..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Rabu, 19 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE IBLIS ANGKARA MURKA

matjenuh khairil

 


IBLIS ANGKARA MURKA
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: A. Suyudi
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih 
dalam episode: 
Iblis Angkara Murka 
128 hal ; 12 x 18 cm

SATU

Di bawah sinar matahari yang terik tampak dua so-
sok tubuh melangkah melintasi jalanan lebar. Jalan 
tanah itu biasa digunakan orang untuk menuju Desa 
Palang. Tidak seperti biasanya, suasana tampak len-
gang dan sunyi. Namun dua sosok tubuh itu keliha-
tannya tak menghiraukan keadaan. Mereka terus me-
langkah ke barat dengan tenang, bahkan sambil ber-
bincang-bincang.
“Aneh...,” tiba-tiba salah seorang dari mereka ber-
gumam seraya mengedarkan pandangan ke persawa-
han yang terbentang luas di kiri dan kanan jalan.
Mendengar ucapan kawannya lelaki berusia kurang 
lebih dua puluh tahun dan berwajah tampan yang be-
rada di sampingnya menyempatkan diri menoleh. Se-
pasang matanya sempat mengawasi sekitar persawa-
han yang terlihat sunyi. Tak tampak seorang petani 
pun bekerja di sana. Padahal biasanya siang seperti itu 
masih ada satu-dua orang petani berada di sawah.
‘Kesunyian inikah yang kau anggap aneh, Kenan-
ga...?” tanya pemuda tampan berjubah putih, yang 
tentu saja dapat kita kenali dengan baik. Sebab siapa 
lagi yang melakukan perjalanan bersama Kenanga ka-
lau bukan Panji atau yang di kalangan persilatan di-
kenal sebagai Pendekar Naga Putih.
Kenanga, dara jelita laksana bidadari itu tak men-
jawab dengan kata-kata. Dirinya hanya mengangguk 
tipis, kemudian mengedarkan pandangannya, melihat 
persawahan yang terbentang luas. Namun, sejauh ma-
ta memandang, tetap tak seorang manusia pun dili-
hatnya, keadaan itu membuat keningnya berkerut.
“Hm..., kalau melihat tanaman padi yang baru saja

dituai, kukira saat ini para petani tengah berpesta-
pora. Mungkin panen musim ini berhasil baik. Sehing-
ga mereka enggan turun ke sawah dalam beberapa ha-
ri setelah panen. Kurasa hal ini bukanlah sesuatu 
yang aneh...,” tukas Panji membuat kerutan di kening 
kekasihnya lenyap. Sebab, apa yang dikatakan Panji 
ada benarnya.
Kenanga mengangguk beberapa kali sambil terus 
melangkah mengikuti kekasihnya menuju Desa Palang. 
Tak lama kemudian mereka tiba di perbatasan desa. 
Itu diketahui dari adanya gapura tapal batas desa.
“Kita langsung saja ke balai desa. Biasanya di sana-
lah pesta diadakan...,” usul Panji setelah melihat sua-
sana desa yang sepi bagaikan desa mati. Tak seorang 
pun terlihat di sepanjang jalan.
“Kurasa kali ini dugaanmu keliru, Kakang...,” tukas 
Kenanga yang memperhatikan lebih teliti beberapa 
rumah di dekat mulut desa itu, “Coba perhatikan ru-
mah-rumah itu...!” lanjutnya memberi isyarat dengan 
menunjuk rumah-rumah di dekat mulut desa.
Panji tentu saja tak meremehkan ucapan ke-
kasihnya. Pandang matanya memperhatikan beberapa 
rumah terdekat Keningnya berkerut ketika melihat 
rumah-rumah itu dalam keadaan rusak berat. Bahkan 
dua di antaranya hangus terbakar. Tahulah Panji ka-
lau dugaannya kali ini memang keliru besar.
“Mungkin benar, bahwa penduduk desa ini baru se-
lesai menuai hasil sawah mereka. Tapi melihat kea-
daan rumah-rumah itu, kukira di desa ini baru saja 
terjadi tindak kejahatan...,” ujar Kenanga ketika meli-
hat Panji terdiam menatapi dua rumah yang tinggal 
puing-puing itu.
Pendekar Naga Putih itu pun setuju dengan penda-
pat dugaan Kenanga. Langsung saja tubuhnya melesat

ke depan, setelah berpesan agar Kenanga meneliti seki-
tar itu. Sementara dirinya hendak memeriksa lebih 
jauh. Dan berniat untuk mencari rumah kepala desa.
Pemuda tampan berjubah putih itu terus menelusu-
ri jalan utama desa sambil melihat-lihat keadaan. Bu-
kan main kaget dan marahnya hati Panji ketika masuk 
lebih jauh, makin banyak terlihat rumah penduduk 
yang rusak berat dan hangus terbakar. Bahkan di sa-
na-sini dijumpai belasan sosok mayat, bergeletakan di 
sepanjang jalan. Baru terasa bau anyir darah menusuk 
hidung. Jelas sudah kalau Desa Palang baru saja di-
timpa malapetaka mengerikan!
“Iblis keji...!” geram Panji tanpa menghentikan lang-
kahnya hingga sampai di depan sebuah rumah besar, 
yang dikelilingi pagar tembok tebal.
Di tempat ini pun Panji kembali dilanda kegeraman. 
Karena di pekarangan rumah terlihat adanya mayat 
para keamanan desa bergelimpangan dengan darah 
yang mulai mengering. Melihat keadaan para mayat 
Panji menduga kalau kejadiannya belum lama. Ke-
mungkinan baru malam tadi bencana itu terjadi.
Semula Panji hendak memeriksa keadaan di dalam 
rumah kepala desa itu. Namun langkahnya tertunda 
ketika mendengar ada suara tindakan halus dari sebe-
lah dalam. Dengan cepat tubuhnya melompat ke atas 
pohon besar di sebelah kiri pekarangan rumah besar 
itu. Kemudian bersembunyi di rimbunan daun pohon.
Tidak lama kemudian, muncullah dua sosok tubuh 
dari dalam rumah. Panji yang bersembunyi di atas po-
hon mengerutkan keningnya. Karena dari cara dua so-
sok tubuh itu melangkah, dapat diketahui kalau mere-
ka bukanlah orang sembarangan. Langkah yang ringan 
dan mantap itu menunjukkan ilmu meringankan tu-
buh yang tinggi. Bahkan sinar mata keduanya mem

perlihatkan tenaga dalam yang terhimpun dalam tu-
buh mereka. Hal itu membuat Panji bersikap hati-hati. 
Dirinya yakin, pendengaran kedua orang itu tentu 
sangat tajam. Mungkin bisa mendengar dengus napas-
nya. Pikiran itu membuat Panji berusaha mengatur ja-
lan nafasnya sehalus mungkin. Agar tidak sampai ter-
dengar mereka.
“Setan Penasaran, rupanya manusia sombong itu 
kembali menunjukkan ulahnya. Mungkin ia ingin me-
nunjukkan kepada kita kalau kekuasaannya telah se-
makin besar...,” terdengar salah satu dari kedua sosok 
yang bertubuh kecil kurus dengan wajah rusak bekas 
penyakit cacar, berkata dengan nada meleng-king.
“Hm.... Meskipun begitu, tapi aku tetap tidak gentar 
dan belum berniat untuk menjadi pengikutnya!” sosok 
tinggal kulit terbalut tulang yang berjuluk Setan Pena-
saran menukas dengan nada tinggi, “Setan Penasaran 
tak mudah untuk ditundukkan...,” lanjutnya menepuk 
dadanya yang kerempeng. Matanya yang cekung ke da-
lam tampak menyorot tajam, menandakan kegeraman 
hatinya. “Jadi kau sudah pernah didatangi manusia 
sombong itu?” Tanya sosok kecil kurus berwajah bo-
peng, menatap kawannya dengan kepala menengadah.
“Belum. Manusia sombong itu cuma meninggalkan 
sepucuk surat di tempat kediamanku. Meskipun per-
buatan itu cukup membuktikan kelihaiannya, tapi 
aku, Setan Penasaran tetap tak sudi tunduk di bawah 
kekuasaannya!” ujar Setan Penasaran dengan suara 
mantap, menunjukkan kekerasan hatinya.
“Hhh.... Sayang saat ia datang mengirimkan surat 
aku sedang tak ada di tempat. Jadi aku belum bisa 
menebak sampai di mana kepandaian si sombong itu! 
Kalau saja aku sempat bertemu muka secara lang-
sung, akan kutunjukkan bahwa Malaikat Kerdil pun

tak bisa dibuat main-main!”
Lelaki berwajah bopeng itu berkata geram. Kendati 
wajah dan tubuhnya menunjukkan bahwa dirinya 
orang lemah, namun julukan yang disandangnya be-
nar-benar membuat Panji terkejut. Sebab, kedua orang 
tokoh itu merupakan gembong-gembong golongan hi-
tam, yang memiliki kesaktian setingkat dengan seorang 
datuk.
“Gila...?! Bagaimana kedua orang tokoh sesat itu 
sampai bisa berada di tempat ini...?! Bisa celaka kalau 
aku sampai diketahui mereka...!” desis Panji yang se-
gera menahan napas saat dua sosok tubuh itu melan-
jutkan langkahnya, di antara mayat-mayat yang berge-
letakan menghalang jalan.
Hati Panji berdebar ketika Setan Penasaran dan Ma-
laikat Kerdil tiba-tiba menghentikan langkah tepat di 
bawah pohon tempatnya bersembunyi. Tentu saja hal 
itu membuat pemuda berjubah putih itu sempat dilan-
da ketegangan. Apalagi karena dia harus menahan na-
pas selama kedua tokoh itu belum juga beranjak dari 
tempat itu.
Sebenarnya Panji tak akan sampai diketahui dua 
orang tokoh sesat itu kalau saja tak ada Kenanga yang 
tahu-tahu muncul dan memasuki halaman rumah be-
sar itu. Tentu saja Panji kaget bukan main. Terlebih 
ketika Setan Penasaran dan Malaikat Kerdil sama me-
noleh. Dan terlihat seringai mereka yang menyeram-
kan. Keadaan itu membuat Panji mencemaskan kese-
lamatan kekasihnya.
“Heh heh heh.... Setan Penasaran! Kau lihat siapa 
yang datang ke tempat ini! Seorang bidadari cantik 
yang baru saja turun dari kahyangan. Rupanya sang 
Bidadari hendak memberi pertolongan kepada pen-
duduk Desa Palang yang baru saja dilanda bencana...!”

terdengar Malaikat Kerdil berkata dengan nada tinggi 
melengking. Dan seketika itu juga sosoknya langsung 
bergerak menghampiri Kenanga.
Hebat bukan main cara Malaikat Kerdil mengham-
piri Kenanga. Kendati terlihat hanya melangkah perla-
han, tubuhnya meluncur bagaikan anak panah yang 
lepas dari busur. Dari sini saja dapat dilihat betapa 
hebat ilmu meringankan tubuh tokoh kerdil itu.
“Kau tentunya datang untuk menemuiku, Manis. 
Nah, marilah kau ikut bersamaku...!”
Begitu ucapan itu terdengar, tahu-tahu jari-jari tan-
gan Malaikat Kerdil sudah menjulur ke depan hendak 
mengelus bagian dada Kenanga. Tentu saja perbuatan 
tak sopan dan sangat kurang ajar itu membuat Kenan-
ga marah. Cepat tubuhnya bergerak menghindar, ke-
mudian membalas dengan sebuah tendangan lurus 
mengancam iga Malaikat Kerdil.
Bwettt!
“Haiiits...! Ternyata kau pun memiliki kepandaian 
yang lumayan, Bidadari ku...!” ejek Malaikat Kerdil 
sambil memiringkan tubuh dengan menggeser kaki 
kanan ke belakang. Sehingga, tendangan Kenanga lu-
put dari sasaran. Bahkan dengan gerakan yang cepat 
bukan main, tokoh sesat bertubuh kate itu me-
rendahkan tubuh sambil mengirimkan sapuan kakinya 
yang sekaligus dibarengi dorongan kedua tangan ke 
dada Kenanga. 
“Hih...!”
Karena kaget dan ngerinya, Kenanga menjerit terta-
han. Keadaannya saat itu benar-benar dalam ancaman 
bahaya. Sebab, kalau ia menghindari sapuan lawan 
terhadap kaki kiri yang menjadi tumpuan beban tu-
buhnya, maka dorongan sepasang tangan Malaikat 
Kerdil pada dadanya pasti tak akan terelakkan. Tentu

saja gadis itu tak ingin hal tersebut sampai terjadi. Un-
tuk itu Kenanga terpaksa merelakan tubuhnya ter-
banting termakan sapuan kaki lawan. Dengan demi-
kian, berarti ia dapat menyelamatkan dadanya dari 
terkaman jari-jari tangan tokoh kate itu.
Plak!
Bruk!
Tanpa ampun lagi, tubuh Kenanga terbanting jatuh 
dengan keras. Wajah jelita itu tampak meringis. Kare-
na meskipun telah dikerahkan tenaga dalam guna me-
lindungi tulang kakinya, tetap saja ada rasa nyeri yang 
menusuk. Kenyataan itu membuat Kenanga sadar 
bahwa kekuatan tenaga dalam lawan masih berada sa-
tu tingkat di atasnya.
“Hiyaaat..!”
Sebelum Kenanga sempat bergerak bangkit, Malai-
kat Kerdil yang merasa girang melihat serangannya 
berhasil, langsung melompat menerkam tubuh dara je-
lita yang masih telentang di tanah itu. Gerakannya ce-
pat bukan main, membuat Kenanga menjerit lirih.
Merasa bahaya yang mengerikan bakal datang me-
nimpa dirinya, Kenanga pun berbuat nekat. Sambil 
mengerahkan seluruh tenaga dalam, disilangkan ke-
dua tangan ke depan dada, dan siap menyambut ter-
kaman lawan dengan dorongan kedua tangannya.
Namun, pada saat yang berbahaya bagi kese-
lamatan dara jelita itu, tiba-tiba terdengar bentakan 
keras yang menggetarkan dada. Disusul kemudian 
dengan kelebatan sesosok bayangan putih yang lang-
sung memapaki serangan Malaikat Kerdil.
Bresssh...!
Tanpa dapat dicegah lagi, dua gelombang tenaga 
sakti yang sangat hebat saling berbenturan keras. Aki-
batnya, tubuh Malaikat Kerdil terdorong ke belakang

sejauh satu setengah tombak. Sedangkan sosok 
bayangan putih itu langsung melenting ke belakang 
dengan membuat dua kali putaran di udara. Kemudian 
melayang turun dengan ringannya.
“Kakang...!”
Melihat sosok bayangan putih yang menyela-
matkannya, Kenanga langsung berseru girang. Ru-
panya gadis itu sudah dapat mengenali siapa sebenar-
nya sosok bayangan putih itu, kendati belum melihat 
wajahnya dengan jelas. Dan ketika sosok bayangan pu-
tih meluncur turun, senyum dara jelita itu semakin le-
bar. Karena yang telah menyelamatkannya tak lain 
Panji.
Panji yang semula hanya menyaksikan pertarungan 
itu dari atas pohon, terkejut melihat kepandaian lawan 
kekasihnya. Apalagi ketika menyaksikan betapa Ke-
nanga berada dalam ancaman bahaya, langsung saja 
ia meluncur turun dan menyambut serangan Malaikat 
Kerdil. Sehingga, serangan tokoh sesat bertubuh kate 
itu berhasil digagalkan.
Malaikat Kerdil tentu saja kaget bukan main ketika 
ada sesosok bayangan putih yang berani memapaki se-
rangannya. Hatinya marah. Matanya terbelalak menge-
tahui sosok bayangan putih itu mampu membuat se-
rangannya gagal. Bahkan sanggup mengatasi kekuatan 
tenaga saktinya. Sebagai seorang tokoh sakti yang se-
lalu membanggakan kepandaian sendiri, tentu saja 
Malaikat Kerdil tak bisa menerima kenyataan pahit itu. 
Maka begitu kedua kakinya telah menjejak tanah, se-
pasang matanya langsung menyorot tajam sosok ber-
jubah putih yang kini berdiri di hadapannya dalam ja-
rak sekitar empat tombak.
“Dia.... Pendekar Naga Putih...!” seruan itu keluar 
dari mulut Setan Penasaran yang lebih dulu mengenali

siapa sebenarnya sosok pemuda tampan berjubah pu-
tih itu. Wajahnya memerah dan berkerut-kerut seperti 
tengah menahan perasaan marah bercampur rasa 
benci.
“Hm..., tak heran kalau dia berani main gila di de-
panku! Rupanya dia Pendekar Naga Putih!”
Malaikat Kerdil pun sedikit kaget ketika mendengar 
ucapan rekannya. Dirinya bisa memaklumi kalau tu-
buhnya sampai terpental kalah tenaga oleh sosok 
bayangan putih itu. Kenyataan itu membuat Malaikat 
Kerdil tak menjadi kecil hati, karena maklum dan sa-
dar akan kehebatan tokoh muda itu.
Sementara itu, Setan Penasaran yang melihat ke-
munculan Pendekar Naga Putih, langsung saja berge-
rak maju dengan wajah merah padam. Sepasang ma-
tanya mencorong tajam menyiratkan sinar dendam 
yang demikian dalam.
“Pendekar Naga Putih, hutang nyawa harus dibayar 
dengan nyawa...!”
Baru saja tokoh yang berjuluk Setan Penasaran itu 
menggeram dengan nada penuh dendam, tiba-tiba tu-
buhnya melesat ke depan dengan serangan maut.
“Heaaat...!”
“Heit...?!”
Panji tentu saja kaget bukan main. Karena tokoh 
yang ia dengar berjuluk Setan Penasaran itu seperti 
menyimpan dendam kesumat terhadap dirinya. Dan 
melihat serangannya Pendekar Naga Putih sadar bah-
wa tokoh sesat yang berpenampilan menyeramkan itu 
menginginkan nyawanya. Hal itu tampak jelas dari 
ucapannya sebelum melakukan serangan maut.
Karena tak mempunyai kesempatan untuk berbica-
ra, Panji cepat menggeser tubuhnya guna menghindari 
serangan maut Setan Penasaran. Kemudian terus melompat ke sana kemari sambil sesekali menangkis den-
gan kedua tangannya. Pendekar Naga Putih belum 
mau membalas, karena merasa tak mempunyai per-
musuhan pribadi dengan tokoh bertubuh kurus seperti 
tengkorak itu. Sambil terus menghindar serta menang-
kis, dirinya mencari kesempatan untuk dapat berbica-
ra.
Namun, Setan Penasaran rupanya tak ingin mem-
beri kesempatan kepada Panji. Jangankan berbicara, 
untuk bernapas pun rasanya tokoh sesat itu tak men-
gizinkan. Dengan bentuk serangan yang semakin hebat 
dan cepat, lelaki bertubuh tinggi kurus itu terus men-
desak. Tentu saja Panji pun semakin sibuk dibuatnya.
“Setan Penasaran, tahan seranganmu...!”
Karena merasakan semakin hebat serangan yang di-
lancarkan lawan, akhirnya Panji tak sabar untuk ber-
seru keras memperingatkan.
“Aku tak akan berhenti sebelum kau menggeletak 
tanpa nyawa, Pendekar Naga Putih! Hiyaaat!”
Dibarengi sebuah bentakan menggelegar, Setan Pe-
nasaran kembali melancarkan serangannya. Tampak-
nya tokoh ini mulai menggunakan ilmu andalannya.
“Heaaa...!”
Wettt! Wettt...!
Pendekar Naga Putih benar-benar terkejut. Tokoh 
yang berjuluk Setan Penasaran itu rupanya benar-
benar hendak membuktikan ucapannya. Terbukti jari-
jari tangan kurus dengan kuku-kuku runcing dan hi-
tam itu semakin gemas dan cepat memburu tubuh la-
wan. Panji pun sadar akan bahaya maut yang senan-
tiasa siap merenggut nyawanya. Karena dari sambaran 
anginnya yang berkesiutan, menandakan bahwa dalam 
jari-jari tangan Setan Penasaran ter-kandung tenaga 
yang hebat Mungkin cengkeraman itu sanggup menghancur-leburkan batu karang.
Sadar kalau dibiarkan dirinya bisa celaka di tangan 
lawan, Pendekar Naga Putih mulai kehilangan sabar. 
Saat sambaran cakar kanan lawan meluncur deras 
mengancam ubun-ubunnya, Panji langsung meliukkan 
tubuh. Ketika cengkeraman itu luput, dengan cepat 
Panji melepaskan sebuah dorongan telapak tangan ke 
tubuh lawan. 
“Hih...!”
Plak!
Setan Penasaran yang memang telah menyiapkan 
tangan kiri untuk serangan susulan, langsung meng-
angkat tangan itu memapaki dorongan lawannya. Ben-
turan keras pun tak dapat dihindarkan. Tubuh kedua-
nya terdorong mundur sampai empat langkah. Hal itu 
menandakan kalau dalam benturan tadi kekuatan me-
reka seimbang.
“Jelaskan, mengapa kau menghendaki kema-
tianku, Setan Penasaran?! Kalau tidak, akan kubikin 
dirimu benar-benar menjadi setan yang penasaran di 
alam baka...!” bentak Panji menuntut penjelasan den-
gan wajah yang menunjukkan kejengkelan hatinya.
“Hm.... Kau hendak lari dari tanggung jawab atau 
memang telah lupa dengan perbuatanmu, Pendekar 
Naga Putih...?” jawab Setan Penasaran dengan senyum 
penuh ejekan dan sangat merendahkan.
“Setan Penasaran, meskipun kita berdiri di jalan 
yang berseberangan, seingatku belum pernah kita be-
rurusan. Bahkan bertemu pun baru sekali ini. Lalu 
mengapa kau menuntut tanggung jawabku? Apa yang 
pernah kuperbuat terhadapmu?” tukas Panji semakin 
penasaran dan jengkel. Karena tokoh yang bertubuh 
seperti tengkorak hidup itu belum juga menjawab per-
tanyaannya.

“Kau telah membunuh muridku, Pendekar Naga Pu-
tih! Dan sekarang aku akan membalaskannya! Tapi 
bukan cuma nyawamu yang harus melayang! Nyawa 
kekasihmu pun harus kuhabisi sebagai bunganya...!” 
bentak Setan Penasaran bengis. Lelaki kurus itu 
menggeser kakinya membentuk kuda-kuda serong 
yang kokoh.
‘Tunggu, Setan Penasaran! Katakan, siapa nama 
muridmu atau julukannya...?” cegah Panji yang tetap 
belum mengerti kesalahannya.
“Muridku berjuluk Setan Bayangan Hitam! Dia telah 
kau bunuh beberapa waktu lalu di sebuah hutan! Dan 
untuk perbuatanmu itu, kau harus menebus dengan 
nyawamu...! Hiyaaat..!”
Setelah berkata begitu, Setan Penasaran bergerak 
dengan kecepatan kilat. Sepasang cakarnya yang me-
nebarkan bau busuk karena dilumuri racun jahat, 
menyambar-nyambar dengan disertai suara berdesit.
Wuttt! Wuttt!
Pendekar Naga Putih melompat ke kiri dan kanan 
menghindari serangan lawan. Sambil sesekali menang-
kis membuat tubuh keduanya tergetar mundur. Na-
mun, serbuan Setan Penasaran bagaikan ombak lau-
tan yang tak pernah habis. Tangannya yang memben-
tuk cakar bergerak cepat dan beruntun memburu ba-
gian-bagian terlemah di tubuh Pendekar Naga Putih.
Setelah sepuluh jurus Setan Penasaran mengumbar 
serangan-serangan mautnya, Panji pun mulai unjuk 
gigi. Disertai sebuah teriakan keras yang meng-
getarkan dada, tubuhnya melesat cepat dan menye-
linap di antara sambaran cakar maut lawan. Kemudian 
serangan-serangan balasannya pun mulai diluncurkan 
bagaikan serbuan angin puyuh!
“Heaaa...!”

Duk! Duk!
Plak!
Tiga kali Setan Penasaran mengangkat kedua len-
gannya bergantian memapaki serangan balasan lawan. 
Dan kali ini tengkorak hidup itu harus menerima ke-
nyataan pahit. Karena dalam tiga kali benturan itu tu-
lang-tulang lengannya terasa nyeri dan linu. Bahkan 
kuda-kudanya tergempur mundur, membuat tubuhnya 
terhuyung-huyung beberapa langkah.
“Kenanga, mari kita tinggalkan orang-orang gila 
itu...!”
Kesempatan selagi lawannya terjajar mundur, di-
pergunakan Panji untuk menyambar lengan kekasih-
nya. Keduanya langsung melesat meninggalkan tempat 
itu. Dirinya memutuskan menghindar dari kedua to-
koh sesat itu untuk sementara. Hal itu karena dia be-
lum ingat tentang Setan Bayangan Hitam yang meru-
pakan murid Setan Penasaran.
Sebagai seorang pendekar penegak keadilan yang 
telah lama malang-melintang di dunia persilatan, ba-
nyak tokoh sesat yang takluk pada Pendekar Naga Pu-
tih. Sehingga maklum kalau sulit untuk mengingat 
tentang Setan Bayangan Hitam yang merupakan murid 
Setan Penasaran. Untuk itulah dirinya memutuskan 
melepaskan diri dari lawannya, agar bisa mengingat-
ingat apa yang dituduhkan oleh Setan Penasaran. Pan-
ji tak mempedulikan kedua lawan yang terus memaki-
maki dirinya sebagai pengecut. Pemuda berjubah putih 
terus mengerahkan ilmu kepandaiannya agar kedua 
orang lawan tidak mempunyai peluang untuk menge-
jar.
***

DUA

Desa Palang ternyata bukan merupakan satu- sa-
tunya tempat sasaran sekelompok orang-orang jahat.
Masih ada beberapa desa, bahkan perguruan yang 
menjadi korban keganasan golongan sesat itu. Keja-
dian-kejadian itu membuat banyak tokoh golongan pu-
tih marah. Beberapa perguruan yang merasa ber-
tanggung jawab segera mengirimkan murid-murid an-
dalan untuk menyelidiki, sekaligus membasmi pelaku 
kejahatan itu. Bahkan pendekar-pendekar tunggal 
yang tak terikat partai tertentu, telah meninggalkan
tempat kediamannya guna ikut serta meng-hentikan 
kejahatan itu. Sehingga, banyak orang yang membawa 
senjata berkeliaran ke desa-desa atau pun kota-kota 
kecil.
Banyaknya tokoh persilatan dari golongan putih 
yang berkeliaran, membuat warga masyarakat merasa 
tenang. Mereka dapat melakukan pekerjaan sehari-
hari tanpa merasa was-was akan datangnya serbuan 
dari para penjahat keji itu. Para penduduk merasa 
aman dan terlindung oleh banyaknya tokoh persilatan 
yang berkeliaran.
Lain tanggapan dan tindakan golongan putih, lain 
pula yang dilakukan orang-orang dari golongan sesat.
Penjahat-penjahat tunggal maupun perampok-
perampok kecil yang semula tak berani melakukan 
tindak kejahatan karena adanya tekanan dari kaum 
pen-dekar, kini justru berani muncul, bahkan melaku-
kan kejahatan pada siang hari. Tentu saja munculnya 
dua golongan itu tidak jarang juga menimbulkan kere-
sahan karena bentrokan yang acapkali terjadi. Seperti 
kata pepatah, gajah bertarung dengan gajah pelanduk

mati di tengah-tengah. Yang menanggung akibat dari 
bentrokan-bentrokan itu jelas orang-orang awam, yang 
sama sekali tak paham persilatan. Sehingga, tak sedi-
kit penduduk di desa-desa terpencil pergi mengungsi 
ke tempat yang dianggap lebih aman.
Namun, para penduduk yang mengungsi dari desa-
desa terpencil itu sama sekali tak menyadari bahwa 
kepergian mereka dengan membawa harta benda serta 
binatang ternak, justru dapat mengundang para pen-
jahat yang kini telah membentuk kelompok-kelompok 
guna menghadapi kaum golongan putih.
“Berhentiii...!”
Serombongan penduduk yang berjumlah sekitar 
empat puluh orang, terperanjat kaget dan menghenti-
kan langkah. Mereka yang sedianya hendak mencari 
tempat tinggal yang lebih aman, justru tanpa sengaja 
telah menghampiri penyakit.
Seorang lelaki tinggi kurus bermata picak sebelah 
dengan menggenggam sepasang tombak pendek, berdi-
ri menghadang jalan. Matanya yang hanya sebelah itu 
bergerak liar merayapi wajah-wajah pucat para pendu-
duk. Lelaki itu bukanlah seperti perampok kebanya-
kan. Dalam kalangan persilatan dirinya di-kenal den-
gan julukan Tombak Mata Satu. Dan kepandaian ilmu 
tombaknya pun tak bisa dibilang rendah.
Pada mulanya Tombak Mata Satu merupakan pen-
jahat tunggal yang malang-melintang dengan meng-
gunakan sepasang tombak pendeknya. Namun, se-
menjak adanya peristiwa-peristiwa pembumihangusan 
terhadap beberapa desa dan perguruan silat, yang 
mengundang amarah kaum golongan putih, Tombak 
Mata Satu tak lagi berani bergerak sendirian. Baginya 
tak sulit mencari kawan seiring. Kepandaian serta na-
manya yang cukup terkenal, membuat ia dengan mudah menggabungkan diri dengan sekelompok peram-
pok. Bahkan kedatangannya disambut hangat dan 
langsung diangkat sebagai pimpinan kawanan peram-
pok yang didatanginya. Dengan mengandalkan jumlah 
cukup banyak inilah, Tombak Mata Satu melanjutkan 
aksinya. Bahkan ruang geraknya semakin diperlebar. 
Dirinya tak pernah merasa takut kendati harus ben-
trok dengan tokoh-tokoh golongan putih.
Siang itu, secara kebetulan Tombak Mata Satu me-
lihat serombongan penduduk yang hendak mengungsi. 
Melihat adanya binatang ternak serta buntalan yang 
dibawa para pengungsi, langsung saja ia melompat ke 
luar dari persembunyian, disertai bentakan keras. Tu-
buhnya berdiri menghadang jalan, memperlihatkan 
wajah bengisnya.
“Kalian boleh pilih! Tinggalkan barang-barang itu, 
dan pergi meninggalkan tempat ini dengan selamat, 
atau nyawa kalian kukirim ke neraka...!” gertak Tom-
bak Mata Satu sengaja mengerahkan tenaga dalam 
melalui suaranya hingga terdengar keras dan mena-
kutkan.
Para penduduk yang hendak mengungsi itu tentu 
saja semakin pucat. Memang sulit. Apa yang mereka 
lakukan pada saat seperti sekarang ini serba salah. 
Tinggal di desa yang terpencil, sudah pasti suatu saat 
perampok akan datang menjarah mereka. Mengungsi 
pun sama saja akibatnya. Namun mereka sengaja me-
milih pergi mengungsi daripada menunggu dengan hati 
selalu was-was dan ketakutan. Dan pencegatan lelaki 
bermata picak itu pun sudah mereka perhitungkan.
‘Tuan yang gagah perkasa dan budiman....”
Salah seorang penduduk memberanikan diri tampil 
ke depan menghadang Tombak Mata Satu.
“Kasihani kami yang miskin dan menderita ini,

Tuan! Tuan boleh ambil harta kami. Tapi, sisakanlah 
sedikit untuk bekal perjalanan guna menyambung hi-
dup...!” pintanya sambil menjatuhkan diri berlutut di 
depan kaki Tombak Mata Satu. Rupanya inilah pilihan 
penduduk yang nekat hendak mengungsi. Berharap 
mendapatkan sedikit belas kasihan dari siapa saja 
yang mungkin akan menghadang perjalanan mereka.
“Hmh...!”
Tombak Mata Satu mendengus bengis. Kemudian 
terdengar gelak tawanya demi melihat dirinya disem-
bah sedemikian rupa. Akan tetap semua itu sama se-
kali tak membuat hatinya tergerak. Malah ia sema-kin 
congkak dan garang.
“Kau memang patut dikasihani, Kisanak. Nah, sisa-
kanlah sedikit dari bawaanmu itu! Dan kau boleh pergi 
untuk mencari kehidupan yang lebih baik...!”
Tak seorang pun menyangka kalau lelaki picak itu 
akan berkata demikian. Tentu saja pengungsi yang 
berlutut merasa gembira. Tanpa banyak bicara lagi, ia 
langsung saja menyisakan sedikit uang untuk dirinya. 
Kemudian dengan terbungkuk-bungkuk lelaki seten-
gah baya itu melangkah meninggalkan Tongkat Mata 
Satu. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih berkali-
kali. Seolah lelaki bermata picak itu telah memberikan 
kebaikan yang tak terhingga kepadanya.
Perbuatan orang pertama itu diikuti para pengungsi 
lainnya. Yang berwatak curang bergegas menyembu-
nyikan beberapa keping uang ke dalam sabuknya. Me-
reka bergerak satu persatu dengan tubuh membung-
kuk ketika lewat di dekat Tombak Mata Satu yang ter-
tawa cekakakan, melihat banyaknya harta benda yang 
didapat tanpa susah payah mendatangi desa. Bahkan 
semua binatang ternak berkumpul di dekat-nya. Kare-
na tak seorang pun dari pengungsi yang berani membawanya. Mereka tentu saja lebih sayang nyawa ke-
timbang binatang ternaknya.
Namun, kelegaan para pengungsi itu kembali beru-
bah kecemasan dan ketakutan. Karena baru kurang 
lebih dua tombak mereka meninggalkan si mata picak, 
tiba-tiba bermunculan penghadang- penghadang lain 
dengan wajah bengis dan senjata terhunus.
‘Tinggalkan sisa harta yang kalian bawa...!” bentak 
seorang lelaki bermuka hitam dengan perut buncit. Ia 
berkata garang dengan dada dibusungkan agar terlihat 
gagah dan berwibawa. Namun tingkahnya itu justru 
tampak lucu. Perut buncitnya tetap saja menonjol ke 
depan, hingga membuat kedudukan berdiri lelaki itu 
tak ubahnya seekor bebek.
‘Tapi, Tuan.... Tadi kami baru saja....”
Belum habis ucapan salah seorang pengungsi itu, 
tiba-tiba golok di tangan lelaki bermuka hitam di de-
pannya bergerak menyambar.
Wuttt!
Cras!
“Aaakh...!”
Darah segar menyembur keluar dari perut pengung-
si itu karena terbabat golok. Dan tanpa ampun lagi, 
tubuhnya terkulai lalu menghembuskan napas terak-
hir.
Perbuatan lelaki bermuka hitam dan berperut bun-
cit itu tentu saja membuat para pengungsi lain sema-
kin ketakutan. Karena penghadang kali ini jauh lebih 
ganas dan kejam ketimbang si mata picak. Mereka sa-
ma sekali tak menyangka kalau semua itu ternyata 
merupakan permainan para perampok. Karena lelaki 
bermuka hitam itu salah satu dari pengikut Tombak 
Mata Satu, yang kini telah berdiri di belakang rombon-
gan pengungsi itu. Tawanya terdengar bergelak mengejutkan.
“Hua ha ha...! Bagus, La Jobang! Mereka pikir aku 
demikian baik hati membiarkan mereka pergi begitu 
saja sebelum semua harta diserahkan kepada kita. 
Mana mungkin aku tega membiarkan perempuan-
perempuan cantik ini ikut mengungsi. .,” ujar Tombak 
Mata Satu yang kini memperlihatkan sifat aslinya. 
Tanpa malu-malu lagi, ia langsung mengulurkan tan-
gan memeluk salah seorang wanita muda yang ikut 
dengan rombongan pengungsi itu. Diciuminya pipi dan 
leher wanita muda itu dengan buas sambil tertawa-
tawa.
‘Tuan, tolong jangan ganggu anakku! Dia.... dia ma-
sih terlalu kecil dan belum tahu apa-apa...!”
Seorang lelaki berusia sekitar empat puluh lima ta-
hun menyeruak dari rombongan. Dengan suara meng-
hiba lelaki setengah baya itu meminta Tombak Mata 
Satu mau melepaskan putrinya yang baru berusia lima 
belas tahun. Namun tubuh gadis itu terlihat cukup 
masak dan wajahnya pun manis dengan kulit kuning 
langsat Rupanya meski hanya sebelah namun Tombak 
Mata Satu memiliki penglihatan tajam.
“Hua ha ha...! Jadi dia belum tahu apa-apa? Bagus, 
Orang Tua! Kalau begitu ia akan segera kuberi pelaja-
ran cuma-cuma, bagaimana cara melayani lelaki den-
gan baik...!”
Tombak Mata Satu semakin keras tertawa. Diseret-
nya tubuh wanita desa itu ke semak-semak terdekat. 
Tak dipedulikan betapa gadis itu menangis ketakutan.
Melihat putrinya dalam ancaman bahaya mengeri-
kan, lelaki setengah baya itu menjadi nekat. Ia menu-
bruk maju berusaha membebaskan sang Anak. Namun 
Tombak Mata Satu tak membiarkan begitu saja. Sekali 
tangan kirinya bergerak, lelaki malang itu roboh bermandikan darah. Mata tombak lelaki picak itu telah 
menembus dada dan mengoyak jantungnya.
“La Jobang, bereskan semuanya, dan tawan perem-
puan-perempuan yang dapat kita gunakan sebagai hi-
buran...!”
Setelah berkata demikian, Tombak Mata Satu me-
lanjutkan niatnya yang terkutuk kepada gadis malang 
itu.
Namun, sebelum niat Tombak Mata Satu kesam-
paian, mendadak terdengar suara ribut-ribut. Kemu-
dian disusul dengan jerit kematian yang merobek uda-
ra siang ini. Ia yang semula tak peduli karena mengira 
para pengikutnya tengah menghajar para pengungsi 
yang melawan, cepat bergerak bangkit ketika menden-
gar suara benturan senjata.
“Bedebah! Siapa yang berani mengganggu kesenan-
ganku...!” geram Tombak Mata Satu sambil bergegas 
membereskan pakaian yang sudah tak karuan. Mata-
nya yang tinggal sebelah seakan hendak melompat dari 
tempatnya, ketika melihat sesosok bayangan ramping 
tengah mengamuk menghadapi keroyokan para pengi-
kutnya. Melihat gerakan sosok bayangan itu yang lin-
cah dan mengandung kekuatan hebat, Tombak Mata 
Satu segera mengurungkan niatnya. Tubuhnya ber-
gegas melompat keluar dari balik semak-semak.
Sementara itu, para pengungsi sudah ketakutan se-
tengah mati, segera lari bersembunyi ke balik pepoho-
nan. Tubuh mereka gemetar menyaksikan banyaknya 
darah membasahi rerumputan. Kendati demikian ada 
sedikit harapan dalam hati mereka agar sosok bayan-
gan yang tengah mengamuk dan membunuhi para pe-
rampok itu akan memperoleh kemenangan. Harapan 
itu timbul ketika melihat sudah delapan orang peram-
pok roboh tewas bermandikan darah.

“Haits! Heaaa...! Mampuslah kalian, Manusia
Sambil berkelebat di antara sambaran golok dan 
pedang pengeroyok, sosok bayangan ramping itu me-
lontarkan makian tanda kemarahan dan kegeraman 
hatinya. Kecepatan geraknya membuat seorang penge-
royok kembali terlempar dari arena dengan tubuh 
bermandikan darah. Hebat memang gerakan sosok 
bayangan yang terbungkus pakaian biru tua ini. Ken-
dati harus menghadapi belasan pengeroyok, ia sama 
sekali tidak kelihatan terdesak. Bahkan mampu mero-
bohkan lawan satu persatu.
“Setan keparat..!”
Tombak Mata Satu menggeram gusar. Wajahnya 
merah padam melihat pengikut-pengikutnya ber-
jatuhan tersambar senjata lawan. Tanpa banyak cakap 
lagi, ia pun segera menjejak tanah. Tubuhnya melesat 
ke tengah arena pertarungan.
“Hiyaaat..!”
Tanpa membuang-buang waktu, Tombak Mata Satu 
langsung mengirimkan serangan dengan sepasang 
tombak pendeknya. Gerakan yang dilakukan lelaki 
bertubuh tinggi kurus itu memang mengagumkan. Se-
kali bergerak langsung melancarkan dua buah seran-
gan sekaligus. Sasaran serangannya pun merupakan 
jalan darah besar yang bisa mengakibatkan kematian 
bagi lawannya.
Mendapat dua buah serangan yang begitu cepat da-
ri Tombak Mata Satu, sosok bayangan ramping ter-
bungkus pakaian biru tua ini sama sekali tak terlihat 
gugup. Pedangnya diputar sedemikian rupa hingga 
membentuk gulungan sinar yang menderu-deru.
“Heaaa...!”
Trang! Trang!
“Hah...?!”

Serangan sepasang tombak pendek kepala rampok 
itu sama sekali tak banyak berarti. Sekali pedang la-
wan berkelebat menangkis, sepasang tombak pendek 
itu terpental balik. Bahkan tubuh Tombak Mata Satu 
terdorong mundur empat langkah. Tentu saja tokoh 
sesat yang biasa menyombongkan kepandaian sendiri 
ini merasa kaget bukan main.
“Heaaa...!”
Wut! Wut!
Sedangkan sosok berpakaian biru itu tiba-tiba men-
geluarkan bentakan keras. Pedangnya yang baru saja 
menggagalkan serangan lawan kembali bergerak den-
gan kecepatan mengagumkan. Kali ini meluncur den-
gan tusukan mengarah perut Tombak Mata Satu.
“Ahhh...?!”
Tombak Mata Satu terpekik kaget, karena tahu-
tahu ujung pedang lawan sudah tinggal dua jengkal di 
depan perutnya. Tak ada jalan lain bagi lelaki bermata 
picak ini kecuali melempar tubuhnya ke samping. Se-
bab, untuk menangkis jelas tak mungkin. Dirinya su-
dah pasti kalah cepat dengan gerakan senjata lawan.
Akan tetapi ke mana pun Tombak Mata Satu ber-
gerak mengelak, pedang lawan terus memburu. Se-
hingga tubuhnya terus bergulingan untuk menyela-
matkan diri dari babatan dan tusukan senjata lawan.
“Heaaa...!”
Cras! Cras...!
Rumput ilalang yang setinggi lutut, terpapas putus 
oleh babatan pedang sosok ramping itu. Untung saja 
Tombak Mata Satu sudah lebih dulu menggulingkan 
tubuhnya. Kalau tidak, bukan rumput itu yang terpa-
pas putus, melainkan tubuh lelaki bermata picak itu-
lah yang harus terluka.
Tombak Mata Satu benar-benar merasa putus asa

dalam menghindari kejaran pedang lawan. Hingga ak-
hirnya mengambil keputusan nekat, lalu melenting 
bangkit sambil menggerakkan sepasang tombak pen-
deknya secara ngawur. Akibatnya....
Wut! Wut!
Bret! Bret!
“Aaakh...!”
Tombak Mata Satu terpekik kesakitan. Tubuhnya 
terhuyung limbung, karena saat dia nekat melompat 
bangkit, pedang lawan telah membeset pangkal lengan 
kanan dan paha kirinya. Darah segar mengalir mem-
basahi sebagian pakaian lelaki bermata picak itu.
Sosok tubuh ramping berpakaian biru tua yang ter-
nyata seorang gadis muda ini tampaknya masih belum 
puas. Terbukti dengan cepat menyusuli serangannya, 
hendak menghabisi nyawa Tombak Mata Satu yang te-
lah tak berdaya itu.
Namun, rupanya nasib lelaki bermata picak itu ma-
sih baik. Saat nyawanya tengah terancam, sisa para 
pengikutnya sudah datang membantu. Gadis muda itu 
terpaksa mengurungkan niatnya untuk melenyapkan 
Tongkat Mata Satu. Karena memutuskan untuk meng-
habisi serangan enam orang anggota perampok yang 
belum juga jera.
Gadis berpakaian biru tua itu memang mengagum-
kan. Kendati harus menghadapi enam orang perampok 
yang kasar dan ganas, sama sekali dirinya tidak mera-
sa gentar. Pedang di tangannya berkelebatan laksana 
sambaran kilat. Sehingga dalam waktu singkat, kee-
nam perampok sudah menggelepar lalu tewas dengan 
tubuh bersimbah darah.
Usai menghentikan perlawanan enam anak buah 
Tombak Mata Satu, gadis berpakaian biru tua itu 
membalikkan tubuhnya. Kelihatannya ia tak sudi melepaskan Tongkat Mata Satu, yang menjadi gembong 
dari perampok itu. Namun sayang, Tombak Mata Satu 
sudah tak nampak di tempat itu. Merasa penasaran, 
gadis itu melesat cepat untuk memburu. Namun kare-
na tak tahu ke mana lelaki bermata picak itu melari-
kan diri, pengejarannya pun tak membuahkan hasil. 
Tombak Mata Satu tidak berhasil diketemukannya.
Rombongan pengungsi yang melihat para perampok 
itu sudah bergelimpangan tewas, segera keluar dari 
persembunyian masing-masing. Mereka menyambut 
kemenangan gadis berpakaian bini tua itu dengan wa-
jah berbinar-binar. Bahkan beberapa di antara mereka 
sampai terbungkuk-bungkuk saat mengucap-kan te-
rima kasih berkali-kali, membuat gadis itu menahan 
senyumnya.
“Kalian ini sebenarnya sengaja mencari penyakit! 
Mengapa dalam keadaan tak aman seperti ini malah 
meninggalkan desa untuk pergi mengungsi! Seharus-
nya, apa pun yang terjadi, kalian harus tetap tinggal di 
desa masing-masing. Di sana keselamatan kalian akan 
lebih terjamin. Karena masih bisa bersembunyi jika 
para perampok atau sebangsanya datang mengacau 
desa kalian. Tidak seperti sekarang ini. Ke mana kalian 
hendak lari jika mereka sudah berdiri menghadang. 
Para perampok itu tentu saja sangat senang kalian 
pergi mengungsi, yang sudah pasti membawa uang 
serta barang- barang yang cukup berharga!”
Gadis itu menasihati dengan nada agak keras. 
Meski memaklumi bahwa orang-orang desa itu me-
mang merasa serba salah. Namun hatinya sedikit me-
rasa jengkel. Karena pengungsian seperti itu justru 
semakin menambah kacau keadaan.
‘Tapi.... Biar bagaimanapun kami harus tetap pergi 
mengungsi, Nisanak. Di desa sudah tak ada lagi yang

kami harapkan untuk dapat menyambung hidup. Sela-
lu saja ada pengacau yang datang mengganggu. Maaf 
kalau kami tidak bisa menuruti nasihat Nisanak. Kami 
lebih baik mati dalam usaha mencari tempat yang 
aman daripada tinggal di desa, menunggu datangnya 
kematian. Cepat atau lambat pengacau-pengacau yang 
banyak bermunculan pasti akan membunuh kami...,” 
salah seorang pengungsi yang berusia paling tua, men-
coba menjelaskan kepada penolongnya.
‘Terserah kalian. Aku sekadar memberi pandangan. 
Kalau kalian lebih suka mengungsi, silakan! Aku tak 
kuasa mencegah...!”
Melihat betapa para pengungsi tampaknya bersike-
ras dengan tekad yang bulat, gadis berpakaian biru 
tua itu merasa tak bisa berbuat apa-apa, selain men-
doakan agar usaha mereka dapat membuahkan hasil 
yang baik.
Gadis muda berwajah cantik, terutama saat terse-
nyum yang menampakkan lesung pipit di pipi itu, ber-
diri menghantarkan kepergian rombongan pengungsi 
itu dengan pandang matanya. Dan baru bergerak keti-
ka rombongan itu sudah semakin jauh dan lenyap. Se-
kali berkelebat saja, sosoknya lenyap ditelan kelebatan 
pepohonan.
***
TIGA


Wahyuni, gadis manis yang baru saja menumpas 
gerombolan perampok Tombak Mata Satu, melangkah 
ringan menelusuri jalan setapak. Rambut ekor ku-
danya terayun lembut mengiringi gerak kaki yang lin-
cah, menggambarkan watak periang. Gadis itu memang lincah dan periang. Namun, kelincahan dan ke-
riangan itu dapat lenyap tiba-tiba, bahkan berubah 
menjadi singa betina. Apalagi melihat ketidakadilan 
berlangsung di depan matanya. Lebih- lebih terhadap
pengganggu wanita, gadis ini paling benci. Dan tak 
akan berhenti kalau lelaki bejad itu belum tewas.
“Wah, memang dasar nasibku baik. Siapa nyana ka-
lau di tempat sepi yang jauh dari keramaian ini ada 
seorang dewi yang membangkitkan selera. Sayang ka-
lau dibiarkan lewat begitu saja....”
Ucapan yang terdengar agak keras itu berasal dari 
mulut seorang lelaki tua bertubuh kecil kurus. Wajah-
nya pun sangat tak sedap dipandang, karena dipenuhi 
bopeng. Lelaki tua itu tengah duduk mencangkung di 
atas sebatang dahan pohon, di mana Wahyuni lewat di 
bawahnya.
Tentu saja Wahyuni kaget Langkahnya terhenti se-
ketika. Sepasang matanya yang berkilat menatap tajam 
sosok lelaki tua itu. Siapa lagi yang dimaksud-kan si 
bopeng itu kalau bukan dirinya. Karena Wahyuni tak 
melihat adanya orang lain di sekitar tempat itu, yang 
memang sunyi dan jauh dari pedesaan.
Lelaki kurus kecil berwajah bopeng itu tak lain Ma-
laikat Kerdil. Seorang tokoh kaum sesat yang memiliki 
watak mata keranjang. Ketika melihat seorang gadis 
berjalan seorang diri di bawah pohon tempatnya du-
duk, gairah kakek ini bangkit. Kemudian langsung me-
layang turun di hadapan Wahyuni.
“Heh heh heh...! Benar-benar tak mengecewakan...,” 
gumam Malaikat Kerdil terkekeh sambil menjelajahi 
sekujur wajah dan tubuh Wahyuni dengan pandang 
matanya yang bergairah.
Bergidik hati Wahyuni melihat cara lelaki kerdil itu 
memandang dirinya. Dirinya merasa seolah-olah ditelanjangi oleh pandang mata liar penuh nafsu bejad itu. 
Hal itu membuat wajah Wahyuni merah padam seiring 
dengan kebangkitan kemarahannya.
“Kakek gila! Caramu memandang diriku tak ubah-
nya seekor serigala buduk yang kelaparan! Tak malu 
oleh usiamu yang sudah mendekati liang kubur itu! 
Dasar manusia tak tahu diri!”
Wahyuni yang sudah marah bukan main itu melon-
tarkan makian kasar. Namun Malaikat Kerdil justru 
semakin terkekeh-kekeh. Membuat dada Wahyuni te-
rasa hendak meledak saking marahnya.
“Heh heh heh...! Aku suka sekali dengan kuda beti-
na yang liar dan galak. Kau benar-benar membuatku 
tak sabar, Manis...!”
Sambil berkata demikian, Malaikat Kerdil mengulur-
kan tangan kanannya hendak menyentuh dada gadis 
itu.
“Heh...!”
Wahyuni terkejut melihat kecepatan gerak tangan 
lelaki kerdil itu. Belum lagi dirinya sempat menyadari, 
jari-jari tangan itu sudah hampir menyentuh dadanya, 
membuat Wahyuni terpekik. Cepat ditarik mundur tu-
buhnya menghindari tangan kurang ajar itu. Namun 
semakin cepat tangan Malaikat Kerdil mengejar, mem-
buat Wahyuni makin gugup. Dan....
“Auuuwww...!”
Wahyuni menjerit dengan mata terbelalak, ketika 
dadanya terjamah tangan lelaki cebol itu.
“Heh heh heh...! Ada apa, Manis...?”
“Bangsat, tak tahu malu...!”
Wahyuni memaki kalap. Wajahnya sebentar merah 
sebentar pucat Karena tindakan itu jelas merupakan 
suatu penghinaan yang sangat besar bagi gadis seu-
sianya. Wahyuni hampir menangis karena merasa terhina.
Srat!
Kemarahan yang sudah tak dapat ditahannya, 
membuat Wahyuni mencabut pedang. Dan tanpa ca-
kap lagi, langsung menerjang Malaikat Kerdil dengan 
ganasnya.
Namun, Wahyuni kali ini benar-benar sial. Karena 
yang dihadapinya bukan tokoh sembarangan. Hal itu 
dapat dirasakan dari gerakan yang gesit. Sehingga, 
meskipun ia mengerahkan seluruh kemampuan tak 
satu pun dari serangannya yang membawa hasil. Bah-
kan setiap kali Malaikat Kerdil memapak dengan angin 
pukulan telapak tangannya, pedang itu tergetar mun-
dur. Wahyuni merasakan lengannya panas.
Menyadari kalau lelaki cebol yang berniat kurang 
ajar terhadap dirinya itu ternyata memiliki kepandaian 
tinggi, Wahyuni mulai dilanda kegelisahan. Bayangan-
bayangan mengerikan mulai tercipta di benaknya.
“Hi hi hi...!”
Mengetahui kegelisahan lawannya, Malaikat Kerdil 
tampak semakin gembira. Bahkan dengan mengguna-
kan kecepatan geraknya terus mempermainkan gadis 
itu. Tampak pula dirinya mulai melakukan serangan 
balasan dengan cara yang sangat kurang ajar sekali, 
membuat Wahyuni semakin ngeri dibuatnya.
“Hih! He he he...!”
“Auuuwww...!”
Untuk kesekian kalinya Wahyuni terpekik dengan 
wajah memerah padam menahan kemarahan dan rasa 
malu. Karena dengan seenaknya, lelaki kerdil itu men-
gelus pinggulnya. Bahkan perbuatan yang bagi Wa-
hyuni merupakan penghinaan itu, terus dilakukan 
sambil tertawa-tawa. Kadang dadanya disentuh. Di lain 
saat wajahnya dielus. Lalu yang membuat gadis itu

hampir menangis, ketika jemari tangan lawan meremas 
pantatnya. Tampak dua titik air mata mengalir di pipi 
halus Wahyuni. Ia rasanya lebih baik mati daripada 
mengalami hinaan seperti sekarang ini. Sungguh Wa-
hyuni tak berdaya sama sekali menghadapi gerak la-
wan yang begitu cepat dan sulit diikuti mata.
Rasa marah dan terhina yang tak kuat lagi ditahan-
nya, membuat Wahyuni nekat. Ketika dilihat-nya 
bayangan samar lawan yang berkelebat di sebelah ka-
nannya, Wahyuni mengeluarkan teriakan meleng-king 
tinggi. Tubuhnya menubruk sambil menusukkan pe-
dang dengan sekuat tenaga. 
“Hih...!”
Syuuttt!
“Haits! Heh heh heh..., kenapa kau jatuh...? Ayo.... 
Bangkit lagi!”
Sayang tingkat kepandaian Wahyuni memang ber-
ada jauh di bawah Malaikat Kerdil. Sehingga, serangan 
yang sudah diperhitungkan dengan cermat, sama se-
kali tak mendapatkan hasil seperti yang dibayangkan. 
Bahkan karena terlalu bernafsu, luputnya serangan 
barusan membuat tubuh gadis itu terjerembab jatuh 
menelungkup di tanah.
“Heh heh heh...!”
Tuk! Tuk!
“Aaakh...!”
Malaikat Kerdil memperdengarkan kekehnya yang 
memuakkan. Sekali bergerak, jari-jemari tangannya te-
lah melancarkan totokan yang membuat Wahyuni 
lumpuh seketika. Sambil tertawa-tawa, Malaikat Kerdil 
pun membalikkan tubuh Wahyuni yang sudah tak 
berdaya.
Wahyuni menangis terisak dengan hati penuh ken-
gerian. Gadis itu sadar bahwa dirinya tengah terancam

bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian. Ia 
lebih suka ditodong dengan ujung pedang ketimbang 
kejadian yang akan menimpa dirinya dan menghan-
curkan hidupnya itu.
Namun, tampaknya Tuhan tak menghendaki Wa-
hyuni mengalami kejadian yang mengerikan itu. Kare-
na sebelum Malaikat Kerdil sempat melampiaskan naf-
su iblisnya, tiba-tiba datang angin keras menyambar 
yang disertai bentakan menggelegar.
“Hei...! Iblis biadab, lepaskan gadis itu...!”
Malaikat Kerdil tentu saja kaget dan marah bukan 
kepalang ada orang yang berani menghalangi per-
buatannya. Namun, sebelum lelaki bopeng itu sempat 
menoleh, tiba-tiba tubuhnya disentakkan oleh suatu 
kekuatan dahsyat. Tubuhnya yang kurus itu terpental 
dari atas tubuh Wahyuni.
Meskipun kejadian itu sama sekali tak membuat di-
rinya celaka, karena berhasil meluncur turun dengan 
selamat, sempat membuat dadanya sesak oleh kemur-
kaan. Karena nafsu iblis yang sudah menggelegak ter-
bendung di dalam dadanya.
“Hmmmrrr...! Akan kuremas hancur tubuhmu, Ke-
parat..!”
Malaikat Kerdil menggereng bagai binatang luka. 
Dengan geram diangkat wajahnya untuk melihat orang 
yang berani berbuat demikian terhadapnya. Tapi..., se-
pasang mata yang memancarkan bola api itu menda-
dak berubah terbeliak. Terkejut bukan main hati de-
dengkot golongan sesat itu begitu melihat wajah sosok 
tubuh yang berdiri tegak menentang pandang matanya 
dengan sorot mengiriskan.
“Kau.... Pendekar Naga Putih...?!” desis Malaikat 
Kerdil dengan suara lirih. Seketika wajahnya berubah 
tegang. Karena sebelumnya ia pernah berjumpa dengan pendekar muda itu di sebuah desa yang dilanda 
malapetaka. Dirinya pun sudah merasakan kehebatan 
Pendekar Naga Putih, meski hanya dalam beberapa ju-
rus. Itu sebabnya mengapa pada pertemuan yang ke-
dua kalinya ini, membuat Malaikat Kerdil merasa te-
gang.
“Malaikat Kerdil!” ujar Panji merasa muak melihat 
apa yang hendak dilakukan tokoh sesat itu terhadap 
seorang gadis muda. “Sekarang aku mempunyai alasan 
yang kuat untuk melenyapkanmu! Manusia bejad se-
pertimu tak boleh dibiarkan berkeliaran di atas muka 
bumi ini. Orang macam kau hanya akan menimbulkan 
bencana bagi orang banyak. Terutama gadis-gadis! Ja-
di, bersiaplah untuk kukirim ke ache-rat..!”
Usai berkata demikian, Panji langsung melesat dan 
menerjang dengan cakar naganya. Jurus andalan ini 
langsung dipergunakan karena Pendekar Naga Putih 
tahu lawannya tergolong dedengkot kaum sesat. Maka 
serangannya pun tidak tanggung-tanggung lagi.
Malaikat Kerdil menekan kegentarannya. Tubuh ce-
bolnya bergerak membentuk kuda-kuda harimau, siap 
menyambut serangan lawan.
“Heaaa...!”
Bweett! Beweett!
“Haits!”
Dua kali serangan cakar naga Panji berhasil dielak-
kan Malaikat Kerdil yang memang memiliki kecepatan 
gerak luar biasa itu. Bahkan mampu melancarkan se-
rangan balasan dengan pukulan dan tamparan yang 
mengeluarkan suara angin berkesiutan. Sebentar saja 
keduanya sudah terlibat dalam pertarungan sengit 
dengan tempo cepat. Karena keduanya memiliki kelin-
cahan yang tidak berselisih jauh.
***
Wahyuni yang tidak menduga kalau dirinya akan 
selamat dari bahaya mengerikan, hanya memperhati-
kan pertarungan itu dengan tubuh tetap terbaring mir-
ing. Setelah mendengar dari Malaikat Kerdil bahwa pe-
nolongnya ternyata tokoh yang berjuluk Pendekar Naga 
Putih, hati Wahyuni merasa lega. Nama besar dan se-
pak terjang Pendekar Naga Putih sudah sering diden-
garnya dari cerita orang banyak. Dirinya percaya kalau 
pendekar yang kabarnya masih berusia muda dan 
berwajah tampan itu pasti akan dapat mengalah-kan 
orang yang nyaris memperkosanya. Meski ia sendiri 
sudah merasakan betapa hebat manusia bertubuh 
kerdil itu.
Sementara itu, pertarungan sudah berpindah agak 
jauh dari tempat Wahyuni tergeletak. Sehingga gadis 
itu tidak bisa menyaksikannya lagi. Sementara itu 
Pendekar Naga Putih tampak sudah mendesak lawan 
dengan serangan-serangan maut yang mengeluarkan 
hawa dingin menusuk tulang. Hawa dingin inilah yang 
membuat Malaikat Kerdil semakin tak berdaya untuk 
melakukan serangan balasan. Hal itu karena dirinya 
merasa seperti tengah bertarung di dalam sebuah 
ruangan yang dipenuhi salju. Terpaksa Malaikat Kerdil 
membuat pertahanan untuk melindungi agar tubuh-
nya tidak sampai terkena pukulan lawan.
Namun, sekuat apa pun benteng pertahanan yang 
dibuat Malaikat Kerdil, tetap saja belum cukup untuk 
membendung serangan-serangan Pendekar Naga Pu-
tih. Sepasang tangan yang membentuk cakar naga itu 
terus memburu secara cepat dan beruntun. Sehingga 
lelaki berwajah bopeng itu tampak kian kewalahan. 
Tubuhnya melompat ke sana kemari mengelakkan se-
rangan dahsyat lawan.
“Hyaaahh...!”

Wut! Wut!
Pada suatu kesempatan, setelah dua kali serangan-
nya berhasil digagalkan lawan, tiba-tiba Panji mem-
bentak keras. Cakar naganya menyambar miring 
menggempur pertahanan yang dilihatnya paling lemah.
Breettt!
“Aakkhh...!”
Malaikat Kerdil memekik kesakitan. Sambaran ca-
kar naga lawan merobek bagian bawah dada kirinya, 
hingga mengalirkan darah. Luka sambaran cakar itu 
cukup dalam. Dirasakan dadanya sangat perih.
Ketika tubuh lawan terdorong limbung, Pendekar 
Naga Putih melanjutkan serangannya. Kali ini disertai 
sebuah pukulan keras terarah ke lambung Malaikat 
Kerdil.
“Heaa...!”
Plakkk!
Bukk!
Tamparan Pendekar Naga Putih yang meluncur ke 
pelipis, masih sempat ditangkis tokoh sesat itu. Na-
mun pukulan yang meluncur deras ke arah lambung, 
telak mengenai sasarannya. Seketika tubuh kerdil itu 
terlempar dua tombak ke belakang. Kemudian masih 
pula dilanjutkan sebuah tendangan keras yang meng-
gedor dada kerempeng itu.
“Aaakh...!”
Tanpa ampun lagi, tubuh Malaikat Kerdil terbanting 
keras ke tanah. Darah segar termuntah keluar. Napas-
nya terengah dengan wajah pucat Tulang dadanya te-
rasa remuk akibat tendangan telak yang sangat keras. 
Membuat tokoh kerdil ini tidak mampu buru-buru 
bangkit.
“Uhhh...!”
Pendekar Naga Putih telah berdiri di depan Malaikat

Kerdil dengan sorot mata tajam. Lelaki berwajah bo-
peng itu sudah tak berdaya dan hanya bisa pasrah 
menunggu pukulan terakhir pemuda tampan berjubah 
putih itu.
“Bersiaplah, Malaikat Kerdil...!” ancam Panji dengan 
suara mendesis membuat bulu kuduk Malaikat Kerdil 
meremang.
Pendekar Naga Putih yang sudah mengangkat tan-
gan kanan siap menjatuhkan pukulan maut untuk 
mengakhiri nyawa Malaikat Kerdil, menahan geraknya. 
Karena tiba-tiba telinganya menangkap desir angin 
mencurigakan.
“Pendekar Naga Putih, terimalah senjataku...!”
Tiba-tiba terdengar suara yang wujud pemiliknya 
belum terlihat Namun Panji melihat sebuah benda bu-
lat sebesar ibu jari meluncur cepat memburu tubuh-
nya.
Melihat bentuk senjata rahasia itu Pendekar Naga 
Putih teringat akan pengalaman-pengalamannya sela-
ma dalam pengembaraan. Tampaknya dia tak ingin 
bertindak ceroboh menyambut senjata yang diduga 
mengandung bahan peledak itu. Saat benda itu sema-
kin dekat, Panji segera melempar tubuhnya ke samp-
ing.
Namun Pendekar Naga Putih merasa geram ketika 
senjata rahasia itu ternyata tidak meledak seperti yang 
diduga. Benda itu jatuh di dekat tubuh Malaikat Ker-
dil. Rupanya penyerang gelap itu sengaja menipu Panji.
Pemuda berjubah putih itu segera mengayunkan 
langkah menghampiri tubuh Malaikat Kerdil. Namun 
dia terpaksa mengurungkan niat itu, karena ada lagi 
suara berdesing datang ke arahnya. Dengan pandang 
matanya yang tajam, Panji dapat melihat kalau senjata 
gelap itu sama sekali tak berbeda dengan yang baru

saja dihindarinya.
Meskipun benda pertama yang dielakkannya ter-
nyata berupa bola besi kecil biasa, Panji tetap tak ingin 
bertindak ceroboh. Seperti ketika menghadapi seran-
gan gelap pertama tadi, tubuhnya melompat ke samp-
ing sejauh satu tombak. Khawatir kalau benda kali ini 
tidak sama dengan yang pertama. Sebab, mungkin saja 
penyerang itu bermaksud mempermainkan dirinya 
dengan melemparkan bola baja sebesar kelereng.
Swing...!
Glarrr...!
Apa yang diperkirakan Panji ternyata benar. Benda 
bulat itu menimbulkan ledakan keras, begitu jatuh ke 
tanah. Untung dirinya memutuskan untuk meng-
hindar. Jika tidak, kecil sekali kemungkinan dapat se-
lamat.
“Kurang ajar...!” geram Panji seraya mengepal tin-
junya erat-erat, jengkel terhadap penyerang gelap itu.
Pendekar Naga Putih tahu apa tujuan dari serangan 
itu. Maka dirinya tak ingin tinggal diam menunggu ke-
pulan asap tebal berwarna putih itu reda. Tubuhnya 
langsung melesat menembus gumpalan asap itu. Na-
mun bukan main terkejut hati Panji ketika dari dalam 
gumpalan asap itu terdengar suara berdesingan me-
nyambut tubuhnya. Dengan cepat tubuhnya melenting 
ke udara melampaui gumpalan asap itu, lalu berjum-
palitan ke belakang menjauhi tempat itu.
Setelah meluncur turun dengan selamat, Pendekar 
Naga Putih berdiri tegak menatap gumpalan asap yang 
kian menipis. Ketika asap itu lenyap, hatinya terkejut 
melihat si Malaikat Kerdil telah lenyap dari tempat itu.
“Hm.... Kali ini biarlah kau lolos, Malaikat Kerdil! 
Tapi, lain waktu takkan kubiarkan...,” geram Panji ber-
janji dalam hati. Setelah termenung sesaat, pemuda itu

membalikkan tubuhnya, melangkah menghampiri Wa-
hyuni yang masih terkulai lemas.
Wahyuni sendiri menghela napas lega ketika me-
lihat pemuda tampan berjubah putih menghampirinya. 
Semula dirinya mengira Pendekar Naga Putih men-
dapat celaka. Karena ledakan keras yang membuat ta-
nah sekitar tempat itu bergetar, tidak bisa dilihatnya. 
Wahyuni mengucap syukur dalam hati melihat peno-
longnya selamat tanpa melihat adanya tanda-tanda 
mengalami cidera, seperti apa yang dicemaskan.
***
EMPAT


Setelah merasa dirinya bebas dari pengaruh toto-
kan, Wahyuni langsung menutup wajah dengan kedua 
telapak tangannya. Peristiwa yang nyaris merenggut 
kesuciannya membuat jiwa gadis itu terguncang hebat 
Meskipun sekarang bahaya itu sudah lewat, dirinya 
merasa malu bukan main. Malu terhadap Pendekar 
Naga Putih, yang walaupun menolongnya dengan ik-
hlas, pendekar muda itu sudah menyaksikan keadaan 
dirinya yang setengah telanjang tadi. Ini yang menjadi 
beban pikiran dan membuatnya menangis penuh pe-
nyesalan.
Wahyuni sama sekali tak sadar betapa per-
buatannya menyebabkan Panji kebingungan. Pemuda 
itu tidak mengerti mengapa setelah diselamatkan dan 
dibebaskan dari totokan, gadis berpakaian biru tua itu 
justru menangis. Padahal sebelum ia membebaskan to-
tokan, gadis itu sama sekali tak menangis.
“Maaf kalau perbuatanku tadi membuatmu ber-
duka, Nisanak...!” ujar Panji dengan suara perlahan.

Saat hendak membebaskan totokan, tubuh gadis itu 
dalam keadaan setengah telanjang. Kendati telah me-
minta maaf sebelumnya, kelihatannya gadis itu tetap 
merasa malu hingga menangis demikian sedih.
Mendengar permintaan maaf Pendekar Naga Putih, 
Wahyuni sadar akan kelakuannya yang telah membuat 
orang lain kebingungan. Tangisnya agak mereda. Gadis 
itu menurunkan telapak tangan dari wajahnya yang 
sudah bersimbah air mata.
Panji menunduk demi melihat betapa sepasang ma-
ta gadis itu menggambarkan kesedihan yang dalam. 
Hatinya dapat mengerti bagaimana perasaan gadis itu.
‘Tuan Pendekar...,” ujar Wahyuni dengan suara pa-
rau di antara isaknya. “Aku sama sekali tidak menya-
lahkanmu. Malah seharusnya sangat berterima kasih 
atas pertolonganmu yang telah menyelamatkan-ku dari 
bencana mengerikan itu. Tapi..., bagaimana-pun, aku 
tak bisa menahan rasa malu di hati ini, mengingat be-
tapa saat kau membebaskan totokan.... Keadaanku.... 
Benar-benar memalukan sekali...,” Wahyuni kembali 
menutup wajah dengan kedua tangannya.
“Aku paham apa yang kau rasakan, Nisanak. Tapi 
semua itu bukanlah kesalahanmu. Jika.... Kau malu 
terhadapku, ada baiknya kalau aku pergi....”
Sambil berkata begitu, Panji bangkit dari duduknya. 
Kemudian membalikkan tubuh dan melangkah me-
ninggalkan gadis itu.
Wahyuni tersentak kaget ketika mendengar ucapan 
Pendekar Naga Putih itu. Telapak tangan yang menu-
tupi wajahnya kembali diturunkan. Dan ketika melihat 
penolongnya sudah melangkah pergi, cepat ia melom-
pat bangkit dan berlari mengejar.
‘Tuan Pendekar, tunggu...!” seru Wahyuni yang ten-
tu saja menjadi serba salah. Karena ia sama sekali tidak bermaksud untuk melukai ataupun menyinggung 
perasaan penolongnya. Kelihatannya pemuda yang 
berjuluk Pendekar Naga Putih itu telah tersinggung 
dengan sikap dan ucapannya, yang seperti tak bersyu-
kur telah diselamatkan orang.
Panji menahan langkah dan berbalik menghadapi 
gadis itu. Wajahnya tersenyum memaklumi bahwa ga-
dis itu tentu telah menduga yang bukan-bukan terha-
dap tindakannya.
“Sudahlah, Nisanak! Aku merasa bersyukur kau te-
lah selamat dari bahaya. Kalau aku sekarang hendak 
pergi, itu bukan karena aku marah atas sikap dan 
perkataan mu...,” ujar Panji dengan nada lembut, 
membuat Wahyuni kian merasa malu terhadap dirinya 
sendiri.
“Aku.... Aku memang perempuan tak tahu terima 
kasih...!”
Sambil berkata demikian, Wahyuni menjatuhkan 
tubuhnya bersimbah di depan Pendekar Naga Putih.
Tentu saja Panji kaget. Secepat kilat diulurkan ke-
dua tangannya mengangkat pundak gadis itu.
“Bangkitlah, Nisanak! Jangan bersikap seperti 
ini...!”
Wahyuni yang merasa betapa ada sepasang tangan 
yang memegang kedua bahu dan mengangkat naik tu-
buhnya, menundukkan kepala dalam-dalam. Kemu-
dian perlahan-lahan diangkat wajahnya, hingga sepa-
sang mata mereka bertemu dalam jarak kurang lebih 
satu jengkal. Hal itu berlangsung beberapa saat tanpa 
mereka sadari. Hingga akhirnya Wahyuni menunduk, 
tersipu dengan wajah kemerahan.
Panji agak kaget juga ketika menyadari apa yang 
baru saja terjadi. Namun dirinya tetap berusaha bersi-
kap wajar, agar gadis itu tidak semakin salah tingkah.

Hanya saja pemuda itu belum sadar kalau sepasang 
tangannya masih melekat di bahu Wahyuni.
Setelah agak lama dan gadis itu masih juga menun-
dukkan wajahnya bahkan semakin dalam, Panji baru 
menyadari kesalahannya. Bagai terkena sengatan le-
bah, kedua tangannya disentakkan secara tiba-tiba. 
Diam-diam ia mengutuk kebodohannya itu.
“Maaf...!” ucap Panji setelah mengerti kesalahannya.
Wahyuni tentu saja tahu untuk apa Pendekar Naga 
Putih meminta maaf kepadanya. Sebab, ketika sepa-
sang tangan pemuda itu melekat pada kedua bahunya, 
dirasakan ada suatu getaran aneh yang tak dimengerti 
olehnya. Yang jelas sesaat tadi dirinya merasa aman 
dan terlindung. Dadanya berdebar lebih cepat dari bi-
asa, membuat nafasnya agak memburu. Semua kea-
nehan yang tidak diketahui Panji inilah yang membuat 
Wahyuni terus merunduk, tak berani mengangkat wa-
jahnya.
Baru setelah sepasang tangan itu terlepas dari ba-
hunya, Wahyuni berani mengangkat wajah, dan meng-
geleng sebagai isyarat tak perlu ada kata maaf harus 
diucapkan pemuda itu. Hanya saja Wahyuni merasa 
kehilangan getaran-getaran aneh yang kini baru dira-
sakannya demikian nikmat dan melenakan, membuat 
dirinya ingin Pendekar Naga Putih mengulangi perbua-
tan itu. Wahyuni tentu saja kaget Cepat diusirnya 
keinginan gila itu. Gadis itu sama sekali tidak sadar 
kalau kepalanya menggeleng keras saat hendak men-
gusir keinginan itu. Tentu saja membuat Panji me-
mandang heran. Tapi tak berani untuk bertanya.
“Nisanak, kau sudah terlepas dari ancaman bahaya. 
Rasanya aku sudah tak diperlukan lagi di tempat 
ini....”
“Pendekar Naga Putih, tidakkah kau mau memaafkan sikap dan ucapanku?”
Wahyuni menyela cepat, dan justru membuat pera-
saannya terkejut. Sebab ia kemudian tahu bahwa uca-
pan itu keluar karena tidak ingin berpisah dengan 
sang Pemuda berwajah tampan itu. Perasaan gila yang 
muncul setelah kejadian barusan, demikian kuat men-
cengkeram hatinya, membuat Wahyuni sendiri tak 
berdaya.
“Nisanak, kau kenapa...?” Tanya Panji dengan ken-
ing berkerut keheranan mendengar ucapan Wahyuni. 
Hatinya mulai cemas, menduga kalau jiwa gadis ini 
masih terguncang dengan apa yang nyaris menimpa 
dirinya tadi. Pikiran itu membuat Pendekar Naga Putih 
menatap sepasang mata Wahyuni untuk memastikan-
nya.
Melihat tatapan mata Pendekar Naga Putih, Wahyu-
ni salah paham. Gadis itu kembali merunduk dan ter-
sipu malu dengan sepasang pipi merona kemerahan. 
Lagi-lagi sikapnya membuat Panji kebingungan.
“Aku.... Aku....”
Wahyuni mendadak merasa lidahnya kelu dan sulit 
untuk mengucapkan kata-kata. Sepasang matanya 
menatap lekat wajah pendekar muda tampan itu. Ke-
mudian berpindah menekuri rerumputan di bawah ka-
kinya. Dan ketika gadis itu mendongakkan kepala, 
menatap dengan sorot mata aneh serta senyum manis 
di bibirnya, Pendekar Naga Putih tersentak kaget.
Sadar apa yang saat ini tengah terjadi dalam diri 
gadis itu, Panji mengeluh dan menghela napas penuh 
rasa iba. Sebab sekarang dia mengerti apa arti tatapan 
mata dan sikap gadis itu. Dirinya telah berjumpa den-
gan banyak wanita yang bukan hanya dari kalangan 
persilatan. Hatinya yakin gadis itu telah jatuh hati ter-
hadapnya, Pendekar Naga Putih sadar kalau dirinya di

tuntut bertindak tegas untuk menepiskan perasaan 
dan naluri kewanitaan gadis itu.
“Ah, aku merasa tak tahu berterima kasih karena 
belum memperkenalkan nama. Padahal kau sudah 
berbaik budi menyelamatkan diriku. Nah, Pendekar 
Naga Putih, aku Wahyuni menghaturkan hormat ke-
padamu....”
Tiba-tiba saja Wahyuni yang rupanya telah mene-
mukan sifat lincah dan periangnya itu, langsung saja 
memperkenalkan nama seraya membungkuk dan me-
rangkap kedua tangan di depan dada. Dengan mem-
perkenalkan diri lebih dulu, tentu saja Wahyuni berha-
rap Pendekar Naga Putih akan memperkenalkan nama 
kepadanya. Dan ia menunggu hal itu.
Pendekar Naga Putih yang tak ingin menyinggung 
perasaan gadis itu, tersenyum dan balas menghormat. 
Kemudian menyebutkan namanya.
“Panggil saja aku Panji. Nah, selamat tinggal...!”
Wahyuni membelalak kaget, ketika tahu-tahu sosok 
pemuda di depannya telah lenyap. Ketika ia menoleh 
ke kanan, terlihat bayangan putih yang melesat den-
gan kecepatan tinggi, untuk kemudian lenyap dari 
pandangan.
Sepeninggal Panji, Wahyuni masih berdiri ter-
menung, memandang ke arah sosok penolongnya itu 
menghilang. Terdengar tarikan nafasnya yang berat 
dan berkepanjangan. Tak berapa lama kemudian, ga-
dis itu pun mengayun langkah melanjutkan perjala-
nan.
***
Pendekar Naga Putih terus berlari dengan kecepatan 
tinggi. Dirinya sengaja mengerahkan kepandaian agar 
Wahyuni tidak bisa mengejarnya. Setelah merasa yakin

kalau sudah cukup jauh meninggalkan gadis itu, baru-
lah larinya diperlambat. Agak menyesal memang ia me-
lakukan hal itu. Namun tindakan ini dilakukannya
demi kebaikan mereka berdua.
Ketika melanjutkan perjalanan dengan setengah 
berlari itu, tiba-tiba Panji menunda langkahnya. Telin-
ganya yang tajam mendengar ada suara langkah berat 
seperti tersaruk-saruk, ditingkahi dengusan napas 
yang memburu.
“Hm.... Entah apa lagi yang akan kujumpai kali ini. 
Yang jelas, dalam suasana kacau seperti sekarang ini, 
aku harus selalu waspada...,” gumam Panji sambil te-
rus berkelebat menuju sumber suara yang mengusik 
telinganya itu.
Pendekar Naga Putih sudah siap melompat ke se-
mak-semak, ketika suara langkah berat dan napas te-
rengah itu semakin dekat dengan tempatnya berada, 
namun segera diurungkannya. Sesosok bayangan yang 
sebentar lenyap sebentar terlihat di antara batang-
batang pepohonan membuat pemuda berjubah putih 
itu melesat untuk menghampiri. Sebab, kendati hanya 
sepintas, matanya sempat menangkap ada noda darah 
pada pakaian sosok tubuh itu.
Gerakan Panji yang membawa hembusan angin ke-
ras itu, sempat membuat sosok yang tertatih-tatih itu 
terkejut. Namun ketika sambaran angin keras itu dis-
usul dengan kemunculan seorang pemuda tampan 
berjubah putih, lelaki yang di beberapa bagian tubuh-
nya dipenuhi luka itu terlihat agak tenang. Matanya 
menatap sosok Panji dengan penuh selidik. Bahkan 
tangannya sudah meraba gagang golok yang tergan-
tung di pinggangnya.
“Siapa kau, Kisanak? Mengapa menghadang perjalananku?”


Meskipun dalam keadaan tubuh lemah karena ter-
lalu banyak kehilangan darah, lelaki itu tak ingin me-
nunjukkan kelemahannya. Dia masih dapat ber-tanya 
dengan penuh rasa curiga.
“Maaf kalau kehadiranku membuatmu terkejut Na-
maku Panji. Dan aku menghadang bukan dengan 
maksud buruk Aku hanya merasa terusik melihat kea-
daan tubuhmu yang dipenuhi luka itu, Kisanak. Kalau 
boleh ku tahu, apa sebenarnya yang menimpa dirimu?” 
Tanya Panji dengan tutur kata halus, setelah memper-
kenalkan dirinya.
“Hhh.... Dunia sekarang benar-benar sudah gila! 
Tak ada lagi tempat yang dapat membuat kita hidup 
tenteram. Di mana-mana terjadi kejahatan. Perampok-
perampok merajalela membunuh dan merampas harta 
benda sesuka hatinya. Bahkan tak segan-segan mere-
ka memperkosa anak-istri orang! Kalau sudah begini, 
rasanya kiamat akan segera datang...,” ujar lelaki ber-
pakaian putih, yang pada bagian kerah dan ujung len-
gannya dilapisi warna biru tua. Ucapan itu dikelua-
rkan dengan suara bergetar penuh kekecewaan dan 
keputusasaan. Dari wajahnya tampak, seolah-olah le-
laki itu merasa menemukan tempat untuk menum-
pahkan perasaan yang menyesakkan dadanya. Ketika 
ucapannya selesai, tubuhnya melorot jatuh dengan 
bertelekan kedua lutut Tampaknya penderitaan yang 
dialami lelaki itu sangat berat Setelah melepas-kan se-
gala perasaan kecewa, kesal, dan putus asanya kepada 
Panji, dia menekap wajah dan terisak.
Melihat lelaki itu jatuh terduduk dan terisak, Panji 
tak berusaha untuk menghibur. Dia tetap berdiri di 
tempatnya, menunggu redanya tangis dan kesedihan 
lelaki itu. Sebab, sering tangisan seperti itu dapat 
membantu meredakan kegalauan, kekecewaan, dan

kekesalan yang menyesakkan dada.
“Kisanak,” tegur Panji ketika mendengar isak lelaki 
itu terhenti, kendati masih tetap menyembunyikan wa-
jah dengan kedua telapak tangan.
Panji tahu kalau orang itu sudah dapat mendengar 
sapaannya. Maka segera dilanjutkan ucapannya.
“Ada kejahatan, pasti ada kebaikan. Ada kekacauan 
jelas ada ketenangan. Ada malapetaka tentu kita akan 
mendapat karunia. Begitulah Tuhan menciptakan se-
galanya dengan berpasang-pasang. Satu sama lain se-
lalu datang silih berganti....”
Panji menghentikan ucapannya dan menatap lelaki 
itu. Ingin didengarnya apa tanggapan lelaki itu atas 
perkataannya.
“Kisanak.... Siapa sebenarnya dirimu? Tampaknya 
kau telah banyak memiliki pengalaman dalam kehidu-
pan ini. Dan kata-kata seperti itu layak diucapkan seo-
rang bijaksana atau seorang guru. Paling tidak orang 
yang sudah lanjut usianya. Sedangkan kau kulihat 
masih sangat muda? Dan..., sikapmu mencerminkan 
ketenangan, sinar matamu yang tajam bagaikan sang-
gup menembus ke dalam hati, menandakan bahwa 
kau pastilah bukan pemuda sembarangan. Bersedia-
kah kau memberikan jawaban yang jujur kepada-
ku...?” ujar lelaki itu. Tampak matanya mulai mem-
perhatikan sosok pemuda tampan berjubah putih itu.
“Hm.... Seperti yang kukatakan tadi, namaku Panji. 
Seorang pengembara yang tak pernah punya tempat 
tinggal. Dan kalau yang kau maksudkan bahwa aku 
memiliki kepandaian, tentu saja tidak salah. Meskipun 
sebenarnya kurang pantas untuk dipamerkan, tapi 
kuanggap cukup sekadar untuk bekal hidup. Nah, apa 
kau masih menyimpan pertanyaan lagi sebelum men-
ceritakan apa yang telah menimpa dirimu atau keluar

gamu? Atau mungkin juga perguruan tempatmu me-
nimba ilmu. Sebab, kalau kulihat dari pakaianmu, se-
pertinya kau murid sebuah perguruan silat,” duga 
Panji seraya meneliti sosok lelaki itu. Kemudian me-
langkah maju, dan duduk di atas rerumputan. “Sudah 
siap untuk bercerita...?” tanyanya tersenyum meman-
dang lelaki yang kini berada di sampingnya.
Lelaki bertubuh agak gemuk, yang berusia sekitar 
tiga puluh lima tahun itu tak segera menjawab. Setelah
menoleh sekilas menatap wajah Panji, ia menghela na-
pas berat seperti hendak melepaskan beban yang 
menghimpit dadanya. Pandang matanya kini menera-
wang jauh ke langit cerah. Saat itu matahari sudah 
bergeser, waktu sudah lewat tengah hari.
Panji tak berkata apa-apa lagi. Bahkan ikut melem-
parkan pandang ke atas, memperhatikan awan- awan 
biru yang berarak. Dengan sabar dia menunggu orang 
itu menceritakan peristiwa yang membuat tubuhnya 
dipenuhi luka bekas senjata tajam maupun pukulan.
Setelah agak lama termenung, lelaki muda itu mulai 
menceritakan kejadian yang dialaminya. Ia mengaku 
sebagai salah satu murid dari Perguruan Wulung Sak-
ti, yang bertempat di Bukit Warangan. Perguruan yang 
memiliki murid sekitar empat puluh orang itu, tiba-
tiba didatangi sekelompok orang dipimpin tokoh berju-
luk Tengkorak Hitam. Tanpa basa-basi, mereka lang-
sung mengajak Perguruan Wulung Sakti bergabung 
dan tunduk di bawah kekuasaan ketua dari Tengkorak 
Hitam. Ketika ajakannya tidak disambut baik, Tengko-
rak Hitam marah dan memerintahkan para anak 
buahnya untuk menghabisi seluruh penghuni bangu-
nan perguruan itu, termasuk binatang peliharaan dan 
ternak yang ada. Mereka pun membakar hangus ru-
mah perguruan itu, setelah membantai penghuninya.

“Lalu, bagaimana kau dapat selamat dan sampai ke 
tempat ini...?” Tanya Panji setelah lelaki itu mengakhiri 
ceritanya.
Sepasang mata Pendekar Naga Putih menatap pe-
nuh selidik. Sebab menurut cerita barusan, seluruh 
penghuni rumah perguruan dibantai habis tanpa ter-
kecuali. Kalau sekarang lelaki itu ternyata bisa selamat 
dan bertahan hidup, tentu saja menimbulkan perta-
nyaan di hati Panji.
“Secara kebetulan, aku selamat. Padahal aku lebih 
suka tewas seperti saudara-saudaraku yang lain. Ru-
panya Tengkorak Hitam beserta begundal-begundal-
nya mengira aku telah tewas. Tubuhku yang dipenuhi 
luka tusukan senjata, tergeletak di antara sekian ba-
nyak mayat lainnya. Padahal aku hanya pingsan. Dan 
tersadar saat hari mulai gelap. Dengan hati hancur, 
aku menguburkan semua mayat, termasuk guruku 
dan tokoh-tokoh utama Perguruan Wulung Sakti. Ke-
mudian aku memutuskan untuk pergi meninggalkan 
tempat itu. Aku terus berjalan mengikuti langkah kaki, 
tanpa tahu ke mana dan apa yang harus kulakukan. 
Tokoh-tokoh persilatan yang kukenal, serta beberapa 
perguruan silat yang ku tahu, sudah kudatangi semua. 
Maksudku tentu saja untuk meminta bantuan. Tapi, 
mereka semua tak dapat kuharapkan. Mereka ternyata 
mengalami nasib yang tak berbeda dengan pergurua-
nku. Keadaan itu membuat aku putus asa. Karena Ib-
lis Angkara Murka yang menebar bencana tak ada 
yang mampu menghentikannya....”
Lelaki gemuk itu menarik napas panjang lalu 
menghembuskannya perlahan-lahan. Wajahnya kelam 
penuh kedukaan yang dalam. Sesaat matanya tampak 
memejam serta menggelengkan kepala perlahan. Sea-
kan-akan hendak menghempaskan kekesalannya.

“Hm.... Aku telah mendengar semua kekacauan 
yang akhir-akhir ini berkecamuk di berbagai tempat 
Tapi, percayalah, Kisanak! Saat ini banyak pendekar 
yang bermunculan. Mereka merasa bertanggung jawab 
untuk dapat menumpas Iblis Angkara Murka itu. Aku 
sendiri berhasrat sekali ingin melihat, seperti apa ma-
nusia iblis yang mendalangi semua kebiadaban ini! 
Aku yakin, kejahatan tak akan berlangsung lama. Ka-
rena kebenaran akan selalu dapat mengalahkanya!” 
ujar Panji penuh semangat dengan maksud untuk 
membangkitkan gairah hidup dan semangat lelaki mu-
da itu.
“Aku tahu di mana markas pimpinan manusia- ma-
nusia biadab yang mengaku berjuluk Iblis Angkara 
Murka itu. Semula kukira sebuah bangunan besar 
yang megah dan dijaga tokoh-tokoh sesat. Tapi, ternya-
ta hanya sebuah rumah sederhana. Rupanya iblis bi-
adab itu sengaja, agar tak satu pun orang yang me-
nyangkanya. Ia cuma tinggal bersama dua orang pem-
bantunya yang buta. Tapi, para pengikutnya tersebar 
di berbagai tempat,” tutur lelaki yang gemuk itu, mem-
buat Panji terkejut
“Hm...?! Di mana tempat itu...?” Tanya Panji sambil 
berusaha menyembunyikan kecurigaannya. Namun ia 
ingin tahu seperti apa rupa tokoh yang ternyata me-
mang berjuluk Iblis Angkara Murka itu.
“Iblis itu memiliki kesaktian yang luar biasa, Panji. 
Untuk menyerbu tempat itu kita harus mengumpulkan 
para pendekar sebanyak-banyaknya. Kalau hanya kita 
berdua, menghadapi salah satu pembantunya yang bu-
ta saja tak mungkin dapat menang. Sama saja kita 
mengantarkan nyawa sia-sia...!”
Lelaki gemuk itu terkejut mendengar keinginan Pan-
ji untuk menyatroni biang iblis itu. Dan ia tidak setuju,

karena menurutnya sama saja dengan menghampiri
liang kubur.
“Hm.... Kalau hanya tiga orang, aku rasanya tidak 
akan gentar. Biarpun kesaktian tokoh itu seperti iblis 
neraka, aku akan menghadapinya! Ayo, antarkan aku 
ke tempat Iblis Angkara Murka itu berada!” desak Panji 
tanpa mempedulikan betapa wajah lelaki gemuk itu 
menjadi pucat bagai tak dialiri darah.
‘Tapi....”
“Kau tak perlu takut, Kisanak! Tugasmu hanya me-
nunjukkan tempat itu. Kemudian kau boleh pergi. Aku 
akan menghadapi Iblis Angkara Murka dan dua orang 
pembantunya yang buta itu!” ujar Panji seraya men-
gepal tinjunya erat-erat.
Pendekar Naga Putih tentu saja tidak bermaksud 
menyombongkan diri. Namun hatinya belum percaya 
kalau lelaki gemuk itu sudah menemukan tempat ke-
diaman Iblis Angkara Murka. Dan kalau apa yang dice-
ritakan lelaki itu benar, berarti ada dua kemungkinan. 
Pertama, lelaki gemuk itu salah satu pengikut Iblis 
Angkara Murka yang sengaja hendak menjebaknya. 
Kalau tidak, lelaki gemuk itu pasti sudah terganggu ji-
wanya karena tak sanggup menahankan beban derita 
yang menghimpit.
Karena dipaksa oleh Panji, akhirnya lelaki gemuk 
itu bersedia menunjukkan tempat kediaman Iblis Ang-
kara Murka. Hanya akan menunjukkannya, untuk 
kemudian membiarkan Panji menyelesaikannya seo-
rang diri.
***
LIMA

Setelah mendapatkan gambaran tentang jalan yang 
harus dilaluinya, Pendekar Naga Putih memegang tan-
gan lelaki gemuk itu dan melesat dengan pengerahan 
ilmu lari cepatnya. Sehingga, perjalanan yang kalau di-
lakukan orang awam bisa memakan waktu setengah 
hari, dapat ditempuh Panji sepuluh kali lebih cepat
“Mengapa kau minta aku berhenti di sini, Guradi?” 
Tanya Panji menghentikan larinya. Karena lelaki ge-
muk yang mengaku bernama Guradi itu berteriak-
teriak meminta berhenti.
“Bukankah kau minta aku hanya mengantarkan sa-
ja? Nah, kau lihat bukit di depan itu? Di atas puncak 
Bukit Jajaran itulah Iblis Angkara Murka tinggal,” ja-
wab Guradi menunjuk sebuah gundukan tanah yang 
disebut sebagai Bukit Jajaran.
Panji memandang Bukit Jajaran yang ditunjuk Gu-
radi. Bukit itu tampak biasa saja. Tidak terlihat angker 
sebagaimana biasanya tempat tinggal tokoh- tokoh se-
sat Sejenak ada keraguan di hati Panji.
“Kau yakin Iblis Angkara Murka tinggal di puncak 
bukit itu?” Tanya Panji untuk memastikan. Pertanyaan 
itu dikeluarkan sambil menatap tajam wajah Guradi.
“Aku pernah menyelinap ke sana, saat serombongan 
tokoh sesat datang menghadap pemimpin besarnya,” 
jawab Guradi tanpa ragu-ragu.
Panji mengangguk beberapa kali. Jawaban itu dira-
sakan cukup masuk akal. Sebab, dengan cara menye-
linap ikut bersama rombongan, tentu saja Guradi ter-
lepas dari kecurigaan mereka. Panji menerima jawaban 
itu, yang kebenarannya sangat mungkin. Karena itu, 
Panji pun bergegas menuju Bukit Jajaran, meninggal

kan Guradi di tempat itu.
Guradi tak lagi merasa terkejut saat melihat tubuh 
Panji lenyap dari sampingnya. Dirinya sudah tahu ka-
lau pemuda tampan berjubah putih itu memiliki ke-
pandaian luar biasa. Hal itu diketahui saat dirinya di-
bawa lari pemuda itu dalam perjalanan menuju Bukit 
Jajaran.
Setelah bayangan Panji tak lagi terlihat, Guradi pun 
bergerak meninggalkan tempat itu mengambil arah 
yang berlawanan. Dan..., bukan main! Sekali bergerak, 
tubuh Guradi meluncur cepat laksana sambaran kilat! 
Kalau saja Panji melihat perubahan Guradi ini, tentu 
akan terkejut sekali. Guradi ternyata memiliki ilmu lari 
cepat yang nyaris sempurna. Bahkan mungkin setara
atau bahkan di atas kemampuan yang dimiliki Pende-
kar Naga Putih dalam hal ilmu lari cepat. Benar-benar 
mengejutkan! Sayang Panji tak mengetahuinya. Kalau 
tidak, tentu ia curiga dengan lelaki gemuk yang men-
gaku bernama Guradi itu.
Sementara itu, Pendekar Naga Putih yang sudah ti-
ba di kaki Bukit Jajaran, menghentikan larinya seje-
nak. Diperhatikannya sekeliling tempat itu, kalau-
kalau ada sesuatu yang mencurigakan. Setelah merasa 
tak ada sesuatu yang patut dicurigai, pemuda itu mu-
lai bergerak mendaki lereng. Beberapa saat kemudian, 
dirinya telah tiba di atas puncak Bukit Jajaran, yang 
tidak begitu luas.
Pendekar Naga Putih menyelinap di semak- semak, 
meneliti keadaan sekitar. Kemudian baru melesat keti-
ka tidak melihat atau mendengar sesuatu yang mencu-
rigakan. Tubuhnya terus melompat naik ke atas seba-
tang pohon yang berdaun rimbun. Dari atas matanya 
mengawasi sebuah bangunan yang tidak begitu besar 
dan terlihat cukup tua.

“Hm… Sepertinya apa yang digambarkan Guradi 
memang tak berlebihan. Tak mungkin rasanya kalau 
bangunan sekecil ini bisa menampung banyak orang. 
Mungkin benar kalau di dalam bangunan ini cuma ada 
Iblis Angkara Murka dan dua orang pembantunya yang 
buta,” gumam Panji sambil memperhatikan sekitar 
bangunan dengan seksama. Dan ia tak melihat adanya 
satu pun penjaga di tempat itu.
Setelah menunggu beberapa saat dan keadaan di 
sekitar bangunan tetap tak ada perubahan, Pendekar 
Naga Putih melompat turun dengan mengerahkan ilmu 
meringankan tubuhnya agar tak menimbulkan suara 
saat menjejak tanah. Kemudian tubuhnya menyelinap 
ke bagian samping bangunan. Namun sebelum tan-
gannya menyentuh daun pintu, Panji melayang naik ke 
atas atap. Karena telinganya menangkap ada suara 
langkah kaki menuju pintu itu.
Pendengaran Panji memang tak salah. Karena se-
saat kemudian pintu terkuak dan muncullah se-sosok 
tubuh ramping yang memiliki paras cantik jelita. Gadis 
cantik berpakaian serba hijau itu membuat se-pasang 
mata Panji membelalak lebar, bagaikan melihat hantu 
di siang bolong! Karena sosok perempuan muda yang 
bagaikan bidadari itu tak lain.... Kenanga!
Meskipun jelas-jelas matanya melihat bahwa yang 
keluar dari samping bangunan ternyata Kenanga, Panji 
tidak ingin langsung percaya begitu saja. Matanya 
tampak mengerjap-ngerjapkan seolah ingin meyakin-
kan penglihatannya. Tetap saja sosok itu tidak beru-
bah. Dengan hati diliputi ketidakmengertian, bagaima-
na Kenanga bisa berada di tempat itu, Panji memu-
tuskan untuk turun dan menemui kekasihnya.
Saat tubuh Panji meluncur turun dari atap, Kenan-
ga terlihat agak kaget, dan mundur empat langkah.

Namun, begitu melihat bahwa yang datang ternyata 
Panji, senyumnya mengembang. Wajah gadis itu berse-
ri-seri.
“Kakang...?!” seru Kenanga antara kaget, heran, dan 
juga gembira. Kakinya bergegas melangkah mendekati 
Panji. Dara jelita itu berhenti satu langkah di hadapan 
kekasihnya. Sepasang matanya yang indah menatap 
wajah Pendekar Naga Putih. Kelihatannya Kenanga 
sangat rindu kepada sang Kekasih.
“Kenanga, bagaimana kau bisa berada di tempat 
ini? Tahukah kau siapa yang menghuni bangunan 
ini?” Tanya Panji menyambut uluran tangan kekasih-
nya.
“Dari keterangan-keterangan yang kukumpulkan 
selama mengadakan penyelidikan, akhirnya membawa-
ku ke tempat ini. Karena Iblis Angkara Murka, yang 
menjadi biang keladi dari semua kekacauan, tinggal di 
atas puncak bukit ini. Tapi, bangunan ini ternyata ko-
song, tak berpenghuni! Aku sudah memeriksanya 
sampai beberapa kali...,” jawab Kenanga tanpa mele-
paskan pandangannya dari wajah Panji.
Mendengar jawaban itu, Panji menghela napas se-
saat Kemudian memalingkan wajahnya memperhati-
kan tempat itu. Tiba-tiba saja Panji berpaling dan 
kembali menatap wajah kekasihnya. Kemudian berge-
rak mundur karena merasakan adanya kelainan pada 
diri Kenanga. Biasanya setiap kali berpegangan tan-
gan, jemari Kenanga tak pernah berhenti bergerak, se-
lalu mengelus manja. Namun, Kenanga yang se-karang 
ada di hadapannya sama sekali tak melakukannya. 
Padahal, apa yang setiap kali dilakukan Kenanga me-
rupakan kebiasaan. Mustahil kalau Kenanga sampai 
lupa terhadap kebiasaannya sendiri. Ingatan ini mem-
buat pemuda itu melepaskan pegangannya dan bergerak mundur dengan tatapan curiga.
Rupanya Kenanga merasakan kecurigaan itu se-
belum Pendekar Naga Putih melepaskan tangannya. 
Dan ketika Panji melepaskan pegangan tangannya ke-
mudian bergerak mundur, Kenanga segera melompat 
maju sambil melancarkan dua buah pukulan hebat!
“Hahhh...?!”
Melihat Kenanga menerjang dengan dua buah pu-
kulan yang mendatangkan angin berkesiutan, Pende-
kar Naga Putih kaget bukan main. Namun jarak antara 
mereka saat itu terlalu dekat. Selain itu, dirinya dalam 
keadaan tidak siap, meskipun tadi terlintas di hatinya 
rasa curiga. Akan tetapi tak sampai sejauh itu, bahwa 
kekasihnya akan melancarkan serangan. Sehingga, 
meski pukulan pertama sempat ditangkis, pukulan su-
sulan telak menghantam dadanya.
“Hiaa...!”
Bukkk!
“Hukkhhh!”
Pendekar Naga Putih terbatuk karena pernapasan-
nya terhambat ketika pukulan itu bersarang di dada. 
Tubuhnya terlempar sejauh satu tombak lebih, kemu-
dian terhempas keras di tanah.
“Kenanga...! Apa..., mengapa...?” desis Panji tak 
mengerti, sambil bergerak bangkit memegangi dadanya 
yang serasa remuk.
Hatinya merasa heran ketika merasakan betapa 
kuat tenaga sakti yang dimiliki Kenanga. Dari pukulan 
yang mengenai dadanya, Panji dapat mengukur bahwa 
tenaga dalam yang digunakan Kenanga sangat tinggi. 
Tentu saja pemuda itu tak percaya kalau dalam waktu 
yang sesingkat itu, selama mereka berpisah, Kenanga 
bisa mencapai kemajuan yang luar biasa. Baginya itu 
tidak masuk akal!

Melihat Kenanga bergerak menghampiri dengan 
langkah agak lambat dan raut wajah tenang, masih 
tersenyum, Panji merasa bingung. Hatinya yakin kalau 
gadis itu bukan samaran orang lain. Sebab, mana 
mungkin bisa benar-benar serupa. Dan kalaupun hal 
itu perbuatan ilmu sihir, kekuatan mukjizat dalam tu-
buhnya pasti sudah bergerak liar memberi tanda. Na-
mun, Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, nyatanya sama 
sekali tak terpengaruh ilmu sihir.
Semakin tidak mengertilah Pendekar Naga Putih 
menghadapi keadaan itu. Hingga dirinya terus ber-
gerak mundur, takut kalau-kalau Kenanga akan kem-
bali melakukan serangan. Sebab, dirinya masih ragu 
untuk menyerang wanita yang jelas-jelas Kenanga itu.
“Hiaaa...!”
Tiba-tiba Kenanga memekik keras. Tubuhnya mele-
sat ke depan dengan kecepatan tinggi. Sepasang tan-
gannya berputaran laksana baling-baling dan melan-
carkan pukulan keras dan beruntun.
“Kenanga...?!”
Panji berseru heran dan terkejut Serangkaian se-
rangan hebat itu membuat Panji harus melompat ke 
sana kemari untuk mengelak. Namun serangan gadis 
itu cepat bukan main. Sehingga....
Bukkk! Bukkk!
“Aakkhh...!”
Tubuh Panji kembali terjungkal akibat dua buah 
pukulan yang mengenai iga dan lambungnya. Namun 
begitu terbanting jatuh, Panji melompat bangkit Ke-
mudian menggeser langkah dan melompat-lompat 
mengelakkan serangan Kenanga yang masih ber-
kelanjutan. Sementara itu gerakan langkahnya terasa 
semakin lambat karena luka dalam akibat pukulan ta-
di. Dari mulutnya tampak darah segar tak henti

hentinya mengalir, membuat pakaiannya ternoda. Se-
jauh itu Panji belum berani membalas kecuali sesekali 
terpaksa menangkis.
Meskipun saat itu harus memusatkan pikiran guna 
menyelamatkan diri dari serangan-serangan yang di-
lancarkan Kenanga, tak urung Panji sempat diliputi 
keheranan besar. Karena kekuatan mukjizat ‘Tenaga 
Sakti Inti Panas Bumi’ kembali menunjukkan keane-
han. Biasanya tenaga gaib itu selalu bergerak menye-
bar apabila tubuh Pendekar Naga Putih mengalami lu-
ka. Kali ini tenaga jelmaan ‘Pedang Naga Langit’ itu tak 
menunjukkan kemukjizatannya. Ini yang membuat 
Panji heran, hingga pikirannya tanpa sadar telah ter-
pecah. Akibatnya, sebuah tendangan keras membuat 
tubuhnya terjungkal ke tanah. Panji bergegas melom-
pat bangkit. Dan lagi-lagi tubuhnya menjadi sasaran 
dua buah pukulan telapak tangan yang jauh lebih 
dahsyat daripada serangan-serangan sebelumnya.
“Heaa...!”
Plaakk! Buggg!
“Huekh...!”
Kali ini Pendekar Naga Putih memuntahkan darah 
segar. Tubuhnya yang terlempar membentur dinding 
yang mengelilingi bangunan, hingga dinding yang su-
dah tua itu hancur berantakan. Panji yang jatuh ter-
timpa reruntuhan, sudah tak ingat apa-apa lagi. Di-
rinya pingsan akibat luka dalam yang parah.
Kenanga memperdengarkan suara tawa kemenan-
gannya. Kemudian mengangkat tubuh Panji, dan 
membawanya masuk ke dalam bangunan.
***
Panji tersadar dari pingsannya, dan mendapati di-
rinya terkurung dalam sebuah ruangan gelap. Matanya

mulai mengerjap-ngerjap berusaha mengenali tempat 
itu. Namun tetap saja ruangan itu gelap, kendati tidak 
lagi sepekat semula. Ketika mencoba untuk bangkit, 
dadanya terasa nyeri seperti tertusuk puluhan jarum 
halus. Darah segar masih mengalir dari mulutnya. 
Pendekar muda itu sadar bahwa dirinya mengalami lu-
ka dalam yang parah.
“Hhh...! Di manakah aku sekarang...?” gumam Panji 
yang terpaksa merebahkan tubuh. Kemudian mencoba 
mengatur jalan nafasnya perlahan-lahan.
Lama Panji diam tak bergerak dengan mata terpe-
jam rapat Terbayang kejadian yang baru saja dialami, 
dan telah menyebabkan dirinya menderita luka dalam 
sangat parah.
Dalam keheningan, Panji mengingat-ingat kejadian 
yang dialaminya. Namun tetap tak menemukan jawa-
ban, mengapa Kenanga sampai tega berbuat seperti 
itu. Benarkah wanita itu Kenanga? Kalau benar, apa 
yang telah terjadi dengan kekasihnya itu? Dan kalau 
Kenanga yang melukainya karena pengaruh ilmu sihir, 
mengapa Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya tak beker-
ja?
“Apakah ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’, sudah le-
nyap dari dalam tubuhku...?” gumam Panji ketika te-
ringat akan keanehan yang terjadi dengan kekuatan 
mukjizatnya itu.
Karena merasa tak yakin kalau tenaga gaib itu hi-
lang dari dalam tubuhnya, Pendekar Naga Putih mulai 
mencoba memusatkan pikirannya. Kemudian segera 
dikerahkan kekuatan batinnya untuk membangkitkan 
tenaga jelmaan Pedang Naga Langit itu. Dan ia menga-
lami keheranan untuk yang kesekian kalinya. Kekua-
tan mukjizat itu seperti terbelenggu sesuatu. Panji se-
makin keras memusatkan pikirannya. Hingga tubuh
nya bergetar dan dibanjiri peluh. Karena untuk mem-
bebaskan kekuatan gaibnya dari belenggu aneh itu 
ternyata tidak mudah.
Setelah berjuang keras dan cukup lama. Perlahan-
lahan di sekujur tubuhnya mulai muncul sinar keema-
san yang samar-samar. Kian lama semakin menebal. 
Hawa panas pun menyebar memenuhi ruangan itu, 
yang seketika menjadi terang benderang. Dan tenaga 
gaib itu langsung menunjukkan kemukjizatannya den-
gan membakar luka dalam tubuh Pendekar Naga Pu-
tih.
“Aneh...?! Mengapa tenaga mukjizat ini seperti ter-
belenggu sesuatu? Bagaimana mungkin hal itu sampai 
terjadi tanpa aku merasakannya? Dan siapa pula yang 
sanggup membuat kekuatan ini tak berdaya?” gumam 
Panji sambil tetap berbaring, meskipun ia merasakan 
bahwa luka dalamnya sudah sembuh. Itu diketahui 
dari mulai meredanya rasa nyeri dalam dadanya saat 
mengerahkan tenaga dalam dan mengalirkan ke selu-
ruh tubuh.
Setelah tenaga mukjizatnya kembali dapat bekerja 
sendiri seperti biasa, terbukalah mata Panji, mengapa 
ketika menghadapi Kenanga tenaga itu tak bekerja. 
Sekarang hatinya mulai meragukan keaslian Kenanga. 
Bahkan mulai dapat menebak bahwa yang menyamar 
sebagai Kenanga kemungkinan besar tokoh yang ber-
juluk Iblis Angkara Murka. Yang masih belum ia men-
gerti, bagaimana tokoh itu dapat membuat tenaga 
mukjizatnya tak berdaya. Sedangkan ia belum pernah 
bertemu dengan biang keladi dari kekacauan yang ter-
jadi di dunia persilatan akhir-akhir ini.
“Selama dalam perjalanan cuma lelaki gemuk yang 
mengaku bernama Guradi itu yang ada bersamaku. 
Orang itu memang sangat mencurigakan, meskipun

memiliki jawaban yang masuk akal ketika kutanyakan. 
Tapi, mungkinkah ia memiliki kepandaian yang sede-
mikian hebat sampai mampu membelenggu tenaga 
jelmaan Pedang Langit secara gaib? Mengapa aku tak 
mengetahui atau merasakannya saat ia melakukan hal 
itu. Rasanya tak mungkin! Pasti ada tokoh sakti yang 
mengetahui cukup banyak tentang diriku, termasuk 
tentang ‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’ yang sangat ja-
rang kugunakan ini. Hm..., aku harus dapat menemu-
kan tokoh itu!”
Sesudah mengkaji semua apa yang dialaminya, 
Panji bergerak bangkit. Lenyap sudah rasa nyeri yang 
mengganggunya. Bahkan tenaganya telah pulih selu-
ruhnya. Kini ia mulai memperhatikan sekelilingnya 
dengan mengerahkan Tenaga Sakti Inti Panas Bumi 
untuk menerangi ruangan itu. Kaget juga hati pende-
kar muda itu ketika mengetahui bahwa dinding kamar 
itu terbuat dari batu besi, yang kekuatannya melebihi 
baja pilihan. Jelas, orang yang menawannya dan me-
nyamar sebagai Kenanga, mengetahui banyak tentang 
dirinya. Buktinya ia ditahan dalam ruangan yang ko-
koh dan sulit untuk dapat keluar dari tempat itu.
“Aku akan mencoba menjebolnya dengan tenaga 
gabunganku...,” gumam Panji mengambil keputusan.
Pendekar Naga Putih kemudian berjalan mengitari 
ruangan itu sambil mengetuk-ngetukkan kepalan tan-
gannya pada keempat dinding yang mengurung ruan-
gan itu. Ia menemukan bahwa salah satu dinding ter-
nyata tidak setebal tiga dinding lainnya. Tubuhnya se-
gera bergerak mundur setelah menemukan sasaran 
pukulannya.
Dengan tubuh berdiri tegak, Pendekar Naga Putih 
menatap tajam dinding yang hendak dijebol dengan 
pukulan tenaga gabungannya. Setelah tubuhnya dilapisi dua macam sinar yang berlainan warna, Panji ber-
teriak keras dan merendahkan kuda-kudanya sambil 
mendorong ke depan dengan kedua telapak tangannya.
“Heaaa...!”
Glamr...!”
Ledakan keras laksana letusan gunung berapi ter-
dengar saat sinar putih keperakan dan kuning keema-
san meluncur dan menghantam dinding batu besi itu. 
Dinding itu jebol menjadi serpihan yang menyebar ke 
seluruh ruangan. Tanah di dalam ruangan itu pun 
berguncang untuk sesaat Kepulan debu pasir yang 
memenuhi ruangan itu, membuat suasana semakin 
pekat.
Pendekar Naga Putih masih berdiri tegak dengan 
kedua kaki terpentang. Dikibas-kibaskannya kedua 
tangannya mengusir kepulan debu itu. Kemudian ber-
gerak menghampiri dinding yang baru saja dijebolnya. 
Meskipun hanya dengan menggunakan rabaan tangan, 
dirinya tahu kalau usaha itu berhasil baik. Karena pa-
da dinding itu telah tercipta sebuah lubang yang cu-
kup besar. Tanpa ragu-ragu lagi, Panji segera menero-
bos keluar.
Begitu tiba di luar ruangan, Panji menemukan se-
buah lorong panjang, mirip ruangan sebuah goa. Hal 
itu membuat Panji termenung beberapa saat Kemudian 
memperhatikan ke depan dan menoleh ke belakang, 
mereka-reka arah mana yang akan membawanya ke-
luar dari tempat itu.
Akhirnya Panji memutuskan untuk mengambil jalan 
melalui lorong yang ke depan. Perlahan-lahan pemuda 
berjubah putih itu melangkah sambil mengerahkan 
kewaspadaannya. Sebab ia belum mengetahui apakah 
di tempat itu tidak ada bahaya yang mungkin mengin-
tainya. Hatinya mulai tenang setelah agak lama berjalan, tak satu pun halangan yang dijumpainya. Hanya 
yang membuatnya heran, lorong itu seperti tidak beru-
jung. Hingga Panji menghentikan langkah-nya ketika 
lorong pada bagian itu agak lebar. Bahkan matanya 
melihat ada sebuah batu berbentuk persegi, yang per-
mukaannya tidak terlalu kasar, mirip sejenis altar. 
Anehnya, bagian bawah batu itu tidak seluruhnya me-
nyentuh dasar. Tampaknya batu itu bertumpu tepat di 
bagian tengahnya pada batu lain, yang berbentuk bu-
lat. Melihat kedudukan batu, Panji mengerutkan ken-
ing, berpikir keras.
Setelah meneliti beberapa lama, akhirnya Panji 
mencoba mendorong salah satu bagian dari batu yang 
bentuknya bisa dibilang seperti timbangan. Dikerah-
kan tenaga dalamnya untuk disalurkan ke telapak 
tangan. 
Grrrkkkhhh...!
Baru bergerak. Terdengar suara bergemuruh yang 
mengiringi bergesernya dinding goa di samping kanan 
Panji. Sinar matahari yang menerobos masuk, mem-
buat wajah Panji semakin cerah. Cepat ia melepaskan 
tangannya dan melesat keluar dari lorong goa itu. Begi-
tu tiba di luar, dinding goa itu kembali menutup den-
gan sendirinya.
“Hm.... Rupanya aku dikurung dalam perut bukit..,” 
gumam Panji sambil memperhatikan keadaan di sekeli-
lingnya. Saat itu dirinya memang berada di sebelah ti-
mur kaki Bukit Jajaran.
Setelah dapat memastikan arah di mana ia berdiri, 
Panji meninggalkan tempat itu dengan setengah ber-
lari. Ia hendak mencari tempat yang dilaluinya untuk 
mencapai puncak bukit itu.
Namun, tiba-tiba dihentikan langkahnya. Dan termenung sesaat.

“Tidak mungkin Iblis Angkara Murka menahanku 
tanpa sebab. Dan sekarang ia pasti sudah tak berada 
di atas puncak bukit ini. Entah berapa lama aku ter-
kurung di tempat tahanan itu...,” setelah berpikir se-
saat, akhirnya Panji memutuskan untuk meninggalkan 
tempat itu. Ia hendak mencari tahu suasana dunia 
persilatan saat ini.
***
ENAM


“Kisanak harap berhenti dulu...!”
Panji yang tengah melakukan perjalanan dengan se-
tengah berlari itu segera berhenti. Kemudian mema-
lingkan wajah menatap serombongan kecil yang tam-
pak memandangnya dengan sinar mata penuh keben-
cian. Sikap mereka pun terlihat tidak ramah. Sehingga, 
Panji menjadi heran dibuatnya.
“Akukah yang kau maksud, Orang Tua...?” Tanya 
Panji dengan nada sopan. Sambil bertanya, ia mem-
perhatikan orang tua gagah berusia sekitar enam pu-
luh lima tahun. Di belakang lelaki tua itu berdiri tujuh 
orang lainnya, yang rata-rata bersikap gagah.
“Maaf kalau perjalananmu terganggu, Kisanak! Aku 
hanya ingin memastikan apakah kau yang berjuluk 
Pendekar Naga Putih? Harap kau jawab sejujurnya! 
Karena aku tak ingin kesalahan tangan membunuh 
orang lain...,” Tanya lelaki itu yang kelihatan jelas ten-
gah menahan kemarahan di hatinya.
“Benar, orang-orang menyebutku sebagai Pendekar 
Naga Putih. Tapi, aku tak mengerti dengan ucapanmu 
yang takut kesalahan tangan membunuh orang. Da-
patkah kau memberi penjelasan kepadaku, Orang

Tua?” Tanya Panji setelah memberikan jawaban seju-
jurnya kepada lelaki tua itu. Dan perasaannya sema-
kin tak karuan melihat sikap orang-orang itu, yang je-
las memperlihatkan sikap permusuhan. Padahal sein-
gatnya baru kali ini berjumpa dengan mereka.
“Hm.... Kalau begitu kau harus mempertanggung-
jawabkan segala tindakanmu belakangan ini, Pendekar 
Naga Putih! Kami minta agar kau menyerah secara 
baik-baik! Karena kami masih enggan untuk melaku-
kan kekerasan, mengingat jasamu dalam menegakkan 
keadilan sudah cukup banyak...,” ujar orang tua itu 
lagi tanpa mempedulikan pertanyaan Panji.
“Ada apa sebenarnya dengan diriku? Dan apa yang 
telah kulakukan terhadap kau ataupun kawan-
kawanmu, Orang Tua? Bertemu kalian pun aku baru 
kali ini. Harap kau jelaskan agar aku tak menjadi pe-
nasaran!” pinta Panji yang merasa agak jengkel men-
dengar perkataan lelaki tua itu, tanpa memberi penje-
lasan mengenai apa yang sudah diperbuatnya.
“Hm.... Coba kau jawab pertanyaanku, Pendekar 
Naga Putih! Kenalkah kau dengan seorang gadis yang 
bernama Wahyuni? Apa yang telah kau perbuat terha-
dap adik seperguruan kami itu?”
Salah satu dari tujuh orang lelaki gagah yang berdi-
ri di belakang orang tua itu tiba-tiba melontarkan per-
tanyaan yang mengejutkan!
“Wahyuni...?” gumam Panji, langsung teringat pada 
gadis manis berpakaian biru tua, yang pernah disela-
matkannya dari perbuatan kotor Malaikat Kerdil. “Ya, 
aku mengenalnya. Apa yang telah terjadi dengan-
nya...?”
“Nah, Guru sudah dengar sendiri, bukan? Dan li-
hatlah, betapa pemuda laknat ini masih pura-pura 
bertanya tentang apa yang telah terjadi dengan Adik

Wahyuni! Dasar iblis keji! Penghinaan ini hanya dapat 
kau cuci dengan darahmu! Haaattt..!”
Lelaki gagah berkumis tipis itu seperti sudah tak 
sanggup menahan kemarahannya. Tubuhnya melesat 
maju dengan pedang terhunus!
Bweett! Beweett!
“Hei, tunggu...!”
Panji yang kaget bukan main, cepat menarik tu-
buhnya ke belakang menghindari sambaran pedang 
yang cepat dan kuat itu. Hatinya benar-benar penasa-
ran melihat betapa lelaki itu tak mempedulikan perta-
nyaannya, bahkan langsung menyerang dengan ganas.
Lelaki gagah berkumis tipis itu tetap tak mempedu-
likan seruan Panji. Pedangnya terus berkelebat dan 
menyambar-nyambar mencari sasaran.
Melihat lelaki itu menyerang dengan sungguh-
sungguh dan menginginkan kematiannya, Panji men-
jadi gusar. Ketika pada jurus kedelapan, pedang lawan 
meluncur dan mengancam batang lehernya, Pendekar 
Naga Putih langsung mengangkat tangan dan melan-
carkan totokan kilat ke pergelangan tangan.
Tuk!
“Aaakh...!”
Totokan Panji tepat mengenai sasaran. Lelaki gagah 
itu terpekik kesakitan. Pedangnya terlepas dari geng-
gaman. Sedangkan tangan kanannya telah tergantung 
lumpuh. Sementara Panji dengan cepat melompat 
mundur. Karena dirinya memang tak ingin bertarung 
dengan lelaki gagah itu atau pun dengan yang lainnya. 
Tapi....
“Bangsat..!” ‘
Seorang lagi mengeluarkan bentakan, dan langsung 
merangsek dengan sepasang pedang pendeknya. Pen-
dekar Naga Putih terpaksa melompat mundur menghindari sambaran sepasang mata pedang itu.
“Serang...!”
“Haaattt..!”
“Heaaat...!”
Lima orang lainnya tak tinggal diam. Melihat sauda-
ranya sudah bertempur dengan Pendekar Naga Putih, 
mereka pun segera membantu. Kini Panji menghadapi 
keroyokan enam lelaki gagah itu, hingga terpaksa 
menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak-
kan sambaran pedang lawan.
“Jangan kalian memaksa aku untuk berbuat kasar! 
Jelaskanlah duduk persoalannya! Apa sebenarnya 
yang sudah terjadi dengan Wahyuni?”
Sambil berkelebatan mengelak dari sambaran ketu-
juh bilah pedang pengeroyoknya, Panji meminta penje-
lasan.
Tapi ketujuh orang itu sama sekali tak peduli se-
ruan Pendekar Naga Putih. Bahkan mereka semakin 
memperhebat serangan, membuat kesabaran Panji 
mulai terkikis.
“Baiklah kalau kalian memang menghendakinya...!” 
desis Panji, langsung mengibaskan tangannya ke kiri 
dan kanan, memapaki sambaran dua bilah pedang 
yang mengancam tubuhnya. Ketika kedua orang la-
wannya terhuyung akibat tangkisannya, Panji sudah 
mengirimkan hantaman telapak tangan kepada kedua 
orang itu.
“Kau benar-benar sudah melewati batas, Pendekar 
Naga Putih...!”
Lelaki tua yang sejak tadi hanya berdiri menyaksi-
kan, merasa marah melihat kedua orang muridnya 
terkena pukulan Pendekar Naga Putih. Orang tua itu 
tampaknya tak bisa terima atas perbuatan Panji, yang 
merobohkan dua orang muridnya. Ia pun segera terjun

ke arena ikut mengeroyok Pendekar Naga Putih.
“Orang tua, kau benar-benar membuat aku penasa-
ran! Mengapa kau tak mau menjelaskan duduk per-
soalannya kepadaku?” seru Panji sambil berkelit dari 
sambaran cakar elang lelaki tua itu. Dan terus melom-
pat cepat ketika lelaki tua itu melanjutkan serangan-
nya yang bertubi-tubi.
“Heaaa...!”
Plak! Plak!
Karena orang tua itu tak mau menjelaskan dan te-
rus mendesaknya dengan serangan-serangan gencar, 
Panji menjadi jengkel dan menyambut serangan itu 
dengan tamparannya. Akibatnya tubuh orang tua itu 
terdorong mundur. Rupanya Panji mengerahkan seba-
gian tenaganya sewaktu menangkis.
“Kau memperkosa muridku yang malang itu secara 
keji! Setelah puas menikmati tubuhnya, kau berikan 
dia kepada segerombolan perampok, hingga Wahyuni
bunuh diri, tak sanggup menahan penderitaan yang 
memang terlalu berat baginya. Sekarang kami meng-
hendaki nyawamu agar ia tenang di alam baka!”
Lelaki tua yang mengaku sebagai guru Wahyuni itu 
akhirnya membeberkan apa yang telah dilakukan Panji 
terhadap murid perempuannya. Setelah berkata demi-
kian, ia kembali melanjutkan serangan.
Ucapan lelaki tua itu laksana ledakan petir di telin-
ga Panji. Hingga pemuda itu terpaku bagaikan orang 
hilang ingatan. Berita itu terlalu mengejutkan baginya. 
Tahulah dirinya sekarang, mengapa Iblis Angkara 
Murka tak langsung membunuhnya. Panji langsung 
dapat menduga kalau semua itu hasil perbuatan Iblis 
Angkara Murka. Dedengkot tokoh sesat itu pasti telah 
mengelabui Wahyuni dengan menyamar sebagai di-
rinya, seperti ketika ia dikelabui iblis itu yang menya

mar sebagai Kenanga. Namun Panji tak mengerti ba-
gaimana tokoh sesat itu sampai mengetahui kalau di-
rinya dan Wahyuni pernah berjumpa dan saling mem-
perkenalkan nama satu sama lain.
“Biadaaab...!”
Lelaki tua dan murid-muridnya yang saat itu seran-
gannya sudah tiba dekat tubuh Panji, langsung tersen-
tak kaget ketika mendengar teriakan meng-guntur. 
Bahkan saking dahsyatnya tenaga teriakan Panji, 
enam orang lelaki gagah yang mengeroyoknya terjung-
kal mencium tanah. Mereka menekap telinga dengan 
kedua tangan. Rupanya teriakan Panji membuat telin-
ga mereka seperti ditusuk-tusuk.
Sementara itu, lelaki tua berjenggot pendek, guru 
dari tujuh orang lelaki gagah itu, tampak terhuyung
mundur dengan wajah pucat. Tampak dirinya memiliki 
tenaga dalam yang lebih kuat daripada murid-
muridnya. Sehingga, tidak sampai terbanting akibat te-
riakan menggelegar Pendekar Naga Putih.
Setelah mengetahui latar belakang kemarahan dan 
kebencian orang-orang gagah itu, Panji tidak bisa me-
nyalahkan mereka. Tubuhnya langsung melesat me-
ninggalkan tempat itu. Sebelum bayangannya lenyap, 
terdengar suara yang ditujukan kepada delapan orang 
guru dan murid itu.
“Kelak aku akan datang dengan membawa manusia 
laknat yang telah memperkosa Wahyuni...!”
Kesembilan tokoh persilatan ini hanya bisa mem-
banting kaki ke tanah, melihat sosok Panji sudah le-
nyap di kejauhan. Mereka tetap menuduh pendekar 
muda itu yang telah memperkosa Wahyuni, dan akan 
mencari untuk mengadu nyawa dengan Panji. Karena 
apa yang mereka tuduhkan kepada Pendekar Naga Pu-
tih, merupakan pengakuan Wahyuni sebelum bunuh

diri dengan menusuk perutnya. Bahkan sebelum 
menghembuskan napas terakhir gadis itu berpesan 
agar kakak-kakak seperguruannya, dan juga gurunya 
sudi membalaskan penghinaan itu dengan membunuh 
Pendekar Naga Putih.
***
Panji duduk termenung menatap wajah sang Dewi 
Malam yang bersembunyi di balik awan kelabu. Wajah 
muramnya terkadang berubah kelam menandakan be-
tapa kacau perasaannya saat itu. Bukan hanya guru 
dan saudara-saudara seperguruan Wahyuni yang me-
musuhinya. Banyak lagi tokoh persilatan yang menun-
tut kematiannya. Dirinya dituduh sebagai penjahat ke-
ji, yang telah mengakibatkan kematian beberapa to-
koh-tokoh persilatan, juga melakukan perkosaan ter-
hadap anak-istri orang. Tentu saja pemuda itu tahu 
kalau semuanya perbuatan Iblis Angkara Murka yang 
hendak menghancurkan nama dan kehidupannya. Se-
hingga, gerak Pendekar Naga Putih menjadi sempit.
Kini dirinya tak pernah berani muncul di tempat ke-
ramaian. Perhatian tokoh-tokoh persilatan telah bera-
lih kepadanya. Dialah sekarang yang dicari-cari, dan 
bukan Iblis Angkara Murka!
Tiba-tiba saja lamunan Panji buyar. Telinganya me-
nangkap adanya suara langkah ringan yang menuju 
tempat itu. Dengan cepat tubuhnya bangkit lalu ber-
sembunyi di balik sebatang pohon untuk melihat siapa 
pemilik suara langkah kaki yang ringan itu.
Tidak lama kemudian, orang yang ditunggu- tunggu 
pun muncul. Namun matanya belum dapat melihat 
wajah orang itu dengan jelas. Hanya bisa memastikan 
bahwa yang datang seorang wanita, karena bentuk tubuhnya ramping.

Sosok tubuh ramping itu memang benar milik seo-
rang wanita. Kini berada dekat dengan tempat Panji 
melewatkan malam, yang diterangi api unggun. Panji 
tersentak kaget, ketika sinar api unggun menerangi 
wajah wanita yang ternyata Kenanga, kekasihnya. 
Meskipun sudah melihat jelas bahwa yang datang itu 
Kenanga, Panji masih belum mau menampakkan diri. 
Ingatan tentang peristiwa yang terjadi di puncak Bukit 
Jajaran, membuatnya tak mempercayai kalau wanita 
itu benar-benar Kenanga.
Diam-diam Panji mengerahkan ‘Tenaga Sakti Inti 
Panas Bumi’. Hatinya merasa lega ketika tenaga itu 
bergerak, membentuk lapisan sinar keemasan yang 
menyelimuti tubuhnya. Ketika tak merasakan adanya 
keanehan pada tenaga mukjizat yang dikerahkannya, 
Panji mulai yakin bahwa yang dilihatnya itu benar-
benar Kenanga, kekasihnya. Keyakinan ini membuat 
Panji bergerak keluar dari persembunyiannya. Gera-
kannya sengaja dibuat menimbulkan suara agar Ke-
nanga mendengarnya. Kemudian melangkah per-
lahan-lahan mendekati api unggun.
“Kakang..., kaukah itu...?!” seruan Kenanga ber-
nada ragu. Dan dara jelita ini masih tetap berdiri di 
tempatnya, tidak langsung menyambut kemunculan 
Panji.
“Kenanga...,” panggil Panji penuh kerinduan. Kare-
na di saat tengah menghadapi masalah berat itu, Panji 
benar-benar membutuhkan tempat untuk berbicara. 
Kakinya melangkah perlahan menghampiri Kenanga.
Kenanga sendiri langsung berlari ketika mendengar 
panggilan Panji. Hatinya sudah betul-betul yakin kalau 
pemuda itu Pendekar Naga Putih, kekasihnya. Maka, 
tanpa ragu-ragu lagi, Kenanga segera menghambur ke 
dalam pelukan Panji.

“Hati-hati, Kenanga! Aku seorang pembunuh dan 
pemerkosa yang tengah dicari-cari tokoh-tokoh persila-
tan,” ujar Panji menggoda dan mengetatkan pelukan-
nya.
“Aku tak takut, Kakang. Bahkan aku akan pasrah 
jika memang kau ingin melakukannya,” tukas Kenanga 
balas menggoda kekasihnya. Karena ia tahu siapa dan 
bagaimana kekasihnya itu. Kenanga yakin tak mung-
kin Panji melakukan apa yang dituduhkan tokoh-tokoh 
persilatan.
Panji tertawa perlahan demi mendengar jawaban 
kekasihnya. Namun ia masih tak mau kalah. Tan-
tangan Kenanga disambutnya. Tangannya mulai mera-
ba hendak mencopot pakaian dara jelita itu. Ketika 
Kenanga memang benar-benar pasrah, dan malah me-
natapnya dengan bibir mengulum senyum, Panji 
menghentikan perbuatannya. Kepasrahan Kenanga 
membuat ia yakin kalau Kenanga masih menaruh ke-
percayaan kepadanya.
“Mengapa tak dilanjutkan, Kakang...?” tantang Ke-
nanga lagi, mencibirkan bibirnya yang memang meng-
gemaskan itu. Panji benar-benar gemas. Dikecupnya 
bibir indah itu sampai agak lama, membuat keduanya 
terengah.
“Aku tak tahu bagaimana cara meyakinkan tokoh-
tokoh persilatan yang mengejar-ngejar diriku, Kenan-
ga...,” ujar Panji ketika mereka berdua sudah duduk di 
dekat api unggun, dan saling bertatapan mata.
“Aku mengerti kesulitanmu, Kakang. Aku tahu, kau 
tak melakukan itu. Tapi kau tak perlu berkecil hati. 
Masih cukup banyak tokoh persilatan yang menaruh 
kepercayaan terhadapmu...,” Kenanga mencoba mem-
besarkan hati kekasihnya.
“Betulkah itu...?!”
“Ya. Dan aku mengajak mereka untuk mencarimu. 
Jadi bukan karena suatu kebetulan aku berada di hu-
tan ini. Aku memang sedang mencarimu. Sebab aku 
tahu kau pasti sedang susah, Kakang. Ketika melihat 
ada nyala api unggun di tempat ini, aku berharap 
bahwa yang berada di tempat ini Pendekar Naga Putih. 
Dan ternyata harapanku terkabul,” ujar Kenanga se-
raya tersenyum.
“Bagaimana dengan tokoh-tokoh persilatan yang 
masih percaya denganku? Apakah aku dapat berjumpa 
dengan mereka? Rasanya sekarang ini aku sangat 
membutuhkan bantuan mereka untuk meyakinkan 
orang-orang yang menuduhku.”
“Tidak sulit untuk menemui mereka. Seperti yang 
kukatakan tadi, aku mencarimu bersama-sama den-
gan mereka. Mereka pun bermalam di hutan ini, tidak 
seberapa jauh dari tempat kita berada. Tapi besok saja 
kita temui mereka. Malam ini aku ingin melewatkan 
malam berdua denganmu, Kakang. Entah seperti apa 
indahnya menikmati malam pengantin di dalam hutan 
yang lebat dan sunyi seperti ini...?”
Setelah mengucapkan kalimat terakhir dengan dis-
ertai lirikan manja, Kenanga merebahkan tubuhnya di 
atas pangkuan sang Kekasih.
Panji hanya tertawa perlahan. Dibelainya rambut 
dara jelita itu dengan penuh kasih. Dibiarkan Kenanga 
tertidur di pangkuannya. Ia sendiri bersandar pada ba-
tang pohon.
***
TUJUH

“Jangan berkecil hati, Pendekar Naga Putih! Kami 
semua yang berada di sini masih mempercayai keber-
sihan hatimu. Dan kita bersama-sama akan menum-
pas segala kekacauan yang didalangi Iblis Angkara 
Murka itu...,” ujar seorang lelaki bertubuh sedang, ke-
tika pagi hari itu Kenanga membawa Panji ke tempat 
tokoh-tokoh persilatan yang tahu kalau Pendekar Naga 
Putih telah menjadi korban fitnah.
Panji merasa lega mendapati kenyataan bahwa to-
koh-tokoh yang masih menaruh kepercayaan itu ter-
nyata para pendekar ternama. Selain Pendekar Pedang 
Mustika, yang pertama kali menyalaminya, juga terda-
pat dua orang tokoh golongan atas, yang mengenal 
siapa adanya Iblis Angkara Murka itu. Bahkan tahu 
pula kalau dedengkot kaum sesat itu memiliki ilmu si-
hir yang hebat. Mereka yakin bahwa yang menyamar 
sebagai Pendekar Naga Putih dan melakukan serang-
kaian kejahatan pasti Iblis Angkara Murka. Dengan il-
mu sihirnya yang tinggi, tidak sulit bagi tokoh itu un-
tuk mengubah bentuk sekehendak hati.
“Aku pun pernah tertipu sewaktu mendatangi tem-
pat kediamannya di puncak Bukit Jajaran. Tokoh iblis 
itu menyamar sebagai Kenanga, hingga aku dapat di-
lukainya. Aku bahkan sempat ditawan di dalam goa 
yang berada di perut bukit itu...,” jelas Panji men-
ceritakan pengalaman pahitnya dalam upaya untuk 
menghentikan perbuatan jahat Iblis Angkara Murka 
itu.
Mendengar cerita Pendekar Naga Putih, salah seo-
rang tokoh mengusulkan untuk mencoba mendatangi
Bukit Jajaran lagi. Karena menurutnya ada kemungki-
nan Iblis Angkara Murka mempunyai tempat rahasia di 
bukit itu.

Para tokoh persilatan yang jumlahnya sekitar sem-
bilan orang itu, saling bertukar pandang sesaat. Seolah 
mereka saling bertanya, apa ada usul dari yang lain-
nya. Ketika masing-masing mengangkat bahu, keputu-
san pun jatuh untuk menyatroni Bukit Jajaran.
Setelah mendapat kata sepakat, rombongan kecil ini 
pun bergerak menuju Bukit Jajaran. Tentu saja bagi 
orang-orang berkepandaian tinggi seperti mereka, da-
pat melakukan perjalanan dengan cepat. Beda dengan 
orang-orang biasa. Menjelang tengah hari, Bukit Jaja-
ran sudah tampak, kendati Cuma berupa gundukan 
hitam yang samar di kejauhan.
***
“Aku merasakan adanya bahaya di sekeliling ki-
ta...!”
Tiba-tiba saja Panji berbisik sewaktu mereka hen-
dak menyeberangi sebuah aliran sungai selebar satu 
setengah tombak.
“Hm.... Aku pun merasakannya...,” timpal Pendekar 
Pedang Mustika, sambil mengedarkan pandangan ke 
sekeliling tempat itu, seperti yang juga dilakukan to-
koh-tokoh lainnya. Tiba-tiba....
Syuuttt! Syuuttt! Syuuuttt..!
Para tokoh persilatan itu serentak menolehkan ke-
pala melihat benda-benda bulat sebesar kelereng yang 
meluncur ke tempat mereka berdiri.
“Awas senjata peledak...!”
Panji yang sudah pernah mendapat serangan dari 
senjata seperti yang kali ini dilihatnya, langsung mem-
peringatkan kawan-kawannya. Dan Panji sudah mele-
sat ke udara sambil mengulurkan kedua tangan-nya 
untuk menangkap dua butir senjata peledak itu.
Pendekar Pedang Mustika, Kenanga, dan tokoh

tokoh yang lainnya tersentak kaget melihat perbuatan 
nekat yang dilakukan Pendekar Naga Putih. Karena 
apa yang dilakukan Panji memang sangat berbahaya. 
Mungkin bisa membuat pemuda itu tewas bila senjata-
senjata yang hendak ditangkapnya meledak saat ter-
sentuh tangan.
Namun Panji sudah memperhitungkan perbuatan-
nya. Senjata seperti itu sudah pernah dihadapinya, 
sewaktu menyelamatkan Wahyuni dari perkosaan. Di-
rinya tahu bagaimana cara kerja benda-benda menge-
rikan itu. Senjata itu akan meledak apabila menyentuh 
sesuatu yang keras. Sedangkan Panji sudah mengatur 
tenaga saktinya sedemikian rupa. Sehingga, selain ke-
dua telapak tangannya mengeluarkan tenaga menye-
dot, saat benda itu hampir mengenai telapak tangan-
nya, Panji mengikuti tenaga lontaran benda itu. Se-
hingga, senjata-senjata maut itu dapat diterima den-
gan kedua telapak tangannya yang lunak. Akhirnya 
benda kecil yang bisa menimbulkan akibat mengerikan 
itu seolah jatuh ke dalam air yang dalam.
“Nih, kukembalikan senjata kalian...!”
Begitu kedua senjata peledak itu tertangkap, Panji 
langsung melemparkannya ke tempat asal senjata itu 
datang. Dan....
Syuit! Syuiiit..!
Glarrr! Glarrr...!
“Aaakh...!”
Senjata yang melayang dengan kecepatan dua kali 
lipat itu, langsung meledak! Jeritan-jeritan kematian 
terdengar seiring terpentalnya beberapa sosok di balik 
semak-semak dengan anggota tubuh terpisah. Sung-
guh mengerikan akibat senjata maut itu. Panji dan 
kawan-kawannya sampai menggeleng kepala melihat 
betapa tubuh yang terkena senjata itu bisa hancur berantakan.
“Serbuuu...!”
“Seraaang...!”
Sesaat setelah ledakan keras itu terjadi, terdengar 
suara teriakan riuh dari tepian sungai sebelah kanan. 
Disusul kemudian dengan berlompatan puluhan lelaki 
bertampang bengis yang langsung mengayunkan pe-
dang.
Para penyerang itu dipimpin seorang tokoh ber-
tubuh kurus kering, seperti tengkorak hidup. Melihat 
tokoh ini Panji ingat pernah berjumpa sewaktu di Desa 
Palang. Panji pun ingat bahwa tokoh itu berjuluk Setan 
Penasaran, yang merupakan salah satu gembong 
kaum sesat.
Panji segera dapat menduga kalau tokoh seperti 
tengkorak hidup itu telah bergabung menjadi pengikut 
Iblis Angkara Murka. Tubuhnya langsung melesat 
mendekati.
“Hua ha ha...! Rupanya kau masih juga berkeliaran, 
Pendekar Naga Putih! Sudah puaskah kau membunuhi 
dan memperkosa orang?” tegur Setan Penasaran sen-
gaja hendak menyakiti hati Pendekar Naga Putih.
Setan Penasaran salah besar kalau menganggap 
ucapannya dapat memukul jiwa Panji. Sebaliknya, 
Panji marah bukan main. Karena ucapan itu berarti 
Setan Penasaran ikut terlibat dalam melemparkan fit-
nah kepadanya. Tiba-tiba Panji menggereng laksana 
harimau terluka. Dengan cepat tubuhnya melesat me-
nerjang dengan serangkaian serangan yang memati-
kan!
Beettt!
Setan Penasaran menyambut serangan Pendekar 
Naga Putih dengan sambaran tongkatnya. Tokoh sesat 
ini memang punya dendam pribadi terhadap Panji, karena telah menewaskan murid satu-satunya yang san-
gat disayang. Itu sebabnya langsung menyambut ganas 
ketika Pendekar Naga Putih melancarkan serangan ke-
padanya.
Plakkk!
Karena dalam keadaan marah Panji mengerahkan 
‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’, menghantam tongkat 
dengan tamparan tangan kirinya. Sehingga, tongkat 
lawan menyeleweng. Tubuh Setan Penasaran terdorong 
dan terhuyung-huyung beberapa langkah ke belakang.
Wueett!
Tangan kanan Panji yang membentuk cakar naga 
melesat menyusuli tamparan. Setan Penasaran kaget, 
namun sempat melemparkan tubuhnya, lalu ber-
jumpalitan beberapa kali dalam upaya menyelamatkan 
diri dari serangan dahsyat itu.
“Yeaaa...!”
Teriakan keras Panji mengiringi serangan susulan, 
memburu tubuh Setan Penasaran dengan pukulan be-
rantai. Sambaran kedua tangannya yang membentuk
cakar naga datang susul-menyusul diiringi hawa se-
dingin es, yang membuat Setan Penasaran kalang ka-
but.
Tokoh sesat yang bentuknya seperti tengkorak hi-
dup itu melompat ke belakang mengelakkan sambaran
cakar naga Panji. Terdengar bentakan geram sambil 
memutar tongkatnya dengan sekuat tenaga. Putaran 
tongkatnya yang menimbulkan angin puting beliung 
itu memang sangat cepat. Hingga mampu memben-
dung serangan-serangan Pendekar Naga Putih. Seben-
tar saja pertarungan kedua tokoh itu berjalan sengit 
dan mengiriskan.
Sementara itu, Kenanga tampak tengah menghadapi 
keroyokan belasan orang lawan. Namun dara jelita itu

sama sekali tak merasa gentar. Pedang Sinar Bulan di 
tangan kanannya terus berkelebat disertai suara men-
gaung bagaikan ratusan lebah marah.
Belasan lelaki berwajah bengis yang mengeroyok 
Kenanga juga ternyata memiliki kepandaian yang cu-
kup tinggi. Sehingga tak mudah bagi dara bergaun hi-
jau itu merobohkan lawan dalam waktu singkat Terle-
bih belasan orang itu kelihatannya sudah terlatih baik. 
Terbukti mereka dapat bekerja sama dan saling bantu 
satu sama lain. Jika ada seorang kawannya terancam 
pedang Kenanga, empat orang di kiri dan kanan ber-
lompatan melindungi. Membuat belasan orang itu me-
rupakan satu barisan yang tangguh dan berbahaya.
“Haiiittt..! Heaa...!”
Melihat ketangguhan para pengeroyoknya, Kenanga 
segera mengeluarkan jurus andalannya. Jurus ‘Bida-
dari Menabur Bunga’ yang digabung dengan ilmu ‘Pe-
dang Naga Putih’ atas petunjuk Panji, membuat sepak 
terjang dara jelita ini terasa mengiriskan sekali!
Keampuhan jurus gabungan itu memang terbukti. 
Baru beberapa jurus saja, dua orang lawan, terlempar 
dengan tubuh berlumur darah. Sedangkan pedang 
yang baru saja memakan korban itu, sudah berputar 
mencari sasaran lain. Tentu saja kedahsyatan ilmu pe-
dang gabungan itu membuat lawan-lawannya terkejut, 
dan mulai memperhitungkan setiap langkah dengan 
cermat.
Di bagian lain, tampak Pendekar Pedang Mustika 
juga sudah menghadapi keroyokan banyak lawan. To-
koh bertubuh sedang, berusia empat puluh tahun ini 
memiliki gerakan yang gesit bukan main. Pedang di 
tangan kanannya, yang pada gagangnya terdapat hia-
san batu permata, bergerak turun naik dengan kecepa-
tan laksana burung wallet. Dan masih ditambah dengan tangan kirinya yang tak kalah berbahaya. Sesekali 
tangan kiri Pendekar Pedang Mustika me-lepaskan pu-
kulan jarak jauh yang sanggup membuat lawan ter-
jungkal dan muntah darah. Sehingga para penge-
royoknya tak berani mengepung terlalu dekat. Pedang 
Mustika di tangan lelaki gagah itu bagaikan bermata. 
Berkelebat begitu cepat memburu tubuh setiap lawan 
yang mendekat.
Akan tetapi meski Pendekar Pedang Mustika tak se-
gan-segan membunuh siapa saja yang terdekat, tetap 
saja para pengeroyok yang memang terdiri dari gerom-
bolan perampok tak merasa gentar. Mereka terus me-
nerjang maju dengan serangan-serangan yang ganas. 
Meskipun hanya untuk mengantarkan nyawa sia-sia, 
para pengeroyok itu tetap gigih dan memperketat ke-
pungan. Tidak jarang mereka menerjang maju sepuluh 
orang sekaligus, membuat Pendekar Pedang Mustika 
agak kerepotan menghadapinya.
“Hiaaattt...!”
Wut! Wut!
Di saat Pendekar Pedang Mustika tengah disibuk-
kan menghadapi serbuan enam orang lawan, tiba-tiba 
terdengar teriakan melengking tinggi. Disusul dengan 
berkelebatnya sesosok bayangan hitam, yang langsung 
melancarkan serangkaian serangan kilat dengan senja-
tanya yang aneh dan mengerikan.
“Heaaa...!”
Whuuukkk! Whuuukkk!
Senjata berbentuk tombak yang pada bagian atas-
nya terdapat bandulan berduri sebesar kepalan tangan 
lelaki dewasa itu menyambar disertai suara menderu 
tajam. Pendekar Pedang Mustika yang baru saja mem-
buat dua orang lawan terjungkal mandi darah akibat 
sambaran pedangnya, bergegas menarik mundur tubuhnya dengan menggunakan langkah menyilang. Be-
gitu bandulan berduri itu lewat, pedang-nya meluncur 
cepat melakukan serangan balasan.
“Heaaa!” 
Cwitt! Cwittt.!”
Serangan yang dilancarkan Pendekar Pedang Mus-
tika sangat mencengangkan lawan. Senjata di tangan-
nya bergerak membentuk lingkaran-lingkaran kecil 
yang terus meluncur ke tubuh lawan. Dari dalam ling-
karan itu terkadang ujung pedang mencuat tiba-tiba, 
mengancam bagian-bagian terlemah tubuh lawan.
Wuuukkk!
Trang!
Lelaki berkepala gundul dengan wajah hitam seperti 
pantat dandang itu mengibaskan senjatanya menyam-
but tusukan mata pedang yang mencuat keluar dari 
lingkaran sinar, mengancam tenggorokannya. Akibat-
nya kedua senjata itu saling berbenturan keras, me-
mercikkan bunga api. Kedua pemiliknya sama terjajar 
mundur, pertanda kekuatan mereka seimbang.
“Hyaaat..!”
“Yeaaa...!”
Setelah keduanya memeriksa senjata masing- ma-
sing, kedua tokoh itu berteriak keras saling serang, 
mengerahkan segenap kemampuan untuk dapat mero-
bohkan lawan secepatnya. Jurus-jurus pamungkas 
yang mereka gunakan, membuat pertarungan semakin 
seru dan mendebarkan. Sejauh itu keduanya terlihat 
masih sama kuat, hingga sulit untuk menentukan sia-
pa yang bakal keluar sebagai pemenang.
***

DELAPAN

Pertempuran antara Pendekar Naga Putih melawan 
Setan Penasaran, tampak sudah mendekati titik pe-
nyelesaian. Panji harus mengakui ketangguhan lawan-
nya. Karena setelah bertarung lebih dari seratus jurus, 
barulah dirinya mampu mendesak pertahanan lawan.
Merasa mendapat serangan dari segala arah, Setan 
Penasaran tampak begitu geram. Hal itu pula yang 
membuat tokoh nyaris tidak berdaging itu menjadi ka-
lap. Dirinya sudah merasa tak mampu melakukan se-
rangan balasan. Gerakan yang dapat dilakukan hanya 
sekadar memutar tongkatnya membentuk benteng per-
tahanan. Itu pun dilakukan susah payah, dengan pen-
gerahan seluruh tenaganya yang tersisa.
Panji sendiri yang melihat lawannya nyaris tak ber-
daya, semakin memperhebat gempuran. Sambaran ca-
kar naganya bergerak cepat luar biasa dan disertai 
hawa dingin yang menusuk tulang, membuat pertaha-
nan Setan Penasaran semakin lemah di sana sini. Be-
berapa kali tokoh sesat itu terdorong mundur dengan 
wajah semakin pucat. Dari wajahnya tampak keputu-
sasaan tengah melanda lelaki tinggi kurus itu.
“Hyaaat..!”
Wut! Bwet!
Ketika untuk kesekian kalinya Setan Penasaran di-
paksa mundur oleh kibasan tangan yang amat kuat, 
Panji membentak keras. Kemudian tubuhnya melent-
ing ke udara. Dari atas meluncur turun dengan sepa-
sang cakar naganya siap mengakhiri perlawanan Setan 
Penasaran.
“Haits!”
Plak!

Sambaran tangan kiri Pendekar Naga Putih masih 
dapat ditangkis putaran tongkatnya. Meskipun tubuh-
nya kembali terhuyung, Setan Penasaran berhasil me-
nyelamatkan diri. Namun sayang, sebelum tokoh sesat 
itu sempat memperbaiki kuda-kudanya, tangan kanan 
Panji datang menyambar!
“Hih!”
Breeettt!
“Haaakh...!”
Tubuh Setan Penasaran melintir. Sampokan cakar 
naga Panji yang merobek tenggorokan membuatnya 
memekik tertahan. Dan ketika tubuh tokoh sesat itu 
berputaran sekarat, Panji mengirimkan dorongan ke-
dua telapak tangannya dengan pukulan jarak jauh.
Breesshhh!
Sinar putih keperakan yang keluar dari sepasang 
telapak tangan Panji, menghantam telak tubuh Setan 
Penasaran. Tanpa ampun lagi, tubuh tokoh sesat itu 
terlempar deras dengan ceceran darah segar yang ter-
muntah dari mulutnya. Nyawa Setan Penasaran lang-
sung terbang sebelum raga yang nyaris tak berdaging 
itu terbanting ke tanah.
Melihat tubuh lawannya roboh dan tak bergerak la-
gi, Panji bergegas menghampiri untuk melihat apakah 
Setan Penasaran benar-benar telah tewas. Setelah 
mendapat kepastian bahwa lawannya sudah tak ber-
napas lagi, pemuda itu memutar tubuhnya memperha-
tikan pertempuran yang terpecah-pecah. Hatinya me-
rasa lega melihat bahwa para pendekar berada di atas 
angin. Kecuali dua orang tokoh tua yang tengah berta-
rung dengan dua orang lawan berkepala botak dan 
bermata buta.
Menyaksikan betapa dua orang botak yang bermata 
buta itu ternyata sangat tangguh, Panji merasa tertarik. Apalagi ketika teringat kedua orang yang tengah 
dihadapi kawan-kawannya itu ternyata para pembantu 
andalan Iblis Angkara Murka yang menjadi musuh be-
sarnya. Dengan cepat Panji memutar tubuh dan me-
nyapu sekitarnya dengan mata tajam. Hatinya yakin 
kalau Iblis Angkara Murka pasti sudah berada di seki-
tar tempat itu. Adanya kedua orang buta berkepala bo-
tak, menandakan hadirnya Iblis Angkara Murka di 
tempat itu.
Setelah sekitar tempat itu sudah ditelitinya dengan 
seksama, Pendekar Naga Putih tetap tak menemukan 
sosok Iblis Angkara Murka yang dicarinya.
“Panji...!”
Secepat kilat Panji membalikkan tubuh ketika men-
dengar suara memanggil dari belakang. Kerlingnya 
berkerut ketika melihat seorang lelaki gemuk tertawa-
tawa datang menghampirinya. Pendekar berjubah pu-
tih itu terkejut ketika mengenali yang datang ternyata 
Guradi, satu-satunya murid Perguruan Wulung Sakti 
yang selamat dari kekejaman para pengikut Iblis Ang-
kara Murka. Begitu menurut penuturan Guradi kepada 
Panji sewaktu pertama kali bertemu.
“Guradi, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?” 
Tanya Panji yang masih tetap menaruh curiga kepada 
lelaki gemuk itu. Hatinya merasa heran melihat Guradi 
tiba-tiba berada di tempat itu.
“Sejak kau meminta agar aku mengantarkanmu ke 
Bukit Jajaran aku tak pernah lagi meninggalkan tem-
pat ini. Aku sempat merasa cemas dan mengira bahwa 
kau sudah tewas di tangan Iblis Angkara Murka. Tapi, 
tahu-tahu kau muncul dan kelihatannya hendak me-
nyerbu Bukit Jajaran. Sayang saatnya kurang tepat 
Karena secara kebetulan para pengikut Iblis Angkara 
Murka tengah datang untuk memberi laporan mengenai perkembangan yang terjadi di kalangan persilatan,” 
Guradi langsung saja nyerocos seperti tak bisa ditahan 
lagi. Setelah berhenti sebentar, ia kembali berkata seo-
lah baru teringat akan hal itu, ‘Panji, tahukah kau 
bahwa belakangan ini dunia persilatan dibuat geger 
oleh perbuatan seorang tokoh yang membuat orang 
sempat lupa kepada Iblis Angkara Murka?”
Panji menggeleng, meskipun sebenarnya ia tahu ke 
mana maksud perkataan Guradi. Namun dirinya 
bungkam dan membiarkan lelaki gemuk itu melan-
jutkan ceritanya. Karena Panji ingin mendengar ba-
gaimana tanggapan Guradi.
“Kau tahu tokoh muda berjuluk Pendekar Naga Pu-
tih, yang.... Ciri-cirinya hampir mirip denganmu, Panji? 
Tapi kau jangan mengikuti jejaknya. Karena Pendekar 
Naga Putih yang dikabarkan orang sebagai penegak 
keadilan, ternyata melakukan serangkaian pembunu-
han keji. Bahkan tega memperkosa istri dan anak 
orang! Benar-benar bejat sekali moral pendekar muda 
yang diagung-agungkan orang banyak itu! Kasihan...! 
Tokoh-tokoh persilatan tentu kecewa apa-bila sampai 
mendengar hal ini,” Guradi menghentikan ceritanya. 
Matanya menatap Panji sekilas. Kemudian beralih, dan 
memperhatikan orang-orang yang masih terlibat perke-
lahian.
“Lalu apa tanggapanmu terhadap berita itu? Beru-
bahkah pandanganmu kepada Pendekar Naga Putih 
itu?” Tanya Panji memancing.
“Menurutku Pendekar Naga Putih memang pada da-
sarnya berakhlak rendah! Hm..., kalau saja aku punya 
kepandaian, tentu sudah ku basmi pemuda laknat 
itu!” sahut Guradi berapi-api sambil mengepal tinjunya 
kuat-kuat.
Panji tersenyum pahit mendengar ucapan Guradi.

Dirinya tak bisa menyalahkan Guradi dalam hal itu, 
Guradi masih termasuk awam, hingga tak memahami 
keseluruhannya.
Guradi tampak melangkah semakin dekat Matanya 
memandang ke tempat pertarungan dua orang pem-
bantu Iblis Angkara Murka yang saat itu tengah terde-
sak oleh gempuran dua orang kawan Panji. Begitu ter-
tariknya Guradi terhadap pertarungan itu, membuat 
Panji ingin melihatnya.
Ki Kalimaya, tokoh tua berusia tujuh puluh delapan 
tahun yang tengah bertarung dengan salah satu pem-
bantu andalan Iblis Angkara Murka itu, tiba-tiba pucat 
wajahnya. Hatinya seakan tersentak kaget ketika tiba-
tiba secara tak sengaja melihat ke tempat Panji berada. 
Kegelisahan dan kekagetannya sempat membuat se-
rangannya mengendur. Bahkan ganti sekarang dirinya 
yang terdesak serangan lawan. Jelas ada sesuatu yang 
mengganggu pikirannya. Karena hatinya terus gelisah 
melihat Panji yang tengah berada dekat Guradi.
“Panjiii...!”
Pada suatu kesempatan, saat mengelak dari seran-
gan lawan, Ki Kalimaya sengaja menggeser langkah 
mendekat ke tempat Panji sambil berteriak.
Panggilan Ki Kalimaya yang terdengar penuh ke-
tegangan membuat Panji menoleh, siap untuk meno-
long apabila Ki Kalimaya tengah terancam maut Na-
mun, ternyata kakek itu tidak terdesak, Panji menarik 
napas lega.
“Awas, Iblis Angkara Murka berada di dekatmu...!”
Buk!
“Aaakh...!”
Karena ingin memperingatkan Panji, Ki Kalimaya 
terkena sebuah pukulan telak lawannya. Tubuh kakek 
itu terlempar. Dan dalam keadaan terlempar pun, ia

sengaja membawa daya dorong pukulan itu untuk 
mendekati Panji. Sebab, jarak antara dirinya dan Panji 
masih terpisah sekitar empat tombak. Dan daya do-
rong pukulan yang dipergunakannya itu, membuat Ki 
Kalimaya dapat memperpendek jarak.
Pendekar Naga Putih yang mendengar seruan Ki Ka-
limaya tentu saja kaget. Dengan cepat tubuhnya ber-
balik dan mengedarkan pandang matanya memperha-
tikan sekitar tempat itu. Namun ia tetap tak melihat 
adanya sosok Iblis Angkara Murka. Sehingga, Panji 
kembali mengalihkan perhatian ke arena pertarungan 
sambil menunggu munculnya Iblis Angkara Murka.
Whuuuttt..!
Bugkh!
Baru saja Panji memutar tubuh, tiba-tiba Guradi 
menghantamkan tongkat besi kuning yang tahu-tahu 
sudah di tangannya.
“Ruakhhh...!”
Hantaman yang sangat kuat itu, membuat tubuh 
Panji terjerunuk ke depan. Darah segar termuntah dari 
mulutnya. Namun Panji yang sadar ada bahaya besar 
mengancam, segera bergulingan menjauh. Kemudian 
melompat bangkit dekat pertarungan Ki Kalimaya. Ke-
tika Panji kebingungan mencari orang yang membo-
kong dirinya, Ki Kalimaya berseru memperingatkan.
“Lelaki gemuk itu...! Dia..., dialah si Iblis Angkara 
Murka...!”
Dengan susah payah karena harus mengelakkan 
serangan lawan, Ki Kalimaya menyempatkan diri berte-
riak.
“Hah.... Benarkah...?!” gumam Panji setengah tak 
percaya pada ucapan Ki Kalimaya. Dengan cepat di-
tendangnya Guradi. Namun lelaki gemuk itu tiba-tiba 
lenyap entah ke mana. Di tempat Guradi semula berada, berdiri sesosok tubuh tinggi berbadan tinggi. Wa-
jahnya yang memperlihatkan bekas luka tampak me-
nyeramkan. Dengan mata bengis sosok itu menatap ta-
jam wajah Pendekar Naga Putih.
“Itulah wujud asli Iblis Angkara Murka...!” ujar Ki 
Kalimaya sambil menoleh ke wajah Panji.
Tentu saja Panji kaget bukan kepalang. Walaupun 
dirinya telah menaruh kecurigaan terhadap Guradi 
yang tingkahnya aneh itu, tapi sama sekali Panji tak 
menyangka kalau lelaki bertubuh gemuk itu samaran 
dari Iblis Angkara Murka.
“Kau.... Iblis Pengecut! Licik...!” dengus Panji penuh 
kebencian. Tanpa rasa gentar sedikit pun Pendekar 
Naga Putih melangkah maju siap menghadapi gembong 
kaum sesat yang menjelma bertubuh tinggi dan berba-
hu lebar itu.
“Kekh kekh kekh...! Pandanglah aku sepuasmu, 
Pendekar Naga Putih! Karena akan segera kukirim 
nyawamu ke neraka...!”
Terdengar suara Iblis Angkara Murka yang terden-
gar parau dan bergetar. Lelaki bertubuh tinggi besar 
itu melangkah menghampiri Panji. Gerakannya tampak 
lambat. Seolah gembong tokoh sesat itu berat sekali 
untuk membawa tubuhnya berjalan.
“Hm.... Sejak mula aku sudah menaruh curiga ke-
padamu, ketika mengaku bernama Guradi! Dan kini 
aku sadar, mengapa aku tak tahu perbuatanmu yang 
membuat kekuatanku terbelenggu. Itu pasti kau laku-
kan waktu aku membawamu lari menuju Bukit Jaja-
ran! Aku memang merasakan gejolak seperti yang bi-
asa ku rasakan setiap tenaga gaibku bangkit. Sayang 
saat itu aku tak menaruh curiga! Ku akui kelihaianmu 
menyembunyikan kepandaian dariku. Sampai aku bisa 
kau kelabui...,” ujar Panji.

Pendekar Naga Putih tampaknya telah memanggil 
‘Tenaga Sakti Inti Panas Bumi’nya. Dirinya memang 
merasa khawatir Iblis Angkara Murka akan kembali 
membelenggu tenaga mukjizatnya itu dengan ilmu si-
hirnya yang luar biasa. Panji tak ingin kejadian itu te-
rulang lagi.
“Aih, Kakang! Mengapa kau kelihatan sangat marah 
kepadaku? Apakah kau sudah tak mencintaiku lagi...?”
Tiba terdengar suara lembut seorang wanita yang 
begitu dikenal Pendekar Naga Putih.
“Hah...?!”
Tentu saja pendekar muda itu tersentak kaget Bah-
kan hampir saja terlonjak. Tiba-tiba sosok menyeram-
kan Iblis Angkara Murka lenyap dan menjelma dengan 
sosok Kenanga yang kelihatan sangat berduka.
“Kakang Panji, aku di sini! Yang ada di depanmu Ib-
lis Angkara Murka!”
Kenanga yang sudah menghabisi lawan-lawannya 
segera melesat mendampingi Pendekar Naga Putih.
“Hmh...!”
Panji menggereng penuh diliputi amarah. Dengan 
sekuat tenaga segera dikerahkan kekuatan mukjizat 
dalam tubuhnya, lalu disalurkan ke mata. Akibatnya, 
sosok Kenanga jelmaan Iblis Angkara Murka lenyap 
seketika, kembali bentuk semula. Kekuatan Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ yang merupakan tenaga gaib 
itu, sanggup melawan kekuatan sihir. Kalaupun Panji 
masih dapat dikelabui, itu karena kekuatan ilmu sihir 
Iblis Angkara Murka memang sangat tinggi luar biasa. 
Hal itulah yang membuat Pendekar Naga Putih itu ha-
rus mengerahkan kekuatan melalui kedua matanya, 
untuk memusnahkan kekuatan sihir lawan.
Kini Iblis Angkara Murka tampak mulai merubah 
wujudnya. Seketika itu pula Kenanga mengeluarkan

pekik tertahan. Sebab, sosok yang berdiri di depan me-
reka berdua itu sama sekali tak berbeda dengan Panji. 
Seolah kembaran Pendekar Naga Putih telah lahir di 
dunia.
Namun untuk kali ini Panji tak peduli. Biarpun la-
wan serupa benar dengan dirinya, pemuda itu tetap 
menerjangnya. Disertai teriakan keras menggelegar tu-
buhnya melesat dengan kecepatan luar biasa. Sepa-
sang tangannya yang membentuk cakar naga, bergerak 
berputaran menebarkan hawa panas membakar.
“Hiaaa...!” 
Wrrrt! Wrrrttt!
Melihat betapa dahsyat serangan lawan, Iblis Ang-
kara Murka yang masih berwujud kembaran Pendekar 
Naga Putih, menggeser langkah. Ketika serangan lawan 
hampir menyambar, tubuhnya mencelat ke samping. 
Gerakan itu masih dibarengi dengan gerakan tangan 
kanan untuk menangkis sambaran jemari tangan la-
wan yang mengancam ubun-ubunnya.
“Hiaa!”
Dukk! Plakkk!
Panji mengangkat tangan kanannya menangkis 
sambil memutar tubuh. Terus dilanjutkan dengan 
cengkeraman ke dada lawan. Namun dapat dipatahkan 
Iblis Angkara Murka. Benturan kedua pasang lengan 
yang sama-sama dialiri kekuatan tenaga dalam tinggi 
membuat tubuh keduanya sama-sama terdorong mun-
dur.
“Hiaaah...!”
Diiringi pekikan yang tak kalah keras Iblis Angkara 
Murka memulai lebih dulu serangan susulan. Tubuh-
nya bergerak ke depan dengan langkah terseret-seret, 
menimbulkan guratan-guratan yang berbekas cukup 
dalam di tanah. Serangan gembong tokoh sesat yang

masih berupa kembaran Panji itu memang terlihat 
agak lambat. Namun, angin pukulan yang keluar dari 
kedua tangannya, luar biasa kuatnya! Membuat udara 
di sekitar tempat pertarungan terasa bergetar.
“Hiaaa!”
Whuuuttt!
Brakkk!
Sebuah pukulan yang dilancarkan Iblis Angkara 
Murka dielakkan Panji dengan memiringkan tubuh 
sambil menekuk sebelah kakinya. Akibatnya, sebatang 
pohon besar berderak tumbang. Batang pohon itu 
tampak menghitam bagai terbakar, tersambar pukulan 
dahsyat Iblis Angkara Murka.
Pendekar Naga Putih sempat tercengang melihat 
kedahsyatan ilmu pukulan lawannya. Namun, tentu 
saja dirinya sama sekali tak merasa gentar.
Dengan menggunakan tenaga gabungannya, Pen-
dekar Naga Putih bergerak cepat melancarkan seran-
gan balasan, yang mengandung hawa panas dan din-
gin berganti-ganti. Sehingga, Iblis Angkara Murka tam-
pak kewalahan. Terlebih adanya kedua hawa yang silih 
berganti, secara cepat mengurung tubuhnya. Tokoh 
sesat itu berusaha memberontak keluar dari kurungan 
hawa yang ditimbulkan pukulan Pendekar Naga Putih.
“hyaaah...!”
Dengan suara teriakan keras menggelegar, Iblis 
Angkara Murka melesat ke udara sambil mengibaskan 
kedua lengannya ke kiri dan kanan, laksana seekor 
burung yang hendak terbang.
Panji yang tak ingin memberi kesempatan kepada 
lawan, langsung menghentakkan kedua tangan dengan 
jari jemari terbuka.
Prattt!
Seketika itu pula tampak dua gelombang tenaga

raksasa saling bentur dengan kerasnya. Saking kuat-
nya benturan itu, kedua kaki Panji melesak ke dalam 
tanah hingga sebatas mata kaki. Sedangkan tubuh Ib-
lis Angkara Murka merasakan tenaga dorong yang ber-
lipat ganda. Tubuh tokoh sesat itu melambung tinggi 
hingga tiga tombak dari atas tanah.
Melihat keadaan lawan dengan cepat Pendekar Naga 
Putih meluncur ke udara menyusul tubuh lawannya. 
Sepasang tangannya melontarkan pukulan maut yang 
susul-menyusul disertai suara mencicit tajam yang 
menyakitkan telinga.
“Heaaa...!”
Suit! Suit!
Buk!
Iblis Angkara Murka yang tak menyangka lawannya 
akan mengejar, tak sempat untuk mengelak. Sebuah 
pukulan telapak tangan Panji menghantam telak lam-
bungnya. Pukulan keras itu membuat tubuh tokoh se-
sat itu melintir di udara, kemudian meluncur turun.
“Hah...!”
Dalam keadaan terlontar di udara Iblis Angkara 
Murka melepaskan pukulan jarak jauhnya ke tanah. 
Dan dorongan angin pukulannya digunakan untuk 
mengatur keseimbangan tubuh. Sehingga, dirinya da-
pat meluncur turun dengan selamat. Kendati demi-
kian, wajah tokoh sesat itu tampak meringis menahan 
sakit pada bagian lambungnya. Tampaknya pukulan 
Pendekar Naga Putih mampu memunahkan kekuatan 
sihirnya. Sehingga, Iblis Angkara Murka kembali pada 
wujudnya yang asli.
Namun baru saja Iblis Angkara Murka merasa 
bangga dengan cara yang dilakukannya dalam upaya 
menyelamatkan diri, tiba-tiba mulutnya terpekik. Ma-
tanya membelakak kaget ketika melihat tubuh Pendekar Naga Putih masih di udara, meluncur turun den-
gan kecepatan luar biasa. Rupanya Panji meman-
faatkan keadaan itu untuk mengerahkan jurus ‘Naga 
Sakti Meluruk Dalam Bumi’.
“Aaakh...!”
Iblis Angkara Murka terpekik kaget melihat tubuh 
Pendekar Naga Putih mengeluarkan dua macam sinar 
yang menyilaukan mata. Tampak tokoh sesat itu men-
coba melindungi mata dengan punggung tangan-nya. 
Karena tiba-tiba matanya terasa terbakar oleh penda-
ran sinar yang membungkus tubuh lawan. Bahkan di-
rinya tak mampu melihat, dari sebelah mana lawan 
menyerangnya. Iblis Angkara Murka hanya merasakan 
betapa hawa panas dan dingin semakin dekat ke tu-
buhnya. Dan....
“Hiaaa...!”
Bret! Crokkk!
“Aaarghhh...!”
Bluk!
Terdengar raungan keras dan menggetarkan bagai 
hendak merobohkan bukit. Tubuh Iblis Angkara Murka 
terlempar bagai selembar daun kering yang diterbang-
kan angin. Darah segar yang mengalir dari luka-
lukanya, berceceran membasahi permukaan bumi. 
Kemudian tubuh sekarat itu terbanting keras ke ta-
nah.
Iblis Angkara Murka berkelojotan meregang nyawa. 
Pada bagian kepala sebelah atas terdapat lima buah 
lubang sebesar jari tangan, yang menghancurkan 
otaknya. Juga di bagian depan tubuhnya terdapat luka 
memanjang yang mengerikan. Tampaknya Iblis Angka-
ra Murka tak mampu bertahan untuk hidup. Mana 
mungkin rohnya akan betah tinggal di dalam jasad 
yang rusak seperti itu. Dan roh tokoh sesat itu pun

melayang, kembali kepada sang Pencipta.
Setelah melihat lawannya tewas, Panji mengangkat 
kepala. Tiba-tiba hatinya merasa heran melihat banyak 
tokoh persilatan telah berada di sekitar tempat itu. 
Rupanya kabar tentang dirinya yang hendak mencari 
Iblis Angkara Murka telah tersebar demikian cepat.
Terbukti, kini belasan bahkan puluhan pendekar dan 
para tokoh rimba persilatan berkumpul di tempat itu.
“Kakang tak perlu merasa cemas. Mereka tadi telah 
sempat menyaksikan pertarungan dua Pendekar Naga 
Putih. Dan itu sudah menjelaskan segalanya, “ ujar 
Kenanga ketika melihat wajah Pendekar Naga Putih 
yang letih itu tampak diliputi kecemasan.
Penjelasan Kenanga memang sangat berarti bagi 
pendekar muda itu. Dengan begitu beban dalam batin-
nya yang selama ini telah dirasakan sebagai suatu sik-
saan, tiba-tiba terlepas.
“Sebaiknya kita segera pergi, Kenanga. Aku tak in-
gin mendapat pertanyaan macam-macam dari me-
reka...,” ujar Panji yang langsung disetujui Kenanga.
Pasangan pendekar muda itu langsung melesat me-
ninggalkan tempat pertarungan tanpa berpamitan. Ke-
duanya tak dicegah ataupun diganggu.
Tokoh-tokoh persilatan yang melihat Pendekar Naga 
Putih berkelebat pergi, hanya bisa menghela napas. 
Tampak di wajah mereka suatu penyesalan yang da-
lam. Ternyata Pendekar Naga Putih tetap seorang pen-
dekar yang memiliki kebersihan hati. Mereka telah 
membuktikan dengan mata kepala sendiri, bahwa tu-
duhan buruk terhadap pendekar muda itu sama sekali 
tak benar. Bahkan seharusnya para pendekar dan to-
koh persilatan mengucapkan terima kasih terhadap 
Pendekar Naga Putih yang dengan gigih mampu me-
numpas tokoh angkara murka itu....

                             SELESAI







































Share:

0 comments:

Posting Komentar