HANTU BUKIT ANGSA
Oleh: Teguh S.
Cetakan pertama, 1992
Penerbit Sanjaya Agency, Jakarta
Setting oleh: Trias Typesetting
Dilarang mengcopy atau memperbanyak se-
bagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit.
Teguh S.
Serial Pendekar Pulau Neraka
dalam episode:
Hantu Bukit Angsa
SATU
Desa Kayu Agung yang terletak di kaki gu-
nung, terlihat aman dan tentram. Bukan hanya
itu, tetapi masyarakatnya juga hidup dalam kecu-
kupan. Tak heran bila kemiskinan jarang ditemui.
Rata-rata mereka hidup sebagai petani yang memi-
liki lahan luas milik sendiri. Jarang sekali panen
mereka gagal. Di samping itu gotong royong di an-
tara mereka masih terasa erat.
Ki Pranata yang menjadi kepala desa, bukan
main bangga melihat keadaan warganya. Dia sen-
diri memang mendukung sebesar-besarnya bagi
kedamaian dan ketentraman masyarakat di tem-
pat itu, dan tak membiarkan sedikit pun anasir
keburukan menyebar di desanya. Maka tak heran,
jarang terlihat perselisihan di antara penduduk,
tengkulak yang mencoba menjerat petani, atau
pencuri-pencuri yang menggarong isi rumah. Ka-
rena bila hal itu terjadi, bukan hanya Ki Pranata
yang bertindak, tapi seluruh penduduk kampung
langsung bereaksi menentangnya.
Pagi belum lagi terlalu terang. Hawa dingin
masih menyelimuti, namun Desa Kayu Agung te-
lah ramai. Petani-petani yang membawa cangkul
menuju sawah dan ladang, serta perempuan-
perempuan yang beriringan ke pancuran untuk
mencuci merupakan pemandangan sehari-hari. Ki
Pranata berdiri di depan beranda rumah sambil
bercengkerama dengan burung perkututnya yang
berada dalam sangkar.
"Ctak! Ctak!"
"Kurrr...!"
"Ayo, manis. Pagi ini udara sejuk dan suasana
begitu damai. Kenapa malah kau enggan menun-
jukkan suaramu yang merdu?"
Burung perkutut yang sedang digodanya itu
terbang dari tempatnya bertengger ke atas dan ke
bawah. Kemudian menerjang-nerjang sangkar se-
perti menunjukkan kegelisahannya. Ki Pranata
coba mendiamkan sambil bersiul-siul dan menjen-
tikkan jarinya.
"Diamlah, Widuro. Kenapa kau? Apakah kau
lapar? Ah, tak mungkin. Makananmu masih ba-
nyak."
Burung itu kembali bersuara. Tapi bagi Ki Pra-
nata yang terbiasa mendengar perkutut bersuara
indah, tentu saja merasa heran. Suara burung itu
sumbang, tidak nyaring dan lantang seperti biasa.
Seperti mengandung kesedihan. Tapi kesedihan
apa?
Ki Pranata berpikir, mungkin karena perkutut
yang bernama Widuro itu kehilangan pasangannya
tiga hari yang lalu. Widuro termasuk salah seekor
burung kesayangannya yang memiliki suara yang
indah dan bulu halus mengkilap. Umurnya pun
sudah tua, hingga Ki Pranata bermaksud menjadi-
kannya hewan pemacak. Tapi Widuro tak mau
kawin, dia bahkan tak menyukai betinanya. Ki
Pranata telah mencoba lima ekor betina, tapi
hanya yang terakhir saja Widuro mau bermain-
main dan bersiul-siul. Itu pun tak lama karena ia
cepat merasa bosan. Dan ketika betinanya mati,
Widuro tak tampak sedih. Tak mungkin bila tiga
hari kemudian, yaitu pagi ini ia berduka.
"Diamlah, Widuro! Diam!" kata Ki Pranata
kembali sambil mengibas-ngibaskan tangannya ke
dekat sangkar ketika burung itu makin bersikap
liar. "Huh, burung sial! Kenapa kau tiba-tiba men-
jadi begini?"
Ki Pranata baru saja menggerutu ketika ter-
dengar kentongan dari kejauhan. Beberapa saat
didengarkannya bunyi kentongan yang menanda-
kan adanya bahaya yang mengancam kampung
ini. Aneh? Sudah hampir sepuluh tahun lebih ia
menjadi kepala desa, belum pernah terdengar
bunyi kentongan itu sehingga membuatnya tak
cepat tanggap.
"Jarot...!"
Seorang pemuda bertubuh sedang dengan ku-
mis melintang, tergopoh-gopoh menghampiri dari
arah samping. Rambutnya sepanjang leher dengan
ikat kepala lebar berwarna hitam, sama seperti
pakaiannya. Di pinggang terselip golok yang agak
panjang. Orang ini adalah tangan kalian Ki Prana-
ta, selain sebagai kepala keamanan desa.
"Iya, Ki!"
"Coba kau periksa bersama anak buahmu, apa
yang terjadi di sana. Kau dengar kentongan tadi?"
"Dengar, Ki."
"Bahaya apa kira-kira?"
"Ng... kurang tahu juga, Ki..." sahut Jarot
sambil menggaruk-garuk kepalanya.
"Ya, sudahlah. Kau terbiasa tak bekerja penuh
sebagai keamanan, karena kampung kita ini bi-
asanya aman. Nah, sekarang lakukan tugasmu.
Kalau ada maling, tangkap dan bawa ke sini untuk
diadili."
"Siap, Ki."
Jarot segera berlalu mengumpulkan anak
buahnya yang sedang bermalas-malasan di se-
buah ruangan belakang rumah Ki Pranata. Wa-
laupun demikian, mereka langsung sigap begitu
Jarot memberi perintah. Jarot yang klemar-klemer
di hadapan Ki Pranata, kini terlihat galak dan be-
rangasan. Wibawanya sebagai pimpinan keama-
nan kampung terlihat jelas dalam keadaan begitu.
Namun baru saja mereka keluar, tiba-tiba...
"Siap-siap!" perintah Jarot.
Sepasang matanya yang tajam memper-
hatikan keadaan sekeliling rumah junjungannya
itu. Walau belum melihat, telinganya yang telah
terlatih jelas mendengar desir angin dari kelebatan
sebuah bayangan yang menghilang entah ke ma-
na. Yang jelas menuju tempat kediaman junjun-
gannya.
"Ada apa, Kang?" tanya seorang anak buahnya.
"Sssst!"
"Perampok?"
"Bukan. Nampaknya orang ini berilmu tinggi.
Kalaupun mau merampok, dia bukan perampok
picisan. Dari gerakannya saja dapat dibayangkan
kepandaian ilmu meringankan tubuhnya," jelas
Jarot. "Kalian berjaga di samping kiri dan kanan,
sedangkan aku mau melapor pada Ki Pranata."
"Baik, Kang!"
Jarot sebenarnya bukan centeng biasa. Dia
murid seorang tokoh terkenal yang berilmu tinggi.
Keinginan sebenarnya pergi mengembara sambil
mengamalkan ilmu silat serta kepandaiannya bagi
orang banyak. Tapi Ki Pranata meminta untuk be-
kerja padanya. Hal ini tak mungkin bisa ditolak.
Lebih-lebih kedua orang tuanya terus mendorong.
Jarot tak sampai hati untuk tidak mengabulkan
permintaan mereka. Ki Pranata dulu telah banyak
sekali membantu kehidupan mereka yang morat-
marit sampai hidup berkecukupan seperti seka-
rang. Walaupun Ki Pranata lak pernah mengung-
kit-ungkit sedikit pun tentang balas jasa, tapi se-
bagai orang yang berperasaan, tentu saja Jarot ta-
hu membalas budi orang. Dan setelah memper-
timbangkan bahwa selama ini Ki Pranata terkenal
sebagai kepala desa yang cukup adil serta bijak-
sana, ia merasa lak ada salahnya untuk mencoba
lebih dulu.
** *
"Ki Pranata...."
Ki Pranata menoleh. Tangannya masih menjen-
tik-jentik di dekat sangkar sambil bersiul-siul ke-
cil. Perkutut bernama Widuro di dalamnya mulai
diam sambil bertengger. Tapi hewan itu masih ti-
dak peduli pada tuannya.
"Kenapa belum kau periksa tanda bahaya tadi,
Rot?" tanya Ki Pranata langsung.
"Anu, Ki...," sahut Jarot terputus.
"Anu kenapa?" tanya Ki Pranata mengulangi.
"Sepertinya ada orang asing yang berkeliaran
di tempat ini, Ki," sahut Jarot agak ditekan sua-
ranya.
"Maksudmu?"
"Entahlah. Aku masih belum jelas. Tapi untuk
berjaga-jaga dari kemungkinan yang buruk, ba-
gaimana sebaiknya, Ki? Apakah aku saja yang ber-
jaga di sini, sedangkan yang lainnya memeriksa
tanda bahaya itu?"
"Hmmm, ada orang asing...?" Ki Pranata berpi-
kir sejenak. "Ya boleh juga. Suruh saja mereka
memeriksa, dan kau di sini."
"Baik, Ki!" sahut Jarot.
Dia kemudian memanggil seorang anak buah-
nya, tanpa melepaskan perhatian terhadap Ki Pra-
nata.
"Balura, pimpin teman-temanmu untuk meme-
riksa kejadian apa yang menimpa desa ini. Kalau
bisa diatasi, itu lebih baik. Kalau tidak bisa, lapor
pada aku secepatnya. Mengerti?"
"Mengerti, Kang!"
"Nah, cepat kerjakan!"
"Baik, Kang."
Orang yang dipanggil Balura itu berlalu sambil
mengajak beberapa temannya dengan tergopoh-
gopoh. Lari mereka kencang, bukan seperti orang
kebanyakan. Kalau dahulu mereka hanya memiliki
ilmu silat kasar dan pasaran, tapi sejak Jarot yang
menjadi pimpinan, ia tak segan-segan memberikan
pelajaran ilmu silat yang dimilikinya kepada mere-
ka.
Orang-orang itu baru saja berlalu, dan Jarot
berjalan pelan melangkah ke sebelah Ki Pranata
ketika tiba-tiba melesat sebuah bayangan dari
wuwungan rumah. Pemuda berusia sekitar dua
puluh lima tahun itu cepat-cepat bersiaga melang-
kah ke depan Ki Pranata. Dilihatnya seorang laki-
laki bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata
lebar dan rambut pendek berdiri ke atas. Hidung-
nya pesek, dan mengenakan celana pendek tanpa
pakaian hingga terlihat tulang-tulang rusuknya
yang bertonjolan.
"Siapa kau...?" bentak Jarot lantang.
"He he he...! Kaukah yang menjadi pimpinan
keamanan desa ini?"
"Betul. Apa maksudmu mendatangi tempat ini
dengan cara seperti maling, dan siapa kau sebe-
narnya? Kalau punya niat buruk, sebaiknya cepat
berlalu sebelum kuseret seperti anjing!"
Laki-laki bertubuh tinggi kurus dan bermuka
buruk seperti jerangkong itu kembali tertawa ter-
kekeh.
"He he he...! Sungguh besar nyalimu berkata
demikian padaku, Bocah. Tidak tahukah kau se-
dang berhadapan dengan siapa saat ini? Namaku
Warangka Gering dan orang-orang memberi ku ge-
lar Hantu Bukit Angsa. Gurumu sendiri belum
tentu berani selancang itu padaku."
"Hmmm, Hantu Bukit Angsa...? Baru kudengar
namamu sekarang. Nah, Kisanak apa keperluan-
mu datang ke sini?"
"He he he...! Kudengar juragan mu itu berharta
banyak, sedangkan aku miskin. Tolong kau kata-
kan padanya aku ingin minta sedikit saja."
"Lancang sekali kau!" bentak Jarot. "Melihat
caramu datang dengan tidak semestinya menun-
jukkan bahwa kau berniat buruk. Tapi kalau kau
datang dengan cara baik-baik, Ki Pranata tentu
dengan senang hati memberinya."
"Sebentar Jarot..." potong Ki Pranata sambil
berdiri tegak di samping pemuda itu. Ditatapnya
orang asing itu dengan wajah ramah.
"Kisanak, kalau kau lapar, masuklah ke da-
lam. Dengan senang hati aku akan memberimu
makan. Dan bila kau memang betul miskin, aku
tak keberatan memberimu beberapa keping uang
perak."
"Ha ha ha...! Kau tentu Kepala Desa yang der-
mawan. Kalau demikian pasti tak keberatan kalau
aku minta seluruh harta bendamu yang ada di
rumah ini," sahut Warangka Gering sambil berto-
lak pinggang.
Mendengar itu tentu saja Jarot naik pitam, dan
Ki Pranata merasa tak perlu lagi ia beramah ta-
mah dengan orang asing itu.
"Jarot, lebih baik kau usir pengemis tak tahu
diri ini!" perintah Ki Pranata sambil membalikkan
tubuh bermaksud ke dalam.
"Baik, Ki!" sahut Jarot mantap.
Pemuda itu langsung melompat ke dekat orang
asing itu. Wajahnya menunjukkan kegarangan.
"Kisanak, pergilah kau dari sini. Cepat!"
"Ha ha ha...! Aku semakin suka saja melihat
sikapmu, Bocah. Tapi mengusirku tak semudah
apa yang kau bayangkan. Kalau kau bisa menga-
lahkan piaraan ku, boleh kau berbangga diri dan
menepuk dada sambil berkata kau memiliki ke-
pandaian yang tak bisa dianggap rendah."
Setelah berkata begitu, Warangka Gering ber-
suit nyaring. Dalam sekejap saja melesat sebuah
benda berwarna keemasan dari balik rerimbunan
pohon dan langsung menyambar Jarot.
"Wuss!"
"Utfs!"
Jarot terkejut bukan main. Dia berpikir bahwa
itu mungkin adalah sebuah senjata rahasia yang
dilontarkan anak buah Warangka Gering. Namun
setelah dilihat dengan teliti ternyata lima seekor
burung jalak yang memiliki warna bulu kuning
keemasan. Burung jalak itu terus menyambar. Da-
lam satu pukulan tentu ia akan hancur tak ber-
bentuk, pikir Jarot.
"Wut!"
"Bet"
"Hup!"
Kembali Jarot dibuat terkejut. Bukan saja ja-
lak itu mampu menghindari pukulannya, tapi juga
dengan cepat membalas. Ia tak mau menanggung
resiko dengan membiarkan dirinya dipatok. Pada
serangan pertama tadi tercium bau busuk ber-
campur hawa panas dari paruh burung itu. Bisa
jadi hewan itu bukan burung biasa, melainkan bu-
rung yang telah terlatih dan memiliki racun ganas
pada paruhnya.
"He he he...! Cuma segitukah kemampuan-mu?
Menghadapi seekor burung saja sudah kewala-
han," ejek Warangka Gering.
"Setan!" maki Jarot. "Jangan salahkan aku bila
binatang keparat ini mampus di tanganku!"
"Wut!"
"Hiyaaa...!"
"Prek!"
Burung jalak itu memekik kesakitan ketika se-
belah sayapnya terkena hantaman tangan kanan
Jarot. Tapi burung itu masih bisa terbang dan me-
lesat kembali menyerang lawan.
"Mampus kau binatang keparat!" teriak Jarot.
"Yeaaaah...!"
***
"Plak!" "Buk!"
Jarot merasa perutnya mau meledak menerima
tinju menggeledeg yang dilakukan lawan pada saat
ia bersiap mengerahkan tenaganya untuk meng-
hantam burung tadi. Agaknya Warangka Gering
merasakan bahwa Jarot itu bukanlah orang sem-
barangan. Gerakan tubuhnya yang ringan, serta
tenaganya yang kuat sudah pasti akan membuat
binatang peliharaannya mati. Untuk itulah ia me-
rasa perlu turun tangan. Walaupun Jarot menge-
tahui hal itu dan mencoba menangkis, namun la-
wan lebih cepat lagi bergerak.
"Manusia busuk! Kini kau mencari kelemahan
di saat aku tak siaga. Begitukah caramu mengha-
dapi lawan?" maki Jarot sambil menjejakkan ka-
kinya dengan mantap dan mengusap darah yang
menetes di sudut bibirnya.
Ki Warangka Gering yang menyebut dirinya
sebagai Hantu Bukit Angsa itu terkekeh-kekeh
sambil bertolak pinggang. Namun belum lagi ia
berkata apa-apa, tiba-tiba muncul anak buah Ja-
rot di tempat itu. Semuanya memandang heran
pada orang asing berwajah menyeramkan ini. Na-
mun ketika menyaksikan darah yang menetes di
bibir Jarot, mengertilah mereka apa yang telah ter
jadi.
"Apakah perlu kami ringkus orang ini, Kang?"
tanya Balura yang merupakan tangan kanan Jarot
dengan wajah gemas.
"Dia bukan lawanmu, sebaiknya kalian lindun-
gi saja Ki Pranata dari bahaya. Oh ya, apa yang
terjadi di sana?"
"Kebakaran, Kang! Tapi pelakunya tak di-
temukan."
"Sudah kalian atasi?"
"Sudah, Kang. Hanya..." Balura menundukkan
kepalanya dengan wajah lesu.
"Hanya kenapa?"
"Kebakaran itu agaknya cuma pancingan bela-
ka, sebab begitu semua reda, timbul kepanikan
lain. Barang-barang berharga di rumah penduduk
hilang entah kemana..."
"Apa...?" sepasang alis Jarot terangkat tinggi.
Wajahnya terlihat bertambah garang. Dalam
keadaan demikian pandangannya tertuju penuh
kebencian terhadap Warangka Gering yang masih
memandangi mereka sambil tersenyum-senyum
kecil.
"Hantu Bukit Angsa, tentu semua ini per-
buatanmu?" dengus Jarot geram.
"He he he he...! Kalau memang benar, kau mau
apa?"
"Bedebah! Kembalikan semua barang-barang
itu, atau terpaksa aku akan mencincangmu!"
Jarot terlihat sengit. Tiba-tiba saja goloknya te-
lah tergenggam di tangan. Melihat lawan masih
cengar-cengir, amarahnya tak bisa tertahan lagi.
Dengan satu teriakan keras diserangnya orang
bertubuh tinggi kurus itu.
"Sret!"
"Hiyaaat...!"
Goloknya berkelebat ke seluruh tubuh lawan
dengan kecepatan yang sulit diikuti oleh mata bi-
asa. Tapi Hantu Bukit Angsa masih sempat men-
decah menghindar dengan gerakan yang sangat
indah dan ringan sekali.
"Ck ck ck ck... bukan main. Orang sepertimu
lah yang pantas menjadi anak buahku. Ayo, se-
ranglah aku lebih cepat lagi! Cari semua bagian
tubuhku yang terlemah."
"Jangan banyak bicara kau, keparat! Kalau
bukan kau, biarlah aku yang mampus hari ini!"
bentak Jarot berang.
"Hiyaaa...!"
"Ah, kenapa kau begitu nekat? Dan siapa yang
inginkan kematianmu? Aku justru ingin agar kau
mau bekerja sama denganku."
"Huh, jangan harap aku mau bekerjasama
dengan maling busuk sepertimu!"
"Hmmm, begitu? Kita lihat saja nanti..." ter-
dengar dingin suara Warangka Gering.
Tiba-tiba ia berteriak nyaring hingga meng-
getarkan semua benda yang berada di tempat itu.
Beberapa orang anak buah Jarot tumbang dengan
darah mengucur lewat hidung, mata dan telinga.
Sebagian lagi yang memiliki tenaga dalam tinggi
berusaha menutup segala panca indra, namun
demikian lama kelamaan keadaan mereka nyaris
sama dengan teman-temannya yang lain
Ki Pranata sendiri sudah berguling-gulingan
sambil menjerit kesakitan. Balura, satu-satunya
anak buah Jarot yang mampu bertahan bermak-
sud menolong tuannya itu, tapi baru saja ia mele-
paskan konsentrasinya, saat itu pula pengaruh
lawan menghantam dirinya. Pemuda berusia seki-
tar dua puluh tahun lebih itu menjerit keras.
"Bedebah!" maki Jarot sambil menyilangkan
kedua tangannya.
Dia sendiri walau mampu mengatasi serangan
tenaga dalam lawan yang disalurkan lewat penge-
rahan suara itu, tetap saja tak leluasa bergerak
untuk menyerang.
"Hiyaaaa...!"
"Tuk! Tuk!"
Sekali berkelebat, Hantu Bukit Angsa yang
mengetahui bahwa Jarot itu tak akan mampu me-
nangkis dari serangannya, langsung menotok
hingga tubuh Jarot ambruk tanpa daya. Sekali lagi
ia bergerak, maka tubuh Balura telah berada da-
lam kepitannya.
"Ha ha ha...! Aku memerlukan orang-orang ga-
gah seperti kalian untuk mewujudkan cita-citaku!"
Setelah puas tertawa, Warangka Gering itu se-
gera bersuit nyaring, tak berapa lama muncul se-
buah gerobak berukuran besar yang ditarik dua
ekor kuda. Dan saisnya seorang laki-laki tua den-
gan tubuh bungkuk dan memiliki punuk di pung-
gungnya. Rambutnya panjang telah memutih se-
bagian. Ketika wajahnya terangkat, terlihat sebe-
lah matanya buta dan terus mengeluarkan air.
Dan dari balik jubahnya yang lusuh berderet pu-
luhan pisau-pisau kecil di pinggangnya.
"Ki Sapan Oyot, angkut semua barang-barang
yang ada di dalam. Sementara dua orang ini biar
kubawa langsung," perintah Warangka Gering.
"Baik, Gusti..." sahut Ki Sapan Oyot itu dengan
suara patuh.
Setelah berkata demikian, Warangka Gering
langsung berlalu sambil terkekeh-kekeh girang.
Dari angkasa terlihat seberkas sinar berwarna
kuning keemasan berasal dari burung jalaknya
yang mengikutinya dengan setia.
"He he he he...!"
DUA
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian
terbuat dari kulit harimau itu berlari-lari kecil
mengejar seekor monyet kecil yang berada di de-
pannya.
"Eee, kau betul-betul ingin berlomba lari den-
ganku, heh?"
"Nguk! Nguk...!"
"Awas kau kalau dapat ya? Kau mesti menca-
rikan aku buah-buahan yang paling segar!" ancam
pemuda itu sambil menggenjot tubuhnya. Seben-
tar saja terlihat langkah kakinya cepat bukan
main seperti tidak menapak tanah saja layaknya.
"Nguk...!"
"Kena kau!"
Begitu jarak mereka dekat, dengan tiba-tiba
monyet kecil berbulu coklat itu dengan cepat me-
loncat ke atas, kemudian terus meloncat dari satu
dahan ke dahan lainnya.
"Sialan kau, Tiren! Pandai juga kau menghin-
dar ya? Tapi kali ini jangan harap kau bisa lolos
dari kejaranku!"
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau
lebih dikenal dengan sebutan Pendekar Pulau Ne-
raka itu menggenjot tubuhnya ke atas pada se-
buah dahan yang diperkirakan akan dilalui oleh
monyet itu. Tapi monyet bernama Tiren itu ternya-
ta amat cerdik. Mengetahui dirinya dijaga, ia lang-
sung mengalihkan tujuan dengan melompat ke
dahan yang lain. Tapi pada saat itu juga tubuh
Bayu melesat cepat menyambarnya.
Tap
"Kaakh...!"
"Rasakan kau! Kau pikir gerakanmu sudah le-
bih gesit dibanding aku, ya? Nah, mau kemana
sekarang?" ejek Bayu sambil menggenggam erat-
erat ekor Tiren. Monyet kecil itu berteriak-teriak
seolah tak senang dirinya dihina demikian. Ekor-
nya ditarik ke atas sedang kepalanya terletak da-
lam posisi bawah. Lalu dengan seenaknya Bayu
membawanya berlari-larian dari satu dahan ke
dahan yang lain seperti dirinya tadi.
"Ayo, sekarang kau harus ku hukum. Seka-
rang perutku lapar, dan kau harus mencarikan ku
buah pisang dan papaya yang lezat!" perintah
Bayu Hanggara sambil melepaskan kembali Tiren.
Tapi begitu dilepaskan, Tiren cepat berputar
dua kali dan melompat ke dahan yang lebih kecil
sebesar ekornya. Terlihat dahan itu bergoyang-
goyang dalam keadaan genting. Tapi Tiren malah
kembali berputar-putar sambil menepuk kedua
tangannya dengan mulut cengar-cengir seperti
mengejek Bayu.
"Eee, kau pikir aku tak bisa mengejar di dahan
itu ya? Awas kau kalau kena!"
Bayu Hanggara baru saja akan bergerak ketika
pendengarannya yang terlatih baik mendengar je-
ritan seseorang yang tak jauh dari tempatnya itu.
"Ouw, tolong...!"
"Heh...?! Apa itu...?"
Tanpa pikir panjang Bayu langsung menggen-
jot tubuhnya dan melesat cepat ke arah datangnya
sumber suara itu. Tak jauh di belakangnya Tiren
mengikuti lewat cabang-cabang pohon, bergelan-
tungan.
Pada sebuah tempat yang tak jauh dari pinggi-
ran jalan terlihat seorang gadis dalam dekapan
seorang laki-laki kasar bertubuh besar. Kedua
tangan dan kakinya dipegangi oleh dua orang te-
mannya. Sementara tujuh orang lagi teman mere-
ka berdiri terkekeh-kekeh memperhatikan. Tak
jauh dari situ terlihat sebuah pedati yang ditarik
seekor kerbau, dan seorang laki-laki tua dengan
wajah dan tubuh berlumuran darah berteriak-
teriak agar orang-orang itu menghentikan perbua-
tan biadabnya terhadap gadis itu. Seorang dari
mereka nampak menindih leher si orang tua se-
perti mengancam, kalau saja dia berani bergerak
maka kaki itu siap mematahkan lehernya.
"Manusia-manusia keparat, hentikan perbua-
tan kalian!" bentak Bayu dengan wajah beringas
menahan amarah.
Bagaikan kilat, Pendekar Pulau Neraka itu me-
lompat, dan tangan kanannya menghantam ke de-
pan. Laki-laki yang menindihkan kakinya ke leher
orang tua itu terpekik kesakitan ketika tubuhnya
melayang sejauh tiga tombak.
"Akh...!"
Bukan main kagetnya si Brewok yang sedang
menindih tubuh gadis itu. Sepasang matanya
nampak beringas, dan pelipisnya mengembung.
Ingin rasanya saat itu juga dirancahnya pemuda
berambut gondrong yang mengacau keasyikannya
tadi.
"Siapa kau, bocah? Apakah kau sudah bosan
hidup, mengganggu kesenangan Walukarnawa, si
Dedemit Rimba Iblis?" bentak si Brewok garang.
"Hm, kaukah yang punya gelar dahsyat itu?
Pernah kudengar namamu..." sahut Bayu Hangga-
ra dingin.
Mendengar itu si Brewok bernama Walukar-
nawa terbahak-bahak kegirangan. Dalam pikiran-
nya tentulah pemuda itu mulai ciut nyalinya men-
dengar nama besar Dedemit Rimba Iblis.
"Ha ha ha...! Bagus, kau telah mengenal nama
besarku. Nah, sekarang aku sedang enggan mem-
bunuh orang. Kuampuni jiwamu itu. Tapi cepat
pergi dari hadapanku!"
"Tentu saja aku akan pergi, tapi bersama gadis
itu dan orang tua yang kalian aniaya, serta pedati
dan isinya," sahut Bayu kembali dengan suara le-
bih kalem.
Sepasang mata Walukarnawa yang semakin
bertambah seram ketika mendengar kata-kata
Bayu.
"Wueeeh, rupanya kau bosan hidup, bocah!
Mampuslah kau!" bentaknya sambil memberi pe-
rintah pada anak buahnya.
Tanpa menunggu perintah dua kali, tiga orang
anak buahnya langsung mencabut golok besar di
punggung mereka dan menyerang Pendekar Pulau
Neraka itu dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
"Uts! Yeaaah...!"
"Plak!"
"Buk!"
Ketiga orang menjerit kesakitan dengan tubuh
terpental. Dari mulut mereka keluar darah segar,
sedangkan senjata mereka terpental entah kema-
na. Walukarnawa terkejut bukan main. Dalam se-
gebrakan saja ketiga anak buahnya dibuat tak
berdaya.
"Siapa kau sebenarnya?"
"Hmm, namaku tak perlu kau tahu, tapi yang
perlu kau tahu adalah apa yang kuinginkan. Cepat
lakukan atau aku bertindak lebih keras pada ka-
lian?"
"Keparat!" geram Walukarnawa sambil mem-
buang ludah. "Kau pikir sedang berhadapan den-
gan siapa saat ini? Huh, segala bocah bau kencur
mau berlagak di hadapanku. Serang!"
Sisa-sisa anak buahnya langsung menerjang
ke arah Bayu Hanggara dengan wajah garang.
Sebenarnya sudah sejak tadi mereka ingin
menghajar Bayu, tapi tak seorang pun berani ber-
tindak kalau belum diberi perintah oleh ketuanya.
Walukarnawa sendiri angin-anginan dan sukar di-
tebak niatnya. Terkadang ia berbaikan dengan
musuh, dan tak segan-segan menghukum bahkan
membunuh anak buahnya sendiri. Begitu pun se-
baliknya.
"Hiyaaa...!"
***
Bayu Hanggara geram bukan main. Dan nam-
paknya ia tak mau berlama-lama bermain dengan
mereka. Secepatnya ia mengibaskan tangan kanan
maka saat itu juga melesat secercah sinar kepera-
kan menghantam lawan sambil berputar-putar.
"Wuss!"
"Aaaa...!"
Tiga orang ambruk dengan dada bolong di-
hantam Cakra Maut yang dilepaskan Bayu. Se-
mentara detik berikutnya saat benda itu kembali
berputar, tiga orang lagi menjerit nyaring sambil
menggelepar-gelepar kesakitan. Dada mereka bo-
long seperti teman-temannya yang pertama dan
darah mengucur deras dari lubang itu.
Walukarnawa kaget bukan kepalang begitu
melihat benda yang dilepaskan Bayu.
"Hah, Cakra Maut? Apakah kau Pendekar Pu-
lau Neraka?!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangannya ke
atas, dan Cakra Maut yang sedang berputar-putar
mengincar lawan berikutnya kembali pulang dan
menempel erat di tangan kanannya. Bayu men-
dengus sinis.
"Benar apa yang kau katakan tadi. Nah, pergi-
lah kalian cepat dan jangan paksa aku untuk me-
numpahkan darah lagi!"
"Ha ha ha...! Pendekar Pulau Neraka, sudah
lama kudengar nama besarmu. Kalau kau kira
aku takut, kau salah besar. Justru aku ingin seka-
li menjajal ilmu silatmu yang menurut khabar bu-
rung tiada terkira hebatnya," sahut Walakarnawa
sambil memberi isyarat pada salah seorang anak
buahnya. Dua buah golok besar dilemparkan ke
arahnya. Laki-laki brewok itu langsung membuang
warangkanya sehingga terlihat dua buah golok be-
sar yang tajam berkilat-kilat.
"Apa maksudmu, Walukarnawa?"
"Tidak tahukah kau? Aku menantangmu Pen-
dekar Pulau Neraka. Kalau betul kehebatanmu se-
perti yang dikhabarkan banyak orang, aku rela
berlalu dari tempat ini tanpa kau minta sekali-
pun."
"Hmm, jangan memaksaku untuk bertindak
keras, sobat...."
Namun sebagai jawabannya tubuh besar itu
melompat ringan sambil menghantamkan sepa-
sang golok besarnya ke arah Bayu Hanggara.
Pemuda itu masih tak bergeming. Tiren yang
sejak tadi memperhatikan, menjerit keras sambil
menutup kedua matanya dengan tangan. Semua
orang yang melihat kejadian itu pun sama terte-
gun. Benarkah pemuda itu Pendekar Pulau Neraka
yang terkenal kosen? Tapi kenapa saat ini begitu
pasrah? Ah, dia pasti terbunuh di tangan Walu-
karnawa kalau tak berusaha menghindar, pikir si
orang tua pemilik pedati yang mendekap putrinya
erat-erat.
"Hiyaaa...!"
"Hup!"
"Bedebah! Terima seranganku berikut ini!"
bentak Walukarnawa.
Sejengkal lagi kedua golok lawan akan meren-
cah tubuhnya menjadi beberapa potong, Bayu me-
lesat ke belakang. Tubuhnya ringan seperti kapas
saja layaknya. Begitu kakinya menjejak tanah,
saat itu pula tubuhnya melesat menerkam lawan.
"Hiyaaa...!"
"Sret!"
"Bet!"
Sepasang golok besar di tangan Walukarnawa
bukan main hebatnya. Berkelebat dengan ringan
seperti menyapu seluruh permukaan kulit Bayu.
Tapi Bayu dengan mudahnya menghindar. Namun
untuk serangan berikutnya terasa lebih cepat dan
kuat. Pendekar Pulau Neraka mulai merasakan te-
kanan lawan. Bisa dipastikan kalau ia terus ber-
tahan maka dalam tiga jurus di muka senjata la-
wan akan melukainya. Dengan geram ia berteriak
nyaring sambil melompat ke belakang.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka mengibaskan tangan
kanannya ke atas, dan saat itu juga melesat Cakra
Maut ke arah lawan. Sedangkan dia sendiri begitu
menjejakkan kaki, kembali berkelebat menyerang
Walukarnawa.
"Trak!"
"Bukh!"
"Akh!"
Walukarnawa menjerit tertahan ketika da-
danya kena hajar pukulan tangan kiri Bayu. se-
dangkan goloknya patah dua terkena sambaran
Cakra Maut. Belum lagi sempat menjejakkan kaki
ke tanah, Cakra Maut itu kembali berputar meng-
hantamnya tanpa bisa ditahan. Dan....
"Bress!"
"Aaaa...!"
Walukarnawa alias Dedemit Rimba Iblis menje-
rit keras ketika Cakra Maut itu menyambar ping-
gangnya. Darah mengucur deras dari luka yang
terkuak lebar. Tubuhnya sempoyongan untuk be-
berapa saat kemudian dengan mata mendelik le-
bar sebelum akhirnya ambruk ke tanah.
Melihat keadaan itu sisa-sisa anak buahnya
lari ketakutan. Bayu membiarkan saja dan me-
langkah pelan ke arah orangtua beserta anak ga-
disnya yang tadi nyaris kehilangan kehormatan-
nya. Si orang tua memberi hormat berkali-kali pa-
da Bayu.
"Ah, terima kasih, Den. Terima kasih. Kalau ti-
dak ada Aden entah bagaimana nasib kami."
"Sudahlah, Pak. Menjadi kewajiban manusia
untuk saling tolong menolong dengan sesamanya.
Kalau boleh tahu, siapakah bapak ini sebenarnya
dan mau kemana tujuannya?" tanya Bayu ramah.
"Namaku Indrapura, dan ini putri ku Sekar
Harum. Kami bermaksud mengungsi karena di
kampung kami terjadi suatu musibah besar."
"Musibah? Musibah apa, Pak?"
"Orang-orang Hantu Bukit Angsa merampok
segala harta benda penduduk dan tak segan-segan
membunuh mereka yang menghalangi. Mereka ju-
ga menculik anak-anak serta pemuda-pemuda ter-
tentu."
"Hantu Bukit Angsa? Siapa mereka?" tanya
Bayu heran. Selama ini nama itu baru didengar-
nya, dan sepak terjang mereka belum banyak di-
ketahuinya.
"Entahlah. Tak seorang pun yang mengetahui
siapa mereka sebenarnya. Tapi mereka kejam dan
amat buas, bahkan tak berperikemanusiaan sama
sekali."
Pendekar Pulau Neraka menganggukkan kepa-
lanya berkali-kali sambil bergumam pelan.
"Hem, Hantu Bukit Angsa...?"
"Kalau tak keberatan, bolehkan kami me-
ngetahui siapa sebenarnya Kisanak ini? Apakah
kau yang dikenal Pendekar masyhur yang dika-
gumi di rimba persilatan bergelar Pendekar Pulau
Neraka?"
"Begitulah, orang-orang memanggilku, Pak.
Namaku Bayu Hanggara. Nah, karena tak ada per-
soalan lagi aku mohon pamit dulu," sahut Bayu.
Lalu berlalu dengan cepat setelah mengajak Tiren,
monyet kecil sahabatnya itu.
Sepeninggalnya Bayu, si orang tua itu melan-
jutkan perjalanan bersama dengan anak gadisnya.
"Ayah, apakah kita akan bertemu lagi dengan
pemuda itu?" tanya putrinya.
Orang tua itu melirik, kemudian tersenyum
kecil.
"Pendekar seperti dia sulit untuk menetap di
suatu tempat, Nak. Tapi siapa tahu suatu saat kita
akan bertemu lagi dengannya. Kenapa kau tanya-
kan hal itu? Ayah lihat tadi kau cuma diam dan
menundukkan kepala."
"Ah, tidak apa-apa...."
"Kau suka padanya...?"
"Ayah...."
Orang tua itu terkekeh-kekeh melihat wajah
putrinya bersemu merah sambil memalingkan
muka.
Tak berapa lama mereka berlalu, beberapa so-
sok bayangan tiba di tempat itu. Wajah mereka
terlihat kaku dan pandangan matanya kosong ke
depan. Salah seorang yang berusia sekitar dua pu-
luh lima tahun dengan pakaian hitam dan kumis
melintang memeriksa salah seorang yang tak lain
dari Walukarnawa.
"Detak jantungnya masih terasa, cepat bawa
dia. Junjungan kita pasti suka. Dia memenuhi
syarat untuk menjadi pengikutnya."
"Baik!"
Orang-orang itu kemudian membawa tubuh
Walukarnawa, dan langsung melesat cepat dari
tempat itu. Dari gerakan mereka yang ringan da-
pat dipastikan bahwa orang-orang itu memiliki ke-
pandaian yang tinggi.
*
* *
TIGA
Siang ini terasa panas sekali. Matahari seolah
bersinar garang membakar isi bumi. Bayu Hang-
gara berkali-kali mendesah kesal sambil menyeka
keringat. Monyet kecil, Tiren yang bertengger di
bahunya berteriak-teriak kecil sambil sesekali ber-
pindah tempat dari bahu yang kiri ke bahu yang
kanan.
"Tenanglah, Tiren. Aku tahu kau haus. Se-
bentar lagi kita akan tiba di sebuah desa. Lalu kita
akan minum sepuas-puasnya."
"Nguk! Nguk!"
"Ya. ya. Nah, kau lihat di ujung sana? Ayo ber-
siap, kita akan menuju ke sana secepatnya," kata
Bayu lagi sambil berlari cepat.
Tak berapa lama kemudian mereka tiba di se-
buah desa yang cukup ramai. Bayu melirik ke kiri
kanan mencari sebuah kedai nasi. Setelah yang
dicari ditemukannya, Bayu langsung memesan
beberapa bumbung tuak. Diberikannya dua bum-
bung tuak kepada sahabatnya, Tiren dan langsung
menenggaknya dengan rakus.
"Hi hi hi hi...! Mudah-mudahan kau tidak ma-
buk, Tiren. Kalau sampai kau mabuk akan lucu di
lihat."
"Nguk! Nguk!" Tiren menganggukkan kepala
kemudian menyeringai lebar. Kedua tangannya
menepuk-nepuk perutnya sendiri.
"Oh, kau lapar? Ya, sebentar lagi pesanan kita
akan diantar," sahut Bayu mengerti isyarat yang
diberikan Tiren.
Sambil menunggu pesanannya, Bayu melem-
par pandang ke seluruh kedai. Hari ini terlihat ba-
nyak sekali pengunjung. Mereka terdiri dari berba-
gai kalangan. Diantaranya terdapat beberapa
orang yang dilihat dari potongannya pastilah
orang-orang persilatan.
Lima orang yang berada di dekatnya nampak
bercerita dengan mimik yang serius sekali.
"Betul Ming! Orang-orang Hantu Bukit Angsa
itu kini merajalela di mana-mana. Baru kemarin
mereka menghancurkan Perguruan Kipas Sakti.
Sebelumnya Perguruan Bulan Sabit dibantai oleh
mereka tanpa perikemanusiaan," kata seorang
yang bertubuh kurus.
"Memangnya mereka dari mana?"
"Entahlah. Tapi ada yang mengatakan mereka
berasal dari sebuah pulau di tengah telaga."
"Telaga apa?"
"Telaga Sorangan. Letaknya di sebelah selatan
Gunung Kanjengan.
Teman-temannya mengangguk-anggukkan ke-
pala dengan wajah takjub bercampur ngeri.
"Khabarnya banyak tokoh-tokoh persilatan
yang bergabung dengan mereka, ya?" tanya salah
seorang temannya.
"Hah, apa betul?" tanya temannya yang seo-
rang lagi.
"Betul!" sahut orang yang tadi mulai bercerita.
"Aku melihat sendiri. Bukan hanya tokoh-
tokoh golongan hitam, tapi juga tokoh-tokoh go-
longan putih. Diantara mereka juga terlihat anak-
anak tanggung."
"Wah...! Untuk apa anak-anak itu ikut? Mere-
ka pasti mati sia-sia."
"Jangan salah sangka, Gor! Anak-anak itu ge-
rakannya gesit dan tangannya kuat. Aku juga tak
tahu kenapa. Mungkin mereka telah dilatih den-
gan keras sebelumnya."
"Ah, rasanya tak masuk diakal! Mana mungkin
bocah-bocah tanggung itu mampu menewaskan
orang dewasa yang memiliki ilmu silat?!" bantah
temannya.
"Bisa saja. Wong kalau mereka itu diguna-
gunai, hayo?!"
"Iya, ya..." temannya tadi itu hanya meng-
angguk-anggukkan kepala.
Sementara itu secara diam-diam Bayu me-
nguping pembicaraan mereka dan bertanya-tanya
dalam hati. Siapa sebenarnya Hantu Bukit Angsa
itu, dan apa maksud dari semua tindakannya itu?
Dalam beberapa waktu saja namanya mulai meng-
gegerkan rimba persilatan. Banyak sudah tokoh-
tokoh persilatan yang tewas, dan banyak pula di-
antara mereka yang hilang tanpa bekas. Menurut
apa yang didengarnya pula, selain membunuh
anak buah Hantu Bukit Angsa pun merampok
harta benda penduduk yang paling berharga.
Tengah Bayu Hanggara termenung memikirkan
orang yang sering menjadi pembicaraan semua ka
langan belakangan ini, tiba-tiba terdengar suara
hiruk-pikuk dari ujung desa.
"Kebakaran! Kebakaran...!"
"Hah, kebakaran?!" Bayu segera berdiri kemu-
dian cepat berlalu setelah membayar apa yang di-
makannya pada pemilik kedai itu.
***
Apa yang dilihat Bayu itu memang tak salah.
Dari kejauhan terlihat asap hitam membumbung
tinggi, dan nyala api berkobar di tiga rumah. Tapi
bukan hanya itu saja yang terlihat oleh Bayu. Be-
berapa orang yang berpakaian hitam-hitam nam-
pak sedang membantai beberapa orang penduduk
yang berusaha mempertahankan diri. Beberapa
buah gerobak yang ditarik kuda berjalan pelan di
belakang mereka. Sebagian dari orang-orang yang
berpakaian serba hitam itu keluar masuk rumah
penduduk sambil membawa barang-barang ber-
harga mereka.
"Ada apa ini?" tanya Bayu begitu ia mendekat
dan mencolek salah seorang dari mereka yang
berpakaian hitam-hitam itu.
"Minggir kau bocah!"
"Uts, sialan! Ditanya baik-baik malah seenak-
nya mau main bunuh. Terimalah ini!"
Pendekar Pulau Neraka bukan main terkejut
ketika orang itu langsung membabatkan golok.
Sambil memaki Bayu berkelit dan balas menen-
dang.
"Bet!"
Sapuan kaki kanan itu berhasil dengan mudah
dielakkan lawan, dengan menundukkan kepala
langsung balas menyerang menyabetkan goloknya.
Namun pada saat itu tubuh Bayu telah berputar
dan kaki kirinya tak mampu dielakkan lawan.
"Begkh!"
"Ughk...!"
Orang yang berpakaian serba hitam itu menge-
luh pelan ketika tendangan kaki kiri Bayu meng-
hajar telak perutnya. Tubuhnya terangkat seten-
gah tombak, namun ia jatuh dengan kedua tangan
menyentuh tanah dan bersalto dengan golok tetap
berada di tangan. Tatapan matanya buas manaka-
la ia menggeram garang.
"Mampus kau!"
"Hiyaaa...!"
Pendekar Pulau Neraka mulai gemas hatinya.
Tubuhnya berkelebat cepat mengimbangi gerakan
lawan. Kemudian tiba-tiba terdengar jerit kesaki-
tan yang disusul dengan terjerembabnya tubuh
lawan sejauh dua tombak. Dari mulutnya menge-
luarkan darah segar. Nafasnya terlihat megap-
megap, dan golok di tangannya terpental entah
kemana.
"Jangan salahkan aku kalau aku bertindak ke-
ras padamu. Siapa kau, dan apa maksud kalian
merampok harta benda penduduk?!" bentak Bayu
dengan wajah marah.
"Hiyaaa...!"
"Uts, sialan!"
"Plak!"
"Buk!"
Bukannya jawaban yang diterima Bayu me-
lainkan serangan ganas dari dua orang teman si
baju hitam itu dengan golok terhunus. Namun
dengan cepat ia memutar tubuh sambil berkelit
dan menangkis. Tangan kirinya menghantam per-
gelangan tangan dan membuat golok di tangan la-
wan terpental. Sementara kaki kirinya menendang
ke arah lambung lawan yang satu lagi.
"Akh!"
Keduanya menjerit tertahan. Hal itu membuat
perhatian teman-temannya yang lain tertuju pada
Bayu. Salah satunya adalah seorang yang bertu-
buh gemuk pendek dengan dahi licin memegang
sebatang toya. Sepasang matanya menyipit dan
wajahnya terlihat sinis saat ia melangkah pelan ke
arah Bayu Hanggara. Melihat itu yang lain nam-
pak tak berani bertindak. Agaknya orang inilah
pemimpin dari rombongan itu.
"Siapa kau?" bentaknya.
"Aku cuma seorang pengembara yang ke-
betulan lewat dan tak suka melihat kelakuan ka-
lian yang buruk. Siapa pun kalian, pergilah dari
sini dan tinggalkan barang-barang berharga itu."
"Huh, agaknya kau tak mengenal Hantu Bukit
Angsa, bocah! Aku adalah Buncak Seguntang, sa-
lah seorang anak buahnya yang paling ditakuti.
Menyingkirlah kau sebelum kupecahkan batok ke-
palamu!"
"Hmm, Buncak Seguntang... namamu cuma di-
takuti oleh tikus-tikus got yang kelaparan, tapi
jangan harap aku akan menggigil ketakutan men-
dengar namamu. Satu-satunya yang membuatku
menggigil adalah kepergian kalian. Itu pun karena
senang, bukan ketakutan," balas Bayu meng-ejek.
"Kurang ajar! Kau perlu diberi pelajaran, bo-
cah!"
"Hiyaaa...!"
"Haeet...!"
Toya di tangan Buncak Seguntang berputar
kencang menimbulkan desir angin kencang hingga
debu-debu di sekitar tempat itu beterbangan hing-
ga membuat tubuhnya sulit dilihat. Namun bukan
cuma itu, sebab ketika ia mulai berkelebat, den-
gan mata biasa pun sulit untuk melihatnya. Agak
nya Buncak Seguntang tak mau menganggap re-
meh pada pemuda itu hingga langsung mengerah-
kan segenap kemampuannya.
Pendekar Pulau Neraka sendiri tentu saja tak
mau tinggal diam. Melihat lawan ingin segera
menghabisi nyawanya secepat mungkin ia lang-
sung bergerak cepat menyambut serangan lawan.
Pertarungan antara keduanya tak dapat dihindari
lagi. Berlangsung cepat sekali hingga untuk mere-
ka yang matanya tak terlatih, akan sulit mengikuti
apalagi menentukan siapa yang keluar sebagai
pemenang.
***
Penduduk kampung yang melihat kehadiran
seorang pemuda tampan berwajah keras tiba-tiba
merasa seperti melihat kehadiran dewa penolong.
Mereka merasa berterima kasih sekali. Beramai-
ramai mereka menonton dengan dada penuh ha-
rap bercampur cemas. Kalau saja pemuda itu tak
berhasil membereskan orang-orang ini, nasib me-
reka tentu buruk sekali. Sudah kehilangan harta,
bisa jadi kehilangan nyawa pula. Tak heran bila
pada saat itu sebagian dari penduduk desa meng-
gunakan kesempatan ini untuk mengungsi sambil
membawa barang-barang secukupnya. Namun
mereka yang yakin bahwa pemuda itu dapat men-
gatasi gerombolan ini berharap penuh sambil terus
berdo'a di dalam hati.
"Duh, Gusti. Mudah-mudahan betul janjimu
yang akan menurunkan malaikat penyelamat bagi
kaum yang tertindas," gumam seorang Bapak tua
sambil menyaksikan pertarungan itu dengan wa-
jah takjub bercampur was-was. Orang tua ini tak
memiliki harta banyak, melainkan sebidang tanah
tempatnya menetap dan bercocok tanam. Dari si-
tulah ia hidup bersama istri dan dua orang putra-
putrinya yang sedang beranjak dewasa.
"Kang, kira-kira pemuda itu bisa menang apa
ndak?" tanya anak perempuan yang berkulit sawo
matang dan berwajah manis pada abangnya.
"Mana ku tahu, Lastri. Berdo'a saja semoga dia
menang."
"Tapi ilmu silatnya hebat lho, Kang!"
"Dari mana kamu tahu?"
"Ya, tahu saja! Biasanya orang yang bertam-
pang begitu pasti memiliki ilmu tinggi."
"Tampang bagaimana?"
"Tampan, gitu lho!" sahut adiknya sambil me-
malingkan wajah gemas melihat ketololan abang-
nya.
"Wueeeh, kamu ini yang ndak-ndak saja. Tam-
pang bukan ukuran seseorang itu berilmu tinggi
atau tidak. Itu sih karena kamu naksir dia saja.
Hayo, benarkan?!"
"Ah, ndak kok...!"
"Ah, kamu bohong! Kalau aku melihat sendiri
kehebatannya waktu merobohkan ketiga orang
anak buahnya dengan mudah. Wueh, gerakannya
cepat seperti setan. Orang itu dengan seenaknya
dia jatuhkan."
"Masa, Kang?"
"Eeeh, betul."
Gadis bernama Sulastri itu semakin takjub sa-
ja mendengar cerita abangnya. Ketika tadi timbul
kekacauan, ia memang tak sempat memperhati-
kan kehadiran pemuda itu sebab membantu
ibunya membenahi barang-barang mereka yang
tersisa. Barulah ketika terjadi pertarungan dan
orang-orang yang merampas harta benda mereka
mengerubungi pemimpinnya, ia sempat memper
hatikan.
Sementara itu pertarungan telah berjalan lebih
dari tujuh jurus. Bayu Hanggara mulai bosan me-
ladeni lawan yang semakin penasaran saja karena
toyanya sedikit pun belum mampu menyentuh tu-
buh Bayu sejak awal pertarungan.
"Pengecut! Apakah bisa mu hanya menghindar
saja?! Ayo, balas seranganku!" teriak Buncak Se-
guntang dengan amarah yang meluap-luap.
"Huh, tak usah kau suruh pun aku memang
sudah muak melihat tampangmu!" balas Bayu.
Dengan satu loncatan tinggi Bayu berteriak
nyaring sambil mengibaskan tangan kanannya ke
atas. Saat itu pula mendesing Cakra Maut yang
mengeluarkan sinar keperakan ke arah lawan.
bertepatan dengan itu tubuh Bayu Hanggara me-
lesat cepat mengirim serangan yang dibarengi te-
naga dalam kuat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Buk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Ketika Buncak Seguntang mencoba menangkis
Cakra Maut yang melesat dari tangan Bayu, ia
mencoba menangkis dengan toyanya. Tapi benda
itu patah menjadi dua dihantam Cakra Maut. Wa-
lau demikian beruntung ia dapat berkelit dari
sambaran selanjutnya. Namun saat itulah jotosan
tangan kanan Bayu Hanggara menghantam dada,
dan disusul dengan tusukan Cakra Maut yang
kembali berbalik menyerangnya.
Jeritan panjang terdengar ketika tubuh ge-
muk itu sempoyongan sambil mendekap dadanya.
Beberapa saat kemudian ambruk dan menggele-
par-gelepar untuk kemudian diam tak bergerak
dengan nyawa melayang.
Seperti tidak mengalami keterkejutan melihat
pemimpinnya tewas, saat itu juga seluruh orang-
orang yang memakai baju serba hitam langsung
mengurung dan menyerang pemuda itu sama ga-
rangnya dengan pemimpinnya tadi.
"Hiyaaa...!"
"Sialan! Kalau begini caranya aku tak punya
pilihan lain. Mereka nampaknya nekad dan tak
takut mati!" maki Bayu dengan wajah kesal. Tan-
gan kanannya kembali mengibas, dan Cakra Maut
yang tadi telah mengambil korban kini kembali
melesat sambil berputar-putar mencari mangsa.
"Trak!"
"Tras!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jerit kesakitan yang disusul
ambruknya dua orang ketika Cakra Maut itu me-
nembus jantung mereka. Beberapa orang berusa-
ha menangkis, cuma tersentak kaget melihat sen-
jata mereka patah dua dihantam senjata lawan.
Dalam keadaan demikian Bayu beraksi menghan-
tam mereka dengan kecepatan tinggi.
"Buk! Buk!"
"Ughk!"
"Gusraaaak!"
Beberapa orang kembali terkejut sambil me-
megangi perutnya yang terasa mau pecah terkena
tendangan dan pukulan Bayu. Dari mulut mereka
memuncratkan darah segar. Sambil menahan nye-
ri dan tubuh bergetar, orang-orang itu berusaha
bangkit dan kembali menyerang.
"Hiyaaa...!"
Bayu Hanggara mengibaskan tangan kanannya
ke atas, dan Cakra Maut yang akan melesat ke
arahnya kembali berbalik menyerang lawan. Saat
itu pula tubuhnya melesat memapaki serangan li-
ma orang lawan yang meluruk ke arahnya.
"Cras!"
"Crab!"
"Beghk!"
"Aaaa...!"
Kembali terdengar jeritan panjang yang memi-
lukan hati disusul ambruknya beberapa sosok tu-
buh. Tiga orang disambar Cakra Maut pada dada
sebelah kirinya, sementara lima orang lainnya di-
hantam pukulan serta tendangan Pendekar Pulau
Neraka yang menggeledeg.
Kali ini agaknya Bayu betul-betul naik pitam.
Begitu kedua kakinya menjejak tanah, dia tak me-
nunggu lawan beraksi, namun langsung menye-
rang kembali.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Crasss!"
"Aaaa...!"
Sisa gerombolan itu kembali berteriak nya-ring
ketika Cakra Maut dan pukulan Bayu melesat.
Nyawa mereka putus saat itu juga. Dua orang
yang terluka parah mencoba melarikan diri. Na-
mun dengan gemas Bayu mengibaskan tangan
kanan, dan Cakra Maut kembali mengambil kor-
ban. Namun ketika benda itu akan melesat seo-
rang lagi, terlintas sesuatu di benak Bayu. Jika
menumpas ular harus kepalanya lebih dulu, baru
yang lainnya lumpuh. Yang ditumpasnya saat ini
cuma anak buahnya saja. Kalau saja mereka di-
bunuhnya tanpa sisa, lalu siapa yang akan men-
gatakan semua ini pada ketua mereka yaitu si
Hantu Bukit Angsa?
Berpikir demikian Bayu Hanggara buru-buru
mengibaskan tangan kanannya. Cakra Maut yang
saat itu siap menembus lawan seketika berbalik
pada tuannya dan melekat erat di pergelangan
tangan kanan Pendekar Pulau Neraka. Pemuda itu
melirik sekilas pada mayat-mayat yang bergelim-
pangan itu, kemudian melangkah pelan meng-
hampiri Tiren, sahabat kecilnya.
"Nguk! Nguk!"
Tiren langsung meloncat ke dalam pangkuan-
nya sambil menundukkan kepala dengan wajah
sayu.
"Tenanglah Tiren, aku tak apa-apa. Jangan
khawatir, aku bisa menjaga diriku sendiri..."
'Nguuuuk...!"
Bayu terkekeh ketika melihat wajah sahabat-
nya itu berubah riang dan melompat ke pundak-
nya, namun baru saja mereka hendak beranjak
dari tempat itu, beberapa orang penduduk menda-
tangi sambil menjura hormat.
"Kisanak, anda telah menolong kami semua.
Bagaimana caranya kami berterima kasih?" tanya
seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun lebih.
Pakaiannya bagus terbuat dari sutera halus. Tam-
pangnya pun klimis sekali seperti bangsawan saja
layaknya.
Sesungguhnya dia memang orang paling kaya
di desa ini. Kalau saja pemuda di hadapannya itu
tak cepat turun tangan, tentu dalam sekejap hi-
dupnya akan berubah menjadi gembel yang tak
berguna. Atau lebih malang lagi, nasibnya tak
akan tertolong menjadi korban kebrutalan anak
buah Hantu Bukit Angsa.
"Sudahlah, lupakan hal itu..."
"Eeee, tapi aku tak terbiasa melupakan jasa
orang begitu saja, Kisanak. Setidaknya, katakan-
lah siapa namamu?"
"Namaku Bayu Hanggara..."
Beberapa orang yang berada di situ tersentak
kaget mendengar pemuda itu menyebutkan na-
manya. Salah seorang malah bergumam dengan
nada kagum.
"Oh, dialah si Pendekar Pulau Neraka yang
termasyhur itu!"
***
Yang lainnya pun bersikap sama dengan orang
itu. Takjub bercampur senang, tidak menyangka
bahwa mereka bisa bertemu dengan Pendekar Pu-
lau Neraka yang namanya belakangan ini mengge-
tarkan rimba persilatan dengan sepak terjangnya
yang tak mengenal ampun.
Namun bagi si Hartawan yang memang jarang
berkecimpung dan tak suka mengurusi orang-
orang persilatan, malah terkekeh kecil sambil me-
rangkul pundak Bayu dengan sikap yang sok
akrab.
"Ah, namamu Bayu Hanggara? Nama yang ba-
gus. Nah, Bayu kau telah menolong kami semua,
aku pun akan membalas jasamu. Kalau kau tak
keberatan kau boleh bekerja padaku sebagai kepa-
la keamanan di rumahku. Bagaimana?"
Bayu tersenyum kecil.
"Terimakasih. Maaf aku tak tertarik...."
"Ayolah.... Bagaimana kalau kuberi kau gaji
besar? Daripada berkeliaran tak menentu?"
"Maaf, aku tak tertarik dengan tawaran anda,
Kisanak..." Bayu menepis tangan orang itu pelan
sambil melangkah bermaksud meninggalkan tem-
pat itu. Namun si Hartawan nampaknya belum
putus asa.
"Bayu, salah seorang dari mereka kau biarkan
melarikan diri, tentu nanti atau besok mereka
akan kembali lagi ke sini dengan jumlah yang ba-
nyak. Saat itu hancurlah kampung ini tanpa sisa.
Kalau kau sudi bekerja padaku, setidaknya kau
bisa menyelamatkannya. Bukankah tugas seorang
Pendekar adalah membantu yang lemah?" ta-
nyanya sambil membarengi langkah Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu hanya diam saja
dan terus melangkah.
"Atau bagaimana...?" tiba-tiba wajahnya beru-
bah girang. "Aku memiliki seorang putri. Semua
orang di desa ini memuji kecantikannya. Kalau
kau tak keberatan, aku suka sekali kau berjodoh
dengan anakku. Bagaimana...?"
Kembali Bayu melirik sekilas sambil ter-
senyum kecil.
"Maaf, aku tak tertarik sama sekali. Soal
orang-orang itu aku memang bermaksud mengha-
dapinya, tapi bukan sebagai pekerjamu. Aku lebih
suka bebas melakukan apa saja yang ku suka
tanpa di bawah kendali orang lain. Jangan khawa-
tir, orang tadi memang sengaja kulepaskan, agar
pemimpinnya datang ke sini menemuiku," kata
Bayu kalem.
Lalu tanpa mengacuhkan si hartawan tadi,
Bayu Hanggara kembali menuju kedai dan melan-
jutkan makan siangnya yang belum sempat tun-
tas. Semua orang yang berada di kedai itu men-
gangguk hormat padanya, termasuk si pelayan ke-
dai memberikan penghormatan yang berlebihan,
sehingga membuat Pendekar Pulau Neraka itu jadi
merasa jengah.
Setelah menyantap sisa makannya, dia buru-
buru berlalu dari tempat itu. Sementara si harta-
wan tadi yang membuntutinya dari belakang cuma
bisa menatap punggung itu dengan wajah amat
penasaran sekali. Dan ketika seseorang memberi-
tahu, wajahnya terlihat mulai lucu.
"Sudahlah, Den Lesmana. Mana mungkin pe-
muda itu mau bekerja denganmu. Dia bukan
orang sembarangan. Pendekar Pulau Neraka ada-
lah Pendekar sakti berilmu tinggi yang belakangan
ini menggetarkan rimba persilatan. Jangankan
cuma sebangsa maling tengik dan penjahat kelas
kakap, bahkan Datuk-datuk sesat pun tumbang di
tangannya."
"Ah, yang betul?"
Orang itu mengangguk cepat sambil mening-
galkan hartawan bernama Lesmana. Sambil berla-
lu masih sempat ia meyakinkan.
"Betul, Den. Makanya sekali-kali perhatikan
juga perkembangan dunia persilatan. Jangan cu-
ma mengurusi harta terus dan menganggap bahwa
semuanya bisa diatur dengan uang...."
Wajah Den Lesmana semakin kelihatan malu.
*
* *
EMPAT
Di sebelah selatan Gunung Kanjengan ter-
dapat sebuah telaga yang bernama Sarangan. Ja-
rak antara kedua tempat itu dipenuhi oleh hutan
lebat dan luas. Jarang ada orang yang berani ma-
suk ke dalamnya karena banyak terdapat bina-
tang-binatang buas. Begitu juga dengan alam di
sekitar telaga itu, amat tak bersahabat. Selain di-
penuhi batu-batu terjal juga terdapat beberapa
lembah yang mirip dengan jurang lebar.
Bila seseorang berdiri pada puncak Gunung
Kanjengan dan menatap ke arah telaga yang luas
dan lebar itu, akan terlihat sebuah pulau kecil di
tengah-tengahnya. Bentuk, pulau itu mirip dengan
seekor angsa. Tak heran bila orang-orang menye-
butnya dengan Pulau Angsa. Bagian tengah pulau
itu terdapat sebuah gundukan tanah tinggi yang
bergelombang dengan posisi melingkar seperti
suatu barisan bukit-bukit.
Matahari baru saja masuk ke peraduannya,
dan di ujung langit masih semburat cahaya kun-
ing kemerah-merahan seperti mengantar burung-
burung terbang ke sarang dan menyambut hewan
malam yang menggeliat setelah seharian tidur
panjang. Kelelawar terlihat mulai terbang liar di
sekitar bangunan megah yang belum selesai se-
luruhnya. Dinding bangunan yang mirip sebuah
istana besar itu terbuat dari marmer putih yang
ditempa sedemikian halusnya.
Beberapa orang pekerja yang masih meng-
haluskan sebuah batu marmer yang lebar nampak
tak mempedulikan keadaan di sekitarnya. Dan
seorang laki-laki berbadan tegap mengawasi mere-
ka dengan cambuk di tangan. Di sudut lain pe-
mandangan seperti itu banyak terlihat. Sepintas
saja bisa diduga bahwa tempat ini mirip kamp.
kerja paksa.
"Ctarr!"
"Hayo kerja lagi, pemalas! Bangun...!" bentak
salah seorang pengawas dengan wajah garang
sambil melecutkan cambuk ke tubuh salah seo-
rang pekerja yang menjatuhkan beberapa butir ke-
rikil sebesar kepalan tangan. Orang itu menjerit
kesakitan. Isi bawaannya tumpah ruah berceceran
ketika tubuhnya menggelepar.
"Ampun, Den.... Ampun...."
"Puih! Aku tak peduli dengan ocehanmu. Ban-
gun! Bangun!"
"Ctarrr!"
"Akh!"
Orang itu kembali menggelepar-gelepar kesaki-
tan dan cambuk itu terus menderanya. beberapa
orang temannya yang melihat kejadian itu hanya
bisa memejamkan mata dengan jantung tersentak
setiap kali cambuk itu bergetar.
"Ampuuun.,,! Ampuuun...!"
"Huh, orang sepertimu lebih baik mampus sa-
ja! Kau cuma membuang waktu. Hiyaaa...!"
Dengan bengis tanpa sedikit pun perasaan ka-
sihan tersirat di wajahnya, orang itu meng-angkat
cambuknya tinggi-tinggi dan siap melecutkan den-
gan pengerahan tenaga dalam kuat. Jangankan
tubuh manusia biasa, batu besar pun akan han-
cur dalam keadaan begitu. Lebih-lebih tubuh reot
laki-laki tua itu. Sepasang matanya menantang
seperti tak berkedip menatap cambuk itu. Semen-
tara mulutnya tak henti berkomat-kamit berdo'a.
"Wreeeet!"
"Hiyaaa...!"
"Bet!"
"Beghk!"
"Kurang ajar! Siapa kau?!" tanya si pemegang
cambuk dengan suara tinggi pada seseorang yang
tiba-tiba menangkap cambuknya dan dengan ce-
pat menghantamkan jotosan ke perutnya. Tapi dia
cukup gesit untuk menghindar dengan memiring-
kan tubuh. Namun orang yang baru datang itu
pun tak kalah cepat merubah serangan dengan
menghantamkan tangan kanan yang sedang me-
megang cambuk lawan, lalu menghantam ke arah
punggung.
Tubuh si pengawas terhuyung-huyung ke de-
pan, tapi tertahan karena lawan menyentakkan
cambuk di tangannya. Walau cambuk itu tak lepas
dari tangannya, namun keduanya sama-sama
menggenggamnya saling tarik-menarik.
"Namaku Lor Sabrang...."
"Huh, kau tahu akibat perbuatanmu? Kau bisa
dihukum mati!"
"Aku tak perduli. Tapi kau tak boleh menyiksa
orang sesuka hatimu seperti binatang," sahut laki-
laki berusia muda itu sambil memapah orang tua
yang tadi disiksa. Senyumnya tipis dan wajahnya
kekanak-kanakan. Tiada terbesit sedikit pun keta-
kutan pada wajahnya itu.
"Bangsat! Kau pasti orang baru di sini dan tak
tahu siapa aku!" maki si pengawas garang. Dengan
satu hentakan kuat, dia mencoba menarik pulang
cambuknya.
"Apakah kau suka sekali dengan cambuk bu-
tut ini?" tanya pemuda itu tenang. Dengan satu
tangan ditahannya tarikan lawan beberapa saat.
Namun dengan satu bentakan keras tiba-tiba pen-
gawas itu terangkat ke atas.
"Hiyaaa...!"
"Wuaaa...!"
"Bughk!"
Pemuda itu melesat memapaki dengan satu
pukulan tangan kanan menghantam lambung la-
wan yang memang sudah gamang sejak tubuhnya
terangkat. Tak ampun lagi, ia terpental sejauh tiga
tombak dan menghantam sebongkah batu cadas.
Kepalanya pecah dan tubuhnya remuk serta darah
menyelubunginya. Nyawanya lepas saat itu juga.
Si pemuda mendengus kecil. Sebenarnya ia tak
bermaksud ingin membunuh lawan, tapi ketika
hal itu terjadi ia sama sekali tak menyesal.
"Plok! Plok! Plok!"
"Hebat! Hebat!"
Pemuda itu cepat berpaling ketika tiba-tiba saja ada yang bertepuk tangan. Dia telah bersiaga
menghadapi serangan yang dilakukan secara ber-
keroyokan. Telah membunuh lawan di sarangnya
sendiri, tentu dia harus menghadapi resiko yang
tak kecil. Bahkan nyawanya sendiri sebagai taru-
han.
***
Seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus bagai
jerangkong berdiri tak jauh darinya. Sepasang ma-
tanya lebar, dengan hidung pesek dan rambut
pendek yang berdiri kaku. Mulutnya lebar dengan
bibir tipis mencuat ke depan. Memakai celana
pendek dan tanpa pakaian sehingga terlihat tulang
lengan dan kakinya kecil berkesan rapuh, serta tu-
lang rusuknya yang bertonjolan. Di pundaknya
bertengger seekor burung jalak dengan bulu kee-
masan. Di belakangnya berdiri tiga orang laki-laki
yang agaknya merupakan tangan kanan orang itu.
"He he he he...! Siapa namamu bocah? Kulihat
tadi kau berbakat sekali dalam ilmu silat.
Kepandaianmu cukup lumayan," tanya orang
itu sambil tersenyum kecil.
"Apakah kau pemilik pulau ini?"
"He he he he...! Agaknya otakmu cepat mem-
baca situasi. Orang sepertimu memang cerdas dan
patut menjadi anak buahku. Betul, akulah Wa-
rangka Gering atau Hantu Bukit Angsa...."
Belum lagi selesai kata-kata lelaki kurus yang
tak lain Warangka Gering, tiba-tiba pemuda yang
bernama Lor Sabrang itu mencelat sambil menye-
rangnya dengan ganas.
"Bedebah keparat! Akhirnya kutemui juga kau!
Terimalah kematianmu saat ini. Hiyaaa...!"
Warangka Gering tak berkedip melihat seran
gan Lor Sabrang. Malah ia sempat tersenyum.
Namun sedikit lagi serangan Lor Sabrang itu akan
menghantam batok kepala dan dada sebelah ki-
rinya ia menggeser sedikit tubuhnya.
"Uts!"
"Wuk!"
"Plak!"
"Gusraaak!"
Entah bagaimana caranya tiba-tiba saja Lor
Sabrang terkunci dalam jepitan kedua tangan Wa-
rangka Gering. Lalu dengan cepat dikibaskan. Lor
Sabrang tersungkur dua tombak jauhnya. Masih
untung jatuh di timbunan pasir. Kalau saja di
tumpukan batu cadas yang berada di sebelah pa-
sir itu, niscaya nasibnya akan langsung ketahuan
seperti korbannya tadi.
"Kuberi kau kesempatan sekali lagi, setelah itu
kau harus betul-betul menurut padaku...."
"Puih! Akan kupecahkan batok kepalamu!"
"Hmm, kau kelihatan begitu mendendam pa-
daku, Bocah. Ada urusan apa sebenarnya?"
"Bagus kau menanyakan hal itu agar kau tak
mati penasaran. Coba kau ingat-ingat peristiwa
yang terjadi di Perguruan Bulan Sabit beberapa
minggu berselang? Aku Lor Sabrang putra bungsu
Kendi Angsoka, ketua perguruan itu yang kau bu-
nuh dengan biadab!"
"Oh, ternyata kau... sungguh beruntung kau
bisa hidup saat ini. Tapi terus terang bukan aku
yang membunuh mereka, lalu kenapa kau begitu
mendendam? Apakah kau melihat sendiri peristi-
wa itu?" tanya Warangka Gering merasa tak pedu-
li.
"Keparat kau Warangka Gering!" maki Lo Sa-
brang. "Pandai kau bersilat lidah. Jelas bukan
tanganmu sendiri yang membunuh ayahku, serta
seluruh saudara-saudaraku tetapi anak buahmu.
Mereka tak akan jalan tanpa perintahmu."
"Ha ha ha ha...!" Warangka Gering atau lebih
dikenal sebagai Hantu Bukit Angsa tertawa keras.
Sedangkan Lor Sabrang menatapnya dengan
sinar mata yang tajam penuh dendam.
"Pintar kau, bocah! Aku sungguh suka sekali
denganmu. Kau berani menyusup ke sini sebagai
tawanan yang dipekerjakan dengan upah kema-
tiannya hanya karena ingin bertemu denganku
untuk membalas sakit hatimu. Dan kini kulihat
semangatmu yang menyala-nyala, sayang sekali
kalau kau harus mati sia-sia. Sebelum kau mati,
kau harus bekerja lebih dulu untukku."
"Apa maksudmu, keparat?"
"Maksudku sederhana, yaitu kau harus melu-
pakan dirimu sendiri dan hanya ingat padaku ser-
ta mematuhi perintahku dengan taruhan nya-
wa...."
"Hemm, kau akan mencekoki aku dengan ra-
muan pemunah pikiran?"
"Ha ha ha ha...! Ternyata betul dugaanku bah-
wa kau memang sungguh-sungguh cerdas!"
"Tertawalah sepuasmu, keparat! Walau bagai-
mana pun aku tak sudi kau peralat. Lebih baik
mati berkalang tanah daripada hidup terhina!"
"Hiyaaa...!"
Lor Sabrang menggeram buas. Amarahnya tak
terbendung lagi. Dengan segenap kemampuan
yang dimilikinya, kembali diserangnya Warangka
Gering dengan dahsyat. Kali ini penguasa Pulau
Angsa itu betul-betul melihat kehebatan ilmu silat
Lor Sabrang. Gerakannya gesit bukan main dan
dtperhitungkannya secara hati-hati. Nampak terli-
hat bahwa ia tak ingin dipecundangi dua kali.
Dalam tiga jurus yang berlangsung, Warangka
Gering agak sulit mengamat-amati kelemahan pe-
muda itu. Baik dari pertahanannya yang longgar
maupun dari kelengahannya sendiri. Laki-laki
berwajah buruk itu mendecah-decah kagum.
"Ck ck ck ck... tak salah dugaanku. Kau akan
menjadi anak buahku yang termasuk dalam jaja-
ran nomor satu."
"Keparat biadab! Mengocehlah kau sepuasmu
saat ini!" geram Lor Sabrang, kala mendengar ka-
ta-kata penguasa Pulau Angsa itu seolah-olah me-
remehkan kemampuan dirinya. Hal itulah yang
membuatnya semakin bersemangat menggempur
lawan.
Biasanya orang yang takabur dan meng-
anggap dirinya mampu menjatuhkan lawan akan
berlaku lengah. Di samping itu ia juga melihat, tak
seorang pun dari anak buah Hantu Bukit Angsa
yang bergerak hendak menolong tuannya itu. Se-
muanya diam seperti patung, menunggu perintah.
Seolah juga yakin bahwa tuannya dengan mudah
membekuk pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Cukup, bocah!" bentak Warangka Gering den-
gan suara keras. Telapak tangan kirinya di so-
rongkan ke depan. Dari situ mendesir angin ken-
cang menyapu Lor Sabrang. Pemuda itu mencoba
memapaki dengan mengerahkan tenaga dalamnya
sambil berusaha menghindari. Namun saat itu ju-
ga tubuh Hantu Bukit Angsa telah melesat laksa-
na anak panah ke arahnya.
"Hiyaaa...!"
"Plak!"
"Tuk!"
"Ugh...!"
Hantu Bukit Angsa terkekeh senang sambil
bertolak pinggang melihat Lor Sabrang jatuh lunglai di hadapannya.
Ketika tubuhnya melesat ke arah Lor Sabrang,
ia menghantamkan tangan kiri ke batok kepala
lawan. Tentu saja serangan cepat di saat ia sedang
kerepotan tak diperhitungkannya lagi. Kedua tan-
gannya kalang kabut menangkis tangan kiri lawan
yang bergerak lincah. Saat itulah dua buah jari
tangan kanan Hantu Bukit Angsa menotok urat
gerak di tubuh pemuda itu hingga membuatnya
seperti tak bertenaga.
"Ha ha ha ha...! Jangan berbesar hati dulu, bo-
cah. Selama ini tak seorang pun yang mampu
mengelak dari incaran Hantu Bukit Angsa. Sekali
aku menginginkan, maka segalanya harus kuda-
patkan."
"Puih, bedebah! Lepaskan totokan ini! Aku
akan bertarung sampai salah seorang di antara ki-
ta ada yang tewas. Lepaskan aku, pengecut! Le-
paskan...!"
"Hmm, kau yakin bahwa kau berilmu tinggi
dan cukup mampu mengalahkanku?"
"Huh, jangankan kau seorang. Seluruh anak
buahmu turun tangan pun akan kuhabisi!"
"Ha ha ha ha...! Semangatmu luar biasa. Nah,
kalau kau yakin mampu mengalahkanku, le-
paskanlah dirimu dari totokan itu. Anggap saja ka-
lau kau mampu lepas aku mengaku kalah dari-
mu," sahut Hantu Bukit Angsa tersenyum kecil
sambil membalikkan tubuh dan melangkah pelan.
Mendapat kesempatan seperti itu. Lor Sabrang
tak berpikir dua kali. Ia langsung mencoba menge-
rahkan hawa murni dari bawah pusarnya untuk
beberapa saat lamanya.
"Keparat!" makinya kesal. Totokan ini benar-
benar kuat. Jangankan berhasil mengumpulkan
hawa murni untuk mendobrak totokan itu, bah
kan tak secuil pun tak terasa reaksi saat ia meng-
konsentrasikan diri dalam mengerahkan hawa
murninya.
"Ha ha ha ha...! Kau kalah, bocah. Nah, seka-
rang relakan dirimu menjadi abdiku yang setia,"
kata Hantu Bukit Angsa kembali membalikkan
badan. Ia kemudian memberikan perintah pada
seorang anak buahnya untuk mengangkut Lor Sa-
brang ke dalam. Pemuda itu berteriak-teriak sam-
bil memaki-maki geram. Namun tawa Hantu Bukit
Angsa semakin keras terdengar.
Baru saja pemuda itu digotong ke dalam, se-
seorang berbaju hitam dengan beberapa luka di-
tubuhnya datang tergopoh-gopoh ke hadapan
Hantu Bukit Angsa. Dengan bersujud di kaki Han-
tu Bukit Angsa, orang itu bersuara dengan nada
takut dan tak berani mengangkat wajahnya.
"Ampun Paduka Yang Mulia, hamba tak mam-
pu menjalankan tugas..."
"Siapa kau?"
"Hamba anak buah Buncak Seguntang..."
"Hmm... ada apa?"
"Ka.. kami berhasil menjalankan tugas di desa
Brantas Agung, ta... tapi pada saat itu muncul se-
seorang menghadang dan... dan membinasakan
Buncak Seguntang beserta yang lainnya...."
"Lalu?"
"Hamba berusaha melarikan diri untuk men-
gabarkan peristiwa ini pada Paduka Yang Mulia...."
"Siapa orang itu?"
"Hamba tidak tahu, Paduka... ia tak menye-
butkan nama."
Wajah Hantu Bukit Angsa masih dingin, dan
suaranya pun masih terlihat datar.
"Sebutkan ciri-cirinya."
"Usianya masih muda, dan memakai baju ter
buat dari kulit harimau. Wa... wajahnya tampan
namun berkesan keras. Ta... tapi senjatanya yang
unik sekali, Paduka. Cakra bersegi enam berwarna
keperakan...."
"Hmm, tidak salah lagi. Pasti si Pendekar Pu-
lau Neraka!" seketika wajah laki-laki buruk itu be-
rubah kelam. Hawa sadis nampak terlihat mana-
kala ia melanjutkan kata-katanya sambil menden-
gus dingin. "Pendekar Pulau Neraka, kau akan te-
rima bagianmu nanti kalau hendak mencoba
menghalangi cita-citaku!"
"Pa... Paduka Yang Mulia, apa yang harus
hamba lakukan saat ini?"
Hantu Bukit Angsa menyeringai dengan se-
nyum sinis.
"Kau akan mendapat hadiah..."
"Oh, jangan Yang Mulia! Jangan...! Hamba cu-
kup merasa senang bisa melaporkan peristiwa ini
pada Yang Mulia..."
"Hadiah ini suka atau tidak suka harus kau te-
rima!"
Mendengar kata-kata yang tegas, orang itu tak
mampu lagi membantah. Dia bersujud berkali-kali
sambil mengucapkan terima kasih. Sementara
Hantu Bukit Angsa menudingkan telunjuknya ke
arah orang itu.
"Cuiiit!"
Burung jalak yang sejak tadi bertengger di
pundaknya bersuit nyaring ketika mengepakkan
sayap. Tiba-tiba hewan kecil itu menukik tajam
dan mematuk orang yang sedang bersujud itu
hingga paruhnya sebagian tenggelam...
"Aaaa...!"
Orang itu terpekik nyaring sambil bangkit den-
gan tiba-tiba. Burung jalak berbulu keemasan itu
tak henti sampai di situ. Ia kembali mematuk
matuk dengan buasnya. Korbannya memekik ke-
sakitan. Reaksi akibat patukan hewan itu terlihat
cepat. Sekujur tubuhnya berubah merah dan per-
lahan-lahan berwarna ungu kelam saat tubuhnya
ambruk, dan nyawanya lepas saat itu juga.
"Tak seorang pun anak buahku boleh lari dari
pertarungan. Lebih baik dia mampus daripada
kembali mengadukan ketidakmampuannya pada-
ku!" dengus Hantu Bukit Angsa sambil berlalu
meninggalkan tempat itu diikuti oleh beberapa
orang tangan kanannya yang berjumlah lebih se-
puluh orang.
*
* *
LIMA
Pemuda berambut gondrong dengan pakaian
terbuat dari kulit harimau itu masih termangu di
mejanya. Sementara seekor monyet kecil berbulu
Coklat nampak menggodanya sambil melompat-
lompat di meja.
"Nguk! Nguuk!"
"Sabarlah Tiren. Aku juga mulai tak betah di
tempat ini. Tapi kalau orang-orang itu menyerbu
ke sini, kasihan penduduk kampung yang tak ber-
dosa. Mereka pasti binasa tanpa sisa...."
"Nguuuk!"
"Ya, ya... kita bermalam di sini saja. Itu pun
kalau pemilik kedai ini tak keberatan...."
Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun
dengan tubuh kurus buru-buru menghampiri pe-
muda itu dengan sikap hormat.
"Den, kalau kau hendak bermalam di sini aku
tentu senang sekali..." katanya.
"Terima kasih, Paman. Barangkali cuma untuk
semalam ini saja...."
"Ah, kenapa musti buru-buru, Den? Kalau pun
kau ingin bermalam barang seminggu pun aku
pasti tak keberatan."
Pemuda yang tak lain dari Bayu Hanggara atau
si Pendekar Pulau Neraka itu tersenyum kecil.
"Kami telah banyak menyusahkan bapak hari
ini. Perut telah kenyang terisi tapi tak sepeser pun
kami membayarnya. Jangankan dua hari, sehari
pun pasti kami telah sangat merugikanmu," sahut
Bayu ramah.
"Oh, tidak, Den. Tidak.... Aku rela memberikan
semua itu."
"Terima kasih, Paman. Lagi pula kami tak ber-
lama-lama di sini..."
"Maksud Aden akan pergi sekarang?" wajah
pemilik kedai itu nampak was-was. Kalau saja
Bayu pergi dari kampung ini entah apa yang terja-
di pada mereka, bila anak buah Hantu Bukit Ang-
sa tiba-tiba datang dan merampas harta benda
serta nyawa mereka?
"Tidak, Paman. Kalau Paman tak keberatan
kami bermaksud numpang menginap semalam di
sini...."
"Wah, senang sekali! Tapi kenapa cuma satu
hari, Den? Menetaplah barang seminggu."
Bayu kembali tersenyum, "Kalau hari ini mere-
ka tidak datang, kami yang akan datang ke sana."
"Maksud Aden... akan mendatangi sarang me-
reka?"
Bayu mengangguk, melihat itu wajah si pemi-
lik kedai bertambah khawatir.
"Aden sebaiknya berada di sini saja. Kami se-
mua tahu nama besar dan kehebatan Aden tak
perlu diragukan lagi, tapi...."
"Tapi kenapa, Paman?"
Pemilik kedai itu agak ragu-ragu mengata-
kannya. Ia khawatir ucapannya akan menying-
gung perasaan pemuda itu. Namun setelah Bayu
mendesaknya berkali-kali, barulah ia mengata-
kannya.
"Ng... anu, Den. Aku tak bermaksud meremeh-
kan kepandaianmu, tapi sarang Hantu Bukit Ang-
sa penuh dengan tokoh-tokoh dari berbagai kalan-
gan yang berilmu tinggi. Kalau Aden mendatan-
ginya sama artinya dengan masuk ke mulut hari-
mau...."
Bayu kembali tersenyum.
"Jangan khawatir, Paman. Kepandaianku me-
mang tak seberapa, tapi ajal manusia bukan di
tangan mereka..."
"Benar, Den. Tapi..." pemilik kedai itu tak
sempat meneruskan kalimatnya ketika di depan
pintu berdiri seorang gadis berparas jelita. Salah
seorang di antara mereka dikenalnya baik. Ia bu-
ru-buru menghampiri dengan sikap hormat.
"Aduuh, Neng Sekar Tanjung ada apa malam-
malam begini datang ke kedai Paman? Apakah Ibu
di rumah tidak masak?"
Gadis yang dipanggil Sekar Tanjung itu terse-
nyum manis. Bibirnya yang merah merekah begitu
menawan dan membuat setiap laki-laki seperti
langsung terpikat padanya. Rambutnya hitam dan
panjang diikat dengan pita merah. Pakaiannya ba-
gus berwarna merah menyala seperti terbuat dari
sutera halus.
"Tidak, Paman. Aku ada amanat dari Ayah un-
tuk Tu... tuan Pendekar," sahutnya sambil me-
mandang Bayu.
Pemuda itu mengangguk kecil padanya. Bayu
melirik gadis di sampingnya. Sederhana sekali,
pakaiannya terbuat dari bahan biasa dan rambut-
nya yang panjang terurai juga hanya diikat oleh
pita yang sederhana. Bedanya hanya gadis itu
berkulit sawo matang meskipun wajahnya tak se-
cantik Sekar Tanjung, tapi ia cukup manis. Tapi,
bukan itu yang membuat Bayu memandangnya
agak lama. Rasanya ia pernah kenal gadis itu se-
belumnya.
"Oh, ada amanat untuk Tuan Pendekar? Silah-
kan...!" sahut pemilik kedai itu sambil berlalu ke
belakang. Kedua gadis itu lalu mendekati Bayu.
"Selamat malam, Tuan Pendekar. Maaf meng-
ganggu, tapi ayahku menawarkan anda untuk
menginap di rumah kalau tak keberatan..." kata
Sekar Tanjung.
"Ayahmu? Apakah saya mengenal beliau?"
"Ayahku bernama Lesmana... yang tadi siang
bercakap-cakap dengan anda," jelas Sekar Tan-
jung.
"Aaaah, baru aku ingat!" Bayu menepuk ke-
ningnya sambil terkekeh kecil. "Ya, ya..,. terim ka-
sih. Tapi aku dan kawan kecilku ini lebih suka di
sini saja. Sampaikan terima kasih kami pada be-
liau...."
"Tuan, Ayah memerintahkan agar saya tak bo-
leh kembali bila tak bersama," sahut Sekar Tan-
jung dengan suara lemah dan malu.
"Apa...?!" Bayu tersentak kaget.
Apakah pendengarannya tidak salah? Kalau
begitu caranya sama saja orangtuanya menyuruh
anak gadisnya ini menemaninya di sini. Sinting!
Orangtua macam apa itu yang membiarkan anak
gadisnya berduaan dengan seorang lelaki normal
seperti dirinya? Kalau gadis ini berwajah buruk,
sudah tentu tak akan terjadi sesuatu yang mem-
buat dadanya berdebar-debar kencang. Tapi ini...?
Ya, ampun! Jangankan laki-laki normal seperti di-
rinya, banci sekali pun akan berubah pikiran men-
jadi laki-laki saja melihat gadis secantik Sekar
Tanjung!
"Kami rasa Tuan sudah mendengarnya dengan
jelas..." lirih suara Sekar Tanjung. "Kalau Tuan tak
bersedia, maka terpaksa kami diharuskan mene-
mani Tuan di sini...."
Bayu tercenung agak lama sambil meng-
geleng-gelengkan kepala seolah tak percaya hal ini
terjadi.
"Tuan Pendekar. Setidaknya ini merupakan
kehormatan bagi kami yang telah menanggung
budi Tuan begitu dalam..." kata gadis yang satu
lagi.
Bayu mendongakkan kepala dan menatap ga-
dis itu kembali sambil tersenyum.
"Dan kau siapakah? Apakah kau adiknya atau
kakaknya? Rasa-rasanya kita pernah bertemu se-
belumnya...."
"Lupakah Tuan peristiwa di pinggir hutan dua
hari yang lalu? Saat itu Tuan membantu kami dari
gerombolan yang akan merampas harta dan men-
ganiaya kami...."
"Ya, ya... aku ingat sekarang!" kata Bayu men-
gangguk cepat. "Ayahmu bernama Indra-pura, dan
kau...."
"Sekar Harum."
"Ya, betul! Nah, bagaimana khabar Ayahmu
sekarang? Lalu kapan tiba-tiba kau bisa berada di
desa ini?"
"Ayahnya Sekar Tanjung adalah adik kan-dung
ayahku. Jadi kami berdua adalah saudara sepu-
pu," jelas Sekar Harum. "Tujuan kami memang ke
desa Brantas Agung ini. Begitu mendengar nama-
mu, aku langsung menemani Sekar Tanjung ke sini."
***
Bayu Hanggara mengangguk-anggukkan kepa-
la. Tapi tetap saja kepalanya jadi pusing sendiri.
Bertemu dengan hartawan bernama Lesmana itu
dengan segala tingkahnya yang memuakkan sung-
guh menyebalkan hatinya. Orang itu beranggapan
bahwa segala sesuatunya di dunia ini dapat dibe-
linya dengan harta. Kalau saja ia datang ke sana,
tetap saja anggapannya demikian. Tidak dengan
harta kini putrinya yang disuruh membujuk di-
rinya. Dan kalau sudah sampai di sana, entah apa
lagi yang akan direncanakan terhadap dirinya.
Memang bukan rencana buruk, tapi siapa tahu
berusaha membujuk dirinya untuk bekerja den-
gannya.
"Huh!" Bayu mendengus kecil dalam hati.
Malam telah semakin larut, namun kedua ga-
dis itu tetap tak beranjak dari tempatnya. Monyet
kecil Bayu yang bernama Tiren berkali-kali meng-
goda mereka. Kadang keduanya tersenyum, ka-
dang juga cemberut kesal. Paling tidak mereka cu-
kup terhibur daripada dibiarkan pemuda itu sen-
diri saja tanpa bicara sepatah kata pun.
Bayu sendiri masih pusing. Matanya yang tadi
mengantuk, kini tak mau terpejam. Berkali-kali di-
liriknya mereka yang sedang bercanda dengan Ti-
ren, dan berkali-kali pula mereka beradu pandang.
Mulutnya seperti terkunci rapat untuk bicara se-
patah kata karena otaknya buntu menghadapi
keanehan yang satu ini.
"Kalian tidurlah kalau mau tidur. Mataku su-
dah mengantuk..." katanya sambil merebahkan di-
ri di kursi panjang.
Kedua gadis itu menatap ke arahnya. Sekar
Tanjung kemudian berkata pelan, "Ya...."
Namun ketika Bayu baru saja akan merebah-
kan diri, tiba-tiba terdengar ketukan dari luar.
"Tok! Tok!"
"Siapa?" Bayu cepat bangkit sementara kedua
gadis di dekatnya menjadi was-was. Dalam pikiran
mereka pastilah orang-orangnya Hantu Bukit Ang-
sa yang akan membalas dendam.
"Tuan, saya seorang pengembara yang ke ma-
laman di desa ini. Kulihat lampu di dalam kedai
masih menyala, dan kudengar orang bercakap-
cakap. Kalau tidak keberatan sudilah menerima
saya untuk menumpang menginap di sini..." sahut
suara di luar dengan nada sopan.
"Tolong panggilkan pemilik kedai," Bayu meli-
rik ke arah Sekar Tanjung.
"Tapi...."
"Jangan khawatir. Aku yang akan bertanggung
jawab!" Bayu meyakinkan gadis itu yang terlihat
cemas.
"Baiklah...."
Setelah gadis itu melangkah ke belakang, Bayu
memberi isyarat pada Sekar Harum untuk men-
jauh dari pintu. Ia sendiri melangkah pelan dan
bersiaga penuh sambil membuka pintu.
Seorang laki-laki yang mengenakan topi caping
lebar berdiri di ambang pintu. Tubuhnya tinggi be-
sar dan berbadan tegap mengenakan pakaian pu-
tih. Tangan kanannya menggenggam sebatang pe-
dang dengan warangka dan gagang terbuat dari
bambu kuning. Ketika laki-laki itu membuka to-
pinya, terlihat seraut wajah tua berusia sekitar
enam puluh tahun. Rambutnya yang putih diikat
sehelai kain kuning. Wajahnya bersih dan berke-
san ramah dengan kumis putih melintang rapih.
"Maaf mengganggu. Bolehkah menumpang
menginap di sini semalam saja, Tuan?"
"Maaf, kami tak berhak menerima anda sebab
kami pun menumpang di sini."
"Oh, begitu? Kalau demikian siapakah pemilik
kedai ini?"
"Sebentar, temanku sedang memanggilnya."
Pemilik kedai itu buru-buru menghampiri. Se-
telah melirik pada Bayu, ia menatap tamu yang
baru datang tersebut. Sang tamu tersenyum ra-
mah.
"Apakah bapak pemilik kedai ini?"
"Betul, ada yang bisa saya bantu?"
"Namaku Dharmasutra, seorang pengembara
yang kebetulan lewat di desa ini. Kalau boleh saya
ingin menginap di sini. Tak apa di bangku ini saja,
yang penting ada tempat berteduh..." kata-kata
orang tua itu terhenti. Seketika ia mencabut pe-
dangnya sambil membentak nyaring.
***
"Awas...!"
"Hiyaaa...!"
"Trang! Trang!"
Pedang di tangan orang tua itu berkelebat ce-
pat menangkis beberapa buah senjata rahasia
yang melesat ke dalam pondok kedai itu. Sementa-
ra Bayu sendiri menubruk kedua gadis itu dan si
pemilik kedai menghindari desingan senjata raha-
sia yang nyaris menghantam mereka.
"Sialan!" makinya kesal. "Kalian tetap tinggal di
sini dan jangan ke mana-mana!" lanjutnya sambil
mencelat keluar.
"Kau hendak ke mana?" teriak Sekar Tanjung.
Tapi pemuda itu telah keburu mencelat ke luar
mengikuti si orang tua bersenjata pedang bambu
kuning.
"Ziiing!"
"Uts!"
"Traaang!"
Begitu mereka keluar, kembali mendesing be-
berapa buah senjata rahasia menerpa. Bayu cepat
berkelit ketika dua buah senjata rahasia it nyaris
menyerempet tubuhnya.
Orang tua itu sendiri menangkis beberapa
buah senjata rahasia yang menerpa dirinya den-
gan kelebatan pedangnya yang hebat bukan main.
Melihat dari gerakannya, orang tua itu pastilah
bukan orang sembarangan. Paling tidak ia memili-
ki nama yang cukup disegani di kalangan persila-
tan.
"Hmm, pengecut-pengecut darimana yang be-
raninya cuma main bokong dari belakang?" den-
gus Bayu begitu kedua kakinya menjejak tanah.
Pada saat itu melesat dua sosok tubuh pada
jarak tujuh tombak di hadapan mereka sambil
mendengus sinis. Yang seorang bertubuh kurus
dengan wajah menyeramkan seperti tengkorak
dengan rambut gondrong dibiarkan terurai. Se-
mentara di sebelahnya seorang pemuda bertubuh
sedang dengan kumis melintang. Di pinggangnya
terselip sebatang golok yang agak panjang.
"Siapa di antara kalian yang menamakan di-
rinya Pendekar Pulau Neraka?" bertanya si muka
tengkorak dengan nada dingin dan meremehkan
sekali kedengarannya.
Bayu tak langsung menjawab. Penglihatannya
yang tajam melihat beberapa sosok bayangan
mengendap-endap di belakang kedua orang itu
dengan gerakan melingkar menuju kedai di bela-
kangnya.
"Pengecut hina, akulah orangnya! Siapa ka-
lian?" sahut Bayu dengan nada sinis.
"Bagus! Kami membawa pesan dari Hantu Bu-
kit Angsa untuk membawa kepalamu pulang."
Selesai berkata demikian tiba-tiba tubuh si
muka tengkorak melesat ke arahnya sambil berte-
riak nyaring.
"Hiyaaa...!"
Pakaian ditubuhnya yang agak kebesaran ber-
kibar-kibar ditiup angin seperti menyamarkan se-
belah tangannya yang melepaskan senjata rahasia
berupa baja hitam berbentuk bintang kecil.
"Huh, kau pikir dapat menipu mataku, Kisa-
nak!" dengus Bayu sambil bersalto beberapa kali
di udara menghindari desingan senjata rahasia
lawan yang bertubi-tubi. Namun begitu tubuhnya
mendarat ke bawah, serangan susulan lawan telah
menantinya. Dia telah memperhitungkan hal itu
sebelumnya. Itulah sebabnya Bayu mendorong te-
lapak kirinya ke depan.
"Hap!"
"Wuuss!"
"Yeaaah...!"
Si muka tengkorak mencelat mundur beberapa
langkah menghindari pukulan tenaga dalam lawan
yang menimbulkan desir angin kencang. Namun
begitu kedua kakinya berpijak di tanah maka se-
cepat itu pula tubuhnya kembali melesat meng-
hantam dengan tenaga dalam kuat.
"Mampuslah kau Pendekar Pulau Neraka!"
"Uts!"
"Tak segampang itu, sobat!" ejek Bayu sambil
menundukkan kepala dengan tubuh miring. Tinju
kanan bergerak cepat menghantam dada lawan.
Tapi tubuh si muka tengkorak lebih cepat lagi
menghindar ke atas dan mengincar batok kepala
Pendekar Pulau Neraka.
"Hup!"
Pendekar Pulau Neraka menjatuhkan diri ke
tanah, lalu dengan kedua kaki menghantam ke
atas tubuhnya terus bergulingan ke belakang se-
perti melenting.
"Bughk!"
"Uts!"
Pada kesempatan itu si muka tengkorak masih
sempat menyelamatkan perutnya dari tendangan
lawan dengan menghantam kaki kanannya.
Tubuh keduanya terdorong ke belakang akibat
beradunya kedua kaki tadi. Namun dari situ Bayu
dapat memperkirakan bahwa tenaga dalam lawan
masih berada satu tingkat di bawah-nya. Pemuda
itu tersenyum kecil ketika si muka tengkorak
kembali menyerangnya begitu kedua kakinya me-
nyentuh tanah.
Sementara kakek yang bersenjatakan pedang
bambu kuning sedang berhadapan dengan si pe-
muda berkumis melintang. Orang tua yang ber-
nama Dharmasutra itu sempat kaget ketika meli-
hat lawan di hadapannya. Sepasang matanya ter-
belalak tak percaya begitu melihat si pemuda den-
gan jelas.
"Jarot? Apakah kau Jarot muridku?"
"Sreeet!"
Sebagai jawabannya pemuda berkumis melin-
tang itu malah mencabut goloknya dan bersiap
menyerang Dharmasutra. Wajahnya memancarkan
nafsu yang tak bersahabat.
"Jarot, aku gurumu sendiri, Dharmasutra! Apa
yang terjadi padamu saat ini? Begitu mendengar
majikanmu Den Pranata mengatakan bahwa kau
dibawa lari Hantu Bukit Angsa, saat itu juga aku
turun gunung untuk mencarimu...."
"Diam, kau orang tua! Terimalah kematianmu
sekarang!"
"Jarot, tunggu..."
"Hiyaaaa...!"
"Uts!"
Ki Dharmasutra terpaksa berkelit dari samba-
ran pemuda yang diyakininya sebagai Jaro murid-
nya sendiri. Sambaran golok di tangan pemuda itu
bukan main-main dan sama sekali dimaksudkan
untuk membunuh lawan.
"Jarot, jangan bercanda keterlaluan dengan
gurumu sendiri!" bentak Ki Dharmasutra mulai
kesal.
"Siapa yang bercanda denganmu tua bangka?"
"Kurang ajar! Mana rasa hormatmu pada guru
sendiri?"
"Siapa, guruku? Kau adalah teman si Pendekar
Pulau Neraka, dan orang sepertimu harus mam-
pus!"
"Dasar murid celaka! Agaknya benar berita
yang kudengar bahwa perbuatanmu belakangan
ini telah menyimpang, kau akan mendapat huku-
man berat dariku!" dengus Ki Dharmasutra sambil
mengeretukkan rahang.
Pedang di tangannya yang tadi dipergunakan
untuk menangkis serangan muridnya kini berbalik
menyerang muridnya sendiri dengan dahsyat.
"Hiyaaa...!"
Pertarungan antara murid dan guru itu tak
dapat dihindari lagi. Keduanya kini betul-betul
bernafsu hendak menjatuhkan lawan. Bedanya
pemuda yang dipanggil Jarot itu bermaksud mem-
binasakan gurunya, sebaliknya Ki Dharmasutra
hanya ingin membuat lumpuh muridnya. Hingga
serangan-serangannya belum terlihat mematikan.
Walau bagaimana pun rasanya tak mungkin
seorang murid mampu mengalahkan gurunya, jika
ia semata-mata memperoleh kepandaian hanya
dari gurunya itu. Begitu juga halnya antara Ki
Dharmasutra dan Jarot. Tanpa memerlukan wak-
tu panjang, Ki Dharmasutra berhasil melumpuh-
kan serangan muridnya dengan membuat golok di
tangan Jarot terpental jauh dihantam pedangnya.
"Jarot, sadarlah. Aku Ki Dharmasutra gurumu
sendiri...."
"Persetan dengan ocehanmu!" bentak pemuda
itu. Walaupun tak bersenjata, namun tak sedikit
pun rasa gentar terbayang di wajahnya. Malah
dengan membentak nyaring ia kembali menyerang
Ki Dharmasutra.
"Hiyaaa..."
***
"Murid celaka, kau terimalah ini!" bentak Ki
Dharmasutra geram melihat kelakuan muridnya
itu.
Pedang di tangannya bergulung-gulung ke de-
pan, kemudian menyerang pemuda itu dengan
berselang-seling serta mengejar kemana saja la-
wan bergerak. Karena tahu betul arah gerakan
menghindar pemuda itu, maka sebentar saja terli-
hat pemuda itu terkurung oleh ujung pedangnya.
"Diam kau!"
"Tuuk!"
Tubuh pemuda itu langsung ambruk ketika Ki
Dharmasutra menotok urat geraknya. Namun de-
mikian wajahnya masih menunjukkan kegarangan
seperti tadi.
"Tua bangka keparat! Lepaskan totokanmu ini.
Apa kau pikir aku tak mampu melawanmu lagi,
huh!"
"Diam, kau bocah! Dosamu telah luber dan
kau patut mendapat hukuman dariku!"
"Huh, siapa yang takut dengan hukumanmu!"
Ki Dharmasutra baru saja akan menampar
muridnya itu ketika terdengar si muka tengkorak
menjerit kesakitan. Tangan kirinya terlihat bun-
tung dihajar sinar keperakan yang melesat cepat
dan kembali berputar-putar bersiap menyambar-
nya.
"Setan keparat!" makinya. "Apakah kebisaan-
mu cuma melepaskan Cakra Mautmu saja?"
"Lalu apa kebisaanmu yang lain pengecut?
Apakah hanya bisa melempar senjata rahasiamu
dengan bertubi-tubi? Masih bagus belum jan-
tungmu yang kukorek!" balas Bayu.
"Huh, kau akan terima balasanku. Yeaaah...!"
Pendekar Pulau Neraka baru saja akan bersiap
menyambut serangan lawan ketika terdengar sua-
ra jeritan dari dalam kedai.
"Ouww, tolooong...! Tuan Pendekar, to-
loooong...!"
"Bangsat!" maki Bayu sambil melompat ke da-
lam kedai. Tapi si muka tengkorak tentu saja tak
mau membiarkan lawannya kabur.
"Jangan lari kau, Pendekar Pulau Neraka! Aku
belum kalah darimu!" teriaknya sambil melempar-
kan senjata rahasianya.
Dengan geram Bayu berbalik sekilas sambil
mengibaskan tangan kanannya ke atas. Seketika
itu juga Cakra Mautnya melesat mencari lawan.
Untuk beberapa saat si muka tengkorak dibuat
kerepotan menghindari serangan senjata lawan
yang membawa maut itu.
Bayu sendiri sudah melihat beberapa sosok
bayangan menerobos atap kedai sambil membawa
kedua gadis yang berada di dalamnya. Tubuhnya
melesat cepat mengejar mereka sambil mengelua-
rkan pukulan jarak jauh.
"Hiyaaa...!"
"Wuss!"
Namun agaknya sosok-sosok bayangan itu su-
dah menyadari hal itu. Dengan serentak mereka
membalas dengan pukulan jarak jauh pula. Dan
ketika dua pukulan itu bertemu di udara, Bayu
merasa tubuhnya agak terdorong ke belakang be-
berapa tindak, namun cepat ia jungkir balik sam-
bil bersiap menyerang.
"Yeaaah...!"
"Uts! Bangsat!"
Bayu terpaksa menghentikan niatnya ketika
tiba-tiba mendesing beberapa buah senjata raha-
sia yang dilemparkan si muka tengkorak ke arah-
nya. Agaknya orang itu masih mampu mencegah
niat Bayu mengejar anak buahnya yang bermak-
sud melarikan dua orang gadis yang berada di da-
lam kedai. Padahal keadaannya betul-betul terjepit
di antara kejaran Cakra Maut yang mengancam
jiwanya.
"Crass!"
"Akh!"
Pada saat Bayu mendengus garang, perhatian-
nya terpusat beberapa saat pada lawan. Tangan
kanannya terkibas ke atas dengan gerakan cepat,
dan Cakra Maut yang sedang melesat itu bergerak
semakin cepat menghantam pinggang kiri si muka
tengkorak tanpa bisa dihindari lagi. Orang itu
menjerit keras. Namun masih sempat tegak berdiri
kembali menghindari serangan Cakra Maut yang
kedua.
"Kalau kau mau mampus lebih dulu, baiklah!"
dengus Bayu kembali.
"Kisanak, jangan khawatir! Kau uruslah orang
ini biar mereka coba ku tahan!" teriak Ki Dharma-
sutra melihat kerepotan pemuda itu.
"Terimakasih, Kisanak!" teriak Bayu agak lega.
Kini dia punya kesempatan untuk memusatkan
segala perhatiannya pada lawan.
*
* *
ENAM
Di pandanginya si muka tengkorak dengan ta-
tapan sinis ketika Cakra Maut itu kembali ke per-
gelangan tangan.
"Kali ini kau tak akan lolos dari tanganku!"
"Huh, siapa takut mati! Aku lebih rela mati da-
ripada kau biarkan hidup diburu Hantu Bukit
Angsa!"
"Apa maksudmu?"
"Hantu Bukit Angsa tak akan membiarkan
anak buahnya kembali ke sarang sebelum menye-
lesaikan tugas dengan taruhan nyawa."
"Hmm, kalau demikian berarti teman-
temanmu pun akan menemui ajal begitu tiba di
sana?"
"Mereka lain. Tugas ini memang harus begitu
yaitu memancingmu agar datang ke sarang kami."
"Nah, kalau demikian katakan pada majikan-
mu bahwa aku akan datang menemuinya, tapi jika
terjadi apa-apa pada kedua gadis itu, nyawamu ta-
ruhannya!" gertak Bayu.
Si muka tengkorak terkekeh, "Kau kira aku ta-
kut mati di tanganmu? Layon Gangga telah berjan-
ji untuk menjalankan sumpahnya membunuhmu
dengan taruhan nyawa. Aku diperintahkan untuk
tidak kembali sebelum membawa kepalamu!"
"Oh, kau yang bernama Layon Gangga atau le-
bih dikenal sebagai Rase Tengkorak Bintang? Pan-
tas! Tokoh sesat sepertimu memang patut mam-
pus. Nah, terimalah kematianmu!"
Setelah berkata begitu tubuh Pendekar Pulau
Neraka melesat dengan satu tinju kanan siap me-
remukkan kepala lawan. Tapi si muka tengkorak
yang bergelar Rase Tengkorak Bintang ternyata
pantang menanti maut tanpa perlawanan. Senjata
rahasia berupa bintang mendesing ke arah Bayu.
"Uts! Kau kira aku bisa dikelabui?"
"Hiyaaa...!"
Tubuh Bayu meloncat lebih tinggi sambil jung-
kir balik beberapa kali diudara. Ketika tubuhnya
melesat turun, saat itu juga tangan kanannya di-
kibaskan ke atas. Detik itu berkelebat Cakra Maut
ke arah lawan. Dan tanpa bisa dihindari menem-
bus dada kiri Layon Gangga.
"Aaaa...!"
Tubuhnya berkelojotan beberapa saat kemu-
dian sambil mendekap dadanya yang bolong. Sete-
lah menggelepar-gelepar akhirnya diam tak berge-
rak dengan mata mendelik keluar. Nyawanya lepas
sudah.
Bayu mendengus sinis dan mengibaskan tan-
gan kanannya kembali. Saat itu juga Cakra Maut
melesat lagi ke pergelangan tangan kanannya.
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Ki Dhar-
masutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu
kirinya terluka meneteskan darah.
Kemudian ia beralih pada pemuda berkumis
melintang di dekatnya.
"Apakah kau juga ingin mampus seperti te-
manmu?"
"Puih! Kau pikir aku takut mati?! Bunuhlah,
aku tak takut. Atau kalau kau mau bertarung secara kesatria, buka dulu totokanku!"
"Aku bukan sebangsa pengecut seperti kalian!"
dengus Bayu.
"Baik, akan kubuka totokanmu agar kau
mampus tanpa penasaran."
Namun ketika Bayu baru saja melangkah dua
tindak, tiba-tiba terdengar suara halus mencegah-
nya.
"Tidak!"
Bayu Hanggara menoleh. Dilihatnya Dhar-
masutra sudah kembali dengan wajah lesu. Bahu
kirinya terluka meneteskan darah.
"Oh, kau, Bagaimana? Apakah kau berhasil
mencegah mereka?"
"Sayang sekali aku gagal..."
"Kenapa? Apakah mereka dapat mengalahkan
mu?"
"Jumlah mereka banyak dan rata-rata berke-
pandaian tinggi..."
"Keparat kau Hantu Bukit Angsa!" maki Bayu
sendiri sambil mengepalkan tinjunya dengan wa-
jah geram. "Kalau kau memang menghendaki aku
kesana, baik akan kupenuhi kemauanmu."
"Ha ha ha...! Kau akan mendatangi sarang
Hantu Bukit Angsa?" ejek si pemuda yang ter-
totok itu sinis. "Kalau kau mau cepat mampus da-
tanglah cepat kesana."
"Diam kau keparat! Sebelum aku kesana kau
lebih dulu yang akan mampus!"
"Maaf, Kisanak!" cegah Ki Dharmasutra ketika
melihat tinju kanan Bayu siap menghajar kepala
pemuda itu.
"Kenapa? Apakah kau akan membelanya?"
"Dia adalah muridku sendiri..." lesu suara Ki
Dharmasutra.
"Apa? Dia muridmu, Ki?"
Ki Dharmasutra mengangguk lesu. "Aku sendi-
ri tak tahu kenapa dia berubah begitu cepat. Ta-
dinya dia anak baik dan tak pernah berbuat onar
sedikit pun..." jelasnya sambil menggelengkan ke-
pala.
Pendekar Pulau Neraka menatap pemuda itu
sekilas sambil memutar otaknya. Sementara itu
monyet kecil, Tiren sahabatnya berlari-lari kecil
menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk ke
arah kedai.
"Nguk! Nguuk!"
"Ada apa, Tiren?" tanya Bayu sambil merang-
kul Tiren. Ketika hewan kecil itu menunjuk ke
arah kedai sekali lagi, Bayu tersentak kaget.
"Astaga! Si pemilik kedai itu. Bagaimana na-
sibnya?"
Bayu buru-buru melangkah ke dalam kedai.
Melihat Pendekar Pulau Neraka berlari kecil ke da-
lam kedai, Ki Dharmasutra pun mengikuti dari be-
lakang sambil membopong pemuda yang di-
akuinya sebagai muridnya itu.
"Hei, tua bangka busuk lepaskan aku! Le-
paskan! Aku tak takut bertarung denganmu!"
"Diam kau!"
"Tuk!"
Dengan cepat dua buah jari tangan kanannya
menotok urat leher pemuda itu hingga suara tak'
mampu lagi keluar.
Setiba mereka di dalam, keadaan si pemilik
kedai sangat mengenaskan.
***
"Astaga! Betul-betul biadab mereka!" desis
Pendekar Pulau Neraka bertambah geram. Dilihat-
nya tubuh si pemilik kedai itu penuh dengan luka
luka bacokan di sekujur tubuhnya hingga sukar
dikenali wajahnya.
"Biadab!" maki Ki Dharmasutra. "Mereka harus
terima balasannya kelak!"
"Tidak. Malam ini juga aku harus menyatroni
sarang mereka!" ujar Bayu bersiap meninggalkan
tempat itu. Namun Ki Dharmasutra buru-buru
mencegahnya.
"Sebaiknya jangan terburu-buru, Kisanak.
Saat ini mereka tentu telah bersiaga penuh. Tung-
gu sampai beberapa hari di saat mereka lengah."
"Dan saat itu pula korban baru akan bermun-
culan, Ki."
"Hmm... memang benar kita tak tahu apa yang
mereka inginkan saat ini. Tapi kalau menyerang
saat sekarang mereka pasti telah bersiap-siap me-
nunggu kita..."
"Bukan kita, Kisanak tapi aku..."
"Aku pun punya kepentingan dengan mereka,
Kisanak..."
Bayu terdiam beberapa saat kemudian. Pada
saat itu beberapa penduduk desa yang sejak tadi
mendengar keributan di luar rumahnya, berdatan-
gan ke dalam kedai itu. Salah seorang diantara
mereka buru-buru menghampiri Pendekar Pulau
Neraka.
"Tu... Tuan Pendekar, bagaimana dengan nasib
anak saya?"
Bayu meliriknya sekilas sambil menghela nafas
pendek. Orang itu tak lain dari si hartawan yang
siang tadi bersikap sok akrab dengannya, atau
orang tua Sekar Tanjung. Disebelahnya berdiri
seorang laki-laki setengah baya yang dikenalnya
beberapa hari yang lalu.
"Maaf, Pak..."
"Apa maksud anda Tuan Pendekar?!" desak si
hartawan bernama Lesmana itu.
"Sekar Tanjung dibawa mereka..." sahut Bayu
dengan suara lemah.
"Apa?!" Hartawan bernama Lesmana itu ter-
sentak kaget. Untuk beberapa saat dia ter-menung
dengan wajah gelisah.
"Putri saya bagaimana, Tuan Pendekar...?"
tanya orang tua yang pernah dikenalnya.
Bayu menatap agak lama padanya, "Apakah
bapak ayahnya Sekar Harum?"
Orang tua itu cepat mengangguk, "Saya Indra-
pura. Bukankah kita pernah bertemu sebelumnya
beberapa hari yang lalu di pinggir hutan itu?"
"Ya, ya..." Bayu mengangguk. Kemudian dita-
tapnya laki-laki itu dengan wajah lesu. "Maaf,
Pak... Sekar Harum juga dibawa mereka..."
"Oh, anakku pun dibawa mereka? Ya ampun
Gusti... apa salahku harus mengalami cobaan se-
berat ini?" rintih Indrapura sendu. "Sudah mereka
merampas harta kami, membunuh istriku dan kini
membawa anak gadisku pula..."
"Tenanglah, Pak. Saya akan membawa mereka
kembali pada bapak..." bujuk Bayu.
"Betulkah ucapanmu, Tuan Pendekar?"
Bayu kembali mengangguk. "Sekarang lebih
baik kita urus dahulu mayat si pemilik kedai ini,
serta mayat-mayat yang lainnya..."
"Lebih baik mayat itu dilemparkan saja jadi
makanan srigala!" teriak seseorang sambil menun-
juk mayat di luar halaman kedai.
"Ya, ya setuju! Dibuang ke hutan biar disantap
hewan liar!" timpal yang lain.
"Setuju! Mereka sama biadabnya dengan he-
wan-hewan liar!"
"Tenang! Tenang...!" Bayu harus mendiam-kan.
Setelah mereka agak tenang, barulah ia melanjutkan kata-katanya.
"Walau pun dia berkelakuan biadab tapi tetap
ia seorang manusia. Kita layak menguburkan-
nya..."
Mendengar kata-kata Bayu yang lainnya diam
membisu. Walau mereka tak setuju tak ada yang
berani membantah. Malam itu juga kedua mayat
tersebut dikuburkan. Kepala Desa menyuruh pe-
muda-pemuda desa bersiaga penuh karena kha-
watir bencana seperti tadi akan datang lagi. Tapi
Pendekar Pulau Neraka mengatakan hal itu tak
perlu. Dia menjelaskan bahwa sasaran Hantu Bu-
kit Angsa kali ini adalah dirinya.
"Lebih baik semua penduduk kampung bersia-
ga saja di rumahnya masing-masing untuk meng-
hindari korban yang mungkin timbul. Saya sendiri
akan berangkat ke Pulau Angsa..." lanjut Bayu
mengakhiri kata-katanya.
"Tapi Tuan Pendekar, kita tak tahu apa yang
mereka rencanakan saat ini? Orang-orang Hantu
Bukit Angsa rakus dan haus darah. Mana mung-
kin mereka cuma mengurusi Tuan seorang kalau
kesempatan untuk melakukan perampokan dan
pembunuhan ada di depan mata mereka," sahut
kepala Desa.
Bayu berpikir sejenak. Kata-kata Kepala Desa
itu ada benarnya. Mereka tak tahu apakah orang-
orang itu akan datang lagi atau tidak. Kalau tak
ada yang berjaga-jaga, justru korban akan jatuh
lebih banyak sebab tak ada yang membunyikan
kentongan untuk memberitahu yang lain agar me-
nyelamatkan diri mereka masing-masing.
"Ya, ya... boleh juga," kata Bayu mengang-
gukkan kepala. "Cuma pilihlah pemuda-pemuda
yang kuat dan berani."
Setelah mengatur segalanya, Kepala Desa dan
yang lainnya meninggalkan tempat itu. Sedangkan
Bayu masih tetap di kedai bersama dengan Ki
Dharmasutra dan muridnya yang sedang tak ber-
daya karena totokan.
***
"Apa yang akan Kisanak lakukan sekarang?"
tanya Pendekar Pulau Neraka pelan.
Ki Dharmasutra menatap sekilas pada murid-
nya. Kemudian katanya lirih, "Aku akan membawa
muridku ke Padepokan lebih dulu. Dia akan me-
nerima hukuman atas perbuatannya selama ini
menjadi pengikut Hantu Bukit Angsa."
"Kurasa hal itu bisa dilakukan nanti, Kisanak.
Lagipula itu bukan kesalahannya..."
"Apa maksudmu?"
"Dia dibawah pengaruh Hantu Bukit Angsa.
Menurutku muridmu pastilah telah dicekoki ra-
muan untuk membuatnya lupa pada orang-orang
yang pernah dikenalnya. Dia cuma tunduk pada
perintah Hantu Bukit Angsa, yang menjadi maji-
kannya saat ini..."
"Ah, kenapa tak terpikirkan di otakku!" Ki
Dharmasutra menepuk keningnya. Kemudian dia
meneliti sepasang mata muridnya beberapa saat
lamanya.
"Apa yang kau lakukan, Ki?"
"Selama ini Jarot tak pernah menyembunyikan
sesuatu padaku, dan aku mengetahui hal itu lewat
bola matanya..."
"Apakah kini ada perubahan?"
"Ya, ya... betul katamu. Sepertinya saat ini pi-
kirannya sedang kosong. Dia dikendalikan oleh
hawa nafsunya sendiri yang dikontrol oleh Hantu
Bukit Angsa. Mungkin lewat ramuan yang telah
dicekoki ke dalam tubuhnya."
"Apakah kau bermaksud menyembuhkan-
nya?"
"Tentu saja. Tapi aku tak yakin mampu mela-
kukannya..."
Bayu mencekat ke arah murid Ki Dharmasutra
sambil memeriksa kedua bola mata pemuda itu.
Yang dilihat cuma sepasang mata yang menyo-
rotkan dendam dan nafsu membunuh serta ke-
bencian. Bayu menggeleng-gelengkan kepala dan
kembali duduk di bangku.
"Sayang sekali, Kisanak... aku tak bisa mem-
bantumu..."
"Tak mengapa. Toh tidak semua orang bisa
melakukan segalanya, bukan? Dalam ilmu silat
kau mungkin hebat, tapi belum tentu di bidang
pengobatan..." sahut Ki Dharmasutra tersenyum
kecil.
"Ah, anda cuma membesar-besarkan saja.
Aku cuma seorang pengembara biasa..."
"Siapa yang tak kenal dengan Pendekar Pulau
Neraka? Tokoh muda yang namanya belakangan
ini jadi buah bibir di kalangan persilatan?"
"Anda kembali melebih-lebihkan. Anda pun
cukup hebat... eh, baru sekarang kuingat!" Bayu
tiba-tiba seperti ingat sesuatu melihat senjata
yang dipegang orang tua itu. "Bukankah anda
yang bergelar Pendekar Bambu Kuning yang ter-
kenal itu?"
"Kau cukup jeli juga, sobat muda," sahut Ki
Dharmasutra merubah panggilannya agar keliha-
tan lebih akrab. "Tapi aku sungguh tak terkenal
dibandingkan dengan namamu."
"Sudahlah, Kisanak. Apa gunanya kita membi-
carakan soal nama. Toh itu cuma pepesan kosong.
Yang penting adalah apa yang kita lakukan pada
orang lain..."
"Betul katamu. sobat muda. Kelihatannya kau
sudah letih. Tidurlah dulu, sebentar lagi malam
akan menjelang pagi. Kau tentu butuh tenaga ba-
ru untuk mengembalikan yang telah hilang..."
"Ya, ya..." Bayu menguap beberapa kali sambil
merebahkan diri di bangku panjang. Agaknya be-
tul-betul mengantuk karena sebentar saja dia te-
lah terlelap.
Bayu tersentak bangun ketika matahari mene-
rangi wajahnya. Pemuda itu menghalangi dengan
lengannya sambil bangkit perlahan. Setelah mera-
sa sedikit segar dia mencari-cari Ki Dharmasutra
dan juga muridnya. Tapi keduanya telah tak ada
di tempat itu.
"Kisanak, kemana kalian?"
Dikelilinginya tempat itu, namun tak juga di-
temui keduanya. Bahkan di dalam kamar si pemi-
lik kedai pun tak seorang berhasil dijumpainya.
Bayu memeriksa beberapa keping uangnya yang
tersisa dan senjatanya. Semuanya masih utuh tak
kurang sedikitpun.
"Sialan orang tua itu! Pergi tak bilang-bilang.
Ah, kenapa pula aku harus mengurusinya segala.
Lebih baik langsung pergi saja ke Pulau Angsa,"
gumam Bayu sendiri sambil menggerutu kesal.
Namun ketika secara tak sengaja matanya melihat
tulisan di atas meja di dekatnya. Buru-buru diba-
canya.
" Maaf kami pergi dulu ke Pulau Angsa tanpa
menunggu kau bangun. Muridku Jarot sebenar-
nya bisa kusembuhkan, tapi kami tak mau kedu-
luan olehmu sebab Hantu Bukit Angsa harus te-
rima balasan dariku juga."
Ki Dharmasutra
"Orang tua curang!" kesal terdengar nada ucapan Bayu. "Kalau kalian mau mampus lebih dulu,
silahkan saja. Aku toh tak merasa dirugikan sedi-
kitpun."
"Nggak! Ngguk!"
Tiren mengangguk-anggukkan kepala menden-
gar kata-kata Tuannya. Bayu melirik padanya ke-
mudian menaikkannya ke pundak sambil berlalu
dari tempat itu.
"Mari Tiren, kita berangkat secepatnya dari si-
ni. Siapa tahu mereka sudah jadi bangkai di sana!"
"Nguk! Nguuk!"
"He he...! Kau pun setuju dengan kata-kataku
ya?"
*
* *
TUJUH
Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh di singga-
sananya ketika beberapa orang anak buahnya ma-
suk ke ruangan. Dua orang di antara mereka me-
mondong tubuh dua orang gadis dan meletakkan-
nya di depan penguasa Pulau Angsa itu. Sepasang
mata laki-laki berwajah buruk itu melotot penuh
nafsu. Lebih-lebih ketika melihat kulit halus mu-
lus dari gadis yang berwajah cantik dan berpa-
kaian merah.
"Paduka Yang Mulia, gadis ini kami anggap de-
kat dengan si Pendekar Pulau Neraka. Itulah se-
babnya kami bawa ke sini." jelas salah seorang di
antara mereka.
Orang itu bertubuh bongkok dengan rambut
panjang yang sebagian telah memutih. Sebelah
mata orang tua itu nampak buta dan terus berair.
Dari balik jubahnya yang lusuh berderet puluhan
pisau-pisau kecil.
"Jadi kau telah bertemu dengannya, Ki Sapan
Oyot?"
"Sudah Yang Mulia..." sahut laki-laki tua yang
dipanggil dengan nama Ki Sapan Oyot itu.
Sikapnya begitu hormat sekali. Seakan dia se
dang berhadapan dengan seorang raja agung.
"Bagaimana dengan Jarot dan Layo
Gangga?"
"Sesuai dengan perintah Paduka, mereka
menghadangnya."
"Bagus! Bagus!" Ki Warangka Gering mengang-
guk senang. "Biarlah mereka mampus di tangan-
nya, toh tak lama lagi pendekar sok jago itu akan
kita cincang. Dagingnya akan kuberikan pada
ikan-ikan buat di dalam telaga." Dia tertawa-tawa
senang penuh kegembiraan.
Setelah semua orang yang berada di ruangan
itu ikut-ikutan tertawa, si orang tua bertubuh
bungkuk itu kembali melanjutkan kata-katanya.
"Tapi si Pendekar Pulau Neraka saat itu tak
sendiri, Paduka....."
"Heh...?! Apa maksudmu?"
"Kami bertemu dengan seorang tua yang ke-
pandaiannya pun tak rendah, Paduka,..."
"Apa? Apakah telah kalian bereskan dia?"
"Be... belum Paduka. Mengingat perintah Pa-
duka hanya untuk memancing si Pendekar Pulau
Neraka saja, maka kami tak bermaksud melaya-
ninya sampai tuntas...."
"Hmm, bagaimana ciri-ciri orang itu?"
"Tak terlalu jelas, Yang Mulia. Hanya ia ber-
senjatakan sebilah pedang yang sarungnya terbuat
dari bambu kuning."
"Hmm..." Ki Warangka Gering mengingat-ingat
barang sejenak. "Tak salah. Pasti si Pendekar
Bambu Kuning...."
"Pendekar Bambu Kuning...? Ilmunya lumayan
hebat, Yang Mulia. Apakah ia tidak merupakan
ancaman bagi kita? Perintahkan sekali lagi pada
kami untuk menghabisi orang itu."
"Tak perlu. Aku merasa mampu mengatasinya.
Yang ku khawatirkan hanya si Pendekar Pulau Ne-
raka itu saja untuk saat ini."
"Apakah Yang Mulia yakin bahwa Pendekar
Pulau Neraka akan datang ke sini?"
"Apakah kau yakin bahwa ia akrab dengan ke-
dua gadis ini?" Ki Warangka Gering malah balik
bertanya.
Orang tua bongkok yang dipanggil Ki Sapan
Oyot itu terdiam beberapa saat kemudian.
"Bagaimana Ki Sapan Oyot?"
"Hamba tak pasti, Yang Mulia."
"Hmm, tak apa...."
"Paduka Yang Mulia..." seorang yang bertubuh
besar dengan brewok lebat tiba-tiba angkat bicara
setelah melihat seorang di antara gadis-gadis itu.
"Ada apa Walukarnawa?"
"Rasanya hamba pernah melihat salah seorang
gadis ini sebelumnya?"
"Lalu?"
"Saat itu kami hendak merampok mereka, tapi
si Pendekar Pulau Neraka ikut campur tangan. Ka-
lau saat itu mereka bisa berada berdua tentu hu-
bungan mereka sekarang menjadi dekat."
"Gadis yang mana?"
Si brewok Walukarnawa menunjuk salah seo-
rang gadis yang berkulit sawo matang dan berwa-
jah manis. Wajah Ki Warangka Gering seketika
menyeringai.
"Bawa dia ke kamar!" perintah penguasa Pulau
Angsa itu.
"Segera, Yang Mulia!" sahut salah seorang pen-
gawalnya sambil membawa gadis yang dimaksud
itu ke dalam kamar Ki Warangka Gering alias si
Hantu Bukit Angsa.
Semua orang yang berada di ruangan itu men-
gerti bahwa Ki Warangka Gering bermaksud men-
gerjai wanita itu. Namun yang membuat mereka
tak habis pikir, kenapa ia bukan memilih gadis
yang lebih cantik.
"La... lalu gadis yang satu ini akan kita apakan
Yang Mulia?" tanya Ki Sapan Oyot.
"He he he he...! Tenang sajalah. Dia pun nan-
tinya akan mendapat bagian bila waktunya tiba.
Sementara ini kurung saja di ruang bawah."
"Baik, Yang Mulia!" sahut pengawalnya yang
seorang lagi. Ia kemudian memondong tubuh gadis
berbaju merah itu dan membawanya ke ruang ba-
wah.
"Kalian tentu bertanya-tanya kenapa aku me-
milih gadis itu lebih dulu, bukan?" tanya Ki Wa-
rangka Gering sambil tertawa kecil.
"Be... betul, Yang Mulia..." sahut mereka se-
rempak.
Ki Warangka Gering terkekeh-kekeh.
"Kalau Si Pendekar Pulau Neraka mengetahui
bahwa kekasihnya sudah ternoda tentu dia akan
lebih marah, dan orang yang sedang marah, akal-
nya tentu tak terkontrol. Saat itulah dia lebih mu-
dah kita atasi," jelasnya.
Mendengar penjelasan itu semua yang hadir di
ruangan itu mengangguk-angguk kepala tanda
mengerti.
"Wah, Yang Mulia betul-betul cerdik!" kata sa-
lah seorang anak buahnya yang duduk tak begitu
jauh dari singgasana.
"Ha ha ha ha...! Lor Sabrang, apakah kau suka
pada gadis tadi?"
"Tentu saja, Yang Mulia. Tapi hamba tak bera-
ni mendahului..." sahut pemuda yang dipanggil
Lor Sabrang itu.
"He he he...! Tentu saja kau akan mendapat
bagian, tapi setelah aku lebih dulu...."
"Terima kasih, Yang Mulia...."
"Nah, sekarang kembalilah kalian ke tempat
semula dan perketat penjagaan di sekitar istana
ini."
"Baik Yang Mulia...!" sahut seluruh yang hadir.
Tak lama kemudian mereka meninggalkan tempat
itu bersamaan.
Ki Warangka Gering sendiri setelah tempat itu
menjadi sepi, beranjak ke kamarnya sambil terke-
keh-kekeh kecil.
***
Sementara itu di tengah telaga Sarangan terli-
hat dua orang sedang mengayuh sebuah rakit
bambu. Yang seorang laki-laki tua berwajah gagah
dengan rambut telah memutih. Di tangannya ter-
genggam sebilah pedang dengan warangka terbuat
dari bambu kuning. Di sebelahnya terlihat seorang
pemuda gagah dengan kumis melintang. Sebatang
golok panjang nampak terselip di pinggang. Sepa-
sang matanya menatap lurus ke depan pada se-
buah Pulau yang bila terlihat dari atas berbentuk
seperti angsa. Lama dia ter-menung begitu, ketika
si orang tua menegurnya dengan suara perlahan.
"Sudahlah Jarot. Semua itu kau lakukan tanpa
sadar...."
Pemuda itu memalingkan wajah dan menatap
orang tua yang tak lain dari gurunya sendiri. Ke-
mudian ia duduk perlahan.
"Aku akan membalasnya meski dengan taru-
han nyawa, Eyang...."
"Ya, ya... aku tahu apa yang kau rasakan saat
ini...."
"Ini betul-betul telah memalukan nama baik
Guru. Ah, aku memang murid yang tak bergu-
na...."
"Jangan berkata begitu, Jarot. Semuanya kini
telah berlalu."
"Tapi dari semula seharusnya aku sudah tahu
bahwa orang itu bermaksud jahat. Rasanya lebih
baik saat itu aku mati daripada menanggung aib
begini."
"Bukankah kau akan menebusnya kini? Nah,
jangan dipersoalkan lagi hal itu. Walaupun kita
harus mati, tapi setidaknya niat kita di dengar
oleh Yang Maha Kuasa. Mudah-mudahan segala
dosa-dosamu diampuni."
Keduanya terdiam beberapa saat lamanya. Ra-
kit mulai mendekat ke arah Pulau. Sekitar sepu-
luh tombak dari tepi daratan terlihat beberapa
buah tonggak bambu. Ki Dharmasutra mulai curi-
ga. Penglihatannya yang tajam menatap lurus ke
bawah permukaan air. Tonggak itu ternyata meru-
pakan tiang-tiang pancang dari deretan pagar
bambu yang tingginya tiga jengkal di bawah per-
mukaan air. Pagar itu terus melingkar seolah
mengelilingi Pulau. Ki Dharmasutra pun melihat
banyak sekali ikan sebesar batang kelapa yang be-
renang hilir mudik di dekat rakit mereka.
"Jarot, tempat ini mencurigakan sekali. Apa-
kah ada sesuatu yang kau ingat? Ikan-ikan ini
nampaknya bukan ikan sembarangan...."
Jarot menatap tajam ke bawah air sambil
mengingat-ingat sesuatu.
"Entahlah, Eyang. Tapi rasa-rasanya ada
bayangan di ingatanku tentang kejadian beberapa
hari yang lalu. Temanku dibuang didekat sini dan
ketika itu juga ia menjerit-jerit. Air telaga sesaat
berwarna merah darah...."
"Hmm, ikan-ikan buas...!" desis Ki Dharmasu-
tra waspada.
Pada saat itu juga dari tepi telaga berjejer be-
berapa orang dengan sikap menunggu kedatangan
mereka. Jarot menggeram dengan wajah garang.
"Eyang, agaknya mereka telah mengetahui ke-
hadiran kita."
"Bagus! Itu akan lebih baik lagi."
Ki Dharmasutra bersiap-siap sambil meng-
genggam erat pedang di tangannya. Sorot matanya
terlihat mantap. Sekilas dilihatnya beberapa tong-
gak bambu lagi yang merupakan sandaran pagar
di bawah permukaan air. Itu tentu batas kurun-
gan tiga tombak dari tepi telaga.
Baru saja rakit mereka berada di atas pagar
bambu itu, sekonyong-konyong melesat beberapa
orang dari daratan dengan senjata terhunus.
"Hiyaa...!"
"Siap Jarot!"
"Siap Eyang!" sahut Jarot sambil mencabut go-
loknya.
Dua orang pertama yang hampir menjejakkan
kaki di atas rakit itu mengayunkan senjata mere-
ka. Yang seorang memegang sepasang trisula dan
seorang lagi bersenjatakan pedang pendek. Ki
Dharmasutra beserta muridnya langsung memba-
batkan senjata mereka.
"Sreeet!"
"Trang!"
"Haiiit!"
Yang memakai pedang pendek terkejut ka-get
melihat wajah Jarot hingga untuk sesaat dia tak
bersiaga.
Dengan mudah Jarot menangkis lalu men-
gayunkan kaki menendang perut lawan. Orang itu
terjengkang dan tercebur ke air. Saat itu juga air
telaga berkecipak ketika beberapa ikan menyerbu
ke arahnya.
"Aaaa...!"
Air telaga memerah ketika orang itu menjerit
keras. Tubuhnya tenggelam ke dasar telaga tanpa
secuil pun tersisa dari tubuhnya. Jarot pun terpa-
na melihat itu. Dalam bayangannya pasti lawan-
nya tadi tak menyangka bahwa yang di atas rakit
itu adalah orang yang termasuk dalam jajaran
tangan kanan Hantu Bukit Angsa, sehingga ia tak
berani meneruskan serangan. Akhirnya ia sendiri
yang mesti binasa di mulut ikan-ikan buas yang
sengaja dipelihara Hantu Bukit Angsa.
Sementara itu dengan tak mengalami ke-
sulitan Ki Dhamasutra menangkis serangan trisu-
la lawan dan menyentakkannya ke atas. Lawan
terpekik nyaring pada saat itu juga kaki si Pende-
kar Bambu Kuning menghantam dada.
"Aaaa...!"
Tubuhnya tercebur ke air telaga. Seperti te-
mannya yang pertama, ia pun menjadi santapan
hewan-hewan buas di dalam telaga itu.
Melihat kejadian itu orang-orang yang berdiri
di pinggir telaga tak ada yang berani lagi mencoba-
coba untuk menyerang kedua orang asing itu.
Agaknya mereka menunggu keduanya sampai di
daratan lebih dulu. Tapi Ki Dharmasutra dan Ja-
rot berpikiran lain.
"Siap Jarot? Kerahkan ilmu peringan tubuhmu
dalam sikap waspada dan menjaga segala ke-
mungkinan serangan lawan."
"Siap Eyang!"
"Bagus!"
"Hiyaaa...!"
Setelah memberi komando, tubuh keduanya
mencelat dari atas rakit itu dan bersalto beberapa
kali di udara. Namun belum lagi keduanya menje-
jakkan kaki, saat itu juga empat orang lawan lang-
sung mengejar dengan senjata terhunus.
"Yeaaa...!"
"Trang!"
"Crass!"
"Akh!"
Ki Dharmasutra dan Jarot betul-betul menga-
muk. Kedua senjata mereka berkelebat cepat dan
dibarengi tenaga dalam kuat. Dalam sekejapan sa-
ja dua orang menjerit keras ketika perut mereka
robek lebar dibabat golok dan pedang lawan. Dan
ketika keduanya kembali mengayunkan senjata,
dua orang teman lainnya menyusul ke akherat.
Yang seorang lehernya hampir putus, sedangkan
yang satu lagi jantungnya ditembus golok Jarot.
"Aaaa...!"
"Jarot!" bentak salah seorang lawan yang meli-
hat kehadirannya. "Kenapa kau ke sini?"
Pemuda berkumis melintang itu menoleh. Seo-
rang laki-laki bertubuh besar dengan wajah bre-
wok nampak bertolak pinggang didekatnya.
"Siapa kau?" Jarot balas membentak.
"Kurang ajar! Kau tak mengenalku lagi setelah
membelot dari junjungan kita?!"
"Junjungan siapa?"
***
"Keparat kau Jarot! Kau akan mampus di tan-
gan junjungan kita, paduka Yang Mulia Hantu
Bukit Angsa!"
"Huh, justru kedatanganku ke sini untuk me-
menggal kepala monyet busuk itu!" dengus Jarot.
Si brewok mendelik matanya mendengar kata-
kata itu. Dia bermaksud membentak kalau saja
seorang tua bungkuk tak langsung menyela niat-
nya.
"Walukarnawa, siapa suruh kau debat omong
dengan mereka?! Ayo, perintahkan yang lain un-
tuk memenggal kepala keduanya!"
"Baik, Ki Sapan Oyot!" sahut si brewok berna-
ma Walukarnawa dengan patuh. Sekali dia men-
gacungkan tangan, maka belasan orang-orang
berbaju hitam dengan senjata golok langsung
mengurung keduanya. Kemudian tanpa dikoman-
do langsung menyerang dengan ganas.
"Hiyaaa...!"
"Yeaaa...!"
"Trang! Trang!"
Kali ini si Pendekar Bambu Kuning beserta
muridnya agak sulit menjatuhkan lawan. Kepan-
daian mereka cukup lumayan. Apalagi permainan
golok yang rapi dan teratur. Walau demikian pada
tiga jurus yang telah berlangsung, keduanya dapat
mengukur kepandaian seorang lawan tak lebih da-
ri satu tingkat di bawah kepandaian Jarot. Dan
belasan orang yang mengeroyok dengan kepan-
daian segitu tentu saja cukup merepotkan. Buk-
tinya ketika memasuki jurus kelima, keduanya
terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang
mereka miliki.
"Hiyaaa...!"
"Trang!"
"Cres! Crab!"
"Akh!
Dalam satu kesempatan, ujung pedang Pende-
kar Bambu Kuning berhasil merobek pinggang la
wan. Pada saat yang bersamaan golok Jarot pun
membabat sebelah kaki lawannya hingga buntung.
Dan ketika kedua senjata mereka kembali berkele-
bat, dua orang korban lagi jatuh. Walau tak terlalu
parah, paling tidak ujung senjata mereka berhasil
melukai lawan. Tapi saat itulah terdengar teriakan
seseorang yang langsung turun ke arena.
"Hiyaaa...!"
Melihat hal itu Jarot langsung melompat
menghadang. Dilihatnya lawan pun agaknya tak
terpaut jauh.
"Trang!"
"Uts!"
"Yeaaa...!"
Ketika kedua senjata mereka beradu, Jarot da-
pat merasakan bahwa tenaga dalam berimbang
dengannya. Tak heran bila ia sedikit merasakan
tangannya yang ngilu dan kesemutan. Tubuh ke-
duanya bergetar dan masing-masing melompat ke
belakang. Namun ketika kedua kakinya menjejak
di tanah, si pemuda bersenjatakan keris itu kem-
bali melompat menyerang Jarot dengan garang.
Jarot sendiri saat itu sedang menghadang bebera-
pa orang pengeroyoknya.
"Jarot, jaga dirimu!" teriak Ki Dharmasutra
memperingatkan.
"Diam kau tua bangka! Kau jaga dirimu sendi-
ri! Hiyaaa...!" bentak Walukarnawa. Dulu dikenal
sebagai Dedemit Rimba Iblis sebelum menjadi kaki
tangan Hantu Bukit Angsa.
"Hmm, babi busuk! Kesinilah biar ku sembelih
lehermu!" geram Ki Dharmasutra.
"Trang!"
"Wuuk!"
Pedangnya menangkis golok besar Walukarna-
wa dengan sengit. Dalam benturan itu Ki Dharma
sutra dapat merasakan bahwa tenaga dalam lawan
sedikit berada di bawahnya. Seharusnya ia bisa
menekan dan soal menghabisi lawan tinggal me-
nunggu waktunya saja. Tapi kepandaian lawan
ternyata tidak terbatas sampai di situ saja, walau
tubuhnya besar, gerakannya cukup ringan. Dan ia
pun cukup cerdik untuk menyerang Ki Dharmasu-
tra pada saat yang lainnya sedang mengeroyok
orang tua itu. Sehingga keadaan Ki Dharmasutra
bukan menguntungkan, malah semakin memba-
hayakan dirinya sendiri.
"Ha ha ha...! Sebaiknya menyerah saja kau tua
bangka dan bergabung dengan junjungan kami!"
kata Walukarnawa sambil terkekeh. "Percuma ka-
lian bertahan. Nyawamu sendiri di ujung tanduk."
"Huh, tertawalah sepuasmu tapi jangan harap
aku sudi bekerja dengan iblis terkutuk seperti ka-
lian!"
"Keras kepala! Kalau begitu kalian memilih
mati, baik!"
Walukarnawa menggeram. Gerakan golok be-
sar di tangannya semakin cepat menyerang Ki
Dharmasutra. Sebenarnya ia masih mampu bah-
kan mengungguli permainan golok lawan, sebab
ilmu pedangnya sendiri boleh disebut telah men-
capai taraf sempurna. Namun karena ia harus
membagi perhatian dengan pengeroyoknya yang
lain, permainan pedangnya jadi tak tertuju pada
Walukarnawa. Dan lawan yang memang memiliki
permainan ilmu golok yang tangguh semakin
mendesak saja pertahanan si Pendekar Bambu
Kuning. Hingga dalam satu kesempatan ujung go-
loknya berhasil menggores dada lawan.
"Sreeet!
"Ukhh!"
Ki Dharmasutra mengeluh pelan. Namun tak
ada waktu untuk berlama-lama sebab para penge-
royoknya kembali membabatkan golok mereka.
Sedangkan serangan susulan Walukarnawa sema-
kin dahsyat saja dirasanya.
"Mampuslah kau tua bangka busuk!"
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Ki Dharmasutra menjerit keras ketika salah
satu ujung golok lawan menembus paha kirinya.
Namun pedangnya pun cepat membalas dan
membabat buntung lengan lawan.
"Crass!"
"Eyaaang...!" Jarot tersentak mendengar jeritan
gurunya. Sayang keadaannya pun tak lebih baik
dari gurunya. Sekujur tubuhnya penuh dengan
goresan luka. Dan ketika perhatiannya terbagi ka-
rena mencemaskan keadaan gurunya, maka saat
itu pula lawan tangguhnya, si pemuda yang ber-
senjatakan keris itu dengan cepat menyabetkan
senjata.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Cress!"
Jarot menjerit kecil tertahan. Walau pun dia
berusaha untuk menghindar namun ujung keris
lawan lebih cepat lagi bergerak. Masih untung
hanya punggungnya yang tergores, sebab kalau
saja terlambat sedikit menghindar niscaya keris
lawan akan menghunjam di punggung kirinya me-
nembus ke jantung.
"Keparat...!" makinya. Sepasang matanya
membesar dengan wajah penuh amarah. Tapi dia
tak punya waktu untuk berlama-lama, Begitu
menjejakkan kaki, pada saat itu pula pengeroyok
nya yang lain menyerbu. Terpaksa ia memperta-
hankan selembar nyawanya lebih dulu mati-
matian.
Nasib keduanya seperti telah ditentukan bah-
wa mereka tak akan bisa bertahan lama. Dalam
dua jurus di muka keduanya pasti tewas ditembus
senjata-senjata lawan.
*
* *
DELAPA
Sebenarnya letak Pulau Angsa, bahkan Telaga
Sarangan sendiri Bayu masih asing. Namun sete-
lah bertanya ke sana ke mari akhirnya tempat itu
ditemuinya juga. Dengan bantuan sebatang kayu
yang agak lebar, Bayu menjadikannya sebagai pe-
rahu. Sambil mendayung ia mengerahkan tenaga
dalamnya hingga batang kayu itu berjalan dengan
cepat ke tengah pulau. Dan pandangannya yang
tajam melihat puluhan ikan-ikan besar berenang
didekatnya. Bahkan beberapa ekor ikan dengan
beraninya menggoyang-goyangkan batang kayu
itu.
"Uts! Sialan!" maki Bayu sambil menjaga ke-
seimbangan tubuhnya. Namun ikan-ikan itu
agaknya semakin berani saja. Melihat bahwa kayu
yang digunakan Bayu sebagai perahu mereka
goyangkan, makin banyak saja ikan-ikan itu men-
gerubutinya dan menggoyang-goyangkan batang
kayu itu.
"Bangsat! Hih, terima bagianmu ikan sialan!"
"Prak!"
Kayu kecil di tangan Bayu yang digunakannya
sebagai pendayung diayunkan menghantam beberapa ekor ikan didekatnya. Suara kecipak air ber-
golak deras. Beberapa ekor menggelepar-gelepar
dengan luka yang cukup parah. Bau darah mereka
ternyata mengundang selera kawan-kawannya
yang lain untuk memalingkan perhatian. Dalam
sekejap ikan-ikan yang menjadi korban pendayung
Bayu menjadi korban kawan-kawannya sendiri.
"Dasar binatang!" maki Bayu sambil mengayuh
batang kayu itu ke tepi telaga. Pada jarak demi-
kian telinganya mendengar suara pertarungan
yang diperkirakan tak jauh dari tepi telaga. Pen-
glihatannya yang tajam mampu memandangi siapa
yang bertarung itu.
"Astaga, si Pendekar Bambu Kuning dan mu-
ridnya!"
Melihat itu tangannya lebih cepat mengayuh.
Tiren yang sejak tadi melihat kebuasan ikan-ikan
di tempat itu, bergidik ngeri dan diam seribu ba-
hasa di pundak tuannya itu.
"Hup!"
Bayu melompat ke daratan. Tak seorangpun
yang memperhatikannya. Dilihatnya pada saat itu
Ki Dharmasutra serta muridnya dalam keadaan
terdesak dan nyawa mereka di ujung tanduk.
Bayu mengibaskan tangannya. Detik itu juga
mendesing benda berwarna keperakan menerpa
para pengeroyok itu.
"Trak!"
"Cress!"
"Aaaa...!"
Semua yang berada di situ langsung mema-
lingkan muka.
"Pendekar Pulau Neraka!" desis Ki Sapan Oyot
yang lebih dulu mengenali senjata Cakra Maut
yang masih mendesing-desing mencari korban ba-
runya lagi. Sebelum senjata itu memakan korban
lebih banyak lagi, orang tua bongkok itu cepat ber-
tindak.
"Clutak Anglira, bawa anak buahmu untuk
menyingkirkannya! Dan kau Walukarnawa ting-
galkan lawanmu dan bereskan pemuda itu.”
Seorang bertubuh besar seperti Walukarnawa
langsung mengajak beberapa orang yang menge-
nakan pakaian kuning-kuning menghadang si
Pendekar Pulau Neraka. Orang inilah yang dipang-
gil Clutak Anglira. Dahinya botak dan sepasang
matanya juling. Di tangannya tergenggam seba-
tang tongkat terbuat dari baja hitam, dan ujung-
nya terlihat sebuah golok yang berukuran besar.
Orang ini dalam jajaran tangan Hantu Bukit Angsa
termasuk orang kedua setelah Ki Sapan Oyot.
"Hmm, kau rupanya yang bernama Pendekar
Pulau Neraka. Ingin kulihat sampai di mana kehe-
batan orang yang namanya menggetarkan rimba
persilatan belakangan ini," dengus Clutak Anglira.
Dia memang tak mengenal Bayu sebelumnya.
Orang ini adalah bekas perompak yang jarang be-
rada di daratan. Ketika melihat bahwa kepan-
daiannya cukup tinggi, maka Hantu Bukit Angsa
pun mengambilnya menjadi anak buah. Tentu saja
bukan dengan cara-cara baik-baik, melainkan
mengalahkannya dalam pertarungan, lalu mence-
kokinya dengan ramuan yang membuat orang lupa
akan segalanya selain patuh pada perintah Hantu
Bukit Angsa.
"Anjing-anjing Hantu Bukit Angsa seperti ka-
lian memang sepatutnya mampus!" balas Bayu
sambil mengibaskan tangan kanannya sehingga
Cakra Mautnya yang tadi melayang kembali ke
pergelangan tangannya dengan cepat.
"Jangan banyak omong kau bocah. Terimalah
kematianmu!"
"Hiyaaa...!"
Tanpa membuang-buang waktu lagi Clutak
Anglira bersama anak buahnya yang dibantu Wa-
lukarnawa langsung menyerang Bayu dengan ga-
nas dan bernafsu sekali. Tak heran bila mereka
bersikap demikian. Hantu Bukit Angsa memang
sangat menginginkan sekali kematian si Pendekar
Pulau Neraka. Dan bila mereka berhasil melaku-
kan itu agaknya bakti mereka akan lebih mulia
pada Hantu Bukit Angsa.
***
Sementara itu melihat lawan semakin berku-
rang, Ki Dharmasutra dan Jarot bangkit kembali
semangatnya. Lebih-lebih saat melihat kehadiran
Pendekar Pulau Neraka di tempat itu. Tapi kalau
berharap lawan mereka menjadi lemah, dugaan
mereka salah. Sebab begitu Walukarnawa dialih-
kan perhatiannya pada si Pendekar Pulau Neraka,
maka saat itu pula Ki Sapan Oyot memerintahkan
tokoh-tokoh lain yang masih termasuk dalam jaja-
ran tangan kanan Hantu Bukit Angsa untuk
menghabisi si Pendekar Bambu Kuning dan mu-
ridnya. Dan sebagai tangan kanan, sudah jelas
kepandaian mereka tak rendah.
Bayu sendiri mengetahui bahwa dia telah ber-
hadapan dengan orang-orangnya Hantu Bukit
Angsa, bertindak tak kepalang tanggung. Cakra
maut di tangannya melesat begitu tangan kanan-
nya terkibas ke atas. Beberapa orang pengeroyok-
nya menjadi korban dan tewas dengan cara yang
mengerikan. Tapi Cakra Maut itu terus mendesing
mencari korban selanjutnya selagi Bayu sibuk
menghindari serangan-serangan maut Clutak An-
glira dan Walukarnawa serta anak buahnya.
"Hiyaaa...!"
"Bughk!"
"Prak!"
"Aaaa...!"
Di antara kelebatan senjata lawan, kedua tan-
gannya masih sempat menghantamkan pukulan
mematikan yang membuat beberapa orang penge-
royoknya menjerit setinggi langit sambil berkelojo-
tan.
"Nguk! Nguuk!" Tiren pun agaknya terangsang
gairahnya untuk menghajar lawan melihat Bayu
sibuk bertarung dalam suasana yang ramai itu.
Dia nemplok di kepala salah seorang dan mengo-
rek biji mata lawannya. Karuan saja orang itu
menjerit-jerit kesakitan. Begitu seorang temannya
membabatkan pedang, Tiren melompat cepat ke
kepala yang lain dan pedang itu terus menghan-
tam kening temannya tadi.
"Aaaa...!"
"Bagus, Tireen! Bagus!" puji Bayu sambil ter-
tawa lebar melihat lawannya menghajar kepala
temannya sendiri. Orang itu terkejut dan merasa
bersalah. Pada saat itu kaki kanan Bayu dengan
cepat menghajar dagunya. "Mampus!"
"Kraaak!"
"Aaaakh...!"
Tubuh orang itu terlempar sejauh tiga tombak
dengan rahang pecah. Dia cuma bisa menjerit ke-
cil, dan tiba di tanah dengan nyawa melayang. Ba-
tok kepalanya terkulai menandai tulang lehernya
yang patah.
Sebentar saja di tempat itu terjadi banjir darah
hebat akibat amukan Pendekar Pulau Neraka dan
Cakra Mautnya. Hingga tinggal tersisa Walukar-
nawa dan Clutak Anglira yang masih penasaran.
"Ke sini babi-babi busuk! Biar ku sate tubuh
kalian yang buntal itu!" ejek Bayu.
"Keparat!" Clutak Anglira dan Walukarnawa
menyerang berbarengan.
Saat itu juga Ki Sapan Oyot memerintahkan
orang-orang yang mengeroyok si Pendekar Bambu
Kuning dan muridnya agar membantu menghabisi
si Pendekar Pulau Neraka.
"Keparat-keparat busuk! Majulah kalian se-
mua!" bentak Bayu garang. Tangan kanannya ter-
kibas ke atas, dan Cakra Maut kembali melesat.
"Hiyaaa...!"
"Trak!"
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
Kali ini Bayu betul-betul memuncak amarah-
nya. Bukan saja ia merasa dirinya terancam hebat,
namun saat itu juga Ki Sapan Oyot mencari sela
untuk mengirim pisau-pisau beracunnya ke arah
Pendekar Pulau Neraka. Tadinya Bayu tak mengira
bahwa pisau itu beracun. Refleknya bekerja hanya
untuk menghindari luka. Namun ketika beberapa
buah pisau itu menancap pada korban lain, reak-
sinya sungguh hebat. Orang itu berteriak-teriak
histeris. Sekujur tubuhnya memerah seperti kepit-
ing direbus dan dari mulutnya keluar busa ber-
campur liur berwarna kuning kehitaman. Orang
itu tewas beberapa saat kemudian.
"Dasar iblis keparat! Agaknya kalian ingin be-
tul mencabut nyawaku. Hiyaaa...!"
Dengan mengerahkan tenaga dalam hampir
sepenuhnya, gerakan Bayu bukan saja cepat tapi
juga kuat. Desir angin tubuhnya berkelebat bukan
main hebatnya seperti sapuan angin badai topan.
Begitu juga halnya gerakan Cakra Maut yang se-
makin tak tertahankan oleh lawan-lawannya.
"Trass!"
"Crab!"
"Aaaa...!"
***
Tiga orang kembali menyusul temannya terke-
na hantaman tinju kanan dan tendangan Bayu.
Satu di perut hingga orang itu terangkat tinggi sa-
tu tombak dengan darah muncrat dari mulut. Dua
orang lagi masing-masing terkena hajaran di dada
hingga tulang rusuknya melesak ke dalam, dan si-
sanya di dada sebelah kiri hingga jantungnya pe-
cah dihimpit tulang rusuknya yang patah.
"Hiyaaa...!" Bayu mengibaskan tangan kanan,
dan saat itu Cakra maut melesat ke arah Walu-
karnawa. Orang itu berusaha menangkis dengan
golok besarnya.
"Trak!"
"Crab!"
"Aaaakh!"
Tubuh tinggi besar itu sempoyongan sambil
mendekap dada. Golok besarnya patah menjadi
dua, dan Cakra Maut terus menghantam dada se-
belah kirinya hingga menembus punggung.
"Haiiit...!"
"Uts, ha...!"
Bayu cepat berkelit ketika ujung sebuah keris
di tangan seorang pemuda yang dianggapnya me-
miliki kepandaian lumayan nyaris menembus da-
da. Tangan kirinya cepat menangkap pergelangan
lengan lawan, dan tangan kanan balik menghajar
dada kiri pemuda itu.
"Begkh!"
"Akh...!"
Walau terlihat pelan sesungguhnya pukulan
itu mengandung tenaga dalam kuat. Pemuda itu
nampak tersedak menjerit tertahan. Tubuhnya
mencelat satu tombak dengan darah kental me-
muncrat dari mulutnya. Nyawanya tak tertolong
lagi setelah tubuh menggelepar-gelepar seperti
ayam dipotong.
Dalam beberapa kejap saja terlihat sisa-sisa
anak buah Hantu Bukit Angsa tinggal beberapa
orang saja termasuk Clutak Anglira dan Ki Sapan
Oyot. Melihat itu Ki Sapan Oyot langsung turun
tangan menyerang Bayu. Tubuhnya melompat rin-
gan bagai seekor Walet menyambar kepala Pende-
kar Pulau Neraka.
"Hiyaaa...!"
"Haiiit...!"
"Trak! Trak!"
Sambil melayang begitu Ki Sapan Oyot masih
sempat melepaskan pisau-pisau beracunnya. Na-
mun semuanya rontok dihantam Cakra maut Pen-
dekar Pulau Neraka. Ki Sapan Oyot menggeram
marah. Pada saat yang bersamaan permainan
tongkat Clutak Anglira semakin menggila saja me-
nyerang pemuda itu.
"Hiyaaa...!"
"Uts!"
"Bet!"
Untuk ke sekian kalinya Bayu berhasil meng-
hindar dari serangan lawan. Sambil menundukkan
kepala menghindari tamparan Ki Sapan Oyot, tu-
buhnya mencelat bagai seekor katak menghindari
sabetan tongkat Clutak Anglira dan langsung
menghantam tinju ke dada Ki Sapan Oyot.
"Plak! Plak!"
"Ughk...!"
Bayu tersentak kaget begitu merasakan tenaga
dalam lawan saat orang bongkok itu menangkis
serangannya. Tenaga dalamnya kuat dan belum
tentu berada di bawahnya. Tangannya bukan saja
kesemutan, tapi juga terasa ngilu.
Sementara itu melihat aksi si Pendekar Pulau
Neraka, Ki Dharmasutra dan Jarot, muridnya tak
mau tinggal diam. Mereka pun ikut menghajar la-
wan-lawan pemuda itu. Dan ketika lawan terakhir
tewas, keduanya langsung berhadapan dengan
Clutak Anglira sehingga Pendekar Pulau Neraka
merasa agak ringan menghadapi lawannya.
"Hmm, ternyata benar apa yang diberitakan
orang. Nama Pendekar Pulau Neraka bukan hanya
omong kosong belaka. Kau cukup berisi. Bocah!"
puji Ki Sapan Oyot jujur.
"Kau pun sungguh hebat, orang tua. Sayang
jalanmu sesat, kalau tidak aku akan senang sekali
bersahabat denganmu."
"Kau tak akan mengerti apa-apa soal balas bu-
di, beda denganku. Setitik budi orang harus diba-
las meski nyawa taruhannya. Apalagi harus me-
mikul segunung budi orang lain... nyawaku bukan
apa-apa. Walau perintahnya bertentangan dengan
hatiku bukan masalah."
"Pada siapa kau berhutang budi? Pada Hantu
Bukit Angsa?"
"Betul. Dia pernah menolongku saat orang-
orang mengejek dan menganiayaku, dan mengaja-
riku ilmu silat. Budinya sebesar gunung. Nah, tak
usah banyak omong lagi, Bocah. Kau harus mati
saat ini juga."
"Hiyaaa...!"
"Siiing!"
Beberapa buah pisau beracunnya kembali me-
lesat. Namun seperti tadi, rontok kembali dipapas
Cakra Maut. Senjata itu terus melesat menyerang
Ki Sapan Oyot. Tapi orang tua itu dapat menghindar dengan gesit. Bahkan mampu balas menye-
rang Bayu.
"Splak!"
"Uts!"
Tamparan tangan kanannya yang melayang ke
arah batok kepala pemuda itu ditangkis oleh Bayu
dengan tangan kanannya. Kembali Bayu merasa
tangannya linu. Namun demikian lawan masih
mampu melepaskan serangan berikutnya lewat
tangan kiri ke dada Bayu. Pendekar Pulau Neraka
memiringkan tubuh. Kaki kanannya terayun me-
nyapu perut lawan. Dengan beraninya Ki Sapan
Oyot memapaki dengan tangan kanannya meng-
hantam tulang kering. Bayu buru-buru menarik
kakinya dan berganti kaki kirinya yang menyapu
kepala si tua bongkok itu.
"Wuuut!"
"Haiiit...!"
Walau pun mampu menghindari serangan
Bayu, Ki Sapan Oyot perlahan-lahan agak kerepo-
tan juga karena Cakra Maut lawan selalu melesat
ke arahnya dengan kecepatan tinggi. Sedikit saja
salah berkelit, niscaya tubuhnya akan robek di-
hantam senjata itu.
"Akh!"
Clutak Anglira menjerit ketika ujung pedang Ki
Dharmasutra berhasil menggores punggungnya.
Tapi di pihak mereka pun mendapat balasan kare-
na dengan tiba-tiba ujung tongkatnya yang meru-
pakan golok berhasil membabat sebelah kaki Jarot
yang terlambat menghindar.
"Aaaa...!"
"Tabahkan hatimu, Jarot! Jangan perlihatkan
pada mereka sedikit pun rasa gentar!" kata Ki
Dharmasutra.
Jarot menggigit bibir menahan rasa sakit. Walau pun berkaki satu namun gerakannya masih
cukup gesit meski ia harus menggempos tenaga
lebih banyak agar tubuhnya enteng saat menye-
rang dan menghindar. Dan kali ini dilihatnya pula
gerakan pedang gurunya semakin menggila. Agak-
nya ia mulai menyadari bahwa gurunya mulai tak
memperhitungkan pertahanan diri lagi namun
mengerahkan segenap perhatiannya dalam penye-
rangan. Hal itu memang terlihat hebat, namun se-
kali mendapat balasan dari lawan, kecil kemung-
kinannya untuk tidak terluka.
***
Sementara itu pertarungan antara si Pendekar
Pulau Neraka dan Ki Sapan Oyot telah berlang-
sung pada puncaknya. Keduanya saling menge-
rahkan segenap kepandaiannya untuk menjatuh-
kan lawan. Tapi melihat keadaan sebenarnya, Ki
Sapan Oyot boleh dibilang tak menguntungkan.
Selain berhadapan dengan Pendekar Pulau Nera-
ka, ia pun mesti memperhitungkan Cakra Maut
yang sejak awal tadi terus mengejarnya.
"Hiyaaaa...!"
"Plak!"
"Bughk!"
"Hughk...!"
Dalam satu kesempatan Bayu kembali me-
ngibaskan tangan kanan, dan detik itu juga Cakra
Maut yang baru melekat ke pergelangan tangan-
nya, kembali melesat cepat menghantam leher Ki
Sapan Oyot tanpa diduga oleh lawan sama sekali.
Di belakangnya Bayu mengikuti dengan tangan
terkepal siap menghajar batok kepala lawan. Ki
Sapan Oyot berhasil menghindari Cakra Maut,
namun ia tak punya kesempatan mengelak dari
tinju kanan Bayu selain menangkisnya secara un-
tung-untungan. Namun secara tak disangka Bayu
menarik kembali tangan kanannya dan menghan-
tam tinju kiri ke dada lawan dengan telak. Ki Sa-
pan Oyot menjerit kecil. Tapi kaki kirinya sempat
menghajar perut Bayu. Keduanya terhuyung-
huyung ke belakang dengan darah menetes di
ujung bibir.
Pada saat itulah Cakra Maut yang pada seran-
gan pertama dapat dielakkan, berbalik menyerang
orang tua bongkok itu, dan dengan cepat me-
nyambar leher kembali.
"Cress!"
"Aaaa...!"
Ki Sapan Oyot cuma bisa menjerit tertahan ke-
tika batok kepalanya menggelinding. Tubuh tanpa
kepala itu meregang sesaat sebelum ambruk dan
tak bergerak lagi selamanya.
Tak berapa lama setelah itu terdengar jeritan
setinggi langit ketika ujung pedang Ki Dharmasu-
tra kembali merobek perut lawan. Jarot tak me-
nyia-nyiakan kesempatan itu. Goloknya langsung
menghunjam kejantung lawan.
"Crab!"
"Aaaa...!"
Clutak Anglira tumbang, sepasang matanya
melotot dan wajahnya mati penasaran. Ki Dhar-
masutra dan Jarot belum sempat menghela nafas
lega ketika satu bayangan menyambar ke arah
Pendekar Pulau Neraka.
"Tuan Pendekar, awas!" teriak Jarot mem-
peringati.
Bayu yang saat itu sedang duduk untuk mene-
tralisir aliran darahnya yang sempat kacau, buru-
buru menggulingkan tubuh. Bayangan kecil yang
menyambar ternyata berasal dari seekor burung
jalak dengan bulu keemasan. Tapi detik itu juga
pendengarannya yang tajam merasakan desiran
angin halus kembali menyambar ke arahnya. Den-
gan sisa tenaganya Bayu mengibaskan tangan ka-
nannya, Cakra Maut kembali mendesing memapa-
ki serangan lawan.
"Wusss...!"
Serangkum angin kencang menerpa dan mem-
buat senjata maut itu tertahan beberapa saat la-
manya. Tapi saat itu juga tubuh Bayu melentik ke
belakang dan menarik pulang Cakra Mautnya.
Sesosok tubuh tinggi kurus berdiri tegak tak
jauh di depannya. Sepasang matanya lebar dan
besar dengan hidung pesek dan rambut pendek
yang kaku. Bibirnya tipis dan mulutnya lebar agak
mancung. Orang itu tak mengenakan baju hingga
terlihat tulang-tulang rusuknya yang bertonjolan.
Dia pun hanya mengenakan celana pendek lusuh.
Sementara burung jalak tadi telah bertenggcr di
pundaknya.
"Hmm... jadi kaukah yang bergelar Pendekar
Pulau Neraka?" tanyanya dengan suara dingin.
"Begitulah. Apakah kau Hantu Bukit Angsa?"
"Ha ha ha...! Tak ada duanya Hantu Bukit
Angsa. Akulah orangnya. Sungguh hebat kepan-
daianmu, Bocah. Anak buahku habis sudah kau
bantai. Tapi kali ini tiba giliranmu untuk meleng-
kapi jumlah mereka."
Selesai berkata demikian tubuh Hantu Bukit
Angsa melesat seringan kapas tertiup angin ke
arah Bayu. Bayu bersiaga penuh. Kalau saja Ki
Sapan Oyot memiliki ilmu tinggi, apalagi gurunya
ini, pikirnya. Berpikir begitu, Bayu tak bermaksud
untuk memapaki serangan lawan, melainkan be-
rusaha menghindar. Tapi gerakan Hantu Bukit
Angsa betul-betul gila. Bayu belum sempat menghindar, tangan kanan lawan telah terarah ke dada.
Mau tak mau si Pendekar Pulau Neraka terpaksa
menangkis serangan dengan telapak tangan ka-
nannya.
"Plak!"
"Hughk!"
Bayu tersentak ke belakang dengan tubuh
sempoyongan. Pukulan lawan bukan saja mem-
buat tangannya linu, tapi juga seperti menghan-
tam dadanya dengan keras. Sudut bibirnya kem-
bali meneteskan darah kental. Wajah Bayu nam-
pak pucat menahan nyeri. Tapi pada saat itu juga
tubuh Hantu Bukit Angsa melesat kembali ke
arahnya dengan satu serangan mematikan.
"Hiyaaa...!"
Pada saat-saat yang kritis itu Ki Dharmasutra
nekat melompat menyerang Hantu Bukit Angsa
untuk menyelamatkan si Pendekar Pulau Neraka.
Padahal sebenarnya hal itu tak perlu sebab Bayu
telah mengibaskan tangan kanannya, dan detik itu
juga Cakra maut melesat ke arah lawan.
"Hup!"
"Prak!"
"Akh...!"
Dengan gerakan manis Hantu Bukit Angsa
mencelat ke atas menghindari sambaran Cakra
Maut, kemudian menukik tajam ke arah Ki Dhar-
masutra. Entah bagaimana ia melakukannya, tiba-
tiba saja pedang di tangan Pendekar Bambu Kun-
ing itu terpental entah ke mana. Sedang Ki Dhar-
masutra ambruk dengan leher patah dihantam la-
wan.
"Eyaaang...!" jerit Jarot melihat keadaan itu.
Tanpa memikirkan keadaannya lagi tubuhnya
langsung mencelat ke arah Hantu Bukit Angsa
sambil membabatkan golok.
Pada saat yang bersamaan tubuh Bayu pun
mencelat menyerang lawan.
"Hiyaaa...!"
"Buk! Buk!"
"Akh!
Dua pukulan beruntun terdengar. Satu men-
darat di perut Jarot, dan satu lagi di paha kanan
Bayu yang dilakukan Hantu Bukit Angsa. Tapi
Bayu pun berhasil mengayunkan kaki kirinya ke
dada lawan. Ketiganya mengeluh kesakitan. Na-
mun yang menderita lebih parah adalah Jarot.
Pemuda itu terlempar dua tombak dan darah se-
gar keluar dari mulutnya. Dia menggelepar-gelepar
dalam keadaan antara hidup dan mati. Pukulan
Hantu Bukit Angsa tadi rupanya cukup meremuk-
kan isi perutnya.
"Hup, yeaaaah...!"
Bayu kembali mengibaskan tangan kanannya.
Cakra Maut melesat ke arah Hantu Bukit Angsa
disusul dengan tubuhnya yang langsung mencelat
ke arah lawan. Tapi pada saat itu pula burung ja-
lak si Hantu Bukit Angsa menyambar ke arahnya.
Bayu terpaksa berkelit merasakan sambaran pa-
ruh hewan itu yang ganas.
"Nguk! Nguuk!"
"Bagus Tiren!" pujinya ketika melihat Tiren tu-
run tangan membantunya. Tiren memang tak bisa
terbang untuk mengejar burung itu, tapi ia cerdas
dan tangkas, dan juga bertenaga kuat. Diambilnya
kerikil-kerikil dan disambitnya ke arah burung itu
berkali-kali agar tak mengganggu Tuannya yang
sedang bertempur.
"Hati-hati, Tiren! Hewan itu beracun!"
"Nguk! Nguuk!"
Sementara itu sambaran Cakra Maut berhasil
dihindari Hantu Bukit Angsa. Dia sendiri langsung
memapaki serangan Bayu.
"Plak!"
"Hughk!"
Kembali pukulan mereka beradu, dan Bayu
semakin merasakan dadanya bertambah nyeri.
"Cress!"
"Akh!"
Kali ini Hantu Bukit Angsa menjerit kecil keti-
ka Cakra Maut berbalik menyerangnya kembali.
Agaknya ia pun merasakan nyeri di dada akibat
benturan tenaga dalam lewat pukulan tadi sehing-
ga gerakannya menjadi lamban.
"Hiyaaa...!"
Bayu mengibaskan tangan kanannya. Gerakan
Cakra Maut itu semakin gesit mengejar lawan.
"Cress! Cress!"
"Aaaa...!"
Hantu Bukit Angsa mengeluarkan jeritan pan-
jang agak tertahan. Ia cuma bisa menghindar se-
kali saja dari sambaran Cakra Maut itu. Ketika
benda itu berbalik menyambar perutnya hingga
robek, orang itu terpekik nyaring. Dan Cakra Maut
berbalik menyambar lehernya hingga putus. Ri-
wayat Hantu Bukit Angsa tamat seketika!
Bayu menghela nafas lega. Cakra Maut itu te-
lah kembali di pergelangan tangannya. Ia merang-
kak pelan memeriksa keadaan Jarot. Tapi pemuda
itu ternyata sudah tewas. Kembali Bayu menghela
nafas pendek sebelum meninggalkan pulau itu
dengan langkah tertatih. Sekilas ia membalikkan
tubuh dan melihat tempat itu yang dipenuhi
mayat-mayat sekali lagi. Kemudian dia berbalik
dan tak menoleh lagi ke belakang.
"Tuan Pendekar...!" jerit seorang gadis berbaju
merah berlari-lari kecil dari arah depan pintu ista-
na Hantu Bukit Angsa. Bayu tersentak kaget.
"Sekar Tanjung..." desisnya. "Ke mana Sekar
Harum?" tanyanya ketika gadis itu telah mende-
kat.
"Dia... dia bunuh diri karena malu telah terno-
da oleh Hantu Bukit Angsa...."
"Astaga...."
Untuk sesaat Bayu termenung sendiri dengan
wajah geram. Namun melihat gadis itu muram dan
sedih, buru-buru dia membujuknya. Gadis itu
menumpahkan kesedihan hatinya di dada bidang
Pendekar Pulau Neraka sebelum mereka mening-
galkan tempat itu.
Di ujung sana matahari mulai tenggelam, dan
burung malam mulai keluar dari sarangnya. Esok
kembali muncul dan sembunyi, seperti dendam
dan kebencian, di dunia ini!
"Nguuk!" Tiren yang telah membinasakan la-
wannya mengangguk di pundak Bayu.
Pendekar Pulau Neraka itu menepuk-nepuk
kepala monyet kecil itu sambil tersenyum lebar.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar