Cerita ini adalah fiktif
Persamaan nama, tempat dan ide hanya ke-
betulan belaka.
RAHASIA
PEDANG BERDARAH
Oleh: D. AFFANDY
Diterbitkan oleh: Mutiara, Jakarta
Cetakan Pertama: 1995
Sampul: BUCE
Setting Oleh: Sinar Repro
Hak penerbitan ada pada penerbit Mutiara
Dilarang mengutip, mereproduksi
dalam bentuk apapun tanpa ijin
tertulis dari penerbit.
D. Affandy
Serial Pendekar Blo'on
Dalam episode Rahasia Pedang Berdarah
SATU
Suro memeriksa denyut jantung gadis di de-
pannya. Ternyata sangat lemah sekali. Di perhatikan-
nya wajah Gadis yang pucat, ada darah yang masih
menetes di sela-sela bibirnya yang terbuka. Maling Je-
naka jelas terluka dalam cukup parah. Pukulan sayap
Elang Perak pada bagian punggung Gadis memang ti-
dak ringan. Masih beruntung ia memiliki tenaga dalam
yang tinggi. Kalau tidak ia pasti sudah menemui ajal-
nya. Pemuda baju biru garuk-garuk kepala lagi, tubuh
Maling Jenaka memang sangat dingin sekali.
"Pakaiannya sangat basah. Aku harus menya-
lurkan tenaga dalamku padanya. Sebaiknya kucopot
saja bajunya, tapi...!" Pendekar Blo'on ragu. "Tidak
pantas rasanya aku melihat auratnya. Jika orang lain
sempat melihat perbuatanku hanya akan menimbul-
kan fitnah!"
Sebaliknya jika tidak cepat di tolong, tentu Mal-
ing Cerdik bisa mati kedinginan. Suro akhirnya menja-
di nekad, ia segera berkonsentrasi untuk menghilang-
kan fikiran yang berbau sahwat dalam dirinya. Setelah
itu kancing baju Gadis itu dibukanya satu-persatu.
Terlihatlah kulit yang halus mulus, dada yang mem-
bukit, putih tegak menantang.
Pemuda ini pejamkan matanya, kemudian tela-
pak tangan di tempelkan persis, di pertengahan dada
Gadis yang penuh daya pesona tersebut.
Tidak lama ada hawa hangat mengalir lewat je-
mari tangan Suro Blondo. Tubuh pemuda itu menggi-
gil, sebaliknya badan Gadis menggeletar, nafasnya ter-
sengal-sengal. Maling Jenaka merintih, tapi matanya
masih terpejam. Suro cepat angkat tangannya. Setelah
itu ia bermaksud mengancingkan pakaian Gadis, cela-
ka! Maling Cerdik sudah terjaga. Melihat sebagian tu-
buhnya dalam keadaan telanjang dan Suro kelihatan-
nya yang telah menelanjanginya. Maka ditendangnya
pemuda itu tanpa bicara.
Suro yang telah kehilangan banyak tenaga
langsung terguling-guling. Gadis dengan terhuyung-
huyung langsung memburunya, rupanya ia dalam
keadaan kalap itu lupa bahwa pakaiannya dalam kea-
daan terbuka.
Wuus!
Tendangan Maling Jenaka luput karena Suro
sudah melompat menjauh sambil menunjuk-nunjuk ke
dadanya.
"Kau... mengamuk boleh-boleh saja, tapi rapi-
kan dulu pakaianmu!" teriak Suro.
Merah padam wajah si gadis, ia cepat memba-
likkan tubuhnya, setelah merapikan pakaiannya ia
kembali menyerang Pendekar Blo'on. Suro kalang ka-
but dan terus main mundur sambil memperingatkan.
"Jangan serang, kau masih terluka. Kau salah
paham!"
"Aku harus mencungkil matamu, pemuda mata
keranjang. Kau pergunakan kesempatan selagi aku ti-
dak sadarkan diri!" dengus Gadis.
Maling Jenaka rupanya merasa dipermalukan
oleh pemuda berambut hitam kemerahan ini, sehingga
sama sekali ia tidak menghiraukan peringatan Suro.
Tidak lama ia jatuh terduduk, dadanya sesak bukan
main. Gadis pegangi dadanya, nafasnya tersendat-
sendat memburu. Antara marah bercampur sakit. Ia
tetap bertahan agar jangan sampai tidak sadarkan diri,
agar pemuda sinting itu tidak lagi buka bajunya atau
malah menelanjangi dirinya. Begitu sangkanya.
Suro yang merasa tidak tega langsung meng-
hampiri. Gadis mendelik namun tidak berbuat apa-
apa, karena ia merasa yakin setiap gerakan apapun
yang dilakukannya hanya membuat lukanya semakin
bertambah parah.
"Sudah kukatakan jangan kau bergerak! Kau
terluka, hampir mati malah. Jika aku tidak kerahkan
tenaga dalamku ke tubuhmu, aku tidak bisa bayang-
kan bagaimana nasibmu!"
"Aku tahu, tapi mengapa harus membuka ba-
juku? Kau melihat apa yang tidak pantas kau ketahui!"
dengus Gadis masih dalam keadaan marah.
"Bagaimana aku bisa melihatnya, sedangkan
mataku kututup, kok! Kalau kau sendiri mau melihat
dadaku silakan!" kata Suro. Gadis cemberut. "Siapa
sudi?"
"Kalau begitu ya sudah." kata Suro. Lalu ia
mengambil dua buah obat berupa butiran bulat, satu
berwarna merah darah dan yang satunya lagi berwarna
hitam. "Kau makanlah ini, mudah-mudahan Gusti Al-
lah memberikan kesembuhan padamu!"
Maling Jenaka terpaksa menuruti perintah mu-
rid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Beram-
but Api ini, walau pun di hatinya ada sedikit rasa curi-
ga.
Suro memutar arah, sekarang berada di bela-
kang punggung Gadis. Setelah memberi aba-aba su-
paya Maling Jenaka tidak melakukan gerakan apapun.
Maka pemuda itu langsung menempelkan telapak tan-
gannya ke bagian tubuh si gadis.
Hawa panas kemudian menjalari sekujur tubuh
Maling Jenaka. Ia muntahkan darah kental. Sekujur
badannya sempat menggigil. Suro mandi keringat, wa-
jahnya sebentar berubah memerah, sebentar tampak
memucat.
Tidak lama kemudian Pendekar Mandau Jantan
sudah menarik tangannya kembali.
Ia langsung bersila untuk memulihkan tenaga.
Gadis kini merasa sakit di dadanya sudah jauh berku-
rang. Diam-diam ia merasa kagum juga setelah melihat
kenyataan bahwa Pendekar bertampang konyol itu ter-
nyata mempunyai tenaga dalam yang sangat sempurna
sekali.
Suro buka matanya. "Bagaimana keadaanmu?"
tanya si pemuda sambil garuk-garuk kepala.
"Agak lumayan!" sahut si gadis manja tetap
cemberut.
Pendekar Blo'on bangkit berdiri. Setelah itu ia
berkata. "Aku harus menjumpai Pangeran Demak Pati
dan gurumu. Setelah itu aku ingin menjumpai El
Maut. Kurasa Dewa Kubu tidak bisa di anggap main-
main! Sedangkan kau sendiri terserah, mau ikut aku
atau tidak itu urusanmu!"
"Huh, siapa mau ikut kau. Lama-lama aku bisa
gila, kau manusia sinting yang usil. Pemuda kurang
ajar dan lancang lagi!" dengus Gadis. Suro geleng-
gelengkan kepala,
Tanpa menanggapi ucapan Maling Jenaka pe-
muda tampan berwajah ketolol-tololan itu melangkah
pergi. Ia berlari kencang menuju ke bukit Sembuang.
Di kejauhan Gadis masih sempat mendengar nyanyian
Suro yang tidak karu-karuan ujung pangkalnya. Hing-
ga suara itu akhirnya lenyap terbawa angin.
"Pemuda sinting! Tapi... akh, mengapa aku jadi
memikirkannya?!" Gadis menggerutu. Tanpa di sadari
wajahnya berubah merah jengah. Maling Jenaka ke-
mudian juga meninggalkan tepian telaga. Di kala itu
matahari sudah semakin condong di ufuk barat.
***
Kakek Rambut Merah dan puteri Saba mema-
suki gua di puncak bukit Sembuang. Di dalam gua su-
asana masih tetap tidak berubah, ada beberapa sosok
mayat yang mati dalam keadaan tergantung, mayat itu
semakin mengering seperti terjemur. padahal suasana
di dalam gua itu terasa lembab.
Puteri almarhum raja Jasa Raga ini ketakutan
rupanya, sehingga ia tidak berani jauh-jauh dari si ka-
kek yang memanggul tubuh El Maut. Seperti sama kita
ketahui, El Maut terluka parah setelah bentrok dengan
Dewa Kubu (Dalam Episode Api di bukit Sembuang).
"Aku tahu ada sebuah ruangan rahasia di
ujung gua ini!" berkata kakek rambut merah yang ti-
dak lain adalah Malaikat Berambut Api. "Untuk sampai
ke sana tidak mudah. Banyak jebakan yang telah di
buat oleh El Maut. Kau harus mengikuti setiap lang-
kahku, jangan sampai keliru jika tidak ingin celaka!"
pesan si kakek.
Puteri Saba mengangguk. Ia mengikuti kakek
Dewana, setiap lantai gua yang retak-retak di injak
oleh si kakek, maka di situ pula kaki sang putri mena-
pak.
Mereka sampai di ujung gua yang semakin me-
nyempit. Malaikat Berambut Api mencari-cari. Ia sege-
ra menemukan alat rahasia yang berada di sebelah ki-
ri. Alat itu di putar-putarnya, lalu terdengar suara ber-
gemuruh.
Batu di depan mereka bergeser. Maka terlihat-
lah sebuah ruangan lain yang serba indah. Ada sebuah
ranjang di ruangan itu, kakek Dewana sempat terpu-
kau melihat ruangan yang dihias seperti kamar pen-
gantin ini. Hatinya gelisah dan merasa tidak enak. El
Maut yang berada di atas bahunya segera diturunkan.
Setelah posisinya dalam keadaan menelungkup, Ma-
laikat Berambut Api segera berdiri. Dua telapak tangan
di arahkannya ke punggung El Maut. Dari jarak dua
tombak ia mengerahkan tenaga sakti untuk memus-
nahkan racun yang mengeram di tubuh si nenek. Cara
penyembuhan seperti ini memang jarang terjadi di
rimba persilatan. Bahkan tokoh-tokoh yang dapat me-
lakukannya bisa dihitung dengan jari.
Semakin tinggi si kakek mengerahkan tenaga
dalamnya, maka rambut orang tua ini yang berwarna
merah tampak seperti menyala. Puteri Saba satu-
satunya orang yang menyaksikan kejadian ini tampak
kaget di samping merasa takjub juga.
Tubuh El Maut tampak bergetar, terkadang te-
rangkat dan terbanting di lantai gua. Kemudian ter-
dengar suara erangan si nenek. Namun masih belum
menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Barulah Malai-
kat Berambut Api menempelkan telapak tangannya di
atas ubun-ubun. Lagi-lagi si kakek mengerahkan tena-
ga dalam. Hari ini Malaikat Berambut Api benar-benar
harus menguras tenaga untuk memusnahkan racun
yang mengendap di tubuh El Maut. Entah rahasia apa
yang terjadi antara mereka, sehingga Malaikat Beram-
but Api tampaknya sangat mengkhawatirkan kesela-
matan nenek berwajah rusak seperti tercakar harimau
ini.
Setelah hampir satu jam kakek Dewana beru-
saha keras menyembuhkan El Maut. Hasilnya segera
terlihat. Dari hidung dan mulut nenek itu keluar darah
berwarna hitam pekat dan menebar bau busuk. Pe-
rempuan renta itu membalikkan tubuhnya, matanya
yang merah sayu berkedip-kedip. Ia seperti heran melihat keadaannya sendiri.
Mula-mula yang terlihat olehnya adalah puteri
Saba. Ketika ia memandang ke depan. Kening El Maut
berkerenyit, terlihat ada kemarahan sekaligus keben-
cian disana.
"Kau...!" desisnya.
"Sabarlah Gayatri. Masa yang lalu biarkanlah
berlalu, lembaran hitam itu merupakan bagian hidup
yang harus di kubur. Jangan kau ingat, karena hal itu
hanya menyakitkan hati saja!" Lirih suara kakek De-
wana. Wajahnya tertunduk dalam. Ia jadi teringat pe-
ristiwa lima puluh tahun yang silam. Peristiwa itu me-
mang memalukan untuk dikenang, tapi itu bukan cu-
ma kesalahannya saja. Gayatri di masa mudanya ada-
lah seorang gadis cantik, ia masih terhitung adik se-
perguruan Malaikat Berambut Api. Guru mereka tokoh
misterius yang bergelar Si Bayang-Bayang. Selain me-
reka berdua masih ada saudara seperguruan paling
tua, dia adalah Angku Muda Pasak Langit berjuluk
Singa Gunung.
Di kala itu Dewana yang lebih tampan dari
Angku Muda Pasak Langit memang lebih dekat dengan
Gayatri. Mereka sangat akrab tidak ubahnya seperti
bersaudara kandung. Dewana sendiri memang selalu
berperasaan begitu, namun lain rupanya dengan Gaya-
tri. Gadis ini ternyata menyimpan benih-benih cinta
dan harapan pada Dewana. Ia bahkan menganggap
keakraban Dewana adalah sebuah tanda bahwa sebe-
narnya kakang seperguruannya itu mencintai dirinya
pula. Bukan cinta antara saudara seperguruan dengan
adik seperguruan. Melainkan cinta seorang pemuda
dengan seorang gadis. Di samping itu pula di luar se-
pengetahuan mereka berdua, ternyata saudara tua se-
perguruan mereka yaitu Singa Gunung diam-diam
mencintai Gayatri sejak lama. Namun betapa besar
pun hasrat cintanya pada Gayatri yang cantik, men-
gingat dirinya berwajah jelek, Angku Muda Pasak Lan-
git tidak berani berterus terang menyatakan cintanya
pada Gayatri. Untuk di ketahui selain berwajah jelek.
Angku Muda Pasak Langit juga mempunyai watak dan
perangai yang sangat buruk sekali. Ia bahkan pemuda
mata keranjang yang gemar mempermainkan perem-
puan.
Tentu perbuatannya ini tidak diketahui oleh
gurunya, karena Angku Muda Pasak Langit melakukan
semua itu di luar lingkungan perguruan.
Demikianlah benih-benih cinta antara Gayatri
pada Dewana terus tumbuh dengan suburnya. Seba-
liknya cinta antara Singa Gunung pada Gayatri demi-
kian pula. Terkadang di luar sepengetahuan Dewana
dan Gayatri, Angku Muda selalu mengintai apa yang
dilakukan oleh Dewana dengan gadis yang di cintai
oleh Singa Gunung. Rasa cemburu semakin besar, ia
ingin memfitnah Dewana agar kedua orang ini dapat
dipisahkan. Namun tindak tanduk Dewana tidak satu
pun yang menyimpang dari kebenaran. Malah sikap-
nya sangat melindungi, tidak bedanya seperti antara
kakak dengan adik kandungnya sendiri.
Dengan begitu tahulah Angku Muda Pasak
Langit bahwa Dewana adik seperguruannya itu tidak
mencinta Gayatri sebagaimana sepasang kekasih. Sua-
tu saat ia pun nekad menjumpai Dewana. Beginilah
pembicaraan yang terjadi di waktu itu.
"Kakang Angku. Sama sekali aku tidak pernah
jatuh cinta pada adik Gayatri. Rasa sayang, rasa cinta,
keakrabanku selama ini padanya tidak lebih karena
aku telah menganggapnya sebagai seorang adik. Kalau
kakang suka padanya, memperistri seorang adik se-
perguruan tidaklah salah. Sebaiknya kakang berterus
terang pada orang yang kakang cintai. Tapi ingat jan-
gan terlalu memaksakan kehendak. Jika adik Gayatri
ternyata tidak mau, kakang jangan menyakitinya.
Seandainya dia setuju, aku yang akan membicarakan
hal ini pada guru!" janji Dewana.
"Tapi guru kita sekarang tidak mau diganggu,
ia sedang mencipta sebuah pedang ampuh dahsyat
luar biasa. Pedang itu konon pantang dipergunakan
untuk menghilangkan nyawa orang yang tidak bersa-
lah. Sekali hal itu terjadi, maka pedang itu hanya akan
menebarkan bencana!" jelas Angku Muda Pasak Lan-
git.
"Mengenai apa yang diciptakan guru Bayang
Bayang tidak usah dipersoalkan. Sekarang selesaikan
dulu persoalan kakang, jika semuanya berjalan sesuai
dengan apa yang kakang harapkan. Kita dapat me-
nunggu guru selesai dengan pedang itu."
Gembira bukan main hati Angku Muda Pasak
Langit. Pada suatu kesempatan di dalam bulan pur-
nama Singa Gunung menjumpai Gayatri. Saat itu si
gadis sedang menunggu kehadiran Dewana. Melihat
kehadiran saudara tua seperguruannya, gadis ini ter-
kejut juga.
"Sengaja malam ini aku menjumpaimu, semata-
mata karena ingin berterus terang mengenai perasaan-
ku padamu selama ini. Adik Yatri, sesungguhnya aku
mencintaimu. Aku ingin menjadikan kau sebagai iste-
rimu. Jika cintaku kau terima, aku merasa orang yang
paling bahagia di dunia ini. Lalu aku berjanji akan
memperbaiki sifat-sifatku yang buruk padamu!" jelas
Angku Muda berterus terang. Tidak terkatakan betapa
paras Gayatri berubah. Untuk beberapa saat lamanya
ia tidak mampu berkata-kata. Sifat hidung belang sau-
dara tua seperguruannya ini sudah banyak ia ketahui.
Ia sendiri selama ini tidak pernah menaruh perasaan
apa-apa.
Jika ia berterus terang, Gayatri takut saudara
tuanya kecewa dan marah. Jika ia diam, tentu hal ini
juga membuatnya merasa serba salah. Namun mem-
biarkan orang lain berlarut-larut dalam harap bukan-
lah sifatnya, cukup lama juga ia terdiam.
***
DUA
Singa Gunung ternyata tidak sabar juga ketika
melihat Gayatri cuma tertegun. Ia terus mendesak,
hingga gadis itu berterus terang.
"Maaf, kakang. Aku bukan bermaksud menge-
cewakan perasaanmu. Namun terus terang saja aku ti-
dak mencintaimu. Aku sudah punya seseorang yang
nantinya dapat kuharapkan menjadi pendampingku
kelak!"
Kecewa. Tentu saja kecewa, begitulah yang di
alami oleh Angku Muda Pasak Langit.
"Kau pasti mencintai Dewana. Sedangkan adik
Dewana sendiri pernah mengatakan padaku dia tidak
mencintaimu! Jadi kau dan aku sama-sama menanam
harap. Namun harap itu tidak kesampaian juga." kata
Singa Gunung disertai senyum kecut.
Gayatri berusaha menyembunyikan rasa kaget-
nya. Ia mana mau percaya begitu saja mendengar pen-
jelasan Singa Gunung. Sehingga di lain waktu gadis ini
menjumpai Dewana. Jawaban pemuda itu memang
sama seperti apa yang dikatakan oleh Singa Gunung.
Betapa kecewanya hati Gayatri tidak terlu
kiskan. Berbulan-bulan ia mengurung diri di dalam
kamarnya. Sebaliknya lain lagi halnya dengan Angku
Muda Pasak Langit. Sejak ia menerima kenyataan yang
sangat menyakitkan itu tingkahnya semakin menjadi-
jadi. Setiap perempuan yang di jumpainya diperkosa.
Ia gentayangan mencari korban, secara diam-diam di
suatu saat ia membunuh Si Bayang-Bayang dengan
mempergunakan pedang Pemersatu yang baru dicipta-
kan oleh gurunya sendiri.
Pedang itu memang ditinggalkan menancap di
dada Si Bayang-Bayang. Kebetulan Gayatri muncul,
dengan jelas ia tahu siapa yang telah membunuh gu-
runya.
Dalam pada itu Singa Gunung mengajaknya
bertarung. Dalam pertarungan sengit tanpa memper-
gunakan senjata. Singa Gunung berhasil merobohkan
Gayatri.
"Ha ha ha! Rasa cinta menimbulkan kecewa,
aku tidak dapat merebut hatimu, biarkan hari ini ku-
rebut mahkotamu!" teriak Angku Muda Pasak Bumi.
"Kau jahanam! Kau pasti dikutuk oleh Guru!"
geram Gayatri.
"Siapapun boleh mengutukku! Aku tidak ambil
perduli!" Singa Gunung tersenyum mengejek. Ia kemu-
dian melucuti pakaian gadis cantik itu secara paksa.
Sehingga Gayatri dalam keadaan telanjang. Ia tentu ti-
dak dapat berbuat banyak. Karena dirinya dalam kea-
daan tertotok.
Singa Gunung dengan leluasa menciumi bibir si
gadis, dengan bebas pula ia mempermainkan dada si
gadis yang membusung kencang. Lidahnya bahkan
bermain-main di atas dada itu. Gayatri menjerit panik,
hal ini hanya membuat gejolak birahi Singa Gunung
berkobar-kobar.
Laki-laki buruk rupa ini kemudian menindih
gadis yang telah mengecewakannya. Merenggangkan
kedua pahanya yang mulus. Hingga terlaksanalah se-
buah kejadian terkutuk.
Setelah puas melampiaskan nafsunya, maka
Singa Gunung melampiaskan nafsu berikutnya. Sam-
pai ia kelelahan sendiri. Sebelum ia meninggalkan
Gayatri yang telah hancur segala-galanya. Ia mencakar
wajah cantik itu sehingga rusak mengerikan.
Sampai senja hari barulah apa yang menimpa
Gayatri dan guru mereka diketahui oleh Dewana yang
baru saja kembali dari suatu perjalanan rahasia. Ia
kaget melihat gurunya tertembus Pedang Pemersatu,
namun lebih terkejut lagi melihat keadaan Gayatri. Se-
telah totokan dibebaskan, Gayatri menceritakan segala
sesuatu yang terjadi padanya. Mendidih amarah De-
wana, keesokan harinya setelah menguburkan si
Bayang-Bayang Dewana melakukan pengejaran. Na-
mun kakang perguruan tertua yang bejad moralnya ini
tidak ditemukannya.
Ia kembali lagi ke Lembah Akherat dengan tan-
gan hampa. Namun sesampainya disana ia menjadi
semakin sedih, karena adik seperguruannya telah pula
meninggalkan lembah itu. Ia hanya menjumpai sebuah
pesan sebagai berikut yang ditulis di atas daun lontar.
Kakang Dewana,
Di ujung kehancuran itu ada kehancuran lain
yang membuatku patah tidak berguna lagi. Kekecewaan
berakhir dengan kehancuran, betapa semua ini sangat
menyakitkan. Wajahku telah rusak, kehormatan tidak
akan pernah kumiliki lagi. Direnggut dengan paksa oleh
orang yang kubenci. Kakang dapat membayangkan be-
ratnya penderitaanku, rusak kehormatan rusak pula
wajahku. Aku ingin mengasingkan diri sampai tiba
waktunya janji Gusti Allah padaku. Yaitu mati!
Pedang Pemersatu yang telah merenggut nyawa
penciptanya. Menurut almarhum guru harus disingkir-
kan dari manusia. Pedang itu mengandung kutuk. Ia
akan menghancurkan tubuh setiap raga bernyawa. Be-
tapa mengerikan, tapi aku tidak bisa membiarkan pe-
dang itu tidak berguna sebelum membunuh Angku Mu-
da Pasak Langit dengan pedang ini pula.
Jangan kau cari aku!
Gayatri
Begitulah mereka terpisahkan sekian lama.
Dewana sendiri kemudian pergi tidak tentu rimbanya.
Hingga kemudian ia menetap di Pulau Seribu Satu Ma-
lam. (Dalam Episode Neraka Gunung Bromo), disana ia
memperdalam ilmu kesaktian dan mengembangkan ju-
rus-jurus baru. Gayatri yang kemudian berjuluk El
Maut setelah tidak menemukan Singa Gunung akhir-
nya menetap di bukit Sembuang. Hingga akhirnya ia
mengambil seorang murid yang kemudian menjadi seo-
rang raja. Dia adalah almarhum raja Jasa Raga.
Kini setelah bertemu, tentu kerinduan di hati El
Maut tetap ada, namun mengingat peristiwa dulu.
Timbul kembali rasa sakit hatinya. Kakek Dewana
alias Malaikat Berambut Api sadar betul akan hal itu.
"Aku menyesal mengapa di hari senjaku kita
harus bertemu. Aku membencimu bahkan ingin mem-
bunuhmu! Hidupku jadi sengsara karena penolakan-
mu. Mengapa kau tolong aku, mengapa tidak kau bi-
arkan saja diriku ini binasa? Aku sudah tidak punya
siapa-siapa lagi di dunia ini. Muridku Jasa Raga pun
telah mati...!" kata EI Maut sedih
Sebaliknya puteri Saba jadi terkejut mendengar
kata-kata yang di ucapkan oleh El Maut. Ia tidak me-
nyangka nenek renta berwajah mengerikan itu adalah
guru almarhum ayahandanya.
"Putus asa hanya fikiran orang yang berhati pi-
cik, Gayatri. Setiap manusia yang hidup pasti punya
guna. Kita bukan dihadapkan dengan masa lalu. Per-
soalan yang kita hadapi sekarang adalah mencari pe-
dang yang telah dilarikan oleh orang yang tidak diken-
al!"
Mata yang kemerahan itu membulat lebar. El
Maut kelihatannya tidak percaya dengan apa yang di
dengarnya.
"Kau jangan membohongiku!" bentaknya sinis.
"Benar, nenek. Aku yang lihat seseorang men-
gambil pedang itu dari tanganmu dikala kau tidak sa-
darkan diri." jelas puteri Saba.
"Eeh, kau siapa pula?" bertanya El Maut den-
gan perasaan heran.
"Aku puteri Saba, anak almarhum Jasa Raga
muridmu!" jelas si gadis.
Penjelasan gadis itu membuat El Maut teringat
pada pemuda lugu yang mengaku sebagai Pangeran
Demak Pati. Namun saat ini rasanya tidak ada gu-
nanya ia bercerita tentang Pendekar Kucar Kacir. Pe-
dang harus dicari, siapa pun yang mencurinya pasti
punya maksud-maksud yang tidak baik.
"Malaikat Berambut Api, kita sudah sama-sama
tahu bahwa pedang itu dulu sudah pernah menghirup
darah. Darah guru kita sendiri. Walau pun begitu aku
masih punya penangkal senjata itu yaitu Pusaka Pem-
bawa Rahmat. Aku akan mengejar pencuri Pedang Pe-
nebar Bencana. Aku tidak memintamu untuk mem-
bantuku. Karena aku merasa khawatir senjata itu
akan menghancurkan tubuhmu hingga menjadi debu!"
"Ha ha ha...! Aku sudah tua bangka Gayatri,
aku tidak takut mati! Kita akhiri pertemuan sampai
disini. Selamat tinggal!" kata Malaikat Berambut Api.
Berkata begitu ia menyambar puteri Saba, gadis ini di-
bawanya berlari meninggalkan gua.
El Maut sama sekali tidak mencegah, perte-
muan yang tidak di duga-duga dengan Dewana hanya
membuatnya bersedih hati. Ia kemudian menekan bi-
bir ranjang. Sebuah lubang empat persegi yang terda-
pat di dinding gua terbuka. Dari dalamnya terlihat ada
cahaya putih memancar, El Maut menjulurkan tan-
gannya. Kemudian terlihatlah sebuah pedang tanpa
sarung. Rupanya cahaya yang memancar tadi ber-
sumber dari pedang itu. Setelah menyelipkan senjata
itu di balik pakaiannya. Sinar putih lenyap. El Maut
berjalan meninggalkan ruangan itu. Sampai di luar gua
tubuhnya menghilang di kegelapan malam.
Dewa Petir alias Dewa Maling alias Dewa Copet
tampak duduk menekur di bawah pohon beringin pu-
tih. Tidak jauh disebelahnya tampak Pangeran Demak
Pati masih tidur mendengkur. Waktu itu hari masih
terlalu pagi, matahari pun bahkan belum lagi menam-
pakkan diri.
"Bangun! Kita harus melanjutkan perjalanan!"
kata Dewa petir. Pendekar Kucar Kacir menggeliat se-
bentar, namun tidur kembali.
"Pangeran geblek ini kalau sudah tidur seperti
sapi" Dewa Petir menggerutu. "Hei, bangun! Sudah
siang!" Si kakek mengguncangkan tubuh Pangeran
Demak. Seketika ia terjaga, tapi kemudian tidur lagi.
Dewa Petir lama-kelamaan jadi kesal, apalagi
bila mengingat ia belum tahu apakah muridnya yang
dilarikan Elang Perak dalam keadaan selamat atau ma-
lah sebaliknya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Dewa Petir
segera bangkit berdiri. Di tinggalkannya Pangeran De-
mak Pati seorang diri. Si kakek berbadan tambun ini
terus menelusuri sungai. Tidak sampai sepemakan si-
rih ia melangkah tiba-tiba ia melihat seorang kakek
tua berumur sekitar lima belas tahun lebih tua darinya
duduk uncang-uncang kaki di atas batu di tepi jalan
itu.
Karena Dewa Petir tidak punya urusan dengan
orang ini dan tidak merasa kenal pula. Maka bermak-
sud berlalu begitu saja. Namun tiba-tiba saja Dewa Pe-
tir merasa ada desiran halus. Sebagai orang yang telah
kenyang makan asam garam dunia persilatan. Ia cepat
menghindar, sinar hitam lewat tidak jauh darinya. Ke-
mudian terjadi ledakan dahsyat dua kali berturut-
turut.
Daun semak-semak belukar disamping jalan
hangus dan mengepulkan asap hitam.
Dewa Petir membalikkan tubuhnya. Sehingga
kini ia dapat melihat wajah si kakek dengan jelas. Dia
seorang laki-laki bermuka hitam dan jelek rupanya.
"Kisanak ini siapa? Mengapa menyerangku? Ka-
lau merasa kurang pekerjaan lebih baik mencangkul di
sawah." geram Dewa Petir.
Si kakek angkat topi bambunya, kemudian ia
memperhatikan Dewa Petir dengan tatapan dingin.
"Aku Singa Gunung, kurasa namaku pun kau
belum pernah mendengarnya. Kau adalah calon per-
tama dari percobaanku. Aku ingin melihat bagaimana
kedahsyatan pedang Penebar Bencana."
Mendengar kakek bermuka hitam ini menyebut
pedang Penebar Bencana. Maka Dewa Petir tercekat.
Pedang itulah yang tengah dicari-carinya bersama
Pendekar Kucar Kacir, sungguh ia tidak menyangka
sekarang telah jatuh ke tangan orang yang tidak dikenalnya sama sekali.
"Senjata itu adalah simbol pemersatu, mengapa
kau mencurinya? Sekarang serahkan padaku untuk
kuberikan pada yang berhak!" Permintaan Dewa Petir
sama sekali tidak ditanggapi oleh kakek bertopi bam-
bu. Malah ia tertawa terbahak-bahak.
"Kau tahu apa? Aku tahu pasti asal usul pe-
dang itu. Sebentar lagi aku akan melihat keampuhan
yang dijanjikan!"
Maka tercekatlah kakek tambun ini, mengingat
Pedang Penebar Bencana merupakan senjata ampuh
yang belum ada tandingannya.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, Dewa Petir
segera mendahului melakukan penyerangan. Ternyata
kakek yang bergelar Singa Gunung ini bukan manusia
berkepandaian rendah. Hal ini terbukti, serangan De-
wa Petir yang cukup terarah itu meleset. Pukulannya
hanya mengenai angin. Dewa Petir sempat tercekat ju-
ga. Namun ia tidak putus asa, ia kembali melancarkan
serangan beruntun yang dikenal dengan jurus
'Menyibak Air menangkap Bayangan'. Salah satu kele-
bihan jurus ini terletak pada gerakan maupun seran-
gan yang tidak dapat ditebak arahnya.
Benar saja, di saat Singa Gunung berkelit
menghindari tinju kiri Dewa Petir, maka tangan ka-
nannya menghantam ke bagian iga Singa Gunung. Ka-
kek bertopi bambu mengeluh, tubuhnya terhuyung-
huyung. Sungguh hebat orang ini padahal serangan
Dewa Petir mengandung tenaga dalam tinggi. Singa
gunung mendengus sinis. Tiba-tiba ia menggeser lang-
kahnya ke samping kiri. Setelah itu kedua tangannya
terangkat tinggi-tinggi ke udara.
Tiga kali tangan berkuku runcing itu berputar-
putar, maka terlihatlah warna hitam pada setiap jarinya. Singa Gunung mengibaskan kedua tangannya
ke depan. Sinar hitam bergulung-gulung melabrak De-
wa Petir. Si kakek tambun terpaksa bergerak mundur.
Lalu rangkapkan kedua tangannya di udara pula, se-
hingga terjadilah dentuman keras laksana suara petir.
Sinar pelangi bergulung-gulung menahan sinar
hitam yang terus meluncur di udara. Hingga akhirnya
terjadi benturan keras bukan alang-alang.
Buuumm!
Gusraak!
Dewa Petir terhempas ke belakang, tubuhnya
menghantam semak-semak. Singa Gunung yang sem-
pat terhuyung-huyung segera perbaiki posisinya. Lalu
lepaskan pukulan lagi. Dewa Petir berguling-guling
hindari serangan, dari arah samping ia lepaskan puku-
lan balasan.
Lagi-lagi terjadi ledakan keras laksana merobek
empat penjuru angin. Si kakek tambun merasa da-
danya sesak luar biasa. Pabila ia menarik nafas, maka
ada darah yang mengalir di sudut bibirnya. Hal ini su-
lit dipercaya. Kejadian ini sulit dipercaya, mengingat
Dewa Petir termasuk tokoh yang memiliki kepandaian
tinggi.
Secepatnya ia mengerahkan seluruh tenaga da-
lam yang dimilikinya. Sekujur tubuhnya bergetar ke-
ras, dari siku hingga ke pergelangan tangannya men-
cuat sinar pelangi. Pabila Dewa Petir menggoyangkan
tangan-tangan itu maka hanya panas menyengat ber-
gerak cepat menyambar Singa Gunung. Kakek tua
menggeram lirih, kemudian tubuhnya melesat ke uda-
ra. Tidak urung kakinya masih tersambar sinar pelangi
yang melesat dari telapak tangan Dewa Petir.
Brees!
"Akh...!"
Singa Gunung menjerit tertahan, bila ia terja-
tuh di atas tanah, maka kakinya tampak melepuh.
Sumpah serapah berhamburan dari mulut si kakek.
"Kau benar-benar ingin mampus secepatnya di
tanganku!" dengusnya dengan tatapan berapi-api.
Tiba-tiba ia mengambil pedang Penebar Benca-
na berikut warangkanya. Ternyata memang Singa Gu-
nung inilah yang telah mencuri pedang dari tangan El
Maut di saat nenek tua itu dalam keadaan tidak sa-
darkan diri.
Dewa Petir terkesiap melihat gelagat yang tidak
baik itu, ia bermaksud merampas pedang Pemersatu.
Sehingga secepat kilat ia melesat ke depan. Namun la-
wan ternyata tidak bodoh, ia cepat melompat mundur.
Serta merta pedang di cabut dari warangkanya. Sinar
merah hitam berkiblat begitu pedang tercabut dari sa-
rungnya.
Dewa Petir sudah tidak sempat lagi menghindar
karena jarak yang begitu dekat. Ia tutupi wajahnya,
namun apa yang terjadi kemudian begitu mengerikan.
Inilah bencana yang paling hebat yang tidak ada dua-
nya di rimba persilatan manapun. Sinar merah hitam
yang berpedar-pedar itu bukan saja membuat tubuh
Dewa Petir hangus menjadi arang, tapi juga pohon-
pohon disekitarnya ikut hangus dan meranggas ger-
sang. Kakek tambun itu jatuh tergelimpang, daging
dan tulang belulangnya yang menjadi arang segera be-
rantakan. Terkecuali bagian wajahnya yang sempat
tertutup tangan tadi.
Singa Gunung menggeram pendek, tersenyum
dalam kepuasan. Sebagaimana yang telah sama kita
ketahui, siapapun yang memegang senjata itu tidak
akan terpengaruh kharisma pedang tersebut.
"Guruku Bayang Bayang telah mati di tangan
ku, ternyata kau menciptakan senjata ini tidaklah per-
cuma, apa yang kau katakan terbukti. Ha ha ha...! Mu-
ridku Hantu Liang Lahat pasti sangat gembira menda-
pat oleh-oleh ini. Tapi aku harus mencari kesenangan
dulu di istana Pasundan! Kudengar disana banyak ga-
dis-gadis cantik yang dapat kujadikan pemuas nafsu-
ku! Ha ha ha...!" Singa Gunung tertawa membahak.
Setelah sarungkan pedang itu ia kemudian meninggal-
kan mayat Dewa Petir yang telah menjadi arang.
***
TIGA
Pendekar Kucar Kacir tentu saja sempat men-
dengar suara ledakan-ledakan yang terjadi tadi. Na-
mun ketika ia mencari-cari, suara yang didengarnya
lenyap. Kemudian ia memutuskan untuk menelusuri
pinggiran sungai. Ia terkesiap melihat pohon-pohon
yang meranggas jadi arang bahkan masih mengepul-
kan asap hitam.
Dengan perasaan tidak enak ia mendekati dae-
rah terbakar seluas tujuh batang tombak itu. Kening-
nya berkerut.
"Mustahil ada orang yang membakar hutan.
Mengapa tidak terbakar seluruhnya? Eeh... apa itu?"
kata si pemuda setelah melihat benda hitam teronggok
seperti jasad manusia yang terbakar. "Ini orang yang
mati terbakar? Siapa yang telah melakukannya?!"
Pendekar Kucar Kacir memperhatikannya den-
gan seksama, ia melihat jemari tangan yang hangus
menutupi bagian wajahnya. Hanya sedikit saja wajah
orang yang hangus itu tersisa. Ketika tangan disingkapkan, Pangeran Demak terhuyung mundur, ma-
tanya membelalak, mulutnya terbuka, namun tidak
sepatah kata pun keluar dari bibirnya. Sekujur tubuh-
nya merinding.
"De... Dewa Petir...!" desisnya dengan suara ter-
cekat. "Mengapa begini jadinya?" kata Pangeran De-
mak. Ia kemudian teringat tentang kehebatan pedang
Pemersatu, tanpa sadar ia pun menangis.
Belum juga tangisnya terhenti, tiba-tiba terden-
gar suara bentakan di belakangnya.
"Pangeran kerajaan Pasundan. Urusanmu ma-
sih banyak, mengapa kau jadi secengeng itu? Siapa
yang kau tangisi?" tanya suara tadi.
Ketika Pangeran Demak menoleh ke belakang,
maka terlihat olehnya seorang gadis berpakaian hitam
dan sobek disana sini. Dia tidak lain adalah murid De-
wa Petir.
"Kau lihatlah sendiri. Aku telah datang terlam-
bat!" Pemuda baju putih mengakui. Merasa penasaran
si gadis mendekati. Keadaan mayat yang hangus su-
dah sulit dikenali. Namun bila melihat sisa wajahnya
yang sedikit utuh maka meraunglah Maling Jenaka.
"Guru... guruku! Apa yang telah terjadi pa-
danya?" teriak Gadis di tengah isak tangisnya.
"Aku tidak tahu, seseorang telah membunuh-
nya dengan Pedang Penebar Bencana!" sahut Pendekar
Kucar Kacir.
"El Maut yang melakukannya?" tanya Gadis.
Tatapan matanya penuh selidik.
"Aku tidak dapat memastikannya. Mungkin pe-
dang di tangan El Maut telah jatuh ke tangan orang
lain. Bisa jadi ada pada Dewa Kubu. Lalu ia melaku-
kan pembalasan karena kita telah membunuh murid-
nya Pangeran Suprana!" jelas si pemuda.
"Jahanam! Aku tidak bisa menerima semua ini.
Aku harus menuntut balas merampas senjata celaka
itu!" tegas Maling Jenaka.
"Kita tidak dapat melakukannya seorang diri.
Jika manusia seperti gurumu saja tidak dapat menga-
tasi kehebatan pedang itu, bagaimana dengan kita?"
Pendekar Kucar Kacir mencoba memberi pengertian.
"Kau takut mati, eh?" kata Maling Jenaka sinis.
"Aku sama sekali tidak takut. Tapi perjuangan
akan sia-sia jika tidak punya perhitungan yang ma-
tang. Oh ya, bagaimana kau selamat dari Elang Perak
celaka itu? Bagaimana dengan kawanku Suro?"
"Panjang ceritanya, sedangkan Pendekar edan
itu sekarang sedang pergi ke puncak bukit. Sebaiknya
kita kuburkan sisa-sisa jenazah guruku. Setelah itu ki-
ta pergi ke bukit itu?" tegas Gadis. Pangeran Demak
mengangguk setuju.
Tidak lama lubang kubur sederhana yang tidak
seberapa dalam telah siap mereka gali. Gadis memberi
penghormatan yang terakhir pada gurunya. Cukup la-
ma juga ia tapakur seperti orang linglung. Hingga ke-
mudian Pangeran Demak membimbingnya untuk di-
ajak mendaki ke bukit Sembuang.
***
Umurnya sekitar kurang lebih tiga puluh lima
tahun. Ia bertelanjang dada. Rambut pendek berdiri
tegak seperti bola berduri. Wajahnya pucat agak ke-
kuning-kuningan. Dilihat sekilas lalu ia tidak ubahnya
seperti hantu yang bergentayangan. Oleh gurunya
Angku Muda Pasak Langit ia di beri gelar Hantu Liang
Lahat. Dulunya Singa Gunung menemukan seorang
pemuda remaja berumur sekitar lima belas tahun di
sebuah lubang pemakaman. Pemuda aneh berwajah
pucat seperti tidak berdarah itu sedang mengorek-
ngorek kubur dan mencari bangkai. Bangkai yang su-
dah membusuk sekitar tujuh hari itu dimakannya. Ti-
dak jelas asal usul pemuda ini. Ia berkeliaran dari satu
kubur ke kubur lainnya hanya ingin mendapatkan
bangkai yang masih baru. Sesungguhnya pemuda itu
sudah memiliki tanda-tanda kesaktian alamiah namun
sesat. Ia liar seperti singa, itulah sebabnya ketika Ang-
ku Muda Pasak Langit berhasil mengalahkannya seca-
ra licik, ia langsung mengangkat pemuda aneh berke-
saktian tinggi ini menjadi muridnya.
Dalam didikannya, Hantu Liang Lahat semakin
bertambah sesat dan ganas. Korbannya tetap mayat
manusia yang telah membusuk. Ia sama sekali tidak
memiliki nafsu atau gairah terhadap lawan jenisnya.
Selama bertahun-tahun Hantu Liang Lahat tinggal di
Lembah Berpulang bersama gurunya. Sampai kemu-
dian Singa Gunung mengajaknya keluar untuk satu
urusan di bukit Sembuang.
Kini ia terpaksa berjalan sendiri setelah diting-
galkan oleh gurunya. Dalam keadaan panas terik. Ia
sibuk mencari kubur-kubur baru. Sayang sampai se-
jauh itu ia belum mendapatkan bangkai yang menjadi
santapannya.
"Sekali ini guru membohongiku lagi. Katanya di
bukit Sembuang banyak bangkai berserakan. Mana
buktinya? Perutku sudah lapar begini aku belum men-
dapatkan makanan barang secuil pun." Pemuda berku-
lit seperti mayat mendengus, matanya berputar-putar
liar mencari. Sampai kemudian ia melihat suara beri-
sik tidak jauh di samping semak-semak belukar. Han-
tu Liang Lahat mendekati. Setelah dekat matanya yang
kuning seperti mata mayat berkedip-kedip.
"Kaaak!"
Ternyata yang dilihatnya adalah seekor burung
Elang raksasa berbulu putih keperak-perakan. Burung
itu mengibas-ngibaskan kepalanya, seakan ada sesua-
tu yang membuatnya kesakitan. Sebagaimana yang te-
lah kita ketahui Elang Perak telah terkecoh oleh ulah
Pendekar Blo'on (untuk jelasnya dalam Episode Api Di
Puncak Sembuang). Melihat kehadiran Hantu Liang
Lahat, Elang Perak berubah beringas. Agaknya ia men-
jadi curiga pada siapapun, rasa sakit yang dideritanya
membuat Elang Perak menjadi liar.
"Hmm, burung besar. Belum pernah aku meli-
hat burung sebesar ini. Kalau aku suka dagingnya,
pasti tidak akan habis kumakan. Tapi jika aku menge-
tahui apa yang dirasakannya, kurasa ia bisa menjadi
tunggangan yang bagus untukku!" pikir Hantu Liang
Lahat. Ia semakin mendekati burung tersebut. Namun
baru beberapa tombak, Elang Perak memperlihatkan
reaksi marah.
"Kaaak...!"
Elang Perak mengangkat sayapnya tinggi-tinggi.
Bersamaan dengan itu Hantu Liang Lahat membentak.
"Jangan serang! aku bermaksud menolongmu!
Lihatlah mataku!"
Seakan mengerti apa yang dikatakan oleh pe-
muda berwajah mayat ini Elang Perak langsung me-
mandang tajam ke mata si pemuda. Terlihat ada sinar
kuning berkiblat. Elang Perak tiba-tiba menggeram li-
rih, kepala ditundukkan dan sayapnya pun diturun-
kan. Hantu Liang Lahat tersenyum aneh.
Hanya dengan beberapa kali lompatan Hantu
Liang Lahat telah sampai di samping Elang Perak. Na-
mun binatang ini tingginya bukan main, sehingga ia
memberi isyarat agar binatang itu menurunkan kepa
lanya yang terus dikibarkan. "Apa yang membuatmu
kesakitan?"
"Hiiii...!" Elang Perak memekik keras sambil
menggerak-gerakkan kepalanya.
Hantu Liang Lahat melihat telinga burung rak-
sasa itu meneteskan darah. Maka ia pun segera meme-
riksa, ternyata di dalam liang telinga burung tersebut
terdapat seekor jengkerik hitam.
"Ini pastilah perbuatan usil manusia. Aku akan
mengeluarkan jengkerik itu. Jika sudah berhasil bawa
aku mencari orang yang menyakitimu, tapi kau juga
harus membantuku mencari bangkai untuk kumakan
hari ini. Aku sudah sangat lapar, kau dengar?"
"Kaak!"
Hantu Liang Lahat tanpa kesulitan berhasil
mengeluarkan jengkerik tersebut. Binatang kecil itu di-
remasnya hingga hancur. Lalu dielusnya kepala Elang
Perak.
"Bawa aku terbang mencari makananku!" kata
Hantu Liang Lahat sambil melompat ke atas punggung
Elang Perak.
Sekejap saja Elang Perak telah mengudara, ia
terbang berputar-putar menuju bukit Sembuang.
Elang itu membawa Hantu Liang Lahat ke daerah di-
mana mayat-mayat prajurit bergelimpangan di sana.
Dengan rakus dan sambil tertawa-tawa, Hantu Liang
Lahat berpesta pora di atas mayat-mayat prajurit yang
telah membusuk.
***
Setelah melihat bekas terjadi pertempuran di
sebelah utara Bukit Sembuang, Suro merasa yakin ada
sesuatu yang tidak beres telah terjadi dengan El Maut.
Kini ia merasa bingung di saat melihat kenyataan bu-
kit itu dalam keadaan sunyi.
Pendekar Blo'on berlari-lari menuruni bukit, ia
terus berlari hingga jauh meninggalkan bukit yang
sempat menimbulkan kegegeran tersebut. Karena tetap
tidak menjumpai siapapun. Akhirnya si geblek meman-
jat pohon sampai hampir ke pucuknya. Dari atas ke-
tinggian pohon ia memperhatikan keadaan di sekeli-
lingnya. Suro garuk-garuk kepala, kesal, bingung men-
jadi satu, lalu di aduk-aduk. Hingga membuat Suro
semakin bertambah konyol.
"Orang-orang! Kemana kalian semuanya? Apa
sudah pada tergusur ke liang kubur! Hoi... jawablah
suaraku?" teriak Suro disertai pengerahan tenaga da-
lam tinggi, hingga membuat binatang-binatang hutan
lari menjauh terbirit-birit. Suro seka keringat di ke-
ningnya, Lalu garuk-garuk kepala lagi. Suro bergerak
turun lagi, gerakannya cepat seperti tupai. Di perten-
gahan pohon ia berhenti. Lalu ia duduk di salah satu
cabang sambil uncang-uncang kaki membuang keke-
salannya.
Ke bukit aku turut,
Ke gunung kau terkentut-kentut
Tidak terhitung nyawa melayang
Hanya karena berebut pedang
Pendekar Kucar Kacir Pangeran linglung
Gurunya mati terbunuh.
Aku lihat roh-roh bergentayangan
Tidak diterima bumi, terusir dari langit.
Hei... orang-orang....
Orang orang kaya, orang berpangkat
Orang susah, orang tertindas, orang tergusur
Orang yang tinggal di kolong jembatan, sampai
laler ijo.
Mari kita lihat orang berebut pedang, berebut
pangkat, berebut kerakusan, hingga tubuh mereka ter-
sungkur terbungkus kafan
Lalu,
Di sini aku bingung
Linglung, ha ha ha...!
Suro tiba-tiba tekap bibirnya. Ia sudah terlan-
jur bicara sembarangan. Ini karena kebiasaan buruk-
nya yang telat mikir, walau sesungguhnya ia berotak
cerdik.
Baru saja si konyol bermaksud turun ke ba-
wah. Tiba-tiba ia melihat dua bayangan berkelebat ce-
pat. Yang berpakaian merah menggandeng tangan ga-
dis berpakaian putih. Melihat cara yang dilakukan
orang berbaju merah Suro jadi geli sendiri. Tingkah si
kakek seperti meminggit anak saja.
Barulah setelah kedua orang ini semakin ber-
tambah dekat, Pendekar Mandau Jantan kedip-
kedipkan matanya seakan tidak percaya.
"Lho, itu kan kakekku?! Ngapain dia kemari?
Apa puteri Saba pacarnya. Kalau betul, ini keterlaluan
namanya, sudah tua bangka masa' masih juga paca-
ran. Gandeng-gandengan seperti kereta kuda, aku
sendiri yang muda belum pernah begitu!" kata Suro
dengan mulut terpencong.
Si konyol diam mendekam di atas pohon. Kebe-
tulan Malaikat Berambut Api hentikan larinya. Di atas
pohon Suro terpaksa menahan nafas.
"Sialan, mengapa tiba-tiba saja aku jadi ingin
kentut?!" gerutu Suro.
Puteri Saba dan Malaikat Berambut Api yang
berdiri tidak jauh di bawah pohon tampak terlibat
pembicaraan. Setelah itu terdengar sindiran yang
membuat kuping si konyol berubah memerah.
"Manusia kurang ajar adalah yang tidak tahu
peradatan. Bertingkah seperti monyet kurapan pakai
ngumpet (sembunyi) di atas pohon. Di Gunung Maha-
meru kulihat banyak monyet siluman ingin jadi manu-
sia. Ini ada anak manusia ingin menjadi monyet. Kalau
tidak waras, tentu dia sudah gila! Turun monyet ber-
wajah tolol, atau aku akan menyeretmu!"
"Wah, guru edan. Aku dikatai monyet, padahal
dia sendiri pelihara berewok. Mungkin mau jadi mo-
nyet juga!" gerutu Suro Blondo.
Sambil melorot turun Suro menggerutu dalam
hati. Ia langsung cengengesan setelah berhadapan
dengan guru sekaligus kakeknya sendiri.
"Bocah gendeng! Begitu rupanya Penghulu Si-
luman Kera Putih mendidikmu! Bertemu denganku
tingkahmu malah seperti orang kurang waras!" bentak
kakek Dewana.
Suro langsung sadar bahwa orang tua yang sa-
tu ini tidak kena diajak main-main. Jika ia marah Suro
bisa celaka.
Suro bersikap serius, sungguh tingkahnya ti-
dak di buat-buat. Ia jatuhkan diri berlutut sambil ber-
kata.
"Terima hormatku, kakek, guruku juga. Sudah
lama kita tidak bertemu aku rindu sekali. Sebaiknya
kita salaman dulu, setelah itu baru ngobrol tentang
puteri yang telah menjadi pacarmu! Salaman, guru.
Uhh... aku sudah kangen sekali!" kata Suro. Habis ber-
lutut ia bangkit, lalu menghampiri si kakek dengan
mata setengah terpejam. Agaknya Malaikat Berambut
Api adalah orang yang paling disegani oleh Suro, se-
hingga memandangnya pun ia tidak berani.
Ia terus berjalan, tapi arahnya salah sehingga
yang didatanginya malah puteri Saba. Setelah sala-
man, karena rindunya ia memeluk puteri Saba yang di
anggap gurunya sendiri. Suro tiba-tiba terkesiap dan
cepat melangkah mundur.
"Guru...! Sejak kapan dadamu ada benjolannya!
Baumu harum, padahal dulu kau bau apek sekali
dan...!"
"Diam!" Kakek Dewana membentak marah. Ji-
dat Suro didorong pakai jari telunjuk. Bukan dorongan
biasa tentu saja, hingga membuat Suro jatuh terdu-
duk. "Buka matamu anak tolol, sampai kapan kau
akan pelihara ketololanmu?"
Pendekar Blo'on buka matanya. Ternyata orang
yang disalam dan dipeluknya tadi adalah puteri saba.
Herannya gadis cantik pewaris tahta kerajaan Pasun-
dan itu tidak marah, hanya wajahnya saja tampak berubah.
EMPAT
“Hayo jawab sampai kapan kau pelihara ketolo-
lanmu?” bentak Malaikat Berambut Api mengulangi
pertanyaannya. Suro cengar cengir. “Cengengesan lagi,
biar kutampar kau punya mulut!”
Suro langsung dekap mulutnya. “Guru tidak
usah marah-marah.” Kata Suro bersikap sungguh-
sungguh. “Aku tidak pernah memelihara ketololan,
Cuma si tolol saja yang selalu ikut kemana aku pergi.
Guru, kalau boleh aku bertanya, bagaimana guru yang
sudah tua pacaran dengan puteri raja? Aku yakin ma-
sa kecil guru tidak bahagia!”
“Diam! Anak setan, kuberi kau kebebasan un-
tuk mencari pengalaman di rimba persilatan. Ternyata
kau bukan dapat pengalaman, tapi malah gilamu se-
makin menjadi-jadi. Rupanya kau tidak melihat bahwa
urusan semakin bertambah gawat?!” Melihat mata Ma-
laikat Berambut Api yang melotot. Suro tundukkan
kepala.
“Lalu apa yang harus kuperbuat, guru. Aku
sendiri hampir mampus dihajar Elang Perak pulang
pergi. Aku maklum, guru sampai menyusulku kemari
dan meninggalkan pulau Seribu Satu Malam, tentu ka-
rena menganggap persoalan gawat.” Kata Suro.
“Betul, ternyata otakmu encer juga. Persoalan
pedang menjadi runyam karena kau berurusan dengan
tokoh-tokoh yang punya kepandaian setingkat den-
ganku. Kini pedang itu tidak lagi di tangan El Maut!”
jelas kakek Dewana. Beliau kemudian menceritakan
apa yang telah terjadi. Suro mendengar penjelasan gu-
runya dengan bersungguh-sungguh. Hanya matanya
saja yang berkedap-kedip seperti kelilipan. Setelah
mendengar penjelasan gurunya Suro ajukan perta-
nyaan.
“Jadi apakah mungkin saudara guru tertua
yang mencuri pedang itu?”
“Kemungkinan itu ada. Sekarang cobalah ka-
lian kembali ke kota raja. Jaga puteri Saba baik-baik.
Aku akan menyelidik ke daerah sekitar pesisir pulau
Jawa ini. Jika kau bertemu dengan orang tua yang
bernama Dewa Kubu. Sebaiknya kau berhati-hati, dia
manusia setengah roh yang licik.”
“Guru, perintahmu akan kukerjakan. Aku gem-
bira pergi dengan puteri Saba. Terima kasih atas ke-
percayaan yang kau berikan padaku!” kata Suro kemudian ia menjura hormat.
“Hati-hati Suro, jika sampai puteri raja kau
buat bunting! Aku benar-benar akan membunuhmu!”
pesan Malaikat Berambut Api.
Suro membungkukkan tubuhnya lagi. Sampai
ia merasakan tepukan seseorang di punggungnya. Ce-
pat-cepat ia berdiri. Puteri Saba tersenyum penuh wi-
bawa.
“Kakekmu sudah pergi, kau menungging seperti
ayam mau bertelur. Sungguh watakmu seperti bumi
dengan langit bila di bandingkan dengan gurumu!” ka-
ta sang puteri.
“Aku takut dengan tua bangka berambut merah
tadi.” Jelas Suro tanpa malu-malu. Bicaranya yang
ceplas-ceplos menyebut gurunya dengan ‘tua bangka’
merupakan suatu tanda, bahwa sikap Suro memang
tidak di buat-buat.
“Sebaiknya cepat kita tinggalkan tempat ini.
Sebentar lagi hari sudah semakin gelap.” Ujar puteri
Saba.
Suro tidak segera menjawab. Namun kemudian
anggukkan kepala. Kedua muda mudi ini kemudian
melanjutkan perjalanan ke kota raja.
Hari sebentar saja menjadi malam, langit men-
dung. Angin bertiup kencang. Kegelapan semakin ber-
tambah pekat. Ada beberapa batang pohon yang ber-
tumbangan di sekitar jalan setapak yang mereka lalui.
Hujan tiba-tiba turun dengan lebatnya.
“Kita harus mencari tempat berteduh!” berkata
Pendekar Blo’on di tengah-tengah gemuruh suara hu-
jan.
“Di rimba belantara seperti ini. Mana ada pon-
dok, sebaiknya kita berteduh di bawah pohon besar
itu?” usul puteri Saba. Sementara itu pakaiannya su-
dah mulai basah kuyup.
Suro terdiam untuk beberapa saat lamanya, di
perhatikannya puteri Saba yang sudah mulai menggigil
kedinginan. Agaknya gadis ini tidak pernah mengalami
kesengsaraan selama ini. Hingga Suro merasa kasihan.
Murid Penghulu Siluman Kera Putih dan Malaikat Be-
rambut Api celingukan. Hingga akhirnya ia melihat se-
buah pondok buruk yang agaknya telah lama diting-
galkan oleh penghuninya. Suro merasa yakin pondok
itu pastilah milik para pemburu untuk tempat tinggal
sementara semasa waktu berburu.
“Puteri, kulihat tidak jauh dari sini ada sebuah
pondok. Mari kita ke sana, hujan ini cukup lama. Kau
bisa sakit!”
Puteri Saba ragu-ragu. Ia percaya dengan keju-
juran Suro, mustahil pemuda itu berbuat macam-
macam. Ia sendiri tidak dapat memungkiri perasaan
hatinya yang mulai tertarik pada Suro.
Yang ia khawatirkan bagaimana jika pondok
buruk itu adalah jebakan yang di buat oleh seseorang?
“Ayolah, puteri. Hujan semakin menggila, lebih
gila jika kita tetap bertahan disini!” desak Pendekar
Blo’on. Karena pemuda berambut hitam kemerah-
merahan itu terus mendesak. Puteri Saba akhirnya
mengalah. Mereka berlari-lari menghampiri pondok.
Pintu pondok yang tertutup didorong oleh Suro. Sete-
lah memeriksa keadaan di dalam pondok yang gelap,
maka Pendekar Mandau Jantan mempersilakan puteri
Saba menaiki tangga
Suro menyalakan pelita kecil yang tergantung
di dinding, minyaknya yang berasal dari kelapa me-
mang tinggal sedikit, tetapi cukuplah untuk sementara
waktu.
Setelah itu Suro duduk di pinggir pintu. Ia
tenggelam dalam lamunannya. Tiba-tiba terlintas,
bayangan ketika ia berada di reruntuhan kuil. Di saat
itu muncul Dewa Petir, kemudian muncul pula Gadis
alias Maling Jenaka. Gadis yang mencemo’ohnya den-
gan mencuri senjata milik Suro. Meskipun hanya
mempermainkan, namun Suro sempat kelabakan juga,
(untuk lebih jelasnya dalam Episode Api Di Puncak
Sembuang). Suro tiba-tiba usap wajahnya. Udara din-
gin terasa sangat menggigit. Kemudian ia sandarkan
tubuhnya, teringat olehnya sosok wajah yang demikian
cantik, gerakannya cepat seperti kilat. Dialah puteri Ki-
lat Bayangan, gadis yang diam-diam di cintainya tapi
Suro sepertinya sadar bahwa gadis itu seperti tidak
menaruh cinta padanya. Suro memang konyol, namun
sebagai manusia bukan berarti ia tidak pernah sedih.
Sedih bila cintanya ditolak, atau kecewa bila pera-
saannya tidak bersambut (Dalam Episode Jodoh Di
Gunung Kendeng). Padahal memang banyak juga ga-
dis-gadis yang mencintainya. Seperti Dewi Bulan mi-
salnya, atau Dewi Kerudung Putih yang misterius (da-
lam Episode Bayang Bayang Kematian). Dan atau Dewi
Arimbi yang juga mengharap cintanya (Episode Mem-
buru Manusia Setan). Terlalu banyak nama ‘Dewi’
hingga membuatnya pusing. Wanita adalah sosok yang
misterius dan sulit di duga, mereka punya sembilan
puluh sembilan kenikmatan namun mempunyai rasa
malu yang lebih tinggi dari laki-laki. Walau pun terka-
dang ada juga yang bikin malu keluarga! Suro garuk-
garuk kepala. Lalu bengong lagi seperti ayam pikun.
“Suro…!” Sebuah suara yang begitu merdu
memanggilnya.
Suro menoleh, serentak lamunannya buyar se-
ketika. Dilihatnya puteri Saba duduk meringkuk di po-
jok ruangan dengan tubuh menggigil.
“Ada apa, puteri?” tanya Suro, seraya datang
menghampiri. Setelah meraba kening sang puteri, ter-
nyata tubuh gadis cantik itu panas. “Kau sakit?”
“Mungkin, tubuhku dingin sekali.” Sang puteri
mengeluh.
“Maafkan aku, boleh kupijit tengkukmu, kurasa
ada jalan darah yang tidak lancar”
Gadis itu terdiam, ragu-ragu. Namun kemudian
anggukkan kepala. Suro memijit bagian-bagian pem-
buluh darah besar. Ia kemudian melepaskan pakaian-
nya yang sudah mulai mengering tertiup angin.
Ia menyelimuti tubuh puteri Saba. Tidak lama
Suro sudah tidur menelentang di depan pintu. Sesung-
guhnya ia tidak tidur, karena malam ini ia harus ber-
jaga-jaga dari segala kemungkinan. Si gadis merasa
terharu atas kebaikan Pendekar Blo’on. Ia mem-
bayangkan andai saja ia mendapat pendamping sesa-
bar dan selembut pemuda itu. Betapa hidup ini menja-
di lebih indah, lebih menarik dan ia tidak perlu
mengkhawatirkan keselamatan kerajaan dan rakyat-
nya.
Keadaan semakin bertambah sunyi, hujan tidak
lagi turun sederas tadi. Sekarang hanya tinggal rintik-
rintik saja. Puteri Saba yang takut akan kegelapan se-
gera merebahkan tubuhnya di samping Suro. Namun
ia merasa gelisah. Kini semakin dekat ia dengan Suro
hati puteri Saba kian gelisah. Akhirnya ia bangkit du-
duk melirik ke arah Suro dengan malu-malu. Andai sa-
ja mereka berada di istana, pasti puteri telah menyeli-
muti Suro pula. Atau jika ia tidak merasa malu pada
diri sendiri, pemuda itu sudah di ciumnya. Namun
mengingat betapa rendahnya bila ia lakukan semua
itu. Puteri Saba jadi urung. Ia kemudian tertidur di
samping Pendekar Blo’on memeluk mimpi dalam kege-
lisahan yang panjang.
Keesokan paginya kedua muda mudi itu tersen-
tak kaget begitu mendengar suara bentakan di depan
pintu pondok. Begitu nyenyaknya tidur mereka, hingga
Suro sendiri tidak mengetahui ada seseorang berwajah
pucat seperti mayat mendatangi pondok yang mereka
tempati.
Suro Blondo julurkan kepala, kemudian meli-
hat keluar. Semakin jelaslah orang yang membentak
mereka tadi. Dia adalah seorang pemuda berambut lu-
rus tegak berdiri. Wajahnya sepucat mayat, mata pe-
muda itu berwarna kuning seperti mata mayat.
Pendekar Blo’on kerutkan keningnya sambil
berfikir siapa gerangan pemuda berwajah dingin ini.
Suro sekali lompat langsung berada di depan pemuda
muka mayat. Ia berkeliling berjalan mengitari orang
asing ini seperti layaknya seorang juragan sapi yang
sedang menaksir barang yang hendak dibelinya. Se-
dangkan puteri Saba kelihatan cemas menunggu di da-
lam pondok. Ia yakin orang yang baru datang itu pasti-
lah bukan orang baik-baik.
“Saudara siapa kira-kira, ya?” tanya Suro ber-
lagak seperti orang pikun.
Hantu Liang Lahat mengguman tidak jelas.
“Baunya busuk begini apa dia belum mandi.”
Kata berambut kemerahan sambil menyampirkan baju
yang belum sempat dipakai seenaknya di atas bahu.
“Kau dengarkan baik-baik. Aku Hantu Liang
Lahat, aku suka memakan daging manusia yang su-
dah busuk. Aku datang kemari ingin bertanya, apakah
Kota Raja masih jauh lagi dari sini? Dan kau siapa?”
suara Hantu Liang Lahat satu-satu, suaranya serak
seperti ada tulang menyumbat tenggorokannya.
“Hantu Liang Lahat.’” Suro manggut-manggut
sambil meneliti kaki si pemuda. Ternyata kaki orang
ini menyentuh tanah. Jadi hanya gelarnya saja Hantu
Liang Lahat, bukan hantu sungguhan. “Hantu, apakah
saudaramu hantu juga? Bagaimana hantu bisa kesa-
sar ke kota? Aku dengar hantu di kota-kota sudah ter-
gusur, bahkan rumahnya sudah dikencingi nenek-
nenek. Mungkin kau keliru!”
“Manusia tidak tahu gelagat! Segera akan kau
rasakan apa yang terjadi padamu!” dengus Hantu
Liang Lahat. Seraya bersuit keras, kemudian terdengar
suara sahutan di angkasa. Angin menderu, yang da-
tang ternyata Elang Perak burung raksasa. “Saha-
batku, katakan padaku apakah ini kunyuknya yang te-
lah memasukkan jangkerik ke dalam telingamu?”
tanya Hantu Liang Lahat ditujukan pada Elang Perak.
Burung raksasa itu menyahuti dengan pekikan
panjang menggeledek.
“Hhh, ternyata burung itu mengatakan kau
yang telah menyakiti dirinya. Aku mewakilinya untuk
membunuhmu!” Si pemuda muka mayat menggeram
pendek. Suro sempat tercengang, tidak menyangka
ternyata Elang Perak yang telah ia perdaya masih ber-
tahan hidup.
“Jangan terburu nafsu, kau tidak mengenalku.
Lagipula kau tidak mengenal bahasa burung. Apa buk-
tinya aku telah mengganggu binatang itu, Hantu?”
tanya Suro. Hantu Liang Lahat mendengus.
Tiada terduga ia kirimkan satu jotosan keras,
kemudian ia juga hantamkan kakinya ke bagian perut
si pemuda. Suro cepat sekali miringkan tubuhnya lalu
tangannya menangkis serangan beruntun tersebut.
Duuk! Duuk!
“Haeh…!” Pendekar Blo’on memekik kaget. Ia
seperti membentur batu es saja, dingin dan atos bukan
main. Sedangkan kaki Hantu Liang Lahat melesat
membeset udara. Suro terpaksa berjingkrak-jingkrak
sambil leletkan lidah terdengar suara siulannya yang
tidak menentu. Lagi-lagi ia berkelit lalu bersalto seperti
monyet melompat ke belakang dengan kaki di atas. Se-
rangan ini juga luput.
Hantu Liang Lahat menggerung, ia menerjang
lalu terlihatlah betapa tubuhnya laksana terbang. Ber-
putar-putar di udara dengan indahnya, saat berat tu-
buhnya meluncur ke bawah, kakinya menyambar den-
gan dahsyat ke bagian kepala Suro Si konyol lindungi
kepalanya, lalu melompat dengan tubuh setengah ber-
jongkok, karena serangan itu terus menggebahnya.
Maka pemuda ini terpaksa berguling selamatkan diri.
Secepatnya Pendekar Mandau jantan bangkit
berdiri, mulutnya termonyong-monyong tanda keseri-
usannya menghadapi lawan.
“Pemuda ini benar-benar hantu, gerakannya
cepat seperti setan. Rasanya kalau aku dapat mengha-
jarnya, baru puas hatiku jika sudah ku konsentrasi-
dannya yang bau itu!” maki Pendekar Blo’on dalam ha-
ti.
Ternyata Hantu Liang Lahat tidak mengenal
basa basi. Ia segera membangun serangan kembali
dengan kekuatan berlipat-lipat. Sambaran angin se-
rangannya saja sudah membuat kulit Suro seperti di-
tusuk-tusuk jarum. Tidak ayal, ia lipat gandakan tena-
ga dalam ke sekujur tubuhnya. Didahului dengan ter-
dengarnya suara teriakan-teriakan seperti suara mo-
nyet. Seiring dengan suara teriakannya, Suro menge-
luarkan jurus aneh ‘Serigala Melolong Kera Sakti Ki-
baskan Ekor’. Nama jurusnya memang terkesan lucu,
sesuai dengan penciptanya yang ugal-ugalan. Namun
ketika Suro berkelebat, maka segera terlihat kedahsya-
tan yang terkandung dalam setiap gerakan yang dilakukannya. Angin mendesir-desir, pasir berterbangan,
lalu terdengar suara lolongan di sana sini hingga membuat
nya terlihat berkelebat sosok tubuh serba putih yang
tidak lain adalah puteri Saba. Melihat ini Elang Perak
bermaksud menyerangnya, namun karena si gadis ber-
lindung di bawah beringin putih yang rindang, gerakan
Elang Perak jadi terhalang.
***
LIMA
Suro Blondo tergontai-gontai, wajahnya tampak
pucat. Nafas pemuda itu menyesak seperti ada bagian
jalan darah yang tidak normal. Hantu Liang Lahat
yang kepalanya sempat nyungsep ke tanah segera
bangkit berdiri. Kepala yang pusing di geleng-
gelengkan, bibirnya meneteskan darah berwarna agak
hitam dan busuknya bukan main. Ia seka darah,
memperhatikannya sebentar, lalu terdengar tawanya
yang rawan mendirikan bulu roma.
"Iblis ini tidak mengenal rasa sakit sedikitpun,
semakin terluka ia malah tertawa seperti orang gila!
Weh, kalau aku tidak menggunakan siasat bukan
mustahil tujuh hari mendatang aku disantapnya!" ba-
tin Suro sambil garuk-garuk kepala.
"Anak muda bertampang konyol, kau punya
mainan boleh juga! Ingin kulihat apa yang bisa kau la-
kukan setelah ini. Apa mau melompat-lompat terus se-
perti monyet atau kau memang monyet yang baru
menjadi manusia?!" ejek pemuda muka mayat.
Di ejek begitu panas juga hati Suro, namun ia
tidak mudah terpancing kemarahan lawan, karena
memang begitulah wataknya. Sebaliknya sambil bersi-
kap waspada ia menimpali.
"Hantu kesasar bermulut besar, kepandaianmu
baru seujung kuku, gelarmu menakutkan. Wajahmu
jelek seperti pantat nenek-nenek, buktikan kau punya
bicara jangan cuma sesumbar! Atau berlututlah kau
pada tuanmu ini, mudah-mudahan juraganmu men-
gampuni jiwamu yang busuk!"
Hantu Liang Lahat adalah manusia berangasan
yang pantang dihina atau diremehkan oleh orang lain.
Mendengar kata-kata Suro alisnya bergerak-gerak. La-
lu ia mengerahkan jurus dahsyat 'Merobek Bangkai Di
Malam Gulita'. Pemuda ini sekali sentakan tangannya
ke depan, sekali ditarik ke belakang lalu gerakan se-
lanjutnya seperti mengoyak-ngoyak. Terdengar pula je-
ritan Hantu Liang Lahat yang menyentak penuh tena-
ga. Kelanjutannya ia berputar membelakangi lawan la-
lu bersalto dengan gerakan terbalik.
Hanya sepersekian detik saja tangannya telah
merobek perut Suro. Beruntung pemuda ini lindungi
perutnya dengan tenaga dalam, hingga pakaiannya sa-
ja yang tercabik. Serangan susulan lebih dahsyat lagi.
Sebelum serangan itu merobek dadanya, ia sudah per-
gunakan jurus khusus menghindar yang dikenal den-
gan nama 'Kacau Balau'. Jurus ciptaan Malaikat Be-
rambut Api ini benar-benar ampuh. Meskipun gerakan
dan langkah-langkah kaki Suro terkesan kacau dan
asal-asalan. Namun tidak satupun serangan Hantu
Liang Lahat yang mengenai sasaran.
Rupanya pemuda muka mayat jadi penasaran,
ia kembali berbalik. Di kala itu Suro sudah cabut sen-
jata andalannya. Ketika senjata itu berkiblat di udara,
mula-mula terdengar suara mendengung, Suro memi-
ringkan Mandau di tangan, lalu terdengar suara ring-
kik kuda. Ketika senjata itu diputar dan diputar lagi
dengan gerakan berubah-ubah, maka terdengarlah suara rintihan tangis dan tawa. Suara rintihan dan tawa
terus terdengar tiada henti. Hantu Liang Lahat bersu-
rut langkah, memandang pada Suro dengan perasaan
heran bercampur marah.
Namun ia kemudian menerobos pertahanan la-
wan dengan cara berguling-guling dan tendangkan ka-
kinya. Suro melompat tinggi, lalu berjumpalitan. Na-
mun sekarang datang pula jotosan lawan yang menge-
luarkan deru angin panas berpijar. Serangan itu tidak
dihindari oleh Pendekar Blo'on, ia malah hantamkan
Mandau di tangannya. Kaget Hantu Liang Lahat bukan
alang-alang. Ia menarik balik tangannya, sayang gera-
kan yang dilakukan Hantu Liang Lahat kalah cepat.
Sehingga mata Mandau yang tajam itu menebas putus
tangan pemuda muka mayat.
"Akhhh...!"
Untuk pertama kalinya Hantu Liang Lahat
menjerit kesakitan. Buntungan tangan menggelepar di
atas tanah, lalu diam. Setelah menotok jalan darah.
Pemuda muka mayat bangkit berdiri. Dalam keadaan
marah seperti itu tampangnya berubah mengerikan.
Suro berteriak dengan mulut terpencong.
"Hantu buntung sebaiknya kau menyerah!"
"Bangsat! Tidak ada kata menyerah dalam hi-
dupku!" maki Hantu Liang Lahat. Tiba-tiba ia pukul-
kan tangan kirinya ke depan, Suro sadar betul lawan
bermaksud mengadu jiwa dengannya. Sehingga ia pun
terpaksa melepaskan pukulan 'Neraka Hari Terakhir'.
Wuut! Wuut!
Sinar merah hitam berkiblat, terdengar suara
jeritan di sana sini. Suara itu, seakan datang dari alam
para roh penghuni neraka. Kemudian terjadilah den-
tuman menggeledek.
Blaamm!
"Huaagrrrrk...!"
Hantu Liang Lahat terpelanting roboh, tubuh-
nya yang hampir gosong berkelojotan, lalu terdiam un-
tuk selama-lamanya. Suro tergontai-gontai. Dari bibir-
nya terdengar nyanyian sumbang. Di angkasa sana
Elang Perak memekik seakan merasa kehilangan. Tapi
dia juga tidak melakukan serangan. Entah apa yang
terjadi pada burung itu. Sang raksasa berputar-putar
dan membubung tinggi. Selanjutnya meluncur ke arah
kerajaan Pasundan.
Kalau pun ada orang yang sangat kagum meli-
hat pertempuran yang sengit tadi puteri Saba-lah
orangnya. Ia semakin jatuh hati pada pemuda tampan
bertampang ketolol-tololan ini. Dihampirinya Suro, ma-
tanya berbinar-binar memandang dengan tatapan pe-
nuh arti.
"Kau bisa mengalahkan manusia itu. Sungguh
aku tidak menyangka kau memiliki kepandaian tinggi."
puji puteri Saba.
Suro cuma cengengesan. Setelah diam sebentar
kemudian berkata.
"Kerajaan masih jauh lagi dari sini! Kalau aku
menggandeng tanganmu apa tidak marah?" Goda Pen-
dekar Blo'on. Wajah puteri Saba memerah sekejap. Li-
rikan mata si gadis sudah merupakan satu isyarat bagi
Suro bahwa puteri Saba tidak menolak. Digandengnya
puteri Saba, lalu Pendekar Blo'on membawanya berlari
secepat terbang. Dikejauhan terdengar suara siulan
panjang tidak menentu. Suasana kembali sepi seakan
tidak pernah terjadi apa-apa di tempat itu.
***
Pabila kakek bertopi caping bambu masuk kedalam warung di pinggir jalan utama kota raja. Maka
para pelanggan warung tampak menunjukkan rasa ti-
dak senangnya. Namun kakek bercaping bambu yang
tidak lain adalah Angku Muda Pasak Langit ini bersi-
kap acuh-acuh saja. Selain para pelanggan biasa, ter-
nyata di dalam warung tersebut terdapat tiga orang
prajurit, yang kelihatannya baru saja selesai membica-
rakan masa depan kerajaan yang suram.
"Siapa merasa pemilik warung ini, harap me-
layaniku." dingin suara si kakek. Sikapnya acuh, tidak
memandang muka pada orang lain. Seorang laki-laki
muda datang menghampiri.
"Kisanak mau pesan apa?" tanyanya ragu-ragu.
Melihat penampilan orang tua yang sombong ini ra-
sanya ia memang tidak punya uang.
"Semua pundi-pundi arak bawa kemari. Sepu-
luh ekor ayam kalau ada seorang gadis untuk mene-
mani agar makanku jadi lahap!" kata Singa Gunung
seenaknya.
Pemilik warung tercengang. "Gadis tidak ada,
kisanak. Dua pesanan lainnya segera saya sediakan."
jawab laki-laki muda itu. Seraya cepat-cepat berbalik
ke belakang. Namun baru beberapa langkah terdengar
bentakan salah seorang prajurit yang berbadan tegap
tinggi.
"Jangan kau layani permintaannya. Biarkan ti-
kus jembel itu mengais tulang Belulang ayam di tong
sampah. Turut perintahku atau kau akan mendapat
hukuman berat!" Ancam pengawal.
Singa Gunung angkat topi capingnya, hingga
wajahnya yang angker itu terlihat jelas oleh semua
orang yang berada di dalam ruangan. Sikapnya tetap
acuh.
"Pulanglah kau menetek pada ibumu. Kau baru
saja menjadi anjing penjaga, lagakmu sudah seperti
dedengkot iblis!" dengus Angku Muda Pasak Langit.
Diejek begitu rupa di depan orang banyak, ten-
tu pengawal ini merasa pamornya langsung turun be-
berapa tingkat.
"Mulutmu keterlaluan tua bangka busuk! Ra-
sakanlah tombakku!" teriak si tinggi tegak. Ia langsung
menusukkan tombaknya ke pinggang si kakek. Semua
orang dapat memastikan sekali tusuk matilah kakek
berbaju hitam ini. Tanpa disangka-sangka Singa Gu-
nung berpaling, lalu menghembuskan nafasnya kuat-
kuat.
"Akh...!"
Pengawal ini menjerit kesakitan, ia tidak mam-
pu bergerak karena sekujur tubuhnya ternyata telah
ditotok. Dua orang kawannya tercengang, bagaimana
kakek tua itu dapat melakukan totokan hanya dengan
menghembuskan nafas saja. Suatu kejadian langka
dan jarang ditemui. Mereka langsung ciut nyalinya.
Namun dengan membiarkan kawan mereka dalam
keadaan seperti itu adalah sesuatu yang sangat mema-
lukan.
Serentak dua orang lainnya cabut pedang. Ang-
ku Muda Pasak Langit menjadi marah melihat kenya-
taan ini. Ia bangkit berdiri, bukan untuk memberi pe-
lajaran. Namun cabut pedang berikut rangkanya.
"Silakan kalian bersombong-sombong di neraka
sana. Makan kubatalkan dan aku harus secepat
mungkin ke istana!"
"Jangan mimpi!" teriak pengawal tadi sambil
bacokkan pedang di tangan. Hanya sedikit berkelit, lu-
putlah serangan itu. Angku Muda Pasak Langit tiba-
tiba saja cabut pedang Penebar Bencana.
Seer!
"Haaaaah...!"
Seluruh orang yang berada di dalam warung
langsung menjerit histeris ketika melihat sinar hitam
memijar dari pedang di tangan Singa Gunung. Mereka
bergelimpangan roboh, warung terbakar. Sosok bayan-
gan berkelebat keluar disertai tawa bekakakan. Mereka
semua tewas dalam keadaan hangus sebelum api yang
membakar warung menjilat tubuh mereka.
Demikian dahsyatnya kharisma Pedang Pene-
bar Bencana, hingga pancaran cahayanya saja mem-
buat rumah dan benda-benda di sekitarnya terbakar,
apalagi manusia yang tubuhnya terdiri atas darah dan
daging.
Demikianlah dengan congkaknya Singa Gu-
nung di sepanjang perjalanan menebar maut men-
gumbar bencana. Sampai di kerajaan Pasundan, pra-
jurit-prajurit penjaga pun mengalami nasib serupa
yang demikian tragis. Hingga tanpa kesulitan apa-apa
ia berhasil masuk ke istana.
Angku Muda Pasak Langit bukan main girang-
nya melihat gadis-gadis yang sangat banyak di setiap
kamar kaputren.
"Ha ha ha...! Mimpi apa aku semalam! Begini
banyak gadis yang dapat memenuhi seleraku!" katanya
sambil tergelak-gelak.
Para gadis-gadis itu sebagian ada yang ketaku-
tan melihat kehadiran si kakek. Sedangkan sebagian
lainnya yang selalu haus kepuasan, tentu mereka
mendambakan kepuasan dari laki-laki mana pun. Ti-
dak perduli apakah ia seorang raja, bangsawan, rakyat
biasa, prajurit bahkan gembel kudisan sekalipun. De-
mikianlah jika nafsu sudah menguasai jiwa manusia
rendah. Jiwa manusia yang tidak mengenai rasa takut
siksa Tuhannya.
Lain halnya dengan Sri Asih, Kumala dan bebe-
rapa orang lainnya yang memang sudah mendamba-
kan kebebasan sejak mereka bertemu dengan Pende-
kar Blo'on (dalam Episode Api Di Puncak Sembuang).
Mereka sejak saat itu sudah bertekad untuk member-
sihkan diri tidak mau melayani laki-laki manapun.
Penghuni istana Sorga Dunia yang diciptakan Pange-
ran Suprana ini rupanya sudah insyaf.
Tidak heran bila untuk menghindari kemaksia-
tan, Kumala dan Sri Asih mengurung diri di ruangan
rahasia.
Sekarang mereka jadi cemas melihat kemuncu-
lan Singa Gunung. Apalagi Kumala mendengar laporan
salah seorang sahabatnya yang dipercaya, bahwa Ang-
ku Muda Pasak Langit mempunyai senjata yang dapat
membuat tubuh seseorang menjadi hangus.
Sisa-sisa prajurit yang mengawal istana hampir
tewas seluruhnya dengan keadaan yang sungguh me-
nyedihkan. Bukan mustahil, suatu saat Singa Gunung
mengetahui tempat persembunyian mereka. Padahal
mereka sadar betul, diantara sekian banyak gadis-
gadis yang berada di istana itu bukankah mereka ber-
dua yang paling cantik, yang paling mulus yang paling
montok dan yang paling... segalanya.
Mereka rasanya lebih baik mati jika harus me-
layani tua bangka yang berjuluk singa gunung yang
sebaya dengan kakek mereka sendiri. Kalau pun hati
mereka ditanya satu persatu. Baik Kumala maupun Sri
Asih. Tentu mereka memilih Pendekar Blo'on, pemuda
konyol yang rambutnya beda dari kebanyakan orang.
Pemuda itu tampan, walau pun lagaknya seperti orang
tolol. Jujur saja mereka akui, kalau pun mereka ber-
dua dimadu tentu mau. Tetapi apakah Suro Blondo,
Pendekar geblek setengah sinting itu ya mau seperti
mereka?
"Kita harus melarikan diri dari istana ini. Meli-
hat gelagatnya kurasa Pangeran Suprana, Tuhan ke-
senangan dunia sudah mati!" suara Sri Asih gadis yang
usianya dua tahun lebih tua dari Kumala memecah
keheningan.
"Huh, jika dia benar-benar Tuhan, mana
mungkin dia mampus! Aku sendiri takut suatu saat
tua bangka bau tanah itu mengetahui keberadaan ki-
ta!" Kumala menanggapi.
"Memang kalau dipikir-pikir, kita ini tidak
ubahnya seperti kambing ya...? Selalu digilir laki-laki
tanpa suatu ikatan apapun. Bagaimana Gusti Allah ti-
dak murka?"
"Malah lebih rendah dari binatang. Terkadang
kita tertawa-tawa dalam dosa. Sekarang aku merasa ji-
jik jika harus berbuat seperti itu!" kata Kumala pula.
"Hidup kita bergelimang dosa. Kita harus lari
dari istana ini atau mati jika dipaksa melakukan per-
buatan seperti itu!" tekad Sri Asih.
"Apa tidak sebaiknya kita menunggu kedatan-
gan Pendekar itu? Bukankah dia telah berjanji untuk
membebaskan kita semua dari neraka ini?" ucap Ku-
mala seakan mengingatkan. Sri Asih terdiam, kening-
nya berkerut tajam.
"Terlalu lama, aku juga khawatir telah terjadi
sesuatu yang tidak diingini dengannya. Sekarang un-
tuk menyelamatkan diri sebaiknya kita harus berani
mengambil keputusan!"
"Baik! Kurasa nanti malam adalah waktu yang
tepat untuk meninggalkan istana ini. Jangan kau bica-
rakan rencana kita pada orang lain." pesan Kumala.
"Bagaimana jika kawan-kawan kita mengeta-
hui? Apa tidak sebaiknya kita bawa saja mereka seka
lian?"
"Jangan bodoh! Usaha ini tidak mudah, hanya
dengan kita berdua saja mungkin sudah sulit untuk
menyelinap keluar!" Sri Asih mengangguk-anggukan
kepala tanda mengerti.
"Kalau mereka bertanya, kita janjikan saja pada
mereka bahwa kita akan mencari pertolongan di luaran
sana. Kemudian kita kembali lagi ke sini untuk mem-
bebaskan mereka!" jelas Kumala secara lebih terperin-
ci.
"Ya, mudah-mudahan Gusti Allah memberikan
pertolongannya pada kita! Sekarang persiapkanlah se-
gala sesuatu yang kita perlukan. Nanti setelah lewat
tengah malam, kita bisa melaksanakan rencana kita."
kata Sri Asih menutup pembicaraan.
***
ENAM
Kakek berpakaian kulit harimau yang sebagian
rambutnya menutupi wajahnya ini memang telah be-
rubah seperti orang linglung. Apalagi setelah ia mene-
mukan mayat muridnya, Pangeran Suprana. Dua
orang yang sangat disayanginya di dunia ini telah ter-
bunuh. Pertama Sang Bala dan yang kedua Iblis Pe-
runtuh Mahkota. Pedih hati Dewa Kubu tidak terkira-
kan. Semua ini gara-gara mencari Pedang Penebar
Bencana. Sementara itu nasib Elang Perak binatang
raksasa itu masih belum ia ketahui.
Kepada siapa ia harus menuntut balas? Kepada
kakek berambut merah itu? Ilmunya tinggi, jika pun
sekali lagi ia berhadapan dengan Malaikat Berambut
Api. Belum tentu ia dapat memenangkan pertarungan.
Kakek rambut merah itu sakti bukan main. El Maut
mungkin saja telah mati terkena pukulannya.
"Hmm, selama langit masih biru. Selama mata-
hari masih terbit dari ufuk timur. Aku harus menemu-
kan cara untuk membalas. Elang Perak harus kute-
mukan." pikir Dewa Kubu.
Di atas batu si kakek duduk bersila, matanya
terpejam. Rupanya ia sedang mencoba melakukan se-
medi. Dalam semedinya ia mengucapkan kata-kata
yang tidak jelas. Beberapa detik lamanya, wajahnya
yang kusut dan semakin angker berubah cerah.
"Ternyata kau masih hidup Elang Perak! Da-
tanglah kemari, kita harus bersama-sama menghan-
curkan musuh-musuh keparat itu! Sahabatmu Pange-
ran Suprana boleh mati, muridku Sang Bala boleh ter-
bunuh. Namun puncak penyatuan kita berdua harus
dapat membuktikan bahwa di dunia ini tidak boleh
ada orang yang mengalahkan kita." kata Dewa Kubu
seorang diri. Tingkahnya memang telah berubah deras-
tis seperti orang yang kurang waras. Namun ternyata
dia bukan sakit ingatan. Sebab melalui pemanggilan
batin yang dilakukannya tadi. Tidak lama kemudian di
angkasa lepas terlihat sebuah bayangan raksasa me-
layang-layang. Lalu terdengar suaranya yang keras
menyakitkan telinga.
"Hiiiii...!"
"Elang Perak, turunlah!!" perintah Dewa Kubu.
Seraya membuka matanya kembali.
"Kak...!"
Dari ketinggian Elang Perak meluncur turun.
Setelah itu ia menjejakkan cakar-cakarnya yang tajam
tidak jauh di depan Dewa Kubu. Daun-daun berter-
bangan oleh kepakan sayapnya.
"Kak! Kek... Kak,..!"
Elang Perak terus mengeluarkan suara aneh.
Seakan ia mengadukan kejadian yang menimpa dirinya
juga diri Pangeran Suprana. Kepala burung di elus-
elus oleh Dewa Kubu.
"Aku telah mengetahui kejadian yang menimpa
Pangeran Suprana." kata Dewa Kubu sambil memper-
hatikan burung elang itu. "Akh, ternyata seseorang te-
lah menjahilimu dengan memasukkan jangkerik ke da-
lam kuping?" Begitulah, setiap isyarat gerakan Elang
Perak diketahui artinya dengan pasti oleh Dewa Kubu.
"Heh, apa? Seorang pemuda bertampang tolol
yang telah melakukannya? Mengapa tidak kau han-
curkan saja wajahnya atau kau rusak wajahnya biar
konyol?" tanya Dewa Kubu sambil terus memperhati-
kan gerakan Elang Perak.
"Apa? Pemuda itu cerdik? Kau ini bagaimana?
Kalau tolol ya tetap tolol Elang Perak! Laporanmu nge-
lantur! Akh... sudahlah, pusing aku mendengarnya."
sergah Dewa Kubu.
Elang Perak kemudian terdiam, Dewa Kubu
adalah manusia setengah roh paling dihormatinya.
Jika antara binatang raksasa ini bersatu den-
gan Dewa Kubu. Maka terjalinlah sebuah kekuatan
yang teramat dahsyat.
"Kita tidak usah berpisah lagi setelah ini. Aku
yakin kita berdua mampu menghadapi cecunguk-
cecunguk yang telah mempecundangimu. Sekarang
sebaiknya kita pergi dari sini!" Berkata begitu Dewa
Kubu bergerak, tubuhnya terangkat mengambang se-
perti tanpa bobot. Di lain waktu Dewa Kubu telah be-
rada di atas punggung Elang Perak.
Burung itu kepakkan sayapnya, membubung
tinggi di udara. Hingga akhirnya menghilang dari pan
dangan.
***
"Sekarang kita sudah berada di luar tembok is-
tanamu! Lalu apa yang kita lakukan?" tanya gadis baju
hitam yang baru saja melakukan penyelidikan ke da-
lam kerajaan Pasundan. Pemuda baju putih terdiam.
Seakan ia sedang memikirkan cara terbaik untuk me-
lakukan sesuatu.
"Hasil penyelidikanmu bagaimana? Apakah kau
lihat masih banyak pengawal disana?" tanya pemuda
baju putih yang tidak lain adalah Pendekar Kucar Ka-
cir.
Gadis berpakaian hitam menggeleng. Kemudian
di tegaskan dengan ucapannya.
"Tidak satu pun! Di halaman depan kulihat
pemandangan yang mengerikan. Banyak mayat-mayat
menjadi arang dan debu. Kurasa orang yang telah
membunuh guruku ada disini. Dia tidak lain mungkin
laki-laki tua bangka itu, hiiih...!"
"Siapa yang kau maksudkan?" tanya Pangeran
Demak Pati.
Jika saja tidak dalam keadaan malam hari, ten-
tu pemuda polos dan kocak ini dapat melihat betapa
wajah si gadis alias Maling Jenaka berubah merah pa-
dam.
"Siapa sih? Kok malah bengong, lagi mikir aku
ya...!" celetuk Pendekar Kucar Kacir. Ia telah mengeta-
hui banyak sifat Gadis selama dalam perjalanan.
Meskipun terkesan manja = Mandi Jarang, namun
menyenangkan. Pendekar Kucar Kacir diam-diam ja-
tuh cinta pada pandangan ketiga. Mengingat sebelum-
nya mereka pernah bertemu di dalam gua di puncak
Bukit Sembuang.
"Kau tahu nggak apa yang ingin kukatakan ini
sangat memalukan dan merendahkan derajat perem-
puan!" tegas Gadis tersipu-sipu.
"Katakan saja. Kalau merasa rendah biarkan
aku yang meninggikannya. Lagipula di sini cuma kita
berdua. Aku pandai menyimpan rahasia dan tempat
rahasia punyaku cuma satu!"
"Kau bicara apa? Kutampar nanti mulutmu!"
dengus si gadis merasa tersinggung.
"Hust, jangan sembarangan. Aku pangeran ta-
hu!"
"Mau pangeran kek, mau raja setan kek. Apa
kau kira aku perduli! Persoalanmu saja belum tuntas,
masih bisa-bisanya kau bercanda?" Suara Maling Je-
naka tajam menusuk.
Seakan teringat dengan keadaannya kembali.
Sikap Pendekar Kucar Kacir yang tidak kalah kocaknya
dengan Suro Blondo berubah serius kembali.
"Coba sekarang kau jelaskan apa yang terjadi di
dalam istana. Aku siap mendengarnya!"
"Di istanamu sangat banyak perempuan-
perempuan cantik. Jumlahnya mungkin lebih empat
puluh orang...!"
"Itu pekerjaan si keparat Pangeran Suprana!"
"Mereka seperti pelacur!"
"Nah itulah sorga yang di gembar-gemborkan
Iblis Peruntuh Mahkota!" celetuk Pendekar Kucar Ka-
cir. "Lalu apa lagi?"
Gadis menarik nafas dalam-dalam seakan se-
gan untuk bicara lagi.
"Terus... terus... bagaimana?" desak si pemuda.
"Di sebuah ruangan kulihat delapan orang wa-
nita sedang melayani seorang kakek tua, mereka da-
lam keadaan te...!" Gadis tutup mulutnya merasa malu.
"Terlanjur maksudmu?"
"Telanjang, bego?" desis Maling Jenaka. "Itulah
tua bangka yang sedang main kapal-kapalan. Tapi...!"
Pangeran Demak gelengkan kepala ke kiri, lalu sekali
lagi ke kanan. "Tapi siapa kakek itu? Mungkin masa
kecilnya tidak bahagia?"
"Tolol, mereka sedang bermaksiat!" maki Maling
Jenaka merasa dongkol.
"Ya, ya... maksiat! Itu budaya peninggalan
Kumbang Pemikat. Kurasa kakek itulah yang telah
mencuri pedang dari tangan El Maut. Kita harus mere-
butnya!"
"Huh, apa kau kira semudah itu? Pedang itu ti-
dak pernah jauh dari tempat dia berada. Kita harus
menunggu kesempatan terbaik." ujar Gadis.
"Ya, walau kesempatan itu datangnya sampai
lima puluh tahun lagi. Tua bangka itu akan mati den-
gan sendirinya jika sampai lima puluh tahun. Apalagi
jika ia terus main kapal-kapalan siang dan malam!"
kata Pendekar Kucar Kacir polos.
"Kau sama edannya dengan Suro Blondo. Bica-
ramu nyerempet-nyerempet terus!" Gadis menggerutu
kesal.
"Aku dan monyet gondrong rambut merah itu
memang seperti saudara kembar saja. Dia suka mem-
bicarakan tentang bukit dan hutan rimbanya, tapi aku
tidak sependapat dengan dia. Ahh... sudahlah, menga-
pa kita bicara tentang kunyuk cacingan itu?" sergah
Pendekar Kucar Kacir seakan merasa tersaingi.
Gadis alias Maling Jenaka alias Maling Cerdik
sebenarnya punya suatu siasat untuk merampas pe-
dang itu. Namun rencananya itu mengandung bahaya
besar yang menyangkut harga diri dan kehormatan.
Resikonya jika sampai gagal, ia bisa kehilangan mah-
kotanya seumur hidup. Itu sebabnya ia tidak mau bi-
cara apa-apa lagi. Mungkin nanti jika ia bertemu den-
gan Pendekar Blo'on, ia akan utarakan siasat yang
mungkin dapat dijalankan. Rasanya Gadis lebih per-
caya dengan kemampuan Pendekar Blo'on ketimbang
Pendekar Kucar Kacir ini.
"Haruskah kita berdiri di sini sampai pagi, atau
sampai tua dan lumutan?" Suara Pendekar Kucar Ka-
cir memecah kebisuan di antara mereka berdua.
Gadis tidak menanggapi. Perhatian tertuju pada
satu arah di mana di sebelah utara benteng istana
tampak dua sosok bayangan sedang berusaha melewa-
ti tembok.
"Lihat! Siapa itu?" seru Maling Jenaka. Cepat
Pangeran Demak memandang ke arah dimaksud. Ter-
nyata memang ada dua sosok berpakaian ringkas ber-
tubuh ramping sedang berusaha menuruni tembok is-
tana. Melihat caranya, jelas sekali kedua perempuan
itu tidak memiliki kepandaian apapun.
"Merekakan perempuan, bagaimana kalau
sampai tersangkut? Sebaiknya kita datangi mereka!"
tegas Pendekar Kucar Kacir.
Tanpa bicara, Gadis mendekati kedua wanita
yang baru saja berhasil melewati tembok benteng.
Melihat kehadiran pemuda dan gadis yang ti-
dak dikenal. Kedua perempuan tadi jadi ketakutan.
Mereka hampir saja berteriak jika Pendekar Kucar Ka-
cir dan Maling Jenaka tidak cepat membungkam mu-
lutnya.
"Ssst! Jangan berisik! Aku orang baik-baik, se-
dangkan pemuda itu adalah Pangeran Demak Pati. Ka-
takan siapa kalian??" tanya Gadis.
Seraya menarik tangannya, hingga kedua gadis
berpinggul besar itu dapat menarik nafas lega di samp-
ing hati mereka juga jadi gembira. Sebab mengenai
Pangeran Demak Pati mereka sedikit banyaknya sudah
tahu. Dialah pewaris tahta kerajaan yang sah.
"Jangan bunuh kami, aku Kumala, sedangkan
kawanku ini Sri Asih. Kami bermaksud menghindari
tua bangka busuk itu. Kami sudah tobat dan ingin
menjadi orang baik-baik." jelas Kumala suaranya me-
melas bahkan seperti orang yang hendak menangis.
"Kalian pasti bekas anunya Pangeran Demak
Pati, eeeh... maksudku anunya Pangeran Demak Pati
membekas di anunya...!"
Plok!
Pendekar Kucar terjajar. Kiranya yang menam-
parnya tadi adalah Gadis.
"Dasar Pangeran goblok! Bicara saja tidak be-
cus, belepotan seperti anak kecil!" dengus Maling Je-
naka. "Ingat kalau kalian berbohong, nyawa kalian ti-
dak ada yang menjamin!" ancam Maling Cerdik di tu-
jukan pada kedua gadis itu.
Sri Asih dan Kumala saking takutnya sampai
berlutut memeluk lutut Gadis.
"Percayalah, kami ingin meninggalkan neraka
ini. Sejak bertemu dengan seorang pemuda ganteng
berwajah tolol. Kata-katanya membuat kami sadar
bahwa jalan yang kami lalui benar-benar penuh lum-
pur berkubang nista!" lirih suara Sri Asih.
Sebaliknya Gadis tampak terkesiap mendengar
mereka menyebut ciri-ciri Pendekar Blo'on. Pangeran
Demak yang kumat gendengnya langsung nyeletuk.
"Jalan yang kalian lalui memang melelahkan,
penuh liku, belokan serta bukit-bukit. Kalau sekarang
hendak tobat, ya sudah! Sekarang pergi sana!" Dengan
penuh rasa gembira kedua gadis itu bermaksud meninggalkan Gadis dan Pendekar Kucar Kacir. Namun
Maling Jenaka menahannya.
"Tunggu dulu!"
Langkah keduanya tertahan, hampir bersa-
maan mereka menoleh.
"Ada apa, Nisanak?"
"Kalian dari dalam sana, apakah di istana ma-
sih ada prajurit?"
"Sama sekali tidak! Singa Gunung telah meng-
habisi mereka. Dia juga menghancurkan kawan-kawan
kami dengan sinar pedangnya. Tolonglah mereka!!"
pinta Kumala penuh permohonan.
"Hmm, begitu? Pergilah. Mudah-mudahan ka-
wan-kawan kalian dapat diselamatkan!" janji Maling
Jenaka.
Dengan penuh rasa terima kasih yang dalam,
Kumala dan Sri Asih segera berlalu dari hadapan ke-
dua muda mudi itu.
***
Kita ikuti Sri Asih dan Kumala yang terus berja-
lan di kegelapan malam. Mereka memang dalam kea-
daan tergesa-gesa dan ingin segera sampai di kampung
halaman masing-masing yang tidak jauh dari kota raja.
Sri Asih sendiri anak seorang kepala Desa, sedangkan
Kumala puteri saudagar yang berhasil diculik oleh
Pangeran Suprana beberapa purnama yang lalu.
Setelah jauh meninggalkan kerajaan Pasunda.
Ternyata mereka tersesat jalan. Berhubung hari masih
malam, mereka memutuskan untuk menetap di situ.
Namun baru saja mereka menyandarkan kepala di ba-
tang pohon, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat. Lalu secepat kilat...
Tek! Tek!
"Ufss...!"
Sri Asih maupun Kumala langsung terkulai.
Sekujur tubuh mereka kaku tidak dapat digerakkan
lagi. Sadarlah kedua gadis ini bahwa seseorang telah
menotoknya. Belum juga hilang kaget di hati mereka,
tiba-tiba terdengar suara tawa bekakakan.
"Ha ha ha.... Elang Perak! Malam ini kau harus
menutup mata! Aku dapat santapan lezat sebagai pe-
nawar rasa dukaku atas tewasnya kedua murid-murid
tercinta." kata sebuah suara.
"Kak...!"
Elang Perak menyahuti dari puncak batang po-
hon. Suaranya jelas gelisah.
"Si-a-pa kau....'" tanya Kumala yang sudah da-
lam keadaan tidak berdaya.
"Ha ha ha.... Usah kau tanya siapa aku,
bayangkan saja apa yang akan kuberikan pada kalian!"
sahut Dewa Kubu.
Tokoh dari tanah Andalas ini mulai meraba-
raba dada Kumala dan Sri Asih silih berganti. Kedua
gadis itu menjerit-jerit ketakutan sambil mencaci maki.
Tapi setelah Dewa Kubu meremas dada mereka,
maka keduanya langsung terdiam. Inilah suatu toto-
kan yang aneh yang sulit dipunahkan.
"Hmm, kalian adalah bagian dari perjalananku.
Tidak perlu merasa takut! ha ha ha...!" tawa iblis Dewa
Kubu kembali menggema.
Bret! Bret!
Dengan kasar pakaian Kumala dan Sri Asih di-
cabik-cabiknya. Sehingga kedua gadis itu dalam kea-
daan membugil. Sinar bulan yang temeraman menyi-
nari mereka. Dewa Kubu merasa darahnya menggele-
gak. Ia sibuk meraba atau menjatuhkan ciuman
ciuman kasar pada kedua gadis itu.
Mula-mula yang mendapat giliran adalah Sri
Asih. Sebentar saja gadis itu sudah terdorong maju
mundur seiring dengan gerakan Dewa Kubu. Pucat wa-
jah Kumala, diam-diam ia menggigit lidahnya hingga
putus. Rupanya ia memilih mati daripada harus men-
gotori diri dengan melayani nafsu setan Dewa Kubu.
Keadaan itu segera diketahui Dewa Kubu, se-
mentara Elang Perak mulai memekik gelisah. Apa yang
dilakukan oleh Kumala rupanya diikuti oleh Sri Asih.
Gadis itu pun akhirnya tewas membunuh diri.
***
TUJUH
"Sialan, aku lagi tanggung sudah terlanjur din-
gin. Benar perempuan-perempuan tidak berguna!" ma-
ki Dewa Kubu. Maka di tendangnya mayat Sri Asih dan
Kumala hingga terpelanting. Kepala mereka remuk,
yang satu terhempas batu yang satunya lagi menabrak
pohon. Kakek tua yang cuma mengenakan baju kulit
harimau ini bangkit berdiri. Ia mencari-cari celananya.
Ternyata celana satu-satunya hilang. Atau mungkin ia
salah meletakkan celana itu.
Dari balik kegelapan di bawah pohon tiba-tiba
saja terdengar suara seseorang nyeletuk.
"Apanya yang terlanjur dingin, tua bangka? Ka-
lau sudah dingin dan tanggung mengapa tidak dite-
ruskan saja? Lihatlah betapa memalukan dirimu itu.
Burung perkututmu yang sudah karatan itu siap ter-
bang meninggalkan tubuhmu! Bulan di atas sana pun
malu, Elang Perak burung kesayanganmu malu. Aku
disini malu, tunggu apa lagi? Mengapa tidak kau pakai
celanamu! Apakah kau sudah siap mati dalam kea-
daan seperti itu? Tulang belulangmu sudah rapuh,
Dewa Kubu jika dugaanku ini tidak salah. Kulitmu su-
dah keriput. Hari mudamu sudah berlalu, batang
usiamu semakin tinggi. Kau diberi umur panjang oleh
Gusti Allah, betapa memalukan jika seluruh waktumu
kau pergunakan untuk bermaksiat. Jika bumi ini bisa
berkata, pasti dia sudah menjerit karena menanggung
beban orang-orang berdosa! Kau terlahir dalam kea-
daan suci Dewa Kubu, apakah kau ingin pulang
menghadap Tuhanmu dalam keadaan bergelimang do-
sa?"
Meremang kuduk Dewa Kubu mendengar uca-
pan orang di balik kegelapan itu.
"Siapa kau? Jika merasa mencuri celana cepat
kembalikan!" bentak Dewa Kubu sambil tutupi aurat-
nya.
"Ini celanamu!" sahut orang itu.
Sebuah benda melayang. Ternyata memang ce-
lana Dewa Kubu. Setelah dipakai rupanya celana tadi
sebelum dikembalikan telah di potong-potong olah
orang itu. Sehingga celana itu hanya dapat menutupi
aurat. Ini merupakan suatu penghinaan besar.
"Cepat katakan siapa kau! Atau kau akan me-
rasakan kematian yang menyakitkan!" ancam Dewa
Kubu berang.
"Bicaramu masih lantang! Malaikat Berambut
Api mengatakan kau manusia licik! Tapi aku murid
penghulu Siluman! Nah, jika kau ingin bermain sulap
di depanku, sekaranglah waktunya kau mulai!"
"Jahanam!" Dewa Kubu membentak garang.
Tubuh manusia setengah roh itu tiba-tiba men-
gambang tidak menjejak tanah. Ketika si kakek berambut riap-riapan ini mengangkat tangannya. Dari
pertengahan telapak tangan terlihat ada sinar merah
melesat.
Buuum!
Kegelapan di bawah pohon terang seketika dis-
ertai dentuman keras. Tidak ada reaksi, malah kemu-
dian terdengar suara tawa yang seakan datang dari de-
lapan penjuru arah. Dewa Kubu tokoh kawakan, ia se-
gera tahu bahwa lawan mempergunakan ilmu memin-
dahkan suara.
Setelah menggelengkan kepala beberapa kali. Ia
akhirnya tahu dimana posisi lawannya. Sekali lagi ia
lepaskan pukulan ke samping kirinya. Kali ini sinar bi-
ru tampak melesat. Orang di balik kegelapan yang ti-
dak lain adalah Suro Blondo keluarkan siulan sum-
bang. Sebelum sinar maut itu melumatkan tubuhnya.
Suro sudah jungkir balik dan, melayang ke arah Dewa
Kubu.
Blam!
Lagi-lagi pukulan mengenai tempat kosong. Se-
dangkan Suro telah berada di belakang lawan dan ka-
kinya menghantam dengan telak.
Dess!
"Heh!"
Suro terperanjat ketika melihat Dewa Kubu
hanya bergetar saja. Sedangkan tubuhnya tetap men-
gambang dua jengkal di atas permukaan tanah. Si ka-
kek berpakaian kulit harimau tiba-tiba saja berbalik,
tangannya meluncur ke depan. Serangan itu dihindari
oleh Suro, seraya kerahkan jurus 'Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau'. Sekejap Suro Blondo telah lenyap
dari pandangan mata. Tubuhnya berubah menjadi
bayang-bayang yang terus mengelilingi Dewa Kubu
sambil lepaskan serangan bertubi-tubi. Namun tokoh
dari Andalas itu malah tertawa terkekeh-kekeh. Ia san-
gat berpengalaman. Walau pun dalam pandangannya
gerakan Suro itu sangat cepat bukan main. Namun ia
masih dapat melancarkan serangan dengan tepat.
Rambutnya yang telah berubah kaku itu mengibas ke
bagian wajah Pendekar Mandau Jantan.
Prat!
"Uss...! Manusia edan ini tidak kena di tipu,
malah aku hampir tertipu pulang pergi!" gerutu murid
Penghulu Siluman Kera Putih itu sambil bersalto ke
belakang. Serangan dahsyat itu dapat di hindari, he-
batnya lagi tubuh yang mengambang itu terus berge-
rak. Kakinya melesat dan....
Dekk!
"Hekh...!"
Suro jatuh terduduk dengan wajah pucat. Da-
danya mendenyut, nafasnya seperti hendak putus. Ma-
ta si konyol melotot!
Ia geleng-gelengkan kepalanya sambil menggu-
mam tidak jelas. Dewa Kubu tidak menyia-nyiakan ke-
sempatan lagi. Ia segera melepaskan pukulan 'Merobek
Raga Meruntuhkan Sukma'. Rupanya ia sangat men-
dendam pada Malaikat Berambut Api. Sehingga kini
Suro yang dijadikan pelampiasannya, Puteri Saba yang
memang diperintahkan bersembunyi tidak jauh dari
tempat itu mulai khawatir. Ia sadar betul Dewa Kubu
bukan lawan sembarangan. Bahkan El Maut saja
hampir tewas di tangan kakek sakti itu. Suro tidak
menunggu serangan lawan itu sampai menghantam di-
rinya. Ia juga tidak melepaskan pukulan balasan. Me-
lainkan bersalto dengan gerakan yang indah. Deru ha-
wa panas melabrak kakinya, kaki cepat di angkat
sambil diusap-usap. Selanjutnya ia membanting tu-
buhnya dan terus berguling-guling.
Buum!
"Ayah, ada orang gila mengamuk!" pekik Suro
kalang kabut.
Pukulan-pukulan gencar terus menghujani
Pendekar Blo'on. Selincah-lincahnya pemuda itu
menghindar, tidak urung salah satunya menghantam
Suro juga. Tidak telak memang, tapi cukup membuat
Suro terjajar dan memuntahkan darah segar. Ter-
huyung-huyung pemuda ini bangkit berdiri, Dewa Ku-
bu sendiri merasa kagum dengan daya tahan yang di-
miliki oleh lawannya.
Si konyol geleng-gelengkan kepala seperti orang
prustrasi, bibirnya berpencong, ia garuk-garuk ram-
butnya, bingung. Dewa Kubu ternyata hebat. Kini ia
memutuskan untuk menggabungkan jurus 'Tawa Kera
Siluman' dengan jurus 'Kacau Balau'. Melihat gerakan-
gerakan Suro yang mulai ngelantur, kacau tidak tera-
tur bahkan disertai tawa di sana-sini. Dewa Kubu
menduga lawan pasti sudah terganggu ingatannya.
Apalagi ia tadi sempat me lihat kepala Suro sempat
membentur akar pohon.
"Ha ha ha...! Gurumu sendiri belum tentu da-
pat mengalahkan aku! Apa lagi bocah ingusan ma-
cammu!" ejek Dewa Kubu penuh percaya diri.
Pendekar Blo'on tersenyum sinis dilanda kege-
raman, sekali kepala mendongak ke langit, meman-
dang ke bawah dan terus jelalatan. Satu hal yang tidak
disadari oleh Dewa Kubu. Bahwa ketika itu rambut
yang hitam kemerahan itu kini telah berubah merah
sepenuhnya seperti menyala.
"Keseriusan membuat aku gila, kegilaan mem-
buat aku tertawa. Anak kecil bodoh, masih ada hara-
pan untuk belajar. Tua bangka berubah pikun lebih
baik mampus saja!" kata si pemuda seenaknya. "Tua
bangka sesat setengah roh. Malaikat Rambut Api lam-
bang keseriusan, sedangkan Penghulu Siluman ugal-
ugalan. Adakah kegilaan bisa menyatu dengan keseri-
usan? Engkau manusia pertama yang akan menjadi
batu ujianku!" teriak Suro. Lalu terdengar suara ta-
wanya di tengah-tengah gerakannya yang semakin
menghebat dan terkesan serampangan. Tawanya se-
makin lama semakin melengking menghancurkan kon-
sentrasi lawannya. Dewa Kubu katupkan bibirnya, te-
naga dalam dikerahkan untuk menghilangkan penga-
ruh suara tawa itu. Elang Perak sendiri semakin resah
dari telinga binatang itu mengucurkan darah. Puteri
Saba jatuh pingsan demi mendengar suara tawa Suro.
Itu adalah pertarungan antara hidup dan mati
Suro Blondo yang pertama kalinya selama melanglang
buana. Kemudian terdengar siulan disertai nyanyian
sumbang menyindir.
Blo'on itu bodoh, tolol itu aku
Orang cerdik mengapa licik?
Orang kaya mengapa serakah?
Orang sakti mengapa hilang pekerti
Orang susah mengapa gelisah
Orang sengsara mengapa merana
Aku melintas di depan orang-orang
Mereka yang hilang ingatan
Yang hilang kehormatan
Yang hilang rasa malu
Yang diperkosa haknya sebagai manusia
Lalu aku menjerit dalam kebodohanku,
Kemudian aku bertanya pantaskah aku menga-
ku sebagai anak manusia yang beradab?
"Kunyuk sinting! Heaa...!" Dewa Kubu membentak garang. Serangkaian serangan beruntun dile-
paskannya.
Wees!
Anehnya serangan yang dilancarkan kali ini ti-
dak mengenai sasaran. Dewa Kubu terperangah, pena-
saran ia lepaskan tendangan ke bagian perut lawan-
nya. Suro tampak terhuyung, gerakannya gerubak-
gerubuk tokh apa yang dilakukan lawannya luput lagi.
Merasa panas hati Dewa Kubu menggabung-
gabungkan jurus-jurus terdahsyat yang dimilikinya.
Sementara tawa Suro semakin menggila, Elang
Perak tidak kuat bertahan di situ dan langsung mele-
sat terbang entah kemana.
"Hibah...!"
Dewa Kubu membentak keras. Tubuhnya me-
layang ke depan. Kini segala terasa berubah, Suro me-
rasa gerakan yang dilakukannya seperti mendapat ha-
langan di sana-sini. Walaupun merasa keadaan kini
mulai berbalik, ia hantamkan tinjunya secara berun-
tun. Serangan itu berulangkali mengena namun Dewa
Kubu seperti tidak merasakannya. Malah balasan yang
dilakukan Dewa Kubu kemudian membuat pemuda
terjengkang.
"Eehk, mati aku...!"
Suro megap-megap sambil pegangi dadanya.
Banyak sekali darah kental yang tersembur dari mu-
lutnya. Dewa Kubu terkekeh-kekeh, tanpa memberi
kesempatan pada lawannya bangkit berdiri. Dewa Ku-
bu kembangkan tangannya sekali lompat ia sudah
hampir dapat mencengkeram leher si konyol. Di saat
itulah ia menghentakkan tangannya dan lepaskan ju-
rus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Demikian dekat jarak an-
tara Dewa Kubu dengan Suro, hingga sinar merah itu
tidak sempat dihindari lagi oleh Dewa Kubu.
Duuum!
"Akh...!"
Dewa Kubu menjerit tertahan, tubuhnya terdo-
rong mundur. Jelas sudah bahwa tokoh dari Andalas
ini terluka cukup parah. Ia sendiri merasa sangat he-
ran melihat kenyataan ini. Ia seperti lemah dan kehi-
langan tenaga. Dicobanya mengerahkan tenaga dalam,
tapi dadanya malah mendenyut sakit dan panas bukan
main.
"Pemuda gila itu, apa yang telah dilakukannya
padaku?!" desis Dewa Kubu merasa ketemu batunya.
"Heh he he...! Mau kita teruskan sampai salah
seorang di antara kita ada yang mampus, Dewa Ku-
bu?!" gertak Suro. Padahal ia sendiri sudah menderita
kesakitan yang luar biasa.
Dewa Kubu sedikitpun tidak menyahut, untuk
pertama kali dalam hidupnya ia merasa jerih. Tanpa
menunggu Suro berbuat lebih lanjut ia langsung ngacir
dari hadapan Pendekar Blo'on.
"Hekh... a-ku sendiri hampir tidak tahan, kok.
Dan rasanya sudah tidak kuat berdiri!" kata si konyol
sambil menyeringai kesakitan. Dan ternyata ia jatuh
terduduk sambil pegangi dadanya yang sakit. Suro te-
lan tiga butir pel berwarna hitam. Setelah itu Suro ti-
dak sadarkan diri.
Lain halnya lagi dengan puteri Saba, gadis itu
kini sudah mulai sadar kembali. Ketika tidak melihat
Pendekar Blo'on ia mulai khawatir jangan-jangan pe-
muda itu telah tewas di tangan Dewa Kubu. Tergesa-
gesa puteri Saba mencarinya di sekitar bekas pertem-
puran yang porak poranda. Ia melihat Pendekar Blo'on
terkapar dengan kepala nyungsep di rerumputan.
"Suro?" pekiknya cemas. Di tubruknya Pende-
kar Blo'on. Ternyata sekujur tubuhnya sudah sangat
dingin sekali. "Jangan mati. Suro, jangan kau tinggal-
kan aku!" tangis sang puteri. Ia memangku kepala Su-
ro di atas kedua pahanya. Wajah si konyol di tepuk-
tepuknya, namun betapa wajah itu semakin dingin.
Ada darah yang mengalir di sela- sela bibirnya. Darah
itu langsung dibersihkan dengan punggung tangan pu-
teri yang cantik itu. Kepala Pendekar Mandau Jantan
didekap dan dipelukinya seakan ia tidak rela kehilan-
gan pemuda itu.
"Hu hu hu... jangan mati Suro. Apa pun akan
kulakukan asal kau dapat hidup kembali! Tuhaaaan...
jangan kau ambil nyawanya?!" jerit puteri Saba. Ini
merupakan suatu tanda betapa puteri Saba teramat
sangat mencintainya.
Gadis itu terus memeluk kepala si konyol, se-
hingga tanpa disadari dadanya tentu menekan pipi Su-
ro Blondo. Sang puteri memeriksa denyut nadi Pende-
kar Blo'on, ternyata denyut nadi di pergelangan tan-
gannya ada lagi. Sang puteri merasa lega, namun ma-
sih khawatir juga.
"Suro, sadarlah...! Jangan kau mati sekarang?
Nanti saja kalau sudah tuaan dikit! Suro...!" pekiknya.
Terdengar suara rintihan si pemuda, ternyata
tadi ia memang pingsan berat. Kini setelah menyadari
dirinya di peluki puteri Saba, si konyol yang sempat
membuka mata, sekarang pejamkan mata lagi. Meski-
pun merasakan sakit luar biasa, sebenarnya hatinya
geli juga senang.
"A-d-u-h... di mana aku ini? Apakah aku sudah
meninggalkan dunia?" rintih si konyol setengah dibuat-
buat.
"Tidak! Oh, sukurlah kau masih hidup. Saking
girangnya puteri Saba memeluk kepala Pendekar
Blo'on dengan eratnya.
"Tumit-ku... eeh, tubuhku dingin sekali! A-ku
seperti mandi di kolam es! Darahku membeku, seli-
mut...!" kata si pemuda seperti orang mengigau. Puteri
Saba kebingungan.
"Tidak ada selimut...!"
"Aku mungkin segera mati."
"Tidak! Jangan!" pekik sang puteri.
"Peluk aku! Aku takut sekali!" desis Suro.
Ternyata puteri Saba benar-benar memeluknya.
"Cium aku, aku segera mati!" kata si konyol pu-
la.
Tanpa ragu-ragu dan sedikit gemetaran puteri
Saba menciumnya. Bukan di kening atau di pipi, me-
lainkan langsung di bibir.
"Jangan tinggalkan orang yang hendak mati.
Peluklah aku sambil di cium puteri. Karena Malaikat
malu mengambil nyawa orang yang sedang berci-
uman," lanjut Suro ngaco
Anehnya puteri Saba tidak menyadari bahwa
apa yang dikatakan Suro sungguh tidak masuk akal.
Ia melakukan apa yang diminta Suro, dipeluk sambil
dicium.
Tiba-tiba Suro menyambut pelukan pewaris ke-
rajaan Pasundan ini. Ia tertawa terkikik-kikik.
"Suro, kau...?" Puteri Saba merasa dirinya su-
dah di tipu.
Pendekar Blo'on tidak menghiraukannya. Ia
malah melumat bibir sang puteri yang merah merekah
dan sangat alami.
"Kau nakal sekali, Suro...!" desis gadis cantik
itu dengan nafas terengah-engah. Tokh ia tidak beru-
saha melepaskan diri dari pelukan Pendekar Blo'on. Ia
malah membalas pagutan Suro, bibir mereka saling
melumat dalam gejolak jiwa muda yang kian memanas.
Baik puteri Saba maupun Pendekar Blo'on sudah
hampir lupa siapa diri mereka masing-masing. Ciuman
si konyol berpindah ke pangkal leher puteri Saba yang
jenjang. Gadis ini mulai terbakar gairah yang memba-
ra. Dua kancing baju puteri Saba terlepas. Terlihatlah
bukit-bukit yang membusung, putih, indah dan me-
nantang. Murid Penghulu Siluman Kera Putih, menyu-
supkan wajahnya di celah kedua bukit yang menebar
bau harum itu, kecupan-kecupan yang lembut di ja-
tuhkan Suro di kedua bukit yang indah. Puteri Saba
semakin terbakar gairah sehingga semakin jelas suara
desis dan tarikan nafasnya yang tersengal. Tubuh sang
puteri menggeliat, matanya setengah terpejam, bibir-
nya merekah. Tampaknya ia menuntut Suro berbuat
lebih jauh lagi. Ia siap menyerahkan diri sepenuh jiwa
dan raganya. Namun Suro tiba-tiba memaki, wajahnya
menjauh. Lalu tangannya menepak-nepak keningnya.
"Bego, tolol, bodoh, goblok! Kita hampir gila,
hampir... hampir gila-gilaan...!" kata Pendekar Blo'on.
Seakan tersadar puteri Saba bangkit duduk
dan cepat mengancingkan bajunya yang terbuka. Pute-
ri Saba sempat melihat ada bekas merah di dadanya.
Gadis cantik itu tersipu malu, wajahnya bersemu me-
rah. Ia tundukkan kepala. Malu.
Hampir saja setan berhasil memperdaya mere-
ka.
"Maafkan aku, puteri. Maafkan...!"
Puteri Saba sama sekali tidak menyahut, wa-
jahnya semakin dalam tertunduk.
Tidak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini.
Ia sendiri terseret dalam gelora cintanya pada Suro.
Cinta yang sudah tidak mampu ia sembunyikan lagi.
Kedua muda mudi itu saling terdiam. Lamaaaa
sekali!
***
DELAPAN
Pendekar Kucar Kacir duduk gelisah, waktu itu
mereka sudah menyingkir cukup jauh juga dari istana.
Maling Jenaka sendiri sudah tidak sabar jika harus
menunggu lebih lama lagi. Apalagi Pangeran kocak ini
terkadang mencuri-curi pandang kepadanya.
Sebenarnya ia mengakui, Pangeran Demak Pati
cukup tampan juga, penampilannya sama sekali tidak
menunjukkan bahwa ia adalah putera mahkota. Ia se-
derhana dan bersahaja. Meskipun ada juga rasa suka
dalam hatinya. Rasanya ia lebih cenderung berat den-
gan si konyol Pendekar Blo'on.
Sayang sampai sekarang ia tidak tahu dimana
pemuda itu.
Terkadang ia merasa khawatir juga dengan ke-
selamatan pemuda berambut hitam kemerahan itu.
Namun ia lebih cemas lagi jika Suro bersama seorang
gadis. Seperti puteri Saba misalnya. Walau pun harus
di akui bahwa kecantikan Gadis tidak kalah bila di-
bandingkan dengan dirinya.
"Apa yang kau pikirkan, Maling, eh.... Gadis?
Kulihat keningnya berkerut seperti orang sakit perut
dan semburut. Apakah perlu diurut?" celetuk Pangeran
Demak Pati.
"Bisamu hanya bercanda saja Pendekar Kucar
Kacir! Hidupmu seperti tanpa, masalah dan beban, pa-
dahal persoalanmu belum lagi selesai!" dengus Gadis,
seraya memalingkan wajahnya ke arah lain.
"Masalahku memang rumit, kalau kupikirkan
kepalaku sakit. Rambut bisa rontok botak ubanan? La-
lu aku harus bagaimana?" sahut Pangeran Demak ter-
bodoh.
"Setiap hari kerjamu hanya membesarkan taik
mata melulu. Kau punya pikiran, tentu bisa kau per-
gunakan untuk cari jalan keluar, Pangeran sepertimu
pantasnya mati saja!"
"Jangan kau menghinaku, jelek-jelek begini aku
Pangeran!"
"Pangeran atau bukan kau sama saja tidak ada
gunanya. Pantasan Pangeran Suprana yang telah
mampus itu dapat memperdayamu, rasanya monyet
dungu pun bisa memperdayamu!" ejek Gadis.
"Kau jangan keterlaluan. Pangeran Suprana itu
licik, otaknya kotor. Tapi sekarang ia sudah mampus
juga. Mengapa kau seperti tidak suka padaku. Ada apa
rupanya?!"
"Aku cuma tidak suka pada tabiatmu yang ma-
sa bodoh, tidak perduli. Sudahlah, bosan aku berdebat
denganmu!"
"Sukur, aku juga bosan kok." sahut Pendekar
Kucar Kacir seenaknya. Maling Jenaka duduk lagi ti-
dak jauh dari hadapan si pemuda. Tiba-tiba ia men-
dengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya.
"Ssst! Ada orang kemari!" Lirih suara Gadis. Ia
memberi isyarat agar Pangeran Demak tidak bicara
apa-apa. Malah Maling Jenaka berniat untuk sem-
bunyi namun terlambat. Dua sosok tubuh telah sam-
pai di depan mereka. Melihat siapa yang datang Maling
Jenaka gembira, tapi bila melihat gadis yang menyertai
pemuda baju hijau itu bibirnya cemberut. Cemburu!
"Ah tidak kusangka, kalian enak-enakan paca-
ran di sini!" celetuk pemuda baju biru alias Suro Blondo.
Maling Jenaka mendelik.
"Bicara kau sekali lagi kutampar mulutmu!" ke-
tus suara Gadis.
"Mengapa kalian lama sekali?" tanya Pendekar
Kucar Kacir. "Kau pacaran dengan adikku, ya?"
Puteri Saba hanya terdiam. Suro cengengesan
sambil garuk-garuk kepala.
"Jangan suka curiga, biasanya maling memang
selalu teriak maling. Padahal melihat caramu meman-
dang kau tidak dapat mungkir sebenarnya kau kan ja-
tuh cinta pada Maling Jenaka?!" sahut Suro.
Wajah Gadis berubah merah seperti kepiting
rebus. Tiba-tiba ia melompat dan...
Plak!
Ditamparnya Suro hingga membuatnya ter-
huyung-huyung. Pemuda itu mendelik. Tanpa disang-
ka-sangka...
Plook!
"He he he! Kedudukan harus sama, satu-satu."
kata Pendekar Blo'on sambil usap-usap pipinya.
"Kau berani lancang menuduhku begitu?"
"Gadis! Aku bicara sungguhan, tidak percaya
tanya saja pada Pendekar pontang-panting itu?"
Gadis semakin marah.
"Benar kau jatuh cinta padaku?" tanya Maling
Jenaka alias Maling Cerdik.
Malu-malu Pangeran Demak Pati mengangguk.
"Entah mengapa aku jatuh cinta padamu! Tadi
malam aku mimpi kejatuhan bintang, lalu kejatuhan
bulan, kemudian kejatuhan duren!"
Suro langsung menanggapi. "Kalau begitu
mampuslah, kau!" kata Suro. Gadis tidak dapat ber-
buat apa-apa mendengar kenyataan ini.
"Sudah... sudah...! Mengapa kalian justru
memperdebatkan yang tidak perlu!" Puteri Saba yang
sedari tadi diam saja segera menengahi. Di sini jelas
tanda-tanda kepemimpinannya lebih menonjol di ban-
dingkan kakandanya. "Sekarang kanda harus jelaskan
pada kami bagaimana keadaan istana saat ini?"
"Lebih baik kau tanyakan saja pada Gadis! Dia
yang lakukan penyelidikan!" ujar Pangeran Demak Pa-
ti.
"Bagaimana saudari?"
Maling Cerdik tanpa menunggu lagi segera
menjelaskan apa yang dilihatnya. Pendekar Blo'on dan
puteri Saba mendengarkan penjelasan Gadis dengan
bersungguh-sungguh.
"Bagaimana menurutmu, Suro?" tanya puteri
Saba setelah mengetahui segala sesuatunya. Perlu di-
ketahui sejak kejadian malam tadi, puteri cantik ini
memang selalu menundukkan kepala bila bicara den-
gan Pendekar Blo'on.
"Aku punya satu cara, ini pun kalau kalian
mau melakukannya! Aku tidak memaksa!" ujar Suro.
"Bagaimana jika salah seorang diantara kalian masuk
ke istana berpura-pura sebagai perempuan yang ber-
sedia tidur dengan Singa Gunung atau lebih baik lagi
berpura-pura sebagai gadis yang membutuhkan per-
lindungan?!" usul Suro. "Dengan begitu kita punya ke-
sempatan menunggu di bawah kolong atau bersem-
bunyi di kamar yang selalu dipergunakan oleh Singa
Gunung untuk bersenang-senang!"
"Usul itu sangat berbahaya, tapi terus terang!
aku sendiri semula juga punya rencana begitu." sahut
Gadis sependapat.
"Persoalannya sekarang adalah siapa yang akan
menyelinap ke sana. Jika aku, besar kemungkinan
Singa Gunung sudah mengenalku!" kata sang puteri.
"Aku bisa melakukannya, tapi rasanya mau di-
taruh dimana mukaku ini?" kata Gadis tersipu-sipu
"Kalau begitu aku bersedia menyimpan muka-
mu untuk sementara!" celetuk Suro Blondo.
"Konyol! Jangan kau bergurau lagi!" dengus Pu-
teri Saba.
"Rasanya tidak ada jalan lain. Kita harus mela-
kukan apa saja yang dapat kita lakukan!"
"Jadi kau mau?" Pangeran Demak Pati belalak-
kan mata seakan tidak percaya dengan apa yang di-
dengarnya. "Bagaimana jika aku saja yang menyamar
sebagai perempuan?" Pemuda baju putih itu menawar-
kan diri.
"Kau ini bagaimana? Apakah mau mampus?
Kau kan punya tebu dan jambu kakek itu juga punya
tebu. Kalau sampai ketahuan kau nggak bakal menjadi
orang! Kau pikir enak jadi cacing tanah?" kata Suro
Blondo.
Semua langsung terdiam. Maling Jenaka sendi-
ri jadi ragu-ragu. Namun bukankah dia punya banyak
keahlian?
"Tidak usah gelisah. Rencana itu tidak perlu ki-
ta jalankan! Aku punya rencana lain!" ujar Gadis.
Secara terperinci kemudian ia membeberkan
rencana yang sangat mungkin untuk dikerjakan. Ren-
cana itu memang masuk akal, mengingat Gadis adalah
seorang maling juga copet yang sangat lihai.
"Kami setuju! Kami bertiga akan melindungimu
jika sampai terjadi apa-apa yang tidak diingini!" kata
yang lain-lainnya sependapat.
"Nanti bila keadaan sudah gelap kita mulai me-
nyelinap. Istana bagiku tidak asing, karena aku me-
mang mengetahui seluk beluknya!" kata Pangeran Demak.
Demikianlah rencana itu telah sama mereka
sepakati. Sekarang hanya tinggal menunggu waktu sa-
ja.
***
Matahari baru saja tenggelam di kaki bukit.
Keempat muda mudi itu kini telah bersiap-siap me-
lompati tembok istana. Tidak seorang pun di antara
mereka yang berani buka suara. Keadaan saat itu be-
nar-benar sangat mencekam sekali.
Baru saja mereka hendak bergerak. Terlihat
bayangan merah berkelebat ke arah orang-orang ini.
Gerakannya cepat luar biasa. Hingga beberapa saat sa-
ja ia telah berdiri di depan Pangeran Demak Pati. Lalu
terdengar suara seruan tertahan Suro Blondo.
"Guru...!!"
Ternyata yang datang memang Malaikat Be-
rambut Api. Si kakek rambut merah hanya menggu-
man tidak jelas. Puteri Saba, Pendekar Blo'on menjura
hormat dan segera diikuti oleh Gadis dan Pendekar
Kucar Kacir.
"Tidak usah memakai segala macam peradatan!
Kalian hendak kemana?" tanya Malaikat Rambut Api.
"Orang yang melarikan pedang ada di dalam is-
tana, guru. Ia sedang bersenang-senang dengan wani-
ta-wanita bekas kekasih Pangeran Suprana. Kami baru
saja hendak menyusup kesana. Tujuan kami tentu me-
rampas pedang itu di saat dia lengah!" jelas Pendekar
Mandau Jantan.
"Tindakan itu memang patut dipuji. Cuma ada
yang kalian tidak tahu. Pedang Penebar Bencana ada-
lah Pedang Berdarah. Ia punya rahasia tertentu yang
harus kalian ketahui. Senjata itu punya pasangan lain
Pusaka Pembawa Rahmat. Dulu almarhum guruku SiBayang Bayang mengatakan telah menciptakan pasan-
gannya. Pusaka Pembawa Rahmat aku tidak tahu be-
rada di mana. Sedangkan Angku Muda Pasak Langit
itu sendiri kesaktiannya sangat tinggi. Jika Pusaka
Pembawa Rahmat ada di sini, tentu kilauan sinarnya
dapat memupus sinar pedang Penebar Bencana. Den-
gan begitu ia tidak akan dapat membuat orang-orang
di sekelilingnya celaka. Kita tidak bisa menunggu da-
tangnya sebuah keajaiban. Kalian terdiri dari laki-laki
dan perempuan muda. Aku akan melindungi usaha
kalian. Cara lain masih ada, andai pedang itu dapat
kalian rebut. Maka sepasang dari kalian harus meme-
gang rangka Pedang. Jangan kalian sempat bercerai
berai, karena hal itu dapat membuat kalian menjadi
debu."
"Aku berpasangan dengan siapa guru? Apakah
harus berpasangan dengan Pangeran goblok ini?"
tanya Suro.
"Laki-laki dengan laki-laki bukan pasangan.
Laki-laki pasangannya adalah perempuan. Jika pedang
telah berada di tangan kalian. Urusan Singa Gunung
adalah bagianku. Tugas kalian hanya memegang pe-
dang itu secara berpasangan." jelas kakek Dewana.
"Usul guru. Apakah pedang itu berat? Hingga
harus berpasangan? Bukankah lebih enak di pegang
sendiri?" ujar Suro.
"Kalian berempat tidak tahu betapa tingginya
ilmu yang dimiliki oleh kakang seperguruanku itu. Ji-
ka ia berhasil merampas pedang itu dari tanganmu.
Maka semua akan binasa. Sedangkan jika kalian ber-
dua berhasil memegang rangkanya saja. Walau pun
pedang itu sendiri dapat di rampas oleh Singa Gunung.
Cahayanya tidak dapat menghancurkan kita. Apa yang
aku katakan ini adalah segala kemungkinan yang bak
al terjadi. Dalam hal ini aku lebih mempercayakan kau
bergabung dengan gadis baju hitam. Aku melihat dia
punya keahlian mencuri."
"Kalau begitu mari berangkat!" kata Pangeran
Demak Pati.
Mereka berlima segera melompati benteng ista-
na. Dapat dibayangkan betapa tingginya kesaktian
Angku Muda Pasak Langit. Sampai-sampai Malaikat
Berambut Api yang sakti mandraguna saja khawatir
dengan keselamatan mereka.
Orang-orang ini kemudian menyelinap dari satu
ruangan ke ruangan yang lain. Mereka sempat berte-
mu dengan beberapa orang gadis yang dalam keadaan
ketakutan. Namun ketika melihat di antara mereka
ada Pendekar Blo'on, maka legalah hati gadis-gadis ini.
"Setan tua itu berada di mana?" tanya Suro pa-
da salah seorang diantaranya.
"Dia ada di kamar lain sedang bersenang-
senang. Tapi tidak lama lagi ia pasti ke sini untuk
mengajak kami begini begitu!" sahut gadis itu malu-
malu.
"Nah, kita hanya tinggal menunggu! Sebaiknya
kita bersembunyi. Biar Suro dan Gadis yang menyeli-
nap di bawah kolong!" kata kakek Dewana. "Kalian
bersikaplah seperti biasa, kami akan menolong kalian
juga!" kata Malaikat Berambut Api di tujukan pada ga-
dis-gadis penghibur tersebut.
Setelah melihat gadis-gadis itu menganggukkan
kepala. Maka Malaikat Berambut Api segera menyeli-
nap pergi dengan di ikuti oleh Puteri Saba dan Pende-
kar Kucar Kacir.
Suro dan Maling Jenaka menyelinap ke bawah
kolong. Lama juga mereka menunggu. Akhirnya pintu
terbuka. Dari bawah kolong Suro dapat melihat kehadiran seorang kakek tua berwajah angker. Wajahnya
ditumbuhi jambang dan bewok lebat dan sudah me-
mutih.
Maling Jenaka keluarkan keringat dingin. Se-
dangkan Pendekar Blo'on menggerutu dalam hati.
"Orang ini sudah tua bangka. Bahkan mungkin
Malaikat maut sudah hampir menjemputnya. Heran-
nya aku dia lebih senang bermain becek."
Tidak lama Angku Muda Pasak Langit sudah,
merangkul salah seorang perempuan dari empat gadis
yang berada di dalam kamar.
"Mari kita bersenang-senang, gadis-gadisku!"
kata si kakek. Bersamaan dengan itu pakaian-pakaian
si gadis berjatuhan. Tubuh mereka telanjang seperti
bayi. Lalu terdengar suara derit di atas ranjang. Sebe-
lum perbuatan maksiat itu berlangsung, Angku Muda
Pasak Langit meletakkan Pedang Penebar Bencana di
pinggir ranjang dan tidak jauh darinya.
Selanjutnya terdengarlah desah dan rintihan-
rintihan berbau kemaksiatan. Suro memberi isyarat
pada Maling Jenaka untuk segera bertindak. Sedikit
demi sedikit mereka bergeser. Ketika tangan Suro
menggapai, yang terpegang justru paha salah seorang
gadis yang dalam keadaan polos. Untung gadis itu ti-
dak menjerit. Suro memaki dalam hati.
"Tangan sial, kau kusuruh mencari pedang.
Bukan meraba paha gadis murahan!"
Akhirnya ia berada di luar ranjang. Posisinya
dalam keadaan menelentang. Dua gadis yang berada di
bibir ranjang tentu terlihat olehnya. Wajah Suro me-
merah, matanya mencari-cari, hingga ia melihat pe-
dang itu. Cepat sekali diambilnya senjata maut itu.
Dengan sangat hati-hati sekali ia menyelinap
keluar bersama Maling Jenaka. Sampai di luar kamar,
sesuai pesan Malaikat Berambut Api pedang itu dipe-
ganginya bersama Gadis.
"Kita harus membawa pedang ini!" bisik Suro.
Ia berjalan ke bagian ruangan depan. Tapi Maling Je-
naka memilih ke belakang. Sehingga terjadilah saling
tarik-tarikan.
"Kau ini bagaimana, kita ke depan...!"
"Aku bilang ke belakang!" sahut Maling Jenaka.
Beda pendapat ini hampir membuat mereka berteng-
kar. Untung Malaikat berambut Api muncul.
"Mengapa kalian berdebat. Cepat kalian ber-
sembunyi ke belakang. Jangan sampai salah seorang
dari kalian melepaskan pedang itu. Kalau kalian letih
Pangeran Demak dan adiknya bisa menggantikan ka-
lian!" pesan Malaikat Rambut Api.
"Kakek sendiri hendak kemana?" tanya Suro
sebelum pergi.
"Bukan urusanmu! Aku dan Angku Muda Pa-
sak Langit punya urusan yang harus segera diselesai-
kan!" sahut si kakek.
Keempat muda mudi itu segera menghilang dari
pandangan Malaikat Berambut Api. Si kakek bergegas
menghampiri pintu.
***
SEMBILAN
Braaaak!
Pintu didobrak dan hancur. Gadis-gadis yang
berada di atas ranjang memekik ketakutan sambil me-
nutupi auratnya masing-masing dengan apa saja yang
berhasil mereka raih. Singa Gunung saking kagetnya
melompat berdiri sambil raih pedang. Ternyata pedang
telah lenyap. Pucat wajahnya ketika melihat kenyataan
Pedang Penebar Bencana sudah tidak ada lagi disitu.
Ia raih pakaiannya. Dengan tergesa-gesa ia memakai
pakaian itu.
Sedangkan gadis-gadis yang menemaninya se-
gera berhamburan keluar kamar tanpa sempat mema-
kai pakaiannya.
Malaikat Berambut Api memperhatikan bekas
saudara seperguruannya ini dengan sorot mata tajam,
dingin menusuk.
"Jahanam, akhirnya kita bertemu juga!" dengus
Singa Gunung sinis.
"Dulu kita berpisah dalam keadaan memalu-
kan, dan kini kita bertemu dalam keadaan memalukan
pula. Angku Muda Pasak Langit! Jika ada orang yang
paling biadab di kolong langit ini, kaulah orangnya.
Dulu kau bunuh guru kita, kemudian kau rusak ke-
hormatan adik sendiri, kau rusak pula wajahnya. Se-
hingga sepanjang sisa-sisa hidupnya ia menderita. Ke-
jahatanmu melebihi iblis, kebiadapanmu melebihi se-
tan! Kau curi pedang Penebar Bencana, lalu kau reng-
gut nyawa orang-orang yang tidak berdosa. Dalam
umurmu yang hampir di ujung batas kehidupanmu.
Kau sama sekali tidak pernah menunjukkan tanda-
tanda ingin bertobat!"
"Cukup!!" Singa Gunung berang. "Dewana! Ja-
lan hidup kita sejak dulu memang berbeda, seperti
bumi dengan langit. Tuhan memberimu wajah tampan.
Sedangkan aku si buruk rupa, perjalanan nasib dan
cintaku juga tidak beruntung, penuh kesialan, malah!
Sudah adilkah Tuhan memperlakukan aku seperti itu?
Kenyataan yang aku terima telah membuatku marah.
Apa artinya hidup ini jika penuh kesialan?"
Kakek Dewana tersenyum. Senyum pahit yang
melukiskan kesedihan hati juga kemarahan.
"Kau mempersoalkan sesuatu yang tidak abadi.
Hidupmu penuh kebencian, yang akhirnya hanya
mengundang angkara murka! Singa Gunung, ku tahu
setinggi apa kesaktianmu. Namun kebenaran menga-
takan agar aku jangan bersurut menuntut balas atas
kematian guru dan juga atas perbuatanmu pada Gaya-
tri!" ujar Malaikat Rambut Api dingin.
"Ha ha ha.... Aku tahu kau pasti menyuruh
muridmu mencuri pedang maut itu selagi aku lengah.
Bukan hanya kau saja yang punya murid." kata Singa
Gunung penuh rasa bangga.
Namun sebelum ia berkata lebih jauh Malaikat
berambut Api sudah memotong.
"Muridmu yang bergelar Hantu Liang Lahat su-
dah mati di tangan muridku! Sekarang tanpa Pedang
Penebar Bencana, kita akan mengadu kesaktian hing-
ga salah seorang diantara kita ada yang mati." dingin
suara si kakek rambut merah.
"Keparat bermulut besar! Kau lihatlah ini!" te-
riak Angku Muda Pasak Langit.
Tiba-tiba saja Singa Gunung acungkan telun-
juknya ke arah tembok kamar. Tidak terlihat apa pun
melesat dari tangan Singa Gunung. Tiba-tiba pula
dinding tembok berlubang.
Mata kakek Dewana menyipit. Mulutnya meng-
gembung, lalu meniup. Tidak ada hembusan angin
yang keluar dari celah-celah bibirnya. Namun...
Brool...!
Dinding di belakang Singa Gunung runtuh.
Sehingga terlihatlah halaman samping istana
melalui bagian besar dinding yang hancur.
"Itu adalah jalan keluar, Angku Muda Pasak
Langit! Disana adalah kesempatan antara kau dan aku
untuk hidup atau mati!" kata si kakek.
"Itu adalah yang kutunggu. Setelah sekian lama
terpisah, sekarang ada saat yang paling menentukan.
Sesungguhnya siapa yang paling pantas hidup di per-
mukaan bumi ini!" sambut Singa Gunung.
Kemudian tanpa bicara apa-apa, Singa Gunung
keluar melalui dinding yang hancur itu. Malaikat Be-
rambut Api segera menyusulnya.
Di halaman samping istana yang hanya dite-
rangi oleh cahaya terang bulan purnama mereka saling
berhadap-hadapan.
"Huh...!"
Singa Gunung mendengus. Ketika ia hantam-
kan tangannya ke tanah, terdengar dentuman keras.
Tanah berlubang besar.
"Disini kuburmu!" teriak Angku Muda Pasak
Langit.
Tidak mau kalah, kakek Dewana juga hantam-
kan tangannya. Sinar merah menghantam tanah di
sampingnya. Lagi-lagi terdengar ledakan dahsyat. Ta-
nah itu berlubang cukup dalam.
"Telah kusediakan pula kubur untukmu!" den-
gus Malaikat Berambut Api. Manusia-manusia sakti
itu memang saling unjuk kesaktiannya masing-masing.
Jika Suro menyaksikan hal ini, pasti ia tercengang-
cengang karena takjubnya.
Tiba-tiba saja dua-duanya saling membentak.
Dua sosok tubuh melayang sama-sama mendekati.
Angin dingin berkesir. Lalu terjadi benturan hebat di
saat kedua tangan saling beradu.
Duung!
Singa Gunung berjumplitan seperti terdorong
ke belakang. Kakek Dewana bersalto beberapa kali.
Kemudian menjejakkan kakinya tanpa kekurangan su-
atu apapun.
Singa Gunung kaget juga, bekas adik sepergu-
ruannya ternyata tidak menderita apa-apa. Padahal
tadi ia hantamkan pukulan Tangan Waja.
"Sebentar lagi segera kau lihat kematianmu!"
teriak Singa Gunung. Ia segera putar-putar tangannya,
kedua tangan itu sebentar saja telah berubah semerah
bara.
"'Ajian Sungsang Jiwa'!" desis Malaikat Beram-
but Api.
Tidak ada kemungkinan lain yang dapat me-
nandingi ajian yang membinasakan itu. Ia segera per-
gunakan jurus 'Neraka Pembasmi Iblis'. Salah satu ju-
rus dahsyat yang diciptakannya puluhan tahun silam.
Singa Gunung hentakkan kedua tangannya ke
arah lawan, Malaikat Berambut Api berteriak tinggi,
tubuhnya melesat secepat kilat. Seakan ia menyong-
song sinar maut yang membinasakan itu.
Kakek Dewana merasa tubuhnya seperti ter-
panggang api. Namun ia terus menerobos sinar tadi.
Lalu tangannya menghantam dada Singa Gunung.
Duuuk!
Singa Gunung tergontai-gontai, tawanya malah
meledak. Malaikat Berambut Api hantamkan lututnya
ke perut lawan.
Dess!
Bruuuuk!
Tendangan itu mampu mendorong lawan bebe-
rapa langkah ke belakang. Hebatnya Singa Gunung
seperti tidak merasakan sakit sama sekali. Padahal
Malaikat Berambut Api sudah mengerahkan setengah
dari tenaga dalam yang dimilikinya.
Singa Gunung membalas dalam pertempuran
jarak dekat. Dua kali tinjunya mendarat di wajah be-
kas adik seperguruannya. Malaikat Berambut Api, jan-
gankan roboh, bergeming pun tidak.
Akhirnya mereka pun mulai menyerang dengan
mengerahkan jurus-jurus andalan masing-masing. Se-
tiap serangan atau gerakan apapun selalu menimbul-
kan badai angin yang menggila menderu-deru.
Inilah pertarungan antara hidup dan mati to-
koh-tokoh tingkat atas yang benar-benar jarang terjadi
di rimba persilatan. Udara di sekeliling mereka pun
menjadi redup dipenuhi debu dan pasir yang berter-
bangan.
Setiap bentakan adalah gelegar suara yang me-
nulikan telinga. Pertarungan itu berlangsung cepat,
hingga dalam waktu singkat saja sudah melewati pu-
luhan jurus.
Waktu berlalu, berganti dengan pagi. Baik ka-
kek Dewana maupun Singa Gunung sama sudah men-
gerahkan segenap kemampuan yang mereka miliki.
Sebagian istana Pasundan porak poranda.
Sementara Suro dan Gadis yang sudah letih
memegang pedang mulai kasak-kusuk.
"Aku mengkhawatirkan keselamatan kakekku!
Mereka bertarung hampir semalam suntuk. Aku pun
sudah letih menunggu, letih pula memegang pedang!"
ujar Suro.
"Biar aku yang menggantikannya dengan kanda
Pangeran." kata puteri Saba.
"Peganglah, aku ingin melihat apa yang terjadi
di depan sana!" Pendekar Blo'on segera menyerahkan
pedang itu ke tangan Pendekar Kucar Kacir dan adik-
nya. Suro segera melompat ke depan.
"Sebaiknya kita ikuti dia!" usul Pendekar Kucar Kacir.
"Jangan, hal itu sangat berbahaya." cegah Pute-
ri Saba.
"Kita disini hanya berdua, Maling Jenaka sudah
menyusul ke sana!" kata si pemuda tetap ngotot.
Puteri Saba akhirnya mengalah dan mengikuti
kemauan Pangeran Demak. Mereka berjalan beririn-
gan. Sampai di depan, Suro melihat pakaian gurunya
sudah tercabik-cabik. Sedangkan Singa Gunung sendi-
ri tampaknya sudah terluka. Mereka sudah sama-
sama letih,
Sebenarnya Pendekar Blo'on ingin terjun ke ka-
langan pertempuran. Namun ia tidak berani melaku-
kannya. Bukankah bila orang-orang gagah sedang ber-
tarung tidak boleh main keroyok seperti tokoh-tokoh
aliran sesat? Sekarang Suro hanya menunggu dan
menjaga segala kemungkinan. Ia kaget melihat Maling
Jenaka menyusulnya. Dan lebih kaget lagi ketika meli-
hat Puteri Saba dan Pangeran Demak menyusul pula.
Ini sempat di lihat oleh Singa Gunung. Kakek
tua yang dapat mengambil suatu benda dari jarak jauh
ini tiba-tiba menyentakkan tangannya. Pedang Penebar
bencana melayang ke arahnya dalam keadaan telan-
jang. Herannya pedang maut itu tidak memancarkan
sinar. Mungkin seperti kata kakek Dewana, bila rangka
pedang dipegang oleh sepasang insan berlainan jenis.
Maka senjata itu kehilangan kharismanya. Singa Gu-
nung tahu persis rahasia ini. Jadi caranya untuk
menghancurkan lawan, adalah membunuh terlebih
dahulu pemuda dan gadis yang memegang rangka pe-
dang itu.
Malaikat Berambut Api kaget melihat Pedang
Pemersatu sekarang telah berada di tangan Singa Gu-
nung. Suro, Maling Jenaka, puteri Saba dan Pendekar
Kucar Kacir juga tidak kalah kagetnya melihat pedang
bisa tercabut dari warangkanya, lalu melayang ke arah
musuh. Wajah mereka berubah pucat ketakutan.
"Kalian goblok dan tolol semua. Sudah kukata-
kan jangan menyusul kemari, sekarang akibat dari ke-
bodohan kalian bisa lihat sendiri!" teriak si kakek gu-
sar. "Jangan lepaskan rangka pedang itu!" katanya
memberi peringatan.
"Ha ha ha...! Jika kubunuh mereka yang me-
megang rangka pedang ini. Berarti senjata ini akan
memancarkan cahaya lagi. Dan kalian yang ada disini
akan hangus semua!" kata Singa Gunung.
Dengan cepat tubuhnya melesat, bukan menye-
rang Malaikat Berambut Api dengan pedang tersebut.
Ia bergerak ke arah puteri Saba dan Pangeran Demak.
Pendekar Blo'on cabut mandau dan merintangi ke de-
pan. Malaikat Berambut Api sadar betul apa yang akan
dilakukan oleh Singa Gunung. Ia ingin melakukan tin-
dakan penyelamatan, tapi jaraknya sangat jauh sekali.
Begitu pula ia masih memburu.
"Menyingkir pemuda tolol! Atau...! Hiya...!"
Pedang Penebar Bencana meluncur terus ke pe-
rut Suro. Namun pemuda ini segera melompat ke
samping sambil menangkis dengan mandaunya.
Traang!
Api memijar dari kedua senjata yang sempat
beradu tadi. Suro berguling-guling. Tangannya lang-
sung melepuh sedangkan mandau hampir saja terle-
pas. Kesempatan ini tidak di sia-siakan oleh Singa Gu-
nung, ia berbalik dan hantamkan pedang ke tangan
puteri Saba dan Pangeran Demak.
Hanya setengah jengkal lagi senjata maut itu
membabat putus kedua muda-mudi itu. Tiba-tiba ter-
lihat sinar putih berkelebat, sinar itu menangkis.
Trek!
Singa Gunung menjerit, tubuhnya terpental.
Sinar putih yang ternyata memancar dari pedang te-
lanjang di tangan seorang nenek berwajah rusak telah
mendorongnya. Jadi bukan tenaga si nenek yang
membuatnya terjengkang. Nenek baju hitam berdiri
membelakangi Puteri Saba siap melindungi.
"Jangan salah seorang pun diantara kalian
yang lepaskan rangka pedang itu." kata El Maut men-
gisiki.
Sekarang perhatiannya beralih pada Singa Gu-
nung. Tua bangka yang membuatnya menderita lahir
dan batin.
"Pedang Pusaka Pembawa Rahmat...!" desis
Singa Gunung kaget.
Ia sadar betul, meskipun ia memegang Pedang
Penebar Bencana, tanpa warangkanya posisi Singa
Gunung semakin lemah. Apalagi kini El Maut meme-
gang pedang Pembawa Rahmat yang merupakan senja-
ta pamungkas yang dapat menandingi pedang Penebar
Bencana. Dengan nekad ia bangkit berdiri. Dengan
senjata itu ia menyerang secara membabi buta. Malai-
kat Berambut Api sadar betul bagaimana pun El Maut
masih kalah dalam hal tenaga dalam dengan Singa
Gunung. Untuk itu ia tidak tinggal diam. Kakek ini le-
paskan ikat pinggangnya yang berwarna merah.
Mendapat serangan dari dua musuh bebuyutan
ini. Singa Gunung meskipun bersenjata pedang terde-
sak juga.
"Manusia-manusia pengecut. Kalian mengaku
sebagai golongan dan orang-orang terhormat. Memalu-
kan sekali ternyata kalian hanya bisa main keroyokan!"
ejeknya.
"Jangan banyak bicara! Kau harus mampus,
kau harus mampus!" teriak El Maut sambil membacokkan senjatanya.
Sinar putih berkelebat-kelebat. Sekejap saja
Singa Gunung telah terkurung sinar pusaka pembawa
rahmat. Singa Gunung hanya dapat menangkis tanpa
mampu membalas serangan yang dilakukan oleh dua
tokoh sakti ini. Kakek Dewana hantamkan ikat ping-
gang ke punggung lawan. Singa Gunung menangkis...
Traang!
Dua-duanya terhuyung. Kesempatan ini diper-
gunakan oleh El Maut. Ia kibaskan senjata di tangan-
nya.
Tees!
"Akhhk...!"
Darah menyembur, tangan Singa Gunung yang
memegang pedang terbabat putus. Ia sambil menjerit
kesakitan coba memungut pedang yang jatuh bersama
potongan tangan kanannya. El Maut sudah tidak
memberinya kesempatan.
Craas!
Tangan kiri Singa Gunung putus lagi. Malaikat
Berambut Api segera memungut pedang Penebar Ben-
cana dan menyarungkannya ke dalam warangka yang
di ambilnya dari tangan kedua muda mudi itu.
Singa Gunung menjerit-jerit. El Maut dengan
penuh dendam membabat kaki orang yang dibencinya.
"Ini hadiah untukmu karena merampas kehor-
matanku! Sedangkan yang ini pembalasan untuk
guru!" teriaknya. Sekejap saja Singa Gunung telah ke-
hilangan kedua kaki dan tangannya. Ia melolong-lolong
dalam keputus asaan dan rasa sakit yang mendera.
"Bunuh saja aku, bunuh!" jeritnya.
"Aku memang akan membunuhmu! Untuk wa-
jahku yang kau rusak, kepalamu gantinya!"
Pusaka Pembawa Rahmat melayang lagi dan...
Crees!
Kepala Singa Gunung menggelinding. Tubuh
tanpa tangan, tanpa kepala dan tanpa kaki menggele-
par. Kemudian diam. El Maut bermaksud mencincang-
nya. Tapi sebuah tangan mencegahnya.
"Jangan kau lakukan kekejian itu Gayatri. Dia
sudah mati!" kata kakek Dewana dengan suara serak
menahan haru.
"Mengapa guru main keroyok?" tanya Suro me-
rasa tidak suka.
"Suro, persoalan kami dengan Singa Gunung
siapapun tidak boleh mencampuri. Ini termasuk uru-
san besar. Engkau sendiri takkan mampu menghadapi
uwa gurumu." jawab si kakek.
"Pemuda tolol itu muridmu?" tanya El Maut.
"Ia bahkan cucuku!" sahut si kakek.
"Dan nenek adalah bibi guruku! Meskipun ber-
saudara jauh, kalau di hitung-hitung puteri Saba ma-
sih kerabat juga." kata Suro sambil nyengir.
"Aku juga, Suro!" kata Pangeran Demak tidak
mau kalah.
"Entahlah, jika harus mengakui, aku masih pi-
kir-pikir. Masalahnya kau Pangeran goblok sih!"
"Kau sendiri tolol!"
"Kalian sama saja!" Gadis menimpali.
"Gayatri. Lupakanlah masa lalumu! Berhubung
raja Jasa Raga adalah muridmu. Alangkah lebih baik
kau urus putra putrinya. Mereka memerlukan bimbin-
ganmu. Bantu mereka, dan kalau Gadis mau rasanya
ia pantas berjodoh dengan Pangeran Demak Pati agar
pemuda ini tidak mengembara melulu." kata si kakek
sambil melirik ke arah Gadis. Maling Jenaka tersipu-
sipu.
"Aku, guru...?" tanya si konyol sambil nyengir.
"Kau, boleh-boleh saja. Nanti setelah lebaran
monyet!" ucap si kakek sambil berkelebat pergi.
"Kau dengan adikku saja, bagaimana?" tawar
Pendekar Kucar Kacir.
Suro garuk-garuk kepala.
"Iya, nanti. Kata guru setelah lebaran monyet!"
Waktu itu Gadis berbisik-bisik pada nenek El Maut,
"Lebaran monyet tidak pernah ada. Kau dikada-
li gurumu!" kata Pendekar Kucar Kacir. Seraya menye-
rahkan mahkota kerajaan pada adiknya.
"Ha ha ha...! Entahlah, aku bingung!" Suro me-
nyahuti. Ia segera berkelebat pergi. Puteri Saba merasa
Suro sempat menempelkan telunjuknya di bibir sang
puteri. Gadis itu meraba bibirnya, ia merasa ada sesu-
atu yang hilang dari hatinya. Ini membuatnya sedih.
"Suro, tungguu...!" Gadis mengejar ke arah
menghilangnya pemuda itu. Pangeran Demak jadi
khawatir.
"Maling Jenaka! Akh... nenek, bagaimana ini.
Mengapa Gadis yang kucintai malah menyusul monyet
gondrong itu?" katanya kecewa.
El Maut untuk pertama kalinya tersenyum.
"Hust, diamlah. Tadi ia sudah berbisik padaku.
Mungkin dia mau menerimamu sebagai suaminya. Ta-
pi ia harus bicara dengan Suro dulu!" kata El Maut.
Pangeran Demak Pati kegirangan. Sedangkan
puteri Saba hanya diam. Tatapan matanya sendu me-
mandang ke arah perginya Suro.
Dua purnama kemudian pesta pernikahan an-
tara Pangeran Demak Pati dengan Gadis berlangsung.
El Maut yang merestui hubungan mereka. Pedang Pe-
nebar Bencana diserahkan pada puteri Saba oleh El
Maut. Sedangkan pedang Pembawa Rahmat dipercaya-
kan pada Pangeran Demak. Kedua kakak beradik ini
membangun kerajaan dengan dibantu Gadis. Dalam
pimpinan puteri Saba, kejayaan kerajaan dapat pulih
sebagaimana dulu ketika ayah mereka masih hidup.
Hal ini juga tidak luput dari bantuan nenek El Maut.
Puteri Saba ternyata memang tidak dapat me-
lupakan Suro, pemuda yang pernah memberi sentuhan
indah padanya. Dalam kesendiriannya, puteri me-
manggil seorang ahli lukis untuk membuat gambar Su-
ro Blondo. Begitu dalam cintanya, hingga gambar pe-
muda itu dipajang di kamar pribadinya.
Akankah puteri Saba yang jelita, baik hati dan
lembut itu bertemu dengan Pendekar Blo'on? Hanya waktu yang akan
menjawabnya.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar