mengetahui 
siapa diri mereka sebenarnya. Barangkali 
begitulah maksud Eyang Guru 
Mangkuranda!"
Raka Pura dan Soka Pura mulai 
menahan debar-debar dalam hatinya. Namun 
keduanya sama-sama tundukkan wajah

dengan kesedihan kian merambah. Setelah 
sama-sama saling membisu beberapa helaan 
napas, Pawang Badai perdengarkan 
suaranya lagi dengan tenang dan 
berwibawa.
Raka Pura dan Soka Pura.... Kalian 
adalah anak-anakku juga anak ibumu ini, 
Sejak kecil, bahkan sejak kalian lahir, 
kamilah yang merawat kalian. Kasih 
sayang kami tercurah sepenuhnya untuk 
kalian. Sakit kalian adalah sakit Ayah 
dan Ibu, nyawa kalian adalah nyawa kami 
juga. Tetapi sesungguhnya, kami hanyalah 
perawat kalian berdua. Tugas kami 
hanyalah merawat, membesarkan, 
mendidik, dan mencintai kalian dengan 
sepenuh hati...."
Nyi Padmi juga tundukkan kepala. 
Bola matanya tangis keharuan yang 
ditahan dalam dadanya. Kedua tangannya 
masih pegang punggung Raka dan Soka di 
kanan kirinya.
Kini sudah waktunya kalian 
mengetahui, bahwa tugas Ayah dan Ibu 
hanya itu. Sedangkan lahirkan kalian 
bukan kami. Kalian dilahirkan dari rahim 
seorang ibu berhati mulia yang bernama 
Muninggar yang bersuamikan seorang putra 
Demang bernama Panji Pura. Mereka berdua 
itulah orangtua kalian yang sebenarnya. 
Muninggar dan Panji Pura itulah ibu dan 
ayah kandung kalian...."
Raka dan Soka semakin tundukkan 
wajah. Bayang-bayang kedukaan semakin

mengembang kuat di wajah kedua pemuda 
kembar Itu. Lidah mereka sama-sama 
terasa kelu, sehingga sulit bicara dan 
menelan ludah. Tetapi suara isak tangis 
mulai terdengar di samping mereka. Suara 
isak tangis samar-samar itu tak lain 
adalah tangis keharuan Nyi Padmi, ibu 
angkat mereka.
Pawang Badai masih bersuara tenang 
dan tegar, namun nada suaranya 
menyejukkan hati kedua pemuda kembar 
itu, bahkan menimbulkan perasaan iba 
yang menghadirkan tangis di batin 
mereka.
"Kakek kalian adalah Ki Demang 
Yasaguna, yang menjabat sebagai Demang 
di wilayah Pademangan kaki Gunung Merana 
ini. Pada saat ibu kandungmu Muninggar, 
ingin melahirkan kalian, ibumu di sini 
sedang dalam perjalanan menemui Ki De-
mang Yasaguna untuk sampaikan firasat 
buruk yang hadir melalui mimpi. Ibumu 
yang kurus inilah yang menolong 
kelahiran kalian dari rahim Ibu Mulia Mu-
ninggar...."
Akhirnya seluruh kisah kelahiran 
Raka dan Soka dituturkan oleh Pawang 
Badai dengan suara yang lembut namun 
punya nada bijaksana sekali. Cerita itu 
juga menyinggung nyinggung nama Ratu 
Cumbu Laras yang menjadi biang bencana 
bagi keluarga Panji Pura. Kala itu Ratu 
Cumbu Laras berskandal dengan Panji 
Pura, sehingga saat Muninggar melahirkan

anak kembar hingga nyawanya tak 
tertolong, Panji Pura sedang berada 
dalam pelukan Ratu Cumbu Laras.
Kelahiran bayi kembar membuat Ratu 
Cumbu Laras gembira, karena ia sedang 
membutuhkan tumbai bayi kembar sebagai 
korban persembahan bagi tuannya, yaitu 
iblis Dewa Seribu Laknat.
Pawang Badai pun menceritakan 
malapetaka yang melanda wiiayah 
Pademangan, di mana semua penduduk 
Pademangan tewas dibantai oleh 
orang-orang bertopeng. Orang-orang 
bertopeng itu adalah kaki tangan Ratu 
Cumbu Laras. Hanya dua orang yang 
selamat, yaitu seorang penduduk dan 
Panji Pura, sebab pada waktu terjadi 
pembantaian massal, Panji Pura masih 
berada dalam dekapan Ratu Cumbu Laras, 
sedangkan bayi kembar sudah lebih dulu 
dibawa pergi ke puncak Gunung Merana oleh 
Pawang Badai. Maka ketika Panji Pura 
pulang ke rumah dan mengetahui 
keluarganya telah dibantai semua, 
termasuk seluruh penduduk Pademangan, 
lelaki itu pun akhirnya menjadi gila dan 
pergi entah ke mana mengikuti alam 
kegilaannya, (Baca serial Pendekar 
Kembar dalam episode: "Dendam Asmara 
Liar").
Wajah duka dan hati meratap sedih 
kini mulai berangsur-angsur pudar, 
berganti warna-warna dendam yang 
akhirnya memancar dari pandangan mata

kedua pemuda kembar itu. Bayangan Ratu 
Cumbu Laras yang diceritakan Pawang 
Badai melekat kuat di pelupuk mata Raka 
dan Soka. Kobaran api dendam mendidihkan 
darah mereka, membuat panas terasa 
sesak. Bahkan Soka Pura tampak 
berkeringat dingin karena menahan 
gejolak murka di dalam hatinya.
"Sampai sekarang, kami tak pernah 
mendengar kabar di mana ayah kandungmu si 
Panji Pura, itu berada," sambung Pawang 
Badai. "Tapi firasatku mengatakan, suatu 
saat kalian akan bertemu dengan ayah 
kandung kalian, bahkan besar kemung-
kinannya kalian akan bertemu dengan Ratu 
Cumbu Laras. Karena sampai sekarang aku 
tak pernah mendengar kabar tentang 
kematian Ratu Cumbu Laras."
Dengan suara parau dan gemetar, Raka 
Pura berkata sambil mengangkat kepala 
menegakkan dada, demikian pula yang 
dilakukan Soka Pura.
"Aku akan menantang pertarungan 
dengan Ratu Cumbu Laras sampai salah satu
dari kami ada yang mati, Ayah!"
"Izinkan tanganku berlumur darah 
untuk mencabut jantung Ratu Cumbu Laras 
dan meremas-remasnya, Ayah!" sahut Soka 
Pura dengan kulit wajah kemerah-merahan.
"Anakku...," Nyi Padmi buka suara 
dengan sisa duka yang membuat parau dan 
bergetar suaranya. "... jika kalian 
ingin lakukan hal itu jangan berdasarkan 
dendam, tapi lakukanlah demi kedamaian


hidup sesama yang telah dirusak oleh Ratu 
Cumbu Laras itu, Nak."
"Benar apa kata ibumu itu, Raka dan 
Soka," sahut Pawang Badai. "Jiwa yang 
dirasuki dendam hanya akan membuat Jiwa 
itu akan menjadi liar, dan hidup pun 
menjadi miskin ketenangan, miskin pula 
perdamaian. Jangan kobarkan api dendam 
dalam hati kalian, karena api dendam yang 
berkobar hanya akan membuat hidupmu 
kering dan tandus. Tetapi berbuatlah 
kebajikan terhadap sesama, tundukkan 
keangkara murkaan, lawanlah kejahatan 
demi kebenaran, niscaya hidupmu akan 
penuh ketenangan, kedamaian dan 
keteduhan. Di dalam menumpas keangkara
murkaan itulah, pembalasan yang kalian 
tuntut akan terbalas dengan sendirinya 
tanpa dirongrong oleh api dendam 
kesumat. Hiduplah dalam kesadaran akan 
tugasmu sebagai umat manusia yang harus 
tolong-menolong dan saling mengasihi di 
antara sesama."
Menurut Raka Pura, nasihat itu cukup 
bijaksana dan mampu meredamkan api 
dendam di dalam hatinya. Tetapi hati Soka 
Pura berpendapat lain.
"Saling mengasihi boleh-boleh saja, 
tapi kalau Ratu Cumbu Laras lewat di 
depanku, kuhabisi kurajang habis dari 
ujung rambut sampai ke jempol kakinya!"
Akhirnya Pawang Badai dan Nyi Padmi 
melepas kepergian kedua pemuda kembar 
itu yang ingin mencari Pedang Tangan

Malaikat. Sebab siapa pun yang memiliki 
Pedang Tangan Malaikat, maka ia berhak 
menyandang geiar seorang pendekar yang 
diakui oleh dunia persilatan.
"Hati-hatilah jika kalian bertemu 
dengan seorang lelaki, yang mempunyai 
wajah mirip kalian, karena siapa tahu dia 
adalah ayah kandung kalian sendiri si 
Panji Pura. Sujudlah di kakinya, karena 
biar bagaimanapun dia adalah ayah 
kandung kalian sendiri," pesan Pawang 
Badai.
"Kami akan turuti pesan Ayah ini," 
ujar Raka Pura.
"Jika kalian sempat bertemu dengan 
ayah kandung kalian, sampaikan salamku 
dan ibumu di sini kepada beliau. Dan 
ingat, katakan kepadanya bahwa kau 
adalah murid Eyang Mangkuranda alias si 
Dewa Kencan. Sedangkan aku dan ibumu di 
sini hanya sebagai orangtua angkat 
kalian, pembimbing dan perawat kalian. 
Guru kalian tetap Eyang Mangkuranda, 
karena seluruh ilmu yang kuajarkan 
kepada kalian adalah ilmu warisan 
beliau."
Pawang Badai menepuk-nepuk pundak 
Raka dan Soka yang berdiri bersebelahan. 
"Kita sama-sama murid Eyang Mangkuranda. 
Jaga nama baik aliran silat kita dan 
jangan mencoreng nama perguruan kita di 
mata dunia persilatan!"
"Baik, Ayah!" Jawab keduanya secara 
bersamaan.

"Berangkatlah, Anakku! Tunjukkan 
pada dunia persilatan bahwa aliran Dewa 
Kencan masih ada dan tetap menjadi 
pembela kebenaran!"
"Baik, Ayah! Kami mohon pamit dan 
mohon doa restu Ayah serta Ibu yang tak 
mungkin bisa kami lupakan seumur hidup 
kami!"
"Anakku...," Nyi Padmi menitikkan 
air mata ketika memeluk Raka dan Soka. 
Kedua anak muda itu diciuminya dengan 
curahan kasih sayang tiada tara. Raka dan 
Soka hanya menangis haru dalam hati 
masing-masing. Rasa berat meninggalkan 
sang orang tua angkat membuat mereka 
saling memeluk lama kedua orang tua itu.
"Raka, jaga adikmu baik-baik, ya 
Nak?" pesan Nyi Padmi di sela tangisnya.
"Aku akan selalu ingat pesan Ibu 
ini!" tegas Raka menyenangkan hati sang 
ibu angkat.
"Soka, bantu kakakmu dalam 
kesulitan apa pun, ya Nak."
"Baik, Ibu," jawab Soka dengan suara 
bergetar menahan kesedihan.
Pawang Badai segera berkata, 
"Kalian tak boleh saling bertengkar. 
Karena perpaduan jurus kalian akan 
menghasilkan kekuatan dahsyat yang sulit 
dicari tandingannya. Yang tua harus 
banyak mengalah, yang muda pun jangan 
kurang ajar! Ingat itu, Soka!"
"Ya, aku akan ingat selalu nasihat 
Ayah!"

"Berbaliklah ke belakang. Aku butuh 
punggung kalian!" ujar Pawang Badai.
Kedua anak kembar itu segera 
berbalik memunggungi Pawang Badai. Kedua 
telapak tangan Pawang Badai segera 
ditempelkan di punggung mereka. Tubuh 
lelaki berjenggot abu-abu itu mulai ber-
getar. Makin lama getarannya makin kuat, 
rona wajahnya pun tampak menegang. Lalu, 
dari masing-masing telapak tangan yang 
ditempelkan ke punggung kedua anak 
kembar itu mulai berasap. Bertambah lama 
bertambah banyak pula asap tersebut.
Kini tubuh Pawang Badai bukan saja 
bergetar namun berguncang-guncang 
dengan telapak tangan tetap menapak di 
punggung Raka dan Soka. Sementara itu, 
Raka dan Soka mengeraskan urat mereka, 
kodua tangan mereka sedikit mengembang 
dan menggenggam. Mereka merasakan hawa 
panas bercampur dingin silih berganti 
meresap ke dalam tubuh mereka, menjalar 
dari punggung ke kepala dan ke telapak 
kaki.
Brrruk...!
Tiba-tiba Pawang Badai jatuh 
terduduk dan napasnya terengah-engah, 
wajah pun menjadi pucat. Raka dan Soka 
sama-sama terkejut dan segera membantu 
Pawang Badai untuk berdiri.
"Ayaaah...?!"
"Tak apa, aku hanya kesemutan!" ujar 
Pawang Badai dengan tenang. Ia pun

berdiri setelah sang istri ikut menolong
dengan wajah cemas.
Kini Pawang Badai berhadapan dengan 
Raka dan Soka, kedua tangannya menepuk 
pelan pipi si anak kembar tersebut.
Pluk, pluk...!
"Kutitipkan jurus ‘Badai Jalang' 
kepada kalian, sebagai tanda kasih 
sayangku yang paling tinggi tetap 
menyertai ke mana pun kalian berada. 
Pergunakan dalam keadaan sangat 
terpepet. Tangan, napas dan tenagamu 
akan bergerak sendiri lalu mengeluarkan 
badai dahsyat jika hati atau mulut kalian 
menyebut kata 'Badai Jalang' sambil 
menahan napas dipusar."
"Terima kasih, Ayah!"
"Jurus 'Badai Jalang' juga membuat 
kalian bersahabat dengan badai mana pun, 
sehingga tubuh kalian tak akan 
dihempaskan oleh sang badai, walaupun 
batu sebesar kerbau dapat diguling-
kannya."
"Kami paham, Ayah," ujar Raka Pura.
"Kini jurus 'Badai Jalang' sudah tak 
ada padaku.
Kalianlah pemilik dari ilmu tunggal 
yang tidak dimiliki oleh tokoh mana pun 
di rimba persilatan itu!"
Rasa bangga dan haru menyelimuti 
hati mereka. Rasa bangga itu mengembang 
dalam hati karena kini mereka telah 
memiliki ilmu tunggal yang hanya di-
miliki oleh si Pawang Badai tersebut,

tetapi hati mereka pun terharu karena 
rasakan betapa besar cinta kasih si 
Pawang Badai sampai rela serahkan jurus 
'Badai Jalang' kepada mereka. Cinta 
kasih kedua orang penjaga makam keramat 
itulah yang membuat langkah Raka dan Soka 
terasa mantap dan tegar saat turun dari 
Gunung Merana dan menghamburkan diri ke 
dalam kancah dunia persilatan. Kedua 
pemuda yang memiliki wajah seperti 
pinang dibelah dua itu memandang lurus 
bagai menembus masa depan dengan penuh 
keberanian dan semangat kependekaran.
* * *
TIGA


MELINTASI lembah landai berhutan 
jati liar, melangkah kedua pemuda kembar 
yang sulit dibedakan itu terpaksa 
terhenti. Mereka mendengar suara pekik 
pertarungan yang melengking tinggi dan 
menarik perhatian. Mereka sepakat 
bergegas ke arah pertarungan itu untuk 
melihat sekaligus membandlngkan 
jurus-jurus mereka dengan jurus-jurus 
yang dipakai dalam pertarungan tersebut.
"Kita jangan ikut campur urusan 
mereka!"
"Jangan!" tegas Soka Pura.
"Kita hanya melihat sejauh mana 
kehebatan jurus dan ilmu mereka yang


bertarung itu. Ingat, kita hanya 
melihat!"
"Nonton!"
"Melihat!"
"lya, sama saja dengan nonton!"
"Beda. Melihat itu bersifat 
mengamati, tapi kalau menonton itu 
bersifat menikmati!"
Perdebatan mereka terhenti dengan 
sendirinya ketika mereka tiba di sebuah 
tebing setinggi lima tombak. Dari atas 
tepian tebing itu mereka melihat jelas 
siapa yang bertarung di bawah sana.
Seorang gadis berusia sekitar tujuh 
belas tahun sedang terpelanting akibat 
pukulan perempuan berjubah hijau dari 
jarak jauh. Perempuah berjubah hijau itu 
hantamkan pukulan tenaga dalamnya tanpa 
sinar ke arah si gadis Secara refleks 
kedua tangan si gadis menahan pukulan 
tersebut dengam membentangkan kedua 
telapak tangannya di depan dada. Tetapi 
agaknya pukulan tenaga dalam lawan cukup 
besar, sehingga gadis itu terpelanting 
dan jatuh terbanting. 
Brruk...! 
Menyedihkan sekali.
Seorang nenek yang sejak tadi masih 
diam pandangi pertarungan itu dari bawah 
pohon, kali ini serukan kata kepada 
perempuan berjubah hijau. 
"Cukup, Peri Kenanga! Kurasa cucuku 
memang bukan tandinganmu!"

"Jadi kau yang ingin menggantikan 
cucumu untuk pindah ke neraka, Nini 
Sawandupa?!" seru perempuan berjubah 
hijau yang ternyata bernama Peri Kenanga 
itu. Tetapi sang nenek yang dipanggil 
dengan nama Nini Sawandupa itu justru 
tertawa kecil bernada mengejek.
"Hik, hik, hik, hik...! Jangan 
sesumbar dulu di depanku, Peri Kenanga. 
Kau bisa saja menumbangkan cucuku, si 
Ratih Selayang itu, tapi jangan harap kau 
bisa bergerak dari hadapanku! 
Hiaaah...!"
Nini Sawandupa yang mengenakan 
jubah lengan panjang warna kuning lusuh 
itu segera sentakan tongkatnya ke depan. 
Wuuut...! 
Tiba-tiba dari ujung tongkatnya 
melesat sinar merah lurus sebesar 
kelingkingnya. 
Claaap...!
Peri Kenang hantamkan kepalan 
tangannya ke depan, bertepatan dengan 
itu dari tengah kepalan tangannya 
melesat sinar hijau lebair menghantam 
sinar merahnya Nini Sawandupa. 
Claap...!
Blaaarrr...!
Terjadilah ledakan bergelombang 
sentak cukup besar yang membuat Nini 
Sawandupa terlempar ke belakang sejauh 
empat langkah dan jatuh terbanting. 
Brruk...!


Tulang-tulangnya seakan nyaris 
patah semua karena kerentaannya. 
Sedangkan si Peri Kenanga hanya 
terdorong mundur beberapa langkah, namun 
segera tegak kembali, siap hadapi
lawannya.
"Kuat juga yang berjubah hijau Itu," 
gumam Raka seperti bicara pada diri 
sendiri.
Soka Pura menimpali, "Cantik 
sekali!"
"Yang mana?"
"Yang berwajah imut-imut itu!" 
sambil mata Soka pandangi gadis berwajah 
imut-imut dengan mengenakan baju tanpa 
lengan berwarna biru terang dan 
celananya pun berwarna biru terang.
"Gadis itu sedang beristirahat 
sambil menahan rasa sakitnya. Untuk apa 
diperhatikan?! Perhatikan saja yang 
sedang bertarung itu!"
"Bukankah sudah kubllang tadi, kita 
menonton saja. Katamu, menonton itu 
berarti menikmati, dan sekarang aku 
sedang menikmati sesuatu yang 
menyegarkan pandangan mataku!" ujar Soka 
sambil tetap tak berkedip pandangi gadis 
berambut Surus sepundak dengan poni
depan. Gadis cantik itu tampak sedang 
berusana berdiri dengan berpegangan pada 
pohon. Tapi ia tak mampu berdiri cepat 
karena bagian dadanya tejasa sakit 
akibat terhantam pukulan jarak jauhnya 
si Peri Kenanga.

Perempuan berusia sekitar empat 
puluh tahun itu segera berseru kepada 
nenek berusia sekitar tujuh puluh tahun.
"Jika kau tetap merahasiakan 
keterangan yang kubutuhkan, aku tak akan 
memberi ampun lagi pada kalian berdua!"
"Peri Kenanga, aku ini sudah tua. 
Untuk apa aku berbohong kepadamu kalau 
memang aku benar-benar tidak mengetahui 
di mana letak Gua Mulut Naga Itu!"
Raka dan Soka sama-sama terkejut. 
Mata mereka saling pandang sejenak 
sebelum mereka lanjutkan perhatian ke 
tempat pertarungan.
"Rupanya mereka punya masalah 
sendiri dengan gua yang sedang kita cari, 
Raka!" bisik Soka, sang adik. ,
"Ya, tapi diamlah dulu, kita lihat 
dulu apa yang terjadi pada diri si jubah 
hijau jika sang nenek masih tetap 
merahasiakan tempat tersebut."
Perempuan berjubah hijau lengan 
panjang ternyata semakin berang ketika 
sang nenek dan cucunya tetap tak mau 
memberikan keterangan tentang Gua Mulut 
Naga itu. Rupanya perempuan itu bukan 
sekadar perempuan yang punya ilmu 
sedang-sedang saja, melainkan berilmu 
cukup tinggi, sehingga Nini Sawandupa 
dihajarnya habis-habisan. Jika sang 
nenek saja dihajar habis-habisan oleh 
Peri Kenanga, apalagi sang cucu cantik 
itu. Berulangkali Ratih Selayang dibuat 
terpental dan terbanting-banting oleh

pukulan tenaga dalam Peri Kenanga. 
Akhirnya gadis cantik imut-imut bermata 
bundar indah itu mencabut senjatanya 
yang sejak tadi terselip di pinggang,
sebuah trisula putih kristal, seperti 
terbuat dari beling tembus pandang.
Seet...!
Nini Sawandupa berseru dengan 
suaranya yang serak dan tubuh 
terhuyung-huyung karena dadanya terkena 
pukulan bertenaga dalam yang membuat 
darahnya keluar dari mulut.
"Ratih, jangan pergunakan senjata 
itu! Jangan...!"
Tapi Ratih Selayang tidak pedulikan 
seruan neneknya. Trisula bening itu 
tiba-tiba memancarkan cahaya merah 
indah, bagaikan seberkas cahaya merah 
yang terselubung beling putih. Trisula 
itu diangkat lurus ke atas, seakan 
diacungkan kepada sang langit. Salah 
satu kakinya terlipat ke atas, kaki yang 
satunya berdiri tegak. Tangan kiri Ratih 
Selayang mengembang ke samping dan 
suaranya memekik panjang. 
"Guntur Petaka...!"
Tiba-tiba trisuia Itu diarahkan 
kepada Peri Kenanga. Tetapi tepat pada 
saat itu Peri Kenanga lakukan lompatan 
plik-plak, berjungkir balik dengan 
pergunakan kedua tangan dan kaki untuk 
memutar di tanah. 
Plak, plak, plak, plak, plak...! 
Wees...!

Tubuh itu melambung tinggi di udara, 
sementara trisula telah melesat sinar 
merah bercabang tujuh, menyebar ke arah 
depannya. 
Cralaap...!
Di udara, Peri Kenanga sentakkan 
kedua jari tangan kanannya ke arah Ratih 
Selayang, dan melesatlah sinar biru 
terang berbintik-bintik bagaikan bunga 
api. 
Craaps...!
Nini Sawandupa cepat-cepat 
tengkurap ke tanah. Jika tidak ia akan 
tersambar sinar merah dari trisuia 
tersebut. Tujuh sinar merah yang 
menyebar itu akhirnya menghantam 
pepohonan dan batu sebesar manusia 
dewasa.
Blar, blegar...! 
Bummm...!
Apa pun yang terkena tujuh sinar 
merah itu langsung hancur menjadi serbuk 
iembut yang beter-bangan ke mana-mana. 
Batu sebesar orang dewasa itu lenyap dan 
serbuknya berhamburan, sedangkan enam 
pohon yang terkena sinar dari trisuia itu 
Juga sirna dalam sekejap. Tahu-tahu ada 
serbuk cokiat kehijauan bertaburan ke 
mana-mana dan bau kayo kering pun 
menyebar seketika itu juga.
Sedangkan sinar birunya Peri 
Kenanga melesat dari sasaran, karena 
pada saat itu Ratih Selayang segera 
tumbang ke belakang bagai kehabisan

tenaga. Sinar biru itu menghantam 
sebatatig pohon besar dan tinggi. 
Blaar...! 
Pohon itu tetap utuh tanpa lecet 
sedikit pun. Bahkan satu daunnya tak ada 
yang jatuh ke bumi.
"Gila! Ternyata jurus mautnya si 
gadis cantik itu masih lebih dahsyat dari 
jurus sinar birunya Peri Kenanga!" ujar 
Soka Pura dengan perasaan kagum. "Kurasa 
seandainya tadi....''
Kata-kata Soka Pura terhenti dan 
wajah pemuda itu menjadi lebih 
terbelalak tegang lagi, matanya tak 
berkedip pandangi pohon yang terkena 
sinar birunya Peri Kenanga itu.
Pohon tersebut tiba-tiba mengecil, 
mengecil, dan terus mengecil sambil 
menjadi rendah, sampai akhirnya kel
seperti rumput dan lenyap tanpa bekas 
lagi.
Mulut Soka ternganga tanpa bisa 
bicara. Mata pun tak bisa berkedip sampai 
beberapa saat lamanya. Sedangkan Raka 
Pura hanya bisa memandang tak berkedip, 
namun bibirnya terkatup rapat tanpa 
suara. Kedua anak kembar itu sama-sama 
terkesima dan terpaku beberapa saat 
melihat pohon yang terkena sinar biru 
tadi.
Peri Kenanga ternyata masih bisa 
daratkan kakinya ke bumi dengan tegak. la 
tak mengalami kekurangan tenaga seperti 
yang terjadi pada diri Ratih Selayang.


Tetapi pada saat itu, Nini Sawandupa se-
gera lepaskan serangan mautnya dari 
tongkat yang disodorkan kedepan. Tubuh 
Nini Sawandupa melayang bagaikan terbang 
dari tanah menuju ke punggung Peri 
Kenanga. Gerakan melayangnya begitu 
cepat, sehinga sukar dihindari oleh 
lawan.
"Hiaaaah...!"
Weees...! 
Duuhk...! 
Blaaap...!
Sinar merah membias lebar dalam 
sekejap ketika tongkat itu menyodok 
punggung Peri Kenanga. Perempuan 
berjubah hijau itu berkutang kuning 
menutupi gumpalan dadanya yang masih 
tampak montok itu segera terjungkal ke 
depan dengan keluarkan suara pekik 
tertahan.
Haahk...!"
Wuuurs...! 
Peri Kenanga berguling di tanah, 
tapi dengan cepat ia segera berdiri 
dengan satu lututnya, kemudian mencabut 
kipas hitam dari pinggangnya. Kipas itu 
segera dibentangkan dalam satu sentakan. 
Berrtt...! 
Lalu dikibaskan dari kiri ke kanan. 
Weess...!
Tubuh Nini Sawandupa yang sedang 
ingin menerjangnya lagi dengan 
tongkatnya itu terlempar seketika bagai 
diterjang badai kencang. Tapi ia sempat

melepaskan cahaya putih seperti senjata 
rahasia secara beruntundari ujung kepala 
tongkatnya. 
Clap, clap, clap...!
Tiga sinar putih kecil itu dihadang 
oleh kipas hitam Peri Kenanga. Namun yang 
terjadi adalah ledakan besar pada saat 
sinar-sinar itu menghantam ben tangan 
kipas hitam. 
Blaarrr...!
"Edan! Dahsyat-dahsyat ilmu 
mereka?!" gumam Soka Pura. "Tapi 
bagaimana dengan gadis itu? Apakah ia 
mati? Mengapa tidak bergerak, Raka?! 
Mengapa ia tidak bergerak?!" sambil 
mengguncang pundak Raka. Raka 
menyentakkan pundaknya dengan jengkel.
"Mana kutahu! Tanyakan sendiri 
padanya apakah dia mati atau hanya 
setengah mati!" sentak Raka dalam 
gerutuan yang bersungut-sungut.
Pandangan mata Raka segera kembali 
kepada si Peri Kenanga dan Nini 
Sawandupa. Keduanya ternyata mengalami 
luka berdarah yang keluar dari mulut 
mereka. Peri Kenanga yang bangkit itu 
terpaksa limbung ke sana-sini, tampak 
memaksakan diri untuk dapat bertahan. 
Jubah hijaunya menjadi hangus selebar 
piring makan akibat sodokan tongkat 
tadi.
Sedangkan Nini Sawandupa terpental 
jauh dan baru saja bangkit sambil 
terbungkuk-bungkuk dan terbatuk-batuk.

Ia berpegangan tongkatnya yang bagaikan 
menancap kuat di tanah. Wajahnya menjadi 
biru legam, namun masih mampu melangkah 
dekati lawannya.
"Tua-tua alot juga nyawanya, ya?" 
bisik Soka Pura, dan hanya dijawab 
seenaknya oleh Raka.
"Mungkin nyawanya terbuat dari 
karet mentah!"
Tapi perhatian Raka lebih tertuju 
pada Peri Kenanga yang tampak lebih parah 
dari Nini Sawandupa itu. Hanya saja, Raka 
tak tahu bahwa saat itu Nini Sawandupa 
sedang membatin geram dalam hatinya.
"Jahanam si Sawandupa! Dia 
mengeringkan darah merahku sedikit demi 
sedikit dengan jurus sodokan tongkatnya
tadi. Kalau tak cepat-cepat kutangkal 
dengan napas penyembuh aku bisa mati 
kekeringan darah sebelum matahari 
bergeser ke barat Terpaksa kutunda dulu 
pertarungan ini. Aku harus segera 
menyingkir demi selamatkan diri untuk 
lakukan penyerangan kembali!"
Tetapi dari mulut Peri Kenanga 
sempat terlontar kata yang cukup keras 
walau sedikit parau dan badan oleng ke 
sana-sini.
"Sawandupa...! Bagaimanapun juga 
aku tetap akan datang mengganggu cucumu 
jika kau tak mau berikan keterangan 
tentang rahasia gua itu! Bila perlu, 
cepat atau lambat akan kuhabisi nyawa


cucumu, agar kau tersiksa hidup tanpa 
seorang cucu kesayangan!"
"Kubunuh kau, Keparaaat...!"
Wees...!
Blaass...! 
Peri Kenanga melesat larikan diri, 
dari pertarungan berikutnya. Karena jika 
ia masih tetap adu kekuatan dengan Nini 
Sawandupa, maka darah di sekujur 
tubuhnya akan menjadi kering dan tak 
sempat terobati.
"Jangan lari kau bajingan.... 
teriak Nini Sawandupa sambil mengejar 
lawannya. Tapi karena ia pun memendam 
luka dibagian dalam dada, maka gerak-
annya tak bisa lincah dan cepat seperti 
semula.
"Sekalipun kau lari ke ujung dunia 
tetap akan kuburu kau, Peri bangkai! 
Belum puas hatiku jika kau masih hidup 
dan masih mengganggu cucuku! Berhenti 
kau keparaat...!"
Soka tampak tegang pandangi Nini 
Sawandupa yang mengejar Peri Kenanga.
"Celakai Nenek itu nekat sekali 
orangnya?! Sudah tahu lawannya lari dan 
dirinya terluka, tetap saja mengejar 
lawan?!"
"Dia benar-benar murka kepada Peri 
Kenanga," ujar Raka pelan.
"Murka ya murka, tapi kalau dia 
akhirnya terbunuh oleh si Peri Kenanga, 
kita akan kehilangan kunci rahasia 
menuju Gua Mulut Naga!"

Raka menatap adiknya. "Apa 
maksudnya?!" 
"Nenek itu pasti kunci yang dapat 
membuka rahasia jalan menuju Gua Mulut 
Naga. Jika ia tidak tahu-menahu tentang 
guatersebut.tak mungkin Peri Kenanga 
begitu mengancam seperti tadi!"
"Kalau begitu kita selamatkan nyawa 
Nini Sawandupa, siapa tahu terhadap kita 
dia mau berikan keterangan rahasia gua 
tersebut!"
"Kejarlah dia dan dampingi agar 
jangan sampai nyawanya melayang di 
tangan Peri Kenanga!" 
"Kau sendiri bagaimana?!" 
"Aku akan menolong cucunya! 
Tampaknya kalau tak segera ditolong, dia 
akan kehilangan nyawa juga. Jika kita 
berhasil menolong nyawa sang cucu, tentu 
si nenek merasa berhutang jasa kepada 
kita dan dia akan membalas jasa baik kita 
dengan memberikan keterangan rahasia Gua 
Mulut Naga itu!"
"Benar juga pendapatmu. Kali ini 
otakmu rada cerdas sedikit, Soka!"
"Sudah, berangkatlah sana, Kejar si 
nenek! Jangan memuji orang pandai 
sepertiku!"
"Hmrn...!" Raka mencibir mendengar 
ucapan terakhir adiknya, walau ia tahu 
semata-mata hanya bercanda. la pun 
segera berkelebat cepat menyusul Nini 
Sawandupa. Raka Pura mengunakan jurus

'Jalur Badai' yang kecepatannya 
menyerupai hembusan badai tercepat. 
Wuuuzzz...!
Sementara itu, Soka Pura segera 
berkelebat cepat menuruni tebing, 
hampiri si gadis berbaju biru cerah yang 
masih terkapar tak berkutik itu. Ketika 
tiba di sana, gadis yang telentang itu 
dipandangi dengan senyum berseri-seri.
"Cantik sekali! Memang benar-benar 
cantik gadis itu," gumamnya' dengan 
suara pelan tanpa pedulikan rona wajah si 
gadis yang semakin memucat itu.
"Agaknya ia bukan saja kehabisan 
tenaga, namun juga terluka dalam akibat 
pukulan Peri Kenanga tadi. Hmmm...! 
Mungkin sekaranglah saatnya kucoba 
menggunakan jurus 'Sambung Nyawa' untuk 
mengobati luka-iuka gadis ini dan 
memulihkan kekuatannya kembali."
Jurus 'Sambung Nyawa' adalah jurus 
pengobatan yang diturunkan langsung oleh 
bayangan roh Eyang Mangkuranda kepada 
kedua anak kembar tu. 'Sambung Nyawa' 
hanya istilah pengobatan saja. Jurus itu 
bukan saja mampu sembuhkan luka secara 
ajaib, bukan saja mampu menawarkan racun 
apa pun, namun juga mampu pulihkan 
kekuatan yang telah hilang karena suatu 
pertempuran.
Soka Pura sempat gemetar dan 
deg-degan sebentar, karena ia harus 
menempelkan telapak tangannya ke tubuh 
gadis itu. Dalam jurus pengobatan yang

diajarkan oleh bayangan roh Eyang 
Mangkuranda, telapak tangan harus 
ditempelkan pada tubuh si penderita 
bagian mana saja, asal menempel langsung 
pada kulit si penderita, tidak terhalang 
kain atau selembar benang pun. Bisa 
bagian telapak kaki, betis, punggung, 
dahi, lengan, bahkan melalui telapak 
tangan si penderita pun bisa.
Tapi Soka Pura yang bandel dan 
bertangan kidal itu bermaksud 
menempelkan telapak tangan kirinya ke 
dada si gadis. Oleh sebab itulah ia 
gemetar dan berdebar-debar sesaat. Namun 
ia segera pejamkan mata dan nekat 
menempelkan telapak tangan kirinya di 
tengah dada si gadis yang mengenakan baju 
tanpa lengan tapi berbelahan dada agak
lebar. 
Pieek...!
"Aduh, hangatnya...," pikir Soka 
dengan nakal.
Tapi pikiran nakal itu segera 
dibuang. la menarik napas dan 
menyalurkan hawa murninya dan kekuatan 
inti gaib ke dalam tangan kiri.
Beberapa saat kemudian telapak 
tangan kiri itu memancarkan cahaya 
bersinar-sinar warna ungu. Tubuh si 
gadis segera berubah menjadi ungu 
samar-samar. Ketika tubuh itu telah 
menjadi ungu, Soka Pura segera 
melepaskan telapak tangannya.
Blaab...!

Cahaya ungu bersinar-sinar pada 
tangan kirinya padam seketika, tapi 
tubuh si gadis masih memancarkan cahaya 
ungu redup.
Makin lama cahaya ungu yang 
menyelimuti sekujur tubuh Ratih Selayang 
itu menjadi semakin redup, bertanda 
penyakitnya mulai menipis dan 
kekuatannya mulai pulih kembali. Tiga 
helaan napas kemudian, cahaya ungu redup 
itu hilang sama sekali dari tubuh si 
gadis, menandakan seluruh penyakit telah 
lenyap dan kekuatan tenaganya pulih 
kembali.
Terbukti si gadis segera dapat 
bernapas dengan teratur, matanya pun 
terbuka pelan-pelan. Seraut wajah tampan 
dipandangnya dalam kebeningan bola mata 
yang bundar itu. Ratih Selayang segera 
tersentak kaget dan bangkit sambil 
menggeser mundur tubuhnya.
"Oooh...?!" mata si gadis makin 
bundar karena mendelik dengan mulut 
terperangah bundar pula.
Soka Pura menjadi salah tingkah dan 
malu sendiri karena dipandang sebagai 
sesuatu yang menakutkan sekaligus 
mengejutkan bagi si gadis.
"Apa dia pikir melihat wajah setan, 
sampai kagetnya seperti itu?! Sialan!" 
gerutunya Soka dalam hatinya. Si gadis
semakin tampak ketakutan sewaktu Soka 
mengajaknya tersenyum lagi dan berusaha 
mendekatinya.

"Tid... tidak! Tidak...!" Ratih 
Selayang cepat-cepat bangkit dan berlari 
mundur ke balik pohon. "Aaaa...!" ia 
menjerit kuat-kuat dengan wajah semakin 
tegang, bagai melihat sesuatu yang amat 
menyeramkan.
"Ooo... gadis edan!" maki Soka dalam 
hati sambil berdiri dan membuang 
pandangan ke arah sekelilingnya. la 
takut ada orang mendengar jeritan si ga-
dis hingga menyangka si gadis ingin 
diperkosanya. Akhirnya Soka pun 
melontarkan pertanyaan dengan nada 
jengkel.
"Mengapa kau takut padaku?! Aku yang 
mengobati lukamu dan memulihkan 
kekuatanmu. Mengapa menjerit ketakutan 
begitu?!"
"Kaau... kau... kaukah si Setan 
Cabul itu?!"
"Setan Cabul?!" gumam Soka, lalu 
berseru, "Namaku Soka, bukan Setan 
Cabul!"
"Tap... tapi... oh, tidak! Kau pasti 
si Setan Cabul yang gemar memperkosa 
perempuan!"
"Husy! Seenaknya saja menuduh 
orang! Aku belum pernah memperkosa 
wanita. Tapi kalau kau inginkan begitu, 
aku... aku pikir-pikir dulu!"
Gadis itu pandangi Soka yang 
bersungut-sungut hingga beberapa saat 
lamanya.
"Siapa si Setan Cabul itu?!" tanya 
Soka dengan serius.
* * *
EMPAT


SETELAH yakin betul bahwa pemuda 
tampan yang berambut lurus sebahu itu 
bukan si Setan Cabul, senyum gadis itu 
mulai mekar dari sedikit-sedikit, 
lama-lama menjadi lebar dan indah. Bibir 
ranum itu tampak luoas sekali jika 
sung-gingkan senyum lebar, memancarkan 
daya pesona yang membuat Soka bergetar 
dalam hatinya.
Apalagi melihat penampilan Soka 
yang bergelang kulit hewan warna hitam 
dengan manik-manik putih logam, Ratih 
Selayang semakin yakin bahwa pemuda 
bertubuh tinggi dan gagah itu bukan orang 
yang perlu ditakuti. Bahkan hati kecil 
Ratih Selayang berkata pada dirinya 
sendiri.
"Dia bukan orang yang perlu 
ditakuti, tapi perlu didekati."
Setelah Soka jelaskan dalam 
pengakuannya sebagai anak dari Pawang 
Badai, gadis itu segera terkesiap dan 
rasa kagumnya bertambah besar, karena ia 
tahu tentang siapa si Pawang Badai itu.
"Nenekku pernah bercerita tentang 
si Pawang Badai yang berilmu tinggi dan

sekarang sudah mengasingkan diri di 
puncak Gunung Merana."
"Dari sanalah aku berasal," sahut 
Soka dengan senyum menawan dan pandangan 
matanya yang menggetarkan hati gadis 
mana pun.
"Aku jadi malu sendiri setelah yakin 
betul bahwa kau bukan si Setan Cabul."
"Mengapa kau sampai menyangkaku si 
Setan Cabul?"
"Karena... karena dia juga tampan, 
hanya saja tidak semuda dirimu. Tapi... 
tapi...," Ratih Selayang tersipu 
kembali. "Sudahlah, jangan mendesikku 
dengan pertanyaan seperti itu. Aku malu 
sekali padamu, Soka! Yang jelas Setan 
Cabul adalah pria yang tak boleh melihat 
perempuan. la selalu memperkosanya, lalu 
mencacati korbannya entah dipotong 
jarinya, dipotong tangannya, atau 
dibutakan matanya, dan kekejian 
lainnya."
"Pantas kau sangat ketakutan" ujar 
Soka sambil tetap tersenyum ramah.
"Aku memang selalu merasa takut jika 
membayangkan peristiwa tersebut."
"Kau tak perlu takut lagi, karena 
sekarang aku hadir di dunia persilatan 
untuk hancurkan orang-orang kejam 
seperti si Setan Cabul itu!"
Si gadis melirik dalam senyum yang 
memancarkan rasa aman dan kagum. Soka 
Pura merasa disanjung dengan pandangan 
mata sesederhana Itu. Hatinya kembali

berdesir indah dengan tatapan mata tak 
mau beralih ke arah lain. Mereka masih 
tetap ditempat pertarungan tadi, di 
bawah pohon, karena menunggu Nini 
Sawandupa kembali ke tempat itu.
"Mengapa kau sampai terlibat 
perkara dengan perempuan berjubah hijau 
tadi?"
"Peri Kenanga maksudmu?"
"Ya. Siapa Peri Kenanga itu?"
"Bibi tiriku!" jawab Ratih Selayang 
dengan nada ketus, memancarkan 
kebenciannya terhadap Peri Kenanga.
"Meski dia bibi tiriku, tapi aku 
menganggap tidak pernah bersaudara 
dengan perempuan liar Itu!" tambah Ratih 
Selayang. "Dia selalu menggangguku agar 
nenek menunjukkan padanya jalan menuju 
ke Gua Mulut Naga."
"Apakah nenekmu benar-benar 
mengetahui jalan menuju gua tersebut?"
"Aku tak tahu secara pasti. Nenek 
selalu menghindar jika kutanyakan hal 
itu padanya. Dia selalu mengaku tidak 
tahu tentang jalan menuju ke gua 
tersebut, dan menganggap orang-orang 
seperti Peri Kenanga itu adalah orang 
gila yang kurang kerjaan."
Soka Pura diam sebentar, batinnya 
berkecamuk sendiri.
"Aku tak yakin kalau Nini Sawandupa 
tak tahu jalan menuju Gua Mulut Naga. 
Pasti ada sesuatu yang membuat Nini 
Sawandupa terpaksa harus tetap

merahasiakan jalan menuju gua tersebut. 
Ada baiknya jika kutanyakan latar 
belakang kehidupan Nini Sawandupa kepada 
cucunya yang cantik ini."
Namun sebelum Soka ajukan 
pertanyaan lagi, Ratih Selayang sudah 
lebih dulu berkata kepadanya dengan 
suaranya yang merdu dan enak didengar 
itu.
"Kau mau singgah ke gubuk kami?"
"Jauhkah rumahmu itu?!"
"Tak seberapa jauh dari sini."
"Aku perlu mengetahui tentang 
rahasia Gua Mulut Naga itu, Ratih."
Gadis itu memandang dengan dahi 
berkerut. "Untuk apa kau ingin 
mengetahuinya?"
"Mencari kemungkinan kalau-kalau 
gua itu bisa kupakai untuk berbulan madu 
kelak," jawab Soka dengan tetap 
merahasiakan tentang adanya pedang 
pusaka di sana. ia justru menjawab dengan 
canda, namun canda itu juga sebuah 
pancingan untuk Ratih Selayang.
"Apakah kau sudah akan menikah, 
sehingga sudah memikirkan tempat untuk 
berbuian madu?" tanya gadis itu sedikit 
merasa kecewa.
"Belum. Bahkan aku belum mempunyai 
seorang kekasih."
"Lalu, mengapa kau memikirkan masa 
berbulan madu?"
"Sebenarnya bukan aku yang akan 
menikah dan berbulan madu."

"Lalu siapa?" 
"Kakakku...."
"O, kau punya kakak?" sambil mereka 
melangkah menuju ke tempat tinggal gadis 
itu.
"Ya, sekarang kakakku sedang 
menyusul nenekmu. Karena kami tak ingin 
nenekmu tumbang di tangan Peri Kenanga 
yang tampaknya memang liar itu."
"Oh, syukurlah kalau nenek ada yang 
membayang-bayanginya."
"Memang itu tugasnya. Tapi tugasku 
adalah menyelamatkan dirimu dari luka 
parah tadi."
Ratih Selayang tundukkan kepala 
sambil tersenyum manis.
"Jurus "Guntur Petaka' memang 
selalu menguras tenagaku dan memouatku 
seperti kehilangan hidup. Karena memang 
sebenarnya belum waktunya aku 
menggunakan jurus 'Guntur Petaka' karena 
kekuatanku masih belum seberapa. Tapi 
tadi kupikir dapat untuk meleburkan raga 
bibi tiriku itu. Ternyata tidak, dan 
akhirnya aku kehilangan kekuatan serta 
tak sadarkan diri."
"Kau juga terluka dalam yang cukup 
berbahaya."
"Ya, aku menyadari hal itu. 
Syukurlah kau datang tepat pada 
waktunya, sehingga kau dapat selamatkan 
nyawaku dari luka bakar yang akibat 
pukulan jarak jauhnya si Peri Kenanga 
itu."

"Aku dan kakakku hanya kebetulan 
saja lewat, lalu melihatmu bertarung 
melawan musuh yang tak sebanding. Sayang 
sebelum kami bergerak, Peri Kenanga 
sudah kabur lebih dulu. Aku tak tega me-
lihatmu terkapar tanpa daya seperti 
tadi."
"Sungguh kau tak tega?"
"Ya, sangat tak tega! Aku hampir 
saja melepaskan kemarahanku jika kakakku 
tidak menghalanginya. Sepertinya kala 
itu aku merasa tak rela melihatmu 
dtsakiti oleh Peri Kenanga."
Hati gadis itu berdesir antara 
bangga dan bahagia mendengar ucapan 
Soka. ia tak sadar telah hanyut dalam 
rayuan kata si tampan yang memang pandai 
meluluhkan hati seorang gadis Itu.
"Kurasa dia akan datang lagi dalam 
waktu dekat nanti," kata Ratih Selayang.
"Kalau begitu aku harus menjagamu! 
Aku tak ingin dia menyentuh tubuhmu lagi. 
Jangankan menyentuh tubuhmu, menyentuh 
bayanganmu pun bisa kubunuh seketika itu 
pula si Peri Kenanga!"
"Hanya menyentuh bayanganku, kau 
akan marah padanya?!"
"Ya. Memang begitulah aku. Entah 
mengapa tadi tiba-tiba aku merasa tak 
rela dan sakit hati sekali melihatmu 
terlempar oleh pukulannya. Rasa-rasanya 
aku perlu menghadapi perempuan itu 
secepatnya dan membunuhnya agar tidak 
mengganggumu lagi!"


Ratih Selayang tersenyum bangga 
sekali. la merasa seperti mendapat 
seorang pelindung yang memanjakan 
dirinya. Kemanjaan memang sering 
diperoleh dari neneknya. Tapi kemanjaan 
kali ini terasa sangat berbeda dengan 
kemanjaan sang nenek. Kemanjaan dari 
seorang pemuda tampan, gagah dan 
menawanterasa melambungkan jiwa 
ketimbang kemanjaan seorang nenek.
Debar-debar keindahan itu tiba-tiba 
buyar mendadak. Seberkas sinar merah 
bagai bold kecil melesat dari arah 
samping, 
Wees...! 
Lalu sinar merah itu menghantam 
pohon di depan langkah mereka berdua. 
Jegaarrr...!
Pohon pun tumbang melintang jalan. 
Brrrusskk...! 
Secara refleks tangan Soka 
menyambar tubuh Ratih Selayang dan 
membawanya lompat mundur. 
Wuuttt...!
"Ooh...?! Apa yang terjadi, Soka?!"
"Seseorang ingin mencelakai kita, 
Ratih!" sambil napas Soka ditarik dan 
dihembuskan dalam kelegaan. Tapi 
pandangan matanya segera menatap tajam 
ke arah datangnya sinar merah tadi. Soka 
segera mengambil alih di depan Ratih 
Selayang, seakan ia melindungi gadis itu 
dan menjadi perisai siap mati jika ada 
bahaya yang ingin menyerang Ratih

Selayang. Sikap itu membuat hati Ratih 
Selayang menjadi semakin bangga dan 
merasa bahagia berada bersama Soka Pura.
"Keluar kau, Setan gundul!" teriak 
Soka melontarkan tantangan.
Wuuut, jleeg...! 
Sekelebat bayangan melintas di 
depan mereka, lalu berhenti tepat di atas 
batang pohon yang tumbang. Soka Pura 
terkesima menatap sesosok tubuh tinggi, 
besar, berkumis lebat dan bertampang 
sangar. Seorang lelaki berpotongan mirip 
raksasa itu berdiri tegak sambil 
memandang Soka Pura dengan mata melebar 
menyeramkan.
"Aku bukan setan gundul. Tikus 
sengit!" geram lelaki berbaju hitam dan 
bercelana merah itu. Baju hitamnya yang 
tak dikancingkan membuat perutnya yang, 
buncit tampak berpusar besar, dadanya 
berbulu lebat dan tampak kekar seperti 
tebing cadas. Lelaki berkulit hitam itu 
berusia sekitar empat puluh tahun lebih, 
tapi gerakannya tampak cukup matang. 
Dilihat dari lompatan cepat dalam 
kemunculannya itu, Soka Pura dapat 
memastikan bahwa lelaki itu berilmu 
tinggi, setidaknya cukup menguasai ilmu 
peringan tubuh dengan baik.
"Siapa lelaki itu, Ratih?" bisik 
Soka sambil sedikit menengok ke belakang 
tapi matanya tetap mengawasi orang mirip 
raksasa yang menyelipkan golok lebar di 
pinggangnya.

"Apakah dia yang bernama si Setan 
Cabul?!" tambah Soka.
"Bukan. Dia bukan si Setan Cabul," 
bisik Ratih Selayang. "Dia adalah 
Palagupa, orang Lembah Hutan. Hati-hati 
berhadapan dengan dia." 
"Memangnya kenapa?"
"Ilmunya tinggi dan tak mau hentikan 
pertarungan jika lawannya belum mati."
"Wah, kacau...! Sekalinya dapat 
musuh segede ini?!" gumam hati Soka Pura 
sedikit ngeper melihat sosok tinggi 
besar orang yang akan dihadapinya.
"Ratih Selayang...!" suara Palagupa 
cukup keras dan besar, menandakan ia 
sebagai orang yang ganas dan mudah 
tersinggung.
"Sudah satu purnama nenekmu tak 
datang ke Lembah Hantu memberikan 
jawaban atas pinangan ketuaku. Sang 
ketua tak bisa bersabar lagi. Maka hari 
ini juga, mau atau tidak, aku ditugaskan 
untuk memboyongmu ke Lembah Hantu dan kau 
akan menikah dengan sang Ketua di sana!"
"Aku tidak sudi menikah dengan 
ketuamu!" ketus Ratih Selayang sambil 
melangkah keluar dari belakang Soka. 
Gadis itu menampakkan keberaniannya, 
sementara Soka mulai serba kikuk. Dalam 
sepintas ia sudah dapat memahami maksud 
kemunculan Palagupa itu, diutus oleh 
ketua Lembah Hantu untuk membawa Ratih 
Selayang yang akan diambil istri oleh 
sang Ketua Lembah Hantu.

Tetapi Soka merasa lega begitu 
mendengar jawaban Ratih Selayang tadi 
yang jelas-jelas menolak lamaran itu. 
Hanya saja, tentunya Palagupa akan 
memaksa, dan Soka harus ambil tindakan 
melindungi Ratih Selayang jika ingin 
mendapat pujian serta makin dikagumi 
oleh gadis itu. Tetapi Soka sendiri tak 
yakin akan unggul jika melawan orang 
sebesar itu.
"Bisa-bisa wajahku pindah ke lutut 
kalau begini. Tapi kalau aku melarikan 
diri, uuh... memalukan sekali! Apa kata 
Ratih Selayang nanti jika aku melarikan 
diri, sementara ia sudah bangga mendapat 
pelindung seperti diriku?!"
Suara Palagupa terdengar 
mengagetkan Soka.
"Jangan memaksaku bertindak kasar 
di depanmu, Ratih! Kau harus mau kubawa 
ke Lembah Hantu dan menikah dengan sang 
Ketua!"
"Aku tidak mau!" tegas Ratih 
Selayang. "Aku sudah punya kekasih 
sendiri. Dia inilah kekasihku!" sambil 
menuding Soka.
Soka membatin, "Mati aku...!"
"Kalau kau bisa kalahkan kekasihku 
ini, kau boleh boyong aku ke Lembah 
Hantu!"
"Baahh...!" sentak Palagupa. "Bocah 
ingusan seperti itu kau andalkan untuk 
melawanku?! Ggrrhmm...! Sekali remas 
keluar isi perutnya lewat mulut!" sambil

Palagupa menatap tajam kepada Soka 
dengan mata mulai merah samar-samar.
"Jangan lakukan pertarungan jarak 
dekat. Remasan tangannya dapat 
meremukkan tulang-tulangmu!"
"Wah, tambah parah...," keluh Soka 
dalam hati. Keringat dinginnya pun mulai 
membasah di beberapa bagian tubuhnya.
"Hei, bocah kencur! Benarkah kau 
kekasihnya Ratih Selayang?!" Palagupa 
bertanya dengan suara menyentak dan 
besar.
"Hmm... ehh... ya... ya begitulah 
seperti apa kata Ratih tadi," jawab Soka 
agak gugup dan semakin salah tingkah.
"Grrrmmhh...! Kalau mau selamat 
pergilah dari Ratih Selayang sekarang 
juga! Lekas pergi!" suara itu 
menggelegar bagai ingin rubuhkan 
pohon-pohon di sekelilingnya. Jantung 
Soka pun terasa ingin copot karena 
getaran suara orang berwajah sangar dan 
berambut panjang sebahu itu.
"Kau boleh pergi jika berhasil 
langkahi mayat Soka Pura, kekasihku ini! 
Bukankah begitu, Soka?!" ujar Ratih 
Selayang dengan suara lantang.
"Hmmm, hmmm... iya, memang begitu. 
Tapi... tapi ya memang begitu!" sambil 
keringat dingin Soka mengalir terus, 
karena baru sekarang ia berhadapan 
langsung dengan seorang musuh. Sayangnya 
begitu berhadapan dengan musuh, keadaan

si musuh benar-benar tak seimbang dengan 
keadaan dirinya.
Jleeg...! 
Buung...! 
Palagupa turun dari batang pohon, 
hentakan kakinya terasa menggetarkan 
ta-nah yang dipijak Soka Pura. Pemuda itu
menelan napas untuk dapatkan ketenangan 
batinnya?
"Bocah kunyuk!" seru Palagupa 
sambil menuding Soka. "Jika memang 
nyawamu yang menjadi syarat membawa
Ratih Selayang ke Lembah Hantu, maka 
sekarang juga aku akan mencabut nyawamu 
dengan menjebol dada dan meremas 
jantungmu sampai pecah!"
Sebongkah batu sebesar kepala Soka 
diambilnya. Batu hitam itu segera 
diremas dengan dua tangan bersama 
pandangan mata melotot sangar pandangi 
Soka.
"Hhhrraaahh...!".
Prraakks...!
Batu itu hancur dalam sekali 
rerrias. Mata Soka sedikit mengecil dan 
tubuhnya bergidik merinding 
membayangkan seandainya batu itu adalah 
kepalanya. Sebab, kejap kemudian 
Palagupa berkata dengan darah menggeram.
"Kepalamu lebih empuk dari batu! 
Jika batu saja bisa kuhancurkan dalam 
sekali remas, apalagi hanya kepalamu, 
Bocah kunyuk!"

Ratih Selayang berbisik, "Dia pamer 
ilmu. Jika kau bisa ungguli pameran 
ilmunya, dia akan lari sebelum 
bertarung. Itulah kebiasaan orang Lembah 
Hantu!"
Soka, segera berpikir mencari cara 
untuk ungguli pameran ilmu lawannya. 
Akhirnya ia temukan batu sebesar kepalan 
bayi. Batu itu dipungutnya dan 
dilempar-lemparkan kecil di tangan 
kirinya seperti buat mainan. Ratih 
Selayang kerutkan dahi dan berbisik 
dalam sindiran.
"Apa tak ada yang lebih kecil lagi?"
"Cukup segini saja."
Soka menjawab pelan, karena 
pikirannya sedang mencari cara untuk 
bisa kalahkan manusia seperti raksasa 
itu. Ratih Selayang diam-diam merasa 
kecewa karena Soka hanya mengambil batu 
kecil. Seandainya Soka dapat meremas 
hancur batu itu, tentu saja akan 
ditertawakan Palagupa, karena tidak 
lebih hebat dari si Palagupa tadi.
"Apa yang ingin kau unjukkan padaku, 
hah?! Ilmu kencurmu itu?!" ejek 
Palagupa. Soka hanya c-ngar-cengir 
pandangi Ratih Selayang.
Tapi tiba-tiba batu sebesar kepalan 
bayi itu dilemparkan dengan kekuatan 
tenaga dalam ke arah Palagupa. 
Wees...! 
Palagupa kaget dan tak 
menyangka-nyangka akan mendapat lem

paran batu secepat itu. Akibatnya ia 
terperangah kaget tak bergerak sedikit 
pun. Pada saat itulah batu tersebut tepat 
kenai mata kiri Palagupa. 
Plook...! 
"Huaaahhrr...!"
Palagupa berteriak 
sekeras-kerasnya. Kedua tangannya 
segera pegangi mata kiri yang pecah 
karena lemparan batu bertenaga dalam 
tinggi itu. Dalam keadaan Palagupa 
menunduk itu, Soka Pura segera lakukan 
lompatan dengan kaki menjejak penuh 
tenaga. 
Wuuut...! 
Brruuss...!
"Aaahk...!" Palagupa limbung ke 
belakang sambil satu tangan pegangi 
matanya yang berdarah dan tangan satunya 
lagi meraba-raba ke samping mencari 
pegangan.
Soka Pura tidak memberi kesempatan 
sedikit pun, ia segera meiayangkan 
tendangan putarnya dengan cepat dalam 
satu lompatan tak terlalu tinggi.
"Hiaat...!" .
Wess, plaak...! 
Wajah Palagupa bagai ditampar 
dengan kayu balok cukup keras. Wajah itu 
sempat terlempar ke kiri dan tubuh besar 
itu semakin oleng.
Soka Pura segera maju setengah 
berlutut dan menghantamkan pukulan

tenaga dalamnya tanpa sinar ke arah 
bagian bawah perut Palagupa. 
Peet...! 
Plook...!
"Haaahk...!" Palagupa mendelik 
seketika walau dengan satu mata. la 
semakin memekik keras, dan akhirnya 
tumbang ke belakang. 
Brrukk...!
"Ratih, cepat lari! Cepat...!"
Ratih Selayang salah tanggap. Gadis 
itu segera lari sendiri secepat-cepatnya 
tanpa menghiraukan
Soka yang berlari berbeda arah. 
Begitu menyadari, Soka terkejut dan 
memaki dalam kedongkolan.
"Dasar bodoh! Kenapa lari ke sana?! 
Huhh...! Terpaksa aku balik lagi kalau 
begini!"
Soka pun kembali ke arah semula, ia 
terpaksa melewati tempat pertarungannya
dengan Palagupa. Tapi pada saat itu, 
Palagupa sedang mengerang dan berusaha 
bangkit. Begitu melihat Soka berlari di 
depannya, ia segera melepaskan pukulan 
bersinar merah panjang.
"Heeaahihrr...!"
Claaap.. 
Weess...!
Kelebatan sinar merah sempat 
ditangkap mata Soka. Maka dengan serta 
merta Soka pun melompat berjungkir balik 
ke arah depan. 
Wuutt...!

Duaarr...!
"Aaow...!" Soka memekik, betisnya 
terkena pukulan bersinar merah itu, 
langsung hangus sampai batas lutut. Kaki 
kanan Soka mengepulkan asap dan tak bisa 
dipakai berlari lagi. Ia mengerang-
ngerang kesakitan dengan mata terpejam.
Ketika matanya dibuka kembali, 
ternyata Palagupa sudah berada di 
depannya dalam jarak tiga langkah. 
Manusia tinggi besar itu sedang melayang 
di udara dan ingin menginjak tubuh Soka 
yang sedang terduduk miring.
Melihat bayangan sebesar gajah 
ingin menimpanya, secara refleks 
tangannya bergerak ke depan, menyodok 
maju dengan seluruh jarinya lurus 
merapat. 
Suuutt...!
"Huaaah...!"
Palagupa berteriak keras-keras dan 
panjang. Jurus 'Kobra Liar' pemberian 
Eyang Mangkuranda yang melalui mimpi itu 
kini mampu merobek perut besar Palagupa. 
Jika dulu jurus itu dalam latihannya 
dapat membuat kulit kayu koyak dan 
terkelupas, kini dalam keadaan Jurus itu 
semakin matang di tangan si kembar telah 
mampu merobek perut besar berikut 
berkulit hitam itu.
Palagupa tumbang dalam keadaan isi 
perutnya berhamburan mengerikan. ia 
menggelepar-gelepar sebentar sambil 
mengerang seperti sapi disembelih.

Beberapa kejap kemudian, tubuh besar itu 
tidak bergerak lagi selama-lamanya 
karena tidak pernah mau bernapas lagi. 
Nyawanya telah pergi meninggalkan raga 
tanpa pamit kepada siapa pun.
Suara teriakan menyeramkan itu 
didengar oleh Ratih Selayang. la 
hentikan langkah larinya karena ia tahu 
suara itu adalah suara Paiaguna. Dengan 
rasa ingin tahu begitu besar, Ratih 
Selayang kembali ke arah semula.
Saat ia tiba di tempat tewasnya 
Palagupa, pemuda tampan yang ketinggalan 
itu sedang mengerang dan cengar-cengir 
kesakitan. Kakinya yang hangus itu masih 
mengepulkan asap samar-samar, membuat 
celananya pun hangus terbakar sampai 
batas lutut.
Ratih Selayang tertegun pandangi 
mayat Palagupa. la tak menyangka orang 
tinggi besar itu dapat ditumbangkan oleh 
Soka dalam keadaan semengerikan begitu.
"Apakah... apakah dia sudah mati?" 
tanyanya kepada Soka sambil mendekat dan 
jongkok di samping pemuda yang masih 
cengar-cengir menahan rasa sakit itu.
"Desak dia supaya mengaku sudah mati 
atau belum” jawab Soka agak dongkol 
karena Ratih Selayang tidak segera
hiraukan lukanya melainkan justru lebih 
memperhatikan ke mayat Palagupa.
Ratih Selayang pandangi mayat 
Palagupa dengan ragu-ragu sambil bicara 
kepada Soka.

"Orang Lembah Hantu jarang yang mati 
dalam keadaan mengerikan begitu! Siapa 
yang membuat perutmu sampai jebol 
begitu, Soka?"
"Entah" jawab Soka menyentak. 
Sentakan itu membuat Ratih Selayang 
segera berpaling menatap Soka.
"Mengapa kau membentakku?!"
"Apa kau tak melihat kakiku terbakar 
begini?!"
"Ooh...?! boh... kakimu?! Kakimu 
kenapa, Soka?!" Ratih Selayang segera 
terkejut dan menjadi cemas begitu 
melihat kaki Soka Pura. Wajah cemas yang 
membendung kesedihan itu menghibur 
kedongkolan di hati Soka. ia semakin 
berlagak kesakitan, walau ssbenarnya ia 
bisa menahannya sesaat untuk lakukan 
penyembuhan menggunakan jurus 'Sambung 
Nyawa'nya itu.
"Soka... oh, Soka...! Maafkan aku, 
Soka. Gara-gara kau membelaku, akhirnya 
kau terluka begini, Soka!" Ratih 
Selayang memeluk kepala Soka bagaikan 
orang panik.
Wajah Soka tenggelam di permukaan 
dada si gadis. Hidungnya mengendus-
endus. Bau keringat si gadis menyebarkan 
aroma wangi yang lembut namun cukup 
mengusik urat gairahnya.
"Aduh, aku tak kuat, Ratih... aku 
tak kuat lagi...," rintih Soka semakin 
berpura-pura meratap.

"Soka... bertahanlah! Aku akan 
membawamu pulang biar nenek mengobati 
lukamu itu! Bertahan, ya Soka...!" 
sambil Ratih Selayang kian memekik erat 
kepala Soka, dengan begitu wajah Soka 
makin terbenam di dada si gadis. 
Kehangatan dada itu terasa membakar 
wajah Soka Pura.
"Oouhk...! Aku tak kuat, Ratih...."
"Oh, Soka... jangan tewas dulu, 
Soka. Kita baru bertemu dan saling 
mengenal...."
"Aku tak tahan, karena tak bisa 
bernapas, Ratih! Kendurkan 
pelukanmu...."
"Ooh, maaf... maaf, Soka!" Ratih 
Selayang buru-buru melepaskan pelukan-
nya sambil menggeragap malu. Sepertinya 
ia baru menyadari apa yang telah 
dilakukannya terhadap pemuda itu 
sebenarnya sangat memalukan. Maka kepala 
itu bukan saja dilepaskan dari pelukan, 
namun juga didorong dalam satu sentakan 
kedua tangan. 
Wuuutt...!
"Kasar amat dia itu...!" gerutu Soka 
dalam hatinya.
* * *

LIMA

ILMU pengobatan yang dinamakan 
jurus 'Sambung Nyawa' itu dilakukan Soka 
tanpa harus menempelkan telapak 
tangannya. Jurus itu jika untuk 
mengobati diri sendiri cukup dengan 
memejamkan mata dan mengeraskan urat
tubuhnya beberapa saat. Kemudian tubuh
itu memancarkan sinar ungu samar-samar. 
Sinar itu redup kembali bersama 
lenyapnya luka bakar di kaki kanan Soka. 
Tetapi celana putihnya tetap terpotong 
sebatas lutut dengan sisa bakar yang 
tampak nyata.
Ratih Selayang segera membawa 
pulang Soka, karena menurut dugaan 
mereka, Nini Sawandupa telah sampai di 
rumah setelah menengok ke tempat 
pertarungannya dengan Peri Kenanga tadi 
dan tidak menemukan cucunya di sana. Soka 
tak merasa sungkan-sungkan dibawa pulang 
oleh gadis cantik berwajah imut-imut 
itu. Justru hatinya bersorak kegirangan, 
sebab dengan jalan begitu maka 
hubungannya dengan Ratih Selayang akan 
semakin akrab.
Sementara hati Soka Pura bersorak 
kegirangan, hati Raka tidak demikian. 
Raka menggerutu dalam batinnya setelah 
sadari bahwa dirinya mendapat tugas yang 
cukup menjengkelkan.
Betapa tidak menjengkelkan? Nini 
Sawandupa berhasil disusul dalam

pengejarannya terhadap Peri Kenanga. 
Raka Pura sengaja menghadang langkah 
Nini Sawandupa, karena ia melihat darah 
sang nenek banyak yang keluar dan 
berceceran ke mana-mana. Sebentar-s
ebentar nenek hentikan langkah untuk 
terbatuk-batuk dan memuntahkan darah 
segar kembali. Raka tak tega, sehingga ia 
menghentikan sang nenek untuk menolong 
mengobati luka tersebut.
Tetapi Nini Sawandupa ternyata 
salah paham dengan maksud kemunculan 
Raka di depannya. Dalam keadaan masih 
dibakar oleh kemarahannya, Nini 
Sawandupa segera melepaskan serangan 
tanpa banyak bicara. la mengangkat 
tongkatnya dalam satu lompatan 
menerjang, lalu tongkat itu dihantamkan 
ke kepaia Raka. 
Wuuuk...!
Beruntung sekali Raka Pura segera 
merendahkan badan dengan kepaia meliuk 
bagai seekor angsa, sehingga hantaman 
tongkat itu tak mengenai kepalanya. 
Tetapi angin kibasan tongkat itu 
menghantam punggung Raka hingga tubuh 
Raka tersungkur ke tanah. 
Brruuss...!
"Modar kau begundal iblis! 
Hiaah...!"
Nini Sawandupa langsung menginjak 
punggung Raka dengan keras.
"Heekh...!" Raka bagaikan ditimpa 
pohon besar. la sulit bernapas dan tulang

punggungnya terasa patah. Beruntung 
salah satu kaki Nini Sawandupa berada tak 
jauh dari tangan Raka, sehingga dengan 
jari menguncup semua dan mengeras, mata 
kaki nenek berjubah kuning itu 
dihantamnya kuat-kuat. 
Dess...! 
Trak...!
"Aaauuh...! Sambar geledek kau!" 
maki si nenek sambil tubuhnya tersentak 
ke atas karena kesakitan. Pada saat 
itulah tubuh Raka segera berguling ke 
samping dan cepat-cepat bangun.
Ternyata jurus 'Cocor Singa' mampu 
membuat mata kaki Nini Sawandupa menjadi 
biru legam dan sekitar mata kaki itu 
menjadi memar. Kaki tersebut tak bisa 
dipakai berdirl lagi, sehingga sang 
nenek menggunakan tongkatnya sebagai 
pengganti kaki yang biru legam itu. Raka 
buru-buru tarik napas untuk salurkan 
hawa murni dalam tubuhnya, sehingga rasa 
sakit di punggung pun mulai berkurang.
"Kau akan mati kalau masih tetap 
membela Peri Kenanga, Anak dungu!" geram 
Nini Sawandupa.
Raka Pura berkata dengan kalem tapi 
tegas.
"Aku bukan begundalnya Peri 
Kenanga, aku tidak kenal dengan 
perempuan itu, Nini Sawandupa!"
"Omong kosong! Kau pasti pemuas 
gairah perempuan jalang itu!"

"Kau salah, Nini! Aku sengaja 
mencegat langkahmu agar jangan teruskan 
pengejaran, karena lukamu sangat parah. 
Aku tahu kau memaksakan diri dan itu 
sangat berbahaya. Aku terpaksa hentikan 
langkahmu dan ingin menolong sembuhkan 
lukamu itu, Nini!"
"Bedebah! Bocah kemarin sore ingin 
berlagak jadi tabib di depanku, hah?!" 
serunya dengan suara tua yang membuat 
napasnya ngos-ngosan.
"Aku memang bukan tabib. Tapi ayahku 
berpesan agar aku selalu menolong yang 
lemah dan menghancurkan 
keangkaramurkaan!"
"Hmmrrh...!" Nini Sawandupa 
menggeram sesaat. "Siapa ayahmu itu, 
hah?!"
"Pawang Badai dari puncak Gunung 
Merana!"
"Hahh...?!" mata tua itu terbelalak 
begitu mendengar nama Pawang Badai. 
Kemudian dahi yang berkeriput itu kini 
semakin keriput karena berkerut saat 
pandangi Raka Pura dengan sangsi.
"Aku kenal dengan si Pawang Badai! 
Dia dan istrinya Padmi, adalah pasangan 
mandul yang tidak mempunyai keturunan. 
Kau jangan mengaku-aku sebagai anak 
sahabatku, Bocah lancang!"
"Aku adalah... anak angkatnya," 
jawab Raka dengan lirih karena segera 
teringat ayah kandungnya sendiri. 
Ingatan itu segera disingkirkan dari

benak Raka setelah Nini Sawandupa ajukan 
tanya sebagai penguji kebenaran 
pengakuan Raka itu.
"Jika kau benar anak angkat si 
Pawang Badai, kau tentunya tahu siapa 
nama asli si Pawang Badai itu?!"
"Orang-orang yang menaruh hormat 
kepadanya memanggilnya, Ki Pamitran!"
"Ooh...?!" Nini Sawandupa terkesiap 
karena Raka dapat menjawab pertanyaannya 
dengan benar. Ketegangannya mulai 
mengendur, tatapan mata bersikap 
bermusuhan itu mulai redup. Dengan 
bantuan tongkatnya ia melangkah sambil 
mengangkat kaki yang memar. Setelah 
berada dekat Raka, mata tua itu kian 
mengecil memandangi Raka dari ujung 
rambut sampai ujung kaki.
"Apakah... maksudmu kau adalah 
murid si Pawang Badai?"
"Bukan! Pawang Badai adalah ayah 
angkatku, dan aku adalah murid Eyang Guru 
Dewa Kencan!"
"Astaga" Nini Sawandupa terpekik 
dalam satu sentakan rasa kaget hingga 
kepalanya ditarik mundur sedikit. Wajah 
tua itu kini tampak tegang diliputi rasa 
takut.
"Bee... benarkah... ucapanmu itu, 
Nak? Bukankah si Dewa Kencan telah lama 
tiada?!"
"Tapi rohnya masih bisa mengajarkan 
jurus-jurus mautnya padaku melalui 
mimpi!"

"Oh, memang luar biasa sekali 
beliau," gumam Nini Sawandupa semakin 
melemah.
"Karenanya, seperti kataku tadi, 
Nini... kuhadang dirimu karena aku tahu 
lukamu semakin parah. Dengan segala 
hormatku, izinkan aku sembuhkan lukamu 
itu agar tak merenggut jiwamu sendiri, 
Nini!"
"Balklah. Aku berterima kasih 
padamu, Anak muda! Aku bisa obati lukaku 
sendiri walau harus beristirahat dua 
tiga hari lamanya. Tapi ada yang lebih 
penting lagi untuk mendapat pertolongan, 
yaitu cucuku, si Ratih Selayang."
"Dia sudah ditangani oleh adikku, 
Nini!"
"Oh, jadi kau datang bersama 
adikmu?"
"Kami melihat pertarungan tadi, 
tapi kami tak berani ikut campur. Setelah 
melihat keadaanmu dan Ratih Selayang 
dalam keadaan bahaya, aku dan adikku 
terpaksa ikut campur hanya dalam hal 
mengobati luka kalian!"
Diam-diam hati nenek berambut putih 
dan sedikit bungkuk itu bukan saja merasa 
bersyukur mendengar cucunya sudah ada 
yang menolongnya sendiri, tapi juga 
ingin mengetahui seberapa tinggi ilmu 
pengobatan yang dimiliki oleh anak 
angkat sahabatnya itu. Maka, Nini 
Sawandupa pun segera menyatakan diri


bersedia menerima pengobatan yang akan 
dilakukan Raka.
"Berapa lama kau mampu sembuhkan 
lukaku ini, Nak?"
"Semoga tak sampai setengah hari."
"Tak sampai setengah hari?!" gumam 
Nini Sawandupa dengan heran, mengingat 
usia Raka yang masih muda itu.
Nini Sawandupa semakin heran 
setelah Raka Pura membuktikan 
kata-katanya. Jurus 'Sambung Nyawa' 
segera digunakan seperti yang dilakukan 
Soka terhadap Ratih Selayang itu. 
Ternyata cara penyembuhan yang mempunyai 
unsur kekuatan inti gaib itu mampu 
membuat badan Nini Sawandupa menjadi 
segar tenaganya bagaikan pulih kembali, 
sedangkan lukanya lenyap tanpa bekas 
seperti tak pernah menderita luka 
segores pun. Tentu saja hal itu membuat 
Nini Sawandupa kian takjub dan semakin 
percaya kepada Raka Pura.
"Kalau begitu aku ingin segera 
menengok keadaan cucu tunggalku, apakah 
ia sudah siuman dari pingsannya atau
masih terkapar karena kebandelannya 
tadi!" ujar Nini Sawandupa.
"Aku akan mendampingimu ke sana, 
Nini Sawandupa! Kita lihat bersama 
bagaimana keadaan cucumu itu."
Maka bergegaslah mereka kembali ke 
arah semula. Dalam perjalanan itulah, 
Raka Pura sempat memancing keterangan 
dari mulut nenek berjubah kuning itu.


"Sebenarnya siapa Peri Kenanga itu, 
Nini? Kulihat ilmunya cukup lumayan 
juga."
"Bukan lumayan saja. Tingkatan 
ilmunya sudah termasuk tingkat tinggi. 
Sangat tak setanding jika cucuku 
melawannya. Peri Kenanga sebenarnya 
masih ada hubungan saudara denganku, 
tapi saudara jauh. Bibi tirinya Ratih 
Selayang. la penguasa Kuil Darah 
Perawan, yaitu sebuah aliran sesat yang 
anggotanya para pelacur liar."
"Lalu, mengapa ia tampak bernafsu 
sekali ingin membunuhmu, Nini?"
"Sebenarnya yang diincar adalah 
Ratih Selayang, cucuku. Dia hanya ingin 
memanfaatkan cucuku sebagai sandera agar 
aku menebusnya dengan sebuah rahasla."
"Rahasia apa itu Nini? Boleh 
kutahu?" Nini Sawandupa diam beberapa
saat. Sepe-tinya ada sesuatu yang perlu 
dipertimbangkan dan meragukan. Raka Pura 
berlagak tidak terlalu terburu-buru 
untuk mengetahui rahasia itu, sehingga 
ia tampak tidak terlalu membutuhkan 
rahasia tersebut. Padahal Raka 
berdebar-debar penuh harap agar nenek 
berambut putih rata itu segera sebutkan 
rahasia Gua Mulut Naga.
Sayangnya sebelum Nini Sawandupa 
menjawab pertanyaan Raka, tiba-tiba 
mereka sama-sama hentikan langkah karena 
kemunculan seseorang yang menghadang 
langkah mereka. Orang tersebut muncul

dari tebing cadas tak seberapa tinggi, 
melompat begitu saja dan mendaratkan 
kakinya dengan tegak di depan langkah 
mereka.
Raka Pura terkesip melihat seorang 
lelaki tua berusia sekitar tujuh puluh 
tahun lebih berwajah panjang. Si tua 
berwajah panjang itu mengenakan jubah 
abu-abu berlengan panjang sesuai dengan 
tubuhnya yang jangkung. Kepalanya gundul 
bagian tengah, tapi ada sisa rambut yang 
tumbuh memutih di bagian sekitar telinga 
ke belakang. la juga menggenggam 
sebatang tongkat coklat yang ujung 
atasnya berbentuk kepala ikan lele. la 
tampak masih tegap dan llncah.
"Kita bertemu lagi, Sawandupa!" 
ujar si tua berwajah lonjong itu dengan 
nada dingin, sesuai pandangan matanya 
yang bagai ingin membekukan darah.
"Siapa dia, Nini?"
"Mundurlah, ini bagianku juga. Dia 
adalah Hantu Muka Tembok, musuh lamaku!" 
Nini Sawandupa pun berbisik sambil tetap 
pandangi Hantu Muka Tembok.
Pak tua bertabuh kurus itu pandangi 
Raka sesaat. Ia tampak merasa asing 
dengan wajah tampan si anak muda 
tersebut. Tak lama kemudian terdengar 
suaranya yang bernada berat itu.
"Hmmm, rupanya kau mau menjodohkan 
cucumu dengan anak muda itu, 
Sawandupa?!"

"Menjodohkan atau tidak itu bukan 
urusanmu, Gumarah!" tegas Nini 
Sawandupa. "Apa maumu menghadang 
langkahku?!"
"Tetap seperti dulu! Serahkan peta 
menuju Gua Mulut Naga itu padaku! Dulu 
aku memang kalah melawanmu, tapi
sekarang aku akan menebus kekalahanku 
dengan mencabut nyawamu, Sawandupa. 
Tebusan itu bisa kubatalkan jika kau mau 
serahkan peta tersebut sekarang juga!"
"Persetan dengan tuntutan kolotmu 
itu! Aku tidak punya peta menuju gua itu! 
Aku hanya punya peta menuju kuburanmu, 
Hantu Muka Tembok!"
Raka Pura segera merenggangkan 
jarak dengan Nini Sawandupa. Seolah-olah 
ia tidak ingin ikut campur urusan mereka. 
Tetapi sebenarnya menyimak persoalan 
yang mereka pertengkarkan itu, karena 
Hantu Muka Tembok ternyata juga ingin me-
nuju ke Gua Mulut Naga. Hal ini lebih 
menarik lagi bagi Raka Pura untuk 
dapatkan keterangan secara tak langsung 
tentang siapa Nini Sawandupa sebenarnya 
dan bagaimana pengetahuannya tentang Gua 
Mulut Naga itu.
Pernyataan sikap Nini Sawandupa 
yang tetap tidak peduli dengan tuntutan 
Hantu Muka Tembok itu membuat si Hantu 
Muka Tembok semakin dongkol kepada nenek 
berjubah kuning. la maju dua langkah, 
tongkatnya dipindahkan dari tangan kiri 
ke tangan kanan. Nini Sawandupa tidak

merasa takut sedikit pun, bahkan ikut 
maju satu langkah, sehingga jarak mereka 
menjadi tlga langkah. Raka Pura semakin 
menepi, seakan memberi tempat bagi Nini 
Sawandupa untuk menghadapi musuh 
lamanya.
Kali ini aku lebih baik mengirimmu 
ke neraka daripada tidak mendapatkan 
peta itu. Sawandupa!" geram Hantu Muka 
Tembok.
"Kali ini pun aku lebih baik 
mengakhiri masa hidupmu yang sudah bau 
tanah kuburan Itu daripada membiarkan 
kau melarikan diri lagi, Gumarah!" ujar 
sang nenek dengan sebutkan nama asli 
Hantu Muka Tembok.
Mereka saling beradu pandang mata 
dengan tajam. Keduanya sama-sama 
menggenggam tongkat masing-masing 
dengan kuat. Bahkan genggaman tangan 
Hantu Muka Tembok telah membuat ujung 
kepaia tongkat berbentuk ikan lele itu 
mulai kepulkan asap putih samar-samar.
Raka Pura memperhatikan dengan 
tegang, karena ia tahu si Hantu Muka 
Tembok mulai kerahkan tenaga dalamnya ke 
dalam tongkat, sehingga tongkatnya 
menjadi berasap.
Tetapi agaknya Nini Sawandupa tidak 
hanya diam mematung menunggu serangan 
lawan. Tongkatnya bagai diremas 
kuat-kuat lalu ujung kepala tongkat 
putihnya yang berbentuk kuncup bunga 
teratai itu berasap tipis dan

memancarkan cahaya merah jambu. Cahaya 
merah itu makin lama semakin terang, 
sedangkan asap di tongkat Hantu Muka 
Tembok makin lama semakin mengepul 
banyak.
Wuuust...!
Raka Pura kaget. Tiba-tiba kedua 
tokoh tua itu telah saling berpindah 
tempat. Mereka sama-sama bergerak 
menerjang dengan gerakan sangat cepat, 
sehingga sulit dilihat oleh mata biasa. 
Tahu-tahu Nini Sawandupa telah berada di 
tempat Hantu Muka Tembok berdiri tadi, 
dan Hantu Muka Tembok telah menempati 
taman yang dipijak Nini Sawandupa tadi.
"Luar biasa gerakan mereka?!" gumam 
Raka Pura mengagumi kecepatan gerak 
kedua tokoh tua itu, waiau ia sendiri 
sebenarnya mempunyai kecepatan gerak 
yang dapat mengagumkan kedua tokoh tua 
itu.
Raka Pura semakin terperanjat 
ketika memperhatikan kepaia tongkat 
mereka. Kini kepaia tongkat
Hantu Muka Tembok tidak berasap 
lagi, melainkan memancarkan cahaya merah 
muda samar-samar, sedangkan kepaia 
tongkat Nini Sawandupa hanya berasap 
banyak tanpa cahaya merah. Seolah-olah 
Hantu Muka Tembok telah berhasil merebut 
cahaya merah dari tongkat lawannya dan 
memindahkan ke tongkatnya sendiri.

Nini Sawandupa pun akhirnya 
menggeram penuh kemarahan setelah 
pandangi kepaia tongkatnya sendiri.
"Keparat kau, Gumarah!"
"Sekarang aku dapat menyerap 
seluruh ilmumu jika kau tak mau serahkan 
peta gua tersebut, Sawandupa! Aku yang 
sekarang bukan aku yang mudah kau 
tumbangkan tiga tahun yang lalu, 
Sawandupa! Pertimbangkan kekerasan 
hatimu terhadap peta Hantu Muka Tembok 
itu!"
"Aku tidak punya peta apa-apa, 
Keparat! Aku tidak tahu menahu tentang 
gua itu!"
"Tidak mungkin! Kau pikir aku tak 
tahu, bahwa kau adalah satu-satunya 
tawanan yang berhasil lotos dari Gua 
Mulut Naga itu?! Empat tawanan Raja 
Bopeng yang seharusnya dibuang ke Gua 
Mulut Naga hanya kau yang mampu 
selamatkan diri, keluar dari gua 
tersebut."
"Aku tidak dibuang ke gua itu! 
Memang aku dan ketiga rekan 
seperguruanku ditangkap oleh Raja 
Bopeng! Tetapi kami tidak dibawa ke Gua 
Mulut Naga!" sentak Nini Sawandupa yang 
tiap katanya disimak baik-baik oleh Raka 
Pura.
"Omong kosongmu tak mungkin bisa 
membodohi otak tuaku, Sawandupa! Aku 
tahu, kalian berempat ditangkap Raja 
Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk

Dara, tumbuh di sekitar Gua Mulut Naga. 
Delapan pengawalnya ditugaskan 
mengambil bunga penakluk cinta itu, 
sambil membuang kalian ke dalam Gua Mulut 
Naga. Raja Bopeng tahu, kau dan ketiga 
rekan seperguruanmu itu mengetahui di 
mana letak Gua Mulut Naga, bahkan 
kabarnya gurumu pernah membuat petanya 
untuk seorang sahabat yang sudah 
telanjur tewas sebelum peta Itu 
diserahkan padanya...."
Diam-diam Raka Pura mencatat semua 
kata-kata Hantu Muka Tembok. Dari 
kata-kata tersebut, Raka dapat simpulkan 
bahwa Nini Sawandupa dan ketiga rekan 
seperguruannya pernah ditangkap oleh 
Raja Bopeng yang menghendaki Bunga Pucuk 
Dara. Bunga itu tumbuh di sekitar Gua 
Mulut Naga. Rupanya Raja Bopeng mendapat 
petunjuk dari seseorang bahwa pihakyang 
mengetahui di mana gua itu berada adalah 
pihak perguruannya Nini Sawandupa.
Raja Bopeng yang berhasil membantai 
habis seluruh murid perguruan tersebut 
bersama guru mereka, memanfaatkan 
keempat sisa murid perguruan itu sebagai 
petunjuk jalan menuju Gua Mulut Naga. 
Maka diperintahkan beberapa pengawal 
untuk membawa keempat tawanan tersebut 
ke Gua Mulut Naga. Keempatnya harus 
dibunuh di saha sebagai tumbal memetik 
Bunga Pucuk Dara.
Tetapi Nini Sawandupa memberontak 
dan membuat beberapa pengawal tewas,

sebagian melarikan diri pulang ke 
hadapan Raja Bopeng. Sayangnya tiga 
rekan seperguruan Nini Sawandupa gugur 
dalam pemberontakan itu.
Pada waktu itu, Hantu Muka Tembok 
alias si Ki Gumarah itu mendapat kabar 
tentang peristiwa tersebut dari 
keponakannya yang menjadi prajurit 
gerbang di istana Raja Bopeng. Maka ia 
tahu persis, bahwa Nini Sawandupa pernah 
sampai di Gua Mulut Naga yang sejak dulu 
sulit ditemukan orang itu. Hantu Muka 
Tembok yakin betul bahwa Nini Sawandupa 
mengetahui tempat gua tersebut berada, 
karena mendiang gurunya Nini Sawandupa 
yang berjuluk Resi Garba adalah seorang 
penjelajah gua di seluruh tanah Jawa dan 
sekitarnya. Ilmu dan kesaktian Resi 
Garba diperoleh dari gua ke gua, dan 
pernah dihebohkan sebagai manusia 
pertama yang dapat membunuh seekor naga 
bersisik emas yang mendiami sebuah gua. 
Menurut kesimpulan para tokoh lainnya, 
gua itulah yang dinamakan Gua Mulut Naga.
Nini Sawandupa selalu membantah 
kesimpulan itu. Bahwa mendiang gurunya 
memang pernah mengalahkan seekor naga 
bersislk emas yang mendiami sebuah gua, 
tetapi gua itu bukan Gua Mulut Naga. la 
juga membantah anggapan para tokoh rimba 
persilatan yang mengatakan dirinya 
mengetahui Gua Mulut Naga dari cerita 
sang guru, karena Nini Sawandupa 
dikabarkan menjadi murid kesayangan sang

guru, sehingga segala rahasia yang tidak 
dimiliki orang lain dan murid lainnya 
dibeberkan di depan Nini Sawandupa.
"Kau tak bisa mengelak lagi, 
Sawandupa!" ujar Hantu Muka Tembok. 
"Sekarang kau tinggal memilih, mau mati
cepat-cepat atau membantuku menemukan 
Gua Mulut Naga itu dengan menyerahkan 
peta yang pernah dibuat gurumu itu atau 
menjadi pemanduku menuju gua tersebut?!"
"Aku memilih membunuhmu 
cepat-cepat, Hantu Muka Tembok!" bentak 
Nini Sawandupa dengan berangnya.
Gigi menggeletuk, mata menyipit, 
wajah pun tampak kaku. Uccipan Nini 
Sawandupa agaknya tak bisa membendumg 
kesabaran Hantu Muka Tembok lagi. Maka 
serta merta tongkat berkepala ikan lele 
itu disentakkan kedepan seakan ingin 
menyodok dada Nini Sawandupa. Tetapi 
perempuan tua itu pun tak mau kalah 
tangkas, tongkat putihnya yang masih 
berasap itu pun disentakkan ke depan 
hingga kepaia tongkat itu berbenturan 
dengan kepala tongkat Hantu Muka Tembok.
Wuuut, traakk...! 
Blaarrr...!
Cahaya merah menyebar dalam 
sekejap. Ledakan yang timbul akibat 
benturan tongkat dengan tongkat itu 
membuat Nini Sawandupa terlempar hingga 
tubuhnya membentur pohon dengan 
kerasnya. 
Duuur...!

Daun-daun pohon pun berguguran 
akibat benturan tubuh Nini Sawandupa. 
Nenek itu langsung terkulai lemah dengan 
sekujur tubuh merah matang seperti 
kepiting rebus.
Ledakan yang tampaknya tak seberapa 
dahsyat itu ternyata telah mempunyal 
kekuatan beracun tinggi. Gelombang 
ledakannya menyebarkan racun ke dua arah 
yang membuat Hantu Muka Tembok sendiri 
terkapar dalam jarak tujuh langkah ke 
belakang setelah terlebih dulu tubuhnya 
melayang bagai dilemparkan tangan 
raksasa. Kakek berjubah abu-abu itu 
mengerang lirih tak bisa bangkit lagi. 
Sekujur tubuhnya menjadi merah 
kebiru-biruan. Rupanya ia terluka lebih 
parah dari Nini Sawandupa. Matanya 
terbeliak-beliak dengan mulut
ternganga.
"Celaka Keduanya bisa sama-sama 
mati di sini kalau tidak segera kutolong" 
pikir Raka Pura. Maka ia bergegas hampiri 
Nini Sawandupa lebih dulu. la selamatkan 
nyawa Nini Sawandupa dengan jurus 
'Sambung Nyawa'-nya. Jurus itu pun 
segera diguna-kan untuk menolong keadaan 
si Hantu Muka Tembok.
Namun agaknya Hantu Muka Tembok 
masih mempunyai tenaga cadangan. Melihat 
Raka Pura mendekatinya, ia menyangka 
anak muda itu bermaksud buruk padanya. 
Serta merta kakinya berkelebat menendang 
ke perut Raka dengan tenaga dalam tinggi.

Wuutt, beehk...!
"Uuhkk...!" Raka Pura mendelik 
dengan sedikit bungkuk. la sama sekali 
tak menyangka akan mendapat fendangan 
segarias itu. Mulut Raka pun segera 
lelohkan darah kental dengan napas bagai 
menyumbat di tenggorokan. Seluruh urat 
dan persendian terasa hilang dari 
tubuhnya, sehingga ia pun segera jatuh 
terpuruk tanpa daya lagi.
Hantu Muka Tembok mencoba bangkit
walau dengan bantuan tongkatnya. la 
menahan luka parahnya sambil pandangi 
tubuh Nini Sawandupa yang memancarkan 
cahaya ungu.
"Gawat! Rupanya si Sawandupa punya 
ilmu baru yang bisa memancarkan cahaya 
ungu dari sekujur tubuhnya! Ooh... 
keadaanku sangat parah. Tak mungkin aku 
bisa kalahkan dirinya untuk saat ini. 
Tapi... sebaiknya kucoba dengan jurus 
baruku yang dapat menyerap habis tenaga 
dan kesaktiannya itu!"
Hantu Muka Tembok segera mengangkat 
tangan kirinya. Tapi ketika tangan kiri 
itu bergerak naik, tiba-tiba pandangan 
matanya menjadi buram dan detak 
jantungnya sangat cepat.
"Uuhk...! Tenaga intiku makin 
membakar bagian dalam tubuh! Sebaiknya 
kutangguhkan dulu rencanaku! Uuh...!"
Hantu Muka Tembok nyaris tak mampu 
bertahan lagi. Untung tenaga cadangannya 
masih tersisa, sehingga dapat diper

gunakan untuk melarikan diri dari tempat 
tersebut. Sedangkan Nini Sawandupa masih 
memancarkan cahaya ungu samar-samar dari 
tubuhnya. Cahaya itu segera redup dan 
hilang sama sekali. Maka luka pun hilang 
dan kekuatan pun pulih kembali. la 
terkejut melihat Raka Pura meringkuk 
dengan lemas sekali.
Mata sang nenek membelalak lebar, 
menatap ke sana-sini dengan liar.
"Gumarah!" teriaknya. "Biadab kau, 
Gumarah! Mengapa kau lawan anak semuda
dia, hah?! Keluar kau, Gumarah!"
Kemarahan nenek yang rambut 
putihnya terlepas dari kondenya itu 
segera memeriksa keadaan Raka Pura 
dengan cemas, karena ia masih ingat bahwa 
anak muda itulah yang tadi telah dua kali 
selamatkan jiwanya dari luka berbahaya.
"Celaka! Hantu itu telah menggu-
nakan jurus pelumpuh indera, yang 
membuat anak ini seperti mati! Agak sulit 
membebaskan pelumpuh indera ini! Tapi 
akan kucoba di rumah saja. Sebaiknya dia 
kubawa pulang sambil menghampiri cucuku 
di tempat pertarunganku dengan si 
keparat Peri Kenanga itu!"
Maka tanpa canggung lagi, Nini 
Sawandupa mengangkat tubuh kekar pemuda 
tampan itu dan memanggulnya di pundak. 
Dalam keadaan tua renta dan bertubuh 
kurus begitu, ia mampu memanggul badan 
sekekar Raka. Jika tidak menggunakan 
ilmu tenaga dalam, tak mungkin seorang

nenek renta mampu memanggul beban 
seberat itu. Bahkan mampu sambil berlari 
dengan gerakan cukup cepat.
"Edan! Ke mana si Ratih Selayang?!" 
gumamnya dalam hati ketika tiba di tempat 
pertarungannya dengan Peri Kenanga tadi. 
la memandang ke sana sini mencari 
cucunya.
"Apakah sudah pulang ke rumah? 
Hmm... sebaiknya aku segera ke rumah saja 
sambil cepat-cepat mengobati anak muda 
ini. Oh, kurasa Ratih akan suka dengan 
pemuda tampan ini!"
Nini Sawandupa segera bergegas 
menuju ke pondoknya. Tetapi ketika 
sampai di pondok, Ratih Selayang tidak 
ada di tempat. Hal yang mengejutkan lagi, 
keadaan rumah itu sangat berantakan, 
morat-marit ke sana-sini. Pondok itu 
bagai habis diterjang badai bagian 
dalamnya saja.
"Jahanam!" geram Nini Sawandupa. 
"Siapa yang berani lakukan hal ini di 
rumahku?! Bangkai busuk betul orang itu! 
Pasti dia mencari peta, dan... oh, 
bagaimana keadaan cucuku?! Di mana dia 
sekarang?!" Nini Sawandupa menggeram 
kuat-kuat, pandangan matanya memancar-
kan murka yang tak terlampiaskan.
"Apakah si Hantu Muka Tembok tadi 
datang kemari lebih dulu sebelum 
menemuiku di sana?! Atau... ada pihak 
lain yang mempunyai maksud sama dengan si 
Hantu Muka Tembok dan Peri Kenanga?!"

* * *
ENAM


MALAM itu, sebenarnya Ratih 
Selayang berada tak jauh dari rumahnya. 
Hanya terhalang sebuah bukit yang bisa 
ditempuh dalam waktu singkat. Tetapi 
Ratih Selayang tak tahu kalau rumahnya 
diacak-acak orang. Mungkin karena 
hatinya terlalu sibuk bersorak 
kegirangan mendapat kenalan ganteng, 
maka nalurinya menjadi tak begitu peka.
Pada saat Soka Pura telah sehat dan 
bermaksud dibawa pulang ke rumah, Ratih 
Selayang sempat berpikir buruk tentang 
tanggapan neneknya nanti.
"Jangan-jangan nenek akan marah 
padaku jika aku pulang membawa seorang 
pemuda? Dia akan menyangkaku hanya bisa 
bersenang-senang sementara nenek 
bertaruh nyawa melawan Peri Kenanga. 
Hmmm...! Sebaiknya Soka kubawa ke hutan 
balik bukit saja. Aku ingin menikmati 
keindahan malam terang bulan bersama 
Soka di sana. Pemandangannya lebih 
indah, suasananya lebih menyenangkan 
daripada di rumah."
Karenanya, Ratih Selayang pun 
segera berkata kepada Soka Pura, "Maukah 
kau menikmati pemandangan yang indah di 
balik bukit itu?"

"Mengapa tidak? Tapi bukankah 
sekarang senja sudah hampir berganti 
malam?"
"Justru kita di sana bisa menikmati 
matahari tenggelam perlahan-lahan di 
garis cakrawala! Aku ingin tunjukkan 
padamu tempat yang berpanorama indah di 
daerahku ini!"
Tentu saja tawaran itu anti 
penolakan bagi Soka. Hatinya pun 
bersorak kegirangan ketika tangannya 
digandeng Ratih Selayang dan si gadis 
mengajaknya berlari mendaki lereng 
bukit. Mereka tertawa-tawa dalam suasana 
ceria saat menuruni lereng bukit 
berpohon renggang.
Ternyata pemandangan di sana memang 
cukup indah. Selain hutan itu berpohon 
jarang, pandangan mata dapat terlempar 
luas dan jauh, sejauh batas cakrawaia. Di 
hutan itu pun ada gua kecil yang bagian 
depannya berumput pendek dan rata. Gua 
itu sering dipakai beristirahat oleh si 
gadis. Sungguh sebuah tempat yang nyaman 
untuk menghibur hati yang sedang 
dirundung kesedihan. Bebatuannya pun 
dapat dipakai untuk duduk santai sambil 
menikmati sang mentari mundur dari 
peredarannya.
"Aku sering duduk di sini hingga 
berlama-lama," ujar Ratih Selayang. 
"Kadang aku bermalam di dalam gua itu. 
Gua itu sudah seperti tempat tidurku 
sendiri."


"Dengan siapa kau di sini? Pasti
dengan seorang pemuda," Soka sengaja 
menggoda sebagai pancingan.
Gadis itu mencibir. "Hmmm...! Kau 
pikir aku mudah akrab dengan setiap 
pemuda? Baru sekarang aku datang ke 
tempat ini bersama seorang pemuda. 
Kaulah satu-satunya pemuda yang 
beruntung, Soka."
"Benarkah?" sambil Soka makin 
mendekat dan pandangan mata mereka 
saling beradu.
"Gadis secantik kau biasanya punya 
kekasih lebih dari tiga."
"Enak saja" Ratih Selayang mencibir 
lagi. "Apa kalau sudah cantik kekasihnya 
harus lebih dari tiga?"
"Biasanya...!"
"Aku bukan gadis biasanya!" sentak 
Ratih Selayang sambil cemberut dan 
palingkan wajah. Soka Pura girang 
melihat reaksi seperti itu. la segera 
memegang kedua pundak gadis itu dari 
belakang dan berbisik dalam suara penuh 
kelembutan. 
"Aku hanya bercanda. Tak mungkin aku 
menganggapmu gadis senakal itu."
Debar-debar keindahan kian 
melambungkan jiwa Ratih Selayang, karena 
itulah ia bertambah sewotnya biar 
mendapat sambutan lebih mesra lagi.
"Aku tidak suka pemuda yang mudah 
menilaiku serendah itu."

"Maafkan aku, Ratih. Jangan marah 
begitu, nanti kau tambah cantik dan aku 
tambah kebingungan menghindarimu."
"Jadi kau punya rencana mau 
menghindar?!" Ratih Selayang palingkan 
wajah pandangi Soka dengan mata 
bundarnya yang seakan memantulkan cahaya 
senja itu. Soka Pura hanya sunggingkan 
senyum sambil gelengkan kepala. Itu pun 
sudah membuat hati Ratih Selayang 
semakin berdesir-desir lagi.
"Apakah itu mungkin? Walau baru 
sekejap bertemu, aku merasa seperti 
sudah bertahun-tahun mengenalmu. 
Rasa-rasanya akan sulit menghindar da-
rimu, Ratih."
"Benarkah ucapanmu itu, Soka?"
Pemuda berambut sepundak itu hanya 
anggukkan kepaia sambii sunggingkan 
senyum. Senyum itu memancing si gadis 
untuk membalasnya dengan lebih lembut 
lagi.
Makin lama Soka makin mendekatkan 
wajah. Hembusan napasnya terasa 
menghangat di wajah Ratih Selayang. 
Ternyata gadis itu tetap diam walau wajah 
Soka semakin dekat. Bahkan kini mata si 
gadis pun memejam pelan-pelan. Soka tak 
bisa hentikan gerakan kepalanya yang 
membuat bibirnya menjadi bersentuhan 
dengan bibir Ratih Selayang.
Bibir ranum itu tak mau merekah. 
Namun pegangan kedua tangan Ratih 
Selayang di pundak Soka terasa gemetar.

Bahkan ketika bibir itu dikecup 
pelan-pelan oleh Soka, getaran tangan 
Ratih Selayang semakin bertambah keras. 
Tangan itu pun meremat bagai menahan 
ledakan rasa nikmat akibat lidahnya 
dipagut pelan-pelan oleh Soka Pura.
Sekalipun kemesraan seperti itu 
belum pernah didapat oleh Soka, tetapi 
naluri kemesraan seorang manusia telah 
membimbingnya sendiri untuk mencari 
keindahan pada diri lawan jenisnya. 
Naluri itu menuntun gerakan Soka yang 
sekiranya menghadirkan keindahan lebih 
tinggi lagi. Tangan pun tak bisa tinggal 
diam. Sekalipun hanya mengusap punggung 
gadis itu, namun debar-debar keindahan 
terasa semakin nyata dan melenakan 
sukma.
Tapi ketika tangan Soka mulai 
merayap ke dada Ratih Selayang, gadis itu 
buru-buru mencekal tangan tersebut. 
Kecupan bibir mereka terputus, karena 
merenggangkan jarak dengan sendirinya. 
Dengan napas yang sudah tidak teratur 
lagi, Soka menatap Ratih Selayang sambil 
bisikan kata bernada keluh.
"Aku hanya ingin menyentuhnya. 
Hanya menyentuh saja, Ratih."
Gadis itu gelengkan kepala. "Aku tak 
ingin."
"Mengapa? Tak bolehkah jika aku 
hanya ingin merasakan kehangatan sebatas 
dada saja?"
Ratih Selayang gelengkan kepala 
lagi. "Aku belum pernah. Aku takut, 
Soka," sambil mata si gadis tetap sayu. 
Ketika mereka sama-sama bungkam dan 
saling tatap, Ratih Selayang menggigit 
bibirnya sendiri bagai menahan keresahan 
yang menyiksa jiwa. la pun akhirnya 
merebahkan kepala di dada bidang Soka 
Pura. Pemuda itu menautkan kedua 
tangannya dalam satu pelukan yang 
menghangat di tubuh Ratih Selayang.
Tangan yang memeluk itu akhirnya 
meraba-raba punggung Ratih Selayang. 
Rabaan lembut terasa menggetarkan hati, 
menerbangkan jiwa si gadis. Terlebih 
setelah usapan lembut itu merayap ke 
bawah dan meremas di bagian bawah 
pinggul, Ratih Selayang mendesah lirih 
dengan mata terpejam dan kepala semakin 
dirapatkan ke dada Soka. Tangan gadis itu 
juga memeluk dan meremas punggung Soka 
sebagai tempat bertahannya luapan hasrat 
yang tak berani dinyatakan dalam 
lahiriah.
Hanya saja, tiba-tiba seberkas 
sinar merah melesat cepat di luar dugaan 
mereka. Dalam keadaan dihanyutkan oleh 
asmara, tiba-tiba seorang melepaskan 
pukulan jarak jauh berupa sinar merah 
yang segera menghantam pinggang belakang 
Soka. 
Weess...! 
Deeb...! 
"Aaakh...!"

"Soka...?!" Ratih Selayang segera 
tarik diri dan memandang Soka. Pemuda itu 
mengejang dengan kepala sedikit 
terdongak, mataterbelalak, mulut
ternganga dan tak bergerak sedikit pun 
bagaikan patung. Tetapi warna kulitnya 
segera berubah menjadi kemerah-merahan.
"Soka...?! Kenapa kau?! Kenapa kau, 
Soka?!" Ratih Selayang sangat tegang dan 
panik. la mengguncang-guncang tubuh 
Soka, tapi pemuda itu benar-benar 
bagaikan patung yang tak bisa bergerak 
sedikit pun. Bahkan ucapkan kata lirih 
pun tak mampu.
"Oh, Soka...?! Pasti ada orang yang 
menyerang kita, Soka!"
Tiba-tiba sebuah suara terdengar 
dengan jelas di belakang Soka Pura.
"Dia tak akan bisa bergerak dan 
bicara. Jurus totokan 'Tapak Merah'ku 
akan membuatnya diam selamanya bagaikan 
patung. Tak akan bisa bergerak dan hidup 
seperti biasanya jika tak kulepaskan 
totokan!"
Suara kalem itu milik seorang 
perempuan. Ratih Selayang segera 
pandangi perempuan berjubah merah yang 
berdiri dengan angkuhnya. Perempuan 
berjubah merah itu berusia sekitar tiga 
puluh tahun dan mengenakan pakaian yang 
seronok. Jubahnya tak dikancingkan, 
sementara pakaian dalam yang menutupi 
bagian atas dan bawah hanya sekelumit 
saja. Terlalu kecil, sehingga apa yang
ditutupi itu tampak mengintip sedikit 
dari kain penutupnya.
Rupanya si gadis sudah mengenali 
perempuan itu, sehingga ia pun segera 
menyapa dengan nada berang.
"Dasar perempuan jahanam! Mengapa
kau menotoknya, Ranum Sani?!"
"Sudah tiga hari aku mencari pemuda 
berperawakan seperti dia, tapi baru 
sekarang kudapatkan!"
"Jangan coba-coba menyentuhnya jika 
kau tak ingin kukirim ke neraka, Ranum 
Sani!" gertak Ratih Selayang dengan 
berani, padahal ia sadar bahwa Ilmunya 
lebih rendah dibanding ilmu lawannya. 
Tapi demi mempertahankan pemuda tampan 
itu.
"Hik, hik, hik, hik...," Ranum Sani 
menertawakan gertakan itu. "Bocah 
kemarin sore berani menggertakku?! Oh, 
alangkah malang nasibmu, Nona! Aku tak 
akan ampuni kesalahanmu jika kau berani 
menggertakku kedua kalinya!"
Ranum Sani maju dua langkah, Ratih 
Selayang bergeser ke kiri menghadang 
langkah itu agar tak menyambar Soka yang 
masih berdiri bagaikan patung itu. 
Trisulanya segera dicabut dan siap 
digunakan menyerang lawan 
sewaktu-waktu. Ranum Sani masih tampak 
tenang, sunggingkan senyum sinis, 
berjalan pelan mengelilingi Soka Pura, 
sementara Ratih Selayang ikut bergerak 
dan selalu memunggungi Soka Pura.


"Ratih Selayang, lebih baik aku 
membunuhmu daripada aku gagal 
mendapatkan pemuda seperti dia! Karena 
kegagalanku berarti hukuman terberat 
yang harus kuterima dari sang ketua! Aku 
tak mau terkena hukuman lagi karena gagal 
mencuri peta wasiat dari tangan 
nenekmu!"
"Persetan dengan kegagalanmu! Lebih 
baik kau pulang ke Kuil Darah Perawan 
sekarang juga! Ketuamu, si Peri Kenanga 
itu, mungkin telah dibunuh oleh nenekku 
dalam perjalanan melarikan diri pulang 
ke Kuil Darah Perawan!"
"Kau benar-benar tak bisa diberi 
ampun lagi! Menggertakku dua kali sama 
saja siap melepaskan nyawa!"
"Demi mempertahankan Soka Pura, aku 
siap mengorbankan nyawa!" ujar Ratih 
Selayang dengan lantang.
"Hiaat...!" Ranum Sani membuka 
kuda-kuda dengan kedua tangan berkuku 
runcing terangkat ke atas pundak, tubuh 
bergeser ke kiri hingga menghadapi lawan 
dalam keadaan menyamping. Jubahnya 
dihembus angin senja bersama gerakan 
rambutnya yang bergerai dipermainkan 
angin juga.
Ranum Sani ternyata adalah anak buah 
Peri Kenanga dari Kuil Darah Perawan, 
yaitu sebuah kelompok perempuan 
beraliran sesat yang terdiri dari para 
pelacur liar. Ranum Sani ditugaskan 
untuk mencuri peta wasiat, yaitu peta

tentang jalur jalan menuju Gua Mulut 
Naga. Tetapi ia gagal memperolehnya, dan 
sebagai hukumannya ia harus menda-patkan 
seorang pemuda berperawakan tinggi, 
gagah, kekar dan tampan, la harus 
menundukkan pemuda itu, lalu
mempersembahkan kepada sang ketua 
sebagai pelayan gairah sang ketua. Jika 
tugas itu gagal juga, maka ia akan 
dihukum berat yang dapat membuatnya 
cacat seumur hidup.
"Rumahmu sudah kuobrak-abrik dan 
ternyata peta wasiat itu memang tidak 
ada! Sekarang harapanku hanya ada pada 
pemuda itu, Ratih Selayang. Jika kau 
menghalangiku, maka terimalah jurus 
penembus jantungmu ini! Heeah...!"
Ranum Sani tiba-tiba melepaskan 
pukulan jarak lima langkah. Pukulan itu 
berupa sinar kuning seperti telur ayam 
yang melesat dari telapak tangan 
kirinya. 
Claaap...!
Melihat cahaya kuning melesat ke 
arahnya, Ratih Selayang segera tempelkan 
telapak tangan kirinya ke ujung gagang 
trisula, kemudian kedua tangan itu 
menyentak ke depan. 
Claap...! 
Dari ujung runcing trisula melesat 
sinar merah panjang tanpa putus yang 
segera menghantam cahaya kuning ter-
sebut.
Blaaarr...!

Ledakan besar mengeluarkan 
gelombang panas. Gelombang hawa panas 
itu menghempas tubuh Ratih Selayang. 
Wuuuss...!
"Aahk...!" Ratih Selayang pun 
terpekik, tubuhnya terhempas ke 
belakang, nyaris membentur tubuh Soka 
yang mematung. la jatuh di depan kaki So-
ka dalam keadaan menyeringai menahan 
hawa panas yang menyengat sekujur 
tubuhnya, sedangkan Ranum Sani tampak 
tidak mengalami cedera apa pun kecuali 
hanya tersentak mundur satu langkah.
Ratih Selayang bergegas bangkit 
waiau sambil menahan rasa sakit di 
permukaan kulit tubuhnya. Tetapi 
tiba-tiba Ranum Sani melemparkan sesuatu 
yang diambil dari balik jubahnya. 
Weess...! 
Slaatt...!
Sebatang jarum merah melesat cepat 
dan nyaris tak terlihat mata Ratih 
Selayang. Jarum itu gagal ditangkis 
dengan tebasan trisuia, akhirnya 
menancap di bawah pundak kanan. 
Jruub...!
"Uuhk...!" Ratih Selayang mengejang 
sambil menyeringai makin kuat. Ia 
mencoba bertahan dan ingin lakukan 
serangan lagi. Tapi langkahnya menjadi 
limbung. Jarum beracun itu telah bekerja 
cepat dalam darahnya dan melemahkan 
seluruh urat sarafnya.

"Oohk...! Oohk...!" Ratih Selayang 
semakin terhuyung-huyung. la mulai sadar 
akan keadaan dirinya yang tak akan mampu 
melawan Ranum Sani. Maka dengan sisa
tenaganya, ia mencoba larikan diri 
mencari sang nenek.
"Hik, hik, hik...! Memang 
selayaknya kau melarikan diri dan tak 
perlu unjuk kesetiaan lagi, Ratih 
Selayang!" Ranum Sani menertawakan 
hingga terkikik-kikik. Ratih Selayang 
tak peduli, ia tetap lari dan berlari 
terus menuju rumahnya.
Tetapi sampai di rumah ternyata yang 
ia temukan hanyalah keadaan yang 
berantakan. Ratih Selayang segera tahu, 
bahwa Ranum Sanilah yang mengacak-acak 
isi rumahnya untuk mencari peta wasiat.
Karena gagal, Ranum Sani pergi ke 
arah balik bukit. Tanpa disengaja ia 
temukan Ratih Selayang bersama Soka 
Pura.
Ratih Selayang segera mencari 
neneknya ke arah pertempurannya dengan 
Peri Kenanga tadi. Karena sang nenek 
belum muncul di tempat itu, Ratih 
Selayang pun segera pergi mencari sang 
nenek ke mana-mana. Senja yang kian tua 
membuat Ratih Selayang tak sadar telah 
bersimpang jalan dengan sang nenek yang 
menuju ke pondoknya sambil memanggul 
Raka Pura.
Sementara itu, Ranum Sani bersorak 
kegirangan dalam hatinya. la berhasil

dapatkan pemuda yang sesuai dengan 
keinginan sang ketua. Bahkan dalam 
hatinya, Ranum Sani mengakui ketampanan 
Soka Pura.
"Dia benar-benar tampan dan 
menggairahkan sekali!" sambil memper-
hatikan Soka sampai mengitarinya. 
"Dadanya bidang, lengannya kekar, 
wajahnya tak membosankan dan... oh,
sungguh menggiurkan sekali pemuda ini."
Ranum Sani mendesis pelan sambil 
meremas dadanya sendiri. Pandangan 
matanya mulai sayu, pertanda api gairah 
telah membakar hasratnya untuk bercumbu.
"Sebaiknya kurasakan dulu keha-
ngatannya sebelum kuserahkan kepada sang 
ketua! Oh, kebetulan ada gua di sebelah 
sana! Kurasa gua itu dapat dipakai 
mengetahui apakah ia benar-benar jantan 
atau biasa-biasa saja? Hmmm... masih 
muda, lagi! Hik, hik, hik...!"
Ranum Sani segera memanggul tubuh 
Soka yang masih belum dibebaskan dari 
pengaruh totokannya tadi. la membawa 
masuk pemuda itu ke dalam gua. Ternyata 
gua itu tergolong berkeadaan rapi. Punya 
susunan jerami yang membentang bagaikan 
kasur, punya bebatuan yang menyerupai 
dinding penyekat, punya sisa kayu bakar 
sebagai tanda gua itu pernah dipakai 
bermalam seseorang yang menyalakan api 
unggun. Ranum Sani tak tahu bahwa Ratih 
Selayang sering datang ke gua itu untuk

menyendiri, merenungi khayaiannya yang 
tak jauh dari persoalan jodoh dan cinta.
Soka Pura dibaringkan di atas kasur 
jerami buatan Ratih Selayang. Keadaannya 
masih seperti patung bernyawa.
Ranum Sani segera melepaskan 
totokannya. Soka terkejut dan langsung 
bangkit, duduk dengan mata terbelalak 
dan mulut terbengong. ia merasa heran 
begitu melihat seraut wajah cantik yang 
tak lagi imut-imut.
"Oh...?! Mengapa wajahmu berubah, 
Ratih?!" 
"Aku...," Ranum Sani tak jadi 
lanjutkan ucapannya. Semula ia ingin 
mengaku sebagai Ranum Sani, sedangkan 
Ratih Selayang sudah meiarikan diri. Ta-
pi agaknya ia punya pemikiran lain, 
sehingga lanjutan kata-katanya pun 
menjadi berbeda.
"Hmm, iya... memang beginilah wajah 
asliku sebenarnya. Apakah... apakah kau 
tak suka dengan wajah asliku jika sedang 
kasmaran begini?!"
Soka Pura kerutkan dahinya, 
pandangi perempuan cantik yang mempunyai 
kematangan dalam bersikap di depan lawan 
jenisnya itu. Soka tak ingat apa-apa 
tentang kejadian yang tadi dialami saat 
berpelukan dengan Ratih Selayang. Bahkan 
Soka tak merasa terkena totokan atau 
serangan apa pun. Karenanya la merasa 
baru saja sadar dari lamunan dan 
menemukan Ratih Selayang sudah berubah

menjadi perempuan cantik yang punya 
wajah menantang gairah.
"Bee... benarkah kau jika kasmaran 
menjadi berubah secantik ini?"
"Katakan saja kalau kau tak suka 
dengan wajah asliku ini!" Ranum Sani 
berlagak cemberut, seperti yang 
dilihatnya saat Ratih Selayang sewot di 
depan Soka.
Melihat kecemberutan itu, Soka Pura 
pura-pura meraih pundak Ranum Sani dan 
menghadapkan wajah itu ke arahnya.
"Ratih, jangan salah sangka. Aku 
justru suka sekali melihat kecantikanmu 
yang asli begini! Jangan marah, Ratih," 
bujuk Soka dengan senyum dan kelembutan 
yang menawan hati Ranum Sani.
"Benarkah kau tak menyesal berada di 
gua ini bersamaku?"
"Tidak. Tapi... oh, ya... apakah ini 
gua yang ada di belakang kita tadi?" 
sambil Soka memandang ke arah luar dengan 
berlutut, karena pandangannya ke arah 
luar terhalang batu serupa dindlng 
sebatas perut.
"Memang ini gua yang ada di belakang 
kita," sambil tangan Ranum Sani meraih 
tangan Soka agar pemuda itu duduk 
kembali.
"Aku tak menyangka kau bisa berubah 
wajah jika sedang bergairah," ujar Soka 
sambil mengusap pipi Ranum Sani. "Apakah 
benar kau sedang bergairah?"

Perempuan bermata sayu itu 
anggukkan kepala dengan senyum nakal. 
Bibirnya yang menggiurkan dipamerkan 
dengan sesekali dijilatnya sendiri. Soka 
Pura memandanginya dengan hati 
berdebar-debar. Mata pemuda itu semakin 
nakal ketika menatap ke dada yang tampak 
lebih besar dari milik Ratih Selayang.
"Kenapa kau memandangi terus? Kau 
mau?" tawaran itu bagai tantangan yang 
membuat dada Soka bergemuruh.
"Kalau kau suka ambil saja!" tambah 
Ranum Sani sambil menyodorkan dadanya.
Tapi pemuda itu justru salah tingkah 
dan tampak makin gemetar. la hanya 
tersenyum-senyum dengan keraguan yang 
menggundahkan hati. Ranum Sani tak sadar 
dan segera meraih tangan Soka, lalu 
menempelkan di dadanya.
"Ambillah, jangan takut!"
Soka semakin sesak napas. "Tadi dia 
tak berani, sekarang dia sangat berani. 
Apakah semua wanita selalu begitu?" 
pikir Soka saat belum berani lakukan 
apa-apa. Tapi karena tangannya ditekan 
masuk oleh tangan Ranum Sani hingga 
menyelusup di balik penutup dada itu, 
maka tangan Soka pun mulai rasakan 
kehangatan yang begitu cepat mengalir ke 
seluruh tubuh. Tangan itu pun secara 
naluriah bergerak pelan-pelan dan 
membuat jantung berdetak sangat cepat.
"Oouuh...! Ssshh, aahhh...!" Ranum 
Sani mulai mendesah dengan mata


terbeliak. Wajahnya maju sedikit, 
dagunya terangkat, bibirnya merekah, dan 
naluri pemuda itu mengatakan bahwa bibir 
sedikit tebal tapi indah itu minta 
dikecup seperti tadi. Maka, Soka pun 
menempelkan bibirnya ke bibir Ranum 
Sani, kemudian bibir itu dilumatnya. 
Kejap berikutnya ganti bibir Soka yang 
dilumat dengan ganas dan melambungkan 
jiwa. Karena pada saat itu tangan Ranum 
Sani pun tak tinggal diam. Tangan itu 
menyelusup dan menemukan apa yang 
diharapkan oleh puncak cumbuan itu.
"Ahhh..!" perempuan itu hamburkan 
napas melalui mulut la mulai merebah dan 
membentang pasrah. Tapi Soka hanya 
menciumi wajah dan mengecup-ngecup bibir 
Ranum Sani. Hal itu membuat Ranum Sani 
berkesimpulan bahwa Soka belum paham 
betul jurus-jurus kemesraan yang 
seharusnya dilakukan.
"Ambillah ini... Ambil dan pagutlah 
pelan-pelan...!" sambil ia menyodorkan 
dadanya dan menarik kepala Soka agar 
mendekati sepasang gumpalan daging yang 
menggunung itu. Soka pun segera 
menyambar ujungnya dan memagut 
pelan-pelan.
"Oouh, yaaah... nikmat sekali. 
Terus... jangan berhenti... uuuh, 
terus....." Ranum Sani mulai berceloteh 
disela desah napas dan erangan 
kenikmatan. Secara tak sengaja ia telah 
menjadi pemandu kemesraan bagi Soka

Pura, karena tanpa dipandu Soka Pura 
masih terlalu kaku memainkan irama 
keindahannya.
"Rupanya ia masih perjaka," pikir 
Ranum Sani dengan hati kian 
berdebar-debar.
"Biarlah sekarang sampai di sini 
dulu. Nanti di kuil akan kuhabisi. Aku 
akan bermalam di sini dan membawanya ke 
kuil esok pagi saja!" pikir Ranum Sani 
saat mereka mulai mengantuk.
Esoknya pemuda itu tertegun, diam 
tak berkata, hanyut dalam lamunan. Ranum 
Sani menertawakan tanpa suara, lalu
mencubit hidung Soka sambil menyapa 
genit.
"Kenapa melamun?! Apakah kau kecewa 
karena belum menikmati kebahagiaan 
sejati?"
"Tidak, Ratih. Aku tidak kecewa." 
"Lalu, mengapa kau melamun? Apa yang 
kau lamunkan?"
"Seharusnya aku tidak ada di sini 
Seharusnya kau bersama Raka pergi ke 
suatu tempat."
Ranum Sani tersentak kaget, namun 
buru-buru menutupi kekagetannya itu 
dengan tawa yang berhamburan. Seakan ia 
menertawakan ucapan Soka yang 
dilontarkan seperti orang menggumam itu.
"Mengapa kau tertawa?"
"Kau mengigau! Apakah kau tak tahu 
jalan menuju Gua Mulut Naga?!"

"Aku memang tidak tahu. Apakah kau 
mengetahuinya, Ratih?!" |
Ranum Sani cekikikan lagi. Tapi 
hatinya membatin, "Siapa pemuda ini 
sebenarnya? Tadi ia mengaku bernama 
Soka, tapi mengapa ia mencari Gua Mulut 
Naga? Oh, gawat juga! Apakah dia juga 
ingin dapatkan Bunga Pucuk Darsi, 
seperti yang diharapkan sang ketua 
itu?!"
Sesaat setelah habiskan tawa yang 
dipaksakan itu, Ranum Sani pun memandang 
Soka yang sejak tadi menatapnya dengan 
dahi berkerut dan merasa aneh karena 
kata-katanya ditertawakan.
"Kurasa kau hanya berpura-pura tak 
tahu apa yang dimaksud Gua Mulut Naga 
itu."
"Aku memang tak tahu."
"Kau ingin tahu apa yang dimaksud 
Gua Mulut Naga?"
"Tentu. Jelaskan, Ratih." 
Sambil tertawa kecil, Ranum Sani 
meraih tangan Soka dan meletakkannya ke 
'mahkota'-nya sendiri.
"Gua Mulut Naga itu ini!"
"Apa...?!" Soka terbelalak kaget.
"Ini mulutnya, dan... ini naganya!" 
tangan itu dipindahkan Ranum Sani ke 
pangkal paha Soka sendiri. Perempuan itu 
hamburkan tawa, sementara Soka menjadi 
terbengong melompong.

"Benarkah Gua Mulut Naga itu... ada 
di setiap perempuan?" tanya Soka dalam 
hatinya.
Esok paginya, mereka terbangun 
karena mendengar suara ledakan cukup 
keras. Bahkan gua tempat bermalam mereka 
mengalami guncangan yang mencemaskan. 
Untuk mengetahui apa penyebab ledakan 
itu, mereka pun bergegas keluar dengan 
keadaan telah berpakaian lengkap.
Ternyata pertarungan di ujung pagi 
itu dilakukan oleh Nini Sawandupa dengan 
seorang wanita berambut panjang sebahu, 
mengenakan rompi cekak warna putih perak 
dan celananya juga berwarna perak. 
Perempuan itu berbadan tinggi, sekal, 
montok, dan berkulit kuning langsat. 
Sebilah pedang bergagang dan bersarung 
perak terselip di pinggangnya.
Pada saat Ranum Sani dan Soka Pura 
tiba di tempat tersebut, mereka melihat 
Nini Sawandupa sedang terlempar ke 
belakang dan terbanting dengan kerasnya, 
sedangkan perempuan berompi perak yang 
usianya sekitar empat puluh dua tahun itu 
hanya terhuyung-huyung ke belakang. 
Rupanya mereka baru saja mengadu 
kekuatan tenaga dalam hingga timbulkan 
suara ledakan yang ketiga kalinya.
Ranum Sani terperanjat meiihat 
perempuan yang menggenggam bumbung bambu 
kecil dengan ukuran sebesar tongkat dan 
panjangnya sekitar dua jengkal itu. la

tak sadar menyebutkan nama perempuan 
berpakaian putih perak itu. 
"Walet Perak...?!"
Soka Pura segera bertanya, "Walet 
Perak itu siapa?!"
"Sahabatku!" jawab Ranum Sani.
"Benarkah dia sahabatmu? Mengapa 
dia menyerang nenekmu?" tanya Soka Pura 
karena ia masih beranggapan bahwa Ranum 
Sani adalah wujud asli dari Ratih 
Selayang.
Mendengar pertanyaan itu, Ranum 
Sani segera gugup. ia tak sempat 
menjelaskan bahwa Walet Perak adalah 
pelarian dari Pesisir Kulon, bekas 
orangnya Ratu Cumbu Laras yang bergabung 
dengan pihak Kuil Darah Perawan. (Baca 
serial Pendekar Kembar dalam episode: 
Dendam Asmara Liar"). Karena tiba-tiba 
Ranum Sani melihat Walet Perak terdesak 
oleh serangan Nini Sawandupa yang 
membahayakan, maka Ranum Sani pun 
lepaskan pukulan jarak jauhnya ke 
punggung Nini Sawandupa. 
Claap...! 
Sinar kuning itu meluncur cepat ke 
arah sang nenek.
Namun agaknya kewaspadaan sang 
nenek cukup tajam. Saat ia ingin lepaskan 
pukulan lagi ke arah Walet Perak sambil 
lakukan lompatan ke samping. ekor 
matanya melihat sinar kuning mende-
katinya. Langsung saja pukulan itu

dilepaskan ke arah datangnya sinar 
kuning tersebut. 
Claap...! 
Cahaya merah berbentuk seperti mata 
tombak itu melesat dari tangan Nini 
Sawandupa dan bertabrakan dengan sinar 
kuning tersebut.
Blegarrr...!
Nini Sawandupa terlempar kembali 
dan membentur sebatang pohon dengan 
keras. Sementara itu, Soka Pura 
terperanjat melihat Ranum Sani menyerang 
Nini Sawandupa.
"Kenapa kau serang sendiri 
nenekmu?!" sentak Soka Pura.
Melihat lawannya terlempar jatuh, 
Walet Perak segera menatap Ranum Sani, 
maka pertanyaan Soka tidak terjawab, 
karena suara Walet Perak segera 
terdengar berseru kepada Ranum Sani.
"Ranum Sani, halangi dia, Peta 
wasiat sudah kudapatkan! Akan kuserahkan 
kepada sang ketua!"
Ranum Sani pun tinggalkan Soka dan 
segera menyerang Nini Sawandupa. Hal itu 
membuat Saka Pura mulai sadar bahwa ia 
telah tertipu mentah-mentah oleh 
pengakuan Ranum Sani tadi. Kini ia tahu 
bahwa Ranum Sani bukan Ratih Selayang, 
terbukti ikut menyerang Nini Sawandupa 
dan memihak si Walet Perak. Entah di 
pihak mana mereka, yang jelas Soka tahu 
bahwa Ranum Sani adalah musuh Nini 
Sawandupa juga.

Maka ketika Ranum Sani mencabut 
pedangnya dan ingin menebaskan ke pundak 
Nini Sawandupa, tangan Soka Pura segera 
menyentak ke depan dalam keadaan kelima 
jarinya mekar dan telapak tangannya 
telungkup. 
Claap, weees...!
Seberkas cahaya putih seperti pisau 
runcing melesat dari telapak tangan Soka 
Pura. Jurus 'Cakar Matahari' yang 
meluncurkan sinar putih seperti pisau 
runcing itu tepat kenai lambung Ranum 
Sani. 
Cuurrb...!
"Aaaahhk...!"
Jurus Cakar Matahari' tak 
menimbulkan ledakan yang menggelegar. 
Tetapi begitu sinar putih mirip pisau 
runcing itu menghujam masuk ke lambung 
Ranum Sani, perempuan itu langsung jatuh 
tersung-kur bagai kehilangan tenaga 
secara tiba-tiba.
Brruk...! 
Sedangkan sinar putih mirip pisau 
itu ternyata menembus keluar dari tubuh 
Ranum Sani dan melesat cepat langsung 
kenai perut si Walet Perak. Kejadian itu 
sangat tak diduga-duga oleh Walet Perak 
maupun Soka Pura sendiri. Soka hanya 
ingin mematahkan serangan Ranum Sani 
tanpa mengarah kepada Walet Perak.
Currb...! 
Walet Perak segera memekik 
tertahan,

"Aaahk...!" tubuhnya melengkung ke 
belakang, dan segera tumbang tanpa mampu 
bertahan lagi. Bambu kecil warna hitam 
itu terlempar dari genggaman si Walet 
Perak.
Nini Sawandupa yang bergegas 
tegakkan kepaia memandangi lawannya juga 
ikut terkejut melihat kehadiran Ranum 
Sani yang sudah dikenalnya, dan 
tersentak kaget melihat si pemuda 
berpakaian serba putih berwajah tampan 
itu. Tapi sang nenek berjubah kuning itu 
tambah kaget lagi setelah melihat Ranum 
Sani dan Walet Perak terkapar tanpa 
bernapas lagi. Tubuh mereka hangus dan 
menjadi arang pada bagian sekitar luka 
yang terkena sinar putih tadi. Bahkan 
pakaian mereka di sekitar luka tanpa 
darah itu pun ikut terbakar hangus hanya 
di bagian sekitar luka. Kedua tubuh itu 
menjadi tak berdarah, kering bagaikan 
kayu bakar, sementara kehangusan itu 
berwarna hitam dan seperti arang. Tentu 
saja mereka tak bernyawa lagi.
Nini Sawandupa kerahkan sisa 
tenaganya dan melesat untuk menyambar 
bambu sepanjang dua jengkal tersebut. 
Agaknya bambu itu hanya satu ruas dan 
dipakai sebagai tempat menyimpan sesuatu 
di bagian dalamnya.
Soka Pura segera dekati Nini 
Sawandupa. la ingin menyapa dan 
memperkenalkan diri, lalu ingin pula 
menceritakan perkenalannya dengan Ratih

Selayang. Tapi tiba-tiba sang nenek 
sudah lebih dahulu hamburkan omelan 
kepadanya.
"Dasar bandel! Kubilang lukamu 
belum sembuh betul dan kau harus 
beristirahat sampai nantl siang! Mengapa 
kau justru menyusulku?! Kau sangka aku 
tak sanggup menangkap pencuri peta 
wasiat ini?!"
Soka Pura jadi bingung dan 
terbengong-bengong. Lalu ia segera 
berkata, "Maaf, Nek... kita belum saling 
kenal. mengapa kau sudah memarahiku?!"
"Apa...?! Kau biiang kita belum 
saling meng-nal?! Kau pikir mata tuaku 
telah rabun?! Kembali ke pondok dan 
istirahat sampai nanti siang!" sentak 
sang nenek sambil serukan perihtah yang 
tidak berkesan permusuhan. Rupanya Nini 
Sawandupa menyangka pemuda itu adalah 
Raka Pura yang harus beristirahat sampai 
nanti slang setelah semalam lakukan 
pengobatan untuk lukanya.
Maaf, aku bukan Raka, Nek! Aku Soka, 
adiknya!"
"Hahh...?!" sang nenek pun 
terperangah kaget. la segera ingat 
cerita Raka tentang sang adik dan 
pertengkaran Ratih Selayang dengan Raka 
Pura tadi malam.
Rupanya setelah Ratih Selayang 
gagal mencari neneknya, ia kembali ke 
rumahnya yang telah berantakan bagian 
dalamnya itu. Ia bertemu dengan sang

nenek yang sedang membaringkan Raka Pura 
di atas pembaringan. Dengan menahan luka 
beracun yang makin melemahkan tenaganya 
itu, Ratih Selayang segera menghamburkan 
pelukannya ke tubuh Raka Pura yang 
disangka Soka Pura itu.
"Soka...?! Oh, syukurlah kau 
tertolong oleh nenekku! Jika tidak, maka 
kau akan menjadi santapan orang-orang 
Kuil Darah Perawan, Soka...?! Soka, 
bicaralah!"
Pada waktu itu, Nini Sawandupa baru 
bisa membuat Raka sadar dan bisa bicara, 
tapi belum bisa menggerakkan anggota 
tubuhnya. Melihat Ratih Selayang memeluk 
dengan tangis, Raka Pura menjadi 
kebingungan dan segera berkata pelan.
"Aku bukan Soka. Aku adalah Raka!"
"Bohong! Kau adalah Soka, aku tak 
mungkin lupa dengan wajahmu!"
"Aku kakaknya Soka!"
Perdebatah itu sempat terjadi 
beberapa saat dan Ratih Selayang tetap 
tak percaya bahwa pemuda itu adalah 
saudara kembar Soka Pura. Bahkan sampai 
saat sang nenek selesai mengobati luka 
beracunnya, Ratih Selayang masih tetap 
beranggapan bahwa pemuda itu adalah Soka 
Pura. Walau Raka mengaku mempunyai 
saudara kembar yang sangat mirip 
dengannya, Ratih Selayang tetap tak mau 
percaya, karena menurut gadis itu tak ada 
beda sedikit pun yang ditemuinya pada 
Raka. Jadi ia tetap menganggap pemuda itu

adalah Soka. Penjelasan sang nenek pun 
tidak membuat pendiriannya berubah, 
sampai akhirnya sang nenek jengkel 
sendiri.
"Terserah kau sajalah! Mau kau 
anggap Soka atau Raka, aku tak mau 
pusing-pusing lagi!"
Meski luka di bawah pundaknya belum 
sembuh, tapi Ratih Selayang tetap 
membantu neneknya mengobati pemuda 
tampan itu. Bahkan semalaman ia tak tidur 
demi menjaga pemuda itu sambil lakukan 
perawatan kecil-kecilan.
Pada waktu matahari mulai muncul, 
Nini Sawandupa terbangun dari tidurnya 
karena tiba-tiba hatinya berdebar-debar 
dan menjadi cemas sekali. Ada sesuatu 
yang membuatnya makin lama semakin 
cemas, akhirnya ia pun keluar dan menuju 
ke belakang rumah. Cahaya matahari yang 
telah menerangi bumi secara samar-samar 
itu menampakkan gerakan Nini Sawandupa 
yang melesat ke atas pohon dalam satu 
sentakan kaki ke tanah. 
Wuuut...!
Ternyata Nini Sawandupa mengambil 
sesuatu dari dahan besar yang berlubang. 
Ternyata yang diambilnya adalah bambu 
hitam satu ruas. Bambu hitam itulah yang 
dicemaskannya, karena bambu itu berisi 
gulungan peta wasiat peninggalan 
gurunya. Nini Sawandupa merasa lega 
melihat gulungan peta itu masih ada di 
dalam bumbung bambu Itu dengan aman. la

sempat mengeluarkan dan memeriksa 
gulungan lontar tersebut.
Ternyata rumah itu sudah diintai 
oleh seseorang sejak tengah malam. Orang 
tersebut tidak lain adalah si Walet 
Perak. Perempuan itu melihat Nini 
Sawandupa keluarkan gulungan lontar dari 
dalam bambu sepanjang dua jengkal. la 
langsung menduga bahwa gulungan lontar 
itulah peta wasiat yang dicarinya.
Maka dengan satu kekuatan tenaga 
dalam penyedot, peta yang sudah 
dimasukkan kembali ke dalam bambu dan 
bambu itu sudah dalam keadaan tertutup 
lagi, siap untuk disimpan di tempatnya 
semula, tiba-tiba terlepas dari tangan 
Nini Sawandupa. 
Wuuutt...! 
Bambu itu melayang sendiri dan 
tertangkap di tangan Walet Perak.
"Keparat kau! Kembalikan benda 
itu!" teriak Nini Sawandupa, tapi 
teriakan itu tak dihiraukan. Walet Perak 
segera melarikan diri dan Nini Sawandupa 
segera mengejarnya, sehingga terjadilah 
pertarungan di lereng bukit tak jauh dari 
gua tempat Soka dan Ranum Sani bermalam.
Kini ketika Nini Sawandupa membawa 
pulang Soka, Ratih Selayang menjadi 
terkejut bukan kepalang. la sedang 
menyeka wajah Raka Pura dengan air hangat 
dengan penuh kesetiaan. Begitu Soka 
muncul, gerakan itu terhenti dan sempat 
dilanjutkan.

"Raka...?!" sapa sang adik dengan 
cemas melihat keadaan kakaknya. 
Kemudian, Soka pun sembuhkan luka sang 
kakak dan kembalikan kekuatan Raka Pura 
dengan menggunakan jurus pengobatan yang 
dinamakan jurus Sambung Nyawa' itu.
"Pantas pemuda ini dingin 
terhadapku, ternyata dia memang 
benar-benar bukan Soka Pura?! Aiih... 
malu sekali aku kalau begini!" gumam hati 
Ratih Selayang sambil berdiri menyudut 
ketika si kembar itu berunding dengan 
neneknya.
Raka dan Soka akhirnya jeiaskan 
tujuan mereka sebenarnya, dan ceritakan 
tentang tugas mengambil pusaka di dalam 
Gua Mulut Naga. Karena guru-nya Nini 
Sawandupa adalah sahabat baik mendiang 
Eyang Guru Dewa Kencan, akhirnya nenek 
berjubah kuning itu serahkan peta 
tersebut kepada murid kembar si Dewa 
Kencan.
"Jika benar ada pusaka di dalam gua 
itu, pergilah ke sana dan ambil pusaka 
itu sebelum didahului oleh orang lain. 
Aku rela jika kalian yang datang ke sana 
dengan bantuan peta wasiat ini!" kata 
Nini Sawandupa dengan tegas, tanpa ragu 
sedikit pun.
"Apakah si Hantu Muka Tembok, Peri 
Kenanga atau yang lainnya juga 
menghendaki pusaka tersebut, Nini?" 
tanya Raka.

"Mereka tidak tahu," jawab Nini 
Sawandupa dengan suara petan. "Mereka 
hanya ingin memetik Bunga Pucuk Dara yang 
akan membuat lawan jenis pemilik bunga 
itu akan tunduk dan bertekuk lutut tanpa 
syarat lagi. Pemilik Bunga Pucuk Dara 
akan menjadi penguasa yang ditakuti tapi 
juga dicintai bagi lawan jenisnya. Bunga 
itulah yang diincar oleh mereka!"
Raka dan Soka manggut-manggut 
dengan hati lega. Dan siang harinya, 
mereka pun segera pamit untuk berangkat 
menuju Gua Mulut Naga dengan bantuan peta 
tersebut.
"Aku ikut!" tegas Ratih Selayang.
"Tidak, Ratih!" sahut neneknya. 
"Ini urusan perguruan mereka. Kita hanya 
bisa doakan supaya mereka berhasil 
dapatkan pusaka Pedang Tangan Malaikat. 
Sebab seingatku, mendiang eyang gurumu 
pernah berkata, siapa yang memiliki 
Pedang Tangan Malaikat dia berhak 
menyandang gelar pendekar, karena pusaka
itu memang sebenarnya milik sepasang 
pendekar yang hidup di masa sekitar dua 
ratus tahun yang lalu."
Ratih Selayang kecewa, namun tak 
berani menentang keputusan sang nenek. 
Hanya saja, hati gadis itu menjadi 
sedikit terhibur setelah Soka Pura 
berjanji akan mengunjunginya kembali 
jika pusaka itu telah diperolehnya.
Pemuda kembar itu akhirnya 
berangkat menuju Gua Mulut Naga.

Tetapi berhasilkah mereka dapatkan 
Pedang Tangan Malaikat jika banyak pihak 
yang ingin sampai lebih dulu di gua 
tersebut? Mereka adalah para tokoh 
berilmu tinggi seperti Peri Kenanga dan 
Hantu Muka Tembok?


                                SELESAI


Ikuti Kelanjutannya dalam :

“GUA MULUT NAGA”

https://matjenuhkhairil.blogspot.com


Share:

0 comments:

Posting Komentar