Pangeran Suprana yang lebih dikenal
dengan julukan Kumbang Pemikat atau Iblis
Peruntuh Mahkota tampak mondar-mandir
di depan belasan gadis cantik berpakaian
transparan. Wajahnya yang tampan melebihi
ketampanan pemuda-pemuda sejagad itu
kelihatan murung. Sementara malam sudah
menunjukkan pukul dua dinihari. Kegelapan
menyelimuti istana Pasundan yang terletak
di sebuah lembah yang sangat subur. Di
lembah Kahuripan itulah istana Pasundan
berdiri dengan megahnya.
Dulunya kerajaan Pasundan diperintah
oleh raja Jasa Raga Namun sejak sang
raja mangkat secara aneh dan misterius.
Maka kedudukan raja digantikan oleh putra
mahkotanya yang bernama Demak Pati.
Waktu itu pangeran Suprana yang hanya
merupakan putera selir raja tiba-tiba saja
hilang raib dari istana setelah dua hari
kemangkatan raja Jasa Raga. Sebagai putera
mahkota yang terlahir dari permaisuri Diah
Mustika, sesungguhnya Pangeran Demak
Pati tidak suka menggantikan posisi ayahnya.
Pangeran yang lucu ini suka berkelana
menuntut ilmu sejak usia belasan tahun.
Ia sering bergaul dengan rakyat jelata.
Tidak segan-segan ia sering menyamar
sebagai seorang pengembara hanya karena
ingin menyelami kehidupan rakyat jelata.
Tidak heran jika seluruh rakyat negeri
kerajaan Pasundan cinta kepada Pangeran
yang kocak ini. Sejak ayahandanya mangkat,
praktis Pangeran Demak tidak dapat pergi
ke mana-mana. Roda pemerintahan telah
memaksanya untuk berpikir keras demi
masa depan kerajaan dan seluruh rakyat
negeri. Karena hanya dialah putra mahkota
satu-satunya. Sedangkan saudara lainnya
dari permaisuri hanya puteri Saba. Yaitu
gadis cantik berperangai lembut dan tidak
memiliki ilmu silat sama sekali.
Demikianlah Pangeran Demak Pati
memerintah kerajaan Pasundan dalam jangka
waktu lebih kurang lima tahun. Ketika
Pangeran Suprana kembali lagi ke istana
setelah lima tahun menghilang tidak tentu
rimbanya. Putera selir raja ini secara
diam-diam meracuni permaisuri yang sesung-
guhnya sangat berperan dalam menunjang
berlangsungnya roda pemerintahan.
Kemudian orang-orang penting istana juga
ditemukan meninggal secara misterius.
Termasuk Patih Gala Menda, Penasehat
kerajaan Para Seta dan juga panglima Ganda
Permana.
Tidak lama setelah itu Pangeran Suprana
melakukan pemberontakan. Putera selir ini
ternyata memenangkan pertarungan,
Pangeran Demak Pati dengan membawa luka-
lukanya melarikan diri bersama puteri Saba
berikut beberapa orang pengikut yang sangat
setia kepadanya. Sekarang kejadian itu
sudah berlangsung sepuluh tahun lebih.
Sungguh pun begitu Pangeran Suprana tetap
merasa khawatir tentang keamanan
kerajaan. Apalagi hingga saat itu Pangeran
Demak dan putri Saba masih belum dapat
ditangkap. Bahkan tempat persembunyiannya
tidak seorang pun yang tahu. Selama
sepuluh tahun Pangeran yang telah berubah
sakti ini memimpin kerajaan. Selama itu pula
kehidupan rakyat dalam keadaan makmur
dan tenteram. Hal ini memang sengaja
dijaga oleh Kumbang Pemikat untuk menarik
simpati rakyat atas pemerintahannya. Cuma
kebiasaannya yang sangat menjengkelkan
adalah, Pangeran mata keranjang itu gemar
mengumpulkan gadis-gadis cantik untuk
dijadikan tempat pelampiasan nafsu.
Pangeran yang haus kekuasaan, haus
kehangatan tubuh perempuan ini kemudian
bahkan merubah nama istana Pasundan
dengan nama Kerajaan Sorga Dunia. Ia
memperTuhankan dirinya sendiri di depan
wanita-wanita cantik yang memberikan
kehangatan tubuhnya pada Pangeran terku-
tuk ini. Malam ini setelah sepuluh tahun,
sebulan, sepuluh hari kegelisahan di hati
Pangeran Suprana semakin menjadi-jadi. Apa
yang menjadi pangkal kegelisahannya itu
tidak lain karena Pangeran mendengar suara
burung Bence (Burung malam yang meng-
isyaratkan adanya tanda-tanda yang tidak
baik). Lalu pemuda berumur sekitar tiga
puluh tahun ini teringat pada pesan gurunya
yang sakti mandraguna dari tanah Andalas.
Dia adalah Dewa Kubu tokoh legenda yang
dikabarkan telah raib dari dunia persilatan.
Tokoh dari Indera Giri Hilir ini pernah
berpesan padanya ketika Pangeran Suprana
meninggalkan tempat tinggal gurunya....
"Pangeran mata keranjang. Niatmu untuk
menguasai kerajaan Pasundan pasti dapat
kukabulkan. Kesaktian yang kuturunkan
padamu setara dengan tokoh-tokoh rimba
persilatan merupakan modal utama untuk
mencapai cita-citamu. Aku Dewa Kubu,
adalah satu diantara dua tokoh paling sakti
di tanah Andalas ini. Aku berada di
belakangmu. Tapi ingat jangan kau bertin-
dak semena-mena terhadap rakyat kecil.
Jika kau menjadi raja, makmurkan hidup
mereka. Mengenai tingkahmu terhadap
perempuan aku tidak ambil perduli. Karena
perempuan itu bisa menjadi tongkat dan
bisa pula menjadi ular dalam kehidupan
setiap laki-laki. Daripada kau dihancurkan,
lebih baik kau menghancurkan mereka. Satu
hal yang harus kau ingat, bila suatu masa
kau mendengar suara burung malam. Itu
merupakan suatu tanda bahwa kau harus
meningkatkan kewaspadaanmu."
"Gila! Aku lupa bertanya pada guru,
pertanda apa semua ini?" desis Kumbang
Pemikat semakin gelisah. Dari ruangan
pribadinya, Pangeran Suprana ini langsung
menuju keluar istana. Suasana di luar sangat
sepi, walaupun puluhan prajurit tampak
terus berjaga-jaga. Sedangkan sampai saat
itu suara-suara burung malam terus terde-
ngar tiada henti-hentinya.
"Esok, pagi-pagi sekali aku harus
menjumpai pimpinan bala tentara untuk
tetap bersiap siaga!" batin Iblis Peruntuh
Mahkota.
Lorong di bawah tanah yang terdapat
di daerah Ciujung di pagi hari itu kelihatan
sunyi. Tidak sebagaimana hari-hari biasanya,
setiap pagi selalu terdengar suara teriakan
dari seorang pemuda dan seorang gadis yang
sedang berlatih silat. Sudah bertahun-tahun
pemuda dan gadis itu dengan ditemani oleh
beberapa laki-laki tua berada di sana.
Kepandaian serta kesaktian yang mereka
miliki pun semakin bertambah pesat. Maklum
guru mereka adalah seorang tokoh kosen
berwatak aneh yang dikenal dengan julukan
Setan Terompet.
Di dalam lorong bawah tanah pelita
minyak sudah hampir padam. Sementara
itu tiga laki-laki tua berpakaian usang
tampak sedang menyediakan makanan untuk
pemuda berbadan kurus itu dan juga buat
gadis cantik berambut panjang sepinggang.
"Rasanya sudah satu abad kita berada
di sini. Padahal kita terpaksa mengungsi
di sini baru sepuluh tahun!" berkata pemuda
itu pada gadis di depannya.
"Kanda, sepuluh tahun adalah waktu
yang lama, mengapa Kanda mengatakan
'baru'?" sergah gadis berwajah oval dengan
bibir cemberut. Terkadang ia memang merasa
kesal pada pemuda di depannya. Karena
pemuda yang sesungguhnya putera mahkota
kerajaan Pasundan ini seakan tidak pernah
serius dalam menghadapi persoalan penting
yang harus mereka selesaikan.
"Sepuluh tahun tidak lama, Dinda.
Bagaimana kalau kita tetap berada di sini
sampai seumur hidup kita?"
"Sebagai adikmu, aku tidak menyukai
kebodohan sekaligus kepasrahanmu. Kerajaan
harus kita selamatkan. Kudengar Pangeran
Suprana sekarang sudah merubah nama
kerajaan Pasundan menjadi kerajaan 'Sorga
Dunia'. Apa ini tidak kau anggap gila, tidak
keterlaluan! Lebih celaka lagi dia mengaku
dirinya Tuhan!" ucap si gadis yang tidak
lain adalah puteri Saba serius. Pangeran
kurus menggelengkan kepalanya, sekali ke
kanan, sekali ke kiri.
"Sekarang memang sudah banyak orang
gila. Gila memang gila! Apa yang dia
katakan Sorga Dunia itu, paling urusannya
pelampiasan nafsu rendah selera setan. Apa
betul di dunia ada sorga? Omong kosong,
perempuan dengan laki-laki berbuat mesum
kok dikatakan sorga. Kalau Pangeran gila
itu mengaku dirinya Tuhan, bisa berbuat
apa sih dia? Menciptakan bayi? Huh...."
Pangeran Demak gelengkan kepala, sekali
ke kanan, sekali lagi ke kiri. Wajahnya
tidak memperlihatkan ekspresi apa-apa. "Bayi
itu yang menciptakan Gusti Allah. Ibu dan
bapaknya cuma berpartisipasi saja, kerjasama
yang bagus itu cuma menghasilkan air.
Pangeran bangsat itu orang gila yang dikutuk
Tuhan. Menciptakan sayap nyamuk saja dia
tidak becus! Nyawa sendiri bahkan dia tidak
bisa menjamin. Bagaimana dia mengaku-
ngaku?"
"Kanda seriuslah bicara. Kita tidak
mungkin mendekam di sini terus. Kerajaan
harus diselamatkan dari kemaksiatan. Kita
juga harus menyelidiki siapa yang meracuni
ayahanda Prabu, bunda kita dan juga
pembesar-pembesar yang setia pada Prabu!"
desis puteri Saba semakin tidak sabar.
'"Ha ha ha...! Mengapa kau begitu
khawatir Dindaku yang cantik. Pagi ini
guru akan menjumpai kita. Kita tunggu
kabar apa yang dibawa oleh Aki Braja.
Aku pun sebenarnya sudah tidak sabar
menghirup udara luar yang bebas dari debu.
Dan lagi kau tidak usah khawatir tentang
kerajaan. Mahkota tidak ada pada Pangeran
gila itu. Pula pedang Penyebar Bencana
sejak ayahanda Prabu mangkat tidak tahu
berada di mana. Mahkota kebesaran kerajaan
kita punya. Untuk menegakkan kerajaan
agar kembali pada kita. Satu-satunya cara
kita cari dulu Pedang Penebar Bencana.
Pangeran Suprana sakti luar biasa, entah
siapa gurunya. Kita harus memperhitungkan
kekuatan kita sendiri!" tegas Pangeran
Demak Pati.
Suasana kemudian semakin bertambah
hening. Pangeran terdiam, demikian juga
dengan puteri Saba. Keheningan itu tiba-tiba
saja disentakkan oleh suara bunyi trompet
yang sedemikian keras seakan merobek
gendang-gendang telinga juga memecahkan
sel-sel otak.
Tet! Tet! Tet! Tot! Tet! Tet! Tot!
Dinding lorong tergetar hebat. Debu
beterbangan, angin topan berhembus. Pange-
ran Demak dan puteri Saba yang sudah
memiliki tenaga dalam tinggi saja terpaksa
tutup kedua telinganya. Apalagi para
pengasuhnya yang dulu merupakan orang-
orang dari ksatriaan istana. Mereka yang
memiliki kepandaian serta tingkat tenaga
cukup tinggi ini pun terpaksa tutup kedua
telinga pula.
"Anak-anak yang malang! Murid-muridku
yang sengsara! Aku datang, datang untuk
mengucapkan salam perpisahan. Setelah
kalian bertahun-tahun berada di pengasingan
Ciujung ini!" kata sebuah suara di tengah-
tengah hembusan angin yang membadai.
Setelah hembusan badai topan mereda.
Maka muncullah sesosok tubuh kurus kering.
Kulitnya keriputan, sekujur tubuhnya nyaris
tidak berdaging. Pipinya yang juga keriput
tampak menggembung menyimpan udara.
Rasanya keadaan kakek ini tidak beda
dengan jerangkong. Rasanya jika anggota
tubuh si kakek dipisah-pisahkan, tulang
sama kentutnya saja yang lebih banyak,
sedangkan dagingnya sangat sedikit sekali.
Di dekat bibir si kakek terdapat lubang
trompet, melingkar menyerupai pipa yang
berkelok-kelok. Sedangkan di punggungnya
bagian ujung trompet berukuran besar
berwarna putih terbuat dari perak.
Laki-laki berbaju selempang ini kemudian
duduk di depan Pangeran Demak Pati dan
adiknya. Setelah memandang beberapa saat
lamanya, maka orang tua berambut putih
dan cuma beberapa helai ini berkata....
"Waktu bagimu sudah tiba, Pangeran
Demak Pati. Kau Pangeran yang teledor
dengan kedudukan, dengan kerajaan. Kau
adalah manusia yang tidak perduli dengan
hari esok, lusa dan masa yang akan datang.
Kau Pangeran masa bodoh, tidak mau tahu
dengan tahta, harta benda dan wanita.
Ragamu berada di bumi, tapi jiwa, hati dan
pikiranmu berada di langit. Kau seorang
Pangeran, tapi tidak patut menjadi penerus
kerajaan, karena jiwamu pengembara. Sepu-
luh tahun yang lalu kau gagal mempertahan
kan kerajaan Pasundan. Bahkan kau morat-
marit, tunggang-langgang, terbirit-birit,
kocar-kacir melarikan diri. Jika kau kembali
merampas hakmu, maka jangan kau sebut
dirimu Pangeran, gelar harus di copot dan
diganti dengan julukan. Julukan bagus
bagimu tidak ada dan tidak pula sanggup
aku memberikannya. Kau hanya pantas
menyandang julukan Pendekar Kucar Kacir.
Ingat-ingatlah, Kucar Kacir...!" Suara trompet
kembali menggema. Hingga membuat Pange-
ran Demak Pati yang baru saja hendak
bicara terpaksa telan ucapan dan tutup
kuping rapat-rapat.
"Guru sedeng ini hanya membuat
telingaku congekan dengan trompet setan-
nya!" rnaki Pangeran Demak dalam hati.
"Kau mengerti apa yang kuucapkan ini,
Pangeran Demak?" sentak Setan Terompet.
"Mengerti Guru!"
"Apa yang kau mengerti anak manusia
yang tidak pernah mau tahu?"
"Gelar Pangeranku telah kau copot, aku
sekarang diharuskan memakai julukan Pen-
dekar Kucar Kacir. Padahal aku tidak mau,
dengan memakai julukan itu kau sama saja
seperti menyindirku. Aku jadi heran, aku
yang sudah sakit ingatan atau Guru yang
sudah menderita penyakit gila?" dengus
Pangeran Demak cemberut.
"Murid sedeng! Berani sekali kau
menghina guru sendiri. Terus terang jika
kerajaan di suatu waktu nanti dapat kau
rampas kembali, bukan manusia bertampang
sepertimu ini yang menduduki tahta. Tetapi
adikmu puteri Saba inilah yang pantas
memimpin kerajaan Pasundan!" tegas Setan
Terompet.
"Ha ha ha...! Guru... Guru... memang
siapa yang akan memimpin kerajaan aku
pikiri. Bagiku asal sudah dapat mengungkap
kematian ayah bunda dan mencari Pedang
Penyebar Bencana simbol kerajaan saja sudah
sukur. Mahkota sudah kubawa. Nah sekarang
mahkota ini ada padaku, apakah kau mau
memakainya? Aku bisa menobatkanmu men-
jadi raja. Tentu saja gelarmu menjadi Setan
Terompet raja kurus kering kurang makan!"
"Anak setan kapiran. Jangan kau berani
mengejekku. Aku bicara sungguh-sungguh.
Untuk sementara mahkota kerajaan harus
kubawa demi keselamatannya. Kalian boleh
mencari pedang Penyebar Bencana. Pusaka
kramat Mahasakti yang cahayanya saja dapat
membuat manusia menjadi debu itu. Selama
pedang itu tidak kalian temukan, maka
selama itu pula arwah Prabu Jasa Raga
tidak mengijinkan siapa pun di antara kalian
menduduki tahta. Pedang itu adalah lambang
pemersatu kerajaan. Ayahanda kalian me-
nyimpannya di suatu tempat rahasia, tentu
karena sudah mencium gelagat yang tidak
baik dari Pangeran Suprana!"
"Kemana harus kami cari pedang itu.
Tempat penyimpanannya saja tidak kami
tahu. Jika Guru tahu mengapa tidak
tunjukkan pada kami!" protes Pangeran
Demak Pati.
"Goblok! Aku sendiri tidak tahu dimana
almarhum ayahandamu menyimpan pedang
itu. Tapi kurasa ia menyembunyikannya di
tempat yang sering dikunjunginya. Nah...
untuk itu kalian harus menyamar sebaik
mungkin agar usaha kalian untuk menemu-
kan pusaka pemersatu itu lancar. Ingat
kurasa dengan menyaru sebagai rombongan
kaum pengemis usaha kalian akan berhasil!
Saat ini janganlah berharap bantuan siapa
pun. Karena baik aku atau pun kalian
sama-sama sudah tidak tahu lagi mana
kawan dan mana lawan. Sekarang mahkota
itu serahkan padaku. Kelak aku akan
mengembalikannya pada puteri Saba!"
Pangeran Demak Pati tanpa bicara
apa-apa lagi langsung mengulurkan tangan-
nya yang memegang bungkusan berisi
mahkota salah satu lambang kerajaan.
"Kurasa bekal ilmu serta kepandaian
yang kuberikan pada kalian berdua telah
cukup. Sekarang terimalah senjata ini!" kata
Setan Terompet sambil memberikan dua
potong kayu seukuran satu meter. Melihat
ini Pangeran Demak pelototkan mata hendak
marah. Sedangkan puteri Saba hanya diam,
namun keningnya mengerut.
"Guru! Aku tahu kegilaanmu. Tapi kuharap
kau jangan bercanda dan menghina dalam
waktu sekarang ini!" protes si pemuda kurus.
"Setan betul! Terima saja, mengapa harus
membantahku?!"
"Sepotong kayu butut begini? Aku sendiri
bisa mencari beratus-ratus potong di depan
terowongan ini!"
"Diam! Edan kowe!" maki Setan Terompet
dengan mata mendelik.
"Bagaimana aku bisa diam. Guru
menghina aku dan adikku!"
"Pangeran edan. Setan sontoloyo. Nanti
jika kau sudah berhadapan dengan musuh
dan kau keluarkan tenaga dalam. Kau
segera tahu rahasia apa yang terkandung
di balik sepotong kayu butut yang kau caci
maki itu. Sekarang terima saja sambil
berharap moga sepotong kayu butut itu
tidak berubah menjadi seekor ular yang
mematukmu!"
"Baiklah. Guruku Setan Terompet! Jika
berbantahan terus denganmu, berarti aku
bisa ketularan penyakit gilamu. Lalu apalagi
yang harus kami perbuat?"
Tet! Tet! Tet!
Terompet kembali berbunyi sebelum
Setan Terompet lanjutkan ucapannya
kembali.
"Aku berharap semoga kau dapat
melindungi orang-orang yang menyertaimu
dan selalu setia padamu ini. Terlebih-lebih
jagalah keselamatan puteri Saba. Sebab
bagaimana pun kesaktiannya masih berada
jauh di bawahmu! Aku sayang kepadanya
sebagaimana rasa sayangku pada seorang
cucu. Jika nanti kau tidak becus menjaganya.
Aku tidak segan-segan membunuhmu, me-
ngertikah Pendekar Kucar Kacir?"
"Gelar jelek itu lagi yang kau sebut?
Tidak usah kau peringatkan tentu aku akan
menjaganya. Dia adikku satu-satunya!" sahut
Pangeran Demak Pati.
"Bagus! Aku gembira mendengarnya.
Sekarang tukarlah pakaian kalian dengan
pakaian yang lebih buruk lagi, sehingga
kalian benar-benar mirip dengan seorang
pengemis?!"
"Pakaian yang kami pakai saja sudah
jelek, Guru. Apakah kami harus memakai
pakaian sobek-sobek hingga dada adikku dan
burungku kelihatan orang?" Pangeran Demak
bersungut-sungut.
"Diam, gila betul! Kau selalu membantah
setiap kata-kataku!" damprat Setan Terom-
pet. Pangeran Demak Pati langsung katupkan
bibirnya. Selagi ia hendak bicara, maka
kakek bertubuh kurus kering di depannya
telah lenyap dari pandangan mereka. Lebih
kurang setengah jam kemudian maka
terlihatlah sekelompok rombongan pengemis
berpakaian lusuh berwajah kotor meninggal-
kan terowongan lembah Ciujung.
"Auuuh... siang-siang begini, panas terik,
enaknya minum air kelapa muda. Mana
ada kelapa di tepian hutan begini!" kata
pemuda berbaju biru sambil menggaruk
rambutnya tiada henti. Kemudian ia mere-
bahkan tubuhnya yang letih di bawah
sebatang pohon rindang berdaun lebat.
Memandang ke ranting pohon yang terlihat
olehnya dua ekor burung Kapodang berbulu
kuning sedang bercumbu. Pemuda berambut
hitam kemerahan nyengir, lalu menggaruk
kepalanya.
"Hei burung. Kalian lagi pacaran ya?
Enak jadi burung main semplak saja. Tidak
perduli emaknya sendiri, adik sendiri atau
saudara sendiri. Tapi... banyak juga kok
manusia di akhir jaman ini berbuat dan
mempunyai prilaku seperti binatang. Padahal
jadi manusia itu berat tanggung jawabnya.
Salah melangkah menyesal sampai ubanan,
sampai ke liang kubur malah. Ada
kakek sudah bau tanah mipisi gadis ingusan
Masa bodo'! Ha ha ha...!" Sikonyol tiba-tiba
tertawa.
Crot!
Plok!
"Ait, apa ini anget-anget?!" Suro Blondo
murid Penghulu Siluman Kera Putih dan
Malaikat Berambut Api seka keningnya yang
tertimpa cairan hangat dan lembek. Setelah
dapat diendus-endusnya. "Edan, burung
goblok, tidak tahu sopan santun, berak
seenaknya. Dasar binatang, otak tidak
dipakai!" maki Suro sambil mencak-mencak
seperti seekor monyet yang kebakaran
ekornya.
Pemuda itu tiba-tiba saja mengambil
batu kecil dan menyambitkannya ke arah
burung tadi. Namun belum sempat batu
mengenai sasaran, burung sudah terbang,
berputar-putar di atas kepala Suro, lalu
terdengar suara crot lagi untuk yang kedua
kalinya. Barulah setelah itu burung Kapodang
benar-benar telah terbang menjauh.
"Bangsat! Edan betul! Itu binatang tidak
pernah diajar adat oleh nenek moyangnya.
Gila...!" maki Suro dengan mulut termonyong-
monyong. Suro kepalkan tinjunya dan ia
acungkan ke udara. Mana kedua burung
tadi perduli, mereka terus ngibrit untuk
kemudian hilang dari pandangan mata.
Dengan perasaan kesal Suro merebahkan
tubuhnya lagi, teringat pada burung tadi.
Ia langsung teringat pada Puteri Kilat
Bayangan. Gadis bermata indah seperti
bintang kejora, berwajah cantik bagai
bidadari.
"Okh... oh...! Andai saja aku dapat gadis
secantik dia. Betapa dunia yang gersang
ini menjadi indah dan jadi milikku, orang
lain termasuk raja terhitung numpang.
Hatiku tidak pernah bergetar seperti ini!
Memandang pada puteri Kilat aku merasa
seperti sedang menelan tulang kaki ayam.
Bagaimana gitu, serba salah. Matanya
mengandung magnet. Senyumnya membuat
aku langsung klepek-klepek seperti ayam
disembelih! Walah... kapan aku dapat bersua
dengan gadis secantik dia. Gadis yang bukan
saja meruntuhkan hati dan jantungku. Tapi
juga membuat runtuh atap rumah tetangga!
Ha ha ha...!'* Suro tergelak-gelak. Sehingga
tanpa disadarinya sejak tadi ada sepasang
mata yang terus mengawasi tingkahnya.
Namun ada yang terasa aneh pada diri
orang ini. Ia tampak selalu menahan sesuatu
yang hampir tidak dapat di tahannya.
Sedangkan matanya hampir terpejam-pejam.
Sampai kemudian....
"Hasyiih... hes...!"
Suara bersin pun terdengar. Bukan hanya
suara bersin biasa, suaranya membuat
pendekar Blo'on jatuh terguling-guling tung-
gang langgang. Telinga pemuda berikat
kepala biru belang-belang kuning ini mende-
nyut sakit. Dengan wajah pucat Suro bangkit
berdiri. Memandang ke arah datangnya
suara. Ia melihat seorang kakek tua ompong
berambut kelabu berjenggot panjang seperti
kambing telah berdiri tegak di situ.
Kakek tua tersebut menutup hidung dan
mulutnya. Agaknya ia hendak bersin lagi.
Suro garuk-garuk kepala, rasa heran sekali-
gus takjub membuat matanya terus melotot.
"Has... has... hasyiih...!"
Si kakek bersin lagi. Suro merasakan
kepalanya mendenyut sakit. Ia geleng-
gelengkan kepala untuk menghilangkan rasa
nyeri yang menyerang telinganya.
"Orang tua aneh! Hosyah-hasyih. Apakah
Anda menderita sakit pilek, plu demam dan
sakit kepala? Siapakah situ, rasanya aku
belum pernah berjumpa dengan orang
sepertimu?!" ujar Suro mencoba bersikap
ramah. Si kakek tiba-tiba saja pegangi
perutnya, kemudian terdengar suara tawanya
yang serak seperti cicak kcjepit jendela.
"Ha ha ha! Kau boleh ingusan. Kalau
kau mau tahu aku ini yang dijuluki Ki
Bersin, namaku Sapta Dewa. Kau sendiri
siapa?"
Suro menjura hormat, melangkah ke
depan lalu salaman. Sungguh tindak tanduk-
nya membuat Sapta Dewa menjadi geli.
Sehingga ia bersin lagi. Gantian Suro yang
jantungan dan kaget melulu.
"Aku Suro Blondo, Ki. Tapi kuharap
kau tidak bersin melulu. Aku bisa kaget
terus dan mati berdiri karena suara bersinmu
itu. Sebenarnya Anda hendak kemana?"
"Hes...! Bersin hampir bersin lagi. Buru-
buru ia tutup mulutnya. Lalu tawanya
meledak. Jenggot kambingnya tergoncang-
goncang sedangkan tubuhnya bergetar. "Aku
datang dari seberang, daerah Kutai asalku.
Aku merindukan seorang saudara yang sudah
lama meninggalkan tanah kelahiran dan
merantau di daerah orang Jawa. Aku ingin
mengajaknya pulang. Apakah kau pernah
bertemu dengannya?"
"Siapa saudaramu itu, Ki? Perempuan atau
laki-laki, sudah tua apa masih muda?" tanya
Suro serius.
"Saudaraku? Ha ha ha...! Barangnya
seperti barangmu, sudah tua, keriputan
kurus dan seperti nggak pernah makan.
Namanya Ki Braja, dia dikenal dengan
julukan Setan Terompet!" jelas Sapta Dewa.
"Walah julukannya jelek amat. Maaf Ki
aku sama sekali tidak pernah bertemu
dengannya. Mendengar julukannya saja baru
kali ini."
Kakek tua itu terdiam. Lalu ia bersin
lagi, namun kali ini suaranya pelan hingga
tidak membuat Suro kalang kabut.
"Sayang sekali. Padahal baru sepekan
yang lalu aku menerima kabar bahwa aku
harus menjumpainya. Katanya ada persoalan
besar yang harus diselesaikan bersama
muridnya dan dia minta bantuanku! Setan
Terompet sejak dulu memang sering bikin
aku pusing, was-was dan memperbudak aku.
Karena dia adikku. Maka aku jadi tidak
tega melihat dia dapat masalah." Kata Sapta
Dewa seakan ditujukan pada diri sendiri.
"Siapa nama murid adikmu itu, Ki?"
"Hmm, konon dia seorang putera mahkota
kerajaan Pasundan. Ia terpaksa mengasing-
kan diri bersama adiknya ketika tahta
kerajaan dirampas oleh seorang Pangeran
putera selir raja."
"Sebuah cerita yang sangat menarik.
Aku memang pernah mendengar ada kerajaan
cukup besar bernama Pasundan di Lembah
Kahuripan. Tapi menurut yang kudengar,
kerajaan itu sekarang telah berganti nama
dengan kerajaan Sorga Dunia. Rajanya
mengangkat dirinya sebagai Tuhan! Aku
menganggap ini tindakan orang gila yang
pantas menjadi penghuni di jurang neraka
kelak di hari kiamat! Tetapi kudengar pula,
raja edan itu sangat menghargai kehidupan
rakyatnya. Mengenai yang lain-lainnya aku
belum menyelidik!" tegas Pendekar Blo'on
berterus terang.
Sapta Dewa alias Ki Bersin memandang
tajam pada pemuda di depannya. Setelah
memperhatikan beberapa saat lamanya, maka
ia berseru kaget....
"Astaga?! Mengapa aku tidak perhatikan
sejak tadi. Rambutmu hitam kemerahan
seperti orang bule. Tampangmu... hemm,
cepat kau katakan padaku, siapa dirimu
yang sebenarnya?"
"Sudah kukatakan aku Suro Blondo,
apakah ada yang aneh menurutmu?" tanya
murid Malaikat Berambut Api dan Penghulu
Siluman Kera Putih terheran-heran sendiri.
"Suro...?! Kau bocah yang terlahir pada
malam satu Asyuro dua puluh tahun yang
lalu?" Kini giliran si konyol yang dibuat
kaget.
"Bagaimana Aki bisa mengetahuinya?"
"Berita menggemparkan tentang bocah
ajaib itu sampai juga di daerah kami. Kalau
melihat tampangmu, rasanya aku tidak bisa
menggantung harapan padamu. Mengapa
orang-orang mengatakan kau sebagai bocah
ajaib?"
"Ha ha ha...! Dunia ini penuh dengan
keanehan, Ki. Mengapa kau harus memper-
cayai berita gombal? Tidak ada yang istimewa
pada diriku, dan sebaiknya harapanmu
jangan kau gantungkan padaku." sahut Suro
merendah.
"Dulu mendengar hari kelahiranmu yang
menghebohkan itu aku penasaran Hei
pemuda bertampang tolol. Sekarang aku jadi
penasaran pula dan ingin tahu sampai di
mana kehebatanmu! Hasyiih...!"
"Bah...! Mengapa kau begitu bersemangat
menyerang orang yang tidak punya salah
apa-apa. Aku - tidak mau melayani orang
gila sepertimu!" desis Suro sambil bersungut-
sungut.
"Hasyih! Hasyiiiih...!"
Sapta Dewa bersin lagi. Suaranya keras
menggeledek. Sehingga membuat Pendekar
Blo'on jatuh bangun. Namun dengan cepat
segera bangkit kembali.
Ki Bersin tiba-tiba saja menggerung
keras. Tangannya terjulur dan langsung
memanjang seperti karet. Mencengkeram
leher Pendekar Blo'on dengan lima jari
terkembang. Mana sudi Suro serahkan
lehernya. Sambil menggerutu ia melompat
mundur. Gerakan yang dilakukannya ini
tidak banyak menolongnya, karena tangan
Ki Bersin terus terjulur. Pemuda ini segera
mengambil inisiatip untuk menyerang. Ia
bergerak ke samping, lalu sikunya menepis
disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
Duuk!
"Heh...!"
Suro terhuyung disertai suara pekikan
terkejut. Lengannya memerah dan terasa
sakit mendenyut. Sapta Dewa tersenyum
mengejek. Tangannya bergerak ke samping.
Menyadari tangan lawannya atos laksana
baja. Maka Suro kini segera mengerahkanjurus
'Serigala Melolong Kera Sakti Kibaskan Ekor'.
Detik itu juga terdengar suara lolongan yang
sungguh aneh, terdengar suara ngak ngik
nguk seperti suara monyet. Lalu tubuhnya
berjingkrak-jingkrak, terkadang melompat,
atau berguling-gulingan. Tidak jarang sambil
menghindar ia pun menggaruk bagian-bagian
tubuhnya. Walaupun setiap gerakan yang
dilakukan oleh Suro terkesan seperti gerakan
seekor monyet yang mabuk. Namun hingga
sejauh itu tidak satu pun serangan ganas yang
dilakukan oleh Sapta Dewa mengenai
sasaran.
Ki Bersin kerutkan keningnya. Sungguh
ia telah tertipu mentah-mentah. Sama sekali
ia tidak menyangka pemuda bertampang
ketolol-tololan itu sesungguhnya memiliki
kepandaian yang sangat mengagumkan.
"Hasyiih."
Sapta Dewa bersin lagi. Tentu saja
suaranya sekarang tidak berpengaruh lagi
bagi Suro karena pemuda ini sudah
melindungi diri dengan pengerahan tenaga
dalam tinggi. Ki Bersin tarik tangannya.
Kedua tangan setelah disilangkan lalu
melambai-lambai. Angin menderu hingga
membuat si pemuda terhuyung ke belakang.
"Edan! Apalagi yang hendak dilakukan
oleh tua bangka ini?" batin Suro dalam
hati.
"Heaa...!"
Ki Bersin tiba-tiba mengadu telapak
tangan satu dengan yang lainnya. Sekejab
saja kedua tangannya kemudian berubah
merah laksana bara. Dari telapak tangan
itu memancar cahaya gemerlapan bagaikan
sinar bintang. Lima sinar meluncur deras
ke arah Suro. Pemuda ini pencongkan
mulutnya, lalu secepat kilat ia melesat ke
udara. Sinar merah itu luput dari sasaran
dan menghantam pohon besar di
belakangnya.
pohon langsung berlubang meninggalkan
warna hitam. Kemudian hanya dalam waktu
sekejab daun-daun pohon berwarna hitam
pula dan berguguran. Suro leletkan lidah.
Hatinya memaki. "Setan betul manusia
rongsokan berjanggut mbek ini! Dia punya
pukulan beracun yang agaknya sengaja
dipergunakan untuk membunuhku! Awas!
Kalau aku sampai cedera apalagi sampai
kelenger dia akan kubuat malu pulang pergi!"
Sebaliknya Ki Bersin yang melihat lawan
dapat menghindari pukulan 'Merobek Raga
Meruntuhkan Sukma' ini terperanjat sekali.
Diam-diam ia membatin "Pemuda rambut
jagung ini tampangnya saja yang geblek.
Siapa sangka dia punya kesaktian terendam.
Aku rasa belum puas kalau bilum membuat-
nya semakin bertambah konyol. Coba kulepas-
kan pukulan sekali lagi apa yang dapat
diperbuatnya!"
"Anak setan! Lihat...!" seru Ki Bersin.
Seraya hantamkan kembali tangannya ke
depan.
"Bayi bangkotan tidak bergigi! Mampus!"
Suro berteriak tidak kalah kerasnya. Rupa-
nya pemuda ini dibuat kesal melihat ulah
si kakek yang bukan saja berniat mengujinya,
namun nekad membunuhnya.
Melihat sinar merah meluncur deras ke
arahnya, Suro dorongkan kedua tangannya
menyambut sinar merah tersebut. Sinar
putih menderu Pendekar Bloon telah
lepaskan pukulan 'Kera Sakti Menolak Petir'.
Maka terjadilah suara ledakan keras. Kaki
Suro amblas ke dalam tanah, Ki Bersin
terhuyung, namun sebentar saja sudah dapat
menguasai dirinya lagi. Sapta Dewa meme-
gangi dadanya yang sesak.
"Boleh juga kau pemuda gendeng!" maki
Ki Bersin.
Setelah puas melepaskan pukulan, namun
tidak menghasilkan apa-apa. Maka kini Ki
Bersin menyerang lagi dengan jurus-jurus
tangan kosongnya yang ampuh.
Suro geram bukan main, mulutnya
termonyong-monyong. Ketika tinju lawannya
menderu menghantam rahang Suro. Pemuda
ini merijerit, bukan kena dipukul, melainkan
disaat itu Suro telah mempergunakan jurus
Tawa Kera Siluman. Si kakek berambut
kelabu bersurut mundur, ia gelengkan kepala
seakan tidak percaya melihat tubuh lawannya
berkelebat mengitari dirinya. Hebatnya lagi
tidak satu pun serangan yang dilancarkan
Ki Bersin mengenai sasaran. Pemuda itu
menjerit-jerit, semakin lama berubah menjadi
tawa menggeledek yang membuat
konsentrasi
lawannya jadi terganggu.
"Hasyih...! Hesss!"
Sapta Dewa bersin. Dalam suaranya
terkandung tenaga dalam tinggi. Lalu kakek
berjenggot kambing ini tiba-tiba bersalto
dengan gerakan setengah berputar. Murid
Penghulu Siluman Kera Putih ini sama
sekali tidak menyangka serangan mendadak
dan sulit ditebak ini. Sehingga sungguh pun
ia berusaha menghindar. Kaki lawannya
menghantam dada Suro.
Diekh...!
Braak!
Pendekar Mandau Jantan jatuh terguling-
guling. Ada darah yang menetes dari
sudut-sudut bibirnya. Ki Bersin terus
mencecarnya dengan serangkaian tendangan
beruntun.
"Ki Bersin manusia gila. Apakah kau
hendak membunuhku!" teriak Suro.
"Mana keajaibanmu!" dengus Sapta Dewa
disertai senyum mengejek.
Merasa diremehkan terus menerus maka
Suro kini berbalik arah. Secepat kilat ia
berdiri. Kemudian ia dengan nekad dan
penuh kegusaran langsung menerobos perta-
hanan lawan. Sekali hantaman Ki Bersin
menghantam perut Suro, ternyata Pendekar
Blo'on tidak menghiraukannya. Lalu tangan-
nya bergerak dengan sangat cepat sekali
Brct!
Srosot! Serosot!
"Auh...!. Kurang ajar!" Sapta Dewa sambil
bersin-bersin menyumpah. Rupanya ketika
bertarung dalam jarak dekat tadi Suro
sengaja menelanjangi lawannya. Adalah
sesuatu yang sangat sulit dipercaya, karena
Ki Bersin sebenarnya merupakan tokoh
kenamaan dari daerah Kutai. Suro tergelak-
gelak. Ki Bersin cepat membenahi pakaian-
nya. Ia menjadi sangat marah bercampur
malu. Anehnya setelah melihat pemuda
konyol itu tertawa, Ki Bersin akhirnya ikut
tertawa pula.
"Bagaimana, Ki! Apakah kau masih
penasaran juga? Sekali lagi kau menyerang-
ku, aku bersumpah akan mencukur habis
kau punya bulu!" desis Suro bersungut-
sungut.
"Has...!" Sapta Dewa tutup mulutnya
rapat-rapat. Wajahnya masih bersemu merah.
"Rasanya tidak perlu diteruskan. Tampangmu
tolol, ternyata otakmu cerdik. Pandai sekali
kau membuat malu lawanmu! Sekarang aku
percaya dengan kehebatan yang kau miliki.
Satu hal yang kuminta darimu..! Suro
langsung memotong. "Huh setelah kau
hampir membunuhku sekarang aku tahu
kau pasti akan minta bantuanku!"
"Betul. Suro, terus terang aku orang
asing di daerah ini. Naluriku mengatakan
akan terjadi sesuatu yang sangat besar.
Aku percaya kau seorang Pendekar yang
memiliki kepandaian tidak terduga dan
berhati jujur. Jika pun seumur hidup aku
memutuskan untuk mempunyai seorang
sahabat. Maka kaulah orangnya."
Suro garuk-garuk rambutnya. "Apa yang
dapat kulakukan untukmu?"
"Coba selidikilah apa yang terjadi di
kerajaan Pasundan. Siapa Pangeran Suprana.
Yang aku dengar ia tidak dapat berkuasa
penuh, pemerintahannya tidak diakui selama
ia belum mendapatkan mahkota kerajaan
dan juga pedang pemersatu Penyebar
Bencana!" jelas Ki Bersin.
"Aneh... sebuah pedang pemersatu. Tapi
mengapa namanya mengerikan begitu?"
"Rasanya tidak ada yang aneh, Suro.
Pedang itu menurut adikku konon sangat
berbahaya. Terlebih-lebih bila sampai jatuh
ke tangan orang yang salah. Dia hanya
akan menyebar bencana."
"Hemm, aku sering mendengar dan
melihat senjata pemersatu. Tapi
tidak seaneh ini." gumam Pendekar Blo'on
Seraya memandang Ki Bersin seakan
menunggu jawaban selanjutnya.
Sapta Dewa segera menjelaskan apa yang
diketahuinya tentang Pedang Penyebar Ben
cana pada Suro.
"Sulit! Rasanya memang sulit sekali.
Jika almarhum raja Jasa Raga tidak pernah
menceritakan dimana beliau menyimpan
pedang itu. Pangeran Demak pasti sulit
menemukannya, walau kepalanya sampai
botak ubanan!" kata Suro seenaknya.
"Hasyiim! Memang apa yang kau katakan
itu dapat kuterima. Namun alangkah baiknya
jika kita berusaha menolong Pangeran
Demak dan puteri Saba!"
"Engkau sendiri hendak ke mana, Ki?"
"Tentu saja mencari adikku Setan
Terompet untuk mendengar duduk persoalan
yang sebenarnya. Jika urusan di tanah Jawa
ini selesai, tentu saja aku mengajak adikku
kembali ke Kutai. Aku tidak tahan berada
di sini berlama-lama, gerah!"
"Cepatlah minggat dari hadapanku,
Kakek gila!" gerutu Pendekar Blo'on. "Ee...
ternyata tua bangka tukang bersin itu pergi
diarn-diam!" Di kejauhan Suro mendengar
suara orang bersin yang semakin lama
semakin bertambah menjauh untuk kemudian
hilang sama sekali. Suro pun tidak perlu
menunggu lebih lama lagi. Ia segera pergi
menuju Lembah Kahuripan.
Tubuhnya tegap bukan main. Tatapan
matanya tajam, setajam mata harimau ganas
dalam kegelapan malam. Dia-lah Sang Bala,
manusia tinggi besar yang tidak memiliki
sifat belas kasih sebagaimana layaknya
manusia lain pada umumnya. Sang Bala
masih merupakan murid hasil didikan Dewa
Kubu. Asal usulnya tidak jelas. Puluhan
tahun yang lalu Dewa Kujbu menemukan
Sang Bala di tengah-tengah runtuhan sebuah
kota kecil yang porak-poranda dilanda gempa.
Waktu itu kepalanya retak. Dewa Kubu
kemudian mengobati Sang Bala hingga
sembuh. Setelah sembuh ternyata Sang Bala
tidak dapat mengingat lagi siapa dirinya.
Ia bahkan tidak dapat mengingat dari mana
asal usulnya. Karena itulah Dewa Kubu
memberinya nama Sang Bala alias Malape-
taka alias Bencana
Kini ia tinggal bersama Pangeran
Suprana dan menjadi pimpinan bala tentara
kerajaan pula. Laki-laki berumur empat
puluh tahun ini sangat patuh menjalankan
perintah. Ia tidak bedanya dengan sosok
makhluk pembunuh yang sangat mengenkan.
Kesaktiannya sulit dijajaki. Lebih dari itu
tubuhnya kebal terhadap berbagai jenis
senjata. Pagi itu Pangeran Suprana menjum-
pai tangan kanannya itu.
"Salam sejahtera untukmu, saudaraku!"
sapa Pangeran Suprana.
"Hemm, aku dalam keadaan sehat-sehat
saja. Tidak biasanya kau menjumpai aku
pagi-pagi begini. Ada apa saudaraku raja
nan perkasa?" tanya Sang Bala, suaranya
dingin sebagaimana wajah dan tatapan
matanya. Iblis Peruntuh Mahkota tidak
menanggapinya, sebaliknya ia terus berjalan
menelusuri taman bunga yang luas di
samping istana. Sang Bala mengikuti
Kumbang Pemikat.
"Saudaraku! Begitu banyak masalah
akhir-akhir ini yang sangat mengganggu
pikiranku. Aku ini seorang raja, bahkan
Tuhan dari segala macam kesenangan.
Namun hatiku tidak pernah tenang selama
mahkota dan Pedang Penyebar Bencana
belum berada di tanganku. Pangeran Demak
Pati harus segera ditemukan. Aku juga
ingin menjadikan puteri Saba menjadi
permaisuriku di istana ini. Untuk itu aku
menginginkan bantuanmu secepatnya. Kerah-
kan pasukanmu untuk mencari pedang dan
merampas Mahkota dari tangan Pangeran
Demak Pati."
"Apakah kau merasa yakin saudaraku
bahwa Pangeran Demak masih hidup hingga
saat ini?'”
"Kemungkinan itu bisa saja terjadi.
Pangeran Demak Pati punya seribu cara
untuk mengelabuhi kita. Aku tidak ingin
istana Sorga Dunia ini kelak jatuh ke
tangannya!" geram Kumbang Pemikat sinis.
"Pangeran Suprana, Iblis Peruntuh Mah-
kota. Demi kejayaan kekuasaanmu, aku
makhluk Pembantai telah siap melakukan
segala-galanya. Tidak akan ada seorang pun
yang mampu menghentikan aku. Pula kau
dapat berbuat leluasa dengan burung langka
Elang Perak. Sisa makhluk purba itu dapat
mengantarmu kemana pun kau mau!"
'Tidak kuragukan apa yang kumiliki,
Elang Perak adalah kendaraanku untuk
menembus langit. Tubuhnya dua kali lebih
besar dari burung Rajawali. Jika selama
ini burung kesayangan hadiah dari guru
itu kupergunakan untuk menculik gadis-gadis
yang aku ingini. Tentu dia akan lebih
berguna bila kugunakan untuk mencari
musuh utamaku Ha ha ha...!" Kumbang
Pemikat tergelak-gelak.
"Saudaraku, Tuhan dari segala macam
kesenangan kenikmatan di dunia. Sekarang
aku mohon pamit. Aku hendak memulai
perjalanan ini untuk mencari dua sebab
yang meresahkan hatimu. Aku hanya
membutuhkan lima orang pengawal untuk
mendampingiku. Sedangkan yang lain-lainnya
biarkan mereka tetap berjaga-jaga di istana."
"Pergilah saudaraku seguru. Aku meres-
tuimu...!" sahut Pangeran Suprana.
Sang Bala membalikkan tubuhnya, kemu-
dian ia menuju ke halaman depan istana.
Sedangkan Iblis Peruntuh Mahkota tetap
berdiri di tempatnya sambil tersenyum-
senyum seorang diri.
"Apa yang kuinginkan di dunia ini sudah
kudapat. Kehormatan gadis-gadis yang can-
tik, yang hitam-yang putih. Semuanya sudah
kurasakan. Keinginanku yang belum terkabul
adalah mengenai puteri Saba. Sudah sangat
lama aku merindukan keindahan tubuhnya.
Dia harus menjadi permaisuriku. Kalau dia
menolak, hmm...!" Iblis Peruntuh Mahkota
tersenyum sinis. "Aku pasti akan memaksa-
nya, menelanjanginya dan memandangi ke-
indahan tubuhnya sehari semalam. Setelah
itu kurampas apa yang dia miliki. Akan
kuruntuhkan mahkotanya yang menjadi
simbol kesucian wanita. Kebahagiaanku atas
kekuasaanku di dunia ini tentu menjadi
lengkap setelah mahkota kerajaan dan
Pedang Pemersatu itu telah berada di
tanganku!"
Kumbang Pemikat terdiam lagi, ia
kemudian mendongak ke langit. Tiba-tiba
saja Pangeran Suprana bersuit nyaring.
Entah ditujukan pada siapa tidak begitu
jelas? Namun tidak lama kemudian terdengar
suara pekikan nyaring di angkasa.
"Hiiiii...!"
"Selamat datang sahabatku! Selamat
datang Elang Perak!" seru Iblis Peruntuh
Mahkota. Dengan jelas di angkasa terlihat
seekor burung melayang-layang. Sosoknya
semakin lama semakin bertambah besar
ketika burung berbulu putih keperak
perakkan itu merendah. Kepakan sayapnya
menimbulkan deru angin yang sangat besar
bagaikan topan. Debu dan batu-batu kecil
beterbangan. Pucuk pepohonan terguncang
keras.
"Kiiik!"
Elang Perak yang memiliki tubuh dua
kali lebih besar dari burung rajawali ini
memekik. Lalu kedua kakinya yang kokoh
mendarat di atas tembok istana.
"Ha ha ha...! Aku manusia perkasa,
tidak ada tokoh mana pun yang dapat
menandingi kesaktianku. Kendaraanku juga
tidak pernah dimiliki oleh orang lain.
Perkasa adalah kekuasaan, aku telah
ciptakan sorga di dunia ini Sorga kenik-
matan yang didambakan oleh setiap laki-laki
dan perempuan. Ha ha ha... karena aku
berkuasa, maka orang lain kecil semuanya.
Aku berkehendak, tidak ada seorang pun
yang dapat menghalang-halangi kehendakku!
Elang Perak! Antar aku mencari apa yang
kuinginkan!!" seru Iblis Peruntuh Mahkota
"Kiiiiikh...!"
Elang Perak menjerit panjang. Sayapnya
terangkat tinggi. Pangeran Suprana lalu
melompat ke arah tembok. Setelah itu ia
naik ke punggung burung purba tersebut.
Sayap kembali terkepak menimbulkan suara
desis hingar bingar. Tidak lama setelah
terbang berputar-putar, maka Elang Perak
tersebut membubung tinggi membelah mega.
Apa yang terlihat tadi memang sangat
mencengangkan. Pemuda baju biru hanya
dapat pentang mata lebar-lebar, mulutnya
melongo seakan tidak percaya. Ia yang telah
melihat Pangeran Suprana, Sang Bala disusul
dengan kehadiran Elang Perak seakan terbius
oleh apa yang dilihatnya. Kini ia hanya
dapat garuk-garuk kepala.
"Edan...! Pangeran Suprana, anak setan
yang mengaku dirinya sebagai Tuhan Sorga
Dunia' itu dan Sang Bala saja aku tidak
tahu sampai sejauh mana kehebatannya.
Dan burung tadi, melihat rentangan sayapnya
saja sudah mengerikan. Jika salah satu
sayap itu mengemplang kepalaku, bukan
mustahil aku langsung mampus. Ini benar-
benar perjuangan yang sangat besar dan
berat bagiku. Gusti Allah, bagaimana mi...?!
Suro garuk-garuk kepala.
Pendekar Blo'on melayangkan pandangan-
nya ke arah istana. Dari atas pohon beringin
putih yang sangat tinggi itu ia dapat melihat
semua kegiatan yang sedang berlangsung di
istana tersebut.
"Percuma saja aku menggebuk mereka.
Kalau pun mereka semua mampus, prajurit-
prajurit kerajaan itu cuma kroco-kroco pesing
yang tidak ada artinya. Sumber kekuatan
adalah dari dua orang pentolannya ditambah
dengan kehadiran Elang Perak. Urusanku
benar-benar telah berubah menjadi kapiran!
Tidak ada kata mundur dalam hidupku!
Iblis Peruntuh Mahkota harus kusingkirkan.
Aku yakin dia manusia setengah gila. Tuhan
itu gaib, sangat keterlaluan dan dosa besar
jika dia mengaku-ngaku sebagai Tuhan.
Orang edan, gila, sedeng, gemblung, dan
lain-lainnya. Bagaimana pemuda keparat itu
bisa sesombong itu. Sedangkan dia terlahir
dari mulut perempuan yang dibawah. Dari
lubang kencing yang bau pesing! Hmm...!"
Suro menggeram. Untuk pertama kali dalam
hidupnya wajah pemuda itu kelam membesi.
Sepasang matanya tidak Jenaka lagi, melain-
kan telah berubah merah. Bibirnya semakin
monyong. Ini merupakan suatu tanda bahwa
murid Malaikat Berambut Api dan Penghulu
Siluman Kera Putih sangat serius.
Saking kesalnya ia bersiul kecil, nadanya
sumbang tidak teratur. Lalu terdengar suara
nyanyiannya yang semakin ngaco tidak
karuan juntrungnya.
Kepada keparat laknat
Kulihat setan dalam amarah manusia
Kulihat setan dalam kesombongan manusia
Kulihat setan dalam kedengkian manusia
Kulihat setan dalam kebencian manusia
Kulihat setan dalam ketamakan manusia
Kulihat setan dalam keserakahan manusia
Lalu kulihat semua kebusukan dalam nafsu
manusia
Bermula dari tiada, ada, dan kembali pada
tiada
Pantaskah manusia sombong dan membang-
gakan diri.
Kecantikan rupa dan ketampanan wajah
hanyalah sari pati tanah.
Kepalamu, tanganmu, badanmu, kakimu
kelak menjadi tanah.
Lalu mengapa kau berjalan di muka bumi
dengan membusungkan dada besar kepala.
Jika aku mati, semua manusia mati.
Kemana perginya sang Roh.
Aku merenung dalam kehinaan diriku
diitadapanNya.
Lalu aku menangis dalam kesunyianNya.
Masihkan ada kebahagiaan lain selain harta,
wanita dan anak-anak yang dikasihi?
Kelak bila aku mati ada tiga hal yang
kutinggalkan, cuma satu yang menyertaiku
di dalam kubur....
Hartaku yang menumpuk, keluargaku yang
kucinta mustahil ikut serta dalam kubur.
Hanya amal perbuatanku yang setia mene-
maniku dalam kuburku
Masihkah aku dapat sombong bila kematian
datang pasti?
Aku merenung dalam kebodohanku
Lalu kurasakan ketidak sempurnaanku...
sebagai manusia
Suara Pendekar Blo'on yang tidak
beraturan itu tentu saja memancing perhati-
an para prajurit kerajaan. Mereka segera
berlompatan menuju ke arah datangnya
suara. Salah seorang di antaranya yang
berbadan tinggi besar membentak.
"Kau siapa? Turun cepat!"
Suro cengar-cengir sambil garuk-garuk
kepala. "Aku ini manusia seperti kalian
juga. Masih perjaka tapi cari perkara!" sahut
si konyol seenaknya. "Aku ingin kasih pesan
para raja kalian yang gemblung itu.
Sebaiknya lepaskan perempuan di dalam
istana yang menjadi budak nafsunya itu.
Sudah itu berhenti mengaku diri sebagai
Tuhan, tinggalkan istana dan buang pula
angan-angannya yang muluk itu!"
"Bangsat! Rupanya dirimu itu siapa
kunyuk baju biru?"
"Aku adalah orang yang akan menghan-
curkan ambisi rajamu!"
"Keparat betul! Kawan-kawan tangkap
dia!!" perintah perwira kerajaan ditujukan
pada kawan-kawannya.
Perintah itu segera disambut teriakan
teriakan keras prajurit lainnya. Karena
Pendekar konyol Mandau Jantan ini berada
di atas pohon. Maka sulitlah bagi mereka
untuk menjangkaunya. Beberapa diantaranya
langsung memanjat pohon tersebut melalui
akar nafas pohon beringin yang menjulur
ke tanah. Namun ada juga yang tidak
sabaran dan langsung melepaskan anak
panah ke arah pemuda itu.
Suro tersenyum mengejek sambil melom-
pat-lompat di atas pohon seperti seekor
monyet yang' bergelayutan dan berpindah
dari satu dahan ke dahan lainnya.
Dalam hal ini tentu dia sangat ahli,
karena pemuda ini didikan langsung Peng-
hulu Siluman Kera Putih penguasa kera-kera
siluman di gunung Mahameru.
"Pesan telah kusampaikan, aku tidak
mau mengotori tangan dengan darah kalian!
Sampai jumpa...!" gumam Suro. Tiba-tiba ia
bergerak menuruni pohon tersebut, gerakan-
nya cepat sekali. Hingga dalam waktu
singkat pemuda konyol ini telah hilang dari
pandangan mata.
"Kejar!" seru salah seorang prajurit.
"Jangan, percuma saja?!" cegah Perwira
berbadan jangkung. "Nanti jika paduka
kembali kita laporkan apa yang kita
saksikan!"
Tidak seorang prajurit pun yang berani
membantah perintah Perwira. Mereka akhir-
nya kembali ke tempatnya masing-masing
Telaga Sender di senja itu tampak sunyi.
Airnya yang jernih membuat ikan-ikan yang
hidup di dalamnya terlihat dengan jelas.
Berjalan ke bagian hulu telaga sejarak
sepuluh tombak. Terlihat sebuah air terjun
kecil bernama Pancuran Dewa. Dari balik
Pancuran Dewa itulah orang luar tidak
pernah tahu bahwa ada seorang pertapa
bergelar Dewa Petir berdiam di balik air
terjun selama belasan tahun. Dewa Petir
tokoh aneh yang tidak pernah berpihak
pada aliran mana pun.
Ketika masih malang melintang di rimba
persilatan dulu tidak jarang ia berpihak
pada orang-orang persilatan aliran hitam,
tapi di lain waktu bisa saja ia membela
golongan lurus. Watak laki-laki bertubuh
tambun berambut putih ini sulit ditebak,
angin-anginan dan terkesan seperti orang
yang kurang waras. Pada masa itu jarang
sekali tokoh rimba persilatan di tanah Jawa
yang mengenalnya. Terkadang ia muncul
dalam waktu tertentu dan tidak terduga-
duga.
Dulu Dewa Petir punya kebiasaan jelek,
ia sering melakukan pencurian dan juga
mencopet pejabat-pejabat tinggi kerajaan.
Sehingga ia juga dyuluki Dewa Copet, atau
Dewa Maling.
Belasan tahun mengasingkan diri di
Telaga Sider, ia juga mempunyai seorang
murid perempuan yang cantik rupawan.
Namanya Gadis, dan perempuan itu sebagai-
mana gurunya punya kebiasaan sangat
buruk, kolokan/manja dan juga sangat cerdik.
Sejak Gadis berhasil mempelajari jurus-
jurus dahsyat Dewa Petir dan juga
mempelajari ilmu mencopet kelas tertinggi.
Wanita cantik ini boleh dikata hampir jarang
tinggal bersama gurunya. Beberapa purnama
bisa saja ia bergentayangan di kota-kota,
untuk kemudian kembali dengan membawa
berbagai jenis barang curian.
Senja itu angin dingin berhembus. Di
dalam telaga tampak seorang gadis berkulit
kuning langsat berenang kian kemari.
Sesekali terdengar suara nyanyiannya yang
merdu. Namun suaranya kemudian terhenti
saat ia mendengar suara caci maki dari
balik air terjun.
"Ini sudah waktunya. Barang langka itu
harus ditemukan, mengapa hanya bersenang-
senang, cepat kembali!"
Wanita berwajah ayu itu menggeliatkan
tubuhnya dengan malas. Tanpa bicara
apa-apa dia berenang menepi untuk meng-
hampiri pakaiannya. Tanpa merasa curiga
apa-apa, gadis yang punya nama Gadis ini
naik ke tebing telaga. Betapa tubuhnya
sangat indah sekali, dadanya mencuat
kencang, pinggulnya yang mulus itu pasti
membuat laki-laki jadi jelalatan.
Gadis mengenakan pakaiannya. Tidak
lama ia segera meninggalkan telaga dan
berlari cepat menerobos air terjun. Di balik
air terjun ternyata terdapat sebuah gua
besar yang seluruh dindingnya berwarna
putih seperti terbalut es. Di tengah-tengah
ruangan terdapat sebuah pelita kecil. Di
belakang pelita itulah terlihat seorang
laki-laki tua bertubuh tambun duduk bersila
dengan mata terpejam.
"Guru memanggilku?" tanya Gadis,
matanya yang indah melirik pada gurunya.
Kakek rambut putih buka matanya. Mata
itu berwarna kemerah-merahan seperti orang
yang kurang tidur.
"Bocah bengal! Sejak siang tadi kau
mandi terus di telaga. Apa kau mau pamer
tubuh pada ikan-ikan itu? Duduklah disini,
aku punya tugas penting untukmu!" kata
Dewa Petir.
"Aku mau tetap berdiri. Kuharap Guru
tidak memaksa!" sahut Gadis dengan wajah
cemberut.
"Murid Edan! Kalau aku tidak sayang
padamu, tubuh bagusmu sudah kubikin
hangus. Kau tetap keras kepala, ingin aku
tahu bagaimana nanti jika kau jatuh cinta
pada seorang pemuda! Ha ha ha...!"
"Huh, aku bukan perempuan lemah yang
mudah jatuh cinta. Lagipula aku bisa saja
mengatur orang yang kucinta sesuai dengan
kehendakku. Sekarang jangan Bebut-sebut
persoalan cinta! Aku tidak suka men-
dengarnya!" sahut si baju hitam semakin
sewot
Semakin kau membantahku, ingin cepat-
cepat rasanya aku punya mantu!"
"Guru! Kalau kau tetap bicara tidak
karuan. Jangan salahkan aku jika aku pergi
lagi!"
Si kakek gelengkan kepala pelan.
"Muridku kau dengarlah! Dalam mimpiku
aku melihat orang-orang mendaki bukit.
Aku melihat di atas bukit pancaran cahaya
api. Kemudian aku melihat orang-orang
saling bunuh memperebutkan sebuah senjata
Pemersatu. Kulihat pula seorang raja, tapi
dia sebenarnya bukan raja. Kemudian aku
melihat orang-orang aneh. Aku ingin kau
menyelidik. Jika persoalan sudah jelas, maka
kau kembali kesini secepatnya. Atau kau
atasi keadaan dan ambil pedang yang menjadi
rebutan. Aku ingin mempunyai koleksi
senjata yang bagus. Seperti pedang yang
kulihat dalam mimpiku itu!" jelas Dewa
Petir.
"Hmm, Guru bicara tidak karu-karuan
juntrungnya. Tidak pula jelas ujung pang-
kalnya. Aku jadi tidak tahu!"
"Pedang itu milik kerajaan Kahuripan.
Karena suatu sebab pemiliknya menyimpan
senjata itu di puncak bukit. Tempatnya
secara pasti aku tidak tahu. Itulah sebabnya
kau harus menyelidik!"
"Apakah kabar ini baru Guru saja yang
tahu?"
"Huh, rupanya kau tuli!" Kakek tambun
mendengus. "Tadi sudah kukatakan dalam
mimpi itu aku melihat orang-orang saling
bunuh. Ada tentara kerajaan, tokoh-tokoh
sakti dan masih banyak lagi yang lain-
lainnya. Apakah sekarang kau sudah
mengerti?"
"Guru, aku tidak tertarik dengan segala
macam pedang. Aku lebih suka perhiasan,
permata dan juga batu-batu zambrut biru.
Kalau kau menghendaki pedang itu lebih
baik kau cari sendiri. Bagaimana pun selera
laki-laki dan perempuan berbeda!"
"Diaam! Setan betul!" Dewa Petir tampak
sangat marah sekali. "Selama ini aku sangat
memanjakanmu. Sehingga kau tidak dapat
membedakan mana tugas mana perintah!
Apa yang baru saja kukatakan adalah
perintahku! Jangan sekali-kali kau bantah
apalagi mencela!" hardik Dewa Petir.
"Dulu Guru maling, aku maling! Dulu
bapak moyangnya Guru copet aku juga
copet.
Kita sama-sama maling, sama-sama
pencopet
pula. Terlanjur aku berhutang budi padamu,
maka perintahmu akan ku laksanakan!"
"Ha ha ha! Ternyata kau seorang murid
yang punya guna juga. Tidak percuma aku
menceboki kau sejak kecil! Nah Maling
Jenaka alias Maling Cerdik! Pergilah, semoga
usahamu tidak mengecewakan aku!"
"Baiklah, tapi satu yang kuminta. Jika
" sudah sepekan aku tidak kembali harap
kau menyusulku!"
'Tentu saja. Aku akan lihat nanti apa
yang dapat kau lakukan setelah kudidik
selama bertahun-tahun!"
Gadis tidak menghiraukan kata-kata
gurunya lagi Seraya langsung berbalik, lalu
berkelebat pergi menerobos air terjun yang
terdapat di depan mulut gua.
"Sepertinya tempat ini pernah di huni
oleh manusia!" Membatin laki-laki bertubuh
sangat tegap itu dalam hati. "Rasanya tidak
salah dugaanku. Lorong di bawah tanah mi
memang pernah di pergunakan untuk temnat
tinggal selama bertahun-tahun. Meneara
prajurit kerajaan tidak seorang pun varS
tahu?" Laki-laki tinggi besar menggerTm
marah.
"Kalian yang mengikuti aku! Cepat
kalian periksa sepanjang lorong ini! Jika
ada orang di dalam sana tangkap dan cepat
lapor padaku!"
Lima orang pengawal pilihan yang
menyertai Sang Bala langsung bergerak
melakukan pemeriksaan. Tidak sampai sepe-
makan sirih mereka sudah keluar lagi
menjumpai Sang Bala. Salah seorang di
antara mereka menggelengkan kepala.
"Tidak ada siapa-siapa di dalam sana,
Panglima. Kami menunggu perintah selanjut-
nya!"
Alat pembunuh Pangeran Suprana tam-
pak kecewa. Ia memandang ke upuk barat.
Ketika itu matahari sudah hampir tenggelam.
"Aku tidak mau mengulur-ulur waktu.
Aku rasa orang-orang yang pernah tinggal
disini adalah Pangeran Buronan Demak Pati.
Mereka telah pergi. Tapi melihat sisa-sisa
makanan yang ada kurasa mereka belum
jauh dari sini! Sebaiknya kita ikuti jejak-jejak
kaki ini!"
"Panglima, sudah dua malam kita tidak
tidur dan tidak istirahat sama sekali. Apakah
tidak sebaiknya kita bermalam di sini?!"
Usul salah seorang pengawal. Mata dingin
yang selalu menyorot tajam itu
memandang lurus pada anak buahnya.
"Aku pemimpin kalian. Aku tidak pernah
mengantuk. Siapa yang ingin bermalam
silakan! Dengan syarat kepala kalian kubawa
untuk di hadapkan pada raja Sorga Dunia!"
Maka menggigillah sekujur tubuh pengawal
itu. Ia tidak berani berkutik. Ia sadar betul
Sang Bala meskipun manusia, namun tidak
bedanya dengan sang pembunuh berdarah
dingin Dalam melakukan pembunuhan dia
tidak pernah pandang bulu. Siapa pun
orangnya baik kawan maupun lawan bila
sudah tidak berkenan di hatinya pasti
dibunuhnya.
"Siapa yang masih ingin hidup, cepat
jalan di depan!" Suara Sang Bala yang
serak membuat tengkuk para pengikutnya
meremang berdiri. Kegelapan mulai menye-
limuti alam sekitarnya ketika Sang Bala
dan anak buahnya meninggalkan lembah
Ciujung.
Sementara itu pada waktu yang sama,
tampak Serombongan pengemis telah sampai
di sebuah kota kecil Cepu. Meskipun hanya
merupakan sebuah kota yang terpencil, di
malam hari itu cukup ramai. Banyak penjual
makanan berdagang di pinggir jalan.
"Ki Jarot!" kata pengemis muda berwajah
lucu "Kita harus mencari makanan, setelah
itu kita cari sebuah penginapan pula»"
Laki-laki paling tua dalam kelompok itu
mencegah.
"Tidak usah cari penginapan, Pang eh
Aden. Tidak ada pengemis yang menginap
di rumah-rumah mewah. Mata-mata Pange-
ran Suprana tersebar di mana-mana. Keme-
wahan tidak sepadan dengan penyamaran
kita sebagai pengemis!" jelas Ki Jarot tanpa
maksud menggurui.
"Lalu kita tidur dimana? Di emperan
pasar, atau tidur bersama kerbau dan kuda
milik orang kaya disini?"
"Tentu saja tidak, Den. Nanti setelah
kita membeli makanan. Kita bisa melewatkan
malam di luar kota."
"Mengapa kita hidup seperti diburu-buru
setan?" Gadis berpakaian tambal-tambalan
yang berada di samping pemuda itu
mengeluh.
"Ini suratan takdir, Den putri." menya-
huti kakek berbaju hitam tambal-tambalan.
"Pangeran Suprana menyebar mata-mata di
setiap tempat sebagaimana yang dikatakan
oleh Ki Jarot tadi. Aku sendiri bersama
Ki Pacul tadi siang juga hampir mata-mata
kerajaan. Untung mereka tidak mengenali
aku!"
"Lalu sekarang bagaimana?” tanya pemu
da lucu yang tidak lain adalah Pangeran
Demak Pati.
"Aku, Ki Palang dan Ki Pacul yang
membeli makanan. Sedangkan Adon dengan
Den putri menunggu di kegelapan sana.
Aku takut kehadiran kita memancing
perhatian orang lain. Warung-warung di sini
penuh sesak. Jika pun sampai terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan pada kami. Masih
ada kesempatan bagi Aden berdua
meloloskan diri!" tegas Ki Jarot.
Betapa terharu hati Pangeran Demak
dan puteri Saba mendengar ucapan bekas
abdi istananya itu. Mereka begitu setia dan
rela mengorbankan nyawa untuk melindungi
keselamatan Pangeran dan puteri kerajaan
Kahuripan atau yang lebih dikenal dengan
kerajaan Pasundan.
"Baiklah, Paman. Berhati-hatilah! Kalau
pun sampai terjadi apa-apa dengan kalian.
Tidak nantinya kami meninggalkan Paman
semua begitu saja. Kita sudah saling
berikrar, berat sama di pikul, aku tidak
mau menjadi manusia pengecut!" tegas
Pangeran Demak alias Pendekar Kucar Kacir
serius.
"Aden, pengabdian kami bukanlah apa-
apa. Kami telah melakukan apa saja asal
Aden dapat menguasai kerajaan kembali!"
"Ssst! Aku takut pembicaraan kita
didengar oleh orang lain!" kata si gadis
Pengemis khawatir. Ki Jarot segera memberi
isyarat pada dua orang kawannya. MereKa
menuju ke warung terdekat dimana Pangeran
Demak Pati dan adiknya menunggu.
Baru sampai di depan warung dan belum
sempat bicara apa-apa. Pemilik warung sudah
mengusirnya.
"Hei pengemis-pengemis bau, pergilah!
Kehadiran kalian hanya menghilangkan
selera langganan kami!" bentaknya tidak
ramah.
"Tunggu dulu Pak tua! Kami bukan
mau meminta makananmu secara gratis.
Kami mau beli. Ini uangnya...!" Ki Jarot
menyodorkan sekeping uang perak. Pemilik
warung belalakkan mata seakan tidak
percaya.
* *
Dengan penuh suka cita, pak tua pemilik
warung tanpa banyak bicara lagi langsung
menyediakan makanan yang dipesan oleh
Ki Jarot. Ketiga laki-laki tua ini setelah
menerima pesanan mereka langsung
bergegas
menuju kegelapan malam. Baru saja ketiga-
nya menghilang dari pandangan mata.
Terdengar suara derap langkah kuda. Lima
orang laki-laki berpakaian prajurit kerajaan
di sertai seorang laki-laki berbadan besar
muncul dengan kuda-kuda mereka. Salah
seorang prajurit melompat turun, masuk ke
dalam warung dengan tergesa-gesa. Pemilik
warung begitu melihat siapa yang datang
langsung bergegas menghampiri.
"Tu... Tuan apa yang dapat kami lakukan
untuk Tuan? Kebetulan sekali persediaan
makanan kami masih banyak!" Pak tua
menghampiri dengan tubuh terbungkuk-
bungkuk.
"Aku tidak membutuhkan makananmu
Aku ingin tanya padamu apakah ada orang
asing melewati kota kecil ini? JanRan
coba-coba berdusta kalau tidak ingin kupeng-
gal batang lehermu!" gertak pengawal
angkuh. Maka menggigillah tubuh pak tua'
Dengan gugup ia menjawab. "Tiada seorang
pun orang asing lewat sini, Tuan prajurit.
Sebentar tadi ada tiga orang pengemis
membeli makanan dengan uang perak!"
jelasnya.
Kening pengawal itu mengerenyit dalam.
"Mustahil pengemis bisa memiliki uang
perak. Orang memberi sedekah biasanya
dengan Uang kepeng. Aku harus lapor pada
Panglima!" membatin prajurit itu.
Tidak lama ia telah membalikkan
tubuhnya, menghampiri Panglima yang
duduk dengan sikap tidak sabar di atas
pelana kudanya.
"Bagaimana?!"
"Hanya ada tiga orang pengemis yang
belanja di warungnya dengan uang perak,
Tuan Panglima!"
"Hmm, pada saat seperti ini jangankan
pengemis, monyet budukan pun perlu
dicurigai! Mari kita susul mereka !" Panglima
segera menggebrak kudanya Lima orang
pengikutnya segera menyusul. Karena sua-
sana dalam keadaan gelap. Matai matan
itu mereka tidak menemukan kelompok
pengemis yang mereka curigai. Namun Sang
Bala tidak putus asa. Keesokan paginya
mereka masih berputar-putar di luar kota
Cepu.
Sementara itu di pinggir sebuah sungai
Pangeran Demak alias Pendekar Kucar Kacir
baru saja selesai membasuh mukanya.
Sedangkan Ki Jarot, Ki Palang dan Ki
Pacul tampak sibuk menyediakan makanan
untuk kedua putera raja tersebut.
"Perjalanan ke Sembuang masih jauh
lagi, Ki. Kita tidak boleh membuang-buang
waktu. Kejab lagi perjalanan segera kita
teruskan!" ujar Pendekar Kucar Kacir sambil
menghirup sisa-sisa kopi di dalam cangkir
tanah liat.
"Mengapa kita pergi ke Sembuang. Yang
saya tahu di sana hanyalah sebuah bukit
dengan hutan-hutannya yang sangat lebat!"
Ki Jarot menanggapi.
"Ya... hanya bukit saja memang. Tapi
aku ingat dulu ayahanda sering berburu
dan bersunyi diri di sana. Firasatku
mengatakan di sanalah Prabu menyimpan
pusaka pemersatu Pedang Penyebar Ben-
cana!" Ki Jarot tidak menanggapi. Ia
mendengar suara langkah kuda menuju ke
arah mereka.
"Ada orang kemari, sebaiknya kita
sembunyi saja!" kata Ki Jarot.
"Mengapa harus sembunyi, kita ini
pengemis! Kita lihat saja siapa yang datang!"
sergah puteri Saba mencoba bersikap tabah
Karena yang bicara adalah junjungan
mereka, maka Ki Jarot tidak berani memaksa
kehendaknya sendiri. Tidak lama kemudian
muncullah prajurit kerajaan dan juga Sang
Bala. Pendekar Kucar Kacir tampak kaget
juga melihat kemunculan mereka. Namun
sebentar saja mereka sudah dapat menguasai
diri dan bersikap acuh tak acuh. Sang Bala
meneliti wajah mereka satu persatu. Kening-
nya mengerut dalam ketika melihat cangkir
rnilik kelompok pengemis tersebut. Cangkir
itu jelas cangkir milik kerajaan. Setelah
terpisah sepuluh tahun Sang Bala memang
tidak dapat mengenali wajah orang-orang
yang diburunya. Karena di antara mereka
sudah banyak yang berubah, baik rupa
maupun dandanan mereka.
"Kalian kelompok pengemis dapat cangkir
mewah dari mana?"
Pertanyaan Sang Bala benar-benar mem-
buat kaget para pengemis ini. Sial. Mereka
tadi tidak sempat membuang cangkir mereka.
Ki Jarot bangkit berdiri. "Cangkir ini hadiah
dari seorang Pangeran kerajaan belasan
tahun yang lalu." sahut Ki Jarot berbohong
"Seorang Pangeran begitu bermurah hati
menghadiahkan cangkir pada kalian? Hebat
betul “
Waktu itu Pangeran memerlukan kuda
untuk sebuah perjalanan yang sangat jauh.
Karena kehabisan bekal mereka memberi
kami cangkir sebagai upah mencarikan
kuda!"
Sang Bala manggut-manggut, jawaban
pengemis tua ini memang masuk di akal.
Mungkin yang dimaksudkan oleh pengemis
ini adalah Pangeran Buronan dan adiknya.
Kalau begitu mereka pergi jauh dari wilayah
Pasundan. Tapi bila melihat salah seorang
dari pengemis itu adalah seorang perempuan
dan seorang pemuda. Sang Bala menjadi
curiga. Siapa tahu kedua orang yang
menyertai para pengemis itu orang yang
mereka cari?
"Pengemis! Aku hampir percaya dengan
keteranganmu. Tapi setiap sesuatu perlu
diteliti kebenarannya. Tampaknya kalian
bukan pengemis biasa!" dengus Panglima
itu. Ia kemudian memberi isyarat pada para
pengawalnya untuk menggeledah para
pengemis itu.
Melihat gelagat yang tidak baik ini, Ki
Jarot dan juga Pangeran Demak Pati segera
bersikap waspada. Baru saja para prajurit
ini hampir menyentuh tubuh para pengemis.
Ki Jarot, Ki Palang dan Ki Pacul bertindak
cepat. Tangan berkelebat. Gerakan itu sama
sekali di luar dugaan. Empat orang prajurit
menjerit kesakitan. Mereka roboh dengan
leher tertembus pedang pendek di tangan
ketiga pengemis tua tersebut. Satu prajurit
lagi yang memeriksa Pangeran Demak juga
mengalami nasib tragis sebagaimana kawan-
kawannya. Sang Bala tersentak menyaksikan
kejadian yang berlangsung sangat cepat
sekali. Baginya walaupun kematian para
prajurit itu tampak mengerikan sama sekali
tidak mempengaruhi hatinya. Kematian
baginya baik di kalangan sendiri maupun
di pihak lawannya sama saja. Lalu laki-laki
haus darah ini menggeram.
"Pertanyaan berjawab dengan kematian!
Semakin besar rasa curigaku pada kalian.
Kau anak muda!" Sang Bala menunjuk
lurus ke arah Pangeran Demak. "Kau pasti
Pangeran buronan itu, perempuan itu adikmu
dan tiga tua bangka ini adalah para
abdi-abdimu. Tugasku terkecuali membiarkan
puteri Saba tetap hidup, adalah mengambil
mahkota dan merampas nyawa kalian!"
"Huh, sedap betul bicaramu. Kau pikir
mahkota itu milik nenek moyangmu atau
milik bapak moyang Pangeran keparat
majikanmu. Jangan coba ganggu adikku atau
menghendaki mahkota itu jika ingin sela-
mat!" dengus Pendekar Kucar Kacir sengit.
"Pangeran serahkan apa yang kuminta!
Aku tidak segan menghabisi kalian semua
jika kau tetap keras kepala!" bentak Sang
Bala dengan mata melotot.
"Manusia setan! Mahkota itu tidak ada
pada Pangeran Demak. Percuma Baja kau
memaksa kami!" sahut Ki Jarot kelihatan
tidak sabar lagi.
"Aku tidak pernah percaya pada manusia.
Apalagi pada orang-orang buronan seperti
kalian!" Sang Bala mendengus pendek.
Belum sempat ia melakukan sesuatu, Ki
Palang telah menggebukkan senjatanya yang
berbentuk pikulan ke bagian kaki kuda.
Kuda tersebut meringkik keras lalu tergelim-
pang roboh. Ki Pacul tidak tinggal diam,
ia mengambil senjatanya berupa pacul yang
tergeletak di tanah. Dengan pacul itu
dihantamkannya kepala Panglima. Tapi
laki-laki bermata tajam ini langsung meng-
gulingkan tubuhnya ke samping. Serangan
Ki Pacul luput, dari sebelah kiri Ki Jarot
segera hantamkan senjatanya yang mirip
dengan gergaji.
Creng!
Serangan ke bagian kepala Sang Bala
luput, laki-laki itu keburu miringkan
tubuhnya lalu lepaskan pukulan beruntun
ke arah tiga penyerangnya. Tiga leret sinar
menderu, hawa dingin menyengat. Ki Pacul,
Ki Jarot dan Ki Palang memutar senjatanya
lindungi diri. Dua dari pukulan yang
dilepaskan lawan luput. Yang satunya lagi
langsung melabrak Ki Pacul.
Kakek tua itu menggerung keras dan
jatuh terguling-guling. Ki Pacul tampak
menggigil. Cepat sekali ia kerahkan tenaga
dalam. Setelah itu bangkit berdiri dan
menyerang kembali. Dari arah samping Ki
Jarot hantamkan gergajinya, dari arah depan
pikulan Ki Palang menyodok perut Sang
Bala. Serangan itu dapat dihindari oleh
Panglima. Namun gergaji Ki Jarot menghan-
tam punggungnya.
Crok! Croeng!
Ki Jarot terkesima ketika melihat
senjatanya tidak berhasil melukai lawannya.
Melihat hal ini Pendekar Kucar Kacir tidak
tinggal diam. Ia dan puteri Saba serentak
ikut mengurung Sang Bala. Tenaga dalam
dikerahkan ke arah sepotong kayu pemberian
Setan Terompet. Begitu sebagian tenaga
mereka telah mengalir pada potongan kayu
tersebut maka pada bagian ujungnya tampak
membuka. Dari dalamnya melesat dua ekor
ular berwarna kuning. Melihat semua ini
Sang Bala malah tertawa terkekeh-kekeh.
"Bagus! Majulah kalian semua. Aku jadi
senang membunuh mana saja yang aku
maui!"
Sang Bala memutar kedua tangannya
untuk mementahkan serangan ketiga kakek
tua. Sedangkan tangannya yang lain diper-
gunakan untuk menyampok ular-ular berbisa
berwarna kuning yang terus meluncur deras
ke arahnya. Tiga di antara ular itu berhasil
di Rampoknya dan jatuh ke tanah. Sedangkan
yang satunya lagi berhasil menerobos
pertahanannya.
Cep!
"Heh...”
Sang Bala kaget. Akibat gigitan ular
tersebut membuat sekujur tubuhnya terasa
panas bagai terbakar. Namun ia tidak
merasa khawatir karena tubuhnya kebal
terhadap berbagai jenis racun dan bisa. Ular
tadi ditariknya dari bagian perut, lalu
diremasnya hingga hancur.
Pangeran Demak Pati alias Pendekar
Kucar Kacir kaget sekali. Sementara
serangan dari para abdinya semakin menghe-
bat. Namun Sang Bala juga tampak mulai
mengamuk. Tubuhnya yang kebal senjata
kebal racun ini merupakan keuntungan
baginya. Tidak satu pun senjata dari ketiga
kakek tua itu yang dapat menembus
kekebalan Sang Bala. Malah kemudian
tangan Sang Bala terjulur, ia membiarkan
dirinya menjadi sasaran senjata. Sasaran
yang di arahnya adalah Ki Pacul. Si kakek
tentu saja tidak tinggal diam. Ia hantamkan
paculnya ke wajah Sang Bala.
Dokh...!
Senjata menghantam tepat pada sasaran,
tapi tidak membawa akibat sebagaimana
yang diharapkannya. Sementara tangan Sang
Bala sudah mencengkeram bahunya. Kakek
tua ini diangkatnya tinggi-tinggi ke udara.
Melihat para abdinya dalam keadaan bahaya.
Maka Pangeran Demak gerakkan potongan
kayu di tangannya. Begitu digerakkan dengan
pengerahan tenaga dalam. Maka dari ujung
kayu tersebut melesat tiga mata pisau
berwarna putih.
Tang! Tang!
Senjata itu tidak berhasil menembusi
sasaran, malah berpentalan dan jatuh
bergemerincing.
Ki Pacul tidak dapat diselamatkan lagi.
Sang Bala membantingnya. Kakek tua itu
tidak sempat menjerit. Kaki Sang Bala
terangkat lalu diinjaknya Ki Pacul, hingga
tewaslah si kakek dengan usus berburaian
dari duburnya. Ki Jarot terkesima, lalu
sambil menyerang terdengar suara teriakan-
nya.
"Pendekar dan puteri, larilah selagi
masih ada kesempatan. Kami akan mengha-
langinya! Setan yang satu ini kebal, cepat
lari!!"
"Mengapa aku harus meninggalkan per-
tempuran. Betapa pengecutnya aku!" sahut
Pendekar Kucar Kacir. Seraya melompat ke
depan sambil hantamkan potongan kayu ke
kepala Sang Bala. Dari arah sampingnya
puteri Saba juga hantamkan senjatanya
arah sasaran yang sama.
Plak!
Plak!
Serangan beruntun itu hanya membuat
Sang Bala terhuyung-huyung. Kemudian
terlihat seringainya yang sangat mengerikan.
Ia lepaskan pukulannya ke arah Pangeran
dan adiknya. Dua leret sinar biru melesat,
angin bergulung-gulung.
"Hantam dengan pukulan Trompet Maut'!"
teriak Pangeran Demak memberi perintah
pada adiknya.
Wuud!
Pangeran dan puteri Saba hentakkan
tangannya, sinar merah bergulung-gulung
kemudian melabrak sinar biru di tengah
jalan.
Bumm! Buum!
Terjadi ledakan berturut-turut. Sang Bala
jatuh terduduk, namun masih sempat
menyambar Ki Palang. Laki-laki itu di
cekiknya, leher disentakkan hingga patah
berderak. Ki Palang menjerit suaranya
seakan merobek langit. Ki Jarot bagai
kesetanan langsung menghujani Sang Bala
dengan gergajinya. Sedangkan Pangeran
Demak si Pendekar Kucar Kacir serta
adiknya tampak berusaha bangkit berdiri.
Ternyata luka yang diderita oleh mereka
cukup parah juga.
Ki Jarot bersurut mundur. Ia melihat
tidak ada kemungkinan selamat bagi jun-
jungannya terkecuali melarikan diri. Sambil
menyerang kembali Ki Jarot berteriak keras.
"Pangeran! Cepat tinggalkan tempat ini.
Kita tidak mungkin menghancurkan manusia
baja ini!
"Tapi bagaimana dengan engkau?" sahut
pendekar Kucar Kacir ragu-ragu.
"Jangan hiraukan keselamatanku. Cepat-
lah selama masih ada kesempatan!"
"Kakang, kurasa benar ucapannya. Kita
bukan pengecut, tapi kerajaan harus kita
bebaskan dari orang-orang seperti mereka!"
Puteri Saba ikut memperingati.
Dengan hati berat Pendekar Kucar Kacir
terpaksa menuruti keinginan adiknya. Tentu
saja Sang Bala tidak tinggal diam dengan
membiarkan buruannya lolos begitu saja. Ia
pun mengejar, namun Ki Jarot yang cerdik
menubruk kakinya. Sementara Pangeran dan
puteri sudah tidak kelihatan lagi. Panglima
kerajaan Pasundan atau kerajaan Sorga
Dunia ini berusaha membebaskan kakinya
dari dekapan lawan. Tapi tangan Ki Jarot
melekat erat bagaikan tangan-tangan gurita.
Alat pembunuh ini menggeram marah.
Tangannya terangkat ke bagian kepala Ki
Jarot. Lagi-lagi Ki Jarot menangkis.
Duuk!
Ki Jarot menjerit. Tangannya yang
dipergunakan untuk menangkis hancur. Sang
Bala menggeram dan jatuhkan pukulan lagi.
Kali ini Ki Jarot tidak sempat lindungi
kepalanya.
Prok!
"Akh...!" Kakek malang hanya mengeluh
pendek. Kepalanya hancur, benaknya
berhamburan Sang Bala dengan geram
menendang mayat Ki Jarot. Dengan
tergesa-gesa ia kembali mengejar, kira-kita
sejarak seratus tombak ia kehilangan jejak.
"Jahanam! Orang itu benar-benar telah
memberi kesempatan pada tuannya untuk
melarikan diri. Aku harus mencari kuda
lagi Bagaimana pun Pangeran Demak harus
kutangkap hidup atau mati." dengus Sang
Bala masih kelihatan mendongkol.
"Kau terluka Kakang! Luka dalammu
cukup parah!" kata puteri Saba kelihatan
sangat khawatir sekali. "Kita harus meng-
hubungi tabib Dewa Sesat. Kurasa hanya
dia yang dapat menyembuhkan lukamu!"
Pemuda berbaju tambal-tambalan menye-
ringai menahan sakit. "Aku tidak butuh
segala macam tabib. Apalagi Tabib Dewa
Sesat. Dulu ketika ayahanda Prabu masih
ada beliau memang memihak pada kita.
Tapi sekarang kita tidak tahu dia berpihak
pada siapa? Pula kita tidak tahu di mana
tempat tinggal kakek aneh itu." sahut
Pendekar Kucar Kacir. "Sudahlah jangan
terlalu banyak berharap. Guru kita memang
sinting, aku diberinya julukan sial! Pendekar
Kucar Kacir, sungguh persis sekali dengan
keadaan kita saat ini. Memalukan, sangat
memalukan!" Pangeran Demak Pati ber-
sungut-sungut. Ia kepalkan tangannya.
Tinjunya menghantam tanah.
Gerakan emosi spontan itu jelas membuat
luka dalam Pangeran Demak semakin
bertambah parah. Ia terbatuk dan darah
bergumpal mengalir keluar. Puteri Saba
semakin khawatir melihat saudaranya yang
tampak prustrasi. Ia sendiri sebenarnya
terluka dalam juga. Namun luka dalam
yang dideritanya lebih ringan.
"Jangan banyak bergerak, Kanda. Nanti
keadaanmu semakin bertambah parah!"
Pangeran Demak terdiam. Tampaknya darah
yang mengalir dari sudut-sudut bibirnya
masih belum berhenti.
"Coba Kakang kerahkan tenaga dalam.
Mudah-mudahan saja ada hasilnya!" saran
puteri Saba.
"Tidak bisa. Pukulan Sang Bala aneh
sekali. Semakin aku mengerahkan tenaga
dalam. Aku bisa mati mendadak! Sebenarnya
kematian bukan sesuatu yang mengerikan
bagiku. Cuma aku kasihan padamu, dengan
siapa nanti kau tinggal! Pangeran keparat
itu tampaknya menghendaki dirimu!"
"Cis, siapa sudi. Daripada menjadi
permaisurinya, lebih baik aku mati!" sahut
puteri Saba marah.
"Ukh! Akh...!"
Pendekar Kucar Kacir dekap dadanya.
tiba-tiba ia terkulai dan tidak sadarkan
"Kandaaa...!" jerit puteri Saba Bambil
memeluk Pangeran Demak. Gadis itu
menangis. "Kakang jangan tinggalkan aku!
Aku tidak mau hidup sendiri!"
Ternyata Pangeran Demak bukannya
mati, melainkan hanya pingsan saja. Selagi
puteri Saba dalam keadaan bingung begitu
Terdengar suara langkah-langkah kaki tidak
jauh di belakangnya. Sang puteri cepat
menoleh, ternyata yang muncul adalah
seorang gadis cantik berpakaian serba hitam.
"Pengemis cengeng, yang mau mampus
itu saudaramu, pacarmu atau suamimu.
Kalau suami biarkan saja dia mampus,
nanti kau bisa cari gantinya yang lebih
kaya dan bukan pengemis. Bukankah
wajahmu cantik? Hi hi hi...!" cibir si gadis
ketus.
Puteri Saba tentu saja menjadi marah
dicaci maki oleh gadis yang tidak di kenalnya
sama sekali. Ia bangkit berdiri, lalu berbalik
menghadap gadis baju hitam.
"Kau siapa? Jika punya tujuan baik
sebaiknya kau bantu aku menolong kakangku
ini. Tapi jika cuma mau usil, sebaiknya
kau merat dari sini!" bentak puteri baba
sengit.
” Hi hi hi...! Baik, akan kulihat dia
masih bisa ditolong atau tidak. Hi m ni.
Gadis baju hitam menghampiri Pangeran
Demak. Setelah memperhatikan keadaan si
pemuda dan memeriksa dadanya, ia berdiri
lagi sambil menggelengkan kepalanya. "Luka.
nya cukup berat, aku tidak bisa menolongnya
Dia segera mati, biarkan saja jangan dipikiri.
Aku tidak punya waktu berlama-lama di
sini. Aku punya tugas berat, tugas maling!
Selamat tinggal, selamat meratap-ratap!"
kata gadis baju hitam yang tidak lain
adalah Maling Jenaka atau Maling Cerdik.
Puteri Saba geram bukan main, jika ia
tidak memikirkan keselamatan saudaranya.
Ingin rasanya ia mengejar dan mendamprat
gadis sinting tadi. Namun ia terpaksa
menahan kekesalan hatinya. Dihampirinya
Pangeran Demak yang masih tidak sadarkan
diri. Dalam keadaan bingung seperti sekarang
ini ia memang tidak tahu harus berbuat
apa. Namun lagi-lagi ia dikejutkan oleh
suara seseorang.
"Hlo ke mana perginya gadis itu. Kulihat
tadi ia ke sini! Kurang ajar betul! Mestinya
aku tahu dia hendak pergi kemana!" kata
seorang pemuda. Puteri Saba cepat menoleh.
Gadis itu kerutkan keningnya. Saat itu di
depannya telah berdiri seorang pemuda
berambut hitam kemerahan berbaju biru.
Lagaknya celingak-celinguk sambil garuk-
garuk kepala. Tampangnya ketolol-tololan
dan terkesan seperti orang kurang waras.
“Kau siapa? Apakah temannya gadis
Maling tadi?" tanya si gadis curiga.
"Bukan? Aku mencari gadis baju hitam
Kulihat ia begitu mencurigakan!" sahut si
pemuda yang tidak lain adalah Pendekar
Blo'on.
"Aku tadi melihatnya. Gadis sinting yang
mengaku dirinya seorang maling. Dia sempat
membuatku kesal. Jadi benar kau tidak
punya hubungan apa-apa dengannya?" Puteri
Saba kelihatan masih curiga. Suro meng-
geleng. Perhatiannya kini beralih pada
pemuda berpakaian kumal yang dalam
keadaan terlentang tidak sadarkan diri.
"Dia siapa?" tanya Suro ditujukan pada
puteri Saba.
"Saudaraku."
Hanya dengan sekali lihat saja Suro
segera tahu bahwa pemuda itu sedang
menderita luka dalam yang serius. Tanpa
bicara ia langsung menghampiri.
"Celaka! Racun telah menjalar di sekujur
pembuluh darahnya. Siapa yang melakukan
semua ini?" .
"Panglima perang kerajaan Sorga Dunia!
jawab puteri Saba tanpa ragu-ragu.
"Dia harus cepat ditolong, jika tidak
umurnya paling hanya beberapa jam lagi.”
tegas murid Penghulu Siluman Kera Putih
dan Malaikat Berambut Api ini serius.
"Apakah kau mampu melakukannya?
tanya puteri Saba ragu-ragu.
"Kita lihat saja nanti!" sahut Suro tanpa
menoleh.
Lalu Pendekar Mandau Jantan ini
membuka baju Pangeran Demak Pati. Setelah
bagian dada terbuka terlihat ada bekas
telapak tangan membiru. Saking cemasnya
Suro termonyong-monyong.
"Racun keji Pedut Pati! Bagaimana
mungkin racun ganas yang menurut guru
telah musnah dari rimba persilatan itu kini
ada lagi?!" pikir Suro kecut. Mustahil ia
mengerahkan tenaga dalamnya. Pengerahan
tenaga dalam hanya membuat luka yang di
derita oleh pemuda mengemis itu semakin
bertambah parah. Jalan satu-satunya adalah
dengan membuka jalan darah di bagian
kaki, kepala dan juga dada pemuda itu.
Tanpa berpikir panjang lagi ia mengeluar-
kan dua buah obat pulung. Kemudian
memasukkannya ke dalam mulut Pendekar
Kucar Kacir secara paksa. Setelah itu ia
mengeluarkan mandau berikut tangkainya.
Melihat senjata di tangan pemuda bertam-
pang tolol kekanan-kanakan puteri Saba jadi
curiga.
'Hei... apa yang hendak kau lakukan?
Kau mau mencelakai saudaraku!"
"Justeru kalau aku tidak menolongnya
dia benar-benar akan celaka!" jawab Suro
tidak bergeming sedikit pun. Ia menggores
kedua telapak kaki, kedua telapak tangan,
ubun-ubun dan juga dada pemuda pengemis.
Setelah ada darah yang mengalir melalui luka
Kecil yang dibuat Suro Blondo.
Maka bocah ajaib mi segera menempelkan
rangka mandau pada setiap bagian luka
beberapa saat lamanya.
Cairan darah berwarna biru kemerah-
merahan tersedot keluar. Bau amis dan bau
busuk bercampur aduk menjadi satu. Tubuh
Pendekar Kucar Kacir pucat pasi seakan
tidak berdarah lagi. Puteri Saba semakin
khawatir melihat semua ini. Setelah menye-
dot habis seluruh racun ganas yang
mengeram di tubuh pemuda itu. Barulah
Suro berani mengerahkan tenaga dalamnya
ke dada Pangeran Demak Pati.
Tampak jelas sekujur tubuh Suro
menggigil, keringat sebesar-besar jagung
menetes deras membasahi wajahnya. Tidak
lama setelah terdengar suara erangan
Pangeran Demak. Pemuda ini tarik balik
tangannya. Suro bersemedhi.
Bukan main gembiranya hati puteri Saba
melihat Pangeran Demak mulai sadar dan
berangsur-angsur sehat kembali. Ketika si
Bocah Ajaib buka matanya. Puteri Saba
mengeluarkan sepuluh keping uang emas.
Sebuah jumlah yang sangat besar yang pada
masa itu bisa dipergunakan untuk membeli
sebuah rumah penginapan Apalagi kalau
dibelikan krupuk Suro tidak bisa membayang-
kan betapa banyaknya.
Pemuda berambut hitam kemerahan itu
beringsut menjauhi puteri Saba. Matanya
sedikit melebar, bibirnya termonyong-
monyong.
"Apa yang kau lakukan padaku? Dunia
ini kurasakan semakin aneh, ada pengemis
sekaya engkau?!" Heran Suro bertanya
dengan perasaan tidak mengerti.
"Lebih baik kau ambil Tuan penolong.
Ini sebagai rasa terima kasihku karena kau
telah menyelamatkan saudaraku!" desak
puteri Saba sambil tetap menyerahkan
sepuluh keping emas pada Suro. Suro garuk
kepala sambil menggeleng. "Aku tidak
meminta imbalan apa-apa. Yang membuat
aku heran mengapa orang kaya seperti
kalian mengemis?!"
'Tunggulah sebentar, biar saudaraku
yang menjelaskan semua ini pada Tuan!"
Puteri Saba memapah Pangeran Demak
hingga membuat pemuda itu dapat duduk
tegak. "Kanda, Tuan ini telah menolongmu.
Dia tidak mau pemberian dari kita. Apakah
tidak sebaiknya kita ceritakan siapa kita
dan juga kesulitan kita. Mungkin dia dapat
menolong kita."
Pendekar Kucar Kacir memperhatikan
Suro Blondo sekejab. Setelah itu yakinlah
Pangeran Demak ini bahwa pemuda beram-
but hitam kemerahan ini dapat dipercaya.
'Terima kasih kuucapkan karena Tuan
telah menolong kami! Tanpa pertolongan
tu...!"
Jangan panggil tuan, aku ini bukan
saudagar atau anak bangsawan. Aku Suro
Blondo. He he he...!" potong Pendekar Blo'on
merasa tidak enak hati.
"Suro Blondo?!" Kening puteri Saba
mengerenyit dalam. Ia coba mengingat-ingat
sesuatu. Namun apa yang dipikirkannya
tidak menghasilkan apa-apa. "Aku dan
saudaraku sebetulnya sedang menyamar
untuk menghindari kejaran orang-orang
kerajaan. Saudaraku ini adalah Pangeran
Demak Pati bergelar Pendekar Kucar Kacir.
Sedangkan aku sendiri puteri Saba!" kata
si gadis memperkenalkan diri.
Suro tiba-tiba saja berlutut, kepalanya
direndahkan seperti orang hendak bersujud.
Puteri Saba buru-buru mencegah.
"Eiit... apa-apaan ini?"
"Maafkan aku yang tidak mengenali
kalian. Aku tidak tahu Tuan puteri!"
"Jangan panggil tuan puteri. Aku lebih
suka kalau kau memandangku sebagai
masyarakat biasa saja."
"Aku jarang melihat ada keluarga bangsa-
wan rendah hati seperti kalian. Tadi kau
mengatakan Pangeran Demak adalah
Pendekar Kucar Kacir. Kalau tidak salah aku
menduga, tentulah kalian berdua murid
Setan Terompet?!" Pangeran Demak dan
puteri Saba saling pandang, tampak jelas
mereka sangat kaget mendengar ucapan
Suro.
"Darimana kau tahu, Suro?" tanya
Pendekar Kucar Kacir heran.
Pendekar Blo'on kemudian menceritakan
perjumpaannya dengan Ki Bersin sekaligus
menjelaskan maksud kedatangan tokoh dari
Kutai itu pada pewaris kerajaan Pasundan
yang sah.
"Hmm, guru kami Setan Terompet
memang pernah menceritakan tentang sau-
daranya. Aku yakin dia bersedia membantu,
karena Ki Bersin terhitung uwa guru kami.
Tapi Pangeran Suprana sendiri bukan
manusia lemah. Saudara seperguruannya
yang berjuluk Sang Bala sakti bukan main,
ia kebal senjata. Baru saja kami bentrok
dengannya. Para abdiku tewas. Aku sendiri
hampir mampus. Belum lagi Elang Perak
burung raksasa itu. Aku pun khawatir jika
guru Pangeran Suprana yang bernama Dewa
Kubu itu menyusul ke Jawa ini. Orang
yang kita hadapi bukan hanya mereka saja,
mungkin masih ada lagi tokoh-tokoh lain
di luar perhitunganku!"
"Seperti gadis baju hitam tadi!" Puteri
Saba menimpali. "Dia mengaku dirinya
maling. Tingkahnya kolokan dan setengah
sinting. Kurasa ia juga orang kurang waras
yang siapa tahu menginginkan pedang
pemersatu yang disembunyikan almarhum
ayahanda kami!"
"Apakah benar pedang itu ada?" tanya
si konyol ingin kepastian.
"Pedang Penyebar Bencana memang ada
Dulu ayahku selalu membawanya kemana
pun dia pergi. Agaknya sudah menjadi takdir
dan ayah mengetahuinya apa yang akan
terjadi. Ayah kemudian menyembunyikannya
di suatu tempat yang menurut dugaanku
di puncak Bukit Sembuang. Aku khawatir
orang luar sudah mendengar kabar ini."
kata Pendekar Kucar Kacir.
"Mengenai masalah pedang. Aku berjanji
untuk membantu mencarinya. Yang kudengar
katanya bukan pedang itu saja yang
menjadikan sah tidaknya raja memimpin
kerajaan Pasundan."
"Memang benar. Siapa pun yang memim-
pin Pasundan juga harus memiliki mahkota
kerajaan yang asli yang telah diwariskan
secara turun temurun. Mahkota itu tidak
perlu kau risaukan. Sialnya, dalam meng-
hadapi Sang Bala, aku sudah tidak sanggup.
Rasanya kesialan itu semakin membayangiku
setelah guru kami Setan Terompet memberi-
ku gelar Kucar Kacir."
"Ha ha ha! Kucar Kacir itu sama artinya
dengan morat-marit, pontang-panting, tung-
gang langgang, terbirit-birit. Kurasa gurumu
manusia tidak waras, ketika terlahir belum
genap umurnya dalam kandungan Pangeran
Demak, tidak segan-segan kukatakan pada-
mu, kulihat garis wajahmu memang penuh
kesialan!"
"Pemuda edan!" memaki Pangeran Demak
Pati.
Entah mengapa hati Pangeran merasa
cocok berkawan dengan Pendekar Blo'on
padahal mereka belum lama saling kenal.
"Apa gelarmu. Aku yakin kau punya
julukan tidak jauh bedanya dari tampangmu!
Ayo katakan...!" Pangeran Demak mendelik.
Suro beringsut menjauh. "Ha ha ha...! Aku
tahu, tapi mana kena di tipu. Kalau kau
tahu julukanku kau pasti akan mengejekku.
Bukankah begitu?"
"Kau tampan namun tampangmu seperti
orang bego. Aku tahu kau pasti bergelar
Pendekar Goblok. Hayo mengakulah...!"
"Kau salah menduga!" bantah Suro,
waiahnya berubah memerah. "Aku Pendekar
Blo'on!"
Pangeran Demak langsung meledak
tawanya. Ia terkekeh-kekeh, lalu pegangi
celananya yang basah. Ternyata Pendekar
Kucar Kacir sampai terkencing-kencing.
"Walah memalukan, sudah tua bangka
begitu masih ngompol!" Suro tersenyum
mengejek.
"Kanda celanamu... merah...!" seru puteri
Saba.
Seketika Pangeran Demak melirik ke
bagian yang basah itu. Memang ada darah
bercampur air kencing di situ. Maka pucatlah
wajah Pangeran Demak. Tawa Suro Bemakin
menjadi-jadi.
"Kau pangeran mata keranjang, pasti
sering jajan pada wanita jalanan. Kau kena
penyakit. Ha ha ha...!"
Wajah Pangeran Demak berubah pucat.
"Suro sungguh mati aku tidak pernah
kencing pada perempuan murahan. Mengapa
begini, Suro tolonglah! Kau jangan tertawa
saja seperti orang gila. Bagaimana ini?!"
Pangeran Demak kelihatan bingung sekali.
"Tolong kakangku, Suro!!" Puteri Saba
ikut meratap, tatapan matanya tampak
memelas sekali. Pendekar Blo'on hentikan
tawanya. Ia sadar betul pasti ada urat
darah di bagian saluran air seni Pangeran
Demak yang bocor. Sehingga karena penga-
ruh suara tawa itu menekan darah keluar
melalui saluran air seni sang Pangeran.
"Tidak usah khawatir. Darah itu akan
berhenti dengan sendirinya." jelas
akhirnya dengan serius.
Merasa jera Pangeran Demak Pati
terpaksa hentikan tawanya. Ia memandang
pada puteri Saba dan Pendekar Blo'on silih
berganti. Lalu terdengar suara si baju biru.
"Aku tertawa di tengah orang yang
sedang kesusahan. Orang yang sedang
kesusahan mentertawakan dirinya sendiri,
gila betul! Pangeran Demak!" kata Suro
sambil mendongak ke langit. "Aku sudah
menyelidik ke istana beberapa hari yang
lalu. Aku juga sudah melihat bagaimana
tampangnya Pangeran yang mengaku dirinya
Tuhan. Seandainya ia punya ilmu simpanan
segudang, aku tidak begitu menghiraukan-
nya. Tapi burung raksasa yang bernama
Elang Perak itu adalah sosok makhluk yang
berbahaya. Sepanjang perjalanan mencari
kalian, aku berpikir bagaimana caranya
mengatasi burung raksasa itu. Akal sudah
kudapat, namun aku tidak yakin apakah
berhasil melakukan sebuah siasat!"
"Mengatasi Sang Bala dan Pangeran
Suprana saja aku sudah pusing tujuh keliling
Aku tidak dapat lagi membayangkan betapa
dahsyatnya burung itu!" sahut Pendekar
Kucar Kacir.
"Ketentuan di tangan Gusti Allah.
Marilah kita sama-sama bertekad untuk
menghadapi segala kemungkinan yang ada!"
tegas Pendekar Blo'on memberi semangat
"Hiiii... kak...!"
Sedang mereka terlibat pembicaran serius.
Tiba-tiba di angkasa terdengar suara men-
desir disertai pekik keras suara seekor
burung. Ketiganya serentak memandang ke
langit.
"Celaka! Elang Perak...!" desis puteri
Saba dengan suara tercekat.
Suro dan Pangeran Demak juga tidak
kalah kagetnya. Timbul keinginan bagi
mereka untuk bersembunyi. Tapi rasanya
sudah terlambat. Pangeran Suprana yang
duduk di punggung burung raksasa tadi
pasti sudah melihat mereka. Terbukti Liang
Perak mulai terbang merendah.
"Pendekar Kucar Kacir! Luka dalammu
belum sembuh benar, harap kau
berlindung di tempat yang aman. Kau juga
puteri Saba!" perintah Si Bocah Ajaib, seraya
bangkit berdiri.
"Hiii...!"
Elang Perak menyambar-nyambar di atas
kepala Pendekar Blo'on. Sedangkan Pangeran
Demak masih tetap berada di tempatnya.
Kepakan sayap elang itu saja sudah membuat
tubuh Suro tergontai-gontai. Debu dan pasir
berterbangan. Hingga suasana di sekitarnya
gelap seketika.
"Kaak...!"
Angin bergemuruh, pohon-pohon seukur-
an paha porak poranda. Tidak lama kemudian
terdengar suara Pangeran Suprana yang
begitu lantang.
"Kepada orang di bawah! Harap kalian
tidak bikin ulah dan menyerah secara
baik-baik kepadaku! Aku tahu kalian
mungkin orang yang kami cari!" Elang
Perak mendarat di atas batu cadas tinggi.
Pangeran Suprana melompat dari atas
punggung binatang tunggangannya. Dengan
hanya beberapa kali lompatan saja ia telah
sampai di depan Suro Blondo. Hanya sebentar
saja ia memperhatikan pemuda berambut
kemerahan itu. Kini perhatiannya tertuju
pada kedua muda-mudi berpakaian pengemis
yang baru saja berdiri dari tempat duduknya.
Mula-mula matanya tampak menyipit,
semakin lama memperhatikan. Maka kemu-
dian terdengar suara tawanya bergelak.
Pangeran Demak Pati merasa penyamaran-
nya telah diketahui oleh orang yang sangat
ia benci.
'Sepuluh tahun melarikan diri, sepuluh
tahun kalian menghilang. Sungguh kasihan
kini kahan menjadi gembel-gembel memalu-
kan! Aku sebagai raja Pasundan mencari
kalian kemana-mana. Tidak tahunya kalian
sangat menyedihkan! Sekarang menyerahlah'
Tidak ada gunanya kalian melawan Tuhan!"
kata Pangeran Suprana begitu angkuhnya.
"Kau orang gila lepas dari penjara mana
mengaku-ngaku diri Tuhan! Kau pikir pantas
dirimu mengaku Tuhan! Walau pun wajahmu
tampan, kau sesungguhnya lebih cocok
menjadi monyet! Ha ha ha...!" celetuk Suro
yang merasa panas telinganya mendengar
ucapan Pangeran Suprana.
"Heh...!" Raja Sorga Dunia kaget sekali-
gus menoleh. Di lihatnya pemuda baju biru
tampak cemberut sambil garuk-garuk kepala.
"Kau yang barusan bicara kurang ajar tadi?"
"Matamu tidak buta. Tentu saja aku
yang bicara, apa kau merasa arwah nenek
moyang selir yang gentayangan kemari dan
bicara padamu!" Marah sekali Pangeran
Suprana mendengar ucapan pemuda bertampang ketolol-tololan yang sangat menghina-
nya itu.
"Jahanam! Aku akan selesakan
urusanku dengan Pangeran Demak dulu,
Setelah itu giliranmu nanti!” maki yang
Suprana. Seraya berpaling Pangeran
Demak dan puteri Saba. “Kembalikan
mahkota itu dan tunjuk dimana ayahanda
Prabu menyembunyikan pedang Penyebar
Bencana!"
Pendekar Kucar Kacir pura-pura terkejut.
"Eh, kau manusia dari mana? Apakah kau
baru turun dari langit? Aku sama sekali
tidak mengenalmu, aku juga tidak mengerti
apa maksud ucapanmu! Aku Pendekar Kucar
Kacir, bukan Pangeran apa tadi yang kau
sebutkan?"
"Ha ha ha! Kau memang pantas menjadi
Pendekar Kucar Kacir, sepuluh tahun yang
lalu kau pontang panting menyelamatkan
diri dari istana bersama adikmu. Nyawamu
tidak bisa kuampuni, hanya nyawa adikmu
saja yang dapat kumaafkan, karena ia akan
menjadi permaisuriku!" kata Pangeran Supra-
na tanpa malu-malu.
Wajah puteri Saba sempat memerah,
sedangkan Pangeran Demak Pati jadi geram
sekali. Perubahan air muka mereka tidak
sempat terlihat oleh Pangeran Suprana.
Sebaliknya Pendekar Blo'on tampak tidak
sabar mendengar ucapan raja tengil itu.
"Hei raja cabul. Sudah selesai kau bicara
dengan para pengemis itu? Cepatlah kemari,
berlutut di hadapanku. Kata-katamu cuma
membuat gatal kupingku! Cepat turuti
perintahku!" bentak Suro Blondo sinis.
“Anak setan ini benar-benar Bangat
keterlaluan sekali. Kalau aku tidak meng-
hajarnya hingga mampus, dia akan semakin
kurang ajar saja padaku!" batin Pangeran
Suprana geram.
Cepat sekali Pangeran Suprana alias
Iblis Peruntuh Mahkota alias' Kumbang
Pemikat berbalik. Tanpa basa-basi ia
kirimkan satu jotosan menggeledek ke dada
Si Bocah Ajaib. Angin dingin bersiut
membuat tubuh Suro merinding. Karena
serangan mendadak itu disertai pengerahan
tenaga dalam, dapat dipastikan pukulan itu
dapat meremukkan dada lawannya. Hanya
sepersekian detik lagi pukulan itu mendarat
di dada lawannya, di luar dugaan Suro
meliukkan tubuhnya. Ia bergerak ke samping
sambil meludahi wajah Pangeran Suprana.
Air ludah berhamburan membasahi wajah
raja Sorga Dunia. Pemuda itu selain kaget
juga marah sekali. Ia seka air ludah tersebut
sambil menggeram.
"Jahanam!"
"Ha ha ha! Pentang matamu baik-baik,
orang gila yang mengaku Tuhan! Barangkah
kau mabuk hingga seranganmu jadi melen
ceng!" kata Suro mencemo'oh. Merasa
penasaran Pangeran Suprana kembali lepas-
kan tendangan beruntun ke arah awannya.
Kali ini Suro melompat-lompat sambil
menggaruk bagian-bagian tubuhnya. Tiba-tiba
saja pemuda ini berbalik lalu dengart cepat
menangkis tendangan lawannya dengan
sikunya.
Dak! Dik! Duk!
Splak!
Iblis Peruntuh Mahkota bersurut mundur.
Kakinya yang berbenturan dengan siku
lawannya terasa mendenyut seperti di
tusuk-tusuk ribuan batang jarum.
"Orang ini ternyata mempunyai kepandai-
an di luar dugaanku semula. Melihat
wajahnya aku tidak menyangka ia memiliki
kesaktian. Gerakan-gerakannya aneh seperti
gerakan monyet. Aku harus cepat menying-
kirkannya!" batin Pangeran Suprana.
Untuk kedua kalinya Kumbang Pemikat
merangsak maju. Ia langsung memperguna-
kan jurus Menembus Langit Merengkuh
Matahari. Salah satu jurus warisan Dewa
Kubu yang sangat dahsyat. Lalu kedua
tangan Iblis Peruntuh Mahkota ini secara
bersamaan menghantam ke bagian-bagian
tubuh lawannya. Suro menggerung ketika
merasakan adanya sambaran hawa panas
seakan memanggang tubuhnya. Ia bersalto
ke belakang. Sambil berjongkok ia terus
menghindar. Gerakannya cepat bukan main,
sedangkan dari bibirnya terdengar suara
ngak ngik nguk tiada henti.
Meskipun gerakan-gerakan unik Suro
yang seperti monyet mabuk ini sempat
mengecoh Pangeran Suprana. Tetapi ketika
raja Sorga Dunia ini lipat gandakan tenaga
dalamnya dan lakukan serangan bertubi-tubi
Suro mulai merasakan adanya tekanan yang
kian menghebat, la tidak dapat tinggal diam
saat jemari tangan lawan menjebol dadanya
secepat kilat ia melompat, kaninya segera
menendang
Duuk!
"Ukh...!"
Sentakan keras serta akibat dorongan
Kumbang Pemikat yang begitu besar
membuat Suro nyaris terbanting. Pangeran
Suprana menggelengkan kepalanya sekali.
Setelah itu melompat lagi, kini jemari
tangannya mencengkeram pundak Suro.
Pemuda itu jelas tidak membiarkan bahunya
hancur dicengkeram lawan, karena ia sudah
melihat kedua tangan lawan sudah berubah
seperti bara sampai sebatas siku.
"Dia tidak bisa dipandang enteng. Monyet
satu ini harus di beri sedikit pelajaran!"
batin Suro.
Pendekar Blo'on menggeser langkahnya.
Segera ia kerahkan jurus Seribu Kera Putih
Mengecoh Harimau. Pemuda baju biru mi
langsung melompat tinggi ke udara. Serangan
Pangeran Suprana luput, saat itu Suro sudah
meluncur kembali ke bawah. Tendangan
lurus di arahkan tepat ke bagian kepala
lawannya. Serangan yang sangat cepat^ ini
tidak sempat lagi dielakkan oleh Pangeran
Suprana.
Dhaak!
Dengan telak kepala Pangeran kena
dihantam oleh Suro. Laki-laki ini jatuh
tidak jauh dari tempat Pangeran Demak
dan puteri Saba berada. Iblis Peruntuh
Mahkota yang masih puyengan ini langsung
bersuit. Sesungguhnya ia belum kalah,
namun rupanya ia punya rencana lain.
"Kiiik!"
Elang Perak yang sudah tampak resah
di atas batu cadas kepakkan sayapnya.
Makhluk raksasa itu langsung terbang
rendah mendekati Suro.
"Bunuh setan tolol itu, sahabatku!" teriak
Pangeran Suprana.
"Kaaak...!"
Elang Perak memekik keras. Suro
terkesiap.
"Celaka! Jika binatang ini menyerangku,
mustahil aku dapat melindungi Pangeran
Demak yang sedang terluka, si jahanam itu
pasti menghendaki puteri Saba!" maki Suro
dalam hati. Dan pemuda ini sebagaimana
kenyataannya memang sudah tidak punya
waktu lagi untuk berfikir jauh. Kepakan
Elang Perak telah menghantam Suro. Bukan
main dahsyat angin yang ditimbulkannya.
Suro nyaris terpelanting. Namun ia cepat
berguling-guling. Elang Perak menukik
tajam, paruhnya mematuk kepala Suro.
Melihat bahaya yang mengancamnya, Suro
lepaskan pukulan Kera Sakti Menolak Petir
Sinar putih bergulung-gulung melabrak
burung raksasa itu. Namun Elang Perak
seakan mengerti, ia kepakkan sayapnya
Angin bagai badai topan menderu, pukulan
Suro buyar. Pemuda konyol ini memaki
panjang pendek. Ia gagal mengusir Elang
Perak, kini bahaya lain mengancam jiwanya.
Kaki elang raksasa itu mencengkeram ke
arah perutnya. Pendekar Blo'on langsung
mempergunakan jurus Tawa Kera Siluman.
Tubuh pemuda itu tampak berkelebat disertai
tawa yang seakan mengitari elang tersebut.
Namun hanya sekejab saja Elang Perak
menjadi bingung, sekejab kemudian ia sudah
menguasai keadaan dan keluarkan suara
nyaring.
"Kaaaaak...!"
Elang Perak terbang rendah berputar-
putar. Suro leletkan lidah dan mulutnya
langsung termonyong-monyong, ancaman pa-
ruh burung ini tidak dapat dianggap
main-rnain. Belum lagi cakar-cakarnya. Inilah
yang selalu dijaga oleh Suro. Namun di
luar dugaan sayap burung tersebut menghan-
tam dari sisi kiri.
Brees!
"Huaagkh...!"
Murid Penghulu Siluman Kera Putih ini
terpelanting. Pakaiannya robek, tubuhnya
yang dipenuhi luka tampak kotor berselimut
debu. Pemuda ini merasakan bumi seperti
berputar dengan cepat, kepalanya pusing
dan sakit mendenyut. Setelah menggeleng
dan kerahkan tenaga dalam ia bangkit
berdiri.
"Burung jahanam!" maki Suro dalam
kemarahannya yang meledak-ledak.
Makiannya itu disambut pekikan Elang
Perak, binatang ini langsung menyerbunya
lagi. Semakin lama tampaknya serangan
sisa burung purba ini semakin mengganas.
Angin kembali menderu, Suro bertambah
sewot. Lalu ia lepaskan pukulan 'Ratapan
Pembangkit Sukma'. Elang Perak agaknya
mengetahui bahaya yang mengancamnya. Ia
bergerak mundur menjauh ketika melihat
sinar putih laksana salju bergulung-gulung
ke arahnya. Karena begitu jauhnya jarak
antara sasaran dengan Suro. Praktis pukulan
yang dilepaskannya tidak menghasilkan
apa-apa. Semakin bertambah kesallah pemu-
da ini dibuatnya. Ia kemudian melihat Elang
Perak kembali mendekatinya. Pemuda ini
langsung bersiap siaga
Sementara itu Pendekar Kucar Kacir
dan adiknya juga sedang menghadapi
serangan Iblis Peruntuh Mahkota. Karena
luka dalam yang diderita oleh Pangeran
Demak masih belum sembuh benar, maka
pemuda ini tidak berani bentrok tangan
secara langsung dengan lawannya. Dua
bersaudara ini sama-sama lepaskan pukulan
ke arah lawannya. Dua leret sinar merah
datang menggebu dan langsung menghantam
Pangeran Suprana. Laki-laki ini tidak tinggal
diam. Ia juga kibaskan kedua tangannya
memapak serangan itu. Sinar hitam ber-
gulung-gulung. Lalu terjadilah ledakan-
ledakan yang sangat keras!
Buuum!
Puteri Saba memekik keras, sedangkan
Pangeran Demak yang memang belum
sembuh benar dari luka yang dideritanya
tampak terpelanting. Iblis Peruntuh Mahkota
tertawa membahak.
"Kanda...!" pekik puteri Saba ketika
melihat Pangeran Demak muntahkan darah
kembali.
"Ha ha ha! Sekarang kau benar-benar
sesuai dengan julukanmu!" desis Kumbang
Pemikat. Dengan langkah tegap Pangeran
Suprana datang menghampiri. Ia bermaksud
membunuh pewaris kerajaan yang sah saat
itu juga. Kemudian Pangeran gila ini
mencabut pedang, senjata diayunkan. Ketika
senjata itu menderu, tampak bayangan putih
berkelebat dan....
Traang! .
Tangan Pangeran Suprana sempat ter-
getar. Ia cepat menoleh dan terlihat olehnya
puteri Saba berdiri sambil memegang
sepotong kayu di mana pada setiap ujungnya
mencuat mata pisau putih berkilat-kilat.
"Jangan coba-coba mengganggu kandaku!"
ancam sang puteri.
Iblis Peruntuh Mahkota tersenyum,
matanya jelalatan seakan menggerayangi
lekuk-lekuk tubuh puteri cantik tersebut.
"Kau calon permaisuriku, jangan mem-
bantah! Apa kau suka kalau aku memperkosa
dirimu di depan saudaramu! Ha ha ha...!"
"Kau benar-benar iblis!" maki puteri Saba.
Ia segera lakukan penyerangan kembali.
Namun dengan mudahnya Pangeran Suprana
mentahkan serangan-serangan ganas yang
dilakukan oleh lawan. Puteri Saba kerahkan
tenaga dalam ke bagian senjata yang
dipegangnya. Kedua ujung kayu tampak
membuka, lalu dari dalamnya meluncur dua
ekor ular berwarna kuning. Ular-ular
tersebut menyerang sang Pangeran. Pedang
dikibaskan dengan cepat!
Tes!
Salah seekor ular berhasil dibabatnya
hingga putus menjadi dua. Sedangkan yang
satunya lagi berhasil menerobos pertahanan
nya dan mematuk perut pemuda itu.
"Akh... keparat!" Pangeran Suprana
memaki, tubuhnya terhuyung-huyung. Hawa
panas menyerang dirinya. Kini ia urungkan
niat untuk membunuh Pangeran Demak.
Sebaliknya ia melompat ke samping kiri.
Puteri Saba tersentak kaget dan coba
menghindar dari totokan. Tapi gerakannya
kalah cepat dengan gerakan lawannya.
"Tak! Tak!
"Akh...!" "
Puteri Saba menjerit tertahan, tubuhnya
langsung kaku. Gadis ini tidak dapat berbuat
apa-apa ketika Pangeran Suprana menyambar
dirinya dan berlari menjauh dengan terhu
yung-huyung
Swiet!
Terdengar suitan nyaring. Elang Perak
yang sedang mencecar Pendekar Blo'on
sontak meninggalkan lawan begitu mende-
ngar suara majikannya. Burung itu di sebuah
tempat menghilang. Ketika ia terbang lagi
ke angkasa. Maka terlihatlah oleh Pendekar
Blo'on Pangeran Suprana dan puteri Saba
yang dalam keadaan tertotok telah berada
di atasnya. Suro jadi cemas, kesal dan
dongkol. Rahangnya menggembung, tiada
henti ia garuk-garuk kepala saking bingung-
nya. Di atas sana dalam ketinggian terdengar
suara Pangeran Suprana mengejek.
"Untuk sementara aku akan bersenang
senang dulu. Setelah itu aku akan mencari
kalian berdua. Kalau mau selamat serahkan
mahkota dan pedang pemersatu padaku.
"Setan jahanam! Dia akan merusak
kehormatan adikmu, Pangeran! geram
Pendekar Blo'on sambil menghampiri Pende-
kar Kucar Kacir
"Selamatkan adikku, Suro. Pangeran
Suprana pasti kembali ke istana." jelas
Pendekar Kucar Kacir sambil pegangi
dadanya.
"Bagaimana dengan kau?" Suro bingung
juga khawatir.
"Jangan hiraukan aku, jika kita sama-
sama selamat. Nanti bertemu di puncak
bukit Sembuang."
"Baiklah! Kau telan ini dulu!" Suro
Blondo memberikan tiga obat pulung yang
salah satu diantaranya berwarna merah.
"Terima kasih. Jangan tunda-tunda
waktu, sahabatku. Sebelum segala-galanya
jadi kucar kacir!"
"Baik, aku pergi dulu!" jawab Suro.
Tanpa menoleh-noleh lagi pemuda itu segera
berkelebat pergi. Gerakannya cepat sekali,
karena pada waktu itu ia telah mengerahkan
ilmu lari cepat Kilat Bayangan. Kini
Pangeran Demak Pati tinggal seorang diri.
Ia menyesali kelemahan diri sendiri. Antara
kecewa, putus asa membaur menjadi satu.
"Aku ini mengapa menjadi seperti banci?
Melindungi adik sendiri saja aku tidak
mampu. Benar-benar tolol!" Pangeran Demak
Pati memaki diri sendiri. Ia lalu bangkit
berdiri, selanjutnya melangkah terseok-seok
meninggalkan tempat itu.
Suasana rimba persilatan semakin mema-
nas. Ditambah lagi dengan ketegangan pihak
kerajaan yang terus mencari mahkota dan
juga pedang pemersatu kerajaan Pasundan.
Kabar tentang pedang keramat itu dengan
cepat langsung meluas. Maka bermunculan-
lah tokoh-tokoh hitam yang juga mengingin-
kan Pedang Penyebar Bencana yang konon
apabila senjata itu tercabut dari rangkanya,
sinarnya saja dapat membuat orang di
sekelilingnya menjadi debu.
Setan Terompet menjadi resah memikir-
kan persoalan ini. Ia juga khawatir dengan
keselamatan murid-muridnya. Pendekar Ku-
car Kacir memang memiliki kesaktian yang
cukup tinggi. Begitu juga dengan puteri
Saba. Namun tokoh-tokoh yang muncul di
rimba persilatan rata-rata mempunyai kepan-
daian seendang. . ,.
"Tentara kerajaan kulihat ada di mana-
mana. Orang-orang rimba persilatan juga
tampaknya lebih banyak yang pergi ke bukit
Sembuang. Aku yakin sekali pedang itulah
yang menjadi perhatian mereka. Aku tidak
tahu kedua muridku sekarang berada di
mana." kata kakek tua berpakaian selempang
itu seraya menimang-nimang buntalan berisi
mahkota raja. "Sebaiknya aku menyusul ke
sana."
Kakek berpakaian selempang yang tidak
lain adalah Setan Terompet ini bermaksud
beranjak dari tempatnya berdiri. Namun ia
urungkan niatnya saat melihat sosok tubuh
berpakaian kulit harimau tampak duduk
membelakanginya. Yang mengejutkan bagi
Setan Terompet pantat orang itu sama sekali
tidak menyentuh tanah. Duduknya seakan
mengambang dua jengkal di atas tanah.
Orang ini sama sekali tidak terlihat
wajahnya, juga tidak bicara apa-apa. Karena
merasa tidak punya permusuhan apa-apa.
Maka Setan Terompet mengambil arah lain.
Kemudian ia berjalan dengan tergesa-gesa.
Baru beberapa tombak dia berjalan. Di
depannya tampak pula orang yang sama.
Posisinya tetap duduk dalam keadaan
mengambang dan memunggunginya pula.
Setan Terompet membalikkan tubuh dan
berjalan ke arah lain. Rasa kagetnya semakin
menjadi-jadi disaat ia melihat orang yang
sama telah pula duduk searah dengan jalan
yang ditempuhnya. Setan Terompet segera
menyadari adanya gelagat yang tidak baik
ini . Belum sempat ia mengajukan pertanyaan
Terdengar suara orang yang duduk memung
gunginya, suara yang begitu dingin seakan
meremas-remas jantung Setan Terompet
"Langkahku telah terseret jauh demi
seorang murid yang kucinta. Kutinggalkan
tanah pengasingan di mana orang-orang
telah menganggap aku telah terkubur lama
di sana. Tapaku yang hampir seratus tahun
membuat ujudku antara ada dan tiada. Aku
berjalan dalam waktu, langkahku secepat
topan. Lariku secepat perjalanan cahaya
dalam kegelapan. Tiada kehendak yang tidak
terkabul, tiada pula hajat yang tidak
terpenuhi. Anak manusia yang berjuluk
Setan Terompet. Jika kau belajar ilmu
kesaktian seabad lagi. Kau belum bisa
menandingi kesaktianku! Setiap aku mene-
mui manusia, pasti ada yang kuinginkan.
Untuk itu terus terang kukatakan padamu,
serahkan mahkota kerajaan itu padaku.
Setelah itu nyawamu kubiarkan tetap
bersama ragamu!"
Apa yang dikhawatirkan Setan Terompet
menjadi kenyataan juga. Laki-laki yang
belum terlihat wajahnya berpakaian kulit
harimau ini ternyata memang menghendaki
mahkota raja yang di bawanya.
Tet! Tet! Tet!
Setan Terompet meniup terompetnya.
Terdengar suara bergemuruh menyakitkan
telinga. Karena dalam suara terompet tadi
terkandung pengerahan tenaga dalam yang
sangat tinggi. Sungguh mengejutkan jika
laki-laki berpakaian kulit harimau ini sama
sekali tidak bergeming. Ia tetap duduk
tenang mengambang di udara. Setan Terom-
pet termasuk manusia sakti, namun ia
terpaksa telan ludah membasahi kerong-
kongannya yang terasa kering tiba-tiba.
"Mahkota ini bukan milikku, ini hanya
barang titipan yang di amanahkan padaku.
Kuharap Anda suka mengerti dan memberi
jalan padaku untuk berlalu!" jawab Setan
Terompet berusaha ramah.
"Aku hanya bicara sekali lagi. Kalau
kau membantah aku akan rampas mahkota
berikut nyawamu!" Dingin suara laki-laki
berpakaian kulit harimau tersebut.
Setan Terompet bukan orang yang mudah
digertaki tanpa menghiraukan ucapan laki-
laki yang seluruh wajahnya tertutup rambut
panjang menjela ini ia berkelebat pergi.
Namun baru beberapa langkah, laki-laki
yang duduk mengambang di atas tanah itu
sentakkan kepalanya. Angin dingin menderu,
Setan Terompet terjajar.
"Setan keparat! Hiii...!" teriak Setan
Terompet kalap. Seraya langsung lepaskan
pukulan jarak jauh ke arah laki-laki
berpakaian harimau. Sekali lagi orang itu
gelengkan kepala.
Plas!
Pukulan sakti yang dilepaskan oleh Setan
Terompet lenyap seakan menghantam sebuah
ruangan hampa udara. Kakek berselempang
tersentak kaget. Pukulan yang dilepaskannya
bukan sembarang pukulan. Jika hanya tokoh
berkepandaian biasa saja yang terkena
serangan itu dapat dipastikan ia menemui
ajal seketika.
"Siapa kau?!"
Laki-laki berpakaian kulit harimau ter-
tawa pelan, lalu mulutnya mengatup kembali.
Ketika bicara ia sama sekali tidak meng-
hadapkan wajahnya pada lawan bicaranya
melainkan tetap memunggunginya.
"Aku Dewa Kubu, datang ke sini ingin
melihat kematian juga melihat darah. Aku
juga ingin membantu muridku Pangeran
Suprana! Kau sudah tahu, serahkan mahkota
raja secepatnya!"
Semakin bertambah kagetlah Setan
Terompet. Orang yang satu ini tidak dapat
dianggap main-main. Kesaktiannya sulit
dijajaki, dan ia manusia sesat pula. Keadaan
semakin runyam, persoalan bertambah pelik
dan sukar.
"Bagus! Aku sudah tahu sekarang
muridmu iblis dan rupanya kau bapak
moyangnya iblis! Kau boleh ambil mahkota
di tanganku jika sudah melangkahi mayat-
ku!" tantang Setan Terompet gusar.
Ucapan Setan Terompet sama sekali
tidak membuat Dewa Kubu memalingkan
muka ke arahnya. Tokoh Andalas ini (agar
lebih jelas ikuti Episode Memburu Manusia
Setan), gerakan tangan kirinya. Lima larik
sinar menderu, sebelum serangan itu
menghantam Setan Terompet. Maka si kakek
hantamkan mulut terompetnya.
Prang! Praang!
Setan Terompet bersurut mundur, tangan-
nya yang memegang terompet itu tersengat
hawa dingin membekukan. Ia kerahkan
tenaga dalam, setelah itu dengan cepat ia
menyerbu ke depan. Terompet ditiup tiga
kali mengeluarkan suara yang dapat mem-
buat hancur syaraf manusia. Dewa Kubu
tertawa pendek, lalu kedua bibirnya menga-
tup rapat. Masih dalam posisi duduk tidak
berubah, Dewa Kubu gerakkan kedua
tangannya ke samping. Tiba-tiba Setan
Terompet merasa seperti ada sebuah kekuat-
an dahsyat menindih sekaligus membungkam
suara terompetnya.
Belum hilang rasa kaget di hati tokoh
dari Kutai ini Dewa Kubu menggerakkan
tangannya ke atas seakan mengangkat.
Anehnya tubuh Setan Terompet ikut pula
terangkat ke udara. Serangan seperti ini
sangat jarang dimiliki oleh tokoh-tokoh rimba
persilatan di masa itu. Meskipun dirinya
terancam bahaya besar. Dalam keadaan
terangkat ke udara itu ia lepaskan pukulan
dahsyat. Hawa panas menyengat menghan-
tam Dewa Kubu. Laki-laki yang masih
belum jelas wajahnya ini gerakkan tangan
yang satunya lagi.
Sssst!
Serangan itu meleset dan menghantam
pohon di samping Dewa Kubu. Laki-laki itu
menggerakkan tangan kanannya. Setan
Terompet tiba-tiba merasa tubuhnya seperti
tersedot ke arah lawannya. Meskipun ia
berusaha bertahan namun kekuatan lawan-
nya terus membetotnya.
Lama kelamaan ia pun tidak kuat
bertahan. Tubuhnya meluncur deras ke arah
Dewa Kubu. Sejengkal lagi badannya
menubruk lawan, Setan Terompet hantamkan
senjatanya ke bagian kepala Dewa Kubu.
Prang!
Mulut terompetnya melesak, Dewa Kubu
bergeming pun tidak. Tiba-tiba kakinya
menendang. Sedangkan rambutnya yang
berubah kaku laksana kawat baja meng-
hantam perut Setan Terompet. Laki-laki itu
sudah tidak dapat menghindar lagi. Perutnya
ditembusi ribuan batang rambut, beton
Terompet menjerit sambil mendekap perut-
nya. Ketika rambut yang berlumuran darah
itu disentakkan. Maka Setan Terompet
terbanting ke tanah. Ia tewas seketika,
tidak terbayangkan betapa tingginya ilmu
Dewa Kubu, apalagi mengingat orang seperti
Setan Terompet adalah tokoh yang memiliki
kepandaian tidak rendah.
Mahkota dalam buntalan diambil oleh
laki-laki berpakaian kulit harimau ini. Ia
tertawa sambil menimang-nimang mahkota
tersebut. Setelah itu Dewa Kubu berdiri
sepenuhnya di atas tanah. Selanjutnya tokoh
aneh ini langsung berkelebat pergi mening-
galkan mayat Setan Terompet yang mulai
membeku.
Tidak lama setelah perginya Dewa Kubu
sambil membawa mahkota kerajaan. Di
tempat itu terdengar suara bersin-bersin
yang tentu saja membuat burung-burung
pemakan bangkai berterbangan menjauh.
Hanya beberapa saat setelah terdengar
suaranya, muncul pula orangnya. Ia tidak
lain adalah seorang laki-laki berambut kelabu
dan berjenggot kelabu. Mata si kakek tampak
mendelik ketika melihat Setan Terompet
terkapar tanpa nyawa. Tergesa-gesa ia
datang menghampiri.
"Saudaraku Setan Terompet?!" Ki Bersin
menggerung keras. Seraya memeluki mayat
adiknya. "Aku datang jauh-jauh kemari,
tidak tahunya kau suruh aku melihat
mayatmu? Setan mana yang telah membuat-
mu kaku begini?" desis Ki Bersin di sela-sela
isak tangisnya.
Setelah puas menangis, Ki Bersin
tengadahkan wajahnya. Ia teringat sesuatu
"Aku punya ajian Pati Darah, mengapa aku
sebodoh ini. Dia tidak mungkin mati selama
aku masih hidup. Akupun tidak akan mati
selama Setan Terompet masih hidup! Menga-
pa aku harus bersedih, hu hu hu...!" Ki
Bersin bangkit berdiri, mayat saudaranya
yang sudah dingin ini dilangkahinya seba-
nyak tiga kali. Setelah melangkahi mayat
itu tiga kali, maka Ki Bersin menunggu
sejenak. Reaksinya kemudian segera terlihat.
Mayat yang sudah dingin tersebut tampak
bergerak-gerak. Setan Terompet menggeliat
sambil merintih. Tidak lama ia merentak
bangkit.
"Waduuuh... sakit...! Kk... kau...!" Setan
Terompet kelihatan terkejut sekali. "Bagai-
mana Kakang bisa berada di sini?"
""Kepalamu peang Setan Terompet. Jika
aku tidak muncul dalam waktu yang tepat.
Tubuhmu seminggu mendatang sudah mem-
busuk. Coba kau ingat-ingat siapa yang
membunuhmu?"
Setan Terompet pegangi perutnya yang
masih meneteskan darah di sana-sini. Ki
Bersin segera membaca mantra-mantra Pati
Darah, lalu kedua tangannya di usapkan
ke bagian luka di perut adiknya. Secara
aneh, luka itu pun lenyap.
Kini Setan Terompet tertawa-tawa seperti
anak kecil yang baru mendapat mainan. Ki
Bersin melotot.
"Cepat katakan siapa yang membunuh-
mu?" bentak kakek berambut kelabu tidak
sabar lagi.
"Yang membunuhku Dewa Kubu. Guru
Pangeran Keparat Suprana. Ia bahkan telah
melarikan mahkota itu. Duh, apa nanti
jawabku kalau Si Kucar Kacir menanyakan
mahkota kerajaan? Apa...??" Setan Terompet
menggerung.
"Kau tua bangka tolol. Menghadapi satu
musuh saja sudah kalah, bahkan mampus
malah. Betapa memalukan Setan Terompet?!"
Ki Bersin kelihatan gusar sekali.
"Aku tidak malu-malu mengakuinya.
Namun harus diingat jika pun kita berdua
maju bersama-sama. Belum tentu kita dapat
mengalahkannya. Dia sakti bukan main. .Ia
menghadapi aku hanya dengan duduk saja."
"Ngomong apa, kau Terompet! Aku tidak
percaya!!!" sergah Ki Bersin.
"Kau boleh tidak percaya. Yang jelas
kita semua termasuk Pangeran Demak
benar-benar terancam bahaya besar saat
ini!" Kening Ki Bersin mengerenyit dalam.
"Katamu dia menghadapi kau hanya duduk
saja?"
"Betul."
"Kau kalah dengan orang duduk? Setan
memalukan. Apa gunanya kau belajar ilmu
sampai ubanan. Jika kau tidak becua
menghadapi seorang musuh apa lagi
dengan murid-muridmu?!" bentak Ki Bersin
dengan mata melotot.
"Itulah yang memusingkan pikiranku,
Kakang. Kau harus membantuku. Kita harus
pula pergi ke bukit Sembuang secepatnya
Kulihat orang-orang pergi ke sana. Kurasa
di sanalah almarhum ayahanda muridku
menyimpan pedang pemersatu."
"Tunggu dulu. Sebelum aku mencarimu,
aku bertemu dengan seorang pemuda berbaju
biru. Kurasa dia seorang pendekar juga. Ia
kutugaskan untuk menyelidiki ke istana.
Tapi sampai saat ini aku belum bertemu
dia lagi."
"Lalu?"
"Setelah melihat keteledoranmu menjaga
mahkota itu. Firasatku mengatakan kekacau-
an segera terjadi. Orang yang telah
membunuhmu tadi adalah tokoh sesat yang
namanya melegenda di rimba persilatan
tanah Andalas. Dulu... kudengar-dengar ia
dikabarkan sudah mati. Siapa sangka ia
sekarang bergentayangan dengan segala
kesaktiannya yang semakin menggila. Ayo
tunggu apalagi tua bangka goblok? Apa
kau ingin melihat murid-muridmu mampus
semua ?”
Setan Terompet hendak mengatakan
sesuatu, namun urung karena Ki Bersin
telah menyentakkan tangannya dan mem-
bawa Setan Terompet berlari menuju ke
arah utara.
Kurasa aku salah jalan, salah tujuan.
Dan bukit ini bukan tempat yang kutuju.
Dewa Petir memang manusia gila! Mengapa
dia tidak mau memberi peta padaku di
mana bukit Sembuang?" Gadis baju hitam
bicara seorang diri sambil membanting-
banting kakinya yang terbungkus sepatu
kulit beruang. "Kalau dia bukan guruku,
siapa sudi bersusah payah mencari barang
yang belum ketahuan di mana rimbanya.
Padahal barang guru tidak pergi kemana-
mana. Dia tetap berada di tempat sejak
masih kecil. Sepertiii... hi hi hi. Malu aku
mengatakannya." Gadis ini memegang bawah
perutnya. "Barangku juga tidak kemana-
mana. Mana mungkin ada barang disimpan
di atas bukit. Aku sudah memeriksanya
tadi. Guru ada-ada saja, segala pedang
dicari.
Aku sendiri lebih suka mencopet barang-
barang yang ada harganya. Betul-betul
menjengkelkan!" desis si gadis.
Selagi ia sedang dilanda kebingungan.
Semak-semak di depannya tampak bergoyang-
goyang. Si gadis memperhatikan dengan
seksama. Lalu ia lepaskan pukulan ke arah
semak-semak tersebut.
Buum!
Terjadi ledakan keras. Semak belukar
berantakan. Namun tidak terlihat reaksi
apa-apa. Tidak disangka-sangka di belakang
Maling Jenaka terdengar suara seseorang
"Ribut-ribut mencari barang hilang?
Barang yang di atas atau yang di bawah?
Tapi kulihat barang di atas masih ada dua
di balik bajumu. Kalau yang di bawah,
maaf... aku belum memeriksa. Aku juga
tidak tahu rupanya, entah rimbun atau
gersang, hahaha...!"
Wajah gadis baju hitam kontan berubah
seperti tomat masak. Kata-kata orang di
balik semak-semak itu sungguh menyinggung
perasaannya karena nyerempet-nyerempet
daerah larangan.
"Setan usilan yang bersembunyi di balik
semak, sebaiknya tunjukan diri kalau tidak
ingin mampus!" ketus suara si gadis. Dari
balik semak belukar muncul seorang pemuda
berpakaian biru berwajah tampan. Hanya
tampangnya ketolol-tololan.
"Kau yang bicara kurang ajar tadi?”
"Iya Kita ketemu lagi, Nisanak. Ku-
dengar kau mencari barang? Barang siapa
sebenarnya?" tanya Suro sambil garuk-garuk
kepala. Sebagaimana kita ketahui Suro
bermaksud mengejar Pangeran Suprana yang
telah melarikan puteri Saba. Namun dalam
perjalanannya ia melihat gadis yang pernah
dijumpainya beberapa hari yang lalu sedang
sibuk mencari-cari sesuatu.
"Barangmu!" sahut si gadis sinis.
Suro spontan raba celananya.
"Wah, aku punya masih ada kok. Tidak
terbang kemana-mana!"
Gadis itu hampir tertawa, tapi kedong-
kolan lebih banyak menguasai dirinya.
"Pemuda kurang ajar. Jika tidak kupukul
mulutmu itu, agaknya kau semakin bertam-
bah konyol." Melihat gadis baju hitam
mendekati, Suro melangkah mundur.
"Jangan kau cari perkara. Sekarang
kulihat kau begitu sibuk, dan aku ada
tugas penting pula. Maaf aku harus pergi!"
kata Suro yang langsung teringat dengan
tugas yang diembannya. Ia pun berlari, tapi
entah sengaja atau tidak gadis baju hitam
menabraknya. Kejadiannya seperti biasa-biasa
saja memang, anehnya si gadis masih sempat
berkata 'Maaf. Suro pun tidak ambil pcrduli.
Pemuda konyol itu langsung meninggalkan
Maling Jenaka si Maling Cerdik.
Gadis itu lalu tersenyum. Tabrakan yang
memang disengajanya tadi telah menghasil-
kan sesuatu. Ia tidak perlu memeriksanya,
segera barang yang baru didapatnya itu
langsung dimasukkan di balik punggungnya.
"Pemuda tolol. Nanti kau akan kelabakan
sendiri. Hi hi hi...!"
Gadis itu tidak merasa perlu berlama-
lama berada di tempat tersebut. Seakan
tidak pernah terjadi apa-apa ia pun
melenggang sambil terus tersenyum-senyum
Dua orang tabib istana sudah didatang-
kan untuk mengobati luka yang diderita
oleh raja Sorga Dunia. Namun kedua tabib
tadi tidak berhasil menyembuhkan luka
gigitan ular kuning sepenuhnya. Hanya
sebagian kecil saja bisa dapat dikeluarkan.
Sebagian lainnya masih mendekam di dada
Pangeran Suprana.
"Kita harus mendatangkan Tabib Dewa
Sesat, Paduka. Jika tidak empat puluh hari
di muka nyawa Paduka tidak tertolong!"
kata salah seorang dari tabib itu tanpa
ragu.
"Tidak seorang pun yang tahu Tabib
sakti itu berada. Semua ini gara-gara puteri
celaka itu. Awas! Jika racun di tubuhku
ini sudah menghilang ia benar-benar akan
merasakan pembalasanku!" geram Iblis
Peruntuh Mahkota disertai senyum liciK.
"Kami akan berusaha mencari Tabibj itu.
Sebaiknya Pangeran istirahat saja duiu.
saran sang tabib. Kedua tabib istana
meninggalkan kamar peristirahatan. Pange-
ran Suprana menganggukkan kepala, kemu-
dian ia merebahkan tubuhnya. Ia tampaknya
memang tidak sabar menunggu kesembuhan-
nya.
Lima orang gadis yang merawat Pangeran
Suprana semuanya cantik-cantik. Kalau
dihitung semua gadis yang berada di istana
Sorga Dunia ada sekitar empat puluh orang.
Semuanya setia dan siap dipanggil kapan
saja untuk memberikan kehangatan pada
Pangeran itu. Dan kini kelima gadis itu
tampak sibuk. Kelima gadis ini hampir
semuanya berpakaian merangsang dan di
balik pakaian tipisnya tidak memakai
pelindung apa-apa. Mereka sibuk sekali.
Narnun pelayanan yang diberikan oleh kelima
gadis itu tampaknya kurang berkenan di
hati Iblis Peruntuh Mahkota.
Rupanya ia sudah tidak sabar untuk
menghampiri puteri Saba yang dalam keadaan
tertotok dan di tcmpatkannya di sebuaii
kamar terkunci. Pemuda itu tanpa menghirau-
kan tubuhnya yang panas langsung mencam-
pakkan selimut yang menutupi dirinya.
"Paduka hendak kemana? Tabib berpesan
agar Paduka jangan bergerak, racun yang
mengeram dalam tubuh Paduka akan
menjalar lebih cepat lagi!" Salah seorang
gadis pemuas nafsu bejat Pangeran Suprana
mengingatkan.
"Diam! Di sini aku yang berkuasa, bukan
tabib sial yang tidak mampu berbuat apa-apa
atas penyakitku ini!" hardik Pangeran sinting
itu. Seraya keluar meninggalkan kamarnya.
Dengan terhuyung-huyung ia menghampiri
sebuah kamar. Tidak lama pintu kamar
pun sudah dibukanya.
Di atas ranjang tampak puteri Saba
diam terbaring dalam keadaan tertotok.
Gadis itu menyadari adanya bahaya yang
mengancamnya. Namun dalam keadaan
tertotok seperti sekarang ini mana mampu
ia berbuat sesuatu.
"Iblis jahanam ini benar-benar ingin
mempermalukan aku!" desis puteri Saba
dalam hati. "Aku bersumpah akan mem-
bunuhnya jika sampai ia berbuat kurang
ajar padaku!" Dugaan puteri Saba memang
tidak meleset, Iblis Peruntuh Mahkota
sambil tersenyum mendekati ranjang. Ia
mencium bibir sang puteri. Tentu saja
puteri tidak dapat menghindari ciuman
ganas itu karena kepalanya juga tidak
dapat digerakkannya.
"Manusia iblis, lepaskan aku! Lepaskan...!!!
teriak gadis berambut panjang itu
histeris. Pangeran menjauhkan sedikit
wajahnya dari wajah sang puteri. Bibirnya
menyunggingkan seulas senyum mencemooh
“Percuma aku dijuluki Iblis Peruntuh
Mahkota. Aku akan meruntuhkan mahkota
kebanggaanmu, akan kurenggut kesucianmu
Dan kau nanti hanya dapat meratap
menyesali nasib! Ha ha ha...!" kata Pangeran
Suprana. Ia kemudian menciumi leher puteri
yang kuning langsat dan berbau harum.
Sedangkan tangannya yang sedang menyusup
di balik pakaian gadis itu sudah bergayangan
meremas-remas dada sang puteri.
Gadis ini tampak semakin ketakutan.
Ia bahkan kemudian menangis terisak-isak.
Rupanya pengeran tidak puas hanya meremas
dan membelai. Disobeknya pakaian puteri
Saba di bagian dada. "Hari ini aku ingin
melihat keindahan tubuhmu yang kau
sembunyikan selama ini!"
Bret! , . .
Pakaian itu robek besar. Kedua dada
puteri tersibak. Mata Pangeran mendelik.
Ia leletkan lidah basahi bibir.
"Oh... betapa menawan." seru pemuda
sinting itu, lalu ia menciumi kedua bukit
yang hangat mulus tegak menantang itu
Puteri Saba hanya dapat memaki dan
menangis. "Luar biasa, aku belum pernah
melihat yang seindah ini. Kau benar-benar
masih, hmm...!" desis Pangeran Suprana.
Darah mudanya bergolak kembali, nafsu
meledak-ledak. Dan ia bertindak semakin
kurang ajar saja.
"Kurasa bagian lainnya lebih hebat dari
ini!" kata Kumbang Pemikat. Dan tangannya
meluncur melalui perut sang puteri. Jeritan
gadis itu semakin menjadi-jadi. Setelah
menyelinap di balik pakaian bawah si gadis.
Pangeran menyentakkan pakaian yang menu-
tupi bagian terlarang sang puteri sehingga
gadis itu benar-benar dalam keadaan telan-
jang. Mata Pangeran mendelik-delik melihat
tubuh telanjang di depannya. Tangannya
dengan agresif menjelajah ke bagian-bagian
yang sensitip itu. Puteri Saba merasa
nyawanya laksana terbang.
"Kau akan kubawa menikmati sorga di
istanaku ini, puteri Saba!" kata Pangeran
Suprana. Gairahnya kini meletup-letup.
Darahnya bergolak, pemuda itu melepaskan
pakaiannya. Satu hal yang tidak disadari
oleh pemuda itu. Bahwa birahi yang
membakar jiwanya secara langsung telah
membuat racun ular kuning menyebar ke
seluruh tubuhnya lebih cepat dari perhitung-
an sang tabib.
Pemuda yang sudah setengah telanjang
ini tiba-tiba saja merasa ada satu hawa
panas laksana membakar sekujur tubuhnya.
Ia mendekap dadanya.
"Ukh...! Penyakit keparat ini” maki
Pangeran dengan tubuh terhuyung-huyung
Ia nyaris terjatuh, penderitaan yang dirasa-
kannya membuat sang Pangeran Urungkan
niatnya “Kau tunggulah sayang, waktunya
pasti akan tiba!” kata pemuda itu. Ia
menutupi tubuh telanjang si gadis dengan
selimut Kemudian dengan terhuyung-huyung
ia meninggalkan kamar yang dipergunakan
untuk menyekap puteri Saba.
Jatuh bangun Pangeran Suprana mema-
suki kamarnya. Lima orang gadis yang tetap
setia menunggu kelihatan kaget melihat
sekujur tubuh rajanya berubah merah dan
panas sekali.
"Paduka...!!"
"Aku Tuhanmu. Cepat panggil tabib,
jangan membuang-buang waktu!" bentak
pemuda itu. Tubuhnya memang menggigil,
mungkin semua ini tidak akan terjadi jika
ia tadi dapat mengekang nafsunya tapi
mana Pangeran budak nafsu ini perduli, ia
terus berteriak-teriak hingga para pengawal
mengira rajanya sedang bertempur.
Merekapun berdatangan Melihat keha-
diran para prajurit Pangeran
bertambah marah.
“Mana tabib itu. Hadirkan Tabib Dewa
Sesat ke sini! Orang-orang goblok mengapa
cuma berdiri di situ?" maki sang Pangeran.
Para pengawal berserabutan keluar. Iblis
Peruntuh Mahkota terus mengerang-erang.
Selagi semua gadis yang berada di ruangan
itu dalam keadaan bingung tiba-tiba saja
angin kencang berhembus menerobos kisi-kisi
jendela. Pangeran Suprana walaupun dalam
keadaan sakit tetap bersiap siaga menjaga
segala kemungkinan. Kunci-kunci jendela
terbuka, seakan ada tangan-tangan gaib
yang menyentuhnya. Dan....
Braak! Braak!
Jendela terhempas dan terbuka dengan
paksa. Angin kencang tetap berhembus
menerobos ke dalam kamar. Lalu terdengar
suara mendengung seperti suara ribuan lebah
yang baru pindah sarang. Suara mendengung
semakin lama semakin bertambah jelas,
bertambah dekat sampai kemudian terdengar
suara seseorang.
"Nafsu bisa mencelakakan manusia.
Banyak manusia celaka karena nafsunya."
Pangeran Suprana kaget bukan main,
memandang ke arah jendela ia lebih terkejut
lagi. Di pintu jendela terlihat seorang kakek
tua berkepala botak. Alisnya putih, tidak
berjenggot dan tidak pula berkumis. Sesekali
si kakek meludah. Air ludah berwarna
merah. Ternyata kakek ini makan sirih.
"Tabib Dewa Sesat! Sukur para tabib
istana telah menghubungimu. Cepat tolonglah
aku?!" kata Pangeran Suprana penuh harap.
Ia rupanya sungkan dengan tabib kondang
yang konon juga memiliki kesaktian yang
cukup tinggi.
"Cuih!" Tabib Dewa Sesat meludahkan
air sirih ke lantai seenaknya saja dengan
sikap acuh malah. "Penyakit kau cari
sendiri! Dari mukamu aku dapat melihat
umurmu paling hanya tinggal tiga puluh
lima hari lagi karena kecerobohanmu
sekejab tadi!"
"Tabib Dewa Sesat, aku akan memberi
imbalan yang sangat besar. Para tabibku
sengaja kusuruh menjemputmu, karena
mereka tidak mampu menyembuhkan aku!"
"Bertemu dengan batang hidung para
tabibmu-pun aku tidak. Aku datang sekehen
dak hatiku. Kau tidak bisa membayarku
terkecuali kau mau menuruti upah yang
aku minta." kata si kakek botak acuh tak
acuh. Tubuh Pangeran Suprana disaat itu
semakin menggigil, rupanya racun ganas
ular kuning semakin hebat menyerangnya.
"Apa...? Katakanlah!!" desak Pangeran
itu tidak sabar. .
"Cuih! Aku meminta dua dan kemung-
kinan yang kau miliki. Pertama jika kau
mau menyerahkan kerajaan ini padaku
Maka aku akan mengobatimu, kau nanti
bisa membuat kerajaan di lain tempat”
Raja Sorga Dunia kaget ”Botak
jahanam ini benar-benar sangat Keterlaluan.
Aku harus punya siasat untuk melicikinya.
Nanti kalau aku sembuh, kepalanya kupeng-
gal lalu kuseret ke alun-alun." batin si
pemuda. Maka dia menjawab. "Jangan kau
pinta istana. Lebih baik kau minta seribu
permintaan lain dan aku akan mengabul-
kannya!"
"Begitu?!" Tabib Dewa Sesat tersenyum
sinis. "Kalau begitu bagaimana andai aku
minta puteri Saba? Aku terlanjur melihat
kebagusan tubuhnya. Kau sudah melihatnya,
aku yang ingin merasakan dalamnya.
Bagaimana? Jika kau setuju, tentu aku
akan mengobatimu!"
"Tua bangka ini cari penyakit! Dia pikir
dirinya siapa? Aku harus mengalah semen
tara. Jika dia telah berikan obat itu, huh
tahu rasa nanti!" maki Pangeran Suprana
dalam hati. Namun mulutnya berkata lain.
"Baiklah permintaanmu kuturuti. Aku meng-
inginkan kesembuhan, seratus perempuan
cantik nanti dapat kucari. Nah cepat
sekarang lakukanlah pengobatan sesegera
mungkin!"
"Keputusanmu sangat bijaksana!" Tabib
Dewa Sesat menyahuti, ia melompat turun
dari atas jendela. Setelah itu ia mengeluar-
kan sebuah kantung berwarna hitam dan
sudah butut. Setelah itu si kakek botak
mengeluarkan belasan batang jarum panjang
dari dalam kantung. Yang satu berwarna
putih lainnya berwarna kuning.
"Tidak usah khawatir. Aku tidak
mencelakaimu. Kalau kau kurang yakin
suruh pergi kelima perempuan ini, panggil
pengawalmu untuk berjaga-jaga di sini!''
Karena pada dasarnya Pangeran Suprana
memang tidak pernah menaruh rasa percaya
pada siapa pun. Ia segera memberi isyarat
pada gadis-gadis itu. Kelimanya langsung
pergi, tidak lama datang beberapa orang
pengawal mereka tampak bersiap siaga di
depan pintu dan di depan jendela. Sambil
tersenyum sang Tabib memandang acuh tak
acuh pada para pengawal itu. Kemudian ia
mulai menusukkan jarum-jarum itu di sekitar
dada Pangeran dan juga pada bagian paha
pemuda itu.
"Jangan bergerak sedikit pun. Salah-salah
kau bisa lumpuh seumur hidupmu!" kata
sang Tabib memperingatkan. Iblis Peruntuh
Mahkota tidak berani bergerak walau barang
sedikit pun. Ia mulai merasakan adanya
serangan hawa dingin dari bagian-bagian
yang di tusuki jarum tersebut. Hawa dingin
dan hawa panas membaur dan terjadilah
pergolakan hebat. Pangeran Suprana menje-
rit. . .
Pemuda itu hampir saja memaki sang
Tabib tapi ketika dirasakannya pergolakan
dua kekuatan yang berlawanan mulai mereda
ia pun urung. Sekarang dari seluruh pori-pori
Pangeran Suprana menetes cairan merah
kehitam-hitaman. Setelah warna hitam dalam
cairan merah itu hilang sepenuhnya. Maka
Tabib Dewa Sesat mencabuti jarum-jarum
yang tertancap di sebagian besar tubuh
pemuda itu.
"Bagaimana keadaanmu sekarang, Padu-
ka raja?" tanya Tabib Dewa Sesat.
"Sudah agak lumayan!" sahut Pangeran
Suprana.
Tabib Dewa Sesat menyerahkan dua pil
berwarna biru dan hitam. "Telanlah! Obat
itu gunanya untuk memperlancar peredaran
darah!" Tanpa merasa curiga Pangeran
Suprana langsung telan obat pemberian
Tabib Dewa Sesat. Setelah agak lama
reaksinya pun terasa. Pangeran merasa
tubuhnya menjadi enteng.
"Sekarang aku harus pergi dan membawa
puteri Saba!" kata sang Tabib sambil bangkit
berdiri. Di luar dugaan Pangeran Suprana
bangkit berdiri pula, kemudian tawanya
meledak
"Ha ha ha..,! Kau pikir akan semudah
itu Tabib? Puteri Saba adalah calon
permaisuriku. Adalah suatu kebodohan jika
aku menyerahkan kepadamu!" dengus raja
Sorga Dunia sinis. Lalu ia menoleh ke arah
pintu. "Panglima, tangkap monyet botak
ini!!" perintah Pangeran Suprana. Dari balik
lain adalah Sang Bala, SoSok pembunuh
berdarah dingin yang paling ditakuti.
Kini Tabib Dewa Sesat yang ganti
tertawa. "Aku sering mendengar kelicikan-
mu, Pangeran bangsat! Jangan kira kau
sembuh sepenuhnya. Obat yang baru kau
makan tadi satu diantaranya adalah alat
pembunuh yang akan menyiksamu lahir
batin. Hanya aku yang punya obat penawar-
nya, kau akan mati pelan-pelan. Bukan
Tabib Dewa Sesat jika aku masih dapat
diliciki oleh bocah ingusan sepertimu! Ha
ha ha...!"
"Kau pasti berdusta. Siapa mau percaya?"
"Aku tidak memintamu percaya pada
tabib sesat sepertiku! Untuk mengetahuinya,
coba kau kerahkan tenaga dalammu!"
perintah sang Tabib.
Diam-diam Pangeran Suprana kerahkan
tenaga dalam. Tiba-tiba dadanya langsung
sesak dan leher seperti tercekik. Maka
pucatlah paras pemuda itu.
"Keparat!" Pangeran Suprana menggeram
marah sudah bisa menakar umurmu.
Kalau kau tidak turuti parintahku, maka
nyawamu tidak tertolong”
"Sebaiknya kita tabib tangkap ini
saudaraku. Setelah itu kita rampas obat
pemunahnya!" seru Sang Bala dingin.
Tabib Dewa Sesat memasukkan bungkus
kecil berisi obat pemunah. Kau berani
menangkapku, obat pemunah racun Serat
Raja kutelan. Rajamu mampus dan kau
tidak mendapatkan apa-apa dariku!" Pange-
ran Suprana menjadi serba salah. Ia harus
menyerahkan puteri Saba pada Tabib itu
jika dirinya ingin selamat.
Sementara itu di ruangan kamar tempat
di mana puteri Saba berada tampak pula
bayangan merah berkelebat memasuki kamar
tersebut. Melihat wajahnya mungkin orang
ini sudah berumur delapan puluhan atau
lebih. Ia memakai ikat kepala warna hitam
dan lebar sehingga sehelai rambutnya pun
tidak terlihat. Tanpa bicara apa-apa jalan
suara si gadis ditotoknya. Puteri Saba
ketakutan setengah mati. Kakek baju merah
ini tanpa menunggu lagi langsung memang
gul tubuh telanjang si gadis. Kemudian ia
keluar lagi sambil berlari kencang meninggal-
kan istana.
Di ruangan pertama tadi Pangeran
Suprana jadi bingung sendiri. Ia tidak
menyangka Tabib itu telah menyiasatinya
pula.
“Tidak ada pilihan lain bagimu, terkecuali
menyerahkan gadis itu padaku!" tegas Tabib
Dewa Sesat.
"Hmm, baiklah. Kau menang hari ini.
Puteri itu boleh kau miliki sekarang
serahkan obat pemunah racun itu kepadaku”
"Aku tidak bodoh. Obat baru kuberikan
pada panglimamu setelah aku membawa
gadis cantik tersebut jauh dari istana
Silahkan Panglima mengiringiku...!"
Dengan meredam kemarahannya, Pange-
ran Suprana terpaksa menurut pula. Ia dan
panglimanya mengantar sang Tabib menuju
kamar puteri Saba. Alangkah terkejutnya
berbagai pihak yang sama-sama berada di
situ ketika melihat pintu terbuka dan puteri
Saba tidak berada di tempatnya.
"Celaka ada seseorang yang telah
melarikannya!" desis Pangeran dengan wajah
pucat dan bibir bergetar.
"Huh, kau tidak dapat menepati janjimu.
Gadis itu dilarikan orang dan aku harus
mendapatkannya. Jika dia tidak kutemukan,
maka aku tidak akan pernah memberikan
pemunah Racun Serat Raga padamu!" kata
Tabib Dewa Sesat sambil berkelebat pergi.
"Mari kita ikuti dia!" seru Pangeran
Suprana pada Sang Bala.
Tanpa membuang-buang waktu lagi kedua
orang penting kerajaan Sorga Dunia ini
segera mengejar Tabib Dewa Sesat.
Nah apa yang bakal terjadi? Siapa yang
telah menawan puteri Saba, apakah nyawa
Pangeran Suprana dapat tertolong ? Apa yang
hilang dalam diri PendeKar Bloon ? Dewa
Kubu tidak tinggal diam, Elang Perak
apalagi dan kehadiran Dewa Petir?! Mala-
petaka tidak dapat dicegah.
TAMAT
0 comments:
Posting Komentar