RASE PERAK
Oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Penyunting: Tuti S.
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak
sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode: Rase Perak
128 hal. ; 12 x 18 cm
SATU
Jilatan lidah api bergoyang pelan dipermainkan
hembusan angin lembut. Sesekali terdengar bunyi ge-
meretak suara ranting terbakar. Nyala api itu memang
tidak terlalu besar. Namun, cukup untuk menerangi
tempat sekitarnya dari kegelapan malam yang menye-
limuti. Bahkan, sanggup mengusir nyamuk-nyamuk
yang beterbangan mencari mangsa.
Di sekeliling jilatan api unggun itu tampak empat
sosok tubuh duduk bersila. Mereka terdiam menatap
kobaran api di depannya. Salah seorang dari mereka
menjulurkan ranting, menarik keluar benda berbentuk
bulat panjang yang bagian luarnya telah hangus ter-
bakar.
“Hm.... Singkong bakar ini memang nikmat seka-
li...,” gumam orang itu, yang wajahnya terhias kumis
tipis. Lelaki itu tengah mengunyah singkong bakar
yang baru saja dikeluarkan dari kobaran api. Terden-
gar suara berkecipak dari mulutnya. Kendati mulutnya
membuat gerakan lucu ke kiri kanan karena kepana-
san, namun terlihat jelas betapa ia sangat menikmati
kehangatan dan kenikmatan singkong bakar itu.
Kenikmatan yang diperlihatkan lelaki berkumis ti-
pis, mengundang kawan-kawannya untuk ikut menci-
cipi. Mereka menjulurkan ranting, menarik keluar
singkong lainnya. Kemudian mencicipinya setelah
membelahnya terlebih dulu. Mereka pun mengangguk-
kan kepala. Agaknya, yang dikatakan lelaki berkumis
tipis itu bukan bualan belaka.
“Berapa lama lagi kita akan menempuh perjala-
nan...?” sambil menikmati makanan sederhana itu, sa-
lah satu dari mereka mengeluarkan pertanyaan. Dari
tatapan matanya yang tertuju ke wajah lelaki berkumis
tipis, jelas pertanyaan itu ditujukan kepada kawan di
depannya itu.
“Menurut perkiraanku, kita masih akan berjalan
kurang lebih setengah hari lagi. Itu pun kalau kita ti-
dak mendapat halangan di perjalanan...,” sahut lelaki
berkumis tipis, yang rupanya pimpinan rombongan ke-
cil itu.
“Hm.... Kelihatannya Kakang Danaya mengkhawa-
tirkan sesuatu...?” gumam lelaki lainnya, yang berwa-
jah kurus dan memiliki sinar mata setajam burung
elang. Sikap dan pandangannya menunjukkan ia bu-
kan orang sembarangan. Sinar mata itu menyimpan
suatu kekuatan besar yang tersembunyi di dalam di-
rinya.
“He he he....” Lelaki berkumis tipis bernama Danaya
memperdengarkan tawa perlahan. Setelah memperha-
tikan wajah ketiga orang di sekelilingnya, kemudian ia
menjawab.
“Apa kalian kira cuma perkumpulan kita yang men-
dengar berita itu? Tidak demikian ringan tugas yang
kita lakukan kali ini, kawan-kawan. Bahkan, bukan ti-
dak mungkin kita telah kedahuluan orang lain. Itu se-
babnya, mengapa aku sering mengingatkan kalian agar
selalu waspada! Telinga dan penciuman orang-orang
kaum rimba persilatan tidak ubahnya binatang buas.
Menurutku, berita ini pasti sudah didengar setengah
dari tokoh-tokoh persilatan. Dan bukan mustahil da-
rah akan tumpah. Karena apa yang akan kita cari san-
gat diidamkan oleh orang-orang persilatan. Baik itu
dari golongan putih maupun golongan hitam...,” jelas
Danaya seraya memperhatikan wajah kawan-
kawannya.
“Wah.... Kalau benar demikian, alangkah beratnya
tugas yang kita emban ini, Kakang...,” tukas salah satu
dari ketiga lelaki itu. Wajahnya menampakkan ketegangan setelah mendengar penjelasan Danaya. Bah-
kan, sepasang matanya mengerling ke sekitar tempat
itu. Ucapan Danaya telah menimbulkan kecurigaan
terhadap sekitarnya.
“Hm..., jangan terlalu tegang, Adi Kumbara. Justru
karena tugas kali ini sangat berat, maka guru telah
mempersiapkan kita dari jauh-jauh hari. Kita telah di-
latih dengan ilmu khusus, yang sangat sulit dan tang-
guh. Untuk itu, kita tidak boleh merasa kecil hati. Wa-
laupun akan banyak muncul saingan- saingan berat.
Dengan ilmu yang telah kita miliki, tidak mudah bagi
lawan untuk merobohkan kita....”
Danaya yang melihat kecemasan dan ketegangan di
wajah kawannya mencoba menghibur. Tapi, bukan be-
rarti yang dikatakannya cuma omong kosong saja. Me-
reka memang telah dibekali sebuah ilmu tangguh un-
tuk melakukan tugas berat itu.
“Kau benar, Kakang!” sahut Kumbara mulai tenang.
Keyakinannya pun timbul setelah mendengar perka-
taan Danaya. Terdengar tarikan nafasnya yang pan-
jang, pertanda kelegaan hatinya.
Dua orang lainnya ikut menganggukkan kepala. Ke-
lihatannya mereka baru sadar setelah mendengar pen-
jelasan Danaya. Kini mereka merasa tenang. Ilmu yang
mereka miliki adalah ilmu tangguh yang baru akan
mereka peroleh lima tahun kemudian. Hanya karena
tugas berat itulah mereka mendapat keistimewaan un-
tuk mempelajarinya.
“Hhh.... Malam sudah semakin larut. Sebaiknya kita
beristirahat Aku akan membangunkan kawan-kawan
kita yang lain untuk ganti berjaga,” suara Danaya me-
mecah kebisuan yang hanya beberapa saat Kemudian,
lelaki berkumis tipis itu bergerak bangkit dan meng-
hampiri empat sosok tubuh lainnya yang tengah terle-
lap dibuai mimpi. Rupanya, mereka bukan cuma berempat. Ada empat orang kawan mereka yang lain.
Kumbara dan dua kawannya segera beranjak bang-
kit. Mereka merebahkan diri di atas rerumputan den-
gan berbantalan buntalan pakaian. Karena empat ka-
wan mereka yang lain sudah terbangun dari tidurnya.
Siap menggantikan mereka untuk berjaga-jaga.
“Oaaahm....”
Salah satu dari keempat lelaki itu menguap lebar
sambil menggeliat. Tubuhnya dijatuhkan di depan api
unggun. Lelaki itu menggosok-gosokkan kedua tan-
gannya di dekat jilatan api. Udara menjelang dini hari
memang terasa semakin dingin menggigit. Apalagi, me-
reka bermalam di tempat terbuka di tepi sebuah hu-
tan.
“Sebentar lagi fajar akan terbit...,” gumam lelaki
bertubuh kekar dengan sepasang mata besar. Sejenak
kepalanya tengadah menatap langit yang dihiasi ge-
mintang dan bulan sabit.
Tiga orang lainnya hanya mengangkat kepala mena-
tap langit. Tak satu pun dari mereka yang memberikan
tanggapan. Karena ucapan barusan memang tidak
memerlukan jawaban.
Tapi, baru saja ketiga lelaki itu menjatuhkan tu-
buhnya di atas rerumputan di depan api unggun, tiba-
tiba datang tiupan angin besar! Api unggun berkobar
cepat dan nyaris padam. Tentu saja hal itu menge-
jutkan mereka. Keempat orang itu saling melempar
pandang satu sama lain. Dan belum lagi salah satu da-
ri mereka sempat berkata, tiba-tiba....
“Hua ha ha...!”
Terdengar tawa berkumandang menggetarkan jan-
tung! Suara tawa itu bagai datang dari delapan penju-
ru. Sehingga, sulit ditentukan dari mana sebenarnya
suara tawa itu datang.
‘Tikus-tikus tak berguna! Kalian datang hanya untuk mengantarkan nyawa...!” suara tawa itu tiba-tiba
lenyap. Berganti dengan gumaman kasar, namun ter-
dengar jelas. Keempat lelaki itu tersentak bangkit dan
meraba gagang pedang!
Danaya dan ketiga kawannya yang baru saja mere-
bahkan diri langsung berlompatan bangkit Mereka
bergabung dengan kawan-kawannya yang masih bera-
da di dekat api unggun. Dan, ikut memperhatikan se-
kitar tempat itu dengan sikap tegang!
“Hm.... Siapa pun kau, kalau memang bukan seo-
rang pengecut segera tunjukkan dirimu...!”
Danaya berseru dengan mengerahkan tenaga da-
lam. Sehingga, suaranya bergema sampai beberapa
tombak ke sekitar tepi hutan. Sepertinya, lelaki ber-
kumis tipis itu ingin menunjukkan bahwa ia dan ka-
wan-kawannya bukan orang sembarangan, dan tidak
mudah digertak!
Seruan yang jelas-jelas bernada tantangan itu,
membuat suasana menjadi hening. Suara tawa mau-
pun ucapan bernada menghina lenyap. Suasana sepi
dan menegangkan. Danaya maupun kawan- kawannya
yakin pemilik suara tanpa wujud itu pasti belum pergi
dari tempat ini. Namun, mereka tidak tahu di mana dia
bersembunyi. Dan mereka hanya bisa menunggu den-
gan sikap penuh waspada. Tiba-tiba....
Whusss...!
Serangkum angin keras berhembus. Danaya dan
kawan-kawannya berlompatan mundur dengan tangan
menggenggam gagang pedang, meski belum tercabut
dari sarungnya. Hembusan angin dingin yang keras
membuat mereka semakin tegang. Itu terlihat jelas pa-
da wajah-wajah mereka dalam pantulan cahaya api
unggun.
“Hua ha ha...! Dasar, Tikus-tikus Tolol! Coba tengok
ke belakang. Aku sudah menunggu kalian...!”
Kaget bukan main kedelapan lelaki gagah itu. Da-
naya segera membalikkan tubuh dengan secepat kilat
Pedang di pinggangnya langsung dicabut keluar. Ia su-
dah siap berhadapan lebih dulu dengan sosok yang di-
tantangnya.
“Siapa kau, Kisanak...? Apa maksudmu menggang-
gu kami...?” tegur Danaya. Ditatapnya tajam- tajam
sosok bayangan hitam yang bersembunyi di balik
bayangan pohon. Danaya tidak bisa melihat wajah so-
sok tinggi besar itu dengan jelas.
“Kau ingin mengetahui siapa aku...?” tukas sosok
tinggi besar menyiratkan ejekan. “Dengar baik-baik.
Aku adalah Malaikat Maut yang datang untuk men-
gambil nyawa tikus-tikus busuk seperti kalian!” lan-
jutnya dengan suara berat dan parau.
Ucapan itu terdengar tidak main-main. Ada nada
kesungguhan di dalamnya, membuat Danaya dan ka-
wan-kawannya tersentak kaget.
“Keparat! Berani kau menghina murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih!” geram salah seorang kawan Da-
naya. Kemudian, menyeruak maju dengan senjata ter-
hunus. Dia tidak lain Kumbara. Lelaki itu tampaknya
tidak bisa menerima penghinaan sosok tinggi besar.
“Heh he he...! Bagiku kalian tak ubahnya bangau-
bangau mau mati!” tandas sosok tinggi besar yang ke-
lihatan sedikit pun tidak merasa gentar mendengar
nama Perguruan Bangau Putih. Bahkan, kekurangaja-
rannya semakin menjadi-jadi.
“Keparat...!” gemetar sekujur tubuh Kumbara men-
dengar hinaan itu. “Kurobek mulutmu...!” bentaknya.
Serta-merta pedangnya diputar. Kumbara melesat
dengan serangan-serangan yang mematikan!
“Haaat...!”
“Adi Kumbara, hati-hati...!” Danaya yang terkejut
melihat tindakan gegabah kawannya segera berseru
memperingatkan. Bahkan, ia melesat menyusul Kum-
bara.
Sosok tinggi besar yang tersembunyi di balik kege-
lapan bayang pepohonan hanya memperdengarkan
dengusan mengejek. Sambaran pedang Kumbara yang
datang bertubi-tubi tidak dapat melukainya. Bahkan,
menyentuh ujung pakaiannya pun tidak. Jelas, betapa
hebat ilmu sosok tinggi besar itu. Bahkan....
“Minggat kau ke neraka...!”
Diiringi bentakan yang mengejutkan, sosok tinggi
besar melontarkan hantaman telapak tangan dengan
mendadak. Serangkum angin keras berhembus mengi-
ringi datangnya serangan itu. Dan....
Desss...!
“Aaakh...?!”
Kumbara terpekik ngeri! Darah segar termuntah da-
ri mulutnya saat telapak tangan lawan singgah di dada
kiri. Tubuh gemuk Kumbara pun terlempar deras dan
jatuh ke tanah dengan nyawa putus!
“Iblis...! Kau harus menukarnya dengan nyawa-
mu...!”
Danaya yang melihat hebatnya pukulan sosok tinggi
besar dapat menduga bahwa kawannya tidak bakal se-
lamat. Maka, dengan kemarahan yang meluap, Danaya
langsung melancarkan serangkaian bacokan dan tu-
sukan dengan kecepatan penuh!
Whuttt, bettt...!
Namun, semua serangan Danaya hanya disambut
dengan kelitan tubuh yang indah. Semua serangannya
kandas. Ketika ia nekat menyusuli dengan serangan
berputar, sosok tinggi besar itu memapakinya dengan
tepisan telapak tangan.
Plaggg!
“Uuuh...?!”
Kaget bukan main lelaki berkumis tipis itu. Setengah lengannya terasa lumpuh untuk sesaat Kuda-
kudanya tergempur dan tubuhnya terhuyung mundur
beberapa langkah. Sadarlah Danaya bahwa sosok ting-
gi besar itu bukan orang sembarangan. Kekuatannya
berada jauh di atas dirinya. Kenyataan itu membuat
Danaya diliputi kecemasan!
“Seraaang...!”
Setelah sadar akan kekuatan dan ketangguhan la-
wan, Danaya segera memerintahkan kawan-kawannya
untuk maju menggempur. Mereka menggunakan ilmu
pedang yang baru diturunkan, dan telah mereka sem-
purnakan dengan baik.
“Yeaaat...!”
“Haaat...!”
Disertai pekikan yang menggegap, Danaya memim-
pin enam orang kawannya menggempur maju. Cahaya
putih keperakan membersit menerangi kegelapan ma-
lam. Suara berdesingan membuat suasana yang semu-
la hening berubah hiruk-pikuk. Ditingkahi dengan
bentakan dan seruan yang mengejutkan.
Tapi, sosok tinggi besar itu ternyata memang tang-
guh. Ia masih mampu mengimbangi serangan Danaya
dan kawan-kawannya. Padahal, orang- orang Pergu-
ruan Bangau Putih telah menggunakan
‘Ilmu Pedang Membelah Kabut’, yang ketangguhan-
nya sudah dikenal oleh kalangan persilatan.
“Sekarang giliranku untuk mengambil nyawa tikus
kalian...!”
Di tengah kilatan cahaya pedang, sosok tinggi besar
tiba-tiba berseru perlahan. Suaranya terdengar jelas di
telinga ketujuh orang lawannya. Dan....
“Haiiit...!”
Dibarengi pekikan menggetarkan jantung, sosok
tinggi besar bergerak menyelinap di antara sambaran
mata pedang. Kemudian, mengibaskan kedua tangan
nya ke kiri kanan menyambut serangan dua batang
pedang yang mengancam tubuhnya.
Takkk, takkk!
Dua orang kawan Danaya tersentak kaget! Mata pe-
dang mereka bagai bertemu dengan sepotong besi baja.
Mereka menjadi kehilangan kewaspadaan. Dan....
Bukkk, desss...!
“Aaa...!”
Terdengar jerit kematian berkumandang membelah
malam. Dua orang murid Perguruan Bangau Putih ter-
jungkal memuntahkan darah segar. Pukulan telapak
tangan sosok tinggi besar telah melepaskan nyawa me-
reka yang hanya satu-satunya.
“Keparat...!” Danaya benar-benar dibuat kalap den-
gan kematian kawan-kawannya. Tubuhnya melayang
ke udara. Danaya berlaku nekat, menerjang maju sela-
gi lawan siap melepaskan pukulan maut!
“Pergilah ke neraka...!” disertai suara mendesis per-
lahan, sosok tinggi besar mendorong tangan kanannya
dengan telapak terbuka. Serangkum angin mencicit
keras menyambut datangnya tubuh Danaya. Sehing-
ga....
Bresh...!
“Aaargh...!”
Danaya meraung bagai binatang luka. Tubuhnya
terpental keras dan membentur batang pohon di bela-
kangnya. Sudah dapat dipastikan pukulan keras itu
menewaskan murid Perguruan Bangau Putih itu.
Apa yang kemudian terjadi membuat keempat ka-
wan Danaya terbelalak. Tubuh yang remuk akibat
membentur pohon besar itu meregang sesaat. Kemu-
dian diam tak bergerak dengan mata terbelalak dan
wajah menyeringai. Lelehan darah mengalir dari mu-
lutnya.
“Heh heh heh...! Tidak usah kaget, Tikus-tikus Tak
Berguna! Sebentar lagi kalian akan menyusulnya. Me-
mang tidak pantas orang-orang seperti kalian mempe-
rebutkan Rase Perak...!” ujar sosok tinggi besar seraya
bergerak menghampiri dengan langkah perlahan. Se-
pertinya, ia sengaja hendak membuat sisa-sisa lawan-
nya mati ketakutan sebelum disentuh.
“Keparat! Jangan kau kira kami takut menghadapi
kematian...!” salah seorang dari empat murid Pergu-
ruan Bangau Putih, menggeram marah. Rasa takut da-
lam hatinya dibuang jauh-jauh. Ia sadar cepat atau
lambat sosok tinggi besar itu pasti akan membunuh-
nya.
“Haaat..!”
Dengan teriakan keras, lelaki itu menerjang maju.
Sambaran pedangnya terdengar berdesingan. Tiga ka-
wannya segera berlompatan menyusul. Rupanya, me-
reka hendak bertarung sampai titik darah penghabi-
san!
Sosok tinggi besar itu sendiri hanya terkekeh. Tu-
buhnya sedikit pun tidak bergerak menghindar saat
empat senjata itu datang mengancam. Kelihatannya, ia
begitu yakin akan kekuatan tenaga dalamnya yang
mampu menahan bacokan mata pedang.
Dan saat keempat mata pedang menghujani tubuh-
nya, sosok tinggi besar hanya mendengus kasar. Apa
yang diyakininya memang benar-benar terjadi. Empat
batang pedang itu terpental lepas dari genggaman pe-
miliknya. Kemudian....
Desss, bukkk, prakkk...!
Empat sosok tubuh itu terlempar ke kiri kanan.
Hantaman telapak tangan yang dialiri tenaga dalam
tingkat tinggi itu membuat mereka berkelojotan tewas.
Satu di antaranya menggeletak tak bernyawa dengan
batok kepala remuk. Jelas sudah betapa hebat kekua-
tan tenaga dalam sosok tinggi besar. Padahal, lawan
lawannya bukanlah orang lemah. Danaya dan kawan-
kawannya merupakan murid-murid utama Perguruan
Bangau Putih. Kehebatan perguruan itu pun cukup
terkenal di kalangan persilatan. Tapi, bagi sosok tinggi
besar itu mereka sedikit pun tidak berarti. Demikian
mudahnya ia menghabisi delapan orang murid utama
Perguruan Bangau Putih.
“Heh heh heh...! Ketua Perguruan Bangau Putih be-
nar-benar tolol. Ia sama saja dengan bermimpi kalau
hendak mendapatkan binatang keramat itu...,” gumam
sosok tinggi besar seraya mengawasi mayat korban ke-
ganasannya.
Malam mulai berganti fajar saat sosok tinggi besar
bergerak meninggalkan tubuh-tubuh korbannya. Ko-
kok ayam hutan mengiringi lenyapnya sosok bayangan
hitam berperawakan tinggi besar yang misterius itu.
***
DUA
“Heaaa... heaaa...!”
Suara bentakan yang diselingi lecutan cambuk
mengiringi derap seekor kuda berbulu putih. Sosok
berperawakan sedang yang duduk di atas binatang
tunggangannya itu memasuki perbatasan sebuah desa.
Dan baru memperlambat lari kudanya begitu melintas
di atas jalan utama desa.
Suasana desa cukup ramai. Rumah-rumah berjajar
di kiri kanan jalan. Tampaknya, kehadiran penung-
gang kuda itu tidak banyak menarik perhatian. Hanya
ada beberapa orang penduduk yang menoleh. Itu pun
hanya sekilas. Selanjutnya, mereka kembali disibuk-
kan oleh pekerjaan masing-masing. Kelihatannya me-
reka tidak aneh dengan para pendatang. Desa itu memang sering dilalui atau pun disinggahi orang-orang
luar. Itu sebabnya, kehadiran sosok bertubuh sedang
yang menunggang kuda berbulu putih itu tidak diper-
hatikan.
Penunggang kuda itu sendiri merasa lega melihat
ketidakpedulian penduduk desa. Sikap itu membuat-
nya bisa lebih tenang melintasi jalan utama desa. Dan
baru membelokkan kudanya saat melihat sebuah ke-
dai makan di sebelah kiri jalan.
Segera ia menambatkan binatang tunggangannya.
Dan melangkah lebar memasuki kedai makan itu.
Beberapa pasang mata sempat menoleh dan mem-
perhatikan sosok bertubuh sedang. Tampaknya, pa-
kaian petani yang dikenakan sosok itu tidak membuat
mereka tertarik. Sehingga, beberapa pasang mata itu
kembali berpaling dan melanjutkan makan serta mi-
num mereka.
Sosok bertubuh sedang yang jelas bukan penduduk
setempat itu kelihatan ingin menampilkan sikap wajar.
Langkahnya terayun menghampiri sebuah meja ko-
song. Sambil melangkah, sepasang matanya bergerak
meneliti orang-orang yang ada di dalam ruangan.
Agaknya, sosok berpakaian petani itu tengah mencari-
cari sesuatu.
Saat langkahnya tiba di depan meja kosong, lelaki
bertubuh sedang itu berniat menghempaskan tubuh-
nya di kursi. Sambil berpegangan pada bagian bela-
kang kursi, sepasang matanya kembali mengawasi se-
kitar.
Mendadak. Lelaki bertubuh sedang itu menghenti-
kan gerakannya dalam kedudukan membungkuk. Se-
pasang matanya membelalak lebar! Terlihat jelas beta-
pa sorot mata itu memancarkan perasaan gembira dan
lega. Namun, keraguan membuatnya terpaku beberapa
saat, seperti terkena sihir.
“Tidak salahkan penglihatanku...?!” desis lelaki ber-
tubuh sedang. Punggung tangannya digosok-gosokkan
ke kedua matanya. Seolah ia belum yakin dengan apa
yang dilihatnya.
Entah apa yang menjadi penyebabnya. Tiba-tiba le-
laki bertubuh sedang itu kelihatan tegang. Jalan na-
fasnya mulai tidak beraturan. Hingga akhirnya, dengan
menghela napas berat langkahnya terayun perlahan.
Sepasang matanya tak lepas memandang ke depan.
Suara langkah terseret dengan detak jantung yang
bekerja lebih cepat, rupanya telah membuat sosok ber-
jubah putih di depannya agak terganggu. Sosok itu
berpaling dengan gerak perlahan, namun jelas menyi-
ratkan kewaspadaan. Sepasang mata tajam berpenga-
ruh dari seraut wajah tampan itu ternyata merupakan
awal kegaduhan yang kemudian terjadi. Karena....
“Pendekar Naga Putih...?!” bagai orang menang lo-
tre, lelaki bertubuh sedang dan berpakaian petani itu
berseru mengejutkan seisi kedai. Tarikan wajahnya
menunjukkan ia sangat gembira tak terkira.
Setengah dari pengunjung kedai serentak menoleh
ke arah sosok sedang berpakaian petani. Sebab, lelaki
itulah sumber suara seruan keras barusan. Kemudian,
mata mereka mengikuti arah pandang lelaki bertubuh
sedang.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Terdengar desis keheranan di sana-sini. Ulah lelaki
berpakaian petani itu membuat pemuda tampan ber-
jubah putih menjadi pusat perhatian dari setengah
pengunjung kedai. Tatapan mereka menyiratkan keka-
guman dan keheranan. Kagum dengan sorot mata ta-
jam berpengaruh dari pemuda tampan itu. Dan heran
melihat kehadiran pendekar ternama itu di antara me-
reka, tanpa seorang pun yang menyadarinya.
Sadar bahwa dirinya tengah ditatap belasan pasang
mata, pemuda tampan berjubah putih itu tersenyum
seraya menganggukkan kepala. Lalu, menoleh ke arah
sosok berpakaian serba hijau yang duduk di sebelah-
nya.
“Dana Ruksa...?!” gumam sosok berpakaian serba
hijau ketika mengenali lelaki berpakaian petani. Keru-
tan pada kening wajah jelita laksana bidadari itu me-
nandakan hati sang Dara tengah diliputi keheranan.
“Kenanga...?!”
Lelaki yang dipanggil dengan Dana Ruksa itu berse-
ru gembira. Tampak jelas ia sangat mengharapkan per-
temuan itu. Sekarang dapat ditebak mengapa saat
memasuki kedai, Dana Ruksa mengedarkan pandan-
gan. Rupanya, pasangan pendekar muda itu yang dica-
rinya.
Pasangan muda yang memang tidak lain Panji dan
Kenanga saling bertukar pandang sesaat. Namun, se-
belum mereka sempat mengambil suatu tindakan, ti-
ba-tiba suasana menjadi gaduh! Setengah dari pen-
gunjung kedai berdiri satu persatu. Mereka melangkah
ke arah Panji dan Kenanga. Dari sikap dan penampi-
lannya, agaknya mereka kaum rimba persilatan.
Tapi, baik Panji maupun Kenanga tidak kelihatan
terkejut. Sepertinya, mereka sudah tahu sebelumnya
kalau di dalam kedai itu banyak terdapat kaum rimba
persilatan. Pasangan pendekar muda itu segera bang-
kit dari duduknya. Siap menyambut tokoh-tokoh persi-
latan yang datang menghampiri.
Panji menyambut salam kaum rimba persilatan itu
dengan bibir tersenyum dan sapa ramah penuh persa-
habatan. Demikian pula yang dilakukan Kenanga. Ga-
dis jelita itu tidak merasa terkucil. Meski ia tahu salam
dan sapa tokoh-tokoh persilatan itu kepadanya hanya
sekadar basa-basi. Karena mereka lebih memperhati-
kan Panji. Malah Kenanga merasa bangga. Panji ada
lah bagian dari dirinya. Baginya, sanjungan untuk
Panji sama dengan menyanjung dirinya. Sehingga, Ke-
nanga tidak merasa tersisih oleh sikap tokoh-tokoh
persilatan itu.
“Maaf, sahabat-sahabat yang gagah. Aku mohon
pamit. Ada sesuatu yang harus segera kuurus...,” pinta
Panji setelah berbasa-basi beberapa saat. Pemuda itu
kemudian meninggalkan ruangan kedai, setelah me-
ninggalkan beberapa keping uang seharga makanan
yang ia pesan.
Para tokoh persilatan itu tidak berani mencegah ke-
pergian Panji. Kelihatannya mereka cukup puas den-
gan sambutan ramah dari pendekar muda itu. Saat
Panji berpamitan, mereka segera menyingkir memberi
jalan.
“Terima kasih...,” ucap Panji beberapa kali seraya
memberi isyarat kepada Kenanga untuk mengikutinya.
Kenanga segera bergerak tanpa banyak tanya. Gadis
itu sudah tahu mengenai sesuatu yang hendak diurus
kekasihnya.
“Ikuti kami, Dana Ruksa...,” bisik Panji saat mele-
wati lelaki berpakaian petani, yang tidak mendapat ke-
sempatan untuk menghampiri pasangan pendekar
muda itu. Dana Ruksa kelihatan menyadari kesala-
hannya yang telah membuat gaduh seisi kedai.
Dana Ruksa mengangguk meski ia tahu Panji dan
Kenanga tidak melihat anggukannya. Lelaki itu berge-
gas mengikuti. Lalu, melompat ke atas punggung ku-
da. Dan mengikuti pasangan pendekar muda itu yang
nampak melangkah agak cepat keluar desa.
Tinggallah tokoh-tokoh rimba persilatan bergerom-
bol di depan kedai. Mereka menatap sosok Panji dan
dara jelita berpakaian serba hijau yang semakin jauh.
Beberapa di antara mereka menggeleng-geleng takjub.
Meski hanya melangkah, tubuh Panji dan Kenanga ce
pat sekali menjauh. Padahal, mereka melihat jelas
langkah pasangan pendekar muda itu. Yang membuat
mereka takjub, hanya dengan melangkah agak cepat
sosok pasangan pendekar muda itu sudah jauh me-
ninggalkan kedai. Itu jelas membuktikan kepandaian
Panji memang sangat hebat, sebagaimana kabar yang
tersiar di kalangan rimba persilatan.
“Hm.... Mungkinkah kehadiran Pendekar Naga Putih
di desa ini juga tertarik dengan kabar adanya binatang
keramat itu...?” gumam seorang tokoh persilatan se-
raya memegang dagu dengan kening berkerut Terasa
ada suatu perasaan tersisih dalam ucapannya.
“Sepanjang yang kudengar, Pendekar Naga Putih
bukanlah orang yang tamak. Baik oleh senjata pusaka
dan bertuah, maupun binatang keramat yang kini beri-
tanya telah tersebar luas di kalangan persilatan. Jadi,
menurutku pendekar muda itu tidak perlu dikhawatir-
kan....” Tokoh lainnya pun yang pernah mendengar si-
fat-sifat Panji langsung menukas.
Hampir semua dari tokoh persilatan yang berdiri di
tempat itu menganggukkan kepala. Mereka kelihatan-
nya lebih setuju dengan perkataan yang terakhir. Tan-
pa sadar, mereka menarik napas lega ketika teringat
bagaimana sikap Panji.
Saat sosok Panji dan Kenanga lenyap, satu persatu
kaum persilatan itu memasuki kedai. Hanya ada bebe-
rapa dari mereka yang beranjak pergi. Sehingga, se-
bentar saja bagian depan kedai makan itu kembali se-
pi.
***
“Kau mempunyai suatu keperluan yang menyang-
kut paman dan bibiku, Dana Ruksa...?” Kenanga sege-
ra melontarkan pertanyaan kepada lelaki berpakaian
petani yang sudah melompat turun dewi punggung
kuda. Saat itu mereka sudah berada jauh di luar desa.
Dana Ruksa tidak segera menjawab. Ia membung-
kuk hormat kepada Panji yang berdiri di samping Ke-
nanga. Kelihatan sekali Dana Ruksa merasa menyesal
dengan kejadian di kedai tadi. Ia sungguh tidak me-
nyangka kehadirannya telah membuat sosok Panji
menjadi pusat perhatian.
“Tidak ada yang perlu kau sesali, Dana Ruksa...,”
ujar Panji tersenyum. Tampaknya, Panji sedikit pun ti-
dak menganggap semua itu merupakan kesalahan.
Ucapan Panji membuat Dana Ruksa merasa lega.
“Paman dan bibimu mengharapkan kalian berdua
datang ke Kadipaten Tumapel secepatnya. Hanya itu
pesan yang kubawa dari beliau. Mengenai kepentin-
gannya, aku tidak bisa menjelaskan...,” Dana Ruksa
mengutarakan maksudnya kepada Kenanga dan Panji.
“Hm....” Kenanga hanya bergumam pelan. Gadis jeli-
ta itu kemudian berpaling menatap wajah Panji. Seje-
nak mereka saling bertukar pandang.
“Menempuh perjalanan jauh untuk mencari kami
benar-benar perbuatan nekat, Dana Ruksa. Untunglah
Tuhan mempertemukan kita. Entah sudah berapa la-
ma waktu kau habiskan untuk mencari kami?” ujar
Panji menatap Dana Ruksa penuh kagum.
Karena untuk mencari mereka memang bukan pe-
kerjaan mudah. Tapi, Dana Ruksa telah melakukan-
nya, meski dalam waktu yang tak pasti. Sebab, Panji
dan Kenanga tidak mempunyai tempat tinggal tetap.
Mereka adalah petualang-petualang yang selalu men-
gamalkan ilmunya untuk kepentingan orang banyak.
“Demi kepentingan Kadipaten Tumapel yang kucin-
tai, tugas seberat apa pun akan kujalankan. Termasuk
mencari kalian berdua yang kusadari memang bukan-
lah pekerjaan mudah. Hingga, aku sampai tidak bisa
mengendalikan kegembiraan saat melihat kalian di kedai. Perjalanan panjang yang memakan waktu sebulan
lebih, lenyap tanpa rasa lelah tersisa. Apa yang sangat
kuharapkan kini menjadi kenyataan...,” sahut Dana
Ruksa melebarkan senyumnya. Kelihatan sekali lelaki
itu tidak berpura-pura.
“Hm.... Jadi kau tidak tahu alasan paman dan bibi-
ku mengharapkan kedatangan kami selekasnya...?”
Kenanga bertanya menimpali pembicaraan Panji dan
Dana Ruksa. Dara jelita itu tidak percaya kalau Dana
Ruksa tidak mengetahui maksud pencarian itu.
“Mmm.... Tentu saja aku tahu, Kenanga. Tapi, kare-
na paman maupun bibimu berpesan demikian, ku-
sampaikan apa adanya. Aku tidak berani membantah.
Yang jelas, kami sangat membutuhkan kehadiran ka-
lian di Kadipaten Tumapel...,” sahut Dana Ruksa tetap
tidak mengatakan kepentingannya.
“Baiklah, Dana Ruksa. Kami pun tidak ingin men-
desakmu...,” desah Kenanga. Benaknya mulai dipenuhi
pertanyaan. Gadis itu menoleh ke arah Panji. “Bagai-
mana ini, Kakang...?” tanya dara jelita itu meminta
pendapat kekasihnya.
Panji tak segera menjawab. Pemuda itu mengang-
guk beberapa kali disertai tarikan napas panjang. Dita-
tapnya Kenanga sesaat. Lalu berpaling kepada Dana
Ruksa. Dan kembali pada kekasihnya.
“Perjalanan menuju Kadipaten Tumapel sangat jauh
dan memakan waktu cukup lama. Aku khawatir saat
kita tiba di kadipaten, darah sudah tumpah di Bukit
Ular Emas. Menurut hematku, sebaiknya kita membagi
tugas. Itu kalau kau tidak merasa keberatan...,” ujar
Panji menanggapi pertanyaan kekasihnya.
Mereka memang hendak menuju ke Bukit Ular
Emas, yang kabarnya menjadi tempat binatang langka.
Kabar itu sudah tersebar luas di kalangan persilatan.
Itu sebabnya, saat di kedai Panji banyak melihat tokoh-tokoh rimba persilatan.
“Kakang,” ujar Kenanga. “Aku tidak ingin dianggap
mementingkan diri sendiri. Kakang pun pasti tahu ja-
wabanku. Aku sadar kalau kita telah dibebani kewaji-
ban untuk menegakkan keadilan. Jadi, silakan utara-
kan apa yang menjadi keputusan Kakang. Aku tidak
akan membantahnya....”
“Baiklah, Kenanga. Meski ada rasa berat di dalam
hati, namun memang sebaiknya kita membagi tugas.
Aku akan melanjutkan perjalanan ke Bukit Ular Emas.
Sementara kau ikut bersama Dana Ruksa untuk me-
nemui paman dan bibimu. Aku percaya kau bisa me-
laksanakan apa pun keinginan mereka. Tapi, kalau
kau mempunyai pendapat lain, silakan katakan pada-
ku...,” jelas Panji mengutarakan pikirannya setelah
mendengar penuturan Kenanga.
“Lalu..., bagaimana kita dapat bertemu lagi, Ka-
kang...?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Ke-
nanga. Berawal dari rasa cemas berjauhan dengan pe-
muda pujaannya. Pertanyaan itu jelas menunjukkan
betapa Kenanga merasa takut melalui hari-hari tanpa
sang Kekasih menyertai. Sehingga, tercetus begitu saja
dari mulutnya.
Melihat sikap dan pandang mata pasangan pende-
kar muda itu, Dana Ruksa tahu diri. Ia tidak ingin
mengganggu mereka. “Maaf,” ucap Dana Ruksa pelan.
“Sementara kalian berunding, aku hendak mencari
rumput untuk kudaku...,” pamit Dana Ruksa yang
memutar binatang tunggangannya, hendak menjauhi
tempat itu.
Panji dan Kenanga tentu saja merasa akan lebih le-
luasa jika bicara berdua. Maka, mereka pun tidak
mencegah kepergian Dana Ruksa. Keduanya segera
mengangguk dan tersenyum kepada lelaki yang penuh
pengertian itu.
Sepeninggal Dana Ruksa, Panji melingkarkan tan-
gannya ke bahu Kenanga. Mereka melangkah perlahan
menuju tepian sungai yang gemericik airnya terdengar
dari tempat itu. Kelihatannya, mereka merasa berat
untuk berpisah.
“Aku akan rindu sekali kepadamu, Kakang...,” de-
sah Kenanga menyandarkan kepalanya di bahu Panji.
Ia tidak menolak saat pemuda itu membawanya menu-
ju tepi sungai.
“Demikian pula denganku, Kenanga. Jangankan un-
tuk berpisah dalam waktu lama. Sehari pun rasanya
akan sangat menyiksa. Sulit aku membayangkan hari-
hari tanpa senyum dan tatapanmu yang penuh kasih.
Rasanya..., saat ini pun aku sudah merasa rindu ke-
padamu. Tapi, demi kepentingan orang banyak dan
demi keadilan aku akan berusaha menekan semua pe-
rasaan yang menyiksa itu. Aku akan segera menemui-
mu di Kadipaten Tumapel setelah persoalan di Bukit
Ular Emas tuntas....”
Panji meremas dengan lembut bahu yang hangat
dan lunak itu. Hatinya sempat bergetar saat merasa-
kan betapa dalam tubuh kekasihnya ada kepasrahan
yang dalam. Panji menarik napas panjang dan mele-
pasnya bersama gemuruh yang bergelora di dalam da-
da. Ditekannya semua perasaan yang bergejolak itu.
Kenanga bukan tidak tahu mengapa kekasihnya
menghela napas panjang. Ia pun merasakan hal yang
sama. Tetapi, berbeda dengan Panji yang mencoba un-
tuk menekannya. Kenanga malah melepaskan begitu
saja semua gejolak yang ada dalam hatinya. Gadis itu
menumpahkannya melalui perbuatan.
“Peluklah aku erat-erat, Kakang...,” desah dara jelita
itu yang sudah menggayutkan kedua lengannya di leh-
er Panji. Sehingga mereka saling berhadapan dan lekat
satu sama lain.
“Kenanga...,” desis Panji melingkarkan kedua len-
gannya ke pinggang dara jelita itu. Diremasnya pung-
gung Kenanga sebagai curahan rasa cintanya yang be-
sar.
Sesaat kemudian, pasangan pendekar muda itu sal-
ing berpelukan erat. Dan, menumpahkan rasa kasih
mereka melalui kecupan lembut. Terdengar erangan li-
rih dari kerongkongan dara jelita itu. Pelukan lengan-
nya pun semakin erat. Seolah ia hendak menyatukan
tubuh Panji ke dalam tubuhnya. Agar mereka tidak la-
gi berpisah dan menyatu selamanya.
Saat bermesraan seperti itulah mereka baru merasa
lelah dengan petualangan-petualangan yang penuh
ancaman maut dan taruhan nyawa. Terbersit pikiran
untuk mencari kedamaian dan ketenangan, untuk me-
nyirami cinta kasih mereka yang memang hampir tidak
sempat terpikirkan. Sehingga, tidak aneh kalau keme-
sraan itu membuat mereka berdua terlelap bagai mu-
safir haus di tengah gurun pasir yang luas.
Kenanga yang semakin terhanyut membalas dengan
panas ciuman kekasihnya. Bahkan, kemudian menarik
tubuh Panji hingga jatuh di atas rerumputan. Kendati
demikian, Kenanga tidak melepaskan pelukannya. Se-
pertinya dara jelita itu tidak pernah merasa puas. Dan
kesempatan itu membuatnya ingin mereguk sepuas-
puasnya curahan cinta Panji.
Sebagai manusia biasa yang berdarah muda, Panji
dapat saja terseret oleh perasaan. Apalagi Kenanga
memang gadis satu-satunya yang sangat ia sayangi
dan cintai. Panji pun membalas cumbuan Kenanga
dengan tidak kalah hangatnya. Sampai akhirnya, Panji
tersentak ketika mendengar desah dara jelita itu.
“Lakukanlah, Kakang.... Aku tidak akan menyesa-
linya.... Biarlah hari ini menjadi kenangan terindah
yang akan menemani hari-hari ku esok...,” desah Ke-
nanga di antara gemuruh dada dan deru nafasnya.
Wajah jelita yang kemerahan itu menatap sayu, pasrah
akan apa yang dilakukan pemuda itu selanjutnya.
Meski peperangan dalam batinnya demikian hebat,
Panji masih bisa berpikir jernih. Cepat ia menarik wa-
jahnya agak menjauh. Walaupun wajahnya telah ke-
merahan, pemuda itu masih merasa pantang untuk
memenuhi permintaan kekasihnya. Setelah menatap
tubuh Kenanga yang pakaiannya sudah tidak karuan
lagi, Panji menarik tubuhnya. Siap untuk bangkit ber-
diri. Namun, pemuda itu tidak ingin melepaskan len-
gan Kenanga dengan kasar. Panji takut dara jelita itu
tersinggung. Digenggamnya lengan Kenanga dengan
lunak, mencoba untuk melepaskan pegangan pada le-
hernya.
“Mengapa, Kakang...?” tegur Kenanga dengan mata
berkabut. Ditatapnya bola mata pemuda itu lekat-
lekat.
“Untuk yang satu ini, ku mohon jangan sampai ter-
jadi pada saat-saat sekarang...,” ujar Panji dengan sua-
ra perlahan, berusaha mengingatkan. Karena perjala-
nan mereka masih panjang dan masih banyak yang
harus diselesaikan.
Tapi Kenanga tidak menyahuti. Butir-butir air mata
meluncur turun membasahi kedua pipinya yang halus.
Panji tentu saja terkejut. Apalagi, ketika Kenanga me-
narik kedua lengannya dan menutupi wajah. Terden-
gar isak yang berusaha ditahan. Betapa tersiksanya
hati Panji melihat kesedihan kekasihnya.
“Aku tahu sekarang...,” ucap dara jelita itu seraya
tersedu-sedu, “Kakang tidak pernah mau melakukan-
nya karena merasa jijik dengan tubuhku...” lanjutnya
tetap menutup wajah dengan telapak tangan.
“Aaah.... Kenanga..., mengapa kau berprasangka
seperti itu...,” keluh Panji melihat kekasihnya menan-
gis sangat sedih.
Padahal, apa yang dilakukannya karena Panji terla-
lu mencintai gadis jelita itu. Kalau saja tidak ingat
akan tugas-tugasnya, Panji pasti tidak akan menolak-
nya. Bahkan, akan melakukannya tanpa diminta. Se-
bagai lelaki normal tentu saja ia menginginkan hubun-
gan yang lebih jauh. Tapi, penolakan itu ternyata di-
tanggapi lain oleh Kenanga. Gadis itu merasa terhina
karena Panji tidak mau melakukannya. Jelas, pemiki-
ran gadis itu terbalik. Tapi juga tidak bisa disalahkan.
Kenanga terlalu mencintai Panji dan tidak ingin kehi-
langan pemuda pujaannya itu. Sedangkan Panji meno-
lak karena begitu menghormati dan menyayanginya
dengan tulus.
***
TIGA
Panji benar-benar kehilangan kata-kata untuk men-
jelaskan semua itu. Pemuda itu menggeleng berkali-
kali. Panji berusaha melepaskan telapak tangan yang
menyembunyikan wajah jelita Kenanga. Namun, Ke-
nanga mempertahankannya. Gadis itu tetap menyem-
bunyikan wajahnya yang telah basah oleh air mata. Itu
terlihat dari lelehan di sela-sela jari tangannya. Hingga,
hati Panji semakin tak karuan.
“Kenanga..., kalau saja kau tahu betapa sangat in-
gin aku melakukannya.... Tapi tidak sekarang, Adikku.
Pada saatnya nanti, tanpa kau minta pun aku akan
melakukannya. Jangan kau berkata seperti itu, Ke-
nanga. Sadarlah akan kewajiban kita untuk menga-
malkan kebajikan bagi orang banyak...,” bujuk Panji
seraya membelai rambut dara jelita itu dengan penuh
kasih.
“Kalau kau benar-benar mencintai ku dan tidak in-
gin melihat hatiku hancur, sekaranglah saatnya, Ka-
kang. Tidak perlu menunggu waktu yang tidak pas-
ti...,” tukas Kenanga di sela isaknya.
“Kau tidak akan menyesal...?” karena tidak bisa di-
bujuk, akhirnya Panji mengalah.
“Aku malah akan sangat berbahagia, Kakang...,”
sahut Kenanga dengan sedikit terisak. Kali ini ia mele-
paskan telapak tangannya dari wajah. Ada binar keba-
hagiaan dalam sinar mata yang masih basah itu.
Terdorong oleh rasa kasih dan tidak ingin melihat
kekasihnya sedih, Panji melucuti pakaian dara jelita
itu dengan jari-jari gemetar. Tubuh bagian atas dara
jelita itu telah polos, memperlihatkan kulit yang halus
tak tercela. Wajah Panji tampak memerah. Iblis sema-
kin mencengkeram erat hati dan pikiran pemuda per-
kasa itu. Namun, sebelum segalanya terjadi, tiba-tiba
Panji menyentakkan tubuhnya dan melenting bangkit
“Tidak, Kenanga...! Aku tidak bisa...!” desis Panji
dengan suara gemetar. “Kau membuatku hampir gi-
la...!”
Pemuda perkasa itu merintih dan menjatuhkan tu-
buhnya di atas rumput dengan bertelekan kedua lutut.
Wajahnya ditutupi dengan kedua telapak tangan. Panji
berusaha keras melepaskan diri dari cengkeraman ib-
lis-iblis yang menggodanya. Panji benar-benar menda-
pat ujian batin yang sangat berat
Semula Kenanga merasa kaget dan sangat kecewa.
Tapi, begitu ia melihat betapa kekasihnya sangat ter-
siksa, kekecewaan itu pun tersapu lenyap. Berganti
dengan rasa iba yang dalam. Kenanga segera merapi-
kan pakaiannya., Kemudian, bergerak menghampiri
Panji dengan menyeret kedua lututnya di atas rumput.
Dipeluknya tubuh Panji dengan mata yang kembali basah.
“Maafkan aku, Kakang.... Aku sungguh tidak me-
nyangka kau akan tersiksa seperti ini...,” desah dara
jelita itu merangkul erat tubuh kekasihnya. Aneh be-
nar sikap gadis itu. Belum lama ia yang dibujuk seten-
gah mati. Tapi sekarang malah balik membujuk dan
meminta maaf kepada Panji.
“Kau tidak salah, Adikku. Akulah yang salah dan te-
lah menyiksa perasaanmu selama ini. Padahal, aku in-
gin selalu membuatmu bahagia. Tapi, yang kuberikan
hanya petualangan penuh bahaya dan taruhan nyawa.
Tidak seharusnya kau menjalani kehidupan seperti ini.
Maafkan aku...,” tukas Panji menatap wajah yang ba-
sah oleh air mata. Di kecupnya bibir indah itu dengan
penuh rasa cinta.
Kali ini Kenanga yang lebih dulu menarik diri. Ke-
cupan Panji membuatnya tersenyum sangat manis!
Sepasang matanya berbinar penuh kekaguman. Se-
hingga, Panji ganti menjadi heran.
“Sudahlah, Kakang. Kalau dilanjutkan bisa-bisa
aku terseret lagi,” ujar Kenanga dengan menggenggam
jemari Panji.
Tampaknya, dara jelita itu telah menyadari kekeli-
ruannya yang nyaris mendatangkan penyesalan di hati
Panji. Kalau semua itu sampai terjadi, mereka telah
melanggar pesan guru-guru mereka. Mereka berdua te-
lah dipesankan agar mendahulukan kepentingan orang
banyak daripada kepentingan pribadi. Selain itu, sete-
lah melakukannya sekali, bukan mustahil akan men-
jadi dua kali, tiga kali dan seterusnya. Semua itu akan
membuat tugas mereka terhambat.
“Hhh....”
Panji menghela napas lega. Ia benar-benar gembira
melihat Kenanga telah sadar dari kekeliruannya. Se-
nyum pemuda itu melebar dan menatap bangga wajah
yang kelihatan semakin jelita itu. Tapi, tindakan Panji
selanjutnya membuat Kenanga terpekik kecil. Kare-
na....
“Biarlah kau terseret lagi. Sekarang aku benar- be-
nar ingin melakukannya...,” sambil berkata demikian,
Panji melesat menerkam tubuh kekasihnya. Sehingga,
keduanya jatuh di atas rerumputan.
Namun Kenanga sudah dapat meraba. Ia tahu ke-
kasihnya tidak bersungguh-sungguh. Sehingga mem-
biarkan saja perlakuan Panji terhadapnya. Bahkan,
malah menunjukkan sikap menantang.
“He, mengapa berhenti...?” tegur Kenanga terse-
nyum tanpa berusaha bangkit Karena Panji yang me-
rasakan tidak adanya perlawanan dari gadis jelita itu
segera menghentikan gerakannya.
Panji memang sengaja hendak memancing sambu-
tan Kenanga. Pemuda itu tertawa keras dan bangkit
berdiri. Tubuh molek yang masih rebah telentang itu
langsung disambarnya. Lalu, dipondongnya dengan
kedua tangan.
“Kau benar-benar membuat aku gemas, Kenanga.
Untung saja gemblengan batin yang diberikan guruku
cukup kuat. Kalau tidak, kau sudah ku lalap habis-
habisan!” ujar Panji tertawa sambil menciumi wajah je-
lita itu.
“Memangnya aku ayam panggang...,” sahut Kenan-
ga tertawa kecil penuh kebahagiaan. Saat seperti itu
mereka tidak berbeda dengan orang lain. Kegarangan
serta perbawa mereka sedikit pun tidak terlihat. Yang
tampak hanyalah dua anak manusia berlainan jenis
yang tengah terbuai indahnya cinta.
“Sekarang mari kita temui Dana Ruksa. Kasihan.
Mungkin ia sudah tidak sabar mendengar hasil pembi-
caraan kita...,” ujar Panji, tiba-tiba teringat bahwa ada
orang yang tengah menanti keputusan mereka. Tubuh
dara jelita dalam pondongannya itu diturunkan. Mere-
ka pun melangkah perlahan menuju tempat semula, di
mana Dana Ruksa menunggu dengan sabar.
“Kalau sudah selesai dengan persoalanmu, cepatlah
datang menemuiku di kadipaten, Kakang...,” ujar Ke-
nanga dengan tangan yang tak lepas dari jemari keka-
sihnya.
“Secepatnya aku akan datang setelah segalanya da-
pat kuselesaikan,” janji Panji mantap.
“Di sana kita akan meminta paman dan bibi un-
tuk...,” Kenanga tidak menyelesaikan kalimatnya. Ia
tersenyum malu-malu mengerling ke arah Panji.
“Untuk apa...?” tanya Panji berpaling ketika Kenan-
ga tidak menyelesaikan ucapannya.
“Untuk mengawiniku...,” jawab Kenanga yang kali
ini menatap wajah kekasihnya penuh harap.
“Kalau hanya untuk itu mengapa harus jauh- jauh
ke Kadipaten Tumapel...?” tukas Panji tersenyum
membuat Kenanga menaikkan sebelah alisnya yang
tebal dan indah. Sepasang mata beningnya menatap
Panji tak mengerti.
“Maksud Kakang bagaimana...?” tanya Kenanga in-
gin tahu. Ia menduga kekasihnya telah mempunyai
rencana lain. Gadis itu menunggu dengan hati berde-
bar.
“Maksudku, kalau hanya sekadar mengawinimu se-
karang pun bisa kulakukan...,” sahut Panji yang tentu
saja menggoda kekasihnya.
“Iiih.... Kakang jorok...,” sergah Kenanga menger-
nyit, tapi mata dan wajahnya jelas memancarkan ke-
bahagiaan.
“Mmm.... Barusan kau memaksaku sampai nangis-
nangis. Kok sekarang malah mengatakan aku jorok?”
kilah Panji tertawa kecil.
“Biarin! Itu kan tadi! Tapi sekarang..., nggak janji
deh!” bantah Kenanga tak mau kalah, membuat tawa
Panji berkepanjangan.
Sementara beberapa belas tombak di depan pasan-
gan pendekar muda yang tengah bercanda itu, Dana
Ruksa mengawasi dengan bibir tersenyum. Nampak-
nya, ia ikut merasakan kebahagiaan yang terpancar
pada wajah mereka. Dana Ruksa bergegas menyambut
sambil menuntun kudanya, saat pasangan pendekar
muda itu semakin dekat.
“Kami sudah mengambil keputusan bersama, Dana
Ruksa. Berhubung aku masih harus menyelesaikan
suatu masalah besar, biarlah nanti aku menyusul. Kau
bersama Kenanga berangkatlah lebih dulu ke kadipa-
ten. Sampaikan salam dan maafku kepada paman dan
bibi Kenanga,” Panji segera menjelaskan keputusan
yang telah diambilnya bersama Kenanga.
“Begitu pun baik, Panji. Kami akan menunggu keda-
tanganmu...,” ujar Dana Ruksa menyetujui usul Panji.
“Kalau begitu, marilah kita segera berangkat...,” tu-
kas Kenanga melepaskan jemari tangan Panji dari
genggamannya. Ditatapnya wajah tampan kekasihnya
untuk beberapa saat, “Susullah aku secepatnya, Ka-
kang...,” pinta dara jelita itu memandang penuh kerin-
duan. Padahal, mereka belum lagi berpisah.
“Segera aku akan menyusulmu untuk...,” Panji ti-
dak melanjutkan kalimatnya, la mengedipkan sebelah
matanya kepada dara jelita itu.
Kenanga hanya mencibirkan bibir. Gadis itu melesat
menyusul Dana Ruksa yang menjalankan kudanya
dengan perlahan. Panji tetap diam di tempatnya mena-
tap sosok gadis pujaannya yang semakin jauh dan sa-
mar. Kemudian lenyap di kejauhan.
Setelah bayangan kedua orang itu lenyap dari batas
pandangan mata, Panji menghela napas panjang dan
berat. Tiba-tiba ia merasa sepi sekali. Kepergian Kenanga seolah telah membawa sebagian dari semangat-
nya. Alam sekitar yang semula indah dipandang kini
terasa gersang dan tandus. Saat itu ia baru menyadari
betapa cintanya sangat besar terhadap dara jelita itu.
“Tunggulah, Kenanga. Aku akan segera menyusul-
mu...,” janji Panji pada diri sendiri. Kemudian berbalik
dan melangkah perlahan meninggalkan tempat itu.
***
Dengan ilmu meringankan tubuhnya yang sudah
mencapai taraf sempurna, Panji melakukan perjalanan
menuju Bukit Ular Emas. Tempat itu diduganya akan
menjadi ajang pertumpahan darah. Karena berita yang
telah tersebar luas di kalangan persilatan, sudah pasti
akan membuat bukit yang biasanya tidak pernah diin-
jak manusia itu akan dibanjiri tokoh-tokoh rimba per-
silatan. Hal itulah yang ingin dicegahnya, meski ia be-
lum tahu dengan cara bagaimana.
Saat itu hari baru menjelang sore. Panji yang semu-
la menempuh perjalanan dengan mengandalkan kece-
patan larinya kini mengurangi kecepatan gerak tubuh-
nya. Sepasang matanya menyorot tajam ke depan. Ke-
ningnya berkerut ketika semakin melihat jelas benda-
benda yang berserakan di tepi sebuah hutan. Sesaat
kemudian, pemuda itu tampak terkejut.
“Hm.... Rupanya korban sudah mulai berjatuhan?
Siapa yang melakukan kekejaman ini...?” gumam Panji
berdiri tegak memperhatikan delapan sosok mayat
yang bergeletakan.
Kendati sudah menduga mayat-mayat itu adalah
kaum rimba persilatan yang hendak menuju Bukit
Ular Emas, Panji ingin tahu lebih jelas siapa dan dari
mana orang-orang yang menjadi korban pertama dari
berita celaka itu.
Setelah memperhatikan delapan sosok mayat itu satu persatu, Panji menemukan sesuatu yang cukup
mengejutkan. Ia dapat mengenali kalau mayat-mayat
itu berasal dari Perguruan Bangau Putih.
“Gila! Pendekar Bangau Sakti tentu tidak akan ting-
gal diam bila sampai mengetahui kejadian ini.
Ini pasti perbuatan tokoh-tokoh golongan hitam.
Mereka mungkin hendak membuat suasana menjadi
rusuh dan panas...,” gumam Panji khawatir jika ke-
murkaan Pendekar Bangau Sakti akan membuat Bukit
Ular Emas menjadi kubangan darah.
Kekhawatiran Panji memang beralasan. Siapa tokoh
yang tidak mengenal Pendekar Bangau Sakti. Ketua
perguruan yang terkenal berwatak keras dan beringa-
san itu cukup disegani oleh kawan dan ditakuti lawan.
Kematian murid-muridnya tentu akan membuat pen-
dekar itu marah besar. Dan akan melabrak siapa saja
tanpa pandang bulu. Kendati dari golongan sendiri.
Sudah pasti kalau pendekar itu sampai mengetahui
tentang kematian murid-muridnya, ia akan membuat
gaduh di Bukit Ular Emas. Dan bisa jadi melabrak
penghuni bukit itu tanpa banyak bicara lagi. Sepak-
terjang ketua perguruan itulah yang dikhawatirkan
Panji.
“Hm.... Tapi bisa saja semua ini perbuatan tokoh
segolongan yang tidak ingin mendapat banyak saingan.
Jika benar demikian, besar kemungkinan perjalanan
tokoh-tokoh persilatan yang lain pun dibayangi bahaya
maut. Kalau sudah begini, sulit aku mengatasinya...,”
gumam Panji bergerak bangkit dan bermaksud men-
guburkan mayat-mayat itu.
“Pendekar Naga Putih...?!”
Panji yang baru saja membuat sebuah lubang besar
dan telah menurunkan dua dari delapan mayat itu
menoleh terkejut ke arah asal suara. Dari nada sua-
ranya Panji tahu ia akan terlibat dalam kesulitan. Tapi,
Panji berusaha tetap tenang. Meskipun tiga sosok tu-
buh yang tengah menghampirinya menyaksikan per-
buatannya.
“Apa yang kau lakukan, Pendekar Naga Putih...?”
tegur salah satu dari ketiga lelaki gagah itu curiga.
Bahkan, keningnya berkerut menuntut jawaban.
“Aku hendak memakamkan mereka dengan
layak...,” sahut Panji dengan perasaan yang mulai ti-
dak enak. Ia sadar ketiga tokoh itu menaruh curiga
terhadap dirinya.
“Hei, lihat baik-baik, Kakang Baswara! Bukankah
mereka murid-murid Perguruan Bangau Putih...?!”
orang kedua yang berkening lebar berseru kaget Ru-
panya, ia mengenali ciri-ciri enam sosok mayat yang
belum sempat diturunkan Panji ke dalam lubang.
“Benar! Mereka adalah murid-murid Pendekar Ban-
gau Sakti!” seru lelaki ketiga yang tubuhnya tinggi ku-
rus dan kelihatan seperti orang penyakitan. Sepasang
matanya yang semula redup terbelalak lebar. Jelas, ia
pun terkejut ketika mengetahui siapa mayat-mayat itu.
Orang pertama yang bernama Baswara bergegas
meneliti enam sosok mayat di dekat kakinya.
Kemudian ganti menatap Panji dengan sinar mata
minta penjelasan. Kelihatannya, ia semakin bertambah
curiga terhadap Panji.
“Siapa yang telah berani membunuh mereka, Pen-
dekar Naga Putih...?” tanya Baswara mengamati wajah
Panji. Seolah ia ingin tahu apakah wajah tampan itu
akan menggambarkan dusta sewaktu menjawab perta-
nyaannya.
“Aku tidak tahu, Baswara. Kalau saja aku sempat
menyaksikannya, tentu tidak akan kubiarkan pembu-
nuh itu pergi dari hadapanku dalam keadaan sela-
mat...,” sahut Panji sejujurnya seraya menentang pan-
dang mata lelaki botak berwajah berewok itu. Sehingga, Baswara memalingkan pandangannya. Tak sang-
gup melawan tatapan tajam penuh perbawa dari seo-
rang pendekar yang memiliki tingkat kedigdayaan ting-
gi.
“Hm....” Baswara bergumam pelan. Kemudian ber-
paling ke arah kawan-kawannya. Dan saling bertukar
pandang sesaat. Lalu, kembali menatap Panji.
Baswara dan dua orang kawannya bukanlah orang-
orang sembarangan. Panji tahu siapa mereka. Ketiga
lelaki gagah itu mendapat julukan Tiga Harimau Besi.
Nama ketiganya telah bergaung menggetarkan rimba
persilatan. Jarang ada orang yang berani mencari per-
kara dengan tiga tokoh itu. Bahkan, di kalangan go-
longan hitam nama Tiga Harimau Besi sanggup mem-
buat para perampok tunggang-langgang bila berjumpa
dengan ketiga tokoh itu. Nampaknya, mereka pun ter-
tarik dengan kabar yang tersebar di kalangan persila-
tan. Dan kini mereka telah ada di hadapan Panji.
“Jadi, maksudmu kau menemukan mereka dalam
keadaan sudah tidak bernyawa, begitu...?” Baswara
kembali bertanya menegasi setelah terdiam agak lama.
“Tepatnya memang begitu...,” sahut Panji berpura-
pura bodoh. Meski ia sadar Baswara telah nyata-nyata
menunjukkan sikap curiga.
“Hm.... Aku tidak percaya, Kakang!” tiba-tiba lelaki
yang bertubuh kurus dengan wajah pucat dan mata
sayu menukas tajam. “Kalau benar demikian, mengapa
harus susah-susah menguburkan mayat mereka? Ten-
tu maksudnya hendak menghilangkan jejak. Agar per-
buatannya tidak diketahui orang lain...,”
Tajam benar tuduhan yang dilontarkan orang ketiga
dari Tiga Harimau Besi. Panji pun sampai menarik na-
pas panjang untuk menekan gemuruh dalam dadanya.
Tuduhan itu jelas tanpa dasar yang kuat Dan merupa-
kan fitnah keji yang bisa menyulitkan Panji di kemudian hari.
“Jiranta,” ucap Panji yang memang sudah mengenal
nama maupun julukan ketiga tokoh itu. “Untuk apa
aku membunuh mereka? Sedangkan di antara aku dan
orang-orang Perguruan Bangau Putih tidak ada per-
musuhan. Jelas tuduhan itu tidak berdasar. Seharus-
nya kau sadar kalau tuduhan itu bisa menjadi perpe-
cahan di antara sesama golongan.
Tenang sekali Panji berkata mengingatkan tokoh
itu. Sehingga, wajah kurus Jiranta menjadi kemera-
han. Rupanya, ia merasa tersinggung dengan jawaban
Panji. Panji sendiri tetap tenang dan siap menghadapi
segala kemungkinan yang bisa terjadi.
***
EMPAT
Jiranta, Baswara, dan Kunda Lawing menatap Panji
dengan pandangan tak senang. Kemudian, Baswara
orang tertua dari Tiga Harimau Besi, melangkah bebe-
rapa tindak mendekati Panji.
“Pendekar Naga Putih...,” ujar Baswara. Ditatapnya
wajah pendekar muda di depannya lekat-lekat “Kepen-
tingan apa yang membuatmu berada di tempat ini?”
tanya Baswara dengan sikap yang tidak enak dilihat.
Mendengar pertanyaan itu, Panji malah tersenyum.
Seolah pemuda itu menganggapnya sebagai sesuatu
yang lucu. Panji melangkah menjauhi lubang kubur
yang dibuatnya.
“Baswara,” sahut Panji dengan tersenyum sabar.
“Adakah larangan bagi seseorang untuk berada di
tempat ini? Ataukah kalian bertiga telah sedemikian
kaya dan membeli seluruh tanah di hutan ini? Jika
memang demikian, tentu wajar kalian marah kepadaku
yang telah melanggar tempat ini tanpa seizin kalian
bertiga. Biarlah sekarang juga aku meminta maaf ke-
pada Tiga Harimau Besi yang gagah perkasa dan ber-
hati bijak...,” lanjut Panji. Perkataannya jelas menun-
jukkan pemuda itu merasa tersinggung dengan sikap
dan pertanyaan-pertanyaan Tiga Harimau Besi.
“Hm.... Jangan main-main, Pendekar Naga Putih!
Kendati nama besarmu menjulang tinggi menggetarkan
rimba persilatan, tapi kami Tiga Harimau Besi sedikit
pun tidak merasa gentar. Kami tidak segan-segan un-
tuk bertindak kasar kepadamu!” Baswara menyahuti
gusar. Wajahnya dijalari warna merah. Kelihatan sekali
lelaki berewok itu tengah menahan kegeraman hatinya.
“Tiga Harimau Besi, dengarlah baik-baik,” tiba-tiba
Panji merubah sikapnya. Kalau tadi ia masih terse-
nyum dan menjawab sekenanya, kini tidak lagi. Wa-
jahnya mengeras. Sepasang matanya menyorot tajam
merayapi wajah ketiga tokoh itu dengan penuh perba-
wa. “Sebenarnya apa yang kalian kehendaki dari diri-
ku? Jawablah, dan jangan berbelit-belit!” lanjut Panji
mengejutkan Tiga Harimau Besi.
Perubahan sikap Panji memang terasa sekali. Mere-
ka tergetar juga melihat kuatnya perbawa yang menye-
limuti sosok pemuda tampan berjubah putih itu. Se-
hingga, tanpa sadar Baswara yang berada paling dekat
dengan pemuda itu bergerak mundur. Bahkan, wajah-
nya terlihat agak pucat. Terasa benar betapa hebatnya
pengaruh sosok Panji.
“Kau tidak melihat pembunuh murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih karena mereka semua tewas di
tanganmu, Pendekar Naga Putih! Dan aku yakin kau
pun mempunyai tujuan yang sama dengan mereka.
Bukit Ular Emas! Nah, salahkah dugaanku?” kali ini
yang menyahuti Jiranta. Lelaki tinggi kurus berwajah
pucat itu kelihatan paling kuat melemparkan tuduhan
kepada Panji. Kini kembali menyerang Panji dengan
kata-kata tajam dan jelas-jelas merupakan tuduhan
berat.
“Hm.... Dugaanmu yang pertama kujawab sejujur-
nya bahwa itu tidak benar, Jiranta. Tujuanku memang
benar hendak ke Bukit Ular Emas. Lalu, apakah ada
larangan bagiku untuk pergi ke Bukit Ular Emas?” tu-
kas Panji tegas dan penuh perbawa. Pemuda itu men-
ganggap Tiga Harimau Besi bukan lagi sekadar curiga.
Mereka terang-terangan menuduhnya sebagai pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih. Jelas, ka-
lau sampai tersebar di luaran Panji akan menghadapi
kesulitan.
“Tidak salah lagi! Maksudmu mendatangi Bukit Ular
Emas tentu mempunyai satu kepentingan, bukan?”
Kunda Lawing, orang termuda dari Tiga Harimau Besi
ikut menimpali. Sama seperti kedua saudaranya, ia
pun menuduh Panji sebagai pelaku pembunuhan itu.
“Tiga Harimau Besi! Bukan hanya kalian saja yang
berhak datang ke Bukit Ular Emas, dan berniat memi-
liki Rase Perak yang mukjizat itu! Aku pun memiliki
hak yang sama dengan kalian bertiga. Bedanya, aku
tidak berniat untuk memiliki Rase Perak. Bukan tidak
memerlukannya. Tapi aku bukanlah manusia-manusia
tamak yang haus akan kekuatan. Selamat tinggal...!”
Setelah berkata demikian, yang membuat Tiga Ha-
rimau Besi tertegun, Panji melesat meninggalkan tem-
pat itu. Karena menurutnya tidak ada gunanya mela-
deni orang-orang yang tengah dipengaruhi rasa curiga
dan iri. Panji tidak menyalahkan ketiga lelaki gagah itu
kalau mereka merasa iri pada dirinya. Kemunculan
Panji memang telah membuat nama besar Tiga Hari-
mau Besi tergeser, dan hampir tidak pernah disebut-
sebut orang lagi. Sebagai manusia biasa, wajar saja ka-
lau mereka merasa iri.
Tapi, Tiga Harimau Besi tidak mau membiarkan
Panji pergi begitu saja dari hadapan mereka. Cepat ba-
gai kilat ketiganya melesat. Maksudnya, untuk mence-
gah kepergian Panji!
“Berhenti...!”
Baswara yang melejit paling depan segera mengelu-
arkan bentakan keras disertai pengerahan tenaga da-
lam. Sehingga, gema suaranya menggeletar ke segenap
pelosok hutan. Dari sini dapat dilihat betapa hebat te-
naga dalam Baswara.
Panji rupanya tidak mau lagi meladeni mereka. Pe-
muda itu terus melesat tanpa mempedulikan peringa-
tan Baswara. Sehingga, tokoh pertama dari Tiga Hari-
mau Besi itu kian bertambah gusar. Hingga...
“Haaat..!”
Baswara membentak keras. Kemudian, melepaskan
pukulan jarak jauh dengan kedua tangannya bergan-
tian. Lelaki berewok itu melakukannya tanpa meng-
hentikan pengejaran.
Whusss...!
Angin keras menderu mengancam tubuh bagian be-
lakang Pendekar Naga Putih. Tampaknya, Baswara ti-
dak main-main lagi. Ia memang hendak mencelakakan
pendekar muda itu. Tapi....
Duarrr...!
Panji yang tentu saja sadar akan datangnya bahaya
bergegas melambung ke udara menghindarinya. Aki-
batnya, semak belukar di depan pemuda itu berham-
buran disertai ledakan keras yang menggetarkan tanah
di sekitarnya. Sedangkan tubuh Panji yang menjadi
sasaran meluncur turun beberapa tombak dari semak
belukar yang malang itu. Kemudian, kembali melesat
tanpa mempedulikan Tiga Harimau Besi yang semakin
bertambah dekat.
“Yeaaa...!”
Untuk kesekian kalinya Baswara memperdengarkan
bentakan mengguntur. Kedua tangannya bergerak su-
sul-menyusul melepaskan pukulan-pukulan jarak
jauh.
“Haiiit...!”
Dan kembali pula Pendekar Naga Putih meluncur ke
udara. Tapi, kali ini keselamatan Panji tidak bisa dija-
min. Saat tubuhnya berputaran di udara terdengar su-
ara angin keras susul-menyusul mengancam tubuh-
nya.
“Gila...! Mereka benar-benar tidak main-main...?!”
gumam Panji yang tahu betul kalau pukulan jarak
jauh itu dapat membunuh lawan. Meski belum tentu
dapat membuatnya terluka. Maka....
“Haaahhh...!”
Sadar bahwa perbuatan Tiga Harimau Besi tidak bi-
sa didiamkan terus-menerus, Panji pun mengambil
tindakan. Tubuhnya berputar seiring dengan benta-
kannya yang mengguntur. Kemudian, dengan menge-
rahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ yang mukjizat,
Panji mengibaskan lengan kanannya menyambut se-
rangan itu. Dan....
Bresh...!
Tidak tanggung-tanggung lagi, Panji mengerahkan
sepertiga bagian dari kekuatannya untuk menyambut
serangan jarak jauh itu. Karena selain penyerangnya
bukan orang sembarangan, pukulan jarak jauh itu di-
lakukan Jiranta dan Kunda Lawing secara serempak.
Sehingga, kehebatannya tidak bisa diragukan lagi.
Kedahsyatan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ kembali
menunjukkan keunggulannya. Tubuh Jiranta dan
Kunda Lawing terjajar mundur. Mereka tampak tidak
terlalu kaget. Kehebatan Pendekar Naga Putih memang
telah lama terdengar di telinga mereka.
Tapi, kenyataan yang dialami Panji cukup mengejutkan! Benturan tadi membuat lengannya tergetar. Itu
merupakan tanda bahwa tenaga dalam lawan memang
tidak bisa dibilang rendah. Panji pun cukup maklum.
Nama besar Tiga Harimau Besi memang telah tersebar.
Dan kehebatan tenaga dalam mereka membuat Panji
tertarik. Sebagai seorang ahli silat, tentu saja ia tidak
ingin melewatkan kesempatan itu. Keputusan yang di-
ambilnya, membuat Panji tidak lagi berniat melarikan
diri. Pemuda itu berdiri tegak menunggu Tiga Harimau
Besi tiba.
“Kabar tentang dirimu ternyata bukan sekadar bua-
lan saja, Pendekar Naga Putih! Sayang, tanganmu ter-
lalu ringan untuk mencelakai murid-murid Perguruan
Bangau Putih. Untuk itu, kau harus menanggung aki-
batnya...,” Kunda Lawing yang merasa penasaran ber-
kata memuji sekaligus menekankan kembali tuduhan-
nya.
‘Terima kasih atas pujianmu, Kunda Lawing.
Sayangnya aku sama sekali tidak melakukan perbua-
tan yang kau tuduhkan itu. Mau percaya atau tidak,
itu terserah kepada kalian...,” tegas Panji seraya mena-
tap tajam Kunda Lawing.
Panji benar-benar menyayangkan tindakan orang-
orang gagah itu yang main tuduh tanpa mau menden-
gar penjelasannya. Rupanya, kebaikan Panji yang hen-
dak menguburkan mayat-mayat murid Perguruan
Bangau Putih telah ditafsirkan lain oleh ketiga tokoh
itu.
“Kami tetap belum bisa percaya! Bukti-bukti telah
jelas menunjukkan bahwa kaulah pelaku pembunuhan
itu....” Baswara menimpali bantahan Panji.
“Sudah kubilang terserah kepada kalian. Mau per-
caya atau tidak, yang jelas aku bukanlah pembu-
nuh...,” bantah Panji lagi, tetap tidak bergeming dari
pendiriannya. Karena ia memang tidak melakukan apa
yang dituduhkan mereka.
“Hm....”
Baswara bergumam tak peduli. Kemudian bergerak
maju dari sebelah depan. Kelihatannya, pertarungan
memang tidak bisa dihindarkan lagi. Baswara telah
mempersiapkan jurusnya untuk menggempur Pende-
kar Naga Putih.
Jiranta dan Kunda Lawing bergerak dari kiri dan
kanan mengurung Pendekar Naga Putih. Mereka pun
telah membuka jurus andalannya masing- masing. Ka-
rena sadar bahwa lawan yang kini mereka hadapi bu-
kanlah orang sembarangan. Mereka berdua telah me-
rasakan betapa hebatnya tenaga dalam pendekar mu-
da itu.
“Jangan kau anggap kami pengecut kalau harus
melakukan keroyokan terhadapmu, Pendekar Naga Pu-
tih. Kami bertiga memang selalu bersama dalam
menghadapi setiap pertarungan. Bagi kami, satu atau
pun seribu orang sama saja. Kami tetap maju bersa-
ma-sama...,” ujar Baswara yang kelihatannya agak ri-
sih untuk mengeroyok pendekar muda yang pantas
menjadi putranya itu. Tapi, karena ia terbiasa berta-
rung bertiga, maka Baswara pun mengusir rasa tidak
enak itu. Dan siap melancarkan serangan.
Panji menggeser langkahnya saat ketiga lawannya
serentak bergerak maju dari tiga jurusan. Sadar kalau
lawan yang dihadapinya merupakan tokoh- tokoh ting-
kat tinggi, Panji langsung membuka jurus ‘Ilmu Silat
Naga Sakti’ yang menjadi andalannya.
“Heaaat..!”
Baswara membuka serangan dengan sebuah teria-
kan keras. Tubuh lelaki kekar itu meluncur dengan
disertai sambaran angin keras berkesiutan. Tampak-
nya, Baswara tidak ingin berlama-lama. Dalam seran-
gan pertama, ia telah menggunakan hampir seluruh
tenaganya. Hal itu dapat ditebak Panji dari sambaran
angin pukulan yang menderu tajam.
“Yeaaat...!”
Sebelum serangan Baswara tiba, Jiranta sudah me-
luncur dengan cakar-cakar mautnya. Serangannya ti-
dak kalah hebat dengan Baswara. Bahkan, dari angin
pukulannya Panji tahu Jiranta memiliki ilmu tenaga
dalam yang lebih tinggi dari dua saudaranya.
Bettt, bettt!
Sepasang tangan kurus itu datang susul-menyusul
disertai sambaran angin mencicit tajam. Rupanya, Ji-
ranta pun ingin segera merobohkan Panji. Ia telah
mengerahkan seluruh tenaga dalamnya.
Kunda Lawing pun tidak mau ketinggalan. Dibaren-
gi lengkingan panjang menggetarkan jantung tubuh le-
laki berkening lebar itu meluruk maju. Gaya seran-
gannya tampak agak kaku dan lebih lambat. Tapi, ju-
stru Panji melihat betapa serangan Kunda Lawing-lah
yang paling berbahaya. Gerakan sepasang lengan to-
koh ketiga dari Tiga Harimau Besi itu lebih rumit dan
banyak perubahan yang mengejutkan! Sehingga, Panji
lebih memperhitungkan serangan Kunda Lawing dari-
pada Baswara maupun Jiranta.
“Haiiit...!”
Panji berkelit saat serangan Baswara mengancam
tubuhnya. Sehingga, tiga buah serangan beruntun
yang dilancarkan lelaki berewok itu kandas tanpa ha-
sil. Bahkan, Panji langsung membalas dengan dua
buah tamparan yang cepat bukan main.
Bwettt, bwettt..!
Sayang, serangan balasan Panji menemui kegaga-
lan. Baswara sudah bergerak mundur ketika serangan
pertamanya gagal. Dan Jiranta-lah yang menggantikan
tempatnya. Lelaki tinggi kurus berwajah pucat itu
mengirimkan cakaran-cakaran maut yang bercuitan
tajam.
“Haaah...!”
Kali ini Panji tidak berusaha mengelak. Disambut-
nya serangan Jiranta dengan dua kali tamparan keras.
Sehingga, benturan pun tidak bisa dihindarkan lagi!
Plakkk, plakkk!
“Aaah...!”
Tangkisan Panji membuat Jiranta terjajar mundur.
Sepasang mata sayu itu sedikit terbelalak. Nampak-
nya, Jiranta terlalu yakin akan kekuatan tenaganya.
Sehingga ketika merasakan lengannya tergetar keras
dan kuda-kudanya tergempur mundur, ia tidak bisa
menerima begitu saja.
Semula Panji berniat menyusuli tangkisannya den-
gan sambaran cakar naga yang memang telah diper-
siapkannya sejak tadi. Tapi, niat itu segera ditunda ke-
tika melihat serangan Kunda Lawing datang. Cepat
Panji berkelit dan mengimbangi serangan yang datang
beruntun itu.
Bwettt, bwettt!
Apa yang diduga Panji tentang kehebatan gerak
Kunda Lawing memang tidak berlebihan. Kendati dua
buah serangan pertama lelaki berkening lebar itu da-
pat dielakkannya, serangan itu malah berubah arah!
Kali ini dengan gerak menyamping membentuk baco-
kan-bacokan. Bahkan, sepasang lengan itu mampu
menggunakan tenaga tangkisan lawan untuk kembali
menyerang. Kenyataan itu membuat Panji merasa ka-
gum bukan main kepada orang ketiga dari Tiga Hari-
mau Besi.
“Hebat...!” puji Panji seraya mengelakkan dua buah
serangan lawan. Kemudian, melancarkan serangkaian
serangan balasan yang membuat Kunda Lawing kela-
bakan.
“Aiiih...?!
” Whuttt..!
Kunda Lawing mencoba menepis cengkeraman Pen-
dekar Naga Putih dengan bacokan lengan. Namun,
tangan itu telah bergerak setengah lingkaran ke dalam.
Dan langsung mengincar dada lawan. Karuan saja
Kunda Lawing kaget bukan main!
Tapi, nasib baik masih menyertai Kunda Lawing.
Saat dirinya terancam bahaya, Baswara dan Jiranta
datang membantu. Sehingga, lelaki berkening lebar itu
dapat menarik napas lega. Meski keningnya dibasahi
titik-titik keringat Dan wajahnya terlihat agak pucat. Ia
nyaris celaka di tangan Pendekar Naga Putih.
Pertarungan berjalan semakin seru. Tiga Harimau
Besi yang ternyata memiliki kerja sama yang sangat
baik, sempat membuat Panji berkali-kali mengeluarkan
pujian. Ketiga lawannya dapat saling melindungi den-
gan baik. Sehingga, kesempatan menyerang bagi Panji
mereka tutup sebaik-baiknya.
“Hattt...!”
Setelah lewat enam puluh jurus, tiba-tiba Pendekar
Naga Putih mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Tu-
buhnya melambung ke udara secepat sambaran kilat.
Dari atas Panji membagi-bagikan serangannya.
Whuttt, whuttt!
Kali ini mata Tiga Harimau Besi benar-benar dibuka
lebar-lebar! Kecepatan yang diperlihatkan Pendekar
Naga Putih membuat pandangan mereka menjadi ka-
bur. Dan sulit untuk menangkap ke mana arah seran-
gan yang diincar lawan. Sergapan hawa dingin yang
memenuhi arena pertarungan membuat ketiga orang
itu gelagapan, hingga gerak mereka terhambat.
“Celaka...?!” desis Baswara menyadari bahaya yang
mengancam.
“Kurang ajar...?!” lain halnya dengan Jiranta. Lelaki
kurus itu mengeluarkan sumpah serapah. Ia benar
benar tidak berdaya menghadapi balutan hawa dingin
menggigit tulang. Dan....
Bukkk, desss...!
Tanpa, dapat dicegah lagi, dua buah pukulan yang
dilancarkan Pendekar Naga Putih telak mengenai sasa-
ran. Tubuh Baswara dan Jiranta terlempar dari arena
pertarungan.
Kerasnya pukulan yang mengenai tubuh mereka
membuat kedua tokoh itu terjerembab ke tanah. Darah
segar termuntah dari mulut mereka. Agaknya, pukulan
itu telah mendatangkan luka dalam.
“Bangsat...!”
Kunda Lawing marah besar melihat dua saudaranya
dirobohkan Pendekar Naga Putih. Dengan kemarahan
yang menggelegak, lelaki berkening lebar itu mendesak
maju dengan mengerahkan seluruh tenaga dan kece-
patannya. Tapi....
“Yeaaah...!”
Mempergunakan kelitan manis, tubuh Pendekar
Naga Putih berputar melingkar menghindari dua puku-
lan yang mengancam kepala dan dadanya. Dan lang-
sung mengirimkan tendangan kilat ke tubuh Kunda
Lawing yang doyong ke depan.
Desss...!
“Huakh...!”
Darah segar langsung termuntah keluar dari mulut
Kunda Lawing. Tubuh lelaki itu terpental ke belakang
sejauh satu setengah tombak. Untunglah pada saat te-
rakhir telapak kakinya menyentuh tubuh lawan, Panji
telah mengurangi tenaga tendangannya. Kalau tidak,
bukan mustahil Kunda Lawing seketika akan menemui
ajalnya. Tapi, bukan itu maksud Panji meladeni mere-
ka.
Kunda Lawing terbanting jatuh dan tak sadarkan
diri setelah kembali memuntahkan darah segar. Kenyataan itu sangat mengejutkan Baswara dan Jiranta.
Mereka menatap penuh dendam kepada Pendekar
Bangau Sakti.
Panji yang sadar semua ini akan terus berkelanju-
tan segera membalikkan tubuh. Sebelumnya ia berpa-
mitan dan meminta maaf.
“Aku tidak ingin melanjutkan perkelahian tak ber-
guna ini. Cukuplah pelajaran yang telah kalian berikan
padaku. Untuk itu aku minta maaf. Sekali lagi kukata-
kan aku bukanlah pembunuh murid-murid Perguruan
Bangau Putih. Nah, selamat tinggal....”
***
Baswara dan Jiranta hanya bisa menggeram mena-
tap kepergian Pendekar Naga Putih. Mereka tidak
mungkin dapat mengejar pemuda itu. Keadaan tubuh
mereka tidak mengizinkan.
Tapi, belum lagi tubuh Panji bergerak jauh, menda-
dak berkelebat sesosok bayangan. Terdengar seruan-
nya yang mengguntur mencegah kepergian Pendekar
Naga Putih.
“Pendekar Naga Putih, tunggu...!”
Seiring dengan suara seruannya, sosok bayangan
itu berputaran di udara. Kemudian meluncur turun
satu tombak di hadapan Pendekar Naga Putih. Melihat
sosok bayangan itu sanggup mengejar Panji, dapat di-
tebak betapa hebat ilmu lari cepat sosok bayangan itu.
“Perlahan sedikit, Pendekar Naga Putih...!” ujar so-
sok tinggi besar itu, berdiri tegak menghadang jalan.
Sepasang matanya menatap tajam sosok Pendekar Na-
ga Putih di depannya.
Panji bergegas menghentikan langkah. Ditatapnya
sosok di hadapannya dengan penuh selidik. Kening
pemuda itu berkerut berusaha mengenali sosok tinggi
besar itu.
“Pertapa Goa Kelelawar...?!” desis Panji terkejut ke-
tika mengenali siapa sosok tinggi besar yang berdiri
menghadang jalan.
“Benar. Aku adalah Pertapa Goa Kelelawar...,” sahut
sosok tinggi besar yang berusia sekitar enam puluh li-
ma tahun.
Kendati usianya terbilang tua, namun air muka Per-
tapa Goa Kelelawar tampak segar kemerahan. Sepa-
sang matanya demikian bening. Seolah Panji melihat
lautan yang tidak berdasar dalam bola mata tokoh
tingkat tinggi itu. Perbawa yang terpancar dari wajah
kakek itu pun demikian kuat, membuat hati Panji ber-
getar.
“Maaf, kalau aku telah bersikap kurang hormat ke-
pada Eyang. Itu karena aku belum tahu siapa
Eyang...,” ujar Panji seraya membungkuk hormat.
Nada suaranya terdengar demikian halus. Menun-
jukkan budi pekerti yang sopan.
“Hm....”
Pertapa Goa Kelelawar bergumam. Dan tersenyum
sambil mengelus jenggotnya yang menjuntai hingga ke
dada. Kepalanya terangguk-angguk merasa terkesan
dengan sikap santun pemuda tampan berjubah putih
itu.
“Malaikat Petir benar-benar boleh berbangga hati
melihat pewarisnya demikian sopan dan perkasa.
Hhh.... Betapa aku merasa iri dengan gurumu, Pende-
kar Naga Putih...,” ujar Pertapa Goa Kelelawar terse-
nyum arif. Sikapnya mencerminkan hati yang bijak
dan penuh kasih. Gambaran seorang pertapa tulen ter-
lihat jelas dalam sosok kakek itu.
‘Terima kasih atas pujian Eyang. Kalau boleh aku
bertanya, adakah sesuatu yang Eyang perlukan dari-
ku...?” tanya Panji yang semakin tunduk melihat sikap
kakek itu demikian bijak dan mencerminkan sikap penuh kasih.
‘Tidak ada sesuatu yang penting, Pendekar Naga Pu-
tih. Aku hanya merasa heran melihat kau bertarung
dengan Tiga Harimau Besi. Persoalan apa yang mem-
buat kalian saling adu otot?” ujar Pertapa Goa Kelela-
war. Tidak terlihat gambaran rasa curiga atau tidak
suka pada wajahnya. Malah, kakek itu terkesan mena-
ruh kekaguman yang dalam kepada Panji. Dan perta-
nyaan itu demikian wajar tanpa kesan buruk.
Panji yang menyadari Pertapa Goa Kelelawar hanya
sekadar ingin tahu menghela napas panjang. Ditatap-
nya sosok kakek itu dengan sorot mata penuh hormat
dan segan. Kemudian, diceritakannya persoalannya
dengan singkat dan jelas.
“Demikianlah, Eyang. Mereka tetap menuduhku se-
bagai pembunuhnya...,” Panji menutup ceritanya den-
gan wajah tenang. Kendati dari helaan nafasnya mem-
bersit perasaan sesal atas sikap dan tindakan Tiga Ha-
rimau Besi.
Pertapa Goa Kelelawar terdiam sesaat. Pandangan-
nya dilemparkan ke arah dua orang dari Tiga Harimau
Besi. Tidak sepatah pun ucapan keluar dari mulutnya.
Sehingga, Panji agak gelisah menunggu ucapan kakek
itu.
***
LIMA
Baswara dan Jiranta terlihat agak gelisah ketika di-
tatap tajam oleh Pertapa Goa Kelelawar. Mereka tentu
saja kenal betul siapa kakek bertubuh tinggi besar itu.
Kalau tokoh itu sampai berpihak kepada Pendekar Na-
ga Putih, celakalah mereka. Meski belum pernah meli-
hat kakek itu bertarung, namun kebesaran namanya
telah bergema ke pelosok-pelosok negeri. Baswara dan
Jiranta sadar kalau Pertapa Goa Kelelawar tidak bisa
dibuat main-main.
“Sebagai orang-orang gagah yang menjunjung tinggi
kejujuran dan keadilan, aku ingin bertanya kepada ka-
lian berdua. Apakah benar yang barusan disampaikan
Pendekar Naga Putih kepadaku?” setelah beberapa
saat terdiam, pertanyaan itu pun meluncur dari mulut
Pertapa Goa Kelelawar.
Mendengar ucapan kakek itu, Panji merasa lega.
Ucapan itu berarti Pertapa Goa Kelelawar tidak memi-
hak kepada siapa pun dan mengutamakan keadilan.
Sikap itu semakin membuat Panji kagum.
Tidak demikian halnya dengan Baswara dan Jiran-
ta. Orang pertama dan kedua dari Tiga Harimau Besi
itu kelihatan agak gelisah. Mereka memang tidak
mempunyai bukti yang kuat ketika menuduh Pendekar
Naga Putih. Sehingga, mereka mulai meragukan tudu-
hannya.
“Pertapa Goa Kelelawar,” ucap Baswara setelah
memutar otaknya mencari kata-kata yang tepat “Kami
melihat sendiri ia hendak menguburkan mayat-mayat
murid Perguruan Bangau Putih. Dan kami menduga ia
sengaja hendak menghilangkan jejak dari perbuatan-
nya...,” lanjut Baswara tidak langsung menjawab per-
tanyaan Pertapa Goa Kelelawar.
“Hm.... Bukan itu yang kutanyakan kepada kalian?
Aku hanya bertanya tentang benar tidaknya cerita
Pendekar Naga Putih. Bukankah pertanyaan itu jelas
dan tidak sulit untuk menjawabnya?” kilah Pertapa
Goa Kelelawar yang tampaknya tidak menerima uca-
pan Baswara. Dan mengulang kembali pertanyaannya.
“Benar. Apa yang diceritakan Pendekar Naga Putih
memang tidak berlebihan.” Akhirnya Baswara terpaksa
menjawab, walau terasa sangat berat
“Bagus! Itu berarti kalian masih menjunjung tinggi
kegagahan dan kejujuran,” tukas Pertapa Goa Kelela-
war tersenyum puas atas jawaban Baswara. Kemudian,
terdiam sesaat dan berpaling ke arah Panji. Dan, kem-
bali menatap Baswara dan Jiranta bergantian. Perta-
nyaannya kembali terlontar.
“Jadi, kalian bertiga menuduh secara paksa tanpa
mau mendengar penjelasan Pendekar Naga Putih?”
Baswara dan Jiranta saling bertatapan sesaat Ke-
duanya seperti tengah berembuk untuk menjawab per-
tanyaan itu. Dan Jiranta tetap menyerahkan jawaban-
nya kepada Baswara. Karena lelaki tinggi kurus berwa-
jah pucat itu tidak berani menjawabnya.
“Kami tetap menuduh Pendekar Naga Putih sebagai
pelaku pembunuhan itu!” tegas Baswara bersikeras.
Karena sudah telanjur basah. “Kalau kau hendak ber-
pihak kepada pendekar muda yang sombong itu, aku
sedikit pun tidak keberatan! Yang jelas, keputusan
kami tidak berubah!” tandas Baswara mengejutkan.
“Hm....”
Pertapa Goa Kelelawar pun bergumam sambil men-
gelus jenggot putihnya yang panjang. Sepasang ma-
tanya agak meredup. Sepertinya, kakek itu dapat men-
duga mengapa Baswara berkata demikian.
“Baswara,” ujar Pertapa Goa Kelelawar dengan lem-
but penuh kearifan. “Aku tahu kau tidak berkata jujur.
Ketahuilah. Sebagai orang-orang yang menjunjung ke-
gagahan, tidak ada kata terlambat untuk mengakui
suatu kesalahan. Setiap manusia bisa berbuat khilaf.
Karena itu, sebaiknya kau pikirkanlah kembali uca-
panmu. Aku percaya Pendekar Naga Putih tidak
mungkin melakukan perbuatan tercela itu. Apa pun
alasannya!”
‘Tapi dia melakukannya karena tidak ingin menda-
pat saingan untuk memperoleh Rase Perak! Itu sebab
nya, Pendekar Naga Putih sampai berbuat sekeji itu!”
Jiranta rupanya tidak sabar juga untuk berdiam diri.
Sekali berbicara, ucapannya terdengar keras penuh ra-
sa tidak suka. Bahkan, nyata-nyata melemparkan tu-
duhannya kembali kepada Panji.
“Hm.... Mungkin benar Pendekar Naga Putih tengah
menuju Bukit Ular Emas, seperti tujuan banyak tokoh
yang saat ini tengah berlomba untuk mencapai tempat
itu. Tapi, menurutku tidak semua tokoh datang untuk
mendapatkan Rase Perak. Tidak sedikit di antara me-
reka yang hanya ingin membuktikan kebenaran
adanya Rase Perak. Salah satunya adalah aku. Dan
mungkin Pendekar Naga Putih pun mempunyai niat
sama denganku. Jadi, tuduhan kalian sama sekali ti-
dak berdasar!” tandas Pertapa Goa Kelelawar, kendati
suaranya tetap lembut dan tidak menyiratkan kemara-
han.
“Pertapa Goa Kelelawar!” Baswara menimpali agak
keras. “Kalau kau memang hendak memihak Pendekar
Naga Putih, kami tidak merasa keberatan. Tapi, jangan
coba-coba menyuruh kami percaya dengan kebersihan
pendekar muda itu. Siapa tahu dalam hatinya tersim-
pan suatu niat busuk yang orang lain tidak tahu. Ter-
masuk kita semua!”
“Hm.... Kelak aku akan membuktikan bahwa aku
bukanlah orang yang tamak dan buta hati. Untuk kali
ini kalian boleh berpuas hati dengan menuduhku se-
maunya. Aku memang tidak mempunyai bukti atau
saksi yang dapat membuktikan bahwa aku bukan
pembunuh!” tak sabar Panji menyelak. Sikap kedua
orang itu dianggapnya sudah keterlaluan dan sangat
keras kepala.
Pertapa Goa Kelelawar mengangkat kedua tangan-
nya ketika melihat Baswara dan Jiranta masih hendak
membantah. Sehingga, kedua belah pihak terdiam dan
tidak lagi mengeluarkan suara.
“Persoalan ini tidak akan pernah selesai jika kalian
dikuasai amarah. Untuk itu, biarlah ku putuskan.
Tentunya jika kalian masih sudi memandangku seba-
gai orang tua. Sebaiknya, kita tunda saja persoalan ini.
Siapa tahu waktu akan segera mengungkapkannya....”
Akhirnya Pertapa Goa Kelelawar memutuskan. Ia tidak
melihat adanya sisi yang dapat digunakan untuk me-
nyelesaikan masalah itu.
Panji tampak tidak merasa keberatan dengan kepu-
tusan Pertapa Goa Kelelawar. Karena ia pun ingin
membuktikan bahwa pelaku pembunuhan itu bukan-
lah dirinya. Untuk itu, ia memerlukan waktu.
“Baiklah. Kami bisa menerima keputusan itu. Tapi
kami tidak bisa menjamin kalau Pendekar Bangau
Sakti mencarimu, Pendekar Naga Putih!” ujar Baswara
yang secara tidak langsung telah mengancam Panji.
Panji hanya tersenyum mendengar ancaman Bas-
wara. Dan menatap kepergian Tiga Harimau Besi yang
membawa salah seorang rekannya, Kunda Lawing. To-
koh ketiga itu masih belum sadar dari pingsannya.
Pertapa Goa Kelelawar tidak berusaha mencegah-
nya. Sepertinya, kakek itu maklum kalau Tiga Hari-
mau Besi merasa malu untuk menarik kembali tudu-
hannya. Ia pun hanya bisa berharap agar sang Waktu
dapat melunakkan kekeraskepalaan ketiga tokoh itu.
***
“Bagaimana, Pendekar Naga Putih? Apakah kau
masih akan melanjutkan perjalananmu ke Bukit Ular
Emas?” tanya Pertapa Goa Kelelawar setelah kepergian
Tiga Harimau Besi. Mereka berdua masih belum beran-
jak dari tempat itu.
“Aku tetap akan menuju ke Bukit Ular Emas,
Eyang. Karena aku khawatir ada pihak ketiga yang
membuat kerusuhan di tempat itu,” sahut Panji tidak
mengubah rencananya.
“Jadi, kau tidak tertarik dengan kabar tentang Rase
Perak yang langka itu?” tanya Pertapa Goa Kelelawar
meminta ketegasan.
Padahal, tadi Pertapa Goa Kelelawar menduga pe-
muda itu hendak ikut menyaksikan bagaimana rupa
Rase Perak. Tapi, dugaannya ternyata meleset Dan ka-
kek itu semakin kagum akan keluhuran budi Pendekar
Naga Putih. Maksud kedatangan pemuda itu ternyata
hanya untuk melihat suasana, agar tidak terjadi keri-
butan yang menimbulkan bencana bagi tokoh-tokoh
persilatan.
“Tidak, Eyang. Meskipun kabarnya Rase Perak me-
rupakan binatang langka, tapi aku sedikit pun tidak
tertarik untuk memperebutkannya...,” jawab Panji se-
jujurnya. Niatnya memang bukan tertuju pada kabar
tentang akan munculnya Rase Perak. Panji hanya ingin
agar pertemuan itu tidak menimbulkan pertumpahan
darah.
“Hm.... Padahal binatang itu sangat langka. Sulit
sekali untuk mencari jejaknya. Kemunculannya sendiri
hanya pada waktu-waktu tertentu,” gumam Pertapa
Goa Kelelawar yang rupanya tahu banyak tentang Rase
Perak yang menghebohkan itu.
“Apakah binatang langka itu tidak ada yang meme-
liharanya, Eyang?” tanya Panji ingin tahu. Sebab, bi-
asanya benda atau binatang langka adalah peliharaan
orang-orang sakti.
“Ada. Tokoh itu berjuluk Pendekar Rase Perak. Tapi,
namanya sudah lama menghilang dari dunia persila-
tan. Itu sebabnya aku merasa tertarik dan meninggal-
kan tempat pertapaanku. Sebab, kalau benar Rase Pe-
rak yang menghebohkan itu binatang peliharaan saha-
batku, bisa lain persoalannya. Ia akan murka kalau
binatang kesayangannya itu diburu tokoh-tokoh persi-
latan. Binatang langka itu telah berumur seratus ta-
hun lebih. Selain darahnya dapat membuat tubuh kita
menjadi kebal terhadap segala jenis racun, juga bisa
menambah kekuatan tenaga dalam menjadi berlipat
ganda. Kabar tentang binatang itu telah mengheboh-
kan dunia persilatan!” jelas Pertapa Goa Kelelawar.
Kini Panji semakin mengerti tokoh-tokoh persilatan
seperti berlomba untuk mendapatkan binatang itu. Ki-
ranya, demikian besar khasiatnya.
“Kalau begitu, siapa yang membawa kabar tentang
adanya binatang langka yang sangat berkhasiat itu,
Eyang?” tanya Panji kalau-kalau Pertapa Goa Kelela-
war mengetahui orang pertama yang membawa kabar
menghebohkan itu.
“Aku tidak tahu pasti, Pendekar Naga Putih. Ke-
mungkinan besar pemburu tua yang dahulu sempat
bertemu dengan binatang langka itu. Karena tidak ada
lagi dugaan lain dalam kepalaku. Mungkin pemburu
tua itu menceritakan kepada keturunannya. Yang ke-
mudian menceritakan lagi kepada orang lain, dan terus
sampai menyebar luas di kalangan persilatan. Tapi,
siapa pun orang itu yang jelas kita harus mencegah-
nya. Aku khawatir Pendekar Rase Perak tidak dapat
menahan diri bila tokoh-tokoh persilatan memburu bi-
natang kesayangannya. Bisa saja pendekar itu tewas di
tangan tokoh-tokoh persilatan yang banyak jumlah-
nya...,” urai Pertapa Goa Kelelawar.
“Hm.... Kalau begitu, kita harus secepatnya tiba dan
mengabarkan kepada Pendekar Rase Perak. Jika sam-
pai terlambat, bisa-bisa tempat itu akan menjadi ajang
pertumpahan darah...,” ujar Panji yang terlihat sangat
khawatir kalau dugaannya sampai terjadi.
“Aku pun mengkhawatirkan hal itu, Pendekar Naga
Putih. Tapi, sebaiknya kita berpisah di sini saja. Kau
masih mempunyai kewajiban untuk mencari pembu-
nuh murid-murid Perguruan Bangau Putih,” timpal
Pertapa Goa Kelelawar mengingatkan Panji akan tudu-
han Tiga Harimau Besi.
“Memang sebaiknya begitu, Eyang. Selain hendak
menyelidiki pembunuh biadab itu, aku pun ingin men-
cari apakah masih ada tokoh-tokoh lain yang menjadi
korban pembunuhan gelap itu,” ujar Panji menyetujui
usul Pertapa Goa Kelelawar. Ia sendiri sebenarnya in-
gin mengajukan usul itu. Tapi merasa enggan. Takut
dituduh sombong. Untung, Pertapa Goa Kelelawar ke-
buru mengajukan usul itu. Sehingga, Panji merasa le-
ga.
“Nah, selamat berpisah, Pendekar Naga Putih. Kita
berjumpa di Bukit Ular Emas...,” usai berkata, Pertapa
Goa Kelelawar melesat meninggalkan tempat itu. Se-
bentar saja sosok kakek tinggi besar itu sudah berada
jauh dan lenyap ditelan lebatnya dedaunan.
Panji berdiri mematung. Sesaat kemudian, melan-
jutkan pekerjaannya yang tertunda. Dihampiri- nya
mayat-mayat murid Perguruan Bangau Putih. Dan
menguburkannya menjadi satu dalam sebuah lubang
besar. Setelah selesai, Panji segera melesat pergi.
Arah yang diambil Panji berlawanan dengan Pertapa
Goa Kelelawar. Panji memang berniat untuk menyeli-
diki pelaku pembunuhan itu lebih dahulu. Untuk itu,
perjalanannya ke Bukit Ular Emas ditunda. Jalan sa-
tu-satunya untuk menemukan jejak pembunuh itu
adalah dengan mengikuti perjalanan tokoh-tokoh per-
silatan. Panji yakin kejadian itu masih akan berlanjut.
***
Dengan langkah tenang, Panji menyusuri jalan
utama sebuah desa. Menurutnya, desa itu akan men-
jadi tempat persinggahan kaum rimba persilatan. Untuk menuju ke Bukit Ular Emas, orang harus melalui
desa itu terlebih dulu. Karena, Panji berniat akan
menginap di Desa Eretan ini. Dan berharap dapat me-
nemukan tokoh-tokoh persilatan yang akan mengun-
jungi Bukit Ular Emas. Panji juga berharap agar pem-
bunuh misterius muncul untuk mencari korban beri-
kutnya.
Setelah menemukan beberapa kelompok tokoh-
tokoh persilatan yang tengah beristirahat, Panji segera
mencari penginapan untuk bermalam. Di dalam kamar
tempatnya menginap, Panji bersemadi untuk meng-
himpun tenaga agar saat bergerak malam nanti tu-
buhnya terasa segar. Panji tidak keluar dari dalam
kamarnya sampai malam datang menyapa persada.
Saat malam semakin larut dalam keheningan den-
gan ditemani nyanyian satwa, Panji menyelinap keluar
melalui jendela kamarnya. Lalu, bergerak meninggal-
kan penginapan setelah menutup jendela rapat-rapat
Pemuda itu melesat berlarian di atas atap rumah-
rumah penduduk Desa Eretan.
Cahaya bulan redup yang muncul setengah meng-
gantung di langit kelam, menemani gerak Pendekar
Naga Putih yang berharap dapat menemukan pembu-
nuh misterius. Meski di bawah sana peronda-peronda
desa berkeliling memeriksa keamanan desa, namun
tak seorang pun yang tahu malam itu mereka dibantu
oleh seorang pemuda perkasa. Walau kepentingan
Panji dan peronda- peronda desa itu berlainan, pada
dasarnya tetap sama. Karena secara tidak langsung
Panji telah ikut meronda desa. Kendati niatnya hendak
memergoki pembunuh misterius yang telah membuat-
nya dimusuhi Tiga Harimau Besi.
Waktu itu belum lagi tengah malam. Panji yang me-
ronda desa dari atas atap rumah-rumah penduduk
melihat sosok-sosok bayangan hitam mengendap
endap. Jumlah mereka kurang lebih tujuh orang. So-
sok-sosok itu bergerak hati-hati mendekati sebuah
rumah penginapan, yang diketahui Panji sebagai tem-
pat menginap sekelompok tokoh-tokoh persilatan. Ka-
rena sebelum mencari tempat untuk menginap, Panji
telah mengikuti orang-orang rimba persilatan. Sehing-
ga, ia dapat mengetahui di mana tokoh-tokoh persila-
tan itu bermalam.
“Hm.... Mungkinkah mereka pembunuh-pembunuh
yang telah membantai delapan murid Perguruan Ban-
gau Putih? Tapi, kalau melihat gerakan mereka ra-
sanya tidak mungkin. Kepandaian tujuh orang itu ter-
lalu rendah untuk mencelakakan murid-murid Pergu-
ruan Bangau Putih. Aku tahu betul orang-orang yang
dikirim Perguruan Bangau Putih telah melalui pilihan
yang ketat. Sehingga, baru dipercaya untuk melaku-
kan tugas itu setelah dipersiapkan dengan matang.
Aku meragukan kemampuan ketujuh orang itu...,”
gumam Panji yang bergerak hati-hati mengikuti sosok-
sosok bayangan hitam yang saat itu sudah memasuki
rumah penginapan melalui jalan belakang.
Karena percaya akan kemampuan tokoh-tokoh per-
silatan yang bermalam di dalam rumah penginapan
itu, Panji tidak mengikuti ketujuh sosok itu sampai ke
dalam, la menunggu kelanjutan perbuatan mereka.
Dan hanya mendekam di atas atap rumah salah seo-
rang penduduk yang agak berdekatan dengan pengi-
napan.
“Hm.... Sepertinya ketujuh orang itu tertangkap ba-
sah oleh tokoh-tokoh persilatan...,” gumam Panji keti-
ka mendengar suara bentakan dan dentang senjata be-
radu. Panji dapat memastikan kalau di dalam rumah
penginapan telah terjadi perkelahian. Semua itu dike-
tahui dari pendengarannya. Tapi, itu cukup jelas dan
sedikit sekali kemungkinannya meleset.
“Hei, jangan lari kau, Pengecut Busuk...!” tiba-tiba
terdengar bentakan. Panji menatap lebih teliti ke arah
bagian belakang penginapan.
Dari bagian belakang tempat itu tampak lima sosok
tubuh bergerak ke luar. Disusul dengan dua orang
lainnya yang rupanya bertindak untuk menahan se-
rangan, sementara kawan-kawannya bergerak pergi.
Semua dapat dilihat Panji dengan jelas. Karena pada
bagian belakang rumah penginapan terdapat obor yang
menerangi tempat itu.
“Haaat...!”
Satu dari dua orang yang melindungi kawan-
kawannya melarikan diri tiba-tiba memekik keras.
Dan, mempergencar putaran pedangnya hingga me-
nimbulkan deruan angin tajam. Empat orang yang se-
mula mendesaknya segera berlompatan mundur. Me-
reka tidak ingin mendapat luka.
“Cepat pergi...!” teriak sosok tinggi kekar kepada
kawan-kawannya. Ia jelas tidak mungkin dapat mela-
kukan hal itu lebih lama lagi. Dan perbuatan itu pun
dilakukannya dengan nekat demi keselamatan kawan-
kawannya.
Enam sosok tubuh berpakaian serba hitam itu sege-
ra melesat tanpa banyak cakap lagi. Kendati ilmu me-
ringankan tubuh mereka tidak terlalu tinggi, namun
suasana malam yang gelap membantu usaha mereka
untuk melarikan diri.
“Hm.... Kau tidak akan kubiarkan pergi, Keparat
Busuk...!” bentak salah satu dari empat lelaki gagah
yang marah karena istirahatnya diganggu orang-orang
misterius. Wajah mereka ditutup oleh penutup wajah
berwarna hitam, sehingga tidak bisa dikenali. Tapi....
Syuttt, syuttt syuttt...!
Terdengar sambaran angin berkesiutan. Diterangi
sinar obor, terlihat belasan benda berkilau meluncur
ke arah arena pertarungan. Tampaknya, serangan itu
memberi kesempatan kepada lelaki tinggi kekar untuk
melarikan diri.
Lelaki kekar berpakaian serba hitam itu rupanya
tahu maksud kawan-kawannya. Ia segera melesat ke
kanan sambil mengibaskan pedangnya menyambut
sambaran pedang salah seorang lawan.
Trangngng!
Seiring dengan benturan keras itu, tubuh lelaki
tinggi kekar terdorong beberapa langkah. Dengan san-
gat liciknya, lelaki itu membantu daya dorong bentu-
ran dengan lompatan panjang. Kemudian, melesat per-
gi meninggalkan penginapan.
“Keparat, jangan harap dapat lepas dari tangan-
ku...!” salah seorang berteriak marah. Ia tidak sempat
melakukan pengejaran. Karena saat itu ia dan tiga ka-
wannya disibukkan oleh datangnya pisau-pisau ter-
bang yang mengancam mereka.
Pisau-pisau terbang itu memang dapat dilumpuh-
kan. Tapi, mereka telah kehilangan buruannya. Tokoh-
tokoh persilatan itu tidak berani bertindak gegabah
untuk melakukan pengejaran. Dalam kegelapan malam
seperti itu sangat berbahaya bagi keselamatan mereka.
Sehingga, mereka hanya dapat membanting kaki den-
gan jengkel. Dan membiarkan musuh-musuhnya be-
bas meninggalkan tempat itu.
***
ENAM
Tujuh orang lelaki berpakaian serba hitam yang
menutup wajahnya dengan kain hitam itu melesat me-
nerobos kegelapan malam. Wajah mereka dibasahi ke-
ringat yang turun membasahi pakaian. Suara deru nafasnya yang memburu menandakan ketujuh orang itu
tengah didera rasa lelah. Tiba-tiba langkah mereka
terhenti seketika. Di depan mereka, dalam jarak dua
tombak lebih, tampak sesosok bayangan putih berdiri
tegak menghadang jalan.
“Hah?!”
Lelaki terdepan yang memimpin enam orang ka-
wannya terperangah! Sepasang matanya terbelalak le-
bar. Sosok serba putih di depannya benar-benar mem-
buat hatinya tergetar untuk beberapa saat.
“Sssetankah... itu...?” desis orang kedua yang berdi-
ri pucat dua langkah di belakang lelaki pertama. Jelas
terlihat lelaki itu pun dilanda ketakutan.
Tak satu pun yang menjawab pertanyaan itu. Mere-
ka semua merasa takut dan tegang. Apalagi, ketika
melihat sosok serba putih itu bergerak maju dengan
perlahan. Mereka menunggu dengan hati berdebar ke-
ras.
“Tidak! Ia pasti manusia seperti kita. Lihat! Ia me-
langkah tak bedanya dengan manusia. Jelas, sosok
serba putih itu bukan hantu atau sebangsanya.” Lelaki
tinggi besar yang menjadi pemimpin berkata keras-
keras kepada yang lainnya. Ucapan itu sekaligus di-
maksudkan untuk mengusir rasa takut dalam da-
danya.
“Aku memang bukan sebangsa makhluk halus. Ta-
pi, sama seperti kalian semua....” Sosok serba putih itu
menyahuti dengan tenang. Sementara langkahnya te-
rus mendekat
“Siapa kau? Katakan, apa maksudmu menghadang
perjalanan kami?” kegarangan lelaki tinggi kekar itu
muncul kembali. Rupanya, pengakuan sosok serba pu-
tih telah memupus rasa takut di hatinya. Keberanian
serta kegalakannya pun kembali muncul.
“Mengenai siapa aku, rasanya tidak begitu penting.
Yang jelas, maksud kehadiranku di tempat ini adalah
untuk meminta penjelasan tentang perbuatan kalian
yang memasuki penginapan. Apa yang akan kalian la-
kukan sebenarnya? Kulihat kalian telah menemui ke-
gagalan tadi...,” ujar sosok serba putih yang tidak lain
Panji. Ia sengaja menghadang ketujuh lelaki berpa-
kaian serba hitam itu untuk mencari keterangan dari
mereka.
“Hm.... Sama seperti tidak pentingnya namamu bagi
kami, apa yang kami lakukan juga tidak penting bagi-
mu! Kami minta kau segera menyingkir dan membiar-
kan kami lewat,” tukas lelaki tinggi kekar. Sepasang
matanya tampak menyiratkan kemarahan dan anca-
man. Bahkan, jari-jari tangan kanannya sudah meraba
gagang pedang. Agaknya, ia hendak menggertak Panji
agar segera meninggalkan tempat itu.
Panji menggeleng dan menghentikan langkahnya
dalam jarak satu tombak. Sepasang matanya menatap
tajam wajah tujuh lelaki yang sebagian tertutup kain
hitam.
“Gerak-gerik kalian terlalu mencurigakan. Selain
itu, untuk apa kalian menyembunyikan wajah? Hanya
orang-orang yang hendak melakukan kejahatan yang
tidak berani menampakkan diri. Jadi, jangan harap
kalian dapat meninggalkan tempat ini sebelum mem-
beri penjelasan atas pertanyaanku tadi,” tegas Panji
tandas. Ia bertekad tidak akan melepaskan ketujuh
orang itu, yang mungkin saja dapat membawanya ke
hadapan pembunuh yang dicarinya.
“Kurang ajar! Kau benar-benar tidak bisa diberi ha-
ti!” geram lelaki tinggi kekar. Digenggamnya gagang
pedang, kendati belum tercabut keluar. “Sekali lagi
kuperingatkan kepadamu, Kisanak! Pergilah! Jangan
campuri urusan kami. Atau kau akan menyesal seumur hidup!”
‘Terima kasih atas peringatanmu, Kisanak yang ga-
gah. Tapi maaf, aku tidak akan pergi sebelum kalian
menjawab pertanyaanku,” tandas Panji bersikeras pa-
da pendiriannya.
“Keparat..!”
Salah satu dari enam lelaki yang berada agak di be-
lakang terdengar memaki gusar. Kemudian, melangkah
lebar mendekati Panji dengan pedang terhunus. “Kau
memang pantas dibunuh!”
Usai berkata, lelaki berperawakan gemuk dengan
pakaian terbuka di bagian depannya mengangkat pe-
dang tinggi-tinggi. Dan....
“Haaah...!”
Sambil membentak geram, lelaki gemuk itu men-
gayunkan senjatanya ke batok kepala Pendekar Naga
Putih. Agaknya, ia hendak membuat pemuda itu tewas
seketika dengan tubuh terbelah. Senjata yang diayun-
kannya mengincar bagian tengah kepala Panji!
Whukkk...!
Terdengar suara berdesing ketika pedang itu te-
rayun deras, siap membelah tubuh Pendekar Naga Pu-
tih. Tapi Panji tidak berusaha menghindarinya. Pemu-
da itu mengerahkan tenaga mukjizatnya yang mem-
buat sekujur tubuhnya terbungkus lapisan kabut ber-
sinar putih keperakan.
Krakkk...!
“Aaah...?!”
Lelaki gemuk itu terpekik kaget! Pedang yang telak
membacok bagian tengah kepala pemuda itu patah
menjadi dua. Sedangkan kepala pemuda itu tetap utuh
tanpa cacat sedikit pun. Bahkan, tubuh lelaki gemuk
itu terangkat ke atas. Lalu, jatuh terbanting dengan
kerasnya. Ia tidak bisa segera bangkit Karena tangan
kanannya teras linu.
“Kurang ajar! Kepung pemuda keparat itu...!” melihat kenyataan yang mengejutkan itu, lelaki tinggi ke-
kar segera memberi perintah pada kawan- kawannya.
Tanpa banyak cakap, enam lelaki berpakaian serba
hitam bergerak maju menerjang Pendekar Naga Putih.
Suara desingan pedang terdengar susul-menyusul. Ke-
lima batang senjata itu siap mencincang tubuh Panji
yang kelihatannya tidak akan memberikan perlawa-
nan. Tapi....
Trakkk, trakkk, krakkk...!
Terdengar teriakan-teriakan kaget dari lima lelaki
berpakaian serba hitam. Senjata mereka satu pun ti-
dak ada yang utuh. Semua berpatahan ketika bertemu
dengan tubuh Pendekar Naga Putih. Padahal, ketaja-
man pedang-pedang itu sudah tidak diragukan lagi.
Tapi, ternyata tidak mampu melukai tubuh Pendekar
Naga Putih yang terdiri dari tulang dan daging. Kenya-
taan itu sangat sukar dipercaya.
Melihat kenyataan itu, lelaki tinggi kekar menjadi
kalap dan cemas. Ia baru sadar kalau sosok pemuda
tampan berjubah putih itu ternyata bukan orang sem-
barangan. Tapi, karena belum merasakannya sendiri,
ia masih juga belum percaya. Maka, dengan bentakan
keras lelaki kekar itu merangsek maju.
“Jaga seranganku...!” seru lelaki kekar menya-
betkan pedangnya dengan kekuatan penuh.
Panji hanya bergumam pelan. Pemuda itu masih ti-
dak bergeser dari tempatnya. Kelihatannya, Panji sen-
gaja hendak melumpuhkan lawan-lawannya dengan
mengandalkan kekebalan tubuh.
Trakkk!
Tenaga ‘Sakti Gerhana Bulan’ kembali menunjuk-
kan keampuhannya. Bacokan pedang lelaki berewok
tidak membuat Panji terluka. Malah, pedang itu patah
tiga. Dan ketika Panji menghentakkan tubuh, lelaki
tinggi kekar itu terpekik ngeri! Tubuhnya terlempar deras ke belakang.
Brukkk!
Tubuh tinggi kekar itu jatuh berdebuk di tanah
yang mulai dibasahi embun. Sesaat lelaki itu menge-
rang kesakitan. Dan berusaha merangkak bangkit
“Sekarang katakan sejujurnya! Apa maksud kalian
menyatroni penginapan tokoh-tokoh persilatan itu?”
tanya Panji dengan berwibawa.
“Kisanak, tahukah kau siapa kami sebenarnya. Sa-
darkah kau kalau bentrok dengan kami berarti kau te-
lah bosan hidup?” tukas lelaki tinggi kekar yang meng-
gunakan cara lain untuk mengusir pemuda tampan
yang ternyata memiliki kepandaian menggetarkan itu.
“Hm.... Kau hendak mengancamku rupanya...?” sa-
hut Panji yang tentu saja tidak takut dengan gertakan
lelaki tinggi besar. Malah, sengaja memancing ucapan
selanjutnya dari lelaki tinggi kekar itu.
“Kisanak, perlu kau ketahui kami adalah orang-
orang Partai Serigala Hitam! Siapa saja yang berani
mencampuri urusan kami berarti mati! Dan kau akan
menerima kematian itu!” lanjut lelaki tinggi kekar den-
gan penuh kebanggaan saat menyebutkan nama par-
tainya yang kedengaran seram.
“Partai Serigala Hitam...?!” desis Panji mengulang
nama perkumpulan lelaki berpakaian serba hitam.
Bagi kaum rimba persilatan, nama Partai Serigala
Hitam bukan merupakan nama baru. Nama itu sudah
sangat terkenal dan ditakuti orang. Selain banyak ter-
dapat tokoh tingkat tinggi tergabung di dalamnya, Par-
tai Serigala Hitam tidak mempunyai golongan.
Sepak-terjang anggota maupun tokoh-tokoh partai
itu tidak bisa dijadikan ukuran. Suatu ketika partai itu
seperti memihak golongan putih. Karena suka membe-
rikan pertolongan pada orang-orang lemah dan tera-
niaya. Tapi, anehnya mereka meminta bayaran atas
pertolongan yang telah diberikan. Juga tidak jarang
anggota partai yang besar itu melakukan aksi kejaha-
tan sampai membunuh orang. Kendati orang itu hanya
mempunyai perselisihan pendapat dengan Partai Seri-
gala Hitam. Hingga, tak seorang pun yang tahu di go-
longan mana sebenarnya partai itu berdiri.
“Hm.... Kalau begitu, aku bisa menebak apa yang
baru saja kalian perbuat terhadap tokoh-tokoh persila-
tan di rumah penginapan itu. Kalian hendak mele-
nyapkan mereka agar tidak mendapat banyak saingan
dalam melakukan perburuan di Bukit Ular Emas. Nah,
kalian tentu tidak bisa membantah lagi sekarang!” ujar
Panji setelah terdiam beberapa saat
Lelaki tinggi kekar itu kelihatan agak kaget ketika
mendengar ucapan pemuda tampan berjubah putih.
Dari ucapan itu ia bisa menebak kalau pemuda itu ti-
dak merasa gentar saat ia menyebutkan nama per-
kumpulannya. Kenyataan itu tentu saja menimbulkan
keheranan besar di hatinya.
“Rupanya kau memang hendak mencari mati, Kisa-
nak! Biasanya, jangankan seorang bocah seusiamu,
tokoh-tokoh terkemuka rimba persilatan pun tidak be-
rani bersikap kurang ajar setelah mengetahui siapa
kami. Kau benar-benar memiliki nyali naga, Kisa-
nak...,” tukas lelaki tinggi kekar yang kini sadar bahwa
ia dan kawan-kawannya tidak mungkin dapat lolos da-
ri pemuda tampan itu. Karena pemuda itu sedikit pun
tidak gentar ketika mendengar nama partainya.
“Aku bukan tengah mencari kematian. Tapi hendak
mencari pelaku pembunuhan terhadap murid-murid
Perguruan Bangau Putih. Dan tuduhanku jatuh kepa-
da kalian semua...,” Panji melanjutkan ucapannya
yang sangat mengejutkan lawan-lawannya.
“Kurang ajar! Jangan sembarangan menuduh
orang, Kisanak. Rupanya, kau sengaja mencari-cari
alasan untuk memusuhi orang-orang Partai Serigala
Hitam. Itu tidak akan membuat hidupmu tenang. Me-
musuhi partai kami berarti mati!” geram lelaki tinggi
kekar tidak terima dengan tuduhan yang dilontarkan
Panji.
“Hm.... Sudah tertangkap basah masih juga hendak
mengelak. Orang-orang seperti kalian memang semes-
tinya diberi pelajaran...!” tandas Panji. Kemudian me-
langkah maju dengan sikap mengancam. Sorot mata
pemuda itu demikian tajam mengiriskan.
Tujuh lelaki berpakaian serba hitam itu terkejut dan
tampak gentar. Mereka bergerak mundur dengan wa-
jah gelisah. Pemuda itu telah membuktikan keheba-
tannya dengan menerima begitu saja bacokan pedang
mereka. Kini ia melangkah maju dengan sikap men-
gancam. Sadarlah mereka bahaya akan datang dari
pemuda tampan berjubah putih.
Ucapan Panji memang bukan sekadar gertakan.
Meski lawan-lawannya bergerak mundur dengan hati
tegang, tangan pemuda itu tetap terulur menyambar
salah seorang yang terdepan. Dan yang menjadi sasa-
ran pertamanya adalah lelaki tinggi kekar!
“Aaakh...?!”
Lelaki tinggi kekar itu kaget bukan main. Tangan
dengan jari-jari terbuka yang siap menerkam tubuhnya
itu sebisa mungkin dielakkan. Kedua tangannya digu-
nakan sebagai pelindung. Tampak jelas lelaki itu kalap
menghadapi serangan Panji. Dan....
Kreppp!
Meskipun lelaki tinggi kekar berusaha menghindar
dan menangkis, leher baju bagian depannya tetap ter-
kena cengkeraman Panji.
“Huppp!”
Dengan sedikit menyentakkan tangan, tubuh lelaki
tinggi kekar terangkat naik dari tanah. Kemudian, Panji melemparkannya hingga tubuh itu melambung se-
tinggi tiga tombak!
“Aaa...!”
Rasa takut yang muncul seketika membuat lelaki
tinggi besar menjerit ketakutan. Dan seperti orang
yang tidak memiliki kepandaian silat, lelaki tinggi be-
sar meluruk turun dengan kepala lebih dulu. Ngeri
bukan main hatinya ketika merasakan hal itu. Wajah-
nya berubah pucat bagai tidak teraliri darah. Butir-
butir keringat sebesar biji jagung membasahi wajah-
nya.
Tapi, perbuatan itu hanya sekadar gertakan. Panji
mengulurkan tangannya menyambut tubuh tinggi be-
sar yang siap terbanting ke tanah. Dan....
Apa yang kemudian dilakukan Pendekar Naga Putih
benar-benar membuat lawan-lawannya terbelalak tak-
jub. Meskipun tangan pemuda itu belum menyentuh
tubuh pimpinan mereka, lelaki tinggi besar itu kembali
terlempar ke udara. Rupanya, Panji hendak memper-
mainkan lelaki itu dengan menggunakan kekuatan te-
naga dalam. Ia melemparkan tubuh itu ke udara setiap
kali meluncur turun. Padahal, telapak tangannya tidak
menyentuh tubuh lawan. Panji mempergunakan tena-
ga angin pukulannya.
Tidak bisa dibayangkan lagi betapa takutnya lelaki
tinggi kekar. Sekujur tubuhnya bermandikan keringat.
Teriakan-teriakan ngeri terdengar setiap kali tubuhnya
meluncur ke bawah. Untuk kemudian dilambungkan
lagi ke udara oleh dorongan angin pukulan Panji. Per-
buatan pemuda itu membuat lawannya benar-benar
tersiksa. “
“Hm.... Jangan pertontonkan permainan anak kecil
itu di depan kami, Pendekar Naga Putih...!”
Ucapan yang perlahan namun menggeletar dan me-
nyusup ke dalam dada itu membuat Panji terkejut. Ada
orang yang tengah menghampiri tempat itu! Panji ber-
gegas menyudahi permainannya.
Saat itu, tubuh lelaki tinggi kekar tengah meluncur
deras ke bawah. Panji berniat menyambutnya agar tu-
buh itu tidak sampai terbanting di tanah. Tapi....
Panji sempat tertegun ketika melihat daya luncur
tubuh itu tiba-tiba tertahan oleh suatu kekuatan he-
bat. Sehingga, tubuh tinggi kekar itu bergantung di
udara dengan kepala di bawah. Kemudian tubuh itu
berputar, dipaksa oleh suatu kekuatan yang tak tam-
pak, sehingga kepalanya berada di atas. Lelaki tinggi
kekar itu seperti tengah berdiri mengambang di udara.
Sadar kalau ada orang yang sengaja hendak me-
nunjukkan kekuatan tenaga dalamnya, Panji merasa
tertantang. Sepasang tangannya berputaran sesaat,
kemudian terulur ke atas. Dengan menggunakan ke-
kuatan tenaga dalamnya yang tinggi, Panji kembali
memutar tubuh lelaki yang tergantung di udara itu
hingga terbalik seperti semula.
“Hm....”
Panji yang sekujur tubuhnya telah dilapisi kabut
putih keperakan ‘mengerahkan tenaga dalamnya. Pe-
muda itu menunjukkan kalau ia pun sanggup memu-
tar tubuh yang mengambang itu menjadi terbalik.
“Hebat...!”
Terdengar seruan memuji. Kemudian, lelaki tinggi
kekar yang tergantung itu kembali berputar. Ia kembali
berdiri di udara dengan kepala di atas. Tapi, Panji se-
gera memutarnya kembali. Sehingga, lelaki tinggi kekar
yang tubuhnya dijadikan ajang pertarungan tenaga da-
lam tingkat tinggi itu tersiksa sekali. Tubuhnya terasa
dihimpit dua tangan raksasa yang tak terlihat Dan itu
membuatnya sukar bernapas.
TUJUH
Panji yang melihat wajah lelaki tinggi kekar itu telah
menjadi merah dengan mata terbelalak bagai hendak
melompat keluar dari tempatnya, menjadi tidak tega.
Cepat pemuda itu menarik pulang kekuatan tenaga da-
lamnya. Dan melompat ke belakang satu setengah
tombak untuk menghindari kekuatan tersembunyi
yang menyerangnya.
Sikap mengalah Panji rupanya disalahtafsirkan la-
wan. Terdengar suara tawa bergema bernada keme-
nangan. Sesaat kemudian, suara berat dan parau ber-
gaung disertai hembusan angin keras.
‘Ternyata, orang yang di dewa-dewakan kaum rimba
persilatan hanya begitu saja kepandaiannya...!”
Panji sedikit pun tidak marah kendati ucapan itu je-
las-jelas menghina dan merendahkan dirinya. Pemuda
itu merasa belum kalah. Panji hanya tidak merasa per-
lu untuk meributkan soal itu. Satu keinginannya yang
diharapkan segera terwujud, melihat rupa tokoh ter-
sembunyi yang telah bertarung dengannya.
“Sahabat yang gagah! Jika memang wajahmu tidak
cacat, mengapa harus malu untuk menunjukkan ru-
pamu? Aku tentu akan senang sekali dapat berjumpa
dan berkenalan denganmu...!” ujar Panji mengerahkan
tenaga dalam. Sehingga, gema suaranya menyebar ke
seluruh pelosok tempat itu.
Panji berdiri tegak dengan sikap waspada. Pandan-
gannya beredar ke sekitar tempat itu. Ditunggunya
dengan sabar kemunculan tokoh yang belum juga me-
nampakkan diri itu. Tiba-tiba....
“Hua ha ha...!”
Suara tawa menggelegar terdengar berkumandang.
Angin bertiup keras membuat dahan-dahan pohon
berderak ribut. Agaknya, tokoh tersembunyi itu hen-
dak memamerkan kekuatan tenaga dalamnya melalui
getaran suara tawa.
Terkejut bukan main hati Panji ketika melihat aki-
bat yang ditimbulkan. Tujuh lelaki berpakaian serba
hitam yang kepandaiannya masih terlalu rendah bagi
Panji terpaksa harus merasakan akibatnya. Mereka
bergulingan sambil mendekap dada dan kedua telinga.
Suara tawa itu membuat mereka tersiksa. Kalau saja
masih terus berlanjut, bukan tidak mungkin mereka
akan tewas dengan bagian dalam tubuh hancur!
Panji tidak sampai hati melihat penderitaan mereka
yang semula menjadi lawan-lawannya. Kendati ia sen-
diri harus mengerahkan tenaga dalam untuk melawan
pengaruh suara tawa itu. Panji berniat memberikan
perlawanan. Karena tokoh tersembunyi itu seperti sen-
gaja hendak menguji kekuatan tenaga dalamnya yang
memang terkenal di kalangan persilatan. Tapi....
“Hia ha ha...!”
Lengkingan panjang yang semula siap meluncur da-
ri kerongkongan Panji segera tertunda. Saat itu terden-
gar suara tawa lain yang tidak kalah hebatnya. Dan
semakin membuat ketujuh lelaki berpakaian hitam
meraung menahan sakit yang bagai hendak meledak-
kan dada mereka. Panji kelihatan sangat terkejut
“Hebat...! Rupanya, berita tentang Rase Perak be-
nar-benar telah memaksa tokoh-tokoh tingkat tinggi
keluar dari sarangnya. Tawa itu jelas menunjukkan
kalau kepandaian kedua tokoh tersembunyi ini benar-
benar luar biasa. Rasanya mereka tidak kalah hebat
dengan Pertapa Goa Kelelawar, yang juga terpaksa me-
ninggalkan tempat pertapaannya untuk melihat kebe-
naran berita mengenai binatang langka yang bernama
Rase Perak itu...,” gumam Panji. Pemuda itu merasa
bahwa tugasnya kali ini sangat berat Apalagi, ia belum
mengetahui di pihak mana kedua tokoh tersembunyi
itu berdiri.
Suara tawa dua orang tanpa wujud itu membuat
Panji harus menambah kekuatan tenaga dalamnya un-
tuk melindungi isi dada. Kalau tidak, besar kemungki-
nan Panji akan mengalami luka dalam. Tentu saja hal
itu tidak diinginkannya.
“Hm....”
Panji berdiri tegak mengatur jalan napas. Wajahnya
tampak agak pucat. Tekanan dari dua suara tawa yang
terus berkumandang itu membuat dadanya bergun-
cang semakin keras. Panji harus bertindak cepat jika
tidak ingin celaka. Maka....
“Yeaaa...!”
Setelah menggabungkan dua kekuatan mukjizat-
nya, Panji mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Aki-
batnya sungguh hebat bukan main! Karena Panji men-
gerahkan ‘Tenaga Sakti Gerhana Bulan’ dan Tenaga
Sakti Inti Panas Bumi’ sekaligus. Sehingga, timbullah
badai yang bagaikan hendak merobohkan semua pe-
pohonan di tempat itu.
Suara tawa yang semula berkumandang mengge-
tarkan jantung tertindih lengkingan panjang Pendekar
Naga Putih. Sampai akhirnya, suara tawa itu lenyap.
Agaknya, kedua orang itu harus memusatkan perha-
tian untuk melindungi bagian dalam tubuhnya yang
terguncang akibat ‘Pekikan Naga Marah’, yang keheba-
tannya luar biasa karena dikerahkan dengan tenaga
gabungan.
Ketika menyadari kedua suara tawa itu telah le-
nyap, Panji segera menghentikan lengkingannya. Se-
hingga, angin ribut yang laksana topan prahara itu
terhenti seketika. Alam pun kembali tenang. Bekas-
bekas kehebatan Jengkingan dahsyat Panji terlihat je-
las dengan tumbangnya beberapa batang pohon hingga
tercabut sampai ke akar-akarnya. Tempat itu seperti
baru saja diamuk badai hebat.
Panji kemudian berdiri tegak sambil mengatur na-
pas. Pemuda itu tampak lelah sekali. Ia masih me-
nunggu kemunculan dua tokoh yang bersembunyi itu.
Panji memang tidak perlu menunggu lama. Bebera-
pa saat kemudian, tampak dua sosok tubuh keluar da-
ri semak-semak. Keduanya memiliki perbedaan yang
cukup menyolok. Satu bertubuh tinggi besar dengan
wajah dipenuhi cambang bauk tak terurus. Sepasang
alis mata lebat melindungi mata setajam burung elang.
Sedang sosok yang satunya lagi bertubuh lebih
pendek, hanya setinggi pinggang kawannya. Wajah le-
laki kerdil itu pun dihiasi cambang bauk lebat Kedua-
nya berusia sekitar lima puluh lima tahun.
Panji memperhatikan kedua sosok tubuh itu dengan
penuh selidik. Yang menarik perhatiannya adalah se-
buah lingkaran pada kepala mereka, yang berupa ikat
kepala berwarna hitam. Sedangkan lingkaran di kening
berwarna putih menyolok. Dalam lingkaran putih itu
Panji melihat gambar seekor binatang dengan taring
dan moncong runcing. Kini, tahulah Panji siapa kedua
tokoh berpenampilan ganjil itu.
“Kepandaianmu benar-benar hebat, Pendekar Naga
Putih! Tapi jangan sombong dulu. Kami berdua belum
mengaku kalah. Permainan tadi baru pemanasan sa-
ja...!” terdengar suara parau dan berat mengusik telin-
ga Panji. Panji merasa heran karena suara parau dan
berat itu justru datang dari sosok lelaki kerdil. Bukan-
nya sosok tinggi besar yang menyeramkan. Tampak-
nya, hal itu merupakan ciri lain dari keanehan mereka.
‘Tentu saja kita belum kalah...!” lelaki tinggi besar
yang menyeramkan itu menimpali. Suaranya terdengar
melengking seperti suara perempuan. Sungguh jauh
berbeda dengan penampilannya yang sanggup membuat anak kecil pingsan bila berjumpa dengannya.
Panji mengerutkan kening, heran.
“Maaf, saat ini aku tidak bisa meladeni kalian...,”
Panji segera berkata. Ia tidak ingin bertarung dengan
kedua tokoh itu tanpa alasan yang jelas. Apalagi, saat
itu Panji masih mempunyai urusan lain.
“Siapa bertanding melawan siapa? Jangan dulu
berkata begitu, Pendekar Naga Putih! Kami berdua be-
lum mengambil keputusan untuk bertarung dengan-
mu...,” kilah sosok kerdil yang kini sudah berada satu
tombak di hadapan Panji.
. “Kami pun tahu apa yang tengah kau lakukan di
desa ini, Pendekar Naga Putih. Kunasihatkan agar kau
lupakan saja persoalan itu. Kau tidak akan pernah
bertemu dengannya di desa ini atau pun disekitarnya.
Kecuali tentu saja di Bukit Ular Emas...,” sosok tinggi
besar berwajah menyeramkan menimpali dengan sua-
ranya yang melengking kecil.
Kening Panji berkerut ketika mendengar ucapan ke-
dua tokoh aneh itu. Ia tahu kedua orang itu adalah to-
koh-tokoh puncak Partai Serigala Hitam. Yang tidak
dimengerti Panji, dari mana kedua tokoh itu mengeta-
hui kepentingannya berada di Desa Eretan? Selain itu,
mengapa mereka tega membunuh tujuh orang anggo-
tanya? Tentu ada sesuatu yang tersembunyi dan hen-
dak ditutupi. Namun, Panji tidak mengutarakan apa
yang ada dalam pikirannya. Karena semua itu masih
samar. Kalau sudah mendapatkan bukti yang jelas,
Panji tidak akan segan-segan lagi untuk menggempur
kedua tokoh itu.
‘Terima kasih atas nasihat kalian. Kalau memang
tidak ada keperluan denganku, aku hendak pamit..,”
ujar Panji terpaksa mengalah. Padahal, ia merasa curi-
ga dengan kedua tokoh puncak Partai Serigala Hitam
itu. Tapi karena tidak ada bukti-bukti yang menunjuk
kan mereka bersalah, Panji tidak bisa berbuat banyak.
Bahkan, berniat untuk meninggalkan tempat itu. Panji
hendak melihat tanggapan mereka atas kepergiannya.
‘Tunggu dulu, Pendekar Naga Putih...!”
Panji yang sudah berbalik dan hendak meninggal-
kan tempat itu terpaksa menahan langkah.
Suara berat dan parau yang mencegah kepergian-
nya membuat Panji kembali berpaling. Pandangannya
tertuju kepada sosok kerdil.
“Kau memanggilku, Datuk Serigala Hitam...?” Panji
langsung menegur tanpa basa-basi.
Lelaki kerdil yang kulit tubuhnya tampak pucat itu
terkekeh parau. Sehingga, tubuhnya terguncang- gun-
cang. Kelihatannya ia sangat senang mendengar Panji
menyebut julukannya.
“Hm.... Kupikir kau tidak tahu sedang berhadapan
dengan siapa, Pendekar Naga Putih. Ternyata, matamu
cukup awas untuk mengenali kami berdua...,” ujar Da-
tuk Serigala Hitam bangga.
‘Tentu saja aku mengenali kalian. Aku pun sudah
dapat menduga apa yang memaksa kalian meninggal-
kan perguruan. Kiranya, makhluk yang bernama Rase
Perak itu benar-benar luar biasa. Sampai dapat me-
maksa kalian keluar dari sarang. Nah, Datuk Serigala
Putih dan Datuk Serigala Hitam, aku mohon pamit...,”
usai berkata, Panji membalikkan tubuh. Ketika kedua
tokoh itu tidak didengarnya mencegah, Panji melesat
pergi meninggalkan tempat itu.
Dua tokoh aneh yang menjadi dedengkot Partai Se-
rigala Hitam hanya menatap kepergian Pendekar Naga
Putih. Tawa mereka terdengar perlahan mengiringi ke-
pergian pemuda tampan itu. Dan, mereka baru beran-
jak pergi setelah sosok Pendekar Naga Putih benar-
benar lenyap dari pandangan.
“Hm.... Bukit Ular Emas pasti akan ramai sekali...,”
gumam lelaki berkulit pucat yang mengenakan pa-
kaian serba hitam sambil melangkah perlahan.
“Itu justru membuatku semakin tertarik, Kakang...,”
timpal lelaki berperawakan tinggi besar yang berkulit
gelap bagai arang. Mungkin inilah sebabnya yang
membuat dirinya dijuluki Datuk Serigala Hitam.
Setelah itu mereka terdiam. Hanya tiupan angin
lembut yang terdengar mengiringi langkah mereka ber-
dua. Sebentar kemudian, kedua tokoh mengiriskan da-
ri Partai Serigala Hitam itu lenyap di kejauhan.
***
Pagi-pagi sekali Panji sudah meninggalkan rumah
penginapan. Langkahnya terayun lambat menyusuri
jalan utama Desa Eretan. Pemuda itu baru mengerah-
kan ilmu lari cepatnya setelah melewati batas desa.
Sebentar saja, sosoknya telah jauh meninggalkan Desa
Eretan.
Kali ini Panji berniat langsung menuju ke Bukit Ular
Emas. Pertemuannya dengan dua tokoh Partai Serigala
Hitam membuatnya terpaksa harus merubah rencana.
Kalau semula ia hendak menyelidiki pembunuh miste-
rius itu, kini rencananya berubah. Munculnya kedua
tokoh yang ia tahu memiliki kepandaian mengiriskan
itu membuat hati Panji diliputi kekhawatiran.
Niat Panji yang semula hanya ingin mengamankan
Bukit Ular Emas dari pertumpahan darah nyaris tak
terpikirkan lagi. Sekarang yang lebih penting baginya
adalah menyelamatkan binatang langka yang bernama
Rase Perak. Sebab, kalau binatang itu sampai jatuh ke
tangan tokoh-tokoh sesat, hancurlah dunia persilatan.
Khasiat binatang langka itu pasti akan membuat tokoh
sesat yang mendapatkannya bagai harimau yang tum-
buh sayap. Sudah pasti rimba persilatan akan geger
dengan ulah tokoh itu. Inilah yang sekarang menjadi
beban pikiran Panji. Dan hal itu pula yang membuat-
nya harus melupakan pembunuh misterius untuk se-
mentara waktu.
Rasa khawatir akan keselamatan orang banyak
membuat Panji menempuh perjalanan tanpa mengenal
lelah. Pemuda itu ingin secepatnya tiba di Bukit Ular
Emas. Ia berharap bisa tiba lebih dulu di sana, sebe-
lum tokoh-tokoh persilatan. Kegelapan malam yang
hanya diterangi sinar bulan sabit tidak menjadi halan-
gan baginya. Walau perjalanannya agak terhambat,
Panji tidak merasa perlu untuk beristirahat. Dan terus
bergerak dengan menggunakan ketajaman pengliha-
tannya agar tidak kehilangan arah.
Saat menjelang fajar, Panji tiba di sebuah sungai
yang membentang lebar. Melihat arusnya yang tenang,
Panji dapat menduga dasar sungai itu lebih dari dua
tombak dalamnya. Sedangkan lebarnya kurang lebih
tiga sampai empat tombak. Hingga, tidak mungkin da-
pat dijangkaunya dengan loncatan. Untuk menyebe-
ranginya, Panji memerlukan dua kali lompatan. Itu be-
rarti ia harus menggunakan landasan untuk tiba di
seberang sungai.
Sementara itu, di kaki langit sebelah timur tampak
cahaya kemerahan menyemburat. Sebentar lagi mata-
hari akan menampakkan kekuasaannya. Pagi akan da-
tang menggantikan tugas sang Malam.
Setelah memperhatikan keadaan di sekelilingnya,
Panji melemparkan pandangan lurus ke depan. Tam-
paklah sebuah gundukan tanah yang menjadi tempat
tujuannya. Bukit Ular Emas sudah terbentang di ha-
dapan Panji. Untuk bisa tiba di tempat itu ia harus
menyeberangi sungai yang mengalir di depannya.
Setelah berpikir sesaat, Panji mematahkan dahan
pohon. Kemudian melemparkannya ke tengah sungai.
Tapi, baru saja tubuhnya siap melesat, tiba-tiba telinganya menangkap suara-suara orang bertempur. Panji
segera menunda gerakannya.
“Hm.... Kedengarannya suara itu berasal dari sebe-
lah timur. Kemungkinan besar bukan dari seberang...,”
gumam Panji mengedarkan pandangan seraya menge-
rahkan indera pendengarannya untuk mencari sumber
suara itu.
Setelah termenung sesaat, Panji melesat ke sebelah
kiri. Ia merasa pasti suara pertempuran itu berasal da-
ri kiri tempatnya berdiri. Tubuhnya pun melayang
dengan kecepatan tinggi.
Sebentar kemudian, tibalah Panji di tempat itu.
Sayang, kedatangannya agak terlambat Panji melihat
sesosok tubuh tinggi besar tengah menghabisi sisa la-
wannya. Pertempuran telah usai. Dan sosok tubuh
tinggi besar yang memenangkan pertarungan siap me-
ninggalkan tempat itu.
“Hei, tunggu...!”
Panji segera melesat dengan kecepatan tinggi. Tu-
buhnya melayang cepat di udara. Setelah berjumpali-
tan beberapa kali, Panji meluncur turun di tempat be-
kas terjadinya pertempuran. Tapi, sosok tinggi besar
itu telah melayang pergi.
“Hei...!”
Sekali lagi Panji berseru mencegah kepergian sosok
tinggi besar. Tapi, orang misterius itu tetap tidak pedu-
li. Ia terus melesat pergi tanpa menghiraukan teriakan
Panji.
Kembali Panji melayang dengan kecepatan bagai
sambaran kilat. Saat itu sebuah pikiran tentang pem-
bunuh yang melibatkannya melintas dalam benak.
Dan pikiran itu membuat Panji bersikeras tidak akan
membiarkan orang itu pergi.
“Haiiit...!”
Dengan bentakan keras tubuh Panji melayang dan
berputaran di udara. Lalu, meluncur turun satu tom-
bak dari tubuh buruannya.
“Harap berhenti sebentar, Kisanak...!” pinta Panji
sedikit keras, dan berdiri menghadang jalan sosok
tinggi besar.
Bukannya mematuhi permintaan Panji, sosok tinggi
besar itu malah melesat maju mengirimkan pukulan
deras ke tubuh Panji. Tentu saja pemuda itu terkejut
bukan main! Apalagi, dari sambaran angin pukulannya
terdengar suara mencicit tajam. Jelas, pukulan itu bisa
mengakibatkan kematian!
Syuttt...!
Sadar bahwa sosok tinggi besar bermaksud mem-
bunuhnya, Panji pun tidak tinggal diam. Disertai ge-
raman lirih tenaga dalamnya dikerahkan untuk me-
nyambut pukulan lawan. Dengan menggeser tubuhnya
ke samping kanan, Panji melepaskan tangkisan den-
gan lengan.
Dukkk!
Kekuatan pukulan lawan ternyata jauh lebih hebat
dari perkiraannya. Ketika sepasang lengan mereka ber-
temu, Panji merasakan tubuhnya bergetar! Bahkan
kedua kakinya terseret mundur empat langkah! Pa-
dahal sewaktu menangkis, ia telah mengerahkan tiga
perempat bagian dari tenaga dalamnya. Kenyataan itu
tentu sangat mengejutkan!
Demikian pula dengan sosok tinggi besar, ia menge-
luarkan seruan kaget. Dalam keremangan cuaca, se-
pasang matanya berkilat tajam seperti hendak menge-
nali siapa orang yang telah menghadangnya. Terlihat
jelas pancaran kegeraman dalam bola mata itu.
Panji yang telah menguasai kuda-kudanya berdiri
tegak menatap sosok tinggi besar dalam jarak hampir
dua tombak. Pemuda itu pun berusaha menembus ke-
remangan untuk mengenali siapa sosok tinggi besar
yang memiliki kepandaian hebat itu. Sehingga, sesaat
keduanya saling meneliti untuk mengenali lawan mas-
ing-masing.
***
DELAPAN
“Kisanak, harap kau jelaskan mengapa mereka kau
bunuh? Apa kesalahan mereka kepadamu...?” tanya
Panji yang belum juga bisa melihat jelas raut wajah so-
sok tinggi besar. Sehingga, ia belum bisa memastikan
siapa orang itu.
“Hm.... Mereka adalah orang-orang tamak yang pan-
tas mampus!” jawab sosok tinggi besar menyiratkan
kebencian yang dalam. Dan begitu ucapannya selesai,
tubuhnya melayang ke arah Panji dengan serangan
dahsyat!
“Haaat..!”
Whusss...!
Serangkum angin pukulan berdesingan datang
mengancam tubuh Panji. Diam-diam pemuda itu terke-
jut. Serangan yang mengandalkan bacokan sisi telapak
tangan itu dapat menimbulkan suara seperti ayunan
pedang. Itu jelas membuktikan bahwa tenaga dalam
yang dipergunakan lawan benar-benar berbahaya! Dan
serangan itu pasti dapat mematikan!
Berpikir demikian, Panji bergegas mengerahkan ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’. Sebentar saja, terciptalah
lapisan kabut bersinar putih keperakan membungkus
sekujur tubuhnya. Seiring dengan munculnya lapisan
kabut, hawa dingin menggigit pun menyebar memenu-
hi arena.
Bwettt..!
Satu sambaran sisi telapak tangan sosok tinggi besar datang mengancam batang leher Pendekar Naga
Putih. Pemuda itu bergegas menggeser tubuhnya ke ki-
ri. Kemudian, membalas dengan sebuah cengkeraman
ke arah tenggorokan lawan.
“Hebat...!”
Terdengar sosok tinggi besar memuji tindakan la-
wannya. Ia menarik mundur tubuhnya dengan kaki
depan menekuk lutut ke dalam. Cengkeraman cakar
naga Panji hanya mengenai angin kosong. Dan, saat
itu kaki depan sosok tinggi besar melesat naik men-
gancam dagu.
Plakkk!
Cepat bukan main Panji memutar tangannya dan
langsung menekan tendangan itu dengan telapak tan-
gan. Benturan keras pun tak dapat dihindarkan. Ke-
duanya terdorong mundur, membuktikan bahwa ‘ke-
kuatan mereka seimbang.
“Yeaaah...!”
Sosok tinggi besar yang terdorong mundur kembali
melesat ke depan dengan serangkaian serangan maut.
Tindakan itu membuat Panji semakin kagum. Pemuda
itu bertambah yakin lawannya memang bukan orang
sembarangan. Sehingga, Panji merasa ragu kalau ia
dapat merobohkan lawan dalam seratus jurus. Karena
tingkat kepandaian lawan memang sulit diukur.
“Hmmm...!”
Sadar kalau ia tidak boleh main-main dalam meng-
hadapi serangan lawan, Panji mempersiapkan ‘Ilmu Si-
lat Naga Sakti’. Kemudian menerjang maju menyambut
serangan lawan.
“Heaaat..!”
Sebentar kemudian, kedua tokoh itu kembali terli-
bat perkelahian sengit. Dan Panji semakin kagum keti-
ka mendapat kenyataan kepandaian lawan memang
benar-benar hebat! Selain itu, ia pun merasa heran.
Ilmu silat lawan tidak memiliki banyak unsur-unsur
sesat! Bahkan, lebih condong mengarah pada ilmu pu-
tih. Itu terbukti dari cara lawan melancarkan seran-
gan. Kenyataan itu membuat Panji menduga kalau la-
wannya bukanlah seorang tokoh sesat Kendati demi-
kian, terselip pertanyaan dalam benak Panji. Mengapa
tokoh tinggi besar itu melakukan pembunuhan dengan
cara yang kejam?
Tapi, Panji tidak bisa berpikir terus sambil mengha-
dapi gempuran lawan yang semakin lama kian bertam-
bah hebat dan berbahaya. Untuk itu, ia harus lebih
memusatkan pikiran. Kalau tidak, bukan mustahil la-
wan dapat menciderainya.
“Yeaaat..!”
Namun, sebelum Panji sempat memusatkan piki-
rannya, sosok tinggi besar itu tiba-tiba memekik nyar-
ing. Seiring dengan itu, sebuah tusukan jari-jari tan-
gan datang dan menerobos pertahanan Panji. Sehing-
ga.... Tuggg!
“Aaakh...!”
Panji terpekik kesakitan. Tusukan jari-jari tangan
yang telak itu menghempaskan tubuhnya ke belakang.
Dada kanannya yang menjadi sasaran pukulan jari-jari
tangan sekeras besi itu terasa nyeri dan panas. Un-
tung, ia memiliki tenaga mukjizat yang selalu melapisi
sekujur tubuhnya. Sehingga, meskipun tusukan jari-
jari tangan lawan telak mengena hal itu tidak akan
sampai membuatnya menderita luka dalam yang pa-
rah.
Tapi sosok tinggi besar tidak mau menyia-nyiakan
kesempatan emas yang terbentang di depan matanya.
Maka, saat tubuh Panji melayang di udara sosok tinggi
besar melesat menyusuli lawan. Sepasang tangannya
bergerak cepat dengan sambaran angin keras berkesiutan.
Panji yang saat itu belum sempat menyiapkan diri
kelihatan terkejut. Sadar bahwa serangan lawan kali
ini dapat membunuhnya, maka begitu kedua kakinya
menyentuh tanah sepasang tangannya bergerak cepat
melindungi tubuh.
Plakkk! Plakkk!
Dua kali tusukan jari tangan lawan berhasil dipa-
paki. Tapi, kedudukannya yang tidak begitu kuat
membuat tubuh pemuda itu terjajar mundur. Dan saat
itulah lawan mempergunakannya....
Desss, blaggg!
“Huaaakh...!”
Dua buah pukulan hebat tidak sempat lagi dihin-
darkan Panji. Tubuhnya tersentak ke udara dengan
keras. Darah segar menyembur keluar dari mulut pe-
muda itu. Pukulan hebat itu telah mengguncangkan
bagian dalam dadanya!
Telak dan kerasnya pukulan lawan membuat Panji
tidak mampu menguasai keseimbangan tubuh. Pemu-
da itu terbanting jatuh ke tanah. Tapi, Panji bergegas
bangkit secepatnya. Kendati pandangannya masih na-
nar. Dan....
“Heiii...?!”
Sosok tinggi besar yang semula siap melepaskan
pukulan susulannya terpekik kaget. Tubuh lawan
tampak berpijar bagai diselimuti kobaran api. Hawa
panas pun menyebar membuat sosok tinggi besar ber-
gerak mundur beberapa langkah. Sepasang matanya
membelalak tak percaya dengan pemandangan yang
terpampang di depan matanya!
Apa yang disaksikan sosok tinggi besar memang
bukan khayalan. Pukulan-pukulan telak yang meng-
guncang bagian dalam tubuh Panji telah membuat ‘Te-
naga Sakti Inti Panas Bumi’ bangkit dan menyebar ke
seluruh anggota tubuhnya. Dan langsung membakar
musnah pengaruh pukulan yang melukai bagian da-
lam tubuh pemuda itu.
Sebagaimana diketahui, ‘Tenaga Sakti Inti Panas
Bumi’ yang merupakan jelmaan Pedang Naga Langit
demikian banyak khasiatnya. Selain mampu menolak
dan memusnahkan segala macam jenis racun, tenaga
mukjizat itu pun akan langsung bereaksi bila ada se-
suatu yang tidak beres dalam tubuh majikannya. Ka-
rena itu, tenaga mukjizat itu langsung bangkit untuk
membakar semua pengaruh pukulan yang telak men-
genai tubuh Panji. Sehingga, untuk beberapa saat, ‘Te-
naga Sakti Gerhana Bulan’ tertindih dan membuat se-
kujur tubuh Panji bagai terjilat kobaran api. Peman-
dangan itulah yang disaksikan sosok tinggi besar.
“Luar biasa?! Kabar tentang kesaktian Pendekar
Naga Putih ternyata bukan hanya omong kosong bela-
ka! Entah ilmu macam apa yang kali ini dipertunjuk-
kannya kepadaku...?!” gumam sosok tinggi besar me-
mandang takjub. Kalau saja tidak melihat sendiri, ia
mungkin tidak akan mempercayainya. Tapi, semua itu
terpampang jelas di depan matanya. Dan sulit untuk
diingkari lagi.
Beberapa saat kemudian, kobaran api yang menye-
limuti sekujur tubuh Panji mulai mengecil, sampai ak-
hirnya lenyap sama sekali. Dan digantikan oleh lapisan
kabut bersinar putih keperakan. Wajah Panji yang se-
mula pucat telah kembali bersinar cerah. Itu merupa-
kan pertanda kalau luka dalam di tubuhnya telah
musnah terbakar kekuatan mukjizat ‘Tenaga Sakti Inti
Panas Bumi’.
Merasakan tubuhnya kembali ringan tanpa rasa
nyeri yang mengganggu, Panji kembali menatap sosok
tinggi besar di depannya. Sepasang mata pemuda itu
mencorong tajam bagai mata naga di kegelapan. Per-
bawa yang kuat terpancar mengiriskan, membuat lawannya tergetar mundur beberapa langkah. Tampak
jelas sosok tinggi besar itu sangat terkejut melihat ta-
tapan tajam Panji yang menggetarkan jantung!
***
Saat itu, matahari mulai berpijar menampakkan
kekuasaannya. Suasana yang semula remang-remang
perlahan sirna tersaput kecerahan sinar matahari pagi.
Keadaan itu membuat sosok tinggi besar tersentak ka-
get dan bergerak menjauh. Ia berusaha menyembunyi-
kan wajahnya agar tidak sampai dikenali lawan.
Panji sendiri kelihatan lega menyambut kehangatan
matahari pagi. Karena dengan begitu ia dapat melihat
wajah lawannya. Tapi, untuk itu ternyata tidak mudah.
Sosok tinggi besar menjauh dan menutupi wajahnya
dengan punggung tangan. Sehingga, yang terlihat
hanya sorot mata setajam mata elang.
“Hei, tunggu...?!”
Panji tampak terkejut ketika ia mendekat dengan
langkah perlahan, sosok tinggi besar itu malah melesat
pergi meninggalkan tempat itu. Tentu saja hal itu tidak
dibiarkannya. Cepat Panji melesat melakukan pengeja-
ran.
Sadar kalau kepandaian ilmu lari cepat tokoh itu
setingkat dengannya, Panji menggunakan cara lain un-
tuk mencegah kepergiannya. Satu-satunya jalan ia ha-
rus menghalangi dengan melepaskan pukulan jarak
jauh. Dan berharap pukulan itu akan membuat la-
wannya sibuk.
“Haiiit...!”
Disertai bentakan nyaring, Panji mendorongkan te-
lapak tangan kanan.
Whuttt...!
Serangkum angin dingin berhembus keras ke arah
sosok tinggi besar yang berada hampir dua tombak di
depan. Hembusan angin dingin itu sudah pasti diketa-
hui lawan yang tentunya tidak akan membiarkan di-
rinya cidera. Tapi....
Sebelum sosok tinggi besar memutar tubuh mema-
paki pukulan jarak jauh Panji, tiba-tiba terdengar
lengkingan panjang yang menggetarkan dada. Belum
lagi gema suara itu lenyap, sesosok bayangan berkele-
bat dan melepaskan pukulan dahsyat memapaki puku-
lan jarak jauh Pendekar Naga Putih. Akibatnya....
Blarrr...!
Ledakan keras yang menggetarkan tanah di sekitar
tempat itu terdengar ketika dua kekuatan hebat saling
berbenturan. Bahkan, dedaunan berguguran karena
hebatnya getaran benturan dua gelombang tenaga ma-
ha dahsyat itu.
“Heaaah?!”
Pengaruh benturan keras itu ternyata mendorong
balik tubuh Panji. Pemuda itu berseru keras dan me-
mutar tubuhnya tiga kali. Kemudian, meluncur turun
dengan kedua kaki lebih dulu.
Hal serupa juga dilakukan sosok tinggi kurus yang
menyambut pukulan jarak jauh pemuda tampan itu.
Dengan sebuah putaran manis, sosok tinggi kurus tu-
run dengan selamat di atas tanah.
Panji menatap tajam seraut wajah lelaki tua yang
memiliki sorot mata tajam menggetarkan jantung. Wa-
jah itu tampak kelam seperti menyimpan rasa penasa-
ran yang dalam. Dan Panji menjadi terkejut ketika
mengenali siapa lelaki tua berperawakan tinggi kurus
itu.
“Pendekar Bangau Sakti...?!” desis Panji berusaha
menekan debaran dalam dadanya.
Kehadiran pendekar besar yang kosen itu membuat
ingatan Panji melayang kepada delapan orang murid
Perguruan Bangau Putih yang ditemukannya tewas di
pinggir sebuah hutan. Dan sikap pendekar tua itu ke-
lihatan memusuhi Panji. Sehingga, Panji menduga-
duga kemungkinan tokoh itu telah mendengar kabar
tentang kematian murid-muridnya.
“Ah, kiranya Pendekar Bangau Sakti yang datang.
Maaf, kalau sambutanku kurang hormat..,” ujar Panji
menyapa sosok tinggi kurus. Pemuda itu membungkuk
penuh hormat. Pendekar Bangau Sakti adalah salah
satu dari sekian banyak tokoh tua golongan putih yang
patut dihormati.
“Hm.... Jangan berpura-pura sopan di hadapanku,
Pendekar Naga Putih! Aku sudah mendengar tentang
kematian murid-muridku. Dan kedatanganku adalah
untuk meminta tanggung jawab darimu sebagai pelaku
kekejian itu!” tukas lelaki tua itu ketus.
Jawaban Pendekar Bangau Sakti benar-benar men-
gejutkan Panji. Diam-diam pemuda itu menyesali sikap
Tiga Harimau Besi yang tidak memikirkan akibat dari
pengaduannya. Hal itu bisa menimbulkan pertikaian di
antara sesama golongan. Dan kenyataan itu sama se-
kali tidak diinginkan Panji.
“Pendekar Bangau Sakti,” ujar Panji berusaha ber-
sikap setenang mungkin. “Semua itu hanyalah kesa-
lahpahaman belaka. Sejujurnya kukatakan aku bu-
kanlah pembunuh seperti yang kau tuduhkan itu,”
lanjut Panji menjelaskan.
“Kau masih ingin membantah, Pendekar Naga Putih!
Bukti sudah jelas kulihat dengan mata kepalaku sen-
diri. Rupanya, kebesaran dan kepandaian yang kau
miliki membuatmu menjadi takabur dan tidak mau
memandangku sebagai tokoh yang lebih tua. Sekarang
tidak usah banyak cakap lagi. Menyerah untuk diadili
di hadapan anggota-anggota Perguruan Bangau Putih,
atau terpaksa aku menggunakan kekerasan untuk
menyeretmu!” tegas Pendekar Bangau Sakti tidak
mempedulikan sanggahan Panji.
“Apa maksudmu dengan bukti yang kau lihat den-
gan mata kepalamu, Pendekar Bangau Sakti?” tanya
Panji tidak mengerti. Pemuda itu merasa perlu untuk
mengetahuinya.
“Hm.... Tahukah kau siapa orang yang hendak kau
bunuh tadi?” Pendekar Bangau Sakti balik bertanya
dengan nada menyakitkan.
‘Aku..., tidak melihat wajahnya dengan jelas. Sosok
tinggi besar itu seperti tidak ingin dikenali...,” ujar
Panji yang memang belum bisa menebak siapa lawan-
nya barusan.
“Hm.... Kau hendak berbohong kepadaku, Pendekar
Naga Putih?” tukas Pendekar Bangau Sakti menggeram
menyimpan kemarahan yang siap meledak.
“Pendekar Bangau Sakti! Seumur hidupku sebisa
mungkin kebohongan ku hindari. Lagi pula tidak ada
untungnya hal itu kulakukan!” Panji mulai tersinggung
oleh ucapan-ucapan lelaki tua itu.
“Baik! Anggaplah kau tidak berdusta. Sekarang
dengarlah baik-baik! Orang yang barusan hendak kau
binasakan itu adalah.... Pendekar Rase Perak...!”
“Tidak mungkin!”
“Nah, kau masih ingin menyangkal juga!” tukas
Pendekar Bangau Sakti dengan wajah terbakar. Ban-
tahan Panji semakin menambah amarah tokoh tua itu.
Kesungguhan Pendekar Bangau Sakti membuat tu-
buh Panji terjajar mundur beberapa langkah. Hatinya
benar-benar terpukul mendengar bahwa sosok tinggi
besar yang baru saja bertempur mati-matian dengan-
nya ternyata seorang tokoh besar rimba persilatan,
yang telah lama menghilang dari dunia ramai. Panji
hampir tidak mempercayainya. Namun, ucapan itu ke-
luar dari mulut seorang tokoh besar yang tidak mungkin berdusta!
“Tapi..., lelaki tinggi besar itu baru saja melakukan
perbuatan keji dengan membunuh orang-orang tak
berdosa. Aku menyaksikannya dengan mata kepalaku
sendiri!” bantah Panji membela diri.
“Hm.... Tidak perlu membela diri, Pendekar Naga
Putih! Rupanya, kau hendak berpaling dari jalan ke-
baikan. Perlu kau tahu bahwa orang-orang yang ter-
bunuh itu adalah tokoh-tokoh golongan sesat! Aku ta-
hu pasti akan hal itu!” tegas Pendekar Bangau Sakti
membuat Panji semakin terkejut.
“Mereka orang-orang golongan sesat..?!” desis Panji
bagai tengah mengalami mimpi buruk. Kenyataan itu
membuat jiwa Panji semakin terguncang.
“Tapi..., bukankah Pendekar Rase Perak telah lama
tidak menampakkan diri?” cerita yang didengarnya da-
ri Pertapa Goa Kelelawar mengingatkan Panji tentang
tokoh itu.
“Memang benar! Dan kalau sekarang ia menampak-
kan diri, itu karena tidak ingin binatang peliharaannya
dimiliki orang-orang yang tidak bertanggung jawab!
Contohnya tokoh-tokoh sesat yang baru saja dibunuh-
nya itu!”
Bantahan Pendekar Bangau Sakti membuat Panji
kehabisan kata-kata. Untuk beberapa saat pemuda itu
terdiam. Semua peristiwa yang terjadi belakangan ini
oleh Panji dirasakan sebagai ujian terberat selama pe-
tualangannya dalam rimba persilatan.
“Hm.... Rasanya, aku belum percaya dengan semua
yang telah ku alami belakangan ini? Tapi, biar bagai-
manapun aku harus menyelesaikan tugas- tugasku
sebagaimana pesan mendiang guruku. Dan untuk
mengungkapkan semua kejadian aneh ini, aku harus
menghindar dari Pendekar Bangau Sakti. Sebab, kalau
sampai aku bertarung dengannya, golongan putih pasti
akan terpecah. Sedangkan hal itu sama sekali tidak
kuinginkan...,” desah Panji dalam hati memikirkan
tindakan apa yang harus diambilnya.
“Menyerahlah secara baik-baik, Pendekar Naga Pu-
tih! Kami akan mengadili mu dengan jujur. Sebagai
orang gagah kau harus berani mempertanggungjawab-
kan perbuatanmu!” ujar Pendekar Bangau Sakti mem-
buat Panji tersentak dari lamunannya.
“Maaf, Pendekar Bangau Sakti. Aku merasa semua
ini banyak keanehan dan kejanggalan. Sayang, saat ini
aku belum bisa mengungkapkannya. Berikanlah kepa-
daku sedikit waktu. Kelak aku akan datang kepadamu
dengan bukti-bukti yang dapat melenyapkan tuduhan
itu terhadap diriku...,” Panji berusaha meminta kebi-
jaksanaan Pendekar Bangau Sakti. Karena pemuda itu
merasa ada sesuatu yang tidak beres. Dan, ia harus
dapat mengungkapkan ketidakberesan itu.
“Apa lagi yang hendak kau buktikan, Pendekar Naga
Putih! Semuanya sudah jelas. Aku akan membawamu
ke Perguruan Bangau Putih untuk diadili...,” usai ber-
kata, Pendekar Bangau Sakti bertepuk tangan tiga kali.
Panji bergerak mundur ketika dari sekeliling tempat
itu berloncatan sosok-sosok berpakaian serba putih.
Mereka adalah murid-murid orang tua itu. Panji tidak
tampak terkejut. Tapi..., ada satu sosok tubuh yang
belakangan muncul dan membuat dada pemuda itu
berdebar keras. Sosok itu adalah....
“Pendekar Rase Perak...?!” desis Panji kaget bukan
main.
Sosok tinggi besar itu hanya terkekeh perlahan. Dia
memang Pendekar Rase Perak. Rupanya, tokoh tua
yang telah lama menghilang itu bersahabat dengan
Pendekar Bangau Sakti.
Melihat keadaan itu, sadarlah Panji kalau dirinya
sangat sulit untuk memperoleh kemenangan. Apalagi,
ketika ia melihat munculnya Tiga Harimau Besi ditempat itu. Jelas ia tengah terancam bahaya besar.
Karena tidak ingin bertarung dengan sesama golon-
gan, Panji mengambil keputusan untuk secepatnya
meninggalkan tempat itu. Sesaat kemudian, Panji
mengerahkan dua tenaga mukjizat yang ada dalam tu-
buhnya. Lalu....
“Eaaarkh...!”
Dengan tenaga gabungan yang maha dahsyat, Panji
mengeluarkan ‘Pekikan Naga Marah’! Dan, hasilnya
luar biasa sekali!
Tempat itu bagai dilanda angin topan dahsyat. Pe-
pohonan berderak ribut seiring dengan hembusan an-
gin keras yang membuat beberapa pohon sebesar paha
bertumbangan tercabut dari akarnya. Beberapa orang
yang mengurungnya terlempar bagai ditiup mulut-
mulut raksasa.
Pendekar Rase Perak, Pendekar Bangau Sakti, dan
Tiga Harimau Besi menancapkan kuda-kudanya hing-
ga kedua kaki mereka terbenam ke tanah sampai mata
kaki. Mereka harus mengerahkan tenaga dalam untuk
melawan pengaruh ‘Pekikan Naga Marah’ itu. Karena
lengking panjang yang diperdengarkan Panji telah
mengguncangkan bagian dalam dada mereka.
Saat kesibukan itu terjadi, Panji melesat pergi den-
gan mengerahkan seluruh ilmu lari cepatnya. Agaknya,
itu adalah satu-satunya jalan terbaik yang harus di-
ambil Panji. Pemuda itu merasa masih banyak tugas
yang menanti dirinya. Ia tidak ingin menyerah begitu
saja sebelum dapat membuktikan kalau dirinya benar-
benar tidak bersalah.
“Hm.... Pemuda itu benar-benar hebat! Tapi, biar
bagaimanapun kita harus dapat membekuknya. Kura-
sa ia pasti pergi ke Bukit Ular Emas...,” ujar Pendekar
Bangau Sakti yang hanya bisa menyumpah ketika ti-
dak mendapatkan sosok Pendekar Naga Putih di tempat itu.
‘Tapi, kita harus berhati-hati menghadapinya. Se-
lain itu, kita pun harus memperhitungkan campur
tangan tokoh lain yang kemungkinan besar berpihak
pada Pendekar Naga Putih...,” timpal Pendekar Rase
Perak mengingatkan.
Pendekar Bangau Sakti hanya bergumam tak jelas.
Kemudian, memberikan isyarat kepada murid- murid-
nya untuk meninggalkan tempat itu. Sebentar saja
keadaan yang semula ramai kembali dicekam kesu-
nyian. Sementara, tiupan angin yang mempermainkan
pucuk-pucuk dedaunan menimbulkan gemerisik lem-
but di telinga.
***
Bagaimana nasib Pendekar Naga Putih selanjutnya?
Sanggupkah ia menghadapi tokoh-tokoh tingkat tinggi
yang menuduhnya sebagai pembunuh? Dapatkah Pen-
dekar Naga Putih membuktikan bahwa dirinya tidak
bersalah? Siapa sebenarnya yang membunuh delapan
orang murid utusan Perguruan Bangau Putih? Benar-
kah Pendekar Rase Perak yang melakukannya?
Untuk mengetahui jawaban pertanyaan-pertanyaan
di atas, ikuti episode Pendekar Naga Putih selanjutnya
yang merupakan lanjutan dari: Rase Perak. Semuanya
akan terjawab dalam episode: “Misteri di Bukit Ular Emas”.
SELESAI
0 comments:
Posting Komentar