PENCULIK-PENCULIK MISTERIUS
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting : Turi S.
Hak cipta pada Penerbit Dilarang mengcopy
atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Penculik-Penculik Misterius
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Sosok-sosok bayangan hitam itu berkelebatan cepat melintasi pepohonan. Bulan
sabit yang menggantung di langit kelam, tak mampu menerangi bumi. Gumpalan awan-
awan hitam menghalangi pancaran sinar redupnya, membuat suasana malam semakin
diliputi kepekatan. Sehingga, sosok-sosok tubuh itu dapat bergerak dengan leluasa.
Meskipun bergerak dalam gelap, dan dengan sedikit bantuan sinar bulan, sosok-
sosok tubuh itu sepertinya tidak menemui kesulitan. Mereka dapat mengenali jalan dengan
baik, dan bisa menentukan arah yang mereka tuju dengan tepat. Itu menunjukkan mereka
tidak terlalu asing dengan jalan-jalan yang dilalui.
Setelah menyeberangi sungai kecil yang membentang di bawah sebuah jembatan,
sosok-sosok tubuh itu berbelok ke arah jalan sebelah kanan. Melihat cara mereka
menyeberangi sungai dengan tanpa mengurangi kecepatan lari, jelas itu membuktikan
mereka bukan orang-orang sembarangan! Sebab, tidak mudah bagi orang biasa untuk
menyeberang dengan berlari. Padahal, jembatan yang harus dilalui hanya berupa dua
batang bambu, yang diikat jadi satu. Sungguh suatu kepandaian yang mengagumkan!
Kali ini, sosok bayangan hitam yang berjumlah tiga orang itu, menyusuri jalan
berbatu yang turun naik. Bagi orang yang tidak memiliki ilmu lari cepat yang baik, tidak
akan berani melintas dengan kecepatan tinggi. Apalagi dalam suasana yang gelap itu.
Tapi, tidak demikian dengan ketiga sosok tubuh berpakaian serba hitam itu.
Mereka tidak mengurangi kecepatan larinya, meskipun medan yang harus dilalui cukup
sulit dan berbahaya. Sekali saja mereka salah melangkah, sulit untuk dapat dipastikan
mereka bisa selamat. Sebab, selain jalanan terkadang menurun curam, sebuah jurang
menganga di kanan jalan.
Kenyataan, bahwa ketiga sosok berpakaian serba hitam dapat melewati medan
berat dengan baik, jelas merupakan bukti mereka memang memiliki kepandaian yang tidak
bisa diremehkan. Hanya orang-orang gemblengan dan telah terlatih dengan baik saja yang
mampu melakukannya.
Setelah medan berat itu dapat mereka lalui dengan baik, ketiga sosok bayangan
hitam bergerak mendekati sebuah bukit, yang terlihat cukup subur. Rupanya, tempat
itulah tujuan mereka. Sebab, ketiganya terlihat mulai mendaki lereng.
Bagai kelelawar-kelelawar besar yang keluar mencari mangsa, ketiga sosok tubuh
itu berloncatan susul-menyusul. Bahkan, tak jarang mereka menggunakan batang-batang
pohon sebagai jalan untuk naik. Rasanya, ketiga sosok bayangan hitam itu tidak akan
kalah dengan kera-kera liar dalam hal berloncatan dari satu pohon ke pohon lain. Bahkan,
gerakan mereka terlihat lebih gesit dibandingkan seekor kera. Sehingga, dalam waktu yang
tidak terlalu lama, mereka pun tiba di atas bukit yang bertanah datar, dan banyak
ditumbuhi rumput-rumput tebal.
Sosok terdepan yang tiba lebih dulu di atas bukit, tampak menghentikan
langkahnya, dan berdiri tegak menanti kedua kawannya. Setelah mereka kembali
berkumpul, sosok pertama yang bertubuh padat berisi, membayangkan kekuatan hebat
yang tersembunyi di dalam tubuhnya, menggerakkan tangan menunjuk ke arah sebelah
barat bukit. Dari sini, bisa diduga sosok pertama itu lebih mengetahui keadaan puncak
bukit daripada dua kawannya. Sehingga, dialah yang menjadi penunjuk jalan bagi teman-
temannya.
Setelah memastikan arah yang akan diambil, ketiganya kembali menyusuri tanah
berumput. Kali ini mereka hanya berlari-lari kecil. Sepertinya, mereka sangat berhati-hati
untuk bergerak maju.
Beberapa saat kemudian, di depan mereka dalam jarak sekitar enam tombak,
tampak sebuah bangunan besar berdiri kokoh. Di sekeliling bangunan itu terdapat kayu-
kayu bulat setinggi satu setengah tombak, yang membentuk pagar.
Ketiga sosok bayangan itu berhenti sejenak, kemudian merunduk merayapi bagian
atas dan setiap sudut sebelah atas bangunan. Agaknya, mereka hendak memastikan
keberadaan penjaga-penjaga bangunan pada pos-pos penjagaan di atas gerbang, dan di
sudut kiri-kanan bangunan.
"Tampaknya kehadiran kita tidak diketahui...," ujar sosok pertama yang bertugas
sebagai pemimpin kedua orang kawannya.
"Benar. Untuk itu kita harus bertindak cepat. Setiap penghadang harus kita
singkirkan! Dengan itu, jejak kita tidak akan dapat diketahui...," sahut sosok kedua
mengingatkan kawan-kawannya, yang mengangguk tanda mengerti.
Usai berunding, ketiganya bergerak dengan membungkuk mendekati bagian
samping kanan bangunan. Terkadang ketiganya bergulingan, agar kedatangan mereka
tidak sampai terlihat penjaga-penjaga bangunan besar itu. Dan, sambil merapatkan tubuh
ke pagar yang mengelilingi bangunan, mereka menggeser langkah mendekati sebatang
pohon besar yang tumbuh di samping kanan bangunan itu. Melalui pohon besar itulah
ketiganya bergerak masuk ke bagian dalam bangunan, dan terus melesat ke samping
bangunan utama.
Dua orang penghuni bangunan yang kebetulan keluar dari bagian samping, dan
memergoki mereka, langsung roboh tertotok salah seorang dari ketiga sosok bayangan itu.
Kemudian sosok itu mencabut pedang di pinggangnya. Tanpa rasa kasihan sedikit pun
senjatanya berkelebat menghabisi nyawa kedua orang yang malang itu. Setelah itu, mereka
kembali bergerak memasuki bagian dalam bangunan utama, yang merupakan induk
bangunan Perguruan Tongkat Sakti.
Seorang lelaki tua berusia sekitar enam puluh lima tahun yang kebetulan tengah
membaca di ruang perpustakaan, mengerutkan kening ketika menangkap ada gerak
langkah mencurigakan memasuki bangunan itu.
"Hmmm...," lelaki tua itu bergumam perlahan. Sepasang matanya tampak berkilat
tajam. Detik berikutnya, pelita di ruang perpustakaan dipadamkan. Sehingga, ruangan itu
seketika menjadi gelap.
Dengan langkah hati-hati, lelaki tua yang tidak lain Ketua Perguruan Tongkat
Sakti, bergegas keluar dari ruang perpustakaan. Dan pada saat yang bersamaan, ia
melihat tiga sosok tubuh terbungkus pakaian serba hitam, baru saja keluar dari dalam
kamarnya. Sadar bahwa ketiga orang itu tamu-tamu tak diundang, lelaki tua bertubuh
gagah itu langsung membentak!
"Maling-maling, Hina! Menyerahlah sebelum kukirim ke neraka!" sambil berkata
demikian, lelaki tua itu menerjang maju dengan tamparan yang menimbulkan desiran
angin tajam!
Bwettt...!
Ketiga sosok berpakaian serba hitam berlompatan menghindar. Kemudian, bergerak
mengepung dari tiga arah. Ketiga pasang mata mereka menatap tajam raut wajah orang
tua itu.
"Hm.... Kiranya kau, Ki Adiwarsa. Bagus...! Memang tujuan kami ke tempat ini
ingin mencarimu...," ujar sosok bertubuh tegap dengan sorot mata berkilat tajam.
Kelihatan sekali orang itu merasa gembira ketika melihat dan mengenali orang tua yang
menyerang mereka.
"Eh?! Rupanya, selain sudah mengenalku dengan baik, kalian pun mengetahui di
mana letak kamar tidurku. Siapa sebenarnya kalian, dan mau apa mencariku...?" geram Ki
Adiwarsa heran menyadari orang-orang berpakaian hitam itu mengenalnya. Padahal
keadaan saat itu cukup gelap.
"Mengenai untuk apa kami mencarimu, sebaiknya tidak kukatakan sekarang. Mari,
ikut kami secara baik-baik. Jika tidak, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan...,"
sahut sosok itu yang bertugas sebagai juru bicara dua orang temannya.
"Hm.... Aku tidak kenal dengan kalian bertiga. Tapi, melihat cara kalian datang ke
tempat ini, sudah dapat kupastikan kalian bukanlah orang baik-baik! Jadi, sebaiknya
memang kalian harus menggunakan kekerasan. Sebab jika tidak, aku yang akan
menggunakan kekerasan untuk membekuk kalian. Maling-maling Hina!" bentak Ki
Adiwarsa mendengar ancaman tamu tak diundang itu.
"Hmmm...," sosok berpakaian serba hitam itu menggereng perlahan. Kepalanya
bergerak memberi isyarat pada kedua kawannya untuk bertindak maju. Ia sendiri sudah
melangkah perlahan dari arah depan.
"Haaattt...!"
Ki Adiwarsa yang sudah marah kepada tamu-tamu kurang ajar itu, langsung
membentak sambil melontarkan serangan-serangan yang cepat dan kuat. Sehingga, ketiga
orang berpakaian serba hitam tak berani gegabah, untuk menghadapi secara langsung
gempuran Ketua Perguruan Tongkat Sakti itu.
"Whuuuttt...!"
Sambaran bacokan tangan kanan Ki Adiwarsa, dapat dihindari lawan dengan
membungkuk. Kemudian, terus melompat ke belakang sejauh setengah tombak, ketika
lelaki tua itu menyusuli serangannya dengan sebuah tendangan miring ke arah ketiga
lawannya.
Cukup kaget juga hati Ki Adiwarsa melihat kegesitan lawan. Dan, lelaki tua itu
terpaksa harus menunda serangannya. Ketika melihat dua sosok tubuh lain datang
menyerbu untuk membantu kawannya. Sebentar kemudian, Ki Adiwarsa telah bertarung
menghadapi ketiga lawannya, yang rata-rata berkepandaian tinggi.
"Haiiittt...!"
"Haaahhh...!"
Setelah sepuluh jurus berlalu, mendadak ketiga orang lawannya berloncatan
mundur, sambil mendorong kedua telapak tangan mereka masing-masing.
"Whuuusss...!"
"Celaka...!? Racun jahat..?!" pekik orang tua itu terkejut bukan main, ketika
mengetahui pukulan jarak jauh yang dilontarkan lawan, menebarkan bau harum yang
memabukkan. Pukulan jarak jauh itu sebenarnya, tidak berbahaya. Karena hanya untuk
mendorong bubuk-bubuk beracun di tangan mereka. Tapi bubuk-bubuk beracun itulah
yang berbahaya!
Karena ruangan yang mereka gunakan untuk bertarung, tidak begitu luas, tentu
sulit bagi Ki Adiwarsa untuk tidak menghirup bau harum memabukkan itu. Meski
demikian, lelaki tua itu berusaha menahan napas sekuatnya. Sehingga, hanya sedikit
racun yang terhisap ke dalam tubuhnya.
Rupanya, ketiga lawan lelaki tua itu menyadari kecerdikan Ketua Perguruan
Tongkat Saka Terbukti, ketiganya bergegas mendesak dengan pukulan-pukulan jarak jauh
yang membuat orang tua itu kewalahan. Sebab, mana mungkin ia dapat menahan napas
selagi harus menghadapi gempuran yang mengandung tenaga dalam hebat. Tentu saja itu
tidak mungkin dapat dilakukannya.
Menyadari hal itu, Ki Adiwarsa akhirnya memutuskan untuk mengadu nyawa
dengan lawan-lawannya. Sambil mengeluarkan pekikan melengking tinggi, orang tua itu
menerjang lawan-lawannya dengan pukulan-pukulan maut.
Breeessshhh...!
Tanpa dapat dicegah lagi, terjadi benturan keras yang membuat bangunan itu
bergetar! Dan, tubuh Ki Adiwarsa maupun ketiga lawannya terdorong ke belakang
menabrak dinding ruangan.
Kejadian itu sangat merugikan Ki Adiwarsa. Sebab, dalam keadaan terengah,
racun-racun yang terdapat di ruangan itu tersedot hidung dan mulutnya. Akibatnya,
dalam sekejap saja tokoh itu sudah tidak bisa mengingat keadaan sekelilingnya. Ki
Adiwarsa jatuh pingsan!
Sedangkan ketiga sosok bayangan hitam itu sudah bangkit berdiri. Ketiganya
merasakan dada mereka agak sesak akibat benturan keras tadi. Meski demikian, itu hanya
luka dalam yang ringan dan tidak terlalu berbahaya.
"Bawa orang tua itu...!" perintah sosok bertubuh tegap.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, kedua orang berpakaian serba hitam langsung
mengangkat tubuh Ki Adiwarsa, dan diletakkan ke bahu salah seorang dari mereka.
Kemudian, ketiga sosok itu bergerak meninggalkan bangunan perguruan.
"Hei...!"
Beberapa murid yang tadi mendengar pekikan melengking tinggi, terkejut melihat
tiga sosok bayangan hitam bergerak meninggalkan bangunan perguruan. Mereka sempat
melihat ada sosok tubuh yang dibawa lari ketiga orang berpakaian serba hitam itu.
"Berhenti...!"
Salah seorang murid Perguruan Tongkat Sakti yang merupakan murid utama Ki
Adiwarsa, segera melesat ke depan, dan menerjang dengan pedangnya.
"Haaahhh...!"
Sosok bertubuh tegap yang berlari paling belakang, langsung membentak sambil
mengibaskan lengannya ke belakang. Sehingga, terciumlah bau harum semerbak yang
menyengat hidung.
"Aaahhh...?!"
Bukan main terkejutnya hati lelaki jangkung itu, ketika melihat serbuk putih yang
menebarkan bau harum memabukkan, menghadang di depannya. Untuk menghindari
bubuk putih, yang ia tahu bubuk beracun, jelas tidak mungkin. Maka, lelaki itu segera
memutar senjatanya untuk mengurangi bahaya dari racun itu.
Tapi, serbuk beracun yang dilemparkan dengan dorongan tenaga dalam itu,
ternyata tidak mudah dihalau. Meskipun putaran pedang lelaki jangkung mampu
menerbangkan daun-daun kering, tapi bubuk beracun yang seperti asap tebal itu, terus
meluncur menerpa wajahnya. Sehingga...
"Aaa...!"
Rupanya, bubuk beracun yang kini digunakan, tidak sama dengan yang dipakai
untuk membius Ki Adiwarsa. Teriakan lelaki jangkung, menandakan bubuk beracun itu
sangat menyakitkan! Hingga lelaki jangkung itu melemparkan pedang di tangannya. Dan
bergulingan di atas tanah, sambil mendekap wajah dengan kedua tangannya.
Kenyataan itu, membuat murid-murid yang lainnya bergerak mundur. Dan,
kesempatan itu dipergunakan oleh tiga sosok berpakaian serba hitam untuk melarikan
diri.
Tak seorang pun yang berani bertindak gegabah melakukan pengejaran. Karena
mereka sadar itu sangat berbahaya.
Sementara itu, lelaki jangkung yang wajahnya terkena bubuk putih, masih
bergulingan sambil tetap mendekapkan kedua telapak tangan ke wajah. Jerit kesakitannya
masih terdengar, membuat kawan-kawannya bertanya-tanya dalam hati. Apa yang
membuat lelaki jangkung itu berteriak-teriak kesakitan?
Jawabannya pun segera mereka peroleh. Lelaki jangkung itu terlihat berkelojotan.
Wajah yang sudah tak dilindungi telapak tangan itu, tampak hangus bagaikan tersengat
api. Seluruh kulit wajahnya rusak seperti terbakar. Dan, terlihat cairan berbau busuk
membasahi sekujur wajah lelaki itu Tak berapa lama kemudian, napasnya putus.
Membuat orang-orang yang menyaksikannya terpekik ngeri.
"Kakang Malela...!"
Mendadak, seorang murid perguruan tampak berlari-lari dari dalam bangunan
utama. Kemudian bergegas menghampiri seorang lelaki gagah berusia sekitar dua puluh
lima tahun. Napasnya tersengal-sengal ketika tiba di depan lelaki gagah bernama Malela.
"Ada apa? Bagaimana keadaan guru kita? Apakah beliau selamat?" Malela langsung
memberondong orang itu dengan pertanyaan. Sehingga, lelaki yang datang dengan napas
tersengal itu menjadi gelagapan.
"Guru kita..., hilang...," lapornya setelah berusaha mengatur napas, agar bisa
menyampaikan apa yang diketahuinya.
"Jadi, sosok yang digendong mereka tubuh guru kita?" tanya Malela entah pada
siapa. Karena ucapan itu dikeluarkan mirip sebuah keluhan.
Semua murid-murid yang mendengar ucapan Malela terdiam. Mereka belum bisa
percaya guru besar mereka dapat diculik demikian mudahnya. Karena, mereka tahu
sampai di mana kehebatan Ki Adiwarsa.
Malela sendiri tak bisa berkata apa-apa. Pemuda itu segera melangkah menuju
bangunan induk perguruan, setelah memberi perintah kepada beberapa murid untuk
mengurus korban racun ganas.
Hati pemuda bertubuh tegap itu benar-benar kacau, ketika tidak menemukan
sosok gurunya di dalam bangunan induk. Sekarang ia mulai yakin, gurunya telah diculik
orang. Tapi, dirinya sungguh tak mengerti, mengapa mereka harus menculik gurunya?
Persoalan apa yang membuat mereka sampai menculik Guru Besar Perguruan Tongkat
Sakti?
Dengan kepala dipenuhi berbagai macam pertanyaan, Malela bergegas keluar dari
bangunan utama. Setelah memerintahkan murid-murid untuk kembali ke tempat masing-
masing, Malela termenung di dalam kamarnya. Banyak hal yang membuat kepalanya
terasa berat. Kakak seperguruannya telah tewas akibat racun jahat yang dilemparkan
penculik gurunya. Sedangkan Ki Adiwarsa hanya mempunyai dua orang murid utama,
yang telah mewarisi ilmu Perguruan Tongkat Sakti. Sekarang, hanya tinggal dia seorang
yang harus bertanggung jawab atas perguruan.
"Kalau aku pergi, siapa yang akan mengurus dan menjaga perguruan?" desis Malela
dengan hati tak karuan. "Sebaliknya, kalau aku tinggal menjaga perguruan, lalu siapa
yang akan mencari guru?"
Malela benar-benar pusing dihadapkan pada pilihan yang sulit. Sehingga, sampai
pagi datang pemuda itu masih termenung di kamarnya, ia masih belum menemukan
pilihan yang baik untuk mengatasi persoalan itu.
***
Lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti, membuat kaum persilatan gempar!
Kesaktian Ilmu Tongkat Ki Adiwarsa memang sudah terkenal di kalangan persilatan.
Jarang ada orang yang mampu menandingi kehebatan permainan tongkat tokoh itu. Tapi,
ketua perguruan itu ternyata dapat diculik orang dari dalam perguruannya. Benar-benar
sukar untuk dapat dipercaya.
Beberapa tokoh yang bertempat tinggal tidak jauh dari Perguruan Tongkat Sakti,
berdatangan hendak mencari keterangan yang lebih lengkap mengenai kebenaran kabar
itu. Sehingga, Malela menjadi bingung menghadapi berbagai macam pertanyaan yang
ditujukan kepadanya.
"Bagaimana kejadian yang sebenarnya, Malela? Kami mendengar berita yang
tersebar di luar sebagai fitnah orang-orang yang tidak menyukai Ki Adiwarsa. Tapi, rasanya
akan lebih baik bila kami mendengar langsung dari mulutmu. Benarkah gurumu telah
diculik orang? Apa kau mengetahui siapa penculik yang berani mati itu?" tanya seorang
lelaki gagah bertubuh sedang yang di punggungnya terdapat sepasang golok kembar.
Tokoh ini tidak lain Pendekar Golok Kembar, yang merupakan salah seorang sahabat Ki
Adiwarsa. Lelaki gagah itu kebetulan berada di sekitar daerah itu, dan mendengar orang
ramai membicarakan lenyapnya Ketua Perguruan Tongkat Sakti. Sehingga, dirinya
menyempatkan diri untuk menanyakan kebenaran berita itu.
Selain Pendekar Golok Kembar masih ada dua orang tokoh lainnya, yang
merupakan sahabat-sahabat Ki Adiwarsa. Mereka pun ingin mendapatkan jawaban yang
benar, agar dapat ikut memikirkan musibah yang menimpa Perguruan Tongkat Sakti.
"Harap kalian semua dapat memaafkan kebodohanku. Peristiwa itu memang benar
terjadi. Dan pencurinya berjumlah tiga orang. Kepandaian mereka sangat tinggi. Sehingga
kami gagal untuk membekuknya...," sahut Malela perlahan. Hatinya tidak tenang
mengingat peristiwa yang belum bisa dipercayainya itu.
"Jadi, benar Ki Adiwarsa diculik orang?" lelaki tinggi besar berambut panjang yang
semula belum percaya akan kebenaran berita itu kembali meminta ketegasan Malela.
"Benar Ki," sahut Malela tidak bersemangat.
"Apa kau tidak bisa menduga, siapa kira-kira penculik-penculik gila itu?" tanya
Pendekar Golok Kembar dengan wajah membayangkan rasa penasaran hatinya.
"Sayang, aku tak bisa menebaknya. Lagi pula, aku tak begitu banyak mengetahui
musuh-musuh guruku...," sahut Malela yang memang tak bisa mengenali penculik-
penculik itu. Sehingga, para tokoh yang berkumpul di ruang pertemuan itu, hanya bisa
saling bertukar pandang dengan wajah heran.
"Kalau begitu, kami akan bantu mencari manusia-manusia keparat itu, Malela,"
ujar tokoh-tokoh itu sebelum meninggalkan Perguruan Tongkat Sakti. Malela hanya bisa
mengucapkan terima kasih, atas kesediaan sahabat-sahabat gurunya untuk menolong
menemukan penculik-penculik itu. Dan, mengantarkan mereka pergi sampai ke pintu
gerbang.
Sepeninggal kawan-kawan gurunya, Malela kembali dicekam keresahan. Pemuda
itu masih belum bisa mengambil keputusan. Apa yang akan dilakukannya? Jika ia pergi
mencari penculik gurunya, sudah pasti untuk sementara perguruan akan ditutup. Sebab,
tidak ada murid lain yang bisa diserahi tanggung jawab untuk menjaga perguruan. Tapi,
keputusan harus segera diambil, sebelum semuanya makin bertambah parah. Tanpa Ki
Adi-warsa, jelas murid-murid Perguruan Tongkat Sakti akan selalu dilanda keresahan.
Untuk itu, ia harus berani mengambil keputusan!
DUA
"Heyaaa...!"
Kuda berbulu coklat itu melesat cepat bagai anak panah yang lepas dari busur.
Debu mengepul tinggi, saat binatang itu berderap melintasi jalan tanah merah yang kering,
terpanggang matahari.
Lelaki bertuljuh kurus yang duduk di atas punggung kuda, tampaknya demikian
bergegas. Terbukti, dari seringnya tali kekang dicambukkan ke tubuh binatang
tunggangannya. Bentakannya terus bergema, meningkahi suara hentakan kaki kuda.
Tidak berapa lama kemudian, tibalah penunggang kuda itu di kaki sebuah bukit
kecil. Dari sini, lari kudanya baru diperlambat Karena selain jalan yang dilaluinya tidak
rata, juga banyak terdapat belokan. Sehingga, terlalu besar risikonya jika ia masih nekat
tidak mengurangi kecepatan lari binatang tunggangannya. Jurang menganga lebar di
sebelah kanannya, siap menelan tubuh penunggang kuda itu dan binatang
tunggangannya, bila ia salah melangkah.
Ketika jalan yang dilaluinya memecah dua arah, penunggang kuda itu mengambil
jalan ke kanan, yang kadang menurun. Tidak berapa lama sesudahnya, tibalah ia di dekat
sebuah rumah yang berhalaman cukup luas. Rumah itu berdiri di punggung bukit.
Dengan kesigapan yang cukup mengagumkan, lelaki bertubuh kurus itu melayang
turun dari atas punggung kuda. Kemudian, menambatkan binatang tunggangannya pada
sebuah batang pohon. Setengah berlari lelaki kurus itu memasuki halaman rumah.
"Ada berita apa, Ki Danara? Kelihatannya kau begitu tergesa?" tegur seorang lelaki
bertubuh tegap, yang saat itu tengah melatih seorang gadis remaja berusia sekitar tujuh
belas tahun. Kedatangan lelaki kurus yang bernama Ki Danara itu, membuat lelaki tegap
mengalihkan perhatiannya.
"Ampun, Guru. Berita yang kubawa kali ini memang sangat penting...," ujar Ki
Danara sambil mengatur napasnya yang agak tersengal. Lelaki kurus itu menjatuhkan
tubuhnya seraya mengangkat kedua tangan di atas kepala, dengan kedua telapak
menyatu.
"Hm... Coba katakan, berita apa yang kau anggap demikian penting itu, hingga kau
tidak membawa bahan makanan seperti biasanya. Ingin kutahu, seberapa pentingnya
berita itu bagiku...?" ujar lelaki bertubuh tegap yang menatap wajah Ki Danara dengan
sinar mata tajam.
"Ada apa, Ayah? Kelihatannya Paman Ki Danara demikian tergesa," gadis remaja
berwajah manis dengan senyum yang memikat, menghentikan latihannya, dan melangkah
menghampiri lelaki tegap yang tengah menghadapi Ki Danara. Kemudian, sepasang
matanya yang bersinar cerah beralih pada Ki Danara, "Apa aku boleh ikut mendengarkan
berita yang Paman bawa itu...?" tanyanya dengan suara agak manja.
"Tentu saja boleh, karena berita yang akan paman sampaikan ini bisa menambah
pengalamanmu, dalam mengikuti perkembangan kalangan persilatan dewasa ini...," sahut
Ki Danara tersenyum, memandang wajah manis gadis itu. Kelihatan Ki Danara sangat
menyayangi dara manis itu. Dan, lelaki itu tidak berusaha menyembunyikannya meski di
depan, lelaki gagah, ayah gadis itu. Sebab, rasa sayang Ki Danara tak ubahnya kasih
seorang ayah terhadap putrinya. Usia Ki Danara dan gadis itu terpaut jauh, sekitar dua
puluh tahun lebih. Sehingga, rasa sayang yang ditunjukkan Ki Danara, bukan rasa sayang
seperti pada orang-orang muda berlainan jenis.
Sehabis menanggapi ucapan gadis berwajah manis, Ki Danara kembali memandang
lelaki tegap yang masih menanti berita darinya. Terlihat lelaki gagah itu menganggukkan
kepala, menyetujui apa yang dikatakan Ki Danara pada gadis itu.
"Heyaaa...!" bentakannya terus bergema, meningkahi suara hentakan kaki kuda.
Kuda berbulu coklat itu melesat cepat bagai anak panah yang lepas dari busur.
Debu mengepul tinggi, saat binatang itu berderap melintasi jalan tanah merah yang kering!
"Begini, Guru. Pada saat ini, orang banyak tengah ramai membicarakan Penculik-
Penculik Misterius yang berkepandaian tinggi. Bukan hanya orang-orang biasa yang dibuat
gempar. Bahkan, kaum rimba persilatan pun dibuat cemas oleh kemunculan penculik-
penculik itu. Tahukah Guru, apa yang telah dilakukannya...?" Ki Danara menghentikan
ceritanya, menanti tanggapan lelaki bertubuh tegap, yang mendengarkan penuturan Ki
Danara dengan wajah bersungguh-sungguh.
"Tidak perlu berteka-teki, Ki Danara. Kau tahu sendiri, aku sudah tidak pernah lagi
mengikuti perkembangan yang terjadi di dunia ramai. Jadi, teruskan saja ceritamu, dan
jangan membuatku penasaran," ujar lelaki bertubuh tegap yang kelihatan sudah tak sabar,
ingin segera mengetahui berita yang dibawa Ki Danara secara lengkap. Karena, apa yang
disampaikan lelaki kurus itu memang sangat menarik perhatiannya.
"Maaf, Guru...," ucap Ki Danara pelan. Setelah menarik napas sesaat, lelaki kurus
itu pun kembali melanjutkan ceritanya. Sehingga, membuat lelaki tegap itu nampak kaget.
"Tokoh-tokoh persilatan lenyap diculik orang...?! Benarkah berita yang kau bawa
ini, Ki Danara? Atau, kau hanya mendengar dari pembicaraan orang-orang yang tidak
mempunyai pekerjaan?" ujar lelaki bertubuh tegap belum percaya sepenuhnya akan cerita
muridnya itu Sehingga, ia merasa perlu menegasi. Sebab, bukan tidak mungkin kabar itu
sengaja disebarluaskan kaum golongan sesat, untuk membuat resah orang banyak.
"Kalau belum mengetahui kebenarannya secara pasti, mana berani aku melaporkan
berita ini kepada, Guru. Sebelum kembali ke sini, aku telah menyelidiki kebenaran berita
ini. Hingga, aku harus bertanya langsung pada beberapa murid Perguruan Tongkat Sakti,
yang telah kehilangan ketuanya. Perguruan yang telah cukup dikenal kalangan persilatan
itu telah dibubarkan. Sebab, selain ketuanya lenyap diculik, salah seorang dari dua murid
utamanya, tewas terbunuh pada malam kejadian. Sedangkan murid yang seorang lagi,
pergi meninggalkan perguruan untuk mencari ketuanya. Itu sebabnya, Perguruan Tongkat
Sakti dibubarkan untuk sementara...," jelas Ki Danara melanjutkan ceritanya.
"Gila!" desis lelaki bertubuh tegap dengan wajah menggambarkan gejolak di dalam
dadanya. "Kalau sampai Ki Adiwarsa diculik orang dari perguruannya, benar-benar tidak
bisa dipandang remeh kepandaian penculik-penculik itu!"
"Selain itu, aku khawatir Guru akan menjadi korban penculikan selanjutnya...,"
ucap Ki Danara terdengar mengandung kekhawatiran yang dalam. Rupanya, alasan itulah
salah satu penyebab, mengapa lelaki kurus itu melarikan kudanya seperti orang dikejar
setan.
"Mengapa kau menduga demikian, Ki Danara?" tegur lelaki bertubuh tegap
menatap Ki Danara dengan kening berkerut. Sepertinya, merasa heran atas ucapan
muridnya itu.
"Paman. Mengapa kau sampai mempunyai pikiran demikian? Lagi pula, mana
mungkin mereka berani datang ke tempat ini? Kalau pun benar mereka berani datang,
pedang Ayah tentu akan dapat mengusir penculik-penculik keparat itu...," timpal gadis
manis putri lelaki tegap itu menambahi perkataan ayahnya. Agaknya, gadis remaja itu
sangat yakin akan kepandaian orangtuanya.
Keyakinan gadis manis bernama Pujawati itu memang tidak terlalu berlebihan.
Sebab, lelaki tegap itu, merupakan salah satu tokoh puncak dalam kalangan persilatan.
Hanya saja, dalam beberapa tahun terakhir, tokoh itu menghilang dari dunia ramai, dan
menetap di Bukit Kendal untuk mendidik putrinya. Lelaki itu mencari tempat yang jauh
dari keramaian, setelah kehilangan istrinya semenjak Pujawati berumur tiga tahun.
Istrinya tewas dibunuh gerombolan perampok yang menjarah desa tempat tinggalnya dulu.
Meskipun kematian istrinya telah terbalas, tapi lelaki tegap itu tidak bisa menetap lebih
lama di desa itu. Sehingga, ia memutuskan untuk melewatkan hari tuanya dengan
mendidik Pujawati. Juga untuk menghapus semua kenangan yang pernah terukir di
hatinya. Lelaki gagah itu merupakan seorang jago pedang yang tiada bandingnya dalam
rimba persilatan. Kehebatan ilmu pedangnya, membuat ia dijuluki Pedang Pemecah Langit.
Setelah sekian tahun hidup dalam kedamaian, tiba-tiba muncul persoalan yang
mungkin akan menyeretnya kembali ke dunia ramai. Karena, biar bagaimanapun ia
merasa ikut bertanggung jawab atas segala ketidakadilan yang sampai ke telinganya.
Ki Danara yang mendapat pertanyaan demikian dari kedua orang yang
dihormatinya itu, terdiam sesaat. Sepertinya, lelaki tua itu merasa berat untuk
mengemukakan perasaannya. Biar bagaimanapun, kabar yang dibawanya pasti akan
membuat hati mereka tidak akan tenteram seperti hari-hari kemarin.
"Maaf, Guru. Bukan aku menyangsikan kepandaian Guru. Tapi, penculik-penculik
itu memang mengincar tokoh-tokoh penting rimba persilatan. Sebab, Selain Ki Adiwarsa,
Pendekar Golok Kembar, Sepasang Naga Laut, masih banyak lagi tokoh-tokoh lainnya yang
lenyap tanpa jejak. Itu sebabnya, mengapa aku sangat mengkhawatirkan keselamatan
Guru...," jelas Ki Danara yang dengan sangat terpaksa harus menyampaikan apa yang
diketahuinya.
Bukan main kagetnya hati Pedang Pemecah Langit ketika mendengar nama-nama
yang disebutkan Ki Danara. Sebab, beberapa di antaranya memiliki tingkat kepandaian
yang tidak berselisih jauh dengannya. Bahkan, Sepasang Naga Laut merupakan seorang
tokoh puncak yang sangat ditakuti lawan dan disegani kawan. Tingkat kepandaian tokoh
itu boleh dibilang masih setingkat di atas kepandaiannya. Tentu saja lelaki tegap itu
menjadi kaget.
"Hm.... Kalau begitu, persoalan ini jelas tidak bisa didiamkan begitu saja.
Kekhawatiranmu memang beralasan, Ki Danara. Terima kasih atas kesetiaanmu padaku.
Dan, bisa jadi penculik-penculik itu pun tengah mengincarku. Tapi, biar bagaimanapun
aku tidak akan mundur. Sebab, kalau benar mereka menghendaki diriku, ke mana saja
aku bersembunyi pasti akan dapat mereka temukan...," ujar Pedang Pemecah Langit
dengan suara lantang dan gagah.
"Benar, Pedang Pemecah Langit! Ke mana pun kau pergi bersembunyi, kami akan
datang mencarimu. Bagus, kalau kau berniat menunggu kedatangan kami. Dan kau tidak
perlu menunggu lama. Karena hari ini juga kami akan membawamu pergi...!" tiba-tiba
terdengar suara yang bergema di sekitar tempat kediaman Pedang Pemecah Langit.
"Siapa kau...? Tunjukkan rupamu kalau kau benar-benar seorang yang jantan! Aku
tidak suka dengan orang-orang pengecut yang bisanya hanya bersembunyi...!" bentak
Pedang Pemecah Langit yang diam-diam terkejut mendengar suara yang didorong kekuatan
tenaga dalam tingkat tinggi itu. Terlebih lagi kehadiran si empunya suara tidak
diketahuinya. Kenyataan itu menandakan orang-orang yang datang tanpa diundang itu,
memiliki kepandaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Setelah berkata demikian, Pedang Pemecah Langit mencabut senjatanya dan
melintangkan di depan dada. Kemudian menoleh ke arah Ki Danara dan putri tunggalnya.
"Ki Danara. Kalau terjadi apa-apa, bawalah Pujawati pergi dari tempat ini, selagi
aku bertarung. Aku akan memberikan isyarat kapan kalian harus pergi...," bisik Pedang
Pemecah Langit khawatir akan keselamatan putrinya. Lelaki itu sadar lawan yang kali ini
harus dihadapi bukan lawan-lawan enteng. Itu sebabnya, ia segera berpesan pada Ki
Danara.
"Tidak! Aku akan membantu Ayah menghadapi orang-orang jahat itu! Aku tidak
takut mati! Biar bagaimanapun, aku tidak mau lari seperti seorang pengecut!" bantah
Pujawati berkeras tidak mau meninggalkan tempat itu, dan hendak membantu ayahnya
menghadapi penculik-penculik yang datang.
"Jangan membantah, Anakku. Semua ini Ayah lakukan demi kebaikan kita berdua.
Kalau sampai kita berdua tertangkap, lalu siapa yang akan membebaskanku? Tapi jika
kau pergi untuk sementara waktu dan menyempurnakan semua ilmu yang ayah ajarkan
padamu. Dengan demikian, ayah bisa mengharapkan bantuanmu bila sampai tertangkap
dan dibawa pergi oleh mereka...," bujuk Pedang Pemecah Langit mencoba memberikan
alasan yang dapat diterima Pujawati.
"Tapi..., bagaimana kalau Ayah tewas di tangan mereka. Jika itu sampai terjadi,
bukankah aku bisa dituduh orang sebagai anak durhaka...?" Pujawati masih mencoba
membantah ucapan ayahnya, meskipun dengan suara lemah.
"Tidak, Anakku. Justru dengan menuruti kata-kata ayah, kau sudah menunjukkan
baktimu. Jangan membantah lagi. Karena rasanya lawan terlalu kuat bagi kita...," bisik
Pedang Pemecah Langit yang sudah membalikkan tubuh dan memandang berkeliling.
Sebab, hingga saat itu ia belum mengetahui di mana lawannya berada.
Pedang Pemecah Langit tidak perlu menunggu terlalu lama. Karena, orang yang
ditunggunya telah meluncur turun dari atas pohon di tiga tempat. Kemudian, ketiga sosok
tubuh itu melangkah perlahan membentuk kepungan.
"Sebenarnya kami tidak ingin menggunakan kekerasan. Pedang Pemecah Langit!
Tapi, kalau kau menghendaki, apa boleh buat...," desis salah seorang dari ketiga lelaki
berpakaian serba hitam itu. Wajah mereka memancarkan sifat licik. Tapi, tak seorang pun
dari ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu dapat dikenalinya.
"Hm... aku sudah tahu tujuan kalian datang ke tempat ini! Tidak perlu berbasa-
basi lagi! Kalau memang mempunyai kesanggupan, lakukan saja apa yang telah kalian
perbuat terhadap tokoh-tokoh persilatan lainnya...!" geram Pedang Pemecah Langit yang
kini telah memutar pedangnya sedemikian rupa, hingga menimbulkan suara bercicitan
tajam.
"Bagus...! Sudah kukatakan sejak pertama tadi, bahwa apa pun yang kau minta
akan kami turuti...," ujar salah seorang dari mereka, yang wajahnya terdapat bekas luka
memanjang.
"Mengapa kalian tidak menggunakan senjata...?" tegur Pedang Pemecah Langit
ketika melihat tangan ketiga lawannya tampak kosong. Tidak ada tanda-tanda sedikit pun
mereka akan menggunakan senjata. Sehingga, Pedang Pemecah Langit menjadi ragu.
"Tidak perlu banyak cakap, Pedang Pemecah Langit! Waktu kami sangat singkat.
Bersiaplah...!" sosok yang bertindak sebagai pimpinan, berkata dengan nada dingin dan
memandang ringan Pedang Pemecah Langit. Rupanya sikap Penculik-Penculik Misterius
semakin sombong, setelah tugas-tugasnya selalu berhasil dengan baik.
Tapi, yang kali ini dihadapi mereka adalah Pedang Pemecah Langit, yang terkenal
sangat berhati-hati dalam mengambil tindakan. Tokoh ini selalu mempertimbangkan
dengan cermat setiap gerak langkahnya. Dan, tidak pernah memandang remeh, meski
lawannya hanya seorang maling kecil sekali pun. Apalagi menghadapi tiga Penculik-
Penculik Misterius, yang telah berhasil menculik tokoh-tokoh digdaya seangkatan. Tentu
saja Pedang Pemecah Langit lebih berhati-hati lagi.
Wrrr... wrrr...!
Pedang di tangan lelaki tegap berwajah jantan, berusia sekitar lima puluh tahun
itu, berputaran menimbulkan dengungan tajam. Sepasang matanya yang tajam bergerak
lincah, meneliti langkah kaki ketiga lawannya yang mulai melangkah maju. Dan...
"Haaattt...!"
Ketika lawannya yang berada di depan menyerang, Pedang Pemecah Langit masih
belum bergeser dari tempatnya. Lelaki tegap itu bersikap demikian tenang, menunggu
serangan lawan tiba. Baru kemudian menarik mundur langkahnya dan langsung bergerak
ke samping, menghindari sebuah pukulan yang meluncur datang mengancam dada!
Beeettt…!
Pedang Pemecah Langit kelihatan belum berminat untuk melontarkan serangan
balasan. Terbukti, setelah berhasil menghindari serangan pertama, ia langsung melompat
sejauh beberapa langkah, dan terus menjauh saat serangan lawan yang lain datang
mengancam. Agaknya, lelaki tegap itu hendak mempelajari gerakan ketiga pengeroyok.
Setelah itu, baru ia dapat memperhitungkan langkah penyerangan untuk melumpuhkan
lawan-lawannya.
Tindakan yang dilakukan Pedang Pemecah Langit memang sangat tepat. Sayang,
tokoh itu tidak tahu lawan-lawannya ahli racun yang tangguh. Dan, berkat racun-racun
pelumpuh itulah, mereka dapat menundukkan tokoh-tokoh besar golongan putih. Jika
bukan karena itu, belum tentu mereka dapat berhasil dengan baik melakukan penculikan.
Setelah sepuluh jurus berlalu, Pedang Pemecah Langit kelihatan mulai
mempersiapkan jurus andalannya untuk menghadapi lawan. Cepat bukan main gerakan
yang dilakukan lelaki tegap itu dalam memainkan senjatanya. Sehingga, ketiga lawannya
kelihatan agak terkejut, dan merenggangkan kepungan.
"Haiiittt...!"
Dengan sebuah lengkingan panjang menggetarkan jantung, Pedang Pemecah Langit
bergerak maju menerjang lawan-lawannya. Senjata di tangannya berubah banyak, dan
tidak kelihatan bentuk aslinya lagi. Terdengar suara berciutan saat mata pedang mulai
mengincar korbannya satu persatu.
Swingngng...!
"Aiiih...?!"
Lawan pertama yang menjadi incaran ujung pedang lelaki tegap, berseru kaget.
Hampir saja tenggorokannya tersayat ujung pedang. Untung ia masih sempat memiringkan
tubuhnya. Sehingga, ujung senjata maut itu lewat setengah jengkal di sisi leher.
"Shaaah...!"
Tapi, serangan Pedang Pemecah Langit tidak berhenti sampai di situ saja. Begitu
serangannya luput, senjata itu bergerak balik dengan kecepatan tinggi. Yang menjadi
sasaran tetap tenggorokan lawan.
"Hiaaah...!"
Di sini, para Penculik-Penculik Misterius itu mulai memperlihatkan kecurangan.
Sambil melempar tubuh bergulingan menghindari kejaran pedang lawan, tangannya
mengibas menebarkan bubuk-bubuk beracun, yang bila sampai tersedot bisa membuat
lawan lumpuh dan roboh pingsan.
"Licik...!"
Mendapat serangan gelap yang sebelumnya tidak diduga itu, terkejut juga hati
Pedang Pemecah Langit. Cepat lelaki tegap itu melempar tubuh bergulingan ke belakang,
sambil mengibaskan senjatanya dengan kecepatan tinggi.
"Haaahhh...!"
Tapi, begitu kedua kaki Pedang Pemecah Langit menyentuh tanah, lawan yang
sudah berada di belakangnya langsung membentak, sambil mendorong sepasang telapak
tangannya ke punggung lelaki tegap itu. Hingga....
Breeesssh...!
"Aaakhhh...?!"
Tanpa ampun lagi, tubuh Pedang Pemecah Langit terjerembab ke depan. Dan, asap
beracun yang berada di depannya langsung terhisap tanpa sengaja. Sehingga, tubuh lelaki
tegap itu terhuyung limbung. Darah segar tampak meleleh di sudut bibirnya.
"Hmmm...."
Sadar dirinya telah mengisap udara beracun, Pedang Pemecah Langit bergegas
mengempos semangat, dan mengerahkan tenaga dalamnya untuk bertahan.
"Ki Danara...! Pergi...!" desis Pedang Pemecah Langit dengan tubuh terhuyung
limbung. Pedang di tangannya diputar sedemikian rupa untuk memberikan kesempatan Ki
Danara dan Pujawati meninggalkan tempat itu.
"Ayah...!" Pujawati merintih ketika melihat ayahnya terluka. Namun, kata-kata
ayahnya membuat gadis remaja itu harus mengeraskan hati, dan membiarkan tangannya
ditarik Ki Danara dan pergi.
Ketiga Penculik-Penculik Misterius itu agaknya tidak begitu memperhatikan dua
orang yang berlari meninggalkan tempat itu. Sebab, tujuan mereka hanya satu,
menangkap dan menawan Pedang Pemecah Langit!
TIGA
"Hm.... Sungguh alot sekali! Rupanya, kau masih juga hendak melawan, Pedang
Pemecah Langit...?" geram salah seorang dari ketiga penculik, yang bertubuh paling tinggi
di antara kedua kawannya yang lain. Meskipun mulutnya berkata demikian, tapi sepasang
matanya tampak menyiratkan kekaguman atas kekuatan daya tahan tubuh Pedang
Pemecah Langit, yang belum juga roboh meski telah menghirup udara beracun yang
mereka sebarkan.
"Sampai mati pun aku tidak akan sudi menyerah, Iblis Keji! Entah apa tujuan
kalian sebenarnya, dengan melakukan penculikan terhadap tokoh-tokoh golongan
putih...?" desis Pedang Pemecah Langit yang dalam keadaan payah, masih juga berbicara,
mengemukakan rasa penasaran di hatinya.
"Cerewet...!" geram lelaki berwajah codet tidak sabar, melihat Pedang Pemecah
Langit tetap berusaha melakukan perlawanan.
"Yeaaattt..!"
Dengan nekat dan tidak peduli akan pengaruh racun di dalam tubuhnya, Pedang
Pemecah Langit kembali menerjang maju dengan tusukan dan sambaran pedangnya, yang
ternyata masih sangat berbahaya. Tentu saja ketiga Penculik-Penculik Misterius itu tidak
berani bertindak gegabah.
Cwiiittt… cwiiittt...!
Ketiga pengeroyok itu melangkah mundur, ketika ujung pedang lelaki tegap itu
bergerak cepat mencari sasaran. Meskipun gerakan itu sudah tidak begitu terarah, tapi
masih sangat berbahaya, dan bisa merenggut nyawa lawan.
"Hm...," lelaki tinggi besar yang menjadi pimpinan Penculik-Penculik Misterius
menggeram gusar. Dan, ketika serangan pedang lawan kembali datang untuk yang
kesekian kali, lelaki tinggi besar itu malah bergerak maju dengan mengandalkan
kelincahannya. Lalu....
"Hiaaah...!"
Diiringi sebuah bentakan keras, lelaki tinggi besar melontarkan sebuah tamparan
ke pelipis lawan. Tidak terlalu kuat, tapi sanggup membuat Pedang Pemecah Langit roboh
tak berkutik!
Plakkk!
"Oughhh...!"
Tubuh lelaki tegap itu langsung terbanting ke tanah berumput. Dan, pingsan
seketika. Tamparan lelaki tinggi besar itu tepat mengenai bagian jalan darah kelemahan di
kepala.
"Hm.... Sungguh hebat sekali tokoh yang berjuluk Pedang Pemecah Langit ini.
Rasanya, ia tidak kalah jika dibandingkan dengan Sepasang Naga Laut, tokoh pantai
selatan itu...," gumam lelaki tinggi besar pada kedua orang kawannya yang agaknya
sependapat dengannya.
"Sebaiknya kita segera tinggalkan tempat ini...," usul lelaki bertubuh sedang yang
berwajah codet. Setelah berkata demikian, tubuh Pedang Pemecah Langit segera
digendongnya. Sebentar kemudian, terlihat ketiga Penculik Misterius itu menuruni lereng
Bukit Kendal. Dan terus lenyap di kejauhan.
***
"Aaah, aku sungguh seorang anak durhaka! Mengapa kubiarkan ayah tertawan oleh
orang-orang jahat itu...?" sambil berlari dengan setengah terpaksa, Pujawati terus merintih
menyebut-nyebut nama ayahnya. Kelihatan gadis remaja itu sangat terpukul dengan
peristiwa yang baru saja dialaminya.
Pukulan batin yang dialami Pujawati tidaklah aneh. Sejak kecil gadis itu telah
digembleng ayahnya dengan ilmu-ilmu silat tinggi. Sekian belas tahun mereka hidup dalam
kebahagiaan dan ketenteraman. Selama itu, mereka tidak pernah berpisah, meskipun
hanya untuk satu hari. Maka, betapa berat dirasakan Pujawati saat ia harus berpisah
dengan orangtua yang sangat dicintainya itu. Bahkan, mungkin tidak akan pernah
bertemu lagi untuk selamanya.
Ki Danara, lelaki tua berusia sekitar empat puluh lima tahun, berusaha menghibur
putri tunggal gurunya. Meskipun sebenarnya lelaki tua itu bukan murid resmi, tapi
baktinya demikian besar pada keluarga Pedang Pemecah Langit. Ki Danara sendiri
sebenarnya seorang pedagang keliling, yang kebetulan berjumpa dengan Pedang Pemecah
Langit di sebuah desa, sebelum pendekar itu menetap di Bukit Kendal. Karena hampir tiap
dua minggu sekali Ki Danara mengunjungi Bukit Kendal, dengan membawa barang-barang
yang diperlukan keluarga itu, akhirnya Pedang Pemecah Langit berkenan menurunkan
beberapa ilmu untuk menjaga diri. Sejak itulah, Ki Danara menganggap Pedang Pemecah
Langit bukan lagi seorang sahabat. Tapi, sebagai guru yang harus dihormati dan dibela. Itu
sebabnya, mengapa lelaki tua itu mau bersusah-payah membawa Pujawati melarikan diri,
agar tidak diganggu Penculik-Penculik Misterius.
"Semua ini sudah menjadi kehendak ayahmu. Jadi tidak perlu kau sesali. Kalaupun
ada yang harus kita pikirkan, bagaimana cara kita mengetahui tempat ayahmu ditahan.
Dengan begitu, kita bisa mencari jalan untuk membebaskannya," hibur Ki Danara tanpa
menghentikan larinya. Khawatir jika para penculik itu akan mengejar mereka.
Ki Danara terus membawa lari Pujawati melalui tempat-tempat yang jarang dilewati
orang. Itu dimaksudkan agar Penculik-Penculik Misterius itu kehilangan jejak bila masih
terus mengejar mereka. Hingga, keduanya melintasi hutan liar, yang hanya didatangi
pemburu-pemburu kawakan.
"Hiaaah...!"
Setelah setengah hutan mereka tempuh, tiba-tiba terdengar bentakan mengejutkan,
disusul munculnya sosok-sosok tubuh dari dalam tanah. Tahu-tahu mereka telah
terkurung belasan sosok tubuh menyeramkan!
"Kawanan Perampok Ular Tanah...?!" desis Ki Danara terkejut, ketika mengenali
orang-orang kasar yang mengurung mereka berdua. Sebagai pedagang keliling yang
banyak melakukan perjalanan jauh, tentu Ki Danara banyak mengenal gerombolan
perampok dan sebangsanya. Maka, tidak aneh kalau orang tua itu langsung dapat
mengenali para pengepungnya dengan baik, setelah memperhatikan beberapa saat
lamanya.
"He he he...! Bagus kalau kau sudah mengenal kami. Orang Tua. Nah, kalau kau
ingin selamat tinggalkan gadis itu dan sedikit harta yang kau bawa. Setelah itu, kau boleh
meninggalkan tempat ini tanpa diganggu...," ujar seorang lelaki berwajah hitam dan
berkulit kasar.
Pujawati menahan seruannya ketika lelaki itu menyeringai ke arahnya. Giginya
yang besar-besar dan kotor membuat Pujawati merasa jijik melihatnya. Sehingga, tanpa
sadar gadis manis itu mundur beberapa langkah ke belakang. Itu bukan berarti Pujawati
seorang gadis penakut. Gadis itu hanya kaget sesaat untuk kemudian, kembali tenang
seperti biasa.
"Raja Ular Tanah. Harap kau biarkan kami lewat. Untuk kebaikanmu itu, aku akan
memberikan harta yang cukup banyak," ujar Ki Danara mencoba berdamai dengan
gerombolan yang terkenal buas dan kejam. Bahkan, tidak jarang memakan daging
manusia, yang menurut keyakinan mereka dapat membuat tubuh menjadi kebal.
Mengingat hal itu, bergidik hati Ki Danara. Tapi, lelaki itu berusaha untuk bersikap
setenang mungkin.
"Keparat! Berani kau melakukan penawaran atas permintaanku! Apa kau belum
mengenal baik siapa kami...?" bentak Raja Ular Tanah, pemimpin gerombolan manusia liar
itu.
Mendengar bentakan itu, Ki Danara pun sadar tidak ada jalan lain untuk
melepaskan diri dari Gerombolan Ular Tanah, selain harus bertarung. Maka, dicabutnya
pedang yang tergantung di pinggang. Sebagai murid Pedang Pemecah Langit, tentu saja Ki
Danara telah dibekali ilmu-ilmu yang cukup untuk digunakan membela diri.
"Kurang ajar! Kau hendak melawan, heh...!" geram Raja Ular Tanah ketika melihat
gerakan tangan Ki Danara yang kini telah menggenggam pedang telanjang.
"Kaulah yang memaksa, Raja Ular Tanah...!" sahut Ki Danara yang siap
mengorbankan nyawa demi keselamatan putri gurunya.
Pujawati sendiri tidak tinggal diam. Meskipun gadis itu hampir tidak pernah
mendapat pengalaman seperti itu, namun dari cerita-cerita ayahnya, ia sudah banyak
mendengar tentang orang-orang jahat yang berkeliaran di atas muka bumi ini. Ketika
melihat Ki Danara mencabut senjata, gadis itu pun meloloskan pedang yang tergantung di
pinggangnya.
Sraaat...!
Cahaya putih berkilau saat pedang di tangan Pujawati berkelebat menyilang dengan
suara berdesing tajam. Melihat kenyataan itu, Raja Ular Tanah tampak terbelalak dengan
wajah menyeringai. Kelihatan lelaki itu makin tertarik dengan sosok ramping yang
memegang senjata.
"He he he...! Sungguh hebat sekali. Hari ini aku akan mendapat seorang permaisuri
yang gagah perkasa dan liar. Aku sungguh sedang beruntung...," gumam lelaki tinggi besar
berperut gendut itu terkekeh serak.
Pujawati yang meski hanya dengan nalurinya, mampu menangkap makna ucapan
Raja Ular Tanah. Maka, gadis itu pun bersiap melakukan pertarungan.
"Kita lawan saja mereka, Paman...," ujar gadis manis itu dengan suara serak,
karena terlalu banyak menangis selama perjalanan.
"Memang sebaiknya kita lawan mereka. Kalau tidak, mereka akan semakin
beringas...," sahut Ki Danara yang sudah melintangkan pedangnya di depan dada.
Ternyata, meskipun bukan murid resmi Pedang Pemecah Langit, gerakan Ki Danara
terlihat cukup gesit dan mantap.
"He he he...! Anak-anak, kalian bereskan orang tua itu. Biar gadis manis ini
bagianku...," perintah Raja Ular Tanah terkekeh seraya melangkah ke arah Pujawati.
Kelihatannya, lelaki tinggi besar berperut gendut itu, sudah tidak sabar untuk segera
memeluk tubuh ramping di depannya.
"Hm..."
Pujawati bukanlah keturunan orang sembarangan. Gadis itu tidak merasa gentar,
menghadapi lelaki kasar yang tampak seperti hendak melahap tubuhnya. Pedang di
tangannya bergerak menyilang beberapa kali memperdengarkan suara berkesiutan.
"He he he...!" Permainan pedangmu bagus sekali, permaisuriku. Ayo, terus
tunjukkan padaku...," sambil melangkah ke arah Pujawati, mulut Raja Ular Tanah tak
henti-hentinya mengoceh.
Pujawati menggeser langkahnya menjauh, ketika mencium bau yang tak sedap dari
tubuh dan mulut Raja Ular Tanah. Diam-diam hatinya bergidik, membayangkan tubuhnya
dalam rangkulan lelaki menjijikkan itu.
"Haaah...!"
Melihat Pujawati bergerak mundur. Raja Ular Tanah yang takut kehilangan gadis
itu langsung melompat sambil mengembangkan kedua tangannya, siap merangkul tubuh
mungil dara remaja itu.
"Shaaattt..!"
Dengan sebuah bentakan mengejutkan, Pujawati mengelebatkan pedangnya untuk
menyambut luncuran tubuh lawan. Dan....
Takkk!
Pedang gadis itu telak menghajar perut gendut Raja Ular Tanah. Tapi, bukan main
kagetnya hati data manis itu ketika pedangnya malah berbalik. Bahkan, lengannya terasa
panas. Sadarlah Pujawati, tubuh lawan tidak mudah untuk dilukai oleh tebasan pedang.
Whuuuttt...!
Sepasang lengan yang besar dan kuat meluncur datang hendak meringkus tubuh
mungil Pujawati. Untunglah gadis itu cepat sadar dari keterpakuannya. Cepat gadis itu
melesat ke belakang dan terus berjumpalitan di udara.
"He he he...! Bagus..., bagus...!"
Raja Ular Tanah terlihat gembira bukan main menyaksikan ilmu meringankan
tubuh yang dimiliki Pujawati. Semua ketangkasan yang dimiliki gadis itu membuat Raja
Ular Tanah makin bernafsu untuk segera meringkusnya.
Pujawati yang sadar akan kekuatan tubuh dan tenaga lawan, terpaksa harus
menggunakan kelincahannya, untuk menghindari terkaman-terkaman sepasang lengan
yang berbulu lebat itu. Sesekali ia balas menyerang, mengincar bagian-bagian terlemah
tubuh lawan yang tidak dilindungi kekebalan.
Raja Ular Tanah pun tidak bodoh. Lelaki itu tahu daerah sasaran serangan
Pujawati adalah bagian-bagian terlemah tubuhnya yang tidak dilindungi kekebalan. Maka,
Raja Ular Tanah tidak berani menerima serangan pedang Pujawati pada bagian terlemah
itu. Terpaksa lengannya harus menepis, bila ujung pedang gadis itu meluncur datang,
mengincar jalan darah kematian di tubuhnya.
"Haiiit..!"
Untuk yang kesekian kalinya, Pujawati kembali menusukkan ujung pedangnya
pada bagian belakang telinga lawan. Suara berdesing yang ditimbulkannya, membuktikan
dara itu telah mengerahkan seluruh tenaganya untuk menyerang.
"Hmmmhhh...!" Raja Ular Tanah menggeram gusar. Cepat tangan kanannya
bergerak menepis pedang lawan.
Plakkk!
"Aaaihhh...!"
Serangan pedang gadis remaja itu terpental balik akibat tepisan kuat. Tapi,
sepertinya gerakan itu sudah termasuk dalam perhitungannya. Terbukti, pedang yang
melenceng itu tiba-tiba berputar kembali, dan menyambar tenggorokan Raja Ular Tanah!
Benar-benar sebuah serangan yang hebat dan tak terduga!
Raja Ular Tanah tidak gugup menghadapi serangan itu. Dengan memiringkan
tubuh, diterimanya sambaran mata pedang gadis itu dengan dadanya. Dan....
Takkk!
Pujawati yang tak sempat menarik pulang serangannya, mengeluh tertahan. Belum
lagi ia menyadari keadaannya, tiba-tiba gadis itu merasa pergelangan tangannya bagai
dijepit jepitan baja.
"Aaahhh...?!"
Ketika teringat lawannya, Pujawati menahan jeritan. Jepitan yang sangat kuat itu
ternyata jari-jari tangan Raja Ular Tanah! Dara remaja itu pun tidak bisa lagi
menyembunyikan kengerian hatinya.
Raja Ular Tanah memperdengarkan suara tawa yang parau. Sambil menyeringai
lebar, lelaki tinggi besar berwajah kehitaman itu menyentakkan tangan Pujawati. Sehingga,
tubuh gadis itu ikut tersentak maju.
"Aaawww...!"
Bukan main takut dan ngerinya hati Pujawati, ketika wajah Raja Ular Tanah begitu
dekat dengan wajahnya. Sehingga, dara remaja itu menjerit kuat-kuat. Jeritan itu bukan
karena Pujawati takut mati. Tapi, rasa ngeri yang tak bisa ditahannya ketika Raja Ular
Tanah hendak menciumi wajahnya.
"Lepaskan gadis itu..!" tiba-tiba terdengar sebuah bentakan nyaring, disusul
berkelebatnya sesosok bayangan putih. Begitu tiba, sosok itu langsung melayangkan
tamparannya ke kepala Raja Ular Tanah!
Plakkk!
"Ouuughhh...?!"
Tamparan yang kelihatan perlahan itu, ternyata berakibat luar biasa bagi Raja Ular
Tanah! Tubuh tinggi besar itu terhuyung melintir, kemudian jatuh terduduk di tanah
berumput.
Bagaikan orang tolol, Raja Ular Tanah terbengong seolah tak percaya dengan apa
yang dialaminya. Dan beberapa saat lamanya, lelaki itu belum juga bergerak bangkit.
Sedangkan sosok berjubah putih yang muncul menyelamatkan Pujawati, tampak
berdiri tegak menatap sosok gadis remaja itu dengan mulut tersenyum.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak..?" tanya sosok berjubah putih yang ternyata seorang
pemuda tampan.
Untuk beberapa saat, Pujawati seperti orang yang baru terbangun dari mimpi.
Sepasang matanya yang bening dan bulat, menatap sosok pemuda tampan yang
menolongnya dari cengkeraman Raja Ular Tanah. Pujawati tidak bisa menyembunyikan
rasa kagum dan herannya, terhadap sosok pemuda tampan berjubah putih. Kagum akan
ketampanan pemuda itu, dan heran melihat pemuda itu dapat merobohkan seorang
bertenaga kuat seperti Raja Ular Tanah. Gadis remaja itu tidak tahu, apa yang dilakukan
penolongnya hingga Raja Ular Tanah terhuyung roboh.
"Kau tidak apa-apa, Nisanak...?" sosok berjubah putih kembali mengulangi
pertanyaannya. Karena gadis yang ditolongnya hanya diam membisu.
"Eh, oh.... Tidak... aku tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolonganmu, Kakang...,"
ucap Pujawati terputus-putus menyadari kebodohannya. Gadis itu segera menyebut
kakang karena melihat usia pemuda itu lebih tua darinya.
"Hm.... Syukurlah kalau begitu...," ujar pemuda tampan berjubah putih menghela
napas lega, setelah mendapat kepastian dari dara remaja itu.
Setelah terdiam sesaat, Pujawati teringat Ki Danara yang dikeroyok pengikut Raja
Ular Tanah. Meskipun keningnya tampak berkerut melihat ada sesosok bayangan hijau
yang membantu Ki Danara, tapi tarikan napas panjangnya menandakan kelegaan hatinya.
Karena keadaan Ki Danara tidak perlu dicemaskan lagi.
Ayahmukah orang tua itu...?" tanya sosok berjubah putih, ketika melihat
pandangan dara remaja itu terpusat ke arah pertandingan yang masih berlangsung seru.
"Bukan, ia pamanku...," sahut Pujawati pelan mirip sebuah gumaman.
Sosok pemuda tampan berjubah putih yang sudah pasti Panji, menoleh ketika
mendengar suara langkah berat. Rupanya, Raja Ular Tanah telah bangkit, dan melangkah
ke arah Panji dan Pujawati. Kemurkaan terpancar jelas pada sepasang matanya yang
seperti hendak melompat keluar.
"Siapa yang membokongku dengan curang...?" bentak Raja Ular Tanah. Meski
mulutnya bertanya demikian, tapi sepasang matanya tertuju ke sosok Panji. Rupanya Raja
Ular Tanah sudah menduga, yang menyerangnya pemuda tampan berjubah putih itu.
"Aku yang melakukannya! Tapi, bukan berarti aku sudah berbuat curang. Kau
sendiri telah bertindak kasar terhadap seorang gadis muda. Dan hukumannya sudah kau
terima barusan...," sahut Panji membalas tatapan mata Raja Ular Tanah tanpa rasa gentar
sedikit pun.
Terdengar lelaki liar itu menggerang murka. Sepasang matanya semakin melotot
keluar seolah hendak melompat dari tempatnya. Sedangkan pemuda itu tetap tenang
tanpa memperlihatkan gerakan sedikit pun.
"Hmmmhhh.... Kau akan mendapat hukuman yang setimpal untuk perbuatanmu
tadi...!" geram Raja Ular Tanah segera bersiap untuk meremukkan tulang-tulang tubuh
Panji.
"Hati-hati, Kakang! Manusia jahat itu kuat sekali. Bahkan, tubuhnya kebal
terhadap senjata tajam..," bisik Pujawati yang mau tidak mau sangat mengkhawatirkan
pemuda penolongnya. Sebab, jika ia bandingkan sosok penolongnya dengan lelaki liar itu,
jelas kelihatan betapa pemuda itu demikian lemah, tidak seperti Raja Ular Tanah yang
garang dan perkasa. Rasanya, sekali remas saja tulang-tulang pemuda itu pasti akan
remuk. Membayangkan hal itu, ngeri hati Pujawati. Dugaan itu membuat wajahnya agak
pucat.
"Benar. Manusia ini memang kuat sekali. Tapi, kalau kita tahu kelemahannya, ia
tidak terlalu menakutkan seperti yang terlihat..," ujar Panji dengan suara tetap tenang,
membuat dara remaja itu terpana. Rupanya, Pujawati merasa heran melihat ketenangan
pemuda tampan itu, dalam menghadapi Raja Ular Tanah yang diketahuinya sangat kuat
dan kebal.
"Heaaahhh...!"
Raja Ular Tanah yang sudah tidak bisa menahan kemarahannya, langsung
menggereng sambil mengembangkan kedua tangannya, siap menerkam tubuh Panji yang
kelihatan kecil dan lemah.
Whuuuttt..!
Apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat sepasang mata Pujawati
terbelalak kagum. Sebab, ketika sepasang lengan yang besar dan kuat itu hampir
mencengkeram tubuh penolongnya, tiba-tiba pemuda itu lenyap dari pandangan. Dan,
muncul begitu saja di belakang Raja Ular Tanah.
"Heh?!"
Raja Ular Tanah sendiri tampak kebingungan, ketika kedua lengannya hanya
menangkap angin kosong. Padahal, jelas ia melihat tubuh pemuda itu masih berada di
depannya saat kedua tangannya siap menerkam. Tapi, kenyataannya tubuh pemuda itu
telah lenyap, seperti asap yang terbawa angin.
"Apa yang kau cari, Raksasa Tolol...?" tegur Panji membuat Raja Ular Tanah
membalikkan tubuh, dan langsung menerkam ketika sudut matanya melihat sosok
bayangan putih di belakangnya.
Whuuuttt...!
Lagi-lagi, Raja Ular Tanah hanya menerkam angin kosong. Sebab, tubuh pemuda
itu sudah lenyap tanpa bekas! Membuat kemurkaan lelaki itu makin menjadi-jadi.
Terdengar suara gerengannya yang mirip harimau kelaparan!
EMPAT
"Kurang ajar! Apa kau tidak mempunyai kepandaian lain kecuali mengelak?
Rupanya kau takut menghadapiku, heh!" geram Raja Ular Tanah dengan tubuh menggigil
karena marah.
"Hm..., lalu, apa yang kau inginkan, Kerbau Dungu...?" tanya Panji bersikap
menantang, membuat Raja Ular Tanah menyeringai merasa pancingannya berhasil baik.
"Kalau kau memang jantan, ayo hadapi aku. Jangan hanya mengelak dengan ilmu
silumanmu itu!" tantang Raja Ular Tanah yang sudah bersiap hendak menerkam, dan
meremukkan tubuh pemuda tampan berjubah putih.
"Kalau demikian keinginanmu, baiklah. Aku terima tantanganmu," sambut Panji
tanpa ragu sedikit pun. Bahkan, senyumnya masih tampak menghias wajah tampannya.
"Kakang, jangan mau diperdaya Raja Ular Tanah! Lebih baik kita keroyok dia...,"
Pujawati yang merasa khawatir, ketika mendengar penolongnya menerima tantangan lelaki
liar itu segera mencegah.
"Biarlah, Nisanak. Kita lihat saja sampai di mana kekuatan yang dimiliki kerbau
dungu itu...," ujar Panji tersenyum membuat Pujawati tidak bisa berkata apa-apa lagi,
kecuali menghela napas panjang sebagai tanda kegundahan hatinya.
"He he he...! Itu baru orang gagah. Nah, sekarang bersiaplah, Bocah...."
Raja Ular Tanah terlihat demikian gembira, ketika mendengar Panji menolak usul
gadis manis itu. Lelaki liar itu sudah membayangkan, betapa dirinya akan melumat
tulang-tulang pemuda itu sampai hancur, dengan kedua belah tangannya yang kokoh itu.
"Hm.... Silakan, Raja Ular Tanah. Aku sudah siap sejak tadi," tantang Panji yang
sudah berdiri tegak menunggu serangan lelaki buas itu.
"Heaaahhh...!"
Dibarengi bentakan mengguntur, Raja Ular Tanah menerkam maju dengan kedua
tangan terkembang. Menilik suara bentakannya, jelas lelaki itu telah mengeluarkan
seluruh tenaganya untuk melumat tubuh Panji.
Greeeppp!
"Aaahhh...?!"
Pujawati memekik ngeri, ketika melihat sepasang telapak tangan Raja Ular Tanah,
mencengkeram kedua bahu penolongnya. Gadis remaja itu sampai menutup mata, tidak
ingin menyaksikan tubuh pemuda yang dikaguminya hancur lumat.
"Heeehhh?!"
Raja Ular Tanah tampak sangat terkejut Sepasang matanya membelalak lebar,
menatap wajah tampan di depannya yang masih saja tersenyum. Lelaki gendut itu tidak
mengerti, mengapa tubuh pemuda yang kecil itu tidak dapat terangkat oleh sentakannya.
"Aaahhh...!"
Raja Ular Tanah meraung, mengerahkan seluruh kekuatan yang ada untuk
mengangkat tubuh Panji. Namun, meski wajah tubuhnya telah dibanjiri keringat akibat
pengerahan tenaga yang dilakukannya, tapi tubuh pemuda berjubah putih itu tetap tidak
dapat terangkat. Bahkan, bergeser dari tempatnya pun tidak! Tentu saja Raja Ular Tanah
menjadi bingung!
"Ahhh, mengapa harus sungkan-sungkan, Raja Ular Tanah? Cepatlah kau lumat
tubuhku yang kecil ini...," ujar Panji memancing kemarahan lelaki itu. Sehingga, Raja Ular
Tanah mencoba lagi mengangkat tubuh Panji.
Tapi, meskipun seluruh kekuatan yang dimilikinya telah dikeluarkan, tetap saja
lelaki itu tidak berhasil mengangkatnya. Raja Ular Tanah tidak mengerti, mengapa hal itu
bisa terjadi?
Pujawati yang sejak tadi telah memejamkan mata, kini membukanya dengan
perlahan. Gadis itu mendengar suara Raja Ular Tanah yang tengah kepayahan. Dan, ketika
Pujawati membuka kedua matanya lebar-lebar, baru ia terkejut. Dilihatnya Raja Ular
Tanah tengah berusaha keras mengangkat tubuh Panji dengan kedua tangannya. Wajah
lelaki itu tampak semakin kelam. Urat-urat tubuhnya bertonjolan, pertanda lelaki liar itu
tengah mengerahkan seluruh tenaganya. Peluh sudah membanjiri tubuh, wajah, dan
kepala lelaki itu. Tentu saja Pujawati heran. Sadarlah dara itu, pemuda penolongnya tentu
seorang yang memiliki kepandaian luar biasa!
Raja Ular Tanah menjadi sangat penasaran. Mengira kekuatannya sudah musnah,
mendadak lelaki liar itu melepaskan cengkeramannya, dan melangkah ke arah pohon
besar yang berada tidak jauh dari tempatnya. Kemudian, dicekalnya batang pohon itu
dengan kedua tangan. Dan....
"Heaaahhh...!"
Brooolll...!
Pohon besar itu langsung terangkat, tercabut hingga ke akar-akarnya. Jelas bahwa
kekuatan Raja Ular Tanah belum musnah. Buktinya pohon besar itu dapat tercabut
dengan mudah.
"Setan! Ilmu apa yang dimiliki pemuda tampan itu hingga aku tidak mampu
mengangkat tubuhnya? Mungkinkah pemuda itu bukan manusia biasa...?" gumam Raja
Ular Tanah heran memikirkan kejadian yang dialaminya. Karena kenyataan itu sangat
sukar diterima akalnya.
"Jangan heran, Raja Ular Tanah. Tenagamu memang tidak akan mampu
mengangkat tubuhku yang kecil ini...," ujar Panji membuat wajah Raja Ular Tanah
semakin kelam. Lelaki itu merasa terhina dengan ucapan yang dikeluarkan Panji.
"Hmmmhhh...!"
Terdengar gerengannya yang menggetarkan hutan. Sesaat kemudian, lelaki gendut
itu sudah menerjang maju dengan kepalan-kepalannya yang besar.
Beeettt! Beeettt!
Kepalan yang besar dan berat itu datang bertubi-tubi mengancam tubuh Panji.
Tapi, pemuda itu dapat dengan mudah menghindari setiap kepalan lawan.
Plakkk!
Ketika serangan itu terus datang tanpa henti, Panji terpaksa mengangkat tangan
untuk menangkis pukulan yang mengarah ke kepalanya. Akibatnya, tubuh Raja Ular
Tanah terjajar mundur beberapa langkah ke belakang. Dan sebelum lelaki itu sempat
memperbaiki kedudukannya, sebuah hantaman telapak tangan Panji, membuat Raja Ular
Tanah jatuh terguling-guling!
Deeesss...!
Pujawati hampir bersorak menyaksikan kejadian itu. Sungguh tak disangkanya
pemuda tampan itu mampu memukul roboh Raja Ular Tanah yang sangat kuat. Bahkan,
sampai jatuh terguling-guling. Benar-benar sukar dipercaya.
"Hm.... Jelas, pemuda tampan itu seorang yang memiliki kepandaian luar biasa.
Dan, mungkin hanya dirinya yang mampu menyelamatkan ayahku dari Penculik-Penculik
Misterius itu...," gumam Pujawati yang teringat akan ayahnya ketika melihat kehebatan
Panji.
Sementara itu, Raja Ular Tanah telah dibuat jatuh bangun oleh Panji. Berkali-kali
pemuda itu menyarangkan pukulannya ke tubuh Raja Ular Tanah, membuat lelaki gendut
mengaduh kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya tampak membiru. Rupanya, Panji
sengaja hendak memberi pelajaran pada kepala rampok itu, agar tidak lagi menggunakan
kekebalan dan kekuatannya untuk menindas orang.
"Ampun, Tuan Pendekar... ampun...."
Akhirnya, Raja Ular Tanah benar-benar jera, dan tak sanggup menerima pukulan
dan tendangan pemuda tampan berjubah putih itu. Lelaki gendut yang semula garang, kini
meratap-ratap meminta ampun sambil bersujud di depan Panji.
"Hm.... Kuharap mulai saat ini kau sadar, Raja Ular Tanah. Meskipun kau memiliki
kekuatan dan kekebalan, tapi janganlah kelebihan itu kau pergunakan untuk menekan
dan menyakiti orang lain. Alangkah baiknya, jika kepandaian itu kau pergunakan untuk
menolong dan membela yang lemah dan tertindas...," Panji menasihati Raja Ular Tanah
yang kelihatan benar-benar telah bertobat.
"Baik, Tuan Pendekar. Aku janji akan mengubah sikapku yang keliru selama ini...,"
jawab Raja Ular Tanah seraya mengangguk-anggukkan kepalanya hingga membentur
tanah.
"Bagus, aku senang mendengar janjimu. Nah, sekarang perintahkan pengikut-
pengikutmu untuk kembali ke jalan yang benar. Percayalah. Kau akan menemukan
kedamaian dan kebahagiaan," tukas Panji lagi sambil melemparkan pandang ke arah
pertempuran yang tampaknya sudah akan berakhir.
"Hentikan pertempuran...!" Raja Ular Tanah berteriak memerintahkan para
pengikutnya untuk menghentikan serangan. Sehingga, mereka yang memang sudah
merasa gentar dengan sepak-terjang gadis jelita berpakaian serba hijau, langsung
melompat mundur.
Kenanga yang hanya bertangan kosong dalam menghadapi lawan-lawannya, tidak
berusaha untuk mengejar. Dara jelita itu menghentikan gerakannya, dan menoleh ke arah
lelaki tua yang tengah duduk kelelahan di dekat sebatang pohon Di beberapa bagian tubuh
lelaki yang tidak lain Ki Danara, tampak ada noda darah. Agaknya lelaki kurus itu
mengalami luka-luka ringan.
"Kau tidak apa-apa, Paman?" tanya Kenanga menegur orang tua yang tengah
mengatur napas.
Ki Danara mengangkat wajahnya, menatap seraut wajah jelita yang ia tahu telah
menyelamatkan nyawanya dari kematian. Lelaki tua itu segera menganggukkan kepala
dengan sikap hormat
"Terima kasih, Nisanak. Tanpa pertolonganmu, mungkin aku sudah jadi mayat...,"
ucap Ki Danara mencoba untuk bangkit berdiri. Tapi Kenanga cepat-cepat mencegah.
"Bersemadilah, Paman. Agar tenagamu cepat pulih...," ujar dara jelita itu kemudian
beranjak meninggalkan Ki Danara, dan menghampiri Panji yang tengah berhadapan
dengan Raja Ular Tanah, yang tampak tidak segarang dan sebuas semula.
"Nah, sekarang kau boleh pergi. Raja Ular Tanah. Ingat pergunakanlah
kepandaianmu untuk menolong sesama...," pesan Panji sebelum melepaskan Raja Ular
Tanah dan para pengikutnya.
"Tuan Pendekar. Kini kami benar-benar akan merubah cara hidup kami yang sesat
selama ini. Tapi, sebagaimana kenangan bagi kami, dapatkah Tuan Pendekar
memperkenalkan nama besar. Tuan...?" pinta Raja Ular Tanah sebelum meninggalkan
tempat itu.
"Baiklah, Raja Ular Tanah. Kalau kau memang membutuhkannya sebagai
kenangan. Panggil aku Pendekar Naga Putih. Begitulah, kaum rimba persilatan memberi
julukan padaku...," jawab Panji terpaksa memperkenalkan julukannya pada Raja Ular
Tanah.
"Aaahhh?!"
Mendengar disebutkannya nama itu, bukan hanya Raja Ular Tanah dan para
pengikutnya yang berseru kaget Pujawari pun menahan rasa terkejutnya. Sebab, nama
besar pendekar itu sering disebut-sebut ayahnya.
"Kau..., benarkah Kakang yang berjuluk Pendekar Naga Putih...?" tanya gadis manis
itu seraya melangkah ke arah Panji, dan meneliti wajah pemuda tampan yang telah
menolongnya dari marabahaya itu.
"Begitulah orang-orang memberi julukan padaku...," jawab Panji singkat tanpa
menunjukkan kesan sombong. Apalagi bangga akan julukan itu.
Raja Ular Tanah yang kini mengetahui siapa pemuda yang telah mengalahkannya,
tidak begitu merasa terpukul. Bahkan, ia bangga kalah di tangan pendekar besar yang
dihormati dan dipuja banyak orang.
"Pendekar Naga Putih, kini aku semakin mantap untuk merubah jalan hidupku.
Semoga lain kali kita dapat bertemu lagi...," pamit Raja Ular Tanah yang kini wajahnya
terhias senyum gembira. Setelah berkata demikian, ia pun mengajak para pengikutnya
untuk meninggalkan tempat itu.
Sepeninggal gerombolan Raja Ular Tanah, Panji berniat hendak berpamitan. Karena
sudah tidak ada lagi yang perlu dilakukannya di tempat itu.
"Kami pun harus pergi untuk melanjutkan perjalanan...," pamit Panji singkat pada
Pujawati yang hanya berdiri mematung tanpa mampu bersuara.
Gadis itu merasa malu untuk meminta bantuan pendekar muda yang tersohor itu.
Takut jika Pendekar Naga Putih menolak permintaannya. Sehingga, Pujawati hanya bisa
memandang kepergian pasangan pendekar itu dengan perasaan tak menentu, ia menoleh
sekilas ke arah Ki Danara yang masih tenggelam dalam semadinya. Dan, kembali menatap
kedua sosok tubuh yang semakin menjauh itu.
***
"Pendekar Naga Putih, tunggu...!"
Saat kedua sosok bayangan tubuh pendekar itu hampir tidak terlihat, Pujawati
berseru tertahan. Meskipun suara panggilannya terdengar pelan dan penuh keraguan, tak
urung Panji dapat menangkapnya dengan baik. Terbukti kedua sosok itu tampak berhenti.
Pujawati meremas-remas tangannya dengan hati dipenuhi keraguan. Sehingga,
gadis itu hanya berdiri mematung, dengan tatapan masih tetap tertuju ke arah dua sosok
bayangan pendekar muda itu.
Sedangkan Panji dan Kenanga saling berpandangan sejenak. Sesaat kemudian,
keduanya kembali melemparkan pandang ke sosok Pujawati yang masih juga berdiri
mematung. Setelah menanti sejenak, akhirnya pasangan pendekar muda itu melambaikan
tangan. Kemudian, kembali bergerak menjauh.
"Aaahhh...," Pujawati mengeluh kecewa. Kini bayangan Pendekar Naga Putih dan
gadis jelita yang mendampinginya telah lenyap dari pandangan. Musnahlah sudah harapan
dara remaja itu, untuk dapat menolong ayahnya dengan bantuan Pendekar Naga Putih.
Ki Danara yang baru menyelesaikan semadinya, merasa heran melihat Pujawati
tengah termenung menatap ke satu arah. Segera lelaki tua itu melangkah menghampiri
gadis manis itu.
"Ke mana perginya pendekar-pendekar yang telah menolong kita, Pujawati?" tanya
Ki Danara perlahan. Tapi membuat Pujawati tersentak kaget.
"Mereka... telah pergi, Paman...," sahut Pujawati dengan suara lemah tak
bersemangat.
Menangkap ada nada kekecewaan dalam ucapan Pujawati, Ki Danara mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Sebentar kemudian, senyumnya tampak membayang. Agaknya,
orang tua itu dapat menduga apa yang sedang dipikirkan gadis manis itu.
"Gadis berpakaian serba hijau yang menyelamatkan aku, memiliki kecantikan yang
luar biasa. Rasanya... hanya bidadari dari kayangan saja yang dapat menandingi
kejelitaannya...," gumam Ki Danara seolah hendak memancing pendapat Pujawati.
"Aku tahu, Paman. Penolongku memang sangat tampan dan memiliki kepandaian
yang sukar dicari bandingnya. Tapi..., bukan itu yang kupikirkan...," desah Pujawati yang
rupanya menyadari dugaan Ki Danara. Sehingga, orang tua itu menjadi malu. Sebab
terkaannya ternyata meleset.
"Lalu...?" Ki Danara menggantungkan ucapannya.
"Dia seorang pendekar besar yang dipuja dan dihormati kaum rimba persilatan,
Paman. Dapatkah kau menduga siapa pemuda tampan berjubah putih itu, Paman?" ujar
Pujawati masih dengan suara perlahan, dan pandangan menerawang jauh ke depan.
"Maksudmu..., pemuda tampan berjubah putih itu Pendekar Naga Putih...?" sahut
Ki Danara yang kelihatan tegang ketika menyebutkan nama itu.
"Benar, Paman. Pendekar besar itulah yang telah menyelamatkan kita...," tandas
Pujawati seraya menolehkan kepala dan memandang Ki Danara dengan wajah sayu.
"Aaahhh...?! Kalau begitu, mengapa kau tidak mencegah kepergiannya? Mengapa
kau tidak meminta bantuannya untuk menyelamatkan ayahmu dari penculik-penculik
biadab itu, Pujawati?" tegur Ki Danara yang langsung mempunyai pikiran demikian, seperti
juga gadis manis itu, saat mengetahui siapa pemuda penolongnya.
"Aku... aku takut pendekar itu akan menolaknya, Paman...," sahut Pujawati
mengungkapkan perasaannya, mengapa ia tidak mengutarakan perihal Penculik-Penculik
Misterius itu pada Pendekar Naga Putih.
"Haiiihhh.... Betapa kelirunya pemikiranmu itu, Pujawati. Pendekar Naga Putih
adalah seorang pemuda yang berjiwa agung, dan selalu bersedia mengulurkan tangannya
pada siapa saja yang memerlukan pertolongan. Tanpa kita minta pun ia akan
mengorbankan dirinya untuk menolong orang banyak. Kalau kau meminta pendekar itu
untuk menyelamatkan ayahmu, tentu ia tidak akan pergi begitu saja...," sesal Ki Danara
yang menjelaskan perihal budi dan sifat Pendekar Naga Putih yang selama ini di
dengarnya.
"Entahlah, Paman. Aku tidak tahu, mengapa sampai mempunyai pikiran
demikian...," desah Pujawati semakin merasa menyesal atas dugaannya yang sangat keliru.
Sayang, penyesalannya sudah terlambat. Pendekar muda yang terkenal itu telah pergi
entah ke mana.
"Hm.... Mungkin kau merasa tidak enak untuk meminta pertolongan pada pendekar
itu, karena ada dara jelita berpakaian serba hijau itu, bukan...,?" terka Ki Danara
memaklumi perasaan Pujawati, yang mungkin merasa dirinya tidak akan diperhatikan
Pendekar Naga Putih. Sebab dara pendamping pendekar muda itu memiliki kecantikan
yang luar biasa. Sehingga, Pujawati menjadi rendah diri.
Pujawati tidak menjawab. Gadis manis itu hanya menundukkan wajahnya yang
tertutup mendung. Sikap itu jelas membuktikan dugaan Ki Danara tidak meleset.
Sehingga, orang tua itu mengangguk-anggukkan kepala tanda memahami perasaan
Pujawati.
"Sudahlah. Tidak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Sebaiknya, sekarang
kita susul pasangan pendekar itu. Mudah-mudahan kita masih dapat berjumpa
dengannya...," usul Ki Danara membuat Pujawati mengangkat kepala. Terlihat jelas binar
harapan terpendar pada sepasang matanya yang bulat dan bening.
"Paman akan berbicara dan meminta pertolongannya...?" tanya Pujawati dengan
wajah penuh harap.
"Tentu saja aku akan meminta pertolongannya. Kalau tidak, untuk apa kita
bersusah-payah menyusulnya...," tegas Ki Danara membuat wajah mendung itu seketika
cerah. Senyum dara itu pun melebar membuat Ki Danara terharu.
"Terima kasih, Paman...," ucap Pujawati yang tanpa ragu-ragu, langsung memeluk
tubuh Ki Danara sebagai tanda terima kasihnya.
Ki Danara yang memang menganggap Pujawati seperti keponakannya sendiri,
segera mengelus rambut gadis manis itu. Ada getar kehangatan yang dirasakan lelaki tua
itu. Karena selama hidupnya ia memang tidak pernah menikah. Apalagi mempunyai
seorang anak. Itu sebabnya, mengapa lelaki tua itu sangat sayang pada putri tunggal
gurunya itu.
"Ayo, Paman...," sahut dara manis itu dengan wajah riang. Kemurungan lenyap
seketika, membuat Ki Danara tersenyum bahagia.
LIMA
Kedua sosok tubuh itu melangkah tenang melintasi jalan utama, menuju Desa
Kenikir. Sinar matahari yang memancar lembut, membawa hembusan angin segar yang
mempermainkan pakaian dan rambut kedua sosok tubuh itu. Sebentar saja, keduanya
telah menapakkan kaki di Desa Kenikir.
Namun, betapa terkejutnya hati kedua sosok tubuh itu, ketika menyaksikan mayat-
mayat bergeletakan di atas tanah, di jalan utama desa. Melihat ceceran darah yang masih
basah, mudah ditebak kalau orang-orang itu belum lama tewas.
"Hm.... Apa yang sudah terjadi di desa ini...?" desis pemuda tampan berjubah putih.
Pemuda itu merunduk, memeriksa mayat-mayat yang masih baru. Kemudian bangkit dan
menatap berkeliling.
"Kelihatannya di tempat ini baru saja terjadi perampokan atau perkelahian,
Kakang. Melihat bercak-bercak darah yang masih basah, jelas pembunuhan ini belum
lama terjadi," timpal sosok ramping terbungkus pakaian serba hijau yang ikut memandang
berkeliling. Sinar matanya yang tajam tampak memancarkan kemarahan yang siap mele-
dak.
Sosok yang tidak lain Panji dan Kenanga semakin terkejut melihat beberapa rumah
tampak rusak. Jelas, itu akibat perbuatan tangan-tangan jahat yang tidak bertanggung
jawab.
"Hm.... Kemunculan Penculik-Penculik Misterius itu rupanya membuat orang-orang
jahat semakin banyak bermunculan. Agaknya dunia persilatan yang sedang kacau, dan
keadaan ini memberi peluang bagi manusia-manusia jahat untuk memanfaatkannya...,"
desis Panji segera mengayun langkahnya menyusuri jalan utama Desa Kenikir yang
kelihatan lengang.
"Ini tidak bisa kita diamkan, Kakang! Orang-orang jahat itu harus diberi pelajaran,
biar mereka tahu bahwa dalam keadaan sekacau apa pun, masih ada orang yang akan
mencegah perbuatan mereka!" ujar Kenanga dengan nada berapi-api. Dara jelita ini
memang paling benci dengan orang-orang jahat yang bertindak seenaknya. Apa lagi jika
sampai membunuh, tentu tidak ada ampun baginya.
"Hm.... Sepertinya aku mendengar suara orang bertempur dari ujung desa sebelah
barat..," ujar Panji tiba-tiba, kemudian melesat secepat kilat menuju arah suara.
Kenanga pun tidak tinggal diam. Telapak tangannya yang memang sudah gatal
ingin segera menghajar orang-orang jahat, membuat tubuhnya langsung bergerak
secepatnya mengikuti Panji.
Pendengaran Panji memang tidak meleset Di ujung sebelah barat Desa Kenikir,
terlihat suatu pertempuran sengit. Belasan mayat bergeletakan di tanah. Suara denting
senjata dan jerit kematian mewarnai pertempuran.
"Heaaattt..!"
Seorang pemuda gagah bertubuh tegap, memekik keras sambil melontarkan
serangan tongkatnya dengan gerakan cepat dan mengagumkan.
Bukkk! Prakkk!
"Aurghhh...!"
Dua orang lawan yang menjadi sasaran hantaman tongkatnya, langsung
menggelepar seperti ikan di darat. Sungguh hebat gerakan pemuda itu. Setiap tongkat di
tangannya bergerak, selalu tidak pernah meleset dari sasaran, dan ada korban yang jatuh
tewas dengan tulang-tulang remuk.
"Ayo, majulah penjahat-penjahat tengik!" tantang pemuda gagah berpakaian kuning
cerah. Sepasang matanya mencorong tajam menatap wajah belasan orang kasar yang
menjadi lawan-lawannya. Sedangkan orang-orang yang berada di pihak pemuda gagah itu,
kembali menerjang maju dengan senjata di tangan. Kelihatannya mereka semakin
bersemangat dengan adanya pemuda gagah itu
Pertempuran pun kembali berkobar. Jerit kematian, disusul robohnya tubuh-tubuh
bermandikan darah kembali mewarnai pertarungan.
Panji yang lebih dulu tiba, segera menghentikan larinya dan mengamati
pertempuran dari jarak agak jauh. Pemuda itu meneliti sosok-sosok yang tengah
bertarung, tanpa berniat turun ke arena.
"Mengapa kau tidak segera menghajar orang-orang jahat itu, Kakang...?" begitu
tiba, Kenanga langsung menegur kekasihnya. Gadis itu melihat Panji hanya berdiri
menonton dari jarak beberapa tombak.
"Kita tidak perlu terjun ke arena. Kau lihat pemuda itu. Nah, biarpun tanpa
bantuan yang lainnya, ia pasti sanggup merobohkan gerombolan perampok busuk itu...,"
ujar Panji.
Apa yang dikatakan Panji memang tidak salah. Kenanga pun dapat melihat
ketangkasan pemuda gagah berpakaian kuning cerah, yang bersenjatakan sebatang
tongkat. Setiap lawan yang berada di dekat pemuda itu, langsung roboh tak bergerak lagi.
Jelas, pemuda itu bukan orang sembarangan.
"Hm..., hebat sekali pemuda itu. Kau kenal gerakan tongkatnya, Kakang...?" tanya
Kenanga yang rupanya mengagumi jurus-jurus tongkat pemuda gagah itu.
"Kalau aku tidak salah, pemuda itu mungkin mempunyai hubungan dengan Ki
Adiwarsa, yang berjuluk si Tongkat Sakti. Jika demikian, pastilah pemuda itu merupakan
salah satu murid kesayangan orang tua itu. Melihat gerakannya, ia rupanya telah memiliki
hampir seluruh ilmu tongkat Ki Adiwarsa. Dan bisa jadi, keberadaan dirinya di desa ini
berhubungan dengan lenyapnya tokoh tua itu. Sebab, bukankah menurut berita yang
tersebar Perguruan Tongkat Sakti sudah dibubarkan...?" ujar Panji yang agaknya cukup
mengenal ilmu tongkat Ki Adiwarsa. Sehingga, langsung bisa menebak dari mana asal ilmu
tongkat pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu.
"Pendekar Naga Putih...!" Panji dan Kenanga mengalihkan perhatiannya dari medan
pertempuran yang hampir berakhir. Mereka mengerutkan kening ketika melihat dua sosok
tubuh berlari-lari sambil melambaikan tangan. Salah satu dari merekalah yang memanggil
julukan Panji.
"Oh, kalian rupanya...," sapa Panji begitu melihat gadis manis dan orang tua yang
pernah ditolongnya dari Raja Ular Tanah.
Kenanga terlihat mengerutkan kening ketika matanya menangkap sosok Pujawati
yang menundukkan wajah. Entah apa yang membuat gadis remaja berwajah manis itu
kelihatan demikian risih? Desah batin Kenanga menduga-duga.
Setelah agak lama meneliti wajah Ki Danara yang langsung menghadapinya, Panji
dapat menduga orang tua itu mempunyai kepentingan dengan dirinya. Tapi, melihat
betapa Ki Danara belum juga berbicara, Panji pun segera bertanya hati-hati.
"Apakah Paman mempunyai keperluan penting denganku...?" tanya Panji dengan
suara perlahan, membuat orang tua itu tersenyum malu.
"Be... nar, Pendekar Naga Putih...," sahut Ki Danara merasa kikuk menghadapi
pendekar muda itu. Lelaki tua itu merasa ada suatu perbawa yang membuat dirinya
menaruh hormat dan segan pada pemuda tampan berjubah putih.
"Katakanlah kalau memang ada yang bisa kulakukan untukmu, Paman...," ujar
Panji lagi dengan suara tetap perlahan dan tidak kedengaran terlalu mendesak.
Ki Danara terdiam sebentar. Kemudian mengerling ke arah Pujawati, yang saat itu
kebetulan juga tengah mengerlingkan ke arahnya. Sehingga pandang mata mereka beradu,
dan Pujawati kelihatan menganggukkan kepala perlahan. Seolah meminta agar Ki Danara
segera mengatakan keperluannya menyusul Panji. Mereka dapat menyusul pasangan
pendekar itu, yang sedang tidak terburu-buru melakukan perjalanan. Tidak berapa lama
setelah Panji dan Kenanga tiba di Desa Kenikir, Ki Danara serta Pujawati berjumpa dengan
mereka.
"Pendekar Naga Putih. Gadis ini bernama Pujawati. Ia putri tunggal Pedang
Pemecah Langit. Dan..., ayahnya telah ditawan oleh Penculik-Penculik Misterius yang saat
ini tengah mengganas."
Akhirnya, dapat juga Ki Danara menyampaikan maksudnya menemui Pendekar
Naga Putih. Meskipun begitu, lelaki tua itu belum berani meminta pertolongan secara
langsung. Tapi, Ki Danara berharap agar pendekar muda itu dapat mengerti maksud
sebenarnya dari perkataan itu.
"Ya. Aku pun sudah mendengar tentang mengganasnya Penculik-Penculik Misterius
itu," gumam Panji menanggapi ucapan Ki Danara. Lalu menoleh ke arah Pujawati.
"Kuharap kau tabah menghadapi cobaan ini, Pujawati. Dan, mudah-mudahan aku bisa
menolongmu dengan menemukan ayahmu. Sayang, sampai saat ini aku belum tahu
tempat tinggal mereka. Selain itu, aku pun belum tahu apa maksud Penculik-Penculik
Misterius itu di balik semua ini...," lanjut Panji menghibur Pujawati yang merasa lega
hatinya, setelah mendengar kesediaan pemuda tampan itu untuk menolong orangtuanya.
"Terima kasih...," hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Pujawati.
Merasa pembicaraan itu telah cukup, Panji kembali mengalihkan perhatiannya ke
arah pertempuran. Tapi, pertempuran itu rupanya telah selesai, dan pemuda gagah
berpakaian kuning cerah telah menghabisi semua perampok yang mengganas di Desa
Kenikir.
"Pemuda gagah itu adalah murid Ki Adiwarsa. Sebaiknya, kita menanyakan perihal
gurunya pada pemuda itu...," ujar Panji kemudian melangkah ke arah arena pertarungan
yang telah usai. Di belakangnya mengikuti, Ki Danara dan Pujawati.
Ki Danara sebenarnya agak kaget ketika mendengar pemuda berpakaian kuning
cerah itu murid Ki Adiwarsa. Tapi, lelaki tua itu tidak berkata apa-apa, dan mengikuti
langkah Panji.
***
Pemuda gagah berpakaian kuning cerah berdiri tegak, ketika melihat empat sosok
tubuh berjalan menghampirinya. Sikapnya tampak demikian gagah dengan sorot mata
tajam. Tongkat di tangan kanannya tergenggam erat, siap untuk digunakan.
"Hm..., siapa kalian? Apa hendak membalas kematian para perampok busuk itu...?"
tegur pemuda gagah yang tidak lain Malela.
Panji tersenyum seraya menganggukkan kepalanya pada pemuda gagah itu.
Kemudian, menghentikan langkahnya dalam jarak setengah tombak di hadapan Malela.
"Benarkah aku tengah berhadapan dengan pewaris Tongkat Sakti Ki Adiwarsa...?"
ucap Panji tanpa menjawab teguran Malela. Karena menurutnya itu tak perlu dijawab,
cukup hanya dengan menunjukkan sikap bersahabat pada pemuda gagah itu, merupakan
jawaban maksud baik mereka.
Mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih, Malela terlihat mengerutkan
keningnya dalam-dalam. Diam-diam ia merasa terkejut, sebab pemuda itu telah mengenal
gurunya dengan baik. Dan, bukan tidak mungkin pemuda itu telah menyaksikan
permainan tongkatnya ketika melawan para perampok. Sehingga, dapat menduga dengan
tepat.
"Hm.... Sebelum aku menjawab pertanyaanmu, harap kau sebutkan nama dan
partaimu...?" Malela tak menjawab pertanyaan Panji, malah balik bertanya pada pemuda
tampan berjubah putih itu.
"Namaku Panji, dan aku tidak terikat dengan partai mana pun."
Melihat sikap Malela masih tampak tegang, Panji akhirnya menjawab pertanyaan
pemuda itu untuk menghilangkan ketegangan di antara mereka.
"Hm...," Malela hanya menggumam. Meskipun pemuda tampan berjubah putih
telah memperkenalkan diri, kelihatan Malela masih tetap curiga. Sepasang matanya
menyapu wajah-wajah Ki Danara, Kenanga, dan Pujawati.
"Kisanak...," akhirnya Ki Danara melangkah maju menghadapi Malela. "Kami tahu
kau murid Ki Adiwarsa, dan kau telah membubarkan perguruan untuk mencari gurumu
yang hilang diculik orang. Kami pun mengalami hal yang sama. Gadis ini putri tunggal
Pedang Pemecah Langit, yang baru saja ditawan Penculik-Penculik Misterius...," jelas Ki
Adiwarsa berusaha mencari jalan keluar dari ketegangan itu dengan memperkenalkan
putri gurunya.
Mendengar disebutkannya nama Pedang Pemecah Langtt, wajah Malela tampak
mengendur. Ditatapnya sosok gadis remaja berwajah manis, yang menurut keterangan
orang tua kurus itu putri tunggal pendekar pedang yang tersohor itu.
"Lalu...?" tanya Malela ingin mendengar kelanjutan ucapan Ki Danara.
"Kami ingin agar kau bergabung, untuk mencari orang-orang gagah yang telah
ditawan Penculik-Penculik Misterius itu," sahut Ki Danara melanjutkan.
Mendengar tawaran itu Malela tampak tercenung. Dirinya pun tengah berupaya
mencari gurunya. Pemuda gagah itu pergi mengembara setelah membubarkan
perguruannya, hingga tiba di Desa Kenikir yang kebetulan tengah dilanda musibah.
Kemunculan pemuda gagah itu membuat penduduk desa merasa bersyukur. Karena
dengan kepandaiannya yang tinggi, Malela berhasil melenyapkan perampok-perampok itu.
"Hm.... Apakah kalian sudah mempunyai petunjuk...?" tanya Malela menatap Ki
Danara dengan sinar mata tajam.
Mendengar pertanyaan itu, Ki Danara memalingkan wajahnya ke arah Pendekar
Naga Putih. Sepertinya orang tua itu tidak bisa menjawab pertanyaan Malela, dan
menyerahkan pada Panji.
Panji pun tahu Ki Danara menyerahkan jawaban itu kepadanya. Dan, Malela
mengalihkan perhatiannya pada pemuda tampan berjubah putih, yang tadi mengaku
bernama Panji.
"Kami memang belum menemukan petunjuk, Kisanak. Tapi itu bukan berarti kami
menyerah atau tidak mampu. Kami baru akan mulai menyelidiki," ujar Panji datar,
rupanya pemuda tampan itu mulai merasa tidak suka, melihat sikap kaku yang
ditunjukkan Malela pada mereka berempat.
"Apakah kau mempunyai rencana...?" desak Malela lagi tetap masih dengan sikap
kaku. Bahkan, kelihatan pemuda itu seperti sengaja bersikap angkuh. Mungkin merasa
khawatir jika ia langsung menyetujui, keempat orang itu akan memandangnya rendah.
"Untuk saat ini memang belum. Tapi, aku akan mendatangi tokoh persilatan yang
kemungkinan besar akan menjadi korban selanjutnya," sahut Panji setelah terdiam
beberapa saat lamanya, dan menemukan jawaban yang tepat atas pertanyaan Malela.
"Ah, benar sekali, Kakang. Mudah-mudahan perkiraan kita tak meleset, agar tak
sampai kedahuluan Penculik-Penculik Misterius. Pasti kita akan dapat memergoki
mereka...," Kenanga langsung menyambut dengan wajah cerah rencana kekasihnya.
"Menurutmu, siapa kira-kira tokoh yang akan menjadi korban selanjutnya...?"
tanya Malela masih tetap belum tergerak dan tidak menunjukkan ketertarikannya.
Kenanga merasa jengkel dengan sikap pemuda gagah berpakaian kuning cerah itu.
Sepasang matanya menyambar tajam mengungkapkan ketidaksenangan hatinya. Gadis itu
menoleh ke arah Panji, lalu kembali ke sosok Malela.
"Dengar, Kisanak! Pada dasarnya kami tak memerlukan bantuan siapa pun untuk
menyelidiki Penculik-Penculik Misterius! Kalau kau tak suka dan merasa telah pandai,
kami pun tak akan memaksa. Silakan kau cari jalan sendiri untuk menemukan gurumu
itu!" tandas Kenanga. Kemudian menoleh ke arah kekasihnya, "Ayo, kita pergi, Kakang...."
Panji yang memang tidak ingin membawa beban dalam melaksanakan setiap tugas-
tugasnya, segera mengikuti langkah kekasihnya, setelah berpamitan pada ketiga orang itu.
Biar bagaimanapun, Panji tidak melupakan kesopanan untuk pergi begitu saja tanpa
pamit.
Ki Danara dan Pujawati tampak terkejut melihat Pendekar Naga Putih pergi
meninggalkan mereka. Meskipun pemuda tampan itu berjanji untuk mencari Pedang
Pemecah Langit tetap saja hati Ki Danara dan Pujawati merasa kehilangan. Akibatnya,
Malelalah yang mejadi sasaran kejengkelannya.
"Sebagai murid orang pandai, tidak sepantasnya kau bersikap angkuh dan keras
kepala seperti itu, kisanak. Kalau saja kau tahu siapa pasangan pendekar muda tadi, kau
akan menyesali perbuatanmu seumur hidup!" ujar Ki Danara tak senang. Setelah itu, ia
mengajak Pujawati meninggalkan Malela yang terpaku dengan wajah merah. Rupanya
pemuda gagah itu telah menyadari kesalahannya. Itu terlihat dari perubahan wajahnya
yang mendadak murung.
"Paman, tunggu...!"
Menyadari sikapnya tadi tidak memberikan kesan baik pada keempat orang itu,
Malela segera melesat mengejar Ki Danara dan Pujawari.
Mendengar adanya suara langkah kaki di belakangnya, Ki Danara dan Pujawari
menoleh. Kening mereka berkerut ketika melihat sosok Malela bergerak mendatangi.
"Ada apa lagi, Kisanak...?" tegur Ki Danara dengan nada agak tinggi. Rasa jengkel
lelaki tua itu sepertinya belum lenyap. Sebab, pemuda gagah itulah penyebab kepergian
Pendekar Naga Putih, yang bantuannya sangat mereka harapkan.
"Maafkan sikapku yang tidak baik tadi...," ujar Malela begitu tiba di dekat mereka.
Wajahnya tertunduk murung. Jelas terlihat pemuda gagah itu sangat menyesali
perbuatannya.
"Hm...," Ki Danara hanya bergumam perlahan. Kemudian, berbalik dan mengajak
Pujawati meninggalkan pemuda itu.
"Paman...!"
Malela yang merasa belum dapat jawaban dari Ki Danara, terkejut melihat tindakan
kedua orang itu. Cepat pemuda itu melesat menyusul mereka.
Ki Danara dan Pujawati terpaksa menghentikan langkahnya dan kembali berbalik
menghadapi pemuda gagah itu.
"Tindakanmu tadi sudah kumaafkan. Lalu, apa lagi yang kau inginkan dari kami..?"
tegur Ki Danara kelihatan rak sabar melihat sikap pemuda itu.
"Aku ingin menggabungkan diri dengan kalian untuk mencari Penculik-Penculik
Misterius itu...," akhirnya keluar juga ucapan yang mengganggu pikirannya. Malela merasa
lega setelah mengeluarkan ucapan itu.
"Hm.... Apakah kau sudah mendapatkan petunjuk...?" tanya Ki Danara hendak
mempermainkan pemuda gagah itu. Karena pertanyaan itulah yang dilontarkan Malela,
saat Ki Danara mengajak pemuda gagah itu bergabung dengannya
Pujawati yang semenjak tadi hanya diam mendengarkan, merasa kasihan melihat
wajah pemuda itu berubah merah karena menahan malu. Gadis itu pun melangkah maju
untuk menengahi.
"Sudahlah, Paman. Kelihatannya ia benar-benar telah menyesali sikapnya yang
keliru. Sebaiknya kita segera memikirkan langkah selanjutnya...," ujar Pujawati tanda ia
menerima pemuda gagah itu bergabung dengannya.
Ki Danara menghela napas panjang. Sebenarnya dirinya tidak bermaksud menolak
uluran tangan pemuda itu. Ia hanya ingin memberi pelajaran pada pemuda yang bersikap
angkuh itu. Akhirnya, lelaki tua itu pun menerima dan mengajak Malela memikirkan
rencana mereka.
"Sebaiknya kita mengikuti apa yang telah dikatakan Pendekar Naga Putih...," ujar
Ki Danara setelah mereka setuju untuk bergabung.
"Pendekar Naga Putih...?!" Malela kelihatan sangat terkejut mendengar Ki Danara
menyebut nama tokoh besar yang menggemparkan itu.
"Ya,. Pemuda barjubah putih yang kau anggap remeh itu adalah Pendekar Naga
Putih...," tandas Ki Danara membuat wajah Malela semakin pucat.
Sepertinya Ki Danara masih hendak melanjutkan ucapannya untuk menekan
pemuda gagah itu. Tapi, Pujawati segera mencegahnya. Dan mengajak mereka mencari
tokoh yang akan menjadi korban penculikan selanjutnya, seperti rencana yang mereka
dengar dari Pendekar Naga Putih.
Ki Danara dan Malela menoleh ke arah gadis remaja itu. Keduanya mengangguk,
dan mengikuti langkah Pujawati meninggalkan Desa Kenikir.
ENAM
"Ke mana tujuan kita, Kakang...?" tanya dara jelita berpakaian serba hijau dengan
suara agak keras. Saat itu ia tengah berlari di sebelah kanan pemuda tampan berjubah
putih.
"Entahlah. Aku sendiri belum tahu pasti. Tapi, yang jelas kita harus
mengumpulkan nama tokoh-tokoh persilatan golongan atas. Sebab, selama ini sasaran
Penculik-Penculik Misterius itu adalah tokoh-tokoh seperti itu," sahut pemuda tampan
berjubah putih tanpa menghentikan larinya.
Kening dara jelita itu tampak agak berkerut setelah mendengar jawaban itu.
Langkah larinya agak diperlambat kemudian berhenti dan dilanjutkan dengan berjalan
kaki. Sehingga, pemuda baijubah putih ikut menghentikan larinya, dan menjajari langkah
dara jelita itu.
"Apa kau mempunyai nama tokoh yang sekiranya pantas untuk kita datangi?"
tanya pemuda tampan berjubah putih setelah mereka berjalan beriringan, melintasi jalan
berbatu.
"Hmmm... aku akan mencoba memikirkannya, Kakang...," sahut dara jelita itu
menoleh sebentar. Kemudian mengalihkan perhatiannya ke jalan yang lurus membentang
di depan.
Pasangan orang muda itu tidak lain Kenanga dan Panji. Mereka menempuh jalan
sendiri, setelah Malela, murid Ki Adiwarsa tidak berkenan untuk bergabung dengan
mereka. Sehingga, dengan sangat terpaksa Panji meninggalkan Ki Danara dan Pujawati,
yang meminta bantuannya untuk menyelidiki Penculik-Penculik Misterius.
Mendengar jawaban kekasihnya, Panji pun terdiam. Otaknya bekerja cepat
mengingat nama-nama tokoh persilatan yang diperkirakan akan menjadi sasaran Penculik-
Penculik Misterius.
"Bagaimana kalau kita mulai dengan mendatangi Pendekar Penakluk Harimau...?"
ujar Kenanga mengusulkan, setelah mengingat sederetan nama-nama tokoh persilatan
golongan putih.
"Pendekar Penakluk Harimau...?" gumam Panji mengulang nama tokoh yang
disebutkan Kenanga, "Hm..., aku tidak begitu mengingatnya. Dari mana tokoh itu berasal?"
tanya Panji yang rupanya belum begitu ingat dengan nama tokoh itu.
"Kalau aku tidak salah mengingat tokoh itu berasal dari daerah Pegunungan Dieng.
Awalnya, tokoh itu seorang pemburu kawakan, yang tidak pernah gagal dalam melakukan
pekerjaannya, meski harus menghadapi harimau sekuat apa pun," jelas Kenanga setelah
mengingat-ingat beberapa saat tentang tokoh itu.
"Hm..., aku ingat sekarang," ujar Panji setelah mendengar keterangan kekasihnya.
"Tapi..., rasanya tokoh itu tidak terlalu istimewa. Padahal, menurutku tokoh-tokoh yang
diculik itu rata-rata memiliki ilmu andalan yang istimewa," lanjutnya seraya menoleh ke
arah dara jelita itu.
"Yaaa...," desis Kenanga tercenung setelah mendengar ucapan kekasihnya. "Kalau
demikian, pasti Penculik-Penculik Misterius itu mempunyai pimpinan yang
memerintahkan mereka. Entah, apa sebenarnya yang diinginkan dari tokoh-tokoh itu.
Yang pasti mereka tidak akan membunuh korbannya. Kalau memang itu yang mereka
inginkan, untuk apa bersusah-payah membawa lari korban dalam keadaan pingsan?"
gumam dara jelita itu berbicara pada dirinya sendiri. Kelihatan Kenanga tengah memeras
otak untuk mengetahui alasan penculikan itu.
Mendengar kekasihnya bergumam seorang diri, Panji pun terpengaruh dengan
ucapan Kenanga. Sebab, pemuda itu pun merasa yakin bahwa Penculik-Penculik Misterius
itu mempunyai tujuan tersembunyi. Dan, kemungkinan besar setelah penculikan itu
berakhir, akan terjadi kekacauan yang lebih hebat! Pikiran itu tiba-tiba saja menyelinap di
benak Panji, membuat pemuda itu agak cemas. Karena ia belum bisa menebak, bencana
apa yang kelak akan menggemparkan dunia.
"Kakang...," tiba-tiba Kenanga memanggil kekasihnya, dan menatap wajah pemuda
itu lekat-lekat. Sepertinya ada sesuatu yang hendak disampaikan, namun gadis itu masih
merasa ragu untuk mengatakannya.
"Kau sudah menemukan nama lain untuk kita datangi...?" tanya Panji, mengira
gadis itu hendak mengusulkan nama seorang tokoh lain.
"Bukan," sahut gadis itu cepat.
"Lalu, apa yang hendak kau sampaikan...?" tanya Panji ketika melihat kekasihnya
tampak ragu menyampaikan sesuatu yang terlintas dalam pikirannya, saat termenung
tadi.
"Bagaimana seandainya aku menduga tokoh yang memerintahkan penculikan itu,
hendak menyerap ilmu-ilmu andalan tokoh-tokoh yang diculiknya. Sebab, bukankah
hanya mereka yang memiliki keistimewaan saja yang menjadi korban penculikan?" ujar
Kenanga dengan kening agak berkerut. Agaknya, dara jelita itu kurang yakin dengan
dugaannya.
"Hm...?" Panji bergumam, ketika mendengar dugaan kekasihnya. Pemuda itu
menoleh sejenak menatap wajah jelita di sebelahnya. Kemudian, beralih ke jalan yang
membentang turun naik di depannya.
Kenanga sendiri belum melepaskan tatapan matanya dari wajah pemuda itu.
Rupanya, gadis itu tengah menanti jawaban Panji atas dugaannya itu.
"Rasanya, perkiraanmu itu cukup masuk di akal. Jika benar demikian,
kemungkinan besar para tokoh itu masih selamat, selama ilmunya belum dapat diserap
oleh dalang penculik itu. Seandainya sudah, ya... mungkin saja tokoh-tokoh itu telah
mereka bunuh. Nah, itulah yang aku khawatirkan...," ujar Panji sambil terus berpikir.
"Jadi, kau kurang yakin dengan dugaanku...?" tanya dara jelita itu. Sedikit kecewa.
"Bukan begitu maksudku. Dugaanmu memang perlu diperhitungkan. Tapi,
sebaiknya sekarang kita datangi tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju. Rasanya, tokoh
itu jauh lebih pantas untuk diculik dan diserap ilmunya...," tukas Panji bukan sekadar
menghibur hati kekasihnya. Tapi, apa yang dipikirkan Kenanga rasanya memang pantas
untuk diperhitungkan. Dan hal itu bukan sesuatu yang mustahil!
"Tapi, apakah Penculik-Penculik Misterius itu berani melakukan, Kakang? Sebab,
kepandaian Dewa Tangan Salju tidak dapat disamakan dengan tokoh-tokoh yang telah
mereka culik?" ujar Kenanga yang meragukan para penculik itu berani mendatangi tokoh
puncak seperti Dewa Tangan Salju.
"Memang meragukan. Tapi, tidak ada salahnya jika kita mendatangi tokoh itu.
Sekalian menengoknya...," jelas Panji yang telah menetapkan secara pasti, tokoh berjuluk
Dewa Tangan Salju mempunyai kemungkinan yang sangat besar untuk menjadi sasaran
penculikan. Apalagi, tokoh sakti itu mempunyai ilmu yang sangat istimewa, hingga dijuluki
orang Dewa Tangan Salju.
"Kalau memang Kakang sudah merasa yakin, tunggu apa lagi. Ayo kita datangi
tokoh itu...," sambut Kenanga cepat dan bersemangat.
Kelihatannya, dara jelita itu sudah merasa tidak sabar untuk segera membekuk
penjahat-penjahat yang telah membuat resah rimba persilatan, terutama kaum golongan
putih. Sebab, yang menjadi korban penculikan selama ini adalah tokoh-tokoh golongan
putih.
Setelah mendapat kata sepakat keduanya tidak lagi melanjutkan perjalanan ke
selatan. Mereka berbelok dan menerobos hutan, mengambil arah sebelah barat. Karena,
tokoh yang berjuluk Dewa Tangan Salju, tinggal di sebuah pegunungan di daerah barat.
***
"Hm...."
Kakek bertubuh kurus itu bergumam perlahan. Tubuhnya yang kurus tengah
duduk di atas sebuah batu besar berbentuk pipih. Kelihatannya, kakek itu baru saja
menyelesaikan semadinya. Sedang, sepasang matanya masih terpejam rapat.
Setelah terdiam beberapa saat lamanya dengan telinga bergerak-gerak, kakek itu
pun beranjak bangkit. Tubuhnya terlihat agak bungkuk, mungkin disebabkan usianya
yang sudah sangat tua. Paling tidak, umur kakek itu berkisar sekitar sembilan puluh
tahun lebih. Meski demikian, sepasang matanya terlihat masih sangat bening dan tajam.
Menandakan kekuatan batinnya masih sangat kuat meskipun usianya telah tua. Bahkan,
terkadang sepasang mata itu memancarkan sinar berkilat, pertanda tenaga dalam yang
dimilikinya sudah mencapati titik kesempurnaan.
"Sahabat! Kalau memang ada keperluan denganku, keluarlah! Untuk apa main
sembunyi seperti anak kecil...!" ujar kakek itu dengan hanya sedikit menggerakkan
bibirnya. Namun, suara yang terdengar laksana gaung yang bersahutan memenuhi
penjuru puncak gunung tempat tinggalnya. Nyata sudah tenaga dalam kakek itu memang
sangat luar biasa.
Kakek yang tidak lain Dewa Tangan Salju itu tidak perlu menunggu lama. Sebab,
sebelum gema suaranya lenyap, muncullah tiga sosok tubuh dari balik semak-semak di
depannya. Rupanya, Dewa Tangan Salju sudah dapat menebak dengan tepat tempat
persembunyian orang-orang itu. Buktinya, kakek itu langsung menghadap ke belakang
dari kedudukannya ketika bersemadi. Itu menunjukkan usia yang sudah sangat tua, tidak
membuat pendengarannya berkurang. Malah semakin bertambah tajam.
Kening Dewa Tangan Salju terlihat membentuk kerutan yang cukup banyak, ketika
melihat salah seorang tamunya dipapah oleh dua orang lainnya. Dewa Tangan Salju segera
menduga, salah seorang tamu tak diundangnya itu tengah menderita luka yang cukup
parah!
"Maaf, jika kedatangan kami telah mengganggumu, Dewa Tangan Salju. Tapi,
karena tempat ini paling dekat letaknya dari tempat-tempat lain, terpaksa kami
memberanikan diri datang ke tempat pertapaanmu," ujar salah seorang dari tiga lelaki
berpakaian serba hitam yang berada di sebelah kanan.
"Hm...," Dewa Tangan Salju hanya memperdengarkan gumaman pelan, sambil
mengelus jenggotnya yang panjang dan berwarna putih. Sepasang mata tuanya yang
bening dan tajam, menatap ketiga sosok tamunya dengan penuh selidik.
Sedangkan ketiga sosok tubuh yang rata-rata berpakaian serba hitam itu terus
bergerak maju. Langkah mereka baru berhenti dalam jarak sekitar setengah tombak.
"Apa maksud kalian datang ke tempat pertapaanku...?" tanya Dewa Tangan Salju
sambil tetap meneliti sosok tamunya.
Meskipun sebenarnya, kakek itu sudah dapat menebak maksud kedatangan ketiga
orang itu, tapi pertanyaan itu tetap terlontar dari bibirnya. Padahal, melihat betapa
pucatnya wajah lelaki yang dipapah kedua orang temannya, Dewa Tangan Salju sudah
dapat menduga, orang itu tengah menderita luka yang cukup parah.
"Kami hendak meminta pertolonganmu, Dewa Tangan Salju. Kuharap kau mau
bermurah hati pada kami. Kami datang ke tempat ini, karena tahu kau seorang yang
bijaksana, dan suka mengulurkan tangan menolong orang yang lemah dan memerlukan
bantuan. Itulah sebabnya, kami memberanikan diri datang ke pertapaanmu ini," kembali
yang menjawab lelaki bertubuh tinggi yang berada paling kanan. Agaknya ia bertindak
sebagai juru bicara dua orang kawannya.
"Hm..., coba terangkan lebih jelas maksud kedatangan kalian. Jangan membuat
aku menduga-duga...," tukas Dewa Tangan Salju sambil tetap mengelus jenggot putihnya
periahan-lahan.
"Jelasnya, kami memohon agar kau mau menolong kawan kami yang terkena
pukulan beracun...," sahut lelaki bertubuh tinggi dengan nada merendah, seperti layaknya
orang yang memerlukan pertolongan. Bahkan, sepasang mata yang sebenarnya tajam itu,
kini terlihat demikian memelas penuh permohonan.
"Hm..., sebenarnya aku tidak begitu pandai dalam hal racun atau pun pengobatan.
Kalian telah datang ke tempat yang kurang tepat. Tapi, karena untuk mencapai tempat ini
kalian telah bersusah-payah. Biarlah, akan kucoba meringankan penderitaan kawanmu
itu...," ujar Dewa Tangan Salju.
"Terima kasih, Dewa Tangan Salju. Sudah kudengar kau seorang yang baik hati
dan suka menolong orang lain...," lelaki itu seraya memperlihatkan senyumnya dengan
wajah berseri. Jelas terlihat, betapa ia sangat gembira setelah mendengar kesediaan kakek
tua itu untuk mengobati luka kawannya.
Tanpa disuruh lagi, keduanya segera melangkah maju, memapah kawannya yang
terluka. Dan, berhenti beberapa langkah di hadapan Dewa Tangan Salju.
"Hm... Sebaiknya langsung kalian bawa ke pondokku. Di sana aku akan lebih
leluasa mengobatinya...," pinta Dewa Tangan Salju membuat kedua orang tamunya
menghentikan gerakan. Karena saat itu mereka mulai merebahkan temannya di atas
rerumputan tebal.
"Ah, kami tidak ingin terlalu merepotkan. Biarlah, di sini saja sudah cukup. Setelah
penderitaan dan rasa sakit kawan kami berkurang, kami akan segera meninggalkan
tempat ini. Rasanya, segan hati kami mengganggumu terlalu lama...," sahut lelaki
bertubuh tinggi sambil meneruskan gerakannya menurunkan tubuh temannya di atas
rerumputan. Sehingga, Dewa Tangan Salju tidak bisa menolaknya lagi.
Dengan langkah perlahan, Dewa Tangan Salju mendekati ketiga orang tamunya.
Kemudian menekuk kedua lututnya dengan tubuh membungkuk, hendak memeriksa lelaki
yang wajahnya sudah sangat pucat bagaikan mayat. Bahkan, tubuh itu mulai terasa
dingin, persis seperti sesosok mayat.
Tapi..., baru saja Dewa Tangan Salju berjongkok, tiba-tiba orang yang berbaring itu
membuka matanya, dan mendorong kedua telapak tangannya ke tubuh Dewa Tangan
Salju! Sebuah serangan mendadak yang sangat tiba-tiba, dan rasanya tidak mungkin
untuk dihindari meskipun oleh orang sehebat Dewa Tangan Salju!
Ternyata, bukan hanya sosok yang berpura-pura sakit itu saja, yang melontarkan
pukulan hebat berbau harum memabukkan. Bahkan, kedua orang lain yang berdiri tegak
di depan Dewa Tangan Salju, juga melakukan hal yang sama. Sehingga, dalam sekejap
mata saja, Dewa Tangan Salju telah terancam pukulan beracun dari tiga orang tamu yang
tak diundang itu!
Whuuuttt...!
"Aaaihhh...!"
Perbuatan ketiga orang itu tentu saja membuat Dewa Tangan Salju terkejut bukan
main. Wajah kakek itu berubah, menggambarkan rasa terkejut yang sangat dalam. Sadar,
untuk menghindari ataupun mengerahkan kekuatan untuk menyambut serangan licik itu
tidak mungkin lagi dilakukan, terpaksa Dewa Tangan Salju nekat menyambut ketiga
serangan maut itu dengan sebisanya. Maka....
Breeeshhh...!
Hebat bukan main akibat benturan keras dari tenaga dalam yang saling
berbenturan itu. Udara di sekitarnya bagai berguncang, karena perubahan tekanan akibat
tenaga-tenaga dalam yang saling berbenturan itu!
"Aaahhh...?!"
Dewa Tangan Salju memekik tertahan. Tubuh kakek itu terlempar ke belakang
dengan deras. Darah segar tampak menetes dari mulutnya. Kendati demikian, Dewa
Tangan Salju ternyata masih mampu menahan, dan menghentikan daya dorong itu dengan
berjumpalitan lima kali di udara. Dan, berhasil mendarat dengan kedua kaki di atas
rerumputan.
Bukan hanya Dewa Tangan Salju saja yang terlempar akibat benturan keras itu.
Bahkan, ketiga orang yang ternyata penjahat-penjahat licik itu pun terpental ke belakang.
Beruntung mereka telah menggabungkan tenaga menjadi satu. Selain itu kedudukan
mereka pun sangat baik. Sehingga, daya dorong yang mereka rasakan tidak separah dan
sekuat yang dialami Dewa Tangan Salju.
"Heaaahhh...! "
"Haiiittt..!"
Dua lelaki berpakaian serba hitam yang melancarkan pukulan dengan kuda-kuda
kokoh dan dalam kedudukan berdiri, memekik sambil berjumpalitan dua kali di udara.
Kemudian meluncur turun dengan selamat.
Sebaliknya, lelaki berpakaian serba hitam yang berpura-pura terluka parah,
tubuhnya terbenam ke dalam tanah sedalam satu jengkal. Bukti bahwa dalam keadaan tak
siap pun, kekuatan tenaga dalam di tubuh Dewa Tangan Salju langsung bekerja, saat
merasakan ada hawa asing yang hendak melukai tubuh kakek itu. Jika tidak, sudah pasti
Dewa Tangan Salju hanya tinggal nama saja.
"Kalian... benar-benar licik dan keji...!" desis Dewa Tangan Salju sambil mendekap
dadanya yang terasa agak sesak.
Kakek itu berusaha mengurangi rasa sesak di dadanya dengan menarik napas
berulang-ulang. Sepasang matanya memancarkan sinar berkilat pertanda kemarahan
hatinya atas kelicikan yang dilakukan ketiga orang itu terhadapnya.
Sedangkan ketiga lelaki berpakaian serba hitam yang tidak lain Penculik-Penculik
Misterius, telah bergabung dan siap kembali menyerang. Rupanya, mereka bermaksud
hendak menculik Dewa Tangan Salju. Tapi, karena kepandaian tokoh tua itu tidak bisa
disamakan dengan yang lainnya, mereka pun bersiasat dengan menggunakan kelicikannya
untuk merobohkan kakek itu.
Kini kedua belah pihak saling berpandangan dengan sinar mata tajam. Tatapan
Dewa Tangan Salju menyiratkan kemarahan dan rasa penasaran, sedangkan di pihak
lawan tampak pandang kekaguman bercampur kejengkelan, melihat betapa kakek itu
ternyata masih dapat berdiri tegak dan siap tarung!
TUJUH
"Siapa sebenarnya kalian? Dan, mengapa memusuhiku...?" tanya Dewa Tangan
Salju penasaran. Kakek itu merasa tidak mengenalnya, dan tidak bermusuhan dengan
ketiga lelaki berpakaian serba hitam itu. Sebab, tidak ada orang yang menyerang dengan
maksud mencelakai tanpa alasan yang jelas. Itulah, yang ingin diketahui Dewa Tangan
Salju.
"Hm..., tidak perlu kau mengetahui siapa kami. Yang jelas, maksud kedatangan
kami adalah untuk menawanmu. Oleh karena itu, lebih baik kau menyerah saja. Karena
racun yang terkandung dalam pukulan kami tadi telah meresap ke dalam tubuhmu.
Sehingga, tanpa diserang pun kau akan roboh juga nantinya. Sayang, kami tidak
mempunyai banyak waktu dan harus bergegas...," jawab lelaki bertubuh tinggi yang
bertindak sebagai juru bicara, dan Pimpinan Penculik-Penculik Misterius itu.
"Untuk apa kalian bersusah-payah menculik orang setua aku? Percuma saja. Aku
tidak akan sudi mengikuti kemauan kalian sekalipun sudah tertawan...!" tandas Dewa
Tangan Salju dengan wajah mulai dipenuhi bintik-bintik keringat. Kakek itu merasa
tubuhnya mulai terasa panas. Hingga membuat Dewa Tangan Salju sadar pengaruh racun
telah bekerja.
"Nah, kau rasakan sendiri, bukan? Untuk apa lagi melakukan perlawanan. Pada
akhirnya kau pun akan roboh dan dapat kami tawan. Sebaiknya, menyerahlah daripada
membuang-buang tenaga percuma," kembali lelaki itu membujuk Dewa Tangan Salju, yang
kelihatan tengah berusaha melawan pengaruh racun yang mulai menjalar ke seluruh
tubuhnya.
"Manusia-manusia Licik! Lebih baik aku mati daripada harus ditawan kalian...!"
desis Dewa Tangan Salju berang. Usai berkata demikian, kakek itu memutar kedua
tangannya hingga menimbulkan deruan angin dingin. Rupanya, tokoh hebat itu tengah
menyiapkan ilmu andalannya untuk bertahan.
"Tua Bangka keras kepala! Sudah kubilang percuma kau membuang-buang tenaga
menghadapi kami...!" geram lelaki bertubuh tinggi yang kelihatan sangat jengkel melihat
sikap keras kepala Dewa Tangan Salju. Lelaki itu bersiap membekuk kakek itu, dan
menggeser langkahnya ke kanan.
Dua orang temannya bergerak ke kiri dan ke depan. Rupanya, mereka hendak
mengeroyok Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Terbukti, mereka terus maju dan semakin
mempersempit lingkaran.
"Heaaahhh...!"
Salah seorang dari lelaki berpakaian serba hitam, yang ada di sebelah kanan Dewa
Tangan Salju memekik sambil melontarkan pukulan beracun.
Whuuusss...!
Dewa Tangan Salju sebenarnya lebih suka bertahan, bila keadaan tubuhnya tidak
dalam keadaan terluka seperti sekarang. Tapi, karena ia sadar dalam tubuhnya telah
mengeram racun yang amat kuat daya kerjanya, maka kakek itu berniat menggebrak
lawan secepatnya. Dengan begitu, dirinya bisa segera merobohkan lawan secepatnya,
kemudian mengusir racun yang mengeram di tubuhnya.
"Yeaaahhh...!"
Maka ketika serangari lawan datang, tubuh kakek itu langsung melesat cepat ke
depan menyambutnya. Sepasang tangannya berputar cepat menyerupai baling-baling, yang
menyebarkan hawa dingin menggigil. Itulah, jurus 'Tangan Sarju' yang menjadi andalannya
sejak puluhan tahun silam. Dengan ilmu dahsyat itu pulalah, kakek itu mengukir
namanya di kalangan persilatan. Sehingga dijuluki orang Dewa Tangan Salju.
Tapi, para penculik itu rupanya sangat licik. Melihat kakek itu menyambut
serangannya, lelaki berpakaian serba hitam yang bertubuh sedang tampak menahan
gerakannya, dan melemparkan tubuhnya ke samping. Jelas, lelaki itu merasa gentar untuk
bentrok secara langsung dengan kakek itu. Sehingga, memilih menghindari sambutan
DewaTangan Salju.
"Haiiittt..!"
Penculik yang pertama bergulingan menghindar, penculik kedua yang bertubuh
gemuk melancarkan serangannya dari belakang kakek itu. Sebuah tendangan keras yang
dilepaskannya mengancam punggung Dewa Tangan Salju.
Belum lagi serangan itu sampai dan mengenai sasaran, penculik ketiga sudah
datang menyerbu dengan serangkaian pukulan yang menebarkan bau harum
memabukkan. Jelas, pukulan itu mengandung racun pembius yang sangat kuat.
Jeeeb!
Bwettt..!
Pukulan dan tendangan kedua pengeroyoknya berhasil dielakkan Dewa Tangan
Salju dengan jalan menundukkan tubuhnya. Kemudian, sepasang tangannya mengibas ke
kiri-kanan, seperti seekor burung besar yang mengepakkan sayapnya di angkasa.
Dukkk, plakkk!
"Aaahhh...?!"
Kedua Penculik-Penculik Misterius itu terpekik, merasakan ada hawa dingin yang
amat kuat mengalir ke dalam tubuh melalui lengan dan kaki mereka. Tubuh keduanya
terdorong mundur, hampir terpelanting jatuh! Untunglah keduanya dapat bertindak cepat
dengan melempar tubuh ke belakang, dan mendarat ringan dengan kedua kaki lebih dulu.
"Gila...! Dewa Tangan Salju memang seorang tokoh yang luar biasa sekali! Padahal
ia telah terluka, tapi masih dapat memberikan perlawanan yang berbahaya...!" desis salah
seorang penculik bertubuh gemuk dan berkepala setengah botak. Lelaki itu mengerahkan
tenaganya untuk mengusir hawa dingin yang menjalar di dalam tubuhnya.
Meskipun Dewa Tangan Salju masih tetap tangguh, seperti tidak merasakan luka
akibat benturan pukulan mereka, tapi para penculik itu tidak merasa gentar. Mereka
kembali membentuk kepungan, dan berlari memutari kakek itu dengan berganti-ganti
arah. Terkadang putaran itu demikian cepat hingga ketiganya hanya berbentuk bayang-
bayang hitam. Sebentar kemudian melambat, hingga sosok mereka terlihat jelas.
Dewa Tangan Salju berdiri bergoyang-goyang. Beberapa kali terlihat tokoh tua itu
menggelengkan kepalanya. Agaknya, ia merasa pening dengan gerak berputar yang
dilakukan para pengeroyoknya. Kenyataan itu membuat Dewa Tangan Salju sadar, ketiga
lawannya sengaja melakukan gerakan itu untuk mempercepat daya kerja racun yang
mengeram di dalam tubuhnya. Dan, setelah menyadari hal itu Dewa Tangan Salju pun
menjadi geram!
"Iblis-iblis Licik...!" desis kakek itu sambil berusaha mengikuti putaran tubuh
ketiga lawannya. Rupanya, kakek itu hendak mengurangi pengaruh rasa pening pada
kepalanya.
"Haiiittt...!"
"Haaattt...!"
Putaran yang makin lama kelihatan semakin menyempit, tiba-tiba pecah! Ketiga
penculik itu berloncatan menerjang Dewa Tangan Salju dari tiga arah. Kali ini serangan-
serangan mereka kelihatan semakin hebat. Semua itu dapat dirasakan kakek itu dari
sambaran angin pukulan yang berciutan memekakkan telinga!
Bettt! Bettt...!
Dua buah pukulan yang membawa bau harum memabukkan lewat mengenai angin
kosong. Sebab, tubuh Dewa Tangan Salju telah bergeser dari tempat semula, dan berusaha
melancarkan serangan balasan dengan jurus-jurus mautnya.
"Ehhh?!"
Dewa Tangan Salju tampak heran ketika gerakannya mulai kacau dan tak terarah.
Bahkan, kepalanya kini berdenyut-denyut menyakitkan. Sadarlah orang tua itu, bahwa
racun yang makin banyak terisap pernapasannya telah membuat pikirannya terganggu.
Sehingga, gerakannya pun menjadi kacau!
"Kurang ajar...!" desis kakek itu geram.
Tapi dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. Ketiga lawannya yang melihat gerakan
Dewa Tangan Salju mulai tak teratur, makin memperhebat serangan-serangannya. Tentu
saja kakek itu menjadi kerepotan.
Desss, bukkk!
Satu dua pukulan mulai mendarat di tubuh kurus Dewa Tangan Salju, membuat
tubuhnya bergoyang dan terhuyung beberapa langkah. Bahkan, setelah lewat lima puluh
jurus, pukulan dan tendangan lawan makin sering mengenai tubuhnya. Sehingga, Dewa
Tangan Salju benar-benar tak berdaya.
Bukkk!
"Aaakhhh...!"
Rasa pening yang kian berdenyut membuat Dewa Tangan Salju semakin berkurang
kesigapan dan kegesitannya. Akibatnya, sebuah hantaman telapak tangan salah seorang
pengeroyoknya, telak mengenai dada.
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh kakek itu pun terjungkal di atas tanah. Kendati
demikian, ia masih berusaha bangkit sambil menggoyangkan kepalanya berkali-kali, untuk
menghilangkan rasa pening yang membuat pemusatan pikirannya buyar!
"Haaattt...!"
Tapi, ketiga penculik itu tidak memberi kesempatan pada lawan untuk bangkit
berdiri. Ketiganya sudah meluncur dengan serangan masing-masing!
Whuuuttt...!
Sambaran angin keras yang membawa bau harum memabukkan datang semakin
dekat, mengancam Dewa Tangan Salju yang hanya bisa terbelalak dengan wajah pucat!
Karena untuk bergerak ia tidak sanggup lagi. Kepalanya terasa semakin berat bagai
diganduli batu besar.
"Heaaattt...!"
Dan, pada saat yang sangat berbahaya bagi keselamatan Dewa Tangan Salju, tiba-
tiba terdengar lengkingan panjang yang menyakitkan telinga. Seiring dengan lengkingan
itu, sesosok bayangan putih dan hijau berkelebat secepat sambaran kilat di angkasa.
Sehingga....
Breeessshhh....
Plarrr...!
"Aaahhh...!"
Terdengar teriak kesakitan ketika sosok bayangan putih dan hijau menyambut
serangan ketiga Penculik-Penculik Misterius. Sehingga, ketiga sosok berpakaian serba
hitam itu terpental ke belakang dengan deras!
Bukkk...!
Ketiganya jatuh bergulingan di atas tanah berumput. Sebab, mereka tidak siap
untuk menghadapi lawan yang baru tiba, dan menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari
tangan mereka.
Meski dengan dada terasa nyeri, ketiga penculik itu bergegas bangkit untuk melihat
orang yang telah menggagalkan serangan mereka yang nyaris berhasil. Dan, ketiga pasang
mata lelaki berpakaian serba hitam itu pun terbelalak, ketika melihat sesosok tubuh
diselimuti lapisan kabut putih keperakan!
"Pendekar Naga Putih...?!" pekik tertahan itu meluncur dari mulut ketiga Penculik-
Penculik Misterius. Wajah mereka kelihatan tegang! Karena mereka sadar siapa Pendekar
Naga Putih!
"Hm.... Rupanya dugaanku tidak meleset! Kalian pasti akan datang ke tempat Dewa
Tangan Salju...!" desis sosok pemuda tampan berjubah putih yang tak lain Panji. Sepasang
matanya menyiratkan kemarahan, membuat ketiga penculik itu melangkah mundur tanpa
sadar. Karena sinar mata itu tak ubahnya mata naga yang mencorong di kegelapan.
Yang datang menyelamatkan Dewa Tangan Salju dari Penculik-Penculik Misterius
itu ternyata bukan hanya Panji seorang. Bayangan hijau yang datang secara bersama
dengan pendekar muda itu, kini berdiri tegak menatap ketiga Penculik-Penculik Misterius.
Sorot mata dara jelita yang tidak lain Kenanga, tampak menyala, memancarkan
kemarahan yang mengeram di dadanya. Tentu saja hati penculik-penculik itu makin
bertambah kecut!
Tak seorang pun dari ketiga penculik itu yang berani membuka mulut. Tampaknya,
mereka masih terkejut dengan kemunculan pemuda itu yang namanya menggetarkan
rimba persilatan. Sehingga, untuk beberapa saat lamanya mereka hanya terdiam bagai
patung batu.
***
"Kenanga, jagalah mereka. Jangan biarkan penculik-penculik itu pergi dari tempat
ini. Aku hendak memeriksa keadaan Dewa Tangan Salju. Mudah-mudahan kakek itu tidak
mengalami luka parah...," ujar Panji pada kekasihnya yang menjawab dengan anggukan
kepala. Lalu, Panji pun bergegas menghampiri sosok Dewa Tangan Sarju yang saat itu
telah jatuh pingsan.
Tanpa buang-buang waktu lagi, Panji membungkuk dan memeriksa tubuh orang
tua itu. Wajah pemuda itu tampak menggambarkan kelegaan. Sebab, luka Dewa Tangan
Sarju ternyata tidak terlalu parah. Memang di beberapa bagian tubuhnya tampak luka-
luka memar. Tapi hal itu tidak akan membahayakan. Demikian pula dengan racun yang
ditemukan Panji di dalam tubuh orang tua itu, juga tidak berbahaya. Karena hanya untuk
membuat kakek itu tak sadarkan diri.
"Bagaimana keadaan Dewa Tangan Sarju, Kakang...?" tanya Kenanga ketika melihat
Panji telah berdiri di sampingnya kembali.
"Tak terlalu mengkhawatirkan. Sekarang tinggal mengurus ketiga penculik biadab
itu...," jawab Panji seraya menatap tajam ketiga sosok tubuh terbungkus pakaian serba
hitam, yang kini telah berdiri tegak dengan menggenggam pedang telanjang!
"Keparat kau, Pendekar Naga Putih! Kelak kau akan menyesal tujuh turunan atas
keusilanmu ini...!" geram lelaki bertubuh tinggi kurus menentang pandang mata pendekar
muda itu. Tapi, ia tidak bisa bertahan lama. Sebentar kemudian, kepalanya sudah
tertunduk. Sorot mata pendekar muda itu terlalu kuat membuat dadanya berdebar bila
dipandang berlama-lama.
"Hm.... Kalian yang keparat, Penculik-penculik Hina! Sekarang kalian telah
tertangkap basah, dan tidak mungkin akan kulepaskan begitu saja...!" sahut Panji sambil
bergerak maju mendekati ketiga Penculik-Pencutik Misterius itu.
Kenanga sebenarnya ingin menghadapi ketiga penculik itu, dan menghajar dengan
tangannya sendiri. Tapi, mengingat ketiga orang itu sangat penting artinya bagi mereka,
maka ia pun tidak mau bertindak gegabah. Dibiarkannya Panji menghadapi ketiga
penculik itu. Sedangkan ia sendiri bergerak mundur untuk menjaga Dewa Tangan Salju
yang tergolek pingsan. Agaknya, dara jelita itu merasa khawatir ketiga penculik itu akan
bertindak licik, dan mempergunakan tubuh Dewa Tangan Salju sebagai sandera untuk
dapat meloloskan diri dari Pendekar Naga Putih.
Werrr... werrr...!
Sementara itu, ketiga Penculik-Penculik Misterius sudah bergerak ke tiga arah
sambil memutar senjatanya. Dengungan angin tajam yang ditimbulkan putaran pedang
mereka, membuat dedauan kering beterbangan. Jelas, ketiga penculik itu telah siap
bertarung dengan Pendekar Naga Putih. Sebab, untuk lolos dari pemuda itu rasanya
mustahil!
"Hm...."
Panji bergumam lirih ketika melihat ketiga lawannya sudah mengelilinginya,
membentuk sebuah kepungan. Dengan sepasang mata pemuda itu bergerak mengikuti
langkah kaki mereka. Sedangkan sosoknya tetap tegak dengan kaki terpentang lebar.
"Heaaattt..!"
Beberapa saat kemudian, penculik yang berada di depan pemuda itu mulai
membuka serangan. Kemudian disusul oleh dua orang temannya. Sehingga, Panji
terkepung serangan dari tiga arah sekaligus.
Siiingngng… sing!
Ujung-ujung pedang lawan yang menyambar bagai kilatan petir meluncur dengan
kecepatan tinggi. Rupanya, ketiga penculik itu langsung mengerahkan seluruh tenaga dan
kecepatannya. Karena mereka sadar lawan yang kali ini dihadapinya bukan sembarangan
pendekar. Dan, mereka pun telah mendengar sepak-terjang pendekar muda itu, yang
membuat tokoh-tokoh kaum sesat kalang-kabut dibuatnya, Sehingga mereka tidak
setengah-setengah dalam menggempur pemuda itu.
"Heaaahhh...!"
Bersamaan dengan bentakan keras, tubuh Panji menggeliat menghindari tusukan
pedang yang berkelebat di sekujur tubuhnya. Kemudian, balas menyerang dengan
tamparan dan tendangan yang menimbulkan suara mencicit tajam. Itu menandakan Panji
hendak cepat-cepat menyelesaikan perkelahian dan menahan ketiga penculik itu. Pemuda
itu merasa semakin yakin ada tokoh yang mendalangi penculikan, terhadap para pendekar
terkenal.
Sebentar kemudian, pertarungan berlangsung semakin sengit. Pendekar Naga Putih
benar-benar dibuat repot! Kelihatannya, mereka tidak memberi kesempatan pada Pendekar
Naga Putih untuk membalas serangannya. Semua itu terbukti dari semakin gencarnya
serangan mereka, yang mencecar tubuh pendekar muda itu, pada titik-titik jalan darah
besar yang bisa mengakibatkan kematian bila sampai terkena tusukan atau bacokan
pedang lawan. Panji pun sadar akan hal itu. Dan, berusaha untuk melindungi bagian-
bagian terlemah itu dengan mengelak serta sesekali menangkis, hingga pedang lawan
terpukul balik.
Ketika pertempuran menginjak jurus ketiga puluh. Pendekar Naga Putih terlihat
mulai merubah gerakannya. Tubuh pemuda itu bergerak dengan kecepatan yang sukar
ditangkap mata biasa. Sehingga, ketiga lawannya semakin meningkatkan kecepatan dan
kekuatan serangan mereka.
Syuuuttt... Bweeettt...!
"Heaaahhh...!"
Dua batang pedang meluncur deras mengancam pelipis dan tenggorokan pemuda
itu. Cepat Panji merendahkan kuda-kudanya sambil menarik mundur tubuhnya.
Kemudian melenting ke depan seraya melepaskan tendangan ke tubuh tawan.
Bukkk, desss...!
"Aaakhhh...!"
"Ouggghhh...!"
Gerakan yang cepat dan tak terduga itu tidak sempat dihindari lawan. Apalagi, saat
itu tubuh keduanya tengah doyong ke depan. Maka, tendangan keras itu pun membuat
tubuh keduanya terlempar sejauh satu tombak lebih!
Tanpa dapat dicegah lagi, tubuh mereka terbanting ke atas tanah. Darah segar
tampak menetes keluar dari sela bibir keduanya. Meski demikian, mereka berusaha untuk
segera bangkit, saat Panji masih menghadapi penculik yang seorang lagi.
Namun, lawan yang seorang itu tidak terlalu merepotkan. Panji. Sebentar saja,
sebuah hantaman telapak tangannya mendarat di dada lawan!
Desss...!
Hantaman keras itu membuat lawan muntah darah, dan terguling sejauh dua
tombak. Dan, penculik yang naas itu kelihatan tidak segera bangkit. Rupanya, hantaman
itu membuat napasnya nyaris putus!
"Haaattt...!"
Pendekar Naga Putih melihat kedua penculik yang terkena tendangannya sudah
bergerak hendak menyerang, segera mengeluarkan teriakan melengking panjang.
Tubuhnya melayang bagai seekor naga yang tengah bermain di angkasa.
Whuuuttt…!
Angin dingin menusuk tulang datang menyerbu, ketika pemuda itu mendorong
telapak tangannya bergantian. Rupanya, Panji hendak melumpuhkan lawan-lawannya
dengan pukulan yang hebat.
Mereka sadar akan bahaya yang datang mengancam. Keduanya bergegas
mengambil sesuatu dari balik pakaian masing-masing. Lalu, melemparkannya ke arah
Panji sambil melompat ke samping, bergulingan menjauh.
Trakkk, tringngng, tringngng!
Belasan batang paku beracun berjatuhan ke tanah dengan suara berdentingan.
Meskipun serangan gelap itu tidak membuat Panji terluka, namun kedua penculik itu
dapat menghindar dari serangan yang dilontarkan pemuda itu.
"Hmmm...." Panji yang meluncur turun, bergumam dengan sepasang mata
mencorong tajam, ditatapnya kedua penculik itu sambil menyilangkan kedua lengannya di
depan dada. Pendekar Naga Putih tengah mempersiapkan serangan berikutnya.
***
DELAPAN
"Hiaaattt...!"
Diiringi pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih kembali meluncur ke arah
lawan-lawannya. Serangan yang kali ini dilancarkan pemuda itu jauh lebih hebat dari
serangan-serangan sebelumnya. Rasanya, sangat sulit untuk menghindari gempuran maut
yang dilancarkan pemuda berjubah putih.
Kedua penculik itu pun sadar akan kehebatan serangan Pendekar Naga Putih.
Namun, mereka tidak melihat ada jalan lain kecuali menghadapi terjangan maut itu.
"Haaattt…!"
Pedang di tangan penculik-penculik itu berputaran membentuk gulungan sinar
putih yang bergerak turun naik dengan kecepatan mengagumkan! Kemudian, secara
bersamaan meluncur datang menyambut serangan Panji.
Swingngng... swingngng...!
Tidak seperti sebelumnya, kali ini Panji tidak berusaha menghindar. Sepasang
tangannya yang telah dilindungi 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan, digunakan untuk
menyambut sambaran mata pedang lawan. Tentu saja kedua penculik itu terkejut. Mereka
tidak menyangka pendekar muda itu berani menyambut serangan pedangnya dengan
tangan telanjang! Tapi, apa yang terjadi kemudian, benar-benar membuat mata mereka
hampir melompat keluar dari tempatnya.
Trakkk! Trakkk!
"Aaaiii...?!"
Kedua penculik itu terpekik ketika pedang mereka langsung patah terbentur
sepasang lengan yang amat kuat. Padahal, senjata mereka terbuat dari baja pilihan yang
tidak mudah dipatahkan. Tapi, Pendekar Naga Putih ternyata mampu melakukannya
hanya dengan lengan telanjang! Benar-benar sukar dipercaya!
Panji sendiri tidak begitu mempedulikan keterkejutan lawan-lawannya. Tubuhnya
terus meluncur pesat saat tubuh kedua penculik itu terdorong mundur. Kemudian,
sepasang tangannya kembali bergerak dengan pukulan yang cepat dan kuat!
Desss, desss...!
"Huaaakhhh...!"
Tanpa ampun lagi, tubuh penculik-penculik itu terlonjak bagai disentakkan tangan-
tangan raksasa yang tak nampak! Darah segar menyembur keluar membasahi rumput di
bawahnya. Sedangkan tubuh mereka terbanting keras dan terus bergulingan tanpa
mampu dicegah lagi.
Panji melayang turun di dekat tubuh kedua lawannya yang terkapar dengan wajah
pucat. Darah segar kembali keluar saat mereka terbatuk hebat!
Kali ini, mereka tidak akan sanggup lagi untuk bangkit. Namun, sebelum Panji
sempat menotok lumpuh kedua penculik itu, mereka telah memasukkan sesuatu ke dalam
mulutnya. Sebentar kemudian, tubuh keduanya menggelepar seperti ayam disembelih.
Kemudian, diam tak bergerak. Mati.
"Kurang ajar...! Rupanya mereka telah menyiapkan racun mematikan!"
Jelas, mereka lebih takut pada pimpinannya. Dan, lebih baik mati daripada ditawan
pemuda itu. Kenyataan itu membuat Panji jengkel bukan main.
"Aaahhh...?!"
Cepat bagai kilat tubuh Panji berbalik ketika mendengar jeritan kaget. Pemuda itu
kenal betul suara jeritan itu milik kekasihnya. Dan, tubuh Panji segera melayang ketika
melihat Kenanga mendekap wajah dengan kedua tangannya.
"Keparat..!" desis pemuda itu saat melihat sesosok bayangan hitam berlari menjauh
meninggalkan puncak gunung.
Sejenak Panji ragu. Jika dirinya mengejar penculik yang melarikan diri itu, tentu
akan berhasil. Tapi, pemuda itu mengkhawatirkan Kenanga yang kelihatan masih merintih
sambil mendekap wajah dengan kedua telapak tangannya. Dan, ia pun belum tahu pasti
apa yang terjadi dengan kekasihnya? Maka, Panji memutuskan untuk menolong Kenanga
lebih dahulu.
"Hiaaat..!"
Disertai pekikan nyaring, tubuh Pendekar Naga Putih meluncur ke arah lawan-
lawannya.
Kedua penculik itu pun sadar akan kehebatan serangan Panji. Maka, tidak ada
jalan lain kecuali menghadapi terjangan itu!
"Kenanga, apa yang terjadi...?!" tanya Panji seraya memegang kedua lengan
kekasihnya, dengan maksud untuk menurunkannya dari wajah gadis jelita itu. Tapi
Kenanga mempertahankan, dan tetap mendekap wajahnya kuat-kuat.
Hati Panji semakin bertambah cemas ketika melihat air mata mengalir turun dari
sela-sela jemari tangan kekasihnya. Pemuda itu segera dapat menduga, pada kedua mata
gadis jelita itu pasti ada sesuatu yang tidak beres. Dan, bukan tidak mungkin jika penculik
yang melarikan diri itu telah menaburkan bubuk beracun, yang bisa mendatangkan
kebutaan, mengingat betapa penculik-penculik itu cukup mahir menggunakan racun.
"Apa yang kau rasakan, Kenanga...?" tanya Panji lagi. Kali ini suaranya terdengar
parau. Karena hatinya sangat cemas melihat kekasihnya masih merintih sambil tetap
menekapkan wajahnya.
"Mataku... panas sekali, Kakang! Pedih... dan sakit..," rintih Kenanga di sela
keluhannya.
"Bukalah, agar aku dapat memeriksanya...," sambil berkata demikian, Panji
kembali memegang lengan kekasihnya untuk dijauhkan dari wajah gadis itu.
Kali ini Kenanga tidak menolak. Dibiarkan tangannya turun meninggalkan
wajahnya. Cepat Panji mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' dan menyalurkan ke
kedua telapak tangan. Lalu, dilekatkan ke mata kekasihnya.
Keluhan Kenanga baru berkurang ketika gadis itu merasakan hawa dingin meresap
ke dalam matanya melalui sepasang telapak tangan Panji. Hingga, akhirnya rasa nyeri dan
panas yang dirasakannya lenyap tak berbekas.
"Bagaimana? Apakah masih terasa panas dan nyeri...?" tanya Panji meminta
jawaban selekasnya. Pemuda itu melihat Kenanga tidak lagi merintih seperti tadi.
"Tidak, Kakang...," sahut Kenanga dengan suara agak parau.
Mendengar jawaban itu, Panji menarik telapak tangannya dari wajah gadis itu
dengan gerakan perlahan.
"Biarkan matamu tetap dalam keadaan tertutup. Jangan sekali-kali
membukanya...," pesan Panji sebelum kedua telapak tangannya meninggalkan wajah dara
jelita itu. Kenanga hanya menganggukkan kepala mengiyakan.
Dengan langkah perlahan, Panji membimbing kekasihnya menuju pondok
sederhana tempat Dewa Tangan Salju tinggal. Di bahu kiri pemuda itu tampak sosok Dewa
Tangan Salju yang masih belum sadar dari pingsannya.
Begitu memasuki pondok, Panji mendudukkan Kenanga di sebuah balai bambu,
dan memerintahkan gadis itu berbaring dengan mata tetap terpejam. Kemudian Panji
menghampiri balai lain yang letaknya agak sedikit ke dalam, dan membaringkan tubuh
Dewa Tangan Salju. Setelah memeriksa tubuh lelaki tua itu, Panji kembali ke tempat
kekasihnya berbaring. Sebab, keadaan Dewa Tangan Salju tidak mengkhawatirkan.
Dengan cekatan, Panji mengambil bubuk obat dari dalam buntalan pakaiannya.
Kemudian mencampurnya dengan air yang telah dimasak. Dan, membubuhkannya di
kedua mata kekasihnya yang masih terpejam rapat.
Kenanga yang tahu kekasihnya cukup pandai dalam hal pengobatan maupun jenis-
jenis racun, tidak berusaha memberontak. Apalagi, ketika ia merasakan ada rasa sejuk
yang membuat kedua matanya segar. Sampai akhirnya Panji membalut kain pengikat
kepala gadis itu untuk menutup kedua matanya.
"Berapa lama mataku harus ditutup seperti ini, Kakang...?" tanya Kenanga setelah
merasa Panji selesai membalut matanya dengan kain pengikat kepalanya.
Panji hanya tersenyum, meskipun saat itu Kenanga tidak dapat melihatnya.
Kemudian, menyambut jemari tangan dara jelita itu yang ia tahu tengah mencari-cari
tangannya. Panji membelai punggung tangan kekasihnya.
"Racun yang mengenai matamu dapat mengakibatkan kebutaan. Dan, pengobatan
yang kulakukan bisa memakan waktu tiga hari. Selama itu kau harus tetap dalam
pengawasanku. Dan, jangan sekali-kali melepas penutup kedua matamu. Karena itu bisa
mengganggu cepatnya penyembuhan," jelas Panji sambil menarik napas lega.
"Lalu, selama itu aku harus berbaring di atas balai ini?" tanya Kenanga lagi.
Rupanya salah seorang penculik berhasil melarikan diri, setelah menaburkan bubuk
beracun ke wajahnya.
"Tentu saja tidak. Kau boleh bergerak dan berjalan di dalam pondok. Tapi, tidak
boleh keluar dari pintu pondok. Sebab, cahaya matahari bisa mengganggu dan
memperlambat penyembuhan," jawab Panji kembali memberikan petunjuk agar
penyembuhan dapat berjalan sempurna.
"Hhh... penculik-penculik itu benar-benar licik sekali...!" geram Kenanga yang
merasa dendam atas perbuatan orang itu terhadapnya. Sehingga, dirinya terpaksa harus
tinggal di dalam pondok itu selama kurang lebih tiga hari.
"Apa yang telah terjadi sebenarnya, Kenanga? Mengapa racun itu bisa mengenai
matamu...?" tanya Panji ingin mengetahui, secara jelas kejadian yang sebenarnya.
Kenanga menarik napas berat sebelum menceritakan kejadian itu. Dan, baru
menjawab setelah menghela napas berulang-ulang.
"Sewaktu Kakang tengah mengakhiri perlawanan kedua Penculik-Penculik
Misterius itu, yang seorang lagi kulihat melarikan diri. Tentu saja itu tidak akan
kubiarkan. Maka, aku segera melesat untuk mencegah kepergiannya. Dan, aku tidak
menyangka sedikit pun ia akan berbuat licik untuk menahan langkahku. Sambil
membalikkan tubuh, orang itu mengibaskan lengannya ke arahku. Kurasakan bubuk-
bubuk halus berbau harum menerpa wajahku. Mataku terasa pedih dan panas, sehingga
aku tidak bisa melihat manusia licik itu. Karena rasa panas dan pedih semakin menggila,
maka kututup kedua mataku dengan telapak tangan. Aku terpaksa melupakan penculik
itu. Karena, mana mungkin mengejarnya dengan mata tertutup...?" jelas Kenanga
menerangkan kejadian yang menimpanya.
Panji menghela napas panjang setelah mendengar cerita kekasihnya. Ada sedikit
rasa kecewa, karena dirinya tidak berhasil mendapatkan keterangan tentang pemimpin
penculik-penculik itu. Sebab Panji merasa yakin ada orang di belakang layar yang
mendalangi penculikan terhadap tokoh-tokoh persilatan golongan putih.
"Bagaimana dengan kedua lawanmu, Kakang. Bukankah kau sudah dapat
melumpuhkan mereka...?" Kenanga ganti bertanya ketika teringat sebelum kejadian itu,
dirinya sempat melihat kekasihnya telah merobohkan dua penculik misterius.
"Hhh.... Sayang aku gagal mendapatkan keterangan mengenai markas dan
pemimpin mereka. Kedua penculik itu segera menelan pil yang mengandung racun
mematikan, saat aku hendak menawan mereka...," jawab Panji dengan nada kecewa.
Sehingga, Kenanga meremas jemari tangan pemuda itu untuk menghibur kekecewaan di
hatinya.
"Biarlah, lain kali kita akan menangkapnya...," ucap dara jelita itu berdesah
perlahan.
"Hm.... Aku khawatir mereka akan kembali melakukan penculikan. Sebab, kalau
benar mereka memiliki pemimpin, bisa jadi penculik itu bukan hanya terdiri dari tiga
orang. Tapi, mungkin belasan. Untuk itu, kita harus bertindak cepat agar tidak
kedahuluan mereka...," ujar Panji yang merasa khawatir jika para penculik itu akan
muncul kembali dengan membawa kawan yang lebih banyak, untuk mencari sasaran lain.
"Tapi, bagaimana mungkin, Kakang. Sedangkan mataku baru akan sembuh
sedikitnya tiga hari. Itu yang kau perkirakan, bukan? Lalu, bagaimana kita bisa bertindak
cepat untuk mencegah kejahatan mereka?" bantah Kenanga yang diam-diam sudah dapat
meraba apa yang akan dilakukan kekasihnya. Meskipun demikian, gadis itu ingin
mendengar langsung dari mulut Panji. Bukan hanya sekadar menduga.
"Yahhh... Setelah Dewa Tangan Salju sadar dari pingsannya, aku terpaksa akan
menitipkanmu padanya. Jika harus menunggu tiga hari, aku khawatir mereka sudah
mendapatkan korban-korban baru." jawaban Panji ternyata tidak meleset dari terkaan dara
jelita itu. Meskipun sebenarnya merasa berat, lapi Kenanga sadar kekasihnya saat itu
sangat dibutuhkan orang banyak. Gadis itu pun dapat memaklumi jalan pikiran pemuda
itu.
"Kalau memang itu yang terbaik, aku tidak keberatan kau tinggal dalam beberapa
hari. Tapi, ingat! Bila dalam waktu tiga hari kau belum datang menjemputku, aku akan
menyusulmu," tukas Kenanga seraya menekankan kata-katanya dengan jelas.
Panji tersenyum mendengar gadis jelita itu dapat memaklumi jalan pikirannya.
Tapi, saat ia hendak menjawab, terdengar suara orang mengeluh dari ruang belakang.
"Rupanya, Dewa Tangan Salju mulai sadar dari pingsannya. Aku akan ke sana
untuk melihat dan memberi obat padanya...," tanpa menunggu jawaban Kenanga, Panji
langsung melangkah ke dalam, dan melihat Dewa Tangan Salju hendak bangkit dari
pembaringan. Cepat Panji mencegah.
"Jangan banyak bergerak dulu. Eyang. Sebaiknya, telanlah obat ini untuk
mempercepat pulihnya tenaga Eyang, dan mengusir pengaruh racun yang mungkin masih
tersisa di kepala...," ujar Panji sambil menyodorkan sebuah pil berwarna putih, yang
berguna untuk menyembuhkan luka dalam dan keracunan.
Dewa Tangan Salju yang kesadarannya belum pulih benar, tampak terkejut ketika
melihat seorang pemuda tampan berjubah putih datang mendekat dan menyodorkan
benda bulat berwarna putih salju. Sejenak kakek itu terlihat bimbang, dan wajahnya
diwarnai keheranan besar.
"Di manakah aku...? Aku sudah berada di akherat, dan kau malaikat...?" ujar Dewa
Tangan Salju belum mau menerima obat yang disodorkan Panji. Malah, kakek itu menatap
berkeliling dengan sepasang matanya yang bening dan tajam.
"Eyang berada di pondok tempat tinggal Eyang sendiri. Aku bukan malaikat seperti
yang Eyang sangka. Aku manusia biasa seperti Eyang...," jawab Panji menjelaskan pada
Dewa Tangan Salju yang tampak kebingungan.
Setelah mendengar ucapan Panji, Dewa Tangan Salju mengerjap-ngerjap matanya
beberapa kali. Beberapa saat kemudian, barulah kakek itu dapat mengenali bilik-bilik dan
dinding pondoknya yang terdiri dari papan dan kayu pohon.
"Hm.... Aku ingat sekarang! Kau pasti sosok bayangan putih, yang menyelamatkan
aku dari ancaman pukulan ketiga orang berpakaian serba hitam, bukan? Terima kasih
atas pertolonganmu. Anak Baik. Lalu, ke mana perginya manusia-manusia licik itu?" tanya
Dewa Tangan Salju sambil menatap wajah Panji dengan sorot mata penuh kagum.
Kemudian, sepasang mata tua itu menjelajahi sekujur tubuh pemuda berjubah putih di
depannya. Kerutan di keningnya terlihat semakin dalam.
"Telanlah obat ini, Eyang. Mudah-mudahan kesehatanmu dapat segera pulih...,"
Panji kembali mengangsurkan obat di tangannya.
"Kau siapa, Anak Baik? Tampaknya kau bukan pemuda sembarangan," tanya Dewa
Tangan Salju seraya mengulurkan tangannya menerima obat pemberian pemuda tampan
berjubah putih. Meski tangannya mengambil obat, tapi sepasang mata kakek itu tidak
bergeser dari wajah pemuda di depannya.
Tanpa banyak cakap lagi, dan langsung menaruh kepercayaan penuh pada pemuda
tampan yang belum dikenalnya itu, Dewa Tangan Salju segera menelan obat berwarna
putih, yang langsung memasuki tenggorokannya.
"Selanjutnya Eyang pasti tahu apa yang harus dilakukan…," ujar Panji
mengingatkan, tanpa memberi petunjuk, seperti terhadap orang-orang yang pernah
ditolongnya. Sebab, pemuda itu tahu tokoh hebat dan kawakan seperti Dewa Tangan Salju
tentu mengetahui apa yang harus dilakukannya.
"Hm... sebelum aku melakukan semadi untuk memulihkan tenagaku, maukah kau
berterus terang padaku, Anak Muda...?" tanya kakek itu bernada menuntut.
"Tentu saja, Eyang. Bagiku, tidak ada susahnya berbicara terus terang. Karena
memang tidak ada sesuatu pun yang hendak kusembunyikan. Silakan Eyang bertanya.
Kalau tidak terlalu sulit, mungkin aku akan segera menjawabnya...," tukas Panji yang
rupanya sudah dapat membaca jalan pikiran tokoh kawakan itu. Sebab, semenjak tadi
Panji melihat sepasang mata kakek itu terus merayapi tubuhnya dari ujung kaki hingga ke
ujung rambut.
"Jawablah pertanyaanku. Apakah benar dugaanku, kau pemuda yang dijuluki
kaum rimba persilatan Pendekar Naga Putih...?" tanya Dewa Tangan Salju tanpa
melepaskan pandang matanya dari wajah tampan di depannya.
"Benar, Eyang. Hanya sebuah julukan kosong. Mereka terlalu berlebihan
memberikan julukan itu padaku...," jawab Panji membuat Dewa Tangan Salju tersenyum
cerah. Tampaknya, kakek itu sangat gembira setelah mengetahui siapa pemuda tampan
yang menyelamatkan nyawanya.
"Bagus! Kau memang pantas dipuji dan dihormati orang, Pendekar Naga Putih. Kau
memiliki sifat-sifat yang hanya patut dimiliki seorang pendekar besar. Wajahmu, sinar
matamu, bahkan ucapanmu barusan menandakan kau seorang yang berbudi tinggi, dan
tidak terbuai oleh pujian serta sanjungan orang. Aku benar-benar bangga padamu,
Pendekar Naga Putih...," ujar Dewa Tangan Sarju dengan wajah berseri. Pujian orang tua
seperti Dewa Tangan Salju bukanlah pujian kosong, sebab pertolongan yang diberikan
pemuda itu kepadanya. Tapi, memang benar-benar keluar dari dalam hati pendekar
kawakan itu.
"Jangan membuatku malu, Dewa Tangan Salju. Pujian itu terlalu berlebihan.
Sebagai manusia biasa, aku tentu mempunyai banyak kekurangan. Aku takut jika sampai
lengah oleh pujian-pujian yang memabukkan..," tukas Panji justru makin membuat Dewa
Tangan Salju terkekeh bangga.
"Eyang. Salah seorang Penculik-Penculik Misterius telah berhasil lolos dari
tanganku. Di luar ada kawan wanitaku yang terluka kedua matanya. Aku berniat
menitipkannya pada Eyang selama beberapa hari. Karena aku harus menyelidiki
komplotan penculik itu...," ujar Panji ketika melihat Dewa Tangan Salju sudah bersiap
hendak melakukan semadi. Kemudian, pemuda itu menjelaskan bagaimana melakukan
pengobatan pada diri Kenanga.
Dewa Tangan Salju yang mendengar penuturan Pendekar Naga Putih, tentang
Penculik-Penculik Misterius dan cara melakukan pengobatan terhadap Kenanga,
menganggukkan kepala tanda mengerti. Sebab, apa yang dikatakan Panji sangat jelas dan
terperinci. Sehingga mudah dimengerti. Apalagi, oleh seorang pendekar kawakan seperti
dirinya.
Merasa lega setelah Dewa Tangan Salju mengerti akan apa yang harus dikerjakan,
Panji berpamitan pada tokoh tua itu. Dan berjanji akan datang dalam beberapa hari lagi.
"Semoga kau berhasil, Cucuku...," doa Dewa Tangan Salju ketika Panji bergerak
meninggalkannya. Setelah bayangan tubuh pemuda itu lenyap dari pandangan, Dewa
Tangan Salju pun segera bersemadi untuk memulihkan tenaganya. Sebentar saja, kakek
itu sudah tenggelam dalam semadinya yang khusyuk.
"Kakang...," panggil Kenanga ketika mendengar suara langkah kaki mendatangi
pembaringan.
Panji menangkap jemari tangan kekasihnya dan meremas dengan penuh kasih.
Berat sebenarnya bagi Panji untuk meninggalkan dara jelita yang sangat dicintainya itu.
Apalagi, dalam keadaan yang masih memerlukan perhatiannya. Tapi, pemuda itu
menguatkan hatinya. Karena mereka adalah orang-orang gemblengan yang memikul
tanggung jawab berat di bahunya.
"Kau akan pergi sekarang, Kakang...?" tanya Kenanga yang rupanya dapat
merasakan melalui remasan jemari kekasihnya.
"Benar, Adikku...," sahut Panji menahan getaran suaranya agar Kenanga tidak
merasa berat melepaskan kepergiannya.
"Pergilah, Kakang. Doaku bersamamu...," ucap dara jelita itu mengantar kepergian
kekasihnya dengan hari tulus.
Panji mengecup lembut kening dara jelita itu. Kemudian beranjak bangkit dan
melangkah keluar pondok Sebentar kemudian, sosoknya telah lenyap di batik pepohonan
lebat.
***
Berhasilkah Pendekar Naga Putih membongkar komplotan Penculik-Penculik
Misterius? Apa sebenarnya yang diinginkan komplotan Penculik-Penculik Misterius dari
tokoh-tokoh persilatan yang diculiknya? Kalau benar ada tokoh lain yang mendalangi
penculikan itu, siapa pula orangnya? Untuk itu, simaklah kelanjutan Penculik-Penculik
Misterius dalam episode: 'Duel Jago-jago Persilatan'.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar