IBLIS ANGKARA MURKA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode:
Iblis Angkara Murka
128 hal ; 12 x 18 cm
SATU
Di bawah sinar matahari yang terik tampak dua so-
sok tubuh melangkah melintasi jalanan lebar. Jalan
tanah itu biasa digunakan orang untuk menuju Desa
Palang. Tidak seperti biasanya, suasana tampak len-
gang dan sunyi. Namun dua sosok tubuh itu keliha-
tannya tak menghiraukan keadaan. Mereka terus me-
langkah ke barat dengan tenang, bahkan sambil ber-
bincang-bincang.
“Aneh...,” tiba-tiba salah seorang dari mereka ber-
gumam seraya mengedarkan pandangan ke persawa-
han yang terbentang luas di kiri dan kanan jalan.
Mendengar ucapan kawannya lelaki berusia kurang
lebih dua puluh tahun dan berwajah tampan yang be-
rada di sampingnya menyempatkan diri menoleh. Se-
pasang matanya sempat mengawasi sekitar persawa-
han yang terlihat sunyi. Tak tampak seorang petani
pun bekerja di sana. Padahal biasanya siang seperti itu
masih ada satu-dua orang petani berada di sawah.
‘Kesunyian inikah yang kau anggap aneh, Kenan-
ga...?” tanya pemuda tampan berjubah putih, yang
tentu saja dapat kita kenali dengan baik. Sebab siapa
lagi yang melakukan perjalanan bersama Kenanga ka-
lau bukan Panji atau yang di kalangan persilatan di-
kenal sebagai Pendekar Naga Putih.
Kenanga, dara jelita laksana bidadari itu tak men-
jawab dengan kata-kata. Dirinya hanya mengangguk
tipis, kemudian mengedarkan pandangannya, melihat
persawahan yang terbentang luas. Namun, sejauh ma-
ta memandang, tetap tak seorang manusia pun dili-
hatnya, keadaan itu membuat keningnya berkerut.
“Hm..., kalau melihat tanaman padi yang baru saja
dituai, kukira saat ini para petani tengah berpesta-
pora. Mungkin panen musim ini berhasil baik. Sehing-
ga mereka enggan turun ke sawah dalam beberapa ha-
ri setelah panen. Kurasa hal ini bukanlah sesuatu
yang aneh...,” tukas Panji membuat kerutan di kening
kekasihnya lenyap. Sebab, apa yang dikatakan Panji
ada benarnya.
Kenanga mengangguk beberapa kali sambil terus
melangkah mengikuti kekasihnya menuju Desa Palang.
Tak lama kemudian mereka tiba di perbatasan desa.
Itu diketahui dari adanya gapura tapal batas desa.
“Kita langsung saja ke balai desa. Biasanya di sana-
lah pesta diadakan...,” usul Panji setelah melihat sua-
sana desa yang sepi bagaikan desa mati. Tak seorang
pun terlihat di sepanjang jalan.
“Kurasa kali ini dugaanmu keliru, Kakang...,” tukas
Kenanga yang memperhatikan lebih teliti beberapa
rumah di dekat mulut desa itu, “Coba perhatikan ru-
mah-rumah itu...!” lanjutnya memberi isyarat dengan
menunjuk rumah-rumah di dekat mulut desa.
Panji tentu saja tak meremehkan ucapan ke-
kasihnya. Pandang matanya memperhatikan beberapa
rumah terdekat Keningnya berkerut ketika melihat
rumah-rumah itu dalam keadaan rusak berat. Bahkan
dua di antaranya hangus terbakar. Tahulah Panji ka-
lau dugaannya kali ini memang keliru besar.
“Mungkin benar, bahwa penduduk desa ini baru se-
lesai menuai hasil sawah mereka. Tapi melihat kea-
daan rumah-rumah itu, kukira di desa ini baru saja
terjadi tindak kejahatan...,” ujar Kenanga ketika meli-
hat Panji terdiam menatapi dua rumah yang tinggal
puing-puing itu.
Pendekar Naga Putih itu pun setuju dengan penda-
pat dugaan Kenanga. Langsung saja tubuhnya melesat
ke depan, setelah berpesan agar Kenanga meneliti seki-
tar itu. Sementara dirinya hendak memeriksa lebih
jauh. Dan berniat untuk mencari rumah kepala desa.
Pemuda tampan berjubah putih itu terus menelusu-
ri jalan utama desa sambil melihat-lihat keadaan. Bu-
kan main kaget dan marahnya hati Panji ketika masuk
lebih jauh, makin banyak terlihat rumah penduduk
yang rusak berat dan hangus terbakar. Bahkan di sa-
na-sini dijumpai belasan sosok mayat, bergeletakan di
sepanjang jalan. Baru terasa bau anyir darah menusuk
hidung. Jelas sudah kalau Desa Palang baru saja di-
timpa malapetaka mengerikan!
“Iblis keji...!” geram Panji tanpa menghentikan lang-
kahnya hingga sampai di depan sebuah rumah besar,
yang dikelilingi pagar tembok tebal.
Di tempat ini pun Panji kembali dilanda kegeraman.
Karena di pekarangan rumah terlihat adanya mayat
para keamanan desa bergelimpangan dengan darah
yang mulai mengering. Melihat keadaan para mayat
Panji menduga kalau kejadiannya belum lama. Ke-
mungkinan baru malam tadi bencana itu terjadi.
Semula Panji hendak memeriksa keadaan di dalam
rumah kepala desa itu. Namun langkahnya tertunda
ketika mendengar ada suara tindakan halus dari sebe-
lah dalam. Dengan cepat tubuhnya melompat ke atas
pohon besar di sebelah kiri pekarangan rumah besar
itu. Kemudian bersembunyi di rimbunan daun pohon.
Tidak lama kemudian, muncullah dua sosok tubuh
dari dalam rumah. Panji yang bersembunyi di atas po-
hon mengerutkan keningnya. Karena dari cara dua so-
sok tubuh itu melangkah, dapat diketahui kalau mere-
ka bukanlah orang sembarangan. Langkah yang ringan
dan mantap itu menunjukkan ilmu meringankan tu-
buh yang tinggi. Bahkan sinar mata keduanya mem
perlihatkan tenaga dalam yang terhimpun dalam tu-
buh mereka. Hal itu membuat Panji bersikap hati-hati.
Dirinya yakin, pendengaran kedua orang itu tentu
sangat tajam. Mungkin bisa mendengar dengus napas-
nya. Pikiran itu membuat Panji berusaha mengatur ja-
lan nafasnya sehalus mungkin. Agar tidak sampai ter-
dengar mereka.
“Setan Penasaran, rupanya manusia sombong itu
kembali menunjukkan ulahnya. Mungkin ia ingin me-
nunjukkan kepada kita kalau kekuasaannya telah se-
makin besar...,” terdengar salah satu dari kedua sosok
yang bertubuh kecil kurus dengan wajah rusak bekas
penyakit cacar, berkata dengan nada meleng-king.
“Hm.... Meskipun begitu, tapi aku tetap tidak gentar
dan belum berniat untuk menjadi pengikutnya!” sosok
tinggal kulit terbalut tulang yang berjuluk Setan Pena-
saran menukas dengan nada tinggi, “Setan Penasaran
tak mudah untuk ditundukkan...,” lanjutnya menepuk
dadanya yang kerempeng. Matanya yang cekung ke da-
lam tampak menyorot tajam, menandakan kegeraman
hatinya. “Jadi kau sudah pernah didatangi manusia
sombong itu?” Tanya sosok kecil kurus berwajah bo-
peng, menatap kawannya dengan kepala menengadah.
“Belum. Manusia sombong itu cuma meninggalkan
sepucuk surat di tempat kediamanku. Meskipun per-
buatan itu cukup membuktikan kelihaiannya, tapi
aku, Setan Penasaran tetap tak sudi tunduk di bawah
kekuasaannya!” ujar Setan Penasaran dengan suara
mantap, menunjukkan kekerasan hatinya.
“Hhh.... Sayang saat ia datang mengirimkan surat
aku sedang tak ada di tempat. Jadi aku belum bisa
menebak sampai di mana kepandaian si sombong itu!
Kalau saja aku sempat bertemu muka secara lang-
sung, akan kutunjukkan bahwa Malaikat Kerdil pun
tak bisa dibuat main-main!”
Lelaki berwajah bopeng itu berkata geram. Kendati
wajah dan tubuhnya menunjukkan bahwa dirinya
orang lemah, namun julukan yang disandangnya be-
nar-benar membuat Panji terkejut. Sebab, kedua orang
tokoh itu merupakan gembong-gembong golongan hi-
tam, yang memiliki kesaktian setingkat dengan seorang
datuk.
“Gila...?! Bagaimana kedua orang tokoh sesat itu
sampai bisa berada di tempat ini...?! Bisa celaka kalau
aku sampai diketahui mereka...!” desis Panji yang se-
gera menahan napas saat dua sosok tubuh itu melan-
jutkan langkahnya, di antara mayat-mayat yang berge-
letakan menghalang jalan.
Hati Panji berdebar ketika Setan Penasaran dan Ma-
laikat Kerdil tiba-tiba menghentikan langkah tepat di
bawah pohon tempatnya bersembunyi. Tentu saja hal
itu membuat pemuda berjubah putih itu sempat dilan-
da ketegangan. Apalagi karena dia harus menahan na-
pas selama kedua tokoh itu belum juga beranjak dari
tempat itu.
Sebenarnya Panji tak akan sampai diketahui dua
orang tokoh sesat itu kalau saja tak ada Kenanga yang
tahu-tahu muncul dan memasuki halaman rumah be-
sar itu. Tentu saja Panji kaget bukan main. Terlebih
ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil sama me-
noleh. Dan terlihat seringai mereka yang menyeram-
kan. Keadaan itu membuat Panji mencemaskan kese-
lamatan kekasihnya.
“Heh heh heh.... Setan Penasaran! Kau lihat siapa
yang datang ke tempat ini! Seorang bidadari cantik
yang baru saja turun dari kahyangan. Rupanya sang
Bidadari hendak memberi pertolongan kepada pen-
duduk Desa Palang yang baru saja dilanda bencana...!”
terdengar Malaikat Kerdil berkata dengan nada tinggi
melengking. Dan seketika itu juga sosoknya langsung
bergerak menghampiri Kenanga.
Hebat bukan main cara Malaikat Kerdil mengham-
piri Kenanga. Kendati terlihat hanya melangkah perla-
han, tubuhnya meluncur bagaikan anak panah yang
lepas dari busur. Dari sini saja dapat dilihat betapa
hebat ilmu meringankan tubuh tokoh kerdil itu.
“Kau tentunya datang untuk menemuiku, Manis.
Nah, marilah kau ikut bersamaku...!”
Begitu ucapan itu terdengar, tahu-tahu jari-jari tan-
gan Malaikat Kerdil sudah menjulur ke depan hendak
mengelus bagian dada Kenanga. Tentu saja perbuatan
tak sopan dan sangat kurang ajar itu membuat Kenan-
ga marah. Cepat tubuhnya bergerak menghindar, ke-
mudian membalas dengan sebuah tendangan lurus
mengancam iga Malaikat Kerdil.
Bwettt!
“Haiiits...! Ternyata kau pun memiliki kepandaian
yang lumayan, Bidadari ku...!” ejek Malaikat Kerdil
sambil memiringkan tubuh dengan menggeser kaki
kanan ke belakang. Sehingga, tendangan Kenanga lu-
put dari sasaran. Bahkan dengan gerakan yang cepat
bukan main, tokoh sesat bertubuh kate itu me-
rendahkan tubuh sambil mengirimkan sapuan kakinya
yang sekaligus dibarengi dorongan kedua tangan ke
dada Kenanga.
“Hih...!”
Karena kaget dan ngerinya, Kenanga menjerit terta-
han. Keadaannya saat itu benar-benar dalam ancaman
bahaya. Sebab, kalau ia menghindari sapuan lawan
terhadap kaki kiri yang menjadi tumpuan beban tu-
buhnya, maka dorongan sepasang tangan Malaikat
Kerdil pada dadanya pasti tak akan terelakkan. Tentu
saja gadis itu tak ingin hal tersebut sampai terjadi. Un-
tuk itu Kenanga terpaksa merelakan tubuhnya ter-
banting termakan sapuan kaki lawan. Dengan demi-
kian, berarti ia dapat menyelamatkan dadanya dari
terkaman jari-jari tangan tokoh kate itu.
Plak!
Bruk!
Tanpa ampun lagi, tubuh Kenanga terbanting jatuh
dengan keras. Wajah jelita itu tampak meringis. Kare-
na meskipun telah dikerahkan tenaga dalam guna me-
lindungi tulang kakinya, tetap saja ada rasa nyeri yang
menusuk. Kenyataan itu membuat Kenanga sadar
bahwa kekuatan tenaga dalam lawan masih berada sa-
tu tingkat di atasnya.
“Hiyaaat..!”
Sebelum Kenanga sempat bergerak bangkit, Malai-
kat Kerdil yang merasa girang melihat serangannya
berhasil, langsung melompat menerkam tubuh dara je-
lita yang masih telentang di tanah itu. Gerakannya ce-
pat bukan main, membuat Kenanga menjerit lirih.
Merasa bahaya yang mengerikan bakal datang me-
nimpa dirinya, Kenanga pun berbuat nekat. Sambil
mengerahkan seluruh tenaga dalam, disilangkan ke-
dua tangan ke depan dada, dan siap menyambut ter-
kaman lawan dengan dorongan kedua tangannya.
Namun, pada saat yang berbahaya bagi kese-
lamatan dara jelita itu, tiba-tiba terdengar bentakan
keras yang menggetarkan dada. Disusul kemudian
dengan kelebatan sesosok bayangan putih yang lang-
sung memapaki serangan Malaikat Kerdil.
Bresssh...!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga
sakti yang sangat hebat saling berbenturan keras. Aki-
batnya, tubuh Malaikat Kerdil terdorong ke belakang
sejauh satu setengah tombak. Sedangkan sosok
bayangan putih itu langsung melenting ke belakang
dengan membuat dua kali putaran di udara. Kemudian
melayang turun dengan ringannya.
“Kakang...!”
Melihat sosok bayangan putih yang menyela-
matkannya, Kenanga langsung berseru girang. Ru-
panya gadis itu sudah dapat mengenali siapa sebenar-
nya sosok bayangan putih itu, kendati belum melihat
wajahnya dengan jelas. Dan ketika sosok bayangan pu-
tih meluncur turun, senyum dara jelita itu semakin le-
bar. Karena yang telah menyelamatkannya tak lain
Panji.
Panji yang semula hanya menyaksikan pertarungan
itu dari atas pohon, terkejut melihat kepandaian lawan
kekasihnya. Apalagi ketika menyaksikan betapa Ke-
nanga berada dalam ancaman bahaya, langsung saja
ia meluncur turun dan menyambut serangan Malaikat
Kerdil. Sehingga, serangan tokoh sesat bertubuh kate
itu berhasil digagalkan.
Malaikat Kerdil tentu saja kaget bukan main ketika
ada sesosok bayangan putih yang berani memapaki se-
rangannya. Hatinya marah. Matanya terbelalak menge-
tahui sosok bayangan putih itu mampu membuat se-
rangannya gagal. Bahkan sanggup mengatasi kekuatan
tenaga saktinya. Sebagai seorang tokoh sakti yang se-
lalu membanggakan kepandaian sendiri, tentu saja
Malaikat Kerdil tak bisa menerima kenyataan pahit itu.
Maka begitu kedua kakinya telah menjejak tanah, se-
pasang matanya langsung menyorot tajam sosok ber-
jubah putih yang kini berdiri di hadapannya dalam ja-
rak sekitar empat tombak.
“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seruan itu keluar
dari mulut Setan Penasaran yang lebih dulu mengenali
siapa sebenarnya sosok pemuda tampan berjubah pu-
tih itu. Wajahnya memerah dan berkerut-kerut seperti
tengah menahan perasaan marah bercampur rasa
benci.
“Hm..., tak heran kalau dia berani main gila di de-
panku! Rupanya dia Pendekar Naga Putih!”
Malaikat Kerdil pun sedikit kaget ketika mendengar
ucapan rekannya. Dirinya bisa memaklumi kalau tu-
buhnya sampai terpental kalah tenaga oleh sosok
bayangan putih itu. Kenyataan itu membuat Malaikat
Kerdil tak menjadi kecil hati, karena maklum dan sa-
dar akan kehebatan tokoh muda itu.
Sementara itu, Setan Penasaran yang melihat ke-
munculan Pendekar Naga Putih, langsung saja berge-
rak maju dengan wajah merah padam. Sepasang ma-
tanya mencorong tajam menyiratkan sinar dendam
yang demikian dalam.
“Pendekar Naga Putih, hutang nyawa harus dibayar
dengan nyawa...!”
Baru saja tokoh yang berjuluk Setan Penasaran itu
menggeram dengan nada penuh dendam, tiba-tiba tu-
buhnya melesat ke depan dengan serangan maut.
“Heaaat...!”
“Heit...?!”
Panji tentu saja kaget bukan main. Karena tokoh
yang ia dengar berjuluk Setan Penasaran itu seperti
menyimpan dendam kesumat terhadap dirinya. Dan
melihat serangannya Pendekar Naga Putih sadar bah-
wa tokoh sesat yang berpenampilan menyeramkan itu
menginginkan nyawanya. Hal itu tampak jelas dari
ucapannya sebelum melakukan serangan maut.
Karena tak mempunyai kesempatan untuk berbica-
ra, Panji cepat menggeser tubuhnya guna menghindari
serangan maut Setan Penasaran. Kemudian terus melompat ke sana kemari sambil sesekali menangkis den-
gan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih belum
mau membalas, karena merasa tak mempunyai per-
musuhan pribadi dengan tokoh bertubuh kurus seperti
tengkorak itu. Sambil terus menghindar serta menang-
kis, dirinya mencari kesempatan untuk dapat berbica-
ra.
Namun, Setan Penasaran rupanya tak ingin mem-
beri kesempatan kepada Panji. Jangankan berbicara,
untuk bernapas pun rasanya tokoh sesat itu tak men-
gizinkan. Dengan bentuk serangan yang semakin hebat
dan cepat, lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus men-
desak. Tentu saja Panji pun semakin sibuk dibuatnya.
“Setan Penasaran, tahan seranganmu...!”
Karena merasakan semakin hebat serangan yang di-
lancarkan lawan, akhirnya Panji tak sabar untuk ber-
seru keras memperingatkan.
“Aku tak akan berhenti sebelum kau menggeletak
tanpa nyawa, Pendekar Naga Putih! Hiyaaat!”
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, Setan Pe-
nasaran kembali melancarkan serangannya. Tampak-
nya tokoh ini mulai menggunakan ilmu andalannya.
“Heaaa...!”
Wettt! Wettt...!
Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut. Tokoh
yang berjuluk Setan Penasaran itu rupanya benar-
benar hendak membuktikan ucapannya. Terbukti jari-
jari tangan kurus dengan kuku-kuku runcing dan hi-
tam itu semakin gemas dan cepat memburu tubuh la-
wan. Panji pun sadar akan bahaya maut yang senan-
tiasa siap merenggut nyawanya. Karena dari sambaran
anginnya yang berkesiutan, menandakan bahwa dalam
jari-jari tangan Setan Penasaran ter-kandung tenaga
yang hebat Mungkin cengkeraman itu sanggup menghancur-leburkan batu karang.
Sadar kalau dibiarkan dirinya bisa celaka di tangan
lawan, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan sabar.
Saat sambaran cakar kanan lawan meluncur deras
mengancam ubun-ubunnya, Panji langsung meliukkan
tubuh. Ketika cengkeraman itu luput, dengan cepat
Panji melepaskan sebuah dorongan telapak tangan ke
tubuh lawan.
“Hih...!”
Plak!
Setan Penasaran yang memang telah menyiapkan
tangan kiri untuk serangan susulan, langsung meng-
angkat tangan itu memapaki dorongan lawannya. Ben-
turan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh kedua-
nya terdorong mundur sampai empat langkah. Hal itu
menandakan kalau dalam benturan tadi kekuatan me-
reka seimbang.
“Jelaskan, mengapa kau menghendaki kema-
tianku, Setan Penasaran?! Kalau tidak, akan kubikin
dirimu benar-benar menjadi setan yang penasaran di
alam baka...!” bentak Panji menuntut penjelasan den-
gan wajah yang menunjukkan kejengkelan hatinya.
“Hm.... Kau hendak lari dari tanggung jawab atau
memang telah lupa dengan perbuatanmu, Pendekar
Naga Putih...?” jawab Setan Penasaran dengan senyum
penuh ejekan dan sangat merendahkan.
“Setan Penasaran, meskipun kita berdiri di jalan
yang berseberangan, seingatku belum pernah kita be-
rurusan. Bahkan bertemu pun baru sekali ini. Lalu
mengapa kau menuntut tanggung jawabku? Apa yang
pernah kuperbuat terhadapmu?” tukas Panji semakin
penasaran dan jengkel. Karena tokoh yang bertubuh
seperti tengkorak hidup itu belum juga menjawab per-
tanyaannya.
“Kau telah membunuh muridku, Pendekar Naga Pu-
tih! Dan sekarang aku akan membalaskannya! Tapi
bukan cuma nyawamu yang harus melayang! Nyawa
kekasihmu pun harus kuhabisi sebagai bunganya...!”
bentak Setan Penasaran bengis. Lelaki kurus itu
menggeser kakinya membentuk kuda-kuda serong
yang kokoh.
‘Tunggu, Setan Penasaran! Katakan, siapa nama
muridmu atau julukannya...?” cegah Panji yang tetap
belum mengerti kesalahannya.
“Muridku berjuluk Setan Bayangan Hitam! Dia telah
kau bunuh beberapa waktu lalu di sebuah hutan! Dan
untuk perbuatanmu itu, kau harus menebus dengan
nyawamu...! Hiyaaat..!”
Setelah berkata begitu, Setan Penasaran bergerak
dengan kecepatan kilat. Sepasang cakarnya yang me-
nebarkan bau busuk karena dilumuri racun jahat,
menyambar-nyambar dengan disertai suara berdesit.
Wuttt! Wuttt!
Pendekar Naga Putih melompat ke kiri dan kanan
menghindari serangan lawan. Sambil sesekali menang-
kis membuat tubuh keduanya tergetar mundur. Na-
mun, serbuan Setan Penasaran bagaikan ombak lau-
tan yang tak pernah habis. Tangannya yang memben-
tuk cakar bergerak cepat dan beruntun memburu ba-
gian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih.
Setelah sepuluh jurus Setan Penasaran mengumbar
serangan-serangan mautnya, Panji pun mulai unjuk
gigi. Disertai sebuah teriakan keras yang meng-
getarkan dada, tubuhnya melesat cepat dan menye-
linap di antara sambaran cakar maut lawan. Kemudian
serangan-serangan balasannya pun mulai diluncurkan
bagaikan serbuan angin puyuh!
“Heaaa...!”
Duk! Duk!
Plak!
Tiga kali Setan Penasaran mengangkat kedua len-
gannya bergantian memapaki serangan balasan lawan.
Dan kali ini tengkorak hidup itu harus menerima ke-
nyataan pahit. Karena dalam tiga kali benturan itu tu-
lang-tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Bahkan
kuda-kudanya tergempur mundur, membuat tubuhnya
terhuyung-huyung beberapa langkah.
“Kenanga, mari kita tinggalkan orang-orang gila
itu...!”
Kesempatan selagi lawannya terjajar mundur, di-
pergunakan Panji untuk menyambar lengan kekasih-
nya. Keduanya langsung melesat meninggalkan tempat
itu. Dirinya memutuskan menghindar dari kedua to-
koh sesat itu untuk sementara. Hal itu karena dia be-
lum ingat tentang Setan Bayangan Hitam yang meru-
pakan murid Setan Penasaran.
Sebagai seorang pendekar penegak keadilan yang
telah lama malang-melintang di dunia persilatan, ba-
nyak tokoh sesat yang takluk pada Pendekar Naga Pu-
tih. Sehingga maklum kalau sulit untuk mengingat
tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid
Setan Penasaran. Untuk itulah dirinya memutuskan
melepaskan diri dari lawannya, agar bisa mengingat-
ingat apa yang dituduhkan oleh Setan Penasaran. Pan-
ji tak mempedulikan kedua lawan yang terus memaki-
maki dirinya sebagai pengecut. Pemuda berjubah putih
terus mengerahkan ilmu kepandaiannya agar kedua
orang lawan tidak mempunyai peluang untuk menge-
jar.
***
DUA
Desa Palang ternyata bukan merupakan satu- sa-
tunya tempat sasaran sekelompok orang-orang jahat.
Masih ada beberapa desa, bahkan perguruan yang
menjadi korban keganasan golongan sesat itu. Keja-
dian-kejadian itu membuat banyak tokoh golongan pu-
tih marah. Beberapa perguruan yang merasa ber-
tanggung jawab segera mengirimkan murid-murid an-
dalan untuk menyelidiki, sekaligus membasmi pelaku
kejahatan itu. Bahkan pendekar-pendekar tunggal
yang tak terikat partai tertentu, telah meninggalkan
tempat kediamannya guna ikut serta meng-hentikan
kejahatan itu. Sehingga, banyak orang yang membawa
senjata berkeliaran ke desa-desa atau pun kota-kota
kecil.
Banyaknya tokoh persilatan dari golongan putih
yang berkeliaran, membuat warga masyarakat merasa
tenang. Mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-
hari tanpa merasa was-was akan datangnya serbuan
dari para penjahat keji itu. Para penduduk merasa
aman dan terlindung oleh banyaknya tokoh persilatan
yang berkeliaran.
Lain tanggapan dan tindakan golongan putih, lain
pula yang dilakukan orang-orang dari golongan sesat.
Penjahat-penjahat tunggal maupun perampok-
perampok kecil yang semula tak berani melakukan
tindak kejahatan karena adanya tekanan dari kaum
pen-dekar, kini justru berani muncul, bahkan melaku-
kan kejahatan pada siang hari. Tentu saja munculnya
dua golongan itu tidak jarang juga menimbulkan kere-
sahan karena bentrokan yang acapkali terjadi. Seperti
kata pepatah, gajah bertarung dengan gajah pelanduk
mati di tengah-tengah. Yang menanggung akibat dari
bentrokan-bentrokan itu jelas orang-orang awam, yang
sama sekali tak paham persilatan. Sehingga, tak sedi-
kit penduduk di desa-desa terpencil pergi mengungsi
ke tempat yang dianggap lebih aman.
Namun, para penduduk yang mengungsi dari desa-
desa terpencil itu sama sekali tak menyadari bahwa
kepergian mereka dengan membawa harta benda serta
binatang ternak, justru dapat mengundang para pen-
jahat yang kini telah membentuk kelompok-kelompok
guna menghadapi kaum golongan putih.
“Berhentiii...!”
Serombongan penduduk yang berjumlah sekitar
empat puluh orang, terperanjat kaget dan menghenti-
kan langkah. Mereka yang sedianya hendak mencari
tempat tinggal yang lebih aman, justru tanpa sengaja
telah menghampiri penyakit.
Seorang lelaki tinggi kurus bermata picak sebelah
dengan menggenggam sepasang tombak pendek, berdi-
ri menghadang jalan. Matanya yang hanya sebelah itu
bergerak liar merayapi wajah-wajah pucat para pendu-
duk. Lelaki itu bukanlah seperti perampok kebanya-
kan. Dalam kalangan persilatan dirinya di-kenal den-
gan julukan Tombak Mata Satu. Dan kepandaian ilmu
tombaknya pun tak bisa dibilang rendah.
Pada mulanya Tombak Mata Satu merupakan pen-
jahat tunggal yang malang-melintang dengan meng-
gunakan sepasang tombak pendeknya. Namun, se-
menjak adanya peristiwa-peristiwa pembumihangusan
terhadap beberapa desa dan perguruan silat, yang
mengundang amarah kaum golongan putih, Tombak
Mata Satu tak lagi berani bergerak sendirian. Baginya
tak sulit mencari kawan seiring. Kepandaian serta na-
manya yang cukup terkenal, membuat ia dengan mudah menggabungkan diri dengan sekelompok peram-
pok. Bahkan kedatangannya disambut hangat dan
langsung diangkat sebagai pimpinan kawanan peram-
pok yang didatanginya. Dengan mengandalkan jumlah
cukup banyak inilah, Tombak Mata Satu melanjutkan
aksinya. Bahkan ruang geraknya semakin diperlebar.
Dirinya tak pernah merasa takut kendati harus ben-
trok dengan tokoh-tokoh golongan putih.
Siang itu, secara kebetulan Tombak Mata Satu me-
lihat serombongan penduduk yang hendak mengungsi.
Melihat adanya binatang ternak serta buntalan yang
dibawa para pengungsi, langsung saja ia melompat ke
luar dari persembunyian, disertai bentakan keras. Tu-
buhnya berdiri menghadang jalan, memperlihatkan
wajah bengisnya.
“Kalian boleh pilih! Tinggalkan barang-barang itu,
dan pergi meninggalkan tempat ini dengan selamat,
atau nyawa kalian kukirim ke neraka...!” gertak Tom-
bak Mata Satu sengaja mengerahkan tenaga dalam
melalui suaranya hingga terdengar keras dan mena-
kutkan.
Para penduduk yang hendak mengungsi itu tentu
saja semakin pucat. Memang sulit. Apa yang mereka
lakukan pada saat seperti sekarang ini serba salah.
Tinggal di desa yang terpencil, sudah pasti suatu saat
perampok akan datang menjarah mereka. Mengungsi
pun sama saja akibatnya. Namun mereka sengaja me-
milih pergi mengungsi daripada menunggu dengan hati
selalu was-was dan ketakutan. Dan pencegatan lelaki
bermata picak itu pun sudah mereka perhitungkan.
‘Tuan yang gagah perkasa dan budiman....”
Salah seorang penduduk memberanikan diri tampil
ke depan menghadang Tombak Mata Satu.
“Kasihani kami yang miskin dan menderita ini,
Tuan! Tuan boleh ambil harta kami. Tapi, sisakanlah
sedikit untuk bekal perjalanan guna menyambung hi-
dup...!” pintanya sambil menjatuhkan diri berlutut di
depan kaki Tombak Mata Satu. Rupanya inilah pilihan
penduduk yang nekat hendak mengungsi. Berharap
mendapatkan sedikit belas kasihan dari siapa saja
yang mungkin akan menghadang perjalanan mereka.
“Hmh...!”
Tombak Mata Satu mendengus bengis. Kemudian
terdengar gelak tawanya demi melihat dirinya disem-
bah sedemikian rupa. Akan tetap semua itu sama se-
kali tak membuat hatinya tergerak. Malah ia sema-kin
congkak dan garang.
“Kau memang patut dikasihani, Kisanak. Nah, sisa-
kanlah sedikit dari bawaanmu itu! Dan kau boleh pergi
untuk mencari kehidupan yang lebih baik...!”
Tak seorang pun menyangka kalau lelaki picak itu
akan berkata demikian. Tentu saja pengungsi yang
berlutut merasa gembira. Tanpa banyak bicara lagi, ia
langsung saja menyisakan sedikit uang untuk dirinya.
Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk lelaki seten-
gah baya itu melangkah meninggalkan Tongkat Mata
Satu. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih berkali-
kali. Seolah lelaki bermata picak itu telah memberikan
kebaikan yang tak terhingga kepadanya.
Perbuatan orang pertama itu diikuti para pengungsi
lainnya. Yang berwatak curang bergegas menyembu-
nyikan beberapa keping uang ke dalam sabuknya. Me-
reka bergerak satu persatu dengan tubuh membung-
kuk ketika lewat di dekat Tombak Mata Satu yang ter-
tawa cekakakan, melihat banyaknya harta benda yang
didapat tanpa susah payah mendatangi desa. Bahkan
semua binatang ternak berkumpul di dekat-nya. Kare-
na tak seorang pun dari pengungsi yang berani membawanya. Mereka tentu saja lebih sayang nyawa ke-
timbang binatang ternaknya.
Namun, kelegaan para pengungsi itu kembali beru-
bah kecemasan dan ketakutan. Karena baru kurang
lebih dua tombak mereka meninggalkan si mata picak,
tiba-tiba bermunculan penghadang- penghadang lain
dengan wajah bengis dan senjata terhunus.
‘Tinggalkan sisa harta yang kalian bawa...!” bentak
seorang lelaki bermuka hitam dengan perut buncit. Ia
berkata garang dengan dada dibusungkan agar terlihat
gagah dan berwibawa. Namun tingkahnya itu justru
tampak lucu. Perut buncitnya tetap saja menonjol ke
depan, hingga membuat kedudukan berdiri lelaki itu
tak ubahnya seekor bebek.
‘Tapi, Tuan.... Tadi kami baru saja....”
Belum habis ucapan salah seorang pengungsi itu,
tiba-tiba golok di tangan lelaki bermuka hitam di de-
pannya bergerak menyambar.
Wuttt!
Cras!
“Aaakh...!”
Darah segar menyembur keluar dari perut pengung-
si itu karena terbabat golok. Dan tanpa ampun lagi,
tubuhnya terkulai lalu menghembuskan napas terak-
hir.
Perbuatan lelaki bermuka hitam dan berperut bun-
cit itu tentu saja membuat para pengungsi lain sema-
kin ketakutan. Karena penghadang kali ini jauh lebih
ganas dan kejam ketimbang si mata picak. Mereka sa-
ma sekali tak menyangka kalau semua itu ternyata
merupakan permainan para perampok. Karena lelaki
bermuka hitam itu salah satu dari pengikut Tombak
Mata Satu, yang kini telah berdiri di belakang rombon-
gan pengungsi itu. Tawanya terdengar bergelak mengejutkan.
“Hua ha ha...! Bagus, La Jobang! Mereka pikir aku
demikian baik hati membiarkan mereka pergi begitu
saja sebelum semua harta diserahkan kepada kita.
Mana mungkin aku tega membiarkan perempuan-
perempuan cantik ini ikut mengungsi. .,” ujar Tombak
Mata Satu yang kini memperlihatkan sifat aslinya.
Tanpa malu-malu lagi, ia langsung mengulurkan tan-
gan memeluk salah seorang wanita muda yang ikut
dengan rombongan pengungsi itu. Diciuminya pipi dan
leher wanita muda itu dengan buas sambil tertawa-
tawa.
‘Tuan, tolong jangan ganggu anakku! Dia.... dia ma-
sih terlalu kecil dan belum tahu apa-apa...!”
Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima ta-
hun menyeruak dari rombongan. Dengan suara meng-
hiba lelaki setengah baya itu meminta Tombak Mata
Satu mau melepaskan putrinya yang baru berusia lima
belas tahun. Namun tubuh gadis itu terlihat cukup
masak dan wajahnya pun manis dengan kulit kuning
langsat Rupanya meski hanya sebelah namun Tombak
Mata Satu memiliki penglihatan tajam.
“Hua ha ha...! Jadi dia belum tahu apa-apa? Bagus,
Orang Tua! Kalau begitu ia akan segera kuberi pelaja-
ran cuma-cuma, bagaimana cara melayani lelaki den-
gan baik...!”
Tombak Mata Satu semakin keras tertawa. Diseret-
nya tubuh wanita desa itu ke semak-semak terdekat.
Tak dipedulikan betapa gadis itu menangis ketakutan.
Melihat putrinya dalam ancaman bahaya mengeri-
kan, lelaki setengah baya itu menjadi nekat. Ia menu-
bruk maju berusaha membebaskan sang Anak. Namun
Tombak Mata Satu tak membiarkan begitu saja. Sekali
tangan kirinya bergerak, lelaki malang itu roboh bermandikan darah. Mata tombak lelaki picak itu telah
menembus dada dan mengoyak jantungnya.
“La Jobang, bereskan semuanya, dan tawan perem-
puan-perempuan yang dapat kita gunakan sebagai hi-
buran...!”
Setelah berkata demikian, Tombak Mata Satu me-
lanjutkan niatnya yang terkutuk kepada gadis malang
itu.
Namun, sebelum niat Tombak Mata Satu kesam-
paian, mendadak terdengar suara ribut-ribut. Kemu-
dian disusul dengan jerit kematian yang merobek uda-
ra siang ini. Ia yang semula tak peduli karena mengira
para pengikutnya tengah menghajar para pengungsi
yang melawan, cepat bergerak bangkit ketika menden-
gar suara benturan senjata.
“Bedebah! Siapa yang berani mengganggu kesenan-
ganku...!” geram Tombak Mata Satu sambil bergegas
membereskan pakaian yang sudah tak karuan. Mata-
nya yang tinggal sebelah seakan hendak melompat dari
tempatnya, ketika melihat sesosok bayangan ramping
tengah mengamuk menghadapi keroyokan para pengi-
kutnya. Melihat gerakan sosok bayangan itu yang lin-
cah dan mengandung kekuatan hebat, Tombak Mata
Satu segera mengurungkan niatnya. Tubuhnya ber-
gegas melompat keluar dari balik semak-semak.
Sementara itu, para pengungsi sudah ketakutan se-
tengah mati, segera lari bersembunyi ke balik pepoho-
nan. Tubuh mereka gemetar menyaksikan banyaknya
darah membasahi rerumputan. Kendati demikian ada
sedikit harapan dalam hati mereka agar sosok bayan-
gan yang tengah mengamuk dan membunuhi para pe-
rampok itu akan memperoleh kemenangan. Harapan
itu timbul ketika melihat sudah delapan orang peram-
pok roboh tewas bermandikan darah.
“Haits! Heaaa...! Mampuslah kalian, Manusia
Sambil berkelebat di antara sambaran golok dan
pedang pengeroyok, sosok bayangan ramping itu me-
lontarkan makian tanda kemarahan dan kegeraman
hatinya. Kecepatan geraknya membuat seorang penge-
royok kembali terlempar dari arena dengan tubuh
bermandikan darah. Hebat memang gerakan sosok
bayangan yang terbungkus pakaian biru tua ini. Ken-
dati harus menghadapi belasan pengeroyok, ia sama
sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan mampu mero-
bohkan lawan satu persatu.
“Setan keparat..!”
Tombak Mata Satu menggeram gusar. Wajahnya
merah padam melihat pengikut-pengikutnya ber-
jatuhan tersambar senjata lawan. Tanpa banyak cakap
lagi, ia pun segera menjejak tanah. Tubuhnya melesat
ke tengah arena pertarungan.
“Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu, Tombak Mata Satu
langsung mengirimkan serangan dengan sepasang
tombak pendeknya. Gerakan yang dilakukan lelaki
bertubuh tinggi kurus itu memang mengagumkan. Se-
kali bergerak langsung melancarkan dua buah seran-
gan sekaligus. Sasaran serangannya pun merupakan
jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian
bagi lawannya.
Mendapat dua buah serangan yang begitu cepat da-
ri Tombak Mata Satu, sosok bayangan ramping ter-
bungkus pakaian biru tua ini sama sekali tak terlihat
gugup. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga
membentuk gulungan sinar yang menderu-deru.
“Heaaa...!”
Trang! Trang!
“Hah...?!”
Serangan sepasang tombak pendek kepala rampok
itu sama sekali tak banyak berarti. Sekali pedang la-
wan berkelebat menangkis, sepasang tombak pendek
itu terpental balik. Bahkan tubuh Tombak Mata Satu
terdorong mundur empat langkah. Tentu saja tokoh
sesat yang biasa menyombongkan kepandaian sendiri
ini merasa kaget bukan main.
“Heaaa...!”
Wut! Wut!
Sedangkan sosok berpakaian biru itu tiba-tiba men-
geluarkan bentakan keras. Pedangnya yang baru saja
menggagalkan serangan lawan kembali bergerak den-
gan kecepatan mengagumkan. Kali ini meluncur den-
gan tusukan mengarah perut Tombak Mata Satu.
“Ahhh...?!”
Tombak Mata Satu terpekik kaget, karena tahu-
tahu ujung pedang lawan sudah tinggal dua jengkal di
depan perutnya. Tak ada jalan lain bagi lelaki bermata
picak ini kecuali melempar tubuhnya ke samping. Se-
bab, untuk menangkis jelas tak mungkin. Dirinya su-
dah pasti kalah cepat dengan gerakan senjata lawan.
Akan tetapi ke mana pun Tombak Mata Satu ber-
gerak mengelak, pedang lawan terus memburu. Se-
hingga tubuhnya terus bergulingan untuk menyela-
matkan diri dari babatan dan tusukan senjata lawan.
“Heaaa...!”
Cras! Cras...!
Rumput ilalang yang setinggi lutut, terpapas putus
oleh babatan pedang sosok ramping itu. Untung saja
Tombak Mata Satu sudah lebih dulu menggulingkan
tubuhnya. Kalau tidak, bukan rumput itu yang terpa-
pas putus, melainkan tubuh lelaki bermata picak itu-
lah yang harus terluka.
Tombak Mata Satu benar-benar merasa putus asa
dalam menghindari kejaran pedang lawan. Hingga ak-
hirnya mengambil keputusan nekat, lalu melenting
bangkit sambil menggerakkan sepasang tombak pen-
deknya secara ngawur. Akibatnya....
Wut! Wut!
Bret! Bret!
“Aaakh...!”
Tombak Mata Satu terpekik kesakitan. Tubuhnya
terhuyung limbung, karena saat dia nekat melompat
bangkit, pedang lawan telah membeset pangkal lengan
kanan dan paha kirinya. Darah segar mengalir mem-
basahi sebagian pakaian lelaki bermata picak itu.
Sosok tubuh ramping berpakaian biru tua yang ter-
nyata seorang gadis muda ini tampaknya masih belum
puas. Terbukti dengan cepat menyusuli serangannya,
hendak menghabisi nyawa Tombak Mata Satu yang te-
lah tak berdaya itu.
Namun, rupanya nasib lelaki bermata picak itu ma-
sih baik. Saat nyawanya tengah terancam, sisa para
pengikutnya sudah datang membantu. Gadis muda itu
terpaksa mengurungkan niatnya untuk melenyapkan
Tongkat Mata Satu. Karena memutuskan untuk meng-
habisi serangan enam orang anggota perampok yang
belum juga jera.
Gadis berpakaian biru tua itu memang mengagum-
kan. Kendati harus menghadapi enam orang perampok
yang kasar dan ganas, sama sekali dirinya tidak mera-
sa gentar. Pedang di tangannya berkelebatan laksana
sambaran kilat. Sehingga dalam waktu singkat, kee-
nam perampok sudah menggelepar lalu tewas dengan
tubuh bersimbah darah.
Usai menghentikan perlawanan enam anak buah
Tombak Mata Satu, gadis berpakaian biru tua itu
membalikkan tubuhnya. Kelihatannya ia tak sudi melepaskan Tongkat Mata Satu, yang menjadi gembong
dari perampok itu. Namun sayang, Tombak Mata Satu
sudah tak nampak di tempat itu. Merasa penasaran,
gadis itu melesat cepat untuk memburu. Namun kare-
na tak tahu ke mana lelaki bermata picak itu melari-
kan diri, pengejarannya pun tak membuahkan hasil.
Tombak Mata Satu tidak berhasil diketemukannya.
Rombongan pengungsi yang melihat para perampok
itu sudah bergelimpangan tewas, segera keluar dari
persembunyian masing-masing. Mereka menyambut
kemenangan gadis berpakaian bini tua itu dengan wa-
jah berbinar-binar. Bahkan beberapa di antara mereka
sampai terbungkuk-bungkuk saat mengucap-kan te-
rima kasih berkali-kali, membuat gadis itu menahan
senyumnya.
“Kalian ini sebenarnya sengaja mencari penyakit!
Mengapa dalam keadaan tak aman seperti ini malah
meninggalkan desa untuk pergi mengungsi! Seharus-
nya, apa pun yang terjadi, kalian harus tetap tinggal di
desa masing-masing. Di sana keselamatan kalian akan
lebih terjamin. Karena masih bisa bersembunyi jika
para perampok atau sebangsanya datang mengacau
desa kalian. Tidak seperti sekarang ini. Ke mana kalian
hendak lari jika mereka sudah berdiri menghadang.
Para perampok itu tentu saja sangat senang kalian
pergi mengungsi, yang sudah pasti membawa uang
serta barang- barang yang cukup berharga!”
Gadis itu menasihati dengan nada agak keras.
Meski memaklumi bahwa orang-orang desa itu me-
mang merasa serba salah. Namun hatinya sedikit me-
rasa jengkel. Karena pengungsian seperti itu justru
semakin menambah kacau keadaan.
‘Tapi.... Biar bagaimanapun kami harus tetap pergi
mengungsi, Nisanak. Di desa sudah tak ada lagi yang
kami harapkan untuk dapat menyambung hidup. Sela-
lu saja ada pengacau yang datang mengganggu. Maaf
kalau kami tidak bisa menuruti nasihat Nisanak. Kami
lebih baik mati dalam usaha mencari tempat yang
aman daripada tinggal di desa, menunggu datangnya
kematian. Cepat atau lambat pengacau-pengacau yang
banyak bermunculan pasti akan membunuh kami...,”
salah seorang pengungsi yang berusia paling tua, men-
coba menjelaskan kepada penolongnya.
‘Terserah kalian. Aku sekadar memberi pandangan.
Kalau kalian lebih suka mengungsi, silakan! Aku tak
kuasa mencegah...!”
Melihat betapa para pengungsi tampaknya bersike-
ras dengan tekad yang bulat, gadis berpakaian biru
tua itu merasa tak bisa berbuat apa-apa, selain men-
doakan agar usaha mereka dapat membuahkan hasil
yang baik.
Gadis muda berwajah cantik, terutama saat terse-
nyum yang menampakkan lesung pipit di pipi itu, ber-
diri menghantarkan kepergian rombongan pengungsi
itu dengan pandang matanya. Dan baru bergerak keti-
ka rombongan itu sudah semakin jauh dan lenyap. Se-
kali berkelebat saja, sosoknya lenyap ditelan kelebatan
pepohonan.
***
TIGA
Wahyuni, gadis manis yang baru saja menumpas
gerombolan perampok Tombak Mata Satu, melangkah
ringan menelusuri jalan setapak. Rambut ekor ku-
danya terayun lembut mengiringi gerak kaki yang lin-
cah, menggambarkan watak periang. Gadis itu memang lincah dan periang. Namun, kelincahan dan ke-
riangan itu dapat lenyap tiba-tiba, bahkan berubah
menjadi singa betina. Apalagi melihat ketidakadilan
berlangsung di depan matanya. Lebih- lebih terhadap
pengganggu wanita, gadis ini paling benci. Dan tak
akan berhenti kalau lelaki bejad itu belum tewas.
“Wah, memang dasar nasibku baik. Siapa nyana ka-
lau di tempat sepi yang jauh dari keramaian ini ada
seorang dewi yang membangkitkan selera. Sayang ka-
lau dibiarkan lewat begitu saja....”
Ucapan yang terdengar agak keras itu berasal dari
mulut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus. Wajah-
nya pun sangat tak sedap dipandang, karena dipenuhi
bopeng. Lelaki tua itu tengah duduk mencangkung di
atas sebatang dahan pohon, di mana Wahyuni lewat di
bawahnya.
Tentu saja Wahyuni kaget Langkahnya terhenti se-
ketika. Sepasang matanya yang berkilat menatap tajam
sosok lelaki tua itu. Siapa lagi yang dimaksud-kan si
bopeng itu kalau bukan dirinya. Karena Wahyuni tak
melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu, yang
memang sunyi dan jauh dari pedesaan.
Lelaki kurus kecil berwajah bopeng itu tak lain Ma-
laikat Kerdil. Seorang tokoh kaum sesat yang memiliki
watak mata keranjang. Ketika melihat seorang gadis
berjalan seorang diri di bawah pohon tempatnya du-
duk, gairah kakek ini bangkit. Kemudian langsung me-
layang turun di hadapan Wahyuni.
“Heh heh heh...! Benar-benar tak mengecewakan...,”
gumam Malaikat Kerdil terkekeh sambil menjelajahi
sekujur wajah dan tubuh Wahyuni dengan pandang
matanya yang bergairah.
Bergidik hati Wahyuni melihat cara lelaki kerdil itu
memandang dirinya. Dirinya merasa seolah-olah ditelanjangi oleh pandang mata liar penuh nafsu bejad itu.
Hal itu membuat wajah Wahyuni merah padam seiring
dengan kebangkitan kemarahannya.
“Kakek gila! Caramu memandang diriku tak ubah-
nya seekor serigala buduk yang kelaparan! Tak malu
oleh usiamu yang sudah mendekati liang kubur itu!
Dasar manusia tak tahu diri!”
Wahyuni yang sudah marah bukan main itu melon-
tarkan makian kasar. Namun Malaikat Kerdil justru
semakin terkekeh-kekeh. Membuat dada Wahyuni te-
rasa hendak meledak saking marahnya.
“Heh heh heh...! Aku suka sekali dengan kuda beti-
na yang liar dan galak. Kau benar-benar membuatku
tak sabar, Manis...!”
Sambil berkata demikian, Malaikat Kerdil mengulur-
kan tangan kanannya hendak menyentuh dada gadis
itu.
“Heh...!”
Wahyuni terkejut melihat kecepatan gerak tangan
lelaki kerdil itu. Belum lagi dirinya sempat menyadari,
jari-jari tangan itu sudah hampir menyentuh dadanya,
membuat Wahyuni terpekik. Cepat ditarik mundur tu-
buhnya menghindari tangan kurang ajar itu. Namun
semakin cepat tangan Malaikat Kerdil mengejar, mem-
buat Wahyuni makin gugup. Dan....
“Auuuwww...!”
Wahyuni menjerit dengan mata terbelalak, ketika
dadanya terjamah tangan lelaki cebol itu.
“Heh heh heh...! Ada apa, Manis...?”
“Bangsat, tak tahu malu...!”
Wahyuni memaki kalap. Wajahnya sebentar merah
sebentar pucat Karena tindakan itu jelas merupakan
suatu penghinaan yang sangat besar bagi gadis seu-
sianya. Wahyuni hampir menangis karena merasa terhina.
Srat!
Kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya,
membuat Wahyuni mencabut pedang. Dan tanpa ca-
kap lagi, langsung menerjang Malaikat Kerdil dengan
ganasnya.
Namun, Wahyuni kali ini benar-benar sial. Karena
yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Hal itu
dapat dirasakan dari gerakan yang gesit. Sehingga,
meskipun ia mengerahkan seluruh kemampuan tak
satu pun dari serangannya yang membawa hasil. Bah-
kan setiap kali Malaikat Kerdil memapak dengan angin
pukulan telapak tangannya, pedang itu tergetar mun-
dur. Wahyuni merasakan lengannya panas.
Menyadari kalau lelaki cebol yang berniat kurang
ajar terhadap dirinya itu ternyata memiliki kepandaian
tinggi, Wahyuni mulai dilanda kegelisahan. Bayangan-
bayangan mengerikan mulai tercipta di benaknya.
“Hi hi hi...!”
Mengetahui kegelisahan lawannya, Malaikat Kerdil
tampak semakin gembira. Bahkan dengan mengguna-
kan kecepatan geraknya terus mempermainkan gadis
itu. Tampak pula dirinya mulai melakukan serangan
balasan dengan cara yang sangat kurang ajar sekali,
membuat Wahyuni semakin ngeri dibuatnya.
“Hih! He he he...!”
“Auuuwww...!”
Untuk kesekian kalinya Wahyuni terpekik dengan
wajah memerah padam menahan kemarahan dan rasa
malu. Karena dengan seenaknya, lelaki kerdil itu men-
gelus pinggulnya. Bahkan perbuatan yang bagi Wa-
hyuni merupakan penghinaan itu, terus dilakukan
sambil tertawa-tawa. Kadang dadanya disentuh. Di lain
saat wajahnya dielus. Lalu yang membuat gadis itu
hampir menangis, ketika jemari tangan lawan meremas
pantatnya. Tampak dua titik air mata mengalir di pipi
halus Wahyuni. Ia rasanya lebih baik mati daripada
mengalami hinaan seperti sekarang ini. Sungguh Wa-
hyuni tak berdaya sama sekali menghadapi gerak la-
wan yang begitu cepat dan sulit diikuti mata.
Rasa marah dan terhina yang tak kuat lagi ditahan-
nya, membuat Wahyuni nekat. Ketika dilihat-nya
bayangan samar lawan yang berkelebat di sebelah ka-
nannya, Wahyuni mengeluarkan teriakan meleng-king
tinggi. Tubuhnya menubruk sambil menusukkan pe-
dang dengan sekuat tenaga.
“Hih...!”
Syuuttt!
“Haits! Heh heh heh..., kenapa kau jatuh...? Ayo....
Bangkit lagi!”
Sayang tingkat kepandaian Wahyuni memang ber-
ada jauh di bawah Malaikat Kerdil. Sehingga, serangan
yang sudah diperhitungkan dengan cermat, sama se-
kali tak mendapatkan hasil seperti yang dibayangkan.
Bahkan karena terlalu bernafsu, luputnya serangan
barusan membuat tubuh gadis itu terjerembab jatuh
menelungkup di tanah.
“Heh heh heh...!”
Tuk! Tuk!
“Aaakh...!”
Malaikat Kerdil memperdengarkan kekehnya yang
memuakkan. Sekali bergerak, jari-jemari tangannya te-
lah melancarkan totokan yang membuat Wahyuni
lumpuh seketika. Sambil tertawa-tawa, Malaikat Kerdil
pun membalikkan tubuh Wahyuni yang sudah tak
berdaya.
Wahyuni menangis terisak dengan hati penuh ken-
gerian. Gadis itu sadar bahwa dirinya tengah terancam
bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian. Ia
lebih suka ditodong dengan ujung pedang ketimbang
kejadian yang akan menimpa dirinya dan menghan-
curkan hidupnya itu.
Namun, tampaknya Tuhan tak menghendaki Wa-
hyuni mengalami kejadian yang mengerikan itu. Kare-
na sebelum Malaikat Kerdil sempat melampiaskan naf-
su iblisnya, tiba-tiba datang angin keras menyambar
yang disertai bentakan menggelegar.
“Hei...! Iblis biadab, lepaskan gadis itu...!”
Malaikat Kerdil tentu saja kaget dan marah bukan
kepalang ada orang yang berani menghalangi per-
buatannya. Namun, sebelum lelaki bopeng itu sempat
menoleh, tiba-tiba tubuhnya disentakkan oleh suatu
kekuatan dahsyat. Tubuhnya yang kurus itu terpental
dari atas tubuh Wahyuni.
Meskipun kejadian itu sama sekali tak membuat di-
rinya celaka, karena berhasil meluncur turun dengan
selamat, sempat membuat dadanya sesak oleh kemur-
kaan. Karena nafsu iblis yang sudah menggelegak ter-
bendung di dalam dadanya.
“Hmmmrrr...! Akan kuremas hancur tubuhmu, Ke-
parat..!”
Malaikat Kerdil menggereng bagai binatang luka.
Dengan geram diangkat wajahnya untuk melihat orang
yang berani berbuat demikian terhadapnya. Tapi..., se-
pasang mata yang memancarkan bola api itu menda-
dak berubah terbeliak. Terkejut bukan main hati de-
dengkot golongan sesat itu begitu melihat wajah sosok
tubuh yang berdiri tegak menentang pandang matanya
dengan sorot mengiriskan.
“Kau.... Pendekar Naga Putih...?!” desis Malaikat
Kerdil dengan suara lirih. Seketika wajahnya berubah
tegang. Karena sebelumnya ia pernah berjumpa dengan pendekar muda itu di sebuah desa yang dilanda
malapetaka. Dirinya pun sudah merasakan kehebatan
Pendekar Naga Putih, meski hanya dalam beberapa ju-
rus. Itu sebabnya mengapa pada pertemuan yang ke-
dua kalinya ini, membuat Malaikat Kerdil merasa te-
gang.
“Malaikat Kerdil!” ujar Panji merasa muak melihat
apa yang hendak dilakukan tokoh sesat itu terhadap
seorang gadis muda. “Sekarang aku mempunyai alasan
yang kuat untuk melenyapkanmu! Manusia bejad se-
pertimu tak boleh dibiarkan berkeliaran di atas muka
bumi ini. Orang macam kau hanya akan menimbulkan
bencana bagi orang banyak. Terutama gadis-gadis! Ja-
di, bersiaplah untuk kukirim ke ache-rat..!”
Usai berkata demikian, Panji langsung melesat dan
menerjang dengan cakar naganya. Jurus andalan ini
langsung dipergunakan karena Pendekar Naga Putih
tahu lawannya tergolong dedengkot kaum sesat. Maka
serangannya pun tidak tanggung-tanggung lagi.
Malaikat Kerdil menekan kegentarannya. Tubuh ce-
bolnya bergerak membentuk kuda-kuda harimau, siap
menyambut serangan lawan.
“Heaaa...!”
Bweett! Beweett!
“Haits!”
Dua kali serangan cakar naga Panji berhasil dielak-
kan Malaikat Kerdil yang memang memiliki kecepatan
gerak luar biasa itu. Bahkan mampu melancarkan se-
rangan balasan dengan pukulan dan tamparan yang
mengeluarkan suara angin berkesiutan. Sebentar saja
keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit
dengan tempo cepat. Karena keduanya memiliki kelin-
cahan yang tidak berselisih jauh.
***
Wahyuni yang tidak menduga kalau dirinya akan
selamat dari bahaya mengerikan, hanya memperhati-
kan pertarungan itu dengan tubuh tetap terbaring mir-
ing. Setelah mendengar dari Malaikat Kerdil bahwa pe-
nolongnya ternyata tokoh yang berjuluk Pendekar Naga
Putih, hati Wahyuni merasa lega. Nama besar dan se-
pak terjang Pendekar Naga Putih sudah sering diden-
garnya dari cerita orang banyak. Dirinya percaya kalau
pendekar yang kabarnya masih berusia muda dan
berwajah tampan itu pasti akan dapat mengalah-kan
orang yang nyaris memperkosanya. Meski ia sendiri
sudah merasakan betapa hebat manusia bertubuh
kerdil itu.
Sementara itu, pertarungan sudah berpindah agak
jauh dari tempat Wahyuni tergeletak. Sehingga gadis
itu tidak bisa menyaksikannya lagi. Sementara itu
Pendekar Naga Putih tampak sudah mendesak lawan
dengan serangan-serangan maut yang mengeluarkan
hawa dingin menusuk tulang. Hawa dingin inilah yang
membuat Malaikat Kerdil semakin tak berdaya untuk
melakukan serangan balasan. Hal itu karena dirinya
merasa seperti tengah bertarung di dalam sebuah
ruangan yang dipenuhi salju. Terpaksa Malaikat Kerdil
membuat pertahanan untuk melindungi agar tubuh-
nya tidak sampai terkena pukulan lawan.
Namun, sekuat apa pun benteng pertahanan yang
dibuat Malaikat Kerdil, tetap saja belum cukup untuk
membendung serangan-serangan Pendekar Naga Pu-
tih. Sepasang tangan yang membentuk cakar naga itu
terus memburu secara cepat dan beruntun. Sehingga
lelaki berwajah bopeng itu tampak kian kewalahan.
Tubuhnya melompat ke sana kemari mengelakkan se-
rangan dahsyat lawan.
“Hyaaahh...!”
Wut! Wut!
Pada suatu kesempatan, setelah dua kali serangan-
nya berhasil digagalkan lawan, tiba-tiba Panji mem-
bentak keras. Cakar naganya menyambar miring
menggempur pertahanan yang dilihatnya paling lemah.
Breettt!
“Aakkhh...!”
Malaikat Kerdil memekik kesakitan. Sambaran ca-
kar naga lawan merobek bagian bawah dada kirinya,
hingga mengalirkan darah. Luka sambaran cakar itu
cukup dalam. Dirasakan dadanya sangat perih.
Ketika tubuh lawan terdorong limbung, Pendekar
Naga Putih melanjutkan serangannya. Kali ini disertai
sebuah pukulan keras terarah ke lambung Malaikat
Kerdil.
“Heaa...!”
Plakkk!
Bukk!
Tamparan Pendekar Naga Putih yang meluncur ke
pelipis, masih sempat ditangkis tokoh sesat itu. Na-
mun pukulan yang meluncur deras ke arah lambung,
telak mengenai sasarannya. Seketika tubuh kerdil itu
terlempar dua tombak ke belakang. Kemudian masih
pula dilanjutkan sebuah tendangan keras yang meng-
gedor dada kerempeng itu.
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Malaikat Kerdil terbanting
keras ke tanah. Darah segar termuntah keluar. Napas-
nya terengah dengan wajah pucat Tulang dadanya te-
rasa remuk akibat tendangan telak yang sangat keras.
Membuat tokoh kerdil ini tidak mampu buru-buru
bangkit.
“Uhhh...!”
Pendekar Naga Putih telah berdiri di depan Malaikat
Kerdil dengan sorot mata tajam. Lelaki berwajah bo-
peng itu sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah
menunggu pukulan terakhir pemuda tampan berjubah
putih itu.
“Bersiaplah, Malaikat Kerdil...!” ancam Panji dengan
suara mendesis membuat bulu kuduk Malaikat Kerdil
meremang.
Pendekar Naga Putih yang sudah mengangkat tan-
gan kanan siap menjatuhkan pukulan maut untuk
mengakhiri nyawa Malaikat Kerdil, menahan geraknya.
Karena tiba-tiba telinganya menangkap desir angin
mencurigakan.
“Pendekar Naga Putih, terimalah senjataku...!”
Tiba-tiba terdengar suara yang wujud pemiliknya
belum terlihat Namun Panji melihat sebuah benda bu-
lat sebesar ibu jari meluncur cepat memburu tubuh-
nya.
Melihat bentuk senjata rahasia itu Pendekar Naga
Putih teringat akan pengalaman-pengalamannya sela-
ma dalam pengembaraan. Tampaknya dia tak ingin
bertindak ceroboh menyambut senjata yang diduga
mengandung bahan peledak itu. Saat benda itu sema-
kin dekat, Panji segera melempar tubuhnya ke samp-
ing.
Namun Pendekar Naga Putih merasa geram ketika
senjata rahasia itu ternyata tidak meledak seperti yang
diduga. Benda itu jatuh di dekat tubuh Malaikat Ker-
dil. Rupanya penyerang gelap itu sengaja menipu Panji.
Pemuda berjubah putih itu segera mengayunkan
langkah menghampiri tubuh Malaikat Kerdil. Namun
dia terpaksa mengurungkan niat itu, karena ada lagi
suara berdesing datang ke arahnya. Dengan pandang
matanya yang tajam, Panji dapat melihat kalau senjata
gelap itu sama sekali tak berbeda dengan yang baru
saja dihindarinya.
Meskipun benda pertama yang dielakkannya ter-
nyata berupa bola besi kecil biasa, Panji tetap tak ingin
bertindak ceroboh. Seperti ketika menghadapi seran-
gan gelap pertama tadi, tubuhnya melompat ke samp-
ing sejauh satu tombak. Khawatir kalau benda kali ini
tidak sama dengan yang pertama. Sebab, mungkin saja
penyerang itu bermaksud mempermainkan dirinya
dengan melemparkan bola baja sebesar kelereng.
Swing...!
Glarrr...!
Apa yang diperkirakan Panji ternyata benar. Benda
bulat itu menimbulkan ledakan keras, begitu jatuh ke
tanah. Untung dirinya memutuskan untuk meng-
hindar. Jika tidak, kecil sekali kemungkinan dapat se-
lamat.
“Kurang ajar...!” geram Panji seraya mengepal tin-
junya erat-erat, jengkel terhadap penyerang gelap itu.
Pendekar Naga Putih tahu apa tujuan dari serangan
itu. Maka dirinya tak ingin tinggal diam menunggu ke-
pulan asap tebal berwarna putih itu reda. Tubuhnya
langsung melesat menembus gumpalan asap itu. Na-
mun bukan main terkejut hati Panji ketika dari dalam
gumpalan asap itu terdengar suara berdesingan me-
nyambut tubuhnya. Dengan cepat tubuhnya melenting
ke udara melampaui gumpalan asap itu, lalu berjum-
palitan ke belakang menjauhi tempat itu.
Setelah meluncur turun dengan selamat, Pendekar
Naga Putih berdiri tegak menatap gumpalan asap yang
kian menipis. Ketika asap itu lenyap, hatinya terkejut
melihat si Malaikat Kerdil telah lenyap dari tempat itu.
“Hm.... Kali ini biarlah kau lolos, Malaikat Kerdil!
Tapi, lain waktu takkan kubiarkan...,” geram Panji ber-
janji dalam hati. Setelah termenung sesaat, pemuda itu
membalikkan tubuhnya, melangkah menghampiri Wa-
hyuni yang masih terkulai lemas.
Wahyuni sendiri menghela napas lega ketika me-
lihat pemuda tampan berjubah putih menghampirinya.
Semula dirinya mengira Pendekar Naga Putih men-
dapat celaka. Karena ledakan keras yang membuat ta-
nah sekitar tempat itu bergetar, tidak bisa dilihatnya.
Wahyuni mengucap syukur dalam hati melihat peno-
longnya selamat tanpa melihat adanya tanda-tanda
mengalami cidera, seperti apa yang dicemaskan.
***
EMPAT
Setelah merasa dirinya bebas dari pengaruh toto-
kan, Wahyuni langsung menutup wajah dengan kedua
telapak tangannya. Peristiwa yang nyaris merenggut
kesuciannya membuat jiwa gadis itu terguncang hebat
Meskipun sekarang bahaya itu sudah lewat, dirinya
merasa malu bukan main. Malu terhadap Pendekar
Naga Putih, yang walaupun menolongnya dengan ik-
hlas, pendekar muda itu sudah menyaksikan keadaan
dirinya yang setengah telanjang tadi. Ini yang menjadi
beban pikiran dan membuatnya menangis penuh pe-
nyesalan.
Wahyuni sama sekali tak sadar betapa per-
buatannya menyebabkan Panji kebingungan. Pemuda
itu tidak mengerti mengapa setelah diselamatkan dan
dibebaskan dari totokan, gadis berpakaian biru tua itu
justru menangis. Padahal sebelum ia membebaskan to-
tokan, gadis itu sama sekali tak menangis.
“Maaf kalau perbuatanku tadi membuatmu ber-
duka, Nisanak...!” ujar Panji dengan suara perlahan.
Saat hendak membebaskan totokan, tubuh gadis itu
dalam keadaan setengah telanjang. Kendati telah me-
minta maaf sebelumnya, kelihatannya gadis itu tetap
merasa malu hingga menangis demikian sedih.
Mendengar permintaan maaf Pendekar Naga Putih,
Wahyuni sadar akan kelakuannya yang telah membuat
orang lain kebingungan. Tangisnya agak mereda. Gadis
itu menurunkan telapak tangan dari wajahnya yang
sudah bersimbah air mata.
Panji menunduk demi melihat betapa sepasang ma-
ta gadis itu menggambarkan kesedihan yang dalam.
Hatinya dapat mengerti bagaimana perasaan gadis itu.
‘Tuan Pendekar...,” ujar Wahyuni dengan suara pa-
rau di antara isaknya. “Aku sama sekali tidak menya-
lahkanmu. Malah seharusnya sangat berterima kasih
atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan-ku dari
bencana mengerikan itu. Tapi..., bagaimana-pun, aku
tak bisa menahan rasa malu di hati ini, mengingat be-
tapa saat kau membebaskan totokan.... Keadaanku....
Benar-benar memalukan sekali...,” Wahyuni kembali
menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Aku paham apa yang kau rasakan, Nisanak. Tapi
semua itu bukanlah kesalahanmu. Jika.... Kau malu
terhadapku, ada baiknya kalau aku pergi....”
Sambil berkata begitu, Panji bangkit dari duduknya.
Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah me-
ninggalkan gadis itu.
Wahyuni tersentak kaget ketika mendengar ucapan
Pendekar Naga Putih itu. Telapak tangan yang menu-
tupi wajahnya kembali diturunkan. Dan ketika melihat
penolongnya sudah melangkah pergi, cepat ia melom-
pat bangkit dan berlari mengejar.
‘Tuan Pendekar, tunggu...!” seru Wahyuni yang ten-
tu saja menjadi serba salah. Karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk melukai ataupun menyinggung
perasaan penolongnya. Kelihatannya pemuda yang
berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah tersinggung
dengan sikap dan ucapannya, yang seperti tak bersyu-
kur telah diselamatkan orang.
Panji menahan langkah dan berbalik menghadapi
gadis itu. Wajahnya tersenyum memaklumi bahwa ga-
dis itu tentu telah menduga yang bukan-bukan terha-
dap tindakannya.
“Sudahlah, Nisanak! Aku merasa bersyukur kau te-
lah selamat dari bahaya. Kalau aku sekarang hendak
pergi, itu bukan karena aku marah atas sikap dan
perkataan mu...,” ujar Panji dengan nada lembut,
membuat Wahyuni kian merasa malu terhadap dirinya
sendiri.
“Aku.... Aku memang perempuan tak tahu terima
kasih...!”
Sambil berkata demikian, Wahyuni menjatuhkan
tubuhnya bersimbah di depan Pendekar Naga Putih.
Tentu saja Panji kaget. Secepat kilat diulurkan ke-
dua tangannya mengangkat pundak gadis itu.
“Bangkitlah, Nisanak! Jangan bersikap seperti
ini...!”
Wahyuni yang merasa betapa ada sepasang tangan
yang memegang kedua bahu dan mengangkat naik tu-
buhnya, menundukkan kepala dalam-dalam. Kemu-
dian perlahan-lahan diangkat wajahnya, hingga sepa-
sang mata mereka bertemu dalam jarak kurang lebih
satu jengkal. Hal itu berlangsung beberapa saat tanpa
mereka sadari. Hingga akhirnya Wahyuni menunduk,
tersipu dengan wajah kemerahan.
Panji agak kaget juga ketika menyadari apa yang
baru saja terjadi. Namun dirinya tetap berusaha bersi-
kap wajar, agar gadis itu tidak semakin salah tingkah.
Hanya saja pemuda itu belum sadar kalau sepasang
tangannya masih melekat di bahu Wahyuni.
Setelah agak lama dan gadis itu masih juga menun-
dukkan wajahnya bahkan semakin dalam, Panji baru
menyadari kesalahannya. Bagai terkena sengatan le-
bah, kedua tangannya disentakkan secara tiba-tiba.
Diam-diam ia mengutuk kebodohannya itu.
“Maaf...!” ucap Panji setelah mengerti kesalahannya.
Wahyuni tentu saja tahu untuk apa Pendekar Naga
Putih meminta maaf kepadanya. Sebab, ketika sepa-
sang tangan pemuda itu melekat pada kedua bahunya,
dirasakan ada suatu getaran aneh yang tak dimengerti
olehnya. Yang jelas sesaat tadi dirinya merasa aman
dan terlindung. Dadanya berdebar lebih cepat dari bi-
asa, membuat nafasnya agak memburu. Semua kea-
nehan yang tidak diketahui Panji inilah yang membuat
Wahyuni terus merunduk, tak berani mengangkat wa-
jahnya.
Baru setelah sepasang tangan itu terlepas dari ba-
hunya, Wahyuni berani mengangkat wajah, dan meng-
geleng sebagai isyarat tak perlu ada kata maaf harus
diucapkan pemuda itu. Hanya saja Wahyuni merasa
kehilangan getaran-getaran aneh yang kini baru dira-
sakannya demikian nikmat dan melenakan, membuat
dirinya ingin Pendekar Naga Putih mengulangi perbua-
tan itu. Wahyuni tentu saja kaget Cepat diusirnya
keinginan gila itu. Gadis itu sama sekali tidak sadar
kalau kepalanya menggeleng keras saat hendak men-
gusir keinginan itu. Tentu saja membuat Panji me-
mandang heran. Tapi tak berani untuk bertanya.
“Nisanak, kau sudah terlepas dari ancaman bahaya.
Rasanya aku sudah tak diperlukan lagi di tempat
ini....”
“Pendekar Naga Putih, tidakkah kau mau memaafkan sikap dan ucapanku?”
Wahyuni menyela cepat, dan justru membuat pera-
saannya terkejut. Sebab ia kemudian tahu bahwa uca-
pan itu keluar karena tidak ingin berpisah dengan
sang Pemuda berwajah tampan itu. Perasaan gila yang
muncul setelah kejadian barusan, demikian kuat men-
cengkeram hatinya, membuat Wahyuni sendiri tak
berdaya.
“Nisanak, kau kenapa...?” Tanya Panji dengan ken-
ing berkerut keheranan mendengar ucapan Wahyuni.
Hatinya mulai cemas, menduga kalau jiwa gadis ini
masih terguncang dengan apa yang nyaris menimpa
dirinya tadi. Pikiran itu membuat Pendekar Naga Putih
menatap sepasang mata Wahyuni untuk memastikan-
nya.
Melihat tatapan mata Pendekar Naga Putih, Wahyu-
ni salah paham. Gadis itu kembali merunduk dan ter-
sipu malu dengan sepasang pipi merona kemerahan.
Lagi-lagi sikapnya membuat Panji kebingungan.
“Aku.... Aku....”
Wahyuni mendadak merasa lidahnya kelu dan sulit
untuk mengucapkan kata-kata. Sepasang matanya
menatap lekat wajah pendekar muda tampan itu. Ke-
mudian berpindah menekuri rerumputan di bawah ka-
kinya. Dan ketika gadis itu mendongakkan kepala,
menatap dengan sorot mata aneh serta senyum manis
di bibirnya, Pendekar Naga Putih tersentak kaget.
Sadar apa yang saat ini tengah terjadi dalam diri
gadis itu, Panji mengeluh dan menghela napas penuh
rasa iba. Sebab sekarang dia mengerti apa arti tatapan
mata dan sikap gadis itu. Dirinya telah berjumpa den-
gan banyak wanita yang bukan hanya dari kalangan
persilatan. Hatinya yakin gadis itu telah jatuh hati ter-
hadapnya, Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya di
tuntut bertindak tegas untuk menepiskan perasaan
dan naluri kewanitaan gadis itu.
“Ah, aku merasa tak tahu berterima kasih karena
belum memperkenalkan nama. Padahal kau sudah
berbaik budi menyelamatkan diriku. Nah, Pendekar
Naga Putih, aku Wahyuni menghaturkan hormat ke-
padamu....”
Tiba-tiba saja Wahyuni yang rupanya telah mene-
mukan sifat lincah dan periangnya itu, langsung saja
memperkenalkan nama seraya membungkuk dan me-
rangkap kedua tangan di depan dada. Dengan mem-
perkenalkan diri lebih dulu, tentu saja Wahyuni berha-
rap Pendekar Naga Putih akan memperkenalkan nama
kepadanya. Dan ia menunggu hal itu.
Pendekar Naga Putih yang tak ingin menyinggung
perasaan gadis itu, tersenyum dan balas menghormat.
Kemudian menyebutkan namanya.
“Panggil saja aku Panji. Nah, selamat tinggal...!”
Wahyuni membelalak kaget, ketika tahu-tahu sosok
pemuda di depannya telah lenyap. Ketika ia menoleh
ke kanan, terlihat bayangan putih yang melesat den-
gan kecepatan tinggi, untuk kemudian lenyap dari
pandangan.
Sepeninggal Panji, Wahyuni masih berdiri ter-
menung, memandang ke arah sosok penolongnya itu
menghilang. Terdengar tarikan nafasnya yang berat
dan berkepanjangan. Tak berapa lama kemudian, ga-
dis itu pun mengayun langkah melanjutkan perjala-
nan.
***
Pendekar Naga Putih terus berlari dengan kecepatan
tinggi. Dirinya sengaja mengerahkan kepandaian agar
Wahyuni tidak bisa mengejarnya. Setelah merasa yakin
kalau sudah cukup jauh meninggalkan gadis itu, baru-
lah larinya diperlambat. Agak menyesal memang ia me-
lakukan hal itu. Namun tindakan ini dilakukannya
demi kebaikan mereka berdua.
Ketika melanjutkan perjalanan dengan setengah
berlari itu, tiba-tiba Panji menunda langkahnya. Telin-
ganya yang tajam mendengar ada suara langkah berat
seperti tersaruk-saruk, ditingkahi dengusan napas
yang memburu.
“Hm.... Entah apa lagi yang akan kujumpai kali ini.
Yang jelas, dalam suasana kacau seperti sekarang ini,
aku harus selalu waspada...,” gumam Panji sambil te-
rus berkelebat menuju sumber suara yang mengusik
telinganya itu.
Pendekar Naga Putih sudah siap melompat ke se-
mak-semak, ketika suara langkah berat dan napas te-
rengah itu semakin dekat dengan tempatnya berada,
namun segera diurungkannya. Sesosok bayangan yang
sebentar lenyap sebentar terlihat di antara batang-
batang pepohonan membuat pemuda berjubah putih
itu melesat untuk menghampiri. Sebab, kendati hanya
sepintas, matanya sempat menangkap ada noda darah
pada pakaian sosok tubuh itu.
Gerakan Panji yang membawa hembusan angin ke-
ras itu, sempat membuat sosok yang tertatih-tatih itu
terkejut. Namun ketika sambaran angin keras itu dis-
usul dengan kemunculan seorang pemuda tampan
berjubah putih, lelaki yang di beberapa bagian tubuh-
nya dipenuhi luka itu terlihat agak tenang. Matanya
menatap sosok Panji dengan penuh selidik. Bahkan
tangannya sudah meraba gagang golok yang tergan-
tung di pinggangnya.
“Siapa kau, Kisanak? Mengapa menghadang perjalananku?”
Meskipun dalam keadaan tubuh lemah karena ter-
lalu banyak kehilangan darah, lelaki itu tak ingin me-
nunjukkan kelemahannya. Dia masih dapat ber-tanya
dengan penuh rasa curiga.
“Maaf kalau kehadiranku membuatmu terkejut Na-
maku Panji. Dan aku menghadang bukan dengan
maksud buruk Aku hanya merasa terusik melihat kea-
daan tubuhmu yang dipenuhi luka itu, Kisanak. Kalau
boleh ku tahu, apa sebenarnya yang menimpa dirimu?”
Tanya Panji dengan tutur kata halus, setelah memper-
kenalkan dirinya.
“Hhh.... Dunia sekarang benar-benar sudah gila!
Tak ada lagi tempat yang dapat membuat kita hidup
tenteram. Di mana-mana terjadi kejahatan. Perampok-
perampok merajalela membunuh dan merampas harta
benda sesuka hatinya. Bahkan tak segan-segan mere-
ka memperkosa anak-istri orang! Kalau sudah begini,
rasanya kiamat akan segera datang...,” ujar lelaki ber-
pakaian putih, yang pada bagian kerah dan ujung len-
gannya dilapisi warna biru tua. Ucapan itu dikelua-
rkan dengan suara bergetar penuh kekecewaan dan
keputusasaan. Dari wajahnya tampak, seolah-olah le-
laki itu merasa menemukan tempat untuk menum-
pahkan perasaan yang menyesakkan dadanya. Ketika
ucapannya selesai, tubuhnya melorot jatuh dengan
bertelekan kedua lutut Tampaknya penderitaan yang
dialami lelaki itu sangat berat Setelah melepas-kan se-
gala perasaan kecewa, kesal, dan putus asanya kepada
Panji, dia menekap wajah dan terisak.
Melihat lelaki itu jatuh terduduk dan terisak, Panji
tak berusaha untuk menghibur. Dia tetap berdiri di
tempatnya, menunggu redanya tangis dan kesedihan
lelaki itu. Sebab, sering tangisan seperti itu dapat
membantu meredakan kegalauan, kekecewaan, dan
kekesalan yang menyesakkan dada.
“Kisanak,” tegur Panji ketika mendengar isak lelaki
itu terhenti, kendati masih tetap menyembunyikan wa-
jah dengan kedua telapak tangan.
Panji tahu kalau orang itu sudah dapat mendengar
sapaannya. Maka segera dilanjutkan ucapannya.
“Ada kejahatan, pasti ada kebaikan. Ada kekacauan
jelas ada ketenangan. Ada malapetaka tentu kita akan
mendapat karunia. Begitulah Tuhan menciptakan se-
galanya dengan berpasang-pasang. Satu sama lain se-
lalu datang silih berganti....”
Panji menghentikan ucapannya dan menatap lelaki
itu. Ingin didengarnya apa tanggapan lelaki itu atas
perkataannya.
“Kisanak.... Siapa sebenarnya dirimu? Tampaknya
kau telah banyak memiliki pengalaman dalam kehidu-
pan ini. Dan kata-kata seperti itu layak diucapkan seo-
rang bijaksana atau seorang guru. Paling tidak orang
yang sudah lanjut usianya. Sedangkan kau kulihat
masih sangat muda? Dan..., sikapmu mencerminkan
ketenangan, sinar matamu yang tajam bagaikan sang-
gup menembus ke dalam hati, menandakan bahwa
kau pastilah bukan pemuda sembarangan. Bersedia-
kah kau memberikan jawaban yang jujur kepada-
ku...?” ujar lelaki itu. Tampak matanya mulai mem-
perhatikan sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Seperti yang kukatakan tadi, namaku Panji.
Seorang pengembara yang tak pernah punya tempat
tinggal. Dan kalau yang kau maksudkan bahwa aku
memiliki kepandaian, tentu saja tidak salah. Meskipun
sebenarnya kurang pantas untuk dipamerkan, tapi
kuanggap cukup sekadar untuk bekal hidup. Nah, apa
kau masih menyimpan pertanyaan lagi sebelum men-
ceritakan apa yang telah menimpa dirimu atau keluar
gamu? Atau mungkin juga perguruan tempatmu me-
nimba ilmu. Sebab, kalau kulihat dari pakaianmu, se-
pertinya kau murid sebuah perguruan silat,” duga
Panji seraya meneliti sosok lelaki itu. Kemudian me-
langkah maju, dan duduk di atas rerumputan. “Sudah
siap untuk bercerita...?” tanyanya tersenyum meman-
dang lelaki yang kini berada di sampingnya.
Lelaki bertubuh agak gemuk, yang berusia sekitar
tiga puluh lima tahun itu tak segera menjawab. Setelah
menoleh sekilas menatap wajah Panji, ia menghela na-
pas berat seperti hendak melepaskan beban yang
menghimpit dadanya. Pandang matanya kini menera-
wang jauh ke langit cerah. Saat itu matahari sudah
bergeser, waktu sudah lewat tengah hari.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Bahkan ikut melem-
parkan pandang ke atas, memperhatikan awan- awan
biru yang berarak. Dengan sabar dia menunggu orang
itu menceritakan peristiwa yang membuat tubuhnya
dipenuhi luka bekas senjata tajam maupun pukulan.
Setelah agak lama termenung, lelaki muda itu mulai
menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia mengaku
sebagai salah satu murid dari Perguruan Wulung Sak-
ti, yang bertempat di Bukit Warangan. Perguruan yang
memiliki murid sekitar empat puluh orang itu, tiba-
tiba didatangi sekelompok orang dipimpin tokoh berju-
luk Tengkorak Hitam. Tanpa basa-basi, mereka lang-
sung mengajak Perguruan Wulung Sakti bergabung
dan tunduk di bawah kekuasaan ketua dari Tengkorak
Hitam. Ketika ajakannya tidak disambut baik, Tengko-
rak Hitam marah dan memerintahkan para anak
buahnya untuk menghabisi seluruh penghuni bangu-
nan perguruan itu, termasuk binatang peliharaan dan
ternak yang ada. Mereka pun membakar hangus ru-
mah perguruan itu, setelah membantai penghuninya.
“Lalu, bagaimana kau dapat selamat dan sampai ke
tempat ini...?” Tanya Panji setelah lelaki itu mengakhiri
ceritanya.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap pe-
nuh selidik. Sebab menurut cerita barusan, seluruh
penghuni rumah perguruan dibantai habis tanpa ter-
kecuali. Kalau sekarang lelaki itu ternyata bisa selamat
dan bertahan hidup, tentu saja menimbulkan perta-
nyaan di hati Panji.
“Secara kebetulan, aku selamat. Padahal aku lebih
suka tewas seperti saudara-saudaraku yang lain. Ru-
panya Tengkorak Hitam beserta begundal-begundal-
nya mengira aku telah tewas. Tubuhku yang dipenuhi
luka tusukan senjata, tergeletak di antara sekian ba-
nyak mayat lainnya. Padahal aku hanya pingsan. Dan
tersadar saat hari mulai gelap. Dengan hati hancur,
aku menguburkan semua mayat, termasuk guruku
dan tokoh-tokoh utama Perguruan Wulung Sakti. Ke-
mudian aku memutuskan untuk pergi meninggalkan
tempat itu. Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki,
tanpa tahu ke mana dan apa yang harus kulakukan.
Tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, serta beberapa
perguruan silat yang ku tahu, sudah kudatangi semua.
Maksudku tentu saja untuk meminta bantuan. Tapi,
mereka semua tak dapat kuharapkan. Mereka ternyata
mengalami nasib yang tak berbeda dengan pergurua-
nku. Keadaan itu membuat aku putus asa. Karena Ib-
lis Angkara Murka yang menebar bencana tak ada
yang mampu menghentikannya....”
Lelaki gemuk itu menarik napas panjang lalu
menghembuskannya perlahan-lahan. Wajahnya kelam
penuh kedukaan yang dalam. Sesaat matanya tampak
memejam serta menggelengkan kepala perlahan. Sea-
kan-akan hendak menghempaskan kekesalannya.
“Hm.... Aku telah mendengar semua kekacauan
yang akhir-akhir ini berkecamuk di berbagai tempat
Tapi, percayalah, Kisanak! Saat ini banyak pendekar
yang bermunculan. Mereka merasa bertanggung jawab
untuk dapat menumpas Iblis Angkara Murka itu. Aku
sendiri berhasrat sekali ingin melihat, seperti apa ma-
nusia iblis yang mendalangi semua kebiadaban ini!
Aku yakin, kejahatan tak akan berlangsung lama. Ka-
rena kebenaran akan selalu dapat mengalahkanya!”
ujar Panji penuh semangat dengan maksud untuk
membangkitkan gairah hidup dan semangat lelaki mu-
da itu.
“Aku tahu di mana markas pimpinan manusia- ma-
nusia biadab yang mengaku berjuluk Iblis Angkara
Murka itu. Semula kukira sebuah bangunan besar
yang megah dan dijaga tokoh-tokoh sesat. Tapi, ternya-
ta hanya sebuah rumah sederhana. Rupanya iblis bi-
adab itu sengaja, agar tak satu pun orang yang me-
nyangkanya. Ia cuma tinggal bersama dua orang pem-
bantunya yang buta. Tapi, para pengikutnya tersebar
di berbagai tempat,” tutur lelaki yang gemuk itu, mem-
buat Panji terkejut
“Hm...?! Di mana tempat itu...?” Tanya Panji sambil
berusaha menyembunyikan kecurigaannya. Namun ia
ingin tahu seperti apa rupa tokoh yang ternyata me-
mang berjuluk Iblis Angkara Murka itu.
“Iblis itu memiliki kesaktian yang luar biasa, Panji.
Untuk menyerbu tempat itu kita harus mengumpulkan
para pendekar sebanyak-banyaknya. Kalau hanya kita
berdua, menghadapi salah satu pembantunya yang bu-
ta saja tak mungkin dapat menang. Sama saja kita
mengantarkan nyawa sia-sia...!”
Lelaki gemuk itu terkejut mendengar keinginan Pan-
ji untuk menyatroni biang iblis itu. Dan ia tidak setuju,
karena menurutnya sama saja dengan menghampiri
liang kubur.
“Hm.... Kalau hanya tiga orang, aku rasanya tidak
akan gentar. Biarpun kesaktian tokoh itu seperti iblis
neraka, aku akan menghadapinya! Ayo, antarkan aku
ke tempat Iblis Angkara Murka itu berada!” desak Panji
tanpa mempedulikan betapa wajah lelaki gemuk itu
menjadi pucat bagai tak dialiri darah.
‘Tapi....”
“Kau tak perlu takut, Kisanak! Tugasmu hanya me-
nunjukkan tempat itu. Kemudian kau boleh pergi. Aku
akan menghadapi Iblis Angkara Murka dan dua orang
pembantunya yang buta itu!” ujar Panji seraya men-
gepal tinjunya erat-erat.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak bermaksud
menyombongkan diri. Namun hatinya belum percaya
kalau lelaki gemuk itu sudah menemukan tempat ke-
diaman Iblis Angkara Murka. Dan kalau apa yang dice-
ritakan lelaki itu benar, berarti ada dua kemungkinan.
Pertama, lelaki gemuk itu salah satu pengikut Iblis
Angkara Murka yang sengaja hendak menjebaknya.
Kalau tidak, lelaki gemuk itu pasti sudah terganggu ji-
wanya karena tak sanggup menahankan beban derita
yang menghimpit.
Karena dipaksa oleh Panji, akhirnya lelaki gemuk
itu bersedia menunjukkan tempat kediaman Iblis Ang-
kara Murka. Hanya akan menunjukkannya, untuk
kemudian membiarkan Panji menyelesaikannya seo-
rang diri.
***
LIMA
Setelah mendapatkan gambaran tentang jalan yang
harus dilaluinya, Pendekar Naga Putih memegang tan-
gan lelaki gemuk itu dan melesat dengan pengerahan
ilmu lari cepatnya. Sehingga, perjalanan yang kalau di-
lakukan orang awam bisa memakan waktu setengah
hari, dapat ditempuh Panji sepuluh kali lebih cepat
“Mengapa kau minta aku berhenti di sini, Guradi?”
Tanya Panji menghentikan larinya. Karena lelaki ge-
muk yang mengaku bernama Guradi itu berteriak-
teriak meminta berhenti.
“Bukankah kau minta aku hanya mengantarkan sa-
ja? Nah, kau lihat bukit di depan itu? Di atas puncak
Bukit Jajaran itulah Iblis Angkara Murka tinggal,” ja-
wab Guradi menunjuk sebuah gundukan tanah yang
disebut sebagai Bukit Jajaran.
Panji memandang Bukit Jajaran yang ditunjuk Gu-
radi. Bukit itu tampak biasa saja. Tidak terlihat angker
sebagaimana biasanya tempat tinggal tokoh- tokoh se-
sat Sejenak ada keraguan di hati Panji.
“Kau yakin Iblis Angkara Murka tinggal di puncak
bukit itu?” Tanya Panji untuk memastikan. Pertanyaan
itu dikeluarkan sambil menatap tajam wajah Guradi.
“Aku pernah menyelinap ke sana, saat serombongan
tokoh sesat datang menghadap pemimpin besarnya,”
jawab Guradi tanpa ragu-ragu.
Panji mengangguk beberapa kali. Jawaban itu dira-
sakan cukup masuk akal. Sebab, dengan cara menye-
linap ikut bersama rombongan, tentu saja Guradi ter-
lepas dari kecurigaan mereka. Panji menerima jawaban
itu, yang kebenarannya sangat mungkin. Karena itu,
Panji pun bergegas menuju Bukit Jajaran, meninggal
kan Guradi di tempat itu.
Guradi tak lagi merasa terkejut saat melihat tubuh
Panji lenyap dari sampingnya. Dirinya sudah tahu ka-
lau pemuda tampan berjubah putih itu memiliki ke-
pandaian luar biasa. Hal itu diketahui saat dirinya di-
bawa lari pemuda itu dalam perjalanan menuju Bukit
Jajaran.
Setelah bayangan Panji tak lagi terlihat, Guradi pun
bergerak meninggalkan tempat itu mengambil arah
yang berlawanan. Dan..., bukan main! Sekali bergerak,
tubuh Guradi meluncur cepat laksana sambaran kilat!
Kalau saja Panji melihat perubahan Guradi ini, tentu
akan terkejut sekali. Guradi ternyata memiliki ilmu lari
cepat yang nyaris sempurna. Bahkan mungkin setara
atau bahkan di atas kemampuan yang dimiliki Pende-
kar Naga Putih dalam hal ilmu lari cepat. Benar-benar
mengejutkan! Sayang Panji tak mengetahuinya. Kalau
tidak, tentu ia curiga dengan lelaki gemuk yang men-
gaku bernama Guradi itu.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang sudah ti-
ba di kaki Bukit Jajaran, menghentikan larinya seje-
nak. Diperhatikannya sekeliling tempat itu, kalau-
kalau ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah merasa
tak ada sesuatu yang patut dicurigai, pemuda itu mu-
lai bergerak mendaki lereng. Beberapa saat kemudian,
dirinya telah tiba di atas puncak Bukit Jajaran, yang
tidak begitu luas.
Pendekar Naga Putih menyelinap di semak- semak,
meneliti keadaan sekitar. Kemudian baru melesat keti-
ka tidak melihat atau mendengar sesuatu yang mencu-
rigakan. Tubuhnya terus melompat naik ke atas seba-
tang pohon yang berdaun rimbun. Dari atas matanya
mengawasi sebuah bangunan yang tidak begitu besar
dan terlihat cukup tua.
“Hm… Sepertinya apa yang digambarkan Guradi
memang tak berlebihan. Tak mungkin rasanya kalau
bangunan sekecil ini bisa menampung banyak orang.
Mungkin benar kalau di dalam bangunan ini cuma ada
Iblis Angkara Murka dan dua orang pembantunya yang
buta,” gumam Panji sambil memperhatikan sekitar
bangunan dengan seksama. Dan ia tak melihat adanya
satu pun penjaga di tempat itu.
Setelah menunggu beberapa saat dan keadaan di
sekitar bangunan tetap tak ada perubahan, Pendekar
Naga Putih melompat turun dengan mengerahkan ilmu
meringankan tubuhnya agar tak menimbulkan suara
saat menjejak tanah. Kemudian tubuhnya menyelinap
ke bagian samping bangunan. Namun sebelum tan-
gannya menyentuh daun pintu, Panji melayang naik ke
atas atap. Karena telinganya menangkap ada suara
langkah kaki menuju pintu itu.
Pendengaran Panji memang tak salah. Karena se-
saat kemudian pintu terkuak dan muncullah se-sosok
tubuh ramping yang memiliki paras cantik jelita. Gadis
cantik berpakaian serba hijau itu membuat se-pasang
mata Panji membelalak lebar, bagaikan melihat hantu
di siang bolong! Karena sosok perempuan muda yang
bagaikan bidadari itu tak lain.... Kenanga!
Meskipun jelas-jelas matanya melihat bahwa yang
keluar dari samping bangunan ternyata Kenanga, Panji
tidak ingin langsung percaya begitu saja. Matanya
tampak mengerjap-ngerjapkan seolah ingin meyakin-
kan penglihatannya. Tetap saja sosok itu tidak beru-
bah. Dengan hati diliputi ketidakmengertian, bagaima-
na Kenanga bisa berada di tempat itu, Panji memu-
tuskan untuk turun dan menemui kekasihnya.
Saat tubuh Panji meluncur turun dari atap, Kenan-
ga terlihat agak kaget, dan mundur empat langkah.
Namun, begitu melihat bahwa yang datang ternyata
Panji, senyumnya mengembang. Wajah gadis itu berse-
ri-seri.
“Kakang...?!” seru Kenanga antara kaget, heran, dan
juga gembira. Kakinya bergegas melangkah mendekati
Panji. Dara jelita itu berhenti satu langkah di hadapan
kekasihnya. Sepasang matanya yang indah menatap
wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Kenanga
sangat rindu kepada sang Kekasih.
“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat
ini? Tahukah kau siapa yang menghuni bangunan
ini?” Tanya Panji menyambut uluran tangan kekasih-
nya.
“Dari keterangan-keterangan yang kukumpulkan
selama mengadakan penyelidikan, akhirnya membawa-
ku ke tempat ini. Karena Iblis Angkara Murka, yang
menjadi biang keladi dari semua kekacauan, tinggal di
atas puncak bukit ini. Tapi, bangunan ini ternyata ko-
song, tak berpenghuni! Aku sudah memeriksanya
sampai beberapa kali...,” jawab Kenanga tanpa mele-
paskan pandangannya dari wajah Panji.
Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas se-
saat Kemudian memalingkan wajahnya memperhati-
kan tempat itu. Tiba-tiba saja Panji berpaling dan
kembali menatap wajah kekasihnya. Kemudian berge-
rak mundur karena merasakan adanya kelainan pada
diri Kenanga. Biasanya setiap kali berpegangan tan-
gan, jemari Kenanga tak pernah berhenti bergerak, se-
lalu mengelus manja. Namun, Kenanga yang se-karang
ada di hadapannya sama sekali tak melakukannya.
Padahal, apa yang setiap kali dilakukan Kenanga me-
rupakan kebiasaan. Mustahil kalau Kenanga sampai
lupa terhadap kebiasaannya sendiri. Ingatan ini mem-
buat pemuda itu melepaskan pegangannya dan bergerak mundur dengan tatapan curiga.
Rupanya Kenanga merasakan kecurigaan itu se-
belum Pendekar Naga Putih melepaskan tangannya.
Dan ketika Panji melepaskan pegangan tangannya ke-
mudian bergerak mundur, Kenanga segera melompat
maju sambil melancarkan dua buah pukulan hebat!
“Hahhh...?!”
Melihat Kenanga menerjang dengan dua buah pu-
kulan yang mendatangkan angin berkesiutan, Pende-
kar Naga Putih kaget bukan main. Namun jarak antara
mereka saat itu terlalu dekat. Selain itu, dirinya dalam
keadaan tidak siap, meskipun tadi terlintas di hatinya
rasa curiga. Akan tetapi tak sampai sejauh itu, bahwa
kekasihnya akan melancarkan serangan. Sehingga,
meski pukulan pertama sempat ditangkis, pukulan su-
sulan telak menghantam dadanya.
“Hiaa...!”
Bukkk!
“Hukkhhh!”
Pendekar Naga Putih terbatuk karena pernapasan-
nya terhambat ketika pukulan itu bersarang di dada.
Tubuhnya terlempar sejauh satu tombak lebih, kemu-
dian terhempas keras di tanah.
“Kenanga...! Apa..., mengapa...?” desis Panji tak
mengerti, sambil bergerak bangkit memegangi dadanya
yang serasa remuk.
Hatinya merasa heran ketika merasakan betapa
kuat tenaga sakti yang dimiliki Kenanga. Dari pukulan
yang mengenai dadanya, Panji dapat mengukur bahwa
tenaga dalam yang digunakan Kenanga sangat tinggi.
Tentu saja pemuda itu tak percaya kalau dalam waktu
yang sesingkat itu, selama mereka berpisah, Kenanga
bisa mencapai kemajuan yang luar biasa. Baginya itu
tidak masuk akal!
Melihat Kenanga bergerak menghampiri dengan
langkah agak lambat dan raut wajah tenang, masih
tersenyum, Panji merasa bingung. Hatinya yakin kalau
gadis itu bukan samaran orang lain. Sebab, mana
mungkin bisa benar-benar serupa. Dan kalaupun hal
itu perbuatan ilmu sihir, kekuatan mukjizat dalam tu-
buhnya pasti sudah bergerak liar memberi tanda. Na-
mun, Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, nyatanya sama
sekali tak terpengaruh ilmu sihir.
Semakin tidak mengertilah Pendekar Naga Putih
menghadapi keadaan itu. Hingga dirinya terus ber-
gerak mundur, takut kalau-kalau Kenanga akan kem-
bali melakukan serangan. Sebab, dirinya masih ragu
untuk menyerang wanita yang jelas-jelas Kenanga itu.
“Hiaaa...!”
Tiba-tiba Kenanga memekik keras. Tubuhnya mele-
sat ke depan dengan kecepatan tinggi. Sepasang tan-
gannya berputaran laksana baling-baling dan melan-
carkan pukulan keras dan beruntun.
“Kenanga...?!”
Panji berseru heran dan terkejut Serangkaian se-
rangan hebat itu membuat Panji harus melompat ke
sana kemari untuk mengelak. Namun serangan gadis
itu cepat bukan main. Sehingga....
Bukkk! Bukkk!
“Aakkhh...!”
Tubuh Panji kembali terjungkal akibat dua buah
pukulan yang mengenai iga dan lambungnya. Namun
begitu terbanting jatuh, Panji melompat bangkit Ke-
mudian menggeser langkah dan melompat-lompat
mengelakkan serangan Kenanga yang masih ber-
kelanjutan. Sementara itu gerakan langkahnya terasa
semakin lambat karena luka dalam akibat pukulan ta-
di. Dari mulutnya tampak darah segar tak henti
hentinya mengalir, membuat pakaiannya ternoda. Se-
jauh itu Panji belum berani membalas kecuali sesekali
terpaksa menangkis.
Meskipun saat itu harus memusatkan pikiran guna
menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang di-
lancarkan Kenanga, tak urung Panji sempat diliputi
keheranan besar. Karena kekuatan mukjizat ‘Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ kembali menunjukkan keane-
han. Biasanya tenaga gaib itu selalu bergerak menye-
bar apabila tubuh Pendekar Naga Putih mengalami lu-
ka. Kali ini tenaga jelmaan ‘Pedang Naga Langit’ itu tak
menunjukkan kemukjizatannya. Ini yang membuat
Panji heran, hingga pikirannya tanpa sadar telah ter-
pecah. Akibatnya, sebuah tendangan keras membuat
tubuhnya terjungkal ke tanah. Panji bergegas melom-
pat bangkit. Dan lagi-lagi tubuhnya menjadi sasaran
dua buah pukulan telapak tangan yang jauh lebih
dahsyat daripada serangan-serangan sebelumnya.
“Heaa...!”
Plaakk! Buggg!
“Huekh...!”
Kali ini Pendekar Naga Putih memuntahkan darah
segar. Tubuhnya yang terlempar membentur dinding
yang mengelilingi bangunan, hingga dinding yang su-
dah tua itu hancur berantakan. Panji yang jatuh ter-
timpa reruntuhan, sudah tak ingat apa-apa lagi. Di-
rinya pingsan akibat luka dalam yang parah.
Kenanga memperdengarkan suara tawa kemenan-
gannya. Kemudian mengangkat tubuh Panji, dan
membawanya masuk ke dalam bangunan.
***
Panji tersadar dari pingsannya, dan mendapati di-
rinya terkurung dalam sebuah ruangan gelap. Matanya
mulai mengerjap-ngerjap berusaha mengenali tempat
itu. Namun tetap saja ruangan itu gelap, kendati tidak
lagi sepekat semula. Ketika mencoba untuk bangkit,
dadanya terasa nyeri seperti tertusuk puluhan jarum
halus. Darah segar masih mengalir dari mulutnya.
Pendekar muda itu sadar bahwa dirinya mengalami lu-
ka dalam yang parah.
“Hhh...! Di manakah aku sekarang...?” gumam Panji
yang terpaksa merebahkan tubuh. Kemudian mencoba
mengatur jalan nafasnya perlahan-lahan.
Lama Panji diam tak bergerak dengan mata terpe-
jam rapat Terbayang kejadian yang baru saja dialami,
dan telah menyebabkan dirinya menderita luka dalam
sangat parah.
Dalam keheningan, Panji mengingat-ingat kejadian
yang dialaminya. Namun tetap tak menemukan jawa-
ban, mengapa Kenanga sampai tega berbuat seperti
itu. Benarkah wanita itu Kenanga? Kalau benar, apa
yang telah terjadi dengan kekasihnya itu? Dan kalau
Kenanga yang melukainya karena pengaruh ilmu sihir,
mengapa Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya tak beker-
ja?
“Apakah ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, sudah le-
nyap dari dalam tubuhku...?” gumam Panji ketika te-
ringat akan keanehan yang terjadi dengan kekuatan
mukjizatnya itu.
Karena merasa tak yakin kalau tenaga gaib itu hi-
lang dari dalam tubuhnya, Pendekar Naga Putih mulai
mencoba memusatkan pikirannya. Kemudian segera
dikerahkan kekuatan batinnya untuk membangkitkan
tenaga jelmaan Pedang Naga Langit itu. Dan ia menga-
lami keheranan untuk yang kesekian kalinya. Kekua-
tan mukjizat itu seperti terbelenggu sesuatu. Panji se-
makin keras memusatkan pikirannya. Hingga tubuh
nya bergetar dan dibanjiri peluh. Karena untuk mem-
bebaskan kekuatan gaibnya dari belenggu aneh itu
ternyata tidak mudah.
Setelah berjuang keras dan cukup lama. Perlahan-
lahan di sekujur tubuhnya mulai muncul sinar keema-
san yang samar-samar. Kian lama semakin menebal.
Hawa panas pun menyebar memenuhi ruangan itu,
yang seketika menjadi terang benderang. Dan tenaga
gaib itu langsung menunjukkan kemukjizatannya den-
gan membakar luka dalam tubuh Pendekar Naga Pu-
tih.
“Aneh...?! Mengapa tenaga mukjizat ini seperti ter-
belenggu sesuatu? Bagaimana mungkin hal itu sampai
terjadi tanpa aku merasakannya? Dan siapa pula yang
sanggup membuat kekuatan ini tak berdaya?” gumam
Panji sambil tetap berbaring, meskipun ia merasakan
bahwa luka dalamnya sudah sembuh. Itu diketahui
dari mulai meredanya rasa nyeri dalam dadanya saat
mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan ke selu-
ruh tubuh.
Setelah tenaga mukjizatnya kembali dapat bekerja
sendiri seperti biasa, terbukalah mata Panji, mengapa
ketika menghadapi Kenanga tenaga itu tak bekerja.
Sekarang hatinya mulai meragukan keaslian Kenanga.
Bahkan mulai dapat menebak bahwa yang menyamar
sebagai Kenanga kemungkinan besar tokoh yang ber-
juluk Iblis Angkara Murka. Yang masih belum ia men-
gerti, bagaimana tokoh itu dapat membuat tenaga
mukjizatnya tak berdaya. Sedangkan ia belum pernah
bertemu dengan biang keladi dari kekacauan yang ter-
jadi di dunia persilatan akhir-akhir ini.
“Selama dalam perjalanan cuma lelaki gemuk yang
mengaku bernama Guradi itu yang ada bersamaku.
Orang itu memang sangat mencurigakan, meskipun
memiliki jawaban yang masuk akal ketika kutanyakan.
Tapi, mungkinkah ia memiliki kepandaian yang sede-
mikian hebat sampai mampu membelenggu tenaga
jelmaan Pedang Langit secara gaib? Mengapa aku tak
mengetahui atau merasakannya saat ia melakukan hal
itu. Rasanya tak mungkin! Pasti ada tokoh sakti yang
mengetahui cukup banyak tentang diriku, termasuk
tentang ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang sangat ja-
rang kugunakan ini. Hm..., aku harus dapat menemu-
kan tokoh itu!”
Sesudah mengkaji semua apa yang dialaminya,
Panji bergerak bangkit. Lenyap sudah rasa nyeri yang
mengganggunya. Bahkan tenaganya telah pulih selu-
ruhnya. Kini ia mulai memperhatikan sekelilingnya
dengan mengerahkan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi
untuk menerangi ruangan itu. Kaget juga hati pende-
kar muda itu ketika mengetahui bahwa dinding kamar
itu terbuat dari batu besi, yang kekuatannya melebihi
baja pilihan. Jelas, orang yang menawannya dan me-
nyamar sebagai Kenanga, mengetahui banyak tentang
dirinya. Buktinya ia ditahan dalam ruangan yang ko-
koh dan sulit untuk dapat keluar dari tempat itu.
“Aku akan mencoba menjebolnya dengan tenaga
gabunganku...,” gumam Panji mengambil keputusan.
Pendekar Naga Putih kemudian berjalan mengitari
ruangan itu sambil mengetuk-ngetukkan kepalan tan-
gannya pada keempat dinding yang mengurung ruan-
gan itu. Ia menemukan bahwa salah satu dinding ter-
nyata tidak setebal tiga dinding lainnya. Tubuhnya se-
gera bergerak mundur setelah menemukan sasaran
pukulannya.
Dengan tubuh berdiri tegak, Pendekar Naga Putih
menatap tajam dinding yang hendak dijebol dengan
pukulan tenaga gabungannya. Setelah tubuhnya dilapisi dua macam sinar yang berlainan warna, Panji ber-
teriak keras dan merendahkan kuda-kudanya sambil
mendorong ke depan dengan kedua telapak tangannya.
“Heaaa...!”
Glamr...!”
Ledakan keras laksana letusan gunung berapi ter-
dengar saat sinar putih keperakan dan kuning keema-
san meluncur dan menghantam dinding batu besi itu.
Dinding itu jebol menjadi serpihan yang menyebar ke
seluruh ruangan. Tanah di dalam ruangan itu pun
berguncang untuk sesaat Kepulan debu pasir yang
memenuhi ruangan itu, membuat suasana semakin
pekat.
Pendekar Naga Putih masih berdiri tegak dengan
kedua kaki terpentang. Dikibas-kibaskannya kedua
tangannya mengusir kepulan debu itu. Kemudian ber-
gerak menghampiri dinding yang baru saja dijebolnya.
Meskipun hanya dengan menggunakan rabaan tangan,
dirinya tahu kalau usaha itu berhasil baik. Karena pa-
da dinding itu telah tercipta sebuah lubang yang cu-
kup besar. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera menero-
bos keluar.
Begitu tiba di luar ruangan, Panji menemukan se-
buah lorong panjang, mirip ruangan sebuah goa. Hal
itu membuat Panji termenung beberapa saat Kemudian
memperhatikan ke depan dan menoleh ke belakang,
mereka-reka arah mana yang akan membawanya ke-
luar dari tempat itu.
Akhirnya Panji memutuskan untuk mengambil jalan
melalui lorong yang ke depan. Perlahan-lahan pemuda
berjubah putih itu melangkah sambil mengerahkan
kewaspadaannya. Sebab ia belum mengetahui apakah
di tempat itu tidak ada bahaya yang mungkin mengin-
tainya. Hatinya mulai tenang setelah agak lama berjalan, tak satu pun halangan yang dijumpainya. Hanya
yang membuatnya heran, lorong itu seperti tidak beru-
jung. Hingga Panji menghentikan langkah-nya ketika
lorong pada bagian itu agak lebar. Bahkan matanya
melihat ada sebuah batu berbentuk persegi, yang per-
mukaannya tidak terlalu kasar, mirip sejenis altar.
Anehnya, bagian bawah batu itu tidak seluruhnya me-
nyentuh dasar. Tampaknya batu itu bertumpu tepat di
bagian tengahnya pada batu lain, yang berbentuk bu-
lat. Melihat kedudukan batu, Panji mengerutkan ken-
ing, berpikir keras.
Setelah meneliti beberapa lama, akhirnya Panji
mencoba mendorong salah satu bagian dari batu yang
bentuknya bisa dibilang seperti timbangan. Dikerah-
kan tenaga dalamnya untuk disalurkan ke telapak
tangan.
Grrrkkkhhh...!
Baru bergerak. Terdengar suara bergemuruh yang
mengiringi bergesernya dinding goa di samping kanan
Panji. Sinar matahari yang menerobos masuk, mem-
buat wajah Panji semakin cerah. Cepat ia melepaskan
tangannya dan melesat keluar dari lorong goa itu. Begi-
tu tiba di luar, dinding goa itu kembali menutup den-
gan sendirinya.
“Hm.... Rupanya aku dikurung dalam perut bukit..,”
gumam Panji sambil memperhatikan keadaan di sekeli-
lingnya. Saat itu dirinya memang berada di sebelah ti-
mur kaki Bukit Jajaran.
Setelah dapat memastikan arah di mana ia berdiri,
Panji meninggalkan tempat itu dengan setengah ber-
lari. Ia hendak mencari tempat yang dilaluinya untuk
mencapai puncak bukit itu.
Namun, tiba-tiba dihentikan langkahnya. Dan termenung sesaat.
“Tidak mungkin Iblis Angkara Murka menahanku
tanpa sebab. Dan sekarang ia pasti sudah tak berada
di atas puncak bukit ini. Entah berapa lama aku ter-
kurung di tempat tahanan itu...,” setelah berpikir se-
saat, akhirnya Panji memutuskan untuk meninggalkan
tempat itu. Ia hendak mencari tahu suasana dunia
persilatan saat ini.
***
ENAM
“Kisanak harap berhenti dulu...!”
Panji yang tengah melakukan perjalanan dengan se-
tengah berlari itu segera berhenti. Kemudian mema-
lingkan wajah menatap serombongan kecil yang tam-
pak memandangnya dengan sinar mata penuh keben-
cian. Sikap mereka pun terlihat tidak ramah. Sehingga,
Panji menjadi heran dibuatnya.
“Akukah yang kau maksud, Orang Tua...?” Tanya
Panji dengan nada sopan. Sambil bertanya, ia mem-
perhatikan orang tua gagah berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun. Di belakang lelaki tua itu berdiri tujuh
orang lainnya, yang rata-rata bersikap gagah.
“Maaf kalau perjalananmu terganggu, Kisanak! Aku
hanya ingin memastikan apakah kau yang berjuluk
Pendekar Naga Putih? Harap kau jawab sejujurnya!
Karena aku tak ingin kesalahan tangan membunuh
orang lain...,” Tanya lelaki itu yang kelihatan jelas ten-
gah menahan kemarahan di hatinya.
“Benar, orang-orang menyebutku sebagai Pendekar
Naga Putih. Tapi, aku tak mengerti dengan ucapanmu
yang takut kesalahan tangan membunuh orang. Da-
patkah kau memberi penjelasan kepadaku, Orang
Tua?” Tanya Panji setelah memberikan jawaban seju-
jurnya kepada lelaki tua itu. Dan perasaannya sema-
kin tak karuan melihat sikap orang-orang itu, yang je-
las memperlihatkan sikap permusuhan. Padahal sein-
gatnya baru kali ini berjumpa dengan mereka.
“Hm.... Kalau begitu kau harus mempertanggung-
jawabkan segala tindakanmu belakangan ini, Pendekar
Naga Putih! Kami minta agar kau menyerah secara
baik-baik! Karena kami masih enggan untuk melaku-
kan kekerasan, mengingat jasamu dalam menegakkan
keadilan sudah cukup banyak...,” ujar orang tua itu
lagi tanpa mempedulikan pertanyaan Panji.
“Ada apa sebenarnya dengan diriku? Dan apa yang
telah kulakukan terhadap kau ataupun kawan-
kawanmu, Orang Tua? Bertemu kalian pun aku baru
kali ini. Harap kau jelaskan agar aku tak menjadi pe-
nasaran!” pinta Panji yang merasa agak jengkel men-
dengar perkataan lelaki tua itu, tanpa memberi penje-
lasan mengenai apa yang sudah diperbuatnya.
“Hm.... Coba kau jawab pertanyaanku, Pendekar
Naga Putih! Kenalkah kau dengan seorang gadis yang
bernama Wahyuni? Apa yang telah kau perbuat terha-
dap adik seperguruan kami itu?”
Salah satu dari tujuh orang lelaki gagah yang berdi-
ri di belakang orang tua itu tiba-tiba melontarkan per-
tanyaan yang mengejutkan!
“Wahyuni...?” gumam Panji, langsung teringat pada
gadis manis berpakaian biru tua, yang pernah disela-
matkannya dari perbuatan kotor Malaikat Kerdil. “Ya,
aku mengenalnya. Apa yang telah terjadi dengan-
nya...?”
“Nah, Guru sudah dengar sendiri, bukan? Dan li-
hatlah, betapa pemuda laknat ini masih pura-pura
bertanya tentang apa yang telah terjadi dengan Adik
Wahyuni! Dasar iblis keji! Penghinaan ini hanya dapat
kau cuci dengan darahmu! Haaattt..!”
Lelaki gagah berkumis tipis itu seperti sudah tak
sanggup menahan kemarahannya. Tubuhnya melesat
maju dengan pedang terhunus!
Bweett! Beweett!
“Hei, tunggu...!”
Panji yang kaget bukan main, cepat menarik tu-
buhnya ke belakang menghindari sambaran pedang
yang cepat dan kuat itu. Hatinya benar-benar penasa-
ran melihat betapa lelaki itu tak mempedulikan perta-
nyaannya, bahkan langsung menyerang dengan ganas.
Lelaki gagah berkumis tipis itu tetap tak mempedu-
likan seruan Panji. Pedangnya terus berkelebat dan
menyambar-nyambar mencari sasaran.
Melihat lelaki itu menyerang dengan sungguh-
sungguh dan menginginkan kematiannya, Panji men-
jadi gusar. Ketika pada jurus kedelapan, pedang lawan
meluncur dan mengancam batang lehernya, Pendekar
Naga Putih langsung mengangkat tangan dan melan-
carkan totokan kilat ke pergelangan tangan.
Tuk!
“Aaakh...!”
Totokan Panji tepat mengenai sasaran. Lelaki gagah
itu terpekik kesakitan. Pedangnya terlepas dari geng-
gaman. Sedangkan tangan kanannya telah tergantung
lumpuh. Sementara Panji dengan cepat melompat
mundur. Karena dirinya memang tak ingin bertarung
dengan lelaki gagah itu atau pun dengan yang lainnya.
Tapi....
“Bangsat..!” ‘
Seorang lagi mengeluarkan bentakan, dan langsung
merangsek dengan sepasang pedang pendeknya. Pen-
dekar Naga Putih terpaksa melompat mundur menghindari sambaran sepasang mata pedang itu.
“Serang...!”
“Haaattt..!”
“Heaaat...!”
Lima orang lainnya tak tinggal diam. Melihat sauda-
ranya sudah bertempur dengan Pendekar Naga Putih,
mereka pun segera membantu. Kini Panji menghadapi
keroyokan enam lelaki gagah itu, hingga terpaksa
menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak-
kan sambaran pedang lawan.
“Jangan kalian memaksa aku untuk berbuat kasar!
Jelaskanlah duduk persoalannya! Apa sebenarnya
yang sudah terjadi dengan Wahyuni?”
Sambil berkelebatan mengelak dari sambaran ketu-
juh bilah pedang pengeroyoknya, Panji meminta penje-
lasan.
Tapi ketujuh orang itu sama sekali tak peduli se-
ruan Pendekar Naga Putih. Bahkan mereka semakin
memperhebat serangan, membuat kesabaran Panji
mulai terkikis.
“Baiklah kalau kalian memang menghendakinya...!”
desis Panji, langsung mengibaskan tangannya ke kiri
dan kanan, memapaki sambaran dua bilah pedang
yang mengancam tubuhnya. Ketika kedua orang la-
wannya terhuyung akibat tangkisannya, Panji sudah
mengirimkan hantaman telapak tangan kepada kedua
orang itu.
“Kau benar-benar sudah melewati batas, Pendekar
Naga Putih...!”
Lelaki tua yang sejak tadi hanya berdiri menyaksi-
kan, merasa marah melihat kedua orang muridnya
terkena pukulan Pendekar Naga Putih. Orang tua itu
tampaknya tak bisa terima atas perbuatan Panji, yang
merobohkan dua orang muridnya. Ia pun segera terjun
ke arena ikut mengeroyok Pendekar Naga Putih.
“Orang tua, kau benar-benar membuat aku penasa-
ran! Mengapa kau tak mau menjelaskan duduk per-
soalannya kepadaku?” seru Panji sambil berkelit dari
sambaran cakar elang lelaki tua itu. Dan terus melom-
pat cepat ketika lelaki tua itu melanjutkan serangan-
nya yang bertubi-tubi.
“Heaaa...!”
Plak! Plak!
Karena orang tua itu tak mau menjelaskan dan te-
rus mendesaknya dengan serangan-serangan gencar,
Panji menjadi jengkel dan menyambut serangan itu
dengan tamparannya. Akibatnya tubuh orang tua itu
terdorong mundur. Rupanya Panji mengerahkan seba-
gian tenaganya sewaktu menangkis.
“Kau memperkosa muridku yang malang itu secara
keji! Setelah puas menikmati tubuhnya, kau berikan
dia kepada segerombolan perampok, hingga Wahyuni
bunuh diri, tak sanggup menahan penderitaan yang
memang terlalu berat baginya. Sekarang kami meng-
hendaki nyawamu agar ia tenang di alam baka!”
Lelaki tua yang mengaku sebagai guru Wahyuni itu
akhirnya membeberkan apa yang telah dilakukan Panji
terhadap murid perempuannya. Setelah berkata demi-
kian, ia kembali melanjutkan serangan.
Ucapan lelaki tua itu laksana ledakan petir di telin-
ga Panji. Hingga pemuda itu terpaku bagaikan orang
hilang ingatan. Berita itu terlalu mengejutkan baginya.
Tahulah dirinya sekarang, mengapa Iblis Angkara
Murka tak langsung membunuhnya. Panji langsung
dapat menduga kalau semua itu hasil perbuatan Iblis
Angkara Murka. Dedengkot tokoh sesat itu pasti telah
mengelabui Wahyuni dengan menyamar sebagai di-
rinya, seperti ketika ia dikelabui iblis itu yang menya
mar sebagai Kenanga. Namun Panji tak mengerti ba-
gaimana tokoh sesat itu sampai mengetahui kalau di-
rinya dan Wahyuni pernah berjumpa dan saling mem-
perkenalkan nama satu sama lain.
“Biadaaab...!”
Lelaki tua dan murid-muridnya yang saat itu seran-
gannya sudah tiba dekat tubuh Panji, langsung tersen-
tak kaget ketika mendengar teriakan meng-guntur.
Bahkan saking dahsyatnya tenaga teriakan Panji,
enam orang lelaki gagah yang mengeroyoknya terjung-
kal mencium tanah. Mereka menekap telinga dengan
kedua tangan. Rupanya teriakan Panji membuat telin-
ga mereka seperti ditusuk-tusuk.
Sementara itu, lelaki tua berjenggot pendek, guru
dari tujuh orang lelaki gagah itu, tampak terhuyung
mundur dengan wajah pucat. Tampak dirinya memiliki
tenaga dalam yang lebih kuat daripada murid-
muridnya. Sehingga, tidak sampai terbanting akibat te-
riakan menggelegar Pendekar Naga Putih.
Setelah mengetahui latar belakang kemarahan dan
kebencian orang-orang gagah itu, Panji tidak bisa me-
nyalahkan mereka. Tubuhnya langsung melesat me-
ninggalkan tempat itu. Sebelum bayangannya lenyap,
terdengar suara yang ditujukan kepada delapan orang
guru dan murid itu.
“Kelak aku akan datang dengan membawa manusia
laknat yang telah memperkosa Wahyuni...!”
Kesembilan tokoh persilatan ini hanya bisa mem-
banting kaki ke tanah, melihat sosok Panji sudah le-
nyap di kejauhan. Mereka tetap menuduh pendekar
muda itu yang telah memperkosa Wahyuni, dan akan
mencari untuk mengadu nyawa dengan Panji. Karena
apa yang mereka tuduhkan kepada Pendekar Naga Pu-
tih, merupakan pengakuan Wahyuni sebelum bunuh
diri dengan menusuk perutnya. Bahkan sebelum
menghembuskan napas terakhir gadis itu berpesan
agar kakak-kakak seperguruannya, dan juga gurunya
sudi membalaskan penghinaan itu dengan membunuh
Pendekar Naga Putih.
***
Panji duduk termenung menatap wajah sang Dewi
Malam yang bersembunyi di balik awan kelabu. Wajah
muramnya terkadang berubah kelam menandakan be-
tapa kacau perasaannya saat itu. Bukan hanya guru
dan saudara-saudara seperguruan Wahyuni yang me-
musuhinya. Banyak lagi tokoh persilatan yang menun-
tut kematiannya. Dirinya dituduh sebagai penjahat ke-
ji, yang telah mengakibatkan kematian beberapa to-
koh-tokoh persilatan, juga melakukan perkosaan ter-
hadap anak-istri orang. Tentu saja pemuda itu tahu
kalau semuanya perbuatan Iblis Angkara Murka yang
hendak menghancurkan nama dan kehidupannya. Se-
hingga, gerak Pendekar Naga Putih menjadi sempit.
Kini dirinya tak pernah berani muncul di tempat ke-
ramaian. Perhatian tokoh-tokoh persilatan telah bera-
lih kepadanya. Dialah sekarang yang dicari-cari, dan
bukan Iblis Angkara Murka!
Tiba-tiba saja lamunan Panji buyar. Telinganya me-
nangkap adanya suara langkah ringan yang menuju
tempat itu. Dengan cepat tubuhnya bangkit lalu ber-
sembunyi di balik sebatang pohon untuk melihat siapa
pemilik suara langkah kaki yang ringan itu.
Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu- tunggu
pun muncul. Namun matanya belum dapat melihat
wajah orang itu dengan jelas. Hanya bisa memastikan
bahwa yang datang seorang wanita, karena bentuk tubuhnya ramping.
Sosok tubuh ramping itu memang benar milik seo-
rang wanita. Kini berada dekat dengan tempat Panji
melewatkan malam, yang diterangi api unggun. Panji
tersentak kaget, ketika sinar api unggun menerangi
wajah wanita yang ternyata Kenanga, kekasihnya.
Meskipun sudah melihat jelas bahwa yang datang itu
Kenanga, Panji masih belum mau menampakkan diri.
Ingatan tentang peristiwa yang terjadi di puncak Bukit
Jajaran, membuatnya tak mempercayai kalau wanita
itu benar-benar Kenanga.
Diam-diam Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’. Hatinya merasa lega ketika tenaga itu
bergerak, membentuk lapisan sinar keemasan yang
menyelimuti tubuhnya. Ketika tak merasakan adanya
keanehan pada tenaga mukjizat yang dikerahkannya,
Panji mulai yakin bahwa yang dilihatnya itu benar-
benar Kenanga, kekasihnya. Keyakinan ini membuat
Panji bergerak keluar dari persembunyiannya. Gera-
kannya sengaja dibuat menimbulkan suara agar Ke-
nanga mendengarnya. Kemudian melangkah per-
lahan-lahan mendekati api unggun.
“Kakang..., kaukah itu...?!” seruan Kenanga ber-
nada ragu. Dan dara jelita ini masih tetap berdiri di
tempatnya, tidak langsung menyambut kemunculan
Panji.
“Kenanga...,” panggil Panji penuh kerinduan. Kare-
na di saat tengah menghadapi masalah berat itu, Panji
benar-benar membutuhkan tempat untuk berbicara.
Kakinya melangkah perlahan menghampiri Kenanga.
Kenanga sendiri langsung berlari ketika mendengar
panggilan Panji. Hatinya sudah betul-betul yakin kalau
pemuda itu Pendekar Naga Putih, kekasihnya. Maka,
tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga segera menghambur ke
dalam pelukan Panji.
“Hati-hati, Kenanga! Aku seorang pembunuh dan
pemerkosa yang tengah dicari-cari tokoh-tokoh persila-
tan,” ujar Panji menggoda dan mengetatkan pelukan-
nya.
“Aku tak takut, Kakang. Bahkan aku akan pasrah
jika memang kau ingin melakukannya,” tukas Kenanga
balas menggoda kekasihnya. Karena ia tahu siapa dan
bagaimana kekasihnya itu. Kenanga yakin tak mung-
kin Panji melakukan apa yang dituduhkan tokoh-tokoh
persilatan.
Panji tertawa perlahan demi mendengar jawaban
kekasihnya. Namun ia masih tak mau kalah. Tan-
tangan Kenanga disambutnya. Tangannya mulai mera-
ba hendak mencopot pakaian dara jelita itu. Ketika
Kenanga memang benar-benar pasrah, dan malah me-
natapnya dengan bibir mengulum senyum, Panji
menghentikan perbuatannya. Kepasrahan Kenanga
membuat ia yakin kalau Kenanga masih menaruh ke-
percayaan kepadanya.
“Mengapa tak dilanjutkan, Kakang...?” tantang Ke-
nanga lagi, mencibirkan bibirnya yang memang meng-
gemaskan itu. Panji benar-benar gemas. Dikecupnya
bibir indah itu sampai agak lama, membuat keduanya
terengah.
“Aku tak tahu bagaimana cara meyakinkan tokoh-
tokoh persilatan yang mengejar-ngejar diriku, Kenan-
ga...,” ujar Panji ketika mereka berdua sudah duduk di
dekat api unggun, dan saling bertatapan mata.
“Aku mengerti kesulitanmu, Kakang. Aku tahu, kau
tak melakukan itu. Tapi kau tak perlu berkecil hati.
Masih cukup banyak tokoh persilatan yang menaruh
kepercayaan terhadapmu...,” Kenanga mencoba mem-
besarkan hati kekasihnya.
“Betulkah itu...?!”
“Ya. Dan aku mengajak mereka untuk mencarimu.
Jadi bukan karena suatu kebetulan aku berada di hu-
tan ini. Aku memang sedang mencarimu. Sebab aku
tahu kau pasti sedang susah, Kakang. Ketika melihat
ada nyala api unggun di tempat ini, aku berharap
bahwa yang berada di tempat ini Pendekar Naga Putih.
Dan ternyata harapanku terkabul,” ujar Kenanga se-
raya tersenyum.
“Bagaimana dengan tokoh-tokoh persilatan yang
masih percaya denganku? Apakah aku dapat berjumpa
dengan mereka? Rasanya sekarang ini aku sangat
membutuhkan bantuan mereka untuk meyakinkan
orang-orang yang menuduhku.”
“Tidak sulit untuk menemui mereka. Seperti yang
kukatakan tadi, aku mencarimu bersama-sama den-
gan mereka. Mereka pun bermalam di hutan ini, tidak
seberapa jauh dari tempat kita berada. Tapi besok saja
kita temui mereka. Malam ini aku ingin melewatkan
malam berdua denganmu, Kakang. Entah seperti apa
indahnya menikmati malam pengantin di dalam hutan
yang lebat dan sunyi seperti ini...?”
Setelah mengucapkan kalimat terakhir dengan dis-
ertai lirikan manja, Kenanga merebahkan tubuhnya di
atas pangkuan sang Kekasih.
Panji hanya tertawa perlahan. Dibelainya rambut
dara jelita itu dengan penuh kasih. Dibiarkan Kenanga
tertidur di pangkuannya. Ia sendiri bersandar pada ba-
tang pohon.
***
TUJUH
“Jangan berkecil hati, Pendekar Naga Putih! Kami
semua yang berada di sini masih mempercayai keber-
sihan hatimu. Dan kita bersama-sama akan menum-
pas segala kekacauan yang didalangi Iblis Angkara
Murka itu...,” ujar seorang lelaki bertubuh sedang, ke-
tika pagi hari itu Kenanga membawa Panji ke tempat
tokoh-tokoh persilatan yang tahu kalau Pendekar Naga
Putih telah menjadi korban fitnah.
Panji merasa lega mendapati kenyataan bahwa to-
koh-tokoh yang masih menaruh kepercayaan itu ter-
nyata para pendekar ternama. Selain Pendekar Pedang
Mustika, yang pertama kali menyalaminya, juga terda-
pat dua orang tokoh golongan atas, yang mengenal
siapa adanya Iblis Angkara Murka itu. Bahkan tahu
pula kalau dedengkot kaum sesat itu memiliki ilmu si-
hir yang hebat. Mereka yakin bahwa yang menyamar
sebagai Pendekar Naga Putih dan melakukan serang-
kaian kejahatan pasti Iblis Angkara Murka. Dengan il-
mu sihirnya yang tinggi, tidak sulit bagi tokoh itu un-
tuk mengubah bentuk sekehendak hati.
“Aku pun pernah tertipu sewaktu mendatangi tem-
pat kediamannya di puncak Bukit Jajaran. Tokoh iblis
itu menyamar sebagai Kenanga, hingga aku dapat di-
lukainya. Aku bahkan sempat ditawan di dalam goa
yang berada di perut bukit itu...,” jelas Panji men-
ceritakan pengalaman pahitnya dalam upaya untuk
menghentikan perbuatan jahat Iblis Angkara Murka
itu.
Mendengar cerita Pendekar Naga Putih, salah seo-
rang tokoh mengusulkan untuk mencoba mendatangi
Bukit Jajaran lagi. Karena menurutnya ada kemungki-
nan Iblis Angkara Murka mempunyai tempat rahasia di
bukit itu.
Para tokoh persilatan yang jumlahnya sekitar sem-
bilan orang itu, saling bertukar pandang sesaat. Seolah
mereka saling bertanya, apa ada usul dari yang lain-
nya. Ketika masing-masing mengangkat bahu, keputu-
san pun jatuh untuk menyatroni Bukit Jajaran.
Setelah mendapat kata sepakat, rombongan kecil ini
pun bergerak menuju Bukit Jajaran. Tentu saja bagi
orang-orang berkepandaian tinggi seperti mereka, da-
pat melakukan perjalanan dengan cepat. Beda dengan
orang-orang biasa. Menjelang tengah hari, Bukit Jaja-
ran sudah tampak, kendati Cuma berupa gundukan
hitam yang samar di kejauhan.
***
“Aku merasakan adanya bahaya di sekeliling ki-
ta...!”
Tiba-tiba saja Panji berbisik sewaktu mereka hen-
dak menyeberangi sebuah aliran sungai selebar satu
setengah tombak.
“Hm.... Aku pun merasakannya...,” timpal Pendekar
Pedang Mustika, sambil mengedarkan pandangan ke
sekeliling tempat itu, seperti yang juga dilakukan to-
koh-tokoh lainnya. Tiba-tiba....
Syuuttt! Syuuttt! Syuuuttt..!
Para tokoh persilatan itu serentak menolehkan ke-
pala melihat benda-benda bulat sebesar kelereng yang
meluncur ke tempat mereka berdiri.
“Awas senjata peledak...!”
Panji yang sudah pernah mendapat serangan dari
senjata seperti yang kali ini dilihatnya, langsung mem-
peringatkan kawan-kawannya. Dan Panji sudah mele-
sat ke udara sambil mengulurkan kedua tangan-nya
untuk menangkap dua butir senjata peledak itu.
Pendekar Pedang Mustika, Kenanga, dan tokoh
tokoh yang lainnya tersentak kaget melihat perbuatan
nekat yang dilakukan Pendekar Naga Putih. Karena
apa yang dilakukan Panji memang sangat berbahaya.
Mungkin bisa membuat pemuda itu tewas bila senjata-
senjata yang hendak ditangkapnya meledak saat ter-
sentuh tangan.
Namun Panji sudah memperhitungkan perbuatan-
nya. Senjata seperti itu sudah pernah dihadapinya,
sewaktu menyelamatkan Wahyuni dari perkosaan. Di-
rinya tahu bagaimana cara kerja benda-benda menge-
rikan itu. Senjata itu akan meledak apabila menyentuh
sesuatu yang keras. Sedangkan Panji sudah mengatur
tenaga saktinya sedemikian rupa. Sehingga, selain ke-
dua telapak tangannya mengeluarkan tenaga menye-
dot, saat benda itu hampir mengenai telapak tangan-
nya, Panji mengikuti tenaga lontaran benda itu. Se-
hingga, senjata-senjata maut itu dapat diterima den-
gan kedua telapak tangannya yang lunak. Akhirnya
benda kecil yang bisa menimbulkan akibat mengerikan
itu seolah jatuh ke dalam air yang dalam.
“Nih, kukembalikan senjata kalian...!”
Begitu kedua senjata peledak itu tertangkap, Panji
langsung melemparkannya ke tempat asal senjata itu
datang. Dan....
Syuit! Syuiiit..!
Glarrr! Glarrr...!
“Aaakh...!”
Senjata yang melayang dengan kecepatan dua kali
lipat itu, langsung meledak! Jeritan-jeritan kematian
terdengar seiring terpentalnya beberapa sosok di balik
semak-semak dengan anggota tubuh terpisah. Sung-
guh mengerikan akibat senjata maut itu. Panji dan
kawan-kawannya sampai menggeleng kepala melihat
betapa tubuh yang terkena senjata itu bisa hancur berantakan.
“Serbuuu...!”
“Seraaang...!”
Sesaat setelah ledakan keras itu terjadi, terdengar
suara teriakan riuh dari tepian sungai sebelah kanan.
Disusul kemudian dengan berlompatan puluhan lelaki
bertampang bengis yang langsung mengayunkan pe-
dang.
Para penyerang itu dipimpin seorang tokoh ber-
tubuh kurus kering, seperti tengkorak hidup. Melihat
tokoh ini Panji ingat pernah berjumpa sewaktu di Desa
Palang. Panji pun ingat bahwa tokoh itu berjuluk Setan
Penasaran, yang merupakan salah satu gembong
kaum sesat.
Panji segera dapat menduga kalau tokoh seperti
tengkorak hidup itu telah bergabung menjadi pengikut
Iblis Angkara Murka. Tubuhnya langsung melesat
mendekati.
“Hua ha ha...! Rupanya kau masih juga berkeliaran,
Pendekar Naga Putih! Sudah puaskah kau membunuhi
dan memperkosa orang?” tegur Setan Penasaran sen-
gaja hendak menyakiti hati Pendekar Naga Putih.
Setan Penasaran salah besar kalau menganggap
ucapannya dapat memukul jiwa Panji. Sebaliknya,
Panji marah bukan main. Karena ucapan itu berarti
Setan Penasaran ikut terlibat dalam melemparkan fit-
nah kepadanya. Tiba-tiba Panji menggereng laksana
harimau terluka. Dengan cepat tubuhnya melesat me-
nerjang dengan serangkaian serangan yang memati-
kan!
Beettt!
Setan Penasaran menyambut serangan Pendekar
Naga Putih dengan sambaran tongkatnya. Tokoh sesat
ini memang punya dendam pribadi terhadap Panji, karena telah menewaskan murid satu-satunya yang san-
gat disayang. Itu sebabnya langsung menyambut ganas
ketika Pendekar Naga Putih melancarkan serangan ke-
padanya.
Plakkk!
Karena dalam keadaan marah Panji mengerahkan
‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, menghantam tongkat
dengan tamparan tangan kirinya. Sehingga, tongkat
lawan menyeleweng. Tubuh Setan Penasaran terdorong
dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Wueett!
Tangan kanan Panji yang membentuk cakar naga
melesat menyusuli tamparan. Setan Penasaran kaget,
namun sempat melemparkan tubuhnya, lalu ber-
jumpalitan beberapa kali dalam upaya menyelamatkan
diri dari serangan dahsyat itu.
“Yeaaa...!”
Teriakan keras Panji mengiringi serangan susulan,
memburu tubuh Setan Penasaran dengan pukulan be-
rantai. Sambaran kedua tangannya yang membentuk
cakar naga datang susul-menyusul diiringi hawa se-
dingin es, yang membuat Setan Penasaran kalang ka-
but.
Tokoh sesat yang bentuknya seperti tengkorak hi-
dup itu melompat ke belakang mengelakkan sambaran
cakar naga Panji. Terdengar bentakan geram sambil
memutar tongkatnya dengan sekuat tenaga. Putaran
tongkatnya yang menimbulkan angin puting beliung
itu memang sangat cepat. Hingga mampu memben-
dung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Seben-
tar saja pertarungan kedua tokoh itu berjalan sengit
dan mengiriskan.
Sementara itu, Kenanga tampak tengah menghadapi
keroyokan belasan orang lawan. Namun dara jelita itu
sama sekali tak merasa gentar. Pedang Sinar Bulan di
tangan kanannya terus berkelebat disertai suara men-
gaung bagaikan ratusan lebah marah.
Belasan lelaki berwajah bengis yang mengeroyok
Kenanga juga ternyata memiliki kepandaian yang cu-
kup tinggi. Sehingga tak mudah bagi dara bergaun hi-
jau itu merobohkan lawan dalam waktu singkat Terle-
bih belasan orang itu kelihatannya sudah terlatih baik.
Terbukti mereka dapat bekerja sama dan saling bantu
satu sama lain. Jika ada seorang kawannya terancam
pedang Kenanga, empat orang di kiri dan kanan ber-
lompatan melindungi. Membuat belasan orang itu me-
rupakan satu barisan yang tangguh dan berbahaya.
“Haiiittt..! Heaa...!”
Melihat ketangguhan para pengeroyoknya, Kenanga
segera mengeluarkan jurus andalannya. Jurus ‘Bida-
dari Menabur Bunga’ yang digabung dengan ilmu ‘Pe-
dang Naga Putih’ atas petunjuk Panji, membuat sepak
terjang dara jelita ini terasa mengiriskan sekali!
Keampuhan jurus gabungan itu memang terbukti.
Baru beberapa jurus saja, dua orang lawan, terlempar
dengan tubuh berlumur darah. Sedangkan pedang
yang baru saja memakan korban itu, sudah berputar
mencari sasaran lain. Tentu saja kedahsyatan ilmu pe-
dang gabungan itu membuat lawan-lawannya terkejut,
dan mulai memperhitungkan setiap langkah dengan
cermat.
Di bagian lain, tampak Pendekar Pedang Mustika
juga sudah menghadapi keroyokan banyak lawan. To-
koh bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun ini
memiliki gerakan yang gesit bukan main. Pedang di
tangan kanannya, yang pada gagangnya terdapat hia-
san batu permata, bergerak turun naik dengan kecepa-
tan laksana burung wallet. Dan masih ditambah dengan tangan kirinya yang tak kalah berbahaya. Sesekali
tangan kiri Pendekar Pedang Mustika me-lepaskan pu-
kulan jarak jauh yang sanggup membuat lawan ter-
jungkal dan muntah darah. Sehingga para penge-
royoknya tak berani mengepung terlalu dekat. Pedang
Mustika di tangan lelaki gagah itu bagaikan bermata.
Berkelebat begitu cepat memburu tubuh setiap lawan
yang mendekat.
Akan tetapi meski Pendekar Pedang Mustika tak se-
gan-segan membunuh siapa saja yang terdekat, tetap
saja para pengeroyok yang memang terdiri dari gerom-
bolan perampok tak merasa gentar. Mereka terus me-
nerjang maju dengan serangan-serangan yang ganas.
Meskipun hanya untuk mengantarkan nyawa sia-sia,
para pengeroyok itu tetap gigih dan memperketat ke-
pungan. Tidak jarang mereka menerjang maju sepuluh
orang sekaligus, membuat Pendekar Pedang Mustika
agak kerepotan menghadapinya.
“Hiaaattt...!”
Wut! Wut!
Di saat Pendekar Pedang Mustika tengah disibuk-
kan menghadapi serbuan enam orang lawan, tiba-tiba
terdengar teriakan melengking tinggi. Disusul dengan
berkelebatnya sesosok bayangan hitam, yang langsung
melancarkan serangkaian serangan kilat dengan senja-
tanya yang aneh dan mengerikan.
“Heaaa...!”
Whuuukkk! Whuuukkk!
Senjata berbentuk tombak yang pada bagian atas-
nya terdapat bandulan berduri sebesar kepalan tangan
lelaki dewasa itu menyambar disertai suara menderu
tajam. Pendekar Pedang Mustika yang baru saja mem-
buat dua orang lawan terjungkal mandi darah akibat
sambaran pedangnya, bergegas menarik mundur tubuhnya dengan menggunakan langkah menyilang. Be-
gitu bandulan berduri itu lewat, pedang-nya meluncur
cepat melakukan serangan balasan.
“Heaaa!”
Cwitt! Cwittt.!”
Serangan yang dilancarkan Pendekar Pedang Mus-
tika sangat mencengangkan lawan. Senjata di tangan-
nya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran kecil
yang terus meluncur ke tubuh lawan. Dari dalam ling-
karan itu terkadang ujung pedang mencuat tiba-tiba,
mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan.
Wuuukkk!
Trang!
Lelaki berkepala gundul dengan wajah hitam seperti
pantat dandang itu mengibaskan senjatanya menyam-
but tusukan mata pedang yang mencuat keluar dari
lingkaran sinar, mengancam tenggorokannya. Akibat-
nya kedua senjata itu saling berbenturan keras, me-
mercikkan bunga api. Kedua pemiliknya sama terjajar
mundur, pertanda kekuatan mereka seimbang.
“Hyaaat..!”
“Yeaaa...!”
Setelah keduanya memeriksa senjata masing- ma-
sing, kedua tokoh itu berteriak keras saling serang,
mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mero-
bohkan lawan secepatnya. Jurus-jurus pamungkas
yang mereka gunakan, membuat pertarungan semakin
seru dan mendebarkan. Sejauh itu keduanya terlihat
masih sama kuat, hingga sulit untuk menentukan sia-
pa yang bakal keluar sebagai pemenang.
***
DELAPAN
Pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan
Setan Penasaran, tampak sudah mendekati titik pe-
nyelesaian. Panji harus mengakui ketangguhan lawan-
nya. Karena setelah bertarung lebih dari seratus jurus,
barulah dirinya mampu mendesak pertahanan lawan.
Merasa mendapat serangan dari segala arah, Setan
Penasaran tampak begitu geram. Hal itu pula yang
membuat tokoh nyaris tidak berdaging itu menjadi ka-
lap. Dirinya sudah merasa tak mampu melakukan se-
rangan balasan. Gerakan yang dapat dilakukan hanya
sekadar memutar tongkatnya membentuk benteng per-
tahanan. Itu pun dilakukan susah payah, dengan pen-
gerahan seluruh tenaganya yang tersisa.
Panji sendiri yang melihat lawannya nyaris tak ber-
daya, semakin memperhebat gempuran. Sambaran ca-
kar naganya bergerak cepat luar biasa dan disertai
hawa dingin yang menusuk tulang, membuat pertaha-
nan Setan Penasaran semakin lemah di sana sini. Be-
berapa kali tokoh sesat itu terdorong mundur dengan
wajah semakin pucat. Dari wajahnya tampak keputu-
sasaan tengah melanda lelaki tinggi kurus itu.
“Hyaaat..!”
Wut! Bwet!
Ketika untuk kesekian kalinya Setan Penasaran di-
paksa mundur oleh kibasan tangan yang amat kuat,
Panji membentak keras. Kemudian tubuhnya melent-
ing ke udara. Dari atas meluncur turun dengan sepa-
sang cakar naganya siap mengakhiri perlawanan Setan
Penasaran.
“Haits!”
Plak!
Sambaran tangan kiri Pendekar Naga Putih masih
dapat ditangkis putaran tongkatnya. Meskipun tubuh-
nya kembali terhuyung, Setan Penasaran berhasil me-
nyelamatkan diri. Namun sayang, sebelum tokoh sesat
itu sempat memperbaiki kuda-kudanya, tangan kanan
Panji datang menyambar!
“Hih!”
Breeettt!
“Haaakh...!”
Tubuh Setan Penasaran melintir. Sampokan cakar
naga Panji yang merobek tenggorokan membuatnya
memekik tertahan. Dan ketika tubuh tokoh sesat itu
berputaran sekarat, Panji mengirimkan dorongan ke-
dua telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh.
Breesshhh!
Sinar putih keperakan yang keluar dari sepasang
telapak tangan Panji, menghantam telak tubuh Setan
Penasaran. Tanpa ampun lagi, tubuh tokoh sesat itu
terlempar deras dengan ceceran darah segar yang ter-
muntah dari mulutnya. Nyawa Setan Penasaran lang-
sung terbang sebelum raga yang nyaris tak berdaging
itu terbanting ke tanah.
Melihat tubuh lawannya roboh dan tak bergerak la-
gi, Panji bergegas menghampiri untuk melihat apakah
Setan Penasaran benar-benar telah tewas. Setelah
mendapat kepastian bahwa lawannya sudah tak ber-
napas lagi, pemuda itu memutar tubuhnya memperha-
tikan pertempuran yang terpecah-pecah. Hatinya me-
rasa lega melihat bahwa para pendekar berada di atas
angin. Kecuali dua orang tokoh tua yang tengah berta-
rung dengan dua orang lawan berkepala botak dan
bermata buta.
Menyaksikan betapa dua orang botak yang bermata
buta itu ternyata sangat tangguh, Panji merasa tertarik. Apalagi ketika teringat kedua orang yang tengah
dihadapi kawan-kawannya itu ternyata para pembantu
andalan Iblis Angkara Murka yang menjadi musuh be-
sarnya. Dengan cepat Panji memutar tubuh dan me-
nyapu sekitarnya dengan mata tajam. Hatinya yakin
kalau Iblis Angkara Murka pasti sudah berada di seki-
tar tempat itu. Adanya kedua orang buta berkepala bo-
tak, menandakan hadirnya Iblis Angkara Murka di
tempat itu.
Setelah sekitar tempat itu sudah ditelitinya dengan
seksama, Pendekar Naga Putih tetap tak menemukan
sosok Iblis Angkara Murka yang dicarinya.
“Panji...!”
Secepat kilat Panji membalikkan tubuh ketika men-
dengar suara memanggil dari belakang. Kerlingnya
berkerut ketika melihat seorang lelaki gemuk tertawa-
tawa datang menghampirinya. Pendekar berjubah pu-
tih itu terkejut ketika mengenali yang datang ternyata
Guradi, satu-satunya murid Perguruan Wulung Sakti
yang selamat dari kekejaman para pengikut Iblis Ang-
kara Murka. Begitu menurut penuturan Guradi kepada
Panji sewaktu pertama kali bertemu.
“Guradi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?”
Tanya Panji yang masih tetap menaruh curiga kepada
lelaki gemuk itu. Hatinya merasa heran melihat Guradi
tiba-tiba berada di tempat itu.
“Sejak kau meminta agar aku mengantarkanmu ke
Bukit Jajaran aku tak pernah lagi meninggalkan tem-
pat ini. Aku sempat merasa cemas dan mengira bahwa
kau sudah tewas di tangan Iblis Angkara Murka. Tapi,
tahu-tahu kau muncul dan kelihatannya hendak me-
nyerbu Bukit Jajaran. Sayang saatnya kurang tepat
Karena secara kebetulan para pengikut Iblis Angkara
Murka tengah datang untuk memberi laporan mengenai perkembangan yang terjadi di kalangan persilatan,”
Guradi langsung saja nyerocos seperti tak bisa ditahan
lagi. Setelah berhenti sebentar, ia kembali berkata seo-
lah baru teringat akan hal itu, ‘Panji, tahukah kau
bahwa belakangan ini dunia persilatan dibuat geger
oleh perbuatan seorang tokoh yang membuat orang
sempat lupa kepada Iblis Angkara Murka?”
Panji menggeleng, meskipun sebenarnya ia tahu ke
mana maksud perkataan Guradi. Namun dirinya
bungkam dan membiarkan lelaki gemuk itu melan-
jutkan ceritanya. Karena Panji ingin mendengar ba-
gaimana tanggapan Guradi.
“Kau tahu tokoh muda berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih, yang.... Ciri-cirinya hampir mirip denganmu, Panji?
Tapi kau jangan mengikuti jejaknya. Karena Pendekar
Naga Putih yang dikabarkan orang sebagai penegak
keadilan, ternyata melakukan serangkaian pembunu-
han keji. Bahkan tega memperkosa istri dan anak
orang! Benar-benar bejat sekali moral pendekar muda
yang diagung-agungkan orang banyak itu! Kasihan...!
Tokoh-tokoh persilatan tentu kecewa apa-bila sampai
mendengar hal ini,” Guradi menghentikan ceritanya.
Matanya menatap Panji sekilas. Kemudian beralih, dan
memperhatikan orang-orang yang masih terlibat perke-
lahian.
“Lalu apa tanggapanmu terhadap berita itu? Beru-
bahkah pandanganmu kepada Pendekar Naga Putih
itu?” Tanya Panji memancing.
“Menurutku Pendekar Naga Putih memang pada da-
sarnya berakhlak rendah! Hm..., kalau saja aku punya
kepandaian, tentu sudah ku basmi pemuda laknat
itu!” sahut Guradi berapi-api sambil mengepal tinjunya
kuat-kuat.
Panji tersenyum pahit mendengar ucapan Guradi.
Dirinya tak bisa menyalahkan Guradi dalam hal itu,
Guradi masih termasuk awam, hingga tak memahami
keseluruhannya.
Guradi tampak melangkah semakin dekat Matanya
memandang ke tempat pertarungan dua orang pem-
bantu Iblis Angkara Murka yang saat itu tengah terde-
sak oleh gempuran dua orang kawan Panji. Begitu ter-
tariknya Guradi terhadap pertarungan itu, membuat
Panji ingin melihatnya.
Ki Kalimaya, tokoh tua berusia tujuh puluh delapan
tahun yang tengah bertarung dengan salah satu pem-
bantu andalan Iblis Angkara Murka itu, tiba-tiba pucat
wajahnya. Hatinya seakan tersentak kaget ketika tiba-
tiba secara tak sengaja melihat ke tempat Panji berada.
Kegelisahan dan kekagetannya sempat membuat se-
rangannya mengendur. Bahkan ganti sekarang dirinya
yang terdesak serangan lawan. Jelas ada sesuatu yang
mengganggu pikirannya. Karena hatinya terus gelisah
melihat Panji yang tengah berada dekat Guradi.
“Panjiii...!”
Pada suatu kesempatan, saat mengelak dari seran-
gan lawan, Ki Kalimaya sengaja menggeser langkah
mendekat ke tempat Panji sambil berteriak.
Panggilan Ki Kalimaya yang terdengar penuh ke-
tegangan membuat Panji menoleh, siap untuk meno-
long apabila Ki Kalimaya tengah terancam maut Na-
mun, ternyata kakek itu tidak terdesak, Panji menarik
napas lega.
“Awas, Iblis Angkara Murka berada di dekatmu...!”
Buk!
“Aaakh...!”
Karena ingin memperingatkan Panji, Ki Kalimaya
terkena sebuah pukulan telak lawannya. Tubuh kakek
itu terlempar. Dan dalam keadaan terlempar pun, ia
sengaja membawa daya dorong pukulan itu untuk
mendekati Panji. Sebab, jarak antara dirinya dan Panji
masih terpisah sekitar empat tombak. Dan daya do-
rong pukulan yang dipergunakannya itu, membuat Ki
Kalimaya dapat memperpendek jarak.
Pendekar Naga Putih yang mendengar seruan Ki Ka-
limaya tentu saja kaget. Dengan cepat tubuhnya ber-
balik dan mengedarkan pandang matanya memperha-
tikan sekitar tempat itu. Namun ia tetap tak melihat
adanya sosok Iblis Angkara Murka. Sehingga, Panji
kembali mengalihkan perhatian ke arena pertarungan
sambil menunggu munculnya Iblis Angkara Murka.
Whuuuttt..!
Bugkh!
Baru saja Panji memutar tubuh, tiba-tiba Guradi
menghantamkan tongkat besi kuning yang tahu-tahu
sudah di tangannya.
“Ruakhhh...!”
Hantaman yang sangat kuat itu, membuat tubuh
Panji terjerunuk ke depan. Darah segar termuntah dari
mulutnya. Namun Panji yang sadar ada bahaya besar
mengancam, segera bergulingan menjauh. Kemudian
melompat bangkit dekat pertarungan Ki Kalimaya. Ke-
tika Panji kebingungan mencari orang yang membo-
kong dirinya, Ki Kalimaya berseru memperingatkan.
“Lelaki gemuk itu...! Dia..., dialah si Iblis Angkara
Murka...!”
Dengan susah payah karena harus mengelakkan
serangan lawan, Ki Kalimaya menyempatkan diri berte-
riak.
“Hah.... Benarkah...?!” gumam Panji setengah tak
percaya pada ucapan Ki Kalimaya. Dengan cepat di-
tendangnya Guradi. Namun lelaki gemuk itu tiba-tiba
lenyap entah ke mana. Di tempat Guradi semula berada, berdiri sesosok tubuh tinggi berbadan tinggi. Wa-
jahnya yang memperlihatkan bekas luka tampak me-
nyeramkan. Dengan mata bengis sosok itu menatap ta-
jam wajah Pendekar Naga Putih.
“Itulah wujud asli Iblis Angkara Murka...!” ujar Ki
Kalimaya sambil menoleh ke wajah Panji.
Tentu saja Panji kaget bukan kepalang. Walaupun
dirinya telah menaruh kecurigaan terhadap Guradi
yang tingkahnya aneh itu, tapi sama sekali Panji tak
menyangka kalau lelaki bertubuh gemuk itu samaran
dari Iblis Angkara Murka.
“Kau.... Iblis Pengecut! Licik...!” dengus Panji penuh
kebencian. Tanpa rasa gentar sedikit pun Pendekar
Naga Putih melangkah maju siap menghadapi gembong
kaum sesat yang menjelma bertubuh tinggi dan berba-
hu lebar itu.
“Kekh kekh kekh...! Pandanglah aku sepuasmu,
Pendekar Naga Putih! Karena akan segera kukirim
nyawamu ke neraka...!”
Terdengar suara Iblis Angkara Murka yang terden-
gar parau dan bergetar. Lelaki bertubuh tinggi besar
itu melangkah menghampiri Panji. Gerakannya tampak
lambat. Seolah gembong tokoh sesat itu berat sekali
untuk membawa tubuhnya berjalan.
“Hm.... Sejak mula aku sudah menaruh curiga ke-
padamu, ketika mengaku bernama Guradi! Dan kini
aku sadar, mengapa aku tak tahu perbuatanmu yang
membuat kekuatanku terbelenggu. Itu pasti kau laku-
kan waktu aku membawamu lari menuju Bukit Jaja-
ran! Aku memang merasakan gejolak seperti yang bi-
asa ku rasakan setiap tenaga gaibku bangkit. Sayang
saat itu aku tak menaruh curiga! Ku akui kelihaianmu
menyembunyikan kepandaian dariku. Sampai aku bisa
kau kelabui...,” ujar Panji.
Pendekar Naga Putih tampaknya telah memanggil
‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya. Dirinya memang
merasa khawatir Iblis Angkara Murka akan kembali
membelenggu tenaga mukjizatnya itu dengan ilmu si-
hirnya yang luar biasa. Panji tak ingin kejadian itu te-
rulang lagi.
“Aih, Kakang! Mengapa kau kelihatan sangat marah
kepadaku? Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi...?”
Tiba terdengar suara lembut seorang wanita yang
begitu dikenal Pendekar Naga Putih.
“Hah...?!”
Tentu saja pendekar muda itu tersentak kaget Bah-
kan hampir saja terlonjak. Tiba-tiba sosok menyeram-
kan Iblis Angkara Murka lenyap dan menjelma dengan
sosok Kenanga yang kelihatan sangat berduka.
“Kakang Panji, aku di sini! Yang ada di depanmu Ib-
lis Angkara Murka!”
Kenanga yang sudah menghabisi lawan-lawannya
segera melesat mendampingi Pendekar Naga Putih.
“Hmh...!”
Panji menggereng penuh diliputi amarah. Dengan
sekuat tenaga segera dikerahkan kekuatan mukjizat
dalam tubuhnya, lalu disalurkan ke mata. Akibatnya,
sosok Kenanga jelmaan Iblis Angkara Murka lenyap
seketika, kembali bentuk semula. Kekuatan Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ yang merupakan tenaga gaib
itu, sanggup melawan kekuatan sihir. Kalaupun Panji
masih dapat dikelabui, itu karena kekuatan ilmu sihir
Iblis Angkara Murka memang sangat tinggi luar biasa.
Hal itulah yang membuat Pendekar Naga Putih itu ha-
rus mengerahkan kekuatan melalui kedua matanya,
untuk memusnahkan kekuatan sihir lawan.
Kini Iblis Angkara Murka tampak mulai merubah
wujudnya. Seketika itu pula Kenanga mengeluarkan
pekik tertahan. Sebab, sosok yang berdiri di depan me-
reka berdua itu sama sekali tak berbeda dengan Panji.
Seolah kembaran Pendekar Naga Putih telah lahir di
dunia.
Namun untuk kali ini Panji tak peduli. Biarpun la-
wan serupa benar dengan dirinya, pemuda itu tetap
menerjangnya. Disertai teriakan keras menggelegar tu-
buhnya melesat dengan kecepatan luar biasa. Sepa-
sang tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak
berputaran menebarkan hawa panas membakar.
“Hiaaa...!”
Wrrrt! Wrrrttt!
Melihat betapa dahsyat serangan lawan, Iblis Ang-
kara Murka yang masih berwujud kembaran Pendekar
Naga Putih, menggeser langkah. Ketika serangan lawan
hampir menyambar, tubuhnya mencelat ke samping.
Gerakan itu masih dibarengi dengan gerakan tangan
kanan untuk menangkis sambaran jemari tangan la-
wan yang mengancam ubun-ubunnya.
“Hiaa!”
Dukk! Plakkk!
Panji mengangkat tangan kanannya menangkis
sambil memutar tubuh. Terus dilanjutkan dengan
cengkeraman ke dada lawan. Namun dapat dipatahkan
Iblis Angkara Murka. Benturan kedua pasang lengan
yang sama-sama dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi
membuat tubuh keduanya sama-sama terdorong mun-
dur.
“Hiaaah...!”
Diiringi pekikan yang tak kalah keras Iblis Angkara
Murka memulai lebih dulu serangan susulan. Tubuh-
nya bergerak ke depan dengan langkah terseret-seret,
menimbulkan guratan-guratan yang berbekas cukup
dalam di tanah. Serangan gembong tokoh sesat yang
masih berupa kembaran Panji itu memang terlihat
agak lambat. Namun, angin pukulan yang keluar dari
kedua tangannya, luar biasa kuatnya! Membuat udara
di sekitar tempat pertarungan terasa bergetar.
“Hiaaa!”
Whuuuttt!
Brakkk!
Sebuah pukulan yang dilancarkan Iblis Angkara
Murka dielakkan Panji dengan memiringkan tubuh
sambil menekuk sebelah kakinya. Akibatnya, sebatang
pohon besar berderak tumbang. Batang pohon itu
tampak menghitam bagai terbakar, tersambar pukulan
dahsyat Iblis Angkara Murka.
Pendekar Naga Putih sempat tercengang melihat
kedahsyatan ilmu pukulan lawannya. Namun, tentu
saja dirinya sama sekali tak merasa gentar.
Dengan menggunakan tenaga gabungannya, Pen-
dekar Naga Putih bergerak cepat melancarkan seran-
gan balasan, yang mengandung hawa panas dan din-
gin berganti-ganti. Sehingga, Iblis Angkara Murka tam-
pak kewalahan. Terlebih adanya kedua hawa yang silih
berganti, secara cepat mengurung tubuhnya. Tokoh
sesat itu berusaha memberontak keluar dari kurungan
hawa yang ditimbulkan pukulan Pendekar Naga Putih.
“hyaaah...!”
Dengan suara teriakan keras menggelegar, Iblis
Angkara Murka melesat ke udara sambil mengibaskan
kedua lengannya ke kiri dan kanan, laksana seekor
burung yang hendak terbang.
Panji yang tak ingin memberi kesempatan kepada
lawan, langsung menghentakkan kedua tangan dengan
jari jemari terbuka.
Prattt!
Seketika itu pula tampak dua gelombang tenaga
raksasa saling bentur dengan kerasnya. Saking kuat-
nya benturan itu, kedua kaki Panji melesak ke dalam
tanah hingga sebatas mata kaki. Sedangkan tubuh Ib-
lis Angkara Murka merasakan tenaga dorong yang ber-
lipat ganda. Tubuh tokoh sesat itu melambung tinggi
hingga tiga tombak dari atas tanah.
Melihat keadaan lawan dengan cepat Pendekar Naga
Putih meluncur ke udara menyusul tubuh lawannya.
Sepasang tangannya melontarkan pukulan maut yang
susul-menyusul disertai suara mencicit tajam yang
menyakitkan telinga.
“Heaaa...!”
Suit! Suit!
Buk!
Iblis Angkara Murka yang tak menyangka lawannya
akan mengejar, tak sempat untuk mengelak. Sebuah
pukulan telapak tangan Panji menghantam telak lam-
bungnya. Pukulan keras itu membuat tubuh tokoh se-
sat itu melintir di udara, kemudian meluncur turun.
“Hah...!”
Dalam keadaan terlontar di udara Iblis Angkara
Murka melepaskan pukulan jarak jauhnya ke tanah.
Dan dorongan angin pukulannya digunakan untuk
mengatur keseimbangan tubuh. Sehingga, dirinya da-
pat meluncur turun dengan selamat. Kendati demi-
kian, wajah tokoh sesat itu tampak meringis menahan
sakit pada bagian lambungnya. Tampaknya pukulan
Pendekar Naga Putih mampu memunahkan kekuatan
sihirnya. Sehingga, Iblis Angkara Murka kembali pada
wujudnya yang asli.
Namun baru saja Iblis Angkara Murka merasa
bangga dengan cara yang dilakukannya dalam upaya
menyelamatkan diri, tiba-tiba mulutnya terpekik. Ma-
tanya membelakak kaget ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih masih di udara, meluncur turun den-
gan kecepatan luar biasa. Rupanya Panji meman-
faatkan keadaan itu untuk mengerahkan jurus ‘Naga
Sakti Meluruk Dalam Bumi’.
“Aaakh...!”
Iblis Angkara Murka terpekik kaget melihat tubuh
Pendekar Naga Putih mengeluarkan dua macam sinar
yang menyilaukan mata. Tampak tokoh sesat itu men-
coba melindungi mata dengan punggung tangan-nya.
Karena tiba-tiba matanya terasa terbakar oleh penda-
ran sinar yang membungkus tubuh lawan. Bahkan di-
rinya tak mampu melihat, dari sebelah mana lawan
menyerangnya. Iblis Angkara Murka hanya merasakan
betapa hawa panas dan dingin semakin dekat ke tu-
buhnya. Dan....
“Hiaaa...!”
Bret! Crokkk!
“Aaarghhh...!”
Bluk!
Terdengar raungan keras dan menggetarkan bagai
hendak merobohkan bukit. Tubuh Iblis Angkara Murka
terlempar bagai selembar daun kering yang diterbang-
kan angin. Darah segar yang mengalir dari luka-
lukanya, berceceran membasahi permukaan bumi.
Kemudian tubuh sekarat itu terbanting keras ke ta-
nah.
Iblis Angkara Murka berkelojotan meregang nyawa.
Pada bagian kepala sebelah atas terdapat lima buah
lubang sebesar jari tangan, yang menghancurkan
otaknya. Juga di bagian depan tubuhnya terdapat luka
memanjang yang mengerikan. Tampaknya Iblis Angka-
ra Murka tak mampu bertahan untuk hidup. Mana
mungkin rohnya akan betah tinggal di dalam jasad
yang rusak seperti itu. Dan roh tokoh sesat itu pun
melayang, kembali kepada sang Pencipta.
Setelah melihat lawannya tewas, Panji mengangkat
kepala. Tiba-tiba hatinya merasa heran melihat banyak
tokoh persilatan telah berada di sekitar tempat itu.
Rupanya kabar tentang dirinya yang hendak mencari
Iblis Angkara Murka telah tersebar demikian cepat.
Terbukti, kini belasan bahkan puluhan pendekar dan
para tokoh rimba persilatan berkumpul di tempat itu.
“Kakang tak perlu merasa cemas. Mereka tadi telah
sempat menyaksikan pertarungan dua Pendekar Naga
Putih. Dan itu sudah menjelaskan segalanya, “ ujar
Kenanga ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih
yang letih itu tampak diliputi kecemasan.
Penjelasan Kenanga memang sangat berarti bagi
pendekar muda itu. Dengan begitu beban dalam batin-
nya yang selama ini telah dirasakan sebagai suatu sik-
saan, tiba-tiba terlepas.
“Sebaiknya kita segera pergi, Kenanga. Aku tak in-
gin mendapat pertanyaan macam-macam dari me-
reka...,” ujar Panji yang langsung disetujui Kenanga.
Pasangan pendekar muda itu langsung melesat me-
ninggalkan tempat pertarungan tanpa berpamitan. Ke-
duanya tak dicegah ataupun diganggu.
Tokoh-tokoh persilatan yang melihat Pendekar Naga
Putih berkelebat pergi, hanya bisa menghela napas.
Tampak di wajah mereka suatu penyesalan yang da-
lam. Ternyata Pendekar Naga Putih tetap seorang pen-
dekar yang memiliki kebersihan hati. Mereka telah
membuktikan dengan mata kepala sendiri, bahwa tu-
duhan buruk terhadap pendekar muda itu sama sekali
tak benar. Bahkan seharusnya para pendekar dan to-
koh persilatan mengucapkan terima kasih terhadap
Pendekar Naga Putih yang dengan gigih mampu me-
numpas tokoh angkara murka itu....
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar