..👉Catatan Penting Buat Penggemar Cerita Silat Di Blog Ini .. Bahwa Cerita Ini Di Buat Pengarang Nya Sebagian Besar Adalah Fiksi Semata..Ambil Hikmahnya Dan Tinggalkan Buruk Nya.. semoga bermanfaat.. semoga kita semua kelak mendapatkan surga dari Allah SWT.. aamiin...(Hadits tentang tiga perkara yang tidak terputus pahalanya setelah meninggal dunia adalah: Sedekah jariyah, Ilmu yang bermanfaat, Anak sholeh yang mendoakannya. Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra ) ..(pertanyaan Malaikat Munkar dan nakir di alam kubur : . Man rabbuka? Atau siapa Tuhanmu? 2. Ma dinuka? Atau apa agamamu? 3. Man nabiyyuka? Atau siapa nabimu? 4. Ma kitabuka? Atau apa kitabmu? 5. Aina qiblatuka? Atau di mana kiblatmu? 6. Man ikhwanuka? Atau siapa saudaramu?)..sabda Rasulullah Saw mengenai keutamaan bulan suci Ramadhan dalam sebuah hadits yang berbunyi: “Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi, Allah telah mewajibkan padamu berpuasa di bulan itu..

Kamis, 20 Februari 2025

PENDEKAR NAGA PUTIH EPISODE PEMBUNUH BERDARAH DINGIN

matjenuh khairil


 

PEMBUNUH BERDARAH DINGIN
oleh T. Hidayat
Cetakan pertama
Penerbit Cintamedia, Jakarta
Hak cipta pada Penerbit
Dilarang mengcopy atau memperbanyak sebagian atau
seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit
T. Hidayat
Serial Pendekar Naga Putih
dalam episode : Pembunuh Berdarah Dingin
128 hal. ; 12 x 18 cm

1

Bangunan itu tidak terlalu besar, namun terlihat apik
dan terawat dengan baik. Letaknya agak terpencil di lereng
sebelah tenggara Gunung Bakau dan jauh dari pedusunan.
Menandakan bahwa pemilik bangunan itu, adalah orang yang
menginginkan ketenangan. Dan orang yang menjalani hidup
seperti itu, biasanya sudah berumur ataupun karena suatu
alasan tertentu. Dan, memang Ki Arja Wiguna, pemilik serta
penghuni bangunan itu, mempunyai alasan tersendiri.
Ki Arja Wiguna memang bukan orang sembarangan.
Bagi kalangan persilatan, namanya sudah tidak asing lagi.
Menimbulkan rasa jerih di hati kaum golongan hitam. Akan
tetapi, bagi kaum golongan putih, nama Ki Arja Wiguna
mendatangkan perasaan segan dan hormat. Memang, tidak
banyak yang mengetahui nama sebenarnya. Kebanyakan
hanya tahu julukannya, Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, sejak lebih dari lima belas tahun silam,
sepak-terjang Dewa Mata Seribu tidak lagi santer terdengar.
Sejak kematian istrinya, akibat terjangkit wabah penyakit
menular, Ki Arja Wiguna meninggalkan desa kelahirannya.
Memboyong keluarganya ke sebuah tempat terpencil. Dan
karena sepak-terjangnya tak lagi terdengar, maka namanya
pun jarang dibicarakan orang. Bahkan beberapa tahun
kemudian, nama besar Dewa Mata Seribu, telah nyaris
dilupakan orang. Tentunya, kalangan rimba persilatan
merupakan kekecualian. Lebih-lebih mereka yang terhitung
merupakan tokoh-tokoh kelas atas. Dewa Mata Seribu masih
tetap mereka perhitungkan keberadaannya.
Di tempat tinggalnya yang baru, yang jauh dari
pedusunan, Ki Arja Wiguna menggembleng dua orang
anaknya laki-laki dan perempuan dan seorang murid laki-
laki. Dan ketika melihat anak laki-lakinya sangat berbakat
dalam ilmu meringankan tubuh, maka setelah
menggemblengnya selama lebih dari sepuluh tahun, segera
saja dititipkan kepada sahabatnya, yang ilmu meringankan
tubuhnya telah sangat terkenal. Sedangkan putri dan murid
laki-lakinya, tetap ia sendiri yang mendidiknya.
Seperti apa yang biasa dilakukannya pada setiap pagi,
Ki Arja Wiguna tampak tengah duduk bersemadi di bagian

belakang bangunan di udara terbuka. Namun, pagi ini
semadinya terusik oleh kehadiran seseorang. Pada mulanya
Ki Arja Wiguna tidak ambil peduli, mengira kalau yang
datang itu putrinya atau mungkin juga muridnya. Akan
tetapi, ketika telinganya menangkap suara langkah yang
berbeda, karena ia telah hafal suara langkah putrinya dan
juga muridnya, maka segera saja Ki Arja Wiguna menyudahi
semadinya. Dan... alangkah terkejut hatinya sewaktu melihat
si pendatang.
"Siapakah Tuan? Apakah Tuan bermaksud
mencariku?" tanya Ki Arja Wiguna sambil berusaha
mengenali si pendatang, yang menyembunyikan wajahnya di
balik kerudung hitam. Ada kecurigaan dalam nada suara Ki
Arja Wiguna. Karena, dengan menyembunyikan wajah di
balik kerudung, si pendatang telah membuat kesan yang
kurang baik.
Orang berkerudung nampak kaget. Karena Ki Arja
Wiguna sudah bangkit dan memutar tubuh sebelum ia
sempat tiba dekat. Maksudnya semula mungkin hendak
membokong Ki Arja Wiguna selagi bersemadi. Sayang,
meskipun ia datang, dengan berindap-indap, melangkah
dengan sangat hati-hati sekali, pendengaran Ki Arja Wiguna
tetap dapat menangkap suara langkahnya. Pikiran itu
melintas di kepala Ki Arja Wiguna sewaktu tegurannya
mendapat jawaban yang cukup mengagetkan hatinya. Si
orang berkerudung menjawab tegurannya dengan
serangkaian serangan maut! Serangan-serangan keji, yang
biasanya hanya digunakan oleh kaum golongan hitam. Tentu
saja Ki Arja Wiguna tidak mau tubuhnya dijadikan sasaran.
Cepat ia menggeser langkahnya untuk menghindari serangan
maut itu.
"Tahan seranganmu, Tuan?" Ki Arja Wiguna mencoba
untuk mencegah seraya mengulurkan telapak tangan, yang
diangkat setinggi dada. Ki Arja Wiguna tentu saja tidak
menghendaki pertempuran yang tanpa sebab yang jelas. Ia
harus tahu dulu duduk perkaranya. Baru setelah itu ia bisa
meng ambil keputusan.
Akan tetapi, manusia berkerudung hitam itu sama
sekali tidak mengindahkan ucapan Ki Arja Wiguna.
Serangannya kembari dilanjutkan. Bahkan setelah serangan
pertamanya digagalkan Ki Arja Wiguna, dia melanjutkan
dengan serangan yang lebih hebat lagi. Lebih ganas!
Akan tetapi, tidak percuma Ki Arja Wiguna mendapat
julukan Dewa Mata Seribu. Benar serangan si orang
berkerudung itu sangat cepat dan kuat, membuatnya kagum
kendati tidak diucapkannya lewat sebuah pujian. Namun
semua serangan itu dapat dihindarinya dengan tanpa
kesulitan yang berarti. Setiap anggota tubuhnya yang
dijadikan sasaran serangan, tak ubahnya memiliki mata.
Meliuk lincah bagai ular, hingga serangan lawan selalu saja
luput. Dan ketika si orang berkerudung semakin bertambah
penasaran, Ki Arja Wiguna segera memapak serangan
berikutnya.
Dukkk! Plakkk!
"Uuhhh...!"
Terdengar si orang berkerudung mengeluh pendek.
Tubuhnya terjajar sebanyak enam langkah. Kibasan lengan
Ki Arja Wiguna, yang mengandung tenaga dalam kuat itu,
bukan saja telah menggagalkan serangannya, malah
membuat dua lengannya terasa nyeri- dan linu.
"Sebaiknya kau jelaskan alasanmu menyerangku." Ki
Arja Wiguna menatap si orang berkerudung dengan mata
disipitkan. Seolah hendak menembus kerudung hitam yang
menutupi kepala dan wajah orang itu. Akan tetapi, Ki Arja
Wiguna tetap tidak bisa mengenalinya. Apalagi orang
berkerudung itu selalu menggerak-gerakkan kepalanya
seperti tahu jalan pikiran Ki Arja Wiguna, dan ia berusaha
agar dirinya tidak dikenali.
Si orang berkerudung masih tetap bungkam,
menundukkan kepala sambil memijat-mijat kedua lengannya
bergantian. Tampaknya dia masih belum bisa melenyapkan
rasa nyeri dan linu akibat tangkisan Ki Arja Wiguna tadi.
"Nampaknya kau sengaja menunggu kesabaranku
habis," lanjut Ki Arja Wiguna ketika si orang berkerudung
belum menjawab pertanyaannya. Dan wajah Ki Arja Wiguna
mulai mengelam ketika si orang berkerudung masih saja
menunduk. Emosi Ki Arja Wiguna terpancing. Dan setelah
menunggu beberapa saat namun si orang berkerudung masih
juga belum merubah sikap, Ki Arja Wiguna melangkah maju.
"Aku menginginkan pusaka-pusaka warisan le-
luhurmu, Ki Arja Wiguna!" Tiba-tiba saja si orang

berkerudung membuka suara, tegas dan lantang. Dan Ki Arja
Wiguna tersentak kaget. Bukan ucapan si orang berkerudung
yang membuatnya terkejut, melainkan suaranya. Suara itu
membuat paras Ki Arja Wiguna memucat, karena ia kenal
betul dengan suara si orang berkerudung. Suara yang selama
puluhan tahun telah begitu lekat dengan telinganya.
"Kau...?!"
Akan tetapi, Ki Arja Wiguna tidak sempat untuk
menyelesaikan kalimatnya. Pada saat ia tengah terkejut,
terkesima, tertegun-tegun, belum percaya dengan
pendengarannya sendiri, tiba-tiba saja si orang berkerudung
melompat dan menerjangnya dengan ganas! Sebuah serangan
licik yang hanya pantas dilakukan manusia-manusia
berakhlak rendah!
Suara sambaran angin yang berkesiutan,
menandakan betapa kuatnya tenaga dalam yang terkandung,
membuat Ki Arja Wiguna maklum akan bahayanya serangan
itu. Dua kepalan yang meluncur datang dan mengancam
bagian kepalanya, membuat Ki Arja Wiguna bertindak cepat.
Dengan geram, diangkatnya dua lengannya yang segera
dikibaskan kuat-kuat. Tampaknya Ki Arja Wiguna hendak
memberi pelajaran kepada si orang berkerudung.
Namun, apa yang dilakukan si orang berkerudung
ternyata di luar dugaan Ki Arja Wiguna. Serangannya yang
ganas itu ternyata cuma berupa tipuan belaka, karena
semasih di tengah udara sebelum sampai pada sasaran si
orang berkerudung membuka kepalannya yang segera
dikibaskan ke muka Ki Arja Wiguna. Terkejut hati Ki Arja
Wiguna ketika sadar bahwa si orang berkerudung ternyata
telah menebarkan bubuk beracun ke arah wajahnya.
"Aaakhh...!" jerit Ki Arja Wiguna yang tak sempat lagi
untuk mengelak. Perbuatan si orang berkerudung memang
tidak pernah diduganya, sehingga ia tidak sempat mengelak
lagi. Apalagi saat itu hatinya tengah terguncang oleh dugaan
bahwa si orang berkerudung bukanlah orang yang asing
baginya. Semua itulah yang membuat Ki Arja Wiguna lalai.
"Ha ha ha...! Racun itu akan membuat ilmu 'Mata
Seribu'-mu lumpuh!" si orang berkerudung tertawa penuh
kemenangan. Dan selagi Ki Arja Wiguna sibuk mengucak-
ucak kedua matanya yang kemasukan bubuk beracun, si

orang berkerudung melompat cepat sambil melepaskan
sebuah tendangan keras.
Desss...!
Ki Arja Wiguna menjerit keras, terjungkal ke tanah.
Demikian keras tendangan yang menerpa dadanya iiu, hingga
membuat tubuhnya jatuh terguling-guling muntah darah.
Si orang berkerudung mengejar, dan langsung
menginjak dada Ki Arja Wiguna, yang belum sempat bangkit
berdiri. Akan tetapi, kendati dari kedua matanya yang
kemasukan bubuk beracun telah mengeluarkan darah, Ki
Arja Wiguna masih juga memberikan perlawanan yang cukup
berarti. Saat telapak kaki lawan menginjak dadanya, Ki Arja
Wiguna menyentakkan dua kakinya menendang punggung si
orang berkerudung, hingga terjurunuk dan nyaris jatuh
tersungkur di tanah.
Terdengar si orang berkerudung menggereng marah.
Memutar tubuhnya secepat kilat. Sorot matanya laksana
kobaran api yang seolah hendak membakar hangus tubuh Ki
Arja Wiguna. Dan dengan sebuah lengkingan panjang,
dilontarkannya dua pukulan maut. Ki Arja Wiguna menjerit,
terjungkal roboh dan muntah darah. Tidak ada lagi yang bisa
dilakukannya ketika kaki si orang berkerudung kembali
menginjak dadanya.
"Katakan, di mana kitab-kitab berisikan ilmu-ilmu
rahasia leluhurmu itu kau simpan, Orang Tua keparat?"
bentak si orang berkerudung sambil memutar telapak
kakinya, hingga membuat Ki Arja Wiguna meringis kesakitan.
Dan darah segar semakin banyak yang merembes keluar
lewat celah-celah bibirnya yang terkatup rapat.
"Kau... kau..., mengapa kau lakukan semua ini,
Malintang? Apa... apa sebenarnya yang sudah terjadi
denganmu?" tanya Ki Arja Wiguna dengan suara bergetar
menahankan kedukaan dan hati yang penasaran.
Sepasang mata si orang berkerudung menunjukkan
kekagetan hatinya. Terkejut ketika mendengar Ki Arja Wiguna
telah dapat mengenali siapa dirinya. Si orang berkerudung
seketika menjadi gelisah. Menoleh ke kiri-kanan seolah takut
ada yang mendengar perkataan Ki Arja Wiguna dan juga me-
lihat apa yang dilakukannya itu. Dan sikapnya baru kembali
tenang setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang
menyaksikan semua kejadian itu.

"Cepat katakan, Orang Tua keparat! Atau...
kuremukkan saja tulang-tulang dadamu ini!" si orang
berkerudung yang disebut Ki Arja Wiguna dengan nama
Malintang itu mengancam tak sabar. Kemudian kembali
menekan dan memutar telapak kakinya yang berada di atas
dada Ki Arja Wiguna.
"Terkutukkah kau, Malintang! Manusia tidak tahu
balas budi! Kau... kau... Entah iblis dari mana yang telah
menghasut dan merasuki pikiranmu itu. Tapi..., jangan
mimpi kalau aku akan memenuhi permintaanmu itu,
meskipun sebenarnya semua itu kelak akan kuwariskan
kepadamu," ujar Ki Arja Wiguna dengan napas terengah-
engah.
Malintang, si orang berkerudung kain hitam, tampak
tertegun. Akan tetapi cuma sesaat. Saat berikutnya ia
mengeluarkan dengusan mengejek sambil membuka
kerudung yang menutupi kepalanya.
Ternyata, Malintang adalah seorang pemuda yang
sebenarnya cukup menarik. Wajahnya bersih dan tampan.
Paling jauh usianya baru sekitar dua puluh dua tahun.
Tubuhnya jangkung dan agak kurus, namun terlihat cukup
kokoh. Terlebih dalam balutan pakaian serba hitam yang saat
itu dikenakannya.
''Huh, apa kau kira aku akan percaya begitu saja
dengan bualanmu itu, Orang Tua keparat!" Malintang tampak
semakin beringas. "Sekali lagi kuberi kau kesempatan.
Katakan di mana pusaka-pusaka leluhurmu itu kau simpan,
atau tulang-tulang dadamu kubikin remuk!"
Ki Arja Wiguna menyeringai, menahan rasa nyeri yang
menyerang dadanya. Bukan karena luka-luka yang
dideritanya, melainkan perbuatan Malintang-lah
penyebabnya. Sakit bukan main hati Ki Arja Wiguna dengan
perbuatan Malintang yang tega mengkhianati dirinya itu.
Padahal apa yang dikatakannya adalah yang sebenarnya.
Tapi, setelah apa yang sekarang dilakukan Malintang
terhadap dirinya, telah membuat Ki Arja Wiguna merubah
keputusannya.
"Kau telah mengecewakan aku, Malintang," ujar Ki
Arja Wiguna serak, karena menahankan kepedihan hatinya.
"Nah, sekarang lakukanlah apa yang hendak kau lakukan
kepadaku," lanjutnya pasrah.

Malintang menggereng marah, karena ia tahu betul
bagaimana watak Ki Arja Wiguna. Memaksa pun akan
percuma saja, sebab Ki Arja Wigura tidak akan merubah
keputusannya.
"Baiklah kalau memang itu yang kau inginkan, Orang
Tua bodoh!" Sembari berkata demikian, Malintang
mengangkat telapak kakinya yang kemudian dijejakkan kuat-
kuat ke dada Ki Arja Wiguna. Terdengar suara berderaknya
tulang-tulang yang patah. Ki Arja Wiguna menjerit ngeri.
Darah menyembur dari mulutnya. Dan, setelah berkelojotan
beberapa saat, Ki Arja Wiguna pun diam tak bergerak-gerak
lagi. Nyawanya telah melayang meninggalkan raganya yang
rusak itu.
"Salahmu sendiri, Orang Tua goblok!" desis Malintang,
yang kemudian segera melesat pergi.
***
Pemuda yang tengah melangkah dengan wajah
berseri-seri ini tiba-tiba tertegun. Ayunan langkahnya
seketika terhenti. Suara jerit kematian yang melengking tinggi
itu membuat parasnya berubah tegang. Pandangannya segera
ditujukan ke arah bangunan tempat tinggal Ki Arja Wiguna
tempat di mana selama ini ia juga tinggal.
Rakai, demikian nama pemuda ini. Ia adalah satu-
satunya orang luar yang sangat beruntung, karena Ki Arja
Wiguna mau mendidiknya dan mengangkatnya menjadi
murid. Itu sebabnya mengapa pemuda ini bisa berada di
sekitar ternpat tinggal Ki Arja Wiguna.
Pagi itu seperti yang biasa dilakukannya Rakai pergi
berlatih di hutan. Setelah merasa puas, baru ia pulang.
Kebiasaan seperti itu sudah cukup lama dijalaninya. Sejak Ki
Arja Wiguna menurunkan dua macam ilmu pilihan, menurut
bakat yang ada padanya. Dan sejak itu pula Rakai semakin
giat berlatih, karena ia tidak ingin mengecewakan hati
gurunya.
Setelah hampir satu tahun giat melatih diri di dalam
hutan pada setiap pagi, Rakai merasa telah memperoleh
kemajuan yang pesat. Tentu saja ia sangat gembira sekali,
dan ingin menunjukkan selekasnya kepada gurunya. Akan
tetapi, kegembiraannya seketika lenyap. Rakai kenal betul

kalau jerit kematian yang didengarnya itu adalah suara
gurunya, suara Ki Arja Wiguna. Apalagi datangnya dari arah
bangunan. Karuan saja Rakai menjadi tegang. Dan,
meskipun ada rasa kurang percaya kalau jeritan itu benar-
benar suara gurunya, tapi Rakai sudah melesat berlari
secepat terbang.
Sebagai orang yang selama belasan tahun berada
dalam asuhan gurunya. Rakai tahu betul apa yang selalu
dilakukan gurunya pada tiap-tiap pagi. Itu salah satu alasan
mengapa setiap pagi berlatih di hutan. Tak lain karena ia
tidak ingin mengganggu ketenangan gurunya dalam
bersemadi. Dan Rakai hafal betul di mana tempat gurunya
biasa bersemadi. Maka, Rakai langsung saja menuju bagian
belakang bangunan, tanpa merasa perlu untuk memeriksa
bagian dalam bangunan lagi.
Dan..., alangkah terkejutnya hati Rakai sewaktu
menemukan gurunya tergeletak di tanah dengan tubuh
bersimbah darah. Rakai menubruk tubuh Ki Arja Wiguna,
dan baru menyadari kalau gurunya itu ternyata sudah tidak
bernyawa lagi. Kenyataan itu membuat hatinya terguncang
hebat. Lebih-lebih keadaan mayat gurunya itu sangat
mengenaskan. Tewas dengan dada remuk dan kedua mata
buta. Rakai merasakan sekujur tubuhnya menjadi lemas
bagai tak bertenaga, ia jatuh terduduk di samping mayat
gurunya. Hatinya belum bisa menerima kenyataan itu.
Kenyataan bahwa Ki Arja Wiguna, tokoh yang sangat terkenal
dan jarang menemui tanding, dan bahkan sampai mendapat
julukan Dewa Mata Seribu itu, mati terbunuh.
Cukup lama Rakai berada dalam keadaan seperti itu,
duduk di tanah sambil memeluk mayat gurunya, sampai
akhirnya sebuah ingatan menyadarkannya. Akan tetapi,
sebelum ia melompat bangkit untuk mengejar pembunuh
gurunya, yang menurut perkiraannya pasti belum pergi jauh,
tiba-tiba saja terdengar sebuah bentakan yang mengagetkan
hatinya, membuat Rakai nyaris berjingkrak saking kagetnya.
"Manusia biadab, apa yang kau lakukan terhadap
ayahku?"
Pucat paras Rakai seketika. Suara itu tidaklah asing
bagi telinganya. Suara yang dikenalnya dengan baik yang
selama belasan tahun sangat akrab dengan telinganya. Rakai
tahu betul siapa pemilik suara itu. Maka, cepat ia melompat

bangkit dan langsung memutar tubuhnya. Dan wajah
pucatnya seketika berseri.
"Kakang Malintang!" seru Rakai dengan penuh luapan
kegembiraan, yang seketika menjadi lupa dengan kematian
gurunya. Akan tetapi, kegembiraan itu seketika lenyap tanpa
bekas, dan berganti dengan keheranan besar. Orang yang
membentaknya itu memang Malintang. Rakai sama sekali
tidak keliru. Yang keliru adalah perkiraannya. Kalau semula
ia membayangkan pertemuan yang sangat menggembirakan,
yang Malintang juga akan menunjukkan wajah berseri-seri,
ternyata Rakai salah besar. Malintang, yang berdiri
menatapnya itu, sama sekali tidak menunjukkan wajah
ramah, apalagi gembira. Sebaliknya malah menatapnya
dengan sorot mata berapi-api, dengan wajah merah-padam.
Maklumlah Rakai kalau Malintang telah salah menilai apa
yang dilihatnya.
"Kau telah salah menyimpulkan apa yang barusan
kau saksikan, Kakang Malintang," ujar Rakai mencoba untuk
menjelaskan. "Sebenarnya..."
"Cukup!" menggelegar suara bentakan Malintang.
"Tidak ada gunanya kau membela diri, manusia rendah! Apa
yang telah kusaksikan sudah merupakan bukti yang lebih
dari cukup! Entah mengapa kau sampai tega mengkhianati
orang yang selama belasan tahun mendidikmu dengan penuh
kasih-sayang. Siapa sangka kalau yang kami pelihara selama
belasan tahun ternyata adalah seekor serigala. Dosamu tidak
mungkin bisa kumaafkan, Rakai. Bahkan kematian pun
rasanya masih belum cukup untuk menebus dosamu. Akan
tetapi, biarlah. Paling tidak, kematian akan mengurangi
dosamu itu."
"Tunggu, Kakang Malintang, jangan salah mengerti!
Jangan cepat mengambil keputusan, yang kelak aku yakin
pasti akan kau sesali seumur hidup. Sebaiknya dengar dulu
penjelasanku, Kakang. " Rakai berusaha untuk mencegah.
Namun, Malintang, yang sebenarnya cuma bersandiwara itu,
sama sekali tidak menggubris. Malah ia langsung menerjang
Rakai dengan serangan-serangan yang ganas.
Rakai tidak mempunyai pilihan lagi. Meskipun
Malintang adalah putra gurunya, namun bukan berarti boleh
memukuli dirinya sesuka hati. Tidak, Rakai tidak mau
tubuhnya dijadikan sasaran pukulan-pukulan ganas itu.

Akan tetapi ia tidak ingin melawan, karena ia maklum kalau
hal itu hanya akan semakin menambah kemarahan
Malintang saja. Maka yang dilakukan hanyalah mengelak.
Menghindari pukulan-pukulan maut itu sambil terus
berusaha memberikan penjelasan yang sebenarnya.

2
Akan tetapi, sikap menghindar tanpa memberikan
perlawanan yang dilakukan Rakai, ternyata masih juga
disalah tafsirkan Malintang. Malintang merasa disepelekan.
Tentu saja Malintang tidak bisa menerima sikap Rakai itu. Ia
marah besar dan semakin memperhebat serangan-
serangannya tanpa mempedulikan teriakan-teriakan Rakai.
"Pasti ada musuh yang hendak mengadu domba kita,
Kakang Malintang! Mungkin pembunuh guru itu tahu
tentang kepulanganmu, dan ia mempergunakan kesempatan
ini untuk memecah-belah ki... "
Desss...!
Rakai tak sempat lagi untuk menyelesaikan ka-
limatnya. Salah satu pukulan yang dilontarkan Malintang
membuat Rakai menjerit keras, terpelanting jatuh ke tanah.
Rakai memang tidak sempat lagi untuk menghindar, karena
sebagian perhatiannya terpecah untuk memberikan
penjelasan. Dan Malintang telah mempergunakan
kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.
Rakai belum sempa bangkit, dan ia memang tidak
berusaha, hingga Malintang yang langsung memburunya,
sudah berdiri di samping tubuhnya. Dan Rakai memang
sudah pasrah.
"Kalau kau memang tidak lagi mempercayaiku,
lakukanlah apa yang kau kehendaki," ujar Rakai yang tidak
berusaha melawan lagi. Membiarkan tangan Malintang
mencengkeram leher bajunya. Mengangkat tubuhnya dengan
tangan kiri, sementara tangan kanan Malintang yang terkepal
erat, sudah siap untuk memukul remuk batok kepalanya.
"Tapi aku bersumpah bahwa aku tidak melakukan seperti
apa yang kau tuduhkan."
Malintang, yang sudah siap melontarkan pukulannya
untuk mengakhiri hidup Rakai, tiba-tiba saja tertegun.
Dengan tangan kiri yang masih tetap mencengkeram leher
baju Rakai, ditatapnya murid ayahnya itu dalam-dalam.
Tampak jelas betapa wajah Malintang menunjukkan
keraguan. Membuat hati Rakai berdebar tegang, dan segera
saja mempergunakan kesempatan itu dengan sebaik-baiknya.

"Kakang Malintang," ucap Rakai hati-hati. "Pi-
kirkanlah hal ini dengan kepala dingin. Mungkinkah aku,
yang selama belasan tahun dididik dan diasuh ayahmu
dengan penuh kaslh-sayang akan tega berkhianat dan
bahkan sampai membunuh beliau. Dan, kalaupun itu benar
kulakukan, apa alasanku? Untuk apa aku melakukan semua
kekejian itu?"
Malintang tidak menjawab, hanya menarik napas
panjang beberapa kali. Keraguan di wajah dan bahkan di
matanya semakin tampak jelas. Sungguh pandai sekali
Malintang bersandiwara, hingga sampai-sampai Rakai tertipu
oleh permainannya yang begitu sempurna.
"Berani kau bersumpah atas nama arwah kedua
orangtuamu?" tiba-tiba saja Malintang bertanya kepada
Rakai. Tentu saja ini pun hanya sandiwaranya belaka.
Malintang tahu persis bahwa Rakai memang tidak
membunuh ayahnya. Karena dialah yang sebenarnya telah
membunuh ayahnya itu. Dan ia sengaja menjebak Rakai,
yang menurutnya mungkin saja tahu tentang pusaka-pusaka
leluhur yang disimpan ayahnya. Menurutnya kemungkinan
itu bisa saja ada, mengingat Rakai adalah murid kesayangan
ayahnya.
Malintang memang sengaja bersandiwara. Sengaja
berpura-pura menuduh Rakai sebagai pembunuh ayahnya.
Berpura-pura marah, lalu menyerangnya habis-habisan.
Menurut perkiraannya, Rakai pasti tidak akan melawan, dan
berusaha untuk menjelaskan duduk perkara yang
sebenarnya kepadanya, yang kemudian akhirnya akan
menyerah, pasrah dengan apa yang akan dilakukannya. Dan
perkiraannya memang tidak meleset, itu karena Malintang
telah cukup mengenal bagaimana watak Rakai sebenarnya.
"Bukan saja demi arwah kedua orangtuaku, bahkan
demi nama Tuhan pun aku berani bersumpah!" jawab Rakai
tegas dan lantang, sambil menentang tatapan Malintang. Dan
Malintang mengangguk-angguk. Melepaskan
cengkeramannya pada leher baju Rakai. Bahkan kemudian
mengangkat Rakai bangkit berdiri.
"Maafkan sikapku yang terburu nafsu, Rakai," ucap
Malintang seraya menepuk-nepuk bahu Rakai. "Sebenarnya
aku pun ragu. Akan tetapi, pemandangan yang kusaksikan

telah membuat pikiranku buntu. Aku benar-benar khilaf,"
lanjutnya mengakui kesalahannya.
Rakai menarik napas lega. Tersenyum lebar sambil
mengangguk-anggukkan kepalanya. Malintang telah menarik
tuduhannya serta mengakui kekhilafannya. Rakai menerima
permintaan maaf Malintang. Sama sekali tidak merasa
dendam ataupun sakit hati. Rakai maklum betul dengan apa
yang dirasakan Malintang. Karena jika itu terjadi pada di-
rinya, ia pun pasti akan melakukan tindakan serupa.
***
"Aku masih penasaran, bagaimana Ayah sampai bisa
terbunuh? Padahal, orang yang bisa mengalahkan Ayah
sangat sedikit sekali jumlahnya? Dan lagi, apa sebenarnya
alasan si pembunuh itu?" Malintang mengungkapkan
perasaan hatinya kepada Rakai, selesai memakamkan mayat
ayahnya.
"Menurutku, Guru dibunuh dengan cara yang sangat
licik, yang hanya dilakukan oleh manusia-manusia
pengecut!" timpal Rakai, yang menilai dari keadaan mayat
gurunya.
"Si pembunuh itu pastilah salah seorang musuh yang
menaruh dendam terhadap Guru. Hal itu sangat mungkin
sekali, mengingat sepak-terjang Guru di masa lalu."
"Tapi menurutku, si pembunuh itu kemungkinan
besar juga mempunyai maksud lainnya, seperti mengincar
pusaka-pusaka leluhur Ayah," lanjut Malintang, yang mulai
mengarahkan pembicaraan pada sasarannya.
Rakai menoleh, menatap Malintang sesaat, lalu
mengangguk-angguk. "Mengapa kau menduga demikian,
Kakang Malintang?" tanyanya kemudian, karena Rakai
memang tidak pernah berpikir ke arah itu.
"Kalau memang si pembunuh itu cuma bertujuan
membalas dendam, kurasa bukan cuma Ayah saja yang akan
dibinasakannya, tapi kita pun pasti ditumpasnya juga. Sebab
jika tidak demikian, hidupnya pasti akan selalu dibayang-
bayangi kecemasan akan pembalasan dendam dari kita, "
jawab Malintang memberikan alasan atas dugaannya itu. Dan
tiba-tiba ia menjadi tertegun, seperti baru teringat sesuatu.
"Eh, mengapa sejak tadi aku tidak melihat Suranti, adikku?

Ke mana dia, Rakai?" Dalam nada ucapannya terkandung
kecemasan. Tapi tentu saja sikap itu cuma sandiwara
Malintang saja. Sebab, dalam hatinya, saat ini ia justru tidak
menghendaki kehadiran Suranti, adiknya itu.
Seperti juga baru teringat, Rakai pun tersentak. Akan
tetapi, ia tidak kelihatan gelisah ataupun cemas. Malah
ketidakberadaan Suranti, justru membuat Rakai nampak
lega. Tentu saja Malintang jadi lebih ingin tahu, ke mana
adiknya itu, dan apa yang sudah terjadi semenjak
kepergrannya yang lebih dari satu tahun itu.
"Sudah hampir satu bulan ini atas kehendak Guru,
Suranti tinggal di tempat kediaman seorang pujangga,
sahabat beliau. Di tempat kediaman pujangga itu, Suranti
mempelajari hurup-hurup kuno, agar bisa membaca serta
lebih memahami kitab-kitab peninggalan leluhur kita, " jelas
Rakai, yang diam-diam telah membuat hati Malintang lega.
Tapi tentu saja Malintang menyembunyikan
perasaannya itu dalam-dalam. Di luarnya ia cuma
mengangguk anggukkan kepala saja.
"Hm..., dulu Ayah seringkali menyinggung tentang
pusaka-pusaka leluhur kita itu kepadaku, namun belum
sekali pun aku melihatnya. Bahkan aku tidak tahu di mana
Ayah menyimpannya. Sedangkan sekarang, setelah Ayah
tiada, semua itu akan menjadi tanggung jawabku. Aku harus
menyelamatkannya agar tidak terjatuh ke tangan orang-orang
sesat. Tapi..., sayangnya Ayah belum sempat mem-
beritahukan tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu." Ada
nada sesal dalam ucapan Malintang, yang lebih mirip sebuah
keluhan itu.
"Aku tahu di mana Guru menyimpan pusaka-pusaka
leluhur kita itu," ujar Rakai, yang membuat Malintang
menoleh cepat, dan menatapnya dalam-dalam.
"Kau tahu?" tanyanya setengah tidak percaya.
"Mengapa kau diberitahu tapi aku tidak?" ada nada
penasaran dalam ucapan Malintang.
Kening Rakai berkerut. Ia heran dan agak kurang
percaya kalau Malintang tidak diberitahu tempat
penyimpanan pusaka. Padahal semestinya Malintanglah yang
lebih tahu, karena Malintang adalah putra Ki Arja Wiguna.
Sedangkan dirinya cuma murid, yang biar bagaimanapun
termasuk orang luar. Akan tetapi, Rakai tidak terlalu


memikirkan hal itu. Sebab mungkin saja Ki Arja Wiguna
mempunyai rencana tertentu untuk Malintang. Sayangnya
segala sesuatunya terjadi di luar dugaan. Ki Arja Wiguna
tewas tanpa disangka-sangka, hingga tak sempat
menyampaikan segala rencananya kepada putra-putrinya.
"Rakai," suara Malintang membuat Rakai tersentak
dari lamunan. Rakai menoleh dan balas menatap Malintang.
"Sebaiknya pusaka-pusaka itu segera kita amankan. Aku
khawatir..." Tiba-tiba saja raut wajah Malintang menegang.
Ada sesuatu yang saat itu melintas dalam pikirannya.
Rakai pun ternyata tidak berbeda. Ucapan Malintang
yang tak selesai itu, seketika membuat parasnya berubah.
Rakai maklum apa yang ada dalam pikiran Malintang, karena
ia pun memikirkan hal serupa.
"Ayo, kita lihat!" Rakai segera melompat bangkit. Dan
tanpa menunggu persetujuan Malintang, Rakai langsung saja
berlari masuk ke dalam bangunan. Bergegas Malintang
mengikuti dengan hati berdebar. Dan tanpa setahu Rakai,
Malintang tersenyum penuh kemenangan. Sudah terbayang
dalam benaknya betapa sebentar lagi seluruh pusaka-pusaka
langka peninggalan leluhur Ki Arja Wiguna akan segera
menjadi miliknya. Dan bayangan itu membuat angan-angan
Malintang melambung tinggi. Merasa pasti bahwa tidak lama
lagi, ia akan membuat rimba persilatan geger, ia akan segera
menjadi penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu
yang tak terkalahkan!
Rakai berhenti di ruangan tempat Ki Arja Wiguna
biasa berlatih. Sebuah ruangan yang cukup luas, yang di kiri-
kanannya terdapat rak-rak senjata, yang terdiri dari
bermacam-macam jenis. Tapi Rakai tidak memperhatikan
semua itu. Ia langsung menuju ke sebuah lemari kayu jati
yang cukup tebal dan kelihatan berat. Dan Rakai menoleh
sekilas ke arah Malintang yang berada di belakangnya,
sebelum akhirnya ia menggeser lemari itu ke samping kanan.
Tampaklah sebuah ruangan di balik lemari itu.
Malintang menahan napasnya yang dirasakannya
menjadi berat. Ruangan itu memang menjadi sangat sempit.
Tapi bukan itu yang membuat napas Malintang mendadak
memburu, melainkan peti-peti kuno di dalam ruangan itulah
yang menjadi penyebabnya. Malintang merasa pasti bahwa di
dalam peti-peti kuno itulah pusaka-pusaka leluhur Ki Arja

Wiguna berada. Maka seketika itu juga, suatu rencana
melintas di benaknya.
Rakai menoleh sekilas, dan tersenyum kepada
Malintang, "Inilah tempat penyimpanan pusaka-pusaka itu.
Guru yang menunjukkannya kepadaku, termasuk isi peti-peti
kuno itu," katanya, yang kemudian segera melangkah ke
dalam ruangan.
Malintang cuma mengangguk-angguk saat mendengar
penjelasan Rakai. Akan tetapi, ketika Rakai berbalik dan
melangkah memasuki ruangan sempit itu, Malintang
langsung melompat. Cepat bukan main dan begitu tiba-tiba,
yang langsung menghunjamkan ujung pedangnya ke
punggung Rakai.
Cappp!
"Akkhh...!?" Rakai menjertt kesakitan. Meskipun ia
sempat mendengar sambaran angin pedang dan gerakan
Malintang, namun apa yang dilakukan Malintang sungguh
tidak pernah dibayangkannya. Sehingga, serangan licik yang
begitu dekat itu tak dapat dielakkannya lagi.
Dan perbuatan Malintang ternyata tidak cuma sampai
di situ saja. Jerit kesakitan dan lelehan darah di punggung
Rakai malah membuatnya semakin beringas. Sebuah
tendangan dilontarkannya, hingga membuat tubuh Rakai
terjerembab jatuh. Tapi itu pun belum membuatnya puas.
Sekali lagi pedangnya diayunkan. Kali ini batang leher Rakai
yang dijadikan sasaran. Dan tidak ada lagi yang bisa
dilakukan Rakai. Tidak sempat menjerit ataupun mengutuk.
Rakai terkulai. Bukan cuma lehernya saja yang putus, tapi
napasnya pun putus seketika itu juga.
***
Perempuan muda itu duduk bersimpuh di tengah dua
buah gundukan tanah yang masih baru. Wajahnya pucat dan
bersimbah air mata. Dua gundukan tanah itu bukan lain
adalah makam Ki Arja Wiguna dan Rakai. Sedangkan
perempuan muda ini adalah Suranti, putri Ki Arja Wiguna.
Suranti, yang meskipun belum merampungkan
pelajarannya, minta izin kepada gurunya untuk menjenguk
ayahnya. Hatinya merasa tidak enak sekali. Bayangan wajah
ayahnya dan wajah Rakai, membuat hatinya tidak bisa

tenang. Mulanya ia tidak terlalu ambil pusing, karena
mengira semua itu cuma karena kerinduan hatinya saja.
Akan tetapi, setelah dua hari berusaha menahan diri, dan
bayangan kedua orang yang dicintainya itu tidak juga lenyap,
akhirnya Suranti memutuskan untuk pulang menjenguk
ayahnya dan Rakai, tunangannya.
Antara Suranti dan Rakai memang telah terjalin
hubungan asmara. Dan Ki Arja Wiguna yang menyadari hal
itu merasa tidak keberatan. Menurut penilaiannya. Rakai
tidak terlalu buruk untuk putrinya. Meskipun Rakai anak
yatim-piatu anak yang ditemukannya dalam perjalanan
unluk mencari tempat tinggal baru namun merupakan
seorang anak yang baik, patuh dan sopan. Maka, ketika
mengetahui hubungan antara putrinya dengan muridnya itu,
Ki Arja Wiguna pun menyetujuinya. Bahkan ia yang
mengusulkan agar mereka segera bertunangan.
Setelah mendapat restu gurunya, Suranti pun segera
bergegas. Jarak antara tempat tinggal gurunya dengan
rumahnya tidaklah terlalu jauh, cuma membutuhkan waktu
setengah hari lamanya. Dan karena Suranti berangkat pagi-
pagi sekali, maka saat menjelang tengah hari ia pun tiba di
tempat kediamannya.
Kesunyian dan hamparan sampah dedaunan pohon
yang menumpuk menyambut kedatangannya. Suranti merasa
hatinya semakin tidak enak. Suranti tahu betul bahwa Rakai
tidak pernah membiarkan sampah menumpuk seperti itu.
Semua itu membuat Suranti tiba-tiba saja menjadi gelisah.
Dengan setengah berlari, Suranti menerobos masuk ke dalam
bangunan. Sunyi dan hening. Itulah yang ditemukan Suranti
di dalam rumahnya, membuat kegelisahannya semakin
menjadi-jadi. Suranti mulai kalap. Firasatnya mengatakan
adanya sesuatu yang tidak beres. Apalagi ketika suara
panggilannya tidak ada yang menyahuti, semakin gelisah saja
hati Suranti. Bayangan-bayangan buruk pun mulai bermain-
main di benaknya. Membuat Suranti kalap dan berteriak-
teriak memanggil ayahnya, memanggil Rakai. Namun, tidak
ada sahutan kecuali gaung suara teriakannya.
Kegelisahan, ketegangan dan kecemasan, membuat
Suranti mulai berkeringat. Napasnya mulai memburu, hingga
membuatnya agak terengah. Dan, ketika ia memeriksa
ruangan tempat ayahnya biasa berlatih di satu sudut

ruangan dekat lemari. Suranti melihat adanya sesosok tubuh
yang telah menjadi mayat, dan mulai membusuk. Suranti
merasakan kepalanya pening. Sekujur tubuhnya lemas,
hingga membuat kedua kakinya menjadi goyah. Akan tetapi,
Suranti memaksa diri, menguatkan hatinya untuk melihat
sosok yang menelungkup dengan kepala terpisah itu lebih
dekat lagi.
Dengan kedua kaki gemetar, mata membelalak dan
hati berdebar, Suranti melangkah lambat-lambat. Sebenarnya
ia sudah dapat menduga-duga siapa adanya sosok mayat itu.
Akan tetapi, dugaan itu berusaha ditepiskannya.
Membuangnya jauh-jauh, berharap dugaannya keliru. Akan
tetapi, setelah semakin dekat, Suranti pun tak dapat lagi
menahan jeritannya. Suranti menutup wajah dengan kedua
belah tangannya. Jatuh terduduk di lantai. Menangis
mengguguk, sementara air mata mengalir melalui celah-celah
jari tangannya.
Suranti tidak ingat lagi, berapa lama sudah ia
menangisi mayat Rakai, tunangannya, yang tewas dengan
sangat mengenaskan itu, sampai akhirnya ia teringat dengan
ayahnya. Dengan langkah terhuyung-huyung, Suranti
bergerak menuju bagian belakang bangunan. Cuma bagian
itu yang belum di periksanya. Meskipun merasa ragu, Suranti
berharap akan menemukan ayahnya dalam keadaan sehat.
Akan tetapi, harapan Suranti lenyap sewaktu ia
melihat adanya gundukan tanah yang masih baru. Urat-urat
di sekujur tubuh Suranti menegang seketika. Namun,
meskipun dengan langkah tertatih, Suranti mencoba untuk
melihat gundukan tanah itu lebih dekat lagi.
"Ayaaah...!" Dan, Suranti menjerit pilu. Hancur
hatinya sewaktu melihat guratan-guratan kasar pada
permukaan batu nisan. Guratan-guratan itu dibuat dengan
jari jari tangan dengan menggunakan tenaga dalam. Suranti
tidak sempat lagi untuk memikirkan siapa yang
memakamkan dan membuat guratan nama ayahnya itu,
karena ia telah terguling ke tanah, roboh tak sadarkan diri.
Suranti tak sanggup menerima semua kenyataan itu,
membuat jiwanya terguncang hebat, hingga membuatnya ro-
boh pingsan.
Suara kokok ayam jantan yang bersahut-sahutan,
terdengar sayup-sayup memasuki telinganya, membuat

Suranti mengeluh tersadar dari pingsannya. Suranti tidak
segera berdiri. Diingat-ingatnya segala apa yang telah
dialaminya, berharap semua itu hanyalah mimpi buruk yang
menakutkan. Namun, ketika ia menoleh, pandangannya
tertumbuk pada gundukan tanah tempat ayahnya dimakam-
kan. Tahulah Suranti kalau semua itu bukanlah sekadar
mimpi, tapi sebuah kenyataan yang mau tidak mau harus
diterimanya.
Kalau saja tidak ingat bahwa ia harus membalas
dendam atas kematian ayah dan tunangannya, mau rasanya
Suranti mengakhiri hidupnya saat itu juga. Namun, luapan
gejolak api dendam yang seolah membakar hangus seluruh
tubuhnya, membuat Suranti bangkit. Ia harus tetap hidup
untuk membalas semua kebiadaban itu. Akan ia cari
pembunuh laknat itu kendati sampai ke ujung dunia sekali
pun! Ya, ia harus tetap hidup. Ia harus mencari manusia
laknat keparat yang telah menghancurkan kebahagiaannya
itu.
Gelora api dendam membuat semangat Suranti
terbangkit. Perlahan ia berdiri. Dan yang pertama-tama
hendak dilakukannya adalah memakamkan mayat
tunangannya. Setelah itu, ia akan menjelajah setiap penjuru
untuk mencari si pembunuh keji itu. Memang bukan
pekerjaan yang mudah. Alon tetapi, Suranti yakin akan bisa
menemukannya kelak. Dan ia akan bisa mengenali si
pembunuh itu melalui ilmu silatnya. Karena sewaktu hendak
menguburkan mayat tunangannya, Suranti mendapat kenya-
taan bahwa si pembunuh juga membawa lari pusaka-pusaka
leluhurnya. Hanya itu satu-satunya petunjuk baginya untuk
bisa menemukan si pembunuh.
***
"Hoiii..., Arja Wiguna, keluar kau! Kami datang
memenuhi janji...!"
Suara teriakan yang menggema hingga ke bagian
belakang bangunan tempat tinggal Ki Arja Wiguna itu,
membuat Suranti yang tengah tenggelam dalam kedukaan,
seketika tersentak. Detak jantungnya berdentam keras.
Darahnya mengalir cepat dan menimbulkan amarah yang
menggelegak. Suranti menggeram. Kedukaan membuat

amarahnya cepat sekali bangkit. Dan, tanpa berpikir dua
kali, segera saja Suranti melompat bangkit. Bergegas
menghambur menuju ke halaman depan.
Di halaman depan, Suranti menemukan adanya tiga
orang lelaki. Mereka nampak tertegun sewaktu melihat
dirinya. Saling berpandangan satu sama lain dengan penuh
tanda tanya. Namun, masing-masing menggeleng, karena tak
satu pun dari mereka yang merasa mengenal gadis muda itu.
"Mana Ki Arja Wiguna? Mengapa dia tidak keluar
untuk menemui kami? Apakah Dewa Mata Seribu sudah
berubah menjadi seorang lelaki pengecut, hingga menyuruh
perempuan muda macam kau untuk menghadapi kami?"
salah satu dari ketiga lelaki itu, yang bagian tengah
kepalanya botak, menatap Suranti dari ubun-ubun sampai ke
ujung jempol kaki. Tapi wajah Suranti tetap membeku. Tidak
menunjukkan perasaan apa-apa.
Tanpa mempedulikan pertanyaan itu, dengan
matanya yang masih sembab, Suranti mengawasi dua lelaki
yang berdiri di kiri-kanan orang yang bertanya itu. Yang di
sebelah kiri, adalah seorang lelaki bertubuh jangkung. Sikap
berdirinya agak bongkok seperti udang. Menggenggam
sebatang tongkat besi kuning di tangan kanan. Suranti me-
ngerutkan kening sewaktu melihat mata lelaki itu. Mata lelaki
itu jereng, hingga sulit bagi Suranti untuk menebak, ke mana
sebenarnya lelaki itu memandang. Dan Suranti menaksir usia
lelaki itu sedikitnya enam puluh lima tahun.
Sedangkan yang berdiri paling kanan, tidak begitu
jauh berbeda dengan si mata jereng. Sosoknya sama persis,
dan juga memegang tongkat dari besi kuning. Pakaian
keduanya pun tidak berbeda, sama-sama mengenakan jubah
berwarna kuning gading, yang panjangnya selutut. Dan...,
kalau saja saat itu ia tidak sedang dalam kedukaan, mungkin
ia akan tertawa melihat mata lelaki itu. Mata itu... juga
jereng! Akan tetapi, ada sedikit perbedaan di antara
keduanya, yaitu adanya codet (bekas luka) di pipi kiri.
"Cukup sudah kau menilai kami, perempuan!" si codet
berkata kepada Suranti. Suaranya pecah seperti kaleng
rombeng dipukul. Membuat Suranti menyeringai, karena
suara itu membuat telinganya sakit.
"Dan sebaiknya cepat kau suruh keluar Ki Arja
Wiguna, sebelum kesabaran kami habis," lelaki jereng di

sebelah kanan menyambung. Suaranya tidak sember, tapi
besar seperti gema, hingga tak begitu jelas terdengar. Akan
tetapi, telinga Suranti dapat menangkapnya dengan baik.
"Sebaiknya jelaskan dulu siapa kalian, dan ada
urusan apa dengan Ki Arja Wiguna?" Suranti malah balik
bertanya, tanpa mempedulikan ancaman itu. Ia tidak
menjelaskan siapa dirinya, dan sengaja menyebut 'ayah', tapi
'Ki Arja Wiguna'. Suranti ingin tahu jelas dulu siapa merela
dan ada keperluan apa dengan ayahnya.
Sikap keras kepala Suranti membuat ketiga lelaki itu jadi
saling bertukar pandang antara satu dengan yang lain.
Nampaknya mereka merasa heran dengan keberanian
Suranti. Akan tetapi, mereka segera menjadi maklum
mengingat gadis itu masih muda dan mungkin belum pernah
terjun ke dunia persilatan, hingga tidak mengenal siapa
adanya mereka bertiga.

3
"Baiklah, jika memang itu yang kau inginkan, Nona,"
lelaki yang di tengah akhirnya berkata. "Kau boleh sebut aku
Penyabit Kepala," lanjutnya memperkenalkan diri seraya
mengangkat dan menggerak-gerakkan arit di tangan
kanannya. Rupanya senjata yang biasanya digunakan untuk
menyabit rumput itulah yang membuatnya mendapat julukan
Penyabit Kepala.
"Aku Malayo," ujar lelaki bermata jereng, di sebelah
kiri Penyabit Kepala.
"Dan aku Maloya," lelaki yang berada di sebelah
kanan Penyabit Kepala, juga memperkenalkan diri. Ia juga
bermata jereng, namun mempunyai codet di pipi kiri.
"Kami berdua di juluki Iblis Kembar Tongkat Kuning!"
Seperti telah bersepakat, Malayo dan Maloya menyebut
julukannya bersama-sama, dan sambil menyeringai.
"Hm..., sepantasnya kalian berdua memakai julukan
Tua Bangka Kembar Bergigi Kuning!" tukas Suranti seraya
tersenyum mengejek, membuat paras Malayo dan Maloya
menjadi merah seketika. Keduanya menggereng marah,
namun Suranti menanggapinya dengan dengusan yang
penuh ejekan.
Malayo dan Maloya tak dapat menahan diri lagi.
Keduanya mendengus-dengus marah bagaikan banteng-
banteng liar. Belum pernah selama hidup ada orang yang
berani menghina dan mempermainkan mereka seperti itu.
Bahkan tokoh-tokoh yang telah mempunyai nama besar pun
tidak berani sembarangan kepada mereka, apalagi ini cuma
seorang gadis muda. Karuan saja mereka berjingkrak-jing-
krak seperti cacing kepanasan.
"Kucopot mulutmu, perempuan lancang!" Malayo
menggereng seraya melompat ke depan sambil mengulur
cengkeraman tangan kirinya.
"Kurontokkan gigi-gigimu, anak setan!" Maloya pun
tidak mau ketinggalan. Seperti berlomba saja, Maloya juga
melompat dengan kepalan yang siap merontokkan gigi
Suranti.
Dan barulah Suranti terkejut! Serangan Iblis Kembar
Tongkat Kuning itu begitu cepat, hingga membuat

pandangannya kabur. Sambaran anginnya pun
memperdengarkan suara mencicit, tanda bahwa tenaga
dalam yang terkandung dalam serangan itu sangatlah
kuatnya. Dan Suranti menjadi pucat sewaktu merasakan
tubuhnya bergoyang-goyang. Padahal dua serangan itu masih
satu tombak dari tubuhnya, dan ia cuma baru terkena sam-
baran anginnya saja. Maklumlah Suranti kalau ke dua orang
kakek kembar itu adalah tokoh-tokoh tingkat tinggi.
Cemaslah Suranti. Maklum kalau ia tidak mungkin dapat
menandingi kakek kembar itu. Akan tetapi, semua sudah
telajur, dan ia harus berusaha untuk menyelamatkan dirinya.
Dengan mengerahkan seluruh kecepatannya, Suranti
berusaha menghindari dua serangan dahsyat itu dengan
lompatan ke belakang. Akan tetapi bukan main kaget hatinya
sewaktu melihat dua serangan itu masih terus mengejarnya.
Bahkan daya luncurnya semakin cepat. Suranti pun maklum
akan percuma saja jika ia menghindar. Maka ia pun menjadi
nekad. Ditunggunya dua serangan itu dengan berdiri tegak
sambil menyalurkan seluruh tenaga dalamnya ke kedua
tangan. Dan ketika dua serangan itu tiba, sambil membentak
Suranti mengangkat kedua lengannya. Nekad memapak
serangan Iblis Kembar Tongkat Kuning!
Plakkk! Plakkk!
Dan sebagai akibatnya Suranti menjerit. Tangkisan itu
membuat tulang-tulang lengannya terasa seperti patah-
patah. Dan ia pun terlempar ke belakang. Jatuh terguling-
guling di tanah tanpa dapat ia cegah lagi.
Iblis Kembar Tongkat Kuning mengeluarkan dengusan
keras. Lalu, berbarengan mereka melompat mengejar Suranti
Saling berebut untuk bisa lebih dulu menangkap gadis itu.
Dan Suranti, yang saat itu masih rebah telentang di tanah,
hanya bisa memandang dengan mata terbelalak dan wajah
pucat! Terbayang di benaknya betapa ia akan segera menjadi
seorang perempuan yang tidak bermulut dan tidak bergigi.
Ngeri hati Suranti membayangkan nasib yang sebentar lagi
bakal menimpa dirinya itu. Dan kengerian itu membuat
Suranti memejamkan matanya erat-erat.
Suranti masih tetap memejamkan matanya erat-erat,
kendati merasa heran sewaktu telinganya menangkap suara
benturan yang cukup keras. Dan ia juga mendengar pekik-
pekik kaget dari mulut Iblis Kembar Tongkat Kuning yang

tertahan. Akan tetapi, ia masih belum berani membuka
matanya, meskipun ia ingin tahu apa sebenarnya yang sudah
terjadi. Dan selelah menunggu agak lama, tapi mulutnya
belum juga tersentuh cengkeraman dan kepalan Iblis Kembar
Tongkat Kuning, barulah Suranti memberanikan diri
membuka kedua matanya. Itu pun dilakukannya dengan
hati-hati dan perlahan-lahan.
***
Hampir Suranti tidak percaya dengan apa yang
disaksikannya. Takut kalau-kalau semua itu cuma
khayalannya belaka, Suranti mengerjap beberapa kali. Baru
setelah apa yang terpampang di depan matanya tidak juga
berubah, Suranti pun sadar bahwa semua itu memang
benar-benar nyata!
Suranti melihat Iblis Kembar Tongkat Kuning berada
agak jauh di depannya, kira-kira dua tombak. Sementara,
kira-kira empat langkah di depannya, ada sesosok tubuh
berpakaian serba putih berdiri membelakangi dirinya. Melihat
kenyataan itu, maklumlah Suranti kalau dirinya telah
diselamatkan orang. Diselamatkan lelaki berpakaian serba
putih, yang ia tidak tahu kapan dan darimana datangnya.
Tapi yang jelas ia merasa sangat berterima kasih sekali
kepada lelaki berpakaian serba putih itu.
Suranti tengah meneliti sosoknya ketika lelaki
berpakaian serba putih ini menoleh. Untuk sesaat, mereka
saling bersitatap.
"Kau tidak apa-apa, Nona?" tanyanya kemudian.
Membuat Suranti agak tergagap. Sebab lelaki yang telah
menyelamatkan nyawanya ini adalah seorang pemuda
berwajah tampan. Bersikap gagah dan juga sopan tutur
katanya. Suranti jadi agak kikuk. Karena penolongnya itu
begitu memperhatikan dan mencemaskan keadaannya.
"Tidak, aku tidak apa-apa," geleng Suranti kemudian,
setelah ia menyadari dan menguasai dirinya. "Terima kasih
atas pertolonganmu, Tuan," sambungnya seraya
melemparkan senyum sebagai tanda rasa terima kasihnya.
Si pemuda berpakaian serba putih mengangguk lega,
dan membalas senyum Suranti.
"Apa sebenarnya..."

"Hei, badut konyol tak tahu penyakit! Siapa kau? Apa
kau sudah bosan hidup?" suara bentakan Malayo, orang
tertua dari Iblis Kembar Tongkat Kuning, membuat kalimat
pertanyaan pemuda berpakaian serba putih terputus.
Pemuda itu cepat memutar tubuh. Menghadapi Iblis Kembar
Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala.
"Namaku Panji," pemuda berpakaian serba putih ini
menjawab dengan sikap tenang dan tutur kata yang sopan.
"Tapi aku bukan badut konyol, dan juga masih ingin hidup.
Kalau bisa sampai seribu tahun lagi," lanjutnya berkilah.
Jawaban pemuda berpakaian serba putih, yang
ternyata adalah Panji ini, membuat Iblis Kembar Tongkat
Kuning dan Penyabit Kepala sama mendengus geram.
Jawaban yang sama sekali tidak mereka harapkan itu,
semakin membangkitkan kejengkelan dan juga kemarahan
mereka.
"Bagus... bagus," Malayo mengangguk-angguk sambil
melangkah maju beberapa tindak. "Aku suka jawabanmu,
Anak Muda. Tampaknya kau begitu mengandalkan
kepandaianmu, hingga dengan sengaja telah berani lancang
mencampuri urusan kami. Rupanya kau belum mengenal
kami, heh! Sudah merasa bangga karena bisa menggagalkan
serangan kami?"
"Tidak juga," kilah Panji seraya menggeleng pelan.
"Kalaupun aku berani lancang mencampuri urusan kalian,
itu karena menyangkut soal nyawa manusia. Soal
ketidakadilan, yang memang harus ditentang oleh setiap
orang. Tapi tentu saja yang kumaksud adalah mereka yang
menjunjung tinggi keadilan serta kebenaran. Kalian telah
berlaku tidak adil. Itu sebabnya aku memberanikan diri
untuk meluruskannya," lanjutnya, yang meskipun tidak
langsung, namun jelas merupakan tantangan bagi Iblis
Kembar Tongkat Kuning dan Penyabit Kepala.
"Heh heh heh...!" Malayo terkekeh demi mendengar
ucapan Panji. Suaranya bergema hingga getarannya sampai
menyelusup ke dalam dada Panji. Bukan sembarang kekeh,
karena Malayo sengaja mengerahkan tenaga dalamnya. Dan
Panji pun harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk
meredam getaran dalam dadanya.
"Kau jangan cari-cari alasan, Anak Muda," lanjut
Malayo, setelah mengakhiri kekehnya. "Bilang saja kalau kau

memang sengaja hendak menantang kami. Itu lebih baik
daripada segala macam omongan plintat-plintut!"
"Itu tidak benar," Panji menyanggah tuduhan Malayo.
"Di antara kita tidak ada persoalan apa-apa. Kita tidak saling
kenal. Bahkan baru kali ini bertemu. Jadi, tidak ada alasan
bagiku untuk menantang kalian. Aku cuma kebetulan lewat,
dan mendengar teriakan. Lalu, ketika aku melihat kalian
berdua, yang sudah kakek-kakek, menyerang seorang gadis,
maka aku mencoba untuk mencegah perbuatan kalian.
Karena perbuatan kalian jelas tidak adil!"
"Karena gadis itulah yang telah memaksa kami!"
Maloya, si pipi codet, orang kedua dari Iblis Kembar Tongkat
Kuning, berkata untuk membela diri. "Kalau tidak, mana sudi
kami mengotori tangan untuk menghadapi gadis sok tahu
tapi tak bisa apa apa itu!"
"Enak saja menuduh orang!" Suranti, yang tidak
terima tuduhan Maloya, langsung saja menyanggah. Bahkan,
tanpa merasa gentar sedikit pun ia balik menuding.
"Kalianlah yang tidak tahu diri! Datang ke tempat orang
tanpa permisi. Berteriak-teriak seperti orang hutan kesasar.
Tentu saja aku menjadi berang. Aku tidak suka tempatku
diinjak-injak dan dirusak manusia-manusia kasar seperti ka-
lian!"
"Huh… kami tidak akan bertindak kasar kepadamu
apabila kau menuruti permintaan kami untuk memanggil Ki
Arja Wiguna keluar," Maloya masih juga tak mau kalah.
"Kami cuma perlu kepada Ki Arja Wiguna. Denganmu kami
tidak mempunyai urusan. Jadi, sebaiknya kau panggil Ki Arja
Wiguna. Katakan kepadanya bahwa Iblis Kembar Tongkat
Kuning dan Penyabit Kepala sudah datang memenuhi janji."
Suranti kelihatan jengkel sekali. Tapi ia berusaha
menahan diri. Keningnya kelihatan berkerut Suranti tengah
berpikir. Dan sesaat kemudian, ia mengangguk-angguk
sambil mempelihatkan senyum mengejek.
"Jadi kalian benar-benar ingin bertemu dengan
ayahku?" tanyanya tiba-tiba, yang membuat kening Penyabit
Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning berkerut. Mereka
kelihatan kaget sewaktu mendengar bahwa gadis itu ternyata
adalah putri Ki Arja Wiguna. Akan tetapi kekagetan itu cuma
berlangsung sesaat. Saat berikutnya mereka sama
menganggukkan kepala.

"Kalau begitu, silakan kalian temui ayahku di
belakang bangunan ini," kata Suranti kemudian. "Silakan
kalian katakan kepada beliau mengenai maksud kedatangan
kalian. Dan seperti yang kalian kehendaki, aku tidak akan
ikut campur lagi!" lanjutnya tandas.
"Nah, kalau dari tadi kau bilang begitu, segala
sesuatunya kan jadi lancar," kata Penyabit Kepala sambil
mengangguk-anggukkan kepala. Lalu, mengisyaratkan Iblis
Kembar Tongkat Kuning untuk segera mengikutinya.
Sikap Suranti tentu saja membuat Panji menjadi
heran. Dalam hatinya ia menjadi ragu akan kewarasan
pikiran gadis itu. Padahal jelas-jelas ketiga kakek itu datang
bukan dengan maksud baik. Tapi mengapa gadis itu
membiarkan dan bahkan ringan saja menyuruh mereka
untuk menemui ayahnya. Dan Panji menjadi semakin tidak
mengerti sewaktu dilihatnya gadis itu malah tersenyum-
senyum.
"Tenang saja, Panji," kata Suranti, yang seperti dapat
membaca pikiran Panji. "Sebentar lagi mereka pasti akan
kembali menemuiku. Kau tidak perlu khawatir. Ayahku tidak
akan bisa mereka lukai," lanjutnya sambil tersenyum-
senyum, yang kemudian memperkenalkan dirinya kepada
Panji.
Meskipun sebenarnya masih merasa penasaran, dan
hatinya dipenuhi bermacam pertanyaan, namun Panji tidak
berkata apa-apa. Ditunggunya kebenaran kata-kata Suranti.
***
Tidak berapa lama kemudian, apa yang dikatakan
Suranti pun terbukti. Dari bagian samping bangunan, Panji
melihat Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
sudah muncul kembali dan tengah menghampiri mereka
berdua. Akan tetapi, kening Panji berkerut ketika melihat
wajah ketiga kakek itu, yang rata-rata gelap dan menggam-
barkan kemarahan yang siap meledak.
"Kurang ajar!" Belum lagi tiba dekat, Penyabit Kepala
sudah mengumpat kasar. "Berani kau mempermainkan kami,
perempuan sundal!"
Tapi Suranti tetap bersikap tenang. Sebaliknya,
Panjilah yang merasa cemas. Cemas akan keselamatan

Suranti. Karena Panji maklum betul kalau ketiga kakek itu
bukanlah orang-orang sembarangan. Ia sudah merasakan
sendiri betapa kuatnya tenaga dalam kakek kembar yang
bersenjata tongkat dari kuningan itu.
"Hm..., mengapa kalian kelihatannya tidak merasa
senang?" Suranti malah bertanya dengan nada mengejek.
"Bukankah kalian sudah bertemu dengan ayahku?"
"Perempuan setan!" Malayo menyambut pertanyaan
Suranti dengan makian. Nampaknya ia benar-benar marah
kepada Suranti, sampai-sampai gigi-giginya bergemeretak.
"Rupanya kau memang sengaja hendak mempermainkan
kami! Untuk itu kau akan merasakan akibatnya!"
"Dan kami juga masih belum percaya kalau ayahmu
itu benar-benar sudah tewas," Maloya ikut angkat bicara.
"Jangan kira dengan makam itu kau bisa mengelabuhi kami."
"Apa untungnya aku mengelabuhi kalian?" lontar
Suranti. "Ayahku memang sudah tewas. Aku sendiri belum
tahu siapa yang telah membunuhnya, dan kapan terjadinya.
Kemarin pun, saat aku baru kembali dari tempat kediaman
sahabat Ayah, makam itu sudah ada. Dan aku yakin kalau
itu memang benar-benar makam ayahku. Karena
tunanganku pun kudapati sudah menjadi mayat. Dia dibu-
nuh dengan cara yang sangat kejam sekali. Dan saat kalian
datang, aku baru saja selesai memakamkan mayat
tunanganku, yang juga merupakan murid ayahku satu-
satunya itu," jelas Suranti kemudian. Ia merasa perlu untuk
memaparkan semua itu kepada ketiga orang kakek, yang
diduganya adalah musuh-musuh lama ayahnya itu.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
tampak saling bertukar pandang. Mereka menilai bahwa apa
yang dikatakan gadis itu bukanlah sekadar siasat. Mereka
tahu kalau gadis itu bersungguh-sungguh. Apalagi mereka
kenal betul siapa adanya Ki Arja Wiguna. Seorang tokoh
berwatak jantan, yang mustahil akan tega membiarkan putri-
nya untuk menghadapi mereka, sementara Ki Arja Wiguna
sendiri pergi bersembunyi. Itu bukan watak Ki Arja Wiguna.
Bukan watak seorang tokoh besar yang bahkan telah
mendapat julukan Dewa Mata Seribu.
Akan tetapi, bagaimanapun mereka tetap merasa
tidak puas. Merasa kecewa. Mereka telah jauh-jauh datang
untuk menemui Ki Arja Wiguna. Telah bersusah-payah

bertahun-tahun melatih diri untuk membalas kekalahan
mereka. Ya, mereka memang pernah dipecundangi Ki Arja
Wiguna. Dipecundangi Dewa Mata Seribu. Dan mereka tidak
dibunuh karena telah mengakui kekalahan mereka.
Kemudian, di hadapan Dewa Mata Seribu mereka bersumpah
untuk membalas kekalahan. Kelak, mereka akan datang
untuk menantang Dewa Mata Seribu. Untuk mengulangi
pertarungan, yang apa bila mereka masih juga dapat
dikalahkan, mereka berjanji akan meninggalkan jalan sesat,
yang selama ini mereka jalani.
Dewa Mata Seribu tidak merasa keberatan. Justru
merasa lega. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat
Kuning bukanlah tokoh-tokoh sembarangan. Ketiganya
merupakan gembong-gembong golongan sesat. Untuk
membunuh mereka saat itu memang mudah saja baginya.
Akan tetapi, merupakan pantangan baginya untuk membu-
nuh lawan yang telah mengaku kalah. Dewa Mata Seribu
lebib suka apabila mereka meninggalkan dunia sesat atas
kesadaran sendiri. Maka diterimanya tantangan itu. Apalagi,
setelah mengucapkan sumpah, Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning berjanji untuk tidak melakukan
kejahatan dulu. Mereka akan bersembunyi untuk
memperdalam ilmu silat mereka, yang kelak setelah siap,
baru mereka akan menemui Dewa Mata Seribu. Dan tentu
saja mereka sangat kecewa sekali ketika setelah sekian tahun
lamanya melatih diri, yang mereka temui ternyata cuma
gundukan tanah. Dewa Mata Seribu sudah tewas. Dan
kenyataan itu sulit untuk mereka terima.
"Hm..., sulit bagi kami untuk bisa menerima bahwa
ada orang yang bisa membunuh Dewa Mata Seribu," kata
Penyabit Kepala, memecah keheningan yang cukup lama
berlangsung. "Hal itu memang bukan tidak mungkin terjadi.
Akan tetapi, siapa orang yang telah membunuhnya?
Mungkinkah orang itu juga menaruh dendam kepadanya,
atau ada alasan lain?" lanjutnya sambil menatap wajah
Suranti dalam-dalam.
Suranti tidak segera menjawab. Memang ia tahu kalau
pembunuh ayahnya itu mempunyai juga alasan lain. Pusaka-
pusaka leluhurnya telah lenyap. Dan Suranti yakin kalau si
pembunuh itulah yang mencuri pusaka-pusaka leluhurnya.
Akan tetapi, tidak mungkin baginya untuk mengatakan hal

itu. Kalau hal itu dikatakannya, mungkin saja ketiga musuh
ayahnya itu akan tertarik, dan ikut mencari pusaka-pusaka
leluhurnya itu. Bukan untuk diserahkan kepadanya,
melainkan untuk memilikinya. Suranti tentu saja tidak ingin
hal itu sampai terjadi.
"Entahlah," geleng Suranti. Mengambil keputusan
untuk merahasiakan hal itu. "Tapi yang jelas, apa pun alasan
manusia durjana itu, aku akan tetap mencarinya. Aku harus
membalas perbuatan manusia biadab itu agar arwah Ayah
dan tunanganku dapat tenang di alam baka."
Selesai Suranti berkata, keheningan kembali tercipta
di antara mereka. Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat
Kuning kelihatan bingung sekali. Padahal mereka harus
melaksanakan sumpah yang telah mereka ucapkan pada
beberapa tahun silam itu. Tapi Dewa Mata Seribu sudah
tewas. Mereka merasa tidak puas. Masih tetap merasa
penasaran. Sumpah itu harus merela lunasi. Tapi kepada si-
apa? Putri Dewa Mata Seribu? Tidak mungkin! Kepandaian
putri Dewa Mata Seribu tidak ada apa-apanya dibanding
mereka. Menghadapi gadis itu cuma hanya akan semakin
menambah rasa penasaran dan tidak puas di hati mereka
saja. Tapi, untuk pulang dengan membawa kekecewaan,
mereka juga tidak mau. Sumpah itu tetap harus mereka pe-
nuhi!
Cukup lama keheningan itu berlangsung. Dan kalau
Suranti maupun Panji berbeda terbawa alir pikirannya
masing-masing, sebaliknya dengan tiga kakek ini. Meskipun
tidak ada kata sepakat di antara mereka, namun baik
Penyabit Kepala maupun Iblis Kembar Tongkat Kuning,
mempunyai pikiran yang serupa. Mereka sama-sama
memikirkan bagaimana cara untuk memenuhi sumpah
mereka itu. Dan meskipun tidak ada kata sepakat antara
satu dengan yang lain, tapi ternyata mereka menemukan
satu jawaban. Dan seperti telah mengetahui pikiran masing-
masing saja, secara bersamaan mereka menatap ke arah
Panji.
Mendapat tatapan dari ketiga kakek itu, Panji jadi
mengerutkan kening. Dan diam-diam Panji merasa berdebar
hatinya sewaktu ia mulai dapat menduga-duga dan
merasakan apa arti tatapan mereka itu.

"Anak Muda," tiba-tiba saja Penyabit Kepala berkata
sambil tetap menatap Panji. "Dengan sengaja kau telah
mencampuri urusan kami. Itu artinya kau telah ikut
melibatkan diri ke dalam persoalan antara kami dengan Ki
Arja Wiguna. Dan karena sekarang Ki Arja Wiguna telah
tiada, maka mau tidak mau kau harus menggantikan
kedudukannya, mewakilinya untuk memenuhi janji yang te-
lah kami sepakati bersama pada lima belas tahun silam!"
Panji menarik kepalanya dengan kekagetan yang tidak
sempat disembunyikannya. Meskipun ia tidak tahu-menahu
tentang janji yang telah dibuat Ki Arja Wiguna dengan ketiga
kakek itu, namun ia maklum betul apa arti ucapan Penyabit
Kepala. Sebenarnya, kalau ia mau, tidak sulit baginya untuk
mengelak dan menyanggah ucapan Penyabit Kepala itu. Akan
tetapi, ia tidak bisa dan juga tidak mau. Mana mungkin ia
akan membiarkan Suranti menghadapi ketiga kakek itu
seorang diri. Apalagi gadis itu baru saja kehilangan orang-
orang yang dicintainya.
Jiwa Suranti jelas tengah mengalami guncangan
hebat. Tengah didera kesedihan, dan rasa penasaran karena
belum tahu dan belum mempunyai gambaran tentang
pembunuh ayah dan tunangannya. Panji maklum bagaimana
perasaan gadis itu, yang semuanya tergambar jelas di
wajahnya. Dan Panji tidak ingin menambah penderitaan
Suranti. Apalagi ketika ia menoleh, dilihatnya gadis itu
tengah memandangnya. Menyerahkan jawabannya kepada
dirinya. Akan tetapi, tentu saja Panji tidak ingin melangkahi
gadis itu. Biar bagaimanapun, dalam urusan itu ia termasuk
orang luar.
"Sebenarnya aku tidak berhak untuk mencampuri
urusan ini lebih jauh lagi," kata Panji kemudian sambil
menatap ketiga kakek di depannya berganti an. "Akan tetapi,
di sini masih ada keturunan Ki Arja Wiguna. Artinya,
Suranti-lah yang berhak memutuskannya. Aku tak ingin
dianggap lancang dan sok gagah. Jadi, terserah Suranti. Tapi
apa pun keputusannya, aku akan menerimanya," lanjut
Panji. Sambil berkata demikian, Panji menoleh dan menatap
ke arah gadis itu.
Tapi Suranti tidak segera mengambil keputusan.
Meskipun sebenarnya ada perasaan atau keinginan di
hatinya untuk melihat bagaimana Panji menghadapi ketiga

kakek sakti itu, namun ada juga kekhawatiran kalau-kalau
Panji akan mendapat celaka. Dan, Suranti tidak ingin Panji
terluka di tangan ketiga kakek sakti itu. Apalagi kalau sampai
tewas, ia akan merasa berdosa. Dan ia tidak ingin dikejar-
kejar rasa bersalah.
"Tidak," geleng Suranti akhirnya. "Aku tidak bersedia
jika Panji harus dilibatkan ke dalam persoalan antara kalian
dengan ayahku," lanjutnya, yang kemudian menatap Panji
dengan sorot menyesal. "Maaf, Panji. Bukan berarti aku
meremehkan kepandaianmu. Itu sama sekali tidak pernah
terlintas dalam hati maupun pikiranku. Cuma saja, selain
aku, Ayah masih mempunyai pewaris ataupun keturunan
lainnya. Orang itu adalah kakakku, putra ayahku. Rasanya,
dialah orang yang lebih berhak untuk menggantikan
kedudukan Ayah."
"Kalau begitu, mengapa kau tidak suruh kakakmu itu
segera keluar menemui kami?" Penyabit Kepala langsung saja
berkata. Tampaknya ia sudah tidak sabar ketika mendengar
penuturan Suranti. Kalau benar Ki Arja Wiguna masih
mempunyai seorang putra, tentu saja ia merasa lebih setuju
untuk menghadapinya, ketimbang Panji yang cuma orang
luar.
Dan pendapat Penyabit Kepala ternyata tidak berbeda
dengan Iblis Kembar Tongkat Kuning. Dua orang kakek
kembar ini pun lebih condong untuk menghadapi keturunan
Ki Arja Wiguna daripada Panji. Sebab, tujuan mereka
memang hendak mengalahkan ilmu-ilmu Ki Arja Wiguna.
Ilmu-ilmu yang pernah membuat mereka menjadi pecundang.
"Sayangnya, sudah lebih dari satu tahun, Malintang,
kakakku itu dititipkan Ayah kepada salah seorang
sahabatnya," jawab Suranti dengan nada menyesal. Penyabit
Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning tentu saja merasa
kecewa sekali. Harapan yang baru saja muncul, segera lenyap
kembali.
"Katakan, kepada siapa kakakmu itu dititipkan? Kami
akan mendatanginya," Maloya berkata menunjukkah
ketidaksabaran hatinya. Akan tetapi, Maloya jadi kecewa
ketika melihat Suranti menggelengkan kepala.
Sebenarnya Suranti bukan tidak tahu di mana
kakaknya berada. Tapi ia tidak ingin membuat kakaknya
terkejut dengan kedatangan Penyabit Kepala dan Iblis

Kembar Tongkat Kuning. Suranti ingin memberitahukan
kakaknya lebih dulu. Agar bisa mempersiapkan diri dengan
lebih baik. Maka ia terpaksa berdusta. Suranti minta waktu
tiga puluh hari untuk mencari kakaknya. Dan kelak akan
menemui mereka bertiga di tempat yang kemudian mereka
sepakati bersama.
Penyabit Kepala dan Iblis Kembar Tongkat Kuning
mengangguk setuju. Mereka percaya kalau gadis itu tidak
akan mengingkari janjinya. Maka, meskipun dengan hati
agak kecewa, akhirnya merelakan pergi meninggalkan tempat
itu.
Panji dan Suranti mengiringi kepergian tiga orang
kakek itu dengan pandang matanya. Dan mereka masih
menatap ke depan, meskipun sosok Penyabit Kepala dan Iblis
Kembar Tongkat Kuning sudah tidak kelihatan lagi. Lama
mereka sama terdiam sampai akhirnya Panji memecah
keheningan di antara mereka.
"Rasanya aku juga harus pergi," ujar Panji pendek.
Mengangguk tipis kepada Suranti. Lalu, tanpa menunggu
jawaban lagi, Panji segera melesat meninggakan Suranti,
yang hanya bisa memandangi sosok pemuda penolongnya
yang semakin jauh itu.
Lama Suranti termenung di tempatnya dengan kepala
terangguk-angguk. Bayangan Panji sudah tidak nampak lagi.
Lenyap di kejauhan, di antara batang-batang pohon besar.
Dan setelah sadar dari keadaannya, Suranti memutar
tubuhnya. Melangkah menuju rumahnya untuk berkemas-
kemas, ia harus segera mencari Malintang. Kakaknya, untuk
memberitahukan bencana yang telah menimpa keluarga
mereka.

4
Lama Suranti berdiri memandangi bangunan tempat
di mana selama belasan tahun ia bernaung. Satu persatu,
kenangan masa kanak-kanaknya yang manis dan penuh
dengan kebahagiaan, hadir di pelupuk matanya. Masa-masa
yang sangat indah, yang penuh dengan canda dan tawa, yang
tak mungkin bisa dilupakannya meski sampai kapan pun!
Tapi sekarang...
Suranti menghela napas. Ada kenyerian yang
menusuk hatinya, saat semua kenangan itu melintas di
benaknya. Membuat Suranti tiba-tiba merasa nelangsa.
Merasa diri tidak lagi mempunyai arti. Semua sudah berlalu.
Masa telah berubah. Ayah dan tunangannya, yang
merupakan bagian dari kenangan manis itu pun sudah tidak
ada lagi. Yang tersisa cuma tinggal kenangan dan goresan
luka yang menimbulkan dendam kesumat di hatinya.
"Semua ini harus kubalas...!" Tanpa sadar Suranti
menggeram dengan mengepal tangan kuat-kuat. Sepasang
matanya yang biasanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan
dan semangat hidup, kini yang terlihat cuma kilatan api
dendam. Di depan makam ayah dan kekasihnya, Suranti
bersumpah untuk membalas semua kekejian itu. Tidak
peduli kendati untuk itu ia harus mengorbankan nyawanya!
Sekali lagi, sebelum memutar tubuh dan meng
ayunkan langkahnya, dipandanginya bangunan itu.
Disusutnya dua titik air mata yang mengalir turun di
atas pipinya yang putih dan halus itu. Dan dengan
menguatkan hatinya, Suranti pun mulai bergerak menuruni
lereng gunung. Akan tetapi, baru kira-kira sekitar seratus
tombak, Suranti sudah menghentikan langkahnya. Ada
sesuatu yang menarik perhatiannya. Membuat keningnya
berkerut. Ditundanya perjalanannya. Karena ia merasa
tertarik dengan benda yang berada di atas rerumputan, di
dekat semak-semak.
Benda itu sebenarnya tidak bisa dibilang menarik.
Kalau di tempat lain, sudah pasti tidak akan ada yang
memperhatikannya. Jangankan melihat, sedang melirik pun
orang pasti tidak akan melakukannya. Siapa orangnya yang
mau peduli dengan selembar kain hitam? Dan Suranti pun

pasti tidak akan tertarik kalau saja benda itu tergeletak di
tanah, di tengah keramaian sebuah pekan. Bahkan jika kain
hitam itu adanya di tengah jalan desa pun, tidak akan
ditolehnya! Dan itu sudah pasti!
Akan tetapi, yang membuat Suranti merasa tertarik,
karena kain hitam itu adanya di lereng gunung. Padahal
Suranti tahu betul kalau daerah itu sangat jarang dilalui
orang, ia sudah belasan tahun tinggal di sekitar daerah itu.
Dan sudah hafal betul dengan liku-likunya. Jadi, tidak heran
kalau kain hitam itu bisa membuatnya tertarik. Dan kain itu
sendiri bukan dari bahan kasar, melainkan kain sutera. Kain
yang tidak mungkin dikenakan orang-orang desa.
Suranti mengulurkan tangannya, meraih kain sutera
hitam itu. Sewaktu mengangkat dan membentangnya di
depan wajahnya, kerutan di kening Suranti jadi semakin
banyak. Dan, kalau tadinya ia cuma sekadar ingin tahu saja,
maka sekarang hatinya benar-benar tertarik! Bukan cuma
bentuknya saja yang seperti sebuah kantung, tapi juga
terdapat dua buah bolongan, yang seolah sengaja dibuat un-
tuk mata. Tentu saja Suranti menjadi semakin tertarik.
Diperkirakannnya kalau kain itu digunakan untuk
menyembunyikan wajah agar tidak bisa dikenali. Orang-
orang jahat biasa menggunakannya sebagai topeng penutup
kepala dan wajah. Hanya dua matanya saja yang kelihatan.
Cukup lama Suranti meneliti kain sutera hitam
berupa kerudung itu. Kain itu masih kelihatan baru, hingga
timbul dugaan bahwa ada orang yang sengaja membuangnya.
Dan menurut perkiraannya, orang itu pasti habis melakukan
kejahatan.
Dan tiba-tiba saja wajah Suranti menegang. Dadanya
berdebar keras, hingga membuat dengus napasnya mengalir
berat. Bahkan kedua tangannya yang memegang kerudung
sutera hitam itu sampai gemetar.
"Mungkinkah kerudung sutera hitam ini ada
hubungannya dengan kematian Ayah dan tunanganku?"
mendadak saja pikiran itu melintas di benak Suranti. Dan
menurutnya hal itu bukan tidak mungkin. Suranti jadi
teringat bagaimana sewaktu ia pulang, ayahnya sudah
dikuburkan orang. Siapa yang telah menguburkan mayat
ayahnya? Kalau si pembunuh yang melakukannya, jelas

tidak mungkin! Lalu, bagaimana dengan Rakai,
tunangannya? Mengapa Rakai terbunuh di ruang rahasia?
Berbagai pertanyaan yang baginya merupakan sebuah
misteri itu, membuat Suranti berpikir keras.
Dicobanya untuk merangkaikan kejadian-kejadian
yang mengakibatkan tewasnya kedua orang yang dicintainya
itu.
Mungkinkah ayahnya dibunuh lebih dulu, yang
kemudian si pembunuh memaksa Rakai untuk menguburkan
mayatnya? Lalu, di bawah ancaman si pembunuh, Rakai
dipaksa untuk menunjukkan ruang rahasia tempat
penyimpanan pusaka-pusaka leluhur mereka. Dan setelah
tiba di ruang rahasia, Rakai pun dihabisi nyawanya.
Kemudian pembunuh itu pergi dengan membawa pusaka-
pusaka leluhur mereka.
"Ah, tapi itu hampir tidak mungkin!" Suranti
membantah rangkaian kejadian yang dibuatnya itu. "Aku
kenal betul bagaimana watak Rakai. Dia pasti lebih suka mati
daripada menunjukkan ruang rahasia itu!"
Dan Suranti jadi termenung. Diperhatikannya
kerudung kain sutera hitam yang masih dipegangnya itu,
sementara pikirannya terus berputar mencari jawaban. Ada
keyakinan dalam dirinya bahwa kerudung kain sutera hitam
itu mempunyai kaitan dengan bencana yang menewaskan
ayah dan tunangannya.
"Hm..., ada baiknya benda ini kusimpan," gumam
Suranti akhirnya mengambil keputusan. "Siapa tahu kelak
akan ada gunanya," Suranti segera memasukkan kerudung
kain hitam itu ke dalam buntalan pakaiannya. Kemudian
melanjutkan perjalanannya. Menuruni lereng dengan
setengah berlari, la ingin cepat-cepat bertemu dengan
kakaknya, untuk kemudian bersama-sama mencari si
pembunuh. Tapi, terlebih dulu ia akan menemui gurunya.
Untuk minta izin, dan agar gurunya tidak mencemaskannya.
Kepada gurunya ia berjanji akan kembali dalam tujuh hari.
Akan tetapi, ketika tiba di tempat kediaman gurunya,
Suranti menjadi terkejut dan sekaligus heran. Gurunya
ternyata tidak berada di tempat. Tiga hari yang lalu setelah
kepergiannya gurunya pergi bersama seorang pemuda.
Demikian penjelasan seorang penduduk sewaktu Suranti
menanyakan tentang gurunya itu.

"Tahukah Paman, ke mana kira-kira Guru pergi?"
tanya Suranti dengan rasa ingin tahu, karena hal itu tidak
biasanya. Sepanjang pengetahuannya selama ia belajar ilmu
sastra gurunya boleh dibilang hampir tidak pernah pergi
jauh. Jadi, tidak heran kalau Suranti ingin tahu lebih jelas,
ke mana gurunya itu pergi dan bersama siapa.
Tapi, dengan wajah menyesal petani tua itu
menggeleng. "Mereka pergi ke arah utara. Cuma itu yang aku
tahu, Nona," jawabnya kemudian.
Suranti cuma bisa mengangguk-angguk. Dan setelah
mengucapkan terima kasih, ia pun beranjak pergi. Sebelum
meninggalkan rumah gurunya, Suranti menuliskan pesan
agar gurunya tidak perlu mencarinya, karena ia hendak
menemui kakaknya. Baru setelah itu Suranti melanjutkan
perjalanannya menuju arah utara. Bukan hendak menyusul
gunanya, melainkan untuk mencari seorang tokoh yang
berjuluk Camar Laut. Suranti tidak tahu jelas di mana tokoh
itu tinggal. Yang ia tahu, kepada tokoh berjuluk Camar Laut
itulah kakaknya berguru. Ayahnya menghendaki agar
Malintang memperdalam ilmu meringankan tubuhnya. Dan
Camar Laut adalah satu di antara sekian tokoh yang ilmu
meringankan tubuhnya sudah sangat terkenal.
***
Panji baru saja meninggalkan perbatasan sebuah
desa. Namun sesuatu yang dilihatnya agak janggal, membuat
Panji memperlambat langkahnya. Dua orang yang
berpapasan jalan dengannya, telah menarik perhatiannya.
Membuatnya menaruh curiga. Dan perasaan itu membuat
mata Panji menelitinya dengan lebih jauh lagi.
Dua lelaki yang berpapasan dengan Panji itu memang
bisa menarik perhatian siapa saja. Mereka adalah lelaki tua,
berumur kira-kira enam puluh lima tahun, dan seorang
pemuda berusia sekitar dua puluh tiga tahun. Tapi bukan
perbedaan usia mereka yang membuat Panji merasa tertarik.
Itu bukanlah suatu pemandangan yang aneh, dan tidak
pantas membuat orang menaruh curiga. Akan tetapi, wajah
dan sikap lelaki tua itulah yang telah menarik perhatian
Panji.

Wajah lelaki tua itu nampak pucat seperti orang yang
menyimpan ketakutan. Sikapnya terlihat selalu gugup,
dengan sepasang mata senantiasa bergerak-gerak gelisah.
Sementara si lelaki muda menunjukkan wajah garang. Lebih-
lebih sewaktu melihat ada seorang pemuda yang
memperhatikannya. Sepasang matanya langsung melotot,
menyiratkan ancaman kepada Panji. Tentu saja Panji jadi
semakin tertarik, dan berusaha mencari cara untuk menge-
tahui ada apa sebenarnya di antara kedua orang itu.
"Maaf," sapa Panji yang akhirnya bergerak mendekati
kedua lelaki itu. Si pemuda semakin melotot, sementara si
lelaki tua nampak semakin ketakutan, Tapi Panji tidak
mempedulikannya. Ia kembali melanjutkan kata-katanya,
"Kelihatannya Orang Tua itu sakit? Ayahmukah, atau
kakekmu? Dan, kurasa kalian harus segera mencari tabib."
Si lelaki tua nampak semakin gelisah. Panji tahu
kalau lelaki tua itu ingin sekali untuk menjawab
pertanyaannya, tapi ia kelihatan sangat takut kepada
pemuda di sampingnya. Bahkan wajahnya kemudian
meringis menahan sakit, karena pemuda itu sudah
mencengkeram lengannya kuat-kuat. Dan itu semakin
menambah kecurigaan Panji. Semakin merasa yakin bahwa
ada apa-apa di antara kedua lelaki itu.
"Hei!" si pemuda menatap Panji dengan sinar matanya
yang tajam dan barkilat-kllat. "Sebaiknya kau lanjutkan saja
perjalananmu dan jangan campuri urusan orang lain! Kecuali
kalau kau memang bermaksud hendak mencari penyakit!"
sentaknya kemudian, dengan kegeraman yang ditahan-tahan.
Panji mencoba tersenyum ramah. Lalu, dengan tetap
tenang, dibalasnya tatapan pemuda itu. "Sobat, aku
bermaksud baik. Sama sekali tidak terlintas dalam benakku
untuk mencari penyakit. Dan kalaupun aku mau tahu
tentang urusan kalian, itu karena aku merasa kasihan
dengan lelaki tua yang..."
"Banyak bacot!" kata-kata Panji langsung dipotong si
pemuda, yang kemudian menerjang dengan sebuah tamparan
keras. Sambaran anginnya yang menderu, membuat Panji
agak terkejut. Pemuda berpakaian serba hitam ternyata
bukan orang sembarangan. Cepat Panji menggeser tubuhnya,
sambil memiringkan kepala, hingga serangan itu tidak
mengenai sasarannya.

Tak menyangka kalau serangannya dapat dielakkan
lawan, pemuda berpakaian serba hitam, yang bukan lain dari
Malintang ini, menjadi semakin geram. Penasaran bukan
main hatinya. Serangan itu dilakukan dengan cepat. Orang
yang mampu menghindarinya pun sangat sedikit sekali. Tapi,
pemuda berpakaian serba putih itu ternyata mampu
melakukannya. Hal itu benar benar tidak pernah
disangkanya!
"Hm..., pantaslah kau demikian usil. Kiranya kau
memiliki kepandaian juga," ujar Malintang seraya meneliti
sosok Panji dengan penuh selidik. "Kelihatannya kau bukan
orang dari daerah ini. Nada bicaramu kudengar agak asing.
Siapa kau? Dan apa tujuanmu datang ke daerah ini?"
tanyanya kemudian.
"Namaku Panji. Dan kedatanganku ke daerah ini
cuma sekadar untuk meluaskan pengalaman," jawab Panji
tenang sambil memasang sikap waspada. Kepandaian
pemuda itu cukup berbahaya. Dan kelengahan sedikit saja,
bukan mustahil jika pemuda itu akan mempergunakannya.
Malintang mengangguk-angguk kepala. Tarikan
bibirnya demikian sinis. Begitu juga dengan sorot matanya.
Sangat merendahkan sekali. Namun, Panji tetap tenang.
Tidak mempedulikan sikap yang penuh ejekan pemuda itu.
Dan tetap pada sikap semula, meskipun pemuda berpakaian
serba hitam itu kemudian melangkah dan mengitari
tubuhnya. Malintang seperti tengah menaksir-naksir
kekuatan lawannya.
"Hyahhh...!" Mendadak saja Malintang mengeluarkah
bentakan pendek. Dari samping, begitu menghentikan gerak
langkahnya, Malintang langsung melompat sambil
melontarkan tiga pukulan beruntun, yang mengancam tiga
jalan darah kematian di tubuh Panji.
Namun Panji sudah waspada sejak semula. Maka,
ketika Malintang menyerangnya, Panji langsung melangkah
mundur dua tindak. Tiga pukulan maut itu disambutnya
sekaligus!
Plak! Plak! Dukkk!
Baik Panji maupun Malintang sama-sama terjajar
mundur sebanyak empat langkah. Tenaga mereka ternyata
berimbang. Akan tetapi, baik Panji maupun Malintang sama-
sama maklum kalau masing-masing belum mengerahkan

tenaga sepenuhnya. Dan sementara keduanya menyiapkan
diri untuk melanjutkan pertarungan, lelaki tua yang bersama
Malintang, yang bukan lain dari Empu Darna, segera saja
menepi, menjauhi arena pertarungan.
Seperti yang dilakukan sebelumnya, ketika per-
tarungan berlanjutpun, Malintang kembali berada di pihak
penyerang. Berbeda dengan sebelumnya, karena sadar bahwa
Panji ternyata bukan pemuda sembarangan, dan mampu
mengimbangi kekuatannya, Malintang lebih meningkatkan
serangan-serangannya, ia tidak mau main-main lagi, dan
ingin mengakhiri pertarungan sesegera mungkin.
Dan, kali ini Panji baru benar-benar dibuat terkejut.
Serangan-serangan yang dilancarkan Malintang, yang jauh
lebih hebat dari sebelumnya, sempat juga membuat Panji
kerepotan. Malintang ternyata memiliki ilmu yang beragam,
yang membuat Panji merasa kesulitan untuk menebak ke
mana arah serangan pemuda berpakaian serba hitam itu.
Malintang memang sengaja selalu merubah gerakannya.
Sehingga, dalam belasan jurus saja Malintang sudah dapat
menguasai arena. Mendesak Panji dengan gerak ilmu silatnya
yang campur aduk.
Bukkk!
Pukulan itu demikian telak menghantam iga kanan
Panji. Itu terjadi setelah Malintang menyerang selama lebih
dari dua puluh lima jurus. Malintang tertawa berkakakan.
Tampaknya hasil serangannya itu telah membuat hatinya
puas. Ia tidak segera melanjutkan. Seolah sengaja memberi
kesempatan kepada lawan untuk mempersiapkan diri.
Hendak menunjukkan kemenangannya, dan bahwa dirinya
mempunyai tingkatan lebih tinggi.
Panji yang merasakan iga kanannya seperti dihantam
sabongkah batu, menanggapi sikap takabur lawan dengan
senyum. Tapi Panji mengakui bahwa pemuda berpakaian
serba hitam yang menjadi lawannya itu memang benar-benar
hebat. Ilmu-ilmu beragam yang dimiliki lawannya begitu
ganas dan membingungkan, yang bahkan mampu menerobos
benteng pertahanannya. Padahal jarang sekali ada tokoh
yang mampu melakukannya. Tapi pemuda itu ternyata
mampu. Malah telah membuat dirinya kecolongan.
"Itu cuma sekadar peringatan pertama. Baru untuk
kelancangan matamu saja. Belum untuk kelancangan

mulutmu dan sikapmu yang sok mau tahu itu," kata
Malintang sambil berkacak pinggang, menatap Panji dengan
sorot mata penuh ejekan.
"Sekali saja bagiku rasanya sudah lebih dari cukup,
Sobat. Tidak akan ada kedua kail atau pun selanjutnya,"
sahut Panji seraya menggeleng dan tersenyum. Lalu
melangkah maju beberapa tindak sambil mengerahkan
'Tenaga Sakti Gerhana Bulan'. Dan seketika itu juga, lapisan
kabut bersinar putih keperakan pun segera menyelimuti
tubuhnya.
Malintang tercengang untuk sesaat lamanya. Namun,
ia segera menyadari sikapnya. Cepat ditutupinya dengan
tertawa keras, hingga tubuhnya berguncang.
"Memang tidak akan ada kedua kail atau pun
selanjutnya,", lanjut Malintang. Masih dengan nada penuh
kesombongan. "Karena untuk yang berikutnya kau akan
segera enyah ke akhirat!" Dan, begitu ucapannya selesai,
tubuhnya langsung melesat ke depan. Terdengar suara
mengaung tajam dari sebilah pedang yang entah kapan
dicabutnya, tahu-tahu saja telah barada dalam genggaman
tangan kanannya. Dengan pedang itulah Malintang mener-
jang Panji.
Namun, Panji yang telah mempersiapkan dirinya,
dapat menyambut serangan-serangan Malintang dengan
sangat baik. Dengan kecepatan menakjubkan, Panji
berkelebatan di antara sinar pedang lawan. Tak satu pun
serangan Malintang yang mengenai tubuhnya. Bahkan ketika
Malintang semakin meningkatkan serangannya, Panji malah
berhasil menyarangkan sebuah pukulannya.
Desss...!
Bagai didorong tangan raksasa, Malintang merasakan
tubuhnya terhempas ke belakang. Akan tetapi, sewaktu Panji
mengejar, Malintang masih sempat juga membabatkan
pedangnya dengan gerak datar untuk melindungi diri.
Namun, hal itu tidak banyak berguna. Panji, yang sambil
bergeser mundur selangkah, mengirimkan sebuah tendangan
ke arah pergelangan tangan Malintang yang memegang
pedang. Membuat Malintang terpekik. Dan pedangnya pun
lepas dari genggaman. Terpental jauh tanpa dapat dicegahnya
lagi. Sedangkan pada saat itu juga, Panji sudah melepaskan
dua pukulan untuk menyusuli tendangannya.

Bukkk! Desss...!
Dan, tanpa ampun lagi, Malintang terpental deras.
Melayang di udara sampai lebih dari tiga tombak, yang
akhirnya terbanting ke tanah dengan kerasnya. Demikian
kuat pukulan yang dilontarkan Panji, hingga membuat
Malintang muntah darah!
Meskipun merasakan bagian dalam dadanya nyeri dan
panas bagai terbakar, namun Malintang memaksa diri
bangkit berdiri. Dan ketika melihat Panji tidak berbuat apa-
apa tidak menghampirinya hanya berdiri sambil
memandangnya, Malintang memutar tubuhnya. Terus
melesat pergi tanpa mempedulikan Empu Darna, yang
semula hendak dipaksanya untuk membacakan kitab-kitab
hasil curiannya.
Panji tidak berusaha mengejar. Hanya memandangi
sosok pemuda berpakaian serba hitam itu, yang semakin
jauh dan samar. Dalam hatinya ia berharap agar pemuda itu
bisa menyadari kesalahannya dan kemudian
memperbaikinya.
***
"Kejar dia, Anak Muda! Jangan biarkan manusia
keparat itu lolos!"
Teriakan itu berasal dari mulut Empu Darna.
Membuat Panji menoleh dengan kening dikerutkan.
Ditatapnya lelaki tua itu, yang tengah berlari
menghampirinya sambil menunjuk-nunjuk sosok Malintang,
yang semakin jauh dan samar.
"Tidak mengapa, Kek," ujar Panji seraya tersenyum,
"Mudah-mudahan setelah apa yang dialaminya hari ini akan
membuatnya jera."
"Tapi..., pemuda itu adalah manusia durjana yang
tidak kenal budi! Dia... dia telah membunuh orang yang
merawat dan mendidiknya sejak kecil! Dan..., malah telah
mencuri pusaka-pusaka orang yang telah mengangkatnya
sebagai anak sendiri!" Empu Darna seperti berusaha
menjelaskan sesuatu kepada Panji. Namun, karena
kegugupannya, keterangannya malah membingungkan Panji.
Apa yang dikatakannya tidak begitu jelas dan terpatah-patah.

"Tenang dulu, Kek, tenang dulu," Panji mencoba
untuk menenangkan Empu, Darna, yang saat itu masih saja
menunjuk-nunjuk ke arah tempat lenyapnya sosok
Malintang. "Jelaskan semuanya dengan tenang. Sebab apa
yang kau katakan itu malah membuat aku menjadi bingung."
Empu Darnna menggeleng-gelengkan kepalanya.
Wajahnya mencerminkan penyesalan yang dalam, ia tidak
menyalahkan Panji. Justru menyesali diri sendiri, yang tak
bisa berlaku tenang, ia memang bukan ahli silat. Malah tidak
mengerti sama sekali tentang ilmu silat. Lain halnya kalau
bicara soal keris dan sastra. Boleh dibilang Erripu Darna
adalah jagonya. Jarang yang bisa menandinginya dalam dua
hal itu. Jadi, tidak heran kalau dia mampu menguasai
perasaannya, yang saking tegang dan bernafsunya, hingga
apa yang dikatakannya malah menjadi tak jelas.
"Dia... pemuda keparat itu...."
"Mulailah dari awal, Kek," potong Panji, yang sambil
tersenyum, dipegangnya bahu Empu Darna.
Empu Darna segera menarik napas beberapa kali.
Kemudian dihempaskannya panjang-panjang. Sesaat,
ditatapnya wajah pemuda di depannya, yang didengarnya
mengaku bernama Panji.
"Pemuda itu bernama Melintang..."
"Melintang...?!" Panji mengulang nama itu, yang tanpa
sadar telah memotong kalimat Empu Darna.
"Apa kau pernah mendengar namanya?" tanya Empu
Darna sambil menatap wajah Panji, yang dilihatnya tengah
mengerutkan kening. Empu Darna maklum kalau Panji
sedang berusaha untuk mengingat-ingat. Maka ia pun tidak
berkata apa-apa lagi. Menunggu sampai Panji bisa
mengingatnya.
"Hm… ya, ya, aku ingat sekarang!" ujar Panji sambil
mengangguk-anggukkan kepala. "Aku pernah mendengar
seorang gadis bernama Suranti menyebut nyebut nama
Malintang....!"
"Apakah yang kau maksud Suranti putri Ki Arja
Wiguna?!" Kali ini Empu Darna yang memotong ucapan Panji.
Heran juga hatinya ketika mendengar Panji menyebut nama
Suranti. Empu Darna heran, kapan dan bagaimana Panji bisa
mengenal Suranti. Gadis itu adalah muridnya. Dan sepanjang
yang ia tahu, Suranti belum pernah bercerita tentang pemu

da bernama Panji padahal Suranti sangat terbuka
dengannya. Boleh dibilang, hampir tidak ada yang tidak
diketahuinya tentang Suranti.
"Benar, Kek," jawab Panji cepat. "Kalau aku tidak
salah ingat, aku juga mendengar Suranti berkata tentang
ayahnya yang bernama Ki Arja Wiguna. Sayangnya aku tidak
sempat berkenalan dengan beliau. Ki Arja Wiguna tewas
dibunuh orang. Mengenai siapa pembunuhnya, Suranti pun
tidak mengetahuinya. Menurutnya, sewaktu pulang, ia
menemukan tunangannya telah menjadi mayat. Sementara
ayahnya sudah dimakamkan orang," lanjutnya, yang
kemudian menceritakan tentang pertemuannya dengan
Suranti.
"Tepat sekali!" tukas Empu Darna. "Mau tahu siapa
pembunuhnya?" tanyanya kemudian seperti berteka-teki.
"Pembunuhnya adalah Malintang!" lanjutnya setelah
dilihatnya Panji mengangguk.
"Malintang...?!" Tentu saja Panji heran bukan main.
Ditatapnya mata Empu Darna dalam-dalam, seolah ia hendak
mencari kebenaran di mata kakek itu. Tapi ia tahu kalau
Empu Darna tidak berbohong. Hanya saja ia masih tidak
mengerti, bagaimana seorang anak bisa sampai tega
membunuh ayahnya sendiri? Sungguh sulit baginya untuk
menerima hal semacam itu.
"Malintang bukanlah anak kandung Ki Arja Wiguna.
Aku tahu betul hal itu," jelas Empu Darna, seolah mengerti
apa yang ada dalam pikiran Panji. "Mungkin itu pula
sebabnya mengapa dia sampai tega membunuh Ki Arja
Wiguna, selain hendak menguasai pusaka-pusaka leluhur
sahabatku itu. Malintang sendiri yang mengatakannya
kepadaku. Aku sendiri dipaksa untuk menuruti segala
kemauannya. Dia mengancam akan menyiksaku dengan
siksaan yang katanya akan sangat menyakitkan sekali. Aku
akan dibuatnya mati tidak hidup pun tidak. Ketika aku tetap
berkeras menolak, ancamannya segera dibuktikan, yang
hanya dengan sentuhan jari-jari tangannya saja, sudah
membuat seluruh tubuhku nyeri bukan main. Akhirnya aku
menyerah. Berjanji akan membantunya untuk
menterjemahkan isi kitab yang dicurinya dari Ki Arja
Wiguna."

"Keji sekali...!" desis Panji, yang merasa geram setelah
mendengar penuturan Empu Darna. "Tapi, mungkin ia masih
mempunyai alasan lain, hingga sampai tega melakukan
semua kekejian itu, Kek."
"Entahlah," Empu Darna menggeleng. "Yang pasti,
sekarang aku sangat membutuhkan pertolonganmu, Panji.
Aku sangat khawatir dengan keselamatan Suranti. Dia harus
segera diberitahu tentang kejadian yang sebenarnya."
"Tentu, Kek, tentu," jawab Panji seraya mengangguk-
anggukkan kepala. "Akan kuusahakan mencegahnya.
Mungkin saat ini ia sudah pergi untuk mencari Malintang.
Sebab, beberapa hari yang lalu, sebelum kami berpisah,
Suranti mengatakan hendak mencari Malintang." Lalu Panji
menceritakan tentang tantangan tiga orang tokoh sesat, mu-
suh Ki Arja Wiguna yang datang untuk menagih janji.
"Kalau tentang mereka aku sama sekali tidak tahu,"
Empu Darna menggeleng. "Tapi, jika benar Suranti hendak
mencari Malintang, ia pasti menuju ke utara. Kau bisa
mendahuluinya, Panji. Temuilah seorang tokoh berjuluk
Camar Laut. Dia tinggal di sebuah bangunan tua di selatan
pantai barat," pinta Empu Darna kemudian. Menatap Panji
dengan pandangan penuh permohonan.
"Baiklah, Kek," jawab Panji. "Akan kulakukan sebaik-
baiknya. Mudah-mudahan saja Suranti mau percaya dengan
keteranganku. Sebab, seperti yang kau bilang, Suranti hanya
tahu bahwa Malintang adalah kakak kandungnya. Rahasia
itu cuma Malintang dan Ki Arja Wiguna yang tahu."
Empu Darna mengangguk maklum. Ia sadar bahwa
tugas yang diberikannya kepada Panji memang bukan
pekerjaan yang mudah. Apalagi jika mengingat bahwa Panji
adalah seorang pendatang. Jadi, bukan mustahil kalau
Suranti tidak akan bisa menerima penjelasan Panji dengan
begitu saja.
"Tapi, percayalah, Kek. Aku akan berusaha agar
Suranti mau mendengar serta percaya dengan semua
keteranganku," kata Panji lagi, yang merasa tidak tega
sewaktu dilihatnya wajah murung Empu Darna.
Empu Darna menarik napas lega. Mengucapkan
terima kasih sampai berkali-kali, sebelum akhirnya mereka
berpisah. Empu Darna menuju ke selatan, sebaliknya Panji
menuju ke utara.

5
Berkat petunjuk Empu Darna, dalam waktu kurang
dari dua hari, Panji pun tiba di daerah pantai barat. Di
daerah itu, nama Camar Laut ternyata sangat terkenal,
hingga tidak sulit baginya untuk menemukan tempat
kediaman tokoh itu.
Tapi, setibanya di tempat kediaman Camar Laut,
timbul keheranan di hati Panji. Untuk beberapa saat
lamanya. Panji cuma berdiri sambil mengawasi bangunan tua
itu. Demikian sunyi kelihatannya. Seperti tidak berpenghuni.
Tidak ada yang keluar menyambutnya, kecuali keheningan
yang menghampar.
"Camar Laut memang sangat jarang sekali keluar.
Bahkan belakangan ini, sudah lama sekali tidak ada yang
pernah melihatnya." Kata-kata itu tiba-tiba terngiang di
telinga Panji. Jawaban seorang nelayan separo baya, yang
memberitahukan tempat kediaman Camar Laut, sewaktu ia
bertanya.
Panji mengangguk-angguk sesaat. Kemudian,
diayunkan langkahnya memasuki halaman bangunan.
Kembali tidak ada yang menyambutnya selain keheningan.
Tapi, sebelum ia melangkah lebih jauh, tiba-tiba saja
telinganya menangkap suara langkah dari arah belakangnya.
Cepat Panji memutar tubuhnya untuk melihat orang yang
datang ia berharap yang datang adalah salah seorang dari
penghuni bangunan tua itu.
"Hei, mengapa kau bisa berada di tempat ini?! Apa
yang kau lakukan di tempat ini. Panji?!" tegur orang yang
baru datang, setelah tersadar dari keterkejutannya. Dan
sambil berkata demikian, kakinya dilangkahnya menghampiri
Panji.
"Menunggumu," jawab Panji singkat. Panji tidak
merasa kaget. Sebab, kedatangannya ke tempat itu memang
dengan tujuan untuk menunggu kedatangan orang itu, yang
bukan lain dari Suranti.
"Menungguku?!" Suranti membelalakkan matanya
yang bagus. "Untuk apa?" tanyanya, yang tak dapat lagi
menahan keheranan hatinya.

"Untuk menyampaikan berita yang sangat penting,"
jawab Panji. "Banyak sekali yang akan kuceritakan
kepadamu."
"Berita tentang apa?"
"Tentang semua yang berhubungan dengan kematian
ayah dan tunanganmu. Juga tentang Malintang, kakakmu,"
jawab Panji sambil menatap wajah Suranti lekat-lekat. Dan
seperti apa yang diduganya, wajah Suranti nampak memucat.
Bibirnya bergetar, tanda bahwa Suranti tengah terguncang.
Apa yang dikatakan Panji memang sangat mengejutkan sekali
baginya.
"Apa maksudmu, Panji?" tanya Suranti akhirnya,
setelah ia mulai dapat menguasai perasaannya. Dan Panji
mendengar adanya kecurigaan dalam nada suara Suranti.
Begitu juga pada sorot matanya. Tapi Panji tidak merasa
heran. Wajar saja baginya jika Suranti malah mencurigainya.
Itu memang sudah diperhitungkannya. Karena Suranti
memang belum begitu mengenalnya. Belum tahu jelas asal
usulnya.
"Tentu saja untuk menolongmu, Suranti," jawab Panji
ringan dan sambil tersenyum.
"Mengapa kau hendak menolongku? Bukankah
sewaktu di Gunung Bakau sudah kujelaskan semuanya
kepadamu? Aku tidak ingin melibatkanmu ke dalam
persoalan keluargaku. Aku masih mempunyai seorang kakak
yang bisa membantuku untuk menyelesaikannya. Apa kata-
kataku waktu itu masih kurang jelas bagimu?" Jawaban Panji
malah membuat Suranti memberondongnya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang nadanya sangat tidak enak
sekali bagi telinga Panji.
Tapi Panji tidak merasa tersinggung. Panji maklum
kalau Suranti ingin menyelesaikan bencana yang menimpa
ayah dan tunangannya tanpa bantuan orang luar. Itu karena
Suranti belum tahu tentang kakaknya.
"Malihtang memang bisa menyelesaikan semua
bencana yang menimpa ayah dan tunanganmu, Suranti.
Karena dialah dalang dari semua kekejian itu!"
"Panji!" Suranti memekik dengan wajah merah padam.
Tampak jelas dalam sorot matanya, betapa kata-kata Panji
itu telah membuat kemarahannya terbangkit. Dan hanya

karena mengingat bahwa Panji pernah menyelamatkan
nyawanya sajalah, maka Suranti masih menahan diri.
"Pergilah, Panji," kata Suranti kemudian, dengan
kemarahan yang ditahan-tahan. "Dan jangan campuri lagi
urusan keluargaku."
"Sudah kuduga kalau kau tidak akan mempercayai
kata-kataku," ujar Panji dengan perlahan. Lalu mengayun
langkah seperti hendak menuruti permintaan Suranti. Dan
ketika lewat di samping gadis itu, Panji berkata lirih, "Entah
kalau Empu Darna yang mengatakannya...."
Suranti tersentak kaget. Suara Panji memang tidak
keras. Tapi, apa yang dikatakan Panji, bagi Suranti tak
ubahnya dengan ledakan halilintar. Sangat mengejutkan
sekali.
"Beberapa hari lalu, secara kebetulan aku berpapasan
dengan dua orang laki-laki. Kemudian aku tahu bahwa
mereka adalah Malintang dan Empu Darna, orang tua yang
mengajarkanmu ilmu sastra," lanjut Panji, mempergunakan
kesempatan selagi Suranti terdiam. Setelah itu Panji diam.
Menunggu tanggapan Suranti.
"Kalau masih ada yang ingin kau katakan, jelaskanlah
semuanya, Panji. Jangan bikin kepalaku pusing!" Suranti
menggeleng-gelengkan kepalanya. Demikian lemah suaranya,
seperti yang dirasakannya pada sekujur tubuhnya saat itu.
Kata-kata Panji membuat jiwanya kembali terguncang.
Membuat kedua kakinya gemetar, seolah tak lagi sanggup
menahan berat tubuhnya. Dan Suranti pun melorot, jatuh
terduduk di tanah.
Panji mendekat, duduk di samping Suranti. Lalu,
seperti apa yang dipaparkan Empu Darna, Panji pun
menceritakan semuanya kepada Suranti, termasuk alasan
perbuatan Malintang menurut dugaan Empu Darna.
"Tidak mungkin! Tidak mungkiiin...!" pekik Suranti
dengan kepala digeleng-gelengkan. Menundukkan kepala dan
menutup wajah dengan kedua tangannya. Terdengar suara
isak-tangis yang ditahan-tahan. Ya, Suranti menangis.
Menangis dengan sedihnya. Menangisi nasibnya yang
malang.
Apa yang dipaparkan Panji benar-benar membuat
hatinya terpukul. Dan kalau saja semua cerita itu Panji dapat
bukan dari Empu Darna, ia pasti tidak akan percaya. Tapi

semua itu atas suruhan gurunya. Orang tua yang
disayanginya, yang sangat bisa dipercaya. Empu Darna
bukanlah seorang pendusta. Suranti tahu betul tentang
bagaimana watak gurunya itu.
"Di dunia ini. segala sesuatu bisa saja terjadi," ujar
Panji lirih, seperti berkata kepada dirinya sendiri.
"Menangislah, Suranti. Menangislah sepuas hatimu, karena
tangis bisa mengurangi beban yang menghimpit dadamu."
Puas menumpahkan segala kesedihan hatinya,
Suranti menyusut air matanya. Ditariknya napas berulang-
ulang, sebelum akhirnya menoleh dan menatap Panji.
"Aku hendak menemui Camar Laut," katanya singkat.
Kemudian melompat bangkit. Dan tanpa menunggu lagi,
Suranti segera melesat masuk ke dalam bangunan tua itu.
Tanpa berkata apa-apa, Panji segera mengikuti
langkah gadis itu. Berdua mereka memeriksa seluruh bagian
dalam bangunan, sewaktu mendapati ruangan tengah yang
kosong dan kotor, seperti tidak berpenghuni. Akan tetapi,
mereka tidak menemukan Camar Laut, kecuali tulang-tulang
manusia yang berserakan di bagian belakang bangunan.
Tidak tahan dengan bau busuk yang memenuhi
ruangan itu, buru-buru Suranti keluar. Sedangkan Panji
masih bertahan untuk tetap berada di ruangan itu. Di atas
kepala salah satu kerangka di dinding ruangan Panji
menemukan guratan-guratan yang cukup dalam. Guratan itu
merupakan sebaris kalimat, yang menjelaskan kepada Panji
tentang kerangka-kerangka yang berserakan di ruangan itu.
Kalimat itu berbunyi :
Malintang, manusia laknat! Kelak kau akan
mendapatkan balasan yang setimpal atas perbuatanmu!
Panji mengangguk-anggukkan kepala. Setelah itu
baru ia meninggalkan ruangan. Dihampirinya Suranti yang
ternyata masih menunggunya.
"Salah satu dari kerangka di dalam ruangan itu
adalah Camar Laut," ujar Panji, yang lalu menjelaskan
tentang tulisan yang didapatinya di salah satu dinding
ruangan. "Kalau dilihat dari keadaan kerangka-kerangka itu,
kurasa kejadiannya sudah lebih dari setahun "
"Tapi, mengapa Kakang Malintang melakukannya?"
Suranti menggelengkan kepalanya, ia masih belum bisa
mengerti, mengapa Malintang melakukah semua kekejian itu.

"Aku juga tidak tahu," sahut Panji. "Mungkin juga
seperti apa yang terjadi dengan ayahmu."
"Mengambil pusaka-pusaka maksudmu?" ujar Suranti
menegasi.
Panji mengangguk pelan. "Dan dari dua kejadian ini,
kurasa mungkin Malintang hendak menguasai dunia
persilatan. Hendak menjadikan dirinya jago tak terkalahkan.
Dan untuk keinginannya itu, jalan satu-satunya yang pating
singkat, adalah dengan mencuri pusaka-pusaka tokoh-tokoh
terkenal, yang kemudian akan dipelajarinya," ujar Panji
mengutarakan dugaannya. Dan nampaknya dugaan itu bisa
diterima Suranti.
"Kalau begitu, kita harus mencarinya, sebelum ia
berhasil menguasai semua ilmu dari pusaka-pusaka
curiannya!" kata Suranti dengan penuh semangat.
Panji menganguk. Dan sebentar kemudian, keduanya
pun sudah bergerak meninggalkan tempat kediaman Camar
Laut. Mereka memang belum mendapatkan petunjuk tentang
di mana adanya Malintang. Tapi hal itu tidak mengurangi
semangat mereka. Terutama Suranti. Meskipun semua bukti-
bukti jelas-jelas mengarah kepada Malintang, namun Suranti
ingin mendengar sendiri dari mulut kakaknya itu, yang
setelah sekian tahun, baru hari itu ia tahu bahwa Malintang
bukanlah kakak kandungnya.
***
"Mengapa kau menaruh perhatian besar pada Raja
Sesat, Panji? Bukankah seharusnya kau lebih
mengutamakan pencarian Malintang? Menurutku, untuk
saat-saat sekarang ini, sebaiknya kita kesampingkan saja
dulu perbuatan Raja Sesat. Persoalan yang satu saja belum
kita temukan titik terangnya, sekarang kau sudah mau
menambahnya dengan persoalan lain. Atau... mungkin kau
sudah tidak ingin membantuku lagi?"
Suranti mengungkapkan rasa penasaran di hatinya,
ketika mereka baru saja selesai membersihkan tubuh di
sebuah aliran sungai. Dari nadanya, Panji tahu kalau Suranti
tidak senang dengan apa yang pernah diutarakannya itu.
Panji memang merasa tertarik dengan apa yang dilakukan
Raja Sesat. Bukan cuma sekali didengarnya, tapi sudah

beberapa kali. Itu sebabnya ia merasa tertarik dan meng-
utarakannya kepada Suranti tentang keinginannya untuk
menyelidiki Raja Sesat.
Selama menempuh perjalanan yang lebih kurang
sebelas hari, setelah mereka meninggalkan tempat kediaman
Camar Laut di beberapa desa yang mereka singgahi, Panji
merasa tertarik dengan berita-berita tentang Raja Sesat.
Meskipun orang-orang di beberapa kedai yang mereka
singgahi berbicara dengan suara hampir berbisik, namun
Panji merasa terusik untuk ikut mendengarkannya. Tentu
saja tanpa sepengetahuan mereka yang sedang bercerita.
Panji tahu kalau cerita itu sudah diberi bumbu ditambah-
tambah agar kedengaran lebih seru. Tapi yang jelas, cerita
mereka tentang Raja Sesat, yang melakukan penculikan
terhadap beberapa orang pujangga, telah menyita
perhatiannya. Sehingga, ia terus mendengarkan dengan
penuh perhatian.
Apa yang dilakukan Panji memang bukan tanpa
alasan. Sebab hal itu mengingatkannya pada Empu Darna
dan Malintang. Malintang pernah menculik Empu Darna,
yang kemudian digagalkannya, Malintang menculik Empu
Dama dengan tujuan untuk menterjemahkan tulisan kuno di
dalam kitab-kitab yang dicurinya. Dan ingatan tentang per-
buatan Malintang inilah yang membuat Panji menaruh
perhatian kepada Raja Sesat. Tapi ia belum menjelaskan
alasannya itu kepada Suranti. Itu karena Panji tidak mau
terburu-buru. Ia tidak ingin Suranti kecewa, karena belum
tentu perbuatan Raja Sesat ada hubungannya dengan
Malintang. Tapi, ketika mendengar nada bicara Suranti,
akhirnya Panji memutuskan untuk mengungkapkan alasan
keinginannya itu.
Suranti mengangguk-angguk sewaktu mendengar
alasan Panji. Hatinya merasa lega, karena ia khawatir kalau-
kalau Panji sudah merasa bosan membantunya, setelah
selama beberapa hari mereka belum juga mendapatkan berita
tentang Malintang. Dan ketika sudah merasa tidak tahan
untuk terus menyimpan pikiran yang mengganjal hatinya itu,
Suranti pun mengungkapkannya. Dan, alangkah senang
hatinya ketika mendengar jawaban Panji. Tapi ia juga merasa
malu karena sudah menduga yang bukan-bukan.

"Maafkan kebodohanku, karena sudah berpikiran
yang bukan-bukan tentang dirimu, Panji," kata Suranti, usai
mendengar penjelasan Panji.
"Lupakanlah, Suranti," ujar Panji tersenyum, yang
kemudian melemparkan pandangannya ke kaki langit sebelah
barat "Sebentar lagi hari gelap. Sebaiknya kita melanjutkan
perjalanan. Mudah-mudahan di sebelah depan sana kita
akan menjumpai sebuah perkampungan. Bosan juga rasanya
selalu menginap di hutan," canda Panji seraya tertawa pelan.
"Takut lama-lama jadi orang hutan?" sambut Suranti
yang kemudian disusul dengan kekehnya. Panji yang sudah
bangkit berdiri cuma tersenyum menanggapi gurauan itu,
seraya mengulurkan tangan yang langsung disambut Suranti.
Sebentar kemudian, mereka sudah berlarian, berlomba
dengan waktu yang mulai terselimut keremangan.
Harapan Panji ternyata terkabul. Saat keremangan
semakin memekat, dari kejauhan terlihat cahaya-cahaya
pelita, yang menerangi bagian depan rumah-rumah
penduduk. Segera saja Panji dan Suranti bergegas. Dan saat
malam mulai jatuh, mereka berdua sudah memasuki desa.
Desa itu ternyata cukup luas dan penduduknya pun
terbilang padat, sehingga Panji dengan mudah dapat
menemukan penginapan. Panji segera menyewa dua buah
kamar ketika melihat penginapan itu cukup bersih.
"Malam ini aku bermaksud menyelidiki tempat
kediaman Raja Sesat," ungkap Panji kepada Suranti, saat
mereka baru saja selesai makan. "Kau tidak perlu ikut. Tapi
bukan berarti aku meremehkan kepandaianmu, aku cuma
hendak melihat-lihat keadaan. Setelah itu aku akan kembali."
"Mengapa tidak bersama-sama saja?" Suranti masih
menunjukkan keberatan hatinya.
"Nanti, setelah aku mendapatkan kepastian bahwa
Raja Sesat memang mempunyai hubungan dengan
Malintang," jawab Panji dengan nada yang tidak ingin
dibantah. Tahu kalau Panji tidak akan merubah
keputusannya lagi, Suranti akhirnya mengangguk.
Diikuti Panji, Suranti beranjak bangkit dari du-
duknya. Lalu melangkah menuju kamarnya. Panji mengikuti
sampai di pintu. Kemudian kembali ke tempat duduknya
sambil mengawasi pintu kamar Suranti. Panji memang belum
yakin Suranti akan menuruti kata-katanya. Cukup banyak ia

mengenal gadis-gadis seperti Suranti. Di depannya saja ke-
lihatannya menurut, tapi dalam hatinya memberontak, yang
kemudian akan menyusulnya begitu ia pergi.
Tapi Suranti ternyata berbeda dengan gadis-gadis
yang pernah dikenalnya. Cukup lama Panji duduk
mengawasi, namun pintu kamar Suranti tetap tertutup rapat.
Tampaknya gadis itu memang benar-benar mempercayai
kata-katanya. Padahal tidak seluruh kata-katanya benar.
Panji bermaksud untuk menyelidiki dan bukan sekadar
melihat-lihat saja. Dan sebenarnya, memang ia merasa kha-
watir jika Suranti ikut bersamanya. Salah-salah gadis itu
hanya akan menghambat gerakannya saja.
Panji masih menunggu beberapa saat lagi, untuk
meyakinkan bahwa Suranti benar-benar tidak bermaksud
menyusulnya. Setelah merasa pasti, barulah Panji
meninggalkan penginapan itu. Bergerak menerobos kegelapan
malam yang hanya diterangi sinar bulan sepotong. Dari
beberapa penduduk yang ditanyainya di dalam perjalanan,
Panji mengetahui letak tempat kediaman Raja Sesat.
Sehingga, kendati pun bergerak dalam keremangan malam,
Panji dapat memperkirakan arahnya dengan benar.
Tengah Panji bergerak hati-hati di antara bayangan
pepohonan, tiba-tiba telinganya menangkap adanya suara
orang yang sedang bertarung. Panji merasa tertarik. Cepat ia
bergerak ke arah suara pertarungan berasal. Tidak berapa
lama kemudian, di sebuah tempat yang agak terbuka, dilihat-
nya sebuah pemandangan yang tidak menyenangkan hatinya.
Sebuah ketidakadilan sedang berlangsung. Empat orang
lelaki tengah mengeroyok seorang perempuan. Panji dapat
memperkirakan bahwa perempuan yang tengah dikeroyok
empat laki-laki itu masih muda. Panji menilainya
berdasarkan bentuk tubuh serta suara teriakannya.
Suara perempuan itu melengking bening. Gerakan-
gerakannya cukup gesit. Sambaran-sambaran pedang di
tangannya pun menunjukkan tenaga yang cukup kuat
Namun, meskipun begitu, Panji segera dapat menilai bahwa
perempuan itu tidak akan bisa memenangkan pertarungan.
Keempat lelaki pengeroyoknya terlalu tangguh baginya. Panji
dapat menilai suasana pertarungan setelah menyaksikannya
selama lebih-kurang lima jurus.
"Aiii...!"

Mendadak saja perempuan itu menahan jeritnya.
Jatuh terpelanting ke tanah. Panji tentu saja menjadi kaget.
Tidak menyangka akan terjadi hal seperti itu. Perempuan itu
jatuh bukan karena serangan lawan. Panji tahu pasti itu.
Perempuan itu jatuh seperti telah menginjak atau pun
terantuk sesuatu. Itu yang diperkirakan Panji. Akan tetapi,
Panji tidak mau lagi membuang-buang waktu. Tidak mau
berlama-lama memikirkan apa yang menyebabkan
terjatuhnya perempuan itu. Ia sudah melompat keluar dari
tempat persembunyiannya. Perempuan itu harus segera
ditolongnya. Terlambat sedikit saja, bukan mustahil kalau
perempuan itu akan tewas dengan tubuh tercacah empat
senjata pengeroyoknya.
"Hiaaattt...!"
Dengan disertai sebuah lengkingan panjang yang
menggetarkan jantung, Panji melayang ke tengah arena. Dua
tangannya diayunkan bergantian, membuat keempat lelaki
yang sedang tertegun oleh lengkingannya menjadi semakin
terkejut. Dan sebelum mereka sadar, tahu-tahu saja senjata
mereka telah kena dirampas Panji, yang langsung
melemparkannya ke semak-semak. Dan sebelum keempat
laki-laki sadar bahwa senjata mereka telah dirampas orang,
Panji sudah melepaskan tendangan berputar. Empat laki-laki
itu menjerit. Tubuh mereka berpelantigan mencium tanah.
Sementara itu, Panji yang sudah mendaratkan
kakinya di samping perempuan yang dikeroyok, segera
mengulur tangannya. Menarik bangkit dengan satu sentakan
perlahan. Panji merasakan tubuh perempuan itu lemah.
Seperti orang yang kehabisan tenaga. Pakaian gadis itu
terkoyak di beberapa tempat. Meskipun tidak ada luka yang
berarti, namun Panji maklürn kalau perempuan itu telah
cukup lama bertarung. Diam-diam timbul kekaguman di da-
lam hatinya. Seorang perempuan yang bukan saja cantik,
tapi juga memiliki semangat dan daya tahan yang
mengagumkan, pikir Panji yang dalam hatinya memuji
perempuan itu.

6
Ketika melihat keempat pengeroyok itu sudah bangkit
dan tengah bergerak menghampirinya, segera saja Panji
membawa perempuan itu ke tempat yang aman
menyandarkannya pada sebatang pohon. Kemudian,
dihampirinya keempat lelaki yang langsung saja
mengepungnya.
"Dasar pemuda tolol! Rupanya kau sengaja malam-
malam berkeluyuran mencari penyakit!" Lelaki di sebelah
depan Panji berteriak memaki. Dan tanpa menunggu
sahutan, langsung saja ia melompat sambil melepaskan
sebuah pukulan lurus ke wajah Panji.
Serangan lelaki pertama belum lagi tiba dekat, dan
tiga kawannya sudah berlompatan susul-menyusul,
menyerbu Panji dengan serangan-serangan yang tidak bisa
dianggap remeh. Mereka ternyata rata-rata memiliki
kepandaian di atas lumayan.
Akan tetapi, hanya dengan geseran-geseran langkah
dan liukan tubuhnya, dengan tanpa kesulitan, semua
serangan itu dapat dielakkannya. Malah, saat itu juga Panji
langsung mengirimkan serangan balasan dengan tamparan-
tamparan yang menerbitkan sambaran angin menderu, yang
juga menebarkan hawa dingin menusuk! Ya, Panji memang
sudah mengerahkan 'Tenaga Sakti Gerhana Bulan' -nya.
Dan, hasilnya pun segera terbukti. Empat pengeroyok
itu, yang sepertinya tidak pernah menyangka sebelumnya,
terperangah dengan wajah memucat. Mereka terkesima. Tak
sempat lagi untuk berpikir. Dan tahu-tahu, mereka
merasakan tubuh mereka bagai dihantam bongkahan es.
Seketika itu juga, tubuh mereka melayang-layang di udara,
untuk kemudian terhempas ke tanah. Begitu keras mereka
terbanting, hingga masing-masing menggeliat, merasakan
tulang-tulang tubuh seperti patah. Erangan dan rintihan pun
tak dapat lagi mereka tahan.
"Enyahlah dari hadapanku sebelum aku berubah
pikiran!" ancam Panji seraya memandangi keempat wajah
lelaki itu satu persatu.
Bukannya buru-buru minggat, keempat lelaki itu
malah saling bertukar pandang. Sepertinya belum percaya

dengan pendengaran sendiri. Dan baru ketika Panji
mengulangi ucapannya, mereka langsung mengambil langkah
seribu. Lari terbirit-birit bagai dikejar setan.
***
"Terima kasih atas kesediaan Tuan menolongku,"
sambil berucap demikian, perempuan ini segera menjatuhkan
diri di bawah kaki Panji. Tentu saja Panji terkejut. Cepat
diraihnya tubuh perempuan itu dan diangkatnya bangkit.
"Jangan terlalu dilebih-lebihkan, Nona," ujar Panji
seraya menggeleng pelan. "Sudah menjadi kewajiban kita
untuk saling tolong-menolong."
"Terima kasih," ucap perempuan itu lagi. "Aku,
Maliani, tidak akan melupakan kebaikan Tuan."
Panji tersenyum sambil menggeleng. "Ingat, Maliani,
bukan aku yang menyuruhmu untuk tidak melupakan,"
ujarnya yang kemudian tertawa pelan. Dan Maliani tak dapat
lagi menahan tawanya demi mendengar kelakar penolongnya.
"Akan kuingat itu," timpal Maliani kemudian.
Dengan masih tetap tersenyum, Panji mengangkat
pundaknya. "Tapi sebaiknya yang perlu kau ingat, adalah
jangan terlalu sering bermalam di dalam hutan. Apalagi kau
seorang perempuan. Cantik lagi. Itu bisa memancing orang
untuk berbuat jahat," kata Panji, setelah memperkenalkan
namanya.
"Aku tidak sedang bermalam, dan mereka pun bukan
penjahat-penjahat biasa," Maliani menyanggah dugaan Panji.
Membuat Panji mengerutkan kening. Melihat sikap Panji
seperti itu, Maliani segera menambahkan, "Mereka adalah
begundal-begundalnya Raja Sesat. Sedangkan Raja Sesat
sendiri, adalah salah satu dedengkot golongan hitam yang
paling kejam dan paling ditakuti di daerah ini."
"Lalu, bagaimana kau sampai bisa bentrok dengan
mereka?" tanya Panji, yang tentu saja menjadi heran ketika
mendengar penjelasan Maliani. Kalau Maliani sudah
mengenal Raja Sesat, mengapa nekad mencari penyakit?
"Beberapa waktu lalu, lewat kaki-tangannya, Raja
Sesat telah membunuh keluargaku," jawab Maliani, membuat
Panji mengangguk-angguk. Baru ia mengerti mengapa

Maliani sampai begitu nekad bentrok dengan kaki-tangan
Raja Sesat yang terkenal itu.
"Lalu, kau hendak menuntut balas? Kau satroni
tempat kediaman Raja Sesat, yang lalu tertangkap basah dan
dikejar kaki-tangannya, begitu?" tebak Panji, berdasarkan
rekaan dan pengalaman-pengalamannya. Dan Maliani
ternyata mengangguk. Membenarkan rekaan Panji.
"Aku sudah putus asa, Panji," ujar Maliani lemah, dan
dengan kepala tertunduk. "Kematian Ayah, ibu dan adikku,
membuat hidupku terasa hampa. Dan, satu-satunya yang
membuat aku bisa bertahan hidup sampai saat ini, hanyalah
keinginan untuk membunuh Raja Sesat. Itu sebabnya
mengapa aku nekad menyatroni tempat kediaman Raja
Sesat."
"Tapi apa yang kau lakukan itu sama saja dengan
bunuh diri. Bukan mustahil kalau kau akan tewas sebelum
sempat berhadapan dengan Raja Sesat," ujar Panji
menyayangkan tindakan Maliani yang tanpa perhitungan itu.
"Jadi menurutmu aku harus diam saja, begitu?"
sentak Maliani seraya mengangkat kepalanya. Ditatapnya
wajah Panji lekat-lekat. Jelas sekali betapa sepasang matanya
memancarkan rasa penasaran yang dalam. "Haruskah aku
membiarkan arwah keluargaku bergentayangan dengan
membawa rasa penasaran? Tidak, Panji. Aku tidak ingin me-
reka mengutukku. Dan aku lebih baik mati daripada hidup
menjadi anak yang tak berbakti!"
"Kau keliru, Maliani. Bukan itu yang kumaksud,"
geleng Panji sambil tersenyum masam.
"Lalu?" tuntut Maliani sambil masih tetap menentang
tatapan Panji.
"Pikirkan dulu untung-ruginya, baik-buruknya.
Jangan terburu nafsu mengambil keputusan. Sebab, dengan
menurutkan hati yang terbakar dendam, hanya akan
mencelakakan diri kita sendiri," lanjut Panji memberikan
pandangannya, yang juga merupakan nasihat. Tapi, Maliani
malah menanggapinya dengan dengusan sinis.
"Kalau kau sendiri yang mengalaminya, pasti kau
tidak akan berkata seperti itu. Tindakanmu pasti tidak akan
berbeda jauh denganku. Malah mungkin kau akan langsung
melabrak Raja Sesat secara terang-terangan. Tidak harus
pikir-pikir dulu, dan tidak lagi menimbang-nimbang." Sangat

tidak enak sekali nada ucapan Maliani. Tampaknya ia tidak
bisa menerima pandangan Panji. Malah ia seperti ter-
singgung.
"Ya, ya, mungkin aku memang akan berbuat seperti
itu." Merasa tidak ada gunanya berdebat, akhirnya Panji
mengalah. Terdengar helaan napasnya yang panjang. "Tapi
sebaiknya kita lupakan saja apa yang sudah terjadi. Dan
yang jelas, aku akan membantumu dengan sekuat tenaga.
Tentu saja jika kau tidak merasa keberatan."
Dan, wajah kelam Maliani mendadak saja menjadi
cerah. Senyumnya pun mengembang perlahan. Begitu
gembira hati Maliani ketika mendengar apa yang diucapkan
Panji. Hampir ia tidak mempercayai pendengarannya.
Sehingga, saking girangnya, Maliani sampai lupa diri. Tubuh
Panji langsung dipeluknya erat-erat. Karuan saja Panji
menjadi gelagapan. Bagaimanapun ia adalah seorang laki-laki
biasa, yang tidak jauh berbeda dengan laki-laki lainnya.
Pelukan Maliani membuat Panji merasakan darahnya
seketika berdesir.
Namun, Panji bukanlah jenis laki-iaki yang suka
memanfaatkan keadaan. Dengan kekuatan batinnya,
ditekannya letupan gairah yang dirasakan menyentak
dadanya. Dan dengan perlahan, didorongnya tubuh Maliani,
agar gadis itu tidak merasa tersinggung.
"Mari kita lihat bagaimana keadaan tempat tinggal
Raja Sesat," ujar Panji kemudian. Berusaha untuk
mengalihkan perhatian Maliani agar tak begitu
memperhatikan perbuatannya.
Maliani mengangguk. Kemudian, dengan menerobos
keremangan malam, mereka pun bergerak menuju tempat
kediaman Raja Sesat.
***
Di dalam kamar penginapan, Suranti mendengar
adanya suara langkah kaki yang mendekati jendela. Sejak
memasuki kamar, Suranti memang belum bisa memejamkan
matanya sekejap pun. Kepergian Panji membuat pikirannya
tak bisa tenang. Sulit baginya untuk menepiskan
kekhawatirannya. Karena, dari apa yang didengarnya selama
dalam perjalanan, Raja Sesat adalah salah satu dedengkot

golongan hitam yang paling terkenal, yang selain sangat
kejam, juga memiliki kepandaian yang sangat tinggi. Itu yang
membuatnya tak bisa tenang tinggal di dalam kamarnya.
Ketika mendengar suara langkah yang mendekati
jendela, Suranti menjadi waspada. Perlahan, diulurkan
tangannya menjangkau pedang yang berada di atas meja
kecil di samping kanan tempat tidur. Dengan hati-hati dan
tanpa mengeluarkan bunyi, dihunusnya pedang itu. Suasana
di dalam kamar yang gelap sangat membantunya. Lampu ka-
mar itu memang sudah dimatikannya sejak ia masuk.
"Suranti...!" Tiba-tiba saja, dari luar jendela terdengar
suara orang memanggil dengan bisikan yang ditekan
serendah mungkin. Dan, Suranti mendadak tegang. Dadanya
berdebar keras, membuat deru napasnya sulit untuk
dikuasai. Mengalir deras sampai nyaris berupa dengusan.
"Sss... siap... pa...?" Suranti bertanya dengan suara
terpatah-patah. Gugup dan seperti orang tercekik lehernya.
Ya, Suranti memang merasa gugup dan tegang bukan main.
Karena ia seperti mengenal suara itu. Suara yang rasanya tak
asing bagi telinganya.
"Aku kakakmu, Malintang...," terdengar suara orang di
luar jendela menyahuti.
Deg! Jawaban itu membuat jantung Suranti seperti
berhenti berdetak. Meskipun memang sudah menduga
sebelumnya, tak urung Suranti terkejut juga. Ia tidak
menyahut. Ketegangan dan keterkejutan membuat ia
kehilangan kata-kata. Suasana menjadi hening beberapa
saat.
"Suranti," suara di luar jendela kembali berlanjut,
memecah keheningan yang mengantarai mereka. "Aku tahu,
mungkin kau sudah mendengar berita tentang aku. Tapi,
kalau kau masih percaya padaku, masih mengakui aku
sebagai kakakmu, ketahuilah, bahwa semua yang kau dengar
sama sekali tidak benar. Semua adalah ulah Raja Sesat.
Manusia jahat itulah yang telah menyebar fitnah!"
Suara Malintang berhenti. Suranti tetap membisu, ia
masih sulit untuk mengatasi perasaan hatinya yang
terguncang. Bagaimanapun, Malintang adalah kakaknya.
Orang yang menjadi bagian dari kenangan masa lalunya yang
manis. Orang yang selalu menjaga dan menyayanginya sejak
ia kecil! Dan, meskipun ia tidak pernah membantah segala

tuduhan yang dijatuhkan kepada Malintang, namun jauh di
dasar hatinya ia masih belum percaya sepenuhnya. Belum
bisa percaya kalau Malintang sampai tega membunuh ayah
dan tunangannya.
"Suranti...." Karena Suranti belum juga bersuara,
belum juga menanggapi ucapannya, Malintang kembali
memanggil dengan suara lirih. "Apakah kau lupa siapa Raja
Sesat itu sebenarnya? Ia adalah musuh bebuyutan ayah kita,
Suranti! Tapi, karena ia tidak berani berhadapan langsung
dengan Ayah, maka digunakannya cara lain. Aku difitnahnya,
yang maksudnya tak lain adalah untuk memecah belah
keluarga kita. Malah, guruku sendiri, Camar Laut dan
petayan-pelayannya, dibantai habis oleh Raja Sesat. Lalu
disebarkannya fitnah, bahwa akulah pelaku dari semua
kekejian itu. Dan akibatnya, aku bukan saja dimusuhi tokoh-
tokoh golongan putih. Malah pihak kerajaan pun
memburuku. Sehingga ruang gerakku menjadi sempit. Aku
tidak bisa lagi bebas berkeliaran. Setiap langkahku selalu
diintai maut. Aku terpaksa main kucing-kucingan dengan
mereka. Kecuali malam hari, aku tidak berani keluar. Itupun
aku harus tetap waspada. Sebab, setiap saat nyawaku bisa
saja melayang."
Malintang menghentikan ceritanya. Menarik napas
berat berulang-ulang. Suranti mendengarnya dengan jelas,
tapi ia tetap membungkam. Pikirannya masih buntu.
Batinnya bergejolak. Peperangan antara percaya dan tidak,
berkecamuk hebat. Yang bisa dilakukannya cuma diam, diam
dan diam. Sedikit banyak penuturan Malintang memang
telan membuat hatinya tersentuh. Apa yang dikatakan
Malintang tentang Raja Sesat, memang pernah ia dengar dari
ayahnya. Sehingga ia mulai meragukan cerita yang didapat
Panji dan Empu Darna. Apa yang dikatakan Malintang
memang bukan mustahil terjadi Raja Sesat memfitnah
kakaknya untuk memecah-belah keluarganya.
"Aku sadar sepenuhnya, dan tidak bisa terlalu
berharap kau akan mempercayai semua kata-kataku,
Suranti," suara Malintang terdengar lagi. Begitu sedih
kedengarannya. Seperti orang yang putus harapan. Penuh
dengan getaran perasaan hatinya yang menderita. Membuat
Suranti mendesah pelan. Perasaannya sebagai wanita,
sebagai adik, merasa tersentuh. Suranti dapat merasakan

dan membayangkan, betapa menderitanya hidup kakaknya
selama ini. Suranti jadi tertarik, ingin melihat seperti apa
kakaknya sekarang, yang setelah hampir tiga tahun tak
pernah dilihatnya itu.
Perlahan, Suranti bergerak turun dari atas pem-
baringan. Dan, meskipun ada sedikit keraguan dalam
harinya, namun kakinya tetap dilangkahkan mendekati
jendela. Laiu, dengan dada berdebar, dengan kedua tangan
gemetar, diraihnya daun jendela. Perlahan, dibukanya jendela
kamarnya itu.
Dan, Suranti menutup mulutnya, menahan jeritnya.
Seraut wajah pucat dengan sorot mata sayu, benar-benar
membuat hati Suranti seperti ditusuk. Membuat bibirnya
gemetar, sementara air bening mulai menggenang di
matanya, yang kemudian meluncur perlahan membasahi
kedua belah pipinya. Dan Suranti terisak.
Keadaan kakaknya benar-benar menusuk pera-
saannya. Membuat hatinya iba, terharu, hingga tak dapat lagi
menahan isak. Kakaknya kelihatan sangat menderita sekali.
Menatapnya seperti seorang anak kecil yang minta
perlindungan ibunya. Suranti merasa kerongkongannya
seperti tersumbat. Kering, membuatnya harus menelan ludah
beberapa kali.
"Kakak Malintang...," akhirnya dapat juga Suranti
mengeluarkan suara. Parau dan bergetar. Tapi ia tidak
bergerak dari tempatnya berdiri. Begitu juga dengan
Malintang. Malintang seperti ragu. Seperti masih belum
percaya bahwa adiknya akan mau mempercayainya. Suranti
dapat merasakan apa yang sedang dirasakan kakaknya itu.
"Suranti, Adikku...," sambut Malintang, juga dengan,
suara parau, seperti tersekat di tenggorokan. Tapi Malintang
masih tetap berdiri di luar jendela. Belum berani mendekati
Suranti. Dari sinar matanya, Suranti dapat mengetahui
bahwa kakaknya masih takut kalau ia akan menghindar.
"Dari mana kau tahu kalau aku berada di penginapan
ini, Kak Malintang?" tiba-tiba saja, seperti baru teringat,
Suranti menanyakan hal itu. Dan dengan tiba-tiba pula,
kecurigaannya bangkit. Membuat Suranti undur dua tindak.
Suranti berusaha menekan rasa iba dan keharuan yang
menyeruak, sewaktu didapatinya betapa kesedihan semakin
terpancar jelas dari sorot mata kakaknya.

Malintang menarik napas berat. "Tidak sulit, Adikku,"
ujar Malintang seraya tersenyum sedih "Raja Sesat
mempunyai banyak sekali pengikut yang tersebar di mana-
mana. Dari mereka itulah Raja Sesat mengetahui tentang kau
dan pemuda berpakaian serba putih yang belakangan ini
selalu bersamamu. Dan kalau aku tidak salah dengar,
pemuda yang bersamamu itu berjuluk Pendekar Naga Putih.
Seorang tokoh muda berkepandaian tinggi yang berasal dari
tanah Jawa. Tanpa sepengetahuan kalian, kaki-tangan Raja
Sesat selalu membayangi perjalanan kalian. Bahkan saat ini
pun Raja Sesat sudah mengetahui bahwa Pendekar Naga Pu-
tih hendak menyatroni tempat kediamannya. Dan ia sudah
mempersiapkan penyambutan, yang kalau aku tidak salah
dengar, Raja Sesat bahkan akan menggunakan putrinya
untuk menjebak Pendekar Naga Putih."
Suranti menahan jeritnya. Kaget bukan main hatinya
sewaktu mendengar penuturan kakaknya itu. "Lalu... lalu
apa yang akan mereka lakukan terhadap Panji?" tanya
Suranti, saking bingung dan cemasnya.
"Tentu saja Pendekar Naga Putih akan dibunuhnya,"
jawab Malintang.
"Lalu..., apa yang harus kita lakukan?"
"Kita?!" Malintang menegasi dengan harap-harap
cemas. Takut kalau-kalau ia salah dengar.
"Ya, kita," tegas Suranti, yang membuat Malintang
membelalakkan matanya.
"Jadi... maksudmu... Kau... kau masih mem-
percayaiku?!" Seperti masih belum percaya, Malintang
berkata terbata-bata. Sambil berkata demikian, ditatapnya
wajah adiknya dengan sorot mata bersinar-sinar.
Suranti tidak segera menjawab. Sebenarnya, ia belum
percaya sepenuhnya dengan kakaknya itu. Akan tetapi,
bayangan bayangan buruk yang mungkin akan terjadi
dengan Panji, membuat Suranti menganggukkan kepala.
"Aku akan lebih percaya lagi apabila kau mau
membantuku untuk menyusul Panji..., maksudku Pendekar
Naga Putih. Aku akan merasa berdosa sekali jika sampai
terjadi apa-apa dengannya, Kak Malintang. Panji orang baik.
Ia mau membantu aku tanpa mengharapkan imbalan. Malah
ia tidak segan-segan untuk menyelidiki Raja Sesat, meskipun

sadar bahwa dengan perbuatannya itu nyawanya akan
terancam."
Malintang mengangguk-anggukkan kepala. Tapi tentu
saja ia tidak memperlihatkan perasaan hatinya yang
sesungguhnya, ia yakin Suranti sudah termakan siasatnya.
Sudah masuk ke dalam perangkapnya. Malintang tahu betul
bagaimana watak adiknya itu. Sejak kecil, Suranti memang
berhati lembut. Suranti mudah merasa iba. Mudah terbawa
perasaannya yang halus. Itu sebabnya, mengapa begitu
melihat Pendekar Naga Putih pergi, Malintang segera
mendatangi Suranti untuk menjalankan siasatnya.
Malintang memang tidak berdusta sewaktu me-
ngatakan bahwa perjalanan Panji dan Suranti selalu diawasi
kaki-tangan Raja Sesat. Gerak-gerik dan semua rencana
mereka dapat diketahui oleh Raja Sesat, yang mendapat
laporan dari kaki-tangannya itu. Panji dan Suranti memang
tidak menyadari, dan tidak tahu kalau hampir seluruh
daerah itu berada dalam kekuasaan Raja Sesat. Tak seorang
pun yang berani menentang Raja Sesat. Baik itu tokoh-tokoh
persilatannya, maupun mereka yang cuma penduduk biasa.
Tidak terkecuali para petani, pemilik kedai sampai kepala
desa. Semua berada di bawah pengaruh Raja Sesat. Dan dari
mereka itulah Raja Sesat bisa mengetahui siapa Panji dan
siapa Suranti, termasuk tujuan perjalanannya. Itu sebabnya
mengapa Panji sampai tidak mengetahui bahwa selama
perjalanan, mereka tidak mengetahui dari pengawasan Raja
Sesat. Dan itu pula sebabnya, mengapa Malintang bisa
mengetahui tempat Panji dan Suranti menginap. Kemudian
mendatangi Suranti sewaktu Panji pergi.
Dan, seperti yang sudah diduganya, siasatnya
berjalan mulus. Meskipun belum sepenuhnya Suranti
percaya kepadanya, namun Malintang sudah merasa girang
sekali. Apalagi ketika Suranti mengajaknya untuk menyusul
Pendekar Naga Putih. Tanpa ragu-ragu lagi, Malintang
mengangguk.
Tapi anggukkan kepala Malintang belum membuat
Suranti puas. Ditatapnya wajah Malintang lekat-lekat.
"Berjanjilah, Kak," pintanya, yang lebih mirip merupakan
tuntutan.
Malintang tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya. Permintaan itu jelas menunjukkan bahwa Suranti

belum percaya sepenuhnya kepadanya. Hal itu membuat
Malintang diam-diam berjanji pada dirinya sendiri untuk
lebih berhati-hati. Malintang maklum, sedikit saja kesalahan
dalam sikap ataupun ucapannya, bukan mustahil Suranti
akan merubah pendiriannya.
"Baiklah," ujarnya sambil menghela napas. "Aku
berjanji akan membantumu untuk mencari Pendekar Naga
Putih."
Setelah mendengar janji Malintang, barulah Suranti
merasa lega. Dan tanpa ragu-ragu lagi ia segera melompat
keluar jendela. Lalu, diayunkan langkahnya mengikuti
Malintang, yang sudah bergerak meninggalkan tempat itu.

7
Selama dalam perjalanan menuju tempat kediaman
Raja Sesat, ada sikap dan ucapan Maliani yang kurang
disukai Panji. Bagi seorang gadis, menurut Panji, sikap dan
kata-kata Maliani terlalu bebas. Tidak seperti layaknya
seorang gadis yang baru terjun ke rimba persilatan. Bagi
Panji, sikap dan kata-kata Maliani mencerminkan watak
seorang gadis binal. Maliani tidak ragu-ragu untuk
memegang ataupun menarik tangannya sewaktu berjalan.
Malah tidak jarang Maliani berjalan terlalu merapat ke-
padanya, hingga sampai-sampai siku Panji menyentuh buah
dada gadis itu. Tapi Maliani tidak kelihatan risih. Sebaliknya,
justru Panji-lah yang merasa risih, hingga dengan tidak
kentara Panji menggeser tubuhnya agar mereka tidak terlalu
rapat.
Dalam pengembaraannya, tidak jarang, bahkan
hampir seringkali Panji berhadapan dengan perempuan. Dan
meskipun kelihatannya ia tidak menaruh perhatian,
sesungguhnya diam-diam Panji selalu menilai dalam hati.
Dan dari semua pengalamannya itu, sedikit banyak Panji jadi
dapat menilai dan dapat membedakan mana perempuan
baik-baik, dan mana perempuan yang tidak benar. Dan,
menurut pengamatan Panji, Maliani termasuk dalam golong-
an perempuan yang tidak benar. Paling tidak, Maliani
termasuk jenis perempuan mata keranjang. Malah mungkin
lebih dari sekedar mata keranjang saja. Dan rasanya, kalau ia
tidak salah menilai, andaikata ia mau meladeni sikap
Maliani, mau menunjukkan sikap kurang ajar, bukan tidak
mungkin gadis itu akan menyerahkan dirinya bulat-bulat.
Ah! Panji menepiskan penilaiannya yang terlalu kasar
itu. Akan tetapi, Panji malah menjadi penasaran. Benar sikap
Maliani kadang selalu berlebihan. Terlalu menjurus sikap
genit dan menantang. Tapi, itu bisa saja cuma kelihatannya.
Sedangkan yang sebenarnya, mungkin tidak demikian. Begitu
bantahan sisi lain hati Panji. Dan karena bantahan itu pula
ia menjadi penasaran. Merasa tertantang untuk
membuktikan benar tidaknya penilaiannya, ia akan mencoba
untuk melayani sikap genit Maliani. Hitung-hitung
pengalaman. Begitu pikirnya.

"Panji," panggil Maliani dengan sikap dan suara
manja. Dan sambil berkata Maliani menaruh tangannya di
bahu kanan Panji. Menggelayut manja. Sedikit pun tidak
kelihatan risih. "Kalau kita berhasil membasmi Raja Sesat,
apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" tanya Maliani
kemudian.
Panji membalas senyum gadis itu. Ini kesempatan
yang kutunggu-tunggu. Begitu kata hati Panji. Kemudian,
tidak seperti sebelum-sebelumnya, kali ini Panji menaruh
tangannya di atas punggung tangan Maliani. Ditepuk-
tepuknya perlahan-lahan. Hendak dilihatnya bagaimana
tanggapan gadis itu.
"Kau sendiri, apa yang akan kau lakukan se-
lanjutnya?" Panji mengembalikan pertanyaan gadis itu. Dan
sambil masih tetap tersenyum, Panji mulai meningkatkan
usahanya. Kalau tadi baru sebatas menepuk-nepuk,
sekarang Panji mulai berani mengelus-elus punggung…
tangan Maliani.
Perbuatan Panji, yang diluar dugaan itu, karena
sebelumnya selalu menghindar, membuat senyum di bibir
Maliani semakin merekah. Sepasang matanya berbinar.
Kelihatan sekali betapa Maliani sangat gembira. Panji sudah
mulai terpengaruh! Begitu pikirnya. Maka, Maliani pun
semakin berani mengirimkan tantangan.
"Kawin!" jawab Maliani sambil mengerjap ngerjapkan
matanya. "Itulah yang akan kulakukan, Panji. Kalau kau?"
Mendengar jawaban Maliani, Panji tertawa pelan.
Begitu juga hatinya, ikut tertawa. Karena, setelah berkata
demikian, Maliani membalikkan tangannya yang dielus-elus
Panji. Dan tanpa ragu-ragu lagi, digenggamnya dan
diremasnya tangan Panji. Dan Panji pun tidak mau kalah.
Remasan tangan gadis itu segera dibalas kontan.
"Aku juga mau kawin," jawab Panji seraya tertawa
pelan. Kemudian Panji menghentikan langkahnya. Karena
jawabannya telah membuat Maliani berhenti melangkah.
Sehingga, sekarang mereka berdiri berhadap-hadapan. Dekat
sekali, cuma terpisah satu jengkalan tangan!
Maliani mengangkat kepalanya, sementara Panji
terpaksa agak menunduk. Karena tinggi Maliani cuma
sampai telinganya. Dan mereka saling tatap. "Kau sudah

punya pilihan?" tanya Maliani sambil terus menatap mata
Panji.
"Kau sendiri?" Kembali Panji memancing Maliani
untuk menjawab lebih dulu. Meskipun sudah ada dugaan,
namun ia ingin tahu apa jawaban gadis itu.
"Mmm... sudah, tuh!"
"Siapa?" desak Panji lagi, sementara Madani semakin
merapatkan tubuhnya ke tubuh Panji. Dan Panji tidak
menghindar. Malah, ketika gadis itu melingkarkan lengan di
bahunya, Panji segera meraih pinggang gadis itu.
"Kau, Panji," jawab Maliani, yang kemudian
menjatuhkan kepalanya di dada Panji. "Kaulah pilihanku,
Panji."
"Tapi, bagaimana kalau kita berdua tewas di tangan
Raja Sesat?" tiba-tiba saja pertanyaan itu melintas di benak
Panji. Dan tanpa perlu berpikir lagi, segera saja
dilontarkannya pertanyaan itu.
"Tidak akan, Panji, tidak akan!" jawab Maliani sambil
mengangkat kepalanya, yang kemudian digelengkannya
keras-keras. Tentu saja Panji merasa agak heran.
"Mengapa?" tanya Panji lagi. "Raja Sesat sangat tinggi
sekali kepandaiannya. Belum lagi pengikut-pengikutnya.
Lalu, mengapa kau bisa begitu yakin kalau kita tidak akan
mati di tangannya. Padahal aku tidak merasa punya nyawa
cadangan."
"Aku juga tidak punya nyawa cadangan, Panji," tukas
Maliani, yang kembali saling tatap dengan Panji. Kemudian
hening sesaat. Dan secara perlahan namun pasti, Maliani
mendekatkan wajahnya ke wajah Panji. Dan untuk bisa
mencapainya Maliani mengangkat tumitnya.
Panji tahu apa yang diinginkan Maliani. Maka, tanpa
merasa ragu lagi, segera saja Panji menundukkan kepalanya.
Dan, Maliani yang merasa tidak sabar, langsung menyergap
bibir Panji. Melumatnya dengan lahap.
Memang pada mulanya Panji cuma sekadar ingin
membuktikan penilaiannya saja lapi, ketika ia merasakan
ciuman gadis itu, Panji seperti lupa dengan tujuannya
semula. Maliani bukan saja tidak jelek, malah bisa dibilang
sangat cantik. Lebih-lebih bentuk bibirnya sangat bagus dan
seperti selalu menantang siapa saja. Jadi, tidak heran kalau
Panji sampai terangsang. Dan ia pun segera membalas

dengan tidak kalah hangatnya. Bibir gadis itu digasaknya
habis-habisan.
***
Akan tetapi, betapapun rangsangan itu menuntutnya,
namun Panji tahu batas. Dan ia tidak ingin melewati batas-
batas itu. Maka, ketika dirasakannya Maliani semakin gila,
semakin memperturutkan tuntutan nafsu yang menyentak-
nyentak, Panji segera melepaskan pelukannya. Perlahan
dijauhkannya tubuh gadis itu.
"Mengapa, Panji, mengapa?!" Dengan napas terengah-
engah, Maliani bertanya tak mengerti.
"Kita tidak boleh melakukannya, Maliani," jawab Panji
tegas. "Ada batas-batas yang harus dijaga kecuali mereka
yang sudah menjadi suami-istri."
"Tapi kau suka kepadaku, bukan? Kau... kau mau
menjadi suamiku, bukan?" kata Maliani sambil menatap
Panji dengan sorot penuh tuntutan.
Panji tidak segera menjawab. Ditariknya napas untuk
sesaat. "Lalu bagaimana dengan Raja Sesat? Bukankah kau
harus menuntut balas kematian keluargamu?" ujar Panji
mengingatkan Maliani. Dan dengan pertanyaannya itu, Panji
bermaksud untuk mengalihkan pembicaraan. Karena jika ia
menjawab, bukan mustahil kalau Maliani akan mengamuk.
Malah mungkin akan menuduhnya sebagai lelaki hidung
belang.
Maliani tertegun, ia kelihatan bingung, seperti
kehilangan kata-kata. Cuma menatap Panji dengan sorot
mata yang sulit ditebak. Dan itu berlangsung cukup lama.
"Maliani? Kau kenapa?" Merasa khawatir ketika
melihat gadis itu masih juga membisu seperti patung, Panji
pun segera menegurnya. Membuat Maliani tersentak. Lalu
Panji mendengar gadis itu menarik napas, yang kemudian
membuang pandangannya ke arah lain.
"Panji," ujar Maliani sambil kembali menatap Panji.
"Apakah kau mempunyai persoalan dengan Raja Sesat?" "
"Kau sudah tahu jawabannya, Maliani. Aku cuma
membantu," jawab Panji sambil membalas tatapan gadis itu.
Sengaja Panji tidak menyebutkan membantu siapa. Kalau ia
menyebutkan membantu Maliani saja, berarti ia telah

berdusta. Dan Panji tidak ingin berdusta, karena ia juga
membantu Suranti. Itu sebabnya mengapa ia cuma
mengatakan 'membantu' saja. Dengan begitu jawabannya
mempunyai dua pengertian. Bisa berarti membantu Maliani,
dan juga bisa berarti membantu Suranti. Tapi tentu saja yang
Panji maksud sebenarnya adalah membantu keduanya.
"Artinya kau sendiri tidak mempunyai persoalan apa-
apa dengan Raja Sesat?" Maliani masih juga menegasi.
Tampaknya ia kurang puas.
"Mengapa kau malah mendesak aku, Maliani? Ada apa
sebenarnya? Nada suaramu kedengarannya agak aneh?
Kau... seperti berpihak kepada Raja Sesat?" kilah Panji, yang
menjadi heran ketika merasakan seperti ada perubahan pada
diri Maliani.
Maliani jadi kelihatan bimbang. Sebenarnya ia hendak
menjebak Panji. Dan cerita tentang keluarganya maupun
pengeroyokan empat lelaki terhadapnya, adalah bagian dari
rencana yang disusunnya bersama ayahnya dan Malintang.
Maliani tahu kalau ayahnya merasa jerih kepada Pendekar
Naga Putih. Apalagi setelah mendengar sendiri cerita
Malintang, yang dipecundangi Pendekar Naga Putih. Ayahnya
semakin yakin kalau berita tentang Pendekar Naga Putih,
yang telah banyak merobohkan tokoh-tokoh kelas atas,
bukanlah sekedar isapan jempol belaka. Ayahnya semakin
jerih saja. Maliani tahu itu, kendati ayahnya berusaha
menyembunyikannya rapat-rapat, yang lalu bersama Malin-
tang, merencanakan untuk menjebak Pendekar Naga Putih.
Tapi sekarang, setelah bertemu dan berhadapan
langsung, setelah mengetahui bagaimana watak dan sikap
Pendekar Naga Putih, dan setelah melakukan perjalanan
bersama-sama, hati Maliani menjadi goyah. Maliani bukanlah
seorang gadis ingusan, bukan gadis kemarin sore, dan bukan
baru pertama kail berjumpa dengan pemuda yang tampan
dan gagah. Bukan, bukan dan bukan! Pemuda-pemuda
seperti itu telah banyak yang dijumpainya. Sudah banyak
yang masuk ke dalam kehidupannya. Dari mereka adalah
perayu-perayu, penjilat-penjilat, yang begitu melihatnya
langsung tergila-gila kepadanya. Mereka tidak segan-segan
untuk berlutut di bawah kakinya demi untuk mengemis
cintanya.

Bahkan kalaupun ia menyuruh mereka untuk
menjilati telapak kakinya, mereka pasti akan melakukannya.
Dan Maliani sudah muak dengan pemuda-pemuda seperti
itu. Sedangkan terhadap Panji...
Sejak Panji menolongnya dan menyatakan
kesediaannya untuk membantunya membalaskan dendam
keluarganya, Mallani sudah merasa tertarik. Apalagi Panji
ternyata tidak mengharapkan imbalan apa-apa darinya.
Hendak menolongnya dengan tulus. Padahal Panji tahu
bahwa dengan menolongnya, bukan tidak mungkin dirinya
akan menjadi korban. Dan itu sungguh berbeda sekali
dengan apa yang ditanamkan ayahnya kepadanya sejak ia
kecil.
Menurut ayahnya, kaum golongan putih adalah
kelompok orang-orang sombong. Orang-orang yang sok suci.
Kelompok orang-orang yang selalu memusuhi kaum golongan
hitam. Merasa benar sendiri, meremehkan dan menghina
kaum golongan hitam, yang menurut mereka hanyalah
kelompok orang-orang kotor berhati busuk, yang sudah
semestinya dibasmi habis. Akan tetapi, pada diri Panji,
Maliani tidak menemukan semua itu. Panji tidaklah
sombong, kendati memiliki kepandaian yang tinggi. Tidak
sembarangan membunuh. Itu sudah terbukti dengan
membiarkan empat pengeroyoknya pergi. Malah Panji tidak
memusuhi Raja Sesat secara langsung. Padahal Raja Sesat
jelas-jelas merupakan tokoh golongan hitam yang sangat
berbahaya. Dan kalau pun Panji memusuhi Raja Sesat, itu
disebabkan karena hendak membantunya.
Tapi bukan hanya cuma karena itu saja yang
menyebabkan Mallani tertarik. Panji ternyata tidak terpesona
dengan kecantikannya. Tetap berusaha menjaga kesopanan
kendati ia telah berulangkali memancingnya. Dan Panji
ternyata bukanlah termasuk lelaki yang mau memanfaatkan
kesempatan. Padahal ia sudah pasrah. Menyerahkan dirinya
bulat-bulat. Dan meskipun jumlah kekasihnya sudah tidak
terhitung lagi, namun Maliani tetap menjaga kesuciannya.
Tapi Panji ternyata menolaknya. Padahal laki-laki lain pasti
akan berebutan untuk memilikinya. Tapi Panji ternyata tidak.
Dan itulah sebabnya mengapa hati Maliani sampai menjadi
goyah. Maliani sadar bahwa ia telah jatuh cinta kepada Panji.
Kepada Pendekar Naga Putih! Orang yang dimusuhi ayahnya.

Baginya, Panji adalah seorang pemuda pilihan yang tidak ada
duanya!
***
"Raja Sesat adalah Ayahku...."
Kalau saja saat itu ada petir menggelegar di te-
linganya, mungkin Panji tidak akan sekaget mendengar
pengakuan yang keluar dari mulut Maliani! Padahal Maliani
mengucapkannya dengan suara yang nyaris berupa bisikan
lirih dan bergetar. Malah wajah Maliani tampak pucat. Tapi,
Panji tetap saja kaget bukan main. Dan saking kagetnya,
Panji sampai tersurut ke belakang. Memandang Maliani de-
ngan mata terbelalak. Dengan wajah memucat!
"Kami merencanakan untuk menjebakmu, Pendekar
Naga Putih!" lanjut Maliani. "Dan aku adalah umpannya."
Panji cuma bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sulit baginya untuk menerima pengakuan Maliani. Bukannya
ia tidak percaya, tapi bagaimana mungkin Maliani
menceritakan semua itu kepadanya? Mengapa Maliani
menjadi berubah pikiran? Padahal dia sudah masuk ke
dalam perangkap gadis itu? Ban kalau Maliani tetap
melanjutkan sandiwaranya, bukan mustahil kalau rencana
itu akan berhasil dengan baik. Tapi, Maliani malah meng-
hancurkan rencananya sendiri. Sungguh Panji jadi tidak
habis mengerti.
"Mengapa kau menceritakan semua ini kepadaku,
Maliani?" tanya Panji setelah dapat menguasai perasaannya.
Ditatapnya wajah gadis itu dengan penuh keheranan.
"Setelah aku melihatmu dan mengetahui watak serta
pendirianmu, terus-terang aku tidak bisa melanjutkan
rencana ini. Aku... tidak mau kau sampai celaka. Panji,"
jawab Maliani dengan suara serak. Semula Maliani hendak
mengatakan "Aku telah jatuh cinta kepadamu, Panji." Tapi
diurungkannya. Maliani takut jika Panji akan memandang
rendah dirinya, meremehkannya, karena ia adalah putri se-
orang dedengkot golongan sesat.
Lagi-lagi Panji menggeleng. Menarik napas berulang-
ulang. Tidak mendesak, meskipun sedikit banyak ia dapat
menduga apa yang menyebabkan Maliani mengungkapkan
rencana itu kepadanya. Akan tetapi, apa pun alasan Maliani,

Panji merasa sangat berterima kasih sekali. Membuat
penilaiannya berubah. Karena ia tahu sekarang, mengapa
Maliani begitu jinak kepadanya, sampai-sampai hendak
menyerahkan kehormatannya.
"Sadarkah kau bahwa perbuatanmu ini akan
membuat ayahmu murka?" ujar Panji yang malah jadi
mencemaskan nasib gadis itu.
"Aku sudah siap untuk menanggung semua
akibatnya," begitu tegas dan mantap suara Maliani. Membuat
Panji terharu. Sungguh tidak disangkanya kalau putri
seorang dedengkot golongan sesat, yang kekejamannya telah
sangat terkenal, ternyata memiliki hati yang mulia. Rela
berkorban untuk dirinya, orang yang baru dikenalnya.
"Tidak," geleng Panji tegas. "Aku tidak bisa
membiarkan hal itu sampai terjadi. Kau tidak ingin melihat
aku celaka. Demikian juga dengan aku, Maliani. Sebaiknya,
lanjutkan saja apa yang sudah menjadi rencana ayahmu.
Biarlah nasib yang akan menentukan, apakah aku akan
selamat atau tidak "
"Tidak!" bantah Maliani dengan tidak kalah tegasnya.
"Aku tidak akan melanjutkannya. Kalaupun Ayah akan
murka kepadaku, paling jauh aku cuma dihukum. Beda
dengan kau, Panji. Jika sampai tertangkap, kau akan
dibunuhnya!"
"Tapi..."
"Tidak ada tapl-taplan!" sergah Maliani cepat
"Mungkin saat ini sudah terlambat, dan aku sangat menyesal
sekali," lanjutnya, yang kemudian menceritakan tentang
Malintang dan apa yang akan diperbuatnya terhadap Suranti.
Dijelaskannya juga, mengapa Malintang sampai melakukan
semua kejahatan itu.
Panji tentu saja menjadi kaget bukan main. Ia menjadi
gelisah, karena masih mencemaskan nasib Maliani, yang
mungkin saja akan disiksa Raja Sesat. Sementara, ia juga
mengkhawatirkan keselamatan Suranti.
"Pergilah, Panji," ujar Maliani yang dapat menebak
kebingungan Panji. "Terima kasih kau masih peduli
kepadaku. Tapi, temanmu itu harus segera diselamatkan.
Nah, selamat tinggal...."
Panji mengangkat tangan kanannya hendak
mencegah. Akan tetapi, Maliani sudah melesat pergi tanpa

menoleh lagi. Terpaksalah Panji memutar tubuhnya, berlari
secepat-cepatnya untuk segera tiba dipenginapan.
***
"Apa kita tidak salah jalan, Kak Malintang?" Suranti
menghentikan langkahnya, menatap wajah Malintang dengan
kening berkerut. Kelihatan sekali betapa sorot mata Suranti
memancarkan kecurigaan.
"Tentu saja tidak, Suranti," jawab Malintang yang
segera menghentikan langkah dan memutar tubuh
menghadapi Suranti. Suranti memang berlari di belakang
Malintang, kira-kira empat langkah jaraknya. Itu karena
Suranti belum percaya sepenuhnya kepada Malintang, dan
merasa perlu untuk terus waspada.
"Bukankah tempat kediaman Raja Sesat berada di
sebelah barat di dekat anak bukit?" bantah Suranti seraya
menunjuk ke sebelah kirinya. "Sepertinya kau sengaja
hendak menyesatkan aku?"
"Suranti," ujar Malintang lemah. Lalu melangkah
maju. "Dengar, Adikku manis..."
"Berhenti!" Suranti membentak seraya melangkah
mundur dua tindak. Kemudian terdengar suara mendesing.
Dan tahu-tahu, tangan kanan Suranti telah menggenggam
pedang. "Rupanya kau memang berniat jahat kepadaku. Kau
hendak memisahkan aku dari Panji. Sekarang aku benar-
benar yakin bahwa kau memang benar-benar sudah berubah.
Kau... kau... pastilah kau yang telah membunuh Ayah dan
Rakai! Mengakulah, Malintang! Kau akan menerima
pembalasan dariku!"
"Ha ha ha...!" tiba-tiba Malintang tertawa berkakakan.
Sikapnya berubah seketika. Tidak lagi tampak memelas.
Malah kelihatan garang. Sorot matanya pun tidak lagi sayu,
malah tajam berkilat-kilat. Membuat Suranti tersurut
mundur. Hatinya bergidig ngeri demi melihat sikap dan
tatapan Malintang. Tatapan itu begitu mengerikan. Tak ubah-
nya tatapan binatang buas yang kelaparan. Dan sebagai
perempuan, Suranti sadar apa arti tatapan mata Malintang
itu.
"Kau sama saja dengan ayahmu, Gadis tolol! Kalian
menyisihkan aku. Tidak mempedulikan aku. Kalian berdua

lebih menyayangi si bedebah Rakai daripada aku. Aku
memang anak gelandangan yang dipungut ayahmu, yang
kemudian diangkatnya sebagai anak. Tapi aku tahu kalau
sesungguhnya Orang Tua keparat itu tidak menyayangiku.
Kenyataannya aku malah dibuang! Diberikan kepada orang
lain, sementara si bedebah Rakai dididiknya dengan ilmu-
ilmu tinggi. Bahkan ia malah memilihnya untuk menjadi
jodohmu! Padahal dia tahu kalau aku sangat mencintaimu.
Bukan sebagai kakak, tapi sebagai laki-laki. Dan aku merasa
lebih berhak mencintaimu ketimbang si bedebah Rakai, yang
cuma murid itu!" Malintang berteriak-teriak dengan berapi-
api. Menumpahkan semua perasaannya yang dipendamnya
selama bertahun-tahun.
Suranti tentu saja merasa terkejut bukan main.
Sungguh tidak pernah disangkanya kalau Malintang ternyata
mempunyai pikiran yang salah.
"Apa yang kau katakan itu sama sekali tidak benar,
Malintang!" Suranti menyanggah tuduhan itu dengan tidak
kalah kerasnya. "Aku sendiri tidak pernah tahu kalau kau
bukanlah kakak kandungku. Ayah tidak pernah
menceritakannya kepadaku. Aku cuma tahu bahwa kau
adalah kakakku. Dan kalaupun Ayah memilih Rakai untuk
menjadi jodohku, itu karena kami memang saling mencintai.
Aku memang mencintai Rakai, dan bukan karena Ayah yang
memilihkannya untukku. Sedangkan terhadapmu, aku
menyayangimu sebagai kakakku. Dan kalau pun kau
dititipkan kepada Camar Laut, itu karena Ayah ingin agar
kau bisa lebih pandai daripada Ayah!"
"Bohong!" sentak Malintang dengan suara
menggeledek. "Kalau benar dia menyayangiku, seharusnya ia
tahu perasaanku, tahu kalau aku menginginkan dirimu
untuk menjadi istriku. Bukankah kita tidak sedarah? Tidak
ada larangan bagiku untuk menikahimu, bukan? Lalu
mengapa Rakai yang dipilih? Padahal aku sangat
mencintaimu, Suranti. Dan aku tidak sudi kau diperistri
orang lain, sekalipun oleh si bedebah Rakai! Aku benci si
bedebah Rakai yang telah merebutmu dariku! Aku benci
ayahmu yang telah memisahkan kita! Dan, aku juga benci
dengan Camar Laut, yang mengekang kebebasanku, selama
satu tahun lebih! Itu sebabnya kubunuh si keparat Camar
Laut dan semua pelayannya. Kemudian aku pergi

mengembara untuk mempelajari ilmu-ilmu silat tinggi
lainnya. Tidak perduli kendati yang kupelajari adalah ilmu
dari golongan sesat. Bahkan aku lalu menjadi pengikut dan
murid Raja Sesat, yang kelak setelah ilmunya kuserap habis,
kakek jelek itu pun akan kuhabisi! Dan aku akan menjadi
penguasa rimba persilatan. Menjadi jago nomor satu yang tak
terkalahkan! Ha ha ha...!"
"Bedebah kau, Malintang! Kau manusia durhaka yang
tidak tahu balas budi! Kau... manusia serakah! Keinginanmu
itu telah membuatmu menjadi gila! Kau... iblisss! Kau harus
membayar nyawa Ayah dan Rakai!" Suranti tak dapat lagi
menahan kemarahannya. Menurutnya Malintang memang
benar-benar telah menjadi gila. Otaknya sudah dirusak oleh
keinginan gilanya itu. Dan di saat Malintang masih tertawa-
tawa seperti orang gila, Suranti langsung melompat sambil
menusukkan pedangnya ke tenggorokan Malintang.
Siingng...!
Suara desing pedang menyadarkan Malintang dari
kegilaannya. Dan begitu dilihatnya Suranti menyerang
tenggorokannya, segera saja Malintang menggeser tubuhnya
satu langkah ke kanan. Dan begitu sambaran pedang lewat di
sampingnya, dua tangannya langsung bergerak susul-
menyusul, melepaskan totokan-totokan untuk melumpuhkan
Suranti.
Cepat bukan main serangan balasan yang dilontarkan
Malintang, hingga membuat Suranti menjadi terkejut. Segera
saja Suranti melempar tubuhnya ke belakang. Berjumpalitan
beberapa kali, sebelum akhirnya melayang turun ke tanah.
Akan tetapi, Malintang ternyata tidak tinggal diam
begitu saja. Pada saat Suranti melempar tubuh ke belakang,
Malintang langsung memburunya dengan serangan-serangan
yang tetap dimaksudkan untuk melumpuhkan Suranti.
Malintang memang tidak bermaksud untuk membunuh
Suranti. Ia sangat mencintai adik angkatnya itu. Ingin
memilikinya tanpa ada yang mengganggu. Demikian hebat
rasa cinta yang meracuni hati dan pikiran Malintang, hingga
membuat jiwanya terganggu. Apalagi ketika Ki Arja Wiguna,
ayah angkatnya, malah menjodohkan Suranti dengan Rakai.
Jiwanya semakin terganggu. Sehingga ia membenci dan
menaruh dendam terhadap ayah angkatnya dan juga kepada

Rakai. Itu salah satu alasan mengapa Malintang sampai tega
membunuh Rakai dan ayah angkatnya.

8
Melihat betapa Malintang sudah memburunya dengan
serangkaian totokan, Suranti yang baru saja menjejakkan
kakinya di tanah, segera membabatkan pedangnya dengan
gerak menyilang. Namun, dengan menggunakan kelincahan
tubuhnya, Malintang dapat mengelakkan sambaran pedang
Suranti. Kemudian, dengan tidak terduga, Malintang menja-
tuhkan tubuhnya bergulingan di tanah. Dua totokannya
menderu datang, mengancam bagian belakang lutut Suranti.
Cwit! Cwit!
Namun Suranti bertindak cepat untuk segera
memindahkan kedua kakinya dengan langkah-langkah yang
cukup ampuh. Dua totokan Malintang kembali menemui
kegagalan. Malintang rupanya sudah memperhitungkan
tindakan Suranti itu. Dan tahu-tahu saja, tubuh Malintang
melambung tinggi dengan gerak menyamping. Saat itu juga,
dua jari tangannya bergerak cepat menotok dua jalan darah
di dekat bahu Suranti.
Pucatlah selebar paras Suranti. Tidak mungkin lagi
baginya untuk menghindari dua totokan itu.
Tukkk! Tukkk!
Dan Suranti cuma bisa memekik dengan mata
terbelalak. Dua totokan Malintang tepat mengenai sasaran di
tubuhnya, yang seketika itu juga melorot jatuh bagaikan
sehelai kain basah. Dan Malintang tertawa berkakakan,
sementara Suranti yang rebah di tanah, cuma bisa mengigit
bibir. Dua titik air bening terlompat dari matanya. Hatinya
sudah ngeri membayangkan apa yang bakal terjadi
kemudian. Dari tatapan Malintang yang menjelajah sekujur
tubuhnya, Suranti memang sudah bisa menebak apa yang
dikehendaki Malintang pada dirinya.
"Ha ha ha...! Malam ini juga kau akan kujadikan
pengantinku, Suranti. Kita akan bersenang-senang, adikku
yang manis. Lalu kemudian, kau akan melahirkan anak-anak
kita. Mereka pasti akan segagah aku dan secantik kau. Ha ha
ha...!" Malintang tertawa-tawa seperti orang gila. Dan begitu
tawanya terhenti, Malintang berjongkok di samping Suranti.
Dirabanya wajah cantik yang berkulit halus itu. Dicubitnya
bibir Suranti dengan gemas.

"Binatang, pergi kau! Jangan sentuh aku! Aku lebih
baik mati daripada bersuamikan orang gila sepertimu!"
Suranti cuma bisa berteriak-teriak tanpa bisa menggerakkan
tubuhnya yang telah dilumpuhkan oleh totokan Malintang.
Malintang cuma terkekeh. Tidak peduli dengan segala
makian maupun sumpah serapah yang dilontarkan Suranti.
Dan setelah puas meraba wajah serta sekujur tubuh Suranti,
diraihnya tubuh gadis malang itu. Dipondongnya dan
diciuminya habis-habisan. Dan sambil tertawa-tawa,
dibawanya Suranti pergi meninggalkan tempat itu.
Langkah Malintang yang tergesa-gesa akhirnya
terhenti. Belum lagi jauh ia berjalan, baru sekitar empat
puluh tombak, namun sesosok tubuh yang terselimut
keremangan malam telah menghadang perjalanannya.
"Lepaskan gadis itu, Malintang!" terdengar suara si
penghadang. Malintang mengerutkan kening. Menajamkan
pandangannya karena suara itu seperti tidak asing bagi
telinganya. Dan, ketika samar-samar ia mulai dapat
mengenali siapa adanya penghadang itu, Malintang pun
tertawa berkakakan.
"Ha ha ha...! Kau cemburu rupanya, ya?" kata
Malintang yang disambut si penghadang dengan sebuah
dengusan kasar.
"Lepaskan kataku, atau aku harus memaksamu!"
sosok penghadang kembali membentak. Kali ini sambil
bergerak maju mendekati Malintang. Ternyata sosok ini
adalah seorang perempuan cantik dengan sorot mata setajam
mata pedang. Menikam langsung ke mata Malintang.
"Jangan takut, Maliani. Aku tetap mencintaimu. Kau
akan kujadikan istri pertama. Sedangkan gadis tolol ini biar
jadi istri kedua saja," ujar Malintang sambil terkekeh-kekeh.
Malintang sama sekali tidak mempedulikan perintah si
penghadang yang ternyata adalah Maliani itu. Mungkin ia
menganggap ancaman Maliani itu cuma main-main. Maka,
ketika Maliani melangkah maju, Malintang pun bergerak
menyambut.
***
Sringng!

"Eh!?" Malintang baru merasa kaget ketika Maliani
mencabut pedang. Kekehnya seketika lenyap. Keningnya
berkerut-kerut. Kemudian ditentangnya pandang mata
Maliani. Sorot mata gadis itu demi kian tajam. Wajahnya
dingin menyiratkan ancaman.
Tahulah Malintang kalau Maliani memang tidak main
main. "Jadi kau sungguh-sungguh?" tanyanya sekadar untuk
meyakinkan hatinya.
"Ini permintaanku yang terakhir." Maliani sama sekali
tidak mempedulikan pertanyaan Malintang. "Lepaskan gadis
itu!" pintanya sembari menyilangkan pedangnya di depan
dada.
"Tidak!" Kali ini Malintang berkata tegas. "Malah kau
pun akan kulumpuhkan! Kau sudah berani membentak-
bentak dan memerintahku. Kemarin-kemarin memang aku
mengalah dan tidak pernah memaksa untuk menjamah
tubuhmu. Tapi sekarang, kau pun akan mengalami nasib
seperti perempuan tak tahu diuntung ini. Kalian berdua akan
kulahap sepuas-puasnya. Setiap waktu, setiap hari kalian
akan kupaksa untuk melayaniku sampai kalian mengandung
dan melahirkan anak-anakku!"
"Bangsat!" Maliani menjadi marah bukan main.
Selebar parasnya menjadi merah. Ancaman Malintang
memang kedengarannya sangat mengerikan. Akan tetapi
Maliani sama sekali tidak menjadi gentar. Sebaliknya ia
malah ingin segera memenggal batang leher Malintang.
"Haiiittt...!
Dengan sebuah bentakan melengking, Maliani
menerjang maju. Pedang di tangannya berkelebatan cepat,
hingga yang nampak hanyalah kilatan-kilatan sinar putih
yang membelah keremangan malam. Cepat dan kuat bukan
main serangan yang dilancarkan Maliani itu. Akan tetapi,
Malintang menyambutnya dengan tawa ganda.
Tanpa melepaskan Suranti yang masih tetap berada
dalam pondongannya, Malintang menggeser langkahnya
dengan lincah menghindari setiap sambaran pedang Maliani.
Dan bukan cuma itu saja, malah Malintang sempat juga
mengirimkan tendangan-tendangan pendek sebagai
balasannya. Maliani menjadi penasaran bukan main,
meskipun ia tahu bahwa kepandaian Malintang masih berada
di atas kepandaiannya. Dan yang membuatnya jengkel,

ayahnya juga telah menurunkan beberapa macam ilmu
kepada Malintang, termasuk ilmu pedang yang sekarang
digunakannya. Sehingga, Malintang dapat dengan mudah
mematahkan setiap serangannya. Karena Malintang telah
mengetahui ke mana pedangnya akan bergerak.
Karena dengan ilmu pedang itu ia tidak dapat berbuat
banyak, maka Maliani segera merubah jurus-jurus
serangannya. Digunakannya ilmu tangan kosong dengan
menggunakan pedang. Ilmu-ilmu yang tidak diketahui
Malintang. Untuk beberapa jurus lamanya, Malintang
memang menjadi sibuk oleh serangan-serangan Maliani.
Akan tetapi, setelah lewat dari dua puluh jurus, Malintang
mulai dapat mengatasinya dengan baik. Malah serangan-
serangan balik yang mulai dilancarkan Malintang, beberapa
di antaranya nyaris mengenai tubuhnya.
"Setaaan!" Maliani mengumpat seraya menggertakkan
giginya dengan penuh kegeraman. Dan dengan mengerahkan
seluruh tenaga dan kecepatannya, Maliani mencoba untuk
mendesak Malintang. Namun, Malintang bertindak lebih
sigap. Dua di antara tiga sambaran pedang Maliani
dielakkannya dengan liukan tubuhnya. Sedangkan yang
ketiga, segera dipapakinya dengan kibasan tangannya.
Plakkk!
Kibasan lengan Malintang membentur lengan Maliani.
Cukup keras, hingga membuat Maliani menahan pekik
kesakitannya. Tubuhnya terjajar mundur sampai empat
langkah. Kesempatan itu tidak disia-siakan Malintang, yang
segera melompat dengan sebuah tendangan menyamping.
Maliani terbelalak, karena pada saat itu ia masih belum
sempat untuk memperbaiki kuda-kudanya.
Bukkk!
Maliani tak dapat menghindar lagi. Maliani menjerit
keras ketika tendangan Malintang bersarang telak di
perutnya. Membuat tubuhnya terpental deras, untuk
kemudian jatuh terjengkang ke tanah. Dan selagi Maliani
merasakan perutnya mulas bukan main, Malintang sudah
kembali menyerbu datang. Kali ini ia melepaskan totokan
dengan menggunakan jari-fari tangan kirinya, sementara
yang kanan menyangga tubuh Suranti, yang tetap dalam
pondongannya.

Maliani membelalakkan matanya dengan wajah ngeri.
Bukan karena totokan yang tengah dilancarkan Malintang.
Akan tetapi, ancaman mengerikan yang tadi diucapkan
Malintang. Bergidig hatinya teringat ancaman yang ia tahu
pasti akan segera dilaksanakan Malintang.
Namun, sebelum jari-jari tangan Malintang me-
lumpuhkan tubuh Maliani, sesosok bayangan putih
berkelebat cepat dan langsung menyambut totokan itu.
Demikian cepat gerakan sosok bayangan putih itu, yang
kemunculannya disertai dengan hamparan hawa dingin
menusuk tulang.
Kali ini Malintang yang menjerit kesakitan, tubuhnya
tertolak balik. Terhuyung-huyung sampai hampir dua tombak
jauhnya. Sedangkan sosok bayangan putih itu tidak tinggal
diam. Cepat bergerak memburu Malintang. Dua tangannya
bergerak susul-menyusul. Yang kiri mendorong bahu kanan
Malintang, sedangkan yang kanan digunakan untuk merebut
tubuh Suranti.
Malintang memaki kalang-kabut. Perbuatan sosok
bayangan putih itu tidak bisa dicegahnya lagi. Sementara
tubuhnya terpelanting jatuh ke tanah, tubuh Suranti pun
lepas dari pondongannya.
"Keparat busuk, akan kucincang hancur tubuhmu!"
Sambil berteriak-teriak kalap, Malintang melompat bangkit.
Mencabut pedangnya yang segera saja memperdengarkan
suara sambaran angin mendesing-desing. Akan tetapi, begitu
ia memandang sosok bayangan putih yang dimakinya dan
hendak dicincang tubuhnya, mata Malintang terbeliak. Wa-
jahnya seketika menjadi pucat. Dan, dengan bibir gemetar
terdengar ia berucap, "Pendekar... Naga... Putih...!?"
Sosok bayangan putih yang kemunculannya tepat
pada saat Maliani terancam itu, ternyata adalah Panji atau
yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Naga Putih.
Tidak heran kalau Malintang sampai sedemikian terkejutnya.
Karena ia pernah dipecundangi Panji, yang kemudian
membebaskan Empu Dama, sastrawan tua yang dipaksa ikut
dengannya untuk membacakan kitab-kitab kuno yang
dicurinya dari ayah angkatnya.
***

Dukkk!
Panji merasa bersyukur dapat menemukan Malintang
pada saat yang tepat. Bukan saja ia dapat merebut Sutanti,
akan tetapi, juga telah menyelamatkan Makani, yang ia tidak
tahu bagaimana caranya tahu tahu didapatinya sudah
berada di bawah ancaman serangan Malintang.
Ketika kembali ke penginapan, Panji tidak me-
nemukan Suranti di kamarnya. Bukan main cemas hatinya
ketika ia melihat pintu jendela yang terbuka. Tahulah Panji
bahwa Maliani memang tidak berdusta. Akan tetapi ia
menjadi bingung karena tidak tahu ke mana harus mencari
Suranti. Untung-untungan dijelajahinya sekitar penginapan.
Terus melebar hingga beberapa ratus tombak. Namun jejak
Suranti tetap tidak bisa diketemukannya. Membuat Panji
nyaris putus asa.
Panji sudah merasa seluruh tubuhnya lemas, ketika
tiba-tiba-ia menangkap suara teriakan melengking di
kejauhan. Sebuah teriakan seorang perempuan yang sedang
marah. Tanpa berpikir dua kali, langsung Panji berlari
secepat-cepatnya. Sama sekali tidak pernah disangkanya
kalau teriakan itu berasal dari mulut Maliani sewaktu
bertarung melawan Malintang. Beruntung ia datang pada
saat yang tepat, hingga dapat menyelamatkan Maliani dan
Suranti dari ancaman malapetaka yang mengerikan.
"Kejahatanmu-lah yang telah mempertemukan kita
kembali, Malintang," ujar Panji, setelah membebaskan
Suranti dari pengaruh totokan, dan menyuruhnya untuk
memeriksa keadaan Maliani. Dan Panji merasa lega ketika
Suranti mengatakan bahwa luka Maliani tidak terlalu
mengkhawatirkan. Maka dihadapinya Malintang, yang
menatapnya dengan penuh kebencian.
"Ha ha ha...!" tiba-tiba saja Malintang tertawa
berkakakan. Panji mengerutkan kening, khawatir kalau-
kalau Malintang terganggu ingatannya "Aku tahu sekarang,"
lanjut Malintang sambil menatap Panji dengan penuh ejekan.
"Kau hendak mengangkangi kedua perempuan itu sendirian,
bukan? Berpura-pura sok pahlawan, sok suci, padahal dalam
hatimu terkandung niat yang sama buruknya denganku."
"Jangan dengarkan mulutnya yang kotor itu. Panji!"
Suranti berseru mengingatkan Panji. Tampaknya gadis ini

khawatir kalau-kalau Panji akan terpancing oleh ejekan
Malintang yang memang sangat tajam sekali.
Panji menoleh kepada Suranti dan memberikan
senyumnya agar Suranti tidak perlu khawatir. Kemudian,
kembali di hadapinya Malintang. Dihampirinya dengan
langkah perlahan. Malintang menjadi kelabakan, karena ia
sadar betul bahwa kepandaiannya masih belum mampu
untuk mengimbangi Pendekar Naga Putih. Kecuali...
Tiba-tiba saja satu siasat licik melintas di benak
Malintang. "Pendekar Naga Putih," katanya sambil
mengangkat dada. "Jika kau memang benar-benar seorang
jantan, aku menantangmu bertarung pada tiga tahun
mendatang. Hari ini aku sedang tidak berselera. Bagaimana,
apakah kau mau menerima tantanganku?"
"Kau mau menungguku selama itu?" Panji malah balik
bertanya, hingga membuat Malintang menjadi tertegun.
"Asalkan kau bersedia menerima tantanganku, aku
akan menunggumu. Tiga tahun bukanlah waktu yang lama,"
jawab Malintang, yang diam-diam berdebar girang karena ia
bisa mengelabuhi Pendekar Naga Putih.
Suranti dan Maliani sudah merasa cemas. Mereka
tahu betul kalau semua itu cuma siasat Malintang untuk
menyelamatkan diri. Akan tetap, mereka tidak bisa berbuat
apa-apa, karena Panji melarang mereka dengan memberikan
isyarat dengan goyangan tangan. Meskipun sebenarnya tidak
mengerti maksud Panji, namun baik Suranti maupun Maliani
mematuhi isyarat Panji.
"Bagaimana kalau kau kuberi waktu yang lebih lama
lagi?" tanya Panji lagi, tapi Malintang malah kebingungan,
kendati ia mengangguk juga.
"Kalau begitu, silakan kau tunggu aku di...," Panji
menunda kalimatnya. Lebih dulu ia menoleh ke arah Suranti
dan Maliani. Panji memberikan senyumnya demi melihat
wajah-wajah penuh kecemasan. Setelah itu, Panji kembali
menghadapi Malintang.
"Di mana?" Malintang tak sabar ketika melihat
Pendekar Naga Putih masih juga belum menyebutkan
tempatnya.
"Di pintu... neraka!"
Mendengar jawaban Panji, Maliani dan Suranti tak
dapat lagi menahan kegelian hatinya. Mereka terkekeh-kekeh

sambil menunjuk-nunjuk muka Malintang, yang sebentar
merah sebentar pucat. Malu bukan main hatinya. Pendekar
Naga Putih ternyata tidak sebodoh perkiraannya. Sudah
siasatnya tidak berhasil, malah menjadi bahan tertawaan.
"Keparat kau, Pendekar Naga Pulih!". Dari malu,
Malintang menjadi marah. "Biarpun kesaktianmu setinggi
langit, aku, Malintang tidak merasa gentar secuil pun!"
Dan Malintang benar-benar membuktikan bahwa
dirinya tidak gentar menghadapi Pendekar Naga Putih.
Dengan sebuah teriakan membahana, Malintang melompat
maju dengan babatan pedangnya yang berdesing-desing
bagaikan lebah-lebah yang marah. Begitu hebat serangan
yang dilancarkan Malintang, hingga Panji tidak berani
memandang rendah.
Dengan menggunakan geseran-geseran dan langkah-
langkah pendek, serangkaian serangan Malintang dapat
dihindari Panji. Dan sebagai balasannya, Panji melontarkan
pukulan-pukulan yang tidak kalah ampuhnya dengan pedang
di tangan Malintang. Akan tetapi, Malintang bukan saja bisa
menghindari semua serangan balasan Panji, malah
serangkaian babatan dan tusukan pedangnya langsung
dilontarkan, membuat Panji merasa kagum dan
menyayangkan kalau pemuda setangguh Malintang sampai
memilih jalan sesat.
"Jiahhh...!"
Berkali-kali Malintang membentak sambil mem-
barenginya dengan sambaran pedangnya. Malah, setelah
lewat tiga puluh jurus, Malintang menyelingi dengan pukulan
tangan kiri dan tendangan tendangan kilat.
Perubahan serangan Malintang membuat Panji
bergerak mundur. Bukan terdesak, melainkan untuk
memancing rasa penasaran Malintang. Dan perhitungan
Panji memang cukup jitu. Malintang, yang serangan-
serangannya selalu saja kandas, memang menjadi geram dan
penasaran bukan main. Ia menjadi kalap, menerjang Panji
habis-habisan, hingga melupakan pertahanan dirinya. Dan
memang itulah yang tengah ditunggu-tunggu Panji. Begitu
melihat pertahanan Malintang mengedur, dua telapak
tangannya langsung dilontarkan ke dada dan perut
Malintang.
Bukkk! Desss...!

"Arrghhh...!" Malintang menjerit parau karena pada
saat yang bersamaan darah termuntah dari mulutnya.
Gedoran dua telapak tangan Panji membuat tubuhnya
terpental deras, melayang-layang di udara sebelum akhirnya
terbanting ke tanah dengan kerasnya.
Tubuh Malintang jatuh tidak jauh dari tempat Suranti
dan Maliani berada. Dan Panji terkejut ketika melihat kedua
gadis itu melompat bangkit. Saling berlomba mendatangi
Malintang dengan senjata terhunus.
"Suranti, Maliani, tahaaan...!" Panji berteriak
mencegah, karena ia maklum apa yang akan dilakukan
kedua gadis itu. Akan tetapi, dua gadis itu seperti tidak
mendengar teriakan Panji. Dua pedang mereka menderu.
Malintang, yang baru saja merangkak bangkit,
langsung pucat selebar wajahnya. Terbelalak ketika
menyaksikan Suranti dan Maliani sama mengayunkan
pedang ke tubuhnya. Dan, seiring dengan memerciknya
darah, terdengarlah jerit kematian dari mulut Malintang.
Tubuh pemuda jangkung itu kembali roboh. Menggelepar
beberapa saat untuk kemudian diam tak bergerak-gerak lagi.
Malintang tewas dengan dada dan perut tertembus pedang.
Panji cuma bisa menghela napas. Ia sadar kalau
semua itu memang sudah menjadi takdir Malintang, tewas di
tangan dua orang perempuan yang dicintainya.
***
"Maliani!"
Suara bentakan yang menggelegar itu sampai
membuat Suranti dan Maliani berjingkrak saking kagetnya.
Panji pun tidak kalah kagetnya. Tapi tidak sampai
berjingkrak, karena tenaga dalamnya langsung bergolak
melindungi dada dan telinga. Cuma saja Panji sempat
bergetar hatinya, karena ia tidak mendengar adanya suara
langkah kaki orang yang mendatangi. Dan tahu-tahu, entah
dari mana datangnya, seorang lelaki tua bertubuh kurus
kering seperti orang penyakitan, sudah melangkah ke arah
Maliani dan Suranti.
"Ayah?!" Maliani kelihatan kaget dengan kemunculan
ayahnya. Wajahnya agak pucat seperti orang yang merasa

bersalah. Dan bersama Suranti, Maliani menggeser tubuhnya
mendekati Panji.
Seperti baru sadar, lelaki tua yang ternyata adalah
Raja Sesat ini menatap Panji dengan mata disipitkan.
Terdengar gumaman tak jelas dari mulutnya.
"Kau pastilah pemuda yang berjuluk Pendekar Naga
Putih," kata Raja Sesat sambil mendongakkan kepala dengan
sikap angkuh. Raja Sesat memang tidak memerlukan
jawaban, karena ia sudah menjawab sendiri pertanyaannya
itu.
"Selamat bertemu Raja Sesat." Tanpa memperdulikan
sikap angkuh Raja Sesat, Panji menyapa seraya tersenyum.
"Sungguh suatu kebetulan yang sangat menyenangkan,
karena aku bermaksud untuk mengunjungi tempat
kediamanmu," lanjut Panji, yang tentu saja belum lupa
dengan perbuatan Raja Sesat yang menangkapi para
sastrawan.
Raja Sesat cuma bergumam tak jelas. Sombong sekali
sikapnya. Malah, seolah tidak mendengar perkataan
Pendekar Naga Putih, tatapannya segera dialihkan ke arah
Maliani, putrinya.
"Kemari kau!" dengan setengah menghardik, Raja
Sesat memanggil Maliani. Ada gambaran ancaman dalam
sorot matanya. Sikap Maliani, yang seperti berpihak kepada
Panji, telah membuat Raja Sesat maklum bahwa rencana
yang disusunnya pasti telah dirusak putrinya.
"Tidak, Ayah," Maliani menggeleng, membuat Raja
Sesat sampai tertegun. Maliani sudah berani membantah
perintahnya. Seperti jelas-jelas hendak menunjukkan bahwa
putrinya itu sudah berpihak kepada Pendekar Naga Putih.
"Hm, rupanya kau sudah termakan hasutan Pendekar
Naga Putih," ujar Raja Sesat seraya mengangguk-anggukkan
kepala. Lalu tatapannya beralih ke Pendekar Naga Putih.
"Apa yang sudah kau lakukan terhadap putriku?"
'Tidak ada," geleng Panji, yang dengan tenang
ditentangnya pandang mata Raja Sesat. "Putrimu telah sadar
akan kesesatannya selama ini. Dan kesadaran itu tidak bisa
dipaksakan, sebab akan percuma. Lain halnya jika datang
dari hati sendiri," lanjut Panji yang disambut Raja Sesat
dengan dengusan kasar.

"Hm..., kalau begitu, kau dan gadis itu menyingkirlah.
Biar kuselesaikan dulu urusan antari ayah dan anak," kata
Raja Sesat dengan suara geram. Setelah berkata demikian,
Raja Sesat mengayun langkah menghampiri Maliani.
"Tidak bisa. Raja Sesat!" ujar Panji sambil melangkah
maju untuk mencegah tindakan Raja Sesat. "Aku tidak akan
membiarkan kejahatan berlangsung di depan mataku, apa
pun alasannya!"
Begitu lantang dan tegas kata-kata yang diucapkan
Panji, hingga membuat Raja Sesat menunda langkahnya.
Raja Sesat menggeram marah. Namun, darahnya menjadi
berdesir, mengalir lebih cepat sewaktu dilihatnya betapa
sepasang mata Pendekar Naga Putih menyorot tajam dan
berkilat-kilat. Raja Sesat segera mendesah untuk menekan
debaran di dadanya.
"Aku pun tidak akan membiarkan kau mencelakai
Maliani, kendati dia adalah anakmu sendiri!" yang berkata
adalah Suranli. Dan gadis ini melangkah maju, siap untuk
melindungi Maliani.
"Aku juga tidak akan pasrah begitu saja," Maliani juga
menentang ayahnya. "Ini bukan lagi persoalan ayah dan
anak, tapi antara kebaikan dan kejahatan!"
Raja Sesat tambah terperanjat saja. Dan sorot
matanya yang semula garang, tampak mulai meredup. Dan
Raja Sesat tidak berhasil menutupi rasa jerihnya. Terhadap
Pendekar Naga Putih saja sebenarnya Raja Sesat sudah
merasa jerih. Dan itu bukan tanpa alasan kuat. Raja Sesat
mendengar bahwa Pendekar Naga Putih telah merobohkan
beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian lebih
tinggi darinya. Kabar itu bukanlah isapan jempol belaka.
Bukan kabar burung. Karena Raja Sesat sudah mengirimkan
kaki-tangannya untuk menyelidiki kebenaran berita itu. Dan
tokoh-tokoh sesat itu ternyata memang telah tewas di tangan
Pendekar Naga Putih. Dan kalau menghadapi Pendekar Naga
Putih saja ia sudah merasa ragu untuk bisa menang, apalagi
jika ditambah dengan putri Ki Arja Wlguna dan Maliani,
putrinya sendiri. Dan lagi, sebenarnya ia sangat menyayangi
putrinya. Lalu, apa artinya hidupnya jika putrinya yang cuma
semata wayang itu tak lagi mau dekat dengannya?

"Sudahlah," desah Raja Sesat seraya menepiskan
tangannya di udara. "Mari kita pulang, Maliani, " lanjutnya
seraya menatap putrinya dengan bibir tersenyum.
"Tidak, sebelum Ayah berjanji akan memenuhi
permintaan Pendekar Naga Putih," kata Malinai sambil
menentang pandang mata ayahnya.
Raja Sesat tertegun untuk beberapa saat lamanya.
Lalu terdengar helaan napasnya sebagai tanda bahwa ia
menyerah Dan Raja Sesat mengangguk lemah.
"Apa yang kupinta tidaklah berat bagimu, Raja Sesat,"
kata Panji. "Kuharap kau mau membebaskan pujangga-
pujangga yang kau culik."
"Sebenarnya semua itu bukanlah sepenuhnya atas
keinginanku. Tapi, karena Malintang berjanji akan
memperbolehkan aku untuk ikut mempelajari ilmu-ilmu
dalam kitab apabila aku mau menyediakan penterjemahnya,"
kata Raja Sesat seolah hendak mengatakan bahwa ia tidak
bersalah dalam hal itu.
"Sekarang Malintang sudah binasa. Kelihatannya kau
tidak keberatan untuk melepaskan pan sastrawan yang kau
culik, termasuk kitab-kitab hasil curian Malintang," kata
Panji lagi, yang didukung oleh Maliani.
Raja Sesat menghela napas berulang-ulang. "Baiklah,
baiklah. Tapi aku tidak menyimpan kitab-kitab milik Ki Arja
Wiguna," katanya menyerah, karena ia tidak ingin kehilangan
putrinya.
"Aku tahu di mana Malintang menyimpannya," kata
Maliani seraya menoleh kepada Suranti. "Akan kuantarkan
kau untuk mengambilnya, Suranti. Tidak jauh dari sini ada
sebuah gubuk. Dan kitab-kitab itu disembunyikan Malintang
di tanah tepat di bawah dipan bambu." Maliani berhenti
sesaat, menatap ayahnya dan berkata, "Ayah aku pergi dulu
untuk mengantarkan Suranti!"
Dan tanpa menunggu lagi, Maliani langsung menarik
lengan Suranti. Raja Sesat cuma bisa menggeleng-gelengkan
kepalanya. Luar biasa sekali putrinya itu. Baru saja tadi
bersikap memusuhinya, tapi dalam sekejap sudah berubah
lagi.
"Ayo, ikut aku, Pendekar Naga Putih. Bocah bengal itu
pasti akan menyusul," ajak Raja Sesat seolah tidak
menyimpan perasaan apa-apa kepada Pendekar Naga Putih.

Panji mengangguk. Lalu mengikuti langkah Raja
Sesat, ia sendiri tidak menyimpan perasaan apa-apa, karena
memang tidak ada permusuhan pribadi di antara mereka.
Dan pada dasarnya Panji tidak membenci dan memusuhi
orang-orang golongan sesat, tapi golongan mana pun jika
melakukan kejahatan tetap akan ditentangnya. Karena tugas
yang diberikan mendiang Eyang Tirta Yasa adalah mene-
gakkan keadilan dan menentang perbuatan-perbuatan jahat.
Siapa pun pelakunya. Jadi, bukan orangnya yang dimusuhi
dan harus ditumpas, melainkan perbuatannya.




                              SELESAI


Share:

0 comments:

Posting Komentar