..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Selasa, 04 Februari 2025

PENDEKAR PULAU NERAKA EPISODE TITISAN SILUMAN HARIMAU

Titisan Siluman Harimau

 

TITISAN SILUMAN 
HARIMAU
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992 
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta 
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak 
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Titisan Siluman Harimau

SATU

Matahari belum lagi tepat di atas kepala ketika me-
reka beristirahat di tepi hutan. Tapi panasnya bukan 
main. Sejak tadi Tiren terus berjingkrakan sambil men-
jerit beberapa kali. Kemudian hewan kecil berbulu hi-
tam kecoklatan itu melompat dari satu cabang pohon 
ke cabang pohon yang lain ketika dilihatnya Bayu me-
nangkap seekor kelinci untuk makan siangnya.
"Kaaaakh...!"
"Hei...!"
Bayu terkejut mendengar suara itu, Dan mengge-
lengkan kepala ketika dilihatnya Tiren kembali sambil 
menenteng daun pisang kering yang dibuat seperti ke-
ranjang. Di dalamnya penuh berisi buah-buahan se-
gar. Wajah hewan kecil itu tampak meringis sambil 
menahan berat bawaannya…
"Makanya, kalau untuk urusan perut jangan sera-
kah...." 
"Nguk! Nguuuk…!"
"Daging kelinci ini kan cukup untuk kita berdua."
"Kaaakh...!"
Tiren jungkir balik di tanah setelah meletakkan 
bawaannya. Kemudian menuding-nuding Bayu dan 
daging kelinci yang sedang dipanggang bergantian.
"Ha ha ha ha...!"
"Nguk!"
"Maaf Tiren, aku cuma bercanda. Kau tentu tak 
suka daging kelinci ini bukan?"
Tiren menganggukkan kepala, kemudian mulai 
menggerogoti buah-buahan yang tadi dibawanya. Di-
lemparnya beberapa buah ke arah Bayu.
"Hup!"
"Aaaah, segar betul rasanya...."

Bayu menepuk-nepuk perutnya. Daging kelinci tadi 
telah tandas semua. Dan setelah habis buah-buahan 
mereka berdua, Bayu merebahkan tubuh di bawah se-
buah batang pohon besar. Tiren sendiri tampak masih 
bergelantungan di cabang-cabang pohon sambil ber-
main-main.
Angin bertiup semilir membuat suasana siang yang 
terik itu menambah rasa kantuk Bayu.
"Keaaakh...!"
"Heh?!"
Bayu tersentak kaget. Tiren berdiri di depannya 
sambil berjingkrak-jingkrak dengan. suara ribut. Tan-
gannya menunjuk pada satu arah.
"Ada apa Tiren?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menarik-narik lengan Bayu seperti hendak 
menunjukkan sesuatu. Dengan malas Bayu bangkit 
dan mengikuti langkah Tiren.
"Nguk!"
"Sebentar, mataku masih mengantuk. Ada apa bu-
ru-buru? Seperti dikejar harimau saja kau ini."
Tapi Tiren seperti tak perduli. Monyet kecil itu te-
rus menarik-narik tangan Bayu sambil terus melompat 
ke cabang pohon. Bayu cepat mengerti. Dia segera 
menggenjot tubuh, dan sebentar saja telah melesat da-
ri satu cabang pohon ke cabang pohon lain seperti ber-
lomba dengan monyet kecil itu.
Tiba di satu dataran yang agak luas, Bayu ter-
kejut. Belasan ekor burung nazar berkeliling di angka-
sa. Di bawahnya terlihat pemandangan yang menge-
naskan dari puluhan orang yang tergeletak tanpa nya-
wa.
"Astaga! Apa yang telah terjadi pada mereka?!"
"Nguk!"
Bayu langsung mendekat sambil memeriksa mayat

mayat yang bergelimpangan itu satu persatu. Tubuh 
mereka terkoyak-koyak seperti dicabik binatang buas. 
Dari pakaian serta beberapa gerobak yang terdapat di 
situ dia menduga mereka adalah para pengantar ba-
rang.
"Hus... hus!"
Diusirnya beberapa ekor burung pemakan bangkai 
yang akan mematuk-matuk mayat-mayat itu sambil te-
rus memeriksa kalau saja ada di antara mereka yang 
masih hidup.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Ada apa Tiren?"
Bayu mendekat pada sebuah gerobak yang di-
temukan Tiren. Di antara tumpukan barang terlihat 
seorang bocah kecil berusia sekitar tujuh tahun merin-
tih lemah. Buru-buru Bayu menggendong bocah itu 
dan dibawanya ke luar. Ternyata bocah itu perempuan.
"Tiren, coba kau carikan air untuknya. Agak-nya 
bocah ini masih bisa diselamatkan."
"Nguuuk...!"
Tiren monyet kecil cerdik itu cepat menjalan-kan 
perintah.
*
* *
Bayu mengurut-urut beberapa bagian tubuh bocah 
perempuan itu beberapa saat kemudian. Ketika bocah 
itu mulai menggeliat lemah, buru-buru dituangkan be-
berapa teguk air.
"Gluk! Aaaaah...!"
"Ayo bocah, minum air ini yang banyak agar tu-
buhmu terasa lebih segar."
Bocah perempuan itu membuka kelopak matanya. 
Yang pertama dilihatnya seorang pemuda berambut

gondrong berwajah tampan dan keras.
"Siapa...?"
"Jangan takut, Bocah. Namaku Bayu, dan ini ka-
wanku, Tiren," jelas Bayu sambil tersenyum ramah.
"Nguk! Nguuk!"
Monyet kecil itu melompat-lompat di tanah sambil 
menyeringai lebar menunjukkan tanda persahabatan-
nya.
"Mana Paman-paman yang lain?"
"Paman? Siapa yang kau maksud dengan Paman-
pamanmu? Apakah mereka yang tewas itu?"
"Apa? Mereka telah tewas?!"
Bocah perempuan itu segera bangkit dan memper-
hatikan ke sekitarnya.
"Paman! Paman!" panggilnya sambil berlari kecil ke 
arah mayat-mayat yang bergelimpangan itu.
"Ooh, kenapa jadi begini? Bangun, Paman...! Ban-
gun...!"
"Sudahlah adik manis, mereka tak mungkin bang-
kit lagi," bujuk Bayu menarik lengan bocah perempuan 
itu yang berusaha berontak.
"Tidak! Tidaaak! Mereka harus bangun, Paman! 
Mereka harus bangun dan mengantarkan ku pulang!"
"Pulang? Memangnya rumahmu di mana? Biar Pa-
man yang akan mengantarkanmu pulang."
Bocah perempuan itu menatap wajah Bayu bebe-
rapa saat kemudian. Wajah itu menunjukkan ketaba-
han luar biasa. Bola matanya jernih berbinar-binar. 
Dan rasanya bocah ini adalah bocah periang sebelum 
kejadian ini. Kasihan, seharusnya dia kini sedang ber-
suka ria sambil tertawa-tawa. Walau tak merasa takut 
terhadap Bayu, namun ada rasa curiga di hatinya ter-
hadap orang asing di hadapannya itu.
"Paman melarangku untuk percaya pada orang 
yang tidak dikenal. Banyak orang yang bermaksud

baik tapi sebenarnya berhati jahat...."
"Kalau demikian biarlah aku yang bermaksud jahat 
tapi berhati baik? Kau tentu percaya bukan?"
Bocah perempuan itu berdiam sesaat, kemudian 
tersenyum manis.
"Orang yang bermaksud jahat biasanya sering me-
lakukan niat jahatnya itu. Mungkin Paman juga akan 
begitu nantinya...." sahut bocah yang kelihatan cerdik 
itu.
Bayu menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil.
"Kau cerdik sekali adik manis, tapi ingat, setiap 
orang yang akan bermaksud jahat pada kita pasti ada 
sesuatu yang diinginkannya. Entah berupa harta ben-
da atau tebusan kepada orang tuanya. Tapi kalau Pa-
man ingin berbuat jahat padamu, apa yang Paman in-
car? Paman tidak tahu orang tuamu kaya atau miskin, 
Paman juga tidak melihat ada benda berharga yang 
kau bawa. Nah, mana mungkin Paman akan berniat 
jahat padamu?"
Bocah kecil itu sejak pembicaraan mereka tak hen-
ti-hentinya menatap Bayu. Seolah ingin me-yakinkan 
pada hatinya sendiri akan kebaikan hati Bayu. Kemu-
dian kembali ia tersenyum gemas.
"Sungguhkah Paman akan mengantarkan ku pu-
lang?"
"Tentu saja."
"Tapi bagaimana dengan barang-barang ini?"
"Nanti akan kita bawa bersama. Eh, ngomong-
ngomong kau belum memperkenalkan nama adik kecil. 
Siapa namamu?"
"Namaku Juminten, Paman."
"Juminten?"
Bayu berpikir sejenak. Melihat penampilan dan ca-
ranya berbicara bocah perempuan ini bukan berasal 
dari kaum petani. Paling tidak dia anak seorang har

tawan. Tapi kok namanya Juminten? Seperti nama 
anak petani?
"Baiklah, Juminten. Mari kita berangkat sekarang." 
Bayu bersiap-siap menuju gerobak yang di-
anggapnya masih baik dan memindahkan isi gerobak 
lain ke situ. Tapi Juminten masih ragu dan mematung 
di tempatnya tadi. Terpaksa Bayu menghampirinya 
kembali.
"Ada apa lagi? Kau tidak mau pulang?"
"Bukan. Tapi bagaimana dengan nasib Paman-
paman ini?" tunjuknya pada mayat-mayat yang berge-
limpangan itu.
"Nanti juga ada yang mengurusinya."
"Siapa? Apakah burung-burung pemakan bangkai 
itu? Aku tak akan pergi sebelum kita menguburkan 
mayat-mayat ini!" sentak Juminten.
Bayu menghela nafas. Buatnya tak jadi ma-salah, 
apakah mayat-mayat itu harus dikubur atau tidak. 
Yang jadi masalah hanya bila dia mengubur mayat-
mayat itu tentu tenaganya banyak terkuras, dan hal 
itu akan sangat menjengkelkan. Bagaimana tidak? 
Mayat-mayat itu saja jumlahnya tak kurang dari tiga 
belas orang.
"Mereka satukan saja dalam satu lubang besar ya?"
"Tidak, Paman! Aku tak tega mereka berhimpit-
himpitan!"
"Orang yang sudah mati tak akan merasakan apa-
apa, adik kecil."
"Pokoknya tidak mau! Mereka harus dikubur sen-
diri-sendiri!" bantah Juminten.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al. Tiren sendiri sudah sejak tadi menjerit kecil berkali-
kali sambil melompat kesatu cabang pohon dan meng-
garuk-garuk kepalanya, bahkan Tiren seperti tahu 
akan kekesalan hati Bayu. Dia berulang kali mendekat

dan menarik-narik lengan baju Pendekar Pulau Neraka 
seperti hendak mengajaknya untuk cepat-cepat pergi 
saja dari situ. Bayu bukannya tak mengerti, tapi dia 
betul-betul tak tega meninggalkan Juminten seorang 
diri di tempat ini.
"Ayolah, Paman. Kita kuburkan mereka satu per 
satu. Aku kuat menggali lubang buat mereka!"
"Kau kuat? Nah, buatlah lubangnya dulu baru 
nanti Paman yang angkat mereka." sahut Bayu seke-
nanya.
Juminten cemberut dengan wajah kesal.
"Aku kuat kalau untuk mengeluarkan tanahnya 
sedikit-sedikit, tapi yang membuat lubang yah harus 
Paman!"
"Memangnya mereka itu apamu?"
"Paman-paman ku! Bukankah tadi sudah ku-
ceritakan pada Paman?"
"Heh?!"
Bayu tiba-tiba saja tersentak ketika ingat se-suatu.
"Juminten, kau belum menceritakan padaku, keja-
dian apa yang menimpa mereka? Apakah kalian dibeg-
al oleh sekawanan Perampok atau diserang harimau 
buas?"
Mendengar pertanyaan itu, Juminten terdiam bebe-
rapa saat lamanya. Rasa ketakutan mulai membayang
diwajahnya, dan bocah perempuan itu seperti tergagap 
ketika mulutnya bergetar hebat.
"Tenang Juminten, kau aman bersamaku. Cerita-
kanlah, apa yang telah menimpa kalian?" bujuk Bayu 
meyakinkan bocah kecil itu.
"Paman, aku takut sekali...."
Juminten tiba-tiba memeluk tubuh kekar itu sam-
bil berusaha meleburkan ketakutan hatinya di pelukan 
Bayu. Bayu sendiri mengelus-elus rambut Juminten 
sambil terus berusaha menenangkan hatinya.

"Kau tak perlu takut. Paman akan menjagamu 
sampai kau tiba di rumah orang tuamu. Nah, se-
karang ceritakanlah. Apa sebenarnya yang terjadi den-
gan rombongan kalian?"
Perlahan-lahan Juminten melepaskan pelukannya 
sambil menghapus airmata yang tadi merembang di 
kedua kelopak matanya.
"Kami... kami dihadang oleh...."
"Ha ha ha ha...!"
Terdengar tawa yang menggelegar menghen-tikan 
kata-kata Juminten. Keduanya tersentak kaget. Tiren 
sampai mencelat ke pundak Bayu. Tak jauh dari mere-
ka berdiri tiga sosok tubuh kekar. Wajah mereka ga-
rang dan tak bersahabat. Dua orang memegang sebilah 
golok besar, dan seorang lagi terlihat sebuah keris ter-
selip di pinggang kiri.
"Siapa kalian, Ki sanak. Dan ada keperluan apa da-
tang dengan tiba-tiba?" tanya Bayu dengan nada datar. 
Walau batinnya mengatakan mereka bermaksud bu-
ruk, tapi Bayu mencoba bersikap bersahabat.
"Namaku Reksopati, dan kedua orang ini ada-lah 
anak buahku, Drupala dan Drupali. Kami bertiga ter-
kenal dengan gelar Jagal Maut Alas Roban. Siapa pun 
yang memasuki kawasan hutan ini harus membayar 
upeti kalau ingin nyawanya selamat!" jelas orang yang 
berada di tengah.
Sikap orang itu sombong sekali kelihatannya. Apa-
lagi ketika dia berkacak pinggang. Sepasang matanya 
melotot garang dengan kumis tipis yang turun naik 
seirama dengan nada suaranya. Orang inilah yang 
memiliki senjata keris di pinggangnya.
"Hem, kalian rupanya yang punya gelar hebat itu?" 
sindir Bayu sambil tersenyum kecil.
"Apa yang kalian mau dari kami?"
"Serahkan isi gerobak-gerobak itu!"

Bayu melirik ke arah Juminten, kemudian katanya 
sambil berbisik.
"Apakah isi gerobak-gerobak itu barang-barang 
berharga, Juminten?"
"Kalau pun bukan barang-barang berharga, tapi 
barang-barang itu harus sampai pada pemiliknya yang 
sah. Kalau tidak usaha paman ku nanti tak akan di-
percaya orang lagi." sahut Juminten tegas.
"Kau benar, Juminten. Lagipula orang-orang itu 
sombong sekali. Baiknya kita hajar saja ya...?"
Juminten memandang pemuda, itu yang tersenyum 
kecil padanya. Dasar bocah nakal, dia malah men-
gangguk setuju sambil berseru girang.
"Iya, Paman. Hajar saja orang itu! Aku pun sebal 
melihat tingkahnya yang sombong."
"Nah, Ki sanak. Kalian dengar bukan? Kami kebe-
ratan memberikan barang-barang ini begitu saja, ke-
cuali kau bisa melangkahi mayatku," teriak Bayu pada 
ketiganya.
Mendengar itu tampak wajah ketiganya se-makin 
garang. Orang yang bersenjatakan keris itu mengaku 
bernama Reksopati langsung memberi isyarat pada 
temannya untuk menghabisi kedua orang yang mereka 
anggap menghalangi niatnya.
"Kalau begitu mampuslah kalian!"
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
Bayu berkelit sambil mendorong tubuh Juminten 
menjauh. Bocah perempuan itu agaknya tak takut me-
lihat pertarungan. Dengan tenang dia duduk tak jauh 
dari pertarungan ditemani oleh Tiren.
"Ayo Paman, hajar mereka! Hajar mereka biar tahu 
rasa!" teriaknya sambil bertepuk tangan.
"Kaaakh...!"
Melihat tingkah bocah itu Tiren berteriak nyaring

sambil ikut-ikutan bertepuk tangan. Monyet kecil itu 
kemudian jungkir balik berkali-kali.
"Monyet kecil, kau yakin Paman Bayu akan berha-
sil menghajar mereka?"
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren menyeringai lebar, kemudian dia menggerak-
gerakkan sebelah tangan ke atas. Kedua kakinya me-
lompat-lompat sambil menginjak-injak sebatang rant-
ing kecil. Melihat itu Juminten terkekeh.
"Ha ha ha ha...! Kau benar. Tentu sebentar lagi me-
reka akan bertekuk lutut di kaki Paman Bayu." sahut 
Juminten seperti mengerti apa yang dimaksud monyet 
kecil itu.
Sebenarnya kata-kata Juminten tanpa diucap-kan 
pun akan terbukti, sebab dalam beberapa gebrakan sa-
ja Bayu dapat merasakan bahwa mereka hanya memi-
liki ilmu silat kacang. Kalau pun tadi Bayu memuji ke-
hebatan nama mereka, itu hanya untuk menyindir be-
laka. Tapi agaknya mereka salah terima dan mengang-
gap Bayu itu menjadi takut.
"Hiyaaa...."
"Plak! Plak!"
"Hughk!"
Kedua orang itu terdesak dengan mata melotot ke-
luar. Dalam satu serangan mendadak, kedua tangan 
Bayu menghantam masing-masing pergelangan tangan 
mereka hingga senjatanya terpental jauh. Kemudian 
dengan gerakan yang tak terduga, kedua kakinya ber-
putar sambil mengapung di udara dan tepat menghan-
tam kerongkongan keduanya.
"Horeee...! Paman menang! Paman menang!" teriak 
Juminten girang kemudian bertepuk tangan lebih ken-
cang.
Tiren yang ada di sebelahnya pun tak mau tinggal 
diam. Dia jungkir balik beberapa kali, kemudian men

gangkat kedua tangan ke atas sambil bertepuk tangan.
Sementara itu Reksopati bukan main garang meli-
hat kedua temannya dapat dijatuhkan dengan begitu 
mudah. Padahal dia yakin betul, pemuda berbaju kulit 
harimau itulah yang dalam sekejap akan tewas.
"Bedebah! Kau harus membayar perbuatanmu itu, 
bocah!" makinya garang.
"Apa? Kau ingin semaput seperti mereka?" sahut 
Bayu pura-pura tuli sambil tersenyum mengejek.
"Bangsat!"
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
Bayu berkelit cepat ketika ujung keris Reksopati 
nyaris merobek tenggorokannya. Tangan kirinya coba 
menghantam ke pergelangan tangan lawan, namun 
orang yang memiliki mata juling itu cepat berkelit. 
Bahkan secara tak terduga mengirim satu tendangan 
kilat ke selangkangan Pendekar Pulau Neraka.
"Uts, haaa...!"
Dengan gerakan manis tubuh Bayu mencelat ke 
atas setinggi setengah tombak. Gerakan itu ternyata 
berputar, hingga posisinya terbalik dengan kepala di 
bawah dan kedua kaki di atas.
"Mampus kau!" bentak Reksopati menghunus-kan 
keris melihat peluang baik itu.
"Kaulah yang akan mampus!" desis Bayu dengan 
penuh kejengkelan.
Dua jari tangan kanannya menjepit keris lawan 
dengan kuat, dan tangan kirinya menghantam ke arah 
dada.
"Begkh!"
"Hugkh!"
Seperti kedua temannya, tubuh Reksopati sem-
poyongan dan ambruk sambil mendekap dada. Nafas-
nya megap-megap dan terasa sesak. Bayu memang be

lum bermaksud menghabisi mereka bertiga. Tapi kali 
ini kejengkelannya telah memuncak. Dan bersiap men-
gangkat tangan untuk menghabisi ketiga orang itu.
"Paman, hentikan!" teriak Juminten berlari kecil 
menghampiri.
"Ada apa Juminten?"
"Ng... sebaiknya jangan dibunuh Paman. Kata 
orang membunuh sesama manusia itu tidak baik. La-
gipula mereka masih berguna untuk kita."
"Juminten, mereka orang jahat. Kalau tidak kita 
bunuh sekarang, mungkin nanti mereka yang akan 
membunuh kita di saat kita lengah."
"A... Aden, ampunilah kami. Kami... berjanji tak 
akan melakukan itu padamu...." Reksopati memohon 
sambil merangkak ke dekat Bayu.
Bayu jadi ragu menghabisi mereka. Lebih-lebih ke-
tika Juminten kembali angkat bicara.
"Paman, ampunilah mereka. Menghadapi keheba-
tan Paman tentu mereka tak akan berani macam-
macam. Kalau Paman masih bisa dikelabui oleh mere-
ka, tentu Paman masih bodoh dan merekalah yang 
pintar."
"Sial...!" dengus Bayu dalam hati.
Bayu berpikir sesaat. Kata-kata Juminten ada be-
narnya walau terasa memanas-manasi hatinya. Siapa 
sudi disebut orang bodoh? Apalagi dibandingkan den-
gan ketiga cecurut itu.
"Baiklah. Tapi apa gunanya mereka buat kita?"
"Paman, kita cuma punya seekor kuda yang masih 
hidup, sedangkan barang-barang ini belum tentu bisa 
diangkut dengan satu gerobak...."
"Aku mengerti maksudmu!" potong Bayu cepat.
"Syukurlah...." sahut Juminten terkekeh.
"Nah, kalian dengar bukan? Kali ini kuampuni 
nyawa kalian, tapi sebagai gantinya kalian harus me

narik sebuah gerobak berisi barang-barang itu. Awas, 
jangan coba-coba kabur! Kalau tidak ingin mampus."
"Ba... baik, Den...." sahut ketiganya serentak. Wa-
lau gondok dan kesal, namun ketiganya terpaksa me-
lakukan apa yang diperintahkan Bayu, yaitu menarik 
sebuah gerobak seperti seekor kuda saja. Hanya kali 
ini beban mereka agak ringan karena dipikul bertiga.
*
* *
DUA


Ratna Puspa termenung di beranda depan. Piki-
rannya menerawang jauh tiada terhingga. Gadis beru-
sia sekitar tujuh belas tahun itu baru tersentak kaget 
ketika pamannya berdehem keras.
"Ehhh.... Paman."
"Sudah lama kau berada di sini? Memikirkan sia-
pa? Kedua orang tuamu lagi? Atau... Pandu Sukma?" 
selidik laki-laki separuh baya itu sambil tersenyum ke-
cil.
"Ah, Paman bisa saja. Kalau memikirkan kedua 
orang tuaku itu sudah tentu, tapi kalau... Kakang 
Pandu...." suara gadis itu agak ragu melanjutkan kata-
katanya.
"Kalau Pandu kenapa, Ratna?"
Gadis itu terdiam beberapa saat lamanya. Seha-
rusnya rombongan itu sudah pulang. Jarak yang me-
reka tempuh adalah empat hari perjalanan pulang per-
gi. Itupun sudah termasuk beristirahat selama di per-
jalanan, tapi ini sudah hari yang kelima. Mungkinkah 
mereka mendapat halangan di jalan?
"Betul kan? Kali ini kau tidak lagi memikirkan kedua orang tuamu yang cerai berai entah di mana, tapi 
memikirkan Pandu yang tak kunjung pulang juga...." 
goda Paman Patisena lagi.
"Paman, sudahlah! Aku tak mau dengar lagi!" seru 
Ratna sambil berlari ke dalam. Wajahnya tampak ber-
semu merah.
Laki-laki separuh baya itu menghela nafas pendek. 
Senyum kecilnya menghilang. Kalau Ratna memikir-
kan pujaan hatinya, itu tak salah. Tapi dia pun punya 
beban pikiran yang hampir sama.
Beberapa hari berselang Pandu Sukma diper-
cayakan untuk memimpin rombongan pengantar ba-
rang yang merupakan pegawai-pegawai Patisena, atau 
Paman dari Ratna Puspa. Pemuda itu sudah lama be-
kerja padanya, dan kali ini Patisena percaya akan ke-
beranian dan kejujurannya. Tapi mereka seharusnya 
sudah tiba kemarin. Dan paling lambat sore harinya. 
Tapi menjelang sore hari ini tak juga terlihat tanda-
tanda kehadiran mereka. Patisena mulai was-was. 
Apakah mereka mengalami hambatan? Atau...?
"Tak mungkin Pandu berkhianat!" bantahnya 
menghalau praduga buruk tentang pemuda itu.
"Selama ini dia begitu jujur padaku dan teman-
temannya. Tapi...?"
"Paman mencurigai Kakang Pandu?"
Terdengar pertanyaan halus menusuk dari bela-
kang. Patisena tersentak. Ratna Puspa telah berdiri la-
gi di belakangnya dengan tatapan dingin.
"Paman tidak bermaksud demikian, Ratna."
"Ratna telah mendengar kata-kata Paman tadi...." 
potong gadis itu dengan suara halus.
"Dengarlah dulu, Ratna. Paman tak bermaksud 
menuduhnya. Tapi barang-barang itu sangat berharga. 
Kemungkinan saja orang bisa khilaf, atau dia dan te-
man-temannya mengalami halangan. Entah itu dari

perampok-perampok atau yang sebangsanya...."
"Kakang Pandu bukan orang yang lemah, Paman. 
Dia pasti bisa mengatasi perampok-perampok itu!"
"Paman pun berharap begitu. Tapi tak semua pe-
rampok berilmu rendah. Ada juga yang berasal dari to-
koh-tokoh persilatan golongan sesat. Pandu memang 
berilmu tinggi, tapi...."
"Maksud Paman, dia tak mampu mengungguli me-
reka?"
Patisena mengangguk pelan.
"Ohhh...."
Ratna Puspa tiba-tiba teringat sesuatu. Tadi malam 
dia bermimpi aneh sekali. Mereka berkejar-kejaran 
berdua, lalu Pandu terpeleset dan berguling-gulingan 
hingga jatuh ke jurang yang tak ketahuan dasarnya. 
Dia cuma bisa menjerit-jerit sampai akhirnya terjaga.
Dan pagi ini kata-kata Pamannya semakin mem-
buat hatinya resah. Walau Pandu berilmu tinggi, tapi 
di luar sana masih banyak mereka yang berilmu lebih 
tinggi. Kalau salah seorang di antara mereka yang me-
rampok rombongan yang dipimpin Pandu... ohhh, apa-
kah dia bisa selamat?
Lalu kalau Pandu sampai celaka dan tewas, siapa 
lagikah kini yang paling memperhatikannya setelah 
kedua orang tuanya pergi entah ke mana?
Cuma ada Paman Patisena. Tapi laki-laki itu terlalu
sibuk dengan usahanya, dan tak punya banyak waktu 
untuk memperhatikannya.
Ratna Puspa tersentak. Dari kejauhan terlihat abu 
mengepul di udara. Wajahnya seketika gembira.
"Paman, mereka kembali!" teriak Ratna Puspa gi-
rang.
Patisena cuma mengangguk sambil tersenyum. Di-
lihatnya gadis itu berlari-lari kecil menyongsongnya. 
Namun semakin dekat jarak mereka, jantungnya ber

detak terasa berdetak lebih kencang. Yang terlihat ju-
stru pemandangan yang sangat aneh. Tiga orang ber-
tampang seram sedang menarik gerobak yang paling 
depan sambil berlari. Dan di belakangnya mengikuti 
gerobak lain yang ditarik seekor kuda. Saisnya seorang 
pemuda berwajah tampan dan keras dengan seorang 
bocah perempuan mungil. Bocah perempuan itu lang-
sung berteriak begitu mengetahui siapa yang sedang 
menyongsong mereka.
"Kak Ratna!"
"Roro Intan...?!"
Bocah kecil itu tiba-tiba melompat ketika gerobak 
yang dinaikinya berjalan pelan. Pemuda tampan di se-
belahnya langsung menarik tali kekang.
"Heaaah...!"
Diperhatikannya mereka sesaat sebelum dia me-
langkah ke gerobak yang berada di depan dan menyu-
ruh ketiga orang penariknya pergi dari tempat itu.
"Te... terima kasih, Den...." kata mereka seren-tak 
sambil berjalan tertatih-tatih memegang punggungnya 
yang lecet.
"Hmmm...."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara alias si 
Pendekar Pulau Neraka itu cuma bergumam kecil 
memperhatikan mereka. Kemudian dia bersandar dan 
mengalihkan perhatian pada bocah kecil yang masih 
berangkulan dengan seorang gadis berwajah jelita.
"Ehem!" 
"Ehhh...."
"Maaf mengagetkan Kisanak. Siapakah anda dan 
apa yang terjadi dengan mereka?" tanya Patisena yang 
tadi mendehem mengagetkan Bayu.
"Kisanak siapa?"
"Namaku Patisena, dan gerobak-gerobak ini adalah 
milikku. Gadis kecil itu adalah keponakanku. Nah, Kisanak...."
"Namaku Bayu, Paman Patisena," sahut Bayu me-
motong kata-kata Patisena.
"Oh, Bayu. Kalau boleh tahu, apa yang terjadi dan 
di mana mereka sekarang?"
"Maaf Paman. Aku sendiri tak tahu apa yang telah 
terjadi. Saat kutemukan, mereka telah menjadi mayat. 
Dan kini ku tumpuk di gerobak ini...."
Belum habis kata-kata Bayu, tiba-tiba gadis berwa-
jah jelita itu berteriak histeris sambil berlari kecil ke 
arah gerobak di dekatnya. 
"Kakang Pandu...!"
*
* *
Bayu tak mengerti ketika gadis itu tiba-tiba menye-
ruak ke dalam gerobak dan memeriksa mayat-mayat di 
dalamnya satu per satu. Tapi ketika gadis itu mene-
mukan sesosok mayat yang agaknya telah ditemukan-
nya gadis itu menangis semakin keras sambil merata-
pinya. Bayu mulai mengerti. Saat dilihatnya laki-laki 
yang tadi juga bercakap-cakap dengannya seperti ha-
nyut dalam suasana itu, perlahan-lahan dia mening-
galkan tempat itu.
"Paman...!"
Bayu menoleh. Dilihatnya bocah perempuan yang 
tadi bersamanya berdiri tegak dengan wajah sedih me-
natap kepergiannya. 
"Ada apa Juminten?" 
"Paman mau ke mana?" 
"Aku harus pergi...." 
"Pergi ke mana?"
"Ke mana saja kaki melangkah tentunya."
"Aku ikut, Paman...."

Wajah bocah perempuan itu tampak sendu. Perla-
han-lahan dia mendekat dan menundukkan kepala ke-
tika telah berada dekat di depan Bayu.
"Aku ikut denganmu, Paman. Bawalah aku pergi ke 
mana saja...."
Bayu berjongkok dan mengangkat wajah Juminten 
sampai mereka saling bertatapan.
"Perjalanan Paman jauh dan melelahkan. Kau ten-
tu tak kuat. Bukankah di sini kau cukup aman? Ada 
Pamanmu dan... gadis itu yang akan merawatmu...."
"Aku tak punya kawan. Paman selalu sibuk, dan 
Kak Ratna tak pernah lagi memperhatikan sejak ber-
kawan dengan Kakang Pandu...."
"Siapa Kakang Pandu itu? Apakah mayat yang se-
dang diratapinya itu?"
Juminten mengangguk pelan.
Bayu menghela nafas pendek. Kemudian ditatap-
nya kembali wajah bocah itu.
"Tapi kini dia pasti akan lebih memperhatikan-mu. 
Asalkan kau tidak nakal, selalu bersikap baik dan ju-
jur."
"Aku selalu melakukan itu, tapi tetap saja mereka 
tak sayang!" 
"Betul?" 
"Betul!"
"Nah, sekarang saja kau telah berbohong, bagai-
mana mungkin seorang pembohong bisa berbuat 
baik?"
"Aku tak bohong, Paman!" bantah Juminten.
"Baiklah. Kalau kau tidak bohong, kenapa kau 
memperkenalkan dirimu dengan nama Juminten, se-
dangkan tadi kakakmu memanggil dengan sebutan Ro-
ro Intan?"
"Itu... itu...."
"Ayo, bukankah kau tak mau berbohong? Kalau

kau memberi jawaban bohong berarti telah dua kali 
kau lakukan. Dan aku paling benci dengan anak yang 
suka membohong."
"Dia tidak berbohong. Yang ada cuma salah pen-
gertian...."
Lagi-lagi Paman Patisena ikut bicara.
"Persoalannya panjang, Nak Bayu. Kalau tak kebe-
ratan, mampirlah ke pondok. Kami tentu akan senang 
sekali menjamu Anda."
"Terima kasih, Paman. Tapi...."
Sebenarnya Bayu hendak menolak ajakan laki-laki 
itu, namun ketika melihat wajah Juminten atau Roro 
Intan yang menghiba, dia tak sampai hati. Bayu pun 
akhirnya mengangguk.
Setelah mereka menguburkan mayat-mayat itu sa-
tu persatu, Patisena dan Bayu terlibat obrolan santai 
di ruang tengah. Malam telah tiba, dan di luar terlihat 
beberapa orang berjaga-jaga. Kebanyakan dari mereka 
adalah orang yang bekerja pada Patisena. Dan seba-
gian lagi jago-jago bayaran yang khusus untuk men-
gawal barang-barang berharga. Usaha yang dijalankan 
Patisena memang menuntut orang-orang seperti mere-
ka.
"Menurut apa yang diceritakan Roro Intan, pela-
kunya cuma satu orang. Dia sendiri tak melihat persis. 
Cuma terdengar auman dahsyat seperti harimau men-
gamuk." 
"Harimau?!"
Patisena mengangguk dengan wajah ragu. Di-
perhatikan pemuda di hadapannya itu pun terlihat tak 
percaya.
"Memang mustahil, tapi itulah kenyataannya. Yang 
mengganggu perasaanku saat ini, tak mungkin mereka 
bisa dilumpuhkan begitu mudah oleh seekor harimau. 
Pasti ada seorang tokoh sakti yang bersenjatakan cakar berbentuk harimau yang terbuat dari pisau-pisau 
tajam."
"Kenapa Paman berpikir begitu?"
"Pandu yang memimpin rombongan itu memang 
bukan termasuk tokoh kelas satu, tapi dulu sebelum 
bergabung denganku dia adalah seorang pengembara 
dan pernah menewaskan seekor harimau. Rasanya 
mustahil kali ini dia sampai tewas oleh seekor hari-
mau. Apalagi jumlah mereka cukup banyak."
Bayu menganggukkan kepala. Apa yang di-katakan 
Patisena mungkin bisa diterima akal. Biasanya para 
pengawal barang seperti mereka me-miliki ilmu silat 
yang lumayan. Dan jumlah yang segitu banyak bukan 
tak mungkin menaklukkan seekor harimau.
"Lalu siapa menurut Paman pelakunya?" 
"Seingatku mungkin ada dua. Yang pertama ada 
yang ingin merampok barang-barang yang mereka ba-
wa, dan yang kedua adalah saingan kami dalam usaha 
ini."
"Saingan? Apakah Paman punya saingan dalam
menjalankan usaha ini?"
"Ada. Namanya Aria Menda."
"Aria Menda? Siapa orang itu?"
"Dia merupakan saingan kami yang utama. Orang 
itu ingin menguasai sendiri usaha ini di wilayah bagian 
barat. Dia banyak menyewa jago-jago bayaran tang-
guh. Tapi karena kami sering tepat waktu dan barang-
barang selalu utuh ditujuan, maka usaha kami lebih 
maju. Dulu dia pernah iri, dan mencari gara-gara den-
gan mengancam beberapa orang-orangku. Dan ba-
rangkali ancamannya di lakukan sekarang...."
"Apakah Paman yakin?"
"Siapa lagi kalau bukan dia?!"
Bayu menghela nafas pendek. Diliriknya sekilas 
Roro Intan yang sedang bercanda dengan Tiren. Wajah

bocah itu tampak riang. Sesekali dia tertawa lepas.
"Kasihan mereka...." gumam Patisena pelan.
"Ke mana orang tua mereka Paman?"
Paman Patisena menarik nafas agak panjang sebe-
lum bercerita.
"Mereka telah lama berpisah sejak Ratna Puspa 
masih kecil dan Roro Intan masih bayi. Keduanya ada-
lah tokoh persilatan yang gila mendalami ilmu silat. 
Mereka belum puas sebelum menguasai segala ilmu si-
lat tingkat tinggi. Dan puncaknya adalah saat kelahi-
ran Roro Intan, mereka berpisah dan sampai sekarang 
belum ketahuan lagi kabar beritanya," ujar Paman Pa-
tisena mengakhiri ceritanya.
Bayu menganggukkan kepalanya.
"Sungguh kasihan mereka...." gumam Bayu.
Bayu tiba-tiba teringat akan keadaan dirinya sendi-
ri. Sejak bayi pun dia tak pernah tahu siapa ayah dan 
ibunya. Yang dikenalnya cuma Eyang Gardika yang te-
lah mengasuhnya dari bayi hingga dewasa. Mungkin 
apa yang dialami Roro Intan saat ini sama dengan apa 
yang dirasakannya. Rasa rindu dan ingin berjumpa 
dengan kedua orang tua yang melahirkannya. Kalau 
dia barangkali hanya ada dalam bayangannya karena 
hal itu tak mungkin. Kedua orang tuanya telah tiada, 
tapi Roro Intan masih ada harapan.
*
* *
Pagi-pagi sekali Bayu terbangun, dia terkejut ketika 
melihat di halaman depan rumah Paman Patisena te-
lah ramai orang-orang berkumpul lengkap dengan sen-
jata masing-masing seperti akan terjadi pertarungan 
besar.
Diintipnya lewat lubang di dinding kamar, Patisena

turun perlahan dari undakan tangga. Belasan anak 
buahnya telah menunggu dan bersiap melindungi. Se-
mentara tak jauh di depan mereka tampak sekitar dua 
puluh orang telah menunggu dengan sikap tak sabar. 
Salah seorang duduk di atas sebuah pedati yang dita-
rik kuda. Tubuhnya besar dan berbaju mewah. Wajah-
nya ditumbuhi cambang bawuk lebat. Orang inilah 
yang bernama Aria Menda, saingan usaha Patisena.
"Pagi-pagi kau berada di sini sungguh ke-betulan 
sekali. Apakah kau bermaksud mohon ampunan dari-
ku?" sindir Patisena dengan suara di-tekan sedemikian 
mungkin.
"Puih...! Patisena keparat! Jangan banyak omong 
kau! Hari ini ingin kudengar pembelaanmu yang telah 
membantai anak buahku?!" sahut Aria Menda dengan 
nada geram.
Mendengar itu bukan main panasnya hati Patisena. 
Dalam sangkaannya tentulah Aria Menda bermaksud 
lempar batu sembunyi tangan, pura-pura menuduh 
untuk lepas dari tuduhannya.
"Aria Menda, jangan keterlaluan kau! Apa mak-
sudmu menuduh kami berbuat begitu? Sudah jelas ka-
lianlah yang telah melakukan pembantaian terhadap 
anak buahku!"
"Dasar culas, tetap saja kali ini mau berkelit!" den-
gus Aria Menda semakin garang dituduh demikian.
"Jangan sembarangan menuduh kau Aria Menda! 
Kau lihat kuburan-kuburan itu, itulah mayat-mayat 
anak buahku yang kau bantai secara biadab!" tunjuk 
Patisena pada beberapa gundukan tanah yang tak jauh 
dari situ.
Aria Menda cuma mendengus sinis melihat hal itu, 
kemudian kembali berpaling masih dengan wajah be-
rang.
"Huh, bisa saja kau melakukan tipu muslihat itu.

Tapi untukku kau tak akan lepas dari tanggung jawab. 
Saat ini juga kau harus mampus untuk menebus ke-
matian anak buahku!"
Aria Menda menggerakkan sebelah tangannya. Saat 
itu juga mencelat dua orang bertubuh besar dari 
samping pedatinya, dan langsung menyerang Patisena 
dengan senjata golok masing-masing. Tapi dipihak Pa-
tisena sendiri pun tak tinggal diam. Dua orang anak 
buahnya yang terpercaya segera menghadang dan yang 
lainnya melindungi majikan mereka.
"Hiyaaa...!" 
"Hup!" 
"Trak! Trak!"
Pertarungan di antara kedua belah pihak tak dapat 
dihindari lagi saat ini. Keduanya betul-betul bernafsu 
untuk menghabisi lawannya. Tak heran bila pertarun-
gan semakin ramai ketika yang lainnya juga mencari 
lawan masing-masing.
Dalam keadaan demikianlah tiba-tiba terdengar 
bentakan yang keras.
"Berhenti...!"
Semuanya tersentak kaget. Dan dengan sendirinya
menghentikan pertarungan. Tak jauh dari situ muncul 
seorang pemuda berambut gondrong berwajah tampan 
dan keras, serta berbaju kulit harimau. Di pundak ka-
nannya terdapat seekor monyet kecil berbulu hitam 
menyeringai lebar pada mereka.
Aria Menda yang lebih dulu bertanya garang.
"Siapa kau?"
"Aku cuma seorang tamu di sini. Namaku Bayu 
Hanggara...!"
Aria Menda mungkin tak begitu mengenal nama 
itu, tapi para jago-jago bayarannya yang terdiri dari 
orang-orang persilatan, tentu saja tahu betul siapa to-
koh yang bernama itu. Demikian juga halnya dengan
anak buah Patisena. Tanpa sadar mereka berdesis me-
nyebut gelar pemuda itu. 
"Pendekar Pulau Neraka...!"
*
* *
TIGA


"Pendekar Pulau Neraka? Siapa sebenarnya pemu-
da itu?" tanya Aria Menda berbisik pada salah seorang 
anak buahnya.
"Dia seorang tokoh hebat, Den. Ilmunya tinggi dan 
namanya belakangan ini amat menggemparkan dunia 
persilatan."
"Hmmm... kalau dia ikut campur habisi saja!"
"A... aaa, tidak Den! Tidak! Kami lebih baik berhen-
ti bekerja kalau Tuan memaksa kami agar kami mela-
wannya," sahut anak buahnya dengan tubuh gemetar.
"Pengecut! Apa kau yakin dia tidak berbohong un-
tuk mengelabui kita?"
"Pendekar Pulau Neraka selalu membawa-bawa 
monyet serta memiliki senjata Cakra Maut di tangan 
kanannya. Ciri-ciri itu persis sama dengan pemuda 
ini."
"Kenapa tidak kalian coba saja? Siapa tahu dia 
cuma pepesan kosong yang mengaku-ngaku dengan 
nama pendekar itu."
"Ti... tidak, Den. Kami tidak berani. Pendekar itu 
terkenal ganas dan tak kenal ampun. Kami tak mau 
mati sia-sia...."
"Brengsek! Kalian ku gaji bukan untuk menjadi 
pengecut, tapi untuk melindungi serta barang-barang 
ku dan harus patuh pada perintahku!" dengus Aria

Menda kesal.
Sementara itu Bayu angkat bicara. Ditatapnya me-
reka satu persatu.
"Ki sanak semua, kudengar kalian saling tuduh 
menuduh tentang peristiwa yang menimpa anak buah 
kalian. Aku tidak bermaksud memihak pada Paman 
Patisena karena memang tiada guna menyelesaikan 
persoalan ini. Kedatanganku ke sini justru membawa 
mayat-mayat anak buahnya yang tewas secara menge-
naskan. Akulah yang menjadi saksi atas tewasnya 
anak buah Paman Patisena. Nah, jawaban apa yang 
kalian bisa berikan untuk melepaskan tuduhan dari 
pihak Paman Patisena kalau bukan kalian pelakunya?"
"Kapan peristiwa itu terjadi?" tanya Aria Menda 
dengan nada masih tak bersahabat.
"Kira-kira kurang dari dua hari yang lalu...." "Saat 
itu sebagian besar anak buahku sedang mengantar ba-
rang ke tempat kediaman Bupati yang baru diangkat 
baginda raja."
"Bagaimana kau membuktikannya?"
"Kau boleh tanyakan sendiri pada Kanjeng Bupati. 
Kalau ternyata aku berdusta, penggallah leherku!"
"Hmmm...." Bayu bergumam pelan. Kemudian dia 
menatap ke arah Patisena.
"Paman Patisena, aku percaya pada kata-kata 
orang ini. Dia tak melakukan apa yang paman tuduh-
kan."
"Bagaimana kau bisa berkata demikian Bayu?"
"Kalau terbukti dia yang melakukannya, aku sendi-
ri yang akan datang ke tempatnya!" sahut Bayu meya-
kinkan.
Patisena tak bisa berkata apa-apa mendengar ja-
waban itu. Bayu pun kemudian berpaling lagi pada 
Aria Menda.
"Nah, Ki sanak. Demikian juga halnya Paman Pati

sena. Beliau tidak melakukan apa yang kau tuduhkan. 
Aku tidak berpihak. Jika ternyata kelak Paman Patise-
na melakukan perbuatan keji itu aku pun akan datang 
kembali ke sini dan meminta pertanggung-
jawabannya."
"Bagaimana mungkin kami mempercayai omongan 
mu?" tanya Aria Menda masih kurang puas.
Salah seorang anak buahnya pun menimpali.
"Ki sanak, bukankah kau yang bergelar Pendekar 
Pulau Neraka?"
"Tak salah. Demikianlah orang-orang menyebutku."
"Kami bukan tak percaya padamu. Tapi kau pergi 
mengembara ke mana-mana. Bagaimana mungkin kau 
bisa menyelesaikan masalah ini dengan adil kalau kau 
sendiri tak ada di tem-pat?"
"Siapa yang mengatakan aku tak ada di tempat? 
Aku akan turun tangan menyelidikinya di samping ka-
lian!" ujar Bayu tegas.
"Syukurlah kalau kau berniat begitu. Dengan 
adanya pendekar seperti kau mudah-mudahan titik te-
rang akan kita peroleh bersama dan si pelakunya da-
pat ditangkap untuk dihukum sesuai dengan perbua-
tannya," sahut orang itu lagi merasa lega.
Tak berapa lama Aria Menda dan anak buahnya 
kembali pulang. Bayu menghela nafas pendek. Dia 
bermaksud meninggalkan tempat itu secepatnya ketika 
Paman Patisena memanggilnya.
"Bayu, kami sangat berterima kasih atas apa yang 
kau lakukan. Tapi yakinkah kau bahwa bukan mereka 
pelakunya?"
"Paman, aku pun belum yakin benar. Ini hanya du-
gaan. Melihat dari sikap dan gerak-gerik mereka, ten-
tulah mereka bukan sedang berpura-pura."
"Maksudmu mereka pun mengalami hal yang sama 
seperti kematian anak buahku?"

Bayu mengangguk pelan. 
"Siapa kira-kira orang keparat itu?" tanya Paman
Patisena dengan wajah geram.
"Aku sendiri pun tak tahu, Paman. Kita pun tak bi-
sa menduga hal itu dilakukan oleh manusia. Siapa ta-
hu sekawanan serigala atau beruang."
"Tak mungkin Bayu!" bantah Paman Patisena ce-
pat.
Patisena menjelaskan perbedaan antara cakaran 
harimau dengan serigala maupun beruang dengan se-
suatu cakar palsu yang terbuat dari bilah-bilah besi ta-
jam seperti pisau yang kuat.
Bayu mengangguk mendengar penjelasan itu.
"Mungkin juga. Tapi walau bagaimana pun aku te-
lah berjanji akan menyelidikinya. Mau tak mau hal ini 
harus kujalankan...."
"Terimakasih, Bayu. Kalau sudi bawalah beberapa 
anak buahku untuk membantumu!"
"Tidak usah, Paman. Mereka lebih dibutuhkan di 
sini untuk menjaga Paman, Ratna dan Roro Intan. Oh 
ya, ke mana mereka? Sejak tadi aku tak melihatnya?!"
"Aaaah... sungguh bandel anak-anak itu! Pasti me-
reka main lagi di kebun belakang dekat sungai."
"Tak mengapa, Paman. Salam buat mereka. Aku 
pergi sekarang!" kata Bayu sambil berlalu meninggal-
kan tempat itu. Patisena hanya bisa menatap pung-
gung pemuda bertubuh kekar itu yang semakin lama 
semakin menjauh dan menghilang.
Baru saja tiba di ujung jalan, Bayu terkesiap. Dua 
sosok tubuh menunggunya di situ!
*
* *
"Ratna! Roro...! Apa yang kalian kerjakan di sini?!"

tanyanya kaget.
Keduanya memang orang yang sudah dikenal Bayu 
sebagai keponakan Paman Patisena. Di pundak mere-
ka masing-masing membawa buntalan seperti orang 
yang siap merantau jauh.
"Apa yang kalian kerjakan di sini?" ulang Bayu ke-
tika tak ada sahutan dari mereka.
Keduanya masih tetap menundukkan wajah.
"Roro, sedang apa di sini?" tanya Bayu pada bocah 
kecil itu sambil berjongkok dan menjawil dagunya.
Gadis itu melirik sekilas pada kakaknya, kemudian 
menatap Bayu lekat-lekat.
"Roro mau ikut Paman, tapi Kak Ratna malah min-
ta ikut juga...."
"Bohong! Kamulah yang minta ikut!" bantah Ratna 
cepat.
"Roro sudah bilang sebelumnya pada Paman ini...."
"Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan!"
"Kenapa tidak? Untuk apa tinggal di situ tanpa ada 
orang yang menyayangi?"
"Kata siapa tak ada yang menyayangimu?"
"Tidak kata siapa-siapa, tapi Roro sendiri yang me-
rasakannya!"
Mendengar kata-kata Roro Intan, Ratna Puspa se-
perti tersentak hatinya. Ditatapnya Roro Intan dalam-
dalam. Betulkah selama ini dia mengabaikan adiknya? 
Perlahan-lahan Ratna mendekat lalu berjongkok sam-
bil mendekap pundaknya ketika Bayu menepi.
"Roro, siapa bilang di rumah tak ada yang me-
nyayangimu? Kakak sangat menyayangimu!"
"Kakak selalu menyayangi Kakang Pandu!"
"Tapi bukan berarti kakak melupakanmu."
"Bohong!"
"Roro, Kakak berkata yang sebenarnya. Kakak be-
tul-betul menyayangimu...."

"Bohong! Kalau kakak betul-betul sayang padaku, 
pulanglah kembali ke rumah Paman Patisena dan bi-
arkan aku ikut dengan Paman Bayu ke mana saja ka-
kiku melangkah."
Setelah berkata begitu, Roro melangkah ke arah 
Bayu dan bersembunyi di belakang tubuh pemuda itu. 
Ratna baru saja akan mengejar kalau tak ingat bahwa 
di situ ada Bayu. Dia salah tingkah dan membuang 
muka dengan wajah gelisah.
Bayu memang sengaja mendiamkannya saja kare-
na dia belum mengerti betul apa yang mereka ri-
butkan. Yang sedikit diketahuinya adalah Roro seperti 
kurang kasih sayang tinggal di rumah pamannya itu.
"Tuan pendekar...!" panggil Ratna dengan suara 
gemetar.
"Panggil saja namaku, Bayu!"
"Bayu... ng... eh, bisakah kita bicara tanpa di-
ketahui Roro?"
"Tidak! Tidak mau! Kak Ratna tentu akan membu-
juk Paman Bayu agar aku tak boleh ikut!" sentak Roro 
sambil mendekap kaki Bayu erat-erat.
"Tidak, Roro. Kakak hanya ingin bicara sedikit den-
gan Paman Bayu...." bujuk Ratna Puspa.
"Bohong!"
Ratna menghela nafas dengan wajah kecewa. Tam-
paknya Roro Intan curiga sekali bahwa dirinya akan 
mengakali agar dia tak ikut dengan Bayu. 
"Roro, bukankah kau mau ikut dengan Paman?"
Gadis kecil itu mengangguk ketika Bayu bertanya 
sambil tersenyum.
"Nah, sekarang bermainlah dulu bersama Tiren. 
Paman berjanji tak akan meninggalkanmu. Di mana 
ada Paman di situ ada Tiren. Paman tak mungkin pergi 
tanpa Tiren. Kalau dia bermain denganmu, sudah pasti 
Paman akan menunggunya kembali. Dengan begitu

Paman tidak bisa menipumu bukan?"
Roro Intan adalah gadis yang cerdik. Sekilas saja 
dia dapat menangkap apa yang dimaksud Bayu. Maka 
sambil mengajak Tiren bermain agak jauh dari tempat 
itu, dia tersenyum kecil.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun agaknya senang juga dapat punya kawan 
seperti Roro Intan. Terbukti dengan semangat dia 
mengikuti ajakan bocah kecil itu.
"Nah, apa yang ingin kau bicarakan padaku?"
tanya Bayu setelah Roro sudah berada agak jauh dari 
mereka berdua.
Ratna Puspa tak buru-buru menjawab. Dia meng-
hela nafas beberapa kali sambil membuang pandan-
gan. Agaknya berat baginya mengatakan apa yang ter-
kandung dalam hati. Tapi akhirnya keluar juga meski 
dengan suara pelan.
"Kudengar Anda ingin membantu Paman Patisena 
menyelidiki peristiwa itu?"
"Ya...!"
"Siapa pun adanya, dia harus mati di tangan-ku!" 
tekad Ratna Puspa dengan sorot mata tajam berapi-api 
penuh dendam.
Bayu menatapnya sekilas. Wajah gadis ini cantik 
menawan. Lebih lagi bila dia tersenyum. Dan dalam 
keadaan mendendam begini pun kecantikannya seperti 
tak pudar. Tapi bukan hal itu yang membuatnya harus 
memandang gadis ini agak lama, melainkan ingin 
meyakinkan atas dasar apa Ratna Puspa memiliki te-
kad demikian?
"Kebathilan harus dilenyapkan di muka bumi ini! 
Bukankah begitu niat dari setiap pendekar pembela 
kebenaran?" tangkisnya ketika Bayu menanyakan hal 
itu.
"Betul apa yang kau katakan. Tapi niatmu bukan

itu. Kau tidak usah menipu dirimu sendiri. Tekadmu 
cuma sebatas ketidak relaanmu melihat nasib Pandu 
yang tewas dengan cara demikian. Balas dendammu 
hanya akan mencelakakan dirimu sendiri."
"Apa maksudmu?!"
"Lebih baik kau berada di rumah bersama Paman 
Patisena."
"Tidak. Walau bagaimana pun harus kucari orang 
itu!"
Bayu memandang Ratna Puspa sekilas, kemudian 
mengalihkan pandangan sambil bersuit nyaring.
"Suiiit...."
Tak berapa lama terlihat Tiren, sahabat kecil-nya 
itu berlari-lari kecil menghampiri diikuti oleh Roro In-
tan. Begitu dekat, Tiren langsung melompat ke atas 
pundak Bayu.
"Apakah kita akan pergi sekarang?" tanya Roro In-
tan.
Bayu tersenyum. Tubuhnya membungkuk, dan 
menjawil dagu gadis kecil itu.
"Ya, Paman harus pergi sekarang. Kau harus te-
mani kakakmu dan Paman Patisena ya...."
"Tidak! Aku akan ikut dengan Paman Bayu!"
"Roro, kau masih kecil. Perjalanan Paman jauh dan 
penuh bahaya. Tinggallah di rumah, kapan-kapan Pa-
man akan berkunjung lagi...."
"Tidak! Tidak mau!" teriak Roro Intan.
Gadis kecil itu berteriak histeris dan bermaksud
memeluk tubuh Bayu. Tapi dalam sekejapan mata 
Pendekar Pulau Neraka raib dari hadapannya.
Ratna Puspa sendiri kaget melihat kecepatan ber-
gerak pemuda berambut gondrong itu. Walau dia me-
miliki sedikit ilmu silat, rasanya sulit untuk bergerak 
sedemikian cepat. Gadis itu baru tersentak sadar dari 
kekagumannya ketika Roro Intan menjerit keras sambil

berlari sekuat tenaganya menyusul kepergian Bayu.
"Paman Bayu...!"
"Roro... kembali! Kembali...!" teriak Ratna Puspa 
ikut mengejar adiknya.
"Roro, kembali...!"
"Paman Bayu...!"
"Roro, mari kita pulang!" teriak Ratna Puspa ketika 
sedikit lagi berhasil mengejar lari adiknya.
"Tidak mau! Tidak mau! Aku mau menyusul Paman 
Bayu!" teriak Roro Intan histeris dan berusaha beron-
tak ketika Ratna Puspa sudah berhasil menangkapnya.
"Paman Bayu sudah pergi, dan kau tak mungkin 
menyusulnya!"
"Aku tak perduli! Akan kucari ke mana pun Paman 
pergi!"
"Mau mencari di mana?"
"Di mana saja!"
"Roro, jangan membandel. Bukankah Paman Bayu 
telah mengatakan bahwa dia akan mengunjungimu
kapan-kapan...."
"Tidak mau! Pokoknya aku tak mau kembali lagi ke 
rumah kalian tak ada yang sayang padaku. Aku mau 
menyusul ayah dan ibu!"
"Roro, kau tak tahu di mana mereka sekarang...."
"Aku akan minta Paman Bayu mencarinya. Dia 
pasti mau!"
Ratna Puspa tak tahu lagi harus dengan cara apa 
dia membujuk adiknya pulang. Dalam pada itulah en-
tah dari mana datangnya serombongan orang yang ti-
ba-tiba saja telah mengelilingi mereka. Ratna Puspa 
tersentak kaget, dan mundur beberapa langkah. Na-
mun ketika dia menoleh ke belakang, tempat itu seper-
ti telah dipagar oleh barisan orang-orang tak dikenal.
Salah seorang gadis berambut panjang dengan wa-
jah ayu mendekatinya perlahan. Bajunya kembang

kembang merah dengan dasar putih, melekat erat 
hingga dadanya yang membusung terlihat menonjol. Di 
punggungnya terselip sebatang pedang. Sorot matanya 
tajam manakala menatap Ratna Puspa dari ujung kaki 
hingga kepala.
"Hmmm... wajahmu amat ayu, bocah. Melihat dari 
caramu tentu kau anak desa yang sedang ke sasar di 
hutan. Mari ikut dengan kami."
"Siapa kalian?" tanya Ratna Puspa curiga.
"Namaku Dewi Sukma Wening, dan mereka ini ada-
lah anak buahku. Kami akan mengantar kalian berdua 
pulang ke rumah," sahut wanita itu dengan senyum 
genit.
Hal itu tentu saja menambah kecurigaan di hati 
Ratna Puspa. Wajah mereka liar, dan sudah tentu bu-
kan orang baik-baik. Lebih dari dua puluh orang laki-
laki mengelilingi tempat itu tak satu pun dilihatnya 
mencerminkan sikap mereka sebagai orang baik-baik. 
Dan wanita ini dengan segala niat busuknya bersem-
bunyi dalam wajah cantiknya yang terkesan binal.
"Tidak, terimakasih. Kami bisa pulang sendiri..,."
"Ah, tidak baik menolak niat orang yang akan ber-
buat baik pada kalian. Ayolah, mari ikut kami...."
"Jangan mendekat!" sentak Ratna Puspa ketika di-
lihatnya wanita itu melangkah mendekati sambil men-
gulurkan tangan.
Mendengar itu paras wajah Dewi Sukma Wening 
berubah. Kini terlihat kemarahannya.
"Sudahlah, Nini Dewi. Untuk apa membujuk sega-
la. Kita tangkap dia lalu bawa pergi dari sini, be-
reskan? Hitung-hitung sebagai hiburan karena buruan 
kita belum juga ketemu!" sahut salah seorang anak 
buahnya yang kelihatan sudah tak sabar.
Wajah Ratna Puspa semakin gelisah dan berubah 
pucat. Diliriknya orang itu sekilas. Jantungnya seperti

berhenti berdetak. Orang itu menyeringai penuh nafsu 
mengisyaratkan nafsu setannya yang berkobar-kobar. 
Ketika dia melirik pada beberapa orang yang lain, rata-
rata mereka pun memiliki niat yang sama. Tak terasa 
tubuhnya semakin gemetar.
"Baiklah kalau kau tak mau diperlakukan se-cara 
baik, kami terpaksa memaksamu. Seno, dan kau Ki-
mung. Tangkap mereka! Bawa gadis molek itu dan 
singkirkan bocah pentil itu!" perintah Dewi Sukma 
Wening.
"Siap...!"
Kedua orang yang bertubuh besar itu langsung me-
lompat hendak menangkap Ratna Puspa dan Roro In-
tan sambil menyeringai lebar. Namun saat itulah ter-
dengar bentakan nyaring yang menggema di sekitar 
tempat itu.
"Bajingan laknat! Hentikan niat kotor kalian!"
*
* *
EMPAT


Sesosok bayangan tiba-tiba melesat di hadapan 
Ratna Puspa dan Roro Intan. Seorang pemuda beram-
but gondrong berbaju kulit harimau berdiri tegak. Wa-
jahnya tampan dan keras. Di pundaknya terdapat see-
kor monyet kecil berbulu hitam yang langsung menye-
ringai dengan sikap mengancam pada orang-orang as-
ing itu.
Melihat siapa yang datang, Roro Intan langsung 
berteriak girang sambil menghambur memeluk pemu-
da itu.
"Paman Bayu...!"

"Tenanglah, Roro. Mereka tak akan mengganggu-
mu..." bujuk pemuda yang baru muncul itu yang tak 
lain dari Bayu Hanggara.
"Paman, mereka akan berniat jahat pada kami."
Bayu menatap mereka satu per satu. Kedua orang 
tadi yang bersiap hendak menangkap Ratna Puspa dan 
Roro Intan menghentikan langkah dan mendengus 
dengan sikap mengancam.
"Siapa kau? Pergilah cepat dari sini sebelum kami
merencahmu hidup-hidup!" kata salah seorang yang 
bertubuh agak tinggi. Di tangannya ter-genggam seba-
tang pedang yang tajam berkilat.
"Siapa aku, bukan masalah. Sebaiknya kalian-lah 
yang pergi dan jangan mengganggu mereka!"
"Bedebah! Agaknya kau belum mengenal Perseku-
tuan Iblis Merah. Cepat tinggalkan tempat ini dan jan-
gan campuri urusan kami. Kalau tidak kau akan pu-
lang tinggal nama!" gertak orang itu lagi.
Bayu tersenyum sinis.
"Kisanak, ancamanmu boleh juga. Tapi hanya pan-
tas buat menakut-nakuti tikus got. Tapi jangan coba-
coba kalian lakukan padaku," sahut Bayu dingin.
"Keparat!"
"Hiyaaa...!"
Dua orang itu langsung menerjang Bayu dengan 
serangan kilat menebas leher dan pinggangnya. Tapi 
Bayu hanya berkelit sedikit dan begitu merasakan 
sambaran pedang mereka yang di-anggapnya tak me-
miliki tenaga dalam hebat, dua buah jari masing-
masing tangannya langsung menangkap senjata lawan 
dan menyentaknya kuat hingga terpental dalam kea-
daan patah dua.
"Hup!"
"Tak!"
Keduanya tersentak. Waktu yang sekian detik cukup bagi Bayu untuk menghajar mereka satu persatu.
"Begkh!"
"Duk!"
"Aaaakh...!"
Terdengar jerit kesakitan. Tubuh keduanya terlem-
par dua tombak sambil muntah darah.
Bukan main murkanya Dewi Sukma Wening meli-
hat hal itu. Sepasang matanya menatap tajam ke arah 
Pendekar Pulau Neraka dari atas sampai ke bawah 
seolah hendak mengukur sampai di mana kemampuan 
pemuda berambut gondrong itu.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara 
lunak.
"Kalian tak perlu tahu siapa aku. Sebaiknya cepat 
tinggalkan tempat ini!" sahut Bayu dingin nada men-
gancam.
Dewi Sukma Wening tersenyum sinis.
"Tak sembarangan orang boleh menghina Per-
sekutuan Iblis Merah. Kau akan kena batunya, Ki sa-
nak!"
Selesai berkata demikian Dewi Sukma Wening 
langsung memberi isyarat. Dan saat berikutnya lima 
orang dari mereka mengepung Bayu dengan sikap me-
nyerang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
Melihat mereka langsung menyerangnya dengan 
ganas, Bayu tak tinggal diam. Begitu tubuh mereka 
bergerak, dia langsung menerjang dengan kecepatan 
tinggi.
"Trak! Trak!"
"Begkh!"
"Des!"
Tiga orang langsung terjungkal dengan pedang di 
tangan terpental entah ke mana. Tubuh mereka me

layang sejauh dua tombak sambil menjerit ke-sakitan 
dan muntah darah. Dua orang lagi segera menyusul.
Bukan main kagetnya Dewi Sukma Wening melihat 
kedahsyatan sepak terjang Bayu. Dalam waktu sekejap 
mata dia mampu menumbangkan lima anak buahnya 
tanpa mengalami kesulitan. Wanita itu mulai ragu 
apakah dia mampu meneruskan niatnya untuk me-
nangkap Ratna Puspa dan menyingkirkan Roro Intan 
dengan terlebih dahulu menghabisi pemuda berbaju 
kulit harimau ini.
"Pergilah sebelum aku bertambah muak melihat 
tampang kalian!" bentak Bayu mulai jengkel.
"Huh! Baru punya kepandaian segitu saja hendak 
berlagak di hadapanku. Jangankan cuma seorang, se-
puluh orang sepertimu pun aku tak akan lari!" desis 
Dewi Sukma Wening geram.
Roro Intan yang mendengar percakapan itu sejak 
tadi, dan menyaksikan kehebatan Bayu, tiba-tiba saja 
menimpali dengan suara mengejek.
"Hi hi hi hi...! Kuntilanak jelek, mana mungkin ka-
lian bisa menandingi Pamanku. Jangankan kalian, le-
bih banyak dari ini pun Pamanku dengan mudah 
membunuh kalian semua!"
"Nguk! Nguuuk...!"
"Betulkan Tiren?"
"Kaaakh...!"
Dewi Sukma Wening geram bukan main menden-
gar kata-kata bocah itu. Ingin rasanya saat itu juga di-
remasnya mulut mungil yang bijak itu. Tapi tiba-tiba 
terlintas satu ingatan dalam benaknya. Ditatapnya 
Bayu sekali lagi seolah ingin memastikan, bahwa pe-
muda di hadapannya ini adalah tokoh yang namanya 
menggetarkan rimba persilatan belakangan ini.
"Ki sanak, kalau tak salah bukankah kau yang 
bergelar Pendekar Pulau Neraka?!"

"Nah, setelah tahu gelar Pamanku, apakah kunti-
lanak sepertimu berani mengganggu kami lagi?" bentak 
Roro Intan dengan sikap nakal.
Kembali Dewi Sukma Wening bertambah geram 
mendengar kata-kata bocah itu. Tapi diam-diam di ha-
tinya timbul sedikit rasa cemasnya. Apalagi ketika 
Bayu kemudian mengangguk.
"Tak salah dugaanmu. Begitulah orang-orang me-
manggilku...."
"Hmmm, kalau begitu ternyata kami sedang berha-
dapan dengan seorang pendekar kesohor. Maaf Ki sa-
nak, mataku buta tak melihat gunung Mahameru men-
julang tinggi di mata. Kalau demikian, biarlah persoa-
lan ini selesai sampai di sini saja, dan kami akan ber-
lalu...."
"Huh, enak saja mau pergi! Kalian pikir Pamanku 
akan membiarkan begitu saja?!" sentak Roro Intan.
"Heh?!"
Dewi Sukma Wening berbalik dan mendengus ge-
ram pada bocah itu. Tapi Bayu buru-buru menimpali.
"Begitu lebih baik daripada membuat perselisihan
yang tak ada guna...."
"Tapi paman, orang jahat seperti mereka tak boleh 
dibiarkan begitu saja!" protes Roro Intan kesal.
"Nguk!" Tiren menimpali.
"Sudahlah, Roro. Biarkan mereka pergi. Kalau me-
reka sudah tidak lagi berniat jahat tak perlu lagi 
menghukum mereka," sahut Bayu.
Mendengar jawaban itu Roro Intan hanya bisa 
cemberut sambil memalingkan wajah.
Bayu menghela nafas, kemudian berpaling pada 
Ratna Puspa yang menundukkan wajah.
* * *

"Kenapa kalian tak juga pulang?"
"Aku akan pulang setelah menemukan pembunuh 
biadab itu!" sahut Ratna Puspa pelan dengan nada 
pasti.
"Itu pekerjaan sia-sia. Kalian seperti menghadang 
bahaya besar di depan mata." 
"Aku tak perduli!"
"Apakah kau juga tak perduli dengan ke-selamatan 
Roro?"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat kemudian.
"Mari kuantar kalian pulang," ajak Bayu.
"Tak perlu! Kalau anda mau berbaik hati, antarlah 
Roro pulang. Aku akan terus pada niatku semula!" sa-
hut Ratna Puspa berkeras.
Bayu menggelengkan kepala sambil mendesah kes-
al.
"Kau masih muda, masih punya masa depan yang 
terbentang. Paman kalian juga baik. Apakah hal seper-
ti itu akan kau sia-siakan?"
"Apa pedulimu pada masa depanku?"
"Memang tak ada sangkut pautnya, tapi mana bisa 
aku mendiamkan kalian mendapat bahaya begitu sa-
ja."
"Kalau begitu kenapa Paman tidak mengijinkan 
kami ikut denganmu saja?" sela Roro Intan.
Bayu menghela nafas. Tatapannya jauh ke depan. 
Rombongan yang tadi menamakan dirinya sebagai Per-
sekutuan Iblis Merah telah tak nampak batang hi-
dungnya. Mereka pergi satu per satu. Pikirannya saat 
ini agak bingung. Kalau mereka di ajaknya, tentu per-
jalanannya akan terhambat, tapi kalau tidak diajak-
nya, tentu keselamatan mereka tidak terjamin. Walau 
dia tak pernah berkata akan melindungi mereka di ha-
dapan Patisena, setidaknya saat dia kembali untuk 
melaporkan peristiwa yang akan diselidikinya itu, ma

na mungkin dia akan membawa berita buruk tentang 
mereka berdua.
"Baiklah, kalian boleh ikut denganku..." kata Bayu 
pelan.
"Horeee...!" Roro Intan bersorak girang.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tiren pun bersorak sambil bertepuk tangan di atas 
kepalanya. Agaknya monyet kecil itu memang suka se-
kali bermain dengan Roro Intan.
"Tapi harus ada syaratnya..." potong Bayu cepat.
"Apa paman?"
"Kalau nanti Kakakmu pulang, kau pun harus pu-
lang. Bagaimana?"
"Ah, tidak mau! Aku mau ikut Paman terus!"
"Kalau begitu Paman tidak bersedia mengajak-mu 
sekarang!"
Roro Intan melirik kakaknya beberapa saat. Dan 
belum memberi jawaban sampai Bayu mengalihkan 
pandangan ke arah Ratna Puspa.
"Bagaimana? Kalian boleh ikut denganku, tapi sete-
lah persoalan ini selesai, maka kau harus mengajak 
adikmu pulang?"
Ratna Puspa mengangguk cepat.
"Baiklah, mari kita berangkat!"
Mereka baru berjalan kurang lebih dua puluh 
langkah ketika terdengar jeritan nyaring yang sayup-
sayup terdengar.
"Paman, apa itu?!"
"Sebaiknya coba kita lihat ke sana. Mari Roro!" sa-
hut Bayu sambil menyambar tubuh Roro dan berlari 
cepat.
Tapi Bayu terpaksa memperlambat larinya ketika 
melihat Ratna Puspa terengah-engah jauh di belakang. 
Bayu terpaksa menunggu sambil menggelengkan kepa-
la.

*
* *
Arah jeritan itu datangnya dari tepi hutan yang 
agak lebat. Ketika mereka tiba di sana, terlihat peman-
dangan yang mengerikan. Sebagian besar anak buah 
Persekutuan Iblis. Merah yang memang mengambil ja-
lan ke arah ini terkapar dalam keadaan mengenaskan. 
Tubuh mereka rusak berat seperti tercakar binatang 
buas. Sementara dua orang yang masih tersisa tampak 
berusaha menyelamatkan diri dari serangan seorang 
yang tampak bergerak amat cepat.
"Paman, orang itu... orang itu..." tunjuk Roro den-
gan wajah pucat.
"Siapa orang itu, Roro?"
"Orang itu yang membunuh kakang Pandu dan 
Paman-paman yang lain..." sahut Roro gemetar.
Belum lagi habis kata-kata Roro Intan, Bayu telah 
melesat dengan kecepatan tinggi ke arah orang itu.
"Yeaaah...!"
Namun orang asing yang rambutnya terurai bebas 
itu tak kalah gesit. Nalurinya cepat mengetahui sesua-
tu ketika tubuhnya langsung berbalik menyambut se-
rangan Bayu, Pendekar Pulau Neraka dan meninggal-
kan dua lawan terakhirnya yang ter-luka parah.
"Graungrrr...!" 
"Plak! Plak!"
Bayu tersentak kaget ketika tangannya beradu. Ku-
lit orang itu keras bagai baja. Dan yang membuatnya 
lebih terkejut lagi adalah sambaran kuku-kuku tan-
gannya yang panjang dan runcing. Kuku-kuku itu se-
perti bukan layaknya kuku seorang manusia, tapi lebih 
menyerupai cakar harimau dengan bentuk yang lebih 
panjang serta lebih kuat.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maksudmu mela

kukan pembantaian selama ini?" tanya Bayu ketika 
tubuhnya terpental, namun dengan manis hinggap di 
atas kedua telapak kakinya.
"Graungrrr...!"
Bukannya jawaban yang diberikan orang asing itu, 
tapi malah menerjangnya sambil melompat dengan 
gaya seekor harimau menerkam mangsa. Aumannya 
terdengar dahsyat. Bahkan lebih dahsyat dibanding-
kan dengan harimau biasa.
Bayu, si Pendekar Pulau Neraka sempat terkejut 
ketika memperhatikan lawannya. Tubuhnya biasa saja, 
dengan rambut gondrong sebatas punggung di lepas 
serta mengenakan pakaian serba hitam. Tapi bukan
itu yang membuatnya terkejut, melainkan melihat se-
pasang mata yang merah nyalang penuh nafsu mem-
bunuh. Dua buah taring terlihat disudut bibirnya kala 
dia menyeringai buas dengan air liur yang bertetesan. 
Tubuhnya agak membungkuk ketika dia bersiap me-
nyerang lawan.
"Hup!"
"Begkh!"
"Ukh...!"
Sosok tubuh yang tingkah lakunya mirip dengan 
seekor harimau mengeluh pelan ketika tubuhnya kena 
dihantam Bayu. Meski terhuyung-huyung, dia cepat 
bangkit dan kembali melompat menerkam lawan.
"Astaga! Manusia macam apa dia ini?" tanya batin 
Bayu seperti tak percaya bahwa pukulannya tadi yang 
mampu melumpuhkan banteng liar hanya membuat 
lawannya terhuyung-huyung.
"Auuum...!"
"Heh?!"
"Cras!"
Bayu mengeluh pelan ketika lengan kirinya di 
sambar dengan cepat oleh cakar lawan. Masih untung

dia terus jungkir balik menghindari serangan berikut-
nya. Kaki kanannya menendang ke kepala lawan, na-
mun dengan gesit orang itu menghindar. Lalu dengan 
kecepatan yang sulit diikuti oleh mata biasa, cakar 
tangan kirinya menghantam dada Pendekar Pulau Ne-
raka.
"Uts, haaa...!" Dengan tidak terduga, tubuh Bayu 
mencelat ke atas kaki kirinya kembali menghantam te-
lak ke dada lawan. 
"Thak!"
Akibat tendangan itu sungguh hebat terlihat. La-
wannya terjungkal sejauh dua tombak, namun mampu 
berdiri di atas kedua kakinya meski dengan tubuh lim-
bung. Sepasang matanya bertambah nyalang menatap 
ke arah Bayu.
Saat itu pula Bayu telah bersiap menghantam-kan 
pukulan yang berisi tenaga dalam kuat ketika terden-
gar teriakan nyaring dari arah sampingnya.
"Hiyaaa...!"
"Ratna, jangaaaan...!" teriak Bayu kaget dan ber-
maksud mencegah Ratna Puspa berbuat nekad dengan 
menyerang lawannya.
Tapi peringatan itu agaknya sedikit terlambat. Me-
lihat ada orang mendekat dengan sikap mengancam, 
manusia siluman langsung menerkam sambil menge-
luarkan auman dahsyat. Walaupun Bayu masih sem-
pat menyelamatkan nyawa Ratna, namun tak urung 
satu sabetan cakar lawan berhasil merobek pinggang 
Ratna Puspa.
"Cras!"
"Begkh!"
"Aaaakh...!"
Ratna Puspa menjerit. Pedang yang tadi sempat di 
pungutnya untuk menyerang lawan terpental entah ke 
mana. Bersamaan dengan itu Roro Intan berteriak

sambil berlari kecil menghampiri Ratna Puspa, Kakak-
nya.
Sedangkan Bayu dan lawannya masing-masing 
terhuyung-huyung setelah keduanya saling menya-
rangkan pukulan. Tangan kiri Bayu memapaki perge-
langan tangan lawan yang hendak mencakar lawan, 
sedang tinju kanannya bersarang di dada lawan. Wa-
lau demikian sebelah tangan lawan yang bebas sempat 
merobek kulit dadanya.
"Hiyaaa...!"
Meski dalam keadaan terhuyung-huyung, lawan 
langsung berbalik dan melompat hendak me-nyambar 
Ratna Puspa kembali.
Dalam pada itu tak ada waktu lagi bagi Bayu untuk 
menyelamatkan gadis itu. Tangan kanannya langsung 
dikibaskan ke atas. 
"Zwiiing!"
Seberkas sinar keperakan dari Cakra Maut lang-
sung menghantam ke arah lawan. 
"Thakr !”
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Cakra Maut itu sama sekali 
tak berhasil melukai lawan. Bahkan ketika senjata itu 
kembali melesat dan menghantam, tetap saja tak ber-
hasil menggores kulit lawan. Bukan main herannya 
Pendekar Pulau Neraka. Selama ini senjatanya malang 
melintang di dunia persilatan dan menjadi momok 
yang menakutkan. Jarang ada yang lolos dari samba-
rannya. Tak heran bila telah banyak tokoh yang tewas 
oleh senjata itu.
"Graungrrr...!"
Walau pun tak mampu melukai kulit tubuh lawan 
namun Cakra Maut itu cukup merepotkannya. Tenaga 
dorongan senjata itu mampu membuatnya terhuyung-
huyung. Bukan mustahil bila keadaannya terus begitu

dia akan kerepotan sendiri. Belum lagi Bayu yang mu-
lai bangkit dan mencecarnya habis-habisan.
"Hiyaaa...!"
"plak!"
"Bekgh!"
"Hugkh...!"
Satu pukulan telak yang dilancarkan Pendekar Pu-
lau Neraka menghantam dada lawan. Manusia siluman 
itu terdorong sejauh tiga tombak. Terlihat kali ini dari 
sudut bibirnya menetes darah kental. Bayu tak mau 
menyia-nyiakan kesempatan. Begitu tangannya terki-
bas ke atas, Cakra Maut kembali melesat ke arah la-
wan. Bersamaan dengan tubuhnya mengikuti dari be-
lakang dengan satu serangan yang mengandung tena-
ga dalam kuat. 
"Graungrrr...!"
Dengan tak disangka-sangka lawan melompat ting-
gi dan terus kabur dari tempat itu.
"Keparat! Jangan harap kau bisa kabur se-
enaknya!" bentak Bayu geram.
"Paman...! Paman...." Roro Intan berteriak me-
manggil dengan suara cemas.
Mau tak mau terpaksa Bayu membatalkan niatnya 
mengejar Manusia Siluman itu. Roro Intan menangis 
terisak sambil menggoyang-goyangkan tubuh Ratna 
Puspa yang sudah tak sadarkan diri karena kehilangan 
banyak darah. Buru-buru Bayu menghampiri dan me-
notok beberapa jalan darah di tubuh Ratna Puspa un-
tuk menghentikan pendarahan yang terlalu banyak la-
gi.
"Paman... apakah Kak Ratna masih bisa di-tolong?" 
tanya Roro Intan cemas.
"Tenanglah Roro.... Kakakmu pasti akan sembuh!"
Bayu berusaha menenangkan hati Roro Intan. Se-
benarnya dia pun tak tahu, apakah gadis itu bisa ter
tolong atau tidak. Keadaannya sangat kritis karena da-
rahnya banyak terkuras. Tengah Bayu merenung, dua 
orang yang tersisa dari gerombolan Persekutuan Iblis 
Merah mendekat ke arahnya.
*
* *
LIMA


"Terima kasih atas pertolongan Anda, Ki sanak..." 
kata salah seorang di antara mereka.
Bayu melirik sekilas. Yang berkata itu adalah seo-
rang gadis cantik dengan baju ketat. Dialah yang me-
mimpin Persekutuan Iblis Merah. Mereka pun agaknya 
tak luput dari luka akibat cakaran lawannya tadi. Bisa 
jadi mereka memiliki ilmu silat dan tenaga dalam yang 
lumayan sehingga mampu bertahan.
"Kalau kalian setuju, ikutlah dengan kami. Ke-tua 
kami punya seorang tabib yang mungkin bisa mengo-
bati luka teman gadismu itu..." lanjut wanita itu me-
nawarkan jasa.
Bayu berpikir sejenak sebelum mengangguk setuju.
"Paman, mereka orang jahat. Kenapa Paman mau 
saja ikut mereka?" protes Roro Intan dengan wajah 
masam.
"Tidak semua orang selamanya akan menjadi jahat, 
bukan? Kalau mereka berniat baik mau menolong, 
apakah kita harus curiga? Hal itu tidak baik, Roro. 
Paman yakin mereka benar-benar bermaksud baik kali 
ini," jelas Bayu.
Meski Roro Intan itu nampaknya kurang senang, 
namun ketika mereka melangkah dia mengekor juga 
dari belakang.

Bayu memondong tubuh Ratna Puspa sementara 
wanita anggota Persekutuan Iblis Merah yang tak lain 
Dewi Sukma Wening itu berjalan di sebelahnya. Roro 
sendiri tampak enggan beriringan dengan yang lain-
nya. Untunglah ada Tiren yang menemaninya hingga 
membuatnya sedikit terhibur.
"Dia muncul begitu saja dan langsung menyerang 
kami tanpa sebab..." jelas Dewi Sukma Wening tanpa 
diminta ketika dalam perjalanan mereka lebih banyak 
membisu.
Bayu meliriknya sekilas. Wajah cantik itu kini lebih 
berbinar kalau dia bersikap lemah lembut seperti ini. 
Kesan binalnya yang tadi tampak seolah sirna. Bayu 
cuma tersenyum sendiri.
"Kalau Anda tak muncul, entah apa yang akan ter-
jadi pada kami. Mungkin kami akan gagal menjalan-
kan tugas, tapi... ahh, sebenarnya kali ini pun kami te-
lah gagal menjalankan tugas dari beliau..." lanjut Dewi 
Sukma Wening itu lirih.
"Tugas apa yang diberikan ketua kalian?" 
"Beberapa hari lalu sepuluh anggota kami tewas 
dengan seluruh tubuh terkoyak seperti di cakar hari-
mau...."
"Jadi kalian ditugaskan untuk menangkap harimau 
itu?"
"Tidak. Ketua kami yakin bahwa itu bukan perbua-
tan binatang, melainkan seorang tokoh persilatan yang 
menggunakan senjata seperti cakar harimau. Tapi tak 
disangka setelah bertemu dengannya kami tak bisa 
berbuat apa-apa. Ilmu silatnya hebat dan gerakannya 
pun amat cepat. Lebih dari itu dia tak mempan senjata 
tajam," kata Dewi Sukma Wening.
"Hmmm... jadi kalian yakin dia pelakunya?"
"Ya...!"
Bayu terdiam sejenak dengan wajah geram.

Agaknya perubahan wajah Pendekar Pulau Neraka 
itu tak luput dari perhatian gadis itu.
"Apakah Anda punya urusan dengannya?"
"Ya. Dia telah membunuh banyak anak buah Pa-
man bocah ini. Aku berjanji padanya untuk menyele-
saikan urusan ini sampai tuntas!"
"Kalau saja kita bisa bekerjasama...." Dewi Sukma 
Wening tak melanjutkan kata-katanya.
"Kenapa?"
"Ehhh... tidak!"
"Kalian ingin aku bekerja sama?" 
Dewi Sukma Wening tak langsung menjawab. "Ka... 
kalau Anda tak keberatan, ketua kami tentu akan me-
rasa senang dan merasa dihormati sekali...."
"Hmmm...!"
"Tapi tentu saja kami tak akan memaksa..." buru-
buru Dewi Sukma Wening melarat ketika mendengar 
Bayu bergumam.
"Siapa ketua kalian?"
"Beliau dikenal sebagai si Selendang Maut...."
Bayu bergumam. Nama itu pernah dikenalnya se-
bagai seorang tokoh wanita yang berilmu tinggi. Setiap 
kali kemunculannya, ilmu silatnya seperti bertambah. 
Entah sekarang barangkali kepandaiannya mungkin 
berlipat ganda. Terutama senjata utamanya berupa se-
lendang yang mampu kaku bagai sebilah pedang pan-
jang, dan kembali lemas bagai tak bertenaga.
"Kenapa? Apakah Anda pernah mengenalnya?"
"Ya. Beliau termasuk tokoh hebat...."
"Anda terlalu melebihkan, Ki sanak. Di banding 
dengan nama Pendekar Pulau Neraka mungkin beliau 
tak ada apa-apanya," sahut Dewi Sukma Wening itu 
sedikit merendah.
Bayu tersenyum.
"Kepandaianku tak seberapa di banding dengan

yang lain, masih banyak tokoh-tokoh yang berilmu
tinggi dan sulit diukur. Eh, rasanya lebih baik Anda 
memanggilku dengan sebutan Bayu saja...."
"Bayu...? Hmm, baiklah kalau memang anda tak 
keberatan. Anda pun cukup memanggilku dengan De-
wi. Namaku Dewi Sukma Wening...."
"Dewi Sukma Wening...? Nama yang bagus," puji 
Bayu.
Gadis itu tersenyum manis di puji demikian.
Belum lama mereka berjalan, tiba-tiba terlihat se-
seorang yang mendekat dari arah samping. Seorang 
laki-laki separuh baya dengan wajah bersih berkesan 
ramah. Rambutnya yang sebagian telah memutih di ge-
lung ke atas. Melihat Bayu memondong tubuh seorang 
gadis yang terluka parah, laki-laki itu langsung mene-
gur dengan sikap ramah.
*
* *
"Kisanak, kulihat kawanmu terluka parah? Nama-
ku Jaladara dan mengerti sedikit soal obat-obatan. Ka-
lau tak keberatan biarlah ku coba untuk mengoba-
tinya."
Sepasang alis Pendekar Pulau Neraka berkerut. 
Laki-laki ini tak sedikit pun mengesankan bahwa dia 
mempunyai maksud-maksud tertentu dari niat baik-
nya itu.
Beda halnya dengan Dewi Sukma Wening. Gadis 
itu menaruh curiga melihat ada orang yang tak di ken-
al dengan tiba-tiba saja menawarkan jasa baiknya. Ta-
pi dia tak berkata apa-apa ketika melihat bahwa Bayu 
sedikit percaya dengan orang ini.
"Paman Jaladara, kalau kau mampu meng-
obatinya aku akan sangat berterima kasih sekali. Ta

pi...."
"Apakah kalian curiga padaku? He he he..., itu 
memang kusadari. Kita baru saling mengenal dan du-
nia ini penuh dengan tipu muslihat manusia, tapi per-
cayalah, aku bermaksud baik. Pengetahuanku tentang 
obat-obatan harus kusumbangkan untuk kepentingan 
orang banyak. Kalau tidak demikian rasanya hidupku 
tiada guna menyimpan kepandaian sendiri sementara 
orang lain banyak yang menderita," sahut Jaladara.
Mendengar itu mau tak mau Bayu mesti percaya. 
Paling tidak untuk keselamatan Ratna Puspa sendiri. 
Kalau mesti mengikuti Dewi Sukma Wening ke mar-
kasnya, belum tentu keadaan Ratna Puspa akan lebih 
baik. Apalagi perjalanan mereka agak jauh. Sementara 
ada orang lain yang menawarkan jasa dan kelihatan-
nya yakin mampu menyembuhkan luka Ratna Puspa, 
apa salah di coba?
"Baiklah..." sahut Bayu.
"Bayu, apakah kau akan percaya begitu saja pada 
kata-katanya? Siapa tahu dia bermaksud lain," sergah 
Dewi Sukma Wening tanpa basa-basi lagi.
Agaknya tadi dia berpikir bahwa Bayu punya piki-
ran yang sama dengannya tentang laki-laki itu, yaitu 
menaruh curiga dan menolak niatnya itu. Tapi dengan 
tiada di sangka ternyata pemuda itu malah menyam-
but baik niat laki-laki bernama Jaladara itu.
"Dewi, seperti aku percaya dengan niat baik-mu, 
begitu juga aku percaya pada Paman Jaladara. Nyawa 
Ratna Puspa harus ditolong secepatnya. Siapa tahu be-
liau mampu menolongnya, sahut Bayu.
"Terserah padamu saja. Tapi kami akan mene-
ruskan perjalanan ke markas. Selamat jalan, mudah-
mudahan temanmu itu cepat sembuh."
Bayu mengangguk. Diliriknya gadis itu sejenak se-
belum mereka melangkah pergi.

Dewi Sukma Wening pun agaknya berbuat hal yang 
sama. Setelah melangkah beberapa tindak, dia melirik 
ke arah Bayu sambil tersenyum. Kemudian berlalu 
tanpa menoleh lagi.
"Temanmu itu agaknya terlalu menaruh curiga pa-
da orang lain," gumam Paman Jaladara.
Bayu tak menyahut.
Paman Jaladara tersenyum, kemudian mengajak 
mereka ke pondoknya yang tak jauh dari tempat itu.
Sebenarnya tuduhan Dewi Sukma Wening tak be-
nar bila Bayu sendiri pun tak menaruh curiga pada 
Paman Jaladara. Tapi dia lebih mengutamakan kese-
lamatan Ratna Puspa. Walau demikian dia sama sekali 
tak melepaskan perhatian terhadap gerak-gerik laki-
laki itu. Namun sejauh ini tak terlihat tanda-tanda 
bahwa orang itu punya niat buruk.
Jaladara ternyata memang tabib yang hebat. Tak 
berapa lama setelah mencekoki Ratna Puspa dengan 
ramuan obatnya, gadis itu mulai siuman.
"Ohhh... di manakah aku ini...?"
"Ratna... kau berada di dekat kami, jangan banyak 
bergerak dulu. Lukamu sedang dibalut." kata Bayu pe-
lan.
"Kak Ratna...!" panggil Roro Intan lirih.
Ratna Puspa menatap satu persatu. Ketika ter-
akhir menatap laki-laki separuh baya yang meng-
obatinya, wajahnya membias ragu. Bayu melihat peru-
bahan di wajah Ratna, lalu cepat menjelaskannya.
"Paman Jaladara inilah yang mengobatimu...."
"Terima kasih, Paman...."
"Sudahlah... ini sudah menjadi kewajiban manusia 
untuk saling tolong menolong bukan? Ehh.... Ki sa-
nak..." panggil Paman Jaladara ragu.
"Panggil saja saya Bayu, Paman...."
"Bayu... begini. Luka temanmu ini akan mengering

beberapa hari lagi. Kalau kalian sudi, kalian boleh 
tinggal di sini selama beberapa hari menungguinya. 
Atau kalau hendak mengantarkannya pulang, aku 
mempunyai sebuah pedati. Kalian bisa mema-
kainya...."
"Terima kasih, Paman. Ini sungguh merepotkan. 
Biarlah dia kugendong saja," sahut Bayu.
"Yah, terserah saja...."
"Paman akan menggendong Kak Ratna?" Roro ter-
senyum malu. 
"Kenapa?!"
"Tidak apa-apa...." Roro masih tersenyum lucu. Bo-
cah itu memalingkan wajah ke Ratna Puspa, kakak-
nya.
"Kakak nanti di gendong Paman Bayu saja, ya?"
Ratna Puspa tak memberikan jawaban. Wajahnya 
terlihat jengah dan ragu. Bayu tersenyum kecil.
"Ya, ya... baiklah. Kalau Paman Jaladara tak kebe-
ratan, kami bermaksud meminjam pedatimu saja. Nan-
ti sekembalinya akan ku pulangkan lagi ke sini."
"Tentu saja aku tak keberatan. Bukankah tadi te-
lah kutawarkan pada kalian?" 
"Terima kasih, Paman...?"
*
* *
Wanita itu tadinya sudah menunjukkan sikap ga-
rang. Namun setelah Dewi Sukma Wening men-
ceritakan seluruh kejadian yang mereka alami, perla-
han-lahan terlihat parasnya berubah datar.
"Aku memang salah, Nini, dan tak becus apa-apa. 
Kalau Nini bermaksud menghukum, aku pun siap me-
nerimanya," kata Dewi Sukma Wening pasrah.
"Sudahlah. Aku tak akan bertindak begitu ke-jam

pada anak buahku sendiri. Ceritakanlah lagi padaku 
tentang mereka, dan apa saja yang kau ketahui ten-
tang orang itu?" kata wanita itu dengan nada sedikit 
memerintah yang berusia sekitar empat puluh tahun 
itu.
"Raut wajah orang itu seperti harimau, Nini. Pada 
jari-jari kaki dan tangannya, tumbuh kuku-kuku yang 
kuat lagi runcing. Tubuhnya tak mempan senjata ta-
jam. Bahkan Cakra Maut pun tak melukainya."
"Jadi dengan cara bagaimana si Pendekar Pulau 
Neraka mengalahkannya?"
"Pertarungan mereka belum selesai. Pendekar Pu-
lau Neraka berhasil mendesak orang itu. Namun dia 
terpaksa membiarkan lawannya kabur karena teman 
gadisnya terluka parah." jelas Dewi Sukma Wening. 
"Tadi kau katakan orang itu memiliki ilmu silat 
yang hebat, bahkan mampu menghajar si Pendekar
Pulau Neraka. Bagaimana mungkin akhirnya dia yang 
terdesak dan kabur?"
"Benar, Nini. Walau Cakra Maut pendekar itu tak 
mampu melukai lawan, namun dia dan senjatanya
lambat laun mendesak dan merepotkan orang itu. Aku 
yakin, kalau pertarungan mereka dilanjutkan lawan-
nya itu pasti mampu ditaklukkannya.
Wanita setengah baya yang dalam dunia persilatan 
di kenal sebagai Selendang Maut itu menganggukkan 
kepala.
"Kalau si Pendekar Pulau Neraka berhasil mende-
saknya, dia tentu harus mampus di tanganku!" desis 
wanita itu geram.
"Nini...!"
"Kenapa? Kau meragukan kemampuanku? Apa kau 
beranggapan si Pendekar Pulau Neraka memiliki ilmu 
silat lebih tinggi di bandingkan denganku?!"
"Bukan begitu, Nini. Tapi lawan kita kali ini bukan

orang sembarangan. Dalam pertarungan itu bukan sa-
ja tubuhnya kebal terhadap senjata tajam, bahkan pu-
kulan-pukulan si Pendekar Pulau Neraka yang meng-
gunakan tenaga dalam hebat pun seperti tak berarti 
apa-apa baginya...."
"Diam kau, Dewi! Tak seorang pun boleh me-
remehkan kemampuan si Selendang Maut!" bentak 
wanita itu sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Ampun Nini...!" 
"Sudah! Sekarang siapkan anak buahmu yang lain. 
Biar kali ini aku yang pimpin langsung rombongan. 
Kau tak becus dan selalu menuruti ke-mauan anak 
buahmu. Melihat gadis cantik saja, kalian langsung 
lupa pada tujuan semula!"
"Sebenarnya aku tak bermaksud demikian, Nini...."
"Ya, ya... aku tahu. Kau hanya bermaksud menye-
nangkan anak buahmu bukan? Tapi itu tindakan sa-
lah. Kalau kau senang, ya urusi dirimu sendiri baru 
anak buahmu kau pikirkan. Bukankah selama ini me-
reka selalu mampu mencari kepuasan sendiri? Mereka 
bukan anak kecil yang selalu harus di suapi."
"Iya, Nini!"
Dewi Sukma Wening langsung meninggalkan tem-
pat itu dan mengumpulkan anak buahnya yang lain. 
Setelah berkumpul, mereka langsung berangkat untuk 
mencari orang yang di maksud.
Selendang Maut sebenarnya bukan semata-mata 
geram pada orang yang telah menewaskan beberapa 
anak buahnya, melainkan ada maksud tertentu. Sela-
ma malang melintang di dunia persilatan, tak seorang 
pun yang pernah mengalahkannya. Namanya amat di 
segani dan di takuti bukan saja karena ketinggian ilmu 
silatnya tapi juga karena kesadisannya dalam membu-
nuh lawan.
Sudah lama sekali dia mendengar sepak terjang

Pendekar Pulau Neraka dan bermaksud menjajal ke-
pandaian pendekar itu. Namun belum ada kesempatan 
untuk bertemu dengannya. Mendengar bahwa pende-
kar itu terlibat dalam usaha pencarian terhadap tokoh 
yang menewaskan anak buahnya, si Selendang Maut 
bersemangat untuk menemuinya dengan memimpin 
sendiri anak buahnya. Kalaupun dia tak bertemu den-
gan pendekar itu, tapi tokoh yang diceritakan Dewi 
Sukma Wening mampu menandingi pendekar itu. Ini 
sudah merupakan tantangan yang tak bisa dielakkan-
nya sebagai orang yang merasa kepandaiannya tiada 
yang menandingi.
*
* *
ENAM


Ratna Puspa dan Roro Intan sebenarnya tak suka 
mereka dikembalikan kepada Paman Patisena. Tapi 
Bayu tak punya pilihan lain. Dalam kondisi tubuh 
yang lemah, Ratna Puspa lebih banyak menghambat 
perjalanannya ketimbang memperlancar.
"Tapi Paman sudah janji mau mengajak Roro...." 
kata Roro Intan dengan wajah cemberut.
"Bagaimana kalau kapan-kapan saja? Kali ini Pa-
man menghadapi tugas yang bisa mencelakakanmu 
nantinya."
"Paman bohong!" bantah Roro Intan sambil berlari 
ke kamarnya.
Bayu menghela nafas pendek. Dia segera mohon 
pamit setelah segala sesuatunya beres. Namun tanpa 
diketahuinya, Ratna Puspa kembali menyelinap lewat 
jalan belakang dan mengikuti langkahnya dari jarak


jauh. Bayu sendiri sebenarnya merasa ada seseorang 
yang mengikutinya dari jarak yang jauh tapi tak terpi-
kir kalau itu langkah kaki seorang gadis yang dikenal-
nya.
Menjelang sore hari Bayu sampai di tepi hutan 
tempat tabib itu berada. Setelah mengembalikan pedati 
yang dipinjamnya tadi, Bayu mulai mengitari daerah 
sekitar hutan itu. Agaknya dia menduga bahwa orang 
yang dicarinya bersembunyi tak jauh dari tempat itu. 
Tapi sampai malam tiba, yang dicarinya tak kunjung 
terlihat.
"Ahhh... sebaiknya kita istirahat di sini dulu Tiren. 
Kau tentu lelah bukan?" tanyanya pada monyet kecil 
sahabatnya yang selalu berada di dekat-nya.
"Nguk! Nguuuk...!"
"Nah, istirahatlah. Aku akan membuat api dan me-
nangkap kelinci hutan untuk mengisi perutku yang 
sudah keroncongan."
"Kaaakh...!"
"Hush, jangan ribut!"
Tiren langsung mencelat ke salah satu cabang po-
hon dan menghilang ke cabang pohon yang lain untuk 
mencari buah-buahan pelengkap santap malam mere-
ka.
Malam hampir larut ketika Tiren tiba-tiba mencelat 
ke arah Bayu dan mencolek pemuda itu.
"Ada apa?" tanya Bayu pelan ketika melihat Tiren 
menyeringai lebar.
"Nguk!"
Tiren menunjuk ke satu arah. Bayu cepat mengerti 
dan memberi isyarat padanya untuk tidak berisik.
"Ssssst... jangan berisik. Nanti dia lari!"
Tiren mengangguk pelan.
Dengan segera Bayu mematikan api unggun, lalu 
bersamaan melesat ke arah yang tadi ditunjuk Tiren.
"Hiyaaa...!" 
"Krusaaak!" 
"Auw...!"
Bayu tersentak kaget ketika sesosok tubuh yang 
tadi dicengkeramnya dari balik semak-semak menjerit 
keras seperti suara seorang wanita. Cepat-cepat Bayu 
menghampiri asal suara itu dan....
"Ratna Puspa?! Apa yang kau lakukan malam-
malam di sini?"
"Aku.... Aku...."
Ratna Puspa tergagap dan tak mampu melanjutkan 
kata-katanya. Bayu menggelengkan kepala dan lang-
sung mengajaknya ke tempat tadi dia menyalakan api 
unggun, lalu mulai menyalakan lagi api yang sempat 
dimatikannya.
"Ada apa kau sampai ke sini? Bukankah tabib itu 
mengatakan kau harus banyak istirahat? Lukamu be-
lum kering, kalau kau banyak bergerak lukamu bukan 
semakin membaik tapi bisa bertambah parah!"
"Aku tak perduli...!"
"Jadi apa yang kau pedulikan?"
"Orang itu harus mati di tanganku!" desis Ratna 
Puspa geram.
Bayu Hanggara menggelengkan kepala mendengar 
kata-kata itu.
"Ratna, kau bicara apa? Dengan keadaanmu. yang 
sehat saja kau tak akan mampu melawannya, apalagi 
dengan tubuhmu yang lemah seperti sekarang ini. Itu 
sama saja artinya kau mengantarkan nyawa secara 
percuma."
"Aku rela mengorbankan nyawa asalkan si keparat 
itu juga mati!"
"Nyawamu belum cukup untuk membuat ke-
matiannya."
"Aku tak perduli! Hidupku pun toh sudah tak be

rarti lagi. Untuk apa lama-lama menderita kalau tiada 
guna? Lebih baik mati tapi berguna bagi orang ba-
nyak."
"Kematianmu tak akan merubah apa-apa bagi ke-
baikan, malah kau akan meninggalkan penderitaan 
bagi orang lain seperti Roro dan Pamanmu, Patisena, 
yang menyayangimu."
"Mereka tak menyayangiku!"
"Kau salah. Mereka justru teramat sayang padamu. 
Roro Intan, tak mungkin dia berkeras ingin ikut den-
ganku kalau saja kasih sayangnya padamu terbalas. 
Paman Patisena, mana mungkin dia tak sayang pada-
mu karena sejak kecil telah mengurus kalian. Seka-
rang pikirkan olehmu baik-baik, dengan dasar apa ke-
nekatanmu ini kau lakukan? Apakah bukan karena 
kekasihmu yang tewas di tangan orang itu, sehingga 
kau rela mengorbankan orang-orang yang mencintai-
mu, menyayangimu, masa depanmu, serta segalanya 
yang masih mampu kau raih di depan mata?!"
Ratna Puspa terdiam beberapa saat lamanya men-
dengar kata-kata Bayu. Lama dia menundukkan wajah 
ketika kembali terdengar Bayu berkata.
"Sadarlah, Ratna. Jangan turuti hawa nafsu yang 
membabi buta seperti itu. Pulanglah, dan hi-dup baha-
gia bersama Paman dan adikmu. Biar orang satu ini 
menjadi urusanku...."
"Aku tak akan pulang...!"
"Kenapa? Kau belum tahu juga bahwa masih ada 
sesuatu yang lebih baik kau lakukan daripada memi-
kirkan soal dendam yang sebetulnya bukan urusan-
mu."
"Bukan begitu...."
"Lalu?"
"Paling tidak aku dapat melihat kematiannya. Itu 
sudah membuat hatiku lega."

"Dengan cara bagaimana?"
Ratna Puspa menatap Bayu sekilas, kemudian 
mengalihkan pandangan pada api unggun di depan-
nya. Terdengar suara lirih.
"Bukankah kau bermaksud untuk mengejar dan 
menyelesaikan persoalan ini sampai tuntas?"
"Ya...?"
"Dan itu berarti kau harus bertarung dengan-nya. 
Aku yakin kau mampu mengatasi. Dan....
"Dan kenapa?"
"Kalau kau tak keberatan, aku ingin melihat saat 
itu....
"Itu sama saja kau mengikutiku!"
"Aku sudah mengatakan, kalau kau tak keberatan. 
Kalau kau merasa bahwa nanti aku membebani lang-
kahmu, biarlah kau tak usah peduli dengan keselama-
tanku dan jangan larang aku untuk mengikutimu...."
Bayu berpikir keras. Mendengar kata-kata Ratna 
Puspa, agaknya niat gadis itu tak bisa di-halangi lagi. 
Selama dia bisa diatur, barangkali tak begitu menyu-
litkan.
"Baiklah... kau boleh ikut denganku dengan syarat, 
harus mengikuti perintahku!" ujar Bayu akhirnya.
Ratna Puspa tersenyum dan mengangguk cepat. 
*
* *
Geger yang dilakukan oleh seorang tokoh yang 
tingkah lakunya mirip harimau liar itu sungguh hebat. 
Banyak sudah yang menjadi korbannya, namun tak 
seorang pun yang mampu menaklukkannya. Kemun-
culannya selalu tiba-tiba, dan menghilang bagai sa-
puan angin tanpa seorang pun yang mengetahuinya. 
Begitu juga halnya tentang asal-usul tokoh itu. Tak se

patah kata pun keluar dari mulut-nya tentang siapa 
dan apa tujuannya menewaskan banyak orang begitu. 
Tokoh ini tak pernah bicara, karena dia langsung me-
nyerang orang yang menjadi sasarannya tanpa sebab. 
Sudah tentu hal ini membuat gentar beberapa kalan-
gan yang merasa ilmu silat mereka tak seberapa, dan 
sekaligus membuat geram beberapa tokoh persilatan 
yang merasa orang terdekat mereka menjadi korban.
Sementara itu nama Tabib Jaladara lambat laun 
mulai terkenal karena keampuhannya mengobati to-
koh-tokoh yang terluka akibat keganasan tokoh yang 
tingkah lakunya menyerupai harimau itu. Dalam wak-
tu singkat saja berduyun-duyun orang datang kepa-
danya untuk berobat, yang pada akhirnya tidak cuma 
terbatas pada luka akibat serangan tokoh itu tapi juga 
penyakit-penyakit yang lain.
Siang ini terlihat beberapa orang tampak se-dang 
melakukan perjalanan di dekat hutan. Daerah itu tak 
begitu jauh dari kediaman Tabib Jaladara. Tiga orang 
menunggang kuda di bagian depan. Wajah mereka se-
ram dengan masing-masing golok besar di punggung-
nya. Sementara di bagian belakang terdapat sebuah 
pedati yang berjalan lambat. Dari dalam terdengar sua-
ra erangan orang yang kesakitan.
"Diamlah kau, Kudungga! Sebentar lagi kita akan 
sampai ke tempat tabib itu," kata salah seorang pe-
nunggang kuda yang paling depan.
"Guru, aku khawatir...." ujar orang yang ada di 
samping kiri.
"Kenapa?"
"Pada hari ini biasanya Tabib Jaladara tak mau di-
ganggu. Banyak orang yang sudah tahu hal ini."
"Hmmm... kalau saja dia tak mau mengobati anak-
ku, akan kupenggal kepalanya!" desis orang yang di-
panggil guru tadi dengan geram.

"Tapi guru...."
"Tidak usah banyak bicara lagi. Diam saja!"
Si penunggang kuda yang berada di sebelah kirinya 
itu terdiam dan tak bicara sepatah kata lagi. Pikiran-
nya menerawang jauh. Memang putra bungsu gurunya 
ini tengah sakit parah hampir sebulan lamanya. Dia 
selalu mengerang-ngerang tanpa tahu di mana letak 
rasa sakitnya. Untuk itulah ketika mendengar nama 
Tabib Jaladara yang telah banyak menyembuhkan 
berbagai penyakit, mereka langsung berangkat. Tapi 
hari ini seperti biasanya Tabib Jaladara tak mau mene-
rima pasien. Dan hal itu dipatuhi betul oleh mereka 
yang hendak berobat. Apa jadinya kalau setibanya di 
Sana mereka memaksa tabib itu?
"Masih jauh lagi tempat tabib itu, Gondar?" tanya 
orang yang di depan.
"Sebentar lagi kita sampai, Guru," sahut pe-
nunggang kuda yang berada di sebelah kirinya yang 
dipanggil Gondar.
"Hmmm... apa yang kau takutkan? Kau takut pada 
tabib itu?!" tanya orang pertama yang dipanggil Gondar 
dengan sebutan Guru, seperti mengetahui apa yang 
sedang berkecamuk dipikiran muridnya.
"Ti... tidak, Guru...!"
"Jawabanmu tak memuaskanku. Kau dengar Gon-
dar, nama Tunggadewa amat disegani di rimba persila-
tan. Begitu juga halnya dengan perguruan kita Rajawa-
li Perak. Jadi untuk apa takut? Tujuan kita benar. Ka-
lau si tabib tak mau mengobati anakku, berarti dia 
bukanlah orang pemurah yang membiarkan orang 
menderita di depan matanya begitu saja. Sangat tidak 
sesuai dengan apa yang kau dengar tentang kemura-
han hatinya, bukan?"
Gondar cuma mengangguk. Dia tahu betul, gu-
runya yang bernama Tunggadewa ini memang agak

sombong dan sering sesumbar tentang kehebatannya. 
Tak ada gunanya berdebat, toh dia tak akan menyu-
rutkan niatnya semula.
Dalam pada itu tiba-tiba melesat satu sosok 
bayangan di depan mereka. Gerakannya ringan dan 
langsung menyerang diiringi auman dahsyat bagai 
seekor harimau lapar. 
"Auuum...!"
*
* *
"Awasss...!" Tunggadewa memberi peringatan pada 
murid-muridnya.
Namun walau dia telah memberi peringatan, tak 
urung seorang muridnya yang berada di sebelah kanan 
terkena sambaran.
"Cras!"
"Aaaakh...!"
"Badar!" teriak Gondar cemas melihat sahabat-nya 
menjerit kesakitan sambil memegangi dadanya yang 
robek lebar.
Tapi Gondar tak sempat lagi memperhatikan te-
mannya karena orang asing itu kembali melesat me-
nyerang mereka berdua dengan kecepatan tinggi.
"Sreeet!"
Tunggadewa dan Gondar langsung mencabut sen-
jata dan langsung membabat menyerang ke tubuh la-
wannya.
"Thak!"
"Begkh!"
"Aaaa...!"
Tunggadewa terperanjat kaget. Pedang mereka tak 
mampu melukai lawan sedikit pun. Bahkan dengan 
sekali kibas, tubuh Gondar terjengkang sejauh tiga


tombak dengan dada remuk. Ketua Perguruan Rajawali 
Perak itu mulai khawatir. Dengan waktu singkat dua 
muridnya tidak ketahuan nasibnya apakah masih hi-
dup atau sudah tewas karena dia sendiri tak sempat 
untuk melihat keadaan mereka. Menyesal dia mengapa 
tak membawa murid-muridnya yang lain.
"Siapa kau? Kau akan menyesal berhadapan den-
ganku!" bentak Tunggadewa keras dengan nada tak 
senang.
Namun sosok Manusia Siluman yang sepintas mi-
rip seekor harimau itu tak menyahut, melainkan terus 
menerjang ke arahnya sambil mengaum keras.
"Graungrrr...!"
"Hup!"
"Bangsat!"
Tunggadewa bukan main kesalnya melihat hal itu. 
Percuma saja dia bertanya dan memaki-maki, tapi la-
wan tetap diam membisu dan terus menyerangnya 
dengan tiada henti.
Dua jurus baru berlangsung dan Tunggadewa me-
rasa bahwa nyawanya sedang berada di ujung tanduk. 
Beberapa kali ujung kuku-kuku tangan dan kaki la-
wan yang runcing bagai mata pisau menyambar kulit 
tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya luka hebat. 
Hanya karena ilmu peringan tubuhnya yang telah 
mencapai tingkat sempurna yang menyelamatkan 
nyawanya sesaat. Tapi itu tak berlangsung lama. Kea-
daannya terus terdesak. Rasanya lima kali gerakan lagi 
dia berkelit, kuku-kuku lawan akan menembus jan-
tung dan perutnya. 
"Auuum...!"
Manusia siluman itu mengaum hebat ketika lompa-
tannya dapat dihindari lawan dengan untung-
untungan. Sepasang matanya yang merah menyala-
nyala memancarkan dendam dan kebencian, serta naf

su membunuh.
"Itu dia! Itu dia...!"
"Serang...!"
Pada saat kritis bagi Tunggadewa, tiba-tiba muncul 
banyak orang di tempat itu. Melihat dari cara berpa-
kaian, agaknya mereka adalah tokoh-tokoh persilatan. 
Beberapa orang di antara mereka sempat dikenalnya.
"Ruksadana, kau pun ada di sini?!" serunya pada 
seorang laki-laki tua yang bersenjatakan arit.
"Ya, kita punya urusan yang sama. Si keparat ini 
punya hutang nyawa. Dia telah banyak membunuh 
murid-muridku!" geram laki-laki tua bernama Ruksa-
dana, atau lebih dikenal sebagai Clurit Sakti Bulan 
Terbelah.
"Kalau demikian, mari kita bahu membahu!" sahut 
Tunggadewa bersemangat.
"Bagus! Jahanam itu mesti mampus hari ini juga!"
"Tapi jangan gegabah. Ilmu silatnya hebat dan ge-
rakannya pun luar biasa. Lebih dari itu dia tak mem-
pan senjata tajam, dan waspada terhadap kuku-kuku 
kaki dan tangannya!" Tunggadewa memberikan nase-
hatnya.
Tapi agaknya dia terlambat memberi peringatan 
pada yang lain. Karena pada saat itu juga terdengar je-
ritan menyayat. Dua orang pengeroyok Manusia Silu-
man itu tewas dengan dada robek. Seorang lagi me-
nyusul begitu tubuhnya melesat sambil melompat dan 
mengaum keras. Agaknya sosok makhluk itu semakin 
murka saja melihat kedatangan orang-orang yang 
bermaksud mengeroyoknya.
"Hiyaaa...!"
Ruksadana melompat sambil membabatkan arit ke 
leher lawan. Bersamaan dengan itu tubuh Tunggadewa 
pun mencelat sambil membabatkan golok besarnya ke 
pinggang lawan.

"Graungrrr...!"
"Thak! Thaaak...!"
"Cres! Cress!"
"Ukhhh...!"
Ruksadana dan Tunggadewa mengeluh pelan. Sen-
jata mereka tak mampu melukai lawan. Dengan see-
naknya lawan menangkis dan tangannya yang lain 
menyambar dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh 
mata biasa ke perut keduanya. 
"Yeaaah...!"
Beberapa orang pengeroyoknya yang lain langsung 
menghadang dan menyerang ke arah lawan-nya. Den-
gan demikian selamatlah nyawa Ruksadana dan Tung-
gadewa dari serangan berikut yang dilancarkan tokoh 
yang tengah mereka keroyok itu.
"Bedebah! Dia seperti bukan manusia saja!" desis 
Ruksadana.
"Sulit rasanya bagi kita untuk membunuhnya. Se-
lain tak mengenal lelah, gerakan serta kekuatannya 
seperti tidak pernah berkurang," sahut Tunggadewa.
"Apa yang harus kita lakukan?" tanya Ruksadana.
"Sebaiknya kita serang lagi sambil mencari kele-
mahannya." 
"Baiklah...!"
Keduanya kembali melompat dan menggabungkan 
diri dengan yang lainnya menyerang lawan.
Di antara sekian banyak pengeroyok itu memang 
terlihat bahwa kepandaian Ruksadana dan Tunggade-
wa lebih menonjol. Ujung golok besar Tunggadewa 
mencecar ke arah mata, sementara arit Ruksadana 
mengarah ke bagian tenggorokan.
"Hiyaaa...!"
Namun walau begitu terlihat Manusia Siluman itu 
begitu tangkas melindungi sepasang matanya, dan ke-
tika senjata Ruksadana beberapa kali sempat meng

hantam leher tetap tak berhasil melukai. Bahkan se-
rangan balik dari Manusia Siluman itu yang secara tak 
terduga membuat keduanya kembali terlempar dengan 
luka-luka akibat cakaran yang lebih parah.
"Graungrrr...!" 
"Cres! Cras!" 
"Aaaa...!"
Tiga orang termasuk Tunggadewa dan Ruksadana 
robek perutnya dihajar cakaran orang asing itu. Kali 
ini agaknya dia tak memberi kesempatan sekali lagi 
pada mereka berdua untuk menyelamatkan diri. Sebe-
lum keduanya menyentuh tanah, Manusia Siluman itu 
kembali melompat dengan auman dahsyat.
"Auuuum...."
"Yeaaa...!"
"Bekgh!"
*
* *
TUJUH


Secara tak terduga tiba-tiba terdengar bentakan 
nyaring. Bersamaan dengan itu menderu angin ken-
cang ke arah Manusia Siluman itu dan membuatnya 
jungkir balik di udara. Namun dengan gesit dia bersal-
to dan hinggap di tanah dengan kedua kaki dalam po-
sisi berdiri. Sepasang matanya tajam menatap pada 
rombongan baru yang muncul tiba-tiba. Berdiri paling 
depan adalah seorang wanita berusia sekitar empat 
puluh tahun dengan selendang panjang warna hitam 
melilit di pinggang.
"Huh, inikah orangnya yang sangat meng-
hebohkan itu?" desis wanita itu yang tak lain dari si

Selendang Maut beserta anak buahnya.
Berbeda dengan lawan-lawan sebelumnya, Manusia 
Siluman itu tak menyerang langsung. Dia terdiam be-
berapa saat menatap ke arah wanita itu dengan sek-
sama, sehingga kali ini semua yang berada di situ da-
pat melihat dengan jelas.
Wajahnya yang berkerut dengan sepasang mata 
merah yang nyalang mirip seekor harimau. Pada kedua 
ujung bibirnya tampak sepasang taring. Rambutnya 
yang sebagian memutih dibiarkan lepas begitu saja se-
panjang punggung. Berdirinya agak bungkuk, dan ke-
dua tangannya terus membentuk cakar dengan kuku-
kuku yang runcing serta kelihatan keras.
"Ayo, seranglah aku! Bukankah kau terkenal ganas 
dan memiliki ilmu yang tiada tandingan?!" ejek si Se-
lendang Maut sambil tersenyum sinis.
"Grrr...!"
"Kenapa? Apakah kali ini kau takut menghadapi-
ku? Atau kebiasaanmu cuma mengaum?"
"Nini Selendang Maut, hati-hati! Dia ganas dan tak 
kenal ampun sama sekali!" teriak Tunggadewa mempe-
ringatkan.
"Huh, ingin kulihat sampai di mana keganasan-
nya?" dengus si Selendang Maut sambil meloloskan se-
lendang di pinggangnya.
"Ctar!"
Si Selendang Maut melecutkan selendangnya ke 
arah lawan. Suaranya terdengar nyaring bagai petir 
membelah angkasa. Manusia Siluman itu sempat ter-
kejut dan mundur beberapa langkah. Namun kesuda-
hannya dia menggeram dahsyat.
"Graungrrr...!"
"Ayo, seranglah aku! Pergunakan cakar-cakar-mu 
yang hebat itu untuk merencah tubuhku?" ejek si Se-
lendang Maut sambil melecutkan kembali senjatanya.

Kali ini tantangan wanita itu agaknya diterima si 
orang asing. Dengan didahului auman dahsyat, tu-
buhnya melompat dengan kecepatan bagai kilat me-
nyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Ctar!"
Selendang di tangan wanita itu menghajar telak tu-
buh Manusia Siluman itu. Jangankan tubuh manusia 
yang terdiri dari daging dan tulang, sebongkah batu 
besar sebesar kerbau pun mungkin akan hancur di-
hantam ujung selendang yang disalurkan tenaga da-
lam hebat itu. Tapi orang asing itu cuma menggeram 
ketika tubuhnya kembali terlontar ke belakang. Dan 
ketika kedua kakinya menjejak tanah, secepat itu pula 
dia kembali menyerang.
"Graungrrr...!"
"Hmmm... kebal juga badanmu. Coba sekarang kau 
tahan pukulanku ini!" 
"Yeaaa...!" 
"Bet!" 
"Plak!"
Dengan selendang di tangan kanan yang me-liuk-
liuk menyambar tubuh lawan, telapak tangan kirinya 
siap menghantam. Tapi lawan kali ini ter-nyata telah 
memperhitungkannya. Tubuhnya bergerak lincah 
menghindari sambaran senjata lawan.
Lalu ketika telapak kiri si Selendang Maut meng-
hantam ke arah dada, tubuh orang asing itu mencelat 
ke atas. Kaki kanannya menghantam wajah lawan. 
Masih untung si Selendang Maut mampu berkelit dan 
menghantamkan tinju kanan untuk menangkis.
"Sialan! Rupanya kau bukan manusia biasa. Ku-
litmu keras seperti batu!" umpat si Selendang Maut 
sambil mengeluh pelan merasakan tangan kanannya 
yang kesemutan.

Tapi agaknya si Selendang Maut kali ini tak mem-
beri kesempatan sedikit pun untuk berleha-leha. Ma-
nusia Siluman itu menyerang seperti tiada henti. Sam-
baran kedua cakarnya nyaris merobek kulit tubuh la-
wan kalau saja Selendang Maut tidak cepat berkelit. 
Untuk beberapa saat si Selendang Maut dibuat kewa-
lahan.
Memasuki jurus kedua terlihat si Selendang Maut 
menggeram sambil mengeluarkan seluruh kepan-
daiannya. Selendang di tangannya kini bukan lagi se-
mata-mata seperti lecutan sebuah cambuk, namun se-
kali-kali berubah kaku bagai pedang panjang yang 
menyapu dalam sekejap berubah lemas meliuk-liuk, 
ujungnya menyambar seperti hendak melilit.
"Graungrrr...!"
Dengan satu lompatan manis, Manusia Siluman itu 
menerjang ke arah lawannya. Si Selendang Maut ter-
kesiap dan tak menyangka makhluk itu mampu berge-
rak begitu cepat, dan...
"Cras!"
"Begkh!"
"Ukhhh...!"
Bahu kiri si Selendang Maut robek dicakar Manu-
sia Siluman itu. Dia meringis kesakitan. Namun satu 
pukulan telak tinju kanannya berhasil menghantam 
perut Manusia Siluman itu dan membuatnya terjung-
kal beberapa tombak. Ketika dia bangkit sambil meng-
geram, terlihat dari sudut bibirnya menetes darah ken-
tal. Agaknya pukulan yang dibarengi tenaga dalam se-
penuhnya itu mampu melukai tubuh lawan.
"Nini...!" teriak Dewi Sukma Wening yang sejak tadi 
berdiam diri sambil memburu ke arah Selendang Maut.
"Jangan mendekat! Kembali ke tempatmu. Aku tak 
apa-apa!" bentak Selendang Maut.
"Tapi Nini... kau terluka!"

"Kukatakan kembali ke tempatmu semula!" bentak 
Selendang Maut lagi.
Dewi Sukma Wening tak bisa membantah lagi se-
lain kembali ke tempatnya semula. Sudah menjadi ke-
biasaan ketuanya itu bahwa dia tak suka dibantu bila 
sedang bertarung. Kecuali oleh suatu sebab, misalnya 
dia tewas barulah anak buahnya boleh turun tangan.
"Auuum...!"
Manusia Siluman itu telah kembali melompat ke 
arah Selendang Maut, sementara si Selendang Maut te-
lah bersiap pula dengan senjatanya.
*
* *
"Ctar!"
"Beeet!"
"Kreeet...!"
Ujung selendang wanita itu berhasil melibat tubuh 
Manusia Siluman itu dan menyentaknya hingga tu-
buhnya melambung jauh. Namun pada saat itu juga 
orang asing itu berhasil merobek selendang lawan. Si 
Selendang Maut terkejut sambil terhuyung ke bela-
kang.
Selama ini tak seorang pun yang berhasil merobek 
senjata andalannya itu. Selain terbuat dari serat sutra 
halus yang kuat, senjata itu pun dipergunakan dengan 
pengerahan tenaga dalam tinggi. Kalau ada yang ber-
hasil merobek Selendang Mautnya, sama artinya ber-
hasil memukul tenaga dalamnya. Dan hal itu yang te-
lah dilakukan oleh Manusia Siluman itu. 
"Tap!"
"Graungrrr...!"
Begitu kedua kakinya menyentuh tanah, se-cepat 
itu pula Manusia Siluman yang tingkahnya menyeru

pai harimau itu kembali melesat menyerang lawan se-
telah mencabik-cabik sebagian Selendang Maut yang 
melilit tubuhnya.
"Nini...!" jerit Dewi Sukma Wening cemas melihat 
keadaan ketuanya.
Tapi terlambat. Cakar Manusia Siluman itu berha-
sil merobek perut si Selendang Maut.
"Aaaa...!"
"Graungrrr...!"
"Seraaaang...!" perintah Dewi Sukma Wening ketika 
melihat Manusia Siluman itu bermaksud melancarkan 
serangan berikutnya.
"Ayo, Ruksadana! Ini kesempatan kita untuk 
menghajar Manusia Siluman itu kembali!" teriak Tung-
gadewa.
Sebenarnya tanpa dikomando pun tubuh Ruksa-
dana telah melesat begitu ucapan Tunggadewa selesai. 
Bersama dengan yang lain, kembali mereka mengeru-
buti orang asing itu.
"Auuum...!"
"Cras! Crass!"
"Aaaa...!"
Namun kali ini terlihat Manusia Siluman se-makin 
liar. Sekali dia berkelebat paling tidak dua atau tiga 
orang tewas dalam keadaan yang mengerikan. Kalau 
tidak dada robek, maka perut dengan isinya yang ter-
burai keluar atau leher yang nyaris putus. Tak heran 
bila dalam sekejap saja korban banyak berjatuhan. 
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu melesat cepat ke arah Tung-
gadewa yang langsung memapaki dengan kelebatan go-
lok besarnya.
"Tunggadewa, awas...!" teriak Ruksadana mem-
peringatkan. 
"Tak!"

"Cras!" 
"Aaaa...!"
Golok di tangan Tunggadewa ditangkis oleh sebelah 
tangan Manusia Siluman itu, sementara tangan yang 
lain menghantam leher lawan. Tunggadewa tak sempat 
terpekik ketika lehernya robek dicakar Manusia Silu-
man itu
"Biadab!" maki Ruksadana sambil terus mencelat 
membabatkan aritnya.
Bersamaan dengan itu Dewi Sukma Wening pun 
melompat menghajar lawan beserta beberapa orang 
anak buahnya yang masih tersisa.
"Hiyaaa...!"
"Tak! Tak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Kedua senjata Ruksadana dan Dewi Sukma Wening 
menghantam telak di punggung dan tengkuk lawan. 
Tapi percuma saja, sebab tak sedikit pun mampu 
menggores kulit tubuh lawan. Apalagi sampai melu-
kainya. Namun serangan balasan yang diluncurkan 
dari Manusia Siluman itu sungguh mengagetkan. Ca-
kar mautnya kembali meminta korban. Perut Ruksa-
dana kena disabet hingga terlihat isinya yang terburai 
keluar. Ruksadana meraung kesakitan.
Sementara tiga orang lainnya mengalami nasib 
yang sama. Termasuk Dewi Sukma Wening yang sedi-
kit beruntung kehilangan lengan kirinya tidak sampai 
merenggut nyawanya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali menggeram dan 
mengamuk sejadi-jadinya pada sisa-sisa pengeroyok-
nya. Jerit kematian kembali terdengar ketika beberapa 
tubuh melayang dalam keadaan terkoyak.
"Keparat! Kali ini aku akan mengadu jiwa dengan

mu!" desis si Selendang Maut sambil membalut ping-
gangnya yang robek dengan selendang.
"Hiyaaa...!"
Sambil berteriak nyaring wanita itu melompat cepat 
mengirim satu pukulan jarak jauh. Di seputar tempat 
itu terasa angin menderu kuat tertuju ke arah Manusia 
Siluman tersebut. Cabang-cabang serta dedaunan pa-
da pohon-pohon yang berada di dekatnya bergoyang 
kencang bagai disapu angin topan.
"Argkhhh...!"
Manusia Siluman itu mengeluarkan suara kesaki-
tan yang parau dari kerongkongannya. Namun dengan 
cepat tubuhnya yang terpelanting kembali melesat ke
arah lawan saat menyentuh tanah.
"Graungrrr...!"
"Yeaaa...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Aaaakh...!"
Si Selendang Maut kembali menjerit kesakitan. Ke-
tika dia bermaksud memapaki serangan lawan, telapak 
tangan kanannya berhasil menghantam dada lawan. 
Namun sebaliknya cakar lawan merobek perutnya. Ke-
duanya terhuyung-huyung beberapa saat.
"Auuum...!"
"Nini, awassss...!"
Dewi Sukma Wening berteriak memperingatkan 
sambil melesat menghadang Manusia Siluman itu yang 
seperti tak merasakan sakit di tubuhnya. Padahal saat 
itu si Selendang Maut tengah melilitkan selendangnya 
untuk menutupi bagian pinggang serta perutnya yang 
robek. Keringat dingin mengucur di sekujur tubuhnya 
yang gemetar melawan rasa sakit yang bukan kepa-
lang. Namun demikian sorot matanya masih meman-
carkan kegarangan serta dendam membara.

Sementara itu walaupun Dewi Sukma Wening be-
rusaha mencegah lawan untuk membinasakan ketua-
nya, usahanya hanya sia-sia belaka. Tak banyak yang 
dapat dia lakukan untuk mengulur-ulur waktu agar 
ketuanya dapat terhindar dari kematian Manusia Si-
luman itu.
Namun pada saat-saat kritis itu tiba-tiba melesat 
satu bayangan yang bergerak bagai kilat memapaki se-
rangan Manusia Siluman itu.
"Hiyaaa...!"
*
* *
DELAPAN


"Plak!" 
"Ukh...!"
Terdengar keluh kesakitan. Keduanya terpental 
bersamaan. Dan seperti biasanya Manusia Siluman itu 
kembali mendarat di atas kedua kakinya. Tak jauh di 
hadapannya berdiri gagah seorang pemuda berambut 
gondrong dengan baju rompi terbuat dari kulit hari-
mau yang pernah dikenalnya beberapa hari lalu dalam 
sebuah pertarungan.
"Grrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram. Seperti hal-nya 
berhadapan dengan si Selendang Maut, kali ini dia pun 
tak langsung menyerang. Mungkin karena pernah ber-
tarung dan merasakan bahwa pemuda ini memiliki ke-
pandaian yang sempurna hingga membuatnya harus 
berhati-hati.
"Bayu, hati-hati...!" ingat Ratna Puspa yang juga 
sudah berada di tempat itu.
Pendekar Pulau Neraka mengangguk pelan.
"Nguk! Nguuuk...!"
Tampak Tiren melompat-lompat dengan wajah geli-
sah.
"Tenang Tiren, aku tak apa-apa. Kau jagalah Ratna 
Puspa baik-baik..." ujar Bayu.
Walaupun sepasang matanya tak luput memperha-
tikan setiap gerakan yang dibuat lawan, namun Bayu 
sempat melirik sekilas ke arah Dewi Sukma Wening. 
Dilihatnya gadis itu tersenyum seperti mengucapkan 
kata terima kasih atas pertolongannya di saat yang te-
pat tadi.
"Ayo, Ki sanak? Bukankah kau ingin melumat-kan 
setiap orang? Nah, kenapa kau hanya diam saja?" 
tanya Bayu pada lawannya.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram buas. Sepasang 
matanya menyipit seperti menyiratkan kebencian luar 
biasa. Kemudian dengan satu lompatan ringan tubuh-
nya mencelat menyerang Pendekar Pulau Neraka.
"Auuum...!"
"Uta, haaaa...!"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Pendekar Pulau Neraka dengan ringan ber-
kelit ke samping dan kemudian menghantamkan pu-
kulan ke tengkuk lawan. Tapi Manusia Siluman itu 
mampu menghindar dengan menekuk tubuhnya. Ke-
mudian dengan tiba-tiba Manusia Siluman itu balik 
berguling di udara, cakar tangan kanannya nyaris me-
robek leher Bayu.
"Bet!"
Bayu mendengus geram. Nyaris saja dia terluka ka-
lau tak buru-buru membuang diri ke bawah. Namun 
gerakan lawan cepat bukan main. Rasanya Bayu be-
lum sempat mengatur nafas, tiba-tiba serangan lawan

kembali menuju ke arahnya. Pendekar Pulau Neraka 
melentik seperti ikan di darat. Tubuhnya mengapung 
setinggi hampir dua tombak dalam keadaan berdiri.
"Graungrrr...!"
"Hiyaaa...!"
Manusia Siluman itu dengan cepat menyusul ke 
atas sambil menggeram buas. Bersamaan dengan itu 
tubuh Bayu meluncur ke bawah memapaki dengan 
pengerahan tenaga dalam kuat.
"Plak!"
"Begkh!"
"Bret!"
"Ukh...!"
Pendekar Pulau Neraka meringis ketika kulit da-
danya tercakar lawan. Namun tinju kanannya pun 
sempat menghantam telak. Terlihat lawan menjerit ke-
sakitan dengan tubuh terlempar sejauh tiga tombak. 
Kali ini Manusia Siluman jatuh tidak di atas kedua ka-
kinya. Ketika berusaha bangkit terlihat darah kental 
keluar dari mulutnya. Walau demikian sama sekali tak 
memperdulikan rasa sakit yang diderita.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu kembali mencelat menyerang 
Bayu. Bayu terkesiap. Rasanya mustahil tubuh manu-
sia mampu menahan pukulannya yang bertenaga da-
lam kuat itu. Kalau pun dia memiliki tenaga dalam 
tinggi, paling tidak gerakannya akan terhambat oleh 
rasa sakit yang dideritanya. Tapi Manusia Siluman itu 
seperti tak terpengaruh oleh luka dalamnya sedikit 
pun. Gerakannya masih tetap gesit seperti semula.
"Keparat! Manusia atau silumankah kau ini?" desis 
Bayu seperti tak percaya pada penglihatannya sendiri.
Pendekar Pulau Neraka langsung mengibaskan
tangan kanannya ke atas. 
"Zwiing!"

"Tak!" 
"Uts!"
Walau sadar bahwa Cakra Maut tak mampu melu-
kai kulit lawan, tapi Bayu mencoba mengarahkan sen-
jata mautnya itu ke arah mata. Dengan sigap lawan 
mengibaskan tangan menangkis, lalu tubuhnya me-
luncur menyambar wajah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka melompat ke atas, kemu-
dian bersalto dengan gerakan indah menyambar Cakra 
Mautnya. Pada saat itu pula lawan berbalik menyerang 
setelah serangan pertamanya gagal.
"Auuum...!"
Justru pada saat itu si Selendang Maut mencuri 
kesempatan dan melesat dengan gerakan cepat meng-
hantam Manusia Siluman itu dengan sisa-sisa tenaga 
yang dimilikinya.
"Yeaaa...!"
Dewi Sukma Wening terkejut dan berteriak mempe-
ringatkan. 
"Nini...!"
*
* *
"Graungrrr...!"
"Plak!"
"Breeet!"
"Duk!"
"Aaaa...!"
Manusia Siluman itu berbalik dan dengan gesit 
menangkis serangan Selendang Maut. Wanita itu ter-
pekik ketika perutnya robek di cakar lawan. Namun 
pada saat yang bersamaan Pendekar Pulau Neraka 
menyarangkan pukulan keras ke dada lawan. Kedua 
tubuh itu terpental jauh.

"Nini...?!" Dewi Sukma Wening memburu Selendang 
Maut yang sekarat menahan menunggu ajal.
"De.... Dewi...!"
"Tenanglah Nini, aku akan memanggil Tabib Jala-
dara. Mudah-mudahan kau bisa tertolong!"
"Ti... tidak perlu...." sahut si Selendang Maut terba-
ta-bata.
"Tapi Nini...."
"Tak perlu... kau ingat-ingat saja pesanku ini. Ca... 
cari anak-anakku yang tempo hari... ku ceritakan pa-
damu." lanjut Selendang Maut.
Dewi Sukma Wening mendekatkan telinga ke bibir 
Selendang Maut mendengar pesan-pesannya lebih lan-
jut.
Sementara itu Bayu semakin geram saja melihat 
lawannya yang kuat luar biasa. Walaupun tubuhnya 
terlempar di hajarnya dengan pukulan yang mengan-
dung tenaga dalam kuat, namun dia masih bisa bang-
kit dan menyerang kembali.
"Keparat! Kau terimalah ini!" desis Bayu sambil 
mengibaskan Cakra Maut di tangannya.
"Zwiiing!"
Senjata berwarna keperakan itu mendesing ke arah 
Manusia Siluman. Kali ini Bayu berharap bahwa senja-
tanya itu mampu mencari titik kelemahan lawan, se-
bab dirasakannya betul. Berada pada jarak dekat den-
gan lawan amat membahayakan. Maka ketika lawan 
menyerang ke arahnya, Bayu lebih banyak menghindar 
sambil terus menghajar dengan Cakra Maut.
"Graungrrr...!"
Manusia Siluman itu menggeram dahsyat. Seper-
tinya dia mengerti bahwa kali ini lawan tak bermaksud 
mengadakan kontak tubuh pada jarak dekat dengan-
nya, maka dia berusaha mendekat ke arah Bayu. Tapi 
Cakra Maut yang saat ini terus menghantam pada se

tiap juru pada tubuhnya membuat dia agak kerepotan.
"Hiyaaa...!"
Bayu melompat cepat ke bawah tubuh lawan ketika 
Manusia Siluman itu menerjang ke arahnya. Sambil 
bergulingan di tanah dia mengibaskan Cakra Maut 
kembali. Dengan berharap penuh Bayu menghantam 
pada telapak kaki lawan. Kalau kali ini tak berhasil ju-
ga, tipis sudah harapannya sebab seluruh tubuh yang 
lain sama sekali kebal terhadap senjatanya. Malah pa-
da sepasang mata lawan terlihat tak begitu ketat dilin-
dungi seperti memberi isyarat bahwa di bagian itu bu-
kan merupakan titik kelemahannya.
"Crab!"
"Aaaa...!"
"Hei...?!"
Bayu tersentak kaget. Lawannya menjerit se-tinggi 
langit dan ambruk di tanah sambil menggelepar-
gelepar. Darah mengucur deras dari se-belah telapak 
kakinya yang di tembus Cakra Maut. Bayu tak menyia-
nyiakan kesempatan ini. Sebelum lawan berusaha
bangkit, kembali Cakra Maut melesat dan menghan-
tam telapak kaki yang satunya lagi. Dan saat itu juga 
terdengar lolongan panjang.
"Mampuslah kau bersama dengan dosa-dosa-mu!" 
desis Bayu geram.
Namun Bayu sempat terkesima. Diperhatikan-nya 
dengan seksama, tubuh Manusia Siluman itu berubah 
perlahan-lahan. Wajahnya yang tadi berkerut sadis 
dan menyeramkan mirip seekor harimau liar, berubah 
menjadi bersih dengan senyum ramah. Matanya tak 
lagi merah dan memancarkan kegarangan, tapi kemba-
li normal sebagaimana layaknya manusia biasa. Kedua 
taring di sudut bibirnya pun kembali menjadi biasa. 
Lalu kuku-kukunya yang runcing dan kuat berubah 
menjadi kuku biasa. Dalam keadaan begitu Bayu be

tul-betul bisa mengenali siapa orang itu.
"Tabib Jaladara?!" teriaknya kaget.
Mereka yang berada di situ tersentak kaget men-
dengar ucapan Pendekar Pulau Neraka.
"Astaga?!" ucap Dewi Sukma Wening.
"Ooooh...!" desah Ratna Puspa sambil mendekat ke 
arah Bayu.
Bayu belum sempat bertanya ketika tiba-tiba ter-
dengar panggilan lirih si Selendang Maut.
"Wisnupaksi, kaukah itu...?"
Tabib Jaladara yang sedang sekarat itu menoleh 
pelan. Wajahnya terlihat pucat.
"Sur.... Surtiningsih?! Kau... kau... ohh, apa yang 
kulakukan padamu?"
Bayu belum paham melihat kenyataan itu. Begitu 
juga yang lain. Bayu hanya menuruti saja ketika Tabib 
Jaladara minta didekatkan dengan Selendang Maut.
Kedua manusia yang tengah menjelang maut itu 
saling meremas jari sambil tersenyum.
"Wisnupaksi akhirnya kita dipertemukan juga..." li-
rih suara Selendang Maut yang dipanggil Surtiningsih 
itu.
"Ya... hanya keadaannya kini berubah lain. Maaf-
kan aku Surti...."
"Tak ada yang perlu dimaafkan. Kita sama-sama 
salah karena saling mengagulkan kepandaian masing-
masing. Semuanya jadi rusak karena nafsu ingin men-
jadi orang yang tak tertandingi...."
"Begitu juga aku. Dalam pengembaraanku setelah 
kita berpisah, aku menemukan sebuah kitab tentang 
ilmu yang mempelajari gerakan Siluman Harimau. Tapi 
ternyata aku salah mempelajarinya. Ilmu itu tak mam-
pu ku kendalikan. Sewaktu-waktu aku menjelma dan 
merasakan diriku sebagai seekor harimau lapar yang 
haus darah yang tak bisa ku tahan. Pada saat itu aku

tak bisa mengenali siapa-siapa...."
"Kenapa kau tak berusaha mencari jalan keluar-
nya?"
"Sudah. Baik dengan cara bertapa atau dengan 
ramuan obat. Itulah sebabnya pada saat-saat sadar 
aku rajin mempelajari ilmu pengobatan dan mengganti 
namaku menjadi Jaladara agar tak di kenali orang 
lain. Tapi hasilnya tetap nihil...."
Tabib Jaladara atau Wisnupaksi menggeleng le-
mah. Kemudian dia menatap ke arah Selendang Maut 
sambil berkata lirih.
"Bagaimana nasib kedua anak kita...?"
"Itulah yang kusesalkan. Setelah kita berpisah ka-
rena masing-masing merasa memiliki kepandaian yang 
hebat, aku menitipkannya pada Patisena. Kau masih 
ingat bukan? Pembantu setia kita yang dipungut ke-
luargaku ketika masih kecil?"
"Ya, ya... aku ingat. Apakah kau sudah menemui 
mereka? Barangkali mereka sudah besar sekarang, 
dan... dan Ratna Puspa tentu sudah menjadi gadis 
yang sangat cantik sepertimu...."
"Kakang Wisnupaksi, sebenarnya ketika kau pergi 
aku sedang mengandung saat itu. Dan lahir bayi pe-
rempuan yang mungil dan manis...."
"Ooooh... anakku...."
"Ya... aku memberinya nama Roro Intan!" 
*
* *
Ratna Puspa yang sejak tadi mendengarkan pembi-
caraan mereka tersentak kaget. Buru-buru dia me-
nunduk dengan wajah berbinar-binar.
"A... apakah yang kalian maksud aku dan adikku, 
Roro Intan yang dititipkan pada Paman Patisena sejak

kecil...?"
Keduanya menatap Ratna Puspa. Surtiningsih atau 
Selendang Maut yang lebih dulu tersenyum dengan 
wajah penuh luapan kegembiraan.
"Kau... kau anakku Ratna Puspa?!"
"Ibu...!" pekik Ratna Puspa sambil memeluk tubuh 
wanita separuh baya itu.
"Dan... dan apakah kau ayahku?" lanjutnya dengan 
wajah tak percaya.
"Aku ayahmu, Nak..." sahut Wisnupaksi lirih.
"Ayah...?" ragu-ragu Ratna memeluk lelaki itu.
Selagi mereka melampiaskan perasaan suka cita 
karena telah sekian tahun berpisah, Bayu meninggal-
kan tempat itu secara diam-diam bersama Tiren. Tapi 
baru saja Bayu melangkah beberapa tindak, seseorang 
menegurnya.
"Apakah kau tak bermaksud pamit pada mereka?"
"Dewi Sukma Wening...?"
Dewi Sukma Wening menunduk sambil me-
mandangi tangan kirinya yang buntung.
"Mengharukan, bukan...? Beruntunglah mereka di-
bandingkan dengan diriku..." lanjutnya lirih.
Bayu merasakan kedukaan yang dalam pada nada 
bicara Dewi Sukma Wening. Tanpa sadar dia mendekat 
dan duduk di sebelahnya.
"Ya... memang sangat mengharukan. Aku merasa 
bersalah...."
"Kenapa merasa begitu?"
"Kalau saja orang tua itu tak mati di tangan ku...."
"Kaulah yang akan mati di tangannya. Lagi pula 
dengan demikian mereka selamanya tak akan pernah 
bertemu. Paling tidak kau punya jasa dalam memper-
temukan mereka."
"Entahlah... aku tak tahu. Tapi yang ku rasakan
betul adalah kedukaan di batin gadis itu. Baru saja dia

bertemu dengan kedua orang tuanya, tak lama lagi ha-
rus berpisah...."
"Itu sudah takdir. Aku pun bisa merasakan kehi-
langan kedua orang tuaku sejak masih kecil..." lirih 
suara Dewi Sukma Wening.
Bayu tersenyum getir.
"Rasanya kehilangan kedua orang tua terlalu ba-
nyak di alami umat manusia. Dahulu kukira cuma aku 
saja yang merasakannya...."
"Apakah kedua orang tuamu pun telah tiada?"
Bayu tak sempat menjawab. Ketika itu terdengar 
jerit tangis Ratna Puspa semakin keras. Keduanya me-
noleh dan melihat bahwa dua insan yang saling me-
nyintai telah meninggal dalam pelukan Ratna Puspa 
dengan wajah tenang.
"Sebaiknya kau bujuk dia..." ujar Dewi Sukma 
Wening.
Bayu melangkah pelan. Tiren mengikuti dari bela-
kang. Lama Bayu membujuk gadis itu dan menen-
tramkan hatinya.
Tak lama kemudian mereka mengangkat kedua 
mayat itu dan meletakkannya ke dalam pedati yang 
berada di situ. Bayu telah berjanji pada Ratna Puspa 
untuk menemaninya beberapa hari di tempat Paman 
Patisena. Sekaligus untuk menepati janjinya pada Roro 
Intan.
Pedati itu mulai Bergerak pelan. Bayu masih sem-
pat melambaikan tangan pada Dewi Sukma Wening 
yang tak bersedia ikut dengan mereka. Gadis itu ber-
maksud mengembara mengikuti ke mana saja kakinya 
melangkah.
Dari jauh terlihat angin mempermainkan rambut-
nya bersama dengan dedaunan kuning yang bergugu-
ran. Harumnya sampai di hati Pendekar Pulau Neraka. 
Bayu tersenyum, dan menarik nafas pendek sambil

melirik ke arah Ratna Puspa. Kemudian menghela ku-
danya. 
"Heaaa...!"


                            TAMAT


Share:

0 comments:

Posting Komentar